7 0 550 KB
MATEMATIKA HINDU diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah dan Filsafat Matematika yang diampu oleh: Dr. Hj. Wati Susilawati, M. Pd. dan Riva Lesta Ariany, M.Pd.
Oleh Kelompok 9 Dea Karina
(1152050019)
Eka Septiyani Jamal (1152050028)
PRODI PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2017
Matematika Hindu Filsafat (zaman kuno) di India (“anviksiki” atau “darsana” yang berarti sistem) sedikit berlainan artinya daripada filsafat Barat modern. Lebih menyerupai “ngelmu” daripada “ilmu”, lebih merupakan ajaran hidup yang bertujuan memaparkan bagaimana orang dapat mencapai kebahagian yang kekal. Sikap orang India lebih subyektif, lebih mementingkan perasaan, penuh dengan rasa kesatuan dengan alam dunia yang mengelilinginya. (Salam, 2012) Menurut data sejarah, pada zaman 5000 tahun yang lampau (hampir sama dengan zaman pembangunan piramid Gizeh di Mesir) di India telah berdiri suatu kota yang bernama Mahenjo Daro. Dari penggalian-penggalian archeolog di Mahenjo Daro dapat diketahui bahwa kebudayaan India sudah cukup tinggi. Dari reruntuhan bangunan Mahenjo Daro dapat dilihat bahwa kota tersebut telah mempunyai sarana perkotaan yang cukup baik dan teratur, sarana jalan sudah cukup baik dan lebar, rumah-rumah sudah di bangun dengan batu bata, kamar mandi sudah menggunakan porselen, saluran air cukup baik, serta adanya tempat pemandian (kolam renang) untuk umum. Berdasarkan penemuan-penemuan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada saat itu kota Mahenjo Daro didiami oleh orang-orang yang mempunyai kebudayaan yang cukup tinggi. Di samping itu, mereka juga telah mempunyai sistem
penulisan, sistem berhitung, sistem pengukuran berat dan luas, serta sistem pengairan yang cukup baik. Tetapi walaupun demikian tidak terdapat dokumen mengenai perkembangan matematika pada zaman itu.
Perkembangan Matematika Di India Matematika India atau juga biasa disebut Matematika Hindu muncul pada abad ke 26 SM dan berakhir pada abad ke 14 M. Wilayah Hindu terletak di tengah beberapa pusat kebudayaan kuno yang telah mencapai peradaban yang cukup tinggi. Di sebelah barat terdapat Mesopotania, Mesir Kuno, dan Yunani Kuno. Sedangkan di sebelah timur terletak Cina Kuno. Letak wilayah ini menyebabkan lalu lintas yang terjadi di antara pusat-pusat kebudayaan itu melintasi India Kuno, sehingga dengan demikian banyak kebudayaan luar masuk kedalamnya dan sebaliknya banyak pula kebudayaan Hindu yang menyebar keluar. (Naga, 1980) Sekitar 4000 tahun yang lampau, suku-suku pengembara dari Asia Tengah masuk ke India dengan melintasi pegunungan Himalaya, mereka menamakan dirinya sebagai kaum Arya yang dalam bahasa sansekerta berarti kaum bangsawan atau tuan tanah. Pengaruh kaum Arya ini secara berangsur-angsur dapat menguasai seluruh wilayah India.
Dalam 1000 tahun yang pertama, kaum Arya mengajarkan penduduk asli India membaca dan menulis bahasa sansekerta serta
memperkenalkan
sistem kasta.
Sedangkan
yang
memerintah saat itu adalah nenek moyang orang India dari golongan ahli bahasa Panini dan guru agama Budha yaitu Sidharta Gautama. Keadaan ini kemungkinan
berlangsung
sampai menjelang masa Sulvasutera (hukum-hukum tali temali) yang berisi tulisan-tulisan yang berhubungan dengan keagamaan, serta berhubungan dengan sejarah perkembangan matematika. Pada masa ini, mereka telah menciptakan hukum-hukum geometri untuk kerangka tempat-tempat pemujaan dengan cara merentangkan tali-tali. Selain itu mereka telah mampu memperlihatkan pendekatan yang berhubungan dengan bilangan-bilangan Pythagoras. Pada abad ke VI SM, daratan India diserang oleh tentara Persia (Persian) di bawah pimpinan Darius. Kemudian pada tahun 326 SM, Daratan India jatuh pula ke tangan orangorang Yunani yang dipimpin oleh Iskandar Zulkarnaen. Setelah adanya penaklukan tersebut, berdirilah kerajaan Maurya. Dinasti Maurya telah mampu mengusir kekuasaan Yunani dan berhasil pula menyatukan kerajaan-kerajaan kecil yang tersebar di India. Salah satu keturunan dinasti Maurya yang sangat terkenal adalah raja Asoka (272-232 SM). Dibuktikan dengan adanya beberapa pilar-pilar batu besar
yang menjulang tinggi di setiap kota penting di India dan masih berdiri sampai sekarang. (Karso & Susilawati, 2014) Setelah
pemerintahan
Asoka,
India
berkali-kali
mengalami penyerbuan dimana akhirnya diikuti tumbuhnya Dinasti Gupta di bawah kekuasaan kaisar yang berasal dari penduduk asli India. Zaman Gupta merupakan abad keemasan bagi kembalinya sansekerta dan India menjadi pusat pelajaran seni dan obat-obatan. Pada waktu itu dibangunlah beberapa kota besar di India, serta bersusulan beberapa universitas. Sebagai
hasil
dari
kebangkitan
kembali
kebudayaan
sansakerta ini memulihkan karya-karya ilmu pengetahuan India yang dikenal dengan Siddhanta. Banyaknya pengaruh Yunani, Babylonia dan Cina terhadap Hindu dan sebaliknya masih merupakan persoalan yang belum dapat diputuskan, tetapi terdapat cukup banyak bukti bahwa pengaruh itu memang ada. Suatu anggapan yang dapat menjelaskan ini adalah bahwa terdapat penyebaran ilmu pengetahuan antara Timur dan Barat dan pada zaman yang sangat tua. India saling menukarkan duta-dutanya dengan Negara Barat dan Timur. Sekitar tahun 450 hingga hampir tahun 1400 India berkali-kali ditaklukkan oleh penaklukpenakluk asing.
Mula-mula
datang
orang-orang
Hun,
kemudian pada abad ke delapan datang orang-orang Arab dan kemudian orang-orang Persia datang pada abad ke sebelas.
1. Era Sulvasutera Ada tiga versi dari sulvasutera yang dapat ditemukan, tetapi yang paling terkenal adalah yang ditulis oleh Apastamba. Dalam tulisan primitif ini, yang usianya diperkirakan hampir sama dengan zaman Pythagoras, ditemukan dalil-dalil untuk melukis suatu segitiga siku-siku yang sisi-sisinya membentuk triple Pythagoras, seperti misalnya: 3, 4 dan 5, atau 12, 35 dan 37. Berdasarkan hal ini, bukan mustahil bahwa sulvasutera dipengaruhi oleh matematika Messopotamia. Begitu juga nampaknya Apastamba sudah mengenai dengan baik teorema, bahwa bujur sangkar yang dibuat pada diagonal suatu persegi panjang adalah sama dengan jumlah bujur sangkar yang dibuat pada dua sisi yang berdekatan persegi panjang tersebut. Kemungkinan teorema ini diperoleh Apestamba dari Messopotamia. Salah satu dalil yang diberikan Apestamba adalah dalil yang mirip dengan aljabar geometri dalam buku II The Element karya Euclid. Yaitu melukis suatu bujur sangkar yang luasnya sama dengan luas persegi panjang ABCD yang diketahui (gambar bawah).
Letakan sisi pendek persegi panjang itu pada sisi panjang sehingga AF = AB = CD. Buat garis HG, dimana H dan G adalah titik-titik tengah DF dan CE. Kemudian diperpanjang EF dengan FK, CH dengan HL, dan BA dengan AM, sehingga FK = HL= FH = AM, dan kemudian hubungan L, K, dan M. Sekarang dilukis suatu persegi panjang dengan diagonalnya sama dengan LG dan sisi pendekatan sama dengan HF. Maka sisi panjang dari persegi panjang ini adalah sama dengan sisi bujur sangkar yang diinginkan. Juga dalam sulvasutera ini terdapat penyelesaian soal menguadratkan lingkaran, yang apabila dituliskan dengan notasi sekarang ekivalen dengan: 𝑑=
13𝑑 (2 + √2)𝑠 𝑑𝑎𝑛 𝑠 = 3 15
Dimana d adalah diameter lingkaran dan s sisi bujur sangkar yang luasnya sama dengan luas lingkaran itu. Disamping itu juga dalam karya Apastamba ini terdapat pula suatu rumus 1 1 1 − √2 = 1 + + 3 (3)(4) (3)(4)(34) Dimana pernyataan ini benar untuk lima decimal. (Muchtar, 1988)
2. Era Siddhanta Ada lima versi Siddhanta yang dikenal orang, yakni Paulisha Siddhanta,
Siddhanta, Pautanaha
Surya
Siddhanta,
Siddhanta,
dan
Vasisishta Romanka
Siddhanta. Dari kelima Siddhanta ini hanya Surya Siddhanta, yang ditulis sekitar tahun 400, satu-satunya Siddhanta yang dapat ditemukan secara lengkap. Surya Siddhanta (pengetahuan dari matahari) tidak diketahui siapa penulisnya yang diketahui dari naskah ini hanyalah bahwa karya ini terasa dari matahari (surya), yaitu Dewa Matahari Pengetahuan dasar astronomi dalam Siddhanta nampaknya berasal dari Yunani, bercampur dengan dongeng-dongeng rakyat Hindu. Buku Paulisha Siddhanta yang ditulis sekitar tahun 380, kemudian diringkaskan oleh matematikawan Hindu
Varamihira dalam tahun 505. Kemungkinan besar karya asli Paulisha Siddhanta berasal dari Yunani, atau sekurang-kurangnya
dipengaruhi
oleh
karya-karya
astronomer Yunani. Dapat disimpulkan bahwa Siddhanta dituliskan akhir abad ke IV atau permulaan abad ke V, tetapi belum ada
kesepakatan
tentang
sumber
asli
dari
ilmu
pengetahuan yang terdapat di dalamnya. Ilmuan Hindu secara tegas mengatakan bahwa Siddhanta adalah hasil karya asli bangsa India, namun penulis-penulis Barat cenderung mengatakan bahwa siddhanta-siddhanta ini dipengaruhi oleh karya-karya Yunani. Menurut penulis Barat, bukan tidak mungkin Paullisha Siddhanta berasal dari karya astrolog Paul dari Alexandria, yang secara explist juga dibenarkan oleh ilmuan Arab, Al-Biruni. Juga terdapat kesamaan tentang nilai, yang diberikan Ptolemy dengan nilai yang diberikan dalam paullisht Siddhanta, yakni 3 177/1250, atau jika dituliskan dengan sistem numerasi Yunani adalah 3;8,30. Walaupun ada kemungkinan bahwa pengetahuan trigonometri Hindu berasal dari Yunani, namun materi pembahasannya sudah merupakan bentuk baru. Jika Ptolemy mendasarkan teoremanya
pada
hubungan
fungsional antara tali busur lingkaran dengan sudut pusat,
maka penulis Hindu merubahnya menjadi hubungan antara setengah tali busur lingkaran dengan setengahnya sudut pusat lingkaran. Jadi dari India lah permulaan munculnya fungsi trigonometri modern, yakni sinus dari suatu sudut dan pendahuluan dari fungsi sinus yang merupakan kontribusi Siddhanta dalam perkembangan sejarah matematika. Dari tahun 450 sampai dengan akhir tahun 1400, India kemudian menjadi arena invasi asing. Yang pertama kali datang adalah Hant, kemudian diikuti oleh bangsa Arab pada abad ke VIII, selanjutya disusul oleh bangsa Persia pada abad ke XI. Selama periode invasiinvasi
asing
itu,
matematikawan
yang
di
India
dikenal,
muncul
beberapa
diantaranya
adalah
Aryabhata, Brahmagupta, Mahavira dan Bhaskara.
3. Aryabhata (475-550) Selama adab ke VI, tidak lama setelah era tulisan Siddhanta, muncul dua matematikawan yang keduanya menulis buku-buku dengan jenis material yang sama, sehingga sukar untuk membedakan karya kedua mereka ini.
Kedua
matematikawan
tersebut
adalah
dua
Aryabhata. Aryabhata yang tua dan Aryabhata yang muda. Tetapi yang paling menonjol dari kedua Aryabhata
ini dalam sejarah matematika adalah Aryabhata tua, yang menulis sebuah buku yang berjudul Aryabhatiya, yang berisi tentang astronomi dan matematika. Posisi karya Aryabhata ini boleh dikatakan sama dengan posisi the Element
milik
Euclid,
yang
ditulis
800
tahun
sebelumnya. Kedua karya ini, The Element dan Aryabhatiya, adalah merupakan ringkasan dari hasil perkembangan
matematika
yang
sudah
didapat
sebelumnya, yang masing-masingnya dikumpulkan dan ditulis oleh satu orang saja. Perbedaan antara kedua karya ini adalah, Aryabhatiya lebih ringkas dan sederhana, dimana buku ini hanya berisi 123 bait sajak, yang berisi mengenai astronomi dan matematika. Kira-kira sepertiga dari isi Aryabhatiya adalah mengenai Canitapada (matematika), yaitu dalil-dalil mengenai mengenal aritmatika, aljabar, dan geometri, sedangkan sisanya mengenai astronomi. Dalam bidang geometri nampaknya karya Arybhata tidak sebaik karyanya dalam bidang aritmatika dan aljabar. Hampir separuh dari dalil-dalil tentang pengukuran yang terdapat dalam buku ini adalah salah. Sebagian contoh misalnya, luas suatu segitiga dinyatakan dengan dalil yang tepat sekali, yakni setengah perkalian alat dengan tinggi segitiga itu, tetapi mengenai isi suatu pyramid, Aryabhata
menyetakannya dengan dalil yang tidak benar, yaitu setengah dari perkalian luas alas dengan tinggi pyramid. Begitu juga luas lingkaran dinyatakan dalam Aryabhatiya dengan tepat, yakni perkalian keliling lingkaran dengan setengah diameter, tetapi sebaliknya isi suatu bola dinyatakan dengan dalil yang pangkat dua lingkaran besar itu. Dalam menentukan luas segi empat juga terdapat dalil-dalil yang tidak benar. Sebagai contoh misalnya, luas trapesium dinyatakan dengan tinggi trapesium itu, yang jelas benar. Tetapi luas sembarang bidang datar dinyatakaan dengan perkalian dua sisinya, yang jelas dalil ini salah. Satu pernyataan yang menarik dalam Aryabhatiya adalah: Tambahkan 4 dengan 100, kalikan dengan 8, dan setelah itu ditambah dengan 622.000. hasilnya adalah kira-kira sama dengan keliling lingkaran dengan diameter 20.000. Disini kita lihat bahwa Aryabhata telah memberikan nilai rr dengan 3, 1416, yang sama dengan nilai rr yang diberikan
oleh
Ptolemy
beberapa
ratus
tahun
sebelumnya. Suatu hal yang khas dari Aryabhatiya adalah
terdapatnya
aritmatika
(deret
teorema-teorema hitung),
yaitu
tentang teorema
deret untuk
menentukan jumlah suku-suku deret aritmatika, dan teorema untuk menentukan banyaknya suku deret aritmatika. Apabila diketahui suku awal, selisih antara dua suku, dan jumlah deret itu. Selanjutnya dalam buku ini terdapat pula teorema tentang deret geometri yang sederhana. Karya Aryabhata, Aryabhatiya, sesungguhnya adalah bunga rampai dari hal-hal yang sangat sederhana sampai kepada hal yang kompleks, dan dalil-dalil yang benar-benar eksak disamping dalil-dalil yang kurang eksak.
4. Brahmagupta Tidak diketahui dengan pasti kapan Brahmagupta dilahirkan, begitu juga tahun meninggalnya. Yang dapat diketahui hanyalah bahwa Brahmagupta lahir di India Tengah lebih kurang satu abad sesudah Aryabhata, dan bekerja pada pusat astronomi Ujjain di India Tengah. Dalam tahun 628 Brahmagupta menulis sebuah buku yang berjudul Srahas-sphuta-siddhanta (Perbaikan sistem brahma), suatu karya astronomi yang terdiri dari 21 bab, dimana dua bab diantaranya, bab 12 dan bab 18, berhubungan dengan matematika. Dalam satu hal, karya Brahmagupta
ini
mirip
dengan
pendahuluanya.
Aryabhata, dimana dalam buku ini terdapat teorema-
teorema yang salah disampng teorema-teorema yang benar.
Sebagai
contoh
misalnya
Brahmagupta
mengatakan bahwa luas suatu segitiga sama kaki adalah sama dengan perkalian alas dengan salah satu kaki segitiga yang sama itu, sedangkan untuk segitiga dengan panjang alas 14 dan ssi yang lainnya 13 dan 15, maka luas segitiga itu adalah sama dengan perkalian setengah alas dengan rata-rata kedua sisi yang lain. Disini kelihatan bahwa kedua teorema yang diberikan oleh Brahmagupta tersebut tidak eksak, melainkan hanyalah sebagai aproksimasi saja. Tetapi disamping teorema yang tidak
eksak
itu.,
terdapat
pula
teorema-teorema
Brahmagupta yang benar-benar eksak, yaitu teorema yang memanfaatkan rumus-rumus Archimedes-Heren. Sebagai contoh misalnya, untuk menentukan jari-jari lingkaran luar suatu segitiga, Brahmagupta memberikan rumus yang ekivalen dengan rumus trigonometri yang kita gunakan sekarang, yakni: 𝑎
𝑏
𝑐
2𝑅 = sin 𝐴 =sin 𝐵 =sin 𝐶 Yang merupakan formulasi kembali dari hasil karya Ptolemy.
Barangkali hasil karya yang paling menarik dari Brahmagupta adalah usahanya mengeneralisasikan rumus Beron untuk menentukan luas segi empat, yaitu: 𝐾 = √(𝑠 − 𝑎)(𝑠 − 𝑏)(𝑠 − 𝑐)(𝑠 − 𝑑) Dimana a, b, c, dan d sisi-sisi segi empat dan s setengah keliling segi empat itu. Sebenarnya rumus ini hanya berlaku untuk segi empat lingkaran saja, sedangkan untuk segi empat sembarang rumusnya adalah: K=√(𝑠 − 𝑎)(𝑠 − 𝑏)(𝑠 − 𝑐)(𝑠 − 𝑑) − 𝑎𝑏𝑐𝑑 𝑐𝑜𝑠 2
𝐴+𝐶 2
Dimana A dan c adalah jumlah pasangan sudut-sudut yang berhadapan. Kontrabusi Brahmagupta dalam bidang aljabar jauh lebih tinggi tingkatanya dibandingkan kontribusinya dalam bidang geometri karena dalam karyanya sudah ditemukan penyelesaian umum persamaan kuadrat, termasuk diperolehnya dua akar persamaan kuadrat dimana salah satunya adalah negatif. Adanya bilangan negatif dari bilangan nol dalam karya Brahmagupta ini adalah merupakan karya matematikawan pertama yang mengemukakan ini. Walaupun bangsa Yunani telah mengenal konsep nothingness, tetapi mereka tidak pernah menginterpresentasikannya sebagai bilangan,
sebagaimana yang dilakukan oleh Brahmagupta. Dalam bukunya ini Brahmagupta mengatakan bahwa : Positif dibagi positif atau negatif dibagi negatif adalah affiruatif (sama). Nol dibagi dengan nol adalah nol, positif dibagi negatif adalah negatif, dan negatif dibagi positif adalah negatif. Positif atau negatif dibagi dengan nol adalah pecahan dengan nol sebagai penyebut. Tidak seperti halnya bangsa Yunani, bangsa Hindu menganggap bahwa akar bilangan-bilangan rasional adalah juga bilangan. Ini adalah merupakan langkah maju yang
disumbangkan
matematikawan
selalu
dalam
perkembangan aljabar untuk sama-sama selanjutnya. Seperti telah dikatakan sebelumnya, matematika India bercampur aduk antara dalil yang eksak dengan dalil yang tidak eksak, tetapi dari bagian yang eksak itu betul-betul merupakan dalil-dalil yang sangat baik sekali. Dalam
karya
Brahmagupta
ditemukan
beberapa
kontribusi yang sangat besar artinya dalam sejarah pengembangan
matematika.
Diantara
kontribusi
Brahmagupta tersebut adalah dalil untuk menentukan tripel Pythagoras, yang dinyatakan (dalam notasi sekarang) dengan:
1 𝑚2 1 𝑚2 𝑚, ( − 𝑛) , ( + 𝑛) 2 𝑢 2 𝑢 Walaupun
rumus
ini
nampaknya
hanyalah
merupakan modifikasi dari dalil yang sudah dikenal di Babylonia, yang berkemungkinan Brahmagupta sudah mengenalnya. Kontribusi Brahmagupta yang lain dalam geometri adalah teoremanya tentang diagonal-diagonal suatu segi empat, dimana Brahmagupta mengatakan bahwa: Apabila m dan n diagonal-digonal segi empat lingkaran dengan sisi-sisi a, b, c, dan d maka : (𝑎𝑏 + 𝑐𝑑)(𝑎𝑐 + 𝑏𝑐) 𝑚=√ (𝑎𝑑 + 𝑏𝑐) 𝑑𝑎𝑛 (𝑎𝑏 + 𝑐𝑑)(𝑎𝑐 + 𝑏𝑐) 𝑛=√ (𝑎𝑑 + 𝑏𝑐)
Dalam bidang aljabar, Brahmagupta juga mempunyai kontibusi yang cukup tinggi nilainya dalam sejarah matematika. Brahmagupta adalah orang yang pertama sekali memberikan penyelesaian secara 𝑎𝑥 + 𝑏𝑦 = 𝑐
Dimana a, b, dan c bilangan-bilangan bulat. Untuk memperoleh
penyelesaian
secara
keseluruhan
dari
persamaan ini, maka Faktor Persekutuan Terbesar (FPB) dari a dan b haruslah pembagi dari 0, Brahmagupta juga mengetahui bahwa apabila a dan b relatif prima, maka semua penyelesaian dari persamaan ini dapat dinyatakan dengan: 𝑥 = 𝑝 + 𝑚𝑏 𝑑𝑎𝑛 𝑦 = 𝑞 − 𝑚𝑎 Dimana m adalah sembarang bilangan bulat. Dalam menyelesaikan persamaan 𝑎𝑥 + 𝑏𝑦 = 𝑐, Diophatus hanya memberikan satu penyelesaian saja dari tak terhingga banyaknya kemungkinan penyelesaian, sedangkan Brahmagupta banyak terdapat contoh soal yang bersamaan dengan contoh soal yang terdapat contoh soal yang bersamaan dengan contoh soal yang terdapat dalam karya Diophantus, yang menunjukan bahwa karyakarya
matematika
Yunani
mempengaruhi
karya
matematika Hindu, atau kemungkinan lain, matematika (bangsa
Hindu
dan
bangsa
Yunani)
sama-sama
memperolehnya dari sumber yang sama, yakni dari bangsa Babylonia. Seperti halnya aljabar Diophantus, aljabar Hindu adalah
aljabar
sinkopasi
(syncopated
algebra).
Penjumlahan bilangan dinyatakan dengan menulisnya
berjajar, pengurangan dinyatakan dengan titik diatas pengurangan, perkalian dinyatakan dengan menulis bta (suku pertama dari perkalian bhavita = perkalian) sejarah faktor-faktor, pembagian dinyatakan dengan menulis ka (dari perkataan Karana = irasional) sebelum kuantitas. Bilangan yang tidak diketahui (variable) dinyatakan dengan 𝑦𝑎 ̅̅̅̅ (dari perkataan 𝑌̅𝑎𝑣𝑎𝑡𝑡𝑎̅ 𝑣𝑎𝑡 = sebanyak), dan bilangan bulat yang diketahui diberikan awalan r𝑢̅ (dari perkataan r𝑢̅pa = bilangan absolut), sedangkan bilangan yang tidak diketahui lainnya dinyatakan dengan menuliskan suku-suku peta dari bermacam-macam warna, seperti ka (dari perkataan kalaka = hitam). Pi (dari pitaka = kuning), ha (dari haritaka = hijau), dan lo (dari lohatika = merah), dan ni (dari nilaka = biru), sebagai contoh misalnya: ̅̅̅ ni 7 bha a. 9 + 7xyz – 5 dituliskan dengan ru 9 𝑦𝑎 ̅̅̅̅ ̅𝑘𝑎 rhu 5̅ b. 8xy + √10 − 7 dituliskan dengan ya ka 8 bha ka 10 r𝑢̅ 7̅ 5. Mahavira (± 𝟖𝟓𝟎) Mahavira berasal dari India bagian selatan dan mulai di kenal pada tahun 850 Mahesi. Karya Mahavira
dalam
metematika
matematika
dasar,
adalah
tulisannya
seperti
operasi
mengenai
penjumlahan,
pengurangan, perkalian, pembagian, perpangkatan, dan operasi penarikan akar. Mahavira juga sudah mengenal bilangan positif dan bilangan negatif, serta operasi dengan bilangan nol. Mengenai operasi dengan nol, Mahavira menuliskannya sebagai berikut: Sebuah bilangan apabila dikalikan dengan nol akan menghasilkan nol, dan bilangan itu tidak akan berubah nilainya apabila ditambah, dikurangi, atau dibagi dengan nol. (Muchtar, 1988) Kesalahan yang terdapat dalam tulisan Mahavira ini adalah bahwa membagi dengan nol dikatakan tidak merubah bilangan itu sendiri. Tetapi yang paling menarik dalam karya Mahavira adalah mengenai membagi bilangan
dengan
pecahan.
Mahavira
melakukan
pembagian dengan pecahan dengan cara mengalikan bilangan yang akan dibagi itu dengan kebalikan pecahan tersebut. Cara yang dilakukan Mahavira ini belum pernah dilakukan oleh matematikawan sebelumnya, dan bahkan sampai abad ke XVI di Eropa orang belum menggunakan cara yang dilakukan Mahavira. Salah satu soal mengenai membagi dengan pecahan adalah sebagai berikut:
Dari suatu keranjang mangga raja mengambil kemudian ratu mengambil
1 5
1 6
nya,
dari mangga sisanya.
Seterusnya tiga putra raja mengambil masing-masing 1 1 , , 4 3
dan
1 2
dari sisanya berturut-turut. Sedangkan
putra raja yang bungsu mengambil sisanya yakni tiga buah mangga. Berapa banyaknya buah mangga yang terdapat dalam keranjang itu?. Dengan menggunakan notasi aljabar sekarang, sebenarnya soal yang diberikan Mahavira tidaklah sukar, yaitu dengan memisalkan bilangan yang tidak diketahui 1 𝑥, 6
dengan 𝑥. Jadi raja akan memperoleh 5 6
1 5
5 6
sehingga
1 6
sisanya 𝑥, ratu akan mengambil dari 𝑥 = 𝑥, sisanya 4 𝑥, 6
dan putra pertama akan memperoleh
dan sisanya
1 𝑥 3
1 4
4
1
dari 6 𝑥 = 6 𝑥
begitulah seterusnya, putra yang kedua
dan ketiga memperoleh
1 𝑥, 6
sehingga mangga yang
1 6
1 6
tersisa adalah 𝑥 untuk putra bungsu. Jadi 𝑥 = 3 atau 𝑥 = 18
6. Bhaskara Bhaskara
adalah
matematikawan
Hindu
yang
terkemuka pada abad ke XII. Bhaskara dalam karyanya
Vijaya-Ganita membahas tentang soal-soal membagi dengan nol, yang pada zaman Brahmagupta belum dapat diselesaikan. Bhaskara dalam karyanya ini mengatakan bahwa membagi dengan nol akan menghasilkan nilai tidak terhingga, tetapi dalam hal ini timbul pula keraguan 𝑎 0
dari pernyataan Bhaskara, bahwa = 𝑎. Bhaskara adalah matematikawan terkenal India terakhir dari zaman pertengahan, dimana karya-karyanya merupakan titik puncak kontribusi India terhadap perkembangan metematika. Karya Bhasakara yang paling terkenal adalah Lilavati (si cantik) yang merupakan kumpulan soal-soal matematika dari Brahmagupta dan matematikawan lainnya, dan kemudian menambahnya dengan soal-soal penemuannya sendiri. Lilavati diambil dari nama putrinya yang menurut legenda kehilangan kesempatan yang baik dalam mendapatkan jodoh. Karena kepercayaan Bhaskara yang kuat terhadap ramalan astrologinya.
Bhaskara
memperhitungkan
dalam
astrologinya bahwa putrinya Lilavati akan mengalami masa
perkawinan
yang
bahagia,
apabila
Lilavati
dikawinkan tepat pada suatu saat tertentu dan pada hari yang tertentu pula. Pada hari perkawinannya, beberapa saat sebelum bahagia itu datang, Lilavati bejalan-jalan di
sepanjang pekarangan rumahnya dan kemudian sambil membungkuk memperhatikan jalan jarum jam air yang terdapat disitu. Tanpa disadarinya, sebuah mutiara dari pakaian pengantin Lilavati jatuh ke dalam jam air, sehingga menutup jalan air pada jam tersebut, yang mengakibatkan jam itu berhenti bergerak. Ketika orang menyadari bahwa jam air tidak bergerak lagi ternyata saat bahagia yang ditunggu-tunggu sudah lewat sehingga gagallah perkawinan Lilavati. Untuk menghibur hati putrinya, maka Bhaskara memberi judul bukunya dengan nama Lilavati. Lilavati sama halnya dengan karya Bhaskara VijayaGanita yang berisi banyak soal-soal yang berhubungan dengan topik-topik yang sangat disenangi oleh orang Hindu, yakni persamaan linier dan persamaan kuadrat. Baik dengan akar-akar tertentu maupun yang tidak tertentu, pengukuran-pengukuran sederhana, aritmatika, deret, tripel pythagoras, bilangan irasional dan lain-lain. Dalam Lilavati juga terdapat soal yang sangat terkenal di Cina yaitu Broken Bamboo (bambu patah) dengan versi yang sedikit berbeda, yakni: Apabila sebatang pohon bambu yang tingginya 32 cubit satuan panjang patah diserang badai, dimana ujung patahan pohon bambu itu mencapai tanah
sejauh 16 cibut dari pangkalnya. Berapa cubitkah tingginya dari tanah bambu tersebut patah? Penggunaan teorema pythagoras dalam
buku Lilavati
terlihat dari soal berikut: Seekor burung merak bertengker di atas sebuah pilar, dimana pada dasar pilar itu terdapat sebuah lubang sarang ular. Jika burung merak tersebut melihat ular merayap ke arah sarangnya, yang jaraknya tiga kali tinggi pilar tadi dari sarangnya, burung merak menyambar dengan cepat ular itu sebelum mencapai sarangnya dengan gerakan lurus. Apabila ular dan burung merak bergerak dengan menempuh jarak yang sama ketika mereka bertemu, berapakah jaraknya dari sarang ular tempat pertemuan mereka itu? Mengenai pengukuran lingkaran dan bola Lilavati gagal untuk membedakan antara nilai yang benar-benar eksak dan nilai yang benar-benar aproksimasi. Bhaskara dalam Lilavati menyatakan luas lingkaran dengan tepat sekali. Yaitu seperempat keliling lingkaran dikalikan dengan diameternya. Begitu juga untuk bola dinyatakan dengan tepat. Yaitu seperempat perkalian luas permukaan bola dengan diameternya. Tetapi rasio dari keliling lingkaran dengan diameternya dinyatakan Bhaskara dengan
22 . 7
Nilai
22 7
ini sebenarnya hanyalah merupakan suatu nilai
aproksimasi saja, yang memungkinkan tidak disadari oleh Bhaskara dan matematikawan Hindu lainnya. Walaupun demikian Bhaskara tidak sependapat dengan pendahulunya yaitu Brahmagupta mengenai rumus untuk luas dan diagonal dari suatu segiempat sembarang. Karena suatu segiempat tidak hanya ditentukan sematamata oleh sisi-sisinya. Tetapi Bhaskara tidak menyadari bahwa rumus ini hanya benar untuk semua segi empat lingkaran. Banyak soal-soal dalam Lilavati dan Vijaya Ganita yang berasal dari karya-karya matematikawan Hindu sebelumnya. Misalnya persamaan Pell: 𝑥 2 = 1 + 𝑝𝑦 yang sudah dikemukan oleh Brahmagupta yang diselesaikan lagi oleh Bhaskara untuk lima kasus yaitu 𝑝 = 8, 11, 32, 61 dan 67. Untuk persamaan 𝑥 2 = 1 + 𝑝𝑦 Bhaskara memberikan penyelesaian 𝑥 = 1.776.049 dan 𝑦 = 22.615.890 dalam karya Bhaskara juga terdapat banyak contoh-contoh soal dari Phantus. Karya Bhaskara yang lain adalah Siddhanta Siromahi (Mahkota Sistem Astronomi) yang ditulisnya
pada tahun 1199. Karya Bhaskara ini nampaknya jauh lebih maju dari karya Brahmagupta yang ditulisnya lebih dari lima ratus tahun sebelum zaman Bhaskara. Bhaskara meninggal dunia pada tahun 1135, dan setelah meninggalnya Bhaskara walaupun terdapat beberapa matematikawan Hindu tetapi tidak pernah mempunyai reputasi yang menonjol seperti halnya Brahmagupta
dan
Bhaskara.
Salah
seorang
dari
matematikawan yang muncul setelah Bhaskara adalah Srinivasa Ramanujan seorang jenius Hindu pada abad XX terutama dalam aljabar dan aritmatika. Ramanujan dilahirkan pada tahun 1887 dan meninggal pada tahun 1920. Yang mengesankan dari Ramanujan adalah tentang kecepatan daya pikirnya. Menurut cerita, pada suatu hari seorang matematikawan Inggris C.H Hardy mengunjungi Ramanujan yang sedang di rawat di rumah sakit Puney. Hardy mengatakan kepada Ramanujan bahwa dia datang ke rumah sakit itu dengan menaiki taksi yang bernomor 1729. Tanpa pikir panjang Ramanujan mengatakan bahwa nomor taksi itu adalah nomor yang menarik sekali, karena 1729 merupakan bilangan terkecil yang dapat dinyatakan oleh dua bilangan berpangkat tiga dengan dua cara yaitu:
13 + 123 = 1729 93 + 103 = 1729
Perkembangan Sistem Numerasi dan trigonometri Hindu Kontribusi Hindu yang paling menonjol dalam sejarah matematika adalah penemuan sistem numerasi Hindu yang merupakan cikal bakal dari sistem numerasi Hindu-Arab yang digunakan sekarang, dan memperkenalkan tabel fungsi sinus dalam trigonometri, menggantikan tabel tali busur Yunani. Perkembangan notasi numerasi Hindu sudah dimulai semenjak zaman Mahenjo Daro, yang semula berbentuk tongkat yang disusun dalam kelompok-kelompok. Pada zaman
Asoka,
abad
ketiga
sebelum Masehi
mereka
menggunakan suatu sistem numerasi yang hampir mirip dengan sistem numerasi Attic (Herodianic) Yunani. Dalam sistem numerasi ini walaupun masih menggunakan sifat pengulangan tetapi telah menemukan lambang-lambang untuk empat, sepuluh, dua puluh, dan seratus. Sistem numerasi ini berangsur-angsur dikembangkan, sehingga dikenal bilangan Brahmi, bilangan gupta, dan bilangan Nagari. 1. Bilangan Brahmi Bilangan Brahmi hanya mempunyai sembilan lambang pokok saja, yaitu bilangan satu sampai Sembilan.
Sedangkan
untuk
lambang
bilangan
nol
belum
ditemukan.
Gambar Bilangan Brahmi (Dimasadi, 2014) 2. Bilangan Gupta Bilangan Gupta dibangun dari bilangan Brahmi, yang kemudian bilangan Gupta berkembang menjadi bilangan nagari.
Gambar Bilangan Gupta (Dimasadi, 2014) 3. Bilangan Nagari Bilangan nagari sering disebut juga bilangan Devanagari. Bilangan ini banyak dikirim ke dunia Arab dan sudah menyebar di Eropa pada akhir abad 5 M.
Gambar Bilangan Nagari (Dimasadi, 2014) Sistem Numerasi Hindu inilah yang menjadi cikal bakal dari sistem numerasi Hindu-Arab yang sampai saat ini masih
banyak digunakan dalam berbagai bidang kehidupan, baik dalam bidang non ilmiah maupun bidang ilmiah. Karakteristik dari sistem numerasi Hindu-Arab antara lain adalah: a. Lambang bilangan dasar hanya ada sepuluh buah b. Cara penulisannya dari kiri ke kanan c. Pengelompokkan bilangan yang digunakan adalah basis sepuluh (sistem desimal) d. Untuk menyatakan bilangan yang lebih besar daripada 9 dituliskan dengan cara menggabungkan angka-angka dasar tersebut. Efisiensi sistem numerasi Hindu-Arab terletak pada aturan penulisan yang digunakan, yaitu menggunakan sistem posisi atau sistem nilai tempat. Dengan aturan ini nilai suatu angka dasar berbeda satu sama lain, tergantung pada letaknya. (Karso, Materi Pokok Pendidikan Matematika 4, 1999) Menurut ahli sejarah Jerman H.Hankel orang-orang Hindu biasanya menulis di atas papan tulis kecil (sekitar 30 cm x 30 cm) dengan menggunakan tongkat rotan sebagai pena dan mencelupkannya pada sejenis cat putih yang mudah dihapus. (Muchtar, 1988) Dalam operasi penjumlahan dan perkalian, bangsa Hindu melakukannya seperti yang kita lakukan sekarang. Hanya saja
pada operasi penjumlahan mereka melakukannya dari kiri ke kanan bukan dari kanan ke kiri. Dalam melakukan penjumlahan, misalnya 345 dengan 488 mereka melakukannya dengan cara: 1. Letakkan bilangan yang paling kecil di atas bilangan yang besar (bisa sebaliknya) 2. Jumlahkan 3 dengan 4, hasilnya 7 kemudian tulislah 7 di atas 3 (kolom paling kiri) 3. Jumlahkan 8 dengan 4, hasilnya 12 kemudian coretlah 7 dan tuliskan 8 diatasnya, sedangkan 2 ditulis di atas 4. 4. Jumlahkan 5 dengan 8, hasilnya 13 kemudian coretlah 2 dan tulis di atasnya, tuliskan pula 3 di atas 5 5. Maka hasil penjumlahan dari 345 dan 488 adalah 833
Dalam karya Bhaskara yaitu Lilavati ditemukan metode lain tentang penjumlahan. Misalnya 345 dan 488, dilakukan dengan cara: 1. Jumlahkan satuan
5+8=
13
2. Jumlahkan puluhan
4+8=
12.
3. Jumlahkan ratusan
3+4=
7..
4. Jumlah keseluruhan
5+8=
833
Dalam operasi perkalian digunakan bermacam-macam metode untuk jenis perkalian yang sederhana. Misalnya 569 dikalikan dengan 5. Caranya adalah sebagai berikut: 1. Tuliskan 569 dan 5 pada satu baris yang sama 2. Kalikan 5 dengan 5, hasilnya 25 kemudian tuliskan di atas 569 3. Kemudian 5 dengan 6, hasilnya 30 kemudian ganti angka 5 dari 25 dengan 6 diikuti dengan 0 4. Kalikan 5 dengan 9, hasilnya 45 kemudian diganti dengan 4 diikuti dengan 5 5. Jadi hasilnya 2845
Bentuk perkaian yang sedikit sukar seperti misalnya 135 dikalikan dengan 12 kemungkinan diselesaikan dengan mengalikan terlebih dahulu 132 dengan 4 hasilnya 540 dan kemudian 540 dengan 3 hasilnya 1620, atau dengan
menjumlahkan hasil perkalian 135 dengan 10 dan 135 dengan 2, yakni 1350 + 270 = 1620. Kemungkinan lain adalah perkalian ini dilakukan dengan cara sebagai betikut: 1. Letakkan bilangan yang kecil di atas bilangan yang besar. 2. Kalikan 135 dengan 1, hasilnya 135 kemudian tulis 135 di atas 12. 3. Kalikan 2 dengan 1, hasilnya 2 maka ganti 3 dengan 5. 4. Kalikan 2 dengan 3, hasilnya 6 maka diganti dua angkat 5 dengan 6 dan 1, maka dipeoleh 61. 5. Kalikan 2 dengan 5, hasilnya 10 maka 1 diganti dengan 2, kemudian diikuti dengan 0. 6. Hasilnya 1620
Metode perkalian lain adalah metode yang juga sudah dikenal oleh bangsa Arab, yang kemungkinan diambil oleh bangsa Arab dari bangsa Hindu. Metode ini mempunyai
banyak sekali nama seperti perkalian kisi-kisi, perkalian gelosia, perkalian cell, atau perkalian segiempat. Sebagai contoh pemakaian metode ini misalkan kita ingin mencari hasil perkalian 135 dengan 12 maka dilakukan cara sebagai berikut: 1. Tuliskan angka 135 disebelah atas kisi-kisi dan angka 12 di sebelah kanannya, dengan angka 1 ditulis di atas angka 2. 2. Lakukan perkalian secara bertutur-turut 1 × 5 = 5, 1 × 3 = 3 dan 1 × 1 = 1 3. Tuliskan hasilnya pada kisi-kisi 4. Dengan cara yang sama 2 dikalikan dengan 135. 5. Pada kisi-kisi lakukan penjumlahan secara diagonal dimulai dari sebelah kanan bergerak ke sebelah kiri sehingga diperoleh 1620.
Tidak diketahui secara pasti kapan perkalian dengan metode kisi-kisi ini muncul untuk pertama kali, kemungkinan metode ini sudah mulai digunakan oleh bangsa Hindu sekurang-kurangnya semenjak abad ke XII, kemudian dari
India di bawa ke Cina dan Arab. Dari Arab lah metode ini di bawa ke Italia dan mulai berkembang pada abad XIV. Karena hampir semua alat aritmatika Arab berasal dari India, yang kemudian di teruskan ke Eropa oleh bangsa Arab, maka metode membagi dengan cara panjang yang di kenal dengan nama metode percoretan atau metoda perahu (galley ), kemungkinan sekali berasal dari India, sebagai contoh penggunaan metode galley ini, misalnya membagi 44.977 dengan 382 dilakukan sebagai berikut:
Pada gambar di atas terlihat dua cara penyelesaian pembagian, yaitu dengan menggunakan metode sekarang (kiri) dan dengan menggunakan metoda galley Kedua
metode
ini
nampaknya
hampir
(kanan). bersamaan,
perbedaanya hanyalah terletak pada penempatan hasil bagi dan sisanya.
Dari contoh-contoh di atas, terlihat bahwa perkembangan algoritma untuk operasi-operasi aritmatika elementer yang kita gunakan sekarang sudah di mulai di India sekitar abad ke X atau ke XI, kemudian berkembang di Arab, dan selanjutnya di bawa ke Eropa, dimana metode ini kemudian dilakukan modifikasi sehingga menjadi bentuk sekarang ini. Kontribusi
kedua
dari
bangsa
Hindu
terhadap
perkembangan matematika adalah memperkenalkan tabeltabel yang ekuivalen dengan tabel fungsi sinus untuk trigonometri, menggantikan tabel tali busur Yunani. Tabel pertama dari relasi sinus yang dapat di selamatkan adalah yang terdapat dalam Siddhanta dan Aryabhatiya. Dalam tabel Hindu ini, sinus dari sudut sampai dengan 90° di berikan dalam 24 interval yang sama, dimana setiap intervalnya 3 3/4°. Untuk menyatakan panjang busur dan panjang sinus dengan unit yang sama maka jari-jari lingkaran di ambil 3438 unit dan keliling lingkaran 360 × 60 𝑢𝑛𝑖𝑡 = 21.600 𝑢𝑛𝑖𝑡. untuk sinus 3 3/4° Siddhanta dan Aryabhatiya mengambil sejumlah unit-unit dalam busur lingkaran, yaitu 60×3 3/4°=225. Dalam bahasa sekarang, sinus dari suatu sudut yang kecil adalah mendekati sama dengan radia dari sudut itu. untuk menentukan sinus sudut-sudut lainnya, digunakan rumus yang dapat dinyatakan sebagai berikut:
Apabila sinus ke n dalam banjar dari n=1 sampai n=24 dinyatakan dengan 𝑆𝑛 dan apabila jumlah dari sinus-sinus pertama dijumlahkan dengan 𝑆𝑛 maka 𝑆𝑛+1 = 𝑆𝑛 +𝑆1 −
𝑆𝑛 . 𝑆1
Dari rumus ini dapat diperoleh: 1 sin 7 ° = 499 2 1 sin 11 ° = 671 4 sin 15° = 890 . . sin 90° = 3438 Tabel nilai-nilai sinus ini terdapat baik dalam Siddhanta maupun Aryabatiya. Dalam tabel ini juga ditemukan tabeltabel untuk 1 − 𝑐𝑜𝑠 𝐴 yang dalam trigonometri Hindu dituliskan dengan 3438(1 − 𝑐𝑜𝑠 𝐴)
Daftar Pustaka
Dimasadi, N. (2014, April 11). Retrieved Oktober 28, 2017, from https://nugrohodimasadi.wordpress.com/2014/04/11/i ndian-numeral/ Karso. (1999). Materi Pokok Pendidikan Matematika 4. Jakarta: Universitas Terbuka. Karso, & Susilawati, W. (2014). Sejarah Matematika. Bandung: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Muchtar. (1988). Sejarah Matematika. Padang: Badan Penerbit Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Naga,
D. S. (1980). Berhitung: Sejarah Pengembangannya. Jakarta: PT Gramedia.
dan
Salam, B. (2012). Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara.