Makalah Tamadun Kelompok 1 Besar [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH TAMADUN DAN TUNDUK AJAR MELAYU



Oleh : Agung Krismodian Agus Tonar



(150155201046)



Ardi Setiawan



(140155201054)



Chandra Zulfikar Dede Tiasha



(140155201004)



Dira Rahmayani



(150155201004)



Dwi Yuni Ratna



(150155201042)



Esa Fajri Huda



(150155201006)



Juhendar Martha Puspita



(150155201027)



Mikhael Permanto



(140155201066)



Silha Wildania U.



(150155201036)



Siska Yunitha



(140155201015)



TEKNIK INFORMATIKA TEKNIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI 2018



KATA PENGANTAR Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hadirat dan karunia Nya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas mengenai materi perkuliahan “Tamadun Dan Tunjuk Ajar Melayu” dengan baik tanpa ada halangan yang berarti. Tugas ini telah penulis selesaikan dengan maksimal. Oleh karena itu, penulis berharap tugas ini dapat berguna untuk semua kalangan. Diluar itu, penulis sebagai manusia biasa menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan tugas ini, baik dari segi tata bahasa, susunan kalimat maupun isi. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis menerima segala kritik dan saran yang membangun dari pembaca supaya bisa bermanfaat untuk seluruh masyarakat. Demikian yang penulis sampaikan, semoga tugas ini dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan dan memberikan manfaat nyata untuk masyarakat luas.



Tanjungpinang, 01 Mei 2018



Penulis



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR .............................................................................................................. 2 DAFTAR ISI............................................................................................................................. 3 BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................................ 4 A.



Latar Belakang .......................................................................................................... 4



B.



Rumusan Masalah ..................................................................................................... 5



C.



Tujuan ........................................................................................................................ 5



BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 6 1. Pemimpinan dalam Budaya Melayu ........................................................................... 6 2. Asas-asas Kepemimpinan Melayu ............................................................................. 10 3. Ketentuan Pemimpin dan Kepemimpinannya ......................................................... 12 BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 23 A.



Kesimpulan .............................................................................................................. 23



B.



Saran......................................................................................................................... 24



BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Melayu termasuk di antara bangsa-bangsa yang tertua di dunia. Lebih dari 10.000 tahun silam, bangsa ini sudah ada dan membentuk suatu komunitas masyarakat, khususnya di wilayah pulau Sumatera hingga di Semenanjung Melayu. Lalu, khususnya di wilayah Jambi, maka sejak dahulu kala telah dihuni oleh beberapa etnis Melayu seperti Suku Kerinci, Suku Batin, Suku Bangsa Duabelas, Suku Penghulu, dan Suku Kubu atau Suku Anak Dalam. Pada masa lampau mereka ini telah melatarbelakangi perkembangan bahasa Melayu, budaya Melayu, maupun pasang surut kerajaan-kerajaan di daerah Jambi.



Sejarah telah membuktikan bahwa kepemimpinan raja-raja masyarakat Melayu pernah mengalami masa kejayaannya. Perdagangan yang dijalankan oleh masyarakat Melayu mampu merambah berbagai belahan dunia pada masanya. Bahkan pada era Sultan Iskandar Muda berkuasa di Aceh, kerajaan Aceh termasuk dalam lima kerajaan terbesar di dunia. Kerajaan Sriwijaya, Dharmasraya, Malayu-Jambi, Aceh dan Malaka tak dapat dipungkiri menjadi tonggak kebesaran rumpun Melayu. Semua itu tidak bisa terjadi kecuali kepemimpinan dalam tradisi Melayu saat itu sudah memiliki jati diri yang kuat, mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan, berdaya tahan tinggi dan berperan aktif dalam kesinambungan kehidupan bangsa.



Sejarah Melayu juga banyak mencatatkan kearifan kepemimpinan dalam perspektif budaya Melayu. Sehingga ditengah krisis kepemimpinan yang melanda negeri ini, sebenarnya tradisi budaya Melayu sejak dahulu telah menawarkan model kepemimpinan yang kiranya pas untuk Indonesia di tengah masalah yang kerap dihadapi saat ini. Dan jika melihat sifat pemimpin ideal yang ada dalam tradisi budaya Melayu, maka akan sangat relevan dengan model kepemimpinan transformasional pada masa kini. Kepemimpinan transformasional berkaitan dengan nilai-nilai yang relevan bagi proses pertukaran (perubahan), seperti kejujuran, keadilan dan tanggung jawab. Model kepemimpinan tradisi Melayu, kini di sederhanakan dengan istilah model kepemimpinan transformasional di era kontemporer. Satu model kepemimpinan yang ideal di tengah situasi Indonesia saat ini. Pemimpin yang transformatif lebih memposisikan diri mereka sebagai mentor yang bersedia menampung aspirasi para bawahannya. Dalam pendapat lain, kepemimpinan transformatif didefinisikan sebagai kepemimpinan dimana para pemimpin menggunakan kharisma mereka untuk melakukan transformasi dan merevitalisasi organisasinya. Para pemimpin yang transformatif lebih mementingkan revitalisasi para pengikutnya secara menyeluruh ketimbang memberikan instruksi-intruksi yang bersifat topdown. Jadi model kepemimpinan tradisi Melayu masih sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini, karena model kepemimpinan tradisinya adalah transformasional, yang diharapkan bisa membawa perubahan kearah yang lebih baik. B. Rumusan Masalah 1. Apa definisi kepemimpinan budaya Melayu? 2. Apa dan bagaimana asas-asas kepemimpinan Melayu ? 3. Bagaimana ketentuan pemimpinan dalam budaya Melayu ?



C.



Tujuan 1. Untuk mengetahui apa definisi kepemimpinan Melayu 2. Untuk mengetahui apa dan bagaimana asas-asas kepemimpinan Melayu 3. Untuk mengetahui bagaimana kepemimpinan dalam budaya Melayu



BAB II PEMBAHASAN 1. Pemimpinan dalam Budaya Melayu Seorang pemimpin dalam tradisi Melayu adalah sosok manusia yang lebih daripada lainnya, sakti, kuat, gigih, dan tahu banyak hal. Para pemimpin juga merupakan manusia-manusia yag jumlahnya sedikit, namun perannya dalam suatu komunitas (suku, bangsa, negara) merupakan penentu keberhasilan dan suksesnya tujuan yang hendak dicapai. Karena itu, sebelum abad Masehi etnis Melayu, khususnya di Jambi telah mengembangkan suatu corak kebudayaan Melayu pra sejarah di wilayah pegunungan dan dataran tinggi. Masyarakat pendukung kebudayaan ini antara lain adalah Suku Kerinci. Orang Kerinci diperkirakan sudah menempati kaldera Danau Kerinci sekitar 10.000 SM. Mereka telah mengembangkan kebudayaan batu seperti yang ada pada kebudayaan Neolitikum. Pada zaman dahulu yang dimaksudkan dengan wilayah Kerinci adalah mencakup daerah yang disebut dengan Kerinci Tinggi/Atas dan Kerinci Rendah/Bawah. Sementara istilah Kerinci itu sendiri berawal dari kata Korintji yang berarti negeri di atas bukit. Lalu, dalam khazanah politik Melayu, pemimpin didefinisikan sebagai orang yang diberi kelebihan untuk mengurusi kepentingan orang banyak. Arti raja atau penguasa bagi orang Melayu dimaknai lewat pepatah lama berikut ini: Yang didahulukan selangkah Yang ditinggikan seranting Yang dilebihkan serambut Yang dimuliakan sekuku Pepatah tersebut secara eksplisit menjelaskan bahwa seorang raja haruslah sosok manusia yang dapat dijangkau oleh rakyat biasa. Penguasa harus berada di tengah-tengah rakyatnya, mengerti kondisi warganya, dan tahu apa yang diinginkan oleh mereka. Raja bukanlah dewa yang tak tersentuh oleh manusia, melainkan sosok yang hanya diberi beberapa kelebihan seperti di atas. Jadi, eksistensi suatu negara ditentukan oleh tiga hal penting yaitu pemimpin, rakyat dan wilayah. Pada masa lampau kerajaan-kerajaan juga mensyaratkan adanya



pemimpin atau raja. Oleh sebab itu keberadaan raja adalah sebuah keniscayaan. “Raja itu umpama akar, dan rakyat adalah pohon. Jikalau tidak ada akar, maka pohon tidak dapat berdiri”. Sebuah ungkapan mengenai pentingnya seorang pemimpin. Dan pada masa kerajaan Melayu terdapat raja-raja yang berjaya dan mampu membawa kerajaannya pada masa keemasan. Dalam tradisi orang Melayu, para pemimpin itu adalah manusia-manusia yang lebih daripada yang lain, kuat, gigih, dan tahu tentang banyak hal. Bahkan di masa lalu, seorang pemimpin bangsa Melayu juga haruslah sosok yang sakti mandraguna demi melindungi wilayah dan rakyatnya dari ganguan binatang buas, penjahat, penjajah dan makhluk halus (jin, siluman, setan, dll). Karena itulah, para pemimpin yang sejati juga merupakan manusia-manusia yang jumlahnya sedikit, namun perannya dalam suatu komunitas orang Melayu menjadi penentu keberhasilan dan suksesnya tujuan yang hendak dicapai bersama. Untuk itu, salah satu sumbangan terbesar dari kebudayaan Melayu adalah turut mewujudkan dan membentuk jati diri dan identitas bangsa Indonesia. Dan tak berlebihan apabila akhirnya kebudayaan Melayu disebut sebagai akar dari jati diri bangsa ini. Pengaruh Melayu bagi bangsa Indonesia pada umumnya meliputi banyak hal, di antaranya adalah khazanah dalam budaya politiknya. Kepemimpinan Melayu, baik Melayu Tua (pra-Hindu-Buddha-Islam) maupun Melayu Muda (era Hindu-Buddha-Islam) terdiri dari pemangku adat (sebagai pemimpin formal) disamping tokoh tradisi seperti dukun atau orang pintar sebagai pemimpin informal. Untuk Melayu Tua (Pra Hindu-Buddha-Islam), maka lebih jelasnya kami berikan contoh struktur kepemimpinan formal yang ada pada masyarakat Kerinci kuno, yaitu: Sigindo (pemimpin beberapa Luhak/Lurah/Depati) | Luhak (pemimpin para Kelebu yang kini lazim disebut sebagai Lurah atau Depati) |



Kelebu (pemimpin para Tengganai yang kini lazim disebut sebagai Ninik Mamak) | Tengganai (pemimpin Perut/keluarga seketurunan) | Perut (kepala keluarga seketurunan) | Tumbi (kepala rumah tangga) Setiap masing-masing strata di atas mempunyai tugas dan kewajibannya sendirisendiri, yang pada intinya menuntun dan membimbing masyarakat untuk dapat mentaati norma dan ketentuan adat negeri demi kebaikan mereka sendiri. Melalui strata kemasyarakatan di atas, maka segala bentuk kebijakan pemerintahan negeri disampaikan secara beranting ke bawah. Tetapi setelah Melayu Muda (era agama) membentuk beberapa kerajaannya dengan dasar agama (Hindu, Buddha, Islam), maka muncullah pemegang kendali kerajaan yang disebut dengan Datu, Raja, Sultan atau Pertuah. Kehadiran



agama



itu



juga



telah



menampilkan



cendikiawan



yang



disebut



dengan Buya atau Ulama. Dengan demikian kehidupan Melayu Muda ini dipandu oleh Raja, buya/ulama, pemangku adat dan tokoh tradisi.



Untuk lebih memahami tentang konsep dan prinsip kepemimpinan dalam tradisi dan budaya Melayu, kita dapat membacanya dalam kitab mahakarya budaya-politikperadaban Melayu yang berjudul Taj al-Salatin (Mahkota Raja-raja) karya Bukhari AlJauhari pada tahun 1630. Buku ini merupakan panduan untuk memerintah bagi raja-raja Melayu (khususnya di era Islam) seperti Kedah dan Johor. Kitab Taj al-Salatin memberi sumbangan penting bagi pembentukan tradisi dan kultur politik Melayu dengan memberi rincian tentang syarat-syarat menjadi seorang raja (mencakup syarat yang bersifat jasmaniyah dan rohaniah). Kitab ini bahkan juga digunakan oleh beberapa penguasa di pulau Jawa pada abad ke 17-18. Dan kitab Taj al-Salatin ini begitu berpengaruh hingga abad ke-19 ketika Munsyi Abdullah mencoba mengenal atau mengetahui watak Raffles dari air mukanya berdasarkan ilmu firasat di dalam buku tersebut. Dalam bukunya Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Kelantan, Abdullah telah menasihatkan raja-raja di negeri itu supaya membaca Taj al-Salatin untuk mengetahui tanggung jawab sebagai seorang raja. Dalam kitabnya itu, Bukhari Al-Jauhari menggariskan ada 10 sifat raja atau pemerintah yang baik dan harus diterapkan, yaitu: 1. Tahu membedakan baik dengan yang buruk. 2. Berilmu (ilmiah dan batiniah). 3. Mampu memilih menteri dan pembantunya dengan benar. 4. Baik rupa dan budi pekertinya supaya dikasihi dan dihormati rakyatnya. 5. Pemurah (dermawan, ringan tangan). 6. Mengenang jasa orang atau tahu balas budi. 7. Berani, jika berani maka pengikutnya juga akan berani. 8. Cukup dalam makan tidur supaya tidak lalai. 9. Mengurangi atau tidak berfoya-foya atau tidak “bermain” dengan perempuan. 10. Laki-laki (raja perempuan boleh dilantik jika tidak memiliki ahli waris lakilaki untuk menghindari huru-hara). Selain itu, tradisi politik Melayu juga mengenal pola hubungan raja dengan rakyat. Dalam beberapa hal pola ini bisa disebut sebagai satu “mekanisme kontrak” antara dua pihak yang berkepentingan. Kendati memang sangat simbolik, teks sejarah Melayu dalam beberapa bagian menekankan adanya kewajiban raja dan rakyat untuk tidak saling



merusak posisi masing-masing. Teks tersebut memperkenalkan konsep musyawarah, yang memang sudah ada di negeri ini sejak ribuan tahun lalu, sebagai aturan dalam sistem perilaku politik raja dan penguasa Melayu.



2. Asas-asas Kepemimpinan Melayu Dalam kitabnya, Bukhari al-Jauhari berusaha menjelaskan bagaimana seharusnya raja-raja Melayu yang beragama Islam memimpin sebuah negeri yang penduduknya multi-etnik, multi-agama, multi-ras dan multi-budaya. Bukhari al-Jauhari mengemukakan sistem kenegaraan yang ideal, dan peranan seorang pemimpin yang adil dan benar. Sedikitnya ada 5 asas landasan seorang pimpinan atau syarat memilih pemimpin negeri dan daerahnya. 1.



Hifz; secara harfiah artinya memelihara, menjaga dan amanah. Negara makmur jika dipimpin oleh orang yang menjaga amanah, memelihara kepercayaan rakyat, menunaikan kewajiban janjinya. Hifz; juga diartikan orang memiliki ingatan yang baik, yaitu cerdas dan pandai. Itu menjadi modal dasar membangun negeri ini.



2.



Faham, artinya mengerti dan tanggap, yaitu tanggap dan mengerti kebutuhan rakyat. Pemimpin memiliki pemahaman dan konsep yang benar terhadap berbagai kebutuhan rakyatnya, bukan mendahulukan keinginan pribadi dan kelompoknya. Ia mengerti kebutuhan yang berbeda di setiap daerah dan wilayah, dan mampu mengakomodasinya.



3.



Fikir; yaitu idealis, tajam pikiran dan luas wawasannya. Seorang pemimpin tidak terbuai dengan kekayaan dan fasilitas negara, namun ia mencurahkan segala upaya dan usaha memikirkan rakyatnya. Khalifah Umar menjadi contoh baik seorang pemimpin yang melayani rakyatnya tanpa dibatasi jam kerja. Ide-ide brilian menjadi pendukung utama dalam membangun negeri.



4.



Iradat; yaitu visi misi, prospek dan target. Visi dan misi pemimpin lebih mengutamakan rakyat daripada pribadi dan kelompoknya, menghendaki kesejahteraan, kemakmuran dan kemajuan untuk seluruh golongan masyarakat, kemampuannya menuntaskan kemiskinan. Visi-misi yang dimiliki bukan hanya membangun infrakstruktur, namun mempersiapkan generasi mendatang dengan mencerdaskan bangsa dan membangun



intelektual yang berbasis pada aqidah yang lurus, sehingga tidak terkikis keimanannya oleh pengaruh luar, baik agama maupun adat budaya. 5.



Nur; cahaya atau penerang, yaitu sikap pemimpin yang bersih, jujur, dan tidak korupsi. Cahaya (nur) sebagai simbol kegemilangan, kejayaan dan kesejahteraan yang mampu menerangi negeri dengan cinta atau kasih sayang, bukan dengan otoriter, apalagi radikalisme dan militerisme. Pemimpin tegas dan lugas, tapi tetap rasional dan tidak dipengaruhi hawa nafsu dan penyakit korupsi dan sejenisnya.



Meneladani prinsip-prinsip di dalam naskah Tajus Salatin yang terdiri atas 24 bab, di Melayu Sumatera Timur misalnya, Sultan – Sultan mesti memegang teguh konsep kepemimpinan tersebut karena “Raja Alim Raja Disembah, Raja Lalim Raja Disanggah. Disebutkan pula, ada empat waktu yang harus diperhatikan, yakni 1.



waktu untuk menjalankan kewajiban perintah agama,



2.



waktu untuk melakukan kewajiban pemerintahan,



3.



waktu untuk makan dan tidur dan



4.



waktu untuk beristirahat, bersenang-senang dengan istri dan keluarga.



Merujuk pada akhlak dan perilaku mulia, Tajus Salim mengingatkan, para nabi memegang kekuasaan adalah untuk tujuan spiritual, ibadah kepada Sang Ilahi, bukan tujuan material atau memperkaya diri. Demikian hendaknya diikuti para raja atau pemimpin. Tajus Salatin mengungkapkan 10 syarat untuk menjadi raja atau pemimpin yang baik, yakni: 1.



Akil baligh, yaitu dewasa dan berpendidikan, agar dapat membedakan mana yang baik dan buruk.



2.



Ilmu pengetahuan, hingga berwawasan luas.



3.



Pandai memilih orang kepercayaan, yakni orang yang berilmu, sehingga mampu menjalankan tugas sesuai bidangnya.



4.



Baik rupa (paras), kalau kurang baik yang penting baik budinya.



5.



Dermawan. Kedermawanan merupakan sifat bangsawan atau orang berbudi.



6.



Ingat kebaikan orang yang pernah membantunya.



7.



Berani menegur anak buah.



8.



Jangan teralu banyak makan dan tidur.



9.



Tidak gemar berzinah, sebab itu bukan tanda orang berbudi.



10.



Laki-laki. Perempuan boleh mejadi raja atau pemimpin jika memang tidak ada laki-laki yang layak untuk diangkat.



Dalam masyarakat Melayu, mengenal Tunjuk Ajar, sebagai petuah nasihat turun temurun yang dianggap tidak patut bila dilanggar. Dalam Kepemimpinan Tradisional Melayu, ada sebuah Tunjuk Ajar Melayu sebagai berikut: “Kalau hendak tahu pemimpin sejati, tengoklah ia memimpin negeri: memerintahnya di jalan Allah, memerintahnya dengan petuah amanah, memerintah tidak semenamena, memerintah



tidak



dada, memerintah



dengan



mengada-ada, memerintah akal



budinya,



dengan



memerintah



dengan



berlapang bermanis



muka, memerintah dengan berlembut lidah, memerintah dengan adilnya, berkuasa tidak membinasakan, kuat tidak mematahkan, besar tidak mengecilkan, tinggi tidak merendahkan, kaya tidak menistakan”.



3. Ketentuan Pemimpin dan Kepemimpinannya Menurut kaidah, para pemimpin adalah manusia-manusia super lebih daripada yang lain, kuat, gigih, dan tahu segala sesuatu. Para pemimpin juga merupakan manusiamanusia yang jumlahnya sedikit, namun perannya dalam suatu komunitas(negara ) merupakan penentu keberhasilan dan suksesnya tujuan yang hendak dicapai. Banyak pemikir yang telah mengkaji dan menjelaskan apa definisi dari kepemimpinan, definisi tersebut masing-masing juga berbeda satu sama lain, diantaranya sebagai berikut : a. Leadership is the process of influencing activities of an organised group in its efforts toward goal setting and achievement. (R Stogdill) b. Effective leadership is not about making speeches or being liked; leadership is defined by results not attributes. (Peter F Drucker) c. ‘Leadership means vision,cheerleading, enthusiasm, love, trust, verve, passion, obsession,consistency, the use of symbols, paying attention as illustrated by the content of one’s calendar, out and out drama (and the management thereof), creating heroes at all levels,coaching, effectively wandering around, and numerous other things.Leadership must be present at all levels in the organisation.(Tom Peters & Nancy Austin)



Para pemimpin itu harus menjadi penentu arah perjalanan sebuah bangsa. Walaupun bukan satu-satunya ukuran keberhasilan, akan tetapi kenyataan membuktikan bila tanpa kehadiran pemimpin – disini artinya pemimpin sejati, bukan sekedar ketua – suatu bangsa akan bersifat statis dan cenderung berjalan tanpa arah alias kacau balau. Melihat itu semua, maka tampak jelas bahwa bangsa ini semakin terpuruk tatkala para pemimpinnya berlomba-lomba memainkan peran buruk dalam dunia politik. Definisi politik sebagai pengambilan keputusan kolektif atau pembuat kebijakan masyarakat umum secara menyeluruh dan memihak rakyat, tampak sekali tak mendapat tempat di negeri ini. Para elite politik bahkan tak lagi berusaha memperjuangkan kehidupan rakyat atau membimbing rakyat kepada kebenaran dan kejayaan, melainkan berlomba-lomba menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Etika politik hanya menjadi barang langka yang sulit ditemukan dalam wajah para politikus Indonesia. Keadaan ini tentu sangat memprihatinkan. Untuk itu, khazanah Melayu sangat kaya dengan kandungan pesan moral dan etika, termasuk etika politik. Sifat-sifat kepemimpinan yang ideal telah banyak dijabarkan dalam karya-karya sastra Melayu. Maka dari itu, sangatlah tepat apabila kita mencoba untuk menggali, mempelajari, dan berusaha mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Sebab Indonesia kini membutuhkan sosok pemimpin yang berpihak pada kepentingan rakyat, bukan pada kepentingan partai politik, kelompok tertentu, investor dan pihak asing (negara lain). Khazanah politik dan kepemimpinan Melayu banyak menawarkan konsep kepemimpinan yang ideal tersebut. Banyak pepatah lama dan karya-karya sastra yang berisi kebijaksanaan-kebijaksanaan



dan



pemaparan-pemaparan



mengenai



konsep



kepemimpinan yang baik dan relevan. Prinsip bagi raja-raja Melayu pun banyak mencerminkan kriteria-kriteria yang baik, seperti dibawah ini: 1. Sebagai pemimpin banyak tahunya Tahu duduk pada tempatnya Tahu tegak pada layaknya Tahu kata yang berpangkal Tahu kata yang berpokok Artinya: Seorang pemimpin yang baik haruslah mempunyai banyak pengetahuan. Penguasa harus mengetahui bagaimana ia harus bersikap, bagaimana ia harus berfikir, bagaimana kondisi rakyatnya, dan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah penguasa dalam menyelesaikan setiap



permasalahan yang ada sekaligus mencegah munculnya permasalahan yang baru. Tanpa pengetahuan yang memadai, sang penguasa akan kesulitan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada. Pengetahuan mutlak diperlukan seorang pemimpin untuk menunjang pelaksanaan tugas-tugasnya. Pemerintahan hampir dapat dipastikan berjalan lancar apabila seorang raja mengetahui apa yang baik untuk rakyatnya dan apa yang harus dihindari karena tidak baik untuk rakyatnya. Penguasa akan mudah dalam memimpin apabila ia tahu apa yang harus dikerjakan dan apa yang tak boleh dilakukan. Tanpa pengetahuan, seorang pemimpin tak akan memiliki visi yang besar. Kalaupun



ia



memiliki



visi



besar, pastilah ia akan kesulitan



merealisasikannya. 2. Sebagai pemimpin banyak arifnya Di dalam tinggi ia rendah Di dalam rendah ia tinggi Pada jauh ianya dekat Pada yang dekat ianya jauh Artinya: Dalam tradisi Melayu terdapat pengertian yang berbeda antara arif dan bijaksana. Arif lebih merujuk kepada kemampuan pembawaan diri dalam proses sosialisasi, sedangkan bijaksana lebih mengarah kepada pengolahan pengetahuan dengan sebaik-baiknya. Karena itu, dalam tradisi Melayu seorang raja atau pemimpin baru akan lebih dihormati apabila ia memiki kearifan dalam bertindak. Kearifan yang dimiliki pemimpin akan menambah rasa kepercayaan rakyat bahwa ia memang benar-benar figur yang cocok untuk memimpin. 3. Sebagai pemimpin banyak bijaknya Bijak menyukat sama papat Bijak mengukur sama panjang Bijak menimbang sama berat Bijak memberi kata putus Artinya: Kebijaksanaan adalah sifat yang mutlak harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Oleh karena itu, tradisi Melayu selalu memposisikan sifat bijak sebagai salah satu sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang raja atau penguasa. Kebijaksanaan sangat erat kaitannya dengan ketepatan dalam mengambil keputusan. Dengan demikian, akhirnya kebijaksanaan tersebut akan bermuara pada baik atau buruknya pemerintahan yang sedang berlangsung.



Tanpa kebijaksanaan, pemimpin akan mudah sekali terjerumus dalam tindakan dan keputusan yang sewenang-wenang. 4. Sebagai pemimpin banyak cerdiknya Cerdiknya mengurung dengan lidah Cerdik mengikat dengan ada Cerdik menyimak dengan syarak Cerdik berunding sama sebanding Cerdik mufakat sama setingkat Cerdik mengalah tidak kalah Cerdik berlapang dalam sempit Cerdik berlayar dalam perahu bocor Cerdik duduk tidak suntuk Cerdik tegak tidak bersundak Artinya: Selain memiliki pengetahuan yang cukup, seorang pemimpin harus mencerminkan diri sebagai orang yang cerdik. Kecerdikan disini dapat diartikan sebagai proses pengolahan pengetahuan yang dimiliki untuk mencapai keputusan yang paling tepat dalam menangani masalah. Sebagai seorang pemimpin, ia pasti berkutat dengan permasalahan-permasalahan yang kompleks. Maka dari itu, dibutuhkan sebuah kecerdikan untuk menghasilkan solusi yang tepat. Tanpa kecerdikan, seorang pemimpin akan rentan menghasilkan kebijakan yang tidak efekif. Kebijakan yang salah atau tidak efektif tentu akan berpengaruh pada berhasil atau tidaknya suatu pemerintahan. Inilah yang menjadi alasan mengapa kecerdikan diperlukan dalam proses memimpin. 5. Sebagai pemimpin banyak pandainya Pandai membaca tanda alamat Pandai mengunut mengikuti jejak Pandai menyimpan tidak berbau Pandai mengunci dengan budi Artinya: Pengetahuan dan kecerdikan tidaklah lengkap apabila tidak dilengkapi dengan sifat pandai. Kepandaian dalam konteks ini dapat dimaknai sebagai kemampuan analisis yang baik terhadap masalah-masalah yang ada. Dengan ditunjang adanya pengetahuan yang cukup, ditambah dengan kepandaian dalam analisis, maka pemimpin harus cerdik dalam mengambil setiap keputusan. Analisis adalah bagian terpenting dalam usaha penyelesaian masalah. Oleh



karena itu, kemampuan analisis yang baik sangat dibutuhkan untuk menjadi pemimpin yang baik. Pepatah lama mengatakan: “Bagi yang pandai, mana yang kusut akan selesai; orang yang pandai pantang memandai-mandai”. Tampak sekali bahwa kepandaian sangat berperan besar dalam mengurai “benang kusut”. Tanpa kepandaian, benang kusut tersebut takkan pernah selesai untuk diurai, kalaupun dapat di lakukan pastinya akan memakan waktu yang lama. 6. Sebagai pemimpin mulia budinya Berkuasa tidak memaksa Berpengetahuan tidak membodohkan Berpangkat tidak menghambat Artinya: Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan perbuatan yang licik dan sewenang-wenang. Pemimpin adalah seseorang yang ditunjuk untuk melayani kepentingan masyarakat, bukan seseorang yang minta dilayani atau hanya diberi kekuasaan untuk memuaskan ambisi pribadinya. Oleh karena itu, bagi orang Melayu, sifat sewenang-wenang dalam memerintah pantang untuk dilakukan. 7. Sebagai pemimpin banyak relanya Rela berkorban membela kawan Rela dipapak membela yang hak Rela mati membalas budi Rela melangas karena tugas Rela berbagi untung rugi Rela beralah dalam menang Rela berpenat menegakkan adat Rela terkebat membela adat Rela binasa membela bangsa Artinya: Pemimpin adalah seorang yang harus membela kepentingan rakyatnya. Ia harus rela dalam banyak hal demi terpenuhinya kepentingan warganya. Pepatan di atas menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus rela sengsara demi membela hak, ia harus rela membela kawan meski harus berkorban. Ia juga harus rela dalam kesulitan ketika rakyatnya kesulitan, mengusahakan kebahagiaan untuk rakyatnya saat ia bahagia. Jiwa patriotisme juga ditanamkan di sini, karena bela negara memang sangat dianjurkan alias wajib. Bahkan, seorang pemimpin harus rela mati demi membela bangsanya, serta rela berpenat dan terkebat dalam



membela adatnya. Bagaimanapun seorang pemimpin memang difungsikan sebagai orang yang bersedia berkorban demi orang banyak. 8. Sebagai pemimpin banyak ikhlasnya Ikhlas menolong tak harap sanjung Ikhlas berbudi tak harap puji Ikhlas berkorban tak harap imbalan Ikhlas bekerja tak harap upah Ikhlas memberi tak harap ganti Ikhlas mengajar tak harap ganjar Ikhlas memerintah tak harap sembah Artinya: Terminologi rela memiliki pengertian yang berbeda dengan ikhlas. Bila rela adalah sebuah bentuk siap untuk berkorban, maka ikhlas lebih mengarah kepada pengelolaan niat. Hal ini sangat jelas disuarakan dalam pepatah lama: “Kalau pemimpin tidak ikhlas, banyaklah niat yang akan terkandas”. Artinya,



keikhlasan



seorang



pemimpin



dalam



bertindak



akan



sangat



mempengaruhi output dari proses pelaksanaan niat tersebut. Apabila seorang pemimpin tidak ikhlas, maka niat-niat baik yang ada tentunya akan hilang. Ini bahkan bisa menimbulkan musibah dan bencana bagi rakyat yang sedang ia pimpin. 9. Sebagai pemimpin banyak tahannya Tahan berhujan mau berpanas Tahan bersusah berpenat lelah Tahan berlenjin tak kering kain Tahan berteruk sepepak teluk Artinya: Penggalan syair di atas menunjukkan bahwa seorang pemimpin haruslah memiliki mental “bertahan” yang baik. Ketabahan dan kesabaran menjadi salah satu sifat dari pemimpin ideal untuk menjamin tetap terjaganya komitmen dari sang pemimpin. Selain itu, sikap tawakkal(berserah diri) juga dianjurkan di sini. Tawakkal berarti pasrah, namun bukan berarti menyerah pada masalah. Kepasrahan tersebut dilakukan setelah melakukan usaha yang maksimal. Dengan kata lain, orang Melayu memaknai terminologi tawakkal sebagai penyerahan hasil kepada Tuhan dari usaha yang dilakukan manusia. Kritik-kritik tajam dan keluhan-keluhan akan banyak ditemui oleh seorang pemimpin. Terlebih apabila kekuasaannya memiliki oposan yang cukup kuat.



Kritik tajam akan sangat tidak tepat apabila direspon dengan sikap arogan. Oleh karena itu, diperlukan sebuah ketahanan untuk menerima semua itu dan memikirkannya secara mendalam. Pemimpin yang buruk biasanya akan marah apabila dikritik. Ia akan mencari seribu dalih untuk mengelak dari kritik tersebut. Bahkan, terkadang kritik-kritik tersebut ditanggapi dengan emosi. Lebih buruk lagi apabila kritik itu justru dianggap sebagai fitnah untuk menjatuhkannya. Pemimpin yang baik tidak melakukan semua itu. Ia akan menerima kritik dengan lapang dada dan menghargainya sebagai sebuah nasihat dan bahan intropeksi diri. 10. Sebagai pemimpin banyak taatnya Taat dan takwa kepada Allah Taat kepada janji dan sumpah Taat memegang petua amanah Taat memegang suruh dan teguh Taat kepada putusan musyawarah Taat memelihara tuah dan meruah Taat membela negeri dan rakyatnya Artinya: Ketaatan bukan hanya sebagai kewajiban yang dimiliki oleh rakyat terhadap pemimpinnya, melainkan juga dimiliki oleh seorang pemimpin itu sendiri. Budaya politik Melayu menekankan pentingnya hubungan timbal balik yang baik antara pemimpin dan yang dipimpin. Rakyat wajib menaati pemimpin, begitu pula sebaliknya. Raja harus menaati suara rakyat. Ia tak boleh mengabaikan aspirasi warganya, terlebih apabila suara itu adalah keputusan musyawarah. Ia harus taat pada kewajibannya untuk membela negara dan rakyatnya. Selain itu, yang paling penting juga adalah bahwa ia harus taat pada Tuhan, karena bagaimanapun ia adalah hamba Tuhan di muka bumi. 11. Sebagai pemimpin mulia duduknya Duduk mufakat menjunjung adat Duduk bersama berlapang dada Duduk berkawan tak tenggang rasa



Artinya: Sikap dan sifat yang baik harus menjadi identitas seorang pemimpin. Kelakuan sehari-hari sang pemimpin mampu mencerminkan kepribadian yang baik. Inilah yang dimaksud dengan syair di atas, bahwa seorang raja harus memiliki tingkah laku yang baik sehingga tidak kehilangan kewibawaannya. Ia harus bersama-sama rakyat untuk menjunjung adat tanpa adanya perbedaan kewajiban. Kedudukannya sebagai pemimpin tak mengurangi sedikit pun untuk selalu menjunjung adatnya. Ia juga harus sering duduk bersama rakyatnya, dengan segala kebesaran hatinya mau menghilangkan kesombongan dan bersedia mendengarkan keluh kesah dari rakyatnya, sehingga akhirnya mampu bertenggang rasa. Kewibawaan akhirnya menjadi penilaian apakah ia seorang pemimpin yang baik atau buruk. 12. Sebagai pemimpin banyak sadarnya Memimpin sedar yang ia pimpin Mengajar sedar yang ia ajar Memerintah sedar yang ia perintah Menyuruh sedar yang ia suruh Artinya: Berdasarkan fenomena di banyak negara dan kerajaan, seorang pemimpin kerap menggunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang. Kesewenang-wenangan disini tak hanya merujuk pada perbuatan yang menjurus pada pelampiasan ambisi pribadi, melainkan kesalahan dalam mengambil keputusan yang akhirnya menyusahkan rakyatnya. Banyak pemimpin yang tak mampu membaca situasi dan tak mengerti keadaan yang pasti, akhirnya terjerumus dalam persoalan yang lebih parah. Maka dari itu, seorang pemimpin harus benar-benar sadar apa yang ia lakukan, sadar tentang alasan dalam melakukannya, dan yang paling penting adalah sadar akan akibatnya. Mungkin metode Socrates perlu diterapkan dalam hal ini. Ia pernah mengemukakan tiga kriteria untuk menguji perlu tidaknya sebuah tindakan. Pertanyaan pertama: apakah sebuah tindakan adalah benar dan dapat dibenarkan? Kalau tindakan itu terbukti benar, maka menyusul pertanyaan kedua: apakah tindakan yang benar tersebut perlu dilakukan atau tidak perlu dilakukan? Kalau tindakan itu ternyata benar dan perlu, maka pertanyaan ketiga adalah: apakah hal tersebut baik atau tidak untuk dilaksanakan? Metode tersebut sangatlah cocok untuk digunakan dalam melatih kesadaran seorang pemimpin dalam bertindak.



13. Sebagai pemimpin banyak tidaknya Merendah tidak membuang meruah Meninggi tidak membuang budi Sayang tidak akan membinasakan Kasih tidak merusakkan Baik tidak mencelakakan Elok tidak membutakan Buruk tidak memuakkan Jauh tidak melupakan Dekat tidak bersinggungan Petua tidak menyesatkan Amanah tidak mengelirukan Artinya: Berbagai pantangan harus dihindari demi sempurnanya pelaksanaan suatu kewajiban. Seorang pemimpin haruslah selalu memegang teguh kebaikan dan menghindari keburukan yang dapat merugikan rakyatnya. Pepatah lama mengatakan: “Sifat elok sama dipegang, sifat buruk sama dipantang. Elok dipegang, buruk dibuang.” Itu artinya seorang pemimpin haruslah hanya berpegang pada sifat-sifat yang baik dan benar saja dan harus membuang jauhjauh sifat-sifat yang buruk. Raja sebagai “bayang-bayang” Tuhan di muka bumi ini haruslah mencerminkan sifat-sifat ketuhanan itu sendiri. Dalam konteks Melayu Muda, maka yang kental dengan nuansa Islam, Asmaul Husna harus menjadi pegangan dalam bertindak. Uraian di atas adalah kriteria seseorang untuk bisa dikatakan sebagai pemimpin ideal dalam tradisi dan budaya Melayu. Dan raja-raja Melayu di masa lalu banyak mencerminkan sifat-sifat tersebut. Namun, apabila melihat kondisi kekinian, para pemimpin negeri ini justru memperlihatkan sifat-sifat yang sebaliknya. Kondisi Indonesia kini sungguh tak mencerminkan kebesarannya dimasa lalu sebagai sebuah bangsa yang besar dan sangat disegani oleh bangsabangsa di seluruh dunia. Selain beberapa hal di atas, maka ada pula pantangan bagi seorang yang sedang memimpin. Semua itu juga tertuang dalam petatah petitih Melayu, yang bisa menyebabkan dia diturunkan atau digantikan dengan yang lain. Adapun di antaranya sebagai berikut:



 Tólicak bonang arang, itam tapak (terpijak di benang arang, hitam tapak atau terpijak di parit arang hitam tapak). Artinya, kedapatan mencuri di rumah (kantor), di tanah (dalam bisnis dan usaha), atau dengan cara sembunyi-sembunyi (korupsi).  Tójuak di galah panjang, nampak tóugah-ugahnyo. Artinya, mengunjungi perempuan lain yang bukan istrinya untuk berbuat maksiat, dengan istri orang, gadis, janda, atau janda talak tiganya.  Tólosang di lansek masak, olun sampai tóambiek buah olah bóguguran. Artinya, karena memperturutkan hawa nafsu sehingga kambuh selera mudanya, sehingga kenampakan mengikuti trend dan budaya populer kontemporer yang tidak jelas asal usul dan ujung pangkalnya, sebab sudah meluap-luap sehingga kerja yang tidak sononoh mulai dilakukan. Akibatnya nama jadi rusak dan malulah orang yang dipimpinnya (arang habis besi binasa).  Tómandi di póncuran gadiang, nampak kosan di aluo jalan, tódonga di tólingu kócibuk ayie. Artinya, karena terlalu mengharapkan nama dan sanjungan maka dilakukanlah segala cara untuk mendapatkannya. Sehingga terkena oleh ungkapan lama; indó aluo nón dituruik (bukan aturan



yang



diikuti), tóturuik



jalan



pinteh (terikut



jalan



pintas/pragmatis), pótamu sosek (pertama sekali tersesat), nón kan kóduó indó duduk di bokehnyo (kedua dia tidak duduk di tempat yang layak baginya).  Tócoreng arang di koniang, nampak tótempap itam. Artinya, aib diri dibongkar orang setelah mendapat nama dan jabatan, sehingga malu bertemu dengan orang banyak.  Mómpótókuluk sórewa. Artinya, punya anak gampang (anak diluar nikah).  Tópanjik sigai larangan. Artinya, ini masalah hubungan intim sedarah (incest).  Tókurong di biliek dalam, mómaja utang kósalahan kó rumah tutupan, dapek malu dalam tórungku. Artinya, kedapatan berbuat salah sehinga menjadi malu dan dihukum.  Selain ke 8 hal di atas, pemimpin orang Melayu itu dapat saja diganti karena disebabkan:



 Idok mónahun, sakik nón indó mungkin kan sihat lai, disobuik urang juó idok bókatanaan. Artinya, sakit menahun sehingga tidak dapat beraktifitas.  Hilang indó tontu rimbónyo (hilang yang tak tahu rimbanya), indó bócakap sópatah (pergi tak menyebut arah tujuannya), pindah nón indó bósobutan (pindah tak memberi kabar), koba tidó bóritó tidó (kabar berita tak terdengar lagi), surekpun tidó (sepucuk suratpun tak ada), bak batu jatuh kó lubuk dalam (bagaikan batu jatuh ke lubuk yang dalam alias hilang).  Ukuo sudah, janjian sampai. Artinya, selesai jabatan alias meninggal dunia.



BAB III PENUTUP



A. Kesimpulan Budi pekerti dan moralitas harus dijunjung tinggi oleh penguasa yang sedang memimpin. Banyaknya kebobrokan politik dan ekonomi di dunia khususnya Indonesia disebabkan karena rendahnya moralitas yang dimiliki oleh para pemimpinnya. Bahkan dalam kancah perpolitikannya, etika dan kejujuran dalam berperilaku sehari-hari sudah tidak penting, bahkan tidak ada. Alhasil, banyak kerugian yang dialami oleh berbagai pihak; sedangkan keuntungan yang sifatnya sementara hanya dialami oleh sebagian kecilnya saja. Banyak pemimpin yang berkuasa tetapi sesungguhnya tidak memimpin. Sebab, memimpin berarti memberikan arah politik, ekonomi, pendidikan, sosial, dan keamanan yang jelas secara mandiri. Sehingga, tidak berlebihan jika apa yang sudah ada di dalam tradisi Melayu, khususnya tentang kepemimpinan menjadi layak untuk diikuti lagi. Itu adalah bukti kejayaan peradaban leluhur kita, sudah terbukti ribuan tahun dan seharusnya tetap kita pegang dan jadikan pedoman hidup. Karena apa yang sudah ada itu takkan lekang oleh waktu dan sangat sesuai dengan karakter bangsa kita. Dan ketika memang bangsa ini mau kembali menerapkannya secara sadar dan keteguhan hati, maka bangsa ini akan segera bangkit, keluar dari keterpurukannya dan bisa memimpin dunia sekali lagi. Sejarah Melayu banyak mencatatkan kearifan kepemimpinan dalam perspektif budaya Melayu. Ditengah krisis kepemimpinan yang melanda Negara Indonesia, sebenarnya tradisi budaya melayu sejak dahulu telah menawarkan model kepemimpinan yang kiranya pas untuk Indonesia di tengah masalah yang kerap dihadapi saat ini. Model kepemimpinan tradisi melayu, kini di sederhanakan dengan istilah model kepemimpinan transformasional di era kontemporer. Model kepemimpinan transformasional adalah model kepemimpinan yang ideal di tengah situasi Indonesia saat ini. Pemimpin yang transformatif lebih memposisikan diri mereka sebagai mentor yang bersedia menampung aspirasi para bawahannya. Jika melihat sifat pemimpin ideal yang ada dalam tradisi budaya melayu, maka akan sangat relevan dengan



model



kepemimpinan



transformasional



pada



masa



kini.



Kepemimpinan



transformasional berkaitan dengan nilai-nilai yang relevan bagi proses pertukaran (perubahan), seperti kejujuran, keadilan dan tanggung jawab. Dalam pendapat lain,



kepemimpinan transformatif didefinisikan sebagai kepemimpinan dimana para pemimpin menggunakan kharisma mereka untuk melakukan transformasi dan merevitalisasi organisasinya. Para pemimpin yang transformatif lebih mementingkan revitalisasi para pengikut dan organisasinya secara menyeluruh ketimbang memberikan instruksi-intruksi yang bersifat top down. Jadi model kepemimpinan tradisi melayu masih sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini, model kepemimpinan tradisi melayu pada saai ini disederhanakan dengan sebutan model kepemimpinan transformasional yang diharapkan bias membawa perubahan kearah yang lebih baik. B. Saran Khazanah Melayu sangat kaya dengan kandungan pesan moral dan etika, termasuk etika politik. Sifat-sifat kepemimpinan yang ideal telah banyak dijabarkan dalam karya-karya sastra Melayu. Maka dari itu, sangatlah tepat apabila kita mencoba untuk menggali, mempelajari, dan berusaha mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Indonesia kini membutuhkan sosok pemimpin yang berpihak pada kepentingan rakyat, bukan pada kepentingan partai politik atau kelompok tertentu. Khazanah politik Melayu banyak menawarkan konsep kepemimpinan yang ideal tersebut.



DAFTAR PUSTAKA



Braginsky. 1998. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 719. Jakarta : INIS. Effendi, Tenas. 2002. Pemimpin Ungkapan Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Mutalib, Hussin. 1996. Islam dan Etnisitas: Perspektif Politik Melayu. Jakarta Rab, Tabrani. 1990. Fenomena Melayu. Lembaga Studi Sosial Budaya Riau.Pekanbaru. Mashudi Antoro, Kepemimpinan Ideal Dalam Tradisi Melayu, https://oediku.wordpress.com/2016/07/24/kepemimpinan-ideal-dalam-tradisi-melayu/, Diakses: 01 Mei 2018 http://puakmelayu.blogspot.co.id/2016/04/kepemimpinan-tradisional-masyarakat.html