Masuknya Hindu Ke Kalimantan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS FINAL SEJARAH INDONESIA I SEBAGAI PENGGANTI UJIAN FINAL



MASUKNYA HINDU DI KALIMANTAN Dosen Pengasuh Mata Kuliah: Drs. Yusliani Noor



Disusun Oleh: Nama : M. Yusuf Ferdiansyah NIM



:



A1A107029



DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH BANJARMASIN 2011/2012



Masuknya Agama Hindu di Kalimantan Agama Hindu adalah agama yang mempunyai usia terpanjang merupakan agama yang pertama dikenal oleh manusia. Banyak para ahli dibidang agama dan ilmu lainnya yang telah mendalami tentang agama Hindu sehingga muncul bermacam- macam penafsiran dan analisa terhadap agama Hindu. Sampai sekarang belum ada kesepakatan diantara para ahli untuk menetapkan kapan agama Hindu itu diwahyukan, demikian juga mengenai metode dan misi penyebarannya belum banyak dimengerti. Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertama kalinya berkembang di Lembah Sungai Shindu di India. Dari lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok dunia melalui kitab suci Weda, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat tentang masuknya Agama Hindu ke Indonesia, tetapi masih tidak ada satupun yang benar-benar dapat diyakini kebenarannya, tetapi kemungkinan terbesar dikarenakan hubungan dagang dengan luar negeri. Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Masuknya Agama Hindu di Indonesia pertama kali adalah di pulau Kalimantan, terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi dengan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Ini dapat membuktikan bahwa di Pulau Kalimantan lah yang peradabannya pertama kali berkembang dibanding tempat lain di Indonesia. Kemudian, selain di Kalimantan, agama Hindu juga berkembang di pulau Jawa dan muncul Kerajaan-kerajaan besar Hindu bercorak Jawa di tanah air. Dari kerajaankerajaan Hindu Jawa ini, banyak tempat yang mendapat pengaruh dan bermunculan Kerajaan-kerajaan Hindu lainnya, khususnya di Kalimantan tersebut. Jadi, selain Kerajaan Kutai yang kerajaan Hindu pertama di indonesia, di Kalimantan juga terdapat Kerajaan-kerajaan Hindu yang berasal dari pengaruh dan hubungan dari Kerajaan-kerajaan Hindu Jawa seperti Sintang dan Sambas.



1.



Kerajaan Kutai



Letak Kerajaan Kerajaan Kutai adalah kerajaan tertua di Indonesia. Kerajaan ini terletak ditepi sungai Mahakam di Muarakaman, Kalimantan Timur, dekat kota Tenggarong. Pendiri Dinasti Diperkirakan Kerajaan Kutai berdiri pada abad 4 M. Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut. Tidak ada prasasti yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini dan memang sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh.prasasti tersebut didirikan oleh Raja Mulawarman. Bukti sejarah tentang kerajaan Kutai adalah ditemukannya tujuh prasasti yang berbentuk yupa (tiang batu) tulisan yupa itu menggunakan huruf pallawa dan bahasa sansekerta. Adapun isi prasati tersebut menyatakan bahwa raja pertama



Kerajaan



Kutai



bernama



Kudungga.



Kundungga adalah pembesar dari Kerajaan Campa (Kamboja) yang datang ke Indonesia. Kundungga sendiri diduga belum menganut agama Budha. Ia mempunyai seorang putra bernama Asawarman yang disebut Dewa Ansuman/Dewa Matahari. Setelah meninggal, Asawarman digantikan oleh salah satu dari tiga anaknya yaitu Mulawarman. Penggunaan nama Asawarman, Mulawarman dan nama-nama raja pada generasi berikutnya menunjukkan telah masuknya pengaruh ajaran Hindu dalam kerajaan Kutai. Prasasti Yupa



Kata Warman berasal dari bahasa Sangsekerta. Kata itu biasanya digunakan untuk akhiran nama-nama masyarakat atau penduduk India bagian Selatan. Dan hal tersebut membuktikan bahwa raja-raja Kutai adalah orang Indonesia asli yang telah memeluk agama Hindu.



Dalam prasasti itu menyatakan bahwa Raja Aswawarman merupakan pendiri dinasti. Kudungga bukan yang menjadi pendiri dinasti melainkan anaknya Aswawarman sebagai wamsakerta (pembentuk keluarga raja). Dikarenakan pada saat itu Raja Kudungga belum memeluk agama Hindu, sehingga ia tidak bisa menjadi pendiri dinasti Hindu. Kehidupan Kerajaan Kehidupan sosial di Kerajaan Kutai merupakan terjemahan dari prasasti-prasasti yang ditemukan oleh para ahli. Diantara terjemahan tersebut adalah sebagai berikut : •



Masyarakat di Kerajaan Kutai tertata, tertib dan teratur.







Masyarakat di Kerajaan Kutai memiliki kemampuan beradaptasi dengan budaya luar (India), mengikuti pola perubahan zaman dengan tetap memelihara dan melestarikan budayanya sendiri.







Kehidupan ekonomi di Kerajaan Kutai dapat diketahui dari dua hal berikut ini :  Letak geografis Kerajaan Kutai berada pada jalur perdagangan antara Cina dan India. Kerajaan Kutai menjadi tempat yang menarik untuk disinggahi para pedagang. Hal tersebut memperlihatkan bahwa kegiatan perdagangan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Kutai, disamping pertanian.  Keterangan tertulis pada prasasti yang mengatakan bahwa Raja Mulawarman pernah memberikan hartanya berupa minyak, emas dan 20.000 ekor sapi kepada para Brahmana. Tidak diketahui secara pasti asal minyak, emas dan sapi tersebut diperoleh, apabila didatangkan dari tempat lain, bisa disimpulkan bahwa kerajaan Kutai telah melakukan kegiatan dagang.







Kehidupan budaya masyarakat Kutai sebagai berikut :  Masyarakat Kutai adalah masyarakat yang menjaga akar tradisi budaya nenek moyangnya.  Masyarakat yang sangat tanggap terhadap perubahan dan kemajuan kebudayaan. Terbukti melalui upacara penghinduan (pemberkatan memeluk agama Hindu) atau disebut upacara Vratyastoma.  Menjunjung tingi semangat keagamaan dalam kehidupan kebudayaannya.



Masuknya Pengaruh Budaya



Masuknya pengaruh budaya India ke Nusantara, menyebabkan budaya Indonesia mengalami perubahan. Perubahan yang terpenting adalah timbulnya suatu sistem pemerintahan dengan raja sebagai kepalanya. Sebelum budaya India masuk, pemerintahan hanya dipimpin oleh seorang kepala suku. Selain itu, percampuran lainnya adalah kehidupan nenek moyang bangsa Indonesia mendirikan tugu batu. Kebiasaan ini menunjukkan bahwa dalam menerima unsur-unsur budaya asing, bangsa Indonesia bersikap aktif. Artinya bangsa Indonesia berusaha mencari dan menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan asing tersebut dengan kebudayaan sendiri. Bangsa Indonesia mempunyai kebiasaan mendirikan tugu batu yang disebut menhir, untuk pemujaan roh nenek moyang, sedangkan tugu batu (Yupa) yang didirikan oleh raja Mulawarman digunakan untuk menambatkan hewan kurban. Pada prasasti itu juga diceritakan bahwa Raja Mulawaraman memerintah dengan bijaksna. Ia pernah menghadiahkan ± 20.000 ekor sapi untuk korban kepada para brahmana / pendeta di dalam tanah yang suci bernama Waprakeswara. Waprakeswara adalah tempat suci untuk memuja dewa Syiwa dan di Gua Kembeng di Pedalaman Kutai ada sejumlah arca-arca agama Hindu seperti Siwa dan Ganesa, di pulau Jawa disebut Baprakewara. Upacara Vratyastoma dilaksanakan sejak pemerintahan Aswawarman karena Kudungga masih mempertahankan ciri-ciri ke-Indonesiaannya sedangkan yang memimpin upacara tersebut, menurut para ahli dipastikan adalah para pendeta (Brahmana) dari India. Tetapi pada masa Mulawarman kemungkinan sekali upacara penghinduan tersebut dipimpin oleh pendeta/kaum Brahmana dari orang Indonesia asli. Dengan adanya kaum Brahmana asli orang Indonesia membuktikan bahwa kemampuan intelektualnya tinggi, terutama dalam hal penguasaan terhadap bahasa Sansekerta pada dasarnya bukanlah bahasa rakyat India sehari-hari, melainkan lebih merupakan bahasa resmi kaum Brahmana untuk masalah keagamaan.



Masa Keemasan dan Berakhirnya Kerajaan



Dari yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur. Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang ibukotanya pertama kali berada di Kutai Lama (Tanjung Kute). Kutai Kartanegara inilah, di tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam yang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara. Nama-Nama Raja Kutai 1. Maharaja Kundungga, gelar anumerta Dewawarman 2. Maharaja Asmawarman (anak Kundungga) 3. Maharaja Mulawarman 4. Maharaja Marawijaya Warman 5. Maharaja Gajayana Warman 6. Maharaja Tungga Warman 7. Maharaja Jayanaga Warman 8. Maharaja Nalasinga Warman 9. Maharaja Nala Parana Tungga 10. Maharaja Gadingga Warman Dewa 11. Maharaja Indra Warman Dewa 12. Maharaja Sangga Warman Dewa 13. Maharaja Candrawarman 14. Maharaja Sri Langka Dewa 15. Maharaja Guna Parana Dewa 16. Maharaja Wijaya Warman 17. Maharaja Sri Aji Dewa 18. Maharaja Mulia Putera 19. Maharaja Nala Pandita 20. Maharaja Indra Paruta Dewa 21. Maharaja Dharma Setia Peta Kecamatan Muarakaman



2. Kerajaan Sintang



Asal-Usul Konon, asal-usul Kerajaan Sintang bermula dari kedatangan seorang tokoh penyebar agama Hindu dari Semenanjung Malaka (ada pula yang mengatakan berasal dari Jawa) bernama Aji Melayu. Ia datang ke daerah Kujau pada abad ke-4 dan mendirikan perkampungan baru di tempat itu. Di Kujau, Aji Melayu mengawini seorang gadis bernama Putung Kempat dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Dayang Lengkong. Bukti-bukti Peninggalan Bukti-bukti kedatangan Aji Melayu dapat dilihat dari temuan arkeologis berupa Arca Putung Kempat dan batu berbentuk phallus yang oleh masyarakat setempat disebut ‘Batu Kelebut Aji Melayu‘. Di daerah ini juga ditemukan batu yang menyerupai lembu serta makam Aji Melayu. Setelah beberapa lama menetap di Kujau, Aji Melayu berpindah ke Nanga Sepauk (sekitar 50 km dari Kota Sintang) hingga meninggal di sana dan dimakamkan di Tanah Tanjung, daerah Muara Sungai Sepauk. Setelah Aji Melayu meninggal, berturut-turut penguasa di Nanga Sepauk adalah Dayang Lengkong, Dayang Randung, Abang Panjang, Demong Karang (berkuasa sekitar abad ke-7 M), Demong Kara, kemudian Demong Irawan. Pada masa Demong Irawan berkuasa, Kerajaan Sintang resmi berdiri, yaitu sekitar abad ke-13 (± 1262 M) (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:19) Berdirinya Kerajaan Pendirian Kerajaan Sintang dilakukan oleh Demong Irawan, keturunan kesembilan Aji Melayu, pada abad ke-13 (+ 1262 M). Sebelum mendirikan Kerajaan Sintang, Demong Irawan melakukan pengembaraan dengan menyusuri Sungai Kapuas yang akhirnya sampai ke daerah pertemuan antara Sungai Kapuas dan Melawi yang disebut daerah Nanga Lawai. Demong Irawan mendirikan keraton di daerah pertemuan Sungai Melawi dan Sungai Kapuas (yaitu di Kampung Kapuas Kiri Hilir sekarang). Mulanya daerah ini diberi nama senetang, yaitu kerajaan yang diapit oleh beberapa sungai. Lambat laun penyebutan senetang kemudian berubah menjadi Sintang. Sebagai lambang berdirinya kerajaan itu, Demong Irawan yang memakai gelar Jubair Irawan I (± 1262 M) menanam sebuah batu yang menyerupai buah kundur. Batu yang kini berada di halaman Istana Sintang ini oleh masyarakat setempat dianggap keramat dan memiliki tuah.



Berdirinya Kerajaan Sintang bercorak Hindu ternyata sanggup menarik penduduk sekitar daerah Nanga Lawai untuk datang dan mendirikan permukiman baru. Berkembangnya permukiman di sekitar Nanga Lawai ternyata menarik perhatian Patih Logender dari Kerajaan Singasari yang kala itu turut serta dalam Ekspedisi Pamalayu I pada tahun 1275 M . Kedatangan Patih Logender beserta pengikutnya disambut baik oleh Jubair I. Bahkan Patih Logender diizinkan untuk tinggal di Kerajaan Sintang, diangkat menjadi penasehat, dan dikawinkan dengan puteri Jubair I yang bernama Dara Juanti. Setelah Jubair I meninggal pada tahun 1291 M, Dara Juanti naik tahta menjadi raja di Kerajaan Sintang, sedangkan Patih Logender tetap dijadikan penasehat raja. Tidak jelas siapa raja pengganti setelah Dara Juanti. Hanya saja sekitar tahun 1640 M terdapat raja bernama Abang Samad yang memerintah Kerajaan Sintang. Setelah Abang Samad turun tahta, berturut-turut posisi raja ditempati oleh Jubair II, Abang Suruh, Abang Tembilang, Pangeran Agung (1640 - 1715 M), Pangeran Tunggal (1715-1725 M), dan Raden Paruba. Raja terakhir ketika Kerajaan Sintang masih dalam pengaruh Hindu adalah Raden Purba. Raden Purba memerintah di Kerajaan Sintang sampai sekitar akhir abad ke-18, bersamaan dengan masuknya pengaruh Islam ke Kerajaan Sintang dan Kapuas Hulu. Sebelum meninggal, disebutkan bahwa Raden Purba telah memeluk agama Islam (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:29). Daftar Raja-raja Sebelum Demong Irawan berkuasa, sejak masa Aji Melayu sampai Demong Minyak, penyebutan raja belum lazim. Mereka masih disebut penguasa daerah Nanga Sepauk (Melawi). Silsilah para raja/sultan berikut ini dirangkum dari dua buku, yaitu J.U. Lontaan (1975, Sejarah-Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan-Barat) dan Syahzaman & Hasanuddin (2003, Sintang dalam Lintasan Sejarah). 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Aji Melayu Dayang Lengkong Dayang Randung Abang Panjang Demong Karang (berkuasa sekitar abad ke-7 M) Demong Kara Demang Minyak 8. Demong Irawan, Raja pertama Kerajaan Sintang yang bergelar Jubair I (± 1262-1291 M)



9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.



Dara Juanti (naik tahta pada tahun 1291 M) Abang Samad (memerintah pada tahun 1640 M Jubair II Abang Suruh Abang Tembilang Pangeran Agung (1640-1715 M) Pangeran Tunggal (1715-1725 M) Raden Paruba / Purba (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:26).



3.



Kerajaan Sambas



Letak Kerajaan Kerajaan Sambas kuno adalah kerajaan Wijayapura berlokasi sekitar muara sungai Rejang berdiri sekitar abad ke 7 sampai sekitar tahun 1675 di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Indonesia. Kerajaan Sambas merupakan pendahulu kesultanan Sambas, seperti halnya Kerajaan Kutai sebagai pendahulu Kesultanan Kutai. Penguasa Sambas bergelar Ratu atau Panembahan. Panembahan merupakan gelar yang mulai populer sejak 1587 karena digunakan oleh Panembahan Senopati, raja pertama Mataram Islam. Sejarah Berdirinya Pada mulanya Sambas (Kerajaan Nek Riuh) menjadi vazal Kerajaan Bakulapura (bawahan



Singhasari).



Tanjung



Dato



menjadi



perbatasan



wilayah



mandala



Bakulapura/Tanjungpura/Sukadana dengan wilayah mandala Borneo/Brunei/Barune Selanjutnya Sambas (Kerajaan Tan Unggal) merupakan vazal Kerajaan Tanjungpura (penerus Bakulapura) yaitu propinsi Majapahit di Kalimantan. Sambas terletak di antara jalur pelayaran dari Tiongkok ke Champa menuju Tuban (pelabuhan Majapahit). Sambas menjalin hubungan dengan Tiongkok pada tahun 1407 sejak terbentuknya pemukiman Tionghoa Hui Muslim Hanafi didirikan di Sambas. Pemukiman Tionghoa ini dibawah koordinator Kapten Cina di Champa, namun sejak tahun 1436 langsung di bawah gubernur Nan King. Kerajaan Sambas dan kerajaan lainnya di Kalimantan di bawah pengaruh Kesultanan Demak (penerus Majapahit). Tome Pires melaporkan bahwa Tanjompure (Tanjungpura/Sukadana) dan Loue (Lawai) masing-masing kerajaan tersebut dipimpin seorang Patee (Patih). Patih-patih ini tunduk kepada Patee Unus, penguasa Demak. Kemungkinan besar penguasa Sambas dan Banjarmasin juga telah ditaklukan pada masa pemerintahan Sultan Demak Pati Unus/Pangeran Sabrang Lor/Yat Sun (1518-1521) sebelum menyerbu posisi Portugis di Malaka pada tahun 1521 dimana Pati Unus gugur



dalam pertempuran tersebut. Semenjak runtuhnya Demak, Banjarmasin memungut upeti kepada Sambas, Sukadana dan Batang Lawai dan menjadikannya vazal Kesultanan Banjar. Terakhir kalinya Sambas mengirim upeti ke Martapura pada masa pemerintahan Sultan Mustainbillah Pada tanggal 1 Oktober 1609, Pangeran Adipati Saboa Tangan dari Kerajaan Sambas melakukan pakta kerja sama dengan VOC Belanda. Urutan Berdirinya Kerajaan Sebelum berdirinya Kerajaan Sambas di wilayah Sungai Sambas ini sebelumnya telah berdiri Kerajaan-kerajaan yang menguasai wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya. Berdasarkan data-data yang ada, urutan kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya sampai dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia adalah : •



Keraton I disebut Kerajaan Nek Riuh sekitar abad 13 M - 14 M.







Keraton II disebut Kerajaan Tan Unggal sekitar abad 15 M.







Keraton III disebut Kerajaan Sambas pada abad 16 M.







Keraton IV disebut Kesultanan Sambas pada abad 17 M - 20 M.



Secara otentik Kerajaan Sambas telah eksis sejak abad ke 13 M yaitu sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Negara Kertagama karya Prapanca pada masa Majapahit (1365 M). Kemungkinan besar bahwa Kerajaan Sambas saat itu Rajanya bernama Nek Riuh. Walaupun secara otentik Kerajaan Sambas tercatat sejak abad ke-13 M, namun demikian berdasarkan benda-benda arkelogis (berupa gerabah, patung dari masa hindu)yang ditemukan selama ini di wilayah sekitar Sungai Sambas menunjukkan bahwa pada sekitar abad ke-6 M atau 7 M di sekitar Sungai Sambas ini diyakini telah berdiri Kerajaan. Hal ini ditambah lagi dengan melihat posisi wilayah Sambas yang berhampiran dengan Selat Malaka yang merupakan lalu lintas dunia sehingga diyakini bahwa pada sekitar abad ke-5 hingga 7 M di wilayah Sungai Sambas ini telah berdiri Kerajaan Sambas yaitu lebih kurang bersamaan dengan masa berdirinya Kerajaan Batu Laras di hulu Sungai Keriau yaitu sebelum berdirinya Kerajaan Tanjungpura. Panembahan Ratu Sapudak Panembahan Ratu Sapudak adalah kerajaan hindu Jawa berpusat di hulu Sungai Sambas yaitu di tempat yang sekarang disebut dengan nama "Kota Lama". Kerajaan ini dapat disebut juga dengan nama "Panembahan Sambas". Ratu Sapudak adalah Raja



Panembahan ini yang ke-3, Raja Panembahan ini yang ke-2 adalah Abangnya yang bernama Ratu Timbang Paseban, sedangkan Raja Panembahan ini yang pertama adalah Ayah dari Ratu Sapudak dan Ratu Timbang Paseban yang tidak diketahui namanya. Ratu adalah gelaran itu Raja laki-laki di Panembahan Sambas dan juga di suatu masa di Majapahit. Pada 1 Oktober 1609 saat masa Ratu Sepudak telah mengadakan perjanjian dagang dengan Samuel Bloemaert dari VOC yang ditanda tangani di kota Lama. Sejarah Berdirinya Asal usul Panembahan Sambas ini dimulai ketika satu rombongan besar Bangsawan Jawa hindu yang melarikan diri dari Pulau Jawa bagian timur karena diserang dan ditumpas oleh pasukan Kesultanan Demak dibawah pimpinan Sultan Trenggono (Sultan Demak ke3) pada sekitar tahun 1525 M. Pada tahun 1364 pasukan majapahit telah mendarat di Pangkalan Jawi.kini daerah itu bernama Jawai Bangsawan Jawa hindu ini diduga kuat adalah Bangsawan Majapahit karena berdasarkan kajian sejarah Pulau Jawa pada masa itu yang melarikan diri pada saat penumpasan sisa-sisa hindu oleh pasukan Demak ini yang melarikan diri adalah sebagian besar Bangsawan Majapahit. Pada saat itu Bangsawan Majapahit lari dalam 3 kelompok besar yaitu ke Pulau Bali, ke daerah Gunung Kidul dan yang tidak cocok dengan kerajaan di Pulau Bali kemudian memutuskan untuk menyeberang lautan ke arah utara, rombongan inilah yang kemudian sampai di Sungai Sambas. Pada saat rombongan besar Bangsawan Jawa yang lari secara boyongan ini (diyakini lebih dari 500 orang) ketika sampai di Sungai Sambas di wilayah ini di bagian pesisir telah dihuni oleh orang-orang Melayu yang telah berasimilasi dengan orang-orang Dayak pesisir. Raja Tan Unggal merupakan anak asuh dari Ratu Sapudak yang berhasil naik tahta dengan menyingkirkan putera dan puteri Ratu Sapudak yakni Bujang Nadi dan Dare Nandung yang dikuburkan hidup hidup dibukit Sebedang dengan tuduhan kedua bersaudara itu berniat kawin sesama saudara. Pada saat itu di wilayah ini sedang dalam keadaan kekosongan pemerintahan setelah terjadi kudeta rakyat dengan terbunuhnya Raja Tan Unggal secara tragis dengan dimasukkan kedalam peti dan petinya dibuang kedalam sungai dan sejak itu masyarakat Melayu di wilayah ini tidak mengangkat Raja lagi. Pada masa inilah rombongan besar



Bangsawan Jawa ini sampai di wilayah Sungai Sambas ini sehingga tidak menimbulkan benturan terhadap rombongan besar Bangsawan Jawa yang tiba ini. Setelah lebih dari 10 tahun menetap di hulu Sungai Sambas, rombongan Bangsawan Jawa ini melihat bahwa kondisi di wilayah Sungai Sambas ini aman dan kondusif sehingga kemudian Bangsawan Jawa ini mendirikan lagi sebuah kerajaan yang disebut dengan Panembahan atau dapat disebut dengan nama "Panembahan Sambas" yang masih beraliran hindu. Yang menjadi Raja Panembahan Sambas yang pertama tidak diketahui namanya setelah wafat, ia digantikan anaknya yang bergelar Ratu Timbang Paseban. Setelah Ratu Timbang Paseban wafat, ia digantikan oleh Adindanya yang bergelar Ratu Sapudak. Pada masa pemerintahan Ratu Sapudak inilah datang rombongan Sultan Tengah yang terdiri dari keluarga dan orang-orangnya datang dari Kesultanan Sukadana dengan menggunakan 40 buah perahu yang lengkap dengan alat senjata. Rombongan Baginda Sultan Tengah ini kemudian disambut dengan baik oleh Ratu Sapudak dan Sultan Tengah dan rombongannya dipersilahkan untuk menetap di sebuah tempat yang kemudian disebut dengan nama "Kembayat Sri Negara". Tidak lama setelah menetapnya Sultan Tengah dan rombongannya di Panembahan Sambas ini, Ratu Sapudak pun kemudian wafat secara mendadak. Kemudian yang menggantikan Almarhum Ratu Sapudak adalah keponakannya bernama Raden Kencono yaitu anak dari Abang Ratu Sapudak yaitu Ratu Timbang Paseban. Setelah menaiki Tahta Panembahan Sambas, Raden Kencono ini kemudian bergelar Ratu Anom Kesumayuda. Raden Kencono ini sekaligus juga menantu dari Ratu Sapudak karena pada saat Ratu Sapudak masih hidup, ia menikah dengan anak perempuan Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Anom. Beberapa lama setelah Ratu Anom Kesumayuda menaiki Tahta Kesultanan Sambas yaitu ketika Sultan Tengah telah menetap di wilayah Panembahan Sambas ini sekitar 10 tahun, anak Baginda Sultan Tengah yang sulung yaitu Sulaiman sudah beranjak dewasa hingga kemudian Sulaiman di jodohkan dan kemudian menikah dengan anak perempuan bungsu dari Almarhum Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu. Karena pernikahan inilah kemudian Sulaiman diangurahi gelaran Raden menjadi Raden Sulaiman. Tak lama setelah itu Raden Sulaiman diangkat menjadi salah satu Menteri Besar dari Panembahan Sambas yang mengurusi urusan hubungan dengan negara luar dan pertahanan negeri dan



kemudian Mas Ayu Bungsu pun hamil hingga kemudian Raden Sulaiman memperoleh seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden Bima. Tidak berapa lama setelah Raden Bima lahir, dan setelah melihat situasi di sekitar Selat Malaka sudah mulai aman, ditambah lagi telah melihat anaknya yang sulung yaitu Raden Sulaiman sudah mapan yaitu sudah menikah dan telah menjadi seorang Menteri Besar Panembahan Sambas, maka Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan sudah saatnya untuk kembali pulang ke Kerajaannya yaitu Kesultanan Sarawak. Maka kemudian Baginda Sultan Tengah beserta istrinya yaitu Putri Surya Kesuma dan keempat anaknya yang lain (Adik-adik dari Raden Sulaiman) yaitu Badaruddin, Abdul Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Dewi berangkat meninggalkan Panembahan Sambas, negeri yang telah didiaminya selama belasan tahun, yaitu kembali pulang menuju Kesultanan Sarawak. Dalam perjalanan pulang menuju Kesultanan Sarawak ini, yaitu ketika hampir sampai yaitu di suatu tempat yang bernama Batu Buaya, Baginda Sultan Tengah secara tidak diduga ditikam oleh pengawalnya sendiri namun pengawal yang menikamnya itu kemudian ditikam balas oleh Baginda Sultan Tengah hingga tewas. Namun demikian luka yang dialami Baginda Sultan Tengah terlalu parah hingga kemudian membawa kepada kewafatan Baginda Sultan Tengah bin Sultan Muhammad Hasan. Jenazah Baginda Sultan Tengah kemudian dimakamkan di suatu tempat dilereng Gunung Santubong (dekat Kota Kuching) yang hingga sekarang masih dapat ditemui. Sepeninggal suaminya, Putri Surya Kesuma kemudian memutuskan untuk kembali ke Sukadana (tempat dimana ia berasal) bersama dengan keempat orang anaknya (Adik-adik dari Raden Sulaiman). Sepeninggal Ayahnya yaitu Sultan Tengah, Raden Sulaiman yang menjadi Menteri Besar di Panembahan Sambas, mandapat tentangan yang keras dari Adik Ratu Anom Kesumayuda bernama Raden Aryo Mangkurat yang juga menjadi Menteri Besar Panembahan Sambas bersama Raden Sulaiman. Raden Aryo Mangkurat bertugas untuk urusan dalam negeri. Raden Aryo Mangkurat yang sangat fanatik hindu ini memang sudah sejak lama membenci Raden Sulaiman yang kemudian dilampiaskannya setelah Ayah Raden Sulaiman yaitu Baginda Sultan Tengah meninggalkan Panembahan Sambas. Kebencian Raden Aryo Mangkurat kepada Raden Sulaiman ini disebabkan karena disamping menjadi Menteri Besar yang handal, Raden Sulaiman juga sangat giat menyebarkan Syiar Islam di Panembahan Sambas ini sehingga penganut Islam di



Panembahan Sambas menjadi semakin banyak. Disamping itu karena Raden Sulaiman yang cakap dan handal dalam bertugas mengurus masalah luar negeri dan pertahanan sehingga Ratu Anom Kesumayuda semakin bersimpati kepada Raden Sulaiman yang menimbulkan kedengkian yang sangat dari Raden Ayo Mangkurat terhadap Raden Sulaiman. Untuk menyingkirkan Raden Sulaiman ini Raden Aryo Mangkurat kemudian melakukan taktik fitnah, namun tidak berhasil sehingga kemudian menimbulkan kemarahan Raden Aryo Mangkurat dengan membunuh orang kepercayaan Raden Sulaiman yang setia bernama Kyai Setia Bakti. Raden Sulaiman kemudian mengadukan pembunuhan ini kepada Ratu Anom Kesumayuda namun tanggapan Ratu Anom Kesumayuda tidak melakukan tindakan yang berarti yang cenderung untuk mendiamkannya (karena Raden Aryo Mangkurat adalah Adiknya). Hal ini membuat Raden Aryo Mangkurat semakin merajalela hingga kemudian Raden Sulaiman semakin terdesak dan sampai kepada mengancam keselamatan jiwa Raden Sulaiman dan keluarganya. Melihat kondisi yang demikian maka Raden Sulaiman beserta keluarga dan orang-orangnya kemudian memutuskan untuk hijrah dari Panembahan Sambas. Maka kemudian Raden Sulaiman beserta keluarga dan pengikutnya yang terdiri dari sisa orang-orang Brunei yang ditinggalkan oleh Ayahnya (Baginda Sultan Tengah) sebelum meninggalkan Panembahan Sambas dan sebagian besar terdiri dari orang-orang Jawa Panembahan Sambas yang telah masuk Islam. Daftar Ratu (Pangeran Adipati) dan Panembahan Kerajaan Sambas: • • • • •



Saboa Tangan Pangeran Adipati Sambas (1609) Ratu Timbang Paseban bin Saboa Tangan Ratu Sapudak bin Saboa Tangan (1650-1652) Ratu Anom Kesumayuda (Pangeran Prabu Kencana) bin Ratu Timbang Paseban Panembahan di Kota Balai (Raden Bekut) Raden Mas Dungun.



Sumber http://id.wikipedia.org http://melayuonline.com http://www.AnneAhira.com http://www.parisada.org http://sambasterigas.blogspot.com