Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan Arah dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan 2020 – 2024



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan Arah dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan 2020 – 2024



Direktorat Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial Kedeputian Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kementerian PPN/Bappenas



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Arah dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan 2020 – 2024 Pengarah:



Pungky Sumadi



Editor



Vivi Yulaswati Teguh Dartanto



Tim Penulis:



Alin Halimatussadiah Bisuk Abraham Sisungkunon Gultom Chairina Hanum Siregar Dwi Rani Puspa Artha Ester Fitrinika Herawati Ely Dinayanti Fandy Rahardi Fisca Miswari Aulia I Dewa Gede Karma Wisana Maudytia Rismalasari P Moris Nuaimi Muhamad Sowwam Nabil Rizky Ryandiansyah Raditia Wahyu Riski Raisa Putra Renny Nurhasana Yusuf Sofiyandi Simbolon Vidya Kartika Widaryatmo



ISBN No:



978-602-52841-2-0



Desain Isi dan Sampul: Vidya Kartika Maudytia Rismalasari P Diterbitkan oleh: Direktorat Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial Kedeputian Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kementerian PPN/Bappenas Jl. Taman Suropati no. 2, Menteng, Jakarta Pusat www.bappenas.go.id Cetakan pertama, Desember 2018 Tidak untuk diperjualbelikan



Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Tidak diperkenankan untuk mencetak, memperbanyak dan lan sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izi tertulis dari penerbit



iv



KATA SAMBUTAN Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas



Periode akhir Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014-2019 merupakan masa pencapaian penurunan angka kemiskinan terendah bagi Indonesia. Upaya Pemerintah untuk terus menurunkan angka kemiskinan sejalan dengan komitmen Indonesia untuk mendukung pencapaian salah satu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu: “Tanpa Kemiskinan”. Mulai dari mimpi pemenang Nobel Muhammad Yunus dalam buku Creating a World Without Poverty, hingga hampir 200 negara telah berkomitmen untuk mewujudkan dunia tanpa kemiskinan. Pengalaman beberapa Negara seperti China, Brazil dan Mexico secara konkrit menunjukan bahwa kemiskinan dapat diberantas. Mungkinkah Indonesia bebas dari kemiskinan? Kondisi “tanpa kemiskinan” ini harus dicapai dari berbagai dimensi, baik aspek ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Tidak sedikit tantangan untuk menghilangkan kemiskinan dari bumi Indonesia, mengingat luasnya wilayah, beragamnya kondisi sosial budaya dan karakteristik perdesaan-perkotaan, serta kondisi geografis. Sangat penting menemukenali dinamika kemiskinan yang ada di berbagai wilayah. Semakin lengkapnya kebijakan dan program untuk meratakan pembangunan dan memastikan pemenuhan kebutuhan dasar masayarakat terutama yang paling miskin, membutuhkan peran pemerintah daerah dan seluruh pihak, termasuk masyarakat. Sinergi dan kerjasama merupakan kunci agar berbagai upaya pengurangan kemiskinan dapat lebih signifikan dan berkelanjutan. Upaya penurunan kemiskinan harus dibarengi oleh pertumbuhan ekonomi yang inklusif sehinggar tidak ada kelompok yang tertinggal atau tidak memeperoleh manfaat dari pembangunan. Perkembangan ekonomi digital yang semakin pesat misalnya, merupakan potensi untuk mengikutsertakan masyarakat miskin untuk meningkatkan akses ekonominya. Maka itu, tingkat pendidikan dan intelektual mereka perlu dipersiapkan sejak dini dan bersifat inklusif dan memberikan kesempatan yang sama bagi setiap orang. Dengan demikian, terbentuk kelompok menengah yang jauh lebih tanggung sehingga Indonesia dapat menjadi Negara berpendapatan menengah atas yang adil dan sejahtera. Oleh sebab itu, saya sangat menyambut baik dan mengapresisasi disusunnya buku “Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan” ini. Kiranya buku ini dapat menginspirasi dan menjadi sumber referensi bagi berbagai pihak dalam mengupayakan percepatan pengurangan kemiskinan ke depan. Semoga Allah SWT meridhoi semua niat baik kita. Jakarta, Desember 2018 Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas



v



KATA PENGANTAR Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan



Sebagai negara yang berkomitmen mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) pada tahun 2030, Pemerintah terus berupaya meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat dan memastikan Indonesia bebas dari kemiskinan. Kesejahteraan masyarakat Indonesia terus membaik, namun 1 dari 10 orang Indonesia saat ini hidup miskin. Tantangan cukup besar adalah dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan ekstrim. Pemenuhan kebutuhan dasar menjadi penting untuk memastikan penduduk miskin dapat hidup lebih baik dan bermartabat. Bentuk pelayanan yang mempertimbangkan kondisi spesifik wilayah seperti pelayanan kesehatan bergerak di wilayah kepulauan, meskipun membutuhkan beberapa aturan baru, merupakan terobosan yang perlu terus didorong. Sementara itu, sebagian masyarakat yang telah masuk kelas menengah secara ekonomi, ternyata dapat kembali miskin atau rentan saat terkena guncangan seperti kehilangan pekerjaan, sakit berkepanjangan, atau bencana alam. Arah dan strategi penanggulangan kemiskinan ke depan memerlukan pembaharuan. Penyempurnaan pemahaman tentang kondisi kemiskinan yang relevan dengan kondisi saat ini juga dikaji agar dapat memberikan gambaran yang lebih akurat terhadap dinamika kemiskinan di masyarakat. Keterlibatan pemerintah daerah dan para pihak lainnya tentu menjadi keharusan yang menuntut diperbaikinya pola koordinasi dan kerjasama lintas pelaku untuk mempercepat pengurangan kemiskinan. Pengurangan kemiskinan pada akhirnya harus terkait dengan upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi, pemberdayaan masyarakat dan mendorong lebih banyak lagi masyarakat yang bergabung sebagai kelas menengah. Pembangunan perlu diartikan tidak hanya terkait pertumbuhan ekonomi, namun juga pertumbuhan kesejahteraan penduduk sehingga Indonesia dapat tumbuh menjadi negara yang beragam, sejahtera dan inklusif dengan setiap orang mendapat manfaat dari pertumbuhan ekonomi dan tumbuh sesuai potensi optimalnya. Penyusunan kajian akademis sebagai dasar Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 ini menjadi langkah penting untuk mengevaluasi kemajuan penanggulangan kemiskinan selama ini serta mengkaji permasalahan dan tantangan dalam 5 tahun ke depan. Hasil evaluasi, kajian dan diskusi dengan berbagai para pihak tersebut dituangkan dalam buku “Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan” ini. Semua hasil yang dicapai sebagai upaya pengurangan kemiskinan yang telah dilakukan, serta strategi ke depan percepatan pengurangan kemiskinan yang terangkum dalam buku ini tidaklah terlepas dari dukungan dari seluruh pihak yang terlibat. Dukungan Anda telah memberikan kontribusi nyata dalam memastikan penduduk miskin hidup lebih baik di setiap harinya. Menuju Indonesia yang berkualitas, menuju Indonesia bebas kemiskinan. Jakarta, Desember 2018 Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan



vi



Pungky Sumadi



DAFTAR ISI KATA SAMBUTAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR ISTILAH 1. PENANGGULANGAN KEMISKINAN: KONTEKS DAN ISU STRATEGIS



v vi vii ix 1



1.1



Latar Belakang



2



1.2



Konsep Penanggulangan Kemiskinan



3



2. KEMISKINAN DALAM KERANGKA MAKROEKONOMI



5



2.1



Dinamika Kemiskinan di Indonesia



6



2.2



Kemiskinan dalam Kerangka Ekonomi Makro



7



2.3



Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Kerangka Penanggulangan Kemiskinan 11



2.4



Proyeksi Tingkat Kemiskinan Indonesia 2019–2030



3. PENGUKURAN KEMISKINAN



14



17



3.1



Pengukuran Kemiskinan Moneter



18



3.2



Pengukuran Kemiskinan Multidimensi



20



3.3



Penyempurnaan Pengukuran Kemiskinan Ke Depan



26



4. INVESTASI SUMBER DAYA MANUSIA



29



4.1



Sumber Daya Manusia dan Kemiskinan



30



4.2



Pelayanan Dasar



31



5. EKONOMI PRODUKTIF DAN PENGHIDUPAN BERKELANJUTAN



55



5.1



Peningkatan Akses Pembiayaan



57



5.2



Pengembangan Ekonomi Produktif di Perdesaan



65



5.3



Kemiskinan di Perkotaan



71



5.4



Ekonomi Digital untuk Percepatan Peningkatan Pendapatan



74



5.5



Ketahanan Ekonomi Keluarga



79



vii



6. PERLINDUNGAN SOSIAL DAN KETAHANAN MASYARAKAT 6.1



Pendekatan Siklus Hidup dan Tantangan Saat Ini



6.2



85 Program Perlindungan Sosial: Kondisi Saat ini dan Permasalahan Exclusion







Error



6.3



Perlindungan Sosial untuk Kelompok Marginal



6.4



Penyempurnaan Program Perlindungan Sosial



6.5



Ketahanan Kelompok Miskin dan Rentan



7. KERANGKA KELEMBAGAAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN



83



87 99 100



111



7.1



Kewenangan Pemerintah Daerah



112



7.2



Penguatan Kelembagaan



116



7.3



Pengelolaan Data dan Layanan Responsif



119



7.4



Monitoring dan Evaluasi



124



8. PEMBIAYAAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN



viii



81



125



8.1



Instrumen Keuangan Islam



128



8.2



Program Kemitraan BUMN dan Tanggung Jawab



130







Sosial dan Lingkungan Perusahaan



8.3



Pembiayaan Berbasis Dampak



8.4



Penggalangan Dana



131 135



9. ARAH DAN STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN KE DEPAN



139



DAFTAR PUSTAKA



151



DAFTAR ISTILAH 3T AKB AKI ASLU Aslut AUTP BDT BMKG BNPB BPJS BPNT BPR BPS BPNT BSPS BUMDes IMK IPM IRBI JP IKM JHT JKM JKN JKN – KIS JPS JSLU KAT KKS KPM KBI KTI KUBe KUR MDGs MPI MPPN NAPC



: Wilayah Tertinggal-Terdepan-Terluar : Angka Kematian Bayi : Angka Kematian Ibu : Asistensi Lanjut Usia : Asuransi Lanjut Usia : Asuransi Usaha Tani Padi : Basis Data Terpadu : Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika : Bantuan Nasional Penanggulangan Bencana : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial : Bantuan Pangan Non Tunai : Bank Perkreditan Rakyat : Badan Pusat Statistik : Bantuan Pangan Non Tunai : Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya : Badan Usaha Milik Desa : Industri Mikro dan Kecil : Indeks Pembangunan Manusia : Indeks Risiko Bencana Indonesia : Jaminan Pensiun : Indeks Kemiskinan Multidimensi : Jaminan Hari Tua : Jaminan Kematian : Jaminan Kesehatan Nasional : Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat : Jaring Pengaman Sosial : Jaminan Sosial Lanjut Usia : Komunitas Adat Terpencil : Kartu Keluarga Sejahtera : Keluarga Penerima Manfaat : Kawasan Barat Indonesia : Kawasan Timur Indonesia : Kelompok Usaha Bersama : Kredit Usaha Rakyat : Millennium Development Goals : Multidimensional Poverty Index, Indeks Kemiskinan Multidimensi : Multidimensional Poverty Peer Network, Jaringan Kemiskinan Multidimensional : The National Anti-Poverty Commission, Komisi Anti Kemiskinan Nasional



ix



x



NIK OPHI P1 P2 P2K2 P3BM Pamsimas PBI PIP PKH PKJS-UI PMKS PDB PMTB PKBL



: Nomor Induk Kependudukan : Oxford Poverty & Human Development Initiative : Indeks kedalaman kemiskinan/poverty gap index : Indeks keparahan kemiskinan/poverty severity index : Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga : Pro-Poor Planning, Budgeting and Monitoring : Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat : Penerima Bantuan Iuran : Program Indonesia Pintar : Program Keluarga Harapan : Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia : Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial : Pendapatan Domestik Bruto : Pembentukan Modal Tetap Bruto : Program Kemitraan Bina Lingkungan



UMKM UNDP RAD RAD PG RAN API RAN GRK Raskin Rastra RKP RPJMN RPJPN RTLH SBSN SDGs SEPAKAT SIAK



: Usaha Mikro Kecil dan Menengah : United Nations Development Programme : Rencana Aksi Daerah : Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi : Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim : Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca : Beras Miskin : Beras Sejahtera : Rencana Kerja Pemerintah : Rencana Pembangunan Jangka Menengah : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional : Rumah Tidak Layak Huni : Surat Berharga Syariah Negara : Sustainable Development Goals, Pembangunan Berkelanjutan : Sistem Perencanaan, Penganggaran, Pemantauan, Evaluasi dan Analisis Kemiskinan Terpadu : Sistem Informasi Administrasi Kependudukan



SIKS-NG SIMPADU SKPD SLRT SPKD SPM SUPAS TJSL TKPKD TNP2K TPT UEP UPSK



: Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial-Next Generation : Sistem Informasi Terpadu : Satuan Kerja Perangkat Daerah : Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu : Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah : Standar Pelayanan Minimal : Survei Paruh Waktu Antar Sensus : Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan : Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah : Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan : Tingkat Pengangguran Terbuka : Usaha Ekonomi Produktif : Unit Pelayanan Sosial Keliling



1



Penanggulangan Kemiskinan: Konteks dan Isu Strategis







Selama 40 tahun terakhir, terlepas dari lonjakan saat krisis di tahun 1998, angka kemiskinan di Indonesia telah mengalami penurunan yang cukup drastis – dari sekitar 40 persen di tahun 1976 menjadi satu digit pada 2018.



1.1. Latar Belakang



perspektif yang lebih luas, terdapat 72 juta orang yang masuk ke dalam kelompok rentan dan sewaktu-waktu dapat jatuh ke kelompok miskin. Selain itu, separuh dari penduduk kelas menengah juga masih belum sepenuhnya kuat. Kelompok yang dikenal sebagai aspire middle class masih rentan jatuh miskin saat menghadapi guncangan, misalnya ketika kehilangan pekerjaan, sakit berkepanjangan, atau mengalami bencana. Keberhasilan kebijakan penanggulangan kemiskinan sejauh ini perlu dievaluasi dan diperbaiki secara kontinu. Dengan tingkat kemiskinan yang sudah mencapai satu digit, tantangan ke depan akan kian berat mengingat laju penurunan kemiskinan secara alamiah akan melambat. Kebijakan yang mungkin efektif pada 10 atau 20 tahun yang lalu mungkin tidak lagi berdampak secara signifikan pada 10 tahun mendatang. Oleh karena itu, pembaruan terkait konsep penanggulangan kemiskinan menjadi mutlak untuk dilakukan. Selain terobosanterobosan untuk menuntaskan persoalan kemiskinan ekstrim, yang tidak kalah penting adalah pemerintah perlu mengembangkan kebijakan dan strategi demi mempersiapkan dan membentuk kelas menengah yang tangguh.



Perkembangan perekonomian Indonesia dari masa ke masa selalu diikuti oleh membaiknya angka kemiskinan. Melihat data kemiskinan selama 40 tahun terakhir, terlepas dari lonjakan yang terjadi ketika krisis di tahun 1998, secara persentase angka kemiskinan di Indonesia telah mengalami penurunan yang cukup drastis – dari sekitar 40 persen di tahun 1976 menjadi di bawah 10 persen di tahun 2018. Seiring semakin banyaknya penduduk yang tergolong ke dalam kelas menengah, – Tercatat ada 52 juta jiwa pada tahun 2016 menurut Bank Dunia – Indonesia diprediksi akan masuk ke kelompok negara berpendapatan menengah atas dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Angka-angka ini memang menunjukkan sebuah pencapaian yang cukup baik, tetapi dengan sebuah catatan: upaya penanggulangan kemiskinan masih jauh dari kata selesai. Upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan sampai saat ini memang berhasil menurunkan angka kemiskinan. Namun, jika melihat angka kemiskinan absolut, per Maret 2018, jumlah orang miskin di Indonesia masih mencapai 25,95 juta orang. Bahkan, jika dilihat dengan



Gambar 1.1: Perkembangan Kemiskinan di Indonesia tahun 1976 - 2018 45



60.0



40 40.1 35 33.3



40.0



30 28.6



26.9



25



30.0



24.2



23.43



20



21.6 17.47



17.4



20.0



19.14



15.1



18.41 18.2



17.42



16.66



17.75 15.97



16.58



15.42



13.7



15 14.15



13.33



11.3



12.49 11.96



10.0



11.37 11.2511.22 10.86



10.64



10 9.82 5



Sumber: BPS, 2018



2



Jumlah Penduduk Miskin (Juta Jiwa)



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Tingkat Kemiskinan (%)



2018



2017



2016



2015



2014



2013



2012



2011



2010



2009



2008



2007



2006



2005



2004



2003



2002



2001



2000



1999



1998



1996



1996



1993



1990



1987



1984



1981



1980



1978



54.2 47.2 42.3 40.6 35.0 30.0 27.2 25.9 22.5 34.0 49.5 48.0 38.7 37.9 38.4 37.3 36.2 35.1 39.3 37.2 35.0 32.5 31.0 30.0 29.1 28.1 28.3 28.6 28.0 27.8 25.9 1976



0.0



0



Tingkat Kemiskinan (%)



Jumlah Penduduk Miskin (Juta Jiwa)



50.0



Sejalan dengan komitmen pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) pada tahun 2030, pengentasan kemiskinan ke depan harus lebih sistematis dan terarah. Kolaborasi antar-pemangku kepentingan untuk mewujudkan SDGs perlu diarahkan untuk memperkuat partisipasi penduduk dalam keseluruhan proses pembangunan. Pembangunan yang dituju tidak hanya diartikan sebatas pada pertumbuhan ekonomi, namun juga dalam konteks pertumbuhan kesejahteraan setiap individu. Untuk itu, rangkaian target dan indikator di dalam kerangka waktu yang telah ditetapkan harus berkaitan dengan upaya peningkatan kesempatan dan kemampuan setiap penduduk. Dengan upaya peningkatan kesempatan dan kemampuan setiap penduduk serta keterhubungan antara output dan outcome, tidak hanya dapat memastikan efisiensi dan efektivitas dari upaya yang ada, namun juga untuk memastikan tidak ada satupun orang atau wilayah yang tertinggal.



1.2. Konsep Penanggulangan Kemiskinan Konsep penanggulangan kemiskinan ke depan dapat diibaratkan sebagai menyusun struktur sebuah bangunan. Sebagaimana struktur bangunan yang baik, konsep penanggulangan kemiskinan-pun membutuhkan landasan dan pilar yang kuat untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari kemiskinan. Landasan atau kondisi dasar dari penanggulangan kemiskinan adalah kondisi makroekonomi yang baik. Tingkat pertumbuhan dan inflasi yang stabil merupakan pondasi utama dari keberlanjutan penurunan kemiskinan. Namun, kondisi makroekonomi saja tidak cukup. Kerangka kelembagaan yang kuat melalui pembagian tugas dan fungsi yang jelas serta lembaga yang saling berkoordinasi, regulasi yang mendukung kelengkapan data dan informasi, serta instrumen pendanaan yang beragam dan inovatif untuk membiayai programprogram penanggulangan kemiskinan adalah kunci keberhasilan penanggulangan kemiskinan.



Gambar 1.2: Konsep Penanggulangan Kemiskinan



MENUJU INDONESIA BEBAS KEMISKINAN Mitigasi Bencana



Kesempatan yang sama untuk Semua



Hidup yang Berkualitas dan Bermatabat



Makroekonomi



Inklusifitas



Transformasi Digital



Ketahanan Masyarakat



Regulasi



Kelembagaan



Perubahan Iklim



Pembiayaan



Landasan



1 - Penanggulangan Kemiskinan: Konteks dan Isu Strategis



3



Di atas landasan tersebut, konsep penanggulangan kemiskinan dapat dikembangkan melalui tiga pilar utama. Pilar pertama adalah dignity atau hidup yang berkualitas dan bermartabat. Upaya penanggulangan kemiskinan harus memastikan setiap orang hidup bermartabat melalui peningkatan kualitas pelayanan dasar, mencakup pangan, pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih dan sanitasi, serta energi yang berdampak positif terhadap investasi sumber daya manusia. Selain perlindungan sepanjang hayat, setiap penduduk juga harus memiliki kesempatan yang sama. Hal ini merupakan pilar kedua dari penanggulangan kemiskinan, yakni opportunity and inclusion. Dalam penanggulangan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi harus bersifat inklusif dan memberikan kesempatan yang sama bagi setiap orang. Selain itu, setiap orang juga harus memiliki kesempatan untuk meningkatkan kapasitasnya demi menjadi bagian dari kelompok menengah yang tangguh. Pilar terakhir dari penanggulangan kemiskinan adalah memastikan ketahanan masyarakat atau resilience and security.



Ketahanan masyarakat dapat diwujudukan salah satunya melalui perlindungan sosial. Adanya perlindungan sosial yang komprehensif memungkinkan kehidupan masyarakat untuk selalu terjamin serta tidak mudah jatuh ke dalam kemiskinan jika terjadi guncangan. Di sisi lain, harus disadari bahwa konsep pengentasan kemiskinan juga menghadapi beberapa tantangan. Adanya pengaruh faktor eksternal, seperti perubahan iklim hingga tingginya angka bencana, sangat berpotensi menghambat penanggulangan kemiskinan. Untuk itu, diperlukan pemetaan serta rencana mitigasi terhadap risiko dan dampak dari bencana untuk meminimalisasi ditimbulkan. Tantangan terkait inklusivitas juga perlu mendapat perhatian lebih, terutama di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital, karena Indonesia yang bebas dari kemiskinan tak akan terwujud jika ada kelompok masyarakat yang ditinggalkan. Oleh karena itu, selain memastikan berdirinya pilar dan fondasi, konsep pengentasan kemiskinan harus mampu mengakomodasi dan beradaptasi dengan tantangan-tantangan yang ada.



Gambar 1.3: Tantangan Penanggulangan Kemiskinan 2020 - 2024



Teknologi Digital



Kondisi Makro dan Kerentanan



Kelompok Marginal (3T, Difabel, Lansia) Kemiskinan Perkotaan dan Perdesaan



Kemitraan Untuk Kelompok Miskin



Metode Pengukuran Kemiskinan Terkini



4



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Investasi Sumber Daya Manusia



Bantuan Sosial dan Pelayanan Dasar



2



Kemiskinan dalam Kerangka Makroekonomi Sumber: maritimnews.com







Pengentasan kemiskinan di Indonesia pasca krisis finansial Asia cenderung lebih lambat dibandingkan kondisi pra 1998.....Laju penurunan kemiskinan rata-rata tersebut mengalami perlambatan pasca berakhirnya krisis 1998 menuju 0,74 persen per tahunnya



2.1 Dinamika Kemiskinan di Indonesia Indonesia menunjukkan prestasi yang cukup memuaskan dalam penanggulangan kemiskinan. Berdasarkan garis kemiskinan nasional versi Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan di Indonesia menunjukkan tren yang terus menurun dari 40,1 persen pada tahun 1976 menuju 9,82 persen pada Maret 2018, dengan laju penurunan rata-rata sebesar 0,76 persen per tahun. Angka tersebut tercatat sebagai tingkat kemiskinan terendah sepanjang sejarah Indonesia. Kemiskinan nasional pernah mengalami kenaikan yang cukup signifikan pada periode 1996–1998 dan 2005–2006. Kenaikan tingkat kemiskinan pada 1996–1998 didorong oleh krisis finansial yang menghantam sebagian besar negara Asia pada 19981. Tingkat kemiskinan kembali naik pada 2005–2006 akibat imbas dari kenaikan harga bahan bakar minyak pada Oktober 2005 serta kenaikan harga pangan, terutama beras domestik yang dipicu oleh larangan impor beras pada tahun 20042. Kenaikan tingkat kemiskinan pada kedua titik waktu tersebut memberikan indikasi bahwa individu



tidak miskin dengan tingkat pengeluaran yang relatif dekat dengan garis kemiskinan akan rentan untuk jatuh miskin jika terjadi guncangan (shock) ekonomi. Indeks kedalaman kemiskinan/poverty gap index (P1) juga menunjukkan kecenderungan menurun dalam satu dekade terakhir, meskipun sempat mengalami sedikit kenaikan pada tahun 2015 (Gambar 2.2). Indeks kedalaman kemiskinan juga mengalami kecenderungan menurun di kawasan perkotaan dan perdesaan. Penurunan ini menunjukan indikasi bahwa rata-rata pengeluaran penduduk yang tergolong miskin mengalami peningkatan dan bergerak mendekati garis kemiskinan sehingga biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk mengeluarkan individu menjadi semakin ringan. Serupa dengan indeks kedalaman kemiskinan, indeks keparahan kemiskinan/poverty severity index (P2) baik di perkotaan maupun perdesaan, menunjukkan kecenderungan menurun dalam satu dekade terakhir. Indeks keparahan kemiskinan sempat mengalami kenaikan antara tahun 2014–2016, dengan kenaikan yang cukup tajam di kawasan perdesaan. Penurunan ini menunjukan tingkat



Gambar 2.1: Tingkat Kemiskinan Indonesia Berdasarkan Garis Kemiskinan Nasional versi BPS, 1976 – 20183



Sumber: Badan Pusat Statistik dan World Development Indicator World Bank, diolah tim penulis Dartanto dan Otsubo (2013) menemukan bahwa krisis finansial Asia 1998 menarik 18,5 persen dari rumah tangga yang tidak dikategorikan miskin ke bawah garis kemiskinan. 2 Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) pada tahun 2005 karena tekanan kenaikan harga minyak mentah internasional kala itu. Untuk meredam dampak gabungan dari kenaikan harga BBM dan beras, Pemerintah menginisiasi kebijakan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) untuk pertama kalinya. Kebijakan ini bersifat sementara untuk selama periode krisis saja. 3 Pada tahun 1998, BPS melakukan revisi atas garis kemiskinan nasional sehingga tingkat kemiskinan pada tahun 1996 yang semula terhitung di angka 11,3 persen terkoreksi ke angka 17,47 persen. 1



6



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Gambar 2.2: Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Indonesia, 2008 – 20184



Gambar 2.3: Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Indonesia, 2008 – 20185



Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah tim penulis



pengeluaran antar penduduk miskin semakin merata karena ketimpangan yang mengecil. Hal ini menunjukan ketepatan sasaran programprogram dalam menjangkau penduduk miskin semakin baik. Indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan dapat menunjukan kesenjangan pembangunan antara kawasan perdesaan dan perkotaan. Di perdesaan, indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan selalu berada di atas kawasan perkotaan. Perbedaan tersebut menunjukan bahwa kesenjangan pengeluaran masyarakat miskin di perdesaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan. Diperlukan program penanggulangan kemiskinan yang lebih intensif untuk masyarakat di kawasan perdesaan. Penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia tidak turut diikuti dengan penurunan ketimpangan pendapatan yang ditujukan dengan kenaikan nilai koefisien Gini. Di tingkat nasional, koefisien Gini menunjukkan pola yang cukup fluktuatif dalam satu dekade terakhir, demikian hal nya dengan yang terjadi pada kawasan perkotaan dan perdesaan. Di perkotaan, ketimpangan pendapatan lebih besar dibandingkan dengan perdesaan. Meskipun demikian, koefisien Gini di tingkat nasional menunjukan nilai yang mengalami penurunan secara konsisten.



2.2 Kemiskinan dalam Kerangka Ekonomi Makro Pertumbuhan ekonomi seringkali dianggap sebagai syarat untuk menurunkan tingkat kemiskinan secara konsisten. Kestabilan makroekonomi menyediakan ruang yang kondusif bagi penduduk miskin dan rentan untuk meningkatkan produksi serta pendapatannya (Dollar dan Kraay, 2002). Pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan terciptanya lapangan kerja dapat memberikan insentif khususnya pada bidang pendidikan untuk generasi Tabel 2.1: Koefisien Gini Indonesia, 2008 – 20186



Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018



Nasional



Perkotaan



Pedesaan



0,368 0,367 0,378 0,410 0,410 0,413 0,406 0,408 0,397 0,393 0,389



0,367 0,372 0,382 0,422 0,425 0,431 0,428 0,428 0,410 0,407 0,401



0,300 0,295 0,315 0,340 0,330 0,320 0,319 0,334 0,327 0,320 0,324



Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah tim penulis



Sejak tahun 2012, tingkat kedalaman kemiskinan yang dicantumkan dalam gambar adalah tingkat kedalaman kemiskinan pada bulan Maret di setiap tahun observasi. 5 Sejak tahun 2012, tingkat keparahan kemiskinan (P2) yang dicantumkan dalam gambar adalah tingkat keparahan kemiskinan pada bulan Maret di setiap tahun observasi. 6 Sejak tahun 2012, koefisien Gini yang ditampilkan dalam tabel adalah koefisien Gini pada bulan Maret di setiap tahun observasi. 4



2 - Kemiskinan dalam Kerangka Makroekonomi



7



selanjutnya. Peningkatan jumlah penduduk yang menyelesaikan pendidikan formal berpotensi untuk membuka peluang wirausaha. Hal ini dapat mendukung pengembangan produktivitas sumber daya manusia sehingga dapat mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan studi dari berbagai negara, terdapat korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi dengan penanggulangan kemiskinan. Roemer dan Gugerty (1997) menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi sebesar 10 persen dalam setahun akan meningkatkan pendapatan masyarakat sebesar 10 persen khususnya pada masyarakat di 40 persen tebawah. Iradian (2005) juga menyimpulkan bahwa pertumbuhan pendapatan riil per kapita sebesar 1 persen akan diikuti oleh penurunan tingkat kemiskinan sebesar 1,08 persen. Pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat umumnya diikuti oleh penurunan jumlah penduduk miskin dengan laju yang lebih cepat. Gambar 2.4 menunjukkan negara-negara dengan rata-rata pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang lebih tinggi cenderung mengalami penurunan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi. Dari 58 negara yang diobservasi, Tiongkok



menjadi negara dengan rata-rata penurunan tingkat kemiskinan paling besar yang terjadi antara tahun 2011–2015. Dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 7,45 persen per tahun, tingkat kemiskinan di Tiongkok menurun rata-rata 4,13 persen per tahunnya. Fenomena serupa juga terjadi di Indonesia seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.5. Tingkat kemiskinan di provinsi-provinsi dengan rata-rata pertumbuhan PDRB yang lebih tinggi cenderung lebih rendah dibandingkan provinsi-provinsi lainnya. Laju penurunan kemiskinan di Indonesia pasca krisis finansial Asia cenderung melambat dibandingkan sebelum krisis yang tingkat kemiskinannya turun rata-rata 1,44 persen per tahun. Namun, rata-rata laju penurunan kemiskinan tersebut turun menjadi 0,74 persen per tahun selepas berakhirnya krisis 1998. Perlambatan laju penurunan kemiskinan antara kondisi pra dan pasca krisis dapat dijelaskan dengan memahami proses transformasi struktural yang terjadi di Indonesia selama periode tersebut. Transformasi struktural tersebut dapat diartikan sebagai perubahan struktur perekonomian suatu negara yang mulanya mengandalkan sektor pertanian, beralih kepada sektor sekunder dan tersier7.



Gambar 2.4: Rerata Pertumbuhan Ekonomi dengan Perubahan Tingkat Kemiskinan Beberapa Negara Menurut Garis Kemiskinan $3,2 PPP Per Hari, 2011 –2015



Gambar 2.5: Pertumbuhan PDRB dengan Tingkat Kemiskinan 34 Provinsi di Indonesia menurut Garis Kemiskinan Versi BPS, 2017



Sumber: World Development Indicator World Bank, diolah tim penulis



Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah tim penulis



Sektor sekunder merupakan lapangan usaha yang fokus utamanya terletak pada pengolahan hasil akhir produksi sektor-sektor primer, pertanian, pertanian, dan kehutanan, menjadi barang jadi. Sementara itu, sektor tersier merupakan lapangan usaha yang menyediakan berbagai jenis layanan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Industri manufaktur dapat dikategorikan sebagai sektor sekunder, sedangkan jasa-jasa dapat digolongkan sebagai sektor tersier. 7



8



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Transformasi struktural di Indonesia dari sektor pertanian menuju industri pengolahan telah terjadi sebelum krisis (Gambar 2.6). Pergeseran tersebut dipengaruhi oleh kebijakankebijakan pemerintah yang saat itu mendukung industrialisasi di Indonesia, seperti reformasi perbankan pada tahun 1983, pemberlakuan insentif ekspor, serta liberalisasi perdagangan melalui pemangkasan jumlah lisensi yang dibutuhkan untuk melakukan ekspor (Miranti, 2010). Dampak transformasi struktural menuju perekonomian berbasis industri juga tercermin dari meningkatnya jumlah tenaga kerja yang beralih dari sektor pertanian ke sektor industri pengolahan. Hal ini diiringi dengan meluasnya lapangan pekerjaan di industri tersebut yang padat modal, seperti tekstil, elektronik, mainan anak-anak, barang pecah belah, peralatan olahraga, alas kaki, serta mebel. Hill (2000) dan Temple (2003) dalam Miranti (2010) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam periode tersebut tidak hanya tergolong cepat, namun juga sangat berpihak pada masyarakat miskin. Kebijakan liberalisasi perdagangan membuat pemerintah mampu memanfaatkan asetnya yang melimpah, salah satunya yaitu pekerja dengan tingkat kemampuan rendah (lowskilled labor). Dengan kata lain, penurunan tingkat kemiskinan sebelum krisis banyak didukung oleh ekspansi penciptaan kesempatan kerja sebagai



dampak pertumbuhan ekonomi, khususnya pada sektor industri pengolahan. Penurunan tingkat kemiskinan yang relatif cepat pada periode sebelum krisis finansial 1998 didorong oleh faktor upah riil. Menurut Manning (1998) dan Feridhanusetyawan (2002) dalam Miranti (2010), penurunan tingkat kemiskinan yang relatif cepat pada periode 1990 –1996 didorong oleh peningkatan upah riil di sebagian besar sektor lapangan usaha di Indonesia, seperti konstruksi, administrasi pemerintah, dan industri tekstil. Peningkatan upah riil tersebut terjadi karena pertumbuhan di industri pengolahan berbasis ekspor mulai berdampak terhadap tingkat upah pekerja berkemampuan rendah (low-skilled labor). Pada 1990 –1996, upah riil di sektor industri pengolahan diperhitungkan tumbuh rata-rata 5 persen setiap tahunnya. Setelah Indonesia pulih dari kontraksi PDB yang mencapai lebih dari 13 persen pada 1998, tingkat kemiskinan nasional tidak mampu turun secepat yang pernah dicapai sebelum krisis. Latar belakang dari perlambatan penurunan tingkat kemiskinan dapat ditinjau melalui dua hal. Pertama, pertumbuhan PDB Indonesia pasca krisis 1998 relatif lebih lambat dibandingkan kondisi pra krisis. Argumen ini selaras dengan pernyataan sebelumnya, yakni penurunan tingkat kemiskinan cenderung lebih rendah pada negara dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. Pada



Gambar 2.6: Porsi Sektor Pertanian, Manufaktur, dan Jasa-Jasa di dalam PDB Indonesia, 1987 – 20178



Sumber: World Development Indicator World Bank, diolah tim penulis Sektor jasa yang dimaksudkan di dalam artikel ini mencakup perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan komunikasi; keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; serta jasa-jasa lainnya (termasuk di dalamnya jasa pemerintahan umum dan swasta). 8



2 - Kemiskinan dalam Kerangka Makroekonomi



9



1987–1997, perekonomian Indonesia tumbuh rata-rata 6,6 persen setiap tahunnya, namun melambat ke kisaran 4,7 persen per tahun selama periode 1999–2017. Kedua, pola transformasi struktural setelah 1998 lebih mengarah kepada sektor jasa. Industri pengolahan yang sebelumnya menjadi motor penanggulangan kemiskinan, mengalami perlambatan pertumbuhan pasca krisis. Akibatnya, porsi sektor industri pengolahan di dalam PDB terus mengalami penurunan sejak 2001 dan cenderung stagnan di kisaran 20 persen pada periode 2010-an. Penyusutan kontribusi sektor industri pengolahan di dalam perekonomian Indonesia besar disebabkan oleh iklim bisnis domestik yang tidak kondusifnya untuk pengembangan industri manufaktur padat karya. Salah satu penyebabnya adalah regulasi di pasar tenaga kerja domestik setelah krisis finansial Asia menghantam Indonesia sehingga biaya tenaga kerja di Indonesia relatif semakin mahal (Suryahadi, Hadiwidjaja, dan Sumarto, 2012). Di lain pihak, sektor jasa muncul dan menjadi kontributor utama dalam struktur PDB Indonesia. Dengan rata-rata pertumbuhan tahunan sebesar 6,5 persen antara tahun 1999–2017, sektor jasa tumbuh lebih cepat



dibandingkan sektor industri pengolahan (3,9 persen/tahun) maupun pertanian (3,3 persen/ tahun). Dominasi sektor jasa atas pertanian dan industri pengolahan dalam perekonomian Indonesia juga terlihat dari dinamika ketenagakerjaan sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 2.7. Mayoritas angkatan kerja Indonesia masih bekerja di sektor pertanian sampai dengan 2008, meskipun jumlahnya terus mengalami penurunan. Jumlah tenaga kerja di sektor jasa mampu menyusul jumlah tenaga kerja di sektor pertanian pada tahun 2009 dan terus mengalami peningkatan yang cukup tajam sampai dengan 2017. Dampak dari transformasi struktural pasca krisis 1998 adalah peran sektor jasa sebagai kontributor penurunan kemiskinan di Indonesia semakin signifikan. Signifikansi tersebut diverifikasi oleh hasil perhitungan Suryahadi, Hadiwidjaja, dan Sumarto (2012). Sekitar 41 persen dari penurunan tingkat kemiskinan di kawasan perdesaan antara tahun 2002–2008 merupakan hasil kontribusi dari sektor jasa di perdesaan, sementara 45 persen di antaranya merupakan kontribusi dari sektor jasa di perkotaan9. Di lain pihak, sekitar 35 persen dari penurunan tingkat kemiskinan di kawasan perkotaan antara tahun 2002–2008 merupakan



Gambar 2.7: Distribusi Tenaga Kerja Indonesia di Sektor Pertanian, Industri Pengolahan, dan Jasa-Jasa, 1987 – 2017



Sumber: BPS, diolah tim penulis Berikut merupakan hasil lengkap perhitungan Suryahadi, Hadiwidjaja, dan Sumarto (2012) terkait kontribusi sektoral terhadap penurunan tingkat kemiskinan, baik di kawasan pedesaan maupun perkotaan, pasca krisis finansial Asia yang menghantam Indonesia pada tahun 1998. Untuk penurunan tingkat kemiskinan di kawasan pedesaaan, 45 persen di antaranya merupakan kontribusi sektor jasa di perkotaan, 41 persen dari sektor jasa di pedesaan, 12 persen dari sektor pertanian di pedesaan, dan 2 persen dari sektor industri pengolahan di perkotaan. Untuk penurunan tingkat kemiskinan di kawasan perkotaan, 61 persen di antaranya merupakan kontribusi sektor jasa di perkotaan, 35 persen dari sektor jasa di pedesaan, dan 4 persen dari sektor industri pengolahan di perkotaan. 9



10



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Gambar 2.8: Produktivitas Tenaga Kerja Indonesia di Sektor Pertanian, Manufaktur, dan Jasa-Jasa, 1987 – 2017



Sumber: World Development Indicator World Bank, diolah tim penulis



kontribusi dari sektor jasa di perdesaan dan 61 persen di antaranya merupakan kontribusi dari sektor jasa di perkotaan. Hasil perhitungan tersebut menolak beberapa hipotesis yang menyatakan bahwa sektor jasa yang cenderung padat modal, tidak efektif dalam menyediakan kesempatan bagi para penduduk miskin untuk menikmati manfaat pertumbuhan ekonomi. Produktivitas tenaga kerja merupakan aspek transformasi struktural menuju sektor jasa yang mendorong perlambatan penurunan tingkat kemiskinan Indonesia sejak 1999. Hasan, Lamba, dan Gupta (2013) menyatakan bahwa pertumbuhan produktivitas tenaga kerja berbanding lurus dengan laju penurunan tingkat kemiskinan. Produktivitas kerja yang lebih tinggi secara teoretis akan diikuti dengan kompensasi upah yang lebih tinggi. Gambar 2.8 menunjukkan ragam produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian, industri pengolahan, dan jasa antara tahun 1987–2017. Penurunan kemiskinan di Indonesia diperkirakan akan lebih cepat apabila diikuti dengan upaya perbaikan produktivitas tenaga kerja di sektor jasa dan pertanian. Di lain pihak, gejala deindustrialiasi yang terjadi di Indonesia sejak awal 2000an patut disayangkan. Dengan tingkat produktivitas tenaga kerja yang relatif tinggi, pertumbuhan sektor industri pengolahan akan mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja serta berpotensi meningkatkan tingkat upah riil.



2.3 Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Kerangka Penanggulangan Kemiskinan Pemerintah Indonesia secara konsisten memanfaatkan pengeluaran pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Porsi belanja pemerintah dalam PDB Indonesia terus menunjukkan peningkatan dalam satu dekade terakhir. Pada 2007, pengeluaran pemerintah Indonesia terhitung setara dengan 8,35 persen dari PDB. Proporsi tersebut meningkat ke 9,1 persen pada 2017. Hal positif dari kenaikan pengeluaran pemerintah adalah semakin tingginya alokasi belanja untuk bidang kesehatan dan perlindungan sosial pada realisasi belanja pemerintah pusat lima tahun terakhir (Gambar 2.9). Realisasi belanja pemerintah pusat untuk bidang kesehatan serta kependudukan dan perlindungan sosial pada 2017 mencapai 4,5 persen dan 11,8 persen dari keseluruhan jumlah belanja pemerintah pusat. Kedua angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2013, yang mana realisasi belanja kesehatan, kependudukan dan perlindungan sosial hanya setara dengan 1,5 persen dari total belanja pemerintah pusat. Pemerintah berupaya untuk memangkas belanja subsidi meliputi subsidi energi dan nonenergi. Penurunan tajam belanja subsidi oleh 2 - Kemiskinan dalam Kerangka Makroekonomi



11



Gambar 2.9: Realisasi Belanja Pemerintah Pusat Berdasarkan Fungsi, 2013 – 2017 (dalam Persen dari Total Belanja Negara)10



Gambar 2.10: Realisasi Belanja Pemerintah Pusat Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi, 2008 – 2018 (dalam Persen dari Total Belanja Negara)



Sumber: Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, diolah tim penulis



pemerintah terjadi khususnya pada 2015 yang direalokasikan melalui dana desa. Adanya penyediaan alokasi anggaran dana desa menjadi salah satu alasan di balik keberhasilan pemerintah dalam menurunkan tingkat kemiskinan hingga satu digit pada tahun 2018. Komitmen pemerintah untuk meningkatkan alokasi belanja di bidang pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial mulai membuahkan hasil yang positif dengan meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Peningkatan IPM dapat diartikan dengan meningkatnya kemampuan penduduk dalam menikmati hasil pembangunan, antara lain melalui perbaikan kualitas pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rumah tangga. Menurut publikasi BPS, IPM Indonesia pada 2017 berada di angka 70,81. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan IPM Indonesia pada tahun 1996, yakni 67,70. Peningkatan kesejahteraan tersebut selaras dengan penurunan angka kemiskinan pada periode yang sama. Meskipun pemerintah mulai mengalokasikan dana lebih tinggi pada bidang pendidikan dan kesehatan, namun sebagian besar realisasi belanja pemerintah pusat masih besar untuk belanja pegawai. Porsi belanja



Alokasi belanja yang digambarkan hanya mencakup belanja pemerintah pusat dan tidak melibatkan belanja pendidikan oleh pemerintah daerah. 10



12



pegawai terhadap belanja negara menunjukkan tren yang meningkat sejak tahun 2001. Diperlukan efisiensi pemanfaatan anggaran agar tersedia ruang fiskal yang lebih luas untuk meningkatkan realisasi belanja yang mendukung terwujudnya pembangunan inklusif, seperti belanja modal dan bantuan sosial. Perencanaan serta implementasi program pembangunan yang mendukung penanggulangan kemiskinan perlu memperhatikan aspek pendanaan. Penerimaan pajak yang cenderung stagnan sejak 1990, sedangkan jumlah penerimaan pajak Indonesia berfluktuasi antara 10-5 persen dari keseluruhan PDB. Fakta tersebut menunjukkan bahwa pemerintah masih dihadapkan dengan tantangan dalam menghimpun pajak serta ekspansi wajib pajak. Oleh karena itu, perlu mencari alternatif pendanaan lain untuk membiayai program-program pemerintah, salah satunya melalui hutang. Sebagaimana terlihat pada Tabel 2.2, porsi hutang di dalam PDB cenderung mengalami peningkatan sejak tahun 1990-an sampai dengan 2016. Tingkat inflasi yang terkendali menjadi salah satu acuan dari kestabilan makroekonomi. Tabel 2.3 menunjukkan keberhasilan pemerintah



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Tabel 2.2: Indikator-Indikator Fiskal Indonesia pada Beberapa Tahun Terpilih



Penerimaan pajak, % dari PDB Hutang pemerintah pusat, % dari PDB Belanja pemerintah, % dari PDB



1996



2003



2008



2012



2016



14,2 23,9 7,6



12,4 29,7 8,1



13,3 34,2 8,4



11,4 25,0 9,2



10,3 31,4 9,5



Sumber: World Development Indicator, diolah tim penulis



dalam menjaga kestabilan tingkat inflasi umum selepas krisis 1998. Tingkat inflasi umum serta jumlah uang beredar menunjukkan tren yang menurun sejak 1990 –2017. Tingkat inflasi yang relatif rendah dapat tercapai karena kebijakan moneter kontraktif yang diterapkan oleh Bank Indonesia, melalui penerbitan surat utang negara untuk mengurangi jumlah uang yang beredar. Inflasi yang relatif rendah memiliki peran penting dalam pengentasan kemiskinan dan menjaga daya beli masyarakat, khususnya masyarakat yang berada di 40 persen kelompok penghasilan terendah. Tingkat suku bunga Indonesia, baik deposito maupun pinjaman, juga menunjukkan tren yang terus menurun sampai dengan tahun 2017. Rendahnya suku bunga pinjaman akan memberikan kesempatan yang lebih besar kepada pelaku bisnis potensial untuk memperoleh pinjaman dana dari bank komersial. Kebijakan suku bunga rendah ini selaras dengan upaya



pemerintah untuk menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat miskin melalui penciptaan wirausaha-wirausaha lokal. Pemerintah Indonesia juga menunjukkan keseriusan dalam menambah modal fisiknya dalam beberapa tahun terakhir. Hal tersebut tergambar dari kecenderungan kenaikan porsi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) dalam PDB Indonesia sejak 1990-an. PMTB menggambarkan pengeluaran barang modal yang mempunyai umur pemakaian lebih dari satu tahun dan bukan merupakan barang konsumsi, seperti: bangunan tempat tinggal, bangunan bukan tempat tinggal, jalan raya, serta mesin dan peralatan. Kenaikan modal fisik diinterpretasikan dengan meningkatnya sektor infrastruktur yang membantu dalam pemerataan pembangunan antar kawasan yang keberhasilannya akan berdampak pada berkurangnya jumlah penduduk miskin.



Tabel 2.3: Indikator-Indikator Moneter Indonesia pada Beberapa Tahun Terpilih



Indikator



1990



1997



2004



2011



2017



Jumlah uang beredar, % dari PDB Inflasi (%) Deposito (%) Tingkat suku bunga Pinjaman (%) Riil (%) Pembentukan modal tetap bruto, % dari PDB Tabungan bruto domestik, % dari PDB Tabungan bruto, % dari PDB Kredit domestik untuk swasta, % dari PDB



43,6 7,8 17,5 20,8 10,8 30,6



56,0 6,2 20,0 21,8 8,2 28,3



45,0 6,1 6,4 14,1 5,1 22,4



36,7 5,4 6,9 12,4 4,6 31,3



39,9 3,8 6.5 11.1 6.6 32,2



27,0 22,5 51,8



31,5 29,0 60,8



24,9 20,8 26,4



35,5 33,2 30,1



33,6 30,9 38,7



Sumber: World Development Indicator World Bank, diolah tim penulis



2 - Kemiskinan dalam Kerangka Makroekonomi



13



Tabel 2.4: Posisi Pinjaman Rupiah yang diberikan Bank Umum dan BPR Menurut Kelompok Bank dan Sektor Ekonomi (dalam miliar Rupiah)



Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa



2002



2006



2010



2013



2017



22,217



45,999



92,525



186,276



332,176



3,785 120,975 4,352 9,352 63,193 12,520 31,006



13,896 182,689 7,136 32,887 163,790 26,306 78,463



60,495 274,330 33,625 63,426 346,226 75,488 136,582



124,886 574,386 79,327 116,965 713,043 159,853 271,343



103,132 802,189 146,634 260,464 998,487 193,829 434,171



4,240



11,570



149,992



160,480



110,684



Sumber: CEIC, diolah tim penulis



Tabel 2.4 menunjukkan dinamika posisi pinjaman yang dicairkan oleh bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menurut lapangan usaha. Secara umum, sektor yang menerima pinjaman paling tinggi dari bank komersial pada 2002–2017 adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran; industri pengolahan; serta keuangan, real estate, dan jasa perusahaan. Sektor yang relatif dekat dengan masyarakat perdesaan seperti pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan, semakin terlihat menjanjikan bagi para para pemberi pinjaman usaha. Pada 2017, bank komersial di Indonesia memberikan pinjaman sebesar Rp 332 miliar kepada para pelaku usaha di sektor pertanian. Jumlah tersebut relatif lebih tinggi dibandingkan pinjaman yang dicairkan kepada lapangan usaha yang bersifat padat modal seperti pertambangan dan penggalian; konstruksi; serta pengangkutan dan komunikasi.



2.4. Proyeksi Tingkat Kemiskinan Indonesia 2019–2030 Pada September 2015, Indonesia menjadi salah satu dari 193 negara yang berkomitmen menyukseskan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/TPB atau Sustainable Development Goals/SDGs pada tahun 203011. Komitmen tersebut tercermin dalam Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 yang berisi antara lain: • Penyelarasan RPJMN 2015–2019 dengan 17 agenda TPB; • Penyusunan serta penetapan Peta Jalan Nasional TPB dan Rencana Aksi Nasional TPB (RAN TPB) oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas; • Pembentukan Tim Koordinasi Nasional dalam rangka pencapaian agendaagenda utama TPB; dan



Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) merupakan rencana aksi global untuk mengentaskan kemiskinan, melindungi bumi, serta memastikan bahwa seluruh manusia dapat hidup dalam perdamaian dan kemakmuran. Terdapat 17 agenda penting di dalam TPB, yakni: tanpa kemiskinan; tanpa kelaparan; kehidupan sehat dan sejahtera; pendidikan berkualitas; kesetaraan jenis kelamin; air bersih dan sanitasi layak; energi bersih dan terjangkau; pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi; industri, inovasi, dan infrastruktur; berkurangnya kesenjangan; kota dan komunitas berkelanjutan; konsumsi dan produksi bertanggung jawab; penanganan perubahan iklim; ekosistem laut; ekosistem daratan; perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh; serta kemitraan untuk mencapai tujuan. 11



14



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



• Penyusunan Rencana Aksi Daerah TPB (RAD TPB) untuk pencapaian sasaran TPB di tingkat daerah.



5,9 persen per tahun dan tingkat harga secara umum meningkat rata-rata 3,08 persen per tahun (Gambar 2.11). Pertumbuhan yang lebih rendah dan/atau tingkat inflasi yang lebih tinggi daripada asumsi akan berdampak pada tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan hasil proyeksi di atas. Dengan skenario baseline (business-asusual) tanpa adanya inovasi baru dalam upaya penurunan kemiskinan, diperkirakan pada 2024 tingkat kemiskinan masih berada di kisaran 7,53 persen dan 5,73 persen di tahun 2030. Pada skenario 2 dengan asumsi pertumbuhan ekonomi, inflasi dan pertumbuhan penduduk yang sejalan dengan proyeksi Bappenas, tingkat kemiskinan di 2024 akan berada pada kisaran 6,80 persen dan 4,33 persen di tahun 2030. Penurunan kemiskinan paling cepat terjadi pada skenario ketiga. Dalam skenario tersebut, tingkat kemiskinan diestimasikan akan mengalami penurunan rata-rata sebesar 0,68 persen per tahun sehingga mencapai angka 1,40 persen pada 2030. Penurunan yang lebih cepat terjadi dalam skenario ketiga karena adanya transmisi dampak pertumbuhan ekonomi yang sempurna kepada masyarakat di desil pertama dan kedua kelompok pengeluaran. Penurunan tingkat kemiskinan akan menjadi lebih cepat dan efektif apabila pemerintah memberikan intervensi kepada masyarakat dari kelompok pengeluaran terbawah sehingga kelompok tersebut dapat menangkap dampak



Penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu tujuan utama dari TPB. Indikator keberhasilan dari implementasi program-program penanggulangan kemiskinan akan sangat mempengaruhi pencapaian target kemiskinan. Oleh karena itu, proyeksi tingkat kemiskinan sangat diperlukan untuk mengidentifikasi target indikator kesejahteraan masyarakat yang dapat dicapai serta beberapa kondisi yang perlu dipenuhi untuk mencapai target tersebut. Bappenas telah melakukan proyeksi kemiskinan hingga tahun 2030 untuk proyeksi pencapaian TPB beserta kebijakan yang diperlukan untuk mencapai target tersebut. Beberapa asumsi yang mendasari proyeksi tersebut adalah Growth Incidence Curve (GIC) per desil pengeluaran, Garis Kemiskinan (GK), inflasi umum, dan laju pertumbuhan jumlah penduduk. Berdasarkan asumsi tersebut, disusunlah beberapa skenario proyeksi yang tertera pada Gambar 2.11. Hasil proyeksi mengindikasikan bahwa tingkat kemiskinan akan terus mengalami penurunan apabila indikator makroekonomi Indonesia sampai tahun 2030 sesuai dengan asumsi perhitungan. Dengan kata lain, penurunan kemiskinan dapat direalisasikan ketika perekonomian Indonesia tumbuh secara rata-rata



Gambar 2.11: Proyeksi Tingkat Kemiskinan Indonesia 2019 – 2030 Skenario 1



Skenario 2



Skenario 3



12



Persentase (%)



10 8



9.64 9.49 8.93



9.12 8.9 8.02



6



8.69 8.35



8.31 7.85



7.91 7.35



7.11 6.1



4



5.16



7.53 6.8



4.28



2 0



2019



2020



2021



2022



2023



2024



7.17 6.35



3.67



2025



6.83 5.88



3.1



2026



6.52 5.43



2.62



2027



6.24 5



2.16 2028



5.96



5.73



4.63



4.33



1.76 2029



1.4 2030



Sumber Perhitungan tim penulis



2 - Kemiskinan dalam Kerangka Makroekonomi



15



Gambar 2.12: Proyeksi Koefisien Gini Indonesia, 2019 – 2030 Skenario 1 0.39



0.386 0.385



0.38



0.381



0.384 0.382 0.378



0.383



0.382



0.379 0.376



0.37



0.382



Skenario 2 0.381



0.381



Skenario 3 0.38



0.38



0.379



0.379



0.379



0.375 0.374



0.372



0.37 0.368



0.369 0.365



0.36



0.368 0.362



0.367



0.359



0.365



0.356



0.364



0.354



0.35



0.363



0.351



0.34



0.33



2019



2020



2021



2022



2023



2024



2025



2026



2027



2028



2029



2030



Sumber Perhitungan tim penulis



positif dari pertumbuhan ekonomi yang terjadi di tingkat makro. Ketimpangan antarkelompok pendapatan diestimasi akan semakin berkurang sampai dengan tahun 2030, sebagaimana tercermin dari penurunan koefisien Gini dalam Gambar 2.12. Dengan menggunakan kerangka asumsi yang serupa pada skenario 2, koefisien Gini Indonesia diperkirakan berada di kisaran 0,370 pada tahun 2024 dan 0,363 di tahun 2030.



16



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Proyeksi tingkat kemiskinan dan koefisien Gini sampai dengan tahun 2030 menggambarkan bahwa Indonesia akan terus bergerak menjauhi kemiskinan. Namun, sebuah pertanyaan penting akan muncul seiring terus menurunnya angka kemiskinan di Indonesia; apakah ukuran yang digunakan saat ini sudah tepat untuk menjelaskan fenomena kemiskinan yang semakin kompleks? Jawaban dari pertanyaan tersebut akan dijelaskan di dalam Bab 3: Pengukuran Kemiskinan.  



3



Pengukuran Kemiskinan







Persepsi mengenai kemiskinan dapat berubah seiring waktu bahkan di masyarakat yang sama, dengan berbagai tahap pembangunan...... Ketika hampir semua penduduk dapat memenuhi kebutuhan dasar, fokus masyarakat bergeser dari kemiskinan absolut ke kemiskinan relatif.



3.1. Pengukuran Kemiskinan Moneter Kemiskinan merupakan kondisi ketidakmampuan untuk memenuhi standar kebutuhan dasar rata-rata seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan dan kesehatan di suatu daerah. Seiring berkembangnya kebutuhan manusia, kemiskinan tidak hanya dipandang dari rendahnya pendapatan tetapi juga dilihat dari kemampuan untuk bersosialisasi dan berpolitik (Suryawati, 2004). Perbedaan persepsi kemiskinan juga dapat muncul pada masyarakat yang sama, persepsi mengenai kemiskinan dapat berubah seiring waktu dan berbagai tahap pembangunan



18



(Dartanto dan Otsubo 2013). Pada tahap awal pembangunan, suatu negara akan berkonsentrasi untuk menyelesaikan permasalahan kemiskinan seperti kelaparan. Namun seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita ratarata, negara akan mulai memperhatikan permasalahan yang lebih kompleks dan beragam. Kemiskinan dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis berdasarkan definisinya: 1) kemiskinan absolut; 2) kemiskinan relatif; dan 3) kemiskinan subyektif. Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang ditentukan oleh ambang batas yang dihitung berdasarkan asupan makanan/kalori minimum dan kebutuhan dasar. Sementara itu, kemiskinan relatif mengacu pada kondisi penduduk yang mengalami kekurangan dibandingkan dengan penduduk lainnya di kelompok masyarakat yang sama. Terakhir, kemiskinan subyektif merupakan kemiskinan yang didasarkan pada penilaian masing-masing individu. Studi sistematis tentang kemiskinan dipelopori oleh Benjamin Seebohm Rowntree dan Charles Booth pada akhir abad ke-19. Rowntree mendefinisikan kemiskinan sebagai rumah tangga yang penghasilannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan minimum fisik manusia (1901, 86). Rowntree mengategorikan kemiskinan ini sebagai kemiskinan 'primer', yang kemudian dikenal dengan kemiskinan absolut/objektif. Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Townsend (1954) kemudian menyatakan bahwa konsep kemiskinan sebaiknya diperluas agar tidak hanya mencakup kebutuhan fisik, tetapi juga biaya partisipasi sosial. Sen (1979) menyatakan bahwa gagasan 'kebutuhan minimum' seharusnya bukan bersifat absolut, melainkan relatif. Sebagian besar negara OECD menggunakan garis kemiskinan relatif yang ditetapkan sebesar 40-60 persen dari rata-rata atau median pendapatan. Ravallion dan Chen (2011) menemukan bahwa separuh penduduk di negara berkembang hidup dalam kemiskinan relatif dan separuhnya tergolong sangat miskin. Sementara itu, Niemietz (2011) merangkum dua definisi kemiskinan subyektif. Definisi pertama terdiri dari penilaian individu terhadap status kemiskinan mereka tanpa ada pengaturan ‘garis kemiskinan’. Definisi kemiskinan subyektif yang kedua melibatkan pendekatan mayoritas atau demokratis untuk menetapkan garis kemiskinan. Penggunaan ukuran kemiskinan yang berbeda akan menghasilkan hasil analisis dan membutuhkan intervensi kebijakan yang berbeda pula. Sebagai contoh, kebijakan yang tepat untuk mengurangi kemiskinan absolut adalah kebijakan yang mendorong peningkatan pendapatan per kapita agar suatu negara menjadi semakin kaya. Namun, kebijakan tersebut kurang sesuai untuk menyelesaikan permasalahan kemiskinan relatif, karena orang kaya akan menjadi semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin, sehingga menyebabkan membesarnya ketimpangan pendapatan. Meningkatnya kekayaan suatu negara mungkin dapat menyelesaikan permasalahan kemiskinan absolut, namun tidak demikian untuk kemiskinan relatif dan subjektif. Kebijakan untuk mengurangi kemiskinan relatif sebaiknya adalah kebijakan yang mampu menurunkan ketimpangan pendapatan di suatu negara. Umumnya, negara berkembang masih berkonsentrasi pada kemiskinan absolut, sementara negara maju cenderung telah mengalihkan fokusnya ke kemiskinan relatif dan kemiskinan subjektif. Gambar 3.1 menunjukkan



Gambar 3.1: Tahapan Pengembangan, Masalah Sosial, Pengukuran Kemiskinan, dan Intervensi Kebijakan Tingkat Pembangunan



Ukuran Kemiskinan



Isu Sosial



Intervensi Kebijakan



Terbelakang



Kemiskinan Kalori



Kelaparan



Kebijakan Makanan



Berkembang



Pengeluaran (Kebutuhan Dasar)



Penghidupan Layak



Kebijakan Pertumbuhan



Emerging



Kemiskinan Relatif



Social Exclusion



Kebijakan Redistribusi



Maju



SWB & Kemiskinan Subyektif



Satisfaction dan Political Instability



Kebijakan Sosial



Sangat Maju



Kemiskinan Subyektif



Kepuasan dan Ketidakstabilan Politik



Kebijakan Sosial



Sumber: Dartanto dan Otsubo (2013)



satu proto-khas kerangka hubungan antara tahap perkembangan, masalah sosial, pengukuran kemiskinan, dan intervensi kebijakan. Sejalan dengan perkembangan ekonomi dan posisi Indonesia yang telah menjadi negara berpendapatan menengah, pengukuran kemiskinan absolut perlu ditinjau kembali. Dalam empat dekade terakhir, kecuali pada periode krisis, kondisi sosial ekonomi di Indonesia telah meningkat pesat. Perubahan yang cepat dalam hal pendapatan dan pencapaian pendidikan, ditambah dengan inovasi teknologi yang terus berlangsung, telah mempengaruhi persepsi masyarakat tentang kemiskinan. Sebagai contoh, pada tahap awal pembangunan yang ditandai dengan tingkat kelaparan yang tinggi, persepsi masyarakat dan pemerintah tentang kemiskinan masih didominasi oleh permasalahan kemiskinan absolut. Namun, ketika hampir semua penduduk dapat memenuhi kebutuhan dasar,



fokus masyarakat bergeser dari kemiskinan absolut ke kemiskinan relatif. Pada tahun 1998, Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia melakukan penyesuaian pada metode penghitungan garis kemiskinan dengan mengadopsi kuantitas dan kualitas barang-barang non-makanan untuk menyelaraskan dengan perkembangan tersebut. Dartanto dan Otsubo (2013) menemukan bahwa rumah tangga yang tidak miskin menurut pengukuran objektif mungkin masih merasa miskin secara subjektif, dan sebaliknya; rumah tangga yang secara objektif tergolong miskin dapat menganggap diri mereka tidak miskin (secara subjektif). Terlihat pada Tabel 3.1, dari 85,53 persen rumah tangga yang dinyatakan tidak miskin berdasarkan pendapatannya, hanya 57,97 persen rumah tangga yang tidak miskin secara subyektif sementara sisanya (37,15 persen) menganggap miskin secara subyektif.



3 - Pengukuran Kemiskinan



19



Tabel 3.1: Tabulasi Silang antar-Indikator Kemiskinan (dalam persen)



Ukuran Kemiskinan



Kemiskinan kalori Tidak miskin



Kemiskinan kalori Kemiskinan pengeluaran Kemiskinan Relatif Kemiskinan SWB Kemiskinan Subjektif



Tidak miskin Miskin Tidak miskin Miskin Tidak miskin Miskin Tidak miskin Miskin Tidak miskin Miskin



Miskin



Kemiskinan pengeluaran Tidak miskin



Miskin



Kemiskinan Relatif Tidak miskin



Miskin



Kemiskinan SWB Tidak miskin



Miskin



Kemiskinan Subjektif Tidak miskin



Miskin



96,89 3,11 84,05



1,48



85,53



12,84



1,63



72,00



1,40



69,99



3,41



24,89



1,71



13,34



11,06



65,08



2,02



38,33



8,77



51,52



15,58



31,81



1,09



27,20



3,70



21,88



11,02



56,48



1,49



53,76



4,21



47,09



10,88



40,41



1,62



31,78



10,23



26,30



15,73



14,47 73,40 26,60 67,10 32,90 57,97 42,03



Sumber: Dartanto dan Otsubo (2013)



Dengan beberapa pertimbangan tersebut, ukuran kemiskinan yang lebih sesuai dengan kondisi saat ini, seperti ukuran kemiskinan relatif atau subjektif perlu terus dikembangkan. Pengukuran kemiskinan absolut lebih memungkinkan untuk mengidentifikasi masyarakat yang tidak dapat memenuhi standar hidup minimum. Di sisi lain, pengukuran kemiskinan relatif dapat membantu dalam mengidentifikasi penduduk yang standar hidupnya lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata standar hidup penduduk di tempat mereka tinggal. Sementara itu, pengukuran kemiskinan subjektif dapat membantu dalam mengevaluasi kepuasan masyarakat.



3.2. Pengukuran Kemiskinan Multidimensi Gagasan kemiskinan multidimensi lahir dari konsep-konsep seperti kebutuhan dasar, eksklusi sosial, kohesi sosial, dan kemiskinan karena ketiadaan keterampilan. Pendekatan pertama yang berpengaruh terhadap kemiskinan multidimensi adalah pendekatan kebutuhan dasar, sesuai dengan deklarasi yang diadakan



20



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



di Cocoyoc, Mexico pada tahun 1974. Deklarasi ini mendefinisikan pembangunan sebagai kepuasan pemenuhan atas kebutuhan dasar, yaitu makanan, tempat tinggal, pakaian, kesehatan, pendidikan, kebebasan berekspresi dan berpendapat, hak untuk mengekspresikan, menerima ide, dan stimulus, serta hak untuk bekerja (Alkire et al., 2015). Kerangka konseptual berikutnya yang mempengaruhi pengukuran kemiskinan multidimensi adalah pendekatan kapabilitas oleh Amartya Sen (1993). Berbeda dengan pendekatan kemampuan dasar, ide pendekatan kapabilitas adalah evaluasi kemampuan seseorang untuk memenuhi setiap standar minimum kebutuhan dasarnya dan tidak hanya melihat jumlah uang yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar tersebut (Alkire et al., 2015). Gagasan inilah yang mendorong terciptanya pengukuran kemiskinan multidimensi. Alkire dan Foster pada tahun 2007 mengembangkan ukuran kemiskinan baru yang dinamakan Multidimensional Poverty Index (MPI). MPI menganalisa kemiskinan pada level rumah tangga/individu dan telah banyak diterapkan di berbagai negara di dunia. MPI memiliki tiga



dimensi yaitu pendidikan, kesehatan, dan standar hidup. Setiap dimensi terdiri dari beberapa indikator, masing-masing dua indikator untuk dimensi kesehatan dan pendidikan, serta enam indikator untuk dimensi standar hidup. 1. Indikator pada dimensi kesehatan adalah gizi dan kematian anak. Indikator ini digunakan untuk menggambarkan kebutuhan kesehatan dasar yang harus dipenuhi oleh setiap rumah tangga. 2. Indikator pada dimensi pendidikan adalah tahun lama bersekolah dan partisipasi sekolah untuk semua anak usia sekolah. Indikator ini digunakan untuk menangkap akses rumah tangga terhadap pendidikan, namun belum mencerminkan kualitas pendidikan itu sendiri. 3. Indikator pada dimensi standar hidup adalah bahan bakar memasak, sanitasi layak, air minum bersih, listrik, lantai, dan kepemilikan beberapa barang konsumsi (radio, televisi, telepon, sepeda, sepeda motor, mobil, truk, dan kulkas). Dalam pengukuran multidimensi, setiap dimensi memiliki garis kemiskinan masing-masing. Hal ini menyebabkan identifikasi kelompok miskin menjadi lebih kompleks karena menggunakan beberapa ambang batas ganda. Ambang batas pertama menyerupai garis kemiskinan untuk tiap-tiap dimensi yang mengidentifikasi apakah seseorang tergolong miskin. Ambang batas kedua dilakukan sebagai penentuan terakhir, yakni apakah orang tersebut tergolong sebagai orang miskin berdasarkan keseluruhan dimensi. Adapun nilai bobot berkisar antara 0 - 1. Bobot tersebut diinterpretasikan bahwa setiap orang yang terdeprivasi atau miskin dalam satu dimensi akan diberi bobot tertentu. Oxford Poverty & Human Development Initiative (OPHI), bersama dengan United Nations Development Programme (UNDP), kemudian mengembangkan MPI Global untuk membandingkan MPI antar berbagai negara. MPI Global dipahami sebagai ketidakmampuan memenuhi standar minimum internasional yang sebanding dengan indikator terkait



Millennium Development Goals/MDGs (OPHI, 2016). Pada September 2013, OPHI membentuk Jaringan Kemiskinan Multidimensional atau Multidimensional Poverty Peer Network (MPPN) untuk membantu negara-negara memahami teknik penerapan MPI. Lebih dari 60 negara dan lembaga menjadi anggota forum MPPN dengan dimensi dan indikator mereka sendiri. Saat ini, 15 negara telah menerapkan MPI untuk pengukuran kemiskinan nasionalnya. MPI Global dibangun menggunakan tiga dimensi dan indikator yang serupa dengan Alkire Foster, yaitu dimensi kesehatan, pendidikan, dan standar hidup. Dengan menggunakan MPI, Alkire dan Santos (2010) menemukan bahwa 1,7 miliar orang di dunia hidup dalam kemiskinan multidimensi dan umumnya tinggal di negaranegara berpenghasilan menengah ke bawah. Di tahun yang sama, Wardhana (2010) mencoba mengembangkan MPI khusus untuk Indonesia. Kajian ini membandingkan kemiskinan multidimensi dengan kemiskinan moneter di Indonesia pada tahun 1993 dan 2007. Pemilihan dimensi dalam membangun MPI relatif sama, yakni menggunakan dimensi kesehatan, pendidikan, dan standar hidup, namun beberapa indikator dimodifikasi karena keterbatasan data. Data indikator gizi anak yang tidak tersedia dimodifikasi dengan indikator kondisi kesehatan yang disertai dengan penambahan indikator jaminan kesehatan. Kajian ini menunjukkan bahwa penduduk miskin di Indonesia secara multidimensi lebih besar jumlahnya daripada penduduk miskin secara moneter, namun kedua jenis kemiskinan tersebut memiliki korelasi yang positif. Modifikasi terhadap dimensi dan indikator MPI Alkire dan Foster memang sering dilakukan karena keterbatasan data dan perbedaan permasalahan yang dihadapi tiap negara. Indikator-indikator untuk dimensi kesehatan yang dianggap dapat mencerminkan akses rumah tangga terhadap kebutuhan dasar kesehatan adalah jaminan kesehatan, kondisi kesehatan, vaksinasi, nutrisi anak, dan proses



3 - Pengukuran Kemiskinan



21



persalinan. Sementara itu, dimensi pendidikan tidak mengalami banyak modifikasi, tetapi ada beberapa penelitian yang menambahkan indikator buta huruf. Indikator buta huruf lebih mencerminkan kualitas pendidikan karena indikator yang digunakan oleh Alkire dan Foster belum mencakup kualitas pendidikan. Modifikasi



terhadap indikator dalam dimensi standar hidup juga terbilang sedikit. Umumnya, dimensi standar hidup diukur dari indikator yang menggambarkan keseharian hidup rumah tangga seperti air minum bersih, sanitasi, listrik, bahan bakar memasak, kondisi rumah (lantai, dinding dan atap rumah), dan kepemilikan aset.



Tabel 3.2: Ringkasan Alasan Pemilihan Dimensi, Indikator, dan Ambang Batas Indikator Dimensi



Kesehatan (1/4)



Pendidikan (1/4)



Standar Hidup (1/4)



Indikator



Perbandingan dengan Alkire & Foster



Alasan



Penolong Persalinan



Indikator berbeda



Penyesuaian dengan data Susenas; sejalan dengan target SDG 3.1 dan 3.2



Vaksinasi



Indikator berbeda



Penyesuaian dengan data Susenas; sejalan dengan target SDG 3.2 dan 3.3



Jaminan Kesehatan



Penambahan indikator baru, berdasarkan kajian literatur



Berdasarkan target SGD 3.8 (Achieve universal health coverage) dan target kebijakan nasional Indonesia jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat Indonesia



Partisipasi Sekolah



Indikator sama, Ambang batas berbeda



Ambang batas disesuaikan dengan Program Wajib Belajar sembilan tahun



Tahun Sekolah



Indikator sama, Ambang batas berbeda



Ambang batas disesuaikan dengan Program Wajib Belajar sembilan tahun



Buta Huruf



Penambahan indikator baru, berdasarkan kajian literatur



Berdasarkan target SDG 4.6 (Ensure that all youth and a substantial proportion of adults achieve literacy and numeracy by 2030).



Sanitasi



Indikator sama, Ambang batas berbeda



Ambang batas disesuaikan dengan kriteria sanitasi di Susenas



Air Minum



Indikator sama, Ambang batas berbeda



Ambang batas disesuaikan dengan kriteria air minum dari BPS



Listrik



Indikator sama



Indikator sama



Bahan Bakar Memasak



Indikator sama, Ambang batas berbeda



Ambang batas disesuaikan dengan target nasional Indonesia konversi minyak tanah ke gas



Kondisi Rumah



Indikator sama, Ambang batas berbeda



Ambang batas lebih kompleks, tidak hanya mempertimbangkan kondisi lantai tetapi kondisi dinding dan atap juga



Kepemilikan Rumah



Indikator berbeda, sebagai proksi indikator aset



Proksi dari indikator aset karena pentingnya rumah sebagai kebutuhan dasar manusia (kebutuhan papan)



Kepemilikan Telepon



Penambahan indikator baru, berdasarkan kajian literatur



Akses informasi merupakan kebutuhan dasar manusia untuk meningkatkan kualitas hidup (Narayan et al., 1999); sejalan dengan target SDG 17



Penambahan dimensi baru, berdasarkan kajian literatur



Pekerjaan adalah sumber utama dari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup (Narayan et al. 1999). Penambahan dimensi dan indikator berdasarkan Yusuf & Sumner (2016) dan sejalan dengan target SDG 8.



Pengangguran Pekerjaan Informal Pekerjaan (1/4) Jam Kerja



Sumber: diadaptasi dari berbagai sumber



22



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Penelitian-penelitian yang ada menunjukkan bahwa metode pengukuran kemiskinan multidimensi mudah diadaptasi dan melengkapi pengukuran kemiskinan yang ada. Pengukuran kemiskinan multidimensi dapat menangkap gambaran kemiskinan yang lebih komprehensif di Indonesia (Artha dan Dartanto, 2014). Lebih dari 60 persen penduduk yang tidak miskin secara moneter dinyatakan miskin dalam ukuran multidimensi. Penggunaan MPI untuk menilai inklusivitas pertumbuhan ekonomi dapat menunjukkan keberhasilan pemerintah dalam menyediakan barang publik; meskipun masih ada tantangan besar dalam menyediakan lapangan pekerjaan (Hanandita dan Tampubolon, 2016). Dimensi-dimensi yang memiliki potensi mencerminkan kemiskinan secara luas tidak saja mencakup kesehatan, pendidikan, dan standar hidup, namun juga pemberdayaan, pekerjaan, lingkungan, keselamatan dari kekerasan, hubungan sosial, dan budaya (Alkire dan Foster, 2010). Akan tetapi, Sen (2004) menyarankan untuk fokus pada dimensi yang sangat penting bagi masyarakat dan dapat dipengaruhi secara sosial atau dimensi yang berfokus pada kebijakan publik. Alkire dan Foster (2010) memilih dimensi kemiskinan yang mengikuti mekanisme seleksi dalam Laporan Pembangunan Manusia 2010 sebagai berikut: 1. Berdasarkan literatur yang ada; 2. Beberapa konsensus yang telah diketahui bersama, terutama yang menyangkut hak asasi manusia dan Millennium Development Goals (MDGs); 3. Berdasarkan teori, seperti dalam banyak



catatan filosofis atau psikologis tentang kebutuhan dasar, nilai universal, hak asasi manusia, dan sebagainya; dan 4. Berdasarkan ketersediaan data. Kendalanya adalah apakah data yang diperlukan ada atau tidak. Pada Kajian ini mencoba menghitung kemiskinan multidimensi berdasarkan literatur yang ada, ketersediaan data, target dan kebijakan nasional, serta tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG), dengan mempertimbangkan empat dimensi, yaitu: 1) Kesehatan; 2) Pendidikan; 3) Standar Hidup, dan; 4) Pekerjaan. Tiga dimensi pertama mengikuti MPI Global, sedangkan dimensi yang keempat adalah dimensi yang ditambahkan berdasarkan beberapa studi MPI sebelumnya. Semua indikator dan ambang batas juga disesuaikan berdasarkan ketersediaan data dan kebijakan nasional. Tabel 3.2 merangkum perbandingan indikator dan ambang batas dari MPI dalam kajian ini dengan Alkire dan Foster serta alasannya. Kemiskinan multidimensi di Indonesia selama 2009 – 2017 menunjukkan tren yang membaik. Kondisi tersebut menunjukkan adanya perbaikan pendidikan, kesehatan, dan standar kualitas hidup serta kondisi ekonomi masyarakat. Tingkat kemiskinan multidimensi turun sebesar 20,5 poin dari 64,6 persen pada tahun 2009 menjadi 44, persen pada tahun 2017. Jika dibandingkan dengan kemiskinan moneter (versi BPS), tingkat kemiskinan multidimensi jauh lebih tinggi. Pada tahun 2017, persentase penduduk miskin multidimensi 4,5 kali lebih besar daripada kemiskinan moneter. Tabel 3.3 menunjukkan



Tabel 3.3: Tabulasi Silang antara Kemiskinan BPS dan Kemiskinan Multidimensi Tahun 2017



Ukuran Kemiskinan



Kemiskinan Moneter (BPS)



Tidak miskin Miskin



Kemiskinan Multidimensi Tidak miskin



Miskin



137.021.771



95.801.627



53%



37%



8.681.750



19.020.687



3%



7%



Sumber: Susenas, dihitung Tim Penulis



3 - Pengukuran Kemiskinan



23



tabulasi silang dari penduduk Indonesia tahun 2017 antara kemiskinan moneter dengan kemiskinan multidimensi. Dari 89 persen penduduk yang tidak miskin secara moneter, hanya 53 persen diantaranya dinyatakan tidak miskin menurut kemiskinan multidimensi, sedangkan sisanya (36 persen penduduk) dikategorikan miskin secara multidimensi. Bukti ini menunjukkan bahwa penduduk yang dinyatakan tidak miskin menurut kemiskinan moneter dapat dinyatakan miskin menurut ukuran multidimensi. Keparahan kemiskinan multidimensi menunjukkan tren yang cukup stagnan. Keparahan kemiskinan hanya turun sebesar 5 poin dari 40 persen pada tahun 2009 menjadi 35 persen pada tahun 2017 (Gambar 3.3), menggambarkan kondisi keparahan kemiskinan yang tidak banyak berubah. Di sisi lain, pada periode 2009 – 2017, MPI menunjukkan tren menurun (26 persen menjadi 16 persen). Penurunan persentase penduduk miskin multidimensi jauh lebih signifikan dibandingkan dengan penurunan keparahan kemiskinan multidimensi. Hasil ini menunjukan bahwa diperlukannya kebijakan yang lebih fokus pada kesejahteraan kelompok miskin terbawah. Penyebab utama kemiskinan multidimensi adalah indikator tahun lama sekolah dan pekerjaan informal yang berkontribusi sebesar



19 persen terhadap kemiskinan multidimensi. Tingginya proporsi orang yang tidak menyelesaikan pendidikan SMP menggambarkan sejarah pendidikan Indonesia yang sulit dinikmati oleh kelompok pendapatan rendah. Tingginya proporsi penduduk putus sekolah ini berpengaruh besar terhadap tingginya proporsi orang miskin yang bekerja di sektor informal. Hal ini dikarenakan oleh rendahnya partisipasi pendidikan formal yang mengakibatkan sulitnya memperoleh pekerjaan formal. Pemerintah sebaiknya lebih memperhatikan permasalahan ini untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia. Kajian ini juga mencoba memproyeksikan kemiskinan multidimensi sampai tahun 2030. Proyeksi dilakukan dengan mengasumsikan penurunan deprivasi dari tiap indikator berdasarkan penurunan rata-rata indikator selama tiga tahun terakhir. Perbaikan indikator pada rumah tangga dilakukan secara acak. Proyeksi tingkat kemiskinan multidimensi tahun 2018 – 2030 menunjukkan tren menurun yang cukup signifikan. Tingkat kemiskinan multidimensi diproyeksikan turun hingga mencapai angka 8 persen di tahun 2030. Sementara itu, tingkat keparahan kemiskinan menunjukkan penurunan yang kurang signifikan setiap tahunnya, yakni hanya turun 10 poin dalam kurun waktu 20 tahun. Proyeksi MPI juga menunjukkan penurunan



Gambar 3.2: Tingkat Kemiskinan versi BPS dan Multidimensi tahun 2009-2017 Persentase Miskin Multidimensi



90 80



64.59



60.66



59.98



70



56.92



Persentase Miskin Moneter (BPS)



53.81



52.25



60



49.32



48.79



44.06



50 40 30 20



14.15



13.33



12.49



11.66



11.47



10.96



11.13



10.7



10.64



2009



2010



2011



2012



2013



2014



2015



2016



2017



10 0



Sumber: Susenas, dihitung Tim Penulis



24



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Gambar 3.3: Proyeksi Kemiskinan Multidimensi 2009-2030 70%



Tingkat Kemiskinan Multidimensi (H)



Tingkat Keparahan Kemiskinan (A)



60%



Multidimensional Poverty Index (MPI)



50% 40% 30%



20% 10% 0%



2009



2012



2015



2018



2021



2024



2027



2030



Sumber: Susenas, dihitung Tim Penulis



meskipun tidak secepat tingkat kemiskinan multidimensi. MPI diproyeksikan akan turun hingga mencapai angka 2 persen pada tahun 2030. Selanjutnya, dalam buku ini juga menggabungkan ukuran kemiskinan moneter dan beberapa indikator dalam layanan dasar. Pemilihan indikator ini diadaptasi dari yang dilakukan di Mexico dan indikator yang dianggap penting di Indonesia. Pencapaian indikator dilihat dalam ukuran multidimensi terhadap kelompok masyarakat yang dikategorikan berdasarkan ukuran kemiskinan versi BPS. Penduduk dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yakni: 1) Kelompok miskin, yaitu penduduk yang pengeluarannya di bawah garis kemiskinan (GK); 2) Kelompok rentan, yaitu penduduk yang dengan pengeluarannya di antara GK dan 1,5 GK, dan; 3) Kelompok bukan miskin, yaitu penduduk yang pengeluarannya di atas 1,5 GK. Terdapat 6 indikator yang digunakan sebagai



ukuran kemiskinan multidimensi: 1) jaminan kesehatan; 2) sanitasi dan air bersih; 3) listrik; 4) melek huruf; 5) partisipasi sekolah, dan; 6) kepemilikan NIK. Gambar 3.4 menunjukkan tabulasi antara kemiskinan satu dimensi versi BPS dengan jumlah ketercapaian indikator kemiskinan multidimensi. Dari gambar tersebut terlihat bahwa pada kolom nomor 1, penduduk tidak miskin (> 1,5GK) yang memenuhi 5-6 indikator kemiskinan multidimensi adalah sebanyak 170,68 juta orang. Empat indikator dipenuhi oleh hampir semua penduduk kelompok ini (> 90 persen/indikator), yaitu indikator partisipasi sekolah, melek huruf, listrik, dan kepemilikan NIK. Kolom nomor 2 menunjukkan bahwa penduduk tidak miskin yang memenuhi 3-4 indikator kemiskinan multidimensi sebanyak 7,89 juta orang. Mayoritas penduduk kelompok ini memenuhi indikator-indikator seperti partisipasi sekolah, listrik, dan kepemilikan NIK.



Gambar 3.4: Tabulasi Kemiskinan dan Dimensi Kemiskinan 3



Sumber: Susenas, dihitung Tim Penulis



3 - Pengukuran Kemiskinan



25



Gambar 3.5: Distribusi Penduduk Tidak Miskin & Keterpenuhan 6 Indikator



Gambar 3.6: Distribusi Penduduk Rentan Miskin & Keterpenuhan 6 Indikator



Gambar 3.7: Distribusi Penduduk Miskin & Keterpenuhan 6 Indikator



Sumber: Susenas, dihitung Tim Penulis



Kolom nomor 3 menunjukkan jumlah penduduk tidak miskin yang hanya memenuhi 0-2 indikator kemiskinan multidimensi sebanyak 107 ribu orang. Mayoritas penduduk telah memenuhi indikator partisipasi sekolah meskipun hanya 0,12 persen penduduk yang memenuhi indikator sanitasi dan air bersih. Dengan kata lain, mayoritas rumah tangga di dalam kelompok ini sulit mendapatkan akses sanitasi dan air bersih yang layak meskipun tergolong dalam kelompok tidak miskin. Oleh karenanya disimpulkan bahwa kategori tidak miskin menurut ukuran kemiskinan BPS tidak menjamin kebutuhan dasar rumah tangga terpenuhi. Gambar 3.5 menggambarkan distribusi penduduk tidak miskin yang memenui 5-6 indikator mayoritas tersebar di Sumatera, Jawa, dan sebagian Kalimantan. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas hidup penduduk tidak miskin di Sumatera, Jawa, dan sebagian Kalimantan lebih baik bila dibandingkan daerah lainnya. Baris kedua pada Gambar 3.4 menunjukkan kelompok rentan, yakni kelompok yang pengeluarannya di antara GK sampai 1,5 GK dan rentan kembali miskin jika terjadi sedikit guncangan ekonomi. Kelompok rentan yang



26



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



memenuhi 5-6 indikator kemiskinan multidimensi sebanyak 49,17 juta orang (kolom nomor 4). Mayoritas penduduk kelompok ini memenuhi indikator-indikator seperti partisipasi sekolah, melek huruf, listrik, dan kepemilikan NIK. Kolom nomor 5 menunjukkan terdapat sebanyak 4,86 juta orang kelompok rentan yang memenuhi 3-4 indikator kemiskinan multidimensi. Mayoritas indikator yang dipenuhi adalah partisipasi sekolah, listrik, dan kepemilikan NIK. Sementara itu, kolom nomor 6 menunjukkan terdapat sebanyak 93 ribu orang dari kelompok rentan yang hanya memenuhi 0-2 indikator kemiskinan multidimensi. Mayoritas penduduk kelompok ini memenuhi indikator partisipasi sekolah, tetapi hanya 0,46 persen penduduk yang memenuhi indikator sanitasi dan air bersih. Dengan kata lain, mayoritas rumah tangga di dalam kelompok ini tidak mendapatkan akses sanitasi dan air bersih yang layak. Gambar 3.6 menggambarkan mayoritas penduduk rentan miskin yang memenuhi 5-6 indikator tersebar di Sumatera dan Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas hidup penduduk rentan miskin di Sumatera dan Jawa lebih baik dibandingkan daerah lainnya.



Foto: Jalanan utama di Provinsi Lampung yang merupakan akses pergerakan perekonomian warga masih banyak yang hancur, tidak hanya berlubang tetapi di beberapa tempat masih berupa jalan tanah.



Pada kolom paling bawah, penduduk miskin yang memenuhi 5-6 indikator kemiskinan multidimensi terdapat sebanyak 23,2 juta orang (kolom nomor 7, Gambar 3.4). Mayoritas penduduk kelompok ini memenuhi indikatorindikator seperti partisipasi sekolah, melek huruf, listrik, dan kepemilikan Nomor Induk Kependudukan atau NIK. Sementara itu, jumlah penduduk miskin yang memenuhi 3-4 indikator kemiskinan multidimensi adalah 4,28 juta orang. Mayoritas penduduk di kelompok ini memenuhi indikator-indikator seperti partisipasi sekolah, listrik, dan kepemilikan NIK. Terakhir, kelompok miskin yang hanya memenuhi 0-2 indikator kemiskinan multidimensi sebanyak 219 ribu orang. Mayoritas kelompok ini memenuhi indikator partisipasi sekolah, tetapi hanya 0,07 persen penduduk yang memenuhi indikator sanitasi dan air bersih. Seperti di kelompok sebelumnya (kelompok tidak miskin dan rentan miskin), dapat disimpulkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia belum mendapatkan akses terhadap sanitasi dan air bersih yang layak. Gambar 3.7 menggambarkan penduduk miskin yang memenuhi 5-6 indikator paling banyak berada di Sumatera dan Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas hidup penduduk



miskin di luar Sumatera dan Jawa masih lebih rendah bila dibandingkan daerah Sumatera dan Jawa.



3.3 Penyempurnaan Pengukuran Kemiskinan Ke Depan Pengukuran kemiskinan dilakukan dengan didasari konsep kemampuan terpenuhinya kebutuhan dasar (basic need approach) yang terdiri dari makanan dan bukan makanan dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga atau biasa disebut dengan garis kemiskinan. Artinya, garis kemiskinan merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM). Dengan adanya perhitungan garis kemiskinan ini, penduduk yang tidak mampu secara ekonomi memenuhi kebutuhan dasarnya atau memiliki pengeluaran per kapita di bawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Berdasarkan data BPS, garis kemiskinan Nasional per Maret 2018 adalah Rp 401.220 per kapita per bulan. Namun bila dilihat berdasarkan kewilayahan atau desa-kota, garis kemiskinan di desa cenderung lebih rendah dari kota dengan nilai Rp 415.614 dan Rp 383.908. 3 - Pengukuran Kemiskinan



27



Garis kemiskinan umumnya berbeda di setiap Negara namun Bank Dunia melakukan pengukuran kemiskinan antarkelompok Negara untuk dapat melakukan perbandingan dengan menggunakan estimasi konsumsi yang dikonversi ke dalam Purchasing Power Parity (PPP) atau paritas daya beli. Konsep Purchasing Power Parity (PPP) didasarkan atas prinsip hukum “satu harga” untuk produk sejenis antar Negara. Pengukuran dalam PPP yang digunakan untuk negara berkembang terbagi menjadi dua batasan kemiskinan internasional, yaitu 1,90 US$ PPP sebagai batas extreme poverty dan 3,20 US$ PPP sebagai batas poverty. Angka konversi tersebut menunjukkan banyaknya rupiah yang dikeluarkan untuk membeli sejumlah barang dan jasa dengan jumlah sama, dibandingkan dengan barang dan jasa yang dapat dibeli dengan harga US$1. Jika dibandingkan dengan Garis Kemiskinan Nasional (GKN) per Maret 2018 setara dengan 2,50 $ PPP/ hari. Artinya, GKN pada Maret 2018 semakin mendekati Garis Kemiskinan Internasional. Garis kemiskinan yang saat ini digunakan untuk menghitung kemiskinan di Indonesia dihadapkan dengan beberapa tantangan, salah satunya adalah pengukuran yang dinilai kurang up-to-date terhadap perkembangan zaman. Oleh karenanya, diperlukan perbaikan terhadap garis kemiskinan BPS dengan mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Garis kemiskinan BPS terkesan kurang realistis karena nilai yang ditetapkan terlalu rendah. Sebagai contoh, angka rata-rata garis kemiskinan Maret 2018 masih ditetapkan sebesar Rp. 401.220 per kapita per bulan. Dengan kata lain, orang yang pengeluaran per harinya di atas Rp. 13.333 sudah dianggap tidak miskin. 2. Garis kemiskinan sebaiknya mengikuti perkembangan zaman seperti mengikuti perubahan pola konsumsi masyarakat baik pengeluaran terhadap makanan dan bukan makanan. Hal ini disebabkan ada beberapa komoditas esensial yang dikonsumsi oleh masyarakat saat ini namun



28



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



3.



4.



5.



6.



7.



belum terakomodasi dalam perhitungan kemiskinan. Penetapan garis kemiskinan yang menggunakan 2.100 kilo kalori per kapita per hari sudah tidak tepat. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 75 Tahun 2013 pasal empat tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan bagi Bangsa Indonesia menyatakan bahwa ratarata kecukupan energi dan protein bagi penduduk Indonesia adalah 2.150 kilo kalori dan 57 gram per kapita per hari. Pengukuran Garis Kemiskinan Non Makanan (GMKM) kurang sesuai dengan pola konsumsi saat ini. Rasio pengeluaran komoditi per subkelompok non-makanan dalam perhitungan garis kemiskinan yang masih menggunakan hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPPKD) tahun 2004 sebaiknya diperbarui agar lebih sesuai dengan kondisi saat ini. Metode perhitungan garis kemiskinan yang diterapkan saat ini menyulitkan evaluasi dampak program karena tidak ada standar baku untuk menyetarakan “harga” dari 2.100 kilo kalori per kapita per hari antar waktu. Penentuan garis kemiskinan masih sangat dititikberatkan pada pemenuhan kebutuhan fisik dan kurang menyertakan faktor sosial masyarakat. Garis kemiskinan tidak memperhitungkan perbedaan pengeluaran per kapita antarindividu dalam satu rumah tangga yang sama.



Perbaikan garis kemiskinan merupakan sebuah permulaan dari pengentasan kemiskinan di Indonesia. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, pembaruan garis kemiskinan perlu dilengkapi oleh rangkaian kebijakan yang mendukung. Pembahasan tentang rangkaian kebijakan penanggulangan kemiskinan akan dimulai dengan Bab 4: Investasi Sumber Daya Manusia.



4



Investasi Sumber Daya Manusia







Upaya penyediaan dan perluasan akses terhadap layanan dasar untuk meningkatkan kualitas hidup penduduk, terutama bagi kelompok 40 persen terbawah, merupakan salah satu strategi yang harus diprioritaskan oleh pemerintah ke depannya.



K



eberhasilan penanggulangan kemiskinan tidak hanya dinilai sebatas penurunan indikator kemiskinan namun juga keberhasilan untuk memastikan bahwa setiap masyarakat dapat hidup berkualitas dan bermartabat sehingga kualitas hidupnya dapat meningkat. Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas tidak hanya membantu mengurangi beban pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, tetapi juga menjadi modal untuk mendorong pengembangan usaha ekonomi produktif (Hanushek, 2013). Berdasarkan pemikiran ini, dengan terjaminnya akses layanan dasar sebagai bentuk investasi sumber daya manusia, Individu akan tumbuh lebih produktif, inovatif dan berkualitas, serta memiliki ketahanan lebih tinggi terhadap guncangan ekonomi. Sementara itu, investasi sumber daya yang kurang memadai dapat menimbulkan lingkaran setan permasalahan sumber daya manusia, produktivitas yang rendah dan kemiskinan.



4.1 Sumber Daya Manusia dan Kemiskinan Investasi sumber daya manusia yang memadai pada keluarga miskin adalah jalan keluar dari jebakan kemiskinan (poverty trap). Meskipun jumlahnya terus menurun, kemiskinan kronis masih tetap ada. Pada Maret 2018, jumlah penduduk



miskin kronis, atau berada dalam kondisi miskin menahun masih sekitar 9,4 juta jiwa (hampir 2 juta rumah tangga). Lebih dari 63,8 persen penduduk miskin kronis berada di perdesaan dengan jumlah penduduk miskin tertinggi berada di Provinsi Papua, Papua Barat, dan Maluku. Beberapa karakteristik penduduk dengan kemiskinan kronis memiliki tingkat pendidikan rendah, yaitu tidak lulus SD sebesar 33,4 persen, lulusan SD sebesar 38,8 persen, dan lulusan SMP sebesar 13,14 persen (Gambar 4.1). Pendidikan penduduk yang rendah berdampak juga pada buruknya kualitas perumahan yang diitandai dengan tidak adanya akses terhadap sanitasi dan air minum yang layak. Selain kemiskinan kronis, kemiskinan di Indonesia juga ditandai oleh tingginya kerentanan. Pada Maret 2018, jumlah penduduk yang besar pengeluarannya berada di antara garis kemiskinan hingga sekitar 1,5 kali garis kemiskinan berjumlah 53,3 juta jiwa atau sebesar 20,2 persen dari total penduduk. Sekitar 11,8 juta penduduk rentan ini merupakan kelompok millennial, atau yang saat ini berada pada kelompok umur 19-34 tahun. Data panel 2014– 2015 menunjukkan bahwa sebanyak 54 persen rumah tangga di tahun 2014 jatuh miskin di tahun berikutnya karena adanya guncangan ekonomi seperti harga bergejolak, sakit dalam waktu cukup lama, putus hubungan kerja atau kehilangan mata pencaharian, atau guncangan



PROFIL PENDUDUK DENGAN DENGAN KEMISKINAN KEMISKINAN KRONIS KRONIS



PROFIL PENDUDUK Gambar 4.1: Profil Penduduk Rentan Miskin



Pendidikan tertinggi Kepala Rumah Tangga: lulusan SD Pendidikan tertinggi Kepala Rumah Tangga: lulusan SD (38.8%), tidak lulus SD (33.4%) dan lulusan SSMP (13.4%) (38.8%), tidak lulus SD (33.4%) dan lulusan SSMP (13.4%) 29.7% Kepala Rumah Tangga adalah lansia (usia 60 tahun 29.7% Kepala Rumah Tangga adalah lansia (usia 60 tahun ke atas) ke atas) Provinsi dengan tingkat kemiskinan kronis tertinggi adalah Provinsi dengan tingkat kemiskinan kronis tertinggi adalah Papua (15.1%), Papua Barat (13.9%) dan Maluku (7.2%) Papua (15.1%), Papua Barat (13.9%) dan Maluku (7.2%) 59.8% RT tidak memiliki akses sanitasi layak dan 46.3% tidak 59.8% RT tidak memiliki akses sanitasi layak dan 46.3% tidak memiliki akses untuk air minum layak memiliki akses untuk air minum layak 63.8% tinggal di wilayah perdesaan 63.8% tinggal di wilayah perdesaan Sumber: Badan Pusat Statistik (2018)a, diolah Bappenas



30



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Gambar 4.2. Profil Penduduk Rentan Miskin Pendidikan tertinggi Kepala Rumah Tangga: lulus SD 37,8%, tidak lulus SD 25%, lulus SMP 15,6%, lulus SMA 12,2% 21,4% Kepala Rumah Tangga adalah lansia (60 Th+). 43,2% Rumah Tangga tidak memiliki sanitasi layak dan 36,8% tidak memiliki akses air minum layak. 54,1% tinggal di wilayah perdesaan Kerentanan tertinggi terdapat di NTT (27,43%), Aceh (26,3%) dan Lampung (26,0%). Sumber: Badan Pusat Statistik (2018)a, diolah Bappenas



non ekonomi seperti bencana alam atau sosial. Perubahan drastis akibat guncangan dapat menyebabkan seseorang jatuh miskin. Secara umum, karakteristik kelompok penduduk rentan dapat dilihat pada Gambar 4.2. Dengan karakteristik kemiskinan yang cukup dinamis tersebut, investasi sumber daya manusia untuk kelompok miskin dan rentan harus komprehensif agar penduduk miskin dapat hidup bermartabat melalui terpenuhinya kebutuhan dasar.



4.2. Pelayanan Dasar Investasi sumberdaya manusia dalam upaya pengentasan kemiskinan diawali dengan penyediaan akses layanan dasar, terutama bagi kelompok 40 persen terbawah. Penyediaan sarana pendidikan, kesehatan, akses sanitasi dan air minum layak merupakan katalis yang akan merubah perilaku masyarakat melalui peningkatan kualitas SDM. Bangsa yang cerdas, sehat, berdaya saing tinggi, dan mempunyai nilai-nilai seperti kegigihan dan keuletan tidak bisa diraih dalam waktu singkat. Beberapa isu dan program pelayanan dasar yang dibahas pada bab ini mencakup identitas kependudukan, pangan, pendidikan, kesehatan, serta perumahan dan sanitasi. Strategi perlindungan sosial dan usaha ekonomi produktif dijelaskan dalam bab terpisah.



4.2.1. Identitas Kependudukan Identitas hukum sangat penting bagi setiap penduduk. Sebagai contoh, ketiadaan dokumen kependudukan dapat menghambat masyarakat untuk mengakses layanan dasar karena menyulitkan verifikasi dari pemberi layanan. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2015), sebanyak 29,6 juta (76,46 persen) anak usia 0-17 dari kelompok 40 persen terbawah telah memiliki akta kelahiran. Sisanya, sebanyak 9,1 juta (23,54 persen) tidak memiliki akte kelahiran. Cakupan identitas hukum yang rendah terdapat pada kelompok penduduk yang miskin dan rentan ini mengakibatkan jutaan rakyat Indonesia tidak memiliki identitas hukum dan sulit mengakses layanan dasar (Bappenas dan Puskapa, 2016). Berdasarkan studi tersebut direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut: 1) perlunya reformasi kerangka peraturan dan hukum untuk menghapuskan diskriminasi, biaya akibat denda, dan mengatur pelimpahan tanggung jawab pencatatan sipil kepada pemberi layanan yang berada paling dekat dengan masyarakat yaitu tingkat kecamatan; 2) meningkatkan permintaan atas pencatatan sipil, akta kelahiran, dan akta kematian dikaitkan dengan akses terhadap berbagai layanan dasar; 3) berbagai proses pencatatan sipil hendaknya dibuat lebih mudah diakses oleh masyarakat



4 - Investasi Sumber Daya Manusia



31



Foto: Inovasi dalam pelayanan pemenuhan identitas Kependududukan di Kecamatan Petungkriyono yaitu Ojek Kependudukan (JekDuk) sumber: kompak



melalui layanan terpadu dan keliling; 4) perlunya peningkatan kualitas dan akses terhadap layanan pencatatan sipil; dan 5) melakukan inovasi, khususnya terkait Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang diarahkan pada penguatan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dan kemampuan penagihan data. Puskapa (2018) juga merekomendasikan inovasi layanan administrasi kependudukan untuk penduduk tanpa Nomor Induk Kependudukan (NIK) sehingga penduduk tetap mendapatkan bantuan sosial, antara lain melalui Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT) yang saat ini terus dikembangkan ke sejumlah kabupaten/kota. Beberapa pemerintah daerah juga berinovasi seperti Ojek Kependudukan (JekDuk) di Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan yang didukung program KOMPAK, Ngantar Paimah (Layanan Antar Sampai Rumah) yang terintegrasi dengan sistem pendataan penduduk miskin di Kabupaten Sleman, hingga pengembangan layanan terpadu ‘Sabilulungan’ hingga level desa di Kabupaten Bandung. selain itu juga terdapat Sistem Pencatatan Sipil dan Statistik Hayati atau Civil Registration and Vital Statistics (CRVS) yang dikembangkan oleh PUSKAPA UI dan Program KOMPAK.



32



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



4.2.2 Pemenuhan Kebutuhan Pangan Berkualitas Pangan merupakan kebutuhan pokok dengan porsi pengeluaran terbesar bagi kelompok miskin. Berdasarkan Susenas September 2018, beras menyumbang proporsi terbesar baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan. Inflasi pada komoditas makanan terutama beras akan menaikkan Garis Kemiskinan yang berdampak pada meningkatnya angka kemiskinan. Setelah beras, pada posisi kedua ditempati oleh rokok yang mengalahkan pangan berprotein seperti telur dan daging (gambar 4.3 dan 4.4). Dalam dua dekade terakhir, telah terjadi perubahan pola konsumsi masyarakat. Perubahan cukup signifikan terjadi pada meningkatnya konsumsi makanan jadi baik di perkotaan dan juga di perdesaan (gambar 4.5). Meningkatnya konsumsi makanan jadi seperti mi instan dan makanan anak-anak lainnya apabila tidak dibarengi oleh pemahaman pentingnya kandungan gizi yang diperlukan tubuh dapat mengkhawatirkan kualitas generasi mendatang. Salah satu faktor yang menentukan kualitas sumber daya manusia adalah gizi. Masalah gizi anak salah satunya tercermin melalui tingginya prevalensi stunting atau anak pendek



Gambar 4.3: Proporsi Pembentuk GK di Kawasan



Gambar 4.4: Proporsi Pembentuk GK di Kawasan



Perkotaan (%)



Perdesaan (%) Proporsi Pembentuk GK di Kawasan Perdesaan (%)



Proporsi Pembentuk GK di Kawasan Perkotaan (%) Beras



Beras



19.54



Makanan lainnya



Makanan lainnya



18.08



Rokok kretek filter



3.89



Daging ayam ras



3.65



Telur ayam ras



3.36



Gulapasir



3.8



Listrik



3.67



Mie instan



5



10



15



20



2.84



Daging ayam ras



2.21



Mie instan



2.13



2.37 0



6.83



Bensin



4.44



Telur ayam ras



7.26



Non Makanan lainnya



7.2



Bensin



10.06



Perumahan



8.42



Non makanan lainnya



19.63



Rokok kretek filter



10.39



Perumahan



25.51



25



0



5



10



15



20



25



30



sumber: BPS, 2018



(Kemenkes, 2018a). Stunting adalah masalah kekurangan gizi kronis yang terjadi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berdampak pada terhambatnya pertumbuhan fisik dan otak sehingga menyebabkan kemampuan mental dan belajar yang kurang serta prestasi sekolah yang buruk. Stunting yang terjadi pada anak akan berdampak buruk pada kesehatan, kognitif, dan fungsional ketika dewasa. Oleh karena itu, pencegahan stunting melalui pemenuhan pangan dan gizi berkualitas merupakan upaya menuju peningkatan investasi sumber daya manusia di masa mendatang dan untuk memutus



kemiskinan antar generasi. Secara nasional, prevalensi stunting telah mengalami penurunan dari 37,2 persen pada 2013 menjadi 30,8 persen pada 2018. Meskipun demikian, prevalensi stunting masih tergolong tinggi pada beberapa daerah kemiskinan tinggi misalnya di Kep. Mentawai, Kab. Solok Selatan, dan Kab. Pasaman Barat (Bappeda Sumatera Barat, 2018). Berdasarkan diskusi kelompok terarah atau FGD, Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat menyebutkan bahwa nilai prevalensi tetap tinggi meskipun intervensi pemberian makanan tambahan dan edukasi telah dilakukan.



Gambar 4.5: Prevalensi Stunting pada Balita Tahun 2013 dan 2018 (dalam persen) 60



51.7



50 37.2



40 30



42.6



27.5 30.8



20 10



17.7



2013



Sulawesi Barat



Nusa Tenggara Timur



Aceh



Sulawesi Selatan



Maluku



Kalimantan Tengah



Kalimantan Barat



Nusa Tenggara Barat



Papua



Kalimantan Selatan



Gorontalo



Jawa Timur



Sumatera Utara



Sulawesi Tengah



Maluku Utara



Sumatera Selatan



Jawa Barat



Jawa Tengah



Jambi



INDONESIA



Sumatera Barat



Kalimantan Timur



Bengkulu



Sulawesi Tenggara



Riau



Papua Barat



Lampung



Banten



Kalimantan Utara



Sulawesi Utara



Bangka Belitung



Bali



Kepulauan Riau



DKI Jakarta



DI Yogyakarta



0



2018



sumber: Riset Kesehatan Dasar, 2013, 2018



4 - Investasi Sumber Daya Manusia



33



Gambar 4.6: Pola Konsumsi Perkotaan, Perdesaan dan Kota-Desa (persen)



16.8 5.4 5.8



6.2



Tahun 2018



Rokok, tembakau



1.5 0.9



3.7 1.9 1.0



Bumbu-bumbuan



3.5



1.5



Bahan minuman



2.8 2.5



1.2



Buah-buahan



Tahun 1998



Minyak dan lemak



4.1 3.5



2.6 1.0



Kacang-kacangan



3.7 2.9



Telur dan susu



Sayur-sayuran



5.5 3.9



3.7 2.1



Ikan



1.0 0.5



0.0



Daging



6.0



6.5 7.8



5.0



Rokok, tembakau



Konsumsi lainnya



Bahan minuman



Bumbu-bumbuan



Buah-buahan



Minyak dan lemak



Tahun 2018



10.0



Konsumsi lainnya makanan minuman jadi Makanan&dan minuman…



Tahun 1998



Kacang-kacangan



Telur dan susu



Sayur-sayuran



Ikan



Daging



0.0



makanan &Makanan minumandan… jadi



6.3 4.6 3.3 2.0 3.3 2.7 4.7 4.5 3.0 1.2 2.6 2.6 4.3 1.6 4.6 2.1 2.4 1.2 1.5 1.1 4.8



8.7 1.3 0.8



5.0



Padi-padian



7.5 4.4 4.8



Rokok, tembakau



Konsumsi lainnya



Bumbu-bumbuan



Bahan minuman



Buah-buahan



Sayur-sayuran



Kacang-kacangan



Telur dan susu



Minyak dan lemak



Tahun 2018



makanan & minumandan… jadi Makanan



1.5 0.8



1.5 0.8



2.8



3.0 1.2



3.0 2.5



1.0



3.5 3.0



2.3 0.9



4.0



4.2 2.9



2.1



4.7 3.5



Ikan



Daging



Tahun 1998



15.6



15.4



20.0 15.0



Umbi-umbian



10.6 4.5 0.7 0.4



Padi-padian



Umbi-umbian



0.0



Pola Konsumsi Kota+Desa (%)



Padi-padian



17.6



20.0



10.0



Pola Konsumsi kota-desa (persen) 25.0



15.0



10.0 5.0



Pola Konsumsi Perdesaan (%)



25.0



20.0 15.0



Pola Konsumsi Perdesaan (persen)



Umbi-umbian



Pola Konsumsi Perkotaan (%)



20.7



Pola Konsumsi Perkotaan (persen) 25.0



sumber: BPS, 2018



Permasalahan stunting merupakan permasalahan multi-faktor (nutrisi, sanitasi, konsumsi rokok, status kesehatan, pola asuh) yang intervensinya tidak hanya menggunakan intervensi spesifik (kesehatan) namun juga intervensi sensitif (nonkesehatan) yang melibatkan multi-sektor melalui integrasi kementerian dan lembaga terkait secara berkesinambungan. Berdasarkan kunjungan lapangan ke Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Dinas Kesehatan Kota Kupang telah membuat resep makanan lokal selama seminggu dalam upaya pembinaan pola makan berbasis menu gizi seimbang. Kegiatan ini bermaksud untuk memberikan edukasi terhadap masyarakat bahwa pangan lokal yang mudah didapatkan di lingkungan rumah dapat diolah menjadi makanan bergizi tinggi. Kegiatan ini sejalan untuk menghadapi perubahan pola konsumsi masyarakat yang cenderung menunjukan peningkatan signifikan pada makanan dan minuman jadi (Gambar 4.6). Selain itu, upaya ini untuk mencegah adanya kecenderungan rumah tangga miskin berpencaharian sebagai petani kebun ataupun nelayan untuk lebih memilih mengkonsumsi mi instan. Hasil temuan dari Bappenas tahun 2017 terkait evaluasi stunting pada masyarakat miskin dan rentan, pada keluarga yang bermata pencaharian sebagai nelayan ataupun petani kebun,



34



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



terdapat kecenderungan untuk menjual hasil kebun atau tangkapan yang berkualitas baik dan mengkonsumsi hasil kebun atau tangkapan yang berkualitas rendah. Uang hasil penjualan kemudian dibelikan mie instan, sehingga dengan uang yang tidak banyak namun tetap dapat mengenyangkan seluruh anggota keluarga. Selain upaya edukasi resep pangan lokal, peran pemimpin daerah juga sangat penting dalam pencegahan stunting, salah satunya melalui gerakan mobilisasi desa pencegahan stunting, khususnya ke rumah tangga miskin. Peran dari pemimpin daerah seperti Gubernur ataupun Bupati melalui instruksi ataupun peraturan daerah turut memiliki andil dalam kesuksesan penanggulangan kondisi stunting. Salah satu upaya penanggulangan stunting adalah instruksi Gubernur untuk Bantuan Alokasi Kesehatan Dana Desa yang disalurkan melalui Festival Makan, serta perencanaan Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi (RAD PG) yang pelaksanaannya didukung peraturan daerah. Sebagai upaya untuk menurunkan prevalensi stunting pada anak, bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH) juga berhasil mengurangi tingkat stunting 26 persen dan keparahan stunting 58 persen setelah 6 tahun pelaksanaan (Cahyadi et.al., 2018). Walaupun PKH belum secara langsung memberikan perbaikan gizi untuk anak, program awal “PKH



Prestasi” yang dilaksanakan di dua wilayah, salah satunya di Kabupaten Brebes, menargetkan intervensi untuk perbaikan nutrisi melalui upaya promosi kesehatan oleh pendamping PKH dengan melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, serta jurnalis warga. Bhutta et al. (2013) dalam Rokx, C., et al. (2018) menyatakan bahwa prevalensi stunting dapat berkurang sekitar 20 persen dengan cakupan intervensi yang berbasis pada nutrisi. Oleh sebab itu, sejak tahun 2016, subsidi Beras Miskin/Sejahtera (Raskin/Rastra) telah bertransformasi secara bertahap menjadi Bantuan Pangan Nontunai (BPNT)yang disalurkan melalui kartu elektronik setiap bulannya sebesar Rp 110.000 per keluarga. BPNT dapat digunakan untuk membeli beras dan telur di agen yang merupakan warung atau kios terdekat. Kedepannya, BPNT diarahkan untuk ditambahkan kombinasi sayuran sebagai bentuk peningkatan gizi rumah tangga. Bila memungkinkan, untuk rumah tangga yang memiliki balita, indeks bantuan dapat ditambahkan sebesar 50 persen menjadi Rp 165.000/bulan dengan skenario penambahan bantuan berupa makanan khusus fortifikasi atau makanan tambahan untuk anak usia 6-23 bulan untuk mencegah stunting.



4.2.3 Kualitas Kesehatan Keluarga Miskin



Kemiskinan, kesehatan, dan investasi SDM saling berkaitan erat. Kemiskinan memengaruhi derajat kesehatan manusia misalnya seperti kondisi rentan terhadap penyakit dan sulitnya akses masyarakat miskin terhadap layanan kesehatan. Sebaliknya, dengan derajat kesehatan yang baik dapat berdampak positif terhadap kondisi kemiskinan yang ditunjukan melalui tingkat produktifitas kerja yang tinggi, status ekonomi yang baik, tingkat pendidikan tinggi, dan pengeluaran kesehatan yang rendah. Di sisi lain, investasi SDM penting dalam peningkatan kualitas hidup, tidak saja di tataran rumah tangga namun juga negara.



Beberapa Isu Kesehatan Indonesia tengah menghadapi tantangan besar yakni masalah kesehatan triple burden seperti penyakit infeksi, Penyakit Tidak Menular (PTM), dan munculnya penyakit yang seharusnya sudah teratasi. Isu kesehatan yang masih signifikan antara lain terkait Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Besarnya biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan hingga stigma masyarakat terhadap fasilitas kesehatan dan keengganan melakukan persalinan di fasilitas kesehatan masih menjadi penyebab terhambatnya penurunan tingkat AKI dan AKB. Berdasarkan data Susenas 2017, sebanyak 32,31 persen proses persalinan tidak dilakukan di fasilitas kesehatan. Angka ini didominasi oleh kelompok masyarakat berpendapatan 20 persen terendah yang proses persalinannya tidak dilakukan di fasilitas kesehatan yaitu sekitar 43,38 persen. Keterlambatan membawa ibu hamil untuk bersalin di fasilitas kesehatan masih terjadi misalnya di masyarakat sekitar Puskesmas Tarus, Kab. Kupang, Provinsi NTT hingga menyebabkan kematian. Saat ini di Indonesia masih terdapat anak yang belum mendapatkan imunisasi lengkap. Bahkan di beberapa wilayah ditemui anak yang tidak pernah mendapatkan imunisasi sejak lahir sehingga menyebabkannya mudah tertular penyakit karena tidak ada kekebalan. Berdasarkan data Susenas pada 2017, terdapat 22.227 anak usia 1-4 tahun yang belum sama sekali mendapatkan imunisasi, yang 9.950 anak diantaranya berada pada kelompok pendapatan 20 persen terendah (BPS, 2017). Kementerian Kesehatan telah mengubah konsep imunisasi dasar lengkap menjadi imunisasi rutin lengkap yang terdiri dari imunisasi dasar dan lanjutan untuk mempertahankan kekebalan yang optimal. Agar terbentuk kekebalan tinggi, cakupan imunisasi dasar dan lanjutan harus merata hingga tingkat desa, tak terkecuali masyarakat miskin. Bila kekebalan tinggi, yang terlindungi bukan hanya anak yang diimunisasi tetapi juga seluruh masyarakat. Keberhasilan



4 - Investasi Sumber Daya Manusia



35



Foto: Tingkat kelahiran tinggi namun tidak dibarengi dengan pemeliharaan kesehatan, gizi buruk dan pertumbuhan yang kurang baik menjadi mimpi buruk di Provinsi Lampung



36



cakupan imunisasi anak juga harus diteruskan pada program di kategori usia lansia. Lansia yang mempunyai risiko penyakit yang tinggi seharusnya diproteksi dengan imunisasi melalui cek kesehatan berkala, khususnya lansia miskin. Perubahan gaya hidup masyarakat menjadi salah satu penyebab berubahnya pola penyakit. Pada era 1990, penyakit menular seperti Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA), tuberkulosis dan diare merupakan penyakit yang paling banyak dijumpai berkait dengan pelayanan kesehatan. Pada tahun 2015, PTM seperti stroke, penyakit jantung koroner, kanker, dan diabetes



adalah melalui program promotif dan preventif, salah satunya adalah Program Keluarga Harapan (PKH). Dalam pelaksanaannya, PKH memiliki pendamping yang bertugas untuk mendampingi aktivitas Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Setiap bulan dilaksanakan Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga (P2K2) berupa penyuluhan lima modul yaitu pendidikan, ekonomi, kesehatan, perlindungan anak, perlindungan penyandang disabilitas dan kesejahteraan lanjut usia. Sejak tahun 2018, pelatihan pendamping dilakukan menggunakan metode e-learning, yang memungkinkan akses



menduduki peringkat atas. Meningkatnya PTM juga menurunkan produktivitas SDM. Oleh karena itu, diperlukan perubahan pola hidup sehat yang mengedepankan program promotif dan preventif. Salah satu cara meningkatkan derajat kesehatan masyarakat rentan dan miskin



ke modul dari mana saja. Sebagai contoh, di Provinsi NTT metode pendampingan seperti ini dapat memberikan edukasi perilaku hidup sehat dengan menjauhi konsumsi sirih pinang dan tembakau/rokok.



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Konsumsi Rokok Keluarga Miskin Konsumsi rokok pada keluarga miskin menimbulkan dampak kesehatan, sosial ekonomi, dan menurunkan produktivitas. Di Indonesia, baik di wilayah perkotaan ataupun perdesaan, proporsi belanja bulanan keluarga miskin untuk rokok adalah kedua terbesar setelah beras, yaitu sekitar 10 persen (BPS, 2018a). Pengeluaran konsumsi rokok yang lebih tinggi dibandingkan dengan kesehatan, pendidikan dan makanan bergizi akan membuat keluarga miskin sulit keluar dari kemiskinan. Hasil riset Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) 2018 menemukan bahwa terdapat pergeseran alokasi pengeluaran pada rumah tangga selama periode 1997–2014. Kenaikan konsumsi tembakau dari 3,6 persen menjadi 5,6 persen mengakibatkan penurunan pengeluaran atas beras, sumber protein, sumber lemak, serta kesehatan sebesar 2,3 persen. Pengeluaran rumah tangga yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan dasar seperti makanan dan minuman bergizi, pendidikan, serta kesehatan telah beralih pada pengeluaran konsumsi rokok.



Selain itu, hasil riset PKJS-UI 2018 juga menemukan bahwa ada perubahan alokasi pengeluaran dari pembelian bahan makanan, kesehatan dan pendidikan menjadi pengeluaran rokok, mengakibatkan rendahnya investasi tumbuh kembang anak. Anak yang tumbuh pada rumah tangga dengan perokok kronis12 maupun perokok transien13 cenderung mempunyai pertumbuhan berat dan tinggi badan yang lebih lambat, dibandingkan mereka yang tinggal di rumah tangga tanpa perokok. Anak yang tinggal dengan orang tua bukan perokok akan tumbuh 1,5 kg lebih berat dibandingkan dengan anak yang tinggal dengan orang tua perokok kronis. Hubungan antara konsumsi rumah tangga dan efek jangka panjang, termasuk efek konsumsi rokok terhadap stunting dijelaskan Gambar 4.7. Sejak tahun 1971, produksi rokok di Indonesia mengalami peningkatan hingga 600 persen dari 44,5 miliar batang menjadi 302 miliar pada 2012 (Aliansi Pengendali Tembakau Indonesia, 2013). Meski di tahun 2017 produksi rokok telah menurun namun jumlahnya belum signifikan. Persentase perokok penduduk usia kurang dari atau sama dengan 18 tahun terjadi



Gambar 4.7: Transmisi Dampak Pemenuhan Kebutuhan dan Karakteristik Rumah Tangga terhadap Kemiskinan dan Stunting. Konsumsi Rumah Tangga Tembakau dan bahan adiktif lain



Kesehatan



Efek ke Generasi



DEWASA 1. Tidak sehat/risiko tinggi 2. Asupan makanan berkualitas rendah 3. Rendahnya investasi sumber daya manusia



Mekanisme Transmisi



Efek Jangka Panjang



MASA DEPAN



Rendahnya sumber daya manusia: Risiko tinggi, produktivitas rendah, upah/pendapatan rendah



Kemiskinan



Pendidikan



ANAK Makanan dan minuman



Kebutuhan lain



1. Asupan makanan berkualitas rendah 2. Rendahnya investasi sumber daya manusia



Pencapaian pendidikan rendah



Sumber Daya Manusia Rendah



Stunting



sumber: PKJS-UI (2018) 12 13



Perokok kronis merupakan perokok yang merokok di kedua tahun observasi penelitian. Perokok transien merupakan perokok yang merokok di salah satu tahun observasi penelitian.



4 - Investasi Sumber Daya Manusia



37



penurunan dari 7,2 persen (2013) menjadi 5,4 persen (2019). Namun, pada tahun 2018 prevalensi perokok usia kurang dari sama dengan 18 tahun justru meningkat dari 7,2 menjadi 9,1 persen (Kemenkes, 2018a). Prevalensi perokok anak juga diproyeksikan akan meningkat dua kali lipat pada 2030 jika pengendalian konsumsi rokok tetap seperti saat ini (Tim SDGs Bappenas, 2018)14 . Peningkatan pengeluaran rokok sebesar 1 persen (butir persen dari rata-rata) akan meningkatkan probabilitas rumah tangga menjadi miskin sebesar 6 persen (PKJS-UI, 2018). Hal ini mengindikasikan bahwa upaya perubahan perilaku dan pola konsumsi rokok khususnya pada kelompok 40



investasi sumber daya manusia, diperlukan kebijakan yang lebih komprehensif dalam pengaturan harga rokok melalui mekanisme kenaikan cukai rokok dan memasukkan target sasaran penurunan prevalensi perokok dewasa pada rencana pembangunan. Beberapa studi menunjukkan kenaikan 10 persen cukai rokok berdampak pada penurunan konsumsi rokok dan peningkatan penerimaan cukai (De Beyer and Yurekli, 2000, Sunley, Yurekli, Chaloupka, 2000, Djutaharta dkk, 2005, Adioetomo dkk, 2005 dalam Kementerian Keuangan, 2018). Petani tembakau pun tidak lepas dari jerat kemiskinan. Upaya alih tanam petani untuk keluar dari kondisi ini sudah banyak dilakukan,



persen berpendapatan terendah belum cukup efektif. Susenas 2006 menemukan bahwa lebih dari 12 juta keluarga miskin menggunakan Rp 52 ribu dari Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk membeli rokok atau lebih dari separuh jumlah uang BLT tersebut (Aliansi Pengendali Tembakau Indonesia, 2013). Terdapat kecenderungan penerima bantuan sosial mengonsumsi rokok lebih besar dibandingkan dengan yang tidak menerima bantuan sosial. Penerima beras sejahtera memiliki konsumsi rokok lebih tinggi sekitar Rp 3.000 dibandingkan bukan penerima bantuan beras sejahtera, sedangkan penerima PKH memiliki peluang merokok sebesar 11,2 persen lebih tinggi dibandingkan bukan penerima PKH (publikasi akan datang Dartanto dkk., 2018). Pada kunjungan lapangan, ditemukan 3 dari 4 rumah tangga nelayan di Provinsi NTT yang mempunyai pengeluaran rumah tangga rokok merupakan penerima bantuan sosial. Menghadapi kondisi ini, perlu ada aturan yang mengatur bahwa para penerima bantuan sosial berkomitmen untuk tidak menggunakan dana bantuan sosial untuk pembelian rokok. Selain penegakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), pembatasan periklanan rokok, edukasi bahaya mengkonsumsi rokok terhadap kesehatan dan



seperti di Temanggung. Tata niaga tembakau di Temanggung menunjukkan perdagangan yang tidak seimbang antara petani dan juragan (grader/perwakilan pabrik besar) (Indonesia Institute for Social Development , 2015). Rendahnya posisi tawar petani tembakau di Temanggung membuat petani beralih tanam ke kopi dan sayuran (Apriando, 2017). Petani menuturkan bahwa penghasilan dari kopi dan sayur lebih pasti dan lebih menguntungkan karena tidak perlu menjual kepada makelar. Cara penanaman yang mudah dan tidak membutuhkan waktu lama juga membuat petani tersebut beralih dari tembakau (Apriando, 2017). Di daerah lain misalnya Bangsal, Magelang, Jawa Tengah, banyak petani yang beralih tanam ke sayuran dan berhasil membuat perubahan seperti mengekspor komoditi tanaman Buncis Perancis. Rata-rata rumah tangga mempunyai motor lebih dari satu dan kepemilikan mobil juga meningkat, serta dapat menyekolahkan anakanak sampai ke perguruan tinggi (Indonesia Institute for Social Development, 2015). Selain di daerah tersebut, konversi dari tembakau ke tenaman lainnya juga terjadi di Madura. Terdapat tiga jenis tanaman konversi alternatif yaitu jagung, cabai, dan bawang yang dianggap oleh petani memiliki kesamaan karakteristik, khususnya terkait



Dipaparkan pada presentasi “Dukungan Publik terhadap Kenaikan Harga Rokok” di acara diskusi terbatas yang diselenggarakan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia, Jakarta, Juli 2018. 14



38



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Kotak 2



J



Stunting, Konsumsi Rokok, dan Kemiskinan



umlah penduduk miskin di Nusa Tenggara Timur pada bulan Maret 2018 sebesar 1,14 juta orang (21,35 persen) (BPS, 2018b) naik sekitar 7.430 orang dibandingkan jumlah pada September 2017. Hal ini membawa NTT menduduki peringkat ketiga provinsi termiskin di Indonesia. Konsumsi tembakau usia 10 tahun ke atas mencapai 55,7 persen (Kemenkes, 2013), mengingat masyarakat NTT telah terbiasa mengonsumsi tembakau, dihisap sebagai rokok maupun dikunyah. Provinsi NTT mempunyai tingkat stunting balita 0-59 bulan sangat tinggi, yaitu lebih dari atau sama dengan 40 persen. Di sebuah rumah tangga (RT) di Kabupaten Kupang, NTT, ditemukan kejadian stunting pada 3 anak (2 anak kembar usia 5 tahun dan seorang anak usia 1 tahun) dari 4 anak yang dimiliki. Kepala rumah tangga merupakan seorang perokok. Mata pencaharian kepala keluarga pekerja informal buruh galangan kapal dan ibu bekerja sebagai ibu RT. Pendapatan yang diterima tidak menentu, kurang lebih Rp 800-900 ribu per bulan. Sepertiga penghasilan dihabiskan untuk membeli rokok. Keluarga mempunyai akses ke fasilitas kesehatan



yang baik dalam hal jangkauan dan kepemilikan peserta JKN-KIS. Kepala keluarga dapat berobat dan mencatatkan tumbuh kembang anaknya, baik di Posyandu dan di Puskesmas. Kepala keluarga mendapatkan bantuan sosial berupa PKH dan Rastra. Namun, keterbatasan ekonomi membuat anak-anak tidak dapat mengkonsumsi makanan yang bernutrisi untuk memenuhi tumbuh kembangnya. Tinggi badan anak kembar dan anak keempat tidak sesuai dengan usianya. Tercatat di bulan Juli 2018, anak kedua mempunyai berat badan 8 kg dan tinggi badan 74,6 cm, sedangkan adik kembar mempunyai berat badan 12 kg dengan tinggi badan 92,5 cm (usia 5 tahun) membuat status gizinya berada di status sangat pendek, gizi buruk, dengan berat badan, tinggi badan, dan lingkar lengan di bawah standar. Bantuan dari Puskesmas belum efektif mencegah stunting. Pemberian biskuit, telur, kacang hijau, susu telah diterima saat ibu hamil. Namun, bantuan ini masih sangat kurang. Di Kecamatan Tarus, Kabupaten Kupang, infrastruktur fasilitas kesehatan termasuk baik karena tenaga kesehatan (1 dokter umum, 2



dokter gigi, dan 15 perawat) dan kelengkapan alat kesehatan telah tersedia. Namun, kesadaran masyarakat menjadi tantangan dalam mengatasi permasalahan kesehatan, seperti sulitnya memperluas cakupan imunisasi, meningkatkan nutrisi tumbuh kembang, dan mengurangi ketergantungan pada alkohol, rokok dan sirih pinang, termasuk kematian ibu melahirkan bukan di fasilitas kesehatan. Cara mengatasi permasalahan kesehatan adalah dengan integrasi menumbuhkan kesadaran menjaga kesehatan dan meningkatkan nutrisi tumbuh kembang. Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan sulitnya perubahan pola pikir. Penyuluhan dapat dilakukan melalui pendamping PKH kepada penerima bantuan sosial yang dilakukan dalam Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga (P2K2). Hal lain terkait konsumsi zat adiktif seperti rokok, alkohol, dan sirih pinang juga harus disosialisasikan untuk dikurangi. Selain itu, diperlukan membuat kesepakatan dengan penerima bantuan sosial untuk tidak memakai dana bantuan yang mensubstitusi kebutuhan dasar. Sumber: Wawancara Tim Penulis



4 - Investasi Sumber Daya Manusia



39



rendahnya kebutuhan air. Seringnya petani tembakau Madura merugi saat masa tanam menjadi alasan proses konversi (Saniman, dkk., 2018).



4.2.4 Kualitas Pendidikan Keluarga Miskin Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)



Pendidikan Dasar



Pendidikan bagi anak usia dini menjadi sangat penting karena mental dan karakter mulai dibentuk pada usia 0-5 tahun, sebelum masuk sekolah di sekolah dasar (SD). Meskipun kesadaran mengikuti PAUD dan persebaran infrastruktur PAUD harus ditingkatkan, namun partisipasi anak dalam PAUD membutuhkan



Pendidikan, termasuk pendidikan dasar adalah kunci untuk mengeluarkan sebuah keluarga dari jerat kemiskinan. Pendidikan dapat mengubah pola pikir dan perilaku yang tidak baik, seperti perubahan pola hidup terkait perilaku makan yang mendorong obesitas dan penyakit lain, perilaku merokok, dan konsumsi barang



biaya sehingga menghambat kelompok miskin dan rentan untuk mendapatkan layanan ini. Berdasarkan data Podes 2014, sebanyak 12,64 persen rumah tangga tidak memiliki akses terhadap PAUD. Akses PAUD terendah terdapat



40



pada kelompok pendapatan 20 persen terbawah yaitu sebesar 17,13 persen. Menghadapi kondisi ini, akses pendidikan keluarga miskin terhadap PAUD harus turut didukung oleh bantuan biaya PAUD.



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



berbahaya lainnya. Indonesia telah mengalami kemajuan besar dalam memastikan anak usia 7-12 tahun mendapatkan pendidikan. Berdasarkan data BPS tahun 2017, terdapat sekitar 99,22 persen anak usia 7-12 tahun yang mengenyam pendidikan



sesuai dengan usianya. Namun, masih terdapat 0,78 persen atau sebanyak 243.909 anak yang seharusnya bersekolah. Sedangkan untuk anak usia 13-15 tahun, sekitar 95,51 persen mengenyam pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau terdapat 679.320 anak yang seharusnya menikmati jenjang pendidikan SMP. Bila dilihat berdasarkan kelompok pengeluaran, masyarakat dengan pengeluaran 20 persen terendah (kuintil satu/kelompok termiskin) memiliki partisipasi pendidikan paling rendah baik di tingkat SD maupun SMP. Selain itu, tingkat keberlanjutan sekolah dari SD ke SMP pada keluarga miskin hanya sebesar 47,07 persen atau hampir setengah dari seluruh masyarakat di kuintil satu tidak melanjutkan pendidikan ke SMP. Berdasarkan data Podes (2014), meskipun rata-rata penduduk usia sekolah yang dapat mengakses fasilitas pendidikan telah cukup baik, namun pada kelompok termiskin masih terdapat 285.725 penduduk yang tidak memiliki akses terhadap SD (jarak dalam desa/kelurahan). Sementara itu, pada penduduk usia SMP di kuintil satu, masih terdapat 1.350.163 penduduk yang tidak memiliki akses. Selain faktor infrastruktur dan finansial, akses terhadap pendidikan erat juga kaitannya dengan faktor lain seperti faktor psikologis individu dan hal teknis lain di lapangan. Untuk meningkatkan akses dari kelompok miskin terhadap layanan pendidikan, Pemerintah melaksanakan Program Indonesia Pintar (PIP) yang menyasar usia sekolah (usia 6-21 tahun) yang berasal dari keluarga miskin, rentan miskin, pemilik Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), peserta PKH, yatim piatu, penyandang disabilitas, dan korban bencana alam. Berdasarkan hasil studi TNP2K (2018), kehadiran anak di SD dan SMP mengalami peningkatan seiring pemberian PKH, meskipun dampaknya masih relatif rendah. Untuk itu, skema insentif untuk siswa yang berhasil menyelesaikan pendidikan dasar diperlukan dengan tujuan meningkatkan tingkat keberlanjutan sekolah.



Kelompok Rentan Usia Produktif Pada Agustus 2018, jumlah penduduk bekerja di Indonesia bertambah sebanyak 2,95 juta dibandingkan pada Agustus 2017 yaitu menjadi 131,01 juta penduduk (BPS, 2018c). Dalam satu tahun, jumlah penduduk menganggur telah berkurang sebanyak 40 ribu orang. Hal ini sejalan dengan penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menjadi 5,34 persen pada Agustus 2018. Bila dilihat berdasarkan kelompok usia, penduduk menganggur didominasi oleh penduduk usia 20-24 (16,73 persen) dan 25-29 (6,99 persen). Pada Gambar 4.8 terlihat status menganggur kelompok usia 16-30 tahun dengan kategori rentan dan miskin adalah sebesar 16 persen. Angka ini jauh di atas angka TPT Nasional. Hal ini mengindikasilkan bahwa kelompok pengangguran pada kategori rentan dan miskin didominasi oleh pemuda usia produktif. Tingginya tingkat pengangguran dapat disebabkan oleh: 1) ketidakcocokan pendidikan pemuda dengan pekerjaan yang ada; dan 2) kurangnya kemampuan teknis, keterampilan manajerial dan non-manajerial untuk bersaing. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Gambar 4.8. Persentase Status Bekerja Pemuda 16-30 Tahun Kategori Rentan dan Miskin



16%



84% Bekerja



Menganggur



sumber: BPS dalam Susenas Maret 2018



4 - Investasi Sumber Daya Manusia



41



melalui investasi pendidikan dan perluasan kesempatan kerja agar penduduk usia kerja dapat memasuki sektor pekerjaan formal dengan pendapatan yang lebih tinggi. Dibutuhkan program peningkatan kualitas SDM yang menyasar langsung angkatan kerja usia muda salah satunya melalui pelatihan keterampilan kerja. Sebagai strategi peningkatan kualitas SDM, dibutuhkan peran pendidikan. Beberapa program pemerintah yang berupaya untuk meningkatkan kualitas SDM khususnya pemuda berupa: 1) Program Indonesia Pintar (PIP); 2) Program Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADik) yang menyasar lulusan SMA sederajat berasal dari Papua, Papua Barat, Daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T), dan anak dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri; dan 3) Program Bidikmisi yang menyasar keluarga miskin lulusan Sekolah Menengah Atas(SMA)/sederajat untuk menempuh pendidikan tinggi. Program ini diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang unggul dan berkualitas sehingga mampu bersaing dalam pasar tenaga kerja yang nantinya, dapat memutus rantai kemiskinan. Beberapa rekomendasi program lain yang dapat dilakukan untuk mendukung akselerasi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan: 1. Pendidikan formal setingkat vokasi yang berorientasi terhubung dengan kebutuhan industri, perkembangan teknologi, dan penerimaan tenaga kerja secara langsung agar menghindari ketidakcocokan tenaga kerja yang tersedia dan yang dibutuhkan industri. 2. Peningkatan keterampilan pemuda, misalnya melalui pelatihan dan program sertifikasi termasuk pemasaran dan keterampilan mengelola teknologi informasi. Pelatihan dapat disesuaikan dengan daerah dan kebutuhan tenaga kerja, misalnya pelatihan bersertifikat bahasa asing, teknologi informasi seperti coding, pengelolaan website, pengelolaan usaha dan kredit, penjualan dan pemasaran online, dan pencarian supplier bagi



42



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



calon wirausahawan. Pelatihan dapat juga mempertimbangkan kearifan lokal dan produk lokal yang berpotensi dikembangkan, sehingga tenaga kerja yang semula belajar otodidak secara turun temurun dapat belajar secara lebih sistematis dalam mengembangkan usaha. Dalam bidang lain seperti pendidikan, pelatihan pembuatan media pembelajaran baik berbasis teknologi informasi dapat diberikan ke mahasiswa calon guru. Di bidang pariwisata, diperlukan pelatihan pengelolaan agen perjalanan wisata, akomodasi perhotelan, pemandu wisata, pembuatan dan pengemasan cinderamata lokal.



4.2.5 Rumah Layak Huni, Energi, Sanitasi dan Air Bersih Pembangunan Rumah Layak Huni Dalam pemenuhan kebutuhan layanan dasar bagi penduduk miskin, aspek perumahan dan permukiman merupakan hal yang tidak boleh ditinggalkan. Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) dan permukiman kumuh merupakan indikator visual dari konsentrasi masyarakat miskin di suatu wilayah (Duqueet et al, 2015). Kondisi rumah dan lingkungan sebagai dimensi dari standar hidup masuk menjadi indikator penyusun Multidimensional Poverty Index (MPI) oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Keberadaan dari RTLH dan permukiman kumuh signifikan berkorelasi dengan tingkat kesehatan masyarakat (Szwarcwald et al, 2000; Kramer & Hogue, 2009; Ezeh et al, 2017). Jika pemerintah ingin mengurangi beban ekonomi kesehatan dalam penanggulangan kemiskinan, maka program yang bertujuan mengurangi jumlah RTLH dan luas area permukiman kumuh menjadi rasional untuk dilakukan. Untuk menyediakan perumahan dan permukiman yang layak khususnya bagi penduduk miskin dan rentan, saat ini terdapat dua Kementerian/Lembaga yang memiliki program tersebut yaitu Kementerian Sosial melalui Program Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RS-RTLH) dan Rehabilitasi Sarana Lingkungan (Sarling) serta Kementerian Pekerjaan



Foto: Kondisi perumahan warga yang jauh dari layak di Provinsi lampung



Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) yang menyelenggarakan program bantuan pembiayaan perumahan dan program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS). Berdasarkan kajian yang dilakukan, alasan umum mengapa masyarakat memiliki atau tinggal di RTLH atau lingkungan kumuh adalah karena hambatan dalam mengakses sumber daya perumahan. Terdapat tiga faktor utama penyebab hal ini terjadi: (a) semakin berkurangnya ketersediaan lahan untuk dijadikan kawasan permukiman akibat perkembangan pusat-pusat aktivitas kegiatan ekonomi terutama di wilayah perkotaan; (b) pertumbuhan penduduk yang relatif semakin tinggi dan menyebabkan



kebutuhan dasar (basic need) menjadi tidak terjangkau. Interaksi antara ketiga faktor di atas menyebabkan kualitas perumahan terutama di wilayah perkotaan ikut menurun. Kepadatan bangunan yang tinggi akibat harga tanah yang mahal dan lahan sempit menyebabkan pembangunan rumah tidak sesuai dengan kaidah rumah sehat. Selain itu fisik bangunan rumah relatif mudah rusak karena material yang digunakan berkualitas rendah. Prosedur dan tingginya biaya administrasi perizinan terkait tata guna, status, dan legalitas kepemilikan lahan turut menyebabkan masyarakat berpenghasilan rendah, terutama kelompok miskin, tidak memiliki pilihan selain



permintaan terhadap rumah terus naik sehingga menyebabkan peningkatan harga tanah dan rumah secara drastis; dan (c) masyarakat berpenghasilan rendah mengalami penurunan daya beli sehingga pemenuhan rumah sebagai



menempati daerah kumuh. Untuk mengatasi permasalahan tersebut pemerintah melalui Kementerian Sosial melaksanakan program RS-RTLH dan Sarling dan yang ditujukan bagi penduduk miskin dan rentan.



4 - Investasi Sumber Daya Manusia



43



Program ini dilaksanakan dengan mendorong semangat gotong royong dari masyarakat setempat agar tercipta kondisi rumah yang layak. Sarana lingkungan yang menjadi sasaran program ini meliputi tempat mandi cuci kakus, jalan setapak, bak sampah, saluran air (got), sarana air bersih, pos kamling, dan balai pertemuan warga. Penerima manfaat bantuan stimulan RS-RTLH dan Sarling adalah rumah tangga miskin yang terdaftar dalam Basis Data Terpadu (BDT) dan Keluarga Penerima Manfaat PKH yang memenuhi kriteria program. Program RS-RTLH telah dilaksanakan sejak tahun 2011 dengan bantuan yang diberikan sebesar Rp 15 juta untuk setiap kepala keluarga. Selanjutnya, program perumahan dan permukiman bagi penduduk miskin dan rentan juga diselenggarakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR), melalui Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) untuk meningkatkan keswadayaan masyarakat dalam pemenuhan rumah yang layak huni beserta kualitas prasarana, sarana, dan utilitas umum (PSU). Pemenuhan rumah swadaya kemudian dikelompokkan ke dalam dua kategori: pembangunan rumah baru (PB) dan peningkatan kualitas rumah tak layak huni (PK). Program BSPS dalam bentuk PK dilaksanakan dalam bentuk pemberian bantuan dana sebesar Rp 7,5 juta hingga Rp 15 juta per unit rumah



tangga penerima yang dapat dialokasikan untuk membeli bahan bangunan dan upah pekerja, yang variasinya tergantung pada jenis kerusakan. Untuk PB rumah layak huni, nilai bantuan yang diberikan mencapai Rp 30 juta per unit rumah tangga penerima. Kriteria pemenuhan rumah swadaya diatur lebih rinci dalam Permenpera No. 14/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Bantuan Perumahan Swadaya bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Penetapan konsep rumah layak huni yang dilakukan oleh Kementerian Sosial dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dengan variabel penilaian utama sebagai berikut: (1) keselamatan bangunan (jenis atap, lantai, dan dinding dari rumah); (2) luas bangunan; dan (3) kesehatan bangunan (pencahayaan, sirkulasi udara, sumber air minum dan sanitasi, dan sumber listrik). Adapun istilah stimulan dan swadaya digunakan untuk menekankan bahwa program ini menuntut inisiatif dan keterlibatan aktif dari masyarakat. Selain itu, mulai tahun 2015 Pemerintah juga melaksanakan Program Bantuan Pembiayaan Perumahan. Program ini bertujuan untuk menangani empat isu pembiayaan perumahan oleh masyarakat miskin dan rentan, yaitu daya beli yang rendah, ketersediaan dana dan skema bantuan pembiayaan terbatas, akses ke sumber pembiayaan yang juga terbatas serta



Gambar 4.9. Skema Penentuan Kelompok Sasaran Program Perumahan dan Permukiman KELOMPOK MASYARAKAT MENENGAH KE BAWAH INTERVENSI BANTUAN PEMERINTAH



KATEGORI



Kemudahan perizinan, Insentif, dan Subsidi/FLPP



Masyarakat Berpenghasilan Menengah (lower)



Bantuan Sosial Stimulan



Masyarakat Berpenghasilan Rendah



Masyarakat Bawah



44



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



DEFINISI Berpendapatan tetap (di atas MBR), punya slip gaji, bankable Berpendapatan tetap, punya slip gaji Berpendapatan tetap, tidak punya slip gaji Hampir miskin Miskin Sangat Miskin



JENIS PROGRAM FLPP; SSB; SBUM



RS-RLTH; BSPS; Sarling



isu pembiayaan perumahan yang umumnya masih jangka pendek dan tidak berkelanjutan. Terdapat tiga program bantuan pembiayaan perumahan yang disiapkan oleh pemerintah yaitu: (1) Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang juga dikenal dengan program KPR Bersubsidi; (2) subsidi Selisih Bunga (SSB) yang juga dikenal dengan program Subsidi Bunga Kredit Perumahan; dan (3) subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM). Melalui program perumahan dan permukiman diatas, pemerintah bertuan untuk merealisasikan target RPJMN 2015 – 2019 dan SDGs 2030 dengan tersedianya akses bagi 3,7 juta rumah tangga terhadap hunian yang layak dan terjangkau. Namun, implementasi program di lapangan secara umum masih belum efektif dalam menurunkan jumlah keberadaan RTLH secara nasional. Penilaian ini didasari oleh data yang menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah RLTH baru lebih tinggi daripada pengurangan RTLH dari tahun ke tahun. Terdapat beberapa kendala yang menyebabkan pelaksanaan pembangunan perumahan dan permukiman bagi penduduk miskin dan rentan belum efektif di antaranya: 1. Terdapat perbedaan perspektif dalam mendefinisikan angka kekurangan rumah hunian (backlog) antara Kementerian PUPR dan BPS. Menurut BPS, yang dimaksud dengan backlog rumah adalah jumlah



rumah dengan status hak milik, sementara bagi Kementerian PUPR backlog rumah adalah jumlah rumah dengan kondisi layak huni, terlepas dari status berupa hak milik atau sewa. Perbedaan perspektif ini menyebabkan angka backlog rumah versi BPS relatif lebih tinggi daripada angka backlog rumah versi Kementerian PUPR (Gambar 4.10). Kedepan, perlu dilakukan penyamaan persepsi antar instansi pemerintah agar dalam penetapan dan pencapaian sasaran pengurangan RTLH dapat dievaluasi dengan data yang konsisten. Pemerintah harus memilih antara mengurangi jumlah rumah tangga yang memiliki rumah tidak layak huni atau mengurangi jumlah rumah tangga yang tinggal di rumah tidak layak huni. 2. Segmentasi MBR sebagai sasaran program perumahan dan permukiman. Pelaksanaan BSPS menjadi bias karena konsep dan definisi MBR yang digunakan dalam program rumah swadaya masih memiliki rentang yang luas, yakni kelompok pendapatan 60 persen terbawah (dari desil ke-1 hingga ke6). Idealnya, program BSPS didesain untuk menargetkan kelompok desil ke-3 dan ke-4 saja. Sementara itu, untuk kelompok desil ke-5 dan ke-6, bantuan yang diberikan lebih cenderung kepada fasilitas pembiayaan. Kementerian PUPR juga diminta ikut



Gambar 4.10. Persentase RTLH Terhadap Backlog Menurut Kepemilikan Tanah Ditempati



Sumber: LAKIP 2017, Dirketorat Perumahan Swadaya Kementerian PUPR



4 - Investasi Sumber Daya Manusia



45



Foto: Keluarga miskin pasrah dengan kondisi bangunan tempat tinggal yang semakin parah di Desa Gunung Malang Kecamatan Pringgabaya Kabupaten Lombok Timur NTB



menangani masalah kebutuhan perumahan yang dihadapi kelompok desil ke-1 dan ke-2 menggunakan anggaran program BSPS. Kementerian PUPR juga perlu memanfaatkan basis data terpadu untuk menyasar kelompok masyarakat miskin sebagai pnerima manfaat program. 3. Terdapat perbedaan persepsi mengenai konsep dan definisi dari Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) antar instansi pemerintah yang mana kelompok MBR tidak dapat serta merta diartikan sebagai masyarakat miskin. Pelaksanaan program rumah swadaya yang dilakukan oleh Kementerian PUPR hanya berfokus kepada kelompok MBR. Kelompok MBR seringkali diasosiasikan dengan kelompok 40 persen terbawah (desil 1 sampai desil 4). Namun dalam pelaksanaannya, basis data untuk MBR berbeda dengan DT PPFM dan OTM yang dikelola oleh Kementerian



46



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Sosial. Mengacu pada hasil studi Roadmap Reformasi Kebijakan Perumahan (Bappenas, 2015) MBR adalah keluarga atau rumah tangga dengan total penghasilan bulanan sebesar Rp 1,2 juta-Rp 2,6 juta atau total pengeluaran bulanan sebesar Rp 1,2 juta-Rp 1,8 juta. Sementara itu, Kementerian PUPR menetapkan bahwa kriteria MBR yang dapat dipakai adalah keluarga/rumah tangga dengan tingkat penghasilan 10-40 persen dibawah Upah Minimum Provinsi (UMP) atau memiliki tabungan per bulan 0-30 persen dari penghasilan setiap bulannya. 4. Penetapan definisi swadaya yang masih belum jelas. Hal ini dikarenakan kelompok rumah tangga berpenghasilan tinggi juga dapat dikatakan membangun rumah secara swadaya. Apabila istilah swadaya didefinisikan dengan memasukkan kriteria tingkat pendapatan, maka akan memunculkan ketidakjelasan kriteria mana



5.



6.



7.



8.



yang akan dipakai. Sebagai contoh, perubahan angka kemiskinan dengan basis 2 dolar PPP per hari akan memengaruhi perhitungan jumlah rumah swadaya untuk masyarakat miskin. Besaran nilai dari bantuan BSPS dan RSRTLH (sebesar Rp15 juta) berada di bawah rata-rata kebutuhan rumah tangga untuk meningkatkan kualitas bangunan dari kondisi tidak layak huni menjadi layak huni. Hal ini dapat dimaklumi mengingat nilai nominal dana kedua program ini tidak ditentukan berdasarkan hasil kajian khusus, tetapi ditentukan berdasarkan ketersediaan anggaran dan target ingin dicapai. Dengan standar luas bangunan rumah sebesar 36 meter persegi, digunakan asumsi bahwa dana Rp 15 juta cukup untuk meningkatkan kualitas per satu unit RTLH menjadi layak huni sebesar 60 persen. Penetapan kriteria fisik bangunan RTLH tidak dapat diaplikasikan di seluruh daerah karena setiap daerah memiliki preferensi minimum berbeda-beda untuk material bangunan tempat tinggal, terutama rumah tangga yang bangunan tempat tinggalnya masih mengikuti konsep rumah adat. Sering ditemukan kasus di mana penerima manfaat untuk wilayah perdesaan memiliki rumah yang relatif luas sehingga dana Rp 15 juta tidak mencukupi. BSPS diprioritaskan untuk memperbaiki dinding/atap/lantai dan kekurangannya diperbaiki dengan anggaran BSPS dan RS-RTLH selanjutnya. Implikasinya, upaya memenuhi target pencapaian jumlah rumah layak huni menjadi relatif lambat. Hambatan teknis bersinggungan dengan masalah kualitas bangunan. Temuan menunjukkan ketidakpatuhan terhadap standar struktur bangunan yang diperburuk dengan adanya fasilitator yang tidak memiliki keilmuan teknik bangunan memadai. Masih lemahnya pendampingan dalam pembangunan rumah mengingat syarat fasilitator berpendidikan minimal SMA/



STM sulit dipenuhi untuk seluruh daerah. Fasilitator kesulitan bernegosiasi dengan tenaga kerja konstruksi yang keilmuannya di bawah standar. Idealnya, fasilitator memiliki kemampuan dan pengalaman. Ada fasilitator yang menjadikan BSPS sebagai kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan alih-alih memberdayakan masyarakat. Sementara itu untuk RS-RTLH saat ini belum memiliki pendamping yang bertugas mengontrol pembangunan, sehingga rumah yang dibangun tidak memiliki standar yang jelas. Jika dilihat dari kaitannya dengan upaya penanggulangan kemiskinan, maka program BSPS dan RS-RTLH merupakan program supply-side di sektor perumahan yang berbasis pemberdayaan untuk membantu mempercepat penurunan angka kemiskinan. Namun dari sisi kelembagaan, kedua program ini merupakan bagian dari program nasional “Pembangunan Sejuta Rumah”, sehingga tugas pelaksanaannya menjadi ranah dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Kementerian Sosial. Hal ini menjadi cukup unik, mengingat masih adanya persepsi bahwa upaya pemberdayaan bukan merupakan tupoksi dan tanggung jawab Kementerian PUPR. Dalam konteks pembangunan perumahan, isu pemberdayaan manusia tidak dapat diabaikan begitu saja. Hal ini kemudian menjadi salah satu kendala besar dalam upaya pelaksanaan kebijakan rumah swadaya. Dampak dari ketiadaan pemberdayaan masyarakat terlihat pada persoalan rendahnya tingkat hunian (occupancy rate) rumah susun. Idealnya, calon penghuni rumah susun diberikan edukasi awal mengenai aturan yang harus diketahui sebagai penghuni, mengingat mereka sebelumnya terbiasa tinggal di bangunan rumah satu lantai milik sendiri. Perlu juga diberikan edukasi bagaimana dan mengapa harus menjaga fasilitas bersama di lingkungan rumah susun. Dengan ketiadaan pemberdayaan masyarakat, maka persoalan rendahnya tingkat 4 - Investasi Sumber Daya Manusia



47



hunian rumah susun akan sulit untuk diselesaikan. Isu terkait pembagian kewenangan dan tugas pelaksanaan pembangunan rumah antara Kementerian PUPR dan Kementerian Sosial juga menjadi salah satu kendala. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman yang memiliki tanggung jawab dalam urusan pembangunan perumahan adalah Kementerian PUPR yang memiliki peran di bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman bukan Kementerian/Lembaga lainnya. Namun, karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki dan untuk membantu mempercepat penanganan RTLH maka Kementerian Sosial menjadi salah satu KL yang juga dapat melakukan rehabilitasi rumah terkecuali di wilayah perkotaan. Pentingnya Pemutakhiran Data Kepemilikan Rumah Data yang digunakan dalam penentuan lokasi rumah penerima manfaat program BSPS dan RS-RTLH adalah data usulan dari pemerintah daerah. Sumber data lain yang biasa digunakan untuk penentuan lokasi rumah tangga sasaran penerima BSPS dan RS-RTLH adalah Basis Data Terpadu (BDT). Penyamaan persepsi bahwa kondisi tidak layak huni identik dengan kondisi miskin. Penggunaan data yang tidak representatif berpotensi menghasilkan bantuan yang salah sasaran (Gambar 4.11) Ketiadaan database nasional RTLH membuat Kementerian PUPR dan Kementerian Sosial tidak dapat melakukan evaluasi mengenai jumlah sebenarnya dari RTLH yang harus dibantu dan berapa persentase RTLH yang sudah berhasil ditangani oleh pemerintah daerah per tahunnya. Dalam kegiatan pendataan, isu pendampingan kepada pemerintah daerah menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Perlu ada upaya kerjasama antara pemerintah dan pihak nonpemerintah untuk membangun database. (Contoh: Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan Universitas Diponegoro



48



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



(pengabdian masyarakat)membuat database rumah tangga yang membutuhkan rumah, termasuk yang memiliki tanah, tinggal di rumah sewa, atau menabung untuk memiliki rumah. Selanjutnya, rumah tangga tersebut difasilitasi oleh pemerintah daerah agar dapat membeli tanah sendiri dengan kerjasama dengan perbankan). Pada tahap awal perencanaan dan pembahasan substansi program rumah swadaya, program BSPS tidak didesain untuk spesifik menanggulangi isu kemiskinan dan hanya fokus pada pengurangan jumlah rumah tidak layak huni. BSPS sekalipun dapat dianggap sebagai bantuan sosial di sektor perumahan, tidak menyasar kemiskinan dan bukan merupakan bagian dari penanggulangan kemiskinan. Namun, seiring dengan tahap implementasi dan perkembangan cara pengukuran indikator kemiskinan, mulai ada arahan agar program perumahan swadaya termasuk BSPS menyasar kelompok masyarakat miskin berdasarkan data BDT yang menjadi acuan program penanggulangan kemiskinan lewat pemberian bantuan sosial. Untuk menyelesaikan persoalan perumahan khususnya pada kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan 20 persen terendah (desil ke-1 dan ke-2), ada beberapa gagasan yang perlu dipertimbangkan, antara lain: 1. Asas dari BSPS dan RS-RTLH adalah program berbasis pemberdayaan. Bentuk bantuan yang diberikan sebaiknya tidak langsung berupa dana stimulan, melainkan diawali dengan upaya pemberdayaan seperti analisis SWOT untuk mengidentifikasi rumah tangga miskin yang memiliki semangat bekerja secara mandiri atau potensi ekonomi diberdayakan. 2. Penyusunan program perumahan mempertimbangkan karakteristik rumah tangga tiap kelompok desil pendapatan karena pola penanganan backlog perumahannya berbeda. Rumah tangga kelompok desil ke-1 dan ke-2 memiliki karakteristik yang relatif mirip, namun rumah



Gambar 4.11: Korelasi Angka Kemiskinan & Persebaran RTLH Berdasarkan BDT Provinsi



Sumber: Tim Penulis, diolah, 2018



tangga kelompok desil ke-1 dan ke-3 tentu memiliki karakteristik berbeda. 3. Program BSPS dan RS-RTLH difokuskan untuk menangani RTLH dari kelompok desil ke-1 dan ke-2 terlebih dahulu, dan kemudian diarahkan untuk kelompok diatasnya. Gagasan kategorisasi backlog berdasarkan kelompok desil pendapatan ini diharapkan bisa memfokuskan program untuk kelompok yang lebih membutuhkan. 4. Program alternatif tidak harus berupa pemberian bantuan dalam bentuk dana tunai. Perlu ada diferensiasi program khususnya untuk kelompok yang benar-benar miskin, pembangunan rumah dengan konsep hibah dapat dilakukan melalui seleksi dan kriteria yang tepat. 5. Persamaan persepsi mengenai aspek kriteria bangunan dalam program BSPS dan RS-RTLH dalam konteks sosial budaya , kebiasaan penduduk lokal dan pendampingan masyarakat. Contoh misalnya bagi masyarakat Papua, tinggal di rumah tradisional tanpa atap adalah hal yang normal. Namun, hal ini berpotensi



menjadi kendala dalam proses evaluasi dan membuat administrasi pelaporan menjadi kompleks. Dalam urusan birokrasi, pemerintah harus menghindari program dengan mekanisme pelaporan yang berbeda-beda untuk pelaksanaan program yang sama. 6. Menyiapkan fasilitasi pendataan dan verifikasi data backlog rumah tidak layak huni secara berkala agar evaluasi program dapat dilakukan dengan akurat. Akses Terhadap Sumber Energi Ketersediaan dan kemampuan mengakses sumber energi dapat dijadikan sebagai salah satu indikator perubahan kesejahteraan pada kelompok rumah tangga miskin, misalnya: 1) akses terhadap layanan listrik; dan 2) akses terhadap bahan bakar yang layak untuk keperluan memasak (misal, gas elpiji). Perluasan layanan dasar dalam penyediaan akses sumber energi direalisasikan dengan pemberian subsidi tepat sasaran bagi kelompok rumah tangga miskin. Program layanan dasar berupa akses terhadap layanan listrik per tahun 2016, diberikan oleh



4 - Investasi Sumber Daya Manusia



49



pemerintah dalam bentuk subsidi listrik kepada 40 persen masyarakat pendapatan terbawah serta mencabut subsidi listrik dengan daya 900 volt-ampere (VA) bagi kelompok rumah tangga mampu. Kebijakan pencabutan subsidi listrik ini mengacu pada data yang pernah dirilis oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) bahwa hanya 4,1 juta rumah tangga dari 23 juta pelanggan daya 900 VA yang layak mendapat subsidi listrik. Oleh karena itu, pemerintah berkomitmen agar ke depan pemberian subsidi listrik bagi kelompok rumah tangga miskin menjadi lebih tepat sasaran. Tahun 2016, besarnya tarif listrik adalah Rp 1.460/kwh. Pada tingkat harga tersebut, pemerintah memberikan subsidi sebesar 70 persen per kwh bagi pelanggan daya 450 VA dan 60 persen per kwh bagi pelanggan daya 900 VA. Jumlah pelanggan daya 450 VA dan 900 VA masing-masing sebesar 36,59 persen dan 36,43 persen dari total 63,2 juta pelanggan PLN secara nasional. Pencabutan subsidi listrik pada sekitar 19 juta rumah tangga secara signifikan akan membantu menghemat anggaran negara hingga Rp22 triliun per tahun yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan rasio elektrifikasi nasional. Sebagai contoh, khusus untuk kelompok rumah tangga nelayan dan rumah



tangga miskin di wilayah tertinggal di perdesaan, pemerintah menyediakan program listrik gratis dan program instalasi listrik gratis. Kedua program ini merupakan bagian dari upaya pembangunan ketenagalistrikan dan perluasan akses pelayanan listrik wilayah belum terjangkau listrik, mendorong pembangunan ekonomi wilayah, dan meningkatkan kesejahteraan. Program layanan dasar lain yang berkaitan dengan akses terhadap sumber energi rumah tangga miskin adalah: 1) konversi minyak tanah dan pemberian gas elpiji bersubsidi tepat sasaran; 2) penyaluran konverter kit dari Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Bahan Bakar Gas (BBG) khusus rumah tangga nelayan miskin dengan tujuan meningkatkan ekonomi nelayan melalui penghematan biaya melaut; dan 3) pembangunan jaringan gas di wilayah tertentu. Evaluasi TNP2K di lapangan menunjukkan terdapat 19 juta rumah tangga pelanggan daya 900 VA yang tidak layak mendapat subsidi listrik berdasarkan data pelanggan milik PLN. Akibatnya, kebijakan pencabutan subsidi menimbulkan polemik. Perlu ada perhitungan cermat mengenai upaya pengalihan subsidi listrik dari kelompok mampu ke kelompok miskin agar tujuan pemberian subsidi tepat sasaran.



Foto: Kampung nelayan Tanjung Tiram, Sumatera Utara. Sebesar 74,55 persen memiliki pendidikan tertinggi sampai tingkat SD, 74,26 persen memiliki lantai kayu atau papan serta masih terdapat 21,38 persen yang memiliki penerangan listrik yang non PLN dan bukan listrik



50



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Salah satu ilustrasi subsidi listrik tepat sasaran ditinjau dengan membandingkan rencana pemerintah dalam memberikan subsidi listrik gratis dengan persebaran kemiskinan (Gambar 4.12). Panel A menunjukkan peta distribusi pagu anggaran listrik gratis kelompok rumah tangga nelayan dan rumah tangga miskin di wilayah tertinggal perdesaan pada 2015 menurut provinsi, sedangkan Panel B menunjukkan persebaran persentase kemiskinan perdesaan di provinsi pada tahun yang sama. Warna merah di Panel A mengindikasikan provinsi relatif paling banyak mendapatkan subsidi listrik gratis, sementara warna merah di Panel B mengindikasikan provinsi tersebut memiliki kemiskinan perdesaan relatif paling tinggi.



Pada provinsi dengan tingkat kemiskinan perdesaan relatif tinggi (Bengkulu, Lampung, Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan Jawa Timur), pagu listrik gratis yang dianggarkan justru relatif rendah. Sebaliknya, beberapa provinsi dengan tingkat kemiskinan perdesaan relatif rendah (Banten, Jawa Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara), namun pagu listrik gratis yang dianggarkan justru relatif tinggi. Dalam program penyediaan elpiji bersubsidi, salah satu persoalan utama adalah kelangkaan. Kelangkaan tidak hanya akibat gangguan pasokan, tetapi juga akibat penggunaan gas elpiji bersubsidi oleh yang tidak berhak dan potensi penimbunan stok.



Gambar 4.12. Anggaran Listrik Gratis dan Persentase Angka Kemiskinan Perdesaan (2015) Panel (A): Anggaran Listrik Gratis (miliar rupiah), 2015



Panel (B): Angka Kemiskinan Perdesaan (%), 2015



Sumber: TIm Penulis, diolah, 2018



4 - Investasi Sumber Daya Manusia



51



Akses Terhadap Air Bersih dan Sanitasi Dalam kaitannya dengan investasi SDM, penyediaan layanan berupa perluasan akses sanitasi dan air bersih memberikan manfaat yang luas, antara lain: penurunan angka kematian bayi (Macinko et al, 2013; Galiani, 2005; Geruso & Spears, 2018), penurunan angka kematian (Bleakley et al, 2018), penurunan angka kemiskinan (Cohen & Sulivan, 2010; Gine & Perez, 2013;), dan peningkatan partisipasi pendidikan (Demie et al, 2016). Dalam perluasan akses sanitasi dan air bersih, pemerintah melalui Kementerian PUPR telah mengimplementasikan program bantuan sosial yakni Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) untuk sekitar 12.000 desa pada 233 kabupaten/ kota. Pamsimas merupakan bagian upaya mencapai target RPJMN 2015 – 2019 melalui program 100-0-100 yaitu target 100 persen akses air minum, 0 persen kawasan permukiman kumuh, dan 100 persen akses sanitasi layak. Dengan data tahun 2015 sebagai baseline, diperkirakan hanya 67 persen penduduk indonesia yang memiliki akses terhadap air bersih dan sanitasi higienis. Target prioritas penerima manfaat Pamsimas adalah MBR khususnya



perdesaan dengan keterbatasan/rawan akses air minum dan sanitasi layak.Pamsimas berperan menyediakan dukungan finansial baik untuk investasi fisik (sarana dan prasarana), maupun investasi non-fisik (manajemen, dukungan teknis, dan pengembangan kapasitas). Dalam pelaksanaannya, masyarakat diberikan ruang untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan, sedangkan pemerintah memiliki peran sebagai fasilitator dengan memberikan pendampingan selama kegiatan. Kementerian PUPR melalui Direktorat Keterpaduan Infrastruktur Permukiman (KIP) telah mendorong peningkatan kualitas dengan memberikan bantuan teknis kepada pemerintah daerah untuk menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) mengenai target “100-0-100” di tingkat provinsi agar kebijakan pembangunan infrastruktur permukiman di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dapat selaras dengan target RPJMN. Kondisi capaian akses air minum dan sanitasi pada akhir tahun 2018 dapat dilihat pada Gambar 4.13. Tantangan utama Pamsimas di wilayah perdesaan antara lain: 1) belum tersedianya lembaga formal yang secara khusus bertugas menangani pengelolaan air minum dan sanitasi



Foto: Anak-anak di Kabupaten Sanggau memanfaatkan air sungai untuk kegiatan mandi dan cuci



52



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



perdesaan sebagaimana Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di perkotaan; 2) belum tersedianya sistem database nasional berisi informasi air minum dan sanitasi di wilayah perdesaan yang dapat dijadikan acuan dalam melakukan evaluasi kinerja penyelenggaraan pembangunan daerah serta sebagai basis perencanaan program dan anggaran pembangunan serta pengelolaan air minum dan sanitasi di wilayah perdesaan. Dalam hal ini, kualitas data capaian RAD perlu mendapat perhatian. Pada tahun 2016 misalnya, terdapat ketidaksesuaian data pada sektor air minum dan terdapat 28 provinsi dengan data capaian air minum yang tidak sesuai dengan perhitungan rata-rata kabupaten/ kota, sedangkan pada sektor sanitasi terdapat 20 provinsi dengan data capaian sanitasi tidak sesuai dengan perhitungan rata-rata kabupaten/ kota; 3) belum memadainya dukungan program dan anggaran daerah yang memberikan fokus pada peningkatan kinerja pelayanan air minum dan sanitasi di wilayah perdesaan; 4) belum



memadainya investasi sistem penyediaan air minum dan sanitasi di wilayah perdesaan. Alokasi APBD untuk pembangunan air minum dan sanitasi masih rendah dan sebagian besar pendanaan masih bertumpu pada anggaran pemerintah pusat. Di saat yang sama, potensi pendanaan swasta dan masyarakat belum dimanfaatkan.



4.2.6 Peningkatan Kualitas Hidup Kelompok Miskin dan Rentan di Wilayah Sulit Kapasitas pengurangan penduduk miskin pada setiap provinsi berbeda-beda. Provinsi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) mampu menurunkan jumlah penduduk miskin rata-rata 2,66 persen per tahun (2014 – 2018); sementara provinsi di Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada kurun waktu sama hanya menurunkan jumlah penduduk miskin rata-rata 0,15 persen per tahun (Bappenas, 2018). Faktor penyebabnya adalah perbedaan kualitas modal manusia dan perbedaan ketersediaan infrastruktur sosial dan ekonomi.



Gambar 4.13. Persentase Capaian Akses Sanitasi dan Air Minum Menurut Provinsi, 2018



Total Persen Capaian Akses Sanitasi dan Air Minum menurut Provinsi Bali Sulawesi Utara Papua Barat Nusa Tenggara Barat Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Tengah Jambi Sulawesi Selatan Papua Maluku Sumatera Barat Bengkulu Sulawesi Tenggara Jawa Timur Aceh Sulawesi Barat Jawa Barat Sumatera Selatan Kep Bangka Belitung Nusa Tenggara Timur DI Yogyakarta Kepulauan Riau Banten Lampung Riau Jawa Tengah Kalimantan Barat Sumatera Utara Kalimantan Timur Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan 0.00%



85.80% 81.20% 78.30% 77.30%



92.50%



99.20%



70.90% 72.40% 70.90% 70.50% 70.40% 68% 66.30% 66.30% 64.10% 63.20% 63% 60.40% 59.90% 59.70% 59.40% 56.70% 55.20% 54.80% 54% 51.50% 51% 51% 48.50% 46% 44.90% 43.70% 20.00%



40.00%



60.00%



80.00%



100.00%



Sumber: http://mis.pamsimas.org/qgraf/index.php?m=2.5.



4 - Investasi Sumber Daya Manusia



120.0



53



Karakteristik kemiskinan di wilayah KTI cenderung serupa dengan karakteristik kemiskinan yang dominan di wilayah perdesaan. Berbagai macam hambatan yang ditemui terkait kemiskinan di wilayah ini, seperti: 1) kemampuan membaca dan menulis kepala keluarga rumah tangga miskin lebih rendah dibandingkan dengan rumah tangga tidak miskin; 2) tingkat pendidikan kepala keluarga yang diukur dengan rata-rata lama sekolah, lebih rendah dibandingkan dengan kepala keluarga rumah tangga tidak miskin; 3) rumah tangga miskin yang umumnya bekerja pada sektor pertanian dan kepala keluarga rumah tangga miskin yang umumnya berstatus sebagai pekerja informal; 4) akses rumah tangga miskin ke sumber air bersih lebih rendah bila dibandingkan dengan rumah tangga yang tidak miskin. Daerah Papua, Papua Barat, NTT, Maluku dan Gorontalo adalah provinsi yang sebagian besar wilayah memiliki tingkat aksesibilitas yang masih terbatas dan topografi wilayah yang sulit. Beberapa kabupaten dipisahkan oleh pegunungan dan lembah, serta tersebar di pulaupulau (Bappenas, 2018). Sementara itu, ada lima faktor penting yang menghambat penurunan kemiskinan di wilayah dengan kemiskinan tinggi yang umumnya berada di wilayah Timur Indonesia, antara lain: 1) keterisolasian wilayah; 2) sulitnya akses layanan dasar yang menyebabkan kerentanan; 3) rendahnya kondisi perekonomian dan ketenagakerjaan; 4) rendahnya kualitas SDM; dan 5) rendahnya investasi.



54



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Penanggulangan kemiskinan di daerah KTI membutuhkan strategi yang memperhatikan kendala di daerah tersebut, seperti memperhatikan pembangunan ekonomi yang berbasis sumber daya yang dimiliki oleh daerah setempat. Selain itu, faktor budaya juga menjadi perhatian dalam formulasi strategi penanggulangan kemiskinan yang diterapkan karena terdapat kemungkinan ketidakcocokan pola pikir yang dimiliki penduduk setempat dengan pemerintah pusat dan daerah. Masyarakat KTI cenderung tertutup dan menjunjung tinggi peraturan adat yang ada di daerah tersebut. Perubahan perilaku tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat kecuali melalui proses berkesinambungan. Berdasarkan kajian Bappenas (2018) pada wilayah KTI diperlukan: 1) peningkatan kualitas modal manusia: intervensi dapat dilakukan dalam bidang pendidikan, kesehatan, agama dan budaya; 2) pengembangan infrastruktur: intervensi dapat dilakukan melalui pembangunan jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, pembangunan listrik, dan pembangunan telekomunikasi; 3) perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha: intervensi dapat dilakukan melalui pengembangan kegiatan/proyek padat karya, pengembangan Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM), serta pengembangan investasi di daerah; dan 4) pengembangan kerjasama antar Pemda dan pihak lain dalam inovasi dan pembangunan; riset dan pengembangan; serta pembiayaan.



5



Ekonomi Produktif dan Penghidupan Berkelanjutan







Ke depan, isu penanggulangan kemiskinan bukanlah hanya pengurangan beban, melainkan lebih kepada upaya-upaya peningkatan kemampuan untuk menghasilkan penghidupan berkelanjutan... Upaya tersebut menjadi pilihan penting untuk menanggulangi kemiskinan secara jangka panjang dan berkelanjutan.



P



aradigma yang berkembang selama ini adalah masyarakat miskin dapat keluar dari kemiskinan apabila mendapatkan bantuan yang cukup. Namun nyatanya, bantuan saja tidak cukup. Masyarakat miskin perlu juga meningkatkan taraf hidupnya untuk pemenuhan kebutuhan secara jangka panjang dan tidak hanya bergantung pada bantuan. Maka, selain melalui bantuan, salah satunya diperlukan juga strategi peningkatkan pendapatan agar masyarakat miskin keluar dari kemiskinan. Ke depan, isu penanggulangan kemiskinan tidak hanya melalui pengurangan beban hidup, melainkan pada upaya-upaya peningkatan kemampuan untuk penghidupan berkelanjutan. Upaya tersebut menjadi pilihan penting untuk menanggulangi kemiskinan secara jangka panjang dan berkelanjutan. Untuk mengeluarkan kelompok miskin dari kemiskinan, maka program-program yang dibuat harus dapat membuat kelompok miskin berdaya untuk penghidupan berkelanjutan.



Selain fokus sasaran kepada kelompok miskin (pengeluaran di bawah garis kemiskinan), perlu juga diperhatikan untuk kelompok rentan (pengeluaran di antara garis kemiskinan dan 1.5 garis kemiskinan) yang mudah kembali pada kemiskinan apabila terjadinya guncangan (shock). Hal ini akan menyebabkan semakin meningkatnya angka kemiskinan. Oleh sebab itu, untuk mengurangi kemiskinan perlu untuk menyediakan pekerjaan produktif dan peningkatan kesempatan untuk berwirausaha agar pendapatan masyarakat kelompok miskin dan rentan terus meningkat. Tidak ada negara yang secara signifikan mengurangi kemiskinan tanpa mengalami pertumbuhan ekonomi, tetapi pertumbuhan ekonomi dapat memiliki dampak yang sangat berbeda terhadap pengurangan kemiskinan di masing-masing negara. Umumnya, kenaikan 1 persen dalam PDB per kapita dapat mengurangi kemiskinan 1-4 persen (Ravallion, 2004). Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan dimediasi oleh



Foto: Pembuatan tapioca di Desa Babakan Madang, Bogor, Jawa Barat



56



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



penciptaan lapangan kerja. Namun, ada kemungkinan juga suatu negara memiliki perkembangan ekonomi tanpa penciptaan lapangan kerja yang signifikan, sehingga dampaknya pada pengurangan kemiskinan menjadi lebih kecil. Upaya penanggulangan kemiskinan tidak lepas dari kerangka ekonomi makro dan mikro. Dalam kerangka ekonomi makro, upaya penanggulangan kemiskinan dimulai dari menjaga stabilitas makro ekonomi, stabilisasi harga, penciptaan lapangan kerja produktif, menjaga iklim investasi, regulasi perdagangan, meningkatkan produktivitas sektor pertanian, dan pengembangan infrastruktur di wilayah tertinggal. Secara mikro, upaya penanggulangan kemiskinan melalui pelayanan dasar dan perlindungan sosial dikelompokkan menjadi dua strategi utama, yaitu penyempurnaan kebijakan bantuan sosial untuk menurunkan beban pengeluaran serta dilengkapi dengan peningkatan pendapatan kelompok miskin dan rentan melalui ekonomi produktif. Dewasa ini, salah satu fokus upaya pengurangan kemiskinan di negara-negara berkembang adalah dengan pengembangan kapasitas produksi dan menciptakan pekerjaan yang produktif. Upaya ini sejalan dengan konsep SDGs pada tujuan delapan yaitu “mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkelanjutan, kesempatan kerja produktif serta kerja layak untuk semua”. Kerangka kebijakan untuk menanggulangi kemiskinan dari sisi peningkatan pendapatan dilakukan melalui peningkatan akses permodalan, peningkatan kualitas produk dan akses pemasaran, pengembangan keterampilan dan layanan usaha, pengembangan kewirausahaan, kemitraan, dan keperantaraan. Selain itu, dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat petani miskin dan masyarakat adat juga diperlukan skema perhutanan sosial dan reforma agraria. Pemanfaatan kawasan hutan untuk peningkatan pendapatan petani miskin dilakukan



melalui hutan tanaman rakyat, hutan desa, hutan adat, kemitraan hutan, dan legalisasi pertanahan dan distribusi sertifikat tanah pada masyarakat agar menjadi aset produktif. Tak hanya itu, terkait dengan upaya penanggulangan kemiskinan di perdesaan juga diperlukan upaya untuk meningkatkan produktivitas sektor pertanian, di antaranya melalui diversifikasi komoditas pertanian menjadi produk yang memiliki nilai tambah tinggi; perbaikan infrastruktur pengairan agar petani tidak hanya bergantung pada sistem tadah hujan; perluasan akses modal yang diperuntukkan bagi petani agar dapat meningkatkan produktivitas; kebijakan harga gabah yang lebih transparan dan kompetitif; dan program asuransi usaha tani sebagai bentuk mitigasi risiko usaha.



5.1 Peningkatan Akses Pembiayaan Upaya penanggulangan kemiskinan dari sisi peningkatan pendapatan, salah satunya dilakukan melalui kegiatan ekonomi produktif untuk penghidupan berkelanjutan. Dalam pengembangannya, dibutuhkan 5 modal utama untuk membangun penghidupan berkelanjutan, salah satunya adalah sumber daya finansial. Dalam hal peningkatan akses pada sumber daya finansial, saat ini pemerintah memiliki Kelompok Usaha Bersama (KUBe) dan program kredit murah untuk rakyat melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUBe merupakan program pemerintah yang bertujuan untuk memberdayakan kelompok masyarakat miskin dengan pemberian modal usaha dalam mengelola Usaha Ekonomi Produktif (UEP). KUBe juga menjadi program komplementer PKH untuk meningkatkan tingkat graduasi PKH. Sedangkan, KUR merupakan sarana untuk mengintegrasikan atau membawa UMKM yang sebelumnya tidak memiliki akses kepada bank masuk ke dalam sektor perbankan formal.



5 - Ekonomi Produktif dan Penghidupan Berkelanjutan



57



5.1.1 Kelompok Usaha Bersama (KUBe) Berdasarkan laporan kinerja Kementerian Sosial tahun 2016, capaian pemberdayaan KUBe tahun 2016 adalah 200.771 KK, turun 41,85 persen dari tahun 2015 (343.690 KK). Capaian kinerja berdasarkan hasil evaluasi tahun 2016 adalah sebagai berikut: 1) kurang berhasil: 30,9 persen atau 62.038 KK; 2) berhasil: 48,4 persen atau 97.173 KK; dan 3) sangat berhasil: 20,7 persen atau 41.560 KK (LAKIN Kementerian Sosial, 2016). Pada tahun 2018, KUBe di perdesaan dan perkotaan ditargetkan mencapai masing-masing 64.700 dan 30.000 keluarga miskin (Nota Keuangan, 2018). Kriteria keberhasilan pemberdayaan KUBe meliputi 3 aspek yakni: 1) aspek kelembagaan dilihat dari administrasi kelembagaan KUBe; 2) aspek sosial dilihat dari pemanfaatan interaksi sosial di lingkungannya karena dengan berkelompok mereka memiliki wadah dalam melakukan kegiatan bersama; dan 3) aspek ekonomi yang menunjukkan adanya peningkatan ekonomi masyarakat miskin penerima KUBe.



58



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Peningkatan ekonomi tersebut meliputi peningkatan penghasilan dan kemampuan mengembangkan usaha. Sejauh ini, belum ada evaluasi yang mendalam terkait keberhasilan program KUBe. Namun, banyak penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan kredit mikro hanya pada batas tertentu saja. Sebagian besar nasabah kredit mikro terjebak dalam kegiatan subsisten dan bersaing di pasar dengan pelaku-pelaku lain yang memiliki karakteristik lebih unggul. Penerima manfaat KUBe biasanya tidak memiliki keahlian khusus, tidak digaji, memiliki sedikit aset, dan tidak efisien karena skala usahanya yang kecil. Selain itu, risiko untuk usaha mikro juga cenderung tinggi. Usaha yang dilakukan tidak cukup menghasilkan pendapatan untuk keluar dari kemiskinan. Berdasarkan wawancara dengan 60.000 orang miskin atau yang sebelumnya miskin, studi (Narayan, Pritchett, & Kapoor, 2009) di 15 negara menyimpulkan bahwa pinjaman kecil dengan skema kredit mikro tidak mampu mengangkat orang untuk keluar dari kemiskinan dengan jumlah yang besar. Orang miskin membutuhkan pinjaman



untuk konsumsi dan membangun aset permanen. Dengan sistem cashflow harian, sulit bagi usaha mikro untuk tidak menggunakan pinjaman sebagai konsumsi pribadi. Di sisi lain, pinjaman akan lebih produktif ketika dibarengi dengan perbaikan infrastruktur lokal, terutama jalan perdesaan, dan bantuan untuk menghubungkan ke pasar.



5.1.2 Kredit Usaha Rakyat (KUR) Pada tahun 2018, target dana KUR yang tersalurkan yaitu sebesar Rp120 triliun (Gambar 5.1, panel a). Selama tahun 2018 hingga bulan September, penyaluran pada usaha mikro sebesar Rp63,6 triliun, usaha kecil Rp 36 triliun, dan KUR penempatan TKI sebesar Rp 406,5 miliar. Rasio NPL KUR tercatat sebesar 0,11 persen per September 2018 dengan penyaluran maupun jumlah debitur KUR didominasi oleh sektor perdagangan (57 persen), pertanian (22 persen), dan jasa (13 persen). Namun, besaran penerima KUR masih relatif kecil (4 juta nasabah) dibandingkan dengan jumlah UMKM (62,9 juta), sehingga diperlukan upaya perluasan penerima manfaat. Tujuan KUR untuk meningkatkan akses kredit pada UMKM bagi penduduk yang tidak dapat mengakses kredit perbankan justru tidak terlalu optimal karena penyalur kredit KUR dominan adalah lembaga keuangan bank yang lebih memprioritaskan nasabah yang feasible



dan bankable. Dalam evaluasi kebijakan KUR, sebagian besar dana KUR disalurkan kepada nasabah yang feasible dan bankable. Hanya 24 persen nasabah KUR yang benar-benar target KUR, yaitu feasible dan tidak bankable (BKF, 2014). Berdasarkan survey IMK BPS pada tahun 2017, sebesar 82,4 persen IMK memiliki sumber modalnya sendiri dan hanya 17,6 persen IMK memiliki sumber modal eksternal. Dari 17,6 persen itu, 42 persennya berasal dari bank dan 29,5 persennya dari perorangan dan keluarga. Hal yang menarik adalah, sebesar 52 persen IMK yang tidak meminjam dari bank mengatakan alasannya adalah tidak adanya minat, bukan karena tingginya suku bunga, ketiadaan agunan, maupun proses administrasi yang sulit. Dengan demikian, permasalahan KUR tidak hanya pada perluasan nasabah dengan subsidi bunga dan sejenisnya, namun meliputi pengembangan bisnis dan lain-lain.



5.1.3 Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Pada dasarnya, ada dua cara bagi seseorang untuk meningkatkan pendapatannya, yaitu sebagai pekerja atau menjadi wiraswasta/ produsen. Untuk menjadikan pekerjaan sebagai cara untuk keluar dari kemiskinan, diperlukan program dari sisi permintaan dan penawaran tenaga kerja. Dari sisi permintaan pasar tenaga kerja, diperlukan program yang dapat



Gambar 5.1: Penyaluran KUR dan Sektor Penyaluran a. Penyaluran KUR dari tahun ke tahun (dalam Miliar Rupiah) 200 180



Sektor



178



160 140



120



120 94,4



100



96,7



80 60 40



22,75



20 0



2007 - 2014



b. Plafon Penyaluran KUR, dan Jumlah Debitur menurut Sektor per September 2018



2015



2016



2017



2018*



Pertanian, Perburuan dan Kehutanan Perikanan Industri dan Pengolahan Perdagangan Konstruksi Jasa-Jasa Total



Plafon



Outstanding



Debitur



22,265,554



18,767,732



962,077



1,516,938



1,290,928



61,832



6,752,534



5,768,748



273,538



56,826,683 114,774 12,611,859 100,088,342



47,970,331 100,028 10,824,923 84,722,330



2,095,101 1,669 40,333 3,797,547



Sumber: Kemenko Perekonomian



5 - Ekonomi Produktif dan Penghidupan Berkelanjutan



59



Tabel 5.1: Jumlah Tenaga Kerja UMKM dan UB, 2012-2017 No



TAHUN 2012



SATUAN



UNIT USAHA (A+B) A. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) • Usaha Mikro (UMi) • Usaha Kecil (UK) • Usaha Menengah (UM)



(Unit)



55.211.396



(Unit)



55.206.444



99,99



62.922.617



(Unit) (Unit) (Unit)



54.559.969 602.195 44.280



98,82 1,09 0,08



B. Usaha Besar (UB)



(Unit)



4.952



0,01



JUMLAH



1.



2.



TENAGA KERJA (A+B) A. Usaha Mikro, Kecil Menengah (UMKM) • Usaha Mikro (UMi) • Usaha Kecil (UK)



dan



• Usaha Menengah (UM) B. Usaha Besar (UB)



(Orang)



104.613.681



PERKEMBANGAN TAHUN 2012-2017 JUMLAH (%)



TAHUN 2017



INDIKATOR



%



JUMLAH



%



62.928.077



7.716.680



13,98



99,99



7.716.172



13,98



62.106.900 757.090 58.627



98,70 1,20 0,09



7.546.931 154.895 14.347



13,83 25,72 32,40



5.460



0,01



508



10,26



15.646.504



14,96



120.260.185



(Orang)



101.722.458



97,24



116.673.416



97,02



14.950.958



14,70



(Orang) (Orang)



94.957.797 3.919.992



90,77 3,75



107.232.992 5.704.321



89,17 4,74



12.275.195 1.784.329



12,93 45,52



(Orang) (Orang)



2.844.669 2.891.224



2,72 2,76



3.736.103 3.586.769



3,11 2.98



891.434 695.545



31,34 24,06



Sumber: Kementerian Koperasi, dan UKM.



menciptakan peluang kerja sesuai dengan keterampilan orang miskin. Sedangkan dari sisi penawaran, diperlukan upaya meningkatkan kelayakan kerja orang miskin/rentan melalui pendidikan dan program pelatihan kejuruan. Penyesuaian antara keterampilan yang didapat melalui pendidikan dan pelatihan dengan yang dibutuhkan pasar tenaga kerja (industri) menjadi sangat penting untuk dilakukan agar tidak terjadinya mismatch. Untuk meningkatkan keterampilan dan pekerjaan tersebut, diperlukan perbaikan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, pembekalan kepribadian sehingga menjadi pribadi siap kerja, dan program magang pada perusahaan. Salah satu indikator dari ketidaksesuaian antara keterampilan dengan pekerjaan adalah pengangguran jangka panjang. Strategi yang sangat potensial agar masyarakat miskin masuk dalam pasar tenaga kerja, salah satunya melalui pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Pada Tabel 5.1, usaha mikro pada tahun 2017 masih menjadi usaha yang paling dominan dalam perekonomian Indonesia yang mencapai 98,7 persen (62,1 juta usaha) dari unit usaha di Indonesia. Tenaga kerja yang terserap dalam usaha mikro juga sangat besar yang mencapai 107,2 juta orang. Sebagian besar tenaga kerja berada pada sektor perdagangan, industri



60



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



pengolahan, penyediaan akomodasi, serta makan dan minum. Sementara itu, jumlah Usaha Kecil Menengah (UKM) masih sedikit sekali, yaitu hanya 1,29 persen (815,7 ribu unit usaha) dengan pekerja yang diserap sebesar 7,85 persen (9,4 juta pekerja). Meskipun UMKM mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang masif, tetapi karakteristik tenaga kerjanya memiliki nilai tambah yang rendah, misalnya perdagangan eceran sehingga upahnya sering kali rendah dan tidak teratur. Tidak sedikit pula yang merekrut tenaga kerja dari keluarga sendiri dan tidak dibayar namun menyebabkan pekerja ini menjadi rentan. Maka, dibutuhkan upaya untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan UMKM sehingga dapat menciptakan pekerjaan yang layak. UMKM dapat menciptakan tenaga kerja karena sifatnya padat karya dan kurang membutuhkan keterampilan yang tinggi. Namun, saat ini UMKM didominasi oleh sektor informal, tidak memiliki badan hukum, dan cenderung memiliki usaha yang buka-tutup. Hal ini karena usaha mikro cenderung berisiko tinggi karena harga dan ketersediaan bahan baku yang sulit untuk dikontrol, serta keterampilan pekerja dan kemampuan pemilik usaha yang cenderung berpenghasilan rendah sehingga menyebabkan kerentanan pekerja. Maka, pengembangan UMKM sangat diperlukan untuk mengurangi



kerentanan sekaligus penyerapan tenaga kerja. Peningkatan kapasitas skala usaha juga perlu ditingkatkan dari yang mulanya usaha mikro menjadi usaha kecil. Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa ukuran perusahaan sangat berkorelasi dengan produktivitas tenaga kerja (Amin, Islam, 2015). Usaha mikro dengan karyawan kurang dari sepuluh umumnya beroperasi dengan skala yang terlalu kecil dan produktivitasnya sangat rendah sehingga menyebabkan penghasilannya sangat kecil. Perlu diperhatikan juga bahwa dalam peningkatan skala perusahaan, tugas-tugas manajerial menjadi lebih sulit sehingga dapat berpotensi menurunkan produktivitas. Dalam situasi ini, memberikan



perbankan. Hal ini diakibatkan oleh hambatan geografis, kendala administratif, dan manajemen bisnis UMKM, terutama manajemen keuangan yang masih buruk. • Sumber Daya Manusia (SDM), kurangnya pengetahuan mengenai teknologi produksi dan quality control terhadap produk dan kemampuan penelitian pasar; pemasaran produk masih mengandalkan cara sederhana; dari sisi kuantitas, belum melibatkan lebih banyak tenaga kerja; serta pemilik UMKM terlalu berkutat dalam persoalan teknis dan kurang memikirkan rencana jangka panjang. • Hukum, pada umumnya pelaku UMKM masih



pelatihan manajerial untuk sektor informal akan menjadi kebijakan yang patut dilakukan. Peningkatan usaha dari mikro menjadi skala kecil untuk menanggulangi kemiskinan ini sudah terbukti di negara lain. Dalam dua puluh tahun terakhir, pengurangan penduduk miskin di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) lebih signifikan dibandingkan di India. Hal ini karena RRT berhasil menciptakan lapangan pekerjaan sehingga mampu mengangkat masyarakat miskin dari kemiskinan. Jumlah usaha kecil di RRT jauh melebihi India. Di India, sekitar 87 persen dari pekerjaan manufaktur adalah di perusahaanperusahaan mikro, sementara di RRT kurang dari 5 persen. Sekitar 5 persen dari lapangan kerja manufaktur di India berada di sektor UKM, dibandingkan dengan 40 persen di RRT (Dougherty, S. et al., 2008). Di Indonesia, jumlah usaha kecil masih sangat rendah yaitu sebesar 1,2 persen. Kemudian, UMKM dihadapkan pada berbagai kendala dan hambatan baik internal maupun eksternal. Hambatan UMKM dari sisi internal adalah modal, SDM, hukum, dan akuntabilitas. Kemudian dari sisi eksternal adalah iklim usaha, infrastruktur, dan akses (BI, 2015). Lebih jelasnya, beberapa hambatan tersebut di antaranya:



berbadan hukum perorangan. • Akuntabilitas, belum mempunyai sistem administrasi keuangan dan manajemen yang baik.



1) Internal • Modal, sekitar 60-70 persen UMKM belum mendapat akses atau pembiayaan



2) Eksternal • Iklim usaha, koordinasi antar stakeholders UMKM masih belum harmonis sehingga belum kondusif. Belum tuntasnya penanganan aspek legalitas badan usaha dan kelancaran prosedur perizinan, penataan lokasi usaha, biaya transaksi/ usaha tinggi, infrastruktur, dan kebijakan dalam aspek pendanaan untuk UMKM. • Infrastruktur, terbatasnya sarana dan prasarana usaha terutama berhubungan dengan alat-alat teknologi. Kebanyakan UMKM menggunakan teknologi yang masih sederhana. • Akses, keterbatasan akses terhadap bahan baku dan teknologi. Kurang adaptif terhadap permintaan konsumen, terutama bagi UMKM yang sudah mampu menembus pasar ekspor. Berdasarkan pengelompokkan tenaga kerja, sebanyak 1,81 juta (40,54 persen) usaha/ perusahaan Industri Mikro dan Kecil (IMK) hanya memiliki satu tenaga kerja atau mengelola dan menjalankan sendiri usaha/perusahaan IMK. Sebanyak 67,76 persen pengusaha IMK adalah perempuan, dengan tingkat pendidikannya 5 - Ekonomi Produktif dan Penghidupan Berkelanjutan



61



didominasi pada jenjang Sekolah Dasar (SD)/ sederajat (37,77 persen) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP)/sederajat (21,27 persen) sebagai jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan, sedangkan yang tidak menyelesaikan atau tidak tamat SD sebesar 12,65 persen. Pola yang sama juga ditunjukkan oleh pengusaha IMK berjenis kelamin laki-laki (Gambar 5.2). Sebagian besar tenaga kerja IMK adalah pekerja tidak dibayar (termasuk pemilik dan keluarga) dan hanya sebesar 4,24 juta orang (39,37 persen) yang merupakan pekerja dibayar. Sebagian besar usaha IMK (67,9 persen) adalah perusahaan dengan besaran balas jasa per pekerja per jam kurang dari Rp 10.000 (Gambar 5.3, Panel A) dan 59 persen usaha mendapatkan besaran pendapatan setahun kurang dari Rp50 juta (Gambar 5.3, Panel B). Dengan melihat kondisi dan berbagai permasalahan yang ada, secara umum, pengembangan UMKM perlu difokuskan pada: 1) kemudahan perizinan UMKM; 2) pengembangan sistem keperantaraan atau kemitraan untuk pengembangan usaha dan konsultasi bagi UMKM. Misalnya, cara menghasilkan produk yang berkualitas dan permintaan pasar, pemasaran, pengemasan, dan pengelolaan keuangan; dan 3) peningkatan akses UMKM kepada sumber daya finansial dan sumber daya produktif lainnya seperti kredit investasi dan pengembangan teknologi inovatif. Kemudahan perizinan UMKM ditujukan



Gambar 5.2: Usaha IMK dengan Satu Orang Pekerja, dan Menurut Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikannya, 2017 463,125



228,915



260,781



242,502



210,534 127,649



87,603



143,941 30,930



13,791 Tidak Tamat SD SD/Sederajat SMP/Sederajat SMA/Sederajat Laki-Laki



>D1



Perempuan



Sumber: BPS, Survey IMK 2017



untuk pendataan UMKM sehingga mempermudah identifikasi UMKM untuk mendapatkan bantuan pemberdayaan, pelatihan, akses modal, pasar dan lain sebagainya.



5.1.4 Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Untuk menggerakkan ekonomi di desa, peningkatan pelayanan umum dapat digerakkan dan dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), koperasi, atau badan lainnya. Pengelolaan BUMDes dan koperasi secara profesional dan didukung dengan basis kekuatan desa memberikan dampak ekonomi yang besar dalam hal penyerapan tenaga kerja, peningkatan PAD, dan berkembangnya usaha ekonomi produktif warga.



Gambar 5.3: Persentase jumlah IMK menurut Besarnya Balas Jasa per Pekerja Dibayar per Jam (Rupiah) dan Besaran Pendapatan Setahun (Juta Rupiah)



B: Penghasilan Usaha



A: Balas Jasa Pekerja 39%



20% 17%



29%



11%



20%



7%



20000



15%



500



Hingga tahun 2018, jumlah BUMDes mencapai 41 ribu unit (Kemendes PDT, 2018) dan 152 ribu unit koperasi dengan 80 ribu koperasi aktif dan sudah melaksanakan Rapat Anggota Tahunan (Kemenkop UKM, 2017). Namun, banyak dari jumlah tersebut yang tidak berkembang dan bahkan tidak aktif. Oleh karena itu, diperlukan upaya peningkatan kapabilitas dan inovasi dalam pengelolaan bisnis dari BUMDes dan koperasi. Berdasarkan data Bappenas, desa memiliki potensi yang sangat besar dari berbagai sektor, diantaranya 20,034 desa memiliki potensi perkebunan, 12.827 desa memiliki potensi perikanan, 64.587 desa memiliki potensi energi baru terbarukan, 1,8 juta komoditas UMKM berada di desa, 61.821 desa memiliki potensi pertanian, dan 1.902 desa berpotensi menjadi desa wisata17. Untuk memitigasi risiko dari tidak berkembangnya BUMDes atau koperasi, pengelola perlu berfokus pada prioritas bidang usaha BUMDes atau koperasi yang sesuai dengan keunggulan komparatif lokal seperti bahan baku, kondisi alam untuk desa wisata, dan sebagainya.



Gambar 5.4: Potensi Dampak Ekonomi dari BUMDes, Dan Koperasi Dampak Ekonomi BUMDES Koperasi



Penyerapan Tenaga Kerja Lokal



Peningkatan Pendapatan Asal Desa



Pengurangan Jumlah Pengangguran



Berkembangnya Usah Ekonomi Rumah Tangga Swasta



Peningkatan Pendapatan Masyarakat



Pengurangan Kemiskinan



Sumber: Kementerian Keuangan, 2017 (diadaptasi)



Kotak 3



Contoh Sukses Pengembangan BUMDes: Studi Kasus Desa Ponggok Dengan adanya Dana Desa yang dikucurkan sejak tahun 2015, Desa Ponggok memperoleh tambahan pendapatan yang cukup besar. Dana Desa yang disalurkan pemerintah salah satunya digunakan untuk pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). BUMDes Tirta Mandiri Ponggok mengelola potensi-potensi sumber daya alam sebagai ladang penghasilan tambahan bagi masyarakat desa Ponggok. Jumlah pendapatan usaha BUMDes Tirta Mandiri tiap tahun mengalami peningkatan signifikan. Pada tahun 2016 laba BUMDes tercatat sebesar Rp 10,3 miliar, meningkat dari Rp 5,18 miliar pada tahun 2015. Pada tahun 2017, laba tercatat meningkat lagi menjadi 12 milliar. Laba tersebut didapat dari hasil usaha budidaya ikan, toko desa, perkreditan rakyat, usaha air minum kemasan, dan obyek wisata unggul ponggok. Alokasi Laba BUMDes digunakan untuk membiayai kegiatan unggulan Desa Ponggok yaitu: pemberian dana pendidikan (Kartu Cerdas Desa), jaminan kesehatan (Kartu Kesehatan Anak), serta penyaluran dana melalui lembaga zakat desa. Desa Ponggok yang berada di wilayah Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah ini dulunya adalah salah satu desa tertinggal dan masuk dalam program Inpres Desa Tertinggal (IDT) dengan mayoritas penduduknya adalah penduduk miskin. Setelah lima tahun berdiri, tingkat pengangguran kini terserap di BUMDes Tirta Mandiri. Pendapatan per kapita warga di Ponggok sekarang berkisar Rp 1,5 juta-2 juta. Para ibu rumah tangga pun kini turut diberdayakan dengan usaha olahan perikanan.



5 - Ekonomi Produktif dan Penghidupan Berkelanjutan



63



5.1.4 Dana Desa Pemerintah telah menggunakan Dana Desa sebagai instrumen peningkatan pendapatan masyarakat. Pemanfaatannya, diperluas untuk kelompok rentan dan miskin yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur dasar melalui program cash for works, perbaikan layanan dasar, mengatasi kesenjangan pembangunan antardesa, dan penguatan ekonomi lokal (UU No. 6/2014 tentang Desa). Berdasarkan Permendes PDT dan Transmigrasi No. 19/2017, penggunaan Dana Desa diprioritaskan untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa, terutama untuk: a) peningkatan kualitas hidup; dan b) penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengadaan, pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan sarana prasarana dasar dalam bentuk pelayanan sosial dasar, sarana prasarana ekonomi, serta sarana prasarana lingkungan. Penggunaan Dana Desa untuk bidang pemberdayaan masyarakat desa diarahkan untuk beberapa hal, seperti: a) peningkatan partisipasi masyarakat; b) pengembangan kapasitas, ketahanan masyarakat desa; c) pengembangan sistem informasi desa; d) dukungan pengelolaan kegiatan pelayanan sosial dasar; e) pemberdayaan masyarakat marginal dan penyandang disabilitas; f) pengelolaan kegiatan pelestarian lingkungan Gambar 5.5: Perkembangan Transfer Ke Daerah dan Dana Desa, 2015-2017 (dalam triliun rupiah)



602.4



20.8



58.2



46.7



2015



2016 Dana Desa



Transfer Daerah



Sumber: Nota Keuangan, 2018



64



697.7



663.6



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



2017



hidup; g) kesiapsiagaan menghadapi bencana alam dan penanganannya; h) permodalan dan pengelolaan usaha ekonomi produktif yang dikelola oleh BUMDes; serta i) pengelolaan usaha ekonomi oleh kelompok masyarakat, koperasi dan/atau lembaga ekonomi masyarakat desa lainnya. Besaran alokasi anggaran yang diperuntukkan langsung ke desa ditentukan 10 persen dari dan di luar dana transfer daerah secara bertahap. Dana Desa dihitung berdasarkan jumlah desa dan dialokasikan berdasarkan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan kesulitan geografis. Perkembangan Dana Desa terus meningkat dari tahun 2015 - 2017, yaitu dari Rp 20,8 triliun menjadi Rp 58,2 triliun (Gambar 5.5). Transfer ke daerah merupakan bagian dari belanja negara dalam rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal yang terdiri atas Dana Perimbangan, Dana Insentif Daerah, serta Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan. Berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan Dana Desa, sarana/prasarana yang terbangun antara lain jalan desa sepanjang 95,2 ribu kilometer; 914 ribu meter jembatan; 22.616 unit sambungan air bersih; 2.201 unit tambatan perahu; 14.957 unit PAUD; 4.004 unit Polindes; 19.485 unit sumur; 3.106 pasar desa; 103.405 unit drainase dan irigasi; 10.964 unit Posyandu; dan 1.338 unit embung selama periode 2015 – 2016. Program-program pembangunan infrastruktur dasar tersebut sejatinya adalah program padat karya dengan skema cash for works. Penyerapan Dana Desa meningkat dari tahun 2015 - 2016 untuk program pembangunan, yaitu sebesar 82,21 persen menjadi 87,7 persen (Rp 40,54 triliun). Program pembangunan ini pada dasarnya merupakan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang bersifat produktif dan mempekerjakan masyarakat desa dalam jumlah besar untuk menyasar pengangguran di desa, baik penuh atau setengah menganggur, dan penduduk miskin yang ada di desa tersebut. Kemudian, pada program cash for work, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan



dilakukan secara mandiri dan tidak dikontrakkan kepada pihak ketiga/kontraktor swasta maupun kontraktor dari kota/luar daerah. Tenaga kerja yang dipekerjakan dan bahan baku material untuk pembangunan berasal dari desa setempat. Dengan demikian, realisasi penggunaan Dana Desa akan berdampak langsung berada di desa tersebut. Secara umum, dampak dari Dana Desa adalah menurunnya rasio ketimpangan perdesaan (0,34 pada tahun 2014 menjadi 0,32 di tahun 2017); menurunnya jumlah penduduk miskin perdesaan (17,7 juta penduduk tahun 2014 menjadi 17,1 juta penduduk tahun 2017); dan penurunan persentase penduduk miskin perdesaan (14,17 persen pada tahun 2014 menjadi 13,93 persen di tahun 2017). Namun, data BPS menunjukkan bahwa Rasio Gini di perdesaan pada Maret 2018 meningkat menjadi 0,324 dari 0,320 pada September 2017. Kenaikan ketimpangan pada tahun 2018 terjadi karena kenaikan rata-rata pengeluaran perkapita per bulan pada kelompok penduduk 40 persen terbawah lebih cepat dibanding kelompok penduduk 40 persen menengah, namun lebih lambat apabila dibandingkan dengan kelompok 20 persen teratas (BPS, 2018). Hal ini menunjukkan bahwa perlunya evaluasi yang mendalam atas penggunaan Dana Desa.



Ketimpangan di perdesaan yang sempat meningkat mengindikasikan perlunya peningkatan penggunaan Dana Desa yang belum inklusif, terutama yang bersifat partisipatoris untuk kelompok rentan dan miskin dalam proses pembangunan, masih perlu diperbaiki. Kebijakan alokasi Dana Desa dalam APBN masih didominasi pada proporsi dan bobot formula (90 persen berbanding 10 persen). Proporsi merupakan alokasi dasar yang dibagi rata per desa, sedangkan bobot formula merupakan porsi Dana Desa dengan mempertimbangkan karakteristik desa seperti jumlah penduduk, luas, angka kemiskinan, dan tingkat kesulitan. Pengalokasian Dana Desa dengan besaran saat ini mengimplikasikan bahwa adanya keberpihakan pada desa-desa tertinggal, meskipun demikian upaya penanggulangan kemiskinan belum tercermin. Oleh karena itu, perlu upaya perubahan dalam pengalokasian Dana Desa seperti memperbesar porsi bobot formula. Tata kelola penggunaan Dana Desa juga perlu dikawal agar penggunaannya tepat sasaran dan sesuai kebutuhan masyarakat di desa. Selain sistem, peran kepala desa atau lurah menjadi sangat penting dalam pengelolaan Dana Desa. Saat ini, tingkat pendidikan kepala desa/lurah beserta jajarannya didominasi pada jenjang SMA/sederajat dan hanya 23-26 persen jajaran perangkat desa dengan tingkat pendidikan diploma ke atas (Tabel 5.2).



Tabel 5.2: Tingkat Pendidikan Kades/Lurah dan Sekdes, 2014



Tingkat Pendidikan Tidak Pernah Sekolah Tidak tamat SD SD/Sederajat SMP/Sederajat SMU/sederajat Akademi/D3 S1-S3 Total



Kades/lurah Frekuensi Persentase 829 979 2,093 11,240 45,137 2,320 16,138 78,736



1.1% 1.2% 2.7% 14.3% 57.3% 2.9% 20.5% 100.0%



Sekdes Frekuensi Persentase 270 643 1,765 5,864 44,017 2,246 15,975 70,780



0.4% 0.9% 2.5% 8.3% 62.2% 3.2% 22.6% 100.0%



Sumber: BPS, Podes 2014



5 - Ekonomi Produktif dan Penghidupan Berkelanjutan



65



5.2 Pengembangan Ekonomi Produktif di Perdesaan 5.2.1 Kemiskinan di Perdesaan Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2018 sebesar 9,28 persen. Namun, proporsi penduduk miskin di Indonesia masih terkonsentrasi di desa, sekitar 15,81 juta atau 60,9 persen penduduk miskin tinggal di desa. Beberapa literatur telah mengemukakan bahwa kemiskinan cenderung lebih tinggi di perdesaan. Hal ini disebabkan oleh beberapa karakteristik di perdesaan, yaitu pasar tenaga kerja yang kurang kompetitif, akses pendidikan yang terbatas, lokasi perdesaan yang terpencil, dan isolasi daerah perdesaan (Augère-Granier, 2017). Selain itu, kemiskinan di perdesaan juga dapat disebabkan oleh tingkat produktivitas pekerja dan produksi yang rendah, distribusi pendapatan yang tidak merata, kesetaraan gender (angka kelahiran per perempuan dan tingkat melek huruf), tingkat homogenitas etnik dalam populasi, tingkat pendapatan yang bukan berasal dari pertanian, dan kondisi sistem irigasi (Dao, 2004). Penduduk miskin perdesaan didominasi oleh penduduk usia produktif (diantara 15-64 tahun), sebanyak 9,81 juta penduduk pada tahun Gambar 5.6: Jumlah Penduduk Miskin Usia Produktif di Perdesaan 9



8.39



8 Jumlah Penduduk



7



6.41



6 5 4



3.41



3.4



3 2 1 0



2007 Bekerja



66



2017 Tidak Bekerja



Sumber: Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) September 2007 dan Maret 2017



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



2017 yang mengalami penurunan dari tahun 2007 sebesar 11,79 juta penduduk. Dari angka tersebut, penduduk yang bekerja sebesar 6,41 juta penduduk atau 65,3 persen bekerja, sedangkan penduduk yang tidak bekerja sebesar 3,40 juta penduduk lainnya atau 34,7 persen tidak bekerja. Pada tahun 2017, jumlah penduduk miskin usia produktif di perdesaan yang bekerja menurun dari tahun 2007 yaitu sebesar 8,39 juta jiwa atau 71,1 persen dari total penduduk miskin usia produktif di perdesaan. Berdasarkan tingkat pendidikannya, angka rata-rata lama sekolah di perdesaan mengalami peningkatan menjadi 7.18 tahun pada tahun 2017 dibandingkan 6.98 tahun pada tahun 2016. Artinya, penduduk di perdesaan rata-rata menempuh pendidikan hingga tingkat SMP kelas 1. Namun, angka ini masih jauh lebih rendah dengan wilayah perkotaan. Rendahnya angka rata-rata lama sekolah ini juga akan berpengaruh kepada sektor pekerjaan dan tingkat produktivitasnya yang menyebabkan rendahnya pendapatan dan daya beli penduduk di perdesaan.



5.2.2 Kemiskinan di Sektor Pertanian Apabila dianalisis berdasarkan lapangan usahanya, penduduk miskin usia produktif yang bekerja di perdesaan didominasi oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar 4,47 juta penduduk atau 69,8 persen. Jumlah ini menurun dibandingkan dengan tahun 2007 sebesar 6,37 juta penduduk miskin usia produktif yang bekerja di perdesaan atau 75,9 persen. Selain sektor pertanian, penduduk miskin usia produktif yang bekerja di perdesaan juga bekerja di sektor perdagangan besar dan eceran, serta sektor konstruksi sebesar 19,9 persen. Sektor pertanian merupakan sektor yang mendominasi daerah perdesaan. Jumlah penduduk yang semakin berkembang namun luas tanahnya tetap menyebabkan proporsi tanah yang digarap semakin kecil sehingga produktivitas petani rendah. Selain karena luas tanah per orang yang semakin kecil, mayoritas



Gambar 5.7: Proporsi Penduduk Miskin Usia Produktif di Perdesaan yang Bekerja Berdasarkan Jenis Lapangan Usaha15



Aktivitas Jasa Lainnya, 3%



Pengangkutan dan Pergudangan, 1%



Lainnya, 6%



Konstrusi, 6% Pedagangan Besar dan Eceran, 7% Industri Pengolahan, 7%



Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, 70%



Sumber: Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2017



petani hanya mengolah kurang dari setengah hektar sawah atau perkebunan (World Bank, 2005). Produktivitas hasil panen yang terus menurun juga berkontribusi terhadap penurunan pendapatan para petani dan kesempatan kerja di bidang pertanian. Hal ini ditunjukkan juga oleh penurunan proporsi tenaga kerja di sektor pertanian yang lebih lambat dibandingkan penurunan proporsi sektor pertanian dalam pendapatan domestik bruto (PDB) antara tahun 1971 hingga tahun 2010 (Suryahadi & Hadiwidjaja, 2011). Pendapatan sektor pertanian yang turun lebih cepat dibandingkan jumlah tenaga kerja di sektor pertanian menunjukkan bahwa proporsi pendapatan masing-masing tenaga kerja di sektor pertanian semakin kecil. Mayoritas petani di perdesaan masih mengadopsi cara-cara tradisional, misalnya menggarap tanah dengan menggunakan peralatan sederhana. Banyak petani hanya melakukan panen padi satu kali dalam setahun, sekitar bulan Desember hingga Mei, karena sistem pengairannya hanya mengandalkan tadah hujan dan rawa yang pasang surut (Lisanty & Tokuda, 2015). Hal ini menunjukkan bahwa sistem irigasi di



Indonesia masih belum tertata dengan baik. Beberapa usaha untuk meningkatkan produktivitas pertanian sebenarnya telah dilakukan. Diversifikasi produk pertanian ke tanaman bernilai lebih tinggi telah dilakukan, meskipun hanya pada beberapa wilayah dan beberapa jenis tanaman (World Bank, 2005). Pemerintah juga terus meningkatan produktivitas, terutama pada produksi beras. Selama sekitar 40 tahun terakhir, meskipun tidak ada peningkatan luas tanah namun produksi beras terus meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa indeks pertanaman (cropping index) terus meningkat (Syuaib, 2016). Faktor lainnya yang menentukan produktivitas sektor pertanian menurun adalah latar belakang pendidikan pekerja di sektor pertanian. Meskipun tidak membutuhkan latar belakang pendidikan yang tinggi, namun petani membutuhkan kemampuan dan keterampilan yang memadai. Kemampuan tersebut dibutuhkan untuk menentukan harga jual hasil panen, tawar menawar dengan pembeli hasil panen, dan menghindari pihak-pihak yang berusaha memanfaatkan para petani seperti tengkulak yang meminjamkan uang kepada petani dengan bunga yang relatif tinggi. Secara umum, pekerja sektor pertanian di perdesaan menempuh pendidikan hingga jenjang SD. Latar belakang pendidikan ditempuh pada jenjang setingkat SD sebesar 2,56 juta penduduk atau 64,8 persen (BPS, 2017). Angka ini menurun bila dibandingkan dengan tahun 2007 yang berjumlah 4,17 juta orang atau 77,5 persen. Setelah SD, latar belakang pendidikan tertinggi adalah setingkat SMP sebesar 881,36 ribu penduduk, SMA sebesar 464,95 ribu penduduk dan pendidikan diploma/sarjana sebesar 10,50 ribu penduduk. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil komoditas pertanian tertinggi di dunia.



Lainnya terdiri dari pertambangan dan penggalian, penyediaan akomodasi dan penyediaan makan minum, pendidikan, administrasi pemerintahan, pertahanan, dan jaminan sosial wajib, pengelolaan air, pengelolaan air limbah, pengelolaan dan daur ulang sampah, dan aktivitas remediasi, pengadaan listrik, gas, uap/ air panas, dan udara dingin, aktivitas rumah tangga, kesenian, hiburan, dan rekreasi, aktivitas kesehatan manusia dan aktivitas sosial, aktivitas keuangan dan asuransi, aktivitas penyewaan dan sewa guna usaha tanpa hak hak opsi, ketenagakerjaan, agen perjalanan, dan penunjang usaha lainnya, informasi dan komunikasi, aktivitas profesional, ilmiah, dan teknis, real estat, dan aktivitas badan internasional dan badan ekstra internasional lainnya 15



5 - Ekonomi Produktif dan Penghidupan Berkelanjutan



67



Komoditas yang paling banyak dihasilkan adalah kelapa sawit, karet, kelapa, beras, cokelat, biji kopi, dan rempah-rempah (Syuaib, 2016). Apabila dilihat berdasarkan penggunaan tanah, mayoritas tanah di Indonesia digunakan untuk menanam kelapa sawit, disusul oleh karet, cokelat, dan biji kopi. Secara spesifik, ekspor hasil komoditas kelapa sawit dapat dibedakan menjadi dua jenis: minyak sawit mentah dan olahan minyak sawit. Liberalisasi perdagangan pada tahun 1990 menyebabkan peningkatan harga minyak goreng dan volume ekspor minyak sawit (Rifin, 2014). Untuk menekan peningkatan harga minyak goreng, pemerintah mengenakan pajak ekspor pada produk minyak sawit.



Terutama pada hasil produksi beras, sistem pasar untuk komoditas tersebut bersifat tidak sempurna atau tidak kompetitif (Suasih & Yasa, 2017). Pasar distribusi beras bersifat monopoli atau oligopoli sehingga sistem distribusi tidak efisien. Petani padi menjual hasil panen dalam bentuk gabah kering. Hasil tersebut didistribusikan ke penjual beras eceran. Terdapat perbedaan harga gabah kering panen dan harga beras kualitas premium sekitar Rp 3.700 – Rp 4.800 per kg. Perbedaan harga gabah yang dijual petani dengan yang dibayarkan konsumen mengindikasikan pasar yang tidak efisien. Terdapat dua faktor yang menyebabkan perbedaan harga tersebut. Pertama, pasar



Pengenaan pajak juga ditujukan untuk mendorong pembentukan industri hilir dari kelapa sawit agar bernilai tambah tinggi. Setelah pengenaan pajak tersebut, pemerintah kehilangan USD 18,1 juta, pengolah minyak sawit kehilangan USD 2,5 juta, sedangkan distributor dan konsumen merasakan keuntungan sekitar USR 220,5 juta (Marks et al., 1998 dalam Rifin, 2014). Literatur lain menyebutkan, dampak dari pajak ekspor adalah transfer keuntungan dari penanam sawit yang mayoritas berada di luar Pulau Jawa kepada konsumen yang umumnya berada di perkotaan di Pulau Jawa sebesar USD 99 juta (Larson., 1996 dalam Rifin, 2014). Alasan lain mengapa banyak penduduk miskin usia produktif di perdesaan yang bekerja di sektor pertanian dikarenakan oleh proses distribusi hasil pertanian.



antara petani dan konsumen (intermediary market) memiliki kekuatan pasar yang tinggi. Kedua, alur distribusi dari petani hingga konsumen terlalu panjang (Suasih & Yasa, 2017). Hal ini menimbulkan dilema antara konsumen menginginkan harga beras terendah atau petani menginginkan harga beras setinggi mungkin. Menyadari bahwa sektor pertanian merupakan sektor dengan proporsi kemiskinan tertinggi di Indonesia, penting untuk memberikan perhatian lebih pada sektor pertanian. Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong produktivitas sektor pertanian. Pertama, peningkatan produktivitas pertanian dapat dilakukan melalui diversifikasi komoditas pertanian menjadi tanaman yang memiliki nilai lebih tinggi.



Gambar 5.8: Tingkat Pendidikan Terakhir Penduduk Miskin Usia Produktif yang Bekerja di Sektor Pertanian Perdesaan Paket A/ SD LB/ SD/ MI



2.559.510 829.835 881.355



Paket B/ SMP LB/ SMP/ MTs



375.474 464.945



Paket C/ SMA LB/ SMA/ MA/ SMK/ MAK



Pendidikan Tinggi



8.240 41.979 2007



2017



Sumber: Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) September 2007 dan Maret 2017



68



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



4.172.826



Sumber: elshinta.com



Misalnya, Malaysia mampu mengubah proporsi penggunaan lahan untuk padi dari 25 persen pada tahun 1972 menjadi 13 persen pada tahun 1998. Di sisi lain, Indonesia yang mencapai swasembada pangan pada tahun 1980-an hanya berhasil menurunkan proporsi lahan yang digunakan untuk menanam padi dari 41 persen menjadi 38 persen pada tahun 1998 (World Bank, 2005). Meskipun beras akan selalu menjadi komoditas yang penting sebagai bahan makanan pokok, peningkatan produksi beras diperkirakan



hanya akan menambah total produksi tidak lebih dari 10 persen (World Bank, 2005). Kedua, perlunya perbaikan sistem irigasi agar petani tidak hanya bergantung pada sistem tadah hujan dan rawa pasang surut. Infrastruktur irigasi yang baik memungkinkan petani untuk panen lebih dari satu kali dalam setahun. Perbaikan efisiensi penggunaan air juga dapat meningkatkan hasil panen pertetes air (World Bank, 2005). Pemerintah telah memiliki lembaga yang secara berkelanjutan mengembangkan



Gambar 5.9: Perbandingan Harga Gabah Kering Panen dan Beras Kualitas Premium 10.000 9.000 8.000



7.728



9.336



9.361



9.469



4.647



4.575



4.615



2015



2016



2017



8.303



Rupiah



7.000 6.000 5.000 4.000



3.963



4.268



3.000 2.000 1.000 0



2013



2014



Gabah Kering Panen



Beras Kualitas Premium



Sumber: Badan Pusat Statistik



5 - Ekonomi Produktif dan Penghidupan Berkelanjutan



69



sistem irigasi di Indonesia, yaitu Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Sebesar 59 persen pengeluaran dari lembaga tersebut digunakan untuk sumber daya air dan perluasannya serta pengembangan irigasi. Sisa dana yang tersedia digunakan untuk penelitian mengenai pertanian, pemasaran, jasa kredit, dan distribusi jenis bibit baru (Rada, et al., 2011). Ketiga, perluasan akses modal untuk petani agar dapat meningkatkan produktivitas. Keterbatasan modal masih menjadi kendala bagi petani dalam menjalankan usahanya. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan peralatan



mendorong alternatif pendanaan lain, misalnya peer-to-peer lending (P2P), agar petani dapat mengakses modal untuk kegiatan usahanya. Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan pihak yang mengawasi kegiatan P2P lending. Keempat, pemerintah perlu memastikan masyarakat miskin mendapatkan akses terhadap pendidikan yang berkualitas, terutama di daerah perdesaan. Dengan latar belakang pendidikan yang tinggi, petani akan lebih terbuka terhadap inovasi di bidang pertanian dan bersikap positif tentang kemungkinan mengadopsi inovasi tersebut (Knight, et al., 2008). Selain itu, pendidikan



sederhana oleh petani dalam menggarap lahannya. Pemerintah juga telah menyediakan program kredit untuk pertanian, misalnya dalam bentuk dana bergulir, penguatan modal, dan subsidi bunga (Ashari, 2009). Tidak semua petani dapat dibantu dengan menggunakan dana pemerintah dikarenakan keterbatasan dana yang tersedia. Selain itu, petani juga kesulitan untuk mengakses pinjaman melalui lembaga keuangan formal karena faktor administratif, seperti ketidaklengkapan persyaratan pinjaman dan minimnya jaminan yang dimiliki oleh petani. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah dapat



yang baik memungkinkan petani untuk bersikap kritis, misalnya saat menjual hasil panennya, tawar menawar, dan mencari alternatif pendanaan dalam mendukung usahanya. Selain meningkatkan produktivitas sektor pertanian, pemerintah juga perlu menurunkan kesenjangan antara harga gabah yang dijual petani dengan harga beras yang dibeli oleh konsumen. Kedepannya, pasar distribusi beras perlu lebih transparan dan kompetitif. Jika mekanisme pasar berjalan dengan sempurna, pasar antara petani dengan konsumen tidak dapat menentukan margin keuntungan yang relatif besar (Suasih & Yasa, 2017).



Foto: Potensi Pertanian di Nagari Pandai Sikek, Sumatera Barat



70



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Untuk mendorong munculnya industri pengolahan hasil pertanian, pemerintah juga dapat mempertimbangkan pemberlakuan tax holiday agar hasil ekspor barang pertanian bukan hanya barang mentah, namun sudah diolah terlebih dahulu di dalam negeri sehingga memiliki nilai tambah yang lebih tinggi. Usaha pertanian merupakan usaha yang memiliki risiko kegagalan panen yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh ketidakpastian keadaan alam, misalnya banjir, kekeringan dan serangan hama atau penyakit. Pemerintah telah mengeluarkan program Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) untuk memberikan perlindungan bagi petani dari risiko ketidakpastian dan menjaga agar petani masih memiliki modal kerja yang berasal dari klaim asuransi saat terjadi gagal panen. Untuk mendorong jumlah lahan sawah yang terproteksi oleh program AUTP, pemerintah dapat mengadopsi program bundling. Dalam program tersebut, petani bisa mendapatkan pinjaman modal jika disertai pengambilan asuransi. Dengan kebijakan tersebut, pemerintah dapat meningkatkan produktivitas petani melalui pinjaman modal dan memastikan petani terlindungi saat gagal panen. Saat ini, pemerintah menyediakan asuransi pertanian melalui PT Asuransi Jasa Indonesia. Kemitraaan pemerintah-swasta dalam pengadaan distribusi modal dan asuransi juga diperlukan, seperti yang dilakukan di Kenya. Pembagian perannya, perusahaan swasta menyediakan dan mengembangkan produk asuransi dan reasuransi, sedangkan pemerintah fokus pada manajemen data, mobilisasi petani, pengembangan kemampuan petani, penyediaan subsidi, dan pengembangan kerangka regulasi. Regulasi yang dimaksud mencakup penyediaan kanal distribusi asuransi pertanian melalui kanal distribusi milik pemerintah, seperti kanal distribusi program bantuan langsung tunai (World Bank, 2015).



5.3 Kemiskinan di Perkotaan Penurunan angka kemiskinan di perkotaan (7,02 persen) lebih cepat daripada di perdesaan (13,2 persen). Namun, pada tahun 2020 diperkirakan angka kemiskinan perkotaan akan terus meningkat akibat pesatnya laju urbanisasi dan pada akhirnya melampaui angka kemiskinan di perdesaan (Bank Dunia, 2013). Laju pertumbuhan urbanisasi di Indonesia tercatat cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara lain, seperti Vietnam dan Tiongkok. Bank Dunia (2018) mencatat dengan tingkat pertumbuhan urbanisasi yang lebih tinggi, Indonesia belum mendapatkan manfaat urbanisasi sebesar yang didapatkan oleh Tiongkok dan Vietnam baik dalam hal pertumbuhan ekonomi maupun penurunan tingkat kemiskinan. Potensi urbanisasi yang belum terkelola dengan baik berdampak pada rusaknya potensi manfaat perkotaan, seperti kondisi kemacetan, peningkatan polusi, kejahatan, dan wilayah permukiman kumuh. Kemiskinan di perkotaan merupakan fenomena yang kompleks. Fenomena ini berawal dari terbatasnya pembangunan fasilitas dan infrastruktur di wilayah perdesaan yang menyebabkan terbatasnya kesempatan kerja. Disparitas pembangunan desa-kota mendorong penduduk untuk keluar dari desa dan mencari pekerjaan yang memberikan upah lebih baik di wilayah perkotaan melalui proses yang disebut urbanisasi. Selanjutnya, masyarakat tersebut mendapatkan pendapatan untuk penghidupan yang berkelanjutan. Proses urbanisasi diyakini sebagai transmisi utama penyebab bergesernya konsentrasi kemiskinan dari desa ke kota. Penduduk perdesaan, sebagai pelaku urbanisasi, umumnya tidak memiliki keahlian atau keterampilan yang dibutuhkan pemberi kerja di perkotaan. Tingginya kompetisi dan keterbatasan lapangan kerja di perkotaan menyebabkan pelaku urbanisasi memiliki daya tawar rendah di pasar tenaga kerja sehingga akhirnya terpaksa menerima tawaran pekerjaan dengan nilai upah relatif r rendah. 5 - Ekonomi Produktif dan Penghidupan Berkelanjutan



71



Rendahnya nilai upah membuat pelaku urbanisasi tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan hidup layak (a.l: pangan, pendidikan, kesehatan, dan tempat tinggal) karena biaya hidup di perkotaan relatif lebih tinggi daripada di perdesaan. Tidak terpenuhinya standar minimum kebutuhan hidup layak menyebabkan munculnya fenomenafenomena kemiskinan, seperti masalah stunting, pengangguran dan kriminalitas, serta kawasan permukiman kumuh.



5.3.1 Meningkatkan Keahlian Pekerja untuk Mengatasi ‘Job Mismatch’ Minimnya keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh pelaku urbanisasi agar dapat bersaing mendapatkan pekerjaan dengan upah layak di perkotaan mengindikasikan keberadaan masalah yang lebih substantif, yakni “job mismatch” – suatu kondisi yang muncul akibat adanya kesenjangan antara keahlian/keterampilan kerja yang dimiliki oleh individu dan permintaan dari pasar kerja. Para pelaku urbanisasi dengan kualitas sumber daya manusia yang rendah seringkali sulit bersaing di pasar kerja di perkotaan sehingga sektor informal menjadi pilihan terakhir. Padahal,



wilayah perkotaan menawarkan peluang ekonomi yang lebih baik melalui lapangan pekerjaan formal dengan sistem penggajian yang lebih stabil (Bank Dunia, 2018). Adanya mismatch antara pekerjaan dan kualifikasi sumber daya yang ada menjadi salah satu penyebab masih tingginya pekerja di sektor informal. BPS (2018) menyebutkan, pada tahun 2018 jumlah penduduk yang bekerja di sektor informal sebanyak 73,98 juta penduduk. Tidak adanya jaminan pekerjaan, besaran penghasilan yang kurang memadai, serta kerentanan terhadap kehilangan pekerjaan membuat para pekerja informal berpeluang berada pada kondisi miskin dan rentan. Untuk mengatasi masalah “job mismatch”, diperlukan serangkaian kebijakan yang mengarah pada tercapainya “job matching”, yakni penempatan tenaga kerja terbaik untuk pekerjaan yang sesuai di perusahaan yang tepat (bring the best person to the right job inside the right company). Kondisi job mismatch merupakan masalah yang sulit dihindari. Sebab, seiring dengan semakin cepatnya perkembangan teknologi yang terkait dengan proses produksi barang dan jasa, tantangan untuk menyiapkan tenaga kerja dengan keahlian/keterampilan baru akan



Sumber: mediaindonesia.com



72



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Gambar 5.10: Perbandingan Kesempatan Kerja Formal dan Informal di Perkotaan dan Pedesaan



51



38 69 62 31 pedesaan pinggiran



66



49



pedesaan non-metro



51



34



perkotaan non-metro



67



49



Perkotaan pinggiran lainnya



62



33



Inti metro lainnya



Jakarta inti



75



38



Jakarta pinggiran



25



pekerjaan informal



Metro distrik tunggal



pekerjaan formal



Sumber: Bank Dunia, 2018



terus ada. Untuk menghadapi permasalahan ini, efektifikasi penyelenggaraan pendidikan dan juga pelatihan dapat menjadi salah satu solusi. International Labor Organization (ILO) menyebutkan bahwa dalam penyelenggaraan pelatihan, sebagai upaya untuk peningkatan kapasitas dan keahlian pekerja agar dapat terserap dalam lapangan pekerjaan formal, harus dilaksanakan secara fleksibel sehingga dapat mengakomodir permintaan atas waktu dan lokasi yang beragam. Sistem pembelajaran jarak jauh, pelatihan paruh waktu, pelatihan akhir pekan ataupun jam malam, memungkinkan pelatihan tersebut diakses oleh masyarakat secara inklusif. Selain itu, variasi dari program pelatihan yang disediakan juga harus mengantisipasi perkembangan jenis keterampilan pekerja di masa mendatang untuk menjawab tantangan lapangan kerja ke depan dan meminimalisasi ketidakcocokan keahlian yang telah diperoleh dengan ketersediaan lapangan pekerjaan di masa mendatang. Pemerintah dapat mengambil pelajaran dari pengalaman negara lain yang terbukti sukses menerapkan model peningkatan keterampilan untuk mengatasi job mismatch. Republik Korea adalah salah satu negara yang sukses melaksanakan sistem pengembangan keterampilan atau Skills Development System yang dibangun sejak 40 tahun yang lalu



(ADB, 2013). Konsep sistem pengembangan keterampilan ini dilaksanakan dengan memproyeksikan sektor-sektor yang menjanjikan dalam 5-10 tahun mendatang dan berinvestasi terhadap pendidikan dan pelatihan kerja melalui pembukaan sekolah kejuruan sesuai dengan kebutuhan sektor yang telah diproyeksikan. Sebagai insentif bagi siswa, biaya dan akomodasi ditanggung oleh pemerintah. Melalui sistem ini, lebih dari 90 persen siswa di sekolah kejuruan tersebut sudah memiliki pekerjaan di sektor formal sebelum selesai menamatkan sekolahnya. Selain melalui peningkatan keahlian, masyarakat juga perlu mempersiapkan untuk masuk ke dalam lapangan kerja formal. Upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan melalui pengembangan penghidupan berkelanjutan dengan melihat sektor-sektor ekonomi potensial per wilayah yang dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Oleh karena itu, diperlukan rencana aksi strategi yang berkelanjutan untuk meningkatkan keahlian/ keterampilan pekerja, terutama bagi penduduk usia muda produktif. Di samping itu, pemerintah perlu membuka ruang kerja sama dengan penyedia lapangan kerja untuk mengidentifikasi dan secara aktif berkontribusi mengembangkan keahlian spesifik yang diperlukan masing-masing sektor lapangan kerja.



5 - Ekonomi Produktif dan Penghidupan Berkelanjutan



73



5.3.2. Ekonomi Produktif dan Pembelajaran dari Luar Negeri Sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, selain melalui model peningkatan keterampilan, pengembangan model ekonomi produktif dapat juga dilakukan dengan berfokus pada kelompok miskin dan rentan. Model ekonomi produktif dikembangkan untuk memberikan alternatif bagi kelompok miskin dan rentan dalam upaya peningkatan pendapatannya, yang secara luas berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Dalam pengembangan ekonomi produktif kelompok miskin dan rentan, pemetaan modal dan potensi lokal di masyarakat adalah salah satu strategi yang dapat dilakukan. Department for International Development atau DFID (1999) menyebutkan, dalam dasar pengembangan ekonomi produktif, salah satunya melalui penghidupan berkelanjutan/ sustainable livelihood approach. Terdapat 5 modal utama yang perlu diidentifikasi di mana penghidupan tersebut akan dibangun (the asset pentagon), yakni meliputi: (i) modal manusia; (Ii) modal alam; (iii) modal fisik; (iv) modal finansial; dan (v) modal sosial. Kelima modal tersebut dalam pengembangannya perlu didukung oleh kelembagaan, kepemimpinan serta kerangka regulasi yang tepat untuk mengoptimalisasi pengembangan ekonomi produktif. Pengembangan ekonomi produktif dapat dilaksanakan dalam tataran rumah tangga, kelompok, ataupun komunitas. Berdasarkan hasil kajian Bappenas (2017), terdapat beberapa faktor kunci dalam pengembangan penguatan ekonomi produktif bagi masyarakat miskin: (i) pemetaan potensi lokal yang potensial sebagai komoditas dalam pengembangan ekonomi produktif dengan melibatkan masyarakat miskin; (ii) pendekatan secara berkelompok



74



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Gambar 5.11: Diagram Pentagonal Aset Modal Manusia



Modal Sosial



Modal Fisik



Modal Alam



Modal Keuangan



Sumber: Diterjemahkan dari DFID, “Sustainable Livelihoods Guidance Sheets,” 1999.



lebih berpotensi dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin seiring akumulasi aset dan sumber daya serta memunculkan aktor penggerak untuk keberlanjutan dan pengembangan usaha; (iii) usaha kelompok difokuskan pada sektor ekonomi yang paling potensial untuk mengurangi kemiskinan di daerah, dengan karakteristik usaha yang paling banyak melibatkan masyarakat miskin, berbasis pemanfaatan potensi lokal, dan punya peluang pasar yang cukup baik; (iv) peran perempuan dalam kelompok usaha berkontribusi positif dalam meningkatkan pendapatan keluarga; serta (v) inisiatif dari kelompok usaha dan didukung dengan pemimpin daerah, memiliki peluang untuk bertahan dan berkembang lebih besar. Selain beberapa faktor kunci diatas, pelibatan teknologi digital juga dapat menjadi katalis bagi pengembangan ekonomi produktif, khususnya di perkotaan. Ketersediaan infrastruktur yang lebih baik dibandingkan dengan perdesaan, seperti sinyal ataupun akses internet yang terkait erat dengan perkembangan online market, menjadi potensi besar dalam pengembangan ekonomi produktif sebagai strategi penanggulangan kemiskinan.



5.4 Ekonomi Digital untuk Percepatan Peningkatan Pendapatan (Kemitraan, Keperantaraan, Bisnis Sosial) Ekonomi digital adalah sebuah tempat virtual untuk berjalannya suatu bisnis, tempat pertukaran informasi, hingga produksi barang dan jasa melalui internet. Ekonomi digital terbagi menjadi 3 jenis, yaitu: a) infrastruktur pendukung digital seperti internet, perangkat keras, dan lunak dari komputer atau telepon; b) transaksi digital (misal e-commerce dan fin-tech); dan c) konten media digital. Dengan demikian, ekonomi digital juga termasuk ke dalam berbagai sektor seperti kesehatan, pariwisata, industri, pendidikan, pertanian, perbankan, transportasi, dan lain sebagainya. Saat ini, angka penetrasi internet di Indonesia adalah sebesar 54,68 persen pada tahun 2017, sementara persentase kepemilikan laptop/komputer dan telepon seluler masingmasing sebesar 25,72 persen dan 50,08 persen (APJII, 2018). Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, terdapat 1,8 juta komoditas UMKM berada di desa dengan berbagai macam potensinya. Berdasarkan data survey IMK (BPS, 2017), terdapat 65,6 persen usaha IMK yang mengalami kesulitan/kendala dalam pengembangan usaha. Jenis kesulitan yang dialami di antaranya kesulitan permodalan



sebesar 38,4 persen, pemasaran sebesar 29 persen, dan bahan baku sebesar 23 persen. Dengan hadirnya teknologi digital, kegiatan ekonomi akan semakin meluas. Dengan dukungan jaringan internet, UMKM dapat mengakses informasi terkait penyedia bahan baku, lokasi penyedia berada bahkan melakukan transaksi digital. Teknologi digital juga dapat meningkatkan akses dan literasi keuangan bagi masyarakat. Berbagai platform pembiayaan mampu menghubungkan antara investor dengan pengusaha UMKM guna kebutuhan pinjaman modal usaha. Pemasaran berbasis internet akan sangat membantu untuk memperluas jangkauan pasar. UMKM dapat membuat website sendiri atau memasarkan produknya secara langsung di platform marketplace. Namun faktanya, upaya untuk mendorong produksi UMKM tidak berjalan secara berkelanjutan dikarenakan minimnya informasi UMKM untuk memasarkan produknya. Selain itu, perlu juga upaya untuk meningkatkan penggunaan komputer dan internet. Berdasarkan Sensus Ekonomi (BPS, 2016), jumlah usaha mikro kecil yang menggunakan komputer masih sangat rendah yaitu 6,22 persen, sedangkan pengguna internet hanya sebesar 9,76 persen. Dalam survei IMK (BPS, 2017), IMK yang menggunakan internet baru mencapai 8 persen. Dari angka tersebut, sebagian besar bertujuan untuk pemasaran sebesar 65 persen, informasi pengembangan perusahaan sebesar 37 persen,



Gambar 5.12: Persentase Jumlah IMK yang Mengalami Kesulitan Menurut Jenis Kesulitannya 38% 29% 23%



13%



13% 8% 4%



Bahan Baku



Modal



Pemasaran



BBM/Energi



Transportasi



Keterampilan



5%



Upah Buruh



Lainnya



Sumber: BPS, Survey IMK 2017



5 - Ekonomi Produktif dan Penghidupan Berkelanjutan



75



dan pembelian bahan baku sebesar 8 persen. Dalam hal pengembangan UMKM serta penanggulangan kemiskinan secara umum, diperlukan juga kemitraan dengan berbagai pihak, mulai dari sektor swasta, BUMN/BUMD, lembaga swadaya masyarakat (LSM) ataupun pemerintah. Hal ini ditujukan untuk mengatasi berbagai kendala dan keterbatasan yang dihadapi UMKM serta masyarakat rentan dan miskin. Namun, banyak usaha mikro dan kecil yang memilih untuk tidak bermitra dalam menjalankan usahanya yaitu sebesar 88,94 persen usaha/perusahaan IMK dan hanya 11,06 persen usaha yang menjalin kemitraan (BPS, 2017).



transaksional hingga kolaboratif. Umumnya, bentuk kemitraan usaha adalah berdasarkan kaitan produksi ke belakang atau ke depan (forward or backward linkage). UMKM juga berperan sebagai pemasok komponen untuk usaha besar, dan usaha besar juga berperan sebagai pemasok bahan baku bagi UMKM. Pola kemitraan lainnya juga dapat bersifat horizontal yang menjadikan usaha besar sebagai pedagang/eksportir. Keperantaraan merupakan bentuk lain dari kemitraan yang beroperasi secara aktif menghubungkan organisasi (pemerintah, swasta, lembaga masyarakat, akademisi, dan individu) dengan UMKM atau kelompok masyarakat.



Kemitraan yang pernah dilakukan di antaranya meliputi pengadaan bahan baku (41,05 persen), pemasaran (32,20 persen), dan kemitraan mesin (12,61 persen). Mitra-mitra usaha UMKM diantaranya adalah pihak swasta (37 persen), BUMN/BUMD (1 persen), perbankan (2 persen), LSM (2 persen), dan lainnya (58 persen). Kemitraan memiliki bentuk yang bermacam-macam, mulai dari yang sifatnya



Perantara memfasilitasi berbagai pihak kepada kelompok masyarakat atau UMKM khususnya di daerah dengan kemiskinan tinggi sesuai dengan potensinya masing-masing untuk membangun usaha. Bentuk fasilitasinya dapat berupa konsultasi/pendampingan kepada masyarakat atau UMKM. Berdasarkan studi literatur, pendekatan fasilitasi yang sukses dimulai dari pendekatan



Gambar 5.13: Dukungan Keperantaraan dalam Pengembangan Ekonomi Produktif Perantara tingkat nasional



1. Pasar



Perantara tingkat kec./desa



6. Sarana prasarana



2. Pengetahuan



Usaha Ekonomi Produktif Masyarakat Miskin



4. Jaringan



5. Dana/ Investasi



Perantara tingkat kab./kota



Sumber: Bappenas, 2017



76



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



3. Keterampilan



Perantara tingkat provinsi



berbasis pasar, kemudian bergerak pada subsektor yang potensial tetapi kinerjanya tidak terlalu baik, lalu memperbaiki hal-hal yang membatasi pertumbuhan usaha. Selanjutnya, dilakukan proses bisnis yang baik, seperti perencanaan strategis, pemasaran, saran teknis, kontrol kualitas, manajemen rantai pasokan, merekrut pengawas, memilih pekerja, memberi masukan terkait sistem kompensasi, pelatihan pekerja, merancang tata letak pabrik, dan memfasilitasi akses ke investasi dan modal kerja. Masing-masing tahapan pada setiap proses bisnis tersebut dapat berkolaborasi dengan pihak-pihak lain yang dianggap ahli. Keberhasilan program peningkatan



berbagai pihak, baik itu pemerintah, swasta, LSM, maupun pelaku usaha lainnya. Keberlanjutan kolaborasi hanya akan terjaga bila setiap pihak yang berkolaborasi mendapatkan manfaat atau keuntungan, keselarasan antara peran dan sumberdaya, dan hubungan yang kuat di antara mitra. Sebagian besar bisnis, terutama swasta, berfokus pada memaksimalkan laba. Di sisi lain, terdapat organisasi nirlaba yang bergantung pada donasi filantropi dan tidak berfokus pada memaksimalkan laba, yaitu bisnis sosial (social entrepreneurship). Tujuan utama bisnis sosial adalah menyelesaikan masalah sosial, ekonomi, atau lingkungan. Untuk mencapainya, bisnis sosial



pendapatan sangat bergantung pada kapasitas perantara. Terdapat beberapa hal yang harus dimiliki oleh perantara, di antaranya adalah memahami kegiatan ekonomi produktif; memahami pengalaman berinteraksi dengan UMKM dan masyarakat rentan dan miskin; memiliki kemampuan dasar dalam teknis produksi, pelatihan dan pendampingan, manajemen, pemasaran, dan pemanfaatan teknologi; memiliki jaringan yang luas dalam berbagai proses produksi; dan kemampuan kolaborasi dengan



menggunakan metode bisnis konvensional seperti produksi dan penjualan produk atau layanan yang membuat usaha itu mandiri. Misalnya, Grameen Danone yang membuat dan menjual produk yogurt terjangkau untuk memerangi malnutrisi anak-anak di Bangladesh. Terdapat berbagai macam definisi dari bisnis sosial. Sebuah bisnis sosial merupakan organisasi yang menggabungkan misi pertumbuhan pendapatan dan keuntungan dengan daya dukung terhadap lingkungannya



5 - Ekonomi Produktif dan Penghidupan Berkelanjutan



77



Nalacity Foundation dengan memberikan pembinaan kepada Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) di Kota Sitanala, Tangerang. Contoh lainnya adalah perusahaan pembuat keset di Kebumen milik Ibu Irma Suryati, penyandang difabel yang membuka lapangan pekerjaan untuk 150 orang penyandang difabel. Selain penyandang difabel, Irma juga mulai mempekerjakan mantan pekerja seks komersial. Selain itu, contoh bisnis sosial model ini adalah Du’Anyam, sebuah bisnis sosial yang didirikan pada tahun 2014. Du’Anyam melihat peluang untuk mengatasi masalah kesehatan ibu dan bayi baru lahir di provinsi dengan salah satu tingkat kematian ibu dan bayi baru lahir tertinggi di Indonesia, Nusa Tenggara Timur. Kegiatannya dilakukan melalui tradisi anyaman dan penyediaan pekerjaan alternatif dari pertanian subsisten bagi ibu hamil. Saat ini, Du’Anyam sudah mempekerjakan 450 penganyam yang tersebar di 17 desa dengan produk hasil anyaman perempuan NTT dan telah merambah ke berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Jepang, Kanada, dan Spanyol. Model kedua adalah yang menciptakan dampak sosial atau lingkungan melalui produk dan layanan inovatif. Contohnya, Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA). IBEKA mendorong pemanfaatan energi terbarukan yang lebih luas, terutama pembangkit listrik tenaga air skala kecil untuk pembangunan. Masyarakat tidak mendapatkan listrik gratis, tetapi harus membayar lewat koperasi yang telah mereka bentuk sendiri. Setelah uang terkumpul, uang tersebut digunakan untuk memelihara pembangkit listrik setempat. Listrik digunakan untuk pengembangan ekonomi produktif warga. Saat ini, sudah ada 60 desa yang berhasil diterangi oleh IBEKA dan tersebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Contoh lainnya adalah eFishery, sebuah bisnis sosial di sektor perikanan. Saat ini, usaha-usaha di sektor perikanan cenderung tidak efisien dalam memberi pakan ternak. Biaya budidaya ikan didominasi oleh pemberi makan ikan, yaitu



78



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



sebesar 80 persen. Dengan e-Fishery, metode pemberian pakan otomatis akan membantu mengoptimalkan biaya tersebut, menghasilkan kinerja pakan dan kualitas air yang lebih baik, dan meningkatkan pertumbuhan ikan melalui alat pemberian pakan yang efektif dan efisien. Model ketiga adalah bisnis sosial yang menyumbangkan sebagian dari laba mereka ke lembaga nonprofit dengan fokus pada pemenuhan kebutuhan dasar. Contohnya adalah Layanan Informasi Desa (LISA). LISA merupakan sebuah layanan inovatif dengan pemanfaatan teknologi informasi berbasis aplikasi yang terintegrasi SMS, web, dan Android dengan mengedepankan layanan terpadu melalui metode penyuluhan. Dengan LISA, pertukaran informasi antar pakar dan masyarakat di perdesaan dalam sektor pertanian, perikanan, dan peternakan akan menjadi lebih mudah. Model ketiga merupakan model yang paling banyak dilakukan dalam praktiknya. Model keempat, bisnis sosial yang menghasilkan laba tetapi tidak membagikan dividen, yaitu bisnis sosial yang masih dimiliki oleh investor, tetapi semua keuntungan diinvestasikan kembali dalam perusahaan. Saat ini, sudah mulai berkembangnya komunitas-komunitas yang memberikan bantuan berupa pinjaman pada orang-orang yang membutuhkan kebutuhan mendesak seperti sekolah, kesehatan, dan sebagainya. Melalui usaha simpan pinjam tersebut, dividen diputar kembali sebagai pinjaman sehingga penerima manfaat semakin tersebar. Investor ini bergerak atas motivasi filantropi. Model kelima adalah bisnis sosial yang beroperasi seperti perusahaan biasa, tetapi dimiliki oleh orang miskin. Akibatnya, keuntungan bisnis langsung masuk ke orang berpenghasilan rendah dan melayani fungsi sosial pengentasan kemiskinan. Sebagai contoh, Bank Grameen adalah bisnis sosial yang dimiliki oleh orang miskin di Bangladesh dan memberikan pinjaman kepada warga negara berpenghasilan rendah.



Terkait kepemilikan atas bisnis sosial, Koperasi atau BUMDes merupakan bentuk usaha yang sesuai untuk dimiliki oleh kelompok miskin dan rentan. Contohnya, Koperasi Abdi Kerta Raharja (AKR), sebuah koperasi di Kabupaten Tangerang yang dirancang untuk melayani masyarakat berpenghasilan rendah. Koperasi AKR telah tersebar di tujuh wilayah kabupaten/kota di tiga provinsi dengan jumlah anggota lebih dari 56.000 orang dan melayani 17.000 pinjaman mikro. Contoh lainnya, Koperasi Mitra Dhuafa (Komida) yang hingga saat ini anggota koperasinya sudah mencapai 454.668 perempuan berpendapatan rendah dan Rp5,3 triliun pembiayaan telah tersalurkan. Untuk mendorong bisnis sosial tersebut, diperlukan peran pemerintah agar praktik bisnis sosial dapat berkembang. Misalnya, dengan menumbuhkan para pengusaha sosial melalui pelatihan bagi calon pengusaha sosial.



5.5 Ketahanan Ekonomi Keluarga untuk Peningkatan Pendapatan Upaya-upaya peningkatan pendapatan masyarakat rentan dan miskin melalui pengembangan UMKM, program padat karya tunai Dana Desa, ekonomi digital, kemitraan, dan keperantaraan akan berpengaruh pada keberlangsungan penghidupan rumah tangga. Penghidupan berkelanjutan pada keluarga dapat dilakukan dengan meningkatkan kapabilitas anggota rumah tangga. Selain yang sifatnya eksternal, pendekatan yang bersifat internal juga penting dilakukkan, seperti pendekatan bimbingan, pelatihan atau penyuluhan pada keluarga. Saat ini, tingkat perceraian selalu meningkat dari tahun ke tahun. Dari tahun 20152017, angka perceraian meningkat dari 353 ribu menjadi 374 ribu. Pada tahun 2017, terdapat 415 5 - Ekonomi Produktif dan Penghidupan Berkelanjutan



79



ribu perkara (cerai talak 113 ribu dan cerai gugat 302 ribu perkara). Salah satu penyebab terbesar dari hal ini adalah masalah ekonomi. Oleh karena itu, bimbingan untuk membina keluarga yang baik, mempertahankan rumah tangga, dan pemahaman konsep keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah sangat penting untuk dilakukan. Bimbingan dapat ditargetkan pada calon pengantin atau keluarga baru dari kelompok pendapatan rendah. Pendampingan untuk meningkatkan kapabilitas dan keterampilan kepala keluarga penting untuk mendapatkan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan. Pendampingan untuk meningkatkan literasi keuangan keluarga juga sangat diperlukan karena kemampuan suatu



80



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



keluarga untuk membuat keputusan keuangan, mengalokasikan sumber daya yang terbatas secara efisien, meningkatkan kemampuan menabung, dan kondisi finansial yang lebih stabil dapat diraih dengan peningkatkan literasi keuangan. Berdasarkan studi Definit, Seadi dan OJK (2013), tingkat literasi keuangan dipengaruhi oleh pendidikan dan pendapatan. Pendampingan literasi keuangan dapat diintegrasikan dengan teknologi digital sehingga dapat diakses kapan saja dan dimana saja. Setelah itu, keluarga dengan prasayarat tertentu dapat diikutsertakan pada program pembiayan Ultra Mikro (UMi) untuk keluarga-keluarga yang memiliki usaha mikro.



6



Ketahanan Masyarakat Perlindungan Sosial dan Sumber: koran.tempo.co







Memastikan masyarakat miskin dan rentan mendapatkan perlindungan sosial menjadi hal yang penting untuk menjamin ketahanannya dari goncangan ekonomi, sosial ataupun bencana alam sehingga tidak mudah jatuh atau terjebak dalam kemiskinan.



U



paya penanggulangan kemisinan merupakan upaya yang berkelanjutan. Dengan memastikan setiap masyarakat dapat hidup bermartabat melalui pemenuhan kebutuhan dan pelayanan dasar, yang kemudian peningkatan kesejahteraannya diakselerasi melalui pemberian kesempatan yang sama dalam peningkatan pendapatan, memastikan masyarakat miskin dan rentan mendapatkan perlindungan sosial menjadi hal yang penting untuk menjamin ketahanannya dari goncangan ekonomi, sosial ataupun bencana alam sehingga tidak mudah jatuh atau terjebak dalam kemiskinan. Setelah krisis moneter, pemerintah Indonesia melaksanakan berbagai program yang bertujuan untuk mengurangi beban penduduk, diawali dengan Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang bertujuan melindungi masyarakat dari krisis ekonomi melalui intervensi seperti pangan, ketenagakerjaan, pendidikan dan kesehatan. Pasca krisis ekonomi, program perlindungan sosial terus berkembang. Perlindungan sosial di Indonesia semakin lengkap dengan disahkannya UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional diikuti dengan lahirnya UU No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Jaminan sosial di Indonesia merupakan bentuk pengelolaan risiko yaitu penanggungan biaya ketika sakit, kecelakaan saat bekerja, pensiun, usia lanjut, serta kematian. Jaminan sosial dikelola secara nasional berbasis kontribusi atau asuransi sosial. Sesuai dengan UU No. 24/2011, jaminan sosial di Indonesia diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yang terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Dalam skema jaminan sosial, masyarakat diwajibkan membayar iuran bulanan



sesuai dengan program dan jenis kepesertaan yang diikuti. Iuran ini, bisa dibayarkan langsung oleh peserta atau urun biaya dengan pemberi kerja dengan persentase yang mengikuti peraturan yang ditetapkan16. Sementara itu, bantuan sosial memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial bagi masyarakat miskin dan rentan tanpa ada mekanisme iuran penerima manfaat. Berdasarkan bentuk bantuan yang diberikan, bantuan sosial dapat diberikan secara langsung dalam bentuk uang (in-cash transfers) maupun dalam bentuk barang dan pelayanan (in-kind transfers). Sumber data penetapan penerima manfaat bantuan sosial adalah Basis Data Terpadu yang selanjutnya disebut sebagai BDT yang ditetapkan oleh Menteri Sosial. Bantuan sosial di Indonesia saat ini diarahkan terhadap mitigasi risiko-risiko yang dihadapi oleh penduduk miskin dan rentan. Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan bantuan sosial bersyarat yang diarahkan kepada rumah tangga yang memiliki ibu hamil, anak balita, anak usia sekolah, penyandang disabilitas dan lanjut usia. Program Rastra yang sejak tahun 2017 telah bertransformasi menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) bertujuan agar rumah tangga miskin/rentan dapat terpenuhi kebutuhan makanannya melalui pembelian beras dan telur. Selanjutnya, Program Indonesia Pintar (PIP) bertujuan agar siswa dari keluarga miskin/rentan tetap bersekolah. Program ini dilanjutkan oleh program Bidikmisi yang memperluas kesempatan siswa miskin/rentan dapat mengenyam pendidikan tinggi. Sementara itu, program Jaminan Kesehatan Nasional - Kartu Indonesia Sehat (JKN - KIS) dengan skema Penerima Bantuan Iuran (PBI) bertujuan agar individu miskin/rentan dapat mengakses pelayanan



Iuran Program Jaminan Hari Tua diatur oleh Pasal 16 PP No. 46/2015 tentang Jaminan Hari Tua Iuran Program Jaminan Pensiun diatur oleh Pasal 28 PP No. 45/2015 tentang Jaminan Pensiun Iuran Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Kematian diatur oleh Pasal 16 PP No. 44/2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan kematian Iuran Program Iuran Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Pekerja Penerima Upah (PPU) program Jaminan Kesehatan Nasional diatur oleh Perpres No. 19/2016 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan.



16



82



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Gambar 6.1: Sistem Perlindungan Sosial di Indonesia Saat Ini



Program Indonesia Pintar



BPNT/Bansos Rastra



Asistensi & Rehabilitasi Penyandang Disabilitas Asistensi & Rehabilitasi Lanjut Usia Bantuan sosial sementara



JAMINAN SOSIAL (Dengan Kontribusi)



Bantuan Sosial (Tanpa Kontribusi )



PERLINDUNGAN SOSIAL



Jaminan Kesehatan Nasional



Jaminan Hari Tua (JHT); Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK); Jaminan Kematian (JK) dan Jaminan Pensiun (JP) Jaminan Pensiun untuk ASN (PT TASPEN); Jaminan Pensiun untuk Tentara dan Polisi (PT Asabri)



BLSM/BLT



Bencana Alam



Konflik



1



Sistem Perlindungan Sosial Di Indonesia Saat Ini



kesehatan dengan baik. Bagi penduduk usia produktif, terdapat bantuan berupa pemberian modal kepada Kelompok Usaha Bersama (KUBe), bantuan sosial tunai yang dikhususkan untuk lansia telantar (Aslut) yang berkembang menjadi asistensi sosial lanjut usia (ASLU) dan Asistensi Sosial Penyandang Disabilitas (ASPD), serta beberapa jenis bantuan sosial lain yang dalam pelaksanaannya tidak hanya dilakukan oleh Kementerian Sosial tetapi juga tersebar di kementerian dan lembaga17. Secara umum, skema perlindungan sosial di Indonesia dapat ditunjukkan oleh Gambar 6.1.



6.1 Pendekatan Siklus Hidup dan Tantangan Saat Ini Penduduk miskin dan rentan di Indonesia menghadapi risiko-risiko berdasarkan usia. Dari sisi kesehatan misalnya, pada penduduk miskin dan rentan berusia dini ditemukan kasus stunting, mengalami disabilitas atau penyakit bawaan.



Sementara di usia produktif, penyakit tidak menular seperti diabetes, stroke dan jantung menjadi risiko lainnya. Penyakit mental yang diakibatkan oleh tekanan ekonomi dan sosial dan penyakit tidak menular juga menjadi risiko bagi penduduk rentan dan miskin. Dari sisi pendidikan, penduduk miskin dan rentan berusia 0 – 5 tahun berisiko sulit untuk mengakses pendidikan usia dini. Meskipun tidak diwajibkan, pendidikan usia dini dapat membentuk pola pikir dan kepribadian anak sejak dini. Sementara itu, penduduk miskin usia sekolah dihadapkan dengan terbatasnya akses ke fasilitas. Dari sisi aksesibilitas, penduduk miskin di usia sekolah sampai dengan lanjut usia menghadapi risiko sulitnya mengakses teknologi informasi, yang menyebabkan mereka gagap akan teknologi informasi dan sulit menghadapi era disrupsi digital. Hal ini akan mempengaruhi mereka dalam pekerjaan dan akses ke perbankan.



Kementerian penyelenggara bantuan sosial antara lain: Kementerian sosial, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, Kementerian Pertanian, Kementerian Pedesaan dan Daerah Tertinggal, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Kesehatan, Kementerian Koperasi dan UKM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Perhutanan. 17



6 - Ketahanan Masyarakat dan Perlindungan Sosial



83



Berdasarkan kelompok usia, bagi kelompok usia produktif, risiko yang dihadapi tidak hanya terkait kesehatan dan kebutuhan gizi, tetapi juga risiko kecelakaan kerja, kematian akibat kecelakaan kerja, dan juga kebutuhan akan peningkatan keterampilan. Sementara dari sisi ekonomi, ketidakcukupan pendapatan yang berujung pada ketergantungan terhadap utang merupakan risiko lainnya. Dampak negatif yang besar akan terjadi jika seorang pekerja mengalami kecelakaan kerja. Hasil penelitian dan laporan di negara maju maupun berkembang menunjukkan bahwa



kecelakaan di tempat kerja dapat ‘memaksa’ keluarga pekerja dari kelas menengah masuk ke dalam kemiskinan; bahkan untuk keluarga pekerja miskin, kecelakaan kerja dapat menjadi penghalang untuk keluar dari kemiskinan (Akram, 2014; OSHA, 2015). Apabila kecelakaan yang dialami menyebabkan disabilitas, penghasilan pekerja akan berkurang karena pekerja tersebut tidak dapat melakukan aktivitas seperti semula. Rumah tangga yang memiliki anggota keluarga disabilitas berpeluang lebih tinggi untuk menjadi miskin sebesar 1,3 persen (Bella dan Dartanto, 2016). Kematian akibat kecelakaan kerja akan



Gambar 6.2: Pemetaan Risiko Berdasarkan Kelompok Usia Kesehatan Balita 0-5



Usia Sekolah 6 - 18



• • • •



Kurang Gizi Tidak Imunisasi Stunting Disabilitas fisik atau mental







Akses PAUD



• •



Penyakit Menular Penyakit tidak menular Penyakit bawaan Disabilitas fisik atau mental Kehamilan Remaja



• •



Putus sekolah Keterbatasan fasilitas pendidikan



• • •



Usia Produktif 19 - 60



• • • • •



Lanjut Usia 60+



84



• • •



Faktor Eksternal







Faktor Internal







Faktor Umum



Pendidikan



• • •



Pengangguran Diskriminasi di tempat kerja



Aksesbilitas















Penyakit Menular Penyakit tidak menular Penurunan aktivitas kesehatan



Kurangnya pemahaman mengenai gizi baik



Pekerja Anak







• •



Penyakit Menular Penyakit tidak menular Kecelakaan kerja Penyakit kesehatan reproduksi Disabilitas fisik atau mental



Terbatasnya faskes



Pekerjaan







Diskriminasi di tempat kerja











• •







Kondisi ekonomi Kondisi geografis



Tidak ada keinginan untuk belajar



Bencana Alam Guncangan Ekonomi Guncangan Sosial



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan







Kondisi ekonomi







Kurangnya keterampilan dan keahlian



Keuangan



Kesulitan mengakses Teknologi dan Informasi



Kesulitan mengakses Teknologi dan Informasi Gagap Teknologi



Kesulitan mengakses Teknologi dan Informasi Gagap Teknologi







Penelantaran



• •



Penelantaran Kekerasan terhadap anak Pernikahan dini







• • •











Tidak dapat menyekolahkan anak Tidak mampu berobat Kesulitan mengakses pelayanan perbankan



Tidak memiliki dana pesiun/pensiun tidak cukup Kesulitan mengakses pelayanan perbankan







Kondisi geografis







Tidak adanya fasilitas keuangan







Tidak ada keinginan untuk belajar Tidak memiliki fasilitas







Ketidaktahuan fungsi perbankan







Lain-lain



• •



Perceraian Diskriminasi Gender







Penelantaran



• •



Adat istiadat Keterbatasan kondisi ekonomi keluarga







Tidak adanya kemampuan untuk menolah/bertah an



Gambar 6.3: Bantuan Sosial pada setiap kelompok usia



6-12



13-15



KUR/KUBE/DANA DESA JKK/JKM



KUR/KUBE/DANA DESA JKK/JKM



Bidikmisi



PKH PIP SMP



0-5



PKH PIP SMA



PKH PIP SD



Kemiskinan Kronis Usia



PKH



Kemiskinan Moderat



KUR/KUBE/DANA DESA JKK/JKM



15-18



ASLUT



Rentan Menjadi Miskin



19-20



Targeted



JKN, RASTRA, BPNT



Umum



Subsidi Energi



mengakibatkan keluarga kehilangan salah satu sumber pendapatan, terlebih jika kematian menimpa kepala keluarga atau sumber utama pendapatan keluarga. Risiko – risiko yang dihadapi oleh penduduk miskin di Indonesia ditunjukkan dalam Gambar 6.2. Pada Gambar 6.3 menunjukkan posisi bantuan sosial pada setiap kelompok usia, yang menunjukkan adanya kekosongan bantuan pada penduduk miskin dan rentan di usia produktif. Berdasarkan risiko yang dihadapi, setidaknya terdapat dua jenis bantuan sosial yang dibutuhkan. Pertama adalah perlindungan kecelakaan kerja dan jaminan kematian akibat kecelakaan kerja. Bantuan ini sangat dibutuhkan penduduk miskin dan rentan mengingat sebagian besar bekerja di sektor informal seperti buruh bangunan, petani, nelayan, dan pekerjaan lain yang berisiko tinggi. Kedua adalah bantuan peningkatan keterampilan dan sertifikasi agar penduduk miskin produktif dapat masuk ke dalam usaha formal dengan pola pendapatan yang tidak fluktuatif.



6.2 Program Perlindungan Sosial: Kondisi Saat ini dan Permasalahan “Exclusion Error” Beberapa permasalahan yang masih dihadapi dalam pelaksanaan bantuan sosial di Indonesia antara lain terkait data, regulasi, kelembagaan dan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Sejalan dengan



23-64



>65



perubahan struktur demografi, Indonesia akan masuk ke dalam negara dengan populasi yang menua (aging population). Saat ini, skema perlindungan bagi lansia khususnya mereka yang tergolong miskin dan rentan belum memadai. Bagi pekerja formal, terdapat skema Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP) yang memberikan manfaat saat penerima masuk usia pensiun. Sedangkan untuk pekerja informal, bentuk perlindungan hari tua seperti yang diterima pekerja formal belum ada. Meskipun dimungkinkan untuk berkontribusi membeli jaminan hari tua yang saat ini ada, namun penghasilan yang didapat tidak memungkinkannya membayar iuran jaminan tersebut. PKH merupakan salah satu program yang paling berhasil menurunkan angka kemiskinan. Laporan Bank Dunia pada tahun 2017 menunjukkan bahwa PKH meningkatkan outcome sektor pendidikan dan kesehatan masyarakat miskin, antara lain jumlah ibu hamil yang memeriksakan kandungan ke fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan meningkat sebesar 9 persen. Selanjutnya, TNP2K (2015) menyebutkan, PKH dapat meningkatkan belanja orang miskin sebesar 3,3 persen dan meningkatkan pengeluaran untuk makanan 3-4 persen lebih tinggi. Program PKH juga berhasil menurunkan jumlah pekerja anak. Program bantuan Pemerintah lainnya adalah Beras Sejahtera (Rastra) merupakan program yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Akan



6 - Ketahanan Masyarakat dan Perlindungan Sosial



85



Sumber: Kemensos RI



tetapi, program ini tidak mampu menyelesaikan permasalahan malnutrisi penduduk di Indonesia (Bank Dunia, 2017). Selain itu, penyaluran beras yang terkadang mengalami keterlambatan ataupun buruknya kualitas beras yang diterima juga menjadi masalah tersendiri. Oleh sebab itu, sejak tahun 2017 Rastra bertransformasi sebagai Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan pada tahun 2018, telah disalurkan ke 219 kabupaten/ kota yang telah siap jaringan sinyal maupun agen. BPNT disalurkan melalui kartu elektronik melalui perbankan setiap bulannya sebesar Rp 110.000 per keluarga, dan dapat digunakan untuk membeli beras dan telur di agen yang merupakan warung atau kios terdekat. Selain itu, terdapat Program Indonesia Pintar (PIP) yang diperuntukkan bagi anak usia sekolah dan langsung diberikan kepada anak penerima manfaat. Hal yang menjadi tantangan dalam program ini adalah bantuan hanya diberikan kepada anak yang sudah terdaftar sebagai siswa. Kementerian Pendidikan hanya diperbolehkan memberikan bantuan kepada anak yang sudah terdaftar meskipun kondisi di lapangan masih tedapat anak usia sekolah yang mengalami kesulitan untuk mendaftar ke sekolah. Baik PKH, BPNT maupun PIP saat ini disalurkan



86



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



menggunakan kartu elektronik melalui perbankan yang juga ditujukan untuk mendorong keuangan inklusi. Dalam pelaksanannya, penyaluran bantuan secara non tunai memperbaiki ketepatan sasaran cukup signifikan. Meskipun demikian, masih terdapat permasalahan antara lain keakuratan data penerima untuk membuka rekening bank, penyaluran secara off-line di daerah dengan jaringan sinyal yang lemah atau tidak ada sama sekali, serta lemahnya edukasi literasi keuangan. Tantangan lain yang dihadapi adalah terkait dengan pendampingan kepada penerima manfaat agar dapat memahami peruntukan dari bantuan yang diperoleh. Pendampingan PKH dilakukan melalui kegiatan Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga (P2K2) yang mempersiapkan penerima manfaat melakukan graduasi. Penerima PKH memperoleh penyuluhan lima modul yaitu pendidikan, ekonomi, kesehatan, perlindungan anak, perlindungan penyandang disabilitas dan kesejahteraan lanjut usia. Sejak tahun 2018, pelatihan pendamping dilakukan menggunakan metode e-learning, sehingga dapat diakses dimana saja. Selanjutnya, data merupakan faktor yang krusial dalam penyaluran bantuan sosial karena



Gambar 6.4: Modul Kegiatan Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga (P2K2) PENDIDIKAN Modul Pengasuhan dan Pendidikan Anak



Pentingnya pendidikan sejak usia dini dan cara membantu anak sukses di sekolah



EKONOMI Modul Pengelolaan Keuangan dan Merencanakan Usaha Melatih ibu untuk cermat mengelola keuangan, meminjam dan menabung, serta memulai usaha



PERLINDUNGAN ANAK



DISABILITAS DAN LANSIA



Modul Kesehatan dan Gizi



Modul Perlindungan Anak



Modul Disabilitas dan Modul Lanjut Usia



Pemahaman mengenai kesehatan ibu hamil, balita, dan anak, kecukupan gizi ibu hamil, gaya hidup bersih, dan kesakitan pada anak



Pemahaman kepada keluarga mengenai pencegahan kekerasan, penelantaran dan ekspolitasi terhadap anak



Mencakup pembelajaran mengenai pelayanan kepada penyandang disabilitas berat dan peningkatan kesejahteraan lanjut usia



KESEHATAN



menjadi merupakan dasar untuk menentukan siapa yang berhak menerima bantuan sosial tersebut. Dalam pelaksanaan program bantuan soisal, pemanfaatan data BDT masih terkendala dengan adanya exclusion dan inclusion error. Exclusion error adalah kesalahan adanya penduduk miskin atau rentan yang belum terjangkau bantuan, sedangkan inclusion error adalah kesalahan adanya sejumlah orang yang mendapatkan bantuan sosial meskipun tidak layak menerima. Sebagai contoh, Program JKN – KIS dengan skema PBI merupakan bantuan sosial yang bertujuan untuk mengurangi pengeluaran di bidang kesehatan. Studi oleh LPEM FEB UI (2017) menunjukkan bahwa JKN dapat menyelamatkan 990 ribu – 1,16 juta orang dari kemiskinan. Adanya program JKN – KIS dengan skema PBI juga mampu meningkatkan utilisasi masyarakat miskin untuk berobat di fasilitas kesehatan (2 persen untuk rawat jalan dan 3 persen untuk rawat inap). Namun, program ini masih membutuhkan beberapa perbaikan, seperti pendistribusian Kartu Indonesia Sehat ke penerima manfaat dan penetapan target kepesertaan yang lebih tepat agar masyarakat mampu tidak dinyatakan layak mendapatkan manfaat program JKN – KIS PBI, dan sebaliknya.



6.3 Perlindungan Sosial untuk Kelompok Marginal Masyarakat termiskin dan paling memerlukan perlindungan banyak ditemukan pada kelompok marginal dan penduduk yang tinggal di wilayah tertinggal-terdepan-terluar (3T). Kelompok marginal didefinisikan secara umum sebagai masyarakat prasejahtera, yang mencakup di dalamnya para penyandang disabilitas, lanjut usia (lansia), masyarakat adat, orang dengan HIV/AIDS (ODHA), mantan narapidana, gelandangan, pengemis, tuna sosial, serta korban kekerasan, eksploitasi, dan NAPZA yang merupakan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Kelompok PMKS ini memerlukan affirmative action dan perlakuan khusus. Kondisi miskin dan minim perlindungan pada kelompok masyarakat ini muncul akibat diskriminasi sosial yang menyebabkan rendahnya akses terhadap berbagai pelayanan sosial. Masalah lain adalah masih terbatasnya program yang spesifik menyasar PMKS, sedangkan program yang ada masih persifat parsial dan tidak berkelanjutan. Terbatasnya data dan informasi yang tersedia juga menyebabkan kesulitan dalam perumusan strategi kebijakan yang sistematis dan komprehensif pada kelompok ini. 6 - Ketahanan Masyarakat dan Perlindungan Sosial



87



Kotak 4



Budaya dan Kemiskinan:



Pengalaman Pendamping PKH di Provinsi NTT



B



udaya mempengaruhi perilaku masyarakat di suatu daerah dan secara tidak langsung berhubungan dengan kondisi kemiskinan di suatu daerah karena budaya dapat mempengaruhi pola konsumsi. Bagi masyarakat di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki hubungan kekerabatan yang kuat, “kontribusi” pada acara adat merupakan sebuah keharusan dan dapat memberikan kebanggaan tersendiri. Mereka tidak segan mengalihkan pengeluaran untuk acara adat yang frekuensinya cukup tinggi di NTT. Bahkan mereka rela mengambil tabungan mereka, baik pada masyarakat yang mampu maupun miskin. Ibu Gresia Makh (52 tahun) yang tinggal di Kota Kupang, meskipun tidak memiliki tabungan, ia berusaha menyisihkan penghasilan suaminya sebagai buruh tani yang terbatas untuk disumbangkan jika ada kerabat yang mengadakan pesta atau mengalami kedukaan. Salah satu ciri khas masyarakat di NTT adalah kegemaran mengkonsumsi



88



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



sirih pinang yang juga dilakukan oleh penduduk miskin. Terdapat alokasi pengeluaran rutin untuk membeli sirih pinang yang menunjukkan adanya pengalihan pengeluaran dari kebutuhan pokok ke nonpokok. Masyarakat NTT sendiri percaya bahwa sirih pindang dapat menguatkan gigi. Padahal. menurut drg. Imelda, Kepala Puskesmas Tarus, sirih pinang justru akan membuat langit – langit mulut terkikis dan menyebabkan kanker mulut. Isu lainnya yang juga terjadi di NTT adalah tingginya kasus poligami yang ditemukan di daerah Sumba. Karena dilakukan di bawah tangan dan tidak tercatat di Kantor Catatan



Sipil, anak yang lahir dari pernikahan tersebut tidak memiliki dokumen kependudukan seperti Kartu Keluarga, Buku Nikah, dan Akta Lahir. Akibatnya, banyak ditemukan rumah tangga miskin yang dapat masuk ke dalam database BDT dan mempersulit mereka untuk mendapatkan bantuan pemerintah seperti PKH dan JKN – PBI.



Program yang sudah dilaksanakan pemerintah pada RPJMN 2015 – 2019 yang menyasar kelompok PMKS secara umum berupa peningkatan pemenuhan hak dasar, inklusivitas, serta penguatan skema perlindungan sosial. Hal ini sejalan dengan sasaran dan target Sustainable Development Goals (SDGs) yang secara langsung maupun tidak langsung menempatkan PMKS sebagai subjek pembangunan yang perlu mendapatkan perhatian dan dipenuhi hak-haknya. Hal ini sejalan dengan salah satu pelaksanaan dari UU No. 23/2014 tentang Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten Kota. Pemerintah telah mengeluarkan PP No. 2/2018 tentang pengaturan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Permensos No. 9/2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar SPM Bidang Sosial di Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang bertujuan agar pelayanan serta perluasan jangkauan kepada PMKS menjadi lebih baik. Sedangkan korban penyalahgunaan NAPZA dan penyandang HIV masih menjadi kewenangan pemerintah pusat.



6.3.1 Disabilitas Lebih dari satu miliar orang atau 15 persen dari populasi dunia adalah penyandang disabilitas (ILO, 20. dan prevalensinya terus mengalami peningkatan terutama melalui proses penuaan, kekurangan gizi, penyakit kronis, dan kecelakaan. Penyandang disabilitas umumnya memiliki status kesehatan yang lebih buruk, pencapaian pendidikan yang lebih rendah, partisipasi ekonomi



yang lebih terbatas, dan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi. Prevalensi disabilitas cenderung lebih tinggi untuk negara berkembang dan sekitar 80 persen dari angka keseluruhan adalah kelompok usia kerja. Selain itu, penyandang disabilitas cenderung lebih banyak ditemukan pada kelompok dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Di Indonesia, perkembangan kelompok disabilitas dari berbagai sumber data terlihat pada Tabel 6.1. Menurut Pasal 1 UU No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama, yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. UU No. 8/2016 juga menetapkan ragam disabilitas yang meliputi penyandang disabilitas fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik. Ragam disabilitas tersebut dapat dialami secara tunggal, ganda, atau multi. Penetapan UU No. 8/2016 menandai perubahan paradigma penyandang disabilitas yang tidak lagi dipandang sebagai obyek kebijakan yang perlu mendapatkan berbagai bantuan (charity-based), tetapi sebagai subjek yang diberikan jaminan terhadap penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia (human rights-based). Disabilitas juga dipandang sebagai isu multisektor, yakni tidak hanya terkait



Tabel 6.1: Prevalensi Penyandang Disabilitas Indonesia dari Berbagai Sumber Data



Penyandang Disabilitas



Penyandang Disabilitas Umur 15-65 tahun



Sumber Data Jumlah Sensus Penduduk 2010



%



Jumlah



%



11.081.220



4,66



6.255.499



3,86



Susenas 2012



6.004.688



2,45



3.505.850



2,15



Podes 2011



1.078.374



0,45



n.a.



n.a.



n.a.



n.a.



n.a.



11*



Riskesdas 2013 Sumber: Halimatussadiah, et al. (2017)



*Dari 300.000 rumah tangga yang disampel



6 - Ketahanan Masyarakat dan Perlindungan Sosial



89



pada sektor sosial saja namun juga berkaitan dengan sektor lainnya seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, transportasi, tenaga kerja, peradilan, komunikasi, dan sebagainya. Data Survei Paruh Waktu Antar Sensus (SUPAS) 2015 menyebutkan jumlah penyandang disabilitas mencapai 8,56 persen dari total jumlah penduduk atau sekitar 21,84 juta penduduk. Dari keseluruhan penyandang disabilitas, hampir setengahnya merupakan penyandang disabilitas ganda, yang berarti memiliki lebih dari satu ragam disabilitas. Penyandang disabilitas membutuhkan dukungan dari pemerintah dan lingkungan sekitar untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengoptimalkan potensi serta



program reguler, multi layanan, dan multitarget group melalui day care serta subsidi silang, dan program khusus yang meliputi outreach (penjangkauan), Unit Pelayanan Sosial Keliling (UPSK), dan bantuan ahli kepada organisasi sosial dan rehabilitasi sosial berbasis masyarakat. Non-institutional-based program mencakup pelayanan pendampingan dengan pendekatan family-based dan communitybased yang menyelenggarakan Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM), sedangkan untuk pengembangan ekonomi dilaksanakan Loka Bina Karya (LBK), Praktek Belajar Kerja (PBK), Usaha Ekonomi Produktif/Kelompok Usaha Bersama (UEP/ KUBe) untuk penyandang disabilitas. Bantuan



berpartisipasi dan berkontribusi aktif dalam berbagai aspek pembangunan. Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan terkait isu disabilitas adalah kelayakan penyandang disabilitas (eligible) mendapatkan program bantuan sosial. Selain melalui identifikasi penyandang disabilitas yang sudah dilaksanakan selama ini, masukan data dan verifikasi dari luar Dinas Sosial seperti pendamping juga perlu dipertimbangkan. Program pelayanan dan rehabilitasi sosial untuk penyandang disabilitas dilakukan melalui institutional-based program, non-institutionalbased program, serta jenis pelayanan sosial lainnya. Institutional-based program mencakup



terhadap penyandang disabilitas juga diberikan dalam bentuk uang tunai melalui program Asistensi Sosial Penyandang Disabilitas (ASPD) yang diberikan kepada 22.500 penyandang disabilitas di 184 Kabupaten/Kota di 32 Provinsi. Bantuan tunai ini bertujuan untuk memelihara taraf kesejahteraan dan perlindungan penyandang disabilitas yang sudah tidak bisa direhabilitasi dan diberdayakan. Sebagian penyandang disabilitas juga masih memiliki keterbatasan dalam mengakses program yang dilaksanakan oleh pemerintah. Salah satu penyebabnya adalah minimnya pendataan disabilitas serta kepemilikan dokumen kependudukan yang menjadi salah



Gambar 6.5: Persentase Penyandang Disabilitas Usia di atas 2 Tahun di Indonesia



Gambar 6.6: Komposisi Penyandang Disabilitas berdasarkan Jenis Disabilitas



Laki-Laki



8.24 6.92



Perempuan



Laki-Laki & Perempuan



10.45 9.67 8.89 7.58



9.28 7.85



8.56



Disabilitas Ganda Perawatan Diri



0.86



Komunikasi



1.02



Emosi/Tingkah Laku



1.37



Konsentrasi



2.19



Menggerakkan Jari Berjalan/Menaiki… Pendengaran 1



2



Sumber: Supas, 2015



90



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



3



48.51



Penglihatan Sumber: Supas, 2015



0.81 11.96 4.64 28.64



Sumber: ayobandung.com



satu persyaratan mendapatkan program. Sebagian dari penyandang disabilitas juga memiliki keterbatasan dalam hal pendidikan dan keterampilan yang berdampak pada kemampuan untuk mendapatkan pekerjaan dan peningkan kesejahteraan. Selain itu, isu disabilitas dan pentingnya pembangunan yang inklusif disabilitas masih belum dipahami dengan baik oleh pemangku kepentingan, baik di sektor publik maupun swasta. Hal ini seringkali menyebabkan kebijakan dan progam yang dijalankan oleh pemerintah tidak sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas. Salah satu upaya yang dilakukan adalah memperkuat kerangka regulasi sebagai payung hukum bagi pemerintah dan pemerintah daerah menjalankan pembangunan yang lebih berpihak pada penyandang disabilitas. Penyusunan kebijakan



tersebut mengacu pada UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi mengenai HakHak Penyandang Disabilitas dan UU No. 8/2016. Berdasarkan kerangka regulasi yang semakin lengkap tersebut, pemerintah saat ini melengkapi aturan pelaksanaannya yang mencakup berbagai aspek seperti: 1. Penyediaan lingkungan tanpa hambatan bagi penyandang disabilitas, antara lain fasilitas dan layanan publik serta ruang publik yang mudah diakses dan ramah penyandang disabilitas. 2. Perlindungan hak dan akses pada keadilan, antara lain peningkatan kesadaran aparat penegak hukum serta standar penanganan kasus yang melibatkan penyandang disabilitas. 3. Pemberdayaan dan kemandirian penyandang disabilitas, antara lain pelaksanaan habilitasi dan rehabilitasi serta peningkatan dukungan dan kapasitas 6 - Ketahanan Masyarakat dan Perlindungan Sosial



91



pendamping masyarakat. 4. Pewujudan ekonomi inklusif yang mencakup upaya peningkatan kapasitas dan produktivitas penyandang disabilitas, perbaikan sektor ketenagakerjaan serta peningkatan keuangan inklusif bagi Penyandang Disabilitas. 5. Pendidikan dan keterampilan, antara lain standar penyediaan layanan pendidikan dan vokasi yang inklusif disabilitas. 6. Akses dan pemerataan layanan kesehatan, antara lain standar penyediaan layanan kesehatan yang aksesibel bagi penyandang disabilitas, peningkatan kapasitas tenaga layanan kesehatan, serta penyediaan jaminan kesehatan khususnya bagi penyandang disabilitas miskin. Kebijakan yang sedang disusun pemerintah bukan hanya ditujukan untuk penyandang disabilitas miskin, namun untuk penyandang disabilitas secara keseluruhan. Terkait dengan isu penyandang disabilitas dan partisipasi kerja, studi yang dilakukan Halimatussadiah, et al. (2017) merekomendasikan beberapa cara untuk meningkatkan partisipasi angkatan kerja dari para penyandang disabilitas, antara lain: 1) membentuk saluran formal untuk melamar pekerjaan bagi para penyandang disabilitas; 2) peningkatan teknologi untuk membantu penyandang disabilitas; dan 3) penyebarluasan kesempatan kerja untuk penyandang disabilitas kepada publik. Peningkatan teknologi untuk membantu penyandang disabilitas juga dapat dilakukan dengan menyediakan akreditasi atau asistensi untuk setiap jenis disabilitas. Pemerintah juga dapat menyediakan bantuan disabilitas yang lebih murah melalui subsidi pembebasan bea masuk beberapa alat bantu hingga membangun kota dan desa inklusif. Penyebarluasan kesempatan untuk penyandang disablitas kepada publik dapat dilakukan melalui pemberian fasilitas untuk masyarakat dengan disabilitas di setiap bursa kerja atau membuat bursa kerja khusus disabilitas.



92



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



6.3.2



Lanjut Usia



Penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia didefinisikan sebagai orang berusia 60 tahun ke atas16. Berdasarkan World Health Organization (WHO), usia lansia dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: 1) Lanjut usia/elderly (60—74 tahun); 2) Lanjut usia tua/old (75—90 tahun); 3) Usia sangat tua/very old (diatas 90 tahun). Pengertian ‘usia harapan hidup’ (life expectancy) dengan ‘umur panjang’ (longevity) perlu dibedakan. Usia harapan hidup adalah rata-rata panjangnya tahun yang diharapkan oleh sekelompok penduduk untuk tetap hidup, sedangkan umur panjang adalah kemampuan seseorang untuk tetap hidup (to survive) (UNFPA & HelpAge International, 2012). Transisi demografi telah mengubah struktur umur penduduk dari dominasi penduduk usia muda ke ledakan penduduk usia kerja (lihat Gambar 6.7). Setelah tahun 2020, proporsi penduduk usia muda dan lansia akan mengalami konvergensi, yang mana proporsi penduduk usia 0-14 tahun akan menurun dan diikuti peningkatan proporsi usia 65 tahun keatas. Implikasi utama dari meningkatnya penduduk lansia adalah potensi peningkatan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit degeneratif serta disabilitas. Hal ini perlu direspon dengan peningkatan jumlah pelayanan kesehatan yang diperuntukkan bagi lansia serta kegiatan promosi gaya hidup sehat dan pencegahan penyakit degeneratif. Selain fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan khususnya dokter geriatric yang spesifik menangani kebutuhan lansia perlu ditingkatkan. Besarnya jumlah penduduk lansia di Indonesia di masa mendatang dapat membawa dampak positif maupun negatif. Kehadiran lansia dapat berdampak positif apabila penduduk tersebut berada dalam keadaan sehat, aktif, dan produktif. Di sisi lain, besarnya jumlah penduduk lansia dapat menjadi beban jika mereka mengalami penurunan status kesehatan dengan tingkat disabilitas yang tinggi. Kombinasi kedua hal ini mengakibatkan produktivitas yang rendah, pendapatan yang tidak memadai, dan



Gambar 6.7: Proyeksi proporsi Penduduk Usia 0-14, 15-64 dan 65 tahun keatas, Indonesia 2015-2055



sumber: Proyeksi Penduduk Hasil SUPAS 2015 (Bappenas, BPS, UNFPA 2018)



biaya pelayanan kesehatan yang tinggi. Selain itu, berubahnya struktur keluarga sebagai akibat transisi demografi serta nilai sosial yang dianut generasi berikutnya menyebabkan status dan kewenangan serta penghormatan bagi para lansia mulai bergeser, dan posisnya di masyarakat akan semakin tersingkirkan (Gupta, 2004). Kondisi ekonomi dari kelompok penduduk lansia tidaklah menggembirakan yang ditandai dengan tingginya persentase lansia yang berada dibawah garis kemiskinan. Pada tahun 2012, sekitar 12,65 persen dari penduduk lansia hidup



di bawah garis kemiskinan. Selain itu, pada 2017, terjadi penambahan jumlah lansia miskin seiring bertambahnya jumlah lansia, yaitu sebesar 3 juta penduduk lansia miskin (Bappenas, 2018). Jumlah lansia yang berada di bawah garis kemiskinan dapat dilihat dalam Gambar 6.8. Penduduk lansia merupakan salah satu kelompok yang dikategorikan sebagai kelompok yang rentan (vulnerable) untuk jatuh ke dalam kemiskinan. Perempuan, khususnya dari kelompok lansia, rentan terhadap rendahnya pendidikan, berpeluang tinggi untuk hidup sendiri serta



Gambar 6.8: Persentase Penduduk Lansia Miskin Indonesia



14.50



14.09



3000



14.00



Ribu Orang



2900 2800



13.05



2700 2600



12.56



13.50 12.80



2500



12.50



2400 2300 2200



13.00



12.00 2532



3022



2924



3003



2014



2015



2016



2017



Jumlah miskin (60+)



Persentase Penduduk Miskin



3100



11.50



Tingkat kemiskinan (60+)



Sumber: Dokumen Strategi Nasional Kelanjutusiaan, Bappenas (2018)



6 - Ketahanan Masyarakat dan Perlindungan Sosial



93



Foto: Seorang perempuan usia lanjut yang tinggal seorang diri di rumah sederhana di Kecamatan Entikong, Kalimantan Barat



berpeluang untuk menjadi kepala keluarga yang miskin. Hal tersebut meningkatnya kerentanan di kalangan lansia perempuan, sehingga diperlukan perhatian khusus tentang kebijakan serta perlindungan sosial yang berbasis gender. Tekanan sosial dan kurangnya sumber daya menciptakan disfungsi yang umumnya muncul saat bertambahnya usia. Persoalan utama yang dihadapi lansia adalah kurangnya penghasilan yang mempengaruhi status kesehatan, pengeluaran untuk kesehatan, dan menyebabkan ketergantungan pada anggota keluarga lainnya. Kondisi pertanian yang rentan pada harga dan kondisi cuaca juga menyebabkan pendapatan keluarga lansia tidak menentu sepanjang tahun. Status kesejahteraan lansia di seluruh Indonesia serta respon terhadap kondisi yang dihadapi sangatlah bervariasi. Orang dengan usia lebih tua cenderung lebih rentan terhadap kemiskinan daripada kelompok usia lainnya. Mereka menggunakan tabungan mereka, penghasilan, atau apapun yang disediakan masyarakat untuk mendukung kebutuhan dasarnya. Jika ketiga sumber ini tidak mencukupi,



94



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



mereka memerlukan dukungan kelembagaan atau bantuan sosial langsung. Sebagai sebuah kelompok, lansia adalah sasaran utama pemberian bantuan sosial karena terbatasnya pilihan dalam hal pemberdayaan ekonomi dan sosial. Jaring pengaman sosial harus diperluas karena terbatasnya cakupan pensiun dan skema tunjangan hari tua di Indonesia. Banyak lansia yang berasal dari rumah tangga miskin dengan jumlah anggota keluarga yang banyak. Dalam kasus seperti ini, bantuan sosial lansia dapat mengurangi beban rumah tangga serta berkontribusi terhadap pengentasan kemiskinan yang lebih luas. Program yang telah dilaksanakan untuk lansia di antaranya adalah bantuan uang berupa Asistensi Lanjut Usia (ASLU), perawatan di dalam panti dan luar panti berupa home care dan home support, serta usaha ekonomi produktif. Sementara itu, bagi keluarga penerima manfaat PKH dengan komponen lansia juga mendapatkan bantuan. Program yang menyasar lansia ini tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah pusat, namun juga pemerintah daerah, dan lembaga non-pemerintah. Untuk meningkatkan



efektivitas pelaksanaan program, pendampingan dibutuhkan baik oleh keluarga ataupun pekerja sosial. Oleh karenanya peningkatan kesadaran, pengetahuan serta keterampilan dari keluaraga dan juga pekerja sosial terkait isu-isu kelanjutusiaan perlu ditingkatkan. ASLU merupakan bantuan tunai yang ditujukan kepada penduduk di atas usia 60 tahun yang terlantar, miskin, tidak mampu secara fisik dan ekonomi, serta tidak memiliki aset maupun dana pensiun. Bantuan ini bertujuan membantu lansia agar hidup layak dan mampu menjalankan fungsi sosialnya. Program ini dilaksanakan di 33 provinsi dan 190 kabupaten/kota. ASLU diuji coba pada tahun 2006 dan menjadi program nasional sejak tahun 2011 dengan nama Program Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU). Pada tahun 2012, program ini berganti nama menjadi Aslut (Asistensi Lanjut Usia Telantar). Sejak tahun 2018, program ini berubah menjadi ASLU (Asistensi Lanjut Usia), karena kriteria penerimanya tidak hanya untuk kelompok lansia telantar. Pada tahun 2017, jumlah lansia yang penerima manfaat ASLU sebanyak 30.000 penduduk. Program ASLU diberikan kepada lansia yang memenuhi kriteria: 1) Penduduk berusia 60 tahun keatas; 2) Kondisi fisik tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari; 3) Tidak punya sumber penghasilan: 4) Terlantar dan miskin; dan 5) Bukan penerima PKH. ASLU membantu pemenuhan kebutuhan dasar penerima manfaat seperti makanan pokok, makanan tambahan, obat-obatan, dan layanan kesehatan. ASLU mendukung pemenuhan nutrisi dan meningkatkan penggunaan layanan perawatan kesehatan, khususnya entitas swasta. Studi menunjukan, hampir separuh responden melaporkan peningkatan penggunaan layanan kesehatan (Adioetomo et al., 2014). Sekitar 20 persen penerima bantuan mencari bantuan medis dari pusat kesehatan, sedangkan 30 persen menggunakan layanan praktik swasta dan paramedis. Selain itu, responden penerima manfaat ASLU lebih banyak mengakses Jamkesmas daripada nonpenerima manfaat.



Program ini hanya mencakup sebagian kecil lansia miskin di Indonesia (0,56 persen dari orang miskin berusia lebih dari 60 tahun). Data ini menunjukkan mayoritas penduduk lansia miskin dan layak mendapatkan ASLU belum tercakup dalam program sehingga diperlukan perluasan penerima manfaat ASLU.



6.3.3 Penduduk di Wilayah Tertinggal – Terdepan – Terluar (3T) Pertumbuhan wilayah di daerah tertinggal, terdepan, terluar (3T) cenderung lebih lambat dibandingkan dengan wilayah bukan 3T . Sebagian besar provinsi seperti Provinsi Papua, Papua Barat, NTT, Maluku dan Gorontalo memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi karena wilayahnya cenderung terisolasi dengan tingkat aksesibilitas yang masih sangat terbatas. Kabupaten yang dipisahkan oleh pegunungan, lembah, serta wilayah laut menjadikan wilayah sangat sulit untuk dijangkau. Sebanyak 63 persen dari seluruh desa di Papua terletak di lembah dan lereng-lereng gunung; Sulawesi Barat sebesar 51,67 persen; NTT sebesar 51,16 persen; dan Papua Barat sebesar 38 persen. Kondisi dan topografi wilayah di daerah 3T menyebabkan masyarakat di wilayah tersebut sulit mengembangkan potensi ekonomi dan meningkatkan taraf hidupnya. Kondisi perekonomian dan ketenagakerjaan juga cenderung lamban. Daerah 3T cenderung didominasi kegiatan sektor pertanian tradisional atau subsisten (traditional or subsistence farming) sehingga sektor pertanian belum mampu menghasilkan surplus dan meningkatkan perdagangan. Ditambah dengan kualitas SDM yang rendah, mayoritas hanya tamat Sekolah Dasar (SD) atau tidak pernah sekolah. Keterisolasian wilayah 3T menghambat pergerakan penduduk, barang dan jasa serta berbagai upaya pelayanan dasar kepada masyarakat. Kebijakan pembangunan idealnya menghubungkan pusat-pusat atau kota-kota dengan daerah 3T. Kebijakan ini perlu dilengkapi dengan: 1) keberadaan pasar untuk menampung 6 - Ketahanan Masyarakat dan Perlindungan Sosial



95



96



produksi dan output daerah di sekitar 3T; 2) penyediaan input yang dibutuhkan; 3) penyediaan pelayanan-pelayanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, air bersih, angkutan umum, dan pelayanan ekonomi yang lebih luas dan merata; 4) penciptaan kesempatan kerja baru baik di bidang produksi sekunder; dan 5) antisipasi mobilitas penduduk atau migrasi. Pola permukiman penduduk yang terpencar menyulitkan pelayanan dan bantuan kepada penduduk miskin. Akibatnya, biaya untuk memberikan layanan dan bantuan kepada penduduk miskin sangat tinggi dan tidak efisien. Namun demikian, pemerintah telah memprioritaskan pembangunan di wilayah 3T



perbatasan merupakan kecamatan yang berbatasan darat langsung dengan negara tetangga, yaitu kecamatan yang menjadi entry dan exit point berdasarkan Border Crossing Agreement. Salah satu upaya yang dilakukan terhadap kawasan perbatasan adalah dengan mengembangkan sistem pusat permukiman perbatasan negara sebagai pusat pertahanan dan keamanan negara di perbatasan. Upaya tersebut juga dituangkan dalam Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Perbatasan Negara yang disusun di level provinsi, pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) dan Pengembangan Infrastruktur Pemukiman (PIP). Permasalahan yang dihadapi daerah



dengan berbagai program. Melalui pendekatan struktural, nantinya jumlah kabupaten/kota yang memiliki sistem layanan dan rujukan terpadu untuk program-program yang menjangkau penyandang masalah kesejahteraan sosial disertai regulasi untuk pengembangan akses lingkungan yang inklusif bagi kelompok-kelompok terpinggirkan akan ditingkatkan. Selain itu, kabupaten/kota juga didorong untuk memiliki regulasi yang memberikan perlindungan dan fasilitas secara jelas bagi kelompok ini. RJPMN periode 2015-2019 diarahkan untuk memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan yang berdasarkan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis sumber daya alam yang tersedia, sumber daya manusia yang berkualitas, serta kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Salah satu agenda prioritas dari sembilan (9) agenda pembangunan (Nawacita) adalah membangun Indonesia dari pinggiran, yaitu dengan mengubah wajah perbatasan negara menjadi kawasan yang maju dan berdaya saing. Dalam PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, kawasan perbatasan telah ditetapkan sebagai pusat kegiatan strategis nasional. Menurut PERKA BNPP No. 1/2011 tentang Desain Besar Pengelolaan Kawasan Perbatasan, prioritas kawasan



perbatasan dikelompokkan ke dalam tiga aspek: 1) Perbatasan darat, pertahanan, keamanan (kegiatan illegal, eksploitasi sumber daya alam secara liar, dan gangguan keamanan serta ketertiban); 2) aspek pengembangan ekonomi kawasan (pengelolaan sumber daya alam yang tidak terkendali/degradasi lingkungan, kesenjangan dan terbatasnya sarana dan prasarana wilayah dibandingkan dengan negara tetangga; 3) aspek pelayanan sosial dasar (kesejahteraan penduduk, minimnya akses layanan sosial dasar, adanya tanah ulayat lintas negara dan tingginya mobilitas penduduk. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Lembaga Demografi pada tahun 2018, aspirasi masyarakat terkait dengan infrastruktur mencakup kebutuhan sarana transportasi, telekomunikasi, pendidikan, kesehatan, air, energi, ekonomi (pasar dan akses kredit). Namun, perlu juga diidentifikasi potensi wisata yang dimiliki oleh desa-desa di sekitar wilayah perbatasan untuk kemudian dibangun infrastruktur pariwisata serta infrastruktur penyokongnya. PLBN dengan kepemilikan SDM, aturan, serta prosedur yang lebih rapi dan tertata diharapkan membawa banyak manfaat bagi masyarakat sekitar. Pemberdayaan masyarakat juga perlu dilakukan untuk mengantisipasi dampak lanjut dari keberadaan PLBN yaitu meningkatnya mobilitas penduduk yang



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Foto: Pos Lintas Batas Negara Entikong di Kalimantan Barat yang menjadi penanda batas wilayah Indonesia dengan Malaysia



dapat menjadi peluang untuk meningkatkan kesejahteraan. Peran Pemda dan pemangku kepentingan lainnya menjadi sangat penting dalam memberdayakan masyarakat agar dapat menangkap peluang yang ada. Fokus untuk upaya penanggulangan kemiskinan di daerah perbatasan dapat dilakukan dengan pendekatan percepatan pembangunan di daerah perbatasan yang meliputi: (1) peningkatan aksesibilitas masyarakat; (2) pengembangan sarana prasarana; (3) pengembangan kapasitas kelembagaan masyarakat; dan (4) pengembangan ekonomi lokal. Pemerintah juga telah menerapkan beberapa program perlindungan bagi masyarakat 3T selama beberapa waktu. Namun, program ini tidak secara spesifik menyebut tentang 3T, melainkan memberikan perhatian khusus pada Komunitas Adat Terpencil (KAT). Dengan kata lain, program ini lebih menargetkan kelompok spesifik yang umumnya tinggal di wilayah 3T.



Terkait KAT, permasalahan yang seringkali ditemukan dan identik dengan kriteria atau karakteristik KAT umumnya bersifat kompleks, dan multidimensional sehingga perlu upaya pemberdayaan secara komprehensif, holistik, integral, dan berkesinambungan. Pemberdayaan sosial terhadap KAT dilakukan tanpa menggerus kearifan lokal dan kekhasan komunitas tersebut. Modal sosial (social capital) komunitas penting dijaga sebagai modal dalam melaksanakan dan melanjutkan program pemberdayaan terhadap komunitas hingga mampu mandiri dan sejahtera. Populasi KAT yang belum tersentuh pembangunan masih cukup tinggi. Pada 2015, populasi KAT di Indonesia berjumlah 229.790 rumah tangga. Dari jumlah tersebut, hanya 97.011 rumah tangga sudah diberdayakan dan 4.124 rumah tangga sedang diberdayakan. Dengan demikian, terdapat 128.655 rumah tangga yang belum diberdayakan yang tersebar di 24 provinsi, 202 kabupaten, 787 kecamatan, 1.740



6 - Ketahanan Masyarakat dan Perlindungan Sosial



97



Sumber: trubuspreneur.id



desa dan 1.998 lokasi pemukiman. Berdasarkan pemutakhiran database KAT 2017, dinyatakan bahwa jumlah populasi KAT sebesar 150.222 rumah tangga, meningkat dibandingkan 2015. Hingga 2018, KAT yang diberdayakan tersebar di 22 provinsi, 51 kabupaten, 65 kecamatan, 74 desa dan 92 lokasi. Program pemberdayaan KAT merupakan upaya komprehensif dan berkesinambungan yang dilaksanakan pemerintah pusat dan daerah sejak perencanaan dan evaluasi, sehingga diharapkan warga KAT siap menerima perubahan sosial dan lingkungan. Program pemberdayaan KAT dilaksanakan oleh Ditjen Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan, Direktorat Pemberdayaan KAT, Kementerian Sosial. Penerima manfaat dalam program ini adalah warga KAT yang memiliki kriteria sesuai karakteristik yang dipersyaratkan pada Bab II Pasal 4 Perpres No. 186/2014, yakni: memiliki keterbatasan akses pelayanan sosial dasar, tertutup, homogen, dan penghidupannya tergantung kepada sumber daya alam; marginal di perdesaan



98



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



dan perkotaan; dan/atau tinggal di wilayah perbatasan antar negara, daerah pesisir, pulau terluar, dan terpencil. Pada program Pemberdayaan KAT ini, penerima manfaat akan mendapatkan empat komponen bantuan dalam 3 tahun masa pemberdayaan: 1) Bantuan Stimulan Peningkatan Kualitas Hunian (Pembangunan Rumah Sederhana); 2) Bantuan Stimulan Sarana/ Prasarana Lingkungan (sarana MCK, sarana ibadah, balai sosial dan alat penerangan); 3) Bantuan Jaminan Hidup (diberikan selama periode pemberdayaan); 4) Bantuan Bibit Tanaman, Peralatan Kerja dan Peralatan Rumah Tangga. Bantuan berupa peralatan kerja, peralatan rumah tangga, bibit tanaman keras dan sertifikasi lahan warga KAT. Pengadaan alat kerja dilakukan melalui lelang umum dengan melibatkan warga KAT. Pelaksanaan pemberdayaan KAT dilaksanakan dalam bentuk pemberian pelatihan keterampilan, pendampingan, pemberian stimulan modal, peralatan usaha, tempat usaha, peningkatan



akses pemasaran hasil usaha, dan penataan lingkungan sosial (rumah layak huni). Rekomendasi pengembangan pemberdayaan KAT ke depan terkait upaya pemutakhiran data dan informasi tentang jumlah dan penyebaran KAT yang dimiliki instansi teknis di pusat maupun di daerah. Data yang masih lemah dan belum lengkap menyebabkan pelaksanaan pemberdayaan KAT belum optimal dan banyak KAT yang belum tersentuh pembangunan. Kondisi geografis yang sulit dijangkau serta aspek sosial budaya yang belum banyak berhubungan dengan masyarakat di luar komunitasnya menjadi tantangan tersendiri dalam pendataan penduduk di daerah 3T, khususnya KAT. Saat ini, kebutuhan data tidak hanya sampai kepada data byname-by-address saja, melainkan kepada identitas warga negara yang tercatat secara kependudukan dan catatan sipil. Beberapa rekomendasi terkait strategi pengembangan wilayah tertinggal terpadu yang diarahkan bagi pemberdayaan masyarakat adat terpencil: 1. Mengembangkan ekonomi lokal berbasis sumber daya alam, budaya lokal, dan kearifan tradisional secara berkelanjutan. 2. Mempercepat pengembangan sentrasentra pertumbuhan dan kawasan tertinggal untuk mendorong tumbuhnya pusat-pusat kegiatan ekonomi baru. 3. Meningkatkan aksesibilitas masyarakat dan jangkauan jasa pelayanan sarana dan prasarana dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, termasuk telekomunikasi, tenaga listrik dan irigasi. 4. Peningkatan sarana dan prasarana transportasi untuk meningkatkan pelayanan jasa transportasi yang efisien dan terjangkau. 5. Meningkatkan penataan permukiman ke kawasan potensial yang layak huni dan memiliki potensi ekonomi produktif.



6.4 Penyempurnaan Program Perlindungan Sosial Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyempurnakan program perlindungan sosial di Indonesia, antara lain: 1. Penetapan sasaran dan pemutakhiran Basis Data Terpadu. Terkait pemutakhiran BDT, dibutuhkan adanya mekanisme dua arah, yaitu pemutakhiran di tingkat pusat dengan mencocokkan data adminduk dan juga penguatan mekanisme pelaporan mandiri melalui Sistim Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT) di tingkat pemerintah daerah. Selanjutnya tentang mekanisme SLRT dapat dilihat pada Bab terkait kelembagaan. 2. Bantuan sosial sepanjang hayat berdasarkan kelompok usia. Fokus pemberian bantuan sosial kepada anak-anak dan lansia yang merupakan kelompok miskin terbesar tidak memiliki kemampuan untuk bekerja. 3. Bantuan sosial berbasis peningkatan pendapatan. Perluasan ketersediaan dan kesempatan mengikuti Balai Latihan Kerja (BLK) serta bantuan peningkatan akses produksi, permodalan dan pemasaran. BLK juga harus inklusif dengan mendukung penerima manfaat dari penyandang disabilitas. 4. Bantuan sosial yang terintegrasi dan komprehensif untuk mendukung program inklusi keuangan. Pengintegrasian bantuan sosial seperti PKH dan PIP memungkinkan tercakupnya anak – anak usia sekolah yang belum terdaftar sebagai siswa untuk dapat masuk dan terdaftar sebagai siswa 5. Pendampingan program bantuan sosial. Pendampingan diperlukan untuk memastikan bantuan digunakan sesuai dengan peruntukannya. Pendampingan ini diberikan kepada penerima manfaat dan keluarga penerima manfaat. Pendampingan



6 - Ketahanan Masyarakat dan Perlindungan Sosial



99



ini membutuhkan strategi Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) yang efektif dan melibatkan pemerintah pusat hingga pemerintah daerah dan pihak desa. 6. Program bantuan sosial yang adaptif. Bantuan sosial ini terkait dengan pengurangan risiko pasca bencana. Terkait risiko ekonomi, dibutuhkan pendataan penduduk di daerah rawan bencana untuk masuk kedalam BDT. Ketika terjadi bencana, mereka yang terdata berhak untuk mendapat bantuan sosial kebencanaan berupa bantuan modal atau pelatihan peningkatan kemampuan. Untuk mengurangi risiko psikologi, dibutuhkan pendampingan untuk megurangi trauma masyarakat melalui pendamping yang sudah terlatih dan tersertifikasi. Rangkaian perlindungan sosial yang telah maupun yang akan dilakukan akan sangat membantu masyarakat miskin untuk keluar dari jeratan kemiskinan. Selain itu, untuk meningkatkan ketahanannya terhadap goncangan baik secara ekonomi, sosial ataupun bencana alam, upaya mitigasi dan adaptasi menjadi penting dalam menghadapi dampak perubahan iklim dan kebencanaan.



6.5 Ketahanan Kelompok Miskin dan Rentan The Global Risk Report 2018 (World Economic Forum/WEF, 2018) menyatakan bahwa risiko lingkungan semakin lama semakin meningkat



baik dari sisi frekuensi maupun dampaknya. Hal ini terlihat dari masuknya risiko lingkungan sebagai 10 risiko tertinggi yang dihadapi dunia, yang pada dekade lalu belum dilihat sebagai risiko yang besar. Risiko lingkungan tersebut adalah cuaca ekstrim, bencana alam, kegagalan mitigasi perubahan iklim dan adaptasi, serta bencana akibat ulah manusia. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17 ribu pulau yang membentuk sekitar 80 ribu kilometer garis pantai. Hutan, laut, dan ekosistem pesisir berperan penting untuk mempertahankan jutaan mata pencaharian dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Kepadatan penduduk dan proses industrialisasi, ditambah dengan ketergantunggannya yang tinggi pada sektor berbasis sumber daya, membuat Indonesia termasuk negara yang rentan terhadap perubahan iklim (World Bank, 2009). Perubahan iklim memberikan dampak signifikan terhadap keberlangsungan hidup manusia. Asian Development Bank memperkirakan bahwa pada tahun 2100, dampak perubahan iklim akan menelan biaya antara 2,5-7 persen dari PDB (World Bank, 2009). Selain itu, melihat tren kejadian bencana yang semakin meningkat (Gambar 6.9),pada tataran masyarakat, kelompok miskin dan rentan yang mata pencaharian utamanya sensitif terhadap perubahan iklim, misalnya pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, berpotensi untuk menanggung beban yang lebih besar akibat kejadian bencana. Menteri Sosial menyebutkan bahwa dari 80 persen penduduk yang sudah



Gambar 6.9: Tren Kejadian Bencana Alam di Indonesia 2009-2018 2400 1600 800 0



2010



2011



2012



2013



2014



2015



2016



2017



Banjir



Tanah Longsor



Banjir dan Tanah Longsor



Gelombang Pasang/Abrasi



Putting Beliung



Kekeringan



Kebakaran Hutan dan Lahan



Gempa Bumi



Tsunami



Letusan Gunung Api



Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana/BNPB (2018). Angka 2018 adalah angka sementara.



100



2018



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Tabel 6.2: Risiko Bencana di Indonesia No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10



Tipe Bencana Banjir Banjir bandang Cuaca ekstrim Gelombang ekstrim & abrasi Gempa bumi Kebakaran hutan & lahan Kekeringan Letusan gunung berapi Tanah longsor Tsunami



Ukuran Bencana (ha) 39.371.167 2.733.966 106.582.476 1.888.085



Ukuran Bencana (persen) 21% 1% 56% 1%



Jumlah Penduduk Terdampak 100.814.666 8.637.161 244.295.774 4.917.327



Prosentase Penduduk Terdampak 40% 3% 96% 2%



Kerugian Fisik (juta rupiah) 176.329.821 44.679.539 11.972.702 22.042.350



Kerugian Ekonomi (juta rupiah) 140.520.440 15.358.006 3.088.869 1.290.842



Kerugian Lingkungan (ha) 12.135.957 1.056.365 460.252



52.374.614 86.457.259



27% 45%



86.247.258 -



34% 0%



466.689.834 -



182.185.171 59.036.830



41.856.289



163.101.784 394.324



86% 0%



228.163.266 749.126



89% 0%



2.695.427



192.737.143 12.613



63.781.004 139.676



57.418.460 961.133



30% 1%



14.131.542 3.702.702



6% 1%



78.279.825 71.494.821



75.870.343 7.976.358



41.337.707 119.688



Sumber: BNPB (2016)



masuk kategori sejahtera, kembali menjadi kelompok miskin karena bencana alam. Mayoritas wilayah di Indonesia terpapar oleh risiko terjadinya bencana yang tinggi, dengan setidaknya terdapat 10 jenis bencana yang harus diwaspadai (Gambar 6.9). Dari segi luasan area dan penduduk yang terdampak, bencana cuaca ekstrim dan kekeringan merupakan jenis bencana yang memiliki pengaruh paling besar. Meski demikian, dari sisi kerugian fisik dan ekonomi, jenis bencana gempa, banjir dan tanah longsor perlu menjadi perhatian (Tabel 6.2). Indonesia mempunyai eksposur yang tinggi terhadap gunung api, tsunami, dan gempa karena berada dalam deret sirkum pasifik atau Ring of Fire (cincin api). Wilayah ini berada di zona pertemuan tiga lempeng atau patahan aktif sehingga aktifitas tektonik begitu tinggi. Dengan 127 gunung api aktif atau 13 persen dari jumlah keseluruhan dunia, Indonesia memiliki busur gunung api terpanjang di dunia dengan 60 persen di antaranya adalah gunung api yang memliki potensi bahaya sangat besar bagi penduduk di sekitarnya (Novianto, 2017). Menurut data Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), gempa bumi di Indonesia menunjukkan bahwa gempa yang terjadi rata-rata berjumlah 5.500 per tahun, dengan gempa bermagnitudo lebih dari 5 SR rata-rata sebanyak 360 kali per tahun. Indonesia,



terdapat 233 dari 524 kabupaten (23 dari 34 provinsi) yang mempunyai risiko gempa bumi dan tsunami. Wilayah berisiko ini mencakup 46 persen dari panjang pesisir Indonesia. Dari sisi risiko kerugian ekonomi, hampir 75 persen infrastruktur dasar dan konektivitas, termasuk prasarana pendukungnya, dibangun pada zona rentan/ bahaya (Karnawati, 2018).



6.5.1 Dampak Perubahan Iklim dan Kebencanaan di Indonesia Perubahan iklim memberikan berbagai macam dampak bagi kehidupan dan penghidupan manusia. Bagi masyakarat miskin, dampak utamanya adalah terhadap penghidupannya (livelihood). Naylor et al. (2007) menunjukkan bahwa hasil pertanian di Indonesia sangat dipengaruhi oleh variasi tahunan curah hujan yang diakibatkan oleh dinamika Austral-Asia Monsoon dan El Nino-Southern Oscillation (ENSO). Secara konsisten, Indonesia mengalami kondisi iklim kering dan kekeringan selama periode hangat dari siklus ENSO yang berpengaruh besar pada produksi pertanian, pendapatan penduduk desa, harga makanan pokok, hingga kejadian kelaparan. Dalam jangka panjang, dampak meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca ke sektor pertanian Indonesia juga semakin besar, terlebih dengan terjadinya variasi musim dan perubahan iklim.



6 - Ketahanan Masyarakat dan Perlindungan Sosial



101



Foto: Kondisi pasca bencana gempa dan tsunami di Palu dan Donggala tahun 2018 Sumber: Merdeka.com



102



Selain terhadap pertanian, perubahan iklim juga memberikan dampak terhadap hasil sektor perikanan. Kerentanan sektor perikanan Indonesia sangat dipengaruhi oleh berbagai perubahan kondisi alam yang kian menekan hasil tangkapan (Wihardandi, 2013). Ketidakpastian cuaca, kondisi cuaca ekstrem, kenaikan suhu permukaan laut, naik turunnya harga bahan bakar, hingga perubahan arah angin akan menurunkan tingkat produktivitas nelayan. Perubahan iklim juga turut memengaruhi distribusi dan penyebaran ikan di laut, terlebih dengan kenaikan harga bahan bakar yang akan memengaruhi kesempatan nelayan untuk menangkap ikan. Salah satu studi mengenai dampak perubahan iklim terhadap perekonomian Indonesia dilakukan oleh Oktaviani et al. (2011). Studi tersebut menunjukkan bahwa perubahan iklim memperburuk kinerja ekonomi Indonesia melalui penurunan PDB riil dan kenaikan harga. Nilai rupiah juga mengalami apresiasi secara riil terhadap Dollar AS. Selain itu kinerja ekspor neto mengalami penurunan seiring meningkatnya sumber daya yang harus dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan komoditas pangan strategis (beras dan jagung), meskipun konsumsi rumah



perikanan; 2) penurunan persediaan modal fisik akibat kerusakan infrastruktur dan perumahan; 3) penurunan aktivitas perdagangan dan pariwisata seperti jumlah wisatawan, kunjungan, hotel, restoran, dan jasa pariwisata; serta 4) peningkatan jumlah pengangguran. Sementara itu, dampak tidak langsung meliputi: 1) gangguan pada aktivitas bisnis; 2) kerusakan fasilitas dan sumber daya untuk proses produksi; 3) kekurangan bahan input; 4) peningkatan biaya transportasi; 5) kehilangan dokumen kependudukan dan aset (akte, KTP, sertifikat tanah, dll); serta 6) kehilangan mata pencaharian. Dampak langsung dan tidak langsung secara keseluruhan berimbas pada penurunan PDB nasional serta provinsi terdampak. Tabel 6.3 menunjukan perkiraan dampak dan proses pemulihan baik kondisi sosial ataupun ekonomi dari masyarakat terdampak gempa NTB serta gempa dan tsunami Sulawesi Tengah. Dari tabel tersebut terlhat bahwa umumnya masyarakat membutuhkan waktu setengah sampai satu tahun untuk perbaikan kondisi atau satu sampai dua tahun untuk beberapa dampak lainnya. Dalam masa pemulihan, bantuan sosial maupun jaminan sosial sangat diperlukan. Perkiraan dampak dan waktu pemulihan perlu



tangga mengalami penurunan. Dari bencana di NTB dan Sulawesi Tengah pada beberapa waktu lalu, berdampak langsung terhadap penurunan aktifitas ekonomi mencakup: 1) penurunan aktifitas produksi seperti pertanian, perkebunan, kelautan, dan



dievaluasi secara berkala agar mendukung penurunan risiko dampak bencana. Selain dampak sosial yang telah disebutkan, dalam berbagai studi terdapat juga dampak sosial lain seperti peningkatan pernikahan usia dini khususnya pada perempuan.



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Meningkatnya fenomena pernikahan usia dini ini muncul sebagai upaya bertahan hidup pada khususnya pada anak yang ditinggal oleh orang tua atau keluarganya. Studi menemukan bahwa terdapat dampak jangka panjang pada anakanak yang selamat dari tsunami Aceh tahun 2004, misalnya anak perempuan usia 15-17 yang



kehilangan kedua orang tuanya mempunyai kemungkinan menikah lebih tinggi dalam jangka waktu lima tahun setelah tsunami (Cas et al., 2014). Temuan ini diperkuat oleh Dewi & Dartanto (2018) yang menemukan hubungan positif antara kejadian bencana dengan tingkat pernikahan dini anak perempuan.



Tabel 6.3: Perkiraan Dampak Sosial dan Ekonomi Bencana Gempa NTB dan Gempa & Tsunami Sulteng Perkiraan Dampak



Gempa NTB (Bulan ke-) 3-6 6-12



1-2



Gempa & Tsunami Sulteng (Bulan ke-) 1-2 3-6 6-12 13-24



13-24



Perkiraan Dampak Sosial 1. Pelayanan Kesehatan a. Kesiapan tenaga kesehatan



--



+



++



++



--



+



++



++



b. Kesiapan peralatan dan prasarana



--



+



++



++



--



-



0



+



c. Kesiapan obat-obatan



-



+



++



++



-



+



++



++



d. Kesiapan pelayanan kesehatan



-



+



++



++



-



+



++



++



a. Kesiapan tenaga guru



--



+



++



++



--



+



++



++



b. Kesiapan peralatan dan buku



--



+



++



++



--



+



++



++



c. Kesiapan prasarana dan sarana gedung



-



-



+



++



--



-



0



+



d. Kesiapan kegiatan belajar



-



+



++



++



-



+



++



++



2. Pelayanan Pendidikan



3. Pemulihan Mental a. Anak-anak



--



-



0



+



--



-



0



+



b. Remaja dan Pemuda-Pemudi



--



-



0



+



--



-



0



+



c. Dewasa dan Usia Lanjut



--



-



0



+



--



-



0



+



d. Perempuan



--



-



0



+



--



-



0



+



e. Difabel



---



--



0



+



---



--



-



0



4. Kehidupan sosial masyarakat (kerjasama, gotong royong, pengajian, arisan dan lainnya)



-



0



+



++



--



-



0



+



a. Pertanian



---



0



+



++



---



--



0



+



b. Kelautan dan Perikanan



---



0



+



++



---



--



-



0



---



--



-



0



Perkiraan Dampak Ekonomi 1. Produksi



c. Industri d. Perdagangan



---



0



+



++



---



-



0



+



e. Pariwisata (Hotel, Restoran dan Jasa pariwsata)



---



0



+



++



---



-



0



+



a. Pertanian



-



0



+



++



--



-



0



+



b. Kelautan dan Perikanan



-



0



+



++



--



-



0



+



c. Industri



-



0



+



++



--



-



0



+



d. Perdagangan



--



0



+



++



--



-



0



+



e. Pariwisata (Hotel, Restoran dan Jasa pariwsata)



---



--



0



+



---



-



0



+



a. Pertanian



--



-



0



+



--



-



0



+



b. Kelautan dan Perikanan



--



-



0



+



--



-



0



+



c. Industri



--



-



0



+



--



-



0



+



d. Perdagangan



--



-



0



+



--



-



0



+



e. Pariwisata (Hotel, Restoran dan Jasa pariwsata)



---



--



0



+



---



--



0



+



4. Kemiskinan



--



-



0



+



--



-



0



+



2. Pengangguran



3. Pendapatan



*Keterangan: (-) kurang; (0) pemulihan; (+) baik. Data perkiraan yang masih perlu diverifikasi. Sumber: Tim penulis, diolah dari berbagai sumber. Purwanto (2012), (Mahdi, 2018), & Mulyo (2018) pada Seminar IRSA Kebencanaan, Jakarta November 2018.



6 - Ketahanan Masyarakat dan Perlindungan Sosial



103



Foto: Potret kampung nelayan dan perahu yang digunakan untuk melaut di Provinsi Lampung. Masyarakat ini memiliki risiko tinggi untuk jatuh dalam kemiskinan bila terjadi bencana



6.5.2 Kerentanan Kelompok Miskin terhadap Perubahan Iklim dan Bencana Perubahan iklim menyebabkan sektor pertanian dan perikanan, dua sektor yang sangat terkait dengan kelompok miskin, mengalami risiko dari sisi nilai tambahnya. Di sisi lain, kejadian bencana dapat meningkatkan risiko seseorang jatuh ke dalam jurang kemiskinan, baik karena kehilangan aset dan pendapatan atau hilang/berkurangnya produktifitas (misalnya karena kecelakaan ketika bencana). Kematian pascabencana, terutama pada tulang punggung keluarga, juga dapat membawa keluarga tersebut masuk dalam kelompok miskin. Kejadian bencana yang masif di suatu daerah dapat meningkatkan jumlah keluarga miskin di daerah tersebut secara tibatiba. Data Susenas 2017 (Gambar 6.10) menunjukkan bahwa beberapa daerah dengan persentase penduduk yang tertimpa bencana



104



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



di atas rata-rata nasional juga memiliki tingkat prevalensi penduduk miskin diatas rata-rata nasional. Gambar 6.11 menunjukkan jumlah penduduk di Indonesia yang termasuk dalam kelompok miskin dan pada saat yang sama pernah mengalami kejadian bencana . Dari gambar tersebut, ada beberapa daerah yang mayoritas kelompok miskinnya pernah mengalami bencana. Hal ini perlu dianalisis lebih lanjut apakah kejadian bencana yang menyebabkan mereka miskin atau memang sudah miskin sebelum bencana. Kelompok yang disebutkan terakhir berisiko jatuh lebih jauh ke dalam jurang kemiskinan yang dalam (extreme poverty). Secara umum rata-rata penduduk miskin yang terkena bencana mencapai 13 persen atau mencakup 3,61 juta penduduk. Terdapat 18 provinsi yang lebih dari 10 persen penduduk miskinnya tertimpa bencana. Bahkan di Aceh, jumlahnya mencapai hampir 60 persen.



80%



30%



60%



20%



40% 10%



20% 0%



0%



Persen Penduduk Miskin



Persen Penduduk Terkena Bencana



Persen Penduduk Miskin



Gambar 6.10. Penduduk Miskin dan Kejadian Bencana Tahun 2017



Persen Penduduk Terkena Bencana (Y-axis)



Sumber: BPS, angka Susenas 2017, diolah



Gambar 6.11: Persentase Penduduk Miskin yang Terkena Bencana



60%



30%



0%



Sumber: BPS, angka Susenas 2017, diolah



6.5.3 Program Adaptasi Perubahan Iklim dan Kebencanaan untuk Penanggulangan Kemiskinan Di Indonesia, kerangka Pengendalian Perubahan Iklim dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN GRK) dan Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN API). Rencana aksi tersebut diupayakan untuk penurunan emisi GRK nasional sebesar 26 persen (atau 41 persen jika Indonesia mendapat bantuan internasional) pada tahun 2020, dari total emisi bidang-bidang prioritas yang telah dilakukan. Rencana aksi mitigasi ini dimandatkan kepada enam kementerian dengan sasaran sektor kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi dan transportasi, industri, dan sektor limbah.



RAN API yang disusun untuk adaptasi perubahan iklim telah menjadi landasan pelaksanaan kegiatan di tingkat nasional yang mencakup: 1. Pertanian, meliputi penurunan produktivitas pertanian, penurunan luas panen dan ancaman kekeringan; 2. Air, meliputi: penurunan ketersediaan air, peningkatan bahaya banjir, dan ancaman tanah longsor; 3. Kelautan, meliputi kenaikan muka air laut, ancaman banjir rob, gelombang ekstrem dan badai; serta 4. Kesehatan, meliputi ancaman demam berdarah, malaria dan diare. 6 - Ketahanan Masyarakat dan Perlindungan Sosial



105



Selanjutnya dalam RAN API, program terkait dengan kemiskinan adalah adaptasi karena berkaitan dengan peningkatan ketahanan masyarakat miskin dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Kegiatan ini mencakup ketahanan pangan, kesehatan, serta wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Komitmen penurunan risiko dampak bencana bukan hanya menjadi tugas pemerintah pusat, tetapi juga daerah sesuai UU 24/2007. Akan tetapi, hasil temuan studi Dartanto, Bastiyan, & Sofiyandi (2017) menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen pemerintah daerah mengalokasikan dana kebencanaan lebih rendah dari yang dibutuhkan. Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman akan pentingnya menimbang risiko bencana dan investasi yang diperlukan untuk menurunkan risiko dampak tersebut dari aparat pemerintah. Di lapangan, anggaran penanggulangan bencana di daerah masih minim, rata-rata mencapai 0,1 persen di mana anggaran BPBD masih dititipkan ke Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lain. Dampaknya, perencanaan program yang efektif terkait adaptasi perubahan iklim dan penanggulangan bencana menjadi belum efektif. Untuk meningkatkan ketahanan kelompok terhadap perubahan iklim dan dampak bencana,



program perlu disusun secara komprehensif dengan memanfaatkan basis data terpadu untuk pengembangan kebijakan perlindungan sosial yang adaptif. Selain itu, program juga harus memperhatikan tahapan terkait kebencanaan yaitu pra bencana, tanggap darurat, pemulihan jangka pendek dan jangka panjang (keberlanjutan penghidupan korban bencana) (Gambar 6.12). Program ini juga perlu didukung dengan skema pendanaan yang baik, seperti alokasi dana minimal 1 persen pada APBD daerah rawan bencana. BNPB telah memiliki Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) yang bisa dijadikan acuan untuk penentuan alokasi anggaran bencana di tingkat daerah. Dana ini bisa dikumpulkan dalam suatu wadah, yang sewaktu-waktu bisa digunakan ketika bencana terjadi untuk keseluruhan kebutuhan manajemen pengurangan risiko bencana. Skema pendanaan lain adalah membuat asuransi bencana tingkat daerah, yang preminya dibayarkan oleh daerah setiap tahunnya untuk mendapatkan kepastian pendanaan, terutama pemulihan pascabencana. Terkait perubahan iklim, kegiatan adaptasi perlu dapat meminimalisir dampak negatif dari perubahan iklim. Di sektor pertanian misalnya, perubahan iklim yang tidak menentu



Gambar 6.12: Rangkaian Penanganan Kebencanaan Pra Bencana •Peningkatan anggaran pusat dan daerah untuk kebencanaan (dengan alokasi APBD atau asuransi bencana di tingkat daerah) •Edukasi, sosialisasi dan pelibatan masyarakat (desa tangguh bencana)



106



Tanggap Darurat •Coverage bantuan (jumlah penerima dan jenis bantuan) •Adaptive social protection untuk kepastian penerima manfaat program pasca bencana •Penyelesaikan masalah adminduk, adm pendidikan (ijazah), dan administrasi aset (sertifikat) yang cepat



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Pemulihan jangka pendek •Pemulihan aset utama penghidupan (rumah, lahan, kapal) •Asuransi bencana •Cash for work •Sarpras pendidikan darurat •Pembangunan sarpras pendukung kegiatan ekonomi (pasar)



Pemulihan jangka menengah •Keberlanjutan penghidupan korban bencana •Pelatihan kerja •Akses permodalan murah •Peningkatan akses ke pasar •Pembangunan sarpras dan peningkatan kualitas pendidikan



Gambar 6.13: Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia



Sumber: Website BMKG. (BNPB, 2017)



menyebabkan turunnya hasil pertanian. Untuk itu dibutuhkan penanganan yang komprehensif untuk meningkatkan kapasitas petani dalam mengadopsi praktik pertanian yang kompatibel dengan perubahan iklim. Petani memerlukan informasi cuaca dan bantuan bibit unggul untuk mendukung peningkatan produktivitas pertanian, begitupun dengan nelayan; diperlukan informasi yang memadai terkait cuaca dan stok ikan untuk mengoptimalkan usaha melaut mereka. pemanfaatan teknologi informasi menjadi penting untuk mendukung seluruh hal tersebut. Ketahanan kelompok miskin terhadap perubahan iklim memerlukan beberapa instrumen lain seperti asuransi untuk petani dan nelayan. Hal yang diperlukan adalah membangun skema



yang dapat menarik petani dan nelayan masuk ke dalam program. Skema ini terkait dengan penanggung premi (atau jika sharing, jumlah yang dibayar petani/nelayan) serta manfaat yang didapat dari asuransi. Best practice dari asuransi petani dan nelayan terbukti dapat menjadi buffer yang baik untuk menghindarkan kelompok miskin jatuh lebih dalam ke dalam jurang kemiskinan. Usaha pemerintah terkait adaptasi perubahan iklim serta penganggulangan bencana sudah menunjukkan kemajuan meskipun masih banyak peluang perbaikan yang dapat dilakukan untuk meminimalisiasi dampak pada masyarakat miskin. Berikut adalah usulan rencana strategis ke depan terkait adaptasi perubahan



6 - Ketahanan Masyarakat dan Perlindungan Sosial



107



Kotak 5



Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Perikanan



D



i Indonesia, dampak perubahan iklim terhadap perikanan belum sepenuhnya dipahami. Padahal, hasil penelitian tentang perubahan iklim dan keterkaitannya dengan sektor perikanan secara global menunjukkan bahwa hasil tangkapan ikan di Indonesia akan menurun sekitar 15 hingga 30 persen. Berdasarkan terbitan yang dirilis oleh Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), tiga negara penghasil tuna terbesar dunia yaitu Indonesia, Taiwan, dan



108



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



foto: wartaekonomi.co.id



Jepang mengalami penurunan hasil tangkapan tuna antara tahun 1997 hingga 2010. Data satelit dari periode yang sama juga menunjukkan bahwa jumlah fitoplankton yang berkurang drastis menjadi salah satu faktor turunnya hasil tangkapan tuna ini dalam periode tersebut. Sementara itu, data dari hasil tangkapan ikan secara lokal menunjukkan hasil yang sangat kontras di dua kawasan berbeda. Perairan barat Sumatera, yang tidak mengalami kenaikan



permukaan laut dan menjadi sentra penangkapan ikan tuna sirip kuning (Thunnus Albacares), tuna mata besar dan tuna skipjack (Katsuwanus Pelamis), menunjukkan bahwa antara tahun 1994 hingga 2008 hasil tangkapan ikan mengalami penurunan. Para ahli berpendapat bahwa menurunnya suplai makanan ikan akibat pemanasan global menjadi salah satu penyebab utama. Hal sebaliknya terjadi di Bali. Produksi ikan sarden di Selat Bali yang mengalami kenaikan



permukaan laut – akibat tekanan angin dari pemanasan global – mengalami peningkatan dalam 15 tahun terakhir akibat melimpahnya fitoplankton. Sarden yang mewakili 90 persen produk perikanan di Selat Bali berperan penting terhadap ekonomi nelayan di sekitar perairan. Umumnya, produksi sarden di Selat Bali meningkat dari Oktober sampai dengan Januari, kemudian turun secara



yang memengaruhi ketersediaan ikan. Sebagai contoh, peningkatan jumlah ikan sarden di Selat Bali dapat diprediksi dari tren konsentrasi CHL-a. Kelimpahan ikan sarden dalam empat bulan ke depan dapat diprediksi jika anomali dianggap positif.



bertahap pada bulan Februari.



menjaga produksi ikan, menjaga kelebihan produksi untuk pengolahan ikan lebih lanjut, atau mendistribusikan kelebihan ikan ke daerah lain. Sebaliknya, mengatur pasokan dari daerah lain perlu dikelola saat konsentrasi CHL-a mengalami anomali negatif dan produksi ikan diperkirakan menurun.



Namun, pada 1997--1998 dan 2006--2007, hasil tangkapan sarden dari Oktober sampai Juli meningkat akibat tumbuhnya fitoplankton yang merupakan anomali positif terkait dengan kenaikan permukaan laut intens selama IODM. Jika tidak, produksi ikan akan menurun tajam ketika konsentrasi fitoplankton ada di tingkat terendah. Dengan kata lain, kelimpahan fitoplankton membuat stok sarden di Selat Bali terus meningkat. Meningkatnya produksi sarden sebesar 200--300 persen pada 1997--1998 dan 2006--2007 berdampak negatif pada nelayan dengan menurunnya harga ikan di pasaran secara tajam. Peningkatan atau penurunan produksi ikan karena variabilitas iklim dan perubahan cuaca harus dikelola dengan memberikan informasi kondisi oseanografi



Oleh karena itu, diperlukan manajemen yang tepat, seperti penyesuaian jumlah kapal penangkap ikan untuk



dalam hal akurasi peramalan potensi jangka panjang sumber daya ikan, untuk mengantisipasi dampak variabilitas dan perubahan iklim. Variasi iklim nampaknya memengaruhi produktivitas perikanan dan membawa berbagai peluang dan tantangan pada sektor perikanan di Indonesia. Secara umum, pemanasan global menyebabkan penurunan produksi ikan di Indonesia. Namun, di daerah-daerah yang mengalami kenaikan permukaan laut, pemanasan global nampaknya meningkatkan produksi ikan akibat kenaikan permukaan laut yang intensif. Sumber: Website KKP http://brsdm.kkp.go.id/dampak-



Sistem informasi di Indonesia untuk memprediksi potensi lahan perikanan telah dikembangkan oleh Kementerian Kelautan



perubahan-iklim--terhadap-stok-ikan-diwpp-713-dan-selat-bali



dan Perikanan. Sistem ini merupakan layanan yang dibuat untuk para nelayan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas memancing. Peta dibuat menggunakan analisis data parameter oseanografi dari citra satelit dan data klimatologi multisensor dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Sistem informasi ini perlu ditingkatkan, khususnya



6 - Ketahanan Masyarakat dan Perlindungan Sosial



109



110



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



7



Kerangka Kelembagaan dalam Penanggulangan Kemiskinan Sumber: Pemerintah Provinsi Jawa Barat







Dengan disahkannya UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, pemerintah daerah kabupaten/ kota berwenang menetapkan kebijakan, strategi, dan program di tingkat kabupaten/kota dalam bentuk rencana penanganan fakir miskin di daerah dengan berpedoman pada kebijakan strategi dan program nasional.



D



alam membangun konsep penanggulangan kemiskinan, landasan atau kondisi dasar yang kuat sangatlah diperlukan agar tercipta struktur bangunan yang baik. Kondisi dasar yang dibutuhkan antara lain adalah kerangka kelembagaan yang kuat, dengan pembagian tugas dan fungsi yang jelas dan saling berkoordinasi; disertai regulasi yang mendukung data dan informasi yang lengkap. Selain itu, diperlukan penguatan peran Pemerintah Daerah sebagai perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat agar strategi penanggulangan kemiskinan dapat berjalan lebih efektif dan efisien sehingga berdampak signifikan terhadap penurunan angka kemiskinan.



7.1 Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam era otonomi daerah, Pemerintah Daerah mempunyai hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat daerahnya karena Pemerintah Daerah dianggap lebih memahami permasalahan di daerah sehingga kebijakan yang dibuat diharapkan dapat lebih tepat sasaran. Oleh karena itu, pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya atau desentralisasi kepada daerah menjadi kesempatan untuk percepatan terwujudnya



112



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



kesejahteraan masyarakat melalui partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan di daerah. Namun, saat ini otonomi daerah belum memberikan dampak signifikan terhadap penurunan kesenjangan perekonomian antarprovinsi serta kesenjangan pendapatan antarindividu. UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah telah mengamanatkan bahwa tugas dan sebagian urusan pemerintahan diserahkan kepada daerah melalui desentralisasi kewenangan dalam rangka memperkuat otonomi daerah. Menurut Pasal 12, UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, terdapat 24 urusan wajib. Adapun enam diantaranya adalah urusan wajib yang berkaitan dengan layanan dasar, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.



Pendidikan; Kesehatan; Sosial; Pekerjaan umum dan penataan ruang; Perumahan rakyat dan kawasan permukiman; dan 6. Ketenteraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat; Ada tiga prinsip dalam urusan wajib pelayanan dasar, yaitu: 1. Mengandung pelayanan dasar, yaitu pelayanan publik untuk memenuhi



kebutuhan dasar warga negara agar hidup layak. 2. Pelaksanaannya harus berpedoman pada Standar Pelayanan Minimum (SPM). 3. Menjadi prioritas, yaitu harus dilaksanakan mendahului kebutuhan pembiayaan lainnya. SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Jenis pelayanan dasar minimal yang dilaksanakan di daerah paling tidak mencapai nilai tertentu dalam kurun waktu yang telah ditentukan sesuai indikator yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah harus mencapai tingkat cakupan minimal sama atau bahkan lebih cepat dibandingkan batas waktu yang telah ditetapkan Pemerintah Pusat untuk setiap indikator SPM dari tiap-tiap kementerian/ lembaga terkait dalam rangka menurunkan angka kemiskinan di Indonesia. Rencana pencapaian SPM di daerah dengan target lima tahunan harus dimasukkan ke dalam rencana strategis Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang menangani urusan wajib pelayanan dasar, serta dimasukkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Target tahunan pencapaian SPM di daerah juga perlu dimasukkan dalam



rencana kerja SKPD, Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), dan juga rencana kerja dan anggaran SKPD serta kebijakan umum anggaran prioritas plafon anggaran sementara (PPAS). Dalam pasal 31 UU No. 13/2011 tentang Penanganan Fakir Miskin disebutkan bahwa dalam penyelenggaraan penanganan fakir miskin, pemerintah kabupaten/kota bertugas: 1. Memfasilitasi, mengoordinasikan, dan menyosialisasikan pelaksanaan kebijakan, strategi, dan program penyelenggaraan penanganan kemiskinan dengan memperhatikan kebijakan provinsi dan kebijakan nasional; 2. Melaksanakan pemberdayaan pemangku kepentingan dalam penanganan fakir miskin; 3. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap kebijakan, strategi, serta program dalam penanganan fakir miskin; 4. Evaluasi kebijakan, strategi, dan program; 5. Menyediakan sarana dan prasarana bagi penanganan fakir miskin; 6. Mengalokasikan dana yang cukup dan memadai dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk menyelenggarakan penanganan fakir miskin.



Gambar 7.1: Bagan Keterkaitan Rencana Pencapaian SPM di Daerah dan Dokumen Perencanaan dan Penganggaran OTM)



7 - Peran Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Kemiskinan



113



Dalam dokumen RPJMN 2015 – 2019, peningkatan pelayanan dasar dilakukan melalui pendekatan frontline service delivery atau pendekatan yang bertumpu pada peningkatan akuntabilitas pihak terkait dalam menyediakan pelayanan dasar di tingkat masyarakat. Pendekatan tersebut memiliki tiga aktor utama, yaitu pemerintah, penyedia layanan, dan masyarakat. Selama periode RPJMN 2015 – 2019, pemerintah telah menyelenggarakan program kesejahteraan sosial bagi kelompok rentan atau Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) melalui bantuan layanan sosial dan



rehabilitasi sosial. Bantuan dan rehabilitasi sosial ini merupakan bagian dari sistem perlindungan sosial yang bertujuan untuk membantu para PMKS dalam menghadapi berbagai jenis risiko sepanjang siklus hidup. SPM Bidang Sosial memiliki peran penting untuk mendorong pelaksanaan program kesejahteraan sosial yang terstandarisasi di berbagai tingkat dan lokasi. Pelayanan dasar bidang sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota selama ini merupakan pelayanan dalam rangka penanggulangan permasalahan sosial di daerah.



Tabel 7.1: Pengelompokan PMKS JENIS PMKS



KELOMPOK PMKS



Balita telantar; Anak telantar (usia 6-17 tahun); Penduduk lanjut usia telantar usia 60 tahun ke atas.



Ketelantaran



Anak dengan disabilitas; Penduduk dengan disabilitas usia 18 tahun ke atas



Peyandang Disabilitas



Fakir miskin; Perempuan rawan sosial ekonomi Kemiskinan



Komunitas Adat Terpencil Keterpencilan



Korban bencana



Anak yang menjadi korban tindak kekerasan; Korban tindak kekerasan (usia 18 tahun ke atas); Korban trafficking; Pekerja migran bermasalah Anak berhadapan dengan hukum; Anak memerlukan perlindungan khusus lainnya; ODHA; Kelompok minoritas; BWBLP; Keluarga bermasalah sosial psikologis; Korban Napza; Wanita tuna susila



114



Seseorang yang ditelantarkan oleh keluarga yang tidak memberikan pengasuhan, perawatan, pembinaan dan perlindungan sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya. seseorang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama dimana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan bagi dirinya untuk melakukan fungsi-fungsi jasmani, rohani maupun sosialnya secara layak. penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. (berdasarkan pendataan nasional)



Gelandangan; Pengemis; Anak jalanan; pemulung



Korban bencana alam; Korban bencana sosial



DEFINISI



Korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi



Ketunaan sosial & penyimpangan perilaku



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



penduduk miskin yang tidak memiliki domisili tetap dan sering berpindah tempat, serta tidak terdaftar/teregistrasi atau memiliki dokumen kependudukan. kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial ekonomi, maupun politik. penduduk yang menjadi korban dan terkena dampak negatif dari suatu kejadian bencana alam atau sosial. kelompok penduduk yang mengalami berbagai perlakuan yang salah dalam masyarakat, dan membutuhkan bantuan untuk menghadapi perlakuan salah tersebut, atau untuk kembali berfungsi dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial di masyarakat. Penduduk yang mengalami permasalahan/risiko sosial khusus.



Jenis pelayanan dasar di antaranya mencakup pelaksanaan program/kegiatan asistensi sosial bagi masyarakat miskin dan rentan, penyediaan sarana dan prasarana sosial, verifikasi-validasi data penduduk miskin, penanggulangan korban bencana dalam sistem tanggap darurat, pelaksanaan dan pengembangan jaminan sosial, serta peningkatan lingkungan yang inklusif. Dalam sub-bidang pemberdayaan sosial, Pemerintah Pusat dan pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab dalam pemberdayaan sosial Komunitas Adat Terpencil (KAT). Pemberdayaan KAT bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan tingkat kesejahteraan KAT secara bertahap sehingga mereka memperoleh penghidupan dan kesempatan yang sama, khususnya dalam memperoleh pelayanan publik. Kegiatan yang diberikan meliputi pemberdayaan sumber daya manusia seperti pemenuhan dokumen kependudukan, pembangunan permukiman dan pekerjaan yang layak, serta perlindungan dan advokasi sosial. Kewenangan subbidang rehabilitasi sosial khususnya penyandang disabilitas telantar, anak telantar, lanjut usia telantar, gelandangan, dan pengemis terbagi menjadi beberapa bagian kewenangan. Pemerintah Pusat berwenang dalam pelaksanaan rehabilitasi sosial tingkat lanjut, salah satunya dengan meningkatkan keterampilan vokasional. Pemerintah provinsi menyelenggarakan rehabilitasi sosial dasar di dalam panti, sedangkan pemerintah kabupaten/ kota bertanggung jawab untuk pelayanan rehabilitasi sosial dasar di luar panti. Dalam penyelenggaraan rehabilitasi sosial dasar terdapat tiga prinsip yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, yaitu: 1. Berbasis hak, bukan charity. Hak PMKS untuk memperoleh pemenuhan kebutuhan dasar minimal. Negara berkewajiban menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar minimal warga negara; 2. Mengutamakan layanan dalam keluarga dan komunitas. PMKS diupayakan tetap



Foto: Layanan rehabilitasi sosial



berada dalam atau dekat dengan keluarga dan komunitasnya; dan 3. Layanan dalam panti sebagai alternatif terakhir. Panti hanya dipergunakan untuk pelayanan PMKS yang terancam keselamatan dan kelangsungan hidupnya, serta belum ada keluarga atau komunitas yang mampu mengurus. Layanan untuk jenis pelayanan rehabilitasi sosial dasar untuk penyandang disabilitas telantar, lansia telantar, dan anak telantar di dalam panti memiliki kriteria: 1) tidak ada lagi perseorangan, keluarga, atau masyarakat yang mengurus; 2) rentan mengalami tindak kekerasan dari lingkungannya; dan 3) masih memiliki keluarga tetapi berpotensi mengalami tindak kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, dan penelantaran. Standar jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang harus diperoleh di dalam panti sebagai kebutuhan dasar terdiri atas; pengasuhan; makanan; sandang; asrama yang mudah diakses; perbekalan kesehatan; bimbingan fisik, mental spiritual, dan sosial; bimbingan keterampilan hidup sehari-hari; pembuatan akta kelahiran, nomor induk kependudukan, dan kartu identitas anak; akses ke layanan pendidikan dan kesehatan dasar;



7 - Peran Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Kemiskinan



115



pelayanan penelusuran keluarga; pelayanan reunifikasi keluarga; dan akses layanan pengasuhan kepada keluarga pengganti.



7.2. Penguatan Kelembagaan



116



Sinergisasi dan koordinasi antar Pemerintah haruslah dilakukan secara efektif dan efisien terkait perencanaan dan penganggaran dalam kerangka pembangunan. Namun dalam pelaksanaannya, kegiatan perencanaan dan penganggaran masih ditemui tantangan dalam sinergisasinya karena masih terdapat peraturan yang sifatnya parsial yakni UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara serta Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Peraturan yang terpisah ini memunculkan masalah antara perencanaan dan penganggaran, sehingga diperlukan integrasi dan sinergi seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional. Dalam struktur kewenangan pemerintahan kini, ujung tombak penanggulangan kemiskinan adalah Pemerintah Daerah. Sementara itu, Pemerintah Pusat lebih berperan dalam proses fasilitasi dan asistensi guna mempercepat pengurangan tingkat kemiskinan. Untuk mewujudkan efektivitas Pemerintah Daerah dalam penanggulangan kemiskinan yang didukung secara aktif oleh pemangku kepentingan, diperlukan perbaikan sistem koordinasi yakni melalui Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD). Namun, seringkali pelaksanaan penanggulangan di daerah berasal dari inisiatif dan komitmen kepala daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD serta dukungan para pemangku kepentingan dalam membangun tata pemerintahan yang berorientasi pada perbaikan pelayanan publik dan pemberdayaan kaum miskin. Sebagai bentuk penguatan dan pengembangan program, Pemerintah Daerah juga bekerjasama dengan Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



lembaga nonpemerintah. Hal ini menunjukan bahwa proses penyesuaian antara kelembagaan di daerah dengan pusat seringkali tidak dilakukan pada tahapan awal. Oleh karena itu, kebijakan Pemerintah Pusat dituntut untuk selalu mempertimbangkan inisiatif daerah yang sudah berjalan, agar mereka tidak terbebani oleh perubahan. Pemerintah Daerah yang memiliki inovasi dalam upaya penanggulangan kemiskinan diantaranya adalah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sragen. Kabupaten tersebut melaksanakan pelayanan publik secara komprehensif berupa pemberdayaan di bidang sosial, perekonomian dan ketenagakerjaan, serta pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatan. Dalam upaya penanggulangan kemiskinan, dibentuk Tim Penanggulangan Kemiskinan (TPK) Kabupaten, TPK Kecamatan, dan TPK Desa yang terintegrasi dengan Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskesos). Keragaman kapasitas kelembagaan penanggulangan kemiskinan di daerah dipengaruhi oleh komitmen kepala daerah, dukungan jajaran DPRD, dan partisipasi masyarakat sipil. Instruksi pembentukan TKPKD dapat menjadi instrumen penguatan upaya penanggulangan kemiskinan. Hambatan pengoptimalan kinerja kelembagaan TKPKD di antaranya bersumber dari sifat organisasi yang cenderung eksklusif, egosektoral instansi yang menyulitkan koordinasi, serta keterbatasan dana. Berkaitan dengan hal tersebut, TKPKD harus lebih terbuka dan aktif berkomunikasi dengan daerah lain untuk saling berbagi informasi terkait hal-hal yang tidak berhasil ataupun praktik cerdas di masing-masing daerah. Pada saat bersamaan, kelembagaan perlu secara aktif mendorong partisipasi masyarakat. Dalam menjalankan tugasnya, TKPKD terdiri dari tiga kelompok kerja, yaitu 1. Pendataan dan Informasi yang terdiri dari Bappeda, BPS, Dinas Sosial, Dinas Kependudukan, Dinas Kominfo, dan perguruan tinggi.



Foto: Rapat koordinasi penanggulangan kemiskinan di Provinsi Jawa Timur



2. Pengembangan Kemitraan yang terdiri dari Bappeda, Biro Perekonomian, BUMN, BUMD dan perusahaan swasta setempat. 3. Pengaduan Masyarakat yang terdiri dari BPMD, Inspektorat daerah dan UPM Program – program penanggulangan kemiskinan. Berdasarkan struktur tersebut, Dinas Sosial dapat terlibat secara langsung dalam proses pendataan dalam proses pemutakhiran Basis Data Terpadu.



7.2.1. Studi Kasus Negara Lain: Filipina, Turki, dan Kanada Dalam upaya penanggulangan kemiskinan, beberapa Negara memiliki struktur kelembagaan yang berbeda misalnya Filipina, Turki, dan Kanada. Filipina memiliki struktur kelembagaan yang cukup jelas namun belum efektif dalam mengelola program penanggulangan kemiskinan sehingga angka kemiskinan di Filipina masih cenderung tinggi. Kerangka kelembagaan di Turki dapat dijadikan contoh baik karena mampu mengurangi fragmentasi antar lembaga. Selain itu, Turki juga dinilai sukses dalam menjalankan bantuan



sosial yang terintegrasi. Selain itu, Kanada juga membuat kolaborasi program antara Pemerintah Pusat, pemerintahan di tingkat provinsi, wilayah dan teritori. Filipina: The National Anti-Poverty Commission Komisi Anti Kemiskinan Nasional (NAPC) dibentuk pada tahun 1998 oleh Pemerintah Filipina dan terdiri dari 12 badan. Pada mulanya, badan ini berada di bawah Kantor Presiden dan disupervisi oleh Sekretaris Kabinet. Akan tetapi, pada tahun 2018, komisi ini menjadi bagian dari Departemen Kesejahteraan Sosial dan Pembangunan bersama dua komisi lain yaitu Komisi Presidensial untuk Kemiskinan Kota dan Komisi Nasional untuk Masyarakat Adat. NAPC berfungsi untuk mengoordinasikan program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah. Selain itu, komisi ini juga berfungsi untuk memastikan bahwa bidang-bidang yang termarginalkan dapat turut berpartisipasi dalam pembuatan keputusan pemerintah. Pemerintah Filipina berpendapat bahwa dalam menjalankan program penanggulangan kemiskinan, dibutuhkan kerja sama yang baik



7 - Peran Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Kemiskinan



117



antara Pemerintah Pusat dengan para pemangku kepentingan karena dapat memberikan ide-ide baru yang strategis dan efektif untuk keperluan perumusan kebijakan. Pendirian NAPC diharapkan dapat menginstitusionalisasi partisipasi sektorsektor dasar seperti pendidikan atau kesehatan dalam memformulasikan, merencanakan, mengimplementasi dan mengawasi kebijakan serta strategi penanggulangan kemiskinan. Saat ini terdapat dua kegiatan utama dari NAPC. Pertama adalah Sagana At Ligtas Na Tubig Para Sa Lahat (SALINTUBIG), yaitu program penyediaan air ke 455 kota yang mengalami kekurangan air. Kedua, adalah program pembangunan berbasis gender yang bertujuan untuk menciptakan kesadaran mengenai gender, mengidentifikasi isu gender, dan membuat rencana aksi terkait isu tersebut. Beberapa peraturan pemerintah telah dibuat terkait dengan isu gender, mulai dari anti-trafficking, pemerkosaan, hingga literasi finansial. Turki: Kelembagaan untuk Program-Program Bantuan Sosial. Saat ini, bantuan sosial yang dilaksanakan di Turki, dikoordinasikan pada tingkat pusat oleh Direktorat Jenderal Bantuan Sosial (SADG) di bawah Kementerian Keluarga dan Kebijakan Sosial (MoFSP) dan diimplementasikan oleh Yayasan Bantuan Sosial dan Solidaritas (SASFs) di tingkat lokal. Terdapat 1000 SASFs yang tersebar di seluruh provinsi, kabupaten/kota. Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, SASFs berada di bawah naungan kepala daerah. SASFs diinisiasi pada tahun 1986. Pada saat itu, bantuan sosial diatur di tingkat pusat oleh Direktorat Jenderal Pembiayaan yang berada di bawah Kantor Perdana Menteri, sedangkan SASF sendiri hanya ada di tingkat daerah. MoFSP dibentuk tahun 2011 untuk mengintegrasikan berbagai macam inisiatif sosial dan mengurangi fragmentasi antar sektor. Sejak itu, SADG dibentuk di bawah MoFSP. SASFs di tingkat daerah dan MoFSP di tingkat nasional merupakan lembaga inti dalam



118



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



kerangka pelaksanaan Bantuan Sosial di Turki. Sebagian besar bantuan sosial termasuk SADG, berada di bawah MoFSP dan telah berhasil menunjukkan pengurangan fragmentasi sektoral. Kanada: Kerja Sama Pusat, Provinsi, Teritori dan Masyarakat Terdapat tiga pilar yang menjadi dasar strategi penanggulangan kemiskinan di Kanada, yaitu: hidup bermartabat (dignity), kesempatan dan mengikutsertakan (opportunity and inclusive), dan meningkatkan ketangguhan dan keamanan (resilience and security). Dalam hal ini, diharapkan setiap orang di Kanada diperlakukan setara dan memiliki kemampuan untuk berkembang dan berpartisipasi secara penuh dalam pembangunan masyarakat. Melalui strategi ini, Pemerintah Kanada menargetkan kemiskinan dapat turun 20 persen pada tahun 2020 dan 50 persen pada tahun 2030. Dalam mendukung pilar-pilar tersebut, pemerintah Kanada menganggap bahwa aspek kerja sama merupakan hal terpenting untuk melaksanakan strategi penanggulangan kemiskinan. Oleh karena itu, pada bulan Juli 2018, pimpinan di tingkat provinsi dan teritori menerbitkan pernyataan kerja sama dalam rangka mengurangi kemiskinan, yakni: setiap penduduk Kanada berhak untuk hidup bermartabat; adanya kerja sama antar tingkat pemerintahan untuk menjawab tantangan dan perubahan ekonomi dan sosial; serta fokus program pada penanggulangan kemiskinan dan berupaya untuk mendengarkan aspirasi dari penduduk miskin. Dengan adanya kerja sama ini, diharapkan setiap masyarakat miskin dapat dipastikan mendapat manfaat yang mereka berhak peroleh. Selain itu, kerja sama juga dapat mengurangi duplikasi program oleh tingkat pemerintahan yang berbeda untuk memastikan interaksi antar program pemerintah negara bagian, provinsi, dan teritori tidak memiliki kepentingan yang dapat merugikan penduduk miskin. Adanya kerja sama ini juga memungkinkan



pertukaran informasi yang lebih baik, sehingga program yang dibuat dapat dijalankan dengan efektif. Hal ini memungkinkan pemangku kebijakan untuk melihat kemiskinan secara multidimensi karena melibatkan banyak sektor.



7.3 Pengelolaan Data dan Layanan Responsif Pendataan merupakan bagian penting dalam pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. Data diperlukan sebagai dasar menentukan sasaran atau penerima manfaat agar program tersebut tepat sasaran. Saat ini, basis data yang digunakan dalam penentuan penerima manfaat program penanggulangan kemiskinan di Indonesia adalah Basis Data Terpadu/BDT. Basis Data Terpadu adalah sistem data elektronik yang memuat informasi sosial, ekonomi, dan demografi yang diharapkan dapat mendukung proses pelaksanaan bantuan sosial dan memastikan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia tepat sasaran. Saat ini, Basis Data Terpadu dikelola oleh Pusat Data dan Informasi Kementerian Sosial bersama Pokja Pengelola Data Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin yang terdiri dari Kementerian Sosial, Kemenko PMK, Kemendagri, Bappenas, BPS, dan TNP2K. Berdasarkan SK Menteri Sosial No. 57/2017, terdapat 96.705.167



jiwa yang masuk ke dalam Basis Data Terpadu. Mereka yang masuk ke dalam Basis Data Terpadu adalah mereka dengan status kesejahteraan terendah di Indonesia. Sumber data utama dari Basis Data Terpadu adalah hasil kegiatan Pemutakhiran BDT pada tahun 2015 yang dilaksanakan oleh BPS. Basis Data Terpadu digunakan untuk memperbaiki kualitas penetapan sasaran program-program perlindungan sosial. Basis Data Terpadu membantu perencanaan program serta memperbaiki penggunaan anggaran dan sumber daya program perlindungan sosial. Dengan menggunakan Basis Data Terpadu, jumlah dan sasaran penerima manfaat program dapat dianalisis sejak awal perencanaan program. Hal ini akan membantu mengurangi kesalahan dalam penetapan sasaran program perlindungan sosial. Basis data ini dimutakhirkan dua kali setahun pada bulan Mei dan November melalui keputusan Menteri Sosial. Mulai tahun 2017, basis data tersebut terbagi menjadi dua jenis, yaitu data penduduk miskin berbasis keluarga dan non-keluarga/individu bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Pemutakhiran Basis Data Terpadu dilakukan secara berkala oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengingat kemiskinan bersifat dinamis. Ada berbagai kemungkinan yang bisa menyebabkan rumah tangga keluar dari garis kemiskinan, salah



Gambar 7.2: Data Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu (DT PPFM & OTM)



Sumber: Kepmensos No. 71/HUK/2018 tentang Data Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu



7 - Peran Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Kemiskinan



119



Gambar 7.3: Skema Data Penduduk Miskin dan Rentan Pendapatan Tinggi



STATUS KESEJAHTERAAN



Kemiskinan



NON MISKIN TeregisterBerbasis Keluarga



Pendapatan Rendah



RENTAN MISKIN



Basis Data Terpadu



HAMPIR MISKIN



Lansia >60 thn



Kerentanan



Usia produktif 25-60 thn



Kedisabilitasan



Memasuki usia produktif 19-24 thn



Pengecekan & Integrasi



Keterpencilan



Korban Bencana



Usia sekolah 6-18 thn



MISKIN



Tidak TeregisterBasis Individu



Basis Data PMKS Individu



Korban Tindak Kekerasan, Eksploitasi, Diskriminasi



Janin Balita 0-5 thn



SANGAT MISKIN



Sumber: Bappenas



satunya adalah keberhasilan program yang dijalankan pemerintah. Dalam keadaan tersebut, diperlukan program dan data yang baru. Namun, upaya pemutakhiran kemungkinan besar akan menghadapi kendala dalam hal biaya sehingga perlu dipikirkan jalan keluarnya.



Perbaikan penetapan sasaran program pemerintah juga perlu dilakukan melalui pemutakhiran model pemeringkatan rumah tangga. Pemeringkatan rumah tangga saat ini disusun berdasarkan kondisi aktual pada tahun saat pendataan. Hal ini



Gambar 7.4: Mekanisme SIKS-NG



7



Social Welfare Programs for PMKS



PKH



Rastra



pengesahan kab/kota



PIP



ASLUT



University ResearchersOrganization



KUBE



PKSA



ASPDB



listrik



LPG



pupuk



Dashboard, Analysis & Statistical Tools



8



rutilahu



PIS



Integrated Data Service



Data Warehouse & Big Data engine



Dikbud



Dukcapil



BPJS



PLN



ESDM



KPU



K/L



musdes/muskel



Pemda prop/kab/kota



3



SI Verivali BDT



Kelurahan



SI Verivali PSKS



PUSKESSOS Penanganan Keluhan



Desa



SI PKH



data update data update Basis Data Terpadu (Bansos + PMKS)



Online Analytical Proc.



Administrative Data Source



4



realization data



usulan perubahan



RT & RW



SI Lain



SI SLRT



2 Standard and Secured Access via SIKS Middleware



Executive Dashboard



Himbara



prelist data



aktif



LPG listrik



5 SISKADA-SATU matching engine



matching & updating



Tata-Kelola Verivali & Basis Data Terpadu/PSKS



Sumber: Kementerian Sosial RI



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



keluarg BNBA a BNBA+BDT BNBA+BDT BNBA+BDT



PBI PBI PBI



keluarga



KKS



BNBA



BNBA+BDT BNBA+BDT



Legal



PBI PBI



KKS



Link



1



BNBA



Profile



BNBA



Profile



BNBA



Profile



BNBA



Profile



BNBA



Profile



BNBA



Profile



BNBA



Profile Profile



BNBA+BDT



PBI



BNBA



BNBA+BDT



PBI



BNBA







Monev



PKH



Basis Data PSKS



SOP



Organisasi



SDM



Teknologi



Profile







Budget 22



Didukung KPBU (surat Bappenas nomor 3637/D.6/05/2017)



FinTech Online Payment



Command Center



kunjungan langsung



VERIVALI MANDIRI (Data PMKS & PSKS)



Private Sector



9



120



6



ranking



Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial (SIKS) NG



National & International Community



berpeluang menyebabkan kurang akuratnya data pada tahun-tahun berikutnya akibat potensi perubahan karakteristik wilayah yang disebabkan oleh pemekaran. Selain itu, terdapat juga kemungkinan perubahan kondisi sosial ekonomi rumah tangga. Berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan upaya untuk menyempurnakan model atau sistem pemeringkatan status kesejahteraan rumah tangga melalui kajian dan uji coba penerapan model alternatif yang dapat mengakomodasi dinamika perubahan kondisi sosial ekonomi rumah tangga. Untuk mempermudah proses pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, serta penyajian data dan informasi kesejahteraan sosial, pemerintah mengembangkan Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial-Next Generation (SIKS-NG). Sistem ini menghubungkan verifikasi dan validasi data yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan data dari Kementerian/Lembaga penyalur bantuan sosial lain seperti Kemendikbud, Kementerian ESDM, dan K/L lainnya, sehingga mempermudah proses pemutakhiran data. Sistem ini juga memungkinkan pihak eksternal (institusi pendidikan, donor, organisasi, sektor swasta dan lainnya) untuk mengakses data untuk kepentingan akademik dan pembuatan kebijakan. Gambar 7.4. menunjukkan mekanisme dari SIKS-NG.



Saat ini, regulasi mengamanatkan pemutakhiran dilakukan minimal 2 kali dalam satu tahun (bulan Mei dan November). Dalam proses pemutakhiran data, pemerintah Provinsi dan Kabupaten/kota memiliki peran yang besar. Pemerintah Provinsi berperan dalam membantu sosialisasi, peningkatan kapasitas, serta pengawasan dan evaluasi di tingkat kabupaten/ kota. Pihak provinsi juga berkontribusi secara finansial melalui APBD dalam proses pemutakhiran data. Terkait dengan sistem rujukan saat ini, pihak provinsi berperan sebagai pihak yang merespon dan menindaklanjuti rujukan yang ada, serta harus dapat memanfaatkan basis data dan rujukan dalam proses penyusunan program. Kabupaten berperan sebagai pihak pendamping dan juga pihak yang melakukan verifikasi-validasi langsung ke masyarakat miskin. Peranan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten dapat dijelaskan melalui Gambar 7.5. Terkait dengan pendataan, penduduk miskin seringkali sulit mengakses layanan dasar, program penanggulangan kemiskinan, dan program perlindungan sosial. Saat terjadi krisis atau bencana, baik ekonomi, alam, maupun sosial, berbagai program tersebut tidak dapat dengan cepat membantu penduduk yang terkena dampak. Penduduk miskin inilah yang menghadapi risiko terbesar dalam mempertahankan kesejahteraan keluarga dan penghidupannya saat terjadi krisis.



Gambar 7.5: Peningkatan Peran Provinsi dalam Proses Layanan dan Pendataan Basis Data Terpadu Pusat 1.



2.



Melaksanakan amanat PP 19/2010 JO PP 23/2011 terkait peran Gubernur Melaksanakan skema desentralisasi data kemiskinan sebagai amanat UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah • •



Pengendalian Pendampingan terbatas



Provinsi



Sosialisasi



1. 2. 3. 4.



Membantu sosialisasi, peningkatan kapasitas, proses pembelajaran dan monev di kabupaten/kota Kontribusi natura dan anggaran Merespon dan menindaklanjuti rujukan terkait program provinsi Memanfaatkan data BDT untuk perencanaan penganggaran



Bimtek dan Penguatan



Pendampingan dan Monev



Kabupaten



Sumber: Bappenas



7 - Peran Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Kemiskinan



121



Ke depan, penanganan permasalahan sosial tidak boleh hanya terfokus pada substansi kemiskinan, tapi juga harus bergeser pada upaya membangun ketahanan keluarga dan penghidupan yang berkelanjutan. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan dan pelayanan sosial program perlindungan sosial masih berbentuk pelayanan sosial yang bersifat sektoral, dengan jangkauan yang masih terbatas dan hanya merespon permasalahan aktual secara reaktif. Tantangan yang muncul kemudian adalah Pemerintah Pusat dan Daerah harus mampu memahami permasalahan sosial di daerahnya, sekaligus mampu memberikan solusi layanan



cepat, efektif dan efisien, serta terintegrasi. Untuk itu, diperlukan sebuah sistem terpadu guna mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT) akan mengembangkan jaringan hingga unit-unit pelayanan di tingkat kecamatan atau desa/ kelurahan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah. Sistem ini diharapkan akan memiliki 3 (tiga) fungsi utama, yaitu: 1) pemutakhiran dan pengelolaan data; 2) rujukan program sosial; dan 3) penanganan keluhan program perlindungan sosial. Dalam perkembangan selanjutnya, RPJMN 2015 – 2019 mengamanatkan kepada Kementerian Sosial untuk mengembangkan SLRT



yang dibutuhkan oleh masyarakat secara tepat,



di 50 Kabupaten/Kota dan Pusat Kesejahteraan



Tabel 8.3: Permasalahan di Lapangan terkait Basis Data Terpadu



No.



122



Topik



Permasalahan



1



Sumber data



 Kabupaten/kota memperoleh data yang akan diverifikasi melalui SIKS-NG  Bappeda Provinsi dan Dinas Sosial Provinsi belum menerima data prelist yang akan di verifikasi dan akses ke SIKS-NG  Jenis PMKS yang beranekaragam dan tumpang tindih sehingga intervensi terfragmentasi



2



Verifikasi rumah tangga



 Verifikasi rumah tangga dilakukan secara offline oleh TKSK, pendamping PKH, operator desa atau fasilitator SLRT



3



Kendala verifikasi data online (SIKS-NG)



 Pemerintah Daerah belum memiliki fasilitas yang memadai seperti ketersediaan komputer dan kapasitas SDM operator dan enumerator  Belum stabilnya koneksi internet yang menyebabkan gagalnya upload data hasil verifikasi  Versi SIKS-NG tidak kompatibel dengan beberapa sistem operasi komputer



4



Hasil verifikasi dan validasi



 Mayoritas hasil verifikasi dan validasi tidak terlaporkan ke Dinas Sosial Provinsi karena menggunakan SIKS-NG



5



Alokasi anggaran verifikasi dan validasi



 Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota belum memiliki anggaran pelaksanaan verifikasi-validasi data



6



Musyawarah desa/kelurahan



 Kendala daerah yang belum melaksanakan Musdes/Muskel: belum ada alokasi anggaran, waktu yang terbatas dan kurangnya sumber daya manusia



7



Kepemilikan KK dan NIK



 Masih ada penerima program yang belum memiliki NIK dan KK, karena kesadaran masyarakat yang masih rendah terhadap kepemilikan identitas diri  Minimnya koordiasi dan kerjasama antara Dinas Sosial dan Dukcapil untuk menjangkau penduduk penerima program tanpa NIK dan KK



8



Sosialisasi dan Pemahaman Pemda



 Sosialiasasi pemanfaatan BDT masih belum maksimal, terutama di level pemerintah Provinsi  Pihak ketiga yang ditunjuk Kemensos dalam melaksanakan pendataan tidak melibatkan Pemerintah Daerah secara aktif. Contohnya dalam pemilihan enumerator, proses perencanaan, penganggaran dan training enumerator.



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Kotak 6



Pelaksanaan Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu di Kabupaten Bandung



P



emerintah Kabupaten Bandung dapat menjadi praktik baik pelaksanaan pengelolaan data dan layanan responsif melalui



dan perempuan), Program Keluarga Harapan, lembaga koordinator kesejahteraan sosial, dam pengolahan data.



SLRT yang dilakukan oleh daerah. SLRT Kabupaten Bandung telah bermitra dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang memiliki kapasitas untuk mengatasi keluhan masyarakat antara lain Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Perkimtan, DP2KBP3A, Dinas Tenaga Kerja, PLN, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, dan P2TP2A. selain bermitra dengan OPD, SLRT juga berjejaring dengan LSM, CSR, dan BAZ. Hal ini dilakukan untuk mempercepat dan mempermudah penanganan keluhan keluarga miskin. Back office SLRT Sabilulungan terdiri dari bagian pendidikan, kesehatan, sosial ekonomi (kekerasan pada anak



280 Puskesos yang berada di bawah SLRT Sabilulungan. Fasilitator di Puskesos bertanggung jawab untuk menangani aduan masyarakat ditingkat desa dan meneruskannya ke petugas SLRT. selain itu, Puskesos juga melakukan verifikasi rumah tangga miskin yang menyampaikan aduannya ke Puskesos. Untuk penanganan keluhan yang bersifat darurat, SLRT Sabilulungan memiliki unit reaksi cepat yang saat ini sudah dilengkapi dengan fasilitas ambulans dan mobil puskeling. Dalam pelaksanaan pelayanan aduan, masih terdapat kendala terkait data PMKS belum terkategori dalam BDT sehingga masih sulit penanganannya di lapangan.



Di tingkat desa terdapat



Kemitraan dan jejaring yang dibangun oleh SLRT Sabilulungan memberikan dampak positif terhadap respons aduan masyarakat, SLRT menjadi lebih responsif dalam penanganan aduan karena langsung dapat ditindaklanjuti oleh LSM atau memanfaatkan CSR. Penanganan pengidap Napza dan gangguan jiwa dilakukan oleh SLRT bekerja sama langsung dengan LSM.



7 - Peran Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Kemiskinan



123



Gambar 7.6: Skema Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu



Sumber: Bappenas



Sosial (Puskesos) di 100 desa/kelurahan pada tahun 2016. Jumlah tersebut secara bertahap akan bertambah hingga mencapai 150 kabupaten/kota dan 300 Puskesos di desa/ kelurahan pada akhir 2019. Pemerintah Daerah memiliki peran yang sangat penting dalam pemutakhiran dan pengelolaan basis data. Selain dalam upaya transfer pengetahuan, Pemerintah Daerah diharapkan juga ikut bertanggung jawab dalam penyempurnaan BDT. Partisipasi Pemerintah Daerah sekaligus juga dapat mendorong munculnya dukungan serta pengakuan terhadap keberadaan BDT oleh seluruh Pemerintah Daerah di Indonesia. Komunitas dan masyarakat dapat terlibat secara aktif dalam mengidentifikasi daftar awal sasaran pendataan dan verifikasi daftar calon penerima manfaat program melalui Forum Konsultasi Publik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. Salah satu contoh praktik yang dapat menjadi acuan terkait pelaksanaan pengelolaan data dan layanan yang responsif melalui SLRT di daerah adalah langkah dari Pemerintah Kabupaten Bandung.



124



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



7.4. Monitoring dan Evaluasi (SEPAKAT) Dalam lima tahun terakhir, angka kemiskinan menunjukkan penurunan hingga mencapai kemiskinan satu digit (9,82 persen) di tahun 2018. Namun, tingkat kemiskinan tidak cukup jika dilihat secara nasional saja. Apabila tingkat kemiskinan dilihat berdasarkan kabupaten/kota, hampir setengah dari kabupaten/kota memiliki tingkat kemiskinan di atas tingkat kemiskinan nasional. Upaya dalam penanggulangan kemiskinan dihadapkan dengan permasalahan yang berbeda-beda sehingga tidak ada satu solusi yang tepat dengan cara yang sama untuk seluruh kabupaten/kota. Artinya, Pemerintah Daerah memiliki peran penting untuk mempercepat penurunan kemiskinan. Dalam upaya percepatan penanggulangan kemiskinan tersebut dibutuhkan lebih banyak inovasi melalui berbagai inisiatif. Selain permasalahan yang berbeda-beda, Pemerintah Daerah masih belum memiliki wadah komunikasi interaktif untuk bertukar pikiran, menggali praktik cerdas dan berbagai



pembelajaran dengan Pemerintah Pusat, akademisi, penggerak sosial masyarakat (LSM) dan pihak swasta lainnya dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Permasalahan ini mengakibatkan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan belum tepat sasaran dan tepat guna yang dapat mengurangi kualitas belanja daerah (quality spending) dan kesejahteraan masyarakat miskin. Salah satu inisiatif terbaru dalam percepatan penurunan kemiskinan adalah dengan Sistem Perencanaan, Penganggaran, Pemantauan, Evaluasi dan Analisis Kemiskinan Terpadu (SEPAKAT). Sistem tersebut merupakan pemutakhiran dari Pro-Poor Planning, Budgeting and Monitoring (P3BM) dan Sistem Informasi Terpadu (SIMPADU) dan telah diintegrasikan dengan Sub-National Poverty Assesment (SNaPA) yang dikembangkan oleh Bank Dunia. SEPAKAT juga merupakan salah satu bentuk tindak lanjut dari Perpres No. 2/2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015 – 2019 terkait strategi penanggulangan kemiskinan, yang salah satu poinnya adalah mengarahkan terwujudnya pemanfaatan sistem informasi terpadu yang berpihak pada masyarakat miskin.



SEPAKAT adalah sistem berbasis web dan bukti (evidence-based) dalam melakukan analisis, perencanaan, penganggaran, pemantauan, dan evaluasi pembangunan yang lebih propoor dalam upaya penguatan kapasitas pusat dan daerah. Peran SEPAKAT dalam proses perencanaan adalah sebagai prakti cerdas, pembelajaran, serta data dan sentra pengetahuan untuk mengatasi isu-isu kemiskinan. Pemerintah Daerah juga dapat mengembangkan kebijakan berbasis bukti berdasarkan data sehingga program dan anggaran yang dihasilkan lebih tepat guna dan tepat sasaran. Dengan demikian, duplikasi intervensi dapat dihindari sehingga menciptakan sinergi dan mencapai efektivitas serta efisiensi. Untuk meningkatkan kapasitas Pemerintah Pusat dan Daerah, SEPAKAT bertujuan untuk: 1) mempertajam rencana pembangunan dan anggaran daerah dalam percepatan penurunan kemiskinan dan ketimpangan; 2) memanfaatkan data untuk kebutuhan analisis, perencanaan, penganggaran dalam membuat kebijakan pembangunan yang inklusif dan pro-poor; dan 3) Otomatisasi proses perencanaan, penganggaran dan monitoring yang holistik, integratif, tematik dan spasial.



Foto: Training of Trainer SEPAKAT di Jawa Timur



7 - Peran Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Kemiskinan



125



Gambar 7.7. Skema Pelaksanaan Sistem Perencanaan Penganggaran Monitoring dan Evaluasi Terpadu Program Perlindungan Sosial Program Pelayanan Dasar



TKPKD



Program Pengembangan Penghidupan



Penyusunan dokumen perencanaan



SEPAKAT



Sistem Perencnaan Penganggaran Monitoring dan Evaluasi Terpadu



Perkembangan program Analisis



Perencanaan



Penganggaran



Monitoring



Evaluasi



Sumber: Bappenas



1. SEPAKAT dilengkapi dengan lima modul yang saling terintegrasi untuk menyusun kebijakan kemiskinan, di antaranya adalah:



perkembangan program/kegiatan dari sisi penyerapan anggaran dan konsistensi terhadap analisa permasalahan; dan



2. Analisis Kemiskinan: untuk menganalisis dan mendiagnosis kondisi kemiskinan di daerah dengan menggunakan data seperti Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), Potensi Desa (Podes), dan jBasis Data Terpadu. Dalam prosesnya, fitur analisis kemiskinan juga menampilkan pengurutan prioritas untuk mengurutkan permasalahan menurut prioritas dengan kondisi kemiskinan dan tema pembangunan, seperti SDGs dan SPM;



6. Evaluasi; untuk mengukur efektivitas program dan kegiatan dibandingkan permasalahan kemiskinan.



3. Perencanaan: untuk mengidentifikasi penyebab masalah kemiskinan dan merumuskan indikasi intervensi program. Selain data dari pusat, SEPAKAT juga mengakomodasi data yang bersumber dari daerah; 4. Penganggaran: untuk merumuskan alokasi anggaran berdasarkan jenis, target program/ kegiatan serta lokasi prioritas; 5. Pemantauan: untuk memantau



126



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Pemanfaatan SEPAKAT bagi TKPKD (Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah) adalah dapat melakukan koordinasi lintas sektor berbasis bukti dan data. Selain itu, Pemerintah Daerah juga dapat memanfaatkan SEPAKAT sebagai sentra pengetahuan bagi programprogram penanggulangan kemiskinan daerah. Dalam pembahasan tentang kelembagaan, masalah pembiayaan dalam penanggulangan kemiskinan tentu tidak dapat dipisahkan. Sebaik apapun sistem kelembagaan yang ada, kebijakan yang telah dirumuskan tidak akan berjalan dengan lancar ketika tidak ada pembiayaan yang memadai. Isu terkait pembiyaaan, termasuk alternatif yang dapat digunakan dalam membiayai sebuah kebijakan, akan dielaborasi secara lebih lanjut dalam Bab 8.



8



Pembiayaan dalam Penanggulangan Kemiskinan







Penanggulangan kemiskinan membutuhkan anggaran yang sangat besar, sehingga diperlukan upaya atau terobosan baru untuk memobilisasi sumber keuangan melalui pendekatan yang lebih inovatif.



P



enanggulangan kemiskinan membutuhkan anggaran yang sangat besar, sehingga diperlukan upaya atau terobosan baru untuk memobilisasi sumber keuangan melalui pendekatan yang lebih inovatif, baik dari publik maupun swasta, domestik maupun luar negeri. Pembahasan dalam bab ini akan menitikberatkan pada sumber-sumber pembiayaan alternatif. Pola kemitraan baru seperti lembaga keuangan pembangunan, perantara pembangunan, lembaga-lembaga filantropi, hingga individu-individu yang peduli pada upaya penanggulangan kemiskinan sudah banyak mengalami perkembangan. Tak hanya itu, instrumen-instrumen keuangan juga mengalami perkembangan yang sangat pesat untuk memenuhi tujuan kebijakan publik. Di dunia dan Indonesia terdapat beberapa contoh, beberapa diantaranya adalah obligasi biru dan hijau, yang dikeluarkan baik di pasar global dan domestik untuk membiayai infrastruktur yang ramah lingkungan. Terdapat pula instrumen keuangan islam seperti sukuk, wakaf, zakat, infak dan sedekah; skema pembiayaan garansi untuk mengurangi atau membagi risiko seperti pola pembiayaan pada rantai-nilai atau rantaipasok tertentu; skema pendanaan diaspora untuk mendukung pendanaan program-program



“balik kampung”; investasi-investasi yang memiliki dampak sosial dan lingkungan selain bagi hasil pada investor; penggalangan dana (crowdfunding) dari masyarakat luas; obligasi dampak sosial (social impact bonds) sebagai bentuk pendekatan pendanaan berdasar hasil; skema asuransi terkait dengan iklim atau bencana; dan lain sebagainya.



8.1 Instrumen Keuangan Islam Indonesia mendapat peringkat nomor satu sebagai negara yang paling tinggi dalam hal memberi (CAF, 2018). Perilaku yang diukur dalam pemeringkatan ini antara lain kecenderungan menolong orang asing (diperkirakan 86 juta orang berpartisipasi untuk menolong orang), donasi uang (78 persen orang Indonesia berdonasi dalam satu bulan terakhir), dan mengikuti kegiatan kerelawanan (53 persen penduduk mengikuti kegiatan kerelawanan). Di sisi lain, berdasarkan data Statistik Zakat Nasional, pada tahun 2017 jumlah organisasi pengelola zakat di Indonesia adalah sebanyak 603 yang terdiri dari 548 Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS; 48 BAZNAS provinsi dan 514 BAZNAS kabupaten/ kota) dan 55 LAZ (19 LAZ nasional, 11 LAZ provinsi, dan 25 LAZ kabupaten/kota). Sementara itu, jumlah penerimaan organisasi pengelola zakat



Tabel 8.1: Pengumpulan Dana Organisasi Pengelola Zakat dan Penyalurannya Jenis Penerimaan Zakat Maal Penghasilan Individu Zakat MaalBadan Infak / Sedekah Perorangan Infak / Sedekah / CSR / PKBL Zakat Fitrah Dana Sosial Keagamaan Dana Lain-lain Jumlah



Jumlah Dana (dalam Rp)



%



Jenis Penerimaan



Jumlah Dana (dalam Rp)



Rp 2.785.208.957.779



44,8



Fakir Miskin



Rp 3.356.325.642.451



69,1



Rp3 07.007.314.242



4,9



Amil



Rp 518.647.467.254



10,7



Rp1.651.254.048.632



26,5



Muallaf



Rp 97.156.889.988



2,0



Rp 113.629.148.360



1,8



Riqob



Rp 21.827.062.720



0,5



Rp 1.101.926.162.357



17,7



Gharimin



Rp 40.772.744.732



0,8



Rp 265.345.638.101



4,3



Fi Sabilillah



Rp 755.062.496.814



15,5



-



Ibnu Sabil



100



Jumlah



Rp 6.224.371.269.471



Sumber: Baznas, 2018



128



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



%



Rp 70.363.020.484



1,5



Rp 4.860.155.324.443



100



pada tahun yang sama tercatat sebesar Rp 6,2 triliun, dengan pemasukan untuk infak/ sedekah perorangan sebesar 26 persen dari total penerimaan. Hampir 45 persen merupakan zakat maal atau penghasilan individu. Dari sisi penyaluran, 69 persen disalurkan untuk fakir miskin. Besaran tersebut masih sangat kecil dibandingkan dengan jumlah komunitas, lembaga kemanusiaan dan sumbangan individual terkait dengan program-program sosial yang ada. Dari sisi potensi besaran Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf (ZISWAF), potensi zakat di Indonesia yang ideal mencapai 3,4 persen dari total PDB atau Rp 217 triliun per tahun di tahun 2012 (Firdaus, et al., 2012). Jumlah ini meliputi potensi penerimaan zakat dari berbagai area, seperti zakat rumah tangga, perusahaan swasta, BUMN, serta deposito dan tabungan. Namun menurut Soedibyo (2018), dengan berbagai regulasi insentif fiskal yang belum ideal, banyak perusahaan yang belum mau membayar zakat. Koreksi atas potensi zakat adalah sebesar 1,57 persen dari PDB atau sebesar Rp 213 triliun di tahun 2017.



Selain zakat, wakaf juga berpotensi sangat besar. Sampai saat ini, berdasarkan data yang dihimpun dari Departemen Agama RI, jumlah tanah wakaf di Indonesia mencapai 268.653,67 hektar yang tersebar di 366.595 lokasi di seluruh Indonesia. Meski mayoritas tanah wakaf diperuntukkan pada sarana ibadah, masih banyak tanah wakaf produktif dan strategis yang dapat dikembangkan. Jenis wakaf yang sangat berpotensi dalam pembiayaan penanggulangan kemiskinan adalah wakaf tunai. Wakaf tunai adalah sejumlah uang dari harta milik seseorang yang kemudian didedikasikan untuk wakaf dan manfaatnya digunakan untuk kepentingan umum atau segmen masyarakat tertentu. Wakaf tunai merupakan cara termudah bagi masyarakat untuk ikut serta dalam program wakaf karena dapat dilakukan hanya dengan berdonasi mentransfer uang pada rekening/fasilitas wakaf tunai. Jenis wakaf dibagi menjadi beberapa kategori. Dari segi waktu, wakaf terdiri dari wakaf permanen dan sementara. Dari segi objek, wakaf



Gambar 8.1: Tahapan Wakaf Tunai dalam Proyek Kontruksi Akumulasi Dana



Manajemen/ Proyek Wakaf



Distribusi



Wakaf Tunai



Dewan Syariah



Penerima Manfaat



Sertifikat



Otoritas lainnya yang relevan



Sukuk



Pengelola Wakaf



Pendapatan



Pengeluaran Pengelola



Proyek Wakaf dan Dana



Kontraktor



Sumber: Khademolhoseini, 2012



8 - Pembiayaan dalam Penanggulangan Kemiskinan



129



dibagi menjadi wakaf tetap dan bergerak. Dari segi penggunaan, ada yang bersifat publik seperti sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur sosial lainnya; dan ada yang bersifat mencari keuntungan. Dari segi penerima manfaat, ada yang bersifat umum, ada yang bersifat khusus (kelompok masyarakat tertentu/keluarga), atau keduanya. Terdapat beberapa model penggunaan wakaf tunai, di antaranya adalah Wakaf Model Saham Wakaf, Model Perusahaan, Model Produk Simpanan, Model Koperasi, dan Model Reksa Dana. Untuk model saham, pewakaf akan membeli kupon wakaf dengan besaran tertentu, kemudian dana yang terkumpul tersebut akan digunakan untuk kepentingan umum seperti sekolah, rumah sakit, dan lainlain. Pada model perusahaan, dana wakaf digunakan dengan prinsip perusahaan yang berjalan secara profesional, kemudian hasil pendapatan yang diperoleh setelah dikurangi pengeluaran operasional diarahkan pada program penanggulangan kemiskinan. Model produk simpanan dilakukan dalam bentuk bank wakaf. Pewakaf mendepositokan sejumlah uang tertentu kepada bank wakaf, kemudian dana yang terkumpul akan digunakan untuk investasi dan dapat menjadi sumber pembiayaan baru untuk UMKM. Bank wakaf berpotensi menjadi bisnis investasi yang keuntungannya dapat digunakan untuk penanggulangan kemiskinan. Model reksadana memiliki kemiripan dengan model bank wakaf dengan menggunakan dana wakaf untuk keperluan investasi, kemudian hasil dari investasi tersebut digunakan sepenuhnya untuk program penanggulangan kemiskinan. Selain model-model yang dipaparkan di atas, terdapat bentuk lain yang berpotensi untuk digunakan yaitu wakaf melalui sukuk. Sukuk digunakan untuk pembiayaan program pemerintah, atau swasta. Dewan syariah dan otoritas lainnya akan menentukan program pemerintah/swasta apa yang dapat dibiayai, misalnya pembangunan sekolah, jembatan, sarana air bersih, fasilitas kesehatan, dan berbagai



130



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



proyek infrastruktur sosial lainnya. Imbal hasil dari sukuk ini yang kemudian akan didistribusikan pada penerima manfaat. ZISWAF berpotensi sangat besar untuk mengentaskan kemiskinan. Namun, ada beberapa masalah agar tujuan pengentasan kemiskinan terpenuhi. Salah satunya dengan berkolaborasi antara organisasi pengelola zakat dengan lembaga lain seperti LSM dan perusahaan. Lembaga zakat juga perlu berkoordinasi dengan lembaga pemerintah lainnya seperti TNP2K atau TKPKD dalam hal penentuan target penerima manfaat.



8.2 Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) BUMN dan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) Perusahaan Selain sumber instrumen pembiayaan Islam, terdapat sumber-sumber yang dapat digunakan seperti program kemitraan bina lingkungan (PKBL) dan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) perusahaan/BUMN. Kerangka peraturan mengenai PKBL dan TJSL tertuang di UU No. 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dan Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. Per-05/MBU/2007 sebagaimana diubah terakhir kali dengan Peraturan No. PER-08/MBU/2013 tanggal 10 September 2013. Sementara itu, PP No. 47/2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas mengatur mengenai perseroan terbatas. Pada peraturan ini kewajiban TJSL masih terbatas pada perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam saja. Program kemitraan di BUMN meliputi program kemitraan untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil. Sementara itu, program bina lingkungan merupakan program pembinaan lingkungan masyarakat meliputi bantuan bencana, kesehatan, pendidikan, pelestarian alam, dan lainnya. Berdasarkan keterangan Kementerian BUMN, total dana PKBL BUMN di tahun 2018 sekitar Rp 2,5-3 triliun per tahun.



Dalam implementasinya, terdapat beberapa permasalahan dalam model-model pembiayaan ini (Zainal, 2015). Di antaranya, besarnya kekuatan pemangku kepentingan dalam menentukan kemana saja dan bagaimana dana Coorporate Social Responsibility atau CSR digunakan. Hal ini berimplikasi negatif bila terdapat keputusan politis dalam pengambilan keputusan terkait penggunaan dana. Masih rendahnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan CSR dan rendahnya tingkat transparansi dana CSR perlu mendapat perhatian khusus. Terdapat pula beberapa potensi adanya tindak korupsi dalam dana CSR, terutama pihak yang memiliki otoritas seperti pejabat pemerintah daerah dan kepala desa yang dapat menentukan bagaimana dana CSR disalurkan. Oleh karena itu, perlu peraturan yang jelas mengenai peran dari masing-masing pihak. Diperlukan pula sosialisasi dana CSR pada masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam rangka mengurangi praktik korupsi dana CSR. Penataan peraturan perundangundangan perlu dilakukan mengingat hingga kini, definisi kewajiban CSR masih dibatasi pada perusahaan yang terkait dengan sumber daya alam saja. Bentuk intervensi program juga perlu diatur dalam regulasi agar berkaitan dengan program-program pembangunan atau penanggulangan kemiskinan. Dengan demikian, harmonisasi kegiatan perlu diatur. Selanjutnya, dalam tahap operasionalisasi dana CSR, pemerintah juga perlu meningkatkan program kemitraan dengan LSM berkinerja tinggi dalam hal mengimplementasikan program CSR. Diperlukan koordinasi yang baik antara perusahaan dengan beberapa pihak terkait seperti TKPKD atau pemerintah daerah lainnya. Koordinasi ini penting agar pelaku usaha sektor swasta berpeluang mendapatkan informasi tentang target sasaran penerima manfaat serta prioritas pembangunan dan perencanaan pemerintah daerah. CSR dapat memperoleh informasi dari Basis Data Terpadu (BDT) terkait sasaran penerima manfaat, serta mendapatkan informasi penting terkait dengan



peluang kemitraan antara perusahaan dengan LSM, perguruan tinggi, lembaga media, dan perwakilan masyarakat yang ada.



8.3 Pembiayaan Berbasis Dampak (Social Impact Funds) Pembiayaan berbasis dampak (social impact fund) merupakan bentuk kemitraan publikswasta yang memungkinkan investor swasta untuk mendanai modal awal untuk program publik yang berdampak pada pembangunan sosial. Jika program berhasil, para investor atau lembaga bantuan dan penyandang dana filantropis (Development Impact Bonds) lainnya akan mendapatkan dana bagi hasil. Jika program gagal, maka tidak ada pembayaran yang diberikan. Skema pendanaan ini memungkinkan pemerintah pusat atau daerah untuk bermitra dengan penyedia layanan berkinerja tinggi dengan mengikutsertakan investasi swasta untuk memperluas efektivitas program. Sejauh ini, pemberian suntikan dana bagi program publik ataupun bisnis sosial untuk perluasan dampak positif terhadap masyarakat masih terlaksana secara parsial dan belum melibatkan peran pemerintah pusat. Du’Anyam contohnya, sebagai salah satu pelaku bisnis sosial yang berkembang di Nusa Tenggara Timur, mendapatkan suntikan dana dari Northstar Foundation selaku ventura dari Singapura. Suntikan dana ini dimaksudkan untuk pengembangan bisnis dan perluasan kapasitas produksi agar dampak sosial yang ditimbulkan dapat lebih luas. Du’Anyam yang berfokus pada penurunan angka kematian ibu dan bayi baru lahir ini memberdayakan perempuan untuk beralih pekerjaan dari pertanian subsisten menjadi penganyam rotan. Melalui pemberdayaan ini, selain timbul dampak positif dari segi kesehatan, para perempuan pekerja pun mendapatkan dampak positif ekonomi yakni peningkatan pendapatan sebesar 40 persen (Angin, 2018). Selain Du’Anyam, terdapat banyak bisnis sosial ataupun program publik yang secara nyata memberikan dampak positif terhadap 8 - Pembiayaan dalam Penanggulangan Kemiskinan



131



Kotak 7



Kontribusi Politeknik Caltex Riau (PCR) terhadap Pembangunan Kapasitas Sumber Daya Manusia di Riau Program Investasi Sosial - PT Chevron Pacific Indonesia



S



ebuah program pengembangan masyarakat harus bermuara pada terciptanya kemandirian. Politeknik Caltex Riau (PCR) di Pekanbaru merupakan sebuah contoh sukses kemitraan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pihak swasta. Pada tahun 2001, Pemerintah Pusat melalui Pertamina-BPPKA (sekarang bernama SKK Migas), Pemprov Riau, dan PT. Chevron Pacific Indonesia (PT. CPI) menginisiasi pembangunan politeknik pertama di Provinsi Riau. Politeknik tersebut kemudian diberi nama PCR. Tujuan utamanya adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia tempatan agar mampu memenuhi kebutuhan tenaga profesional di pasar kerja dan bersaing secara global. Pendirian PCR diawali dengan serangkaian studi terhadap bidang yang diminati pelajar Riau dan analisis kebutuhan pasar tenaga kerja di berbagai bidang. Gedung PCR dibangun di atas lahan 15 hektar yang disediakan Pemprov Riau. PT. CPI, melalui anggaran yang disetujui Pertamina-BPPKA sesuai mekanisme Kontrak Kerja Sama (Production Sharing Contract), melaksanakan pembangunan fisik, pengurusan perizinan, pengembangan sistem akademik, dan pendampingan. Kedisiplinan, kerja keras, dan kemampuan beradaptasi terhadap dinamika kebutuhan pasar menjadikan PCR mampu menjadi institusi yang mandiri dalam waktu yang relatif singkat. Hanya dalam kurun enam tahun, PCR berhasil mandiri, baik dari sisi operasional maupun finansial. Mereka tidak lagi bergantung pada pendanaan dari pemerintah maupun PT. CPI.



132



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Sekilas tentang PCR: Infrastruktur • • • • • • • • • • • •



23 laboratorium 25 ruang kuliah Kantor administrasi Perpustakaan Ruang dosen Pusat kegiatan mahasiswa Auditorium,Amphitheater Masjid Fasilitas dan gelanggang olahraga Sarana air bersih Gedung serba guna Taman di lingkungan kampus



Program Studi Saat ini, PCR memiliki 10 program studi dengan rincian: • Program Diploma 3 (Ahli Madya) yang meliputi bidang studi Akuntansi, Teknik Komputer, Teknik Elektronika, Teknik Mekatronika, Teknik Telekomunikasi • Program Diploma 4 (Sarjana Terapan) yang meliputi bidang studi Teknik Informatika, Sistem Informasi, Teknik Elektronika Telekomunikasi, Teknik Listrik dan Teknik Mesin



Akreditasi, tenaga pengajar dan lulusan •







• •



Sebagai institusi, PCR mendapatkan akreditasi B dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. Sedangkan akreditasi program studi: sebanyak lima program memiliki akreditasi A, tiga program terakreditasi B dan dua program akan akreditasi pada 2019 Untuk mendukung proses belajar mengajar, PCR memiliki 79 dosen tetap, 20 dosen luar biasa dan 23 Asisten Instruktur Laboratorium Sejak 2001, PCR telah meluluskan sebanyak 3.889 mahasiswa Lulusan PCR tersebar di berbagai bidang industri seperti migas, telekomunikasi, perbankan, pemerintahan dan lain sebagainya, baik di dalam negeri maupun di manca negara seperti Malaysia, Singapura, Jepang, Uni Emirat Arab, Inggris, Kanada, Meksiko, Aras Saudi, Amerika Serikat Prancis, dan India.



Kemitraan Berkelanjutan: Seiring dengan peningkatan kemampuan dan pengalaman, PCR dipercaya oleh PT. CPI untuk menjadi mitra pelaksana program-program investasi sosial perusahaan. Beberapa program yang melibatkan PCR di antaranya: • 2018: Pelaksana Program Pengembangan Keterampilan Tenaga Kerja melalui pemberian pelatihan dan sertifikasi profesi kepada 138 operator alat berat serta ahli kesehatan dan keselamatan kerja umum di Riau. • 2013 – 2015: Pelaksana Kompetisi Cerdas Cermat antar Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kabupaten Bengkalis, Rokan Hulu, Rokan Hilir, dan Kota Dumai • 2012-2016 : Pelaksana Program Pelatihan Kejuruan dan Kewirausahaan (VOTE –Vocational Training for Employment and Entrepreneurship)) bidang pengelasan, bengkel sepeda motor, memasak, menjahit, usaha salon, dan komputer yang telah memberikan manfaat kepada lebih dari 370 pemuda putus sekolah dan kurang mampu di Riau. • 2001-2016 : Pelaksana Program beasiswa pendidikan di perguruan tinggi (Darmasiswa Chevron Riau) kepada mahasiswa berprestasi di Riau sebanyak lebih dari 1.000 siswa SMA Pendirian PCR merupakan contoh program pengembangan masyarakat yang dijalankan dunia usaha untuk berperan serta dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia di sekitar wilayah operasi perusahaan. PT. CPI menilai bahwa pendidikan merupakan fondasi utama bagi kemajuan sebuah bangsa. Kesuksesan PCR ibarat monumen yang menunjukkan bahwa putra-putri Riau mampu bersaing secara global. Selain bidang pendidikan dan pelatihan, area fokus program pengembangan masyarakat atau investasi sosial PT. CPI adalah pengembangan ekonomi, kesehatan dan lingkungan. Investasi sosial di bidang pendidikan dan pelatihan telah dimulai sejak tahun 1957 ketika PT. CPI mendirikan SMAN 1 Pekanbaru yang merupakan sekolah menengah atas pertama di Riau. Selama lebih dari 90 tahun aktif di Indonesia, PT. CPI menerapkan prinsip gotong-royong melalui kemitraan dengan pemerintah, masyarakat, maupun organisasi non-pemerintah. Ungkapan gotong royong berarti menawarkan bantuan, saling berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. PT. CPI meyakini bahwa tumbuh dan berkembang bersama masyarakat merupakan kunci kesuksesan dan keberlanjutan sebuah bisnis.



8 - Pembiayaan dalam Penanggulangan Kemiskinan



133



penyelesaian masalah sosial serta peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat namun memiliki kesulitan dalam scalling up. Melalui konsep pembiayaan berbasis dampak, pemerintah dapat mengambil peran sebagai Fund Manager untuk menghubungkan calon investor dengan pelaku bisnis sosial ataupun program publik. Selain itu, melalui skema ini pemerintah juga dapat melakukan pengawasan sekaligus integrasi antara target-target bisnis sosial dengan program pemerintah sehingga dampak yang ditimbulkan dapat lebih efektif. Adapun skema pendanaan berbasis hasil dijelaskan dalam Gambar 8.2. Tahapan-tahapan dari pendanaan berbasis hasil adalah sebagai berikut: 1. Bentuk kemitraan: Pemerintah menentukan terlebih dahulu permasalahan sosial apa yang ingin dipecahkan, kemudian membuat program kegiatan. Pemerintah dapat bermitra dengan perantara yang terbukti memberikan dampak nyata pada permasalahan sosial tersebut, yang dilihat dari rekam jejak pencapaian organisasi perantara. 2. Mengembangkan program kegiatan dan memobilisasi modal: Perantara bekerja dengan pemerintah dan penyedia untuk merancang program kegiatan. Sebagai koordinator dan manajer proyek, perantara mendesain, melakukan negosiasi, dan



membuat rencana anggaran program kegiatan. Dengan mitra, perantara mengidentifikasi bentuk intervensi yang efektif, memilih penilaian kinerja atas hasil, mengembangkan rencana operasional, merancang evaluasi program, menentukan program, negosiasi dan eksekusi kontrak, serta mobilisasi modal. Dengan mitra keuangan, perantara meningkatkan modal dari investor dan filantropi untuk menyediakan pendanaan awal yang fleksibel kepada penyedia, yang mencakup seluruh biaya layanan dan mengelola kinerja program. 3. Memberikan layanan pada masyarakat: Penyedia memberikan layanan kepada masyarakat pada lokasi program kegiatan dengan dukungan dari perantara (termasuk pengawasan tata kelola, manajemen kinerja, serta manajemen keuangan dan hubungan investor). 4. Memperoleh hasil: Dengan dukungan layanan berkualitas tinggi, orang-orang yang membutuhkan akan memperoleh perbaikan kehidupan, seperti memperoleh pekerjaan, perbaikan gizi, memperoleh pendidikan, dan lain-lain. 5. Pembayaran atas hasil: Penilai independen mengukur dampak program berdasarkan indikator kinerja utama yang telah



Gambar 8.2: Skema Pendanaan berbasis hasil (social impact funds) Penyedia layanan: memberikan layanan berkualitas tinggi untuk meningkatkan kehidupan masyarakat



Perantara: Mengembangkan dan mengelola program, memobilisasi modal, mengelola hasil



Pemerintah: Membayar investasi jika program mencapai hasil yang terukur 1: Mitra



2: Pengembangan 3: Pemberian layanan 4: Hasil



5: Pembayaran Investor: Menyediakan pendanaan di awal program dan mengambil risiko keuangan



134



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Penilai indepen: Ukur kemajuan dan dampak sosial di masyarakat



Masyarakat yang membutuhkan: Dengan dukungan yang efektif, temukan peluang untuk berkembang



ditentukan. Jika program berhasil, pemerintah membayar kembali kepada para investor, filantropi, ditambah bagi hasil. Jika program tidak mencapai targetnya, pemerintah tidak membayar apa-apa. Kelebihan dari pembiayaan berbasis hasil ini adalah untuk menarik dana masuk dari investor. Skema ini juga umumnya berfokus pada program-program yang sifatnya mencegah masalah-masalah sosial yang ada. Skema pembiayaan ini dapat mengurangi risiko dari sisi pemerintah karena pemerintah akan membayar setelah hasil tercapai. Dengan kata lain, target pencapaian akan lebih terfokus pada hasil. Skema pembiayaan ini juga sangat bermanfaat pada upaya peningkatan skala lingkup kegiatan. Selama ini, LSM sangat sulit untuk meningkatkan skala kegiatan karena terbentur keterbatasan dana. Adanya suntikan dana dapat membuat penyedia jasa ini untuk meningkatkan jumlah penduduk yang terlayani. Keunggulan lainnya adalah timbulnya inovasi dalam pelayanan; selama ini inovasi sangat sulit dilakukan pemerintah karena berbagai prosedur maupun hambatan politik. Beberapa implikasi dari keunggulan yang ada adalah skema ini mendorong manajemen yang berbasis kinerja dan kolaborasi antar pihak. Peningkatan evaluasi dan pengawasan akan meningkat sebagai dampak dari perubahan fokus pada hasil, manajemen berbasis kinerja. Beberapa negara telah menggunakan skema pembiayaan ini, di antaranya Inggris, Amerika Serikat, Australia, Belanda, Jerman, Belgia, Kanada, dan Portugal. Sektor yang didanai umumnya berkaitan dengan kesejahteraan sosial (penguatan keluarga, bantuan pada tunawisma, dan pemuda dengan keterbatasan), ketenagakerjaan (seperti pelatihan), serta terkait pendidikan dan penegakan hukum (pembinaan terhadap narapidana). Terlepas dari segala kelebihan yang telah dipaparkan, terdapat beberapa tantangan yang sangat mendasar dalam pengembangan skema ini. Tantangan tersebut adalah pengembangan



aspek teknis dalam mencapai kesepakatan, mekanisme keuangan, serta isu pengukuran hasil dan waktu yang dibutuhkan dalam melihat kinerja hasil. Syarat dari keberhasilan skema ini adalah adanya LSM sebagai penyedia layanan yang handal, lingkungan hukum dan keuangan yang memungkinkan, dan partisipasi dari banyak pihak untuk mencoba sesuatu yang baru dan berkolaborasi.



8.4 Penggalangan Dana (crowdfunding)







Perkembangan teknologi digital telah mendorong perkembangan sumber pendanaan atau pembiayaan. Metode penggalangan dana kini dapat dilakukan secara daring dari individuindividu dalam jumlah yang masif untuk mendukung suatu kegiatan tertentu. Terdapat beberapa pendekatan dalam penggalangan dana yaitu penggalangan dana berbasis donasi, berbasis hadiah, berbasis pinjaman, dan berbasis kepemilikan. Penggalangan dana berbasis donasi umumnya dilakukan untuk kegiatan sosial seperti kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya. Saat ini sudah ada beberapa platform crowdfunding yang berkembang di Indonesia, seperti kitabisa. com dan bawaberkah.org. Crowdfounding kitabisa.com misalnya, muncul dengan semangat gotong royong ke dunia digital dan mengubah pola pemikiran masyarakat terhadap isu-isu sosial yang ada, tidak hanya sekedar berkomentar pada laman media sosial. Melalui platform ini, baik individu, komunitas, organisasi atau perusahaan dimungkinkan untuk melakukan aksi nyata terkait isu sosial yaitu melalui penggalangan dana. Umumnya penggalangan dana bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran dari calon penerima donasi seperti untuk pembiayaan pengobatan ataupun bantuan bagi korban bencana alam serta sosial, ataupun untuk peningkatkan kualitas hidup dari calon/penerima donasi seperti pembangunan layanan publik, rumah ibadah, rumah sakit dan panti. Individu, 8 - Pembiayaan dalam Penanggulangan Kemiskinan



135



Kotak 8



Komunitas Penggiat Sedekah Air



S



alah satu contoh komunitas filantropi yang bergerak dalam pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat adalah komunitas penggiat sedekah air. Komunitas ini bertujuan untuk meningkatkan akses masyarakat pada air bersih. Berdasarkan data BPS tahun 2017, capaian akses air minum terkini baru mencapai 71,14 persen. Bentuk intervensi program yang dilakukan adalah pembuatan sumur bor, pembangunan pipa, filterisasi air, dropping air bersih saat darurat kebencanaan, dan program konservasi lingkungan seperti penghijauan, pembuatan



136



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



sumur biopori, dan teknologi penghemat penggunaan air. Kriteria penerima manfaat adalah minimal 50 jiwa untuk sekolah dan 50 kepala keluarga untuk masyarakat, lokasi belum memiliki akses air bersih, jarak mengakses air bersih lebih dari 500 meter, atau waktu yang diperlukan untuk mendapatkan air bersih lebih dari 30 menit. Masyarakat dapat memberikan informasi lokasi yang kekurangan sarana air bersih melalui situs web atau aplikasi android. Kemudian, komunitas sedekah air akan melakukan verifikasi apakah lokasi tersebut memenuhi kriteria atau tidak. Jika memenuhi kriteria, maka



akan dilakukan program sedekah air. Pendanaan sedekah air melalui penggalangan dana (crowdfunding) berupa donasi dan CSR perusahaan. Warga diharapkan membayar iuran kepada pengurus RT/ masjid/sekolah setempat untuk biaya perawatan sarana air bersih. Komunitas ini berdiri sejak tahun 2016, dengan puluhan sukarelawan di beberapa daerah. Hingga laporan ini dibuat tidak kurang dari 80 lokasi sedekah air. Dengan berbagai macam bentuk program yang ada, penerima manfaat diperkirakan tidak kurang dari 50.000 jiwa.



komunitas ataupun organisasi yang menggalang dana akan diverifikasi oleh tim. Untuk setiap dana yang didonasikan akan masuk ke rekening platform, sebelum kemudian disalurkan ke rekening penggalang dana dengan potongan administrasi sebesar 5 persen dari total donasi terkumpul (kecuali kampanye terkait bencana dan zakat). Sebagai bentuk transparansi, penggalang dana juga akan mendapatkan pemberitahuan untuk setiap donasi yang masuk. Beberapa contoh penggalangan dana yang sukses dilakukan adalah donasi untuk perbaikan gizi buruk di Asmat sebanyak Rp 208 juta, pembangunan pompa air di NTT oleh Organisasi Solar Chapter sebanyak Rp 302 juta,



pembayaran kembali pokok ditambah bagi hasil, hak kepemilikan, dan pembagian laba (atau kerugian). Beberapa contoh crowdfunding berbasis pinjaman dapat dilihat pada usaha rintisan fintech seperti igrow.asia, gandengtangan. org, indvestree, dan lain sebagainya. Secara umum, dari berbagai jenis pembiayaan untuk penanggulangan kemiskinan, sektor swasta memiliki peran yang sangat besar. Pendidikan, layanan kesehatan, dan kesejahteraan adalah layanan publik yang umumnya ditawarkan pemerintah untuk warganya. Namun, berbagai keterbatasan ruang fiskal membuat layanan ini belum optimal. Langkah-langkah penghematan pun perlu



dan donasi untuk pembiayaan pengobatan bagi individu yang spesifik perawatannya tidak dapat ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Sampai dengan awal tahun 2019, sudah lebih dari 19 ribu kampanye yang sukses dibiayai oleh kitabisa.com dengan total donasi tersalurkan lebih dari Rp 500 miliar. Pola-pola crowdfunding dari komunitas juga semakin berkembang seiring berkembangnya media sosial. Sementara itu, crowdfunding berbasis imbalan/hadiah biasanya digunakan untuk proyek kreatif. Terdapat pula P2P dan crowdfunding berbasis ekuitas yang memberi kompensasi kepada investor melalui



dilakukan. Tak hanya itu, pemerintah juga terhambat oleh birokrasi dan kewenangan yang terbatas, sehingga dibutuhkan banyak waktu dalam mengambil kebijakan. Sektor swasta, di sisi lain, tidak memiliki masalah serupa. Hal ini memungkinkan sektor swasta untuk memberikan layanan kesehatan, pendidikan, dan lingkungan secara lebih efektif dan efisien dibanding pemerintah. Di sisi lain, belum banyak sektor swasta yang mulai ambil bagian dalam pemenuhan kebutuhan dasar. Meski demikian, tetap ada pihak-pihak, baik individu maupun komunitas untuk melakukan perubahan positif. Berdasarkan



Gambar 8.3: Jenis-Jenis Penggalangan Dana Pengusaha dan investor (profit-modal)



LSM/Individu dan Donatur (tidak ada kompensasifilantropi)



Proyek kreatif dan pelanggan/ pendukung (akseskontribusi)



Donasi



Saham



Hadiah



Pinjaman Pengusahapeminjam (pokok dan bagi-hasil, pinjaman)



Sumber: UNDP, 2018



8 - Pembiayaan dalam Penanggulangan Kemiskinan



137



World Giving Index 2018, Indonesia menduduki peringkat pertama negara yang paling baik hati dalam membantu, berdonasi, dan ikut kegiatan kerelawanan (CAF, 2018). Terkait dengan pembiayaan, perlu didorong lagi jumlah investor-investor yang berdampak sosial (impact investor) yang tertarik untuk membiayai bisnis sosial atau mendanai kegiatan sosial yang terkait dengan social impact funds. Sebagai bentuk alternatif pembiayaan lainnya, bisnis sosial tahap awal ataupun start up juga dapat diarahkan untuk mendapatkan bantuan modal melalui penggalangan dana. Sebagai bentuk alternatif pembiayaan lainnya, bisnis sosial tahap awal ataupun start up juga dapat diarahkan untuk mendapatkan bantuan modal melalui penggalangan dana (Hutabarat, 2019). Mengingat adanya risiko yang mungkin muncul, diperlukan pihak yang mengawasi praktik penggalangan dana dan pemanfaatannya, dalam hal ini pemerintah, agar baik pihak platform penggalangan dana, investor ataupun bisnis sosial tahap awal ataupun start up, masing-masing terlindungi. Skema regulasi kepemilikan izin untuk platform penggalangan dana dari Kementerian/Lembaga terkait;



138



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



peraturan batas minimum pendapatan untuk investor; dan regulasi atas kemandirian dari bisnis sosial tahap awal ataupun start up yang ditandai dengan tidak tergolong sebagai perusahaan publik ataupun afiliasi dengan perusahaan besar. Terkait dengan bisnis sosial, faktor sosiodemografis juga perlu menjadi perhitungan. Generasi milenial saat ini memiliki perbedaan fokus dari generasi sebelumnya. Bukan hanya berfokus pada uang, generasi milenial lebih memprioritaskan praktik bisnis yang lebih berdampak sosial. Mereka juga lebih banyak memberikan layanan sukarela daripada kelompok usia lainnya. Generasi pemuda dapat lebih berhasil mendorong agenda filantropi ke depan melalui bisnis mereka. Di sisi lain, terkait era disrupsi digital, penggunaan teknologi digital untuk penanggulangan kemiskinan juga akan semakin meningkat. Peran pemerintah adalah sebagai fasilitator agar iklim kegiatan filantropi berkembang dengan baik. Pembekalan pemuda dengan berbagai pendidikan dan pelatihan, serta kegiatan business matching dengan impact investor perlu dikembangkan.



9



Arah dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan ke Depan







Arah dan strategi penanggulangan kemiskinan ke depan membutuhkan penyesuaian kebijakan dan strategi baru yang ditujukan untuk dapat menyelesaikan tidak saja persoalan kemiskinan kronis namun juga kerentanan kemiskinan



U



140



paya penanggulangan kemiskinan sampai saat ini telah menunjukkan pencapaian yang signifikan. Meskipun angka kemiskinan telah mencapai satu digit pada Maret 2018, penanggulangan kemiskinan perlu terus diupayakan. Ketika angka kemiskinan di bawah satu digit, tantangan pengentasan kemiskinan sesungguhnya semakin berat karena berhadapan dengan persoalanpersoalan “kerak kemiskinan” yang tidak dapat diselesaikan secara business as usual. Kemiskinan merupakan kondisi yang dinamis dan berkembang menurut ruang dan waktu, sehingga kebijakan penanggulangan



penanggulangan kemiskinan tersebut perlu memiliki target dan indikator yang jelas dan terukur. Oleh sebab itu, metodologi pengukuran kemiskinan perlu disempurnakan untuk menjadi dasar pengembangan indikator SDGs dan pengukurannya secara lebih akurat dan terpercaya. Selain itu, arah dan strategi penanggulangan kemiskinan ke depan juga perlu secara jelas mengatur kerangka regulasi dan kelembagaan, termasuk mekanisme pemutakhiran basis data terpadu, dan mekanisme berbagi data untuk pengembangan pengetahuan dan keterlibatan masyarakat.



kemiskinan harus mampu mengakomodasi berbagai perubahan yang ada. Dalam kurun waktu 5 tahun ke depan misalnya, Indonesia diharapkan akan menjadi bagian dari negara berpendapatan menengah atas. Sejalan dengan itu, jumlah penduduk yang masuk sebagai kelas menengah juga akan bertambah besar. Mendorong penduduk miskin dan rentan agar meningkat pendapatannya membutuhkan strategi penghidupan berkelanjutan yang kuat. Memastikan agar kelompok menengah memiliki ketahanan ekonomi, sosial dan lingkungan juga memerlukan strategi edukasi seperti misalnya untuk literasi keuangan, asuransi dan bencana. Arah dan strategi penanggulangan kemiskinan ke depan juga perlu menjadi landasan pembangunan untuk memastikan agar tidak ada penduduk yang tertinggal dari kemajuan pembangunan. Pembangunan yang lebih inklusif bukan hanya untuk generasi saat ini namun juga untuk generasi mendatang. Arah dan strategi penanggulangan kemiskinan ke depan membutuhkan penyesuaian kebijakan dan strategi baru yang ditujukan untuk dapat menyelesaikan tidak saja persoalan kemiskinan kronis namun juga kerentanan kemiskinan. Agar efektif, arah dan strategi



Arah baru penanggulangan kemiskinan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2020-2024 merupakan kelanjutan dari program-program penanggulangan kemiskinan dengan penajaman dan tambahan program mengikuti perubahan lingkungan, seperti tantangan bencana, perubahan iklim, transformasi digital, dan inklusivitas. Penetapan sasaran yang jelas dari programprogram penanggulangan kemiskinan selama ini merupakan salah satu kunci keberhasilan penurunan kemiskinan. Penetapan sasaran ini mencakup pengembangan basis data terpadu yang terus disempurnakan baik sistem maupun pemutakhiran dan pemanfaatannya, dan pengembangan sistem layanan dan rujukan terpadu di tingkat kabupaten/kota. Secara tersistem, data detail per rumah tangga dan keluarga dari 40 persen penduduk dengan status sosial ekonomi terendah dapat dikumpulkan dan dimutakhirkan. Untuk mewujudkan Indonesia bebas kemiskinan, arah dan strategi penanggulangan kemiskinan mengacu pada tiga pilar utama dengan elaborasinya sebagai berikut:



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



1. Hidup yang Berkualitas dan Bermartabat Investasi sumber daya manusia untuk hidup berkualitas dan bermartabat merupakan penentu terbentuknya manusia Indonesia yang berkualitas. Penyediaan layanan dasar publik yang berkualitas



dan merata akan menjadi katalisator bagi percepatan peningkatan kualitas sumber daya manusia yang pada akhirnya akan bermuara pada percepatan pengurangan kemiskinan. Secara rinci, strategi terkait dapat dilihat dalam tabel berikut.



Tabel 9.1: Strategi Investasi Sumber Daya Manusia untuk Hidup Berkualitas dan Bermartabat



No 1



Indikator Pemenuhan Kebutuhan Pangan



Aspek



Strategi Menyediakan pangan dan gizi yang berkualitas bagi anak untuk mencegah stunting, demi memutus rantai kemiskinan antar generasi



Penyediaan Pangan Berkualitas



-



2



Identitas Kependudukan



Peningkatan Cakupan Kepemilikan Identitas Kependudukan



-



-



Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)



-



-



-



3



Kualitas Kesehatan Keluarga Miskin



Isu Kesehatan, Program Promotif dan Preventif



Perluasan Imunisasi pada Kelompok Miskin dan Lansia



-



-



Meningkatkan permintaan atas pencatatan sipil, akta kelahiran, dan akta kematian dan mengaitkan dengan akses terhadap berbagai layanan dasar (Contoh: pembuatan akta kelahiran untuk nantinya mengurus KTP ataupun SIM) Layanan terpadu dan keliling untuk pencatatan sipil Inovasi layanan administrasi kependudukan bagi penduduk tanpa Nomor Induk Kependudukan (NIK) agar penduduk tetap mendapatkan bantuan sosial Klarifikasi data keluarga pada Basis Data Terpadu (BDT) untuk menentukan siapa yang berhak mendapat bantuan untuk JKN-KIS Verifikasi kelayakan penerima kartu PBI sekaligus apakah kartu JKN-KIS sudah diterima rumah tangga Menjaga standar pelayanan fasilitas kesehatan dan kelengkapan obat untuk menghilangkan pengeluaran tambahan untuk berobat/out-of-pocket (OOP) Jemput masyarakat yang belum terproteksi jaminan kesehatan tetapi tidak memiliki kelengkapan dokumen administrasi kependudukan. Merubah pola hidup sehat yang mengedepankan program promotif dan preventif (pencegahan), bukan kuratif Mempromosikan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) yang mencakup: 1) melakukan aktivitas fisik; 2) mengonsumsi sayur dan buah; 3) tidak merokok dan tidak mengonsumsi alkohol; 4) memeriksa kesehatan secara rutin; dan 5) membersihkan lingkungan dan menggunakan jamban. Meneruskan cakupan imunisasi pada anak ke tingkat desa Mengembangkan program imunisasi lansia Pemeriksaan kesehatan lansia secara berkala untuk mencegah beban penyakit.



Penegakan daerah Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Pembatasan periklanan rokok dan edukasi bahaya mengkonsumsi rokok terhadap kesehatan - Pengaturan harga rokok melalui mekanisme kenaikan cukai rokok 9 - Arah dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan keperokok Depan - Memasukkan target sasaran penurunan prevalensi dewasa pada rencana pembangunan berikutnya. -



Pengendalian Konsumsi Rokok



141



3



No 1



2



Kualitas Kesehatan Keluarga Miskin



Indikator Pemenuhan Kebutuhan Pangan



Identitas Kependudukan



Isu Kesehatan, Program Promotif dan Preventif



Aspek Perluasan Imunisasi Penyediaan Pangan pada Kelompok Miskin Berkualitas dan Lansia



Peningkatan Cakupan Kepemilikan Identitas Pengendalian Kependudukan Konsumsi Rokok



Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Pendidikan Dasar Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 4



3



Kualitas Pendidikan Keluarga Miskin



Kualitas Kesehatan Keluarga Miskin



Peningkatan Kualitas Kelompok Rentan Usia Produktif Isu Kesehatan, Program Promotif dan Preventif



Pembangunan Rumah Layak Huni Perluasan Imunisasi



5



Pembangunan Rumah Layak Huni, Energi, Sanitasi dan Air Bersih



pada Kelompok Miskin dan Lansia Akses Terhadap Sumber Energi Pengendalian Konsumsi Rokok Akses Terhadap Air Bersih dan Sanitasi



Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)



142



Percepatan



Pendidikan Dasar Pembangunan Ekonomi Daerah



Menuju Peningkatan Indonesia Bebas Kemiskinan 6



Kualitas Hidup



-



Mempromosikan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) yang mencakup: 1) melakukan aktivitas fisik; 2) mengonsumsi sayur dan buah; 3) tidak merokok dan tidak mengonsumsi alkohol; 4) memeriksa kesehatan secara rutin; dan 5) membersihkan lingkungan dan menggunakan Strategi jamban.



-Menyediakan Meneruskanpangan cakupan imunisasi pada anak kebagi tingkat desa dan gizi yang berkualitas anak -untuk Mengembangkan program lansia mencegah stunting, demiimunisasi memutus rantai kemiskinan -antar Pemeriksaan generasi kesehatan lansia secara berkala untuk mencegah beban penyakit. - Meningkatkan permintaan atas pencatatan sipil, akta - Penegakan daerah Kawasan Tanpa Rokok (KTR)dengan kelahiran, dan akta kematian dan mengaitkan - Pembatasan periklanan rokok dan edukasi bahaya akses terhadap berbagai layanan dasar (Contoh: mengkonsumsi rokok terhadap kesehatan pembuatan akta kelahiran untuk nantinya mengurus KTP - Pengaturan harga rokok melalui mekanisme kenaikan ataupun SIM) rokok - cukai Layanan terpadu dan keliling untuk pencatatan sipil -- Memasukkan target sasaran kependudukan penurunan prevalensi Inovasi layanan administrasi bagi perokok dewasa pada rencana pembangunan berikutnya. penduduk tanpa Nomor Induk Kependudukan (NIK) agar - Bagi petanitetap tembakau, pendampingan penduduk mendapatkan bantuanupaya sosial alih tanam ke tanaman lain. - Klarifikasi data keluarga pada Basis Data Terpadu (BDT) Program sosialsiapa bebas biaya mengikuti PAUD bantuan bagi untuk bantuan menentukan yang berhak mendapat keluarga miskin. untuk JKN-KIS -Skema Verifikasi kelayakan penerima kartu PBI sekaligus apakah insentif bagi siswa yang berhasil menyelesaikan kartu JKN-KIS sudah diterima rumah tangga pendidikan dasar (untuk meningkatkan tingkat kelulusan) - Menjaga standar pelayanan fasilitas kesehatan dan - Pendidikan formal vokasi yang berorientasi kelengkapan obatsetingkat untuk menghilangkan pengeluaran terhubung kebutuhan industri, perkembangan tambahan dengan untuk berobat/out-of-pocket (OOP) dan penerimaan tenaga kerja secara langsung - teknologi, Jemput masyarakat yang belum terproteksi jaminan agar menghindari ketidakcocokan tenaga kerja yang kesehatan tetapi tidak memiliki kelengkapan dokumen tersedia dan yang dibutuhkan industri administrasi kependudukan. - Peningkatan keterampilan pemuda, misalnya melalui - pelatihan Merubah pola hidup sehat yang mengedepankan dan program sertifikasi termasuk pemasaran dan program promotif dan preventif (pencegahan), bukan keterampilan mengelola teknologi informasi. Contoh detil kuratif pelatihan dapat disesuaikan daerah dan kebutuhan - tenaga Mempromosikan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat kerja (GERMAS) yang mencakup: melakukan aktivitas 2) - Mempertimbangkan kearifan1)lokal dan produk lokalfisik; yang mengonsumsi sayur dan buah; 3) tidak merokok dan tidak berpotensi dikembangkan dalam pelatihan yang diberikan mengonsumsi alkohol; 4) memeriksa kesehatan secara - Pemberian sosial dalam bentuk perbaikan kualitas rutin; dan 5)bantuan membersihkan lingkungan dan menggunakan bangunan rumah dan kawasan permukiman jamban. - Mengintensifkan program terkait pembangunan rumah - layak Meneruskan cakupan imunisasi padaRTLH anak ke tingkat desa huni untuk mengurangi jumlah dengan - menyesuaikan Mengembangkan programmasyarakat imunisasi lansia karakteristik -- Pemutakhiran Pemeriksaan kesehatan lansia secara data kepemilikan rumahberkala untuk mencegah beban penyakit. - Pemberian subsidi energi yang tepat sasaran bagi - kelompok Penegakan daerah Kawasan Tanpa Rokok (KTR) rumah tangga miskin -- Pembangunan Pembatasan periklanan rokok danpenyediaan edukasi bahaya infrastruktur untuk energi di mengkonsumsi rokok terhadap kesehatan wilayah tertentu - Pengaturan harga rokok melalui mekanisme kenaikan - Mengimplementasikan program bantuan sosial terkait air cukai rokok dan sanitasi secara massif - bersih Memasukkan target sasaran penurunan prevalensi perokok - Membuat database informasi air bersih dan sanitasi di dewasa pada rencana pembangunan berikutnya. perdesaan untuk perencanaan upaya kebijakan - wilayah Bagi petani tembakau, pendampingan alihdan tanam monev ke tanaman lain. -Program Peningkatan kualitas modal biaya manusia dalam pendidikan, bantuan sosial bebas mengikuti PAUD bagi kesehatan, agama dan budaya; keluarga miskin. - Pengembangan infrastruktur di daerah melalui Skema insentif bagijalan, siswapelabuhan, yang berhasil menyelesaikan pembangunan telekomunikasi, dll. pendidikan dasar (untuk meningkatkan tingkat kelulusan) - Perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha di misalnya pengembangan proyek padat - daerah Pendidikan formalmelalui setingkat vokasi yang berorientasi karya atau UMKM terhubung dengan kebutuhan industri, perkembangan



Akses Terhadap Air Bersih dan Sanitasi



No 1



6 2



Indikator Pemenuhan Kebutuhan Pangan Percepatan Peningkatan Kualitas Hidup Identitas Kelompok Kependudukan Miskin dan Rentan



-



Aspek Penyediaan Pangan Berkualitas Pembangunan Ekonomi Daerah Peningkatan Cakupan Kepemilikan Identitas Kependudukan



Peran Teknologi



Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)



- Peningkatan kualitasdan modal dalam pendidikan, Menyediakan pangan gizi manusia yang berkualitas bagi anak kesehatan, agama dandemi budaya; untuk mencegah stunting, memutus rantai kemiskinan - Pengembangan infrastruktur di daerah melalui antar generasi pembangunan jalan, pelabuhan, telekomunikasi, dll. -- Meningkatkan permintaan atas sipil, akta di Perluasan kesempatan kerja danpencatatan kesempatan berusaha kelahiran, dan akta kematian dan mengaitkan dengan daerah misalnya melalui pengembangan proyek padat akses terhadap berbagai layanan dasar (Contoh: karya atau UMKM aktakerjasama kelahiran untuk mengurus KTP - pembuatan Pengembangan antarnantinya Pemda dan lembaga ataupun SIM) lain melalui kerjasama inovasi dan pembangunan, riset - Layanan terpadu dan pembiayaan, keliling untuk pencatatan sipil dan pengembangan, dll. - Inovasi layanan administrasi kependudukan bagi - penduduk Pemanfaatan teknologi mendorong usaha mikro tanpa Nomorinformasi Induk Kependudukan (NIK) agar - penduduk Pengembangan perdagangan melalui e-commerce tetap mendapatkan bantuan sosial - Penciptaan tata kelola efisien dan transparan melalui e- Klarifikasi data keluarga pada Basis Data Terpadu (BDT) governance untuk menentukan siapa yang berhak mendapat bantuan untuk JKN-KIS - Verifikasi kelayakan penerima kartu PBI sekaligus apakah kartu JKN-KIS sudah diterima rumah tangga - Menjaga standar pelayanan fasilitas kesehatan dan kelengkapan obat untuk menghilangkan pengeluaran tambahan untuk berobat/out-of-pocket (OOP) - Jemput masyarakat yang belum terproteksi jaminan kesehatan tetapi tidak memiliki kelengkapan dokumen administrasi kependudukan. -



3



Kualitas Kesehatan Keluarga Miskin



Isu Kesehatan, Program Promotif dan Preventif



-



Perluasan Imunisasi pada Kelompok Miskin dan Lansia



Pengendalian Konsumsi Rokok



Mengimplementasikan program bantuan sosial terkait air bersih dan sanitasi secara massif Membuat database informasi air bersih dan sanitasi di wilayah perdesaan untuk perencanaan kebijakan dan Strategi monev



Merubah pola hidup sehat yang mengedepankan program promotif dan preventif (pencegahan), bukan kuratif Mempromosikan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) yang mencakup: 1) melakukan aktivitas fisik; 2) mengonsumsi sayur dan buah; 3) tidak merokok dan tidak mengonsumsi alkohol; 4) memeriksa kesehatan secara rutin; dan 5) membersihkan lingkungan dan menggunakan jamban.



-



Meneruskan cakupan imunisasi pada anak ke tingkat desa Mengembangkan program imunisasi lansia Pemeriksaan kesehatan lansia secara berkala untuk mencegah beban penyakit.



-



Penegakan daerah Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Pembatasan periklanan rokok dan edukasi bahaya mengkonsumsi rokok terhadap kesehatan Pengaturan harga rokok melalui mekanisme kenaikan cukai rokok Memasukkan target sasaran penurunan prevalensi perokok dewasa pada rencana pembangunan berikutnya. Bagi petani tembakau, pendampingan upaya alih tanam ke tanaman lain.



-



Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)



Program bantuan sosial bebas biaya mengikuti PAUD bagi keluarga miskin.



Pendidikan Dasar



Skema insentif bagi siswa yang berhasil menyelesaikan pendidikan dasar (untuk meningkatkan tingkat kelulusan) - Pendidikan formal setingkat vokasi yang berorientasi 9 - Arah dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan ke Depan terhubung dengan kebutuhan industri, perkembangan



143



2. Kesempatan yang Sama untuk Semua Setiap penduduk memiliki kesempatan yang sama dalam upaya peningkatan pendapatan, melalui ekonomi produktf. Masyarakat miskin dan rentan khususnya, perlu memiliki pijakan ekonomi yang baik agar dapat memenuhi kebutuhannya sendiri secara berkelanjutan serta berkontribusi produktif dalam perekonomian. Mengikutsertakan masyarakat miskin dan rentan ke dalam perekonomian secara produktif memerlukan ketersediaan lapangan kerja yang memadai yang didukung dengan ketersedian sarana prasarana pendukung, dan juga teknologi. Internet telah merubah cara berbisnis di banyak negara. Meskipun di Indonesia akses internet telah tumbuh lebih cepat, namun sinyal masih banyak tantangan. Keterhubungan



144



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



terhadap internet tidak saja meningkatkan akses ke pendidikan dan ilmu pengetahuan, namun juga kesempatan kerja dan kualitas kesehatan yang lebih baik, meningkatkan kapasitas UMKM dalam e-perdagangan, meningkatkan ketrampilan digital, terutama perempuan, dan mencapai pasar global dengan biaya lebih rendah. Selain itu, telekomunikasi perlu didorong ke daerah-daerah yang membutuhkan infraktruktur sekaligus sebagai konsumer baru. Untuk masyarakat miskin dan rnetan di perdesaan, pelatihan ICT perlu diberikan dan disesuaikan dari segi bahasa, budaya, dan tradisi. Meskipun potensi peningkatan pendapatan ini ada, namun hal ini tidak dapat dicapai dengan sekejap. Elaborasi dari strategi dan arahan ke depan adalah sebagai berikut:



Tabel 9.2: Kesempatan yang Sama untuk Semua melalui Ekonomi Produktif



No



Indikator



Aspek dan Strategi Penguatan UMKM



1



2



Penguatan UMKM, KUR, KUBe, dan Dana Desa



Pengembangan Ekonomi Pedesaan



Dana Desa



-



Peningkatan kemudahan perizinan Pengembangan sistem kemitraan untuk pengembangan dan konsultasi UMKM Peningkatan akses finansial bagi para UMKM Peningkatan kualitas tenaga kerja UMKM dan pelatihan manajerial untuk sektor informal Pengawalan tata kelola Dana Desa Perubahan alokasi Dana Desa seperti memperbesar porsi bobot formula Peningkatan kapabilitas lurah dan kepala desa



KUBe



Pendampingan penerima manfaat KUBe baik dari sisi peningkatan keahlian maupun manajemen keuangan



KUR



Kemudahan proses administrasi mendapatkan KUR untuk pengembangan bisnis



BUMDes



Berfokus pada prioritas bidang usaha BUMDes atau koperasi yang sesuai dengan keunggulan komparatif lokal seperti bahan baku, dan kondisi alam untuk desa wisata.



Jaminan Sosial Petani



Registrasi petani yang apat membantu petani mengakses asuransi kesehatan, basic income, asuransi pertanian, hari tua, kredit, dsb).



Produktivitas Pertanian



- Pengelolaan sumberdaya alam dan inklusi produktif (evoucher membantu petani akses input produksi (benih, pupuk) menggunakan HP atau voucher elektronik. - Diversifikasi komoditas pertanian, perbaikan infrastruktur irigasi dan efisiensi penggunaan air - Mendorong berkembangnya alternatif permodalan petani seperti peer-to-peer lending - Inklusi keuangan - Informasi cuaca dan pengelolaan risiko pertanian (early warning banjir, kekeringan dan gempa; kontrol hama penyakit, dan skema asuransi) - Akses informasi pasar serta e-commerce - Membentuk pasar distribusi beras menjadi pasar yang lebih transparan yang lebih kompetitif untuk menurunkan gap antara harga gabah yang dijual petani dengan harga beras yang dibeli konsumen - Peningkatan efektifitas penyelenggaraan pendidikan - Sistem pembelajaran dan pelatihan jarak jauh, pelatihan paruh waktu, pelatihan akhir pekan ataupun jam malam - Variasi pelatihan yang menyesuaikan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja



3



Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan



Mengatasi job-mismatch



4



Ekonomi Digital untuk Percepatan Peningkatan Pendapatan



Memastikan iklim usaha yang baik untuk mendukung bisnis digital yang dapat meningkatkan akses bagi para UMKM



5



Ketahanan Ekonomi Keluarga



Pendampingan untuk meningkatkan kapabilitas dan keterampilan kepala keluarga serta literasi keuangan.



9 - Arah dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan ke Depan



145



3. Ketahanan Masyarakat Miskin dan Rentan Memastikan bahwa setiap penduduk memiliki cukup kapasitas untuk menghadapi tantangan dan goncangan yang berisiko menjatuhkannya dalam kemiskinan menjadi strategi selanjutnya setelah peningkatan investasi SDM serta kesempatan peningkatan ekonomi. Melalui



perlindungan sosial, penduduk diarahkan untuk dapat mencegah dan menangani risiko yang mungkin muncul selama siklus hidupnya, baik dari segi sosial, ekonomi maupun kebencanaan. Selain itu, perlindungan sosial juga menjadi upaya untuk mengeluarkan kelompok masyarakat dari kondisi kemiskinan. Secara rinci, strategi terkait dapat dilihat dalam tabel berikut.



Tabel 9.3: Strategi Ketahanan Kelompok Miskin dan Rentan



No



Indikator



Aspek Usia Balita



Strategi Program Keluarga Harapan (PKH) untuk memastikan terpenuhinya pendidikan dan gizi anak -



Usia Sekolah



-



1



Perlindungan Sosial Semasa Hidup



Usia Produktif



-



Usia Lanjut



Pemberian Asuransi Lanjut Usia (ASLUT) Pelaksanaan perawatan jangka panjang berbasis keluarga ataupun institusional



-



Program rehabilitasi dan pelayanan Bantuan tunai bagi penyandang disabilitas yang tidak dapat direhabilitasi Pembuatan basis data penyandang disabilitas yang lebih baik



-



2



Perlindungan Sosial bagi Kelompok Marjinal



-



Komunitas Adat Terpencil -



146



Mengatasi Tantangan yang Tantangan dan MenujuPenyempurnaan Indonesia Bebas Kemiskinan Ada untuk Program 3



Pemberian modal kepada kelompok usaha (KUR, KUBE, Dana Desa, dll.) Bantuan pendidikan bagi yang akan melanjutkan ke pendidikan tinggi (program Bidikmisi) Pemberian PBI JKN (mengurangi dampak dari risiko sakit), bantuan sosial pangan (pemenuhan pangan dan gizi), dan subsidi energi (pemenuhan kebutuhan energi) Memberikan perlindungan dari risiko kecelakaan kerja Peningkatan keterampilan dan sertifikasi



-



Disabilitas



Masyarakat di Wilayah 3T



Program Keluarga Harapan (PKH) untuk memastikan terpenuhinya pendidikan dan gizi anak Program Indonesia Pintar (PIP) dari SD sampai SMA untuk membantu biaya pendidikan dan mencegah putus sekolah



-



Pengembangan akses lingkungan yang inklusif Pemberdayaan masyarakat sekitar untuk meningkatkan kesejahteraan dan perekonomiannya Meningkatkan aksesibilitas masyarakat Mengembangkan ekonomi lokal berbasis sumber daya alam, budaya lokal, dan kearifan tradisional secara berkelanjutan. Mempercepat pengembangan sentra pertumbuhan dan keterkaitan fungsional dengan pengembangan kawasan tertinggal Meningkatkan aksesibilitas terhadap pelayanan, sarana dan prasarana Meningkatkan penataan permukiman Memberikan pendampingan secara berkala bagi para penerima manfaat Memperbaiki akurasi target penerima manfaat dari program perlindungan sosial Menyempurnakan proses verifikasi dan validasi sebagai basis data penyaluran bantuan sosial Mengoordinasikan lembaga-lembaga pelaksana bantuan



Komunitas Adat Terpencil -



No



Indikator



Aspek Usia Balita



3



1



Tantangan dan Penyempurnaan untuk Program Perlindungan Perlindungan Sosial Sosial Semasa Hidup



Mengatasi Tantangan yang Usia Sekolah Ada



Upaya Penyempurnaan Usia Produktif



Perubahan Iklim



Usia Lanjut



4



Ketahanan Kelompok Miskin dan Rentan



Disabilitas



Bencana Alam



2



Perlindungan Sosial bagi Kelompok Marjinal



Masyarakat di Wilayah 3T



-



Mempercepat pengembangan sentra pertumbuhan dan keterkaitan fungsional dengan pengembangan kawasan tertinggal Meningkatkan aksesibilitas terhadap pelayanan, sarana dan prasarana Strategi Meningkatkan penataan permukiman



-Program Memberikan pendampingan secara bagi para Keluarga Harapan (PKH) untukberkala memastikan penerima manfaat terpenuhinya pendidikan dan gizi anak - Memperbaiki akurasi target penerima manfaat dari program - Program Keluarga Harapan (PKH) untuk memastikan perlindungan sosial terpenuhinya pendidikan dan gizi anak - Menyempurnakan proses verifikasi dan validasi sebagai basis - Program Indonesia Pintar (PIP) dari SD sampai SMA untuk data penyaluran bantuan sosial membantu biaya pendidikan dan mencegah putus sekolah - Mengoordinasikan lembaga-lembaga pelaksana bantuan khususnya terkait evaluasi dan pengawasan Pemberian modal kepada kelompok usaha (KUR, KUBE, Dana - sosial,



Desa, dll.) sasaran dan pemutakhiran BDT Penetapan Bantuansosial pendidikan bagi yangdan akan melanjutkan ke Bantuan yang terintegrasi komprehensif pendidikan tinggi (program Bidikmisi) Bantuan sosial berbasis peningkatan pendapatan Pemberian PBI JKN (mengurangi dampak dari risiko sakit), Program bantuan sosial yang adaptif bantuan sosial pangan (pemenuhan pangan dan gizi), dan - Perencana anggaran daerah untuk adaptasi perubahan iklim subsidi energi (pemenuhan kebutuhan energi) -- Mobilisasi potensi dana non-pemerintah untuk adaptasi Memberikan perlindungan dari risiko kecelakaan kerja -- Peningkatan kapasitas pemangku kepentingan Perumusan Peningkatan keterampilan dan sertifikasi skema asuransi masyarakat yang rentan terhadap perubahan Pemberian Asuransi Lanjut Usia (ASLUT) iklim ---



--



-



Program rehabilitasi dan pelayanan bagi penyandang Peningkatan anggaran kebencanaan tingkat pusat & daerah disabilitas Penguatan BPBD di tingkat kabupaten terutama pada daerah Bantuan tunai bagi penyandang disabilitas yang tidak dapat rawan bencana direhabilitasi Pengembangan mekanisme inovasi yang adaptif untuk perencanaan kebencanaan Pembuatan basis data penyandang disabilitas yang lebih Perlu baik ada mekanisme jaring sosial yang baik untuk mengakomodir korban bencana ke dalam Basis Data Terpadu Pengembangan akses lingkungan yang inklusif Penyusunan paket kebijakan penanggulangan bencana Pemberdayaan masyarakat sekitar untuk meningkatkan secara komprehensif dari mulai mitigasi bencana, tanggap kesejahteraan dan perekonomiannya darurat sampai dengan tahap pemulihan. Meningkatkan aksesibilitas masyarakat Inovasi instrumen pendanaan seperti asuransi bencana daerah Mengembangkan ekonomi lokal berbasis sumber daya alam,



budaya lokal, dan kearifan tradisional secara berkelanjutan. Mempercepat pengembangan sentra-sentra pertumbuhan dan keterkaitan fungsional dengan pengembangan Selain ketiga pilar utama yang meliputi kawasanyang telah dielaborasikan dalam Bab 2, laju tertinggal Komunitas Adat hidup berkualitas dan bermartabat, pertumbuhan ekonomi hingga kebijakan moneter - Meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan, Terpencil kesempatan sarana dan prasarana yang sama untuk peningkatan ekonomi serta dan fiskal menentukan dinamika kemiskinan yang Peningkatan sarana dan prasarana transportasi ketahanan kelompok miskin dan rentan, terdapat terjadi. Membaiknya kesejahteran masyarakat - Meningkatkan penataan permukiman dalam pemanfaatan kondisi perlu untuk memperkokoh konsep dan berubahnya persepsi kemiskinan juga potensi kawasan tertinggal -



penanggulangan kemiskinan ke depan. Adapun mengharuskan strategi penanggulangan Memberikan pendampingan secara bagi para elaborasi dari strategi dan arahan ke depan kemiskinan berevolusi tidakberkala saja mengatasi penerima manfaat terkait kondisi perlu adalah sebagai berikut: masalah kebutuhan dasar namun juga harus - Memperbaiki akurasi target penerima manfaat dari program Mengatasi berorientasi perlindungan sosial pada penyelesaian masalah yang Tantangan yang Tantangan dan lebih kompleks bersifat Untuk itu, - Menyempurnakan prosesdan verifikasi danmultidimensi. validasi sebagai basis A. Kondisi Makroekonomi Ada Penyempurnaan data penyaluran bantuanterkait sosial kondisi makroekonomi yang strategi-strategi untuk Program pada kenyataannya - Mengoordinasikan lembaga-lembaga pelaksana bantuan 3 Kondisi makroekonomi mempengaruhi keberhasilan penanggulangan terkait evaluasi dan pengawasan memilikiPerlindungan peranan penting dalam menentukan sosial, khususnya kemiskinan di Indonesia ke depan adalah Sosial tingkat kemiskinan yang ada. Sebagaimana - Penetapan sasaran dandijabarkan pemutakhiran BDT Tabel 9.4. sebagaimana pada Upaya Penyempurnaan



-



Bantuan sosial yang terintegrasi dan komprehensif Bantuan sosial berbasis peningkatan pendapatan Program bantuan sosial yang adaptif



9- - Arah dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan ke Depan Perencana anggaran daerah untuk adaptasi perubahan iklim



147



Tabel 9.4: Strategi terkait Kondisi Makroekonomi No.



Indikator



Aspek



Strategi -



Pertumbuhan Ekonomi



Proyeksi Tingkat Kemiskinan 1



Kondisi Makroekonomi



-



Membuat proyeksi tingkat kemiskinan dengan menggunakan asumsi ekonomi sebagai acuan dari kebijakan yang harus ditempuh -



Struktur Perekonomian Indonesia



-



-



Kebijakan Moneter



2



Memastikan tingkat inflasi terkendali Menjaga suku bunga di tingkat yang optimal untuk mendorong penciptaan kesempatan kerja bagi masyarakat kurang mampu melalui pengembangan wirausaha lokal



-



Memastikan alokasi pengeluaran yang krusial untuk penanggulangan kemiskinan tetap terjaga, seperti kesehatan dan pendidikan. Merealokasikan anggaran belanja yang kurang produktif ke yang lebih produktif, seperti subsidi energi dan non-energi ke perlindungan sosial Meningkatkan efisiensi dalam realisasi belanja pemerintah pusat Menggenjot penerimaan untuk memastikan programprogram yang dicanangkan terlaksana dengan baik Memberikan bantuan sosial terintegrasi bagi masyarakat yang belum mampu memenuhi standar hidup minimum Memastikan seluruh masyarakat mampu mengakses layanan dasar (kesehatan, pendidikan, air bersih, sanitasi, dan rumah layak) Mengembangkan kebijakan afirmasi terkait penanggulangan kemiskinan multidimensi bagi masyarakat di luar Jawa dan Sumatera



Kebijakan Fiskal Pengentasan Kemiskinan Moneter dan Multidimensi



3



148



Penyempurnaan Ukuran Kemiskinan



-



Membuat program-program yang lebih intensif bagi masyarakat di perdesaan Meningkatkan pertumbuhan sektor industri untuk memanfaatkan tingkat produktivitas pekerja di sektor industri yang tinggi Meningkatkan produktivitas di sektor jasa dan pertanian



-



Kebijakan Pemerintah dan Bank Sentral



Menjaga kestabilan kondisi makroekonomi dan laju pertumbuhan ekonomi Memastikan penciptaan lapangan kerja seiring pertumbuhan ekonomi



-



-



Menyesuaikan asumsi yang digunakan dalam menyusun garis kemiskinan absolut Mengikutsertakan kebutuhan nonfisik dalam membuat garis kemiskinan, seperti kebutuhan sosial



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



B. Kerangka Kelembagaan Penanggulangan kemiskinan melibatkan berbagai pemangku kepentingan yang berasal dari multisektor. Agar pelaksanaan strategi berjalan secara efektif, pembagian kewenangan yang jelas pada tingkatan daerah dan pusat, disertai dengan koordinasi yang baik dapat berdampak pada terciptanya program penanggulangan kemiskinan yang tepat. Dukungan dari basis data berkualitas yang



secara berkala dimutakhirkan dapat membuat pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan multisektor menyasar sasaran yang sama sehingga manfaat dari program dapat berdampak secara signifikan. Tak hanya itu, pelaksanaan monitoring dan evaluasi juga menjadi penting untuk keberlangsungan program yang berkualitas. Strategi terkait kerangka kelembagaan untuk penanggulangan kemiskinan ke depan adalah sebagai berikut:



Tabel 9.5: Strategi Penguatan Kerangka Kelembagaan



No



Indikator



Aspek dan Strategi Pemerintah Pusat



1



Pembagian Kewenangan dalam Upaya Penanggulangan Kemiskinan



-



Pemerintah Daerah -



2



3



Pengelolaan Data dan Layanan Responsif



Monitoring Evaluasi



-



Perencanaan nasional penanggulangan kemiskinan yang bersifat nasional; Pengelolaan dan pemutakhiran basis data terpadu; Monitoring and evaluasi program penanggulangan kemiskinan Penyusunan program-program penanggulangan kemiskinan spesifik daerah Peningkatan peran aktif dalam penyediaan sarana dan prasarana sosial, verifikasi-validasi data penduduk miskin, penanggulangan korban bencana berupa sistem tanggap darurat, pelaksanaan dan pengembangan jaminan sosial, serta peningkatan lingkungan yang inklusif; Pembentukan wadah komunikasi interaktif untuk bertukar pikiran, menggali praktik cerdas dan berbagai pembelajaran dengan pemerintah pusat, akademisi, penggerak sosial masyarakat (LSM) dan pihak swasta lainnya dalam upaya penanggulangan kemiskinan



Pemutakhiran basis data terpadu dengan melibatkan peran Pemerintah Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat Pemanfaatan basis data terpadu oleh multisektor sebagai basis data program penanggulangan kemiskinan Penguatan sistem layanan rujukan terpadu hingga tingkatan kecamatan untuk mempermudah penjangkauan



Pengembangan inovasi dan pemanfaatan SEPAKAT sebagai sistem dengan modul analisis kemiskinan, perencanaan, penganggaran, pemantauan, serta evaluasi yang dapat membantu pembuatan kebijakan yang lebih terkontrol dan berdasar pada bukti.



9 - Arah dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan ke Depan



149



C. Pembiayaan Penanggulangan Kemiskinan Penanggulangan kemiskinan membutuhkan sumber pembiayaan yang sangat besar. Untuk itu, diperlukan alternatif pembiayaan yang inovatif untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam hal ini, instrumen-instrumen pembiayaan islam dapat menjadi salah satu alternatif.



Selain itu, pemanfaatan Program Kemitraan Bina Lingkungan (PBKL) atau Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan juga dapat dilakukan. Penerbitan Social Impact Bonds juga patut mendapat perhatian. Terakhir, meningkatnya altruisme masyarakat serta revolusi teknologi digital memungkinkan crowdfunding sebagai skema alternatif.



Tabel 9.6: Strategi terkait Ekonomi Produktif dan Penghidupan Berkelanjutan untuk Penanggulangan Kemiskinan No



Alternatif Pembiayaan



Strategi



1



Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf (ZISWAF)



-



-



2



Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) dan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL)



-



-



3



Social Impact Bonds -



4



Crowdfunding



-



150



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Kolaborasi antara organisasi pengelola zakat dengan lembaga lain seperti LSM dan perusahaan. Lembaga zakat juga perlu berkoordinasi dengan lembaga pemerintah lainnya seperti TNP2K atau TKPKD dalam hal penentuan target penerima manfaat agar pemanfaatan dana dapat menjadi optimal. Penataan peraturan perundang-undangan , mengingat aturan yang ada saat ini hanya mewajibkan perusahaan yang terkait dengan sumber daya alam Bentuk intervensi program juga perlu diatur dalam regulasi agar ada keterkaitan dengan program-program pembangunan atau penanggulangan kemiskinan. Pengaturan harmonisasi kegiatan dalam rangka penanggulangan kemiskinan Meningkatkan program kemitraan dengan LSM berkinerja tinggi dalam hal mengimplementasikan program CSR. Pengembangan aspek teknis dalam mekanisme keuangan Pengembangan aspek teknis dalam mekanisme kesepakatan Pengembangan aspek pengukuran hasil dan waktu yang dibutuhkan dalam melihat kinerja hasil Perlu ada LSM sebagai penyedia layanan yang handal Menjamin lingkungan hukum dan keuangan yang memungkinkan Mmastikan iklim kegiatan filantropi berkembang dengan baik Pembekalan pemuda dengan berbagai pendidikan dan pelatihan Fasilitasi kegiatan business matching dengan impact investor



DAFTAR PUSTAKA Adioetomo, S.M, D. Mont and Irwanto. (2014). Persons with Disabilities in Indonesia: Empirical Facts and Implications for Social Protection Policies, Jakarta, Indonesia, Demographic Institute, Faculty of Economics, University of Indonesia in collaboration with Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Jakarta, Indonesia. Agrawal, A. (2018). Effectiveness of Impact-Investing at the Base of the Pyramid. Social Entrepreneurship and Sustainable Business Models, 207–246 Akram, O. (2015). Occupational Health, Safety and Extreme Poverty: A Qualitative Perspective from Bangladesh. International Journal of Occupational Safety and Health, 4(1), 41-50. Alfi, A. N. (2018). Bisnis.com. [Daring]. Available at: http://finansial.bisnis.com/read/20180804/215/ 824192/realisasiasuransi-usaha-tani-padi-di-bawah-target[Accessed 3 Desember 2018]. Aliansi Pengendalian Tembakau Indonesia (2013). Peta Jalan Pengendalian Produk Tembakau Indonesia. Muhammadiyah University Press. Surakarta. Alkire, S. and Foster, J. (2007), Counting and Multidimensional Poverty Measurement, Oxford Poverty and Human Development Initiative (OPHI) Working Paper No. 7. Alkire, S. and Santos, M. E. (2010), Acute Multidimensional Poverty: A New Index for Developing Countries, Oxford Poverty and Human Development Initiative (OPHI) Working Paper No. 38.Artha, D. R. P. and Dartanto, T. (2014). Multidimensional Approach to Poverty Measurement in Indonesia. LPEM-FEUI Working Paper No. 002. Alkire, S., Foster, J. E., Seth, S., Santos, M. E., Roche, J. M., & Ballon, P. (2015). Multidimensional Poverty Measurement and Analysis: Chapter 8 - Robustness Analysis and Statistical Inference. OPHI. Alkire, S. & Foster, J. (2010). Counting and multidimensional poverty measurement. Journal of public economics, 95(7-8), 476-487. Amin, M., & Islam, A. (2015). Are Large Informal Firms More Productive than the Small Informal Firms? Evidence from FirmLevel Surveys in Africa. World Development, 74, 374–385. doi:10.1016/j.worlddev.2015.05.008 Angin. (2018, Maret 28). Du’Anyam Receives Investment from Northstar Foundation. Retrieved Februari 18, 2019, diakses melalui https://angin.id/2018/03/08/duanyam-receives-investment-from-northstar-foundation APJII. (2018). Potret Zaman Now Pengguna & Perilaku Internet Indonesia!. Buletin APJII, 23 Apriando, T. (2017). Kala Petani Temanggung Beralih Tanam dari Tembakau ke Kopi dan Sayuran (Bagian 1). Mongabay Berita Situs Lingkungan. Dapat diakses pada website: https://www.mongabay.co.id/2017/07/08/ kala-petani-temanggung-beralih-tanam-dari-tembakau-ke-kopi-dan-sayuran-bagian-1/ Ashari, (2009). Optimalisasi Kebijakan Kredit Program Sektor Pertanian di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian, 7(1), pp. 21-42. Asian Development Banks (ADB). (2013). Skills Development: Promising Approaches in Developed Countries and Emerging Economies. Asian Development Banks. Augère-Granier, M.-L. (2017). Rural poverty in the European Union, s.l.: European Parliamentary Research Service. Badan Pusat Statistik (2006). Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2006. Badan Pusat Statistik (2015). Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2015. Badan Pusat Statistik (2016). Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2016. Badan Pusat Statistik (2017). Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2017. Badan Pusat Statistik (2018)a. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018. Badan Pusat Statistik (2018)b. Profil Kemiskinan Provinsi NTT. Dapat diakses pada website: https://ntt.bps.go.id/ pressrelease/2018/07/16/698/profil-kemiskinan-maret-2018.html. Badan Pusat Statistik (2018)c. Agustus 2018: Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 5,34 persen. Dapat diakses pada website: https://www.bps.go.id/pressrelease/2018/11/05/1485/agustus-2018--tingkat-pengangguranterbuka--tpt--sebesar-5-34-persen.html Bank Indonesia. (2015). Profil Bisnis Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Jakarta Bappeda Sumatera Barat (2018). Data Stunting Provinsi Sumbar Tahun 2015-2017 Hasil Kegiatan PSG (Pemantauan Status Gizi).



Daftar Pustaka



151



Bappenas. (2013). Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan di Indonesia Tahun 2013 – 2025. Jakarta. Bappenas (2015). Indonesia: A Road Map For Housing Policy Reform. Jakarta. Bappenas. (2017). Peningkatan Kapasitas Ekonomi Produktif untuk Percepatan Pemerataan Pendapatan di Wilayah Kemiskinan Tinggi. Jakarta. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Jakarta. Bappenas & Puskapa (2016). Siaran Pers Identitas Hukum: Pengurangan Kemiskinan dengan Membuka Akses pada Layanan Dasar. Jakarta. Bappenas (2018). Evaluasi Analisis Wilayah dengan Kemiskinan Tinggi. Jakarta, 2018. Bella, A & Dartanto, T. (2016). A Bad Luck: People with Disabilities (PWD) and Poverty in Indonesia. 10.13140/ RG.2.1.3245.3523. BIS. (2011). A Guide to Legal Forms for Social Enterprise. Department for Business, Innovation & Skills. diakses melalui: https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/31677/111400-guide-legal-forms-for-social-enterprise.pdf Bleakley, H., Cain, L. P., & Hong, S. C. (2018). Health, Disease, and Sanitation in American Economic History. The Oxford Handbook of American Economic History, 1, 53. BNPB. (2016). Risiko Bencana Indonesia . Diakses melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana: http://inarisk. bnpb.go.id/pdf/Buku%20RBI_Final_low.pdf BNPB. (2017). Potensi dan Ancaman Bencana. Diakses melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana: https:// bnpb.go.id/potensi-bencana BNPB. (2018). Data Informasi Bencana Indonesia. Diakses melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana : http:// dibi.bnpb.go.id/dibi/ BPS. (2017). Survei Industri Mikro dan Kecil. BPS. (2018). Berita Resmi Statistik Keadaan Februari 2018. Jakarta: BPS. Baznas. (2018). Statistik Zakat Nasional 2017. https://pid.baznas.go.id/wp-content/uploads/2019/02/STATISTIK-ZAKATNASIONAL-2017.pdf diakses pada tanggal 27 Agustus 2018. Cahyadi, et al. (2018). Cumulative Impacts of Conditional Cash Transfer Programs: Experimental Evidence from Indonesia. NBER Working Papers 24670, National Bureau of Economic Research, Inc. MA: Cambrige. Cas, A. G., Frankenberg, E., Suriastini, W., & Thomas, D. (2014). The impact of parental death on child well-being: evidence from the Indian ocean Tsunami. Demography, 51(2), 437–457. Charities Aid Foundation. (2018). CAF World Giving Index 2018. https://www.cafonline.org/docs/ default-source/aboutus-publications/caf_wgi2018_report_webnopw_2379a_261018.pdf diakses pada tanggal 20 Juni 2018. Cohen, A., & Sullivan, C. A. (2010). Water and Poverty in Rural China: Developing an Instrument to Assess the Multiple Dimensions of Water and Poverty. Ecological Economics, 69(5), 999-1009. Dailysocial.id. (2018). Dailysocial.id. Diakses melelui https://dailysocial.id/post/du-anyam-funding-northstar-foundation pada Februari 15, 2019, Dartanto, dkk. (2017). Dampak Program JKN-KIS terhadap Kemiskinan. Publikasi BPJS Kesehatan, Jakarta, 2017. Dartanto, dkk. (2018). Bantuan Sosial, Konsumsi Rokok dan Indikator Sosial Ekonomi di Indonesia, Jakarta, 2018. (Publikasi akan datang). Dartanto, et. al (2017). Dampak Program JKN-KIS terhadap Kemiskinan. Publikasi BPJS Kesehatan, Jakarta, 2017. Dartanto, et. Al (2018). Paparan Awal Kajian Background Study RPJMN 2020 – 2025. Bahan paparan pada FGD Kajian Background Study RPJMN 2020 – 2025. Bali 11 Oktober 2018. Dartanto, T. (2013). Why is growth less inclusive in Indonesia? Diakses melalui http://mpra.ub.uni-muenchen.de/65136/ Dartanto, T., Bastiyan, D. F., & Sofiyandi, Y. (2017). Are local governments in Indonesia really aware of disaster risks? AIP Conference Proceedings. 1857(1), p. 110006. AIP Publishing. Dartanto, T., and S. Otsubo. (2013). “Measurements and Determinants of Multifaceted Poverty: Absolute, Relative, and Subjective Poverty in Indonesia.” JICA Research Institute Working Paper 54. Dao, M. Q. (2004). Rural Poverty in Developing Countries: An Empirical Analysis. Journal of Economic Studies, 31(6), pp. 500-508. Definit, SEADI, & OJK. (2013). Developing Indonesia Financial Literacy Index. Yogyakarta. Delloite. (2018). The rise of the social enterprise: 2018 Deloitte Global Human Capital Trends. United Kingdom. Demie, G., Bekele, M., & Seyoum, B. (2016). Water Accessibility Impact on Girl and Women’s Participation in Education and Other Development Activities: The Case of Wuchale and Jidda Woreda, Ethiopia. Environmental Systems Research, 5(1), 11. Department for International Development (DFID). (1999). SUSTAINABLE LIVELIHOODS GUIDANCE SHEETS. Dewi, L. P., & Dartanto, T. (2018). Natural disasters and girls vulnerability: is child marriage a coping strategy of economic shocks in Indonesia? Vulnerable Children and Youth Studies. doi:https://doi.org/10.1080/17450128.2018.1546025



152



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Dollar, D., & Kraay, A. (2002). Growth is Good for the Poor. Journal of economic growth, 7(3), 195-225. Dougherty, S. et al. (2008), “India’s Growth Pattern and Obstacles to Higher Growth”, OECD Economics Department Working Papers, No. 623, OECD Publishing, Paris. Duqueet, J. C., Patino, J. E., Ruiz, L. A., & Pardo-Pascual, J. E. (2015). Measuring Intra-Urban Poverty Using Land Cover and Texture Metrics Derived from Remote Sensing Data. Landscape and Urban Planning, 135, 11-21. Ezeh, A., Oyebode, O., Satterthwaite, D., Chen, Y. F., Ndugwa, R., Sartori, J. & Caiaffa, W. (2017). The History, Geography, and Sociology of Slums and the Health Problems of People who Live in Slums. The lancet, 389(10068), 547-558. Firdaus, M., Beik, I. S., Irawan, T., & Juanda, B. (2012). Economic Estimation and Determinations of Zakat Potential in Indonesia. IRTI Working Paper Series, WP# 1433‐07. http://www.irti.org/english/research/documents/334.pdf Galiani, S., Gertler, P., & Schargrodsky, E. (2005). Water for life: The Impact of the Privatization of Water Services on Child Mortality. Journal of political economy, 113(1), 83-120. Geruso, M., & Spears, D. (2018). Neighborhood Sanitation and Infant Mortality. American Economic Journal: Applied Economics, 10(2), 125-62. Giné Garriga, R. & Pérez Foguet, A. Water Resour Manage (2013) 27: 1501. https://doi.org/10.1007/s11269-012-0251-6 Gupta, N. (2004). Successful ageing and itsdeterminants. Ph.D. thesis, TISS, Mumbai Gustafsson-Wright, E., Gardiner, S., & Putcha, V. (2015). The Potential and Limitations of Impact Bonds: Lessons From The First Five Years Of Experience Worldwide. Global Economy And Development Program – Brookings Halimatussadiah, A., Nuryakin, C., Muchtar, P. A., Bella, A., & Rizal, H. (2018). Mapping Persons with Disabilities (PWDs) in Indonesia Labor Market. Economics and Finance in Indonesia, 63(2), 126-149. Hanandita, W. and Tampubolon, G. (2016). Multidimensional Poverty in Indonesia: Trend Over the Last Decade (2003– 2013). Soc Indic Res (2016) 128: 559. Hanushek, E. A. (2013). Economic Growth in Developing Countries: The Role of Human Capital. Economics of Education Review, 37, 204-212. Hasan, R., Lamba, S., & Sen, A. (2013). South Asia Working Paper Series Growth, Structural Change, and Poverty Reduction: Evidence from India Growth, Structural Change, and Poverty Reduction: Evidence from India (South Asia Working Paper Series No. 22). Hutabarat, H. M. (2019). Crowdfunding: Kick-starting starups. The Jakarta Post. ILO. (2018). Kerja Layak dan Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan. ILO. Jakarta. Indonesia Institute for Social Development (IISD). 2015. Petani Tembakau di Indonesia: Sebuah Paradoks Kehidupan. Dapat diakses pada website: https://www.researchgate.net/publication/304571423_Petani_Tembakau_di_ Indonesia_Sebuah_Paradoks_Kehidupan International Labor Organization. (n.d.). SDG Note - Skills for Employement. Iradian, M. G. (2005). Inequality, Poverty, and Growth: Cross-Country Evidence (EPub) (No. 5-28). International Monetary Fund. Karnawati, D. (2018). Potensi Kebencanaan di Indonesia dan Pelaksanaan Penyebaran Informasi Peringatan Dini. Disampaikan pada Seminar Kebencanaan di Indonesia: Dari Sistem Peringatan Dini Hingga Proses Pembangunan Kembali. 13 November 2018, LPEM FEB UI Jakarta. Kementerian Keuangan. (2018). Buku II: Nota Keuangan Beserta Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara,. Tahun Anggaran 2018 Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (2017). Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2012 – 2017. Kementerian PUPR (2015). Kajian Kriteria Rumah Tidak Layak Huni (RTLH). Direktorat Jenderal Penyediaan Perumahan, Direktorat Rumah Swadaya. Jakarta Kementerian PUPR (2017). Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Direktorat Jenderal Penyediaan Perumahan, Direktorat Rumah Swadaya. Jakarta Kemenkes (2013): Riset Kesehatan Dasar. Kemenkes (2018)a: Riset Kesehatan Dasar. Kementerian Keuangan (2018). Kebijakan Perpajakan Hasil Tembakau. Workshop Pajak Tembakau dan Jaminan Kesehatan Nasional. Bogor, 2018. Kemensos (2017). Sistem Kesejahteraan Sosial Terpadu Nasional. Bahan paparan Bapak Said Mirza Pahlevi. Khademolhoseini, M. (2012). “Cash Waqf a New Financial Instrument for Financing Issues: An Analysis of Structure and Islamic Justification of its Commercialization.” Tehran: Imam Sadiq University. Knight, J., Shi, L. & Quheng, D. (2008). Education and the Poverty Trap in Rural China, s.l.: s.n. Kramer, M. R., & Hogue, C. R. (2009). Is Segregation Bad for Your Health?. Epidemiologic reviews, 31(1), 178-194. Lisanty, N. & Tokuda, H., (2015). Comprehending Poverty in Rural Indonesia: An In-depth Look inside Paddy Farmer Household in Marginal Land Area of Banyuasin District, South Sumatra Province. International Journal of Social Science Studies, 3(3). LPEM FEB UI (2017). Analisis Manfaat Pemberian Bantuan Jaminan Ketenagakerjaan Bagi Kelompok Pekerja Rentan.



Daftar Pustaka



153



Jakarta. LPEM FEBUI. Belum diterbitkan Macinko, J., Guanais, F. C., & De Souza, M. D. F. M. (2006). Evaluation of the Impact of the Family Health Program on Infant Mortality in Brazil, 1990–2002. Journal of Epidemiology & Community Health, 60(1), 13-19. Miranti, R. (2010). Poverty in Indonesia 1984–2002: The impact of growth and changes in inequality. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 46(1), 79-97. Mulyo, S. A. (2018, November 13). Pengembangan Model Ekonomi Pengurangan Risiko Bencana. Forum Kajian PembangunanIndonesia Regional Science Association (IRSA)-Australian National University (ANU)-LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis-Universitas Indonesia. Jakarta Nagib, L. & Ngadi, 2008. Challenges of Unemployment in Indonesia: Trends, Issues, and Policies. Jurnal Kependudukan Indonesia, Volume III. Narayan, D., Patel, R., Schafft, K., Rademacher, A., & Koch-Schulte, S. (1999). Can Anyone Hear Us?: Voices From 47 Countries. World Bank. Narayan, D., Pritchett, L. & Kapoor, S. (2009). Moving Out of Poverty : Volume 2. Success from the Bottom Up. Washington, DC: World Bank and Palgrave Macmillan Naylor, R. L., Battisti, D. S., Vimont, D. J., Falcon, W. P., & Burke, M. B. (2007). Assessing risks of climate variability and climate change for Indonesian rice agriculture. PNAS: Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 104(19), 7752-7757. doi:https://doi.org/10.1073/pnas.0701825104 Niemietz, K. (2011). A new understanding of poverty. London: Institute of Economic Affairs. http://www.iea.org.uk/sites/default/files/publications/files/IEA%20New%20Understandin g%20of%20Poverty.pdf. Novianto, H. (2017, Oktober 4). Warga Yogyakarta dan Sumut paling terancam gunung api. diakses melalui https:// beritagar.id/artikel/berita/warga-yogyakarta-dan-sumut-paling-rentan-erupsi-gunung-api Occupational Safety and Health Administration (OSHA). (2015). Adding inequality to injury: The costs of failing to protect workers on the job. Oktaviani, R., Amaliah, S., Ringler, C., Rosegrant, M., & Sulser, T. (2011). The impact of global climate change on the Indonesian economy. IFPRI Discussion Paper 1148. International Food Policy Research Institute. Oxford Poverty & Human Development Initiative (OPHI). (2016). “Global Multidimensional Poverty Index 2016.” OPHI Briefing 41, University of Oxford. Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2017 tentang Penyaluran Bantuan Sosial Non Tunai PKJS-UI (2018). Parental Smoking Behavior and Its Impact on Stunting, Cognitive, and Poverty: Empirical Evidence from the IFLS Panel Data. (Publikasi akan datang). Puskapa (2018). Background Study PKKS Bagian Penanggulangan Kemiskinan Anak dan Kesejahteraan Sosial Anak. Jakarta. Rada, N. E., Buccola, S. T. & Fuglie, K. O. (2011). Government Policy and Agricultural Productivity in Indonesiaa, s.l.: Oxford University Press on behalf of the Agricultural and Applied Economics Association. Ravallion, M. (2004). “Pro-Poor Growth: A Primer.” Washington, DC: World Bank Ravallion, M., and S. Chen. (2011). Weakly relative poverty. Review of Economics and Statistics 93 (4): 1251-61. Rifin, A., (2014). The Effect of Progressive Export Tax on Indonesian Palm Oil Industry. Oil Palm Industri Economic Journal, 14(1). Roemer, M., & Gugerty, M. K. (1997). Does Economic Growth Reduce Poverty? Technical Paper Technical Paper (CAER II Discussion Paper No. 5). Rokx, C., et al. (2018). Aiming High: Indonesia’s Ambition to Reduce Stunting. Publikasi World Bank. The World Bank, Washington, D.C. 2018. Rowntree, B. S. (1901). Poverty: A study of town life. London: Macmillan. Saniman, Sula, A.E., dan Faidal. 2018. Peluang Konversi Tanaman Bagi Petani Tembakau di Madura. Laporan Akhir Penelitian ITRCN 2018. Sekretariat RAN API: http://sekretariat-ranapi.org Sen, A. (1979). Issues in the measurement of poverty. Scandinavian Journal of Economics 81(2): 285-307. Sen, A. (2004) Capabilities, lists, and public reason: continuing the conversation. Feminist Economics, 10(3): 77-80. Smith, P., Quarisa, I., Giddings, J. & Grabham, M., (2013). Selecting An Irrigation System. In: WATERpak —A Guide For Irrigation Management in Cotton and Grain Farming Systems. s.l.:More Profit per Drop. Soedibyo. (2018). Peranan Islamic Financing Dalam Pendanaan Pembangunan: Potensi Dan Rekomendasi Ke Depan. Indonesia Development Forum 2018 Bappenas, 10-11 Juli 2018. Suasih, N. N. R. & Yasa, I. N. M. (2017). Indonesian Eat Rice, But Why Farmers Are Poor?. Scientific Papers Series Management, Economic Engineering in Agriculture and Rural Development , 17(3), pp. 403-410. Suryahadi, A. & Hadiwidjaja, G. (2011). The Role of Agriculture in Poverty Reduction in Indonesia , Jakarta: SMERU



154



Menuju Indonesia Bebas Kemiskinan



Research Institute. Suryahadi, A., Hadiwidjaja, G., & Sumarto, S.. (2012). Economic growth and poverty reduction in Indonesia before and after the asian financial crisis, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 48:2, 209-227, DOI: 10.1080/00074918.2012.694155. Suryawati. (2004). Teori Ekonomi Mikro. UPP. AMP YKPN. Yogyakarta: Jarnasy Syuaib, M. F. (2016). Sustainable Agriculture in Indonesia: Facts and Challenges to Keep Growing in Harmony with Environment. CIGR Journal, 8(2), pp. 170-184. Szwarcwald, C. L., Bastos, F. I., Barcellos, C., de Fátima Pina, M., & Esteves, M. A. P. (2000). Health Conditions and Residential Concentration of Poverty: A Study in Rio de Janeiro, Brazil. Journal of Epidemiology & Community Health, 54(7), 530-536. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. (n.d.). Data Terpadu PPFM. Diambil dari http://bdt.tnp2k.go.id/ TNP2K. (2015). Evaluation Longer-Term Impact of Indonesia’s CCT Program: Evidence from a Randomized Control Trial. Jakarta: World Bank TNP2K (2018). The Future of the Social Protection System in Indonesia: Social Protection for All. Jakarta, 2018. Todaro, M. P. & Smith, S. C. (2015). Economic Development. Boston: Pearson Addison Wesley. Townsend, P. (1954). Measuring poverty, British Journal of Sociology 5 (2): 130-37. UNDP. (2018). Financing The 2030 Agenda. New York. UNFPA & HelpAge International. (2012). Ageing in the twenty-first century: A celebration and a challenge. UNICEF. https://www.unicef.org/indonesia/id/education_3141.htm Wardhana, D. (2010). Multidimensional Poverty Dynamics in Indonesia (1993–2007), The University of Nottingham, Nottingham. WEF. (2018). The Global Risks Report 2018. Diakses melalui World Economic Forum: https://www.weforum.org/reports/ the-global-risks-report-2018 Wihardandi, A. (2013, July 8). Penelitian: Perubahan Iklim Berdampak Serius Terhadap Sektor Perikanan Indonesia. Diakses melalui http://www.mongabay.co.id/2013/07/08/penelitian-perubahan-iklim-berdampak-seriusterhadap-sektor-perikanan-indonesia/ World Bank. (2009). Investing in a more sustainable Indonesia: Country environment analysis 2009. East Asia and Pacific Region, Indonesia Sustainable Development Unit of the Sustainable Development Department. Jakarta: World Bank. Diakses melalui https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/3128 World Bank, (2005). Priority Issues for Indonesian Agriculture, s.l.: World Bank. World Bank. (2013). Indonesia: Kemiskinan Perkotaan dan Ulasan Program. World Bank. World Bank. (2015). Kenya: Toward a National Crop and Livestock Insurance Program, Washington: World Bank. World Bank. (2018). Perkembangan Triwulanan Perekonomiam Indonesia: Urbanisasi untuk Semua. World Bank. World Bank, (2018). Turkey’s Integrated Social Assistance System. World Bank Yuniartha, L. (2018). Program Asuransi Pertanian Maasih Hadapi Kendala. [Daring] Available at: https://keuangan. kontan.co.id/news/program-asuransi-pertanian-masih-hadapi-kendala [Accessed 3 Desember 2018]. Yusuf, A. A., & Sumner, A. (2015). How Inclusive has Growth been in Indonesia? Oxford: OUP. Zainal, R. I. (2015). Mandated Corporate Social Responsibility (CSR) in Indonesia: Institutional Perspectives. RMIT UNIVERSITY.



And Stakeholder



Daftar Pustaka



155



TIM AHLI



Teguh Dartanto - Principal Investigator Alin Halimatussadiah - Tenaga Ahli bidang Lingkungan dan Sustainable Livelihood Bisuk Abraham Sisungkunon G - Tenaga Ahli bidang Proyeksi Makroekonomi dan Kemiskinan Chairina Hanum Siregar - Tenaga Ahli bidang Bantuan Sosial dan Pelayanan Dasar Dwi Rani Puspa Artha - Tenaga Ahli bidang Pengukuran Kemiskinan I Dewa Gede Karma Wisana - Tenaga Ahli bidang Kerentanan dan Lanjut Usia Muhamad Sowwam - Tenaga Ahli bidang Digital dan Filantropi Renny Nurhasana - Tenaga Ahli bidang Kesehatan Yusuf Sofiyandi Simbolon - Tenaga Ahli bidang Kemiskinan Perkotaan



KONTRIBUTOR



Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Kementerian Sosial Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Kesehatan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Badan Pusat Statistik Badan Nasional Penanggulangan Bencana Kantor Staf Presiden Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Pemerintah Provinsi Jawa Barat Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat Pemerintah Provinsi Sumatera Barat Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur Pemerintah Kota Kupang Pemerintah Kota Bukittinggi Pemerintah Kota Bandung Pemerintah Kabupaten Sanggau TNI dan POLRI Kabupaten Sanggau Bank Dunia KOMPAK PUSKAPA UI SMERU Research Institute MAHKOTA



Direktorat Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Soisal Kedeputian Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kementerian PPN/Bappenas