Mini Project 2020 Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MINI PROJECT UPAYA PENINGKATAN ANGKA CAKUPAN SUSPEK TUBERKULOSIS DENGAN METODE SCREENING DI PUSKESMAS SAMBI TAHUN 2020



Pendamping dr. Sulistyani, MPH



Disusun oleh : dr. Galih Muchlis Hermawan dr. Qoni’atunnisa Nuzulul Falakhi dr. Muhammad Fiarry Fikaris dr. Riza Abdillah dr. Adam Nur Rahman dr. Rosyid Prasetyo dr Septian Widianto



INTERNSIP PUSKESMAS SAMBI BOYOLALI 2020



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit



tuberkulosis



merupakan



penyakit



infeksi



yang



disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang menyerang berbagai organ atau jaringan tubuh khususnya paru paru. Penyakit ini merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian hampir di sebagian besar negara diseluruh dunia (Widoyono, 2011). Tuberkulosis ini merupakan penyakit yang menjadi perhatian global. Sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030, WHO menargetkan untuk menurunkan kematian akibat tuberkulosis sebesar 90% dan menurunkan insiden penemuan kasus TB sebesar 80% pada tahun 2030 dibandingkan dengan tahun 2014 (Kemenkes RI, 2016). Menurut WHO penyakit tuberkulosis menduduki peringkat di atas HIV/AIDS. Pada tahun 2016 diperkirakan terdapat 10,4 juta kasus baru tuberkulosis atau 142 kasus/100.000 populasi, dengan 480.000 kasus multidrug–resistant. Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus baru terbanyak kedua di dunia setelah India. Sebesar 60% kasus baru terjadi di 6 negara yaitu India, Indonesia, China, Nigeria, Pakistan dan Afrika Selatan. Kematian akibat tuberkulosis diperkirakan sebanyak 1,3 juta kematian ditambah 374.000 kematian akibat tuberkulosis pada orang dengan HIV positif. Meskipun jumlah kematian akibat tuberkulosis menurun dari 1,7 juta menjadi 1,3 juta antara tahun 2000 dan 2015, tuberkulosis tetap menjadi 9 penyebab kematian tertinggi di dunia pada tahun 2016 (WHO, Global Tuberculosis Report,2017) Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Indonesia pada tahun 2015 jumlah semua kasus tuberkulosis yang ditemukan sebesar 330.729 dan meningkat menjadi 351.893 pada tahun 2016. Pada tahun 2017, jumlah kasus baru TBC di Indonesia sebanyak 420.994 kasus (data per 17 Mei 2018). Jumlah kasus tertinggi yang



dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat sebanyak 23.774 orang, Jawa Timur sebanyak 21.606 orang dan Jawa Tengah sebanyak 14.139 orang. Kasus tuberkulosis di tiga provinsi tersebut sebesar 44 % dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia (Kemenkes RI, 2016 dan 2018). Jawa Tengah menempati urutan ketiga dari yang teratas dalam kasus tertinggi tuberkulosis di Indonesia. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah (Depkes, 2015) menyebutkan proporsi kasus TB BTA positif diantara suspek di Jawa Tengah tahun 2015 sebesar 24,18%. Angka tersebut di atas proporsi normal yaitu 5- 15%. Sedangkan Capaian CDR (Case Detection Rate) di Jawa Tengah masih dibawah target yang telah ditetapkan sebanyak 75% (Kemenkes RI, 2016). CDR kasus TBC yang ditemukan dan diobati meningkat terus menerus di tiap tahunnya. Tahun 2020, target CDR di Jawa Tengah sebesar 86%. Target angka capaian CDR Puskesmas di kabupaten Boyolali pada tahun 2020 adalah sebesar 1472 dengan kecamatan Sambi sebesar 97 kasus (SPM Puskesmas Sambi, 2019). Berdasarkan hasil analisis pencapaian kegiatan UKM di puskesmas Sambi pada tahun 2019 hingga bulan Desember didapatkan jumlah penemuan suspek selama 2019 sebesar 112 kasus dengan BTA (+) sebanyak 4 kasus, prosentase yang didapatkan BTA (+) terhadap suspek hanya sebesar 3.57%. Untuk persentase penemuan suspek penderita tuberkulosis di Puskesmas Sambi kurang dari target yaitu 50% (SPM Puskesmas Sambi, 2019). Program dokter internship pada tahun sebelumnya, yaitu “SAHABAT” telah memberikan kontribusi kepada puskesmas dengan output pembentukan kader TBC. Konsistensi untuk terus menggiatkan penemuan kasus TBC dengan program SAHABAT memang tidak mudah. Banyak kekurangan yang harus dievaluasi dan keunggulan program yang harus tetap dipertahankan. Oleh karena itu kami tertarik untuk menganalisa dan mengangkatnya dalam bentuk tugas ilmiah dengan judul



“SOBAT AMBYAR di Puskesmas Sambi Tahun 2020” melanjutkan penelitian ilmiah dokter internship tahun lalu melalui program “SAHABAT”.



B. Perumusan Masalah Berdasarkan penguraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, didapatkan rumusan masalah sebagai berikut: “Bagaimana upaya peningkatan angka penemuan kasus TBC baru BTA (+) dengan mengunakan kartu sobat ambyar di Puskesmas Sambi, Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali?” C. Tujuan 1. Tujuan Umum Mengetahui Manajemen penemuan kasus TBC baru BTA (+) yang menjadi prioritas kesehatan di Puskesmas Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali. 2. Tujuan Khusus a.



Mengetahui Perencanaan penemuan kasus TBC baru BTA (+) yang menjadi prioritas kesehatan di Puskesmas Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali



b.



Mengetahui Pelaksanaan penemuan kasus TBC baru BTA (+) yang menjadi prioritas kesehatan di Puskesmas Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali



c.



Mengetahui mengenai pengawasan penemuan kasus TBC baru BTA (+) yang menjadi prioritas kesehatan di Puskesmas Kecamatan Sambi Kabupaten Boyolali



D. Manfaat Mini Project 1. Manfaat bagi dokter Internship



a. Memberikan informasi mengenai angka penemuan kasus Tuberkulosis, di Puskesmas Sambi sepanjang tahun 2020. b. Menambah wawasan tentang manajemen upaya peningkatan angka, penemuan kasus TBCC BTA (+) di puskesmas Sambi. 2. Manfaat bagi institusi a. Sebagai masukan dalam upaya untuk meningkatkan angka penemuan, kasus Tuberkulosis di Puskesmas Sambi b. Memberikan kontribusi data pada pada puskrsmas srbagai evaluasi, program promosi kesehatan TBC di puskesmas Sambi 3. Manfaat bagi Kader a. Membuka wawasan dan pengetahuan kader mengenai TBC b. Meningkatkan peran serta kader dalam penanggulangan TBC 4. Manfaat bagi Masyarakat a. Memberikan informasi, wawasan dan pengetahuan mengenai TBC b. Mengurangi dan memutus rantai penularan TBC c. Membantu penderita agar mendapatkan pengobatan yang tepat dalam menangani penyakitnya



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tuberkulosis Paru a. Definisi Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penularan TBC umumnya terjadi melalui droplet yang mengandung basil M. Tuberculosis. Gejala yang akan muncul bila seseorang terinfeksi penyakit TBC adalah batuk produktif yang lebih dari 3 minggu, nyeri dada dan hemoptisis. Gejala sistemik yang dapat dialami oleh penderita TBC seperti demam, menggigil, keringat malam, kelemahan, hilangnya nafsu makan dan penurunan berat badan.7 Pengobatan TBC terdiri dari dua tahap yaitu tahap awal dan lanjutan (Kemenkes, 2011).



b. Epidemiologi Tuberkulosis (TBC) merupakan salah satu penyakit yang telah lama dikenal dan masih menjadi salah satu penyebab utama kematian di dunia. Secara global tahun 2013 diperkirakan 9 juta jiwa menderita TBC dan 1,5 juta jiwa meninggal dunia. Data World Health Organization (WHO) menyatakan wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat merupakan daerah dengan jumlah kasus TBC terbesar sebesar 56% dari total keseluruhan kasus. Indonesia termasuk dalam 5 negara dengan angka insidensi TBC terbesar dunia setelah India, Cina, Nigeria dan Pakistan.2 Pada tahun 2013 di Indonesia ditemukan 196.310 kasus baru basil tahan asam positif (BTA positif). Angka keberhasilan pengobatan pada tahun 2013 adalah 90,5% dan telah mencapai standar yang ditetapkan WHO sebesar 85%.3 Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 melaporkan prevalensi TBC berdasarkan diagnosis sebesar 0,4% dari jumlah penduduk (Kemenkes, 2013).



c. Etiologi Penyakit yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, yang berbentuk batang, bersifat aerob dan tahan asam. Di Indonesia, TBC merupakan masalah utama kesehatan masyarakat dan merupakan negara dengan penderita kelima terbanyak di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria. Tuberkulosis paru menyerang 9,4 juta orang dan telah membunuh 1,7 juta penduduk dunia setiap tahunnya (WHO, 2010).



d. Klasifikasi Tuberkulosis Kasus TBC diklasifikasikan berdasarkan (PDPI, 2011) : 1. Berdasarkan letak anatomi penyakit a) TBC paru : kasus TBC yang mengenai parenkim paru b) TBC ekstraparu : kasus TBC yang mengenai organ lain selain paru. Missal pleura, abdomen, traktus genitourinarius, kulit, sendi, tulang dan selaput otak. 2. Berdasarkan pemeriksaan dahak atau bakteriologi a) TBC paru BTA positif apabila : 1) 2 atau lebih pemeriksaan dahak BTA positif, atau 2) 1 hasil pemeriksaan BTA positif dan didukung hasil pemeriksaan foto toraks sesuai dengan gambaran TBC, atau 3) Satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif ditambah hasil kultur M. tuberculosis positif. b) TBC paru BTA negative 1) Hasil pemeriksaan dahak BTA negatif tapi hasil kultur BTA positif. Atau



2)



Jika hasil pemeriksaan dahak BTA dua kali negative di daerah yang belum memiliki fasilitas kultur M. tuberculosis



3)



Foto toraks sesuai dengan gambaran TBC aktif dan disertai salah satu dari : hasil pemeriksaan HIV positif, atau jika HIV negative (atau tidak diketahui atu prevalensi rendah) tidak menunjukan



perbaikan



setelah



pemberian



antibiotic



spectrum luas (kecuali antibiotic yang mempunyai efek terhadap TBC) c) Kasus bekas TBC 1) Hasil pemeriksaan BTA negatif, kultur juga negative (jika ada), gambaran radiologi menunjukkan lesi TBC yang tidak aktif, atau foto serial (2 bulan) menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung 3. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, pasien TB dibagi menjadi beberapa tipe yaitu (Hasan, 2010): a) Baru Merupakan pasien yang belum pernah diobat dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (



≥71 kg



5 tab 2 KDT + 5 tab Etambutol mg streptomisin inj.



Sumber : Kemenkes, 2014



do maks)



Tabel 5. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZE/HRZE/5H3R3E3 Tablet Isoniazi d Tahap



Lama



Junlah



Etambutol



Kaplet



Tablet Tablet



Tablet



hari/kali



Rifampisi Pirazinam Streptomis @ 300 n id @ 250 @400 in menelan



Pengobata pengobatan n mgr Tahap Awal 2 bulan



@450 mgr @500 mgrmgr



Mgr



injeksi



obat



1



1



3



3



-



0,75 gr



56



1 bulan



1



1



3



3



-



-



28



Lanjutan 5 bulan



2



1



-



1



2



-



60



(dosis harian) Tahap



Sumber : Kemenkes, 2014 Terdapat dua tahapan selama proses pengobatan penyakit TB yaitu, tahap awal (intensif) dan tahap lanjutan. Pada tahap awal (intensif) untuk mencegah terjadi resistensi, pasien mendapat obat setiap hari dan diawasi secara langsung. Dalam waktu dua minggu, apabila pasien dalam tahap intensif diobati dengan tepat, pasien menular akan menjadi tidak menular dan pada sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif dalam waktu dua bulan. Untuk tahap lanjutan, pasien mendapatkan jenis obat yang lebih sedikit, tetapi pengobatan dilakukan dalam jangka waktu yang lebih lama. Pada tahap lanjutan ini, kuman persisten dibunuh untuk mencegah terjadi kekambuhan. (Kemenkes, 2011)



2. Tahap Lanjutan



Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persistent sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Depkes, 2007). Universitas Sumatera Utara. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia yaitu : a. Kategori I i. TBC paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks terdapat lesi luas. ii. Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZE/ 4 RH atau 2 RHZE/6HE atau 2 RHZE/4R3H3. b. Kategori II i. TBC paru kasus kambuh. - Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZES/ 1 RHZE sebelum ada hasil uji resistensi. Bila hasil uji resistensi telah ada, berikan obat sesuai dengan hasil uji resistensi. ii. TBC paru kasus gagal pengobatan - Paduan obat yang dianjurkan adalah obat lini 2 sebelum ada hasil uji resistensi (contoh: 3-6 bulan kanamisin,



ofloksasin,



etionamid,



sikloserin



dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin). - Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan 2 RHZES/ 1 RHZE. - Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. - Bila tidak terdapat hasil uji resistensi, dapat diberikan 5 RHE.



ii.TBC Paru kasus putus berobat. a. Berobat ≥ 4 bulan BTA saat ini negatif. Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TBC dengan mempertimbangkan juga kemungkinan panyakit paru lain. Bila terbukti TBC, maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES / 1 RHZE / 5 R3H3E3). BTA saat ini positif. Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. b. Berobat ≤ 4 bulan Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES / 1 RHZE / 5 R3H3E3). Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TBC aktif, pengobatan diteruskan. c. Kategori III - TBC paru (kasus baru), BTA negatif atau pada foto toraks terdapat lesi minimal. - Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE / 4 R3H3. d. Kategori IV - TBC paru kasus kronik. Paduan obat yang dianjurkan bila belum ada hasil uji resistensi,



berikan RHZES.Bila telah ada hasil uji resistensi, berikan sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif ditambah obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan). e. Kategori V - MDR TBC, paduan obat yang dianjurkan sesuai dengan uji resistensi ditambah OAT lini 2 atau H seumur hidup (PDPI, 2011). Obat-obat TBC memiliki efek samping diantaranya : a. Isoniazid dapat menyebabkan kerusakan hepar yang akan mengakibatkan mual, muntah, dan jaundice. Kadang dapat menyebabkan kebas pada tungkai. b. Rifampisin dapat menyebabkan kerusakan hepar, perubahan warna air mata, keringat, dan urine menjadi oranye. c. Pirazinamid dapat menyebabkan kerusakan hepar dan gout. d. Etambutol dapat menyebabkan pandangan kabur dan gangguan penglihatan warna karena obat ini mempengaruhi Nervus optikus. e. Streptomisin dapat menyebabkan pusing dan gangguan pendengaran akibat kerusakan saraf telinga dalam (Jurnal Tuberkulosis Indonesia, 2012). Hasil Pengobatan Merupakan hasil akhir dari pengobatan penderita TBC paru BTA positif dan negatif. Dikategorikan menjadi :



a. Sembuh merupakan pasien dengan hasil sputum BTA atau kultur positif sebelum pengobatan, dan hasil pemeriksaan sputum BTA atau kultur negatif pada akhir pengobatan serta sedikitnya satu kali pemeriksaan sputum sebelumnya negatif dan pada foto toraks, gambaran radiologi serial (minimal 2 bulan) tetap sama/ perbaikan. b. Pengobatan



lengkap



merupakan



pasien



yang



telah



menyelesaikan pengobatan tetapi tidak memiliki hasil pemeriksaan sputum atau kultur pada akhir pengobatan. c. Meninggal merupakan pasien yang meninggal dengan apapun penyebabnya selama dalam pengobatan. d. Gagal merupakan pasien dengan hasil sputum atau kultur positif pada bulan kelima atau lebih dalam pengobatan. e. Default/drop out merupakan pasien dengan pengobatan terputus dalamwaktu dua bulan berturut-turut atau lebih. f. Pindah merupakan pasien yang pindah ke unit (pencatatan dan pelaporan berbeda dan hasil akhir pengobatan belum diketahui). B. Strategi DOTS Istilah



DOTS



(Directly



Observed



Treatment



Shortcourse) dapat diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka pendek. Setiap hari oleh PMO (Pengawas Menelan Obat). Tujuannya mencapai angka kesembuhan yang tinggi, mencegah putus berobat, mengatasi efek samping obat jika timbul dan mencegah resistensi (Permatasari, 2005). Strategi DOTS terdiri atas 5 komponen:



1) Dukungan politik para pimpinan wilayah di setiap jenjang, dari tingkat negara hingga daerah, terhadap program tuberkulosis nasional yang permanen dan terintegrasi dalam pelayanan kesehatan primer, dengan pimpinan teknis dari suatu unit pusat. 2) Mikroskop merupakan komponen utama untuk mendiagnosis penyakit TBC melalui pemeriksaan dahak penderita tersangka TBC. 3) Pengawas menelan obat (PMO) akan ikut mengawasi penderita minum seluruh obatnya. Keberadaan PMO ini untuk memastikan penderita telah benar minum obat dan bisa diharapkan akan sembuh pada saat akhir pengobatan. PMO merupakan orang yang dikenal dan dipercaya



baik



oleh



penderita



maupun



petugas



kesehatan. 4) Pencatatan dan pelaporan merupakan bagian dari sistem surveillance penyakit TBC untuk mendeteksi kasus dan keberhasilan pengobatan. 5) Paduan obat jangka pendek yang benar termasuk



dosis dan jangka waktu pengobatan yang tepat, sangat penting dalam keberhasilan pengobatan penderita. Kelangsungan persediaan obat jangka pendek harus selalu terjamin. C. Indikator Nasional Penanggulangan TBC Untuk



menilai



kemajuan



atau



keberhasilan



penanggulangan TBC digunakan beberapa indikator. Indikator penanggulangan TBC secara Nasional ada 2 yaitu: 1. Angka Penemuan Pasien baru TBC BTA positif (Case Detection Rate/ CDR)



2. Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate/SR). Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikatorNasional tersebut di atas, yaitu: 1.



Angka Penjaringan Suspek



2.



Proporsi Pasien TBC Paru BTA positif diantara Suspek yang diperiksa dahaknya



3.



Proporsi Pasien TBC Paru BTA positif diantara seluruh pasien TBC paru



4.



Proporsi pasien TBC anak diantara seluruh pasien



5.



Angka Notifikasi Kasus (CNR)



6.



Angka Konversi



7.



Angka Kesembuhan



8.



Angka Kesalahan Laboratorium



Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur kemajuan (marker of progress). Indikator yang baik harus memenuhi syarat-syarat tertentu seperti: 1. Sahih (valid) 2. Sensitif dan Spesifik (sensitive and specific) 3. Dapat dipercaya (realiable) 4. Dapat diukur (measureable) 5. Dapat dicapai (achievable)



Analisa dapat dilakukan dengan : 1. Membandingkan data antara satu dengan yang lain untuk melihat besarnya perbedaan. 2. Melihat kecenderungan (trend) dari waktu ke waktu. 1.Cara Menghitung Dan Analisa Indikator



a. Angka Penjaringan Suspek Adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara 100.000 penduduk pada suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun. Angka ini digunakan untuk mengetahui upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu, dengan memperhatikan kecenderungannya dari waktu ke waktu (triwulan/tahunan). Rumus :



Jumlah suspek yang diperiksa bisa didapatkan dari buku daftar suspek (TBC.06) UPK yang tidak mempunyai wilayah cakupan penduduk, misalnya rumah sakit, BP4 atau dokter praktek swasta, indikator ini tidak dapat dihitung. b. Proporsi Pasien TBC BTA Positif diantara Suspek Adalah prosentase pasien BTA positif yang ditemukan diantara seluruh suspek yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari proses penemuan sampai



diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek.



Rumus:



Angka ini sekitar 5 - 15%. Bila angka ini terlalu kecil (< 5 %) kemungkinan disebabkan : 1) Penjaringan suspek terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi kriteria suspek, atau



2) Ada



masalah



dalam



pemeriksaan



laboratorium



(negatif palsu).



Bila angka ini terlalu besar (> 15 %) kemungkinan disebabkan : 1) Penjaringan terlalu ketat atau 2) Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu). c. Proporsi Pasien TBC Paru BTA Positif diantara Semua Pasien TBC Paru Tercatat/diobati Adalah prosentase pasien Tuberkulosis paru BTA positif diantara semua pasien Tuberkulosis paru tercatat. Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien Tuberkulosis



yang



menular



diantara



seluruh



pasien



Tuberkulosis paru yang diobati. Rumus:



Angka ini sebaiknya jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh lebih rendah, itu berarti mutu diagnosis rendah, dan kurang memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular (pasien BTA Positif).



d. Proporsi pasien TBC Anak diantara seluruh pasien TBC Adalah prosentase pasien TBC anak (