Metod Kuali-Kerangka Filosofis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KERANGKA FILOSOFIS, PARADIGMA, DAN INTERPRETASI



Makalah Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi Penelitian Kualitatif Yang diampuh oleh Dr. Erry Hidayanto, M.Si



Oleh : Anton Budi Jatmiko 172103856105 Laila Rahmawati 172103856035 Ratna Nurul Wardani 172103856001



UNIVERSITAS NEGERI MALANG PASCASARJANA PENDIDIKAN DASAR JANUARI 2018



Kata Pengantar Puji beserta syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah Metodologi Penelitian Kualitatif dengan judul ” Kerangka Filosofis, Paradigma, Dan Interpretasi” ini tepat pada waktunya. Shalawat beriringan salam penulis do’akan kepada Allah SWT agar senantiasa tercurahkan buat tambatan hati pautan cinta kasih yakninya Nabi Muhammad SAW. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan makalah ini secara umumnya Penulis menyadari dalam peyusunan makalah ini banyak terdapat kekurangan karena penulis masih dalam tahap pembelajaran. Namun, penulis tetap berharap agar makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Kritik dan saran dari penulisan makalah ini sangat penulis harapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan pada makalah penulis berikutnya. Untuk itu penulis ucapkan terima kasih. Malang, 5 Februari 2017



Penulis



Proses perencanaan penelitian dalam penelitian kualitatif dimulai dari sebuah asumsi oleh para penulisnya dalam melakukan studi kualitatif. Sebagai tambahan, peneliti membawa pandangan dunia, kesetiaan atau kepercayaan mereka sendiri pada penelitiannya, dan ini menginformasikan penelitian dan penulisan studi kualitatif. Selanjutnya, dalam banyak pendekatan terhadap penelitian kualitatif, peneliti juga menggunakan kerangka kerja interpretatif dan teoritis untuk membentuk studi lebih lanjut. Penelitian yang baik memerlukan asumsi, paradigma dan kerangka kerja eksplisit dalam penulisan sebuah penelitian dan setidaknya untuk menyadari bahwa dari hal ini mempengaruhi perilaku penyelidikan. Tujuan dari bab ini adalah untuk membuat ekspresit asumsi yang dibuat ketika seseorang memilih untuk melakukan penelitian kualitatif, pandangan dunia atau paradigma yang tersedia dalam penelitian kualitatif dan beragam kerangka interpretif dan teoritis yang membentuk isi proyek kualitatif. Lima asumsi filosofi yang mengarah pada pilihan individu penelitian kualitatif: ontologi, epistimologi, aksiologi, retorika dan asumsi metodologis. Penelitian kualitatif memilih sikap pada masing-masing asumsi ini, dan pilihannya memiliki implikasi praktis untuk merancang dan melakukan penelitian. Meski paradigma penelitian terus berkembang, empat akan mewakili kepercayaan peneliti yang dibawa pada penelitian kualitatif: postpositivisme, kontruktivisme, advokasi/ partisipatif, da pragmatisme. Masing-masing mewakili paradigma yang berbeda untuk membuat klaim tentang pengetahuan dan karakteristik dari masing-masing berbeda. Kemudian, praktik penelitian diinformasikan. Akibatnya, bab ini akan membahas kerangka teoritis, kuminitas interpretatif yang telah dikembangkan dalam penelitian kualitatif yang menginformasikan prosedur penelitian yang spesifik. Beberapa kerangka teoritis ini yang akan dibahas: teori postmodern, penelitian feminis, teori kritis dan teori ras kritis, teori aneh, dan kecacatan. Ketiga unsur yang akan dibahas atas asumsi, paradigma, dan kerangkan interprestasi saling berkaitan dan saling menguatkan. Untuk keperluan diskusi, maka akan dibahas secara terpisah.



Pertanyaan untuk Diskusi 



Ketika peneliti kualitatif memilih studi kualitatif, asumsi filosofi apa yang implisit diakui?







Bagaimana ketika peneliti kualitatif membawa kepercayaan terhadap sikap paradigma alternatif kualitatif yang kemungkina akan mereka gunakan?







Ketika peneliti kualitatif memilih kerangka kerja sebagai lensa untuk studi mereka, kerangka interpretif atau teoritis apa yang mungkin mereka gunakan?







Dalam praktik merancang atau melakukan penelitian kualitatif , bagaimana asumsi, paradigma, dan kerangka kerja teoritis dan interpretatif yang digunakan?



Asumsi Filosofi Dalam memilih penelitian kualitatif, inquirer membuat asumsi tertentu. Asumsi filosofis ini terdiri dari sikap terhadap sikap kenyataan yang ia ketahui (epistemologi), peran nilai dalam penelitian (aksiologi), bahasa penelitian (retorika), dan metode yang digunakan dalam proses (metodologi) (Cerswell,2003). Asumsi ini ditunjukan pada tabel 2.1, diadaptasi dari “aksiomatis” yang diajukan oleh Guba dan Lincoln (1998). Namun, diskusi saya berangkat dari tiga cara analisis. Saya tidak membandingkan asumsi kualitatif atau naturalistik dengan asumsi konvensional atau positif seperti yang mereka lakukan, mengakui bahwa penelitian kualitatif saat ini sesuai dengan keperluan, saya menambahkan salah satu masalah sendiri, yaitu retorik mengakui bahwa seseorang perlu memperhatikan bahasa dan persyaratan penyelidikan kualitati. Akhirnya, pembelajaran dahulu berimplikasi dari sebuah asumsi yang menjebatani filsafat dan praktik. Isu onotologis berkaitan dengan sifat realistis dan karakteristik. Ketika peneliti melakukan penelitian kualitatif, mereka menganut gagasan tentang beberapa realitas. Penelitian yang berbeda, seperti Tabel 2.1 Asumsi filosofi dengan implikasi untuk latihan Asumsi



Pertanyaan



Karakteristik



Implikasi untuk latihan (contoh)



Ontologis



Apa sifat dari realitas?



Kenyataannya subjektif dan banyak, seperti yang terlihat oleh peserta dalam penelitian



Penelitian menggunakan kutipan dan tema dalam kata-kata dan memberikan perspektif yang berbeda.



Epistimologis



Apa hubungan peneliti dan yang sedang diteliti?



Peneliti mencoba mengurangi jarak antara dirinya dan yang diteliti itu sendiri.



Penelitian bekerja sama, menghabiskan waktu dengan peserta bidang dan menjadi “didalamnya”



Aksiologis



Apa peran nilai?



Penelitian mengakui bahwa penelitian bernilai serat dan berakibat.



Penelitian secara terbuka membahas narasi dan mencakup interprestasi sendiri bersama dengan interprestasi lain.



Retoris



Apa bahasa dalam penelitian?



Penelitian menulis dengan bahasa sastra dan informal dengan menggunakan bahasa pribadi dan menggunakan



Penelitian menggunakan bahasa narasi yang menarik, dapat menggunakan kata ganti orang pertama, dan menggunakan bahasa penelitian kualitatif.



istilah kualitatif dan definisi terbatas. Metodologis



Apa proses dalam penelitian?



Penelitian menggunakan logika induktif, mempelajari topik dalam konteks dan menggunakan desain yang baru muncul.



Penelitian bekerja dengan rinci (detail) sebelum generalisasi, menjelaskan secara konteks dan terus merevisi pertanyaan dari pengalaman di lapangan.



Lakukan juga individu yang sedang belajar dan membaca sebuah pelajaran kualitatif. Pembelajaran individual, peneliti kualitatif melakukan penelitian dengan maksud melaporkan sebuah kenyataan. Bukti dari kenyataan mencakup beberapa kutipan berdasarkan kata aktual individu yang berbeda dan menyajikan perspektif yang berbeda dari individu. Ketika penulis melakukan kompilasi fenomologi, mereka melaporkan bagaimana individu bisa berpartisipasi di dalam studi yang memandang sebuah pengalaman yang berbeda (Moustakas, 1994). Dengan asumsi epistemologis, penelitian dalam melakukan penelitian kualitatif berusaha sedekat mungkin dengan objek yang diteliti. Dalam praktiknya, peneliti kualitatif melakukan studi mereka “lapangan”, dimana para peserta tinggal dan bekerja sehingga akan lebih memahami apa yang dilakukan oleh yang diteliti. Peneliti yang lebih lama tinggal “lapangan” atau mengenal para objek yang ditelitinya akan langsung mengetahui informasi secara langsung. Etnografi yang baik memerlukan waktu yang lama dalam penelitian (Wolcott, 1999) Singkatnya, peneliti mencoba memperkecil pemisah antara jarak dan tujuan (Guba & Lincoln, 1988, p.94) antara dirinya dan orang-orang yang ia teliti. Semua peneliti membawa nilai pada sebuah penelitian, namun para peneliti kualitatif ingin membuat eksplisit dari nilai-nilai tersebut. Nilailah asumsi aksiologis yang menjadi ciri dari penelitian kualitatif. Bagaimana peneliti menerapkan asumsi ini dalam sebuah praktik? Dalam sebuah penelitian kualitatif, para inquirer mengakui studi serat akan nilai dan pasti akan berisi mengenai nilai informasiyang dikumpulkan di lapangan. Kami mengatakan bahwa “posisi diri”di dalam penelitian. Dalam sebuah biografif interpretatif, misalnya kehadiran peneliti tampak jelas di dalam hasil tulisannya dan penulis mengakui bahwa tulisannya berisikan penafsiran dan penyajian sesuai dengan subjek yang dipelajari (Denzin, 1989a). Periset terkenal memberikan label dan mana untuk metode kualitatif (KoroLjungberg & Greckhamer, 2005). Penelitian kualitatif yang terus menerus berubah dari waktu ke waktu, peneliti kualitatif cendrung tulisannya ke arah pribadi dan sastra. Misalnya, mereka menggunakan metafora, mereka mengacu pada diri mereka sendiri menggunakan kata ganti orang pertama “ Saya” dan mereka menceritakan semua dari awal, tengah dan akhir, kadang-kadang dibuat secara kronologis, seperti dalam penelitian naratif (Clandinin & Connelly, 2000). alih-alih menggunakan istilah



kuantitaif seperti validasi internal, validitas eksternal, generalisasi dan objektivitas. Penelitian kualitatif menulis sebuah studi kasus dapat menggunakan persyarata seperti kredibilitas, transferabilitas, ketergantungan dan konfirmabilitas (Lincoln & Guba, 1985) atau validasi (Angen, 2000) serat generalisasi naturalistik (Stake, 1995). Katakata seperti pengertian, penemuan dan makna merupakan daftar istilah-istilah yang muncul dalam kualitatif (lihat Schwandr, 2001) dan merupakan penanda retoris yang penting dalam menulis pertanyaan tujuan dan pertanyaan penelitian (seperti yang akan dibahas nanti). Bahasa penelitian kualitatif menjadi pribadi, sastra dan berdasarkan definisi yang berkembang selama studi yang ditentukan oleh peneliti. Jarang sekali orang melihat “definisi istilah” yang luas di dalam kualitatif, karena itulah didefinisikan oleh perserta sangat penting. Prosedur penelitian kualitatif, atau metodologinya, dicirikan sebagai induktif, terlihat, dan dibentuk oleh penelitian dalam mengumpulkan dan menganalisis data. Logika yang dilakukan dalam kualitatif adalah induktif, dari umum kekhusus, bukan sepenuhnya berasal dari teori atau dari perspektif inquirer. Terkadang pertanyaan penelitian lebih menceriminkan jelas tentang pertanyaan yang mengenai masalah penelitian. Sebagai tanggapan, startegi pengumpulan data, yang direncanakan sebelum studi diubah menjadi pertanyaan baru. Selama analisis data, peneliti mengikuti jalur analisis data yang menggambarkan pengetahuan yang rinci tentang topik yang sedang diteliti.



Paragdima atau Pandangan Dunia Asumsi tersebut mencerminkan sikap tertentu yang peneliti buat saat memilih kualitatif. Setelah peneliti membuat pilihan, peneliti kemudian membawa penelitiannya lebih lanjut ke paradigma penyelidikan atau pandangan dunia. Paradigma atau pandangan dunia adalah “dasar dari keyakinan yang membawa pada suatu tindakan” (Guba, 1990, p.17), Keyakinan ini disebut paradigma (Lincoln 8c Guba, 2000, Mertens, 1998); asumsi filosofis, epistemologi dan ontologi (Crotty, 1998); metodologi penelitian yang dipahami secara luas (Neuman, 2000); dan alternatif pengetahuan (Creswell, 2003). penggunaan paradigma untuk penelitian kualitatif dengan keyakinan yang mereka hadapi, dan jenisnya terus berkembang dari waktu ke waktu (bandingkan paradigma Denzin dan Lincoln, 1994, dengan paradigma Denzin dan Lincoln, 2005). individu juga dapat menggunakan banyak paradigma dalam penelitian kualitatif, seperti pandangan dunia mengenai kontruksi dan partisipatif (lihat Denzin & Lincoln, 2005). Dalam diskusi ini, saya fokus pada empat pandangan dunia yang menginformasikan mengenai penelitian kualitatif dan mengidentifikasi pandangan dunia membentuk praktik penelitian. Keempatnya adalah postpositivisme, kontruktivisme, advokasi, partisipatif dan pragatisme (Creswell, 2003). Akan membantu melihat wlwmwn utama dari paradigma dan bagaimana cara mereka menginformasikan praktik penelitian secara berbeda.



Postpositivisme Mereka yang melakukan penelitian kualitatif menggunakan sistem kepercayaan yang didasarkan pada postpositivisme akan mengambil pendekatan ilmiah untuk penelitian. Pendekatan ini memiliki unsur-unsur yang bersifat reduksionis, logis, penekanan pada pengumpulan data empiris, berorientasi pada sebab dan determinasi, dan determinasi berdasarkan teori. Kita dapat melihat pendekatan di tempat kerja di antara individu-individu dengan pelatihan penelitian kualitatif sebelumnya, dan dibidang-bidang ilmu kesehatan dimana penelitian kualitatif adalah pendekatan baruuntuk penelitidan harus ditulis dalam kaitannya dengan kuantitatif dan pendanaan (misalnya, penggunaan teori; lihat Barbour, 2000). Gambaran yang bagus tentang postpositivime tersedia di Phillps dan Burbules (2000). Dalam hal praktik, postpositivisme di dalam penelitian akan melihat serangkaian penemuan yang logis, mempercayai perspektif dalam suatu kebenaran, dan didukung oleh metode kualitatif dalam pengumpulan data dan analisis. Mereka akan menggunakan tingkat analisis data yang teliti dengan menggunakan program komputer untuk membantu dalam menganalisis, menggunakan pendekatan validitas, dan penulisan peneliti kualitatif dalam bentuk laporan ilmiah, dengan struktur menyerupai pendekatan kualitatif (misalnya permasalahan, pertanyaan, pengumpulan data, hasil, kesimpulan). Pendekatan pada penelitian kualitatif telah diidentifikasi sebagai milik orang lain (Denzim & Lincoln, 2005), sebagai pemiliki pendekatan lainnya (misalnya, Taylor & Bogdan, 1998). Saya cendrung menggunakan sistem kepercayaan, meskipun saya tidak mencirikan semua penelitian sebagai bentuk dari postpositivisme kualitatif (misalnya lihat konstruksi pendekatan McVea, Harter, McEnterfeer, dan Creswell, 1999, dan perspektif sosial di Miller dan Creswell, 1998). dalam diskusi terdapat lima pendekatan, sebagai contoh, saya menekankan sistem mengenai prosedur di Strauss dan Corbin (1990), analitik langkah-langkah di fenomenologi (Moustakas, 1994), dan strategi alternatif analisis Yin (2003).



Kontruktivisme Sosial Kontruktivisme sosial (yang sering dikombinasikan dengan interpretivisme; lihat Mertens, 1998) adalah padangan dunia yang lain. Pandangan dunia ini, individu mencari pemahaman tentang dunia tempat mereka tinggal dan bekerja. Mereka mengembangkan makna subjektif dari pengalaman yang diarahkan pada objek atau benda tertentu. Makna disini maksudnya banyak mengarahkan peneliti untuk mencari komplektivitas pandangan daripada mempersempit maksud menjadi beberapa kategori atau gagasan. Oleh karena itu, tujuan penelitian adalah mengandalkan sebanyak mungkin pandangan peserta terhadap situasinya. Seringkali Makna subjektif dinegosiasikan secara sosial dan historis. Dengan kata lain, kata-kata itu hanya tercetak pada individu tetapi dibentuk melalui interaksi 'dengan orang lain (karenanya konstruktivisme sosial) dan melalui norma historis dan budaya yang beroperasi dalam kehidupan individu. Daripada memulai dengan teori (seperti dalam postpositivisme), inquirer menghasilkan atau menginduksi teori atau pola makna secara induktif. Contoh penulis baru-baru ini yang telah meringkas posisi ini adalah Crotty (1998), Lincoln dan Guba (2000), Schwandt (2001), dan Neuman (2000).



Dari segi praktiknya, pertanyaan menjadi luas dan umum sehingga peserta dapat menyusun makna dari suatu situasi, suatu makna yang biasanya terbentuk dalam diskusi atau interaksi dengan orang lain. Semakin terbuka pertanyaan, semakin baik, karena peneliti mendengarkan dengan seksama apa yang orang katakan atau lakukan dalam kehidupan mereka. Dengan demikian, peneliti Konstruktivis sering membahas "proses" interaksi di antara Individu. Mereka juga berfokus pada konteks spesifik di mana orang tinggal dan bekerja untuk memahami pengaturan historis dan budaya para peserta. Peneliti menyadari bahwa latar belakang mereka sendiri membentuk interpretasi mereka, dan mereka "memposisikan diri mereka" dalam penelitian untuk mengetahui bagaimana interpretasi mereka mengalir dari pengalaman pribadi, budaya, dan sejarah mereka sendiri. Dengan demikian peneliti membuat interpretasi dari apa yang mereka temukan, sebuah interpretasi yang dibentuk oleh pengalaman dan latar belakang mereka sendiri. Tujuan peneliti, kemudian, adalah untuk memaknai (atau menafsirkan) makna yang dimiliki orang lain tentang dunia. Inilah sebabnya mengapa penelitian kualitatif sering disebut penelitian "interpretif". Dalam diskusi di sini dari kelima pendekatan ini, kita akan melihat pandangan dunia konstruktivis yang terwujud dalam studi fenomenologis, di mana individu menggambarkan pengalaman mereka (Moustakas, 1994), dan dalam perspektif teori yang didasarkan pada Charmaz (2006), di mana dia mendasarkan teorinya orientasi dalam pandangan atau perspektif individu.



Advokasi / Partisipatif Periset mungkin menggunakan pandangan dunia alternatif, advokasi / partisipatif, karena postpositivist menerapkan hukum dan teori struktural yang tidak sesuai dengan individu atau kelompok yang terpinggirkan dan para konstruktivis tidak berjalan cukup jauh dalam mengadvokasi tindakan untuk membantu individu. Prinsip dasar dari pandangan dunia ini adalah bahwa penelitian harus berisi agenda tindakan untuk reformasi yang dapat mengubah kehidupan para peserta, institusi tempat mereka tinggal dan bekerja, atau bahkan kehidupan para periset. Isu yang dihadapi kelompok terpinggirkan ini sangat penting untuk dipelajari, isu-isu seperti penindasan, dominasi, penindasan, keterasingan, dan hegemoni. Karena masalah ini dipelajari dan terpapar, para peneliti memberikan suara untuk para peserta ini, meningkatkan kesadaran dan memperbaiki kehidupan mereka. Kemmis dan Wilkinson (1998) merangkum fitur utama praktik advokasi / partisipatif: 







Aksi partisipatoris bersifat rekursif atau dialektis dan berfokus untuk menghasilkan perubahan dalam praktik. Maka dari itu, dalam studi riset aksi partisipatoris, para peneliti mengajukan sebuah agenda aksi untuk perubahan. Berfokus untuk membantu para individu untuk membebaskan diri mereka dari berbagai penghalang yang terdapat dalam media, bahasa, prosedur kerja, dan dalam hubungannya dengan kekuasaan dalam lingkungan pendidikan. Studi partisipatoris seringkali dimulai dengan isu











penting tentang permasalahan dalam masyarakat, misalnya kebutuhan akan pemberdayaan. Ini emansipatoris karena membantu membebaskan orang dari kendala irasional dan struktur yang tidak adil yang membatasi pengembangan diri dan penentuan nasib sendiri. Tujuan penelitian advokasi / partisipatif adalah untuk menciptakan debat dan diskusi politik sehingga perubahan akan terjadi. Ini praktis dan kolaboratif karena penyelidikan selesai "dengan" yang lain daripada ~ 'pada "atau" kepada "orang lain. Dalam semangat ini, penulis advokasi / partisipatif melibatkan peserta sebagai kolaborator aktif dalam pertanyaan mereka.



Peneliti lain yang merangkul pandangan dunia ini adalah Fay (1987) dan Heron and Reason (1997). Dalam prakteknya, pandangan dunia ini telah membentuk beberapa pendekatan dalam penelitian. Masalah sosial tertentu (mis., Dominasi, penindasan, ketidaksetaraan) membantu mengorganisasikan pertanyaan penelitian. Tidak ingin memperparah ketersingkiran individu yang berpartisipasi dalam penelitian ini, advokasi / partisipatif inquirer berkolaborasi dengan peserta penelitian. Mereka mungkin meminta peserta untuk membantu merancang pertanyaan, mengumpulkan data, menganalisisnya, dan membentuk laporan akhir dari penelitian ini. Dengan cara ini, "suara" para peserta terdengar sepanjang proses penelitian. Penelitian ini juga berisi agenda aksi untuk reformasi, sebuah rencana khusus untuk mengatasi ketidakadilan kelompok marjinal. Praktik ini akan terlihat dalam pendekatan etnografi terhadap penelitian yang ditemukan di Denzin dan Lincoln (2005) dan dalam nada advokasi beberapa bentuk penelitian naratif (Angrosino, 1994).



Pragmatisme Ada banyak bentuk pragmatisme. Individu yang memegang pandangan dunia ini berfokus pada hasil penelitian - tindakan, situasi, dan konsekuensi penyelidikan - dan bukan kondisi pendahulunya (seperti dalam postpositivisme). Ada kekhawatiran dengan aplikasi - "apa yang berhasil" - dan solusi untuk masalah (Patton, 1990). Jadi, alih-alih berfokus pada metode, aspek penting penelitian adalah masalah yang diteliti dan pertanyaan yang diajukan mengenai masalah ini (lihat Rossman & Wilson, 1985). cherryholmes (1992) dan Murphy (1990) memberikan arahan untuk gagasan dasar:  







Pragmatisme tidak berkomitmen pada sistem filosofi dan realitas siapa pun. Peneliti individu memiliki kebebasan memilih. Mereka "bebas" untuk memilih metode, teknik, dan prosedur penelitian yang paling sesuai dengan kebutuhan dan tujuan. Pragmatis tidak melihat dunia sebagai kesatuan mutlak. Dengan cara yang sama, metode campuran peneliti melihat banyak pendekatan untuk mengumpulkan dan menganalisis data daripada hanya berlangganan satu arah (misalnya, kuantitatif atau kualitatif).







  







Kebenaran adalah apa yang bekerja pada saat itu; Hal ini tidak didasarkan pada dualisme antara realitas yang terlepas dari pikiran atau realitas yang ada dalam pikiran. Peneliti pragmatis melihat "apa dan (bagaimana saya) untuk meneliti berdasarkan konsekuensinya - di mana mereka ingin melakukannya. Pragmatis setuju bahwa penelitian selalu terjadi dalam konteks sosial, sejarah, politik, dan konteks lainnya. Pragmatis percaya pada dunia luar yang bebas dari pengaruh terhadap pikiran dan juga adanya dunia dalam pikiran. mereka percaya (Cherryholmes, 1992) bahwa kita perlu berhenti mengajukan pertanyaan tentang realitas dan hukum alam. Penulis yang merangkul pandangan dunia ini termasuk Rorty (1990), Murphy (1990), Patton (1990), Cherryholmes (1992), dan Tashakkori dan Teddlie (2003).



Dalam praktiknya, individu yang menggunakan pandangan dunia ini akan menggunakan beberapa metode pengumpulan data untuk menjawab pertanyaan penelitian dengan lebih baik, akan menggunakan sumber data kuantitatif dan kualitatif, akan berfokus pada implikasi praktis dari penelitian ini, dan akan menekankan pentingnya melakukan penelitian yang paling baik membahas masalah penelitian. Dalam diskusi di sini mengenai lima pendekatan untuk penelitian, Anda akan melihat pandangan dunia ini saat bekerja ketika para etnografer menggunakan survei kuantitatif (misalnya survei) dan pengumpulan data kualitatif (LeCompte & Schensul, 1999) dan ketika peneliti kasus menggunakan data kuantitatif dan kualitatif. (Luck, Jackson, & Usher, 2006; Yin, 2003).



Komunitas Interpretasi Beroperasi pada tingkat yang kurang filosofis adalah berbagai komunitas interpretif bagi peneliti kualitatif (Denzin & Lincoln, 2005). Setiap komunitas yang disebutkan di bawah ini adalah sebuah komunitas dengan kumpulan sastra dan isu diskusi yang unik. Ruang tidak mengizinkan keadilan di sini sampai pada ruang lingkup dan isu yang diangkat oleh komunitas penafsir. Namun, di akhir bab ini, saya memajukan beberapa bacaan yang dapat memperluas dan menyelidiki secara lebih rinci sikap masyarakat penafsir. Juga, sepanjang pendekatan penelitian kualitatif yang dibahas dalam buku ini, saya akan membahas: prosedur penelitian dan artikel jurnal khusus yang menggunakan pendekatan mterpretif. Fokus kami dalam diskusi ini adalah bagaimana lensa interpretif mempengaruhi proses penelitian yang melibatkan komunitas penafsir yang berbeda. Meskipun peneliti kualitatif menggunakan teori ilmu sosial untuk membingkai lensa teoretis mereka dalam studi, seperti penggunaan teoriteori ini dalam etnografi (lihat Bab 4), diskusi kita akan terbatas pada lensa interpretatif yang terkait dengan masalah dan isu-isu soeietal yang mempengaruhi kelompok terpinggirkan atau kurang terwakili. Diantara interpretasi adalah postmodern perspective, teori feminis, teori kritis dan ras kritis, Teori Queer, dan Teori Disabilitas



Postmodern Perspectives Thomas (1993) menyebut para postmodernis sebagai para “radikal kursi-malas” (hlm 23) yang lebih memfokuskan kritik-kritik mereka pada perubahan cara berpikir daripada seruan bagi aksi berdasarkan berbagai perubahan ini. Postmodernisme adalah sekumpulan teori dan perspektif yang memiliki sejumlah kesamaan (Slife & William, 1995). Konsep dasarnya adalah berbagai klaim pengetahuan harus disusun dalam konteks kondisi duania saat itu dan dalam beragam perspektif dari afiliasi kelas, ras, gender dan lain-lain.



Teori Feminis Feminisme mengacu pada orientasi teoritis dan pragmatis yang berbeda, konteks nasional yang berbeda, dan perkembangan dinamis (Olesen, 2005). Pendekatan penelitian feminis berpusat pada beragam situasi perempuan yang problematis dan institusi yang membingkai situasi tersebut. Topik penelitian mungkin mencakup isuisu kebijakan yang terkait dengan mewujudkan keadilan sosial bagi perempuan dalam konteks dan pengetahuan spesifik tentang situasi opresif bagi perempuan (Olesen, 2005). Tema dominasi juga ada dalam literatur feminis, namun pokok bahasannya adalah dominasi gender dalam masyarakat patriarki. Penelitian feminis juga mencakup banyak ajaran kritik postmodern sebagai tantangan bagi masyarakat saat ini. Dalam pendekatan penelitian feminis, tujuannya adalah untuk membangun hubungan kolaboratif dan nonexploitative, menempatkan peneliti dalam penelitian ini sehingga dapat menghindari objektivitas, dan melakukan penelitian yang bersifat transformatif. Ini adalah bidang penyelidikan yang kompleks, dengan banyak kerangka kerja (misalnya orientasi pria berorientasi laki-laki, berorientasi feminisme putih, berorientasi pada wanita lajang) dan masalah yang sulit (misalnya, tidak adanya dan tidak terlihatnya wanita, yang dapat menjadi "pengetahu") (Olesen, 2005) .



Teori Kritis dan Teori Ras Kritis Perspektif teori kritis menekankan peran manusia dalam melampaui kendalakendala mereka atas ras, kelas dan gender (Fay,1987). Peneliti ingin mengakui kekuatan mereka, mengikutsertakan dialog, dan menggunakan teori untuk menginterpretasi ataumenjelaskan perilaku sosial (Madison,2005). Tema sentral pencarian peneliti kritis adalah studi ilmiah tentang institusi sosial dan transformasinya melalui interpretasi makna kehidupan sosial, persoalan sejarah dari dominasi, keterasingan, perjuangan sosial, kritik atas masyarakat, dan penggambaran kemungkinan-kemungkinan baru (Fay,1987;Morrow and Brown,1994). Dalam penelitian, teori kritis dapat menjadi “didefinisikan oleh konfigurasi tertentu dari postur metodologi yang dirangkulnya.” Peneliti kritis mungkin merancang, sebagai contoh, suatu studi etnografi untuk melingkupi perubahan yang dipikirkan masyarakat, menantang masyarakat untuk terlibat, membentuk jejaring



kerja, menjadi aktivis, kelompok yang berorientasi pada tindakan, atau menantang individu menguji kondisi keberadaan mereka (Madison 2005, Thomas,1993). Tujuan studi mungkin berupa teorisasi sosial, yang didefinisikan Morrow dan Brown (1994) “keinginan untuk memahami, dan dalam banyak kasus, mentransformasikan (melalui praksis) tatanan yang mendasari kehidupan sosial – suatu hubungan sosial yang secara sistmetis membentuk masyarakat.” Teori Ras kritis memfokuskan perhatian pada isu-isu ras dan bagaimana tindakan rasis secara mendalam tertanam dalam kerangka kerja masyarakat Amerika (Parker dan Lynn,2002). Rasisme secara langsung membentuk sistem hukum Amerika Serikat dan cara masyarakat berpikir tentang hukum, kategori ras dan hakhak istimewa (Harris,1993). Menurut Parker dan Lynn (2002), teori kritis ras memiliki tiga tujuan. Tujuan pertama adalah menyajikan kisah tentang diskriminasi yang bersumber perspektif masyarakat tentang warna. Ini adalah studi kasus dengan diskripsi dan wawancara. Kasus kemudian dilukiskan bersama untuk membangun kasus perlawanan atas bias rasial yang resmi dan praktek-praktek diskriminasi. Tujuan kedua adalah pemberantasan penaklukan ras seraya secara simultan mengenali bahwa ras adalah konstruksi sosial (Parker dan Lynn,2002). Dalam pandangan ini, ras bukanlah isu pada suatu waktu tertentu, tetapi sesuatu yang mencair dan terus dibentuk oleh tekanan politik dan diinformasikan oleh pengalaman hidup individu. Tujuan terakhir teori ini dialamatkan pada area yang lain dari perbedaan seperti gender, kelas, dan bermacam pengalaman ketidaksetaraan individu. Sebagaimana komentar Parker dan Lynn (2002) :”dalam kasus wanita kulit hitam, ras tidaklah hadir di luar gender, dan gender tidak juga hadir di luar ras.” Dalam penelitian, penggunaan metodologi ras kritis bermakna peneliti mengedepankan ras dan tindakan rasial dalam semua aspek dari proses penelitian, menantang paradigma penelitian tradisional, teks dan teori-teori yang digunakan untuk menjelaskan pengalaman manusia atas warna, mengajukan solusi transformatif atas tindakan rasial, gender, dan subordinasi kelas dalam societal dan struktur kelembagaan masyarakat.



Teori Queer Teori queer ditandai oleh suatu varietas metode dan strategi hubungan antara identitas individu (Watson,2005). Sebagai suatu kajian yang terus berkembang ia menyelidiki banyak sekali kompleksitas konstuksi, identitas, dan bagimana identitas meniru dan menampil dalam forum-forum kemasyarakatan. Para penulis seringkali menggunakan orientasi post-modern atau post-stuktural untuk mengkritisi atau merancang ulang teori dominan (suatu dekonstruksi radikal:Plummer,2005 h.359) yang berhubungan dengan identitas (Watson,2005). Mereka memfokuskan diri pada bagaimana hal ini dibentuk secara budaya dan sejarah, dihubungkan dengan diskursus, dan saling tumpang tindih dengan gender dan seksualitas. Penggunaan terminologi “teori queer” itu sendiri daripada istilah teori gay, lesbian atau homoseksual memungkinkan untuk menjaga tetap terbukanya pertanyaan pada elemen-elemen ras, kelas, usia dan hal lainnya (Turner, 2000). Kebanyakan teoritis queer bekerja untuk menantang dan melemahkan identitas sebagai sesuatu tunggal,



tetap dan normal (Watson,2005). Mereka juga berupaya menantang proses kategorisasi dan dekonstruksi, daripada perhatian pada populasi spesifik. Plummer (2005) menyediakan suatu gambaran singkat dari ciri teori queer yang meliputi (a) baik penantangan biner homoseksual maupun heteroseksual dan pembelahan seks maupun gender, (b) pemusatan ulang individu, (c) semua kategori seksual (lesbian, gay, biseksual dan transgender), (d) kritisasi mainstream homoseksual. Teori disabilitas Penyelidikan kecacatan membahas arti inklusi di sekolah dan mencakup administrator, guru, dan orang tua yang memiliki anak cacat (Mertens, 1998). Mertens menceritakan bagaimana cacatnya, lengkungan telah bergerak melalui tahap perkembangan, dari model medis kecacatan (penyakit dan peran komunitas medis dalam mengancamnya) terhadap respons lingkungan terhadap individu penyandang cacat. Kini, peneliti lebih memfokuskan pada kecacatan sebagai dimensi perbedaan manusia dan bukan sebagai cacat. Sebagai perbedaan manusia, artinya berasal dari konstruksi sosial (yaitu, respon masyarakat terhadap individu) dan hanya satu dimensi perbedaan manusia (Mertens, 2003). Melihat individu penyandang cacat berbeda dalam proses penelitian, seperti jenis pertanyaan yang diajukan, label yang diberikan pada individu-individu ini, pertimbangan bagaimana pengumpulan data akan menguntungkan masyarakat, kesesuaian metode komunikasi, dan bagaimana data dilaporkan dengan cara yang menghormati sebuah kekuatan hubungan