Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah Pegunungan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KATA PENGANTAR



Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan kasih dan karunia-Nya, sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah Pegunungan” dalam mata kuliah Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular. Kami berterima kasih juga kepada dosen mata kuliah Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular yang telah memberikan tugas ini untuk menambah pengetahuan kami dan juga kepada teman-teman sejawat yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.



Manado, September 2019



Kelompok 2



i



DAFTAR ISI



Kata Pengantar ........................................................................................................ i Daftar Isi.................................................................................................................. ii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 2 1.3 Tujuan ............................................................................................................... 2 1.4 Manfaat ............................................................................................................. 2 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah Pegunungan ......................... 3 2.2 Latar Belakang Penyakit ISPA pada Masyarakat Pegunungan ........................ 2.3 Identifikasi Masyarakat Pegunungan mengenai Penyakit ISPA ....................... 5 2.4 Desain Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ISPA pada Masyarakat Pegunungan ............................................................................................................. 6 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 8 3.2 Saran .................................................................................................................. 8 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 9 LAMPIRAN ........................................................................................................... 10



ii



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Dalam suatu wilayah, pelaksanaan program-program yang berorientasi pengendalian penyakit seperti program WHO maupun MDG harus memperhatikan berbagai faktor atau variabel yang berperan. Dengan kata lain, meski tema pengendalian penyakit secara nasional tetap sama, pelaksanaan tiap wilayah bisa berbeda. Diperlukan kemampuan untuk mengidentifikasi faktor risiko yang berperan, sebagai prasyarat untuk



melakukan



pengendalian



penyakit



secara



paripurna,



terpadu,



dan



berkesinambungan dalam suatu wilayah administratif. Manajemen penyakit yang berbasis wilayah atau komunitas dalam suatu wilayah diperlukan suatu kemampuan untuk melakukan tatalaksana kasus atau lazim dikenal sebagai pelayanan kesehatan, dengan berbagai pengendalian variabel yang berperan secara terpadu. Demikian pula alokasi sumberdaya dan kegiatan pengendalian berbagai faktor yang berperan dalam timbulnya penyakit berkenaan. (Achmadi, 2005) Secara geografis, daerah pegunungan memiliki ketinggian lebih dari 600 meter di atas permukaan air laut. Daerah pegunungan memiliki karesteristik yang berbeada dengan daerah dataran rendah. Karateristik tersebut terutama di antaranya adalah kelembaban udaran tinggi, tekanan oksigen rendah, suhu rendah, radiasi matahari tinggi, tingginya kecepatan angin, rendahnya nutrisi dan topografi wilayah yang terjal. Selain itu, terdapat puala karesteristik lain seperti komposisi tanah, komposisi udara, cuaca dan habitat yang membutuhkan tingkat dan jenis aktifitas yang berbeda di bandingkan dengan dataran rendah (Ganong, 2001).



Masalah kesehatan yang sering mendominasi masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan adalah masalah mengenai penyakit menular. Penyakit menular ISPA adalah salah satu penyakit yang paling banyak diderita masyarakat pegunungan. Berkaitan dengan faktor lingkungan, perilaku dan sifat dari virus 1



dan bakteri menyebabkan penyakit ini mudah menyebar di kalangan masyarakat pegunungan.



Dalam makalah ini, kami akan membahas lebih dalam mengenai hubungan mengenai Penyakit ISPA pada masyarakat pegunungan yang ditinjau dari segi aspek perilaku masyarakat, kondisi lingkungan setempat serta kami akan menjelaskan mengenai desain pencegahan dan pengendalian penyakit menular khususnya penyakit ISPA yang terjadi pada masyarakat pegunungan. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa Definisi dari Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah? 2. Apa Latar Belakang Penyakit ISPA pada Masyarakat Pegunungan? 3. Seperti apa identifikasi Masyarakat Pegunungan mengenai Penyakit ISPA? 4. Desain Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ISPA pada Masyarakat Pegunungan? 1.3 Tujuan 1. Menjelaskan mengenai Definisi dari Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah? 2. Menjelaskan mengenai latar belakang Penyakit ISPA pada Masyarakat Pegunungan. 3. Mengidentifikasi Perilaku Masyarakat Pegunungan mengenai Penyakit ISPA. 4. Mendeskripsikan Desain Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ISPA pada Masyarakat Pegunungan. 1.4 Manfaat Agar pembaca lebih mengetahui mengenai manajemen penyakit berbasis wilayah khususnya wilayah pegunungan dan penyakit yang mendominasi di wilayah pegunungan. Pengidentifikasian perilaku masyarakat pegunungan mengenai penyakit yang mendominasi penyakit tertentu pada masyarakat pegunungan dan upaya untuk mencegah serta mengendalikan penyakit tersebut. Kami harapkan makalah ini dapat menambah wawasan pembaca terkait hal-hal tersebut. BAB II 2



PEMBAHASAN 2.1 Definisi Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah Manajemen penyakit berbasis wilayah (MPBW) mencakup upaya pengendalian kasus penyakit disuatu wilayah tertentu bersama pengendalian berbagai faktor risiko yang dilakukan secara terintegrasi. Upaya tersebut dapat dilakukan secara prospektif dan retrospektif. Upaya prospektif mengutamakan pengendalian faktr risiko penyakit terintegrasi dengan upaya pencarian dan penatalaksanaan kasus penyakit tersebut. Upaya retrospektif mengutamakan penatalaksanaan penyakit tertentu terlebih dahulu yang terintegrasi dengan pengendalian faktor risiko penyakit tersebut atau direncakan secara serentak. Hal tersebut ditandai dengan perencanaan dan alokasi sumber daya yang juga dilakukan secara terintegrasi. (Achmadi, 2009) 2.2 Latar Belakang Penyakit ISPA pada Masyarakat Pegunungan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor pejamu (WHO, 2007). Terjadinya ISPA tertentu bervariasi menurut beberapa faktor yaitu: a. Kondisi lingkungan (misalnya, polutan udara, kepadatan anggota keluarga), kelembaban, kebersihan, musim, temperatur); b. Ketersediaan dan efektivitas pelayanan kesehatan dan langkah pencegahan infeksi untuk mencegah penyebaran (misalnya, vaksin, akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, kapasitas ruang isolasi); c. Faktor pejamu, seperti usia, kebiasaan merokok, kemampuan pejamu menularkan infeksi, status kekebalan, status gizi, infeksi sebelumnya atau infeksi serentak yang disebabkan oleh patogen lain, kondisi kesehatan umum;



3



d. Karakteristik patogen, seperti cara penularan, daya tular, faktor virulensi Terletak di daerah pegunungan ternyata tak menjamin masyarakat bebas dari penyakit pernapasan. Bahkan, infeksi saluran pernapasan akut menjadi penyakit utama yang diderita masyarakat. Menurut Riskesdas, prevalensi ISPA di Indonesia pada 2013 adalah 25,0%. Angka ini tidak jauh berbeda dengan hasil Riskesdas 2007 yaitu 25,5%. Prevalensi yang dihitung adalah period prevalence ISPA yang dihitung dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. Kabut asap yang sering terjadi di daerah pegunungan yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan mengandung material yang dapat berdampak negatif bagi kesehatan. Dampak tersebut bisa berupa iritasi mata, iritasi kulit, iritasi dan peradangan saluran pernapasan yang bisa berlanjut menjadi infeksi saluran pernapasan, dan lain-lain. Jika kita mengerti cara melindungi diri dan melakukannya dengan baik, maka dampak negatif tersebut dapat dikurangi. Semua orang berisiko terkena dampak kabut asap dan harus melakukan upaya pencegahan. Bayi, Balita, ibu hamil, orang lanjut usia, orang dengan penyakit kronis seperti penyakit paru kronik, jantung, asma mempunyai risiko lebih besar terkena sehingga harus lebih berhati-hati. Penyakit ISPA bisa menyerang berbagai usia, dari anak-anak hingga usia lanjut. Namun yang paling rentan, yaitu balita dan lansia karena lemahnya daya tahan tubuh mereka. Menurut Dinas Kesehatan yang ada di daerah pegunungan, pada 5 tahun terakhir penyakit yang mendominasi masyarakat pegunungan di daerah tersebut adalah ISPA yaitu pada tahun 2016 sebanyak 6.358 kasus, pada tahun 2017 sebanyak 2.850 kasus.



2.2 Identifikasi Masyarakat Pegunungan mengenai Penyakit ISPA 1. Tingkat kepatuhan masyarakat untuk mematuhi anjuran minum obat masih rendah. Kepatuhan dalam mengonsumi obat yang sudah diberikan menjadi faktor penentu sembuh atau tidaknya suatu pasien. masyarakat pegunungan sering menganggap sepeleh penyakit ISPA ini dan biasanya masyarakat



4



pegunungan hanya akan meminum obat jika gejala sudah tidak dirasakan lagi sehingga jika disarankan untuk meminum obat sampai habis, maka mereka tidak akan patuh dalam meminum obat tersebut dan mengakibatkan penyakit yang bertambah parah dan menular kepada orang lain. 2. Pengaruh dari erupsi Gunung. Wilayah pegunungan adalah wilayah yang paling dekat dengan dampak dari erupsi gunung. Erupsi gunung yang mengandung gas, abu, dll. Hal tersebut penyebab ditambah masyarakat di wilayah pegunungan terbiasa untuk tidak memakai Alat Pelindung Diri (APD) seperti masker akibatnya banyak dari masyarakat menderita penyakit ISPA. 3. Kurangnya Sanitasi Kebersihan lingkungan dan sanitasi yang kurang baik menjadi faktor yang menyebabkan pengungsi terserang sejumlah penyakit. Saat berada di pengungsian, banyak masyarakat tidak menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. seperti tidak mencuci tangan sebelum makan, merokok di tengah anak-anak, dll. hal ini tentu saja memicu munculnya penyakit ISPA. 4. Kebiasaan merokok. Perlu diketahui bahwa, asap rokok dapat menimbulkan penyakit ISPA. Masyarakat pegunungan yang mayoritas bekerja sebagai petani, mengakibatkan mereka membutuhkan semangat untuk terus beraktivitas. Hal ini dapat memicu masyarakat untuk merokok dengan alasan bahwa merokok dapat memicu semangat mereka untuk bekerja tanpa memerhatikan efek samping dari penyakit yang diakibatkan jika menghirup rokok bahkan perokok pasif juga menjadi sasaran empuk penyakit ISPA. 5. Tak banyak warga yang mengenakan masker saat beraktivitas di luar rumah meski terpapar kabut asap. Ketika asap menjadi udara sehari-hari untuk dihirup ketika kebakaran hutan, penggunaan masker mutlak diperlukan karena kabut asap dapat menimbulkan berbagai penyakit pernapasan, contohnya yaitu ISPA. 2.3 Desain Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ISPA pada Masyarakat Pegunungan Upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut merupakan hal yang sangat penting karena penyakit ini mudah menular dan dapat



5



menyebabkan kematian, Hal-hal yang bisa terjadi antara lain perdarahan paru-paru, gagal napas akut (acute respiratory distress syndrome/ARDS), hingga kematian sebelum hal ini terjadi maka diperlukan upaya pencegahan penularan Infeksi Saluran Pernafasan Akut 1. Penyuluhan mengenai penyakit ISPA dengan tujuan menekan angka penderita ISPA pada Masyarakat Pegunungan. Penyampaian materi bisa dengan dengan ceramah, diskusi, dan memberi sesi tanya jawab agar masyarakat bisa bertanya mengenai penyakit ISPA. 2. Pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD) mengenai penyakit ISPA ini. FGD yang melibatkan masyarakat, kader kesehatan, petugas puskesmas akan menghasilkan pengambilan keputusan yang lebih baik mengenai pengendalian penyakit ini. Partisipasi aktif dari masyarakat sangat dibutuhkan agar terciptanya kemauan, kemampuan dan kesadaran dari masyarakat itu sendiri untuk melakukan pencegahan dan pengendalian mengenai penyakit ini. 3. Reduksi dan eliminasi, dapat melakukan pengurangan dan penghilangan dengan melakukan pemberian promosi kebersihan seperti mencuci tangan pakai sabun (CTPS) setiap selesai beraktivitas dan etika ketika batuk. 4. Evaluasi mengenai Input SDM (Sumber Daya Manusia) Pendukung Pelaksanaan Surveilans ISPA. Sumber daya manusia dalam kegiatan surveilans ISPA merupakan peranan penting dalam pengendalian penyakit ISPA. Surveilans ISPA perlu terus dilaksanakan dengan SDM yang memadai dan berkompeten dalam bidang ini, sehingga penderita ISPA di wilayah pegunungan dapat dikontrol dan diberi pengobatan secara cepat dan tepat. Hal ini juga dapat mencegah terjadinya penularan ke orang lain. 5. Penerapan kebijakan dan strategi nasional. Keterbatasan dalam aspek sumber daya, kebijakan daerah dan peran masyarakat menyebabkan banyak provinsi belum menerapkan hal ini. Kondisi umum di daerah, khususnya sumber daya manusia, infrastruktur, kapasitas manajerial dan finansial relatif masih terbatas. Dukungan kebijakan di tingkat provinsi dan kabupaten kurang optimal karena



6



masih lemahnya advokasi dan koordinasi antara sektor kesehatan dan sektor non kesehatan, termasuk dengan pemerintah daerah setempat. Sebagai dampak dari penerapan sistem pemerintahan desentralisasi, pemerintah daerah sesungguhnya mempunyai kewenangan untuk dapat menetapkan prioritas pembangunan daerahnya, termasuk program pencegahan dan pengendalian ISPA. 6. Menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) pada kehidupan agar selalu terhindar dari segala penyakit.



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 3.2 Saran Perlunya perawatan dan kepatuhan dalam eliminasi penyakit jika sudah terinfeksi karena penyait ISPA merupakan penyakit yang sangat mudah menular. Saran kami kepada pemegang kewenangan dalam sektor kesehatan agar selalu mengadakan evaluasi mengenai sumber daya yang ada di setiap sektor dalam rangka melakukan pencegahan dan pengendalian mengenai penyakit ISPA khususnya pada masyarakat pegunungan.



7



DAFTAR PUSTAKA Achmadi, UF. 2009. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Vol 3, No.4. Achmadi, UF. 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: Kompas. Sulaiman, M. Reza. 2015. Terletak di Pegunungan, ISPA Jadi Masalah Kesehatan Utama Kecamatan Ini. https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-2941038/terletakdi-pegunungan-ispa-jadi-masalah-kesehatan-utama-kecamatan-ini. Diakses pada 25 September 2019. Mardiah, Wiwi., Mediawati, Ati S. danDyah Setyorini. 2017. Pencegahan Penularan Infeksi Saluran Pernafasan Akut dan Perawatannya pada Balita di rumah di Kabupaten Pangandaran. Dharmakarya: Jurnal Aplikasi Ipteks untuk Masyarakat. 6, (3), 258-261. Choiriyah, Safaatul dan Dina Nur Anggraini N. 2015. Evaluasi Input Sistem Surveilans Penemuan Penderita Pneumonia Balita di Puskesmas. Unnes Journal of Public Health. 4, (4), 136-145. Damaledo, Yandri Daniel. 2017. Pengungsi Gunung Agung Mulai Terserang ISPA dan Diare. https://tirto.id/pengungsi-gunung-agung-mulai-terserang-ispa-dan-diare-cxmL. Diakses pada 25 September 2019. 8



Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Ispa World Health Organization. 2008. Pencegahan dan pengendalian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang cenderung menjadi epidemi dan pandemi di fasilitas pelayanan kesehatan. http://www.who.int/csr/resources/publications/. Diakses pada 28 September 2019. Ganong, W., 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 20. Jakarta: EGC, 280- 281.



LAMPIRAN



9