Melanoma Maligna (Rev Cilla) Pic [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT KEPANITERAAN KLINIK ILMU DAN KULIT DAN KELAMIN MELANOMA MALIGNA



Disusun oleh: Juan Kevin Phenca 01073190059 Tania Liestary



01073190068



Thania



01073190081



Dibimbing oleh: dr. Michael Warouw, Sp.KK KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT DAN KELAMIN PERIODE MARET- APRIL 2021 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE RUMAH UMUM SAKIT SILOAM TANGERANG



2



DAFTAR ISI



BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................2 2.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit6.................................................................................................2 2.2 Definisi...................................................................................................................................5 2.3 Epidemiologi..........................................................................................................................6 2.4 Etiologi...................................................................................................................................7 2.5 Patofisiologi...........................................................................................................................9 2.6 Klasifikasi............................................................................................................................11 2.7 Diagnosis..............................................................................................................................15 2.8 Diagnosis banding................................................................................................................26 2.9 Tatalaksana...........................................................................................................................27 2.10 Komplikasi.........................................................................................................................30 2.11 Prognosis............................................................................................................................30 DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................32



i



DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Pertumbuhan Melanoma secara dermoskopis dan histologis.20...................................10 Gambar 2. Tahap Perkembangan Melanoma Maligna.21...............................................................11 Gambar 3. Penyebaran superficial melanoma pada kulit.23...........................................................12 Gambar 4. Nodular melanoma.23...................................................................................................13 Gambar 5. Lentiga Melanoma Maligna.24.....................................................................................14 Gambar 6. Acral Lentiginous Melanoma.25..................................................................................14 Gambar 7. Bentuk Tumor tidak Simetris.28...................................................................................16 Gambar 8. Garis batas yang tidak teratur.28...................................................................................17 Gambar 9. Warna yang dapat bervariasi dalam satu lesi.28............................................................17 Gambar 10. Diameter tumor lebih besar dari 6mm.28....................................................................17 Gambar 11. Sel tumor menunjukkan afinitas permukaan epitelium (penggabungan tumor dan epitel). Diagnosis melanoma oral.30...............................................................................................19 Gambar 12. Sarang melanosit yang bundar dalam berbagai variasi ukuran dengan pseudoinclusion nuklir (hematoxylin dan eosin, X40 perbesaran asli). Diagnosis melanoma oral.30..............................................................................................................................................19



ii



BAB I PENDAHULUAN Melanoma maligna adalah tumor ganas kulit yang terjadi pada sel melanosit, dengan gambaran berupa lesi kehitam-hitaman pada kulit atau mukosa. Sebagian besar melanoma ditemukan pada kulit, namun kemungkinan juga dapat terjadi pada tempat lain dimana melanosit ditemukan. Kanker ini merupakan kanker ketiga yang dapat menyebabkan kematian dan merupakan kanker yang paling sulit ditemukan. Kurangnya pengetahuan masyarakat akan bahaya sinar matahari membuat kondisi ini semakin umum ditemukan. Patofisiologi melanoma dihubungkan dengan faktor herediter dan radiasi ultraviolet (UV) yang kemudian menyebabkan perubahan genetik melanosit dan transformasi maligna. Mutasi tumor supresor p16 dan mutasi gen BRAF berperan penting dalam terjadinya melanoma. Pasien dengan riwayat penyakit melanoma, riwayat kanker kulit non melanoma, dan yang menderita imunosupresi umumnya memiliki risiko melanoma yang lebih tinggi. Penderita umumnya mengeluhkan perubahan karakteristik pada tahi lalat (nevi) atau ditemukannya tahi lalat baru, yang dapat disertai gatal yang bersifat persisten, perdarahan spontan, atau pengeringan.1,2 Diagnosis melanoma ditegakkan dari karakteristik lesi berupa bercak berpigmen yang progresif, asimetris, tepinya tidak rata, warnanya tidak homogen, dan lebarnya lebih dari 0,635 cm. Biopsi merupakan pemeriksaan penting dalam menegakkan diagnosis melanoma. Pemeriksaan laboratorium lain dan pencitraan juga dapat digunakan untuk mengevaluasi metastasis..2,3 Penatalaksanaan melanoma tergantung pada stadiumnya. Pada melanoma stadium I hingga III B, umumnya pembedahan dapat menjadi terapi definitif. Namun, bila terdapat kemungkinan keterlibatan getah bening atau metastasis, terapi sistemik dapat dilakukan dengan/tanpa eksisi. Beberapa terapi sistemik yang dapat diberikan adalah kemoterapi, imunoterapi, targeted therapy, dan terapi radiasi.4,5



1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit6 Kulit merupakan organ terbesar pada tubuh manusia, dengan berat sekitar 5 kg dan luas 2m2 pada seseorang dengan berat badan 70 kg. Kulit yang tidak berambut seperti pada tangan dan telapak kaki dikenal sebagai kulit glabrosa. Kulit glabrosa diperkirakan 10 kali lebih tebal dibandingkan dengan kulit yang tipis, contohnya kulit yang terdapat pada daerah lipatan (fleksural). Secara mikroskopi, kulit memiliki 3 lapisan utama, yaitu lapisan epidermis, dermis dan subkutis: a) Epidermis Epidermis adalah lapisan kulit terluar yang selalu beregenerasi dan merespon rangsangan eksternal maupun internal. Lapisan epidermis memiliki tebal rata-rata 0,4 - 1,5 mm. Komponen utama epidermis adalah keratinosit, lalu terdapat sel Langerhans dan melanosit diantaranya. Terkadang juga ditemukan sel Merkel dan limfosit. Lapisan epidermis dibagi lagi menjadi beberapa stratum (dari bawah hingga atas) sebagai berikut: i)



Stratum Basalis Keratinosit stratum basalis berbentuk toraks, letaknya berjajar di atas



basal membrane zone (BMZ) yang adalah sebuah lapisan struktural. Lalu pada lapisan ini juga terdapat hemidesmosom, protein struktural yang ‘memaku’ membran sitoplasma keratinosit pada BMZ, sehingga keratinosit basal dapat berdiri kokoh di atas BMZ. Terdapat tiga subpopulasi keratinosit pada stratum basalis, yaitu sel punca (stem cells), transient amplifying cells (TAC) dan sel pascamitosis. Sel punca diketahui membelah diri secara lambat dan biasanya aktif 2



ketika terdapat kerusakan epidermis yang luas dan membutuhkan regenerasi yang cepat. TAC adalah subpopulasi terbesar dari keratinosit stratum basalis dan beregenerasi secara aktif. TAC tidak lama tinggal di stratum basalis dan akan berpindah ke suprabasal setelah beberapa kali berdiferensiasi. Sitoplasma keratinosit mengandung banyak melanin (pigmen warna yang tersimpan dalam melanosom). Sel-sel melanosit mensintesis melanin dan mendistribusikannya pada sekitar 36 keratinosit di stratum basalis. Melanin adalah pigmen yang tersebar dalam keratinosit dan memberikan warna kulit seseorang. Melanin juga diketahui dapat menyerap sinar UV (ultraviolet) yang berbahaya bagi DNA. ii)



Stratum Spinosum Keratinosit stratum spinosum memiliki bentuk poligonal dan ukuran yang



lebih besar dari keratinosit stratum basale. Lalu terdapat struktur desmosom yang adalah penghubung antara keratinosit. Desmosom terdiri dari beberapa protein struktural yang memberi kekuatan pada epidermis untuk menahan trauma fisik pada permukaan kulit. Keratinosit stratum spinosum juga mulai membentuk struktur khusus yang dikenal sebagai lamellar granules (LG). Struktur tersebut ini terdiri berbagai protein dan lipid, seperti glikoprotein, glikolipid, fosfolipid, dan glukosil seramid yang memiliki peran dalam pembentukan sawar lipid pada stratum korneum. Stratum spinosum dan stratum granulosum juga terdiri dari sel langerhans, yang adalah sel dendritik yang berperan sebagai penyaji antigen. iii)



Stratum Granulosum Salah satu komponen dari lapisan ini yang diketahui sebagai



keratohyaline granules (KG), mengandung profilagrin dan loricin yang penting dalam pembentukan cornified cell envelope (CCE). Keratinosit di stratum granulosum memulai apoptosis yang pada akhirnya akan menghasilkan CCE yang menjadi bagian dari sawar kulit di stratum korneum. Keratinosit basal membutuhkan waktu kira kira 14 hari untuk mencapai lapisan stratum korneum.



3



iv)



Stratum Lucidum Merupakan lapisan yang tidak pasti terdapat pada seluruh bagian kulit



tubuh, dan merupakan sebuah lapisan tipis yang jernih yang tersusun atas eleidin (produk transformasi dari keratohialin). Biasanya terdapat hanya pada kulit yang tebal v)



Stratum Korneum CCE yang mulai dibentuk pada stratum korneum akan mengalami



penataan dengan lipid yang dihasilkan oleh LG. Susunan kedua komponen ini diketahui sebagai susunan brick-and-mortar. CCE menjadi batu bata yang dilapisi oleh lipid sebagai semen disekitarnya. b) Dermis Lapisan dermis, yang ada dibawah epidermis, terdiri dari serabut kolagen dan seratin yang memberikan kulit kekuatan dan elastisitas. Kedua komponen ini tertanam dalam matriks yang dikenal sebagai ground substance yang terbentuk dari proteoglikans (PG) dan glikosaminoglikans (GAG). PG dan GAG dapat menyerap air dalam jumlah yang besar sehingga dapat mengatur cairan dalam kulit dan mempertahankan growth factors dalam jumlah yang besar. Pada lapisan dermis juga terdapat makrofag, fibroblas dan sel mast. 1. Lapisan papiler: Lapisan luar yang lebih tipis dan tersusun atas jaringan ikat longgar dan berhubungan dengan epidermis. 2. Lapisan retikular: Lapisan yang lebih dalam, lebih tebal, memiliki komponen selular yang lebih sedikit dan tersusun atas jaringan ikat yang lebih padat serta terdapat serat kolagen.



4



c) Subkutis Lapisan subkutis terdiri atas jaringan lemak, yang memiliki peran untuk mempertahankan suhu tubuh, menjadi cadangan energi dan sebagai bantalan terdapat trauma. Sel-sel lemak terbagi dalam lobus yang dipisahkan dengan septa. Pada kulit juga terdapat adneksa, yaitu rambut, kelenjar ekrin dan apokrin, dan kuku. Kulit beserta adneksa memiliki beberapa peran dalam memelihara kesehatan manusia dengan cara: a) Perlindungan fisik (terhadap gaya mekanik, sinar UV, bahan kimia) b) Perlindungan imunologik c) Ekskresi d) Penginderaan e) Pengaturan suhu tubuh f) Pembentukan vitamin D g) Kosmetis 2.2 Definisi Melanoma maligna (MM) merupakan suatu keganasan sel melanosit yang dapat terjadi pada kulit, mata, telinga, traktus gastrointestinal, leptomeningen, dan membran mukosa oral atau genital. Sel-sel tersebut masih mampu membentuk melanin, sehingga pada umumnya MM berwarna coklat atau kehitaman. Beberapa melanoma yang sel-selnya tidak dapat membentuk melanin lagi tampak berwarna merah muda, tan, atau bahkan putih. Melanoma maligna merupakan salah satu tumor ganas dengan kemampuan metastasis ke beberapa organ, termasuk otak dan hati.7



2.3 Epidemiologi



5



Insidensi melanoma terus meningkat di seluruh dunia. Insidensi global melanoma di dunia pada tahun 2015 dilaporkan sebanyak 351.880 kasus. Melanoma menduduki peringkat ke-19 kanker terbanyak di seluruh dunia dan peringkat ke-5 kanker terbanyak di Amerika Serikat. Tingkat insidensi melanoma adalah sekitar 2,8–3,1 per 100.000 penduduk. Insidensi tertinggi dilaporkan di Australia (37 per 100.000 penduduk) dan terendah di Asia Tengah dan Selatan (0,2 per 100.000 penduduk).8 Insidensi melanoma meningkat seiring bertambahnya usia lebih umum terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Usia rata-rata diagnosis melanoma adalah 52 tahun, yaitu 10–15 tahun lebih muda dari usia rata-rata diagnosis kanker payudara, paruparu, kolon, dan prostat. Lebih dari 35% melanoma muncul pada individu berusia kurang dari 45 tahun. Melanoma merupakan kanker yang paling umum pada dewasa muda usia 25–29 tahun. Pada kelompok usia kurang dari 40 tahun di Amerika Serikat, wanita memiliki insidensi melanoma lebih tinggi dibanding laki laki dan sebaliknya pada kelompok usia diatas 40 tahun.1,6,9 Data epidemiologi melanoma di Indonesia masih terbatas. Studi epidemiologi kanker kulit yang dilakukan oleh Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2014–2017 menemukan bahwa melanoma maligna menempati urutan ketiga insidensi kanker kulit terbanyak (5,7%) dari 263 kasus kanker kulit. 9,10 Mortalitas tertinggi akibat melanoma maligna ditemukan di Australia, Amerika Utara, Eropa Timur, Eropa Tengah, dan Eropa Barat. Berdasarkan data SEER (US Surveillance, Epidemiology, and End Results), diperkirakan terdapat 6.850 (1,1%) dari seluruh mortalitas kanker disebabkan oleh melanoma pada tahun 2020.1,8



2.4 Etiologi Etiologi melanoma masih belum diketahui. Melanoma diperkirakan terjadi karena faktor genetik maupun lingkungan. Pertumbuhan melanoma dikaitkan dengan berbagai 6



faktor risiko, seperti paparan sinar matahari atau radiasi sinar ultraviolet, karakteristik fenotip tertentu, riwayat melanoma dahulu, riwayat melanoma pada keluarga, xeroderma pigmentosum, dan juga kondisi imun yang tersupresi. 5 2.4.1 Paparan Sinar Matahari atau Sinar Ultraviolet (UV) Paparan matahari atau lebih spesifiknya paparan sinar UV, merupakan faktor lingkungan utama yang menyebabkan melanoma, terutama pada populasi berisiko tinggi. Sinar matahari mengandung radiasi sinar UV-A (panjang gelombang 320–400 nm), UV-B (290–320 nm), dan UV-C (100–290 nm). Sinar UV-A dan UV-B memiliki sifat karsinogenik akibat panjang gelombangnya dan dapat menyebabkan kerusakan DNA. Tanning booths atau tanning beds juga memanfaatkan sinar UV sehingga dapat meningkatkan risiko melanoma. Penelitian menunjukkan bahwa kulit yang terpapar sinar matahari yang periodik, intens, dan berlebih (terutama pada masa kanak-kanak dan remaja) merupakan faktor risiko yang lebih kuat dibandingkan paparan sinar matahari yang lama dan terus menerus. Hal ini disebut sebagai intermittent exposure hypothesis. 5,11 2.4.2 Jenis dan tipe kulit Individu yang memiliki pigmentasi kulit cerah, freckles (bintik-bintik pada kulit), rambut merah atau pirang, mata hijau atau biru, dan kecenderungan terbakar pada kulit dengan Fitzpatrick skin phototype I-II dilaporkan memiliki risiko melanoma yang lebih tinggi. Kulit yang cerah memiliki jumlah melanin lebih sedikit sehingga bersifat kurang protektif terhadap sinar UV bila dibandingkan kulit yang lebih gelap. Selain itu, melanoma lebih jarang terjadi pada kulit tipe V-VI (Fitzpatrick skin phototype). Hal ini menunjukkan bahwa pigmentasi kulit memainkan peranan protektif.12,13,14



7



Tabel 1 Klasifikasi jenis kulit15



2.4.3 Nevi Melanositik Nevi adalah tumor jinak melanosit yang mulai muncul di masa kecil, terus berkembang di masa dewasa awal, dan berkurang secara bertahap pada usia 40-50 tahun dan seterusnya. Lokasi dan distribusi nevi dipengaruhi oleh jenis kelamin. Pada anak perempuan, nevi lebih banyak ditemukan di anggota badan sedangkan pada anak laki-laki sering ditemukan pada batang badan. Alasan mengapa jenis kelamin mempengaruhi distribusi pada melanoma belum diketahui. Nevi merupakan faktor risiko terkuat untuk melanoma, jauh lebih besar daripada resiko relatif yang berhubungan dengan paparan sinar matahari.14 2.4.4 Mutasi Genetik dan Riwayat Keluarga Terdapat beberapa gen yang dikaitkan dengan pertumbuhan melanoma, yakni CDKN2A (p16), CDK4, RB1, CDKN2A (p19), PTEN/MMAC1, dan ras. CDKN2A berperan penting dalam pertumbuhan familial melanoma dan sporadic melanoma.9,13 Sekitar 10–15% pasien melanoma memiliki riwayat keluarga dengan melanoma. Risiko melanoma akan berlipat ganda pada individu dengan satu orang kerabat tingkat pertama yang memiliki melanoma. Pada individu dengan ≥3 kerabat tingkat pertama dengan melanoma, risiko meningkat 25–70 kali lipat lebih tinggi. Familial Atypical Multiple Mole Melanoma Syndrome (FAMMM) merupakan sebutan untuk kondisi di mana nevi atipikal ditemukan pada individu dengan riwayat melanoma pada keluarga. Individu dengan FAMMM memiliki risiko melanoma lebih tinggi.16



8



2.4.5 Riwayat Melanoma Sebelumnya Adanya riwayat melanoma sebelumnya akan meningkatkan risiko timbulnya melanoma primer lain. Sekitar 5–15% individu ini mengalami melanoma primer multipel, di mana sekitar setengahnya mengalami melanoma primer kedua di area tubuh yang sama dan setengahnya mengalami melanoma primer kedua dalam satu tahun pertama setelah diagnosis awal. 16 2.4.6 Xeroderma Pigmentosum Xeroderma pigmentosum merupakan kondisi medis yang jarang di mana terdapat reaksi kulit ekstrim akibat ketidakmampuan kulit melakukan perbaikan sendiri terhadap kerusakan radiasi ultraviolet. Kelainan ini merupakan kelainan gen herediter yang meningkatkan mutagenesis dan karsinogenesis dini. Xeroderma pigmentosum akan meningkatkan risiko melanoma maupun kanker kulit lainnya hingga 600–1000 kali. 5 2.4.7 Supresi Imun Hubungan supresi imun dengan melanoma masih belum diketahui secara pasti. Beberapa studi besar menyimpulkan bahwa tidak ada peningkatan risiko melanoma yang signifikan pada pasien HIV dan tidak ada korelasi antara melanoma dengan penurunan jumlah CD4. Namun, ada pula beberapa penelitian yang memiliki bukti peningkatan risiko melanoma pada pasien limfoma nonHodgkin (LNH) dan pada penderita melanoma juga terdapat peningkatan risiko LNH.17 2.5 Patofisiologi Patofisiologi melanoma berkaitan dengan radiasi ultraviolet (UV). Radiasi UV dapat menginduksi perubahan genetik melanosit yang mengakibatkan transformasi maligna. Selain itu, mutasi gen, misalnya mutasi tumor supresor p16, juga ditemukan berperan penting dalam terjadinya sebagian kasus melanoma familial dan seperempat kasus melanoma sporadik. Mutasi gen CDKN2A pada kromosom 9p21 pada melanoma familial juga menyebabkan gangguan fungsi supresi pertumbuhan sel. Sementara itu, mutasi pada tumor supresi p16 menyebabkan gangguan fungsi p16 dalam menghentikan siklus sel, yang lalu mengakibatkan pembelahan sel yang tidak teregulasi.9,10



9



Hampir setengah kasus melanoma sporadik disertai proses tumorigenesis dari mutasi gen BRAF dan mutasi poin pada protein BRAFV600E. Mutasi ini masuk dalam jalur



mitogen-activated



protein



kinase



(MAPK)



dan



phosphatidylinositol-4,5-



biphosphate 3-kinase-protein kinase B (PI3K-AKT) yang dapat menyebabkan peningkatan proliferasi sel dan keberlangsungan hidup sel tumor. Pada beberapa kasus melanoma yang jarang, misalnya melanoma akral dan mukosa, jalur MAPK dan PI3KAKT juga dapat diaktivasi melalui mutasi reseptor tirosin kinase, yaitu c-KIT.1,19



Gambar 1. Pertumbuhan Melanoma secara dermoskopis dan histologis. 20



10



A. Kulit normal dan sebaran melanosit. a. Kulit normal dan sebaran melanosit. b. Junctional nevus c. Intradermal nevus d. Intradermal nevus dengan neurotisasi (pematangan). B. Melanocytic lentiginous hyperplasia. C. Lentinous compound nevus dengan arsitektur dan sitologi abnormal (dysplastic nevus) D. Tahap awal atau fase pertumbuhan melanoma radial (sel gelap besar di epidermis) yang timbul pada nevus E. Melanoma dalam fase pertumbuhan vertikal dengan potensi metastasis.



2.6 Klasifikasi Terdapat 4 jenis melanoma maligna, yaitu:



1.



Superficial spreading melanoma (SSM)



SSM adalah melanoma yang paling umum ditemukan di Indonesia (70%). Subtipe ini paling sering terlihat pada individu usia 30-50 tahun dan umumnya timbul pada kulit 11



normal (de novo). SSM umumnya berupa plak arciformis berukuran 0,5 - 3 cm dengan tepi meninggi dan irregular. Pada permukaannya terdapat campuran dari bermacammacam warna, seperti coklat, abu-abu, biru, hitam dan sering kemerahan. Lesi tersebut diketahui meluas secara radial dan pada umumnya mencapai ukuran sebesar 2cm dalam waktu 1 tahun, untuk melanjutkan tumbuh secara vertikal dan berkembang menjadi nodula biru kehitaman. Lesi SSM dapat mengalami regresi spontan dan meninggalkan bercak hipopigmentasi. Predileksinya pada wanita sering dijumpai di tungkai bawah, sedangkan pada pria di badan dan leher. Secara histologis, lesi SMM ditandai buckshot (pagetoid) melanosit pada epidermis.14,22



Gambar 3. Penyebaran superficial melanoma pada kulit. 23



2. Nodular melanoma (NM) 14,22 NM adalah melanoma yang kedua terbanyak (15-30%). Sifat lesi ini lebih agresif. Terjadi paling sering di kaki dan badan. Nodular melanoma adalah lesi berupa nodul berbentuk setengah bola (dome shaped) atau polipoid dan eksofitik, berwarna coklat kemerahan atau biru sampai kehitaman. Pertumbuhannya secara vertikal, pertumbuhan pesat terjadi beberapa minggu sampai bulan, subtipe ini bertanggung jawab untuk kebanyakan 12



melanoma yang dalam. Dapat mengalami ulserasi dan mudah terjadi perdarahan hanya dengan trauma ringan. Metastase dapat secara limfogen dan hematogen. Secara histologis, lesi ini tidak memiliki fase pertumbuhan radial.



Gambar 4. Nodular melanoma.23



3. Lentigo Maligna Melanoma (LML) LML merupakan kelainan yang jarang ditemukan (4-10%). Lesi LML bertumbuh secara vertikal, dan progresifitasnya sangat lambat yaitu antara 5-20 tahun. LML umum ditemukan di kepala, leher, dan lengan pada individu yang lebih tua dengan rata-rata umur 65 tahun. Lesi ini terjadi terutama pada wanita usia lanjut. Perbandingan antara pria dan wanita 1: 2-3. Lesi precursor in situ biasanya besar, berdiameter lebih dari 1-3 cm dengan tepi tidak teratur, telah terjadi minimal 10-15 tahun, dan menunjukkan pigmentasi makula dari coklat tua sampai kehitaman, namun pada beberapa area dapat tampak hipopigmentasi. Invasi pada dermal berkembang menjad lentigo maligna melanoma yang ditandai nodul biru-kehitaman dalam lesi in situ. Secara histologis ditandai dengan proliferasi melanosit yang predominan dan meluas sepanjang struktur adneksa kulit. 13



Gambar 5. Lentiga Melanoma Maligna.24



4. Acral Lentiginous Melanoma (ALM) Sering dijumpai di telapak tangan, ibu jari kaki, daerah subungul, dan membran mukosa. Biasanya berawal dari pigmentasi hitam, makula batas tidak teratur, yang kemudian berkembang menjadi papula yang invasif. Sering terjadi di dekade ke-5 sampai ke-7 dari hidup seseorang. Pertumbuhan lesi makula meluas ke arah lateral dan ke arah vertikal berupa penebalan lesi.14,22



Gambar 6. Acral Lentiginous Melanoma.25



2.7 Diagnosis Diagnosis melanoma dapat ditegakkan dengan memeriksa karakteristik lesi berupa bercak berpigmen yang progresif, asimetris, tepi tidak rata, warna tidak homogen, dan lebarnya yang lebih dari 0,635 cm. Diagnosis definitif dapat ditegakkan dengan 14



pemeriksaan biopsi. Selain itu, pemeriksaan laboratorium dan pencitraan dapat digunakan untuk mengevaluasi metastasis.26 Anamnesis Diagnosis melanoma harus dipertimbangkan bila pasien mengeluhkan ada perubahan karakteristik tahi lalat (nevi) atau ada tahi lalat baru. Lesi melanoma umumnya disertai gatal persisten, perdarahan, atau pengeringan. Pasien juga ditanyakan mengenai riwayat



penyakit



sebelumnya



dan



faktor



risiko



melanoma



seperti



riwayat



terpapar/terbakar sinar matahari (UV atau ultraviolet) kronik, riwayat menggunakan tanning beds/booths, riwayat keganasan kulit baik yang melanoma maupun non melanoma (pada pasien dan keluarga), dan riwayat penyakit herediter seperti xeroderma pigmentosum. Riwayat kelainan yang mengganggu sistem imun seperti HIV, resipien transplantasi organ, atau limfoma juga perlu ditanyakan. Selain itu, pasien juga ditanyakan mengenai riwayat pekerjaannya, sebab pekerjaan-pekerjaan yang memiliki paparan polychlorinated biphenyls (PCBs), produk petroleum, radiasi ionisasi, dan selenium, juga merupakan faktor risiko dari melanoma.26 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan keseluruhan kulit tubuh perlu dilakukan bila ada nevus atipikal atau ada kecurigaan melanoma. Jumlah nevi yang ada di kulit seluruh tubuh pasien sebaiknya dihitung. Nevi tipikal dan atipikal harus dibedakan. Alat bantu diagnostik yang digunakan dalam pemeriksaan klinis kelainan ini meliputi: 27 1. MacKie's revised seven-point checklist/ Glasgow seven point checklist. Lebih dari 95% dari semua melanoma akan menunjukkan setidaknya satu tanda utama. Tanda minor yang hadir sekitar 30-40%. Skor > 3 menandakan kecurigaan terhadap melanoma dan sebaiknya dirujuk segera spesialis kulit.27 Tabel 2. Glasgow Weighted 7PCL (seven - point checklist)27 Glasgow seven - point checklist Fitur Mayor (2 poin) Perubahan ukuran lesi 15



Fitur Minor (1 poin) Peradangan



Pigmentasi tidak teratur



Gatal atau sensasi yang berubah



Batas tidak teratur



Lebih besar dari lesi lain (diameter >7mm) Oozing/crusting of lesion



2. The ABCDE checklist from the American Cancer Society Sistem ABCDE (A untuk asimetri, B ketidakteraturan tepi lesi, C untuk variasi warna, D untuk diameter yang lebih besar dari 6 mm, dan E untuk elevasi, pembesaran) mudah diingat dan digunakan untuk mendiagnosa melanoma, meskipun tidak mencerminkan perubahan yang terjadi pada lesi berpigmen.14,28 A. Asymmetry



Gambar 7. Bentuk Tumor tidak Simetris.28



B. Border Irregularity



Gambar 8. Garis batas yang tidak teratur.28



C. Color



16



Gambar 9. Warna yang dapat bervariasi dalam satu lesi. 28



D. Diameter



Gambar 10. Diameter tumor lebih besar dari 6mm.28



E. Evolution Terdapat perubahan lesi yang dapat diperhatikan sendiri oleh penderita, serta informasi yang bisa didapatkan melalui anamnesis secara autoanamnesis dengan pasien dan atau alloanamnesis dengan keluarga pasien yang mengikuti perkembangan kondisi pasien.28 Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat mengonfirmasi diagnosis melanoma adalah biopsi. Namun, pemeriksaan penunjang lain seperti pemeriksaan laboratorium dan pencitraan juga dapat dilakukan guna mengevaluasi metastasis.3,11,29 a) Biopsi



17



Diagnosis melanoma dikonfirmasi melalui biopsi eksisional dengan menemukan sel melanoma. Biopsi eksisional dilakukan dengan margin makroskopik 1–3 mm. Pada lesi kecil, dapat dilakukan biopsi punch untuk mengambil seluruh lesi. Pada lesi melanoma di wajah atau akral, teknik biopsi insisional lebih disarankan. Bila ditemukan melanosit yang besar, nukleus hiperkromatik, nukleus ireguler dan/atau prominen, polimorfisme, bentuk kromatin



abnormal,



serta



gangguan



arsitektural



(seperti



asimetri



dan



sirkumskripsi yang buruk), melanosit dengan beragam bentuk dan ukuran pada epidermis bawah dan dermis, maka diagnosis melanoma harus dicurigai. Selain itu, pola pertumbuhan pagetoid dengan pertumbuhan ke atas dari melanosit dianggap sebagai pathognomonic sign melanoma. Biopsi kelenjar getah bening sentinel disarankan untuk pasien melanoma stage IB atau stage II dengan ketebalan 0.76–1 mm dengan ulserasi dan kecepatan mitotik ≥1/mm2, atau ketebalan >1 mm. Pemeriksaan ini juga disarankan pada pasien melanoma stage IA dengan ketebalan 0.76–1 mm tanpa ulserasi dan kecepatan mitotik 0/mm2.3,11,29



b) Mikroskopik Pemeriksaan mikroskopis dilakukan setelah biopsi dengan preparat didapat. Pada pemeriksaan mikroskopis didapat gambaran histopatologis berupa sel-sel yang ganas, dan tersusun rapat yang mempunyai variasi dalam bentuk dan ukuran. Sebagian besar melanoma oral memiliki karakteristik dari jenis acral lentiginous dan kadang superficial spreading. Sel-sel ganas sering



tampak



bersarang atau berkluster dalam mode organoid, namun sel tunggal mendominasi di persimpangan di bagian epitelium. Ada sedikit bukti pematangan atau dispersi di dasar tumor. Sel-sel melanoma memiliki nuklei yang besar, seringkali dengan nukleolus eosinofilik menonjol, dan menunjukkan pseudoinklusion karena ketidakteraturan membran nukleusnya. Sitoplasma tampak seragam eosinofilik. Kadang beberapa sel menjadi spindled (sarcomatoid) atau tampak nekrotik. 18



Dalam mukosa mulut, prognosisnya buruk jika terdapat semua jenis arsitektur (spindled, pleomorfik,dan plasmacytoid. Sering juga ditemukan metastasis ke kelenjar getah bening leher dan supraklavikula).3,11,29



Gambar 11. Sel tumor menunjukkan afinitas permukaan epitelium (penggabungan tumor dan epitel). Diagnosis melanoma oral.30



Gambar 12. Sarang melanosit yang bundar dalam berbagai variasi ukuran dengan pseudoinclusion nuklir (hematoxylin dan eosin, X40 perbesaran asli). Diagnosis melanoma oral. 30



Melanoma memiliki sejumlah gambaran histopatologi, termasuk diferensiasi yang buruk dan anaplastik sel-sel limfoma besar.



Sel balon sel, sel kecil, dan varian



desmoplastik melanoma bisa primer atau merupakan metastasis di mukosa rongga mulut. Diperlukan penggunaan teknik imunohistokimia untuk melihat filamen intermediate atau antigen spesifik di jalur sel tertentu. Amelanotik melanoma dapat menyerupai banyak neoplasma mesenkimal, dan sangat diperlukan pemeriksaan dengan imunohistokimia (IHC) untuk diagnosis. Ahli patologi akan mencari bukti reaksi limfositik dalam jaringan ikat dan peningkatan jumlah melanosit di lapisan sel basal sebagai indikasi untuk meminta pewarnaan IHC.3,11,29 19



c) Pemeriksaan Laboratorium Peningkatan level alkaline fosfatase dapat menjadi penanda metastasis ke tulang dan hati. Sementara itu, peningkatan aspartate aminotransferase (AST) dan alanine aminotransferase (ALT) mungkin menandakan metastasis ke hati. Peningkatan laktat dehidrogenase dapat menjadi salah satu penanda keganasan. Namun, hal ini tidak spesifik karena juga dapat meningkat pada berbagai kondisi lain. Peningkatan LDH pada saat diagnosis atau pada saat follow up dapat mengindikasikan metastasis jauh, terutama ke paru dan hati. Total protein dan albumin menunjukkan informasi kondisi kesehatan dan status nutrisi pasien secara keseluruhan dan dapat berguna untuk informasi prognostik. Sementara itu, level kreatinin diperlukan sebagai petunjuk terapi karena beberapa regimen kemoterapi bersifat toksik pada ginjal.3,11,29 d) Pencitraan Pada pasien melanoma stadium I atau II, rontgen toraks tetap dilakukan meskipun kemungkinan hasil normal. Hasil yang normal tersebut dapat menjadi pembanding saat follow up di masa mendatang. Pada pasien melanoma stadium III, CT scan toraks harus dilakukan karena paru-paru biasanya menjadi lokasi pertama metastasis. CT scan abdomen dilakukan ketika mengevaluasi pasien melanoma stage III. CT scan pelvis hanya diindikasikan apabila pasien memiliki kekambuhan regional lokal di bawah pinggul, simtomatik, atau diketahui terdapat metastasis dengan riwayat tumor primer di bawah pinggul. MRI otak dapat dilakukan pada pasien yang diketahui memiliki metastasis jauh untuk mendeteksi metastasis asimtomatik tambahan. MRI otak juga dilakukan pada pasien yang dipertimbangkan untuk mendapatkan terapi interleukin-2 dosis tinggi. MRI otak pada pasien tanpa diketahui adanya metastasis tetap harus dilakukan jika terdapat gejala yang indikatif pada pasien.3,11,29 Staging



20



Saat melakukan pemeriksaan lesi melanoma, diperlukan staging untuk menentukan prognosis dan penatalaksanaan. The American Joint Committee on Cancer (AJCC) menerapkan klasifikasi standar sistem TNM yang menggunakan micro-staging dengan melihat kedalaman dan infiltrasi tumor di lapisan kulit (Clark) dan juga mengukur ketebalan tumor (Breslow). Staging dengan TNM meliputi penilaian pada tumor primer, keterlibatan nodus limfatik regional, dan metastasis.5,31



Primary Tumor (T) Staging primary tumor dapat dibedakan berdasarkan ketebalan tumor dan juga ulserasi. Tabel 3. Staging Primary Tumor (T)31 Stage T



Ketebalan



Status Ulserasi



TX: tumor primer tidak dapat dinilai



-



-



T0: tidak ada bukti primer tumor



-



-



Tis: melanoma in situ



-



-



T1



T1



≤ 1 mm



Tidak diketahui atau tidak spesifik



T1a



< 0,8 mm



Tanpa ulserasi



< 0,8 mm



Dengan ulserasi



0,8–1 mm



Dengan atau tanpa ulserasi



T2



1–2 mm



Tidak diketahui atau tidak spesifik



T2a



1–2 mm



Tanpa ulserasi



T2b



1–2 mm



Dengan ulserasi



T3



2–4 mm



Tidak diketahui atau tidak spesifik



T3a



2–4 mm



Tanpa ulserasi



T3b



2–4 mm



Dengan ulserasi



T1b



T2



T3



21



T4



T4



> 4 mm



Tidak diketahui atau tidak spesifik



T4a



> 4 mm



Tanpa ulserasi



T4b



> 4 mm



Dengan ulserasi



Regional Lymph Nodes (N) Staging regional lymph nodes dapat dibedakan berdasarkan jumlah kelenjar getah bening yang terlibat dan apakah kelenjar tersebut terdeteksi secara klinis atau hanya terdeteksi melalui biopsi sentinel lymph node (SNL).5,31 Tabel 4. Staging Regional Lymph Nodes (N)31 Keberadaan Metastasis in Transit, Satelit, dan/atau Mikrosatelit



Stage N



Jumlah Nodus yang Terlibat



NX



Kelenjar getah bening regional tidak dapat dinilai



N0



Tidak ada metastasis kelenjar getah bening



N1



N2



N1a



1 nodus, hanya terdeteksi melalui biopsi SNL



Tidak ada



N1b



1 nodus, terdeteksi secara klinis



Tidak ada



N1c



Tidak ada keterlibatan nodus regional



Ada



N2a



2 atau 3 nodus, hanya terdeteksi melalui biopsi SNL



Tidak ada



N2b



2 atau 3 nodus dengan minimal 1 yang terdeteksi secara klinis



Tidak ada



N2c



1 nodus yang terdeteksi melalui biopsi SNL atau yang terdeteksi secara klinis



Ada



N3a



≥4 nodus, hanya terdeteksi melalui biopsi SNL



Tidak ada



N3b



≥4 nodus dengan minimal 1 yang terdeteksi secara klinis, atau ada matted nodes



Tidak ada



N3



22



N3c



≥2 nodus yang terdeteksi lewat biopsi SNL atau secara klinis, dan/atau ada matted nodes



Ada



Metastasis (M) Staging metastasis dapat dibedakan berdasarkan lokasi yang mengalami metastasis.31



Tabel 5. Staging Metastasis (M)31 Stage M



Lokasi Metastasis



Level Laktat Dehidrogenase



M0



Tidak ada bukti metastasis jauh



-



M1a



Ada metastasis jauh ke kulit, jaringan lunak, otot, dan/atau nodus limfatik nonregional



Tidak diketahui atau tidak spesifik



M1a(0)



Ada metastasis jauh ke kulit, jaringan lunak, otot, dan/atau nodus limfatik nonregional



Tidak meningkat



M1a(1)



Ada metastasis jauh ke kulit, jaringan lunak, otot, dan/atau nodus limfatik nonregional



Meningkat



M1b



Ada metastasis jauh ke paru dengan atau tanpa lokasi metastasis M1a



Tidak diketahui atau tidak spesifik



M1b(0)



Ada metastasis jauh ke paru dengan atau tanpa lokasi metastasis M1a



Tidak meningkat



M1b(1)



Ada metastasis jauh ke paru dengan atau tanpa lokasi metastasis M1a



Meningkat



M1c



Ada metastasis jauh ke lokasi viseral non-SSP (sistem saraf pusat), dengan atau tanpa lokasi metastasis M1a atau M1b



Tidak diketahui atau tidak spesifik



M1c(0)



Ada metastasis jauh ke lokasi viseral non-SSP (sistem saraf pusat), dengan atau tanpa lokasi metastasis M1a atau



Tidak meningkat



M1a



M1b



M1c



23



M1b



M1d



M1c(1)



Ada metastasis jauh ke lokasi viseral non-SSP (sistem saraf pusat), dengan atau tanpa lokasi metastasis M1a atau M1b



Meningkat



M1d



Ada metastasis jauh ke SSP (sistem saraf pusat), dengan atau tanpa lokasi metastasis M1a atau M1b atau M1c



Tidak diketahui atau tidak spesifik



M1d(0)



Ada metastasis jauh ke SSP (sistem saraf pusat), dengan atau tanpa lokasi metastasis M1a atau M1b atau M1c



Tidak meningkat



M1d(1)



Ada metastasis jauh ke SSP (sistem saraf pusat) dengan atau tanpa lokasi metastasis M1a atau M1b atau M1c



Meningkat



Stage Grouping dari The American Joint Committee on Cancer (AJCC) Setelah melakukan penilaian TNM, stage dapat dikelompokkan menggunakan kriteria AJCC Tabel 6. Stage Grouping dari AJCC31 Stage T



Stage N



Stage M



Grup Stage



Tis



N0



M0



0



T1a



N0



M0



IA



T1b



N0



M0



IB



T2a



N0



M0



IB



24



T2b



N0



M0



IIA



T3a



N0



M0



IIA



T3b



N0



M0



IIB



T4a



N0



M0



IIB



T4b



N0



M0



IIC



Semua T atau Tis



≥N1



M0



III



Semua T



Semua N



M1



IV



2.8 Diagnosis banding Diagnosis banding melanoma adalah nevus melanositik yang jinak, karsinoma sel basal (KSB) tipe noduler berpigmen, dan karsinoma sel basal tipe berpigmen. 2.8.1 Nevus Melanoma Jinak atau Nevus Spitz (NS) Gambaran histopatologik NS menyerupai melanoma maligna, tetapi tidak bersifat ganas. Nevus Spitz adalah nevus melanositik jinak terdiri atas melanosit berbentuk spindle, oval atau epiteloid berukuran besar yang tersusun dalam fasikel. Nevus Spitz dikenal dengan berbagai nama seperti nevus sel epiteloid dan spindle, melanoma juvenilis, dan nevus sel spindle dana tau sel epiteloid berukuran besar. Gambaran klinis NS adalah papul atau nodus berbentuk menyerupai kubah dengan diameter < 6mm. Predileksi pada wajah dan kepala (anak-anak) dan ekstremitas bawah (dewasa). Walaupun demikian, NS dapat terjadi pada semua bagian tubuh. NS mempunyai variasi warna, yaitu dari tidak berwarna (non-pigmented), merah jambu sampai dengan merah kecokelatan, dan bahkan hitam. Nevus Spitz muncul mendadak dan tumbuh membesar secara cepat, kemduian menetap. Nevus Spitz biasanya asimtomatik, tetapi dapat terjadi perubahan warna, perdarahan dan rasa gatal. Umumnya NS memiliki ukuran yang lebih 25



kecil dibandingkan melanoma. Selain itu, lesi nevus melanositik jinak umumnya tidak memiliki perubahan ukuran dan bentuk, serta tidak disertai ulkus atau perdarahan spontan. Pada evaluasi dermatoskopi, umumnya tidak ada tanda-tanda melanoma seperti perbedaan warna kulit, tepi asimetri atau ireguler, dan tanda regresi.5,32 2.8.2 KSB Tipe Noduler Berpigmen KSB tipe noduler berpigmen merupakan keganasan kulit bersifat invasif lokal, agresif, destruktif, dan jarang metastasis. Predileksi biasanya di wajah terutama pada daerah terpapar sinar matahari. Gejala klinik berupa papul atau nodul berwarna coklat kehitaman sehingga sering salah diagnosis dengan NM. Karsinoma sel basal tipe berpigmen umumnya memiliki bentuk seperti mutiara dengan pigmentasi yang lebih rendah dibandingkan melanoma. Selain itu, lesi dapat disertai pembuluh darah telangiektasis bercabang prominen. Pada evaluasi dermatoskopi, terlihat pigmentasi dengan area menyerupai daun dan pembuluh darah arborizing. Pada palpasi KSB berpigmen biasanya keras sedangkan NM biasanya lunak. Gambaran histopatologik KSB tipe noduler berpigmen khas dengan adanya tumor solid terdiri dari sel basal atipikal yang berproliferasi, besar, oval, berwarna biru tua dengan pewarnaan Hematoxylin-eosin, tetapi dengan sedikit anaplasia dan mitosis. Sel-sel tersusun palisade di perifer dan disertai sejumlah stroma musinosa. Melanosit tersebar di antara sel basal dan sejumlah melanin tampak di dalam sitoplasma sel basal neoplastik disertai sejumlah makrofag dengan pigmen melanin distromanya.5,33,34 2.8.3 Granuloma Piogenikum Diagnosis banding dengan granuloma piogenikum dapat disingkirkan karena kelainan ini merupakan suatu proliferasi lobuler dari kapiler dan venula, tampak sebagai lesi papular atau nodular, sering berkaitan dengan trauma minor, dan meskipun namanya demikian, kelainan ini bukanlah kelainan piogenik ataupun granulomatosa. Gambaran klinis biasanya diawali papul eritematosa kecil, warna merah terang, mengkilap, berlobus halus seperti buah rasberi. Lesi ini cepat membesar dan dapat bertangkai, diameter mencapai 0.5-2 cm. Grauloma piogenikum biasanya rapuh dan mudah berdarah. Lesi biasanya soliter dengan predileksi di bibir, membran mukosa oral, wajah, daerah kepala 26



berambut, jari-jari tangan, telapak tangan, punggung dan tumit. Gambaran histopatologik menunjukkan epidermis tipis, atau tanpa epidermis kecuali di tangkainya dengan banyak kapiler baru yang dibatasi oleh selapis sel endotelial, menyerupai hemangioma kapiler. Stroma di sekeliling tumor vaskuler menujukkan proliferasi fibroblastik edematosa.5,35,36 2.9 Tatalaksana Terapi Definitif (Reseksi bedah) Operasi pengangkatan tumor dan jaringan sehat di sekitarnya merupakan terapi utama untuk melanoma yang terlokalisasi, dan biopsi kelenjar getah bening sentinel dilakukan pada pasien yang tumornya lebih besar dari 0,8mm atau lebih tipis dari ini tetapi yang telah mengalami ulserasi (stadium PT1b atau lebih besar). Jika sel melanoma ditemukan di kelenjar getah bening sentinel, kemudian kelenjar getah bening yang tersisa di daerah tersebut kadang-kadang diangkat. Pada beberapa situasi, tumor metastasis juga dapat diangkat dengan pembedahan, tetapi perawatan bedah dalam pengaturan penyakit metastasis yang diketahui tidak dimaksudkan sebagai kuratif dan akan membutuhkan intervensi pengobatan alternatif lainnya. 20 Tindakan eksisi bedah diindikasikan pada melanoma stadium 1 dan 2. Pembedahan ini dilakukan dengan cara eksisi luas dan dalam untuk melanoma primer. Tujuan utama dari eksisi luas melanoma maligna adalah untuk mencapai margin negatif secara histologis dan mencegah kekambuhan lokal. Berdasarkan beberapa studi, rekomendasi margin bedah secara klinis diukur di sekitar tumor primer dan termasuk konsep dasar berikut: 1) Eksisi luas dikaitkan dengan penurunan risiko kekambuhan lokal; 2) tidak ada bukti pada melanoma tipis ( 98% ■ Stadium I: 90–95% ■ Stadium II: 78% untuk melanoma tanpa ulkus dengan ketebalan 1–4 mm dan 45% untuk melanoma dengan ulkus ketebalan > 4 mm ■ Stadium III: 69% untuk melanoma tanpa ulkus disertai keterlibatan nodus tunggal dan 26% untuk melanoma dengan ulkus yang disertai 4 atau lebih nodus terlibat ■ Stadium IV: 3–10% pada pasien yang tidak menjalani terapi dan kurang lebih 20% pada pasien yang diterapi.



30



DAFTAR PUSTAKA 1. Siegel RL, Miller KD, Jemal A. Cancer statistics, 2020. CA Cancer J Clin. 2020;70(1):7– 30. 2. Davis LE, Shalin SC, Tackett AJ. Current state of melanoma diagnosis and treatment. Cancer Biol Ther. 2019;20(11):1366–79. 3. Swetter S, Geller AC. Melanoma: Clinical features and diagnosis. UpToDate. 2020. 4. Domingues B, Lopes J, Soares P, Populo H. Melanoma treatment in review. ImmunoTargets Ther. 2018;7:35–49. 5. B Heistein J. Melanoma: Practice Essentials, Overview, Indications and Guidelines [Internet]. Emedicine.medscape.com. 2021 [cited 19 April 2021]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/1295718-overview 6. Rihamadja R. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017. p.3-7. 7. Gawkrodger DJ. Malignant melanoma. Dermatology an illustrated colour text. 3rd ed. Edinburgh: Churchill Livingstone; 2002. p.94-5. 8. Arrangoiz R. Melanoma Review: Epidemiology, Risk Factors, Diagnosis and Staging. Journal of Cancer Treatment and Research. 2016;4(1):1. 31



9. Wibawa L, Andardewi M, Ade Krisanti I, Arisanty R. JVDI: The epidemiology of skin cancer at Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital from 2014 to 2017. 2019; 4(1):11-6. 10. Wilvestra S, Lestari S, Asri E. Studi Retrospektif Kanker Kulit di Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RS Dr. M. Djamil Padang Periode Tahun 2015-2017. J Kesehat Andalas. 2018;7(Supplement 3):4 11. W Tan W. Malignant Melanoma: Practice Essentials, Background, Etiology [Internet]. Emedicine.medscape.com.



2021



[cited



19



April



2021].



Available



from:



https://emedicine.medscape.com/article/280245-overview 12. Veierod BM, Weiderpass E, Thörn M, et al. A prospective study of pigmentation, sun exposure, and risk of cutaneous malignant melanoma in women. J Natl Cancer Inst. 2003;95(20):1530–8. 13. Titus-Ernstoff L, Perry AE, Spencer SK, et al. Pigmentary characteristics and moles in relation to melanoma risk. Int J Cancer. 2005;116(1):144–9. 14. Bataille V. Risk factors for melanoma development. ERD. 2014;4(5):533-9. 15. Ward WH, Lambreton F, Goel N, et al. Clinical Presentation and Staging of Melanoma. In: Ward WH, Farma JM, editors. Cutaneous Melanoma: Etiology and Therapy [Internet]. Brisbane (AU): Codon Publications; 2017 Dec 21. TABLE 1, Fitzpatrick Classification



of



Skin



Types



I



through



VI.



Available



from:



https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK481857/table/chapter6.t1/doi: 10.15586/codon.cutaneousmelanoma.2017.ch6 16. Berrios-Colon E, Williams S. Melanoma review: Background and treatment. US Pharm. 2012;37(4):HS-4-HS-7. 17. Hu S, Federman DG, Ma F, Kirsner RS. Skin cancer and non-Hodgkin’s lymphoma: Examining the link. Dermatologic Surg. 2005;31(1):76–82 18. Tracey EH, Vij A. Updates in Melanoma. Dermatol Clin. 2019;37(1):73–82. 19. Leonardi GC, Falzone L, Salemi R, et al. Cutaneous melanoma: From pathogenesis to therapy (Review). Int J Oncol. 2018;52(4):1071–80. 20. Hassel J. Melanoma: Fitzpatrick's dermatology in general medicine. 9th ed. New York: McGraw-Hill Education LLC; 2018; 116(20):2001–11. 21. Miller A, Mihm M. Melanoma. New England Journal of Medicine. 2006;355(1):51-65. 32



22. Matthews NH, Li WQ, Qureshi AA, et al. Epidemiology of Melanoma. In: Ward WH, Farma JM, editors. Cutaneous Melanoma: Etiology and Therapy [Internet]. Brisbane (AU):



Codon



Publications;



2017



Dec



21.



Chapter



1.



Available



from:



https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK481862/doi:10.15586/codon.cutaneousmelano ma.2017.ch1 23. Chuchu N, Takwoingi Y, Dinnes J, Matin R, Bassett O, Moreau J et al. Smartphone applications for triaging adults with skin lesions that are suspicious for melanoma. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2018;. 24. Bari O, Cohen P. Tumoral Melanosis Associated with Pembrolizumab-Treated Metastatic Melanoma. Cureus. 2017;. p.4. 25. Bristow I, Acland K. Acral lentiginous melanoma of the foot and ankle: A case series and review of the literature. Journal of Foot and Ankle Research. 2008;1(1). 26. B. Heistein J, Acharya U. Malignant Melanoma. StatPearls; 2020. p.6-7. 27. Walter F, Prevost A, Vasconcelos J, Hall P, Burrows N, Morris H et al. Using the 7-point checklist as a diagnostic aid for pigmented skin lesions in general practice: a diagnostic validation study. BJGP. 2013;63(610):e345-e353. 28. Harrington E, Clyne B, Wesseling N, et al. Diagnosing malignant melanoma in ambulatory care: A systematic review of clinical prediction rules. BMJ Open. 2017;7:e014096. 29. Berrocal A, Cabañas L, Espinosa E, et al. Melanoma: Diagnosis, Staging, and Treatment. Consensus group recommendations. Adv Ther. 2014;31(9):945–60. 30. Collins II, Barnes. Oral Malignant Melanoma. http://emedicine.medscape.com.2010 31. Gershenwald JE, Scolyer RA, Hess KR, et al. Melanoma Staging: Evidence-Based Changes in the American Joint Committee on Cancer Eighth Edition Cancer Staging Manual. CA Cancer J Clin. 2017;67(6):472–92. 32. Lyon V. The Spitz Nevus: Review and Update. Clinics in Plastic Surgery. 2010;37(1):2133. 33. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K, Suurmond D. Precancerous lesions and cutaneous carcinomas. Dalam: Color atlas & synopsis of clinical dermatology. New York: Mac Graw Hill Inc; 2001: 248-69.



33



34. Lang PG, Maize JC Sr. Basal cell carcinoma. Dalam: Riegel DS, Friedman RJ, Dzubow LM, Reintgen DS, Brstryn JC, Marks R, editor. Cancer of the skin. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005:101-32. 35. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K, Suurmond D. Benign neoplasms and hyperplasias. Dalam: Color atlas & synopsis of clinical dermatology. New York: Mac Graw Hill Inc; 2001: 160-209. 36. Braun-Falco O, Plewig G, Wolff HH, Burgdorf WHC. Mesenchymal and neural tumors. Dalam: Dermatology second, completely revised edition. Berlin: Springer-Verlag; 2000; p. 1553-1601. 37. Mun G. Management of Malignant Melanoma. APS. 2012;39(5):565.



34