Mini CX Anestesi Tiroidektomi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

I.



A.



LAPORAN KASUS



Identitas 1.



Nama



: Ny. R



2.



Umur



: 50 tahun



3.



Jenis Kelamin



: Perempuan



4.



Agama



: Islam



5.



Suku Bangsa



: Jawa



6.



Pekerjaan



: Ibu Rumah Tangga



7.



Pendidikan



: SMA



8.



Alamat



: Desa Pegiringan RT 09/I Kecamatan Bantarbolang, Pemalang



B.



9.



Status



: Menikah



10.



DPJP Anestesi



: dr. Aunur Rofiq, Sp. An



11.



No. CM



: 02009709



12.



Tanggal masuk RSMS



: 12 Agustus 2017



13.



Tanggal Operasi



: 15 Agustus 2017



Anamnesis Hasil pemeriksaan fisik tanggal 12 Agustus 2017 di klinik bedah onkologi RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto. 1.



Keluhan Utama



: Terdapat benjolan pada leher yang menyebabkan rasa tidak nyaman, benjolan dirasakan tidak nyeri



2.



Keluhan Tambahan



: Kesemutan pada tangan dan kaki



3.



Riwayat Penyakit Sekarang



:



Pasien baru rujukan dari RS Siaga Medika Pekalongan datang ke klinik bedah onkologi RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo pada tanggal 12 Agustus 2017 dengan keluhan terdapat benjolan di leher. Pasien menyangkal terdapat benjolan lain selain di leher. Pasien tidak merasakan terdapat benjolan pada dada, ketiak, perut, paha, atau



selangkangan. Keluhan lain seperti batuk, sesak napas, sulit menelan, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, gangguan pembauan, gangguan BAK serta gangguan BAB disangkal oleh pasien. 4.



Riwayat Penyakit Dahulu



:



HT (+), DM (-), Alergi (-), Asma (-), GGK (-), Penyakit Jantung (-), Maag (-), Riwayat Operasi (-) 5.



Riwayat Penyakit Keluarga



:



HT (-), DM (-), Alergi (-), Asma (-)



C.



Pemeriksaan Fisik Hasil pemeriksaan fisik tanggal 12 Agustus 2017 di klinik bedah onkologi RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto 1.



Keadaan Umum



: Baik



2.



Kesadaran



: Compos Mentis



3.



GCS



: E4V5M6



4.



Tanda Vital



5.



6.



a.



TD



: 182/104 mmHg



b.



Nadi



: 69 x/menit



c.



RR



: 21 x/menit



d.



Suhu



: 36,0 derajat celcius



Pemeriksaan Antropometri a.



BB



: 82 kg



b.



TB



: 158 cm



c.



IMT



: 32,8 kg/m2 (obesitas)



Status Generalis a.



Kepala



: mesocephal



b.



Mata



: CA (-/-), SI (-/-)



c.



Hidung/Telinga



: discharge (-/-), deviasi (-/-), NCH (-)



d.



Mulut



: sianosis (-)



e.



Leher



: terdapat benjolan pada leher



f.



Thorax 1)



Pulmo



: SD vesikuler (+/+) RBH (-/-), RBK (-/-), wheezing (-/-)



2) g.



Jantung



Abdomen



: S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-) : datar, supel, timpani, nyeri tekan (-) hepar tidak teraba, BU (+) normal



7.



h.



Punggung



: dalam batas normal



i.



Coxae



: dalam batas normal



j.



Genitalia Eksterna : dalam batas normal



k.



Ekstremitas : edema superior (-/-), edema inferior (-/-)



l.



Limphonodi : tidak teraba pembesaran



m.



Pemeriksaan Reflek : reflek fisiologis (+), reflek patologis (-)



n.



Pemeriksaan Turgor Kulit : kembali dalam S2 murmur (-) gallop



(-)



reguler,



Abdomen supel datar BU (+) normal timpani NT (-), Ekstremitas akral hangat edema superior (-/-) edema inferior (-/-)



Airway : buka mulut 3 jari, MP IV, TMD 7-8 cm, gigi palsu (-), gigi tanggal (3), gigi goyang (-), massa jalan napas (-), massa leher (+) pembesaran tiroid



Usulan ASA II Selasa, 15 S : Rasa mengganjal pada Tumor Tiroid



Pro Tiroidektomi



Agustus



General Anestesi,



2017 Bangsal



leher,



tangan



sering



di kesemutan O : Baik, CM, TD 180/120,



Bougenvile Nadi



88x/menit,



20x/menit, derajat celcius



Suhu



RR 36,8



F.



Diagnosis Tumor Tiroid



G.



H.



Assesment



: ASA II



Rencana Operasi



: Tiroidektomi



Rencana Anestesi



: General Anestesi



Laporan Durante Operasi 1.



Tanggal operasi



: 15 Agustus 2017



2.



Jam mulai anestesi



: 10.55 WIB



3.



Jam selesai anestesi



: 11.55 WIB



4.



Kondisi prainduksi Kesadaran



: Compos Mentis



GCS



: E4V5M6



Tekanan darah



: 200/100 mmHg



Heart rate



: 80 x/menit



RR



: 12 x/menit



Suhu



: 36,0 derajat celcius



Teknik Anestesi General anestesi Premedikasi



: Ondansentron 4 mg



Preemptive analgesia



: Fentanyl 100 µg



Induksi



: IV Propofol 100 mg



Relaksan



: Rocuronium 20 mg



Maintenance



: Inhalasi isoflurane



Intubasi



: ET Non-Kinking No. 7,0



Breathing System



: Semi-Closed



Respirasi



: Control



Posisi



: Terlentang



Cairan



: HES, RL



I.



Monitoring Durante Operasi 1.



Tekanan darah, SpO2 dan HR



Tabel 1.2. Monitoring TD, SpO2 dan HR



2.



3.



Waktu



TD (mmHg)



SpO2



HR (x/min)



10.55



170/140



100%



100



11.00



175/145



100%



98



11.05



180/130



100%



95



11.10



180/120



100%



84



11.15



210/130



100%



80



11.20



210/110



100%



58



11.25



140/110



100%



66



11.30



150/110



100%



72



11.35



150/100



100%



72



11.40



160/110



100%



68



11.45



145/110



100%



65



11.50



150/90



100%



66



11.55



170/90



100%



65



Obat-obatan yang diberikan a.



Fentanil 100 µg



b.



Propofol 100 mg



c.



Ondansentron 4 mg



d.



Rocuronium 20 mg



e.



Vitamin K 2 x 20 mg



f.



Asam Traneksamat 500 mg



g.



Ketorolac 30 mg



h.



Tramadol 100 mg



Cairan yang diberikan a.



HES 500 ml



b.



RL 1000 ml



4.



Perdarahan 300 cc



5.



Urine Output 250 cc



J.



Terapi Cairan Rumus : Maintenance



= 2 x kgBB/ jam



Pengganti Puasa (PP)



= Puasa (jam) x M



Stres Operasi (SO)



= 6cc/kgBB (operasi sedang)



Jam I



= ½ PP + M + SO



Jam II



= ¼ PP + M + SO



Jam III



= Jam II



Jam IV



= M + SO



30 Menit



= ½ Jam I



EBV



= 70 x BB



Perhitungan (BB= 82 Kg) : Maintenance (M)



= 2 x 82 kg



= 164 cc



Stress Operasi (SO)



= 6 x 82 kg



= 492 cc



Pengganti puasa



= 6 x 164 cc



= 984 cc



EBV



= 70 x BB = 70 x 82 = 5740 cc



Lama Operasi (60 menit) Input Cairan durante operasi Jam I



= ½ PP + M + SO =½ 984 + 164 + 492 = 1148 cc



Output durante operasi Jumlah perdarahan



= 300 cc



Urin output



= 250 cc



Total output durante operasi



= 550 cc



Tabel 1.3. Keseimbangan Cairan Durante Operasi Output Cairan Perdarahan + urin output = 300 + 250 cc Output cairan D.O. = 550cc



Input Cairan Durante operasi = 1500 cc Input cairan D.O. = 1500 cc



Kebutuhan durante operasi 60 menit :1148 cc Total Cairan Output 550 + 1148 cc = 1218 cc Balance Cairan: -198 cc K.



Total Cairan Input 1500 cc = 1500cc



Monitoring di ICU Selasa, 15 Agustus 2017 1.



Subjektif



: nyeri pada luka bekas operasi



2.



Objektif



:



a.



Keadaan Umum



: lemah



b.



GCS



: E4VtM6



c.



Tanda Vital



d.



TD



: 150/76 mmHg



Nadi



: 80 x/ menit



RR



: 16 x/ menit



Suhu



: 36,1 derajat celcius



Status Generalis Kepala Mata



: CA (-/-), SI (-/-)



Hidung



: NCH (-/-), discharge (-/-)



Telinga



: bloody otorea (-/-)



Mulut



: terpasang ET, sianosis (-)



Leher



: terpasang perban, rembes (-) drain (+) produksi 10 cc



Thorax Dinding dada



: simetris, retraksi –



Pulmo



: SD vesikuler (-/-) RBH (-/-) RBK (-/-), wheezing (-/-)



Cor



: S1 > S2, reguler, murmur (-), gallop (-)



Abdomen



: datar, supel, timpani, NT (-), BU (+) normal



Ekstremitas



: edema inferior (-/-), edema superior (-/-), akral hangat



e.



Pemeriksaan Penunjang Darah Lengkap Hemoglobin



: 12,8 g/dL



Leukosit



: 14990 U/L (H)



Hematokrit



: 39 %



Eritrosit



: 4,3 x 106 u/L



Trombosit



: 221.000 u/L



MCV



: 90,6 fL



MCH



: 30,1 pg/cell



MCHC



: 33,2 %



RDW



: 12,5 %



MPV



: 9,2 fL (L)



Hitung Jenis Basofil



: 0,3 %



Eosinofil



: 2,1 %



Batang



: 0,5 % (L)



Segmen



: 77,3 % (H)



Limfosit



: 16,1 % (L)



Monosit



: 3,7 %



Kimia Klinik GDS



: 138 mg/dL



f.



Natrium



: 143 mmol/dL



Kalium



: 3,5 mmol/dL



Klorida



: 110 mmol/dL



Kalsium



: 8,7 mg/dL



Assesment Post Thyroidektomi H+0 atas indikasi tumor tiroid



g.



Planning Injeksi Ceftriaxon 2 x 1 gr Injeksi Ketorolac 3 x 30 mg



h.



Balance cairan Infus Asering 500 cc RL 1000 cc Total Intake = 500 + 1000 = 1500 cc Output Urine 1600 cc Drain 450 cc Total Output = 1600 + 450 cc = 2050 cc Balance Cairan = 1500 cc – 2050 cc = - 550 cc



Rabu, 16 Agustus 2017 1.



Subjektif



: nyeri pada luka bekas operasi



2.



Objektif



:



a.



Keadaan Umum



: lemah



b.



GCS



: E4VtM6



c.



Tanda Vital TD



: 150/74 mmHg



Nadi



: 91 x/ menit



RR



: 17 x/ menit



Suhu



: 37,0 derajat celcius



SpO2



: 100%



d.



Status Generalis Kepala Mata



: CA (-/-), SI (-/-)



Hidung



: NCH (-/-), discharge (-/-)



Telinga



: bloody otorea (-/-)



Mulut



: terpasang ET, sianosis (-)



Leher



: terpasang perban, rembes (-) drain (+) produksi 10 cc



Thorax Dinding dada



: simetris, retraksi –



Pulmo



: SD vesikuler (-/-) RBH (-/-) RBK (-/-), wheezing (-/-)



Cor



: S1 > S2, reguler, murmur (-), gallop (-)



Abdomen



: datar, supel, timpani, NT (-), BU (+) normal



Ekstremitas



: edema inferior (-/-), edema superior (-/-), akral hangat



e.



Assesment Post Thyroidektomi H+1 atas indikasi tumor tiroid



f.



Planning Terapi lanjut Injeksi Ceftriaxon 2 x 1 gr Injeksi Ketorolac 3 x 30 mg Acc pindah ruang rawat



L.



Perkembangan Pasien Post ICU



Tabel 1.4. Perkembangan Pasien Post ICU Hari,



SO



A



P



tanggal Kamis, 17



S : Rasa nyeri di leher Post Tiroidektomi Injeksi ceftriaxon 2 x



Agustus



bekas operasi



2017 di



O : Tampak sakit sedang, indikasi



Bangsal



CM,



TD



170/90,



H



+



2



atas 1 gram, injeksi tumor ketorolac 3 x 30 mg



Nadi tiroid



Bougenvile 88x/menit, RR 20x/ menit, Suhu 36,0 derajat celcius, terdapat luka operasi pada leher tertutup kasa, drain (+), DC (+) Jumat, 18 S : Rasa nyeri di leher Post Tiroidektomi Injeksi ceftriaxon 2 x Agustus 2017 Bangsal



bekas operasi



H



+



3



di O : Tampak sakit sedang, indikasi CM,



TD



180/90,



atas 1 gram, injeksi tumor ketorolac 3 x 30 mg



Nadi tiroid



Bougenvile 84x/menit, RR 20x/ menit, Suhu 36,0 derajat celcius, terdapat luka operasi pada leher tertutup kasa, drain (+), DC (+) Sabtu, 19 S : Rasa nyeri di leher Post Tiroidektomi Rawat luka, aff drain, Agustus 2017 Bangsal



bekas operasi



H



+



di O : Tampak sakit sedang, indikasi CM,



TD



170/90,



Nadi tiroid



Bougenvile 88x/menit, RR 20x/ menit, Suhu 36,0 derajat celcius, terdapat luka operasi pada leher tertutup kasa, drain (+), DC (+)



4



atas Asam Mefenamat 3 x tumor 500 mg, Amoxicilin 3 x 500 mg, rencana pulang hari ini



II.



A.



PEMBAHASAN



Anatomi Kelenjar Tiroid Kelenjar tiroid (Glandula thyroidea) terdiri atas lobus dextra dan sinistra yang dihubungkan oleh isthmus yang sempit. Glandula ini merupakan organ vaskular yang dibungkus oleh selubung. Selubung glandula thyroidea melekatkan glandula pada laring dan trakea (Snell , 2011). Setiap lobus berbentuk seperti buah pir, dengan apeks menghadap ke atas sampai linea obliqus kartilaginis thyroideae; basisnya terletak di bawah setinggi cincin trakea keempat atau kelima. Isthmus glandula thyroidea melintasi garis tengah di depan cincin trakea kedua, ketiga, dan keempat. Pada glandula thyroidea terdapat lobus pyramidalis yang menonjol ke atas dari isthmus (Snell, 2011). Menurut Snell (2011), vaskularisasi, aliran limfa dan inervasi glandula thyroidea adalah sebagai berikut : 1.



2.



Vaskularisasi a.



Arteri thyroidea superior dan inferior



b.



Vena thyroidea superior, medial, dan inferior



Aliran limfa Cairan limfa dari glandula thyroidea mengalir ke lateral ke dalam nodi lymphoidei cervicales profundi, serta beberapa mengalir ke nodi lymphoidei paratrachealis



3.



Inervasi Ganglion sympathicum cervicale superior, medial, dan inferior.



Gambar 2.1. Glandula Thyroidea Tampak Anterior



B.



Fisiologi Kelenjar Tiroid Kelenjar tiroid terdiri dari koloid yang dikelilingi oleh folikel tertutup yang dibatasi sel epitel kuboid. Koloid tersusun dari enzim tiroglobulin (Tg) yang lalu dipecah menjadi dua hormon tiroid: tetraiodotironin (T4 atau tiroksin) dan triiodotironin (T3) oleh enzim endopeptidase. Hormon tersebut selanjutnya disekresikan ke sirkulasi darah agar dapat memiliki efek terhadap organ target (12, 14). Kedua hormon tersebut, secara kolektif disebut hormon tiroid adalah regulator penting laju metabolik basal (BMR) secara keseluruhan (Boelaert dan Franklyn, 2005)



Menurut Sherwood (2011), pada ruang interstisium di antara folikel kelenjar tiroid terdapat sel C yang memproduksi hormon kalsitonin. Kalsitonin berperan dalam metabolisme kalsium serta tidak memiliki hubungan terhadap dua hormon tiroid utama lainnya. Efek hormon tiroid adalah sebagai berikut (Sherwood, 2011): 1.



Meningkatkan laju metabolisme basal keseluruhan tubuh. Hormon tiroid adalah regulator laju konsumsi oksigen dan pengeluaran energi tubuh pada keadaan istirahat.



2.



Mengatur pembentukan dan penguraian karbohidrat, lemak dan protein



3.



Meningkatkan



responsifitas



sel



sasaran



terhadap



katekolamin



(epinefrin dan norepinefrin), pembawa pesan kimiawi yang digunakan oleh sistem saraf simpatis dan medula adrenal (efek simpatomimetik) 4.



Meningkatkan kecepatan jantung dan kekuatan kontraksi sehingga curah jantung meningkat, serta meningkatkan vasodilatasi perifer, yang keseluruhan efeknya dapat meningkatkan tekanan darah



5.



Merangsang sekresi GH dan meningkatkan produksi IGF-1 oleh hati, serta mendorong efek GH dan IGF-1 pada sintesis protein struktural baru dan pertumbuhan tulang. Regulasi sekresi hormon tiroid diatur oleh aksis hipotalamus –



hipofisis – tiroid yang melibatkan hormon Thyrotropin-releasing Hormone (TRH) dan Thyrotropin-stimulating Hormone (TSH). Secara skematik dijabarkan sebagai berikut (Sherwood, 2011):



Gambar 2.2. Regulasi Sekresi Hormon Tiroid



C.



Tumor Tiroid Tumor (karsinoma) tiroid adalah suatu keganasan yang berasal dari sel folikel kelenjar tiroid. Sebagia besar tumor tiroid merupakan lesi yang berdiferensiasi



baik



(well



differentiated).



Tumor



tiroid



dapat



diklasifikasikan menjadi beberapa subtipe berdasarkan gambaran histologis kelenjar tiroid, yakni : 1) karsinoma papiler, 2) karsinoma folikular, 3) karsinoma meduler, dan 4) karsinoma anaplastik (Fagin dan Wells, 2016). Penegakan diagnosis tumor tiroid dapat dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis pada pasien tumor tiroid didapatkan keluhan muncul benjolan pada leher, tidak nyeri, serta terjadi pembesaran secara lambat. Sebagian besar pasien kadangkadang mengeluh terjadi penekanan pada esofagus (sulit menelan) dan trakea (sulit bernapas/ sesak). Keluhan lain yang mungkin timbul pada tumor tiroid adalah suara serak. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan nodul dengan konsistensi keras atau lunak, tidak terdapat nyeri tekan, berbatas



tegas, immobile, dengan permukaan nodul rata. Pada pemeriksaan penunjang adalah terjadi peningkatan laju metabolik basal (BMR) serta peningkatan kadar hormon T3, T4 dan hormon kalsitonin untuk mengetahui perkembangan



tumor



menjadi



tirotoksikosis.



Pada



pemeriksaan



Ultrasonography, tampak nodul hipoechogenik pada kelenjar tiroid (Fagin dan Wells, 2016) Pada tumor tiroid yang masih berdiferensiasi baik, tindakan tiroidektomi (operasi pengambilan tiroid) total merupakan terapi yang dianjurkan



untuk



mengangkat



sebanyak



mungkin



jaringan



tumor.



Pertimbangan untuk dilakukan tiroidektomi total adalah 60-85% jenis tumor tiroid terjadi di kedua lobus, serta 5-10% kekambuhan terjadi pada lobus kontralateral jika dilakukan tiroidektomi secara subtotal (Hobbs dan Watkinson, 2007) Sebelum dilakukan tiroidektomi, dilakukan informed consent untuk menjelaskan prosedur yang akan dilakukan kepada pasien, persetujuan pasien terhadap prosedur yang akan dilakukan, serta menjelaskan risiko yang mungkin terjadi seperti perdarahan, terbukanya vena besar, trauma nervus laryngeus rekurens, sepsis



yang meluas ke mediastinum,



hipotioridisme pasca bedah, hipokalsemi, serta metastasis kanker ke organorgan lain sehingga tidak bisa dilakukan pembedahan (Hobbs dan Watkinson, 2007). D.



Anestesi pada Tiroidektomi Tiroidektomi merupakan salah satu jenis pembedahan tiroid selain biopsi insisi, biopsi eksisi dan hemitiroidektomi (istmolobektomi). Tiroidektomi sendiri dapat dibedakan menjadi tiroidektomi total dan tiroidektomi subtotal. Tiroidektomi total adalah tindakan pembedahan pengangkatan seluruh jaringan tiroid pada kedua lobus, sedangkan tiroidektomi subtotal adalah tindakan pembedahan pengangkatan sebagian besar jaringan tiroid pada kedua lobus (Hobbs dan Watkinson, 2007). Jenis anestesi yang dipilih pada tiroidektomi dalam kasus ini adalah anestesi general. Pada tiroidektomi, pemilihan anestesi general lebih



direkomendasikan dibandingkan dengan anestesi lokal atau anestesi regional. Penggunaan anestesi regional memiliki beberapa risiko seperti terjadinya toksisitas pada lokasi anestesi, hematoma, serta menimbulkan kecemasan pada pasien (Suh et al., 2009) Pendapat berbeda disampaikan oleh Lee et al. (2009), pemilihan anestesi regional dengan blok pleksus servikal bilateral (BPCB) memiliki manfaat terhadap pasien tiroidektomi dengan gangguan kardiovaskular dengan efek samping yang lebih aman dibandingkan dengan pemilihan anestesi general. Selain itu, pemilihan anestesi regional juga memungkinkan terjadinya pemulihan post operasi secara lebih cepat, serta mengurangi gejala mual dan muntah saat operasi atau pasca operasi. Teknik anestesi general pada tindakan tiroidektomi memiliki beberapa hal yang perlu diperhatikan. Penyulit yang sering terjadi pada tindakan tiroidektomi adalah kesulitan jalan napas, khususnya pada pasien goiter atau pada pasien dengan pembesaran kelenjar tiroid dalam waktu lama, sehingga terjadi penekanan terhadap trakea (White et al., 2008). Penyulit lain yang dapat terjadi adalah komplikasi tumor tiroid terhadap sistem kardiovaskular, seperti kondisi peningkatan tekanan darah dan peningkatan denyut nadi pada saat operasi (Hardy et al., 2009). Pada kasus ini, anestesi general dilakukan dengan teknik induksi intravena. Anestesi general dilakukan dengan memposisikan pasien terlentang kemudian obat induksi propofol diberikan secara bolus intravena dengan kecepatan 30 – 60 detik. Propofol merupakan obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan karakter pemulihan yang cepat. Penggunaan propofol dosis 2-3 mg/kgBB dapat menimbulkan penurunan kesadaran kurang dari 30 detik. Propofol memberikan efek sedatif hipnotik melalui interaksi dengan reseptor GABA (Gamma Amino Butiric Acid) sebagai penghambat utama susunan saraf pusat. Aktivasi reseptor GABA oleh propofol akan menyebabkan peningkatan konduksi klorida transmembran, yang menyebabkan hiperpolarisasi membran sel post-sinaps (Shafer et al., 2015).



Pada kasus ini, intubasi dilakukan dengan menggunakan pipa endotrakeal (ET) non-kinking no. 7. Intubasi dilakukan dengan cara memasukkan ET ke dalam trakea, mengembangkan cuff ET sampai tidak terjadi kebocoran, fiksasi ET, serta memasang guedel. Ekstubasi pada kasus ini dilakukan setelah nafas spontan normal kembali dengan volume tidal 300 ml. Pemberian oksigen 5-6 liter selama 2-3 menit dilakukan untuk mencegah terjadinya hipoksia difusi. Rumatan (maintenance) anestesi pada kasus ini dilakukan dengan metode campuran intravena inhalasi. Rumatan intravena dilakukan dengan pemberian analgetik opioid fentanil 100 µg, sedangkan rumatan inhalasi dilakukan dengan menggunakan campuran nitrit oksida : oksigen (3:1) ditambah isofluran 2-4 vol%. Fentanyl merupakan analgesikgolongan opioid yang bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor opioid sehingga menurunkan masuknya kalsium kedalam sel yang akan memicu terjadiya hiperpolarisasi



sehingga



mengakibatkan



penurunan



pelepasan



neurotransmitter penyebab nyeri seperti peptide-Y (Soenarjo dan Jatmiko, 2013). Pemberian cairan kristaloid (asering dan RL) pada kasus ini dilakukan untuk kebutuhan pemeliharaan normal pada saat intake secara oral tidak dilakukan, penggantian defisit cairan pada saat puasa, serta penggantian cairan intraoperatif. Cairan kristaloid memiliki sifat isotonik sehingga efektif dalam mengisi volume cairan ke intravaskuler dalam waktu yang singkat (Soenarjo dan Jatmiko, 2013). E.



Pemantauan Pre-Operasi Tujuan utama pemantauan pre-operasi pada pasien yang akan dilakukan tindakan tiroidektomi adalah menjaga pasien dalam kondisi eutiroid. Penilaian kondisi eutiroid pada pasien dilihat dari hasil pemeriksaan sero-imunologi hormon tiroid (T3, T4, dan TSH). Kadar T3 normal (eutiroid) adalah berada pada rentang 2,3 – 4,2 pg/mL, kadar T4 normal (eutiroid) adalah berada pada rentang 0,89 – 1,76 ng/mL, sedangkan kadar TSHS normal (eutiroid) adalah berada pada rentang 0,51 – 4,94



uIU/mL (Yeh et al., 2015). Pasien pada kasus ini memiliki kadar T3 sebesar 3,2 pg/mL (eutiroid), kadar T4 sebesar 1,42 ng/mL (eutiroid) serta kadar TSHS sebesar 0,461 uIU/mL. Kondisi hipertensi pasien pada kasus ini (tekanan darah 200/100 mmHg) telah diatasi dengan obat nifedipin. Nifedipin diberikan 3x10 mg secara per oral. Nifedipin merupakan obat golongan penghambat kanal kalsium. Nifedipin bekerja dengan menghambat jumlah kalsium yang menuju sel otot polos pembuluh darah dan sel otot jantung, sehingga terjadi penurunan resistensi vaskular dan cardiac output yang akan mengakibatkan terjadinya penurunan tekanan darah (Wagner, 2004). Pasien pada kasus ini dipantangkan dari masukan oral (oral) selama 6 jam untuk mencegah terjadinya risiko regurgitasi isi lambung dan kotoran yang disebabkan oleh penurunan reflek laring selama kondisi anestesi. Pada pasien dewasa pro operasi, umumnya dilakukan puasa selama 6 – 8 jam, pada pasien anak-anak pro operasi 4 – 6 jam serta pada pasien bayi pro operasi 3 – 4 jam (Wagner, 2004). F.



Terapi Durante Operasi Pasien pada kasus ini diberikan obat-obatan yakni ondansentron 4 mg IV, rocuronium 20 mg IV, vitamin K 2 x 20 mg IV, asam traneksamat 500 mg IV, ketorolac 30 mg IV, dan tramadol 100 mg IV. Pasien pada kasus ini diberikan ondansentron dan rocuronium pada tahap pre-medikasi untuk mempermudah proses intubasi. Ondansentron merupakan obat anti-emetik yang bekerja dengan cara menghambat aktivitas serotonin sehingga mencegah terjadinya mual dan muntah yang dapat mengganggu proses intubasi (Tewu et al., 2015). Rocuronium sebagai obat muscle-relaxan (relaksasi otot) untuk mempermudah proses intubasi. Rocuronium yang bekerja sebagai antagonis kompetitif asetilkolin untuk menempati reseptor membrane otot sehingga mengakibatkan blok neuromuscular pada transmisi neuromuscular junction (Soenarjo dan Jatmiko, 2013).



Pasien pada kasus ini diberikan asam traneksamat dan vitamin K untuk membantu mengurangi perdarahan. Asam traneksamat merupakan obat golongan antifibrinolitik. Obat ini mencegah pemecahan bekuan darah dan bekerja dengan cara mencegah plasminogen, sehingga mengurangi konversi plasminogen menjadi plasmin (fibrinolisin). Penghambatan ini mampu mencegah degradasi fibrin, pemecahan trombosit, peningkatan kerapuhan vaskular dan pemecahan faktor koagulasi. Vitamin K digunakan untuk meningkatkan protein fungsional yang berperan dalam proses pembekuan darah (Novikova et al., 2015). Pasien pada kasus ini diberikan ketorolac dan tramadol untuk mengurangi nyeri. Ketorolac merupakan obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) yang sering digunakan dalam bidang anestesi. Cara kerja ketorolac adalah dengan menghambat biosentesis prostaglandin dengan aktivitas analgetik yang kuat secara perifer maupun sentral. Penggunaan OAINS pada pembedahan dapat mengakibatkan gangguan fungsi hemostasis dengan salah satu manifestasinya berupa waktu perdarahan yang memanjang. Oleh karena itu, setelah diberikan OAINS, pasien diberikan asam traneksamat dan vitamin K. Tramadol merupakan analgesik golongan opioid yang bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor opioid. Selain efek utamanya pada reseptor opioid, pada tingkat perifer, tramadol menghambat serotonin dan reuptake norepinefrin (Sansone, 2009). Menurut Bolaji et al. (2011), terdapat beberapa obat-obatan yang harus dihindari penggunaannya selama tindakan tiroidektomi yakni ketamin (sebagai agen induksi) dan pancuronium (sebagai muscle relaxan). Pemberian ketamin dan pancuronium dapat meningkatkan stimulasi saraf simpatis sehingga dapat meningkatkan tekanan darah serta denyut nadi pada pasien



dengan



gangguan



tiroid.



Sedangkan



obat



thiopental



direkomendasikan sebagai agen induksi karena memiliki efek anti-tiroid pada dosis tinggi.



G.



Pemantauan Pasca-Operasi Tujuan utama pemantauan pasca-operasi pada pasien yang sudah dilakukan tindakan tiroidektomi adalah mencegah atau meminimalisir terjadinya komplikasi-komplikasi seperti: perdarahan, edema laring, kerusakan nervus laryngeus reccurent, kerusakan nervus laryngeus superior, trakeomalasia, badai tiroid, hipoparatiroid, atau pneumotoraks (Bolaji et al., 2011). Pasien pada kasus ini dilakukan perawatan di ruang Intensive Care Unit (ICU) dengan dilakukan pemasangan kasa pada luka bekas operasi, pemasangan drain pada leher, pemasangan pipa endotrakeal (ET), serta diberikan obat-obatan seperti injeksi ceftriaxon 2 x 1 gram, injeksi ketorolac 2 x 30 mg, asam mefenamat 3 x 500 mg, amoxicilin 3 x 500 mg serta cairan infus kristaloid (RL dan HES) ICU adalah suatu unit pada rumah sakit yang dilengkapi dengan staf serta perlengkapan yang khusus ditujukan untuk observasi, perawatan, dan terapi pada pasien yang menderita penyakit, cedera, atau penyulit yang dapat mengancam jiwa yang diharapkan masih dapat reversible (Rao dan Suhasini, 2003). Menurut Mielke et al. (2003), pasien yang dirawat di ruang ICU didasarkan atas skala prioritas 1, 2 dan 3. Prioritas pasien rawat ICU adalah sebagai berikut: 1.



Pasien prioritas 1, adalah pasien sakit kritis, tidak stabil yang memerlukan terapi intensif seperti dukungan/ bantuan ventilasi atau infus obat-obat vasoaktif kontinyu



2.



Pasien prioritas 2, adalah pasien yang memerlukan terapi dan pemantauan intensif secara segera



3.



Pasien prioritas 3, adalah pasien sakit kritis, tidak stabil, di mana status kesehatan sebelumnya sangat mengurangi kemungkinan kesembuhan dan atau mendapat manfaat dari terapi di ICU. Pasien pada kasus ini termasuk dalam kategori prioritas 1, disebabkan



oleh karena pasien pada kasus ini memerlukan terapi intensif untuk



mengatasi masalah hipertensi serta kehilangan cairan yang dialami selama operasi. Pasien pada kasus ini dipasang ET untuk menjamin atau mempertahankan jalan napas, mencegah aspirasi isi saluran cerna, memungkinkan penghisapan trakeal secara adekuat, memberikan oksigen konsentrasi tinggi, serta memberikan tekanan positif pada jalan napas (Chang et al., 2017). Pasien pada kasus ini diberikan antibiotic yang dibutuhkan untuk mencegah infeksi pasca operasi. Pada pasien ini diberikan antibiotik ceftriaxon dan amoxicilin. Ceftriaxon merupakan obat antibiotik golongan cephalosporin generasi 3 sedangkan amoxicilin merupakan obat antibiotik golongan penisilin. Ceftriaxon dan amoxicilin bekerja dengan cara menghambat sintesis peptidoglikan pada dinding sel bakteri (Meyer et al., 2017). Pasien pada kasus ini diberikan obat anti nyeri, yakni ketorolac dan asam mefenamat. Asam mefenamat merupakan obat golongan antiinflamasi nonsteroid (NSAID) yang bekerja dengan cara meningkatkan batas ambang nyeri dengan cara menghambat N-metil-D-aspartate (NMDA) atau disebut substansi P serta prostaglandin E2 di sentral (Meyer et al., 2017). Pemberian cairan koloid (HES) pada kasus ini dilakukan untuk mempertahankan tekanan intravaskuler. Penggunaan HES pada resusitasi post trauma dapat menurunkan permeabilitas pembuluh darah sehingga dapat menurunkan risiko kebocoran kapiler (Soenarjo dan Jatmiko, 2013).



KESIMPULAN



Pada kasus ini, Ny. R berusia 50 tahun, penderita tumor tiroid dilakukan tindakan tiroidektomi total dengan penyulit berupa hipertensi. Tumor (karsinoma) tiroid adalah suatu keganasan yang berasal dari sel folikel kelenjar tiroid, sehingga menyebabkan peningkatan kelenjar tiroid yang diikuti dengan peningkatan kecepatan jantung dan kekuatan kontraksi. Peningkatan kecepatan jantung dan kekuatan kontraksi dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah. Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada anestesi general tindakan tiroidektomi adalah kesulitan



jalan



napas



serta



komplikasi



tumor



tiroid



terhadap



sistem



kardiovaskular. Penggunaan nifedipin oral pre operasi pada kasus ini memiliki tujuan untuk menurunkan tekanan darah, sedangkan obat-obatan seperti ketamin dan pancuronium tidak digunakan pada kasus ini sebab dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah oleh karena efek stimulasi saraf simpatis oleh obatobatan tersebut. Pasien pada kasus ini dilakukan pemantauan di ruang ICU post operasi untuk mengatasi kondisi hipertensi serta kehilangan cairan yang dialami selama operasi.



DAFTAR PUSTAKA



Boelaert, K., dan Franklyn, J. A. 2005. Thyroid hormone in health and disease. J Endocrinol. 187(1): 1-15 Bolaji, B. O., Oyedepo, O. O., dan Rahman, G. A. 2011. Anaesthesia management for thyroidectomy in a non-euthyroid patient following cardiac failure. Nigeria Journal of Clinical Practice. 14(11): 482 – 485 Chang, J. E., Kim, H., Han, S. H., Lee, J. M., Ji, S., dan Hwang, J. Y. 2017. Effect of Endotracheal Tube Cuff Shape on Postoperative Sore Throat After Endotracheal Intubation. Anesth Analg Fagin, J. A., dan Wells, S. A. 2016. Biologic and clinical perspective on thyroid cancer. NEJM. 375(2): 1054 – 1067 Hardy, R. G., Bliss, R. D., Lennard, T. W., Balasubramanian, S. P., Harrison, B. J., dan Dehn, T. 2009. Management of Retrosternal Goitres. Ann R Coll Surg Engl. 91: 8 -11 Hobbs, C. G. L., dan Watkinson, J. C. 2009. Thyroidectomy. Elsevier. 25(11): 474 – 478 Lee, S. L., Cooper, D. S., Doherty, G. M., Haugen, B. R., Kloos, R. T., Mandel, S. J., et al. 2009. Revised American Thyroid Association management guidelines for patients with thyroid nodules and differentiated thyroid cancer. Thyroid. 19(11): 1167 – 1214 Mielke, J., Martin, D. K., dan Singer, P. A. 2003. Priority setting in a hospital critical care unit: qualitative case study. Crit Care Med. 31(12): 2764 – 2768 Novikova, N., Hoffneyr, G. J., dan Cluver, C. 2015. Tranexamic acid for preventing postpartum haemorrhage. Cochrane Database of Systematic Reviews Rao, S. M., dan Suhasini, T. 2003. Organization of intensive care unit and predicting outcome of critical illness. Indian J Anaesth. 47(5): 328 – 337 Sansone, R. A. 2009. Tramadol, seizure, serotonin syndrome and co administrered antidepresant. Psychiatry. 5(2): 1 – 13



Shafer, S., Rathmell, J. P., dan Flood, P. 2015. Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice. Philadelphia: Wolters Kluwer Sherwood, L. 2011. Fundamentals of Human Physiology. Belmont: Brooks/Cole Snell, R. H. 2011. Clinical Anatomy by System. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins Soenarjo dan Jatmiko, H. 2013. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/ RSUP dr. Kariadi Semarang Suh, Y. J., Kim, Y. S., dan In, J. H. 2009. Comparison of analgesic efficacy between bilateral superficial and combined (superficial and deep) cervical plexus block administered before thyroid surgery. Eur J Anaesthesiol. 26: 1043 – 1047 Tewu, H, Posangi, I, dan Kumaat, L. 2013. Perbandingan mual muntah pada premedikasi dengan pemberian ondansetron dan dengan dexametason pasca operasi sectio caesarea dengan anestesi regional. Jurnal E-Clinic. 3(3): 1 – 8 Wagner, L. K. 2004. Diagnosis and Management of Preeclampsia. American Family Physician 70(12) : 2317-2324. White, M. L., Doherty, G. M., dan Gauger, P. G. 2008. Evidence-based surgical management of substernal goiter. World J Anaesthesiol. 32: 1285 – 1300 Yeh, M. W., Bauer, A. J., Bernet, V. A., Ferris, R. L., Loevner, L. A., Mandel, S. J., et al. 2015. American Thyroid Association statement on preoperative imaging for thyroid cancer surgery. Thyroid. 25(1): 3 – 14