Makalah Trauma Kepala Lengkap [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH TRAUMA KEPALA



Disusun oleh: 1.



Muhammad Taufiq Hidayat



202303101114



2.



Dimas Anjar Kuncoro



202303101076



3.



Deka Raudoh Indrata Siswey



202303101004



4.



Felia Rifka Meilani



202303101033



5.



Rehulina Israferli Ginting



202303101036



6.



Nabilah Ahmadini Nartacipta



202303101051



7.



Risma Wiyanda



202303101103



8.



Luluk Mauliddiyah



202303101113



9.



Dila Agustin



202303101002



10. Taranggono Dwi Firmansyah



202303101134



11. Moh Adi Kusuma B



202303101132



12. Muhammad Ansori



202303101084



PRODI D3 KEPERAWATAN KAMPUS LUMAJANG FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER TAHUN 2021



I.



Konsep Penyakit A. Definisi Trauma kepala merupakan suatu trauma yang secara langsung maupun tidak langsung mengenai kepala dan mengakibatkan gangguan fungsi neurologis. Trauma daerah kepala yang disebabkan oleh benturan, pukulan, ataupun hentakan mendadak pada kepala atau suatu luka tembus dikepala yang mengganggu fungsi otak normal (Suddarth 2014). Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injuri baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. Cedera kepala



atau



trauma kepala



merupakan



satu



salah



satu



kasus kematian terbanyak sampai saat ini karena kepala merupakan salah satu kasus



karena



kepala



merupakan bagian



terpenting



pada



manusia. Ringan parahnya cedera dapat mempengaruhi kesadaran atau fungsi kognitif dari pasien tersebut. (Awaloei. A. C et al, 2016)



B. Etiologi Etiologi cedera kepala dapat berasal dari berbagai sumber yaitu kekerasan tumpul, kasus paling sering dalam etiologi ini ialah karena kecelakaan, pembunuhan, atau dapat juga bunuh diri. Trauma kepala sering diakibatkan kekerasan benda tumpul, kekerasan thermis dengan akibat luka bakar atau kekerasan benda tajam. Untuk kekerasan benda tumpul sendiri dapat dibagi menjadi 2 tipe, yaitu tipe terbuka dan tertutup. Yang disebut trauma kepala tertutup adalah suatu keadaan dimana kekerasan yang terjadi tidak berakibat patah tulang kepala. Dan sebaliknya, trauma kepala terbuka adalah suatu keadaan trauma kepala dengan akibat patah tulang kepala Beberapa etiologi cedera kepala (Yessie dan Andra, 2013): 1. Trauma tajam Trauma oleh benda tajam: menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera lokal. Kerusakan local meliputi contusion serebral,



hematom



serebral,



kerusakan



otak



sekunder



yang



disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia. 2. Trauma tumpul Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi): kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4



bentuk, yaitu cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar pada hemisfer serebral, batang otak atau keduaduanya. Akibat cedera tergantung pada (Yessie dan Andra, 2013) : a. Kekuatan benturan (parahnya kerusakan). b. Akselerasi dan deselerasi. c. Cup dan kontra cup 1) Cedera cup adalah kerusakan pada daerah dekat yang terbentur. 2) Cedera kontra cup adalah kerusakan cedera berlawanan pada sisi desakan benturan. d. Lokasi benturan e. Rotasi: pengubahan posisi rotasi pada kepala menyebabkan trauma regangan dan robekan substansia alba dan batang otak. Depresi fraktur: kekuatan yang 10 mendorong fragmen tulang turun menekan otak lebih dalam. Akibatnya CSS mengalir keluar ke hidung, kuman masuk ke telinga kemudian terkontaminasi CSS lalu terjadi infeksi dan mengakibatkan kejang. C. Klasifikasi Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow Coma Scale (GCS): 1. Minor a. GCS 13 – 15 b. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit. c. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma. 2. Sedang a. GCS 9 – 12 b. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. c. Dapat mengalami fraktur tengkorak. 3. Berat a. GCS 3 – 8



b. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. c. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial. Skor GCS digunakan sebagai ukuran klinis dari keparahan cedera otak. Skor GCS ≤ 8 dikategorikan sebagai “severe”. Pasien dengan cedera otak yang memiliki skor GCS 9-12 dikategorikan sebagai "moderate," sedangkan individu dengan skor GCS 13-15 ditetapkan sebagai "minor". Dalam menilai skor GCS, ketika ada bagian kanan / kiri atau bagian atas / bawah asimetri, maka menggunakan respon motorik untuk menghitung skor, karena menjadi prediktor yang paling reliabel dari outcome. Namun, respon yang aktual di kedua sisi tubuh, wajah, lengan, dan kaki harus dicatat D. Patofisiologi Trauma yang disebabkan oleh benda tumpul dan benda tajam atau kecelakaan dapat menyebabkan cedera kepala. Cedera otak primer adalah cedera otak yang terjadi segera setelah trauma. Cedera kepala primer dapat menyebabkan kontusio dan laserasi. Cedera kepala ini dapat berlanjut menjadi cedera sekunder. Akibat trauma terjadi peningkatan kerusakan sel otak sehingga menimbulkan gangguan autoregulasi. Penurunan aliran darah ke otak menyebabkan penurunan suplai oksigen ke otak dan terjadi gangguan metabolisme



dan



perfusi



otak.



Peningkatan



rangsangan



simpatis



menyebabkan peningkatan tahanan vaskuler sistematik dan peningkatan tekanan darah. Penurunan tekanan pembuluh darah di daerah pulmonal mengakibatkan peningkatan tekanan hidrolistik sehingga terjadi kebocoran cairan kapiler. Trauma kepala dapat menyebabkan odeme dan hematoma pada serebral sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial. Sehingga pasien akan mengeluhkan pusing serta nyeri hebat pada daerah kepala (Padila, 2012).



E. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis dari trauma kepala (Yessie dan Andra, 2013) : 1. Trauma kepala ringan-sedang a. Disoerientasi ringan Disorientasi adalah kondisi mental yang berubah dimana seseorang yang mengalami ini tidak mengetahui waktu atau tempat mereka berada saat itu, bahkan bisa saja tidak mengenal dirinya sendiri. b. Amnesia post traumatik Amnesia post traumatik adalah tahap pemulihan setelah cedera otak traumatis ketika seseorang muncul kehilangan kesadaran atau koma. c. Sakit kepala Sakit kepala atau nyeri dikepala, yang bisa muncul secara bertahap atau mendadak. d. Mual dan muntah Mual adalah perasaan ingin muntah, tetapi tidak mengeluarkan isi perut, sedangkan muntah adalah kondisi perut yang tidak dapat



dikontrol sehingga menyebabkan perut mengeluarkanisinya secara paksa melalui mulut. e. Gangguan pendengaran Gangguan pendengaran adalah salah suatu keadaan yang umumnya disebabkan oleh factor usia atau sering terpapar suara yang nyaring atau keras. 2. Trauma kepala sedang-berat a. Oedema pulmonal Edema paru adalah suatu kondisi saat terjadi penumpukan cairan diparu-paru yang dapat mengganggu fungsi paru-paru. Biasanya ditandai dengan gejala sulit bernafas. b. Kejang infeksi Kejang infeksi adalah kejang yang disebabkan oleh infeksi kumandi dalam saraf pusat. c. Tanda herniasi otak Herniasi otak adalah kondisi ketika jaringan otak dan cairan otak bergeser dari posisi normalnya. Kondisi ini dipicu oleh pembengkakan otak akibat cedera kepala, stroke, atau tumor otak. d. Hemiparase Hemiparase adalah kondisi ketika salah satu sisi tubuh mengalami kelemahan yang dapat mempengaruhi lengan, kaki, dan otot wajah sehingga sulit untuk digerakkan. e. Gangguan akibat saraf kranial Manifestasi klinis spesifik : 1. Gangguan otak a. Comosio cerebri (gegar otak) 1) Tidak sadar 10 menit 2) Muntah-muntah 3) Pusing 4) Tidak ada tanda defisit neurologis



5) Contusio cerebri (memar otak) 6) Tidak sadar >10 menit, jika area yang terkena luas dapat berlangsung >2-3 hari setelah cedera 7) Muntah-muntah 8) Amnesia 9) Ada tanda-tanda defisit neurologis 2. Perdarahan epidural (hematoma epidural) a. Suatu akumulasi darah pada ruang tulang tengkorak bagian dalam dan meningen paling luar. Terjadi akibat robekan arteri meningeal b. Gejala : penurunan kesadaran ringan, gangguan neurologis dari kacau mental sampai koma c. Peningkatan TIK yang mengakibatkan gangguan pernafasan, bradikardi, penurunan TTV d. Herniasi otak yang menimbulkan : Dilatasi pupil dan reaksi cahaya hilang a) Isokor dan anisokor b) Ptosis 3. Hematom subdural a. Akut: gejala 24-48 jam setelah cedera, perlu intervensi segera b. Sub akut: gejala terjadi 2 hari sampai 2 minggu setelah cedera c. Kronis: 2 minggu sampai dengan 3-4 bulan setelah cedera 4. Hematom intrakranial a. Pengumpulan darah >25 ml dalam parenkim otak b. Penyebab: fraktur depresi tulang tengkorak, cedera penetrasi peluru, gerakan akselerasi-deselerasi tiba-tiba 5. Fraktur tengkorak a. Fraktur linier (simple) 1) Melibatkan Os temporal dan parietal 2) Jika garis fraktur meluas kearah orbital atau sinus paranasal



(resiko perdarahan) b. Fraktur basiler 1) Fraktur pada dasar tengkorak 2) Bisa menimbulkan kontak CSS dengan sinus, memungkinkan bakteri masuk



F. Komplikasi Komplikasi utama trauma kepala adalah perdarahan, infeksi, edema dan herniasi melalui tontronium. Infeksi selalu menjadi ancaman yang berbahaya untuk cedera terbuka dan edema dihubungkan dengan trauma jaringan. Uptur vaskular dapat terjadi sekalipun pada cedera ringan; keadaan ini menyebabkan perdarahan di antara tulang tengkorak dan permukaan serebral. Kompesi otak di bawahnya akan menghasilkan efek yang dapat menimbulkan kematian dengan cepat atau keadaan semakin memburuk. Beberapa komplikasi dari trauma kepala (Andra dan Yessie, 2013): 1. Epilepsi pasca cedera Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala. Kejang bisa saja baru terjadi beberapa tahun kemudian setelah terjadinya



cedera.



Obat-obat



anti



kejang



misalnya:



fenitoin,



karbamazepin atau valproat) biasanya dapat mengatasi kejang pasca trauma. 2. Afasia Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena terjadinya cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu memahami atau mengekspresikan kata-kata. Bagian kepala yang mengendalikan fungsi bahasa adala lobus temporalis sebelah kiri dan bagian lobus frontalis di sebelahnya. Kerusakan pada bagian manapun dari area tersebut karena stroke, tumor, cedera kepala atau infeksi, akan mempengaruhi beberapa aspek dari fungsi bahasa.



3. Apraksia Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan biasanya disebabkan oleh kerusakan pada lobus parietalis atau lobus frontalis. Pengobatan ditujukan kepada penyakit yang mendasarinya, yang telah menyebabkan kelainan fungsi otak. 4. Agnosis Agnosis merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan merasakan sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan peran atau fungsi normal dari benda tersebut. Penderita tidak dapat mengenali wajah-wajah yang dulu dikenalinya dengan baik atau benda-benda umum (misalnya sendok atau pensil), meskipun mereka dapat melihat dan menggambarkan benda-benda tersebut. Penyebabnya adalah fungsi pada lobus parietalis dan temporalis, dimana ingatan akan benda-benda penting fungsinya disimpan. Agnosis seringkali terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala atau stroke. Tidak ada pengobatan khusus, beberapa penderita mengalami perbaikan secara spontan. 5. Amnesia Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama berlalu. Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya dimengerti. Cedera pada otak bisa menyebabkan hilangnya ingatan akan peristiwa yang terjadi sesaat sebelum terjadinya kecelakaan (amnesia retrograde) atau peristiwa yang terjadi segera setelah terjadinya kecelakaan (amnesia pasca trauma). Amnesia hanya berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam (tergantung pada beratnya cedar) dan akan hilang dengan sendirinya. Pada cedera otak yang hebat, amnesia bisa bersifat menetap.



Mekanisme



otak



untuk



menerima



informasi



dang



mengingatnya kembali dari memori terutama terletak di dalam lobus oksipitalis, parietalis, dan temporalis. 6. Fistel karotis-kavernosus Ditandai dengan trias gejala: eksoftalmus, kemosis, dan briit orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.



7. Diabetes insipidus Disebabkan karena kerusakan traumatic pada tangkai hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormone antidiuretik. Pasien mengekskresikan sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan hipernatremia, dan deplesi volume. 8. Kejang pasca trauma Dapat terjadi (dalam 24 jm pertama), dini (minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predisposisi untuk kejang lanjut, kejang dini menunjukkan risiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulasan. 9. Edema serebral dan herniasi Penyebab paling umum dari peningkatan TIK, puncak edema terjadi setelah 72 jam setelah cedera. Perubahan TD, frekuensi nadi, pernafasan tidak teratur merupakan gejala klinis adanya peningkatan TIK. Tekanan terus menerus akan meningkatkan aliran darah otak menurun dan perfusi tidak adekuat, terjadi vasodilatasi dan edema otak.Lama-lama terjadi pergeseran supratentorial dan menimbulkan herniasi. Herniasiakan mendorong hemusfer otak ke bawah/lateral dan menekan di enchepalon dan batang otak, menekan pusat vasomotor, arteri otak posterior, saraf oculomotor. Mekanisme kesadaran, TD, nadi, respirasi dan pengatur akan gagal. 10.Defisit neurologis dan psikologis Tanda awal penurunan neurologis: perubahan TIK kesadaran, nyeri kepala hebat, mual dan muntah proyektil. G. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang dari trauma kepala (Andra dan Yessi, 2013) : 1. Pemeriksaan diagnostic a. X ray/CT Scan 1) Hematom serebral 2) Edema serebral 3) Perdarahan intrakranial



4) Fraktur tulang tengkorak b. MRI: dengan atau tanpa menggunakan kontras c. Angiografi cerebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral d. EEG:



mermperlihatkan



keberadaan



atau



berkembangnya



gelombang patologis 2. Pemeriksaan laboratorium a. AGD: PO2, PH, HCO2, : untuk mengkaji keadekuatan ventilasi (mempertahankan AGD dalam rentang normal untuk menjamin aliran darah serebral adekuat) atau untuk melihat masalah oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK. b. Elektrolit serum: cedera kepala dapat dihubungkan dengan gangguan regulasi natrium, retensi Na berakhir beberapa hari, diikuti dengan dieresis Na, peningkatan letargi, konfusi dan kejang akibat ketidakseimbangan elektrolit. c. Hematologi: leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum. d. CSS: menenetukan kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid (warna, komposisi, tekanan). e. Pemeriksaan toksilogi: mendeteksi obat yang mengakibatkan penurunan kesadaran. f. Kadar antikonvulsan darah: untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif mengatasi kejang. H. Penatalaksanaan Beberapa penatalaksaan pada pasien cedera/trauma kepala (Tim Pusbankes, 2018): 1. Penatalaksanaan cedera kepala ringan a. Obsevasi atau dirawat di Rumah Sakit 1) CT scan tidak ada 2) CT scan abnormal 3) Semua cedera tembus 4) Riwayat hilang kesadaran 5) Kesadaran menurun 6) Sakit kepala sedang-berat 7) Intoksikasi alcohol/obat-obatan



8) Fraktur tengkorak 9) Rhinorea/otorea 10) Tidak ada keluarga dirumah 11) Amnesia b. Rawat jalan Tidak memenuhi criteria rawat. Berikan pengertian kemungkinan kembali ke RS jika memburuk dan berikan lembar observasi Lembar observasi : berisi mengenai kewaspadaan baik keluarga maupun penderita cedera kepala ringan. Apabila dijumpai gejala-gejala dibawah ini maka penderita harus segera dibawa ke RS: 1) Mengantuk berat atau sulit dibangunkan 2) Mual dan muntah 3) Kejang 4) Perdarahan atau keluar cairan dari hidung dan telinga 5) Sakit kepala hebat 6) Kelemahan pada lengan atau tungkai 7) Bingung atau perubahan tingkah laku 8) Gangguan penglihatan 9) Denyut nadi sangat lambat atau sangat cepat 10) Pernafasan tidak teratur 2. Penatalaksanaan cedera kepala sedang (GCS 9-13) Penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk, namun masih mampu menuruti perintah-perintah. Pemeriksaan awal: a. Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditambah pemeriksaan darah sederhana 19 b. Pemeriksaan CT scan kepala c. Dirawat untuk observasi Perawatan: -



Pemeriksaan neurologis periodic



-



Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila p



Penderita akan dipulangkan Bila kondisi membaik (90%) a. Pulang b. Kontrol di poli Bila kondisi memburuk (10%) Bila penderita tidak



mampu



melakukan



perintah



lagi



segera



lakukan



pemeriksaan CT scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protocol



cedera kepala berat. 3. Penatalaksanaan cedera kepala berat (GCS 3-8) Penderita tidak mampu melakukan perintah-perintah sederhana karena kesadarannya menurun. a. Airway 1) Penderita dibaringkan dengan elevasi 20-30 untuk membantu menurunkan tekanan intracranial 2) Pastikan jalan nafas korban aman, bersihkan jalan nafas dari lender, darah atau kotoran, pasang pipa guedel dan siapkan untuk intubasi endotrakeal, berikan oksigenasi 100% yang cukup untuk menurunkan tekanan intrakranial 3) Jangan banyak memanipulasi gerakan leher sebelum cedera servikal dapat disingkirkan b. Sirkulasi 1) Berikan cairan secukupnya (Ringer Laktat/Ringer Asetat), untuk resusitasi korban. Jangan memberikan cairan berlebih atau yang mengandung Glukosa karena dapat menyebabkan odema otak. 2) Atasi hipotensi yang terjadi, yang biasanya merupakan petunjuk adanya cedera di tempat lain yang tidak tampak. 3) Berikan transfuse darah jika Hb kurang dari 10g/dl. I. Pathway



Konsep Asuhan Keperawatan Pada Kasus Cedera Kepala 1. Pengkajian Pengumpulan data klien baik secara subjektif maupun objektif pada kasus cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis cedera dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Data yang perlu didapat adalah sebagai berikut: a. Identitas pasien dan keluarga yang terdiri dari : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, penghasilan, hubungan pasien dengan penanggung jawab (Rendi & Margareth, 2012). b. Keluhan Utama Biasanya pasien mengalami penurunan kesadaran serta adanya perdarahan akibat kecelakaan, benturan, atau karena trauma tumpul maupun trauma benda tajam. c. Riwayat Kesehatan Sekarang Biasanya ditemukan adanya trauma kepala yang terjadi karena kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan trauma langsung ke kepala dan pada tingkat kesadaran terjadi penurunan kesadaran, tidak responsif bahkan koma. Dan data yang di dapatkan seperti konvulsi, muntah proyrktil, takipnea, sakit kepala, wajah simetris bahkan tidak simetris, lemah, luka di bagian kepala, paralilis adanya akumulasi sekret pada saluran pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga, serta kejang. d. Riwayat Kesehatan Dahulu Biasanya ditemukan data adanya riwayat trauma kepala sebelumnya seperti trauma benda tajam atau benda tumpul, penggunaaan obat-obat adiktif dan konsumsi alkohol berlebihan (Muttaqin, 2008). e. Riwayat Kesehatan Keluarga Biasanya ditemukan data cedera kepala tidak dipengaruhi oleh riwayat penyakit keluarga, namun perlu dikaji adanya anggota keluarga yang menderita hipertensi, diabetes mellitus, jantung koroner dan lain sebagainya (Muttaqin, 2008). f. Pengkajian persistem dan pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik pada seseorang yang mengalami cedera kepala sedang sampai berat meliputi : a) Keadaan Umum



Biasanya terjadi penurunan kesadaran bahkan koma. b) Tingkat kesadaran Kemungkinan hasil dari pengukuran GCS pada pasien cedera kepala sedang ditemukan nilai GCS 9-12 dengan kesadaran delirium sampai dengan somnolen, pada pasien dengan cedera kepala berat ditemukan nilai GCS 3-8 dengan kesadaran stupor bahkan coma (Wijaya & Yessie, 2013). c) Tanda- tanda vital 1. Suhu Biasanya pada cedera kepala berat akan terjadi gangguan pengaturan suhu di hipotalamus. 2. Nadi Biasanya pada cedera kepala sedang sampai berat frekuensi nadi cepat atau



takikardia



sebagai



respon autonom



terhadap



kerusakan



hipotalamus dan juga dapat ditemui pada tahap akhir dari peningkatan tekanan intrakranial. 3. Tekanan darah Biasanya pada keadaan yang lebih parah terjadi penurunan tekanan darah atau hipotensi sebagai hasil akhir peningkatan tekanan intrakranial. 4. Frekuensi pernapasan Biasanya terdapat gangguan pola nafas, adanya bunyi nafas tambahan seperti rhonkhi, nafas cepat dan pendek



dan takipnea (Tarwoto,



2013). d) Kepala Biasanya pasien dengan cedera kepala simetris, terdapat lesi, adanya hematom, adanya jejas di kepala. e) Mata Biasanya pada pasien cedera kepala ditemukan adanya hematoma pada mata, perdarahan konjungtiva, perubahan bilik mata depan, kerusakan pupil, gangguan lapang pandang. f) Hidung Biasanya pada pasien cedera kepala ditemukan adanya pernapasan cuping hidug, gangguan penciuman atau pembau, perdarahan di hidung. g) Telinga



Biasanya pada pasien cedera kepala ditemukan adanya darah yang keluar dari telinga. h) Mulut Biasanya pada pasien cedera kepala ditemukan bibir udem, mukosa kering, adanya gangguan menelan dan terjadi penumpukan sekret di mulut. i) Thoraks (paru) 



Inspeksi : peningkatan frekuensi pernapasan, kedalaman dan upaya bernafas antara lain, takipnea, dispnea, menggunakan otot bantu pernapasan.







Palpasi : fremitus kiri dan kanan







Perkusi : bunyi sonor







Auskultasi : adanya bunyi nafas tambahan seperti rhonkhi, gurgling.



j) Abdomen Biasanya



pasien



cedera



kepala



memiliki



bising



usus



pasien



hipoperistaltik. k) Ekstremitas Biasanya pada pasien cedera kepala ditemukan kelemahan ekstremitas. l) Genitalia Biasanya pada pasien cedera kepala tampak terpasang kateter. m) Pemeriksaan sistem persayarafan Pada pasien cedera kepala juga dilakukan pemeriksaan sistem persyarafan yang meliputi pemeriksaan : 1. Pemeriksaan tanda rangsangan meningeal Biasanya pada cedera kepala sedang sampai berat di temukan data adanya gangguan pada pemeriksaan kaku kuduk, brudzinski, dan kernig (Tarwoto, 2013). 2. Pemeriksaan nervus kranialis Biasanya pada cedera kepala ditemukan adanya gangguan pada nervus kranialis III, IV, VI, VII, dan VIII (Tarwoto, 2013). 3. Pemeriksaan kekuatan otot Biasanya pasien dengan gangguan cedera kepala kekuatan ototnya berkisar antara 0 sampai 4 tergantung dengan tingkat keparahan cedera kepala yang dialami oleh pasien tersebut. n) Aspek kardiovaskuler



Biasanya terjadi peningkatan atau penurunan tekanan darah, denyut nadi bradikardi bahkan takikardi, irama tidak teratur, dan terjadi peningkatan TIK (Rendy & Margareth, 2012). o) Sistem pernapasan Biasanya pasien cedera kepala terjadi perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas stridor, perubahan irama, frekuensi dan kedalaman, rhonkhi (Rendy & Margareth, 2012). p) Kebutuhan dasar 



Eliminasi Biasanya terjadi perubuhan status eliminasi dan gangguan eliminasi, seperti terjadinya inkontinensia, hematuri dan obstipasi.







Nutrisi Biasanya pasien mengalami mual, muntah, gangguan mencerna dan menelan makanan.







Istirahat Biasanya terjadi kelemahan, mobilisasi, kurang tidur (Rendy & Margareth, 2012).



q) Pengkajian psikologis Biasanya terjadi gangguan emosi, apatis, delirium bahkan perubahan pola tingkah laku dan kepribadian (Bararah & Jauhar. 2013). r) Pengkajian sosial Biasanya perlu dilakukan pengkajian tentang kemampuan komunikasi, afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, disartia, anomia. s) Pemeriksaan penunjang 



Pemeriksaan diagnostic -



CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) Biasanya ditemukan adanya edema serebri, hematoma serebral, herniasi otak (Tarwoto, 2013).



-



MRI Digunakan sama seperti CT-Scan ditemukan adanya sedema serebri, hematoma serebral, heriniasi otak (Tarwoto,2013).



-



X-Ray



Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur) perubahan struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang (Rendi & Margareth, 2012). 



Pemeriksaan laboratorium -



AGD Biasanya pada cedera kepala terjadi peningkatan PCO2 dan penurunan PO2.



-



Hematologi Leukosit, Hb, Albumin, globulin, protein serum.



-



CSS Menentukan



kemungkinan



adanya



perdarahan



subarkhnoid



(warna, komposisi, tekanan). -



Pemeriksaan toksikologi Mendeteksi obat yang mengakibatkan penurunan kesadaran.



-



Kadar antikonvulsan darah Untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif mengatasi kejang.



2. Kemungkinan diagnosa keperawatan a. gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot, gangguan neuromuscular b. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (trauma) c. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekresi yang tertahan, spasme jalan d. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak e. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kerusakan neurologis (trauma kepala) f. Resiko penurunan curah jantung g. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan, kurang asupan makanan. h. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif i. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran, peningkatan tekanan intrakranial j. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan sirkulasi ke otak



k. Resiko dekubitus l. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan sensasi ( akibat cedera medula spinalis) (sdki) 3. Kriteria hasil Menurun



Cukup



Sedang



Menurun Pergerakan



Cukup



Meningkat



Meningkat



1



2



3



4



5



Kekuatan otot



1



2



3



4



5



Rentang gerak



1



2



3



4



5



ekstremitas



(ROM)



Meningkat



Cukup



Sedang



Meningkat



Cukup



Menurun



Menurun



Nyeri



1



2



3



4



5



Kecemasan



1



2



3



4



5



Kaku sendi



1



2



3



4



5



Garakan tidak



1



2



3



4



5



Gerakan terbatas



1



2



3



4



5



Kelemahan fisik



1



2



3



4



5



terkoordinasi



4. Intervensi 



DUKUNGAN AMBULASI (I.060171) Definisi : memfasilitasi pasien untuk meningkatkan aktivitas berpindah. Observasi : a. identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya b. identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi



c. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum melakukan ambulasi d. Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi Terapeutik : a. Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu ( mis. Tongkat, kruk) b. Fasilitasi melakukan mobilitas fisik, jika perlu c. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan ambulasi Edukasi : a. Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi b. Anjurkan melakukan ambulasi dini c. Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan ( mis.berjaalan dari tempat tidur ke kamar mandi, berjalan sesuai toleransi) 



DUKUNGAN MOBILISASI (I.05173) Definisi : memfasilitasi pasien untuk meningkatkan aktivitas pergerakan fisik. Observasi : a. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya b. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan c. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai mobilisasi d. Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi Terapeutik : a. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis.pagar tempat tidur) b. Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu c. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan Edukasi : a. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi b. Anjurkan melakukan mobilisasi dini c. Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis, duduk di tempat tidur, duduk di sisi tempat tidur, pindah dari tempat tidur ke kursi)



INTERVENSI PENDUKUNG 



DUKUNGAN KEPATUHAN PROGRAM PENGOBATAN (I.12361) Definisi : memfasilitasi ketepatan dan keteraturan menjalani program pengobatanyang sudah ditentukan. Observasi :



a. Identifikasi kepatuhan menjalani progeram pengobatan dengan baik Terapeutik : a. Buat komitmen menjalani program pengobatan dengan baik b. Buat jadwal pendampingan keluarga untuk bergantian menemani pasien selama menjalani pengobatan, jika perlu c. Dokumentasi aktivitas selama menjalani proses pengobatan d. Diskusikan hal-hal yang dapat mendukung atau menghambat berjalannya program pengobatan e. Libatkan keluarga untuk mendukung program pengobatan yang dijalani Edukasi : a. Informasikan program pengobatan yang harus dijalani b. Informasikan manfaat yang ajan diperoleh jika teratur menjalani program pengobatan c. Anjurkan keluarga untuk mendampingi dan merawat pasien selama menjalani program pengobatan d. Anjurkan pasien dan keluarga melakukan konsultasi ke pelayanan kesehatan terdekat, jika perlu



5. Implementasi 



DUKUNGAN AMBULASI (I.060171) Definisi : memfasilitasi pasien untuk meningkatkan aktivitas berpindah. Observasi : a. Mengidentifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya b. Mengidentifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi c. Memonitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum melakukan ambulasi d. Memonitor kondisi umum selama melakukan ambulasi Terapeutik : a. Memfasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu ( mis. Tongkat, kruk) b. Memfasilitasi melakukan mobilitas fisik, jika perlu c. Melibatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan ambulasi Edukasi : a. Menjelaskan tujuan dan prosedur ambulasi



b. Menganjurkan melakukan ambulasi dini c. Mengajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan ( mis. berjalan dari tempat tidur ke kamar mandi, berjalan sesuai toleransi) 6. Evaluasi Tujuan evaluasi keperawatan yaitu untuk menilai pencapaian tujuan pada rencana keperawata yang telah ditetapkan, mengidentifikasi variabel variabel yang akan mempengaruhi pencapaian tujuan, dan mengambil keputusan apakah rencana keperawatan diteruskan, dimodifikasi, atau dihentikan (Kozier et al., 2010). No 1



Diagnosa



Evaluasi



Gangguan



Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan



mobilitas



gangguan mobilitas fisik membaik dengan kriteria



fisik



hasil



(D.0054)



a. Pergerakan ekstremitas meningkat (5)



b. Kekuatan otot meningkat (5) c. Rentang gerak (ROM) meningkat (5) d. Nyeri menurun (5) e. Kecemasan menurun (5) f. Kaku sendi menurun (5) g. Gerakan tidak terkoordinasi menurun (5) h. Gerakan terbatas menurun (5) i. Kelemahan fisik menurun (5)



DAFTAR PUSTAKA Muttaqin, A. (2008) Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : EGC Buku Bahan Mata Ajar KMB II ISBN: 978-623-5811-61-1 Cetakan Pertama: Januari, 2022; Penulis: Yuningsih; PENERBIT: WIDINA BHAKTI PERSADA BANDUNG (Grup CV. Widina Media Utama) Black J, M., Jane, H.H, (2014). Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8. Jakarta : Salemba Medika Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 halaman 28. [cited 23 Agustus 2016]. Available from: http://sireka.pom.go.id/requirement/UU -36-2009Kesehatan.pdf. Brunner & Suddarh, 2014,,Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa : Waluyo Jurnal Nursing Study Program Undergraduate Program Faculty Of Health Science Kusuma Husada University, Surakarta 2021; 26 (2010-2018) Artawan kadek. (2013). Perbandingan Glasgow Coma Scale (GCS) dan Revised. Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 2, Juli-Desember 2016 http://eprints.umpo.ac.id/6139/3/BAB%202%20KTI%20IGA.pdf http://repository.ub.ac.id/id/eprint/2305/3/3.%20BAB%202.pdf Humaira, D. A. (2018). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Cedera Kepala di Ruang HCU Bedah RSUP. DR. M. Djamil Padang Tahun 2018. Noor, E. M., Arifin, M. Z., & Sutiyono, A. B. (2020). Gambaran Kualitas Hidup Pasien Pasca Trauma Kepala Sedang dan Berat dengan Lesi Intrakranial Menggunakan Parameter EUROQOL Group EQ-5D-5L di Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Jurnal llmu Bedah Indonesia, 48(2), 32-48. SDKI, SLKI, SIKI