Manaqib Pangeran Syarif Ali (Buku) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Al-Habib



PANGERAN SYARIF ALI bin Abubakar bin Sholeh ibn As-Syeikh Abubakar bin Salim



1



A



L-HABIB Ali bin Abubakar bin Shaleh atau dikenal sebagai Pangeran Syarif Ali diperkirakan lahir tahun 1790 M. Dia dibesarkan di rumah kakeknya yaitu Habib Ibrahim bin Zen bin Alwi bin bin Yahya di Kampung Karang Manggis. Kakeknya Habib Ibrahim adalah seorang ulama yang membuka majlis taklim di rumahnya dengan dibantu oleh putra-putranya, Habib Syech dan Abdullah bin Ibrahim bin Zen Bin Yahya. Majlis taklim tersebut dikunjungi oleh berbagai lapisan masyarakat yang haus dengan ilmu agama. Makam Habib Ibrahim bin Zen Bin Yahya



Tidak diragukan lagi sejak kecil Syarif Ali telah mendapat didikan agama, baik syariat maupun tasawuf, ilmu zhohir maupun batin yang tercermin dari ucapan maupun perbuatannya. Banyak buku-buku agama dipelajarinya sebagai bekal dalam pergaulan, sehingga dalam hubungannya dengan masyarakat beliau menjadi sosok yang berwibawa dan disegani. Setelah usianya menginjak dewasa Syarif Ali mengikuti pelayaran niaga ke Jawa dan Kalimantan. Jenis kapal yang digunakan adalah semacam Sconar dan barang dagangan berupa getah perca, malam (lilin lebah) untuk bahan membatik dan lain-lain, Dan ke Kalimantan membeli batu permata. Adapun Ahmad saudara Pangeran Syarif Ali melakukan pelayaran sampai ke Sulawesi Utara dan Maluku. 2



Kapal Jenis Sconar



Karena ibunya Syarif Ali yaitu Syarifah Nur adalah cucu Sultan Mahmud Badarudin I, maka Pangeran Syarif Ali sejak usia muda telah banyak berhubungan dengan keluarga Kesultanan Palembang. Dalam susunan jabatan dalam Kesultanan Palembang Darussalam, seorang yang memegang jabatan penting diberi gelar “Pangeran”. Dalam hal ini Habib Isa Al-Kaf mendapat penjelasan bahwa Pangeran Syarif Ali pernah menjadi wazir keuangan kesultanan seperti dijelaskan oleh Bapak R.H.M. Akib seorang pengamat sejarah Palembang. KELUARGA PANGERAN SYARIF ALI



No



Nama Isteri



Nama Anak



I



Syarifah Sidah binti Alwi bin Zen Shahab (1283)



1. Abubakar (Pangeran Bakri) 2. Muhammad (Muhammad Mahimud)



II



Nyimas Halimah



1. Hamid 3



(Meninggal sewaktu binti Kemas berniaga ke Serawak). Muhammad 2. Shaleh (Bermukim di Muar (Kedukan – 5 Ulu) – Johor Malaysia). III



Masayu Laila binti Hasan bin Syeikh Abubakar Susuhunan Husin (Diperkirakan bermukim di Dhiyauddin Pulau Belitung).



IV



Wanita berdarah Maluku / Ambon



Husin (Dikenal sebagai Husin Ambon atau Habib Keling).



Perihal putra-putra Pangeran Syarif Ali diatas akan diperincikan selanjutnya. Adapun putri-putri Pangeran Syarif Ali adalah : Sesuai makam di Gubah Pangeran 5 Ilir : 1. 2. 3. 4. 5.



Syarifah Mahani Syarifah Husna Syarifah Hamidah Syarifah Muzna Syarifah Aisyah



Meninggal tahun 1906 M Meninggal tahun 1889 M Meninggal tahun 1304 H / 1916 M Meninggal tahun 1264 H / 1837 M Meninggal tahun 1909 M



Adapun menantu Pangeran Syarif Ali adalah : 1. Habib Muhammad bin Shaleh BSA asal Manado 2. Habib Abdullah bin Salim Al-Kaf 3. Habib Syech bin Alwi bin Ahmad bin Abubakar Al-Kaf Pangeran Syarif Ali juga memelihara membesarkan putra/putri saudaranya Ahmad yang meninggal tahun 1241 H / 1825 M serta mengawinkan putri-putrinya : 4



1. Sy. Maryam dengan Habib Ali bin Abdurrahman Masawa. 2. Sy. Syecha dengan Habib Muhsin bin Abdullah bin Ali bin Ahmad bin Salim bin Ahmad bin Husin bin Syech Abubakar. Asal Surabaya dan selanjutnya tinggal di Surabaya. (Keterangan dari Habib Hamzah bin Ali bin Muhsin BSA, Jakarta).



Denah Pemakaman Pangeran Syarif Ali 5



KESULTANAN PALEMBANG Sudah sejak tahun 1650 M kaum Alawiyyin datang bermukim di Palembang baik sebagai ulama Islam, maupun pedagang dengan armada pelayarannya. Suasana tenteram ini sangat menguntungkan kedua belah pihak. Namun ketenteraman ini terganggu oleh orang-orang asing Inggris, Portugis dan Belanda yang ingin merebut Pulau Bangka yang kaya dengan biji timah. Pada masa itu pedagang-pedagang Alawiyyin membantu Sultan menjual biji timah kepada Inggris, sedang pihak Belanda memblokir kapal-kapal yang mengangkut biji timah di Perairan Riau dengan menggunakan bajak-bajak laut bayaran yang dikoordinasi “Raja Lautan” alias Ali Haji. Namun penghadangan ini dapat dilewati karena Raja Ali ini juga Alawiyyin dari Siak. Selain dari itu kaum Alawiyyin juga mengumpulkan meriam-meriam dari tempat lain untuk persiapan pertahanan Sultan menghadapi Belanda dan Inggris sewaktu-waktu bila terjadi perang yang memang tejadi : Tahun 1812



:



Perang melawan Inggris, Inggris merebut Bangka. Sultan diganti dengan Sultan Husin Dhiauddin.



Tahun 1814



:



Inggris menyerahkan Bangka dan Palembang kepada Belanda, Mahmud Badaruddin II kembali menjadi Sultan.



Tahun 1819



:



Terjadi perang dengan Belanda, dikenal dengan Perang Menteng di perairan Sungai Musi, Edelheer Mutinghe Panglima Belanda luka terkena tembakan 6



meriam Sayyid Abdurrahman Haneman dari Pulau Salah Nama. Pasukan meriam yang lainnya dipimpin oleh Sayyid Zen Bafaqih, Sayyid Agil bin Muhammad, Sayyid Ahmad bin Ali, Sayyid Husin dan Habib Umar bin Abdullah As-Seggaf. (Syair Perang Menteng) Tahun 1821



:



Kekalahan Mutinghe menyebabkan Gubenur Jenderal Belanda di Jakarta sangat marah dan mengambil langkah : Mengangkat Jenderal A.D. Mayor Jenderal Baron de Kock, seorang jenderal angkatan darat untuk memimpin pasukan yang terdiri dari 70 kapal meriam, 30 kapal pengangkut 2500 pasukan tentara.



Sultan hanya mengandalkan pasukan meriam di Sepanjang Musi. Peperangan terjadi dari tanggal 20 Juni sampai 27 Juni 1821. De Kock memusatkan serangan pada benteng-benteng meriam pantai sehingga satu persatu pertahanan meriam Sultan dilumpuhkan. Sementara itu kapal-kapal pengangkut menurunkan serdadu yang bersenjata lengkap di tempat lain seperti Sungai Bayas dan lain-lain. Serdadu-serdadu itu selanjutnya bergerak cepat, tanpa menghadapi perlawanan berarti menuju Istana Sultan dan Benteng Kuto Besak. Sultan dan pengikut-pengikutnya ditangkap termasuk penasehatnya Habib Muhammad bin Umar As-Seggaf. Istana dan harta kekayaan Sultan dijarah serdadu, tidak sedikit pula yang dilarikan oleh keluarga Sultan sendiri.



7



8



Setelah dikalahkan dan ditangkap Belanda, Sultan Mahmud Badaruddin II beserta pengikut-pengikutnya ditawan dan diangkut ke Betawi dan selanjutnya sampai ke Ternate. Sultan meninggal tahun 1852. Pengikutpengikutnya pada tahun 1863 diizinkan pulang ke Palembang. Adapun Habib Muhammad bin Umar bin Abdullah As-Seggaf Al-Fakhr diasingkan ke Gorontalo. Tanggal 16 Juli 1821 Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom putra Susuhunan Husin Dhiauddin dinobatkan sebagai Sultan Palembang. Setelah segala upaya mencarikan dana untuk membayar tuntutan ganti kerugian perang dari sisa-sisa kekayaan Sultan sebelumnya, Pangeran Syarif Ali berusaha pula mengambil kembali kekayaan kesultanan yang dilarikan keluarga Sultan sampai ke Kalimantan dan lainlain. Namun segala usaha tersebut belum dapat menutupi tuntutan pemerintah Belanda. Diusahakan untuk mendapatkan pinjaman dari pemerintah Belanda untuk menutupi kekurangan uang tersebut, permohonan ini ditolak oleh pemerintah. Dengan demikian Sultan tidak dapat memenuhi tuntutan Belanda. Akibatnya Sultan Ahmad Najamuddin dipaksa menandatangani surat-surat penyerahan kekuasaan pemerintahan dan hak-hak kekuasaan kepada pemerintah Belanda tanggal 01 Oktober 1823 M. Tidak tahan dengan tekanan-tekanan dan penghinaan ini, Sultan diam-diam menyusun kekuatan di pedalaman Musi dan bergerilya selama 8 bulan tahun 1824 M, sampai akhirnya ditangkap di perairan Indralaya, selanjutnya dipindahkan ke Dusun Pegayut untuk diadakan upacara penjemputan secara adat kesultanan dengan menyertakan pejabat-pejabat kesultanan dan tokoh-tokoh para habaib



9



Palembang. Sultan akihirnya diasingkan ke Banda (sampai 1841) kemudian ke Manado, sampai meninggal tahun 1845. Susuhunan Husin Dhiauddin karena mengetahui rencana pemberontakan Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom tetapi tidak melapor kepada Belanda, kemudian diasingkan ke Jakarta. Susuhunan meninggal tanggal 1845 M, dimakamkan di Krukut, makam ini kemudian dipindahkan ke Kawah Tekurep Palembang oleh zurriatnya.



Makam Sultan Husin Dhiauddin



Dengan demikian berakhirlah masa Kesultanan Palembang Darussalam, digantikan oleh Residen Belanda dengan peraturanperaturan kolonial yang merugikan perdagangan dan pelayaran niaga kaum Alawiyyin.



PELAYARAN KE SINGAPURA Pangeran Syarif Ali merasa sangat terpukul dengan ditangkapnya Sultan dan Susuhunan Husin yang keduanya adalah adik ipar serta ayah mertuannya. Timbul keinginan yang kuat bagi Pangeran untuk meninggalkan Palembang, bepergian ke Singapura dengan Kapal Sconar miliknya. Dari sahabat-sahabatnya dikatakan bahwa Kota Singapura, India dan Persia adalah pusat perdagangan yang 10



ramai didatangi oleh kapal-kapal niaga dari Eropa, India, Cina, dan Indonesia yang memperdagangkan kristal, porselen, rempah-rempah, daun teh kayu/papan dan sebagainya. Yang paling menarik perhatiannya kitab-kitab Agama Islam, yang dikarang oleh ulama Timur Tengah dicetak di India untuk tambahan ilmu pengetahuannya. Tidak lupa pula dibelinya beberapa buku syair Persia untuk keluarganya, dan syair-syair semacam itu sangat disukai masyarakat Palembang. Perihal buku-buku Pangeran Syarif Ali diberitakan oleh penulis Belanda yang bernama Mohnike tahun 1874 M dan Ryn Van Alk Munde tahun 1883 M. Dilaporkan ada lebih dari 1200 jilid. Kitab-kitab itu sekarang telah habis dimakan zaman. Kecuali sebuah kitab agama yang ditulis tangan milik Habib Abubakar ayah dari Pangeran Syarif Ali, yaitu sebuah kitab hukum fiqih yang berjudul Fathul Muin tulisan tangan Faqih H. Muhammad Akib, bulan Ramadhan 1234 (1815 M).



KEPALA BANGSA ARAB Seperti juga di Betawi, Surabaya, Cirebon, Tegal dan lain-lain dimana tepusat kelompok-kelompok orang Arab diangkat seorang yang menjadi kepala atau Kapten Arab. Maksudnya untuk memisahkan mereka dari penduduk asli. Tugas Kapten Arab ialah mengawasi warga Arab agar jangan terlibat kasus-kasus hukum. Pangeran Syarif Ali yang tidak menyukai hubungan dengan orang Belanda merasa resah dengan pengangkatan ini, Kapten Arab berstatus pegawai pembantu residen. Tetapi setelah bermusyawarah dengan para habaib, tokoh-tokoh 11



masyarakat Alawiyyin, akhirnya jabatan itu dapat diterimanya dengan itikad baik dan kemaslahatan ummat. Dalam melaksanakan tugasnya Pangeran Syarif Ali dibantu oleh putranya Pangeran Abubakar (Pangeran Bakri) Dalam melaksanakan tugas, Pangeran Syarif Ali berpegang pada syariat, teliti dalam menilai persoalan serta berpandangan jauh ke depan untuk tidak terjebak dalam tipu muslihat Belanda sebagai musuh Islam demi keselamatan ummat muslimin dan kaum Alawiyyin. Syukurlah selama masa jabatannya sebagai Kapten Arab tidak pernah terjadi keresahan-keresahan yang ada masyarakat Arab yang terlibat didalamnya.



HARI TUA PANGERAN SYARIF ALI Tidak terasa anak cucunya bertambah banyak maka diperlukan tanah yang cukup luas untuk mendirikan rumah yang diperlukan. Untuk itu Pangeran membeli sebidang tanah di 13 Ilir, sebelah timur berbatasan dengan muara Sungai Karang Bengkuang dan di sebelah barat berbatasan dengan Lorong Kedipan Laut. Segera dibangun rumah rumah untuk Pangeran sendiri, kemudian rumah-rumah untuk putra-putranya yaitu Abubakar, Muhammad, Husin dan Hamid. Kemudian putra-putranya membangunkan pula untuk putra masing-masing sehingga tanah tersebut hampir penuh dengan rumah-rumah. Adapun rumah Pangeran sendiri berbentuk panggung yaitu Rumah Limas dengan beberapa kijing, garang dan dapur, ruangan / kamar untuk wanita bagian depan rumah ada 2 kijing (tingkat) adalah ruang tamu, sesudah itu bagian 12



tengah rumah terdapat kamar tidur. Di dekat tangga depan terdapat jambangan, yaitu bejana besar untuk tadah hujan. Untuk tempat shalat dibangun mushalla di tepi Sungai Musi. Adapun rumah Pangeran Syarif Ali sebelumnya di Karang Manggis. Disekitar tahun 1930-1935 tanahnya dibeli oleh Habib Hasan bin Alwi As-Seggaf, untuk mendirikan pondok penggergajian kayu. Bangunan rumahnya dipindahkan ke sebelah barat Benteng Kuto Besak, dijadikan museum. Sekarang bangunan tersebut berada di belakang Museum Bala Putra Dewa KM 5 Palembang (lihat gambar rumah yang ada di belakang uang pecahan Rp. 10.000,-). Benda sejarah milik Pangeran Syarif Ali yang masih Rumah Pangeran tinggal di museum itu adalah sebuah tempat tidur. Syarif Ali



Adapun rumahrumah yang terletak di 13 Ilir, dengan penjualan tanahtanahnya ikut terbongkar. Tahun 1932, dijual kepada perusahaan galangan kapal J.M.P., termasuk rumah Pangeran Bakri. Tahun 1938, tanah tempat rumah-rumah putra Ahmad bin Muhammad Mahimud di bagian muara Sungai Karang Bengkuang termasuk rumahrumah Ali, Alwi, Zen los.



13



Tahun 1948, pemerintah militer Jepang membeli paksa semua tanah dan rumah keluarga Pangeran Syarif Ali yang masih tertinggal. Setelah masa pendudukan tentara Jepang berakhir tahun 1945, seluruh tanah dan rumah yang telah dibeli paksa, dibeli pula oleh perusahaan kapal N.V. INDRUSTIELLE MAATSCHAPIJ PALEMBANG (IMP) (sekarang PT. KOJA), terkecuali rumah tempat tinggal Habib Abdullah (Ustadzah Ummi Kaltsum), sebidang tanah tempat Habib Ali bin Hamid, dan sebuah rumah milik Habib Umar (sekarang ditempati oleh keluarga Muhammad bin Umar / Keluarga Danila) di Jalan Ali Gathmir Palembang. Sejalan dengan usianya yang semakin lanjut, walaupun usaha dagangnya sedang mengalami masa kemajuan. Arsip Nasional laporan tahunan 1879 - 25 mencatat : Pada tahun 1870-an sebagian besar perdagangan di Palembang masih dikuasai oleh Pangeran Syarif Ali bin Syech Abubakar dan keluarganya. Tetapi tahun-tahun berikutnya usaha dagang dan pelayaran masyarakat Arab Palembang terancam oleh perkembangan pesat dunia perkapalan dan angkutan barangnya yang menghubungkan kota-kota pelabuhan penting di Indonesia dan Asia Tenggara. Pangeran Syarif Ali menyerahkan urusan perdagangan dan pelayarannya kepada putranya Muhammad, Hamid, Shaleh dan orang lainnya yang dipercayakannya. Perlu kami catat disini komentar L.W.C. v.d. Berg, seorang Pejabat Gubenur / Pemerintah Belanda yang meneliti masyarakat Arab di Palembang yang mencatat : 14



“Hampir setengah abad (tahun 1830 - 1880) Keluarga Bin Syech Abubakar berpengaruh besar terhadap golongan Arab dan kaum ningrat Palembang”. Dua tokoh dari Keluarga Syech Abubakar yaitu Pangeran Syarif Ali dan Pangeran Bakri, karena keduanya beberapa kali menyelesaikan keresahan politik di dalam lingkungan keluarga kesultanan yang didasarkan atas rasa kebencian dan dendam kepada Belanda karena Pangeran Syarif Ali menasehati mereka agar lebih cermat dalam mengukur kekuatan dengan tentara Belanda yang lebih lengkap persenjataannya, serta akibat-akibat yang akan ditimbulkan keluarga Sultan jika dikalahkan lagi oleh Belanda. Keresahan itu terjadi ketika keluarga Sultan Mahmud Badarudin II : 1. Memprotes penyerahan pajak atas uang pensiun keluarga Sultan yang jumlahnya sudah semakin kecil, karena harus dibagi dengan anak cucu mereka yang jumlahnya sudah semakin banyak. Jumlah ini masih akan dikenakan pajak oleh Residen. 2. Kebencian kepada Belanda sewaktu berita tentang kematian Sultan di Ternate sampai ke Palembang tahun 1854. Keresahan ini tidak sampai menimbulkan kerusuhan, tetapi rasa benci dan dendam terus tumbuh di masa berikutnya. Pangeran Syarif Ali meninggal dunia tanggal 29 Muharram 1295 H atau di bulan Februari 1878 M. Sebagai penghargaan Residen Belanda mengirim pasukan militer dalam iringan Jenazah ke Pemakaman 5 Ilir Palembang. Dari sejarah kehidupan Pangeran Syarif Ali dapat diperoleh hikmah, antara lain seperti berikut : 15



1. Ilmu Agama harus selamanya dipelajari. Syariat agama menjadi bimbingan, bahan pemikiran dan pedoman dalam mengambil kebijaksanaan. 2. Ilmu pengetahuan dunia perlu dipelajari, agar kita tidak diperbudak oleh orang lain dan lebih cermat dalam berpikir dan berbuat. 3.



Jangan menggantungkan hidup dengan orang lain, tuntutlah rezeki walaupun harus bekerja keras.



Makam Al-Habib Pangeran Syarif Ali ibn As-Syeikh Abubakar



16



AL-HABIB HAMID



bin Pangeran Syarif Ali Syeikh Abubakar



A



L-HABIB Hamid diperkirakan lahir tahun 1860. Beliau dibesarkan dan dididik di lingkungan keluarga pangeran. Ibunya adalah Nyimas Halimah binti Kemas Muhammad, Kedukan 5 Ulu Palembang. Sejak usia muda Hamid tertarik pada usaha pelayaran niaga, kapal Schonar milik ayahnya sudah tersedia. Hamid memilih rute pelayaran Pesisir Barat Kalimantan, yang waktu itu sudah tersohor ramai perdagangannya. Ada banyak kota pelabuhan di sepanjang pesisir dan kota-kota di tepi sungainya, ada banyak pedagang porselen Cina yang berdagang dan bermukim di Singkawang, rotan dan itlutng (bahan zat warna) yang diminati pedagang Eropa. Terus ke Utara singgah di Sambas, Kucing, dan Brunai dimana Hamid memfokuskan perdagangan permatapermata yang tinggi nilai mutu dan harganya. Dalam beberapa trip perdagangan saja sudah terlihat hasil usahanya. Merasa sudah cukup dewasa untuk berumah tangga dia pun melamar putri Habib Syech Al-Kaf, seorang tokoh keluarga Al-Kaf Yusrain. Lamarannya diterima dengan mahar 1000 keping uang emas (dinar) sehingga istrinya digelar “Cik Ima 1000 Dinar”. Dari perkawinan ini lahirlah putra / putri : 1. Ali



17



2. Zainah, pindah mengikuti suaminya ke Surabaya (Habib Ali bin Muhammad Mahimud) 3. Ahmad, pindah ke Muar 4. Alwi (Suami Wak Pa) 5. Abubakar Dalam suatu persinggahannya ke Kota Sambas, Habib Hamid oleh seorang relasi dititipi seorang anak laki-laki yang bernama Thohir. Anak itu dipelihara, dibesarkan dan sesudah dewasa dinikahkan. Dari perkawinannya Thohir dikaruniai putra, seorang putra yang kemudian dikenal sebagai Haji Muhammad Thahir Pertamina. Pada waktu pemerintahan Jepang berkuasa, rumah Habib Hamid dibeli paksa dan keluarganya pindah ke Lorong Masawa 13 Ilir. Putra-putra Habib Hamid mendapat didikan agama yang dikenal sebagai guru dalam peribadatan umumnya dan sebagai ahli nasab masyarakat Alawiyyin Palembang. Dalam pelayarannya yang terakhir menuju Serawak, Habib Hamid menderita sakit dan atas takdir Allah ia pun meninggal dunia dan dimakamkan di suatu tempat di Serawak.



AL-HABIB SHOLEH



bin Pangeran Syarif Ali Syeikh Abubakar



S



AUDARA seibu dari Habib Hamid adalah Habib Sholeh. Kalau Habib Hamid melakukan pelayaran niaga sampai ke Pantai Barat Kalimantan, maka Habib 18



Sholeh yang masih muda berhijrah ke Muar di Malaysia. Muar adalah kota pelabuhan Kesultanan Johor, terletak di Selat Malaka. Bermodalkan pengetahuan agama yang dipelajarinya sejak di lingkungan keluarga, di majlis-majlis taklim dan ditunjang pula dengan kitab-kitab koleksi ayahnya, maka Sholeh di tempat hijrahnya membuka pula majlis taklim di rumahnya. Murid-muridnya semakin banyak sehingga Habib Sholeh membangun sebuah masjid tempat mengajar dan masjid serta jalan yang menuju ke rumahnya disebut jalan dan masjid Shehabubakar. Karena dikenal sebagai guru agama yang terkenal di Muar, maka Sultan Johor mengangkat Habib Sholeh sebagai Kadi. Tidak lama setelah berdiam di Muar, Habib Sholeh menikah dengan seorang perempuan setempat. Dari perkawinan ini lahir : Syech dan Abdurrahman. Dari keduanya yang menikah di Malaysia, keturunannya tinggal di berbagai tempat di Malaysia. Berita mengenai keluarga Habib Sholeh ini baru kami peroleh dari S. Mahmud bin Ismail bin Abubakar bin Abdurrahman bin Shaleh bin Pangeran Syarif Ali yang datang ke Palembang dalam rangka mengikuti Haul Al-Imam As-Syeikh Abubakar bin Salim dan Al-Habib Pangeran Syarif Ali Syeikh Abubakar Palembang tahun 2012, bersama putranya Zulfikar. Adapun rumah tempat tinggal Habib Shaleh sudah dijual dan sekarang ini telah terdapat pemukiman baru. Adapun zurriyat Habib Sholeh yang ada di Malaysia dapat di lihat dari daftar terlampir. Habib Sholeh meninggal di Muar, Johor - Malaysia. 19



AL-HABIB ABUBAKAR



bin Pangeran Syarif Ali Syeikh Abubakar



A



L-HABIB Abubakar bin Pangeran Syarif Ali bin Abubakar bin Sholeh BSA kemudian di kenal sebagai Pangeran Bakri. Abubakar diperkirakan lahir tahun 1810, pendidikan dimulai dari lingkugan keluarga dengan mendatangkan guru ke rumah. Ibunya adalah Syarifah Sidah binti Zen bin Alwi bin Syahab. Sejak kecil Abubakar memperlihatkan sifat-sifat kecerdasan dalam bertingkah dan bijaksana dalam memecahkan persoalan. Sehingga di dalam pergaulan Abubakar tumbuh dewasa sebagai seorang yang berwibawa dan disegani. Berdasarkan hal diatas, sewaktu Pangeran Syarif Ali diangkat menjadi Kapten (kepala) Bangsa Arab di Palembang, Abubakar dipilihnya untuk menjadi pembantunya dalam menyelesaikan tugas pekerjaan seharihari, termasuk kunjungan ke para keluarga kesultanan maupun tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Dalam menghadapi persoalan, Abubakar berpedoman kepada kebijakan Pangeran Syarif Ali, yaitu cermat memperhitungkan akibat-akibat yang mungkin timbul dari kebijaksanaan pemerintah Belanda. Karena dinilai ikut memberi pengaruh dalam menyelesaikan keresahan-keresahan yang terjadi dalam masyarakat, maka Abubakar bersama dengan ayahnya, Pangeran Syarif Ali mendapat penghargaan dari pemerintah Belanda. Namanya kemudian lebih terkenal sebagai Pangeran Bakri. 20



Setelah Pangeran Syarif Ali meniggal tahun 1879, Pangeran Bakri tidak lagi menjadi pembantu kepala Arab. Namun demikian Pangeran Bakri masih mengalami suatu peristiwa yang tidak menguntungkan bagi masyarakat Arab Palembang, hanya karena ada seorang dari golongan Alawiyyin yang terlibat, maka seluruh masyarakat Arab Palembang terkena tindakan merugikan dalam usaha dagang dan pelayarannya. Orang yang dimaksud adalah Raden Syarif Abdullah bin Umar As-Seggaf. Habib Umar As-Seggaf adalah Penasehat Sultan Mahmud Badaruddin II dan juga sebagai menantunya dari perkawinan dengan Putri Sultan yang bernama R.A. Asima, menikah di pengasingan Ternate. Raden Syarif Abdullah dikirim belajar ke Hadhramaut dan beberapa tempat di Timur Tengah dan akhirnya mengikuti latihan militer Turki. Sekembalinya dari Timur Tengah, Abdullah berdomisili di Singapura, istrinya adalah Syarifah dari Malaka. Akhirnya atas kehendak Ibunya ia kembali ke Palembang dan bergabung dengan golongan ningrat Palembang yang sedang mempersiapkan pemberontakan melawan Belanda. Raden Syarif Abdullah yang punya hubungan dengan Juned Al-Junaid, Konsul Turki di Singapura yang tidak lain adalah adik ipar dari Raden Syarif Abdullah. Kaum ningrat yang merencanakan pemberontakan bulan puasa tahun 1881 mengharapkan bantuan Turki. Tetapi rencana ini diketahui oleh Residen Belanda melalui pegawai-pegawainya yaitu Raden Muhammad Ali, seorang mantan polisi dan Raden Umar bin Pangeran, Perdana Menteri dan Pimpinan Perang Raden Emuk bin Abdus Somad. 21



Semua pimpinan pemberontak ditangkap. Kejadian ini dinilai sangat berbahaya dan merupakan titik balik kepercayaan pemerintah kolonial terhadap citra Islam. Ibukota Palembang dianggap sebagai sarang kejahatan haji fanatik dan orang Arab asal Hadramaut yang ada di Palembang, sebagai musuh besar (Laporan Tahunan 18801882). Pangeran Bakri meninggal dunia pada tanggal 27 Syawal 1305 H atau tahun 1888 M dan dimakamkan di Gubah Pangeran 5 Ilir Palembang. Keluarga Pangeran Bakri : 1. 2. 3. 4.



Raudah Salim Abdullah, berputra Alwi Syukri Salim berputra :



1. Secha 2. Akil berputra : 1. Ibrahim 2. Ishak 3. Rogayah Rumah tempat tinggal keluarga Pangeran Bakri di Lorong Masawa 13 Ilir terbakar habis tahun 2012 yang lalu. Makam Pangeran Bakri



22



AL-HABIB MUHAMMAD MAHIMUD bin Pangeran Syarif Ali Syeikh Abubakar



A



L-HABIB Muhammad diperkirakan lahir tahun 1817. Masa balita dilewatinya dalam situasi perang antara Kesultanan Palembang Darussalam dengan Belanda, yang bermaksud merebut kekuasaan Sultan. Peperangan itu baru berakhir pada tahun 1824 Keberanian dan kecerdasannya sudah terlihat sejak masa kanak-kanaknya. Di lingkungan keluarganya ia mendapat didikan dasar ilmu agama, akhlak dan budi pekerti. Ilmu agama yang lebih luas dipelajarinya sesuai pertambahan usiannya. Ilmu agamanya ini terus diperdalaminya disamping kesibukannya dalam menjalankan tugasnya seharihari karena koleksi kitab-kitab yang diperlukan milik orang tuanya sudah tersedia. Ketika Ayahnya diangkat menjadi Kapten masyarakat Alawiyyin Palembang pada tahun 1833. Habib Muhammad diserahi tugas meneruskan usaha pelayaran niaga dan mengurus harta kekayaannya. Kemudian Habib Muhammad segera aktif dalam dunia pelayaran niaga. Tujuan utama adalah kota-kota pelabuhan di Jawa. Yang dapat dibeli dari Jawa antara lain batik, beras, lada, tembakau, kacangkacangan, asam jawa, dan gula. Di pelabuhan-pelabuhan di Jawa dapat dijual rotan, damar, lilin lebah, gaharu, getah perca, textile, porselen, barang-barang logam dan lain-lain. Arsip Nasional 1879 antara lain mencatat :



23



“Pada tahun 1870-an sebagian besar perdagangan di Palembang masih dikuasai Pangeran Syarif Ali dan keluargannya. Pada masa antara 1830-1870 umumnya pelayaran niaga kaum Alawiyyin Palembang mengalami kemajuan pesat dan menghasilkan banyak keuntungan”. Besarnya keuntungan yang diperoleh pedagang Alawiyyin dianggap / dicurigai oleh pemerintah Belanda sebagai donatur kaum ningrat untuk biaya pemberontakan tahun 1881. Karena itu pemerintah Belanda mengambil tindakan melarang orang Arab untuk menetap di pedalaman. Hal ini berarti para pedagang Arab kehilangan salah satu komoditi dagangnya yang penting yang laku di pasaran luar negeri dan sekaligus mengurangi barang-barang dagangan yang akan diangkut. Terbukti pemerintah Belanda akan mengalihkan aktivitas perdagangan ke tangan orang-orang Cina dengan cara membuka penampungan pada perkampungan Cina yang dibangun di Tebing Tinggi, Lahat dan Muara Dua. Beberapa tahun kemudian di daerah pedalaman dibuka pula perkebunan-perkebunan karet, kopi dan teh yang tertutup untuk pedagang-pedagang Arab, tetapi tidak untuk pedagang Cina. Dengan pembatasan jenis barang-barang dagangan, kemunduran usaha pelayaran juga disebabkan oleh : 1. Peraturan tentang Pelabuhan, Bea Cukai yang harus dibayar, termasuk pula pajak kekayaan. 2. Ekspansi Kapal Api ukuran besar (20.000 ton) atau lebih dengan rute yang biasa dilalui oleh kapal-kapal Arab Palembang, dari Palembang ke Batavia, Semarang, Cirebon, Surabaya, Gersik dan lain-lain. Orang dapat 24



menumpang kapal Belanda tersebut dengan membawa barang dagangannya dan pulang membawa barang belanjaannya dengan kapal yang sama. 3. Jangka umur tehnis kapal-kapal Schonar milik masyarakat Arab Palembang telah dilampaui atau kapal-kapal tua yang riskan pecah / karam.



Makam Habib Muhammad Mahimud



Untuk keluar dari kesulitan ini keluarga As-Seggaf dan Al-Munawwar membeli Kapal Api kecil dengan rute yang tidak begitu menguntungkan. Demikianlah sejak tahun 1880 jumlah Armada Alawiyyin Palembang terus berkurang dan kira-kira tahun 1910 sudah habis sama sekali.



KELUARGA HABIB MUHAMMAD MAHIMUD Menjadi tradisi pada waktu yang lalu, seorang keluarga Alawiyyin untuk mempunyai dua istri. Istri yang pertama dari golongan Syaraif dan yang kedua yang bukan Syaraif. 25



PUTRA-PUTRA DAN KETURUNAN



HABIB MUHAMMAD MAHIMUD



NO



NAMA ISTRI



NAMA ANAK



1.



Hubabah 1. Ahmad (Nasrun) Muznah binti 2. Rugayyah Ahmad bin Abubakar bin Shaleh BSA



2.



Putri dari Abdurrahman seorang (Mahimud) masyaikh di Kota Semarang Nama Istri : 1. Hubabah Zainab binti Ali bin Ahmad Al-Kaf 2. Hubabah Nur binti Thahir AlHaddad



3.



Putri keluarga Al-Mahdhar, Kampung Taligawe (5 Ilir) Palembang (Keluarga Habib Alwi bin



KETERANGAN Putra Ahmad : 1. Syekh(Banja rmasin) 2. Ali (Bandung) 3. Zen (Palembang) 4. Alwi



1. 2. 3. 4.



Alwi Muhsin Fatimah Nur



5. Halimah



Habib Ali Surabaya Nama istri : Zainah binti Hamid bin Pangeran Syarif Ali BSA (penduduk setempat)



26



1. 2. 3. 4.



Muhammad Khadijah Syekhah Nur



4.



Muhammad Al-Mahdhar)



5. Quraisy



Hubabah Hamid Syarifah Fatimah binti Nama Istri Hamid : Hasan bin Alwi 1. Zainah binti bin Husin bin Abdullah bin Shahab Muhammad bin Az-Zahir Abdurrahman bin Ahmad Al-Kaf



Putra / putri :



2. Mastura AlAtthas, Jakarta (tidak mendapat anak) 3. Siti binti Thahiran (Jakarta) 5.



Shalehah (asal 1. Bogor) 2. 3. 4. 5.



1. Ustadz Muhammad bin Hamid 2. Sy. Aminah 3. Sy. Latifah 4. Mustafa 5. Ali Ridho 6. Aisyah 7. Ummi Kaltsum 8. Ahmad 9. Khadijah 10. Safiah 1. Nafisah 2. Ramlah 3. Hasan Basri



Abdullah Usman Umar Abubakar Hasan



Dalam masa istirahatnya, Al-Habib Muhammad yang mempelajari ilmu agama dan mendalami ilmu tasawwuf, berpengaruh kepada amal perbuatannya. Beliau dekat kepada para alim ulama yang ada di Kota Palembang dan diakui pula sebagai seorang ulama karena ilmu dan sikapnya, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dalam pergaulan 27



beliau dihargai sebagai pimpinan yang didasarkan kepada ilmunya, pemikirannya serta keberaniannya dalam membela agama dan kebenaran. Hal ini dapat terlihat dari peristiwa berikut : 1. Membela Habib Syeikh didepan Residen karena melempar rumah seorang Belanda yang berada di sebelah langgar di Kampung Kedipan dan berkesudahan dengan pindahnya orang Belanda tersebut. Peristiwa ini terjadi kira-kira tahun 1875 M (lihat lampiran). 2. Ketika pemerintah Belanda melaksanakan peraturan agraria / pertanahan, maka untuk mendapatkan hak atas tanah tersebut harus dibeli dari pemerintah. Demikianlah, seorang janda di Kampung Muara (10 Ilir) mengalami kesulitan karena peraturan tersebut, sebab jika tidak, tanahnya akan disita. Sewaktu hal ini diceritakan kepada Habib Muhammad, maka beliau segera menyelesaikan pembayarannya sehingga bebaslah janda tersebut dari tekanan pemerintah Belanda. Adapun wanita tersebut dimaksud adalah Hababah Syarifah Fatimah binti Ahmad bin Alwi bin Pangeran Husin bin Hasan Az-Zahir Syahabuddin. Di akhir-akhir usianya, Fatimah kemudian menjadi isterinya pula. Selain dari peristiwa diatas, Habib Muhammad juga dikenal dengan kemurahannya membantu orang-orang yang berhajat kepadanya, sehingga di kalangan masyarakat beliau digelar Mahimud, banyak mendapat pujian karena kebaikannya, hingga beliau terkenal dengan nama Habib Muhammad Mahimud. Di rumah beliau banyak dikunjungi tamu, baik dari Palembang maupun dari luar Palembang, dan tamu-tamu itu 28



diterimanya dengan baik. Salah seorang tamunya adalah L.W.C. V.D. Berg, seorang pejabat penasihat pemerintah Belanda khusus untuk masyarakat Arab dan Indonesia. Salah satu kesannya yang tercatat dalam buku laporannya Le Hadramout Ethes Colonies Arabes Dans L’Archipel Indien halaman 34 berbunyi : “khususnya keluarga Bin Syeikh Abubakar yang sangat memperhatikan catatan genealogi (silsilah keturunan)-nya. Paling tidak kepadanya saya diperlihatkan di rumah-rumah keluarga mereka sejumlah catatan genealogi yang disalin dari aslinya di Hadhramaut”. Kunjungan itu terjadi pada tahun 1882 (masih banyak catatan lainnya tentang keluarga Syeikh Abubakar dalam bukunya itu). Di tahun 1900, kondisi kesehatan Habib Muhammad Mahimud sudah menurun. Matanya terkena rabun sehingga akhirnya tak dapat melihat. Dikarenakan penyakit bawaan yang dideritanya dalam usia lanjut, dan dengan ketetapan Allah Yang Maha Kuasa, sampailah batas akhir umurnya dalam tahun 1902 M. Beliau dimakamkan pada Hari Sabtu 9 Ramadhan tahun 1324 H. Pada kayu nisannya yang terbuat dengan ukiran seperti kayu nisan Pangeran Syarif Ali, tertulis namanya Al-Imam Al-Alim Sayyid Muhammad bin Ali.



29



AL-HABIB AHMAD BIN MUHAMMAD MAHIMUD bin Pangeran Syarif Ali Syeikh Abubakar



A



L-HABIB Ahmad adalah putra sulung dari Habib Muhammad Mahimud. Didikan agama dan akhlak budi pekerti diterimanya di lingkungan keluarga dan terus berkembang sejalan dengan pertambahan umurnya. Setelah berusia dewasa segera tampak keinginannya untuk melakukan pelayaran niaga. Habib Ahmad mengikuti pelayaran kapal milik ayahnya yang bernama Nasrun Namanya kemudian terkenal menjadi Habib Ahmad Nasrun. Tidak puas pelayarannya hanya sampai ke Jawa, Habib Ahmad terus berlayar ke Kalimantan, Sulawesi, Ternate, dan Ambon. Di tempat-tempat itu dijumpainya Keluarga Bin Syeikh Abubakar, keturunan Habib Ahmad bin Husin BSA bin Salim, Habib Mahdhar bin Ahmad, sampai ke Ternate tahun 1812, Ayahnya Abdullah berasal dari Inat, hingga akhirnya sampai ke Pulau Sumbawa keturunan Habib Mahdhar dapat ditemui di Manado, Ternate, Ambon, Banda (Des Alwi) bahkan ada pula yang di Irian.



KELUARGA HABIB AHMAD BIN MUHAMMAD MAHIMUD Ibunya adalah Hubabah Syarifah Muznah binti Ahmad bin Abubakar bin Sholeh, yaitu saudara sepupu ayahnya sendiri. Tinggal di Perumahan Pangeran 3 Ilir. Dari perkawinan ini lahirlah : 30



1. Ali, juga seorang pelaut seperti saudaranya. 2. Zen, sewaktu kapal Nasrun sudah tidak lagi dioperasikan keduanya menjadi pandu laut (Louds / los) pada Kapal KPM yang akan keluar masuk Palembang melalui Sungai Musi. 3. Syarifah Nur, istri Habib Ibrahim Syekh Abubakar asal Ternate / Gorontalo. 4. Alwi 5. Syekh 6. Aqil Setelah rumah-rumah mereka di Muara Sungai Karang Bengkuang dibeli oleh Pabrik Kapal IMP maka Ali beserta putranya Umar dan putri-putrinya pindah ke Nitipraja 4, Jalan Dalem Kaum Bandung. Zen beserta keluarganya pindah ke Lorong Aguscik, Jalan Dr. M. Isa 8 Ilir Palembang. Putra-putri Zen : Muhammad, Abubakar, Ahmad, Zainah. Alwi bersama putrinya Zainah pindah ke 8 Ilir, Jalan Dr. M. Isa. Putra Alwi yang bernama Shaleh telah meninggal dunia (sebelum dinikahkan) tanggal 8 Safar 1353 H (1934 M). Zainah sendiri adalah istri Habib Alwi bin Muhammad bin Ahmad bin Husin Shahab Az-Zahir dan mempunyai putra yang dikenal sebagai Ayip Minyak. Habib Syekh pindah dan bermukim di Kampung Sungai Mesa bersama saudarinya Syechah yang kemudian pindah ke Surabaya bersama putrinya yang tidak lain adalah istri dari Habib Idrus Al-‘Aydarus, alamat Nyamplungan, Surabaya. Syechah mempunyai anak Salim dan seorang wanita istri Habib Muhammad Al-Jufri Situbondo.



31



Sebagai amalnya Habib Syekh mendirikan sebuah Masjid, yang dinamakan Masjid Syekh Abubakar di dekat rumahnya. Adapun Aqil berputra 3 orang yaitu Ahmad, Muhammad dan Musthafa. Habib Ahmad Nasrun meninggal dunia 17 Dzulqaidah tahun 1326 H atau tahun 1909 M. Dimakamkan di Gubah Pangeran 5 Ilir Palembang. Habib Zen meninggal dunia tanggal 14 Jumadil Akhir 1375 H atau 1955 M Habib Alwi meninggal Tahun 1967 M. Keduanya dimakamkan di Gubah Habib Ahmad bin Syekh Shahab (Gubah Duku) Palembang. Habib Syekh bin Ahmad BSA meninggal di Banjarmasin.



Makam Habib Ahmad bin Muhammad BSA 32



AL-HABIB ABDURRAHMAN BIN MUHAMMAD MAHIMUD



bin Pangeran Syarif Ali Syeikh Abubakar



A



L-HABIB Abdurrahman lahir di Semarang, lebih kurang tahun 1870 M. Ibunya seorang wanita Masyaikh, Ayahnya Habib Muhammad Mahimud bin Pangeran Syarif Ali. Setelah berusia 12 tahun dia dijemput ayahnya untuk dididik dan dibesarkan di Palembang. Dalam masa selanjutnya di lingkungan keluarga ayahnya, Habib Abdurrahman mendapat didikan agama seperlunya dan mengikuti kegiatan usaha dan pelayaran yang 33



waktu itu merupakan mata pencarian masyarakat Alawiyyin Palembang umumnya. Setelah merasa siap dengan pengetahuannya dan telah mencapai usia dewasa, maka Habib Abdurrahman dinikahkan dengan Syarifah Zainab binti Ali bin Ahmad Al-Kaf. Dari perkawinan ini lahirlah putra / putrinya yaitu : 1. 2. 3. 4.



Alwi, bersama keluarganya pindah ke Jakarta tahun 1948. Muhsin, meneruskan usaha ayahnya di Palembang. Syarifah Nur, istri Habib Idrus Al-Haddad. Fatimah, istri Habib Hamid bin Ali BSA.



Setelah istrinya Syarifah Zainab meninggal Habib Abdurrahman menikah kembali dengan Syarifah Nur binti Thahir Al-Haddad, dan mendapat seorang putri yaitu Syarifah Halima (istri Habib Musthofa bin Hamid BSA). Untuk keperluan keluarga dan usahanya, disekitar tahun 1925 Habib Abdurrahman membeli sebidang tanah di Kampung Al-Kaf Sungai Buntu. Diatas tanah itu dibangun rumah-rumah untuk anak-anaknya, gudang dan dermaga untuk usahanya serta jalan untuk kendaraan angkutan barang ke gudangnya. Pada waktu revolusi dalam pertempuran Januari 1947, seluruh rumah Habib Abdurrahman habis terbakar. Kemudian beberapa diantaranya dibangun kembali.



KEGIATAN USAHA HABIB ABDURRAHMAN Setelah merasa cukup pengetahuan dan pengalamannya dalam mengikuti usaha ayahnya, maka Habib Abdurrahman memulai usahanya dengan menggunakan kapal Jailani milik Habib Mahimud. Berdagang ke Cirebon dengan 34



membawa dagangan berupa tekstil untuk bahan kain batik, malam (lilin), dan getah perca. Dan pulangnya membawa kain batik dan lain-lain. Karena Kapal Jailani dinilai sudah melewati usia tehnisnya dan dikuatirkan akan rusak dalam perjalanan, Habib Abdurrahman membeli Kapal Al Mas milik Habib Ahmad bin Alwi Al-Kaf, yang dinilainya masih baik kondisinya dan dapat dioperasikan beberapa tahun lagi. Dalam pelayaran perdananya Habib Abdurrahman tidak ikut dalam kapal itu. Tujuan pelayaran adalah Cirebon, namun sesampainya di Bangka kapal itu pecah terkena badai, bocor dan karam. Menghadapi hal ini Habib Abdurrahman segera bertindak dan segera berangkat dengan kapal KPM ke Cirebon dan beberapa hari kemudian dia kembali dengan kapal sewaan dengan membawa Minyak Goreng, Gula Merah, Kacang-kacangan dan lain-lain barang-barang kebutuhan pokok. Barang-barang tersebut segera terjual habis, karena stok pasar sedang kosong, sehingga tertutuplah kerugian kapal Al Mas.



KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI MASYARAKAT ALAWIYYIN Habib Abdurrahman aktif berniaga sejak tahun 1890, sedang masa kejayaan masyarakat Alawiyyin Palembang, yaitu di masa kesultanan Palembang Darussalam pada waktu mana tidak ada larangan untuk memilih mata dagangan dan peraturan-peraturan yang memberatkan pelayaran kapal di Sungai Musi sampai ke pedalaman.



35



Sejak Sultan Mahmud Badarudin II dikalahkan Belanda, perdagangan Beras, Gula dilarang bagi pedagang Alawiyyin. Peraturan bea cukai dan pelabuhan diatur dan dirasa berat bagi kapal-kapal Arab. Peraturan Agraria pun banyak membuat kecemasan bagi orang yang sudah berdomisili di Palembang, terutama yang tanahnya luas, karena tanah itu harus dibeli dari Pemerintah Belanda untuk mendapat hak EIGEN DOM. Setelah terjadi rencana pemberontakan tahun 1881, pedagang Alawiyyin dilarang berdagang di daerah pedalaman, hal ini berarti peluang untuk berdagang hasil hutan, dengan hasil perkebunan yang mulai panen seperti Karet, Kopi, Teh, tertutup. Sebagaimana Beras, perdagangan Kopi, Teh, Karet ini dibebaskan untuk pedagang Cina. Kendala terakhir adalah intervensi usaha pelayaran niaga oleh pemerintah Belanda Menghadapi hal ini Habib Abdurrahman yang luas pandanganya dalam usaha niaga mencari jalan keluar untuk mempertahankan perusahaannya. Semakin meningkatnya volume perdagangan hasil perkebunan di pedalaman dan terpusatnya perdagangan di Palembang, pemerintah Belanda memindahkan pasar dari Sekanak ke 16 Ilir. Untuk ini dibangun beberapa blok toko yang pembangunannya diserahkan kepada swasta secara investasi. Banyak pedagang Alawiyyin yang menginvestasikan modalnya dibidang kepemilikan toko ini. Selanjutnya jumlah orang-orang Belanda yang bertugas di Palembang semakin bertambah, sedang tempat tinggal mereka tersebar di berbagai tempat. Pemerintah Belanda pun bermaksud mengumpulkan mereka disuatu 36



komplek perumahan, yaitu di Talang Semut. Pembangunannya diatur dan dibiayai dengan investasi pihak penguasa. Habib Abdurrahman ikut menginvestasikan modalnya dan memiliki beberapa rumah yang disewakan. Habib Abdurrahman juga merasa perlu menyesuaikan sistem perdagangan pada masa itu. Pada tahun 1918 bersama keluarganya Habib Abdurrahman mendirikan satu bentuk perusahaan Badan Hukum yaitu Firma S.A. Shebubakar & Co., dengan dibantu kedua putranya Alwi dan Muhsin yang telah mengikuti pendidikan Belanda. Firma ini mengimpor Semen, Besi, Beton, dan Paku dari Jepang, dan dari Australia di impor Tepung Terigu dan Susu Kental Kaleng dengan memakai label perusahaannya Fa. S.A. Shebubakar & Co. pada kemasannya. Dengan label tersebut masyarakat Palembang memberinya gelar Habib Abdurrahman saudagar gandum. Habib Abdurrahman mempunyai hubungan baik bukan saja dengan kalangan pengusaha, tetapi juga dengan beberapa tokoh masyarakat, termasuk pengurus Masjid Agung Palembang. Habib Salim bin Ahmad bin Jindan datang ke 37



Palembang tahun 1936 dan 1938 sebagai tamu Habib Abdurrahman. Atas inisiatifnya pula Habib Salim bin Jindan pergi ke Singapura bersama-sama Habib Hamid bin Muhammad Mahimud dan Habib Muhsin putra Habib Abdurrahman tahun 1938, dalam rangka ziarah dan silaturahmi kepada alim ulama disana. Setelah melewati masa penjajahan Jepang dan masa perang revolusi yang penuh penderitaan di awal tahun 1950, usaha dagangnya dengan Australia dibuka kembali tetapi tidak berlangsung lama, karena terbentur dengan peraturan yang berlaku. Dalam usianya diatas 90 tahun, Habib Abdurrahman masih memperlihatkan perhatian dan kunjungan kepada keluarga saudara serta anak cucunya. Pada waktu ibundanya, Syarifah Fatimah binti Ahmad bin Shahab meninggal dunia di tahun 1952, menyempatkan diri untuk melawat dan mendoakannya sambil meneteskan air mata harunya Dari hari ke hari kesehatannya semakin menurun, dan matanya semakin kabur, hingga tidak dapat lagi keluar rumah. Hingga akhirnya pada suatu hari, tanggal 14 Rabiul Akhir 1376 H / 18 Nopember 1956, Habib 38



Abdurrahman berpulang ke rahmatullah. Jenazahnya dimakamkan di tanah pemakaman keluarganya di Kandang Kawat Duku Palembang.



Makam Habib Abdurrahman bin Muhammad BSA



39



DAFTAR SISA KAPAL-KAPAL (SCHONEER) MILIK MASYARAKAT ALAWIYYIN PALEMBANG DARUSSALAM (TH. 1880) No.



Nama Kapal



Pemilik



1.



Nurul ‘Asyiqin



S. Ahmad bin Ali Shahab



2.



Al-Yusri



S. Alwi bin Syeikh Shahab



3.



Nurul Hasyim



S. Hasyim b. Muhammad Shahab (500 Ton)



4.



Thaif



S. Abdurrahman bin Abdullah Al-Kaf



5.



Gathmir



S. Alwi bin Ahmad Al-Kaf



6.



Al Mas



S. Hamid Bin Alwi Al-Kaf



7.



Athiatur Rahman



S. Abdullah bin Salim Al-Kaf



8.



Fanatur Rahman



S. Ali bin Ahmad Al-Kaf (400 Ton)



9.



Yusrain



S. Alwi Al-Kaf Yusrain



10.



Fathul Mubarok



S. Ali bin Usman Baraqbah



11.



Maimun



S. Ahmad bin Usman Baraqbah (300 Ton)



12.



Jaiyidul Bari



S. Idrus bin Ahmad bin Abdullah Madihij



13.



Al-Munawwar (An-Nur)



S. Abdurrahman Al-Munawwar



14.



Al-Fahir



S. Abdullah bin Abubakar Al-Fakhar



15.



Hasbul Khair



S. Ahmad bin Shahabuddin



16.



Fathul Razzak



S. Ahmad bin Husin Jamalleil



17.



Hud Huda



S. Muhammad bin Abdurrahman AsSeggaf



18.



Nasrun (An-Nasr) S. Muhammad bin Ali Syekh Abubakar



bin



Muhammad



(250 Ton)



S. Muhammad bin Ali Syekh Abubakar 40



19.



Al-Jailan



20.



Athiatul Maula



S. Muhammad bin Ali Al-Musawa



Kedua puluh kapal tersebut diatas adalah sisa-sisa dari kapal-kapal milik kaum Alawiyyin Palembang. Kapal-kapal tersebut berjenis Schoneer atau Barkas, yaitu kapal layar buatan Eropa dengan tiang layar 2 atau 3, dengan kapasitas 250-500 ton barang. Yang masih ada tahun 1900 Masehi, dan sudah tidak ada lagi yang melakukan pelayaran. Sekitar tahun 1850 jumlah kapal-kapal tersebut masih ada 60 kapal, tahun 1885 masih ada 22 kapal yang aktif dioperasikan. Mengapa usaha pelayaran niaga Alawiyyin akhirnya tidak lagi dilanjutkan ?



masyarakat



1. Kapal jenis Schoneer itu buatan Eropa dan sudah tidak dibuat lagi, diganti dengan kapal Api. Kapal-kapal milik Alawiyyin Palembang umurnya sudah melewati usia tehnis 25 tahun, sehingga sangat besar resikonya akan pecah bila terkena badai, ombak dan batu karang. 2. Sejak tahun 1880 telah banyak kapal-kapal api ukuran besar (lebih dari 2000 ton) dengan rute PalembangSingapura, Jawa dan lain-lain. Dan lebih cepat sampai ke tujuan. Umpamanya seorang dapat menumpang kapal ke Singapura, setelah belanja di Singapura ia dapat menumpang dengan membawa belanjaannya pada kapal yang sama. Suatu cara yang lebih cepat dan lebih praktis. 3. Adanya peraturan-peraturan tentang perkapalan dan pelabuhan yang harus dipenuhi oleh Schoneer yang cukup merepotkan, dan biayanya tidak sedikit. 4. Adanya perbatasan bagi pemasok untuk berdagang seperti Beras, Gula, dan hasil hutan. Yang sebelumnya 41



merupakan mata perdagangan yang menguntungkan bagi pemilik-pemilik kapal Schoneer. Setelah usaha pelayaran ini mengalami kemunduran, beberapa keluarga Alawiyyin mencari jalan keluar. Antara lain : -



Pada tahun 1884 Kongsi As-Seggaf dan Al-Munawwar membeli kapal api kecil untuk rute Palembang - Bangka, usaha ini sepertinya tidak berkembang. Keluarga As-Seggaf dan Al-Munawwar juga mengusahakan penggergajian kayu untuk dipasarkan ke Jawa dan Singapura.



-



Habib Abdurrahman Mahimud bin Muhammad bin Pangeran Syarif Ali mendirikan Firma S.A. Shebubakar & Co. mengimpor Gandum dan Susu Kaleng dari Australia dan Semen, Besi, Beton, dan Paku dari Jepang.



-



Sebagian lagi pengusaha Alawiyyin menanam modalnya dalam bangunan rumah-rumah sewaan dan toko-toko di 16 Ilir untuk mendapatkan uang sewanya yang cukup tinggi. Dan ada pula yang tetap bertahan pada perdagangan Batik dan Tekstil seperti masamasa sebelumnya.



42



AL-HABIB ALI BIN MUHAMMAD MAHIMUD



bin Pangeran Syarif Ali Syeikh Abubakar



A



L-HABIB Ali diperkirakan lahir tahun 1875 di Palembang. Ibadah, agama dan akhlak budi pekerti telah diajarkan sejak kecil di lingkungan keluarga Pangeran Syarif Ali di 13 Ilir.



43



Jika kakaknya Ahmad berminat dalam pelayaran niaga dan Abdurrahman aktif dibidang perdagangan. Maka Ali lebih banyak waktunya di lingkungan keluarga. Habib Ali menikah dengan Syarifah Zainah binti Hamid bin Pangeran Syarif Ali, yang tidak lain adalah saudara sepupunya sendiri. Dari pernikahan ini lahir : Muhammad, Nur, Khadijah, dan Sidah. Dari perkawinannya yang kedua di Surabaya dengan wanita setempat lahir pula Quraisy. Habib Ali beserta keluarganya berhijrah ke Surabaya kira-kira pada tahun 1934. di Surabaya Habib Ali segera dikenal banyak orang, seperti para alim ulama, pengusaha dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena keramah-tamahan beliau, hingga sangat disegani dan dihormati. Habib Ali berfilsafat : “Sesungguhnya harta yang kita miliki dapat diumpamakan seperti daki yang melekat di badan, haruslah selalu dibersihkan”. Habib Ali pernah berkongsi dagang dengan keluarga Bin Hadi di Surabaya, tetapi tidak lama hubungan tersebut putus, karena perbedaan pandangan dalam kebijakan. Setelah itu Habib Ali bekerja sendiri. Ia menjual Obat Herbal bikinan sendiri ke desa-desa disekitar dibantu putranya Muhammad. Demikianlah pada tahun 1936, Habib Ali dan keluarganya pindah pula ke Banyuwangi. Kalau di Surabaya ia menikahkan Muhammad dan Nur dengan keluarga Bafaqih, maka di Banyuwangi ia mengawinkan putrinya dengan keluarga Al-Haddar. Ia tinggal beberapa tahun di Banyuwangi. Habib Ali tertarik pada keris-keris buatan zaman dahulu yang dapat dijumpainya, karena itu iapun mengkoleksi keris-keris tersebut dan menyimpannya. 44



Dibelikan sebuah rumah di kota pegunungan “Lawang” oleh cucunya yaitu Syech Bafaqih tidak jauh dari Pesantren Darun Nasyiin, Pimpinan Habib Muhammad bin Husin bin Ali Ba’bud. Tempat ini sepertinya lebih baik bagi buat Habib Ali dn Hubabah Zainah istrinya yang sudah lanjut usia, tetapi Habib Ali tidak dapat melepaskan kesukaannya berdagang keliling kedesa-desa dan berkunjung pada alim ulama terkemuka baik dari keluarga Al-Mahdhar maupun Habib Shaleh Al-Hamid, atau Habib Shaleh Tanggul yang sangat menghormati Habib Ali. Dalam perjalanannya Habib Ali selalu diiringi oleh Abdul Gafur, yang menyediakan diri sebagai pengawal beliau. Sebagian orang yang mengenalnya, Habib Ali dinilai mempunyai karomah, hal ini terlihat ketika : 1. Ketika di Lawang, Habib Ali hendak menikahkan salah seorang cucunya dengan putra Habib Thaha Al-Atthas, Habib Ali mengundang tiap tamu yang dikenalnya, bahkan sampai jauh ke desa-desa di sekitar Lawang. Padahal penghasilan Habib Ali saat itu sangat terbatas. Demikianlah pada hari perkawinannya yang dihadiri ribuan tamu, cukup tersedia nasi dan kelengkapannya. Selesai upacara persediaan beras berlebih sekian karung dan beberapa ekor ternak yang belum dipotong. 2. Pada suatu hari dimasa revolusi tahun 1945, beras di rumahnya telah habis, tidak ada yang dapat dimakan, keluarga telah berkeluh kesah. Sedang Habib Ali yang tidak lepas tasbihnya hanya tertawa kecil saja, menjelang tengah hari salah seorang cucunya dengan tidak didugaduga datang dari pasar dengan membawa beras satu bakul penuh, hasil upah membantu seorang pedagang di pasar. 45



3. Pada suatu hari Habib Ali mengirim surat kepada keluarganya di Palembang. Surat dimasukkan dalam amplop dengan hanya ditulis alamat tujuan : S Muhammad bin Hamid Palembang, alamat pengirim tidak tercantum, begitupun tidak dibubuhi perangko. Surat tersebut oleh kantor pos Lawang dikirim ke Palembang, kantor pos Palembang mengumpulkan suratsurat yang tidak lengkap alamatnya pada suatu tempat yang mudah dilihat umum. Demikianlah pada suatu hari sampai pada keluarga yang dialamatkan dengan membayar biaya perangko dan disampaikan kepada AlHabib Muhammad bin Hamid Syekh Abubakar, yang setelah membaca isi suratnya menyatakan bahwa surat itu memang ditujukan kepadanya. Selanjutnya dibalas dengan menyertakan perangko yang tidak lengkap tersebut. Keluarga Habib Ali sendiri heran dengan kejadian tersebut. Tamu-tamu yang datang ke Lawang kebanyakan mampir ke rumah Habib Ali untuk bersilaturrahmi. Jika yang datang para alim ulama maka Habib Ali bertutur kata dengan adabnya, sedang tamu-tamu yang lainnya dengan sikap yang lebih akrab diselingi dengan humor yang membuat suasana lebih santai. Tamu-tamu itu semua dijamu sesuai dengan keadaannya. Pada waktu Habib Alwi bin Ali bin Muhammad bin Husin Al-Habsyi mengadakan perjalanan ke Jawa Timur beliau singgah pula ke rumah Habib Ali, tetapi sayang pada waktu itu Habib Ali sendiri lagi berada di luar kota. Habib Ali menjaga kesehatan dengan banyak berjalan. Ia pun menjaga kelenturan badannya dengan rukuk sampai kedua ujung tangannya menyentuh lantai. Walaupun usianya sudah melebihi 80 tahun. 46



Zaman berganti zaman, suatu keadaan berganti dengan keadaan yang lain. Demikianlah menjelang G/30-S/PKI, tanah pekarangan rumahnya diambil petani penggarap dengan dalih tanah tersebut adalah milik mereka. Pada waktu penumpasan PKI rumah Habib Ali pun dirazia. Satu peti keris pilihan koleksi Habib Ali dirampas oleh Komandan Kodim setempat. Dimasa hidupnya, Habib Ali beberapa kali berkunjung ke Palembang. Begitu pula sanak keluarganya yang ada di Palembang berkunjung pula ke Surabaya atau Lawang. Keakraban yang hangat terjalin karena kunjungan tersebut. Suatu hal yang mengesankan bahwa Habib Ali selalu bercerita tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa Habib Muhammad Mahimud. Salah satunya seperti yang kami lampirkan pada akhir tulisan ini. Sudah kehendak dari yang Maha Kuasa pada pagi hari tanggal 15 Januari tahun 1969 Habib Ali berpulang ke Rahmatullah di rumahnya di Lawang. Berita dukanya segera tersebar luas, tamu-tamu berdatangan dari Malang, Pasuruan, Surabaya, Jember, Bondowoso, Bangil dan lain-lain. Diantara tamu, Habib Sholeh Al-Hamid dari Tanggul ikut memandikan jenazah. Iring-iringan pengantar jenazah sepanjang lebih kurang 2 km. Pada waktu jenazah sampai ke tempat pemakaman di lereng Gunung Arjuna barisan terakhir masih berada di pekarangan rumah almarhum. Tidak lama setelah itu Istri Habib Ali yaitu Hubabah Zainah dalam usia lebih dari 90 tahun pun sampai kepada akhir takdir umurnya. Setelah kepergian keduanya maka keluarga Habib Ali pindah kembali ke Sepanjang, Surabaya.



47



Abbas bin Muhammad, cucu Habib Ali sejak menikah, tinggal di Ampel Lonceng, Surabaya bersama isterinya dari Keluarga Al-Jufri.



AL-HABIB HASAN



I



bin Pangeran Syarif Ali Syeikh Abubakar



BUNYA adalah Masayu Laila binti Susuhunan Husin Dhiyauddin. Karena dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya, maka tidak banyak diketahui tentang dirinya hingga sampai suatu hari Hasan menyampaikan keinginannya untuk ikut melakukan pelayaran niaga ke Jawa. Setelah segala sesuatunya dipersiapkan, berangkatlah Hasan dan putranya Idrus dengan menumpang sebuah kapal milik ayahnya. Namun seperti pribahasa : “Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak”. Setelah berlayar beberapa hari sampailah kapalnya di perairan Belitung, datanglah badai dan gelombang laut yang tinggi sehingga kapalnya pecah terhempas keatas karang. Sejak itu tidak lagi terdengar berita tentang Habib Hasan dan putranya. Kalaupun ada disebut namanya, masih perlu dicek kebenarannya. Tim peneliti sejarah Sumatera Selatan menyatakan bahwa masjid pertama di Pulau Belitung didirikan 500 tahun yang lalu (?) oleh Hasan bin Syeikh Abubakar. Tidak ada keterangan lebih lanjut. Dalam tayangan Khazanah TV Trans 7 pada suatu pagi diberitakan bahwa Islam di Pulau Belitung diajarkan oleh Sayyid Hasan bin Abdullah (?) bin Syeikh Abubakar 48



yang berasal dari Aceh (?) Tempatnya di Desa Buding. Bupati setempat yaitu Cakraningrat tidak membenarkan ajaran ini, hingga timbul perselisihan. Habib Hasan akhirnya tewas, sesuai wasiatnya jenazahnya dimakamkan di atas bukit di Desa Air Batu Bening Belitung. Adapun Idrus putranya tidak diketahui nasibnya. Berita mengenai Hasan di Belitung diatas dirasa kurang akurat, untuk mendapatkan yang lebih akurat, kesulitan untuk mendapatkan keterangan karena kejadian sudah relatif lama, masyarakat yang masih sederhana dan kurang mengetahui seluk beluk masyarakat Alawiyyin dan tentang agama Islam.



49



lampiran



DENAH RUMAH-RUMAH KELUARGA PANGERAN SYARIF ALI JL. KARANG BENGKUANG / JL. ALI GATHMIR



12



14



10



18



20 2



1



SUNGAI PANGERAN



LR. KEDIPAN LAUT



16



3



5



11 13



4



6 7 8



19



17



SUNGAI KARANG BENGKUANG



15



9



SUNGAI MUSI



Keterangan : 1. Rumah Pangeran Syarif Ali 2. Rumah Husin Ambon 3. Rumah Pangeran Bakri 4. Rumah Hamid / Sholeh bin Pangeran Syarif Ali 5. Rumah Habib Abdullah bin Muhammad Mahimud 6. Rumah Syarifah Nur binti Ahmad bin Muhammad Mahimud 50



7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.



Rumah Habib Ali bin Ahmad Nasrun Rumah Habib Zen bin Ahmad Nasrun Rumah Habib Alwi bin Ahmad Nasrun Rumah Habib Umar bin Muhammad Mahimud Rumah Habib Hamid bin Muhammad Mahimud Rumah Habib Abubakar bin Muhammad Mahimud Rumah Habib Hasan bin Muhammad Mahimud Rumah Budel (Sekarang Masjid di PT. Koja) Rumah Habib Zen bin Shahab Rumah Habib Salim bin Husin Ambon Langgar Pangeran Langgar Karang Bengkuang Dermaga Rumah Habib Ali Lawang



51



AL-HABIB SYEIKH BIN ALWI AL-KAF



S



EBELUM dibangun perumahan Talang Semut, orangorang Belanda menempati rumah-rumah sewaan yang terpencar di beberapa tempat di Kota Palembang. Salah seorang Belanda yang baru pindah bertempat tinggal di Kampung Kedipan 13 Ilir disebelah sebuah langgar (mushalla). Keesokan harinya di waktu Shubuh, Habib Syeikh bin Zein Al-Kaf memukul beduk dan kemudian azan. Merasa tidurnya terganggu, orang Belanda tersebut membuka jendela rumahnya, kemudian mencaci maki Habib Syeikh yang sedang azan. Kemudian dia menutup kembali jendelanya. Selesai azan, Habib Syeikh mengambil sebuah batu besar, lalu melempar jendela kamar orang Belanda tersebut. Keesokan harinya Habib Syeikh dipanggil menghadap ke kantor Residen. Bersama dengannya adalah Habib Muhammad Mahimud dan beberapa orang lainnya termasuk seorang anak muda yang bernama Ali bin Muhammad Mahimud. Habib Ali bercerita kepada kami bahwa di depan pintu kamar residen duduk seorang abdi untuk memberi hormat kalau yang masuk kamar itu orang Belanda dan membuat lelucon dengan cara menarik kaki tamu yang bukan Belanda. Pada waktu Habib Syeikh masuk ke kamar, abdi tersebut segera menarik kakinya sehingga hampir terjatuh. Tidak terima dengan hal ini, Habib Syeikh kemudian mengayun kakinya dan menyepak dengan keras muka abdi tersebut sehingga darah mengalir dari bawah hidungnya 52



terkena bagian depan cerpu Habib Syeikh. Menanggapi peristiwa ini, residen berkata kepada abdi tersebut bahwa dia harus berhati-hati, lihat dahulu siapa tamu yang masuk. Setelah pembicaraan residen dengan rombongan Habib Syeikh, maka persoalan melempar jendela itupun dianggap selesai. Adapun Belanda yang mencaci maki Habib Syeikh hari itu juga pindah ke tempat lain. Adapun Habib Syeikh adalah besan Pangeran Syarif Ali. Dimasa mudanya Habib Syeikh terkenal karena mengIslam-kan penduduk Pulau Pisang (lepas pantai Krue) dan kawin dengan putri kepala suku pulau itu.



53



54