Materi PBL [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

 PENGGOLONGAN OBAT DAN CONTOHNYA



 Sediaan obat kumur yang mengandung Hexetidine (Ex : Hexadol) c. P.No.3 Awas! Obat Keras, Hanya untuk bagian luar dari badan



1. Obat Bebas



Obat bebas adalah obat yang bebas/dapat diperoleh tanpa resep dari dokter, sehingga dapat dibeli langsung melalui Apotek, Toko Obat Berizin, Toko Modern maupun warung kelontong. Cara mengenali obat bebas adalah terdapat tanda logo lingkaran berwarna HIJAU dengan garis tepi berwarna hitam pada kemasannya. Contoh Obat Bebas :  Parasetamol (penurun demam dan pereda sakit kepala)  Vitamin-Vitamin  Ferrosulfat (penambah darah)  Sediaan obat mengandung Calcium  Antasid (untuk sakit maag) Ex : promag, mylanta 2. Obat Bebas Terbatas



Contoh : Betadine Kalpanax Albothyl Sediaan salep/krim untuk penyakit kulit yang tidak mengandung antibiotik  Sediaan tetes mata yang tidak mengandung antibiotik (Insto, Braito) d. P.No.4 Awas! Obat Keras, Hanya untuk dibakar    



Contoh : Sediaan untuk obat asma (berbentuk rokok) à sudah tidak ada e. P.No.5 Awas! Obat Keras, Tidak boleh ditelan 



Obat bebas terbatas adalah obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter, sehingga dapat dibeli langsung melalui Apotek maupun Toko Obat Berizin namun memperolehnya dalam jumlah terbatas. Terdapat sediaan Obat Bebas Terbatas adalah campuran obat bebas dan obat keras. Cara mengenali obat bebas terbatas adalah terdapat tanda logo lingkaran berwarna BIRU dengan garis tepi berwarna hitam pada kemasannya. Biasanya pada kemasan golongan obat ini terdapat peringatan-peringatan berkaitan dengan pemakaian/penggunaannya yang ditulis dalam kotak, supaya pasien/masyarakat dapat menggunakan obat ini dengan benar. Ada 6 macam tanda peringatan antara lain : a. P.No.1 Awas! Obat Keras, Bacalah Aturan Pemakaiannya



Contoh :  Sediaan Obat Pereda Flu / Pilek (Ex : Neozep, Ultraflu, Procold)  Sediaan Obat Batuk (Ex : OBH, Woods, Komix, Actifed) b. P.No.2 Awas! Obat Keras, Hanya untuk kumur, jangan ditelan







Contoh : Sediaan obat kumur mengandung Povidone Iodine (Ex : Betadine)



Contoh : Sediaan obat Sulfanilamid puyer 5 g steril à antibiotik untuk infeksi topikal/kulit termasuk untuk infeksi vagina  Sediaan ovula P.No.6 Awas! Obat Keras, Obat wasir, jangan ditelan 



f.



Contoh : Sediaan suppositoria untuk wasir/ambeien 3. Obat Keras atau Daftar G (Gevaarlijk) atau berbahaya



Obat Keras adalah obat yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter, dan resep hanya dapat ditebus di Apotek atau diserahkan melalui Rumah Sakit, Puskesmas, maupun Klinik. Namun demikian ada beberapa macam







     



 



 















obat keras yang dapat diperoleh tanpa resep dokter yaitu obat-obat yang masuk dalam Obat Wajib Apotek (OWA). Cara mengenali obat keras adalah terdapat tanda logo lingkaran berwarna MERAH dengan garis tepi berwarna hitam dan terdapat huruf K (warna hitam) berada ditengah lingkaran dan menyentuh pada garis tepi pada kemasannya. Pada kemasan primer, sekuner, dan etiket biasanya mencantumkan kalimat “ Harus dengan resep dokter” Contoh : Sediaan Antibiotik (Ex : Amoxicillin, Ampicillin, Ciprofloxacin, Kloramfenicol, Tetracyclin, Sefadroksil, Metronidazol dll) Sediaan Obat Analgesik (Pereda Nyeri) (Ex : Piroksikam, Meloksikam, Phenylbutazon dll) Sediaan Obat Antihipertensi (Ex : Captopril, Nifedipin, Amlodipin, Candesartan, HCT dll) Sediaan Obat Antidiabet (Ex : Glibenklamid, Metformin dll) Sediaan Obat Kortikosteroid (Ex : Dexamethason, Metilprednison dll) Sediaan Obat Penyakit Gout/Asam Urat (Ex : Allopurinol) Sediaan Obat Penurun Kolesterol (Ex : Simvastatin, Atorvastatin, Gemfibrozil, dll) Sedangkan contoh beberapa obat yang masuk Obat Wajib Apotek (OWA) : Sediaan Obat Kontrasepsi (Ex : Lyndiol tablet, Mycrogynon tablet, Endometril tablet, dll) Sediaan Obat saluran Cerna (Ex : Decamag tab, Gastran tab, Dulcolax tab salut, Metoclopramide, Papaverin HCl tab, dll) Sediaan Obat Mulut dan Tenggorokan (Ex : Hexadol solution, Bactidol solutio, dll) Sediaan Obat Saluran Nafas (Ex : Salbutamol tablet/sirup, Terbutaline tablet/inhaler, Bromheksin tablet dll) Sediaan Obat Analgetik, depresan (Ex : Asam mefenamat tablet, Aspirin+caffein tablet, Alvita kaplet (Antalgin + Vitamin B1, B6, B12) dll) Sediaan Obat Kulit Topikal (Ex : Tetracycline salep, Kloramfenikol salep, Decoderm-3 krim, bufacort-N krim, New-Kenacomb krim dll) Sediaan Obat Antiparasit (Ex : Albendazol tablet/suspensi (obat cacing) dll)







Sediaan Obat Antiradang-antireumatik (Ex : Ibuprofen kaplet/tablet/sirup, Natrium diklofenak gel/krim dll)



4. Obat Psikotropika Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika yang berkhasita psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat tyang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. (UU RI No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika). Obat ini merupakan obat yang digunakan untuk masalah gangguan kejiwaan/mental yang biasanya disebut dengan obat penenang dan antidepresan. Penggunaan obat ini dapat menyebabkan haliusinasi, depresi, stimulasi (tidak mengantuk, tidak lapar), dan gangguan fungsi motorik/otot (kepala bergerak naik turun/geleng-geleng). Psikotropika termasuk dalam Obat Keras Tertentu (OKT) yang logonya sama dengan obat keras yaitu lingkaran berwarna MERAH dengan garis tepi berwarna hitam dan terdapat huruf K (warna hitam) berada ditengah lingkaran dan menyentuh pada garis tepi pada kemasannya sehingga untuk mendapatkannya harus dengan resep dokter. Dikarenakan obat golongan ini dapat menimbulkan ketergantungan / kecanduan, pemerintah melakukan pengawasan dengan ketat (regulasi dan sanksi hukum) supaya tidak terjadi penyalahgunaan obat. Psikotropika digolongkan menjadi 4 (empat) golongan berdasarkan potensi efek ketergantungan : a. Psikotropika Golongan I Hanya digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan untuk terapi kesehatan/pengobatan karena dapat menyebabkan potensi sindrom ketergantungan yang sangat kuat. Contoh : DMA, MDMA, Meskalin dll b. Psikotropika Golongan II Digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan serta berkhasiat untuk pengobatan/terapi dan dapat menyebabkan potensi ketergantungan yang kuat. Contoh : Amfetamin, Metakualon, Sekobarbital dll c. Psikotropika Golongan III Digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan serta berkhasiat untuk pengobatan/terapi dan mempunyai potensisedang mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contoh : Amobarbital, Flunitrazepam, Pentobarbital dll d. Psikotropika Golongan IV Digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan serta berkhasiat untuk pengobatan/terapi dan mempunyai potensiringan mengakibatkan sindrom ketergantungan.



Psikotropika golongan IV inilah yang banyak digunakan untuk terapi/pengobatan dikarenakan efek ketergantungan yang dihasilkan ringan. Contoh : Diazepam, Lorazepam, Nitrazepam, Alprazolam, Klordiazepoksid, Triazolam dll. Penyerahan obat narkotika dapat dilakukan oleh Apotek, Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik berdasarkan resep dokter kepada pasien/pengguna langsung. 5. Obat Narkotika



Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan. (UU RI No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika). Cara mendapatkan Obat Narkotika harus dengan resep dokter dan obat dapat diserahkan melalui Apotek, Rumah sakit, Puskesmas ataupun Klinik. Logo obat narkotika adalah seperti tanda plus warna merah dalam lingkaran warna putih dengan garis tepi warna merah. Obat narkotika sangat bermanfaat dan diperlukan di bidang ilmu pengetahuan maupun bidang kesehatan. Meskipun demikian, masih ada yang menggunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan maupun sengaja disalahgunakan bahkan disertai peredaran narkotika secara gelap. Penyalahgunaan Narkotika serta Psikotropika merupakan kejahatan krimial dikarenakan hal tersebut merupakan ancaman yang dapat melemahkan ketahanan nasional dikarenakan dapat merusak moral/mental masyarakat khususnya generasi muda penerus bangsa. Pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian peredaran obat narkotika dengan membuat Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 yang diperbarui menjadi UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Berdasarkan potensi yang dapat mengakibatkan ketergantungan, Narkotika digolongkan menjadi 3 (tiga) yaitu : a. Narkotika Golongan I Hanya digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan untuk terapi kesehatan/pengobatan karena dapat menyebabkan potensi sindrom ketergantungan yang sangat tinggi.



Contoh : Tanaman Papaver Somniferum L, Opium mentah, Opium masak, tanaman koka (Erythroxylum coca), daun koka, kokain mentah, kokain, tanaman ganja, Heroin, THC dll. b. Narkotika Golongan II Berkhasiat untuk pengobatan tetapi digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh : Morfin, Opium, Petidin, Ekgonin, Hidromorfinol dll. c. Narkotika Golongan III Berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh : Kodein, Dihidrokodein, Etilmorfin, Doveri dll. Kodein dan Doveri biasa digunakan untuk obat batuk yang parah. Dari penggolongan obat diatas kita hanya dapat membeli obat dengan tujuan untuk pengobatan sendiri (self-medication) dari golongan obat bebas, obat bebas terbatas serta obat wajib apotek (OWA). Untuk memperoleh obatobatan tersebut sebaiknya membeli di Toko Obat Berizin atau Apotek, dikarenakan di sarana tersebut mutu obat lebih terjaga (karena penyimpanan yang tepat, pemeriksaan masa kadaluarsa yang rutin) serta terhindar dari obat-obat palsu yang beredar. Adanya Tenaga Teknis Kefarmasian di Toko Obat atau Apoteker di Apotek dapat kita mintai saran dan informasi mengenai penggunaan dan keamanan obat yang akan kita digunakan. Namun perlu diingat bahwa masa pengobatan sendiri adalah 3 hari, jika selama 3 hari tidak sembuh maka harus berobat ke dokter. Jika kita tidak paham dengan obat yang diterima, kita wajib mengetahui/bertanya kepada dokter / apoteker mengenai aturan pakai, dosis, serta efek samping yang mungkin terjadi. Note: 1. Obat bebas dan obat bebas terbatas, termasuk obat daftar W (Warschuwing) atau OTC (over the counter). 2. Pada obat bebas terbatas terdapat salah satu tanda peringatan nomor 1- 6. 3. Obat keras nama lain yaitu obat daftar G (Gevarlijk), bisa diperoleh hanya dengan resep dokter. 4. OWA (obat wajib apoteker) yaitu obat keras yang dapat diberikan oleh apoteker pengelola apotek (APA), hanya bisa didapatkan di apotek. 5. OWA Selain memproduksi obat generik, untuk memenuhi keterjangkauan pelayanan kesehatan khususnya akses obat, pemerintah mengeluarkan kebijakan Obat Wajib Apoteker (OWA). OWA merupakan obat keras yang dapat diberikan oleh Apoteker Pengelola Apotek (APA) kepada pasien.



Disini terdapat daftar obat wajib apotek yang dikeluarkan berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan. Sampai saat ini sudah ada 3 daftar obat yang diperbolehkan diserahkan tanpa resep dokter. Peraturan mengenai Daftar Obat Wajib Apotek tercantum dalam : 1. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 347/MenKes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek, berisi Daftar Obat Wajib Apotek No. 1 2. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 924/Menkes/Per/X/1993 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 2 3. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1176/Menkes/SK/X/1999 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 3 Dalam peraturan ini disebutkanbahwa untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan, dirasa perlu ditunjang dengan sarana yang dapat meningkatkan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional. Peningkatan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional dapat dicapai melalui peningkatan penyediaan obat yang dibutuhkan disertai dengan informasi yang tepat sehingga menjamin penggunaan yang tepat dari obat tersebut. Oleh karena itu, peran apoteker di apotek dalam pelayanan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) serta pelayanan obat kepada masyarakat perlu ditingkatkan dalam rangka peningkatan pengobatan sendiri. Walaupun APA boleh memberikan obat keras, namun ada persayaratan yang harus dilakukan dalam penyerahan OWA. 1. Apoteker wajib melakukan pencatatan yang benar mengenai data pasien (nama, alamat, umur) serta penyakit yang diderita. 2. Apoteker wajib memenuhi ketentuan jenis dan jumlah yang boleh diberikan kepada pasien. Contohnya hanya jenis oksitetrasiklin salep saja yang No termasuk OWA, dan hanya boleh diberikan 1 tube. 3. Apoteker wajib memberikan informasi obat secara benar mencakup: indikasi, 1. 2. kontra-indikasi, cara pemakain, cara penyimpanan dan efek samping obat 3. yang mungkin timbul serta tindakan yang disarankan bila efek tidak 4. dikehendaki tersebut timbul. 5. Jenis OWA 6. Tujuan OWA adalah memperluas keterjangkauan obat untuk masayrakat, maka 7. obat-obat yang digolongkan dalam OWA adalah obat ang diperlukan bagi 8. kebanyakan penyakit yang diderita pasien. Antara lain: obat antiinflamasi (asam 9. mefenamat), obat alergi kulit (salep hidrokotison), infeksi kulit dan mata (salep 10. oksitetrasiklin), antialergi sistemik (CTM), obat KB hormonal. Sesuai permenkes No.919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang dapat diserahkan: 1. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di 2. bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun. 2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan penyakit. 3. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.



4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia. 5. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri. Tabel. Contoh OWA Obat



Indikasi



Jumlah yang boleh diberikan



Asam mefenamat



Antiinflamasi dan anlagesik



10 tablet



Salep hidrokortison



Antialergi topikal



1 tube



Obat KB



antifertilitas



1 siklus (28 hari)



bat Bebas Obat bebas adalah obat yang tidak dinyatakan sebagai obat narkotika atau psikotropika atau obat bebas atau obat bebas terbatas yang dapat diberikan tanpa resep dokter. Dalam surat keputusan menteri kesehatan Republik Indonesia No. 2380/A/SK/VV/83 Pasal 3 menetapakan tanda khusus obat bebas yaitu lingkaran berwarna hijau dan garis tepi berwarna hitam. Nama Paracetamol OBH Mylanta Bione Sangobion Elkana Neurodex OBP Aptor Viliron



Komposisi Paracetamol Glycerrhizae, puccus, chloretum, ammonium Al hidroksida, Mg hidroksida, Simetikon Vit B, C, D Sorbitol, Vit C, B12, Folic Acid Kalsium Lactat, Vit B6, C, D3 Vit B1, B6, B12, Mononitrate Ammonium, Ammonia, Liquida, Chlorida Acetosal Multivitamin, Mineral



Indikasi



Antipiretik, Analget Antitusiv Antasida dan Ulkus Multivitamin Anti Anemia Vitamin dan Minera Multivitamin Obat Batuk Analgetik Multivitamin



Obat Bebas Terbatas Obat bebas terbatas adalah obat keras yang dapat diserahkan kepada pasien tanpa resep dokter dalam jumlah terbatas pada surat keputusan Menkes Republik Indonesia No. 2380/A/SK/VV/83 Pasal 3 menetapkan tanda khusus untuk obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam.



No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.



Nama Decolgen Becefort Camviochorton Hufamag Plus Zetazal Fludane Tera F Combantrin Bisolvon Antimo



3.



Komposisi



Indikasi



Paracetamol, Fenilpropalamine, CTM Vit B1, B2, B6, B12 Hidrocortison asetat, kliokinol Al hidroksida, Mg hidroksida, simetichon Miconazol Nitral PCT, CTM , Dextromethorphan PCT, GG, CTM, Dextromethorphan Pirantel Pamoat Bromhexin Dimenhidrinate



Antitusiv Multivitamin No Antiradang Topikal Antasida 1. Anti Fungi 2. Mukolitik 3. Ekspektoran 4. Anti Anthelmintik 5. Ekspektoran 6. Anti Emetik 7. 8. 9. 10.



OWA yang terlampir dan Kepmenkes No. 1176/Menkes/SK/X/1999 tang OWA No. 3. Nama Na Diklofenak Captopril Furosemide Metronidazol Nifedipin Ranitidine Piracetam Paracetamol Cimetidine Salbutamol



Komposisi Na Diklofenak Captopril Furosemide Metronidazol Nifedipin Ranitidine Piracetam Paracetamol Cimetidine Salbutamol



Indikasi Reumatoid Artritis Anti Hipertensi Diuretik Anti Bakteri, Amoebiasis Vasodilator Koroner Tukak Duodenum Aktif Kardiovaskuler Antipiretik, Analgetik Tukak Lambung Anti Asma



Obat Keras Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini berkhasiat keras dan bila  TATA ATURAN PENYIMPANAN OBAT & METODE PENYIMPANAN dipakai sembarangan bisa berbahaya bahkan meracuni tubuh, memperparah OBAT penyakit, memicu munculnya penyakit lain sebagai efek negatifnya, hingga Indikator penyimpanan obat yaitu: menyebabkan kerusakan organ-organ tubuh, bahkan dapat menyebabkan 1) Kecocokan antara barang dan kartu stok, indikator ini digunakan kematian. Oleh karena itu, golongan obat ini hanya boleh diberikan atas resep untuk mengetahui ketelitian petugas gudang dan mempermudah dalam dokter umum/spesialis, dokter gigi, dan dokter hewan. pengecekan obat, membantu dalam perencanaan dan pengadaan obat sehingga tidak menyebabkan terjadinya akumulasi obat dan kekosongan No. Nama Komposisi Indikasi obat, 1. Selespurin Allupurinol Antirematik 2) Turn Over Ratio, indikator ini digunakan untuk mengetahui kecepatan 2. Supertetra Tetracycline HCL Antibiotic perputaran obat, yaitu seberapa cepat obat dibeli, didistribusi, sampai 3. Infalgin Antalgin Analgetik dipesan kembali, dengan demikian nilai TOR akan berpengaruh pada 4. Kalmex Tranexamic Acid Hemostatik ketersediaan obat. TOR yang tinggi berarti mempunyai pengendalian 5. Interhistin Mebhydroline Anti Histamin persediaan yang baik, demikian pula sebaliknya, sehingga biaya 6. Ambroxol Ambroxol HCL Mukolitik penyimpanan akan menjadi minimal, 7. Scandexon Dexamethasone Anti Histamin 3) Persentase obat yang sampai kadaluwarsa dan atau rusak, indikator ini 8. Teosal Salbutamol, Theophyllin Anti Asma digunakan untuk menilai kerugian rumah sakit, 9. Mecoxon Dexamethasone Anti Histamin 4) Sistem penataan gudang, indikator ini digunakan untuk menilai sistem 10. Faberdin Famotidine Ulkus Duodenum penataan gudang standar adalah FIFO dan FEFO, 5) Persentase stok mati, stok mati merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan item persediaan obat di gudang yang tidak 4. OWA (Obat Wajib Apotek) mengalami transaksi dalam waktu minimal 3 bulan, 6) Persentase nilai stok akhir, nilai stok akhir adalah nilai yang Obat wajib apotik adalah obat keras yang dapat diberikan oleh apoteker menunjukkan berapa besar persentase jumlah barang yang tersisa pada kepada pasien di apotik tanpa resep dokter. Obat yang termasuk daftar OWA periode tertentu, nilai persentese stok akhir berbanding terbalik dengan ditetapkan dalam SK Menkes RI No. 374/Menkes/SK/VII/1990 tanggal 16 Juli 1990 nilai TOR7. tentang OWA No. 1 Permenkes No. 924/Menkes/SK/X/1993 tentang OWA No. 2 yang merupakan tambahan lampiran Kepmenkes No. 347/Menkes/VII/1990 tentang



1) 2) 3) 4)



1) 2) 3) 4) 5)



bat atau barang dagangan yang sudah dibeli tidak semuanya langsung dijual, oleh karena itu harus disimpan dalam gudang terlebih dahulu dengan tujuan antara lain : Tidak dapat terkena sinar matahari langsung. Cukup almari, kuat dan dapat dikunci dengan baik. Tersedia rak yang cukup baik. Merupakan ruang tersendiri dalam komplek apotek. Obat yang disimpan dalam gudang tidak diletakkan begitu saja, tetapi disimpan menurut golongannya, yaitu : Bahan baku disusun secara abjad dan dipisahkan antara serbuk, setengah padat, bentuk cairan yang mudah menguap agar disendirikan. Obat jadi disusun menurut abjad, menurut pabrik atau menurut persediaannya. Sera, vaksin dan obat-obatan uang mudah rusak atau mudah meleleh disimpan di kamar atau disimpan di lemari es. Obat-obat narkotika disimpan di lemari khusus sesuai dengan persyaratan Obat-obat psikotropika (OKT) sebaiknya disimpan tersendiri. Akhir-akhir ini sudah menjadi mode digunakannya lemari obat berbentuk rumahlebah, dan berkotak-kotak. Selain menghemat ruang, tempat kerja pun menjadi rapih dan bersih. Rak-rak obat dapat terbuat dari kayu dan besi.



1) 2)



Penyusunan obat dipakai sistem FIFO (First in First Out), artinya obatobatan yang masuk terlebih dahulu ke gudang, terlebih dahulu keluarnya. Jadi yang terlebih dahulu masuk diletakkan di depan sedangkan yang terakhir masuk diletakkan dibelakang. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan obat yaitu : Pencatatan tanggal kadaluarsa setiap macam obat terutama obat antibiotika, sebaiknya dicatat dalam buku tersendiri Untuk persediaan obat yang telah menipis jumlahnya perlu dicatat dalam bukudefecta, yang nantinya diberitahukan kepada bagian yang bertanggungjawab dalam hal pembelian. (Wijayanti.N,1990)



Penyimpanan narkotika dan psikotropika yakni pada gudang atau lemari penyimpanan yang aman dan terkunci, gudang tidak boleh dimasuki orang tanpa izin penanggung jawab. Penyimpanan produk rantai dingin; suhu area terjaga (Penyimpanan < 25°C (sejuk) : disimpan dalam ruangan ber-AC, penyimpanan dingin disimpan dalam lemari pendingin (2-8°C) untuk menyimpan vaksin dan serum, chiller dan freezer (Penyimpanan 0°C) khusus untuk vaksin OPV8



 METODE PENATAAN OBAT Pengaturan penyimpanan obat a) Menurut bentuk sediaan dan Alfabetis b) Menerapkan sistem FIFO dan FEFO c) Menggunakan almari, rak dan pallet d) Menggunakan almari khusus untuk menyimpan narkotika dan psikotropika e) Menggunakan almari khusus untuk perbekalan farmasi yang memerlukan penyimpanan pada suhu tertentu f) Dilengkapi kartu stock obat Obat disusun menurut bentuk sediaan dan alfabetis, apabila tidak memungkinkan obat yang sejenis dapat dikelompokkan menjadi satu. Untuk memudahkan pengendalian stok maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut : a) Gunakan prinsip FIFO dalam penyusunan obat yaitu obat yang pertama diterima harus pertama juga digunakan sebab umumnya obat yang datang pertama biasanya juga diproduksi lebih awal dan akan kadaluwarsa lebih awal pula. b) Susun obat yang berjumlah besar di atas pallet atau diganjal dengan kayu secara rapi dan teratur. c) Gunakan lemari khusus untuk menyimpan narkotika dan obatobatan yang berjumlah sedikit tetapi mahal harganya. d) Susun obat yang dapat dipengaruhi oleh temperatur, udara, cahaya dan kontaminasi bakteri pada tempat yang sesuai. e) Susun obat dalam rak dan berikan nomor kode, pisahkan obat dalam dengan obat-obatan untuk pemakaian luar. f) Cantumkan nama masing-masing obat pada rak dengan rapi g) Apabila gudang tidak mempunyai rak maka dus-dus bekas dapat dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan. h) Barang-barang yang memakan tempat seperti kapas dapat disimpan dalam dus besar, sedangkan dus kecil dapat digunakan untuk menyimpan obat-obatan dalam kaleng atau botol. i) Apabila persediaan obat cukup banyak, maka biarkan obat tetap dalam box masing-masing, ambil seperlunya dan susun dalam satu dus bersama obat-obatan lainnya. Pada bagian luar dus dapat dibuat daftar obat yang disimpan dalam dus tersebut. j) Obat-obatan yang mempunyai batas waktu pemakaian maka perlu dilakukan rotasi stok agar obat tersebut tidak selalu berada dibelakang yang dapat menyebabkan kadaluarsa obat  SKRINING RESEP



2. Salinan resep memuat : - Semua keterangan yang terdapat dalam resep asli - Nama dan alamat apotek - Nama dan nomor Surat izin pengelolaan apotek - Tanda tangan atau paraf APA - Tanda det atau detur untuk obat yang sudah diserahkan; tanda nedet atau nedetur untuk obat yang belum diserahkan - Nomor resep dan tanggal peresepan C.



Ketentuan resep, copy resep, dan apoteker Ketentuan resep Resep harus ditulis dengan jelas dan lengkap. Apabila resep tidak dapat dibaca dengan jelas atau tidak lengkap, apoteker wajib menanyakan kepada penulis resep. Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atau penulisan resep yang tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep. Apabila dokter penulis resep tetap pada pendiriannya, tanggung jawab sepenuhnya dipikul oleh dokter yang bersangkutan (dokter wajib menyatakannya secara tertulis atau membubuhkan tanda tangan yang lazim di atas resep). Apabila apoteker menganggap pada resep terdapat kekeliruan yang berbahaya dan tidak dapat menghubungi dokter penulis resep, penyerahan obat dapat ditunda. Resep dokter hewan hanya ditujukan untuk penggunaan pada hewan. Dokter gigi diberi izin untuk menulis segala macam obat dengan cara parenteral (injeksi) atau cara-cara pemakaian lain, khusus untuk mengobati penyakit gigi dan mulut. Untuk penderita yang memerlukan pengobatan segera, dokter dapat memberikan tanda ” cito/statim/urgent (segera), P I M/periculum in mora (berbahaya bila ditunda)” pada bagian kanan resep, dan harus didahulukan dalam pelayanannya. Resep p.p /pro paupere (resep untuk orang miskin), dimaksud agar apotek dapat meringankan harga obat atau bila dapat diberi gratis. Pada resep asli yang diberi tanda ”n.i”/ne iteratur (tidak boleh diulang), maka apotek tidak boleh mengulangi penyerahan obat atas resep yang sama Resep yang mengandung narkotika : harus ditulis tersendiri tidak boleh ada iterasi (ulangan)



-



dituliskan nama pasien, tidak boleh m.i/mihi ipsi atau u.p/usus propius (untuk pemakaian sendiri) alamat pasien ditulis dengan jelas aturan pakai (signa) ditulis dengan jelas, tidak boleh ditulis s.u.c /signa usus cognitus (sudah tahu aturan pakai) ketentuan copy resep Salinan resep harus ditandatangani oleh APA (bila tidak ada dilakukan oleh apoteker pendamping, asisten apoteker kepala, apoteker supervisor atau apoteker pengganti dengan mencantumkan nama terang dan status yang bersangkutan). Resep/salinan resep harus dirahasiakan. Resep/salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis resep atau yang merawat penderita, penderita yang bersangkutan, petugas kesehatan atau petugas lain yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Menurut Keputusan Mentri Kesehatan No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standard pelayanan kefarmasian di apotek, Apoteker dalam melakukan skrining resep meliputi : 1. Persyaratan adsministratif : -Nama, SIP, dan Alamat dokter. -Tanggal penulisan resep -Tanda tangan / paraf dokter penulis resep. -Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien -Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang diminta -Cara pemakian yang jelas -Informasi lainnya 2. Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompaktibilitas, cara dan lama pemberian. 3. Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Keterangan : 1. Persyaratan Adsministratif 1.1. Nama dan alamat dokter serta nomor surat izin praktek dan dapat pula nomor telp. jam dan hari praktek 1.2. Nama kota serta tanggal resep itu ditulis dokter 1.3. Tanda tangan / paraf dokter penulis resep. Merupakan tanda tangan/paraf dokter/ dokter gigi / dokter hewan yang menuliskan resep tersebut yang



menjadikan resep itu otentik 1.4. Nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien Nama pasien ditulis dibelakang kata Pro : merupakan identifikasi pasien dan sebaiknya dilengkapi dengan alamat yang memudahkan penelusuran bila terjadi sesuatu dengan obat pada pasien 1.5. Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang diminta 1.6. Cara pemakian yang jelas 1.7. Info lainnya 2. Kesesuaian Farmasetik 2.1. Bentuk sediaan. 2.2. Dosis Dosis adalah jumlah atau takaran tertentu dari suatu obat yang memberikan efek tertentu terhadap suatu penyakit atau gejala sakit. Jika dosis terlalu rendah (under dose) maka efek terapi tidak tercapai. Jika belebih (overdose) bisa menimbulkan efek toksik atau keracunan bahkan sampai dengan kematian. 2.3. Potensi Potensi obat adalah kekuatan obat atau potensi suatu obat diberikan sesuai dengan umur dan seberapa parah penyakit yang diderita pasien 2.4. Stabilitas Pemilihan obat tergantung juga pada kestabilan suatu sediaan. Misalnya untuk obat-obat yang tidak stabil terhadap udara, maka pemberian obat oleh dokter juga harus diperhatikan 2.5. Inkompaktibilitas Inkompaktibilitas adalah ketidak campuran suatu obat. Ketidak campuran ini termasuk interaksi farmasetis. Inkompaktibilitas ini terjadi di luar tubuh ( sebelum diberikan ) antara obat yang tidak dapat campur. Pencapuran obat demikian menyebabkan terjadinya interaksi langsung secara fisik atau kimiawi, perubahan warna, dll. atau mungkin juga tidak terlihat interaksi ini biasanya berakibat inaktivasi obat (Rosyidah, 2009) 2.6. Cara Pemberian



Aturan pakai obat oleh penderita umumnya ditulis dengan singkatan bahasa latin, aturan pakai ditandai dengan signatura (Zaman dan J, 1990) 4. Pertimbangan Klinis Pertimbangan klinis berupa adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dll). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan .



Salinan Resep (Copy Resep) Salinan resep adalah salinan yang dibuat oleh apotek, selain memuat semua keterangan yang terdapat dalam resep asli, copy resep juga harus memuat : Nama dan alamat apotek. Nama dan nomor izin Apoteker Pengelola Apotek. Tanda tangan atau paraf Apoteker Pengelola Apotek. Tanda det (detur) untuk obat yang sudah diserahkan, pada resep dengan tanda ITER ...x diberi tanda detur orig atau detur...x. Istilah lain dari Salinan Resep adalah apograf, exemplum, afschrif.



 PENYIMPANAN RESEP DAN COPY RESEP Resep yang memerlukan pelayanan segera : Dokter dapat memberi tanda dibagian kanan atas resepnya dengan kata-kata : 1. Cito (segera) 2. Statim (Penting) 3. Urgent (Sangat Penting) 4. PIM/Periculum In Mora (berbahaya jika ditunda) Urutan yang didahulukan



PIM, Urgent, Statim, Cito



Resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek menurut urutan tanggal dan nomor urut penerimaan resep. Penyimpanan untuk resep narkotika harus dipisah dari resep lainnya. Lama penyimpanan resep-resep ini dalam jangka waktu 3 tahun. Setelah 3 tahun, resep-resep tersebut dapat dimusnahkan oleh Apoteker Pengelola Apotek dengan disaksikan sekurang-kurangnya oleh seorang petugas apotek dan dibuatkan berita acara pemusnahannya. Ketentuan dalam Pengarsipan Resep 1. Resep disimpan berdasarkan nomor urut per hari 2. Lalu di buat bundelan perbulan



3.



Bundelan berdasarkan penggolongan obat yang ada dalam resep. Ada 3 jenis bundelan resep : a. Obat Narkotika, b. Obat Psikotropika, c. Obat Bebas + Bebas Terbatas + Obat Keras Resep Narkotika Syarat dan penanganan resep narkotika yang dapat diterima oleh Apotek, yaitu : 1. Resep harus diskrining terlebih dahulu dimana : a. Harus resep asli (bukan copy resep) b. Ada nama penderita dan alamat lengkapnya yang jelas c. Tidak boleh ada tulisan “ Iter ” yang artinya dapat diulang d. Aturan pakai yang jelas, dan tidak boleh ada tulisan “UC” (Usus Cognitus) yang artinya Cara pakai diketahui 2. Obat narkotika di dalam resep diberi garis bawah tinta merah 3. Resep yang mengandung narkotika tidak boleh diulang, tetapi harus dibuat resep baru 4. Resep yang mengandung narkotika harus disimpan terpisah dari resep lain. 5. Jika pasien hanya meminta ½ obat narkotika yang diresepkan, maka di perbolehkan untuk dibuatkan copy resep bagi pasien tersebut, tetapi copy resep tersebut hanya dpt di tebus kembali di apotek tersebut yang menyimpan resep aslinya, tidak bisa di apotek lain. 6. Jika pasien sedang berada di luar kota, maka copy resep tetap tidak bisa ditebus, melainkan harus dibuatkan resep baru dari dokter di daerah/ kota tersebut dengan menunjukkan copy resep yg dibawa, sehingga pasien tetap bisa memperoleh obatnya. Pemusnahan Resep 1. Resep yang telah disimpan melebihi 3 tahun dapat dimusnahkan 2. Pemusnahan resep dilakukan dengan cara dibakar atau dengan cara lain yang memadai, oleh APA bersama dangan sekurang-kurangnya petugas apotek 3. Pada pemusnahan resep harus dibuat berita acara pemusnahan sesuai dengan bentuk yang telah ditentukan dalam rangkap empat dan ditandatangani oleh APA bersama dengan petugas apotek yang menyaksikan  KELENGKAPAN SURAT PENYIMPANAN OBAT  KIE (di PDF)  PELAPORAN OBAT Definisi Pencatatan dan Pelaporan Pencatatan dan pelaporan data obat di Apotek dan Toko Obat merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka penatausahaan obat-



a.



1) 2) 3)



obatan dan Perbenkes secara tertib baik obat-obatan yang diterima, disimpan, didistribusikan maupun yang digunakan di unit pelayanan kesehatan lainnya. B. Tujuan pencatatan dan Pelaporan 1. Tersedianya data mengenai jenis dan jumlah penerimaan, persediaan, pengeluaran/ penggunaan dan data mengenai waktu dari seluruh rangkaian kegiatan mutasi obat. 2. Sebagian dari kegiatan pencatatan dan pelaporan obat ini telah diuraikan pada masing-masing aspek pengelolaan obat. 3. Bukti bahwa suatu kegiatan telah dilakukan. 4. Sumber data untuk melakukan pengaturan dan pengendalian. 5. Sumber data untuk pembuatan laporan. Laporan merupakan rangkaian kegiatan dalam pencatatan usaha obatobatan secara tertib, baik obat yang diterima, disimpan maupun di distribusikan untuk pelayanan jenis-jenis pelaporan di puskesmas dan di Apotek. Untuk memudahkan dalam penulisan laporan yang akan dilaporkan kepada Kantor Wilayah Departemen Kesehatan maka untuk obat narkotika diadakan stock opname setiap sebulan sekali pada tanggal satu dan dibuat laporannya sebanyak tiga rangkap yang ditunjukan ke Dinas Kesehatan Kota, serta tembusan ke Dinas Kesehatan Propinsi dan Badan POM sediaan lainnya diadakan stock opname setiap setahun sekali tiap akhir tahun.Apoteker Pengelola Apotek (APA) menyusun resep yang telah dikerjakan menurut urutan tanggal dan nomor urut penerimaan resep. Resep harus disimpan setiap sekurang-kurangnya selama tiga tahun. Resep yang mengandung narkotika harus dipisahkan dari resep lain. Untuk pelaporan resep harus dituliskan jumlah resep yang masuk dengan mencantumkan harga dari masing-masing resep. Resep yang telah disimpian melebihi jangka waktu penyimpanan dapat dimusnahkan dan dibuat berita acaranya. Semua hal ini tidak berlaku pada Toko Obat, karena seperti yang kita tahu bahwasannya Toko Obat hanya menjual Obat bebas dan Obat bebas terbatas saja. Format Laporan Narkotika Yaitu laporan yang dibuat oleh Apotek guna mencatat pengedaran dan pemakaian obat narkotika yang berasal dan resep dokter dalam satu bulannya. Laporan ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kota Bengkulu dengan tembusan: Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Bengkulu. Kepala Balai POM Bengkulu. Arsip. Contoh: format laporan terlampir. b. Format Laporan Psikotropika



1) 2) 3)



a) b) c)



Adalah suatu laporan yang dibuat Apotek untuk mencatat pengeluaran obat Psikotropika berdasarkan pelayanan resep dokter setiap bulannya ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kota Bengkulu dengan tembusan: Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Bengkulu. Kepala Balai POM Bengkulu. Arsip. Contoh: format laporan terlampir. c. Format Laporan Obat Generik Yaitu suatu laporan yang dibuat oleh pihak Apotek yang mencatat nama dan alamat dokter. Jumlah resep dan nama obat berasal dan dokter setiap bulannya. Laporan obat generik ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Bengkulu dengan tembusan: Kepala Dinas Kesehatan Kota Bengkulu. Kepala Badan POM. Arsip.



6.



7.



8.



9. E.



1.



2.



3.



4.



5.



Jenis Buku yang Digunakan dalam Pencatatan dan Pelaporan Pembukuan adalah salah satu rangkaian kegiatan pencatatan semua transaksi keuangan dalam suatu badan instansi, fungsinya mengetahui dan memperoleh dalam mengontrol jalannya proses kegiatan agar sesuai dengan tujuan dan rencana yang telah ditetapkan. Adapun buku-buku yang digunakan dalam pencatatan dan pelaporan adalah : Buku kas Buku Kas adalah buku pencatatan semua transaksi uang tunai, baik itu penerimaan maupun pengeluaran. Berfungsi untuk mencatat jumlah atau besar kecilnya pendapatan tiap bulannya. Pencatatan dilakukan setiap akhir bulan. Buku Pencatatan Barang Adalah buku yang digunakan untuk mencatat barang-barang yang dikirim berdasarkan faktur barang yang bersangkutan, yang mengisi buku ini ialah asisten apoteker (AA) yang telah di beri wewenang kemudian barang yang diterima harus dicek terlebih dahulu agar tidak terjadi kesalahan. Buku Pencatatan resep Adalah buku yang digunakan untuk mencatat resep yang masuk ke apotek yang harus ditulis oleh asisten apoteker (AA) setiap hari, buku ini juga berguna apabila ada kesalahan dalam menerima resep. Buku Bank Buku bank adalah buku pencatatan segala transaksi yang dilakukan melalui bank. Berfungsi untuk mencatat pemasukan atau keperluan lain dan yang dibayarkan melalui cek yang didasarkan bila ada rekening Apotek di Bank. Buku blanko surat pemesanan barang



10.



11. 12. 1)



2)



3)



a. b.



Adalah buku yang berisikan atas suatu barang atau obat yang telah habis atau persediaan obat sudah sangat sedikit. Buku pencatatan hutang/buku faktur Buku faktur adalah buku yang digunakan untuk mencatat hutang Apotek sehingga dapat memperoleh mengetahui berapa besar hutang yang ditanggung Apotek dicatat Iangsung pada buku faktur yang telah dipindahkan sesuai dengan PBF masing-masing. Buku Ekspedisi Adalah buku yang telah digunakan untuk mencatat nomor-nomor surat penting yang akan dikirim, guna untuk dijadikan bukti bila terjadi kesalahan dalam mencatat pelaporan obat setiap bulannya. Buku ini digunakan untuk mencatat barang yang masuk dan diterima dan PBF, dapat juga digunakan untuk mengecek barang yang diterima. Blanko Salinan Resep Adalah salinan resep yang digunakan berupa salinan resep tertulis dari suatu resep atau nama lainnya “Apograph”. Blanko Kwitansi Adalah digunakan apabila pasien menginginkan bukti pembayaran atas resep yang telah dibelinya. Buku Penjualan Bebas Buku ini digunakan untuk mencatat barang, baik kosmetilc maupun alat kesehatan yang telah dijual dan Apotek. Buku Penjualan Bebas, yang mencakup penjualan obat-obat bebas, bebas terbatas, obat wajib Apotek dan kosmetika. Buku Penjualan Obat-obat melalui resep dokter. Buku Pencatatan Resep Umum, Narkotika dan Psikotropika Buku Pencatatan Resep Umum Buku ini digunakan untuk mencatat pengeluaran obat melalui resep yang dicatat setiap harinya. Buku Pencatatan Resep Narkotika dan Psikotropika Buku ini digunakan untuk mencatat penggunaan atau pengeluaran obat Narkotika dan Psikotropika setiap han sesuai dengan resep dokter. Bukti ini ditutup setiap akhir bulan supaya diketahui jumlah pemakaian narkotika dan psikotropika setiap bulannya. Blanko Pesanan Obat Surat Pesanan Blanko ini ditulis berdasarkan buku permintaan barang kebutuhan obat obatan atau perbekalan farmasi di Apotek yang ditanda tangani oleh Apoteker Pengelola Apotek. Surat Pesanan ini terdiri dan: Wama putih (asli) dikirim ke PBF. Warna kuning (copy) sebagai arsip. Apotek NITA melakukan pemesanan obat ke PBF yang ada di Propinsi Bengkulu dan ada beberapa di luar Propinsi.



1.



2. a) b)



4)



a) b) c) d) 5)



6)



7)



Macam-macam blanko pesanan obat: Blanko pesanan obat bebas, bebas terbatas dan obat keras 1 (blanko) Umumnya, Apotek NITA melakukan pemesanan obat melalui sales dan harus disertai dengan pemesanan. Contoh pesanan obat bebas terlampir. Blanko Pesanan Psikotropika Blanko pemesanan ini terdiri dan 2 (dua) rangkap: Warna putih (asli) dikirim ke PBF. Warna putih (copy) sebagai arsip Apotek. Jika pemesanan ditujukan kepada PBF yang berdomisihi di dalam wilayah Propinsi Bengkulu, maka Surat Pesanannya sama dengan surat pesanan obat keras dan surat pesanan tersebut tidak perlu dilegalisir oleh Dinas Kesehatan Propinsi Bengkulu, tetapi jika pesanan obat psikotropikanya ditujukan ke PBF yang berdomisili di luar wilayah Propinsi Bengkulu, maka Surat Pesanan tersebut sebelum dikirimkan kepada PBF yang dituju harus dilegahisir terlebih dahulu ke Dinas Kesehatan Propinsi Bengkulu. Contoh blanko pemesanan obat Psikotropika terlampir. Blanko Pesanan Narkotika Blanko ini ditujukan ke PBF Kimia Farma Bengkulu, karena PBF ini yang diberi izin dan wewenang untuk mendistribusikan that narkotika tersebut Surat pesanan ini ditanda tangani oleh Apoteker Pengelola Apotek, apabila Apotek mehakukan pemesanan narkotika pada PBF yang berdomisili di luar wilayah Propinsi Bengkulu maka surat pesanannya harus dilegalisir terlebih dahulu oleh Dinas Kesehatan Propinsi Bengkulu. Blanko pemesanan obat narkotika terdiri dan 4 rangkap: Warna putih (asli) dikirim ke PBF. Warna merah (copy) serahkan ke Dinkes Propinsi Bengkulu. Warna kuning (copy) sebagai arsip Apotek. Warna biru (copy) untuk arsip Apotek Contoh blanko pemesanan obat narkotika terlampir. Blanko kartu stock dan blanko persiapan barang Blanko kartu stock adalah blanko yang digunakan untuk mencatat keluar masuknya obat-obatan dalam gudang di luar gudang selain itu juga untuk mengetahui kadaluarsa dan obat. Blanko Kwitansi dan Nota Penjualan Kwitansi adalah tanda bukti yang diberikan, apabila pasien meminta tanda bukti atas pembelian, pembayaran. Sedangkan nota digunakan untuk mencatat pembelian obat, kosmetika maupun alat kesehatan yang akan dijual di Apotek. Contoh blanko kwitansi terlampir. Blanko Salinan Resep



Adalah blanko yang dibuat untuk menyalin kembali resep sesuai dengan resep aslinya. Hal ini dilakukan apabila pasien hanya dilayani sebagian dan resep aslinya, atas permintaan pasien itu sendiri dan tidak mengandung obat narkotika. Hal ini dilakukan guna menghindari penyalah gunaan obat narkotika. contoh blanko salinan resep terlampir.  DRP DAN CONTOH KASUSNYA Drug Related Problems (DRP) atau Drug Therapy Problems (DTP) didefinisikan sebagai kejadian tidak diinginkan yang menimpa pasien yang berhubungan dengan terapi obat, dansecara nyata maupun potensial berpengaruh terhadap perkembangan pasien yang diinginkan. Suatu kejadian dapat disebut DRP bila memenuhi dua komponen berikut:  Kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien.  Kejadian ini dapat berupa keluhan medis, gejala, diagnosis, penyakit, ketidakmampuan (disability), atau sindrom; dapat merupakan efek dari kondisi psikologis, fisiologis, sosiokultural, atau ekonomi.  Ada hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat.  Bentuknya hubungan ini dapat berupa konsekuensi dari terapi obat, maupun kejadian yang memerlukan terapi obat sebagai solusi maupun preventif Sebagai pengemban tugas pelayanan kefarmasian, seorang farmasis memiliki tanggung jawab terhadap adanya DRP yaitu dalam hal: 1. Mengidentifikasi masalah, 2. Menyelesaikan masalah, dan 3. Melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya DRP 4. Untuk dapat melaksanakan tanggung jawab ini seorang farmasis memerlukan keahlian, pengetahuan, suatu sistem kesehatan yang mendukung. DRP dapat diklasifikasikan berdasarkan hubungannya dengan hal-hal yang menjadi pokok perhatian dan harapan pasien sebagai berikut: Indikasi 1. Pasien memerlukan obat tambahan 2. Pasien menerima obat yang tidak diperlukan 3. Efektivitas 4. Pasien menerima obat yang salah 5. Pasien menerima obat yang benar tetapi dosisnya terlalu rendah 6. Keamanan 7. Pasien mengalami efek obat yang tidak diinginkan 8. Pasien menerima dosis yang terlalu tinggi 9. Kepatuhan 10. Pasien tidak patuh terhadap regimen pengobatan 11. Pasien membutuhkan terapi tambahan



Keadaan yang jarang ditemukan pada DRP adalah suatu keadaan ketika pasien menderita penyakit sekunder yang mengakibatkan keadaan yang lebih buruk daripada sebelumnya sehingga memerlukan terapi tambahan. Penyebab utama perlunya terapi tambahan antara lain ialah untuk mengatasi kondisi sakit pasien yang tidak mendapatkan pengobatan, untuk menambahkan efek terapi yang sinergis, dan terapi untuk tujuan preventif atau profilaktif. Misalnya pada pasien kanker, diperlukan lebih dari satu jenis obat antikanker agar terapinya lebih efektif untuk mematikan sel-sel kanker tersebut. Terapi untuk tujuan preventif contohnya ialah pemberian tablet aspirin dosis kecil pada pasien geriatri untuk mengurangi resiko terjadinya serangan jantung dan kematian. Pasien menerima terapi obat yang tidak diperlukan Pada kategori ini termasuk juga penyalahgunaan obat, narkotika, alkohol, dan swamedikasi yang tidak benar. Merupakan tanggung jawab farmasis agar pasien tidak menggunakan obat yang tidak memiliki indikasi yang valid. DRP kategori ini dapat menimbulkan implikasi negatif pada pasien berupa toksisitas atau efek samping, dan membengkaknya biaya yang dikeluarkan di luar yang seharusnya. Penyebab DRP kategori ini antara lain tidak ada indikasi medis yang tepat, penggunaan obat yang sifatnya adiktif, dan duplikasi terapi yang tidak perlu. Contohnya ialah pasien yang menderita batuk dan flu mengkonsumsi obat batuk dan analgesik-antipiretik terpisah, padahal dalam obat batuknya sudah mengandung parasetamol. Ada keluhan-keluhan medis yang sebenarnya bisa diatasi tanpa obat melainkan dengan perbaikan pola makan atau gaya hidup. Contohnya ialah pasien pria yang menerima ranitidine 150 mg oral 2 kali sehari untuk ulkus duodenum selama 6 minggu, kini telah sembuh tapi masih ada rasa tidak nyaman pada perutnya karena konsumsi kopi dan nikotin. Sebenarnya keluhan ini dapat diatasi bila dia mengurangi konsumsi kopi dan tidak merokok lagi, tidak perlu minum obat. Pasien menerima regimen terapi yang salah Kadang-kadang suatu terapi obat yang diterima pasien bisa jadi tidak efektif, atau pasien menerima terapi obat di mana ada alternatif obat lain yang lebih efektif, atau sama efektifnya tetapi lebih aman. Misalnya pada pasien anak yang menderita otitis media diresepkan amoksisilin 125 mg 3 kali sehari selama 10 hari. Pada kejadian sebelumnya bulan yang lalu, awalnya ia diobati dengan amoksisilin, tetapi setelah 7 hari pengobatan tidak sembuh. Kemudian terapi diganti dengan kotrimoksazol, yang akhirnya dapat menyembuhkan infeksinya. Melihat riwayat medikasinya, seharusnya anak ini diberikan kotrimoksazol karena sudah terbukti untuk penyakit yang serupa penggunaan amoksisilin tidak efektif. Ada juga kasus di mana pasien menerima suatu terapi obat padahal ia alergi terhadapnya, atau ada kontraindikasi lain, misalnya pada kasus wanita hamil dengan acne vulgaris diresepkan isotretinoin (Accutane) padahal obat ini dikontraindikasikan pada kehamilan. Penggunaan obat yang lebih mahal jika ada alternatif obat lain yang lebih murah tapi efikasinya sama juga dapat dikategorikan sebagai regimen terapi yang salah. Di sini nampak jelas pentingnya keterlibatan pasien dalam menentukan regimen terapi. Jika seorang pasien menerima terapi kombinasi padahal pemberian



obat tunggal saja sudah cukup efektif, maka dapat dikatakan bahwa pasien ini mengalami DRP. Seorang pasien menerima obat dengan sediaan yang tidak sesuai dengan kondisinya. Misalnya pasien balita diberikan obat berupa tablet, padahal obat tersebut seharusnya diberikan dalam bentuk puyer. Jumlah obat yang dikonsumsi terlalu sedikit Pasien menerima obat dalam jumlah lebih kecil dibandingkan dosis terapinya. Hal ini dapat menjadi masalah karena menyebabkan tidak efektifnya terapi sehingga pasien tidak sembuh, atau bahkan dapat memperburuk kondisi kesehatannya. Hal-hal yang menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah yang terlalu sedikit antara lain ialah kesalahan dosis pada peresepan obat, misalnya pemberian antibiotik amoksisilin sirup 40 mg pada pasien anak, sedangkan untuk indikasi yang sama seharusnya diberikan amoksisilin dosis 125 mg. Frekuensi dan durasi minum obat yang tidak tepat dapat menyebabkan jumlah obat yang diterima lebih sedikit dari yang seharusnya, misalnya amoksisilin yang seharusnya diminum 3 kali sehari ternyata hanya diminum 1 kali sehari; dan durasi pengobatan yang seharusnya 10 hari tetapi obatnya hanya diminum kurang dari itu. Penyimpanan juga berpengaruh terhadap beberapa jenis sediaan obat. Amoksisilin untuk anak-anak biasanya diberikan dalam bentuk sirup kering, sehingga sebelum digunakan harus dilarutkan lebih dahulu dengan air. Sediaan harus disimpan dalam lemari es untuk menjaga kestabilan kadar obat dalam sediaan. Cara pemberian yang tidak benar, misalnya menggunakan ukuran sendok yang salah untuk sediaan sirup, atau penggunaan obat semprot untuk asma dengan cara yang tidak benar, dapat mengurangi jumlah obat yang masuk ke dalam tubuh pasien. Adanya interaksi obat dengan makanan atau dengan obat lain dapat menyebabkan salah satu obat berkurang absorbsinya dalam saluran cerna, atau mengalami peningkatan metabolisme sehingga jumlahnya dalam sirkulasi lebih kecil dari yang seharusnya. Ada beberapa faktor pendukung yang menyebabkan hal-hal tersebut di atas, antara lain ialah obat diresepkan dengan metode fixed-model (hanya merujuk pada dosis lazim) tanpa mempertimbangkan lebih lanjut usia, berat badan, jenis kelamin, dan kondisi penyakit pasien sehingga terjadi kesalahan dosis pada peresepan. Adanya asumsi dari tenaga kesehatan (dokter, perawat, farmasis) yang lebih menekankan keamanan obat dan meminimalisir efek toksik terkadang sampai mengorbankan sisi efektivitas terapi. Ketidakpatuhan pasien yang menyebabkan konsumsi obat tidak tepat jumlah, antara lain disebabkan karena faktor ekonomi – pasien tidak mampu menebus seluruh obat yang diresepkan, dan pasien tidak paham cara menggunakan obat dengan benar. Jumlah obat yang dikonsumsi terlalu banyak Pasien menerima obat dalam jumlah lebih banyak dibandingkan dosis terapinya. Hal ini tentu berbahaya karena dapat terjadi peningkatan resiko efek toksik dan bisa jadi membahayakan pasien. Hal-hal yang menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah yang terlalu sedikit antara lain ialah kesalahan dosis pada peresepan obat. Frekuensi dan durasi minum obat yang tidak tepat dapat



menyebabkan jumlah obat yang diterima lebih banyak dari yang seharusnya. Adanya interaksi obat dengan makanan atau dengan obat lain dapat menyebabkan salah satu obat meningkatkan absorbsinya dalam saluran cerna, atau mengalami penurunan metabolisme sehingga jumlahnya dalam sirkulasi lebih banyak dari yang seharusnya. Ada beberapa faktor pendukung yang menyebabkan hal-hal tersebut di atas, antara lain ialah obat diresepkan dengan metode fixed-model (hanya merujuk pada dosis lazim) tanpa mempertimbangkan lebih lanjut usia, berat badan, jenis kelamin, dan kondisi penyakit pasien sehingga terjadi kesalahan dosis pada peresepan. Pada kasus swamedikasi, ada pasien yang berasumsi bahwa semakin tinggi dosis efek obat semakin baik. Meskipun tidak sepenuhnya salah namun banyak faktor yang harus dipertimbangkan dalam peningkatan dosis. Misalnya seorang pasien menderita sakit kepala kemudian mengkonsumsi parasetamol. Pada kali lain sakit kepalanya terasa lebih berat ia mengkonsumsi parasetamol dalam jumlah yang lebih besar. Mungkin ia tidak menyadari bahwa konsumsi parasetamol dalam jumlah besar apalagi dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan kerusakan hati. Pada kasuskasus swamedikasi ini perhatian dan pelayanan informasi obat oleh farmasis di apotek sangat diperlukan. Pasien mengalami reaksi obat yang tidak diinginkan (adverse drug reaction, ADR) Dalam terapinya pasien mungkin menderita ADR yang dapat disebabkan karena obat tidak sesuai untuk kondisi pasien, cara pemberian obat yang tidak benar baik dari sisi frekuensi pemberian maupun durasi terapi, adanya interaksi obat, dan perubahan dosis yang terlalu cepat pada pemberian obat-obat tertentu. Pemberian pseudoefedrin dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah sehingga menyebabkan jantung berdebar dan meningkatkan tekanan darah sehingga obat ini tidak boleh diberikan pada penderita hipertensi. Interaksi obat antara digoksin dan amiodaron atau kuinidin, dapat meningkatkan jumlah digoksin dalam darah sehingga dapat menyebabkan keracunan digoksin berupa gangguan irama denyut dan konduksi jantung. Labetalol memiliki efek samping yang disebut fenomena dosis pertama, yaitu terjadinya hipotensi orthostatik yang terjadi pada pemberian dosis pertama, atau sewaktu ada peningkatan dosis. Untuk mencegah efek samping ini dosis awal harus kecil, dan peningkatan dosis dilakukan perlahanlahan. ADR seringkali menjadi hambatan dalam pelaksanaan layanan kesehatan. ADR juga dapat meningkatkan biaya perawatan kesehatan. ADR merupakan respon terhadap suatu obat yang berbahaya dan tidak diharapkan, serta terjadi pada pemberian dosis lazim. Terdapat dua macam ADR yaitu:  Tipe A Reaksi ini terkait dengan aksi farmakologis obat, dan tergantung pada dosis yang digunakan. Ciri-ciri ADR tipe A adalah:  Dapat diramalkan (berdasarkan farmakologinya)  Tergantung pada dosis  Dapat ditangani dengan pengurangan dosis







Frekuensi terjadinya sering tetapi jarang menimbulkan efek yang serius. Contohnya pemakaian obat penghambat beta dapat menyebabkan bradikardia, dan antidepresan trisiklik menyebabkan mulut kering.  Tipe B Reaksi ini tidak terkait dengan aksi farmakologis obat dan dosis yang digunakan. Ciri-ciri ADR tipe B adalah:  Tidak dapat diramalkan (berdasarkan farmakologinya)  Tidak tergantung dosis namun terkait metabolisme obat dan sistem imun penderita  Dapat ditangani dengan penghentian pemberian obat  Frekuensi terjadinya jarang tetapi menimbulkan efek yang serius bahkan mematikan. Contohnya ialah syok anafilaksis setelah injeksi antibiotika, atau terjadinya anemia aplastik pada penggunaan kloramfenikol. Ketidakpatuhan pasien Ketidakpatuhan pasien dapat menimbulkan DRP. Ketidakpatuhan ini dapat disebabkan banyak hal, antara lain obat yang diresepkan tidak tersedia (di apotek terdekat) sehingga pasien kesulitan karena harus mencari obat tersebut di tempat lain. Daya beli pasien yang rendah dan harga obat yang mahal menjadi pemicu utama ketidakpatuhan pasien karena ia tidak mampu membeli semua obat yang diresepkan. Beberapa faktor penyebab ketidakpatuhan yang lain ialah pemberian sediaan yang tidak tepat sehingga pasien tidak mau atau tidak bisa mengkonsumsi obat tersebut, misalnya pasien anak diresepkan sediaan tablet yang tidak bisa ditelannya, atau diresepkan sediaan suspensi yang bau dan rasanya tidak enak, sehingga anak itu tidak mau minum obat. Pasien kadang-kadang tidak mengerti instruksi pemberian obat, atau memiliki asumsi sendiri terhadap regimen pengobatan, misalnya antibiotik yang diresepkan seharusnya diminum sampai habis tetapi ternyata pasien menghentikan minum obat setelah kondisi tubuhnya dirasa membaik padahal obat belum dihabiskan. Pada kasus khusus pasien yang beraktivitas seharian sehingga lupa meminum obatnya, atau lupa membawa inhalernya, sehingga regimen pengobatan menjadi tidak tepat. Secara umum perhatian farmasis terhadap adanya DRP sebaiknya diprioritaskan pada pasien geriatri, pasien pediatri, ibu hamil dan menyusui, serta pasien yang mendapatkan obat yang indeks terapinya sempit. Pasien usia lanjut memiliki kelemahan dalam hal fisik dan ingatan, sehingga sebaiknya tidak diberikan pengobatan dengan regimen yang kompleks, dan sedapat mungkin farmasis melibatkan orang lain (keluarga atau perawat) untuk mendampingi pasien tersebut menjalankan terapinya. Pasien pediatri harus diprioritaskan dalam penanganan DRP karena kondisi fisiologisnya masih belum sempurna sehingga faktor2 metabolisme dan absorbsi obat tidak bisa disamakan begitu saja dengan pasien dewasa, dan farmasis mutlak harus melibatkan orangtua dalam pelayanan dan penanganan terhadap DRP yang diderita anaknya. Banyak obat yang dikontraindikasikan terhadap kehamilan dan keadaan menyusui karena perubahan-perubahan fisiologis yang dialami selama kehamilan, dan ada obat yang dapat terdistribusi melalui



plasenta dan air susu ibu sehingga dikhawatirkan mempengaruhi pertumbuhan janin maupun bayi yang mengkonsumsi air susu ibu. Pasien yang mendapatkan obat dengan indeks terapi sempit, misalnya digitalis, harus dimonitor secara seksama penggunaan obatnya untuk mencegah efek toksik, sebab kesalahan penggunaan obat misalnya dosisnya lebih tinggi dari yang seharusnya diterima walaupun sedikit akan mengakibatkan efek toksik terutama pada jantung dan dapat menyebabkan kematian Drug Related Problems (DRP) Secara sederhana, DRP dapat kita defenisikan sebagai “permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan obat”. Saya tegaskan lagi: semua-mua permasalahanpermasalahan yang berhubungan dengan obat. Permasalahan ini merupakan salah satu faktor utama yang dapat menghambat penyembuhan anda dari penyakit. Tidak hanya memperlambat, DRP ini ternyata dapat juga memberikan penyakit tambahan, atau akibat buruk lainnya yang tidak diinginkan. Ada beberapa jenis permasalahan yang berhubungan dengan obat. Pembahasan ini sebenarnya farmasi banget, tapi saya coba sederhanakan supaya dapat dengan mudah dipahami :) 1. Adanya penyakit/gejala penyakit yang tidak terobati Misalnya anda pada suatu waktu menderita beberapa gejala penyakit seperti batuk, demam + sakit kepala, hipertensi, gasteritis *naudzubillah, sakitnya banyak amat*, dan ternyata obat yang diberikan petugas kesehatan hanya obat batuk, obat sakit kepala/demam, dan obat hipertensi. Sedangkan anda juga menderita gasteritis (baca: magh) tetapi anda tidak mendapatkan obat untuk mengatasi (gejala) penyakit tersebut. Artinya, obat yang anda terima tidak menjawab semua keluhan anda sehingga anda tetap tersiksa karena gejala penyakit anda tidak teratasi. 2. Adanya obat yang tidak mempunyai indikasi (obat yang tidak perlu) Anda misalnya cuma sedang menderita flu (dengan gejala demam plus sakit kepala *dikit), tetapi petugas kesehatan memberikan anda beberapa obat: parasetamol (sebagai obat sakit kepala + demam) dan amoksisilin (antibiotik untuk membunuh bakteri). Lho? Kok dikasih amoksisilin? Anda kan tidak sedang terinfeksi mikroba/bakteri? Anda kan cuma terserang virus influenza? Padahal virus tidak bisa diatasi dengan obat antibiotik. Jadi, anda sedang menerima obat yang tidak ada indikasinya (baca: tidak ada penyakit yang anda derita yang bisa disembuhkan oleh obat tersebut). So, ngapain minum obat yang tidak kita butuhkan… Ntarefek samping lagi *belum lagi kalo obatnya lumayan mahal :( Anda tau parasetamol bukan…? Itu tuh, obat yang dipake untuk mengatasi demam dan sakit kepala. Di dalam praktek kesehatan, sering sekali pasien diberikan beberapa tablet parasetamol tanpa diberikan penjelasan tentang kapan dan bagaimana penggunaan obat ini. Parasetamol diminum hanya ketika anda demam/sakit kepala. Jika demam atau nyeri sudah tidak anda rasakan lagi, maka parasetamol tidak perlu lagi anda minum, karena anda tidak butuh. Contoh kasus parasetamol ini merupakan salah satu DRP yang termasuk ke dalam kategori penggunaan obat yang tidak ada indikasi (lagi), karena setelah gejala



penyakit tidak ada maka obat untuk mengatasi gejala penyakit tersebut tidak lagi diperlukan. 3. Adanya obat dengan dosis yang tidak tepat Permasalahan ini berhubungan erat dengan kadar obat yang anda terima dan kemudian terdistribusi di dalam tubuh anda. Ada beberapa contoh permasalahan berhubungan dengan kadar ini:  Dosis obat yang anda terima tidak mencukupi atau berlebih: Misalnya anda (*dari tadi yang sakit anda melulu…) sedang menderita hipertensi dan seharusnya meminum obat Kaptopril (obat penurun tekanan darah) dengan kekuatan dosis 25 mg tiap tabletnya, tetapi dalam kenyataannya *karena beberapa kendala teknis* ternyata anda hanya diberikan obat yang sama (Kaptopril) tetapi dalam kekuatan dosis yang hanya 12,5 mg. Atau contoh yang lain, misalnya anda diberikan antibiotik Amoksisilin sebanyak 9 tablet (@500 mg) untuk anda minum 3 kali sehari selama 3 hari. Namun karena sesuatu hal *misalnya karena lupa* ternyata anda hanya minum obat ini selama 2 hari. Ini adalah masalah… dan berpotensi mendatangkan masalah lainnya.  Frekuensi meminum obat tidak tepat: Pada kasus di atas misalnya anda seharusnya minum obat 3 kali sehari, tetapi ternyata anda hanya minum 2 kali saja. Jika demikian maka kadar obat di dalam tubuh anda tidak mencukupi untuk memberikan efek terapi. Atau bisa juga kasus sebaliknya dimana obat yang seharusnya diminum 2 kali sehari saja kemudian anda minum 3 kali *mungkin dengan harapan supaya cepat sembuh :mrgreen: … Lho, gak bisa gitu donks… bisa-bisa anda keracunan 4. Penggunaan obat yang tidak tepat waktu Beberapa obat tertentu harus diminum pada waktu-waktu khusus. Secara umum kita hanya mengenal meminum obat sebelum makan atau sesudah makan, padahal sebenarnya masih banyak waktu-waktu khusus untuk meminum obat. Misalnya ada obat tertentu yang diminum di saat makan (bersamaan dengan makanan), ada obat yang diminum di pagi hari, ada yang malam hari sebelum tidur, ada yang sebaiknya bersamaan dengan susu, dan lain sebagainya *rumit amat… :( Tapi hal ini sangat penting supaya obat yang anda minum efektif. 5. Terjadinya ROM ROM yang dimaksudkan di sini adalah Reaksi Obat yang Merugikan. Reaksi ini terdiri dari:  Efek samping obat. Hampir semua obat mempunyai efek samping, tetapi tidak semua efek samping tersebut mempunyai makna secara klinis dan sebagian besarnya dapat diabaikan dan tidak cukup mengganggu. Tetapi, untuk obat-obat tertentu anda (sebagai pasien) sebenarnya harus dikasih tau bahwa suatu obat A efek sampingnya begini dan begitu, sehingga anda bisa mengambil langkah yang tepat ketika itu benar-benar terjadi.  Keracunan obat: Hal ini biasanya terjadi karena penggunaan obat yang melebihi dosis, atau karena penggunaan obat yang meskipun tidak melebihi dosis, tetapi digunakan dalam jangka waktu yang cukup lama atau bahkan terus-menerus.











Reaksi alergi: Reaksi alergi merupakan reaksi yang khusus dan bersifat individual dan tidak bisa diprediksi. Misalnya ada pasien yang ternyata alergi terhadap Antalgin, maka ketika petugas kesehatan tidak tahu dan kemudian memberikan obat tersebut kepada pasien, maka akan terjadi reaksi alergi. Terjadi interaksi obat yang menimbulkan efek yang merugikan. Hal ini terjadi ketika anda meminum beberapa obat sekaligus sehingga sebagian obat tertentu berinteraksi dengan obat tertentu lainnya (tidak dengan sembarang obat).



Analisa resep dalam tugas khusus ini bertujuan untuk menilai apakah suatu resep obat yang diberikan oleh dokter kepada pasien telah rasional, serta apakah berpotensi menimbulkan Drugs Related Problems (DRP) serta kemungkinan terjadinya medication error (ME). Penggunaan obat yang rasional dapat dijabarkan sebagai penggunaan obat yang tepat dengan memperhitungkan aspek manfaat dan kerugiannya. Penggunaan obat yang rasional akan memberikan manfaat yang lebih besar dibanding kerugian yang diakibatkannya. DRP umumnya berhubungan dengan dosis, seperti kurang/ lebih dosis atau mungkin salah dosis, adanya indikasi yag tak terobati, atau bahkan obat diberikan tanpa indikasi. DRP yang lain mungkin disebabkan oleh adanya interaksi obat, dengan obat lain, maupun dengan makanan yang dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan terapi. Resiko efek samping dan kemungkinan terjadinya reaksi obat merugikan (ROM) juga merupakan faktor penyumbang terjadinya DRP. Sedangkan medication error (ME) lebih berupa suatu kejadian yang merugikan pasien, selama pasien tersebut berada dalam penanganan tenaga kesehatan. Instalasi farmasi Rumah Sakit sebagai satu-satunya bagian dalam Rumah Sakit yang berwenang menyelenggarkan pelayanan kefarmasian, harus dapat menjamin bahwa pelayanan yang dilakukannya rasional dan sesuai dengan ketentuan standar pelayanan kefarmasian yang telah ditetapkan. Pelayanan kefarmasian ini harus dapat mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah-masalah kesehatan terutama yang berkaitan dengan obat. Dalam tugas khusus ini saya akan mencoba menganalisa beberapa resep pasien rawat jalan sebagai berikut : 1. Resep 1 25/7/2011 R/ Furosemid XXV S 1-1/2-0 R/ KSR XV S 1 dd 1 R/ Metformin 500 XLV S 3 dd 1 R/ Glibenklamide 5 XV S 1-0-0



R/ Diazepam 2 XXX S 2 dd 1 R/ Aspilet XV S 1 dd 1 R/ ISDN 5 XV S 1 dd 1 SL bila nyeri dada R/ Antasida Fl. I S 4 dd IC R/ Simvastatin XV S 0-0-1 R/ Gemfibrozil 300 XV S 0-0-1 Pro a.



: Tn. A (40 Th)



Anamnesa Pasein menyatakan telah lama menderita penyakit kolesterol, sakit jantung, diabetes mellitus dan tekanan darah tinggi (140 mmHg). b. Analisa Kasus Dalam kasus ini Tn. A yang berusia 40 tahun, mendapat 10 item obat dalam satu kurun waktu pengobatan. Pasien mengalami diabetes mellitus dengan diagnosa penyerta tekanan darah tinggi, hiperlipidemia, dan gangguan jantung. Obat-obat yang diresepkan dokter adalah sebagai berikut: Furosemid, sebagai antihipertensi golongan diuretik loops diuretik KSR/ Kalium klorida 600 mg, sebagai suplemen kalium untuk mencegah hipokalemia akibat penggunaan diuretik Metformin dan glibenklamid sebagai antidiabetes oral Diazepam, sedative golongan benzodiazepin Aspilet sebagai antiplatelet ISDN, sebagai antiangina Antasida, untuk menetralkan asam lambung Simvastatin dan gemfibrozil sebagai antihiperlipidemia Furosemid digunakan sebagai agen antihipertensi tunggal, karena hipertensi yang dialami pasien masih berada pada stage 1 (tekanan diastolik antara 140-159 mmHg). Sehingga penggunaan agen tunggal umumnya cukup efektif. Penggunaan furosemid (loop diuretik) pada pasien yang memiliki diagnose penyerta berupa diabetes mellitus dan gagal jantung seperti pada kasus ini, diperbolehkan. Sehingga pemilihan furosemid dapat dianggap rasional. Dari segi dosis, umumnya furosemid diberikan sekali sehari (40 mg/hari), yaitu pada pagi hari. Namun dalam kasus ini, pasien menerima furosemid 40 mg pada pagi hari dan 20 mg pada siang hari (60 mg/hari). Dosis tersebut masih berada pada dosis yang dianjurkan, terlebih pasien juga menderita gagal jantung, sehingga dosis yang lebih tinggi diperbolehkan. Waktu pemberian furosemid juga masih aman,



yaitu pada pagi dan siang hari, sehingga resiko terjadinya diuresis nokturnal masih dapat dihindarkan. (Dipiro; 233-236) Pemberian KSR/ kalium klorida, sebagai suplemen kalium, dapat dibenarkan, mengingat furosemid merupakan diuretik yang boros kalium, sehingga dapat memicu terjadinya hipokalemia. (Dipiro; 197). Disamping kemungkinan terjadinya hipokalemia, pengguna furosemid juga berpeluang mengalami kekurangan kadar ion-ion lainnya, akibat peningkatan urinasi, seperti natrium (hiponatremia), magnesium (hipomagnesemia), serta kemungkinan terjadinya gout. (BNF 57; 76) Pasien dapat dipastikan menderita diabetes mellitus tipe 2, karena dokter hanya meresepkan andiabetik oral, tanpa insulin. Pasien diberi kombinasi metformin 500 mg tiga kali sehari, dan glibenklamide 5 mg satu kali sehari. Metformin merupakan antidiabetik golongan biguanide, yang bekerja dengan cara meningkatkan sensitivitas insulin dan menurunkan resistensinya. Dan metformin merupakan agen antidiabetik utama untuk terapi diabetes tipe 2, selama penggunaannya tidak dikontraindikasikan pada pasien tersebut. Metformin yang dikombinasi dengan glibenklamide, sangat diperbolehkan. Dosis kombinasi kedua obat tersebut juga masih dalam batas aman. Dimana dosis maksimum keduanya adalah 20 mg/hari untuk glibenkalmid, dan 2000 mg/hari untuk metformin. (Dipiro; 1369, 1384, 1385). Baik metformin maupun glibenklamide dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada saluran cerna berupa mual, muntah, dan diare. (BNF; 376). Penggunaan ISDN, Aspilet dan diazepam kemungkinan digunakan untuk terapi gangguan jantungnya. Diazepam kemungkinan diberikan untuk memberi efek antiansiolitik dan sedasi yang menenangkan sehingga, mengurangi beban kerja jantung. Kemungkinan juga untuk mengatasi insomnia yang dapat disebabkan oleh gemfibrozil. (BNF 57; 693, 146) Aspilet diberikan sebagai antiplatelet yang dapat mengencerkan dan memperlancar peredaran darah. ISDN digunakan sewaktu-waktu saat terjadi serangan sesak nafas, atau nyeri dada, atau serangan angina. ISDN diberikan secara sublingual, untuk mempercepat onset kerja ISDN, dan mencegah terjadinya metabolism lintas pertama dihati. Kombinasi simvastatin 10 mg/hari dan gemfibrozil 300 mg/hari dalam dosis tunggal pada malam hari ditujukan sebagai terapi antihiperlipidemia. Suatu studi menunjukkan bahwa pemberian simvastatin mampu mengurangi 42% resiko kejadian panyakit jantung koroner pada penderita diabetes mellitus yang memiliki konsentrasi kolesterol LDL dalam darahnya tinggi. Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor resiko terjadinya penyakit jantung koroner. Dalam studi ini simvastatin digunakan sebagai agen tunggal. (Dipiro; 476-479, 1398) Penggunaan bersamaan simvastatin (golongan statin) dengan gemfibrozil (golongan fibrat) meningkatkan resiko rhabdomyolisis, sehingga kombinasi tersebut tidak boleh digunakan. (BNF 57; 140)



Penggunaan simvastatin lebih dari 10 mg/hari harus disertai dengan pemantauan klirens kreatininnya (harus >30 ml/menit). (BNF 57; 813) Penggunaan antasida kemungkinan sebagai penanganan efek samping obat yang dapat mengiritasi lambung, sehingga meningkatkan sekresi asam lambung. Aspilet dapat mengiritasi lambung, akibat adanya penghambatan pada pembentukan prostaglandin. Diazepam dapat menyebabkan ketidaknyamanan lambung, begitu pun dengan furosemid. Interaksi obat yang mungkin terjadi pada kasus ini antara lain: Jus anggur dapat meningkatkan konsentrasi plasma dari simvastatin Gemfibrozil dapat meningkatkan efek antidiabetik dari sulfonylurea (BNF 57; 746) c. Saran Berdasarkan ulasan pustaka diatas dapat disarankan : Sebaiknya antihiperlipidemia yang digunakan merupakan agen tunggal, yaitu simvastatin atau gemfibrozil saja, bukan sebagai kombinasi keduanya. Dan tampaknya penggunaan simvastatin lebih aman, dibandingkan dengan gemfibrozil. Karena gemfibrozil berinteraksi dengan sulfonylurea, dan mengakibatkan peningkatan efek hipoglikemia sulfonylurea. Ingatkan pada pasien untuk tidak mengkomsumsi jus anggur selama pasien masih mengkonsumsi simvastatin Sarankan pada pasien untuk melakukan diet karbohidrat dan lemak yang ketat, untuk menjaga suapaya kadar glukosa dan lipid dalam darah tetap berada pada rentang yang aman Sarankan juga pada pasien untuk selalu menyediakan asuapan glukosa cepat (permen, atau minuman manis) jika sewaktu-waktu terjadi hipoglikemia. Pasien juga harus cukup istirahat, dan menghindari kelelahan, untuk menjaga kerja jantung tetap normal. Pasien juga harus menghindari rokok dan alkohol. Olah raga ringan yang teratur masih diperbolehkan, sebatas tidak menimbulkan kelelahan. 2.



Resep 2 22/7/2011 R/ Captopril 25 XLV S 3 dd 1 R/ HCT XV S 1-0-0 R/ Bisoprolol 5 XV S 1 dd 1 R/ ISDN 5 XV S 1 dd 1 SL bila nyeri dada R/ B1 XLV S 3 dd 1 R/ Meloxicam 15 XV S 2 dd 1



R/ Antasida Fl. S 4 dd C Pro a.



b.



-



I



: Ny. N (61 Th)



Ananmnesa Pasien mengeluh nyeri dada, tekanan darah tinggi, sering tremor, dan pegal-pegal pada sekujur badan. Analisa Dalam kasus ini pasien menerima 7 item obat dalam sekali waktu konsumsi. 7 item obat tersebut yaitu : captopril yang merupakan antihipertensi golongan inhibitor enzim pengkonversi angiotensin (ACEI), hidroklorotiazid (HCT) yang merupakan diuretik golongan tiazid, bisoprolol, suatu agen antihipertensi golongan pemblok β yang kardioselektif isosorbid dinitrat (ISDN), antiangina golongan nitrat tiamin (vitamin B1), untuk terapi defisiensi vitamin B1 meloksikam, obat antiinflamasi nonsteroid, yang memiliki sifat antinyeri antasida, untuk menetralkan asam lambung Dengan memperhatikan keluhan yang disampaikan oleh pasien dan obat-obat yang diresepkan oleh dokter dapat diduga pemberian captopril, HCT, bisoprolol, dan ISDN berhubungan dengan hipertensi dan keluhan nyeri dada. Nyeri dada, sering menjadi indikasi adanya gangguan jantung. Meski tidak semua nyeri dada diakibatkan oleh kelainan jantung. Meloksikam dan vitamin B1 ditujukan untuk mengatasi keluhan nyeri badan. Pasien tidak secara langsung mengeluhkan kondisi yang berhubungan dengan kelebihan asam lambung, namun dokter meresepkan antasida, hal ini mungkin ditujukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya iritasi lambung yang dapat memicu peningkatan asam lambung. Jika benar, keluhan nyeri dada pada kasus ini berhubungan dengan gangguan system jantung seperti halnya angina, maka pemilihan kombinasi antihipertensi berupa captopril (ACE inhibitor), HCT (diuretik tiazid), dan bisoprolol (β-bloker kardioselektif) relative merupakan pilihan yang tepat. Kombinasi tersebut sebagaimana disarankan oleh JNC7. Kecuali pasien tersebut memiliki riwayat infark myokardiak, penggunaan diuretik tidak disarankan. Disamping diagnose penyerta dalam kasus hipertensi ini yang harus menjadi dasar pemilihan terapi, faktor usia juga harus dipertimbangkan. Dalam hal ini, pasien telah cukup lanjut usia, yaitu 61 tahun. Faktor usia lanjut sangat memungkinkan terjadinya pengaruh hipertensi terhadap kerusakan berbagai organ seperti jantung, hati, ginjal, dan otak. Sehingga pemilihan terapinya harus benarbenar diperhatikan. Dosis captopril, pasien menerima captopril 75 mg/hr dalam dosis terbagi tiga, maka dosis tersebut masih dapat diterima sebagai dosis aman. Begitu pun dengan



HCT satu kali sehari pada pagi hari, merupakan dosis yang lazim. Dalam hal ini perlu diingatkan pada pasien, agar jangan sampai mengkonsumsi HCT ini pada waktu sore atau malam hari, karena dapat menimbulkan efek diuresis nokturnal, yang akan sangat mengganggu waktu istirahat pasien pada malam hari. Bisoprolol 5 mg satu kali sehari juga merupakan dosis aman. Namun pasien harus diingatkan untuk tidak menghentikan penggunaan obat ini secara mendadak, karena dapat menyebabkan kambuhan hipertensi. (Dipiro; 221). Pemberian ISDN yang bersifat insidental, yaitu saat terjadi gejala sesak nafas secara sublingual cukup tepat. Pemberian secara sublingual dapat memberikan efek yang lebih cepat daripada secara oral. ISDN akan dengan cepat mengakhiri serangan angina akut yang ditandai gejala sesak nafas dan nyeri dada. Terapi captopril akan membantu mencegah serangan angina yang berulang. Pasien yang menjalani terapi ISDN juga harus diapantau konsentrasi kreatinin serumnya, terutama pada pasienpasien yang terindikasi mengalami kerusakan ginjal. Peresepan vitamin B1, kemungkinan berhubungan dengan penanganan keluhan tremor dan salah satu efek obat (bisoprolol). Meloksikam diberikan untuk mengobati rasa nyeri. Meloksikam merupakan salah satu anti inflamasi nonsteroid yang relative selektif pada COX-2. Sehingga obat ini relative aman terhadap lambung. Namun harus diwaspadai efeknya terhadap ginjal. (Dipiro; 688, 916) Dosis meloksikam yang diresepkan tampaknya berlebih. Pada kasus nyeri osteoarthritis meloksikam hanya digunakan untuk terapi jangka pendek, kecuali pada penanganan rheumatoid arthritis dapat digunakan sebagai terapi jangka panjang. Dosis yang dianjurkan hanya 7,5 mg/hari, maksimum 15 mg/hari. Apalagi dalam kasus ini pasien telah lanjut usia, dosis yang disarankan hanya 7,5 mg/hari. Sedangkan pada resep tersebut dokter menuliskan 2 kali sehari masing-masing 15 mg, atau 30 mg/hari. BNF maupun Pharmacotherapy-Dipiro menyebutkan bahwa pemberian meloksikam hanya sekali sehari. (BNF 57; 552, 559) Pemberian antasida tampaknya kurang signifikan. Pasien tidak mengeluhkan gejala yang menunjukan adanya kelebihan asam lambung sehingga perlu mengkonsumsi antasida. Meskipun antasida ini hanya bekerja secara local pada lambung, namun tetap perlu diwaspadai interaksinya. Interaksi mungkin terjadi dengan captopril, dimana absorpsi captopril dapat terhambat, yang mengakibatkan bioavailabilitasnya rendah, dan konsentrasi efektif minimumnya dalam darah tak tercapai, sehingga terapi yang optimum juga tidak tercapai. Disamping itu, akumulasi kation Mg2+ dan Al3+ sangat mungkin berikatan dengan senyawasenyawa phosphate, sehingga absorpsi phophat menurun dan mengakibatkan hipophosphatemia. Terlebih pasien juga mengkonsumsi diuretik, yang akan meningkatkan aktivitas urinari, yang dapat semakin meningkatkan resiko hipophosphatemia. (Dipiro; 996). Penggunaan beberapa item obat secara bersamaan, sangat memungkinkan terjadinya interaksi. Interaksi yang mungkin terjadi :



-



Captopril dapat berinteraksi dengan antasida. Antasida dapat menurunkan absorpsi captopril, sehingga antasida dan captopril tidak boleh dikonsumsi bersamaan. Harus ada jarak waktu yang cukup antara saat konsumsi antasida dan captopril, sehingga interaksi keduanya dapat dihindarkan. ISDN, meningkatkan efek hipotensif dari captopril, dan bisoprolol Efek hipotensif ISDN diantagonis oleh AINS (meloksikam) (BN7 57; Appendix). c. Saran Berdasarkan hasil penelusuran pustaka diatas, maka: Dosis meloksikam sebaiknya dikurangi, yaitu hanya 7,5 mg/hari, mengingat pasien telah lanjut usia, kemungkinan resiko reaksi obat merugikannya akan meningkat yang berupa kerusakan atau penurunan fungsi ginjal. Begitu pun dengan lama terapinya sebaiknya dibatasi. Sampaikan pada pasien untuk segera menghentikan konsumsi meloksikam ini bila gejala nyeri pada badan telah mereda. Saat pasien merasa nyeri dada, dan menggunakan ISDN, hindari mengkonsumsi meloksikam juga, karena meloksikam dapat mengantagonis kerja ISDN Antasida sebaiknya tidak digunakan 3.



Resep 3 20-7-2011 R/ Metformin 500 S 3 dd 1 R/ Glibenklamide 5 S 1 dd 1 R/ Captopril 50 S 3 dd 1 R/ furosemid S ½-0-0 R/ BC S 3 dd 1 R/ Amlodipin 5 S 1 dd 1 R/ Na-diklofenak 50 S 0-0-1 R/ Simvastatin 10 S 0-0-1 Pro



a.



XLV XV XLV X XLV XV XXX XV



: Tn. SS (66 tahun)



Anamnesa/ diagnose Pasien dinyatakan mengalami diabetes mellitus, hipertensi, hiperkolesterolemia, ostheoartritis, dan sindrom dispepsia. b. Analisa resep Dalam kasus ini pasien menerima 8 item obat, sebagai berikut :



-



Metformin, antidiabetes golongan biguanid Glibenklamide, antidiabetes golongan sulfonilurea Captopril, antihipertensi golongan inhibitor enzim pengkonversi angiotensin (ACEI) Furosemid, antihipertensi golongan loop diuretik BC/ vitamin B kompleks, suplemen kekurangan vitamin B Amlodipin, antihipertensi golongan pemblok kanal kalsium (CCB) Na-diklofenak, antiinflamasi nonsteroid Simvastatin, antihiperlipidemia golongan statin Kombinsai metformin dan glibenklamid pada kasus pasien diagnose lain berupa hipertensi diperbolehkan. Seperti halnya pada kasus resep nomor 2. Dosis kombinasi kedua obat tersebut juga masih dalam batas aman. Dimana dosis maksimum keduanya adalah 20 mg/hari untuk glibenkalmid, dan 2000 mg/hari untuk metformin. (Dipiro; 1369, 1384, 1385). Penanganan hipertensi dalam kasus ini digunakan kombinasi 3 antihipertensi, yaitu captopril (ACE inhibitor), furosemid (loop diuretik), dan amlodipin (Pemblok kanal kalsium). Kombinasi tersebut diperbolehkan. Dosis furosemid merupakan dosis terendah yaitu 20 mg, dengan waktu pemberian yang tepat yaitu pada pagi hari. Sedangkan dosis captopril merupakan dosis maksimum yaitu 150 mg/hari, dalam dosis terbagi 3. Sedangkan amlodipin yang diberikan adalah dosis menengah, yaitu 5 mg/hari, lazimnya 2,5-10 mg/hari. Perlu diperhatikan pasien telah cukup lanjut usianya (66 tahun), captopril diberikan pada dosis maksimum dikombinasi dengan furosemid, dan amlodipin, akan berpotensi menimbulkan efek hipotensi. Dengan pemberian furosemid, pasien akan mengalami diuresis, yang berarti volume darah menurun dan menurun pula tekanan darahnya, sedangkan pemberian ACE inhibitor dapat menyebabkan penurunan tekanan darah melalui berbagai mekanisme yang terlibat dalam pengaturan sistem rennin-angiotensin-aldosteron (RAAS), sehingga resiko hipotensinya semakin meningkat, terlebih pada pasien yang telah lanjut usia, ditambah dengan kombinasi dengan amlodipin. Tekanan darah harus senantiasa dipantau. (Dipiro: 233-234) Meski ada kemungkinan lain, bahwa maksud penggunaan furosemid dalam dosis rendah adalah untuk mengatasi resiko efek samping amlodipin, berupa udema perifer. Amlodipin dapat menyebabkan terjadinya udema perifer, dengan pemberian furosemid, maka aktivitas urinary meningkat, sehingga tidak terjadi udema perifer. Natrium diklofenak digunakan untuk mengobati gejala nyeri akibat osteoarthritis. Diklofenak merupakan antiinflamasi nonsteroid (AINS) nonselektif. Dosis yang diberikan adalah dosis tunggal pada malam hari sebesar 50 mg. Sebagaimana AINS nonselektif lainnya, diklofenak dapat menginduksi terjadinya ulkus peptikum, sedangkan dalam diagnosanya dokter telah menyatakan bahwa pasien mengalami sindrom dispepsia. Meskipun efek buruk yang disebabkan diklofenak pada saluran cerna tidak sekuat aspirin, namun pemilihan obat lain yang



lebih aman, perlu dipertimbangkan, mengingat pasien telah dinyatakan mengalami sindrom dispepsia. (Dipiro; 1131) Dalam kasus ini, pasien telah didiagnose sindrome dispepsia, dan mendapat terapi AINS yang dapat memperparah sindrom tersebut, namun pasien tidak mendapat obat untuk indikasi ini. Tak ada obat yang diberikan untuk mengobati sindrom dispepsianya. Simvastatin dosis tunggal pada malam hari 10 mg, untuk terapi hiperlipidemia. Penggunaan simvastatin pada penderita diabetes diperbolehkan. Pemberian vitamin B kompleks, yang mengandung asam nikotinat, akan membentu menghambat pembentukan kolesterol dan trigliserida, sehingga akan membantu menekan kadar lipid dalam darah. (BNF 57; 539) Interaksi yang mungkin terjadi : Amlodipin (pemblok kanal kalsium) dan captopril (ACE inhibitor) yang digunakan bersama-sama, cenderung berinteraksi menyebabkan efek hipotensif, ACE inhibitor juga akan bekerja pada sistem kanal kalsium, meski tidak secara langsung, begitu pun dengan furosemid. Captopril berinteraksi dengan makanan, dan menyebabkan absorpsi captopril menurun. (DIF) c. Saran Dari uraian diatas dapat disarankan : Kombinasi captopril, furosemid, dan amlodipin, perlu dipantau efeknya, ada baiknya dosis captopril dikurangi Konsumsi captopril 1 jam sebelum makan, untuk menghindari interaksinya dengan makanan Pasien perlu diberi obat untuk mengatasi sindrome dispepsianya, terlebih dalam resep tersebut terdapat obat-obat yang menimbulkan efek-efek yang tidak menyenangkan pada saluran cerna, berupa iritasi lambung (natrium-diklofenak), mual, muntah, diare (metformin dan glibenklamid).Ranitidine dan antiemetic seperti domperidon atau metoklopramid mungkin perlu diberikan. Pasien juga harus diingatkan untuk senantiasa melakukan terapi non farmakologis, berupa diet makanan rendah karbohidrat, lemak, dan garam. Pasien juga harus menghindari konsumsi rokok dan atau alcohol Olah raga ringan secara teratur sangat dianjurkan 4.



Resep 4 27/7/2011 R/ Furosemid S 1-0-0 R/ Aspilet S 1 dd 1 R/ ISDN 5 S 1 dd 1 R/ Diazepam 2



XV XV XV XV



a. b. 1) 2)



3) 4) 5) 6)



7)



8) 9)



S 0-0-1 R/ Ranitidin XXX S 2 dd 1 R/ Antasida Fl. I S 4 dd C1 ac R/ Bicnat XLV S 3 dd 1 R/ Ketocid XLV S 3 dd 1 R/ FA XLV S 3 dd 1 Pro : Tn. T (54 Th) Anamnesa Pasien mengeluh sering merasakan sesak nafas, nyeri dada, dan nyeri lambung. Analisa Resep Efek farmakologi masing-masing obat dalam resep : Furosemide adalah salah satu loop diuretik. Aspilet adalah sediaan branded dari asam asetil salisilat 80 mg/ tablet. Asam asetil salisilat pada dasarnya adalah jenis dari antiinflamasi nonsteroid yang juga sering digunakan sebagai antiplatelet. ISDN 5 atau isosorbid dinitrat 5 mg/tablet, merupakan senyawa nitrat kerja panjang yang sering digunakan pada penanganan kasus angina. Diazepam 2 mg/tablet. Diazepam merupakan hipnotikum golongan benzodiazepine. Ranitidine, antihistamin H-2 Antasida, antasida merupakan sediaan obat basa yang bekerja menetralkan asam lambung. Umumnya natasida adalah sediaan tablet atau suspense yang mengandung Al(OH)3 atau Mg(OH)2. Bicnat atau natrium bikarbonat merupakan garam, yang membawa sifat basa, dapat digunakan pula sebagai antasida, alkalinisasi urin, dan untuk mengatasi ketidaknyamanan saluran urin pada penderita infeksi saluran urin. Ketocid/ ketoprofen 200 mg/kapsul merupakan obat antiinflamasi nonsteroid. FA/ folic acide atau asam folat merupakan suplemen makanan yang berperan penting dalam pembentukan sel darah merah. Furosemid merupakan merupakan golongan obat diuretik yang sering digunakan dalam penanganan kasus hipertensi, namun dalam kasus ini pasien menyatakan tidak menderita hipertensi. Dan pada dosis yang lebih tinggi furosemide digunakan pada pasien dengan penurunan laju glomerular atau pun pasien gagal hati. Dalam kasus ini pasien Tn. T yang telah berusia 54 tahun menerima 9 item obat dalam rentang waktu satu kali pengobatan, hal ini sangat memungkinkan terjadinya masalah penggunaan obat (DRP) dan interaksi serta terjadinya reaksi obat merugikan (ROM), antar obat-obat tersebut, maupun dengan makanan yang dapat menyebabkan tujuan terapi tidak tercapai secara optimum.



Berdasarkan keluhan yang disampaikan oleh pasien menyatakan sering sesak nafas, nyeri dada dan nyeri ulu hati. Keluhan sesak nafas dan nyeri dada sering menjadi indikator adanya gangguan jantung. Adanya dugaan gangguan jantung ini didukung oleh adanya obat ISDN dan furosemid dalam resep dokter tersebut. Disamping adanya gangguan lambung. Aspilet merupakan AINS, yang memiliki efek lain sebagai antiplatelet, dan sebagai antiinflamasi nonselektif, aspilet dapat menginduksi terjadinya ulkus peptikum, karena adanya penghambatan pembentukan prostaglandin yang berperan dalam melindungi dinding lambung. Begitu pun dengan ketoprofen. Dalam kasus ini pasien telah mengeluh nyeri lambung. Maka pemberian aspilet dalam kasus ini kurang tepat, karena aspilet dapat memperparah kondisi lambungnya, terlebih dengan adanya efek antiplatelet obat tersebut, dapat memungkinkan terjadinya pendarahan lambung, apalagi penggunaannya bersamaan dengan ketoprofen, yang semakin meningkatkan resiko nyeri dan pendarahan lambung. Walaupun dokter telah memberikan kombinasi ranitidine dan antacid untuk mengatasi nyeri lambungnya, namun mengganti obat yang dapat mengiritasi lambung dengan obat lain yang lebih aman bagi lambung tetap lebih baik. Diazepam diberikan untuk menghasilkan efek penenang, sehingga dapat membantu mengurangi beban kerja jantung. Interaksi obat dengan obat yang mungkin terjadi : 1) Furosemide dapat berinteraksi dengan diazepam (ansiolitik dan hipnotik), interaksi ini memungkinkan terjadinya efek hipotensif. Namun dalam kasus ini kemungkinan tersebut telah dapat dianulir, karena furosemid dikonsumsi pagi hari, sedangkan diazepam malam hari menjelang tidur. 2) Aspilet, berpeluang interaksi dengan alkali urin dan antasida, dalam kasus ini pasien juga menerima terapi antasida dan natrium bikarbonat yang meruapakan salah satu alkali. Antasida dan alkali lainnya akan mempercepat ekskresi aspilet 3) Aspilet dan ketoprofen akan meningkatkan resiko pendarahan (meningkatkan efek antikoagulan) (BNF)  INTERAKSI FARMAKOKINETIK ABSORBSI 1. Perubahan Waktu Pengosongan Lambung Obat yg memperpendek waktu pengosongan lambung (metoklopramid)  mempercepat absorbsi obat lain Obat yg memperpanjang waktu pengosongan lambung (antikolinergik, antidepresi trisiklik, antihistamin, antasida, analgesik narkotik)  memperlambat absorbsi obat lain 2. Waktu Transit Usus Tdk mempengaruhi absorbsi kecuali : Obat sukar larut (digoksin, kortiksteroid) Obat sukar diabsorbsi (dikumarol)



Obat diabsorbsi secara aktif hanya di usus halus saja (Fe, riboflavin di usus halus atas) Drug affected Interacting drugs Effect of interaction Digoxin Metoclopramide Reduced absorbtion Propantheline Increased absorbtion (gut motility) Digoksin, Cholestyramie Reducedabsorbtion Thyroxine, (complexation) Warfarin Ketoconazole Antacids Reduced absorption H2 blockers (dissolution) Penicillin neomycin Malabsorption Quinolon antibiotics



Antacids, milk, Zn, Fe



Tetracyclines



Antacids, milk, Zn, Fe



Formation of poorly absorbed complexes Reduced antibiotic (Formation of poorly soluble chelates)



DISTRIBUSI Senyawa yg mengusir



Senyawa yang diusir



HASIL INTRX



Fenilbutason klofibrat



fenprokouman



Perdarahan



Fenilbutason salisilat



tolbutamid



Hipoglikemia



Salisilat sulfonamid



Bilirubin



Kernikterus bayi baru lahir



METABOLISME Drug affected (OBAT II)



Inducing agent (OBAT I)



Effect of interaction



Anticoagu lants



Aminoglutethimide,barbiturate s, carbamazepine, dichloralphenazone,rifampicin



Anticoagulant effects reduced



Contrace ptives



Barbiturates, carbamazepine,phenytoin,prim idone, rifampicin



Contraceptive effects reduced



Phenitoin ketoconaz ole



Rifampicin



Phenitoin effects reduced Seizure risk increased Ketoconazole serum reduced



corticoste roid



Aminoglutethimide, Barbiturates, carbamazepine,phenytoin,prim idone, rifampicin



corticosteroid effects reduced



theophylli ne



Barbiturates, rifampicin, tobacco



Theophylline effects reduced



Drug affected (OBAT II)



Inhibiting agent (OBAT I)



Effect of interaction



Diazepam warfarin



Cimetidin



Diazepam, warfarin effects increased



anticoagulant



Metronidazole, phenylbutazone, sulphinpyrazone



Anticoagulant effects increased, bleeding



corticosteroids



Erythromycin, triacetyloleandomycin



Corticosteroid effects increased



phenytoin



Chloramfenicol, isoniazid



Phenytoin effects increased



EKSKRESI



Interaksi obat-obat pada proses ekskresi berakibat : Perubahan pH pada urin Perubahan mekanisme ekskresi Perubahan aliran darah ginjal Ekskresi billier dan siklus enterohepatik INTERAKSI OBAT DENGAN OBAT Interaksi obat adalah kejadian di mana suatu zat mempengaruhi aktivitas obat. Efek-efeknya bisa meningkatkan atau mengurangi aktivitas, atau menghasilkan efek baru yang tidak dimiliki sebelumnya. Biasanya yang terpikir oleh kita adalah antara satu obat dengan obat lain. Tetapi, interaksi bisa saja terjadi antara obat dengan makanan, obat dengan herbal, obat dengan mikronutrien, dan obat injeksi dengan kandungan infus. Interaksi obat bisa ditimbulkan oleh berbagai proses, antara lain perubahan dalam farmakokinetika obat tersebut, seperti Absorpsi, Distribusi, Metabolisme, dan Ekskresi (ADME) obat. Kemungkinan lain, interaksi obat merupakan hasil dari sifat-sfat farmakodinamik obat tersebut, misal, pemberian bersamaan antara antagonis reseptor dan agonis untuk reseptor yang sama. Interaksi obat yang paling umum melibatkan hati. Beberapa obat dapat memperlambat atau mempercepat proses enzim hati. Ini dapat mengakibatkan perubahan besar pada tingkat obat lain dalam aliran darah yang memakai enzim yang sama. Beberapa obat memperlambat proses ginjal. Ini meningkatkan tingkat bahan kimia yang biasanya dikeluarkan oleh ginjal.  Interaksi Obat Mempengaruhi ADME Obat Di dalam tubuh obat mengalami berbagai macam proses hingga akhirnya obat di keluarkan lagi dari tubuh. Proses-proses tersebut meliputi, absorpsi, distribusi, metabolisme (biotransformasi), dan eliminasi. Dalam proses tersebut, bila berbagai macam obat diberikan secara bersamaan dapat menimbulkan suatu interaksi. Selain itu, obat juga dapat berinteraksi dengan zat makanan yang dikonsumsi bersamaan dengan obat. Interaksi yang terjadi di dalam tubuh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu interaksi farmakodinamik dan interaksi farmakokinetik. Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antar obat (yang diberikan berasamaan) yang bekerja pada reseptor yang sama sehingga menimbulkan efek sinergis atau antagonis. Interaksi farmakokinetik adalah interaksi antar 2 atau lebih obat yang diberikan bersamaan dan saling mempengaruhi dalam proses ADME (absorpsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi) sehingga dapat meningkatkan atau menurunkan salah satu kadar obat dalam darah. Selanjutnya akan dibahas lebih lanjut tentang interaksi farmakokinetik.



Interaksi Famakokinetik 1. Interaksi pada proses absorpsi Interaksi dala absorbs di saluran cerna dapat disebabkan karena a. Interaksi langsung yaitu terjadi reaksi/pembentukan senyawa kompleks antar senyawa obat yang mengakibatkan salah satu atau semuanya dari macam obat mengalami penurunan kecepatan absorpsi. Contoh: interaksi tetrasiklin dengan ion Ca2+, Mg2+, Al2+ dalam antasid yang menyebabkan jumlah absorpsi keduanya turun. b. Perubahan pH Interaksi dapat terjadi akibat perubahan harga pH oleh obat pertama, sehingga menaikkan atau menurukan absorpsi obat kedua. Contoh: pemberian antasid bersama penisilin G dapat meningkatkan jumlah absorpsi penisilin G c. Motilitas saluran cerna Pemberian obat-obat yang dapat mempengaruhi motilitas saluan cerna dapat mempegaruhi absorpsi obat lain yang diminum bersamaan. Contoh: antikolinergik yang diberikan bersamaan dengan parasetamol dapat memperlambat parasetamol. 2. Interaksi pada proses distribusi Di dalam darah senyawa obat berinteraksi dengan protein plasma. Seyawa yang asam akan berikatan dengan albumin dan yang basa akan berikatan dengan α1glikoprotein. Jika 2 obat atau lebih diberikan maka dalam darah akan bersaing untuk berikatan dengan protein plasma,sehingga proses distribusi terganggu (terjadi peingkatan salah satu distribusi obat kejaringan). Contoh: pemberian klorpropamid dengan fenilbutazon, akan meningkatkan distribusi klorpropamid. 3. Interaksi pada proses metabolisme a. Hambatan metabolisme Pemberian suatu obat bersamaan dengan obat lain yang enzim pemetabolismenya sama dapat terjadi gangguan metabolisme yang dapat menaikkan kadar salah satu obat dalam plasma, sehingga meningkatkan efeknya atau toksisitasnya. Cotoh: pemberian S-warfarin bersamaan dengan fenilbutazon dapat menyebabkan mengkitnya kadar Swarfarin dan terjadi pendarahan. b. Inductor enzim Pemberian suatu obat bersamaan dengan obat lain yang enzim pemetabolismenya sama dapat terjadi gangguan metabolisme yang dapat menurunkan kadar obat dalam plasma, sehingga menurunkan efeknya atau toksisitasnya. Contoh: pemberian estradiol bersamaan denagn rifampisin akan menyebabkan



kadar estradiol menurun dan efektifitas kontrasepsi oral estradiol menurun. 4. Interaksi pada proses eliminasi a. Gangguan ekskresi ginjal akibat kerusakan ginjal oleh obat jika suatu obat yang ekskresinya melalui ginjal diberikan bersamaan obat-obat yang dapat merusak ginjal, maka akan terjadi akumulasi obat tersebut yang dapat menimbulkan efek toksik. Contoh: digoksin diberikan bersamaan dengan obat yang dapat merusak ginjal (aminoglikosida, siklosporin) mengakibatkan kadar digoksin naik sehingga timbul efek toksik. b. Kompetisi untuk sekresi aktif di tubulus ginjal Jika di tubulus ginjal terjadi kompetisi antara obat dan metabolit obat untuk sistem trasport aktif yangsama dapat menyebabkan hambatan sekresi. Contoh: jika penisilin diberikan bersamaan probenesid maka akan menyebabkan klirens penisilin turun, sehingga kerja penisilin lebih panjang. c. Perubahan pH urin Bila terjadi perubahan pH urin maka akan menyebabkan perubahan klirens ginjal. Jika harga pH urin naik akan meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat asam lemah, sedangkan jika harga pH turun akan meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat basa lemah. Contoh: pemberian pseudoefedrin (obat basa lemah) diberikan bersamaan ammonium klorida maka akan meningkatkan ekskersi pseudoefedrin. Terjadi ammonium klorida akan mengasamkan urin sehingga terjadi peningkatan ionisasi pseudorfedrin dan eliminasi dari pseudoefedrin juga meningkat.







BEBERAPA CONTOH INTERAKSI OBAT DENGAN OBAT



• INTERAKSI OBAT PADA PENGOBATAN INFEKSI BEKTERI (INTERAKSI ANTIBIOTIKA) o Aminoklikosida – Antibiotika sefalosporin Efek samping merugikan dari masing-masing obat dapat meningkat. Akibatnya ; ginjal mungkin rusak. Gejala yang dilaporkan : pengeluaran air kemih berkurang,ada darah dalam air kemih,rasa haus yang berkelebihan,hilang nefsu makan,pusing,mengantuk dan mual. o Aminoglikosida – Digoksin (Lanoxin) Efek digoksin dapat berkurang .Digoksin digunakan untuk mengobati layu jantung dan untuk menormalkan kembali denyut jantung yang tak teratur . Akibatnya ; kelainan jantung mungkin tidak terkendali dengan baik.



Catatan ; Hanya aminoglikosida neomisin (Mycifradin,Neobiotic) yang berinteraksi.



pusat,amati terjadinya gejala akibat depresi berlebihan : mengantuk,pusing,nanar,dan hilang kewaspsadaan mental.



o Sefalosporin – Kloramfenikol (Chloromycetin, Mychel Kombinasi ini dapat menekan sumsum tulang belakang secara berlebihan. Gejala yang dilaporkan ; sakit tenggorokan ,demam,kedinginan,tukak mulut,perdarahan atau memar di seluruh tubuh ,tinja hitam pekat dan kehilangan tenaga yang tidak lazim. Kloramfenikol diberikan untuk infeksi yang berbahaya,yang tidak cocok bila diobati dengan antibiotika lain yang kurang begitu efektif.



o Primidon (Mysoline) – Fenitoin (Dilantin) Efek fenitoin dapat berkurang . Fenitoin juga meripakan antikonvulsan yang digunakan untuk mengendalikan kejang . Akibatnya ; serangan kejang tak dapat dikendalikan sesuai dengan yang dikehendaki. Interaksi ini beragam,bergantung pada perorangan. Pada beberapa pasien efek fenitoin dapat bertambah jika dosis primidon meningkat; pada pasien lain efek primidon yang meningkat.



• INTERAKSI OBAT PADA PENANGANAN KELAINAN JANTUNG o Obat angina /antiaritmika – Diuretika Kombinasi ini dapat menyebabkan tekanan darah turun terlalu rendah. Akibatnya ; Hipotensi postural dengan gejala yang menyertainya: pusing,lemah,pingsan,penurunan tekanan darah yang hebat dapat menyebabkan kejang dan syok. Diuretika menghilangkan kelebihan cairan dari tubuh dan digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi dan layu jantung. o Disopiramida (Norpace) – Biperiden (Akineton) Kombinasi ini dapat menimbulkan efek antikolinergik yang berlebihan. Akibatnya ; Mulut kering,penglihatan kabur,pusing,nanar,rasa tak enak pada lambung,sembelit,kencing sulit,mungkin timbul psikosis toksik (disorientasi,agitasi,meracau) sikrimin digunakan untuk mengendalikan tremor akibat penyakit perkinson atau akibat pengobatan dengan antipsikotika. o Disopiramida (Norpace) – Fenitoin (Dilantin) Efek disopiramida dapat berkurang . Akibatnya ; denyut jantung yang tak teratur dapat dikendalikan dengan baik. Fenitoin digunakan untuk mengendalikan kejang pada kelainan seperti ayan. Obat lain yang mirip fenitoin juga berinteraksi ,misalnya mesantoin (mefinitoin) dan peganone (etotoin). • INTERAKSI PADA PENANGANAN AYAN DAN KEJANG o Fenitoin (Dilantin) – Trimetadion (Tridione) Efek trimetadion dapat berkurang. Trimetadion juga merupakan antikonvulsan yang digunakan untuk mengendalikan serangan jantung. Akibatnya ; Kemampuan mengendalikan serangan kejang dapat hilang kecuali jika dosis disesuaikan .Karena kedua obat merupakan depresan system saraf



o Fenitoin (Dilantin) – Metilfenidat (Ritalin) Efek fenitoin dapat meningkat. Akibatnya ; efek samping yang merugikan mungkin terjadi akibat terlalu banyak fenitoin. Gejala yang dilaporkan antara lain gangguan penglihan,nanar. Metilfenidat digunakan untuk menanggulangi perilaku hiperkinetik serta gangguan belajar pada anak-anak ,narkolepsi,depresi ringan ,acuh tak acuh atau pikun.  EFEK SAMPING OBAT Berikut ini adalah contoh dari efek samping obat yang biasanya terjadi: 1. Aborsi atau keguguran, akibat Misoprostol, obat yang digunakan untuk pencegahan (gastric ulcer) borok lambung yang disebabkan oleh obat anti inflamasi non steroid. 2. Ketagihan, akibat obat-obatan penenang dan analgesik seperti diazepam serta morfin. 3. Kerusakan janin, akibat Thalidomide dan Accutane. 4. Pendarahan usus, akibat Aspirin. 5. Penyakit kardiovaskular, akibat obat penghambat COX-2. 6. Tuli dan gagal ginjal, akibat antibiotik Gentamisin. 7. Kematian, akibat Propofol. 8. Depresi dan luka pada hati, akibat Interferon. 9. Diabetes, yang disebabkan oleh obat-obatan psikiatrik neuroleptik. 10. Diare, akibat penggunaan Orlistat. 11. Disfungsi ereksi, akibat antidepresan. 12. Demam, akibat vaksinasi. 13. Glaukoma, akibat tetes mata kortikosteroid. 14. Rambut rontok dan anemia, karena kemoterapi melawan kanker atau leukemia. 15. Hipertensi, akibat penggunaan Efedrin. Hal ini membuat FDA mencabut status ekstrak tanaman efedra (sumber efedrin) sebagai suplemen makanan. 16. Kerusakan hati akibat Parasetamol. 17. Mengantuk dan meningkatnya nafsu makan akibat penggunaan antihistamin.



18. Bunuh diri akibat penggunaan Fluoxetine, suatu antidepresan.



Hamil Untuk mengetahui obat-obatan yang aman untuk janin ketika di konsumsi oleh ibu hamil, Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat membuat kategori obat-obatan berdasarkan tingkat keamanannya terhadap janin:  Kategori A: penelitian pada manusia di trimester 1 tidak menunjukan kelainan terhadap janin (belum ada bukti pada trimester 2 dan 3)  Kategori B: penelitian pada hewan percobaan tidak menunjukan efek terhadap janin dan penelitian terhadap manusia masih belum menunjukan bukti yang jelas. Atau pada hewan percobaan menunjukan kelainan janin, sedangkan pada manusia tidak menunjukan kelainan janin sama sekali di semua trimester.  Kategori C: penelitian pada hewan percobaan menunjukan kelainan janin, tetapi pada manusia belum menunjukan bukti yang jelas. Tetapi manfaat obat lebih tinggi dibandingkan potensial resiko yang terjadi.  Kategori D: penelitian pada manusia menunjukan bukti kelainan yang jelas pada janin. Tetapi manfaat obat lebih tinggi dibandingkan potensi resiko yang terjadi.  Kategori X: penelitian pada manusia menunjukan kelainan pada janin. Dan tingkat bahayanya lebih besar daripada manfaatnya.



Secara singkatnya adalah:  Kategori A = Aman untuk janin  Kategori B = Cukup aman untuk janin  Kategori C = Digunakan jika perlu, kemungkinan bisa ada efek samping pada janin  Kategori D = Digunakan jika darurat, bisa terjadi efek samping pada janin  Kategori X = Tidak pernah digunakan dan sangat berbahaya bagi janin



wanita



hamil.



Tertera



dalam



subjudul



“Kontraindikasi”.



Obat apa yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi ibu hamil?  Boleh1,2



 Obat-obatan yang termasuk dalam kategori A dan B aman untuk dikonsumsi ibu hamil.  Jika anda sedang berobat ke tenaga kesehatan, baik itu bidan, mantri (perawat), dokter umum, ataupun dokter spesialis, selalu beritahukan jika anda sedang hamil agar obat-obatan diganti dengan yang aman terhadap janin.  Jika terpaksa membeli obat sendiri, selalu lihat kategori kehamilan dari kandungan obat tersebut.  Tidak Boleh1,2  Obat-obatan yang termasuk dalam kategori C dan D bisa berbahaya bagi janin dan hanya digunakan dalam kondisi darurat dan pada kondisi yang bisa mengancam nyawa ibu.  Obat-obatan yang termasuk dalam kategori X sangat berbahaya bagi janin dan tidak pernah digunakan pada ibu hamil. Vitamin C dan asam folat (untuk perkembangan saraf janin), misal, masuk kategori A. Namun bila dosis vitamin C melebihi US RDA dan asam folat melebihi 0,8 mg per hari, akan masuk kategori C. Begitu pun dengan vitamin E dan Nystatin Vaginal Suppository (obat untuk keputihan karena jamur) yang juga kategori A, dapat masuk kategori C bila dosis-nya berlebihan. Hal sama akan terjadi pula pada obat kategori B, seperti Amoxylin (antibiotik) dan parasetamol (penurun demam). Penggunaan obat pada kategori C masih dapat dibenarkan bila manfaatnya dipertimbangkan melebihi risiko terhadap janin. Umpama, untuk mengatasi kondisi yang membahayakan jiwa atau untuk mengobati penyakit berat karena tidak ada pilihan obat lain yang lebih aman. Obat-obatan kategori C, antara lain : Ciprofloxacin (golongan antibiotika); Furosemide (obat diuresis); dan Captopril (obat anti hipertensi). Sementara obat kategori D sudah terbukti dapat menimbulkan dampak negatif pada janin bila diberikan kepada wanita hamil. Namun obat dalam kategori ini masih dapat diberikan bila manfaatnya lebih besar daripada risiko potensialnya. Dalam brosur produk obat, risiko ini umumnya dicantumkan dalam subjudul “Peringatan dan Perhatian”. Contoh obat-obatan kategori D, yaitu Diazepam (obat penenang), Tetracyclin dan Doxycyclin (golongan antibiotik). Kategori terakhir, yaitu X, bila diberikan pada ibu hamil akan menimbulkan dampak negatif pada calon bayi dan risiko penggunaannya pada perempuan hamil jelas melebihi manfaat potensialnya. Obat dalam kategori ini dikontraindikasikan bagi



Berikut beberapa penyakit yang mungkin terjadi pada ibu hamil : 1. Flu. Flu umumnya tidak berdampak negatif pada janin. Flu yang ringandapat ditangani tanpa obat-obatan, seperti : menambah jam istirahat ibu hamil atau bila hidung tersumbat, ibu bisa mengoleskan minyak penghangat di dada, perut, punggung, atau hidung. Flu yang disertai demam, penurunan nafsu makan, serta keringat di malam hari, migrain hebat, perlu segera dikonsultasikan pada dokter. Sekali lagi hindari minum obat bebas. Tidak semua kandungan dalam obat flu aman untuk ibu hamil dan janin. Beberapa di antaranya dapat meningkatkan risiko keguguran, gangguan pertumbuhan janin, cacat bawaan pada janin, dan cacat pada bayi. 2. Cacar. Tidak perlu menunggu beberapa hari, segera konsultasikan kondisi ini pada dokter. Cacar dikhawatirkan memiliki dampak pada janin dan dapat menimbulkan komplikasi kehamilan bergantung pada usia kehamilan saat itu. Contohnya : Pada usia kehamilan di bawah 20 minggu dapat terjadi komplikasi berupa : ancaman keguguran janin; bayi lahir cacat (Congenital Varicella Syndrome); terjadi kelainan pada jari, tulang, alat-alat persendian, dan buta; ukuran kepala yang lebih kecil dari ukuran normal; timbul bercak-bercak putih pada kulit atau jaringan parut. Pada usia kehamilan setelah 20 minggu dapat terjadi komplikasi berupa gangguan pertumbuhan janin dan keterlambatan perkembangan mental. Pada usia kehamilan trimester 3, komplikasi yang dapat terjadi ialah jika bayi lahir 2-4 hari setelah ibu terpapar cacar air, bayi bisa mengalami cacar air hebat yang dapat mengancam jiwanya. Dalam keadaan demikian, si bayi harus segera diimunisasi Varicella Zoster Immune Globulin (VZIG). 3. Campak. Merupakan jenis penyakit sangat menular yang penyebarannya melalui udara dari kontak dengan orang terinfeksi. Campak pada ibu hamil yang tidak diobati dapat menyebabkan keguguran, bayi lahir mati atau prematur. Jadi diwajibkan untuk segera berkonsultasi dengan dokter bila menemukan gejala-gejala campak seperti : demam, pilek, batuk, dan ruam (ditandai dengan bintik-bintik merah pada kulit), atau baru saja melakukan kontak dengan orang yang terinfeksi dan tidak yakin jika ibu telah divaksinasi. 4. Tifus. Demam tifoid pun sama, penyakit endemik Indonesia ini mempunyai risiko terjadinya abortus, lahir prematur, atau bayi lahir kecil. 5. TB. Hal yang sama dengan penyakit TB, selain mengurangi produktivitas pada diri ibu hamil, juga berdampak pada lingkungannya. TB pada umumnya tidak akan memperburuk kondisi janin, namun infeksi terjadi setelah bayi lahir. Oleh karena itu, segera berkonsultasi dengan dokter untuk pengobatan TB pada ibu hamil, karena pengobatan TB memakan waktu untuk sembuh



sempurna. Setelah melahirkan, ibu dengan TB aktif sebaiknya diisolasi dari bayinya untuk mencegah kontak. 6. Penyakit Mata. Penyakit mata tidak memiliki efek membahayakan pada kehamilan, namun kondisi ini tetap perlu di konsultasikan pada dokter, terutama mengenai obat yang aman untuk dikonsumsi. Terkadang, gangguan pada mata juga bisa berhubungan dengan preklamsia (hipertensi dalam kehamilan). 7. Hipertensi. Ingat, kadar gula darah yang melebihi ambang batas normal (>200 mg/dl) dan tekanan darah yang lebih dari 140/90 mmHg dapat berakibat tidak baik pada bayi dan ibu bila tidak ditangani sejak awal kehamilan. Untuk itu, segeralah berkonsultasi dengan dokter bila memiliki riwayat keluarga atau potensi mendapatkan penyakit tersebut sejak prakehamilan. Jangan mengobati sendiri, karena ada golongan obat anti hipertensi yang tidak boleh / tidak aman dikonsumsi oleh ibu hamil. 8. Hipotensi. Hipotensi (darah rendah) dapat dikatakan normal terjadi pada ibu hamil jika dalam batas yang memang lazim, yaitu sekitar 10 mmHg pada awal kehamilan. Seiring dengan meningkatnya usia kehamilan, tekanan darah akan kembali lagi ke kisaran normal. Tapi perlu diketahui, apabila tekanan darah tidak kunjung meningkat dapat mengakibatkan dampak yang kurang baik pada janin. Disini menjadi alasan pentingnya pengontrolan tekanan darah dalam pemeriksaan kehamilan (antenatal care) untuk mendeteksi dini segala kelainan yang mungkin timbul pada saat kehamilan. Jika ibu hamil mengalami Hipotensi, bisa mengikuti tips berikut ini : istirahat yang cukup; berbaring telentang dengan kaki yang diganjal oleh bantal; mengkonsumsi zat besi bila mengalami anemia; dan bila berlanjut, segera komunikasikan dengan dokter. Daftar Obat Tidak Aman Dikonsumsi Ibu Menyusui Obat-obatan yang tidak aman dikonsumsi ibu menyusui, antara lain: 1. Obat antikanker dan bahan radioaktif. 2. Bromokriptin 3. Ergotamin (obat migren) 4. Litium (antidepresi) 5. Antibiotik: kloramfenikol Obat-obatan yang dikonsumsi ibu yang menyusui digolongkan pada: * Yang terkontraindikasi. Jadi bila ibu memerlukan obat tersebut dan tidak ada alternatif lain maka ibu harus menghentikan menyusui * Obat yang perlu dihentikan selama pemberian obat. Selama obat itu masih berpengaruh. Misalnya zat radioaktif * Obat yang dianjurkan untuk tidak diberikan kepada ibu karena mungkin berakibat



kurang baik kepada bayi.



1. Obat yang dikontraindikasi untuk diberikan kepada ibu yang menyusui Nama obat Alasan Bromocriptine Menekan laktasi, dapat berbahaya bagi ibu Cocaine Intoksikasi Heroin Tremor, gelisah, muntah, kesulitan minum Nicotine (merokok) Muntah, diare, gelisah, menekan produksi ASI Amphetamine Gelisah, sukar tidur Cyclophosphamide Neutropenia, menekan daya tahan Cyclosporine Menekan daya tahan Methotrexate Menekan daya tahan Ergotamine Muntah, diare, kejang Phenindione Meningkatkan masa protrombin Phencyclidine Halusinasi Lithium Kadar tinggi di dalam ASI 2. Zat radioaktif yang memerlukan penghentian pemberian ASI untuk sementara Nama zat Waktu penghentian pemberian ASI yang dianjurkan Cuprum Radioaktivitas masih terdapat di dalam ASI setelah 50 jam Gallium Radioaktivitas masih terdapat di dalam ASI setelah 2 minggu Indium Pada 20 jam terdapat sangat sedikit di dalam ASI Iodine Radioaktivitas masih terdapat di dalam ASI sampai 36 jam Iodine Radioaktivitasnya terdapat di dalam ASI selama 12 hari Iodine Radioaktivitasnya terdapat dalam ASI selama 14 hari Apabila ibu memerlukan pemeriksaan menggunakan zat radioaktif, maka ASI sementara tidak diberikan kepada bayi, walaupun tetap harus dikeluarkan (dibuang) agar produksi ASI jangan terhenti. Lama penghentian menyusui tergantung dari masa paruh obat. Dianjurkan untuk menghentikan penyusuan selama 5 kali masa paruh.



3. Obat-obatan yang pemberiannya perlu berhati-hati karena mungkin mempunyai efek terhadap bayi Nama Obat Alasan Chlorpromazine Letargi dan rasa kantuk Chloramphenicol Supresi sumsum tulang Metronidazole In vitro adalah mutagen; bila ibu memerlukan hanya dosis tunggal, pemberian ASI dapat dilanjutkan setelah 24 jam Salicylate Asidosis metabolic Phenobarbital Sedasi, methemoglobinemia Primidone Sedasi, masalah minum Caffeine (bila berlebihan) Iritabel, sulit tidur Pil kontrasepsi yang Mengurangi jumlah ASI dan kandungan mengandung estrogen proteinnya Dexbrompheniramine Banyak menangis, iritabel, kurang tidur maleate Indomethacin Kejang Yodium Mengganggu keaktifan kelenjar tiroid Povidon iodine Bau yodium pada kulit bayi Nalidixic acid Hemolisis pada bayi dengan defisiensi enzim G-6PD Nitrofurantoin Hemolisis pada bayi dengan defisiensi enzim G-6PD Phenytoin Methemoglobinemia Golongan Sulfa Adalah “bilirubin displacer”  Ikterus Tolbutamide Ikterus ibu menyusui sedapat mungkin hanya mengonsumsi obat yang esensial, obat yang menurut dokter benar-benar diperlukan untuk menyembuhkan penyakit yang serius. Artinya, hindari minum obat untuk penyakit yang ringan, misalnya pegel linu, batuk bersin, diare yang hanya 2-3 kali sehari dan sebagainya. Jamu dan vitamin yang tidak amat diperlukan juga dihindari. Sebaliknya, kalau sakitnya dapat membahayakan, harus minum obat yang diresepkan dokter, misalnya bila terbukti sakit demam typhoid. Beberapa obat yang sering kita pakai yang perlu dihindari pemakaiannya selama menyusui antara lain obat antihistamin atau obat anti alergi misalnya prometasin, difenhidramin, dan dexklorfeniramin. Obat-obat ini bisa menyebabkan bayi yang disusui menjadi gelisah. Obat migren semacam ergot juga tidak boleh diminum. Obat ini selain mempunyai efek samping untuk bayi, juga mengurangi jumlah ASI. Kelompok obat tidur dan obat penenang yang harus dihindari antara lain barbiturat (luminal), bensodiasepin, dan meprobamat. Demikian pula obat antimuntah ondansetron dan obat untuk penyakit gout yakni kolkisin.



Aspirin juga perlu dihindari, karena dapat menyebabkan gangguan pembekuan darah, fungsi trombosit terganggu dan kadar salah satu faktor pembekuan darah yang disebut prothrombin bisa berkurang. Semua obat hormon jangan diminum selama menyusui, khususnya hormon androgen, karena dapat menyebabkan maskulinisasi bayi wanita atau pubertas dini pada bayi laki-laki dan mengurangi jumlah ASI. Danasol dan estrogen (termasuk pil KB) juga perlu dihindari. Antibiotik, juga sedapat mungkin tidak diminum, kecuali untuk yang amat mutlak diperlukan. Beberapa antibiotik yang perlu dihindari antara lain: tetrasiklin (menghambat pertumbuhan tulang, mewarnai gigi), kloramfenikol (menekan sumsum tulang bayi), klindamisin, metronidasol, sulfonamid, dan kotrimoksasol (anemia hemolitik, mata kuning). Beberapa vitamin dalam dosis yang tinggi seperti vitamin A, D, dan B6 juga sebaiknya dihindari. Beberapa jenis obat yang sering kita pakai yang perlu dihindari selama menyusui adalah : - Obat anti-alegi atau antihistamin, misalnya promethasin, difenhidramin, dan dexklorfeniramin. Obat2 ini bisa menyebabkan bayi yang sedang disusui menjadi gelisah. - Obat migren , semacam ergot. Obat ini kecuali mempunyai effek pada bayi, juga mengurangi jumlah ASI. -Obat tidur dan obat penenang, Yang harus dihindari adalah semacam barbiturate (luminal), bensodiazepin (valium), dan meprobamate. - Obat anti muntah : ondansetron -Obat gout (sakit persendian) : kolkisin. Aspirin juga perlu dihindari karena dapat menyebabkan gangguan pembekuan darah, mengganggu fungsi trombosit dan mengurangi prothrombin (salah satu faktor pembekuan darah). -Hormon Semua jenis hormon jangan diminum selama menyusui, terutama hormon androgen, karena dapat menyebabkan maskulinisasi pada bayi wanita dan pubertas dini pada bayi laki-laki, dan juga mengurangi jumlah ASI. Danasol dan estrogen (termasuk pil KB) juga perlu dihindari. -Antibiotik . Beberapa jenis antibiotik juga perlu dihindari , antara lain tetrasiklin (menghambat pertumbuhan tulang dan mewarnai gigi), kloramfenicol (menekan sumsum tulang bayi), klindamisin, metronidazol, sulfonamide dan kotrimoksasol (menyebabkan anaemia hemolitik dan mata jadi kuning). Beberapa jenis vitamin dalam dosis terlalu tinggi juga sebaiknya dihindari



Sebenarnya bukan saja obat2an, tapi apa saja yang dimakan ibu menyusui akan masuk melalui ASI ketubuh bayi, jadi hati2lah dengan apa yang dimakan. Hindari mengkonsumsi makanan dari laut (sea-food) oleh karena sudah sangat terkontaminasi dengan merkuri dan logam berat lainnya. Dapat disimpulkan, sebaiknya tidak minum obat atau jamu atau vitamin bila tidak amat memerlukan. Minum obat hanya dari resep dokter. Upayakan gaya hidup yang sehat, yaitu selalu mengonsumsi sayur dan buah, masing-masing tiga kali sehari, olahraga teratur atau berjalan cepat 30 menit setiap hari, tidur yang cukup Menyusui dan Pengobatan pada Ibu Obat-obatan umumnya terserap di dalam ASI, namun dalam jumlah yang sangat sedikit. Walaupun ada sebagian obat yang dapat menimbulkan efek samping bagi bayi meskipun dalam dosis yang sangat rendah, Namun kasus seperti ini sangat jarang. Ibu menyusui yang diberitahu untuk berhenti menyusui karena obatobatan tertentu sebaiknya bertanya pada dokter untuk memastikan hal ini dengan mengecek pada sumber yang handal. Catat bahwa CPS (Kanada) dan PDR (Amerika Serikat) bukan sumber informasi yang handal tentang obat dan menyusui. “Sumber-sumber” ini hanya kompilasi informasi yang disediakan oleh produsen obat yang lebih tertarik dengan kewajiban hukum medisnya dibandingkan lepada kepentingan ibu dan bayi. Kebijakan mereka pada dasarnya “Kami tidak bisa bertanggungjawab jika ibu berhenti menyusui.” Atau ibu sebaiknya meminta dokter untuk meresepkan obat alternatif yang aman selama menyusui. Saat ini mencari alternatif obat yang aman seharusnya sudah tidak menjadi masalah. Jika dokter yang menanganinya tidak fleksibel, maka ibu sebaiknya mencari pendapat lain, tapi jangan berhenti menyusui. Mengapa sebagian besar obat hanya terserap/terbawa dalam kadar yang sangat rendah dalam ASI? Karena apa yang masuk/terserap di dalam ASI sangat tergantung pada kadar yang terbawa di dalam darah ibu, dan hal ini biasanya terukur dalam mikro- atau bahkan nano-gram per mililiter (sepersejuta atau sepersemilyar dari satu gram), jika ibu mengkonsumsi obat dalam dosis miligram (seperseribu dari gram) atau bahkan gram. Lebih jauh lagi, tidak seluruh obat yang ada di dalam darah ibu akan masuk/terserap di dalam ASI. Hanya obat-obatan yang tidak terikat dengan protein dalam darah ibu yang dapat terserap oleh ASI. Banyak obat yang hampir seluruhnya terikat dengan protein dalam darah ibu. Dengan demikian, bayi tidak mendapat jumlah obat yang sama dengan yang dikonsumsi ibu, tapi hampir selalu, jauh lebih sedikit dalam basis berat. Contohnya, dalam sebuah studi dengan antidepresan paroxetin (Paxil), ibu mengkonsumsi lebih dari 300 mikrogram per kg per hari, sedangkan bayi mendapat sekitar 1 mikrogram per kg per hari. Kebanyakan Obat Aman Jika: Obat tersebut lazim diresepkan bagi bayi. Jumlah yang akan diterima bayi melalui ASI jauh lebih sedikit dibandingkan yang akan dia dapatkan jika diberikan secara langsung.



Obat tersebut dianggap aman dikonsumsi selama kehamilan. Hal ini tidak selalu benar, mengingat selama kehamilan tubuh ibu akan membantu bayi mengeluarkan obat. Oleh karena itu secara teori, akumulasi obat yang mengkhawatirkan dapat terjadi saat menyusui dan tidak terjadi selama kehamilan (meskipun hal ini jarang terjadi). Namun, jika kekhawatirannya adalah bayi akan terpapar obat, misalnya antidepresan, maka bayi lebih banyak terpapar obat pada saat yang lebih sensitif saat kehamilan dibandingkan saat menyusui. Penelitian terbaru tentang withdrawal symptoms (gelaja pengeluaran) pada bayi baru lahir yang terpapar obat-obatan anti depresan SSRI (misalnya Paxil) selama periode kehamilan, entah bagaimana berhasil mengkaitkan menyusui seakan-akan ini adalah jenis masalah yang mengharuskan ibu untuk tidak menyusui. (Contoh yang bagus tentang bagaimana menyusui selalu disalahkan untuk segalanya). Kenyataannya, Anda tidak dapat mencegah withdrawal symptoms ini pada bayi dengan menyusu, karena bayi mendapat sedikit sekali melalui ASI. Obat tersebut tidak diserap dalam perut atau pencernaan. Ini termasuk banyak, tapi tidak semua, obat yang diberikan melalu suntikan. Contohnya adalah gentamicin (dan obat lain dalam golongan antibiotik ini), heparin, interferon, anastesi lokal, omeprazole. Omeprazole (Losec, prilosec) cukup menarik karena obat ini hancur dengan sangat cepat di dalam perut. Selama proses pembuatannya, sebuah lapisan pelindung ditambahkan untuk mencegah rusaknya obat, sehingga diserap dalam tubuh ibu. Jadi, obat ini dibungkus oleh lapisan pelindung yang mencegah kerusakan obat dalam perut. Namun, jika bayi menerima obat ini (dalam jumlah yang sangat sedikit secara tidak sengaja), tidak ada lapisan pelindung dari obat, sehingga obat ini akan segera hancur di perut bayi. Obat tersebut tidak dikeluarkan melalui ASI. Sebagian obat terlalu besar untuk bisa masuk ke dalam ASI. Contohnya, heparin, interferon, insulin, infliximab (Remicade), etanercept (Enbrel). Berikut Ini adalah Beberapa Obat-Obatan yang Dinyatakan Aman untuk Dikonsumsi Selama Menyusui: Acetaminophen (Tylenol, Tempra), alkohol (dalam jumlah yang wajar), aspirin (dalam dosis wajar, untuk jangka waktu pendek). Sebagian besar obat-obatan antiepilepsi, obat-obatan antihipertensi, tetracycline, kodein, obat-obatan antiinflamasi nonsteroid (misalnya ibuprofen),prednisone, thyroxin, propylthiourocil (PTU), warfarin, antidepresan trcyclic, sentraline (Zoloft), paroxetine (Paxil), antidepresan lainnya, metronidazole (Flagyl), omperazole (Losec), Nix, Kwellada. Catatan: Walaupun secara umum aman, fluoxetine (Prozac) memiliki daya tahan yang sangat panjang (tinggal di dalam tubuh dalam jangka waktu yang lama). Oleh karena itu, bayi yang dilahirkan dari ibu yang mengonsumsi obat ini selama kehamilan, akan memiliki sejumlah besar obat ini dalam tubuhnya, dan jumlah yang sedikit sekalipun yang ditambahkan saat menyusu akan mengakibatkan akumulasi yang signifikan dan efek samping. Hal ini jarang, namun pernah terjadi. Ada dua pilihan yang dapat Anda pertimbangkan:







Menghentikan konsumsi fluoxetine (Prozac) pada 4-8 minggu terakhir kehamilan. Dengan cara ini Anda akan menghilangkan obat dari tubuh Anda, juga dari tubuh bayi. Ketika bayi lahir, ia akan bebas dari obat tersebut dan sejumlah kecil yang terbawa di dalam ASI biasanya tidak akan menimbulkan masalah dan Anda dapat memulai konsumsi fluoxetine (Prozac).  Jika tidak memungkinkan untuk menghentikan fluoxetine (Prozac) selama kehamilan, pertimbangkan untuk mengganti dengan obat lain yang tidak secara signifikan terserap di dalam ASI setelah bayi lahir. Dua pilihan yang baik adalah setraline (Zoloft) dan paroxetine (Paxil). Obat-obatan yang digunakan pada kulit, dihirup (misalnya obat asma) atau dioleskan pada mata atau hidung, hampir selalu aman untuk menyusui. Obat untuk anestesi lokal atau regional tidak akan terserap pencernaan bayi dan aman. Obat untuk anestesi umum akan terserap di dalam ASI dalam jumlah yang sangat sedikit (seperti semua obat) dan sangat tidak mungkin menimbulkan efek samping pada bayi Anda. Obat ini umumnya memiliki masa tinggal yang sangat pendek dalam tubuh dan hilang dengan sangat cepat dari tubuh. Anda dapat kembali menyusui segera setelah sadar dan nyaman untuk menyusui. Imunisasi yang diberikan kepada ibu tidak membuatnya harus berhenti menyusui. Sebaliknya, imunisasi akan membantu bayi mengembangkan imunitas dari imunisasi tersebut, jika ada yang masuk ke dalam ASI. Kenyataannya, umumnya tidak ada yang masuk ke dalam ASI, kecuali, mungkin sebagian virus hidup imunisasi, seperti campak Jerman. Dan hal ini adalah baik, tidak buruk. Rontgen dan Pemindaian (scan). Rontgen yang biasa tidak harus mengganggu proses menyusui bahkan jika digunakan dengan bahan yang kontras (misalnya, intravenous pyelogram). Alasannya adalah material tersebut tidak akan terserap di dalam ASI, dan meskipun terserap tidak akan mungkin terserap oleh tubuh bayi. Hal ini berlaku juga untuk CT scan dan MRI scan. Anda tidak perlu berhenti menyusi sedetikp Menyusui Obat-obatan umumnya terserap di dalam ASI, namun dalam jumlah yang sangat sedikit. Walaupun ada sebagian obat yang dapat menimbulkan efek samping bagi bayi meskipun dalam dosis yang sangat rendah, Namun kasus seperti ini sangat jarang. Ibu menyusui yang diberitahu untuk berhenti menyusui karena obatobatan tertentu sebaiknya bertanya pada dokter untuk memastikan hal ini dengan mengecek pada sumber yang handal. Catat bahwa CPS (Kanada) dan PDR (Amerika Serikat) bukan sumber informasi yang handal tentang obat dan menyusui. “Sumber-sumber” ini hanya kompilasi informasi yang disediakan oleh produsen obat yang lebih tertarik dengan kewajiban hukum medisnya dibandingkan lepada kepentingan ibu dan bayi. Kebijakan mereka pada dasarnya “Kami tidak bisa bertanggungjawab jika ibu berhenti menyusui.” Atau ibu sebaiknya meminta dokter untuk meresepkan obat alternatif yang aman selama menyusui. Saat ini



mencari alternatif obat yang aman seharusnya sudah tidak menjadi masalah. Jika dokter yang menanganinya tidak fleksibel, maka ibu sebaiknya mencari pendapat lain, tapi jangan berhenti menyusui. Mengapa sebagian besar obat hanya terserap/terbawa dalam kadar yang sangat rendah dalam ASI? Karena apa yang masuk/terserap di dalam ASI sangat tergantung pada kadar yang terbawa di dalam darah ibu, dan hal ini biasanya terukur dalam mikro- atau bahkan nano-gram per mililiter (sepersejuta atau sepersemilyar dari satu gram), jika ibu mengkonsumsi obat dalam dosis miligram (seperseribu dari gram) atau bahkan gram. Lebih jauh lagi, tidak seluruh obat yang ada di dalam darah ibu akan masuk/terserap di dalam ASI. Hanya obat-obatan yang tidak terikat dengan protein dalam darah ibu yang dapat terserap oleh ASI. Banyak obat yang hampir seluruhnya terikat dengan protein dalam darah ibu. Dengan demikian, bayi tidak mendapat jumlah obat yang sama dengan yang dikonsumsi ibu, tapi hampir selalu, jauh lebih sedikit dalam basis berat. Contohnya, dalam sebuah studi dengan antidepresan paroxetin (Paxil), ibu mengkonsumsi lebih dari 300 mikrogram per kg per hari, sedangkan bayi mendapat sekitar 1 mikrogram per kg per hari. Kebanyakan Obat Aman Jika: Obat tersebut lazim diresepkan bagi bayi. Jumlah yang akan diterima bayi melalui ASI jauh lebih sedikit dibandingkan yang akan dia dapatkan jika diberikan secara langsung. Obat tersebut dianggap aman dikonsumsi selama kehamilan. Hal ini tidak selalu benar, mengingat selama kehamilan tubuh ibu akan membantu bayi mengeluarkan obat. Oleh karena itu secara teori, akumulasi obat yang mengkhawatirkan dapat terjadi saat menyusui dan tidak terjadi selama kehamilan (meskipun hal ini jarang terjadi). Namun, jika kekhawatirannya adalah bayi akan terpapar obat, misalnya antidepresan, maka bayi lebih banyak terpapar obat pada saat yang lebih sensitif saat kehamilan dibandingkan saat menyusui. Penelitian terbaru tentang withdrawal symptoms (gelaja pengeluaran) pada bayi baru lahir yang terpapar obat-obatan anti depresan SSRI (misalnya Paxil) selama periode kehamilan, entah bagaimana berhasil mengkaitkan menyusui seakan-akan ini adalah jenis masalah yang mengharuskan ibu untuk tidak menyusui. (Contoh yang bagus tentang bagaimana menyusui selalu disalahkan untuk segalanya). Kenyataannya, Anda tidak dapat mencegah withdrawal symptoms ini pada bayi dengan menyusu, karena bayi mendapat sedikit sekali melalui ASI. Obat tersebut tidak diserap dalam perut atau pencernaan. Ini termasuk banyak, tapi tidak semua, obat yang diberikan melalu suntikan. Contohnya adalah gentamicin (dan obat lain dalam golongan antibiotik ini), heparin, interferon, anastesi lokal, omeprazole. Omeprazole (Losec, prilosec) cukup menarik karena obat ini hancur dengan sangat cepat di dalam perut. Selama proses pembuatannya, sebuah lapisan pelindung ditambahkan untuk mencegah rusaknya obat, sehingga diserap dalam tubuh ibu. Jadi, obat ini dibungkus oleh lapisan pelindung yang mencegah kerusakan obat dalam perut. Namun, jika bayi menerima obat ini (dalam



jumlah yang sangat sedikit secara tidak sengaja), tidak ada lapisan pelindung dari obat, sehingga obat ini akan segera hancur di perut bayi. Obat tersebut tidak dikeluarkan melalui ASI. Sebagian obat terlalu besar untuk bisa masuk ke dalam ASI. Contohnya, heparin, interferon, insulin, infliximab (Remicade), etanercept (Enbrel). Berikut Ini adalah Beberapa Obat-Obatan yang Dinyatakan Aman untuk Dikonsumsi Selama Menyusui: Acetaminophen (Tylenol, Tempra), alkohol (dalam jumlah yang wajar), aspirin (dalam dosis wajar, untuk jangka waktu pendek). Sebagian besar obat-obatan antiepilepsi, obat-obatan antihipertensi, tetracycline, kodein, obat-obatan antiinflamasi nonsteroid (misalnya ibuprofen),prednisone, thyroxin, propylthiourocil (PTU), warfarin, antidepresan trcyclic, sentraline (Zoloft), paroxetine (Paxil), antidepresan lainnya, metronidazole (Flagyl), omperazole (Losec), Nix, Kwellada. Catatan: Walaupun secara umum aman, fluoxetine (Prozac) memiliki daya tahan yang sangat panjang (tinggal di dalam tubuh dalam jangka waktu yang lama). Oleh karena itu, bayi yang dilahirkan dari ibu yang mengonsumsi obat ini selama kehamilan, akan memiliki sejumlah besar obat ini dalam tubuhnya, dan jumlah yang sedikit sekalipun yang ditambahkan saat menyusu akan mengakibatkan akumulasi yang signifikan dan efek samping. Hal ini jarang, namun pernah terjadi. Ada dua pilihan yang dapat Anda pertimbangkan:  Menghentikan konsumsi fluoxetine (Prozac) pada 4-8 minggu terakhir kehamilan. Dengan cara ini Anda akan menghilangkan obat dari tubuh Anda, juga dari tubuh bayi. Ketika bayi lahir, ia akan bebas dari obat tersebut dan sejumlah kecil yang terbawa di dalam ASI biasanya tidak akan menimbulkan masalah dan Anda dapat memulai konsumsi fluoxetine (Prozac).  Jika tidak memungkinkan untuk menghentikan fluoxetine (Prozac) selama kehamilan, pertimbangkan untuk mengganti dengan obat lain yang tidak secara signifikan terserap di dalam ASI setelah bayi lahir. Dua pilihan yang baik adalah setraline (Zoloft) dan paroxetine (Paxil). Obat-obatan yang digunakan pada kulit, dihirup (misalnya obat asma) atau dioleskan pada mata atau hidung, hampir selalu aman untuk menyusui. Obat untuk anestesi lokal atau regional tidak akan terserap pencernaan bayi dan aman. Obat untuk anestesi umum akan terserap di dalam ASI dalam jumlah yang sangat sedikit (seperti semua obat) dan sangat tidak mungkin menimbulkan efek samping pada bayi Anda. Obat ini umumnya memiliki masa tinggal yang sangat pendek dalam tubuh dan hilang dengan sangat cepat dari tubuh. Anda dapat kembali menyusui segera setelah sadar dan nyaman untuk menyusui. Imunisasi yang diberikan kepada ibu tidak membuatnya harus berhenti menyusui. Sebaliknya, imunisasi akan membantu bayi mengembangkan imunitas dari imunisasi tersebut, jika ada yang masuk ke dalam ASI. Kenyataannya, umumnya



tidak ada yang masuk ke dalam ASI, kecuali, mungkin sebagian virus hidup imunisasi, seperti campak Jerman. Dan hal ini adalah baik, tidak buruk. Rontgen dan Pemindaian (scan). Rontgen yang biasa tidak harus mengganggu proses menyusui bahkan jika digunakan dengan bahan yang kontras (misalnya, intravenous pyelogram). Alasannya adalah material tersebut tidak akan terserap di dalam ASI, dan meskipun terserap tidak akan mungkin terserap oleh tubuh bayi. Hal ini berlaku juga untuk CT scan dan MRI scan. Anda tidak perlu berhenti menyusi sedetikpun. Pediatrik Berikut ini adalah beberapa obat yang harus diperhatikan anjuran penggunaannya dan usia sang bayi seperti dikutip dari Babycenter, Senin (31/8/2009):



1. Paracetamol. Obat ini tidak dianjurkan untuk bayi berusia di bawah 3 bulan, penggunaan obat ini sebaiknya berdasarkan resep dan setelah berdiskusi dengan dokter atau setelah bayi mendapatkan vaksinasi pertama kali. Parasetamol bisa menghambat beberapa enzim yang berbeda di dalam otak dan ikatan tulang belakang yang terlibat dalam perpindahan rasa sakit. Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa penggunaan parasetamol pada bayi bisa meningkatkan risiko asma 5 tahun mendatang sebesar 46 persen. 2. Ibuprofen. Obat ini sebaiknya digunakan untuk bayi berusia 6 bulan ke atas, karena obat ini bisa menghambat produksi beberapa zat kimia di dalam tubuh yang bisa meningkatkan respons cedera, sakit atau menyebabkan peradangan. Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa ibuprofen memang lebih bagus untuk mengatasi demam atau menurunkan suhu tinggi pada anak-anak di atas usia 6 bulan. Obat ini tidak bisa digunakan untuk bayi yang menderita asma sejak lahir atau turunan. 3. Aspirin. Jangan pernah memberikan anak obat yang mengandung aspirin, karena bisa menyebakan Reye's syndrome (sindrom yang bisa mengubah zat-zat kimia dalam darah sehingga merusak fungsi beberapa organ terutama hati dan otak) yang pada kasus tertentu bisa mengakibatkan kematian. Aspirin kadang ditulis sebagai salisilat atau asam asetilsalisilat. 4. Obat anti-mual. Jangan memberikan obat ini tanpa rekomendasi dari dokter, karena obat ini memiliki risiko komplikasi. Rata-rata anak-anak bisa mengatasi rasa mual tanpa harus mengonsumsi obat-obatan. Jika sudah mengalami dehidrasi, segera hubungi dokter. 5. Obat batuk dan flu yang dijual bebas. American Academy of Pediatrics (AAP) melarang penggunaan obat batuk dan flu yang dijual bebas untuk anak usia sebelum sekolah, karena bisa berbahaya. Efek yang ditimbulkan adalah tidak bisa tidur, sakit perut bagian atas dan jantung yang berdebar-debar. Setiap tahun 7.000 anak-anak di bawah usia 11



tahun masuk rumah sakit karena mengonsumsi obat batuk dan flu yang berlebihan. 6. Obat orang dewasa. Memberikan anak-anak obat orang dewasa dengan dosis yang dikurangi sangat berbahaya. Jika obat tersebut memberi tanda tidak untuk anak-anak, maka jangan pernah mencoba untuk diberikan ke anak-anak. 7. Asetaminofen yang berlebihan. Beberapa obat mengandung asetaminofen untuk mengurangi demam dan sakit, tapi berhati-hati dalam penggunaannya. Harus sesuai dengan resep dokter atau apoteker setempat. 8. Obat herbal yang mengandung ephedra atau ephendrine. Jangan pernah memberikan anak-anak obat ini, karena berhubungan dengan tekanan darah tinggi, detak jantung yang tidak teratur, serangan jantung dan stroke. Berikanlah pengobatan alternatif lain yang lebih aman dan alami. 9. Tablet kunyah. Jangan memberikan anak berusia di bawah 2 tahun obat ini, umumnya anak berusia 2 sampai 4 tahun yang sudah mengerti cara minum obat ini. Jika orang tua berpikir anaknya belum terlalu mengerti, maka hancurkan obat dan letakkan di sendok yang diberi sedikit air. Dosis yang diberikan harus sesuai. KOMPAS.com - Daya tahan tubuh yang masih lemah memang membuat bayi lebih rentan terhadap berbagai kuman penyebab penyakit. Meski begitu, sebaiknya para orangtua berhati-hati dalam memberikan obat-obatan kepada mereka, bahkan obat yang tergolong alami atau herbal sekalipun. Konsultasikanlah kepada dokter sebelum memberikan obat kepada bayi dan balita. Berikut adalah 8 jenis pengobatan yang sebaiknya dihindari pemberiannya kepada bayi. 1. Aspirin Hindari memberikan obat aspirin atau obat mengandung aspirin pada anak, kecuali atas petunjuk dokter. Aspirin bisa menyebabkan sindrom Reye yang bisa merusak organ ginjal dan otaknya. Jangan berasumsi obat yang dijual bebas tidak memiliki kandungan aspirin, karena itu sebaiknya baca label obat dengan cerma. Aspirin terkadang ditulis dengan salisilat atau asam asetilsalisilat. Untuk demam, sebaiknya berikan obat penurun demam yang mengandung parasetamol atau ibuprofen untuk anak berusia di atas 6 bulan. 2. Obat batuk dan flu yang dijual bebas Para dokter anak yang tergabung dalam American Academy of Pediatric tidak merekomendasikan pemberian obat flu dan batuk kepada bayi. Hasil penelitian menunjukkan obat-obatan tersebut sering tidak menyembuhkan bahkan kerap berbahaya karena diberikan melebihi dosis. Efek samping lain yang perlu diwaspadai adalah mengantuk, sakit perut, ruam,



hingga peningkatan detak jantung. Setiap tahunnya, ribuan bayi dilarikan ke rumah sakit akibat pemberian obat batuk dan flu di rumah. 3. Obat antimual Jangan memberikan obat antimual pada bayi kecuali dokter secara spesifik meresepkannya. Gejala mual yang dialami bayi dan balita biasanya berlangsung sementara dan tubuh mereka mampu mengatasinya tanpa obat-obatan. Di lain pihak, obat antimual bisa menyebabkan komplikasi. Bila bayi mengalami muntah berikan cukup cairan untuk mencegah dehidrasi. 4. Obat dewasa Sangat tidak dianjurkan untuk memberi balita obat orang dewasa dalam dosis kecil. Selain itu obat untuk bayi umumnya lebih pekat dibanding obat untuk anak lebih besar, sehingga Anda perlu berhati-hati dalam pemberian kepada bayi. 5. Obat yang diresepkan untuk anak lain Obat yang diresepkan untuk anak lain, termasuk saudaranya, belum tentu efektif, bahkan bisa berbahaya untuk bayi Anda. Berikan bayi obat yang memang hanya diresepkan untuknya. 6. Obat kedaluarsa Segera singkirkan obat-obatan dari kotak obat begitu masuk masa kedaluarsa. Buang juga obat yang sudah berubah warna. Setelah kedaluarsa obat sudah tidak efektif dan bisa berbahaya. 7. Ekstra asetaminofen Beberapa jenis obat mengandung asetaminofen untuk mengurangi demam dan nyeri, sehingga berhati-hatilah sebelum memberikan obat pada bayi yang terpisah dari obat demamnya. Jika Anda tidak yakin, tanyakan pada dokter atau apoteker kandungan obat yang diberikan. 8. Obat kunyah Obat kunyah atau tablet untuk anak-anak dapat menimbulkan risiko tersedak pada bayi. Bila bayi Anda sudah mendapatkan makanan padat dan Anda ingin memberikan tablet, tanyakan pada dokter atau apoteker apakah boleh digerus atau dicampur makanan lembut. Obat swamedikasi Batuk Terapi Non Farmakologi Penderita-penderita dengan batuk tanpa gangguan yang disebabkan oleh penyakit akut dan sembuh sendiri biasanya tidak perlu obat (Yunus, 1993).Pada umumnya batuk berdahak/produktif maupun tidak berdahak/non produktif dapat dikurangi dengan cara sering minum air putih, untuk membantu mengencerkan dahak, mengurang iiritasi atau rasa gatal serta menghindari paparan debu, minuman atau makanan yang merangsang tenggorokan dan udara malam yang dingin (BPOM RI, 2002). Menghirup uap mentol atau minyak atsiri juga dapat meringankan batuk produktif, tatpi cara pengobatan ini tidak boleh diberikan kepada anak-anak di



bawah usia 2 tahun karaena dapat myebabkan kejang larynx (Tjay dan Rahardja, 2002). Terapi Farmakologi a. Pengobatan spesifik Apabila penyebab batuk diketahui maka pengobatan harus ditujukan terhadap penyebab tersebut. Dengan evaluasi diagnostik yang terpadu, pada hampir semua penderita dapat diketahui penyebab batuk kroniknya. Pengobatan spesifik batuk tergantung dari etiologi atau mekanismenya : Asma diobati dengan bronkodilator atau dengan kortikosteroid.Postnasal drip karena sinusitis diobati dengan antibiotik, obat semprot hidung dan kombinasi antihistamin - dekongestan; postnasal drip karena alergi atau rinitis nonalergi ditanggulangi dengan menghindari lingkungan yang mempunyai faktor pencetus dan kombinasi antihistamin - dekongestan. Refluks gastroesophageal diatasi dengan meninggikan kepala, modifikasi diet, antasid dan simetidin. Batuk pada bronkitis kronik diobati dengan menghentikan merokok. Antibiotik diberikan pada pneumonia, sarkoidosis diobati dengan kortikosteroid dan batuk pada gagal jantung kongestif dengan digoksin dan furosemid. Pengobatan spesifik juga dapat berupa tindakan bedah seperti reseksi paru pada kanker paru, polipektomi, menghilangkan rambut dari saluran telinga luar (Yunus, 1993). b. Pengobatan simptomatik Diberikan baik kepada penderita yang tidak dapat ditentukan penyebab batuknya maupun kepada penderita yang batuknya merupakan gangguan, tidak berfungsi baik dan potensial dapat menimbulkan komplikasi. Batuk produktif Emolliensia Memperlunak rangsangan batuk, memperlicin tenggorokan agar tidak kering, dan melunakan selaput lendir yang teriritasi untuk tujuan ini banyak digunakan sirup, zat-zat lendir, dan gula-gula, seperti, drop, permen, pastilles isap. Ekspektoransia Memperbanyak produksi dahak (yang encer) dan demikian mengurangi kekentalannya, sehingga mempermudah pengeluarannya dengan batuk, misalnya guaiakol, radix Ipeca, dan ammonium klorida dalam obat batuk hitam yang terkenal. Mukolitika Obat ini memecah rantai molekul mukoprotein sehinggamenurunkan viskositas mukus. Asetilsistein, karbosistein, mesna, bromheksin, dan ambroksol. Batuk non produkttif



Usaha yang terbaik adalah dengan menekan susunan saraf pusat yang menjadi pusat batuk, yaitu dengan obat penekan batuk. Obat-obat yang berdaya menekan rangsangan batuk: zat-zat pereda : kodein, noskapin, dekstrometorfan. Antihistaminika : prometazin, difenhidramin, dan d-klorfeniramin. Obat-obat ini sering kali efektif pula berdasarkan efek sedatifnya dan terhadap perasaan menggelitik pada tenggorokan. Anestetika lokal : pentoksiverin. Obat ini menghambat penerusan rangsangan batuk ke otak (Tjay dan Rahardja, 2002). FLU Pengobatan flu yang utama adalah istirahat dan berbaring di tempat tidur, minum banyak cairan dan menghindari kelelahan. Tirah baring sebaiknya dilakukan segera setelah gejala timbul sampai 24-48 setelah suhu tubuh kembali normal. Untuk penyakit yang berat tetapi tanpa komplikasi, bisa diberikan asetaminofenn, aspirin, ibuprofen atau naproksen. Obat lainnya yang biasa diberikan adalah dekongestan hidung dan penghirupan uap. Terapi Non Farmakologi Influenza umumnya dapat sembuh sendiri oleh daya tahan tubuh. Beberapa tindakan yang dianjurkan untuk meringankan gejala influenza antara lain: a. Beristirahat antara 2-3 hari, mengurangi kegiatan fisik berlebihan. b. Meningkatkan gizi makanan. Makanan dengan kalori dan protein yang tinggi akan menambah daya tahan tubuh. Makan buahbuahan segar yang banyak mengandung vitamin. c. Banyak minum air, teh, sari buah akan mengurangi rasa kering ditenggorokan mengencerkan dahak dan membantu menurunkan demam. d. Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam. e. Jika pilek, bersihkan hidung yang berguna untuk mempercepat kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah. f. Hidung tersumbat dapat diatasi dengan menghirup uap hangat yang dihasilkan dari air hangat di wadah bermulut lebar (panci), ditetesi dengan beberapa tetes minyak atsiri. Minyak atsiri yang ditambahkan bisa berupa minyak mint (berasal dari daun menta piperita), minyak kayu putih, minyak adas, atau tea tree oil (berasal dari penyulingan daun eucalyptus) g. Minum minuman pelega tenggorokan/pengencer dahak dan pelancar aliran darah seperti jahe, lemongrass/sereh, kayu manis, mint, chamomil (Depkes RI, 1997, Rasmaliah, 2004, Puspitasari, 2007). Terapi Farmakologi



a.



Antipiretik untuk mengatasi panas/demam Parasetamol / Asetaminofen Parasetamol mempunyai khasiat analgetik dan antipiretik, tetapi tidak antiinflamasi. Seperti aspirin, parasetamol berefek menghambat sitesa prostaglandin di otak tetapi sedikit aktivitasnya sebagai inhibitor prostaglandin perifer. Farmakokinetik Level serum. 10-20 mg/L (66-132 µmol/L) kerusakan hati dapat terjadi setelah penggunaan over dosis akut dengan konsentrasi serum > 300 mg/L (2 mmol/L) setelah 4 jam atau 45 mg/L (300 µmol/L) setelah 12 jam setelah over dosis akut dengan kerusakan hati, sedangkan keracunan kemungkinan tidak akan terjadi bila level < 120 mg/L (800 µmol/L) setelah 4 jam atau 30 mg/L (200 µmol/L) setelah 12 jam. Absorpsi dan Distribusi. Absorpsi cepat dari trakstus GI, konsentrasi plasma puncak tercapai pada 0.5-2 jam. Pada dosis terapi, obat dalam bentuk tak terikat plasma protein; pada over dosis 2050% terikat protein. Metabolisme dan Ekskresi. Dalam hati, parasetamol diuraikan menjadi metabolit-metabolit toksis yang diekskresi denngan kemih sebagai konjugat glukuronida dan sulfat. Efek samping Efek samping antara lain reaksi hipersensitivitas dan kelainan darah. Pada penggunaan kronik dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati, pada dosis diatas 6 g mengakibatkan necrose hati yang tidak reversibel. Dosis Untuk nyeri dan demam oral 2-3 dd 0,5- 1 g, maksimum 4 g/hari, pada penggunaan kronis maksimum 2,5 g/hari. Anak-anak 4-6 dd 10 mg/kg, yakni rata-rata usia 3-12 bulan 60 mg, 1-4 tahun 120-180 mg, 4-6 tahun 180 mg, 7-14 tahun 240-360 mg, 4-6 x sehari. Rektal 20 mg/kg setiap kali, dewasa 4 dd 0,5-1 g, anak-anak usia 3-12 bulan 2-3 dd 120mg, 1-4 tahun 2-3 dd 240 mg, 4-6 tahun 4 dd 240 mg, dan 7-12 tahun 2-3 dd 0,5 g (Tjay dan Rahardja, 2002; Chairun, 2006). Ibuprofen Ibuprofen adalah NSAID yang memiliki aktivitas analgetik dan antipiretik. Ibuprofen merupakan inhibitor non-selektif cyclo-oxygenase-1 (COX-1) dan COX2. Farmakokinetik Level serum. 10 mg/L untuk efek antipiretik. Konsentrasi serum diatas 200 mg/L satu jam setelah over dosis akut kemungkinan karena keracunan hebat. Absorpsi Secara cepat diabsoprsi dari traktus GI dengan bioavailabilitas diatas 80%. Kadar maksimum dalam plasma dicapai setelah 1-2 jam. Terikat kuat, lebih dari 99% dengan plasma protein. Metabolisme dan Ekskresi.



Ekskresinya berlangsung cepat dan lengkap. Kira-kira 90% dosis yang diabsorpsi akan diekskresi melalui urin sebagai metabolit atau konjugasinya. Metabolit utama merupakan hasil hidroksilasi dan karboksilasi. Dosis Nyeri (haid), demam, rema, permulaan 400 mg p.c/d.c, lalu 3-4 dd 200-400 mg, demam pada anak-anak 6-12 bulan 3 dd 50 mg, 1-3 tahun 3-4 dd 50 mg, 4-8 tahun 3-4 dd 100 mg, 9-12 tahun 3-4 dd 200 mg (Wilmana, 2004; Tjay dan Rahardja, 2002; Chairun, 2006) . b.



Dekongestan nasal / pelega hidung Dekongestan nasal dipasarkan dalam bentuk obat oral dan bentuk spray hidung. Beberapa jenis obat dekongestan nasal: Fenilpropanilamin (PPA) Fenilpropanolamin adalah derivat tanpa gugus –CH pada atom N dengan khasiat yang menyerupai efedrin. Kerjanya lebih panjang; efek sentral dan efek jantung lebih ringan. Dosis oral 3-4 dd 15-25 mg. Efedrin Efedrin adalah alkaloid dari tumbuhan Ephedra vulgaris. Penggunaan utamanya adalah pada asam berkat efek bronchodilatasi kuat (β2), sebagai decongestivum dan midriatikum yang kurang merangsang dibandingkan dengan adrenalin. Resorpsinya dari usus baik, bronchodilatasi sudah nampak dalam 15-60 menit dan bertahan 2-5 jam. Plasma t ½ nya 3-6 jam tergantung dari pH. Dalam hati sebagian zat dirombak; ekskresinya berlangsung lewat urin khusus secara utuh. Dosis pada asma 3-4 dd 2550 mg (-HCl), anak-anak 2-3 mg/kg sehari dalam 4-6 dosis. Tetes hidung larutansulfat 0,5-2%, dalam tetes mata 3-4%. Pseudoefedrin Pseudoefedrin adalah isomer-dekstro dengan khasiat yang sama. Daya bronchodilatasi lebih lemah, efek samping terhadap SSP dan jantung juga lebih ringan. Plasma t ½ nya 7 jam. Oksimetazolin Derivat imidazolin ini bekerja langsung terhadap reseptor alfa tanpa efek atas reseptor beta. Setelah diteteskan di hidung, adalm waktu 5-10 menit terjadi vasokontriksi mukosa yang bengkak dan kemampatan hilang. Efeknya bertahan 5 jam. Efek sampingnya dapat berupa rasa terbakar dan teriritasi dari selaput lendir hidung dengan menimbulkan bersin. Dosis anak-anak daiats 12 tahun dan dewasa 13 dd 2-3 tetes larutan 0,05% (HCl) disetiap lubang hidung, anak-anak 2-10 tahun larutan 0,025%. Xilometazolin Derivat imidazolin dengan daya kerja dan penggunaan sama. Derivat imidazolin khususnya digunakan sebagai dekongestivum pada selaput lendir bengkak di hidung dan mata, pilek, selesma,hay fever, sinusitis. Dosis nasal 1-3 dd 2-3 tetes larutan 0,1% (HCl), maks 6 x sehari. Anak-anak 2-6 tahun larutan 0,05%.



Namun, ditemukan juga bentuk pelega hidung berbentuk inhaler yang berisi mentol, camphor, metil salisilat ditambah dengan minyak atsiri seperti minyak pumilio pine. c.



Virustatika Virustatika digunakan sebagai prevensi atau meringankan gejala penyakit, bila terjadi infeksi. Amantadin dapat digunakan selama 10 hari bersama suntikan vaksin influenza guna melindungi terhadap virus-A2 selama masa vaksin belum aktif (masa inkubasi 10 hari), terutama pada orang-orang dengan daya tangkis lemah. Zanamivir termasuk kelompok zat baru neuramidase-inhibitor yang ternyata efektif untuk mencegah dan menangani influenza. Obat ini menghambat enzim neuramidase pada permukaan virus. Dengan demikian, pelepasan partikel virus keluar sel tuan rumah dihindarkan, sehingga sel-sel berdekatan dalam saluran nafas tidak ditulari. Digunakan sebagai inhalasi 1-2 dd 10 mg. Oseltamivir 2 x 75 mg sehari selama 5 hari akan memperpendek masa sakit. d. Antibiotika Hanya digunakan pada orang yang beresiko tinggi dengan daya tangkis lemah, seperti penderita bronkhitis kronis, jantung atau ginjal. Mereka mudah dihinggapi infeksi sekunder dengan bakteri, khususnya radang paru (pneumonia), yang tak jarang berakhir fatal. Oleh karena itu, di Eropa orang yang berisiko tinggi dianjurkan untuk setiap tahun pada permulaan musim dingin melindungi diri dengan injeksi virus influenza. e. Vitamin C Vitamin C denagn dosis tinggi (3-4 dd 1000 mg) berkhasiat meringankan gejala dan mempersingkat lamanya infeksi, berdasarkan stimulasi perbanyakan serta aktivitas limfo-T dan makrofag pada dosis di atas 2,5 g sehari. f. Seng-glukonat Seng-glukonat dalam bentuk tablet hisap dengan 13,3 mg Zn yang digunakan sedini mungkin pada permulaan infeksi 5-6 x sehari dapat mempersingkat lamanya masa sakit. Mekanisme kerjanya diperkirakan berdasarkan blokade dari tempat-tempat di permukaan virus yang dapat mengikat pada sel-sel tubuh atau juga atas dasar daya ion Zn untuk mneghambat pembelahan polipeptida virus serta aktivasi limfosit (Tjay dan Rahardja, 2002). Pengobatan Batuk Flu yang Aman Pengobatan Herbal 1. Madu Minum Madu akan meningkatkan kekebalan tubuh, karena penyakit batuk dan flu disebabkan oleh virus, dengan meningkatkan kekebalan tubuh maka virus akan diusir oleh system pertahanan tubuh alami. Caranya sediakan bahan sebagai berikut : a. Madu 2 sendok makan b. Air jeruk nipis 1 sendok makan



c. Air matang 2 sendok makan Campur ketiga komponen tersebut ke dalam cangkir, kukus, setelah dingin minum 1-2 sendok teh untuk anak dan 1-2 sendok makan untuk dewasa, Berikan 5 kali sehari. 2. Jahe Jahe seibu jari dicuci dan dimemarkan, rebus dengan dua gelas air hingga airnya tinggal setengah. Setelah menjadi hangat, tambahkan madu, kemudian minum air rebusan tersebut sekaligus. Obat Batuk/ Flu Bebas Hanya Untuk 4 Tahun Ke Atas Semakin muda usia anak, makin rentan anak tersebut terhadap efek samping dan bahaya penggunaan obat bebas ini. Karena itu biasanya brosur/ label yang terdapat pada obat bebas tersebut tidak menganjurkan penggunaan obat pada bayi/ anak bila usianya masih di bawah 2 tahun. Jika usia kurang dari 2 tahun dianjurkan mengikuti petunjuk dokter. Kini batas minimal umur yang aman untuk penggunaan obat bebas tersebut akan dinaikkan lagi. Pabrik Farmasi di Amerika Serikat kini bersepakat bahwa obat bebas (OTC) untuk batuk dan flu yang mereka produksi hanya diperuntukkan untuk anak usia 4 tahun ke atas, tidak lagi untuk 2 tahun ke atas seperti yang berlaku saat ini. Karena itu, tulisan "untuk anak usia 2 tahun ke atas" seperti yang tertera pada banyak obat batuk dan flu berbentuk sirup yang dijual bebas akan berganti menjadi "untuk 4 tahun ke atas". FDA melarang anak di bawah 6 tahun menggunakan obat batuk dan obat flu bebas ketika mereka sakit. Ada beberapa alasan mengapa obat bebas tersebut dinaikkan batasan umur penggunaannya. Pertama, belum ada bukti ilmiah obat bebas tersebut memang sudah bermanfaat buat anak-anak usia 6 tahun ke bawah. Ke dua, sudah banyak kejadian efek samping/ kecelakaan yang membahayakan nyawa anak-anak karena penggunaan sembarangan obat bebas tersebut. Hal ini diduga karena dosis anjuran pada label obat bebas tersebut menggunakan umur sebagai patokan, bukan berat badan. Sebenarnya flu bisa sembuh sendiri (self-limiting). Dalam 4-7 hari penyakit akan sembuh sendiri tergantung dari daya tahan tubuh dan pola hidup seseorang, serta tidak adanya komplikasi. Sangat dianjurkan untuk meringankan gejala flu tanpa pengobatan, yaitu dengan beristirahat 2-3 hari, banyak minum air dan memberi asupan makanan yang tinggi kalori dan protein. Buah dan sayuran segar yang mengandung banyak vitamin, terutama vitamin C juga disarankan untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Berkumur dengan air garam atau minum air perasan kencur akan mengurangi rasa sakit pada tenggorokan. Obat flu hanya meringankan gejala saja, tidak boleh digunakan secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama. Segera konsultasikan ke dokter apabila dalam 3 (tiga) hari tidak sembuh atau ada gejala lain yang menyertainya. Obat ini pada umumnya dapat diperoleh tanpa resep dokter, baik yang dijual secara bebas (bertanda lingkaran hijau) atau terbatas di apotek dan toko obat berijin (bertanda



lingkaran biru). Komposisinya sebagian besar terdiri dari kombinasi beberapa macam obat, yaitu : Pelega hidung tersumbat (dekongestan) : fenilpropanolamin, fenilefrin, pseudoefedrin dan efedrin Penghilang sakit/penurun panas (analgesik/antipiretik) : parasetamol Pada beberapa merek, diberi tambahan : Obat batuk berdahak (ekspektoran): ammonium klorida, bromheksin, gliseril guaiakola Obat batuk kering (antitusif) : difenhidramin HCl, dekstrometorfan HBr Antialergi (antihistamin) : klorfeniramin maleat, deksklorfeniramin maleat Sebelum minum obat flu, perhatikan komposisinya dan disesuaikan dengan gejala yang dirasakan. Minumlah sesuai aturan pakainya. Beberapa pilihan bentuk sediaan sudah ada di pasaran, baik yang berbentuk tablet, kapsul maupun sirup sehingga memudahkan bila diminum anak kecil. Minum lebih dari satu merek obat flu sangat tidak diperbolehkan, karena komposisinya yang hampir sama dapat meningkatkan efek samping obat. Jangan lupa, bacalah klaim peringatan pada box warning di setiap kemasan obat, karena obat flu juga mempunyai efek yang tidak diinginkan, misalnya : antihistamin menyebabkan kantuk sehingga tidak dianjurkan mengendarai kendaraan bermotor atau menjalankan mesin Tidak dianjurkan penggunaannya pada anak usia di bawah 6 tahun, ibu hamil dan menyusui, kecuali atas petunjuk dokter Penyakit flu sebagian besar disebabkan oleh virus. Pemahaman yang keliru bila masyarakat memadukan obat flu dengan antibiotik. Penggunaan antibiotik diindikasikan untuk infeksi karena kuman, bila digunakan secara tidak tepat akan meningkatkan resistensi terhadap kuman dan dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan. Selain itu juga akan meningkatkan biaya pengobatan. Konsultasikan dengan dokter terlebih dahulu sebelum menggunakan antibiotik. Beberapa tips yang dapat dilakukan untuk mengurangi rasa tidak nyaman, antara lain : pada posisi berbaring atau tidur agar diletakkan yang nyaman, bila perlu kepala ditinggikan untuk menghindari batuk karena berkumpulnya lendir di tenggorokan. Namun, sebaiknya batuk jangan ditahan, karena merupakan upaya pengeluaran lendir agar tidak masuk ke paru-paru segera beri obat penurun demam jika disertai demam dan jangan memakai pakaian tebal serta tidak perlu diolesi dengan obat gosok perbanyak minum air putih Upaya pengobatan sendiri pada penyakit flu harus dilakukan secata tepat dan rasional sehingga dapat meminimalkan biaya pengobatan, dan yang terpenting memperkecil risiko terjadinya komplikasi penyakit. Pengobatan sendiri mempunyai beberapa dampak positif diantaranya masyarakat dapat mengatasi masalah kesehatannya secara dini, keberhasilannya



akan mengurangi beban pusat-pusat pelayanan kesehatan, biaya yang dikeluarkan relatif lebih murah, serta memb Swamedikasi Diare Dalam presentasinya beliau mengatakan kunci utama terapi diare adalah rehidrasi pasien setelahnya baru mengatasi gangguan penyerta seperti demam dan badan lemas. Obat-obatan yang bisa digunakan sebagai swamedikasi diare yaitu Attapulgit, ekstrak Psidii Folium yang terdapat pada produk fitofarmaka indonesia “Nodiar” ada juga produk Obat Herbal Terstandar “Diapet” dengan kandungan Ekstrak Psidii Folium, Ekstrak Curcumae, Domesticate Rhizome, dll. Masih ingat istilahFitofarmaka dan Obat HerbalTerstandar kan.. Suplemen Zinc juga direkomendasikan oleh WHO untuk mengatasi diare pada anak. Pemberian obatobatan yang lebih lengkap lagi diperlukan, jika diare lebih dari 10 kali/hari disertai demam. Obat-obatan tersebut adalah : 1. Antimotilitas (mengurangi gerak peristaltik usus) : Enkefalis, Loperamid, Difenoksilat, Difenoksin 2. Absorben (mengabsorpsi nutrisi, racun, bakteri dan cairan pada saluran pencernaan) : pektin, kaolin, Polikarbofil, Attapulgit 3. Antisekresi : Bismuth subsalisilate, Ocreotide 4. Antibiotik : Metronidazole Masyarakat diharapkan dapat lebih bijak dalam menyikapi swamedikasi karena masih banyak kasus ditemukan bahwa masyarakat keliru memahami swamedikasi. Contoh kecil adalah pasien datang ke apotek dan meminta Antibiotik Amoxicillin, saat ditanyakan oleh Apoteker penyakitnya apa si pasien menjawab sakit gigi. Dari informasi ini Apoteker menggali lebih dalam lagi mengapa si pasien meminta Amoxicillin. Ternyata informasi tersebut didapatkan dari teman dan tetangga yangtidak memiliki keilmuan Apoteker/dokter dan hanya berdasarkan perasaan saja setelah minum obat tersebut sakit giginya sembuh. Kasus seperti ini yang sangat memprihatinkan dan membuat kecepatan resistensi bakteri semakin cepat. Memang dampaknya tidak langsung tetapi kecepatan penemuan Antibiotik baru dengan kecepatan resistensi bakteri tidak sebanding, Alias lebih cepat bakteri mengalami resistensi. Jika gejala penyakit dirasakan berat oleh pasien sebaiknya konsultasikan dahulu dengan Apoteker dan/atau dokter agar terhindar dari kesalahan swamedikasi seperti kasus diatas. Hal ini menjadikan peran Apoteker sangatlah penting dalam prosesKonsultasi Apoteker terkait obat untuk masyarakat dan para pekerja kesehatan yang memerlukan informasi obat. EMPAT LANGKAH PENGOBATAN DIARE 1.Cegahi dehidrasi dengan memberikan Oralit/LGG * Berikan Oralit; bila tidak tersedia oralit, berikan cairan Larutan Gula Garam (LGG). LGG dapat dibuat dengan cara mencampur 1 sendok teh munjung gula dan 1/4 sendok teh garam ke dalam satu gelas air masak. Untuk anak di bawah usia dua



tahun, berikan 1/4 hingga 1/2 gelas besar cairan/air segera setelah terjadi diare. Untuk anak diatas dua tahun berikan 1/2 hingga 1 gelas besar. * Anak yang sudah besar dan dewasa harus diberi minum sebanyak-banyaknya. * Oralit atau cairan/air harus diberikan hingga diare berhenti (dapat memakan waktu beberapa hari) 2. Berikan Tablet Zinc * Untuk bayi usia 2-5 bulan, berikan setelah tablet zinc (10mg) sekali sehari selama sepuluh hari berturut-turut. * Untuk anak usia 6 bulan-12 tahun, berikan satu tablet zinc (20 mg) sekali sehari selama sepuluh hari berturut-turut. * Larutkan tablet tersebut dengan sedikit (beberapa tetes)air matang atau ASI dalam sendok teh. * Jangan mencampur tablet zinc dengan oralit/LGG * Tablet harus diberikan selama sepuluh hari penuh (walaupun diare telah berhenti sebelum 10 hari) * Apabila anak muntah sekitar setelah jam setelah pemberian tablet zinc, berikan lagi tablet zinc dengan cara memberikan potongan lebih kecil dan berikan beberapa kali hingga satu dosis penuh. * Bila anak menderita dehidrasi berat dan memerlukan cairan infus,tetap berikan tablet zinc segera setelah anak dapat minum atau makan. 3. Pastikan Anak untuk terus mendapatkan makanan * Bila anak masih menyusui, ASI harus tetap diberikan. * Lebih sering anak diberi ASI lebih baik * Saat anak diare sebaiknya makanannya dibuat lembek (makanan dapat berupa makanan yang dihaluskan) * Makanan sebaiknya makanan yang baru dimasak. Bila ibu akan memberikan makanan yang sudah cukup lama dimasak, panaskan makanan tersebut sebelum diberikan ke anak.



* Bila anak sudah memperoleh makanan tambahan, lanjutkan beri makan seperti biasanya. * Beri semangat anak agar dia mau makan sebanyak yang dia mau. Bila perlu, tawarkan makanan setiap 3-4 jam sekali. Pemberian makanan yang sering walau dalam jumlah yang sedikit akan lebih baik. * Untuk memulihkan kesehatannya, setelah sembuh dari diare, beri makanan lebih banyak (paling kurang selama dua minggu)



OBAT DIARE Obat diare dibagi menjadi kemoterapeutika yang memberantas penyebab diare .seperti bakteri atau parasit, obstipansia untuk menghilangkan gejala diare dan spasmolitik yang membantu menghilangkan kejang perut yang tidak menyenangkan. Sebaiknya jangan mengkonsumsi golongan kemoterapeutika tanpa resep dokter. Dokter akan menentukan obat yang disesuaikan dengan penyebab diarenya misal bakteri, parasit. Pemberian kemoterapeutika memiliki efek samping dan sebaiknya diminum sesuai petunjuk dokter Sebenarnya usus besar tidak hanya mengeluarkan air secara berlebihan tapi juga elektrolit. Kehilangan cairan dan elektrolit melalui diare ini kemudian dapat menimbulkan dehidrasi. Dehidrasi inilah yang mengancam jiwa penderita diare. Penggolongan Obat Diare 1. Kemoterapeutika untuk terapi kausal yaitu memberantas bakteri penyebab diare seperti antibiotika, sulfonamide, kinolon dan furazolidon. A. Racecordil Anti diare yang ideal harus bekerja cepat, tidak menyebabkan konstipasi, mempunyai indeks terapeutik yang tinggi, tidak mempunyai efek buruk terhadap sistem saraf pusat, dan yang tak kalah penting, tidak menyebabkan ketergantungan. Racecordil yang pertama kali dipasarkan di Perancis pada 1993 memenuhi semua syarat ideal tersebut. B. Loperamide Loperamide merupakan golongan opioid yang bekerja dengan cara memperlambat motilitas saluran cerna dengan mempengaruhi otot sirkuler dan longitudinal usus. Obat diare ini berikatan dengan reseptor opioid sehingga diduga efek konstipasinya diakibatkan oleh ikatan loperamid dengan reseptor tersebut. Efek samping yang sering dijumpai adalah kolik abdomen (luka di bagian perut), sedangkan toleransi terhadap efek konstipasi jarang sekali terjadi. C. Nifuroxazide Nifuroxazide adalah senyawa nitrofuran memiliki efek bakterisidal terhadap Escherichia coli, Shigella dysenteriae, Streptococcus, Staphylococcus dan Pseudomonas aeruginosa. Nifuroxazide bekerja lokal



2.



3.



4. 5.



6.



pada saluran pencernaan. Obat diare ini diindikasikan untuk dire akut, diare yang disebabkan oleh E. coli & Staphylococcus, kolopatis spesifik dan non spesifik, baik digunakan untuk anak-anak maupun dewasa. D. Dioctahedral smectite Dioctahedral smectite (DS), suatu aluminosilikat nonsistemik berstruktur filitik, secara in vitro telah terbukti dapat melindungi barrier mukosa usus dan menyerap toksin, bakteri, serta rotavirus. Smectite mengubah sifat fisik mukus lambung dan melawan mukolisis yang diakibatkan oleh bakteri. Zat ini juga dapat memulihkan integritas mukosa usus seperti yang terlihat dari normalisasi rasio laktulose-manitol urin Obstipansia untuk terapi simtomatis (menghilangkan gejala) yang dapat menghentikan diare dengan beberapa cara: A. Zat penekan peristaltik, sehingga memberikan lebih banyak waktu untuk resorpsi air dan elektrolit oleh mukosa usus seperti derivat petidin (difenoksilatdan loperamida), antokolinergik (atropine, ekstrak belladonna) B. Adstringensia yang menciutkan selaput lendir usus, misalnya asam samak (tannin) dan tannalbumin, garam-garam bismuth dan alumunium. C. Adsorbensia, misalnya karbo adsorben yanga pada permukaannya dapat menyerap (adsorpsi) zat-zat beracun (toksin) yang dihasilkan oleh bakteri atau yang adakalanya berasal dari makanan (udang, ikan). Termasuk di sini adalah juga musilago zat-zat lendir yang menutupi selaput lendir usus dan luka-lukanya dengan suatu lapisan pelindung seperti kaolin, pektin (suatu karbohidrat yang terdapat antara lain sdalam buah apel) dan garam-garam bismuth serta alumunium. Spasmolitik, yakni zat-zat yang dapat melepaskan kejang-kejang otot yang seringkali mengakibatkan nyeri perut pada diare antara lain papaverin dan oksifenonium. Probiotik: Terbukti tidak membantu meskipun digunakan pada awal pengobatan. Obat anti diare: Pilihan utamanya adalah loperamide 2 mg (dosis fleksibel, tergantung dari seberapa sering BAB cair yang terjadi). Anti diare lain tidak direkomendasikan karena efektivitasnya belum pasti, mula kerja yang lambat, dan potensi efek samping yang ditimbulkan. Tidak ada bukti bahwa menghambat keluarnya BAB cair akan memperpanjang penyakit. Justru telah terbukti penggunaan antidiare akan mengurangi diare dan mmperpendek durasi diare. Antimikroba: Dianjurkan untuk diberikan pada turis yang bepergian dalam travel kit beserta loperamide. Quinolone direkomendasikan sebagai pilihan utama, dan pilihan berikutnya adalah cotrimoxazole.



 PENGGUNAAN OBAT KERAS PADA Loratadine, Pseudoefedrin, Bromhexin HCL, Alprazolam, Clobazam, Chlordiazepokside, Amitriptyline, Lorazepam, Nitrazepam, Midazolam, Estrazolam, Fluoxetine, Sertraline HCL, Carbamazepin, Haloperidol, phenytoin, Levodopa, Benzeraside, Ibuprofen, Ketoprofen dll. - PENYAKIT KULIT



-



(Ex : Tetracycline salep, Kloramfenikol salep, Decoderm-3 krim, bufacort-N krim, New-Kenacomb krim dll) HIPERTENSI (Ex : Captopril, Nifedipin, Amlodipin, Candesartan, HCT dll) Accupril Accupril berada dalam kelompok obat yang disebut inhibitor ACE. ACE singkatan angiotensin converting enzyme. Accupril sebagai obat darah tinggi digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi (hipertensi) dan gagal jantung. Accupril juga dapat digunakan untuk tujuan selain yang tercantum dalam panduan pengobatan Aceon Aceon (perindopril) berada dalam kelompok obat yang disebut inhibitor ACE. ACE singkatan angiotensin converting enzyme. Aceon digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi (hipertensi) dan untuk mencegah serangan jantung pada orang dengan penyakit arteri koroner. Aceon juga dapat digunakan untuk selain obat darah tinggi, yang tercantum dalam panduan pengobatan Capoten Capoten (Captopril) digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi. Selain sebagai obat darah tinggi capoten juga dapat mengobati gagal jantung, atau masalah ginjal diabetes tertentu. Hal ini digunakan untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan kegagalan penurunan jantung pada pasien tertentu setelah serangan jantung. Ini dapat digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan obat-obatan lainnya. Hal ini juga dapat digunakan untuk kondisi lain yang ditentukan oleh dokter Anda. Hyzaar Hyzaar (losartan) digunakan sebagai obat darah tinggi. Obat darah tinggi ini juga dapat digunakan untuk mengurangi risiko stroke pada pasien tertentu dengan tekanan darah tinggi. Obat darah tinggi hyzaar juga dapat digunakan untuk kondisi lain yang ditentukan oleh dokter Anda Lisinopril Lisinopril (PRINIVIL + Zestril) adalah (menurunkan tekanan darah agen) antihipertensi dikenal sebagai ACE inhibitor. Lisinopril, sebagai obat darah tinggi bekerja dengan cara mengontrol tekanan darah tinggi (hipertensi) dengan relaksasi pembuluh darah, itu bukan menyembuhkan. tingkat tekanan darah tinggi dapat merusak ginjal Anda, dan dapat menyebabkan stroke atau gagal jantung. Lisinopril juga membantu untuk mengobati pasien dengan gagal jantung (jantung tidak memompa cukup kuat). lisinopril tablet generik yang tersedia Norvasc Generic Norvasc (Amlodipine) adalah calcium channel blocker digunakan untuk mengontrol tekanan darah tinggi atau angina (nyeri



-



dada). Sebagai obat darah tinggi Norvasc juga dapat membantu mencegah stroke, serangan jantung dan masalah ginjal Zebeta Zebeta (Bisoprolol) digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi. Obat darah tinggi ini juga dapat digunakan sendiri atau dengan obatobatan lainnya DM Penggolongan Obat Hipoglikemik Oral Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglilkemik oral dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu : 2.1.1. Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea dan glinida(meglitinidan dan turunan fenilalanin) 2.1.2. Sensitiser Insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel terhadap insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida dan tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan inslin secara lebih efektif. 2.1.3. Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor alfaglukosidase yang bekerja menghambat absorbsi gula dan umum digunakan untuk mengendalikan post-prandial (post-meal hyperglycemia). Disebut juga "starch-blocker".



Tabel 3. Penggolongan obat hipoglikemik oral -



-



Golongan Sulfonilurea Merupakan obat hipoglikemik oral yang paling dahulu ditemukan. Sampai beberapa tahun lalu, dapat dikatakan hampir semua obat hipoglikemik oral merupakan golongan sulfonilurea. Obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea merupakan obat pilihan (drug of choice) untuk penderita diabetes dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya. Senyawa-senyawa sulfonilurea sebaiknya tidak diberikan pada penderita gangguan hati, ginjal dan tiroid (Ex : Glibenklamid, Metformin dll) ASMA Pereda: Terbutalin, salbutamol, orsiprenalin, fenoterol, teofilin, Control : kromoglikat, budesonid, flutikason, beklometason, salmeterol, terbutalin, salbutamol, budesonid-formoterol, flukason-salmeterol



c. Etiket dirapikan dengan cara digunting tepi-tepi sisa potongan yang kurang rapi. 3. Signa a. Signa dituliskan rapi, nama ditengah dengan penulisan cara pakai yang rapi, jelas dan mudah dibaca oleh pasien ( karena bisa berakibat fatal hanya karena salah penulisan signa atau salah persepsi tentang cara pakai/aturan pakai hanya karena tulisan yang tidak jelas). b. Membubuhkan paraf kecil pada sisi sebelah kiri sebagai identitas pembuat resep. 4. Label 1. Dibawah etiket kalau perlu ditambahkan label “ Kocok Dahulu” untuk sediaan-sediaan yang membutuhkan label kocok dahulu seperti



Etiket Pada etiket tertulis : 1. Pada sebelah atas : nama Apotek, alamat apotek, nama apoteker, Nomor SIK Apoteker, atau Nomor SIA.



sediaan syrup, emulsi, suspensi, infusa, sediaan cair yang mengandung minyak atsiri, potio yang mengandung bahan tidak larut, liquor/ mixtura/ lotio yang mengandung bahan tidak larut. 2. Selain label kocok dahulu kalau perlu ditambahkan label “ Tidak



2. Sebelah kiri atas : nomor resep



Boleh Diulang Tanpa Resep Dokter” untuk obat- obat golongan keras



3. Sebelah kanan atas : tempat dan tanggal pembuatan resep



dan narkotika



4. Ditengah simetris : nama pasien 5. Dibawah nama pasien : cara pemakaian 6. Pada obat luar ( etiket biru ) perlu ditulis pada bagian bawah : “ Obat Luar” 2. Cara memberi etiket a. Diambil etiket sesuai dengan penggunaan sediaan, warna biru untuk sediaan untuk pemakaian luar, etiket putih untuk sediaan yang digunakan secara oral. b. Etiket diambil disesuaikan dengan kemasan sediaan yang digunakan.