Modul Btcls [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BT&CLS Basic Trauma Cardiac Life Support



SMART EMERGENCY www.smartemergency.id



KATA PENGANTAR



Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga penyusun dapat menyelesaikan buku ini. Indonesia sebagai negara berkembang terus menerus melakukan pembangunan fisik di segala bidang. Hal ini kerap menimbulkan kecelakaan kerja mulai dari near accident sampai dengan fatal accident. Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor dan semakin berkembangnya fasilitas transportasi telah meningkatkan angka incident kegawatdaruratan karena kecelakaan lalu lintas. Sehubungan dengan permasalahan tersebut setiap petugas gawat darurat (emergency nurses) harus mampu melakukan pertolongan secara cepat dan tepat terhadap penderita kegawatdaruratan, Hal tersebut untuk mencegah terjadinya kematian dan kecacatan. Untuk



itu Smart Emergency Service Indonesia sebagai Lembaga Pelatihan yang



didalamnya terhimpun sumber daya manusia yang exspet dan kompeten di bidang kegawatdaruratan mempersembahkan pelatihan Basic Trauma Cardiac Life Support. Buku ini disusun dengan tujuan untuk membantu rekan sejawat tenaga kesehatan yang mengikuti pelatihan Basic Trauma Cardiac Life Support sehingga mudah dalam memahami materi – materi yang disampaikan, dan juga dapat digunakan sebagai panduan dan acuan dalam menangani kasus – kasus Gawat Darurat yang dijumpai di tempat kerja. Suatu konsep yang simple dan aman serta bahasa yang sama dengan para dokter dalam penanganan kasus – kasus gawat darurat, dengan demikian pasien diuntungkan dan dapat diselamatkan dari kematian dan kecacatan. Akhir kata semoga buku ini berguna bagi rekan sejawat tenaga kesehatan di seluruh penjuru tanah air Indonesia, dan kami sangat berharap saran maupun kritik demi kesempurnaan buku ini.



Penyusun Smart Emergency Team



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ........................................................................................................2 DAFTAR ISI .......................................................................................................................3



BAB I



MATERIAL OVERVIEW ............................................................................4



BAB II



ASPEK LEGAL ETIK KEPERAWATAN GAWAT DARURAT ...............8



BAB III



BASIC LIFE SUPPORT ............................................................................. 15



BAB IV



AIRWAY BREATHING MANAGEMENT ............................................... 32



BAB V



SYOK MANAGEMENT ............................................................................ 54



BAB VI



KEGAWATAN TRAUMA ......................................................................... 65 TRAUMA KEPALA ................................................................................... 66 TRAUMA SPINAL ..................................................................................... 76 TRAUMA THORAX .................................................................................. 80 TRAUMA ABDOMEN............................................................................... 86 TRAUMA MUSCULUSKELETAL ........................................................... 92 TRAUMA THERMAL .............................................................................. 100



BAB VII



MEKANISME OF TRAUMA ................................................................... 106



BAB VIII



INITIAL ASSESMENT ............................................................................. 112



BAB IX



TRIAGE ..................................................................................................... 126



BAB X



SPGDT ....................................................................................................... 133



BAB XI



EKG NORMAL & ARITMIA ................................................................... 146



BAB XII



ACUTE CORONARY SYNDROME ........................................................ 160



BAB XIII



TERAPI ELEKTRIK.................................................................................. 165 MANAGEMENT TEAM DYNAMIC ....................................................... 171



BAB XIV



EVAKUASI & RUJUKAN ........................................................................ 177



BAB XV



UPDATE TATALAKSANA TERKONFIRMASI COVID-19 .................. 184



DAFTAR PUSTAKA PT SMS Indonesia | Smart Emergency



3|P age



I IKHTISAR Basic Trauma Life Support merupakan pelatihan yang ditujukan untuk petugas yang bekerja di Rumah Sakit maupun Pra Rumah Sakit, agar tercipta suatu standar yang baku dalam melakukan penanganan pasien kegawatdaruratan trauma. Basic Cardiovascular Life Support (BCLS) merupakan pelatihan yang ditujukan untuk petugas kesehatan khususnya perawat dan mahasiswa keperawatan yang dilatih tentang intreprestasi ekg dan kegawatdaruratan jantung. Dalam Pelatihan ini menekankan bagaimana peserta dapat mengenal secara dini serangan Jantung dan mengaplikasikan pemeriksaan EKG serta dapat menangani bila pasien menjadi tidak sadar ataupun dalam Gambaran EKG terjadi Aritmia. Menurut WHO tahun 2019, kematian karena jatung atau penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian nomer 1 (satu), sedangkan kematian karena kecelakaan merupakan penyebab kematian nomor 3 (tiga). Pelatihan Basic Trauma Cardiac Life Support ini membahas masalah penanggulangan pasien kegawatdaruratan trauma maupun kardiovaskuler secara cepat dan tepat berdasarkan prioritas masalah yang bertujuan untuk mengurangi angka kematian dan kecacatan. Disamping itu Pelatihan BTCLS juga termasuk sarana untuk mendukung Progam Sustainable Development Goals (SPDGs) sebagai indikator pembangunan global saat ini. Pada progam tersebut, isu kesehatan di indonesia yang menjadi perhatian diantaranya adalah kematian kecelakaan lalu lintas dan penanganan kristis serta kegawatdauratan. Melalui Pelatihan BTCLS diharapkan dapat memenuhi kebutuhan untuk meningkatkan profesionalisme perawat dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat yang berbaik. TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM Setelah menyelesaikan pelatihan ini peserta dapat mengaplikasikan konsep penanggulangan pasien gawat darurat trauma maupu kardiovaskuler secara cepat dan tepat berdasarkan prioritas masalah. TUJUAN INSTRUKSIONAL Setelah mengikuti pelatihan ini peserta diharapkan mampu untuk : Melakukan pengkajian secara cepat dan tepat keadaan yang mengancam nyawa Melakukan tindakan penyelamatan jiwa (life saving) pada pasien trauma berdasarkan prioritas Menerapkan konsep penilaian dan pengelolaan awal pada pasien trauma dan kardiovaskuler Menilai tingkat kesadaran / status neurologis. Mengenali dan menangani kegawat Mendemonstrasikan komunikasi daruratan pada jalan napas (Airway) yang efektif sebagai leader dan dan pernapasan (Breathing) anggota tim dalam menangani Mengenali dan menangani traumapasien trauma padaa system tubuh pasien. Melakukan evakuasi, stabilisasi dan METODE PELATIHAN transportasi pasien dengan cepat dan Pelatihan ini di desain dengan metode tepat ceramah, tanya jawab, simulasi dan Mengenali dan menangani bila praktikum. Selama pelatihan ini diharapkan pasien mengalami tanda awal syok peserta berpartisipasi aktif selama pelatihan karena Perdarahan. terutama dalam sesi tanya jawab dan Mampu menginterprestasi EKG Mampu melakukan penanganan praktikum. Pelatihan ini didesain agar pasien dengan Aritmia materi pelatihan bisa langsung diaplikasikan sekembalinya peserta



pelatihan ke tempat kerja masing-masing. Pada akhir pelatihan peserta diwajibkan untuk memenuhi standar kelulusan evaluasi sebagai syarat untuk mendapatkan sertifikat pelatihan. EVALUASI DAN KRITERIA KELULUSAN Peserta berhak mendapatkan sertifikat kelulusan apabila mengikuti seluruh materi teori dan praktik yang dijadwalkan, serta dinyatakan lulus dalam evaluasi tulis dan praktik. Untuk mengevaluasi keberhasilan proses pelatihan peserta diwajibkan untuk melakukan pre-test tertulis di awal pelatihan dan post-test tertulis di akhir pelatihan, serta mengikuti ujian praktik. Nilai evaluasi akhir (tulis dan praktik) minimal 80 poin atau 80% dari checklist penilaian. Apabila peserta tidak memenuhi syarat kelulusan maka peserta diharuskan untuk mengulang kegiatan teori, praktik atau evaluasi, tergantung dimana posisi kegagalannya. Course director, lead instruktor dan instruktor berhak menahan sertifikat peserta pelatihan yang bersangkutan apabila belum memenuhi kriteria kelulusan tersebut. MATERI TEORI Materi pelatihan BTCLS terdiri dari teori dan praktik yang harus diikuti oleh semua peserta. Materi praktik merupakan aplikasi dari teori yang telah dipelajari sebelumnya dan merupakan intisari dari pelatihan ini. Hal ini karena pelatihan BTLS merupakan pelatihan yang aplikatif dan harus bisa diterapkan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari ditempat kerja masing-masing. Materi teori pelatihan BTLS adalah sebagai berikut : 1. Etik dan Aspek Legal Keperawatan Gawat Darurat Materi ini berisi tentang Etik yaitu prinsip yang menyangkut baik dan buruk dalam hubungan dengan orang lain, sedangkan hukum menyangkut prinsip benar dan salah. 2.



Bantuan Hidup Dasar (Cardio Pulmonary Resuscitation) Materi ini membahas tentang resusitasi jantung paru (RJP) berdasarkan guideline terbaru dan American Heart Association (AHA) yang di rilis pada tahun 2020 lalu.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



Materi ini berisi tentang RJP pada orang dewasa, anak dan neonates baik tanpa alat maupun dengan alat termasuk penggunaan Automatic External Defibrilator (AED). 3.



Airway and Breathing Management Materi ini tentang penilaian dan pengelolaan jalan napas dan pernapasan baik tanpa menggunakan alat, dengan alat sederhana maupun dengan alat definitive. Pengelolaan jalan napas dan pernapasan merupakan prioritas pertama dalam pernapasan merupakan prioritas pertama dalam penanganan gawat darurat trauma walaupun dalam praktiknya bisa dilakukan secara simultan dengan tindakan-tindakan lainnya.



4.



Syok Management Materi ini menguraikan tentang macam/jenis syok dengan berbagai macam penyebab terutama syok yang diakibatkan oleh trauma. Materi ini juga berisi tentang cara penilaian secara cepat dan pengelolaan syok yang diakibatkan oleh trauma.



5.



Trauma Kepala& Spinal Materi ini berisi tentang trauma kepala yang meliputi anatomi, jenis trauma, penilaian status neurologis dan kesadaran serta cara penanganan spesifik pada trauma kepala. Serta trauma tulang belakang dan cara stabilisasi tulang belakang agar tidak terjadi cedera sekunder yang diakibatkan oleh kesalahan dalam melakukan pertolongan.



6.



Trauma Thorax& Abdomen Materi ini berisi tentang trauma pada dada baik trauma tumpul maupun trauma tembus serta permasalahan yang diakibatkan oleh trauma tersebut. Materi ini juga berisi tentang pemeriksaan fisik dan penilaian secara cepat terhadap masalah yang mengancam nyawa pasien dan penanganan yang efektif dan efisien terhadap permasalahan yang dihadapi serta penanganan trauma pada abdomen (perut) baik trauma tumpul maupun trauma tembus. Materi ini juga berisi tentang penilaian melalui pemeriksaan fisik dan penanganan 5|P age



7.



secara cepat terutama pada trauma tembus pada abdomen atau benda menancap. Trauma Musculoskeletal Materi ini berisi tentang trauma pada ektremitas baik patah tulang, luka robek maupun luka amputasi. Materi ini secara perdarahan dan pembalutan. Selain itu dibahas tentang teknik stabilisasi/pembidaian patah tulang, baik patah tulang tertutup maupun terbuka.



meliputi penanganan pasien pada fase pra rumah sakit, fase rumah sakit, fase antar rumah sakit dan fase paska rumah sakit. Keberhasilan penanganan pasien di rumah sakit akan sangat bergantung



pada



keberhasilan



penanganan pada fase pra rumah sakit, oleh karena itu perlu adanya upaya untuk menciptakan suatu penanganan



8.



Trauma Luka Bakar Materi ini membahas tentang trauma yang diakibatkan oleh suhu panas atau dingin yang mengakibatkan kerusakan jaringan tubuh pasien. penilaian luas dan kedalaman luka bakar serta cara penanganan luka bakar pada fase gawat darurat. Pada materi ini juga dibahas tentang trauma yang diakibatkan oleh bahan kimia serta cara penanganannya.



yang terintegrasi antara penanganan fase pra rumah sakit dan fase rumah sakit dengan standar dan bahasa yang sama.



13. EKG Normal dan Aritmia Materi ini tentang cara membaca interprestasi EKG dari gambaran yang



9.



Mechanism of Trauma Materi ini membahas tentang proses kejadian kecelakaan dari mulai sebelum, saat dan setelah kejadian berlangsung sehingga bisa memprediksi luka atau cedera yang diakibatkan oleh kejadian tersebut.



10. Penilaian Awal (Initial Assessment Management) Materi ini berisi tentang penilaian awal dan resusitasi pasien trauma berdasarkan prioritas dan dalam rangka penyelamatan jiwa pasien. materi ini merupakan materi ini pelatihan yang merupakan rangkuman dari semua materi yang diberikan pada pelatihan.



normal sampai dengan Aritmia.



14. Acute Coronary Syndrome. Materi pertolongan



12. SPGDT (System Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu) Materi ini berisi tentang pengenalan system penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT) yang PT SMS Indonesia | Smart Emergency



berisi



tentang



pada



pasien



dengan



Sindrom Koroner Akut (SKA) atau Acute Coronary Syndrome.



15. Terapi Elektrik dan Management Team Materi pertolongan



11. Triage Materi ini berisi tentang pemilahan pasien berdasarkan prioritas masalah baik pada saat kejadian bencana/musibah masal maupun pada saat pasien masuk ke unit gawat darurat (UGD) rumah sakit.



ini



ini



berisi



tentang



pada



pasien



dengan



menggunakan alat kejut listrik dan obat-obatan.



16. Evakuasi & Rujukan Materi



ini



berisi



tentang



pengeluaran pasien dari jepitan atau ruang sempit serta stabilisasi pasien sebelum melakukan transportasi. Pada materi



ini



juga



dibahas



tentang



6|P age



pemindahan pasien pada situasi aman maupun berbahaya.



d. Stabilization Trauma, Evakuasi & Transportasi Pada sesi ini peserta harus mampu



MATERI PRAKTIK Materi praktik pelatihan BTCLS adalah



Praktik untuk menghentikan perdarahan



sebagai berikut :



secara cepat dan melakukan pembalutan



a. Cardio



Pulmonary



Resuscitation



pada luka robek dan amputasi sebagai upaya untuk mempertahankan sirkulasi.



(CPR) Praktik resusitas jantung paru (RJP)



Selain itu sesi ini mempraktikan cara



pada orang dewasa, anak dan neonatus



pembidaian pada patah tulang dan



berdasarkan



dislokasi



standar



dari



American



Heart Association. Peserta juga harus



prinsip-prinsip



yang benar.



mampu melakukan CPR dengan bantuan Automatic External Defibrilator (AED).



berdasarkan



Disamping mampu



itu



peserta



membedakan



harus



pemindahan



pasien pada situasi darurat dan nonb. Airway and Breathing Management Peserta harus bisa melakukan penanganan



sumbatan



peralatan. Peserta juga mempraktikan



dan



teknik ekstrikasi pasien dengan tetapi



sumbatan parsial jalan napas dari mulai



memperhatikan cedera pasien. Selain itu



tanpa alat, penggunaan alat sederhana



peserta juga harus mampu melakukan



sampai



setabilisasi



dengan



definitive. memberikan



total



darurat baik dengan alat atau tanpa



penggunaan



alat



Peserta juga harus bisa napas



buatan



dan



sebelum



melakukan



transportasi pasien, terutama stabilisasi pada kecurigaan cedera tulang belakang.



oksigenisasi dengan berbagai peralatan. Selain itu peserta juga harus mampu



e. Interprestasi EKG



memonitor saturasi oksigen pasien.



Praktik dan tips cara membaca gambaran EKG dan cara menangani



c. Initial Assessment Management Peserta harus mampu melakukan



pasien dengan gambaran EKG dengan Aritmia.



penilaian dan penanganan pasien dari mulai proteksi diri, meminta bantuan, penilaian secara cepat dan penanganan secara



cepat



berdasarkan



f. Terapi Elektrik dan Management Team Pada sesi ini peserta harus mampu



prioritasmasalah. Peserta harus mampu



Praktik



menangani



menguasai fase survey primer dan



gambaran



survey sekunder.



menggunakan alat kejut listrik dan



EKG



pasien aritmia



dengan dengan



obat-obatan.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



7|P age



II



TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu memahami etik dan aspek legal keperawatan gawat darurat.



TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu: 1. Menjelaskan peran dan fungsi perawat gawat darurat. 2. Menjelaskan etik keperawatan gawat darurat. 3. Menjelaskan aspek legal keperawatan gawat darurat.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



8|P age



ASPEK LEGAL ETIK KEPERAWATAN GAWAT DARURAT I.



PENDAHULUAN Etik merupakan prinsip yang menyangkut baik dan buruk dalam hubungan dengan orang lain, sedangkan hukum menyangkut prinsip benar dan salah. Etik merupakan studi tentang perilaku, karakter dan motif yang baik serta ditekankan pada penetapan apa yang baik dan berharga bagi semua orang. Secara umum, terminologi etik dan moral adalah sama. Etik memiliki terminologi yang berbeda dengan moral bila istilah etik mengarahkan terminologinya untuk penyelidikan filosofis atau kajian tentang masalah atau dilema tertentu. Moral mendeskripsikan perilaku aktual, kebiasaan dan kepercayaan sekelompok orang atau kelompok tertentu. Etik juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup, sehingga etik merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang mempengaruhi perilaku profesional. Etik merupakan istilah yang digunakan untuk merefleksikan apa yang seharusnya manusia berperilaku terhadap orang lain. Manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup sendiri, melainkan membutuhkan hidup bersama dalam masyarakat. Dalam melaksanakan hidup beermasyarakat tersebut, berlangsung interaksi yang intensif antar anggota masyarakat. Agar interaksi berlangsung tanpa benturan dan dapat mendatangkan manfaat optimal, diperlukan adanya aturan berprilaku setiap warga masyarakat. Bentuk pengaturan prilaku yang dimaksud banyak macamnya, untuk masyarakat profesi kesehatan antara lain tercantum dalam:  Kode etik profesi kesehatan. Kode etik profesi kesehatan mencakup aturan dan etika yang dipakai dalam dunia kesehatan. Aturan ini juga mencakup tatanan perilaku sebaiknya seorang perawat baik ditempat kerja maupun didalam masyarakat.  Hukum kesehatan. Hukum kesehatan mencakup aturan – aturan dalam bidang medis yang mencakup cara melakukan suatu tindakan kepada korban. Hukum kesehatan ini diberlakukan baik kepada dokter maupun perawat.



II.



KODE ETIK PROFESI KESEHATAN Etik berasal dari kata ―ethics‖ yang berarti prinsip moral (moraleprinciples) atau aturan berprilaku (rules of conduct). Prinsip moral dan/ atau aturan berprilaku tersebut dihimpun dalam suatu pedoman (code) yang disebut kode etik (code of ethics). Kode etik adalah suatu pedoman yang mengandung norma – norma dalam berprilaku. Kode etik yang berlaku untuk warga profesi disebut kode etik profesi. Setiap profesi mempunyai kode etik profesi. Kode etik profesi disusun oleh warga profesi. Sanksi pelanggaran kode etik profesi ditegakkan oleh warga profesi sendiri. Kode etik profesi kesehatan adalah kode etik yang ditemukan dan berlaku bagi kalangan profesi kesehatan. Pelayanan kesehatan yang baik adalah yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, bermutu dan terjangkau. Untuk dapat memberi pelayanan kesehatan paripurna diperlukan kerjasama yang harmonis anatara tenaga kesehatan. Namun, keberhasilan team kesehatan dalam melaksanakan tugas yang kompleks itu bukan saja ditentukan oleh pengetahuan dan keterampilan mereka, melainkan juga perilaku, etika dan moral, berikut landasan-landasan etik/moral tenaga kesehatan: A. Landasan-landasan Etik/moralpraktik: Terdapat beberapa landasan etik/moral yang harus dicermati oleh tenaga kesehatan saat melakukan intervensi, diantaranya: 1. Otonomi (Autonomy) Disebut juga dengan istilah menghormati martabat manusia (respect for person). Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berfikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat sendiri, memilih, dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek PT SMS Indonesia | Smart Emergency



9|P age



profesional merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak – hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya. 2. Berbuat baik (Beneficience) Beneficience berarti hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan memerlukan pencegahan dan kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang, dalam situasi pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi. 3. Keadilan (Justice) Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terapi yang sama dan adil terhadap orang lain yang menjunjung prinsip – prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam praktek profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan. 4. Tidak Merugikan (Non-malficience) Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/ cedera fisik dan psikologis pada klien. Prinsip ini mengajarkan kepada kita memilih tindakan yang paling sedikit bahayanya untuk korban atau yang paling kecil efek sampingnya. 5. Kejujuran (Veracity) Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien dan untuk meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi akurat, komprehensif, dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi yang ada dan mengatakan yang sebenarnya kepada klien tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya selama menjalani perawatan. Walaupun demikian, terdapat beberapa argument mengatakan adanya batasan untuk kejujuran seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis klien untuk pemulihan atau adanya hubungan paternalistik bahwa ―doctors knows best‖ sebab individu memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh tentang kondisinya. Kebenaran merupakan dasar dalam membangun hubungan saling percaya. 6. Menepati Janji (Fidelity) Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta menyimpan rahasia klien. Ketaatan, kesetiaan, adalah kewajiban seseorang untuk mempertahankan komitmennya yang dibuatnya. Kesetiaan, menggambarkan kepatuhan perawat terhadap kode etik yang menyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari perawat adalah untuk meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan dan meminimalkan korban gawat darurat 7. Kerahasiaan (Confidentiality) Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga privasinya oleh perawat. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tidak ada seorangpun dapat memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijinkan oleh klien dengan bukti persetujuan. Diskusi tentang klien diluar area pelayanan, menyampaikan pada teman atau keluarga tentang klien dengan tenaga kesehatan lain harus dihindari. 8. Akuntabilitas (Accountability) Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang profesional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali. Penerapan prinsip etik ini tergantung pada kondisi tertentu yang harus menjadi pertimbangan. Satu prinsip menjadi lebih penting dan sah untuk digunakan dengan mengorbankan prinsip yang lain (primafacie). B. Kode Etik Keperawatan Indonesia Keperawatan gawat darurat adalah bagian dari asuhan keperawatan yang berhadapan dengan korban yang berada dalam keadaan gawat darurat (emergensi, kritis). Asuhan keperawatan gawat darurat atau emergensi saat ini diselenggarakan di Unit Gawat Darurat (Emergency Care Unit) dan atau di ruang rawat pada korban yang mengalami kondisi gawat darurat. Namun bila kita cermati rentang praktik gawat darurat, maka PT SMS Indonesia | Smart Emergency



10 | P a g e



kondisi gawat darurat dapat terjadi di luar rumah sakit atau di komunitas (pra hospital dan post hospital) serta di rumah sakit sendiri (in hospital).Karena asuhan keperawatan gawat darurat merupakan bagian dari asuhan keperawatan yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan kesehatan, baik di masyarakat maupun di rumah sakit. Maka secara keseluruhan pada asuhan keperawatan gawat darurat juga berlaku: aspek etik (kode etik keperawatan) dan aspek hukuum (hukum kesehatan). Aspek etik keperawatan gawat darurat terkait kondisi gawat darurat otonomy korban dan keluarga menempati posisi yang menentukan. Khususnya bila korban sadar atau keluarga mendampingi korban. Tetapi disisi lain bila korban tidak sadar dan tidak ada keluarga yang mendampingi, maka prinsip memilih tindakan yang paling menguntungkan korban dapat menjadi suatu prioritas secara etik.kode etik keperawatan indonesia adalah sebagai berikut: 1. Perawat dan klien a. Perawat dlm memberikan pelkep menghargai harkat & martabat manusia, keunikan klien & tdk terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik dan agama yg dianut serta kedudukan b. Perawat dlm memberikan pelkep senantiasa memelihara suasana lingkungan yg menghormati nilai2 budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama dari klien c. Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang membutuhkan asuhan Gambar: buku etik keperawatan indonesia keperawatan d. Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yg diketahui sehubungan dng tugas yg dipercayakan kepadanya, kecuali jika diperlukan oleh yg berwewenang sesuai dng ketentuan hukum yg berlaku 2. Perawat dan praktik a. Perawat memelihara dan meningkatkan kompetensi di bidang keperawatan melalui belajar terus menerus b. Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yg tinggi disertai kejujuran professional dalam menerapkan pengetahuan serta ketrampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan klien c. Perawat dalam membuat keputusan didasarkan pada informasi yg adekuat dan mempertimbangkan kemampuan serta kualifikasi seseorang bila melakukan konsultasi, menerima delegasi dan memberikan delegasi kepada orang lain. d. Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan selalu menunjukkan perilaku professional. 3. Perawat dan masyarakat Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk memprakarsai dan mendukung berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat. 4. Perawat dan teman sejawat a. Perawat senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama perawat maupun dengan tenaga kesehatan lainnya, dan dalam memelihara keserasian suasana lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara menyeluruh. b. Perawat bertindak melindungi klien dari tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan illegal. PT SMS Indonesia | Smart Emergency



11 | P a g e



5. Perawat dan profesi a. Perawat mempunyai peran utama dalam menentukan standar pendidikan dan pelayanan keperawatan serta menerapkannya dalam kegiatan pelayanan dan pendidikan keperawatan b. Perawat berperan aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan profesi keperawatan c. Perawat berpartisipasi aktif dalam upaya profesi untuk membangun dan memelihara kondisi kerja yang kondusif demi terwujudnya askep yang bermutu tinggi III.



HUKUM KESEHATAN Hukum adalah suatu aturan yang mengatur prilaku setiap anggota masyarakat yang bersifat memaksa yang ditetapkan oleh pemerintah. Jenis – jenis hukum diantaranya: 1. Hukum administrasi: izin sarana pelayanan kesehatan (Surat Tanda Registrasi), izin menyelenggarakan praktik kesehatan (Surat Izin Praktik Perawat). 2. Hukum pidana: perbuatan yang bertentangan dan atau membahayakan kepentingan umum 3. Hukum perdata: perbuatan yang merugikan orang lain A. Hukum Kesehatan Hukum kesehatan adalah bagian dari hukum umum yang mengatur prilaku anggota masyarakat, utamanya anggota masyarakat kesehatan, yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan kesehatan mencakup: 1. Aspek administrasi 2. Aspek pidana 3. Aspek perdata B. Manfaat Hukum Kesehatan Dalam pelayanan kesehatan dan perkembangan ilmu kesehatan, hukum kesehatan bermanfaat untuk: 1. Memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada penyelenggara pelayanan kesehatan. 2. Memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada pemakai jasa pelayanan kesehatan. 3. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. 4. Memantapkan penyelenggaraan pendidikan tenaga kesehatan. 5. Mendorong perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan. C. Ruang Lingkup Hukum Kesehatan Terkait dengan macam, jumlah, dan perkembangan penyelenggaraan pelayanan kesehatan di suatu negara, untuk Indonesia, secara umum dapat dikelompokkan atas 8 macam lingkup hukum kesehatan yaitu mencakup: 1. Sarana Pelayanan Kesehatan 2. Tenaga Kesehatan 3. Komoditi Kesehatan 4. Perikatan Hukum 5. Pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan 6. Pengobatan Tradisional 7. Masalah Kesehatan Khusus 8. Lembaga Peradilan D. Upaya Mencegah MalPraktik dalam Pelayanan Gawat Darurat Untuk mencegah terjadinya malpraktik dalam pelayanan pelayanan gawat darurat maka, ada tiga hal pokok yang harus dilakukan, yakni: 1. Melaksanakan inform consent: pada korban yang gawat darurat (emergensi, kritis) sering terlupakan 2. Melaksanakan semua tindakan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan 3. Mengisi catatan keperawatan (client record) yang lengkap Baik atau tidaknya pelayanan gawat darurat ditentukan antara lain oleh baik atau tidaknya perilaku perawat pada waktu menyelenggarakan pelayanan gawat darurat.Pengaturan perilaku perawat, antara lain tercantum dalam Kode Etik Keperawatan serta hukum kesehatan. PT SMS Indonesia | Smart Emergency



12 | P a g e



Untuk asuhan keperawatan gawat darurat, pengaturan aspek etis tercantum dalam pasal – pasal kode etik keperawatan. Sedangkan untuk aspek hukum tercantum dalam pasal – pasal yang mengatur perilaku hukum. Apabila kedua pengaturan ini dapat diterapkan dengan sebaik – baiknya, akan dapat dicegah terjadinya keadaan yang tidak diinginkan oleh tenaga kesehatan dan korban. E. Aspek legal Kegawatdaruratan Dalam pelayanan kesehatan baik dirumah sakit maupun diluar rumah sakit tidak tertutup kemungkinan timbul konflik konflikantara tenaga kesehatan dengan pasien dan antara sesama tenaga kesehatan (baik satu profesi maupun antar profesi). Hal yang lebih khusus adalah dalam penanganan gawat darurat pada fase pra rumah sakit terlibat juga unsur-unsur masyarakat non-tenaga kesehatan. Untuk mencegah dan mengatasi konflik digunakanlah etika dan norma hukum. Oleh karena itu dalam praktik harus diterapkan dalam dimensi yang berbeda, artinya pada saat kita berbicara masalah hukum, tolak ukur norma hukumlah yang diberlakukan. Diataranya peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan gawat darurat yaitu: 1. UU RI No.36 tahun 2009 tentang kesehatan Pasal 1 ayat 6: tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatanserta memiliki pengetahuan dan atauketrampilan melalui pendidikan dibidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukankewenangan untuk melakukan upaya kesehatan Pasal 23 ayat 1: tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan Ayat 2: Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki. Ayat 3: Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, wajib memiliki izin dari pemerintah. Ayat 4: Selama Pelayanan dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi Pasal 24 ayat 1: tenaga kesehatan yang dimaksut dalam pasal 23 harus memenuhi ketentuankode etik, standar profesi,hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional. Ayat 2: ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana yang dimaksut pada ayat (1)diatur oleh Organisasi Profesi Pasal 27 ayat 1:Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan danpelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. Ayat 2: Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnyaberkewajiban mengembangkan dan meningkatkanpengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Pasal 29 Pasal 32 Pasal 58 Pasal 63 ayat 3: pengendalian, pengobatan, dan atau pearwatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan kemanfaatan dan keamanannya. Ayat 4: pelaksanaan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Pasal 85 Pasal 190 mengenai ketentuan pidana ayat 1: Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Ayat 2: Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara PT SMS Indonesia | Smart Emergency



13 | P a g e



paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) 2. UU RI No.44 tahun 2009 Tentang rumah sakit Pasal 12 ayat 1: persyaratan sumber daya manusia yaitu rumah sakit harus memiliki tenaga tetap yang meliputi tenaga medis, penunjang medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga managemen rumah sakit dan tenaga non kesehatan. Pasal 29 mengenai kewajiban Rumah sakit Pasal 46 mengenai tanggung jawab rumah sakit terhadap tenaga kesehatan 3. UU RI No.36 tahun 2014 tentang tenaga Kesehatan Pasal 11: tenaga kesehatan dikelompokan ke dalam: tenaga medis, tenaga psikolog klinis, tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehtaan masyarakat,... 4. UU RI No.29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran Pasal 73 ayat 1: setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang memliki surat tanda registrasi dan atau surat izin praktik Pasal 2: setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter dan ... Pasal 3: ketentuan sebagaimana yang dimaksut ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang diberi wewenang oleh perundang-undangan Penjelasan pasal tersebut: tenaga kesehatan yang dimaksut antara lain perawat dan bidan yang diberi kewenangan untuk melakukan tindakan medis sesuai dengan perundang-undangan. 5. UU RI No.38 tahun 2014 tentang keperawatan Pasal 18 mengenai registrasi Pasal 19 mengenai izin praktik Pasal 28 mengenai praktik keperawatan Pasal 29 mengenai tugas dan wewenang praktik keperawatan Pasal 30 ayat 1 point g: memberikan tindakan pada keadaan gawat darurat sesuai kompetensi. Pasal 35 ayat 1: dalam keadaan gawat darurat untuk memberikan pertolongan peratama, perawat dapat melakukan tindakan medis dan pemberian obat sesuai kompetensi Pasal 36 mengenai hak dan kewajiban perawat Pasal 38 mengenai hak dan kewajiban klien 6. Permenkes No.46 tahun 2013 tentang registrasi tenaga kesehatan 7. Permenkes No.512 tahun 2007 tentang izin praktik & pelaksanaan praktik kedokteran Pasal 15 pasal 1: dokter dan dokter gigi dapat memberikan pelimpahan suatu tindakan kedokteran atau kedokteran gigi kepada perawat, bidan atau tenaga kesehatan tertentu lainnya secara tertulis dalam melaksanakann... 8. Permenkes No.148 tahun 2010 & No.17 tahun 2013 tentang izin dan penyelenggaran praktik perawat 9. Permenkes No.47 tahun 2018 tentang pelayanan kegawatdaruratan. 10. Permenkes No.585 tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik 11.Permenkes No.290 tahun 2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran



Untuk mengunduh versi lengkap mengenai peraturan perundang-undangan silahkan kunjungi https://www.bit.ly/smart-emergency



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



14 | P a g e



III I TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM Setelah mengikuti materi ini peserta mampu melakukan Basic Life Support (BLS)



TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS Setelah mengikuti materi ini peserta mampu: 1. Menjelaskan konsep Basic Life Support (D-R-C-A-B) 2. Mengidentifikasi faktor penyebab henti napas dan henti jantung. 3. Mengidentifikasi tanda dan gejala henti napas dan henti jantung. 4. Mengatasi masalah henti napas dan henti jantung dengan teknik Cardio Pulmunary Resucitation (CPR) 5. Melakukan Basic Life Support (BLS)



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



15 | P a g e



BASIC LIFE SUPPORT (BLS) I.



KONSEP BASIC LIFE SUPPORT (BLS) A. Pengertian dan Tujuan BLS Basic Life Support (BLS) adalah dasar untuk menyelamatkan nyawa ketika terjadi henti jantung. Aspek dasar dari BLS meliputi pengenalan langsung terhadap henti jantung mendadak dan aktivasi system tanggap darurat, cardiopulmonary resuscitation (CPR) atau resusitasi jantung paru (RJP) dini, dan defibrilasi cepat dengan defibrillator eksternal otomatis/ automated external defibrillator (AED). Pengenalan dini dan respon terhadap serangan jantung dan stroke juga dianggap sebagai bagian dari BHD. Resusitasi jantung paru (RJP) sendiri adalah suatu tindakan darurat, sebagai usaha untuk mengembalikan keadaan henti napas dan atau henti jantung (yang dikenal dengan kematian klinis) ke fungsi optimal, guna mencegah kematian biologis. Tujuan utama dari BLS adalah suatu tindakan oksigenasi darurat untuk mempertahankan ventilasi paru dan mendistribusikan darah-oksigenasi ke jaringan tubuh. Selain itu, ini merupakan usahapemberian bantuan sirkulasi sistemik, beserta ventilasi dan oksigenasi tubuh secara efektif dan optimal sampai didapatkan kembali sirkulasi sistemik spontan atau telah tiba bantuan dengan peralatan yang lebih lengkap untuk melaksanakan tindakan bantuan hidup jantung lanjutan. B. Indikasi Dilakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) Tindakan Resusitasi Jantung Paru (RJP) yang terkandung didalam bantuan hidup dasar sangat penting terutama pada pasien dengan cardiac arrest karena fibrilasi ventrikel yang terjadi di luar rumah sakit, pasien di rumah sakit dengan fibrilasi ventrikel primer dan penyakit jantung iskemi, pasien dengan hipotermi, overdosis, obstruksi jalan napas atau primary respiratory arrest: a. Henti Jantung (Cardiac Arest) Henti jantung adalah berhentinya sirkulasi peredaran darah karena kegagalan jantung untuk melakukan kontraksi secara efektif, keadaan tersebut bias disebabkan oleh penyakit primer dari jantung atau penyakit sekunder non jantung. Henti jantung adalah bila terjadi henti jantung primer, oksigen tidak beredar dan oksigen tersisa dalam organ vital akan habis dalam beberapa detik. Henti jantung dapat disebabkan oleh faktor intrinsik atau ekstrinsik. Faktor intrinsik berupa penyakit kardiovaskular seperti asistol, fibrilasi ventrikel dan disosiasi elektromekanik. Faktor ekstrinsik adalah kekurangan oksigen akut (henti nafas sentral/perifer, sumbatan jalan nafas dan inhalasi asap); kelebihan dosis obat (digitas, kuinidin, antidepresan trisiklik, propoksifen, adrenalin dan isoprenalin); gangguan asam basa/elektrolit (hipo/hiperkalemia, hipo/hipermagnesia, hiperkalsemia dan asidosis); kecelakaan (syok listrik, tenggelam dan cedera kilat petir); refleks vagal; anestesi dan pembedahan. Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tidak teraba (nadi karotis, nadi femoralis, nadi radialas), disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apnea), dilatasi pupil tidak bereaksi dengan rangsang cahaya dan pasien dalam keadaan tidak sadar. b. Henti Napas (Respiratory Arrest) Henti napas adalah berhentinya pernafasaan spontan disebabkan karena gangguan jalan nafas persial maupun total atau karena gangguan dipusat pernafasaan. Tanda dan gejala henti napas berupa hiperkarbia yaitu penurunan kesadaran, hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis. Henti nafas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal,misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh benda asing, tersengat listrik, tersambar petir, serangan infark jantung, radang epiglottis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lain. Pada awal henti nafas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi, pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa menit. Jika henti napas mendapat pertolongan dengan segera maka pasien akan terselamatkan hidupnya dan sebaliknya jika terlambat akan berakibat henti jantung yang mungkin menjadi fatal. c. Tidak sadarkan diri PT SMS Indonesia | Smart Emergency



16 | P a g e



C. Golden Periode Pada kondisi napas dan denyut jantung berhenti maka sirkulasi darah dan transportasi oksigen berhenti, sehingga dalam waktu singkat organ – organ tubuh terutama organ vital akan mengalami kekurangan oksigen yang berakibat fatal bagi korban dan mengalami kerusakan. Organ yang paling cepat mengalami kerusakan adalah otak, karena otak hanya akan mampu bertahan jika ada asupan gula/ glukosa dan oksigen. Jika dalam waktu lebih dari 6 menit otak tidak mendapat asupan oksigen dan glukosa maka otak akan mengalami kematian secara permanen. Kematian otak berarti pula kematian si korban. Oleh karena itu, Golden Periode (waktu emas) pada korban yang mengalami henti napas dan henti jantung adalah dibawah 6 menit. Artinya dalam waktu kurang dari 6 menit penderita yang mengalami henti napas dan henti jantung harus sudah mulai mendapatkan pertolongan. Jika tidak, maka harapan hidup si korban sangat kecil. Kematian dibedakan menjadi dua jenis yaitu: 1. Mati klinis Penderita dinyatakan mati secara klinis apabila berhenti berdenyut. Kematian klinis mungkin masih dapat diubah menjadi hidup kembali apabila dilakukan RJP. 2. Mati biologis Kerusakan sel otak dimulai 6 menit setelah berhentinya pernafasan dan sirkulasi. Setelah 6 menit bisanya sudah terjadi kematian biologis (manusia mulai ―membusuk‖) dan penderita ini tidak dapat dihidupkan kembali. Dengan demikian dalam keadaan mati klinis perlu dilakukan tindakan cepat agar tidak menjadi biologis. Tindakan yang dilakukan secara umum disebut Bantuan Hidup Dasar yaitu segala hal yang bersangkutan dengan Airway, Breathing dan Circulation. Secara khusus tindakan yang dilakukan pada mati klinis adalah Resusitasi Jantung Paru (RJP), Batas waktu 6 menit untuk terjadinya mati biologis jangan dijadikan patokan untuk tidak melakukan RJP. Tanda Kematian pasti : Walaupun penderita belum menunjukkan tanda-tanda pembusukan, namun ada beberapa tanda yang menunjukkan bahwa penderita sudah mati biologis yakni : 1) Kebiruan (livor mortis) Tanda merah tua sampai kebiruan pada bagian tubuh yang terbawa (kalau penderita dalam keadaan terlentang, pada pinggang bagian terbawah 2) Kekakuan (rigor mortis) Anggota tubuh dan batang tubuh kaku, mulai 4 jam, menghilang setelah 10 jam. 3) Pembusukan yang nyata, terutama bau busuk 4) Cedera yang tidak memungkinkan penderita hidup seperti putusan kepala dll. 5) Dalam keadaan darurat, jarang terjadi bahwa penderita sudah menunjukkan tanda-tanda kematian pasti. Dalam keasaan ini tetap dilakukan RJP. II.



CHAIN OF SURVIVAL/RANTAI KELANGSUNGAN HIDUP The Chain of Survival/ rantai kelangsungan kehidupan adalah sebuah protokol yang membantu responden pertama, penyedia layanan gawat darurat medis dan orang awam bersertifikat menyediakan pelayanan penting untuk korban tersedak atau serangan jantung dan pernafasan.tujuan dari rantai kelangsungan hidup adalah untuk meningkatkan kesempatan pasien untuk pemulihan melalui tindakan dini. Rangkaian tindakan yang dilaksanakan pada awal dari setiap kasus kegawatan medik untuk memberikan bantuan/ pertolongan dengan tujuan mempertahankan kelangsungan hidup. Rekomendasi terbaru AHA 2020, rantai kelangsungan hidup dipisahkan antara perawatan pasien yang mengalami serangan jantung diluar rumah sakit/ Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) dengan pasien yang mengalami serangan jantung di rumah sakit/ Intra Hospital Cardiac Arrest (IHCA). Pasien yang mengalami serangan jantung diluar rumah sakit lebih banyak ditemukan oleh orang awam, namun penemu pertama tersebut harus mengenali adanya serangan jantung, meminta bantuan dan memberikan pertolongan pertama dengan segera memulai Resusitasi Jantung Paru (RJP) pada pasien tersebut. Apabila di tempat kejadian tersebut terdapat fasilitas Automated External Defibrilator (AED), maka penolong tersebut harus dapat menggunakan alat tersebut untuk membantu menyelamatkan pasien tersebut, sampai pada akhirnya petugas kesehatan yang terlatih tiba di tempat dan mengambil alih penyelamatannya. Kemudian membawa pasien tersebut ke fasilitas PT SMS Indonesia | Smart Emergency



17 | P a g e



kesehatan. Sebaliknya jika pasien yang mengalami serangan jantung berada di rumah sakit, maka team dari petugas kesehatan yang meliputi dokter, perawat, ahli terapi pernafasan dapat langsung memberikan pertolongan. Sistem gawat darurat yang secara efektif menerapkan jalur ini dapat meningkatkan harapan hidup pasien dengan henti jantung. Semua tindakan yang dilakukan harus dilaksanakan secara berkesinambungan, saling berkaitan satu sama lain seperti satu mata rantai/ Chain of Survival. Semakin cepat penolong masuk kedalam suatu mata rantai dan kemudian dapat beralih pada mata rantai berikutnya, semakin tinggi tingkat keberhasilan dari pertolongan tersebut.



Gambar: Chain Of Survival For Adult (AHA 2020)



PEDIATRIC CHAIN OF SURVIVAL Henti jantung pada anak seringkali merupakan lanjutan dari gagal nafas dan syok. Mengenali anak dengan masalah ini sangat penting untuk mencegak terjadinya henti jantung dan memaksimalkan keselamatan dan pemulihan. Oleh karena itu, elemen ―pencegahan‖ ditambah pada children chain of survival: 1. Prevention of arrest (Cegah terjadinya henti jantung) 2. Early high-quality by stander CPR 3. Rapid activation of the EMS (Segera aktifkan SPGDT/minta pertolongan) 4. Effective advance life support (including fapid stabilitation and transport to definitive care and rehabilitation 5. Intregrated post-cardiac arrest care 6. Recovery



Gambar: Chain Of Survival For Child And Pediatrik (AHA 2020) PT SMS Indonesia | Smart Emergency



18 | P a g e



KLASIFIKASI USIA Dewasa >> mulai dari adanya tanda tanda pubertas Anak >> 12bulan/1 tahun sampai tanda-tanda pubertas (+) Bayi >> >Amankan) Aman Diri Sendiri(memakai APD) Aman Lingkungan(Pastikan lingkungan aman (tempat datar, tidak berarir dan keras), bila didalam kerumunan banyak orang, instruksikan keluar ruangan (IHCA) atau menjauh (OHCA)dan instruksikan satu orang untuk tinggal atau mendampingi sebagai saksi (OHCA). Aman Korban(kunci brankar dan pasang handrail (IHCA)) Langkah 2 Response (Cek Respon) Untuk memeriksa respon korban, berikan rangsangan untuk membangunkan korban, diantaranya: Panggil korban Tepuk pundak korban



Gambar: aman diri (APD)



Jika korban tidak ada respon, segera minta bantuan dan Gambar: cek respon cari norang sebagai saksi saat menolong (Call for Help) - Pra rumah sakit/ Perkantoran/area kerja Telpon pusat komando bantuan kegawatdaruratan untuk mengirim ambulans dan atau petugas medis - Rumah sakit Aktifkan kode blue/team cepat tanggap PT SMS Indonesia | Smart Emergency



19 | P a g e



Bila penolong sendirian Segera ambil AED (OHCA) atau trolly emergency (IHCA). Bila terdapat orang lain, minta orang tersebut untuk aktivasi emergency dan ambil AED (OHCA) serta mendampingi penolong sebagai saksi. Circulation (Cek Nadi) Periksa nadi dan pernafasan secara bersamaan, Waktu pemeriksaan nadi kurang dari 10 detik



Gambar : Cek nadi karotis dan pernafasan



Raba nadi karotis dengan cara: -Arahkan lengan ke bagian trakhea (sisi terdekat dari penolong) mengguanakn 2 atau 3 jari. -Rasakan denyut nadi dalam waktu < 10 detik - Dan lihat sekilas pada pengembangan dada korban



Perhatian - Bernapas nomal dan nadi teraba Monitor pasien/ROSC (IHCA), posisi pemulihan (Recovery position) (OHCA). Posisi pemulihan dilakukan untuk mencegah terjadinya aspirasi karena cairan air liur dan muntah - Tidak bernpas normal namun nadi teraba Lakukan rescue breathing /pemberian bantuan napas 10x/menit (tiap 6 detik) dan chek nadi tiap 2 menit. Lakukan high quality CPR bila nadi dirasa tidak teraba. - Tidak bernapas normal/agonal gasping dan nadi tidak teraba Lakukan high quality CPR. Napas agonal gasping adalah pernapasan tidak normal dan menjadi tanda terjadinya henti jantung, dan atau muncul dlam menit pertama setelah henti jantung. Korban dengan napas agonal gasping tampak bernapas cepat atau lemah, mulut terbuka, rahang kepala atau leher bergerak mengikuti irama gasping. Suara ini dapat terdengar mendengkur, mendengus ataupun mengerang. Langkah 3 Compression (Teknik Kompresi) Buka baju sampai bagian dada terlihat jelas, dan untuk memungkinkan pemasangan pad jika bantuan yang membawa AED datang. Langkah Tindakan 1 Posisikan diri penolong disebelah badan korban Pastikan korban di posisi terlentang, di atas alas keras dan rata 2 Jika telungkup, balikan badan korban dengan hati-hati. Jika dicurigai cedera spinal lakukan logroll untuk membalikan badan. Tempatkan Tumit tangan pada mid tulang sternum 3 4 Posisi tangan tegak lurus, dorong ke bawah dengan bahu Tekan cepat dan keras Tekan sedalam 2 inch (6 cm) 5 Kecepatan sekurang-kurangnya 100-120x/menit Perbangdingan kompresi 30:2 (cara hitung: 1,2,3...29,30 >> dst) 6 Pastikan recoil dada (dada ke posisi awal kembali) 7 Minimalkan interupsi antar kompresi (tidak lebih dari 10 detik)



Gambar: teknik kompresi



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



20 | P a g e



Langkah 4 Airway (Buka Jalan Napas) Teknik pembebasan jalan nafas : Head tilt- chin lift (angka dagu-tengadahkan kepala) Dilakukan pada korban yang tidak dicurigai terdapat cedera servikal/spinal



Gambar: teknik head tilt-chin lift



Gambar: teknik manuver jaw thrust



Jaw Trust (Dorong rahang bawah) dan Chin Lift (Angkat Dagu) Jika korban dicurigai cedera servikal (patah tulang leher), lakukan jaw trust atau chin lift (angkat dagu) Langkah 5 BREATHING (PERNAFASAN) Perbandingan Saat CPR, setelah 30 kompresi berikan 2 kali nafas Berikan Nafas bantuan dengan cara : Mouth to Mouth (Mulut ke mulut) (tidak dianjurkan kontak langsung untuk menghindari resiko infeksi) Dianjurkan Langsung Menggunakan Bag Valve Mask untuk pemberian Breathing.



Segera lanjutkan kompresi setelah pemberian 2 kali ventilasi, tidak lebih dari 10 detik Gambar: teknik kompresi & ventilasi



ATTENTION Bila tidak terdapat BVM untuk memberikan nafas bantuan, maka lakukan Hand Only CPR (Hanya Kompresi Dada).



RJP DEWASA 2 PENOLONG CPR dengan 2 orang penolong, masing-masing penolong memiliki tugas spesifik masingmasing, diantaranya: -



Segera gunakan AED (OHCA)/defribilator (IHCA) Saat penolong kedua datang membawa AED (paska aktivasi emergency), penolong kedua sesegera mungkin memberikan AED kepada penolong pertama untuk mengoperasikan AED, sementara penolong kedua menggantikan RJP.



-



Segera lakukan high quality CPR atau ikuti sesuai intruksi AED hingga team advance datang



-



Penolong harus bergantian dalam melakukan kompresi tiap 2 menit, bila memakai AED, pergantian kompresi dilakukan mengikuti instruksi AED



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



21 | P a g e



Bila AED tidak tersedia namun terdapat BVM: Penolong Posisi Tugas Melakukan kompresi dada - Kompresi dada sedalam 2 inchi (6 cm) - Kompresi dengan kecepatan sekurangkurangnya 100-120x/menit - Perhatikan recoil setiap kompresi Penolong 1 - Kurangi interupsi saat kompresi - Gunakan rasio kompresi pernapasan 30:2 (Jika ad BVM) - Hitung kompresi dengan suara keras (cara hitung: 1,2,3...29,30 >> dst) Ganti tugas dengan penolong 2 setiap 2 menit Buka jalan nafas menggunakan tehnik : - Head tilt-chin lift - Jaw Thrust (curiga trauma servikal/spinal) Berikan nafas dengan teknik VE Grip, lihat kenaikan dada dan hindari ventilasi (Pemberian Penolong 2 nafas) yang berlebihan Pastikan penolong 1 melakukan kompresi dengan benar Ganti tugas dengan penolong 2 setiap 2 menit atau jika penolong 1 kelelahan Di kepala korban



Di samping korban



-



RJP ANAK/BAYI 1 PENOLONG Langkah 1 Danger (Bahaya >> Amankan) Aman Diri Sendiri (memakai APD) Aman Lingkungan (Pastikan lingkungan aman (tempat datar, tidak berarir dan keras), bila didalam kerumunan banyak orang, instruksikan keluar ruangan (IHCA) atau menjauh (OHCA) dan instruksikan satu orang untuk tinggal atau mendampingi sebagai saksi (OHCA). Aman Korban (pastikan korban dalam kondisi aman) Langkah 2 Response (Cek Respon) Untuk memeriksa respon korban, berikan rangsangan untuk membangunkan korban, diantaranya: Gambar: aman diri (APD) Panggil korban Tepuk bahu korban (anak) Atau tepuk telapak kaki (bayi) Jika korban tidak ada respon (Call for Help), segera minta bantuan atauaktifkan emergency dg telp.bila memngkinkan Circulation (Cek Nadi + Chek Nafas) Periksa nadi dan pernafasan secara bersamaan, Waktu pemeriksaan nadi maksimal < 10 detik -Chek nadi anak:Palpasi nadi karotis dan Chek Nafas -Chek nadi Bayi: Palpasi pada Nadi brachialis dan Chek Nafas, Tempatkan 2/3 jari penolong di bagian dalam lengan atas bayi, ditengah antara siku dan bahu. - Rasakan denyut nadi dalam < 10 detik. Gambar : Cek nadi & napas



Gambar: Chek Brachialis



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



22 | P a g e



Perhatian 1. Bernapas nomal dan nadi teraba Monitor pasien/ROSC atau aktifkan emergency jika belum dilakukan. 2. Tidak bernpas normal namun nadi teraba Lakukan rescue breathing /pemberian bantuan napas 20-30 x/menit (tiap 2-3 detik) dan chek nadi tiap 2 menit. Lakukan high quality CPR bila nadi dirasa tidak teraba. Langkah 3 Compression (Teknik Kompresi) Buka baju sampai bagian dada terlihat jelas, dan untuk memungkinkan pemasangan pad jika bantuan yang membawa AED datang. Langkah Tindakan 1 Posisikan diri penolong Anak: 2 telapak tangan seperti pada korban dewasa atau dengan satu tangan Bayi: teknik 2 jari (1 penolong) – teknik 2 ibu jari melingkar dada (2 penolong) 2



3



4 5



Gambar: compressi pada bayi Gambar: compressi pada anak Tekan cepat dan keras Tekan sedalam 2 inch (5 cm)atau minimal 1/3 diameter posterior (AP) dinding dada >>anak Tekan sedalam 1,5 inch (4 cm)>> bayi Kecepatan sekurang-kurangnya 100-120x/menit Perbangdingan kompresi 30:2 (cara hitung: 1,2,3...29,30 >> dst) Pastikan recoil dada (dada ke posisi awal kembali) Minimalkan interupsi



Langkah 4 Airway (Buka Jalan Napas) Teknik pembebasan jalan nafas : Head tilt- chin lift (angkat dagu-tengadahkan kepala) Dilakukan pada korban yang tidak dicurigai terdapat cedera servikal/spinal Jaw Trust (Dorong rahang bawah) Jika korban dicurigai cedera servikal (patah tulang leher), lakukan jaw trust atau chin lift (angkat dagu) Maksimalkan patensi jalan napas dengan memposisikan leher bayi pada posisi sniffing hingga ear canal sejajar dengan bahu bayi (AHA 2020). hati-hati saat menengadahkan kepala. Untuk bayi, tidak boleh terlalu tengadah karena ini akan menutup jalan nafas korban. Pembebasan jalan napas pada bayi dilakukan dengan cara memberikan sedikit ganjaran pada punggung penderita. Hal ini untuk menyeimbangkan dengan bentuk kepala bayi yang secara proporsi lebih besar dibandingkan tubuhnya. Gambar: Sniffing Position



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



23 | P a g e



Langkah 5 BREATHING (PERNAFASAN) Perbandingan Saat CPR, setelah 30 kompresi berikan 2 kali nafas Berikan Nafas bantuan dengan cara : Mouth to Mouth (Mulut ke mulut) (tidak dianjurkan kontak langsung untuk menghindari resiko infeksi). Gunakan Bag Valve Mask (BVM) untuk pemberian Breathing Segera lanjutkan kompresi setelah pemberian 2 kali ventilasi. Setelah 2 menit CPR bila bantuan masih belum datang dan belum aktifasi emergency (tidak membawa hanphone), tinggalkan korban dan aktivasi emergency serta ambil AED (Gunakanlah AED dengan segera (OHCA) (jika ada)).



RJP ANAK/BAYI 2 PENOLONG CPR dengan 2 orang penolong, masing-masing penolong memiliki tugas spesifik masingmasing, diantaranya: - Segera gunakan AED (OHCA)/defribilator (IHCA) Saat penolong kedua datang membawa AED (paska aktivasi emergency), penolong kedua sesegera mungkin mengoperasikan AED - Segera lakukan high quality CPR atau ikuti sesuai intruksi AED hingga team advance datang Teknik kompresi pada anak dengan teknik 2 telapak tangan sama dengan kompresi dewasa atau 1 tangan (sama seperti pada CPR 1 penolong). Teknik kompresi pada bayi dengan teknik 2 ibu jari melingkar dada. - Perbandingan Kompresi ventilasi pada anak dan bayi dengan 2 penolong menggunakan perbandingan 15:2 - Penolong harus bergantian dalam melakukan kompresi tiap 2 menit, bila memakai AED, pergantian kompresi dilakukan mengikuti instruksi AED. - Bila AED tidak tersedia namun terdapat BVM: Penolong pertama disamping korban melakukan kompresi – penolong kedua diatas kepala korban untuk memberikan ventilasi – pergantian posisi tiap 2 menit atau jika penolong kelelahan VENTILASI A. Perbandingan compressi dan ventilasi Pemberian ventilasi pada pasien henti jantung tanpa alat bantu napas lanjut berbeda dengan pasien henti jantung yang sudah terpasang alat bantu napas lanjut, berikut perbedaannya: 1. Teknik ventilasi tanpa alat bantuan napas lanjut (Bag Valve Mask) - Dewasa: kecepatan kompressi 100-120x/menit Perbandingan kompressi 30:2 - Anak/bayi: kecepatan kompressi 100-120x/menit Perbandingan kompressi 30:2 (1 penolong) Perbandingan kompressi 15:2 (2 penolong) 2. Teknik ventilasi yang telah terpasang alat bantu napas lanjut (laryngeal mask airway dan endotraceal intubation) - Kecepatan kompressi 100-120x/menit - Pemberian ventilasi tiap 6 detik/10x/menit - Kompressi dan ventilasi dilakukan masing masing tanpa perbandingan B. Resque Breathing Resque breathing/bantuan napas yang diberikan pada korban henti jantung yang teraba nadi namun tidak ada napas/napas agonal gasping, caranya sebagai berikut: Dewasa: diberikan tiap 6 detik (10 x/menit) Anak/bayi: diberikan tiap 2-3 detik (20-30 x/menit) Catatan: PT SMS Indonesia | Smart Emergency



24 | P a g e



III.



tiap pemberian 1x ventilasi dalam waktu lebih dari 1 detik perhatikan pengembangan dada saat memberikan ventilasi saat memberikan ventilasi teknik EC Grip (1 penolong)/ VE Grip (2 penolong) harus selalu diperhatikan chek nadi tiap 2 menit



AED (AUTOMATED EXTERNAL DEFRIBILATOR) Adalah alat portable yang dapat menganalisa seacara otomatis irama yang memerlukan kejut listrik. Defribilasi segera merupakan salah satu bagian dari rantai kelangsungan hidup korban henti jantung dengan irama ventrikel fibrilasi/ventrikel takikardi tanpa nadi. Oleh kareta itu, sarana publik sekarang ini sudah banyak yang menyediakan AED, diantaranya bandara, mall-mall besar, pabrik, perkantoran, fasilitas pendidikan dan fasilitas kesehatan. Untuk model ataupun tipe AED sangat bervariatif tergantung merk dagang masingmasing, namun langkah-langkah penggunaan AED secara umum sama. Berikut Langkahlangkah penggunaan AED: 1. Buka tas dan Nyalakan AED atau tekan ―Power On‖ Ada beberapa AED yang menyala otomatis tanpa tekan tombol on jika penutup AED dibuka 2. Ikuti instruksi selanjutnya: a. Tempelkan Pad pada dada korban (tanpa menghentikan kompresi) - Pilih pad yang sesuai (dewasa / anak) - Jangan lupa lepas perekat/pelindung pad AED - Pasang kabel konektor AED (ada beberapa AED kabel konektor tidak langsung terpasang)



Gambar: Pemasangan pad deawasa & anak



b. Saat AED menginstruksikan ―don’t touch patient‖ atau ―clear‖ saat itu juga AED akan menganalisa irama, pastikan tidak ada yang menyentuh korban agar penilaian AED lebih akurat(penolong kedua dalam posisi siap menggantikan penolong pertama untuk melakukan compressi). Beberapa AED ada juga yang menginstruksikan tekan tombol untuk analisa irama terlebih dahulu (analisa irama tidak langsung secara otomatis) c. Bila AED mengistruksikan ―Shock‖, maka AED akan mengatakan ―clear the victim dan delive shock‖ - Pastikan ulang tidak ada seorangpun yang menyentuh korban dengan mengatakan ―every body clear‖ atau ―clear‖ - Kemudian baru tekan tombol ―shock‖ d. Perhatikan jika tidakada instruksishock atau setelah pemberian shock segera lanjutkan kompresi dada e. Setelah 2 menit compressi ventilasi, AED akan menginstruksikan untuk mengulang point 2a-2c atau AED akan langsung memberi instruksi ―don‘t touch patient‖ketika muncul irama ventrikel takikardi tanpa nadi/ventrikel fibrilasi saat analisa 2 menit setelah compressi ventilasi Penggunaan AED pada korban KHUSUS 1. Korban dengan dada berbulu: - Cukur area dada yang akan dipasang pad (beberapa tas AED ada yang mempunyai tempat khusus untuk penempatan alat cukur) - Bila didalam tas AED ada pad AED 2 set, tempelkan 1 set pad AED pertama serekat mungkin untuk menarik/mengangakat bulu dada dengan cepat, kemudian tempelkan kembali 1 set pad yang kedua. 2. Korban dengan dada basah/berkeringat - Jika dada berkeringat, keringkan dada terlebih dahulu sebelum menempelkan pad AED - Jika masih dekat peraian (pasca tenggelam), keluarkan/jauhkan korban dari perairan 3. Korban dengan terpasang pacemaker/implanted defribilator yang kehabisan batrai PT SMS Indonesia | Smart Emergency 25 | P a g e



- Korban yang berisiko tinggi terkena serangan henti jantung, lebih seringnya langsung melakukan operasi pemasangan pacemaker yang dapat memberikan shock secara otomatis - Hindari pemasangan pad AED diatasnya pacemaker - Langkah-langkahnya sama yaitu dengan mengikuti instruksi AED IV.



RECOVERY POSITION Korban non traumadiluar rumah sakit (OHCA) yang sudah pulih kembali denyut jantung dan pernapasannya (nadi dan napas ada) setelah dilakukan CPR, makadilakukan posisi recovery (dimiringkan) agar mencegahterjadi aspirasi pada korban yang tidak sadar, posisi tersebut dilakukan sampai bantuan yang lebih ahli datang.



Gambar : Recovery Position V.



VI.



KOMPLIKASI CPR Selain manfaat yang didapat dari tindakan Bantuan Hidup Dasar (CPR), ada pula komplikasi yang kemungkinan bisa terjadi, antara lain: 1. Komplikasi ventilasi a. Regurgitasi, aspirasi isi lambung b. Gastric insuflasi (Penumpukan udara dilambung) c. Peningkatan tekanan intrathoraks (menurunkan cardiac output) 2. Komplikasi compressi a. Fraktur sternum/ costae/iga b. Pneumothoraks, hemotoraks, kontusio c. Flail chest d. Emboli udara e. Ruptur aorta f. Luka organ lain seperti Laserasi/ruptur hati, limpa dll PENGHENTIAN CPR CPR dihentikan apabila: 1. Jantung sudah berdetak ditandai adanya nadi dan nafas spontan atau batuk 2. Setelah 30 menit tidak ada hasil 3. Penolong sudah kelelahan 4. Ada penolong yang lebih ahli/ bantuan datang 5. Sudah ada tanda-tanda kematian: kebiruan, kekakuan, bau busuk, trauma yang memungkinkan tidak bisa tertolong seperti kepala putus 6. Kebijakan SOP rumah sakit 7. Intruksi dokter 8. DNR



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



26 | P a g e



ALOGARITMA TATALAKSANA HENTI JANTUNG DEWASA PEMBAHARUAN AHA 2020 Amankan lokasi kejadian



Korban tidak menunjukan reaksi, teriaklah untuk mendapatkan pertolongan terdekat. Aktifkan system emergency melalui telp. (jika tersedia) Bernapas normal, ada denyut Pantau hingga tenaga medis datang



Bernapas tidak normal, ada denyut



Perhatikan apakah napas terhenti atau tersengal dan periksa denyut (secara bersamaan). Apakah denyut benar-benar ada dalam 10 detik?



Berikan napas buatan: 1 napas tiap 6 detik atau sekitar 10 napas / menit Aktifkan system emergency (jika belum dilakukan) setelah 2 menit Terus berikan napas buatan: periksa denyut nadi setiap 2 menit, jika tidak ada denyut mulai CPR (Lanjutkan ke kotak



Pada saat ini, dalam semua scenario, system emergency atau cadangan telah diaktifkan, serta AED dan peralatan gawat darurat telah tersedia atau seseorang telah menyediakan



Napas terhenti atau tersengal, tidak ada denyut



CPR Mulai siklus 30 kompressi dan 2 napas buatan, gunakan AED segera setelah tersedia



AED tersedia Periksa ritme detak jantung, ritme dapat terkejut? Ya, ritme dapat dikejut



tidak, ritme tidak dapat dikejut



Terapkan 1 kejut, segera lanjutkan CPR kurang lebih 2 menit (hingga AED membolehkan pemeriksaan ritme). Lanjutkan hingga team advance datang atau korban mulai bergerak.



Segera lanjut CPR kurang lebih selama 2 menit (hingga AED membolehkan pemeriksaan ritme). Lanjutkan hingga team advance datang atau korban mulai bergerak.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



27 | P a g e



ALOGARITMA TATALAKSANA HENTI JANTUNG PEDIATRIC SATU PENOLONG PEMBAHARUAN AHA 2020 Amankan lokasi kejadian



Korban tidak menunjukan reaksi, teriaklah untuk mendapatkan pertolongan terdekat. Aktifkan system emergency melalui telp. (jika tersedia)



Bernapas normal, ada denyut Aktifkan system emergency (jika belum dilakukan). Kembali pada korban dan Pantau hingga tenaga medis datang



Bernapas tidak normal, ada denyut



Perhatikan apakah napas terhenti atau tersengal dan periksa denyut (secara bersamaan). Apakah denyut benar-benar ada dalam 10 detik?



Napas terhenti atau tersengal, tidak ada denyut



Berikan napas buatan: 1 napas tiap 2-3 detik atau sekitar 20-30 napas buatan/ menit Tambah compressi jika denyut tetap ≤60/menit dengan tanda perfusi buruk Aktifkan system emergency (jika belum dilakukan) setelah 2 menit Terus berikan napas buatan: periksa denyut nadi setiap 2 menit, jika tidak ada denyut mulai CPR (Lanjutkan ke kotak CPR



YA



Korban terlihat jatuh mendadak?



Aktifkan system emergency (jika belum dilakukan, lalu ambil AED TIDAK



CPR 1 penolong Mulai siklus 30 kompressi dan 2 napas buatan, (jika penolong kedua datang, gunakan rasio 15:2). gunakan AED segera setelah tersedia



Jika penolong masih sendiri kurang lebih setelah 2 menit, aktifkan system emergency. Lalu ambil AED (jika belum dilakukan)



AED Menganalisa ritme, ritme dapat terkejut?



Ya, ritme dapat dikejut



Terapkan 1 kejut, segera lanjutkan CPR kurang lebih 2 menit (hingga AED membolehkan pemeriksaan ritme). Lanjutkan hingga team advance datang atau korban mulai bergerak.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



Tidak, ritme tidak dapat dikejut



Segera lanjut CPR kurang lebih selama 2 menit (hingga AED membolehkan pemeriksaan ritme). Lanjutkan hingga team advance datang atau korban mulai bergerak.



28 | P a g e



ALOGARITMA TATALAKSANA HENTI JANTUNG PEDIATRIC DUA PENOLONG PEMBAHARUAN AHA 2020 Amankan lokasi kejadian



Korban tidak menunjukan reaksi, teriaklah untuk mendapatkan pertolongan terdekat. Penolong pertama tetap mendampingi korban, penolong kedua Aktifkan system emergency serta ambil AED & peralatan gadar



Bernapas normal, ada denyut Pantau hingga tenaga medis datang



Bernapas tidak normal, ada denyut



Perhatikan apakah napas terhenti atau tersengal dan periksa denyut (secara bersamaan). Apakah denyut benar-benar ada dalam 10 detik?



Berikan napas buatan: 1 napas tiap 2-3 detik atau sekitar 20-30 napas buatan/ menit Tambah kompressi jika denyut ≤60/menit dengan tanda perfusi buruk Aktifkan system emergency (jika belum dilakukan) setelah 2 menit Terus berikan napas buatan: periksa denyut nadi setiap 2 menit, jika tidak ada denyut mulai CPR (Lanjutkan ke kotak CPR



Napas terhenti atau tersengal, tidak ada denyut



CPR Penolong pertama Mulai siklus 30 kompressi dan 2 napas buatan, setelah penolong kedua kembali, gunakan rasio 15:2. gunakan AED segera setelah tersedia



Periksa ritme detak jantung, ritme dapat terkejut?



Ya, ritme dapat dikejut



Terapkan 1 kejut, segera lanjutkan CPR kurang lebih 2 menit (hingga AED membolehkan pemeriksaan ritme). Lanjutkan hingga team advance datang atau korban mulai bergerak.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



tidak, ritme tidak dapat dikejut



Segera lanjut CPR kurang lebih selama 2 menit (hingga AED membolehkan pemeriksaan ritme). Lanjutkan hingga team advance datang atau korban mulai bergerak.



29 | P a g e



STANDART OPERASIONAL PROSEDUR Resusitasi jantung Paru Dewasa Tindakan Teknik Menggunakan APD Danger (pastikan aman diri, Perhatikan posisi korban dan lingkungan, apakah ada yang dapat 1 aman lingkungan membahayakan korban/penolong dan aman pasien) Pastikan korban berbaring dipermukaan yang datar dan keras Response 2 (pastikan tidak Tepuk bahu korban dan panggil: ―pak... atau buk.... bangun‖ berespon) 3 T (Tunjuk, Teriak, Telfon) Call for help 3 (aktifkan system Ambil AED dan peralatan gawat darurat atau minta seseorang untuk emergency) mengambilnya Pastikan tidak ada Perhatikan napas berhenti atau tersengal (agonal gasping) dan periksa denyut 4 nadi dan napas nadi carotis secara bersamaan (> Look externally (dari luar) Lihat karakteristik tertentu yang dapat menimbulkan kesulitan pada intubasi atau ventilasi. E >> Evaluatie the 3-3-2 rule Untuk menilai kesegarisan antara faring, laring dari rongga mulut untuk melakukan intubasi sederhana, oleh karena itu harus diperhatikan hubungan dibawah ini: 1. Jarak antara gigi seri pasien sedikitnya harus selebar 3 jari. 2. Jarak tulang tiroid dan dagu sedikitnya harus selebar 3 jari. 3. Jarak tonjolan tiroid dan dasar mulut sedikitnya harus selebar 2 jari PT SMS Indonesia | Smart Emergency



43 | P a g e



M >> Mallampati Hifoparing harus dapat dilihat dengan baik, Hal ini sudah dilakukan secara tradisional dengan menilai Klasifikasi Mallampati. 1. Klasifikasi Mallampati digunakan untuk melihat Hifoparing, ada 4 tingkatan antara lain: 2. Palatum molle, Uvula, Fauces pillar dapat dilihat 3. Palatum molle, Uvula, Fauces dapat dilihat 4. Palatum molle, dasar Uvula dapat dilihat 5. Hanya palatum durum yang terlihat O >> Obstruction Setiap kondisi yang dapat menyebabkan obstruksi airway akan membuat laryngoskop dan ventilasi menjadi sulit. Termasuk dalam kondisi ini adalah: epiglottis, abces peritonsilar dan trauma. N >> Neck Immobility Minta pasien untuk meletakkan dagunya kedada, kemudian menengadah melihat langit-langit kamar. Pasien yang memakai alat imobilisasi kepala benar- benar tidak boleh banyak bergerak untuk mencegah sulitnya intubasi. The 3-3-2 Rule 1. Jarak antara gigi seri atas dan bawah harus minimal 3 jari 2. Jarak antara tulang krikoid dan dagu minimal 3 jari 3. Jarak antara kartilago tiroid dan dagu minimal 2 jari c. Airway Surgical Ketidakmampuan intubasi trachea adalah indikasi jelas untuk surgical airway. Bila oedema glotis,fraktur laring atau perdarahan oropharyngeal airway yang berat menghambat intubasi trachea dapat dipertimbangkan surgical airway. Pemasangan jarum (needle cricothyroidotomy) merupakan cara sementara dalam keadaan emergensi memberikan oksigen sampai dapat dipasang surgical airway. Apabila pemasangan intubasi gagal atau tidak bisa dilakukan (misalnya pada fraktur mid face) maka tindakan alternatif yang dapat dilakukan adalah tindakan surgical. Tindakan surgical yang dapat dilakukan adalah dengan cricotiroidotomi. Tindakan cricotiroidotomi bagi perawat hanya diperkenankan needle cricotiroidotomi yaitu penusukan jarum besar (IV catheter no. 14) ke membrana krikotiroidea untuk membuat jalan napas,jarum kemudian dihubungkanke oksigen Gambar: needle cricothyroidotomy 15L/menit dengan memakai y-conector, atau dengan tube yang telah dilubangi pada sisinya. Kemudian dilakukan tindakan insufflation, 1 detik tutup, 4 detik buka dengan memakai ibu jari atau buka/tutup Y-conectornya. Tindakan ini merupakan tindakan sementara (maksimal 45 menit) sebelum pemasangan tube cricotirodotomi oleh dokter, Karena CO2 akan tera kum ula si secara perlahan ( ya ng akan berbahaya terutama pada penderita trauma kapitis). Pemasangan jet insufflationharus berhati-hati bila ada obstruksi total glotis oleh benda asing. Walaupun ada kemungkinan benda asing akan terdorong keluar oleh tekanan oksigen, namun ada kemungkinan lain yakni ruptur paru dan pneumotoroks. d. Tracheostomy Indikasi :Tracheostomi dilakukan apabila pemasangan alat Airway di atas tidak berhasil di lakukan. Dilakukan oleh dokter bedah PT SMS Indonesia | Smart Emergency



44 | P a g e



VI.



BREATHING MANAGEMENT Airways yang paten tidak menjamin ventilasi yang adekuat. Bila tidak ada gangguan airway maupun gangguan airway sudah teratasi tatalaksana selanjutnya adalah mempertahankan oksigenasi/ventilasi yang adekuat. Otak dan jantung sangat sensitife terhadap suplay oksigen yang tidak adekuat. Sel-sel akan mengalami kematian hanya beberapa menit tanpa suplay oksigen. Perhatikan usaha pasien untuk bernapas mulai dari pergerakan naik-turun dada dan otot otot bantu pernapasan. Pada pasien sadar, dapat dinilai dengan kemampuan berbiacara, jika pasien dapat berbicara dengan lancar dan jelas dapat diartikan salah satu tanda bahwa frekuensi pernapasan baik, sedangkan pada pasien dengan penurunan kesadaran, selalu chek respon pasien jika tidak berespon lakukan alogaritma bantuan hidup dasar. Penilaian awal yang harus dilakukan setelah melihat kondisi pasca tatalaksana airway atau bila tidak ada gangguan airway adalah melihat keadaan pasien secara umum dengan melakukan tindakan sebagai berikut: A. Menilai frekuensi napas Perhatikan keadaan umum pasien apakah tampak sesak, bernapas cepat atau lambat. Disamping itu juga harus dihitung frekuensi napasnya, berikut Frekwensi pernapasan normal adalah : Dewasa: 12-20 x/menit – abnormal: 20x/menit Anak: 15-30x/menit – abnormal: 30x/menit Bayi: 25-50x/menit – abnormal 50x/menit B. Menilai saturasi oksigen Nilai saturasi oksigen dengan menggunakan alat Pulse oximetry, yaitu suatu alat non invasif yang dapat mengukur saturasi oksigen sehingga dapat membantu penolong untuk mendeteksi dini terjadinya perburukan sistem pulmoner atau kardiovaskular sebelum munculnya gejala klinis yang nyata. Pulse oximetry sangat berguna untuk dipakai pada fase pra rumah sakit karena tingkat akurasi data yang dihasilkan cukup tinggi, mudah dibawa, mudah dalam penggunaan dan dapat digunakan untuk semua jenis umur. Pulse oximetry dapat mengukur saturasi oksihemoglobin (SpO2) arterial sesaat dan frekuensi denyut jantung SpO2 ditetapkan berdasarkan ratio Gambar: Pulse Oxymetry absorpsi sinar merah dan inframerah melalui jaringan. Perubahan absorpsi sinar ini dikarenakan pulsasi darah melalui pembuluh darah dihubungkan dengan microprocessor kecil, untuk menetapkan saturasi arteri dan frekuensi denyut jantung. SpO2 normal adalah > 95%. Apabila SpO2 turun sampai di bawah 90%, kemungkinan besar telah terjadi perburukan pengiriman oksigen ke jaringan dan harus segera melakukan intervensi untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat. Beberapa hal yang bisa menyebabkan hasil Pulse oximetrytidak sesuai dengan kondisi oksigenasi pasien, diantaranya: 1. Perfusi perifer yang buruk syok, vasokontriksi dan hipotensi atau hindari pemasangan pada ekstermitas yang terpasang tensimeter atau ekstermitas yang mengalami cidera. 2. Anemia berat atau haemoragic (>> 21 tetes/menit Cara menghitung lama pemberian Micro : Jumlah cairan = W x jumlah tetes Macro : Jumlah cairan = 3 W atau 4 W x jumlah tetes Keterangan : Jumlah cairan : jumlah cairan infuse 3 atau 4 : adalah factor tetesan infuse, 3 jika 1 cc sama dengan 20 tpm, 4 jika 1 cc sama dengan 15 tpm (liat pada infuse set) W : waktu dalam jam Jumlah tetes : jumlah program infuse per menitnya contoh :berapa jamkah cairan infuse RL 500 cc akan habis jika diprogam 20 tpm? Answer: 500 = 3W x 20 500 = 60W W = 500 : 60 W = 8 jam 20 menit 500 = 4W x 20 500 = 80W W = 500 : 80 W = 6 jam 15 menit



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



58 | P a g e



Ingat! : Setiap Penderita Trauma Yang Nadi Cepat dan Akral Dingin Dianggap Dalam Syok.Kecolongan diagnosis syok paling sering terjadi pada kelompok ini, karena hanya mendasarkan pada tekanan darah sistolik, yang belum turun secara signifikan. Kondisi fisik pasien sangat beragam, mulai dari sangat dramatis seperti hipotensi berat akibat perdarahan. Gejala klinis yang tampak tergantung dari derajat syok yang terjadi: 1. Suhu : hipertermia atau hipotermia 2. Laju jantung : biasanya meningkat 3. Tekanan darah sistolik : meningkat pada awal syok, selanjutnya menurun 4. Tekanan darah diastolik : meningkat pada awal, menurun ketika kompensasi gagal 5. Sistem saraf pusat : delirium, gelisah, disorientasi, koma 6. Kulit : pucat, dingin, sianosis, berkeringat 7. Respirasi : takipnea 8. Kardiovaskuler : takikardia 9. Organ splannik : ileus, perdarahan gastrointestinal 10. Ginjal : penurunan produksi urin Untuk perdarahan internal harus diperhatikan dnegan seksama karena sulit untuk dilihat, dimana kondisi perdarahan internal dapat menyebabkan syok dan harus segera persiapan untuk rujukan ke kamar operasi, yang biasa terjadi perdarahan internal adalah sebagai berikut: rongga thorax, rongga abdomen, rongga pelvis, femur/tulang panjang dan retroperitonial. V. JENIS-JENIS SYOK Syok pada pasien trauma dapat dibagi menjadi haemoragic dan non haemoragic. 1. Syok Hemoragic Perdarahan adalah penyebab syok yang paling untuk dan sering terjadi, dan hampir semua penderita dengan trauma multiple ada kemungkinan hipovolemia. Syok selain hipovolemia memberikan respon sedikit atau singkat, maka dari itu bila terdapat tandatanda syok maka syok dianggap disebabkan karena hipovolemia. Namun harus tetap mempertimbangakan kemungkinan penyebab lain. 2. Syok non hemoragic Syok non hemoragic meliputi syok cardiogenik, syok neurogenik, syok septic, tanponade jantung dan tension pneumothorax a. Syok Septic Syok karena infeksi yang terjadi sesaat setelah trauma jarang terjadi. Namun bila pasien terlembat sampai IGD hingga beberapa jam, hal ini dapat terjadi. Syok septic dapat terjadi pada pasien-pasien dengan luka tembus abdomen dan kontaminaisi pada rongga periotoneal oleh isi usus. Penderita dengan syok septik yang dini mungkin mempunyai peredaran volume yang normal, takikardia yang sedang, kulit berwarna merah jambu yang hangat, tekanan sistolik mendekati normal dan tekanan urat nadi yang lebar. b. Syok Cardiogenik Disfungsi miokardiac dapat terjadi dari trauma tumpul jantung, tamponade jantung, emboli udara atau yang agak jarang infark miokard yang berhubungan dengan cedera penderita. Semua penderita dengan trauma torak harus dilakukan pemeriksaan EKG untuk mengetahui pola cedera yang disritmia. Cedera tumpul jantung mungkin merupakan suatu indikasi pemasangan tekanan vena sentral (CVP) secara dini agar dapat memandu resusitasi cairan dalam situasi ini. c. Syok Neurogenik Cedera intrakranial yang berdiri sendiri tidak menyebabkan syok. Adanya syok pada penderita dengan cedera kepala harus dicari kemungkinan penyebab syok lain. Cedera syaraf tulang belakang mungkin mengakibatkan hipotensi karena hilangnya tonus simpatis kapiler. Ingat, kehilangan tonus simpatis pada kapiler memperberat efek fisiologis dari hipovolemia, dan hipovolemia memperberat efekefek fisiologis denervasi sympatis. Gambaran yang dapat dilihat dari syok neurogenik adalah hipotensi tanpa takikardia atau vasokontriksi kulit. Setiap penderita dengan syok neurogenik pada awalnya harus dirawat untuk hipovolemia, karena kemungkinan terjadinya syok hipovolemia dapat terjadi. PT SMS Indonesia | Smart Emergency



59 | P a g e



d. Tamponade jantung Adalah hal yang paling sering ditemukan pada trauma tembus thorax, tetapi bisa merupakan akibat cedera tumpul di thorax. Takikardi, suara jantung yang menjauh dan pelebaran vena leher dengan hipotensi yang tidak membaik setelah pemberian cairan mengarah ke tanda tanponade jantung. Namun tension pneumothorax juga dapat menyerupai tanponade jantung yaitu pada tension pneumothorax suara napas menjauh atau tidak terdengar dan saat diperkusi hipersonor, sedangkan pada tamponade jantung tidak. e. Tension pneumothorax Adalah benar-benar kegawatdaruratan bedah yang membutuhkan diagnosis dan intervensi segera. Tension pnemothorax berkembang ketika udara memasuki pleura, tetapi mekanisme katup menutup dan mencegah keluar. Adapun atnda dan gejalanya yaitu: distress pernapasan akut, emfisema subkutan, suara napas menjauh, hasil perkusi hipersonor, dan trakea yang bergeser ke arah yang sehat. Jika menemukan tanda gejala diatas segera lakukan dekompresi thorax tanpa harus menunggu diagnosis dan hasil x-ray. Hal yang paling sering terjadi pada penderita trauma adalah terjadinya syok hipovolemia. Syok ini disebabkan karena pergeseran cairan diantara kompartemen cairan di dalam tubuh akibat dari kehilangan darah. Syok hipovolemik adalah keadaan tidak cukup cairan dalam pembuluh darah atau keluaran jantung tidak cukup tinggi untuk mempertahankan peredarah darah, sehingga pasokan oksigen dan bahan bakar ke organ vital terutama otak, jantung, dan ginjal tidak cukup sehingga untuk mempertahankan organ ini tubuh akan mengimbangi dengan menutup nadi pada organ yang kurang vital seperti kulit, usus. Penyebab terjadinya syok hipovolemia adalah tersering karena kehilangan darah akibat perdarahan, kehilangan plasma misal pada luka bakar, dan kehilangan cairan akibat muntah diare yang berkepanjangan.Tanda dan gejala syok hipovolemia: Denyut nadi cepat dan lemah ―Perdarahan atau syok hemaragic merupakan penyebab Akral dingin syok yang paling sering ditemukan pada penderita Sianosis/kebiruan/pucat trauma‖. Sesak napas Kesadaran menurun karena otak kurang suplai oksigen Jika penderita sadar: rasa haus karena cairan dari darah berkurang Syok hipovolemia yang diakibatkan karena perdarahan adalah penyebab terbesar yang sering terjadi pada kasus trauma. VI. PENGELOLAAN SYOK Paaien dengan Cedera diatas diagfragma bisa mengalami perfusi jaringan yang tidak adekuat karena gangguan kerja jnatung akibat kerja jantung akibat cedera tumpul miokardium, tanponade jnatung, tension pneumothorax yang menyebabkan venous return (preload) yang tidak adekuat. Penatalaksanaan awal dari syok diarahkan kepada pemulihan perfusi seluler dan organ dengan darah yang dioksigenasi dengan adekuat. Perlu dilakukan monitoring teratur dari indikator-indikator perfusi penderita agar dapat dilakukan evaluasi respon terhadap terapi dan untuk mengetahui sedini mungkin kalau keadaannya memburuk. Kebanyakan penderita trauma dengan syok hipovolemik memerlukan intervensi pembedahan untuk mengatasi keadaan syok. Karena itu, adanya syok pada penderita trauma menuntut keterlibatan ahli bedah dengan segera.Resusitasi pada pasien syok meliputi: 1. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik ditujukan terhadap diagnosis kelainan yang mengancam nyawa dan meliputi penilaian terhadap ABC. Pencatatan data penting untuk monitoring lebih lanjut. Tanda vital, jumlah urine dan tingkat kesadaran penting untuk dicatat. 2. Menjaga Patensi Jalan Nafas (Airway) Kontrol jalan nafas yang paling ideal adalah dengan melalui intubasi endotrakhea yang bertujuan untuk proteksi jalan nafas, oksigenasi melalui pemberian tekanan positif (baging), menjaga patensi dan pembersihan jalan nafas.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



60 | P a g e



3. Mengontrol Usaha Nafas Adanya usaha nafas pada pasien syok akan meningkatkan konsumsi oksigen, untuk itu usaha nafas harus dikendalikan melalui penggunaan ventilasi mekanik dengan ventilator dan pemberian obat sedasi. Kadar saturasi oksigen dipertahankan diatas 93% dengan PaCO2 dipertahankan pada kisaran 35 – 40 mmHg. 4. Stabilisasi Sirkulasi dan kontrol perdarahan Stabilisasi sirkulasi atau hemodinamik dimulai dengan kecukupan jumlah akses intravena atau jalur infus. Untuk dapat melakukan resusitasi cairan jalur infus dengan ukuran yang paling besar yang dapat dipasang mutlak diperlukan. Jika volume intravaskuler sangat diperlukan, maka posisi trendelenburg (menaikkan kaki diatas level jantung) dapat menolong memberikan tambahan cairan kedalam jantung. Resusitasi cairan dimulai dengan cairan kristaloid yang isotonic. Jumlah cairan dan kecepatan pemberian disesuaikan dengan gangguan hemodinamik yang terjadi. Semakin berat gangguan hemodinamik yang terjadi, semakin cepat dan besar volume yang diberikan. Sebagian besar pasien yang dalam kondisi syok mengalami defisit cairan baik absolute maupun relative. Cairan diberikan secara cepat sebanyak 1000 ml, dengan dilakukan penilaian ulang selesai memberikan cairan. Penanganan kasus syok haemoragik/ hipovolemia diantararanya : a. Penggantian Cairan Intravena Cairan intravena diklasifikasikan menjadi kristaloid dan koloid. Kristaloid merupakan larutan dimana molekul organik kecil dan inorganik dilarutkan dalam air. Larutan ini ada yang bersifat isotonik, hipotonik, maupun hipertonik. Cairan kristaloid memiliki keuntungan antara lain : aman, nontoksik, bebas reaksi, dan murah. Adapun kerugian dari cairan kristaloid yang hipotonik dan isotonik adalah kemampuannya terbatas untuk tetap berada dalam ruang intravaskular. (1) Kristaloid Cairan kristaloid yang paling banyak digunakan adalah normal saline dan ringer laktat. Cairan kristaloid memiliki komposisi yang mirip cairan ekstraselular. Karena perbedaan sifat antara kristaloid dan koloid, dimana kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitial dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang intersisial. Penggunaan cairan normal salin dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan timbulnya asidosis hiperkloremik, sedangkan penggunaan cairan ringer laktat dengan jumlah besar dapat menyebabkan alkalosis metabolik yang disebabkan adanya peningkatan produksi bikarbonat akibat metabolisme laktat. Contoh cairan kristaloit adalah Infuse Ringer laktat, NaCL 0,9% dan Ringer Asesat. (2) Koloid Cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut ―plasma expander‖. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam ruang intravaskuler. Koloid dapat mengembalikan volume plasma secara lebih efektif dan efisien daripada kristaloid, karena larutan koloid mengekspansikan volume vaskuler dengan lebih sedikit cairan dari pada larutan kristaloid. Sedangkan larutan kristaloid akan keluar dari pembuluh darah dan hanya 1/4 bagian tetap tinggal dalam plasma pada akhir infus. Koloid adalah cairan yang mengandung partikel onkotik dan karenanya menghasilkan tekanan onkotik. Bila diberikan intravena, sebagian besar akan menetap dalam ruang intravaskular. Contoh cairan koloit adalah Hess 6%, gelofusin, voluvent, albumin 5% dll (3) Pendekatan asam basa Penentuan tingkat keasaman (pH) dalam tubuh manusia ditantukan oleh konsentrasi ion H⁺. Notasi pH diciptakan oleh seorang ahli kimia dari Denmark yaitu Soren Peter Sorensen pada tahun 1909, yang berarti log negatif dari konsentrasi ion hidrogen. Dalam bahasa Jerman PT SMS Indonesia | Smart Emergency



61 | P a g e



disebut Wasserstoffionenexponent (eksponen ion hidrogen) dan diberi simbol pH yang berarti: ‗potenz‘ (power) of Hydrogen. Rentang konsentrasi normal: Normal: 7,40 (7,35 – 7,45) Viable Range: 6,80 – 7,80



Pemberian cairan kristaloid untuk terapi cairan awal diberikan dalam kondisi hangat dengan suhu berkisar 380C (102.20F) sebelum digunakan. Hal ini untuk mencegah hipotermia yang dapat memperburuk prognosis penderita. Pemberian cairan yang hangat dapat dicapai dengan menyimpan cairan kristaloid di dalam penghangat atau dengan menggunakan oven microwafere. Cairan kristaloid dapat melewati membran semi permiabel pembuluh, tetapi tidak dengan membran sel dan dapat mencapai equilibrium dalam 2-3 jam. Untuk waktu singkat kristaloid akan memperbaiki preload dan cardiac output. b. Akses vena Akses vaskular harus segera clan sebaiknya memakai 2 kateter intro-vena yang besar. Tempat untuk akses vena adalah: (1) vena perifer (2) seksi vena (venous cut down, venoclysis) dan (3) vena sentral. Pada anak kecil usia kurang dari 6 tahun, cars intra-osseus dapat dicoba sebelum vena sentral. Tempat yang baik untuk jalur intravena bagi orang dewasa adalah lengan bawah atau pembuluh darah lengan bawah. Kalau keadaan tidak memungkinkan penggunaan pembuluh darah perifer, maka digunakan akses pembuluh sentral (venavena femoralis, jugularis atau vena subdovio dengan kateter besar). Seringkali akses vena sentral didalam situasi gawat darurat tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna, karena itu bila keadaan penderita sudah memungkinkan, maka jalur vena sentral ini harus diubah atau diperbailki. c. Transfusi darah ―Prinsip pengelolaan dasar yang harus Pemberian darah tergantung dipegang ialah menghentikan perdarahan dan mengganti kehilangan respon korban gawat darurat terhadap volume‖ pemberian cairan seperti diterangkan sebelumnya. Pada fase pra – rumah sakit jarang dilakukan pemberian tranfusi darah. Transfusi darah lazimnya diberikan di pelayanan kesehatan, namun demikian apabila memang dibutuhkan dapat diberikan di rumah sakit lapangan PT SMS Indonesia | Smart Emergency



62 | P a g e



d. Monitor Volume Urine Monitor volume urin yang keluar untuk menganalisa jumlah keseimbangan cairan yang masuk dan cairan yang keluar, sehingga diperlukan pemasnagan kateter urin (faley catheter). Perlu diingat bahwa sebelum pemasangan kateter urin harus diperhatikan dan dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui adakah kontra indikasi pemasangan kateter urin. Kontra indikasi pemasangan kateter urin adalah : Adanya perdarahan pada orifisium uretra externa (OUE). Hematom pada skrotum Posisi prostat tidak teraba/ melayang pada saat rectal touche/ colok dubur. Volume output urin normal adalah: Dewasa :0.5 cc/ kgBB/ jam Anak : 1 cc/ kgBB/ jam Bayi : 2 cc/ kgBB/ jam e. Imobilisasi Fraktur Adanya fraktur baik terbuka ataupun tertutup harus di imobilisasi untuk mengurangi perdarahan yang terjadi serta mengurangi rasa nyeri. Jika jumlah penolong memadai, lakukanlah pembidaian di primary survey, sedangkan jika jumlah penolong terbatas, maka pembidaian dilakukan secondary survey. Catatan: jika terjadi fraktur pada pelvis atau femur maka pembidaian harus dilakukan di primary survey walau jumlah penolong terbatas, karena perdarahan di area tersebut menyebabkan syok cepat. f.



Target Akhir Resusitasi Resusitasi dikatakan berhasil jika mampu memenuhi kriteria sbb: Tekanan darah, laju nadi, produksi urin kembali ke batas normal Volume sirkulasi tercukupi Volume cairan di tiap kompartmen tercukupi Parameter hemodinamik kembali normal Hantaran oksigen maksimal Asidosis jaringan teratasi, metabolisme tubuh kembali ke aerob, kekurangan oksigen tergantikan. Karena jumlah cairan dan darah yang diperlukan untuk resusitasi sukar diramalkan pada evaluasi awal penderita. Evaluasi cairan yang masuk dengan menghitung jumlah urin yang keluar. Respon terhadap pemberian penggantian cairan atau darah ada tiga kemungkinan yaitu : Respon cepat Respon sementara Tanpa respon Respon Cepat Respon Sementara Tanpa Respon Perbaikan sementara Kembali ke tensi dan nadi Tetap abnormal Tanda vital normal kembali turun Minimal (10%Sedang, masih ada Dugaan kehilangan Berat (40%) 20%) (20%-40%) darah Rendah sampai Sedang sebagai Kebutuhan Rendah sedang tanda tranfusi kristaloid Rendah Sedang – tinggi Segera Kebutuhan darah Type spesific dan Type spesific Emergency Persiapan darah crossmatch Mungkin Sangat mungkin Perlu Perlu Operasi Kehadiran dini ahli Perlu Perlu Perlu bedah PT SMS Indonesia | Smart Emergency



63 | P a g e



5. Disability- pemeriksaan neurologis Pemeriksaan neurologic singkat yang dilakukan adalah menentukan tingkat kesadaran dan tanda lateralisasi. 6. Exposure Pemeriksaan menyeluruh setelah menentukan prioritas terhadap keadaan yang mengancam nyawa, penderita dilepas seluruh pakaian untuk mendapatkan gambaran menyeluruh mengenai kelainan yang mengancam nyawa, tetapi harus dicegah hipotermi. 7. Dilatasi gaster – dekompresi Dilatasi gaster kerap kali terjadi pada penderita trauma khususnya pada anak-anak dan mungkin menyebabkan gangguan pernafasan. Syok, walaupun jarang, juga dapat terjadi akibat dilatasi gaster akut. Keadaan ini mempersulit terapi syok dan bisa menyebabkan aspirasi isi lambung dan ini merupakan suatu komplikasi yang fatal. NGT harus terpasang dengan baik dan tersambung pada alat suction yang berfungsidengan baik. Namun, penempatan tube yang baik tidak serta merta menghilangkan resiko aspirasi. 8. Mengontrol Konsumsi Oksigen Penggunaan oksigen yang berlebihan harus dikurangi, seperti kondisi kesakitan, stress, gelisah, dan menggigil. Untuk itu upaya pemberian analgetik, pelumpuh otot, anksiolisis sangat diperlukan. KESIMPULAN Diagnosis syok ditegakkan atas adanya takikardia, takipnea, memanjangnya masa pengisian kapiler, turunnya tingkat kesadaran, dan turunnya tekanan darah yang semuanya merupakan tanda hipoperfusi organ & kebutuhan tubuh adalah oksigen yang lebih banyak. Syok adalah terjadinya metabolime anaerobik selular. Survival penderita bergantung pada hantaran oksigen ke tingkat sel. Prioritas dalam pengelolaan syok adalah mengusahakan sampainya oksigen ke paru-paru. Korban membutuhkan transport cepat ke fasilitas dimana dapat dilakukan kendali perdarahan, penggantian darah yang hilang, oksigenisasi dan ventilasi yang adekuat. Penggantian cairan merupakan komponen penting dalam pengelolaan syok. Kristaloid bukan cairan pengganti yang ideal karena hanya berfungsi sebagai volume expander tanpa kapabilitas mengikat oksigen. Cairan pengganti yang ideal adalah darah.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



64 | P a g e



VI



TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM Setelah mengikuti materi ini peserta mampu memberikan asuhan keperawatan gawat darurat dasar pada trauma.



TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS Setelah mengikuti materi ini peserta mampu: 1. Melakukan asuhan keperawatan gawat darurat dasar pada cedera kepala 2. Melakukan asuhan keperawatan gawat darurat dasar pada trauma spinal 3. Melakukan asuhan keperawatan gawat darurat dasar pada sistem muskuloskeletal 4. Melakukan asuhan keperawatan gawat darurat dasar pada trauma thorak 5. Melakukan asuhan keperawatan gawat darurat dasar pada trauma abdomen 6. Melakukan asuhan keperawatan gawat darurat dasar pada trauma thermal



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



65 | P a g e



KEGAWATAN TRAUMA TRAUMA KEPALA A. PENGERTIAN Trauma kepala atau kapitis merupakan penyebab utama kematian akibat trauma. Trauma kepala drsebabkan benturan pada kepala baik langsung maupun tidak langsung. Secara klinis dapat dilihat adanya gangguan kesadaran. Tindakan pertahanan Jalan nafas, pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama pada kelompok umur produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Tidak hanya berakibat pada tingginya angka kematian pada korban kecelakaan. Justru, yang harus menjadi perhatian adalah banyaknya kasus kecacatan dari korban kecelakaan. Khususnya, korban kecelakaan yang menderita cedera kepala. Cedera kepala adalah proses patologis pada jaringan otak yang bersifat non – degenerative, non – congenital, dilihat dari keselamatan mekanis dari luar, yang mungkin menyebabkan gangguan fungsi kognitif, fisik, dan psikososial yang sifatnya menetap maupun sementara dan disertai hilangnya atau berubahnya tingkat kesadaran. Dari definisi itu saja, kita sudah tahu bahwa cedera kepala sangat berbahaya dan membutuhkan penanganan segera demi keselamatan penderita. Sayangnya, kendati kasus terus meningkat, namun masih banyak pihak yang belum sadar pentingnya kecepatan menolong penderita.Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Pertimbangan untuk rujukan pada korban cidera kepala, perlu dicatantumkan informasi penting sebagai berikut ini:  Umur  Usia  Jenis kelaamin  waktu dan Mekanisme cedera (MOI)  Status Respiratorik dan Kardiovaskular  Pemeriksaan Neurologis (GCS) dan tanda lateralisasi.  Adanya cedera penyerta  Hasil pemeriksaan penunjang diagnostik seperti CT Scan atau Foto rontgen schaedel, apabila dirumah sakit tidak ada fasilitas tersebut segera pertimbangakan untuk rujukan setelah keadaaan pasien stabil. B. ANATOMI DAN FISIOLOGI 1. Kulit kepala Kulit kepala terdiri dari 5lapisan  dikenal dengan istilah SCALP,yaitu: a. Skin/ kulit b. Connective tissue/ jaringan penyambung c. Aponeurosis/ jaringan ikat yang berhubungan langsung dengan tengkorak d. Looseareolar tissue/jaringan penunjang longgar e. Perikranium Kulit kepala memiliki banyak Gambar lapisan kepala pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkannya.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



66 | P a g e



2. Tulang Kepala (Kranium) a. Kalvaria (atap tengkorak) dan b. Basis kranium (dasar tengkorak). Bila terjadi patah tulang terbuka pada tulang kepala, maka diperlukan operasi segera untuk mencegah terjadinya komplikasi selanjutnya seperti infeksi otak dan kejang. Fraktur basis cranium harus menjadi perhatian khusus karena pada kecurigaan hal tersebut dikontra indikasikan pemasangan Naso Pharingeal Airway (NPA), Suction lewat hidung dan pemasangan NasoGastricTube (NGT) sebab kemungkinan mencederai jaringan otak terpapar. Pasien dicurigai fraktur basis cranium ditndai oleh : a. Hematoma periorbrta atau brill hematoma b. Hematoma Retroaurikular atau Battlesign. c. Cairan otak dari hidung atau telinga. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior, fosa media dan fosa posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media adalah tempat lobus ternporahs dan fosa posterior adalah ruang bagi batang otak bawah dan serebelum. Pada Patah tulang kalvaria dapat berbentuk ganis (lineair) yang bisa non impressi (tidak masuk/menekan ke dalam) atau impressi (masuk ke dalam). Bila patah terbuka (ada hubungan dengan dunia luar), maka diperlukan operasi segera. 3. Isi tengkorak Terdiri dari, diantaranya: a. Lapisan pelindung otak (meningen) Terdiri dari: (1) Durameter Duramater adalah lapisan terluar adalah lapisan yang paling tebal diantara semua lapisan. Duramater terdiri dari 2 lapisanyaitu: Lapisan periosteal luar pada duramater melekat di permukaan dalam kranium dan berperan sebagai periosteum dalam pada tulang tengkorak. Lapisan meningeal dalam pada dura mater tertanam sampai ke dalam fisura otak dan terlipat kembali ke arahnya untuk membentuk bagianbagian Falks serebrum, Falks serebelum dan Tentonium serebelum yang memisahkan serebrum dari serebelum (2) Subdur & Epidural Sela diafragma memanjang di atas sela tursika, tulang yang membungkus kelenjar hipofisis Pada beberapa regia, kedua sinus vena yang mengalirkan darah keluar dari otak. Ruang subdural memisahkan dura mater dari arakhnoid pada regia kranial dan medula spinalis. Ruang epidural adalah ruang potelapisan ini dipisahkan oleh pembuluh darah besar, nsial antara periosteal luar dan lapisan meningeal dalam pada dura mater diregia medula spinalis. (3) Piameter Piamater adalah lapisan terdalam yang halus dan tipis, serta melekat erat pada otak. Lapisan ini mengandung banyak pembuluh darah untuk mensuplai jaringan saraf. (4) Arachnoid Arachnoid (antara lapisan duramater dan piamater) yang terletak diantara kedua lapisan tadi dan mengandung sedikit pembuluh darah. Ruang subaraknoid memisahkan lapisan araknoid dari pia mater dan mengandung cairan serebrospinal, pembuluh darah, serta jaringan penghubung seperti selaput yang mempertahankan posisi araknoid terhadap pia mater di bawahnya. Berkas kecil jaringan araknoid, vili araknoid, menonjol ke dalam sinus vena (dural) dura mater. Rongga tengkorak tidak besar, dan tertutup oleh tengkorak yang keras. Perdarahan yang terjadi didalam rongga tengkorak sebanyak 100cc mungkin sudah dapat menimbulkan kematian. Dengan demikian sering dikatakan perdarahan pada penderita cedera kepala tidak dapat menyebabkan syok karena terbatasnya ruang kosong yang dapat menyimpan darah pada tulang tengkorak kepala lebih dari 100 PT SMS Indonesia | Smart Emergency



67 | P a g e



cc, apabila mendapatkan penderita trauma kapitis yang dalam keadaan syok, maka syok tersebut biasanya bukan berasal dari perdarahan di kepala akan tetapi berasal dari tempat lain (rongga toraks, abdomen, tulang pelvis atau tulang panjang). b. Otak Jika terjadi trauma kapitis cenderung terjadi peningkatan tekanan intra kranial (TIK). TIK terdapat dalam keadaan konstan. Jika terjadi peningkatan yang cukup tinggi, hal ini dapat mengakibatkan turunnya batang otak (herniasi batang otak) yang akan berakibat kematian Trauma ataukerusakandi kepaladapatkarena cederalangsung(primer)dan cederayangterjadi kemudian(sekunder). Cedera otak sekunder dapat disebabkan oleh keadaan hipovolemia, hipoksia, hiperkarbia, dan hipokarbia. Kerusakan otak sekunder harus dihindari karena akibat dari diatas dapat mengakibatkan Edema otak, Iskemia otak,dan Infark otak. Otak dapat mengalami pembengkakan (edema), baik karena trauma langsung (primer) ataupun setelah trauma (Sekunder). Pembengkakan otak ini dikenal sebagai edema cerebri dan karena tengkorak merupakan ruangan yang tertutup rapat, maka edema ini akan menimbulkan peninggian tekanan dalam rongga tengkorak (peninggion tekanan intra-kranial). Secarapatologisapapunyangmengenaiotakdapat mempengaruhi tekanan intrakranialyangselanjutnya akanmengganggu fungsi otakyang akhirnya berdampak buruk terhadap penderita. TIK yang tinggi dapat menimbulkan konsekuensi yang mengganngu fungsi otak dan tentunya mempengaruhi pula kesembuhan penderita. Kenaikan TIKtidak hanya merupakan indikasi adanya masalah serius dalam otak tetapi justru sering merupakan masalah utamanya. Klasifikasi



Nilai



Normal



10 mmHg (136 mmH2O)



Tidak Normal



> 20 mmHg



TIK Berat



40 mmHg



Semakin tinggi TIK semakin buruk prognosisnya. Jika terjadi trauma capitis cenderung terjadi peningkatan intra kranial sehingga harus mempertahankan volume intra kranial tetap konstan sesuai hipotesa Monroe Kelli. Berikut Tanda PTIK : Nyeri Kepala Hebat Muntah Proyektil Penurunan kesadaran Tatalaksana : Chek Analisa gas darah Chek Cairan elektrolit Posisi Kepala 15-30 derajat Batang otak, terdiri dari mesencefalon, pons dan medula oblongata. Mesencefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikulasi yang berfungsi mengatur fungsi kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat vital kardiorespiratorik sampai medula spinalis dibawahnya (kauda inguina). Lesi yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat, namun pada pemeriksaan CT Scan kepala lesi dibatang otak Sering tidak tampak terlihat. Cerebelum berfungsi mengatur fungsi koordinasi dan keseimbangan dan PT SMS Indonesia | Smart Emergency



68 | P a g e



terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis batang otak dan kedua hemisfer serebri. Cairan serespinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kemampuan produksi sebanyak 30ml/jam. Pleksus khoroideus terletak pada ventrikel lateralis baik sebelah kanan maupun sebelah kiri, mengalir melalui foramen Monroe ke ventrikel ketiga. Selanjutnya pada di ventrikel kedua mengalir melalui akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel ke empat. Selanjutnya keluar melalui ventrikel dan masuk ke dalam ruang subaraknoid yang berada diseluruh permukaan otak dan medulla spinalis. Cairan serebrospinal akan diserap kedalam sirkulasi vena melalui granulasio araknoid yang teradapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio araknoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan dapat menyebabkan kenaikan Tekanan Intara Kranial (Hidrosefalus komunikan) Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadiruang supratentorial (fosa kronii anterior dan fosa kranii medio) dan ruang infratentorial (foso kraniiposterior). Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer serebri dan batang otak ( pons dan medulla oblongota) dan berjalan melalui celah insisura tentorial. Nervus okulomotorius (saraf orak ketiga) berada disepanjang tentorium, dan saraf ini dapat tertekan pada keadaan herniasi otak yang disebabkan adanya masa supratentorial atau edema otak. Serabut-serabut parasimpatik berfungsi melakukan konstriksi pada pupil mata berada pada permukaan nervus okulomotorius. Paralisis serabut-serabut parasimpatis ini dapat menyebabkan dilatasi pupil karena adanya penekanan akibat aktivitas serabut tersebut tidak dihambat. C. KLASIFIKASI Cedera keapala diklasifikasikan menjadi 3 hal, yaitu: 1. Berdasarkan mekanisme cedera kepala Cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus / tajam. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian atau pukulan akibat benda tumpul. Sedangkan cedera kepala luka tembus disebabkan oleh luka tembak atau luka tusuk. Gambar mekanisme trauma 2. Berdasarkan penilaian GCS Secara umum untuk menetapkan berat ringannya cedera kepala digunakan metode penilaian Glasgow Coma Scale (GCS), yaitu menilai respon Buka Mata pasien, Respon Bicara/Verbal pasien dan respon Motorik, penilaian ini akan menentukan penatalaksanaan selanjutnya.  GCS 14-15 : cedera kepala ringan (CKR)  GCS 9-13 : cedera keapala sedang (CKS)  GCS 3-8 : cedera kepala berat (CKB) 3. Berdasarkan marfologi cedera kepala Berdasarkan morfologi, cedera kepala dibagi menjadi fraktur kranium dan lesi intrakanial a. Fraktur kranial Fraktur kranial dapat terjadi pada bagian atas atau dasar tengkorak, dapat berbentuk garis / linear, atau bintang atau terbuka maupun tertutup. Adanya tanda klinis fraktur dasar tengkorak merupakan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



69 | P a g e



Tanda -tanda tersebut antara lain adaya ekomosis periorbital (Rocoon eyes), ekomosis retroaurikuler (Battle Sign), kebocoran Cairan Cerebrospinal (CSS) seperti Rhinorrhea dan Otorrhea, paresis nervus facialis dan kehilangan pendengaran, yang dapat timbul segera atau beberap hari setelah Gambar perdarah lesi intrakanial mengalami trauma. Fraktur kranial terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput duramater. Adanya fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukan adanya benturan yang cukup hebat / keras. b. Lesi intrakanial Lesi intrakranial diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau lesi difus, walaupun kedua jenis lesi ini sering terjadi secara bersamaan. Yang termasuk lesi fokal adalah perdarahan epidural, perdarahan subdural dan perdarahan intra serebral. Cedera Otak Difus. Pada konkusi ringan penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami amnesia retro / anterograd.Cedera otak difus biasanya disebabkan oleh hipoksia, iskemia dari bagian otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apneu yang segera setelah mengalami trauma. Selama ini dikenal dengan istilah Cedera Aksonal Difus (CAD/DAI) untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk, yang menunjukan adanya kerusakan pada akson yang terlihat pada manifestasi klinisnya. Perdarahan Epidural. Perdarahan epidural relatif jarang ditemukan (0,5%) dari semua penderita cedera kepala, dan yang mengalami koma hanya 9% dari semua penderita cedera kepala. Perdarahan epidual terjadi di luar duramater tetapi masih berada didalam rongga tengkorak, dengan ciri berbentuk Bikonveks



atau



menyerupai



lensa



Gambar perdarahan epidural



cembung. Sering terletak di area temporal atau tempoparietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media, akibat terjadinya fraktur tulang tengkorak namun dapat juga terjadi akibat robekan vena besar.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



70 | P a g e



Perdarahan Subdural Perdarahan subdural lebih sering terjadi dari pada perdarahan epidural (30% pada cedera otak berat). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya



vena-vena



kecil



dipermukaan



kortek serebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat



Gambar perdarahan epidural



dan prognosisnyapun jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan perdarahan epidural. Kontusio dan Perdarahan lntraserebral Kontusio dan Perdarahan lntraserebral sering terjadi (20%- 30% pada cedera otak berat). Sebagian besar terjadi area lobus frontal dan lobus temporal, walaupun demikian dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri didapat dalam waktu beberapa jam atau beberapa hari setelah trauma, kemudian berubah menjadi perdarahan intraserebral yang membutuhkan tindakan operasi segera.



D. PEMERIKSAAN FISIK Setiap korban harus diperiksa secara cepat dan tepat entah berat atau ringannya cidera kepala yang dialami, karena hal ini menetukan penatalaksanaan yang akan dilakukan selanjutnya. Ada 2 penilaian yang dapat dilakukan dengan cepat yaitu penilaian tingkat kesadaran dengan GCS dan tanda lateralisasi. 1. Pemeriksaan tingkat kesadaran Terdapat 3 aspek yang dinalai yaitu menilai respon Buka Mata pasien, Respon Bicara/Verbal pasien dan respon Motorik. Kategori Respon Respon Nilai Respon Buka Mata



Respon Motorik



Respon Verbal



Spontan Perintah verbal Nyeri Tidak ada respon Mengikuti perintah Mengetahui letak nyeri Flexi terhadap nyeri Fleksi abnormal (dekortikasi) Ekstensi (deserebrasi) Tidak ada respon Orientasi baik dan bicara Disorientasi dan berbicara Kata-kata yang tidak tepat Suara yang tidak berarti Tidak ada respon



4 3 2 1 6 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1



2. Lateralisasi Tanda lateralisasi disebabkan karena adanya suatu proses pada satu sisi otak, seperti misalnya perdarahan intrakranial.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



71 | P a g e



Kedua pupil mata harus selalu diperiksa. Biasanya sama lebar dan reaksi sama cepat. Apabila salah satu lebih lebar (lebih dari 1-2mm), maka keadaan ini disebut sebagai anisokoria. Dilakukan perangsangan pada kedua lengan dan tungkai. Apabila salah satu lengan atau dan tungkai kurang atau sama-sekali tidak bereaksi, maka disebut sebagai adanya tanda lateralisasi.



Pupil dilatasi



Pupil konstriksi



An isokor



Pupil normal



Gambar tanda lateralisasi E. PENGELOLAAN Padafaseprarumahsakit tidak banyak yang dapat dilakukan, hanyasajapadahal penting yangharus diperhatikan, yaitu: 1. Primary Survey Lakukan Pemeriksaan dan penanganan: a. Airway dan breathing Terhentinya pernafasan sementra dapat terjadi pada penderita cedera kepala berat dan dapat mengakibatkan gangguan sekunder. lntubasi Endotrakeal (ETT) / Laryngeal Mask Airway (LMA) harus segera dipasang pada penderita cedera kepala berat yang koma, dilakukan ventilasi dan oksigenisasi 100% danpemasangan pulse oksimetri / monitor saturasi oksigen. Tindakan hiperventilasi harus dilakukan secara hati-hati pada penderita cedera kepala berat yang menunjukan perburukan neurologis akut. Gangguan airway dan breathing sangat berhahaya pada trauma kapitis karena akan dapat menimbulkan hipoksia atau hiperkarbia yang kemudian akan menyebabkan kerusakan otak sekunder. Oksigen selalu diberikan, dan bila perafasan meragukan, lebih baik memulai ventilasi tambahan. b. Circulation Hipotensi biasanya disebabkan oleh cedera otak itu sendiri, kecuali pada stadium terminal yaitu bila medulla oblongata mengalami gangguan. Perdarahan intracranial tidak dapat menyebabkan syok Haemoragik pada cedera kepala berat, pada penderita dengan hipotensi harus segera dilakukan stabilisasi dan resusuitasi untuk mencapai euvolemia. Hipotensi merupakan tanda klinis kehilangan darah yang cukup hebat, walaupun tidak selalu tampak jelas. Harus juga di curigai kemugkinan penyebab syok lain seperti Syok Neurologis (Trauma Medula Spinalis), kontusio jantung atau Tamponade" Jantung dan Tension Pneumothoraks. Penderita hipotensi yang tidak dapat bereaksi terhadap stimulus apapun dapat member respon normal segera setelah tekanan darah normal. Gangguan circulation (syok) akan meyebabkan gangguan perfusi darah ke otak yang akan menyebabkan kerusakan otak sekunder. Dengan demikian syok dengan trauma kapitis harus dilakukan penanganan dengan agresif. PT SMS Indonesia | Smart Emergency



72 | P a g e



c. Disability, Exposure. Pada setiap cedera kepala harus selalu diwaspadai adanya fraktur servikal. Cedera otak sering diperburuk akibat cedera sekunder. Penderita cedera kepala berat dengan hipotensi mempunyai status mortalitas 2 kali lebih besar dibandingkan dengan penderita cedera kepala berat tanpa hipotensi, adanya hipotensi akan menyebabkan kematian yang cepat. Oleh karena itu tindakan stabilisasi dan resusitasi kardiopulmoner harus segera dilakukan. 2. SecondarySurvey a. Inspeksi keseluruhan kepala,termasuk wajah  laserasi, adanya darah bercampur cairan otak dari lubang hidung dantelinga b. Palpasi keseluruhan kepala, termasuk wajah  fraktur, laserasi dengan fraktur dibawahnya c. Inspeksi semua laserasi kulit kepala jaringan otak, fraktur tengkorak depresi, kotoran. d. Pemeriksaan minineurologis danmenilai GCS  GCS Ringan (GCS=14-15) Penderita dengan cedera kepala yang dibawa ke Unit Gawat Darurat (UGD) RS kurang lebih 80% dikategorika dengan cedera kepala ringan, penderita tersebut masih sadar namun dapat mengalami amnesia berkaitan dengan cedera kepala yang dialaminya. Dapat disertai dengan riwayat hilangnya kesadaran yang singkat namun sulit untuk dibuktikan terutama pada kasus pasien dengan pengaruh alcohol atau obat-obatan. Sebagian besar penderita cedera kepala ringan dapat sembuh dengan sempurna, walaupun mungkin ada gejala sisa yang sangat kecil. Pemeriksaan CT Scan idealnya harus dilakukan pada semua cedera kepala ringan yang disertai dengan kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit kepala hebat, GCS < dari 15 atau adanya deficit neurologis fokal, foto servical juga harus dibuat bila terdapat nyeri pada palpasi leher. Pemeriksaan foto polos dilakukan untuk mencari Fraktur Linear atau depresi pada servical, fraktur tulang wajah ataupun adanya benda asing di daerah kepala, akan tetapi harus diingat bahwa pemeriksaan foto polos tidak boleh menunda transfer penderita / Medevac ke RSyang lebih memadai. Apalagi bila ditemukan adanya gejala neurologis yang abnormal, harus segera dikonsulkan kepada ahli bedah syaraf. Bila penderita cedera kepala mengalami asimtomatis, sadar, neurologis normal, observasi diteruskan selama beberapa jam dan dilakukan pemeriksaan ulang. Bila kondisi penderita tetap normal maka dapat dianggap penderita aman. Akan tetapi bila penderita tidak sadar penuh atau berorientasi kurang terhadap rangsang verbal maupun tulisan, keputusan untuk memulangkan pendrita harus ditinjau ulang.  Cedera Kepala Sedang (GCS=9-13) Dari seluruh penderita cedera kepala yang masuk ke UGD RS hanya 10% yang mengalami cedera kepala sedang. Mereka pada umumnya masih mampu menuruti perintah sederhana, namun biasanya tampak bingung atau terlihat mengantuk dan disertai dengan defisit neurologis fokal seperti hemiparese. Sebanyak 10% - 20% dari penderita cedera kepala sedang mengalami perburukan dan jatuh dala keadaan koma, pada saat di akukan pemeriksaan di UGD dilakukan anamnesa singkat dan stabilisasi kardiopulmoner sebelum pemeriksaan neurologis dilakukan. Penderita harus dirawat diruang perawatan intensif tau yang setara, dilakukan observasi ketat dan pemeriksaan neurologis serial selama 12-24jam pertama.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



73 | P a g e



 Cedera Kepala Berat (GCS 3-8). Penderita denga cedera kepala berat tidak mampu melakukan perintah sederhana walaupun status kardiopulmonernya telah stabil, memiliki resiko morbiditas dan mortalitas cukup besar. " Tunggu dan Lihat " penderita dengan cedera kepala berat adalah sangat berbahaya, karena diagnosis serta terapi yang sangatlah penting. Jangan menunda transfer / Medevac karena menunggu pemeriksaan penunjang seperti CT Scan. e. Pemeriksaan vertebra servikalis, palpasi adanya rasapegal/nyeridanpakaikan kolarcurigaterjadi fraktur servikal,pemenksaan foto ronsenvertebra servikalis proyeksi lateral bilaperlu f. Penilaian luasnya cedera g. Re-evaluasi secara kontinyu -observasi tanda- tanda perburukan F. KOMPLIKASI 1. Epilepsi Pasca Trauma Suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu setelah otak mengalami cidera karena benturan dikepala. Kejang bisa terjadi setelah beberapa tahun kemudian setelah terjadinya cidera. 2. Afasia Hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena terjadinya cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu memahami/mengekspresikan kata – kata. Bagian otak yang mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus temporalis sebelah kiri & bagian lobus frontalis disebelahnya. 3. Apraksia Ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan ingatan/serangkaian gerakan. Bagian otak yang mengalami kerusakan adalah lobus parietalis/ lobus frontalis. 4. Agnosis Suatu kelainan dimana penderita tidak mampu mengenali wajah yang dulu dikenalnya dengan baik atau benda – benda umum(sendok,pensil). Bagian otak yang mengalami kerusakan adalah lobus parietalis & temporalis. 5. Amnesia Hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat peristiwa yang baru saja terjadi/ peristiwa yang sudah lama berlalu. Amnesia hanya berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam dan akan menghilang dengan sendirinya. Pada cedera otak yang hebat, amnesia bisa bersifat menetap. Bagian otak yang mengalami kerusakan adalah lobus oksipitalis, lobus parietalis, lobus temporalis. 6. Kejang Pasca Trauma Dapat segera terjadi(dalam 24 jam pertama), dini(minggu pertama), atau lanjut(setelah satu minggu). 7. Defisit Neurologis & Psikologis Tanda awal penurunan fungsi neurologis: Perubahan tingkat kesadaran, nyeri kepala hebat, mual/muntah proyektil(tanda dari peningkatan TIK).



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



74 | P a g e



G. PENCEGAHAN 1. Jatuh merupakan penyebab utama cedera kepala, terutama pada anak – anak dan lansia. Meminimalisir kejadian jatuh dapat dilakukan dengan cara memastikan lantai tidak licin, menggunakan alat bantu jalan, dan melakukan pengawasan pada saat anak atau lansia berada di kamar mandi atau berjalan di tangga. 2. Menggunakan helm, baik pada saat mengendarai sepeda atau sepeda motor, maupun saat melakukan aktivitas yang berisiko seperti mengendarai skateboard atau olahraga extreme. 3. Mengendarai mobil dengan aman, yaitu dengan mengenakan sabuk pengaman dan menghindari aktivitas lain seperti menggunakan handphone pada saat sedang mengemudi. Jangan mengemudikan mobil atau kendaraan apapun dalam keadaan tidak sadar penuh, baik karena pengaruh alkohol maupun obat – obatan.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



75 | P a g e



TRAUMA SPINAL A. PENGERTIAN Trauma spinal atau cedera pada tulang belakang adalah cedera yang mengenai servikalis, vertebralis dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang. Trauma pada tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang yaitu ligamen dan diskus, tulang belakang sendiri dan susmsum tulang belakang atau spinal kord. Merupakan keadaan patologi akut pada medula spinalis yang diakibatkan terputusnya komunikasi sensori dan motorik dengan susunan saraf pusat dan saraf perifer. Tingkat kerusakan pada medula spinalis tergantung dari Gambar vertebra servikal keadaan komplet atau inkomple B. ANATOMI Spinal Cord atau Medulla Spinalis merupakan bagian dari Susunan Syaraf Pusat. Terbentang dari foramen magnum sampai dengan La, di L1 melonjong dan agak melebar yang disebut conus terminalis atau conusmedullaris. Terbentang dibawah conus terminalis serabut- serabut bukan syaraf yang disebut filum terminale yang merupakan jaringan ikat.Terdapat31pasangsyarafspinal: 1. 7 pasang syaraf servikal 2. 12 Pasang syaraf Torakal 3. 5 Pasang syaraf Lumbal 4. 5 Pasang syaraf Sakral 5. 3-4 pasang syaraf koksigeal Akar syaraf lumbal dan sakral terkumpul yang disebut dengan Cauda Equina. Setiap pasangan syaraf keluar melalui Intervertebral foramina. SyarafSpinal dilindungi oleh tulang vertebra dan ligamen dan juga oleh meningen spinal dan CSF. Pada orang dewasa, medula spinalis lebih pendek daripada kolumna spinalis. Medula spinalis berakhir kira- kira pada tingkat diskus intervertebralis antara vertebra lumbalis pertama dan kedua. Sebelum usia 3 bulan, segmen medula spinalis, ditunjukkan oleh radiksnya, langsung menghadap ke vertebra yang bersangkutan. Setelah itu, kolumna tumbuh lebih cepat daripada medula. Radiks tetap melekat pada foramina intervertebralis asalnya dan menjadi bertambah panjang ke arah akhir medula (conus terminalis), akhirnya terletak pada tingkat vertebra lumbalis ke-2. Di bawah tingkat ini, spasium subarakhnoid yang seperti kantong, hanya mengandung, radiks posterior dan antenor yang membentuk cauda equina. Kadang-kadang, conus terminalis dapat mencapai; sampai tingkat vertebra lumbalis ke-3. Radiks dari segmen Cl. sampai C7, meninggalkan kanalis spinalis melalui foramina intervertebralis yang terletak pad a sisi supenor atau rostral setiap vertebra. Karena bagian servikalis mernpunyai satu segmen lebih daripada vertebra servikalis, radiks segmen ke-8 meninggalkan kanalis melalui foramina yang terletak antara vertebra servikalis ke-7 dan torasikus ke-1. Dari sini ke bawah, radiks saraf meninggalkan kanalis melalui foramina yang lebih bawah. Antara C4 dan Ta, dan Juga antara L2 dan S3, diameter medula spinalis membesar. Inturnesensra servikal dan lumbalis ini terjadi karena radiks dari separuh bawah bagian servikalis naik ke pleksus brakhialis, mempersarafi ekstnrnitas atas, dan yang dari regio lumbo- sakral membentuk pleksus lumbosakralls, mempesarafi ekstrimitas bawah. C. ETIOLOGI Penyebab utama cidera spinal pada orang dewasa berdasarkan angka kejadian yang tersering adalah sebagai: a. Tabrakan mobil b. Kecelakaan penyelaman pada perairan dangkal c. Tabrakan sepeda motor d. Jatuh dan cidera lain. Penyebab utama cidera spinal pada anak-anak adalah: PT SMS Indonesia | Smart Emergency



76 | P a g e



a. Jatuh dari ketinggian (2-3x tinggi badan penderita) b. Jatuh dari sepeda c. Tertabrak kendaraan bermotor D. PATOFISIOLOGI Columna



vertebralis



berfungsi



menyokong tulang belakang dan melindungi medula spinalis dan saraf – sarafnya. Cedera medula spinalis dapat terjadi akibat trauma columna vertebra atau ligamen. Umumnya tempat terjadinya cedera adalah pada segmen C1 – 2, C4 – 6 dan T11 – L2, karena segmen ini paling mobile sehingga mudah terjadi cedera. Cedera medula spinalis mengakibatkan perdarahan pada gray matter medula, edema pada jam – jam pertama paska trauma. Mekanisme utama terjadinya cedera vertebra adalah karena hiperekstensi, hiperfleksi, trauma kompresi vertikal dan rotasi, bisa sendiri atau kombinasi. Cedera karena hiperekstensi paling umum terjadi pada area cervikal dan kerusakan terjadi akibat kekuatan akselerasi – deselerasi. Cedera akibat hiperfleksi terjadi akibat regangan atau tarikan yang berlebihan, kompresi dan perubahan bentuk dari medula spinalis secara tiba – tiba. Kerusakan medula spinalis terjadi akibat kompresi tulang, herniasi disk, hematoma, edema, regangan jaringa saraf dan gangguan sirkulasi pada spinal. Adanya perdarahan akibat trauma dari gray sampai white matter menurunkan perfusi vaskuler dan menurunkan kadar oksigen dan menyebabkan iskemia pada daerah cedera. Keadaan tersebut lebih lanjut mengakibatkan edema sel dan jaringan menjadi nekrosis. Sirkulasi dalam white matter akan kembali menjadi normal kurang lenih 24 jam. Perubahan kimia dan metabolisme yang terjadi adalah meningkatnya asam laktat dalam jaringan dan menurunnya kadar oksigen secara cepat 30 menit setelah trauma, meningkatnya konsentrasi norephineprine. Meningkatnya norephineprine disebabkan karena efek sikemia, ruptur vaskuler atau nekrosis jaringan saraf. Trauma medula spinalis dapat menimbulkan renjatan spinal (spinal shock) yaitu terjadi jika kerusakan secara tranversal sehingga mengakibatkan pemotongan komplit rangsangan. Pemotongan komplit rangsangan menimbulkan semua fungsi reflektorik pada semua segmen di bawah garis kerusakan akan hilang. Fase renjatan ini berlangsung beberpa minggu sampai beberapa bulan (3 – 6 minggu). INGAT!!! Setiap cedera tulang belakang, curiga fraktur cervikal = pasang neck collar + Long Spine Board (LSB)



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



77 | P a g e



E. JENIS-JENIS TRAUMA SPINAL 1. Flexion injury Cedera fleksi menyebabkan beban regangan pada ligamentum



posterior, dan selanjutnya dapat



menimbulkan



kompresi



pada



bagian



anterior



korpus vertebra dan mengakibatkan wedge fracture (teardrop



fracture).



Cedera



semacam



ini



dikategorikan sebagai cedera yang stabil. 2. Compression injury



Cedera



kompresi vertical mengakibatkan



pembebanan pada korpus vertebra dan dapat menimbulkan burst fracture.



3. Hyperextension injury Cedera ekstensi biasanya merusak ligamentum longitudinalis



anterior



dan merlimbulkan herniasi diskus. Biasanya terjadi pada daerah leher. Selama kolum posisi



fleksi,



vertebra maka



cedera



dalam ini



masih tergolong stabil. 4. Flexion-rotation injury Beban fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada ligamentum prosesus



posterior



dan kadang juga



artikularis,selanjutnya



mengakibatkan



terjadinya



dislokasi



akan fraktur



rotasional yang dihubungkan dengan slice fracture korpus



vertebra. Cedera ini merupakan cedera



yang paling tidak stabil.



F. TANDA DAN GEJALA a. Tergantung tingkat dan lokasi kerusakan Tanda dan gejala cedera medula spinalis tergantung dari tingkat kerusakan dan lokasi kerusakan. Dibawah garis kerusakan terjadi misalnya hilangnya gerakan volunter, hilangnya sensasi nyeri, temperature, tekanan dan proprioseption, hilangnya fungsi bowel dan bladder dan hilangnya fungsi spinal dan refleks autonom.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



78 | P a g e



b. Perubahan refleks Setelah terjadi cedera medula spinalis terjadi edema medula spinalis sehingga stimulus refleks juga terganggu misalnya rfeleks pada blader, refleks ejakulasi dan aktivitas viseral. c. Spasme otot Gangguan spame otot terutama terjadi pada trauma komplit transversal, dimana pasien trejadi ketidakmampuan melakukan pergerakan. d. Spinal shock Tanda dan gejala spinal shock meliputi flacid paralisis di bawah garis kerusakan, hilangnya sensasi, hilangnya refleks – refleks spinal, hilangnya tonus vasomotor yang mengakibatkan tidak stabilnya tekanan darah, tidak adanya keringat di bawah garis kerusakan dan inkontinensia urine dan retensi feses. e. Autonomik dysrefleksia Terjadi pada cedera T6 keatas, dimana pasien mengalami gangguan refleks autonom seperti terjadinya bradikardia, hipertensi paroksismal, distensi bladder. f. Gangguan fungsi seksual. Banyak kasus memperlihatkan pada laki – laki adanya impotensi, menurunnya sensai dan kesulitan ejakulasi. Pasien dapat ereksi tetapi tidak dapat ejakulasi. Tanda dan gejala yang menjadi indikasi pengelolaan trauma spinal: Nyeri leher atau punggung Nyeri gerak leher atau punggung Nyeri tekan leher posterior atau midline punggung Deformitas kolumna spinalis Paralisis, paresis, baal atau kesemutan pada ekstremitas pasca kejadian Tanda dan gejala syok neurogenik Penurunan fungsi pernafasan Priapismus G. PENATALAKSANAAN Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan pad a usaha mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder. Untuk maksud tersebut dilakukan immobilisasi ditempat kejadian dengan memanfaatkan alas yang keras. Pengangkatan penderita tidak dibenarkan tanpa menggunakan tandu atau sarana apapun yang beralas keras. Selalu harus diperhatikan jalan nafas pernapasan dan sirkulasi. Bila dicurigai cedera di daerah servikal harus diusahakan agar kepala tidak menunduk dan tetap ditengah dengan menggunakan penyanggah leher yaitu neck collar untuk menyangga Ieher pada saat pengangkatan. Primary Survey: Airway, Breathing, Circulation, Disablitiy, Exposure, Foley Catheter, Gastric tube, Heart monitor. Secondary Survey: Anamnesis dan mekanisme trauma, riwayat medis, identifikasi dan mencatat obat yang diberikan kepada penderita sewaktu datang dan selama pemeriksaan dan penatalaksanaa. Penilaian ulang tingkat kesadaran dan pupil, penilaian ulang GCS, penilaian tulang belakang (palpasi, nyeri, paralisis, parastesia, sensasi, fungsi motorik, reflekstendon dalam, pencatatan dan pemeriksaan ulang), evaluasi ulang akan adanya cedera penyerta/ cedera yang tersembunyi. Lakukan log roll untuk evaluasi bagian belakang serta Gunakan Long Spine Board (LSB) untuk immobilisasi dan transportasi H. KOMPLIKASI 1. Neurogenic shock 2. Hipoksia 3. Gangguan paru – paru 4. Instabilitas spinal 5. Orthostatic hipotensi 6. Ileus paralitik 7. ISK (Infeksi Saluran Kemih) 8. Batu saluran kemih 9. Kontraktur 10. Dekubitus 11. Inkontinensia blader 12. Konstipasi PT SMS Indonesia | Smart Emergency



79 | P a g e



TRAUMA THORAX A. LATAR BELAKANG Trauma thoraks merupakan luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut. Trauma thoraks diklasifikasikan dengan tumpul dan tembus. Trauma tumpul merupakan luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang disebabkan oleh benda tumpul yang sulit diidentifikasi keluasan kerusakannya karena gejala – gejala umum dan rancu. Trauma dada menyebabkan hampir 25% dari semua kematian yang berhubungan dengan trauma di amerika serikat setelah masalah airways dan berkaitan dengan 50% kematian yang berhubungan denganmultiple trauma.Pertolongan pertama padapenderita dengan trauma thorax ini dapat di atasi dengantindakan yang sederhana oleh dokter di Rumah Sakit atauparamedis di lapangan, sehingga kemungkingan hidup penderita lebih besar. B. PENGERTIAN Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis akibat gangguan emosional yang hebat. Trauma dada adalah abnormalitas rangka dada yang disebabkan oleh benturan pada dinding dada yang mengenai tulang rangka dada, pleura paru – paru, diafragma ataupun isi mediastinal baik oleh benda tajam maupun tumpul yang dapat menyebabkan gangguan sistem pernapasan. Trauma thoraks adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut. Trauma thoraks diklasifikasikan dengan tumpul dan tembus. Trauma tumpul merupakan luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang disebabkan oleh benda tumpul yang sulit diidentifikasi keluasan kerusakannya karena gejala – gejala umum dan rancu. Kesimpulan : Dari ketiga pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Trauma dada/thorax merupakan suatu kondisi dimana terjadinya benturan baik tumpul maupun tajam pada dada atau dinding thorax, yang menyebabkan abnormalitas (bentuk) pada rangka thorax. Perubahan bentuk pada thorax akibat trauma dapat menyebabkan gangguan fungsi atau cedera pada organ bagian dalam rongga thorax seperti jantung dan paru – paru, sehingga dapat terjadi beberapa kondisi patologis traumatik seperti haematothorax, pneumothorax, tamponade jantung, dan sebagainya. C. ANATOMI Penilaian yang tepat, cepat dan akurat sangat menentukan tingkat keberhasilan penolong. Keterlambatan dalam identivikasi masalah pada trauma thorax akan menyebabkan keadaan hipoxia (kekukranfan oksigen), hiperkarbia (peningkatan kadar CO2 darah), dan asidosis (akumulasi asam dan penurunan PH darah). 1. Dinding dada Thoraks adalah Gambar anatomi thorax silinder berongga dengan 12 pasang iga, Dinding dada merupakan bungkus untuk organ di dalamnya, yang terbesar adalah jantung dan paru-paru. Bagian bawah tiap iga dilalui sebuah arteri, vena dan saraf. Otot interkostal menghubungkan antar iga. Otot ini dan diafragma merupakan otot pernafasan yang utama. PT SMS Indonesia | Smart Emergency



80 | P a g e



2. Pleura dan paru Pleura merupakan membran tipis yang terdiri dari dua lapisan yang terpisah. Pleura parietal melapisi sisi dalam rongga thoraks dan pleura viseral melapisi permukaan luar tiap paru.Terdapat sedikit cairan diantara kedua permukaan pleura tersebut selanjutnya keluar kembali. Respires: adalah proses biologis pertukaran oksigen dan karbondioksida di antara udara luar dan sel-sel tubuh. Respirasi meliputi ventilasi, setiap individu memerlukan kedua proses tersebut untuk tetap Gambar paru hidup. Saat inspirasi, diafragma dan otot interkostal berkontraksi sehingga diafragma bergerak ke bawah, dada mengembang dan terangakat. Gerakan ini meningkatkan volume rongga toraks. Sebaliknya tekanan intra toraks akan turun (volume dan tekanan berbanding terbalik) hingga mencapai tekanan yang lebih rendah daripada tekanan udara luar tubuh. Hal ini akan menyebabkan udara mengalir masuk ke dalam tubuh melalui jalan napas. Pada dasarnya proses pernafasan bertujuan untuk memasukkan oksigen ke dalam tubuh, yang kemudian akan berdifusi dalam darah. Gangguan pernafasan akan mengakibatkan gangguan oksigenasi (kadar 0 2 rendah) yang dikenal sebagai hipoksia. Apabila gangguan pernafasan disertai dengan penimbunan C0 2 dalam darah, maka akan timbul juga keadaan hiperkarbia. Trauma thorax dapat diakibatkan luka tumpul atau luka tembus. Luka tembus meliputi luka tembak, tertusuk dan atau terjatuh pada benda yang tajam, pada luka tumpul harus dicurigai adanya peneumothorax, tanponade jantung, flailt chest, kontusio paru ataupun ruptur aorta. Gambar trauma thorax Bila ada hubungan antara udara luar dengan ronggapleura, misalnya karena luka tusuk, maka tekanan positif akan memasuki rongga pleura, sehingga terjadi open pneumo-thorox. Tentu saja paru (bersama pleura viseralis) akan kuncup (collaps). Sedangkan bila karena suatu sebab, permukaan pleura pariltalis robek, dan ada hubungan antara bronchus dengan rongga pleura, sedangkan pleura viserolis tetap utuh, maka udara akan masuk rongga pleuro sehingga dapat terjadi pneumothorax. Dan pada kasus trauma tertutup seperti pada trauma tumpul ini disebut closed pneumo-thorax (simple pneumothorox). Apabila ada suatu mekanisme "ventielasi" sehingga udara dari bronchus masuk rongga pleura, tetapi tidak dapat keluar kembali, maka akan terjadi peumothorax yang semakin berat yang pada akhirnya akan mendorong paru sebelahnya. Keadaan ini dikenal sebagai "tension pneumothorox." Bila terdapat perdarahan dalam rongga pleuro, maka keadaan ini dikenal sebagai hemathorax. trauma thorax tersebut dapat menyebabkan kematian segera (immediate deatg) atau dalam hitungan jam (early death), karena pada trauma thorax masalah yang mungkin timbul pada airway, breathing dan circulation seperti pada kasus trauma thorax yang disertai trauma laring, dapat menyebabkan obstruksi saluran napas sehingga dapat mengancam nyawa jika tidak dilakukan pemeriksaan yang cepat dan tepat.Untuk mengetahui tanda tersebut, harus dilakukan pemeriksaan dengan cara sebagai berikut: 1. Inspeksi Inspeksi leher dan dinding dada dapat menemukan, deviasi trakhea, distensi vena, memar, luka dada terbuka dan pergerakan dinding dada. 2. Auskultasi Paru-paru harus dilakukan pemeriksaan auskultasi untuk mencari ada tidaknya suara nafas. Suara normal paru-paru adalah vesikuler normal. Auskultasi Cavum Pleura



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



81 | P a g e



dilakukan pada 4 tempat yakni dibawah kedua klavikula, (pada garis midklavikularis), dan pada kedua mid-aksila anterior. Bunyi nafas harus sama antara kiri dan kanan. 3. Perkusi Dengan mengetuk-kan jari tengah terhadap jari tengah yang lain yang diletakkan mendatar di atas dada. Pada daerah paru berbunyi sonor, pada daerah jantung berbunyi redup (dull), sedangkan di atas lambung (dan usus) berbunyi timpani. Pada keadaan pneumothorox akan berbunyi hipersonor, berbeda dengan bagian paru yang lain. Pada keadaan hemothorax, akan berbunyi redup (dull). 4. Palpasi Palpasi pada leher dan thoraks dilakukan untuk , menemukan nyeri tekan, krepitasi tulang dan emfisema subkutis D. GEJALA UMUM Gejala umum yang menyertai trauma thoraks diantaranya: 1. Sesak napas (dispnea) 2. Napas paradoksal (terdapat bagian dari dinding dada yang tidak bergerak atau bergerak berlawanan arah dengan dinding dada yang lain) 3. Napas cepat dan dangkal (takipnea) 4. Kesulitas bernapas dan pengembangan dada tidak simetris 5. Retraksi dinding dada 6. nyeri dada 7. krepitasi dan memar 8. batuk berdarah 9. saturasi oksigen rendah E. KLASIFIKASI Berikut macam-macam Trauma thoraks, yaitu : 1. Open pneumothorax Timbul karena trauma tajam, ada hubungan dengan rongga pleura sehingga paru menjadi kuncup. Seringkali terlihat sebagai luka pada dinding dada yang menghisap pada setiap inspirasi (sucking chest wound). Apabila lubang ini lebih besar dari pada 2/3 diameter trachea, maka pada inspirasi udara lebih mudah melewati lubang dada dibandingkan melewati mulut Gambar open pneumothorax sehingga terjadi sesak nafas yang hebat. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia. Tanda dan gejala:Gejala pada pneumotoraks terbuka (open pneumothorax) adalah nyeripadalokasi yang cidera, napaspendek,danterlihatadabubble (gelembungudara bercampur darah) danterdapat "sucking chestwound"(hisapanbasahsaatudarabergerak keluarmasukrongga pleura melalui defek padadinding dada)



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



82 | P a g e



Penanganan Pada pneumothoraks terbuka, dilakukan pengelolaan dengan menutup lubang pada dinding dada yang dilanjutkan dengan ventilasi tekanan positif. Penutupan luka dilakukan dengan memakai oklusive dressing (kedap udara) di plester 3 sisi. diplestertiga sisi agar terjadi efek dekompresi spontan dan mencegah timbulnya tension pneumothoraks. Sebagaimana penderita trauma lainnya, prioritas pertama Gambar Oklusive Dressing pertolongan adalah bantuan ventilasi, oksigen konsentrasi tinggi dan koreksi hipovolemia. Oklusif dressing sementara yang dapat digunakan adalah Plastic Wrap alau Petroleum Gauze. Apabila dilakukan cara ini maka harus sering dilakukan evaluasi paru. Pada luka yang sangat besar, maka dapat dipakai plastik infus yang digunting sesuai ukuran. 2. Tension pneumothoraks Adanya udara didalam cavum pleura mengakibatkan tension pneumothorak. Apabila ada mekanisme ventilasi karena lubang pada paru maka udara akan semakin banyak pada sisi rongga pleura, sehingga mengakibatkan:  Paru sebelahnya akan tertekan dan mengakibatkan sesak yang berat  Mediastinum akan terdorong dengan akibat Gambar tension pneumothorax timbul syok  Pada perkusi terdengar hipersonor pada daerah yang cedera, sedangkan Pada auskultasi bunyi vesikuler menurun.  Penurunan cardiac output yang biasa dikelompokan ke dalam syok obstruktif. Penyebab tersering dari tension pneumothorox adalah komplikasi penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita yang ada kerusakan pada pleura viseral.Tension pneumothorox juga dapat timbul akibat cidera toraks, misalnya cidera tulang belakang toraks yang mengalami pergeseran. Tanda dan gejala: Tanda dan gejala yang biasanya ditemukan pada tension pneumothoraks adalah terjadinya peningkatan frekuensi pernafasan, nyeri dada, terdapat jejas di daerah thorax, ekspansi dada tidak simetris, JVP meningkat, takikardi, hipotensi terdapat deviasi trakhea ke arah yang sehat dan sianosis. Pada saat auskultasi, suara nafas tidak terdengar pada sisi yang sakit, dan saat perkusi terdengar hipersonor ada sisi yang sakit. Penanganan tension pneumothoraks meliputi pengurangan tekanan rongga pleura dengan cara NeedleThorakosintesis/needle dekompresi. Tentukan garis axila anterior, jarum besar ditusukan pada intercosta 4 atau 5. Sesaat setelah insersi, udara akan mendadak keluar dan tekanan dada akan berkurang. Katup satu arah dapat dipasangkan pada kateter jarum untuk mencegah masuknya udara atau Katup dapat dibuat dengan mudah dan sederhana dengan menggunakan potongan jari sarung tangan steril, lalu lubangi pada ujungnya.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



83 | P a g e



3. Hematothorakmasife Pada keadaan ini terjadi perdarahan hebat dalam rongga dada. Ruang pleura dewasa tiap sisinya dapat menampung 2.500 3.000 cc darah yang berasala dari pembuluh darah interkostal, paruparu atau pembuluh darahnya. Hemotoraks Gambar hemathorax dapat menimbulkan hipovolemia yang merupakan keadaan kritis (syok). Tanda gejala yang biasanya muncul adalah: Gejala Gejala yang dapat dinilai adalah Ekspansi dada tidak simetris, napas pendek, takipneasuara napas menghilang (menjauh) pada sisi yang sakit perkusi redup (dullness) pada sisi yang sakit terdapat tanda klinis syok. Penanganan hemotoraks adalah koreksimasalah ventilasi dan sirkulasi. Oksigen konsentrasi tinggi serta pemberian cairan elektrolit prosedur penderita syok dan segerakolaborasikan ke dokter untuk persiapan pembedahan atau pemasangan chest tube untuk mengeluarkan adarah pada pleura. 4. Flail Chest Terjadinya flail chest dikarenakan fraktur iga multiple pada dua atau lebih tulang dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya segmen flail chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Pada ekspirasi segmen akan menonjol keluar, Gambar flail chest



pada inspirasi justru masuk kedalam yang dikenal dengan pernafasan paradoksal.



Kelainan ini akan mengganggu ventilasi, namun yang lebih diwaspadai adalah adanya kontusio paru yang terjadi. Sesak berat yang mungkin terjadi harus dibantu dengan oksigenasi dan mungkin diperlukan ventilasi tambahan. Tanda & Gejala: Gerakan ujung-ujung tulang iga yang patah akan menimbulkan nyeri yang menyebabkan penderita mengurangi



gerakan untuk



bernafas sehingga udara tidak masuk secara adekuat ke paru-paru. Saat ekspirasi diafragma



bergerak



ke atas,



sela



iga menyempit dan tekanan intratoraks



meningkat segmen flail akan bergerak ke luar dan bukanya ke dalam. Gerak seperti ini disebut gerakan paradoksal. Akibat gerakan paradoks dinding dada adalah berkurangnya



ventilasi



yang



keadaan ini bisa menyebabkan hipoksia dan



hiperkarbia. Penekanan pada paru-paru akan menyebabkan robekan jaringan dan menimbulkan kontusio paru. Tanda dan gejala flail chest:  Gerakandinding dada paradoksal terlihat  Hipoksernia berhubungan dengan kontusio paru.  Peningkatan usahabernapas. PT SMS Indonesia | Smart Emergency



84 | P a g e



 Terhalangnya ekspansi atau pengembangan rangka torakskarenanyeri.  Timbulnya kontusio paru padadaerah dibawah segmen. Penanganan Untuk



mengatasirespiratorydistress adalah



dengan tindakan



oksigenisasi adekuat dan relaksasi atau mengurangi rasa nyeri atau kolaborasi dengan dokterdalam pemberian analgesik kuat.,Tindakan



ini akan mengurangi



gerakan segmen dan nyeri kemudian berikan bantuan ventilasi tekanan positif dengan Bag Valve Mask.Dan dilakukan airway definitif jika oksigen yang diberikan tidak adekuat. 5. Tamponade jantung Luka tembus/ tusuk jantung adalah penyebab kematian utama pada daerah perkotaan.Tamponade jarang terjadi akibat trauma tumpul. Tanda gejala yang sering muncul pada tamponade jantung adalah TRIAS BECK,yaitu: Distensi venajugularis Auskultasi: bunyijantung redup danjauh Adanya tanda-tanda syok gelisah pada tamponade jantung, walaupun penderita datang tidak dalam keadaan sesak namun dalam keadaan syok (syok non hemoragik). Terjadi paling sering karena luka tajam jantung, ataupun trauma tumpul juga dapat menyebabkannya, Karena darah terkumpul dalam rongga perkardium, maka kontraksi jantung terganggu sehingga timbul syok yang berat (syok kardiogenik). Biasanya ada pelebaran pembuluh darah vena leher, disertai bunyi jantung yang jauh dan nadi yang kecil. Penanganan Tindakan pertolongan korban dengan tamponade perikard yaitu perikardiosintesis yang dilakukan oleh dokter. 6. Trauma thoraks lainnya seperti fraktur costa, faktur sternum, kontusio paru, dan pneumotoraks sederhana lainnya, yaitu ruptur aorta, ruptur diafragma, perforasi esofagus dsb. Trauma tersebut sering kali Tidak mungkin dapat dikenali pada fasepra-Rs, karena memerlukan pemeriksaan lanjutan dapat dikenali melalui pemeriksaan radiologi (USG, x-Ray, CT-Scan, dll).



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



85 | P a g e



TRAUMA ABDOMEN A. PENDAHULUAN Salah satu kasus gawat darurat yang memerlukan tindakan segera dimana pasien berada dalam ancaman kematian karena adanya gangguan hemodinamik adalah trauma abdomen di mana secara anatomi organ – organ yang berada di rongga abdomen adalah organ-organ pencernaan. Selain trauma abdomen kasus – kasus kegawatdaruratan pada system pencernaan salah satunya perdarahan saluran cerna baik saluran cerna bagian atas ataupun saluran cerna bagian bawah bila hal ini dibiarkan tentu akan berakibat fatal bagi korban atau pasien bahkan bisa menimbulkan kematian. Oleh karena itu, kita perlu memahami penanganan kegawatdaruratan pada system pencernaan secara cepat, cermat dan tepat sehingga hal – hal tersebut dapat kita hindari. Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun. Mortalitas biasanya lebih tinggi pada trauma tumpul abdomen dari pada trauma tusuk. Walaupun tehnik diagnostik baru sudah banyak dipakai, misalnya Computed Tomografi, namun trauma tumpul abdomen masih merupakan tantangan bagi ahli klinik. Diagnosa dini diperlukan untuk pengelolaan secara optimal. Evaluasi awal sangat bermanfaat tetapi terkadang cukup sulit karena adanya jejas yang tidak jelas pada area lain yang terkait. Jejas pada abdomen dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam. Pada trauma tumpul dengan velisitas rendah (misalnya akibat tinju) biasanya menimbulkan kerusakan satu organ. Sedangkan trauma tumpul velositas tinggi sering menimbulkan kerusakan organ multipel. Perforasi adalah kemungkinan yang bisa terjadi pada trauma abdomen. Gejala perangsangan peritonium yang terjadi dapat disebabkan oleh zat kimia atau mikroorganisme. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya lambung, maka terjadi perangsangan oleh zat kimia segera sesudah trauma dan timbul gejala peritonitis hebat. Bila perforasi terjadi di bagian bawah seperti kolon, mula-mula timbul gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak. Baru setelah 24 jam timbul gejala – gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum. Mengingat kolon tempat bakteri dan hasil akhirnya adalah feses, maka jika kolon terluka dan mengalami perforasi perlu segera dilakukan pembedahan. Jika tidak segera dilakukan pembedahan, peritonium akan terkontaminasi oleh bakteri dan faeses. Hal ini dapat menimbulkan peritonitis yang berakibat lebih berat. Istilah trauma abdomen atau gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan dirongga abdomen yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagian keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering beru tindakan beda, misalnya pada obstruksi, perforasi atau perdarahan, infeksi, obstruksi atau strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis. Keputusan untuk melakukan tindakan beda harus segara diambil karena setiap kelambatan akan menyebabkan penyulit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Penegtahuan mengenai anatomi dan faal abdomen beserta isinya sangat menentukan dalam menyingkirkan satu demi satu sekian banyak kemungkinan penyebab trauma abdomen. Trauma abdomen akan ditemukan pada 25% penderita multi – trauma, gejala dan tanda yang ditimbulkannya kadang-kadang lambat sehingga memerlukan tingkat kewaspadaan yang tinggi untuk dapat menetapkan diagnosis. Pada fase pra-RS keterlambatan diagnostik cedera abdomen tidak terlalu penting, namun selalu harus diwaspadai adanya syok karena haemoragic yang menyertai cedera abdomen. Adanya trauma abdomen yang tidak terdeteksi tetap menjadi salah satu penyebab kematian yang sebenarnya dapat dicegah, selain trauma spinal. Sebaiknya jangan menganggap Gambar trauma abdomen bahwa ruptur organ berongga maupaun perdarahan dari organ padat merupakan hal yang mudah untuk dikenali. Seringkali pemeriksaan kita dipengaruhi oleh penggunaan obat-obat tertentu atau adanya trauma otak yang menyertai.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



86 | P a g e



B. PENGERTIAN Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja. Trauma perut merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa tembusnya dinding perut dimana pada penanganan/ penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan dapat pula dilakukan tindakan laparatomi. Trauma tumpul abdomen adalah pukulan/ benturan langsung pada rongga abdomen yang mengakibatkan cidera tekanan/ tindasan pada isi rongga abdomen, terutama organ padat (hati, pancreas, ginjal, limpa) atau berongga (lambung, usus halus, usus besar, pembuluh–pembuluh darah abdominal) dan mengakibatkan ruptur abdomen. C. ANATOMI Abdomen berisirongga-rongga pencernaan, endokrin dansistem urogenital sertapembuluh-pembuluh darah besar. Rongga abdomen terletak dibawah diafragma, dibatasi oleh dinding abdomen anterior, tulang pelvis, kolumna vertebra danoto abdomen. Rongga inidibagi menjadi dua,yaitu: 1. Ronggaperitoneal(ronggaabdome n sebenarnya): berisiususbesardanhalus,limpa,he par,lambung, kandungempedu danorgan reproduksi wanita. Gambar anatomi abdomen 2. Ruangretropenneal (ruangpotensial dibelakang rongga peritoneal): berisiginjal, ureter, kandung kemih,organreproduksi, venacava inferior, aorta abdomen, pankreas, sebagian duodenum, kolon danrektum. Bagian atas (krarual) abdomen terllndungi oleh iga di bagian depan dan oleh kolumna vertebra. Daerah ini berisi hepar, lirnpa, lambung dan diafragma. Organ-organ ini juga dapat cidera akibat fraktur iga atau sternal. Organ yang paling sering terjadi cidera adalah han dan limpa. Hepar dan limpa merupakan organ padat tidak mempunyai lumen, dan trauma pada kedua organ ini akan menimbulkan kedalam yang akan terkumpul dalam rongga peritoneum. Keadaan ini dikenal sebagai hemoperitoneum, dekatnya perdarahan di dalam hepar atau limpa (intra hepatik) robekan usus juga dapat menimbulkan perdarahan intraperitoneal. Gaster, usus halus dan usus besar mempunyai lumen. Dengan demikian bila terjadi perforasi, isinya akan tumpah dalam rongga peritoneum dan menimbulkan peritonitis. Bagian bawah (kaudal) abdomen terlindungi oleh pelvis. Daerah ini berisi rectum dan usus, kandung kemih dan ureter, serta organ reproduksi wanita. Perdarahan ekstra peritoneal akibat fraktur pelvis merupakan masalah berat . Untuk mempermudah pemahaman fisiologis organorgan abdomen terbagi menjadi organ berongga, solid dan vaskular. Jika terjadi cidera Gambar kuadran abdomen maka organ vaskular dan solid akan berdarah, sedangkan untuk organ berongga akan PT SMS Indonesia | Smart Emergency



87 | P a g e



menumpahkan kandungannya ke dalam rongga peritoneal atau ekstraperitoneal. Tumpahan ini mengakibatkan perdarahan intraabdomen, peritonitis (peradangan intraperitoneum) dan sepsis (infeksi luas Pertolongan fase pra rumah sakit rneliputi pengelolaan syok dan kontrol perdarahan. Abdomen terbagi menjadi empat kuadran. Kuadran ini dibentuk oleh dua garis. Gans pertama adalah garis sumbu tubuh (midline), dan ujung procesus xipoideus sampai simfisis pelvis. Garis kedua tegak lurus pada garis pertama setinggi umbilikus. D. PATOFISIOLOGI Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari ketinggian), maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor – faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk) untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini juga karakteristik dari permukaan yang menghentikan tubuh juga penting. Trauma juga tergantung pada elastisitas dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya. Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan tersebut. Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi cidera organ intra abdominal yang disebabkan beberapa mekanisme: 1) Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak benar dapat mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ berongga. 2) Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan vertebrae atau struktur tulang dinding thoraks. 3) Terjadi gaya akselerasi – deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya robek pada organ dan pedikel vaskuler. E. TANDA DAN GEJALA TRAUMA ABDOMEN Pada trauma tajam abdomen seharusnya kita mampumendeteksi cedera yang potensial pada organ-organ intraabdomen.Biasanya cedera yang potensial ini mudahdideteksi dari lokasi luka yang ada pada dinding abdomen.Namum demikian kita harus hati-hati bila lokasi luka padadaerah thoroco abdominol.Pada pemeriksaan sekunder kita harus memeriksa secara teliti kemungkinan adanya luka-luka yang lain, tanda-tandaadanya trauma tumpul selain adanya trauma tajam, dankhusus pada luka tembak harus ditentukan atau dicari lukamasuk dan luka keluar. Bila ditemukan tanda-tanda iritasi peritonial biasanya ini menunjukan ada cedera pada organ intra peritonial. Pemeriksaan colok dubur sangat penting pada trauma tajam abdomen, dan bila ditemukan adanya darah pada sarung tangan berarti ada cedera pada usus. Bila pada pemeriksaan tidak ditemukan gejala klinis yang positif kita harus hati-hati dan tetap waspada. Atau team harus melakukan resusitasi dan stabilisasi secepat mungkin. Ada beberapa indikasi untuk melakukan pemeriksaan secara teliti pada kasus yang kita curigai adanya trauma tumpul abdomen antara lain: a. Perdarahan yang tidak diketahui b. Riwayat syok c. Adanya trauma dada mayor d. Adanya fraktur pelvis e. Penderita dengan penurunan kesadaran f. Adanya hematuri g. Pada pemeriksaan fisik ditemukan jejas di abdomen (luka lecet, kontusio, dan perut distensi) h. Mekanisme trauma yang besar PT SMS Indonesia | Smart Emergency



88 | P a g e



Pemeriksaan fisik abdomen harus dilakukan dengan teliti dan sistematis dengan cara, sebagai berikut: 1. Inspeksi Semua pakaian harus dilepas. Abdomen bagian depan dan belakang diteliti apakah mengalami ekskoriasi atau memar, adakah laserasi, tusukan dan sebagainya dengan cara log roll. 2. Auskultasi Lakukan auskultasi untuk mendengarkan bising usus terdengar atau tidak. Darah intra peritoneum yang bebas dapat menyebabkan hilangnya bunyi usus. 3. Perkusi Dengan perkusi bisa kita ketahui adanya nada timpani karena dilatasi lambung akut di kwadran kiri atas ataupun adanya perkusi redup bila ada hemoperitoneum. Perkusi mengakibatkan pergerakan peritonuim dan mencetuskan tanda peritonitis. Shifting dullness (adanya darah dalam abdomen) terjadi kalau pasien dimiringkan. 4. Palpasi Tujuan palpasi adalah untuk mendapatkan adanya nyeri lepas yang kadang-kadang dalam. Dengan palpasi juga kita dapat menentukan besarnya uterus dan usiake hamilan.Dengan pemeriksaan fisik, diagnostik trauma abdomen masih sangat sulit. Walaupun dilakukan oleh orang yang berpengalaman derajat akurasi hanya 65% karena banyak faktor yang mempengaruhi misalnya ; nyeri, penurunan kesadaran, minum alkohol, trauma kepala, dan cedera lain yang mengacaukan. Pada hakekatnya gejala dan tanda yang timbul dapat karena 2 hal: 1. Pecahnya organ solid (padat) Hepar dan lien (limpa) yang pecah akan menyebabkan perdarahan yang dapat bervariasi dari ringan sampai sangat berat, bahkan kematian.Gejala dan tandanya adalah: a) Gejala perdarahan secoro umum Penderita tampak anemis (pucat). Bila perdarahan berat akan timbul gejala dan tanda syok hemoragik. b) Gejala adonyo darah intra-peritoneol Penderita akan merasa nyeri abdomen, yang dapat bervariasi dan ringan sampai nyeri hebat. Pada auskultasi biasanya bising usus menurun, yang bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya, karena bising usus akan menurun pada banyak keadaan lain. Pada pemeriksaan akan teraba bahwa abdomen nyeri tekan, kadang-kadang ada nyeri lepas dan defans muskular (kekakuan otot) seperti pada peritonitis. Perut yang semakin membuncit hanya akan ditemukan apabila perdarahan hebat dan penderita tidak gemuk. Pada perkusi akan dapat ditemukan pekak sisi yang meninggi. 2. Pecahnya organ berlumen Trauma yang mengenai struktur peritoneal angka mortalitasnya tinggi dan sering tidak terdiagnosis maupun salah diagnosa. Pecahnya gaster, usus halus atau kolon akan menimbulkan peritonitis yang dapat timbul cepat sekali atau lebih lambat. Pada pemeriksaan penderita akan mengeluh nyeri seluruh abdomen, Pada auskultasi bising usus akan menurun. Pada palpasi akan ditemukan defans muskular, nyeri tekan dan nyeri lepas. Pada perkusi juga dapat menimbulkan nyeri (nyeri ketok). Biasanya peritonitis bukan merupakan keadaan yang memerlukan penanganan sangat segera, (berbeda dengan perdarahan intra-peritoneal) sehingga jarang menjadi masalah pada fase pra-RS. Apabila trauma tajam, kadang-kadang akan ditemukan bahwa ada organ intra-abdomen yang menonjol keluar (paling sering omentum, bisa juga usus halus atau kolon). Keadaan ini dikenal sebagai eviserasi. PT SMS Indonesia | Smart Emergency



89 | P a g e



Trauma ginjal akan menyebabkan perdarahan yang tidak masuk rongga peritoneum (organ retroperitoneal). Perdarahan dari ginjal dapat menyebabkan syok haemoragic. Gejala lain pada trauma ginjal adalah bahwa kebanyakan penderita ini akan kencing kemerahan atau kencing darah (hematuria). F. MEKASNISME CIDERA Berdasarkan mekanisme terjadinya cidera pada abdomen dapat dikategorikan menjadi: 1. Trauma tumpul Suatu tabrakan langsung seperti kontak dengan kemudi mobil atau terhimpit pintu mobil pada waktu kecelakaan, dapat menyebabkan kompresi dan cidera crushing terhadap organ abdomen dan pelvis. Tabrakan tersebut dapat menyebabkan ruptur organ solid dengan perdarah sekunder, kontaminasi isi organ disertai peritoitis. Shearing injury adalah suatu bentuk crushing injury yang dapat disebabkan oleh sabuk pengaman yang tidak dipasang dengan benar. Kecelakaan lalu lintas atau Tabrakan kendaraan bermotor juga dapat menyebabkan deceleration injuries, dimana terdapat perbedaan gerakan organ yang dpat bergerak dan tidak bisa bergerak contohnya termasuk laserasi liver dan limfa. Keduanya organ yang Gambar Trauma Tumpul dapat bergerak pada ligamen jaringan pendukung. Termasuk luka tikam juga bisa menyebabkan luka-luka serius bahkan mengancam nyawa, karena organ-organ dan pembuluh darah utama yang terletak jauh didalam bisa pecah atau robek. Pada trauma abdomen, organ yang paling sering terkena adalah limfa (40-55%), hati (35-45%), dan usus halus (5-10%) serta insiden hematom retroperineal (15%). 2. Trauma penetrating Luka tusuk atau luka tembak pada abdomen dapat disebabkan tembakan senjata api atau sentaja tajam yang menimbulkan laserasi dan sayatan pada jaringan. Pada kasus luka tembak di abdomen dapat dipengaruhi mengenai arah tembakan, jenis misil yang digunakan, kecepatan tembak, jarak tembak dan kemungkinan peluru pecah di abdomen. Yang sering terjadi pada luka tembak mengenai usus halus (50%), kolon (40%), liver Gambar Trauma Penetrating (30%) dan struktur pembuluh darah (25%). Pada luka tusuk yang melintang dapat mengenai struktur organ abdomen yang paling sering yaitu liver (40%), usus halus (30%), diafragma (20%) dan kolon (15%). 3. Taruma Ledakan Ledakan dapat menyebabkan cedera melalui berbagai cara, termasuk penetrasi fragmen dan trauma tumpul karena terlempar atau tertabrak atau terkena benda benda yang terlempar saat terjadi ledakan, serta bisa terjadi trauma tusuk karena terkena pecahan material ledakan. Kombinasi meknisme tersebut harus diperhatikan oleh petugas medis yang menolong. Pasien yang dekat dengan sumber ledakan dapat juga Gambar Trauma Ledakan mengalami cidera paru dan organ beronggakarena daya ledak tinggi dan geajala dapat timbul secara lambat. Untuk lebih mudah memahami fisiologi abdomen, kita bagi organ-organ abdomen kedalam kelompok organ berongga, solid dan vaskuler. Jika mengalami cedera organ vaskuler dan solid akan berdarah sedangkan organ berongga akan menumpahkan kandungannya ke dalam rongga peritoneal atau ekstraperitoneal. Tumpahan ini mengakibatkan perdarahan intraabdomen, peritonitis dan sepsis. Pertolongan meliputi pengelolaan syok dan control perdarahan. Oleh sebab itu, perlu juga dilakukan pengenalan fraktur pelvis untuk mengantisipasi ruptur uretra kerusakan organ lain seperti rektum, vagina PT SMS Indonesia | Smart Emergency



90 | P a g e



dan lebih khususnya agar mengetahui terjadinya syok. Pengenalan fraktur pelvis kadang dapat dikenal dengan sebutan Look-feel-move: 1) Penderita mengeluh tungkainya sakit bila digerakan 2) Adanya jejas daerah pelvis 3) Terabanya "gap" (cekungan) pada daerah simfisis pubis (open look) 4) Bila dilakukan tekanan pada tulang pelvis akan teraba krepitasi tulang (tes kompresi). Lakukan tes kompresi dengan halus, dan hanya boleh satu kali. Kadang-kadang diagnosis sulit karena penderita kesadarannya menurun, dan tidak terabanya krepitasi tulang. Dapat pula terjadi bahwa penderita sedemikian dalam syok, sehingga membingungkan akan sumber perdarahannya (1 dari 5 sumber perdarahan yang bisa menyebabkan syok, selalu curigai). Bila suspek fraktur pelvis maka dilakukan pemasangan gurita sekitar pelvis (atau PASG bila ada). Ruptur uretra dicurigai bila keluar darah dari orifisium uretra eksterna/OUE (lubang kencing), dan atau adanya hematoma di skrotum / supra-simfisis, dan pada rectal tosue/RT prostat melayang. Di fase pra-RS tidak dilakukan apa-apa terhadap ruptur uretra. Pada saat mentransport jangan memasang kateter uretra, karena dengan pemasangan kateter urine akan lebih mencederai uretra.Pengenalan tanda-tanda perfusi harus dilakukan dengan cara lain, selain jumlah urin. Bila Pasien ingin kencing, sebaiknya dianjurkan untuk menahan kencing terlebih dahulu. G. PENATALAKSANAAN Pada dasarnya semua trauma abdomen tumpul dan tajam, penanganan awal tindakan penyelamatan selalu didahulukan dan mengacu prosedur ABCDE, Di sini penolong atau tim harus melakukan resusitasi dan stabilisasi secepat mungkin. Namun pada pasien dengan abnormalitas hemodinamik, diperlukan evaluasi secara cepat atau dapat dilakukan dengan FAST/DPL. Sebelum melangkah prosedur ABCDE terlebih dahulu proteksi diri, lingkungan dan pasien. AB= Airway dan Breathing ini diatasi terlebih dahulu, Selalu ingat bahwa cedera bisa lebih dari satu area tubuh, dan apapun yang ditemukan, ingat untuk memprioritaskan airway dan breathing terlebih dahulu. Curiga fraktur servilkal, lakukan fiksasi kepala dan pasang neck collar dilanjutkan pemasangan log spine board. C= Kebanyakan trauma abdomen tidak dapat dilakukan tindakan apa-apa pada fase pra-RS, namun terhadap syok yang menyertainya perlu penanganan yang agresif.Seharusnya monitoring urine dilakukan dengan pemasangan DC, namun umumnya tidak dilakukan pada fase pra-RS karena masa transportasi yang pendek. D= Tidak jarang trauma abdomen disertai dengan trauma kapitis. Selalu periksa tingkat kesadaran (dengan GCS) dan adanya lateralisasi (pupil anisokor dan motorik yang lebih lemah satu sisi). E= Apabila ditemukan usus yang menonjol keluar (eviserasi), cukup dengan menutupnya dengan kasa steril yang lembab supaya usus tidak kering dan hindari menyentuh secara langsung atau memasukannya kembali ke dalam. Sedangkan Apabila ada benda menancap, jangan dicabut, tetapi dilakukan fiksasi benda tersebut terhadap dinding abdomen, karena jika benda tersebut dicabut bisa menyebabkan perdarahan yang cukup hebat dan jaringan disekitar akan menjadi rusak lebih parah.Serta hindari pemberian makan atau minum untuk smentara/pasang NGT untuk mencegah aspirasi.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



91 | P a g e



TRAUMA MUSKULOSKELETAL A. ANATOMI Sistem musculoskeletal terdiri dari tulang, kartilago, tendon, ligament, otot dan cairan sinovial. Seluruh komponen ini berfungsi sebagai penyokong, pelindung, dan pergerakan. Tulang berperan sebagai penyokong dan pelindung untuk jaringan halus dan membantu pergerakan. Tulang diselimuti oleh jaringan yang kaya akan darah dan diselimuti membran yang disebut dengan periosteum, yang memiliki banyak saraf sensoris. Seperti jaringan lain, tulang akan berdarah dan sakit ketika cedera. Tulang disatukan melalui sendi, dan diikat oleh ligamen. Ada sendi yang bisa bergerak banyak, dan ada sendi memiliki pergerakan minimal. Kartilago memiliki permukaan yang halus dan memberikan bantalan untuk tulang agar dapat bergerak atau berporos satu sama lain. Cairan synovial berada di dalam kapsul jaringan ligament untuk melubrikasi permukaan tulang. Tendon berfungsi untuk menyatukan otot dengan tulang. B. JENIS-JENIS TRAMA MUSKULOSKELETAL 1. Perdarahan Perdarahan dilihat dari sumber perdarahan: Perdarahan arteri Mengandung oksigen, merah muda,tekanan sesuai dengan pompa jantung. Perdarahan memancar Perdarahan Vena Sedikit oksigen, merahgelap, tekanannya lebih kecil dari tekanan arteri, dindingnya elastis, bisa mengakibatkan perdarahan hebat. Sifat perdarahan mengalir seperti keran air. Perdarahan Kapiler Sifat perdarahan merembes Jenis perdarahan ada dua, diantaranya: 1. Perdarahan dalam (internal bleeding), adalah perdarahan yang tidak dapat dilihat pada bagian luar tubuh. Perdarahan internal lebih sulit untuk diidentifikasi 2. Perdarahan luar (external bleeding) sangat mudah dikenali, jika kulit rusak oleh pencabikan, tusukan, atau luka lecet, darah dapat disaksikan ketika mengalir keluar dari tubuh. Penanganan perdarahan luar: Penekanan langsung dengan prinsip 4T (Tutup, Tekan, Tinggikan, dan Tourniquet (Pada luka amputatum) ) Point pressure/ titik tekan pada nadi-nadi besar Haemostatik Imobilisasi alat gerak/ ekstremitas untuk mengurangi rasa nyeri dan mengurangi perdarahan yang terjadi Awasi tanda-tanda syok (nadi cepat, gelisah, pernapasan cepat dan akral dingin) Evakuasi segera 2. Patah Tulang Fraktur didefinisikan sebagai rusaknya/terputusnya kontinuitas tulang. Putusnya tulang dapat disebabkan oleh tindakan yang berulang pada tulang atau kekuatan yang signifikan pada tulang, atau mungkin akibat dari tekanan yang berulang tiap hari pada sebuah tulang yang mengalami kelemahan akibat proses patologis(fraktur patologis). Fraktur dapat diklasifikasikan menjadi fraktur terbuka dan tertutup. Trauma merupakan faktor utama penyebab fraktur. Mekanisme injury meliputi kecelakaan lalu lintas, pejalan kaki tertabrak kendaraan, tabrakan motor, jatuh dan olah raga. Fraktur terbuka memungkinkan pasien menghadapi masalah kontaminasi luka, infeksi yang menyebabkan kerusakan pada vaskulerisasi tulang. Injury yang hancur menjadi perhatian khusus karena terdapat kerusakan yang hebat pada sekitar jaringan lunak. Anak – anak mempunyai resiko fraktur yang sedikit karena elastisitas dari struktur tulang mereka. Lansia lebih beresiko terhadap fraktur karena struktur tulang berubah berkaitan dengan proses penuaan dan penyakit PT SMS Indonesia | Smart Emergency



92 | P a g e



metabolik. Tujuan dari pengobatan fraktur adalah untuk memperbaiki kelurusan tulang dan fungsi serta mengurangi kecacatan. Pertimbangan Umum 1) Tampak adanya kerusakan pada pemeriksaan radiologi Transverse Linear Oblique non – displaced Oblique diplaced Spiral Greenstick Comminuted 2) Kerusakan jaringan lunak a. Fraktur tertutup (simple fraktur) tidak menyebabkan kerusak kulit, tidak ada hubungan patah tulang dengan dunia luar. b. Fraktur terbuka (compound fraktur) diikuti dengan kerusakan kulit/ tulang menembus jaringan kulit, ada luka terbuka dimana potensial untuk terjadi infeksi Tanda dan Gejala Patah Tulang Nyeri Pembekakan Deformitas (perubahan bentuk) Nyeri tekan Krepitasi (bunyi derik tulang) Terlihatnya tulang danjaringan (pada patah tulang terbuka) Penanganan patah tulang: a. Pembidaian: benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang. b. Pemasangan gips : merupakan bahan kuatyang dibungkuskan disekitar tulang yang patah c. Penarikan (traksi) :menggunakan beban untuk menahan sebuah anggota gerak pada tempatnya. Sekarang sudah jarang digunakan, tetapi dulu pernah menjadi pengobatan utama untuk patah tulang pinggul. d. Fiksasi internal: dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan atau batang logam pada pecahan-pecahan tulang. Merupakan pengobatan terbaik untuk patah tulang pinggul dan patah tulang disertai komplikasi. PEMBIDAIAN Bagaimana Melakukan Pembidaian Yang baik atau spalk adalah alat dari kayu, anyaman kawat atau bahan lain yang kuat tetapi ringan yang digunakan untuk menahan atau menjaga agar bagian tulang yang patah tidak bergerak (immobilisasi). (1) Tujuan Pembidaian Mencegah pergerakan / pergeseran dari ujung tulang yang patah Mengurangi terjadinya cedera baru disekitar bagian tulang yang patah Memberi istirahat pada anggota badan yang patah Mengurangi rasa nyeri Mempercepat penyembuhan Bagaimana melakukan pembidaian yang baik? Kasus traumatologi seiring dengan kemajuan jaman akan cenderung semakin meningkat, sehingga seorang dokter umum dituntut mampu memberikan pertolongan pertama pada kasus kecelakaan yang menimpa pasien. (2) Alat alat pokok yang dibutuhkan untuk pembidaian Bidai atau spalk terbuat dari kayu atau bahan lain yang kuat tetapi ringan. Pembalut segitiga. Kasa steril. (3) Prinsip Pembidaian Pembidaian menggunakan pendekatan atau prinsip melalui dua sendi, sendi di sebelah proksimal dan distal fraktur. PT SMS Indonesia | Smart Emergency



93 | P a g e



Pakaian yang menutupi anggota gerak yang dicurigai cedera dilepas, periksa adanya luka terbuka atau tanda-tanda patah dan dislokasi. Periksa dan catat ada tidaknya gangguan vaskuler dan neurologis (status vaskuler dan neurologis) pada bagian distal yang mengalami cedera sebelum dan sesudah pembidaian. Tutup luka terbuka dengan kassa steril. Pembidaian dilakukan pada bagian proximal dan distal daerah trauma (dicurigai patah atau dislokasi). Jangan memindahkan penderita sebelum dilakukan pembidaian kecuali ada di tempat bahaya. Beri bantalan yang lembut pada pemakaian bidai yang kaku. Periksa hasil pembidaian supaya tidak terlalu longgar ataupun terlalu ketat sehingga menjamin pemakaian bidai yang baik Perhatikan respons fisik dan psikis pasien. (4) Syarat-syarat Pembidaian Siapkan alat alat selengkapnya. Sepatu dan seluruh aksesoris korban yang mengikat harus dilepas. Bidai meliputi dua sendi tulang yang patah, sebelumnya bidai diukur dulu pada anggota badan kontralateral korban yang sehat. Ikatan jangan terlalu keras atau terlalu longgar. Sebelum dipasang, bidai dibalut dengan kain pembalut. Ikatan harus cukup jumlahnya, dimulai dari sebelah atas dan bawah tulang yang patah. Kalau memungkinkan anggota gerak tersebut ditinggikan setelah dibidai. (5) Prosedur Pembidaian Persiapkan alat-alat yang dibutuhkan. Lepas sepatu, jam atau asesoris pasien sebelum memasang bidai. Pembidaian melalui dua sendi, sebelumnya ukur panjang bidai pada sisi kontralateral pasien yang tidak mengalami kelainan. Pastikan bidai tidak terlalu ketat ataupun longgar Bungkus bidai dengan pembalut sebelum digunakan Ikat bidai pada pasien dengan pembalut di sebelah proksimal dan distal dari tulang yang patah Setelah penggunaan bidai cobalah mengangkat bagian tubuh yang dibidai. (6) Contoh penggunaan bidai Fraktur humerus (patah tulang lengan atas). Pertolongan : Letakkan lengan bawah di dada dengan telapak tangan menghadap ke dalam. Pasang bidai dari siku sampai ke atas bahu. Ikat pada daerah di atas dan di bawah tulang yang patah. Lengan bawah digendong. Jika siku juga patah dan tangan tak dapat dilipat, pasang spalk ke lengan bawah dan biarkan tangan tergantung tidak usah digendong. Bawa korban ke rumah sakit. Gambar Pemasangan bidai pada fraktur humerus, atas : hanya fraktur humerus, siku bisa dilipat, bawah : siku tidak bisa dilipat, juga fraktur antebrachii. Fraktur Antebrachii (patah tulang lengan bawah). Pertolongan: Letakkan tangan pada dada pasang bidai dari siku sampai punggung tangan. Ikat pada daerah di atas dan di bawah tulang yang patah. Lengan digendong. Bawa korban ke rumah sakit. Gambar Pemasangan bidai pada fraktur antebrachii Gambar Pemasangan sling untuk PT SMS Indonesia | Smart Emergency



94 | P a g e



menggendong lengan yang cedera. Fraktur clavicula (patah tulang selangka). Tanda-tanda patah tulang selangka : Korban tidak dapat mengangkat tangan sampai ke atas bahu. Nyeri tekan daerah yang patah. Pertolongan : Dipasang ransel verban,bagian yang patah diberi alas lebih dahulu, Pembalut dipasang dari pundak kiri disilangkan melalui punggung ke ketiak kanan. Dari ketiak kanan ke depan dan atas pundak kanan, dari pundak kanan disilangkan ke ketiak kiri, lalu ke pundak kanan,akhirnya diberi peniti/ diikat. Bawa korban ke rumah sakit. Fraktur Femur (patah tulang paha) Pasang 2 bidai dari : - Ketiak sampai sedikit melewati mata kaki. - Lipat paha sampai sedikit melewati mata kaki. Beri bantalan kapas atau kain antara bidai dengan tungkai yang patah. Bila perlu ikat kedua kaki di atas lutut dengan pembalut untuk mengurangi pergerakan. Bawa korban ke rumah sakit. Fraktur Cruris (patah tulang tungkai bawah). Pasang 2 bidai sebelah dalam dan sebelah luar tungkai kaki yang patah. Di antara bidai dan tungkai beri kapas atau kain sebagai alas. Bidai dipasang di antara mata kaki sampai beberapa cm di atas lutut. Bawa korban ke rumah sakit. OBSERVASI SETELAH TINDAKAN Tanyakan kepada pasien apakah sudah merasa nyaman dengan bebat dan bidai yang dipasang, apakah nyeri sudah berkurang, apakah terlalu ketat atau terlalu longgar. Bila pasien masih merasakan bidai terlalu keras, tambahkan kapas di bawah bidai. Longgarkan bebat jika dirasakan terlalu kencang. Lakukan re-evaluasi terhadap ekstremitas di sebelah distal segera setelah memasang bebat dan bidai, meliputi : PMS (Pulsasi, Motorik, Sensorik). (7) KOMPLIKASI PEMASANGAN Dalam 1-2 hari pasien kemungkinan akan merasakan bebatnya menjadi lebih kencang karena berkembangnya oedema jaringan. Berikan instruksi secara jelas kepada pasien untuk datang kembali ke dokter bila muncul gejala atau tanda gangguan neurovaskuler atau compartment syndrome, seperti bertambahnya pembengkakan atau rasa nyeri, kesulitan menggerakkan jari, dan gangguan fungsi sensorik. REPOSISI FRAKTUR TERTUTUP DAN DISLOKASI Penatalaksanaan fraktur terdiri dari manipulasi untuk memperbaiki posisi fragmen dan splintage untuk menahan fragmen sampai menyatu. Penyembuhan fraktur didukung oleh pemadatan tulang secara fisiologis, sehingga aktivitas otot dan pemberian beban awal penting untuk PT SMS Indonesia | Smart Emergency



95 | P a g e



dilakukan. Tujuan ini didukung oleh 3 proses yaitu reduksi, imobilisasi dan latihan. Dua masalah yang penting yaitu bagaimana mengimobilisasi fraktur namun tetap memungkinkan pasien menggunakan anggota gerak dengan cukup; hal ini adalah dua hal yang berlawanan (menahan versus menggerakkan) yang dinginkan ahli bedah untuk mempercepat kesembuhan (misalnya dengan fiksasi internal). Akan tetapi, ahli bedah juga ingin menghindari resiko yang tidak diinginkan; ini adalah konflik kedua ( kecepatan versus keamanan). Faktor yang paling penting dalam menentukan kecenderungan untuk sembuh secara alami adalah kondisi jaringan lunak sekitar dan suplai darah lokal. Fraktur energi rendah ( atau velositas rendah) hanya menyebabkan kerusakan jaringan lunak yang parah, walaupun fraktur terbuka ataupun tertutup. (8) Mengklasifikasikan luka tertutup sebagai berikut : Grade 0 : Fraktur simple dengan sedikit atau tidak ada luka jaringan lunak Grade 1: Fraktur dengan abrasi superficial atau memar pada jaringan kulit dan jaringan subkutan. Grade 2 : Fraktur yang lebih parah dengan tanda kerusakan jaringan lunak dan ancaman sindrom compartment. Grade 3 : Luka berat dengan kerusakan jaringan halus yang jelas. Semakin parah tingkatan luka makan semakin besar kemungkinan membutuhkan beberapa bentuk fiksasi mekanis; stabilitas tulang yang baik membantu penyembuhan jaringan lunak. REDUKSI Walaupun penatalaksanaan umum dan resusitasi harus didahulukan, namun penanganan fraktur diharapkan tidak terlambat; pembengkakan bagian lunak selama 12 jam pertama menyebabkan reduksi semakin sulit. Walaupun demikian, terdapat beberapa kondisi di mana reduksi tidak dibutuhkan yaitu : - Saat hanya sedikit atau tidak ada dislokasi; - Saat dislokasi bukan suatu masalah ( contoh: fraktur clavicula) dan - Saat reduksi tidak mungkin berhasil ( contoh: fraktur kompresi pada vertebra) Reduksi harus ditujukan untuk fragmen tulang dengan apposisi yang cukup dan garis fraktur yang normal. Semakin besar area permukaan kontak antarfragmen semakin besar kemungkinan terjadinya penyembuhan. Adanya jarak antara ujung fragmen merupakan penyebab sering union yang terlambat atau nonunion. Di sisi lain, selama ada kontak dan fragmen segaris (alignment) sedikit overlap pada permukaan fraktur masih diperbolehkan. Pada fraktur yang meliputi pemukaan sendi, reduksi harus sedekat mungkin mendekati sempurna karena adanya irreguleritas akan menyebabkan distribusi muatan yang abnormal antarpermukaan yang akan berpredispoisisi pada perubahan degenaratif pada kartilago sendi. Terdapat 2 metode reduksi yaitu tertutup dan terbuka. Reduksi Tertutup Di bawah anestesi dan relaksasi otot, fraktur direduksi dengan 3 maneuver: - Bagian distal anggota gerak ditarik pada garis tulang; - Karena fragment terpisah, maka direduksi dengan melawan arah gaya awal - Garis fraktur yang lurus diusahakan pada setiap bidang. Hal ini lebih efektif dilakukan ketika periosteum dan otot pada satu sisi fraktur tetap utuh karena ikatan jaringan lunak mencegah over-reduction dan menstabilkan fraktur setelah direduksi. Beberapa fraktur sulit untuk direduksi dengan manipulasi karena tarikan otot yg terlalu kuat sehingga membutuhkan traksi yg lama. Traksi tulang atau kulit selama beberapa hari menyebabkan tegangan jaringan lunak menurun dan memudahkan tejadinya alingment yg lebih baik; sebagai contoh hal dapat dilakukan untuk fraktur femur, fraktur shaft tibia dan fraktur humerus supracondylus pada anak. Pada umumnya reduksi tertutup digunakan untuk semua fraktur dislokasi minimal, untuk sebagian besar fraktur pada anak, untuk fraktur yg tidak stabil setelah reduksi dan dapat digunakan untuk beberapa bidai dan gips. Fraktur tidak stabil dapat direduksi juga dengan metode tertutup sebelum dengan fiksasi internal atau eksternal. Hal ini dilakukan untuk menghindari manipulasi langsung sisi fraktur oleh reduksi terbuka yang merusak suplai darah lokal dan mungkin menyebabkan waktu penyembuhan lebih lambat. Traksi yg PT SMS Indonesia | Smart Emergency



96 | P a g e



mereduksi fragmen fraktur melalui ligamentotaxis (tarikan ligament) biasanya dapat diaplikasikan menggunakan fracture table atau bone distraktor. Reduksi Terbuka Indikasi reduksi operatif yaitu : Reduksi tertutup gagal, baik karena kesulitan mengontrol fragmen atau karena jaringan lunak berada diantaranya, Terdapat fragmen sendi yang membutuhkan pengaturan posisi yang akurat Untuk traksi (avulsi) fraktur dengan fragmen yang terpisah 3. Amputasi Penghilangan sebagian atau keseluruhan ekstremitas karena trauma atau pembedahan. Kondisi amputasi dikarenakan demi menyelamatkan bagian tubuh yang sudah rusakdan tidak memungkinkan untuk dipertahankan. Penanganan Cedera Amputasi Segera ikat (tourniquet) disekitar daerah yang cidera, bila tidakbisa disambung kembali. Jika ada kemungkinan untukdisambung kembali, tutup luka dengan kain bersih/ steril jika ada Baringkan pasien dengan posisi kaki lebih tinggi dari kepala Selimuti pasien untuk mengurangi kemungkinan terjadinya hipotermi Bagian tubuh yang teramputasi masukkan kedalam kantong plastik dan masukkan kedalam wadah yang bensi es batu untuk mendinginkan tetapi tidak boleh beku. Beri tanda seperti waktu dibungkus dan identitas pasien. Bawa pasien dan bagian tubuh yang teramputasi ke rumah sakit yang sama. 4. Sprain & Strain Sprain Bentuk cedera berupa pengukuran atau kerobekan pada ligamen (jaringan yang menghubungkan tulang dengan tulang) atau kapsul sendi yang memberikan stabilitas sendi. Gejala sprain vattu nyeri, bengkak, peradangan, memar, ketidakmampuan menggerakkan tungkai. Penyebab sprain adalah terpeleset, gerakan yang salah sehingga sendi terenggang melampaui gerakan normal. Strain (kram otot) Bentuk cidera berupa penguluran atau kerobekan pada struktur musculotendinous (otot dan tendon). Gejala strain yaitu nyeri, spasme otot, kehilangan kekuatan, keterbatasan gerak lingkup sendi. Penyebab strain adalah terjadi karena pembebanan seeara tiba-tiba pada otot tertentu Injuri pada struktur di sekitar sendi biasanya karena regangan yang berlebih atau adanya kekuatan yang tiba – tiba. Hal ini mengakibatkan penarikan terhadap struktur yang menyebabkan robeknya otot atau tendon. Sprain merupakan regangan, lepasnya, atau robeknya ligament pelindung, strain merupakan lepasnya atau robeknya otot/ tendon dari tulang. Injuri dapat menimbulkan nyeri, ketidakmampuan menahan beban berat, bengkak pada daerah yang terkena. Strain dan sprain biasanya jarang terjadi pada bayi/ anak. Atlit dan pasien obesitas yang melakukan latihan fisik beresiko terhadap jenis injuri ini. Tingkat pertama : robekan minor pada serabut, bengkak minimal, ketidaknyamanan minimal, tidak ada/ minor echymosis Tingkat kedua : robekan sebagian, sendi masih intack, bengkak lebih berat, tampak echymosis Tingkat ketiga : kerusakan sempurna pada ligament, sendi mungkin terbuka, bengkak minimal sampai berat, terpisahnya otot dengan otot, otot dengan tendon, tendon dengan tulang. Tindakan awal: 1. RICE : Rest, Ice, Compression, Elevation a. Istirahatkan sendi yang terkena b. Lakukan kompres es sekitar 20 menit c. Gunakan balutan elastis verban untuk mengurangi bengkak d. Tinggikan daerah yang terkena untuk mengurangi bengkak e. Pengobatan sesuai indikasi : analgetik, antiinflamasi 2. Bantu dengan tongkat atau truk 3. Mulai aktivitas dengan hati-hati seeara bertahap PT SMS Indonesia | Smart Emergency



97 | P a g e



5. Dislokasi Dislokasi terjadi ketika bagian permukaan artikular tulang yang membentuk sendi tidak lagi tersambung dan kehilangan posisi anatomisnya. Ujung tulang dapat bergerak karena kelemahan secara kongenital, penyakit



yang



mempengaruhi



struktur



artikular dan periartikular, dan berkaitan dengan trauma. Dislokasi berkaitan dengan kondisi emergensi karena bahaya injury terhadap kerusakan saraf dan pembuluh darah dalam bentuk kompresi, peregangan dan iskemia. Dislokasi digambarkan dalam istilah segment distal dalam kaitannya dengan segment proximal. Subluksasi sendi terjadi ketika beberapa permukaan artikular masih menempel tapi tidak sempurna. Seseorang yang di duga atau diketahui adanya injury ortopedik sebaiknya dikaji dengan hati-hati apakah fraktur atau dislokasi. Jika seseorang diduga maka tungkai sebaiknya dibelat, pengkajian neurovasuler dilakukan, radiografik, dan injuri di kurangi sesegera mungkin. Tindakan awal: a. Tentukan fungsi neruvaskuler bagian distal b. Immobilisasi sendi untuk mencegah injury lebih lanjut c. Tinggikan sendi d. Berikan kompres es untuk mengurangi bengkak e. Persiapkan untuk reduksi 6. Luka Tusuk Trauma yang diakibatkan oleh benda tajam (trauma tajarn). Lebar luka yang ditimbulkan pada kulit jarang sekali memberikan gambaran dari kedalaman luka tusuk. Luka tusuk diakibatkan oleh suatu gerakan aktif maju yang eepat atau suatu dorongan pada tubuh dengan sebuah alat yang ujungnya tajam. Penanganan LukaTusuk DRABC Jangan cabut benda yang menaneap Fiksasi bendadengan tehnik balutan seperti donat pada benda tajam yang menancap agar tidak banyak bergerak.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



98 | P a g e



STANDART OPERASIONAL PROSEDUR STABILISASI MUSCULUSKELETAL



N O



PROSEDUR



1



Danger, Aman diri, aman pasien dan aman lingkungan (A3)



2



Tentukan jenis luka, perdarahan, fraktur, Amputasi, Strain dan Sprain



3



Menyiapkan alat balut dan bidai (Perban, Kassa, Elastis Bandage, Mitela, dan atauTourniquet)



Luka dan Perdarahan 4



Lepas pakaian di area Luka



5



Bersihkan daerah yang luka dengan normal salin jika ada



6



DEP perdarahan dengan 3T (Tutup, Tekan, Tinggikan)



Fraktur 7



Cek PMS



8



Melakukan pembidaian Fraktur (Melewati 2 sendi/2 tulang)



9



Cek PMS



10



Konsultasikan ke dokter atau rujuk ke faskes terdekat



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



99 | P a g e



TRAUMA THERMAL A. PENDAHULUAN Kulit merupakan organ yang paling luas di tubuh manusia, terdiri dari 2 lapisan. Lapisan luar yang terlihat di permukaan disebut dengan epidermis. Epidermis merupakan batasan antara tubuh dengan lingkungan. Di bawah lapisan tipis epidermis terdapat lapisan jaringan ikat kolagen yang disebut dengan dermis Lapisan ini terdiri dari susunan saraf dan juga mendukung struktur seperti folikel bulu-bulu, kelenjar keringat, dan kelenjar minyak. Kulit memiliki fungsi yang sangat penting, salah satunya adalah sebagai pelindung antara tubuh dengan lingkungan luar tubuh, menjaga cairan di dalam tubuh, mencegah masuknya bakteri dan mikroorgnisme lain yang akan masuk ke dalam tubuh. rangsangan yang akandsampaikankeotak, khususnya pengaturan suhutubuh. Jikaterdapat kerusakan pada kulit, maka seluruh fungsi tersebut tidak mampu berfungsi dan membuat tubuh mengalami masalah yang berbahaya. Luka bakar pada kulit muncul ketika panas atau bahan kimia kontak atau mengenai kulit dan merusak komponen sel-sel kulit. Selain respon actual dari kerusakan jaringan, tubuh juga mengalami reaksi inflamasi yang dapat meningkatkan tingkat keparahan luka bakar. Bagian dari kulit yang mengalami nekrosis karena luka bakar disebut zona koagulasi yang bersifat irreversible. Areadisekitar zona koagulasi disebut zona stasis(aliran darah sedikit,jaringan akan nekrotik jika keadaan ini berlangsung lama). Kondisi ini dapat terlihat pada area yang lebih dalam pada luka bakar partial-thickness dan dapat diatasi dengan perawatan luka bakar yang baik dan resusitasi cairan. B. JENIS-JENIS LUKA BAKAR 1. Luka bakar kimia Luka bakar chemical (kimia) disebabkan oleh kontaknya jaringan kulit dengan asam atau basa kuat. Konsentrasi zat kimia, lamanya kontak dan banyaknya jaringan yang terpapar menentukan luasnya injuri karena zat kimia ini. Luka bakar kimia dapat terjadi misalnya karena kontak dengan zat-zat pembersih yang sering dipergunakan untuk keperluan rumah tangga dan berbagai zat kimia yang digunakan dalam bidang industri, pertanian dan militer. Luka bakar kimia terjadi apabila kulit mengalami kontak dengan berbagai zatkimia. Prosedur luka bakar kimia a. Gunakan alat pelindung diri seperti kaca mata, sarung tangan, masker khusus. Pada kondisi tertentu, perlu untuk menggunakan pakaian pelindung bahan kimia b. Lepaksan semua pakaian pasien. Simpan di kantong plastic untuk meminimalisir kontak c. Siram bahan kimia dari tubuh pasien dengan menggunakan air yang mengalir. Jikabahan kimia kering (serbuk), harus dibersihkan dengan cara disikat terlebih dahulu sebelum dilakukan irigasi. d. Lepaskan seluruh benda yang menempel pada tubuh pasiendengan memeriksa seluruh bag tubuhpasien. 2. Luka bakar listrik Luka bakar listrik disebabkanoleh panas yang digerakan dari energi hstnk yang dihantarkan melalui tubuh. Berat ringannya luka dipengeruhi oleh lamanya kontak, tingginya voltage dan cara gelombang elektrik itu sampai mengenai tubuh. Derajat kerusakan jaringan pada luka bakar listrik tergantungpada aliran yang terlibat dan lamanya paparan. Luka bakar listrik dapat menyebabkan henti jantung, dan untuk menanganinya mungkin diperlukan tindakan resusitasi jantung paru (RJP). Ada tiga tipe terjadinya cidera listrik: a. Luka bakar listrik akibat kontak langsung. Arus listrik mengalir melalui jaringan menyebabkan nekrosis yang luas di sepanjang jaringan yang dilalui arus tersebut. Kulit seringkali terlihat gosong bahkan pada beberapa kasus dapat menjadi tercerai berai. Pada luka bakar jenis ini, dapatdijumpai adanyalukamasukdanlukakeluaryang berupalukakecil dipermukaan kulit. b. Luka bakar akibat percikan/loncatan bunga api listrik. Dalam hal ini akan menimbulkan luka bakar yang nyata pada kulit. PT SMS Indonesia | Smart Emergency



100 | P a g e



c. Luka bakar tersambar listrik. Hal ini dapat terjadi apabila pasien terlalu dekat dengan sumber listrikyang terbuka, sehingga menyebabkan terjadinyaluka bakar akibat suhu panas. Umumnya terjadi pada pasien yang berada di dekat sumber listrik tersebut dan tidak melindungi kulitnya dengan pakaian khusus. 3. Luka bakar radiasi Lukabakarradiasidisebabkanolehterpapardengansumber radioaktif. Tipeinjuri iniseringkali berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada industri atau dari sumber radiasi untuk keperluan terapeutikpada duniakedokteran. Terbakarolehsinarmatahari akibatterpapar yangterlalu lamajuga merupakan salahsatutipe lukabakar radiasi. 4. Trauma Suhu Dingin a. Frostnip Frostnip, yaitu bentuk paling ringan trauma dingin, ditandai dengan nyeri, pucat, dan kesemutan pada area yang terkena. b. Frostbite Frostbite, yaitu pembekuan jaringan yang diakibatkan oleh pembentukan kristal es intraseluler dan bendungan mikrovaskuler sehingga terjadi anoksia jaringan. Derajat kedalaman: Derajat 1: Hiperemia dan edema tanpa nekrosis jaringan Derajat 2: Pembentukan vesikel/bulla disertai dengan hiperemi dan edema dengan nekrosis Derajat 3: Nekrosis seluruh lapisan kulit dan jaringan subkutan, biasanya juga disertai dengan pembentukan vesikel hemoragik Derajat 4: Nekrosis seluruh lapisan kulit dan gangrene otot serta tulang c. Non freezing injury Non Freezing Injury, disebabkan oleh terkena udara basah/dingin secara terus menerus yang suhunya masih di atas titik beku, yaitu antara 1,6°C sampai 100C (35°F sampai 50°F) Penanganan trauma dingin Penanganan harus segera dilakukan untuk memperpendek berlangsungnya pem-bekuan jaringan. a. Lepaskan baju yang basah, ganti dengan menggunakan selimut hangat b. Berikan minum hangat jika pasien bisa minum c. Rendam bagian cedera di dalam air hangat 40 0C (104°C) yang berputar, sampai warna kulit rnenjadi merah dan perfusinya kembali normal (biasanya 20-30 menit) d. Hindari penggunaan udara kering yang panas e. Jangan digosok atau diurut. f. Berikan analgetik karena tindakan pemanase dapat menimbulkan nyen hebat g. Pasang monitor jantung C. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPARAHAN LUKA BAKAR 1. Kedalaman LukaBakar Luka bakar dikategorikan berdasarkan dalamnya kerusakan luka bakar dan respon, sebagai superficial (derajat I), partial thickness(derajat II), full thickness (derajat III) a. Superficial (derajat 1) dengan ciri-ciri sebagai berikut: Partial thickness dikelompokan menjadi 2, yaitu superpicial partial thickness dan deep partial thickness. Hanya mengenai lapisan epidermis. Luka tampak pink cerah sampai merah (eritema ringan sampai berat). Kulit memucat bila ditekan. Edema minimal. Terbentuk blister. Kulit hangat/kering. Nyeri / hyperethetic Nyeri berkurang dengan pendinginan. Discomfort berakhir kira-kira dalam waktu 48jam. Dapat sembuh spontan dalam 3-7 hari PT SMS Indonesia | Smart Emergency



101 | P a g e



b. Deep Partical thickness (derajat II) dengan ciri sebagai berikut: Mengenai epidermis dan dermis. Luka tampak merah sampai pink Tida ada blister Edema Sensitif terhadap udara dingin Penyembuhan luka :Superficial partial thickness:14 - 21 hari. Deep partial thickness: 21-28 hari. Namun demikian penyembuhannya bervariasi tergantung dari kedalaman dan ada tidaknyainfeksi c. Fullthickness (derajat III) Mengenai semua lapisan kulit, lemak subcutan dan dapat juga mengenai permukaan otot, dan persarafan dan pembuluh darah. Luka tampak bervariasi dari berwarna putih, merah sampai dengan coklat atau hitam. Tanpa ada blister. Permukaan luka kering dengan tektur kasar/keras. Edema. Sedikit nyeri atau bahkan tidak ada rasa nyeri. Tidak mungkin terjadi penyembuhan luka secara spontan. Memerlukan skin graft. Dapat terjadi scar hipertropik dan kontraktur jka tidak dilakukan tindakan preventif. 2. Luas Luka Bakar



Front 18% FRONT: 18%



Terdapat beberapa metode untuk menentukan luas luka bakar meliputi (1) rule of nine, (2) Lund and Browder, dan (3) hand palm. Ukuran luka bakar dapat ditentukan dengan menggunakan salah satu dari metode tersebut. Ukuran luka bakar ditentukan dengan prosentase dari permukaan tubuh yang terkena luka bakar. Akurasi dari perhitungan bervariasi menurut metode yang digunakan dan pengalaman seseorang dalam menentukan luas luka bakar. Metode rule of nine mulai diperkenalkan sejak tahun 1940-an sebagai suatu alat pengkajian yang cepat untuk menentukan perkiraan ukuran /Iuas luka bakar. Dasar darimetode ini adalah bahwa tubuh di bagi kedalam bagian-bagian anatomic, dimana setiap bagian mewakili 9 % kecuali daerah genitalia 1%.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



102 | P a g e



3. Lokasi yang terkena Berat ringannya luka bakar dipengaruhi pula oleh lokasi luka bakar. Luka bakar yang mengenai kepala, leher dan dada seringkali berkaitan dengan komplikasi pulmoner. Luka bakar yang menganai wajah seringkali menyebabkan abrasi kornea. Luka bakar yang mengenai lengan dan persendian seringkali membutuhkan terapi fisik dan occupasi dan dapat menimbulkan implikasi terhadap kehilangan waktu bekerja dan atau ketidakmampuan untuk bekerja secara permanen. Luka bakar yang mengenai daerah perineal dapat terkontaminasi oleh urine atau feces. Sedangkan luka bakar yang mengenai daerah torak dapat menyebabkan tidak adekuatnya ekspansi dinding dada dan terjadinya insufisiensi pulmoner. 4. Kondisi kesehatan pasien Adanya kelemahan jantung, penyakit pulmoner, endocrin dan penyakitpenyakit ginjal, khususnya diabetes, insufisiensi kardiopulmoner, alkoholisme dan gagaI ginjal, harus diobservasi karena semua itu akan mempengaruhi respon klien terhadap injuri dan penanganannya. Angka kematian pada klien yang memiliki penyakit jantung adalah 3,5-4 kali lebih tinggi dibandingkan klien luka bakar yang tidak menderita penyakit jantung. Demikian pula klien luka bakar yang juga alkolism 3 kali lebih tinggi angka kematiannya dibandingkan klien luka bakar yang nonalkoholism. Disamping itu juga klien alkoholism yang terkena luka bakar masa hidupnya akan lebih lama berada di rumah sakit, artinya pasien luka bakar yang juga alkoholism akan lebih lama hari rawatnya di rumah sakit. 5. Mekanisme Injury Mekanisme injury merupakan faktor lain yang digunakan untuk menentukan berat ringannya luka bakar. Secara umum luka bakar yang juga mengalami injuri inhalasi memerlukan perhatian khusus. Pada luka bakar elektrik, panas yang dihantarkan melalui tubuh, mengakibatkan kerusakan jaringan internal. Injury pada kulit mungkin tidak begitu berarti akan tetapi kerusakan otot dan jaringan lunak lainnya dapat terjadi lebih luas, khususnya bila injury elektrik dengan voltage tinggi. Oleh karena itu voltage, tipe arus (direct atau alternating), tempat kontak, dan lamanya kontak adalah sangat penting untuk diketahui dan diperhatikan karena dapat mempengaruhi morbiditi. 6. Usia Usia klien mempengaruhi berat ringannya luka bakar. Angka kematiannya (Mortality rate) cukup tinggi pada anak yang berusia kurang dari 4 tahun, terutama pada kelompok usia 0-1 tahun dan klien yang berusia di atas 65 th Tingginya statistik mortalitas dan morbiditas pada orang tua yang terkena luka bakar merupakan akibat kombinasi dari berbagai gangguan fungsional (seperti lambatnya bereaksi, gangguan dalam menilai, dan menurunnya kemampuan mobilitas), hidup sendiri, dan bahaya-bahaya lingkungan lainnya. Disamping itu juga mereka lebih rentan terhadap injury luka bakar karena kulitnya menjadi lebih tipis, dan terjadi athropi pada bagian-bagian kulit lain. Sehingga situasi seperti ketika mandi dan memasak dapat menyebabkan terjadinya luka bakar. D. PENATALAKSANAAN LUKA BAKAR Penilaian awal harus dilakukan terutama di tempat: kejadian yaitu situasi kemanan penolong. Hal-hal yang mengancam pasien dan penolong harus teidentifikasi segera. Penolong tidak boleh memberikan pertolongan apabila petugas pemadam kebakaran belum menyatakan aman untuk melakukan pertolongan. Apabila pasien sudah berhasil dibawa ke tempat yang aman, proses pembakaran harus segera dihentikan untuk rnencegah terjadinya cidera lebih lanjut dan untuk mengurangi terjadinya kerusakan jaringan (Stop The Burning Process). Pada penilaian primary, perhatian terbesar ditujukan pada saluran napas (airway), termasuk mendeteksi adanya tanda-tanda cidera inhalasi, seperti: Luka bakar yang mengenai wajah dan atau leher Alis mata dan bulu Hidung hangus Adanya timbunan karbon dan tanda peradangan akut orofaring Sputum yang mengandung karbon/arang Suara serak/stridor Riwayat gangguan mengunyah dan atau terkurung dalam api PT SMS Indonesia | Smart Emergency



103 | P a g e



Luka bakar kepala dan badan akibat ledakan Kadar karboksi hemoglobin lebih dari 10% setelah terbakar Kemungkinan terjadinya keracunan asap, keracunan CO, dan cedera trkatur respiratorik harus dipikirkan apabila insiden ini terjadi pada ruang yang tertutup. Pada pasien dengan trauma termal, kemungkinan terjadinya oksigenasi yang tidak adekuat dan sirkulasi yang buruk sangat tinggi. Untuk itulah pasien baik dalam keadaan sadar ataupun tidak sadar harus diberikan



terapi oksigen dengan fraksi tinggi serta



dilakukan pemantauan terhadap jalan napas (airway) dan pernapasan (breathing) secara terus menerus. Respon CO dan sianida terhadap oksigen dengan fraksi tinggi hamper mencapai 100%. Pasien dalam keadaan stabil dengan reflek muntah yang baik serta airway yang bebas, harus tetap diberikan oksigen dan harus tetap dimonitor. Tindakan definitive airway dapat dilakukan jika dibutuhkan berdasarkan indikasinya. Pada pasien dengan penampakan hangus di seluruh bagian dada, kemampuan untuk mengembangkan dinding toraks mungkin sangat terbatas. Keterbatasan ini mungkin disebabkan oleh berkurangnya elastisitas jaringan yang terbakar, yang mengakibatkan volume tidak dan volume pernapasan semenit menjadi tidak adekuat. Sebagian kecil pasien yang mengalami ini dibutuhkan insisi (escharotomy) yang dilakukan oleh petugas yang terlatih, jika petugas tidak terlatih untuk melakukan tindakan ini, maka pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi harus dilakukan. Setelah itu segera lakukan resusitasi cairan. Pemberian Cairan Intravena Pasien luka bakar yang disertai cidera, dapat terjadi penurunan transport oksigen ke jaringan disebabkan oleh penurunan volume darah di sirkulasi. Penurunan volume darah yang langsung diakibatkan oleh luka bakar tidak akan terjadi segera setelah peristiwa, tetapi akan muncul dalam 6-8 jam setelah kejadian. Syok yang terjadi segera setelah kejadian biasanya disebabkan oleh cidera lain. Pengelolaan terhadap keadaan hipovolerrua ini meliputi terapi cairan dengan pemberian RL/ normal saline. Penggantian cairan yang diberikan banyak formulanya, yang lazirn digunakan dengan penggunaan Rumus Baxter.



Penanganan rasa sakit terhadap pasien kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Kompres pada luka dengan menggunakan kain yang lembab dan steril secara psikologis membuat pasien merasakan kenyamanan. Perawatan luka bertujuan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dan mencegah infeksi. PT SMS Indonesia | Smart Emergency



104 | P a g e



KESIMPULAN Otak tersimpan di dalam craniurn yang kaku. Cidera kepala apapun yang menyebabkan pembengkakan atau perdarahan di dalam cranium akan mengakibatkan kompresi otak, yang dapat mengakibatkan kerusakan neurologis yang permanen bahkan kematian. Penilaian terhadap penderita trauma kepala dimulai dengan tingkat kesadarannya. Petugas harus mencurigai adanya cidera intracranial jika menemukan penurunan tingkat kesadaran dan mengambil langkah-Iangkah intervensi. Trauma kepala akan dapat mengakibatkan cidera mulai dari konkusio sampai perdarahan intracranial yang mengancam jiwa. Perdarahan pada wajah dan scalp serta fraktur akan berhubungan dengan potensi cidera otak. Transportasi harus dilakukan dengan cepat dengan posisi kepala ditinggikan. Fasilitas yang tepat adalah rumah sakit yang dapat memberikan pertolongan definitive terhadap cidera kepala dan otak. Kolumna vertebra terdiri dari 33 vertebra yang terpisah dan bertumpuk satu sama lain. Fungsi Kolumna vertebra adalah menahan berat badan dan memudahkan gerak.Korda spinalis yang berada didalam kolumna sangat rentan terhadap gerak atau posisi abnormal. Struktur penuh saraf ini dilindungi oleh tulang-tulang vertebra. Korda dapat cidera jika tulang, otot dan ligamen yang melindunginya cidera.Tidak dapatnya korda beregenerasi akan memungkinkan cidera permanen. Mekanisme cidera dapat menjadi indikasi trauma spinal dan pengelolaannya. Imobilisasi fraktur tulang belakang harus meliputi imobilisasi kepala, leher, torso dan pelviss. Alat yang digunakan untuk imobilisasi harus membuat tulang belakang tidak bergerak sedikitpun. Harus ada metode dan alat pelindung tulang belakang sampai dipastikan bahwa penderita tidak mengalami cidera spinal atau sampai dilakukan penanganan bedah ebih lanjut. Toraks merupakan daerah yang mengandung organ-organ vital kedua setelah otak. Toraks juga mengandung pembuluh-pembuluh besar aorta, vena cava serta arteri/vena pulmonalis. Cidera dada sering terjadi pada penderita trauma multi system dan biasanya berhubungan dengan trauma yang mengancam nyawa. Cidera toraks yang serius dapat dengan mudah menganggu ventilasi dan sirkulasi. Trauma dada akan menghasilkan penurunan ventilasi Karena kurangnya pergerakan rangka dada atau hilangnya kontinuitas dinding toraks, tidak adekuatnya oksigenasi darah yang melewati membrane alveoli kapiler akIbat kontusio paru. Cedera abdomen sangat potensial mengancam jiwa. Perdarahan hebat abdomen tidak selalu menampakkan gejala yang jelas. Keadaan penderita cidera abdomen dapat memburuk dengan cepat. Identifikasi organ yang cidera sulit dilakukan di lingkungan fase pra rumah sakit harus dilakukan penilaian cepat, stabilisasi esensial dan transport cepat. Pertolongan fase awal meliputi pengelolaan airway, oksigenasi adekuat dan control perdarahan. Tindakan bedah pada umumnya harus segera dilakukan. Fasilitas rumah sakit dengan tim trauma yang siap sedia sangatlah menentukan keberhasilan penyelamatan jiwa penderita. Prinsip dalam penanganan luka bakar : Stop the burning process (Hentikan Proses Luka Bakar) Bebaskan jalan nafas (Airway) Stabilkan pemafasan (Breathing) Lakukan resusitasi cairan Lakukan perawatan luka



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



105 | P a g e



VII TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM Peserta dapat mengetahui, mengidentifikasi, kemungkinan perlukaan ditinjau dari proses kejadian/ biomekanik trauma. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS Setelah mengikuti pelatihan ini peserta di-harapkan mampu untuk : 1. Mengetahui proses kejadian suatu trauma. 2. Mengetahui jenis perlukaan ditinjau dari proses kejadian trauma 3. Mengidentifikasi kemungkinan perlukaan yang terjadi 4. Melakukan tindakan pertolongan yang tepat didasari dari proses kejadian trauma. PENDAHULUAN Biomekanik trauma adalah proses/ mekanisme kejadian kecelakaan pada saat sebelum, saat dan sesudah kejadian. Keuntungan mempelajari biomekanik trauma adalah dapat mengetahui bagaimana proses kejadian dan memprediksi kemungkinan bag ian tubuh atau organ yang terkena cedera. Pengetahuan akan biomekanik trauma penting karena akan membantu dalam mengerti akibat yang ditimbulkan trauma dan waspada terhadap jenis perlukaan tertentu. Oleh karena itu penting sekali bagi setiap petugas penanganan gawat darurat untuk mengetahui : 1. Hal yang terjadi 2. Cedera yang diderita pasien Tanpa mengetahui mekanisme kejadiannya kita tidak dapat meramalkan cedera apa yang terjadi dan hal ini akan menimbulkan bahaya bagi pasien. Biomekanik juga merupakan sarana penting untuk melakukan triage dan harus disampaikan ke dokter gawat darurat atau ahli bedah. Sebagai contoh beratnya kerusakan kendaraan pada kejadian kecelakaan merupakan sarana pemeriksaan triage non fisiologis. Informasi yang rinci mengenai biomekanik dari suatu kecelakaan dapat membantu identifikasi sampai dengan 90 % dan trauma yang diderita pasien. Informasi yang rinci dan biomekanik trauma ini dimulai dengan keterangan dari keadaan / kejadian pada fase sebelum terjadinya kecelakaan seperti minum alkohol, pemakaian obat, kejang, sakit dada, kehilangan kesadaran sebelum tabrakan dan sebagainya.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



106 | P a g e



MECHANISM OF TRAUMA A. KLASIFIKASI MEKANISM OF TRAUMA Tumpul, tembus, thermal dan ledakan (Blast Injury). Pada semua kasus diatas terjadi pemindahan energi (Transfer energy) kejaringan, atau dalam kasus trauma thermal terjadi perpindahan energi (panas/ dingin) ke jaringan. Pemindahan energi (transfer energy) digambarkan sebagai suatu gelombang kejut yang bergerak dengan kecepatan yang bervariasi melalui media yang berbeda-beda. Teori ini berlaku untuk semua jenis gelombang seperti gelombang suara, gelombang tekanan arterial, seperti contoh shockwave yang dihasilkan pada hati atau korteks tulang pada saat terjadi benturan dengan suatu objek yang menghasilkan pemindahan energi. Apabila energi yang dihasilkan melebihi batas toleransi jaringan, maka akan terjadi disfungsi jaringan dan terjadi suatu trauma. B. RIWAYAT TRAUMA Informasi yang didapatkan dari tempat kejadian mengenai kerusakan interior maupun eksterior dari kendaraan, seringkali dapat memberikan petunjuk tentang jenis trauma yang terjadi pada penumpang atau pejalan kaki. Petugas pra rumah sakit perlu untuk menguasai hal ini untuk mencari petunjuk yang mencurigakan dan mencari bukti adanya trauma yang tersembunyi. Sebagai contoh, setir yang bengkok menunjukan adanya trauma thorak. Keterangan ini harus merangsang untuk memeriksa pasien untuk mencurigai adanya patah tulang dada, organ-organ mediastinal, dan trauma pada parenkhim paru. Informasi adanya kaca depan mobil yang pecah dengan tanda Bull's Eye menunjukan bahwa telah terjadi benturan kepala dengan kaca dan harus dicurigai adanya fraktur servikal. Lekukan pada bagian bawah dash board menunjukan bahwa terjadinva benturan antara lutut dan dash board dan memungkinkan terjadinya dislokasi sendi lutut, panggul atau fraktur lutut dan femur. Kerusakan bagian samping kendaraan menunjukan adanya trauma bagian lateral dan dada, abdomen, panggul dan leher pasien. Selain itu keterangan mengenai kejadian yang menyebabkan trauma dapat memperkuat indikasi tindakan bedah. Luka tembus pada tubuh dan tekanan daran yang menurun menunjukan adanya trauma pembuluh daran besar yang harus dilakukan tindakan bedah segera. Pasien dengan trauma kepala yang bukan karena kecelakaan lalu lintas dan pada pemeriksaan neurologis didapatkan abnormalitas, kemungkinan besar harus dilakukan tindakan bedah eksplorasi. Sedangkan luka bakar karena kebakaran besar didalam ruangan tertutup biasanya disertai oleh cedera inhalasi dan keracunan karbon monoksida. Contoh-contoh ini menunjukan pentingnyaa mformasi mengenai kejadian yang menyebabkan trauma. Penyebab terbanyak adalah trauma tumpul dengan kecelakaan lalu lintas. Pada suatu kecelakaan lalu lintas, misalnya tabrakan mobil, maka pasien yang berada didalam mobil akan mengalami beberapa benturan. (collision) berturut-turut sebagai berikut : a. Primary collision masih berada pada posisi masing-masing. Tabrakan dapat terjadi dengan cara : Tabrakan depan (frontal) Tabrakan sampmg (T-Bone) Tabrakan dan belakang Terbalik (roll over) b. Secondary Collision Setelah terjadi tabrakan pasien menabrak bagian dalam mobil (atau sabuk pengaman). Perlukaan yang mungkin timbul akibat benturan akan sangat tergantung dari arah tabrakan. c. Tertiary collision Setelah pasien menabrak bagian dalam mobil, organ yang berada dalam rongga tubuh akan melaju kearah depan dan mungkin akan mengalami perlukaan langsung ataupun terlepas (robek) dari alat pengikatnya dalam rongga tubuh tersebut. d. Subsidary collision Kejadian berikutnya adalah kemungkinan penumpang mobil yang mengalami tabrakan terpental kedepan atau keluar dari mobil. Selain itu barang-barang yang berada dalam mobil turut terpental dan menambah cedera pada pasien Pengkajian pada fase ini: Tipe kejadian trauma, misalnya : tabrakan kendaraan bermotor, jatuh atau trauma / Iuk tembus. PT SMS Indonesia | Smart Emergency



107 | P a g e



Perkiraan intensitas energi yang terjadi misalnya : kecepatan kendaraan, ketinggian dari tempat jatuh, kaliber atau ukuran senjata. Jenis tabrakan atau benturan yang terjadi pada pasien : mobil, pohon, pisau dan lain-lain C. BIOMEKANIK TABRAKAN 1. Tabrakan Mobil a. Tabrakan dari depan/frontal Benturan frontal adalah tabrakan / benturan dengan benda didepan kendaraan, yang secara tiba-tiba mengurangi kecepatannya, sehingga secara tiba-tiba kecepatannya berkurang. Pada suatu tabrakan frontal dengan pasien tanpasabuk pengaman, pasien akan mengalami beberapa fase sebagai berikut: Fase 1 Bagian bawah pasien tergeser kedepan, biasanya lutut akan menghantam dash board dengan keras yangmenimbulkanbekasbenturanpada dashboardtersebut. Kemungkinancederayangakanterjadi :  Patah tulang paha karena menahan beban berlebihan  Dislokasi sendi panggul karena terdorong kedepan sehingga lepas dari mangkuknya.  Dislokasi lutut atau bahkan Patah tulang lutut karena benturan yang keras pada dashboard Fase 2 Bagian atas pasien turut tergeser kedepan sehingga dada atau perut akan menghantam setir.Kemungkinan cedera yang akan terjadi :  Cedera abdomen sampai terjadinya perdarahan dalam. Karena terjadinyaperlukaan /ruptur pada organ seperti hati, limpa, lambung dan usus  Cedera dada seperti patah tulang rusuk dan tulang dada. Selain itu ancaman terhadap organ dalam rongga dada seperti paru-paru, jantung, dan aorta Fase 3 Tubuh pasien akan naik, lalu kepala membentur kacamobil bagian depan atau bagian samping. Kemungkinan cedera yang akan terjadi :  Cedera kepala (berat, sedang, ringan)  Patah tulang leher (fraktur servikal) Fase 4 Setelah muka membentur kaca, pasien kembali tepental ke tempat duduk. Perlu mendapat perhatian khusus apabila kursi mobil tidak tersedia head rest karena kepala akan melenting dibagian atas sandaran kursi. Kondisi akan semakin parah, apabila pasien terpental keluar dari kendaraan. Kemungkinan cedera yang akan terjadi :  Patah tulang belakang (servikal-koksigis) karena roses duduk yang begitu cepat dan sehingga menimbulkan beban berlebih pada tulang belakang.  Patah tulang leher karena tidak ada head rest  Multiple trauma apabila pasien terpental keluar dari kendaraan. b. TabrakanDari Belakang (Rear Collition) Tabrakan dari belakang mempunyai biomekanik tersendiri. Biasanya tabrakan seperti ini terjadi ketika kendaraan berhenti atau pada kendaraan yang kecepatannya lebih lambat. Kendaraan tersebut berikut penumpangnya mengalami percepatan (akselerasi) ke depan oleh perpindahan energi dari benturannya. Badan penumpang akan terakselerasi kedepan sedangkan kepalanya seringkali tidak terakselerasi sehingga akan mengakibatkan hiperekstensi leher. Hal ini akan diperparah apabila sandaran kursi kendaraan tidak rnerniliki head rest sehingga struktur penunjang leher mengalami peregangan yang berlebihan dan menyebabkan terjadinya whiplash injury (gaya pecut). Kemungkinan cedera yang akan terjadi : Fraktur Servical. c. Tabrakandari samping (Lateral Collision) Tabrakan samping seringkali terjadi diperempatan yang tidak memiliki ramburambu lalu lintas. Benturan lateral adalah tabrakan / benturan pada bagian samping PT SMS Indonesia | Smart Emergency



108 | P a g e



kendaraan, yang mengakselerasi penumpang menjauhi titik benturan. Benturan seperti ini adalah penyebabkematian kedua setelah benturan frontal. 31 % dari kematian karena tabrakan kendaraan terjadi sebagai akibat dari tabrakan / benturan lateral. Banyak tipe trauma yang terjadi pada tabrakan lateral sama dengan yang terjadi pada tabrakan frontal. Selain itu trauma kompresi pada tubuh dan felvis juga sering terjadi. Trauma internal terjadi pada sisi yang sama dimana lokasi yang tertabrak, seberapa dalam posisi melesaknya kabin penumpang posisi penumpang / pengemudi, dan lamanya. Pengemudi yang tertabrak pada posisi pengemudi kemungkinan terbesar mengalami trauma pada sisi kanan tubuhnya demikian juga sebaliknya pada pnumpang.Kemungkinan cedera yang akan terjadi : Fraktur servical Fraktur iga Trauma paru Trauma hati /limpa Trauma pelvis Trauma skeletal d. Terbalik(Roll Over) Pada kendaraan yang terbalik, penumpangnya dapat mengenai / terbentur pada semua bagian dari kompartemen penumpang. Jenis trauma dapat diprediksi dengan mempelajari titik benturan pada kulit pasien. sebagai hukum yang umum, dalam kejadian terbaliknya kendaraan maka terjadi beberapa gerakan yang dahsyat, samping dapat menyebabkan trauma yang serius. Ini lebih berat bagi penumpang yang tidak memakai sabuk pengaman. Dalam menangani kasus seperti ini harus lebih berhati-hatikarenasemuabagianbisamengalamicederabaik yangkelihatanatautidakkelihatan.Kemungkinan cedera yang akan terjadi : Multiple trauma Waspadai kemungkinan cedera tulang belakang belakang. dan fraktur servikal e. Terlemparkeluar (ejection) Trauma yang dialarru penumpang dapat lebih berat bila terlempar keluar dari kendaraan. Kemungkinan terjadinya trauma meningkat 300 % kalau penumpang terlempar keluar. Petugas gawat darurat yang memeriksa pasien yang terlempar keluar harus lebih teliti dalam mencari trauma yang tidak tampak. Kemungkinan cedera yang akan terjadi : Multiple trauma Trauma kepala Trauma organ dalam Fraktur servikal 2. Benturan Organ Ketika terjadi tabrakan / benturan selain tubuh yang membentur / menabrak, organ bagian dalam pun turut menabrak dinding tubuh dan sebagian mengalami kompresi. Organ dalam tubuh dibagi menjadi dua bagian yaitu: Organ solid, seperti : Otak, han, limpa, jantunq dan paru-paru Organ berongga, seperti : usus dan lambung Ketika terjadi benturan / tabrakan organ-organ tersebut dapat mengalami perlukaan. Perlukaan organ dalam dapat terjadi rnelalui rnekanisme : a. Benturan langsung Trauma organ dalam terjadi ketika terjadi benturan langsung terhadap pelindung organ tersebut. Misalnya benturan terhadap kepala dapat mengakibatkan perlukaan pada otak berupa memar atau robekan. Pada kasus lain otak menghantam dinding / tulang tengkorak yang mengakibatkan terjadinya perdarahan pada otak. Decceleration dan acceleration injury, Pada decceleration injury ketika terjadi benturan organdalam melaju kedepan (pada tabrakan frontal) dan robek pada ikatan yang mengikatnya. Sebagai contoh jantung akan terlepas dari ikatannya dan terjadi ruptur aorta. Sedangkan pada acceleration injury contohnya adalah wiplash injury pada benturan / tabrakan dari belakang. b. Trauma kompresi Trauma kompresi terjadi bila bagian depan dari badan berhenti bergerak, sedangkan bag Ian dalam tetap bergerak kedepan. Organ-organ terjepit dari PT SMS Indonesia | Smart Emergency



109 | P a g e



belakang oleh bagian belakang dinding torakoabdominal dan kolumna vetrebralis, dan didepan oleh struktur yang terjepit. Pada organ yang berongga dapat terjadi apa yang disebut dengan efek kantong kertas (paper bag effect) yaitu seperti mainan anak-anak dimana kantong kertas ditiup dan ditutup lalu dipukul untuk mendapat efek ledakan. Organ berongga tersebut usus dan lambung. Trauma karena sabuk pengaman, Sabuk pengaman sudah terbukti dalam memberikan pertolongan menyelamatkan penumpang. Jika digunakan dengan benar sabuk pengaman mengurangi kematian sampai 65-75 % dan mengurangi trauma berat sampai dengan sepuluh kali. Tekanan safety belt pada perut bisa rnengakibatkan rupture organ dalam perut. Oleh karena itu dalam melepas sabuk pengaman harus hati- hati, jangan melepas secara mendadak. Karena sabuk pengaman bisa berfungsi sebaqai tampon. Apabila dibuka secara mendadak artinya tampon dibuka sehingga akan terjadi perdarahan hebat. Benturan dengan bemper, Tinggi bemper versus ketinggian pasien merupakan faktor kritis dalam trauma yang terjadi. Pada orang dewasa dengan posisi berdiri, benturan awal dengan bemper biasanya mengenai tungkai, lutut dan pelvis. Anak - anak lebih mungkin terkena pada bagian abdomen dan dada. Benturan dengan kaca depan dan tutup mesin, Pada fase ini pejalan kaki melayang diatas mobil dan kemudian membentur tutup mesin dan kaca depan kendaraan. Kejadian ini mengakibatkan trauma dada dan kepala dengan tingkat keparahan sesuai dengan kerasnya benturan. Benturan dengan tanah / ground, Benturan dengan tanah mengakibatkan beberapa truma yaitu fraktur servikal dan tulang belakang, trauma kepala dan kompresi organ. 3. Trauma pejalan kaki Di Amerika Serikat lebih dan 7000 pejalan kaki terbunuh setiap tahun setelah tertabrak kendaraan bermotor, pasien lainnya mengalami trauma serius setelah tabrakan tersebut.Trauma yang dialami pejalan kaki pada umumnya meliputi kepala, thorak, dan ekstremitas bawah. Terdapat 3 fase benturan yang dialami pada saat pejalan kaki tertabrak: 4. Trauma tembus (penetrating injury) a. Senjata dengan energi rendah (low energy) Contoh senjata dengan energi rendah adalah pisau dan alat pemecah es. Alat ini menyebabkan kerusakan hanya karena ujung tajamnya. Karena energi rendah, biasanya hanya sedikit menyebabkan cidera sekunder. Cedera pada pasien dapat diperkirakan dengan mengikuti alur senjata pada tubuh. Pada luka tusuk, wanita mempunyai kebiasaan menusuk kebawah, sedangkan pria menusuk keatas karena kebiasaan mengepal. Saat menilai pasien dengan luka tusuk, jangan diabaikan kemungkinan luka tusuk multipel. Inspeksi dapat dilakukan dilokasi, dalam perjalanan ke rumah sakit atau saat tiba di rumah sakit, tergantung pada keadaan disekitar lokasi dan kondisi pasien. b. Senajata dengan energi menengah & tinggi (medium and high energy) Senjata dengan energi menengah contohnya adalah pistol, sedangkan senjata dengan energi tinggi seperti senjata militerdan senjata untuk berburu. Semakin banyak jumlah mesiu, maka akan semakin meningkat kecepatan peluru dan energi kinetiknya. Kerusakan jaringan tidak hanya daerah yang dilalui peluru tetapi juga pada daerah disekitar alurnya akibat tekanan dan regangan jaringan yang dilalui peluru. Peluru akbiat senjata energi tinggi dan menengah Juga menyebabkan kavitasi / rongga yang lebih besar dan lubang masuknya. Untuk senjata dengan energi menengah biasanya menyebabkan kavitasi 3-6 kali dan ukuran frontal peluru, sedangkan untuk energi tinggi akan lebih besar lagi, demikian juga kerusakan jaringan yang ditimbulkannya akan lebih besar lagi. Hal-hal lain yang mempengaruhi keparahan cidera adalah hambatan udara dan jarak. Tahanan udara akan memperlambat kecepatan peluru. Semakin jauh jarak tembak, akan semakin mengurangi kecepatan peluru sehingga kerusakan PT SMS Indonesia | Smart Emergency



110 | P a g e



yang ditimbulkannya akan berkurang. Sebagian kasus penembakan dilakukan dari jarak dekat dengan pistol, sehingga memungkinkan cedera serius cukup besar. 5. Trauma ledakan (blast injury) Ledakan terjadi sebagai hasil perubahan yang sangat cepat dari suatu bahan dengan volume yang relatif kecil, baik padat, cairan atau gas, menjadi produk-produk gas. Produk gas ini yang secara cepat berkembang dan menempati suatu volume yang jauh lebih besar dari pada volume bahan aslinya. Bilamana tidak ada rintangan, pengembangan gas yang cepat ini akan menghasilkan sesuatu gelombang tekanan (shock wave).



Trauma Ledakan dapat diklasifikasikan dalam 3 mekanisme kejadian



trauma yaitu primer, sukender dan tersier a. Trauma ledak primer Merupakan hasil dari efek langsung gelombang tekanan dan paling peka terhadap organ - organ yang berisi gas. Membrana timpani adalah yang paling peka terhadap efek primer ledak dan mungkin



mengalami



ruptur



bila



tekanan



melampaui 2 atmosfir. Jaringan paru akan menunjukan suatu kontusio, edema dan rupture yang



dapat



menghasilkan pneumothoraks.



Ruptur alveoli dan vena pulmonaris dapat menyebabkan emboli udara dan kemudian kematian mendadak. Pendarahan intraokuler dan ablasio retina merupakan manifestasi okuler yang biasa terjadi, demikian juga ruptur intestinal. b. Trauma ledak sekunder Merupakan hasil dari objek-objek yang melayang dan kemudian membentur orang disekitarnya c. Trauma ledak tersier Terjadi bila orang disekitar ledakan terlempar dan kemudian membentur suatu objek atau tanah. Trauma ledak sekuder dan tertier dapat mengakibatkan trauma baik tembus maupun tumpul secara bersamaan



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



111 | P a g e



VIII TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM Setelah mengikuti materi ini peserta mampu melakukan penilaian awal (initial assessment) korban trauma dengan cepat dan tepat. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS: Setelah mengikuti materi ini peserta mampu: 1. Menjelaskan Pengertian initial assesment 2. Mengetahui masalah yang Mengancam pada korban Trauma dengan cepat tepat Serta cara penanganan secara Simultan. 3. Melakukan pengkajian primer (primary survey) 4. Melakukan pengkajian sekunder (secondary survey) 5. Menentukan rujukan rumah Sakit yang tepat untuk penanganan definitive



INITIAL ASSESSMENT A. PENDAHULUAN Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel merupakan tugas yang menantang, dan tiap menit bisa berarti hidup atau mati. Sistem Pelayanan Tanggap Darurat ditujukan untuk mencegah kematian dini karena trauma yang bisa terjadi dalam beberapa menit hingga beberapa jam sejak cedera (kematian segera karena trauma, immediate, terjadi saat trauma. Perawatan kritis, intensif, ditujukan untuk menghambat kematian karena trauma yang terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah trauma). Kematian dini diakibatkan gagalnya oksigenasi adekuat pada organ vital (ventilasi tidak adekuat, gangguan oksigenisasi, gangguan sirkulasi, dan perfusi organ tidak memadai), cedera SSP masif (mengakibatkan ventilasi yang tidak adekuat dan/ atau rusaknya pusat regulasi batang otak), atau keduanya. Cedera penyebab kematian dini mempunyai pola yang dapat diprediksi (mekanisme cedera, usia, jenis kelamin, bentuk tubuh, atau kondisi lingkungan). Tujuan penilaian awal adalah untuk menstabilkan pasien, mengidentifikasi cedera/ kelainan pengancam jiwa dan untuk memulai tindakan yang sesuai, serta untuk mengatur kecepatan dan efisiensi tindakan definitif atau transfer ke fasilitas kesehatan yang sesuai dengan keadaan korban melalui protokol yang disebut ― advanced trauma life support‖. Penilaian awal ini intinya mencakup beberapa elemen, yaitu: 1. Triage 2. Primary Survey, yaitu penanganan ABCDE+FG dan resusitasi. Disini dicarikeadaan yang mengancam nyawa, dan apabila menemukan harus dilakukanresusitasi. 3. Secondary Survey, yaitu head to toe / pemeriksaan yang teliti dari Ujung kepala sampai kaki. 4. Monitoring pasca resusitasi dan re-evaluasi PT SMS Indonesia | Smart Emergency 112 | P a g e



5. Penanganan lanjutan (definitive care) 6. Pertimbangan untuk rujukan Survey primer maupun sekunder harus selalu diulang-ulang untuk menentukanadanya keadaan penurunan penderita, dan memberikan resusitasi dimana diperlukan. B. TAHAPAN PENGELOLAAN KORBAN Langkah-langkah penilaian dilakukan dengan sistematis, terarah dan berorientasi pada penanganan masalah yang ada pada pasien secara simultan. Persiapan korban trauma dapat terjadi di dua tempat, diantaranya:  Fase Pra Rumah Sakit Kordinasi yang baik antara petuga lapangan dengan team kedehatan dirumah sakit akan sangat bermanfaat terhadap keberhasilan penanganan. Pada fase pra rumah sakit, fokus penanganan pada airways dan breathing, kontrol shock dan perdarahan serta imobilisasi korban untuk segera rujuk ke tempat yang memadai setelah ABCDE stabil. Berikut hal hal yang harus diperhatikan pada fase ini: Pengamanan diri, lingkungan dan korban Koordinasi dan komunikasi dengan rumah sakit untuk persiapan Pertahankan airway (jalan napas), breathing (pernapasan) Atasi shock, kontrol perdarahan luar Jaga imobilisasi korban Informasikan tentang kejadian: waktu, proses kejadian, riwayat pasien, dan biomekanik trauma Prinsip utama adalah bahwa tidak boleh membuat keadaan lebih parah ―Do no further harm‖  Fase Rumah Sakit Perencanaan yang tepat oleh team petugas rumah sakit untuk menerima korban trauma adalah hal yang sangat penting. Proses serah terima atara petugas lapangan dengan team rumah sakit harus dilakukan dengan sebaik mungkin. Penerima informasi harus memastikan informasi terkait korban trauma ke team petugas rumah sakit yang melakukan penanganan tersebut. Berikut hal-hal yang harus diperhatikan pada fase ini: Koordinasi dan komunikasi dengan tim yang bertugas di Rumah Sakit Tersedianya area resusitasi untuk korban trauma Memastikan Persiapan peralatan emergency dapat berfungsi dengan baik Melakukan Penanganan Primary Survey Melakukan Penanganan Sekundary Survey Triage adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhanterapi dan sumber daya yang tersedia. Pada umumnya kita akan melakukan triage, tidak peduli apakah korban hanya satu ataubanyak. Bila satu korban, akan mencari masalah penderita (selection ofproblems).Sedangkan Bila banyak korban, akan mencari penderita yang paling bermasalah.Pemilahan akan didasarkan pada keadaan ABC (Airway, Breathing, danCirculation). Dua jenis keadaan triase dapat terjadi: - Jumlah korban dan beratnya perlukaan tidak melampaui kemampuan petugas. Dalam keadaan ini penderita denganmasalah gawatdarurat dan multi-trauma akan dilayani terlebih dahulu,sesuai prinsip ABC. - Jumlah korban dan beratnya perlukaan melampaui kemampuan petugas. Dalam keadaan ini yang akan dilayaniterlebih dahulu adalah penderita dengan kemungkinan survival yangterbesar dan membutuhkan waktu, perlengkapan,dan tenagapaling sedikit. Dokumentasi Pertimbangkan mediko-legal, termasuk catatan medis, persetujuan tindandakan dan bukti forensik selama tindakan initial assesment. Catatan medis selama tindakan harus seluruhnya didokumentasikan, dengan catatan medis yang baik persoalan mediko-legal selama ini yang sering timbul dapat diselesaikan. Jika memungkinkan persetujuan untuk pengobatan harus ditandatangani sebelum tindakan, akan tetapi pada kondisi keadaan darurat, terapi/tindakan harus PT SMS Indonesia | Smart Emergency



113 | P a g e



segeradilakukan dan persetujuan dapat dilakukan selanjutnya. Bila ada masalah pidana pada pasien, maka petugas harus memelihara dengan baik semua bukti yang ada termasuk peluru, pakaian, pemeriksaan alkhohol dan obat-obatan karena sangat berguna dan mempunyai nilai hukum. Beberapa penyakit menular seperti Hepatitis, AIDS, HIV dll sangat mungkin terjadi, oleh karena itu proteksi diri (sarung tangan, masker, kacamata, dan approun) harus selalu diperhatikan dan dijalankan baik di pra rumah sakit maupun di rumah sakit. C. PENANGANAN KORBAN TRAUMA Tahapan dalam pengelolaan atau penanganan pasien trauma pada kasus kegawatdaruratan secara umum terdiri dari: 1. Primary Survey 2. Secondary survey 3. Re-evaluasi 4. Pertimbangan untuk rujukan Danger Perhatikan bahaya yang mengancam di sekitar lokasi kejadian. Pastikan aman/ safety dalam melakukan tindakan pertolongan. Adapun keamanan yang harus diperhatikan adalah : Keamanan diri / Penolong Kemanan lokasi kejadian Keamanan pasien/korban Evaluasi dan waspadai semua potensi bahaya agar tidak membahayakan penolong dan penderita Respon Menilai kesadaran di awal penilaian dilakukan dengan cepat dan tepat, dimana hal ini untuk segera melakukan rencana tindakan pertolongan bagi korban. Cek kesadaran di awal penilaian hanya mengukur apakah korban sadar atau tidak. Adapun penggunaan cek kesadaran dengan menggunakan AVU: A = Alert/sadar Pasien dikatakan alert/sadar apabila pasien dapat berorientasi terhadap tempat, waktu dan orang. V = Verbal/respon terhadap suara Pasien berespon terhadap rangsangan suara (mengikuti perintah melalui verbal dengan teriak ―pak/buk!‖ Atau ―buka mata pak/buk!‖ Dan tepuk bahu) U = Unresponsive/tidak sadar Kegagalan dalam merespon hal tersebut menunjukan adanya gangguan ABCD, sehingga memerlukan penilaian dan penanganan segera. Call For Help Segera aktifkan sistem emergency dan minta pertolongan. Heart Monitor / ECG Monitor Monitoring sangat penting dilakukan untuk seluruh penderita multiple trauma, atau usia penderita diatas 40 tahun atau pada penderitayang tersengat arus listrik ataupun dipasang untuk penderita yang memiliki riwayat penyakit jantung seperti takikardi, atrial fibrilasi, perubahan segmen ST bisa menandakan adanya trauma tumpul pada jantung. PEA mengidentifikasikan terjadinya tanponade jantung/ hipovolemia, sedangkan bradikardi menandakan gangguan hantaran kelistrikan dan munculnya prematur beat menunjukan kemungkinan terjadinya hipoksia/hiperfusi.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



114 | P a g e



PRIMARY SURVEY Primary survey terdiri dari penilaian secara cepat tepat akurat berdasarkan prioritas yang mengancam nyawa. tetapi sebelum memegang penderita trauma selalu harus proteksi diri terlebih dahulu untuk menghindari tertular penyakit seperti Hepatitis dan AIDS. Bila proteksi diri telah dilakukan dan informasi mengenai korban telah terkumpul, langkah selanjutnya adalah penilaian dan pengelolaan berdasarkan prioritas masalah yang mencakup ―ABCDE‖. A: Airway dengan kontrol servikal (gangguan airway adalah pembunuh tercepat) B: Breathing dengan kontrol ventilasi C: Circulation dengan kontrol perdarahan D: Disability (penilaian status neurologis dan GCS) E: Exposure tetapi cegah hipotermia Penanganan primary survey dilakukan secara simultan tidak lebih dari 2 menit melalui pendekatan teamwork, konsep tersebut sangat penting untuk mencegah interupsi dan dapat dapat dilakukan secara simultan. Airways Dengan Kontrol Servikal WASPADA : Fraktur Servikal Pada setiap penderita trauma dengan mekanisme cidera berat, harus dicurigai adanya cidera korda spinalis sampai terbukti tidak adanya hal tersebut. Untuk melakukan pemastian bebasnya airway, petugas harus ingat bahwa adanya kemungkinan cidera tulang servikal. Gerakan berlebihan pada daerah korda spinalis dapat menyebabkan kerusakan neurologik atau menambah kerusakan neurologik akibat kompresi tulang yang terjadi pada fraktur tulang belakang. Solusinya adalah memastikan leher tetap dalam posisi netral (bagi penderita) selama pembebasan jalan napas dan pemberian ventilasi yang dibutuhkan. Korban utama pasti gelisah sehingga harus difiksasi bagian leher dengan menggunakan neck collar atau penyanggah leher agar tidak terjadi masalah pada nervus phrenicus yang beresiko menyebabkan depresi napas. Pemasangan ini diindikasikan untuk kemungkinan fraktur servikal jika terdapat tanda-tanda: 1) Trauma kapitis, terutama jika korban mengalami penurunan kesadaran 2) Trauma tumpul di atas kranial dari klavikula 3) Setiap kasus multitrauma (trauma pada 2 regio tubuh atau lebih) 4) Proses kejadian yang mendukung (biomekanik trauma mendukung misal ditabrak dari belakang) Airway harus diperiksa secara cepat untuk memastikan bebas dan patennya serta tidak adanya potensi bahaya atau obstruksi.Jika airway terganggu maka diperlukan pembebasan sesuai dari gangguan jalan napas yang ditemukan. Dan jika ditemukan pasien tidak sadar dengan adanya suara napas seperti: - Gurgling: lakukan logroll jika alat suction belum siap atau jika darah/mutah terlalu banyak, segera lakukan suction - Snoring: manual: chin lift/jaw thrust, dilakukan sementara jika alat belum siap/belum tersedia dengan alat: OPA (tanpa gangguan reflek), NPA (jika ada ganggungan reflek) Harus diingat bahwa pemasangan pipa melalui hidung merupakan kontraindikasi apabila penderita adakecurigaan fraktur basis kranii bagian depan, karena pipa dapat masuk ke rongga kranium. - Crowing: definitif airway: intubasi endotracheal/needle cryco-thyroidotomy Perhatikan selalu indikasi dan kontra indikasi dari masing masing alat bantu jalan napas. Apabila ada pasien dengan penurunan kesadaran atau pasien pasca henti jnatung beresiko terjadi obstruksi oleh lidah jatuh, maka segera dilakukan pemasangan LMA atau pasien dengan GCS 40 th - Riwayat penyakit jantung - Kesetrum/Tersambar Petir - Takikardi/ atrial fibrilasi/ perubahan segment ST: indikasi adanya trauma tumpul pda jantung - PEA: indikasi terjadinya tanponade jantung/ syok hipovolemi - Bradikardi/gangguan hantaran kelistrikan: kemungkinan terjadi hipoxia dan hiperfusi



Primary Survey



5



Airways dan kontrol servikalspinal



6



Breathing dan kontrol ventilasi



7



Circulation kontrol perdarahan



dan



Bila biomekanik trauma mendukung, lakukan fiksasi cervikal-spinal dengan cara manual atau pasang neck collar bila sudah tersedia Pasang LSB dengan teknik logroll dan pasang head emobilizer untuk imobilisasi servikal-spinal Nilai adanya obstruksi jalan napas dengan cara mendengarkan bunyi napas tambahan, lakukan tindakan berdasarkan hasil penilaian: - Snoring: manual: trauma: chin lift/jaw trust, non-trauma: head tilt chin lift Dilakukan sementara sebelum alat tersedia Dengan alat: OPA (tanpa gangguan reflek), NPA (gangguan reflek) - Gurgling: lakukan logroll, bila alat suction belum siap - Crowing: definitife airways Perhatikan indikasi/kontra indikasi dari masing-masing alat bantu napas, pasien dengan GCS 2 detik: Merah b. Bila < 2 detik: tahap berikut c. Bila pencahayaan kurang, cek nadi radialis, bila tidak teraba/lemah: Merah d. Bila nadi radialis teraba: tahap berikut 4. Langkah 3 : Mental Status a. Berikan perintah sederhana kepada pnderita, jika dapat mengikuti: Kuning b. Bila tidak dapat mengikuti perintah: Merah Tindakan yang harus cepat dilakukan: Buka jalan napas, bebaskan benda asing atau darah (obstruksi jalan napas) Berikan napas buatan segera jika pasien tidak bernapas Balut tekan dan tinggikan jika ada luka terbuka/ perdarahan Setelah melakukan langkah 1- 3 dan memberikan tanda/kartu kepada pasien, lekas untuk menuju ke pasien lain yang belum dilakukan triage. Triage selalu dievaluasi untuk menghindari kemungkinan terjadi kesalahan pada waktu triage. Setiap penolong harus mengerti dan memahami konsep triage dengan menggunakan cara START, karena cara ini sangatlah bagus dan efektif serta mudah untuk diterapkan. Agar penolong terampil dan cekatan dalam triage harus sering dilakukan simulasi bencana (disasterdrill), sehingga dapat menambah kemampuan dan keterampilan penolong. Triage dilakukan dalam kondisi dimana pasien lebih dari satu, sedangkan untuk jumlah petugas terbatas. Hal termudah dalam membantu pasien adalah dengan dilakukannya START, penilaian pasien sangat cepat terutama dalam kondisi bencana. Sistem penanganan pada saat bencana tidak semua orang dapat menjadi pengatur atau bergerak sesuai



dengan bagiannya. Semua harus berkoordinasi dan terkoordinasi



dalam suatu sistem yang dapat diterapkan untuk kelancaran penanganan bencana. Dalam



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



130 | P a g e



hal ini terutama pemerintah harus memahami konsep penanganan bencana. Pimpinan atau pemegang komando pada saat bencana adalah pemerintah setempat atau pihak kepolisian, sebagai contoh jikabencana terjadi di daerah kabupaten, maka sebagai pimpinan adalah bupati setempat, atau jika terjadi



di tingkat propinsi maka gubernur yang menjadi



pimpinan, dan jika terjadi mencapai tingkat nasional maka sebagai pimpinan adalah pimpinan negara/presiden. Setiap



pemerintah daerah telah memiliki standar atau satuan pelaksana



penanggulangan bencana, ini dapat diterapkan oleh pemerintah setempat. Untuk lebih menguasai



dan memahami secara teknis harus diadakan latihan simulasi penanganan



bencana secara rutin. Hal yang harus diperhatikan pada saat penanganan bencana dan seorang pemimpinharus peka adalah tentang struktur komando, operasional, logistik, perencanaan dan keuangan. Hal di atas sangat mendukung dan harus memiliki konsep yang bagus sehingga tidak ada yang dilalaikan dalam penanganan bencana. Semua struktur tersebut harus memiliki penanggungjawab dari bagian masing-masing, sehingga ada pembagian tugas yang sesuai dengan fungsinya. Maka dari itu seorang pemimpin tim kesehatan harus dapat menganalisa tingkat kebutuhan bantuan dengan mengamati dan Melaporkan jumlah pasien, jumlah ambulans yang dibutuhkan, jumlah petugas medis yang harus ada (dokter perawat, ahli gizi, ahli sanitasi, dan lainnya), kebutuhan petugas lain (tim rescue, pemadam kebakaran, polisi, dan koordinasi dengan rumah sakit setempat atau rumah sakit rujukan. Jika hal-hal tersebut di atas sudah memiliki konsep dan sistem yang baik, maka diharapkan koodinasi dan kerja sama yang baik dari semua unsur yang ada di area bencana akan tercipta, sehingga penanganan bencana khususnya bagi para pasien dapat mencapai tujuan yaitu meminimalkan pasien yang ada dengan cepatnya mendapat bantuan dari tim bantuan bencana. Untuk tim kesehatan, harus mempunyai pimpinan yang sudah terlatih dan lihai dalam penanganan bencana diharapkan



hal-hal yang akan menjadi keperluan dan dukungan



terhadap pertolongan kepada pasien dapat diterapkan dengan baik. Hal yang harus dipersiapkan dan sebagai antisipasi dalam kesehatan adalah logistik dibutuhkan untuk sistem rujukan pasien, terapi atau obat-obatan yang akan diberikan.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



131 | P a g e



ALOGARITMA START



Luka Kecil – Bisa Jalan



HIJAU



RESPIRASI



Ya



Tidak



Posisi Jalan Napas



Respirasi: tidak



Respirasi: Ya



HITAM



MERAH



2 detik – Refill Kapiler - 30/menit



STATUS MENTAL



Tidak Dapat Mengikuti Perintah sederhana



Dapat Mengikuti Perintah sederhana



MERAH MERAH



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



KUNING



132 | P a g e



X TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM Setelah melaksanakan pelatihan ini peserta mampu memahami Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu di Indonesia



TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS Setelah menyelesaikan pelatihan ini peserta dapat: Menjelaskan pengertian sistem .1 penanggulangan gawat darurat terpadu. Merumuskan maksud dan tujuan dari .2 Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). Menjelaskan fase – fase didalam .3 penanggulangan gawat darurat terpadu. Menguraikan komponen – komponen yang terlibat pada setiap .4 fase pelayanan gawat darurat yang terpadu. Mengatur sistem penanganan kegawat daruratan terpadu di lingkungannya.5 Melaksanakan simulasi sistem penanganan kegawatdaruratan terpadu .6 dalam kehidupan sehari-hari



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



133 | P a g e



SPGDT (SYSTEM PENANGGULANGAN GAWAT DARURAT TERPADU) A. PENDAHULUAN Keberhasilan penanggulangan korban gawat darurat tergantung pada beberapa kondisi, yaitu: kecepatan ditemukan, kecepatan respon tenaga kesehatan, kemampuan dan kualitas tenaga kesehatan dan kecepatan minta tolong. Semakin cepat korban ditemukan, semakin cepat pula korban dapat diselamatkan. Namun bukan berarti tanpa halangan. Misalnya, korban gawat darurat di lokasi yang sangat sulit dijangkau membutuhkan teknik cara yang lebih baik dalam menemukan mereka. Pertimbangan bila kecelakaan terjadi di daerah yang sulit, mungkin perlu dilakukan penyisiran secara foto satelit. Kecepatan respon tenaga kesehatan baik yang ada di rumah sakit, di ambulance, atau di komunitas menjadi sangat penting dalam memperbesar harapan hidup bagi korban dengan kondisi kegawat daruratan. Kemampuan dan kualitas tenaga kesehatan akan sangat menentukan probabilitas kualitas hidup korban setelah terjadi kecelakaan. Semakin terlatih petugas kesehatan dan diimbangi dengan pengetahuan yang baik, maka dalam melakukan tugasnya menolong korban lebih baik, khususnya probabilitas harapan hidup korban. Korban gawat darurat biasanya tidak mampu meminta pertolongan, karena kondisinya sendiri pun tidak memungkinkan untuk itu. Misalnya apabila kesadaran korban menurun. Sehingga diharapkan ada orang lain yang meminta tolong kepada petugas terlatih atau petugas kesehatan untuk memberikan bantuan yang diperlukan sesuai kondisi korban. Maka semakin cepat meminta tolong, semakin cepat pula mendapatkan pertolongan. Untuk itu segala upaya perlu dilakukan untuk dapat meminta bantuan secepatnya. Kematian karena trauma dapat terjadi sesaat setelah kejadian, dalam perjalanan ke rumah sakit, saat di rumah sakit atau setelah pulang dari rumah sakit. American College Of Surgeon menguraikan distribusi kematian akibat trauma yang dikenal dengan Trimodal Death Distribution yang terbagi dalam beberapa puncak kematian akibat trauma sebagai berikut: 1. Puncak Pertama 50% kematian akibat trauma terjadi beberapa detik atau beberapa menit setelah kejadian. Kematian dini umumnya karena laserasi otak, batang otak, spinal cord level tinggi, jantung aorta, dan pembuluh darah besar lainnya (hanya sedikit dari kelompok pasien ini dapat diselamatkan). Akibat beratnya cedera, hanya sedikit dari kelompok ini. Keberhasilan penanggulangan kelompok ini hanya dapat ditemui di daerah perkotaan tertentu yang memiliki sarana pra rumah sakit dan transportasi yang cepat dan baik. 2. Puncak Kedua 35% kematian terjadi dalam 1-2 jam setelah trauma. Periode waktu ini dikenal dengan The Golden Hour. Kematian disebabkan oleh trauma kepala berat (Hematoma subdural atau extradural), Trauma thoraks (Hematotoraks atau Pneumothorax), trauma abdomen (ruptur limpa atau laserasi hati), Fraktur femur atau pelvis dengan perdarahan masif, multifple trauma dengan perdarahan. Pencegahan kematian harus dilakukan secara agresif dalam periode 1-2 jam setelah trauma dengan melakukan penilaian dan resusitasi yang tepat dan cepat, yang merupakan prinsip dasar dari Basic Trauma Life Support (BTLS). 3. Puncak Ketiga 15% kematian terjadi beberapa hari atau beberapa minggu setelah kejadian. Kebanyakan terjadi karena sepsis dan gagal sistem organ multiple. Kualitas penanggulangan pada setiap periode berdampak pada periode ini, sehingga orang pertama dan setiap individu yang terlibat dalam penanggulangan pasien gawat darurat trauma akan mempunyai dampak langsung pada hasil akhir jangka panjang. Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan suatu system penanggulangan pasien gawat darurat mulai dari tempat kejadian sampai dengan rumah sakit. Sistem tersebut dikenal dengan sistem penanggulangan pasien gawat darurat secara terpadu (SPGDT). SPGDT merupakan suatu alur penanganan pasien gawat darurat yang berkesinambungan dan terintegrasi/terpadu dalam suatu sistem dengan melibatkan seluruh komponen dan sumberdaya, sehingga pasien mendapatkan pertolongan secara cepat dan tepat dari mulai tempat kejadian, di rumah sakit dan setelah keluar dari rumah sakit.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



134 | P a g e



B. DEFINISI SPGDT SPGDT adalah merupakan suatu sistem dimana koordinasi merupakan unsur utama yang bersifat multi sektor dan harus ada dukungan dari berbagai profesi bersifat multi disiplin dan multi profesi untuk melaksanakan dan penyelenggaraan suatu bentuk layanan terpadu bagi penderita gawat darurat baik dalam keadaan sehari hari maupun dalaam keadaan bencana dan kondisi kondisi kejadian luar biasa. Didalam memberikan pelayanan medis SPGDT dibagi menjadi 3 sub sistem yaitu : Sistem pelayanan pra rumah sakit, sistem pelayanan di rumah sakit dan sistem pelayanan antar rumah sakit. Ketiga sub sistem ini tidak terpisahkan satu sama lain yang bersifat saling terkait didalam pelaksanaan sistem. Prinsip Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu Prinsip dari SPGDT adalah memberikan pelayanan yang cepat, cermat dan tepat dimana tujuannya adalah untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan (time saving is life and limb saving) terutama ini dilakukan sebelum dirujuk di rumah sakit yang dituju. Ada 3 fase pelayanan : 1. Sistem pelayanan medik pra rumah sakit 2. Sistem pelayanan medik antar rumah sakit 3. Sistem pelayanan medik di rumah sakit C. JENIS SPGDT SPGDT dibagi menjadi 2 yaitu: 1. SPGDT-S (Sehari-Hari) SPGDT-S adalah rangkaian upaya pelayanan gawat darurat yang saling terkait yang dilaksanakan ditingkat Pra Rumah Sakit – di Rumah Sakit – antar Rumah Sakit dan terjalin dalam suatu sistem. Bertujuan agar korban/ pasien tetap hidup. Meliputi berbagai rangkaian kegiatan sebagai berikut : a. Sistem Pelayanan Medik Pra Rumah Sakit (Pre Hospital Phase) Diketahui adanya penderita gawat darurat oleh masyarakat Penderita gawat darurat itu dilaporkan ke organisasi pelayanan penderita gawat darurat untuk mendapatkan pertolongan medik. Pertolongan di tempat kejadian oleh anggota masyarakat awam atau awam khusus (satpam, pramuka, polisi, dan lain – lain) Pengangkutan penderita gawat darurat untuk pertolongan lanjutan dari tempat kejadian ke rumah sakit (sistim pelayanan ambulans) Keberhasilan pertolongan penderita gawat darurat pada fase ini ditentukan oleh beberapa hal, sebagai berikut : Kecepatan dan ketepatan dalam menemukan melakukan pertolongan sesaat setelah kejadian. Biasanya yang pertama kali menemukan dan melakukan pertolongan adalah orang awam dan awam khusus disekitar tempat kejadian. Kemudahan akses meminta pertolongan ke pusat komunikasi gawat darurat Kecepatan responsen time ambulans gawat darurat kelokasi kejadian dan meneruskan pertolongan. Ketepatan dalam memilih rumah sakit rujukan. Didalam penyelengaraan sistem pelayanan pra rumah sakit harus membentuk atau mendirikan pusat pelayanan yang bersifat umum dan bersifat emergency dimana bentuknya adalah suatu unit kerja yang disebut PSC (public safety center). PSC ini merupakan suatu unit kerja yang memberikan pelayanan teruatama yang bersifat emergency bisa merupakan UPT Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota. Dilandasi aspek time management sebagai implementasi time saving is life and limb saving yang mengandung unsur quick respons dan ketepatan. Unsur kecepatan dipenuhi oleh subsistem transportasi dan komunikasi, unsur ketepatan dipenuhi oleh kemampuan melakukan pertolongan. 1) Peran dirjen Pelayanan Medik Kemenkes RI terkait PSC: - Kualitas pelayanan & fasilitas pelayanan.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



135 | P a g e



-



2)



3)



4)



5)



6)



Promotif, kuratif dan rehabilitatif continuum. Pencegahan primer (health promotion dan specific protection). Pencegahan sekunder berupa deteksi dini dan pengobatan serta pembatasan cacat. Pencegahan tertier berupa rehabilitasi medik maksimal. Kebijakan Depkes-Pelayanan Medik : - Pedoman sertifikasi teknologi. - Pedoman penerapan dan pengembangan teknologi - Standar akreditasi sarana, prasarana. - Standar pendidikan dan pendayagunaan nakes - Penetapan pedoman pembiayaan. Paradigmapelayanan medik : - Pergeseran orientasi dari professional driven menjadi client driven. - Pelayanan medik terintegrasi, holistic-continuum. - Evidence based medicine : fakta yang benar. - Medicine by law. Industri pelayanan medik mengandung unsur ekonomi, sosial, profesional. Undang-undang perlindungan konsumen tidak dapat diterapkan. Kebijakan Depkes terkait PSC : - Menyediakan pelayanan prima pra RS. - Mengusahakan geomedic mapping (sumber daya sarana dan prasarana, lokasi permasalahan: mempermudah koordinasi dan penggerakan sumberdaya kesehatan dan non kesehatan). - Komunikasi dan transportasi. - Koordinasi dengan polisi/SAR, BNPB, BPBD Strategi bentuk-kembang PSC : - Administrasi dan manajemen. Pengembangan visi, misi, strategi, kebijakan dan langkah-langkah. - SDM (terdiri dari berbagai unsur, yaitu unsur kesehatan (termasuk ambulance), unsur pemadam kebaran, usur kepolisian, unsur linmas serta masyarakat sendiri yang bergerak dalam bidang pertolongan bagi masyarakat) - Teknologi. Pengembangan teknologi medik dan non medik dan penunjangnya. - Pembiayaan. Public goods, public private maupun private goods Kata kunci pembentukan PSC : - Save community. - Time saving is life and limb saving. - Preparedness, prevention, mitigation, quick response dan rehabilitation. - Administrasi-manajemen, SDM, teknologi dan pembiayaan.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



136 | P a g e



Sistem Penanggulangan Pasien Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) Berikut ini gambaran pelaksanaan Sistem Penanggulangan Pasien Gawat Darurat Terpadu : 1. Ketika terjadi kecelakaan atau kegawatdaruratan medis maka pasien akan terlebih dahulu ditemukan oleh orang awam yang ada disekitarnya. 2. Orang awam bertugas untuk mengamankan terlebih dahulu diri sendiri, lingkungan dan pasien. 3. Setelah mengamankan lingkungan dan pasien, orang yang pertama kali menemukan pasien harus mengaktifkan SPGDT dengan cara meminta bantuan kepada pusat komunikasi gawat daruratan (Dispatcher). 4. Dispatcher yang menerima panggilan harus melakukan bimbingan pertolongan awal kepada penolong pertama. Setelah itu dispatcher mendistribusikan informasi kepada polisi, pemadam kebakaran, rescue dan ambulans gawat darurat yang terdekat dengan lokasi kejadian. 5. Petugas yang datang ke lokasi bertugas untuk melanjutkan pertolongan sebelumnya. Selain itu polisi bertugas mengamankan lingkungan pemadam petugas memadamkan api dan memeriksa potensi kebakaran, rescue berfungsi untuk mengeluarkan pasien yang terjepit atau terperangkap. 6. Petugas Ambulans Gawat Darurat bertugas untuk melakukan stabilisasi pasien di tempat kejadian dan membawa pasien ke rumah sakit rujukan yang sudah dihubungi dan ditunjuk oleh dispatcher. 7. Sesampainya di rumah sakit rujukan, petugas ambulans dan petugas IGD melakukan serah terima pasien. Petugas IGD melanjutkan tindakan sebelumnya melakukan tindakan invasif dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan. Petugas IGD yang menentukan rujukan selanjutnya ke Kamar Operasi, ICU, ruang perawatan atau rumah sakit lain yang lebih mampu 8. Apabila akan melakukan rujukan ke rumah sakit lain maka petugas IGD harus menghubungi Dispatcher lagi untuk mencari rumah sakit rujukan 1 yang tepat. PT SMS Indonesia | Smart Emergency



9. Pasien yang telah selesai mendapat perawatan di rumah sakit pulang kerumahnya dengan sehat atau memerlukan perawatan jalan / kontrol. Adapun Komponen-komponen yang terlibat dalam SPGDT, Antara lain: 1. Orang Awam/First Responder Pada saat kejadian kecelakaan yang pertama kali tiba di lokasi kejadian adalah orang awam atau masyarakat umum. Orang awam menerut perannya dalam masyarakat dibedakan menjadi dua: a) Orang awam biasa Orang awam biasa atau masyarakat umum biasanya adalah orang yang berada paling dekat dengan lokasi kejadian. Apabila kejadian terjadi di jalan raya maka yang pertama kali menemukan pasien adalah pengendara kendaraan, pejalan kaki, anak sekolah, pedagang disekitar lokasi dan lain-lain. Apabila kejadian di lokasi pabrik maka yang menemukan pasien adalah karyawan yang bekerja di tempat tersebut. Secara spontan sebagian dari mereka akan melakukan pertolongan terhadap pasien sesuai dengan pengetahuannya. Permasalahannya adalah masih sangat sedikit orang awam yang mendapat pelatihan khusus dalam melakukan pertolongan pada pasien gawat darurat, sehingga tidak jarang pertolongan yang diberikan justru menambah cedera / menimbulkan cedera baru kepada pasien (misal : kelumpuhan yang terjadi akibat kesalahan pemindahan pada pasien trauma dengan patah tulang leher). Untuk mewujudkan sistem penanggulangan gawat darurat terpadu orang awam seharusnya memiliki kemampuan untuk : - Mengamankan diri sendiri, lingkungan dan pasien - Meminta tolong ke pusat komunikasi gawat darurat - Membebaskan jalan napas secara manual. - Memberikan napas buatan pada pasien yang mengalami henti napas. 137 | P a g e



-



Menghentikan perdarahan, melakukan pembidaian, mengatasi syok secara manual atau melakukan kompresi jantung luar. - Mengangkat dan memindahkan pasien dengan benar serta melakukan mobilisasi pada kecurigaan cedera tulang belakang dan cedera tulang leher b) Orang awam khusus Orang awam khusus maksudnya adalah orang yang bekerja pada pelayanan masyarakat atau mempunyai tanggung jawab terhadap keamanan dan kenyamanan masyarakat yaitu Polisi, pemadam kebakaran, Satpol PP, Satuan Pengamanan (SATPAM), Tim SAR dan tentara. Sesuai dengan tanggungjawabnya kepada masyarakat, orang awam khusus seharusnya dilatih khusus untuk melakukan pertolongan kepada pasien gawat darurat di lokasi kejadian. Pengetahuan mereka harus lebih baik dibandingkan orang awam biasa. Kemampuan yang harus dimiliki oleh orang awam khusus adalah : - Mengamankan diri sendiri, lingkungan dan pasien. - Meminta tolong ke pusat komunikasi gawat darurat. - Membebaskan jalan napas secara manual atau menggunakan alat yang tidak invasif. - Memberikan napas buatan dan oksigenisasi. - Menghentikan perdarahan, melakukan pembidaian, mengatasi syok secara manual atau melakukan kompresi jantung luar - Mengangkat dan memindahkan pasien dengan benar serta melakukan imobilisasi pada kecurigaan cedera tulang belakang dan cedera tulang leher - Petugas keamanan/ polisi bertugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban lokasi kejadian dan orang yang berada di sekitar lokasi kejadian dan orang yang berada di sekitar lokasi kejadian. Selain itu polisi berkewajiban untuk menjaga barang bukti. - Pemadam kebakaran / rescue bertugas untuk mengeluarkan pasien yang terjepit atau yang berada pada posisi yang sulit dengan tetap PT SMS Indonesia | Smart Emergency



memperhatikan jenis perlukaan dan cedera pasien. 2. Pusat Komunikasi Gawat Darurat / Crisis Center Pusat komunikasi gawat darurat adalah bagian yang sangat vital dalam sistem penanggulangan pasien gawat darurat. Setiap lapisan masyarakat harus bisa mengakses ke sarana ini semudah mungkin. Saran panggilan darurat Ini berupa line telepon dengan sistem hunting, radio komunikasi, fasilitasi internet, dan faksimili. Di Indonesia terdapat 3 nomor panggilan darurat, 119 untuk ambulans gawat darurat, 113 untuk pemadam kebakaran dan 110 untuk kepolisian. Ketiga nomor tersebut seharusnya berada dalam satu atap dan terintegrasi dalam satu sistem pelayanan. Namun kenyataannya sampai dengan saat ini ketiga nomor tersebut masih terpisah dimasing-masing institusi sehingga pelayanan yang diselenggarakan tidak optimal. Sebagai contoh apabila terjadi kecelakaan lalu lintas yang melibatkan banyak kendaraan dan terjadi ledakan serta kebakaran pada kendaraankendaraan tersebut maka masyarakat harus melakukan 3 panggilan darurat, yaitu memanggil polisi ke 110, memanggil pemadam kebakaran/ rescue ke 113 dan memanggil ambulans ke 119. Hal ini mengakibatkan keterlambatan dalam pertolongan, dan pertolongan yang diberikan bukan merupakan suatu pertolongan yang terpadu. Semua panggilan darurat akan diterima oleh petugas operator yang selalu siaga 24 jam. Operator yang siaga di pusat komunikasi gawat darurat disebut Dispatcher. Petugas inilah yang akan menerima semua panggilan darurat dan mendistribusikan informasi kepada pihak terkait. Secara umum Dispatcher harus memiliki kemampuan sebagai berikut : a) Menerima panggilan darurat dari seluruh lapisan masyarakat yang memerlukan bantuan. Mengumpulkan data yang diperlukan dalam pertolongan:  Nama pemanggil  Nomor telepon pemanggil  Kejadian / masalah  Lokasi kejadian 138 | P a g e



 Jumlah pasien  Kondisi pasien b) Melakukan pengecekan ulang untuk memastikan kebenaran informasi yang masuk ke sarana pusat komunikasi gawat darurat c) Mendistribusikan informasi kepada pihak-pihak terkait seperti polisi, pemadam kebakaran dan ambulans gawat darurat. d) Membimbing pemanggil bantuan atau orang yang terdekat dengan pasien / lokasi kejadian untuk melakukan pertolongan sementara sebelum petugas datang. e) Melakukan komunikasi dua arah dengan pemanggil bantuan dan petugas yang berangkat ke lokasi kejadian. f) Menghubungi Unit Gawat Darurat rumah sakit yang sesuai dengan kondisi pasien. g) Menginformasikan kondisi jalan dan membimbing ambulans yang membawa pasien ke rumah sakit. 3. Medical Direction Medical Direction adalah dokter atau sekumpulan dokter (komite medik) yang bertanggungjawab terhadap kualitas pelayanan dan tindakan medis yang dilakukan pada fase pra rumah sakit. Medical direction dibedakan menjadi dua, yaitu : a. On Line Medical Direction Yaitu dokter yang memonitor langsung pelayanan pra rumah sakit dan membimbing petugas dalam melakukan pertolongan di lokasi kejadian dan selama perjalanan menuju rumah sakit rujukan. Dokter tersebut berada di pusat komunikasi gawat darurat dan berinteraksi langsung dengan petugas dilapangan dengan menggunakan telepon atau radio komunikasi. Keberadaannya tentu sangat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas pelayanan karena petugas di lapangan dapat berkonsultasi langsung terutama dalam melakukan tindakantindakan pertolongan lanjut (advance) dan pemberian obatobatan darurat.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



b.Off Line Medical Direction Yaitu dokter atau sekumpulan dokter (komite medis yang bekerja untuk menyusun protokol-protokol (Standard operating procedure) pertolongan pasien gawat darurat pada fase pra rumah sakit. Protokol tersebut dijadikan sebagai bahan acuan oleh petugas untuk melakukan tindakan medis dan pertolongan di tempat kejadian dan selama perjalanan kerumah sakit rujukan Keterlambatan dalam pertolongan



1 Menit 4 Menit 10 Menit



Kemungkinan berhasil



93% (98 dari 100) 50% (50 dari 100) 1% (1 dari 100)



4. Ambulans Gawat Darurat / Emergency Ambulance Sistem penanggulangan gawat darurat terpadu harus didukung oleh pelayanan ambulans gawat darurat yang memadai dari segi jumlah, kelengkapan peralatan dan kemampuan petugasnya. Keberhasilan pelayanan ini diukur dengan kecepatan waktu tanggap / response time dari mulai panggilan bantuan sampai dengan tiba dilokasi kejadian. Waktu tanggap / response time ideal adalah kurang dari 8 menit setelah panggilan bantuan sampai dengan ambulans tiba di lokasi kejadian. Setiap menit keterlambatan response time akan berpengaruh terhadap keberhasilan pertolongan terhadap pasien. berikut ini adalah rasio keterlambatan dan kemungkinan berhasil dalam melakukan pertolongan pada pasien yang mengalami henti napas dan henti jantung. Untuk mengantisipasi keterlambatan tersebut maka seharusnya orang awam dilatih agar mampu menolong terlebih dahulu sebelum petugas profesional datang. Berdasarkan kelengkapan peralatan, petugas dan jenisnya ambulans dibedakan menjadi beberapa kategori. 139 | P a g e



Tipe Ambulance a. Transport Ambulance Ambulans transport digunakan untuk pasien yang sakit ringan atau berobat jalan. Ambulans transport juga digunakan untuk pasien yang diperkirakan tidak akan mengalami kegawatan selama dalam perjalanan. Petugas yang mengoperasikan terdiri dari 1 orang perawat dan 1 orang pengemudi ambulans. Peralatan yang ada dalam transport ambulance merupakan peralatan yang sangat sederhana meliputi : Tabung oksigen dengan kanul atau masker, tensi meter, thermometer, tandu, kursi roda dan alat komunikasi. b.Basic Ambulance Basic Ambulance digunakan untuk menangani pasien yang tidak memerlukan peralatan invasif / advance. Peralatan yang tersedia hanya peralatan dasar untuk menyelamatkan jiwa pasien dilokasi kejadian sampai dengan ke rumah sakit. Petugas yang mengoperasikan basic ambulance adalah 2 orang perawat yang terlatih Basic life support, ekstrikasi dan stabilisasi. Sebaiknya kedua orang perawat tersebut bisa mengemudikan ambulans untuk menghemat personil. Apabila keduanya tidak bisa mengemudi maka perlu tambahan satu orang pengemudi. Peralatan yang tersedia di basic ambulance merupakan peralatan penanganan gawat darurat yang tidak invasif. Peralatan tersebut meliputi :  Peralatan Airway - Suction Pump With Canule - Orophryngeal Airway (OPA) - Nasopharyngeal Airway (NPA) - Mouthgag - Magil Forcep - Tounge Spatel - Gastric Tube  Peralatan Breathing - Tabung Oksigen - Nasal canule - Simple mask PT SMS Indonesia | Smart Emergency



- Rebreathing Mask - Non Rebreathing Mask  Peralatan Circulation - Traumatic Bandage/ Balut Cepat - Surgical Tape / Plester - Steril Gauze / Kassa steril - Elastic Bandage / balutan elastis - Roll Bandage / balutan gulung - Tensimeter - Stetoscope - Alumunium Foil  Peralatan Extrication & Stabilization - Neck Collar / Bidai Leher - Long Spine Board - Scoop Sthrecher - Splint / bidai - Extrication Device - Safe tyBelt - Traction Splint  Lain-lain - Alat Pelindung Diri : Sarung tangan, masker, kacamata, baju pelindung, kap kepala, sepatu pelindung. - Antiseptik - Gunting - Pinset - Pen Light - Peralatan komunikasi c.Advance Ambulance Advance ambulance digunakan untuk melakukan pertolongan terhadap pasien gawat darurat yang kritis. Peralatan yang tersedia bisa digunakan untuk melakukan tindakan-tindakan medis yang definitif / invasif dan pemberian obat-obat darurat. Petugas yang mengoperasikan Advance Ambulans adalah petugas yang paling berpengalaman dalam penanganan pasien darurat dan kritis. Petugas tersebut harus menguasai tindakan definitif dan pengoperasian alat advance. Bila perlu salah satu dari petugas tersebut dokter gawat darurat. Peralatan yang tersedia pada advance ambulance sampai dengan Basic ambulance degan penambahan peralatan advance sebagai berikut :  Peralatan Airways 140 | P a g e



 







- ETT (Endo Tracheal Tube) - Laryngoscope - Cricothyroidotomy Needle - Laryngeal Masks Peralatan Breathing - Pulse Oxymetri - Portable ventilator Peralatan Circulation - AED (Automatic External Defibrilation) - Defibrilator - ECG Monitor - IV line Catheter - Foley Catheter Cairan dan obat gawat darurat - IV line catheter - Infusion Fluid / cairan infus (RL, NACL 0,9%, Dextrose 5%, Dextrose 10%) - Infusion Set - Obat darurat sirkulasi (epineprin, atropin, dan lainlain) - Obat darurat pernapasan - Obat Alergi - Anti bisa - Anti racun - Dan lain-lain



Jenis Ambulance Tipe ambulans berdasarkan daerah operasi dan jenisnya ambulans dibedakan menjadi beberapa kategori sebagai berikut : a. Ambulans Darat/ Ground Ambulance Ambulans darat adalah ambulans yang umum ada di sekitar kita. Ambulans darat digunakan untuk melakukan pertolongan di tempatkejadian dan melakukan transportasi ke rumah sakit rujukan. Selain itu digunakan untuk melakukan rujukan antar rumah sakit dan pulang perawatan. Berikut ini ada beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam membangun sebuah ambulans, terutama ambulans gawat darurat:  Luar/lebar kabin ambulans memungkinkan untuk pasien terlentang dengan leluasa tanpa harus menekuk kaki atau bagian tubuh lain.  Luas dan lebar kabin ambulans memungkinkan petugas untuk memonitor kondisi pasien dan melakukan tindakan medis di dalamnya. PT SMS Indonesia | Smart Emergency



  



Tinggi kabin memungkinkan petugas untuk berdiri dan tetesan infus berjalan lancar. Kabin memungkinkan untuk meletakan peralatan secara aman. Dinding kabin terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan dan dilakukan desinfeksi.



Gambar: Ambulans Darat b.Ambulans Laut/ Sea Ambulance Ambulans laut dioperasikan di daerah kepulauan, tempat wisata laut, dan pertambangan lepas pantai / ―offshore‖. Petugas ambulans laut harus dilengkapi dengan kemampuan berenang, sea survival, dan pertolongan korban tenggelam. Hal ini tentu berbeda dengan kemampuan petugas ambulans darat.



Gambar: Ambulans Laut & Udara c.Ambulans Udara/ Air Ambulance Ambulans udara dioperasikan untuk evakuasi pasien VIP, evakuasi antar pulau, evakuasi ke luar negeri, atau evakuasi dari pedalaman / laut ke kota besar. Petugas ambulans udara harus mendapat pelatihan khusus, karena ada beberapa pasien dengan kasus tertentu beresiko untuk berada di ketinggian. Hal ini terkait dengan perubahan tekanan atmosfir di darat dan udara. Beberapa tipe ambulans udara yang digunakan adalah sebagai berikut: Helikopter, Rotary wing dan Fixed Wing. Berikut ini adalah keuntungan dan kerugian memakain ambulans udara. Keuntungan: 141 | P a g e



-



Transportasi cepat dan lancar tidak ada hambatan lalu lintas - Akses menuju tempat kejadian cepat. - Dapat menghindari rambu lalu lintas, kereta api, gunung dan penghalang lainnya - Perjalanan masih mungkin dilakukan meskipun kondisi jalan tidak mendukung - Jika ambulans darat tidak memungkinkan - mencapai lokasi kejadian dengan cepat. - Jika kualitas pertolongan di lokasi kejadian tidak memungkinkan - Sangat jarang terjadi kecelakaan ambulans udara dibandingkan ambulans darat Kerugian: - Di daerah perkotaan ambulans darat lebih cepat dibandingkan ambulans udara. - Cuaca buruk dapat menghambat perjalanan ambulans udara. - Tingkat kebisingan yang tinggi mungkin akan menghambat komunikasi petugas dan pasien. - Keterbatasan tempat dan keterbatasan berat beban yang dibawa akan membatasi akses ke pasien. - Biaya operasional sangat tinggi. - Kecelakaan ambulans udara lebih sedikit tertolong b. Sistem Pelayanan Medik Antar Rumah Sakit Merupakan suatu bentuk pelayanan transportasi yang ditujukan dari pos komando rumah sakit lapangan menuju rumah sakit rujukan atau transportasi antar rumah sakit baik dikarenakan adanya bencana yang terjadi diumah sakit, dimana pasien harus dievakuasi dan dipindahkan ke rumah sakit lainnya. Pelaksanaan harus menggunakan sarana prasarana yang memenuhi kriteria syarat standart evakuasi, diantaranya: - Penderita dalam keadaan yang stabil - Penderita telah diberi peralatan yang standart untuk transportasi - Faskes penerima sudah diberi informasi terlengkap dan siap menerima penderita



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



-



Transportasi yang layak tersedia sesuai dengan keadaan penderita Untuk memfasilitasi pengamana evakuasi, maka diperlukan kontrol lalu lintas oleh kepolisian untuk memastikan kelancaran jalur lalu lintas antar rumah sakit dan post medis maupun pos komando lapangan. Pos medis dapat menyampaikan ke pos komando lapangan agar penderita dapat dilakukan evakuasi bila sudah dalam keadaan stabil. c. Sistem Pelayanan Medik Intra Rumah Sakit (Hospital Phase) Hospital Disaster Plan Didalam rumah sakit sendiri harus membuat suatu perencanaan untuk menghadapi kejadian bencana yang disebut hospital disater plan, baik bersifat intra hospital disaster plan maupun extra hospital disater plan dimana kejadian tersebut menyebabkan korban massal. Pertolongan di unit gawat darurat Berikut ini klasifikasi pelayanan Instalasi Gawat Darurat berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 856/ Menkes/SK/IX/2009 mengenai Standar Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit (dinilai dan kualifikasi tenaga IGD); - Instalasi Gawat Darurat (IGD) Level I Di IGD hanya terdapat dokter umum (telah mengikuti pelatihan kegawatdaruratan seperti GELS, ATLS, ACLS, dll) - Instalasi Gawat Darurat (IGD) Level II Di IGD terdapat dokter umum (telah mengikuti pelatihan kegawatdaruratan 142 | P a g e



seperti GELS, ATLS, CLS, dll) yang on site 24 jam, dan dokter spesialis bedah, obgyn, anak, dan penyakit dalam yang on call. - Instalasi Gawat Darurat (IGD) Level III Di IGD terdapat dokter umum (telah mengikuti pelatihan kegawatdaruratan seperti GELS, ATLS, ACLS, dll) yang on site 24 jam, dokter spesialis bedah, obgyn, anak, dan penyakit dalam yang on site, serta dokter spesialis lain yang on call. Terdapat dokter PPDS yang on site 24 jam (RS. Pendidikan) - Instalasi Gawat Darurat (IGD) Level IV Di IGD hanya terdapat dokter umum (telah mengikuti pelatihan kegawatdaruratan seperti GELS, ATLS, ACLS, dll) yang on site 24 jam, dokter PPDS yang on site 24 jam, dokter 4 besar spesialis ditambah dokter spesialis anestesi yang on site, dokter spesialis lain on call, serta terdapat dokter semua jenis subspesialis yang on call. Pertolongan di kamar bedah (jika diperlukan) Pertolongan di ICU/ ICCU/HCU



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



d. Fase Pasca RS Fase ini adalah



periode



dimana pasien/ pasien keluar dari rumah sakit baik sembuh, cacat atau harus menjalani perawatan lanjutan di rumah atau melakukan kontrol ke rumah sakit. Fase ini adalah fase dimana pasien telah menyelesaikan masa perawatan terhadap perlukaan atau penyakit yang dihadapinya untuk kembali ke rumahnya. Tetapi kepulangan pasien bisa sembuh total, sembuh dengan



cedera



atau



memerlukan



masih



perawatan



selanjutnya



(berobat



jalan/kontrol).



Informasi



mengenai perkembangan pasien setelah perawatan di rumah sakit harus selalu dimonitor. Hal ini dapat dijadikan bahan evaluasi keberhasilan penanggulangan



dari pasien



sistem gawat



darurat terpadu. Selain itu pasien sebaiknya diberikan pendidikan.



143 | P a g e



2. SPGDT-B (Bencana) SPGDT-B adalah kerja sama antar unit pelayanan Pra Rumah Sakit dan Rumah Sakit dalam bentuk pelayananan gawat darurat terpadu sebagai khususnya pada terjadinya korban masal yg memerlukan peningkatan (eskalasi) kegiatan pelayanan sehari – hari. Secara umum bertujuan untuk menyelamatkan korban sebanyak – banyaknya. Secara khusus SPGDT-B bertujuan untuk: a. Mencegah kematian dan kecacatan, sehingga dapat hidup dan berfungsi kembali dalam masyarakat sebagaimana mestinya. b. Merujuk melalui sistem rujukan untuk memperoleh penanganan yang lebih memadai. c. Menanggulangi korban bencana. Prinsip mencegah kematian dan kecacatan : a. Kecepatan menemukan penderita. b. Kecepatan meminta pertolongan. Kecepatan dan kualitas pertolongan yang diberikan : a. Ditempat kejadian. b. Dalam perjalanan kepuskesmas atau rumah-sakit. c. Pertolongan dipuskesmas atau rumah-sakit. Adapun hal-hal yang dilakukan saat terjadi bencana adalah: Melaksanakan pelayanan kasus GD Melaksanakan penilaian kebutuhan & dampak yang terjadi pada aspek kesehatan. pelayanan gabungan Depkes, TNI dan POLRI Membuat pos pelayanan kesehatan Pemberian makanan dan bahan makanan penyediaan air bersih, sanitasidarurat, imunisasi Dalam penanggulangan bencana, ada beberapa hal yang perlu kita cermati yaitu penanggulangan bencana adalah eskalasi penanggulangan gawat darurat sehari – hari, maupun penanggulangan bencana tidak akan berhasil kalau penanggulangan gawat darurat sehari – hari dan bencana buruk, karena hal tersebut dapat terjadi di setiap tempat, baik di kota maupun di desa. Walaupun Peristiwa akan terjadinya bencana tidak dapat diprediksi, akan tetapi kalau sudah ada persiapan makajika bencana itu terjadi sudah pada posisi siap sehingga meminimalkan korban dan kerusakan. Bencana itu sendiri dapat terjadi setiap saat dan di setiap tempat seperti:Di dalam rumah sakitnya sendiri, Korban bencana yang dibawa ke IGD/ RS, Bencana dalam kota (urban), Bencana diluar kota (rural), Bencana diluar pulau (regional), dan ataupun Bencana nasional Mencermati kondisi tersebut maka semua rumah sakit wajib mempunyai ―Hospital Disaster Plan‖ sesuai dengan keadaan dan kondisi setempat. Untuk daerah rural atau diluar pulau maka sebaiknya didatangkan bantuan dari daerah urban, jika: Tingkat penanggulangan gawat darurat sehari – hari di bawah standar nasional (ada / tidaknya spesialis empat besar / ahli bedah). Jumlah korban melebihi kemampuan petugas / ahli bedah Bantuan yang didatangkan adalah dengan memindahkan sarana Rumah Sakit (IGD, kamar operasi, ICU, Farmasi, Rontgen, Laboratorium, Dapur, Keamanan) ke Pra Rumah Sakit. Ambulance Gawat Darurat dalam keadaan bencana dapat berfungsi sebagai Rumah Sakit lapangan.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



144 | P a g e



D. ASPEK LEGAL KEBIJAKAN SISTEM PENANGGULANGAN GAWAT DARURAT (SPGDT) DI INDONESIA Kerjasama antar unit pelayanan Pra RS dan RS dalam bentuk pelayanan Gawat Darurat Terpadu pada pasien massal yang memerlukan peningkatan (eskalasi) kegiatan pelayanan sehari-hari.Tujuan : menyelematkan pasien sebanyak-banyaknya. Bencana adalah suatu rangkaian peristiwa yang mengakibatkan kerugian pada penderitaa diantaranya kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, sarana & prasarana (infrastruktur) yg memerlukan pertolongan dan bantuan khusus. Oleh karena itu sebagai team kesehatan harus mengetahui terkait payung hukum, berikut Aspek legal Kebijakan pelayanan gawat darurat di Indonesia: Keppres No.03/2001 Bakornas penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi Perpres No.83/ 2005 tentang BAKORNAS penanggulangan bencana UU No.24/2007 tentang penanggulangan bencana Perpres No.8/2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana Perpem No.21/2008 tentang penyelenggaran penanggulangan bencana UU No.36 th 2009 tentang Kesehatan Per. Kapolri No.17/2009 tentang managemen penanggulangan bencana InPres No.4/2013 tentang progam dekade keselamatan jalan Perka BNPB No.03/2016 tentang sistim komando penanganan darurat bencana Permenkes No.19/2016 tentang SPGDT Permenkes No.47/2018 tentang pelayanan Kegawatdaruratan Untuk mengunduh versi lengkap mengenai peraturan perundang-undangan silahkan kunjungi https://www.bit.ly/smart-emergency



KESIMPULAN Sistem penanggulangan pasien gawat darurat terpadu yang baik akan terwujud apabila ada komitmen yang kuat dari pemerintah yang berwenang. Hal ini sehubungan dengan tingginya investasi yang harus ditanamkan dan perlunya koordinasi yang baik antar institusi terkait. Penanganan pasien gawat darurat dari mulai fase pra rumah sakit dan rumah sakit harus menjadi satu kesatuan dan berkesinambungan. Keberhasilan pertolongan di rumah sakit sangat ditentukan oleh kualitas pertolongan pada fase pra rumah sakit. Angka kematian terbesar pada trauma berat adalah pada fase pra rumah sakit. Oleh karena itu sangat penting untuk memberikan pelatihan kepada masyarakat agar mampu melakukan pertolongan kepada dirinya sendiri dan orang di sekitarnya ketika terjadi kegawatdaruratan.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



145 | P a g e



XI TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM Setelah mengikuti materi ini pesertadiharapkan mampu mengetahui tentanggambaran EKG strip TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS Setelah mengikuti pelatihan ini peserta di-harapkan mampu untuk : 1. Menyebutkan definisi elektrokardiogram 2. Menyebutkan fungsi EKG 3. Menyebutkan jenis-jenis sandapan EKG 4. Membaca irama EKG normal di monitor jantung dan EKG strip 5. Mengidentifikasi aritmia di monitor jantung dan EKG strip PENDAHULUAN Ganguan irama jantung dan serangan jantung merupakan kasus penyakit dan kematian tertinggi di Indonesia berhubungan dengan pola makan dan gaya hidup yang berlebihan. Masyarakat umumnya tidak mengenal tanda dan gejala serangan jantung, sebagai petugas kesehatan sangat penting mengetahui tanda dan gejala serta penatalaksaan gangguan irama jantung yang dapat mengancam nyawa. Gambaran EKG merupakan elemen penting untuk mengetahui apakah pasien mengalami kegawat daruratan jantung, dimana kegawat daruratan jantung masih merupakan penyebab kematian nomer satu di seluruh Negara. Diharapkan dengan semakin banyaknya petugas kesehatan dapat membaca interprestasi EKG, pasien dapat mendapatkan pertolongan yang tepat dan cepat, sehingga dapat menyelematkan pasien tersebut.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



146 | P a g e



EKG NORMAL & ARITMIA A. ANATOMI JANTUNG Otot jantung merupakan otot yang mempunyai keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan otot lainnya. Otot jantung mempunyai suatu sistem yanng dapat memberikan suatu implus rangsangan kontraksi sendiri (Automaticity) dan meneruskan rangsangan tersebut keseluruh otot jantung (disebut proses Konduksi). Setiap aktifitas baik kontraksi dan relaksasi dari otot jantung akan memberikan perubahan potensiial aksi kelistrikan yang dapat kita lihat dengan merekaam perubahan tersebut pada alat perekam khusus Jantung terdiri dari 4 ruang yaitu 2 ruang yang berdinding tipis disebut atrium dan 2 ruang yang berdinding tebal disebut Ventrikel. Mempunyai 4 katup Atrioventrikuler (Trikuspid dan Biskupid) dan 2 katup Semilunar (Pulmonal dan Aorta). Terdiri dari 3 lapisan Epikardium, Miokardium dan Endokardium Arteri koroner adalah cabang pertama dari sirkulasi sistemik. Sirkulasi koroner terdiri dari arteri koroner kanan dan kiri. Arteri koronerkiri (Left Main Coronary Artery-LMCA) mempunyai dua cabang besar yaitu, Ramus Desenden Anterior (Left Anterior DescendenLAD) dan Ramus Sirkumpleks (Left Circumplek-LCx). Arteri imi melingkari Jantungg dalam dua lekukan atomis eksternal yaitu sulkus Atrioventrikular yang melingkari jantung diantara atrium dan ventrikel dan sulkus inter ventrikel yang memisahkan kedua ventrikrel. Pertemuan kedua lekuk ini dibagian posterior merupakan bagian yang kritis dipandang dari sudut anatomis. Arteri koroner kanan (Right Coronary Artery-RCA) berjalan ke sisi kanan jantung. Pada sulkus Atrioventrikuler kanan pada dasarnya arteri koronariaa kanan memberi makan padaa Atrium dan ventrikel kanan juga dinding sebelah kanan dari ventrikel kiri. Meskipun Nodus SA (Sino Atrial Node) letaknya di Atrium kanan tetapi hanya 55% kebutuhan nutrisinya dipasok oleh Arteri Coronaria kanan sedang 42% lainnya dipasok oleh cabang Arteri Sirkumplek Kiri. Didalam otot jantung terdapat jaringan khusus yang menghantarkan aliran listrik dan memiliki sifat – sifat khusus yaitu: 1. Otomatisasi : kemampuan untuk menimbulkan listrik secara spontan 2. Ritmisasi : pembentukan impuls yang teratur 3. Daya konduksi : kemampuan untuk menyalurkan impuls 4. Daya rangsang : kemampuan untuk bereaksi terhadap rangsangan Berdasarkan sifat tersebut maka secara spontan dan teratur jantung dapat menghasilkan impuls – impuls yang disalurkan melalui sistem hantar untuk merangsang otot jantung dan bisa menimbulkan konduksi. Bila sistem konduksi berfungsi normal, maka atrium berkontraksi kira – kira 1/6 detik lebih dulu dari kontraksi ventrikel sehingga



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



147 | P a g e



memungkinkan pengisian ekstra pada ventrikel sebelum ventrikel ini memompa darah ke sirkulasi sistemik Pacemaker adalah sesuatu / unit yang dapat menghasilkan impuls listrik secara terus menerus, teratur dan otomatis. Dalam hal ini pacemaker asli dalam jantung disebut sebagai real pacemaker. Real pacemaker bekerja sebagai pembentuk impuls (generator) dan penghantar impuls (pathways). 1. Pembentuk impuls (generator) a. Sinus atrial node (SA node) b. Atrioventrikuler node (AV node) c. Serabut purkinje (fiber purkinje) 2. Penghantar impuls (pathways) a. Internodal atrium b. His bundle c. Right Bundle Branch (RBB) d. Left Bundle Branch (LBB)



Siklus Kerja Jantung Jantung berfungsi memompa darah ke paru – paru dan ke seluruh tubuh. Cara jantung memompa darah adalah dengan melakukan kontraksi secara bergantian antara atrium dan ventrikel, dengan irama yang teratur dan terus menerus sepanjang hidup. Bekerjanya jantung didukung oleh dua sistem yang ada dalam jantung yaitu sistem kontraksi dan sistem konduksi. Depolarisasi Spontan Perjalanan impuls Pada orang normal, rangsangan listrik jantung berawal dari SA Node, dari SA Node ke AV Node, rangsangan dihantarkan melalui Traktus internodal (arterior, medial, dan posterior), Berkas Hiss dimulai dari AV Node mencapai tepi atas septum interventrikuler. Dari sini terbagi dua, yaitu sisi kiri yang disebut pars membranosa dan sisi kanan yang merupakan terusan berkas hiss. Ia berjalan sebagai struktur tunggal dilapisan subendokard disisi kanan sehingga mencapai dasar muskulus papilaris anterior. Dari sini terbagi menjadi 3 cabang, yaitu anterior, posterior dan lateral. Yang terakhir ini menuju dinding lateral ventrikel kanan dan bagian bawah septum membentuk bangunan seperti kipas, yang akhirnya disebut serabut purkinye. Dalam keadaan tertentu dapat timbul impuls yang bukan berasal dari SA Node, melainkan dari tempat lain seperti dari atrium maupun dari ventrikel. Bila terjaadi kegagalan fungsi dari SA Node, maka sistem yang lainnya dapat mengambil alih SA Node tersebut.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



148 | P a g e



1. SA Node Terletak diantara batas vena cava superior dan atrium kanan Mengeluarkan impuls 60-100 x/menit Impuls menjalar ke seluruh atrium dan bersama jalur internodal serta bacham budle menuju AV Node 2. AV Node a. Terletak disebelah bawah atrium kanan diatara sinus koronarius dan katup trikuspid bagian septum b. Mengeluarkan impuls 40-60 x/menit 3. Berkas Hiss Terletak di septum interventrikuler dan memberikan 2 cabang yaitu : a. Cabang berkas kiri yang terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian anterior dan posterior b. Cabang berkas kanan 4. Serabut Purkinye Serabut purkinye setinggi muskulus papilaris masuk ke otot ventrikel Mengeluarkan impuls 20-40 x/menit Pemacu Asli (Native Pacemaker) dan Pemacu Tersembunyi (Latent Pacemaker) Bagian – bagian dalam sistem konduksi yang sel – selnya mempunyai kemampuan melakukan depolarisasi spontan disebut sebagai pemacu (pacemaker). Dari uraian sebelumnya terlihat bahwa ada lebih dari satu pemacu dalam sistem konduksi. Akan tetapi, walaupun ada lebih dari satu pemacu, dalam kondisi normal hanya ada satu pemacu yang bekerja. Hal ini dimungkinkan oleh adanya perbedaan rate pada masing-masing pemacu. Rate dari Simpul SA yang lebih cepat dari rate yang dibangkitkan di tempat lain dalam sistem konduksi akan membuat sel – sel dalam sistem konduksi menerima rangsangan impuls dari Simpul SA lebih dulu sebelum sel-sel tersebut sempat melakukan depolarisasi spontan. Dengan demikian, pada kondisi normal, rate dari semua bagian dalam sistem konduksi selalu mengikuti rate dari Simpul SA. Oleh karena itu Simpul SA ini disebut sebagai pemacu asli (native pacemaker). Pada kondisi tidak normal, ada kemungkinan sistem konduksi tidak dapat menerima impuls dari Simpul SA. Penyebabnya dapat karena Simpul SA memang tidak membangkitkan impuls, ataupun karena terjadi hambatan pada sistem konduksi sehingga impuls dari Simpul SA tidak sampai ke Simpul AV. Jika Simpul AV tidak menerima impuls dari Simpul SA maka sel – selnya dapat melakukan depolarisasi spontan. Dengan demikian, pada kondisi tidak normal ini fungsi Simpul SA sebagai pemacu telah diambil alih oleh Simpul AV. Bila misalnya ternyata Simpul AV ini juga mengalami kegagalan, maka fungsi pemacu akan diambil alih oleh pemacu di bawahnya, begitu seterusnya. Mekanisme ini merupakan pengamanan, agar jantung dapat tetap berdenyut walaupun terjadi gangguan pembangkitan impuls pada Simpul SA. Pemacu – pemacu yang bekerja hanya jika terjadi kondisi tidak normal ini disebut sebagai pemacu tersembunyi (latent pacemaker). Siklus Jantung (Cardiac Cycle) Aktivitas jantung yang dimulai dari keadaan istirahat, kemudian kontraksi atrium, disusul kontraksi ventrikel, dan kembali istirahat merupakan suatu siklus yang berulang terus menerus sepanjang hidup. Aktivitas kelistrikan yang mengatur siklus kerja jantung ini dapat direkam dengan menggunakan alat yang disebut elektrokardiograf, dan hasil rekamannya disebut elektrokardiogram yang disingkat EKG atau ECG. Dalam rekaman EKG, satu siklus jantung terdiri atas beberapa gelombang, yaitu gelombang – gelombang P, Q, R, S, T, dan U. Gelombang – gelombang tersebut berhubungan dengan aktivitas listrik yang terjadi di dalam jantung. Gelombang P ditimbulkan oleh depolarisasi atrium; gelombang Q, R, dan S yang bersama – sama membentuk kompleks QRS ditimbulkan oleh depolarisasi ventrikel; dan gelombang T ditimbulkan oleh repolarisasi ventrikel. Gelombang U kemungkinan ditimbulkan oleh repolarisasi serabut Purkinje.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



149 | P a g e



B. ELEKTROGARDIOGRAFI Adalah ilmu yang mempelajari aktivitas listrik jantung Elektrokardiogram (EKG) : adalah suatu grafik yang menggambarkan rekaman listrik jantung. Kegiatan listrik jantung dalam tubuh dapat dicatat dan direkam melalui elektroda-elektroda yang dipasangi pada permukaan tubuh. Manfaat dari Elektrokardiogram secara diagnostik dan evaluasi dapat digunakan sebagai sarana alat bantu untuk : Mengetahui gangguan irama jantung (Aritmia) Mengetahui gambaran Iskemi dan infark pada otot jantung Mengetahui pembesaran ruang-ruang jantung, atrium dan ventrikel Mengetahui efek dari obat-obatan seperti (Digitalis, anti aritmia) Mengetahui gangguan keseimbangan elektrolit Mengetahui penilaian fungsi pacu jantung Manfaat sebagai bahan evaluasi untuk mengetahui tingkat keberhasilan dari pengobatan dan tindakan yang telah dilakukan Untuk memperoleh rekaman EKG, dipasang elektroda-elektroda di kulit pada tempat – tempat tertentu. Lokasi penempatan elektroda sangat penting diperhatikan, karena Terdapat 2 jenis Samdapan (Lead) pada EKG, yaitu: 1. Sandapan Bipolar Yaitu



merekam



perbedaan



potensial dari dua elektroda, sandapan ini ditandai dengan angka



romawi



(I,



II,



III)



(sadapan ekstermitas) a. Sandapan I Merekam beda potensial antara lengan kanan (RA) dengan lengan kiri (LA) dimana lengan kanan bermuatan (-) dan lengan kiri bermuatan (+) b. Sandapan II Merekam beda potensial antara lengan kanan (RA) dengan kaki kiri (LF) dimana lengan kanan bermuatan (-) dan kaki kiri bermuatan (+) c. Sandapan III Merekam beda potensial antara lengan kiri (LA) dengan kaki kiri (LF) dimana lengan kiri bermuatan (-) dan kaki kiri bermuatan (+) 2. Sandapan Unipolar Sandapan unipolar ini terbagi 2 yaitu, sandapan unipolar ekstrimitas dan sandapan unipolar



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



150 | P a g e



a. Sandapan Unipolar Ekstermitas (tambahan) Merekam besar potensial listrik pada satu ekstermitas, elektroda eksplorasi diletakkan pada ekstermitas yang akan diukur, gabungan elektroda-elektroda pada eketermitas yang lain membentuk elektroda indeferen (potensial) sandapan ini ditulis (aVR, aVL, dan aVF) Sandapan a VR Merekam potensi listrik pada lengan kanan (RA) dimana lengan kanan bermuatan (+) lengan kiri dan kaki kiri membentuk elektroda indeferen Sandapan a VL Merekam potensial listrik pada lengan kiri (LA) dimana lengan kiri bermuatan (+) lengan kanan dan kaki kiri membentuk elektroda indeferen Sandapan a VF Merekam potensial listrik pada kaki kiri (LF) dimana kaki kiri bermuatan (+) lengan kanan dan kiri membentuk elektroda indeferen b. Sandapan Unipolar Prekordial Merupakan sadapan V1,V2, V3, V4, V5, dan V6 yang ditempatkan secara langsung didada Sandapan V1 ditempatkan di ruang intercostal IV di kanan sternum Sandapan V2 ditempatkan di ruang intercostal IV di kiri sternum Sandapan V3 ditempatkan di antara sadapan V2 dan V4 Sandapan V4 ditempatkan di ruang intercostal V lurus dengan midklavikula kiri Sandapan V5 ditempatkan secara mendatar dengan V4 di garus axillaris anterior kiri Sandapan V6 ditempatkan secara mendatar dengan V4 dan V5 digaris midaxillaris kiri Bila kita gabungkan dari seluruh sandapan yang ada di atas akan tampak menjadi seperti pada gambar di bawah ini yang biasanya kita sebut sebagai sandapan lengkap 12 lead/ ECG 12 LEAD Lengkap. C. Kertas EKG Kertas EKG merupakan kertas grafik yang merupakan garis horizontal vertikal dengan jarak 1mm (kotak kecil) garis yang lebih tebal terdapat pada setiap 5mm di sebut (kotak besar). Garis horizontal menunjukkan waktu dimana 1mm = 0,04 detik, sedangkan 5mm = 0,20 detik. Garis vertikal menggambarkan Voltage, dimana I mm=0,1 mv, sedangkan setiap 10mm = 1 mv Pada praktek sehari-hari PT SMS Indonesia | Smart Emergency



151 | P a g e



perekaman dibuat dengan kecepatan 25 mm/dtk, kalibrasi yang biasa dilakukan sebelum dan sesudah perekaman adalah 1 mv yang menimbulkan defleksi 10mm. Pada keadaaan tertentu kalibrasi dapat diperbesar yang akan menimbulkan defleksi 20mm atau kecil yang akan menimbulkan defleksi 5 mm dan dicatata pada setiap perekman. Kurva EKG mengambarkan proses listrik yang terjadi pada atrium dan ventrikel. EKG normal terdiri dari gelombang P, Q, R, S, dan gelombang T kadang terlihat gelombang U, selain itu ada beberapa interval dan segmen EKG. Gelombang P merupakan depolarisasi Atrium, normal gelombang P: Lembar < 0,12 detik Tinggi < 0.3 mv Selalu positif di lead II Negatif di aVR Kepentingan : mengetahui kelainan di atrium (P mitral/P pulmonal) Gelombang QRS merupakan depolarisasi ventrikel, normal gelombang QRS: Lebar 0,06 – 0,12 detik Tinggi tergantung lead Kepentingan: mengetahui adanya hipertrovi ventrikel, bundle branch block, dan infark Gelombang Q Adalah defleksi negatif pertama pada gelombang QRS, normalnya : Lembar < 0,04 detik Tinggi (dalamnya) < 1/3 tinggi R Gelombang R Adalah defleksi positif pertama pada gelombang QRS, gelombang R umumnya positif di lead I,II, V5 dan V6. Di lead aVR, VI, V2 biasanya hanya kecil atau tidak ada. Gelombang S Adalah defleksi negatif setelah gelombang R, di lead aVR, dan V1 gelombang S terlihat besar (dalam) dari V2 sampai V6 terlihat makin kecil dan hilang. Gelombang T Merupakan gambaran proses repolarisasi ventrikel, gelombang T positif di lead I, II, III, sampai V6 dan terbalik di aVR. Normal: 100 X/ menit Gelombang P : Tidak terlihat Interval PR : Tidak ada Gelombang QRS : > 0,12 detik



11. Ventrikel Fibrilasi (VF) Irama : Tidak teratur Frekwensi : Tidak dapat dihitung Gelombang P : Tidak ada Interval PR : Tidak ada Gelombang QRS : Tidak dapat dihitung, bergelombang & tidak teratur



12. Ventrikel Fibrilasi (VF) Irama :Tidak teratur Frekwensi HR :< 350 x/menit shg tdk dpt dihitung Gel. P :Tidak ada Interval PR :Tidak ada Gel. QRS :Lebar dan tidak teratur



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



158 | P a g e



13.PEA



14.Asistole



15.Catatan: Frekuensi jantung yang normal



: 60 – 100x/menit



Lebih dari 100 x/menit



:



Sinus takikardi



Kurang dari 60 x/menit



:



Sinusbradikardi



150 – 250 x/menit



:



Takikardiabnormal



250 – 350 x/menit



:



Flutter



>350 x/menit



:



Fibrilasi



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



159 | P a g e



XII



TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM Setelah mengikuti materi ini peserta mampu memberikan asuhan keperawatan gawat darurat dasar pada Sindrom Koroner Akut (SKA) atau Acute Coronary Syndrome (ACS)



TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS Setelah mengikuti pelatihan ini peserta di-harapkan mampu untuk : 1. Menjelaskan tentang ACS 2. Mengkaji klien ACS 3. Memberikan asuhan keperawatan pasien ACS 4. Mengintrepestasikan EKG ACS 5. Melakukan pencatatan dan pelaporan secara akurat dan tepat sesuai alur



PENDAHULUAN suatu fase akut dari Angina Pectoris Tidak Stabil-APTS (terjadi peningkatan nyeri dada baik frekuensi, durasi dan intensitas nyeri serta tidak dapat diatasi dengan pemberian nitrat). Angina tersebut dapat terjadi sewaktu – waktu, saat istirahat aupun beraktifitas. Hal ini disebabkan karena adanya thrombosis akibat dari rupture plak aterosklerosis yang tidak stabil. Sindrom ini menggambarkan suatu penyakit yang berat dengan mortalitas tinggi. Mortalitas tidak tergantung pada besarnya prosentase stenosis (plak) koroner, namun lebih sering ditemukan pada penderita dengan plak kurang dari 50 – 70% yang tidak stabil, yakni fibrouse cap ―dinding plak‖ yang tipis dan mudah erosi atau rupture. Oleh karena terjadi perubahan morfologi pembuluh darah koroner, maka lambat laun plak tersebut menjadi rapuh, pada saat plak yang rapuh tersebut lepas, maka terbentuk sumbatan pada aliran darah koroner. Di lain pihak pada lapisan pembuluh darah koroner tersebut akan terjadi kikisan maka inilah pemicu terjadinya thrombus, kadang kejadian ini disertai tanda atau keluhan dari klien seperti nyeri dada. Keluhan nyeri dada timbul sebagai tanda ―supply‖ oksigen tidak sesuai dengan ―kebutuhan‖ otot jantung. Dengan demikian otot jantung menjadi iskemi.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



160 | P a g e



ACUTE CORONARY SINDROME 1. Konsep Acute Coronary Sindrome adalah kondisi di mana aliran darah menuju ke jantung berkurang secara tiba-tiba. Nyeri dada seperti tertindih benda berat merupakan bentuk gejala paling umum dari kondisi ini. Arteri koroner (pembuluh darah jantung) memasok darah yang kaya akan oksigen ke otot jantung. Jika arteri ini menyempit atau tersumbat akan mengganggu fungsi jantung yang bisa menyebabkan angina atau serangan jantung. Istilah ACS sekarang ini banyak digunakan untuk menggambarkan kejadian kegawatan pada pembuluh darah koroner. ACS merupakan satu sindrom yang terdiri dari beberapa penyakit koroner yaitu, angina tak stabil (unstable angina), infark miokard non – elevasi ST, infark miokard dengan elevasi ST, maupun angina pektoris pasca infark atau pasca tindakan intervensi pada koroner perkutan. Oleh orang awam, terkadang gejala – gejala sindrom koroner akut disalahartikan sebagai masuk angin. Pada beberapa kasus yang menyebabkan kematian, orang awam juga kerap menyebut kondisi ini sebagai angin duduk. ACS merupakan kondisi darurat medis yang membutuhkan penanganan segera. Kondisi kesehatan ini umum terjadi. Kondisi ini biasanya terjadi pada orang yang yang berusia di atas 45 tahun, perokok, dan memiliki riwayat penyakit jantung. Pada kasus kegawatan kardiovaskuler sering timbul secara mendadak, dan sering pula terlambat untuk mendapatkan pertolongan. Waktu saat muncul keluhan sampai dengan pasien dibawa ke IGD merupakan waktu yang sangat penting. Oleh karena itu sangat penting bagi perawat untuk mengetahui tentang kegawatdaruratan kardiovaskuler dan mampu memberikan penanganan secara cepat dan tepat pada korban, baik bantuan hidup dasar (Basic Life Support – BLS) ataupun sampai dengan bantuan hidup lanjut (Advanced Cardiac Life Support – ACLS). Gradasi APS menurut canadian cardiovaskular society: - Klas I nyeri dada timbul dg latihan berat seperti berjalan cepat terburu-buru - Klas II aktivitas sehari-hari agak terbatas, nyeri dada timbul aktivitas lebih -



berat seperti berjalan 2 blok, berjalan menanjak Klas III aktivitas shari-hari nyata terbatas, nyeri timbul pd wkt aktivitas seperti naik turun tangga dg kecepatan luar biasa Klas IV nyeri timbul waktu istirahat sekalipun, seperti menyapu, mandi



Acute Coronary Syndrome terdiri dari: A. angina tak stabil (unstable angina)



Yang dimaksud ke dalam angina tidak stabil (1) Pasien dengan angina yg masih baru dlm 2bl, angina cukup berat & frek cukup sering > 3x/hr (2) Pasien dengan angina yg makin bertambah berat, sebelumnya angina stabil, lalu serangan angina timbul lebih sering & lebih berat sakit dadanya, sdg presipitasiny ringan (3) Pasien dengan serangan angina waktu istirahat B. angina prinzmental - Sakit dada timbul waktu istirahat - Sering kali pada pagi hari - Disebabkan spasme aterosklerosis koroner - EKG ST elevasi - Berkembang menjadi AMI C. STEMI (ST Elevasi Myocard Infraction) D. NSTE-ACS (Non ST Segment Elevation Acute Coronary Syndrome) 2. Etiologi Acute Coronary Sindrome a. Timbunan lemak (aterosklerosis) dalam pembuluh darah. b. Sumbatan (trombosit) oleh sel bekuan darah (thrombus). c. Vasokontriksi d. Infeksi pada pembuluh darah. PT SMS Indonesia | Smart Emergency



161 | P a g e



3. Tanda– Tanda Dan Gejala Yang paling umum dari kondisi ini adalah: Dada terasa seperti tertindih benda berat Nyeri yang terasa samar atau terasa sangat sakit di bagian dada, leher, bahu kiri, lengan dan menyebar ke bagian bawah (terutama di bagian lengan kiri). Rasa sakit muncul secara perlahan atau tiba-tiba, menyebar atau terasa menyengat Tanda – tanda dan gejala lain dari sindrom koroner akut yaitu: Sesak napas Detak jantung cepat atau tidak teratur Merasa seperti ingin jatuh Kelelahan yang parah Otot melemah Mual atau muntah Keluar keringat dingin 4. Faktor Resiko Faktor-faktor resiko penyakit jantung koroner dibagi dua yaitu faktor resiko yang dapat dimodifikasi dan faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi antara lain: Hipertensi Diabetes Hiperkolesterolemia Merokok Kurang latihan Diet dengan kadar lemak tinggi Obesitas Stress Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain: Riwayat PJK dalam keluarga Usia di atas 45 tahun Jenis kelamin laki-laki > perempuan Etnis tertentu lebih besar resiko terkena PJK 5. Pengkajian Acute Coronary Sindrome Diagnostik adanya suatu acute coronary syndrome harus ditegakkan secara cepat dan tepat dan didasarkan pada tiga kriteria (TRIAS AMI berdasarkan WHO), yaitu gejala klinis nyeri dada spesifik, gambaran EKG (elektrokardiogram), dan evaluasi biokimia dari enzim jantung. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien ACS. Nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari sebagian besar pasien dengan ACS. Sifat yang spesifik dari nyeri dada angina adalah sebagai



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



162 | P a g e



berikut dengan Pengkajian OPQRST: O=Onset :Kapan masalah dimulai, dan apa yang menyebabkan? P=Provacation :Tanya apa yang memperberat nyeri, apakah posisi? Apakah ketika menarik npas dalam atau berdebar membuatnya lebih buruk? >>> dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yaitu aktivitas/ latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan, stress emosi, terkejut, udara dingin, waktu dari suatu siklus harian (pagi hari). Keadaan – keadaan tersebut ada hubungannya dengan peningkatan aktivitas simpatis, sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar jantung meningkat, frekuensi debar jantung meningkat, kontraktilitas jantung meningkat, dan aliran koroner juga meningkat. >>> Palliatif: pada nyeri angina terkontrol dengan nitrat, tetapi pada akut memerlukan analgetik dosis tinggi seperti morphin. Q=Quality :Tanyakan jenis nyeri, biarkan pasien menjelaskan keluhannya dengan katakata sendiri, hindaripertanyaan tertutup. Jangan tayakan apakah nyeri seperti tertindih sebaiknya tanyakan sperti apa nyerinya, beratnnya, tertekan, terbakar, diiris-iris, ditindih benda, atau seperti tertusuk. >>> atau dikenal juga dengan sifat nyeri, rasa sakit yang seperti ditekan, seperti terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, seperti diperas atau dipelintir. R=Radiation :tanyakan dimana nyerinya dan apakah menjalar kebagian tubuh lainnya >>> substernal, retrosternal, dan prekordial >>> atau penjalaran nyeri ke arah leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung atau interskapula, dan dapat juga menjalar ke lengan kanan. S=Severity :tanyakan tentang skala nyeri dari 0-10, dan evaluasi nyeri setelah dilakukan tatalaksana >>> pada nyeri angina lama, nyeri antara 10 sampai dengan 20 menit, dan berulang. Sedangkan nyeri pada fase akut lebih dari 30 menit dan terjadi terus – menerus. Adapun gejala yang biasa menyertai adalah mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin dan lemas. T=Timing :tanyakan nyeri yang paling lama yang sudah pernah dirasakan prtama kali timbul, apakah nyeri hilang timbul atau terus mnerus.



NUMERIC SCALE RATE



WONG BAKER SCALE



Presentasi Klinis Nyeri Dada Berat ringannya nyeri bervariasi. Sulit untuk membedakan angina pektoris tidak stabil/ NSTEMI dan STEMI berdasarkan gejala semata – mata. a. Unstable angina: gejala angina tidak stabil adalah sama dengan angina stabil, tetapi gejala dapat disertai:



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



163 | P a g e



Nyeri tambah berat/ angina tambah berat tanpa pemicu/ provokasi apapun Nyeri tetap bertahan bahkan ketika istirahat Nyeri bertahan lebih dari lima menit Tidak respon terhadap ISDN b. Non – ST Segmen Elevasi Acute Coronary Syndrome (NSTE-ACS), setidaknya dua dari kriteria berikut: Gejala nyeri saat istirahat Terdapat peningkatan serum troponin Perubahan EKG: elevasi segmen ST tidak hadir, mungkin ada segmen ST normal atau depresi atau gelombang T inversi c. ST segmen elevasi miokard infark (STEMI), ditandai dengan gejala dengan elevasi segmen ST (iskemia transmural). Ada indikasi untuk perawatan mendesak reperfusi, baik dengan intervensi koronerperkutan atau dengan pemberian agen trombolitik. Serangan jantung bisa subclassified sebagai gelombang Q atau non – Q wave infark miokard. 6. Penanganan Acute Coronary Sindrome Penutupan total (Oklusi Total) yang terjadi lebih dari 4 – 6 jam pada arteri koroner akan menyebabkan nekrosis miokard yang irreversible. Dalam menangani CS dapat dibagi menjadi: 1. Fase sebelum RS (Pre Hospital Stage), yang kemungkinan tanpa komplikasi atau dengan komplikasi, harus diperhatikan dengan seksama. 2. Fase RS (hospital stage) yang dimulai di Instalasi Gawat Darurat (IGD), dengan tujuan untuk pencegahan terjadinya IMA, pembatasan luasnya infark, dan pemeliharaan fungsi jantung (Miokard) Tahapan awal dan cepat Pengobatan pasien dengan acute coronary syndrome: Bedrest Oksigenasi Langkah ini segera dilakukan karena dapat membatasi kekurangan oksigen Nitroglycerin Berikan sublingual 5 mg tiap 3 – 5 menit untuk gejala yang terus menerus jika diijinkan dna tidak ada kontraindikasi Aspirin Berikan Aspirin 160–325mg dikunyah, pada jam–jam pertama, atau berikan aspirin supposositoria 300 mg untuk penderita yang mempunyai gangguan pencernaan. Morphine Berikan morphine sesuai dengan protap, jika tidak respon dengan pemberian nitrat sublingual atau spray. Clopidogrel Berikan clopidogrel 300 – 600 mg peroral.



Intervensi Diagnostik pada STEMI ONSET ACLS/ATLS – Perawat-> BTCLS) Pemandu team Membagi peran Team Decisionmaker Feed back positif Supervisi Compressor Melakukan High Quality CPR meminimalkan interupsi Change in 2 minute Airway Membuka jalannafas Lakukan ventilasi dengan BVM teknik E- C Clamp (sebaiknya petugas ventilasi/airway adalah advance dalam melakukan intubasi (mulai putaran kedua/setelah SAS Pertama dapat melakukan intubasi) Defibrilator Memasang elektroda Defibrilator dan monitor irama jantung Memberikan elektrikal shock therapy Recorder Dokumentasikan tindakan Timer Medication Memasang infuse Memberi obat / terapi cairan



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



174 | P a g e



E. PERAWATAN SETALAH CARDIAC ARREST



Sesuai dengan guideline AHA 2020 setelah korban mengalami henti jantung dan telah ditolong oleh team code blue, maka team akan menghubungi kembali callcenter untuk menyatakan code blue clear. Kemudian merencanakan untuk transportasi pasien ke intensive care atau IGD berdasarkan satatus pasien rawat inap ataukah non pasien.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



175 | P a g e



STANDART OPERASIONAL PROSEDUR Team Dynamic Management (Megacode/Code Blue) NO



PROSEDUR



BLS Survey 1



Danger (Aman diri, aman lingkungan, aman pasien)



2



Cek Respon dengan menepuk bahu, dan memanggil



3



Aktifkan Call for Help



4



Cek nadi karotis, dan cek napas mak.10 detik



5



Menentukan titik kompresi



6



Melakukan CPR kedalaman 6 cm



7



Kecepatan 100 - 120 x/mnt



8



Ratio CPR 30 : 2 (30 kompresi, 2 Ventilasi jika ada BVM)



9



Full chest recoil



10



Minimal interupsi



Bantuan Datang (Tim Code Blue) Leader 11



Memimpin Tim Code Blue



Compresor 12



Lanjut RJP 30 : 2



Ventilator 13



Memberikan Ventilasi dengan BVM 2 kali ventilasi dengan tehnik EC-Grip



Defibrilator 14



Pasang monitor



15



Menyampaikan bahwa monitor siap



16



Lakukan SAS (Stop RJP, Analisa irama, Switch / Ganti RJP)



17



VF / VT (Defibrilasi)



18



Asistol / PEA (RJP)



Medicine 19



Pasang IV line Memberikan obat-obatan injeksi (Epinefrin dan Amiodaron) sesuai dosis, urutan pemberian dan waktu



Recorder 20



Mencatat kegiatan selama code blue berlangsung



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



176 | P a g e



XIV TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM Peserta dapat mengetahui, mengidentifikasi, dan melakukan simulasi pengangkatan, pemindahan, dan rujukan pada pasien sesuai dengan masalah yang dialaminya. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS Setelah mengikuti pelatihan ini peserta di-harapkan mampu untuk : 1. Mengetahui cara pengangkatan, pemindahan, dan tujukan pada pasien sesuai dengan masalah yang dialaminya dengan baik dan benar. 2. Mengidentifikasi cara pengangkatan, pemindahan, dan rujukan pada pasien yang efektif sesuai kondisi pasien dan lingkungan. 3. Melakukan pengangkatan, pemindahan, dan rujukan pada pasien yang efektif sesuai kondisi pasien dan lingkungan PENDAHULUAN Hampir selalu setiap melakukan pertolongan terhadap pasien kita harus melakukan pengangkatan dan pemindahan pasien. Mengangkat dan memindahkan pasien dilakukan pada saat menuju tempat aman, meletakan pasien ditempat tidur, atau ketika akan membawa pasien ke fasilitasi kesehatan lebih lanjut. Pengangkatan dan pemindahan pasien ada yang dilakukan pada saat keadaan darurat (emergency moving) dan ada yang dilakukan pada saat. Keadaan sudah terkendali (non emergency moving). Pengangkatan dan pemindahan darurat dilakukan pada saat ada bahaya api, ledakan, atau tertimpa benda Seperti pada tahap pertolongan lain, pengangkatan dan pemindahan pasien harus tetap memperhatikan keselamatan dan keamanan diri sendiri. Pada banyak kasus ketika mengakat atau memindahkan pasien penolong mengalami gangguan / rasa sakit pada daerah pinggang akibat cara pengangkatan yang salah.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



177 | P a g e



EVAKUASI & RUJUKAN A. PRINSIP PENGANGKATAN Syarat utama dalam mengangkat pasien tentulah keadaan fisik yang baik, yang juga terlatih dan dijaga dengan baik. Jika anda melakukan pengangkatan dan pemindahan dengan tidak benar, maka ini dapat mengakibatkan cedera pada penolong. Apabila anda melakukan cara pengangkatan yang tidak benar ini setiap hari, mungkin akan timbul penyakit yang menetap. Penyakit yang umum adalah nyeri pinggang bagian bawah (low back pain), dan ini dapat timbul pada usia yang lebih lanjut. 1. Bayangkan bahwa tubuh anda sebuah menara, tentu saja dengan dasar yang lebih besar daripada bagian atas. Semakin miring menara itu, semakin mudah runtuh. Karena itu berusahalah untuk senantiasa dalam posisi tegak, jangan membungkuk ataupun miring. 2. Gunakan paha untuk mengangkat, bukan punggung. Untuk memindahkan sebuah benda yang berat, gunakan otot dari tungkai, pinggul dan bokong, serta ditambah dengan kontraksi otot dari perut karena beban tambahan pada otot-otot ini adalah lebih aman. Jadi saat mengangkat, jangan dalam keadaan membungkuk. Punggung harus lurus. Gunakan otot di punggung anda selalu dalam keadaan punggung lurus untuk membantu anda memindahkan atau mengangkat benda yang berat. 3. Guna otot fleksor (otot untuk menekuk, bukan otot untuk meluruskan). Otot fleksor lengan maupun tungkai lebih kuat daripada otot ekstensor. Karena itu saat mengangkat dengan tangan, usahakan telapak tangan menghadap ke arah depan. 4. Usahakanlah sedapat mungkin agar titik berat beban sedekat mungkin ke tubuh anda. Cedera punggung mungkin terjadi ketika anda menggapai dengan jarak yang jauh untuk mengangkat sebuah benda. 5. Sejauh mungkin pakailah alat untuk mengangkat ataupun memindahkan pasien. tandu dan brankar merupakan contoh alat yang mempermudah pekerjaan anda. 6. Jarak antara kedua lengan dan tungkai. 7. Saat berdiri sebaiknya kedua kaki agak terpisah selebar bahu. Apabila cara berdiri kedua kaki jaraknya terlalu lebar akan mengurangi stabilitas. Jarak kedua tangan dalam memegang saat mengangkat (misalnya saat mengangkat tandu), adalah juga selebar bahu. Jarak kedua tangan yang terlalu rapat akan mengurangi stabilitas benda yang akan diangkat, jarak terlalu lebar akan mengurangi tenaga mengangkat. 8. Biasanya kita akan bekerja dengan satu atau beberapa petugas lain. Dalam keadaan darurat kerja tim hal yang penting. Seluruh anggota tim sebaiknya dilatih dengan teknik yang tepat. Permasalahan dapat terjadi ketika bentuk fisik maupun tenaga fisik anggota tim sangat tidak sebanding. Rekan yang kuat dapat cedera jika yang lemah jatuh saat mengangkat. Petugas yang lemahpun dapat cedera juga jika dia mencoba yang melakukan hal yang berlebihan. Idealnya rekan dalam mengangkat dan memindahkan seharusnya mampu dan sama kekuatan dan tingginya. B. PEMINDAHAN DALAM KEADAAN DARURAT (EMERGENCY MOVING) Ada kondisi-kondisi tertentu dimana pasien harus dipindah segera dari lokasi kejadian untuk menghindari bahaya selanjutnya. Dalam kondisi seperti ini penolong tidak lagi memperhatikan kondisi/masalah pasien, seperti misalnya patah tulang, luka atau gangguan jalan napas sekalipun. Kondisi-kondisi yang mengharuskan untuk segera memindahkan pasien adalah sebagai berikut : 1. Kebakaran atau ancaman dari kebakaran Kebakaran akan dapat merupakan sebuah ancaman berat, bukan hanya pada pasien tetapi juga pada penolong. 2. Ledakan atau ancaman dari ledakan. 3. Ketidakmampuan untuk melindungi pasien dari bahaya lain di tempat kejadian. Contoh dari bahaya ini adalah :  Bangunan yang tidak stabil



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



178 | P a g e



 Mobil terguling, bensin tumpah 4. Adanya bahan berbahaya (Hazardous Material – Hazmat) 5. Orang sekitar yang berperilaku mengancam 6. Kondisi cuaca yang buruk. 7. Terpaksa memindahkan satu pasien agar dapat mencapai pasien yang lain, misalnya pada kecelakaan bis. 8. Terpaksa memindahkan satu pasien agar dapat mencapai pasien yang lain, misalnya pada kecelakaan bis 9. Ketika perawatan gawat darurat tidak dapat diberikan karena lokasi atau posisi pasien. misalnya pada seseorang yang terkena henti jantung-nafas, RJP hanya dapat dilakukan pada posisi tidur di atas dasar yang keras Bahaya terbesar pada saat memindahkan pasien cedera (trauma) dalam keadaan darurat adalah kemungkinan memburuknya suatu cedera tulang belakang. Pilihlah cara memindahkan pasien yang seaman mungkin, dengan tetap memperhatikan kesegarisan tulang belakag dengan kepala pasien. Berikut macam-macam emergency moving:



b. Tarikan lengan bahu (shoulder drag)



c. Tarikan baju ( shirt drag)



d. Fire Fighter‘s Drag e. Tarikan selimut (balnket drag)



(9) PEMINDAHAN PASIEN TIDAK DALAM KEADAAN DARURAT (NON EMERGENCY MOVING) Apabila lokasi kejadian sudah dipastikan aman dan tidak ada kemungkinan bahaya susulan maka pengangkatan dan pemindahan pasien harus dilakukan setelah stabilisasi pasien atau dengan memperhatikan masalah, cedera dan perlukaannya. Kesalahan dalam pengangkatan pada cedera tertentu (misalnya: patah tulang leher dan tulang belakang) akan berakibat fatal dan mengancam nyawa pasien. Pengangkatan pada kondisi yang aman harus direncanakan degan baik. Keamanan dan keselamatan penolong pada saat akan melakukan pengangkatan harus diperhatikan. Jangan pernah ragu untuk meminta bantuan apabila kemampuan penolong dirasakan belum memadai. Jenis emergency moves adalah : Direct Ground Lift (mengangkat langsung dari tanah)



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



179 | P a g e



C. LOG ROOL Setiap ada kecurigaan cedera tulang belakang Tidak boleh memutar pasien semaunya karena dapat mengakibatkan kelumpuhan. Jika perlu memutar pasien  perhatikan caranya  log roll Log roll adalah cara memutar pasien seolah-olah menggulingkan sebatang kayu utuh (log) Kepala pasien diusahakan selalu segaris terhadap sumbu tubuh. Untuk mencapai tujuan ini, seorang penolong ditempatkan khusus untuk memegang kepala pasien dan penolong lainnya di daerah badan pasien. Penolong minimal 4 orang. 1 orang Mengamankan kepala agar tetap segaris dengan ktubuh, 3 orang di area tubuh korban. D. PENGANGKATAN & PEMINDAHAN DENGAN ALAT Apabila tersedia peralatan untuk mengangkat dan memindahkan pasien maka sebaiknya tindakan pengangkatan langsung (terutama pada pasien trauma) dihindari untuk mencegah cedera lebih lanjut. Ada banyak alat yang tersedia untuk mengangkat dan memindahkan pasien. alat mana yang akan dipakai tergantung dari keadaan pasien ditemukan, dan jenis penyakitnya. 1. Brankar (strecher) Sebuah tandu yang mempunyai kaki-kaki ber-roda, ada dua tipe tandu ini diantaranya tandu statis adalah tandu yang permanen tidak dapat di lipat kakinya dan tandu lipat adalah tandu yang dapat dilipat kakinya sehingga dapat masuk ke dalam ambulans. Alat ini harus dilatih dalam pemakaiannya. 2. Tandu sekop/scoope trecher Hanya untuk memindahkan pasien (dari brankard ke tempat tidur atau sebaliknya). Bukan alat untuk imobilisasi pasien, bukan alat transportasi, dan jangan mengangkat scoope strecher hanya pada ujungnya saja karena dapat menyebabkan scoope melengkung di tengah bahkan sampai patah. Tandu yang terdiri dari 2 (kadang-kadang 4) belahan, yang masing-masing diselipkan dari satu sisi pasien, dan kemudian diselipkan masing-masing di bawah satu sisi pasien, dan kemudian dapat dikunci. Sangat ideal untuk mengangkat dari ruangan yang sempit. Pada saat mengangkat pasien sebaiknya 4 penolong satu di bagian kepala, satu di bagian kaki, dan masing-masing satu di kiri dan kanan. Ingat: tandu sekop hanya dipakai untuk mengangkat dan memindahkan, bukan untuk transportasi. Membuat tandu sendiri: Anda dapat membuat tandu sendiri dengan 2 tongkat dan satu selimut. 1. Bentangkan selimut di atas lantai 2. Tempatka 1 tongkat sejajar dengan panjang selimut, pada tepi selimut. 3. Lipatkan tepi selimut di atas tongkat sampai 30 cm dari tepi selimut. 4. Lakukan pada sisi yang lain 5. Ketika pasien ditempatka diatas selimut, berat dari tubuh aka mengunci tepi selimut ke tongkat. 6. Tandu juga dapat dibuat dari 3 atau 4 mantel atau jaket. Pertama menggulung lengan baju secara terbalik lalu kencangkan jaket dengan lengan baju bagian dalam mantel. Tempatkan tongkat melalui tiap-tiap lengan baju 3. Long spine board Alat ini biasanya terbuat dari kayu/fiber yang tidak menyerap cairan. Biasanya ada lubang dibagian sisinya untuk tali pengikat. Indikasi: untuk pasien yang dicurigai cedera tulang belakang. Jangan meletakkan pasien di atas lSB terlalu lama (> 2 jam). Papan punggung ini (Back board) dapat pendek atau panjang (long spine board) adalah sepanjang tubuh pasien, dan dipakai bila ada kecurigaan pasien ada cedera tulang belakang. Setelah berada di atas papan punggung panjang, pasien tidak akan



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



180 | P a g e



dipindah lagi (yang dipindah adalah papannya), sehingga tidak perlu bolak-balik dipindah, kadang-kadang di RS pun pasien akan tetap berada di atas papan ini. Papan punggung pendek hanya sampai pinggul pasien, dan dapat menstabilkan pasien sampai pinggul ini digunakan untuk menstabilkan seorang pasien yang berada pada posisi duduk dengan kecurigaan ada cedera tulang belakang. Jelas bahwa alat ini dipakai di pra rumah sakit, dan bermanfaat untuk misalnya mengeluarkan pengendara mobil, dari mobilnya yang tabrakan (mengeluarkan pasien dengan cara yang benar dikenal sebagai ekstrikasi). Biasanya pasien akan diikat di atas papan. E. EXTRICATION Ekstrikasi adalah tehnik-tehnik yang dilakukan untuk melepaskan pasien dari jepitan dan kondisi medan yang sulit dengan mengedepankan prinsip stabilisasi ABCD. ekstrikasi dapat dilakukan setelah keadaan aman bagi petugas penolong dan seringkali memerlukan hal-hal yang bersifat rescue untuk mempermudah pertolongan yang akan dilakukan dan membebaskan benda-benda yang mempersulit pelaksanaan ekstrikasi contohnya memotong pintu kendaraan, membuka kap kendaraan, mengangkat pasien dari dasar atau tepi jurang, menolong pasien terjung payung yang tersangkut di gedung atau pohon-pohon yang tinggi dan sebagainya. Prinsip stabilitasi Airway, Breathing, Circulation dan disability mutlak harus dilakukan jika proses ini memerlukan waktu yang cukup lama dan kemampuan khusus. 1. NECK COLLAR Digunakan setiap ada kecurigaan fraktur servikal. 2. KENDRICK EKSTRICATION DEVICE (KED) Alat untuk mempermudah mengeluarkan pasien dari dalam mobil atau tempat pada saat pasien dalam posisi dudu. 3. HEAD IMMOBILIZER Sebagai penahan kepala untuk pasien trauma setelah terpasang neck collar. Alat ini berfungsi untuk imobilisasi bagian kepala sehingga memudahkan dalam melakukan tindakan pertolongan. F. TRANSPORTASI PASIEN DENGAN AMBULANS Hendaknya dalam proses evakuasi pasien atau merujuk pasien, ambulans yang digunakan sudah memenuhi standar sebagai ambulans, baik peralatan, petugas maupun kondisi kendaraan. Proses pengangkatan pasien dengan tandu angkat sering mempersulit ketika pasien akan dimasukkan ke dalam kendaraan ambulans, dengan brankard dorong dan bisa melipat sendiri hal ini akan lebih mudah. Posisi pasien ketika didorong dari tempat awal adalah kaki terlebih dahulu (didepan) hal ini dimaksudkan agar petugas yang di belakang lebih mudah memonitor kondisi pasien terutama stabilitas ABCD-nya. Ketika akan memasuki kendaraan ambulans bagian kepala berada di depan kecuali untuk pasien inpartu, petugas harus selalu memonitor / mengevaluasi kondisi pasien selama perjalanan dengan intensif karena kondisi pasien sewaktu-waktu dapat berubah apalagi dalam keadaan keterbatasan ruangan, petugas, peralatan medis dan juga oksigen. Hal-hal tersebut mengharuskan kita ekstra hati-hati dalam mempersiapkan segala sesuatu sebelum proses evakuasi dilakukan, termasuk pentingnya informasi lengkap bagi petugas-petugas yang ada di tempat rujukan.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



181 | P a g e



KESIMPULAN Cara mengangkat dan memindahkan pasien sebagai salah satu bagian terpenting dalam melakukan pertolongan. Penanganan yang benar jika pada saat melakukan pemindahan atau pengangkatan tidak dilakukan dengan benar, maka kondisi pasien dapat menjadi dalam kondisi yang buruk. Kekompakan dan kerja sama tim dalam koordinasi setiap tindakan sangatlah diperlukan, terutama dalam posisi yang benar untuk menghindari terjadinya cedera bagi penolong. Penolong harus bisa membedakan cara memindahkan dalam kondisi emergency atau non emergency.



FORMULIR RUJUKAN DATA PASIEN Nama : Alamat : Kota : Umur: JK: BB: Nama keluarga : Alamat : Kota : No.telp : WAKTU Tanggal : Tangga cidera : Waktu masuk IGD: Waktu masuk OK : Waktu saat dirujuk: RIWAYAT KOMPAK



KEADAAN SAAT DATANG Nadi Tekanan darah Pernafasan Suhu DIAGNOSIS



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



PEMERIKSAAN DIAGNSTIK Data lab.: terlampir Foto rontgen: terlampir EKG: terlampir Dll



TERAPI YANG DIBERIKAN Medikasi: Jumlah: Waktu : Cairan: Lain-lain KEADAAN SAAT DIRUJUK



PENGELOLAAN SAAT TRANSPORT



DATA RS YANG MERUJUK Nama dokter RS No.Telp. DATA RS PENERIMA Nama dokter RS No.Telp.



182 | P a g e



STANDART OPERASIONAL PROSEDUR STABILISASI SPINAL/EVAKUASI



NO



PROSEDUR



1



Danger, Aman diri, aman pasien dan aman lingkungan (A3)



2



Menyiapkan alat alat transportasi dan rujukan



3



Stabilkan pasien mulai dari airways, breathing dan circulation



4



Pemasangan Neck Collar



5



Stabilisasi menggunakan KED (Kedrick Extrication Device)



6



Stabilisasi menggunakan Scoope Streacher



7



Aplikasi Teknik Logrooll



8



Stabilisasi menggunakan LSB (Long Spine Board)



9



Pemasangan Head immobilizer



10



Konsultasikan ke dokter atau rujuk ke faskes terdekat



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



183 | P a g e



@smart_emergency



@smart_emergency



@smart_emergency PT SMS Indonesia | Smart Emergency



184 | P a g e



UPDATE TATALAKSANA TERKONFIRMASI COVID-19 A. PENDAHULUAN Pada tanggal 8 Desember 2019, muncul suatu jenis pneumonia baru yang kemudian menyebar ke seluruh dunia.1 Pneumonia ini kemudian dikenal sebagai corona virus disease 2019 (COVID-19) yang masuk ke Indonesia dan diumumkan secara resmi oleh Presiden RI pada tanggal 2 Maret 2020.2 Kemudian diketahui bahwa COVID-19 ini disebabkan oleh virus baru dari golongan virus corona (2019-nCoV). Corona virus adalah kelompok virus yang dapat menyebabkan penyakit dari gejala ringan sampai berat hingga kematian. Diketahui dua jenis corona virus yang dapat menyebabkan gejala klinis yang berat yaitu Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). COVID-19 seringkali berkembang menjadi sebuah pneumonia berat dan menempatkan penderita pada keadaan kritis. Wabah infeksi SARS-CoV2 yang terus meningkat dan menyebar luas tentu berdampak pada upaya resusitasi dan memunculkan kebutuhan untuk memodifikasi praktik resusitasi yang telah ada. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana memastikan pasien dengan atau tanpa COVID-19 yang mengalami henti jantung mendapatkan kesempatan untuk selamat tanpa membahayakan keselamatan penolong – yang tentunya akan dibutuhkan untuk merawat pasien-pasien berikutnya. Ditambah dengan COVID-19 yang sangat menular, hal ini tentunya menimbulkan tantangan tersendiri dalam hal respon emergensi dan mungkin mempengaruhi angka morbiditas maupun mortalitas. Sekitar 12-19% pasien yang positif COVID-19 membutuhkan perawatan di rumah sakit, dan 3-6% berada pada kondisi kritis. Komplikasi seperti hipoksemia akibat gagal nafas akut, jejas miokard, aritmia ventrikular, dan syok banyak dijumpai pada pasien kritis dan menyebabkan pasien tersebut lebih berisiko mengalami henti jantung. Upaya resusitasi meningkatkan risiko penularan terhadap tenaga kesehatan karena berbagai alasan. Pertama, RJP meliputi berbagai prosedur yang menghasilkan aerosol, termasuk di dalamnya kompresi dada, ventilasi tekanan positif, dan pemasangan alat bantu nafas lanjut (advanced airway). Selama prosedur ini, partikel virus dapat tersuspensi di udara dengan waktu paruh kurang-lebih 1 jam dan dihirup oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Kedua, upaya resusitasi mengharuskan sejumlah penolong untuk bekerja dalam jarak dekat baik satu sama lain maupun dengan pasien. Terakhir, henti jantung merupakan kegawatdaruratan dimana kebutuhan pasien untuk mendapat resusitasi dalam waktu cepat dan hal ini berpotensi menyebabkan kemerosotan praktik kewaspadaan standar untuk mengontrol infeksi. Hal ini menunjukkan besarnya permasalahan yang dihadapi di Indonesia sehingga diperlukan pemutus rantai penularan dan intervensi dini untuk menurunkan angka mortalitas. Pedoman sementara ini, merupakan perpaduan rekomendasi RJP (Resusitasi Jantung Paru dari American Heart Assosiation dan Perdatin (Perhimpunan Dokter Spesialis Anesthesi dan Terapi Intensif Indonesia) yang diterbitkan pada April 2020 dengan konteks pandemi COVID-19 dan mempertimbangkan patofisiologi COVID-19 yang unik dengan menjadikan koreksi hipoksemia sebagai tujuan utama. Kami berfokus untuk menyeimbangkan antara memberikan resusitasi yang cepat dan berkualitas kepada pasien dengan tetap memperhatikan keamanan penolong. Pernyataan ini berlaku untuk semua pasien yang terduga/ positif COVID-19 baik dewasa, anak, maupun Bayi kecuali dinyatakan



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



185 | P a g e



secara khusus. Pedoman ini perlu diadaptasi secara lokal didasarkan pada beban penyakit dan ketersediaan sumber daya. B. TATALAKSANA RESUSITASI JANTUNG PARU Prinsip Umum Resusitasi pada Pasien Terduga/ Positif COVID-19 Kurangi paparan penolong terhadap COVID-19  Dasar: Penting bagi penolong untuk melindungi diri dan rekan kerja dari paparan infeksi. Penolong yang terpapar kemudian terinfeksi COVID-19 hanya akan menurunkan jumlah tenaga kesehatan yang sudah terbatas untuk merespons dan berpotensi meningkatkan beban kerja tenaga kesehatan jika mereka jatuh ke dalam kondisi kritis.  Strategi: 1. Sebelum memasuki tempat kejadian, seluruh penolong harus menggunakan APD yang sesuai untuk kewaspadaan infeksi airborne maupun droplet. Sesuaikan dengan rekomendasi APD setempat disesuaikan dengan data epidemiologi terbaru dan availabilitas APD di masing-masing lokasi. 2. Batasi tenaga kesehatan di dalam ruangan atau di tempat kejadian, sehingga hanya yang esensial bagi pelayanan yang ada di tempat. 3. Pada kondisi dimana sudah ada protokol dan tersedia fasilitas, pertimbangkan untuk mengganti kompresi dada manual dengan alat RJP mekanik guna mengurangi jumlah penolong yang dibutuhkan pada kasus henti jantung dewasa dan dewasa muda yang memenuhi kriteria tinggi dan berat badan. 4. Komunikasikan dengan jelas status infeksi COVID-19 kepada penolong baru sebelum mereka sampai di lokasi atau saat memindahkan pasien ke lokasi yang baru. Prioritaskan strategi oksigenasi dan ventilasi dengan risiko aerosolisasi yang lebih rendah 







Dasar: Meskipun intubasi memiliki risiko aerosolisasi yang tinggi, jika pasien diintubasi dengan pipa endotrakeal yang dilengkapi cuff dan kemudian dihubungkan ke ventilator dengan sistem penyaring HEPA (high-efficiency particulate air) dan kateter penghisap dalam tabung (in-line suction catheter), sirkuit tertutup yang dihasilkan akan menurunkan risiko aerosolisasi dibandingkan metode ventilasi tekanan positif lain. Strategi: 5. Sambungkan penyaring HEPA, jika tersedia, ke ventilasi manual ataupun mekanis di bagian yang dilalui udara ekshalasi sebelum memberikan bantuan nafas. 6. Setelah tenaga kesehatan menilai irama dan melakukan defibrilasi sesuai indikasi, pasien henti jantung direkomendasikan untuk diintubasi menggunakan pipa yang dilengkapi balon cuff sesegera mungkin. Hubungkan pipa endotrakeal dengan ventilator yang memiliki penyaring HEPA bila tersedia. 7. Minimalkan kemungkinan gagal intubasi dengan cara: a) Tugaskan tenaga kesehatan berpengalaman dan gunakan metode yang memiliki peluang keberhasilan tinggi pada percobaan pertama intubasi b) Hentikan kompresi dada selama intubasi 8. Jika tersedia videolaringoscope dapat mengurangi partikel aerosolisasi dan harus dipertimbangkan. 9. Sebelum intubasi, gunakan bag-mask device (atau T-piece untuk neonatus) dengan penyaring HEPA dan penyekat kedap udara jika tersedia; atau untuk



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



186 | P a g e



dewasa pertimbangkan penggunaan oksigenasi pasif dengan nonrebreathing mask yang ditutupi dengan masker bedah. 10. Jika intubasi harus ditunda, pertimbangkan penggunaan ventilasi manual dengan supraglottic airway atau bag-mask device yang dilengkapi penyaring HEPA bila tersedia 11. Begitu sirkuit tertutup berhasil dipasang, minimalisir diskoneksi alat untuk mengurangi aerosolisasi. Pertimbangkan kelayakan untuk memulai dan melanjutkan resusitasi 



Dasar: Resusitasi jantung paru adalah upaya tim berintensitas tinggi yang akan menyita perhatian penolong dan mungkin mengalihkan fokus penolong dari pasien lainnya. Dalam konteks COVID-19, risiko paparan pada tim penolong meningkat dan sumber daya dapat menjadi lebih terbatas, khususnya di wilayah dengan insiden penyakit yang tinggi. Meskipun luaran henti jantung pada pasien COVID-19 belum diketahui, mortalitas pasien COVID-19 yang jatuh kritis terbilang tinggi dan meningkat seiring usia dan komorbiditas, khususnya penyakit kardiovaskular. Oleh karena itu, masuk akal untuk mempertimbangkan usia, komorbiditas, dan keparahan penyakit dalam mempertimbangkan kelayakan untuk dilakukan resusitasi dengan meninjau probabilitas kesuksesan resusitasi terhadap risiko paparan kepada penolong serta risiko bagi pasien lain yang mungkin terabaikan.  Strategi: 12. Diskusikan tujuan perawatan dengan pasien COVID-19 atau keluarga terkait dengan potensi ditingkatkannya level perawatan 13. Sistem kesehatan dan petugas responden pertama/ IGD harus menyusun peraturan untuk membantu petugas kesehatan di lini pertama dalam menentukan kriteria memulai dan menghentikan RJP untuk pasien dengan COVID-19, dengan mempertimbangkan faktor risiko pasien untuk memperkirakan kemungkinan kesintasan. Stratifikasi risiko dan kebijakan harus dikomunikasikan kepada pasien atau wali saat mendiskusikan tujuan perawatan. 14. Data yang ada saat ini tidak mencukupi untuk mendukung resusitasi jantung paru ekstrakorporeal (E-CPR) untuk pasien COVID-19. Pertimbangan untuk Situasi dan Kondisi Tertentu Henti Jantung di Luar Rumah Sakit Berikut adalah beberapa pertimbangan khusus untuk kasus henti jantung pada pasien terduga atau positif COVID-19 yang terjadi di luar rumah sakit. Bergantung kepada prevalensi lokal penyakit dan bukti persebaran di komunitas, adalah masuk akal untuk mencurigai adanya COVID-19 pada seluruh kasus henti jantung di luar rumah sakit. 



Penolong awam RJP oleh penolong yang ada di dekat pasien saat kejadian telah terbukti meningkatkan sintasan pasien henti jantung di luar rumah sakit, dan angka sintasan tersebut menurun dengan setiap menit ditundanya RJP dan defibrilasi. Penolong di komunitas kemungkinan besar tidak memiliki akses terhadap APD yang cukup, dan oleh karenanya, mereka memiliki risiko lebih tinggi terpapar COVID-19 selama RJP dibanding petugas kesehatan dengan APD mumpuni. Penolong dengan usia tua dan memiliki komorbid seperti penyakit jantung, diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung kronik memiliki risiko tinggi jatuh ke dalam kondisi kritis bila terinfeksi SARS-CoV2. Meskipun begitu, bila henti jantung terjadi di rumah (seperti dilaporkan pada 70% kasus



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



187 | P a g e



henti jantung di luar rumah sakit sebelum peraturan untuk berada di rumah saja diterapkan), penolong awam kemungkinan telah terpapar dengan COVID-19. -



Kompresi dada o Untuk dewasa: penolong awam direkomendasikan melakukan RJP dengan tangan saja (hands-only CPR) ketika menemukan kasus henti jantung, jika bersedia dan mampu, terutama jika mereka tinggal di rumah yang sama dengan korban sehingga telah terpapar dengan korban sebelumnya. Masker wajah atau penutup kain di area mulut dan hidung yang digunakan oleh penolong dan/ atau korban dapat menurunkan risiko penularan kepada orang sekitar yang tidak tinggal di rumah tersebut. o



Untuk anak: penolong awam harus melakukan kompresi dada dan mempertimbangkan ventilasi mulut ke mulut, jika bersedia dan mampu, mengingat tingginya kejadian henti nafas pada anak, khususnya jika penolong tinggal di rumah yang sama dengan korban sehingga telah terpapar dengan korban sebelumnya. Masker wajah atau penutup kain di area mulut dan hidung yang digunakan oleh penolong dan/ atau korban dapat menurunkan risiko penularan kepada orang sekitar yang tidak tinggal di rumah tersebut, jika penolong tidak bersedia atau tidak dapat melakukan ventilasi mulut ke mulut. - Defibrilasi Karena defibrilasi bukanlah prosedur yang menghasilkan aerosol, penolong awam dapat menggunakan automated external defibrillation (AED) jika ada untuk menolong korban henti jantung di luar rumah sakit.  Penolong tenaga medis - Telekomunikasi (dispatch) Telekomunikator/ operator, sesuai dengan protokol lokal yang berlaku, direkomendaikan melakukan skrining terhadap semua telepon yang masuk terkait pasien dengan gejala COVID-19 (demam, batuk, sesak nafas) atau telah diketahui positif COVID-19 atau memiliki kontak dekat dengan pasien positif lainnya.  Untuk penolong awam, telekomunikator harus memberikan panduan mengenai risiko paparan terhadap COVID-19 bagi penolong dan memberikan instruksi untuk RJP dengan kompresi dada saja seperti di atas  Untuk penolong medis terlatih/ EMS, telekomunikator harus mengingatkan tim untuk mengenakan APD jika mencurigai adanya infeksi COVID-19 - Transportasi o Keluarga dan orang lain yang berkontak dengan pasien terduga atau positif COVID-19 sebaiknya tidak naik dalam kendaraan yang sama o Jika kembalinya sirkulasi spontan tidak tercapai setelah upaya resusitasi optimal telah dilakukan di lapangan, pertimbangkan untuk tidak membawa pasien ke RS mengingat kemungkinan selamat yang rendah, dan risiko peningkatan paparan tambahan terhadap tenaga kesehatan lainnya. Henti Jantung di Lingkungan Rumah Sakit Berikut adalah beberapa pertimbangan khusus untuk kasus henti jantung pada pasien terduga atau positif COVID-19 yang terjadi di lingkungan rumah sakit. Panduan berikut tidak berlaku untuk pasien yang telah diketahui negatif COVID-19, dimana pasien tersebut dapat menerima BHD dan BHJL standar. Meskipun begitu, adalah masuk akal



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



188 | P a g e



untuk mengurangi tenaga medis di dalam ruangan selama resusitasi berlangsung selama pandemi dengan tujuan menjaga jarak (social distancing). 



Sebelum henti jantung o



 



Diskusikan pelayanan lanjutan dan tujuan perawatan dengan semua pasien (atau wali) yang terduga/ positif COVID-19 begitu sampai di rumah sakit dan apa yang ingin dilakukan begitu ada perubahan yang signifikan pada klinis pasien o Monitor ketat tanda dan gejala perburukan klinis untuk meminimalkan kebutuhan intubasi emergensi yang meningkatkan risiko bagi pasien dan tenaga medis o Jika pasien berisiko henti jantung, pertimbangkan untuk secara proaktif memindahkan pasien ke ruangan bertekanan negatif bila ada, untuk meminimalkan risiko paparan terhadap penolong selama resusitasi Tutup pintu jika memungkinkan untuk mencegah kontaminasi ruangan yang berdekatan. Untuk pasien yang terintubasi pada saat henti jantung o Pertimbangkan untuk memberikan pasien ventilator mekanik dengan penyaring HEPA untuk mempertahankan sirkuit tertutup dan menurunkan aerosolisasi o Sesuaikan pengaturan ventilator untuk memungkinkan ventilasi asinkron (sesuaikan pengaturan waktu kompresi dada dengan ventilasi pada bayi baru lahir). Pertimbangkan saran-saran berikut:  Tingkatkan FIO2 ke 1.0  Ubah mode pengaturan menjadi Pressure Control Ventilation (Assist Control) dan batasi tekanan sesuai kebutuhan untuk menghasilkan pengembangan dada yang adekuat (target umumnya 6 mL/kg BB ideal untuk dewasa dan 4-6 mL/kg untuk neonatus) 



Sesuaikan pemicu ke off untuk mencegah ventilator terpicu secara otomatis saat dilakukan kompresi dada dan mencegah hiperventilasi dan air trapping







Sesuaikan laju respirasi menjadi 10 kali per menit untuk dewasa dan anak, dan 30 kali per menit untuk neonatus







Nilai kebutuhan untuk menyesuaikan positive end-expiratory pressure untuk menyeimbangkan dengan volume paru dan aliran balik vena.  Sesuaikan alarm untuk mencegah alarm fatigue  Pastikan pipa endotrakueal/ trakeostomi dan sirkuit ventilator aman untuk mencegah ekstubasi yang tidak terencana o Jika sirkulasi spontan pasien kembali (ROSC), atur ventilator sesuai dengan klinis pasien  Untuk pasien dengan posisi pronasi saat henti jantung o Pada pasien terduga/ positif COVID-19 yang berada dalam posisi pronasi tanpa alat bantu nafas lanjut (advanced airway), upayakan untuk reposisi pasien ke dalam posisi supinasi untuk melanjutkan resusitasi o Meskipun efektivitas RJP dalam posisi pronasi tidak diketahui secara pasti, untuk pasien yang berada dalam posisi pronasi dengan alat bantu nafas lanjut (advanced airway), hindari reposisi ke supinasi kecuali tidak ada risiko lepas alat bantu nafas dan aerosolisasi. Pertimbangkan untuk menempatkan bantalan defibrilasi pada posisi anterior-posterior dan berikan RJP dalam posisi pronasi dengan tangan di posisi standar di atas korpus vertebra T7 atau T10  Pada pasien post henti jantung Konsultasikan bagian pengendalian infeksi terkait transportasi pasca resusitasi.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



189 | P a g e



Algoritma Dengan Beberapa Perubahan Kunci Beberapa pembaharuan spesifik COVID-19 untuk algoritma Bantuan Hidup Dasar dan Bantuan Hidup Jantung Lanjut, BHD pada anak, dan henti jantung pada anak ditunjukkan pada gambar 2-4 berikut, dengan tujuan untuk menggantikan algoritma standar pada pasien terduga atau positif COVID-19. Pada pasien yang negatif COVID-19, atau tidak dicurigai COVID-19, resusitasi jantung paru harus dilakukan berdasarkan algoritma yang standar. Kotak-kotak baru yang spesifik untuk COVID-19 diberi warna kuning, dan panduan yang spesifik untuk COVID-19 dicetak tebal dan digaris bawah.



Simpulan Penyesuaian Algoritma RJP pada pasien terduga/ positif COVID-19



Kurangi paparan terhadap penolong    



Gunakan APD lengkap sebelum memasuki ruangan/ tempat kejadian Batasi jumlah personel Pertimbangkan penggunaan alat RJP mekanik pada pasien dewasa dan dewasa muda yang memenuhi kriteria tinggi dan berat badan. Komunikasikan status COVID-19 ke setiap penolong baru



Prioritaskan strategi oksigenasi dan ventilasi dengan risiko aerosolisasi rendah         



Gunakan penyaring HEPA, bila ada, untuk seluruh ventilasi Intubasi di awal menggunakan pipa endotrakeal dengan cuff, bila memungkinkan Tugaskan intubator yang dengan kemungkinan terbesar untuk berhasil intubasi dalam percobaan pertama Hentikan kompresi dada untuk intubasi Pertimbangkan penggunaan video laringoskopi bila ada Sebelum intubasi, gunakan bag-mask device (atau T-piece pada neonatus) dengan penyaring HEPA dan penyekat kedap udara Untuk dewasa, pertimbangkan oksigenasi pasif dengan nonrebreathing face mask sebagai alternatif bag-mask device untuk durasi pendek Jika intubasi harus ditunda, pertimbangkan supraglottic airway Minimalisir diskoneksi sirkuit tertutup



Pertimbangkan kelayakan untuk resusitasi  



Tetapkan tujuan perawatan Sesuaikan panduan untuk membantu pengambilan keputusan, dengan mempertimbangkan faktor risiko pasien terkait kemungkinan untuk bertahan hidup ©



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



2020 American Heart Assosiation



190 | P a g e



Alogaritma Bantuan Hidup Dasar Pada Kasus Henti Jantung Untuk Pasien Dewasa Terduga Atau Terkonfirmasi COVID-19



©



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



2020 American Heart Assosiation



191 | P a g e



Alogaritma Bantuan Hidup Dasar Pada Kasus Henti Jantung Untuk Pasien Anak Terduga Atau Terkonfirmasi COVID-19 untuk 1 penolong



©



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



2020 American Heart Assosiation



192 | P a g e



Alogaritma Bantuan Hidup Dasar Pada Kasus Henti Jantung Untuk Pasien Anak Terduga Atau Terkonfirmasi COVID-19 untuk 2 penolong atau lebih



©



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



2020 American Heart Assosiation



193 | P a g e



Alogaritma Bantuan Hidup Dasar Lanjutan Pada Kasus Henti Jantung Untuk Pasien Terduga Atau Terkonfirmasi COVID-19



©



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



2020 American Heart Assosiation



194 | P a g e



A. TATALAKSANA JALAN NAPAS PADA PASIEN COVID-19 Dari seluruh penderita COVID-19, 80% akan menunjukkan gejala ringan dan tidak memerlukan perawatan di rumah sakit, 14% memerlukan perawatan di ruang rawat biasa dan 5% memerlukan perawatan Intensif. Hal ini berarti hampir 25% pasien yang dirawat di rumah sakit dapat menjadi pasien kritis, apalagi jika penanganan di ruang rawat biasa tidak optimal. Dalam kondisi terdapat keterbatasan fasilitas ICU, deteksi dini juga menjadi sangat diperlukan untuk mengoptimalkan perawatan dengan harapan dapat menurunkan durasi rawat intensif dan mencakup lebih banyak penderita. Pada penderita COVID-19, dilakukan pengawasan laju napas, laju nadi, saturasi oksigen pada udara bebas sebanyak 2 kali sehari. Pada pasien dengan risiko tinggi, pengawasan dilakukan secara terus menerus. Pasien yang memiliki risiko tinggi adalah pasien sebagai berikut: 1. Usia tua (>65 tahun) 2. Limfopenia atau trend penurunan 3. Pasien yang memerlukan terapi oksigen 4. Pasien dengan infiltrat paru yang luas memerlukan pengawasan berkelanjutan Selama pengawasan di rumah sakit, perburukan gejala harus segera di identifikasi. Hal ini diteliti lebih lanjut oleh Sun dkk, yang menemukan bahwa bila terdapat satu dari tanda berikut, pasien perlu segera dipindahkan ke ruang rawat intensif. Adapun tanda yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. SpO2 120 kali/menit 4. Tanda kegagalan organ Penggunaan keempat parameter perburukan ini memiliki tingkat sensitivitas 95.5% dan spesifisitas 89.9%. Terdapat berbagai macam pilihan terapi untuk menangani COVID-19. Namun, belum terdapat suatu kesimpulan baku emas untuk penanganan COVID-19. Oleh karena itu, penanganan COVID-19 berpusat pada upaya pencegahan perburukan penyakit. Penanganan ini perlu segera dilakukan untuk mengoptimalkan luaran pasien. Terdapat 3 langkah yang penting dalam pencegahan perburukan penyakit, yaitu sebagai berikut 1. Gunakan high flow nasal canulla (HFNC) atau non-invasive mechanical ventilation (NIV) pada pasien dengan ARDS atau efusi paru luas. HFNC lebih disarankan dibandingkan NIV. 2. Pembatasan resusitasi cairan, terutama pada pasien dengan edema paru. 3. Posisikan pasien sadar dalam posisi tengkurap (awake prone position).



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



195 | P a g e



Alur penanganan Dini Pasien Kritis



©



2020 PERDATIN



Penanganan Pasien COVID-19 Dengan Gagal Napas



©



2020 PERDATIN



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



196 | P a g e



Tatalaksana jalan napas pasien suspek atau terkonfirmasi COVID-19 pada kasus emergensi. 1. Persiapan a. Persiapan institusi (peralatan untuk tatalaksana rutin dan jika terjadi kesulitan; jumlah staf terlatih yang mencukupi, ketersediaan checklist intubasi endotrakeal, APD lengkap dan lain-lain) harus dilakukan dengan baik sebelum terjadi tindakan tatalaksana jalan napas. Jika belum ada, sangat direkomendasikan untuk menyiapkan secepatnya. b. Tim dan Perseorangan harus mengetahui persiapan institusi dan skill yang diperlukan, bagaimana menggunakan APD dengan benar dan mengevaluasi jalan napas pasien untuk menilai ada tidaknya kesulitan intubasi dan mempersiapkan tindakan jalan napas yang akan dilakukan. Konsep MACOCHA (Malampatti, Obstructive sleep apnoea, C-spine movement, mouth opening, coma, hipoxaemia, non anaestetist intubator) tidak diterima secara luas, tapi konsep ini valid dan direkomendasikan. Skor MACHOCA Untuk Prediksi Jalan Npas Sulit



©



2020 PERDATIN



2. Menyiapkan troli atau set alat intubasi endotrakeal COVID-19 Pasien yang sakit kritis seringkali harus diintubasi ditempat dibanding di ICU. Di ICU, intubasi endotrakeal biasanya dilakukan di satu ruangan. Siapkan troli intubasi endotrakeal atau set alat yang dapat diambil ke dekat pasien dan didekontaminasi setelah digunakan. 3. Memiliki strategi Strategi tatalaksana jalan napas (membuat rencana utama atau rencana cadangan, dan jika terjadi perubahan) harus disiapkan dan mengadakan briefing tim sebelum melakukan tindakan. 4. Melibatkan sejumlah kecil tenaga yang diperlukan Tidak mungkin melakukan tindakan sendirian, tetapi staf yang tidak diperlukan sebaiknya tidak memasuki ruangan tindakan. Petugas lain (runner) harus mengawasi dari luar dan harus dapat membantu dengan cepat jika diperlukan. 5. Gunakan APD yang benar dan sesuai Dalam situasi emergensi termasuk henti jantung, APD harus digunakan dan di cek seluruhnya sebelum melakukan tatalaksana jalan napas dan petugas tidak boleh membuat dirinya terpapar risiko apapun. 6. Hindari prosedur yang menimbulkan aerosol sepanjang memungkinkan Jika terdapat alternatif tindakan yang cocok, gunakan. Jika tindakan yang menimbulkan aerosol dilakukan, kamar yang digunakan dianggap sudah terkontaminasi. Gunakan APD dan ruangan harus dibersihkan dalam 20 menit. 7. Fokus pada ketepatan waktu dan kepercayaan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan keberhasilan pada saat pertama kali intubasi. Jangan terburu-buru, PT SMS Indonesia | Smart Emergency



197 | P a g e



tetapi melakukan setiap usaha sebaik-baiknya yang dapat dilakukan. Usaha yang berkali-kali meningkatkan risiko kontaminasi kepada petugas lainnya dan kepada pasien. 8. Gunakan Teknik yang berhasil baik untuk semua pasien, termasuk jika terjadi kesulitan intubasi. Teknik yang sebenarnya mungkin berbeda tergantung lokasi dan peralatan. Jika pelatihan dan peralatan tersedia. sebaiknya meliputi: 1. Penggunaan Safety box aerosol 2. Videolaryngoscope untuk intubasi endotrakeal. 3. Gunakan 2 orang 2 tangan untuk memegang facemask ventilasi dengan VE-grip. 4. Siapkan SGA generasi kedua untuk rescue airway (misal: i-gel, Ambu, Aura Gain, LMA proseal, LMA Protector) 5. Petugas paling sesuai adalah yang harus sudah mahir melakukan tindakan jalan napas. 6. Jangan gunakan teknik yang tidak familier atau tidak terlatih. 7. Pastikan semua alat jalan napas yang diperlukan ada di ruangan sebelum melakukan tindakan intubasi endotrakeal. a. Monitor termasuk capnograph. b. Suction yang berfungsi baik. c. Ventilator yang sudah diatur. d. Akses intravena yang baik dan lancar. 8. Gunakan checklist intubasi Checklist digunakan sebagai alat bantu dan harus dicek sebelum memasuki kamar pasien sebagai bagian dari persiapan. 9. Gunakan Bahasa yang jelas dan closed loop communication Komunikasi akan menjadi sulit saat menggunakan APD dan petugas bekerja di luar area yang normal. Gunakan instruksi sederhama. Bicara dengan jelas dan keras tanpa perlu berteriak. Jika menerima instruksi, ulangi apa yang anda pahami terhadap pemberi instruksi. Jika anggota tim tidak saling kenal, penggunaan stiker nama yang ditempelkan di atas kepala dapat membantu komunikasi satu sama lain.



a Safety Box Aerosol



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



Digital Video Laringoscope



198 | P a g e



Manajemen jalan napas setelah intubasi endotrakeal sebagai berikut: 1. Gunakan filter HME dekat dengan pasien, selain humidifier yang dihangatkan (wet circuit) tapi pastikan kondisi in tidak menyebabkan basah dan membuat sumbatan. 2. Monitor tekanan balon cuff dengan hati-hati untuk mencegah kebocoran. 3. Monitor dan catat kedalaman endotracheal tube setiap pergantian shift jaga untuk meminimalkan risiko dislokasi endotracheal tube. 4. Mengatasi risiko dislokasi endotracheal tube. Risiko ini terjadi saat reposisi pasien termasuk: posisi prone, mengembalikan posisi pasien, aspirasi pipa nasogastric atau memastikan posisi nasogastric tube (NGT), sewaktu membersihkan mulut pasien.



Tekanan



balon cuff



dan kedalaman



endotracheal tube harus dicek dan diperbaiki sebelum dan setelah tindakan tersebut. 5. Suction. Yang disarankan adalah suction endotrakeal tertutup jika tersedia. 6. Kebocoran balon cuff. Jika terjadi kebocoran balon cuff, untuk menghindari terbentuknya aerosol, pasang tampon faring sembari memberikan oksigen 100% dan mempersiapkan reintubasi. Sebelum reintubasi, segera hentikan mesin ventilator. 7. Intervensi jalan napas meliputi prosedur fisioterapi, memompa alat bantu napas, proses transfer, posisi prone, mengembalikan posisi pasien dan reposisi endotracheal tube.



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



199 | P a g e



DAFTAR PUSTAKA



American College of Surgeons. (2018). Advanced trauma life support for doctors. instructor course manual book 1 - sixth edition. Chicago. American Heart Association. (2020). Advanced Cardiovascular Life Support: Provider Manual. USA: American Heart Association. American Heart Association. (2020). Basic Life Support: Provider Manual. USA: American Heart Association American Red Cross (2020). First Aid/CPR/AED Participant Manual. USA: StayWell Health & Safety Solutions AHA Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care Part 9: Acute Coronary Syndromes, 2020 AHA/ACC Guidelines for the Management of Patients With Non–ST-Elevation Acute Coronary Syndromes, 2020 ACCF/AHA Guidelines for the Management of ST-Elevation Myocardial Infarction, 2015 Suplemen EKG untuk Dokter muda FK UMYECG Review, Jeremy R, Borrof MPAS 2013 Fulde, Gordian. (2011). Emergency medicine 5th edition. Australia : Elsevier. EKG Interpretation Basic Guide, Britany Samons 2015 12-Lead EKG Confidence, A Step-by-Step Guide, second edition, Jacqueline & Anthony, 2010 Medical training & simulation LLC, 2013 Gindhi, R.M., Cohen, R.A., dan Kirzinger, W.K. (2012). Emergency room use among aults aged 18-64: early release of estimates from the national health interview survey, January-June 2011. Holder, AR. (2010 ). Emergency room liability. JAMA. Institute for Health Care Improvement. (2011). Nursing assessment form with medical emergency team (MET) guidelines. Ishak, 2012. Pemeriksaan radiologi dan laboratorium untuk fisioterapis. Diakses dari http://www.slideshare.net/IshakMajid/radiologi-laboratorium-a4 tanggal 5 Mei 2013 Lyandra, april, Budhi, Antariksa, Syahrudin. (2011). Ultrasonografi Toraks. Jurnal Respiratori Inonesia Volume 31 diakses dari http://jurnalrespirologi.org/ tanggal 28 April 2013. Mancini MR, Gale AT.(2011). Emergency care and the law. Maryland: Aspen Publication. Practitioner Emergency Medical Technician. (2012). Clinical practice guidelines for prehospital emergency care. Ireland : Pre-Hospital Emergency Care Council. ISBN 9780-9571028-2-8. Balitbang Kemenkes RI (2019).Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Jakarta: Balitbang Kemenkes RI. Bentz B.G & Hugles C.A. Available at http:// www.AmericanHearing.com.Barotrauma. Accessed on June, 7th 2019 Hendrik. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta : EGC. 2014 Hichliff, Sue dan Sue Norman. Praktik Keperawatan dan Layanan Kesehatan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2014 Arizal fahri . Perawat Profesional . Jakarta: Bima Media Perintis. 2010 Frans Maramis.Hukum Pidana Umum dan tertulis di indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.2012 Henny Yulianita.Legalitas Perawat dalam tindakan medis.Jakarta:EGC.2011 Nursalam, S.(2014). Manajemen Keperawatan: Aplikasi Dalam Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta: Salemba Merdeka Standar Profesi dan Kode Etik Perawat Indonesia 2016 UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Kondisi Gadar di YanKes PMK 17 2013 UU No. 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan Permenkes Bo.26 tahun 2019 peraturan pelaksana UU No. 38 Th.2014 Tentang Keperawatan



Buku Pedoman penanganan pasien kritis covid-19. PERDATIN. 2020



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



200 | P a g e



BTCLS Basic Trauma Cardiac Life Support



Redaksi: ©



Copy Right Smart Emergency



Kantor Jakarta:



Jl. Masjid Abidin No. I Pondok Bambu Duren Sawit Jakarta Timur 13430



Kantor Kudus: Jl. Jendral Sudirman No.370A Dersalam Bae Kudus Jawa Tengah Indonesia



Email: [email protected] Instagram/Twitter: @smart_emergency Youtube/Facebook: Smart Emergency



PT SMS Indonesia | Smart Emergency



201 | P a g e