Materi Referensi Sejarah Pemikiran Modern [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Materi Referensi Sejarah Pemikiran Modern Oleh Satria Sukmawan (13010111130023) Secara garis besar, perkembangan sejarah pemikiran modern dibagi dalam lima tahap: 1. ZamanYunani Kuno 2. Zaman Yunani 3. Zaman Abad Pertengahan 4. Zaman Modern 5. Zaman Posmodern I.



Zaman Yunani Kuno



Bangsa Yunani merupakan bangsa yang pertama kali berusaha menggunakan akal untuk berpikir. Kegemaran bangsa Yunani merantau secara tidak langsung menjadi sebab meluasnya tradisi berpikir bebas yang dim iliki bangsa Yunani Kebebasan berpikir bangsa Yunani disebabkan di Yunani sebelumnya tidak pernah ada agama yang didasarkan pada kitab suci. Keadaan tersebut jelas berbeda dengan Mesir, Persia, dan India. Sedangkan Livingstone berpendapat bahwa adanya kebebasan berpikir bangsa Yunani dikarenakan kebebasan mereka dari agama dan politik secara bersamaan. terhadap agama. Peran agama dimasa modern digantikan ilmu-ilmu positif. Pada masa Yunani kuno, filsafat secara umum sangat dominan, meski harus diakui bahwa agama masih kelihatan memainkan peran. Hal ini terjadi pada tahap permulaan, yaitu pada masa Thales (640-545 SM ). Demikian juga Phitagoras (572-500 SM ) belum murni rasional. Pada masa Yunani Klasik, pertanyaan-pertanyaan yang berkembang adalah pertanyaan yang berhubungan alam semesta. Ini berangkat dari kekaguman manusia terhadap hal-hal yang ada di sekitarnya. Sebagai contoh, ketika manusia melihat segala sesuatu yang ada di sekeliling mereka, muncul pertanyaan-pertanyaan mengenai segala sesuatu itu. Begitupun para filsuf zaman Yunani klasik ini. Mereka mempertanyakan hakikat kehidupan ini. Sebagai contoh, Thales, salah seorang filsuf yang hidup pada masa itu, mendapatkan kesimpulan



bahwa penyebab pertama kehidupan adalah air karena ia melihat adanya kehidupan ini karena ada air. II.



Zaman Yunani



Zaman Yunani ini diwakili oleh Plato dan Aristoteles. Pada zaman ini, pertanyaanpertanyaan tentang kehidupan mulai berkembang. Mereka tidak lagi hanya melihat keluar (oustside), akan tetapi juga mulai melihat ke dalam (inside). Persoalan tentang manusia mulai dipertanyakan. Misalnya, apa hakikat manusia? Dari mana manusia berasal? Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut lahirlah suatu jaw aban. Salah satunya adalah jawaban yang muncuk dari Plato bahwa hakikat manusia itu terdiri dari tubuh dan jiwa. Secara struktur, jiwa lebih tinggi dari tubuh. Menurut Plato, tubuh menjadi penjara jiwa. Jiwa akan bebas ketika ia lepas dari tubuhnya. Sementara itu, Aristoteles mengatakan hakikat manusia tidak terpisah antara tubuh dan jiwa. Tidak ada yang lebih tinggi secara struktur. Manusia terdiri dari forma dan materi. III.



Zaman Abad Pertengahan / Barat (Eropa)



Zaman abad pertengahan lahirnya agama sebagai kekuatan baru. Banyak filsuf yang lahir dari latar belakang rohaniwan. Dengan lahirnya agama-agama sebagai kekuatan baru, wahyu menjadi otoritas dalam. menentukan kebenaran. Sejak gereja (agama) mendominasi, peranan akal (filsafat) menjadi sangat kecil. Karena, gereja telah membelokkan kreatifitas akal dan mengurangi kemampuannya. Pada saat itu, pendidikan diserahkan pada tokoh-tokoh gereja yang dikenal dengan "The Scholastics", sehingga periode ini disebut dengan masa skolastik. Para filosof aliran skolastik menerima doktrin gereja sebagai dasar pandangan filosofisnya. Mereka berupaya memberikan pembenaran apa yang telah diterima dari gereja secara rasional. Di antara filosof skolastik yang terkenal adalah Augustinus ( 354-430). Menurutnya, dibalik keteraturan dan ketertiban alam semesta ini pasti ada yang mengendalikan, yaitu Tuhan. Kebenaran mutlak ada pada ajaran agama. Kebenaran berpangkal pada aksioma bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Tuhan dari yang tidak ada (creatioex nihilo). Kehidupan yang terbaik adalah kehidupan bertapa, dan yang terpenting adalah cinta pada Tuhan. Ciri khas filsafat abad pertengahan ini terletak pada rumusan Santo Anselmus (1033-1109), yaitu credo utintelligam (saya percaya agar saya paham). Filsafat ini jelas berbeda



dengan sifat filsafat rasional yang lebih mendahulukan pengertian dari pada iman. IV. Zaman Modern Zaman modern diawali dengan munculnya Renaissance sekitar abad XV dan XVI M, yang bermaksud lepas dari dogma-dogma, akhirnya muncul semangat perubahan dalam kerangka berfikir. Problem utama masa Renaissance, sebagaimana periode skolastik, adalah sintesa agama dan filsafat dengan arah yang berbeda. Era Renaissance ditandai dengan tercurahnya perhatian pada berbagai bidang kemanusiaan, baik sebagai individu maupun sosial. Diantara filosof masa Renaissance adalah Francis Bacon (1561-1626). Ia berpendapat bahwa filsafat harus dipisahkan dari teologi. Meskipun ia meyakini bahwa penalaran dapat menunjukkan Tuhan, tetapi ia menganggap bahwa segala sesuatu yang bercirikan lain dalam teologi hanya dapat diketahui dengan wahyu, sedangkan wahyu sepenuhnya bergantung pada penalaran. Hal ini menunjukkan bahwa Bacon termasuk orang yang membenarkan konsep kebenaran ganda (double truth), yaitu kebenaran akal dan wahyu. Puncak masa Renaissance muncul pada era Rene Descartes (1596-1650) yang dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern dan pelopor aliran Rasionalisme. Argumentasi yang dimajukan bertujuan untuk melepaskan dari kungkungan gereja. Salah satu semboyannya "cogito ergo sum" (saya berpikir maka saya ada). Pernyataan ini sangat terkenal dalam perkembangan pemikiran modern, karena dianggap mengangkat kembali derajat rasio dan pemikiran sebagai indikasi eksistensi setiap individu. Dalam hal ini, filsafat kembali mendapatkan kejayaannya dan mengalahkan peran agama, karena dengan rasio manusia dapat memperoleh kebenaran. Kemudian muncul aliran Empirisme, dengan pelopor utamanya, Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704). Aliran Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan dan pengenalan berasal dari pengalaman, baik pengalaman batiniah maupun lahiriah. Aliran ini juga menekankan pengenalan inderawi sebagai bentuk pengenalan yang sempurna. Di tengah bergemanya pemikiran rasionalisme dan empirisme, muncul gagasan baru di Inggris, yang kemudian berkembang ke Perancis dan akhirnya ke Jerman. Masa ini dikenal dengan Aufklarung atau Enlightenment atau masa pencerahan sekitar abad XVIII M. Pada masa Aufklarung ini muncul keinginan manusia modern menyingkap misteri dunia dengan kekuatan akal dan kebebasan berpikir. Tokoh filsuf yang sangat



mengagungkan kekuatan akal dan dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern adalah Rene Descartes. Pada abad ini dirumuskan adanya keterpisahan rasio dari agama, akal terlepas dari kungkungan gereja, sehingga Voltaire (1694-1778) menyebutnya sebagai the age of reason (zaman penalaran). Sebagai salah satu konsekuensinya adalah supremasi rasio berkembang pesat yang pada gilirannya mendorong berkem bangnya filsafat dan sains. Periode filsafat modern di Barat menunjukkan adanya pergeseran, segala bentuk dominasi gereja, kependetaan dan anggapan bahwa kitab suci sebagai satu-satunya sumber pengetahuan diporak-porandakan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa abad modern merupakan era pembalasan terhadap zaman skolastik yang didominasi gereja. V. Zaman Postmodernisme Zaman postmodern ditandai dengan keinginan untuk mendobrak sifat-sifat filsafat modern yang mengagungkan keuniversalitasan, kebenaran tunggal, dan kebebasnilaian. Karena itu, filsafat postmodern sangat mengagungkan nilai-nilai relativitas dan mininarasi, berbeda dengan filsafat modern yang mengagungkan narasi-narasi besar. Filsafat



postmodern



cenderung



lebih



beragam



dalam



hal



pemikirian.



Pada awal abad XX, di Inggris dan Amerika muncul aliran Pragmatisme yang dipelopori oleh William Jam es (1842-1910). Sebenarnya, Pragmatisme awalnya diperkenalkan oleh C.S. Pierce (1839-1914). Menurutnya, kepercayaan menghasilkan kebiasaan, dan berbagai kepercayaan dapat dibedakan dengan membandingkan kebiasaan yang dihasilkan. Oleh karena itu, kepercayaan adalah aturan bertindak. William James berpendapat bahwa teori adalah alat untuk memecahkan masalah dalam pengalaman hidup m anusia. Karena itu, teori dianggap benar, jika teori berfungsi bagi kehidupan manusia. Sedangkan agama, menurutnya, mempunyai arti sebagai perasaan (feelings), tindakan (acts) dan pengalaman individu manusia ketika mencoba memahami hubungan dan posisinya di hadapan apa yang m ereka anggap suci. Dengan demikian, keagam aan bersifat unik dan membuat individu menyadari bahwa dunia merupakan bagian dari system spiritual yang dengan sendirinya memberi nilai bagi atau kepadanya. Agak berbeda dengan William James, tokoh Pragmatisme lainnya, John Dewey (1859-1952) menyatakan bahwa tugas filsafat yang terpenting adalah memberikan pengarahan pada perbuatan manusia dalam praktek hidup yang harus berpijak pada pengalaman. Pada saat yang bersamaan, juga berkembang aliran Fenomenologi di Jerman yang



dipelopori oleh Edmund Husserl (1859-1938). Menurutnya, untuk mendapatkan pengetahuan yang benar ialah dengan menggunakan intuisi langsung, karena dapat dijadikan kriteria terakhir dalam filsafat. Baginya, Fenomenologi sebenarnya merupakan teori tentang fenomena; ia mempelajari apa yang tampak atau yang menampakkan diri. Pada abad tersebut juga lahir aliran Eksistensialisme yang dirintis oleh Soren Kierkegaard (1813-1855) . I.



Sejarah Filsafat Modern



Pada masa abad modern ini berhasil menempatkan manusia pada tempat yang sentral dalam pandangan kehidupan sehingga corak pemikirannya antroposentris, yaitu pemikiran filsafatnya mendasarkan pada akal fikir dan pengalaman. Rene Descartes (1596-1650) sebagai bapak filsafat modern yang berhasil memadukan antara metode ilmu alam dengan ilmu pasti ke dalam pemikiran filsafat. Pada abad ke-18, perkembangan pemikiran filsafat mengarah pada filsafat ilmu pengetahuan. Tokoh-tokohnya antara lain Geoge Berkeley (1685-1753), David Hume (1711-1776), Rousseau (1722-1778). Di Jerman muncul Chirstian Wolft (1679 – 1754) dan Immanuel Kant (1754 – 1804), yang mengupayakan agar filsafat menjadi ilmu pengetahuan yang pasti dan berguna. Abad ke-19, perkembangan pemikiran filsafat terpecah belah. Ada filsafat Amerika, filsafat Prancis, filsafat Inggris, filsafat Jerman. Tokoh- tokohnya adalah : Hegel (17701831), Karl Marx (1818-1883), August Comte (1798-1857), JS. Mill (1806-1873), John Dewey (1858-1952). II.



Filsafat Abad Dewasa Ini (Filsafat Abad ke-20)



Filsafat Dewasa Ini atau Filsafat Abad Ke-20 juga disebut Filsafat Kontemporer. Ciri khas pemikiran filsafat ini adalah desentralisasi manusia. Dalam bidang bahasa terdapat pokok-pokok masalah, yaitu arti kata-kata dan arti pernyataan-pernyataan. Maka, timbullah filsafat analitika, yang di dalamnya membahas tentang cara mengatur pemakaian kata-kata / istilah-istilah karena baha sebagai objek terpenting dalam pemikiran filsafat, para ahli pikir menyebutnya sebagai logosentris. Para paruh pertama abad ke-20 ini timbul aliran-aliran kefilsafatan, seperti Neo-Thomisme, NeoKantianisme, Neo-Hegelianisme, Kritika Ilmu, Historisme, Irasionalisme, Neo-Vitalisme, Spiritualisme, Neo-Positivisme.



Pada Awal belahan akhir abad ke-20 muncul aliran-aliran kefilsafatan yang lebih dapat memberikan corak pemikiran dewasa ini, seperti filsafat Analitik, Filsafat Eksistensi, Strukturalisme, Kritika Sosial. Sumber referensi : http://as-sirny.blogspot.com/2012/10/filsafat-modern-dalampembentukannya.html diakses pada 20 April 2013



1. Pendahuluan



Pemikiran modern penting di pahami oleh mahasiswa ilmu-ilmu sosial dengan penelusuran historis. Dengan studi historis, akan terlihat bahwa apa yang ditemui sekarang dalam dunia ilmiah dan peradaban kontemporer punya akar sejarah dan rentetan perubahan dari masa ke masa. Sebagaimana kebudayaan berubah, pemikiran filosofis dan pemikiran ilmiah pun berubah. Satu sama lain saling mempengaruhi. Sebelum uraian tentang perjalanan pemikiran filosofis dan ilmiah dalam rentang sejarah dikemukakan, terlebih dahulu dikemukakan pengeertian atau konsep modern yang dipakai dalam kuliah sejarah pemikiran modern (SPM) ini.



1.1. Konsep modern Dari segi bahasa, modern berarti maju. Lawannya tradisional, terkebelakang dan kolot. Secara sederhana pemikiran modern dipahami sebagai cara manusia dan masyarakat



berusaha memahami



dan memperbaiki



kualitas



hidupnya



dengan



mengerahkan daya (potensi) yang dimilikinya. Daya yang dimiliki manusia adalah fisik, otak, perasaan, hati nurani dan kemauan/nafsu. Tetapi pandangan filsafat tentang daya manusia ini juga beragam, sehingga definisi dari pemikiran modern juga beragam atau berbeda satu sama lain. Namun ada kesamaan pendapat para ahli bahwa manusia dan masyarakat modern adalah yang menggunakan ilmu pengetahuan (sciences) dalam memahami dan mangatasi persoalan yang mereka hadapi. Yang memahami masalah



kehidupan dan mengatasinya hanya dengan tradisi, khurafat, ilmu santet, meniru saja apa yang dilakukan orang lain, bukanlah dinamakan modern. Manusia yang tetap saja bertahan pada tradisi yang diwarisi secara turun temurun tidaklah manusia dan masyarakat modern, tetapi tradisional. Istilah lain dari tradisional adalah terkebelangkang (underdeveloped, developing countries), dan primitif. Sekarang yang dikatakan negara modern adalah yang makmur ekonominya dan maju teknologinya. Namun pengertian biasa dan menurut pendapat umum ini biasa tidak mengungkap esensi masalah dan hanya berdasarkan alasan yang kasat mata (tangible, material). Perlu ditelusuri pengetian yang lebih mendasar atau esensial. Untuk itu perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian pemikiran itu sendiri. Pemikiran berasal dari kata kerja berpikir yang berati kemampuan untuk menghubungkan suatu hal dengan hal lain, seperti menghubungkan keberhasilan dengan kesungguhan, menghubungkan mobil rusak dengan bisa jalan kembali dan lain sebagainya. Pengertian ini lebih umum dari pengertian berpikir secara ilmiah dan falsafi. Berpikir secara ilmiah adalah mengungkap sesuatu yang belum diketahui (latent) dengan bukti-bukti yang cukup. Yang latent itu biasa pula dalam bentuk hubungan antara sesuatu yang dipengaruhi dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, atau antara variabel dependen dengan variabel independen. Pemikiran falsafi perlu dipahami terlebih dahulu karena dalam materi sejarah pemikiran modern sebagian besar objek yang dibicarakan adalah filsafat atau hasil pemikiran falsafi. Pemikiran falsafi adalah cara berpikir radikal, sistematis, universal, dan liberal tentang masalah-masalah "besar".



Persoalan-persoalan “besar” dalam



kehidupan seperti hakikat manusia, masyarakat, hakikat pengetahuan, wujud semesta dan lain sebagainya. Masalah-masalah tersebut dipikirkan oleh para failasuf secara radikal, maksudnya dipikirkan sampai ke akar-akarnya, sangat mendalam. Untuk memahami sesuatu secara radikal biasa pertanyaannya adalah apa hakikat sesuatu, dari mana asul usulnya, dan/atau kemana tujuan akhirnya. Memikirkan masalah tersebut secara sistematis maksudnya memikirkannya menurut alur tertentu, konsisten, jelas mana yang utama mana yang pelengkap, dan jelas hubungan suatu masalah dengan masalah lainnya. Berpikir secara universal maksudnya yang dipikirkan itu bukan kasus



tertentu, bukan species sesuatu, tetapi keseluruhannya atau genusnya, seperti tidak memikirkan siapa sebenarnya si A, si B dan seterusnya, tetapi memikirkan siapa sebenarnya manusia itu. Berpikir liberal atau bebas maksudnya tidak terikat atau mengikuti saja pemikiran orang lain, tidak taklid saja kepada pandangan suatu masyarakat. Bahkan failasuf yang terlalu bebas juga tidak mau terikat dengan ajaran agama sekali pun. Mereka berpikir secara kritis sekali. Karena jiwa kritis ini, biasa ditemukan pendapat dan hasil pemikiran murid berbeda dengan pemikiran sang guru. Tetapi dalam praktek banyak pula failasuf yang membatasi kebebasannya atau mengikut suatu prinsip umum suatu wilayah, bidang atau agama, sehingga pemikirannya dinamakan filsafat Barat, filsafat Islam, filsafat ilmu dan seterusnya. Selanjutnya lihat Anshari (1979), Johnstone (1965). Lain halnya Nasroen (1967) yang berpendapat bahwa fisafat yang sebenarnya hanyalah yang sejalan dengan ajaran Allah. Pemikiran filsafat yang telah diterima oleh suatu masyarakat atau rakyat suatu negara, meningkat menjadi ideologi sehingga diyakini benar oleh penganutnya dan mereka jadikan sebagai landasan serta tujuan perjuangan dan pembangunan. Karena itu arah pendidikan, sistem hukum, dan tujuan pembangunan suatu masyarakat pada umumnya merupakan penjabaran dari filsafat yang mereka yakini itu. Pemikiran yang tidak sedalam dan seabstrak filsafat dikemukakan oleh kaum intelektual, ilmuwan dan pemimpin formal maupun informal. Masalah yang mereka pikirkan dan jelaskan dapat saja tentang hal-hal yang agak konkret dan praktis, seperti bagaimana mengubah sistem politik supaya korupsi tidak merajalela lagi. Pemikiran yang lebih rendah tingkatnya adalah pendapat yang dikemukakan orang awam dalam berbagai peristiwa dan kesempatan yang lebih instant (segera jadi) dibanding dengan pemikiran seorang intelektual dan failasuf. Pemikiran sebagai hasil kerja akal budi manusia, termasuk pemikiran filsafat, dipengaruhi oleh pengamatan, pengalaman, kondisi pribadi yang bersangkutan, dan latar belakang sosial budayanya. Selain pemikiran itu dipengaruhi banyak hal dan berubahubah, objek yang dipikirkan, seperti masalah sosial budaya, juga berubah. Karena itu corak dan hasil pemikiran itu sangat beragam, relatif, mengalami perubahan dan perkembangan, bahkan biasa pula kontradiktif satu sama lain, termasuk antara



pemikiran seorang pemikir atau failasuf itu sendiri. Ada pemikiran teologis, sekuler, materialisme, idealisme, dan lain sebagainya. Demikian juga pemikiran modern dan pemikiran Barat, walaupun punya aspek kesamaan, juga terdapat perbedaan antara satu dengan yang lain. Persamaan dan perbedaan pemikiran tersebut serta faktor-faktor yang mempengaruhinya inilah yang akan dipelajari dalam kuliah sejarah pemikiran modern (SPM). Kembali ke konsep modern, pendapat pemikir bersimpang siur, dari yang sekuler sampai ke yang agamis. Yang sekuler dan anti agama adalah seperti pemikiran Comte, Bruhl dan Marx. Auguste Comte menelusurinya dari evolusi pemikiran manusia dan masyarakat. Ia berpendapat bahwa pemikiran manusia dan masyarakat berkembang dari fase teologis, ke metafisik dan terakhir adalah berpikir positif. Fase berpikir positif inilah yang modern, yaitu berfikir tentang dan atas dasar fakta yang nyata, empirik dan ilmiah. Karena itu berfikir modern adalah berfikir seperti yang dikembangkan dalam ilmuilmu alam. Demikian juga Lucien L. Bruhl menyatakan bahwa masyarakat maju berfikir logis dan ilmiah sedangkan masyarakat primitif berfikir agamis dan magis (Pritchard, 1984: 35-38). Menurut Karl Marx, masyarakat modern adalah masyarakat komunis yang ditandai dengan tidak adanya lagi hak milik individual. Agama, moral, hukum seperti yang dikenal sekarang akan sirna karena semuanya itu hanyalah ciptaan kelas borjuis untuk mengeksploitasi



kelas proletar.



Negara-negara berbudaya



Konfusius, seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapura juga dikatakan sebagai negara modern. Negara-negara ini menempuh sistem ekonomi kapitalisme; pertumbuhan ekonomi yang tinggi, menghasilkan dan menggunakan teknologi maju. Tetapi mereka tidak meninggalkan nilai-nilai luhur budaya mereka, seperti nilai penghormatan terhadap nenek moyang dan orang yang lebih tua, serta mementingkan keluarga. Dari percaturan politik dan ekonomi internasional dapat dipahami bahwa konsep modern yang "dipaksakan" kepada negara di Timur adalah suatu masyarakat atau negara yang demokratis, dengan sistem ekonomi pasar bebas, pertumbuhan ekonomi tinggi yang ditopang



oleh teknologi canggih, kebebasan individual (liberalisme), dan sekularisme. Dalam konsep ini masalah agama dan nilai-nilai luhur, seperti yang dikenal dalam budaya Timur tidak menjadi perhatian dan bahkan dianggap sebagai penghalang kemajuan, karenanya harus disingkirkan. Kecenderungan sekuler ini berasal dari semangat Renaissance dan Aufklarung (pencerahan) yang timbul di Eropa mulai abad ke 15. Semangat



ini



pada



dasarnya ingin



menempatkan



manusia



dengan



segala



kemampuan rasionalnya menjadi titik tolak dan tujuan pembangunan. Mereka mendobrak dominasi Gereja Katolik Roma dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan. Menurut mereka, sejarah Eropa Zaman Pertengahan tenggelam dalam The Dark Ages, karena campur tangan gereja dalam urusan kemasyarakatan. Pemberontakan terhadap Gereja Katolik Roma tersebut mereka teruskan kepada semua agama. Karena agama tidak bisa dihapuskan dalam kehidupan manusia, agama hanya diberi hak hidup di kalangan individu, keluarga dan dalam masalah rohaniah dan ritual. Ulah Gereja Katolik Roma tidak bisa dipukul rata kepada semua institusi agama. Selanjutnya kesalah suatu institusi agama tidak bisa pula dilanjutkan kepada kesalahan agama itu sendiri. Besar kemungkinan manusianya lah yang salah memahami. Agama itu sendiri tidak salah. Karena itu yang dimaksud dengan pemikiran modern dalam perkuliah SPM adalah pemikiran masyarakat yang menggunakan pemikiran ilmiah dalam memahami manusia, masyarakat, alam dan kehidupan. Cara pemahaman yang demikian menimbulkan pula cara penanganan masalah kehidupan dan lingkungan secara ilmiah. Namun pendekatan ilmiah tidak diartikan menyingkirkan pendekatan agama. Pengembangan ilmiah dapat saja berlangsung dalam kerangka beragama dapat pula terpisah dari agama. Maka masyarakat, pemikiran dan budaya ilmiah dalam perkuliahan ini adalah masyarakat Islam klasik, masyarakat modern Barat dan Timur, serta masyarakat atau budaya postmodern. Satu sama lain punya kesamaan, yaitu menggunakan ilmu pengetahuan (sciences, sain) dan teknologi, tetapi paradigma atau corak sain yang dikembangkan berbeda satu sama lain. Berkat pendekatan ilmiah yang dipakai ketiga budaya tersebut, teknologi dan ekonominya juga maju.



1.2. Pentingnya SPM Perguruan tinggi adalah lembaga ilmiah dan agent of modernization. Dia dikembangkan berdasarkan pemikiran ilmiah yang dijadikan ciri pemikiran modern. Sebagai lembaga yang mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, perguruan tinggi juga mengalami perkembangan dan perubahan, seperti perubahan dan perkembangan dalam paradigma,



metode dan teori



ilmiah.



Perubahan



dan



perkembangan ini berasal dari perbedaan pemikiran filosofis. Maka untuk memahami perkembangan dan perubahan yang terjadi di dunia ilmiah tersebut perlu dipahami perkembangan dan sejarah pemikiran modern itu sendiri. Dari kajian SPM ini akan dapat dipahami bahwa paradigma, metode, dan sistem dalam pengembangan teori-teori ilmiah, bukanlah sesuatu yang statis, baku dan satu-satunya yang harus ditempuh. Telah terjadi perubahan-perubahan paradigma, orientasi, dan metode dalam pengembangan ilmu, termasuk pengembangan sosiologi. Dengan mengetahui berbagai pemikiran dalam SPM diharapkan mahasiswa memahami asal usul berkembang dan perubahan yang terjadi dalam pendekatan ilmiah dalam suau ilmu. Sebagaimana para pemikir dapat melahirkan pemikiran revolusioner karena jiwa kritis yang tinggi, agents of modernization (yaitu dosen, mahasiswa, dan pemikir), melalui masukan dan kaca perbandingan dari SPM, hendaknya mampu pula melahirkan pemikiran dan gagasan baru sebagai perbaikan dan pengembangan dari yang telah ada. Kemampuan ini hanya dapat diraih dengan mempelajari SPM dengan jiwa kritis yang tinggi, mampu menjelaskan hal-hal yang disetujui dan yang



tidak disetujui dari



pemikiran failasuf yang dikaji. SPM akan menjadi bahan hafalan yang membosankan dan membingungkan kalau tidak dipelajari secara kritis. Pemikiran filsafat tertentu melahirkan paradigma dan cara berpikir (logika) tertentu. Paradigma adalah tempat atau cara meninjau suatu masalah. Logika mempelajari proses atau tipe-tipe pemikiran untuk sampai kepada pengetahuan yang benar (Sharvy 1964:1-2; Vergez dan Huisman tt:12-16; Wahbah dkk 1971:229-230).



Logika adalah cabang filsafat. Selanjutnya pemikiran dan filsafat juga banyak membahas masalah etika dan estetika. Etika membahas buruk baiknya sesuatu. Sedang estetika membahas indahan tidahnya sesuatu. Metafisika juga salah satu cabang filsafat yang membahas hakekat sesuatu di balik alam fisik. Filsafat juga menujukan perhatian kepada pengetahuan, baik pengetahuan ilmiah atau pengetahuan biasa. Filsafat ilmu atau metasains membahas hakikat ilmu pengetahuan pengetahuan (ontologi), permasalah metodologis (epistemologi) dan masalah peran pengetahuan ilmiah bagi kehidupan (yang dibahas dalam axiologi pengetahuan). Tipe-tipe pemikiran yang dipelajari dalam filsafat dan logika dikembangkan menjadi metode-metode penelitian ilmiah. Logika deduktif misalnya



berasal dari filsafat



rasionalisme. Logika ini dipakai sebagai paradigma, asumsi, latar belakang pemikiran, dan hipotesis penelitian. Logika induktif berasal dari filsafat empirisme. Logika ini melahirkan metode observasi dan eksperimen. Dengan demikian filsafat dan pemikiran tertentu melahirkan logika tertentu. Logika tertentu melahirkan metode penelitian tertentu. Kemudian metode yang dibahas dalam metodologi penelitian diterapkan dalam penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan (pendapat atau teori) yang benar, yaitu yang objektif dan sesuai dengan kenyataan (Nazir 1985; Koentjaraningrat 1977). Maka hubungan filsafat, logika, metodologi penelitian dan teori ilmiah dapat digambarkan seperti berikut:



filsafat → logika → metode penelitian → penelitian → teori



Untuk memahami bagaimana perkembangan pemikiran modern, SPM akan mengkajinya dari perspektif sejarah. Perspektif atau pendekatan ilmu sejarah tidak sama dengan pendekatan sosiologi. Sebelum pemikiran modern dibahas satu persatu, perlu dikemukakan terlebih dahulu pengertian SPM dan perbandingannya dengan sosiologi pemikiran.



1.3. Sejarah dan Sosiologi Pemikiran Ilmu pengetahuan, pemikiran dan filsafat merupakan salah satu fenomena sosial dan budaya. Karena itu dapat dipahami dari perspektif sejarah dan dapat pula dari perspektif sosiologis. Perspektif sejarah didasarkan kepada pendapat bahwa suatu gejala yang kita saksikan sekarang tidak akan mungkin dipahami dengan baik tanpa memahami hubungannya dengan peristiwa yang menda huluinya. Kajian sejarah ingin meneliti jawaban dari W5H (who, what, where, when, why dan how) dari suatu gejala masa lalu. Gejala atau peristiwa masa lalu dipelajari untuk memahami fenomena sekarang dan berguna untuk menatap masa depan (Carr 1976). Sejarah lebih memperhatikan keunikan dari suatu yang dikaji dan studi kasus. Dengan studi kasus berbagai variabel dapat diperhatikan sehingga lebih bersifat multidisiplin atau holistik. Lain halnya dengan sosiologi. Sosiologi mengkaji fenomena sosial budaya yang sedang berlangsung. Suatu fenomena dipahami dengan mengobservasi dan menginterview objek kajian atau pihak yang ada kaitan dengan masalah yang diteliti. Perhatian ditujukan untuk mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi suatu gejala, baik faktor alam, kekuasaan politik, teknologi, budaya, maupun faktor sejarah.



Kemudian untuk mendapat gambaran yang agak



menyeluruh,



sebelum



mempelajari berbagai macam tipe pemikiran modern, akan dikemukakan terlebih dahulu corak



pemikiran dalam lintasan sejarah dan budaya, dari primitif/kuno sampai



posmodern secara ringkas.



1.4. Sekilas Corak Pemikiran Dalam Lintas Budaya Budaya umat manusia sudah berusia sangat jauh ke belakang, dari zaman batu, pra sejarah, primitif, budaya kuno yang telah maju, budaya Islam klasik, Eropa modern, Timur modern, dan posmodern. Dalam Bab 2, bab pengantar dari pemikiran modern, hanya akan dikemukakan secara ringkas budaya primitif dan budaya kuno yang telah maju. Masyarakat primitif juga punya pemahaman tertentu tentang alam, manusia dan Tuhan. Walaupun pemahaman itu tidak murni hasil pemikiran mereka, dapat saja bercampur baur dengan kepercayaan, perasaan dan intuisi mereka, tetapi mereka punya persepsi yang utuh tentang hidup dan alam semesta. Pandangan tentang alam dan kehidupan tersebut melahirkan pola hidup tertentu, yaitu pola hidup sederhana. Karena itu pandangan hidup tersebut menempati posisi pemikiran dan filsafat hidup bagi masyarakat modern. Masyarakat primitif tidak berpikir untuk mendapatkan kemewahan, peningkatan ekonomi dan produksi, penguasaan terhadap alam seperti yang menjadi perhatian pemikiran modern. Mereka punya pandangan menyatu dengan alam dan tenaga gaib. Menyatu dengan alam berarti bahwa mereka merasakan diri mereka sebagai bagian yang sama dengan alam sekitar. Segala benda yang ditemukan di sekeliling mereka dipercayai punya roh atau tenaga gaib. Karena itu perlakuan terhadap alam didahului atau diikuti dengan ritual, pemujaan atau sesajen tertentu. Mereka tidak berpandangan eksploitatif terhadap alam, tidak menempatkan diri sebagai penguasa alam.



Dari satu segi mereka tidak merusak keseimbangan ekologis, walaupun sudah hidup puluhan ribu tahun. Berbeda dengan masyarakat modern, baru berumur empat atau lima abad, sudah membahayakan kelestarian lingkungan: lapisan ozon makin menipis, hutan yang merupakan paru-paru dunia makin gundul, udara dan air makin tercemar, serta sumber daya alam makin terkuras. Semuanya ini membahayakan eksistensi manusia dan alam itu sendiri (Bodley 1963). Dari segi kelestarian lingkungan ini, pemikiran primitif ternyata positif sekali. Budaya-budaya kuno seperti Mesir Kuno, Mesopotamia, Hindu, dan Cina diakui sebagai budaya yang telah maju sekitar 40 abad S.M. Piramid, Sphink, huruf Herogliph, hukum Hamurabi, Taman Tergantung, kitab Weda, Tembok Cina, ajaran Kongfusius dan berbagai peninggalan sejarah mereka masih diakui sebagai keajaiban dunia sampai sekarang. Pengakuan ini membuktikan kemajuan kebudayaan dan pemikiran mereka. (Wallbank dan Schrier, tt.: 38-65). Pemikiran mereka telah mulai mengarah untuk mengolah alam supaya hidup tidak lagi dalam taraf subsisten. Irigasi, pengaturan hidup bersama, pertahanan diatur untuk lebih efektif. Terlihat juga bahwa pemikiran mereka dijiwai oleh kepercayaan kepada yang gaib. Tempat menyimpan mummi di Mesir umpamanya penuh dengan tulisan yang mengungkapkan bagaimana dan apa yang harus di lakukan si mayit di alam gaibnya yang abadi. Kebudayaan Hindu dipengaruhi pula oleh kepercayaan kepada keabadian hidup dalam bentuk reinkarnasi. Kebudayaan Cina ditandai dengan pemujaan terhadap roh nenek moyang yang juga menunjukkan bahwa kehidupan bukan hanya di dunia ini saja. Jadi budaya dan pemikiran mereka bersumberkan kepada agama mereka yang menekankan kepercayaan adanya kelanjutan kehidupan sesudah di dunia, yaitu kehidupan sesudah mati yang kekal abadi. Lain halnya dengan pemikiran Yunani kuno. Yunani Kuno terkenal dengan tampilnya para failasuf besar seperti Pitagoras, Sokrates, Plato, Aristoteles, kaum



Sophis, dlsb. Pemikiran rasional spekulatif tentang segala hal adalah ciri pemikiran mereka. Tidak terlihat pengaruh yang jelas dari kepercayaan keagamaan terhadap hasil pemikiran mereka, walaupun mereka juga banyak berbicara tentang Tuhan, seperti dalam filsafat emanasi Plato. Mereka berbicara



tentang Tuhan



dalam rangka



memikirkan asal usul alam semesta, tidak menempatkan Tuhan sebagai yang memberi petunjuk bagi philosophy and way of life atau sebagai agama. Roger Garaudy (1985) mengungkapkan bahwa pemikiran Yunani mulai menempatkan manusia sebagai pusat wujud (anthropocentrisme). Dari pemikiran antroposentris dan rasional spekulatif Yunani, ditambah dengan pemikiran ilmiah empirik dari Dunia Islam zaman Tengah, lahirlah pemikiran modern sekuler di Dunia Barat. Eropa di Zaman Tengah, dari abad pertama sampai abad 15 M, dari lahirnya agama Kristen sampai munculnya gerakan Renaissance, dikuasai oleh kaum feodal, perbudakan, dan pemerintahan suku-suku bangsa liar, seperti suku Vandal dan Germania. Kemudian berdiri kerajaan-kerajaan diktator yang berkolusi dengan kekuatan kaum Gereja Katolik Roma dan kaum feodal. Kaum bangsawan dan feodal membutuhkan restu dan legitimasi kekuasaan Gereja untuk menanamkan kekuasaan mereka di kalangan rakyat jelata yang miskin dan kebanyakan berstatus sebagai budak atau pekerja tuan-tuan tanah. Maka gereja menguasai bidang politik, ekonomi, sosial, penafsiran ajaran agama, dan juga di bidang ilmu pengetahuan. Yang menjadikan Eropa tenggelam dalam The Dark Ages zaman Tengah adalah dominasi kekuasaan Gereja yang memahami ayat-ayat Bible secara harfiah, tidak mau mengembangkan kemampuan rasio dan pandangan empirik serta kecenderungan ekslusif (tertutup). Maka dominasi agama, tepatnya institusi agama yaitu gereja, menyebabkan Barat mundur (Dawson 1958; Wallbank & Schrier 1974), berbeda dengan dunia Islam zaman klasik yang maju karena tuntunan agamanya.



Sesudah zaman Tengah, dari abad ke 17 sampai tahun 1970-an dan bahkan sampai sekarang dan beberapa waktu yang akan datang, Eropa berada dalam zaman modern. Zaman modern adalah reaksi terhadap zaman Tengah yang didominasi oleh Gereja. Para pemikir, ilmuwan, dan pemimpin agama Protestan bangkit menentang kekuasaan Geraja Katolik Roma. Gerakan Protestan memprotes monopoli gereja tersebut dalam membaca dan menafsirkan kitab suci. Menurut Protestan, setiap orang berhak membaca dan mencari pemahaman terhadap isi Bibel. Gerakan keagamaan kaum Protestan diikuti oleh gerakan di bidang ilmu pengetahuan



dengan



tampilnya



Newton,



Galileo-Galilei,



Bruno



dll.



yang



mengemukakan pendapatnya tentang alam yang berbeda dengan doktrin gereja. Kemudian para penjelajah, seperti Vasco Da Gama, Colombus dll, melakukan pelayaran keliling dunia, menemukan benua Amerika dan Tanjung Pengharapan. Tampil pula pemikir-pemikir yang menekankan pentingnya penggunaan potensi akal manusia, pentingnya mempertanyakan kebenaran segala sesuatu, pentingnya menggunakan pancaindera dan bukti empirik untuk menentukan benar tidaknya sesuatu (tidak menerima saja apa yang diajarkan Gereja Katolik Roma), pentingnya demokrasi, pentingnya kembali kepada pemikiran Yunani yang dinamakan dengan gerakan Pencerahan (Aufklärung). Semua pemikiran dan gerakan ini menjadikan manusia menduduki posisi sentral dalam pemahaman dan gagasan serta menjadi penguasa kehidupan, sehingga gerakan ini dinamakan dengan Renaissance yang berarti lahir kembali. Dinamakan lahir kembali sebagai manusia karena setelah sekian abad Zaman Tengah mereka tidak berarti apa-apa atau dapat dianggap belum ada karena didominasi oleh Gereja Katolik Roma yang berkolusi dengan raja-raja diktator dan kaum feodal. Gerakan Renaissance menyingkirkan peran semua agama, tradisi dan kepercayaan dari kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Dengan demikian Renaissance adalah gerakan sekuler. Eropa, Amerika Utara dan Australia tampil sebagai penguasa di bidang ilmu, teknologi, ekonomi dan politik. Barat berkembang dan menguasai dunia dengan gerakan kolonilisme dan emperialisme yang dilancarkannya terhadap Asia dan Afrika.



Namun kemodernan Barat menimbulkan akibat terkurasnya sumber daya alam, pencemaran lingkungan, besarnya gap antara negara kaya dan negara miskin, manusia yang teralienasi (sehingga lari ke minuman keras, ekstasi, dlsb), mengalami kegersangan spritual, runtuhnya institusi keluarga, peperangan yang makin memusnahkan manusia dan lingkungan. Ini semua karena dengan ilmu dan teknologi manusia menjadi penguasa. Agama yang berfungsi sebagai pengarah hidup, pengekang kebringasan, dan pemberi makna hidup yang terdalam telah mereka tinggalkan. Dampak modernisasi ini menimbulkan kritik terhadap pemikiran modern tersebut, dan kritik ini timbul dari pemikiran kaum post-modernisme. Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura, setelah hancur dalam Perang Dunia II, memacu ilmu dan teknologi. Negara-negara tersebuut mengirim pemudanya sebanyak-banyaknya belajar ke Barat. Tetapi agama, adat istiadat, dan nilai-nilai budaya mereka tidak mereka serang dan musuhi seperti yang terjadi di Barat. Budaya dan pemikiran Barat, karena kemajuan teknologi komunikasi, juga masuk ke negeri Timur yang tengah memacu kemodernan ini. Walaupun nilai-nilai keluarga masih kuat, tetapi ajaran agama sudah mulai lemah di negeri ini. Di Korea Selatan, hampir separo warganya sudah non-religius (yang beragama hanya 51.1 %, Ministry of Culture and Sports 1996:3). Ini mungkin karena ajaran Konfusius dan Shinto tidak cukup tangguh untuk menangkal pemikiran Barat yang sekuler, tidak cukup kuat untuk menampilkan pandangan dan sikap hidup serta sistem sosial yang dapat mengatasi krisis kemoderenan. Melihat krisis kemodernan di atas dan hegemoni Barat terhadap bangsa lain dengan memaksakan konsep modern yang mereka anut (sekularisasi, ekonomi kapitalisme atau pasar bebas, supaya mereka lebih berkuasa lagi, demokrasi, dan liberalisme), para pemikir seperti Habermas, Leotard, Foucault dll mengeritik pemikiran modernisme. Mereka menyerukan perlunya aspirasi politik, budaya dan agama kelompok masyarakat (seperti kelompok kulit hitam, feminis, kaum homo, lesbian dlsb) supaya diperhatikan dalam setiap kebijaksanaan politik, ekonomi, budaya, dan bahkan juga dalam teori ilmiah.



Walaupun Barat belum dikuasai oleh



pemikiran posmodernisme, tetapi



aspirasi pencinta alam (partai hijau), kulit hitam, feminis, homo dan lesbian, sudah mulai diberi tempat. Tetapi apakah pemikiran posmodernisme suatu alternatif yang mampu mengatasi krisis modernisme dan tidak menimbulkan ekses baru yang lebih parah lagi? Lalu apa alternatif lain? Modernisme dan posmodernisme punya kesamaan bahwa pengelolaan alam dan kehidupan ini diserahkan kepada kemampuan manusia belaka (antroposentrisme) dengan segala aspirasi, kecenderungan



dan keinginan



mereka. Kecenderungan ini berbeda dengan pemikiran Islam yang memandang perlunya intervensi petunjuk Tuhan dalam menjalanni hidup dan kehidupan. Kalau alternatif bahwa manusia perlu kembali kepada pedoman yang diberikan oleh Pencipta alam dan manusia itu sendiri, tetapi pedoman tsb tentu perlu dijelaskan dan diinterpretasikan dengan baik sehingga mampu mengatasi konsep modernisme dan postmodernisme, serta perlu pula ditunjukkan realisasinya dalam kehidupan yang sangat kompleks seperti sekarang ini. Seharusnya bab berikut terdiri dari tiga bab saja, yaitu pemikiran Islam klasik, Eropa modern dan posmodern. Tetapi karena halaman diktat sangat terbatas, pembaban berikut dibuat dengan banya bab dengan memcah Eropa modern dalam bebara bab hanya sekedar untuk menyeimbangkan jumlah halaman.