Makalah TB Paru [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Makalah



TUBERCULOSIS PARU



Oleh : Mhd. Amrullah



Pembimbing : dr. R.Merlinda Veronica, M.Ked(PD), Sp.PD



KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU RSUD ARIFIN AHMAD PEKANBARU 2021



i



KATA PENGANTAR



Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah



Subhanahu



wata’ala karena atas rahmat dan karunia-nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini untuk penulisan pada Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Adapun judul makalah ini adalah “TUBERCULOSIS PARU”. Dalam menyelesaikan makalah ini, penulis banyak menerima bantuan dan dorongan baik moral maupun material dari berbagai pihak, untuk itu



pada



kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dr. R. Merlinda Veronica, M.Ked(PD), Sp.PD yang telah bersedia meluangkan waktu untuk untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan penulisan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat menambah wawasan di bidang Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Riau.



Pekanbaru, 6 Januari 2021



Penulis



i



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR................................................................................................i DAFTAR ISI..............................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN 1.1. 1.2.



Latar Belakang...........................................................................................1 Tujuan Penulisan........................................................................................2



1.3.



Manfaat Penulisan......................................................................................2



1.4.



Metode Penulisan.......................................................................................2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.



Pengertian TB paru....................................................................................3



2.2.



Etiologi TB paru........................................................................................3



2.3.



Patofisiologi TB paru................................................................................4



2.4.



Gejala klinis TB Paru................................................................................7



2.5.



Diagnosis TB Paru....................................................................................8



2.6.



Terapi TB paru........................................................................................10



BAB III PENUTUP 3.1.



Kesimpulan..............................................................................................20



3.2.



Saran........................................................................................................20



DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................21



BAB I PENDAHULUAN 1.1.



Latar Belakang TB adalah satu dari 10 penyebab kematian dan merupakan penyebab utama agen



infeksius. Pada tahun 2017, TB menyebabkan sekitar 1,3 juta kematian (rentang, 1,21,4 juta) di antara orang dengan HIV negatif dan terdapat sekitar 300.000 kematian karena TB (rentang, 266.000-335.000) di antara orang dengan HIV positif. Diperkirakan terdapat 10 juta kasus TB baru (rentang, 9-11 juta) setara dengan 133 kasus (rentang, 120-148) per 100.000 penduduk. Di global, tahun 2017 terdapat sekitar 558.000 kasus baru (rentang, 483.000-639.000) TB rifampisin resistan di mana hampir separuhnya ada di tiga negara yaitu India (24%), China (13%), dan Rusia (10%).1  Di Indonesia, TBC merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TBC di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian. Diperkirakan pada tahun 2015 ada 10,4 juta kasus baru TB di dunia, dimana 5,9 juta (56%) terjadi pada pria, 3,5 juta (34%) terjadi pada wanita dan 1 juta (10%) terjadi pada anak-anak, serta sekitar 1,4 juta orang meninggal karena TB. TB masih menempati peringkat 10 besar penyebab kematian di dunia tahun 2015.2



1



2 1.2.



Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk membahas secara ringkas mengenai



definisi, etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, dan tatalaksana TB Paru.



1.3.



Manfaat Penulisan Referat ini diharapkan dapat menambahkan pengetahuan penulis mengenai



penyakit TB Paru. 1.4.



Metode penulisan Metode penulisan pada refarat ini menggunakan metode tinjauan Pustaka



dengan mengacu pada beberapa literaratur.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.



Pengertian TB Paru Tuberkulosis (TBC) paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman



Mycrobacterium tuberculosis yang menyerang paru-paru dan bronkus. TBC paru tergolong penyakit air borne infection, yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernapasan ke dalam paru-paru. Kemudian kuman menyebar dari paru-paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, melalui bronkus atau penyebaran langsung ke bagian tubuh lainnya.3 TB paru pada keadaan lanjut dapat menyebabkan penghancuran parenkim paru yang progresif, luas dan ireversibel serta kerusakan pada fungsi paru. Foto toraks yang menunjukkan penghancuran parenkim paru yang progresif, luas dan ireversibel akibat TB paru disebut TB luluh paru. 4 TB luluh paru (Destroyed lung) merupakan hasil dari TB progresif kronis menahun serta pengobatan yang tidak adekuat dan dapat menyebabkan obstruksi jalan napas kronis dengan kombinasi kolaps paru distal, nekrosis dan infeksi sekunder.2



2.2.



Etiologi TB Paru TB



paru



merupakan



(Mycrobacterium



penyakit



Tuberculosi



yang



Humanis).



disebabkan



oleh



Mycrobacterium



basil



TBC



tuberculosis



merupakan jenis kuman berbentuk batang berukuran sangat kecil dengan panjang 1-4 µm dengan tebal 0,3-0,6 µm. Sebagian besar komponen Mycrobacterium tuberculosis adalah berupa lemak atau lipid yang menyebabkan kuman mampu bertahan terhadap asam serta zat kimia dan faktor fisik. Kuman TBC bersifat aerob yang membutuhkan oksigen untuk kelangsungan hidupnya. Mycrobacterium tuberculosis banyak ditemukan di daerah yang memiliki kandungan oksigen tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit TB. Kuman Mycrobacterium tuberculosis memiliki kemampuan tumbuh yang lambat, koloni akan tampak setelah kurang dari dua minggu atau bahkan terkadang setelah 6-



4 8 minggu. Lingkungan hidup optimal pada suhu 37°C dan kelembaban 70%. Kuman tidak dapat tumbuh pada suhu 25°C atau lebih dari 40°C.3



2.3.



Patofisiologi TB Paru TBC



paru



merupakan



penyakit



yang



disebabkan



oleh



basil



TBC



(Mycrobacterium Tuberculosi Humanis). Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TBC ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TBC dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TBC. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TBC dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TBC dalam makrofag yang



terus berkembang biak,



akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TBC di jaringan paru disebut Fokus Primer. Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TBC hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TBC. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TBC biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.4 TBC primer adalah TBC yang terjadi pada seseorang yang belum pernah kemasukan basil TBC. Bila orang ini mengalami infeksi oleh basil TBC, walaupun segera difagositosis oleh makrofag, basil TBC tidak akan mati. Dengan semikian basil TBC ini lalu dapat berkembang biak secara leluasa dalam 2 minggu pertama di alveolus paru dengan kecepatan 1 basil menjadi 2 basil setiap pada infeksi oleh satu basil saja, setelah 2 minggu akan menjadi



20 jam, sehingga



5



100.000 basil. TBC sekunder adalah penyakit TBC yang baru timbul setelah lewat 5 tahun sejak terjadinya infeksi primer. Kemungkinan suatu TBC primes yang telah sembuh akan berkelanjutan menjadi TBC sekunder tidaklah besar, diperkirakan hanya sekitar 10%. Sebaliknya juga suati reinfeksi endogen dan eksogen, walaupun semula berhasil menyebabkan seseorang menderita penyakit TBC sekunder, tidak selalu penyakitnya akan berkelanjutan terus secara progresif dan berakhir dengan kematian.hal ini terutama ditentukan oleh efektivitas sistem imunitas seluler di satu pihak dan jumlah serta virulensi basil TBC di pihak lain. Walaupun sudah sampai timbul TBC selama masih minimal, masih ada kemungkinan bagi tubuh untuk menyembuhkan dirinya sendiri bila sistem imunitas seluler masih berfungsi dengan baik. Jadi dapat disimpulkan bahwa TBC pada anak-anak umumnya adalah TBC primer sedangkan TBC pada orang dewasa adalah TBC sekunder.5 a.



Penularan tuberkulosis Sumber Penularan adalah pasien TB terutama pasien yang mengandung kuman



TB dalam dahaknya. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Infeksi akan terjadi apabila seseorang menghirup udara yang mengandung percikan dahak yang infeksius. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak yang mengandung kuman sebanyak 0-3500 M.tuberculosis. Sedangkan kalau bersin dapat mengeluarkan sebanyak 4500 – 1.000.000 M.tuberculosis. 6 b.



Perjalanan Alamiah TB Pada Manusia. Terdapat 4 tahapan perjalanan alamiah penyakit.Tahapan tersebut meliputi tahap



paparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia, sebagai berikut:6 1) Paparan Peluang peningkatan paparan terkait dengan: • Jumlah kasus menular di masyarakat.



6



• Peluang kontak dengan kasus menular. • Tingkat daya tular dahak sumber penularan. • Intensitas batuk sumber penularan. • Kedekatan kontak dengan sumber penularan. • Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan. 2) Infeksi Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6–14 minggu setelah infeksi. Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup dalam lesi tersebut (dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali tergantung dari daya tahun tubuh manusia. Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum penyembuhan lesi. 3) Faktor risiko untuk menjadi sakit TB adalah tergantung dari: • Konsentrasi/jumlah kuman yang terhirup • Lamanya waktu sejak terinfeksi • Usia seseorang yang terinfeksi • Tingkat daya tahan tubuh seseorang, Seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah diantaranya infeksi HIV AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) akan memudahkan berkembangnya TB Aktif (sakit TB). • Infeksi HIV. Pada seseorang yang terinfeksi TB, 10% diantaranya akan menjadi sakit TB. Namun pada seorang dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian TB. Orang dengan HIV berisiko 20-37 kali untuk sakit TB dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula. 4) Meninggal dunia Faktor risiko kematian karena TB: • Akibat dari keterlambatan diagnosis • Pengobatan tidak adekuat. • Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit penyerta.



7



• Pada pasien TB tanpa pengobatan, 50% diantaranya akan meninggal dan risiko ini meningkat pada pasien dengan HIV positif. Begitu pula pada ODHA, 25% kematian disebabkan oleh TB. 2.4.



Gejala Tuberkulosis



Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yangtimbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik.5 a.



Gejala sistemik atau umum:



1)



Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)



2)



Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Terkadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul



3)



Penurunan nafsu makan dan berat badan



4)



Perasaan tidak enak (malaise), lemah



b.



Gejala khusus:



1)



Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatansebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanankelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”,suara nafas melemah yang disertai sesak.



2)



Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertaidengan keluhan sakit dada.



3)



Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit diatasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.



8



4)



Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dandisebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demamtinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang. Keluhan-keluhan seorang penderita TBC sangat bervariasi, mulai dari sama



sekali tak ada keluhan sampai dengan adanya keluhan-keluhan yang serba lengkap. Keluhan umum yang sering terjadi adalah malaise (lemas), anorexia, mengurus dan cepat lelah. Keluhan karena infeksi kronik adalah panas badan yang tak tinggi (subfebril) dan keringat malam (keringat yang muncul pada jam-jam 02.30-05.00). Keluhan karena ada proses patologik di parudan/atau pleura adalah batuk dengan atau tanpa dahak, batuk darah, sesak, dan nyeri dada. Makin banyak keluhan-keluhan ini dirasakan, makin besar kemungkinan TBC. Departemen Kesehatan dalam pemberantasan TBC di Indonesia menentukan anamnesis resmi lima keluhan utama yaitu batuk-batuk lama (lebih dari 2 minggu), batuk darah, sesak, panas badan, dan nyeri dada. 7 2.5.



Diagnosa TB Paru



Tuberkulosis dapat di diagnosa dari beberapa tahapan: 8 ANAMNESIS •Keluhan pasien datang dengan gejala dan tanda penyakit TB paru seperti batuk berdahak ≥ 2 minggu dan dapat disertai sedikitnya salah satu dari gejala berikut: •Lokal respiratorik: dapat bercampur darah atau batuk darah, sesak nafas, dan nyeri dada atau pleuritic chest pain (bila disertai peradangan pleura). •Sistemik: nafsu makan menurun, berat badan menurun, berkeringat malam tanpa kegiatan fisik, demam meriang, badan lemah dan malaise. •Riwayat kontak •Riwayat pengobatan sebelumnya



9



•Faktor risiko penurunan daya tahan tubuh (HIV, DM, dan lain sebagainya)



PEMERIKSAAN FISIS Inspeksi : Bila lesi minimal, biasanya tidak ditemukan kelainan •Bila lesi luas, dapat ditemukan bentuk dada yang tidak simetris. Palpasi: Bila lesi minimal, biasanya tidak ditemukan kelainan •Bila lesi luas, dapat ditemukan kelainan berupa fremitus mengeras atau melemah Perkusi : Bila lesi minimal, biasanya tidak ditemukan kelainan •Bila ada kelainan tertentu, dapat terdengar perubahan suara perkusi seperti hipersonor pada pneumotoraks, atau pekak pada efusi pleura. Auskultasi : Bila lesi minimal, tidak ditemukan kelainan •Bila lesi luas, dapat ditemukan kelainan berikut: Ronki basah kasar terutama di apeks paru,



suara



napas



melemah



atau



mengeras,



atau



stridor.



suara



napas



bronkhial/amforik/ronkhi basah/suara napas melemah di apeks.



Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis atau pemantauan pengobatan 1. RUTIN DIKERJAKAN •Pemeriksaan mikroskopis BTA atau kultur kuman dari specimen sputum/ dahak SPS, Jika laboratorium sudah terakreditasi, pemeriksaan BTA dapat dilakukan 2 kali dan minimal satu bahan berasal dari dahak pagi hari. Untuk TB ekstra paru, spesimen dapat diambil dari bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan. •Radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/ top lordotik. Contoh : dugaan



10



terdapat komplikasi (efusi pleura, pneumotoraks, batuk darah) Pada RS tipe B/C yang umumnya mempunyai fasilitas ini, sebaiknya dikerjakan pemeriksaan radiologi •Pemeriksaan HIV • Pada daerah dengan prevalensi HIV tinggi, diagnosis TB merupakan indikasi pemeriksaan HIV (Permenkes no 21 th 2013 pasal 24)



2. Dikerjakan atas indikasi •Pemeriksaan Xpert MTB/Rif jika tersedia di fasilitas •Biakan kuman TB •Uji kepekaan terhadap OAT lini pertama di laboratorium yang sudah tersertifikasi. Dapat dilaksanakan melalui rujukan pasien ataupun rujukan spesimen. •Pemeriksaan fungsi hati •Pemeriksaan fungsi ginjal •Pemeriksaan darah rutin •Pemeriksaan gula darah 2.5. Terapi TB Paru Terdapat enam macam obat esensial yang telah dipakai sebagai berikut : Isoniazid (H), para amino salisilik asid (PAS), Streptomisin (S), Etambutol (E), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (P).9 a. Isoniasid (H)



11



Gambar 1. Struktur Isoniasid (H) 1. Mekanisme kerja. Kerja obat ini adalah dengan menghambat enzim esensial yang penting untuk sintesis asam mikolat dan dinding sel mikobakteri. INH dapat menghambat hampir semua basil tuberkel, dan bersifat bakterisidal terutama untuk basil tuberkel yang tumbuh aktif. Obat ini kurang efektif untuk infeksi mikobakteri atipikal meskipun M. kansasii rentan terhadap obat ini. INH dapat bekerja baik intra maupun ekstraseluler. 2. Farmakokinetik. Absorpsi: oral, im: cepat dan lengkap. Distribusi: melintasi plesenta; muncul dalam ASI; mendistribusikan ke dalam jaringan tubuh dan cairan termasuk CSF. Ikatan protein; 10% sampai 15%. Metabolisme: oleh hati terhadap isoniasid asetil dengan tingkat kerusakan genetik ditentukan oleh fenotipe asetilasi; mengalami hidrolisis lebih lanjut untuk asam asetil isonikotinik dan hidrazin. Waktu paruh: mungkin bias diperpanjang pada pasien dengan gangguan fungsi hati atau gangguan ginjal parah. Asetilator cepat: 30-100 menit. Asetilator lambat: 2-5 jam. Waktu puncak konsentrasi serum: oral: dalam 1-2 jam. Eliminasi: 75% sampai 95% diekskresikan dalam urin sebagai obat tidak berubah dan metabolit; jumlah kecil diekskresi dalam tinja dan saliva. Dialisis: dialisis (50% sampai 100%). 3. Efek samping. Insiden dan berat ringannya efek non terapi INH berkaitan dengan dosis dan lamanya pemberian. Reaksi alergi obat ini dapat berupa demam, kulit kemerahan, dan hepatitis. Efek toksik ini meliputi neuritis perifer, insomnia, lesu, kedut otot, retensi urin, dan bahkan konvulsi, serta episode psikosis. Kebanyakan efek ini dapat diatasi dengan pemberian piridoksin yang besarnya sesuai dengan jumlah INH yang diberikan. 4. Interaksi obat. Alkohol dan antasida dapat menurunkan efek obat ini. INH dapat menurunkan metabolisme fenitoin. Hati-hati pemberian bersama disulfiram karena dapat menyebabkan gangguan perilaku.



12



5. Indikasi. Obat ini diindikasikan untuk terapi semua bentuk tuberkulosis aktif, disebabkan kuman yang peka dan untuk profilaksis orang beresiko tinggi mendapatkan infeksi. Dapat digunakan tunggal atau bersama-sama dengan anti tuberkulosis lain. 6. Kontraindikasi. Kontraindikasinya adalah riwayat hipersensitifitas atau reaksi adversus, termasuk demam, artritis, cedera hati, kerusakan hati akut, tiap etiologi, kehamilan (kecuali resiko terjamin). 7. Dosis. Dewasa dan anak: 5 mg/kg BB/hari (4-6 mg/kg BB/hari; maksimal 300 mg atau 10 mg/kg BB 3x seminggu atau 15 mg/kg BB 2x seminggu).



b. Rifampisin (R)



Gambar 2. Struktur Rifampisin (R) 1. Mekanisme kerja. Obat ini menghambat sintesis DNA bakteri dengan mengikat subunit B dari DNA dependent –RNA polimerase sehingga menghambat peningkatan enzim tersebut ke DNA yang menghasilkan penghambat transkripsi DNA. In vitro dan in vivo, obat ini bersifat bakterisid terhadap mikobakterium tuberkulosis, M. bovis, dan M. kansasii baik intra maupun ekstraseluler.Konsentrasi bakterisid berkisar 3-12 µg/ml/ obat ini dapat meningkatkan aktivitas streptomisin dan INH, tetapi tidak untuk etambutol. 2. Farmakokinetik. Absorpsi: oral: diserap dengan baik. Distribusi: sangat lipofilik; melintasi penghalang darah-otak dan didistribusikan secara luas ke dalam jaringan tubuh dan cairan seperti hati, paru-paru, kandung empedu, empedu, air mata,



13



dan air susu ibu; mendistribusikan ke CSF ketika meninges meradang. Ikatan protein: 80%. Metabolisme: mengalami daur ulang enterohepatik; di metabolisme di hati diasetil (aktif). Waktu paruh: 3-4 jam, berkepanjangan dengan kerusakan hati. Waktu puncak konsentrasi serum: oral: dalam 2-4 jam. Eliminasi: terutama di feses (60% sampai 65%) dan urin (~30%). Dialisis: rifampisin plasma konsentrasi tidak signifikan dipengaruhi oleh hemodialisis atau dialisis peritoneal.



3. Efek samping. Kurang dari 4% penderita mengalami efek samping, seperti demam, kulit kemerahan, mual dan muntah, ikterus, trombositopenia, dan nefritis. Gangguan hati yang terberat terutama terjadi bila rifampisin diberikan secara tunggal atau dikombinasikan dengan INH. Gangguan saluran cerna juga sering terjadi, tidak enak di ulu hati, mual dan muntah, kolik, serta diare yang kadang- kadang memerlukan penghentian obat. 4. Interaksi obat. Obat ini meningkatkan eliminasi kontrasepsi oral dan antikoagulan. Rifampisin menurunkan kadar serum ketokonazol, siklosporin, kloramfenikol,



antidiabetika



oral,



analgesik



narkotik,



barbiturat,



kuinidin,



kortikosteroid, sediaan glikosida, β-bloker, klofibrat, teofilin, dan verapamil. 5. Indikasi. Diindikasikan untuk obat anti tuberkulosis yang dikombinasikan dengan anti tuberkulosis lain untuk terapi awal maupun ulang. 6. Kontraindikasi. Sindrom syok, anemia hemolitik akut, dan gangguan hati. Hati- hati pemberian obat ini pada penderita gangguan ginjal. 7. Dosis. Dewasa dan anak: dosis 10 mg/kg BB/hari (8-12 mg/kg BB/hari; maksimum 600 mg/hari atau 2 atau 3x seminggu). c. Pirazinamid (Z)



14



Gambar 3. Struktur Pirazinamid (Z) 1. Mekanisme kerja. Kerja obat ini tidak diketahui karena pirazinamid sendiri tidak aktif, tetapi harus diubah dulu menjadi senyawa aktif, yaitu asam pirazinoat oleh enzim pirazinamidase. Obat ini bersifat bakterisidal, terutama dalam keadaan asam dan mempunyai aktivitas sterilisasi intraseluler.



2. Farmakokinetik.



Absorpsi:



oral:



diserap



dengan



baik.



Distribusi:



didistribusikan secara luas ke dalam jaringan tubuh dan cairan termasuk paru-paru, hati, CSF. Ikatan protein: 50%. Metabolisme: dalam hati. Waktu paruh: 9-10 jam, berkepanjangan dengan fungsi ginjal atau hati berkurang. Waktu puncak konsentrasi serum: dalam 2 jam. Eliminasi: dalam urin (4% sebagai obat tidak berubah). 3. Efek samping. Obat ini bersifat hepatotoksik yang berkaitan dengan dosis pemberian dan dapat menjadi serius. Dengan dosis harian 3 g atau 40-50 mg/kg BB/hari, obat ini sangat efektif terhadap tuberkulosis bila digabungkan dengan INH, tetapi dilaporkan lebih kurang 14% penderita akan mengalami gangguan hati yang berat, serta kematian dapat terjadi karena timbulnya nekrosis. Karena efek hepatotoksik, pemeriksaan uji hati perlu dilakukan sebelum pemberian obat ini. Penggunaan pirazinamid secara rutin menyebabkan hiperuresemia, biasanya asimtomatik. Jika gejala penyakit gout timbul, dan pengobatan dengan pirazinamid dibutuhkan, penderita sebaiknya juga mendapat alopurinol/probenesid. 4. Interaksi obat. Tidak diketahui. 5. Indikasi. Digunakan untuk terapi tuberkulosis dalam kombinasi dengan anti



15



tuberkulosis lain. 6. Kontraindikasi. Kontraindikasi terhadap gangguan fungsi hati parah, porfiria, hipersensitivitas. 7. Dosis. Dewasa-anak: dosis 25 mg/kg BB/hari (20-30 mg/kg BB/hari) atau 35 mg/kg BB (30-40 mg/kg BB) 3x seminggu; atau 50 mg/kg BB (40-60 mg/kg BB) 2x seminggu. d. Streptomisin (S)



Gambar 4. Struktur Streptomisin 1. Mekanisme kerja. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein pada ribosom mikrobakterium dan bersifat bakterisid, terutama terhadap basil tuberkel ekstraseluler. In vitro, kebanyakan basil TBC dapat dihambat oleh obat ini pada konsentrasi 1-10 µg/ml. 2. Farmakokinetik. Distribusi: mendistribusikan ke dalam jaringan tubuh dan cairan kecuali otak; jumlah kecil masukkan CSF hanya dengan meninges meradang, melintasi plasenta; jumlah kecil muncul di ASI. Ikatan protein: 34%. Waktu paruh: berkepanjangan degan kerusakan ginjal. Baru lahir: 4-10 jam. Dewasa: 2- 4,7 jam. Waktu puncak konsentrasi serum: im: dalam 1-2 jam. Eliminasi: 30% sampai 90% dari dosis diekskresikan sebagai obat tidak berubah dalam urin, dengan jumlah kecil (1%) diekskresikan dalam empedu, saliva, keringat, dan air mata. 3. Efek samping. Sakit kepala atau lesu biasanya terjadi setelah penyuntikan dan umumnya bersifat sementara. Reaksi hipersensitivitas sering terjadi pada minggu pertama pengobatan dan biasanya lebih ringan dibandingkan INH. Obat ini bersifat



16



ototoksik dengan menyerang N.VIII sehingga menimbulkan gangguan pendengaran dan keseimbangan dengan gejala vertigo, mual, dan muntah. Selain itu, obat ini juga bersifat nefrotoksik. 4. Interaksi obat. Peningkatan obat penghambat neuromuskular akan terjadi bila obat ini diberikan bersama obat penghambat neuromuskular (asam etakrinat, furosemid), dan efek nefrotoksik meningkat bila diberikan bersama sefalosporin atau polimiksin. 5. Indikasi. Sebagai kombinasi pada pengobatan TBC bersama isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid, atau untuk penderita yang dikontraindikasi dengan 2 atau lebih obat kombinasi tersebut. 6. Kontraindikasi.



Hipersensitivitas



terhadap



streptomisin



sulfat



atau



aminoglikosida lain. 7. Dosis. Dewasa dan anak: 15 (12-18) mg/kg BB/hari 2x atau 3x seminggu. Anak- anak: 20-30 mg/kg BB/hari (maksimum 1 gram) selama 2-3 minggu, kemudian frekuensi pemberian dikurangi 2-3x seminggu untuk sisanya.



e. Etambutol (E)



Gambar 5. Struktur Etambutol 1. Mekanisme kerja. Obat ini menghambat sintesis metabolisme sel sehingga menyebabkan kematian sel. Hampir sama strain M. tuberculosis, M. bovis, dan kebanyakan M. kansasii rentan terhadap obat ini. Obat ini bersifat bakteriostatik dan bekerja baik intra maupun ekstraseluler. 2. Farmakokinetik. Absorpsi: ~80%. Distribusi: didistribusikan ke seluruh



17



tubuh dengan konsentrasi tinggi di ginjal, paru-paru, saliva, dan sel darah merah; konsentrasi dalam CSF rendah; melintasi plasenta; diekskresikan ke dalam ASI. Ikatan protein: 20% sampai 30%. Metabolisme: 20% oleh hati untuk metabolit aktif. Waktu paruh: 2,5-3,6 jam (hingga 7 jam atau lebih dengan gangguan ginjal). Waktu puncak konsentrasi serum: dalam waktu 2-4 jam. Eliminasi: ~50% dalam urin dan 20% diekskresi dalam tinja sebagai obat yang tidak berubah. Dialisis: sedikit dialysis (5% sampai 20%). 3. Efek samping. Etambutol jarang menimbulkan efek samping bila diberikan dengan dosis harian biasa dan efek toksik minimal. Efek nonterapi yang berat dan berkaitan dengan dosis, yaitu efek toksik di okular. Gangguan di mata biasanya bersifat bilateral, yaitu berupa neuritis optik dengan gejala penurunan ketajaman penglihatan, hilangnya kemampuan membedakan warna merah dengan hijau, lapangan pandangan mata menyempit, dan dapat terjadi skotoma perifer ataupun sentral. Gangguan ini biasanya bersifat reversibel. Karena itu, sebelum etambutol diberikan, uji ketajaman penglihatan dan uji buta warna sebaiknya dilakukan. 4. Interaksi obat. Gangguan aluminium seperti dalam obat maag, dapat menunda dan mengurangi absorpsi etambutol. Jika diperlukan garam alumunium agar diberikan dengan jarak beberapa jam. 5. Indikasi. Etambutol digunakan sebagai terapi kombinasi tuberkulosis dengan obat lain, sesuai regimen pengobatan jika diduga ada resistensi. Jika resiko resistensi rendah, obat ini dapat ditinggalkan. Obat ini tidak dianjurkan untuk anak-anak usia kurang 6 tahun, neuritis optik, gangguan visual. 6. Kontraindikasi. Hipersensitivitas terhadap etambutol seperti neuritis optik. 7. Dosis. Dewasa: dosis tunggal 15 mg/kg BB/hari (15-20 mg/kg BB) atau 30 mg/kg BB (25-35 mg/kg BB) 3x seminggu atau 45 mg/kg BB (40-50 mg/kg BB) 2x seminggu. Anak: maksimum 15 mg/kg BB/hari.



18



Pengobatan perkategori pasien: Kategori-1 •Pasien TB paru baru BTA positif •Pasien TB paru BTA negatif, foto toraks gambaran proses spesifik. •Pasien TB ekstraparu ringan dan berat. 2RHZE/ 4RH 2 RHZE/ 4 R3H3



Kategori -2 Pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya •Pasien kambuh •Pasien default (lalai) •Pasien gagal pengobatan 2 RHZES/ 1 RHZE/ 5 R3H3E3 2 RHZES/ 1 RHZE/ 5 RHE



Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut: a.



OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.



b.



Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukanpengawasan langsung



19



(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).



Gambar 6. DOTS c.



Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif danlanjutan.



1) Tahap awal (intensif) a)



Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.



b) Pengobatan tahap intensif tersebut apabila diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. c)



Sebagian besar pasien TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.



2) Tahap lanjutan a)



Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama



b)



Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga



20



mencegah terjadinya kekambuhan



BAB III PENUTUP 3.1.



Kesimpulan Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit menular yang disebabkan kuman



Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman ini menyerang paru (TB paru), dan dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (TB ekstra paru) seperti pleura, kelenjar limfe, tulang, dan lain-lain. TB dapat disembuhkan dengan berobat secara tepat dan teratur minimal 6 bulan. Kuman TB menular dari seorang pasien TB menular (BTA positif) yang batuk dan bakteri tersebut menyebar melalui udara yang terhirup orang sehat. 3.2.



Saran



Adapun saran yang dapat diberikan dari penulis adalah sebagai berikut:



1.



Diharapkan kepada Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Kedokteran Ilmu Penyakit Dalam dapat melanjutkan pembahasan makalah ini secara mendalam.



DAFTAR PUSTAKA



1.



Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Subdirektorat Tuberkulosis[Internet]. Situasi TBC di Indonesia.(Update 2019 Mei 1. Cited 2021 Jan 1). Available from: https://tbindonesia.or.id/informasi/tentang-tbc/situasi-tbc-di-indonesia-2/



2.



Rusmini H, Nurmalasari Y, Ariza R. Perbandingan Status Gizi Tb Luluh Paru Dengan Pasien Tb Tanpa Luluh Paru. 2018;5:38–43.



3.



Widyanto, F. C dan Triwibowo, C. (2013). Trend Disease Trend Penyakit Saat Ini, Jakarta: Trans Info Media



4.



Groenewald W, Baird MS, Verschoor JA, Minnikin DE, Croft AK. Differential spontaneous folding of mycolic acids from Mycobacterium tuberculosis. Chem Phys Lipids. 2014;180:15–22.



5.



Werdhani RA, PATOFISIOLOGI, DIAGNOSIS, DAN KLAFISIKASI TUBERKULOSIS, Fakultas kedokteran UI, Jakarta, 2009.



6.



Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS. Jakarta, 2016



7.



Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS. Jakarta, 2014.



8.



Burhan E. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis. Dep Pulmonologi dan Kedokt Respirasi Fak Kedokt Univesitas Indones Sakit Persahabatan. 2016;



9.



Apriadisiregar PA, Gurning FP, Eliska E, Pratama MY. Analysis of Factors Associated with Pulmonary Tuberculosis Incidence of Children in Sibuhuan General Hospital. J Berk Epidemiol. 2018;6(3):268.