Modal Manusia Indonesia Dalam Era Bonus Demografi 16 Nov 18 [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Maria
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MODAL MANUSIA INDONESIA DALAM ERA BONUS DEMOGRAFI Editor: Sutyastie Soemitro Remi Penulis: Shinta Puspasari Dwitamari Junita Dedi Prasetyo Hartanto Aditya Aprilliofany Koko Anggi Purnomo Ferry Fernedy Riana Safaat Rizky Arimawati Hari Ramadhan Raifa Mukti Dani Wildan Hakim Aldo Febrari Hutabarat Lisa Gusmanita Rahmawatin Wikantioso Nurin Ainistikmalia Yudhi Noormansyah Mukti Herlambang Jhonriansyah Zefri Mario Sandy Indrawan Jauhari Fadlan



Gedung Rektorat Unpad Lantai IV. Jalan Raya Bandung Sumedang KM 21 Jatinangor 45363. Tlp. (022) 8428812. Faxs (022) 8428896 E-mail [email protected] Sanksi Pelanggaran Pasal 44 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1977 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta : 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus Juta). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)



1



BAGIAN 1 DINAMIKA PARTISIPASI ANGKATAN KERJA MENYONGSONG BONUS DEMOGRAFI Penerbit : Unpad Press Penyunting: Sutyastie Soemitro Remi



Penulis Shinta Puspasari Dwitamari Junita Dedi Prasetyo Hartanto Aditya Aprilliofany Koko Anggi Purnomo Ferry Fernedy Riana Safaat Rizky Arimawati Hari Ramadhan Raifa Mukti Dani Wildan Hakim Aldo Febrari Hutabarat



@ Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini Tanpa izin tertulis dari Penerbit



Perpustakaan Nasional RI : Data Katalog Dalam Terbitan (KDT) Analisis Perekonomian dan Bisnis Indonesia/Penyunting Sutyastie Soemitro Remi,....(et al).- Bandung Unpad Press, 2018 ISBN : ............



i



KATA PENGANTAR



Tradisi mengakhiri proses perkuliahan dengan memproduksi buku yang merupakan kerjasama dosen-mahasiswa adalah merupakan “praktek baik” yang selayaknya dilakukan. Buku yang kami beri tajuk “Ketenagakerjaan Indonesia dalam Era Bonus Demografi “ merupakan wujud rangkaian aktivitas dari mulai perkuliahan mata kuliah Analisis Perekonomian dan Bisnis Indonesia di Program Magister Ekonomi Terapan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran kemudian kepada para mahasiswa ditugasi untuk mengelaborasi bahan-bahan perkuliahan menjadi beberapa tema penting untuk ditingkatkan menjadi buku melalui pembahasan para dosen yang memberikan mata kuliah yang sama. Pada terbitan kali ini kami fokuskan untuk membahas materi Bagian I yaitu tentang Aspek-aspek Ketenagakerjaan yang meliputi: Bab 1. Bab 2. Bab 3. Bab 4. Bab 5. Bab 6. Bab 7. Bab 8. Bab 9. Bab 10. Bab 11. Bab 12.



Pengaruh Partisipasi Angkatan Kerja Terdidik terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia: Perspektif Modal Manusia Pengaruh Pendidikan dan Upah Terhadap Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Wanita di Indonesia Analisis Penyerapan Tenaga Kerja pada Sektor Industri di Indonesia Tenaga Kerja Wanita Maluku, Tuntutan Sosial Budaya, dan Aktualisasi Diri Analisis Penyerapan Tenaga Kerja pada Industri Besar Sedang Pengaruh Pembangunan Pertanian dan Revitalisasi Terhadap Kesempatan Kerja di Jawa Tengah Pengaruh Investasi Asing, Jumlah Penduduk, Laju Pertumbuhan Ekonomi dan UMP Terhadap Pengangguran Terdidik di Indonesia Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Upah Minimum dan Tingkat Pendidikan Terhadap Pengangguran Usia Muda di Indonesia Pengaruh Inflasi, Pedagangan, Investasi Asing Langsung dan Suku Bunga Terhadap Pengangguran di Indonesia Analisis Pengangguran Terdidik di Pulau Jawa Analisis Pengaruh Pengangguran dan Kemiskinan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Jawa Barat Pendapatan Pekerja Bebas Sektor Pertanian Indonesia Tahun 2017.



i



Selanjutnya pada Bagian II memperdalam tentang Bonus Demografi dengan berbagai faktor yang mempengaruhi dan dampaknya yang meliputi : Bab 13. Bab 14. Bab 15. Bab 16. Bab 17. Bab 18. Bab 19. Bab 20. Bab 21. Bab 22.



Migrasi Penduduk dan Peluang Bonus Demografi di Indonesia Tantangan Perkawinan Usia Anak Bagi Bonus Demografi di Indonesia Analisis Potret Ketimpangan Gender di Indonesia Determinan Kemiskinan Lansia Perempuan di Indonesia Analisis Dampak Bonus Demografi Terhadap Kesempatan Kerja di Indonesia Analisis Pengaruh Dependency Rasio terhadap Domestic Saving Rate di Indonesia Analisis Pengaruh Penduduk Usia Kerja, Tabungan dan Pendidikan Terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia Analisis Bonus Demografi dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Analisis Bonus Demografi dan Perkembangan Ekonomi Kreatif di Jawa Barat Analisis Pengaruh Pertumbuhan Penduduk, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Angka Kemiskinan di Provinsi Kalimantan Utara.



Hubungan yang sangat intens dalam proses penulisan, pemaparan materi diharapkan menjadi “penanda baik” dalam proses transformasi pendidikan. Selain peran para dosen dalam diskusi juga kontribusi para tenaga kependidikan yaitu Utami Parasya dan Edi Saryono serta Wulan dalam penyusunan tata letak dan editing, sangat membantu terwujudnya buku ini, oleh karena itu kami sampaikan terima kasih. Ucapan terimakasih kami ucapkan pula kepada Pak Oki dengan Unpadpressnya yang telah mencetak dan memperbanyak buku ini. Akhir kata, semoga buku ini bermanfaat dan mampu melengkapi kasanah analisis ekonomi Indonesia. Bandung, 3 November 2018 Prof. Dr. Sutyastie Soemitro Remi, SE. MS Dosen Mata Kuliah Analisis Perekonomian dan Bisnis Indonesia



ii



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................... i DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................xiii DAFTAR TABEL ................................................................................................... xv DAFTAR GRAFIK................................................................................................ xiv BAB 1 PENGARUH PARTISIPASI ANGKATAN KERJA TERDIDIK TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA: PERSPEKTIF MODAL MANUSIA 1 Abstrak ........................................................................................................... 1 1.1 Pendahuluan............................................................................................ 2 1.2 Rumusan Masalah................................................................................... 9 1.3 Metodologi Penelitian ............................................................................ 10 1.3.1 Pemilihan Lokus Penelitian ......................................................... 10 1.3.2 Sumber data ................................................................................ 10 1.3.3 Model Penelitian .......................................................................... 10 1.3.4 Variabel Dependent dan Independent ........................................ 15 1.4 Pembahasan.......................................................................................... 16 1.4.1 Unit Root Test ............................................................................ 16 1.4.2 Vector Auto Regressive (VAR) .................................................. 18 1.4.3 Kointegrasi-Johansen ................................................................ 19 1.4.4 Analisis long run dan short run regression ............................... 20 1.4.5 Modal manusia dan pertumbuhan ekonomi ............................. 25 1.5 Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan .................................................... 28 1.5.1 Kesimpulan .............................................................................. 28 1.5.2 Impikasi kebijakan ..................................................................... 29 Daftar Pustaka ............................................................................................. 31 BAB 2 PENGARUH PENDIDIKAN DAN UPAH TERHADAP TINGKAT PARTISIPASI ANGKATAN KERJA (TPAK) WANITA DI INDONESIA ........... 32 Abstrak ......................................................................................................... 32 2.1 Pendahuluan.......................................................................................... 33 2.2 Rumusan Masalah................................................................................. 37



iii



2.3 Tinjauan Pustaka ................................................................................... 38 2.4 Metode Penelitian .................................................................................. 40 2.5 Pembahasan.......................................................................................... 49 2.6 Simpulan dan Implikasi Kebijakan ........................................................ 55 Daftar Pustaka ............................................................................................. 58 BAB 3 ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA SEKTOR INDUSTRIDI INDONESIA ................................................................................... 59 Abstrak ......................................................................................................... 59 3.1 Pendahuluan.......................................................................................... 60 3.2 Rumusan Masalah................................................................................. 62 3.3 Metode Penelitian .................................................................................. 63 3.4 Pembahasan......................................................................................... 67 3.5 Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan .................................................... 71 Daftar Pustaka ............................................................................................. 72 BAB 4 TENAGA KERJA WANITA MALUKU, TUNTUTAN SOSIAL BUDAYA DAN AKTUALISASI DIRI .................................................................................... 73 Abstrak ......................................................................................................... 73 4.1 Pendahuluan.......................................................................................... 74 4.2 Rumusan Masalah................................................................................. 77 4.3 Metode Penelitian .................................................................................. 78 4.4 Pembahasan.......................................................................................... 80 4.5 Kesimpulan ............................................................................................ 89 Daftar Pustaka ............................................................................................. 91 BAB 5 ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA INDUSTRI BESAR SEDANG DI JAWA BARAT.................................................................. 93 Abstrak ......................................................................................................... 93 5.1 Latar Belakang....................................................................................... 94 5.2 Rumusan Masalah................................................................................. 99 5.3 Metode Penelitian .................................................................................. 99 5.3.1 Uji Asumsi Klasik ....................................................................... 100 5.3.2 Uji Statistik Analisis Regresi ..................................................... 103 5.4 Pembahasan........................................................................................ 105



iv



5.5 Kesimpulan Dan Implikasi Kebijakan ................................................. 108 5.5.1 Kesimpulan ................................................................................ 108 5.5.2 Implikasi Kebijakan .................................................................... 109 Daftar Pustaka ........................................................................................... 110 BAB 6 PENGARUH PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN REVITALISASINYA TERHADAP KESEMPATAN KERJA DI JAWA TENGAH ............................. 111 Abstrak ..................................................................................................... 111 6.1 Latar Belakang ................................................................................... 112 6.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 116 6.3 Metodologi.......................................................................................... 117 6.4 Pembahasan ...................................................................................... 119 6.5 Kesimpulan ........................................................................................ 133 6.6. Saran ................................................................................................. 134 Daftar Pustaka ......................................................................................... 135 BAB 7 PENGARUH INVESTASI ASING, JUMLAH PENDUDUK, LAJU PERTUMBUHAN EKONOMI DAN UMP TERHADAP PENGANGGURAN TERDIDIK DI INDONESIA TAHUN 2011 - 2017 ............................................. 136 Abstrak ..................................................................................................... 136 7.1 Pendahuluan ...................................................................................... 137 7.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 140 7.3 Metodologi.......................................................................................... 141 7.3.1 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ........................................ 141 7.3.2 Definisi Operasional Variabel .................................................. 142 7.3.3 Teknik Analisis Data ................................................................ 142 7.4 Pembahasan ...................................................................................... 146 7.4.1 Deskripsi Data Penelitian ........................................................ 146 7.4.2 Model Regresi .......................................................................... 149 7.4.3 Pemilihan Teknik Estimasi Regresi Data Panel ..................... 153 7.4.5 Uji Asumsi Klasik ..................................................................... 157 7.4.6 Uji Statistik................................................................................ 161 7.4.5 Interpretasi Hasil ...................................................................... 163 7.4.5.1 Konstanta .................................................................... 163 7.4.5.2 Penanaman Modal Asing (PMA) ............................... 163



v



7.4.5.3 Pertumbuhan Ekonomi (Economic Growth) .............. 163 7.4.5.4. Upah Minimum Provinsi (UMP) ................................ 164 7.4.5.6 Jumlah Penduduk (POP) ........................................... 164 7.5 Simpulan dan Implifikasi Kebijakan .................................................. 164 7.5.1 Simpulan .................................................................................. 164 7.5.2 Implifikasi kebijakan ................................................................. 165 Daftar Pustaka ......................................................................................... 166 BAB 8 PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, UPAH MINIMUM DAN TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PENGANGGURAN USIA MUDA DI INDONESIA ........................................................................................................ 167 Abstrak ..................................................................................................... 167 8.1 Latar Belakang ................................................................................... 168 8.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 176 8.3 Metodologi Penelitian ........................................................................ 178 8.4 Hasil Dan Pembahasan ..................................................................... 181 8.5 Kesimpulan Dan Implikasi Kebijakan................................................ 188 8.5.1. Kesimpulan ............................................................................. 188 8.5.2. Implikasi Kebijakan ................................................................. 190 Daftar Pustaka ......................................................................................... 191 BAB 9 PENGARUH INFLASI, PERDAGANGAN, INVESTASI ASING LANGSUNG DAN SUKU BUNGA TERHADAP PENGANGGURAN DI INDONESIA ........................................................................................................ 192 Abstrak ..................................................................................................... 192 9.1 Pendahuluan ...................................................................................... 193 9.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 198 9.3 Metode Penelitian .............................................................................. 199 9.4 Pembahasan ...................................................................................... 202 9.5 Pengaruh Inflasi terhadap Pengangguran ........................................ 209 9.6 Pengaruh Perdagangan terhadap Pengangguran ........................... 212 9.7 Pengaruh Investasi Asing Langsung terhadap Pengangguran ....... 214 9.8 Pengaruh Suku Bunga Terhadap Pengangguran ............................ 216 9.9 Simpulan dan Implikasi Kebijakan .................................................... 217 Daftar Pustaka ......................................................................................... 220



vi



BAB 10 ANALISIS PENGANGGURAN TERDIDIK DI PULAU JAWA .......... 221 Abstrak ..................................................................................................... 221 10.1 Pendahuluan ................................................................................... 222 10.2. Rumusan Masalah .......................................................................... 227 10.3. Metodologi Penelitian ..................................................................... 228 10.3.1. Sumber Data...................................................................... 228 10.3.2. Metode Analisis ................................................................. 228 10.3.3. Pemilihan Model Regresi Data Panel............................... 229 10.3.4. Pengujian Asumsi pada Persamaan Regresi Linear ....... 232 10.4. Analisis Pengangguran Terdidik di Pulau Jawa ............................ 233 10.4.1. Pengangguran Terdidik di Pulau Jawa ............................ 233 10.4.2. Kontribusi PDRB seluruh provinsi di Pulau Jawa ............ 236 10.4.3. Kondisi Investasi Asing di Pulau Jawa ............................. 237 10.4.4. Klasifikasi Angkatan Kerja berdasarkan pendidikan di Pulau Jawa ...................................................................... 238 10.4.5. Analisis Pengaruh PDRB, Investasi Asing dan Pendidikan terhadap Pengangguran Terdidik di Pulau Jawa........... 239 10.5. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan ............................................. 244 10.5.1 Kesimpulan ......................................................................... 244 10.5.2. Implikasi Kebijakan............................................................ 245 Daftar Pustaka ......................................................................................... 246 BAB 11 ANALISIS PENGARUH PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI JAWA BARAT ........................ 247 11.1 Latar Belakang ................................................................................. 248 11.2 Tinjauan Pustaka ............................................................................. 253 11.2.1 Pertumbuhan Ekonomi ........................................................ 253 11.2.2 Pengangguran ...................................................................... 256 11.2.3 Kemiskinan ........................................................................... 257 11.3 Hasil Penelitian Dan Pembahasan ......................................... 259 11.4 Simpulan Dan Saran ....................................................................... 264 11.4. 1 Simpulan .............................................................................. 264 11.4.2 Saran .................................................................................... 265 Daftar Pustaka ......................................................................................... 266



vii



BAB 12 PENDAPATAN PEKERJA BEBAS SEKTOR PERTANIAN INDONESIA TAHUN 2017 ................................................................................ 267 Abstrak ..................................................................................................... 267 12.1 Pendahuluan .................................................................................... 268 12.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 271 12.3 Metodologi Penelitian ...................................................................... 272 12.4 Pembahasan .................................................................................... 274 12.4.1 Pendapatan Pekerja Bebas dan Pekerja Bebas di Sektor Pertanian di Setiap Provinsi Indonesia tahun 2017 ....... 274 12.4.2 Upah Minimum Provinsi (UMP) ......................................... 279 12.4.3 Pengaruh Jumlah Pekerja Bebas di Sektor Pertanian terhadap Pendapatan Pekerja Bebas di Sektor Pertanian ............................................................................ 283 12.5 Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan .............................................. 286 12.5.1 Kesimpulan ......................................................................... 286 12.5.2 Implikasi Kebijakan............................................................. 287 Daftar Pustaka ......................................................................................... 288 BAB 13 MIGRASI PENDUDUK DAN PELUANG BONUS DEMOGRAFI DI INDONESIA ........................................................................................................ 290 Abstrak ..................................................................................................... 290 13.1 Pendahuluan .................................................................................... 291 13.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 296 13.3 Metodologi Penelitian ..................................................................... 297 13.3.1 Sumber Data ....................................................................... 297 13.3.2 Metode analisis .................................................................... 298 13.3.2.1 Analisis Deskriptif .............................................................. 298 13.3.2.2 Analisis Regresi Linier Berganda ..................................... 298 13.3.2.3 Pengujian Asumsi pada Persamaan Regresi Linier ........ 299 13.4 Migrasi dan Peluang Mencapai Bonus Demografi di Indonesia .... 300 13.4.1 Kontribusi Produk Domestik Regional Bruto Seluruh Provinsi terhadap Perekonomian Indonesia Tahun 2016 ................ 300 13.4.2 Komposisi Penduduk Indonesia Tahun 2016 ..................... 302 13.4.3 Rasio Ketergantungan Penduduk di Indonesia .................. 303 13.4.4 Karakteristik Pekerja Risen di Indonesia Tahun 2016 ....... 305



viii



13.4.5 Analisis pencapaian bonus demografi melalui persamaan regresi .................................................................................. 310 13.5. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan ............................................. 312 13.5.1 Kesimpulan ........................................................................... 312 13.5.2 Implikasi Kebijakan .............................................................. 313 Daftar Pustaka ......................................................................................... 315 BAB 14 TANTANGAN PERKAWINAN USIA ANAK BAGI BONUS DEMOGRAFI DI INDONESIA ........................................................................... 316 Abstrak .................................................................................................... 316 14.1. Latar Belakang .............................................................................. 317 14.2. Rumusan Masalah ........................................................................ 321 14.3. Metodologi ..................................................................................... 322 14.3.1. Metode Analisis ................................................................. 324 14.3.2. Pengujian Hipotesis........................................................... 326 14.3.3. Pengujian Hipotesis........................................................... 327 14.4. Pembahasan ................................................................................. 328 14.5. Kesimpulan .................................................................................... 342 14.6. Implikasi Kebijakan ....................................................................... 343 Daftar Pustaka ........................................................................................ 344 BAB 15. ANALISIS POTRET KETIMPANGAN GENDER DI INDONESIA .. 346 Abstrak .................................................................................................... 346 15.1 Latar Belakang Masalah ................................................................ 347 15.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 352 15.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 352 15.4 Metodologi Penelitian..................................................................... 353 15.5 Pembahasan .................................................................................. 355 15.5.1. Gambaran Umum Kondisi Ketimpangan Gender di Indonesia ........................................................................ 355 15.5.2. Analisis IDG Indonesia Menggunakan Metode Biplot ..... 364 15.5.3. Interpretasi Gambaran Umum dan Hasil Pemetaan Biplot Ketimpangan Gender ..................................................... 368 15.6. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan ........................................... 373 Daftar Pustaka ........................................................................................ 376



ix



BAB 16 DETERMINAN KEMISKINAN LANSIA PEREMPUAN DI INDONESIA (DETERMINANTS OF POVERTY FOR ELDERLY WOMEN IN INDONESIA) .................................................................................................. 377 Abstrak .................................................................................................... 377 16.1 Pendahuluan .................................................................................. 378 16.2. Rumusan Masalah ........................................................................ 382 16.2.1 Tujuan Penelitian ................................................................ 383 16.3 Metodologi ...................................................................................... 384 16.3.1 Kerangka Penelitian ......................................................... 384 16.3.2 Metode Pengumpulan Data ............................................ 385 16.3.3 Metode Analisis ................................................................ 386 16.4 Hasil dan Pembahasan................................................................. 389 16.4.1 Karakteristik Lansia Perempuan di Indonesia ................. 389 16.4.2 Determinan Kemiskinan Lansia Perempuan di Indonesia .......................................................................... 397 16.5 Simpulan dan Implikasi Kebijakan ............................................... 400 16.6 Lampiran Data Variabel Dependent dan Independent dalam Penelitian........................................................................................ 402 Daftar Pustaka ........................................................................................ 406 BAB 17 ANALISIS DAMPAK BONUS DEMOGRAFI TERHADAP KESEMPATAN KERJA DI INDONESIA .......................................................... 407 17.1 Pendahuluan / Latar Belakang Masalah ...................................... 407 17.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 410 17.3 Metode Penelitian .......................................................................... 411 17.4 Pembahasan .................................................................................. 413 17.5 Hasil Penelitian Dan Pembahasan Hasil Uji Asumsi Klasik ......... 420 17.6 Simpulan Dan Implikasi Kebijakan ................................................ 427 17.6.1 Simpulan ............................................................................. 427 17.6.2 Implikasi Kebijakan............................................................. 428 Daftar Pustaka ........................................................................................ 429 BAB 18 ANALISIS PENGARUH DEPENDENCY RASIO TERHADAP DOMESTIC SAVING RATE DI INDONESIA .................................................... 430 Abstrak .................................................................................................... 430



x



18.1 Pendahuluan .................................................................................. 431 18.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 437 18.3 Metode Penelitian .......................................................................... 438 18.4 Pembahasan .................................................................................. 442 18.5 Simpulan dan Implikasi Kebijakan ................................................ 453 18.5.1 Simpulan ........................................................................... 453 18.5.2 Implikasi Kebijakan ........................................................... 455 Daftar Pustaka ........................................................................................ 456 BAB 19 Analisis Pengaruh Penduduk Usia Kerja, Tabungan dan Pendidikan Terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia.......................... 457 19.1 Latar Belakang ............................................................................... 458 19.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 460 19.3 Landasan Teori .............................................................................. 460 19.3.1 Produk Domestik Bruto .................................................... 461 19.3.2 Transisi Demografi............................................................ 462 19.3.3 Pertumbuhan penduduk usia kerja .................................. 464 19.3.4 Tabungan .......................................................................... 467 19.3.5 Angka Partispasi Kasar (APK) ......................................... 467 19.4. Metodologi Penelitian ................................................................... 468 19.5 Pembahasan .................................................................................. 470 19.5.1 Analisis Deskriptif............................................................ 470 19.5.2 Analisis Inferensia ........................................................... 473 19.6 Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan ............................................ 479 19.6.1 Kesimpulan...................................................................... 479 19.6.2 Implikasi Kebijakan ......................................................... 479 Daftar Pustaka ........................................................................................ 480 BAB 20 ANALISIS BONUS DEMOGRAFI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA ................................................................................................... 481 Abstrak .................................................................................................... 481 20.1 Latar Belakang ............................................................................... 482 20.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 487 20.3 Metode Penelitian .......................................................................... 487 20.4 Pembahasan .................................................................................. 493



xi



20.5 Kesimpulan ..................................................................................... 499 20.6 Rekomendasi Kebijakan ................................................................ 500 Daftar Pustaka ........................................................................................ 501 BAB 21 Analisis Bonus Demografi dan Perkembangan Ekonomi Kreatif di Jawa Barat ......................................................................................................... 503 Abstrak:............................................................................................................... 503 21.1 Latar Belakang Masalah .............................................................. 504 21.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 507 21.3 Metode Penelitian ......................................................................... 507 21.4 Pembahasan ................................................................................ 513 21.5 Simpulan Dan Implikasi Kebijakan .............................................. 527 Daftar Pustaka ...................................................................................... 529 BAB 22 ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN PENDUDUK, PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) DAN PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP ANGKA KEMISKINAN DI PROVINSI KALIMANTAN UTARA 530 Abstrak .................................................................................................. 530 22.1 Pendahuluan ................................................................................ 531 22.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 534 22.3 Metodologi .................................................................................... 535 22.4 Pembahasan ................................................................................ 536 22.5 Kesimpulan ................................................................................... 553 Daftar Pustaka ...................................................................................... 556



xii



DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 4.1. Gambar 4.2. Gambar 4.3. Gambar 6.1 Gambar 6.2 Gambar 6.3 Gambar 6.4 Gambar 8.1



Gambar 8.2 Gambar 11.1 Gambar 13.1



Gambar 13.2 Gambar 13.3 Gambar 13.3 Gambar 13.4 Gambar 13.5



kerangka konseptual …………………………………………….48 Hasil Perhitungan Uji Normalitas ……………………………….51 Persentase Perempuan Maluku usia 15 Tahun Keatas Berdasarkan Ijazah Tertinggi yang Ditamatkan ………………80 Persentase Perempuan Maluku usia 15 Tahun Keatas Berdasarkan Wilayah Tempat Tinggal ………………………..81 Persentase Perempuan Maluku usia 15 Tahun Keatas Berdasarkan Kelompok Umur ………………………………….82 Perkembangan PDRB Provinsi Jawa Tengah Tahun 19932007 ……………………………………………………………..115 Perkembangan PDRB Sektor Pertanian Tahun 1993-2007 Provinsi Jawa Tengah …………………………………………120 Uji Normalitas Dalam Bentuk Histogram …………………….124 Scatterplot untuk Uji Heteroskedastisitas …………………..126 Jumlah Pengangguran dan Bekerja (dalam %) di Kalangan Usia Muda Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan Tahun 2016 …………………………………………………………….171 Grafik Tingkat Pengangguran Usia Muda di Enam Negara ASEAN ………………………………….……………………….172 Peta Batas Wilayah kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat253 Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku dan Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan (2010=100) Menurut Provinsi di Indonesia (Miliar Rupiah), 2016 ……………………….…………………………301 Piramida Penduduk Indonesia, 2016 …………………………302 menunjukkan bahwa window of opportunity Indonesia cukup panjang dari 2015-2036. ……………………………………….303 Rasio ketergantungan penduduk Indonesia, 2015-2045 ….303 Rasio ketergantungan penduduk Menurut Provinsi di Indonesia, 2016 . ………………………………………………304 Jumlah Pekerja Risen Menurut Provinsi di Indonesia, 2016 305



xiii



Gambar 14.1. Persentase Perempuan Pernah Kawin Usia 20 – 24 Tahun yang Menikah Sebelum Usia 18 Tahun menurut Provinsi di Indonesia, 2016 ……………………….……………………….331 Gambar 15.1. Hasil Uji Normalitas Data Variabel X1, X2, X3, dan IDG …..364 Gambar 15.2 Uji biplot ……………………….…………………………………365 Gambar 16.1 Kerangka Penelitian ……………………….………………….385 Gambar 1 7.1 Piramida Penduduk Indonesia ………………………………..409 Gambar 17.2 Grafik Perkembangan Dependency Ratio di Indonesia Tahun 1998-2017 ……………………….………………………………416 Gambar 17. 3 Grafik Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja di Indonesia Tahun 1998-2017 ……………………….…………………….417 Gambar 17.4 Grafik Perkembangan Kesempatan Kerja di Indonesia Tahun 1998-2017 ……………………….………………………………420 Gambar 17.5 Hasil Uji Normalitas ……………………….……………………421 Gambar 19.1 Tingkat rasio ketergantungan penduduk Indonesia ………..463 Gambar19.2 Jumlah penduduk usia kerja ………….……………………….464 Gambar 19.3. Piramida penduduk indonesia tahun 2017 …………………465 Gambar 19.4. Pertumbuhan PDB Indonesia ………………………………..470 Gambar 19.5 Persentase Penduduk usia kerja terhadap total penduduk ..471 Gambar 19.6 Persentase Tabungan terhadap PDB ……………………….472 Gambar 16.7 APK tingkat perguruan tinggi …………………………………473 Gambar 20.1 Dependency Ratio (Rasio Ketergantuangan) dari Tahun 19832017 ……………………….…………………………………….483 Gambar 20.2 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia …………………………...494 Gambar 20.3 Proyeksi Depedency Ratio 2015-2045 ……………………….496 Gambar 20.4 Investasi di Indonesia …………………………………………497 Gambar 20.5 Output Hasil Estimasi Variabel EVIEWS 10 …………………498 Gambar 21.1 Hasil Uji Normalitas ……………………….…………………521 Gambar 21.2 Hasil uji Autokorelasi ……………………….…………………522 Gambar 21.3 Hasil Uji Multikolinearitas……………………….………………522 Gambar 21.4 Hasil Uji Heterokedastisitas ……………………….…………523 Gambar 21.5 Hasil Uji Regresi Linear Berganda ……………………………523 Gambar 21.6 Hasil Forecasting Pertumbuhan PDRB Ekonomi Kreatif Tahun 2010-2030 ……………………….……………………………..526 Gambar 22.1 Struktur Perekonomian Pulau Kalimantan Tahun 2017 ……541



xiv



DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Tabel 1.2 Tabel 1.3. Tabel 1.4 Tabel 1.5 Tabel 2.1 Tabel 2.3 Tabel 2.4 Table 2.5 Tabel 2.6 Tabel 2.7 Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 4.1.



Tabel 4.2.



Tabel 4.3. Tabel 4.4. Tabel 4.5. Tabel 4.6.



Tabel 5.1 Tabel 6.1 Tabel 6.2 Tabel 6.3



Hasil dari Pengujian Unit Root Test-ADF . ………………………..17 Hasil Vector Auto Regressive ……………………….……………18 Hasil Kointegrasi-Johansen ……………………….………………20 Hasil Long Run Analysis ……………………….…………………21 Hasil Regresi Analisis Short Run ……………………….…………24 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja TPAK ……………………….35 Rata-rata Lama Sekolah Wanita Indonesia……………………….36 Hasil Perhitungan Regresi Linier Berganda……………………….49 Hasil Perhitungan Uji Heterokedastisitas ……………………….52 Hasil Perhitungan Uji Autokorelasi ……………………………….52 Hasil Multikolinieritas ………………………………….…………….53 Persamaan Model Regresi Linier Berganda………………………69 Uji Autokorelasi ……………………….……………………….……70 Persentase Perempuan Maluku usia 15 Tahun Keatas Berdasarkan Status Kedudukan Pekerjaan Utama dan Lokasi Tempat Tinggal ……………………….……………………….……83 Persentase Perempuan Maluku usia 15 Tahun Keatas Berdasarkan Ijazah Tertinggi yang Ditamatkan dan Status Pekerjaan ……………………….……………………….……………84 Persentase Perempuan Maluku usia 15 Tahun Keatas Berdasarkan Status Pekerjaan dan Kelompok Umur …………..85 Hasil Statistik Uji Likelihood Ratio Omnibus Tests of Model Coefficients ……………………….……………………….………86 Hasil Uji Kesesuaian Model Hosmer and Lemeshow Test………87 Penduga Parameter, Statistik Uji Wald, dan Odds Ratio Terhadap Status Bekerja Perempuan di Maluku Variables in the Equation ……………………….……………………….…………88 Uji Statistik Durbin-Waston ……………………….………………102 PDRB Menurut Lapangan Usaha Atas Harga Berlaku Provinsi Jawa Tengah (Juta) ……………………….……………………….119 Komposisi penduduk Provinsi Jawa Tengah tahun 1993-2007 122 Kesempatan Kerja Sektor Pertanian di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1993-2007 (Orang) ……………………….………………123



xv



Tabel 6.4 Tabel 6.5 Tabel 7.1 Tabel 7.2



Tabel 7.3. Tabel 7.4 Tabel 7.5. Tabel 7.6. Tabel 7.7. Tabel 7.8. Tabel 7.9. Tabel 7.10. Tabel 7.11. Tabel 8.1 Tabel 8.2 Tabel 8.3 Tabel 8.4 Tabel 8.5 Tabel 8.6 Tabel 9.1 Tabel 9.2 Tabel 9.3 Tabel 9.4 Tabel 9.5 Tabel 10.1 Tabel 10.2. Tabel 10.3. Tabel 10.4. Tabel 10.5.



xvi



Uji Autokorelasi ……………………….……………………………125 Hasil Estimasi Regresi Linear Berganda ……………………….127 Jumlah Penduduk Indonesia (dalam ribuan) Tahun 2011 – 2017138 Jumlah Pengangguran Terdidik (berpendidikan SMA ke atas), Jumlah Total Pengangguran Terbuka dan Persentase Jumlah Pengangguran Terdidik terhadap Jumlah Total Pengangguran Terbuka di Indonesia Tahun 2011 – 2017……………………….139 Model Comman Effect ……………………….…………………….150 Model Fixed Effect ……………………….……………………….151 Model Random Effect ……………………….…………………….152 Hasil Uji Chow ……………………….……………………….153 Hasil Uji Chow ……………………….……………………….155 Hasil Uji Multikolinearitas ……………………….…………………158 Dasar Uji Autokorelasi ……………………….………………….159 Hasil Uji Glejser ……………………….……………………….160 Hasil Uji t ……………………….……………………….…………162 Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Berdasarkan Tingkat Pendidikan, Tahun 2014-2018……………175 Hasil Uji Normalitas ……………………….……………………….181 Hasil Uji Multikolinearitas……………………….………………….182 Hasil Uji Autokorelasi ……………………….…………………….183 Hasil Uji Heteroskedastisitas ……………………….…………….183 Hasil Uji Regresi ……………………….……………………….186 Tabel Total Angkatan Kerja, Persentase Pengangguran dan Total Pengangguran ……………………….……………………….197 Hasil Uji Unit Root Test ……………………….…………….203 Hasil Uji Kointegrasi Johansen ……………………….………….205 Hasil Regresi Long Run ……………………….……………….206 Hasil Uji ECM (Short Run) ……………………….……………….208 Angkatan Kerja berdasarkan Klasifikasi Pendidikan di Pulau Jawa Tahun 2016-2017 ……………………………………….….…….238 Hasil Uji Chow ……………………………………….….……….239 Hasil Uji Hausman ……………………………………….……….239 Hasil Uji Asumsi Normalitas ……………………….…………….240 Hasil Uji Glezser ……………………….……………………….240



Tabel 10.6. Tabel 10.7 Tabel 11.1 Tabel 11.2 Tabel 11.3. Tabel 11.4. Tabel 11.5. Tabel 12.1 Tabel 12.2 Tabel 12.3 Tabel 12.4 Tabel 13.1 Tabel 13.2. Tabel 14.1.



Tabel 14.2.



Tabel 14.3.



Tabel 14.4. Tabel 14.5. Tabel 14.6. Tabel 15.1. Tabel 15.2.



Hasil Uji Asumsi Non-Multikolinearitas ………………………….241 Hasil Estimasi Fixed Effect Model (FEM) ……………………….241 Nama Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat………………….252 Tabel PDRB atas dasar harga konstan Provinsi Jawa Barat Tahun 2010 2017 ……………………….……………………….260 Pengangguran di Provinsi Jawa Barat tahun 2010-2017 …….260 Persentase penduduk miskin/tingkat kemiskian Provinsi Jawa Barat tahun 2010-2014 ……………………….………………….261 Tingkat Pengangguran Dan Tingkat Kemiskinan Serta Pertumbuhan Ekonomi Di Provinsi Jawa Barat ……………….262 Rata – rata Pendapatan bersih sebulan pekerja bebas di sektor pertanian tahun 2017 menurut provinsi ………………………….275 Upah Minimum Provinsi Indonesia Tahun 2017…………………280 Pendapatan Pekerja……………………….……………………….283 Uji Heteroskedasticity……………………….………………………285 Karakteristik Pekerja Risen di Indonesia, 2016 …………………306 Jumlah Tenaga Kerja Risen Berdasarkan Lapangan Usaha dan Status dalam Pekerjaan Utama, 2016 …………………………..308 Persentase Perempuan Pernah Kawin Usia 20 – 24 Tahun Menurut Usia Perkawinan Pertama dan Daerah Tempat Tinggal, di Indonesia 2015 ……………………….………………………….330 Persentase Perempuan Pernah Kawin Usia 20 – 24 Tahun menurut Jumlah Anak dan Usia Perkawinan Pertama di Indonesia, 2015 ……………………….……………………………333 Persentase Perempuan Pernah Kawin Usia 20 – 24 Tahun Menurut Usia yang Bekerja menurut Sektor Pekerjaan dan Usia Perkawinan Pertama di Indonesia, 2015 ……………………….334 Karakteristik Pendidikan Perempuan Pernah Kawin Usia 20 – 24 Tahun Menurut Usia Perkawinan Pertama di Indonesia, 2015..334 Summary statistics dari variabel - variabel penelitian ………….339 Hasil Persamaan Regresi ……………………….…………….341 Peringkat dan Nilai Global Gender Gap Index Indonesia Tahun 2017 ……………………….……………………….……………….347 Kelompok Provinsi Berdasarkan Nilai Capaian IDG Tahun 2017 ……………………….……………………….………………362



xvii



Tebel 18.1 Tabel 18.2 Tabel 18.3 Tabel 21.1



Populasi Indonesia berdasarkan Umur ………………………….434 Dependency Ratio di Indonesia Tahun 2015 – 2035 ………….447 Hasil Regresi……………………….……………………….……….451 Jumlah Penduduk (Dalam Ribuan) Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin serta Dependensi Rasio 2010-2016 di Provinsi Jawa Barat……………………….……………………….………….514 Tabel 21.2 Nilai FOB Ekspor Ekonomi Kreatif (Dalam US$) Menurut Subsektor Ekraf 2010-2016 di Provinsi Jawa Barat…………….518 Tabel 21.3 Jumlah Penduduk Bekerja di Sektor Ekonomi Kreatif di Provinsi Jawa Barat, 2011-2016 ……………………….519 Tabel 21.4 PDRB Ekonomi Kreatif Provinsi Jawa Barat Atas Dasar Harga Konstan (Dalam Miliar Rupiah), 2010-2016 …………………….519 Tabel 22.1 Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Utara, 2015 -2018….537 Tabel 22.2 Penduduk Domestik Regional Bruto Atas Dasar harga Berlaku Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Utara (juta rupiah), 2013-2017 ……………………….……………………….539 Tabel 22.3 Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2010 Menurut kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Utara (juta Rupiah), 2013-2017 ……………………….……………………….540 Tabel 22.4 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten-Kota Atas Dasar Harga Konstan 2010, Tahun 2013 – 2017 (Persen) ………………….543 Tabel 22.5 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Kalimantan Utara Menurut Daerah, September 2017 – Maret 2018……………….544 Tabel 22.6 Garis Kemiskinan, Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin September 2017 –Maret 2018………………………………….….546 Tabel 22.7 Persentase Komoditi Makanan Terhadap Garis Kemiskinan Makanan Daerah, Maret 2018……………………….…………….547 Tabel 22.8 Persentase Komoditi Non Makanan Terhadap Garis Kemiskinan Non Makanan Menurut Daerah, Maret 2018 ……………………548 Tabel 22.9 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Kalimantan Utara Menurut Daerah, September 2017 – Maret 2018 ……………………….………….550 Tabel 22.10 Ketimpangan Pengeluaran penduduk di Kalimantan Utara Menurut Daerah, September 2017 – Maret 2018 ……………551



xviii



DAFTAR GRAFIK Grafik 1.1 Grafik 1.2 Grafik 1.3 Grafik 1.4 Grafik 1.5 Grafik 3.1 Grafik 3.2 Grafik 3.3 Grafik 5.1 Grafik 5.2 Grafik 5.3 Grafik 5.4 Grafik 7.1. Grafik 9.1 Grafik 9.2 Grafik 9.3 Grafik 9.4 Grafik 9.5 Grafik 9.6 Grafik 9.7 Grafik 9.8 Grafik 10.1. Grafik 10.2. Grafik 10.3. Garfik 10.4. Grafik 10.5.



Data Tingkat Partisipasi Tenaga Kerja di Indonesia Periode 2000-2017 ……………………….……………………….………….3 Proyeksi GDP Negara di Asia Tenggara tahun 2016-2020 ……4 Modal Manusia Rank ……………………….5 Tingkat Partisipasi Tenaga Kerja Terdidik Berdasarkan Level Pendidikan di Indonesia ……………………….7 Gross Fixed Capital Formation di Indonesia Periode 2000-20.. 78 Jumlah Tenaga Kerja……………………………………….………67 Jumlah Industri ……………………………………….……….68 Jumlah Upah ……………………………………….……….68 Jumlah Industri Besar Sedang di Jawa Barat ………………….95 Tenaga Kerja Industri Besar Sedang di Jawa Barat ………….96 Upah Minimum Provinsi Jawa Barat ………………………….….97 Inflasi Provinsi Jawa Barat ……………………….……………….98 Hasil Uji Normalitas……………………….……………………….157 Tingkat Pengangguran Beberapa Negara Asean …………….194 Total Angkatan Kerja di Indonesia Tahun 1996-2017 ……….195 Tingkat Pengangguran di Indonesia …………………………….196 Pengangguran dan Inflasi ……………………….……………….210 Kurva Philip ……………………….……………………….211 Pengangguran dan Perdagangan ……………………………….213 Investasi Asing Langsung dan Pengangguran …………….215 Suku Bunga dan Pengangguran ……………………….…….217 Rasio Pengangguran Terdidik terhadap Pengangguran Total di Indonesia Tahun 2000-2018 ……………………….………….224 Rasio Pengangguran Terdidik terhadap Pengangguran Total di Pulau Jawa Tahun 2017 ……………………….……………….225 Jumlah Pengangguran Terdidik di Pulau Jawa Tahun 20102017 ……………………….……………………….………………234 Persentase Jumlah Pengangguran Terdidik terhadap Jumlah Pengangguran di Pulau Jawa Tahun 2016-2017 …………….235 PDRB - ADHK dan PDRB -ADHB seluruh Provinsi di IndonesiaTahun 2016 ……………………….……………….236



xix



Grafik 10.6. Grafik 12.1. Grafik 12.2. Grafik 12.3. Grafik 14.1. Grafik 14.2.



Grafik 14.3. Grafik 14.4. Grafik 15.1 Grafik 15.2 Grafik 15.3 Grafik 15.4 Grafik 15.5 Grafik 16.1. Grafik 16.2. Grafik 16.3 Grafik 16.4. Grafik 16.5.



xx



Investasi Asing di Pulau Jawa Tahub 2006-2017 …………….237 Rata – rata Pendapatan bersih sebulan pekerja bebas di sektor pertanian tahun 2017 menurut provinsi ……………………….274 Rata – Rata Pendapatan Bersih sebulan pekerja bebas di sektor pertanian tahun 2017 menurut provinsi ……………………….278 UMP dan Rata – Rata Pendapatan Pekerja Bebas sektor Pertanian Tahun 2017 ……………………….………………….282 Perbandingan Laju Pertumbuhan Ekonomi dan Dependency Ratio di Indonesia,1960-2017 ……………………….………328 Perbandingan Persentase Perempuan Pernah Kawin Usia 20 – 24 Tahun yang Menikah Sebelum Usia 18 Tahun menurut Daerah Tempat Tinggal, 2008 - 2017 …………………………..329 Total Fertility Rate (TFR) di Indonesia, 1960 – 2016 ……….332 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan di Indonesia, 1990 – 2017 ……………………….………………………………333 Pencapaian NIlai Index Pemberdayaan Gender (IDG) Indonesia, Tahun 2010-2017 ……………………….……………………….350 Pencapaian NIlai Index Pemberdayaan Gender (IDG) Indonesia, Tahun 2010-2017 ……………………….……………………….356 Pencapaian 3 Komponen IDG Indonesiam Tahun 2010 s/d 2017 ……………………….……………………….…………….357 Tingkat Partisipasi Angkatan kerja Berdasarkan Jenis Kelamin, Tahun 2014 s/d 2017 ……………………….………………….359 Rata-rata Upah/Gaji Bersih Selama Sebulan Buruh/Karyawan Berdasarkan Jenis Kelamin ……………………….………….361 Angka Rasio Ketergantungan (dependency ratio) Indonesia 2010 – 2035 ……………………….…………………………….379 Piramida Penduduk Indonesia Tahun 2020 - 2035 ………….380 Persentase Penduduk Lansia Indonesia Berdasarkan 5 Provinsi dengan Struktur penduduk Tua Tahun 2017 ……………….390 Rasio Ketergantungan Lansia Perempuan di Indonesia Tahun 2010-2017 ……………………….…………………………….391 Rata-rata Lama Sekolah (RLS) Lansia Perempuan di Indonesia Berdasarkan Provinsi Tahun 2017 …………………………….392



Grafik 16.6 Grafik 16.7 Grafik 16.8



Grafik 16.9 Grafik 18.1 Grafik 18.2 Tabel 18.2 Grafik 18.2 Grafik 18.3 Grafik 18.4 Grafik 18.5 Grafik 18.6 Grafik 18.1



Persentase Lansia Perempuan Menurut Status Perkawinan di Indonesia Berdasarkan Provinsi Tahun 2017 …………….393 Angka Kesakitan Penduduk Lansia Perempuan di Indonesia Tahun 2011-2017 …………………………….………………….395 Persentase Penduduk Lansia Perempuan Tidak Bekerja (Pengangguran, Mengurus Rumah Tangga dan Lainnya) Berdasarkan Provinsi di Indonesia Tahun 2017……..396 Persentase Penduduk Lansia Perempuan Menurut Status Ekonomi Rumah Tangga Tahun 2014-2017……………………………….397 Pertumbuhan Ekonomi dan Gross Domestic Saving di Indonesai Tahun 1998-2017 ……………………….………………………432 Dependency Rario di Indonesia pada Tahun 1998-2017 …….435 Proyeksi Dependency Ratio di Indonesia Tahun 2020-2030 ..436 Piramida Penduduk Indonesia Tahun 2015 ……………………443 Piramida Penduduk Indonesia Tahun 2025 ……………….444 Piramida Penduduk Indonesia Tahun 2035 ……………….444 Piramida Penduduk Indonesia Tahun 2045 ………………….445 Dependency Ratio di Indonesia Tahun 2015 – 2035 ……….448 Pertumbuhan Ekonomi dan Gross Domestic Saving di Indonesai Tahun 1998-2017 …………………………………………………450



xxi



BAB 1 PENGARUH PARTISIPASI ANGKATAN KERJA TERDIDIK TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA: PERSPEKTIF MODAL MANUSIA Oleh: Shinta Puspasari Abstrak Pendidikan merupakan suatu investasi dalam pembangunan. Beberapa studi telah menentukan pengaruh modal manusia terhadap pertumbuhan ekonomi. Sektor pendidikan dengan memosisikan manusia sebagai fokus dalam pembangunan telah memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Berdasarkan hasil analisis regresi short dan long run pada penelitian, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh GFCF secara signifikan dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Modal manusia berdasarkan tingkat pendidikan dasar dan lanjutan memiliki pengaruh yang signifikan baik dalam waktu jangka panjang dan jangka pendek. Modal manusia di negara maju dengan negara sedang berkembang akan berbeda kualitas maupun kuantitasnya. Indonesia sebagai negara sedang berkembang dihadapkan pada suatu realitas bahwa produktivitas tenaga kerja masih rendah terlihat dari elastisitas yang relatif kecil pada setiap variabel sehingga pengaruh elastisitas terhadap pertumbuhan ekonomi rendah. Sedangkan di negara maju, pendidikan dapat menjadi suatu investasi modal manusia. Akibatnya kualitas tenaga kerja yang tinggi mengakibatkan produktivitas tenaga kerja yang tinggi pula. Pembentukan modal manusia harus didorong dengan adanya kebijakan pemerintah tentang investasi terhadap modal manusia dan modal fisik. Dengan adanya subsidi pendidikan dari pemerintah harus dibarengi dengan tumbuhnya tingkat kesadaran masyarakat di Indonesia yang mendukung program tersebut dengan cara menyekolahkan anak-anaknya sampai pendidikan paling tinggi. Hal ini karena tingkat partisipasi angkatan kerja terdidik dengan tingkat pendidikan tertentu akan meningkatkan produktivitas yang berujung pada peningkatan produktivitas nasional dan meningkatkan pendapatan perkapita penduduk. Kata Kunci: GFCF (Gross Fixes Capital Formation), Modal Manusia, Angkatan Kerja.



1



1.1 Pendahuluan Kemunculan Aliran Neoklasik pada tahun 1950-an memberikan pemahaman baru mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Teori Neoklasik tentang pertumbuhan ekonomi dikembangkan oleh Robert Solow pada tahun 1956, disebut juga sebagai Model Pertumbuhan Solow. Teori Model pertumbuhan ini meyakini bahwa yang menentukan pertumbuhan ekonomi dan standard of living suatu negara adalah Tabungan Negara dan Investasi sehingga akan berpengaruh positif terhadap Pendapatan dan Modal suatu negara dalam jangka panjang (Solow, 1956). Tabungan dan Investasi di suatu negara berpengaruh positif terhadap kemampuan produksi suatu negara. Berdasarkan teori Solow, Modal dapat dibagi menjadi 4: Modal Fisik, Modal Manusia, Sumber Daya Alam, dan Modal Sosial (Nguyen, 2009) Penggunaan Modal Fisik secara jangka panjang, akan mengalami depresiasi atau penyusutan karena harga dari suatu Modal Fisik akan mengalami penyusutuan. Begitu pula untuk penggunaan Sumber Daya Alam, dalam jangka panjang akan mengakibatkan sumber daya tersebut semakin lama semakin berkurang atau bahkan dapat habis. Sementara penggunaan Modal Manusia dalam jangka panjang tidak mengalami penyusutan ataupun habis. Pengelolaan Modal Manusia di setiap negara berbeda-beda. Pengelolaan Modal Manusia di negara maju tentu akan berbeda dengan negara berkembang. Indonesia sebagai negara berkembang berada di peringkat keempat dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia yang mencapai 264 juta jiwa (World Bank, 2018), memiliki kesempatan untuk mengoptimalkan Modal Manusia yang ada untuk meningkatkan produktivitas. Sebagai salah satu negara dengan populasi terbanyak maka Indonesia memiliki keuntungan dalam 2



jumlah tenaga kerja. World Bank mendefiniskan tingkat partisipasi angkatan kerja sebagai persentase antara tenaga kerja yang bekerja terhadap total populasi penduduk yang berumur antara 15 tahun  64 tahun. Berikut data Tingkat Partisipasi Tenaga Kerja di Indonesia. Grafik 1.1 Data Tingkat Partisipasi Tenaga Kerja di Indonesia Periode 2000-2017



LABOR FORCE PARTICIPATION RATE (%) 67.9167.74 67.5567.35 67.5367.5867.6267.6267.5967.5367.5467.5367.5067.71 67.11 66.3766.28 65.82



(Sumber: Data World Bank)



Berdasarkan grafik 1.1, Tingkat Partisipasi Tenaga Kerja di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi. Penurunan terbesar terjadi pada tahun 2015, yaitu dari 67,11% menjadi 65,82%. Atau turun sebesar 1,29% dari tahun sebelumnya. Terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan penurunan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja pada tahun 2015. Salah satunya ialah terjadi perubahan Tenaga Kerja yang bekerja di sektor formal ke informal. Adapun pada tahun 2010 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja berada pada posisi tertinggi, yaitu sebesar 67,91 atau naik sebesar 0,31% dari tahun sebelumnya.



3



Kenaikan Partisipasi Tenaga Kerja di Indonesia dihadapkan pada suatu realitas bahwa produktivitas tenaga kerja masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi di Indonesia dibandingkan dengan negara berkembang lainnya di ASEAN, seperti tampak pada grafik berikut. Grafik 1.2 Proyeksi GDP Negara di Asia Tenggara tahun 2016-2020



Sumber: Standard Charter



Berdasarkan grafik 1.2, pertumbuhan GDP Indonesia masih relatif lamban dibandingkan dengan negara Vietnam dan Philipina yang sama-sama merupakan negara berkembang di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan teori Solow, untuk meningkatkan produktivitas suatu negara dibutuhkan investasi Modal Manusia karena ilmu pengetahuan tidak memiliki kaidah diminishing return. Pada saat ini Indonesia berada pada urutan ke-69 negara, dengan



4



Indeks Modal Manusia tertinggi. Urutan ini masih kalah dengan beberapa negara berkembang di ASEAN lainnya. Grafik 1.3 Modal Manusia Rank



Sumber: World Economic Forum



Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Schultz, Konsep Modal Manusia sebagai sumber daya manusia menekankan pada pentingnya kualitas di samping kuantitas dan mengasosiasikan Modal Manusia dengan pendidikan (Schultz, 1960). Indonesia dengan jumlah partisipasi angkatan kerja yang banyak belum tentu mendapatkan kualitas yang baik. Oleh karena itu, sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Schultz, pendidikan merupakan suatu bentuk investasi dalam pembangunan. Pembangunan sektor pendidikan dengan memposisikan manusia sebagai tokoh utama dalam pembangunan, akan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara.



5



Terdapat dua pendekatan penting dalam teori Modal Manusia, yaitu: Pendekatan Nelson-Phelps dan Pendekatan Lucas. Pendekatan NelshonPhelps menyimpulkan bahwa Modal Manusia merupakan faktor yang penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. Aghion dan Howit mendukung teori tersebut dan menyatakan bahwa angkatan kerja yang lebih ahli dan terdidik akan lebih mampu mengisi kualitas lapangan pekerjaan yang ditentukan sehingga pekerja yang mempunyai pendidikan lebih tinggi akan mampu merespon inovasi (teknologi) yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Phelps, 1966). Adapun pendekatan Lucas lebih menekankan adanya suatu signifikansi akumulasi dari Modal Manusia terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut lucas, terdapat dua faktor yang mempengaruhi pembentukan Modal Manusia yaitu Pendidikan dan Learning by Doing (Lucas, 1988). Sejalan dengan teori investasi Modal Manusia, untuk menciptakan tenaga



kerja



terdidik,



Indonesia



menetapkan



anggaran



pendidikan



mendapatkan porsi 20% dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Sektor pendidikan di Indonesia itu sendiri dibagi ke dalam 2 sektor yaitu, sektor pendidikan formal dan sektor pendidikan informal. Tetapi penelitian ini akan memfokuskan sektor pendidikan formal karena output yang dihasilkan dari sektor pendidikan formal lebih mudah terukur dibanding sektor informal dan sektor pendidikan formal berhubungan langsung dengan mekanisme Pasar Tenaga Kerja di Indonesia dalam melakukan seleksi penerimaan calon pekerja. Sektor pendidikan formal di Indonesia terbagi ke dalam 3 level, yaitu level pendidikan dasar (SD), level pendidikan menengah (SMP dan SMA), dan level pendidikan lanjutan (Perguruan Tinggi). Jika dikaitkan dengan tenaga kerja maka dapat dilihat Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Terdidik berdasarkan level pendidikan adalah sebagai berikut.



6



Grafik 1.4 Tingkat Partisipasi Tenaga Kerja Terdidik Berdasarkan Level Pendidikan di Indonesia



100 80 60 40



20 0



Labor force with advanced education (%) Labor force with Intermediate education (%) Labor force with Basic education (%)



Sumber: World Bank



Berdasarkan grafik 1.4 Tingkat Partisipasi Tenaga Kerja Terdidik mengalami kenaikan setiap tahunnya. Kenaikan terbesar terjadi pada tahun 2004. Hal ini terjadi karena terdapat subsidi pemerintah dan program-program pemerintah di bidang pendidikan. Tetapi Investasi terhadap modal manusia tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya investasi modal fisik. Gross Fixed Capital Formation (GFCF) didefinisikan sebagai pengadaan, pembuatan, serta pembelian barang-barang modal baru yang berasal dari dalam negeri (domestik) dan barang modal baru ataupun bekas dari luar negeri. Modal Fisik adalah peralatan yang digunakan untuk berproduksi dan biasanya mempunyai umur pakai satu tahun atau lebih. GFCF dapat dibedakan atas pembentukan modal dalam bentuk bangunan/konstruksi, pembentukan modal dalam bentuk



7



mesin-mesin dan alat-alat perlengkapan, pembentukan modal dalam bentuk alat angkutan, dan pembentukan modal untuk modal fisik lainnya. Indonesia sebagai negara berkembang memiliki Investasi baik dari dalam maupun luar negeri. Hal tersebut dapat dilihat dari Gross Fixed Capital Formation (GFCF) Indonesia dari tahun 2000-2017 sebagai berikut. Grafik 1.5 Gross Fixed Capital Formation di Indonesia Periode 2000-2017



Gross Fixed Capital Formation (% Growth) 45 40 35 30



25 20 15 10



5 0 1995



2000



2005



2010



2015



2020



Sumber: Wolrd Bank



Berdasarkan Grafik 1.5, GFCF di Indonesia dari kurun waktu 20002017 mengalami fluktuasi dan cenderung mengalami penurunan. Hal ini terjadi karena beberapa faktor internal dan ekternal, seperti stabilitas politik di indonesia, banyaknya kasus korupsi, naiknya upah minimum, dan tingginya suku bunga. Berdasarkan data-data makro yang telah ditampilkan pada paragrafparagraf sebelumnya, Indonesia memiliki Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja



8



terdidik yang meningkat setiap tahunnya sementara Investasi Modal Fisik cenderung mengalami penurunan. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya meningkat, tetapi masih kalah dibanding dengan beberapa negara berkembang di ASEAN lainnya. Beberapa penelitian sebelumnya menemukan adanya pengaruh yang positif antara Modal Manusia melalui pendekatan level pendidikan dengan Pertumbuhan Ekonomi dalam jangka panjang dan penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa human capital sangat penting untuk pemanfaatan modal fisik karena peningkatan persediaan modal manusia di suatu negara menarik investasi dalam modal fisik untuk mempercepat output sehingga baik untuk pertumbuhan ekonomi (Hina Amir, dkk, 2015). 1.2 Rumusan Masalah Penelitian ini merupakan tambahan dalam literatur mengenai hubungan antara modal manusia dan pertumbuhan ekonomi, dengan menganalisis peran pembentukan modal manusia melalui pendekatan tingkat pendidikan tenaga kerja terdidik. Pada penelitian sebelumnya, pengukuran pendekatan pembentukan modal manusia hanya dilihat dari pendaftaran sekolah dan pengeluaran pemerintah. Tetapi kedua faktor tersebut tidak berpengaruh secara langsung terhadap pasar tenaga kerja karena dalam proses seleksi penerimaan pegawai yang biasanya digunakan adalah level pendidikan. Sementara pengeluaran pemerintah tidak mengikutsertakan pendidikan yang dikelola oleh pihak swasta. Oleh karena itu, penelitian ini akan menganalisis Pengaruh Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Terdidik terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia melalui Perspektif Modal Manusia berdasarkan level pendidikan.



9



1.3 Metodologi Penelitian 1.3.1 Pemilihan Lokus Penelitian Penelitian ini mengambil data tingkat partisipasi angkatan kerja terdidik berdasarkan level pendidikan di Indonesia. Angkatan kerja dapat didefinisikan sebagai bagian dari populasi yang aktif secara ekonomi yang dapat memasok tenaga kerja untuk produksi barang dan jasa di dalam negeri. Indonesia memiliki angkatan kerja yang sangat besar karena populasinya yang besar ukuran data tenaga kerja terdidik dibagi menjadi level pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan lanjutan. Data tersebut akan disajikan dalam periode 16 tahun, mulai dari tahun 2000-2017 1.3.2 Sumber data Penelitian ini menggunakan data time series untuk periode 2000-2017. Data yang disajikan merupakan data yang diambil dari beberapa bank data, yaitu World Bank Data dan International Labor Organization (ILO). 1.3.3 Model Penelitian Teori pertumbuhan neoklasik dikembangkan oleh Solow dan Swan menggunakan model fungsi produksi dari Cobb Douglas Fungsi produksi Cobb Douglas adalah bentuk dari fungsi produksi dalam aspek ekonomi, fungsi ini biasanya digunakan untuk menandakan adanya hubungan antara dua atau lebih input, khusunya Modal Fisik dan Tenaga kerja dengan jumlah hasil yang dibuat oleh input tersebut (output). Semakin besar output yang dihasilkan suatu negara maka semakin cepat juga negara tersebut mencapai kesejahteraan (Sukirno, 2016). Karena ukuran kesejahteraan suatu negara dapat dilihat dari pertumbuhan ekonominya sehingga penelitian ini menggunakan teori fungsi produksi untuk mengukur pengaruh modal manusia dan modal fisik dengan pertumbuhan ekonomi.



10



Dari teori Cobb Douglas tersebut mendapatkan persamaan sebagai berikut: Y = A𝐿𝛽 𝐾 𝛼 Dimana: 



Y = total produksi (nilai sebenarnya dari suatu barang yang diproduksi dalam satu tahun)







L = Tenaga Kerja (Total tenaga kerja yang bekerja setiap jamnya dalam satu tahun)







K = Modal Fisik (nilai nyata dari semua mesin, peralatan, dan bangunan)







A = Total Faktor Produktivitas







α and β elastisitas output dari masing-masing modal dan tenaga kerja. Nilai-nilai ini merupakan konstanta yang ditentukan oleh teknologi yang tersedia. Beberapa studi yang telah untuk menentukan pengaruh modal manusia



terhadap pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan fungsi produksi Cobb Douglas , salah satunya adalah Hina Amir,dkk dengan judul penelitian Impact of educated labor force on Economic growth of Pakistan: A human capital perspective. Di dalam penelitian tersebut menggunakan Pertumbuhan GDP riil sebagai parameter untuk mengukur pertumbuhan ekonomi. Sementara untuk input modal, penelitian ini menggunakan Stock Fisik dan Input Tenaga kerja. Untuk Modal Manusia pengukurannya diukur dari tingkat pendidikan angkatan kerja. Penelitian ini menghasilkan bahwa Modal Manusia berpengaruh positif terhadap Pertumbuhan ekonomi untung periode jangka panjang (Hina Amir, dkk, 2015).



11



Berdasarkan hasil penelitian Hina Amir, penelitian ini menggunakan teori fungsi produksi Cobb-Douglas, di mana pertumbuhan GDP riil diambil sebagai pengukuran pertumbuhan ekonomi sebagai variabel dependen. Berbeda dengan Hina Amir yang menggunakan Stock Fisik sebagai pengukuran modal, penelitian ini menggunakan GFCF diambil sebagai input modal karena dalam perhitungan investasi harus menyertakan Investasi dari dalam negeri dan luar negeri. Sedangkan data untuk tingkat partisipasi angkatan kerja digunakan untuk menggabungkan input tenaga kerja. Input dari variabel inti modal manusia diukur melalui tingkat pendidikan yang digunakan Angkatan kerja. Sehingga persamaannya adalah sebagai berikut: Y = AKLH.....................................(I) Dan bentuk log yang dikonversi dari fungsi produksi adalah sebagai berikut: Log Y= log A+ á log K+ â log L+ ã log H………….(II) Di mana log Y adalah log dari Pertumbuhan GDP riil sebagai variabel dependen, log A adalah log dari konstanta. log K adalah log dari modal fisik, Log L adalah log input tenaga kerja yang diukur melalui angkatan kerja terdidik dan log H adalah log dari variabel (H) yang merupakan input Human Capital/ modal manusia dalam proses produksi. Untuk memperkirakan hubungan antara tingkat partisipasi tenaga kerja terdidik dan pertumbuhan ekonomi melalui perspektif modal manusia makan digunakan model sebagai berikut: Y (RGDP) = 𝜷𝟎+ β𝟏 (AKTA)𝒕+ 𝜷𝟐 (AKTI)𝒕+ 𝜷𝟑 (AKTB)𝒕+ 𝜷𝟒 (GFCF)𝒕 +∈𝒕



12



Model yang digunakan didasarkan pada fungsi output agregat jadi; semua variabel diubah menjadi bentuk logaritmik lnY (RGDP) = 𝜷𝟎+ 𝜷𝟏 ln(AKTA)𝒕+ 𝜷𝟐 ln(AKTI)𝒕+ 𝜷𝟑 ln(AKTB)𝒕+ 𝜷𝟒 ln(GFCF)𝒕 +∈𝒕 Dimana: Ln = Logaritmik Y (RGDP) = Real GDP ukuran untuk Pertumbuhan Ekonomi (AKTA)𝑡 = Partisipasi Angkatan Kerja Terdidik Level Advanced (AKTI)𝑡 = Partisipasi Angkatan Kerja Terdidik Level Intermediate (AKTB)𝑡 = Partisipasi Angkatan Kerja Terdidik Level Basic (GFCF)𝑡 = Gross Fixed Capital Formation Dimana: 𝜷𝟏 + 𝜷𝟐 + 𝜷𝟑 + 𝜷𝟒 = parameter yang akan diestimasi untuk setiap variabel independen, dengan penjelasan sebagai berikut: •



Β1 adalah elastisitas GDP riil sehubungan dengan angkatan kerja terdidik level advanced sebagai input, untuk mengukur perubahan persentase dalam GDP untuk setiap 1% perubahan dalam angkatan kerja terdidik level lanjutan, dimana variabel lain konstan.







Β2 adalah elastisitas GDP riil sehubungan dengan angkatan kerja terdidik level menengah sebagai input, untuk mengukur perubahan persentase dalam GDP untuk setiap 1 %



13



perubahan dalam angkatan kerja terdidik level intermediate, dimana variabel lain konstan. •



Β3 adalah elastisitas GDP riil sehubungan dengan angkatan kerja terdidik level dasar sebagai input, untuk mengukur perubahan persentase dalam GDP untuk setiap 1 % perubahan dalam angkatan kerja terdidik level Basic, dimana variabel lain konstan.







Β4 adalah elastisitas GDP sehubungan dengan GFCF sebagai input; untuk mengukur persentase dalam GDP untuk setiap 1% perubahan GFCF, dimana variabel-variabel lain konstan.



Parameter di atas jika dijumlahkan (β1 + β2 + β3 + β4) memberikan informasi tentang skala pengembalian, dimana: 



jika jumlah (β1 + β2 + β3 + β4) = 1 maka ada skala hasil konstan, yaitu, menggandakan input akan menggandakan output, tiga kali lipat input akan tiga kali lipat output, dan seterusnya.







Jika jumlah (β1 + β2 + β3 + β4)> 1 maka ada peningkatan kembali ke skala, yaitu, menggandakan input akan lebih dari dua kali lipat output.







Jika jumlah (β1 + β2 + β3 + β4) X2(a, 2), maka H0 ditolak, berarti distribusi µi tidak normal 2. Uji Heterokedastisitas Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk mengetahui apakah dalam sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual suatu pengamatan ke pengamatan lain dalam model regresi (Widarjono, 2010). Heteroskedastisitas terjadi apabila variasi µi tidak konstan, atau berubah-ubah seiring dengan berubahnya nilai variabel independen. Heteroskedastisitas berarti varian variabel gangguan yang tidak konstan. Jika varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut homokedastisitas atau tidak terjadi heterokedatisitas. Model regresi yang baik adalah yang homokedastisitas atau tidak terjadi heterokedastisitas. Pengujian keberadaan heterokedastisitas menggunakan uji White. Adapun langkah pengujian sebagai berikut : 1. Pengujian Hipotesa H0 : tidak terdapat heteroskedastisitas



43



H1 : terdapat heteroskedastisitas 2. Kriteria Pengujian Hitung X2hitung = n.R2 dan X2tabel = X2 (α , df) df = degree of frendom, adalah banyaknya variabel independen regresi baru tanpa konstanta. a. Jika X2hitung ≤ X2tabel , maka H0 diterima berarti tidak terdapat heteroskedastisitas b. Jika X2hitung > X2tabel , maka H0 ditolak berarti terdapat heteroskedastisitas Pengujian dengan membandingkan nilai probability Obs*R-squared dan α: a. H0 diterima, bila nilai probability Obs*R-squared > α, berarti tidak terdapat heteroskedastisitas b. H0 ditolak, bila nilai



probability Obs*R-squared ≤ α, berarti terdapat



heteroskedastisitas. 3. Uji Autokorelasi Autokorelasi merupakan korelasi antara variabel gangguan satu observasi dengan gangguan observasi lain (Widarjono, 2010). Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu karena autokorelasi terjadi apabila nilai variabel masa lalu memiliki pengaruh terhadap nilai variabel masa sekarang, atau masa depan. Autokorelasi akan menghasilkan estimasi yang terlalu rendah untuk nilai variasi µi, sehingga R2 menjadi terlalu tinggi dan juga signifikasi uji t & F menjadi tidak valid atau menyesatkan. Uji autokorelasi dilakukan dengan uji Breusch-Godfrey. 44



Adapun langkah pengujiannya sebagai berikut : 1. Pengujian Hipotesa : H0: tidak terdapat autokorelasi H1 : terdapat autokorelasi 2. Kriteria pengujian Hitung X2



hitung



= (n-p).R2.



Dimana n adalah jumlah data dan p



banyaknya variabel baru. Bandingkan X2 hitung = (n-p).R2 dan X2tabel = X2(α,p) a. Jika X2 hitung ≤ X2tabel , maka H0 diterima berarti tidak terdapat autokorelasi b. Jika X2 hitung > X2tabel , maka H0 ditolak berarti terdapat autokorelasi Pengujian dengan membandingkan nilai probability Obs*R-squared dan α: a. H0 diterima, jika nilai probability Obs*R-squared > α, berarti tidak terdapat autokorelasi b. H0 ditolak, jika nilai probability Obs*R-squared < α, berarti terdapat autokorelasi. 4. Uji Multikolinieritas Uji Multikolinearitas adalah situasi dimana dapat korelasi diantara variabelvariabel independen yang satu dengan yang lainnya sehingga bila nilai koefisien korelasi dari variabel independen mendekati 1 atau sama dengan maka terdapat korelasi yang sempurna (perfect multicolinearity). Untuk mendeteksi adanya multikolinearitas bisa dengan membandingkan nilai koefisien determinasi parsial (r2) dengan nilai koefisien determinasi majemuk



45



(R2), jika r2 lebih kecil dari R2 maka tidak terdapat multikolinearitas. Atau bisa juga menggunakan korelasi antar variabel dimana apabila kurang dari 0,85 tidak ada multikolinearitas dan sebaliknya apabila hubungan variabel diatas 0,85 maka ada multikolinearitas. II.



Uji Statistik Uji statistik merupakan pengujian hipotesis yang bertujuan untuk melihat pengaruh signifkan anatar variabel independen terhadap variabel dependen. Pengujian hipotesis ini dilakukan dengan menggunakan tahap-tahap sebagai berikut : 1. Uji F Uji F adalah uji secara serempak signifikansi pengaruh perubahan variabel independen terhadap variabel dependen (Ghozali, 2013). Artinya parameter X1 dan X2 secara bersamaan diuji apakah memiliki signifikansi atau tidak terhadap TPAK wanita (Y) sebagai variabel terikat. Prosedur pengujian dengan uji F adalah sebagai berikut : 1. Menentukan Hipotesis a. H0 : β1 = 0, β2 = 0, artinya tidak memiliki pengaruh yang signifikan secara serempak antara variabel independen X 1 dan X2 terhadap variabel dependen. b. H1 : β1 ≠ 0, β2 ≠ 0, artinya paling tidak ada satu variabel independen anatara X1 dan X2 yang berpengaruh signifikan secara serempak terhadap variabel dependen. 2. Menentukan Derajat Keyakinan (α) Nilai-Nilai pada koefisien regresi yang diperoleh diuji pada level of significant (tingkat kayakinan) 95% atau ( α ) = 0,05.



46



Atau pengujian dengan membandingkan nilai probability F statitik dan α : a. H0 diterima, jika nilai probability F statitik > α, variabel bebas secara bersama-sama tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel tidak bebas. b. H0 ditolak, jika nilai probability F statitik < α, berarti variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variabel tidak bebas. 2. Uji t Uji t adalah uji secara parsial pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen digunakan untuk mengetahui apakah variabel bebas secara parsial berpengaruh nyata atau tidak terhadap terhadap permintaan cabai merah sebagai variabel terikat (Ghozali, 2013). Prosedur pengujian dengan uji t adalah sebagai berikut : 1. Menentukan Hipotesis a. H0 : β1 ≥ 0, β2 ≤ 0, artinya tidak memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial antara variabel independen X 1 dan X2 terhadap variabel dependen. b. H1 : β



1



< 0, β 2 > 0, artinya memiliki pengaruh yang signifikan



secara parsial antara variabel independen X1 dan X2 terhadap variabel dependen. 2. Menentukan Derajat Keyakinan (α) Nilai-Nilai pada koefisien regresi yang diperoleh diuji pada level of significant (tingkat kayakinan) 95% atau ( α ) = 0,05. Atau pengujian dengan membandingkan nilai probability t statitik dan α :



47



a. H0 diterima, jika nilai probability t statitik > α, artinya tidak mempunyai pengaruh yang signifikan antara variabel independen X 1 dan X2 terhadap variabel dependen. b. H0 ditolak, jika nilai probability t statitik < α, artinya mempunyai pengaruh yang signifikan antara variabel independen X 1 dan X2 terhadap variabel dependen. III.



Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi (R2) merupakan suatu nilai statistik yang menunjukan besarnya pengaruh yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas terhadap variable terikat dalam bentuk persentase. Nilai koefisien determinasi yaitu antara 0 dan 1. Apabila nilai R 2 kecil maka kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen sangat terbatas sedangkan nilai yang mendekati 1 menunjukkan bahwa variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen (Ghozali, 2013). Kerangka Konseptual Gambar 2.1 kerangka konseptual Pendidikan (X1)



Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Wanita



Upah (X2)



Keterangan: : Menyatakan Pengaruh



48



2.5 Pembahasan Model Regresi Linier Berganda Model regresi linier berganda untuk menganalisa pengaruh pendidikan dan upah terhadap Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) wanita di Indonesia. Pada penelitian ini menggunakan data sekunder rata-rata lama pendidikan, rata-rata upah minimum se-Indonesia dan TPAK wanita Indonesia selama 10 tahun dari tahun 2006 sampai 2017. Berikut ini pada Tabel 2.4 yang merupakan hasil output menggunakan sofware Eviews 7.0 yang menunjukan karakteristik dari variabel penelitian terhadap variabel dependen. Tabel 2.4 Hasil Perhitungan Regresi Linier Berganda Variable



Coefficient



Std. Error



t-Statistic



Prob.



C



115.8160



20.47332



5.656923



0.0008



X1



8.873854



3.394222



2.614400



0.0347



X2



-9.485937



3.233355



-2.933775 0.0219



0.598715



Mean dependent var



50.80500



Adjusted R-squared 0.484063



S.D. dependent var



0.983681



S.E. of regression



Akaike info criterion



2.386524



Sum squared resid 3.494647



Schwarz criterion



2.477300



Log likelihood



-8.932621



Hannan-Quinn criter.



2.286944



F-statistic



5.221991



Durbin-Watson stat



2.788462



Prob(F-statistic)



0.040934



R-squared



0.706566



Sumber : data diolah eviews 7.0 Setelah diuji dengan menggunakan peralatan ekonometrika software Eviews 7.0 maka diperoleh hasil persamaan regresi linier berganda yaitu :



49



Y = 115.8160 + 8.873854 (X1) – 9.485937 (X2) Nilai persamaan pada model regresi linier berganda dapat diartikan sebagai berikut: 1. Nilai konstanta β0 = 115.8160 angka tersebut menjelaskan bahwa terhadap Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) wanita di Indonesia akan bernilai 115.8160 apabila faktor lain sama dengan nol. 2. Koefisien regresi variabel rata-rata lama pendidikan (X1) = 8.873854. Koefisien bertanda positif maka dapat dijelaskan apabila rata-rata lama pendidikan meningkat meningkat satu tingkatan atau satu tahun maka Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) wanita di Indonesia akan mengalami kenaikan sebesar 8.873854 kali. 3. Koefisien regresi variabel upah (X2) = 9.485937. Tanda negatif dapat menjelaskan bahwa setiap meningkatnya rata-rata upah minimum seIndonesia Rp 1,- maka Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) wanita di Indonesia akan mengalami penurunan sebesar 9.485937 kali. I.



Uji Asumsi Klasik 1. Uji Normalitas Salah satu syarat yang harus terpenuhi dalam regresi adalah data harus berdistribusi normal. Untuk melakukan uji normalitas dapat menggunakan statistik Jargue Bera (JB). Hasil perhitungan statistik Jargue Bera disajikan pada gambar 2.2. Nilai statistik Jargue Bera yang diperoleh pada penelitian ini adalah JB = 0.384346 dan Probability – value = 0.825164. Karena Probability –value 0.825164 > 0,05 maka H0 diterima, artinya data pada penelitian berdistribusi normal.



50



Gambar 2.2 Hasil Perhitungan Uji Normalitas



Sumber : data diolah eviews 7.0



2. Uji Heterokedastisitas Heteroskedastisitas berarti varian variabel gangguan yang tidak konstan sehingga penaksiran koefisien-koefisien regresi menjadi tidak efisien. Jika varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut homokedastisitas atau tidak terjadi heterokedatisitas. Model regresi yang baik adalah yang homokedastisitas atau tidak terjadi heterokedastisitas. Salahh satu cara untuk melihat adanya problem heterokedastisitas adalah dengan melakukan Uji White.



51



Table 2.5 Hasil Perhitungan Uji Heterokedastisitas F-statistic



0.353525



Prob. F(4,5)



0.8322



Obs*R-squared



2.204674



Prob. Chi-Square(4)



0.6982



0.620621



Prob. Chi-Square(4)



0.9607



Scaled explained SS



Sumber : data diolah eviews 7.0



Pada Tabel 2.5 dapat dilihat bahwa pada penelitian ini diperoleh nilai statistik white sebesar 2.204674 dan Probabilty–value sebesar 0.6982. Karena Probability– value 0.6982 > 0,05 maka H0 diterima, artinya pada penelitian ini tidak terjadi heterokedastisitas. 3. Uji Autokorelasi Pengujian autokorelasi dideteksi dengan menggunakan pengujian Breusch-Godfrey Serial Correlation Langrange Multiplier Test. Kriteria ujinya adalah jika probability obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata yang digunakan maka dapat disimpulkan bahwa model persamaan yang digunakan tidak mengalami autokorelasi, dan sebaliknya jika probability obs*R-squared lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan maka model persamaan yang digunakan mengalami masalah autokorelasi. Tabel 2.6 Hasil Perhitungan Uji Autokorelasi F-statistic



2.951760



Prob. F(2,5)



0.1424



Obs*R-squared



5.414325



Prob. Chi-Square(2)



0.0667



Sumber : data diolah eviews 7.0



52



Pada Tabel 2.6 dapat dilihat bahwa pada penelitian ini diperoleh nilai statistik obs*R-squared sebesar 5.414325 dengan Probability-value sebesar 0.0667. Karena Probability–value obs*R-squared 0.0667 > 0,05 maka H0 diterima, artinya pada penelitian ini tidak memiliki masalah autokorelasi. 4.



Uji Multikolinieritas Tabel 2.7 Hasil Multikolinieritas X1



X2



X1



1



0.980929675



X2



0.980929675



1



Sumber : data diolah eviews 7.0



Tabel 2.7 korelasi antara Log X1 dengan Log X2 sebesar 1.00000 dan korelasi antara Log X2 dan Log X1sebesar 0.980929675. Melihat rendahnya nilai koefisien korelasi maka diduga tidak terdapat masalah multikolinieritas. II.



Uji Statistik 1. Uji F Uji – F statistik merupakan uji statistik secara simultan untuk mengetahui apakah semua variabel independen (pendidikan dan upah) yang dimasukkan kedalam model regresi secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen (TPAK wanita) di Indonesia. Pada tabel 2.7 di atas dapat dilihat bahwa nilai Probability F–statistik = 0.040934. Menurut kriteria F–statistik jika Probability F-statistik 0.040934 < 0,05 maka H0 ditolak, artinya variabel independen (pendidikan dan



53



upah) secara bersama-sama berpengaruh dan signifikan terhadap variabel dependen (TPAK wanita) di Indonesia. Dengan kata lain model regresi yang diperoleh sudah baik untuk digunakan dalam mengestimasi Tingkat Parsipasi Angkatan Kerja (TPAK) wanita di Indonesia. 2. Uji t Uji – t statistik merupakan uji statistik yang digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel independen (pendidikan dan upah) secara parsial atau individu terhadap variabel dependen (TPAK wanita) di Indonesia. Selain itu uji t – statistik dapat digunakan untuk melihat variabel independen mana yang paling berpengaruh terhadap variabel dependen. Pada Tabel 2.6 dapat dilihat hasil perhitungan untuk uji t statistik. Nilai Probability t statistik yang diperoleh setiap variabel adalah sebagai berikut : a. Pendidikan (X1) diproleh Probability-value = 0.0347. Menurut kriteria uji t statistik, karena Probability-value = 0.0347 < 0,05 maka H0 ditolak artinya variabel pendidikan berpengaruh dan signifikan terhadap Tingkat Parsipasi Angkatan Kerja (TPAK) wanita di Indonesia. b. Upah (X2) diproleh Probability-value = 0.0219. Karena Probabilityvalue = 0.0219 < 0,05 maka H0 ditolak artinya variabel upah berpengaruh dan signifikan terhadap Tingkat Parsipasi Angkatan Kerja (TPAK) wanita di Indonesia. III.



Koefisien Determinasi (𝐑𝟐) Koefisien Determinasi (R2) yaitu untuk mengukur sejauh mana kemampuan model regresi dalam menerangkan variasi variable dependen.



54



Pada penelitian ini variable dependen adalah Tingkat Parsipasi Angkatan Kerja (TPAK) wanita, sedangkan variable independen adalah pendidikan dan upah. Semakin besar nilai (R2) atau jika semakin mendekati angka 1 menunjukan bahwa model yang terbentuk mampu menjelaskan keragaman dari variabel terikat atau model dapat dikatakan membaik. Hasil perhitungan nilai koefisien determinasi ditunjukan pada tabel 2.6. Pada penelitian ini nilai (R2) sebesar 0.598715, yang berarti bahwa model regresi yang diperoleh mampu menerangkan semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi Tingkat Parsipasi Angkatan Kerja (TPAK) wanita di Indonesia sebesar 59.87%, selebihnya 40,13% diterangkan oleh variabel lain diluar penelitian pada model regresi yang diperoleh.



2.6 Simpulan dan Implikasi Kebijakan Berdarsarkan pada hasil analisis dan pembahasan yang dilakukan serta dengan memperhatikan kaitannya dengan tujuan penelitian maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Tingkat Parsipasi Angkatan Kerja (TPAK) wanita di Indonesia yang relatif berfluktuatif dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pendidikan yang dilihat dari data rata-rata lama sekolah dan upah yang dilihat dari data ratarata upah minimum se-Indonesia. 2. Berdasarkan hasil analisis perhtiungan statistik pada uji F dapat disimpulkan bahwa variabel bebas yang meliputi pendidikan dan upah secara simultan atau bersama-sama berpengaruh dan signifikan terhadap Tingkat Parsipasi Angkatan Kerja (TPAK) wanita di Indonesia.



55



3. Sedangkan pada uji t secara parsial pendidikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap TPAK wanita, dan upah berpengaruh negatif dan signifikan terhapadap TPAK wanita di Indonesia. 4. Hasil perhitungan nilai koefisien determinasi pada penelitian ini menunjukan nilai



(R2) sebesar 0.598715, yang berarti bahwa model



regresi yang diperoleh mampu menerangkan semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi permintaan cabai merah di Kota bengkulu sebesar 97,73%, dan selebihnya 40,13% diterangkan oleh variabel lain diluar penelitian pada model regresi yang diperoleh. Implikasi kebijakan 1. Dengan hasil penelitian ini, maka harapan untuk Pemerintah Indonesia kedepan adalah memberikan kebijakan terhadap sarana dan prasarana dibidang pendidikan bagi wanita serta lebih saksama lagi dalam pengelolah dana pendidikan yang ada. Selain itu perlu adanya perhatian khusus dalam mengambil keputusan pengupahan bagi tenaga kerja yang ada, guna memacu niat pekerja wanita dalam kontribusi pembangunan masyarakat yang ada. Pemerintah hendaknya memiliki pengaturan yang baik pada berbagai sektor yang ada memerlukan manajerial dan akuntabel dalam menjaga agar dana yang ada dapat tersalurkan sesuai yang di rencanakan. Dan juga pemerintah harus mampu untuk membuat sejumlah terobosan atau inovasi yang efektif untuk meningkatkan TPAK wanita di Indoesia. 2. Diharapkan dari penelitian ini dapat meningkatkan kesempatan kerja bagi wanita terutama pada wanita yang sedang menempuh pendidikan tingkat menengah (SMP dan SMA), didukung juga oleh pemberian pendidikan informal atau pelatihan yang dapat mendorong kelompok tersebut turut



56



serta dalam proses pembangunan. Lingkungan kerja yang baik juga harus terjamin agar dapat menghilangkan keraguan wanita untuk masuk ke pasar kerja, antara lain hubungannya dengan keselamatan kerja ataupun pemberian kenyamanan lingkungan kerja terkait dengan peran domestik wanita yang banyak harus membagi waktunya dengan anak ataupun keluarga. Pemberian akses pendidikan kepada wanita terutama yang berusia muda juga harus tetap dijaga untuk memberikan peluang mendapatkan pekerjaan yang layak. Dan juga memberikan tingkat upah yang sepantasnya bagi wanita yang berkerja dari golongan perkerjaan apapun tanpa memandang gender, sehinggal TPAK wanita diharapkan dapat lebih meningkat lagi ditahun yang akan dating, serta dapat berkontribusi lebih banyak untuk negara 3. Hasil penelitian ini juga kiranya dapat memberikan informasi yang cukup bagi Pemerintah Indonesia dalam mengkaji dan menetapkan langkahlangkah penyelesaian permasalahan strategis yang timbul dalam proses peningkatan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) wanita di Indonesia. 4. Kepada Peneliti selanjutnya kiranya dapat menjadi bahan pembelajaran dalam melakukan penelitian selanjutnya.



57



Daftar Pustaka Agus Widarjono. 2013. “Ekonometrika : Teori dan Aplikasi Untuk Ekonomi dan Bisnis”. Yogyakarta : Ekonisia FE UII. Badan Pusat Statistik. 2018. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia 2006-20017 Bonerr Kadek B. 2018. Pengaruh Pendidikan Dan Upah Terhadap Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (Tpak) Di Kota Manado. Ghozali, Imam. 2013. Analisis Multivariat dan Ekonometrika: Teori, Konsep, dan Aplikasi dengan EVIEWS 8. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Nadia Nasir.2008. Analisis Pengaruh Tingkat Upah, Masa Kerja, Usia Terhadap Produktivitas Tenaga Kerja. Nimas Ayu Laksioo Wening 2007, “Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi Produktivitas Tenaga Kerja” Jural Ilmiah FEB Universitas Brawijaya Malang. Rahmad Bagiyo.2007. Analisis kausalitas antara TPAK dengan PDRB didaerah khusus ibu kota Jakarta tahun 1979-2005. Universitas Muhammadiya Surakarta. Samuelson, Paul A dan Nordhaus, William D,2001, Ilmu Makro Ekonomi. Jakarta PT. Media Edukasi. Sugiarto, T. Herlambang, Brastoro, R. Sudjana, dan S. Kelana. 2007. Ekonomi Mikro Sebuah Kajian Komprehensif. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Sukirno, Sadono. (2004). Makro Ekonomi. Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sukirno, Sadono. 2013. Mikro Ekonomi Teori Pengantar. Edisi Ketiga. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sumarsono, Sonny. 2007. Ekonomi Mikro. Yogyakarta: Graha Ilmu. Suparmoko dan Irawan. 2000. Ekonomika Pembangunan. Edisi kelima. Yogyakarta.BPFE.UGM. Widarjono, Agus. 2010. Analisis Statistika Multivariate Terapan. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.



58



BAB 3 ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA SEKTOR INDUSTRIDI INDONESIA



Oleh : Dedi Prasetyo Hartanto Abstrak



Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh variable jumlah unit usaha dan upah minimum terhadap jumlah tenaga kerja pada sektor industri di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan alat analisis regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah industri dan upah secara simultan berpengaruh dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Secara parsial variabel jumlah industri dan upah berpengaruh dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Dari hasil analisis linier berganda dapat disimpulkan bahwa dalam hasil estimasi tersebut tidak terjadi masalah autokorelasi. Kata Kunci: penyerapan tenaga kerja, industri, upah



59



3.1 Pendahuluan Pembangunan Ekonomi suatu bangsa merupakan pilar penting bagi terselenggaranya proses pembangunan di segala bidang. Karena jika pembangunan ekonomi suatu bangsa berhasil, maka bidang-bidang lain seperti bidang hukum, politik, pertanian, dan lain-lain akan sangat terbantu. Suatu masyarakat yang pembangunan ekonominya berhasil ditandai dengan tingginya pendapatan perkapita masyarakat negara tersebut. Dengan tingginya pendapatan perkapita masyarakat, maka negara dan masyarakat akan dapat lebih leluasa dalam menjalankan berbagai aktivitas pada berbagai bidang yang lain. Sektor Industri merupakan salah satu sektor yang berperan penting dalam



pembangunan



nasional.



Kontribusi



sektor



Industri



terhadap



pembangunan nasional dari tahun ke tahun menunjukkan kontribusi yang signifikan. Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, bahan setengah jadi atau barang jadi menjadi barang yang bermutu tinggi dalam penggunaannya. Dengan demikian, industri merupakan bagian dari proses produksi. Bahan-bahan industri diambil secara langsung maupun tidak langsung, kemudian diolah sehingga menghasilkan barang yang bernilai lebih bagi masyarakat. Peranan Sektor Industri dalam Pembangunan Ekonomi Nasional dapat ditelusuri dari kontribusi masing-masing subsektor terhadap Laju Pertumbuhan Ekonomi Nasional atau terhadap produk domestik bruto. Pada beberapa negara yang tergolong maju, peranan sektor industri lebih dominan dibandingkan dengan sektor pertanian. Sektor industri memegang peran kunci sebagai mesin pembangunan karena sektor industri memiliki beberapa keunggulan dibandingkan sektor lain karena nilai kapitalisasi modal yang tertanam sangat besar, kemampuan menyerap tenaga kerja yang besar, juga 60



kemampuan menciptakan nilai tambah (value added creation) dari setiap input atau bahan dasar yang diolah. Pada negara-negara berkembang, peranan sektor industri juga menunjukkan kontribusi yang semakin tinggi. Kontribusi yang semakin tinggi dari sektor industri menyebabkan perubahan struktur perekonomian negara yang bersangkutan secara perlahan ataupun cepat dari sektor pertanian ke sektor industri. Peranan sektor industri dalam pembangunan ekonomi di berbagai negara sangat penting karena sektor industri memiliki beberapa keunggulan dalam hal akselerasi pembangunan. Keunggulan-keunggulan sektor industri tersebut diantaranya memberikan kontribusi bagi penyerapan tenaga kerja dan mampu menciptakan nilai tambah (value added) yang lebih tinggi pada berbagai komoditas yang dihasilkan. Sektor Industri diharapkan dapat menjadi motor penggerak perekonomian nasional dan telah menempatkan industri manufaktur sebagai penghela sektor rill. Hal ini dapat dipahami mengingat berbagai kekayaan sumber daya alam kita yang memiliki keunggulan komparatif berupa produk primer, perlu diolah menjadi produk industri untuk mendapatkan nilai tambah yang lebih tinggi. Sesuai dengan tahapan perkembangan negara kita, sudah saatnya kita melakukan pergeseran andalan sektor ekonomi kita dari industri primer ke industri sekunder, khususnya industri manufaktur nonmigas. Membangun sektor industri pada era globalisasi tentu membutuhkan strategi yang tepat dan konsisten, sehingga dapat mewujudkan industri yang tangguh dan berdaya saing baik di pasar domestik maupun di pasar global, yang pada gilirannya mampu mendorong tumbuhnya perekonomian, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat dan akhirnya mengurangi kemiskinan.



61



Berdasarkan data dari BPS (2015) jumlah industri di Indonesia sebanyak 26.322 unit, dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 5.247.301 orang. Sementara itu, perluasan kesempatan kerja masih menjadi permasalahan yang serius yang dihadapi dalam pembangunan di Indonesia. Berdasarkan data BPS, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia pada tahun 2000 adalah 6,08 persen dan pada tahun 2015 meningkat menjadi 6,18 persen. Sektor industri merupakan salah satu sektor yang memegang peranan penting dalam perekonomian mengingat sektor ini memberikan kontribusi yang besar terhadap sumber pendapatan dan juga mempunyai peranan yang strategis dalam menggerakkan usaha dan terciptanya lapangan kerja dalam rangka mengimbangi jumlah pengangguran yang meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah angkatan kerja setiap tahun. 3.2 Rumusan Masalah Penelitian ini akan membahas penyerapan tenaga kerja pada sector industri di Indonesia. Adapun yang menjadi variable dependen atau variable yang dipengaruhi adalah jumlah tenaga kerja (Y) dan yang menjadi variable independen atau variable yang mempengaruhi adalah jumlah unit industri (X1) dan upah minimum (X2). Data yang disajikan dalam penelitian ini adalah data time series selama 16 tahun terakhir yaitu data dari tahun 2000 hingga tahun 2015 pada setiap masing-masing variable. Oleh karena itu, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah jumlah unit industri dan tingkat upah minimum memiliki pengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja pada sektor industri di Indonesia?” Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh variable jumlah unit usaha dan upah minimum terhadap jumlah tenaga kerja pada sector industri di Indonesia. Adapun manfaat penelitian ini adalah untuk 62



menambah ilmu pengetahuan dan wawasan bagi penulis tentang peranan sektor industri, sebagai bahan referensi bagi penulis selanjutnya dan akademisi, dan sebagai sumber informasi kepada para pengambil keputusan dalam hal penentuan kebijakan pembangunan ekonomi. 3.3 Metode Penelitian Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan metode kuantitatif. Metode deskriptif adalah metode yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi (Sugiono, 2013) Sedangkan metode kuantitatif adalah suatu proses menemukan pengetahuan yang menggunakan data berupa angka sebagai alat menganalisis keterangan mengenai apa yang ingin diketahui.(Kasiram (2008: 149). Metode deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk membuat gambaran secara sistematis dan faktual mengenai fakta, gejala dan fenomena dari setiap variabel penelitian. Analisis ini hanya berupa akumulasi data dasar dalam bentuk deskripsi semata dalam arti tidak mencari atau menerangkan saling berhubungan, menguji hipotesis, membuat ramalan, atau melakukan penarikan kesimpulan. Metode kuantatif digunakan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja pada sektor industri di Indonesia. Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi berganda dengan metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square) menggunakan program E-views versi 7. Secara umum, analisis regresi pada dasarnya mempelajari ketergantungan satu variabel terikat (dependen) dengan satu atau lebih variabel bebas (independen) dengan tujuan 63



untuk menaksir nilai rata-rata variabel dependen berdasarkan nilai variabel independen yang diketahui. Model regresi berganda yang dipergunakan untuk menjelaskan hubungan antara variabel dependen dan variabel independen didasarkan pada fungsi produksi Cobb-Douglas yang dapat dinotasikan sebagai berikut (Damodar Gujarati, 1997): Y = β0X1β1 X2β2 eμ Selanjutnya persamaan di atas ditransformasikan dalam bentuk logaritma natural sehingga persamaannya menjadi sebagai berikut (Damodar Gujarati, 1997): LnY = Lnβ0 + β1LnX1 + β2LnX2 + μ di mana: Y = Jumlah tenaga kerja pada sektor industri β0 = Konstanta / nilai intersep βi = Nilai koefisien regresi pada X i X1 = Jumlah unit industry X2 = Upah minimum μ = Variabel pengganggu



Model regresi berganda dalam bentuk transformasi logaritma natural dipergunakan dengan pertimbangan bahwa koefisien regresi dapat mengukur elastisitas variabel dependen terhadap variabel independen. Klasifikasi elastisitas tersebut adalah sebagai berikut: jika βi > 1 maka elastis, jika βi = 1 maka elastis uniter, dan jika βi < 1 maka inelastis. Di samping itu transformasi



64



logaritma



natural



dapat



memperkecil



kemungkinan



heteroskedastisitas karena transformasi logaritma natural akan memperkecil skala variabel yang dianut. Adapun beberpa uji yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Uji t-Statistik Uji t-Statistik merupakan suatu pengujian yang bertujuan untuk mengetahui apakah koefisien regresi signifikan atau tidak. b. Uji f-Statistik. Uji F-Ststistik digunakan untuk mengtahui apakah variabel-variabel independen secara simultan berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Derajat kepercayaan yang digunakan adalah 0.05 atau 5%. c. Uji Normalitas Uji ini bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel dependen dan variabel independen keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau mendekati normal d. Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah terjadinya korelasi antara variabel itu sendiri pada pengamatan yang berbeda. Pengujian autokorelasi dilakukan dengan uji Durbin Watson. Uji ini sangat berguna untuk mengidentifikasi masalah autokorelasi tidak hanya pada derajat pertama tetapi bisa juga digunakan pada tingkat derajat kedua. Dikatakan terjadi



65



autokorelasi jika nilai X² (Obs* R-squared) hitung > X² tabel atau nilai probablity < derajat kepercayaan yang ditentukan. e. Uji Multikolinearitas Uji ini dimaksudkan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas di dalam model regresi adalah dengan menganalisa matrik korelasi variabel bebas jika terdapat korelasi antar variabel bebas yang cukup tinggi (lebih besar dari 0,90) hal ini adalah indikasi adanya multikolinearitas. f.



Uji Heteroscesdastisitas Uji heterokedastisitas bertujuan untuk mendeteksi apakah model regresi mengalami ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Metode untuk dapat mendeteksi adanya tidaknya masalah heterokedastisitas dalam model empiris menggunakan Uji Glejser.



g. Operasional variable Penyerapan tenaga kerja adalah banyaknya jumlah tenaga kerja yang bekerja pada sektor industri di Indonesia pada periode 2000 – 2015 dalam satuan orang. 1. Upah adalah penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kepada penerima kerja untuk pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan sesuai dengan persetujuan yang telah ditetapkan. 2. Unit Industri adalah banyaknya unit industry di Indonesia setiap tahunnya selama periode 2000 - 2015.



66



3.4 Pembahasan Variabel dependen pada penelitian ini adalah jumlah tenaga kerja (Y). Adapun jumlah tenaga kerja pada sector industry di Indonesia dari tahun 2000 – 2015 adalah sebagai berikut: Grafik 3.1 Jumlah Tenaga Kerja



6 000 000 5 000 000 4 000 000 3 000 000 2 000 000 1 000 000 0 2000200120022003200420052006200720082009201020112012201320142015



Dari grafik di atas, dapat dilihat bahwa jumlah tenaga kerja pada sector industry di Indonesia dari tahun ke tahun rata-rata mengalami kenaikan walaupun tidak signfikan. Kenaikan tertinggi terjadi pada tahun 2006, dan mengalami sediki penurunan pada tahun 2009, namun pada tahun berikutnya mengalami kenaikan kembali. Sedangkan variable independen dari penelitian ini adalah Jumlah industry (X1) dan upah minimum (X2) dari tahun 2000 – 2015. Variable independent tersebut digambarkan pada grafik di bawah ini :



67



Grafik 3.2 Jumlah Industri 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000



0 2000200120022003200420052006200720082009201020112012201320142015



Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa jumlah industri dari tahun ke tahun ratarata mengalami kenaikan, kenaikan terbesar terjadi pada tahun 2006. Namun pada tahun 2007 jumlah mengalami penurunan hingga tahun 2010, dan pada tahun 2011 mengalami kenaikan hingga tahun 2015. Grafik 3.3 Jumlah Upah 2000000 1800000 1600000 1400000 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0



68



Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa jumlah upah minimum dari tahun ke tahun selalu mengalami kenaikan. Kenaikan paling signifikan dapat dilihat pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2015. Hasil Regresi Linier Berganda Adapun data yang digunakan adalah variable jumlah industri (X1), upah minimum (X2) dan jumlah tenaga kerja (Y). Data yang digunakan dalam penelitian ini pada kurun waktu 2000 – 2015 maka diperoleh hasil sebagai berikut : Tabel 3.1 Persamaan Model Regresi Linier Berganda Dependent Variable: TKSI Method: Least Squares Date: 10/20/18 Time: 19:12 Sample: 1 16 Included observations: 16 Variable



Coefficient



Std. Error



t-Statistic



Prob.



C UPAH JI



3546312. 0.579556 24.95580



342489.8 0.089675 15.38910



10.35450 6.462862 1.621654



0.0000 0.0000 0.1289



R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)



0.832514 0.806747 145006.0 2.73E+11 -211.1944 32.30923 0.000009



Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat



4599837. 329854.9 26.77430 26.91916 26.78172 0.909421



Berdasarkan pengolahan data diperoleh model persamaan regresi sebagai berikut :



69



LnY = 3546312+0.579556LnX1+24.95580LnX2 Interpretasi hasil dijelaskan sebagai berikut : Uji terhadap Gejala Autokolerasi Autokorelasi menunjukkan adanya hubungan antargangguan. Metode yang digunakan dalam mendeteksi ada tidaknya masalah autokorelasi adalah Metode Bruesch-Godfrey yang lebih dikenal dengan LM-Test. Metode ini didasarkan pada nilai F dan Obs*R-Squared. Dimana jika nilai probabilitas dari Obs*R-Squared melebihi tingkat kepercayaan maka Ho diterima, berarti tidak ada masalah autokorelasi. Dapat dilihat dari hasil estimasi sepertinya tidak terjadi per masalahan yang melanggar asumsi klasik. Dimana terlihat bahwa nilai t-statistik signifikan., R2 bagus, dan Uji F juga signifikan. Namun dalam hasil tersebut terdapat DW stat yang relatif kecil. Nilai DW yang kecil tersebut merupakan salah satu indikator adanya masalah autokorelasi. Untuk membuktikan adanya masalah autokorelasi dalam model dapat kita lakukan dengan melakukan uji LM. Sebagai berikut : Tabel 3.2 Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared



2.398910 Prob. F(2,11) 4.859223 Prob. Chi-Square(2)



0.1366 0.0881



Dari hasil test table diatas dapat disimpulkan bahwa dalam hasil estimasi tersebut tidak terjadi masalah autokorelasi. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilitas lebih dari tingkat keyakinan (α = 0.05 persen) atau nilai chi-square 0.0881 > 0.05 maka Ho diterima dan Ha menolak yang berarti dalam model tidak terdapat autokorelasi.



70



3.5 Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan Berdasarkan hasil regresi diperloeh bahwa secara bersama- sama (Overall) koefisien regresi yang terdiri dari unit usaha dan upah berpengaruh secara positif terhadap penyerapan tenaga kerja sector Industri di Indonesia. Secara parsial yang berpengaruh signifikan adalah upah mempunyai pengaruh yang positif terhadap penyerapan tenaga kerja sector industri di Indonesia, sedangkan unit usaha mempunyai pengaruh yang negatif terhadap penyerapan tenaga kerja sektor Industri di Indonesia. Berdasarkan kesimpulan tersebut dapat direkomendasikan bahwa hendaknya Pemerintah dapat lebih memperhatikan lagi faktor-faktor tersebut untuk meningkatkan kemampuan penyerapan tenaga kerja dan mengurangi penggangguran. Jumlah unit usaha, yang memiliki pengaruh yang paling besar terhadap jumlah tenaga kerja, semakin banyak Jumlah industri yang berdiri, maka akan semakin banyak menciptakan lapangan pekerjaan, sehingga penyerapan tenaga kerja juga akan meningkat dan tingkat penggangguran dapat ditekan. Dari variabel upah minimum, semakin meningkat upah minimum, penyerapan jumlah tenaga kerja juga semakin meningkat.



71



Daftar Pustaka



Badan Pusat Statistik, 2000-2015. Penyerapan Tenaga Kerja pada Sektor Industri, Laporan DataTahunan, BPS Pusat. Gujarati, Damodar, 1997. Ekonometrika Dasar, Alih Bahasa: Sumarno Zein, Penerbit Erlangga,Jakarta. J. Supranto, 2001. Statistik Jilid 2: Teori dan Aplikasi, Penerbit Erlangga, Jakarta. Payaman J. Simanjutak, 2001. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia, LPFE Universitas Indonesia, Jakarta. Sadono Sukirno, 2003. Pengantar Teori Makroekonomi, PT Raja Grafindo, Jakarta. Sudarsono, 1996. Ekonomi Sumber Daya Manusia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Universitas Terbuka, Jakarta. Suparmoko, 2000. Pengantar Ekonomi Makro, BPFE Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.



72



BAB 4 TENAGA KERJA WANITA MALUKU, TUNTUTAN SOSIAL BUDAYA DAN AKTUALISASI DIRI Oleh : Aditya Aprilliofany Abstrak Dewasa ini peranan perempuan dalam dunia kerja sudah tidak dapat dipungkiri lagi. Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung peranan perempuan dalam dunia kerja, melalui Indeks Pemberdayaan Gender (IDG), Indeks Pembangunan Gender (IPG), dan Sumbangan pendapatan perempuan. Provinsi Maluku adalah provinsi di wilayah Timur Indonesia yang perempuannya memiliki peranan besar dalam dunia kerja. Pada tahun 2017 Provinsi Maluku memiliki IDG peringkat 3 nasional, IPG peringkat 8 nasional, dan Sumbangan pendapatan perempuan peringkat 6 nasional. Ketiga nilai tersebut semuanya berada diatas nilai nasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi perempuan Maluku untuk bekerja, selain itu penelitian ini bertujuan untuk menangkap bagaimana gambaran umum perempuan Maluku, apakah perempuan Maluku yang bekerja tersebut aktualisasi dirinya juga terpenuhi. Penelitian ini sendiri menggunakan 3 (tiga) variabel independen untuk mengetahui keputusan perempuan Maluku bekerja, yaitu: pendidikan, umur, dan lokasi tempat tinggal. Analisis yang digunakan adalah deskriptif dan inferensia, analisis inferensia menggunakan regresi logistic biner dengan tingkat kepercayaan 95%. Kata Kunci: Tenaga kerja wanita, aktualisasi diri, regresi logistik



73



4.1 Pendahuluan Provinsi Maluku adalah salah satu provinsi di Indonesia yang pernah mengalami konflik sosial pada akhir tahun 1990-an sampai awal 2000-an. Dampak dari terjadinya konflik tersebut adalah lumpuhnya berbagai macam segi kehidupan masyarakatnya. Selepas berakhirnya konflik sosial tersebut, penduduk di Maluku berusaha untuk memulihkan keadaan baik dari segi sosial dan ekonomi. Untuk memulihkan keadaan tersebut, tentu penduduk Maluku harus dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara bekerja. Permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia sudah menjadi isu publik yang hangat diperbincangkan. Masalah yang umum terjadi adalah banyaknya tenaga kerja tetapi tidak diimbangi dengan lapangan pekerjaan yang ada, masalah lain yang sering timbul adalah para pekerja banyak yang bekerja tidak sesuai dengan bidang keahlian yang dimilikinya. Masalah utama dari ketenagakerjaan ini sendiri adalah pengangguran. Berdasar pada Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus tahun 2017 di Provinsi Maluku Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) adalah sebesar 9,29%, angka tersebut naik sebesar 2,24 poin dibanding dengan Agustus 2016 yang sebesar 7,05%. Tingkat Partisipasi Angkatan kerja (TPAK) di Provinsi Maluku berdasarkan jenis kelamin pada bulan Agustus 2017 adalah sebesar 75,19% laki-laki dan 45,16% perempuan. TPAK perempuan Maluku yang sebesar 45,16% ini termasuk besar untuk provinsi yang pernah mengalami konflik sosial. Peranan perempuan sebagai mitra yang sejajar dengan pria telah diakui oleh pemerintah sejak masuknya peranan perempuan dalam pembangunan yang telah tersirat dalam lima falsafah dasar bangsa Indonesia, yaitu Pancasila, Undang- Undang Dasar 1945, dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (Hastuti dalam Majid, 2012).



74



Perempuan merupakan suatu individu yang memiliki harapanharapan,



kebutuhan,



minat



dan



potensi



dalam



dirinya



untuk



mengaktualisasikan diri seoptimal mungkin demi pengembangan dirinya. Jumlah penduduk perempuan di Indonesia yang sangat besar dapat menjadi sumber daya manusia yang potensial dalam pembangunan. Menurut Ria Puspa Yusuf dalam Majid (2012), seiring perkembangan jaman, wanita kini mulai merambah cakupan wilayah kerja untuk memperluas ruang gerak yang awalnya hanya dapat dimasuki oleh laki- laki. Hal ini disebabkan adanya peran ganda dari wanita selain peran domestik. Peran tersebut adalah peran transisi, dimana perempuan sebagai tenaga kerja yang ikut turut aktif untuk mencari nafkah di berbagai kegiatan sesuai dengan pendidikan dan keterampilan yang dimiliki. Begitupula menurut



Alatas dan Trisilip dalam Majid (2012), menjelaskan bahwa



peningkatan partisipasi wanita dalam kegiatan ekonomi dikarenakan adanya perubahan pandangan dan sikap dari masyarakat tentang sama pentingnya pendidikan bagi kaum wanita dan pria, semakin disadari perlunya kaum wanita untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan, serta adanya kemauan wanita untuk mandiri dalam bidang ekonomi dengan berusaha membiayai kebutuhan hidupnya dan mungkin juga kebutuhan hidup dari orangorang yang menjadi tanggungannya dengan penghasilan sendiri. Partisipasi perempuan saat ini tidak hanya ingin menuntut persamaan hak, tetapi juga menyatakan fungsinya agar memiliki arti dalam pembangunan masyarakat Indonesia. Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keputusan perempuan untuk bekerja. Perbedaan dalam tingkat pendidikan akan membawa perbedaan dalam Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). 75



Menurut Payaman J Simanjutak (1998), tingkat pendidikan memiliki pengaruh positif terhadap keputusan seseorang untuk bekerja. Semakin tinggi



pendidikan seseorang maka akan menjadikan waktu yang dimiliki



menjadi mahal, dan keinginan untuk bekerja akan semakin tinggi. Terutama bagi perempuan yang memiliki pendidikan yang tinggi, mereka akan memilih untuk bekerja daripada hanya tinggal dirumah untuk mengurus anak dan rumah tangga. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2017 Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Provinsi Maluku menempati urutan ketiga secara nasional, Indeks Pembangunan Gender (IPG) Provinsi Maluku berada pada urutan kedelapan secara nasional, dan bila dilihat dari sumbangan pendapatan perempuan Provinsi Maluku menempati urutan keenam secara nasional. Ketiga nilai diatas berada diatas nilai nasional, IPG dan sumbangan pendapatan berada diatas provinsi-provinsi di pulau Jawa kecuali DKI Jakarta dan DIY. Sedangkan IDG berada diatas seluruh provinsi di pulau Jawa yang notabene pendidikan dan perekenomiannya lebih baik dari Provinsi Maluku. Tingginya perempuan Maluku yang bekerja ini bisa kita lihat dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2017 di Provinsi Maluku, dari sisi pendidikan, persentase perempuan 15 tahun ke atas di Maluku yang mampu baca tulis adalah sebesar 99,46 persen atau sedikit lebih unggul daripada laki-laki yang sebesar 98,80 persen. Angka Partisipasi Murni (APM) yang menunjukkan proporsi penduduk usia sekolah tertentu yang sedang bersekolah sesuai umurnya pada perempuan selalu lebih tinggi daripada lakilaki untuk semua jenjang sekolah. Meskipun rata-rata lama sekolah laki-laki (9,87 tahun) sedikit lebih tinggi daripada perempuan (9,61 tahun), ternyata proporsi perempuan yang berijazah diploma ke atas lebih besar daripada lakilaki. Pada 2017, sebanyak 46,93 persen dari seluruh penduduk perempuan 76



berusia 15 tahun ke atas memiliki ijazah diploma ke atas, sementara pada lakilaki hanya sebesar 43,83 persen. Dengan kualitas dari sisi pendidikan saja perempuan di Maluku berpotensi besar untuk masuk dalam dunia kerja dan berkontribusi pada pembangunan daerah. 4.2 Rumusan Masalah Provinsi Maluku adalah salah satu provinsi yang terletak di wilayah timur Indonesia. Walaupun terletak di wilayah timur Indonesia, faktanya Indeks Pembangunan Gender (IDG) Provinsi Maluku pada tahun 2017 terletak pada urutan ketiga secara nasional. Hal ini yang mendasari penulis untuk meneliti bagaimana gambaran umum yang mendasari perempuan Maluku untuk bekerja dari sosial budaya dan aktualisasi diri, serta variabel apa saja memengaruhi perempuan Maluku untuk bekerja. Kerangka pikir untuk penelitian ini sebagai berikut:



Pendidikan



Umur



Keputusan Bekerja



Lokasi Tempat Tinggal



77



4.3 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam peneitian ini menggunakan adalah pendekatan analisis deskriptif dari hasil wawancara mendalam terhadap penduduk Maluku untuk mengetahui aktualisasi diri perempuan di Maluku yang bekerja, serta analisis deskriptif dan inferensia dari data sekunder. Sumber data utama yang digunakan pada penelitian ini adalah hasil dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2017 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Maluku. Beberapa variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Variabel Respon (Y) : Perempuan 0 : Tidak Bekerja 1 : Bekerja



Variabel Prediktor: X1: Pendidikan 0 : ≤ SMA sederajat



1 : > SMA sederajat



X2: Umur 0 : Tidak Produktif



1 : Produktif



X3: Lokasi Tempat Tinggal 0 : Desa



78



1 : Kota



Definisi Operasional dari variabel diatas: a. Perempuan Adalah penduduk Maluku yang berjenis kelamin perempuan usia 15 tahun keatas b. Pendidikan Adalah pendidikan tertinggi yang ditamatkan dan dibedakan menjadi dua kategori, yaitu pendidikan kurang dari sama dengan SMA sederajat dan lebih dari SMA sederajat. c. Umur Adalah lama hidup yang telah dijalani oleh seseorang dan dihitung berdasar ulang tahun terakhir, umur ini dibedakan menjadi dua kategori, yaitu umur produktif (15-64th) dan umur tidak produktif (65th keatas). d. Lokasi Tempat Tinggal Adalah wilayah dimana seseorang tinggal, dibedakan menjadi desa dan kota, klasifikasi wilayah ini sudah ada dalam data Sakernas Agustus 2017 Maluku. Analisis inferensia menggunakan regresi logistic biner dengan tingkat kepercayaan 95% atau α= 0,05. Untuk pengolahan datanya menggunakan paket program Statistical Package for Social Sciences (SPSS) dan Microsoft Excel. Hipotesis Penelitian 1. Pendidikan diduga memiliki pengaruh terhadap keputusan perempuan di Maluku untuk bekerja 2. Umur diduga memiliki pengaruh terhadap keputusan perempuan di Maluku untuk bekerja 79



3. Lokasi tempat tinggal diduga memiliki pengaruh terhadap keputusan perempuan di Maluku untuk bekerja



4.4 Pembahasan Karakteristik Wanita di Maluku Karakteristik wanita di Maluku bila dilihat dari tingkat pendidikannya paling banyak mengenyam pendidikan sampai pendidikan SMA sederajat yaitu sebesar 32,71%. Sedangkan yang tidak mempunyai ijazah SD sederajat hanya sebesar 11,05%, hal ini berarti wanita di Maluku sudah banyak yang menganggap pendidikan itu penting. Gambar 4.1. Persentase Perempuan Maluku usia 15 Tahun Keatas Berdasarkan Ijazah Tertinggi yang Ditamatkan



9.40



11.05



3.21



Tidak punya ijazah SD 20.93



SD sederajat SMP sederajat SMA sederajat



Diploma I/II/III/Akademi



32.71



Universitas



22.71



Sumber data: Sakernas Agustus 2017 Provinsi Maluku, diolah



80



Jika dilihat dari wilayah tempat tinggalnya, maka perempuan Maluku yang tinggal di desa sebesar 44,20% dan kota sebesar 55,80%. Gambar 4.2. Persentase Perempuan Maluku usia 15 Tahun Keatas Berdasarkan Wilayah Tempat Tinggal



Kota 44% Desa 56%



Sumber data: Sakernas Agustus 2017 Provinsi Maluku, diolah



Bila dilihat dari kelompok umur, BPS mengkategorikan usia produktif adalah 15 - 64 tahun, diluar itu sudah bukan usia produktif. Karena data Sakernas ini hanya mengambil umur 15 tahun keatas maka usia produktif disini adalah perempuan yang berusia 65 tahun keatas. Persentasenya 93,30% produktif dan 6,70% tidak produktif. 81



Gambar 4.3. Persentase Perempuan Maluku usia 15 Tahun Keatas Berdasarkan Kelompok Umur



Tidak Produktif 6.7 Produktif 93.3



Produktif Tidak Produktif



Sumber data: Sakernas Agustus 2017 Provinsi Maluku, diolah



Tenaga Kerja Wanita Maluku Berdasarkan Wilayah Perempuan Maluku jika dilihat dari status bekerjanya, maka perempuan di Maluku yang tidak bekerja sebesar 59,65% dan yang bekerja sebesar 40,35%. Apabila dilihat dari status pada pekerjaannya perempuan Maluku paling banyak bekerja sebagai buruh/karyawan 36,33%, di kota pun juga sama yaitu sebesar 51,99%, sedangkan di daerah perdesaan paling banyak perempuan bekerja sebagai pekerja keluarga sebesar 36,55%.



82



Tabel 4.1. Persentase Perempuan Maluku usia 15 Tahun Keatas Berdasarkan Status Kedudukan Pekerjaan Utama dan Lokasi Tempat Tinggal Status Kedudukan Pekerjaan Utama



Kota



Desa



Total



(2)



(3)



(4)



Berusaha Sendiri



27.06



25.35



26.05



Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap/ Keluarga



7.67



11.02



9.64



Berusaha Dibantu Buruh Tetap/ Dibayar



1.37



0.26



0.72



Buruh/Karyawan



51.99



25.37



36.33



Pekerja Bebas Pertanian



0.00



0.65



0.38



Pekerja Bebas Non Pertanian



1.14



0.79



0.94



Pekerja Keluarga



10.76



36.55



25.93



100



100



100



(1)



Total



Sumber data: Sakernas Agustus 2017 Provinsi Maluku, diolah



Wanita Maluku Berdasarkan Pendidikan dan Status Pekerjaan Apabila dilihat dari pendidikan dan status pekerjaan, perempuan Maluku yang tidak bekerja paling banyak adalah lulusan SMA sederajat, terbanyak kedua adalah SMP sederajat, kemudian bila dilihat dari perempuan Maluku yang bekerja paling banyak adalah pendidikan SMA sederajat dan terbanyak kedua adalah SD sederajat. Hal yang menarik dari perempuan Maluku yang bekerja adalah relative tingginya persentase lulusan Universitas



83



yang bekerja, hal ini sesuai dengan teori bahwa semakin tinggu pendidikan seseorang maka seseorang tersebut cenderung untuk memilih bekerja. Tabel 4.2. Persentase Perempuan Maluku usia 15 Tahun Keatas Berdasarkan Ijazah Tertinggi yang Ditamatkan dan Status Pekerjaan Ijazah Tertinggi yang Ditamatkan



Status Pekerjaan Tidak



Bekerja



Total



(2)



(3)



(4)



Tidak punya ijazah SD



11.32



10.63



11.05



SD sederajat



19.98



22.35



20.93



SMP sederajat



27.10



16.21



22.71



SMA sederajat



36.14



27.64



32.71



Diploma I/II/III/Akademi



1.97



5.04



3.21



Universitas



3.49



18.13



9.40



Total



100



100



100



(1)



Bekerja



Sumber data: Sakernas Agustus 2017 Provinsi Maluku, diolah



Tenaga Kerja Wanita Berdasarkan Umur Kelompok umur dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu produktif dan tidak produktif. Bila dilihat secara keseluruhan ternyata perempuan Maluku mayoritas tidak bekerja, yaitu sebesar 59,65%, jika dilihat ternyata persentase perempuan usia produktif yang bekerja lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan umur tidak produktif. Lebih jelasnya bisa dilihat pada tabel di bawah.



84



Tabel 4.3. Persentase Perempuan Maluku usia 15 Tahun Keatas Berdasarkan Status Pekerjaan dan Kelompok Umur Status Pekerjaan (1)



Umur Produktif



Tidak Produktif



Total



(2)



(3)



(4)



Tidak Bekerja



58.53



75.15



59.65



Bekerja



41.47



24.85



40.35



Total



100



100



100



Sumber data: Sakernas Agustus 2017 Provinsi Maluku, diolah Aktuallisasi Diri Wanita Maluku Aktualisasi diri adalah suatu pencapaian tertinggi seseorang sesuai dengan bidang kemampuannya, pada penelitian ini kemapuan yang dimaksud adalah pada bidang pekerjaannya. Informasi mengenai aktualisasi diri wanita di Maluku ini didapat melalui wawancara mendalam kepada beberapa masyarakat yang ada di Maluku. Dari hasil wawancara kepada responden mayoritas perempuan di Maluku memilih bekerja adalah karena tuntutan ekonomi dan juga membantu keluarga. Untuk perempuan yang tinggal di daerah perkotaan mereka mayoritas berasumsi bahwa perempuan itu harus dapat membantu keluarga dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi, mengingat saat ini uang adalah komoditas utama dalam pemenuhan ekonoomi. Perempuan di Maluku beranggapan bahwa mereka membutuhkan senuah keamanan dari segi finansial meskipun pekerjaan yang mereka jalani bukan bagian dari cita-cita.



85



Untuk perempuan yang tinggal di daerah perdesaan, mereka mayoritas bekerja sebagai pekerja keluarga dan kebanyakan di bidang pertanian. Mengingat masih suburnya alam pertanian di Maluku. Yang menarik dari perempuan bekerja di daerah perdesaan ini adalah mereka tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi, karena mayoritas mereka hanya membantu bekerja di bidang pertanian dan status mereka adalah pekerja keluarga. Dari penjabaran diatas bisa kita tarik kesimpulan bahwa mayoritas perempuan Maluku tidak terpenuhi aktualisasi dirinya karena mereka bekerja sebagai tuntutan ekonomi dan masalah kebiasaan untuk membantu sebagai pekerja keluarga di bidang pertanian. Pembahasan Regresi Logistik Model Model regresi logistik digunakan untuk melihat pengaruh antara variabel- variabel



penjelas



dengan



variabel



respon



serta



kecenderungannya (odds ratio). Dalam penelitian kali ini tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95% atau α=5%. Hasil pengujian regresi logistik dengan menggunakan SPSS secara ringkas dapat dilihat pada tabel di bawah sebagai berikut: Tabel 4.4. Hasil Statistik Uji Likelihood Ratio Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square Step 1



86



df



Sig.



Step



47169.992



3



0.000



Block



47169.992



3



0.000



Model



47169.992



3



0.000



Uji likelihood ratio (Uji-G) digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel penjelas terhadap variabel respon secara bersama-sama (overall) di dalam model regresi logistik. Dari tabel diperoleh hasil tolak hipotesis nol artinya bahwa variabel penjelas memengaruhi perempuan Maluku untuk bekerja. Hal ini terlihat dari p-value sebesar 0,000 dimana kurang dari tingkat signifikansi 0,05. Keputusan yang diperoleh adalah minimal ada satu variabel penjelas yang digunakan dalam penelitian ini berpengaruh signifikan terhadap keputusan perempuan Maluku untuk bekerja. Tabel 4.5. Hasil Uji Kesesuaian Model Hosmer and Lemeshow Test Step



Chi-square



1



4.816



df 2



Hasil pengujian ketepatan model dengan uji



Sig. .090



Hosmer and



Lemeshow Goodness of Fit tidak signifikan atau model yang diajukan cocok atau sesuai. Hal ini ditunjukkan pada nilai p-value sebesar 0,090 yang lebih besar dari tingkat signifikansi 0,05. Nilai overall percentage pada model regresi logistik antara variabel penjelas dengan variabel respon sebesar 65,7 persen. Dari nilai tersebut didapat hasil bahwa variabel penjelas dalam model dapat mengkategorikan status bekerja perempuan Maluku dengan ketepatan 65,7%. Untuk nilai koefisien regresi, nilai p-value, dan odds ratio dapat dilihat pada tabel di bawah sebagai berikut:



87



Tabel 4.6. Penduga Parameter, Statistik Uji Wald, dan Odds Ratio Terhadap Status Bekerja Perempuan di Maluku Variables in the Equation 95% Exp



EXP(B)



C.I.for



B



S.E.



Wald



f



Sig.



(B)



Lower



Upper



Pendidikan



1.710



.009



35513.370



1



0.000



5.528



431



5.628



Kelompok



.587



012



2341.931



1



0.000



1.798



.756



1.842



Lokasi Tempat -.387



006



4600.543



1



0.000



.679



672



687



012



6865.074



1



0.000



.372



Umur Tinggal Constant



-.989



Berdasar metode penyeleksian variabel enter diketahui bahwa seluruh variabel penjelas signifikan atau berpengaruh terhadap keputusan bekerja perempuan di Maluku. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi ketiga variabel yang berada dibawah 0,05. Dari ketiga variabel diatas, variabel pendidikan mempunyai nilai Exp(B) yang paling besar yaitu sebesar 5,528. Ini berarti bahwa variabel pendidikan memiliki pengaruh paling besar dalam keputusan perempuan Maluku untuk bekerja. Persamaan regresi logistikm yang terbentuk sebagai berikut: Y = -0,989+1,710𝑿𝟏 +0,587𝑿𝟐 -0,387𝑿𝟑 Keterangan: Y=



Perempuan Maluku yang bekerja



𝑋1



=



88



Pendidikan > SMA sederajat



𝑋2



=



Umur produktif



𝑋3



=



Lokasi tempat tinggal kota



Variabel Pendidikan Arti dari persamaan diatas jika variabel yang lain konstan maka kecenderungan perempuan di Maluku yang memiliki pendidikan diatas SMA untuk bekerja sebesar 1,710 kali lebih besar. Variabel Umur Arti dari persamaan diatas jika variabel yang lain konstan maka kecenderungan perempuan di Maluku yang berusia produktif untuk bekerja sebesar 0,587 kali lebih besar. Variabel Lokasi Tempat Tinggal Arti dari persamaan diatas jika variabel yang lain konstan maka kecenderungan perempuan di Maluku yang tinggal di daerah perdesaan untuk bekerja sebesar 0,387 kali lebih besar. 4.5 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Perempuan di Maluku bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi serta tuntutan budaya di masyarakat bahwa perempuan biasa bekerja membantu keluarga atau suaminya sebagai pekerja keluarga. Selain itu untuk menjadi pekerja keluarga tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi.



89



2. Variabel pendidikan memiliki pengaruh positif terhadap keputusan perempuan untuk bekerja, artinya semakin tinggi pendidikan perempuan, maka perempuan itu lebih memilih untuk bekerja. 3. Variabel umur memiliki pengaruh positif terhadap keputusan perempuan untuk bekerja, artinya perempuan yang memiliki umur produktif lebih cenderung memilih untuk bekerja. 4. Variabel lokasi tempat tinggal memiliki pengaruh negative terhadap keputusan perempuan untuk bekerja, artinya penduduk yang tinggal di daerah perdesaan cenderung memilih untuk bekerja. Secara spesifik mereka bekerja di bidang pertanian sebagai pekerja keluarga.



90



Daftar Pustaka Agresti, A. (1990), Categorical Data Analysis, John Wiley & Sons, Florida. Badan Pusat Statistik (2017), Indeks Pembangunan Gender Menurut Provinsi 2010-2017, BPS RI, Jakarta https://www.bps.go.id/dynamictable/2018/08/15/1569/-ipg-indekspembangunan-gender-ipg-2010-2017.html Badan Pusat Statistik (2017), Indeks Pemberdayaan Gender Menurut Provinsi 2010-2017, BPS RI, Jakarta https://www.bps.go.id/dynamictable/2018/08/15/1573/-idg-indekspemberdayaan-gender-idg-menurut-provinsi-2010-2017.html Badan Pusat Stattistik (2017), Keadaan Angkatan Kerja di Provinsi Maluku Agustus 2017, BPS Provinsi Maluku, Ambon. Badan Pusat Stattistik (2017), Pedoman Survei Angkatan Kerja Nasional 2017, Badan Pusat Statistik, Jakarta. Badan Pusat Stattistik (2017), Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi Maluku (Hasil Susenas) 2017, BPS Provinsi Maluku, Ambon. Badan Pusat Statistik (2017), Sumbangan Pendapatan Perempuan Menurut Provinsi 2010-2017, BPS RI, Jakarta https://www.bps.go.id/dynamictable/2018/08/15/1572/-idg-sumbanganpendapatan-perempuan-menurut-provinsi-2010-2017.html Berita Resmi Statistik (2017), Keadaan Ketenagakerjaan Maluku Agustus 2017, BPS Provinsi Maluku, Ambon. Lubis, Citra Ayu B. E. (2014), Pengaruh Jumlah Tenaga Kerja, Tingkat Pendidikan Pekerja, dan Pengeluaran Pendidikan Terhadap Pertumbuha Ekonomi, Jurnal Economia, Volume 10, Nomor 2, Oktober 2014, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta. Majid, Fitria (2012), Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Perempuan Berstatus Menikah Untuk Bekerja Studi Kasus: Kota Semarang, Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang. Setiawan, Nugraha (2008), Struktur Ketenagakerjaan dan Partisipasi Angkatan Kerja di Pedesaan Indonesia: Analisis Hasil Sakernas 2006, Jurnal Kependudukan Padjadjaran, Volume 10, Nomor 2, Juli 2008, Universitas Padjadjaran, Bandung. Setiawan, Satrio Adi (2010), Pengaruh Umur, Pendidikan, Pendapatan, Pengalaman Kerja, dan Jenis Kelamin Terhadap Lama Mencari Kerja Bagi Tenaga Kerja Terdidik di Kota Magelang. Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang. Simanjuntak, Payaman J. (1998), Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta 91



Sutomo, Vincent Hadiwiyono, dan Prihartini BS (1999), Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Lama Mencari Kerja Terdidik di Kabupaten Klaten Tahun 1996. Jurnal Perspektif No.2 Tahun 1999, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta. Waridin, Isty L.T. Sipayung (2013), Analisis Keputusan Wanita Menikah Untuk Bekerja, Diponegoro Journal Of Economics, Volume 2, Nomor 4 Tahun 2013, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, universitas Diponegoro, Semarang.



92



BAB 5 ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA INDUSTRI BESAR SEDANG DI JAWA BARAT Oleh : Koko Anggi Purnomo Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penyerapan tenaga kerja di Provinsi Jawa Barat. Adapun variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Industri Besar Sedang, Upah Minimun Provinsi, dan Inflasi. Data-data yang digunakan berasal dari Badan Pusat Statistik, yaitu data time series jumlah tenaga kerja di industri besar sedang, jumlah perusahaan industri besar sedang, upah minimum provinsi, dan inflasi. Rentang data yang digunakan dari tahun 2003 hingga 2014. Alat analisis yang digunakan, yaitu analisis regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah perusahaan industri besar sedang, upah minimum provinsi, dan inflasi secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di Provinsi Jawa Barat. Secara parsial variabel-variabel tersebut, tidak berpengaruh signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja. Besarnya pengaruh jumlah perusahaan industri besar sedang, upah minimun provinsi, dan inflasi sebesar 67,64% sedangkan sisanya 32,36% dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian. Kata Kunci: industri, tenaga kerja, upah, inflasi.



93



5.1 Latar Belakang Sektor industri merupakan salah satu bagian dari kegiatan ekonomi yang memberikan kontribusi pada masyarakat. Industri dapat didefinisikan sebagai sekelompok perusahaan yang memproduksi barang atau jasa yang sama atau bersifat subtitusi (Kuncoro, 2007:172). Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik (BPS), industri adalah suatu usaha atau kegiatan pengolahan bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi dan atau barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) jenis industri dibagi dalam 4 kelompok, yaitu: Industri Besar apabila banyaknya tenaga kerja 100 orang atau lebih, Industri Sedang apabila banyaknya tenaga kerja 20 orang hingga 99 orang, Industri Kecil apabila banyaknya tenaga kerja 5 orang hingga 19 orang, dan Industri Mikro/Rumah Tangga apabila banyaknya tenaga kerja 1 orang hingga 4 orang. Industri Besar dan Sedang merupakan industri yang mampu memperluas lapangan kerja bagi masyarakat. Pertumbuhan jumlah industri besar sedang cenderung terus meningkat, berdasarkan data BPS peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2006, yaitu mencapai 148,18% dari tahun sebelumnya. Mulai tahun 2011 hingga tahun 2014 peningkatan jumlah industri besar sedang di Jawa Barat hanya berada di kisaran 1% dari tahun sebelumnya. Hal itu ditunjukkan pada grafik berikut:



94



Grafik 5.1 Jumlah Industri Besar Sedang di Jawa Barat 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014



Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik pada tahun 2017 jumlah tenaga kerja yang bekerja pada sektor industri sebanyak 4.185.000 orang atau 20,37% dari seluruh lapangan usaha merupakan sektor industri. Oleh karena itu, sektor industri berada di peringkat kedua setelah perdagangan (28,92%) yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Kebutuhan akan tenaga kerja yang sangat besar pada sektor industri tentu dapat membuka peluang ketersediaan lapangan kerja di sektor industri. Jumlah tenaga kerja yang bekerja pada sektor industri khususnya industri besar sedang cenderung meningkat dari Tahun 2003-2014. Hal itu ditunjukkan pada grafik berikut:



95



Grafik 5.2 Tenaga Kerja Industri Besar Sedang di Jawa Barat 2000000



1500000



1000000



500000



0 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014



Setiap perusahanan industri memiliki standar upah pekerja yang berbeda-beda sehingga pemerintah daerah menetapkan upah minimum. Upah Minimum merupakan suatu standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pekerja di dalam lingkungan usaha atau kerjanya. Diketahui bahwa pemenuhan kebutuhan yang layak di setiap propinsi berbeda-beda, maka perlu adanya Upah Minimum Propinsi. Menurut BPS UMP Provinsi Jawa Barat mengalami kenaikan diatas 1% setiap tahun dari tahun 2003 hingga 2014. Hal itu ditunjukkan pada grafik berikut:



96



Grafik 5.3 Upah Minimum Provinsi Jawa Barat 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014



Inflasi menurut BPS adalah kecenderungan naiknya harga barang dan jasa pada umumnya yang berlangsung secara terus menerus. Jika harga barang dan jasa di dalam negeri meningkat, maka inflasi mengalami kenaikan. Naiknya harga barang dan jasa tersebut menyebabkan turunnya nilai uang.Dengan demikian, inflasi dapat juga diartikan sebagai penurunan nilai uang terhadap nilai barang dan jasa secara umum. Untuk mengukur tingkat inflasi yang digunakan oleh BPS adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Indeks Harga Konsumen merupakan indeks yang menghitung rata-rata perubahan harga dari suatu paket barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga dalam kurun waktu tertentu. Perubahan indeks harga konsumen dari waktu ke waktu menggambarkan tingkat kenaikan (inflasi) atau tingkat penurunan (deflasi) dari barang dan jasa. Inflasi dapat digolongkan menjadi empat golongan yaitu inflasi ringan (apabila kenaikan harga berada di bawah 10% setahun), inflasi sedang (apabila kenaikan harga berada diantara 10%-30% setahun), inflasi berat 97



(apabila kenaikan harga berada diantara 30%-100% setahun), dan hiperinflasi (apabila kenaikan harga berada diatas 100% setahun). Berdasarkan data BPS, Provinsi Jawa Barat mengalami inflasi sedang pada tahun 2005 dan tahun 2008. Pada tahun 2005 inflasi mencapai 19,43%, sedangkan tahun 2008 inflasi mencapai 11%. Hal itu ditunjukkan pada grafik berikut: Grafik 5.4 Inflasi Provinsi Jawa Barat 25



20



15



10



5



0 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014



Penyerapan tenaga kerja merupakan kondisi adanya permintaan tenaga kerja yang tercermin dari tersedianya lapangan kerja sehingga penduduk yang ingin dan mampu bekerja dapat memperoleh suatu pekerjaan. Oleh karena itu, peningkatan penyerapan tenaga kerja dapat mengurangi tingkat pengangguran. Industri Sedang yang memiliki tenaga kerja 20 hingga 99 pekerja dan Industri Besar yang memiliki tenaga kerja 100 lebih pekerja dapat menyerap pekerja dalam jumlah banyak. Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) mencatat, penyerapan tenaga kerja pada tahun lalu mencapai 1,17 juta orang. Namun, 98



angka ini turun 216.000 orang atau 15,5% dibanding penyerapan tenaga kerja tahun 2016 yang jumlahnya mencapai 1,39 juta orang. Naik turunan penyerapan tenaga kerja terjadi juga di sektor industri. Penyebab naik turunnya penyerapan tenaga kerja disebut faktor yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja di Jawa barat, khususnya pada industri besar sedang akan di analisis dalam penelitian ini. 5.2 Rumusan Masalah Penyerapan tenaga kerja merupakan jumlah tertentu dari tenaga kerja yang digunakan dalam suatu unit usaha tertentu atau dengan kata lain penyerapan tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja yang bekerja dalam suatu unit usaha. Dalam penyerapan tenaga kerja ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor-faktor eksternal yang akan diuji dalam penelitian adalah jumlah industri besar sedang, upah minimu provinsi, dan inflasi. Berdasarkan hal itu, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran kondisi Industri Besar Sedang, Upah Minimum Provinsi, dan Inflasi di Jawa Barat? 2. Bagaimana pengaruh Industri Besar Sedang, Upah Minimum Provinsi, dan Inflasi terhadap penyerpan tenaga kerja di Jawa Barat?



5.3 Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan melakukan pengujian model terhadap asumsi klasik dan uji analisis regresi berganda dengan metode OLS. Data yang digunakan



99



merupakan data sekunder dari BPS, yaitu data jumlah tenaga kerja, data jumlah industri besar sedang, data upah minimum provinsi, dan data inflasi di Provinsi Jawa Barat dengan periode tahun 2003 hingga tahun 2014. 5.3.1 Uji Asumsi Klasik Uji Normalitas Uji normalitas memiliki tujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, residual berdistribusi normal atau tidak berdistribusi normal. Pada penelitian ini, untuk menguji apakah residual berdistribusi normal atau tidak normal digunakan uji Jarque-Bera atau J-B Test. Uji ini didasarkan pada kenyataan bahwa nilai skewness dan kurtosis dari distribusi normal sama dengan nol. Dalam aplikasinya J-B Test membandingkan antara nilai J-B (χ2 hitung) terhadap χ2 tabel (Chi-Square). Rumus yang digunakan (Insukindro, 2001:99) adalah: JB = (n/6) x [S2 + ¼ (K-3)2] dengan: S = Swekness dari stochastic term error K = Kurtosis dari stochastic term error n = Jumlah observasi Jika nilai J-B Test lebih besar dari χ2 tabel, maka stochastic term error dari regresi tidak mengikuti distribusi normal. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas merupakan hubungan linear antar variabel independen. Uji multikolinearitas digunakan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan korelasi antara variabel independen. Jika terjadi korelasi, bisa 100



dikatakan model tersebut mengalami masalah multikolinearitas. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel independen. Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas dapat dillihat dari besaran Variance Inflation Faktor (VIF) dan tolerance. Suatu model regresi yang bebas multikolinearitas memiliki tolerance mendekati satu (1). Batas VIF adalah 10, jika nilai VIF dibawah 10, maka tidak terjadi gejala multikolinearitas (Gujarati, 2012:432). Ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas dalam suatu persamaan regresi (Gujarati, 2003) antara lain: Nilai R2 yang dihasilkan oleh suatu estimasi model sangat tinggi, tetapi variabel independen banyak yang tidak siginifikan mempengaruhi variabel independen. Dengan melakukan regresi auxiliary yaitu meregresikan variabel independen Xi dengan variabel penjelas lainnya, kemudian dibandingkan masing-masing nilai R2-nya. Apabila R2 pada persamaan auxilliary lebih besar dari pada R2 model awal, maka terkena multikolinearitas. Uji Heteroskedastisitas Homoskedastisitas terjadi bila distribusi probabilitas tetap sama dalam semua observasi x, dan varians setiap residual adalah sama untuk semua nilai variabel penjelas (Basuki, 2016: 62). Salah satu p engujian heterokedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji Breusch-Pagan. Uji Breusch-Pagan merupakan uji Lagrange Mutiplier untuk memilih antar model efek acak dengan model koefisien tetap. Hipotesis awalnya adalah varians dari residual pada modelkoefisien tetap adalah nol. Pengujiannya adalah sebagai berikut (Baltagi, 2008:309). H0 : σ2µ = 0 H1 : σ2µ ≠ 0 Statistik uji yang digunakan ada uji lagrange multiplier LM = [NT/2(T-1)] {[∑Ni(∑Tt uit)2]/ (∑Ni∑Tt u2it)} – [NT/2(T-1)]



101



dengan: N = jumlah individu T = jumlah periode waktu uit = estimasi residual model koefisien tetap individu ke-i periode ke-t Apabila LM > χ2(α,1) atau probabilitas signifikansi kurang dari taraf signifikansi yang digunakan maka H 0 sehingga model yang terpilih adalah model efek acak. Uji Autokolerasi Autokorelasi adalah suatu keadaan dimana kesalahan penggangguan dari periode tertentu (et) berkorelasi dengan kesalahan pengganggu dari periode sebelumnya (et-1). Pada kondisi ini kesalahan pengganggu tidak bebas tetapi satu sama lain saling berhubungan. Jika terjadi korelasi, maka ada masalah autokorelasi. Tentu saja model regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari autokorelasi (Santoso, 2012:241). Cara mendeteksi masalah autokorelasi dapat menggunakan besaran Durbin-Waston. Rumus uji Durbin-Waston adalah sebagai berikut: D – W = [∑ (et – et-1)] / [∑(et)2] Tabel 5.1 Uji Statistik Durbin-Waston Nilai Statistik d



Hasil



0 < d < dL



ada autokorelasi positif



dL ≤ d ≤ dU



ragu-ragu



dU ≤ d



tidak ada korelasi positif



d ≤ 4 – dU



tidak ada korelasi negatif



4 – dU ≤ d ≤ 4 – dL ragu-ragu 4 – dL ≤ d ≤ 4



102



ada korelasi negatif



5.3.2 Uji Statistik Analisis Regresi Uji Signifikansi Simultan (Uji F) Uji F adalah pengujian terhadap koefisien regresi secara simultan. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel independen yang berada dalam model memiliki pengaruh secara bersama-sama (simultan) terhadap variabel dependen. Menurut Sugiyono (2014:257, uji F dirumuskan sebagai berikut: F = (R2/k) / [(1-R2)/(n-k-1)] dengan: R2 = koefisien determinasi k = jumlah variabel independen n = jumlah anggota data Setelah menghitung F maka bandingkan dengan F tabel yang diperoleh dengan menggunakan tingkat resiko arau signifikansi level 5%. Kriteria pengujiannya adalah sebagai berikut: 



Apabila F hitung > F tabel atau probabilitas signifikansi < 0,05 (α), maka H0 ditolak artinya variabel-variabel independen secara simultan tidak terdapat pengaruh terhadap variabel dependen.







Apabila F hitung < F tabel atau probabilitas signifikansi > 0,05 (α), maka H0 tidak ditolak artinya variabel-variabel independen secara simultan tidak terdapat pengaruh terhadap variabel dependen. Adapun yang menjadi hipotesis nol H 0 adalah sebagai berikut: H0 : β0, β1, β2 = 0 , Seluruh variabel independen tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. 103



H1 : β0, β1, β2 ≠ 0, Seluruh variabel independen berpengaruh secara signifikan terhadap variabel independen. Uji Hipotesis secara Parsial (Uji-t) Menurut Ghozali (2012: 98), uji beda t-test digunakan untuk menguji seberapa jauh pengaruh variabel independen yang digunakan dalam penelitian secara individual dalam menerangkan variabel dependen secara parsial. H0 : βi = 0,



Variabel independen secara parsial tidak terdapat pengaruh signifikan terhadap variabel dependen.



H1 : βi ≠ 0,



Variabel independen secara parsial terdapat pengaruh signifikan terhadap variabel dependen.



Dalam pengujian hipotesis dengan uji-t digunakan rumus sebagai berikut: t = βi : Se(βi) dimana: βi



= Koefisien regresi



Se(βi) = Standart error koefisien regresi Dasar pengambilan keputusan dalam uji t adalah sebagai berikut: 



Apabila nilai t hitung > nilai t statistik atau probabilitas signifikansi < 0,05 (α), maka H0 tidak dapat ditolak.







Apabila nilai t hitung < nilai t statistik, atau probabilitas signifikansi > 0,05 (α), maka H0 ditolak.



104



Koefisien Determinasi Koefisien Determinasi adalah suatu ukuran untuk mengetahui kesesuaian atau ketepatan antara nilai dugaan atau garis regresi dengan data sampel. Nilai koefisien determinasi dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Kd = r2 x 100% dengan: Kd = koefisien determinasi r2 = koefisien korelasi Kriteria untuk analisis koefisien determinasi adalah sebagai berikut: a. Jika Kd mendekati nol (0), maka variabel independen terhadap variabel dependen memiliki pengaruh yang lemah. b. Jika Kd mendekati satu (1), maka variabel independen terhadap variabel dependen memiliki pengaruh yang kuat. 5.4 Pembahasan Pengujian Asumsi Klasik dilakukan pada model dengan hasil sebagai berikut: Uji Normalitas Hasil uji normalitas diperoleh probabilitas signifikan nilai Jaques Berra sebesar 0,43 lebih besar dari 0,05 sehingga residual berdistribusi normal. Uji Multikolinearitas Hasil uji multikolinearitas dengan e-views, adalah sebagai berikut:



105



Variable



Coefficient Variance



Uncentered Centered VIF VIF



C LN_IBS LN_UMP LN_I



3.295038 0.066010 0.009459 0.002247



4975.932 7525.197 2513.648 12.33184



NA 1.697953 1.642623 1.094040



Jadi tidak terdapat multikolinearitas pada model karena nilai VIF jauh dari 10. Uji Heteroskedastisitas Hasil uji heterokedastisitas dari eviews adalah sebagai berikut:



F-statistic 0.637445 Obs*R-squared 2.315097 Scaled explained SS 1.283689



Prob. F(3,8) Prob. Chi-Square(3) Prob. Chi-Square(3)



0.6117 0.5096 0.7330



Hasil uji heterokedastisitas diperoleh probabilitas signifikan nilai Chisquare sebesar 0,51 lebih besar dari 0,05 sehingga model tidak mengandung homokedastisitas. Uji Autokolerasi Hasil dari uji autokorelasi Durbin Waston, model tidak memilki masalah autokorelasi positif dan ragu-ragu memiliki autokorelasi negatif dengan nilai DW sebesar 2,583. Kemudian dilakukan uji autokorelasi LM diperoleh probabilitas signifikansi sebesar 0,19 > 0,05 sehingga model tidak memiliki maslah autokorelasi. 106



Pengujian regresi yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan regresi data time series dari periode Tahun 2003 sampai Tahun 2014. Penelitian ini membentuk model estimasi regresi linear berganda yang didasarkan atas hasil pengolahan data dengan menggunakan software program Eviews 10. Hasil dari pengolahan data menggunakan software tersebut menghasilkan persamaan berikut: LN_TK = β0 + β1 *LN_IBS + β2*LN_UMP + β3LN_I Berdasarkan model tersebut diketahui bahwa variabel IBS, UMP, dan inflasi berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja pada industri besar sedang di Jawa Barat. Nilai koefisien mampu menunjukkan besarnya proporsi perubahan besaran penyerapan tenaga kerja pada industri besar sedang dalam satuan variabel. Adapun koefisien variabel berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat pada model berikut : LN_TK = 7,848 + 0,385*LN_IBS + 0,207*LN_UMP + 0,0732*LN_I Variabel IBS Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Besar Sedang di Jawa Barat Variabel IBS secara parsial ternyata tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja pada industri besar sedang di Jawa Barat. Artinya, naik turunnya IBS tidak berdampak kepada naik turunnya peningkatan penyerapan tenaga kerja pada industri besar sedang di Jawa Barat. Hal ini dikarenakan perkembangan jumlah ibs belum mampu menghasilkan dampak terhadap perkembangan penyerapan tenaga kerja di Jawa Barat. Variabel Upah Minimum Provinsi Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja pada Industri Besar Sedang di Jawa Barat



107



Variabel UMP secara parsial ternyata tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja pada industri besar sedang di Jawa Barat. Artinya, naik turunnya UMP tidak berdampak kepada naik turunnya peningkatan penyerapan tenaga kerja pada industri besar sedang di Jawa Barat. Hal ini dikarenakan perkembangan upah minimum provinsi belum mampu menghasilkan dampak terhadap perkembangan penyerapan tenaga kerja di Jawa Barat. Variabel Inflasi Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja pada Industri Besar Sedang di Jawa Barat Variabel inflasi secara parsial ternyata tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja pada industri besar sedang di Jawa Barat. Artinya, naik turunnya inflasi tidak berdampak kepada naik turunnya peningkatan penyerapan tenaga kerja pada industri besar sedang di Jawa Barat. Hal ini dikarenakan perkembangan inflasi yang terjadi tidak memiliki dampak terhadap perkembangan penyerapan tenaga kerja pada industri besar sedang di Jawa Barat. 5.5 Kesimpulan Dan Implikasi Kebijakan 5.5.1 Kesimpulan 1. Secara simultan ketiga variabel tersebut menunjukkan nilai F-Stat yaitu 5.576 dengan prob. sebesar 0.0232 < 0.05, sehingga Ho ditolak yang berarti bahwa secara bersama-sama perubahan variabel jumlah IBS, Infasi, dan UMP berpengaruh signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja pada industri besar sedang Jawa Barat



108



2. Secara parsial disimpulkan bahwa variabel IBS, Inflasi, dan UMP tidak berpengaruh signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja pada industri besar sedang di Jawa Barat. 3. Variabel jumlah IBS, inflasi, UMP berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja pada industri besar sedang di Jawa Barat sebesar 67,65 persen. Serta sisanya 32,35 persen dipengaruhi variabel lain. 5.5.2 Implikasi Kebijakan 1. Agar penyerapan tenaga kerja lebih optimal, pemerintah selayaknya mempeluas petumbuhan industri besar sedang, sehingga dapat menyerap tenaga kerja pada industri besar sedang secara optimal. 2. Pemerintah bekerjasama dengan Bank Indonesia perlu mengendalikan laju inflasi dengan cara memberi aturan baru terhadap import barang dari luar negeri dan mengendalikan harga barang dalam negeri. 3. Pemerintah perlu menetapkan upah minimum provinsi yang relevan agar dapat memaksimalkan penyerapan tenaga kerja.



109



Daftar Pustaka Baltagi, B. H. 2008. Econometrics. Heidelberg: Spinger: BPS JABAR. 2003-2015. Jawa Barat dalam Angka. Bandung: Badan Pusat Statistik Jawa Barat. Ghozali, Imam. 2012. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM SPSS 20. Semarang: UNDIP. Gujarati, D.N. 2012. Dasar-Dasar Ekonometrika, Terjemahan Mangunsong, R. C. Jakarta: Salemba Empat. Gujarati, Damodar. 2003. Ekonometri Dasar, Terjemahan Sumarno Zain. Jakarta: Erlangga. Insukindro. 2001. Ekonomi Uang dan Bank: Teori Pengalaman di Indonesia. Yogyakarta: BPFE. Kuncoro. 2007. Industri Kecil dan UMKM. Jakarta: FE UI. Saputri, Oktaviana Dwi. 2011. Analisis Penyerapan Tenaga Kerja di Kota Salatiga. Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro. Sitompul, Dian Novianti. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri di Sumatera Utara. QE JOURNAL Sugiono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R%D. Bandung: Penerbit Afabeta. Sumber data diunduh dari www.bps.go.id dan www.jabar.bps.go.id



110



BAB 6 PENGARUH PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN REVITALISASINYA TERHADAP KESEMPATAN KERJA DI JAWA TENGAH Oleh : Ferry Fernedy Abstrak Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah (1) Seberapa besar pengaruh pembangunan sektor pertanian terhadap peningkatan kesempatan kerja di provinsi Jawa Tengah (2) Apakah ada perbedaan pengaruh pembangunan sektor pertanian terhadap peningkatan kesempatan kerja di provinsi Jawa Tengah sebelum dan sesudah revitalisasi pertanian? Hasil penelitian diperoleh model pertama melalui uji F ada perbedaan pengaruh pembangunan sektor pertanian terhadap kesempatan kerja di Provinsi Jawa Tengah sebelum dan sesudah revitalisasi pertanian. Melalui uji t untuk variabel pembangunan sektor pertanian ada pengaruh pembangunan sektor pertanian terhadap kesempatan kerja di Provinsi Jawa Tengah. Untuk variabel revitalisasi pertanian ada pengaruh revitalisasi pertanian terhadap kesempatan kerja di Provinsi Jawa Tengah. Kata Kunci : pembangunan sektor pertanian, revitalisasi, kesempatan kerja.



111



6.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencarian penduduknya, dengan demikian sebagian besar penduduk menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Kenyataan yang terjadi bahwa sebagian besar penggunaan lahan di wilayah Indonesia diperuntukkan sebagai lahan pertanian dan hampir 50 persen dari total angkatan kerja masih menggantungkan kebutuhan hidupnya pada sektor pertanian. Sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia, hal ini dikarenakan sektor pertanian berfungsi sebagai basis atau landasan pembangunan ekonomi. Keadaan seperti ini menuntut kebijakan pemerintah pada sektor pertanian disesuaikan dengan keadaan dan perkembangan yang terjadi dilapangan dalam mengatasi berbagai persoalan yang menyangkut kesejahteraan bangsa, Tambunan dalam M. Yamin (2005). Pertanian mempunyai peranan penting dalam kehidupan ekonomi di negara- negara sedang berkembang terutama pada tahap-tahap awal proses pembangunan. Di negara maju proses integrasi ekonomi dan sosial antara sektor pertanian dan sektor ekonomi lain telah terjadi secara hampir sempurna, usahatani bersifat bisnis dan petani berperilaku sebagai pengusaha. Semua sektor berorientasi komersial dan dapat memperoleh informasi yang cukup baik. Mereka dengan mudah terjangkau oleh jaringan pelayanan finansial, pemasaran, badan penasehat/pembina dan badan penelitian pemerintah dan swasta. Keadaan petani pada umumnya tidak lebih buruk daripada penduduk sektor lain, bahkan mempunyai kelebihan dalam hal kebebasan, kenyamanan tinggal di pedesaan, dan sebagainya. Istilah pertanian tradisional sering digunakan untuk menggambarkan ciri usahatani di negara dengan pertanian yang dominan dalam bidang pekerjaan tetapi tidak selalu dalam pendapatan 112



nasional. Keadaan sektor pertanian tidak uniform, sangat bervariasi dalam ekonomi dan sosialnya. Dalam pertanian semi-subsisten petani menghasilkan sebagian untuk konsumsi sendiri dan sebagian untuk pasar. Surplus makanan yang dijual ke pasar merupakan kelebihan dari konsumsi keluarga, kecuali untuk cash crops. Tujuan utamanya mungkin bukan memaksimalkan keuntungan melainkan jaminan keamanan ekonomi dengan meminimumkan risiko (Widodo, 2016). Sejak tahun 1990 perhatian pemerintah mulai diarahkan pada sektor industri dan jasa seiring dengan terjadinya transformasi ekonomi dari negara agraris menjadi negara industri sehingga peran sektor pertanian mulai menurun dalam menyebabkan struktur perekonomian, Produk Domestik Bruto (PDB), Pembangunan ekonomi dan kebijakan politik mengarah pada sektor industri dan jasa. Fokus pembangunan ekonomi lebih banyak diarahkan pada sektor industri dan jasa, bahkan yang berbasis teknologi tinggi dan intensif capital. Namun pada tahun 1997/1998 krisis ekonomi menunjukan bahwa sektor pertanian memiliki daya tahan yang cukup tinggi terhadap goncangan ekonomi



dibandingkan



sektor



lain



sehingga



dapat



menyelamatkan



pemerintahan dan negara dari kebangkrutan. Dari peristiwa tersebut membuktikan bahwa sektor pertanian harus tetap mendapatkan perhatian pemerintah karena memiliki dasar yang kuat sebagai penopang perekonomian nasional. Sektor pertanian memiliki peranan utama dalam perekonomian nasional dan regional, antara lain dalam bentuk penyerapan tenaga kerja, penyediaan pangan dan bahan baku industri, serta sumber mata pencaharian utama bagi sebagian besar masyarakat, khususnya masyarakat di pedesaan, sehingga bersama-sama dengan sektor industri, pembangunan sektor pertanian menjadi motor utama pembangunan ekonomi.



113



Menurut Bank Indonesia bahwa di Jawa Tengah, meskipun sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB tahun 2006 berada pada posisi ketiga sesudah sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran (PHR), tetapi sektor pertanian menyerap 60 % tenaga kerja, jauh lebih besar dari industri yang menyerap 27 % angkatan kerja. Bahkan karena surplus produksi berasnya sekitar 1,5 juta ton per tahun, Provinsi Jawa Tengah dikenal sebagai salah satu pilar penyangga pangan nasional. Pembangunan pertanian di Jawa Tengah memiliki peranan penting dan strategis dalam pembangunan nasional dan regional. Peranan sektor pertanian bukan saja terhadap ketahanan pangan, tetapi juga memberikan andil yang cukup besar terhadap kesempatan kerja, sumber pendapatan serta perekonomian regional. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hasil pembangunan disektor pertanian dapat diukur dari nilai PDRB yang dihasilkan oleh sektor tersebut. Perkembangan PDRB Provinsi Jawa Tengah Tahun 1993-2007 dapat dilihat pada gambar 6.1 Pada gambar 6.1 menunjukan bahwa peningkatan PDRB terus terjadi akibat peningkatan output dari berbagai lapangan usaha. Salah satu lapangan usaha yang mengalami peningkatan berarti adalah sektor pertania, pada tahun 2007 sektor pertanian memberikan kontribusi terhadap PDRB Jawa Tengah 20,43 persen, berada pada peringkat kedua setelah sektor industri pengolahan. PDRB menunjukan berapa besar output yang dihasilkan, dan biasanya dinyatakan dalam rupiah berdasarkan harga berlaku maupun harga konstan. Tingginya PDRB suatu daerah dapat mengidentikkan besarnya pendapatan pada wilayah tersebut, namun belum tentu terjadi pemerataan pada pendapatan masyarakatnya.



114



Gambar 6.1 Perkembangan PDRB Provinsi Jawa Tengah Tahun 1993-2007



Sumber : BPS Jawa Tengah (diolah) Kabinet



Indonesia



bersatu



telah



menetapkan



program



pembangunannya dengan menggunakan strategi tiga jalur (triple track strategy) yang berazas pro-growth, pro-job dan pro-poor. Operasionalisasi konsep strategi tiga jalur tersebut dirancang melalui: (1) peningkatan pertumbuhan ekonomi diatas 6.5 % per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor; (2) pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru, dan (3) revitalisasi sektor pertanian dan perdesaan untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan



115



Untuk mensinergiskan pembangunan sektor pertanian, diperlukan rumusan strategi dan kebijakan revitalisasi pertanian dimana revitalisasi pertanian mengandung arti sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual dalam arti menyegarkan



kembali



vitalitas,



memberdayakan



kemampuan



dan



meningkatkan kinerja pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain. Revitalisasi bukan dimaksudkan membangun pertanian at all cost dengan cara-cara yang top-down sentralistik, bukan pula orientasi proyek untuk menggalang dana, tetapi revitalisasi adalah menggalang komitmen dan kerjasama seluruh stakeholder dan mengubah paradigma pola pikir masyarakat melihat pertanian tidak hanya urusan bercocok tanam yang sekedar hanya menghasilkan komoditas untuk dikonsumsi. Pertanian mempunyai multi-fungsi yang belum mendapat apresiasi yang memadai dari masyarakat. Pertanian merupakan way of life dan sumber kehidupan sebagian besar masyarakat kita. Pertanian merupakan pemasok sandang, pangan, dan papan untuk kehidupan penduduk desa dan kota, juga sebagai pemelihara atau konservasi alam yang berkelanjutan dan keindahan lingkungan untuk dinikmati (wisata-agro), sebagai penghasil biofarmaka dan penghasil energi seperti bio-diesel. Oleh karena itu, penulis mengambil judul “Pengaruh Pembangunan Sektor Pertanian dan Revitalisasinya Terhadap Kesempatan Kerja di Provinsi Jawa Tengah.” 6.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang yang dikemukakan tersebut, maka permasalahan yang muncul dalam pembangunan sektor pertanian di Jawa Tengah dan hubungannya terhadap peluang penciptaan kesempatan kerja adalah : 116



1.



Adakah



pengaruh



pembangunan



sektor



pertanian



terhadap



peningkatan kesempatan kerja di Provinsi Jawa Tengah? 2.



Apakah ada perbedaan pengaruh pembangunan sektor pertanian terhadap peningkatan kesempatan kerja di Provinsi Jawa Tengah sebelum dan sesudah revitalisasi pertanian?



6.3 Metodologi Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif pada dasarnya menekankan analisisnya pada data-data numerikal (angka) yang diolah dengan metode statistika. Dengan metode kuantitatif akan diperoleh signifikasi perbedaan kelompok atau signifikasi hubungan antara variabel yang diteliti (Azwar, 2000). Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu data yang tidak langsung diperoleh dari tempat penelitian, melainkan data yang diambil dari pihak lain atau yang sudah diperoleh dari pihak kedua. Untuk mendukung penelitian digunakan data sekunder yang bersumber dari data yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statisitk yang meliputi: 1.



Jawa Tengah Dalam Angka 1993 – 2007



2.



PDRB Jawa Tengah Tahun 1993 – 2007 Variabel penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :



1.



Pembangunan Sektor Pertanian Pembangunan sektor pertanian merupakan suatu bentuk usahausaha ataupun suatu proses menuju kearah yang lebih baik di dalam sektor pertanian dimana untuk meningkatkan taraf hidup suatu bangsa atau masyarakat. Dalam penelitian ini Pembangunan sektor pertanian (X) sebagai variabel bebas (Independen Variabel). Dalam penelitian 117



pembangunan sektor pertanian diukur dengan menggunakan PDRB pertanian berdasarkan harga berlaku yang dihitung dalam satuan rupiah (Jutaan Rp). 2. Kesempatan Kerja Kesempatan kerja merupakan suatu jumlah atau peluang yang diterima oleh suatu masyarakat akibat adanya pembangunan dalam sektor tertentu. sebagai variabel terikat (Dependen Variabel). Dalam penelitian ini yaitu kesempatan kerja yang dihitung dengan menggunakan satuan jumlah penduduk yang bekerja disektor pertanian (Orang) Dalam penyusunan penelitian ini peneliti menggunakan analisis deskriptif kuantitatif, alat yang digunakan untuk manganalisis pengaruh pembangunan sektor pertanian terhadap peningkatan kesempatan kerja di Jawa Tengah adalah dengan menggunakan regresi sederhana. Adapun



model



yang



digunakan



untuk



mengukur



pengaruh



pembangunan sektor pertanian terhadap peningkatan kesempatan kerja dan distribusi pendapatan di Provinsi Jawa Tengah adalah sebagai berikut;



KK kesempatan kerja = α + 𝛽1 𝑃𝐷𝑅𝐵𝑆𝑒𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑖𝑎𝑛 + 𝛽2 𝐷 + 𝑒 KK



= Kesempatan Kerja (orang)



PDRB



= Produk Domestik Regional Bruto sektor pertanian (Juta)



α



= Intersep



β = Koefisien regresi e



= Kesalahan pengganggu



D



= Dummy (Revitalisasi pertanian)



118



6.4 Pembahasan Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu Provinsi penyangga pangan nasional, oleh karena itu produktivitas sektor pertanian terus dipicu. Berdasarkan data yang tecatat di Badan Pusat Statistik (BPS) peningkatan PDRB terus terjadi dari tahun 1993-2007 akibat peningkatan output dari berbagai lapangan usaha. Datrini (2009) menyatakan bahwa faktor tenaga kerja merupakan faktor penting dalam hubungannya dengan peningkatan PDRB suatu daerah. Menurutnya pertumbuhan tenaga kerja menentukan besarnya pertumbuhan output.Berikut adalah data perkembangan PDRB Provinsi Jawa Tengah tahun 1993-2007 berdasarkan harga berlaku. Tabel 6.1 PDRB Menurut Lapangan Usaha Atas Harga Berlaku Provinsi Jawa Tengah (Juta)



119



PDRB Provinsi Jawa Tengah cenderung meningkat setiap tahunnya, pada data tahun 1993-2007 diatas menunjukan bahwa sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar kedua setelah industri pengolahan bagi PDRB. Tabel 6.1 menjelaskan bahwa PDRB Sektor Pertanian dari tahun 1993-2007 mengalami kenaikan yang sangat berarti, pada tahun 1993 tercatat bahwa PDRB sektor pertanian Provinsi Jawa Tengah sebesar 7.810.639,73 rupiah , pada tahun 1994 tercatat bahwa PDRB sektor pertanian Provinsi Jawa Tengah sebesar 8.778.946,06 rupiah



mengalami kenaikan sebesar



968.303.33 rupiah Pada tahun 1995 tercatat bahwa PDRB Provinsi Jawa Tengah sebesar 10.631.588,86 rupiah



hingga tahun 2007 yaitu sebesar



63.832.141,75 rupiah pada tahun 2007. Hal ini menunjukan bahwa sektor pertanian di Provinsi Jawa Tengah dari tahun ketahun terus mengalami kenaikan dan ada kontribusinya terhadap PDRB Provinsi Jawa Tengah. Gambar 6.2 Perkembangan PDRB Sektor Pertanian Tahun 1993-2007 Provinsi Jawa Tengah



120



Berdasarkan gambar 6.2 terlihat jelas perkembangan PDRB Sektor Pertanian Provinsi Jawa Tengah tahun 1993-2007 cenderung mengalami kenaikan yaitu dari 7.810.639,73 rupaih di tahun 1993 hingga 63.832.141,75 rupiah di tahun 2007. Kesempatan kerja merupakan suatu jumlah atau peluang yang diterima oleh suatu masyarakat akibat adanya pembangunan dalam sektor tertentu. Secara keseluruhan jumlah orang yang bekerja yang dimuat dalam publikasi BPS, sering digunakan sebagai petunjuk tentang luasnya kesempatan kerja. Dalam pengkajian ketenagakerjaan, kesempatan kerja sering dijadikan acuan sebagai permintaan tenaga kerja, , kesempatan kerja berarti peluang atau keadaan yang menunjukkan tersedianya lapangan pekerjaan sehingga semua orang yang bersedia dan sanggup bekerja dalam proses produksi dapat memperoleh pekerjaan sesuai dengan keahlian, keterampilan dan bakatnya masing-masing pada Arfida dalam I Made Wirartha (1998). Menurut Soemitro Djojohadikusumo Usia Kerja adalah suatu tingkat umur seseorang yang diharapkan sudah dapat bekerja dan menghasilkan pendapatannya sendiri. Usia kerja ini berkisar antara 14 sampai 55 tahun. Penduduk dalam usia kerja yang termasuk angkatan kerja, dikelompokkan menjadi tenaga kerja (bekerja) dan bukan tenaga kerja (mencari kerja atau menganggur). Tenaga Kerja (man power) adalah bagian dari angkatan kerja yang berfungsi dan ikut serta dalam proses produksi serta menghasilkan barang atau jasa. Angkatan kerja didefinisikan sebagai bagian dari jumlah penduduk yang mempunyai pekerjaan atau yang sedang mencari kesempatan untuk melakukan pekerjaan yang produktif. Bisa juga disebut sumber daya manusia. Bukan angkatan kerja, yang termasuk di dalamnya adalah para remaja yang



121



sudah masuk usia kerja tetapi belum bekerja atau belum mencari perkerjaan karena masih sekolah, termasuk Ibu rumah tangga. Penduduk bukan usia kerja, yaitu di bawah usia kerja dan di atas usia kerja. Penduduk yang dimaksud yaitu anak-anak usia sekolah dasar dan yang sudah pensiun atau berusia lanjut. Provinsi Jawa Tengah adalah provinsi dengan jumlah penduduk tertinggi dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia, dimana dari tahun 1993 sampai tahun 2007 jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah cenderung mengalami peningkatan. Adapun gambaran jumlah penduduk di Provinsi Jawa Tengah lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 6.2 berikut ini : Tabel 6.2 Komposisi penduduk Provinsi Jawa Tengah tahun 1993-2007



122



Dari tabel 6.2 tersebut, Pertambahan penduduk dari tahun 1993 sampai tahun 2007 cenderung mengalami peningkatan, hingga tahun 2007 jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah menjadi 32.380.279 jiwa dengan jumlah penduduk bukan usia kerja sebesar 8.269.595 jiwa dan penduduk usia kerja sebesar 24.110.684 jiwa dengan angkatan kerja sebesar 21.830.787 jiwa dan 2.279.897 jiwa bukan angkatan kerja. Tabel 6.3 Kesempatan Kerja Sektor Pertanian di Provinsi Jawa Tengah Tahun 19932007 (Orang) Tahun



Angkatan Kerja



Tahun



Angkatan Kerja



1993



14,365,150



2001



15,644,732



1994



14,436,321



2002



15,735,322



1995



14,642,602



2003



16,753,226



1996



14,394,169



2004



16,974,670



1997



14,405,167



2005



17,333,283



1998



14,949,263



2006



17,455,626



1999



15,433,345



2007



17,664,277



2000



15,129,122



Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah (data diolah) Tabel 6.3 menjelaskan bahwa jumlah angkatan kerja di Provinsi Jawa Tengah tahun 1993-2007 cenderung mengalami peningkatan yaitu pada tahun 1993 jumlah angkatan kerja di Provinsi Jawa Tengah sebesar 14.365.150 jiwa, tahun 1994 sebesar 14.436.321 jiwa, tahun 1995 sebesar 14.642.602 jiwa, tahun 1996 sebesar 14.394.169 jiwa, tahun 1997 sebesar 14.405.167 jiwa, tahun 1997 yaitu sebesar 14.405.167, tahun 1998 sebesar 14.949.263 jiwa,



123



tahun 1999 sebesar 15.433.345 jiwa, tahun 2000 sebesar 15.129.122 jiwa hingga tahun 2007 menjadi 17.664.277 jiwa. Pembangunan Sektor Pertanian Terhadap Distribusi Pendapatan di Provinsi Jawa Tengah. 1.



Uji Normalitas Uji Normalitas residu bertujuan untuk menguji apakah variabelvariabel dalam model regresi berdistribusi normal atau tidak. Pada prinsipnya normalitas dapat dideteksi dengan melihat histogram dari residual. Gambar 6.3 Uji Normalitas Dalam Bentuk Histogram Pada diagram 6.3Terlihat bahwa data menyebar dari garis diagonal dan mengikuti arah



2. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi linier ada korelasi antar kesalahan penggangu pada periode



t dengan



kesalahan



pengganggu



pada



periode



sebelumnya. Jika ada korelasi, maka dikatakan ada problem



124



autokorelasi. Untuk menguji ada tidaknya autokorelais pada model regresi penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4 output SPSS berikut ini : Tabel 6.4 Uji Autokorelasi



Dari tabel 6.4 dapat diketahui nilai DW sebesar 2,189 berkisar antara 1.66 dengan 2.43 maka dapat disimpulkan bahwa model regresi diindikasikan tidak terdapat masalah autokorelasi. 3. Uji Heteroskedastisitas Untuk mengetahui ada tidaknya heteroskedastisitas pada model regresi dapat dilihat dengan ada tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot yang menunjukan hubungan antara Regression Studintised Residual dengan Regression Standardized Predicted Value. Jika tidak terdapat pola yang jelas, yaitu titik-titik menyebar, maka tidak terdapat masalah heteroskedastisitas. Sedangkan jika titik-titiknya membentuk pola tertentu dan teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka diidentifikasikan terdapat masalah heteroskedastisitas. Ada tidaknya heteroskedastisitas dapat dilihat pada scatterplot berikut ini :



125



Gambar 6.4 Scatterplot untuk Uji Heteroskedastisitas



Dari Gambar 6.4 scatterplot terlihat bahwa titik-titik menyebar secara acak diatas maupun dibawah angka 0 pada sumbu Y. hal ini dapat disimpulkan bahwa model regresi yang digunakan dalam penelitian ini tidak terjadi heteroskedastisitas, sehingga model regresi layak dipakai untuk menilai prediksi variabel dependent berdasarkan masukan dari variabel independen Analisis Regresi Berganda Pengaruh Pembangunan Sektor Pertanian Terhadap Kesempatan Kerja Di Provinsi Jawa Tengah . Tabel 6.5 berikut ini menyajikan ringkasan hasil estimasi analisis regresi berganda yang diolah dengan menggunakan perhitungan komputer program statistik SPSS



126



Tabel 6.5 Hasil Estimasi Regresi Linear Berganda Dependen Variabel (Kesempatan Kerja) Konstanta



Hasil 15.431 (77.201)*



PDRB



0.066



Dummy



(5.535)* 0.063 (3.757)*



R2



0.932



Adjusted R2



0.921



F



82.724



DW Test



2.189



Catatan : * Signifikan α = 5 % Angka dalam kurung menunjukan nilai tstatistik Dari tabel 6.5 menunjukan bahwa persamaan regresi yang diperoleh dari hasil analisis yaitu : Ŷ = 15,431 + 0,066X + 0,063D. Persamaan regresi tersebut mempunyai makna bahwa pada persamaan tersebut diperoleh koefisien regresi bertanda positif (+) artinya kenaikan variabel independen akan diikuti oleh kenaikan variabel dependen. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa jika variabel pembangunan sektor pertanian dan revitalisasi pertanian meningkat masing-masing satu poin, maka akan diikuti dengan meningkatnya kesempatan kerja, dan sebaliknya jika variabel pembangunan



127



sektor pertanian dan revitalisasi pertanian menurun masing-masing satu poin maka akan diikuti dengan menurunnya variabel kesempatan kerja. Uji variabel secara bersama-sama melalui uji F diperoleh F-hitung sebesar 82,724 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000. Karena nilai signifikansi < 0,05, dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, yang berarti hipotesis I yang berbunyi ada perbedaan pengaruh pembangunan sektor pertanian terhadap kesempatan kerja di Provinsi Jawa Tengah sebelum dan sesudah revitalisasi pertanian diterima. Berdasarkan nilai R square sebesar 0,932 menunjukkan bahwa secara bersama-sama pembangunan sektor pertanian dan revitalisasi pertanian mempengaruhi terhadap kesempatan kerja sebesar 93,2 %, selebihnya dari faktor lain di luar kedua variabel tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan uji t menunjukan bahwa semua variabel independen signifikan secara statistik. Untuk variabel pembangunan sektor pertanian diperoleh thitung sebesar 5,535 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 < 0,05, hal ini menunjukan bahwa secara parsial hipotesis II (a) yang menyatakan ada pengaruh pembangunan sektor pertanian terhadap kesempatan kerja di Provinsi Jawa Tengah diterima. Untuk variabel revitalisasi pertanian diperoleh t-hitung sebesar 3,757 dengan signifikansi 0,003 < 0,05, hal ini menunjukan bahwa hipotesis II (b) yang menyatakan ada pengaruh revitalisasi pertanian terhadap kesempatan kerja di Provinsi Jawa Tengah diterima. Tahun 1997/1998 krisis ekonomi menunjukan bahwa sektor pertanian memiliki daya tahan yang cukup tinggi terhadap goncangan ekonomi dibandingkan sektor lain sehingga dapat menyelamatkan pemerintahan dan negara dari kebangkrutan. Dari peristiwa tersebut membuktikan bahwa sektor 128



pertanian harus tetap mendapatkan perhatian pemerintah karena memiliki dasar yang kuat sebagai penopang perekonomian nasional. Sektor pertanian memiliki peranan utama dalam perekonomian nasional dan regional, antara lain dalam bentuk penyerapan tenaga kerja, penyediaan pangan dan bahan baku industri, serta sumber mata pencaharian utama bagi sebagian besar masyarakat, khususnya masyarakat di pedesaan, sehingga bersama-sama dengan sektor industri, Pembangunan sektor pertanian menjadi motor utama pembangunan ekonomi. Untuk mensinergiskan pembangunan sektor pertanian, diperlukan rumusan strategi dan kebijakan revitalisasi pertanian dimana revitalisasi pertanian mengandung arti sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual dalam arti menyegarkan



kembali



vitalitas,



memberdayakan



kemampuan



dan



meningkatkan kinerja pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain. Provinsi Jawa Tengah dikenal sebagai salah satu pilar penyangga pangan nasional, dengan adanya pembangunan sektor pertanian diharapkan meningkatnya kesempatan kerja.



A. Pembangunan sektor pertaian terhadap kesempatan kerja di Provinsi Jawa Tengah. Kesempatan kerja di sektor pertanian di pengaruhi oleh pembangunan sektor pertanian dan revitalisasi pertanian. Berdasarkan hasil penelitian di Provinsi Jawa tengah, diperoleh model regresi yaitu sebagai berikut : Ŷ = 15,431 + 0,066X + 0,063D 129



Koefisien regresi untuk variabel pembangunan sektor pertanian sebesar 0,066 dan koefisien variabel revitalisasi pertanian sebesar 0,063 dan diperoleh pula konstanta sebesar 15,431. Model tersebut menunjukan bahwa setiap kenaikan satu poin pembangunan sektor ekonomi akan diikuti kenaikan kesempatan kerja sebesar 0,066, apabila variabel lain dianggap tetap. Setiap terjadi kenaikan satu poin revitalisasi pertanian diikuti kenaiakan kesempatan kerja sebesar 0,063, apabila variabel lain dianggap tetap. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa jika pembangunan sektor pertanian dan revitalisasi pertanian di Provinsi Jawa Tengah meningkat, maka akan diikuti dengan meningkatnya kesempatan kerja dan sebaliknya jika pembangunan sektor pertanian dan revitalisasi pertanian di Provinsi Jawa Tengah menurun, maka akan diikuti dengan menurunnya kesempatan kerja. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesempatan kerja di sektor pertanian adalah dengan meningkatkan pembangunan sektor pertanian dan revitalisasi pertanian. B. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesempatan kerja menurut Simanjuntak (2001) antara lain yaitu : 1. Kondisi Perekonomian Daerah Kodisi perekonomian suatu daerah mencerminkan aktivitas produksi yang tinggi, kapasitas produksi yang tinggi membutuhkan tingginya factor produksi diantaranya adalah tenaga kerja. Selain hal tersebut, kondisi perekonimian di daerah erat kaitannya dengan konribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah tersebut. PDRB merupakan nilai netto dari barang dan jasa (nilai produksi dikurang biaya antara) yang dihasilkan oleh seluruh sektor ekonomi yang melakukan kegiatan produksi dalam batas wilayah suatu provinsi.



130



Dalam pengertian sektoral, PDRB merupakan penjumlahan dari nilai tambah yang diciptakan oleh seluruh sektor ekonomi, yang dalam penggolongan besarnya terdiri dari : sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas, dan air minum, sektor bangunan/konstruksi, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor angkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor jasajasa. PDRB juga dapat dihitung dari penggunaan komponen faktorfaktor produksi yang digunakan dalam memproduksi suatu barang/jasa. 2. Pertumbuhan penduduk Kualitas pertumbuhan ekonomi akan dipengaruhi oleh tingginya angka pertumbuhan penduduk. Oleh sebab itu semaki tingi jumlah penduduk akan mengurangi kesempata kerja yang ada di daerah tersebut. 3. Permintaan terhadap faktor produksi Pada kondisi skala produksi yang semakin besar, maka akan semakin besar pula permintaan terhadap kesempatan tenaga kerja. 4. Kualitas SDM Kualitas SDM sangat berpengaruh terhadap tingkat kesempatan kerja yang akan diperoleh oleh seseorang. Semakin baik kualitas SDM tentunya akan semakin mudah memperoleh kesempatan kerja, begitupun sebaliknya semakin rendah kualitas SDM seseorang akan semakin sulit memperoleh kesempatan kerja. Berdasarkan informasi dan hasil studi literature diperoleh bahwa kesempatan kerja di sektor pertanian di Provinsi Jawa Tengah setelah adanya



131



revitalisasi pertanian



yang dimulai pada tahun 2003 cenderung terus



mengalami peningkatan. Program revitalisasi yang dilakukan di Provinsi Jawa Tengah dalam kurun waktu tersebut antara lain : 1. Melalukan penyuluhan dan pendampingan petani termasuk peternak, nelayan, dan pembudidaya ikan. 2. Meningkatkan kemampuan/kualitas sumber daya manusia pertanian Revitalisasi pertanian dilakukan karena pembangunan pertanian yang hanya bervisi proteksi tanpa upaya promosi dan pemihakan kepada petani cenderung beakhir dengan tragis, menghasilkan distrosi yang justru tidak nikmat oleh petani. Dengan lemahnya kapasitas institusi dan kemampuan untuk melaksanakan kebijakan yang sederhana sekalipun, sistem proteksi besar-besaran hanya menguntungkan para polotisi dan kelompok kepentingan yang mengatasnamakan kepentingan petani. Ada 2 alasan yang mendasari pelaksanaan program revitalisasi pertanian di Indonesia yaitu: 1. Sektor pertanian penghasil pangan yang sangat penting dalam stabilisasi ekonomi, sosial, dan politik. 2. Sektor pertanian merupakan penghasil bahan baku bagi industri dan andalan dalam ekspor. Revitalisasi pertanian dilakukan untuk mendukung pencapaian sasaran penciptaan lapangan kerja terutama di pedesaan dan mendukung pertumbuhan



ekonomi



nasional.



Peranan



sektor



pertanian



dalam



pembangunan: (a) penyerap tenaga kerja, (b) kontributor dalam ekspor non migas Indonesia, dan (c) penyedia bahan pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan



132



Sasaran revitalisasi pertanian adalah meningkatnya pertumbuhan sektor pertanian secara signifikan, dan meningkatnya kesejahteraan petani dan nelayan, serta berkembangnya agrobisnis/agroindustri dan agropolitan. Secara rinci, sasaran tersebut adalah: 1. Meningkatnya secara nyata pendapatan petani dan nelayan, terutama dari keluarga miskin, yang tercermin dari meningkatnya Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Nelayan. 2. Meningkatnya investasi, dan perluasan lapangan kerja bagi laki-laki maupun perempuan di sektor pertanian. 3. Meningkatnya produksi dan ekspor hasil pertanian dan perikanan. 4. Meningkatnya daya saing dan nilai tambah produk pertanian dan perikanan. 5. Tersedianya infrastruktur pertanian dan pedesaan yang memadai. 6. Meningkatnya



pengembangan



agroindustri/agrobisnis,



dan



pembentukan kawasan agropolitan, terutama di kawasan kantong kemiskinan. 7. Meningkatnya produksi beras untuk pengamanan kemandirian pangan. 8. Meningkatnya kemampuan petani dan nelayan mengelol sumber daya alam secara lestari dan bertanggung jawab. 9. Makin optimalnya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kehutanan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan 6.5 Kesimpulan Berdasarkan analisis diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut 1.



Terdapat pengaruh pembangunan sektor pertanian terhadap kesempatan kerja di Provinsi Jawa Tengah. 133



2.



Terdapat perbedaan pengaruh pembangunan sektor pertanian terhadap kesempatan kerja di Provinsi Jawa Tengah sebelum dan sesudah revitalisasi pertanian.



3.



Program revitaslisasi pertanian di Provinsi Jawa Tengah mampu meningkatkan



peluang



terciptanya



kesempatan



kerja



bagi



masyarakatnya. 6.6. Saran 1.



Dalam mengembangkan dan meningkatkan perekonomian di Provinsi Jawa Tengah, perlu memprioritaskan potensi sektor pertanian dengan tetap melaksanakan program revitalisasi pertanian dan berupaya pula meningkatkan program ketahanan pangan daerah



2.



Pemerintah daerah senantiasa berupaya untuk menghidupkan dan memperkuat lembaga pertanian di pedesaan.



3. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah perlu mengembangkan usaha pertanian menggunakan pendekatan kewilayahan terpadu, dengan konsep pengembangan kawasan agropolitan dan agrobisnis, yang akan meningkatkan kelayakan pengembangan/skala ekonomi, sehingga lebih meningkatkan efisiensi dan nilai tambah, serta mendukung pembangunan pedesaan dan perekonomian daerah.



134



Daftar Pustaka



Arsyad, Lincolin. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah, Yogyakarta. Azwar, Saifuddin. 2000. Reliabilitas dan validitas, Edisi 3. Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta. Badan Pusat Statistik, Statistik Jawa Tengah 1993 – 2007. BPFE UGM. Datrini, Luh Kade. 2009.“Dampak Investasi dan Tenaga Kerja Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Serta Pengaruhnya Terhadap Tingkat Kemiskinan di Provinsi Bali”.Jurnal Sarathi Vol.16 No.3 Oktober 2009. Denpasar. Fakultas Ekonomi UNWAR. Djojohadikusumo, Soemitro. Modul Online. Online http://www.edukasi.net/mol/mo_full.php?moid=6&fname=eko22_10.htm Simanjuntak, Robert. 2001. Desentralization and Local Autority. www.worldbank.org/Publicfinance/document/ASEM/Brodjonegoro.pdf Wirartha, I Made. 1998. Kesempatan Kerja Non Pertanian Di Daerah Pariwisata. Jurusan Sosial ekonomi Pertanain. Jurnal. Universitas Udayana. Yamin, M. 2005. Analisis Pengaruh Pembangunan Sektor Pertanian Terhadap Distribusi Pendapatan dan Peningkatan Lapangan Kerja di Provinsi Sumatera Selatan Jurnal.. FP. UNSRI



135



BAB 7 PENGARUH INVESTASI ASING, JUMLAH PENDUDUK, LAJU PERTUMBUHAN EKONOMI DAN UMP TERHADAP PENGANGGURAN TERDIDIK DI INDONESIA TAHUN 2011 2017



Oleh : Riana Safaat Abstrak Dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia, bangsa Indonesia di hadapkan dengan berbagai kendala seperti kesempatan kerja yang masih menjadi masalah utama. Diantara penyebab meningkatnya angka pengangguran adalah sedikitnya lapangan kerja dan tingginya pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak diimbangi dengan penyerapan tenaga kerja secara merata, sehingga menyebabkan berkurangnya kesempatan dalam memperoleh pekerjaan. Pengangguran di Indonesia dialami oleh hampir seluruh masyarakat dengan strata yang berbeda dari setiap tingkat pendidikan. Masalahnya lebih dari 50% pengangguran terbuka adalah pengangguran dengan pendidikan SMA ke atas. Hal ini menunjukan bahwa dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi tidak menjamin seseorang untuk lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana faktor – faktor seperti investasi, laju pertumbuhan ekonomi, upah dan jumlah penduduk mempengaruhi pengangguran terdidik mempengaruhi tingkat pengangguran terdidik. Kata kunci: PMA, Pertumbuhan Ekonomi, Upah, Populasi , Pengangguran



136



7.1 Pendahuluan Salah satu bagian dari pembangunan nasional adalah pembangunan yang dilakukan di bidang ekonomi. Pembangunan ekonomi dilakukan bertujuan untuk mempercepat proses pertumbuhan ekonomi, terciptanya lapangan kerja, mengurangi pengangguran, memperbaiki tingkat pendapatan nasional, dan meningkatkan



kualitas



Sumber



Daya



Manusia.



Negara



Indonesia



sesungguhnya mempunyai sumber daya yang cukup berpotensi untuk dikembangkan. Dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia, bangsa Indonesia di hadapkan dengan berbagai kendala seperti kesempatan kerja yang masih menjadi masalah utama. Hal tersebut terjadi karena adanya kesenjangan atau ketimpangan untuk mendapatkannya. Ketimpangan dalam mendapatkan kesempatan kerja akan berdampak pada meningkatnya angka pengangguran. Diantara penyebab meningkatnya angka pengangguran adalah sedikitnya lapangan kerja dan tingginya pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak diimbangi dengan penyerapan tenaga kerja secara merata, sehingga menyebabkan berkurangnya kesempatan dalam memperoleh pekerjaan. Untuk melihat gambaran mengenai jumlah penduduk Indonesia yang semakin besar, Berdasarkan tabel di bawah ini dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir (2011 – 2017) jumlah penduduk di Indonesia selalu mengalami peningkatan yang cukup besar. Oleh karena itu masalah kependudukan terutama jumlah tenaga kerja yang memasuki pasaran kerja harus diusahakan untuk disalurkan ke lapangan pekerjaan yang ada supaya tidak menyebabkan angka pengangguran yang semakin tinggi.



137



Tabel 7.1 Jumlah Penduduk Indonesia (dalam ribuan) Tahun 2011 – 2017



Tahun



Jumlah Penduduk (000)



2011



241.990,7



2012



245.425,2



2013



248.818,1



2014



252.164,8



2015



255.461,7



2016



258.705,0



2017



261.890,9



Sumber : Badan Pusat Statistik



Selain hal yang disebutkan sebelumnya, pengangguran juga akan semakin bertambah karena adanya angkatan kerja yang tinggi yang tidak diimbangi dengan laju kesempatan kerja.. Hal tersebut berhubungan dengan laju pertumbuhan ekonomi, karena laju pertumbuhan mengindikasikan keadaan perekonomian pada suatu daerah. Semakin tinggi perekonomian pada suatu daerah maka akan mendorong kondisi perusahaan yang beroperasi sehingga aktivitas perusahaan akan meningkat dan kesempatan kerja juga akan meningkat. Teori



Neo



Klasik



mengemukakan



bahwa



dalam



rangka



memaksimumkan keuntungan tiap - tiap perusahaan menggunakan faktor – 138



faktor produksi sedemikian rupa sehingga tiap faktor produksi yang dipergunakan menerima atau diberi imbalan sebesar nilai pertambahan hasil marginal dari faktor produksi tersebut. Pengusaha memperkerjakan sejumlah karyawan sedemikian rupa sehingga nilai pertambahan hasil marginal seorang sama dengan upah yang diterima orang tersebut (Sumarsono, 2009:150). Pengangguran di negara – negara sedang berkembang pada umumnya didominasi oleh pengangguran usia muda dan berpendidikan (Todaro & Smith, 2010).



Tabel 7.2 Jumlah Pengangguran Terdidik (berpendidikan SMA ke atas), Jumlah Total Pengangguran Terbuka dan Persentase Jumlah Pengangguran Terdidik terhadap Jumlah Total Pengangguran Terbuka di Indonesia Tahun 2011 – 2017



Tahun



Pengangguran Terdidik



Pengangguran Persentase



2011



3.811.976



7.700.086



49,51%



2012



3.496.829



7.244.956



48,27%



2013



3.813.114



7.388.737



51,61%



2014



4.023.862



7.088.959



56,76%



2015



4.754.846



7.560.822



62,89%



2016



4.258.146



7.031.775



60,56%



2017



4.393.926



7.040.323



62,41%



Sumber : Badan Pusat Statistik



Berdasarkan tabel diatas selama kurun waktu tujuh tahun terakhir persentase pengangguran terdidik trendnya meningkat. Bahkan selama 5



139



tahun terakhir angkanya di atas 50%. Hal ini menunjukan bahwa dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi tidak menjamin seseorang untuk lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Kekurangselarasan antara perencanaan pembangunan pendidikan dengan perkembangan lapangan kerja merupakan penyebab utama terjadinya jenis pengangguran terdidik. Banyak lembaga pendidikan di negara yang sedang berkembang hanya menciptakan pencari kerja bukan pencipta lapangan kerja (Suryana, 2000). Di sisi lain, pengangguran terdidik ini lebih memilih pekerjaan yang formal yang menempatkan mereka pada posisi tinggi, fasilitas yang nyaman, dan langsung mendapatkan gaji besar. Peningkatan ketersediaan lapangan pekerjaan untuk menyerap banyak tenaga kerja juga dipengaruhi oleh besarnya investasi. Kenyataannya investasi bergerak di sektor jasa dan sektor padat modal. Sehingga pertumbuhan ekonomi hanya meningkat pada presentasenya saja tanpa diikuti dengan penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan pada penjelasan diatas, perlu untuk dilakukan penelitian terkait faktor - faktor yang mempengaruhi jumlah pengangguran khususnya pengangguran terdidik di Indonesia. 7.2 Rumusan Masalah Dari tahun ke tahun jumlah angkatan kerja di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup besar yang diakibatkan dari peningkatan jumlah penduduk di Indonesia. apabila masalah ini tidak diimbangi dengan adanya perluasan lapangan pekerjaan maka akan menimbulkan pengangguran. Investasi



asing



membantu



meningkatkan



pertumbuhan



ekonomi



mengakibatkan peningkatan taraf hidup serta meningginya kebutuhan akan pendididkan. Sehingga membuat jumlah angkatan kerja dengan tingkat pendidikan tinggi semakin banyak, sedangkan lapangan kerja yang ada 140



berkurang dan semakin terbatas akibat standar penerimaan tenaga kerja di penyedia kerja yang berbeda-beda serta kebijakan tentang pengupahan yang cenderung kaku menimbulkan fenomena baru yaitu tenaga kerja terdidik. Berdasarkan hal tersebut di atas maka yang menjadi permasalahan adalah: 



Bagaimana pengaruh jumlah penduduk, investasi asing, pertumbuhan ekonomi dan upah terhadap jumlah pengangguran terdidik di Indonesia?







Dari variabel – variabel tadi, variabel mana yang dominan terhadap jumlah pengangguran terdidik di Indonesia?



7.3 Metodologi Suatu penelitian ilmiah selalu dimulai dengan suatu perencanaan yang seksama. Maka dalam perencanaan dan pelaksanaan diperlukan suatu rancangan penelitian yang sebaik - baiknya. 7.3.1 Jenis dan Cara Pengumpulan Data Pada penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data kuantitatif. Berdasarkan sumbernya, penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu merupakan jenis data yang diperoleh dari sumber kedua dan datanya sudah siap pakai karena mudah didapatkan dan tersebar luas diberbagai sumber (Widarjono, 2017). Semua data berasal dari publikasi BPS yang berjudul keadaan tenaga kerja Indonesia dan Statistik Indonesia. Dalam menganalisis data sekunder tersebut penulis menggunakan analisis regresi data panel. Dalam hal ini data yang diambil adalah data jumlah pengangguran terdidik, Penanaman Modal Luar Negeri (PMA), laju pertumbuhan PDRB, upah minimum provinsi dan jumlah proyeksi penduduk yang terdiri dari data 33 provinsi selama tahun 2011 – 2017.



141



7.3.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian ini menganalisis beberapa variabel - variabel yang saling terikat, variabel - variabel tersebut terdiri dari dua jenis yaitu : variabel dependen dan variabel independen. Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi, sedangkan variabel independen adalah variabel bebas yang mempengaruhi. 7.3.3 Teknik Analisis Data Dalam menganalisis data ekonomi atau prilaku ekonomi yaitu jumlah pengangguran terdidik, perlu menggunakan metode analisis regresi yang cocok. Karena selain melakukan pengamatan perilaku ekonomi pada waktu yang bersaman tetapi juga melakukan pengamatan perilaku ekonomi pada berbagai periode waktu. Sedemikian hingga regresi yang cocok untuk analisis regresi data tersebut adalah regresi dengan data panel, sebab data panel pada waktu yang bersamaan dapat “menjelaskan dua macam informasi sekaligus yaitu informasi antar unit (cross section) pada perbedaan antar subjek dan informasi antar waktu (time series) yang mencermikan perubahan pada subjek waktu”(Sriyana, 2014). Data panel merupakan gabungan dua data, yaitu data time series dengan data cross section sehingga akan menghasilkan degree of freedom yang lebih besar karena tersedianya data dalam jumlah yang lebih banyak (Widarjono, 2017). Dalam pengolahan data panel tersebut digunakan program Eviews 6, data yang diolah tersebut berupa penggabungan data time series selama tujuh tahun dari 2011 - 2017 dan menggunakan data cross section pada 33 provinsi yang ada di Indonesia.



142



a. Model Linier Berganda Alat pengujian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi berganda. Analisis regresi berganda berkenaan dengan studi ketergantungan dari satu variabel yang disebut variabel tak bebasa pada lebih dari satu variabel yaitu variabel bebas dengan tujuan untuk memperkirakan dan atau meramalkan nilai rata - rata dari variabel tak bebas apabila variabel bebasnya sudah diketahui. Model regresi berganda memiliki formula sebagai berikut:



y  0  1x1  2 x2  ...  n x n   Keterangan Y : variable dependen β0 : nilai intersep y β0 … βn : Koefisien arah regresi x1 … xn : variable ε : random error Dari model regresi berganda yang ada pada penelitian ini memiliki formula untuk model regresi berganda sebagai berikut:



Ed_Unm  0  1PMA  2Growth  3UMP  4POP   Keterangan Ed_Unm : Jumlah Pengangguran terdidik (Jiwa) β0 : Konstanta PMA



: Penanaman Modal Asing/PMA (US$Juta)



Growth : Laju pertumbuhan PDRB atas harga konstan tahun 2010 (%) UMP



: Upah Minimum Provinsi/UMP (Rp)



POP



: Jumlah Penduduk/POP (Jiwa)



ε : random error



143



Karena menggunakan data panel maka model regresi yang digunakan sebagai berikut :



Ed_Unmit  0  1PMAit  2Growthit  3UMP  4POPit   it Keterangan Ed_Unm : Jumlah Pengangguran terdidik (Jiwa) β0 : Konstanta PMA



: Penanaman Modal Asing/PMA (US$Juta)



Growth : Laju pertumbuhan PDRB atas harga konstan tahun 2010 (%) UMP



: Upah Minimum Provinsi/UMP (Rp)



POP



: Jumlah Penduduk/POP (Jiwa)



ε : random error i : Provinsi t : Tahun Dalam melakukan analisis regresi data panel dapat dilakukan dengan tiga model pendekatan estimasi yaitu model common effect, fixed effect dan random effect (Widarjono, 2017). b. Pemilihan Teknik Estimasi Regresi Data Panel Seperti diketahui terdapat tiga jenis teknik estimasi model regresi data panel, yaitu model dengan metode OLS (common)a model Fixed Effect dan model Random Effect. Ada 3 uji untuk memilih teknik digunakan untuk regresi data panel. Ketiga teknik tersebut adalah Uji Chow, Uji Hausman dan Uji Lagrange Multiplier. Uji Chow dilakukan untuk membandingkan model mana yang terbaik antara common effect dan fixed effect. Uji Hausman dilakukan untuk membandingkan model mana yang terbaik antara fixed effect dan fixed effect. Jika dari kedua uji belum bisa ditentukan model mana yang akan dipilih, maka dilakukan uji Lagrange Multiplier.



144



c. Uji Asumsi Klasik Uji Asumsi Klasik perlu dilakukan agar model regresi tidak “Bias”. Uji asumsi klasik terdiri dari uji normalitas, uji multikolinearitas, uji autokorelasi dan uji heteroskedastisitas. Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi panel variabel-variabelnya berdistribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau mendekati normal. Uji multikolinearitas ini bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi panel ditemukan adanya korelasi antar variabel independen. Model yang baik adalah model yang tidak terjadi korelasi antar variabel independennya. Multikolinearitas muncul jika diantara variabel independen memiliki korelasi yang tinggi dan membuat kita sulit untuk memisahkan efek suatu variabel independen terhadap variabel dependen dari efek variabel lainnya. Hal ini disebabkan perubahan suatu variabel akan menyebabkan perubahan variabel pasangannya karena korelasi yang tinggi. Uji autokorelasi adalah sebuah analisis statistic yang dilakukan untuk mengetahui adakah korelasi variabel yang ada didalam model prediksi dengan perubahan waktu. Oleh karena itu, apabila asumsi autokorelasi terjadi pada sebuah model prediksi, maka nilai disturbance tidak lagi berpasangan secara bebas. Heteroskesdastisitas berarti varian variabel gangguan yang tidak konstan. Sedangkan homoskedastisitas berarti semua varian variabel gangguan memiliki varian



yang



konstan. Salah



satu



metode Ordinary



Least



Squares (OLS) adalah bahwa varian variabel gangguan sama atau homoskedastisitas. Konsekuensi apabila estimator OLS terdapat masalah heteroskedastisitas akan menyebabkan metode OLS tidak lagi mempunyai



145



varian yang minimum atau dengan kata lain tidak lagi BLUE. Ada beberapa cara untuk menguji apakah model regresi yang kita pakai lolos heteroskesdastisitas. heteroskedastisitas



Dalam penelitian



mendeteksi yang



kita



ada



tidaknya



pakai ini



masalah



menggunakan Uji



Glejser yakni meregresikan nilai mutlaknya. Ketentuan yang dipakai, jika nilai probabilitasnya tidak signifikan secara statistik pada derajat 5% maka hipotesis nol diterima, yang berati tidak ada heteroskedastisitas dalam model. Sebaliknya jika nilai probabilitasnya signifikan secara statistik pada derajat 5% maka hipotesis nol ditolak, yang berati ada masalah heteroskedastisitas dalam model (Gujarati, 2007). d. Uji Statistik Dalam melakukan sebuah analisis regresi kita perlu mengetahui tentang seberapa baik/bagus garis regresi dalam menjelaskan datanya, untuk menjelaskan hal tersebut kita menggunakan alat analisis yang disebut koefesien



determinasi



keseluruhan/bersamaan



(R2



).



variabel



Untuk



mengetahui



independen



apakah



mempengaruhi



secara variabel



dependen atau tidak bisa menggunakan uji signifikan model (Uji F) (Widarjono, 2017). Untuk menguji apakah masing - masing koefesien regresi signifikan atau tidak terhadap variabel dependen bisa menggunakan uji T (Sriyana, 2014). 7.4 Pembahasan 7.4.1 Deskripsi Data Penelitian Dalam menganalisis data digunakan analisis regresi data panel. Data panel merupakan penggabungan antara data time series dengan data cros section. Data cross section yang digunakan diambil dari 33 provinsi yang ada 146



di Indonesia dan data time series diambil selama tujuh tahun dari tahun 20112017. Variabel yang digunakan terdiri dari variabel dependen dan variabel independen. 1. Variabel Dependen Variabel Y (dependen) disebut juga dengan variabel terikat artinya satu variabel yang dipengaruhi oleh satu atau beberapa variabel bebas (Sriyana, 2014). Variabel Y dalam penelitian ini adalah jumlah pengangguran terdidik pada 33 provinsi di Indonesia untuk periode 2011 2017 dengan satuan yang digunakan adalah jiwa. Data diperoleh dari sumber Badan Pusat Statistik Indonesia. Arti dari pengangguran terdidik sendiri merupakan “jumlah pencari kerja yang berpendidikan pada tingkat SLTA keatas terhadap besarnya angkatan kerja pada kelompok berdasakan pendidikan yang ditamatkan” (BPS, 2009). 2. Variabel Independen Variabel X (independen) disebut juga dengan variabel penjelas artinya variabel yang mempengaruhi besarnya variabel dependen (Widarjono, 2017) . Dalam penelitian ini terdapat empat variabel independen yang mempengaruhi jumlah pengangguran terdidik pada 33 provinsi di Indonesia periode 2011 – 2017, variabel independen tersebut antara lain : 1. Penanaman Modal Asing (PMA) Menurut Widjaya (2000) Penanaman Modal Asing adalah suatu alat pembayaran luar negeri yang bukan merupakan bagian dari kekayaan devisa indonesiaa dengan persetujuan pemerintah digunakan untuk pembiayaan perusahaan di Indonesia. Data penanaman modal asing



147



diambil dari Badan Pusat Statistik dan Badan Koordinasi Penanaman Modal dari tahun 2011 - 2017 pada provinsi yang ada di Indonesia dan dinyatakan dalam satuan juta (US$). 2. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi dalam penelitian ini menggunakan data PDRB atas dasar harga konstan tahun 2010 tiap - tiap provinsi di Indonesia pada tahun 2011 - 2017 dan dinyatakan dalam satuan persen (%). Pertumbuhan ekonomi sendiri merupakan suatu perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang mengakibatkan barang dan jasa yang diproduksi di masyarakat bertambah (Sukirno, 2004). 3. Upah Minimun Provinsi (UMP) Upah adalah suatu bentuk imbalan yang diterima karyawan atas suatu pekerjaan atau jasa yang telah dilakukana imbalan tersebut berupa uang berdasarkan atas persetujuan serta dibayarkan sesuai perjanjian kerja antara perusahaan dengan karyawan. Upah tersebut meliputi upah pokok maupun tunjangan yang digunakan untuk dirinya sendiri ataupun keluarganya (Sumarsono, 2009). Data upah minimum diambil dari Badan Pusat Statistik tahun 2011 - 2017 dan dinyatakan dalam satuan Rupiah. 4. Jumlah Penduduk (POP) Penduduk diartikan sebagai mereka yang menetap pada suatu wilayah atau daerah setidaknya selama enam bulan atau sekurang - kurangnya dari enam bulan dan bermaksud untuk menetap pada wilayah atau daerah tersebut (BPS, 2009). Dalam penelitian ini data jumlah



148



penduduk yang digunakan tahun 2011 - 2017 di Pulau Jawa dinyatakan dalam satuan jiwa.



7.4.2 Model Regresi Dalam melakukan analisis regresi data panel dilakukan dengan tiga pendekatan estimasi yaitu pendekatan dengan model common effect, fixed effect dan random effect (Widarjono, 2017). Adapun unutk hasilnya dijelaskan sebagai berikut: 1. Koefisien Tetap Antar Waktu dan Individu (Common Effect): Ordinary Least Square Teknik ini tidak ubahnya dengan membuat regresi dengan data cross section atau time series. Akan tetapi, untuk data panel, sebelum membuat regresi kita harus menggabungkan data cross-section dengan data time series (pool data). Kemudian data gabungan ini diperlakukan sebagai suatu kesatuan pengamatan untuk mengestimasi model dengan metode OLS. Metode ini dikenal dengan estimasi Common Effect. Akan tetapi, dengan menggabungkan data, maka kita tidak dapat melihat perbedaan baik antar provinsi maupun antar waktu. Atau dengan kata lain, dalam pendekatan ini tidak memperhatikan dimensi provinsi maupun waktu. Diasumsikan bahwa perilaku data antar provinsi sama dalam berbagai kurun waktu Bila kita punya asumsi bahwa α dan β akan sama (konstan) untuk setiap data time series dan cross section, maka α dan β dapat diestimasi dengan model berikut menggunakan n x t pengamatan



149



Tabel 7.3. Model Comman Effect Dependent Variable: ED_UNM Method: Panel Least Squares Date: 10/12/18 Time: 14:42 Sample: 2011 2017 Periods included: 7 Cross-sections included: 33 Total panel (balanced) observations: 231 Variable



Coefficient Std. Error



t-Statistic



Prob.



C PMA GROWTH UMP POP



-14211.40 35.66102 -1007.720 0.008281 13.29146



13977.21 3.190424 1215.419 0.006434 0.389627



-1.016755 11.17752 -0.829113 1.287133 34.11328



0.3104 0.0000 0.4079 0.1994 0.0000



R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)



0.942814 0.941802 42985.75 4.18E+11 -2789.699 931.4988 0.000000



Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat



123465.5 178184.1 24.19653 24.27104 24.22659 0.627567



2. Model Efek Tetap (Fixed Effect)



Pada pembahasan sebelumnya kita mengasumsikan bahwa intersep maupun slope adalah sama baik antar waktu maupun antar provinsi. Namuna asumsi ini jelas sangat jauh dari kenyataan sebenarnya. Adanya variabelvariabel yang tidak semuanya masuk dalam persamaan model memungkinkan adanya intercept yang tidak konstan. Atau dengan kata laina intercept ini mungkin berubah untuk setiap individu dan waktu. Pemikiran inilah yang menjadi dasar pemikiran pembentukan model tersebut. 150



Tabel 7.4 Model Fixed Effect Dependent Variable: ED_UNM Method: Panel Least Squares Date: 10/17/18 Time: 09:17 Sample: 2011 2017 Periods included: 7 Cross-sections included: 33 Total panel (balanced) observations: 231 Variable



Coefficient Std. Error



t-Statistic



Prob.



C PMA GROWTH UMP POP



-470832.1 -8.949182 -334.3752 -0.020221 83.00819



-12.46448 -2.395037 -0.454153 -4.800690 15.56349



0.0000 0.0176 0.6502 0.0000 0.0000



37773.91 3.736553 736.2609 0.004212 5.333521



Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)



0.988352 0.986190 20939.48 8.51E+10 -2605.923 457.2385 0.000000



Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat



123465.5 178184.1 22.88245 23.43383 23.10484 1.847533



3. Model Efek Random (Random Effect)



Bila pada Model Efek Tetap, perbedaan antar provinsi dan atau waktu dicerminkan lewat intercept. Pada Model Efek Random, perbedaan tersebut diakomodasi lewat error. Teknik ini juga memperhitungkan bahwa error mungkin berkorelasi sepanjang time series dan cross section. 151



Tabel 7.5. Model Random Effect Dependent Variable: ED_UNM Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 10/12/18 Time: 14:44 Sample: 2011 2017 Periods included: 7 Cross-sections included: 33 Total panel (balanced) observations: 231 Swamy and Arora estimator of component variances Variable



Coefficient Std. Error



t-Statistic



Prob.



C PMA GROWTH UMP POP



-13371.81 9.563659 -474.0776 0.006958 15.86557



-1.304406 2.959977 -0.654548 1.943533 26.77743



0.1934 0.0034 0.5134 0.0532 0.0000



S.D.



Rho



31605.04 20939.48



0.6949 0.3051



10251.26 3.230992 724.2826 0.003580 0.592498



Effects Specification Cross-section random Idiosyncratic random Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)



0.707302 0.702122 28300.85 136.5318 0.000000



Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat



29991.56 51853.73 1.81E+11 0.970274



Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid



152



0.921928 5.70E+11



Mean dependent var Durbin-Watson stat



123465.5 0.308064



7.4.3 Pemilihan Teknik Estimasi Regresi Data Panel 1. Uji Chow Uji ini dilakukan untuk membandingkan model mana yang terbaik antara common effect dan fixed effect. Setelah kita melakukan regresi dua model yaitu model dengan asumsi bahwa slope dan intersep sama dan model dengan asumsi bahwa slope sama tetapi beda intersepa pertanyaan yang muncul adalah model mana yang lebih baik? Apakah penambahan dummy menyebabkan residual sum of squares menjadi menurun atau tidak? Keputusan apakah kita sebaiknya menambah variabel dummy untuk mengetahui bahwa intersep berbeda antar perusahaan dengan metode fixed effect dapat diuji dengan uji F statistik. Uji F Statistik disini merupakan uji perbedaan dua regresi sebagaimana uji Chow. Tabel 7.6. Hasil Uji Chow Redundant Fixed Effects Tests Equation: FE Test cross-section fixed effects Effects Test



Statistic



d.f.



Cross-section F Cross-section Chi-square



23.700441 (32,194) 367.553751 32



Prob. 0.0000 0.0000



Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: ED_UNM Method: Panel Least Squares Date: 10/12/18 Time: 14:46 Sample: 2011 2017 Periods included: 7 Cross-sections included: 33 153



Lanjutan Tabel 7.6



Total panel (balanced) observations: 231 Variab



Coefficient Std. Error



t-Statistic



Prob.



C PMA GROWTH UMP POP



-14211.40 35.66102 -1007.720 0.008281 13.29146



13977.21 3.190424 1215.419 0.006434 0.389627



-1.016755 11.17752 -0.829113 1.287133 34.11328



0.3104 0.0000 0.4079 0.1994 0.0000



R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)



0.942814 0.941802 42985.75 4.18E+11 -2789.699 931.4988 0.000000



Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat



123465.5 178184.1 24.19653 24.27104 24.22659 0.627567



Dengan memperhatikan nilai Probabilitas (Prob.) untuk Cross-section F. membandingkan nilai Prob. dengan α (0.05 : ditentukan di awal sebagai tingkat signifikansi penelitian). Dasar pengambilan keputusannya sebagai berikut: 



Jika nilai Prob. > α, maka model yang terbaik adalah common effect.







Jika nilai Prob. < α, maka model yang terbaik adalah fixed effect Berdasarkan tabel 7.6. diatas, terlihat nilai Prob. < α yaitu sebesar



0.0000 < 0.05, maka dapat disimpulkan berdasarkan uji Chow, model fixed effect lebih tepat dibandingkan model common effect. 2. Uji Hausman Uji Hausman dilakukan untuk membandingkan model mana yang paling tepat antara fixed effect dan random effect.



154



Tabel 7.7. Hasil Uji Chow Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: RE Test cross-section random effects Test Summary



Chi-Sq. Statistic



Cross-section random



190.834237 4



Chi-Sq. d.f.



Prob. 0.0000



Cross-section random effects test comparisons: Variable



Fixed



Random



Var(Diff.)



Prob.



PMA GROWTH UMP POP



-8.949182 -334.375189 -0.020221 83.008192



9.563659 -474.077586 0.006958 15.865573



3.522524 17494.760059 0.000005 28.095396



0.0000 0.2909 0.0000 0.0000



Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: ED_UNM Method: Panel Least Squares Date: 10/12/18 Time: 14:47 Sample: 2011 2017 Periods included: 7 Cross-sections included: 33 Total panel (balanced) observations: 231 Variable



Coefficient Std. Error



t-Statistic



Prob.



C PMA GROWTH UMP POP



-470832.1 -8.949182 -334.3752 -0.020221 83.00819



-12.46448 -2.395037 -0.454153 -4.800690 15.56349



0.0000 0.0176 0.6502 0.0000 0.0000



37773.91 3.736553 736.2609 0.004212 5.333521



Effects Specification 155



Lanjutan Tabel 7.7



Cross-section fixed (dummy variables) R-squared



0.988352



Mean dependent var



Adjusted R-squared



0.986190



S.D. dependent var



S.E. of regression



20939.48



Akaike info criterion



Sum squared resid



8.51E+10



Schwarz criterion



Log likelihood



-2605.923 Hannan-Quinn criter.



F-statistic Prob(F-statistic)



457.2385 0.000000



Durbin-Watson stat



123465. 5 178184. 1 22.8824 5 23.4338 3 23.1048 4 1.84753 3



Dengan memperhatikan nilai Probabilitas (Prob.) untuk cross-section random. membandingkan nilai Prob. dengan α (0.05 : ditentukan di awal sebagai tingkat signifikansi penelitian). Dasar pengambilan keputusannya sebagai berikut: • Jika nilai Prob. > α, maka model yang terbaik adalah common effect. • Jika nilai Prob. < α, maka model yang terbaik adalah fixed effect Berdasarkan tabel 7.7. diatas, terlihat nilai Prob. < α yaitu sebesar 0.0000 < 0.05, maka dapat disimpulkan berdasarkan uji Hausman, model fixed effect lebih tepat dibandingkan model random effect. Catatan: pada penelitian ini, model fixed effect telah terpilih sebanyak 2 (dua) kali. Dengan demikian pemilihan selanjutnya tidak perlu dilakukan. Karena sudah pasti model fixed effect yang terbaik untuk menjawab tujuan penelitian. Menurut Gujarati & Porter (2009), persamaan yang memenuhi asumsi klasik hanya persamaan yang menggunakan metode Generalized Least Square (GLS). Dalam eviews model estimasi yang menggunakan metode GLS hanya



random 156



effect



modela



sedangkan fixed



effect dan common



effect menggunakan Ordinary Least Square (OLS). Dengan demikian perlu atau tidaknya pengujian asumsi klasik dalam penelitian ini tergantung pada hasil pemilihan metode estimasi. Apabila berdasarkan pemilihan metode estimasi yang sesuai untuk persamaan regresi adalah random effecta maka tidak perlu dilakukan uji asumsi klasik. Sebaliknyaa apabila persamaan regresi lebih cocok menggunakan common effect atau fixed effet (OLS) maka perlu dilakukan uji asumsi klasik. Jika metode yang terpilih common effect atau fixed effect (OLS) dan tidak lolos uji asumsi klasik maka bisa diobati dalam EVIEWS sehingga menjadi lolos uji asumsi klasik dan hasilnya memenuhi BLUE 7.4.4 Uji Asumsi Klasik 1. Normalitas Untuk penerapan OLS untuk model linier klasika diasumsikan bahwa distribusi probabilitas dari error term. Asumsi yang dibuat bahwa faktor pengganggu mempunyai nilai rata-rata yang diharapkan adalah sama dengan nola tidak berkorelasia dan mempunyai varian yang konstan. Ada beberapa uji untuk dapat mengetahui normal atau tidaknya faktor gangguan. Salah satunya dengan melihat nilai probability nya. Grafik 7.1. Hasil Uji Normalitas 40



Series: Standardized Residuals Sample 2011 2017 Observations 231



35 30 25 20 15 10 5



Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis



1.28e-17 -0.001862 0.472707 -0.535687 0.184997 -0.098513 3.370776



Jarque-Bera Probability



1.696826 0.428094



0 -0.4



-0.2



-0.0



0.2



0.4



157



Berdasarkan hasil output di atas nilai probabilitasnya 0.428094 > 0.05 maka hipotesis yang menyatakan bahwa residual berdistribusi normal tidak dapat ditolak. 2. Uji Multikolinearitas Suatu model dikatakan terkena multikolinearitas bila terjadi hubungan linear yang sempurna diantara beberapa atau semua variabel bebas dari suatu model regresi (Gujarati). Akibatnya akan kesulitan untuk dapat melihat pengaruh variabel penjelas terhadap variabel yang dijelaskan. Ada banyak prosedur untuk mendeteksi apakah data kita terjangkit multikolinearitas atau tidak. Cara yang paling sederhana adalah melalui korelasi antar 158redictor. Korelasi antar 158redictor yang terlalu tinggi (di atas 0.8 atau 0.9) menunjukkan data terjangkit multikol (Field, 2000). Tabel 7.8. Hasil Uji Multikolinearitas



PMA GROWTH UMP POP



PMA



GROWTH



UMP



POP



1.000000 -0.037428 0.070061 0.652406



-0.037428 1.000000 -0.202377 -0.030634



0.070061 -0.202377 1.000000 -0.271852



0.652406 -0.030634 -0.271852 1.000000



Berdasarkan hasil output diatas semua nilai prediktor diatas kurang dari 0.8a maka disimpulkan data terbebas dari sifat multikolinearitas. 3. Uji Autokorelasi Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu atau ruang dilakukan untuk menguji asumsi bahwa data harus bersifat bebasa yaitu dalam



158



pengertian bahwa data periode tertentu tidak dipengaruhi ataupun mempengaruhi data periode sebelumnya ataupun pada periode sesudahnya. Untuk mengetahui ada tidaknya autokorelasi maka dapat dilihat dari nilai Durbin Watson. Model terbebas dari autokorelasi apabila nilai Durbin Watson hitung terletak di daerah tidak ada autokorelasi yang dilihat dari nilai dLa dU dan 4 - dU dan 4 - dL. Tabel 7.9. Dasar Uji Autokorelasi Nilai Statistik d



Hasil



0  d  dL



Menolak hipotesis nol ; ada autokorelasi positif



d L  d  dU



Daerah keragu – raguan; tidak ada keputusan



dU  d  4  dU



Menerima hipotesis nol; tidak ada autokorelasi positif/negative



4  dU  d  4  dL



Daerah keragu – raguan; tidak ada keputusan



4  dL  d  4



Menolak hipotesis nol ; ada autokorelasi negatif



Dari hasil output fixed effect sebelumnya diketahui nilai Durbin Watson d = 1.847533 dan jika jumlah observasi = 231 dan jumlah variable = 5 dari tabel durbin Watson diketahui dL = 1.75763 dan dU = 1.81045 sehingga diperoleh nilai 4 – dU = 2.18955. Ternyata nilai d = 1.847533 memenuhi Berdasarkan tabel di atas dapat dsimpulkan penelitian ini tidak ada autokorelasi.



dU  1.81045  d  1.847533  4  dU  2.18955



159



4. Uji Heteroskedastisitas Uji glejser dilakukan dengan meregresikan variable – variable bebas terhadap nilai absolut residualnya (gujaratia 2006) residual adalah selisih antara nilai observasi dengan nilai prediksi dan absolut adalah nilai mutlaknya. Jika nilai signifikansi antara variabel independen dengan absolut residual lebih dari 0.05 maka tidak terjadi masalah heteroskedastisitas. Tabel 7.10. Hasil Uji Glejser Dependent Variable: RESIDABS Method: Panel Least Squares Date: 10/12/18 Time: 15:02 Sample: 2011 2017 Periods included: 7 Cross-sections included: 33 Total panel (balanced) observations: 231 Variable



Coefficient Std. Error



t-Statistic



Prob.



C PMA GROWTH UMP POP



0.240821 1.13E-05 -0.000249 -7.80E-09 -1.29E-05



1.192078 0.564353 -0.063361 -0.346141 -0.450535



0.2347 0.5732 0.9495 0.7296 0.6528



0.202018 2.00E-05 0.003938 2.25E-08 2.85E-05



Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)



160



0.288612 0.156602 0.111986 2.432930 198.1338 2.186289 0.000380



Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat



0.138819 0.121940 -1.395098 -0.843715 -1.172706 2.370063



Berdasarkan hasil output diatas bisa disimpulkan tidak terjadi masalah heteroskedastisitas. 7.4.4 Uji Statistik 1. Koefesien Determinasi (R2) Berdasarkan pada hasil estimasi tabel 7.4.2.2 menunjukan nilai R2 (Rsquared) sebesar 0.988352 atau sebesar 98.83% artinya bahwa variabel independen (PMA , Growth ,UMP dan POP) mampu menjelaskan variabel dependennya (Pengangguran Terdidik) melalui model ini sebesar 98.83% sedangkan sisanya 1.17% dijelaskan oleh variabel residual dengan model lain yang tidak dimasukkan di dalam model tersebut. Koefesien determisasi (R2) ini digunakan untuk mengetahui apakah variabel - variabel independen (PMA, Growth, UMP dan POP)



mampu menjelaskan variabel dependen



(Pengangguran Terdidik). 2. Uji Kelayakan Model (Uji F - statistik) Uji F – statistik adalah uji yang dilakukan untuk melihat apakah secara keseluruhan/bersamaan



variabel



independent



mempengaruhi



variabel



dependent atau tidak. Dengan memperhatikan nilai Prob (F - Statistic) untuk Model Fixed Effect. membandingkan nilai Prob. dengan α (0.05 : ditentukan di awal sebagai tingkat signifikansi penelitian). Dasar pengambilan keputusannya sebagai berikut: 



Jika nilai Prob. > α, maka menerima H0.







Jika nilai Prob. < α, maka menolak H0 Berdasarkan tabel 7.4.2.2 diatas, terlihat nilai Prob. < α yaitu sebesar



0.0000 < 0.05, maka dapat disimpulkan menolak H 0. Artinya secara keseluruhan variabel X berpengaruh terhadap variabel Y. Dalam uji F tersebut secara statistic dapat disimpulkan bahwa variabel PMA, Growth, UMP dan



161



POP secara bersama-sama mempengaruhi variabel Pengangguran terdidik , sehingga model layak untuk digunakan. 3. Uji Signifikan Variabel Independent (Uji t) Uji t dilakukan untuk mengetahui secara individu apakah variabel independent terhadap variabel dependen signifikan atau tidak. Pengujian ini dapat dilakukan dengan membandingkan hasil dari t hitung dengan t tabel dan dengan membandingkan probabilitasnya pada tingkat alfa atau derajat keyakinan tertentu. Untuk penjelasan singkat hubungan antara variabel X dengan variabel Y secara individual sebagai berikut : Tabel 7.11. Hasil Uji t Variable



t-Statistic



t-kritis



Keterangan



PMA



-2.39504



1.970516



Signifikan



GROWTH



-0.45415



1.970516



Tidak Signifikan



UMP



-4.80069



1.970516



Signifikan



POP



15.56349



1.970516



Signifikan



Sumber : Hasil Olah Data Eviews 6



Berdasarkan pada hasil uji tabel 7.11 secara individual dapat diketahui hubungan setiap variabel independen terhadap variabel dependen sebagai berikut: Pembahasan Hasil Estimasi Dari analisa data yang menunjukkan bahwa variabel -variabel bebas yang meliputi penanaman modal asing, tingkat pertumbuhan ekonomi, upah dan populasi secara serentak atau secara keseluruhan mempengaruhi variabel terikatnya yaitu jumlah pengangguran terdidik. Sedangkan secara individu atau parsial variabel penanaman modal asing, upah dan populasi berpengaruh pada variabel terikatnya. Dan untuk



162



variabel pertumbuhan ekonomi untuk model yang di uji tidak signifikan secara statistik. 7.4.5 Interpretasi Hasil Dari hasil regresi Fixed Effect tabel 7.4.2.2 maka diperoleh model ekonomi seperti berikut :



Ed_Unm  10,27794  8,949182PMA  334,3752Growth  0,020221UMP+ 83,00819POP   dapat diketahui hasil hubungan pada setiap variabel. Hubungan setiap variabel tersebut antara lain : 7.4.5.1 Konstanta Dari hasil regresi tabel 7.4.2.2 menunjukan nilai konstanta sebesar 10,27794, artinya jika variabel UMP, PMA, POP dan Pertumbuhan Ekonomi sama dengan nol, maka besarnya pengangguran terdidik adalah 10,27794 %. 7.4.5.2 Penanaman Modal Asing (PMA) Dari hasil regresi tabel 7.4.2.2 menunjukan nilai koefesien untuk variabel PMA sebesar -8,949182 dan nilai probabilitasnya sebesar 0.0176 < α= 5% maka hasilnya signifikan dan berpengaruh secara negatif. Artinya ketika PMA naik 1 % maka jumlah pengangguran terdidik akan mengalami penurunan sebesar 8,949182 %. 7.4.5.3 Pertumbuhan Ekonomi (Economic Growth) Dari hasil regresi tabel 7.4.2.2 menunjukan nilai koefesien untuk variabel pertumbuhan ekonomi sebesar -334,3752 dan nilai probabilitasnya sebesar 0.6502 > α= 5% maka didapatkan hasil yang tidak signifikan dan berpengaruh secara negatif. Artinya ketika pertumbuhan ekonomi naik 1 % maka jumlah pengangguran terdidik akan mengalami penurunan sebesar 334,3752 %.



163



7.4.5.4. Upah Minimum Provinsi (UMP) Dari hasil regresi tabel 7.4.2.2 menunjukan nilai koefesien untuk variabel UMP sebesar -0,020221 dan nilai probabilitasnya sebesar 0.0000 < α= 5% maka didapatkan hasil yang signifikan dan berpengaruh secara negatif. Artinya ketika UMP 1% maka jumlah pengangguran terdidik akan mengalami penurunan sebesar 0,020221 %. 7.4.5.6 Jumlah Penduduk (POP) Dari hasil regresi tabel 7.4.2.2 menunjukan nilai koefesien untuk variabel POP sebesar 83,00819 dan nilai probabilitasnya sebesar 0.0000 < α= 5 % maka hasilnya signifikan dan berpengaruh secara positif. Artinya ketika POP naik 1% maka jumlah pengangguran terdidik akan mengalami peningkatan sebesar 83,00819 %. 7.5 Simpulan dan Implifikasi Kebijakan 7.5.1 Simpulan Dari pembahasan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa 1. Bahwa secara simultan variabel PMA, Pertumbuhan ekonomi, UMP dan jumlah penduduk berpengaruh signifikan terhadap jumlah pengangguran terdidik. 2. Berdasarkan Uji t dapat diketahui bahwa secara parsial variabel PMA, UMP dan jumlah penduduk berpengaruh terhadap jumlah pengangguran terdidik. Untuk variabel pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh terhadap jumlah pengangguran terdidik. 3. Variabel pertumbuhan ekonomi secara parsial berpengaruh tidak signifikan terhadap jumlah pengangguan terdidik. Hal ini disebabkan bahwa lapangan kerja yang berperan terhadap besarnya PDB ada pada sektor-sektor padat modal. Sedangkan untuk sektor padat karya



164



semakin mengalami penurunan tiap tahunnya. Sehingga semakin tinggi pertumbuhan semakin banyak tenaga kerja yang tidak terserap oleh pasar kerja. 7.5.2 Implifikasi kebijakan Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang diperoleh diatas, implikasi yang dapat diberikan adalah sebagai berikut : 1. Adanya pengaruh signifikan antara upah minimum dengan pengangguran terdidik di Indonesia, diharapkan bagi perusahaan untuk lebih memperhatikan lagi kesejahteraan karyawannya, yaitu dengan memberikan tunjangan atau bonus serta kenaikan upah yang sesuai dengan produtivitas yang dihasilkan pekerja. 2. Pemerintah diharapkan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, penyederhanaan proses perjanjian kerjasama dan memperbaiki sarana maupun prasarana infrastruktur sehingga menarik minat investor asing dan nilai investasi asing (PMA) dapat meningkat serta dapat mengurangi jumlah pengangguran terdidik. 3. Pemerintah diharapkan mampu menekan laju pertumbuhan penduduk melalui berbagai program seperti sosialisasi program keluarga berencana sehingga dengan laju pertumbuhan penduduk yang terkontrol pengangguran terdidik dapat ditekan. 4. Pemerintah diharapkan untuk dapat memperhatikan lagi kebijakan ekonomi makro yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonominya, yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan cara meningkatkan investasi dan menarik minat investor untuk menanamkan modalnya.



165



Daftar Pustaka Badan Pusat Statistik. 2011. Keadaan Tenaga Kerja di Indonesia 2011. Jakarta:BPS Badan Pusat Statistik. 2012. Keadaan Tenaga Kerja di Indonesia 2012. Jakarta:BPS Badan Pusat Statistik. 2013. Keadaan Tenaga Kerja di Indonesia 2013. Jakarta:BPS Badan Pusat Statistik. 2014. Keadaan Tenaga Kerja di Indonesia 2014. Jakarta:BPS Badan Pusat Statistik. 2015. Keadaan Tenaga Kerja di Indonesia 2015. Jakarta:BPS Badan Pusat Statistik. 2016. Keadaan Tenaga Kerja di Indonesia 2016. Jakarta:BPS Badan Pusat Statistik. 2017. Keadaan Tenaga Kerja di Indonesia 2017. Jakarta:BPS Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Indonesia 2012.Jakarta : BPS Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Indonesia 2013.Jakarta : BPS Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Indonesia 2014.Jakarta : BPS Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Indonesia 2015.Jakarta : BPS Badan Pusat Statistik. 2016. Statistik Indonesia 2016.Jakarta : BPS Badan Pusat Statistik. 2017. Statistik Indonesia 2017.Jakarta : BPS Badan Pusat Statistik. 2018. Statistik Indonesia 2018.Jakarta : BPS Gujarati dan Porter. 2009. Dasar-Dasar Ekonometrika. Salemba Empat. Jakarta Mada, K. A. (2015). Analisis Variabel Yang Mempengaruhi Jumlah Pengangguran Terdidik Di Indonesia. Jiep, 15(1), 50–76. Mankiw, N. G. (2007). Makroekonomi (keenam ed.). (F. Liza, & I. Nurmawan, Penerj.) Jakarta: Erlangga. Nila Ayu Islamia. (2017). Analisis Pengangguran Terdidik Lulusan Universitas di Pulau Jawa Tahun 2008 - 2016. Journal of Personality and Social Psychology, 1(1), 1188–1197. https://doi.org/10.1111/j.1469-7610.2010.02280.x Sriyana, J. (2014). Metode Regresi Data Panel. Yogyakarta: EKONISIA. Sumarsono, S. (2009). Teori dan Kebijakan Publik Ekonomi Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Graha Ilmu. Suryana. (2000). Ekonomi Pembangunan: Problematika dan Pendekatan. Jakarta: Salemba Empat. Todaro, M. P., & Smith, S. C. (2010). Pembangunan Ekonomi (Edisi Ke sebelas Jilid 1). Jakarta: Erlangga. Widarjono, A. (2017). Ekonometrika Pengantar dan Aplikasinya Disertai Panduan Eviews. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.



166



BAB 8 PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, UPAH MINIMUM DAN TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PENGANGGURAN USIA MUDA DI INDONESIA Oleh : Rizky Arimawati Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat pengangguran usia muda di Indonesia periode tahun 2002 sampai dengan 2016. Model regresi yang digunakan adalah analisis regresi berganda, dengan tingkat pengangguran usia muda sebagai variabel dependen. Variabel independen yang digunakan adalah pertumbuhan ekonomi, upah minimum dan tingkat pendidikan (pendidikan dasar dan menengah). Pada tingkat signifikansi sebesar 0.05, hasil penelitian menunjukkan bahwa koefisien R2 sebesar 0.854 yang berarti bahwa 85,49% variasi variabel dependen tingkat pengangguran usia muda dapat dijelaskan oleh variasi variabel independen pertumbuhan ekonomi, upah minimum dan tingkat pendidikan. Berdasarkan uji parsial, variabel pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengangguran usia muda di Indonesia. Selanjutnya, variabel upah minimum dan tingkat pendidikan (pendidikan dasar dan menengah) berpengaruh negatif signifikan terhadap tingkat pengangguran usia muda di Indonesia. Hasil uji F menunjukkan prob F-statistik sebesar 0.000339 (< 0.05) yang artinya secara simultan variabel pertumbuhan ekonomi, upah minimum dan pendidikan berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengangguran usia muda di Indonesia.



Keywords: Tingkat Pengangguran Usia Muda, Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Pendidikan (Pendidikan Dasar dan Menengah)



167



8.1 Latar Belakang Pemulihan ekonomi global telah memberikan dampak positif yang signifikan baik bagi negara maju maupun negara berkembang. Kinerja ekonomi negara maju yang membaik berdampak pada negara mitra dagang, termasuk Indonesia. Perekonomian Indonesia tumbuh didukung dari investasi, perdagangan, dan konsumsi pemerintah. Ekspor yang meningkat pada tahun 2017 merupakan modal awal perekonomian Indonesia (BPS, 2018). Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi Indonesia antara lain mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Penyediaan kesempatan kerja yang memadai merupakan salah satu wujud dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Tingginya pengangguran yang ada di suatu negara dapat digunakan sebagai salah satu indikator kondisi perekonomian. Pengangguran terjadi karena tingginya angkatan kerja yang tidak didukung dengan bertambahnya lapangan pekerjaan dan penyerapan tenaga kerja yang kecil. Semakin tinggi pengangguran akan mengganggu stabilitas nasional setiap negara. Banyaknya jumlah pengangguran tersebut dipengaruhi oleh beberapa indikator baik indikator ekonomi maupun indikator non ekonomi. Pengangguran menunjukkan pemanfaatan sumber daya manusia yang tidak optimal. Para penganggur memiliki potensi untuk memberikan kontribusi pada pendapatan nasional suatu negara, tetapi mereka tidak dapat melakukannya. Berdasarkan data BPS tahun 2018, ketersediaan penduduk Indonesia yang produktif secara ekonomi terus menerus meningkat. Selama tahun 20142017, jumlah angkatan kerja Indonesia meningkat sebesar 1,67 persen setiap tahunnya. Kondisi ini sangat menguntungkan bagi perekonomian Indonesia. Dengan jumlah angkatan kerja yang sudah mencapai 128,06 juta orang pada



168



tahun 2017 bahkan mencapai 133,94 juta orang pada Februari 2018, kegiatan ekonomi Indonesia dapat lebih maju. Akan tetapi, besarnya jumlah angkatan kerja ini juga menjadi tantangan bagi pemerintah. Pemerintah harus mampu menyediakan lapangan pekerjaan dengan seluas-luasnya. Dengan begitu, tenaga kerja dapat terserap secara optimal. Produktivitas perekonomian negara juga diharapkan akan semakin membaik. (Laporan Perekonomian BPS, 2018). Berdasarkan proyeksi yang dilakukan oleh BPS dan UNDP, pada tahun 2020 penduduk usia kerja di Indonesia diperkirakan jumlahnya akan mencapai sekitar 170, 9 juta dan pada tahun 2025 sebesar 187,6 juta. Hal tersebut mempunyai konsekuensi pada pentingnya peningkatan kualitas sumberdaya manusia serta penyediaan lapangan kerja produktif bagi mereka. Jika sumberdaya manusia berkualitas disertai dengan lapangan kerja produktif yang memadai, maka besarnya penduduk usia kerja akan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang sangat potensial dan mampu bersaing masuk ke pasar global serta mengurangi beban perekonomian negara yang belum mampu menyediakan lapangan kerja yang mencukupi. Jika tidak ada kebijakan makro dan mikro yang berpihak pada penyerapan tenaga kerja, sangat dikuatirkan jumlah pengangguran muda akan terus bertambah dan berdampak pada berbagai hal termasuk permasalahan sosial dan ekonomi di masyarakat. Isu Pengangguran Usia Muda Pengangguran merupakan masalah yang dialami setiap negara di dunia. Isu pengangguran yang menjadi permasalahan banyak negara saat ini ialah pengangguran usia muda. Isu tersebut menjadi banyak perhatian setelah ILO merilis bahwa 40 persen dari 202 juta pengangguran di dunia adalah pengangguran dengan rentang usia 15 hingga 24 tahun (ILO, 2012), bahkan 169



diprediksi pengangguran kaum muda akan terus bertambah seiring dengan meningkatnya populasi usia muda di beberapa negara berkembang. Lebih lanjut, dalam Global Empoyment Trend 2012 menunjukkan bahwa kaum muda memiliki risiko tiga kali lebih besar menjadi pengangguran dibandingkan kaum dewasa. Sedangkan, di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik, risiko kaum muda menjadi pengangguran sebesar lima kali lebih besar dibandingkan kaum dewasa. Organisasi Buruh International (ILO) dan PBB mendefinisikan usia muda yaitu mereka yang berusia 15 – 24 tahun. Selanjutnya, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD - Organization for Economic Cooperation and Development) mendefinisikan Tingkat pengangguran kaum muda adalah jumlah pengangguran yang berusia 15-24 tahun yang dinyatakan sebagai persentase dari angkatan kerja muda. Orang yang menganggur adalah mereka yang melaporkan bahwa mereka tidak bekerja, bahwa mereka tersedia untuk bekerja dan bahwa mereka telah mengambil langkah aktif untuk mencari pekerjaan dalam empat minggu terakhir. Indonesia memiliki populasi yang masih muda. Lebih dari setengah populasinya berusia di bawah 30 tahun. Proporsi populasi yang berusia 65 tahun ke atas sekitar 5,3 persen.Menurut Sakernas 2016 hampir seperempat (23,1 persen) populasi usia kerja adalah kaum muda berusia 15 hingga 24 tahun. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja usia muda adalah sekitar 48 persen, di mana di bawah rata-rata nasional yang sebesar 66,3 persen. Di kalangan usia 15-19 tahun, Tingkat Partisipasi Angkata Kerja sangat rendah (28 persen) dibandingkan dengan kelompok usia 20-24 tahun. Secara umum sejumlah besar kaum muda yang berusia 15 hingga 19 tahun bersekolah, sementara proporsi mereka yang berusia 20 dan 24 tahun sudah beranjak dari sekolah ke dunia kerja. 170



Angka rata-rata pengangguran di tingkat nasional hanya 5,6 persen namun di kalangan kaum muda angka ini cukup besar, yakni sekitar 19,4 persen. Di kalangan laki-laki muda angkanya sedikit lebih tinggi (19,8 persen) dibandingkan dengan perempuan muda (19 persen). Di berbagai latar belakang Pendidikan (Gambar 1), persentase pengangguran usia muda yang memiliki latar belakang pendidikan SMA (22,4 persen) dan SMK (24,4 persen) cukup tinggi dibandingkan kelompok umur yang lain. Gambar 8.1 Jumlah Pengangguran dan Bekerja (dalam %) di Kalangan Usia Muda Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan Tahun 2016



Sumber : ILO, Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017



Bila dibandingkan dengan lima negara di Asean, angka perkiraan pengangguran usia muda di Indonesia pada tahun 2017 adalah tertinggi kedua setelah Brunei Darussalam (23,4 persen). Adapun pengangguran di Singapura dan Thailand paling kecil; 4,5 persen.(ILO, 201 171



Gambar 8.2 Grafik Tingkat Pengangguran Usia Muda di Enam Negara ASEAN



Sumber : ILO, Maret 2017



Ada banyak faktor yang menjadi penyebab tingginya angka pengangguran kelompok muda, terutama pada usia 15-24 tahun. Faktor – faktor yang diduga mempengaruhi tingkat pengangguran usia muda diantaranya adalah pertumbuhan ekonomi, upah minimum, dan tingkat pendidikan.



172



Masalah pengangguran baik di negara maju maupun negara berkembang menjadi bagian penting dalam perencanaan pembangunan, terutama berkaitan dengan masalah pembangunan ekonomi. Peningkatan pengangguran diantaranya merupakan akibat dari menurunnya pertumbuhan ekonomi. Penurunan pertumbuhan ekonomi suatu negara akan menurunkan penyerapan tenaga kerja yang kemudian diikuti dengan meningkatnya pengangguran. Oleh karena itu, peningkatan pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan pengangguran. Meskipun



demikian,



argumen



lain



mengemukakan



bahwa



angka



pengangguran tidak selalu berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi karena dalam realitasnya pada saat kondisi pertumbuhan ekonomi relative tinggi, tingkat pengangguran juga masih cukup besar Peningkatan upah minimum mempengaruhi daya beli masyarakat yang mengakibatkan permintaan menjadi meningkat dan diikuti oleh makin banyaknya perusahaan yang masuk pasar sehingga penyerapan tenaga kerja yang dilakukan perusahaan juga akan semakin meningkat dan karena dengan adanya tingkat upah yang dinaikkan para pengusaha akan mengupayakan untuk dapat meningkatkan atau menambah jumlah dari unit usahanya sehingga diharapkan dengan adanya penambahan dari jumlah unit usaha, pengusaha juga akan menambah jumlah dari tenaga kerjanya. (Indradewa & Natha, 2013). Penyebab rendahnya kualitas tenaga kerja usia muda adalah ketidakmampuan melanjutkan pendidikan, terutama akibat faktor kemiskinan dan akses layanan Pendidikan. Hal tersebut mengakibatkan mereka memiliki keterampilan dan pengetahuan rendah, yang berdampak pada sulitnya memperoleh pekerjaan. Tingginya angka pengangguran itu sekaligus



173



mencerminkan adanya ketaksesuaian (mismatch) antara permintaan dan kebutuhan pasar kerja. (Ritonga, 2018). Menurut Kaufman (2000), pendidikan dan partisipasi angkatan kerja mempunyai hubungan yang positif. Menempuh pendidikan yang lebih tinggi merupakan sebuah investasi dimana seseorang rela membayar “direct cost” dan “opportunity cost” (pendapatan yang harus dilepaskan dari bekerja) untuk pendidikan yang lebih tinggi. Pendapatan yang diperoleh akan semakin meningkat sesuai dengan tingkat pendidikan yang dicapai. Akhirnya, pendidikan dapat meningkatkan kemungkinan perubahan sikap individu sehubungan dengan keinginan partisipasi kerja. Kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan pendidikan dasar dua belas tahun adalah salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Semakin tingginya syarat-syarat pendidikan pada dunia kerja mengharuskan para pekerja meningkatkan kualitas serta pengetahuan yang lebih luas sehingga dengan kebijakan pendidikan dasar dua belas tahun dapat meningkatkan kualitas tenaga kerja lebih baik Berdasarkan laporan dari BPS, tingkat pendidikan tenaga kerja dapat menjadi salah satu ukuran kualitas tenaga kerja di Indonesia. Kenyataannya, kualitas tenaga kerja Indonesia masih cukup rendah. Tenaga kerja dengan lulusan Sekolah Dasar ke bawah masih mendominasi pasar kerja. Pada tahun 2017, tenaga kerja di Indonesia yang hanya lulusan SD ke bawah masih di atas 40 persen. Distribusi terbesar kedua adalah tenaga kerja lulusan SMA, yaitu sebesar 27,86 persen. Sementara itu distribusi tenaga kerja yang lulusan diploma dan universitas masing-masing tidak mencapai dua digit. Bahkan



174



dominasi tenaga kerja dengan pendidikan SD ke bawah masih terjadi hingga Februari 2018. Tabel 8.1 Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Berdasarkan Tingkat Pendidikan, Tahun 2014-2018 Jenjang



Tingkat



2014



2015



2016



2017



2018



Pendidikan



Pendidikan



SD ke bawah



47.07



44.27



42.20



42.1



41.80



SMP



17.75



18.03



18.04



17.94



18.00



SMA



25.39



26.69



27.52



27.86



28.22



Diploma I/II/III 2.58



2.69



2.88



2.72



2.175



Universitas



8.32



9.36



9.36



9.22



Formal Pendidikan Dasar Pendidikan Menengah Pendidikan Tinggi



7.21



Sumber : Laporan Perekonomian 2018, BPS.



Tingkat pendidikan tenaga kerja yang masih rendah ini berdampak pada daya saing dan produktivitas tenaga kerja di Indonesia menjadi relatif rendah. Selain pengangguran, kualitas SDM masih menjadi tantangan di dunia tenaga kerja. Oleh karena itu, pemerintah, terutama Kementerian Ketenagakerjaan fokus untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja. Salah satu langkah yang dilakukan pemerintah dalam perbaikan kualifikasi tenaga kerja Indonesia adalah memberikan pelatihan pemagangan dan sertifikasi sesuai kebutuhan



175



industri bagi calon tenaga kerja yang masih berpendidikan SD dan SMP (kemnaker.go.id). Sejalan dengan upaya penurunan angka tingkat pengangguran usia muda di Indonesia, perlu adanya penelitian yang membahas masalah faktor – faktor yang dapat mempengaruhi tingkat pengangguran usia muda di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menemukan bukti empiris faktor – faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pengangguran usia muda di Indonesia periode tahun 2002-2016.



8.2 Rumusan Masalah Pengangguran merupakan masalah yang dialami setiap negara di dunia. Isu pengangguran yang menjadi permasalahan banyak negara saat ini ialah pengangguran usia muda. Berdasarkan data-data yang telah disajikan pada latar belakang, dapat diketahui adanya permasalahan yang berkaitan pengangguran usia muda di Indonesia. Tingginya tingkat pengangguran usia muda diduga disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah pertumbuhan ekonomi, upah minimum dan tingkat pendidikan. Penurunan pertumbuhan ekonomi suatu negara akan menurunkan penyerapan tenaga kerja yang kemudian diikuti dengan meningkatnya pengangguran. Oleh karena itu, peningkatan pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan pengangguran. Meskipun



demikian,



argumen



lain



mengemukakan



bahwa



angka



pengangguran tidak selalu berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi karena



176



dalam realitasnya pada saat kondisi pertumbuhan ekonomi relative tinggi, tingkat pengangguran juga masih cukup besar. Menurut Kuncoro (2002), permintaan tenaga kerja akan menurun sebagai akibat dari kenaikan upah. Apabila tingkat upah naik sedangkan harga input lain tetap, berarti harga tenaga kerja relatif mahal dari input lain. Situasi ini mendorong pengusaha untuk mengurangi penggunaan tenaga kerja yang relatif mahal dengan input- input lain yang harga relatifnya lebih murah guna mempertahankan keuntungan yang maksimum. Pengurangan tenaga kerja tersebut dapat meningkatkan pengangguran. Menurut Anggun (2013), tingkat pendidikan mencerminkan pencapaian pendidikan formal dari penduduk. Semakin tingginya tamatan pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula kemampuan kerja atau produktivitas seseorang dalam bekerja. Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui tamatan pendidikan diharapkan dapat mengurangi jumlah pengangguran, dengan asumsi tersedianya lapangan pekerjaan formal. Berdasarkan permasalahan penelitian yang telah dirumuskan, dapat ditarik beberapa pertanyaan penelitian yang terkait dengan latar belakang masalah, yaitu : 1. Bagaimana



pengaruh



pertumbuhan



ekonomi



terhadap



tingkat



penganggguran usia muda di Indonesia? 2. Bagaimana pengaruh upah minimum terhadap tingkat penganggguran usia muda di Indonesia? 3. Bagaimana pengaruh pendidikan terhadap tingkat penganggguran usia muda di Indonesia?



177



8.3 Metodologi Penelitian A. Jenis Dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan jenis data kuantitatif yaitu data tingkat pengangguran usia muda, pertumbuhan ekonomi, rata – rata upah minimum, tingkat angkatan kerja dengan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia pada periode tahun 2002-2016 (runtun waktu). Sumber data Penelitian ini adalah dari Badan Pusat Statistik, Bank Dunia, dan IMF. B. Variabel Penelitian Dan Definisi Operasional Dalam penelitian ini digunakan dua jenis variabel, yaitu variabel dependen (terikat) dan variabel independen (bebas). a. Variabel Dependen Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat pengangguran usia muda di Indonesia dengan menggunakan data dari Bank Dunia. Tingkat pengangguran usia muda adalah jumlah pengangguran yang berusia 15-24 tahun yang dinyatakan sebagai persentase dari angkatan kerja muda. Orang yang menganggur adalah mereka yang melaporkan bahwa mereka tidak bekerja, bahwa mereka tersedia untuk bekerja dan bahwa mereka telah mengambil langkah aktif untuk mencari pekerjaan dalam empat minggu terakhir. b. Variabel Independen Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Pertumbuhan ekonomi Perkembangan ekonomi suatu negara dapat diukur dengan tingkatpertumbuhan ekonomi, yang menunjukkan pertumbuhan produksi barang dan jasa di suatu wilayah perekonomian dalam selang waktu tertentu. Produksi tersebut diukur dalam konsep nilai tambah (value added) yang diciptakan oleh sektor-sektor ekonomi di wilayah 178



bersangkutan yang secara total dikenal sebagai Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan demikian, PDB dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengukur kinerja perekonomian suatu negara atau sebagai cerminan keberhasilan suatu pemerintahan dalam menggerakkan sektor-sektor ekonomi. PDB disajikan dalam dua konsep harga, yaitu harga berlaku dan harga konstan. PDB atas dasar harga berlaku, sering disebut dengan PDB nominal yaitu nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam suatu periode waktu menurut harga yang berlaku pada waktu tersebut. Sementara PDB atas dasar harga konstan, sering disebut dengan PDB riil merupakan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar. (BPS, 2018). Tingkat pertumbuhan ekonomi dalam penelitian ini menggunakan data pertumbuhan PDB riil periode tahun 2002 – 2016 yang bersumber dari data IMF. 2. Upah minimum Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, definisi upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/ buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Variabel upah ini menggunakan upah minimum rata-rata propinsi di Indonesia dengan satuan rupiah, di mana seluruh upah minimum di setiap daerah/propinsi di rata-rata kan.



179



3. Tingkat Pendidikan Berdasarkan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah angkatan kerja dengan tingkat pendidikan dasar dan menengah, dengan pertimbangan bahwa tenaga kerja di Indonesia masih didominasi oleh lulusan tersebut. Data yang digunakan adalah selama periode tahun 2002 – 2016 yang bersumber dari data Bank Dunia. C. Teknik Analisa Data Dalam teknik analisis data dalam melihat besarnya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen digunakan model ekonometrika dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Sifat dari data yang digunakan adalah data time series (data menurut runtun waktu) yaitu data berkala dari tahun 2002 – 2016. Selanjutnya data tersebut akan dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan software E-views 10. Model ekonometrika dengan persamaan regresi : Y = α + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3+ β4 X4 + µ………(1) Dimana : Y= Tingkat Pengangguran Usia Muda di Indonesia periode tahun 2002 - 2016 α = konstanta β1, β2, β3, β4 = koefisien regresi X1 = Pertumbuhan Ekonomi periode tahun 2002 - 2016 X2 = Rata-rata Upah Minimum periode tahun 2002 - 2016 X3 = Angkatan Kerja dengan Pendidikan Dasar periode tahun 2002 - 2016



180



X4 = Angkatan Kerja dengan Pendidikan Menengah periode tahun 2002 2016 µ = Kesalahan Pengganggu



8.4 Hasil Dan Pembahasan A. Uji Asumsi Klasik 1. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah datanya terdistribusi secara normal atau tidak, tujuannya adalah untuk menguji apakah dalam model regresi linier tersebut, baik variabel independen maupun variabel dependen memiliki distribusi normal. Pada Tabel 8.2, hasil uji menunjukkan nilai statistik Jarque-Bera hasil bahwa nilai probabilitasnya adalah 0,818003 > 0,05, hal ini bermakna bahwa residual data yang digunakan adalah berdistribusi normal dan layak digunakan untuk memprediksi. Tabel 8.2 Hasil Uji Normalitas 4



Series: Residuals Sample 2002 2016 Observations 15



3



2



1



0 -2.5



-2.0



-1.5



-1.0



-0.5



0.0



0.5



1.0



1.5



2.0



2.5



Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis



6.85e-16 0.028307 2.599259 -2.064527 1.367611 0.121741 2.236088



Jarque-Bera Probability



0.401779 0.818003



3.0



Sumber : Hasil Uji Eviews



181



2. Uji Multikolinearitas Uji Multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas. Berdasarkan nilai toleransi dan nilai Variance Inflation Factor (VIF) pada tabel 4. Pada Tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa model ini bebas dari penyakit multikolineritas karena nilai Centered VIF baik X1, X2, X3, dan X4 adalah kurang dari 10, maka dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat masalah multikolinearitas dalam model prediksi. Tabel 8.3 Hasil Uji Multikolinearitas Coefficient



Uncentered Centered



Variable



Variance



VIF



VIF



C



163.9744



939.3213



NA



X1



0.501422



89.68335



1.737471



X2



1.44E-12



9.490810



2.021153



X3



0.062961



755.8968



1.134854



X4



0.040769



585.9880



2.429685



Sumber : Hasil Uji Eviews



3. Uji Autokorelasi Autokorelasi menunjukan korelasi diantara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu dan ruang. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi dalam ini maka dilakukan uji LM (metode Bruesch Godfrey). Metode ini didasarkan pada nilai F dan Obs* R-Squared, dimana jika nilai probabilitas dari Obs* R-Squared melebihi tingkat kepercayaan, maka H0 diterima. Artinya, tidak ada masalah autokorelasi, begitu juga sebaliknya.



182



Dalam penelitian ini hasil pengujian disajikan pada Tabel 8.4 dengan nilai probabilitas dari Obs* R-Squared 0, 4102 > 0,05 artinya tidak terjadi gejala autokorelasi. Tabel 8.4 Hasil Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 0.539262 Obs*R-squared 1.781992



Prob. F(2,8) Prob. Chi-Square(2)



0.6030 0.4102



Sumber : Hasil Uji Eviews



4. Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas merupakan keadaan di mana semua gangguan yang muncul dalam fungsi regresi populasi tidak memiliki varians yang sama. Dalam penelitian ini menggunakan uji White Heteroscedasticity yang tersedia dalam program EViews. Hasil yang diperhatikan dari uji ini adalah nilai F dan Obs*R- Squared. Jika nilai Obs*R-Squared lebih kecil dari α maka H0 ditolak yang berarti ada heteroskedastisitas, demikian juga sebaliknya. Dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 8.5 dengan nilai p-value Obs*R-Squared 0.1810 > 0,05 artinya tidak ada heteroskedastisitas. Tabel 8.5 Hasil Uji Heteroskedastisitas Heteroskedasticity Test: White F-statistic



1.787460



Prob. F(4,10)



0.2079



Obs*R-squared



6.253563



Prob. Chi-Square(4)



0.1810



Scaled explained SS 1.717767



Prob. Chi-Square(4)



0.7875



Sumber : Hasil Uji Eviews



183



B. Uji dan Analisis Regresi Linear Berganda Analisis regresi linear berganda digunakan untuk mengetahui pengaruh bebas yaitu pertumbuhan ekonomi (X1), upah minimum (X2), pendidikan dasar (X3) dan pendidikan menengah (X4) terhadap variabel terikat yaitu tingkat pengangguran usia muda (Y). Hasil regresi menggunakan program pengolah data Eviews 10, kemudian dimasukkan ke dalam persamaan regresi berganda sebagai berikut: Ŷ = 78.72445 + 1.486121 X1 – 2.72E-06 X2 – 0.736948 X3 – 0.621451 X4………..(2) Berdasarkan rumus maka dapat diinterpretasikan sebagi berikut : 1. Nilai konstanta 78.72445 ini bermakna bahwa apabila X1, X2, X3, X4 sama dengan 0 maka nilai tingkat pengangguran usia muda sebesar 78.72445 persen. 2. Pengaruh pertumbuhan ekonomi (X1) terhadap tingkat pengangguran usia muda adalah positif namun tidak signifikan. Hal ini berarti apabila pertumbuhan ekonomi meningkat sebesar satu persen maka tingkat pengangguran usia muda akan mengalami peningkatan sebesar 1.486121 persen. 3. Pengaruh upah minimum (X2) terhadap tingkat pengangguran usia muda (Y) adalah negatif dan signifikan dengan koefisien regresi yaitu sebesar -2.72E-06. Hal ini berarti apabila upah meningkat sebesar satu persen maka tingkat pengangguran usia muda akan mengalami penurunan sebesar -2.72E-06 persen. Begitu pula sebaliknya semakin 184



turun tingkat upah minimum maka cenderung semakin meningkatkan tingkat pengangguran usia muda di Indonesia dengan asumsi cateri paribus. 4. Pengaruh



tingkat



pendidikan



dasar



(X3)



terhadap



tingkat



pengangguran usia muda (Y) adalah negatif dan signifikan dengan koefisien regresi yaitu sebesar -0.736948. Hal ini berarti apabila angkatan kerja dengan tingkat Pendidikan dasar meningkat sebesar satu persen maka tingkat pengangguran usia muda akan mengalami penurunan sebesar -0.736948 persen. Begitu pula sebaliknya semakin turun angkatan kerja dengan tingkat Pendidikan dasar



maka



cenderung semakin meningkatkan tingkat pengangguran usia muda di Indonesia dengan asumsi cateri paribus. 5. Pengaruh tingkat pendidikan menengah (X4) terhadap tingkat pengangguran usia muda (Y) adalah negatif dan signifikan dengan koefisien regresi yaitu sebesar -0.621451. Hal ini berarti apabila angkatan kerja dengan tingkat Pendidikan dasar meningkat sebesar satu persen maka tingkat pengangguran usia muda akan mengalami penurunan sebesar -0.621451 persen. Begitu pula sebaliknya semakin turun angkatan kerja dengan tingkat Pendidikan dasar



maka



cenderung semakin meningkatkan tingkat pengangguran usia muda di Indonesia dengan asumsi cateri paribus.



185



Tabel 8.6 Hasil Uji Regresi Dependent Variable: Y Method: Least Squares Date: 10/14/18 Time: 17:31 Sample: 2002 2016 Included observations: 15 Prob Variable



Coefficient Std. Error



t-Statistic



.



C



78.72445



12.80525



6.147827



0.0001



X1



1.486121



0.708112



2.098710



0.0622



X2



-2.72E-06 1.20E-06



-2.265407



0.0469



X3



-0.736948 0.250920



-2.936989



0.0149



X4



-0.621451 0.201913



-3.077818



0.0117



Lanjutan Tabel 8.6. R-squared



0.854926



Mean dependent var



19.58387



Adjusted R-squared



0.796896



S.D. dependent var



3.590603



S.E. of regression



1.618179



Akaike info criterion



4.061681



Sum squared resid



26.18503



Schwarz criterion



4.297698



Log likelihood



-25.46261 Hannan-Quinn criter.



4.059167



F-statistic



14.73255



1.370630



Prob(F-statistic)



0.000339



Sumber : Hasil Uji Eviews



186



Durbin-Watson stat



Uji Statistik Uji F Uji F digunakan untuk menguji variabel independen secara keseluruhan dan bersama-sama, apakah variabel independen mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. Hasil uji F menunjukkan prob F-statistik sebesar 0.000339 (< 0.05) yang artinya secara simultan variabel Pertumbuhan ekonomi, pendidikan dan upah minimum berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengangguran usia muda di Indonesia. Koefisien Determinasi (R2 ) Uji R2 digunakan untuk mengetahui berapa persen variasi variabel dependen dapat dijelaskan oleh variasi variabel independen. Nilai R2 hasil estimasi yang ditunjukkan pada tabel 8.6 nilainya sebesar 0,854926, yang berarti bahwa 85,49% variasi variabel dependen tingkat pengangguran usia muda dapat dijelaskan oleh variasi variabel independen pertumbuhan ekonomi, upah minimum, tingkat pendidikan sebesar 85,49%, sedangkan sisanya yaitu 14,51% dijelaskan oleh variabel lain di luar penelitian ini. Uji t Uji t digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel independen secara individu terhadap variabel dependen, dengan asumsi variabel independen lainnya konstan. Selanjutnya untuk melihat tingkat signifikansinya dengan melihat probabilitasnya. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel 8.6.



187



Pada Tabel 8.6 menunjukkan variabel pertumbuhan ekonomi (X1) mempunyai nilai koefisien sebesar 1.486121 dengan probabilitas 0.0622. Pada derajat kepercayaan 95% (α = 5). maka bisa diartikan variabel pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap tingkat pengangguran usia muda. Variabel upah minimum (X2) memiliki koefisien sebesar -2.72E-06 dengan probabilitas sebesar 0.0469. Pada derajat kepercayaan 95% (α = 5), maka bisa diartikan variabel upah minimum berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat pengangguran usia muda. Variabel tingkat pendidikan dasar (X3) dan menengah (X4) masing – masing memiliki nilai koefisien sebesar -0.736948 dan – 0.621451 dengan probabilitas masing – masing sebesar 0.0149 dan 0.0117. Pada derajat kepercayaan 95% (α = 5), maka bisa diartikan tingkat pendidikan dasar dan menengah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat pengangguran usia muda.



8.5 Kesimpulan Dan Implikasi Kebijakan 8.5.1. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat pengangguran usia muda di Indonesia. Dari tiga variabel yang diteliti (pertumbuhan ekonomi, upah minimum dan tingkat pendidikan), terbukti bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap tingkat pengangguran usia muda. Sedangkan variabel yang lain yaitu upah minimum dan tingkat pendidikan (pendidikan dasar dan menengah) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat pengangguran usia muda. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap pengangguran usia muda di Indonesia pada periode tahun 2002 –



188



2016. Hal ini berarti pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu menjamin penurunan tingkat pengangguran usia muda. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Anggun (2013) yaitu pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengangguran terdidik di Sumatera Barat. Alasan yang mendasari penelitian ini adalah tekanan ekonomi global membuat pertumbuhan ekonomi tidak diikuti oleh penambahan lapangan kerja secara cepat. Selain itu, salah satu sebab munculnya pengangguran usia muda adalah karena bergesernya kebutuhan tenaga kerja dari manual oleh tenaga manusia menjadi serba digital di era Revolusi Industri 4.0. Beberapa bagian di industri saat ini dilakukan oleh teknologi robot atau otomatisasi produksi. Perubahan sisi ekonomi digital membuat efisiensi yang menekan penambahan lapangan kerja. Variabel upah minimum berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat pengangguran usia muda. Hal ini berarti setiap perubahan yang terjadi pada tingkat upah minimum mengakibatkan berubahnya pengangguran usia muda di Indonesia. Semakin tinggi upah minimum maka tingkat pengangguran usia muda semakin menurun. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Raisha dan Komara (2012) yang menyebutkan bahwa adanya upah minimum membuat kaum muda mau bekerja. (Zahra & Djaja, 2014). Begitu juga dari hasil penelitian Lustig dan McLeod (1996) yang mengatakan bahwa upah minimum justru meredistribusi sumber daya dan potensial, meningkatkan penghasilan serta penyerapan tenaga kerja. Variabel tingkat pendidikan yang terdiri dari pendidikan dasar dan menengah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat pengangguran usia muda. Semakin tinggi tingkat Pendidikan maka akan menurunkan tingkat pengangguran usia muda. Hal ini berarti tingkat Pendidikan adalah satu variabel penting yang masih menjadi pertimbangan bagi perusahaan atau industry untuk mempekerjakan tenaga kerja usia muda.



189



8.5.2. Implikasi Kebijakan Dari kesimpulan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut: 1. Tenaga kerja muda diharapkan dapat meningkatkan keterampilan atau keahlian khusus dalam menghadapi tantangan ekonomi global yaitu bergesernya kebutuhan tenaga kerja dari manual oleh tenaga manusia menjadi serba digital di era Revolusi Industri 4.0, 2. Pemerintah perlu dengan cermat menetapkan besaran upah minimum agar jumlah permintaan dan penawaran tenaga kerja berada di jumlah yang efisien dan efektif. 3. Pemerintah perlu meningkatkan perluasan akses dan peningkatan kualitas untuk Wajib Pendidikan Dasar 12 Tahun. Sehingga dengan kebijkan tersebut dapat meningkatkan kualitas tenaga kerja lebih baik. 4. Pemerintah harus mempunyai program yang tepat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Selain itu, pemerintah harus memiliki kurikulum pendidikan yang lulusannya benar-benar bisa diserap oleh kebutuhan industri. Balai-balai latihan yang dimiliki oleh pemerintah harus berorientasi dengan apa yang dibutuhkan industri. Selain itu Industri juga harus ikut berkontribusi dalam menciptakan lulusan yang berkualitas, misalnya melalui kegiatan magang. 5. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dan kompeten akan menjadikan



Indonesia



sebagai



negara



yang



berdaya



saing.



Pengembangan dan peningkatan kualitas SDM ini telah menjadi fokus bagi pemerintah. Ketersediaan SDM yang andal harus dapat memenuhi permintaan kebutuhan tenaga kerja di pasar. Terlebih lagi kompetensi SDM harus mampu menjawab tantangan menuju era revolusi industri 4.0 atau yang biasa disebut industri digital.



190



Daftar Pustaka Alghofari, Farid. 2007. Analisis Tingkat Pengangguran di Indonesia. Semarang: FE UNDIP. Sari, Anggun Kembar. (2013). Analisis Pengaruh Tingkat Pendidikan, Pertumbuhan Ekonomi, Dan Upah Terhadap Pengangguran Terdidik Di Sumatera Barat, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 1, No 02 Badan Pusat Statistik. Produk Domestik Bruto Indonesia Triwulanan Tahun 2013 – 2017. Badan Pusat Statistik. Statistik Pemuda Indonesia 2017. Badan Pusat Statistik. Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia. 2018 Badan Pusat Statistik. Laporan Perekonomian Indonesia 2018. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan IMF Data. https://imf.org/en/Data Hajji, M. S., & SBM, Nugroho. (2013). Analisis PDRB, Inflasi, Upah Minimum Provinsi, dan Angka Melek Huruf Terhadap Tingkat Pengangguran Terbuka di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1990 – 2011, hal 1 – 10 Vol. 2, No 3, 2013. ISSN: 2337-3814 Indradewa, I. G. A., & Natha, K. S. (2013). Pengaruh Inflasi, PDRB, Dan Upah Minimum Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Di Provinsi Bali. Economics Development Analysis Journal, 1(4), 923–950. International Labour Organization (ILO). 2007. Kajian Tentang Ketenagakerjaan Kaum Muda di Indonesia. International Labour Organization (ILO). 2017. Laporan Ketenagakerjaan Indonesia. Kuncoro, Haryo. 2002. Upah Sistem Bagi Hasil dan Penyerapan Tenaga Kerja. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Kajian Ekonomi Negara Berkembang, hal 45-56 Vol. 7, No 1, 2002. ISSN: 1410-2641. Kemnaker.go.id Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan Ritonga, Razali. 2018. Pengangguran Millenial Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Winarno, Wing. 2015. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan EVIEWS Edisi keempat. Yogyakarta : UPP SIIM YKPN World Bank Data. https://data.worldbank.org Zahra, R. N., & Djaja, K. (2014). Determinan Status Pengangguran Usia Muda Di Perkotaan dan Pedesaan : Data Susenas 2012. 191



BAB 9 PENGARUH INFLASI, PERDAGANGAN, INVESTASI ASING LANGSUNG DAN SUKU BUNGA TERHADAP PENGANGGURAN DI INDONESIA Oleh : Hari Ramadhan Abstrak Pengaruh Inflasi, Perdagangan, Investasi Asing Langsung dan Suku Bunga terhadap Pengangguran. Penelitian ini mempunyai tujuan untuk melihat pengaruh dari variabel independen tersebut terhadap variabel dependen. Dalam melihat pengaruh, menggunakan model jangka panjang dan jangka pendek dengan menggunakan data time series dari tahun 1996-2017. Setelah dilakukan regresi, diperoleh bahwa Inflasi, investasi asing langsung dan suku bunga memberikan pengaruh positif pada jangka pendek dan berpengaruh negatif pada jangka panjang. Sedangkan untuk variabel perdagangan sebaliknya, memiliki pengaruh positif pada jangka panjang dan negatif pada jangka pendek. Keyword : Inflasi, Perdagangan, Investasi Asing Langsung, Suku Bunga, Pengangguran



192



9.1 Pendahuluan Pembangunan ekonomi sebuah negara dapat dilihat dari beberapa indikator perekonomian. Salah satu di antaranya adalah tingkat pengangguran. Berdasarkan tingkat pengangguran kita dapat melihat kondisi sosial ekonomi suatu negara, apakah perekonomiannya mengalami perlambatan atau perkembangan, ketimpangan dan kesenjangan distribusi pendapatan. Pengangguran dapat terjadi sebagai akibat dari tingginya tingkat pertumbuhan angkatan kerja yang tidak diimbangi dengan ketersediaan lapangan pekerjaan, Hal ini disebabkan rendahnya tingkat pertumbuhan penciptaan lapangan kerja untuk menampung tenaga kerja yang siap bekerja. Pengangguran merupakan masalah yang sangat kompleks karena mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Jumlah penduduk yang bertambah semakin besar setiap tahun membawa akibat bertambahnya jumlah angkatan kerja dan tentunya akan memberikan makna bahwa jumlah orang yang mencari pekerjaan akan meningkat, seiring dengan itu tenaga kerja juga akan bertambah . Pengangguran bukan hanya menjadi masalah di Indonesia, Negaranegara maju dan negara berkembang juga mengalami permasalahan ini. Tetapi setiap Negara mempunyai kecepatan dalam menanggulangi masalah pengangguran ini. Ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini:



193



Grafik 9.1 Tingkat Pengangguran Beberapa Negara Asean



Unemployment, total (% of total labor force) (national estimate) 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00



1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017



-



IDN



VNM



MYS



THA



PHL



SGP



Sumber: World Bank Data



Pengangguran beberapa Negara di Asean memiliki tingkatan yang berbeda, tetapi dalam kecepatan menanggulangi masalah pengangguran, Indonesia sedikit lambat dari Negara Asean lainnya. Seperti pada tahun 1996, tingkat pengangguran FIlipina sebesar 8,56% tetapi pada tahun 2017 tingkat pengangguran Filipina hanya 2,55%. Tingkat pengangguran Singapura tahun 1996 sebesar 3,57% menjadi 1,90% pada tahun 2017 Sedangkan Indonesia tahun 1996 tingkat pengangguran sebesar 4,37% dan pada tahun 2017 hanya berkurang sebesar 0,19% menjadi 4,18%. Berdasarkan data tersebut, kecepatan mengurangi tingkat pengangguran memiliki perbedaan. Ini tergantung dari kondisi ekonomi suatu Negara. Indonesia merupakan Negara yang besar yang saat ini mempunyai jumlah penduduk sebesar 263.991.379 jiwa. Jumlah penduduk yang besar juga



194



diikuti oleh besarnya total angkatan kerja di Indonesia. Ini juga memberikan dampak menurunnya dependency ratio di Indonesia yaitu angkatan kerja semakin tumbuh cepat dibandingkan bukan angkatan kerja. Pertumbuhan angkatan kerja di Indonesia sejak tahun 1996 sampai dengan 2017 rata-rata tumbuh sebesar 1,77% setiap tahunnya. Untuk lebih detailnya mengenai total tenaga kerja di Indonesia dapat melihat pada gambar berikut ini: Grafik 9.2 Total Angkatan Kerja di Indonesia Tahun 1996-2017



Labor force, total 150,000,000 100,000,000 50,000,000



1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017



-



Labor force, total Sumber: World Bank Data



Dari tahun ketahun angkatan kerja di Indonesia selalu bertambah, pada tahun 1996 total angkatan kerja hanya 87.940.878 jiwa menjadi 127.110.965 pada tahun 2017. Pertumbuhan angkatan kerja di Indonesia menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun dan tidak dapat terserap seluruhnya di dunia kerja sehingga menimbulkan adanya pengengguran yang jumlahnya mengalami penurunan secara persentase dari 4,37% pada tahun 1996 menjadi 4,18% pada tahun 2017.Tingkat pengangguran di Indonesia dari tahun 1996-2017 mengalami fluktuasi, terjadi peningkatan peningkatan 195



pengangguran pada tahun 1997,1998,1999, 2002, 2003, 2004, 2005, 2007 dan 2015 sedangkan penurunan angka pengangguran pada tahun 2000, 2001, 2006, 2008, 2009, 2010, 2011, 2012, 2013, 2014, 2016 dan 2017. Untuk lebih detailnya dapat melihat gambar di bawah ini: Grafik 9.3 Tingkat Pengangguran di Indonesia



Unemployment, total (% of total labor force) (national estimate) 9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00



1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017



0.00



Unemployment, total (% of total labor force) (national estimate) Sumber: World Bank Data



Berdasarkan data di atas, tingkat pengangguran Indonesia secara persentase mengalami penurunan. Tetapi apabila kita bandingkan dengan total angkatan kerja, tingkat pengangguran Indonesia cukup besar karena pertumbuhan angkatan kerja di Indonesia cukup tinggi. Pada tahun 1996 secara kumulatif angkatan kerja Indonesia sebanyak 3.843.016 jiwa menjadi 5.319.340 jiwa pada tahun 2017. Ini kita dapat melihat program dan kebijakan



196



pemerintah terkait dengan pengangguran belum efektif, secara persentase pengangguran berkurang tetapi secara kumulatif tingkat pengangguran di Indonesia meningkat cukup signifikan. Hal ini dapat dilihat pada table di bawah ini: Tabel 9.1 Tabel Total Angkatan Kerja, Persentase Pengangguran dan Total Pengangguran Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017



Total Kerja



Angkatan Persentase Pengangguran 87.940.878 4,37 90.265.238 4,68 93.615.736 5,46 96.880.468 6,30 99.018.448 6,08 100.806.703 6,08 102.495.611 6,60 104.087.207 6,66 105.609.290 7,30 107.099.831 7,94 109.060.869 7,55 110.974.767 8,06 112.784.214 7,21 114.924.975 6,11 116.988.944 5,61 118.672.947 5,15 120.202.270 4,47 121.651.092 4,34 123.063.758 4,05 122.582.281 4,51 125.383.553 4,30 127.110.965 4,18



Total Pengangguran 3.843.016 4.224.413 5.111.419 6.103.470 6.017.846 6.131.265 6.768.810 6.929.606 7.712.435 8.508.867 8.234.750 8.944.788 8.130.050 7.017.204 6.567.175 6.115.454 5.370.878 5.274.548 4.982.360 5.533.364 5.392.371 5.319.340



Sumber: World Bank Data



197



Melihat berbagai data tersebut, permasalahan pengangguran memang sangat kompleks untuk dibahas dan merupakan isu penting, karena dapat dikaitkan dengan beberapa indikator-indikator. Seperti pada penelitian Pada peneltian Sri Mulyati (2009) yang menyatakan tingkat inflasi tidak berpengaruh terhadap penangguran. Penelitian ini tidak sesuai dengan kurva Philips yang menyatakan inflasi berpengaruh terhadap pengangguran. Pada peneltian Gabriel Felbermayr, Julien Prat dan Hans-Jorg Schmerer (2011) perdagangan memiliki pengaruh terhadap pengangguran.Pada penelitian H. Gunsel Dogrul da Ugur Soytas (2010) menyatakan harga minyak dan suku bunga memili pengaruh terhadap pengangguran di Turki. Selain itu pada peneltian Vasile Alecsandra Strat, Adriana Davidescut dan Andreea Maria



Paul (2015)



menyatakan FDI memiliki pengaruh terhadap pengangguran di negara-negara eropa. Berdasarkan latar belakang dan berbagai macam penelitan di atas, penelitian ini akan melihat pengaruh dari inflasi, perdagangan, Investasi Asing Langsung dan suku bunga terhadap pengangguran di Indonesia. 9.2 Rumusan Masalah Penelitian ini akan membahas pengaruh Inflasi, Perdagangan, Investasi Asing Langsung dan Suku Bunga terhadap tingkat Pengangguran di Indonesia. Adapun yang menjadi variabel dependen atau variabel yang dipengaruhi adalah tingkat pengangguran dan yang menjadi variabel independen atau variabel yang mempengarui adalah Inflasi, Perdagangan, Investasi Asing Langsung dan Suku Bunga. Penelitian-penelitian sebelumya melalukan uji pengaruh hanya pada satu atau dua variabel independent seperti pengaruh inflasi terhadap pengangguran, perdagangan terhadap pengangguran, 198



Investasi Asing Langsung terhadap pengangguran dan suku bunga terhadap pengangguran. Penelitian disini melihat pengaruh berbagai macam variabel dan melihat pengaruh paling signifikan terhadap pengangguran di Indonesia .



9.3 Metode Penelitian Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan metode kuantitatif. Metode deskriptif adalah metode yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi (Sugiono, 2013) Sedangkan metode kuantitatif adalah suatu proses menemukan pengetahuan yang menggunakan data berupa angka sebagai alat menganalisis keterangan mengenai apa yang ingin diketahui.(Kasiram (2008: 149). Langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisa data adalah sebagai berikut: 1.



Melakukan studi pendahuluan dengan meneliti kajian-kajian terdahulu yang membahas pengangguran, inflasi, perdagangan, Investasi Asing Langsung dan suku bunga. Ini dilakukan untuk melihat gap penelitian saat ini dan sebelumnya.



2.



Mencari dan mengumpulkan data dari setiap variabel-variabel yang diteliti dari World Bank Indicator. Penelitian ini menggunakan data time series untuk periode 1996-2017.



3.



Menetapkan permasalahan sebagai indikasi dari fenomena penelitian, selanjutnya



menetapkan



judul



penelitian



dan



mengidentifikasi



permasalahan yang terjadi. Dalam penelitian ini permasalahan yang 199



akan diidentifikasi adalah pengaruh Inflasi, Perdagangan, Investasi Asing Langsung dan Suku Bunga terhadap Pengangguran di Indonesia; 4.



Menetapkan rumusan masalah, hipotesis dan pembuatan model untuk dilakukan analisis data. Untuk memperkirakan hubungan antara tingkat pengangguran dengan



inflasi, perdagangan, Investasi Asing Langsung dan suku bunga, maka digunakan model sebagai berikut: Y (UN) = 𝜷𝟎+ 𝜷𝟏 (INF)𝒕 + 𝜷𝟐 (TRADE𝒕+ 𝜷𝟑 (FDI)𝒕 + 𝜷𝟒 (INT)𝒕 +∈𝒕 Dimana: Y (UN) = Total Pengangguran (INF)𝑡 = Tingkat Inflasi (TRADE)𝑡 = Total Perdagangan (FDI)𝑡 = Total Investasi Asing Langsung (INT)𝑡 = Tingkat Suku Bunga Dimana: 𝜷𝟏 + 𝜷𝟐 + 𝜷𝟑 + 𝜷𝟒 = parameter yang akan diestimasi untuk setiap variabel independen, dengan penjelasan sebagai berikut: •



Β1 adalah elastisitas pengangguran yang dihubungkan dengan inflasi, untuk mengukur perubahan persentase pengangguran untuk setiap 1% perubahan inflasi dimana variabel lain konstan.







Β2 adalah elastisitas pengangguran yang dihubungkan dengan perdagangan, untuk mengukur perubahan persentase



200



pengangguran untuk setiap 1 % perubahan total perdagangan, dimana variabel lain konstan. •



Β3 adalah elastisitas pengangguran yang dihubungkan dengan Investasi Asing Langsung, untuk mengukur perubahan persentase pengangguran untuk setiap 1 % perubahan total Investasi Asing Langsung, dimana variabel lain konstan.







Β4 adalah elastisitas pengangguran yang dihubungkan dengan suku bunga, untuk mengukur perubahan persentase pengangguran untuk setiap 1 % perubahan suku bunga, dimana variabel lain konstan



Parameter di atas jika dijumlahkan (β1 + β2 + β3 + β4) memberikan informasi tentang skala pengembalian, dimana: 



jika jumlah (β1 + β2 + β3 + β4) = 1 maka ada skala hasil konstan, yaitu, menggandakan input akan menggandakan output, tiga kali lipat input akan tiga kali lipat output, dan seterusnya.







Jika jumlah (β1 + β2 + β3 + β4)> 1 maka ada peningkatan kembali ke skala, yaitu, menggandakan input akan lebih dari dua kali lipat output.







Jika jumlah (β1 + β2 + β3 + β4) Chi Squared Table maka tidak tolak H0, artinya model yang terbaik untuk penelitian ini adalah RE. Sebaliknya, jika LM hitung < Chi Squared Table maka tolak H0, artinya model yang terbaik untuk penelitian ini adalah CE. Jika hasil Uji Chow dan Uji Hausman menunjukan bahwa model FE terpilih dua kali, maka tidak perlu dilakukan Uji LM. Namun jika hasil uji Chow dan Uji Hausman model yang terpilih berbeda, maka harus dilakukan uji LM untuk menentukan apakah model terbaik yang dipilih adalah RE atau CE. 10.3.4. Pengujian Asumsi pada Persamaan Regresi Linear 



Pengujian asumsi normalitas Penelitian ini menggunakan uji Jarque-Bera untuk melihat terpenuhinya asumsi normalitas pada model. Hipotesis yang digunakan adalah 𝐻0 : asumsi normalitas terpenuhi 𝐻1 : asumsi normalitas tidak terpenuhi Jika nilai Probability lebih besar dari 0,05 maka tidak tolak 𝐻0 maka asumsi normalitas terpenuhi sebaliknya jika nilai probability lebih kecil dari 0,05 maka tolak 𝐻0 maka asumsi normalitas tidak terpenuhi.







Pengujian asumsi homoskedastisitas Pengujian



asumsi



homoskedastisitas



dalam



penelitian



ini



menggunakan Uji Glejser. Hipotesisnya adalah: 𝐻0 : Asumsi homoskedastisitas terpenuhi 𝐻1



:



Asumsi



homoskedastisitas



tidak



terpenuhi



(terjadi



Heteroskedastisitas) Jika nilai Probability lebih besar dari 0,05 maka tidak tolak 𝐻0 maka asumsi homoskesdastisitas terpenuhi. Sebaliknya, jika nilai probability 232



lebih kecil dari 0,05 maka tolak 𝐻0 maka asumsi homoskesdastisitas tidak terpenuhi, artinya terdapat masalah heteroskesdastisitas. 



Pengujian asumsi nonmultikolinearitas Pengujian



asumsi



nonmultikolinearitas



dalam



penelitian



ini



menggunakan nilai VIF (Variance Inflation Factor). Jika nilai centeredVIF lebih kecil dari 8 maka asumsi nonmultikoliniearitas terpenuhi sebaliknya jika nilai nilai centered-VIF lebih besar dari 8 maka asumsi nonmultikoliniearitas tidak terpenuhi. Selanjutnya, setelah ketiga uji asumsi regresi di atas dilakukan, dan model yang terpilih lolos dalam keempat uji tersebut, maka selanjutnya dilakukan uji signifikansi parameter sehingga terbentuklah model yang dapat menjelaskan hubungan PDRB ADHK, investasi asing dan pendidikan terhadap pengangguran terdidik di Pulau Jawa sebagai berikut. 



Pengujian kelayakan model (Goodness of Fit Test) Pengujian kelayakan model yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan koefisien determinasi yang telah disesuaikan (R 2adjusted).







Pengujian Parameter Model Regresi Uji signifikansi parameter model regresi secara keseluruhan menggunakan uji F-statistik dan secara parsial menggunakan uji t-statistik.



10.4. Analisis Pengangguran Terdidik di Pulau Jawa 10.4.1. Pengangguran Terdidik di Pulau Jawa Membahas mengenai pengangguran, pada Tahun 2017, jumlah angkatan kerja tidak bekerja yang berada di Pulau Jawa mencapai 62 persen dari seluruh jumlah angkatan kerja tidak bekerja di Indonesia. Sementara itu, rata-rata Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tahun 2017, yaitu rasio jumlah angkatan kerja yang tidak bekerja terhadap jumlah angkatan kerja di Pulau 233



Jawa mencapai 6,04 persen, di atas angka TPT Indonesia yang mencapai 5,50 persen (BPS, 2017). Sementara itu, jumlah pengangguran terdidik di Pulau Jawa dari hasil Sakernas Agustus yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik dari Tahun 2010 sampai dengan Tahun 2017 di tunjukan pada grafik?. Jika dilihat dari jumlah jiwa, maka banyaknya pengangguran terdidik di Pulau Jawa paling banyak menempati Provinsi Jawa Barat, yang pada tahun 2017 mencapai 40,35% dari seluruh total pengangguran terdidik di Pulau Jawa. Disusul oleh Provinsi Jawa Timur 19,53% , Provinsi Jawa Tengah 17,23%, Provinsi banten11,09%, dan DKI Jakarta 9,86%. Sementara itu, provinsi DI Yogyakarta berada jauh di bawah lainnya, yang hanya mencapai 1,95% dari total pengangguran terdidik di Pulau Jawa. Perbedaan jumlah antar provinsi yang sangat jauh ini, salah satunya disebabkan oleh Jumlah Penduduk dari masingmasing provinsi tersebut, namun jika ingin dilihat dari segi rasio terhadap jumlah pengangguran total, ditunjukan oleh grafik. Grafik 10.3. Jumlah Pengangguran Terdidik di Pulau Jawa Tahun 2010-2017



Jumlah Pengangguran Terdidik di Pulau Jawa



1,500,000



1,000,000



500,000



0



2010



234



DKI2011 Jakarta 2012



Jawa Barat 2014 2013



Jawa Tengah2016 2015



DI Yogyakarta



Jawa Timur



Banten



2017



Jika dilihat dari persentasenya, jumlah pengangguran terdidik terhadap jumlah pengangguran total di masing-masing provinsi di Pulau Jawa ditunjukan oleh Grafik 10.3. Dengan menggunakan data tahun 2016 dan tahun 2017, bisa kita lihat bahwa beberapa provinsi mengalami kenaikan, dan sisanya mengalami penurunan. Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan persentase jumlah pengangguran terdidiknya paling tinggi di Pulau Jawa. Disusul oleh Provinsi DI Yogyakarta yang pada dua tahun terakhir ini mencapai kisaran 70%. Padahal, jika kita lihat pada Grafik. 10.3. yang menunjukan jumlah pengangguran terdidik dalam jumlah jiwa, provinsi ini hanya memiliki jumlah pengangguran terdidik yang kurang dari 2% dari seluruh pengangguran terdidik di Pulau Jawa. Garfik 10.4. Persentase Jumlah Pengangguran Terdidik terhadap Jumlah Pengangguran di Pulau Jawa Tahun 2016-2017



Persentase Jumlah Pengangguran Terdidik terhadap Jumlah Pengangguran di Pulau Jawa 0.90 0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00



0.83 0.75



0.79



0.68 0.58 0.52



DKI Jakarta



0.570.55



Jawa Barat Jawa Tengah 2016



DI Yogyakarta



0.640.61



Jawa Timur



0.56 0.51



Banten



2017



235



10.4.2. Kontribusi PDRB seluruh provinsi di Pulau Jawa Pulau Jawa yang ditempati oleh lebih dari separuh total penduduk indonesia merupakan Pulau yang menjadi pusat perekonomian di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari seberapa besar PDRB ADHK dan PDRB ADHB provinsiprovinsi di Pulau Jawa menyumbang terhadap PDB Nasional. Dari grafik 10.5 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik, dapat kita lihat bahwa gap yang terdapat antara provinsi-provinsi di Pulau Jawa, dengan provinsi-provinsi yang berada di Luar Pulau Jawa sangat besar. Empat dari enam provinsi di Pulau Jawa menjadi 4 provinsi yang paling besar menyumbang PDB Nasional. Yaitu provinsi DKI Jakarta, kemudian disusul oleh Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. PDRB Provinsi banten masih berada di bawah Provinsi Sumatera Utara, Provinsi riau dan Provinsi Kalimantan Timur, namun masih berada di atas rata-rata provinsi lainnya. Sementara itu, PDRB Provinsi DI Yogyakarta jauh berada di bawah provinsi lainnya yang berada di Pulau Jawa, bahwa berada di bawah rata-rata PDRB provinsi lainnya. Grafik 10.5. PDRB-ADHK dan PDRB-ADHB seluruh Provinsi di Indonesia Tahun 2016 PDRB_ADHB PDRB_ADHK



2,500,000 2,000,000 1,500,000 1,000,000



0



236



Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kepulauan Bangka… Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara… Nusa Tenggara… Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur kalimantan utara Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua



500,000



10.4.3. Kondisi Investasi Asing di Pulau Jawa Peningkatan ketersediaan lapangan pekerjaan untuk menyerap peningkatan jumlah angkatan kerja juga dapat didorong melalui besarnya jumlah investasi. Dalam perekonomian makro, kenaikan investasi akan mengakibatkan permintaan agregat dan pendapatan nasional meningkat. Peningkatan dalam permintaan agregat tersebut akan membawa peningkatan pada kapasitas produksi suatu perekonomian yang kemudian akan diikuti oleh pertambahan dalam kebutuhan akan tenaga kerja untuk proses produksi, yang berarti peningkatan dalam kesempatan kerja. Terlebih untuk kegiatan investasi asing, pada umumnya dibutuhkan tenaga kerja terlatih dan terdidik. Grafik 10.6 menunjukan kondisi investasi asing di seluruh provinsi yang berada di Pulau Jawa dari Tahun 2006-2017. Dari tahun dari Tahun 2007 sampai dengan 2011, Investasi Asing Provinsi DKI Jakarta jauh berada di atas rata-rata provinsi lainnya di Pulau Jawa. Namun, mulai tahun 2011, penanaman modal asing mulai menyebar ke provinsi lainnya. Bahkan mulai tahun 2012, Investasi asing yang dilakukan di Provinsi Jawa Barat, melebihi Provinsi DKI Jakarta, sementara Provinsi DKI Jakarta lambat laun menurun meskipun masih berfluktuatif. Nilai investasi asing paling kecil adalah di Provinsi Jawa Timur, dan dari tahun 2007-2017 menunjukan kondisi yang konstan. Grafik 10.6. Investasi Asing di Pulau Jawa Tahub 2006-2017 DKI Jakarta



Jawa Barat



Jawa Tengah



DI Yogyakarta



Jawa Timur



Banten



15000 10000



5000 0 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017



237



10.4.4. Klasifikasi Angkatan Kerja berdasarkan pendidikan di Pulau Jawa Tabel 10.1 menunjukan proporsi jumlah angkatan kerja berdasakan tingkat pendidikan di enam provinsi di Pulau Jawa. Data yang bersumber dari (BPS, Indikator Pasar Tenaga Kerja Indonesia Agustus 2017) menunjukan bahwa angkatan kerja diklasifikasikan berdasarkan tingkat pendidikan menjadi tiga kategori: pendidikan dasar ke bawah, pendidikan menengah, dan pendidikan tainggi. Pada tahun 2016-2017, hampir semua provinsi di Pulau Jawa memiliki struktur angkatan kerja yang gemuk di tingkat pendidikan dasar ke bawah. Berbeda dengan provinsi lainnya, Provinsi DKI Jakarta justru memiliki struktur angkatan kerja yang gemuk di tingkat pendidikan menengah. Dari ke lima provinsi tadi, provinsi dengan jumlah angkatan kerja berpendidikan dasar ke bawah terbesar adalah provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Timur, yang mencapai lebih dari 60%. Sementara itu, provinsi yang yang memiliki jumlah angkatan kerja berpendidikan tingginya paling tinggi adalah Provinsi DKI Jakarta. Tabel 10.1 Angkatan Kerja berdasarkan Klasifikasi Pendidikan di Pulau Jawa Tahun 2016-2017



Sumber: (BPS, Indikator Pasar Tenaga Kerja Indonesia Agustus 2017)



238



10.4.5. Analisis Pengaruh PDRB, Investasi Asing dan Pendidikan terhadap Pengangguran Terdidik di Pulau Jawa Sebelum mendapatkan hasil estimasi dari pengolahan regresi, untuk regresi data panel terlebih dahulu harus melakukan pengujian untuk pemilihan model yang paling tepat. Dua pengujian pertama yang dilakukan adalah Uji Chow ( Redundant Fixed Effect Test) dan Uji Hausman. Berikut hasilnya:



Tabel 10.2. Hasil Uji Chow



Tabel. 10.3. Hasil Uji Hausman



Pada Tabel 10.2 yang nunjukan hasil Uji Chow, diperoleh nilai probabilitas yang lebih kecil dari 0.05. Berdasarkan hipotesis, H0 ditolak dan Fixed Effect Model (FEM) adalah model yang terpilih. Kemudian berdasarkan tabel 10.3. yang menunjukan hasil uji Hausman, diperoleh pula nilai probabilitas yang lebih kecil dari 0.05, sehingga pada uji ini pun H0 ditolak, yang artinya Fixed Effect Model (FEM) adalah model yang terpilih. Karena 239



pada keduanuji tersebut FEM terpilih dua kali, maka kita tidak perlu melakukan pengujian yang ketiga. Dengan demikian, model data panel yang terpilih pada penelitian ini adalah model Fixed Effect Model (FEM). Tabel. 10.4. Hasil Uji Asumsi Normalitas



Selanjutnya, digunakan uji Jarque-Bera untuk melihat asumsi normalitas terpenuhi pada model ini. Diperoleh nilai probabilitas pengujian ini sebesar 0,703133 dimana lebih besar dari 0.05 sehingga berdasarkan hipotesis, tolak H_0. Dengan demikian model ini memenuhi asumsi normalitas. Tabel 10.5. Hasil Uji Glezser



Uji



asumsi



yang



dilakukan



selanjutnya



adalah



uji



asumsi



homoskesdastisitas. Dari tabel 10.5, hasil pengujian Glejser diperoleh bahwa nilai probabilitas dari seluruh variabel indepependent lebih besar dari 0.05. sehingga berdasarkan hipotesis, tolak H 0. Dengan demikian uji model ini memenuhi asumsi homoskesdastisitas.



240



Tabel 10.6. Hasil Uji Asumsi Non-Multikolinearitas



Uji asumsi selanjutnya adalah uji nonmultikolinearitas dengan menggunakan ukuran nilai VIF (Variance Inflation Factor). Dari tabel hasil pengujian dibawah ini, diperoleh nilai VIF antar variabel independent lebih kecil dari 0,08. Dengan demikian asumsi tidak adanya masalah multikolinearitas terpenuhi. Tabel 10.7 Hasil Estimasi Fixed Effect Model (FEM)



241



Setelah diperoleh hasil pengujian model bahwa Fixed Effect Model merupakan model terbaik untuk penelitian ini, dan hasil uji asumsi menunjukan bahwa model ini lolos memenuhi semua asumsi, maka hasil persamaan regresi untuk model ini adalah sebagai berikut: ̀ 𝑖𝑡 LN 𝑃𝑇



= 21,8422 − 1,3258 LN𝑃𝐷𝑅𝐵𝑖𝑡 + 0,0149LN𝑃𝑀𝐴𝑖𝑡 + 2,2290LN𝑃𝐸𝑁𝐷𝐼𝐷𝐼𝐾𝐴𝑁𝑖𝑡 + 𝜀𝑖𝑡



Se (2,8158)



=



(0,3065)



(0,02573)



(0,3860)



Dari tabel ditunjukan bahwa nilai PDRB ADHK per kapita, investasi asing dan pendidikan secara bersama-sama berpengaruh terhadap pengangguran terdidik di Pulau Jawa. Hal ini ditunjukan oleh nilai probabilitas (F-Stat) yang lebih kecil dari 0,05. Artinya, H0 ditolak. Jika dilihat dari estimator yang dihasilkan dari pengukuran output (PDRB ADHK per kapita) maka nilai -1,3258 berarti setiap penurunan 1 persen jumlah pengangguran terdidik di Pulau Jawa maka PDRB ADHK per kapita meningkat 1,3258 persen, menggunakan asumsi cateris paribus. Selain itu nilai probabilitas untuk variabel ini lebih kecil dari 0.05 yang berarti pengaruh yang ditunjukan oleh koefisien adalah signifikan. Hal ini sejalan dengan teori yang sudah dikemukakan pada pendahuluan bahwa pertumbuhan ekonomi melalui PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) yang meningkat dapat menyerap tenaga kerja di wilayah tersebut, karena dengan kenaikan PDRB ADHK kemungkinan dapat meningkatkan kapasitas produksi. Semakin tinggi aktifitas perekonomian suatu daerah, maka akan semakin tinggi pula kesempatan untuk perusahaan berkembang dan semakin banyak pula kesempatan kerja yang



242



bisa diciptakan di daerah tersebut, sehingga menyebabkan menurunnya pengangguran. Selanjutnya, jika estimator yang dihasilkan dari pengukuran pendidikan nilai 2,2290 maka berarti setiap kenaikan 1 persen jumlah pengangguran terdidik di Pulau Jawa maka jumlah angkatan kerja berpendidikan SMA ke atas meningkat 2,2290 persen, menggunakan asumsi cateris paribus. Selain itu nilai probabilitas untuk variabel ini lebih kecil dari 0.05 yang berarti pengaruh yang ditunjukan oleh koefisien adalah signifikan. Hal ini sesuai dengan yang sudah dikemukakan sebelumnhya, bahwa tenaga kerja terdidik ini justru membutuhkan waktu yang lebih lama dalam mendapatkan pekerjaan. Selain itu, dengan semakin gencarnya program pemerintah dalam hal pendidikan, baik dalam bentuk bantuan siswa tidak mampu maupun beasiswa, maka semakin banyak tercetak angkatan kerja yang terdidik. Namun hal ini mungkin belum diimbangi dengan lapangan pekerjaan yang tersedia, dan masih terdapat kekurangselarasan antara sistem pendidikan dan kualfikasi dari angkatan kerja yang dibutuhkan. Sehingga hal ini juga berkaitan dengan jumlah pengangguran terdidik yang meningkat Sementara itu, pada penilitian ini, investasi asing tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengguran di Pulau Jawa. Nilai probabilitas yang ditunjukan pada Tabel 10.7. Menunjukan angka 0,5673, dimana nilainya lebih besar dari 0,05. Hal ini bisa disebabkan oleh karakteristik dari ke enam provinsi di Pulau Jawa yang menjukan perbedaan yang signifikan dalam hal investasi yang dikaitkan dengan permasalahan pengangguran. Selain itu, karena data cross section menggabungkan karakteristik beberapa obejk, jumlah objek dan jumlah series data nya mungkin belum mencukupi untuk melihat kecenderungan yang signifikan dari pengaruh investasi asing terhadap pengangguran terdidik. 243



10.5. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan 10.5.1 Kesimpulan Penelitian ini membahas mengenai fenomena pengangguran terdidik di Pulau Jawa, sebagai pulau yang ditempati oleh lebih dari separuh total penduduk Indonesia. Fenomena yang dapat kita lihat pada Tahun 2017 adalah 67% dari total penganggur di Pulau Jawa memiliki pendidikan SMA ke atas, yang kita sebut sebagai pengangguran terdidik. Jika dilihat dari jumlah jiwa, maka banyaknya pengangguran terdidik di Pulau Jawa paling banyak menempati Provinsi Jawa Barat, yang pada tahun 2017 mencapai 40,35% dari seluruh total pengangguran terdidik di Pulau Jawa. Disusul oleh Provinsi Jawa Timur 19,53% , Provinsi Jawa Tengah 17,23%, Provinsi banten11,09%, dan DKI Jakarta 9,86%. Sementara itu, jika dilihat dari persentasenya, jumlah pengangguran terdidik terhadap jumlah pengangguran total di masing-masing provinsi di Pulau Jawa telah ditunjukan Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan persentase jumlah pengangguran terdidiknya paling tinggi di Pulau Jawa. Di sisi lain, hasil penelitian statistik menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan PDRB ADHK masing-masing provinsi, besarnya investasi asing yang dilakukan pada masing-masing provinsi dan jumlah angkatan kerja dengan pendidikan SMA ke atas dari masing-masing provinsi, secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap pengangguran terdidik di Pulau Jawa. Sementara itu, PDRB ADHK dan jumlah angkatan kerja dengan pendidikan SMA ke atas secara parsial berpengaruh signifikan terhadap jumlah pengangguran terdidik di Pulau Jawa. Namun,pada penelitian ini investasi asing menunjukan hasil yang tidak signifikan.



244



10.5.2. Implikasi Kebijakan 1. Pengangguran terdidik ini bisa terjadi karena tidak cukupnya informasi yang diterima antara pencari kerja dan penerima kerja. Selain pengangguran terdidik ini membutuhkan cukup waktu untuk memilih pekerjaan, bisa jadi lowongan informasi yang ada, atau sebaliknya informasi mengenai pencari kerja yang dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja tidak sampai. Dalam hal ini, pemerintah bisa lebih meningkatkan lagi peran kelembagaan, yaitu Dinas Ketenagakerjaan, bagi permasalahan pengangguran terdidik ini, yang semestinya bisa menjembatani antara pencari kerja dengan perusahaan ayng mencari pekerja. 2. Salah satu cara lain untuk mengurangi pengangguran terdidik adalah pemerintah agar bisa lebih mengoptimalkan lagi sistem pendidikan, khususnya pendidikan formal, yang mana jenjang pendidikan formal ini masih dianggap sebagai tolak ukur dalam proses seleksi penerimaan pekerja. Sistem pendidikan yang ada diharapkan dapat mencetak tenaga kerja terdidik yang berkualitas dan memilik kualifikasi yang sesuai dengan yang diharapkan pasar tenaga kerja terhadap angkatan kerja terdidik.



245



Daftar Pustaka



BPS. (2014). Indikator Pasar Tenaga Kerja di Indonesia Agustus 2013. Jakarta. BPS. (2015). Indikator Pasar Tenaga Kerja di Indonesia Agustus 2014. Jakarta. BPS. (2016). Indikator Pasar Tenaga Kerja di Indonesia Agustus 2015. Jakarta. BPS. (2017). Indikator Pasar Tenaga Kerja di Indonesia Agustus 2016. Jakarta. BPS. (2018). Indikator Pasar Tenaga Kerja Indonesia Agustus 2017. Jakarta. BPS. (2018). Statistik Indonesia 2017. Jakarta. Gujarati, D. (2003). Basic Econometrics. New York. Hidayat, A. (2017). Tutorial Uji Asumsi Klasik dengan Eviews. Retrieved from www.statistikian.com: https://www.statistikian.com/2017/02/tutorial-ujiasumsi-klasik-eviews.html Kusdyah Rachmawati, S. M. (2008). Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta. Lestari, A. W. (2011). Pengaruh Jumlah Usaha, Nilai Investasi dan Upah Minimum Terhadap Permintaan Tenaga Kerja Pada Industri Kecil dan Menengah Di Kabupaten Semarang. Skripsi: Universitas Dipenogoro. Semarang . Liana Mariska, F. A. (2016). Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Lama Mencari Kerja Tenaga Kerja Terdidik Pada Pemerintahan Kota Prabumulih. IEconomic Vol. 2. No.2. Mankiw, N. G. (2007). Macroeconomics 6th Edition. Newyork: Worth Publisher. Nury Effendi, M. S. (2013). Ekonometrika Pendekatan Teori dan Terapan. Bandung: Salemba Empat. R, T. W. (2011). Analisis Pengangguran Terdidik di Jawa Tengah. MEDIA Ekonomi & Teknologi Informasi Vol.17 No.1.



246



BAB 11 ANALISIS PENGARUH PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI JAWA BARAT Oleh : Dani Wildan Hakim Abstrak Jawa Barat dengan komposisi penduduk yang beragam di setiap Kabupaten/Kotanya menarik untuk dianalisis terkait pengaruh pengangguran dan kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperhitungkan sejauh mana pengaruh pengangguran dan kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Kata Kunci: Pengangguran, Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi



247



11.1 Latar Belakang Menurut Todaro (2000) pembangunan ekonomi berarti suatu proses multi dimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan lembaga-lembaga nasional termasuk pula percepatan



atau



akselerasi



pertumbuhan



ekonomi,



pengurangan



ketidakmerataan dan kemiskinan absolut. Pertumbuhan ekonomi harus mencerminkan pertumbuhan output per kapita. Dengan pertumbuhan perkapita, berarti terjadi pertumbuhan upah riil dan meningkatnya standar hidup. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi adalah suatu kondisi terjadinya perkembangan GNP potensial yang mencerminkan adanya pertumbuhan output perkapita dan meningkatnya standar hidup masyarakat (Murni, 2006). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi yang menjadi suatu keharusan bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan. Jumlah penduduk yang bertambah setiap tahunnya tentunya harus diiringi dengan jumlah kebutuhan konsumsi seharihari yang setiap tahunnya juga bertambah. Untuk itu, dibutuhkan penyeimbang berupa peningkatan atau penambahan pendapatan setiap tahunnya (Tambunan, 2009). Di samping konsumsi yang merupakan sisi permintaan, pertumbuhan penduduk juga jika dilihat dari sisi penawaran, membutuhkan pertumbuhan kesempatan kerja (sumber pendapatan). Apakah yang akan terjadi jika pertumbuhan ekonomi tidak diiringi dengan penambahan kesempatan kerja? Hal ini tentu saja akan menimbulkan ketimpangan dalam pembagian dari penambahan pendapatan tersebut (ceteris paribus), yang selanjutnya akan menciptakan suatu kondisi pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan kemiskinan (Tulus T.H. Tambunan, 2009).



248



Peningkatan output agregat (barang dan jasa) atau GDP yang terusmenerus akan memenuhi kebutuhan konsumsi dan kesempatan kerja. Dalam kajian ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi adalah penambahan GDP yang berarti peningkatan Pendapatan Nasional. Terdapat beberapa indikator perekonomian yang dapat dijadikan acuan untuk melihat perkembangan pembangunan ekonomi sebuah negara. Indikator tingkat pengangguran merupakan salah satu diantaranya. Berdasarkan tingkat pengangguran dapat dilihat kondisi suatu negara, apakah perekonomiannya berkembang maju, stagnan atau bahkan mengalami penurunan. Dengan indikator tingkat pengangguran kita dapat melihat pula ketimpangan atau kesenjangan distribusi pendapatan yang diterima masyarakat di negara tersebut. Pengangguran dapat terjadi sebagai akibat dari tingginya tingkat perubahan angkatan kerja yang tidak diimbangi dengan adanya lapangan pekerjaan yang cukup luas yang akhirnya menyebabkan kecilnya persentase penyerapan tenaga kerja. Hal ini disebabkan rendahnya tingkat pertumbuhan penciptaan lapangan kerja untuk menampung tenaga kerja yang siap bekerja. Tingkat pengangguran ini dipengaruhi oleh indikator-indikator ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan, tingkat inflasi, kemiskinan, serta besaran upah yang berlaku. Apabila di suatu negara pertumbuhan ekonominya mengalami kenaikan, diharapkan akan berpengaruh pada penurunan jumlah pengangguran, hal ini diikuti dengan tingkat upah. Jika tingkat upah naik akan berpengaruh pada penurunan jumlah pengangguran pula. Sedangkan tingkat inflasi yang tinggi akan berpengaruh pada kenaikan jumlah pengangguran (Sukirno, 2008).



249



Sebagaimana kita ketahui, semua negara di dunia ini menghadapi masalah kemiskinan utamanya negara-negara yang sedang berkembang. Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain tingkat pendapatan masyarakat, pengangguran, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis, gender, dan lokasi lingkungan. Saat ini, kemiskinan tidak lagi dipahami hanya pada pengertian ketidakmampuan ekonomi, tetapi lebih luas pada kegagalan memenuhi hakhak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui secara umum meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam, lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik. Kemiskinan menyebabkan timbulnya banyak hal negatif, selain timbulnya banyak masalahmasalah sosial, kemiskinan juga dapat memengaruhi pembangunan ekonomi suatu negara. Kemiskinan yang tinggi akan menyebabkan biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan pembangunan ekonomi menjadi lebih besar, sehingga secara tidak langsung akan menghambat pembangunan ekonomi. Kemiskinan merupakan penyakit yang muncul saat masyarakat selalu mempunyai kekurangan secara material maupun non material seperti kurang makan, kurang gizi, kurang pendidikan, kurang akses informasi, dan kekurangan-kekurangan lainnya yang menggambarkan kemiskinan. Faktor lain yang sangat nyata tentang kemiskinan terutama di kota-kota besar Indonesia, dapat dilihat dari banyaknya warga masyarakat yang kekurangan makan dan minum, tidak memiliki tempat tinggal yang layak, bahkan digusur dari pemukimannya, ribuan pekerja berunjuk rasa memprotes ancaman pemutusan 250



hubungan kerja (PHK), sikap dan perlakuan sewenang-wenang terhadap tenaga kerja wanita di luar negeri. Kemudian ketidakadilan sosial ekonomi, selain oleh beragam alasan juga disebabkan oleh praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang tidak sehat. Ujungnya, pengangguran dan kemiskinan tersebut akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara atau daerah. Hal tersebut sangatlah jelas mengingat pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang sangat penting dalam menilai kinerja suatu perekonomian, terutama untuk melakukan analisis tentang hasil pembangunan ekonomi yang telah dilaksanakan suatu negara atau suatu daerah. Ekonomi dikatakan mengalami pertumbuhan jika produksi barang dan jasa meningkat dari tahun sebelumnya dan sebaliknya jika produksi barang dan jasa menurun dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan



ekonomi



menunjukkan



sejauh



mana



aktivitas



perekonomian dapat menghasilkan tambahan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat pada periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi suatu Negara atau suatu wilayah yang terus menunjukkan peningkatan menggambarkan bahwa perekonomian negara atau wilayah tersebut berkembang dengan baik. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi besar di Indonesia yang saat ini masih terus melakukan proses pembangunan tidak lepas dari masalah penganguran dan kemiskinan. Keduanya merupakan masalah yang umum dan pasti dihadapi oleh setiap daerah. Kondisi geografis dan kependudukan di setiap Kabupaten/Kota di Jawa Barat bervariasi antara satu dengan lainnya. Dari kondisi jumlah penduduk tersebut kemudian perlu dianalisis tentang pengaruh pengangguran dan kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat. Melihat kondisi perekonomian, pengangguran dan kemiskinan di Jawa Barat. Menarik untuk dikaji khususnya 251



apabila kita lihat data BPS pada tahun 2010 s/d 2017 dimana keadaan tingkat pengangguran terbuka dan kemiskinan cenderung mengalami penurunan, sementara perekonomian cenderung mengalami kenaikan. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari faktor-faktor yang memengaruhinya. Berdasar pada dari uraian tersebut di atas maka perlu dikaji dan diteliti secara mendalam tentang “Pengaruh Pengangguran dan Kemiskinan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Provinsi Jawa Barat”. Tabel 11.1 Nama Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat No Nama 1 Kab. Bogor Kabupaten/Kota 2 Kab. Sukabumi



14



o



N Nama Kabupaten/Kota Kab. Purwakarta



15



Kab. Karawang



3



Kab. Cianjur



16



Kab. Bekasi



4



Kab. Bandung



17



Kab. Bandung Barat



5



Kab. Garut



18



Kota Bogor



6



Kab. Tasikmalaya



19



Kota Sukabumi



7



Kab Ciamis



20



Kota



8



Kab. Kuningan



21



Kota Cirebon



9



Kab.Cirebon.



22



Kota Bekasi



10



Kab. Majalengka



23



Kota Depok



11



Kab. Sumedang



24



Kota Cimahi



12



Kab. Indramayu



25



KotaTasikmalaya



13



Kab. Subang



26



Kota Banjar



27



Kabupaten Pangandaran



Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat



252



Bandung



Gambar 11.1 Peta Batas Wilayah kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat



(Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat)



Data yang digunakan adalah data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), dan data PDRB tahun 2010-2017.



11.2 Tinjauan Pustaka 11.2.1 Pertumbuhan Ekonomi Istilah pertumbuhan ekonomi digunakan untuk menggambarkan terjadinya kemajuan atau perkembangan ekonomi dalam suatu negara. Suatu negara kadang mengalami pertumbuhan ekonomi yang lambat dan kadang juga mengalami pertumbuhan yang pesat. Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan, jika jumlah produk barang dan jasanya meningkat atau dengan kata lain terjadi peningkatan GNP pada suatu negara.



253



Menurut Murni (2013) pertumbuhan ekonomi adalah suatu kondisi di mana



terjadinya



perkembangan



GNP



yang



mencerminkan



adanya



pertumbuhan output per kapita dan meningkatnya standar hidup masyarakat. Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, nilai GNP yang digunakan adalah GNP riil atau GNP harga konstan. Mengapa? Karena dengan menggunakan GNP harga konstan pengaruh perubahan harga (inflasi) tidak ada lagi atau sudah dihilangkan. Perubahan GNP harga konstan benar-benar hanya menunjukkan perubahan jumlah kuantitas barang dan jasa (GNP). Menurutnya faktor yang menunjang pertumbuhan ekonomi antara lain: sumber kekayaan alam (R), sumber daya manusia (L), sumber daya modal (K), teknologi dan inovasi (T), keahlian berupa manajemen dan kewiraswataan (S), dan informasi (Inf). Semua faktor ini sangat mempengaruhi pertumbuhan GNP suatu negara. Hubungan antara produk nasional dan faktor-faktor pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk fungsi: Q = f (R, L, K, T, S, Inf) Dimana : Q = Output Nasional R = Sumber Daya Alam L = Sumber Daya Manusia K = Barang Modal T = Teknologi dan Inovasi S = Keahlian Inf = Informasi



254



Menurut Sukirno (2002) pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makroekonomi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi menurut Boediono (1999) adalah proses kenaikan output dalam jangka panjang. Pengertian ini mencakup tiga aspek, yaitu proses, output perkapita, dan jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang bila terjadi pertumbuhan output riil. Pada kenyataannya, terdapat banyak rumus yang dapat dipergunakan untuk menghitung pertumbuhan ekonomi suatu negara atau wilayah. Namun, perhitungan umum yang paling sering dipergunakan adalah dengan metode hitung atau metode aritmatik, yaitu menghitung pertambahan PDB atau GNP (perkapita) dari tahun ke tahun. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut : Ggnp 



GNPn  GNPn 1  100% GNPn 1



Dimana Ggnp adalah tingkat pertumbuhan ekonomi, GNPn adalah GNP tahun ke-n, dan GNPn-1 adalah GNP tahun sebelumnya (n-1). Kelebihan dari penggunaan rumus ini adalah kita dapat menentukan besarnya pertumbuhan setiap tahunnya. Namun, rumus ini juga memiliki kelemahan, yaitu cara ini tidak mudah menentukan berapa besarnya pertumbuhan rata-rata tiap tahunnya bila data yang ada rentangnya terlalu jauh. 255



11.2.2 Pengangguran Menurut BPS (2010), definisi penganggur pada saat survey angkatan kerja nasional (sakernas) tahun 1986-2000, disebutkan bahwa penganggur adalah mereka yang tidak memiliki pekerjaan, bersedia untuk bekerja dan sedang mencari pekerjaan. Tetapi semenjak tahun 2001 hingga kini definisi penganggur menjadi mereka yang sedang mencari kerja atau sedang menyiapkan usaha, diterima kerja tetapi belum memulai kerja, serta tidak mencari kerja karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan. Definisi secara formalnya menurut BPS (2014) pengangguran terdiri atas mereka yang sudah masuk dalam angkatan kerja yang tidak punya pekerjaan dan mencari pekerjaan, mereka yang tidak punya pekerjaan dan mempersiapkan usaha, mereka tidak punya pekerjaan dan tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatan pekerjaan, dan mereka yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Jumlah angkatan kerja yang terus meningkat tanpa diimbangi dengan peningkatan jumlah kesempatan kerja akan menimbulkan pengangguran. Pengangguran adalah penduduk angkatan usia kerja yang berkisar sekitar 15 – 64 tahun yang sedang mencari pekerjaan, apabila sudah mendapatkan pekerjaan disebut bekerja dan yang belum mendapatkan pekerjaan disebut dengan menganggur. Tingkat pengangguran diukur sebagai suatu persentase dari angkatan kerja total yang tidak mempunyai pekerjaan terhadap seluruh angkatan kerja. Menurut Sukirno (2002) pengangguran adalah suatu keadaan dimana seseorang yang tergolong dalam angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Seseorang yang tidak bekerja tetapi tidak secara aktif mencari pekerjaan tidak tergolong sebagai pengangguran.



256



Menurut Murni (2013) pengangguran adalah orang-orang yang usianya berada dalam usia angkatan kerja dan sedang mencari pekerjaan. Menurutnya, istilah pengangguran selalu dikaitkan dengan angkatan kerja (labor force). Angkatan kerja adalah bagian dari penduduk; - Berusia antara 15 sampai dengan 65 tahun - Mempunyai kemamuan dan kemampuan untuk bekerja - Sedang mencari pekerjaan 11.2.3 Kemiskinan Menurut BPS (2014) kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang di ukur dari sisi pengeluaran. Jadi penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dengan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM), (BPS,2015). Menurut Lincolin (2004) kemiskinan itu bersifat multidimensional, artinya karena kebutuhan manusia itu bermacam-macam, maka kemiskinanpun memiliki banyak aspek. Dilihat dari kebijakan umum maka kemiskinan meliputi aspek primer yang berupa miskin akan asset, organisasi sosial politik, dan pengetahuan serta keterampilan. Dan aspek sekunder yang berupa miskin akan jaringan sosial, sumber-sumber keuangan dan informasi. Menurut Lembaga Penelitian SMERU (2001) orang miskin memandang bahwa kemiskinan adalah suatu keadaan ketika seseorang kehilangan harga 257



diri, terbentur pada ketergantungan, terpaksa menerima perlakuan kasar dan hinaan, serta tidak dipedulikan ketika sedang mencari pertolongan. SMERU juga



mengungkapkan



pengertian



lain



kemiskinan



yakni



sebagai



ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan meningkatkan kualitas hidupnya. Kemiskinan timbul karena adanya ketimpangan dalam kepemilikan alat produksi, kemiskinan terkait pula dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan tertentu dalam suatu masyarakat. Kemiskinan juga diartikan sebagai ketidakberdayaan sekelompok masyarakat dibawah suatu sistem pemerintahan yang menyebabkan mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi. Tidak jauh berbeda Peter Townsend (Roberd Gordon University) menyatakan bahwa kemiskinan adalah ketiadaan atau kekurangan makanan, kenyamanan, standard pelayanan dan kegiatan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Metode Analisis 1. Metode Kualitatif Dalam hal ini akan di paparkan berdasarkan analisis kondisi obyektif dan temuan-temuan yang dihubungkan dengan teori-teori ilmiah, sehingga diperoleh gambaran secara sistematis, faktual dan aktual serta solusi-solusi terhadap pemecahannya. 2. Metode analisis Kuantitatif Model analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisa pengaruh pengangguran dan kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat dengan metode analisis regresi berganda. Adapun formulasi dari analisis regresi linier berganda adalah sebagai berikut: 258



Y = β0 + β1X1 + β2X2 Dimana : X1 = Tingkat Pengangguran Provinsi Jawa Barat (%) X2 = Tingkat Kemiskinan Provinsi Jawa Barat (%) Y = Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Barat (%) β0 = intersep, konstanta yang merupakan rata – rata nilai Y apabila variabel lain dianggap konstan Untuk memudahkan proses perhitungan, uji hipotesis akan digunakan bantuan Komputer dengan menggunakan fasilitas Eviews 10.



11.3 Hasil Penelitian Dan Pembahasan Deskripsi PDRB, Pengangguran dan Kemiskinan Jawa Barat Pertumbuhan ekonomi mengkaitkan dan menghitung antara tingkat pendapatan nasional dari satu period ke periode berikutnya. Jika dalam menghitung pertumbuhan ekonomi nasional, yang diperlukan adalah data PDB, maka untuk menghitung pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau daerah diperlukan data PDRB/GDP. Pada penelitian ini yang digunakan adalah GDP atas dasar harga konstan mulai dari tahun 2010 sampai dengan 2017. Berikut ini digambarkan nilai PDRB atas dasar harga berlaku Provinsi Jawa Barat dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2017 sebagai berikut :



259



Tabel 11.2 Tabel PDRB atas dasar harga konstan Provinsi Jawa Barat Tahun 2010 2017 No



Tahun



Nilai PDRB



1



2010



906.685.760,40



2



2011



965.622.061,10



3



2012



1.028.409.739,51



4



2013



1.093.543.545,87



5



2014



1.149.216.057,05



6



2015



1.207.232.341,56



7



2016



1.275.527.644,13



8



2017



1.342.953.376,17



Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2017



Berdasarkan tabel di atas, dapat kita lihat bahwa PDRB atas dasar harga konstan Provinsi Jawa Barat setiap tahunnya mengalami peningkatan. Adapun tingkat pengangguran di Provinsi Jawa Barat tahun 2010-2017 dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 11.3. Pengangguran di Provinsi Jawa Barat tahun 2010-2017 No



Tahun



Tingkat Pengangguran Terbuka (%)



1



2010



10,33



2



2011



9,96



3



2012



9,08



4



2013



9,16



5



2014



8,45



260



Lanjutan Tabel 11.3



6



2015



8,72



7



2016



8,89



8



2017



8,22



Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat (Data Sakernas Maret)



Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa tingkat pengangguran terbuka di Provinsi Jawa Barat cukup berfluktuasi, dimana pada tahun 2010 tingkat pengangguran terbuka Provinsi Jawa Barat sebesar 10,33% kemudian mengalami penurunan tahun 2011, 2012, 2013 dan 2014 menjadi 9,96%, 9,08%, 9,16%, dan 8,45%. Pada tahun 2015, 2016 dan 2017 mengalami kenaikan menjadi 8,72%, 8,89% dan 8,22. Selanjutnya digambarkan persentase penduduk miskin/tingkat kemiskian Provinsi Jawa Barat tahun 2010-2014 pada tabel dibawah ini Tabel 11.4. Persentase penduduk miskin/tingkat kemiskian Provinsi Jawa Barat tahun 2010-2014 No



Tahun



Tingkat Kemiskinan (%)



1



2010



11,27



2



2011



10,65



3



2012



10,09



4



2013



9,89



5



2014



9,52



6



2015



8,47



7



2016



8,43



8



2017



7,67



Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat



261



Berdasarkan tabel di atas, dapat kita lihat tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Barat setiap tahunnya mengalami penurunan. Analisis Pengangguran Dan Kemiskinan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Barat Permasalahan pengangguran memang sangat kompleks untuk dibahas dan merupakan isu penting, karena dapat dikaitkan dengan beberapa indikator-indikator. Indikator-indikator ekonomi yang memengaruhi tingkat pengangguran antara lain pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan, tingkat inflasi, kemiskinan, serta besaran upah yang berlaku. Apabila di suatu negara pertumbuhan ekonominya mengalami kenaikan, diharapkan akan berpengaruh pada penurunan jumlah pengangguran, hal ini diikuti dengan tingkat upah. Jika tingkat upah naik akan berpengaruh pada penurunan jumlah pengangguran pula. Pada akhirnya penurunan tingkat pengangguran diharapkan akan dapat mengurangi tingkat kemiskinan. Berikut ini dijelaskan tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan serta Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Barat sebagaimana terdapat pada tabel dibawah ini : Tabel 11.5. Tingkat Pengangguran Dan Tingkat Kemiskinan Serta Pertumbuhan Ekonomi Di Provinsi Jawa Barat No



Tahun



1



2010



262



Tingkat



Tingkat



Pengangguran



Kemiskinan



Terbuka (%)



(%)



10,33



11,27



Nilai PDRB



906.685.760,40



Lanjutan Tabel 11.5



2



2011



9,96



10,65



965.622.061,10



3



2012



9,08



10,09



1.028.409.739,51



4



2013



9,16



9,89



1.093.543.545,87



5



2014



8,45



9,52



1.149.216.057,05



6



2015



8,72



8,47



1.207.232.341,56



7



2016



8,89



8,43



1.275.527.644,13



8



2017



8,22



7,67



1.342.953.376,17



Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2017



Dari tabel diatas, dapat dilihat tingkat pengangguran terbuka, tingkat kemiskinan dan nilai PDRB Provinsi Jawa Barat tahun 2010-2017 sebagaimana telah dijelaskan diatas. Selanjutnya untuk mengetahui bagaimana pengaruh pengangguran dan kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat, akan dianalisis menggunakan regresi sederhana dan pengolahan data menggunakan program Eviews Versi 10,0 untuk mempermudah perhitungan. Yang selanjutnya dianalisis dengan metode regresi dimaksud dari tabel di atas. Berdasarkan hasil olahan Eviews persamaan regresi dapat diketahui yaitu sebagaimana terlihat dalam lampiran hasil Eviews adalah : ln Y = 23,0392 – 0,05649X1 – 0,16247X2 + e



263



Berdasarkan hasil regresi diketahui hasil berikut -



Uji F menghasilkan angka 0,000078 yang nilainya kurang dari 0,05 yang berarti secara bersama-sama variabel TPT dan Kemiskinan berpengaruh secara signifikan terhadap GDP



-



Uji T/Uji parsial variabel TPT memiliki probabilitas 0,2688 yang nilainya lebih besar dari 0,05 berarti tidak signifikan. Untuk variabel Kemiskinan memiliki nilai 0,0017 yang berarti signifikan



-



Nilai R2 sebesar 0,977216 yang artinya variabel TPT dan Kemiskinan mampu mempengaruhi GDP sebesar 97,72% sedangkan sisanya dipengaruhi variabel lain



11.4 SIMPULAN DAN SARAN 11.4. 1 Simpulan Berdasarkan uraian sebelumnya maka peneliti mengambil simpulan sebagai berikut : 1. Nilai PDRB Provinsi Jawa Barat mengalami kenaikan dari tahun 20102017 2. Tingkat pengangguran terbuka di Provinsi Jawa Barat cukup berfluktuasi di Provinsi Jawa Barat dari tahun 2010 sampai 2017. 3. Tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Barat setiap tahunnya mengalami penurunan 4. Pengangguran dan kemiskinan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat. Hal ini juga sesuai dengan hasil perhitungan dengan menggunakan regresi sederhana, dimana tingkat signifikansi seluruh koefisien korelasi satu sisi yang diukur dari probabilitas menghasilkan angka 0,00078. Karena probabilitasnya lebih kecil dari 0,05, maka korelasi antara variabel tingkat 264



pengangguran dan tingkat kemiskinan (Variabel X 1 dan X2) dan pertumbuhan ekonomi (Varibel Y) adalah signifikan. 11.4.2 Saran 1. Dalam rangka menanggulangi kemiskinan di Provinsi Jawa Barat, sebaiknya pemerintah daerah membuat kebijakan penanggulangan kemiskinan yang lebih fokus pada upaya untuk meningkatkan pendapatan, kesehatan, dan pendidikan secara bersama-sama. 2. Sebaiknya pemerintah daerah Kabupaten Jawa Barat mengevaluasi program bantuan kredit usaha kepada masyarakat miskin yang sudah ada, dengan memperhatikan mekanisme dan administrasi yang mudah bagi mereka sehingga hal ini akan dapat membuka kesempatan kerja dan pada akhirnya menekan angka pengangguran 3. Pendidikan dan pelatihan kewirausahaan bagi masyarakat dalam upaya peningkatan keahlian terutama untuk yang usia angkatan kerja 4. Membangun infrasturktur dasar dalam di Provinsi Jawa Barat, seperti jalan ke seluruh pelosok nantinya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi.



265



Daftar Pustaka Boediono, 1998, Ekonomi Mikro, Edisi Kedua, Cetakan Kedelapan, Penerbit BPFE Jogyakarta: Jogyakarta Dornbusch, R; Fischer, S; & Startz, R, 2004. Makroekonomi. Media Global Edukasi. Jakarta. Mankiw, N.Gregory, 2010, Makro Ekonomi, Edisi Keenam, Penerbit Erlangga, Jakarta. Murni, Asfia, 2009, Ekonomika Makro, PT Refika Aditama, Bandung. Murni, Asfia, 2006. Ekonomika makro Pertumbuhan Ekonomi dan Kebijakan Makro, PT. Refika Aditama, Bandung Sukirno, Sadono, 2004, Makro Ekonomi (Teori Pengantar), edisi Ke 15, PT Rajagrafindo : Jakarta. Sukirno, Sadono, 1985, Ekonomi Pembangunan, LPFE UI : Jakarta. Todaro, Michael. P, Smith, Stephen C, 2003. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga. Edisi Kedelapan, Erlangga Surabaya



266



BAB 12 PENDAPATAN PEKERJA BEBAS SEKTOR PERTANIAN INDONESIA TAHUN 2017 Oleh : Aldo Febrari Hutabarat Abstrak Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran pendapatan pekerja bebas di sektor pertanian. Bagaimana jumlah pekerja bebas di sektor pertanian mempengaruhi pendapatannya. Metode yang dipergunakan deskriptif analisis dan metodologi kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pendapatan pekerja bebas masih sangat rendah. Dimana masih sangat jauh di bawah Upah Mininum yang ditetapkan oleh provinsi. Selain itu pekerja bebas yang jumlahnya cukup banyak mempengaruhi pendapatan para pekerja bebas tersebut. Kata Kunci : pendapatan pekerja bebas, pekerja bebas



267



12.1 Pendahuluan Di zaman modern, globalisasi dan teknologi sekarang ini, kebutuhan hidup masyarakat semakin lama semakin meningkat. Oleh karena itu, masyarakat mencari pekerjaan yang dapat memberikan mereka pendapatan yang tinggi dan tetap. Masyarakat berlomba – lomba mencari pekerjaan tersebut agar dapat memenuhi kebutuhan hidup. Pekerjaan yang mereka cari berada disektor pemerintahan, adminitrasi perkantoran, industri dan lain sebagainya yang menawarkan pendapaan tetap setiap bulannya. Namun, agar mendapatkan pekerjaan tersebut, memerlukan tingkat pendidikan dan kemampuan. Terjadi persaingan dalam mendapatkan pekerjaan sehingga, terdapat masyarakat yang tidak mendapat pekerjaan tersebut menjadi pengangguran, khususnya di wilayah pedesaan. Dalam pemenuhan kebutuhan hidup, masyarakat yang tidak mendapatkan pekerjaan sesuai yang mereka harapkan akhirnya melakukan pekerjaan harian. Sektor pertanian masih memberikan peluang pekerjaan walaupun tidak tetap. Pertanian dalam arti luas adalah semua yang mencakup kegiatan pertanian (tanaman pangan dan hortikultura), perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan. Sedangkan dalam arti sempit, pertanian adalah suatu budidaya tanaman kedalam suatu lahan untuk mencukupi kebutuhan manusia.menurut Mosher (1966) pertanian adalah suatu bentuk produksi yang khas, yang didasarkan pada proses pertumbuhan tanaman dan hewan. petani mengelola dan merangsang pertumbuhan tanaman dan hewan dalam suatu usaha tani, dimana kegiatan produksi merupakan bisnis, sehingga pengeluaran dan pendapatan sangat penting artinya. Oleh karena pertanian merupakan kegiatan produksi yang merupakan bisnis, petani tentunya berharap mendapatkan keuntungan dari apa yang mereka kerjakan.



268



Petani menurut Anwas (1992: 34) bahwa petani adalah orang yang melakukan cocok tanam dari lahan pertaniannya atau memelihara ternak dengan tujuan untuk memperoleh kehidupan dari kegiatan itu. Namun, pada kegiatan pertanian, petani membutuhkan banyak tenaga pada saat – saat kegiatan tertentu saja, misal dalam pengolahan pembukaan lahan, pembibitian dan pada saat panen, mencari makanan ternak dan memobilisasi hasil ternak mereka ke pasar. Oleh karena itu, para petani pada kegiatan tersebut mencari orang yang dapat membantu meringankan pekerjaan mereka agar dapat memaksimalkan hasil pertanian tersebut. Mereka memilih orang – orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan majikan. Petani membayar mereka setelah mereka mengerjakan pekerjaan mereka. Setelah itu mereka menunggu panggilan bekerja kembali dari petani – petani lain. Orang – orang tersebut biasanya disebut pekerja bebas. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Pekerja Bebas adalah buruh yang tidak mempunyai majikan tetap, tidak digolongkan sebagai buruh/karyawan. Pekerja bebas merupakan gabungan dari pekerja bebas sektor pertanian dan pekerja bebas sektor non pertanian. Karena mereka bekerja di sektor pertanian, maka para pekerja bebas yang membantu para petani melaksanakan kegiatan pertanian disebut pekerja bebas di pertanian dimana mereka yang bekerja pada orang lain/majikan/institusi yang tidak tetap (lebih dari 1 majikan dalam sebulan terakhir) di usaha pertanian baik berupa usaha rumah tangga maupun bukan usaha rumah tangga atas dasar balas jasa dengan menerima upah atau imbalan baik berupa uang maupun barang, dan baik dengan sistem pembayaran harian maupun borongan. Usaha pertanian meliputi: pertanian, tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perternakan, perikanan dan perburuan, termasuk juga jasa pertanian (BPS). Pekerja bebas di pertanian banyak ditemukan di wilayah perdesaan, namun di wilayah 269



perkotaan ada yang bekerja pada sektor ini karena kebutuhan akan pekerjaan dan pendapatan sehingga pada saat kegiatan pertanian membutuhkan tenaga mereka yang berada di kota pergi ke perdesasan untuk bekerja pada saat tertentu tersebut. Jumlah pekerja bebas di sektor pertanian di setiap provinsi bervariasi. Pekerja bebas bekerja tentu saja untuk mendapatkan pendapatan untuk pemenuhan hidup mereka. Pendapatan atau perolehan merupakan suatu kesempatan mendapatkan hasil dari setiap usaha yang dilakukan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pendapatan secara langsung diterima oleh setiap orang yang berhubungan langsung dengan pekerjaan, sedangkan pendapatan tidak langsung merupakan tingkat pendapatan yang diterima melalui perantara (Bambang, S. 1994:121). Sedangkan menurut BPS Pendapatan adalah imbalan yang diterima baik berbentuk uang maupun barang, yang dibayarkan perusahaan/kantor/majikan. Imbalan dalam bentuk barang dinilai dengan harga setempat. Pendapatan rata – rata petani pekerja bebas di sektor pertanian berbeda – beda di setiap provinsi. Hal itu disebabkan karena perbedaan kebutuhan hidup antar daerah. Misal, di Jawa Barat yang kebutuhan hidup yang cukup tinggi membuat upah yang dibayarkan kepada pekerja cenderung lebih tinggi dibandingkan daerah lain. Karena frekuensi pekerjaan tidak menentu dalam satu bulan, pendapatan pekerja bebas di sektor pertanian juga tidak menentu. Biasanya pendapatan rata – rata mereka dibawah dari upah minimum provinsi (UMP). Upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri atas upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh gubernur sebagai jaring pengaman (Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Upah Minimum Pasal 1 Ayat 1). Penetapan Upah Minimum didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan memperhatikan 270



produktivitas dan pertumbuhan ekonomi dan diarahkan kepada pencapaian KHL. Oleh karenanya pendapatan pekerja bebas di sektor pertanian belum tentu dapat memenuhi kebutuhan hidup layak mereka. Pendapatan pekerja bebas di sektor pertanian yang tidak menentu selain dikarenakan menunggu panggilan dari petani yang membutuhkan juga dapat disebabkan karena petani membayar para pekerja bebas di sektor pertanian tentu membutuhkan perhitungan pengeluaran biaya mereka. Bila mereka terlalu banyak menggunakan jasa pekerja bebas, pengeluaran mereka akan lebih tinggi sehingga mengakibatkan keuntungan akan menjadi lebih rendah. Tapi bila petani tetap membutuhkan tenaga pekerja bebas dalam jumlah banyak kemungkinan petani akan mengurangi bayaran mereka.



12.2 Rumusan Masalah Penelitian ini akan membahas pendapatan dan jumlah pekerja bebas di sektor pertanian disetiap provinsi di Indonesia pada tahun 2017. Selain itu bagaiamana pengaruh jumlah tenaga kerja terhadap pendapatan pekerja bebas di sektor pertanian. Dan apakah pendapatan mereka mendekati dengan upah minimum regional di wilayah mereka tinggal. Data yang disajikan berupa data cross section tahun 2017 yang bersumber dari BPS dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Melihat gambaran pendapatan pekerja bebas di sektor pertanian di setiap provinsi di Indonesia tahun 2017 dan pekerja bebas di sektor pertanian di setiap provinsi di Indonesia tahun 2017; 2. Perbandingan pendapatan pekerja bebas di sektor pertanian dengan upah minimum provinsi (UMP); 271



3. Mengetahui bagaimana pengaruh jumlah pekerja bebas di sektor pertanian terhadap pendapatan pekerja bebas di sektor pertanian. Kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat membantu pemerintah dan pemberi pekerjaan khususnya di sektor pertanian agar lebih memperhatikan upah dan peluang kerja kepada masyarakat.



12.3 Metodologi Penelitian Penelitian ini akan menggambarkan kondisi pekerja bebas sektor pertanian di Indonesia pada Tahun 2017 dan bagaiamana pengaruh jumlah pekerja bebas di Indonesia terhadap pendapatan pekerja bebas sektor pertanian. Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan metode kuantitatif. Metode deskriptif adalah metode yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi (Sugiono, 2013) Sedangkan metode kuantitatif adalah suatu proses menemukan pengetahuan yang menggunakan data berupa angka sebagai alat menganalisis keterangan mengenai apa yang ingin diketahui.(Kasiram (2008: 149). Pengolahan data penelitian ini menggunakan regresi dari Pendapatan Rata – Rata per bulan dari Pekerja Bebas di Sektor Pertanian dengan menggunakan model Ordinary Least Square (OLS). Adapun model dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Ln Y = β0 + β1 Ln X + et β0 adalah konstanta dari persamaan ekonometri di atas. Y adalah Pendapatan Rata – Rata Pekerja Bebas di sektor pertanian yang merupakan variable dependen dalam penelitian ini di tahun 2017. X adalah Pekerja Bebas



272



adalah pekerja bebas di sektor pertanian yang merupakan variable variable independen dalam penelitian ini di Indonesia tahun 2017. Pengertian dari model di atas yaitu mengukur seberapa besar pengaruh jumlah pekerja bebas terhadap pendapatan pekerja bebas. Adapun beberpa uji yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Uji t-Statistik Uji t-Statistik merupakan suatu pengujian yang bertujuan untuk mengetahui apakah variabel independen mempunyai pengaruh terhadap pendapatan secara signifikan atau tidak. Variabel independen dapat dikatakan berpengaruh secara siginfikan bilamana nilainya kurang dari 0.05 atau 5%; b. Uji f-Statistik. Uji f-Ststistik digunakan untuk mengtahui apakah variabel independen secara simultan berpengaruh signifikan terhadap variabel



dependen.



Variabel



independen



dapat



dikatakan



berpengaruh secara simultan bilamana nilainya kurang dari 0.05 atau 5%; c. Uji Normalitas Uji ini bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel dependen dan variabel independen keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau mendekati normal dimana nilai probabilitas nya kurang dari 0,05 atau 5%; d. Uji Heteroskedastisitas (Asumsi Klasik) Uji heteroskedastisitas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan asumsi klasik heteroskedastisitas yaitu



273



adanya ketidaksamaan varian dari residual untuk semua pengamatan pada model regresi.. Metode untuk dapat mendeteksi adanya tidaknya



masalah



heterokedastisitas



dalam



model



empiris



menggunakan Uji Glejser dimana Uji Glejser dilakukan dengan cara meregresikan antara variabel independen dengan nilai absolut residualnya. Jika nilai signifikansi antara variabel independen dengan absolut residual lebih dari 0,05 maka tidak terjadi masalah heteroskedastisitas. 12.4 Pembahasan 12.4.1 Pendapatan Pekerja Bebas dan Pekerja Bebas di Sektor Pertanian di Setiap Provinsi Indonesia tahun 2017 Data yang disajikan berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik bersumber dari data Survei Angkatan Nasional (Sakernas) bulan Agustus 2017. Grafik 12.1. Rata – rata Pendapatan bersih sebulan pekerja bebas di sektor pertanian tahun 2017 menurut provinsi



2500 2000 1500 1000 500 0



Rata-rata Pendapatan Bersih Sebulan Pekerja Bebas menurut Provinsi dan Lapangan Pekerjaan Pertanian (ribu rupiah), Agustus 2017



274



Tabel. 12.1 Rata – rata Pendapatan bersih sebulan pekerja bebas di sektor pertanian tahun 2017 menurut provinsi Rata-rata Pendapatan Bersih Sebulan Penduduk Berumur 15 Tahun Ke atas yang No



Provinsi



Pekerja Bebas menurut Provinsi dan bekerja meurut Provinsi dan Status Pekerjaan Lapangan Pekerjaan Pertanian (ribu Utama Pada Sektor Pertanian (Jiwa), Agustus rupiah), Agustus 2017



2017



1



Aceh



1.127,4



120.323



2



Sumatera Utara



1.276,2



291.239



3



Sumatera Barat



1.269,3



178.819



4



Riau



1.302,9



166.110



5



Jambi



1.321,1



86.546



6



Sumatera Selatan



1.103,7



123.122



7



Bengkulu



1.031,6



42.501



8



Lampung



1.075,2



290.506



9



Kepulauan Bangka Belitung



1.387,8



17.751



275



Tabel Lanjutan 12.1 10



Kepulauan Riau



2.040,2



3.690



11



DKI Jakarta



NA



2.628



12



Jawa Barat



941,7



1.161.931



13



Jawa Tengah



936,8



830.865



14



DI Yogyakarta



1.009,1



38.849



15



Jawa Timur



941,8



1.452.348



16



Banten



998,4



248.024



17



Bali



1.179,6



39.800



18



Nusa Tenggara Barat



696,7



229.141



19



Nusa Tenggara Timur



576,3



39.335



20



Kalimantan Barat



1.363,7



79.552



21



Kalimantan Tengah



1.420,6



33.611



22



Kalimantan Selatan



1.022,5



57.849



23



Kalimantan Timur



1.833,1



23.214



24



Kalimantan Utara



1.430,5



71.87



276



Lanjutan Tabel 12.1 Tabel Lanjutan 12.1



25



Sulawesi Utara



1.567,0



60.684



26



Sulawesi Tengah



1.127,6



61.740



27



Sulawesi Selatan



976,2



77.971



28



Sulawesi Tenggara



1.249,4



14.616



29



Gorontalo



1.091,7



24.973



30



Sulawesi Barat



954,4



13.149



31



Maluku



1.162,9



5.469



32



Maluku Utara



1.342,3



17.003



33



Papua Barat



1.487,2



2.947



34



Papua



1.903,8



4.763



Indonesia



1.216,6



172.007,5224



Sumber: BPS (diolah)



277



Berdasar table dan grafik diatas, rata – rata pendapatan pekerja bebas yang paling tinggi berada di Provinsi Kepulauan Riau dan paling rendah berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan jumlah rata – rata perbulan adalah Rp. 576.300,-. Rata – rata nasional Indonesaia adalah Rp. 1.216.600,-. Untuk provinsi DKI Jakarta data tidak tersedia. Perbedaan pendapatan pekerja bebas dimasing – masing provinsi dapat disebabkan oleh perbedaan kebutuhan hidup layak di setiap provinsi. Selain itu juga disebabkan oleh kebutuhan petani terhadap jumlah pekerja bebas. Hal lain yang menyebabkan berbedanya pendapatan yaitu tawar menawar upah yang terjadi antara petani pemberi pekerjaan dengan para pekerja bebas. Grafik 12.2. Rata – Rata Pendapatan Bersih sebulan pekerja bebas di sektor pertanian tahun 2017 menurut provinsi



Penduduk Berumur 15 Tahun Ke atas yang bekerja meurut Provinsi dan Status Pekerjaan Utama Pada Sektor Pertanian (Jiwa), Agustus 2017 1600000 1400000 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0



Pekerja bebas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penduduk yang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian. Dapat kita lihat 278



dari data diatas menunjukan bahwa pekerja bebas di sektor pertanian yang paling banyak berada di Provinsi Jawa Tengah dengan jumlah pekerja bebas sebanyak 1.452.348 jiwa dan yang paling rendah berada di Provinsi DKI Jakarta sebanyak 2.628 jiwa. Sangat unik karena di DKI Jakarta sudah tidak memungkinkan untuk kegiatan pertanian dalam skala besar, namun penduduk di DKI Jakarta yang menjadi pekerja bebas di sektor pertanian ini bekerja di provinsi yang membutuhkan tenaga mereka, ketika petani membutuhkan tenaga tambahan, mereka memanggil penduduk Jakarta untuk ikut membantu usaha pertanian mereka, setelah selesai dan diberi upah, penduduk tersebut kembali ke Jakarta. Rata – rata jumlah pekerja bebas di Indonesia adalah sebanyak 172.008 jiwa (pembulatan ke atas). Terjadi gap atau lompatan besar terkait jumlah pekerja bebas antar setiap provinsi, dimana 3 provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur menyerap pekerja bebas diatas 800.000 jiwa, sedangkan provinsi lainnya hanya menyerap tidak lebih dari 400.000 jiwa. Hal ini dapat disebabkan karena kebutuhan akan tenaga dalam usaha pertanian. Selain itu pengembangan pertanian di setiap wilayah belum dapat memaksimalkan potensi mereka.



12.4.2 Upah Minimum Provinsi (UMP) Upah minimum provinsi menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Upah Minimum Pasal 1 Ayat 2 yaitu Upah Minimum yang berlaku untuk seluruh kabupaten/kota di satu provinsi. Upah minimum di setiap provinsi berbeda – beda karena perbedaan Kebutuhan Hidup Layak dimasing – masing wilayah tersebut. Berikut UMP di Indonesia pada Tahun 2017.



279



Tabel. 12.2 Upah Minimum Provinsi Indonesia Tahun 2017



No



Provinsi



Upah Minimum Provinsi (Ribu rupiah) Tahun 2017



1



Aceh



2



Sumatera Utara



1.961,355



3



Sumatera Barat



1.949,285



4



Riau



2.266,723



5



Jambi



2.063,949



6



Sumatera Selatan



7



Bengkulu



1.737,413



8



Lampung



1.908,448



9



Kepulauan Bangka Belitung



2.534,674



10



Kepulauan Riau



2.358,454



11



DKI Jakarta



3.355,75



12



Jawa Barat



1.420,624



13



Jawa Tengah



1.367



14



DI Yogyakarta



1.337,645



15



Jawa Timur



16



Banten



1.931,18



17



Bali



1.956,727



18



Nusa Tenggara Barat



1.631,245



19



Nusa Tenggara Timur



1.525



20



Kalimantan Barat



21



Kalimantan Tengah



2.227,307



22



Kalimantan Selatan



2.258



280



2.500



2.388



1.388



1.882,9



Lanjutan Tabel Tabel 12.2 12.2 Lanjutan 23



Kalimantan Timur



2.339,556



24



Kalimantan Utara



2.354,8



25



Sulawesi Utara



26



Sulawesi Tengah



1.807,775



27



Sulawesi Selatan



2.435,625



28



Sulawesi Tenggara



2.002,625



29



Gorontalo



30



Sulawesi Barat



31



Maluku



32



Maluku Utara



1.975,152



33



Papua Barat



2.421,5



34



Papua



2.663,647



Indonesia



2.074,151



Rata - Rata



2.598



2.030 2.017,78 1.925



Sumber: Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi



UMP paling tinggi berada di Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp.3.355.750,- sedangkan UMP yang paling rendah berada di Provinsi DI Yogyakarta sebesar Rp. 1.337.645,-. Namun bila dibandingkan dengan pendapatan pekerja bebas di sektor pertanian, seluruh UMP di setiap provinsi di Indonesia berada di atas pendapatan pekerja bebas tersebut, bahkan selisihnya sangat tinggi (Grafik 3).Dari provinsi yang ada di Indonesia, selisih yang cukup jauh antara UMP dengan pendapatan pekerja bebas, yaitu Provinsi Sulawesi Tengah dimana selisihnya adalah sebesar Rp. 1.459.425,-. Hal ini disebabkan karena pekerja bebas tidak memiliki majikan yang tetap dan pekerjaan tetap. Mereka hanya menunggu panggilan dari para petani yang membutuhkan tenaga mereka. Selain itu, kebijakan Pemerintah Indonesia terkait Upah Minimum belum 281



menyentuh kepada pekerja bebas. UMP hanya berlaku kepada buruh dan perorangan/perusahaan yang memperkerjakannya dan dibayarkan selama sebulan sekali dengan ikatan perjanjian. Tetapi pengaturan upah pekerja bebas tidak ada yang mengatur, dimana mereka bekerja ketika tenaga mereka dibutuhkan saja. Tidak setiap hari dan setiap bulan serta tidak ada perjanjian kerja jangka panjang. Penawaran upah pekerja bebas terjadi antara mereka yang memberikan pekerjaan dan pekerja bebas itu sendiri. Pendapatan yang diperoleh pekerja bebas tergantung dari jumlah hari kerja yang mereka terima. Jika pekerja bebas tidak bekerja karena sakit, izin atau karena hal lainnya, maka mereka tidak akan menerima pendapatan. Grafik 12.3. UMP dan Rata – Rata Pendapatan Pekerja Bebas sektor Pertanian Tahun 2017



UMP dan Pendapatan Rata - Rata Pekerja Bebas Sektor Pertanian 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0



Rata-rata Pendapatan Bersih Sebulan Pekerja Bebas menurut Provinsi dan Lapangan Pekerjaan Pertanian (ribu rupiah), Agustus 2017 Upah Minimum Regional (Ribu rupiah) Tahun 2017



282



12.4.3 Pengaruh Jumlah Pekerja Bebas di Sektor Pertanian terhadap Pendapatan Pekerja Bebas di Sektor Pertanian Regresi dilakukan terhadap data – data pada tabel.12.3, dimana variabel yang diobservasi sebanyak 33 data provinsi dikarenakan satu provinsi yaitu DKI Jakarta tidak tersedia data pendapatannya. Hasil regresi antara jumlah pekerja bebas terhadap pendapatan pekerja bebas menggunakan EViews.10 seperti tabel di bawah ini ; Tabel 12.3 Pendapatan Pekerja Method: Least Squares Date: 10/15/18 Time: 11:41 Sample: 1 33 Included observations: 33 Variable



Coefficient Std. Error



t-Statistic



Prob.



C



7.981797



0.277809



28.73120



0.0000



Pekerja Bebas



-0.083456 0.025211



-3.310264



0.0024



R-squared



0.261163



Mean dependent var



7.071564



Adjusted R-squared



0.237330



S.D. dependent var



0.260461



S.E. of regression



0.227464



Akaike info criterion



-0.064962



Sum squared resid



1.603929



Schwarz criterion



0.025735



Log likelihood



3.071872



Hannan-Quinn criter.



-0.034445



F-statistic



10.95785



Durbin-Watson stat



1.464298



Prob(F-statistic)



0.002372



Uji t-statistik



283



Dari hasil regresi pada Tabel.12.3, nilai probabilitas t-statistik sebesar 0.0024 yang nilainya kurang dari 0,05. Sehingga variabel independen yaitu jumlah pekerja bebas berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen pendapatan pekerja bebas.



Uji f-statistik Dari hasil regresi pada Tabel 12.3, nilai probabilitas f-statistik sebesar 0.002372 yang nilainya kurang dari 0,05. Sehingga variabel independen yaitu jumlah pekerja bebas berpengaruh secara simultan terhadap variabel dependen yaitu pendapatan pekerja bebas. Uji normalitas 9



Series: Residuals Sample 1 33 Observations 33



8 7 6



Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis



5 4 3 2 1



9.52e-16 0.022135 0.370909 -0.742215 0.223881 -1.049374 5.094155



Jarque-Bera 12.08657 Probability 0.002374



0 -0.8



-0.6



-0.4



-0.2



0.0



0.2



0.4



Variabel dependen dan variabel independen dari keduanya mempunyai distribusi normal dengan nilai Probabilitas 0,002374 yang berada kurang dari 0,05.



284



Uji Heteroskedasticity Tabel.12.4 Uji Heteroskedasticity Heteroskedasticity Test: Glejser F-statistic



1.256323



Prob. F(1,31)



0.2710



Obs*R-squared



1.285288



Prob. Chi-Square(1)



0.2569



Scaled explained SS



1.605759



Prob. Chi-Square(1)



0.2051



Test Equation: Dependent Variable: ARESID Method: Least Squares Date: 10/15/18 Time: 11:44 Sample: 1 33 Included observations: 33 Variable



Coefficient



Std. Error



t-Statistic



Prob.



C



0.368521



0.189329



1.946459



0.0607



X1



-0.019258



.017182



-1.120858



0.2710



R-squared



0.038948



Mean dependent var



0.158477



Adjusted R-squared



0.007946



S.D. dependent var



0.155638



S.E. of regression



0.155018



Akaike info criterion



-0.831860



Sum squared resid



0.744948



Schwarz criterion



-0.741162



Log likelihood



15.72569



Hannan-Quinn criter.



-0.801343



F-statistic



1.256323



Durbin-Watson stat



1.769077



Prob(F-statistic)



0.270957



Dar 285



Data pada Tabel 12.4 menunjukan hasil Uji Heteroskedastisitas dengan menggunakan Uji Glejser. Nilai dari signifikansi antara variabel independen dengan absolut residual tersebut adalah 0,2710. Nilai tersebut lebih dari 0,05 maka tidak terjadi masalah heteroskedastisitas. Dari hasil pengujian tersebut diiatas, jumlah pendapatan pekerja bebas mempengaruhi pendapatan pekerja bebas secara signifikan, simultan, memiliki distribusi normal dan tidak ada masalah terkait heteroskedastisitas. Dengan nilai koefisien negatife



( - ) pada pekerja bebas, maka jika jumlah pekerja



bebas bertambah, pendapatan pekerja bebas akan menurun.



12.5 Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan 12.5.1 Kesimpulan 1. Perbedaan pendapatan petani kerja bebas disektor pertanian setiap provinsi di Indonesia berbeda – beda, hal ini dapat disebabkan oleh kebutuhan layak minimal di setiap provinsi, kebutuhan tenaga kerja bebas dan tawar menawar upah antara pemberi pekerjaan dengan pekerja bebas. Pekerja bebas disektor pertanian di Indonesia sebarannya tidak merata disetiap provinsi, disebabkan oleh kebutuhan tenaga kerja tambahan dimasing – masing provinsi berbeda – beda dan pengembangan sektor pertanian yang berbeda – beda (ada yang sudah maksimal dan belum). 2. Pendapatan pekerja bebas diseluruh provinsi di Indonesia jauh dibawah UMP masing – masing provinsi. Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah belum menyentuh pekerja bebas dan penetapan upah terjadi karena adanya negosiasi antara petani pemberi pekerjaan dengan pekerja bebas sendiri. 286



3. Pendapatan pekerja bebas di sektor pertanian tergantung kepada jumlah pekerja bebas, dimana bila ada penambahan jumlah pekerja bebas maka pendapatan akan turun, cateris paribus. 12.5.2 Implikasi Kebijakan 1. Pemerintah mendorong pambangunan sektor pertanian disetiap wilayah provinsi di Indonseia dengan cara perluasan areal lahan pertanian, sarana dan prasarana pertanian agar dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian khususnya pekerja bebas, walaupun hanya pekerja bebas tapi dapat memberikan mereka kesempatan mendapatkan penghasilan dan selain itu memberikan peluang mereka menjadi pekerja tetap. 2. Pemerintah perlu mengatur kebijakan terkait upah harian para pekerja bebas di sektor pertanian agar mereka dapat mencukupi kebutuhan hidup layak. 3. Pemerintah perlu mengatur kebijakan terkait jumlah pekerja bebas, agar pengguna jasa mereka juga mendapatkan efisiensi usaha serta pekerja bebas pendapatannya lebih baik.



287



Daftar Pustaka Adiwilaga, Anwas. 1992. Ilmu Usaha Tani: Cetakan II. Bandung: Alumni. Agricultural and Farm Income. 2018 di akses dari https://ec.europa.eu/agriculture/sites/agriculture/files/statistics/factsfigures/agricultural-farm-income.pdf pada tanggal 17 September 2018. Badan Pusat Statistik. (2017). Statistik Pendapatan Agustus Tahun 2017. Jakarta: Badan Pusat Statistik Bambang, S. 1994, Analisis Laporan Keuangan , LP3ES-Jakarta Galib, Rusli. 2005. Ekonomi Regional. Bandung. Pustaka Ramadhan. Kasiram, Moh. 2008. Metodologi Penelitian. Malang: UIN-Malang Pers. Mosher.A.T, Menggerakkan Dan Membangun Pertanian, Jakarta : C.V. Yasaguna 1966. Suwartapradja, Opan, .S. 2008. “Kolektivitas Tenaga Kerja Dalam Pertanian : Studi Tentang Implikasi Curahan Tenaga Kerja Terhadap Pendapatan Petani di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat”. Jurnal Kependudukan Padjadjaran, Vol. 10, No. 1, Januari 2018 : 34 - 49 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum Ratnaningtyas, Sudrajati dan Wawan Purnama. 2011 “Perbandingan Pendapatan Dan Produktivitas Tenaga Kerja Rumah Tangga Petani Pedesaan Dan Perkotaan : Suatu Kasus pada Agro Ekosistem Lahan Basah Berbasis Padi Sawah di Kecamatan Tarogong Kaler Kabupaten Garut”. Jurnal Sociohumanuira, Volume 13, No.3, November 2011 : 251 – 262. Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung : Alfabeta. Vogt, Paul L. (1916). “The Farmer’s Labor Income”. The American Economic Review, Vol. 6, No. 4 (Dec., 1916), pp. 808 – 822



288



BAGIAN KE 2 BONUS DEMOGRAFI TRANSMISI MENUMBUHKAN EKONOMI



Editor: Sutyastie Soemitro Remi Penulis: Lisa Gusmanita Rahmawatin Wikantioso Nurin Ainistikmalia Yudhi Noormansyah Mukti Herlambang Jhonriansyah Zefri Mario Sandy Indrawan Jauhari Fadlan



@ Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini Tanpa Ijin tertulis dari Penerbit



Perpustakaan Nasional RI : Data Katalog Dalam Terbitan (KDT) Analisis Perekonomian dan Bisnis Indonesia/Penyunting Sutyastie Soemitro Remi,....(et al).- Bandung Unpad Press, 2018 ISBN : ............



289



BAB 13 Migrasi Penduduk dan Peluang Bonus Demografi di Indonesia Oleh : Lisa Gusmanita



Abstrak Terbukanya jendela peluang ( window of opportunity) periode 2015-2035 menjadi peluang bagi Indonesia untuk menikmati bonus demografi. Bonus demografi akan tercapai jika rasio ketergantungan penduduk Indonesia semakin menurun dan Indonesia mampu memanfaatkan kondisi tersebut untuk meningkatkan perekonomian. Salah satu komponen demografi yang mempengaruhi komposisi penduduk adalah mobilitas penduduk atau migrasi. Penelitian ini menggunakan migrasi risen karena menunjukkan pola/tren mobilitas penduduk terkini (5 tahun terakhir). Sebagian migran risen di Indonesia adalah penduduk usia kerja dan sebagian besar merupakan pekerja risen. Besarnya pekerja risen yang masuk di suatu wilayah tentu saja akan berpengaruh pada penurunan rasio ketergantungan daerah tujuan. Pekerja risen menjadi salah satu cara persebaran penduduk dan membuka kesempatan seluruh wilayah Indonesia untuk memperoleh peluang bonus demografi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pekerja risen dan pekerja nonrisen berpengaruh positif terhadap PDRB ADHK per kapita sedangkan rasio ketergantungan berpengaruh negatif terhadap PDRB ADHK per kapita. Jumlah pekerja risen yang besar serta berpengaruh positif dan signifikan berarti bahwa variabel ini dapat dijadikan alat persebaran penduduk usia kerja dan pemerataan peluang bonus demografi di seluruh provinsi di Indonesia. Dengan demikian Indonesia harus optimis peluang bonus demografi dapat diperoleh dengan memanfaatkan komponen yang bisa menggenjot perekonomian dan salah satunya adalah komponen migrasi.



Kata kunci : migrasi, migrasi risen, pekerja risen, rasio ketergantungan, bonus demografi.



290



13.1 Pendahuluan Indonesia adalah salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang ada harus dikelola dengan baik untuk bisa mengoptimalkan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki. Simon Kuznets (1967) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi modern tidak hanya menitikberatkan kepada pendapatan perkapita saja tetapi juga masalah penduduk (sumber daya manusia). Sumber daya manusia yang kreatif dan produktif maka akan meningkatkan jumlah produksi barang dan jasa sehingga perekonomian akan meningkat. Selain itu, sumber daya manusia juga



mampu



mengembangkan



pengetahuan



dan



teknologi



dalam



mengoptimalkan sumber daya alam yang terbatas. Pada tahun 2017, Indonesia memiliki penduduk terbesar ke-4 didunia setelah Republik Rakyat Tiongkok, India, dan Amerika Serikat. Penduduk Indonesia mencapai 261.355,45 ribu jiwa dan berdasarkan angka proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah ini akan terus meningkat setiap tahunnya. Jumlah penduduk yang besar tentu saja menjadi tantangan dan peluang tersendiri bagi Indonesia. Dilihat dari angka pertumbuhan penduduk, periode 2015-2017 Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 1,12 persen atau mengalami penurunan dibandingkan periode 2015-2016 yang sebesar 1,14 persen.



Keberhasilan



Indonesia



dalam



menekan



angka



kelahiran



tergambarkan dari rasio ketergantungan (dependency ratio) penduduk yang terus menurun. Semakin menurunnya rasio ketergantungan penduduk menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi demografi atau membuka jendela peluang (window of opportunity) demografi. Menurut Xizhe Peng dan Yuann Cheng (2005) jendela bonus demografi terbuka ketika jumlah penduduk



291



usia muda dan usia tua menurun. Peluang bisa diperoleh jika negara telah memiliki investasi, tidak hanya pada program keluarga tetapi juga kesehatan dan pendidikan secara umum, serta kesempatan kerja bagi pekerja baru dan pengangguran. Bonus demografi adalah peluang untuk memanfaatkan sumber daya manusia sebagai keuntungan yang ekonomis. UNFPA (2015) mendefinisikan bonus demografi sebagai kondisi demografi yang didukung oleh kondisi perekonomian dimana tingkat produktivitas lebih tinggi dari tingkat konsumsi. Bonus demografi ditandai dengan angka ketergantungan penduduk bukan usia kerja (usia 0-14 tahun dan 65 tahun ke atas) terhadap penduduk usia kerja (1564 tahun) semakin menurun. Hal ini menunjukkan bahwa proporsi usia produktif di Indonesia semakin meningkat. Berdasarkan proyeksi data Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015, Indonesia akan mengalami periode bonus demografi pada tahun 2015 sampai dengan tahun 2036 dimana rasio ketergantungan penduduk berada dibawah 50 persen. Indonesia bisa menikmati puncak demografi pada tahun 2021 dan 2022 dimana rasio ketergantungan penduduk Indonesia sebesar 45,4 persen. Setelah periode tersebut, rasio ketergantungan Indonesia cenderung kembali meningkat dan mencapai angka 50 persen di tahun 2037. Fenomena bonus demografi harus dimanfaatkan oleh pemerintah sehingga menjadi peluang bagi Indonesia dan bukan sebaliknya menjadi bumerang bagi Indonesia sendiri. Melimpahnya usia produktif menunjukkan bahwa pemerintah harus membuka kesempatan usaha dan peluang kerja yang semakin besar. Peluang ketenagakerjaan diharapkan mampu menggenjot sektor-sektor utama perekonomian terutama yang membutuhkan banyak tenaga kerja seperti industri manufaktur. Melimpahnya jumlah usia produktif secara kuantitas sangat menguntungkan akan tetapi peningkatan secara 292



kualitas juga sangat dibutuhkan sehingga usia produktif yang ada bisa menangkap peluang bonus demografi secara ekonomis. BPS (2010) menjelaskan bahwa paradigma penduduk telah bergeser kearah paradigma positif dan optimis. Jumlah penduduk yang besar bukan menjadi satu-satunya sumber permasalahan kependudukan. Struktur umur penduduk merupakan aspek penting dalam menganalisis keterkaitan antara penduduk dengan perekonomian. Penduduk usia produktif dalam jumlah yang besar merupakan suatu kekuatan ekonomi karena menunjukkan potensi ekonomi suatu negara. Pendududuk yang bekerja dan produktif berperan sebagai penggerak perekonomian yang mengacu kepada pertumbuhan ekonomi. Tingginya angka penggangguran mengindikasikan bahwa sektorsektor perekonomian Indonesia didominasi oleh sektor-sektor padat modal dan bukan sektor-sektor yang padat karya. Kesempatan bonus demografi tidak terjadi serentak di seluruh provinsi di Indonesia. Sampai dengan tahun 2016, sebanyak 76,47 persen atau 26 provinsi yang telah memasuki window of opportunity dan sisanya 23,53 persen atau sebanyak 8 provinsi belum mencapai periode tersebut. Terbukanya window of opportunity setiap Provinsi di Indonesia berbeda-beda tergantung dari dinamika kependudukan di wilayah tersebut. Salah satu dinamika kependudukan yang mempengaruhi komposisi penduduk suatu wilayah adalah mobilitas penduduk atau yang kita kenal dengan migrasi penduduk. Jika jumlah penduduk yang masuk (migrasi masuk) lebih besar daripada jumlah penduduk yang keluar (migrasi keluar) maka tingkat migrasi neto akan bertanda positif. Sebaliknya Jika jumlah penduduk yang keluar (migrasi keluar) lebih besar daripada jumlah penduduk yang masuk (migrasi masuk) maka tingkat migrasi neto akan bertanda negatif.



293



Menurut Xizhe Peng dan Yuan Cheng (2005) bonus demografi tidak terjadi serentak di setiap wilayah. Selain struktur umur, faktor lain seperti kondisi ketenagakerjaan dan strategi investasi juga sangat berpengaruh. Migrasi bisa menjadi win-win strategy untuk menjembatani antara wilayah perkotaan dan perdesaan supaya kedua tipe daerah tersebut bisa memperoleh peluang bonus demografi yang sama. Suatu wilayah yang banyak penduduk usia mudanya bisa menyumbangkan tenaga kerjanya ke wilayah lain. Meskipun kehilangan penduduk usia muda, tetapi wilayah tersebut bisa mengurangi tekanan pengangguran dan menerima transfer pendapatan. Selain itu, migrasi menjadi solusi bagi daerah yang kekurangan penduduk usia kerja dan memanfaatkan transfer tenaga kerja untuk memperkuat perekonomian wilayah. Secara umum, manfaat transfer tenaga kerja antarwilayah adalah pemerataan kesempatan bonus demografi dan memperpanjang window of opportunity bagi suatu wilayah. Pola mobilitas penduduk Indonesia terkini dapat dilihat dari tingkat migrasi risen. Menurut BPS (2017) migrasi risen adalah perpindahan penduduk dari suatu tempat dalam hal ini provinsi dimana tempat tinggalnya 5 tahun yang lalu berbeda dengan tempat tinggalnya yang sekarang. Indikator ini menggambarkan tingkat ketergantungan penduduk terhadap suatu wilayah. Tingkat migrasi akan mempengaruhi komposisi penduduk wilayah tujuan migrasi baik dari usia maupun jenis kelamin. Perubahan komposisi penduduk yang salah satunya dipengaruhi oleh karakteristik para pelaku migrasi (migran) juga akan mempengaruhi kesempatan suatu wilayah untuk menikmati peluang bonus demografi. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2016, jumlah migran risen di Indonesia tahun 2016 sebanyak 4.450.336 orang. Jika dilihat dari komposisi umur, sebagian besar migran risen adalah penduduk usia 294



produktif dimana persentase terbesar berada pada kelompok usia 20-29 tahun yaitu sebesar 38,25. Tren migrasi risen selama 2015 - 2016 cenderung meningkat, dimana pada tahun 2015 proporsi penduduk 5 tahun ke atas yang melakukan migrasi risen sebesar 1,82 persen dan pada tahun 2016 meningkat menjadi 1,89 persen. Hasil Survei Angkatan Kerja (Sakernas) 2016 juga menguraikan kondisi penduduk migran risen dari sisi ketenagakerjaan. Pada periode tersebut migran risen yang berstatus bekerja (pekerja risen) sebanyak 2.396.045 orang atau 53,84 persen dari seluruh penduduk migran risen dan 64,04 persennya berstatus kawin. Hal ini menunjukan bahwa sebagaian besar migran risen memiliki motif ekonomi terhadap daerah tujuan. Massey at all (2011) menjelaskan teori new economics of migration dimana keputusan untuk migrasi bukan hanya untuk memaksimalkan pendapatan seperti yang dianut oleh teori ekonomi neoklasik. Migrasi juga merupakan keputusan rumah tangga untuk mengurangi resiko mendapatkan pendapatan yang minimal dan mengatasi hambatan modal pada aktivitas produksi rumah tangga. Jadi, keputusan untuk melakukan migrasi bukan keputusan seorang individu saja tetapi lebih kepada unit institusi yang luas seperti rumah tangga dan keluarga. Besarnya jumlah pekerja risen menjadi modal besar bagi Indonesia untuk memperbaiki kondisi ketenagakerjaan dan perekonomian. Pemerintah harus memberikan perhatian khusus terhadap pekerja risen di Indonesia tidak saja secara kuantitas tetapi juga kualitas. Dengan demikian, migrasi penduduk bukan menambah beban ekonomi bagi daerah tujuan melainkan menjadi peluang bonus demografi sehingga mampu menjadi penopang perekonomian daerah tujuan migrasi dan juga sebagai penyumbang pendapatan bagi daerah asal para migran di Indonesia. Migran risen khususnya pekerja risen sebagai salah satu bentuk mobiltas penduduk diharapkan juga mampu memeratakan



295



kesempatan seluruh wilayah diIndonesia untuk menikmati peluang bonus demografi.



13.2 Rumusan Masalah Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki kesempatan untuk menikmati bonus demografi. Puncak bonus demografi di Indonesia diperkirakan terjadi pada tahun 2021-2022 dengan rasio ketergantungan sebesar 45,4 persen yang berarti sebanyak 100 orang penduduk usia kerja (usia produktif) harus menanggung sebanyak 45 orang penduduk bukan usia kerja (usia tidak produktif). Angka ini menunjukkan bahwa Indonesia harus mempersiapkan diri menghadapi kondisi dimana proporsi penduduk usia kerja meningkat signifikan. Pemerintah diharapkan mampu memanfaatkan potensi tenaga kerja yang ada sebagai peluang bonus demografi dengan mempersiapkan tenaga kerja yang berkualitas baik dari pendidikan maupun keterampilan. Selain itu, pemerintah diharapkan juga memperluas kesempatan kerja yang tersedia sehingga penduduk usia produktif ini memiliki peluang yang besar memasuki dunia kerja. Komposisi penduduk di seluruh provinsi di Indonesia berbeda-beda tergantung pada tiga komponen demografi yaitu tingkat pertumbuhan penduduk alami (tingkat kelahiran dan tingkat kematian) dan mobillitas penduduk (migrasi penduduk). Tingkat kelahiran merupakan komponen penambah jumlah penduduk, tingkat kematian merupakan komponen pengurang jumlah penduduk, dan migrasi penduduk merupakan komponen penambah dan pengurang jumlah penduduk. Tingkat migrasi setiap wilayah Indonesia juga berbeda-beda hal ini dikarenakan daya dorong dan daya tarik 296



setiap daerah juga berbeda. Penduduk cenderung melakukan migrasi ke daerah yang memiliki banyak daya tarik terutama daya tarik ekonomi. Migran risen di Indonesia cukup besar terutama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar telah terserap pada lapangan pekerjaan yang tersedia atau yang dikenal dengan pekerja risen. Salah satu komponen utama dalam pembangunan perekonomian adalah tenaga kerja, maka dalam hal ini pekerja risen tentu juga diharapkan mampu memberikan sumbangan terhadap perekonomian. Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah akan tercapai jika suatu wilayah memiliki tenaga kerja yang besar dan berkualitas. Penelitian ini menitikberatkan komponen pekerja risen, pekerja nonrisen dan rasio ketergantungan



sebagai indikator



yang



digunakan



untuk



mencapai



perkembangan ekonomi sebagai kesempatan menangkap peluang bonus demografi. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan diatas maka diperoleh rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana komposisi penduduk dan rasio ketergantungan di Indonesia? 2. Bagaimana karakteristik pekerja risen di Indonesia? 3. Apakah jumlah pekerja risen, pekerja nonrisen dan rasio ketergantungan mempengaruhi perekonomian Indonesia? 13.3 Metodologi Penelitian 13.3.1 Sumber Data Data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah data cross section tahun 2016 yang berasal dari publikasi yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statsitik. Data yang digunakan terdiri dari: Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan (PDRB ADHK) atas tahun dasar 2010 (2010=100), 297



Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku (PDRB ADB), jumlah pekerja risen, jumlah pekerja nonrisen, jumlah penduduk, dan rasio ketergantungan penduduk. 13.3.2 Metode analisis 13.3.2.1 Analisis Deskriptif Metode Analisis ini menggunakan tabel dan grafik untuk melihat gambaran umum PDRB ADHB dan PDRB ADHK (2010=100) seluruh provinsi di Indonesia, komposisi penduduk di Indonesia, rasio ketergantungan penduduk di Indonesia, serta pola/tren pekerja risen dan karakteristiknya di Indonesia. 13.3.2.2 Analisis Regresi Linier Berganda Analisis ini digunakan untuk melihat hubungan antara pekerja risen, pekerja nonrisen dan rasio ketergantungan terhadap perekonomian Indonesia. Program pengolahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah eviews 7.0. Pembentukan Regresi Linier Berganda Persamaan regresi linier berganda yang digunakan dalam penelitian ini adalah : ̀ 𝑘𝑎𝑝𝑖𝑡𝑎𝑖 LN 𝑃𝐷𝑅𝐵 𝑝𝑒𝑟 = 𝛽0 + 𝛽1 𝐿𝑁𝑃𝑅𝑖 + 𝛽2 𝐿𝑁𝑃𝑁𝑅𝑖 + 𝛽3 𝑅𝐾𝑖 + 𝜀𝑡 Keterangan: ̀ LN 𝑃𝐷𝑅𝐵 𝑖



:



logaritma natural dari PDRB ADHK perkapita



provinsi-i 𝐿𝑁𝑃𝑅𝑖



: logaritma natural dari pekerja risen provinsi-i



𝐿𝑁𝑃𝑁𝑅𝑖



: logaritma natural pekerja non risen provinsi-i



𝑅𝐾𝑖



: rasio ketergantungan provinsi-i



298



𝛽0 , 𝛽1 , … , 𝛽5



:



konstanta



dan



koefisien



regresi



: error term yang mengikuti asumsi klasik



𝜀𝑡



13.3.2.3 Pengujian Asumsi pada Persamaan Regresi Linier 



Pengujian asumsi normalitas Penelitian ini menggunakan uji Jarque-Bera untuk melihat terpenuhinya asumsi normalitas pada model. Hipotesis yang digunakan adalah 𝐻0 : asumsi normalitas terpenuhi 𝐻1 : asumsi normalitas tidak terpenuhi Jika nilai Probability lebih besar dari 0,05 maka tidak tolak 𝐻0 maka asumsi normalitas terpenuhi sebaliknya jika nilai probability lebih kecil dari 0,05 maka tolak 𝐻0 maka asumsi normalitas tidak terpenuhi.







Pengujian asumsi homoskedastisitas Pengujian asumsi homoskedastisitas dalam penelitian ini menggunakan uji white. Hipotesisnya adalah: 𝐻0 : Asumsi homoskedastisitas terpenuhi 𝐻1



:



Asumsi



homoskedastisitas



tidak



terpenuhi



(terjadi



Heteroskedastisitas) Jika nilai Obs*R-squared lebih kecil dari 0,05 maka tolak Ho dan disimpulkan terjadi heteroskedastisitas sebaliknya jika nilai Obs*Rsquared lebih besar dari 0,05 maka tidak tolak Ho dan disimpulkan asumsi homoskedastisitas terpenuhi. 



Pengujian asumsi nonmultikolinearitas Pengujian asumsi nonmultikolinearitas dalam penelitian ini menggunakan nilai VIF (Variance Inflation Factor). Jika nilai centered-VIF



299



lebih kecil dari 10 maka asumsi nonmultikoliniearitas terpenuhi sebaliknya jika nilai nilai centered-VIF lebih besar dari 10 maka asumsi nonmultikoliniearitas tidak terpenuhi. Selain ketiga uji asumsi regresi di atas dilakukan juga uji kelayakan model dan signifikansi parameter sehingga terbentuklah model yang dapat menjelaskan hubungan variabel pekerja risen, pekerja nonrisen dan rasio ketergantungan terhadap PDRB ADHK per kapita. 



Pengujian kelayakan model (Goodness of Fit Test) Pengujian kelayakan model yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan koefisien determinasi yang telah disesuaikan (R2adjusted).







Pengujian Parameter Model Regresi Uji signifikansi parameter model regresi secara keseluruhan menggunakan uji F-statistik dan secara parsial menggunakan uji t-statistik.



13.4 Migrasi dan Peluang Mencapai Bonus Demografi di Indonesia 13.4.1 Kontribusi Produk Domestik Regional Bruto Seluruh Provinsi terhadap Perekonomian Indonesia Tahun 2016 Perekonomian Indonesia jika dilihat dari PDRB ADHB dan PDRB ADHK menunjukkan variasi yang cukup besar antarprovinsi. Berdasarkan Gambar 13.1 perekenomian Indonesia memusat ke daerah Indonesia bagian barat terutama di Pulau Jawa. PDRB ADHB tahun 2016 tertinggi dicapai oleh Provinsi DKI Jakarta sebesar 2.176.633 miliar rupiah atau 17,19 persen terhadap PDB ADHB dan berikutnya adalah provinsi Jawa Timur sebesar 1.857.598 miliar rupiah atau sebesar 14,67 persen terhadap PDB ADHB.



300



Persebaran perekonomian di Sumatera juga bervariasi jika dilihat dari PDRB ADHB 2016. Provinsi yang memiliki PDRB ADHB terbesar adalah Provinsi Riau sebesar 682.291 miliar rupiah dan provinsi ini berkontribusi sebesar 5,39 persen terhadap PDB Indonesia. Jika dilihat dari kontribusinya terhadap PDRB di pulau Sumatera, Provinsi Riau mendominasi dengan share sebesar 24,47 persen. Provinsi berikutnya yang berkontribusi terbesar adalah Provinsi Sumatera Utara sebesar 22,54 persen. Kontribusi kedua provinsi tersebut terhadap perekonomian di Pulau Sumatera sangat besar mencapai lebih dari 45 persen. Gambar 13.1 Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku dan Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan (2010=100) Menurut Provinsi di Indonesia (Miliar Rupiah), 2016 2,500,000



2,000,000 1,500,000 1,000,000 500,000



Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur kalimantan utara Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua



0



PDRB_ADHB



PDRB_ADHK



Sumber : Badan Pusat Statistik



Pergerakan PDRB ADHK seluruh provinsi di Indonesia berbanding lurus dengan PDRB ADHB. PDRB ADHK adalah PDRB ADHB yang telah telah 301



dihilangkan pengaruh inflasinya pada tingkat harga produsen. Sejalan dengan PDRB ADHB, DKI Jakarta juga memiliki PDRB ADHK



tertinggi sebesar



1.540.078 miliar rupiah dan kemudian diikuti oleh Provinsi Jawa Timur sebesar 1.405.561 miliar rupiah. Berbeda halnya dengan PDRB ADHB, PDRB ADHK di Pulau Sumatera didominasi oleh Provinsi Sumatera Utara sebesar 463.775 miliar rupiah dan diikuti oleh Provinsi Riau sebesar 458.997 miliar rupiah. 13.4.2 Komposisi Penduduk Indonesia Tahun 2016 Gambar 13.2 menunjukkan bahwa piramida penduduk Indonesia pada tahun 2016 berbentuk piramida penduduk muda (expansive). Hal ini berarti bahwa komposisi penduduk Indonesia didominasi oleh penduduk usia muda. Dari grafik ini juga terlihat bahwa tingkat kelahiran penduduk Indonesia sudah mengalami penurunan tetapi masih relatif tinggi dilihat dari dasar piramida yang masih relatif luas. Piramida penduduk ini biasanya dimiliki oleh negara berkembang seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Gambar 13.2 Piramida Penduduk Indonesia, 2016



70-74



Umur (Tahun)



60-64 50-54



40-44 30-34 20-24 10-14 0-4 10



5



0 Persen Laki-laki



Sumber: Badan Pusat Statistik



302



5 Perempuan



10



Berdasarkan proyeksi SUPAS, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2016 sebanyak 258.496,5 ribu jiwa yang terdiri dari 129.910,2 laki-laki dan 128.586,3 perempuan. Berdasarkan strukturnya, penduduk Indonesia yang berumur 0-14 tahun sebanyak 66.383 ribu jiwa atau 25,68 persen, penduduk usia prodduktif 15-64 tahun sebanyak 176.941,3 ribu jiwa atau 68,45 persen dan penduduk usia 64 tahun ke atas sebanyak 5,87 persen. Usia produktif mendominasi komposisi penduduk dengan rasio ketergantungan sebesar 46,09 persen. Angka ini menunjukkan bahwa tahun 2016, Indonesia telah memasuki jendela peluang bonus demografi. 13.4.3 Rasio Ketergantungan Penduduk di Indonesia Gambar 13.3 menunjukkan bahwa window of opportunity Indonesia cukup panjang dari 2015-2036. Indonesa tidak lama lagi diproyeksi akan mencapai puncak bonus demografi pada tahun 2021-2022. Momentum ini harus dimanfaatkan secara optimal dengan memperluas kesempatan kerja terutama sektor yang kontribusinya besar terhadap perekonomian. Pemerintah juga harus meningkatkan skill dari usaha produktif sehingga siap untuk terjun ke dunia kerja. Peningkatan skill dan penempatan tenaga kerja sesuai dengan skill yang telah diberikan tentu saja diharapkan akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Gambar 13.3 Rasio ketergantungan penduduk Indonesia, 2015-2045 52.0 50.0 48.0 46.0



2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041



44.0



Rasio ketergantungan Sumber: Badan Pusat Statistik



303



Gambar 13.3 menunjukkan bahwa pada tahun 2016 tidak semua wilayah di Indonesia telah memasuki window of opportunity. Beberapa provinsi masih memiliki rasio ketergantungan yang berada di atas 50 persen yaitu Provinsi Sulawesi Barat, Riau, Sumatera Utara, Aceh, Maluku, Sumatera Barat, Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara Barat. Provinsi dengan rasio ketergantungan terkecil adalah DKI Jakarta yaitu sebesar 38,19 persen. DKI Jakarta adalah satu-satunya provinsi yang rasio ketergantungannya di bawah 50 persen. Rasio ketergantungan tertinggi berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat yaitu sebesar 54,99 persen kemudian Provinsi Sulawesi Tenggara sebesar 52,78 persen. Gambar 13.4 Rasio ketergantungan penduduk Menurut Provinsi di Indonesia, 2016 DKI Jakarta Jawa Timur Kalimantan Timur Kalimantan Tengah Bali DI Yogyakarta Kep. Riau Banten Gorontalo Papua Kep. Bangka Belitung Bengkulu Sulawesi Utara Jambi Sulawesi Selatan Jawa Barat Lampung Kalimantan Barat Jawa Tengah Kalimantan Selatan Sulawesi Tengah Sumatera Selatan Papua Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Utara Sulawesi Barat Riau Sumatera Utara Aceh Maluku Sumatera Barat Sulawesi Tenggara Nusa Tenggara Barat



0.00 Sumber: Badan Pusat Statistik



304



10.00



20.00



30.00 Rasio…



40.00



50.00



60.00



13.4.4 Karakteristik Pekerja Risen di Indonesia Tahun 2016 Pekerja risen terbanyak pada tahun 2016 berada di Provinsi Jawa Barat sebanyak 354.699 jiwa atau 14,80 persen dari seluruh pekerja risen di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa posisi Provinsi DKI Jakarta sebagai tujuan utama para migran karena memiliki daya tarik ekonomi paling tinggi mulai tergantikan. Para migran mulai melirik kota besar yang berada di sekitarnya seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kedua provinsi tersebut terutama Provinsi Jawa Barat telah menjadi provinsi penyangga bagi DKI Jakarta. Pusat-pusat perekonomian mulai dikembangkan di wilayah tersebut seperti industri pengolahan dan industri jasa. Gambar 13.5 Jumlah Pekerja Risen Menurut Provinsi di Indonesia, 2016



3.59%



8.89%



Riau 14.80%



40.85%



DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur



14.67% Banten Bali 4.16%



4.62%



8.40%



lainnya



Sumber: Badan Pusat Statistik



305



Tabel 13.1 menggambarkan karakteristik tenaga kerja risen di Indonesia tahun 2016 berdasarkan jenis kelamin, umur, status perkawinan, dan pendidikan. Pada periode tersebut, tenaga kerja risen didominasi oleh penduduk laki-laki yang mencapai 65,42 persen dan sisanya 34,58 persen adalah penduduk perempuan. Bila dilihat dari status perkawinan, maka pekerja risen sebagian besarnya berstatus kawin. Pekerja risen pada kategori ini menacapai 1.534.341 jiwa atau 64,04 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada umumnya migran risen yang bekerja bertujuan mendapatkan peluang memiliki penghasilan yang lebih tinggi dan untuk menopang perekonomian keluarga. Berdasarkan umur, pekerja risen tertinggi berada pada kelompok usia 25-34 tahun. Tingginya angka tersebut tentu saja memiliki keterkaitan dengan jumlah pekerja risen yang sangat tinggi pada kategori pendidikan SMA ke atas. Kategori umur 25-34 adalah penduduk usia sangat produktif dimana pekerja merupakan fresh graduated dari perguruan tinggi atau yang belum lama menamatkan pendidikan SMA. Pekerja risen juga cukup tinggi pada kategori umur 15-24 tahun sebanyak 581.041 jiwa atau 24,25 persen. Kategori ini adalah kategori penduduk usia pemula yang baru terjun ke dunia kerja. Tabel 13.1 Karakteristik Pekerja Risen di Indonesia, 2016 Rincian



Jumlah



Persentase



(1)



(2)



(3)



Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Umur



306



1 567 457



65.42



828 588



34.58



Lanjuta tabel 13.1 15-24



581 041



24.25



25-34



963 210



40.20



35-44



514 910



21.49



45-54



246 074



10.27



90 810



3.79



757 466



31.61



1 534 341



64.04



55+ Status Perkawinan Belum Kawin Kawin Cerai Hidup



61 345



2.56



Cerai Mati



42 893



1.79



Tidak Punya Ijazah



155 488



6.49



SD



422 620



17.64



SMP



461 432



19.26



1 356 505



56.61



Pendidikan



SMA ke atas Sumber: Badan Pusat Statistik



Tabel 13.2 menunjukkan sebagian besar pekerja risen bekerja pada lapangan usaha perdagangan, rumah makan, dan jasa kontruksi. Penyerapan pekeja risen pada kategori ini mencapai 29,08 persen. Kondisi ini sejalan dengan hasil Sensus Ekonomi (SE) 2016, dimana sektor perdagangan pada skala Usaha Mikro Kecil (UMK) adalah sektor yang paling dominan dan banyak menyerap tenaga kerja di Indonesia. Berdasarkan hasil SE 2016, 46,27 persen UMK di Indonesia adalah Kategori Perdagangan besar dan eceran; reparasi mobil dan sepeda motor. Kategori ini juga mampu menyerap tenaga kerja yang



307



sangat besar mencapai 37,31 persen terhadap tenaga kerja UMK yang ada di Indonesia. Tabel 13.2. Jumlah Tenaga Kerja Risen Berdasarkan Lapangan Usaha dan Status dalam Pekerjaan Utama, 2016



Rincian (1)



Jumlah



Persentase



(2)



(3)



Lapangan Usaha Pertanian, Perekebunan, Perburuan, dan Perikanan



423 142



17.66



Pertambangan dan Penggalian



36 659



1.53



Industri



310 288



12.95



Listrik, Gas dan Air Minum



8 626



0.36



Konstruksi



185 454



7.74



Perdagangan, Rumah Makan dan Jasa Konstruksi



696 770



29.08



Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi



84 820



3.54



Lembaga Keuangan, Real Esate, Usaha Persewaan dan Jasa Perusahaan



144 961



6.05



Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan perorangan



505 565



21.10



Berusaha sendiri



298 547



12.46



berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar



255 898



10.68



berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar



81 705



3.41



buruh/karyawan/pegawai



1291947



53.92



pekerja bebas di pertanian



63 256



2.64



pekerja bebas di non pertanian



120 281



5.02



pekerja keluarga/tak dibayar



284 411



11.87



Status Pekerjaan Utama



Sumber: Badan Pusat Statistik



308



Menurut BPS (2012), sebelum tahun 2007 perekonomian di Indonesia sangat didominasi oleh sektor primer (pertanian, perekebunan, perburuan, dan perikanan serta sektor pertambagan dan penggalian). Setelah periode tersebut, peran sektor primer telah tergeser oleh sektor sekunder (industri, listrik, gas, dan air minum serta konstruksi) dan sektor tersier (perdagangan, rumah makan, transportasi dan komunikasi, lembaga keuangan, serta jasajasa). Hal ini juga tergambarkan dari pola pekerja risen di Indonesia. Pada tahun 2016, pekerja risen tidak mendominasi di sektor primer yang cenderung tidak memiliki kualifikasi khusus dalam menerima tenaga kerja. Sedangkan pada sektor tersier dan sektor primer, pekerja risen sangat mendominasi padahal di kedua sektor tersebut cenderung memiliki kualifikasi khusus atau skill tertentu sehingga persaingan di kedua sektor tersebut cukup tinggi. Proporsi



pekerja



migran



yang



berstatus



sebagai



buruh/karyawan/pegawai mendominasi hingga 53,92 persen. Kemudian diikuti oleh status pekerjaan berusaha sendiri sebesar 12,46 persen dan berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar sebesar 10,68 persen. Jika dikaitkan dengan umur dan pendidikan, maka karakteristik pekerja risen pada umumnya adalah penduduk usia muda yang baru lulus dari pendidikan SMA ke atas. Mereka cenderung telah mengantongi ijazah dan skill yang cukup baik akan tetapi belum memiliki modal yang cukup baik modal financial maupun entrepreneurship untuk membuka usaha sendiri sehingga lebih memilih untuk menjadi buruh/karyawan/pegawai.



309



13.4.5 Analisis pencapaian bonus demografi melalui persamaan regresi Persamaan regresi yang tebentuk adalah : ̀ 𝑘𝑎𝑝𝑖𝑡𝑎𝑖 LN 𝑃𝐷𝑅𝐵 𝑝𝑒𝑟 = −8,0672 + 0,4307𝐿𝑁𝑃𝑅𝑖 + 0,6265𝐿𝑁𝑃𝑁𝑅𝑖 − 0,0486𝑅𝐾𝑖 + 𝜀𝑡 (0,1445)



Standar eror (0,0244) 2 𝑅𝑎𝑑𝑗𝑢𝑠𝑡𝑒𝑑



=



(1,7208)



(0,1550)



= 0, 8226



Pekerja risen, pekerja nonrisen dan rasio ketergantungan digunakan sebagai variabel ketenagakerjaan yang mempengaruhi PDRB ADHK per kapita. PDRB ADHK perkapita digunakan sebagai indikator keberhasilan pemerintah dalam mencapai bonus demografi. Berdasarkan hasil regresi diperoleh bahwa semua variabel signifikan mempengaruhi PDRB ADHK per kapita, dimana pekerja risen dan pekerja nonrisen bertanda positif pada signifikansi 5 persen dan rasio ketergantungan bertanda negatif pada signifikansi 10 persen. Jika dilihat dari estimator yang dihasilkan dari pengukuran output (PDRB ADHK per kapita) maka nilai 0,4307 berarti setiap peningkatan 1 persen jumlah pekerja risen maka PDRB ADHK per kapita



meningkat 0,4307 persen.



Koefisien 0,6265 berarti setiap peningkatan 1 persen jumlah pekerja risen maka PDRB ADHK per kapita meningkat 0,6265 persen. Sedangkan nilai koefisien dari rasio ketergantungan bertanda negatif sebesar 0,0486 berarti setiap penurunan 1 persen angka ketergantungan maka PDRB ADHK per



310



kapita akan mengalami penurunan 0,0486 persen. Semua menggunakan asumsi cateris paribus. Selain nilai koefisien regresi, persamaan regresi juga menghasilkan nilai 2 konstanta dan 𝑅𝑎𝑑𝑗𝑢𝑠𝑡𝑒𝑑 . Nilai kosntanta -8,0672 berati bahwa jika jumlah



pekerja risen, pekerja nonrisen, dan rasio ketergantungan tidak berubah (konstan) maka PDRB ADHK per kapita akan mengalami penurunan sebesar 2 8,0672 persen. Kemudian nilai 𝑅𝑎𝑑𝑗𝑢𝑠𝑡𝑒𝑑 sebesar 0,8226 berarti pekerja risen



non risen, dan rasio ketergantungan mampu menjelaskan variasi dari PDRB ADHK per kapita sebesar 82,26 persen dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Hal ini menunjukkan hubungan yang cukup kuat antara variabel pekerja risen, pekerja non risen, rasio ketergantugan dan PDRB ADHK per kapita. Hasil regresi diatas mendukung fenomena kependudukan di Indonesia yang dikaitkan dengan keberhasilan dalam perekonomian sebagai pencapaian bonus demografi. Migran risen memberikan sumbangan dalam penurunan rasio ketergantungan penduduk karena kontribusinya yang besar terhadap komposisi penduduk daerah tujuan migrasi yang tergambar dari jumlah pekerja risen yang ada (53,84 persen terhadap jumlah migran risen). Jumlah pekerja risen yang besar serta berpengaruh positif dan signifikan berarti bahwa variabel ini dapat dijadikan alat persebaran penduduk usia kerja dan pemerataan peluang bonus demografi di seluruh provinsi di Indonesia. Dengan demikian Indonesia harus optimis peluang bonus demografi dapat diperoleh dengan memanfaatkan komponen yang bisa menggenjot perekonomian dan salah satunya adalah komponen migrasi.



311



13.5. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan 13.5.1 Kesimpulan 1.



Window of opportunity telah terbuka bagi Indonesia sejak tahun 2015. Indonesia memiliki peluang untuk menikmati bonus demografi dimana angka ketergantungannya semakin menurun dan mencapai puncaknya pada tahun 2021-2022.



2.



Bonus demografi akan dicapai jika Indonesia mampu memanfaatkan jumlah usia produktif yang besar sebagai keuntungan ekonomi untuk menggenjot perekonomian.



3.



Salah satu komponen yang mempengaruhi komposisi penduduk adalah migrasi. Penelitian ini, menggunakan komponen migrasi risen yang menggambarkan pola/tren migrasi terkini di Indonesia dan menitikberatkan pada pekerja risen sebagai modal tenaga kerja dalam menggenjot perekonomian Indonesia.



4.



Berdasarkan data BPS, jumlah pekerja risen di Indonesia tahun 2016 cukup tinggi mencapai 2.396.045 jiwa dimana 1.567.457 laki-laki dan 828.588 perempuan. Berdasarkan karakteristiknya, pekerja risen didominasi oleh penduduk usia 25-34 tahun sebesar 40,20 persen dan berdasarkan pendidikan pekerja risen didominasi oleh pekerja berpendidikan SMA ke atas sebesar 64,04 persen. Jika dilihat kontribusinya terhadap lapangan pekerjaan, 29,08 pekerja risen bekerja pada sektor perdagangan, rumah makan dan jasa konstruksi dan 53,92 persen pekerja risen bekerja dengan status sebagai buruh/karyawan/pegawai.



5.



Hasil regresi menunjukkan bahwa pekerja risen, pekerja nonrisen berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB ADHK per kapita dan rasio ketergantungan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap PDRB ADHK per kapita di Indonesia. Dilihat dari estimator yang dihasilkan maka nilai 0,4307 berarti setiap peningkatan 1



312



persen jumlah pekerja risen maka PDRB ADHK per kapita meningkat 0,4307 persen. Koefisien 0,6265 berarti setiap peningkatan 1 persen jumlah pekerja risen maka PDRB ADHK per kapita meningkat 0,6265 persen. Sedangkan nilai koefisien dari rasio ketergantungan bertanda negatif sebesar 0,0486 berarti setiap penurunan 1 persen angka ketergantungan maka PDRB ADHK per kapita akan mengalami penurunan 0,0486 persen. Semua menggunakan asumsi cateris paribus. 6.



Penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan dan keterbatasan terutama keterbatasan series data migran risen dan pekerja risen. Untuk mendapatkan hasil estimasi yang lebih tepat, sebaiknya data yang digunakan adalah data time series per provinsi dan menggunakan data migran risen yang berada pada usia kerja (angkatan kerja migran risen).



13.5.2 Implikasi Kebijakan 1.



Melihat besarnya pengaruh pekerja risen terhadap PDRB ADHK per kapita di Indonesia, pemerintah harus mengontrol dan memberikan perhatian khusus terhadap migrasi risen di Indonesia baik secara kuantitas maupun kualitas..



2.



Pekerja risen dapat dijadikan salah satu alternatif pemerataan penduduk usia kerja yang pada akhirnya diharapkan semua wilayah di Indonesia dapat menikmati peluang bonus demografi. Hal ini berdasarkan kontribusi pekerja risen dalam persebaran penduduk usia kerja serta pengaruh positifnya terhadap perekonomian Indonesia.



3.



Besarnya jumlah migran risen terutama pekerja risen menunjukkan bahwa motif ekonomi menjadi pendorong utama perpindahan



313



penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa



pemerintah harus



memperluas kesempatan kerja di seluruh Indonesia. Jika pekerja risen cenderung hanya bergerak ke beberapa kota tertentu yang kesempatan kerjanya tinggi maka kota yang menjadi konsentrasi pekerja risen akan mengalami overload atau melimpahnya penduduk usia kerja. Antisipasi awal perlu agar angka pengangguran tidak meningkat dan jangka panjangnya berdampak negatif kepada tingkat kemiskinan dan kriminalitas di Indonesia.



314



Daftar Pustaka Badan Pusat Statistik. 2010. Tren/Pola Migrasi dari Berbagai Sensus dan Survei. Jakarta : BPS. Badan Pusat Statistik. 2012. Analisis Statistik Sosial Bonus Demografi dan Pertumbuhan Ekonomi. Jakarta : BPS. Badan Pusat Statistik. 2017. Analisis Hasil Sensus Ekonomi 2016; Analisis Ketenagakerjaan Usaha Mikro Kecil. Jakarta : BPS. Badan Pusat Statistik. 2017. Statistik Mobilitas penduduk dan tenaga kerja. Jakarta : BPS Badan Pusat Statsitik. 2018. Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045 Hasil SUPAS 2015. Jakarta : BPS. Badan Pusat Statsitik. 2018. Statistik Indonesia 2018. Jakarta : BPS. Diep, Votan Thanh dan Nguyen Trong Hoai. 2015. Demographic Factors and Economic Growth : The Bidirectional Causality in South East Asia. Paper The Ninth Vietnam Economist Annual Meeting. Danang City. 12 August 2015. Douglas, S.Massey et all Theories of International Migration: A review and Appraisal. Population and development review, vo.19, no.3 (Sep, 1993), pp.431-466. Gujarati, Damodar. 2003. Basic Econometrics. New York: McGraw-Hill, Inc. Hawkins, Oliver. Impacts of Immigration on Population and The Economy. House of Common Library: Briefing Paper, Number 7659, 25 July 2016. Kuznets, Simon. 1967. Population and Economic Growth. Proceedings of The American Philosophical Society, Vol.111, No.3, Population Problem (Jun.22.1967), pp.170-193. Peng, Xizhe dan Yuan Cheng. Demographic bonus and The Impact of Migration: The Case of Shanghai. Working Paper Series, Vol.2005, 12 September 2005. Popa, Ana Maria. 2012. The Impact of Social Factors on Economic Growth : Empirical Evidence for Rumania and European Union countries. Romanian Journal of Fiscal Policy : Volume 3, Issue 2, July-Desember 2012, pages 1-16. UNFPA. 2015, Taking Advantage of The Demographic Dividend in Indonesia : A Brief Introduction to Theory and Practice. Policy Memo, April 2015. Winarmo, Wing Wahyu. 2015. Analisis Ekonometrika dan Statistik dengan Eviews. Yogyakarta : UPP STIM YKPN.



315



BAB 14 TANTANGAN PERKAWINAN USIA ANAK BAGI BONUS DEMOGRAFI DI INDONESIA Oleh : Rahmawatin Abstrak Agar manfaat bonus demografi dapat diperoleh secara maksimal, maka investasi pada sumber daya manusia sangat penting untuk dilakukan. Khususnya memberikan perhatian lebih pada perempuan, karena peranan perempuan dalam perekonomian tidak dapat dikesampingkan. Peran perempuan tidak hanya penting untuk pembangunan saat ini, tapi juga untuk mempersiapkan generasi yang akan datang. Sayangnya banyak tantangan untuk mewujudkan hal tersebut, salah satunya adalah perkawinan usia anak. Efek dari perkawinan usia anak dalam jangka panjang, dapat menyebabkan hilangnya kesempatan untuk memanfaatkan bonus demografi. Perkawinan usia anak berpotensi menghilangkan hak, khususnya anak perempuan, untuk memperoleh pendidikan tinggi. Akibatnya dapat menurunkan partisipasi kerja, karena kualifikasi pendidikan mereka tidak memadai. Sedangkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Angka Partisipasi Sekolah (APS) perempuan berpengaruh positif pada Produk Domestik Bruto (PDB). Selain itu potensi kehamilan berulang lebih tinggi pada perempuan yang melakukan perkawinan dibawah 18 tahun, selanjutnya akan berpengaruh juga pada peningkatan laju pertumbuhan penduduk. Sejalan dengan itu, Produk Domestik Bruto (PDB) berpengaruh negatif pada Total Fertility Rate (TFR).



Kata kunci: Bonus Demografi, Perkawinan usia anak, Fertilitas, Tingkat partisipasi kerja perempuan, pertumbuhan ekonomi, angka partisipasi sekolah perempuan



316



14.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar di ASEAN (Association of South East Asia Nations), menurut hasil SUPAS 2015 jumlah penduduk Indonesia sebesar 255,6 juta jiwa. Rata – rata pertumbuhan penduduk Indonesia selama 20 tahun terakhir sekitar 1,45 persen, dimana trennya semakin menurun. Pertumbuhan penduduk yang rendah juga sejalan dengan menurunnya fertility rate, sebagai salah satu efek dari keberhasilan program KB (Kohler & Behrman, 2015). Dengan asumsi pertumbuhan penduduk sebesar 0,94 persen, penduduk Indonesia diproyeksikan sebesar 294,1 juta jiwa pada 2030. Dampak dari penurunan pertumbuhan penduduk ini akan membuat perubahan struktur demografi Indonesia di masa depan, yaitu cepatnya pertumbuhan penduduk usia produktif. Momen ini dikenal sebagai bonus demografi, yaitu menurunnya rasio ketergantungan secara berkelanjutan (Bloom, Canning, Fink & Finlay. 2009). Rasio ketergantungan menunjukkan besarnya tanggungan penduduk usia kerja terhadap penduduk bukan usia kerja, sehingga puncak bonus demografi terjadi saat dependency ratio mencapai titik terendah. Hasil dari proyeksi penduduk 2015 – 2045 menunjukkan bahwa Indonesia sudah memasuki momen bonus demografi, dimana puncaknya terjadi pada tahun 2022. Momen bonus demografi menjadi topik hangat di negara – negara berkembang, karena momen ini diharapkan dapat menciptakan akselerasi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Namun untuk bisa memanfaatkan bonus demografi secara maksimal, perlu didukung berbagai faktor agar momen spesial tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik. Khususnya menyusun



317



kebijakan publik untuk mengantisipasi perubahan struktur umur tersebut (Feng & Mason, 2005). Salah satu negara yang berhasil memanfaatkan bonus demografinya adalah Korea Selatan. PDB perkapita Korea Selatan meningkat drastis selama satu dekade terakhir, hingga mencapai 29 ribu dollar. Ketika rasio ketergantungan di Korea Selatan terus menunjukkan tren menurun selama lebih dari 20 tahun, pada periode tersebut pertumbuhan ekonominya ikut melesat hingga mencapai dua digit. Keberhasilan dalam memanfaatkan bonus demografi tersebut antara lain akibat meningkatnya usia perkawinan pertama, sebagai faktor utama dalam menurunkan tingkat kelahiran (David & Paz, 2001). Terdapat empat hal penting yang berperan dalam menjelaskan hubungan bonus demografi terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu sumber daya manusia (human capital), penawaran tenaga kerja (labor supply), peranan perempuan, dan tabungan (saving) (Anderson & Kohler, 2015). Tidak dapat dipungkiri investasi terhadap sumber daya manusia sangat penting untuk meraih bonus demografi, antara lain agar bisa menyediakan tenaga kerja yang dapat bersaing di lapangan pekerjaan. Banyaknya tenaga kerja tidak akan bermanfaat jika tidak diserap oleh lapangan kerja, justru akan menimbulkan masalah sosial (Alam, Talib, & Bhatti, 2018). Tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan 2017 mencapai 50 persen, hal ini menunjukkan bahwa peranan perempuan dalam meraih bonus demografi menjadi sangat penting. Windows of oppurtinity yang sedang terjadi di Indonesia saat ini perlu dimanfaatkan sebaik- baiknya, karena tidak akan berlangsung lama. Sedangkan hasil dari investasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baru terlihat dalam jangka panjang. Lebih lanjut hasil proyeksi 318



penduduk menunjukkan rasio ketergantungan di Indonesia akan kembali meningkat diatas 50 pada tahun 2038, yang berarti beban yang harus ditanggung usia produktif akan kembali semakin banyak (BPS, 2018). Sedangkan pada periode sekarang belum juga terlihat peningkatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di kisaran lima persen. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi agar Indonesia dapat menghindari permasalahan akibat tidak tercapainya bonus demografi. Salah satu ancaman dalam meraih bonus demografi adalah perkawinan usia anak, karena dapat memunculkan efek domino yang berkaitan dengan peranan perempuan. Data menunjukkan proporsi perkawinan usia anak di Indonesia tidak menunjukkan penurunan yang signifikan selama sepuluh tahun terakhir, nilainya masih lebih dari 20 persen. Kasus perkawinan usia anak di Indonesia menempati urutan ke dua di ASEAN, hanya satu tingkat di bawah kamboja. Kondisi tersebut merupakan fakta bahwa kondisi perkawinan usia anak di Indonesia perlu segera ditangani. Perkawinan merupakan langkah besar yang diambil dalam siklus kehidupan seseorang, sehingga kesiapan secara psikologis dan materi sangat penting. Oleh karena itu, usia minimal untuk perkawinan menurut UU No.1 tahun 1974 adalah 21 tahun, apabila dilakukan sebelum itu maka wajib mendapat ijin dari orang tua. Lebih lanjut, menurut UU No. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Sehingga perkawinan yang dilaksanakan sebelum usia 18 tahun disebut sebagai perkawinan usia anak. Kondisi psikologis dan emosional anak yang belum siap menanggung beban orang dewasa, mengakibatkan perkawinan usia anak beresiko tinggi (Ea et al., 2016).



319



Resiko utama perkawinan usia anak bagi perempuan adalah dapat menghambat hak perempuan untuk mendapat pendidikan (Fadlyana & Larasaty, 2009). Dengan kata lain, perkawinan usia anak berarti mengingkari hak anak perempuan untuk meningkatkan kualitas hidupnya melalui pendidikan yang lebih tinggi. Terbatasnya mobilitas akibat kehamilan dan tanggung jawab merawat anak, membuat mereka rentan mengalami putus sekolah. Memberikan kesempatan kepada perempuan untuk mendapatkan pendidikan, dipercaya sebagai salah satu cara untuk mengurangi perkawinan usia anak (Raj, Mcdougal, Silverman, & Rusch, 2014). Selain itu pendidikan bagaimanapun merupakan pintu utama untuk memperoleh kesempatan kerja yang lebih baik. Oleh karena itu, terhambatnya akses pendidikan maka akan berdampak kecilnya peluang perempuan untuk memperoleh kesempatan kerja. Sehingga perkawinan perempuan usia anak dapat menghambat perempuan untuk berpartisipasi dalam dunia kerja. Akibat dari rendahnya partisipasi perempuan dalam dunia kerja, akan membuat rata-rata pendapatan perempuan menjadi lebih rendah dibandingkan laki-laki. Hal ini tercermin dari rata-rata upah pekerja perempuan yang lebih rendah (Rp 13,46 ribu per jam) dari rata-rata upah pekerja laki-laki (Rp.14,1 ribu per jam). Selain itu, perkawinan anak meningkatkan potensi kehamilan berulang dan menyebabkan naiknya angka fertilitas. Sedangkan rendahnya angka fertilitas merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan bonus demografi. Resiko buruknya kesehatan ibu dan anak akibat kehamilan di usia dini, juga dapat mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya manusia di masa depan (Raj, Saggurti, Balaiah, & Silverman, 1998). Oleh karena itu fenomena perkawinan usia anak ini perlu ditangani, karena dapat berdampak buruk pada produktivitas masyarakat dalam jangka panjang. Sehingga perkawinan usia anak menjadi tantangan untuk mendapatkan bonus demografi bagi Indonesia. 320



14.2. Rumusan Masalah Tidak dapat dipungkiri investasi pada sumber daya manusia sangat penting bagi negara, karena jumlah penduduk yang besar berpotensi menjadi sumber permasalahan bila tidak diperhatikan dengan baik. Dengan memberikan dukungan kepada pendidikan, kesehatan dan partisipasi sosial dan ekonomi bagi remaja, akan memberikan dampak yang besar bagi negara (UNFPA, 2016). Investasi pada sumber daya manusia khususnya remaja akan mendapatkan tiga keuntungan bagi negara yaitu, meningkatnya kualitas sumber daya manusia usia produktif saat ini, meningkatnya kualitas kesehatan di masa depan, dan meningkatnya kesejahteraan generasi anak-anak berikutnya (Sheehan et al., 2017). Indonesia mengalami perubahan struktur demografi selama beberapa dekade kebelakang, ditandai dengan menurunnya tingkat fertilitas, angka kematian bayi dan meningkatnya angka harapan hidup. Menurunnya tingkat fertilitas antara lain disebabkan peningkatan tingkat partisipasi sekolah, tingkat partisipasi pekerja perempuan yang lebih tinggi ditambah dengan penundaan dalam perkawinan dan kelahiran, dan meningkatnya penggunaan kontrasepsi (Muhidin, 2012). Sayangnya keberhasilan penurunan tingkat fertiltas terancam, karena tingginya angka perkawinan usia anak di Indonesia. Target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s) menetapkan tujuan untuk mengakhiri pernikahan anak pada tahun 2030. Komitmen ini penting untuk melindungi anak – anak khususnya perempuan, agar peranan perempuan dalam perekonomian tidak terhalang. Perkawinan usia anak terjadi di antara anak laki-laki dan perempuan, namun prevalensinya di seluruh dunia adalah sekitar lima kali lebih tinggi di antara anak perempuan (Kamal, Hassan,



321



Alam, & Ying, 2015). Sedangkan telah dibahas sebelumnya, peranan perempuan dalam perekonomian sangat krusial dan tidak bisa diabaikan. Program keluarga berencana dapat mempengaruhi pendapatan nasional secara langsung melalui efek jangka panjang pada keuangan rumah tangga dan peningkatan akses ke pendidikan (Hus, Iversen, & Bloom, 2016). Disini peran perempuan sangat penting, karena mayoritas akses terhadap kontrasepsi dikendalikan perempuan. Selain itu dengan meningkatkan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan perempuan maka anak berkontribusi pada tercapainya manfaat dari bonus demografi (Das Gupta et al., 2014). Berdasarkan uraian-uraian di atas, pertanyaan penelitian yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana gambaran prevelensi perkawinan usia anak di masing – masing provinsi tahun 2016? 2. Bagaimana perkawinan usia anak bisa mengurangi manfaat bonus demografi? 3. Apakah tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia? 4. Apakah pendapatan perkapita mempengaruhi tingkat kelahiran di Indonesia? 5. Apakah tingkat pendidikan perempuan mempengaruhi pendapatan perkapita? 14.3. Metodologi Penelitian ini berfokus efek dari perkawinan usia dini pada pertumbuhan ekonomi yang dapat menyebabkan bonus demografi tidak tercapai. Cakupan penelitian adalah Indonesia pada periode waktu dari tahun 1990 hingga 2017, 322



dengan data-data dasar yang bervariasi. Data-data dasar tersebut digunakan sebagai data dasar analisis serta untuk melihat hubungan dan pengaruh berbagai indikator demografi dan ekonomi. Berdasarkan fokus penelitian, maka variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini mencakup variabel-variabel demografi dan ekonomi. Variabel- variabel tersebut merupakan data time series di Indonesia pada rentang waktu 1990 - 2017. Selain itu penelitian ini juga mengunakan berbagai data cross section untuk keperluan analisi deskriptif, agar dapat melihat kondisi perkawinan usia dini di 34 provinsi di Indonesia. Secara terperinci, variabelvariabel dan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Proporsi perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun yang melakukan perkawinan pertama pada usia anak (di bawah 18 tahun) dan berbagai karakteristiknya. Perempuan pernah kawin adalah perempuan yang berstatus kawin/cerai hidup/cerai mati pada saat pencacahan. 2. Produk Domestik Bruto (PDB) Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2010 di Indonesia tahun 1990 - 2017. Nilai PDB merepresentasikan output dari faktor – faktor produksi yang ada di Indonesia. 3. PDB perkapita Indonesia tahun 1990 – 2017. PDB perkapita diperoleh dari total output dibagi dengan jumlah penduduk, merupakan salah satu cara untuk melihat tingkat kesejahteraan penduduk di suatu negara. 4. Pembentukan Modal tetap Bruto (PMTB) di Indonesia tahun 1990 2017. Nilai PMTB merepresantikan jumlah modal atau investasi fisik yang ada di Indonesia. 5. Total Fertility Rate di Indonesia tahun 1990 – 2017. TFR merupakan angka kelahiran per 1000 kelahiran wanita. 323



6. Angka Partisipasi Sekolah (APS) perempuan pada tingkat sekolah menengah pertama di Indonesia. 7. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan menurut kelompok umur 20 – 24 tahun di Indonesia. Keseluruhan data di atas merupakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan world bank. 14.3.1. Metode Analisis Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis deskriptif menggunakan tabel dan grafik serta analisis inferensia menggunakan regresi linear berganda. Proses analisis data membutuhkan teknik-teknik statistik yang dapat menguraikan gambaran fenomena yang terjadi ataupun menjabarkan hubungan antar variabel. Secara terperinci, kedua kelompok metode statistik tersebut dipaparkan sebagai berikut. a. Analisis Deskriptif Statistika deskriptif adalah metode-metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu himpunan data sehingga memberikan informasi yang bermanfaat. Teknik analisis deskriptif diaplikasikan dalam penelitian ini untuk mengkaji perkembangan pertumbuhan ekonomi dan input pembangunan Indonesia, mengkaji perkembangan kependudukan dan ketenagakerjaan Indonesia terkait dengan momentum bonus demografi . Pengkajian tersebut ditampilkan melalui grafik garis. Penyajian dalam bentuk gambar (grafik) dapat memudahkan visualisasi sehingga gambaran mengenai suatu



324



fenomena lebih mudah dimengerti. Selain grafik garis, digunakan pula tabel untuk meringkas hasil analisis inferensia. b. Analisis Regresi Linear Berganda Analisis ini untuk mengetahui arah hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen apakah masing-masing variabel independen berhubungan positif atau negatif dan untuk memprediksi nilai dari variabel dependen apabila nilai variabel independen mengalami kenaikan atau penurunan. Terdapat tiga persamaan regresi dalam penelitian ini, untuk melihat secara terpisah pengaruh beberapa variabel demografi terhadap perekonomian Indonesia. Model 1 Persamaan regresi linier berganda pertama sebagai berikut: lnPDB_kapitat = α+ β1lnPMTBt + β2lnTPAK_Pt + e Keterangan : lnPDB_kapitat



= Pendapatan perkapita Indonesia tahun 1990



- 2017 c



= Konstanta lnPMTBt



= Pembentukan Modal Tetap Bruto



tahun 1990 - 2017 lnAPS_Pt



= Angka Partisipasi Sekolah Perempuan di Indonesia tahun 1990 - 2017



Model 2 Persamaan regresi linier berganda kedua sebagai berikut: lnPDBt = α+ β1lnPMTBt + β2lnAPS_P + e Keterangan :



325



lnPDBt = Produk Domestik Regional Bruto Indonesia tahun 1990 2017 α



= Konstanta



lnPMTBt



= Pembentukan Modal Tetap Bruto tahun 1990 - 2017



lnTPAK_Pt



= Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan



berumur 20 – 24 tahun (Model ILO) tahun 1990 - 2017 Model 3 Persamaan regresi linier berganda ketiga sebagai berikut: lnTFRt = α + β1 lnPDRB_kapitat + β2lnTPAK_Pt + e Keterangan : lnTFRt



= Total Fertility Rate Indonesia tahun 1990 -



2017 c



= Konstanta



lnPDB_kapitat



= Pendapatan perkapita Indonesia tahun 1990



- 2017 lnTPAK_Pt



=



Tingkat



Partisipasi



Angkatan



Kerja



Perempuan berumur 20 – 24 tahun (Model ILO) tahun 1990 - 2017 14.3.2. Pengujian Hipotesis a. Uji Koefisien Regresi secara bersama-sama ( Uji F) Uji F digunakan untuk mengetahui apakah variabel independen secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen (Y). Dengan kata lain, uji F ini dapat digunakan untuk mengetahui apakah sebuah model regresi dapat digunakan



326



untuk memprediksi sebuah variabel dependen atau tidak. Jika F hitung > F tabel, H0 ditolak, maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh secara signifikan antara variabel independen (lebih dari dua) secara bersama-sama terhadap variabel dependen. b. Uji Koefisien Regresi secara parsial (Uji t) Uji t digunakan untuk mengetahui apakah dalam model regresi variabel independen secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Dengan ketentuan, H0 ditolak jika –t hitung < -t tabel atau t hitung > t tabel. 14.3.3. Pengujian Hipotesis a. Uji Normalitas Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah populasi data berdistribusi normal atau tidak. Dalam penelitian ini uji normalitas akan dilakukan



dengan



menggunakan



Uji



Jarque-Bera



dengan



menggunakan taraf signifikansi 0,05. Data dinyatakan berdistribusi normal jika signifikansi lebih besar dari 5% atau 0,05. b. Uji Multikolinieritas Uji multikolonieritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (Independen). Uji asumsi klasik multikolinieritas hanya dapat dilakukan jika terdapat lebih dari satu variabel independen dalam model regresi. c. Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan asumsi klasik heteroskedastisitas, yaitu adanya ketidaksamaan varian dari residual untuk semua pengamatan pada model regresi. Prasyarat yang harus terpenuhi dalam model regresi adalah tidak adanya gejala heteroskedastisitas. Ada beberapa



327



metode



pengujian



heteroskedastisitas



yang



bisa



digunakan



diantaranya yaitu uji park, Uji Glejser, melihat pola grafik regresi dan uji koefisien korelasi spearmean. Pada penelitian ini akan dilakukan uji heteroskedastisitas dengan Uji Glesjer. d Uji Autokorelasi Uji autokorelasi digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara residual satu observasi dengan residual observasi lainnya. Ada beberapa uji untuk memeriksa autokorelasi yaitu, uji Durbin-Warson dan Uji Breusch-Godfrey. Masalah autokorelasi dapat ditangani dengan melakukan transformasi terhadap persamaan. Metode ini sering disebut dengan generalized difference equation. 14.4. Pembahasan Bila dilihat dari grafik 14.1 perbandingan antara laju pertumbuhan ekonomi dengan angka dependency ratio, pergerakannya cenderung samasama menurun. Sedangkan harapan dari adanya momen bonus demografi ini adalah terjadi akselerasi pertumbuhan ekonomi. Lebih lanjut akan dilihat bagaimana efek dari perkawinan usia anak, bagi kemungkinan hilangnya manfaat dari bonus demografi di Indonesia. Grafik 14.1. Perbandingan Laju Pertumbuhan Ekonomi dan Dependency Ratio di Indonesia,1960-2017



Sumber : Data World Bank



328



Pernikahan usia anak masih banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya pernikahan usia anak, antara lain pendidikan, lingkungan, media masa, ekonomi, budaya setempat, serta pengetahuan. Kondisi perkawinan usia anak di Indonesia yang digambarkan dari nilai persentase perempuan pernah kawin usia 20 – 24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun, tidak menunjukkan penurunan yang signifikan selama sepuluh tahun terakhir. Variabel area tempat tinggal terbagi atas dua kategori yaitu perdesaan dan perkotaan yang menunjukkan klasifikasi area tempat tinggal observasi. Dikotomi antara daerah perdesaan dan perkotaan seringkali digunakan dalam banyak penelitian karena perbedaan antara dua daerah ini mencerminkan perbedaan dalam banyak aspek antara dua daerah tersebut. Secara umum tingkat kemajuan kota relatif lebih tinggi di daerah perkotaan. Juga ada perbedaan secara norma social dan budaya yang berlaku di kedua daerah tersebut yang mempengaruhi usia perkawinan di Indonesia (Lembaga Demografi FEB UI, 2017). Grafik 14.2 menunjukkan persentase perkawinan usia anak di pedesaan lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan, nilainya lebih tinggi dari rata – rata nasional. Grafik 14.2. Perbandingan Persentase Perempuan Pernah Kawin Usia 20 – 24 Tahun yang Menikah Sebelum Usia 18 Tahun menurut Daerah Tempat Tinggal, 2008 - 2017



Sumber : (BPS, 2017)



329



Persentase perceraian juga lebih tinggi dua kali lipat di perkotaan dibandingkan perdesaan. Persentase cerai hidup di perkotaan untuk perempuan yang melakukan perkawinan dibawah usia 18 tahun mencapai 7,02 persen, sedangkan di pedesaan hanya 3,36 persen. Tabel 14.1. Persentase Perempuan Pernah Kawin Usia 20 – 24 Tahun Menurut Usia Perkawinan Pertama dan Daerah Tempat Tinggal, di Indonesia 2015 Status perkawinan (1) Kawin Cerai hidup Cerai mati



Perkotaan < 18 tahun 18+ (2) (3) 92.77 96.63 7.02 3.06 0.22 0.31



Perdesaan < 18 tahun 18+ (4) (5) 96.37 96.73 3.36 2.99 0.27 0.28



Sumber: (BPS, 2017)



Bila dikaji data perkawinan usia muda di masing–masing provinsi di Indonesia, terlihat bahwa Provinsi Kalimantan menempati urutan teratas dalam perkawinan usia anak yaitu sebesar 33,94 persen. Gambar 14.1 menunjukkan lebih dari 60 persen provinsi di Indonesia memiliki persentase perkawinan usia anak lebih tinggi dari angka nasional sebesar 22,35 persen, yaitu sebanyak 22 provinsi. Seluruh provinsi di pulau Kalimantan, Sulawesi dan Papua memiliki prevelensi perkawinan usia anak yang lebih tinggi dari rata rata nasional. Sedangkan di pulau Jawa hampir seluruh provinsi berada dibawah level nasional, kecuali Provinsi Jawa Barat. Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan usia anak masih marak di Indonesia, sehingga perlu penangan serius untuk menguranginya.



330



Gambar 14.1. Persentase Perempuan Pernah Kawin Usia 20 – 24 Tahun yang Menikah Sebelum Usia 18 Tahun menurut Provinsi di Indonesia, 2016



Sumber : (BPS, 2017)



Tingkat fertilitas sangat berpengaruh pada struktur umur penduduk. Struktur umur penduduk merupakan hasil kelahiran, kematian dan migrasi masa lalu. Lebih lanjut, struktur umur penduduk saat ini akan menentukan pertumbuhan penduduk di masa yang akan datang. Jika tingkat fertilitas tinggi, tingkat kematian rendah dan migrasi bersih nol, maka struktur umur penduduk akan berkonsentrasi pada umur muda. Keberhasilan penurunan TFR di Indonesia tidak lepas dari kampanye keluarga berencana dengan tagline “dua anak cukup” oleh BKKBN. Tren penurunan nilai Total Fertility Rate (TFR) terlihat mulai dari tahun 1960, namun penurunannya mulai stagnan pada tahun 2000an. Banyak faktor yang menyebabkan penurun TFR Indonesia tidak secepat tahun tahun sebelumnya, salah satunya masih maraknya perkawinan usia anak. 331



Pendewasaan Usia Perkawinan berkontribusi terhadap peningkatan umur kawin pertama yang selanjutnya diharapkan dapat menurunkan Total Fertility Rate (TFR). Tinggi rendahnya TFR baik di suatu negara maupun daerah menggambarkan berhasil tidaknya pembangunan sosial ekonominya. Angka TFR yang tinggi mencerminkan rata-rata usia kawin yang rendah/muda, tingkat pendidikan yang rendah terutama perempuan serta mencerminkan rendahnya tingkat ekonomi (Yuniarti, 2012). Grafik 14.3. Total Fertility Rate (TFR) di Indonesia, 1960 – 2016



Sumber: Data World Bank



Bila melihat dari persentase jumlah anak yang dimiliki menurut usia kawin pertama, terlihat pada Tabel 14.2 bahwa jumlah anak yang dimiliki cenderung lebih banyak untuk perempuan yang melakukan perkawinan pertama dibawah 18 tahun. Hal ini terlihat dari lebih besarnya persentase jumlah anak 2 dan lebih dari 2 pada perempuan yang tergolong perkawinan usia anak dibandingkan yang melakukan perkawinan pertama diatas 18 tahun. 332



Tabel 14.2. Persentase Perempuan Pernah Kawin Usia 20 – 24 Tahun menurut Jumlah Anak dan Usia Perkawinan Pertama di Indonesia, 2015 Jumlah Anak (1) ≤1 2 >2



Usia Perkawinan Pertama 10 dan/atau nilai tolerance < 0,01.



16.4 Hasil dan Pembahasan 16.4.1 Karakteristik Lansia Perempuan di Indonesia Data dari Badan Pusat Statistik pada tahun 2017 menunjukkan bahwa terdapat 8,97 persen atau setara dengan 23,4 juta lansia di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 47,48 persen lansia laki-laki, dan 52,52 persen perempuan. Penduduk lansia perempuan selalu menunjukkan persentase jumlah yang lebih banyak dibandingkan lansia laki-laki dari tahun ke tahun. Sementara jika dilihat berdasarkan provinsi, pada tahun 2017, telah ada lima provinsi dengan struktur penduduk tua di Indonesia yakni DI Yogyakarta (13,90 persen), Jawa Tengah (12,46 persen), Jawa Timur (12,16 persen), Bali (10,79 persen) dan Sulawesi Barat (10,37 persen).



389



Grafik 16.3 Persentase Penduduk Lansia Indonesia Berdasarkan 5 Provinsi dengan Struktur penduduk Tua Tahun 2017 Lansia 15.01



13.9



12.76



Lansia Laki-laki



12.46 13.17 12.16 12.92 11.75



DI Yogyakarta Jawa Tengah



11.37



Jawa Timur



Lansia Perempuan



10.79 11.54 10.37 10.06



Bali



11.1



9.67



Sulawesi Utara



Sumber data: Badan Pusat Statistik (diolah).



Selain memiliki jumlah yang lebih banyak dibandingkan lansia lakilaki, rasio ketergantungan lansia perempuan juga menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini menandakan bahwa beban tanggungan penduduk usia produktif usia (15-59) tahun terhadap lansia perempuan akan semakin meningkat seiring penambahan penduduk lansia perempuan. Rasio ketergantungan lansia perempuan di Indonesia pada tahun 2010 berjumlah 11,95 meningkat setiap tahunnya hingga mencapai 14,8 pada tahun 2017. Artinya, pada tahun 2017 dari 100 penduduk usia produktif (15-59 tahun) akan menanggung beban ekonomi sebanyak 14 sampai dengan 15 lansia perempuan. Sementara jika dilihat berdasarkan wilayah, pada tahun 2017, rasio ketergantungan lansia perempuan perdesaan lebih besar (16,27) dibandingkan perkotaan (13,55). Artinya, penduduk lansia perempuan akan lebih banyak ditemukan di perdesaan.



390



Grafik 16.4. Rasio Ketergantungan Lansia Perempuan di Indonesia Tahun 20102017



Sumber data: Badan Pusat Statistik (diolah).



Dalam hal pendidikan, karakteristik lansia perempuan terlihat selalu lebih rendah dibandingkan lansia laki-laki. Budaya dan keterbatasan perempuan mengenyam pendidikan di masa lalu mendapatkan imbasnya di masa tua lansia perempuan. Meskipun pemerintah melalui UU Nomor 13 Tahun 1998 telah mengatur kesejahteraan lanjut usia yang memuat hak lansia untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, salah satunya meliputi hak memperoleh pelayanan pendidikan dan pelatihan, tampaknya belum mampu secara optimal mengecilkan jurang disparitas keadaan pendidikan lansia perempuan dibanding dengan lansia laki-laki. Salah satunya terlihat dari kemampuan baca tulis lansia. Pada tahun 2017, angka melek huruf lansia perempuan adalah sebesar 70,09 perseen, sementara lansia laki-laki sebesar 87,16 persen. Sementara pada angka



391



buta huruf, tampak bahwa angka buta huruf lansia perempuan dua kali lebih besar dibandingkan lansia laki-laki. Demikian pula dengan persentase lansia yang tidak pernah bersekolah pada tahun 2017. Lansia laki-laki yang tidak pernah bersekolah di tahun 2017 hanya berjumlah 11,25 persen, sementara lansia perempuan berjumlah 26,77 persen. Hampir dua kali lipatnya.



PAPUA BARAT



MALUKU



GORONTALO



SULAWESI SELATAN



SULAWESI UTARA



KALIMANTAN TIMUR



KALIMANTAN…



NTT



BALI



JAWA TIMUR



JAWA TENGAH



DKI JAKARTA



BENGKULU



JAMBI



SUMATERA BARAT



ACEH



9 8 7 6 5 4 3 2 1 0



KEP BANGKA…



Grafik 16.5. Rata-rata Lama Sekolah (RLS) Lansia Perempuan di Indonesia Berdasarkan Provinsi Tahun 2017



Sumber data: Badan Pusat Statistik (diolah)



Tidak hanya menghadapi persoalan ketimpangan dengan lansia lakilaki, lansia perempuan juga dihadapkan pada disparitas pencapaian pendidikan berdasarkan wilayah. Rata-rata lama sekolah lansia perempuan tertinggi berada di Provinsi DKI Jakarta yakni sebesar 8,07 persen, sementara terendah berada di Provinsi NTB yakni 1,07 tahun. Tentu ini akan perlu kajian lebih mendalam, mengapa RLS lansia perempuan Papua jauh lebih tinggi dibandingkan NTB, NTT, Bali dan Kalbar. Sementara itu, terlihat Provinsi yang berada di Pulau Jawa yang dianggap mewakili entitas wilayah 392



perkotaan, ternyata juga tidak lebih baik dari daerah Indonesia Timur seperti halnya Kalimantan, Sulawesi, Papua. Namun seperti inilah, kenyataan disparitas pendidikan pada lansia perempuan di Indonesia. Hidup menjanda dan tidak bekerja, adalah dua karakteristik demografis lain yang melekat pada lansia perempuan. Harapan hidup lansia perempuan yang lebih panjang tidak hanya memperbesar peluang hidup lansia perempuan, namun juga memperbesar peluang lansia perempuan untuk ditinggalkan pasangan yang telah meninggal lebih dulu. Dan fakta menunjukkan bahwa perempuan Indonesia yang ditinggal pasangan hidupnya, biasanya lebih memilih untuk tidak menikah lagi, dibandingkan laki-laki yang ditinggalkan pasangan hidupnya. Hal ini tercermin pada angka lansia laki-laki dengan status duda pada tahun 2017 yang hanya berjumlah 17,52 persen, sementara lansia perempuan berstatus janda berjumlah 58,71 persen. Hampir tiga kali lipatnya. Grafik 16.6 Persentase Lansia Perempuan Menurut Status Perkawinan di Indonesia Berdasarkan Provinsi Tahun 2017 PAPUA BARAT GORONTALO SULAWESI UTARA KALIMANTAN TENGAH BALI JAWA TENGAH KEP BANGKA BELITUNG JAMBI ACEH



Janda Kawin Belum Kawin



0



20



40



60



80



Sumber data: Badan Pusat Statistik (diolah)



393



Berdasarkan status perkawinan, lansia perempuan dengan status menjanda baik cerai hidup maupun cerai mati berdasarkan provinsi di Indonesia pada tahun 2017 rata-rata jumlahnya lebih banyak dibandingkan lansia perempuan dengan status kawin. Pada beberapa provinsi bahkan perbandingkannya mencapai dua kali lipat. Hal ini terlihat pada Provinsi Aceh, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Barat. Persentase lansia perempuan kawin di Provinsi Aceh sebesar 30,76 persen sementara janda 68,51 persen. Pada Provinsi Kalimantan Selatan, persentase lansia perempuan kawin sebesar 30,4 persen sementara lansia perempuan menjanda sebesar 68,51 persen. Sementara pada Sulawesi Barat, persentase lansia perempuan kawin 32,66 persen sedangkan dengan status menjanda sebesar 62,78 persen. Sementara itu, jika ditinjau dari kondisi kesehatan lansia, tidak terjadi kesenjangan kondisi kesehatan yang cukup berarti pada lansia laki-laki dan perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa proses degeneratif (penuaan) yang menjadi salah satu faktor penyumbang terbesar terganggunya kesehatan tidak memandang gender. Angka kesakitan lansia pada tahun 2017 berjumlah sebesar 26,72 persen dengan persentase lansia laki-laki sebear 27,03 persen dan lansia perempuan sebesar 26,43 persen. Artinya, dari 100 lansia perempuan pada tahun 2017, terdapat 26 lansia perempuan yang sakit.



394



Grafik 16.7 Angka Kesakitan Penduduk Lansia Perempuan di Indonesia Tahun 2011-2017 29.00 28.00



28.30



28.2



27.00 26.00



27.54 27.03 26.43



Series1



25.00 24.00



24.92



25



23.00 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Sumber data: Badan Pusat Statistik (diolah)



Angka kesakitan penduduk lansia perempuan di Indonesia pada tahun 2011 sampai dengan tahun 2017 cukup fluktuatif namun secara umum terjadi penurunan. Angka kesakitan sempat mengalami kenaikan yang cukup tajam pada tahun 2015 menjadi sebesar 28,2 persen dari 25 persen di tahun 2014. Namun selanjutnya mengalami penurunan hingga pada tahun 2017 menjadi 26,43 persen. Fasilitas kesehatan dan teknologi penyembuhan yang semakin lengkap dan canggih, serta kualitas kehidupan lansia perempuan yang semakin meningkat ditengarai menjadi penyebab semakin baiknya kualitas kesehatan penduduk lansia perempuan dari tahun ke tahun. Sementara pada sisi ketengakerjaan, kembali terlihat kesenjangan karakteristik lansia laki-laki dan perempuan dengan perbandingan 2 banding 1. Pada tahun 2017, persentase lansia laki-laki bekerja berjumlah sebesar 63,29 persen sementara lansia perempuan hanya sebesar 33,79 persen. Akibatnya jumlah lansia perempuan dengan status tidak bekerja yakni pengangguran, mengurus rumah tangga dan lainnya menjadi semakin besar. Kondisi ini hampir merata pada semua provinsi di Indonesia.



395



Grafik 16.8 Persentase Penduduk Lansia Perempuan Tidak Bekerja (Pengangguran, Mengurus Rumah Tangga dan Lainnya) Berdasarkan Provinsi di Indonesia Tahun 2017



Sumber data: Badan Pusat Statistik (diolah)



Dengan karakteristik lansia perempuan di Indonesia dengan status hidup menjanda, pendidikan yang lebih rendah, lebih banyak tidak bekerja, dan angka kesehatan yang rendah, membuat lansia perempuan memiliki peluang kerentanan yang lebih besar dalam berbagai aspek kehidupan, terutama kualitas hidup yang salah satunya diukur dari kemiskinan. Lansia perempuan akan lebih mudah jatuh pada jurang kemiskinan karena hidup mereka lebih banyak bergantung (hidup menjanda namun tidak bekerja), pendidikan mereka lebih rendah (berdampak pada kualitas pengetahuan dan ketertinggalan informasi). Namun demikian, berdasarkan status ekonomi rumah tangga penduduk lansia perempuan, terlihat bahwa status ekonomi 40 persen terendah menunjukkan penurunan yang cukup berarti dari tahun ke tahun, diikuti kenaikan secara perlahan penduduk lansia perempuan pada 40 persen ekonomi menengah, dan penduduk lansia perempuan 20 persen ekonomi tinggi.



396



Grafik 16.9 Persentase Penduduk Lansia Perempuan Menurut Status Ekonomi Rumah Tangga Tahun 2014-2017 50 40 persen ekonomi terendah



40 30



40 persen ekonomi menengah



20 10



20 persen ekonomi tinggi



0 2014



2015



2016



2017



Sumber data: Badan Pusat Statistik (diolah)



16.4.2 Determinan Kemiskinan Lansia Perempuan di Indonesia Pada hasil analisis regresi berganda pada uji asumsi normalitas disimpulkan bahwa asumsi BLUE tercapai, yakni tidak terjadi multikolineritas, tidak terjadi autokolineritas, homoscedasticity dan liniearity terpenuhi. Model Summaryb Adjusted



R Std. Error of the



Model



R



R Square



Square



Estimate



Durbin-Watson



1



.749a



562



501



10.13821



1.751



a. Predictors: (Constant), tidakbekerja, angkakesakitan, ceraimati, rls b. Dependent Variable: kemiskinan



Sementara pada hasil R (korelasi) memperlihatkan besarnya hubungan secara umum antar varabel independen dengan dependen. Angka 0,749 menunjukkan bahwa hubungan antar variabel independen dan dependen secara umum adalah 74,9 persen. Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa variabel lansia perempuan tidak bekerja, angka kesakitan 397



lansia perempuan, lansia perempuan dengan status cerai mati dan rata-rata lama sekolah lansia perempuan memiliki hubungan/korelasi secara umum terhadap variabel kemiskinan lansia perempuan sebesar 74,9 persen. Angka R square memperlihatkan besarnya nilai variasi variabel dependen yang mampu dijelaskan semua variabel independen. Nilai ini dipandang lebih akurat dibanding R. Atau dapat dikatakan bahwa variabel lansia perempuan tidak bekerja, angka kesakitan lansia perempuan, lansia perempuan dengan status cerai mati dan rata-rata lama sekolah lansia perempuan mampu memprediksi variabel kemiskinan lansia perempuan sebesar 56,2 persen, sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Semakin besar angka R dan R square maka hubungan model yang dibangun semakin baik. Dengan hasil yang ada, maka dapat disimpulkan hubungan model memiliki keeratan hubungan yang cukup baik dengan persentase lebih dari 50 persen. ANOVAb Model



Sum of Squares



df



Mean Square



F



Sig.



1



Regression



3819.221



4



954.805



9.290



.000a



Residual



2980.714



29



102.783



Total



6799.935



33



a. Predictors: (Constant), tidakbekerja, angkakesakitan, ceraimati, rls b. Dependent Variable: kemiskinan



Pada tabel annova terlihat nilai sig0,05, tidak signifikan. 4. Variabel angka kesakitan memiliki koefisien 0,577 dengan standar error 0,446. Nilai sig 0,206>0,05 tidak signifikan. 5. Variabel tidak bekerja memiliki koefisien sebesar -1 dengan standar error 0,257. Nilai sig 0,001