Modul Early Warning Score For Eemergency Calling [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Early Warning Score for Emergency Calling System Siloam Hospitals Lippo Village Karawaci



Apakah EWSEC ? Early Warning Score for Emergency Calling (EWSEC) system adalah suatu sistem permintaan bantuan untuk mengatasi masalah kesehatan pasien secara dini. EWSEC didasarkan atas penilaian terhadap perubahan keadaan pasien melalui pengamatan yang sistematis terhadap semua perubahan fisiologi pasien. Format penilaian EWSEC dilakukan berdasarkan pengamatan status fisiologi pasien. Pengamatan ini merupakan pengamatan yang bisa dilakukan oleh perawat, dokter ataupun tenaga terlatih lainnya. Parameter yang dinilai dalam EWSEC meliputi : 



Keadaan umum,







Pernapasan,







Saturasi oksigen,







Denyut nadi,







Tekanan darah,







Produksi urine,







Kesadaran (Glasgow Coma Scale / GCS),







Temperatur.



Masing-masing parameter akan dikonversikan dalam bentuk angka, di mana makin tinggi nilainya maka makin abnormal keadaan pasien sehingga menjadi indikasi untuk dilakukan tindakan pertolongan sesegera mungkin.



Kapan dilakukan EWSEC ? EWSEC dilakukan terhadap semua pasien yang mempunyai risiko tinggi berkembang menjadi sakit kritis. Pasien-pasien tersebut adalah: 



Pasien yang keadaan umumnya dinilai tidak nyaman (uneasy feeling),







Pasien yang datang ke unit gawat darurat,







Pasien dengan keadaan hemodinamik tidak stabil,



Early Warning Score for Emergency Calling system







Pasien yang baru dipindahkan dari ruang rawat observasi ketat ke ruang rawat dengan observasi lebih rendah,







Pasien pasca operasi,







Pasien dengan penyakit kronis,







Pasien yang perkembangan penyakitnya tidak menunjukkan perbaikan.



Penilaian EWSEC juga dilakukan terhadap pasien yang akan dipindahkan dari ruang rawat ke ruang rawat lainnya, dari ruang rawat ke rumah ataupun dari rumah sakit ke rumah sakit lainnya. Bila didapati nilai yang memungkinkan untuk pengamatan EWSEC lebih lanjut (pemicu aktivasi EWSEC) maka keputusan untuk memindahkan pasien bisa dipertimbangkan lagi. Penilaian EWSEC tidak diperlukan pada keadaan-keadan berikut ini: 



Pasien poliklinik dengan keadaan umum yang baik,







Pasien yang berada di tahap terminal dari penyakitnya.



Early Warning Score for Emergency Calling system



MODUL I KEADAAN UMUM Penilaian ini merupakan penilaian dasar awal yang dilakukan terhadap pasien. Parameter ini merupakan gambaran umum keadaan klinis pasien. Pada pasien dengan keadaan umum yang baik, hampir dapat dipastikan bahwa parameter-parameter lainnya juga tidak buruk. Akan tetapi jika pasien dalam keadaan umum yang tidak baik (uneasy feeling), maka bisa dipastikan bahwa parameter-parameter lainnya juga dalam keadaan yang tidak baik. Meskipun penilaian parameter ini tampak bersifat subyektif, tapi dengan pelatihan dan pengalaman, penilaian subyektif tersebut bisa menyerupai obyektif. Pada pasien dengan penyakit seperti: penyakit paru kronik, sepsis dan/atau gagal organ, stroke, trauma, dan keganasan tidaklah mungkin menampilkan keadaan umum yang baik. Mereka akan tampak lebih letargi, lebih lemah, lebih mudah lelah, iritabel dan tidak tampak segar bila dibandingkan dengan orang sehat. Namun adakalanya dijumpai keadaan umum pasien yang tidak tampak sakit. Misalnya pada pasien dengan penyakit diabetes melitus dan hipertensi kronik yang terkontrol, keadaan umum mereka seringkali tidak berbeda dengan keadaan umum orang sehat. Untuk hal-hal yang demikian, maka diperlukan pengamatan dan pemeriksaan lebih lanjut untuk mencari perbedaan antara pasien dengan orang sehat. Bila dijumpai pasien dengan keadaan umum yang tidak baik, maka harus dilanjutkan dengan pengamatan dan pemeriksaan lebih lanjut yang lebih tajam, terarah dan terkonsentrasi pada pemeriksaan fisik dasar meliputi: jalan napas, pernapasan, sirkulasi dan kesadaran. Pengamatan keadaan klinis pasien akan membantu mengetahui tingkat keparahan dan perjalanan penyakit pasien yang diperlukan dalam penanganan selanjutnya.



Early Warning Score for Emergency Calling system



MODUL II PERNAPASAN Pemeriksaan pertama yang dilakukan setelah menilai keadaan umum pasien adalah menilai sistem pernapasan pasien meliputi jalan napas dan pernapasan pasien. Jalan napas pasien harus dipastikan bersih dan tidak tersumbat. Bila didapati pernapasan yang berbunyi, maka dapat dipastikan bahwa terdapat sumbatan pada jalan napas pasien. Frekuensi pernapasan, pola pernapasan dan adanya pemakaian otot bantu pernapasan dapat menunjukkan adanya distres pernapasan ataupun obstruksi jalan napas. Frekuensi pernapasan sangat penting untuk diperhatikan, karena setiap gangguan di tubuh (nyeri, gelisah, penyakit paru, gangguan metabolik, infeksi dan obstruksi jalan napas) akan menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen yang akan ditandai dengan adanya peningkatan frekuensi pernapasan. Pola pernapasan akan sangat membantu dalam mengidentifikasi adanya abnormalitas pada pasien. Pola pernapasan yang cepat dan dalam (Kussmaul) merupakan gambaran pernapasan pada gangguan asidosis metabolik berat. Pola pernapasan periodik (Cheyene-Stokes) menggambarkan adanya gangguan pada batang otak atau adanya gangguan fungsi jantung. Pola pernapasan yang demikian akan diikuti oleh hipoksemia. Saturasi oksigen yang rendah pada keadaan hipoksemia ini bisa dideteksi dengan pulse oxymetri. Namun, pengukuran pulse oxymetri bisa menjadi tidak akurat pada pasien yang hipovolemia, hipotensi ataupun hipotermi. Parameter pernapasan yang dipantau dalam EWSEC ini adalah frekuensi pernapasan dan saturasi oksigen seperti tercantum pada tabel di bawah ini: Skor EWSEC Frekuensi pernapasan Saturasi O2



3



≤ 90



2



1



0



1



2



3



≤8



10 - 14



15 - 20



21 - 29



≥ 30



91 - 93



94 - 100



MODUL III Early Warning Score for Emergency Calling system



SIRKULASI ( DENYUT NADI, TEKANAN DARAH DAN PRODUKSI URINE ) Pemeriksaan berikutnya setelah pernapasan adalah pemeriksaan sirkulasi. Sirkulasi yang tidak adekuat bisa disebabkan secara primer oleh adanya gangguan sistem kardiovaskular, ataupun secara sekunder akibat adanya gangguan metabolik seperti pada sepsis, hipoksia ataupun pengaruh obat-obatan. Pemantauan pertama pada sistem sirkulasi adalah pemantauan denyut nadi. Yang perlu dipantau adalah frekuensi denyut nadi, keteraturan denyut, isi/volume denyut dan apakah denyut tersebut simetris di masing-masing sisi tubuh. Pada pasien dengan hipovolemia ataupun dengan curah jantung yang rendah akan dijumpai denyut nadi yang lemah dan tidak teratur. Frekuensi denyut yang tidak teratur biasanya dijumpai pada gangguan irama jantung seperti fibrilasi atrium yang bisa sangat membahayakan. Denyut yang paradoksikal dengan pernapasan (pulsus paradoxus) akan ditemui pada kasus hipovolemia, perikarditis, tamponade jantung, asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Sementara pada pasien dengan gangguan katup / sekat jantung akan dijumpai denyut nadi yang teraba bergetar (thrill). Tekanan darah merupakan turunan dari fungsi kardiovaskuler. Pemantauan tekanan darah harus dilakukan setelah pemantauan denyut nadi. Pada gangguan sirkulasi yang ditandai dengan denyut nadi yang terasa lemah, ireguler hampir dapat dipastikan bahwa pengukuran tekanan darahnya menunjukkan nilai rendah. Sehingga dengan demikian tekanan darah yang rendah merupakan tanda lambat dari adanya gangguan sistem kardiovaskuler yang tidak bisa terkompensasi oleh auto regulasi tubuh. Namun sebaliknya, tekanan darah tinggi bukan merupakan pertanda bahwa sirkulasi pasien adalah baik. Tekanan darah tinggi menandakan adanya konstriksi pembuluh darah yang bisa merupakan akibat dari kompensasi awal tubuh saat hipovolemia, adanya penyempitan dan kekakuan pembuluh darah (aterosklerosis ataupun pre / eklampsia, dll). Tekanan darah yang sangat tinggi akan meningkatkan risiko terjadinya stroke hemoragik yang bisa berakibat fatal.



Early Warning Score for Emergency Calling system



Ginjal merupakan organ yang bisa memberikan tanda awal adanya gangguan sirkulasi. Fungsi ginjal sangat tergantung pada volume dan tekanan hidrostatik darah dalam sistem sirkulasi. Hipovolemia ataupun tekanan hidrostatik darah yang rendah akan menurunkan aliran filtrasi darah oleh ginjal. Sebagai akibatnya akan dijumpai penurunan jumlah produksi urine. Selain jumlah produksi urine yang menurun, akan dijumpai pula pemekatan urine yang dihasilkan. Produksi urine juga akan menurun pada keadaan rusaknya parenkim ginjal (intra renal) akibat pengaruh obat, infeksi ataupun gangguan sirkulasi pre renal. Pada keadaan obstruksi saluran kemih (post renal) karena batu, peradangan ataupun keganasan, produksi urine juga akan berkurang. Dalam sistem EWSEC, parameter sirkulasi yang dinilai meliputi frekuensi denyut nadi, tekanan darah sistolik dan jumlah produksi urine seperti pada tabel berikut: Skor EWSEC Frekuensi nadi TD sistolik Prod. Urine



3



2



1



0



1



2



3



≤ 40



41 - 50



51 - 100



101 – 110



111 - 130



≥ 131



< 70



71 - 80



81 - 100



101 - 199



< 10ml/j



< 20ml/j



200



NEUROLOGI Gangguan neurologi pasien bisa terjadi akibat akibat iskemia, kerusakan struktur otak atau kerusakan akibat metabolik ataupun infeksi. Identifikasi terhadap gangguan neurologi yang ada sangat berguna dalam penanganan pasien selanjutnya untuk meminimalkan kerusakan otak sekunder. Pemeriksaan neurologi yang dilakukan serial akan sangat membantu dalam penanganan pasien. Setiap perubahan yang ditemukan dalam pemeriksaan merupakan indikator yang sensitif dan harus dikaji ulang. Misalnya, adanya penurunan tingkat kesadaran yang tidak disertai lateralisasi bisa diakibatkan oleh adanya peningkatan tekanan intrakranial, hidrosefalus, demam, keracunan ataupun akibat gangguan metabolik yang memerlukan penanganan sesegera mungkin. Pemeriksan neurologi di ruang rawat dilakukan dengan cara menilai Alert, Verbal, Pain atau Unresponsive (AVPU). Dan bila tenaga yang terlatih tersedia, maka penilaian neurologi hendaknya dilakukan berdasarkan skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale / GCS), seperti tercantum pada tabel berikut: Skor EWSEC AVPU



3



Unresponsiv e



2



1



0



1



Pain



Voice



Alert



Agitasi/Gelisah



15



14



GCS



MODUL V Early Warning Score for Emergency Calling system



2



3



9 - 13



≤8



TEMPERATUR Panas tubuh dihasilkan oleh reaksi kimia akibat metabolisme sel. Peningkatan suhu tubuh ditimbulkan oleh peningkatan produksi panas tubuh akibat peningkatan metabolisme sel seperti pada aktivitas fisik, tirotoksikosis, trauma, peradangan, dan infeksi. Selain itu peningkatan suhu tubuh juga bisa diakibatkan karena gangguan dalam melepaskan panas ke lingkungan sekitar seperti pada abnormalitas kelenjar keringat, gagal jantung kongestif, atau bila suhu lingkungan lebih tinggi dibandingkan dengan suhu tubuh. Dengan demikian, suhu tubuh bisa menjadi panduan dalam memperkirakan apa yang terjadi pada pasien. Pada keadaan normal, suhu tubuh berkisar antara 36° - 38° C, bervariasi dalam 24 jam dan mengikuti pola diurnal. Pengukuran suhu biasanya dilakukan di lipat ketiak, mulut atau di rektal. Nilai suhu tubuh yang dinilai dalam EWSEC adalah sebagai berikut: Skor EWSEC Suhu tubuh



3



2



1



0



1



2



3



≤ 35



35.1 - 36



36.1 - 38



38.1 – 38.5



38.6 - 40



≥ 40



Parameter Penilaian Early Warning Score for Emergency Calling



Early Warning Score for Emergency Calling system



Skor EWSEC Respirasi SpO2 Denyut TD sistolik Urine AVPU



3



2



≤ 90 < 70 200



≥ 131



9 - 13 38.6 - 40



≤8 ≥ 40



≤8 91 - 93 ≤ 40 71 - 80 50%



tambahan



O2 > 6 lpm



O2 > 8 lpm



FiO2 > 30%



Ketergantungan



Merintih



O2 > 4 lpm thd ventilator Tambahan nilai 2 untuk pasien yang mendapat nebulizer selama 15 menit atau untuk pasien yang mual / muntah setelah pembedahan.



Algoritma Aktivasi EWSEC Penilaian EWSEC dilakukan terhadap semua pasien yang potensial berkembang menjadi pasien sakit kritis : 



Pasien yang keadaan umumnya dinilai tidak nyaman (uneasy feeling),







Pasien yang datang ke unit gawat darurat,



Early Warning Score for Emergency Calling system







Pasien dengan keadaan hemodinamik tidak stabil,







Pasien yang baru dipindahkan dari ruang rawat observasi ketat ke ruang rawat dengan observasi lebih rendah,







Pasien pasca operasi,







Pasien dengan penyakit kronis,







Pasien yang perkembangan penyakitnya tidak menunjukkan perbaikan,







Pasien yang akan pindah tempat rawat (antar ruang rawat, ruang rawat ke rumah, dan antar rumah sakit).



Aktivasi EWSEC adalah mengikuti alur sebagai berikut : 1. Semua pasien yang memenuhi kriteria tersebut di atas harus dilakukan pemeriksaan dan pencatatan EWSEC oleh perawat, 2. Bila nilai EWSEC adalah 1, maka pemantauan selanjutnya dilakukan setiap 4 jam, 3. Bila nilai EWSEC adalah 2 maka dilakukan pemantauan setiap 1 jam, 4. Bilai nilai EWSEC adalah 3 – 4, pemantauan dilakukan minimal tiap jam, 5. Bila terdapat nilai EWSEC 2 di sembarang parameter, maka dilakukan pemantauan tiap 30 menit, 6. Bila nilai EWSEC ≥ 5 dan/atau terdapat peningkatan nilai EWSEC ≥ 2 dan/atau pasien membutuhkan perhatian khusus, maka harus dilakukan aktivasi/pemanggilan Rapid Response Team (RRT), 7. Rapid Response Team harus hadir di tempat kejadian dalam 5 menit sejak dilakukan aktivasi/pemanggilan RRT, 8. Rapid Response Team harus melakukan pemeriksaan dan penanganan pasien dalam waktu 30 menit sejak tiba di tempat kejadian aktivasi RRT, 9. Bila pasien tidak mengalami perbaikan dalam 30 menit sejak dilakukan penanganan oleh RRT, maka RRT harus mengkonsultasikan kepada dokter spesialis yang terkait, 10. Bila pasien tidak mengalami perbaikan dalam 30 menit sejak dilakukan konsultasi dengan dokter spesialis terkait, maka RRT harus mengkonsultasikan kepada intensivist yang ada, 11. Dalam 30 menit setelah dilakukan konsultasi dengan intensivist, maka harus sudah ada kepastian mengenai tindakan selanjutnya terhadap pasien, termasuk



Early Warning Score for Emergency Calling system



di dalamnya adalah transfer pasien ke ruang rawat intensif (HCU/ICU/ICCU) ataupun pembicaraan mengenai pengakhiran tindakan pertolongan. 12. Pencatatan EWSEC 



Pemantauan EWSEC harus dilaporkan secara tertulis di dalam catatan perkembangan terintegrasi (Integrated Progress Notes / IPN).







Keputusan untuk mengaktifkan EWSEC harus dicatat dalam stiker khusus yang ditempelkan di dalam IPN. EARLY WARNING SCORE for EMERGENCY CALLING RUANGAN : TANGGAL : NILAI EWSEC : OBSERVER PERTAMA : WAKTU AKTIVASI : HASIL : JIKA TIDAK ADA PERBAIKAN KLINIS DALAM 30 MENIT SEJAK OBSERVASI PERTAMA, HUBUNGI RAPID RESPONSE TEAM



ALGORITMA AKTIVASI EWSEC



Early Warning Score for Emergency Calling system



NILAI EWSEC / PedEWSEC 1



2



Pemantauan tiap 4 jam



Pemantauan tiap 1 jam Membaik



Nilai 2 di sembarang parameter Sembarang nilai merah pada PedEWSEC



3-4



Pemantauan min tiap jam Membaik



Pemantauan dan penanganan dalam 30 menit berikutnya Membaik Tidak membaik



Nilai EWSEC ≥ 5 dan / atau Peningkatan nilai EWSEC ≥ 2 dan/atau Membutuhkan perhatian khusus



Cardiac arrest



Panggil RRT



RRT hadir dalam 5 menit sejak dipanggil



Penanganan pasien dalam 30 menit sejak aktivasi RRT



Respon (+)



Respon (-)



Algoritma Code Blue



Lapor ke dokter spesialis, penanganan dalam 30 menit Respon (-)



Lapor ke intensivist, penanganan dalam 30 menit



Rawat HCU / ICU / ICCU End of life discussion



MODUL VI CONTOH KASUS Early Warning Score for Emergency Calling system



Respon (+)



Early Warning Score for Emergency Calling system



1. Seorang laki-laki muda datang ke UGD pukul 19.30 WIB dengan dipapah oleh seorang temannya. Pasien berjalan tertatih sambil membungkukkan badan. Kemudian pasien dibaringkan di tempat tidur pasien sambil tetap membungkukkan badan. Saat ditanyakan identitas dan keluhan, pasien menjawab sambil sesekali menyeringai tampak seperti kesakitan sambil memegangi perutnya dan menekukkan kedua kaki. Pada pemeriksaan fisik didapatkan RR: 16x/menit, pola pernapasan abdominal dan auskultasi terdengar vesikuler. Perabaan nadi pasien terasa cepat FN: 110 dpm, nadi terasa penuh dan sesekali teraba ireguler. TD: 127/89 mmHg. Suhu pasien 37.8° C. Saat dilakukan pemeriksaan abdominal, pasien mengeluh sakit saat disentuh perut sisi kanan, teraba defense muskular. Terdapat nyeri lepas di perut sisi kiri pasien. Sambil menunggu hasil pemeriksaan laboratorium pasien menunggu di UGD dengan posisi miring sambil menekukkan kaki. 2. Ny. B, 60 tahun masuk ke UGD dengan berjalan sambil dipapah suaminya. Suami pasien agak kesulitan memapah istrinya yang gemuk dan pendek. Sambil berulangkali menyeka keringatnya, pasien mengatakan bahwa sekitar satu jam lalu saat menonton televisi sesudah makan malam, dadanya terasa berdebar-debar, tidak terasa sakit namun keluar keringat dingin. Pasien merasa seperti masuk angin, maka ia meminta untuk dikerok. Karena tidak membaik, pasien dibawa ke rumah sakit. Pasien berbicara pendek-pendek dan sesekali nampak tersengal. Saat akan dibaringkan untuk diperiksa, pasien memilih duduk karena merasa lebih nyaman. Pada pemeriksaan fisik didapatkan FP: 20 – 25 bpm, dangkal dan pendek. Pada auskultasi terdengar rhonki di kedua paru-paru. Tangan pasien terasa dingin, nadi teraba ireguler dan lemah, dengan frekuensi 110 dpm, TD: 100/60 mmHg. Pasien mendapatkan O2 10 lpm memakai FM dan SpO2 yang didapatkan 94-96%. Pada EKG didapatkan gambaran sinus aritmia dengan ST elevasi. 3. Seorang wanita paruh baya datang ke UGD dengan menggunakan brankar. Pasien terbaring dengan tangan kanan pasien nampak meremas tangan keluarga yang mengantar dan kaki kiri pasien terjuntai. Pandangan pasien



Early Warning Score for Emergency Calling system



nampak kosong. Air liur nampak mengalir di pipi pasien dan baju pasien nampak kotor dengan sisa makanan yang masih agak basah. Pada pemeriksaan didapatkan suara napas pasien yang seperti orang berkumur dengan frekuensi pernapasan 25 bpm, dangkal. Perabaan nadi terasa lemah, ireguler dan cepat dengan frekuensi denyut 120 dpm. Pengukuran tekanan darah menunjukkan 169/85 mmHg. Ekstremitas pasien teraba dingin. Dokter sulit untuk berkomunikasi dengan pasien, gerakan ekstremitas pasien tidak terarah dan pasien hanya mengerang. Kemudian pasien dilakukan pemeriksaan laboratorium dan direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan imaging. 4. Pasien seorang wanita 27 tahun datang dari ruang operasi pasca sectio cesaria atas indikasi ketuban pecah dini. Teknik anestesi yang digunakan adalah dengan blok sub arachnoid (blok spinal). Di ruang rawat pasien mengeluh kehausan dan sering minum. Pasien nampak agak pucat dan lemas. Pada pemeriksaan awal pasca operasi didapatkan TD: 100/65 mmHg, FN: 90 dpm, isi nadi dirasa cukup tapi ireguler, FP: 16 bpm, urine pekat ± 0,5ml/kgBB. Pasien mengatakan agak pusing dan kemudian diberikan paracetamol 500 mg p.o. Dua jam kemudian, pasien mengeluhkan perutnya terasa begah dan agak sulit saat menarik napas. Pasien meminta duduk, namun setelah duduk pasien mengatakan makin pusing dan kemudian pasien pingsan. Saat diperiksa, nadi teraba sangat lemah, cepat dengan frekuensi nadi 120 dpm, TD: 70/40 mmHg, frekuensi napas 20 bpm, dangkal. Ekstremitas teraba dingin dan perut nampak tegang. 5. Tn. A, 55 tahun dirawat di ruang rawat internis selama 2 hari. Diagnosis awal pasien adalah observasi febris dengan leukosit 33.000/µL. Pasien terbaring dengan posisi kepala lebih tinggi. Bibir pasien nampak pucat dan kering. Pasien nampak enggan berbicara, jika berbicara sering terputus dengan helaan napas. Pasien mengatakan perutnya terasa begah dan mengganggu saat bernapas/berbicara. Pada pemeriksaan pukul 06.00 didapatkan FP: 20 bpm, pernapasan abdominal, FN: 90-110 dpm, ireguler, isi cukup, TD: 145/85 mmHg, urine pekat seperti



Early Warning Score for Emergency Calling system



teh 40ml/2 jam, suhu aksila 38.5°C. Dua jam kemudian saat posisi pasien dimiringkan untuk mandi, pasien mengerang dan kemudian tidak sadarkan diri, pernapasan melambat, nadi pasien teraba sangat lemah, cepat dan ireguler, TD: 60/palpasi, pengukuran SpO2 tidak terbaca, saat dilakukan EKG tampak gambaran sinus aritmia, HR: 130 dpm disertai ST elevasi. 6. Pasien seorang laki-laki 40 tahun bertubuh tinggi, dirawat di ruang rawat pasca operasi kolostomi 2 hari yang lalu atas indikasi tumor intra lumen. Ini merupakan operasi ke-2 pasien. Seminggu sebelumnya pasien menjalani laparatomi reseksi anastomosis kolon di rumah sakit luar. Tapi karena terjadi leakage, pasien akhirnya di kolostomi. Pada pasien diinstruksikan puasa (NPO) selama 7 hari. Cairan masuk pada pasien dibatasi 1500 cc/24 jam karena dari anamnesa dengan keluarga dikatakan bahwa pasien dulu pernah didiagnosis lemah jantung. Pasien tampak lemas dan mengeluh kerongkongan kering. Kulit pasien tampak kering dan kolostomi pasien berwarna agak gelap dengan produksi minimal. Pasien bernapas biasa, FP: 16 bpm, FN: 90 dpm, nadi agak lemah namun teratur, TD: 135/88 mmHg, suhu aksila 36.8°C. Perawat mengukur urine semalam sebanyak 30 ml, berwarna pekat. Pada siang hari, pasien makin sering mengeluhkan kehausan. Pada pemeriksaan didapatkan FN: 100 dpm, nadi lemah, ireguler, TD: 140/80 mmHg, suhu aksila 38° C. Perawat siang membuang urine sebanyak 30 ml, dengan warna yang tampak main pekat dibandingkan urine sebelumnya. Pada pemeriksaan sore hari, pasien berbicara seperti mengigau. Frekuensi napas 16 bpm, FN: 110 dpm, lemah, ireguler, TD: 150/90 mmHg, suhu aksila 38 ° C, kantung urine kosong. 7. Pasien C, laki-laki 20 tahun masuk ruang rawat 20 jam yang lalu dengan keluhan demam disertai sakit kepala sejak 2 hari yang lalu. Demam dan sakit kepala muncul periodik, mereda dengan minum Panadol. Komunikasi dengan pasien harus dilakukan dengan suara keras karena pasien mengatakan agak sulit mendengar. Pasien merasa tidak nyaman jika berbaring miring sisi kiri karena telinga kanan akan terasa penuh. Pada telinga kanan pasien nampak



Early Warning Score for Emergency Calling system



keluar cairan kental berwarna putih kekuningan. Pasien dirawat satu malam dan direncanakan untuk rawat jalan keesokan harinya. Pemeriksaan tanda vital pagi hari menunjukkan nilai normal. Pasien mengeluhkan sakit kepala yang lebih sering dibandingkan kemarin dan dikatakan akan diberikan obat setelah makan pagi. Setelah makan pagi dan minum obat pasien tidur. Saat tidur, pasien muntah dan kemudian pernapasan terlihat tidak nyaman. Frekuensi pernapasan 30-40 bpm, dangkal, suara napas terdengar seperti orang berkumur. Dari auskultasi terdengar rhonki kasar terutama di paru sisi kanan. Nadi pasien teraba penuh, cepat, frekuensi 100 dpm, TD: 150/75 mmHg. Pasien tidak merespon saat dipanggil, tapi tangan pasien bergerak saat diberikan rangsang nyeri pada pasien. Pada monitor didapatkan SpO2 90-92% dengan room air, FN: 120 dpm, TD: 160/90 mmHg.



Early Warning Score for Emergency Calling system



Referensi



1. Iyengar A, Baxter A, Forster AJ. Using Medical Emeregency team to detect preventable adverse events. Critical Care 2009; 13:R126. )rvational



study



2. Thorpe JG, Love N, Wrightson J, Walsh S, Keeling N. The value of using Modified Early Warning Score (MEWS) in surgical in patients: a prospective observational study. Ann R Coll Surg Engl 2006; 88: 571-575.



3. Baines



E, Kanagasundaram NS. Early Warning Scores. How do you know when



patients are so ill that’s time to act? StudentBMJ 2008; 16.



4. Rotherham Doncaster and South Humber Mental Health NHS. The Early Warning Score procedure for the physical observation of the suddenly ill or restrained patient.



5. Guyton AC,



Hall JE. Textbook of Medical Physiology, 11th ed. Elsevier Saunders,



Philadelphia 2006.



Early Warning Score for Emergency Calling system