Makalah WSBM Kelompok 5 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH WSBM KELOMPOK ETNIK SUKU MADURA SEBAGAI CIKAL BAKAL MASYARAKAT MARITIM PEDESAAN DI INDONESIA



DISUSUN OLEH KELOMPOK 5: 1. Aisyah Azzahrah Arfajah (K011211060) 2. Muhammad Abshar Anbiya (K011211066) 3. Aulia Aradia Nisya (K011211072) 4. Sri Dewi Anggraeni (K011211078) 5. Adi Satya Anshari (K011211084) 6. Muh.Fadly Mulya Ananda (K011211090) 7. A. Riyanti Pradika Mustari (K011211096) 8. A. Zaky Muhammad Afif A. (K011211102) 9. Nurfalah Tri Arimbi (K011211108)



PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS HASANUDDIN 2021



KATA PENGANTAR Puji dan syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini yang berjudul “Kelompok Etnik Suku Madura Sebagai Cikal Bakal Masyarakat Maritim Pedesaan di Indonesia”. Salawat serta salam juga tidak lupa kami sampaikan kepada Nabi kita Muhammad SAW, karena dengan berkat kegigihan dan kesabaran beliaulah kita dapat menuntut ilmu pengetahuan seperti sekarang ini. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan maupun isi yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga kami dapat berkarya dengan lebih baik di masa yang akan datang. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rahmatullah,S.Ip.,M.Si selaku dosen mata kuliah “WSBM” yang telah bersedia memeriksa dan mengoreksi makalah kami. Akhirnya dengan satu harapan dari kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi rekan-rekan pembaca umumnya. Makassar, 20 Oktober 2021



Penulis



i



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ..................................................................................................i DAFTAR ISI ..............................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................1 A. Latar Belakang ....................................................................................................1 B. Rumusan Masalah ..............................................................................................1 C. Tujuan .................................................................................................................1 D. Manfaat ...............................................................................................................2 BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................3 A. Asal Usul dan Persebaran Suku Madura………..................................................3 B. Bahasa Suku Madura…………………………………………………......................4 C. Tradisi Suku Madura…………….…………………………………………….………5 D. Suku Madura Sebagai Masyarakat Maritim…………………………………..…...13 E. Permasalah Yang Ada Di Suku Madura……………………….…………………..15 F. Analisis SWOT Suku Madura……………………………………………………….17 BAB III PENUTUP ..................................................................................................21 A. Kesimpulan ........................................................................................................21 B. Saran .................................................................................................................21 DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................22



ii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pulau Madura terletak di timur laut Pulau Jawa, kurang lebih 7’ sebelah selatan dari khatulistiwa di antara 112’ dan 114’ bujur timur. Pulau itu dipisahkan dari Jawa oleh Selat Madura,yang meghubungkan Laut Jawa dengan Laut Bali. Kebanyakan masyarakat Madura merupakan masyarakat agraris. Kurang lebih sembilan puluh persen penduduknya hidup terpencar-pencar di pedalaman, di desa-desa, dukuhdukuh dan kelompok-kelompok perumahan petani (Huub de Jonge, 1989:17). Adapun pertumbuhan dan kepadatan penduduk di Madura, yang walaupun tanahnya tidak subur, Madura adalah pulau yang berpenduduk padat. Masyarakat Madura sebagai bagian dari suku bangsa di Indonesia mempunyai suatu sistem adat yang unik dan khas jika dibandingkan dengan etnis yang lain. Jika mengamati etnis Madura secara umum, gambaran keunikan yang kita dapatkan berupa karakter temperamental dan aksen bicara yang khas. Sebagian besar masyarakat Madura memiliki etos kerja yang tinggi, memiliki jiwa petualang, sehingga membuat mereka lebih memilih untuk keluar melakukan migrasi dari tempat asalnya, untuk mencari nafkah. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana Asal Usul dan Persebaran Suku Madura di Indonesia? 2. Apa bahasa yang digunakan oleh Suku Madura? 3. Apa saja Tradisi Suku Madura yang masih dilestarikan hingga saat ini? 4. Bagaimana kehidupan masyarakat Suku Madura sebagai Masyarakat Maritim? 5. Apa permasalah yang ada di suku Madura? 6. Apa saja Analisis SWOT dari Suku Madura?



C. Tujuan 1. Tujuan Umum Setelah membaca makalah ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan mengetahui tentang Kelompok Etnik Suku Madura sebagai Masyarakat Maritim Pedesaan di Indonesia 1



2. Tujuan Khusus 



Untuk mengetahui asal usul dan persebaran suku Madura di Indonesia.







Untuk mengetahui bahasa yang digunakan oleh suku Madura







Untuk mengetahui tradisi yang ada pada suku Madura yang masih dilestarikan hingga saat ini







Untuk mengetahui kehidupan masyarakat suku Madura sebagai Masyarakat Maritim







Untuk memaparkan masalah yang ada di Suku Madura







Untuk menguraikan Analisis SWOT dari suku Madura



D. Manfaat Manfaat dari makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa agar dapat mengetahui tentang kelompok etnik suku Madura sebgai masyarakat maritime pedesaan di Indonesia. Dengan adanya makalah ini diharapkan bisa bermanfaat dan bisa menjadi referensi dalam meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang Kelompok-kelompok etnik suku yang ada sebagai masyarakat maritim pedesaan di Indonesia



2



BAB II PEMBAHASAN A. Asal Usul dan Persebaran Suku Madura Seperti yang tercatat dalam sejarah, perpindahan bangsa-bangsa secara besarbesaran dari Asia tenggara terjadi pada kurun waktu yang panjang (antara 4000 – 2000 sebelum Masehi). Kejadian ini antara lain berasal-muasal dari bertambah pesat kerajaan –kerajaan Cina. Karena kepesatan perkembangan kebudayaannya. Kebanyakan dari mereka berangkat secara bergelombang kelompok demi kelompok dalam kurun waktu kurang lebih 2000 tahun. Karena tidak bersamaan meninggalkan tanah asalnya itu maka kelompok-kelompok tersebut tiba di tempat yang berlainan pulau di Nusantara. Salah satu kelompok bangsa yang pindah mengarungi laut itu terdampar ke suatu pulau kecil yang terletak di utara, ujung timur pulau Jawa. Para pendatang ini lalu menetap di sana untuk kemudian menjadi nenek moyang bangsa Madura. Seperti bangsa Piah, Campa dan Jai di Kocincina mereka mengacu pada apai dengan mana apoy, menyebut istrinya bine dan memakai kata ella untuk menyatakan sudah. Dari beberapa hasil penelitian sejarah belum dapat dipastikan apakah sesampainya di pulau yang akan menjadi tempat huniannya cikal-bakal suku bangsa Madura itu menjumpai penduduk asli Nusantara. Jika ada maka penduduk asli itu akan dapat dikalahkan sebab mereka masih berkebudayaan batu tua (paeolitik). Adapun pendatang baru dari utara itu telah berkebudayaan batu baru (neolitik), seperti ditunjukkan oleh peninggalan mereka yang diketemukan di Madura. Jadi mereka telah berkemampuan mengupam atau mengasah batu menjadi beliung atau kapak persegi, yang dapat pula dijadikan pacul. Setelah ratusan tahun di Madura maka para pendatang baru itu menjadi beranak-pinak dan terpencar-pencar ke seluruh pulau. Bahkan pulau-pulau kecil di sekitar Madura dihuninya juga, seperti pulau Sepudi dan Kangean di timur, pulau Mandangil di selat Madura dan pulau Masalembu serta Bawean di laut Jawa. Mereka bermukim dalam kelompok-kelompok yang besarnya di tentukan oleh 3



kesuburan tanah atau daya dukung ekologi setempat. Beberapa kelompok ini jumlahnya sampai ratusan orang sehingga kemudian membentuk satuan-satuan tersendiri namun masih terikat satu sama lain oleh kesamaan bahasa. Orang Madura banyak tinggal di bagian timur Jawa Timur biasa disebut wilayah Tapal Kuda, dari Pasuruan sampai utara Banyuwangi. Orang Madura yang berada di Situbondo dan Bondowoso, serta timur Probolinggo, Jember, jumlahnya paling banyak dan jarang yang bisa berbahasa Jawa, juga termasuk Surabaya Utara,serta sebagian Malang orang Madura juga banyak yang bertransmigrasi ke wilayah lain terutama ke Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, serta ke Jakarta, Tangerang, Depok, Bogor, Bekasi, dan sekitarnya, juga Negara Timur Tengah khususnya Saudi Arabia. Beberapa kota di Kalimantan seperti Sampit dan Sambas. B. Bahasa Suku Madura Bahasa Madura adalah bahasa daerah (vernacular language) yang dipakai oleh orang Madura sebagai alat untuk berkomunikasi, untuk menunjukkan identitas dan eksistensi



sebagai



salah



satu



suku



yang



ada



di



nusantara



yaitu



suku



Madura. Bahasa Madura mempunyai penutur kurang dari 14 juta dan terpusat pada penduduk yang mendiami pulau Madura dan pulau pulau sekitarnya yang berada di ujung timur pulau Madura serta daerah pesisir utara pulau Jawa yang disebut daerah tapal kuda yang terbentang dari Pasuruan, Surabaya, Malang, sampai Banyuwangi, Kepulauan Masalembo, hingga pulau Kalimantan. Bahasa Madura juga berlaku untuk dialek yang tersebar diseluruh wilayah tutur. Di pulau Madura sendiri, biasanya terdapat beberapa dialek seperti: 



Dialek Bangkalan







Dialek Sampang







Dialek Pamekasan







Dialek Sumenep







Dialek Kangean



Dialek yang dijadikan acuan standar bahasa Madura adalah dialek Sumenep, karena Sumenep pada masa lalu merupakan pusat kerajaan dan kebudayaan Madura. Sedangkan dialek-dialek lainnya merupakan dialek rural yang lambat laun bercampur seiring dengan mobilisasi yang terjadi di kalangan masyarakat Madura. 4



Bahasa Madura adalah cabang dari bahasa Austronesia yang merupakan ranting Melayu-Polinesia dan hampir mempunyai persamaan dengan bahasa daerah lain di Indonesia. Bahasa Madura sangat dipengaruhi oleh bahasa Jawa, Melayu, Bugis, Cina, dan sebagainya. Pengaruh bahasa Jawa sangat terasa dalam bentuk sistem tutur yang hierarkis sebagai dampak dari pendudukan Mataram di pulau Madura. Banyak kata dalam bahasa ini yang berakar dari bahasa Indonesia atau Melayu bahkan Minangkabau, namun tentunya dengan pengucapan yang berbeda. Seperti kata taddha’ artinya tidak ada, ini hampir sama dengan kata tadak dalam bahasa Melayu Pontianak. Serta kata dhimmah yang mempunyai arti mana, hampir sama dengan dima di Minangkabau. Secara historis, ejaan bahasa Madura sangat dinamis. Ejaan ini senantiasa mengalami perubahan dan penyempurnaan. Sejarah mencatat kali pertama penggunaan ejaan bahasa Madura yang baku dimulai puluhan tahun pra kemerdekaan RI. Kemungkinan besar di awal 1900-an. Sebelum tahun 1918 hingga 1939 digunakan ejaan Balai Pustaka yang berpedoman pada ejaan Ch. A. Van Ophuysen untuk bahasa Melayu, yang selanjutnya dikenal dengan ejaan Van Ophuysen. Setahun setelahnya, yakni di tahun 1940, ejaan Van Ophuysen berganti pada ejaan Provinsi Jawa Timur. Ejaan ini disahkan oleh Kepala Inspeksi Pelajaran Provinsi Jawa Timur atau Inspekteur Hoofd der Prov Onderwijs aangelenheden van Oost Java. Pasca kemerdekaan, ejaan bahasa Madura atau ejaan Provinsi itu berubah lagi, atau diselaraskan dengan ejaan Suwandi atau ejaan Republik yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 57 Tahun 1972. Tepat pada 28 hingga 29 Mei 1973 ejaan bahasa Madura disempurnakan melalui hasil sarasehan tepatnya di Gedung Pertemuan Kantor Karesidenan, Pamekasan, Madura, Jawa Timur yang selanjutnya dipakai hingga saat ini. C. Tradisi Suku Madura Sebagai negara kepulauan, Indonesia terdiri dari berbagi macam suku. Sukusuku ini sudah ada sejak zaman dahulu dan sebagian besar masih mempertahankan ciri khas dari sukunya. Salah satu suku di Indonesia adalah suku Madura. Suku madura merupakan suku yang berada di wilayah Madura, Jawa Timur dan masih ada hingga saat ini. Suku ini memiliki berbagai macam tradisi unik yang 5



keberadaanya masih lestari. Tradisi unik ini seringkali menjadi daya tarik wisatawan saat berkunjung ke Madura. Tradisi ini merupakan warisan para pendahulu dari Suku Madura. Selain itu, tradisi Suku Madura sudah melekat di kehidupan masyarakat Madura seakan tidak dapat dipisahkan. Memang sudah seharusnya, sebagai generasi penerus harus tetap menjaga kelestarian tradisi warisan leluhur yang begitu unik. Berikut ini adalah tradisi suku Madura yang masih dilestarikan, yaitu: 1. Tradisi Karapan Sapi Karapan Sapi adalah tradisi masyarakat Madura yang digelar setiap tahun pada bulan Agustus atau September, dan akan dilombakan lagi pada final di akhir bulan September atau Oktober. Dalam tradisi Karapan Sapi ini, terdapat seorang joki dan 2 ekor sapi yang beradu kecepatan berlari untuk sampai ke garis finis. Joki tersebut berdiri di atas kereta kayu dan mengendalikan arah lari sapi. Panjang lintasan karapan sapi ini kurang lebih 100 meter dan berlangsung dalam waktu 10 detik sampai 1 menit. Dengan iringan saronen, orkes gamelan khas Madura, sapi-sapi itu diarak memasuki dan mengelilingi arena pacuan. Melemaskan otot-otot sekaligus memamerkan keindahan pakaian (ambhin) dan aksesoris yang beraneka warna. Seusai parade, pakaian dan seluruh aksesoris dilepas. Kecuali hiasan kepala (obet) yang berfungsi memberikan rasa percaya diri dan keperkasaan sapi. Setelah itu perlombaan pun dimulai. Karapan sapi terdiri dari beberapa macam: kerap keni (kerapan kecil), kerap raja (kerapan besar), kerap onjangan (kerapan undangan), kerap karesidenan (kerapan tingkat karesidenan), dan kerap jar-jaran (kerapan latihan). Kerap keni diikuti sapi-sapi kecil yang belum terlatih dari satu kecamatan atau kewedanaan. Pemenangnya dapat mengikuti kerap raja atau sering disebut kerap negara yang diadakan dua kali di ibukota kabupaten dan memperebutkan Piala Bupati. Para pemenang kerap raja akan ikut dan memperebutkan Piala Presiden yang amat prestisius. Kerap onjangan diadakan untuk memperingati hari-hari besar, peringatan syukuran, dan lain-lain. Kerap karesidenan diadakan di Kota Pamekasan yang diikuti 6



juara-juara dari empat kabupaten di Madura sebagai penutup musim kerapan. Sementara kerap jar-jaran dilakukan untuk melatih sapi-sapi pacuan sebelum diturunkan pada perlombaan. Bagi sebagian besar masyarakat Madura, karapan sapi tidak hanya sebatas pesta rakyat biasa atau semata warisan turun-temurun. Karapan sapi adalah simbol kebanggaan yang mengangkat harkat dan martabat masyarakat Madura. Sebab, sapi yang digunakan untuk pertandingan merupakan sapi-sapi berkualitas sangat baik yang mendapat perlakuan istimewa dari pemiliknya. Dalam karapan sapi, harga diri para pemilik sapi dipertaruhkan. Kalau menang, mereka mendapat hadiah dan uang taruhan. Harga sapi pemenang juga dapat membumbung tinggi. Kalau kalah, harga diri pemilik jatuh dan kehilangan uang yang tidak sedikit. Sebab, perawatan sapi terbilang mahal. Berbagai cara pun sudah dilakukan demi meraih kemenangan. Termasuk menyewa dukun agar sapinya selamat dari serangan jampi-jampi musuh. Dalam perkembangannya, muncul kritik atas kekerasan dan penyiksaan terhadap sapi dalam kerapan atau dikenal dengan istilah rekeng. Yakni melecut badan sapi dengan



cambuk



berpaku



agar



sapi



berlari



kencang.



Menurut



Sumintarsih, hal itu memunculkan dua versi pelaksanaan karapan sapi: pakem lama dan pakem baru. Pakem lama, dengan rekeng, diklaim para pengerap (pemilik atau peserta kerapan) sebagai warisan nenek-moyang dan karapan sapi Madura sebenarnya. Sebaliknya versi pakem baru diprakarsai oleh para pecinta binatang, ulama, hingga budayawan yang ingin mengembalikan karapan sapi seperti dulu tanpa rekeng. Pemerintah juga berkali-kali menghimbau agar tak ada kekerasan dalam karapan sapi. Setelah sempat muncul dualisme, kini karapan sapi yang memperebutkan Piala Presiden diadakan tanpa kekerasan. Karapan sapi merupakan pagelaran unik yang masih terjaga sampai sekarang. Even ini menjadi ikon Madura dan atraksi wisata yang menarik perhatian turis lokal maupun mancanegara.



7



2. Toktok, Aduan Sapi Ala Masalembu Salah satu tradisi masyarakat yang perlu mendapat perhatian khusus adalah Toktok. Tradisi ini adalah kegemaran masyarakat dalam acara aduan sapi. Berbeda dengan kerapan sapi, Toktok. adalah kompetisi saling seruduk antara dua sapi yang saling berhadapan. Sapi yang diadu biasanya sapi jantan. Kedua sapi ini akan beradu kekuatan hingga yang satu kalah, menyerah, dan lari ketakutan. Aduan Toktok ini harus didampingi oleh orang yang ahli. Tidak semua orang bisa menjadi “wasit” Toktok karena jika bukan ahlinya, bukan tidak mungkin akan berakibat fatal (luka, cidera, dan bahkan kematian). Meski masih menjadi kontroversi, dalam pelaksanaan tradisi ini terdapat beberapa kajian yang dipandang sebagai sebuah keuntungan. Adanya banyak orang yang berkumpul, menonton acara ini, terdapat sisi positif untuk saling mengenal. Membangun keakraban untuk tolong menolong, saling membantu di dalam kebutuhan yang berbeda-beda. Tidak jarang, di dalam pertemuan ini terbangun sikap toleran untuk bersosial, saling meringankan beban handai tolan yang memerlukan. 3. Upacara Rokat atau Petik Laut Di daerah pesisir Madura, terdapat komunitas masyarakat yang selalu melakukan ritual atau tradisi sebagai suatu keharusan yang wajib untuk dilakukan. Ritual atau tradisi tersebut, biasanya dimulai dengan acara pembacaan istighotsah dan tahlil bersama oleh masyarakat yang dipimpin oleh pemuka agama setempat. Setelah itu, masyarakat melepaskan sesaji ke laut sebagai rasa ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adapun isi dari sesaji itu adalah ketan-ketan yang berwarna-warni, tumpeng, ikan-ikan, dan lain sebagainya. Ritual atau tradisi tersebut disebut “Rokat” oleh penduduk setempat. Tradisi tesebut biasanya dilakukan oleh masyarakat yang berada di daerah pesisir Madura, baik itu pria, wanita, kecil, maupun dewasa semua ikut dalam acara tersebut. Tradisi “rokat”, jika dipandang memang lebih condong pada kebudayaan dan kebiasaan yang berbau Islami. Meskipun adapula yang berpandangan bahwa tradisi tersebut dapat menjerumuskan masyarkat dalam jurang kemusyrikan. Selain itu, tradisi “rokat” dilakukan untuk mensyukuri karunia serta nikmat yang diberikan 8



oleh sang maha pencipta yaitu Allah SWT. Dan juga agar diberikan keselamatan dan kelancaran rezeki dalam bekerja. Kebudayaan “rokat” dilakukan ketika para nelayan dalam masyarkat tersebut mendapatkan sebuah keuntungan atau kenikmatan yang sangat besar, misalnya mendapatkan hasil ikan yang banyak atau besar. Sehingga untuk mensyukuri karunia tersebut, dilaksanakanlah ritual “rokat”. Tapi ada juga yang mengatakan bahwa acara “rokat” dilaksanakan tiap satu tahun sekali atau lebih, tergantung situasi dan kondisi yang terjadi dalam masyarakat tersebut (tidak tentu), sehingga untuk meaksanakan “rokat” tidak perlu menunggu hasil tangkapan yang diperoleh oleh para nelayan Bagi penduduk yang menetap di daerah pesisir Madura, mereka menilai bahwa kebudayaan “rokat” merupakan budaya warisan nenek moyang mereka secara turun temurun, sehingga mereka secara wajib dan mempunyai keharusan untuk mempertahankan dan melestarikan budaya tersebut. Selain itu, penduduk yang menetap di daerah tersebut juga menganggap bahwa tradisi “rokat” merupakan suatu bentuk ketaatan masyarakat terhadap Tuhan Yang Maha Esa, mereka menganggap bahwa orang yang mengikuti tradisi tersebut, merupakan orang-orang yang mempunyai tingkat ketaqwaan yang tinggi. Dari sinilah kemudian masyarakat di daerah tersebut merasa terpanggil untuk ikut serta dalam ritual tersebut. Kemudian, ada juga yang menganggap jika dalam masyarakat tersebut tidak melakukan ritual “rokat”, maka masyarakat tersebut akan mendapatkan bencana dan rezeki yang didapat tidak sesuai dengan yang diinginkan. 4. Upacara Nadap Pada zaman dahulu tersebutlah seorang ulama besar asal Cirebon yang bernama Syekh Angga Suto datang ke Sumenep, Madura dalam rangka menyebarkan agama Islam. Pada saat pertama kali menginjakkan kaki di madura atau tepatnya di pantai di Desa Pinggir, Papas, Syekh Angga Suto atau yang kemudian dikenal oleh masyarakat Sumenep sebagai Embah Anggasuto mendapati sebuah telapak kaki yang sangat besar di pinggir pantai yang sedang surut dengan 9



gumpalan garam didalamnya. Dari penemuannya yang tak disengaja itulah kemudian Embah Anggasuto memutuskan untuk mengajarkan cara membuat garam kepada masyarakat Sumenep sebagai daya tarik kepada masyarakat Sumenep yang berkenan masuk agama Islam. Pada akhirnya kebiasaan membuat garam ini terus dilaksanakan sampai sekarang. Masyarakat Sumenep menjadi terkenal sebagai penghasil garam. Dari peristiwa inilah kemudian upacara nadar atau nyadar di kalangan masyarakat Sumenep kemudian rutin dilaksanakan sebagai ungkapan syukur sekaligus mengenang jasa Embah Anggasuto yang telah mengajarinya cara membuat garam. Upacara nadar dilaksanakan hingga tiga kali dalam setahun. Upacara nadar pertama dilakukan sekitar bulan Juni. Pada saat itu diperkirakan sudah saatnya melepas air tua , yaitu air yang kadar garamnya tinggi sebagai bahan utama untuk membuat garam. Pada bulan Juni ini petani garam sudah mulai memanen garamnya. Setelah panen garam dilakukan dua hingga tiga kali sampai pada bulan Juli, upacara nadar kedua mulai dilaksanakan yang jatuh pada bulan Agustus. Pada bulan ini panen garam masih berlangsung. Ketika panen garam sudah mulai berakhir, yaitu pada bulan September, upacara ketiga mulai dilaksanakan. Pada bulan ini musim kemarau sudah mulai berakhir sehingga masyarakat Pinggir Papas mulai menyambut musim hujan dan bersiap-siap untuk mengganti lahan garam menjadi lahan tambak. Pertama-tama sebelum upacara nadar berlangsung pada hari sebelumnya para sesepuh desa akan berkumpul untuk membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan upacara nadar, terutama mempersiapkan benda-benda pusaka yang akan digunakan pada saat upacara nadar. Benda-benda pusaka ini dikeluarkan hanya ketika perayaan upacara nadar. Sebelum dipakai benda-benda tersebut dibersihkan dan dibuatkan sesajen. Bahkan, beberapa sesepuh melakukan puasa agar upacara berjalan dengan lancar. Benda-benda pusaka itu antara lain berupa tombak dan keris. Beberapa hari sebelum pelaksanaan upacara nadar disiapkan pula piring keramik besar yang disebut panjang. Piring ini digunakan sebagai wadah makanan. Bahan-bahan yang digunakan dalam rangkaian upacara nadar itu sendiri terdapat dua perbedaan antara prosesi upacara nadar yang pertama dan kedua 10



kemudian yang ketiga. Untuk upacara nadar yang pertama dan kedua bahan-bahan yang digunakan biasanya adalah bunga dan bedak serta kemenyan ditambah nasi dan lauk ayam, telur, serta bandeng. Pada nadar ketiga benda-benda dan alat-alat upacara lebih kompleks lagi. Ada yang disebut panjang, yaitu piring keramik asing yang dipergunakan sebagai wadah makanan yang harus diletakkan di atas panjang, yaitu nasi, telur, dan bandeng. Piring keramik yang disebut panjang merupakan piring yang diwariskan secara turun-temurun. Piring ini dianggap sakral oleh setiap anggota keluarga dan tabu dikeluarkan dari tempat penyimpanannya, kecuali untuk upacara nadar. Mereka percaya bahwa anggota keluarga yang berani mengeluarkan panjang atau menjualnya akan mendapat celaka. Benda upacara lain yang tidak kalah pentingnya adalah naskah-naskah kuno. Naskah-naskah ini mereka katakan sebagai naskah sakral yang usianya sudah ratusan tahun. Naskah kuno ini pun hanya dikeluarkan satu tahun sekali, yaitu pada saat upacara pembacaan naskah dalam upacara nadar ketiga. Pembacaan naskah secara rutin dilakukan di bekas kediaman leluhur mereka. Naskah-naskah tersebut adalah naskah sampurna sembah dan naskah jatiswara. Pada saat upacara, hanya bagian-bagian tertentu saja yang dibacakan, yaitu yang isinya berupa ajaran-ajaran Islam sehingga dapat dijadikan panutan dalam hidup sehari-hari. Benda-benda lain yang digunakan adalah tombak dan keris. Benda ini merupakan pelengkap sarana upacara dan hanya dikeluarkan pada saat upacara nadar ketiga. Menurut mereka, benda-benda ini mempunyai kekuatan gaib dan harus diperlakukan secara hati-hati. Keris dan tombak merupakan senjata yang mereka peroleh dari leluhur. Mereka hormat terhadap benda-benda tersebut, sehingga hanya sesepuh yang disebut rama yang



boleh



membawa



dan



mengeluarkan



benda-benda



ini



dari



tempat



penyimpanan. Benda-benda ini juga disimpan di rumah bekas kediaman leluhur. Selain keris dan tombak, benda lain yang digunakan adalah bokor, pakinangan, dan kendi sebagai tempat air suci. Pada upacara nadar ketiga, seorang dukun (pembaca doa) mengenakan pakaian khusus yang hanya dikenakan setahun sekali. Pakaian khusus ini disebut racuk sewu. Wujud pakaian adalah berlengan pendek dan divariasi dengan tembelan beberapa warna merah, coklat dan bintik-bintik merah, hitam, dan krem. Baju ini dilengkapi dengan blangkon atau tutup kepala dan sarung. Racuk sewu



11



disimpan di rumah bekas kediaman leluhur dan hanya dikeluarkan pada saat upacara nadar. Setelah upacara selesai pakaian racuk sewu tersebut disimpan kembali. 5. Ritual Ojung Sejak lama masyarakat Pulau Jawa identik dengan komoditas pertanian. Berada dalam lingkup kerajaan menumbuhkan kepercayaan, tradisi maupun ritual. Salah satunya saat musim kemarau panjang tiba. Ajaran turun temurun berupa ritual meminta hujan kerap dilaksanakan. Beda daerah beda pula prosesinya, salah satunya di Sumenep, Jawa Timur. Masyarakatnya biasa melakukan tradisi Ojung atau Ojhung, saling beradu pukul rotan di dalam arena pertunjukan. Meskipun mengandung unsur kekerasan, tradisi Ojung tetap dilaksanakan. Pasalnya, perkembangan zaman semakin lama menggeser keberadaan Ojung yang nyaris punah. Para pemain Ojung bukanlah pria sembarangan. Mereka harus berani dan gesit dalam memainkan rotan. Rotan diibaratkan sebagai pedang, sebanyak mungkin diayunkan untuk mengenai tubuh lawan. Tak hanya itu, kesungguhan beradu rotan harus dijauhkan dari sifat pemarah dan balas dendam. Kedua sifat buruk ini akan menodai kemurnian tradisi Ojung yang telah ada berabad-abad lamanya. Musik tradisional Okol dan Kidungan mengiringi jalannya tradisi Ojung. Soraksorak penonton menambah keseruan jalannya Ojung. Baik pemenang maupun pihak yang kalah akan saling memaafkan. Digambarkan pemain Ojung bak seorang kesatria. Di medan pertandingan mereka bertempur, namun selepasnya, nilai persahabatan selalu ada pada posisi tertinggi. Remaja, hingga tua berusia 17 hingga 50 tahun diperkenankan bertanding dalam tradisi Ojung. Biasanya para pemain memilih lawan duel mereka di balik arena. Jika terjadi kesepakatan, maka mereka harus mendaftarkan diri ke pengatur acara Ojung. Hingga kini keseruan Ojung tetap dilestarikan dalam tradisi meminta hujan. Warisan budaya dari Madura ini dianggap sakral yang dapat menghindarkan diri dan masyarakat dari musibah dan bencana. Terlepas itu, nilai kekeluargaan, sportivitas, dan kebersamaan menjadi nilai utama yang selalu dijunjung tinggi



12



D. Suku Madura Sebagai Masyarakat Maritim Ada beberapa Kearifan lokal Masyarakat Nelayan Madura, yaitu: 1. Kearifan Lokal Mata Pencarian Penduduk Suku Madura kebanyakan mata pencarianya adalah nelayan karena daerah tempat tinggal suku Madura tinggal di pesisir. Laut bagi penduduk di sekitar pesisir, khususnya nelayan, merupakan hal yang biasa mereka lihat, sesuatu pemandanga yang selalu mereka temui,bahkan tempat nenek moyang, orang tua, sehari-harinya melaut, memburu ikan. Oleh karenanya pekerjaan melaut, sama halnya seperti petani mengolah sawah, merupakan kegiatan yang sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki, mereka akrabi, dan mereka kenal sebagai tempat dimana mereka mempertahankan hidup, lingkungan dimana mereka mempertahankan hidup. Lingkungan dimana mereka hidup itulah yang ikut mewarnai corak kehidupan mereka, mata pencharian, pekerjaan mereka, sebagai nelayan. Menurut pengalaman nelayan, pada saat air laut bewarna pekat kebiruan, sulit mencari ikan karena banyak kotoran yang lengket di jarring, hal itu karena pengaruh arus baratlaut dan timurr laut yang terjadi sekitar bulan 4 dan 12. Nelayan juga memiliki sistem kualifikasi tentang ombak, angin dan cuaca. Misalnya saja arah datangnya ombak akan berpengaruh pada jenis ombak yang akan datang, waktu kedatanganya, sifat ombak, warna ombak. Nelayan menengarai bahwa di selat Madura datangnyaombak kecil pada bulan 1-6, sebaliknya ombak agar besar terjadi 7-12. Selain



memiliki



pengetahuan



ombak,



nelayan



juga



memiliki



sistem



klasifikasitentang angin , arah datangnya angin yang berpengaruh pada keadaan ombak, sifat angin dan sebaginya. Nelayan juga mengenal cuaca baik atau tidak baik dalam melaksanakan mencari ikan. Alat tangkap mencari ikan jugalah sangat memperhatikan kearifan lokal kelautan yang dianaungi masyarakat suku Madura. Nelayan suku Madura dibagi dua yaitu, nelayan Pasean dan Nelayan Branta pesisir. Jenis alat tangkapnya tergantung pada alamnya. Secara umum, jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Pasean



13



antara lain berupa purse-seine, jarring dobel, dogol, serta pancing.namun sekarang menggunakan jarring dobel bagi nelayan Branta Pesisir. 2. Kearifan Lokal Pemukiman Masyarakat Suku Madura Masyarakat Madura di kenal sebagai masyarakat yang menjungjung tinggi tali kekerabatan. Simbol-simbol yang mendukung hal ini, bisa di lihat dari rumah adat yang sebagian besar masih terpelihara dengan rapi di berbagai pelosok di Madura, seperti



yang



terdapat



di



desa



pamaroh



kecamatan



kadur



pamekasan



Madura.Halaman panjang atau yang terkenal dengan sebutan Tanian Lanjang adalah bukti kekerabatan masyarakat Madura. Tanean Lanjeng terbentuk karena sejumlah rumah di tata berjejeran dengan rumah induk yang berada di tengahtengah. Rumah induk ini biasanya, di tandai dengan jengger ayam di atapnya. Rumah induk, ditempati orang tertua pada keluarga tersebut. Orang tertua ini kemudian di sebut kepala somah. Ibarat raja kecil, kepala somahlah yang menguasai semua kebijakan keluarga, terutama menyangkut masalah perkawinan. Rumah adat Madura, hanya memiliki satu pintu di depan. Hal ini dimaksudkan, agar pemilik rumah, dapat mengontrol aktifitas keluar masuk keluarga. Pintu ini dihiasi ukiran-ukiran asli Madura, dengan warna hijau dan merah, lambang kesetiaan dan perjuangan. Sebuah lukisan bunga, juga tampak menghiasi dinding depan rumah. Lukisan ini, menggambarkan keharmonisan keluarga, sebuah impian rumah masa depan yang bahagia. Di samping kanan dan kiri rumah induk, di bangun rumah untuk anak-anaknya. Anak tertua, menempati rumah sebelah kanan. Sedangkan yantg lain, menempati rumah sebelah kiri. Biasanya, rumah induk, di tandai dengan hiasan 2 cengger ayam yang ada di atas atap, dengan posisi berhadapan, mirip batu nisan sebuah makam. Hiasan ini mengingatkan penghuni rumah pada kematian, yang pasti di jalani oleh setiap mahluk hidup. Di bagian dalam rumah, berdiri 4 buah pilar penyanggah yang tampak kokoh. Pilar-pilar ini, terhubung satu dengan lainnya, sehingga membentuk sebuah bujur sangkar. Pilar-pilar ini, kemudian di sebut dengan pilar pasarean.



14



Sejumlah perabotan keluarga, juga masih tampak terpelihara di bagian dalam rumah ini. Di antaranya, sebuah bayang besar, terbuat dari kayu jati dengan ujung sebelah kiri lebih tinggi, yang berfungsi mengganjal kepala, agar bisa ber-isitirhat, melepas kepenatan tubuh. Tampak pula sebuah tombak tradisional Madura yang masih terpelihara dengan baik. Tombak ini merupakan senjata tradisionil Madura, dalam mempertahankan ke utuhan keluarga. Setiap rumah data, di lengkapi dengan sebuah surau. Surau ini, disamping berfungsi sebgai tempat sholat, juga menjadi tempat bagi Kepala Somah, untuk memantau orang-orang yang keluar masuk halamannya. Orang Madura menyebut surau ini dengan langgar. Atap surau adat, menggunakan daun ilalang yang membentang memayungi penghuninya dari air hujan dan sengatan matahari. 3. Kearifan Lokal Menjaga Kelautan Pantangan Saat Nelayan Pantang atau tabu adalah suatu larangan atau haram dikerjakan oleh seorang atau sekelompok orang, karena pelanggaran terhadap dirinya akan menakibatkan mala petaka teruta tidak menjaga kearifan lokal dalam melaut. Laranganya seperti tidak berkata kasar atau jorok, tidak boleh membuang sampah sembarangan, dan membuang kotoran di tengah laut. Pada masa lalu dilarang memotong kayu di tengah laut dan membuang sembarangan di tengah laut, jika pantangan dilanggar akan menyebabkan musibah ketika melaut. Dalam masalah mencari ikan di laut ada aturan yang tidak tertulis yang biasanya dipatuhi mereka. Aturan tersebut misalnya mereka harus jujur dan tidak boleh berbohong dan harus tolong menolong. Nelayan juga tidak boleh mengambil lahan rumpun orang lain karena supaya terjadinya keadilan dalam melaut dan menjaga kelestarian dalam nelayan dengan kata lain tidak boleh serakah dalam melaut. E. Permasalahan Yang Ada Di Suku Madura Konflik Sampit yang terjadi tahun 2001 merupakan salah satu permasalahan di suku Madura. Permasalahan ini juga bukanlah sebuah insiden pertama yang terjadi antara suku Dayak dan Madura.



Sebelumnya sudah terjadi perselisihan 15



antara keduanya. Penduduk Madura pertama kali tiba di Kalimantan Tengah tahun 1930 di bawah program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah kolonial Belanda. Hingga tahun 2000, transmigran asal Madura telah membentuk 21 persen populasi Kalimantan Tengah.



Suku Dayak mulai merasa tidak puas dengan



persaingan yang terus datang dari Madura. Hukum baru juga telah memungkinkan warga Madura memperoleh kontrol terhadap banyak industri komersial di provinsi tersebut, seperti perkayuan, penambangan, dan perkebunan. Hal tersebut menimbulkan permasalahan ekonomi yang kemudian menjalar menjadi kerusuhan antarkeduanya. Insiden kerusuhan terjadi tahun 2001. Kericuhan bermula saat terjadi serangan pembakaran sebuah rumah Dayak. Menurut rumor warga Madura lah yang menjadi pelaku pembakaran rumah Dayak tersebut. Sesaat kemudian, warga Dayak pun mulai membalas dengan membakar rumah-rumah orang Madura.



Profesor Usop dari Asosiasi Masyarakat Dayak



mengklaim bahwa pembantaian oleh suku Dayak dilakukan guna mempertahankan diri setelah beberapa warga Dayak diserang. Disebutkan juga bahwa seorang warga Dayak disiksa dan dibunuh oleh sekelompok warga Madura setelah sengketa judi di Desa Kerengpangi pada 17 Desember 2000. Situasi kericuhan antara suku Dayak dengan Madura diperparah dengan kebiasaan dan nilai-nilai berbeda yang dimiliki keduanya. Seperti adat orang Madura yang membawa parang atau celurit ke mana pun, membuat orang Dayak berpikiran bahwa tamunya ini siap untuk berkelahi. Konflik Sampit sendiri diawali dengan perselisihan antara dua etnis ini sejak akhir 2000. Pertengahan Desember 2000, bentrokan antara etnis Dayak dan Madura terjadi di Desa Kereng Pangi, membuat hubungan keduanya menjadi bersitegang. Ketegangan semakin memuncak setelah terjadi perkelahian di sebuah tempat hiburan di desa pertambangan emas Ampalit. Seorang etnis Dayak bernama Sandong, tewas akibat luka bacok yang ia dapat. Kejadian ini kemudian membuat keluarga dan tetangga Sandong merasa sangat marah. Dua hari setelah peristiwa tersebut, 300 warga Dayak mendatangi lokasi tewasnya Sandong untuk mencari sang pelaku. Tak berhasil menemukan pelakunya, kelompok warga Dayak melampiaskan kemarahannya dengan merusak sembilan rumah, dua mobil, lima motor, dan dua tempat karaoke, milik warga Madura. Penyerangan ini lantas membuat 1.335 orang Madura mengungsi.



16



Pada 18 Februari 2001 suku Dayak berhasil menguasai Sampit. Polisi menahan seorang pejabat lokal yang diduga sebagai salah satu dalang di balik serangan ini. Orang yang ditahan tersebut diduga membayar enam orang untuk memprovokasi kerusuhan di Sampit. Kemudian, ribuan warga Dayak mengepung kantor



polisi



di



Palangkaraya



sembari



meminta



pembebasan



para



tahanan. Permintaan mereka dikabulkan oleh polisi pada 28 Februari 2001, militer berhasil membubarkan massa Dayak dari jalanan. Dari Konflik Sampit ini sedikitnya 100 warga Madura dipenggal kepalanya oleh suku Dayak. Konflik Sampit sendiri mulai mereda setelah pemerintah meningkatkan keamanan, mengevakuasi warga, dan menangkap provokator.



Untuk memperingati akhir konflik ini, dibuatlah



perjanjian damai antara suku Dayak dan Madura. Guna memperingati perjanjian damai tersebut, maka dibentuk sebuah tugu perdamaian di Sampit. F. Analisis SWOT Suku Madura Strenght 



Terdapat garis pantai yang Panjang Letak pulau madura sendiri dapat dikatan sangat sretegis, pulau Madura terbagi menjadi 4 bagian yaitu kabupaten Bangkalan, kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekasan dan kabupaten Sumenep, walaupun begitu tiap daerah tetap memiliki garis pantai masing-masing.







Potensi wilayah pesisir Dengan panjangnya garis pantai maka suku Madura memilik wilayah pesisir yang laus pula. Suku Madura memanfaatkan potensi wilayah pesisir tersebut untuk menggantungkan hidupnya dan memenuhi kebutuha sehari-hari. Wilayah pesisir pulau madura menyimpan potensial tinggi di bidang perikana dan hasil laut







Potensi wilayah strategis sebagai wilayah pelayaran Berdasarkan analisis dengan malhat letak geografis dan potensi di pulau Madura maka kebanyakan masyarakat suku Madura berfofesi sebagai nelayan. Madura merupakan salah satu pemasok hasil laut/perikanan di Indonesia. Agar dapat memanfaatkan potensi tersebut maka suku Madura sering melakukan pelayaran untuk mendapat hasil perikanan di daerah sekitar. 17







Potensi penghasil garam di Indonesia Pulau Madura memiliki lahan tambak garam yang sangat luas dan produktif yang menghasilkan garam dalam jumlah banyak. ¼ luas lahan produksi tambak garam di Indonesia berada di Madura sedangkan ¼ jumlah produksi garam Nasional berasal dari Madura



Weakness 



Kualitas SDM rendah Suku Madura memiliki potensi besar di bidang kemaritiman tetapi masyarakat di sekitar masih kurang perhatian terhadap potensi laut tersbut. Jika menganalisis SDM yang dimiki suku Madura maka dapat ditemukan bahwa walau



mempunyai



potensis



hasil



laut



melimpah



tetapi



kondisi



pemanfaatannya masih memprihatikan, kontribusi sektor perikanan dalam perekonomian masih terbilang rendah walau dengan segala potensinya. Kualitas SDM masih kurang dan masih sedikit pihak yang bergerak di bidang maritime 



Permukiman tidak tertata baik Sebagai bangsa maritime suku Madura banyak yang bertempat tinggal di daerah pesisir. Masyarakat memilih kawasan pesisir dikarenakan daearah pesisir yang menurut masyarakat adalah kawasan strategis untuk mencari kebutuhan hidup. Dengan adanya masyarakat yag tinggal di daerah pesisir maka aktivitas ekomoni sesama warga pesisir juga berjalan, perekonomian mulai tumbuh seperti pasar, ruko dan aktivitas ekonomi lainnya, oleh karena itu banyak masyarakat di luar desa memutuskan tinggal di daerah tersebut yang sebagian besar dari mereka tidak memiliki kemampuam yamg mumpuni akibatnya masyarakat pendatang tersebut tidak memiliki kemampuan daya beli lahan sehingga memaksakan untuk tinggal di ruang- ruang yang tidak sepatutnya untuk untuk dtinggali. Selain itu limbah rumah tangga dan hasil perekonomian akan mencemari lingkungan sekitar sehingga menyebabkan daerah tersebut tidak sehat.



Oportunity 



Belum termanfaatkannya seluruh potensi pesisir



18



Daerah pesisir di kepualaun Madura memiliki beragam potensi yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan sehingga dapat bernilai dan berdayaguna bagi suku Maduran dan menjakan perekonomian setempat. Potensi tersebut diqataranya berupa potensi perikanan, mineral garam, objek wisata mangrove, hingga objek wisata bahari. Hingga kini keseluruhan dari potensi tersebut belum dapat dimanfaatkan dengan baik, tetapi jika potensi tersebut dapat didayagunakan maka suku Madura tentunya akan mendapatkan hasil yang baik dari keyaan maritime terbut. 



Tngginya permintaan hasil laut baik ekspor dan local Pulau Madura merupakan salah satu daerah penghasil perikanan di Indonesia dengan potensis perikanan yang dimilikinya. Hal ini memungkinkan suku Madura mendistribusikan hasil lautnya ke seluruh Indonesia. Selain itu suku Madura juga dapat mengekspor hasil laut tersebut.







Adanya peluang investasi sehingga dapat memacu penyediaan fasilitas yang lebih memadai Masyarakat suku Madura kiranya dapat melakukan promosi untuk menarik minat para investor terhadap pembangunan fasilitas untuk menunjang kegiatan perekonomian di pulau Madura.







Kesadaran stakeholder Kesadaran para pemangku kepentingan terhadap pembangunan di wilayah merupakan tanggung jawabnya. Pemerintah pusat maupun daerah dan instansi-instansi yang terlibat berperan penting dalam mengamati dan menilai potensi yang ada tidak terkecuali di pulau Madura. Dengan menganalisis potensi maritime yang dimiliki pulau Madura dan masyarakat maritimnya yaitu suku Madura maka dapat dipikirkan rencana strategi apa saja yang dapat dilakukan di daerah tersebut dan tentunya juga dengan membangun infrastruktur yang diperlukan dengan SDM yag berkualitas.



Threat 



Jumlah mangrove semakin menurun Luas mangrove di Madura 15.118,2 hektar, dari jumlah itu, mangrove dalam kondisi baik seluas 8.794,1 hektar (58,2 %) dan rusak seluas 6.324,1 hektar (41,8%). Pantai-pantai di Madura banyak alami abrasi dan mangrove



19



mengalami degradasi. Banyak hutan mangrove beralih fungsi, terjadi penebangan terutama buat tambak udang, tambak garam, reklamasi pantai, dan lain-lain. Akibatnya keadaan hutan mangrove menjadi tidak terawat, banyak hutan mangrove yang rusak karena diambil kayunya dan dipenuhi sampah. 



Kemungkinan terjadi sedimentsi,abrasi dan akresi pantai yang bertambah setiap tahun. Salah satu dampak dari perubahan garis pantai yaitu terjadinya degradasi lingkungan pada daerah pesisir di bagian timur pulau Madura. Akibat dengan adanya aktifitas tersebut mempengaruhi garis pantai yang berkurang setiap tahunnya. Kegiatan ini mengakibatkan abrasi pantai di sepanjang pesisir selatan pulau Madura.







Potensi pencemaran laut dari pelabuhan dan permukiman Pencemaran yang dihasilakan dari sampah rumah tangga dan industry perekonomian dapat menjadi ancaman bukan hanya kepada penduduk pesisir tetapi juga alam laut disekitarnya. Pencemanran dapat menggaunggu ekosisitem perairan dan menyebabkan suasana lautan disekitar permukiman menjadi tidak layak bagi mahluk hidup di dalamnya.



20



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Suku Madura merupakan salah satu suku yang terdapat di Indonesia yang bermukim di pulau madura. Populasi suku Madura sendiri terpusat tersebar di seluruh Indonesia. Masyarakat suku Madura kebanyakan berprofesi nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat suku Madura juga tinggal di daerah pesisir.. Sebagai nelayan peralatan yang digunakan suku Madura terbilang tradisional. Hal ini untuk tetap menjaga eosistem kelestarian ikan disekitar perairan pulau Madura Wilayah pulau Madura secara strategis memiliki banyak potensi sumber daya terutama sumber daya laut. Madura merupakan salah satu pemasok hasil laut/perikanan di Indonesia. Oleh karena itu banyak masyarakat suku Madura yang berprofesi sebagi nelayan. Selain itu Madura juga merupakan penghasil garam yang besar di Indonesia. Namun pemanfaatan potensi yang dimiliki belum dapat dikatakan terkelola dengan baik. Terdapat beberapa permasalahan ancaman yang dimiliki suku Madura. Seperti masih kurangnya kualita SDM yang dimiliki. Selain itu terdapat pula permasalahan lingkungan yang terjadi di lingkungan suku Madura, seperti permasalahan lingkungan di daerah pemukiman dan berkurangnya daerah hutan mangrove. Oleh karena itu dibutuhkan kesadaran dan Kerjasama dari semua pihak terutama pemerintah dan masyarakat suku Madura dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. B. Saran Dengan adanya makalah ini, penyusun mengharapkan kepada pihak pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Demikian agar penyusun dapat meminimalkan kesalahan yang kemungkinan akan terjadi pada kepenulisan makalah selanjutnya.



21



DAFTAR PUSTAKA Arifin, Tajul. n.d. Asal Usul Leluhur Orang Madura. Accessed 10 17, 2021. https://www.lontarmadura.com/asal-usul-leluhur-orang-madura/ . Ensiklopedia



dunia.



2018.



Bahasa



Madura.



https://p2k.itbu.ac.id/id3/3070-



2950/Bawean_27526_itbu_ensiklopedia-dunia-q-itbu.html,



diakses



pada



tanggal 17 Oktober 2021, pukul 19:57 WITA Portal Madura. 2017. Mengupas Sejarah Singkat Asal Muasal Bahasa Madura. https://portalmadura.com/mengupas-sejarah-singkat-asal-muasal-bahasamadura-47159/, diakses pada tanggal 18 Oktober 2021, pukul 20:34 WITA Arlina.



Mengenal



Lebih



Dekat



Tentang



Sejarah



Bahasa



Madura.



2021.



https://www.pulaumadura.com/2021/02/mengenal-lebih-dekat-tentangsejarah-bahasa-madura.html?m=1, diakses pada tnggal 18 Oktober, pukul 21:04 WITA Kosim, M 2012. Kerapan Sapi; Pesta Rakyat Madura (Perspektif Historis-Normatif) . Jurnal



of



social



and



islamic



center.



https://www.researchgate.net/publication/267684839_KERAPAN_SAPI_PES TA_RAKYAT_MADURA_Perspektif_Historis-Normatif



Diakses



pada



18



Oktober 2021 Pukul 19.30 Umar,



R



2018.



Toktok



Aduan



Sapi



Ala



Masalembu.



Lontar



http://www.lontarmadura.com/toktok-aduan-sapi-ala-masalembu/



.



Madura Diakses



pada 18 Oktober 2021 Pukul 19.35 Muhammad, 2012. Budaya “Rokat Tase’/ Petik Laut” Madura. Dunia Karya http://usmankurniawan.blogspot.com/2013/01/budaya-rokat-tasepetik-lautmadura.html . Diakses pada 18 Oktober 2021 Pukul 19.42 Sulistyorini, D 2009. Upacara Nadar dalam Upacara Pembuatan Garam di Sumenep.



Jurnal



BS.



http://sastra.um.ac.id/wp-



content/uploads/2009/10/Upacara-Nadar-dalam-Upacara-Pembuatan-Garamdi-Sumenep-Dwi-Sulistyorini.pdf Diakses pada 18 Oktober 2021 Pukul 19.48



22



Ma’rifah, N 2016. Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Ojung Pada Masyarakat Desa



Tongas



Kulon,



Tongas,



Probolinggo.



http://digilib.iain-



jember.ac.id/83/4/BAB%20I.pdf Diakses pada 18 Oktober 2021 Pukul 19.50 Lontar



Madura,



2020.



Kearifan



Lokal



Masyarakat



Nelayan



Madura



https://www.lontarmadura.com/kearifaan-lokal-masyarakat-nelayan-madura/5/ . Diakses pada 18 oktober 2021 pukul 15.30 Verelladevanka A. , 2021. “Konflik Sampit: Latar Belakang, Konflik dan Penyelesaian”,https://www.kompas.com/stori/read/2021/07/30/090000179/ko nflik-sampit--latar-belakang-konflik-dan-penyelesaian?page=all#page4, diakses pada 18 Oktober 2021 pukul 11.21 WITA. Agustin, N.S. dan Syah, A.F. 2020. ‘ANALISIS PERUBAHAN GARIS PANTAI DI PULAU



MADURA



MENGGUNAKAN



CITRA



SATELIT



file:///C:/Users/zakym/Downloads/8843-22704-1-PB.pdf,



LANDSAT



diakses



pada



8’, 18



Oktober 2021. Sugianto, H. 2020. ‘Analisis Potensi Hutan Mangrove Di Pesisir Pantai Desa Labuhan Kecamatan Sreseh Kabupaten Sampang Pulau Madura Sebagai Pengembangan Bahan Dasar Pewarna Alam Pada Karya Kerajinan Kriya Tekstil’, file:///C:/Users/zakym/Downloads/1633-109-6946-1-10-20210419.pdf, diakses pada 18 Oktober 2021. Bukhori, M.S. 2020. ‘Dinamika Permasalahan Perumahan di Pesisir Pulau Madura’, https://www.kompasiana.com/m36563/5f9ebf828ede482e5d3337d2/dinamikapermasalahan-perumahan-di-pesisir-pulau-madura, diakses pada 18 Oktober 2021. Farid, A. 2015. ‘PENINGKATAN KUALITAS LINGKUNGAN DI KAWASAN NELAYAN SEPULUH – MADURA’, 819-2829-1-PB.pdf, diakses pada 18 Oktober 2021.



23