Makalah Syok Septik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH KEPERAWATAN GAWAT DARURAT SYOK SEPSIS



Disusun Oleh: Kelompok 3: 1. 2. 3. 4.



Sari Rahayu Amri Tatang Putra Yolanda Zabet Anggraini



PROGRAM STUDI PROFESI NERS STIKES SYEDZA SAINTIKA PADANG TAHUN 2020-2021



KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan rahmat-Nya yang selalu dicurahkan kepada seluruh makhluk-Nya. Selawat serta salam untuk baginda Rasulullah Nabi Muhammad SAW. Yang telah membawa umat manusia dari zaman yang kelam hingga zaman yang terang dengan cahaya iman seperti saat sekarang ini. Alhamdulillah dengan nikmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul "SYOK SEPSIS" tepat pada waktunya. Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah keperawatan Gawat Darurat dan untuk lebih memperluas pengetahuan mahasiswa. Kami telah berusaha untuk dapat menyusun makalah ini dengan baik. Oleh karena itu jika didapati adanya kesalahan-kesalahan baik dari dari segi teknik penulisan maupun dari isi, maka kami mohon maaf dan kritikan serta saran dari dosen pengajar.



Kelompok 3



DAFTAR ISI Halaman Judul Kata Pengantar Daftar Isi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ............................................................................................... B. Rumusan Masalah .......................................................................................... C. Tujuan ............................................................................................................ BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Definisi Syok Hipovolemik............................................................................ B. Jenis Syok ......................................................................................................................................... C. Etiologi syok hipovolemik .............................................................................. D. Manifestasi Kinik syok hipovolemik............................................................... E. Patofisiologi syok hipovolemik ...................................................................... F. Komplikasi syok hipovolemik ........................................................................ G. Pemeriksaan



Penunjang



syok



hipovolemik ................................................................................. H. Penatalaksanaan syok hipovolemik ................................................................ BAB III Konsep Dasar Keperawatan A. Pengkajian ...................................................................................................... B. Diagnosa ........................................................................................................ C. Intervensi ....................................................................................................... D. Implementasi .................................................................................................. E. Evaluasi .......................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasien yang masuk ke Instalasi Gawat Darurat (IGD)rumah sakit tentunya butuh pertolongan yang cepat dan tepat,untuk itu perlu adanya standar dalam memberikan pelayanan gawat darurat sesuai dengan kompetensi dan kemampuannya sehingga dapat menjamin suatu penanganan gawat darurat dengan respons time yang cepat dan tepat (KepMenKes, 2009).Sebagai salah satu penyedia layanan pertolongan, dokter dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang cepat dan tepat agar dapat menangani kasus-kasus kegawatdaruratan (Herkutanto, 2007; Napitupulu, 2015). Salah satu kasus kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan segera adalah syok. Syok merupakan gangguan sirkulasi yang diartikan sebagai tidak adekuatnya transpor oksigen ke jaringan yang disebabkan oleh gangguan hemodinamik. Gangguan hemodinamik



tersebut dapat berupa penurunan tahanan



vaskuler sistemik,



berkurangnya darah balik, penurunan pengisian ventrikel, dan sangat kecilnya curah jantung.



Berdasarkan



bermacam-macam



sebab



dan



kesamaan



mekanisme



terjadinya,syok dapat dikelompokkan menjadi empat macam yaitu syok hipovolemik, syok distributif, syok obstruktif, dan syok kardiogenik(Hardisman, 2013). Syok hipovolemik yang disebabkan oleh terjadinya kehilangan darah secara akut (syok hemoragik) sampai saat inimerupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di negara-negara dengan mobilitas penduduk yang tinggi. Salah satu penyebab terjadinya syok hemoragik tersebut diantaranya adalah cedera akibat kecelakaan. Menurut World Health Organization(WHO) cedera akibat kecelakaan setiap tahunnya menyebabkan terjadinya 5 juta kematian diseluruh dunia. Angka kematian pada pasien trauma yang mengalami syok hipovolemik di rumah sakit dengan tingkat pelayanan yang lengkap mencapai 6%. Sedangkan angka kematian akibat trauma yang



mengalami syok hipovolemik di rumah sakit dengan peralatan yang kurang memadai mencapai 36% (Diantoro, 2014). Syok hipovolemik juga terjadi pada wanita dengan perdarahan karena kasus obstetri, angka kematian akibat syok hipovolemik mencapai 500.000 per tahun dan 99% kematian tersebut terjadi di negara berkembang. Sebagian besar penderita syok hipovolemik akibat perdarahan meninggal setelah beberapa jam terjadinya perdarahan karena tidak mendapat penatalaksanaan yang tepat dan adekuat. Diare pada balita juga merupakan salah satu penyebab terjadinya syok hipovolemik. Pemberian cairan merupakan salah satu hal yang paling umum yang dikelola setiap hari di unit perawatan rumah sakit dan Intensive Care Unit(ICU), dan itu adalah prinsip inti untuk mengelola pasien dengan syok hipovolemik (Yildiz, 2013; Annane, 2013). Apabila syok hipovolemik berkepanjangan tanpa penanganan yang baik maka mekanisme kompensasi akan gagal mempertahankan curah jantung dan isi sekuncup yang adekuat sehingga menimbulkan gangguan sirkulasi/perfusi jaringan, hipotensi, dan kegagalan organ. Pada keadaan ini kondisi pasien sangat buruk dan tingkat mortalitas sangat tinggi. Apabila syok hipovolemik tidak ditangani segera akan menimbulkan kerusakan permanen dan bahkan kematian. Perlu pemahaman yang baik mengenai syok dan penanganannya guna menghindari kerusakan organ lebih lanjut(Danusantoso, 2014). B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan Syok Hipovolemik? 2. Apa saja Jenis Syok ? 3. Apa Etiologi syok ? 4. Apa saja Manifestasi Kinik ? 5. Bagaimana Patofisiologi syok? 6. Apa saja Komplikasi syok? 7. Bagaimana Pemeriksaan Penunjang syok? 8. Apa saja Penatalaksanaan syok? 9. Bagaimana Konsep Dasar Keperawatan syok hipovolemik?



C. TUJUAN I. Mengetahui Definisi Syok Hipovolemik J. Mengetahui Jenis Syok K. Mengetahui Etiologi syok hipovolemik L. Mengetahui Manifestasi Kinik syok hipovolemik M. Mengetahui Patofisiologi syok hipovolemik N. Mengetahui Komplikasi syok hipovolemik O. Mengetahui Pemeriksaan Penunjang syok hipovolemik P. Mengetahui Penatalaksanaan syok hipovolemik Q. Mengetahui Konsep Dasar Keperawatan Syok Hipovolemik



BAB II TINJAUAN TEORITIS



SYOK SEPSIS I.



Pengertian Syok adalah suatu kondisi gangguan fungsi sirkulasi untuk menghantarkan nutrisi



dan oksigen ke jaringan yang ada ditubuh, salah satu jenisnya adalah syok sepsis, pada syok sepsis gangguan sirkulasi ini disebabkan oleh adanya peradangan pada seluruh tubuh sebagai komplikasi dari sepsis. Sepsis adalah kondisi dimana bakteri menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah dengan kondisi infeksi yang sangat berat, bisa menyebabkan organ-organ tubuh gagal berfungsi dan berujung pada kematian (Purnama, 2014). Sepsis adalah kumpulan gejala sebagai manifestasi respons sistemik terhadap infeksi. Respon inflamasi sistemik adalah keadaan yang melatarbelakangi sindrom sepsis. Respon ini tidak hanya disebabkan oleh adanya bakterimia, tetapi juga oleh sebab-sebab lain. Oleh karena itu kerusakan dan disfungsi organ bukanlah disebabkan oleh infeksinya, tetapi juga respon tubuh terhadap infeksi dan beberapa kondisi lain yang mengakibatkan kerusakan-kerudasakan pada sindrom sepsis tersebut. Pada keadaan normal, respon ini dapat diadaptasi, tapi pada sepsis respon tersebut menjadi berbahaya (Bakta & Suastika, 2012). Contoh dari pengertian diatas adalah reaksi dari mediator leukotrine dan PAF ( Plateled Activating Factor ) adalah untuk merangsang neutrofil yang mengadakan agregasi disekitar sumber pelepas mediator ini. Akibatnya akan meningkatkan kemampuan neutrofil untuk membunuh bakteri yang difagositosis. Normalnya hal ini sangat menguntungkan, tapi pada keadaan sepsis sebagian dari molekul reaktif ini akan dilepaskan langsung pada sel endotel permukaan. Hal ini merupakan salah satu penyebab dari kerusakan endotel yang khas terjadi pada sepsis, dan berakibat kerusakan organ. Banyak mediator yang ditemukan berperan dalam pathogenesis sepsis dengan efek yang berbeda-beda. II.



Etiologi sepsis



Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat disebabkan oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur). Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada orang dewasa adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumonia. Spesies Enterococcus,



Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering ditemukan. Umumnya, sepsis merupakan suatu interaksi yang kompleks antara efek toksik langsung dari mikroorganisme penyebab infeksi dan gangguan respons inflamasi normal dari host terhadap infeksi.1 Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70% kasus syok septik. Dari kasus-kasus dengan kultur darah yang positif, terdapat hingga 70% isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies bakteri gram positif atau gram negatif saja; sisanya ditumbuhi fungus atau mikroorganisme campuran lainnya. Kultur lain seperti sputum, urin, cairan serebrospinal, atau cairan pleura dapat mengungkapkan etiologi spesifik, tetapi daerah infeksi lokal yang memicu proses tersebut mungkin tidak dapat diakses oleh kultur. Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah tuanya populasi dunia, pasien-pasien yang menderita penyakit kronis dapat bertahan hidup lebih lama, terdapat frekuensi sepsis yang relatif tinggi di antara pasien-pasien AIDS, terapi medis (misalnya dengan glukokortikoid atau antibiotika), prosedur invasif (misalnya pemasangan kateter), dan ventilasi mekanis. Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih, perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan sepsis yaitu: 1) Infeksi paru-paru (pneumonia) 2) Flu (influenza) 3) Appendiksitis 4) Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis) 5) Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius) 6) Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau kateter telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit 7) Infeksi pasca operasi 8) Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis. Sekitar pada satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat terdeteksi.



III.



Patofisiologi Sepsis Normalnya, pada keadaan infeksi terdapat aktivitas lokal bersamaan dari sistem



imun dan mekanisme down-regulasi untuk mengontrol reaksi. Efek yang menakutkan dari sindrom sepsis tampaknya disebabkan oleh kombinasi dari generalisasi respons



imun terhadap tempat yang berjauhan dari tempat infeksi, kerusakan keseimbangan antara regulator pro-inflamasi dan anti inflamasi selular, serta penyebarluasan mikroorganisme penyebab infeksi.



PATHWAY OF SEPSIS



Kaskade inflamasi (Inflammatory cascade)



Bakteri merupakan patogen yang sering dikaitkan dengan perkembangan sepsis. Patofisiologi sepsis dapat dimulai oleh komponen membran luar organisme gram negatif (misalnya, lipopolisakarida, lipid A, endotoksin) atau organisme gram positif (misalnya, asam lipoteichoic, peptidoglikan), serta jamur, virus, dan komponen parasit.



Gambaran klinis Umumnya, respons imun terhadap infeksi mengoptimalkan kemampuan sel-sel imun (eutrophil, limfosit, dan makrofag) untuk meninggalkan sirkulasi dan memasuki tempat infeksi. Signal oleh mediator ini terjadi melalui sebuah reseptor trans-membran yang dikenal sebagai Toll-like receptors. Dalam monosit, nuclear factor-kB (NF-kB) diaktifkan, yang mengarah pada produksi sitokin pro-inflamasi, tumor necrosis factor α (TNF-α), dan interleukin 1 (IL-1). TNF-α dan IL-1 memacu produksi toxic downstream mediators,



termasuk



prostaglandin,



leukotrien,



platelet-activating



factor,



dan



fosfolipase A2. Mediator ini merusak lapisan endotel, yang menyebabkan peningkatan kebocoran kapiler. Selain itu, sitokin ini menyebabkan produksi molekul adhesi pada sel endotel dan neutrofil. Interaksi endotel neutrofilik menyebabkan cedera endotel lebih lanjut melalui pelepasan komponen neutrofil. Akhirnya, neutrofil teraktivasi melepaskan oksida nitrat (NO), vasodilator kuat. Dengan demikian memungkinkan



neutrofil dan cairan mengalami ekstravasasi ke dalam ruang ekstravaskular yang terinfeksi.yang mengarah ke syok septik. Oksida nitrat dapat mengganggu adhesi leukosit, agregasi trombosit, dan mikrotrombosis, serta permeabilitas mikrovaskular. Peningkatan NO tampaknya memberikan manfaat dalam arti meningkatkan aliran di tingkat mikrosirkulasi, meskipun tentu saja vasodilatasi di tingkat makrosirkulasi merupakan penyebab hipotensi yang membahayakan dan refrakter yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi organ dan kematian. IV.



Tahapan Perkembangan Sepsis Sepsis berkembang dalam tiga tahap: 1) Uncomplicated sepsis, disebabkan oleh infeksi, seperti flu atau abses gigi. Hal ini sangat umum dan biasanya tidak memerlukan perawatan rumah sakit. 2) Sepsis berat, terjadi ketika respons tubuh terhadap infeksi sudah mulai mengganggu fungsi organ-organ vital, seperti jantung, ginjal, paru-paru atau hati. 3) Syok septik, terjadi pada kasus sepsis yang parah, ketika tekanan darah turun ke tingkat yang sangat rendah Jika tidak diobati, sepsis dapat berkembang dari uncomplicated sepsis ke syok septik dan akhirnya dapat menyebabkan kegagalan organ multiple dan kematian.



V.



Faktor Resiko 1. Usia Pada usia muda dapat memberikan respon inflamasi yang lebih baik dibandingkan usia tua. Orang kulit hitam memiliki kemungkinan peningkatan kematian terkait sepsis di segala usia, tetapi risiko relatif mereka terbesar dalam kelompok umur 35 sampai 44 tahun dan 45 sampai 54 tahun. Pola yang sama muncul di antara orang Indian Amerika / Alaska Pribumi. Sehubungan dengan kulit putih, orang Asia lebih cenderung mengalami kematian yang berhubungan dengan sepsis di masa kecil dan remaja, dan kurang mungkin selama masa dewasa dan tua usia. Ras Hispanik sekitar 20% lebih mungkin dibandingkan kulit putih untuk meninggal karena penyebab yang berhubungan dengan sepsis di semua kelompok umur.



2.



Jenis kelamin Perempuan kurang mungkin untuk mengalami kematian yang berhubungan dengan sepsis dibandingkan laki-laki di semua kelompok ras/etnis. Laki-laki 27% lebih mungkin untuk mengalami kematian terkait sepsis. Namun, risiko untuk pria Asia itu dua kali lebih besar, sedangkan untuk laki-laki Amerika Indian / Alaska Pribumi kemungkinan mengalami kematian berhubungan dengan sepsis hanya 7%. 3. Ras Tingkat mortalitas terkait sepsis tertinggi di antara orang kulit hitam dan terendah di antara orang Asia. 4. Genetik Pada penelitian Hubacek JA, et al menunjukkan bahwa polimorfisme umum dalam gen untuk lipopolysaccharide binding protein (LBP) dalam kombinasi dengan jenis kelamin laki-laki berhubungan dengan peningkatan risiko untuk pengembangan sepsis dan, lebih jauh lagi, mungkin berhubungan dengan hasil yang tidak menguntungkan. Penelitian ini mendukung peran imunomodulator penting dari LBP di sepsis Gram-negatif dan menunjukkan bahwa tes genetik dapat membantu untuk identifikasi pasien dengan respon yang tidak menguntungkan untuk infeksi Gram-negatif. 5. Terapi kortikosteroid Pasien yang menerima steroid kronis memiliki peningkatan kerentanan terhadap berbagai jenis infeksi. Risiko infeksi berhubungan dengan dosis steroid dan durasi terapi. Meskipun bakteri



piogenik



merupakan



patogen



yang



paling umum,



penggunaan steroid kronis meningkatkan risiko infeksi dengan



patogen intraseluler seperti Listeria, jamur, virus herpes, dan parasit tertentu. Gejala klinis yang dihasilkan dari sebuah respon host sistemik terhadap infeksi mengakibatkan sepsis. 6. Kemoterapi Obat-obatan yang digunakan dalam kemoterapi tidak dapat membedakan antara sel-sel kanker dan jenis sel lain yang tumbuh cepat, seperti sel-sel darah, sel-sel kulit. Orang yang menerima kemoterapi 7. Obesitas Obesitas dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan sepsis akut. Menurut penelitian Henry Wang, Russell Griffin, et al. didapatkan hasil bahwa obesitas pada tahap stabil kesehatan secara independen terkait dengan kejadian sepsis di masa depan. Lingkar pinggang adalah prediktor risiko sepsis di masa depan yang lebih baik daripada BMI. Namun pada penelitian Kuperman EF, et al diketahui bahwa obesitas bersifat protektif pada mortalitas sepsis rawat inap dalam studi kohort, tapi sifat protektif ini berhubungan dengan adanya komorbiditas resistensi insulin dan diabetes.



VI.



Manifestasi klinis Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang ditandai



dengan bakteremia selanjutnya berkembang menjadi systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan berakhir pada multiple organ dysfunction syndrome (MODS). Sepsis dimulai dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik (yaitu demam, takikardia, takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi hipotensi



pada kondisi vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik atau “hangat”, dengan muka kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta peningkatan curah jantung) atau vasokonstriksi perifer (renjatan septik hipodinamik atau “dingin” dengan anggota gerak yang biru atau putih dingin). Pada pasien dengan manifestasi klinis ini dan gambaran pemeriksaan fisik yang konsisten dengan infeksi, diagnosis mudah ditegakkan dan terapi dapat dimulai secara dini. Pada bayi dan orang tua, manifestasi awalnya kemungkinan adalah kurangnya beberapa gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini mungkin lebih sering ditemukan dengan manifestasi hipotermia dibandingkan dengan hipertermia, leukopenia dibandingkan leukositosis, dan pasien tidak dapat ditentukan skala takikardia yang dialaminya (seperti pada pasien tua yang mendapatkan beta blocker atau antagonis kalsium) atau pasien ini kemungkinan menderita takikardia yang berkaitan dengan penyebab yang lain (seperti pada bayi yang gelisah). Pada pasien dengan usia yang ekstrim, setiap keluhan sistemik yang non-spesifik dapat mengarahkan adanya sepsis, dan memberikan pertimbangan sekurang- kurangnya pemeriksaan skrining awal untuk infeksi, seperti foto toraks dan urinalisis. Pasien yang semula tidak memenuhi kriteria sepsis mungkin berlanjut menjadi gambaran sepsis yang terlihat jelas sepenuhnya selama perjalanan tinggal di unit gawat darurat, dengan permulaan hanya ditemukan perubahan samar-samar pada pemeriksaan. Perubahan status mental seringkali merupakan tanda klinis pertama disfungsi organ, karena perubahan status mental dapat dinilai tanpa pemeriksaan laboratorium, tetapi mudah terlewatkan pada pasien tua, sangat muda, dan pasien dengan kemungkinan penyebab perubahan tingkat kesadaran, seperti intoksikasi. Penurunan produksi urine (≤0,5ml/kgBB/jam) merupakan tanda klinis yang lain yang mungkin terlihat sebelum hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan dan seharusnya digunakan sebagai tambahan pertimbangan klinis.



VII.



Diagnosis Diagnosis syok septik meliputi diagnosis klinis syok dengan konfirmasi



mikrobiologi etiologi infeksi seperti kultur darah positif atau apus gram dari buffy coat serum atau lesi petekia menunjukkan mikroorganisme. Spesimen darah, urin, dan cairan serebrospinal sebagaimana eksudat lain, abses dan lesi kulit yang terlihat harus dikultur dan dilakukan pemeriksaan apus untuk menentukan organisme. Pemeriksaan hitung sel darah, hitung trombosit, waktu protrombin dan tromboplastin parsial, kadar fibrinogen serta D-dimer, analisis gas darah, profil ginjal dan hati, serta kalsium ion harus dilakukan. Anak yang menderita harus dirawat di ruang rawat intensif yang mampu melakukan pemantauan secara intensif serta kontinu diukur tekanan vena sentral, tekanan darah, dan cardiac output. Tanda-tanda



klinis



yang



dapat



menyebabkan



dokter



untuk



mempertimbangkan sepsis dalam diagnosis diferensial, yaitu demam atau hipotermia, takikardi yang tidak jelas, takipnea yang tidak jelas, tanda- tanda vasodilatasi perifer, shock dan perubahan status mental yang tidak dapat dijelaskan. Pengukuran hemodinamik yang menunjukkan syok septik, yaitu curah jantung meningkat, dengan resistensi vaskuler sistemik yang rendah. Abnormalitas hitung darah lengkap, hasil uji laboratorium, faktor pembekuan, dan reaktan fase akut mungkin mengindikasikan sepsis. VIII. Laboratorium Hasil



laboratorium



sering



ditemukan



asidosis



metabolik,



trombositopenia, pemanjangan waktu prothrombin dan tromboplastin parsial, penurunan kadar fibrinogen serum dan peningkatan produk fibrin split, anemia, penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2, serta perubahan morfologi dan jumlah neutrofil. Peningkatan neutrofil serta peningkatan leukosit imatur, vakuolasi neutrofil, granular toksik, dan badan Dohle cenderung menandakan infeksi bakteri. Neutropenia merupakan tanda kurang baik yang menandakan perburukan sepsis. Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan neutrofil dan bakteri. Pada stadium awal meningitis, bakteri dapat dideteksi dalam cairan serebrospinal sebelum terjadi suatu respons inflamasi. IX.



Terapi yang diberikan Early goal directed therapy berfokus pada optimalisasi pengiriman



oksigen jaringan yang diukur dengan saturasi oksigen vena, pH, atau kadar laktat arteri. Pendekatan ini telah menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup dibandingkan dengan resusitasi cairan dan pemeliharaan tekanan darah yang standar. Tujuan fisiologis selama 6 jam pertama resusitasi sebagai berikut: 1) Tekanan vena sentral (CVP) 8-12mmHg 2) Tekanan arterial rata-rata (MAP) ≥65mmHg 3) Saturasi oksigen vena sentral (SavO2) ≥70% 4) Urine output ≥0,5ml/kg/jam (menggunakan transfusi, agen inotropik, dan oksigen tambahan dengan atau tanpa ventilasi mekanik). X.



Tiga kategori untuk memperbaiki hemodinamik pada sepsis 1) Terapi cairan Karena syok septik disertai demam, vasodilatasi, dan diffuse



capillary leakage, preload menjadi inadekuat sehingga terapi cairan merupakn tindakan utama. 2) Terapi vasopressor Bila cairan tidak dapat mengatasi cardiac output (arterial pressure dan organ perfusion adekuat). Vasopressor potensial: nor epinephrine, dopamine, epinephrine, phenylephrine. 3) Terapi inotropik Bila resusitasi cairan adekuat, kebanyakan pasien syok septik mengalami hiperdinamik, tetapi kontraktilitas miokardium yang dinilai dari ejection fraction mengalami gangguan. Kebanyakan pasien mengalami penurunan cardiac output, sehingga diperlukan inotropic: dobutamine, dopamine, dan epinephrine.



BAB III KONSEP DASAR KEPERAWATAN A. PENGKAJIAN 1. Primari survay Pemeriksaaan jasmaninya diarahkan kepada diagnosis cidera yang mengancam nyawa dan meliputi penilaian dari A,B,C,D,E. Mencatat tanda vital awal (baseline recordings) penting untuk memantau respon  penderita terhadap terapi. Yang harus diperiksa adalah tanda-tanda vital,  produksi urin dan tingkat kesadaran. Pemeriksaan penderita yang lebih rinci akan menyusul bila keadaan penderita mengijinkan. a. Airway dan Breathing Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan cukupnya pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95%. b. Circulation (kontrol perdarahan) Termasuk dalam prioritas adalah mengendalikan  perdarahan yang jelas terlihat, memperoleh akses intra vena yang cukup, dan menilai perfusi jaringan. Perdarahan dari luka luar  biasanya dapat dikendalikan dengan tekanan langsung pada tempat  pendarahan. PASG (Pneumatick Anti Shock Garment) dapat digunakan untuk mengendalikan perdarahan dari patah tulang  pelvis atau ekstremitas bawah, namun tidak boleh menganggu



resusitasi



cairan



cepat.



Cukupnya



perfusi



jaringan



menentukan  jumlah cairan resusitasi yang diperlukan. Mungkin diperlukan operasi untuk dapat mengendalikan perdarahan internal. c. Disability (pemeriksaan neurologi) Dilakukan pemeriksaan neurologi singkat untuk menentukan tingkat kesadaran, pergerakan mata dan respon pupil, fungsi motorik dan sensorik. Informasi ini bermanfaat dalam menilai perfusi otak, mengikuti perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan pemulihan.perubahan fungsi sistem saraf sentral tidak selalu disebabkan cidera intra kranial tetapi mungkin mencerminkan perfusi otak yang kurang. Pemulihan perfusi dan oksigenasi otak harus dicapai sebelum penemuan tersebut dapat dianggap berasal dari cidera intra kranial. d. Exposure (pemeriksaan lengkap) Setelah mengurus prioritas- prioritas untuk menyelamatkan  jiwanya, penderita harus ditelanjangi dan diperiksa dari ubun-ubun sampai jari kaki sebagai bagian dari mencari cidera. Bila menelanjangi penderita, sangat penting mencegah hipotermia. e. Dilasi lambung (dikompresi). Dilatasi lambung sering kali terjadi pada penderita trauma, khususnya pada anak-anak dan dapat mengakibatkan hipotensi atau disritmia jantung yang tidak dapat diterangkan, biasanya berupa  bradikardi dari stimulasi saraf fagus yang berlabihan. Distensi lambung membuat terapi syok menjadi sulit. Pada penderita yang tidak sadar distensi lambung membesarkan resiko respirasi isi lambung, ini merupakan suatu



komplikasi yang bisa menjadi fatal. Dekompresi lambung dilakukan dengan memasukan selamh atau  pipa kedalam perut melalui hidung atau mulut dan memasangnya  pada penyedot untuk mengeluarkan isi lambung. Namun, walaupun  penempatan pipa sudah baik, masih mungkin terjadi aspirasi. f. Pemasangan kateter urin Katerisasi kandung kenving memudahkan penilaian urin akan adanya hematuria dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau produksi urine. Darah pada uretra atau prostad pada letak tinggi, mudah bergerak, atau tidak tersentuh pada laki-laki merupakan kontraindikasi mutlak bagi pemasangan keteter uretra sebelum ada konfirmasi kardiografis tentang uretra yang utuh. 2. Secondery survey Harus segera dapat akses kesistem pembulu darah. Ini paling baik dilakukan dengan memasukkan dua kateter intravena ukuran besar (minimun 16 gaguage) sebelum dipertimbangkan jalur vena sentral kecepatan aliran berbanding lirus dengan empat kali radius kanul, dan berbanding terbalik dengan panjangnya (hukum poiseuille). Karena itu lebih baik kateter pendek dan kaliber besar agar dapat memasukkan cairan terbesar dengan cepat. Tempat yang terbaik untuk jalur intravena bagi orang dewasa adalah lengan bawah atau pembulu darah lengan bawah. Kalau keadaan tidak memungkunkan pembulu darah periver, maka digunakan akses  pembulu sentral (vena-vena femuralis, jugularis atau vena subklavia



dengan kateter besar) dengan menggunakan tektik seldinger atau melakukan vena seksi pada vena safena dikaki, tergantung tingkat ketrampilan dokternya. Seringkali akses vena sentral didalam situasi gawat darurat tidak bisa dilaksanakan dengan sempurna atau pu tidak seratus  persen steril, karena itu bila keadaan penderita sedah memungkinya, maka  jalur vena sentral ini harus diubah atau diperbaiki. Juga harus dipertimbangkan potensi untuk komplikasi yang serius sehubungan dengan usaha penempatan kateter vena sentral, yaitu pneumo- atau hemotorak, pada penderita pada saat itu mungkin sudah tidak stabil. Pada anak-anak dibawah 6 tahun, teknik penempatan jarum intra-osseus harus dicoba sebelum menggunakan jalur vena sentral. Faktor penentu yang penting untuk memilih prosedur atau caranya adalah pengalaman dan tingkat ketrampilan dokternya. Kalau kateter intravena telah terpasang, diambil contoh darah untuk jenis dan crossmatch, pemerikasaan laboratorium yang sesuai,  pemeriksaan toksikologi, dan tes kehamilan pada wanita usia subur. Analisis gas darah arteri juga harus dilakukan pada saat ini. Foto torak haris diambil setelah pemasangan CVP pada vena subklavia atau vena  jugularis interna untuk mengetahui posisinya dan penilaian kemungkinan terjadinya pneumo atau hemotorak. 3. Tersieri survey Terapi awal cairan Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan ini mengisi intravaskuler dalam wakti singkat dan juga menstabilkan volume vaskuler dengan cara menggantikan



kehilangan cairan berikutnya kedalam ruang intersisial dan intraseluler. Larutan Ringer Laktat adalah cairan pilihan pertama. NaCl fisiologis adalah pilihan kedua. Walaupun NaCL fisiologis merupakan pengganti cairan terbaik namun cairan ini memiliki potensi untuk terjadinya asidosis hiperkloremik. Kemungkinan ini bertambah besar bila fungi ginjalnya kurang baik. Jenis-jenis Cairan Kristaloid untuk Resusitasi CAIRAN



NA+ (mEq/L)



K+ (mEq/L)



C(mEq/L)



Ca++ (mEq/L)



HCO3 (mEq/L)



Tekanan Osmotik Mosm/L



130



4



109



3



28



273



130



4



109



3



28



273



154



-



154



-



-



308



Ringer Laktat Ringer asetat Nacl 0,9% B. DIAGNOSA 1. Gangguan pola nafas tidak efektif b/d penurunan ekspansi paru. 2. Perubahan perfusi jaringn b/d penurunan suplay darah ke jaringan. 3. Nyeri b/d trauma hebat. 4. Gangguan keseimbangan cairan b/d mual, muntah. 5. Gangguan pola eliminasi urine b/d Oliguria. 6. 6. Kurangnya pengetahuan b/d kurangnya informasi mengenai  pengobatan



C. INTERVENSI KEPERAWATAN



No 1.



Diagnosa Kekurangan volume cairan Definisi : penurunan cairan intravaskular, interstisial, dan atau intraseluler. Ini mengacu pada dehidrasi, kehilangan cairan saat tanpa perubahan pada natrium



NOC NOC  Fluid balance  Hydration  Nutritional Status: Food and Fluid  Intake



Kriteria Hasil : o Mempertahankan urine output sesuai dengan Batasan Karakteristik usia dan BB, BJ urine o Perubahan status mental normal, HT normal o Penurunan tekanan darah o Tekanan darah, nadi, o Penurunan tekanan nadi suhu tubuh dalam batas o Penurunan volume nadi normal o Penurunan turgor kulit o Tidak ada tanda tanda o Penurunan turgor lidah dehidrasi, Elastisitas o Penurunan haluaran urin turgor kulit baik, membran mukosa o Penurunan pengisisan lembab, tidak ada rasa vena haus yang berlebihan o Membran mukosa kering o Kulit kering o Peningkatan hematokrit o Peningkatan suhu tubuh o Peningkatan frekwensi nadi o Peningkatan kosentrasi urin o Penurunan berat badan o Tiba-tiba (kecuali pada ruang ketiga) o Haus o Kelemahan Faktor Yang Berhubungan  Kehilangan cairan aktif  Kegagalan mekanisme regulasi



2.



Pola Nafas tidak efektif 



NOC:



NIC NIC Fluid management o Timbang popok/pembalut jika di perlukan o Pertahankan catatan intake dan output yang akurat o Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik), jika diperlukan o Monitor vital sign o Monitor masu kan makanan / cairan dan hitung intake kalori harian o Kolaborasikan pemberian cairan IV o Monitor status nutrisi o Berikan cairan IV pada suhu ruangan o Dorong masukan oral o Berikan penggantian nesogatrik sesuai output o Dorong keluarga untuk membantu pasien makan o Tawarkan snack (jus buah, buah segar) o Kolaborasi dengan dokter o Atur kemungkinan tranfusi o Persiapan untuk tranfusi Hypovolemia Management 



Monitor status cairan termasuk intake dan output cairan  Pelihara IV line  Monitor tingkat Hb dan hematokrit  Monitor tanda vital  Monitor respon pasien terhadap penambahan cairan  Monitor berat badan  Dorong pasien untuk menambah intake oral  Pemberian cairan IV monitor adanya tanda dan gejala kelebihan volume cairan  Monitor adanya tanda gagal ginjal NIC:



  Faktor Yang Berhubungan:  Hiperventilasi  Penurunan energi/kelelahan  Perusakan/pelemahan muskulo-skeleta  Kelelahan otot pernafasan  Hipoventilasi sindrom  Nyeri  Kecemasan  Disfungsi Neuromuskuler   Obesitas  Injuri tulang belakang   Data Subyektif:  Dyspnea  Nafas pendek  Data Obyektif:  Penurunan tekanan inspirasi/ekspirasi  Penurunan pertukaran udara per menit  Menggunakan otot pernafasan tambahan  Orthopnea Pernafasan pursed-lip  Tahap ekspirasi berlangsung sangat lama  Penurunan kapasitas vital  Respirasi: < 11-24 x /mnt  



3.



Perfusi jaringan kardiopulmonal



 Respiratory status  Ventilation  Respiratory status : Airway patency   Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien menunjukkan keefektifan pola nafas, dibuktikan dengan kriteria hasil:    Mendemonstrasikan batu k efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dg mudah, tidak ada pursed lips)  Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak  merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)  Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan)







NOC :  Cardiac pump



NIC :  Monitor nyeri dada (durasi, intensitas



                 



Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi Pasang mayo bila perlu Lakukan fisioterapi dada jika perlu Keluarkan sekret dengan batuk atau suction Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan Berikan bronkodilator Berikan pelembab udara Kassa  basah NaCl Lembab Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan. Monitor respirasi dan status O2 Bersihkan mulut, hidung dan secret  Trakea Pertahankan jalan nafas yang  paten Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi Monitor vital sign Informasikan pada pasien dan keluarga tentang tehnik relaksasi untuk memperbaiki pola nafas. Ajarkan bagaimana batuk efektif  Monitor pola nafas



tidak efektif  b/d gangguan afinitas Hb oksigen, penurunan konsentrasi Hb, Hipervolemia, Hipoventilasi, gangguan transport O2, gangguan aliran arteri dan vena   DS:  Nyeri dada  Sesak nafas   DO  AGD abnormal  Aritmia  Bronko spasme  Kapilare refill > 3 dtk   Retraksi dada  Penggunaan otot-otot tambahan



 Effectiveness  Circulation status  Tissue Prefusion : cardiac, periferal  Vital Sign Statusl   Setelah dilakukan asuhan ketidakefektifan perfusi jaringan kardiopulmonal teratasi dengan kriteria hasil:  Tekanan systole dan diastole dalam rentang yang diharapkan  CVP dalam batas normal  Nadi perifer kuat dan simetris  Tidak  ada oedem perifer dan asites  Denyut  jantung, AGD, ejeksi fraksi dalam batas normal  Bunyi  jantung abnormal tidak ada   Nyeri dada tidak ada  Kelelahan yang ekstrim tidak ada  Tidak ada ortostatikhipertensi



dan faktor-faktor  presipitasi)  Observasi perubahan ECG  Auskultasi suara jantung dan paru  Monitor irama dan jumlah denyut jantung  Monitor angka PT, PTT dan AT  Monitor elektrolit (potassium dan magnesium)  Monitor status cairan  Evaluasi oedem perifer dan denyut nadi  Monitor peningkatan kelelahan dan kecemasan  Instruksikan pada pasien untuk  tidak mengejan selama BAB  Jelaskan pembatasan intake kafein, sodium, kolesterol dan lemak  Kelola pemberian obat-obat: analgesik, anti koagulan, nitrogliserin, vasodilator dan diuretik.  Tingkatkan istirahat (batasi pengunjung, kontrol stimulasi lingkungan)



D. Implementasi Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Implementasi merupakan tahap proses keperawatan di mana perawat memberikan intervensi keperawatan langsung dan tidak langsung terhadap klien..



E. Evaluasi



Evaluasi merupakan langkah proses keperawatan yang memungkinkan perawat untuk menentukan apakah intervensi keperawatan telah berhasil meningkatkan kondisi klien. Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses kepweawatan dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak. Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencaan tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara bersinambungan dengan melibatkan klien, keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya. Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan.



DAFTAR PUSTAKA



  Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. (Edisi 8, Vol.3). EGC, Jakarta. 4. Doenges, E, Marilynn, Mary Frances Moorhause, Alice C. Geissler. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. (Edisi 3). EGC, Jakarta. 5. Price, A, Sylvia & Lorraine M. Willson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. (Edisi 4). EGC, Jakarta 6. Sibuea, W. H., M. M. Panggabean, dan S. P. Gultom. 2005. Ilmu Penyakit Dalam. Cetakan Kedua. Jakarta: Rineka Cipta. 7. Tambunan Karmell., et. All., 1990., Buku Panduan Penatalaksanaan Gawat Darurat., FKUI, Jakarta