MAKALAH Tempat Ibadah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK MENGENAL TEMPAT IBADAH



OLEH Akbar adam (E1120032)



PROGRAM STUDI EKONOMI FAKULTAS AKUNTANSI UNIVERSITAS ICHSAN GORONTALO 2022



KATA PENGANTAR Alhamdulillah kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahuwata’ala yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Dalam penyusunan makalah ini, dengan kerja keras dan dukungan dari berbagai pihak, kami telah berusaha untuk dapat memberikan yang terbaik dan sesuai dengan harapan, walaupun didalam pembuatannya kami menghadapi kesulitan, karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang kami miliki. Oleh karena itu pada kesempatan ini, dengan segala hormat penulis sampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Dosen pengampu yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan makalah. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis butuhkan agar dapat menyempurnakannya di masa yang akan datang. Semoga apa yang disajikan dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi teman-teman dan pihak yang berkepentingan. Popalo, 26 Oktober 2022



Penyusun



i



DAFTAR ISI



SAMPUL………………………………………………………………………….i KATA PENGANTAR…………………………………………………………....i DAFTAR ISI……………………………………………………………………..ii BAB I PENDAHULUAN…..…………………………………………………….1 A. Latar Belakang……….……………………………………………….......1 B. Rumusan Masalah…….………………………………...…………….......9 C. Tujuan………………….………………………………………………10 BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………….11 A. Definisi zakat dan infak………………………………….………………11 B. Pengelolaan zakat infak dan sedekah di indonesia…….………………11 C. Akuntabilitas zakat infak sedekah di indonesia .…..…………………….13 D. Proses bisnis organisasi peribadatan mesjid …….………………………17 E. Pengertian PSAK 45 ………..…………..……………………………….19 F. Pengertian PSAK 109 …….……………..………………………………21 G. Akuntansi berdasarkan PSAK 45 dan PSAK 109…….………………….21 H. Akuntansi mesjid ……….…..…………..……………………………….26 I. Akuntansi sector publik…………………..………………………………30 J. Pengertian organisasi nirlaba .…………..……………………………….31 K. laporan keuangan organisasi nirlaba menurut PSAK 45……….……….34 BAB IV SIMPULAN DAN SARAN……………………………………...........43 A. Kesimpulan………………………………………………………………43 B. Saran……………………………………………………………………..47 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...48



ii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Organisasi sektor publik saat ini dituntut untuk mampu mengefisienkan biaya ekonomi maupun biaya sosial yang dikeluarkan untuk suatu aktivitas yang dilakukan. Berbagai tuntutan tersebut akhirnya membuat akuntansi sebagai suatu ilmu yang dibutuhkan untuk membantu organisasi mengelola semua urusanurusan yang berhubungan dengan publik. Hal ini memunculkan suatu ilmu akuntansi baru yang saat ini dikenal oleh masyarakat sebagai akuntansi sektor publik. Pada dasarnya yayasan bukanlah suatu istilah yang asing didengar oleh masyarakat saat ini. Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 16 tahun 2001 tentang yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, keagaaman, dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota. Menurut Setiawan (1992:201) masyarakat cenderung memilih bentuk yayasan karena proses pendiriannya sederhana, tanpa memerlukan pengesahan dari pemerintah, serta persepsi masyarakat bahwa yayasan bukan merupakan subjek pajak. Kegiatan-kegiatan yang pada umumnya dilakukan oleh yayasan antara lain adalah memberikan santunan kepada anak yatim piatu, memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, kepada orangorang yang sedang menderita suatu penyakit, memberikan beasiswa kepada anak yang berasal dari golongan tidak mampu, memberikan bantuan kepada korban bencana, dan lain sebagainya. Tempat ibadah juga merupakan organisasi sektor publik, karena yang memiliki masyarakat dan digunakan oleh masyarakat. Masjid yang merupakan tempat ibadah tidak terlepas dari kompleksitas yang tinggi karena tidak hanya sebagai tempat ritual sholat tetapi juga sebagai centre of activity yaitu sebagai tempat organisasi



memiliki



peranan



yang



sangat



strategis



dalam



peningkatan



kesejahteraan masyarakat, bahkan tidak kalah strategisnya dengan jenis organisasi publik lainnya. Pusat aktivitas ini meliputi berbagai bidang, seperti pendidikan, ekonomi, sosial,budaya dan hukum. Tempat ibadah sebagai sebuah organisasi dan memiliki tujuan yang akan dicapai melalui alat organisasional, seperti dalam hal



1



pengelolaan keuangan masjid juga mempunyai komplesitas yang tinggi dan itu yang disebut akuntansi. Benar adanya belum ada aturan tegas yang mewajibkan pengurus masjid membuat laporan keuangan. Hanya pengurus yang memaknai tanggung jawabnya sebagai amanah umatlah sehingga mendorong praktik akuntabilitas pada masjid (Siskawati, Ferdawati, & Surya, 2016). Islam adalah agama yang mendorong akuntabilitas, bahkan ayat terpanjang pun bicara soal pencatatan keuangan. Jangan sampai ada keuangan masjid menjadi sumber konflik akibat tak adanya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana (Yusuf & AbdurRaheem, 2013). Oleh karena itulah, sebagai simbol dan representasi umat Islam, maka keuangan masjid harus dikelola dengan profesional sesuai dengan standar manajemen keuangan organisasi nirlaba. Masjid sebagai organisasi nirlaba harus dan berhak melaporkan kepada pengguna pihak yang berkepentingan. Ini adalah kehidupan alami dan pengembangan organisasi masjid berasal dari sumbangan, sedekah, atau bentuk bantuan social lainnya. Organisasi harus membuka diri kepada masyarakat umum untuk mendapatkan informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif, setidaknya dengan anggota organisasi keagamaan tersebut. Informasi dapat diakses oleh siapa saja yang menggunakan mekanisme tertentu, agar tidak disalahgunakan oleh mereka yang berniat buruk terhadap organisasi. Konsekuensi ini menjadi kewajiban yang harus dipenuhi karena pertanggungjawaban organisasi masjid akan sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap organisasi masjid itu sendiri (Rahayu et al, 2017). Ketidakkonsistenan pada penelitian-penelitian terdahulu memunculkan adanya research gap. Govindarajan (1988) dalam Suarmika & Suputra (2016) menyatakan bahwa



pendekatan



ketidakkonsistenan



kontijensi hasil-hasil



dapat riset



digunakan sebelumnya.



sebagai Pendekatan



solusi



atas



kontijensi



memberikan pandangan bahwa hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dipengaruhi oleh variabel yang bersifat kondisional. Pada penelitian ini menempatkan komitmen organisasi sebagai variabel moderating karena diduga turut berperan dalam mempengaruhi kualitas laporan keuangan. Menurut Siregar (2017) dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi, termasuk tujuan untuk



2



mewujudkan laporan keuangan yang berkualitas dibutuhkan komitmen di dalam organisasi. Adanya komitmen organisasi akan mempertahankan kepatuhan dalam penyajian laporan keuangan yang berkualitas. Mengacu pada pernyataan tersebut, komitmen organisasi kemungkinan dapat memoderasi pengaruh kompetensi SDM, sistem pengendalian internal dan pemanfaatan teknologi informasi terhadap kualitas laporan keuangan masjid. Pengelolaan sumber dana masjid merupakan hal yang sangat penting untuk diteliti dan dievaluasi khususnya dalam hal penyajian laporan keuangan. Dalam melakukan penyusunan laporan keuangan masjid Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) mempunyai peranan penting sebagai pembentuk standar akuntansi keuangan secara tertulis dengan menerbitkan PSAK 109 dan PSAK 45. PSAK 45 mengatur tentang pelaporan keuangan organisasi nirlaba dan masjid juga termasuk dari organisasi nirlaba karena dalam menjalankan aktivitasnya tidak mendapatkan laba. Kriteria organisasi nirlaba hampir sama dengan kriteria di masjid yaitu yang pertama sumber daya berasal dari para penyumbang dan tidak mengharapkan pembayaran kembali, yang kedua menghasilkan barang dan jasa tanpa bertujuan memupuk laba dan yang ketiga tidaka adanya kepemilikan seperti lazimnya organisasi bisnis lainnya. dan juga untuk PSAK 109 yang mengatur tentang akuntansi zakat,infak dan sodaqoh yang biasanya itu menjadi sumber dana yang didapat oleh masjid. Riset ini mencoba merekonstruksi penerapan PSAK 109 dan PSAK 45 di laporan keuangan lembaga masjid. Masjid merupakan bagian dari organisasi sektor publik yang bersifat non profit oriented memperoleh dana untuk membiayai aktivitas masjid berasal dari zakat, infaq, sedekah, sumbangan, bantuan, wakaf dan sebagainya perlu membuat pertanggungjawaban keuangan. Dalam Pernyataan Standar Akuntansi (PSAK) 45 tentang pelaporan keuangan entitas nirlaba yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), laporan keuangan entitas nirlaba yang perlu dibuat meliputi laporan posisi keuangan, laporan aktivitas, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan. Mekanisme akuntabilitas formal harus diaplikasikan dalam setiap organisasi keagamaan Islam dan laporan keuangan adalah sesuatu yang



3



sangat penting dalam meningkatkan akuntabilitas organisasi tersebut (Basri et al., 2016). Sebagai entitas pelaporan akuntansi yang menggunakan dana masyarakat sebagai sumber keuangannya, masjid menjadi bagian dari entitas publik yang semua aktivitasnya harus dipertanggungjawabkan kepada publik (Simanjuntak & Januarsi, 2011). Informasi yang terdapat dalam laporan keuangan masjid dapat dikatakan berkualitas apabila informasi akuntansi tersebut memenuhi karakteristik kualitatif laporan keuangan. Adapun karakteristik kualitatif laporan keuangan yang tercantum dalam Standar Akuntansi Keuangan Syariah per 1 Januari 2017 adalah dapat dipahami, relevan, andal dan dapat dibandingkan. Lemahnya teori dan praktik akuntansi serta rendahnya pemahaman takmir terhadap akuntansi menjadi masalah yang tidak bisa dihindarkan terhadap kualitas laporan keuangan. Beberapa penelitian terdahulu mengungkapkan masih rendahnya kualitas laporan keuangan masjid, seperti pada penelitian Sulaiman et al., (2008) menemukan bahwa penggelapan dana dari organisasi keagamaan saat ini umum dilakukan karena kurangnya akuntabilitas dan transparansi. Mereka menyalahgunakan kekuasaan terhadap dana yang dihimpun sehingga sistem manajemen pelaporan tidak akurat, seperti anggaran, laporan keuangan, dan pengendalian internal. Penelitian Simanjuntak & Januarsi (2011) menunjukkan hasil bahwa laporan keuangan masjid dilakukan sangat sederhana dengan bentuk empat kolom yakni uraian, penerimaan, pengeluaran, dan saldo. Pelaporannya tidak dilakukan secara konsisten dan periodik. Hal yang sama juga diteliti oleh Fitria (2017), Nariasih et al., (2017), Julkarnain (2018), Fahmi (2017), Badu & Hambali (2014) menunjukkan bahwa laporan keuangan yang disusun masjid masih menggunakan bentuk yang sederhana, yaitu buku kas bulanan dan tahunan, sesuai dengan pemahaman para pengurus yang notaben banyak pula tak memiliki keterampilan mengelola keuangan. Selain itu bendahara masjid juga masih menggunakan akuntansi berbasis kas dalam pencatatan transaksinya. Penyampaian laporan keuangan masjid umumnya melalui pengumuman takmir masjid pada saat pelaksanaan sholat jumat maupun melalui papan informasi yang seringnya juga tidak diperbarui.



4



Berdasarkan pada penelitian-penelitian terdahulu, dapat disimpulkan bahwa rata-rata pengungkapan pelaporan keuangan masjid masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan minimnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya pelaporan keuangan, masih terbatasnya perhatian pemerintah terhadap organisasi masjid serta sumber daya yang belum mumpuni dalam mengelola keuangan (Badu & Hambali, 2014). Maka dari itu, untuk menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas, salah satunya dibutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten. SDM yang kompeten yang memahami mekanisme penyusunan laporan keuangan yang sesuai dengan standar akuntansi akan mewujudkan pengelolaan keuangan dan laporan keuangan yang berkualitas. Selain kompetensi SDM, pengurus masjid sebaiknya menerapkan pengendalian internal. Menurut Sanusi et al., (2015) sistem pengendalian penting bagi praktik pengelolaan keuangan di masjid untuk memastikan bahwa pengelolaan keuangan sudah berjalan dengan efektif dan efisien, operasional berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku, mengukur kemampuan pengelolaan masjid dalam mengelola kegiatan yang bermanfaat dan memberikan informasi dalam membuat keputusan yang lebih baik. Faktor lain yang diduga mempengaruhi kualitas laporan



keuangan



adalah



pemanfaatan



teknologi



informasi.



Dengan



berkembangnya teknologi, akan memicu beberapa pihak untuk mengembangakan aplikasi masjid untuk menunjang pengelolaan masjid yang transparan dan akuntabel. Pemanfaatan teknologi informasi dapat membuka peluang bagi berbagai pihak untuk mengakses informasi secara cepat dan akurat sehingga mewujudkan laporan keuangan yang akuntabel dan transparan. Hal lain yang mempengaruhi kualitas laporan keuangan adalah komitmen organisasi. Menurut Newstrom & Davis (2002) komitmen organisasi merupakan sifat hubungan antara individu dengan organisasi kerja, dimana individu mempunyai keyakinan diri terhadap nilainilai tujuan organisasi serta adanya kerelaan untuk secara sungguh-sungguh demi kepentingan organisasi serta mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap menjadi bagian dari organisasi.



5



Penelitian mengenai kualitas laporan keuangan organisasi nirlaba khususnya masjid telah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu misalnya, Masrek et al., (2014) melakukan penelitian pengendalian internal pada Masjid Distrik di Malaysia yang menyimpulkan agar praktik pengendalian intern oleh masjid distrik, baik penerimaan dan pencairan dana memerlukan perhatian yang signifikan. Penelitian pengendalian internal juga dilakukan oleh Kamaruddin & Ramli (2017) dengan hasil penelitian ditemukan bahwa ada beberapa kesamaan aspek praktik pengendalian internal sedangkan perbedaannya terletak pada kontrol fisik atas asset dan pelaporan serta aspek penilaian kinerja independen. Dua dari tiga organisasi islam nirlaba tidak melakukan proses audit internal untuk penilaian kinerja mereka. Syaifuddin (2016) dalam penelitiannya menunjukkan hasil bahwa praktik manajemen keuangan, sistem pengendalian internal, dan kegiatan pengumpulan dana berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas laporan keuangan. Laeli (2017) pada masjid di Kota Semarang yang menunjukkan hasil bahwa secara simultan manajemen keuangan, pengendalian internal, kegiatan pengumpulan dana, pemanfaatan teknologi informasi berpengaruh positif terhadap kualitas laporan keuangan sedangkan kompetensi sumber daya manusia, penerapan PSAK 45 dan penerapan PSAK 109 tidak berpengaruh positif terhadap kualitas laporan keuangan. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Isviandari et al., (2019) pada masjid-masjid di Kota Batu yang menunjukkan hasil bahwa penerapan PSAK 45 dan penerapan PSAK 109 tidak berpengaruh terhadap kualitas laporan keuangan, sedangkan pengendalian internal dan kompetensi sumber daya manusia berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kualitas laporan keuangan masjid-masjid di Kota Batu. Ketidakkonsistenan pada penelitian-penelitian terdahulu memunculkan adanya research gap. Govindarajan (1988) dalam Suarmika & Suputra (2016) menyatakan bahwa pendekatan kontijensi dapat digunakan sebagai solusi atas ketidakkonsistenan hasil-hasil riset sebelumnya. Pendekatan kontijensi memberikan pandangan bahwa hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dipengaruhi oleh variabel yang bersifat kondisional. Pada penelitian ini menempatkan komitmen



6



organisasi sebagai variabel moderating karena diduga turut berperan dalam mempengaruhi kualitas laporan keuangan. Menurut Siregar (2017) dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi, termasuk tujuan untuk mewujudkan laporan keuangan yang berkualitas dibutuhkan komitmen



di



dalam



organisasi.



Adanya



komitmen



organisasi



akan



mempertahankan kepatuhan dalam penyajian laporan keuangan yang berkualitas. Mengacu pada pernyataan tersebut, komitmen organisasi kemungkinan dapat memoderasi pengaruh kompetensi SDM, sistem pengendalian internal dan pemanfaatan teknologi informasi terhadap kualitas laporan keuangan masjid. Saat ini masjid masih terpusat di pulau Jawa, Sumatera dan Sulawesi, terutama didaerah Jawa Barat dimana spirit umat islam untuk memanfaatkan masjid sebagai pusat interaksi sosial dan sebagai sarana ibadah adalah sangat tinggi, terlihat pada saat proses pendistribusian zakat dan daging Qurban (Republika on Line, 2014). Menurut Jusuf Kalla yang termuat di Republika (2014), jumlah masjid dan mushola saat ini lebih kurang 850.000 buah yang tersebar diseluruh Indonesia. Populasi ini menunjukkan potensi yang besar untuk memberi kontribusi dalam mensejahterakan masyarakat, baik secara penggalangan dana maupunpenyediaan fasilitas. Organisasi masjid merupakan organisasi sektor publik atau organisasi nirlaba, yang mengelola sumberdaya untuk menjalankan aktivitas masjid, dimana kebanyakan masjid didirikan oleh swadaya masyarakat. Ada yang berawal dari tanah wakaf pribadi, ada juga yang didirikan oleh sekelompok masyarakat tertentu karena kebutuhan fasilitas peribadatan yang dekat dengan tempat tinggal atau tempat bekerja. Pengelolaan dan sumber daya diperoleh diperoleh secara sukarela.Tidak ada paksaan untuk menjadi pengelola masjid (ta’mir dan bendahara). Satu-satunya motivator bagi seorang ta’mir adalah mandat dari Al Qur’an. Ada kecenderungan bahwa organisasi nonlaba (termasuk organisasipengelola masjid) akan menjadi sorotan masyarakat . Untuk menjaga kepercayaan umat saat menitipkan amanah berupa zakat, Infak dan Sadaqoh dibutuhkan pada masjid sebagai entitas sektor publik adalah pertanggungjawaban kepada umat.



7



Tuntutan Pertanggungjawaban pengelolaan entitas sektor publik dalam wujud Akuntabilitas sektor publik semakin meningkat, sehingga Asosiasi profesi akuntan Indonesia, IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) menetapkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) tentang penyusunan laporan keuangan entitas sektor publik dengan mengesahkan PSAK 45 yang merupakan adopsi dari IFRS SMEs (International Financial Report Statement for Small Medium Entreprises). Akuntabilitas entitas sektor publik mejadi penting karena dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan entitas sektor publik tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat dengan berbagai pelayanan publik sematamata untuk kesejahteraan (welfare) masyarakat dan dapat dilihat eksistensinya secara nyata seperti, entitas pemerintahan, partai politik, ta’mir mesjid, sekolah, rumah sakit, dan puskesmas (Nordiawan, 2010). Penelitian-penelitian implementasi PSAK 45 pada sektor publik entitas keagamaan menunjukkan bahwa pada gereja (Mamaesah, 2013) pengelola GMIM Efrata Sentra Sonder belum menerapkan PSAK 45 dalam penyajian keuangannya, dan hanya menyajikan laporan keuangan dalam bentuk realisasi anggaran sesuai dengan pedoman yang disusun Badan Pekerja Majelis Sinode. Sedangkan pada mesjid (Ibrahim, Handayani, 2009), menyimpulkan bahwa secara umum sudah mengadopsi PSAK 45 untuk komponen laporan keuangannya, tetapi sayangnya tidak boleh menjadi konsumsi publik untuk laporan konsolidasi posisi keuangannya dan memakai istilah yang berbeda untuk laporan aktivitas menjadi laporan kalkulasi dan distribusi zakat yang menjelaskan sumber dan penggunaan zakat oleh publik. Menurut Sutarti, Prayitno (2007) implementasi PSAK 45 pada sektor publik rumah sakit, implementasi penyajian laporan keuangan sudah sesuai dengan PSAK 45 tetapi dengan revisi disesuaikan dengan kondisi entitas rumah sakit, antara kain tidak melampirkan aset bersih berdasarkan ekuitas terikat permanen dan ekuitas terikat temporer. Penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu dari jasa publik yang diberikan kepada masyarakat dibandingkan penelitianpenetian terdahulu. Perbedaan berikutnya adalah disini peneliti menekankan adanya revitalisasi fungsi masjid yang akan terjadi ketika sektor publik tersebut



8



mengimplementasikan PSAK 45 pada saat menyajikan laporan keuangannya. Dan diharapkan dengan adanya impelementasi PSAK 45 pada entitas sektor publik masjid bisa mendorong revitalisasi fungsi masjid seperti di zaman Rasululloh, yang tidak saja menjadi tempat beribadah, tetapi juga menjadi pusat pembinaan umat (Bahtiar, 2012). Disini peneliti juga menekankan perlunya peran aktif, partisipasi para akuntan untuk lebih memasyarakatkan PSAK 45 pada organisasi keagamaan sehingga entitas sektor publik memiliki tanggungjawab moral untuk mempublikasikan laporan keuangan berdasarkan PSAK 45 kepada publik dalam konteks entitas masjid disebut umatnya. Kontribusi Penelitian ini adalah diharapkan dengan diperolehnya pengalaman bagaimana sebenarnya fungsi masjid zaman rasululloh dan bagaimana implementasi PSAK 45 pada Masjid A dan B, akan mendorong revitalisasi masjid ini. Diharapkan akan menjadi masukan penting bagi entitas sektor publik lainnya pada saat mengambil keputusan penting untuk umat untuk memakai laporan keuangan menurut PSAK 45. Meningkatkan peran Akuntan untuk implementasi PSAK 45 dalam rangka melindungi kepentingan publik dalam



hal



ini



adalah



pihak



pemangku



kepentingan



Masjid



jamaahnya/umatnya. B. Rumusan Masalah 1.



Sebutkan definisi zakat dan infak ?



2.



Bagaimana pengelolaan zakat infak dan sedekah di indonesia ?



3.



Bagaimana akuntabilitas zakat infak sedekah di indonesia ?



4.



Bagaimana proses bisnis organisasi peribadatan mesjid ?



5.



Apakah yang dimaksud dengan PSAK 45 ?



6.



Apakah yang dimaksud dengan PSAK 109 ?



7.



Bagaimana akuntansi berdasarkan PSAK 45 dan PSAK 109 ?



8.



Apakah yang dimaksud dengan akuntansi mesjid ?



9.



Apakah yang dimaksud dengan akuntansi sector publik ?



10. Apakah yang dimaksud dengan organisasi nirlaba ? 11. Bagaimana laporan keuangan organisasi nirlaba menurut PSAK 45 ?



9



yaitu



C. Tujuan 1. Untuk mengetahui definisi zakat dan infak ? 2. Untuk mengetahui pengelolaan zakat infak dan sedekah di indonesia ? 3. Untuk mengetahui akuntabilitas zakat infak sedekah di indonesia ? 4. Untuk mengetahui proses bisnis organisasi peribadatan mesjid ? 5. Untuk mengetahui PSAK 45 ? 6. Untuk mengetahui PSAK 109 ? 7. Untuk mengetahui akuntansi berdasarkan PSAK 45 dan PSAK 109 ? 8. Untuk mengetahui akuntansi mesjid ? 9. Untuk mengetahui akuntansi sektor publik ? 10. Untuk mengetahui organisasi nirlaba ? 11. Untuk mengetahui laporan keuangan organisasi nirlaba menurut PSAK 45 ?



10



BAB II PEMBAHASAN A. Definisi zakat dan infak Zakat berasal dari bahasa arab yaitu zakāh dalam segi istilah adalah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan sebagainya). Zakat dari segi bahasa berarti 'bersih', 'suci', 'subur', 'berkat' dan 'berkembang'. Menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Zakat merupakan rukun keempat dari rukun Islam. Zakat memiliki keutamaan yang besar dalam islam. Harta zakat memiliki ketentuan khusus dan hanya diberikan kepada golongan tertentu. Harta yang wajib dikeluarkan zakatnya harus memenuhi haul dan nisabnya terlebih dahulu (Djatmiko, 2019). Haul berarti jangka waktu dan nisab berarti batasan jumlah minimal. Haul dan nisab bervariasi tergantung dari jenis harta yang dimiliki seseorang. Golongan yang berhak mendapatkan zakat adalah, fakir, miskin, Amil, Mu’allaf, riqab, Gharim, Fisabilillah, Musafir . hal ini dijelaskan dalam al- Quran surah at-Tauba ayat 60. Infak berarti membelanjakan harta di jalan Allah. Infak juga dapat diartikan nafkah, dalam hal ini harta yang diberikan suami untuk istri dan anak sebagai nafkah termasuk dalam golongan infak. Infak terbagi dalam dua jenis. Jenis pertama adalah infak yang wajib hukumnya seperti nafkah, zakat, dan jenis kedua adalah infak yang memiliki hukum sunah seperti memberikan uang ke masjid. Infak merupakan rumah besar pada setiap aktifitas penggunaan harta di jalan Allah, didalamnya terdapat zakat, sedekah, wakaf, hadiah, warisan dan sebagainya. Pelaksanaan infak didasari atas keimanan yang dimiliki setiap muslim. B. Pengelolaan zakat infak dan sedekah di indonesia Muslim Indonesia harus menanggung pajak berganda, yaitu pajak dan zakat (Hidayat, 2013). Permasalahan antara pajak dengan zakat juga dialami oleh negara muslim lainnya seperti Malaysia dan Arab Saudi. Solusi yang diberikan atas permasalahan ini berbeda-beda pada setiap negara muslim. Arab Saudi memberlakukan satu kewajiban berarti warga negara Muslim yang sudah



11



membayar zakat tidak wajib membayar pajak. Malaysia memberlakukan amal sebagai pengurang pajak jika amal tersebut dibayarkan di badan amal resmi lembaga tersebut. Indonesia memberlakukan sistem pengurangan pajak dalam arti, zakat yang telah dibayarkan penduduk dapat mengurangi pendapatan kena pajak (Ridwan, 2016). Pengelolaan ZIS di Indonesia pada masa dewasa ini lebih didominasi oleh sektor swasta. Hal ini didasari oleh besarnya inisiatif sektor swasta untuk mengelola dana zakat infak dan sedekah. Banyak LAZ yang telah bermunculan dari lembaga masyarakat dan tidak sedikit pula perusahaan-perusahaan swasta yang juga ikut membuat lembaga zakat diperusahaannya. Hal ini telah menunjukkan proses dinamika Islamisasi sektor swasta di Indonesia (Latief, 2013). Terdapat dua langkah dalam pengelolaan zakat infak dan sedekah; yaitu langkahlangkah yang bersifat struktural dan yang bersifat kultural. Langkah struktural lebih ditekankan kepada lembaga khusus yang menanganinya agar berjalan dengan baik, sedangkan langkah kultural lebih ditekankan pada individu, baik individu yang diharapkan menjadi salah satu subjek pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan kaum fakir dan miskin maupun yang menjadi objeknya. Pada langkah struktural maupun kultural, keterlibatan pemerintah sangat diperlukan, bahkan dipandang sebagai sebuah keniscayaan (Rodin, 2016). Munculnya organisasi pengelola zakat ini merubah metode penghimpunan dan penyaluran dana ZIS di Indonesia. Organisasi pengelola zakat umumnya menghimpun ZIS dengan layanan jemput zakat, pembayaran melalui rekening, dandapat pula menyerahkan langsung ke kantor (Kusmanto, 2014). Hadirnya variasi ini dimaksudkan untuk mempermudah masyarakat muslim menyalurkan ZISnya, sehingga motivasi masyarakat dalam menyalurkan ZIS menjadi lebih tinggi. Pada sektor penyaluran organisasi pengelola zakat tengah berlomba-lomba dalam melaksanakan program zakat produktif. Zakat produktif adalah zakat yang dapat membuat mustahik memiliki sebuah penghasilan (Dimyati, 2018). Tujuan akhir dari zakat produktif adalah merubah mustahik menjadi muzaki atau merubah seseorang yang menerima bantuan menjadi seseorang yang member bantuan dikemudian hari. Zakat



12



produktif memiliki dampak nyata dalam upaya pengentasan kemisikinan (Pratama,



2015).



Zakat



produktif



dilakukan



dengan



membangun



atau



menumbuhkan unit usaha pada diri penerima zakat melalui pemberian dana hibah untuk modal usaha (Fitri, 2017), atau secara sederhana zakat produktif dilakukan dengan memunculkan wirausahawan baru dari kalangan mustahik (Haidir, 2019). Pelaksanaan zakat produktif memiliki tantangan yang lebih besar dibandingkan dengan zakat konsumtif. Program zakat produktif menuntut lembaga zakat untuk melakukan pembinaan dan pendampingan kepada mustahik (Bonandar, 2018) C. Akuntabilitas zakat infak sedekah di Indonesia Indonesia memiliki potensi zakat yang sangat besar. Potensi ini berasal dari banyaknya jumlah penduduk yang Beragama islam di Indonesia. Baznas mencatat potensi zakat Indonesia mencapai lebih dari 200 Triliun Rupiah. Potensi zakat ini terus mengalami perningkatan setiap tahunnya hingga sekarang selaras dengan pertumbuhan ekonomi negara. Potensi zakat yang besar nampaknya tidak dibarengi dengan realisasi pengumpulan zakatnya. Selama tahun 2011-2015 realisasi penerimaan zakat kurang dari 1% (Canggih et al., 2017), meskipun jumlah penghimpunan zakat masih sangat sedikit dibandingkan dengan potensi yang ada akan tetapi penghipunan zakat ini senantiasa mengalami peningkatan secara signifikan, misalnya penghimpunan ZIS pada tahun 2008 -2012 dari 930 milyar menjadi 2,2 triliun atau mengalami kenaikan lebih dari 100% (Mubarok & Fanani, 2014). Spekulasi yang muncul atas fenomena ini adalah masih banyak penghimpunan yang tidak tercatat. Hal ini mengindentifikasikan bahwa penerapan akuntabilitas pengelolaan ZIS belumlah maksimal.Permasalahan yang sering terjadi terkait dengan penerapan akuntabiltas pengelolaan ZIS terletak pada kualitasnya. Masih terdapat organisasi pengelola zakat (OPZ) yang laporan tahunannya masih berupa gambaran umum terkait jumlah penyaluran dana dan pihak-pihak penerima dana (Haryanto & Yeni, 2019). Seharusnya laporan yang dipublikasikan juga mencakup nominal dari setiap dana yang disalurkan sehingga laporan tahunan tersebut lebih transparan dan akuntabel.



13



Permasalahan akuntabilitas atas pengelolaan zakat juga massif terjadi pada sektor masjid. Mayoritas pejabat masjid hanya menerapkan akuntansi sederhana atas pengelolaan zakat infak dan sedekah. Hal ini dilakukan karena keterbatasan kemampuanyang dimiliki, namun terdapat pula pejabar masjid yang sengaja menerapkan akuntansi sederhana dikarenakan adanya dilema. Praktik transparansi dan Akuntabilitas nampaknya menimbulkan dilemma pada sebagian pejabat masjid dikarenakan kekhawatiran munculnya sifat ria atau sombong (Simanjuntak & Januarsi, 2011). Sifat sombong sangat tidak diperbolehkan dalam islam, sebagaimana sabda rasulullah yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu “Tidak masuk surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan seberat zarrah dalam hatinya (H.R Muslim)” Perlu pemberian pemahaman kepada pejabat masjid yang enggan menerapkan akuntabilitas secara baik dikarenakan khawatir sombong bahwa pencataan atau akuntansi merupakan printah agama yang harusnya tidak terdapat hal-hal yang dapat merusak nilai taqwa seorang muslim. Prinsip akuntabilitas adalah bagian dari ibadah dengan pola tanggung jawab vertikal dan horizontal. Pola vertikal adalah pertanggungjawaban kepada Allah. Pola horizontal adalah pertanggungjawaban ke donatur masjid dan masyarakat. Prinsip transparansi dilakukan dengan memberikan informasi yang jelas tentang prosedur, biaya, dan tanggung jawab lembaga pengelola masjid serta memberikan kemudahan akses ke informasi laporan keuangan, pengaturan mekanisme pengaduan, dan meningkatkan informasi melalui kerja sama dengan media public (Rahayu, 2017). Konsep akuntabilitas mulai dikaji secara intensif pada sektor publik seiring dengan berkembangnya konsep mengenai reinventing government (Osborne dan Gaebler, 1993). Dalam buku mereka yang berjudul Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector, konsep akuntabilitas disebut sebanyak sembilan kali. Hal ini menunjukkan bahwa Osborne dan Gaebler semenjak awal hendak memberikan penekanan akan pentingnya pemahaman dan praktik bagi aktor-aktor wirausaha sektor publik mengenai pentingnya akuntabilitas Penulis yang berbeda, yaitu Osborne (Osborne : 2010) dan Christensen, et.al. (Christensen :2007) menjelaskan bahwa sejalan dengan penekanan



14



akuntabilitas pada reinventing government, ternyata konsep akuntabilitas juga masuk sebagai fokus utama dalam manajemen publik Baru atau yang sering kali disebut dengan istilah New Public Management (NPM). Oleh karenanya, akuntabilitas dapat dikatakan sebagai faktor pembeda utama antara kajian Administrasi Publik Klasik (old Public Administration) dengan New Public Management. Hal ini bermakna bahwa akuntabilitas harus dilaksanakan oleh organisasi sektor public moderen sebagai cerminan upaya meningkatnya keberpihakan terhadap kepentingan publik. Akademisi lainnya yakni Peters (Peters : 2010) menjelaskan bahwa akuntabilitas merupakan konsep yang berbeda dari tanggung jawab (responsibilitas). Akuntabilitas lebih merujuk pada relasi organisasi sebagai sebuah entitas dengan pihak di luar organisasi. Artinya, level analisis akuntabilitas adalah pada tingkat makroorganisasi yang menekankan pada aspek sosiologi organisasi dengan fokus interaksi antara organisasi dengan pihakpihak yang berrelasi pada organisasi tersebut. Sedangkan tanggung jawab lebih menekankan pada level individual sebagai keharusan anggota di dalam suatu organisasi public untuk menunjukkan perilaku yang sejalan dengan standar etika yang telah ditetapkan sebagai aturan dan melaksanakan pekerjaan dengan benar sesuai dengan arahan dan pelatihan yang telah diterimanya. Peters (Peters : 2010) yang menjelaskan bahwa sebagai bagian dari organisasi sektor publik, maka anggota organisasi harus patuh terhadap hukum yang secara umum mengatur bagaimana sebuah kebijakan diadministrasikan dan khususnya hokum yang secara spesifik mengatur program tertentu yang tengah mereka laksanakan. Penjelasan ini semakin terang manakala kita mencoba untuk memetakan tiga konsep sekaligus yaitu akuntabilitas, tanggung jawab, dan responsivitas sebagai bagian dari transparansi kepada publik secara keseluruhan sebagaimana yang disampaikan oleh Gortner (Gortner : 2007). Penulis lainnya yaitu Day dan Klein dalam (Peters : 2010) mendefinisikan bahwa Akuntabilitas merupakan mekanisme untuk menjalankan pengendalian terhadap organisasi publik. Namun, menurut Osborne (Osborne : 2010), akuntabilitas lebih dari sekadar menjalankan pengendalian terhadap organisasi publik dan program publik, akuntabilitas juga merupakan sarana yang memandu bagi organiasi dalam



15



usahanya untuk meningkatkan efektivitas dan efesiensi program. Hal ini dapat ditinjau sebagai upaya untuk membuat catatancatatan atas kesalahan yang dilakukan pada pelaksanaan suatu program di masa lalu yang kemudian menjadi panduan untuk mereduksi angka kesalahan tersebut di masa mendatang. Dalam tulisan yang lain, Starling (Starling: 2008) menjelaskan bahwa persamaan kata yang tepat untuk akuntabilitas adalah kemenjawaban (answerability). Konsep ini menegaskan bahwa organisasi pada sektor publik dituntut untuk memberikan jawaban terhadap pihak-pihak yang berkepentingan dengan organisasi tersebut. Dengan kata lain, organisasi sektor public hendaknya mampu memberikan penjelasan atas tindakan-tindakan yang dilakukannya terutama terhadap pihak-pihak yang dalam sistem politik telah diberikan kewenangan untuk melakukan penilaian dan evaluasi terdahap organisasi publik. David Hulme dan Mark Turney mengemukakan bahwa akuntabilitas merupakan suatu konsep yang kompleks dan memiliki beberapa instrumen untuk mengukurnya, yaitu adanya indikator seperti :(1) legitimasi bagi para pembuat kebijakan; (2) keberadaan kualitas moral yang memadai; (3) kepekaan; (4) keterbukaan; (5) pemanfaatan sumber daya secara optimal; dan (6) upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas. Akuntabilitas sebagai instrumen kontrol dapat mencapai keberhasilan hanya jika: 1) Pegawai publik memahami dan menerima tanggungjawab atas hasil yang diharapkan dari mereka; 2) Bila pegawai publik diberi otoritas yang sebanding dengan tanggung jawabnya; bila ukuran evaluasi kinerja yang efektif dan pantas digunakan dan hasilnya diberitahukan pada atasan dan individu bersangkutan. 3)Bila tindakan yang sesuai, adil, dan tepat waktu diambil sebagai respon atas hasil yang dicapai dan cara pencapaiannya; dan 4) Bila menteri dan pemimpin politik berkomitmen tidak hanya menghargai mekanisme dan prosedur akuntabilitas ini, namun juga menahan diri untuk tidak menggunakan posisi otoritasnya untuk mempengaruhi fungsi normal administrasi. Dimensi akuntabilitas yang telah dijelaskan dan disebutkan di atas yang bersumber dari Elwood, dimensi tersebut dapat di jabarkan menjadi indikator akuntabilitas adalah sebagai berikut (Garini : 2011) : 1) Akuntabilitas Hukum dan Kejujuran 2) Akuntabilitas Proses; 3) Akuntabilitas program; 4) Akuntabilitas Kebijakan Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode lapangan



16



(field research), yaitu penelitian yang sumber datanya diperoleh langsung dilapangan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitik yaitu penelitian yang menggambarkan secara jelas dan rinci fenomena yang menjadi pokok permasalahan tanpa melakukan hipotesa atau melakukan penghitungan secara statistik. Secara



spesifik



penelitian



ini



bermaksud



memaparkan



dan



menggambarkan penerpan akuntabilitas pada mejid-masjid di Kota binjai dan factor-faktor yang mempengaruhi implementasi akuntabiitas tersebut. Penelitian ini bersifat evaluatif, maksudnya selain memaparkan secara deskriptif dan menganalisanya, dan juga mengevaluasi kelebihan serta kekurangan Akuntabilitas pengelolaan zakat dan infak masjid di kota Binjai. D. Proses bisnis organisasi peribadatan mesjid Ayub dalam Halim (2013), menyebutkan bahwa dalam konteks organisasi masjid, keuangan masjid meliputi cara mengumpulkan dana, sumber pendanaan, pengelolaan dan pertanggungjawaban dana masjid. Tujuan utama dari organisasi peribadatan atau keagamaan seperti masjid untuk memberikan pelayanan dan menyelenggarakan aktivitas yang dibutuhkan maupun yang telah menjadi ritual ibadah rutin dalam organisasi keagamaan adalah melayani umat atau pengikut agamanya. Meskipun tujuan utamanya adalah untuk pelayanan umat, bukan berarti organisasi keagamaan tidak memiliki tujuan keuangan. Tujuan keuangan ditujukan untuk mendukung terlaksananya tujuan pelayanan peribadatan yang memadai yang memenuhi standar sesuai dengan aturan dalam ajaran agama tersebut (syariah), serta menjunjung tujuan lainnya seperti tujuan sosial kemasyarakatan dan pendidikan, pendidikan disini yang di maksud TPA untuk anak-anak maupun orang tua tentunya tujuan keuangan ini bukan untuk memperoleh keuntungan tetapi lebih ke arah bagaimana membiayai kebutuhan beribadah umat dalam tempat ibadah dan fungsi sosial keagamaan lainnya. (Ayub dalam Abdul,2011) dalam konteks organisasi masjid, bahwa keuangan masjid meliputi cara mengumpulkan dana, sumber pendanaan, pengelolaan, dan pertanggung jawaban dana masjid. Pada organisasi masjid biasanya sumber dana berasal dari umat muslim yang bersifat sukarela dan ikhlas walaupun tidak menutup kemungkinan bantuan



17



juga berasal dari pihak luar. Pengumpulan sumber dana dari masyarakat berasal dari zakat,infak dan sedekah, pendapatan dari kotak parkir,pendapatan sewa wakaf, sumbangan dari pemerintah, kontribusi peserta lomba dan lain-lain sesuai dengan ajaran islam. Kegiatan masjid selain mengumpulkan sumber dana juga menyalurkan sumber dananya untuk organisasi keagamaan maupun untuk fungsi sosial. Karena pengelola atau pengurus atau yang biasa kita sebut ta'mir masjid dalam menggunkan dana umat sesuai dengan ketentuan dalam ajaran agama dan kepentingan umat beragama. Penyaluran yang dilakukan biasanya untuk kemakmuran masjid, seperti kebersihan masjid, penjagaan parkir untuk membeli alat-alat yang diperlukan untuk kepentingan dan kenyamanan jamaah.Selain untuk kemakmuran masjid penyaluran dana juga untuk pendidikan di masjid diantaranya: Pusat dakwah dan TPQ. Penyaluran dana masjid juga untuk fungsi sosial diantaranya: Santunan sosial dan sunnatan massal. Laporan keuangan masjid Anaz Machfudz ini dicatat atau dibuat oleh bendahara masjid ini ada 3 yaitu bendahara umum, bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran. 1. Bendahara Umum: 



Sebagai Pemegang buku kas masjid atau laporan keuangan.







Meminta dan memeriksa catatan atas laporan penerimaan dan pengeluaran



Menerima uang dari bendahara penerimaan dan



menyimpan atau 



Mencatat semua penerimaan dan pengeluaran dalam buku kas. dari bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran.







Mengambil uang dari bank dan menyerahkan uang belanja masjid kepada menyetorkan ke Bank.







Menyusun laporan keuangan masjid setiap bulan dan melaporkan kepada bendahara pengeluaran.







Mengumumkan keuangan masjid, khususnya hasil kotak jum'at kepada rapat ta'mir tiga bulan sekali. jamaah setiap jum'at



2. Bendahara Penerimaan



18







Menerima dan menghitung dan mencatat secara tertib semua pemasukan Melaporkan secara tertulis semua penerimaan kepada bendahara umum setiap masjid ke dalam buku penerimaan.







Memelihara dan mengawasi keberadaan kotak







Mengatur penempatan dan pergerakan kotak amal







Memimpin dan mengkoordinir pembukaan semua kotak amal masjid.







Menyerahkan semua uang penerimaan masjid kepada bendahara umum. Akhir bulan sesuai dengan format yang ditentukkan bendahara umum.



3. Bendahara Penerimaan 



Mengajukan permintaan uang belanja rutin masjid kepada bendahara umum setiap awal bulan secara tertulis.







Membayar semua belanja barang jasa, honor dan ongkos untuk keperluan



Menghimpun semua bukti pengeluaran berupa nota,



rekening, kwitansi, faktur masjid, serta biaya kegiatan masjid.



 Mencatat semua pengeluaran belanja dan melaporkan kepada bendahara dan sebagainya. umum setiap akhir bulan sesuai dengan format atau blanko yang



Bersama–sama dengan bendahara



penerimaan dan petugas lainnya ikut ditentukkan bendahara umum dengan melampirkan bukti – bukti pengeluaran.



 Menyetorkan kembali sisa uang belanja masjid setiap akhir bulan kepada membuka dan menghitung hasil kotak amal masjid. bendahara umum. E. PSAK 45 Standar yang mengatur dan memebrikan tujuan pelaporan keuangan pada organisasi nirlaba untuk menyediakan informasi yang relevan kepada pihak yang berkepentingan terutama penyumbang dana, anggota organisasi, krediturdan pihak lain yang memebrikan sumbangsih kepada organisasi nirlaba. pelaporan keuangan



19



entitas nirlaba yang mudah dipahami, memiliki relevansi, dan memiliki daya banding yang tinggi. Definisi dalam pembatasan permanen adalah pembatasan penggunaan sumber daya yang ditetapkan oleh pemberi sumber daya yang tidak mengharapkan pembayaran kembali agar sumber daya tersebut dipertahankan secara permanen, tetapi entitas nirlaba diizinkan untuk menggunakan sebagian atau semua penghasilan atau manfaat ekonomik lain yang berasal dari sumber daya tersebut. Pembatasan temporer adalah pembatasan penggunaan sumber daya oleh pemberi sumber daya yang tidak mengharapkan pembayaran kembali yang menetapkan agar sumber dayatersebut dipertahankan sampai dengan periode tertentu atau sampai dengan terpenuhinya keadaan tertentu. Sumber daya terikat adalah sumber daya yang penggunaannya dibatasi untuk tujuan tertentu oleh pemberi sumber daya yang tidak mengharapkan pembayaran kembali. Pembatasan tersebut dapat bersifat permanen atau temporer. Sumber daya tidak terikat adalah sumber daya yang penggunaannya tidak dibatasi untuk tujuan tertentu oleh pemberi sumber daya yang tidak mengharapkan pembayaran kembali. Jenis-jenis Laporan Keuangan Entitas Nirlaba Unsur-unsur laporan keuangan berdasarkan PSAK No. 45: (1) Laporan Posisi Keuangan Laporan posisi keuangan mencakup entitas nirlaba secara keseluruhan dan menyajikan total aset, liabilitas, dan aset neto. (2) Laporan Aktivitas Laporan aktivitas mencakup entitas nirlaba secara keseluruhan dan menyajikan perubahan jumlah aset neto selama suatu periode. (3) Laporan Arus Kas Laporan arus kas harus melaporkan arus kas selama periode tertentu dan diklasifikasi menurut aktivitas operasi,investasi, dan pendanaan. (4) Catatan Atas Laporan Keuangan Catatan atas laporan keuangan dapat berupa: (a) Perincian dari suatu perkiraan yang disajikan, misalnya aktiva tetap. (b) Kebijakan akuntansi yang dilakukan, misalnya metode penyusutan serta tarif yang digunakan untuk aktiva tetap lembaga, metode pencatatan piutang yang tidak dapat ditagih serta presentase yang digunakan untuk pencadangannya (IAI 2015). IAI (2015) dalam PSAK No. 45 menyatakan bahwa “Tujuan utama Iaporan keuangan adalah menyediakan informasi yang relevan untuk memenuhi



20



kepentingan para pemberi sumber daya yang tidak mengharapkan pembayaran kembali, anggota, kreditor, dan pihak lain yang menyediakan sumber daya bagi entitas nirlaba. F. PSAK 109 Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah mengeluarkan PSAK 109 untuk akuntansi zakat, infak/sedekah. PSAK 109 ini akan menyeragamkan pencatatan pada lembaga pengelola zakat yang selama ini sebagian besar menggunakan PSAK 45 untuk organisasi non laba. Sebelum ada PSAK 109, lembaga pengelola zakat telah membuat laporan keuangan tetapi tidak ada keseragaman antara satu lembaga pengelola zakat dengan lembaga pengelola zakat yang lain. Hal ini tentu menyulitkan bagi berbagai kalangan untuk memahami maksud dan tujuan dari laporan keuangan tersebut. Laporan keuangan seharusnya informatif dan dapat dibandingkan antara laporan keuangan lembaga pengelola zakat satu dengan lembaga pengelola zakat yang lain. Laporan keuangan amil menurut PSAK 109 adalah laporan posisi keuangan (neraca), laporan perubahan dana, laporan perubahan aset kelolaan, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan. Neraca dan laporan penerimaan, pengeluaran dan perubahan dana untuk organisasi zakat, infak, dan sedekah ini merupakan gabungan dari dua dana tersebut, yaitu dana zakat dan dana sedekah, sedangkan laporan perubahan posisi keuangan dan catatan atas laporan keuangan perlu ditambahkan sehingga menjadi laporan keuangan yang menyeluruh yang menggambarkan kondisi keuangan organisasi



pengelola



zakat.



Dalam



catatan



ini



menjelaskan



mengenai



kebijakankebijakan akuntansi dan prosedur yang diterapkan oleh organisasi yang bersangkutan sehingga diperoleh angka-angka dalam laporan keuangan tersebut (IAI 2015) G. Perlakuan akuntansi berdasarkan PSAK 45 dan PSAK 109 Lembaga nirlaba merupakan lembaga yang dibiayai oleh masyarakat lewat donasi atau sumbangan (Nainggolan,2005:2). PSAK Nomor 45 menyebutkan adatiga karakteristik entitas nirlaba yaitu sumber daya entitas berasal dari sumbangan, tidak bertujuan memperoleh laba,dan tidak adanya kepemilikan seperti entitas bisnis pada umumnya atau dengan kata lain dimiliki oleh publik.



21



Dari sisi sumber pendanaan, organisasi nirlaba mendapatkan sumber dana dari publik berupa sumbanganatau donasi. Organisasi nirlaba memperoleh sumber daya dari pemberi sumber daya yang tidak mengharapkan pembayaran kembali atau manfaat ekonomi yang sebanding dengan jumlah sumber daya yang di berikan. Pada beberapa bentuk organisasi nirlaba, meskipun tidak ada kepemilikan, organisasi nirlaba mendanai kebutuhan modalnya dari utang dan kebutuhan operasinya dari pendapatan atas jasa yang diberikan kepada publik. (IAI, 2015). Pertangungjawaban keuangan menjadi aspek penting bagi organisasi nirlaba dan



diharapkandapat



menjelaskan



bagaimana



organisasi



mengelola



dan



menggunakan dana yang telah diperolehnya dari public sehingga dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap organisasi yang bersangkutan. Salah satu bentuk pertanggung jawaban tersebut diwujudkan dalam bentuk laporan keuangan. Laporan keuangan organisasi nirlaba telah diatur dalamPSAK Nomor 45 tentang Pelaporan Keuangan EntitasNirlaba. Dalam PSAK Nomor 45 (IAI, 2011) telah diaturbahwa laporan keuangan entitas nirlaba meliputi laporanposisi keuangan, laporan aktivitas, laporan arus kas, dancatatan atas laporan keuangan. Dengan adanya standar yang mengatur mengenai pelaporan keuangan entitas nirlaba maka diharapkan laporan keuangan yang dibuat oleh suatuorganisasi nirlaba seperti masjid misalnya, dapat lebih mudah dipahami dan dapat mencerminkan serta menjelaskan kondisikeuangan organisasi yang sesungguhnya. Melalui laporan keuangan ini pengguna laporan keuangan baik pengguna internal ataupun pengguna eksternal dapat menilai kinerja manajemen organisasi. Masjid sebagai salah satu bentuk organisasi nirlaba dimanasebagian besar sumber pendanaannya berasal dari masyarakatdalam bentuk infak atau shodakoh, tentunya juga harusmembuat laporan keuangan sesuai dengan format dalam PSAK Nomor 45. Dalam penerapan PSAK 45 ataupun PSAK 109 mengingat masjid adalah termasuk organisasi nirlaba atau organisasi yang tidak menghasilkan laba/profit. Masjid berasal dari kata sajada-sujudan, yang berarti patuh, taat, serta tunduk dengan penuh hormat dan takzim, atau tempat sujud (Mustofa: 20076: 16).



22



Secara teminologis, masjid mengandung makna sebagai pusat dari segala kebajikan kepada Allah SWT. Di dalamnya terdapat dua bentuk kebajikan, yaitu kebajikan yang dikemas dalam bentuk ibadah khusus, yaitu shalat fardhu, dan kebajikan yang dikemas dalam bentuk amaliyah sehari-hari untuk berkomunikasi dan bersilaturahmi dengan sesama jamaah (Suherman: 2012: 61). Masjid memenuhi karakteristik entitas nirlaba yaitu: (a)Sumber daya entitas nirlaba berasal dari pemberi sumber daya yang tidak mengharapkan pembayaran kembali atau manfaat ekonomi yang sebanding dengan jumlah sumber daya yang diberikan (b)Menghasilkan barang dan/ jasa tanpa bertujuan memupuk laba, dan jika entitas nirlaba menghasilkan laba, maka jumlahnya tidak dibagikan kepada pendiri atau pemilik entitas nirlaba tersebut. (c)Tidak ada kepemilikan seperti umumnya pada entitas bisnis, dalam arti bahwa kepemilikan dalam entittas nirlaba tidak dapat dijual, dialihkan, atau ditebus kembali, atau kepemilikan tersebut tidak mencerminkan proporsi pembagian sumber daya entitas nirlaba pada saat likuidasi atau pembubaran entitas nirlaba. (Ikatan Akuntan Indonesia. 2012. Standar Akuntansi Keuangan. (PSAK No. 45. Jakarta: Salemba Empat). Kemudian, dari sisi sumber pendanaan, masjid mendapatkan sumber dana dari publik berupa sumbanganatau donasi. Pada beberapa bentuk organisasi nirlaba, meskipun tidak ada kepemilikan, organisasi nirlaba mendanai kebutuhan modalnya dari utang dan kebutuhan operasinya dari pendapatan atas jasa yang diberikan kepada publik. (IAI, 2015). Dari karakteristik diatas, maka dapat disimpulkan, masjid merupakan organisasi nirlaba yang seharusnya menerapkan PSAK 45. Masjid mendapatkan sumber pendanaannya berasal dari Zakat, Infak, dan Shadaqah. Bila dilihat dari sudut pandang sumber danayang diperoleh oleh masjid, sumber pendanaan masjid dapat berasal dari donasi, kotak sumbangan keliling yang bisa dikatakan zakat, infaq danshodaqoh atau yang lainnya dari masyarakat. Akuntansi untuk zakat, infaq, dan sadaqah menggunakan PSAK 109. Dapat dikatakan sumber pendanaan masjid 100% berasal dari zakat, infaq, dan sadakah. Dari karakteristik ini, maka dapat disimpulkan bahwa masjid menerapkan pengelolaan keuangan berdasarkan PSAK 109. Masjid sebagai sarana



23



peribadatan dan kegiatan umat memerlukan pelaporan keuangan yang efektifuntuk menunjang kegiatan peribadatan dan keagamaan. Mengingat banyaknya danayang terkumpul berupa zakat, infak dan sedekah dan juga banyak dana yang disalurkan untuk berbagai kegiatan didalam masjid seperti untuk perbaikan masjid, biaya- biaya penceramah atau guru ngaji, santunan sosial dan banyak lagi kegiatan yang dilakukan di masjid, perlu adanya laporan keuangan yang efektif dan relevan sehungga bisa dipertanggungjwabkan kepada masyarakat, baik muzaki, mustahik dan juga pemerintah. Berkaitan dengan akuntansi, Islam sudah menerapkannyapada masa Rasulullah SAW seperti perhitungan zakat, utang, pencatatan uang masuk dan keluar dalam perdagangan hal ini sesuai dengan Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 282. Dalam Q.S Al-Baqarah Ayat 282 mencerminkan bahwa akuntansi dalam islam bukanlah yang baru dan penting digunakan untuk menjadikan kegiatan keagamaan menjadi lebih baik seperti di tempat ibadah (Masjid) dan pasar perdagangan. Akuntansi dalam entitas tempat ibadah (Masjid) pencatatan laporan keuangan dapat dijadikan tolak ukur kinerja para pengurus masjid selaku Takmir dan Bendahara Masjid (Hanafi: 2015 Pada penerapannya, akuntansi masjid lebih menggunakan metode pencatatan cash basis yakni mengakui pendapatan dan biaya pada saat kas diterima dan dibayarkan. Dengan metode cash basis tingkat efisiensi dan efektifitas suatu kegiatan, program atau aktifitas tidak dapat diukur dengan baik. Akuntansi dengan accrual basis dianggap lebih baik daripada cash basis karena dianggap menghasilkan laporan keuangan yang lebih dapat dipercaya, lebih akurat, komprehensif, dan relevan. Selain itu, akuntansi masjid menggunakan metode pembukuan tunggal (single entry method) dengan alasan lebih praktis dan mudah. Laporan keuangannya disajikan dengan membandingkan antara anggaran yang telah dibuat dengan realisasinya. Kemudian dilaporkan dan dievaluasi dalam periode waktu tertentu. Penggunaan single entry method tidak lagi tepat untuk diterapkan karena tidak dapat memberikan informasi yang komprehensif, maka penggunaan single entry method dengan alasan kemudahan dan kepraktisan menjadi tidak relevan lagi. Dan sebaliknya, pengaplikasian pencatatan transaksi dengan sistem double



24



entrymampu menghasilkan laporan keuangan yang auditable dan traceable. Sistem pelaporan keuangan pada masjid masih berbentuk format biasa yang sesuai dengan pemahaman mereka. Biasanya hanya berupa pencatatan kas masuk dan kas



keluar.



Pelaporan



keuangan



itu



sendiri



dibuat



untuk



proses



pertanggungjawaban kepada para jama’ah masjid sebagai suatusifat keterbukaan dan transparansinya suatu laporan keuangan (Andarsari: 2016: 148). Namun, PSAK 45 tidak dapat secara langsung diterapkan pada lembaga masjid. Masjid merupakan salah satu contoh organisasi keagamaan yang sebagian besar dananya berasal dari sumbangan publik yangbiasa disebut dengan zakat dan infak atau shodakoh dimana sebagian besar transaksi yang terjadi didasari dengan ketentuan dasar syariah sesuai dengan ajaran agama Islam. Oleh karena itu penyusunan laporan keuangan masjid jugaharus mempertimbangkan perlakuan akuntansi untuk akunkhusus atas transaksi yang didasarkan pada kaidah syariah khususnya untuk akuntansi zakat dan infak/sedekah yang diatur dalam PSAK 109.PSAK 109 bertujuan untuk mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan transaksi zakat dan infak/sedekah. PSAK 109 (IAI, 2008) menyebutkan bahwa laporan keuangan yang seharusnya dibuatoleh amil terdiri dari laporan posisi keuangan, laporan perubahan dana, laporan perubahan aset kelolaan, laporanarus kas, dan catatan atas laporan keuangan. Bila dibandingkan dengan PSAK Nomor 45, terdapat perbedaankomponen laporan keuangan yang harus dibuat oleh masjid (amil). Mengingat masjid adalah salah satu bentuk organisasinirlaba dan menjalankan kegiatan dan transaksi syariah maka penerapan PSAK Nomor 45 pada lembaga masjid diperlukan adanya kombinasi dengan PSAK Nomor 109. PSAK 45 terdiri dari 4 laporan keuangan seperti: Laporan Posisi Keuangan, Laporan Aktivitas, Laporan Arus Kas dan Catatan Atas Laporan Keuangan. PSAK 109 terdiri dari 5 laporan keuangan seperti: Laporan Posisi Keuangan, Laporan Perubahan Dana, Laporan Arus Kas, Laporan Aset Kelolaan dan Catatan atas Laporan keuangan. Penulis mencoba merekonstruksi laporan keuangan masjid menjadi laporan keuangan yang sesuai dengan kriteria PSAK 109 dan atau PSAK 45 mengingat masjid mempunyai ciri-ciri hampir sama dengan kedua laporan tersebut dan



25



penulis ingin mengetahui laporan keuangan masjid lebih cenderung cocok dengan PSAK 45 atau PSAK 109. Setelah menganalisis laporan keuangan sederhana masjid, laporan keuangan 109 lebih cocok untuk diterapkan dalam akuntansi masjid dikarenakan beberapa hal yakni PSAK 109 lebih mudah dipahami daripada PSAK 45. H. Akuntansi mesjid Akuntansi masjid adalah kegiatan jasa dalam tata buku dan pengelolaan transaksi yang terjadi dalam kegiatan operasional masjid. Tata buku atau rangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dalam bidang keuangan, berdasarkan prinsip, standardisasi, dan prosedur tertentu untuk menghasilkan informasi aktual di bidang keuangan dalam organisasi masjid yang melibatkan para anggota, umat, atau pengikut agama di organisasi keagamaan yang bersangkutan (Halim dan Kusufi, 2016). Peran akuntansi akan terlihat jika tempat ibadah atau masjid diposisikan sebagai entitas atau satuan organisasi (Halim dan Kusufi, 2016). Mengenalkan akuntansi pada organisasi masjid berarti lebih berorientasi untuk menumbuhkan kesadaran kepada pengelola masjid tentang pentingnya praktik akuntansi dalam pengembangan organisasi masjid (Halim dan Kusufi, 2016). Akuntansi dijadikan pengurus masjid sebagai tools positif secara material tetapi distortif bagi teologi Islam (Simanjuntak dan Januarsi, 2011). Islam sangat erat kaitannya dengan akuntansi, dengan turunnya Surat AlBaqarah Ayat 282 dijelaskan tentang pencatatan, pendokumentasian, saksi dan utang secara mendetail dalam surat itu. Dapat ditarik kesimpulan bahwa islam mengajarkan pencatatan dalam Islam itu signifikansi, pencatatan itu dapat menjadikan entitas keagamaan dapat bekerja dengan baik.Pencatatan keuangan dalam suatu entitas keagamaan (Masjid) dapat menjadi ukuran kinerja para pengurus Masjid atau Takmir Masjid khususnya yang diamanahkan sebagai bendahara keuangan.Penelitian yang dilakukan oleh Kerry Jacob (2004) dalam Simanjutak dan Januarsih (2011) yang menjelaskan bahwa akuntansi mampu mendorong kerja entitas keagamaan menjadi lebih baik ketika peran akuntansi di maksimalkan di lembaga keagamaan tersebut.



26



Penelitian ini memberikan deskripsi bagaimana manajemen keuangan di masjid-masjid yang ada di perkotaan. Pada komponen perencanaan anggaran, Mukrodi (2014) menemukan bahwa studi kasus masjid yang diteliti tidak memiliki rencana anggaran. Hal ini juga ditemukan pada penelitian ini. Hanya saja pada penelitian ini didapati masih ada 37,8% masjid yang membuat rencana anggaran belanja secara rutin setiap tahunnya. Jika dibandingkan dengan penelitian di tempat ibadah lain seperti yang dilakukan oleh Agustana, Herawati, & Atmaja (2017), rencana anggaran belanja pada tempat ibadah tersebut hanya dilakukan setiap ada kegiatan upacara, sedangkan di masjid-masjid yang ada di Kota Yogyakarta, anggaran disusun setiap tahunnya. Pada aspek sumber penerimaan masjid, infak Jumat masjid menjadi andalan bagi masjid (Adnan, 2013; Wahab, 2008; Zain et al., 2015) dan juga di tempat ibadah agama lain (Femi et al., 2016) dalam penghimpunan dana. Begitu juga pada penelitian ini, hal tersebut juga ditemukan, namun ada pada beberapa masjid yang memiliki usaha mandiri sebagai sumber pendapat lain, walaupun sebagian jumlahnya tidak begitu besar. Ada satu masjid yang memiliki usaha mandiri dan mampu menghasilkan keuntungan bersih mencapai Rp 25.000.000.000,00 per tahun. Ini dapat menjadi contoh bagi masjid lain yang harusnya tidak lagi bergantung pada donasi jamaah, namun mulai mencoba untuk mencari alternatif sumber lain, terutama yang memiliki potensi menghasilkan atau produktif. Apalagi jika masjid-masjid yang memiliki lokasi yang strategis, pengurus dapat menyewakan lahan atau pun dapat membuat semacam rumah toko (Rozalinda, 2015) ataupun lahan parkir (Mukrodi, 2014) sehingga dapat menambah pemasukan masjid. Jangan sampai masjid kekurangan dana hingga tak bisa membuat program-program yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar (Jazeel, 2014). Untuk penggunaan dana masjid, studi ini menunjukkan bahwa pos terbesar digunakan untuk pembangunan dan perawatan fisik masjid. Besarnya pengeluaran untuk pembangunan fisik masjid sangatlah dominan dibanding untuk pos-pos lainnya, seperti kegiatan dakwah maupun pemberdayaan masyarakat (Ajahari, 2009).



27



Seharusnya pos yang lebih banyak diperhatikan adalah untuk kegiatan ijtima’i atau kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada masyarakat, bukan pada operasional dan pembangunan masjid (Ramli, Jalil, Hamdan, Haris, & Abd. Aziz, 2009). Yang menarik dalam penelitian ini ditemukan fakta bahwa ada 15% yang telah memiliki program pemberdayaan ekonomi jamaah, bahkan banyak yang menjawab bukan tidak memilikim namun ingin memiliki program pemberdayaan, namun masih terkendala beberapa hal, salah satunya masalah kompetensi dan keterampilan mengelola program pemberdayaan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa pengurus masjid yang ada di Kota Yogyakarta sudah cukup banyak yang menyadari bahwa masjid harusnya dapat digunakan untuk aktivitas-aktivitas produktif. Penelitian ini juga menemukan beberapa hal terkait nominal pemasukan dan pengeluaran dana masjid per bulannya. Hal ini belum banyak ditemukan pada penelitian-penelitian sebelumnya di Indonesia yang hanya secara naratif menjelaskan pos pemasukan dan pengeluaran, namun belum ada nominal yang muncul, seperti studi Mukrodi (2014) dan Ajahari (2009). Rata-rata pemasukan setiap bulannya dari setiap masjid mencapai Rp 4.808.602,00 dan pengeluaran Rp 3.258.462,00 sehingga hampir semua masjid tidak mengalami defisit. Hal ini juga ditemukan pada studi yang dilakukan di Malaysia (Hussin, Muhammad, Razak, & Habidin, 2014; Razak, Hussin, Muhammad, & Mahjom, 2014). Jumlah saldo yang mengendap di setiap masjid ratarata-rata Rp 45.866.365,00. Jumlah ini tidak jauh berbeda dari estimasi yang dibuat oleh Adnan (2013) yang menyatakan rata-rata saldo masjid di provinsi DIY adalah Rp 42,159,151,00, namun hanya dari 48 masjid saja. Yang terungkap dari studi kami adalah saldo dana masjid yang disimpan di bank syariah baru 41,7% masjid, lebih kecil persentasenya dibandingkan yang menyimpan di bank konvensional yakni sebesar 43,3%. Hal ini mengindikasikan bahwa pengurus masjid pun masih belum yang menyadari akan pentingnya menghidupkan bank syariah dengan menyimpan dana di sana sekaligus menunjukkan belum masifnya kesadaran pengurus masjid larangan bunga yang ada di bank konvensional. Dengan kata lain, masih banyak yang dana umat yang tercampur dengan riba di bank konvensional. Temuan ini



28



belum didapati di penelitian-penelitian sebelumnya. Pembahasan terkait pengendalian internal sudah cukup banyak dilakukan, antara lain temuan tentang pertanggungjawaban keuangan hanya dilakukan saat salat Jumat saja, itupun sesuai pemintaan ketua ketua (Nurlailah et al., 2014), lalu temuan Simanjuntak dan Januarsi (2011) tentang laporan keuangan yang sangat sederhana, dan juga temuan tentang bagaimana dilema transparansi keuangan masjid dengan perilaku “riya” (Zoelisty, 2014). Studi ini memperlihatkan bahwa lebih dari 90% masjid menggunakan pencatatan keuangan yang baik disertai bukti transaksi dan juga laporan keuangan rutin, senada dengan temuan Adnan (2013). Evaluasi anggaran masih kurang dari 50% masjid yang melakukannya secara rutin, walaupun hampir seluruh masjid telah membuat laporan keuangannya. Shaharuddin & Sulaiman (2015) juga mengiyakan temuan tersebut. Pendelegasian tugas sebagai bagian dari pengendalian internal telah dilakukan oleh masjid-masjid di Kota Yogyakarta. Penanggung jawabnya adalah bendahara. Untuk prosedur pencairan dana masih harus menjadi perhatian karena lebih dari 60% masjid hanya cukup mendapatkan persetujuan lisan pengurus dana masjid dapat dicairkan. Seharusnya agar tercatat dengan baik pencairan dana harus dengan menggunakan prosedur yang lebih formal, sebagaimana pula yang disarankan oleh studi Mohamed, Masrek, Mohd Daud, Arshad, & Omar (2015). Baru sekitar 40% yang menggunakan prosedur tersebut. Bagian akhir dari pengendalian internal adalah melakukan audit. Studi ini menunjukkan bahwa baru 22,6% masjid yang melakukan audit internal secara rutin. Audit internal ini pun masih sebatas pemeriksaan oleh ketua takmir dan baru berupa audit keuangan. Selain audit internal, ada 3,8% masjid yang melakukan audit eksternal (di luar pengurus) yang diperiksa oleh lembaga, instansi, maupun yayasan yang menaunginya.Seharusnya penendalian internal, termasuk audit, tidak hanya terkait pelaporan keuangan saja, melainkan juga pengungkapan seluruh informasi non-keuangan (Adil et al., 2013; Mohamed, Aziz, Masrek, & Daud, 2014) Secara umum, manajemen keuangan masjid yang dipraktikkan di Kota Yogyakarta belum mengacu pada PSAK 45 tentang akuntasi lembaga



29



nirlaba. Masdenia (2015) menduga bahwa belum adanya aturan yang mewajibkan masjid mengikuti standar PSAK 45 menjadi penyebab masjidmasjid belum menerapkan PSAK 45. Ramli et al. (2014) menyarankan adanya suatu panduan (guideline) syariah dalam pengelolan keuangan masjid agar dapat menentukan pos penggunaan yang tepat sebagai prioritas dan juga agar membuar pengurus masjid sadar bahwa dana masjid harus segera digunakan agar tidak mengendap. Selain itu, ke depan penggunaan teknologi harus digunakan untuk mengefisiensikan pengelolaan dana masjid seperti yang studi yang dilakukan oleh Raudhiah et al.(2014) dan juga Tajuddin, Aman, & Ismail(2014). Penggunaan teknologi informasi juga akan membuat kepercayaan publik akan semakin baik (Marshall et al., 2016) serta meminimalisasi keterlambatan pelaporan keuangan (Reheul et al., 2012). Baik tidaknya sebuah manajemen keuangan masjid sangat ditentukan oleh kepemimpinan (Uddin & Rehman, 2014) dan juga pengalaman pengurus (Raudhiah et al., 2014; Strydom & Stephen, 2014). Baik tidaknya performa sebuah lembaga nirlaba dapat dilihat dari rasio serapan anggaran, efisiensi penghimpunan dana, serta dukungan publik (Su, 2014). Dalam studi kami, rasio penggunaan dana dibanding pemasukan mencapai 68%, sedangkan efisiensi penghimpunan dana dan dukungan publik belum dapat diukur I.



Akuntansi sector public Akuntansi sektor publik sering diartikan sebagai akuntansi dana masyarakat,



hal ini meliputi teknik dan analisis akuntansi yang digunakan oleh masing-masing organisasi sektor publik. Akuntansi sektor publik juga berkaitan dengan penerapan dan perlakuan akuntansi pada wilayah publik. Menurut Bastian (2010:3) mendefinisikan akuntansi sektor publik sebagai mekanisme teknik dan analisis akuntansi yang diterapkan pada pengelolaan dana masyarakat di lembagalembaga tinggi negara dan departemen-departemen di bawahnya, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, LSM, dan yayasan sosial, maupun pada proyek-proyek kerja sama sektor publik serta swasta. Ruang lingkup akuntansi sektor publik menurut (Bastian, 2010:4) meliputi lembagalembaga tinggi negara dan departemen-departemen di bawahnya,



30



pemerintahan daerah, yayasan, partai politik, perguruan tinggi dan organisasiorganisasi publik nirlaba lainnya. Di Indonesia, akuntansi sektor publik mencakup beberapa bidang utama yakni: (a) akuntansi pemerintah pusat, (b) akuntansi pemerintah daerah, (c) akuntansi partai politik, (d) akuntansi LSM, (e) akuntansi yayasan, (f) akuntansi pendidikan, (g) akuntansi kesehatan, (h) akuntansi tempat peribadatan. J.



Organisasi nirlaba Organisasi secara umum memiliki pengertian suatu kesatuan dari sekelompok



orang yang bekerja secara bersama-sama demi suatu tujuan tertentu. Tujuan tersebut dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif yang dapat dibagi lagi menjadi tujuan yang bersifat financial maupun yang non financial. Tujuan dari setiap organisasi menurut (Mahsun, 2006:3): (1) Pure Profit Organization adalah organisasi yang bertujuan untuk menyediakan atau menjual barang dan jasa dengan tujuan utama untuk memperoleh laba sebanyak-banyaknya sehingga bisa dinikmati oleh para pemilik. (2) Quasi-Profit Organization adalah organisasi yang bertujuan menyediakan atau menjual barang dan jasa dengan maksud untuk memperoleh laba dan mencapai tujuan lainnya sebagaimana yang dikehendaki oleh para pemilik. (3) Quasi-Non Profit Organization adalah organisasi yang menyediakan dan menjual barang dan jasa dengan maksud untuk melayani dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Secara umum sering kali organisasi dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu profit organization dan non profit organization. Dengan pengelompokkan diatas maka organisasi sektor publik dapat dikategorikan sebagai non profit organization. Menurut Wikipedia Indonesia, organisasi nirlaba atau organisasi non profit adalah suatu organisasi yang bersasaran pokok untuk mendukung suatu isu atau perihal di dalam menarik perhatian publik untuk suatu tujuan yang tidak komersil, tanpa ada perhatian terhadap hal-hal yang bersifat mencari laba (moneter). Organisasi nirlaba meliputi gereja, sekolah negeri, derma publik, rumah sakit dan klinik publik, organisasi politis, bantuan masyarakat dalam hal perundangundangan, organisasi jasa sukarelawan, serikat buruh, asosiasi profesional, institut riset, museum, dan beberapa para petugas pemerintah. Nainggolan (2005:1)



31



memberikan definisi organisasi nirlaba adalah lembaga atau organisasi nirlaba merupakan suatu lembaga atau kumpulan dari beberapa individu yang memiliki tujuan tertentu dan bekerja sama untuk mencapai tujuan tadi, dalam pelaksanaannya kegiatan yang mereka lakukan tidak berorientasi pada pemupukan laba atau kekayaan semata. Sedangkan menurut Anthony dan Young, dalam Triyuwono (2000:157) memberikan deskripsi bahwa organisasi nirlaba sebagai organisasi yang tujuannya adalah sesuatu diluar menerima keuntungan untuk para pemiliknya, biasanya bertujuan untuk memberi pelayanan. Dalam hal pertanggungjawaban keuangan, organisasi nirlaba tidak dapat memperoleh modal ekuitas dari para investor luar, kecuali modal ekuitas mereka donasikan. Menurut PSAK No. 45 bahwa organisasi nirlaba memperoleh sumber daya dari sumbangan para anggota dan para penyumbang lain yang tidak mengharapkan imbalan apapun dari organisasi tersebut. (IAI, 2000:45.1). Sehingga dapat disimpulkan bahwa organisasi nirlaba adalah organisasi yang memberikan bantuan pelayanan kepada publik untuk menyediakan berbagai barang atau jasa yang dibutuhkan secara sosial, tujuannya bukan untuk meningkatkan laba dimana modal yang didapatkan berasal dari para donatur atau penyumbang lainnya tanpa mengharapkan imbalan. Karakteristik organisasi nirlaba berbeda dengan organisasi bisnis. Perbedaan utama yang mendasar terletak pada cara organisasi memperoleh sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai aktivitas operasinya. Organisasi nirlaba memperoleh sumber daya dari sumbangan para anggota dan para penyumbang lain yang tidak mengharapkan imbalan apapun dari organisasi tersebut. (IAI, 2000:45,1) Menurut UU No. 16 Tahun 2001, sebagai dasar hukum positif yayasan, pengertian yayasan adalah badan hukum yang kekayaannya terdiri dari kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Selanjutnya, perkumpulan terbagi atas 2 jenis, yaitu : (a) Perkumpulan yang berbentuk badan hukum, seperti perseroan terbatas, koperasi, dan perkumpulan saling menanggung. (b) Perkumpulan yang tidak berbentuk badan hukum, seperti persekutuan perdata, CV, dan firma. (Bastian, 2007:1)



32



Yayasan sebagai suatu badan hukum mampu dan berhak serta berwenang untuk melakukan tindakan-tindakan perdata. Pada dasarnya, keberadaan badan hukum yayasan bersifat permanen, yaitu hanya dapat dibubarkan melalui persetujuan para pendiri atau anggotanya. Yayasan hanya dapat dibubarkan jika segala ketentuan dan persyaratan dalam anggaran dasarnya telah dipenuhi. Hal tersebut sama kedudukannya dengan perkumpulan yang berbentuk badan hukum, dimana subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum dan, yang menyandang hak dan kewajiban, dapat digugat maupun menggugat di pengadilan. Menurut (Bastian, 2007:2) sebagai organisasi, termasuk yayasan, memiliki tujuan yang spesifik dan unik yang dapat bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Tujuan yang bersifat kuantitatif mencakup pencapaian laba maksimum, penguasaan pangsa pasar, pertumbuhan organisasi, dan produktivitas. Sementara tujuan kualitatif dapat disebutkan sebagai efisiensi dan efektivitas organisasi, manajemen organisasi yang tangguh, moral karyawan yang tinggi, reputasi organisasi, stabilitas, pelayanan kepada masyarakat, dan citra perusahaan. Menurut UU No. 16 Tahun 2001, yayasan mempunyai fungsi sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Undangundang tersebut menegaskan bahwa yayasan adalah suatu badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan yang bersifat sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang didirikan dengan memperhatikan persyaratan formal yang ditentukan berdasarkan undangundang. Sumber pembiayaan yayasan berasal dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk uang atau barang. Selain itu, yayasan juga memperoleh sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat, seperti berupa: (a) Wakaf adalah kekayaan yang diserahkan untuk dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Yayasan menerima wakaf barang atau hal lainnya supaya bisa dikelola dengan maksimal. (b) Hibah umumnya bersifat pengajuan dari yayasan. Hal ini biasanya berasal dari instansi atau yayasan yang lain. Selain itu hibah memiliki konsekuensi pertanggungjawaban berupa laporan terkait dengan penerimaan dan realisasi hibah tersebut. (c) Hibah wasiat adalah bantuan yang diberikan seseorang atau instansi kepada yayasan karena wasiat dari seseorang yang telah meninggal sebelumnya. Bantuan ini diberikan dengan harapan yayasan dapat berkembang



33



menjadi lebih besar lagi. (d) Perolehan lain yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar yayasan dan/atau peraturann perundang-undangan yang berlaku. Struktur organisasi yayasan merupakan turunan dari fungsi, strategi, dan tujuan organisasi. Menurut UU No. 16 Tahun 2001, yayasan mempunyai organ yang terdiri dari pembina, pengurus, dan pengawas. Pembina adalah organ yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada pengurus atau pengawas oleh undang-undang tersebut atau anggaran dasar. Pihak yang dapat diangkat menjadi anggota pembina adalah individu pendiri yayasan dan/atau mereka yang, berdasarkan keputusan rapat anggota, dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan. Anggota pembina tidak boleh merangkap sebagai anggota pengurus dan/atau anggota pengawas. Pengurus adalah organ yayasan yang melaksanakan kepengurusan yayasan, dan pihak yang dapat diangkat menjadi pengurus adalah individu yang mampu melakukan perbuatan hukum. Pengurus tidak boleh merangkap sebagai pembina atau pengawas. Pengurus yayasan diangkat oleh pembina berdasarkan keputusan rapat pembina untuk jangka waktu selama 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 kali masa jabatan. Susunan pengurus sekurangkurangnya harus terdiri dari seorang ketua, seorang sekretaris, seorang bendahara. Pengawas adalah organ yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasihat kepada pengurus dalam menjalankan kegiatan yayasan. Yayasan memiliki sekurangkurangnya 1 (satu) orang pengawas yang wewenang, tugas, dan tanggung jawabnya diatur dalam anggaran dasar. Mereka yang dapat diangkat menjadi pengawas adalah individu yang mampu melakukan perbuatan hukum. Pengawas tidak boleh merangkap sebagai pembina atau pengurus. Pengawas wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan yayasan. K.



Laporan keuangan organisasi nirbala menurut PSAK 45 Laporan keuangan organisasi nirlaba meliputi laporan posisi keuangan pada



akhir periode, laporan aktivitas, laporan arus kas untuk suatu periode pelaporan, dan catatan atas laporan keuangan. Dengan adanya standar ini diharapkan laporan



34



keuangan organisasi nirlaba dapat lebih mudah dipahami, memiliki relevansi, dan memiliki daya banding yang tinggi. Penerapan PSAK No. 45 berlaku efektif untuk penyusunan dan penyajian laporan keuangan mulai 1 Januari 2000. PSAK No. 45 berlaku bagi laporan keuangan yang disajikan oleh organisasi nirlaba yang memenuhi karakteristik sebagai berikut: (a) sumber daya entitas berasal dari para penyumbang yang tidak mengharapkan pembayaran kembali atau manfaat ekonomi yang sebanding dengan jumlah sumber daya yang diberikan. (b) menghasilkan barang dan/atau jasa tanpa bertujuan memupuk laba, dan kalau suatu entitas menghasilkan laba, maka jumlahnya tidak pernah dibagikan kepada para pendiri atau pemilik entitas tersebut. (c) Tidak ada kepemilikan seperti lazimnya pada organisasi bisnis, dalam arti bahwa kepemilikan dalam organisasi nirlaba tidak dapat dijual, dialihkan, atau ditebus kembali, atau kepemilikan tersebut tidak mencerminkan proporsi pembagian sumber daya entitas pada saat likuidasi atau pembubaran entitas. Tujuan laporan posisi keuangan adalah untuk menyediakan informasi mengenai aktiva, kewajiban, dan aktiva bersih dan informasi mengenai hubungan di antara unsur-unsur tersebut pada waktu tertentu. Informasi dalam laporan posisi keuangan yang digunakan bersama pengungkapan dan informasi dalam laporan keuangan lainnya, dapat membantu para penyumbang, anggota organisasi, kreditur dan pihak-pihak lain untuk menilai: (a) kemampuan organisasi untuk memberikan jasa secara berkelanjutan dan (b) likuiditas, fleksibilitas keuangan, kemampuan untuk memenuhi kewajibannya, dan kebutuhan pendanaan eksternal. Tujuan utama laporan aktivitas adalah menyediakan informasi mengenai: (a) Pengaruh transaksi dan peristiwa lain yang mengubah jumlah dan sifat aktiva bersih. (b) Hubungan antar transaksi, dan peristiwa lain. (c) Bagaimana penggungaan sumber daya dalam pelaksanaan berbagai program atau jasa. Informasi dalam laporan aktivitas yang digunakan bersama dengan pengungkapan informasi dalam laporan keuangan lainnya, dapat membantu para penyumbang, anggota organisasi, kreditur dan pihak lainnya untuk: (a) Mengevaluasi kinerja dalam suatu periode. (b) Menilai upaya, kemampuan, dan kesinambungan organisasi dan memberikan jasa. (c) Menilai pelaksanaan tanggung jawab dan kinerja manajer.



35



Tujuan utama laporan arus kas adalah menyajikan informasi mengenai penerimaan dan pengeluaran kas dalam suatu periode. Laporan arus kas disajikan sesuai dengan PSAK No. 2 tentang laporan arus kas dengan tambahan berikut ini: (a) Aktivitas Pendanaan dimana Penerimaan kas dari penyumbang yang penggunaannya dibatasi untuk jangka panjang, penerimaan kas dari sumbangan dan penghasilan investasi yang penggunaannya dibatasi untuk pemerolehan, pembangunan dan pemeliharaan aktiva tetap, atau peningkatan dana abadi (edowment). Lalu bunga dan deviden yang dibatasi penggunaannya untuk jangka panjang. (b) Pengungkapan informasi mengenai aktivitas investasi dan pendanaan nonkas: sumbangan berupa bangunan atau aktiva investasi. Menurut Wikipedia catatan tambahan dan informasi yang ditambahkan ke akhir laporan keuangan untuk memberikan tambahan informasi kepada pembaca dengan informasi lebih lanjut. Catatan atas laporan keuangan membantu menjelaskan perhitungan item tertentu dalam laporan keuangan serta memberikan penilaian yang lebih komprehensif dari kondisi keuangan suatu entitas. Catatan atas laporan keuangan dapat mencakup informasi tentang hutang, kelangsungan usaha piutang, kewajiban kontijensi, atau informasi kontekstual untuk menjelaskan angka-angka keuangan (misalnya untuk menunjukkan gugatan). Tujuan laporan keuangan adalah untuk menyediakan informasi keuangan Yayasan Masjid Al Falah yang akan digunakan oleh para pengguna laporan keuangan dalam mengambil keputusan yang sesuai dengan kepentingan pihakpihak tersebut. Penyusunan laporan keuangan disajikan berdasarkan harga perolehan dengan standar akuntansi yang digunakan adalah Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 45 mengenai pelaporan keuangan organisasi nirlaba. Periode akuntansi Yayasan Masjid Al Falah adalah sejak tanggal 1 Januari dan berakhir pada tanggal 31 Desember atau 1 tahun fiskal. Laporan keuangan Yayasan Masjid Al Falah disusun setiap akhir tahun sesuai pada tahun yang bersangkutan. Dasar penyusunan dan penyajian laporan keuangan berdasarkan harga perolehan. Laporan arus kas disusun dengan metode langsung. Setara kas merupakan bentuk investasi yang jatuh temponya tidak lebih dari 3 bulan. Piutang disajikan dalam laporan posisi keuangan dengan nilai bruto dan tidak dibentuk



36



penyisihan kerugian piutang terhadap piutang yang tidak dapat ditagih. Pada tahun 2011 piutang disajikan berdasarkan nilai bersih yang dapat direalisasi. Aset bersih merupakan selisih antara aset dengan liabilitas. Pendapatan Masjid dan Lembaga Kursus diakui pada saat diterima (cash basis) sedangkan pendapatan Lembaga Pendidikan Al Falah diakui berdasarkan cash basis untuk penerimaan yang tidak melewati batas akhir pembayaran dan accrual basis atas penerimaan yang tidak dilakukan pelunasan seluruhnya atau menunggak. Sedangkan untuk beban dicatat berdasarkan accrual basis. Aset tetap dinilai menurut harga perolehan kecuali bangunan masjid berdasarkan nilai taksiran. Aset tetap disusutkan dengan menggunakan metode garis lurus (straight line method) berdasarkan taksiran masa manfaat. Gedung disusutkan selama 20 tahun, kendaraan disusutkan selama 10 tahun, alat sekolah, kantor, dan rumah tangga disusutkan selama 5 tahun, dan alat corak budaya disustkan selama 5 tahun. Berdasarkan PSAK No. 45 terdapat 4 laporan keuangan yang harus disusun oleh organisasi nirlaba (dalam hal ini adalah yayasan) yaitu laporan posisi keuangan atau neraca, laporan aktivitas, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan. Dalam hal ini keempat laporan keuangan tersebut telah disusun oleh yayasan sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam PSAK No. 45. Laporan posisi keuangan atau neraca disusun pada setiap akhir tahun dengan menggunakan metode accrual basis. Laporan posisi keuangan disusun dengan tujuan untuk menyediakan informasi mengenai aset, liabilitas, dan aset bersih dan informasi mengenai hubungan diantara unsur-unsur tersebut pada waktu tertentu. Yayasan Masjid Al Falah telah .mengklasifikasikan akun-akun tersebut sesuai dengan tingkat likuiditasnya untuk aset, dan sesuai dengan tanggal jatuh temponya untuk liabilitas. Laporan posisi keuangan diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu: 1) Aset Aset lancar merupakan aset atau harta yang dimiliki yayasan untuk digunakan dalam waktu yang perputarannya kurang dari atau satu tahun periode. Kas dan setara kas adalah akun yang dimiliki yayasan dalam bentuk uang tunai serta saldo rekening tabungan, giro, dan deposito yang digunakan untuk membiayai kegiatan rutin yayasan. Kas dan setara kas adalah akun yang dimiliki



37



yayasan dalam bentuk uang tunai serta saldo rekening tabungan, giro, dan deposito yang digunakan untuk membiayai kegiatan rutin yayasan. Pada bagian akun aset lancar terdapat akun piutang. Piutang yayasan terdiri dari piutang siswa, piutang karyawan, dan piutang pihak ketiga. Baik laporan tahun 2009 hingga 2011, Yayasan Masjid Al Falah mengakui kerugian piutang secara langsung. Jika akun kerugian piutang pada piutang tak tertagih telah disusun oleh yayasan, maka laporan keuangan akan semakin andal dan semakin Aset lain-lain pada laporan keuangan tahun 2009 terdapat akun aset dalam penyelesaian dan premi pensiun. Akun aset dalam penyelesaian dan premi program pensiun merupakan bagian dari akun aset lain-lain. Aset dalam penyelesaian merupakan aset atas pembangunan tempat wudhu putri mushollah SMP yang terdiri dari: - Biaya material Rp. 13.666.000,00 - Tenaga kerja langsung 6.335.000,00 Jumlah Rp. 20.001.000,00 Namun pada tahun 2010, aset ini telah selesai pembangunannya, dan segala bentuk biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan tersebut telah direklasifikasi kepada akun aset tetap. Untuk akun premi pensiun, merupakan pembayaran premi asuransi jiwa pada PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia. Lembaga pendidikan Al Falah menyertakan pegawainya pada program max protection plan yang memenuhi kesejahteraan karyawan pasca pensiun. Premi program pensiun yang pada tahun sebelum-sebelumnya diklasifikasikan sebagai aset pada laporan posisi keuangan yayasan, namun pada tahun 2010 telah dilakukan reklasifikasi ke beban karyawan di laporan aktivitas. Sehingga atas pengaruh ini terjadi penurunan aset bersih yayasan sebesar Rp. 356.789.800,00. Pada tahun 2010 masih terdapat akun piutang lain-lain yang juga merupakan saldo yang sama yaitu sebesar Rp. 11.489.000,00. Namun untuk tahun 2011, jumlah tersebut diakumulasikan pada akumulasi penyisihan piutang lain-lain, sehingga saldo piutang lain-lain menjadi Rp. 0. Pada tahun 2011 saldo untuk akun aset lain-lain berjumlah Rp 0 karena akunakun yang tercantum pada tahun 2009 dan 2010 nilainya telah direklasifikasi. 2) Liabilitas Pada tahun 2011 akun liabilitas bank, yang merupakan salah satu akun liabilitas tidak lancar jumlah saldonya sebesar Rp. 0. Hal ini terjadi karena saldo pada tahun 2010 sebesar Rp.



38



603.085.616 telah diakumulasikan pada bagian yang akan jatuh tempo dalam waktu satu tahun. Untuk akun imbalan kerja sebelumnya tidak muncul pada laporan keuangan tahun 2009 dan 2010. Akun imbalan kerja muncul pada laporan keuangan tahun 2011, menurut Bapak Cholis selaku karyawan bagian keuangan menjelaskan bahwa akun ini muncul pada tahun 2011 saat akan diaudit. Menurut beliau akun ini seperti pengganti untuk akun premi pensiun. Akan tetapi bagaimana mekanisme perhitungannya yaysan juga tidak memahaminya, karena perhitungan tersebut dilakukan oleh aktuaris. Rincian untuk akun imbalan kerja adalah sebagai berikut: - Nilai kini liabilitas imbalan kerja Per 1 Januari 2011 Rp 3.358.990.396,00 Beban periode berjalan 592.284.957,00 - Nilai kini liabilitas imbalan kerja per 31 Desember 2011 Rp 3.951.275.353,00 Yayasan telah melakukan perhitungan berdasarkan UU RI No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan sesuai dengan PSAK No.24 (revisi 2004) dimana perhitungan ini dilakukan oleh PT. Gema Mulia Inditama dengan perhitungan sebagai berikut: Komponen Beban Biaya jasa kini Rp 335.695.303,00 Biaya bunga 256.589.654,00 Jumlah beban manfaat karyawan Rp 592.284.957,00 3) Aset bersih Aset bersih menurut PSAK No. 45 terdiri dari aset bersih terikat, terikat temporer, dan terikat permanen. Namun dalam laporan posisi keuangan yang disusun oleh Yayasan Masjid Al Falah belum dijumpai klasifikasi akun yang sesuai. Aset bersih menurut PSAK No. 45 dapat berupa hibah atau wakaf. Menurut penjelasan Bapak Cholis selaku karyawan bagian keuangan di Yayasan Masjid Al Falah menjelasakan bahwa yayasan pernah menerima hibah tersebut dalam hibah, namun bagian inventaris yang biasanya mengelola aset tersebut sudah terlalu tua sehingga tidak melakukan pencatatan maupun perhitungan. Sehingga perhitungan aset bersih yang ada saat ini merupakan hasil perkiraan. Perhitungan atas aset bersih milik Yayasan Masjid Al Falah diperoleh dari jumlah: 



Aset bersih awal tahun







Koreksi saldo awal aset bersih







Kenaikan (penurunan) aset bersih



39







Aset bersih setelah koreksi



Tujuan utama laporan aktivitas adalah menyediakan informasi mengenai pengaruh transaksi dan peristiwa lain yang mengubah jumlah dan sifat aktiva bersih, hubungan antar transaksi, dan peristiwa lain, serta bagaimana penggungaan sumber daya dalam pelaksanaan berbagai program atau jasa. Laporan aktivitas disusun untuk mengetahui besarnya jumlah selisih antara pendapatan yang diterima Yayasan Masjid Al Falah dengan beban yang dikeluarkan untuk seluruh kegiatan yang ada. Laporan aktivitas disusun pada setiap akhir tahun dengan menggunakan metode cash basis untuk penerimaan atau pendapatannya, sedangkan beban dicatat dengan menggunakan metode accrual basis. Akun pendapatan dan beban diklasifikasikan kedalam dua jenis yaitu penerimaan atau pengeluaran tidak terikat, dan penerimaan atau pengeluaran terikat temporer. Sedangkan untuk penerimaan atau pengeluaran terikat permanen belum dijumpai pada akunakun tersebut. Berdasarkan laporan aktivitas yang telah disusun oleh Yayasan Masjid Al Falah, bentuk laporan aktivitas yang sesuai dengan PSAK No. 45 adalah laporan aktivitas bentuk B. Jika melihat pada laporan aktivitas yang ada dalam PSAK No. 45 ada beberapa perbedaan dalam pencatatannya. Di dalam PSAK No. 45 dijelaskan pada sisi pendapatan, penghasilan, dan sumbangan lain-lain disebutkan mengenai sumbangan serta jasa layanan. Sedangkan laporan aktivitas yang disusun oleh Yayasan Masjid Al Falah tidak mengklasifikasikan sumbangan yang diterima secara tersendiri, melainkan sumbangan tersebut diklasifikasikan sebagai penerimaan. Sedangkan untuk jasa layanan sesungguhnya Yayasan Masjid Al Falah telah menyebutkannya pada catatan atas laporan keuangan, namun tidak disebutkan secara terperinci pada laporan aktivitasnya. Jasa layanan menurut Yayasan Masjid Al Falah dapat diartikan sebagai program kegiatan yang dilaksanakan secara rutin. Untuk pencatatan beban yang telah dikeluarkan oleh Yayasan Masjid Al Falah sudah dicatat sesuai dengan PSAK No. 45 dimana beban-beban tersebut dicatat sesuai dengan program kegiatan yang ada di Yayasan Masjid Al Falah. Pada sisi penerimaan atau pendapatan untuk akun lembaga pendidikan dan masjid



40



terdiri dari 2 jenis penerimaan yaitu penerimaan tidak terikat serta penerimaan terikat temporer. Pada lembaga pendidikan untuk sisi penerimaan tidak terikat terdiri atas penerimaan siswa, formulir pendaftaran PSB, dan penerimaan infaq. Penerimaan-penerimaan tersebut diklasifikasikan pada penerimaan tidak terikat karena penggunaannya tidak dibatasi oleh penyumbang. Dalam hal ini penerimaan tersebut digunakan untuk membiayai operasional rutin lembaga pendidikan Al Falah. Untuk penerimaan terikat temporer lembaga pendidikan terdiri dari dana bos SMP dan SD. Penerimaan tersebut termasuk kedalam penerimaan terikat temporer karena dana tersebut harus digunakan untuk satu tahun masa ajaran. Pada penerimaan tidak terikat masjid terdiri atas lembaga kursus, infaq, subsidi YDSF, poliklinik, pernikahan, dan muslimah. Penerimaan-penerimaan tersebut termasuk kedalam penerimaan tidak terikat karena tidak ada pembatasan dalam penggunaannya. Dalam hal ini penerimaan tersebut dapat digunakan untuk membiayai apa saja untuk kegiatan rutin yang ada di masjid. Sedangkan untuk penerimaan terikat temporer masjid adalah penerimaan dari zakat maal. Zakat maal termasuk kedalam penerimaan terikat temporer karena dana tersebut tidak bias digunakan sembarangan. Dana tersebut harus disalurkan kepada pihak yang membutuhkan atau kurang mampu dan tidak boleh digunakan untuk membiayai kegiatan lainnya. Selain itu ada ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi oleh penyumbang, misalnya saja besarnya zakat maal yang dikeluarkan jumlahnya tidak sama. Hal ini menyesuaikan dengan besarnya harta yang dimiliki oleh penyumbang itu sendiri. Pada sisi pengeluaran atau beban yang dikeluarkan oleh Yayasan Masjid Al Falah hampir keseluruhan dari pengeluaran tersebut diklasifikasikan kedalam pengeluaran tidak terikat kecuali pengeluaran mustahiq zakat. Pengeluaran tersebut termasuk kedalam pengeluaran terikat temporer karena dalam menyalurkan dananya harus dikeluarkan kepada orang-orang yang memang membutuhkan atau berhak (mustahiq). Jumlah kenaikan aset baik sebelum maupun sesudah pajak merupakan selisih dari perhitungan jumlah penerimaan atau pendapatan yang dikurangi dengan pengeluaran atau beban. Aset bersih awal tahun merupakan saldo akhir



41



dari aset bersih pada tahun sebelumnya. Sedangkan untuk koreksi saldo awal aset bersih untuk masing-masing tahun selalu berbeda. Misalnya saja untuk laporan aktivitas tahun 2011 besarnya koreksi saldo awal aset bersih terjadi karena adanya liabilitas imbalan kerja sebesar Rp 3.358.990.396 sehingga jumlah tersebut mengurangi aset bersih yang dimiliki oleh Yayasan Masjid Al Falah.



42



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Setelah hasil pengolahan data yang telah diperlihatkan pada uraian dan tabel sebelumnya, maka dapat diambil simpulan sbb: Bahwa laporan keuangan masih belum sepenuhnya sesuai dengan PSAK 45, dipandang masih sebagai catatan keuangan, dan belum digunakan sebagai alat untuk mengukur pencapaian atau kinerja gereja maupun pengurusnya. Manfaat dan pemahaman tentang PSAK 45 masih sangat diperlukan Pemahaman membuat laporan keuangan yang terdiri dari laporan posisi keuangan, laporan aktivitas dan laporan arus kas. Disimpulkan bahwa pemahaman dalam membuat laporan posisi keuangan dan laporan arus kas lebih besar dibandingkan laporan aktivitas. Belum sepenuhnya sesuai dengan standard Akuntansi. Manfaat laporan keuangan dipandang sangat perlu dalam semua bentuk seperti disebut pada standard akuntansi PSAK 45 untuk organisasi nir-laba, yaitu laporan posisi keuangan, laporan aktivitas dan laporan arus kas. Namun laporan posisi keuangan dan laporan arus kas dipandang lebih perlu dibandingkan dari laporan aktivitas. Berarti belum sepenuhnya sesuai dengan standard akuntansi. Laporan keuangan berdasarkan PSAK 109 lebih cenderung bisa diterapkan untuk masjid yang sederhana dibandingkan dengan PSAK 45 karena laporan keuangannya lebih bisa dipahami dan dimengerti. Akun – akun yang terdapat dalam laporan keuangan pada PSAK 45 cenderung lebih sulit diterapkan dan membutuhkan ta’mir masjid yang memiliki basik akuntansi sehingga mampu menggolongkan akun–akun yang lebih sesuai untuk digolongkan ke dalam akun– akun di PSAK 45. Laporan keuangan berdasarkan PSAK 45 lebih terperinci. Untuk kriteria masjid yang memiliki kegiatan yang cukup padat dan sumber pendanaan serta penyaluran dana yang masukatau keluar cukup besar dan meningkat setiaptahunnya, sebaiknya menggunakan PSAK 45. Faktor – faktor yang menjadi penghambat penerapan PSAK 109 pada masjid – masjid diantaranya :Fokus pencarian dana lebih diprioritaskan, kurang efektifnya pengelolaan masjid, sumber daya manusia dibidang akuntansi kurang, 43



dan pencatatan laporan keuangan masjid belum berpedoman PSAK 109 atau PSAK 45. Berdasarakan pembahasan diatas seiring dengan perkembangan masjid yang mengelola dana dari masyarakat, maka PSAK 45 jauh lebih komprensif karena pelaporan lebih mencerminkan apa yang terjadi dilapangan karena masjid tidak hanya mengelola dana zakat saja tetapi juga mengelola dana dari bantuan maupun yang dikumpulkan dari masyarakat. Akan tetapi dalam pelaksanaan penggunaan PSAK memang harus memperhatikan sisi kompleksitas dan tidak menyulitkan takmir masjid, karena pengelola masjid masih banyak yang awam dari akuntansi. Dan masjd juga bisa menggunakan PSAK 109 dalam melaporkan penggunaan dana zakat sebagai bagian terpisah dari pelaporan dan diungkapkan dalam Catatan atas Laporan keuangan. Akuntabilitas pengelolaan zakat infak dan sedekah pada masjid-masjid di Kota Binjai dapat dipertanggungjawabkan dalam hal kebijakan, mekanisme, pengelolaan serta pelaporannya. Kekuatan akuntabilitas pengelolaan zakat dan infak masjid di Kota binjai terletak pada layanan dan program, dimana masjid memberikan kemudahan dan kepuasan kepada muzaki/munfik, serta melakukan program penyaluran yang efektif dan efesien. Kelemahan akuntabilitas terletak pada pelaporan yang masih sangat sederhana akibat dari keterbatasan sumber daya manusia. Faktor-faktor yang mempengaruhi akuntabilitas adalah profesionalisme dan kepercayaan (amanah) Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetensi SDM dan sistem pengendalian internal berpengaruh positif signifikan terhadap kualitas laporan keuangan masjid, pemanfaatan teknologi informasi tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas laporan keuangan masjid, sedangkan komitmen organisasi tidak dapat memoderasi hubungan pengaruh kompetensi SDM, sistem pengendalian internal, dan pemanfaatan teknologi informasi terhadap kualitas laporan keuangan masjid. Penelitian ini hanya mengambil sampel 56 masjid di Kota Surakarta, maka peneliti selanjutnya dapat menambah sampel penelitian dan memperluas wilayah penelitian khususnya di kota yang telah diselenggarakan pelatihan akuntansi masjid agar hasil penelitian yang didapat lebih representatif. Peneliti selanjutnya



44



dirasankan menambah variabel independen mengingat masih terdapat 70,3 persen faktor lain diluar penelitian yang diduga mempengaruhi kualitas laporan keuangan masjid. Untuk komponen perencanaan keuangan, lebih dari separuh masjid yang diteliti tidak memiliki rencana anggaran belanja tahunan. Untuk pengelolaan dana, sumber penerimaan masjid masih didominasi dari infak Jumat, walaupun ada sebagian kecil masjid yang memiliki usaha mandiri sehingga dapat menambah jumlah penerimaan masjid. Dari sisi penggunaan dana, pembangunan dan perawatan fisik masjid masih menjadi pengeluaran terbesar. Meskipun begitu ada sekitar 15% masjid yang mengalokasikan dananya untuk program pemberdayaan ekonomi. Pemasukan ratarata per bulan setiap masjid mencapai Rp 4.808.602,00 dan pengeluaran Rp 3.258.462,00 dengan saldo kas rata-rata Rp 45.866.365,00. Untuk pengendalian internal, lebih dari 90% masjid sudah melakukan pembukuan dan pelaporan keuangan walaupun masih dengan cara sederhana, namun masih belum rutin melakukan evaluasi anggaran secara rutin. Ada beberapa temuan dari penelitian ini. Pertama, ada beberapa masjid yang memiliki usaha mandiri sehingga dapat menambah penerimaan masjid. Kedua, terdapat 27 dari 180 masjid yang menggunakan dananya untuk program pemberdayaan ekonomi. Ketiga, potensi dana masjid yang mengendap di seantero Kota Yogyakarta mencapai Rp22.657.984.310,00. Keempat, lebih banyak masjid yang menyimpan dananya di bank konvensional dibanding di bank syariah, yakni 43,3% dibanding 41,7%. Kelima, ada sekitar 3,8% masjid yang diaudit oleh eksternal pengurus. Salah satu saran yang dapat dijadikan masukan untuk seluruh pengurus masjid adalah dengan menggandeng para profesional di bidang keuangan. Para profesional ini diminta untuk mendampingi pengurus masjid untuk mengelola keuangan masjid. Hal ini pernah dilakukan oleh komunitas epistĕmĕ di Malaysia. Komunitas ini berisikan para profesional di bidang masing-masing kemudian disebar ke berbagai masjid untuk menularkan ilmu dan keahlian mereka. Hasilnya sangat signifikan dalam meningkatkan kualitas manajemen masjid yang dipilih (Muda et al., 2015)



45



Dapat dismpulkan bahwa kegiatan pelatihan sistem informasi keuangan masjid (Si Kang Mas) di Masjid Nurul Islam Kelurahan Seketeng Sumbawa berjalan lancar. Diskusi aktif dan telah mampu meningkatkan pemahaman peserta pelatihan terkait dengan ilmu akuntansi dan ilmu informatika. Kedua bidang keilmuan tersebut dikoborasikan untuk menghasilkan satu perangkat teknologi yang bermanfaat bagi masyarakat. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan praktik manajemen keuangan masjid di Kota Yogyakarta. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa praktik manajemen keuangan masjid di Kota Yogyakarta meliputi tiga komponen, yaitu perencanaan anggaran, pengelolaan dana, serta pengendalian internal. Untuk komponen perencanaan keuangan, lebih dari separuh masjid yang diteliti tidak memiliki rencana anggaran belanja tahunan. Untuk pengelolaan dana, sumber penerimaan masjid masih didominasi dari infak Jumat, walaupun ada sebagian kecil masjid yang memiliki usaha mandiri sehingga dapat menambah jumlah penerimaan masjid. Dari sisi penggunaan dana, pembangunan dan perawatan fisik masjid masih menjadi pengeluaran terbesar. Meskipun begitu ada sekitar 15% masjid yang mengalokasikan dananya untuk program pemberdayaan ekonomi. Pemasukan ratarata per bulan setiap masjid mencapai Rp 4.808.602,00 dan pengeluaran Rp 3.258.462,00 dengan saldo kas rata-rata Rp 45.866.365,00. Untuk pengendalian internal, lebih dari 90% masjid sudah melakukan pembukuan dan pelaporan keuangan walaupun masih dengan cara sederhana, namun masih belum rutin melakukan evaluasi anggaran secara rutin. Ada beberapa temuan dari penelitian ini. Pertama, ada beberapa masjid yang memiliki usaha mandiri sehingga dapat menambah penerimaan masjid. Kedua, terdapat 27 dari 180 masjid yang menggunakan dananya untuk program pemberdayaan ekonomi. Ketiga, potensi dana masjid yang mengendap di seantero Kota Yogyakarta mencapai Rp22.657.984.310,00. Keempat, lebih banyak masjid yang menyimpan dananya di bank konvensional dibanding di bank syariah, yakni 43,3% dibanding 41,7%. Kelima, ada sekitar 3,8% masjid yang diaudit oleh eksternal pengurus.



46



Salah satu saran yang dapat dijadikan masukan untuk seluruh pengurus masjid adalah dengan menggandeng para profesional di bidang keuangan. Para profesional ini diminta untuk mendampingi pengurus masjid untuk mengelola keuangan masjid. Hal ini pernah dilakukan oleh komunitas epistĕmĕ di Malaysia. Komunitas ini berisikan para profesional di bidang masing-masing kemudian disebar ke berbagai masjid untuk menularkan ilmu dan keahlian mereka. Hasilnya sangat signifikan dalam meningkatkan kualitas manajemen masjid yang dipilih(Muda et al., 2015) B. Saran Apabila ada kalimat yang tidak berkenan pada tempatnya. Penulia berharap kritik dan saran dari Bapak pembimbing dan rekan mahasiswa/i sekalian yang bersifat membangun agar kami bisa membuat makalah yang lebih baik pada waktu yang akan datang.



47



DAFTAR PUSTAKA Adil, M. A. M., Mohd-Sanusi, Z., Jaafar, N. A., Khalid, M. M., & Aziz, A. A. (2013). Financial Management Practices of Mosques in Malaysia. Global Journal Al-Thaqafah, vol. 3. No. 1. Hal. 23–30. Adnan, M. A. (2013). An Investigation of the Financial Management Practices of the Mosques In The Special Region of Yogyakarta Province , Indonesia. In Sharia Economics Conference (pp. 118–130). Hannover: Leibniz Universität Hannover. Agustana, G. W., Herawati, N. T., & Atmaja, A. T. (2017). Analisis Sumber Dana Transparansidan Dan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Pura Khayangan Tiga di Desa Pakraman Bondalem Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng. Jurusan Akuntansi Program S1, Vol. 8, No. 2. Ajahari. (2009). Dimensi-dimensi Pengembangan Fungsi Masjid di Kota Palangka Raya. Jurnal Studi Agama Dan Masyarakat. Vol. 3. No. 1. Hal. 43–57. Ali, N., Said, J., Omar, N., Rahman, R. A., & Othman, R. (2012). Financial Reporting Disclosure of NPO. British Journal of Economic, Finance and Management Sciences, 4(March), 16–30. Andarsari, P. R. (2016). Laporan Keuangan Organisasi Nirlaba (Lembaga Masjid). Ekonika: Jurnal Ekonomi Universitas Kediri, 1(2), 143–152. Biro Tata Pemerintahan Setda DIY. (2016). Jumlah Penduduk Kota Yogyakarta Menurut Jenjang Pendidikan Semester II 2016. Retrieved



November



6,



2017,



from



http://www.kependudukan.jogjaprov .go.id/olah.php?module=statistik Brigham, E. F., & Houston, J. F. (2017). Fundamentals of Financial Management: Concise (9th ed.). Boston: Cengage Learning. Chen, L. Y., Utaberta, N., Mohd Yunos, M. Y., Ismail, N. A., Ismail, S., & Arifin, N. F. (2015). Evaluating the Potentials of Mosque as a Tourist Attraction Place in Malaysian Urban Context. Research Journal of Fisheries and Hydrobiology, 10(4), 62–68. Femi, O. T., Babajidemichael, O., & Abosede, A. V. (2016). Comparative Analyses of Strategic Financial Management Practices in Faithbased and 48



Community-interest Organizations. Journal of Financial Studies & Research, 2016(October), 1–14. Hentika, N. P., Suryadi, & Rozikin, M. (2009). Meningkatkan Fungsi Masjid Melalui Reformasi Administrasi: Studi Pada Masjid Al Falah Surabaya. Jurnal Administrasi Publik (JAP), 2(2), 305–311. Hussin, M. Y. M., Muhammad, F., Razak, A. A., & Habidin, N. F. (2014). Exploratory analysis on mosque fund in Perak. Jurnal Syariah, 22(1), 1–20. Ichsan, S. (2014). DMI Bentuk Tim Survei Masjid (Mosque Board of Indonesia Established Team For Mosque Survey). Retrieved January 12, 2015, from http://www.republika.co.id/berita/ko ran/khazanahkoran/14/10/01/ncrd0i33-dmibentuk-tim-survei-masjid Jazeel, M. I. M. (2014). Financial Management Practices of Mosques in Sri Lanka: An Observation. In Proceedings of the 4th International Syimposium, SEUSL (pp. 544–548). Sri Lanka: South Eastern University of Sri Lanka. Kementerian Agama. (2014). Data Masjid Se-Kota Yogyakarta Tahun 2014. Retrieved May 19, 2015, from http://kemenag.go.id/file/file/InfoPe nting/oqse 1379129591.pdf Marshall, M., Kirk, D. S., & Vines, J. (2016). Accountable: Exploring the Inadequacies of Transparent Financial Practice in the Non-Profit Sector. In CHI EA ’16 Proceedings of the 2016 CHI Conference Extended Abstracts on Human Factors in Computing Systems. San Jose: ACM Press. Masdenia. (2015). Revitalisasi Fungsi Masjid Sesuai Zaman Rasulullah melalui Implementasi PSAK 45: Studi Empiris Pada Masjid A Dan B. In Conference in Business, Accounting, and Management (Vol. 2, pp. 243–253). Semarang: Sultan Agung Islamic University. Mohamed, I. S., Aziz, N. H. A., Masrek, M. N., & Daud, N. M. (2014). Mosque Fund Management: Issues on Accountability and Internal Controls. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 145, 189–194. Mohamed, I. S., Masrek, M. N., Mohd Daud, N., Arshad, R., & Omar, N. (2015). Mosques Fund Management: A Study on Governance and Internal



49



Controls Practices. In The 9th International Conference on Management, Marketing and Finances (pp. 45– 50). Mohd Taib, M. Z., Ismail, Z., Ahmad, S., & Rasdi, T. (2016). Mosque Development in Malaysia: Is it the product of evolution and social behaviour? In EnvironmentBehaviour Proceedings Journal. Barcelona: e-IPH. Muda, R., Tahar, E., Aziz, I. A., Musman, M., Samsudin, M., & Terengganu, U. (2015). Masjid and Its Management : The Experiences of The Epistĕmĕ Community. In Proceeding of the International Conference on Masjid, Zakat and Waqf (IMAF 2015) (pp. 1–8). Mukrodi. (2014). Analisis Manajemen Masjid Dalam Optimalisasi Peran Dan Fungsi Masjid. Kreatif, Jurnal Ilmiah Prodi Manajemen Universitas Pamulang, 2(1), 82–96. Nainggolan, P. (2012). Manajemen Keuangan Lembaga Nirlaba. Jakarta: Yayasan Bina Integrasi Edukasi. Nasution, A. I., Dahlan, A. R. A., Husaini, M. I., & Ahmed, M. H. (2015). Developing Islamic City through Network-ofMosque. Journal of Social and Development Sciences, 6(2), 37–45. Nurlailah, Nurleni, & Madris. (2014). Akuntabilitas dan Keuangan Masjid di Kecamatan Tubo Sendana Kabupaten Majene. Assets, 4(2), 206–217. Ramli, A. M., Jalil, A., Hamdan, N., Haris, A., & Abd. Aziz, M. A. (2009). Kerangka Pengurusan Ekonomi Dan Kewangan Masjid: Satu Analisa. In Islamic Economics System (iECONS 2009) Conference (pp. 1–17). Kuala Lumpur: Islamic Science University of Malaysia. Ramli, A. M., Jalil, A., Hamdan, N., Haris, A., & Aziz, M. A. A. (2014). Fatwa-Fatwa Berkaitan Pengurusan Ekonomi dan Kewangan Masjid.



50