MODUL Etika Kristen [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



BAB I MENGENAL ETIKA KRISTEN A. Pendahuluan Makna Etika Kristen sangat penting bagi kehidupan orang Kristen. Etika Kristen sebagai ilmu mempunyai fungsi dan misi yang khusus dalam hidup manusia yaitu perannya sebagai petunjuk dan penuntun tentang bagaimana manusia sebagai pribadi dan kelompok harus mengambil keputusan tentang apa yang seharusnya berdasarkan kehendak dan Firman Tuhan. Khusus bagi kehidupan umat Kristen haruslah berpedoman pada ketentuan Etika Kristiani yang mencakup setiap aspek kehidupan dalam ruang lingkup individu, keluarga, kelompok sosial maupun dalam bernegara. Bicara tanggung jawab berarti bicara kewajiban menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut). Iman dan Etika Kristen haruslah berjalan bersamaan, tindakan etis dan tanggung jawab melibatkan kepercayaan yang dipertaruhkan. Alkitab menjelaskan dan memberikan petunjuk sebagai standard bagi umat Kristen sebagai pola berfikir dan perbuatan sebagai norma yang berlaku dalam kehidupan umat Kristen. B. Pengertian Etika Istilah “etika” berasal dari kata ethos (Yunani) yang artinya pemukiman, perilaku, kebiasaan. Berikut beberapa pandangan dari beberapa ahli tentang istilah “etika” yaitu: (R.M. Drie S. Brotosudarmo, 2007:2-5)  Dr J. Verkuyl. Ethos berarti kebiasaan, adat. Demikian juga Ethikos berarti kesusilaan, perasaan batin, kecenderungan hati yang membuat seseorang melakukan perbuatan.  Robin W. Lovin. Ethos yang berarti adat (Inggris: Custom), sifat (Inggris: Character). Arti tersebut menunjuk pada nilai sifat, keyakinan, praktik kelompok, ada hubungannya dengan kultur atau kebudayaan.  C. H. Preisker. Ethos berarti kebiasaan (Inggris: habit), kegunaan (Inggris: used), adat (Inggris: custom), peraturan, kultus dan hukum. Dalam kaitannya dalam bahasa Latin, etika disebut mores yang berarti adat atau custom (Ing). Istilah ini menunjuk pada kelakuan umum, sehingga perbuatan itu hanya secara lahiriah dan dapat dilihat. Dalam bahasa Latin disebut mos (tunggal) dan mores (jamak) yang menjelaskan kehendak, tingkah laku, adat istiadat, kebiasaan, cara hidup, berkelakuan, baik dan buruk. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika dijelaskan sebagai ilmu pengetahuan akhlak atau moral. Manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya. Kesadaran tersebut termasuk apa yang dilakukannya. Kesadaran inilah yang disebut dengan kesadaran etis. Kesadaran etis adalah kesadaran tentang norma-norma yang ada di dalam diri manusia. Etika berhubungan erat dengan kelakuan manusia dan cara manusia melakukan perbuatannya. Kelakuan yang dinyatakan dengan perbuatan itu menunjuk pada dua hal, yakni positif dan negatif. Pengertian positif menunjuk pada hal yang baik. Sedangkan pengertian negatif menunjuk kepada hal yang jahat atau tidak baik. Etika hendak mencari ukuran baik, sebab yang tidak baik atau tidak sesuai dengan ukuran baik itu adalah buruk atau jahat. Oleh sebab itu, tugas etika adalah menyelidiki, mengontrol perbuatan-perbuatan, mengoreksi dan membimbing serta mengarahkan tindakan yang seharusnya dilakukan agar dapat memperbaiki tindakan atau perbuatannya. Pengertian perbuatan positif adalah “apa yang baik” secara umum atau memakai ukuran yang merupakan pertimbangan dari tuntutan masyarakat dan sesuai pula dengan hati nurani atau kata hati. Sedangkan menurut Robert P. Borrong (2006:7), Etika adalah ilmu atau ajaran tentang yang baik dan yang buruk dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan seseorang (individu) maupun 1



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



masyarakat (kolektif). Moral adalah perilaku yang baik, benar dan tepat dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bersama (masyarakat). Nilai-nilai yang terkandung dalam etika dan moral Kristen adalah nilai-nilai bersumber dari Firman Tuhan. Nilai-nilai yang diyakini umat beragama sebagai kebenaran mutlak dan karena itu mengungguli nilai-nilai yang ada dalam tradisi maupun filsafat, termasuk filsafat politik. C. Etika Kristen Etika Kristen berlandasan kepercayaan kepada Allah, yang menyatakan diri di dalam Yesus Kristus. Allah Bapa menyatakan diri di dalam Yesus Kristus sebagai Pencipta langit dan bumi, yang menciptakan dunia dan segala yang ada di dalamnya, yang menciptakan manusia menurut gambar dan rupaNya, yang melaksanakan rencanaNya mengenai dunia dan manusia, “dengan tangan yang terkekang”. Titik pangkal inilah yang bersifat menentukan bagi Etika Kristen.           Pandangan tentang manusia menurut agama-agama suku ini tidak ada tempat bagi kesusilaan dalam arti yang khusus. Sebab-sebabnya sebagai berikut: Pertama: manusia, sebagai individu yang bertanggung jawab kepada Allah, menjadi tidak tempat kedudukannya. Kedua, Hukum Allah di dalam agama-agama primitif itu tidak dianggap sebagai hukum yang normatif, yang menggerakkan manusia mengambilkeputusan-keputusan etis, tetapi dianggap sebagai semacam hukum kodrat, sebagai tata tertib kosmis. Ketiga, dalam agama-agama primitif, Etika tidak dapat tampil ke depan, karena agama-agama primitif itu tidak dapat menerima pertentangan-pertentangan yang mutlak.           Pandangan tentang manusia menurut agama Hindu adalah atman dan pada hakikatnya “atman” itu ialah Brahman. Manusia tidak mempunyai kehidupan pribadi dan dan tidak mempunyai tanggung jawab perseorangan. Karena disesatkan oleh avidya (ketidaktahuan), manusia menganggap gejala-gejala kosmis itu sebagai suatu kenyataan. Agama Hindu tidak mengenal kepercayaan akan Allah, Sang Pencipta. Karena itulah tak dikenalnya pula kepercayaan akan penciptaan manusia menurut gambar Allah. Agama Hindu tidak melihat garis batas antara Allah dengan ciptaan-Nya. Dan dengan demikian tidak ada tempat bagi Etika di dalam arti yang sesungguhnya.           Pandangan tentang manusia menurut agama Buddha adalah suatu “nama rupa”, artinya ia terdiri dari “nama” (roh) dan “rupa” (tubuh) di dalam kehidupan psiko-fisis. Manusia itu bukanlah suatu “kenyataan” yang tetap. Di dalam agama Buddha, Allah tidak diakui sebagai Pencipta. Agama Buddha tidak mengakui bahwa manusia dijadikan menurut gambar Allah. Etika (dhamma) agama Buddha hanya merupakan suatu cara untuk meluputkan diri dari segala macam Etika. Menurut agama Buddha, kehidupan manusia itu berdasarkan sangkaan. Tidak berarti dan tidak bertujuan. Dan sejarah pun tidak ada artinya dan tujuannya. Kata terakhir di dalam agama Buddha ialah: meleburnya kehidupan. Kata terakhir di dalam Injil ialah: penyelamatan dari dosa, menuju kepada hidup kekal di dalam persekutuan dengan Allah.           Menurut Kalam (dogmatika) Islam. Kedudukan manusia di dalam alam kejadian mendapat perhatian besar di dalam dogmatika Islam. Sebab agama Islam mengakui Allah sebagai Pencipta. Di dalam agama Islam tidak terdapat hubungan antara Bapa dan anak, sebagaimana terdapat dalam Alkitab, bila mengatakan tentang hubungan antara Allah dan manusia. Tidak disebutkan pula tentang manusia yang dijadikan menurut gambar Allah. Oleh karena itu, di dalam agama Islam juga tidak terdapat perjanjian antara Allah dan Manusia, dimana manusia bertindak sebagai sekutu Allah, di mana manusia dipanggil kepada kepatuhan sukarela dan di mana manusia mendapat kemerdekaan yang relatif secara makhluk. Manusia hanya dipandang sebagai abd. Itulah juga sebabnya, mengapa di dalam agama Islam tanggung jawab etis manusia tidak kelihatan dengan sewajarnya. Di dalam dogmatika ortodoks Islam, tanggung jawab etis manusia 2



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



tidak tampil ke depan dengan sewajarnya. Sebab yang pertama ialah: karena kedaulatan Allah hanya dipandang sebagai kedaulatan kekuasaan-Nya. Di dalam Alkitab, Allah yang diakui oleh Alkitab itu adalah juga kedaulatan kasih-Nya, hikmat-Nya, keadilan-Nya, kesucian-Nya. Kedua, tanggung jawab etis manusia tidak tampak dengan sewajarnya, karena di sini tidak ada tempat bagi pengertian, yang di dalam ajaran iman Kristen disebut “Pemeliharaan oleh Allah” (providential), Agama Islam hanya menganggap bahwa ada satu hubungan saja antara Allah dan hasil pekerjaan-Nya, yakni hubungan antara khalik dan makhluk.           Dalam pandangan tentang manusia menurut agama Islam tidak terdapat pandangan tentang Allah ini, yakni Allah Bapa, dan tentang manusia sebagai anak, yakni anak yang berdosa, anak Bapa ini. Inilah salah satu sebab dari kenyataan yang mengherankan, bahwa di dalam agama Islam, Etika tidak pernah mendapat kedudukan sendiri di samping Kalam dan Fiqh.           Pandangan evolusi biologis tentang manusia ialah menganggap manusia itu sebagai binatang yang menyusui yang cerdas, yang pertumbuhannya berlangsung menurut proses evolusi, dari tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Pandangan ini menyangkal Allah dan pernyataan-Nya. Di sini “penyelidikan ilmiah” dijadikan ukuran untuk menentukan yang baik dan jahat. Lagi pula di sini “penyelidikan ilmiah” itu terbatas kepada penyelidikan biologios, secara kimiawi dan fisik seakan-akan manusia hanya dapat diterangkan menurut proses kimiawi dan biologis.           Pandangan manusia menurut komunisme adalah “makhluk biologis ekonomis”. Sebagai makhluk biologis, ia pun “binatang menyusui yang cerdas”. Atas dasar pandangan tentang manusia ini, materialisme dialetika menyusun suatu Etika tertentu. Teori revolusi menggantikan susila. Etika materialisme dialetis adalah: Sadarlah akan kedudukanmu dalam perjuangan di tengah masyarakat dan berbuatlah sesuai dengan kedudukanmu.           Di dalam Kitab Kejadian 1 terdapat kalimat-kalimat yang terkenal mengenai kejadian manusia, “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (ayat 27). Dalam Perjanjian Baru Yesus Kristus disebut gambar Allah ( 2 Kor 4:4; Kol 1:15).          Bagaimanakah arti berita tentang manusia ini dan apakah konsekuensi pandangan tentang manusia ini bagi Etika? 1. Manusia itu makhluk dan akan tetap menjadi makhluk untuk selama-lamanya. Manusia bukanlah Allah dan manusia juga tidak mempunyai zat ilahi atau kodrat ilahi. Tidak ada “analogi entis” (persamaan zat) antara manusia dan Allah. 2. Manusia dijadikan sebagai makhluk somatic-psikis (berjiwa raga). Allah membentuk manusia (di dalam bahasa Ibrani:haadam) dari debu tanah (adama) dan menghembuskan nafas kehidupan (nismat hajjim) ke dalam hidungnya (Kej 2:7). 3. Hubungan Allah-manusia dan manusia-Allah itu dinyatakan dalam berita tentang manusia yang dijadikan menurut gambar Allah. Karena itu yang harus menjadi salah satu pokok masalah Etika ialah: Apakah yang kau perbuat dengan mandate yang diberikan Allah kepadamu, ketika Allah menjadikan engkau menurut gambar dan rupa-Nya? 4. Akhirnya dalam hubungan ini harus ditekankan, bahwa Allah menciptakan manusia supaya manusia itu berbakti secara sukarela. Allah memberiukan kebebasan memilih kepadanya. Kedaulatan ilahi itu diserahkan kepada manusia secara sukarela di dalam kasih. Kebebasan itu termasuk hakikat manusia dank arena itu termasuk inti Etika Kristen. Kata kebebasan menyatakan panggilan yang pertama dan hak tertinggi yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Beberapa catatan tentang asal dosa, dan hakikat dosa akan dijelaskan lebih mendalam pada pembahasan berikut ini. 3



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



a. Asalnya dosa Di dalam agama-agama dan pandangan tentang dunia Kristen pada garis besarnya terdapat jawaban-jawaban atas pertanyaan asalnya kejahatan sebagai berikut. Menurut agama Hindu dan berbagai aliran mistik panteistis, sumber kejahatan itu harus dicari pada avidya, ketidaktahuan. Kejahatan itu hanya semu saja. Manusia buta karena ketidaktahuan itu, menganggap itu, menganggap kejahatan sebagai kenyataan. Akan tetapi sebenarnya kejahatan itu tidak ada. Pandangan agama Buddha mencari asalnya kejahatan di dalam “tanha”, nafsu, keinginan, yang menggerakkan prioses Bhava. Dalam pandangan evolusi biologis, asalnya kejahatan itu dicari pada berasalnya kita dari binatang. Menurut pandangan ini, kita masih mempunyai sisa-sisa sifat yang buruk dari keturunan yang rendah. Tetapi lambat laun kita akan mengatasi sisa-sisa kejahatan ini dalam pertumbuhan ke taraf yang lebih tinggi. Pandangan tentang dunia yang dialektis materialis mencari asalnya kejahatan di dalam keadaan social ekonomi. Jika system social ekonomi berubah, maka manusia pun berubahlah. Menurut Alkitab, inisiatif (prakarsa) untuk berbuat dosa itu tidak keluar dari manusia, tetapi dari iblis. Asalnya dosa itu terdapat di dunia iblis. Tetapi karena kesalahan sendiri, manusia telah mengatakan ya kepada dosa dan dengan demikian ia menjadi hamba dosa (Yoh 8:34). Karena manusia ingin menjadi sama seperti Allah, iamenyerah kepada iblis, sehingga sejak itu dosa keluar dari iblis dan manusia bersama-sama. b. Hakikat dosa Apakah hakikat dosa itu? Kata yang terbanyak dipergunakan ialah kata dalam bahasa Yunani hamartia (di dalam bahasa Ibrani chet atau chatta). Hamartia berarti: luncas (luput, tidak mengenai sasaran, menyeleweng dari tujuan); seperti anak panah dapat tidak mengenai sasarannya, begitulah pula manusia yang berdosa itu dapat tidak mencapai tujuannya. Kata hamartia itu diterjemahkan dengan dosa. Pandangan Alkitab tentang hakikat dosa adalah bahwa dosa itu tidak dimulai pada kejasmanian, tetapi justru pada inti manusia, di dalam hatinya, di dalam hubungannya dengan Allah. Jika hubungan di situ diserang oleh kesombongan, maka jasmani pun diperalat oleh dosa. Sombong mengakibatkan meluapnya hawa nafsu. Jika hati tak jujur di hadapan Allah, maka badan kita pun disalahgunakan untuk cabul, kelahapan, loba akan uang, boros dan sebagainya. D. Pandangan Kristen Mengenai Etika Ada beberapa karakteristik yang membedakan mengenai etika-etika Kristen, setiap karakteristik tersebut akan dibahas sebagai berikut (Norman L. Geisler, 2000:24-27): 1. Etika kristen berdasarkan kehendak Allah Etika Kristen merupakan satu bentuk sikap yang diperintah dari atas. Kewajiban etis merupakan sesuatu yang seharusnya kita lakukan. Kewajiban ini merupakan ketentuan dari atas. Tentu saja, perintah etis yang diberikan Allah itu sesuai karakter moral-Nya yang tidak dapat berubah. Maksudnya adalah, Allah menghendaki apa yang benar sesuai dengan sifatsifat moral-Nya sendiri. “Jadilah kudus, sebab Aku ini kudus”, Tuhan memerintahkan Israel (Imamat 11:45). “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna’, kata Yesus kepada murid-muridnya (Matius 5:48). “Allah adalah kasih” (1 Yohanes 4:16), dan dengan demikian Yesus berkata,”Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:39). Singkatnya, etika Kristen didasarkan pada kehendak Allah, tetapi Allah tidak pernah menghendaki apapun yang bertentangan dengan karakter moral-Nya yang tidak berubah. 2. Etika Kristen bersifat mutlak 4



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



Karena karakter moral Allah tidak berubah (Maleakhi 3:6; Yakobus 1:17), maka kewajibankewajiban moral yang berasal dari natur-Nya itu bersifat mutlak. Maksudnya adalah, kewajiban-kewajiban tersebut selalu mengikat setiap orang di mana-mana. Tentu saja, tidak setiap kehendak Allah harus berasal dari natur-Nya yang tidak berubah. Ada beberapa hal yang pada dasarnya sesuai dengan natur-Nya tetapi dengan bebas mengalir dari kehendakNya. Misalnya, Allah memilih untuk menguji ketaatan moral Adam dan Hawa dengan melarang mereka makan buah dari pohon tertentu (Kejadian 2:16-17). Meskipun secara moral Adam dan Hawa bersalah karena tidak menaati perintah itu, kita tidak diikat oleh perintah tersebut saat ini. Perintah tersebut didasarkan pada kehendak Allah dan tidak harus berasal dari natur-Nya. 3. Etika Kristen berdasarkan wahyu Allah Etika Kristen didasarkan pada perintah-perintah Allah, wahyu yang bersifat umum (Roma 1:19-20; 2:12-15 dan khusus (Roma 2:18; 3:2). Allah telah menyatakan diri-Nya baik melalui alam (Maz 19:1-6) dan dalm Kitab Suci (Maz 19:7-14). Wahyu umum berisikan perintah Allah bagi semua orang. Wahyu khusus mendeklarasikan kehendak-Nya untuk orang-orang percaya. Etapi di dalam kedua hal tersebut, dasar dari tanggung jawab etis manusia adalah wahyu ilahi. Gagal untuk mengenali Allah sebagai sumber kewajiban moral tidak membebaskan siapapun juga, bahkan seorang ateis, dari kewajiban moralnya. Karena “apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi dirinya sendiri. Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka” (Roma 2:14-15). Maksudnya adalah, bahkan jika orang-orang yang tidak percaya tidak memiliki hukum moral di dalam pikiran mereka, mereka masih memilikinya tertulis dalam hati mereka. Bahkan jika mereka mengetahuinya melalui pengertian, mereka memperlihatkannya melalui kehendak hati. 4. Etika Kristen bersifat menentukan Karena kebenaran moral ditetapkan oleh Allah yang bermoral maka harus dilaksanakan. Tidak ada hukum moral tanpa si Pemberi moral; tidak ada perundang-undangan moral tanpa Pembuat undang-undang moral. Dengan demikan etika Kristen berdasarkan naturnya adalah preskriptif, bukan deskriptif. Etika berkaitan dengan apa yang seharusnya dilakukan, bukan dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Orang-orang Kristen tidak menemukan kewajiban-kewajiban etis mereka di dalam standar orang-orang Kristen tetapi di dalam standar bagi orang-orang Kristen di Alkitab. 5. Etika Kristen itu deontologis Sistem-sistem etis pada umumnya dapat dibagi ke dalam dua kategori, deontologis (berpusat pada kewajiban) dan teleologis (berpusat pada tujuan). Etika Kristen itu deontologis dalam arti bersikeras bahwa beberapa tindakan yang menghasilkan kegagalan itu tetap baik. Orangorang Kristen percaya bahwa salib bukan merupakan kegagalan hanya karena beberapa orang akan diselamatkan. Salib itu cukup bagi semua orang, walaupun hanya bermanfaat untuk mereka yang percaya. Etika Kristen bersikeras bahwa adalah baik untuk bekerja menentang kefanatikan dan rasisme, meskipun usaha itu mengalami kegagalan. Hal ini demikian karena tindakan-tindakan moral yang mencerminkan natur Allah itu baik, baik tindakan itu membawa hasil baik ataupuntidak. Kebaikan orang Kristen tidak di tentukan oleh undian. Di dalam hidup ini pemenang tidak selalu benar. 5



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



E. Implementasi Etika Kristen dalam Tanggung Jawab Pribadi Ciri etika Perjanjian Lama sangat sesuai dengan apa yang ditekankan dalam etika Perjanjian Baru. Banyak perintah etis dalam Perjanjian Baru disampaikan dalam konteks persekutuan dalam Kristus, yaitu jemaat yang hidup, belajar, dan beribadat bersama-sama serta melayani Kristus dalam dunia. Sebagai contoh, pasal-pasal utama tentang etika dalam Efesus 4-6 dimulai dengan panggilan untuk “hidup berpadanan dengan panggilan”. Itu berarti panggilan untuk menjadi anggota masyarakat Allah yang baru, mujizat pendamaian sosial kerohanian yang telah diadakan-Nya melalui Kristus. Norma-norma moral Pribadi dalam pasal-pasal itu dikemukakan atas dasar keanggotaan orang percaya sebagai umat tebusan Allah, yang diuraikan secara terinci dalam pasal-pasal sebelumnya. Dengan demikan salah satu cara yang mungkin untuk merakit sejumlah tuntutan moral yang Allah embankan atas individu adalah membaca pasal-pasal yang terdahulu mengenai masyarakat Israel dan menghasilkan suatu daftar yang mengandung implikasi-implikasi moral yang logis bagi individu. Misalnya, kalau Allah menginginkan masyarakat yang memberlakukan prinsip kesetaraan dan belas kasihan dalam bidang ekonomi, maka tiap-tiap orang dituntut untuk tidak menguntungkan diri sendiri dari kelemahan sesamanya. Kalau Allah menginginkan masyarakat hidup dengan adil dan diatur oleh hukum-hukum, maka hakim-hakim secara perorangan harus adil, tidak memihak ataupun menyeleweng. Dengan demikian orang dapat hidup sesuai dengan ciri-ciri sosial secara keseluruhan dan menarik hal-hal yang perlu bagi pribadi. Yang ditekankan ialah soal perspektif, yaitu: sifat persekutuan yang Allah Kehendaki dan menentukan sifat pribadi yang berkenan kepada-Nya. Dalam etika Perjanjian Lama unsurunsur sosial dan pribadi tidak dapat dipisahkan. Ada pertanggung jawaban pribadi yang tersirat dalam pertanyaan yang Allah tujukan kepada Adam, “Di manakah engkau” (Kej. 3:9), yang mencakup setiap orang yang diwakilinya. Demikian juga tanggung jawab orang untuk sesamanya secara tersirat terdapat dalam pertanyaan Allah kepada Kain, “Di manakah adikmu?” (Kej. 4:9). Pertanggungjawaban kepada Allah untuk diri sendiri dan untuk orang lain adalah hakikat kemanusiaan kita. Riwayat bangsa tebusan Allah dimulai dengan iman dan ketaatan seseorang, yaitu Abraham. Cerita-cerita tentang para bapak leluhur adalah contoh-contoh tentang kekuasaan, pemeliharaan dan kesabaran Allah itu di dalam kehidupan individu-individu, khususnya Yakub/Israel, yang menjadi jelas dan penting dalam sejarah bangsa Allah. Di Sinai perjanjian Allah dan Abraham demi keturunannya diperbarui dan diperluas hingga generasi yang menjadi umat tebusan Allah kemudian diterapkan kepada tiaptiap individu.Hubungan perjanjian itu pada hakikatnya bersifat kebersamaan: “Aku akan menjadi Allahmu dam kamu akan menjadi UmatKu”. “Janganlah engkau mempunyai allah-allah lain di hadapanKu”. Hal ini juga berlaku untuk seluruh DasaTitah dan sejumlah hukum yang terinci dan penting dalam kelima KitabTaurat.Kumpulan hukum yang paling tua “Kitab Perjanjian.(Kel.2122), secara hukum berlaku berdasarkan tanggungjawab dan kewajiban individu dalam hukum. DAFTAR ISI Christopher J. H. Wright, Hidup Sebagai Umat Allah: Etika Perjanjian Lama (Jakarta: Gunung Mulia, 2012) Norman L. Geisler, Etika Kristen Pilihan dan Isu ,(SAAT) R.M. Drie S. Brotosudarmo, Etika Kristen untuk Perguruan Tinggi (Yogyakarta: ANDI, 2007) Robert P. Borrong, Etika Politik Kristen (Jakarta: UPI & PSE Sekolah Tinggi Teologi, 2006) 6



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



BAB II DASAR ETIKA DALAM ALKITAB A. Pendahuluan “Segala tulisan yang diilhamkan  Allah  memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah  diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik. (2 Timotius 3: 16-17). Segala tulisan (kumpulan kitab-kitab; Alkitab) adalah tulisan yang diilhamkan atau dinafaskan oleh Allah. Istilah “diilhamkan” atau “dinafaskan” (Yunani: Τeopneustos). “Dinafaskan oleh Allah - diberikan oleh ilham dari Tuhan (KJV); Dihirup oleh Tuhan (NIV)); memiliki arti bahwa Roh Allah sendiri yang mewahyukan atau menginspirasikan segala tulisan di Alkitab. Oleh karena itu apa yang tertulis di Alkitab adalah Firman Allah. Dengan kata lain, Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah Firman Allah yang diilhamkan oleh Roh Kudus. Kaum Injili menganut pandangan teori pengilhaman seluruh bagian (teori verbal paripurna) - artinya semua (paripurna) kata-kata (verbal) dari Alkitab diilhamkan Allah. Para penulis Alkitab telah ditulis dibawah pimpinan Roh Kudus. Para nabi dalam Perjanjian Lama dan para Rasul dalam Perjanjian Baru, yang menerima panggilan, pengurapan khusus, mereka menyadari penyertaan Allah, Amanat-Nya begitu jelas, setiap kata dengan sangat cermat dan penuh tanggungjawab sehingga berita Alkitab sangat konsisten, akurat dan abadi meskipun ditulis oleh orang-orang yang berbeda dalam masa (jaman), latar belakang, pendidikan, kondisi rohani dan masyarakatnya kepada siapa mereka berbicara. Para teolog menyebut pandangan tentang kepenulisan ini sebagai pengilhaman secara organik; yakni suatu pandangan yang memegang teguh dua faktor. Satu, Faktor Allah yang terpenting; Dua, faktor manusia. Roh Allah memang mewahyukan firman-Nya dengan memakai manusia sebagai alat-Nya. Ada kombinasi dari dua faktor itu. Para Rasul dan para nabi digerakkan oleh Roh Kudus untuk berbicara dan menulis. Roh Kudus memimpin kepada kebenaran (ide dan konsep), tetapi memberikan kepribadian kepada si penulis untuk menentukan pilihan kata atau ekspresi. Charles C. Ryrie (1997:…) mengenai pengilhaman Alkitab mengatakan: “Allah berwujud, sehingga para penulis Alkitab itu menyusun dan mencatat tanpa kekeliruan pesan-Nya kepada manusia dalam bentuk kata-kata pada dialihkan.“ B. Landasan Filosofis Etika Robert C. Solomon (2007:5) menghubungkan rumusan etika dengan filsafat. Ia mengatakan bahwa etika adalah bagian dari filsafat yang meliputi hidup baik, menjadi baik, berbuat baik dan menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup. Demikian juga menurut Magnis suseno dalam Etika Jawa. Ia mengatakan,”Etika dalam arti sebenarnya berarti “filsafat” mengenai “moral”. Jadi, etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik mengenai pendapatpendapat, norma-norma dan istilah moral. Dalam bahasa Yunani Filsafat berasal dari gabungan dua suku kata, yakni filia (cinta) dan sofia  (kebijaksanaan). Secara harafiah, filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan. Seorang filsuf adalah seorang yang cinta akan hikmat kebijaksanaan. Etika juga berhubungan erat dengan akal budi dan kesadaran dalam melakukan sesuatu sehingga etika termasuk ilmu pengetahuan 7



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



dan bagian dari filsafat hidup. Peran akal budi untuk mencari hal yang baik itulah yang menghubungkan antara etika dan filsafat. Dalam hal ini J. Verkuyl (R.M. Drie S. Brotosudarmo, 2007:6-7) menyimpulkan bahwa ada bentuk-bentuk etika filsafat yang meliputi: a. Etika Otonom Dalam bahasa Yunani otonom berasal dari dua suku kata, yaitu aouto atau autosyang berarti sendiri, pribadi, perorangan, dan nomos yang berarti aturan, hukum, ketentuan. Etika Otonom adalah etika yang aturannya bersumber dari diri sendiri atau etika yang bersumber pada diri sendiri, pada hidup pribadi. Ego atau akulah yang membuat peraturan. b. Etika Heteronom Dalam bahasa Yunani Heteronom berasal dari dua suku kata, yaitu hetero  yang berarti bermacam-macam dan nomos. Etika Heteronom adalah etika yang aturannya bersumber dari orang banyak. Masyarakatlah yang membuat aturan. c. Etika Theonom Dalam bahasa Yunani theonom berasal dari dua suku kata, yaitu Theos yang berarti Allah dan nomos. Etika Theonom adalah etika yang aturannya bersumber pada firman Allah atau penyataan Allah. Misal, dalam Perjanjian Lama ada norma hukum yang disebut Hukum Sepuluh Perkara (Hukum Taurat) atau Dekalog atau Sepuluh Firman (Kel. 20:1-17) dan dalam Perjanjian Baru disebut hukum kasih (Mat. 22:37-40; Mrk. 12:30-31). C. Prinsip Etika Kristen Sesuai Aturan Alkitab Sebagai seorang umat Kristen penting kehadirannya dan terlibat kepada suatu persekutuan sebagai kelompok dimana menjadi untuk pertumbuhan secara rohani dan dalam imannya kepada Yesus Kristus dan mengenal prinsip hidup sebagai umat pilihan. Setiap orang Kristen harus memiliki prinsip untuk menjalani hidup sesuai dengan landasan Alkitab sebagai Firman Tuhan di hidup dalam sebuah persekutuan. Prinsip-prinsip etika kristen yang tertulis dan diatur dalam Alkitab sesuai dengan hukum kasih dalam Alkitab. 1. Bersifat terbuka (1 Yoh 1:7) Allah memiliki sifat yang terang dan di dalam terang tersebut tidak ada yang disembunyikan. Hal itu berlaku juga di dalam persekutuan, keterbukaan merupakan suatu hal yang harus diutamakan untuk terjalin persekutan yang baik sesuai dengan sejarah agama kristen. Keterbukaan yang dilakukan di dalam komunitas merupakan awal dari munculkan kejujuran dan juga tetap adanya kepercayaan yang terjalin diantara anggota persekutuan dan menjadi tujuan hidup orang kristen. Dengan adanya keterbukaan maka anggota akan saling mendukung satu sama lain dan akan munculnya keharmonisan. 2. Berani menegur (Ams 27:6) Sahabat sejati seharusnya harus berani untuk saling menegur, bahkan harus berani untuk “memukul” sahabatnya asalkan hal itu dimaksudkan untuk hal yang baik mengajarkan tentang manfaat berdoa bagi orang kristen. Apabila memang teguran yang dilakukan bisa dengan memperhatian waktu dan jarak yang tepat, maka tidak perlu takut dan mengkhawatirkan untuk teguran tersebut akan memicu adanya jarak diantara kalian, dengan itu tidak perlu ada kekhawatiran kembali. Melakukan teguran untuk teman harus menggunakan cara yang baik, lalu pastikan untuk menegur sikapnya bukan pribadinya. Terguran itu juga ada tingkatannya, mulai dengan menegur untuk bertemu berdua langsung, 8



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



dengan membawa 1-2 saksi, dan apabila jika tidak membuahkan hasil maka tegurlah di dalam forum perkumpulan (Matius 15:15-20)



3. Memiliki hati yang besar didalam setiap teguran (Ams :18) Dapat berbesar hati untuk menerima teguran dari orang lain. Harus mengerti bahwa teguran yang diberikan adalah suatu wujud tanda kasih. Saat kita di tegur berarti kita dikasihi karena kita diinginkan untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan terhindari dari perilaku yang menyimpang dan tidak sesuai dengan ajarannya, jangan berfikiran bahwa suatu teguran itu merupakan suatu hinaan dan membuat anda sakit hati lalu membenci. 4. Mengampuni (Matius 18:21-35) Disetiap persekutuan tidak jarang terjadi gesekan dan hendaknya dapat dijadikan gesekan tersebut untuk menajamkan diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Pengampunan dan kerendah hatian adalah cara paling tepat untuk dapat menerima perbedaan dan merupakan syarat penting untuk kita bisa bertumbuh. 5. Meminta maaf Meminta maaf atas kesalahan kita bukanlah suatu kelemahan yang harus kita hindari, melainkan meminta maaf merupakan cara untuk dapat memulihkan hubungan yang retak dan dapat membuat rasa benci, amarah dan kepahitan menghilang dari diri kita dan dapat menjalin kembali hubungan dengan baik. 6. Tidak menghakimi sendiri (mat 7:1; Gal 6:1-2) 7. Ramah dan penuh kasih (efensus 4:32) 8. Dapat membawa kedamaian (roma 14:19) Demikian penjelasan tentang prinsip-prinsip etika Kristen yang dapat ditanamkan untuk berperilaku didalam kehidupan sehari-hari. Perlu diingat bahwa saat sedang bersekutu bukan ajang untuk saling menjatuhkan, bukan untuk saling membicarakan keburukan orang, tetapi tujuan utamanya adalah untuk saling mengangkat, mendukung, dan akan bertumbuh bersama karena kita harus sadar  bahwa setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihannya masingmasing untuk diterima untuk kehidupan yang dalam dan saling menghargai satu sama lain. D. Asas-Asas Etika Kristen Dalam Alkitab 1. Iman Untuk membicarakan hal ini, kita perlu meninjau terlebih dahulu bahwa hakekat kemanusiaan kita adalah citra Allah (Kej. 1:26-27). Citra Allah itu meliputi gambar Allah (imago Dei) dan teladan Allah (similitodo Dei). Ini merupakan kelengkapan manusia yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia untuk melakukan tuga-tugas yang telah diberikan-Nya. Citra Allah adalah potret atau bayangan yang mempunyai kesamaan sifat. Namun satu hal yang harus kita ketahui adalah kecitraan manusia dengan Tuhan terkait dengan tugas manusia. Manusia memang segambar dengan Tuhan tetapi bukan sifat atau keadaan atau tabiat yang imanen dalam diri manusia melainkan kedudukan manusia yang diperoleh karena berhadapan dengan Tuhan atau karena bersangkut paut dengan Tuhan. Manusia mencerminkan atau 9



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



memantulkan cahaya kemulian Tuhan Allah. Citra Allah dimiliki manusia ketika manusia berada di Eden atau Firdaus. Manusia yang diciptakan sesuai dengan citra Allah inilah yang ditugasi untuk menguasai atau memerintah dunia dan segala makhluk. Menguasai dan memerintah dalam hal ini berarti memelihara, mengusahakan dan membangun (Kej. 1:28, 2:15). Akibat citra tersebut, manusia didudukkan sebagai wakil atau “Gubernur” Allah atau sebagai penguasa di dunia ini. Sedangkan seorang Gubernur tidak memerintah atas namanya sendiri, tidak berdaulat sendiri tetapi hanya seorang wakil atau duta. Manusia dan semua makhluk lainnya adalah milik Tuhan. Kita adalah milik Tuhan dan bukan milik kita sendiri. Berkaitan dengan tugas kita untuk memelihara, mengusahakan, dan membangun, timbul pertanyaan etis, yaitu apa yang seharusnya dilakukan manusia? Perbuatan dan tindakan manusia langsung berhubungan dengan etika. Sedangkan etika sendiri memberi kepada kita pokok-pokok pertimbangan sebagai pengambilan keputusan etis untuk apa yang perlu dan harus kita lakukan. Ciri khas Etika Kristen adalah dimensi Kristen. Dimensi Kristen inilah yang membedakan antara Etika Kristen dan Etika Sosial atau etika pada umumnya atau etika yang lain. Itulah sebabnya asas atau titik pangkal Etika Kristen adalah iman kepada Tuhan yang telah menyatakan diri dalam Tuhan Yesus. Didalam diri-Nya kita dapat mengenal Allah Bapa, Pencipta segala sesuatu. Tuhan adalah pemberi tujuan hidup. Kegiatan Tuhan untuk memelihara setiap makhluk adalah Allah Pendamai, Allah Penebus, dan Allah Pembebas melalui karya Sang Anak dan Roh Kudus. Perbuatan etis kita adalah perbuatan baik sebagai terjemahan atau ekspresi dari iman kita karena kita telah dibenarkan oleh iman kepada Kristus oleh Tuhan (Rm. 3:22; Gal. 2:16). Hal itu juga karena kita telah diselamatkan oleh Tuhan Yesus Kristus Sang Juruselamat itu. Iman berkaitan erat dengan perbuatan. Oleh sebab itu, apabila iman tanpa perbuatan, iman itu menjadi mati atau kosong (Yak. 2:17, 22). 2. Pengakuan tentang manusia Asas atau titik pangkal Etika Kristen adalah iman, karya Tuhan dan Pemeliharaan-Nya terhadap semua makhluk. Dari sini Etika Kristen memperhatikan tindakan manusia karena pada hakikatnya “...sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya” (Rm. 11:36). Tinjauan secara dogmatis, Etika Kristen juga berasas atau bertitik pangkal pada pengakuan tentang manusia. Manusia memang berhadapan langsung dengan masalah-masalah atau kasus-kasus yang konkret yang ada dalam pergumulan hidup sehari-hari. Oleh sebab itu, etika mempunyai misi khusus dalam kehidupan manusia. Itu sebabnya pula, mengapa kasus-kasus yang konkret tersebut menjadi bagian yang utama dari setiap pembicaraan etis. 3. Manusia dengan tingkah lakunya Etika memang menyoroti kehidupan manusia dengan tingkah lakunya. Manusia menilai manusia lain. Hal itu dapat dilihat dari tindakan dari tingkah lakunya. Dalam hal ini, Poedjatna mengatakan bahwa penilaian itu diambil secara luas, nilai akan bermacam-macam jenisnya. Nilai adalah a) penilaian etis-moralis yang berkaitan dengan kelakuan baik dan buruk, b) penilaian medis yang berhubungan dengan kesehatan seseorang, dan c) penilaian estetik yang berkaitan dengan keindahan. Etika Kristen harus dilihat dan dipertimbangkan dalam kaitannya dengan kehendak Tuhan. Hal ini penting, sebab tindakan dinilai benar adalah tindakan yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Sedangkan mencari kehendak Tuhan sama seperti mencari Tuhan itu sendiri. Sebaliknya, tindakan yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya adalah tidak benar atau jahat. 10



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



Tindakan itu tidak sesuai dengan Etika Kristen. Nilai tersebut harus dilihat dari ekspresi seseorang yang mencerminkan kehendak-Nya. Tindakan yang disengaja dan sesuai dengan kehendak Tuhan adalah tindakan etis. Namun, ada tindakan lain dalam situasi yang sangat khusus yang sering kita hadapi dalam situasi faktual. Berkaitan dengan hal itu, dalam Etika Jawa dikenal dengan dora sembala  (berbohong tetapi dianggap baik). Etika dora sembala  sebenarnya dapat dikatakan sebagai; kejahatan kecil yang menyelamatkan. Misal, pada zaman penjajahan Belanda, seorang gerilyawan Indonesia yang beragama Kristen ditangkap dan dipaksa untuk mengatakan atau mengaku dimana teman-temannya berada dan berapa jumlah kekuatan senjatanya. Apabila ia menjawab jujur dan benar, akibatnya sangat fatal. Oleh sebab itu ia berbohong demi keselamatan teman-temannya dan perjuangannya. Sekarang marilah kita nilai. Bagaimanakah peristiwa yang faktual tersebut dilihat dari segi Etika Kristen? (R.M. Drie S, 2007:62-67)



DAFTRA PUSTAKA Abineno Dr.J.L.Ch., Sekitar Etika dan Soal-Soal Etis”, BPK Gunung Mulia, Jakarta. (1996) Charles C. Ryrie. Teologi Dasar. (Wheaton, Illinois: Victor Books, 1997),  Jerry. R.H. Sirait, dkk, ”Diktat mata kuliah pendidikan Etika (Kristen)”, Departemen Mata Kuliah Dasar Umum Universitas Kristen Indonesia. (1993 R.M. Drie S. Brotosudarmo, Etika Kristen untuk Perguruan Tinggi (Yogyakarta: ANDI, 2007)



11



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



BAB III ETIKA DALAM PERJANJIAN LAMA A. Pendahuluan Etika berasal dari bahasa Yunani “ethikos”, berarti “Timbul dari kebiasaan” adalah sebuah sesuatu dimana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi stidi mengenai standar dan penilaian moral. Etikan Kristen (Yunani: ethos, berarti kebiasaan, adat) adalah suatu cabang ilmu teologi yang membahas masalah tentang apa yang baik dari sudut pandangan Kekristenan. Apabila dilihat dari sudut Hukum Taurat dan Injil, maka etika Kristen adalah segalah sesuatu yang di kehendaki oleh Allah dan itulah yang baik. Dengan demikian, maka etika Kristen merupakan satu tindakan yang bila diukur secara moral baik. Titik tolak etiak Perjanjian Lama adalah anugerah Allah terhadap umatnya dan tuntunan printahnya yang terikat pada tindakannya demi keselamatan umat manusia. Oleh karena itu, bentuk etika PL berkisar pada tindakan Allah dalam sejarah umatnya dan juga menuntut respon yang serasi. Hal ini juga menyebabkan konsep etika Perjanjian Lama selaras dengan sebuah etika yang dinamakan etika teonom yang berlandaskan hubungan antara Allah dan umatnya. Etika Perjanjian Lama sangat eratnya dengan intervensi Allah terhadap kehidupan bangsa Israel. Allah menunjukkan perbuatan-perbuatan yang besar bagi bangsa Israel. Etika Perjanjian Lama merupakan salah satu titik-tolak Etika Kristen, sebab dalam Etika Perjanjian Lama terdapat penyataan kehendak Allah kepada Musa dan kepada Para Nabi. Perjanjian Lama terdiri dari Taurat, Nabi-nabi, dan kitab-kitab, yang bukan hanya diterima oleh orang Yahudi sebagai Firman Allah, tetapi juga diterima oleh orang-orang Kristen (Jongeneel 1980, 29). Etika Perjanjian Lama memiliki hubungan yang erat dengan hukum Taurat yang tertulis dalam kitab Taurat dan penjelasan para nabi mengenai hukum Taurat. B. Etika dalam Perjanjian Lama      Dalam narasi penciptaan alam semesta di Kitab Kejadian digambarkan Allah sebagai Sang Tertib. Karya Sang Tertib ini dapat dilihat dalam hal diubahnya kekacaubalauan menjadi teratur, baik dan indah. Peristiwa ini hendak menegaskan bahwa Allah Sang Pencipta adalah Allah yang tidak menyukai ketidakteraturan, baik dalam kehidupan individu maupun kolektif bahkan bumi secara keseluruhan. Penciptaan manusia pertama, Adam dan Hawa disertai kewajiban-kewajiban mensyaratkan kebebasan dan tanggung jawab etis, demi menjaga kehidupan yang kudus yang tertib di hadapan Allah dan hubungannya dengan sesama dalam kapasitas mereka sebagai mitra dalam penciptaan. Namun dalam kenyataan, manusia pertama justru menyalahgunakan kebebasan dengan lebih mengutamakan keinginan. Adam dan Hawa mengambil keputusan untuk memilih tidak taat kepada Allah; dan sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan itu, mereka diusir dari Taman Eden. Jika pada mulanya, mereka berada dalam sebuah tatanan etis maka penghukuman atas pelanggaran menempatkan mereka dalam sebuah lingkup kehidupan pribadi dan sosial yang dibayang-bayangi murka Allah. Meskipun demikian, Allah tidak pernah membiarkan segenap keturunan Adam dan Hawa berada dalam hubungan permusuhan dengan 12



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



Allah. Justru sebaliknya, Ia sendiri mengambil prakarsa untuk menyelamatkan manusia dari kekacaubalauan sekaligus mengikat dan memperbarui perjanjian keselamatan (bandingkan Kejadian 6-9). Allah dalam Perjanjian Lama menunjukkan konsistensi hakikat dan tindakan Allah sebagai Pemberi hukum dan peraturan sebagai landasan perjanjian kasih karuniaNya. Dengan mengambil umat Israel sebagai model, diharapkan melalui ketaatan terhadap hukum dan peraturan tersebut, Israel tetap menjaga kekudusan hubungan dengan Allah selaku Pemberi Hukum dan dengan sesama bahkan dengan bangsa-bangsa lain. Israel, dengan demikian menjadi model bagi ketaatan gereja dan umat kristiani, kini dan dan di sini. Kata etika sebenarnya berasal dari bahwa Yunani yaitu Ethos dan Ta Etika. Ethor berarti kebiasaan dan adat atau lebih condong ke pengertian kesusilaan, perasaan batin, atau kecenderungan hati dengan mana seseorang melaksanakan sesuatu perbuatan. Jika kita perhatikan dalam Perjanjian Lama, tidak muncul kata yang menunjuk kepada etika, namun bisa ditemukan kata yang mendekati ke makna itu. Dalam bahasa Ibrani, kata yang mendekati kepada pengertian etika adalah kata Musar  dan derek. Kata Musar secara etimologis berarti disiplin, suci, murni, belum berdosa, dll. Sementara kata derek secara etimologis berarti jalan, jarak, perjalanan, cara, gaya atau sikap. Jadi jika dilihat dari pengertian tersebut, etika dalam Perjanjian Lama dapat dipahami sebagai jalan, gaya, atau sikap yang menentukan jalan hidup seseorang dan ini bisa saja kemudian menjadikan kehidupan orang tersbut suci, atau murni.             Menurut Browning, etika merupakan prinsip-prinsip perbuatan benar dan salah. Dasar untuk melakukan apa yang benar dan ketajaman untuk melihat apa yang benar. Agama dan etika sering dianggap sebagai suatu kesadaran manusia yang terpisah. Seseorang dengan religius yang rendah dapat saja memiliki prinsip-prinsip etis yang tinggi dan orang yang religius mungkin saja mengambil standar keputusan yang asing bagi kesadaran moral yang lazim. Sekalipun agama dan etika dianggap berbeda, namun tetap terdapat hubungan yang erat di antara keduanya. Perjuangan moral mendapatkan dasar pengharapannya dari iman kepada Allah yang menjadi pendorongnya. Dalam Perjanjian Lama keadaan penuh harapan ini timbul dari perjanjian Allah yang telah diikat dengan Israel. Dan kemudian menjadi bagian dari visi mengenai cara hidup. C. Hukum Taurat: Kaitannya Dengan Etika Karya Allah dalam seluruh peristiwa sejarah Israel merupakan titik tolak utama dalam Etika Perjanjian Lama. Peristiwa pemanggilan Abraham yang berujung pada perjanjian dan menyelamatan bangsa Israel dari perbudakan merupakan landasan yang paling utama dari seluruh tindakan etis bangsa Israel. Seluruh peristiwa sejarah yang dilakukan Allah dimaknai sebagai seluruh karya Allah yang harus ditanggapi bukan secara intelektual untuk menelusuri tujuan Allah tetapi melalui tanggapan etis yaitu, penyesuaian cara hidup dengan tindakan dan sabda Allah. Tindakan menurut sabda Allah adalah landasan utama yang melandasi segala tindakan yang lahir dari komunitas ini. Hukum Taurat menjadi dasar yang paling utama yang mengatur seluruh keberlangsungan kehidupan mereka dalam segala aspek. Hukum Taurat dipandang sebagai bentuk yang paling penting karena keseluruhan isinya mengatur tentang bagaimana seharusnya mereka melaksanakan tugasnya sebagai umat pilihan Allah baik dalam hubungannya secara individual, kolektif maupun sebagai bangsa. Christoph Barth menjelaskan bahwa, Taurat sebagai pengajaran atau hukum yang berkembang di kalangan Israel dan penekanan terhadap penggunaannya terjadi pada masa Israel berada di pembuangan. Hukum Taurat mengacu kepada kelima kitab Taurat yang diajarkan oleh Musa, yaitu Kitab Kejadian sampai dengan Kitab Ulangan. Taurat merupakan sebutan bagi seluruh hukum yang terdapat dalam Perjanjian Lama. Hukum taurat lahir bukan untuk menduduki keberadaannya 13



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



sebagai hukum yang terpisah. Hukum taurat lahir bersama-sama dengan kisah perjanjian antara Allah dengan umat pilihan-Nya. Melalui keberadaan hukum inilah, tindakan manusia sebagai umat Allah diberitahukan oleh Allah. Allah memberikan hukum-Nya agar umat-Nya bertindak sesuai kekudusan Allah.



Dalam Perjanjian Lama, pengelompokan terhadap jenis hukum terdiri atas empat bagian. Wright (1993) menjelaskan bahwa keempatnya adalah, Dasa Titah yang isinya merupakan perintah Allah yang diberikan pada peristiwa Sinai. Kitab Perjanjian menempati posisinya yang kedua, seluruh isinya berkaitan dengan ketetapan-ketetapan yang mengatur kehidupan masyarakat secara sosial. Selain itu, terdapat pula Kumpulan Imamat yang isinya menekankan tentang bagaimana sebagai komunitas yang menjaga kekudusan dihadapan Allah melalui tindakan kepada Allah dalam peribadahan maupun kepada sesama. Terakhir, yaitu Kumpulan Ulangan adalah pengulangan terhadap bentuk hukum yang sebelumnya telah diungkapkan serta memberikan penekanan langsung terhadap penggunaan berbagai hukum tersebut. Berbagai bentuk hukum yang telah klasifikasikan di atas tetap menjadi suatu hukum yag terikat dalam satu bentuk hukum yaitu, Hukum Taurat. Dengan demikian, dapat dilihat dengan jelas bahwa hukum Taurat menduduki peranan yang sangat penting dalam kehidupan bangsa Israel. Hukum taurat merupakan landasan paling utama yang mengatur seluruh kehidupan bangsa Israel dalam tatanan hidup yang berarah pada kekudusan di hadapan Allah. Hukum taurat mengatur bagaimana umat pilihan Allah bertindak sesuai dengan ketetapan Pemiliknya. D. Dasar Etika Perjanjian Lama Apa yang mendasari Teologi Perjanjiam Lama ? Yaitu: Sifat dasar Allah, Hukum Taurat, perjanjian, upacara keagamaan serta kesalehan. Kesalehan dan Etika berjalan bersama-sama seperti halnya dengan iman dan perbuatan. Hal ini merupakan bentuk konkrit kehidupan dalam Perjanjian. Sangat penting dalam PL di mana seluruh kehidupan berkaitan dengan Allah dan Maksud-maksud-Nya. Seorang tokoh yang bernama: Jacob, mengungkapkan bahwa Jika sifat dasar manusia dapat ditentukan oleh tema Gambar Allah, maka dapat dirumuskan sebagai hal meniru Allah. 1. Watak Allah Ungkapan Watak Allah. Secara Teologis: menunjukkan bahwa agama dan moralitas berhubungan paling erat. Maksudnya, Allah merupakan sumber kebaikan, dan jika manusia harus berbuat baik, itu hanya karena ia mengenal Allah. Ams.3:5-6. Perilaku yang tidak bercela di hadapan Allah merupakan suatu kehidupan yang bermoral. Pada Zaman PL dan Yudaisme mengajarkan untuk taat kepada Hukum Taurat sebagai satu-satunya kewajiban manusia. Akan tetapi, harus dimengerti dalam hubungan dengan penyingkapan diri Allah yang mendasar: ‘Akulah Tuhan’. Penyingkapan ini secara positif akan menempatkan Hukum Taurat itu pada pusat perhubungan PL. Kel.20:1-2. Karena pada hakikatnya hukum taurat itu satu, maka ketaatan harus pada keseluruhannya. Di dalam PL pun mengerti kesatuan perintah-perintah Allah. Contoh: Musa, memerintah Israel untuk ‘melakukan dengan setia segala perkataan hukum taurat. Ul.32:46-47. 2. Ciptaan Menurut Gambar Allah 14



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



Manusia yang diciptakan menurut Gambar Allah. Orientasi manusia kepada hukum taurat menyatakan kesamaannya dengan Allah. PL mempunyai undang-undang yaitu undangundang untuk umat manusia. Kel.21-23, nilai-nilai manusia selalu diperjuangkan di atas nilai-nilai kebendaan. Namun orang-orang PL diistimewakan sebagai umat yang mengalami kemurahan Allah. Sehingga mereka saling berhubungan, karena kemurahan Allah itu. Sebgai orang-orang yang menjadi sasaran Kasih Allah, harus menunjukkan kasih itu. Mi.6:8: Berlaku adil dan mencitai kesetiaan. Manusia sebagai pembawa Gambar Allah, harus mencerminkan sifat Allah. Ayub 29:12-14. Hukum taurat menyatakan sifat sesungguhnya dari manusia. Tentu saja manusia tak dapat bersifat kudus sebagaimana Allah itu kudus, tetapi mereka dapat menjadi kudus dalam cara manusia. Di dalam PL hukum taurat itu bersifat menyelamatkan. Jadi, mengikuti jalan Tuhan dalam PL berarti mengambil bagian secara nyata dalam program penyelamatan-Nya. Hal ini tidak hanya berarti berbuat kebenaran tetapi menderita demi kebenaran. Yes.53. Mematuhi hukum taurat merupakan ungkapan kehendak baik Allah. Tujuan dari Etika ini adalah suatu pergeseran dari persekutuan kehendak kepada persekutuan watak, artinya suatu pemulihan persekutuan yang ada di antara Adam dan Allah.  E. Perkembangan Prinsip-Prinsip Etika Perjanjian Lama 1. Perintah-perintah dan   peraturan-peraturan yang berkaitan dengan ciptaan. Yaitu prinsip-prinsip: menekankan bahwa manusia harus berperan sebagai penguasa dalam memenuhi dan mengatur bumi. Kej.1:28. Kemudian mampu mewujudkan potensi yang diberikan Allah kepadanya. Hubungan yang terjalin antara Adam dan Hawa juga merupakan hubungan yang unik yang mencerminkan hubungan Allah dengan umat-Nya. Namun kejatuhan manusia dalam dosa berpengaruh  terhadap setiap peri kehidupan manusia. Namun tidak mengubah keadaan dasar manusia juga tidak mengubah hubungan dasar mereka baik terhadap bumi, pekerjaan, dan keluarga mereka. Manusia tak dapat hidup  tanpa firman Allah, persekutuan dengan Allah adalah Dasar Kehidupan. Perintah yang diberikan bukan untuk menantang manusia atau memberi bimbingan mutlak. Hubungan antara manusia dengan Allah adalah hubungan yang wajar, mereka melakukan kehendak Allah secara naluriah. Perintah-perintah hanya untuk menegaskan dan menguraikan struktur ciptaan yang di dalamnya mereka harus berkembang di hadapan Allah. 2. Berbagai ketetapan, lembaga dan adat bagi umat perjanjian Allah. Semua lembaga dan adat dalam kehidupan Israel merupakan uraian dari hubungan perjanjian ini. Pada setiap kesempatan lembaga dan ketetapan menyentuh umat Israel dan menolong mereka mengenal diri sendiri serta berperan sebagai struktur pengambilan keputusan-keputusan moral. a) Sepuluh hukum Sepuluh Hukum ini merupakan inti Etika Alkitabiah. Hukum Taurat diberikan di Gunung Sinai bukanlah undang-undang baru tetapi perumusan ketetapan-ketetapan yang sudah ada. Kej.2:2-3. Mengenai sabat 9:5, mengenai pembunuhan 26:9-10, mengenai zinah. Semua hubungan antara Allah dengan umat-Nya diliputi dalam hukum-hukum itu. Secara Teologis, hormat kepada orang tua bertumpu pada keadaan Allah sebagai Bapa yang mula-mula. Kel.4:22. Jadi, hormat terhadap wewenang harus dilanjutkan dan dipelihara dalam keluarga. Lingkungan keluarga adalah tempat seseorang belajar untuk menghormati dan taat tanpa pertimbangan jasa seseorang. Seorang tokoh berpendapat yang bernama Murray: tentang contoh: Yakub dan Ribka, mengatakan bahwa Allah memenuhi tujuan-Nya yang sudah bulat mengenai Kasih 15



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



Karunia dan Janji, tanpa menghiraukan tindakan-tindakan tak teruji dari mereka yang menjadi pewaris-pewaris Kasih karunia tersebut. Gagasan Perjanjian Lama mengenai kebenaran adalah Kesetiaan dalam hubungan, terutama dalam hubungan perjanjian. b) Bidang-bidang problem Perbudakan merupakan pelanggaran terhadap banyak prindip dasar dalam Etika Perjanjian Lama, namun dibiarkan, bahkan diatur secara khusus. Di dalam Perjanjian Lama keadaannya berbeda. Dibawah hukum Taurat hak-hak asasi para budak dijamin, baik mengenai istrahat maupun perayaan. Jadi perbudakan diperbolehkan. Tetapi sambil mempertimbangkan peri kemanusiaan. Maka PL mengakui bahwa masyarakat belum siap untuk hidup tanpa perbudakan. Cara Allah untuk melenyapkan perbudakan “merupakan proses panjang yang terdiri atas pengasuhan dan pendidikan rohani serta mempertajam hati nurani, bukan suatu pengaturan sosial yang prematur. Dalam hal ini, Allah memberi contoh: melalui bangsa Israel bahwa Orang asing yang tinggal padamu harus sama bagimu seperti orang Israel asli dari antaramu, Kasihilah dia seperti dirimu sendiri. Im.19:34. Ayat ini diakhiri dengan ‘Akulah Tuhan, Allahmu’. Watak-Nyalah yang dipertaruhkan, dan perhatian-Nya yang khusus kepada orang-orang yang kurang beruntung. Ul.10:17-19. Salah satu sumber sejarah Perjanjian Lama yang paling awal adalah Kitab peperangan Tuhan. Bil.21:14. Tuhan adalah panglima umatNya II Taw.13:12 yang berperang untuk Yehuda. Kehadiran Tabut Allah merupakan simbol utama pertolongan-Nya. Tujuan PL waktu pemazmur berkata tentang Allah, Ia menghentikan peperangan sampai ke ujung bumi. Mz.46:10. Jadi secara umum Etika Perjanjian Lama bukanlah Etika “campur tangan’, melainkan Etika ‘penundaan’, yaitu Kasih karunia Allah yang menunda. Etika Campur Tangan yaitu Perjanjian penebusan yang dibuat Allah dengan umat-Nya, kuasa keadilan Allah dan kenyataan penggenapan dalam persoalan-persoalan Israel. c) Ajaran Para nabi Etika tingkat tinggi dalam PL. Sebagai bukti: contoh Abraham menunjukkan kesenangan dan sifat tak mementingkan diri. Yusuf mengatasi suatu cobaan besar dan mengampuni kesalahan yang berat. Daud menolak untuk membals dendam. I Sam.24:12. sehingga ia dapat menunjukkan ‘Kasih yang dari Allah’ kepada isi rumah Saul. II Sam.9:3. Puncak ajaran Para Nabi: menjadi aktifitas penyelamatan yang direncanakan Allah. Sehingga PL secara bertahap dan memberi kesan yang mendalam pada Israel mengenai hubungannya dengan Allah. Pada zaman Para Nabi tuntutan Allah yang utama adalah kerendahan hati dan pengendalian diri. Mi.6:8 dan Yer.22:16. Kemudian ada kesadaran baru tentang apa yang dikehendaki oleh dosa. Teladan Allah bagi umat-Nya bahwa Allah sendiri menderita karena dosa.



DAFTAR PUSTAKA Christophel Wright, Hidup sebagai Umat Allah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993 Thomas D. Kennedy, From Chirst to the World: Introductory Reading in Chirstian Ethics. Grand Rapids: Wm. B. Eedmans. 1996 Verne Flethcher, Lihatlah sang Manusia. Jakarta: BPK GM, 2007. 16



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



BAB IV ETIKA DALAM PERJANJIAN BARU A. Pendahuluan Etika Kristen dan Perjanjian Baru berbicara mengenai pengajaran Yesus. Yesus memberikan pengajaran yang menjadi teladan mengenai banyak hal bagi umat yang melihat, mendengar, dan merasakan, khususnya umat Yahudi yang ada bersama-sama dengan Dia. Pengajaran etika Yesus sebenarnya berawal dari hukum Musa yang berlandaskan kehendak Allah. Etika Kristen tidak hanya etika pribadi, tetapi yang penting diingat adalah bahwa etika Kristen beranjak dari dasar ‘kasih’, seperti yang tertulis dalam Alkitab yang mengatakan bahwa manusia wajib mengasihi Tuhan, sesama dan diri sendiri. B. Pandangan Etika Menurut Agama-Agama           Etika Kristen berpangkalkan kepercayaan kepada Allah, yang menyatakan diri di dalam Yesus Kristus. Allah Bapa menyatakan diri di dalam Yesus Kristus sebagai Pencipta langit dan bumi, yang menciptakan dunia dan segala yang ada di dalamnya, yang menciptakan manusia menurut gambar dan rupaNya, yang melaksanakan rencanaNya mengenai dunia dan manusia, “dengan tangan yang terkekang”. Titik pangkal inilah yang bersifat menentukan bagi Etika Kristen.           Pandangan tentang manusia menurut agama-agama suku ini tidak ada tempat bagi kesusilaan dalam arti yang khusus. Sebab-sebabnya sebagai berikut: Pertama: manusia, sebagai individu yang bertanggung jawab kepada Allah, menjadi tidak tempat kedudukannya. Kedua, Hukum Allah di dalam agama-agama primitif itu tidak dianggap sebagai hukum yang normatif, yang menggerakkan manusia mengambilkeputusan-keputusan etis, tetapi dianggap sebagai semacam hukum kodrat, sebagai tata tertib kosmis. Ketiga, dalam agama-agama primitif, Etika tidak dapat tampil ke depan, karena agama-agama primitif itu tidak dapat menerima pertentangan-pertentangan yang mutlak.           Pandangan tentang manusia menurut agama Hindu adalah atman dan pada hakikatnya “atman” itu ialah Brahman. Manusia tidak mempunyai kehidupan pribadi dan dan tidak mempunyai tanggung jawab perseorangan. Karena disesatkan oleh avidya (ketidaktahuan), manusia menganggap gejala-gejala kosmis itu sebagai suatu kenyataan. Agama Hindu tidak mengenal kepercayaan akan Allah, Sang Pencipta. Karena itulah tak dikenalnya pula kepercayaan akan penciptaan manusia menurut gambar Allah. Agama Hindu tidak melihat garis batas antara Allah dengan ciptaan-Nya. Dan dengan demikian tidak ada tempat bagi Etika di dalam arti yang sesungguhnya.           Pandangan tentang manusia menurut agama Buddha adalah suatu “nama rupa”, artinya ia terdiri dari “nama” (roh) dan “rupa” (tubuh) di dalam kehidupan psiko-fisis. Manusia itu bukanlah suatu “kenyataan” yang tetap. Di dalam agama Buddha, Allah tidak diakui sebagai 17



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



Pencipta. Agama Buddha tidak mengakui bahwa manusia dijadikan menurut gambar Allah. Etika (dhamma) agama Buddha hanya merupakan suatu cara untuk meluputkan diri dari segala macam Etika. Menurut agama Buddha, kehidupan manusia itu berdasarkan sangkaan. Tidak berarti dan tidak bertujuan. Dan sejarah pun tidak ada artinya dan tujuannya. Kata terakhir di dalam agama Buddha ialah: meleburnya kehidupan. Kata terakhir di dalam Injil ialah: penyelamatan dari dosa, menuju kepada hidup kekal di dalam persekutuan dengan Allah.           Menurut Kalam (dogmatika) Islam. Kedudukan manusia di dalam alam kejadian mendapat perhatian besar di dalam dogmatika Islam. Sebab agama Islam mengakui Allah sebagai Pencipta. Di dalam agama Islam tidak terdapat hubungan antara Bapa dan anak, sebagaimana terdapat dalam Alkitab, bila mengatakan tentang hubungan antara Allah dan manusia. Tidak disebutkan pula tentang manusia yang dijadikan menurut gambar Allah. Oleh karena itu, di dalam agama Islam juga tidak terdapat perjanjian antara Allah dan Manusia, dimana manusia bertindak sebagai sekutu Allah, di mana manusia dipanggil kepada kepatuhan sukarela dan di mana manusia mendapat kemerdekaan yang relatif secara makhluk. Manusia hanya dipandang sebagai abd. Itulah juga sebabnya, mengapa di dalam agama Islam tanggung jawab etis manusia tidak kelihatan dengan sewajarnya. Di dalam dogmatika ortodoks Islam, tanggung jawab etis manusia tidak tampil ke depan dengan sewajarnya. Sebab yang pertama ialah: karena kedaulatan Allah hanya dipandang sebagai kedaulatan kekuasaan-Nya. Di dalam Alkitab, Allah yang diakui oleh Alkitab itu adalah juga kedaulatan kasih-Nya, hikmat-Nya, keadilan-Nya, kesucian-Nya. Kedua, tanggung jawab etis manusia tidak tampak dengan sewajarnya, karena di sini tidak ada tempat bagi pengertian, yang di dalam ajaran iman Kristen disebut “Pemeliharaan oleh Allah” (providential), Agama Islam hanya menganggap bahwa ada satu hubungan saja antara Allah dan hasil pekerjaan-Nya, yakni hubungan antara khalik dan makhluk.           Dalam pandangan tentang manusia menurut agama Islam tidak terdapat pandangan tentang Allah ini, yakni Allah Bapa, dan tentang manusia sebagai anak, yakni anak yang berdosa, anak Bapa ini. Inilah salah satu sebab dari kenyataan yang mengherankan, bahwa di dalam agama Islam, Etika tidak pernah mendapat kedudukan sendiri di samping Kalam dan Fiqh.           Pandangan evolusi biologis tentang manusia ialah menganggap manusia itu sebagai binatang yang menyusui yang cerdas, yang pertumbuhannya berlangsung menurut proses evolusi, dari tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Pandangan ini menyangkal Allah dan pernyataan-Nya. Di sini “penyelidikan ilmiah” dijadikan ukuran untuk menentukan yang baik dan jahat. Lagi pula di sini “penyelidikan ilmiah” itu terbatas kepada penyelidikan biologios, secara kimiawi dan fisik- seakan-akan manusia hanya dapat diterangkan menurut proses kimiawi dan biologis.           Pandangan manusia menurut komunisme adalah “makhluk biologis ekonomis”. Sebagai makhluk biologis, ia pun “binatang menyusui yang cerdas”. Atas dasar pandangan tentang manusia ini, materialisme dialetika menyusun suatu Etika tertentu. Teori revolusi menggantikan susila. Etiak materialisme dialetis adalah: Sadarlah akan kedudukanmu dalam perjuangan di tengah masyarakat dan berbuatlah sesuai dengan kedudukanmu.           C. Dasar Etika Perjanjian Baru Di dalam Kitab Kejadian 1 terdapat kalimat-kalimat yang terkenal mengenai kejadian manusia, “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (ayat 27). Dalam Perjanjian Baru Yesus Kristus disebut gambar Allah (2 Kor 4:4; Kol 1:15). Dan sudah dijanjikan kepada kita, bahwa barangsiapa percaya kepada Allah akan dijadikan kembali menurut gambarNya dan akan serupa dengan Dia (1 Kor 15:49; 2 Kor 3:18; Kol 3:10). 18



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



          Bagaimanakah arti berita tentang manusia ini dan apakah konsekuensi pandangan tentang manusia ini bagi Etika? 1. Manusia itu makhluk dan akan tetap menjadi makhluk untuk selama-lamanya. Manusia bukanlah Allah dan manusia juga tidak mempunyai zat ilahi atau kodrat ilahi. Tidak ada “analogi entis” (persamaan zat) antara manusia dan Allah. 2. Manusia dijadikan sebagai makhluk somatic-psikis (berjiwa raga). Allah membentuk manusia (di dalam bahasa Ibrani:haadam) dari debu tanah (adama) dan menghembuskan nafas kehidupan (nismat hajjim) ke dalam hidungnya (Kej 2:7). 3. Hubungan Allah-manusia dan manusia-Allah itu dinyatakan dalam berita tentang manusia yang dijadikan menurut gambar Allah. Karena itu yang harus menjadi salah satu pokok masalah Etika ialah: Apakah yang kau perbuat dengan mandate yang diberikan Allah kepadamu, ketika Allah menjadikan engkau menurut gambar dan rupa-Nya? 4. Akhirnya dalam hubungan ini harus ditekankan, bahwa Allah menciptakan manusia supaya manusia itu berbakti secara sukarela. Allah memberiukan kebebasan memilih kepadanya. Kedaulatan ilahi itu diserahkan kepada manusia secara sukarela di dalam kasih. Kebebasan itu termasuk hakikat manusia dank arena itu termasuk inti Etika Kristen. Kata kebebasan menyatakan panggilan yang pertama dan hak tertinggi yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Beberapa catatan tentang asal dosa, dan hakikat dosa akan diterangkan secara khusus di bawah ini. a. Asalnya dosa Di dalam agama-agama dan pandangan tentang dunia Kristen pada garis besarnya terdapat jawaban-jawaban atas pertanyaan asalnya kejahatan sebagai berikut. Menurut agama Hindu dan berbagai aliran mistik panteistis, sumber kejahatan itu harus dicari pada avidya, ketidaktahuan. Kejahatan itu hanya semu saja. Manusia buta karena ketidaktahuan itu, menganggap itu, menganggap kejahatan sebagai kenyataan. Akan tetapi sebenarnya kejahatan itu tidak ada. Pandangan agama Buddha mencari asalnya kejahatan di dalam “tanha”, nafsu, keinginan, yang menggerakkan prioses Bhava. Dalam pandangan evolusi biologis, asalnya kejahatan itu dicari pada berasalnya kita dari binatang. Menurut pandangan ini, kita masih mempunyai sisa-sisa sifat yang buruk dari keturunan yang rendah. Tetapi lambat laun kita akan mengatasi sisa-sisa kejahatan ini dalam pertumbuhan ke taraf yang lebih tinggi. Pandangan tentang dunia yang dialektis materialis mencari asalnya kejahatan di dalam keadaan social ekonomi. Jika system social ekonomi berubah, maka manusia pun berubahlah. Menurut Alkitab, inisiatif (prakarsa) untuk berbuat dosa itu tidak keluar dari manusia, tetapi dari iblis. Asalnya dosa itu terdapat di dunia iblis. Tetapi karena kesalahan sendiri, manusia telah mengatakan ya kepada dosa dan dengan demikian ia menjadi hamba dosa (Yoh 8:34). Karena manusia ingin menjadi sama seperti Allah, iamenyerah kepada iblis, sehingga sejak itu dosa keluar dari iblis dan manusia bersama-sama. b. Hakikat dosa Apakah hakikat dosa itu?. Kata yang terbanyak dipergunakan ialah kata dalam bahasa Yunani hamartia (di dalam bahasa Ibrani chet atau chatta). Hamartia berarti: luncas (luput, tidak mengenai sasaran, menyeleweng dari tujuan); seperti anak panah dapat tidak mengenai sasarannya, begitulah pula manusia yang berdosa itu dapat tidak mencapai tujuannya. Kata hamartia itu diterjemahkan dengan dosa. 19



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



Pandangan Alkitab tentang hakikat dosa adalah bahwa dosa itu tidak dimulai pada kejasmanian, tetapi justru pada inti manusia, di dalam hatinya, di dalam hubungannya dengan Allah. Jika hubungan di situ diserang oleh kesombongan, maka jasmani pun diperalat oleh dosa. Sombong mengakibatkan meluapnya hawa nafsu. Jika hati tak jujur di hadapan Allah, maka badan kita pun disalahgunakan untuk cabul, kelahapan, loba akan uang, boros dan sebagainya.



D. Ajaran Yesus: Khotbah di Bukit Khotbah di Bukit merupakan pengajaran (pidato) Yesus yang pertama dari lima pidato besar dalam injil Matius (bdk. Mat. 10; 13; 18; 24-25). Lima pengajaran Yesus ini sering disejajarkan dengan Pentateuch dan Yesus sendiri dibandingkan dengan Musa, dimana Yesus “naik ke atas bukit” (Mat. 5:1), sedangkan Musa naik ke atas Gunung Sinai. Hal ini membuat munculnya pandangan bahwa Khotbah di Bukit sebagai Taurat baru. Dalam Injil Matius, Khotbah di Bukit merupakan pewartaan dan pengarahan hidup sekaligus tantangan untuk mengambil sikap pribadi dan petunjuk hidup bersama yang ditonjolkan sebagai warta menyeluruh oleh Yesus mengenai Kerajaan Allah. Rumusan tema Khotbah di Bukit adalah: “Ucapan Bahagia” (makarismus). Injil Matius mencatat 9 Ucapan Bahagia. Injil Matius memakai bentuk literer, yaitu Ucapan Bahagia yang mengungkapkan syarat masuk Kerajaan Allah, sekaligus menghindari kesan bahwa diuraikan sebagai syarat masuk kerajaan surga. Kesembilan makarismus terutama tidak memberikan dan menjelaskan syarat-syarat bagaimana orang dapat masuk kerajaan surga. Akan tetapi, ucapan bahagia memberikan pemahaman bahwa kerajaan surga sampai kepada mereka yang miskin dan berduka cita. Itulah inti atau tema umum bagi Khotbah di Bukit: Kerajaan surga telah sampai pada kenyataan hidup di dunia. E. Yesus Kristus: Hukum Taurat Ketika Yesus sedang mengajar dalam sinagoge (Injil Markus), semua orang yang hadir takjub mendengar pengajaran-Nya. Mereka berkata satu sama lain: “Apa ini? Suatu ajaran baru” (Mark.1:27). Yesus berkata “Hukum Taurat…berlaku sampai kepada zaman Yohanes; dan sejak waktu itu Kerajaan Allah diberitakan” (Luk. 16:16). Kalimat yang sering dikemukakan adalah perkataan dalam Injil Matius: “….bukan untuk meniadakannya melainkan untuk menggenapinya” (Mat. 5:17). Kata ‘menggenapi’ berarti sebagai memenuhi, melengkapi atau menyempurnakan. Ada tiga gejala yang merupakan cara Yesus menyempurnakan Hukum Taurat, yaitu Yesus mensyaratkan suatu patokan yang lebih mendasar daripada Hukum Taurat; Yesus bertindak dengan wibawa terhadap Hukum Taurat; dan Yesus sendiri sebagai perwujudan kehendak Allah yang sempurna, menggantikan Hukum Taurat. Yesus mensyaratkan suatu patokan yang lebih mendasar daripada Hukum Taurat. Bagi kaum Yahudi Hukum Taurat merupakan pengungkapan yang sempurna akan kehendak Allah dan yang akan dilestarikan selama-lamanya. Bagi Yesus, kehendak Allah terungkap melalui Hukum Taurat, walaupun keduanya tidak disamakan. Yesus melarang adanya perceraian: “…apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia” Di sini Yesus 20



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



melawan perundangan Musa (Ul. 24:1-4) dengan pernyataan yang diambil-Nya dari kitab Kejadian 1:27;2:1-4: “Pada awal dunia Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan. Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Yesus menunjuk pada kitab Kejadian sebagai pengungkapan atas kehendak Allah yang sesungguhnya dan bukan pada hokum Musa. Hal ini dikarenakan Yesus menyelami kehendak Allah secara langsung-tidak perlu mensyaratkan landasan yang lain, dan kehendak Allah itulah yang menjadi patokan yang dianggap Yesus lebih mendasar dari pada Hukum Taurat. Yesus bertindak dengan wibawa terhadap Hukum Taurat. Kewibawaan Yesus terhadap Hukum Taurat dapat dilihat di bawah ini: Jangan Membunuh. Yesus menekankan bahwa kehendak Allah tidak hanya mengenai perbuatan dan pelaksanaan, melainkan termasuk juga maksudnya yang mendalam seperti kebencian dalam hati pantas dihukum. Jangan Berzinah Bagi Yesus, perzinahan bukan pelanggaran hokum melainkan perbuatan moral. Kejujuran Yesus sangat melarang untuk bersumpah, baik bersumpah palsu maupun mengindahkan janji. Kewibawaan Allah menuntut hati manusia yang jujur, tidak hanya dalam sumpah, melainkan juga dalam pembicaraan dan tindakan maupun dalam hal-hal yang biasa. Pembalasan Yesus menuntut untuk meninggalkan prinsip pembalasan atau untuk “tidak melawan/bersengketa”. Yesus menuntut supaya orang tidak bersengketa melainkan melepaskan hak berhadapan dengan sesama. Yesus menolak sikap perlawanan terhadap musuh dan mengajarkan agar mengasihi musuh. Kasih kepada musuh bukan hanya sikap orang Kristen dalam penganiayaan atau siasat terhadap lawan pribadi melainkan merupakan kekhasan atau kelebihan orang Kristen. Yesus sendiri sebagai perwujudan kehendak Allah yang sempurna, menggantikan Hukum Taurat. Hubungan antara manusia dan Allah tidak lagi tergantung pada hubungan dengan Taurat melainkan pada hubungan dengan Yesus. Dialah yang menjadi satu-satunya pengantara bagi Allah dan manusia, bahkan Dialah jalan keselamatan yang tunggal. Pada hakikatnya, yang menggantikan Hukum Taurat bukanlah perintah-perintah Yesus, melainkan Yesus sendiri, dan semata-mata oleh karena itulah apa yang diajarkan-Nya menjadi wajib bagi kita.



DAFTAR PUSTAKA Lindsay Dewar, An Outline of New Testament Ethics, Philadelphia: The Westminster Press. Verne H Fletcher, Lihatlah Sang Manusia! Suatu Pendekatan Pada Etika Kristen, Yogyakarta: Duta Wacana University. 1990.



21



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



BAB V ETIKA TEOLOGIS A. Pendahuluan Sebagai manusia yang hidup berdampingan dengan manusia lain di dalam suatu komunitas masyarakat tentu berkewajiban untuk hidup sesuai dengan etika yang ada. Etika hadir sebagai aturan moralitas yang tidak tertulis. Misalnya sebagai agen pendidikan, seseorang harus dapat bersikap sesuai dengan etika yang berlaku dalam dunia pendidikan.begitu juga hadirnya etika-etika yang ada dalam banyak aspek dalam kehidupan kita yang harus dilakukan. Agar kita dapat bertindak sesuai dengan etika-etika yang ada sebelumnya kita harus mengenal teoritika itu sendiri. Terdapat banyak sekali teoritika yang ada salah satunya adalah etika teologis. Dalam etika teologis juga memiliki banyak jenis lagi seperti egoisme etis, hedonisme etis, eudemonisme dan ultira Kita dapat mempelajari dan mengenal apa itu etika teologis. Teori ini berpandangan bahwa suatu perilaku dikatakan etis jika dilihat dari tujuan dari perilakunya sendiri. Jika suatu perilaku yang dilakukan memiliki tujuan yang baik maka perilaku itu dapat dikatakan sebagai perilaku yang baik namun jika perilaku yang dilakukan memiliki tujuan yang tidak baik maka kita dapat katakan bahwa perilaku itu tidak baik. B. Pengertian Etika Teleologis Secara Etimologi Etika berasal dari bahasa Yunani “Ethos” (sifat, watak, kebiasaan, tempat yang biasa) dan Ethikos (berarti, susila, keadaban, kelakuan dan perbuatan baik). Etika berkaitan dengan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang atau pada masyarakat. Etika disebut juga sebagai ilmu normatif, sebab didalamnya terdapat norma & nilai-nilai etika dengan moral atau budi pekerti. Ilmu etika adalah ilmu yang mempelajari tentang perbuatan-perbuatan manusia dengan dasar yang sedalam-dalamnya yang diperoleh dengan akal budi manusia. Dalam dunia etika, teleologi bisa diartikan sebagai pertimbangan moral akan baik buruknya suatu tindakan dilakukan. Perbedaan besar tampak antara teleologi dengan deontologi. Secara sederhana, hal ini dapat kita lihat dari perbedaan prinsip keduanya. Dalam deontologi, kita akan melihat sebuah prinsip benar dan salah. Namun, dalam teleologi bukan itu yang menjadi dasar, melainkan baik dan jahat. Ketika hukum memegang peranan penting dalam deontologi, bukan berarti teleologi mengacuhkannya. Teleologi mengerti benar mana yang benar, dan mana yang salah, tetapi itu bukan ukuran yang terakhir. Yang lebih 22



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



penting adalah tujuan dan akibat. Betapapun salahnya sebuah tindakan menurut hukum, tetapi jika itu bertujuan dan berakibat baik, maka tindakan itu dinilai baik. Ajaran teleologis dapat menimbulkan bahaya menghalalkan segala cara. Dengan demikian tujuan yang baik harus diikuti dengan tindakan yang benar menurut hukum. Hal ini membuktikan cara pandang teleologis tidak selamanya terpisah dari deontologis. Perbincangan "baik" dan "jahat" harus diimbangi dengan "benar" dan "salah Etika secara umum dikelompokan menjadi 2 macam yaitu Etika Filosofis dan Etika Teologis. Etika Filosofis adalah suatu etika yang berasal dari aktivitas berpikir yang dilakukan oleh manusia atau bisa juga dikatakan bahwa etika merupakan bagian dari ilmu filsafat. Sedangkan Etika Teologis adalah etika yang erat kaitannya dengan agama dan berisikan tentang unsur etika umum dan dapat dimengerti ketika memahami etika secara umum. Contoh etika teologis dalam agama Kristen adalah etika yang bersumber dari presuposisi-presuposisi tentang Allah atau Yang Ilahi.



Etika teleologis adalah sebuah etika yang bertolak dari praanggapan-praanggapan tentang Allah/ilahi. Sehingga, secara singkat dapat dikatakan bahwa etika teleologis adalah sebuah etika yang didasarkan atas unsur-unsur agama. Berbeda dengan etika filosofis, etika teologis memiliki sifat transempiris yaitu pengalaman manusia dengan Allah yang melampaui kesusilaan tidak dapat diamati manusia dengan panca inderanya. Karena etika teologis berhubungan dengan yang ilahi, maka sumber utama yang dijadikan sebagai etika ini adalah Alkitab dan alat bantu lainnya. Berdasarkan teori diatas kami menyimpulkan bahwa Etika Teleologis merupakan etika yang berdasarkan pada segala sesuatu yang berhubungan dengan keagamaan dan bersifat Ilahi serta sumber yang konkrit mengenai Etika Teleologis seperti kitab-kitab suci. Dalam Etika Teologis tidak hanya dimiliki oleh suatu agama tertentu tetapi dalam setiap agama memiliki Etika Teleologisnya secara masing - masing. Dan juga Etika Teleologis merupakan bagian etika secara umum, banyak unsur di dalamnya yang terdapat dalam etika secara umum sehingga akan lebih mudah memahami jika sudah mengertikan tentang etika secara umum. C. Tokoh Teori Etika Teleologis Secara historis etika sebagai usaha dari filsafat, yang lahir dari kerusakan tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu. Pada zaman ini pandangan lama tentang baik dan buruk tidak lagi dipercayai, maka para filosof yang peka terhadap kondisi ini mulai mempertanyakan kembali norma-norma dasar bagi perilaku manusia. Situasi tersebut berlaku pula pada zaman sekarang ini. Persoalan yang muncul bukan hanya menbedakan antara kewajiban dan yang bukan merupakan kewajiban, melainkan manakah norma-norma untuk menentukan apa-apa yang harus dianggap sebagai kewajiban. Norma-norma moral sendiri dipersoalkan. Untuk mencapai suatupendirian dalam pergolakan pandangan-pandanagan moral ini diperlukan refleksi kritis etika. Para filosof adalah manusia-manusia pilihan yang mengabdikan dirinya pada pergulatan keilmuan dan pemikiran yang tiada henti. Walaupun pandangan sinis sering diarahkan kepada kaum filosof sebagai kelompok yang hanya duduk dikursi dan menteorikan dunia hayalan, tetapi kehadiran para filosof telah memberikan warna tersendiri bagi kehidupan di dunia ini. Setidaknya mereka mampu mengabstraksikan realitas yang dilihat utamanya dalam konsepkonsepnya tentang etika. Ada pun tokoh-tokoh yang membicarakan masalah etika antara lain (Franz Magnis-Suseno, 1997:15-39): 23



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



1. Plato Pandangan Plato tentang pencapaian hidup yang baik tidak lepas dari teorinya mengenai jiwa dan ide-ide. Untuk mencapai kebahagiaan, jiwa manusia harus sampai kepada dunia ide-ide. Hal ini hanya bias terjadi dengan cara pengan dalam rasio atau akal budi. 2. Aristoteles Aristoteles menegaskan "kebahagiaan adalah sesuatu yang final, serba cukup pada dirinya, dan tujuan dari segala tindakan...". Dengan demikian, semua tindakan yang bertujuan untuk membahagiakan orang lain atau diri sendiri dikatakan baik. Etika menurutnya adalah ilmu tentang tindakan tepat dalam bidang khas manusia. Objek etika adalah alam yang berubah terutama alam manusia, oleh karena itu etika bukan merupakan episteme atau bukan ilmu pengetahuan. Tujuan etika bukan dispesifikasikan kepada pengetahuan, melainkan praxis, bukan mengetahui apa itu hidup yang baik, melainkan membuat orang untuk hidup yang lebih baik. Pendapat ini bertentangan dengan Franz yang menganggap bahwa etika merupakan ilmu yang sistematis.



3. Thomas Aquinas Filsuf sekaligus teolog Thomas Aquinas menegaskan bahwa Allah adalah "tujuan" dari segala sesuatu. Dengan demikian, segala sesuatu yang berorientasi kepada Allah dikatakan "baik", dan segala sesuatu yang tertuju di luar Allah dikatakan "jahat". 4. Immanuel Kant Menurut Kant setiap norma dan kewajiban moral tidak bisa berlaku begitu saja dalam setiap situasi. Jadi, sejalan dengan pendapat Kant, etika teleology lebih bersifat situasional karena tujuan dan akibat suatu tindakan bias sangat tergantung pada situasi khusus tertentu. 5. Gene Bloker Etika menurutnya adalah suatu cabang ilmu filsafah moral yang mencoba mencari jawaban guna menentukan dan mempertahankan secara rasional teori yang berlaku umum tentang apa yang benar dan apa yang salah serta apa yang baik dan yang buruk sebagai sebuah perangkat prinsip moral yang dapat digunakan untuk pedoman bagi perilaku manusia. 6. Catalano Catalano mendefinisikan etika sebagai sebuah sistem penilaian terhadap perilaku dan keyakinan untuk menentukan perbuatan yang pantas guna menjamin adanya perlindungan atas hak-hak individu. Didalamnya mencakup cara-cara perbuatan keputusan untuk membantu membedakan perbuatan yang baik dari yang buruk serta untuk mengarahkan yang seharusnya. 7. Martin Menurut Martin, etika didefinisikan sebagai “the discipline which can act as the performance index or reference for our control system”. Dengan demikian, etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. Dalam beberapa konsep etika, banyak para filosof yang menghubungkan etika dengan tujuan pencapaian kebahagiaan manusia di dunia dan diakhirat yang menghubungkan etika dengan jiwa, baik itu merupakan jiwa hewani, esensi nonbendawi maupun manusiawi. Selain itu masih ada juga yang menghubungkan moral atau etika dengan politik, rumah tangga dan menghubungkannya dengan keutamaankeutamaan dengan mengerjakan perbuatan yang baik dan terpuji. D. Jenis Etika Teleologis 24



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



Terdapat beberapa jenis tolak ukur moral dalam etika teleologis ini. Diantaranya adalah egoisme etis, hedonisme etis, eudaimonisme, dan utilitarisme. Pada sub-bab ini juga akan diberikan beberapa kasus pada masing-masing jenis etika teleologis. Berikut ini merupakan penjelasan dari masing-masing jenis etika teleologis. 1. Egoisme Etis Egoisme etis adalah teori normatif yang menekankan bahwa prinsip moral yang paling dasariah dan mutlak dalam bertindak dalam mengejar kepentingan diri sendiri (self-interest). Baginya, menolong orang lain bukanlah kewajiban hanya sejauh tercapainya kepentingan sendiri. Egoisme etis mendasarkan diri pada egoisme psikologis, yang berpandangan bahwa semua manusia secara kodrati cenderung hanya mengejar kepentingan dirinya saja. Jadi, pandangan ini mereduksi motif seluruh tindakan manusia pada tujuan kepentingan diri sendiri saja (cinta diri). Bertindak altruis hanyalah ilusi karena pada akhirnya orang tidak pernah benar-benar memperhatikan orang lain selain dirinya sendiri. Sikap altruistik yaitu mencampuri urusan orang lain, hal tersebut menjadikan orang lain sebagai objek untuk di tolong dan membuatnya bergantung kepada si penolong sehingga kebebasannya terasa seperti dirampas orang lain. Menurut Ayn Rand, egoisme lebih unggul dibandingkan etika altruisme. Karena sikap tersebut dapat merusak hidup individu. Sedangkan egoisme justru lebih menghargai kehidupan individu karena mengutamakan pengejaran kepentingan diri masing-masing. Rachels (2004) memperkenalkan 2 konsep yang berhubungan dengan egoisme yaitu egoisme psikologis dan egoisme etis. Egoisme psikologis adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa suatu tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri. Egoisme etis adalah tindakan yang dilandasi oleh kepentingan diri sendiri. Yang membedakan tindakan berkutat diri (egoisme psikologis) dengan tindakan untuk kepentingan diri (egoisme etis) adalah pada akibatnya terhadap orang lain. Tindakan berkutat diri ditandai dengan ciri mengabaikan atau merugikan kepentingan orang lain, sedangkan tindakan mementingkan diri tidak selalu merugikan kepentingan orang lain. Contoh kasus egoisme etis dalam kehidupan sehari-hari seperti: Tindakan dalam kehidupan sehari-hari seperti dalam membeli tiket, pada saat mengantri panjang lalu menyerobot antrian yang didepannya agar dia dapat membeli tiket lebih cepat tanpa memikirkan orang yang mengantri di depannya padahal belum saat gilirannya.Bisa juga di dalam sebuah keluarga, pada saat berkumpul bersama anggota keluarga dirumah, ketika salah satu anggota keluarga entah itu adik, kakak, ibu atau ayahnya menonton acara televisi favoritnya tanpa peduli pada orang lain dengan berbagi dengan siapapun. Seseorang yang merokok ditempat atau kendaraan umum. Dengan seenaknya ia menghisap dan mengeluarkan asap rokok tanpa memperhatikan orang-orang yang disekitarnya. Ketika seseorang melakukan diskusi kelompok tetapi seseorang tersebut menginginkan agar orang lain menerima dan mengikuti pendapatnya. Seorang anak mencuri untuk membeli obat ibunya yang sedang sakit. Tindakan ini baik untuk moral dan kemanusiaan tetapi dari aspek hukum tindakan ini melanggar hukum sehingga etika teleologi lebih bersifat situasional, karena tujuan dan akibatnya suatu tindakan bisa sangat bergantung kepada situasi khusus tertentu. 2. Hedonisme Etis Hedonisme etis adalah pandangan etika yang menyatakan bahwa apa yang baik untuk dilakukan manusia adalah yang memuaskan kesenangan atau kenikmatan. Menurut pengertian 25



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



hedonisme etis, manusia hidup dengan cara mencari dan mengupayakan kesenangan sebagai tujuan hidupnya dan sebisa mungkin menghindari segala penderitaan. Hedonisme sendiri merupakan aliran etika yang memiliki gagasan “manusia hidup demi mengejar rasa nikmat dan bebas dari rasa sakit” karena itu, banyak orang mengikuti aliran ini sebab sederhana dan mudah diterima oleh akal manusia. Menurut Frans Magnis-Suseno, sikap hedonistik umumnya dipahami sebagai sesuatu yang buruk atau tidak bermoral, sehingga menempatkannya sebagai suatu bentuk etika menjadi kontradiktif. Akan tetapi, Magnis menegaskan bahwa hedonisme etis yang dimaksud bukanlah pengejaran nafsu atau kenikmatan secara membabi buta, melainkan kenikmatan akan dicapai secara seimbang lewat pengendalian diri. Hedonisme etis berbeda dengan egoisme etis. Egoisme etis meletakkan prinsip pada kepentingan diri, sementara hedonisme etis meletakkan prinsip pada pemuasan kenikmatan atau kesenangan. Meskipun mencapai kenikmatan dapat digunakan sebagai mendapat kepentingan individual, hal tersebut tidak sama dengan mengejar atau mendapatkan kepentingan diri karena mencapai kenikmatan juga bisa saja diperoleh untuk kepentingan umum, sedangkan tindakan egoistik hanya untuk kepentingan diri sendiri. Contoh kasus hedonisme etis dalam kehidupan sehari-hari seperti: Ada seseorang ingin mencapai kekayaan, jika ia mengikuti prinsip hedonisme etis ini ia akan berusaha mendapatkannya dengan bekerja karena ia ingin mendapatkan kekayaan. Tetapi, jika hal tersebut dilakukan tanpa pengendalian diri, maka ia akan melakukan segala cara untuk mendapat kekayaan tersebut seperti melakukan perampokan, pencurian, korupsi, dsb. Saat seseorang ingin mendapat kepuasan untuk berhubungan seksual, ia akan berusaha mendapatkan kepuasan tersebut dengan melakukannya bersama pasangannya, tetapi jika dilakukan tanpa pengendalian diri maka bisa jadi ia akan melakukan pemerkosaan, dsb. Saat ada seseorang ingin mencapai kepuasan untuk menghibur dirinya melalui bermain video games, ia akan memainkan video games tersebut untuk mencapai kepuasannya tersebut. Tetapi jika ia melakukan hal tersebut tanpa pengendalian diri, ia akan bermain video games hingga lupa waktu, melupakan pekerjaannya, dan lingkungan sekitar. 3. Eudaimonisme Eudaimonisme adalah sebuah paham atau teori realisasi diri yang menganggap bahwa kebahagiaan atau kesejahteraan pribadi adalah hal paling utama bagi manusia. Menurut Aristoteles, eudaimonia bukan sebuah keadaan dalam pikiran manusia tetapi termasuk kegiatan atau aktivitas yang terbaik yang dapat manusia lakukan untuk mencapai kebahagiaannya. Namun tokoh utilitarian Inggris, Jeremy Bentham dan John Stuart Mill mengartikan eudaimonism sebagai usaha mencapai kebahagiaan yang dianggap sebagai kesenangan dan ketidakadaan dari rasa sakit. Sedangkan menurut filsafat Yunani, eudaimonia adalah kondisi dimana manusia berada dalam fase terbaiknya, dalam segala hal tidak hanya dalam kebaikan tapi juga kebajikan, moralitas, serta kehidupan yang bermakna. Menurut Aristoteles, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencapai eudaimonia, yaitu kesehatan,kebebasan kemerdekaan, kekayaan serta kekuasaan, kemauan, perbuatan baik, dan pengetahuan batiniah. Eudaimonisme terbagi ke dalam 5 versi berbeda sebagai berikut. a. Pemikiran Sokrates b. Pemikiran Platonis 26



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



c. Pemikiran Aristotelian d. Pemikiran Epicurean e. Pemikiran Stoic Dampak dari penerapan teori ini adalah banyaknya pribadi yang mengedepankan kepentingan individu atau kelompok dibandingkan dengan kepentingan bersama. Namun tidak semua penerapan dari eudaimonisme menghasilkan individualisme. Seperti contoh dalam keseharian yaitu seorang dokter yang akan berusaha sebaik mungkin dalam mengobati pasien yang datang kepadanya untuk berobat, karena keberhasilan seorang dokter dalam menyembuhkan seorang pasien akan membuatnya bahagia dan juga pasiennya bahagia. Atau sepasang orang tua yang mendidik anaknya akan mengusahakan mendidik anaknya sebaik mungkin karena saat mereka melihat anaknya tumbuh dengan baik dan bahagia maka akan menjadi kebahagiaan bagi orang tua dan anak mereka. Contoh kasus eudaimonisme etis dalam kehidupan sehari-hari seperti: Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang ingin berusaha untuk melakukan tugasnya dengan sebaik mungkin untuk mengusahakan keberhasilan dan kebahagiaan dirinya atau orang-orang sekitarnya. Seperti orang tua yang mendidik anaknya, maka akan berusaha mendidik anaknya sebaik mungkin. Jika seseorang memiliki profesi seorang dokter, dia akan berusaha sebaik mungkin untuk berhasil menyembuhkan pasiennya dengan memberikan diagnosa dan obat yang sesuai. 4. Utilitarisme Utilitarisme merupakan etika normatif yang berpandangan hal baik secara moral adalah ketika memberikan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang (The greatest good for the greatest number). Utilitarisme juga menyatakan tindakan terbaik merupakan tindakan yang memaksimalkan utilitas dalam membuat keadaan yang baik untuk individu. Jeremy Bentham sebagai pendiri utilitarianisme menyatakan bahwa utilitas merupakan jumlah kesenangan yang diakibatkan dari suatu tindakan dikurangi dengan penderitaan yang terlibat dalam pelaksanaan tindakan tersebut. Sehingga menurut pandangan utilitarisme, konsekuensi merupakan satusatunya standar tindakan benar dan salah. Teori ini menentukan hal benar dan salah berdasarkan dari hasilnya. Apabila hasil dari suatu tindakan menghasilkan kebaikan terbesar dalam jumlah terbesar, maka tindakan tersebut etis. Terdapat 2 jenis teori etika normatif utilitarisme, diantaranya adalah utilitarianisme tindakan. Kaidah dasar dari teori ini adalah “Bertindaklah sedemikian rupa agar setiap tindakanmu dapat menghasilkan akibat baik yang lebih besar bagi dunia dibandingkan dengan akibat buruknya.” Sedangkan teori yang kedua adalah utilitarisme peraturan, teori ini merupakan pengembangan dari kelemahan teori yang pertama. Dimana teori ini tidak lagi memperhitungkan akibat baik dan buruk dari tindakan seorang individu, melainkan peraturan umum yang mendasari tindakan tersebut. Dengan dasar kaidah sebagai berikut “Bertindaklah sesuai dengan peraturan-peraturan yang menghasilkan akibat baik lebih besar untuk dunia ini dibandingkan akibat buruknya. Jeremy Bentham sebagai pendiri utilitarianisme menyatakan, terdapat lima buah karakteristik dari utilitarisme, diantaranya adalah: 1. Universalisme Utilitarisme berpendapat bahwa moralitas itu bersifat universal, dimana standar moral berlaku bagi semua orang di semua situasi. Sehingga dalam pandangan ini, utilitas bagi semua orang dianggap sama pentingnya dan semua orang dianggap secara setara. 2. Konsekuensialisme Utilitarisme berpendapat bahwa konsekuensi dari suatu tindakan merupakan hal yang 27



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



terpenting secara moral. 3. Welfarisme (Kesejahteraan) Welfarisme adalah pandangan bahwa konsekuensi signifikan secara moral adalah dampak pada kesejahteraan manusia, tetapi konsep ini biasanya dikaitkan dengan kesejahteraan ekonomi. 4. Agregasi Utilitarisme berpendapat bahwa kesejahteraan (utilitas) dari setiap orang dapat dibandingkan dan disimpulkan dari totalnya untuk menggambarkan kesejahteraan semua orang. 5. Maksimalisasi Dalam utilitarisme, tindakan terbaik adalah ketika tindakan tersebut menghasilkan tingkat kesejahteraan paling maksimal. Contoh kasus hedonisme etis dalam kehidupan sehari-hari seperti: Kasus virus korona yang ada dalam kondisi sekarang ini di Indonesia, mengakibatkan banyak kegiatan yang terhambat pelaksanaannya. Hal ini mengakibatkan banyak terjadinya pemberhentian pekerja, orang yang berjualan harus berhenti untuk sementara, dan angkutan umum seperti ojek online yang tidak diperbolehkan untuk membawa penumpang demi terhindarnya dari virus ini. Oleh karena itu banyak sekali orang yang berinisiatif untuk melakukan penggalangan dana yang ditujukan untuk orang-orang yang sedang kesulitan atau tidak mampu tersebut. Hal tersebut merupakan salah satu kegiatan yang baik secara moral menurut etika normatif utilitarisme. Karena tindakan ini dapat menimbulkan dampak yang sangat baik bagi banyak orang. Kasus proyek pembangunan sebuah jalan tol, terdapat beberapa rumah yang harus digusur karena berada dalam wilayah pembangunan jalan tol. Namun beberapa pemilik rumah tersebut tidak menerima dan enggan untuk pindah dari rumah tersebut. Setelah berunding dengan pihak yang bersangkutan, akhirnya pemerintah daerah tersebut memberikan ultimatum untuk segera keluar dari rumah tersebut karena rumah tersebut akan di buldozer secara paksa oleh pihak proyek. Pemda sebenarnya tidak mau merugikan keluarga yang tinggal dalam rumah-rumah tersebut, namun keluarga tersebut juga harus memahami keadaan. Berdasarkan masalah tersebut, pemda menggunakan prinsip utilitarisme. Dimana pembangunan jalan tol yang dilakukan akan menguntungkan lebih banyak orang dibandingkan dengan kerugian yang dialami oleh keluarga-keluarga tersebut. Sehingga dalam pandangan utilitarisme, tindakan yang dilakukan pemda logis dan benar. Namun hal ini bertentangan prinsip keadilan, karena keluarga-keluarga tersebut memiliki hak asasi yang harus dihormati oleh pihak pemda. Dengan menjadikan “tumbal” pada beberapa keluarga demi kesejahteraan banyak orang lain, tidak dapat diterima secara moral.



DAFTAR PUSTAKA Magnis-Suseno, Frans, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19, Yogyakarta: Kanisius, 1997. Magnis-Suseno, Frans, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 1987. Rachels, James, The Element of Moral Philosophy 4th ed. (New York: McGraw Hill Companies, Inc., 2003); terj. Oleh A.Sudiarja sebagai Filsafat Moral (Yogyakarta: 28



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



Kanisius, 2004). Sudarminta, J. Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif. Jakarta: Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila STF Driyarkara, 2012.



BAB VI KARAKTERISTIK ETIKA KRISTEN A. Pendahuluan Dalam hal ini, Alkitab memberikan penjelasan atau pertimbangan mengenai prilaku yang baik dan yang buruk sehingga orang Kristen bisa membedakan mana yang buruk dan mana yang baik. Prilaku yang dikehendaki oleh Allah ialah mengasihi sesama manusia Matius 22:39, melakukan yang baik dan terus mencari perdamaian 1 Petrus 3:11 dan yang ada dalam Keluaran 20:12-17. Dengan demikian, jelas bahwa karakteristik etika Kristen yang dipakai ialah prilaku yang dikehendaki oleh Allah dan kasih menjadi dasar utama serta etika Kristen merupakan perintah yang harus dilakukan. Dalam Alkitab sendiri tidak berbicara langsung mengenai etika tetapi dengan melihat bahwa etika merupakan aturan-aturan supaya manusia mempunyai perilaku atau tindakan yang baik maka jelas banyak teks Alkitab yang berbicara mengenai perilaku yang baik, seperti dalam 1 Korintus 15:33 “Janganlah kamusesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan” dan teks ini jelas berbicara mengenai kebiasaan, yang dalam bahasa Yunani ethos (kata benda-netraljamak-objek penderita) yang diterjemahkan menjadi kebiaasaan (Sutanto, 2014), dimana kata ethos sangat dipengaruhi dengan kata pergaulan yang buruk dan ethos mempunyai hubungan yang menjelaskna ayat 34 bahwa dalam jemaat Korintus ada beberapa yang tidak mengenal Allah. Etika Kristen adalah pengajaran mengenai prilaku atau tindakan yang harus yang dilalukan oleh orang Kristen, sebagai bentuk ketaatan kepada Tuhan. Sedangakan pengajaran atau aturan-aturan etika Kristen semua berlandaskan Alkitab. Oleh karena etika Kristen merupakan aturan-aturan untuk berprilaku maka wajib bagi orang Kristen untuk memahami tujuan atau indikator yang dipakai dalam etika Kristen. B. Etika Kristen Yang Dikehendaki Allah Etika Kristen yang dikehendaki Allah adalah suatu bentuk perintah, ketentuan atau 29



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



kebenaran yang sejalan dengan atribut moral Allah, yang wajib dilakukan oleh orang percaya atau orang Kristen. Atribut moral Allah terdapat dalam Imamat 11:45, “Jadilah kudus sebab Aku ini kudus”. Dalam bentuk sederhana atau praktis Geisler, memberikan dua contoh tentang atribut moral Allah dan yang wajib dilakukan oleh orang Kristen, yaitu dalam Ibrani 6:18, Allah tidak mungkin berdusta. Sedangkan contoh kedua dari artibut Allah dalam Matius 22:39, “Mengasihi Tuhan dengan segenap hati... mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri”. Dengan demikian Etika Kristen yang dikendaki oleh Allah ialah bentuk perintah, ketentuan dan kebenaran, yang wajib dilakukan oleh orang Kristen dalam berprilaku dan bertindak. Ketika para Ahli Taurat bertanya ”Hukum manakah yang paling utama ?” Maka atas dasar kerangka berpikir Ahli Taurat maka sesungguhnya pertanyaan tersebut apabila dioperasionalkan bisa dinyatakan ”Dari ketiga hukum yang ada yakni hukum Taurat, hukum adat, dan hukum etika-moral, manakah yang paling berguna bagi kehidupan manusia ?”. Tentunya Ahli Taurat menginginkan agar Tuhan Yesus memilih salah satu diantanya. Apabila Tuhan Yesus memilih salah satu (misal yang paling utama adalah hukum Taurat, atau hukum adat, atau hukum etika-moral) sebenarnya sudah merupakan jawaban yang benar menurut Ahli Taurat. Apalagi jika menjawab semua, maka kecerdasan Tuhan Yesus dianggap sama dengan kecerdasan Ahli Taurat. Namun bila Tuhan Yesus memilih salah satu jawaban sesuai dengan keinginan Ahli Taurat berarti menjadi kemenangan Ahli Taurat atas keinginan dan kehendak Tuhan. Jadi dibalik pertanyaan tersebut, Ahli Taurat ingin menguasai jalan pikiran dan kehendak Tuhan Yesus. Mengasihi Tuhan menuntut sikap hati yang sangat menghormati dan menghargai Allah sehingga dengan sungguh-sungguh merindukan persekutuan dengan Tuhan. Kasih kepada Tuhan adalah berusaha untuk mentaati Tuhan diatas muka bumi, dan benar-benar memperdulikan kehormatan dan kehendak Tuhan di dunia. Kasih kepada Allah menjadi dasar untuk dapat mengasihi sesama sesuai rangkaian Allah dalam diri orang percaya. Kasih kepada sesama diatur serta dikendalikan oleh kasih dan pengabdian kepada Allah. Kasih kepada Allah merupakan ”hukum yang yang terutama”. Oleh karena itu ketika menyatakan kasih kepada sesama manusia, maka keinginan Tuhan, kehendak Tuhan, dan standar Tuhan sebagaimana terdapat dalam Alkitab menjadi dasar kasih tersebut. Dalam etika Kristen, hukum kasih harus dilandasari kasih Kristus dengan penjelasan sebagai berikut : 1. Hukum Kasih adalah hukum yang berasal dari Tuhan. Tuhan yang esa juga berarti Tuhan Yesus. Hukum Kasih adalah karya Tuhan yang dinyatakan hanya oleh Tuhan Yesus. Ini berarti untuk bisa menerima, memahami, dan melaksanakan hukum kasih tersebut harus bersedia menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan yang esa, beriman kepada Tuhan Yesus, meneladani karya dan mewujudnyatakan karya Tuhan Yesus didunia. Dengan kata lain, hukum kasih menurut Tuhan Yesus bukanlah hukum yang berasal dari sejarah (nenek moyang), bukan pula dari  nabi-nabi terdahulu, dan juga bukan hukum adat atau etika buatan manusia. 2. Hukum kasih menurut Tuhan Yesus adalah hukum yang paling menentukan kualitas hidup manusia dihadapan Tuhan. Apabila kualitas hidup manusia sudah benar dan baik menurut kehendak Tuhan maka kehidupan masyarakat dengan sendirinya akan berjalan aman, damai, adil, jujur, penuh kasih, tulus, rendah hati dan sebagainya. Apabila hukum kasih dipraktekkan maka kehidupan manusia yang terjadi adalah kehidupan sama dengan kehidupan ketika manusia belum jatuh kedalam dosa. 3. Hukum Kasih menurut kehendak Tuhan Yesus adalah hukum yang berdasar pada latar 30



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



belakang kehadiran Tuhan Yesus di dunia. Hukum kasih merupakan hukum atas dasar kerangka berpikir bahwa Tuhan itu penuh kasih dan sudah lebih dahulu mengasihi manusia. 4. Hukum kasih menurut Tuhan Yesus merupakan hukum yang memiliki kedudukan yang paling utama diantara semua hukum lain yang berlaku didunia. Hukum dari Tuhan Yesus adalah hukum paling utama karena hukum itu menjadi sumber hukum lain, menjadi fondasi atas hukum lain, dan menjadi dasar dari seluruh hukum-hukum yang lain. Di dalam Kejadian 1:26-27 menjelaskan bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang membawa rupa dan gambar-Nya. Allah memberikan manusia berbagai potensi dalam diri manusia, seperti kemampuan berkomunikasi, berpikir, merasakan, juga berbuat, agar mempermuliakan Dia. Salah satu anugerah yang diberikan Allah kepada manusia adalah perasaan “Cinta”. Cinta dalam hal ini adalah cinta terhadap Allah dan terhadap ciptaan Tuhan. Kasih atau Cinta adalah sebuah emosi dari kasih sayang yang kuat dan ketertarikan pribadi. Dalam konteks filosofi cinta merupakan sifat baik yang mewarisi semua kebaikan, perasaan belas kasih dan kasih sayang. Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apa pun yang diinginkan objek tersebut.



Ada empat kata yang bisa diterjemahkan sebagai cinta dalam bahasa Yunani, yaitu: agape, phileo/philia, storge, dan eros. 1. Agape Agape adalah kata yang digunakan ketika merujuk kepada kasih Allah (1 Yoh 4:7-12, 16b; Yoh 3:16). Agape juga adalah kasih karena apa yang seseorang lakukan dan bukan apa yang seseorang rasakan. 2. Phileo/philia Phileo/philia, yang artinya “memiliki ketertarikan khusus kepada seseorang atau sesuatu, yang dekat kepada kita, memberi perasaan kita, menganggapnya sebagai seorang saudara.” Phileo ini sebenarnya lebih baik diterjemahkan sebagai “sangat menyukai” atau “persahabatan sejati”. Kata ini agak berbeda kalau diterjemahkan dengan kata dalam bahasa Inggris “love”, tetapi lebih tepat dengan “strongly like”. Kata ini mungkin bisa kita terjemahkan dengan kata “suka” atau “menyukai”. 3. Storge Storge menunjukkan kasih antara orangtua dan anaknya, atau terhadap saudara kandung, dan juga antara suami dan istri dalam pernikahan yang baik dan sehat (Roma 12:9-10) “9Hendaklah kasih (agape) itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik.10Hendaklah kamu saling mengasihi (phileo/philia/storge) sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.” Atau, “Hormatilah ayah dan ibumu (Kej. 20:12) 1. Eros Eros digunakan untuk menggambarkan cinta seksual, yaitu cinta secara badaniah. Eros adalah asal kata erotica, dan juga digunakan untuk merujuk kepada dewa cinta dari Yunani. Kata ini sebenarnya tidak pernah muncul dalam Alkitab. 31



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



C. Etika Kristen itu Absolut Etika Kristen yang Absolut merupakan prilak atau tindakan yang didasarkan pada sifat Allah, yaitu kasih dalam hal ini Geisler memberikan contoh mengenai etika Kristen yang absolut dalam Kejadian 3:1-24, dimana Adam dan Hawa melanggar perintah Allah dengan memakan buah pengetahuan tentang hal yang baik dan pengetahuan tentang hal yang jahat. Allah tetap memberikan hukuman terhadap Adam dan Hawa tetapi karena Sifat Allah adalah kasih maka Allah juga menyediakan pengampunan bagi Adam dan Hawa. Allah menciptakan manusia dengan kehendak bebas, kemampuan untuk memilih (Cornner. J Kevin, 2004:278). Dalam artian ketika manusia menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, manusia diberikan kehendak bebas oleh Allah untuk melakukan segala sesuatu menurut kehendak manusia. Kehendak bebas yang dimiliki manusia bukan berarti kehendak bebas yang tidak memiliki aturan dari Allah, melainkan kehendak bebas yang manusia miliki tetap dibawah aturan yang diberlakukanan Allah. Aturan yang diberikan Allah kepada manusia yaitu dalam Kej 2:16-17 “Lalu Tuhan Allah memberikan perintah kepada manusia: “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati”. Dalam kebebasan manusia untuk menguasai seluruh ciptaan yang ada, didalamnya terdapat aturan yang diberikan TUHAN Allah untuk manusia taati. Secara sederhana dapat dipahami bahwa didalam kebebasan manusia menggunakan kehendak bebasnya dituntut juga untuk manusia mengiktui aturan yang TUHAN Allah berikan. Manusia dicipakan didunia ini dengan memiliki kehendak bebas. Kehendak yang dimiliki oleh manusia sepenuhnya dipegang oleh manusia dan manusia bebas menggunakan kehendaknya seturut kemauannya. Kehendak bebas secara etimologi berarti Kehendak: kemauan, keinginan dan harapan yang keras. Pink Arthur W (2005:122) mengatakan dalam bukunya Kehendak didefinisikan yaitu merupakan kemampuan untuk membuat pilihan, penyebab langsung dari segala tindakan. Pemahamannya bahwa manusia diberikan kebebasan untuk memilih segala sesuatu sesuai dengan keinginannya dan tidak ada yang membatasi. Manusia menggunakan kehendak bebas yang dimilikinya untuk mengusahakan seluruh alam semesta yang telah diciptakan oleh Allah. Sebelum kejatuhan manusia, manusia dengan kehendaknya hanya berfokus untuk melayani Allah dan melakukan segala yang telah ditugaskan Allah kepadanya, tetapi sebaliknya setelah kejatuhan manusia dalam dosa manusia tetap dapat menggunakan kehendak bebasnya namun apapun yang dikehendaki oleh manusia pada saat manusia jatuh kedalam dosa hanya melakukan hal yang jahat. Manusia setelah jatuh dalam dosa mengalami regresi dari naturnya yang dulu ketika sebelum jatuh dalam dosa yaitu segambar dan serupa dengan Allah, kemudian pada saat manusia jatuh kedalam dosa manusia kehilangan kemuliaan Allah. Hal ini selaras Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Roma, Rom. 3: 23 “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah,”. Konsekuensi dari kehendak bebas manusia yang tidak taat pada aturan Tuhan adalah manusia diusir dari taman Eden dan segala jenis hukuman yang didapatkannya yang tergambar dalam Kej 3:14-19. Allah menciptakan manusia dengan kehendak bebas dengan maksud manusia dijadikan Allah untuk dapat memiliki kehendaknya sendiri. Dalam artian manusia bebas untuk memilih segala sesuatu didalam hidupnya sesuai dengan kemauannya. Manusia dengan bebas memilih dan menentukan mana yang dikehendaki didalam kehidupannya, mentaati perintah Allah atau tidak mentaati perintah-Nya. Seperti yang tersirat dalam Surat Efesus, Ef. 2:1-3 “Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu. Kamu hidup didalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu mentaati penguasa kerajaan angkasa, 32



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



yaitu roh yang sekarang sedang bekerja diantara orangorang durhaka. Sebenarnya dahulu kami semua juga terhitung diantara mereka, ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti pikiran kami yang jahat. Pada dasarnya kami adalah orang-orang yang harus dimurkai, sama seperti mereka yang lain”. Dari penjelasan ayat tersebut menunjukkan bahwa, Allah tidak turut ikut ambil bagian dalam rana kehendak bebas yang manusia miliki. Tetapi Allah adalah Maha Tahu, Dia yang Alfa dan Omega, Dia yang Awal dan Akhir, maksudnya Dia mengetahui segala hal yang terjadi dalam kehidupan manusia dengan kehendak bebasnya. Bila Allah ikut ambil bagian dalam menentukan kehendak manusia maka kehendak manusia tidak bebas lagi karena ada intervensi Allah. Meskipun demikian Allah tetap berdaulat pada kehendak bebas manusia karena Allah adalah Sang pemberi kehendak. Allah berdaulat atas kehendak bebas manusia tetapi Allah tidak dapat melarang manusia untuk selalu berbuat baik tanpa mengingkari perbuatan jahatnya. Bila terjadi demikian manusia akan menjadi (innocent automaton) yang artinya manusia berprilaku seperti mesin yang tak pernah berbuat dosa dan berbuat jahat serta seluruh hidupnya telah dikendalikan oleh Allah. Tetapi Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk berkehendak dengan mentaati aturan-aturan yang telah Tuhan Allah tetapkan. D. Etika Kristen Berdasarkan Wahyu Allah Etika Kristen berdasarkan Wahyu Allah merupakan perintah Allah dalam bentuk wahyu umum merupakan perintah Allah bagi seluruh umat manusia, sedangan wahyu khusus merupakan perintah Allah yang diberikan kepada orang percaya atau orang Kristen. Tetapi kedua wahyu tersebut didasarkan pada wahyu Ilahi. Penyataan umum ialah penyataan Allah kepada manusia sehingga manusia menyadari adanya oknum yang ilahi. Mengenai hal tersebut Henry C. Thiessen (Stevri. I. Lumintang, 2010:10) menjelaskan: ”Penyataan umum ini disampaikan lewat fenomena alami yang terjadi dalam alam atau dalam alur sejarah; penyataan itu ditujukan kepada semua makhluk yang berakal sehingga dapat dipahami oleh semuanya. Penyataan ini bertujuan memenuhi kebutuhan alami manusia serta meyakinkan jiwa agar mencari Allah yang benar”. Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa penyataan umum disampaikan melalui sarana umum, seperti alam semesta dan sejarah. Penyataan umum ditujukan kepada semua umat manusia. penyataan umum menyadarkan manusia adanya pihak yang ilahi dan penyataan umum tidak menyelamatkan manusia. Hal senada juga dituliskan oleh R.C. Sproul (2007:4) menuliskan wahyu umum disebut ”umum” karena dua alasan, yaitu: pertama, isinya bersifat umum. Kedua wahyu ini dinyatakan bagi semua orang secara umum.  Dr. Warfield (Louis Berkhof, 2011:44) dalam tulisannya ketika membedakan antara wahyu umum dan wahyu khusus menyatakan, wahyu umum ditujukan kepada semua makhluk yang berpikir, jadi dapat diterapkan kepada semua manusia, wahyu umum mencukupi kebutuhan natural dari makhluk akan pengetahuan tentang Allah-Nya dan wahyu umum berakar pada penciptaan, ditujukan pada manusia sebagai manusia, dan lebih sempit lagi, kepada pemikiran manusia, dan mencapai tujuannya dalam realisasi akhir dari penciptaan, yaitu untuk mengenal Allah dan dengan demikian dapat menikmati persekutuan dengan-Nya. Pendapat berbeda ditegaskan oleh Stevri I. Lumintang (2006:73) yang menuliskan bahwa penyataan umum tidak mampu membawa seseorang mengenal Allah. Hanya kitab sucilah, penyataan Allah yang khusus ini yang akan membawa manusia pada pengenalan akan Allah yang sejati. Maka wahyu umum hanya membuat manusia menyadari adanya Allah namun tidak 33



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



membuat manusia mengenal siapa Allah. Mengenai jangkauan pengertian wahyu umum Thommy J. Matakupan (2010:9) menuliskan: ”Penyataan umum memberikan aspek pengetahuan akan Allah, secara khusus akan eksistensi, kuasa, hikmat, dan kekekalan Allah kepada manusia. Meski demikian, Penyataan Umum memiliki keterbatasan karena tidak menyatakan segala sesuatu tentang pengertian akan diri Allah dan hgal-hal rohani sepenuhnya, yang menjadi suatu dasar untuk membangun masa depan yang kekal” Jadi wahyu umum ialah penyataan Allah secara umum, kepada semua manusia, melalui sarana umum seperti alam semesta, sehingga manusia tidak dapat menyangkal adanya Allah, bagi yang tidak menyangkal adanya Allah dalam wahyu umum, maka wahyu umum mengarahkan manusia dan menunjukkan kebutuhan keselamatan sehingga manusia tersebut benar-benar ’mengenal Allah’ di dalam wahyu khusus. E. Etika Kristen merupakan Ketetapan Etika Kristen merupakan ketetepan karena kebenaran moral ditetapkan oleh Allah yang mempunyai natur moral. Etika Kristren ialah peraturan tentang prilaku yang diukur dengan standar kebenaran Alkitab, dalam artian tidak menginjinkan berbohong atau berbuat curang demi mendatangkan kebaikan atau bahkan demi menyelamatkan nyawa seseorang. Dengan Demikian, etika Kristen merupakan ketetapan Allah. Sehingga bagi orang Kristen prilaku baik harus didasarkan pada kebenaran Alkitab. Saat kita memikirkan kata moral, hal yang mungkin muncul dibenak kita ialah mengenai hal apa yang berlaku benar di dalam tata cara kita bermasyarakat, karena kita manusia, adalah makhluk sosial yang diciptakan Tuhan untuk saling bergantung satu sama lain. Oleh sebab itu, kita sebagai manusia memang lekat untuk dapat bersikap dengan bermoral. Bermoral dalam bermasyarakat, apalagi jika kita hidup di lingkungan yang teguh memegang nilai-nilai keagamaan, maka moral masyarakat kadang berasal dari serapan moral yang diajarkan agama. Tentunya nilai moral yang dari agama tidak hanya berasal dari salah satu agama saja, namun berasal dari semua agama yang sudah dianggap oleh seluruh masyarakat keberadaanya. Dengan begitu, maka semua agama mengajarkan hal yang sama, yaitu bagaimana menjadi manusia yang bermoral. Jika kita persempit, maka kita sebagai pengikut Kristus, kita belajar untuk dapat hidup bermoral secara moral Kristiani dalam hidup sementara di dunia ini. Hidup sebagai seorang Kristiani yang juga bermoral Kristiani akan dilihat dalam beberapa hal yang menyangkut yaitu, 1. Iman Kristiani Dalam dunia orang pengikut Kristus, kita percaya bahwa kita bermoral dengan dapat berbuat baik. Berbuat baik yang bagaimana? Yaitu berbuat baik yang tidak hanya menguntungkan diri sendiri, namun dapat memberikan energi baik bagi siapapun disekitar kita. Dari apa yang sudah kita pelajari dari kecil, bahwa tujuan kita untuk berbuat baik ialah untuk mendapatkan tempat di surga nanti. Padahal, itu merupakan pikiran yang mungkin dapat dibilang cukup sempit sebagai seorang Kristiani. Pandangan yang baik mengenai hidup bermoral ialah untuk menyebarkan kasih yang sudah kita terima lebih dulu dari Tuhan Yesus, anak Bapa yang tunggal yang Bapa relakan untuk menggantikan kita dalam menebus dosa yang abadi. Hidup bermoral akan mengarahkan kita menjadi dapat berbuat baik karena kita sudah merasakan kasih-Nya terlebih dahulu 2. Norma Dalam pengertian dasariah, kata norma berarti pegangan atau pedoman, aturan, tolak ukur. Sedangkan norma moral ialah terkait dengan kebebasan, dan tugas, keadaan lingkungan hidup dan tingkah laku moral. norma moral berfungsi mengingatkan manusia untuk 34



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



melakukan kebaikan demi diri-sendiri dan sesama, sehingga meminta kita untuk memperhatikan kemungkinan-kemungkinan baru dalam hidup; norma moral menarik perhatian kita kepada masalah-masalah moral yang kurang ditanggapi manusia; normanorma moral dapat menarik perhatian manusia kepada gejala ‘pembiasan emosional’. Jika berdasarkan penjelasan dasar di atas, maka kedudukan dan peran Yesus Kristus sebagai norma-norma hidup moral tersirat. Dalam teologi moral, untuk adanya hubungan antar manusia maka melalui metode pendekatan personal. Hubungan pribadi harus berawal dari dan berlabuh pada hubungan manusia dengan Allah dalam Yesus Kristus dan melalui Roh Kudus. Keberadaan Yesus sebagai norma hidup moral terkait erat dengan : ciri normatif Kitab Suci bagi moralitas Kristiani; hubungan dan tegangan antara imam dan moralitas. 3. Pilihan Dasar Tindakan manusia dalam berproses untuk menentukan sebuah pilihan dasar merupakan arah hidup dalam pribadi manusia. Manusia akan selalu disodori dengan banyak pilihan di hidupnya, karena Tuhan sendiri yang memberikan kita kebebasan dalam menentukan diri kita bagaimana cara menjalani hidup. Dengan begitu, pilihan-pilihan ini menentukan arah seorang manusia menjadi berbentuk sebuah dinamika yang tak kunjung usai dalam kehidupan. Pilihan ini berperan penting, sebab pilihan-pilihan dalam tindakan seseorang bermula dari bergantung banyak pada pilihan dasar. Rangkaian pilihan itu mengacu pada pilihan dasar yang membantu manusia dalam proses mempertimbangkan dan menilai moral. Namun sesungguhnya, dalam memilih, kita tidak sepenuhnya dapat memilih sendiri, sebab masih ada suara hati yang Tuhan pakai untuk memberikan kita waktu agar dapat memikirkan apa sebab akibat yang dapat ditimbulkan dengan memilih hal itu. 4. Hati Nurani Hati nurani merupakan suatu hal yang kompleks, dalam artian bahwa hati nurani tidak bisa hanya disadari saja, namun perlu untuk dipahami. Oleh sebab itu, cara pendekatan untuk mengenal lebih jauh apa itu hati nurani dalam kehidupan sehari-hari, hati nurani dapat disadari sudah muncul dalam diri kita sebagai manusia meski kita tidak pernah berpikir untuk berbuat demikian. Hati nurani dalam aspek teologal lebih condong membahas keputusan manusia yang menyangkut hubungannya dengan Tuhan. Dalam pembahasan yang dilakukan oleh para ahli, menyebutkan permasalahan mengenai bagaimana munculnya hati nurani merupakan hal yang rumit. Dewasa ini, manusia sering memakai atau tertarik untuk membahas mengenai hati nurani kalau mereka ingin memprotes tentang kehidupan menurut sudut pandang manusia  yang tidak menjunjung tinggi norma yang berlaku dalam kalangannya sehingga dianggap tidak etis dalam bertindak. Dengan begitu, setidaknya ada 3 pandangan dasar tentang hakikat hati nurani yang akan dikemukakan mengenai hati nurani. b) Umumnya yang dimaksud dengan hati nurani adalah keputusan konkret melalui penalaran praktis, berkat pengaruh kekuatan dalam hati nurani, yang menyangkut kebaikan moral dalam tindakan tertentu. Selain konkret, hati  nurani juga mempunyai sifat subjektif, individual dan eksistensial. Dalam hal ini, maka hati nurani lebih dipandang sebagai keputusan moral praktis yang memberitahukan kepada manusia dalam suatu keadaan konkret sambil mengingatkan manusia akan kewajiban moral yang perlu dipenuhi. c) Hati nurani dipandang sebagai kecakapan moral seseorang, “sanggar suci” terdalam 35



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



manusia, tempat manusia mengenal dirinya dihadapan Tuhan dan orang lain. Hati nurani merupakan kedalaman keberadaan manusia yang sesungguhnya, pusat terdalam pribadi yang tertuju pada Tuhan yang memelihara manusia. d) Hati nurani tidak lagi dipandang sebagai suatu “kecakapan di dalam kehendak dan intelek”, tetapi dilukiskan sebagai “tenaga dinamis” dalam diri manusia, yang memungkinkan pribadi manusia untuk memberikan tanggapan yang tepat dan benar dalam kehidupan seseorang. 5. Hukum Jika kita berbuat salah, apa yang akan kita pikirkan ialah kita akan mendapatkan sebuah sanksi, karena pada hakikat di dunia yang kita tempati ini, kita akan dianggap tidak bermoral jika berperilaku tidak sesuai dengan norma moral yang ada. Sanksi yang dapat kita terima memiliki banyak macam. Namun semuanya itu diatur dalam suatu aturan yang kita sebut hukum. Hukum yang dibuat oleh manusia tentunya berbeda dengan hukum yang Tuhan buat  untuk kita. Hukum Allah diringkaskan dalam kasih. Ada dalam Alkitab, Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah yang terutama dan yang pertama. Dan yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua inilah tergantung seluruh Taurat dan kitab para nabi”(Matius 22:37-40) 6. Dosa Kita hidup di dunia yang tidak  sempurna. Kita hidup dengan orang-orang yang sudah menanggung dosa lahir. Itulah yang kita mengerti bila kita seorang Kristiani. Paham dosa dalam Kitab Suci disebutkan bahwa dosa merupakan bentuk dari perlawanan atau pemberontakan terhadap Allah yang dapat muncul akibat adanya kebebasan yang dimiliki oleh manusia. Pemberontakan akan nubuat Allah ataupun aturan yang dibuatnya. Sementara, paham dosa dalam tradisi Katolik adalah suatu bentuk sikap negative atau menolak uluran kasih Tuhan merupakan pandangan baru terhadap pengertian dosa karena sebelumnya setiap pelanggaran hukum diartikan sebagai dosa. Namun, tidak semua hukum di dunia ini merupakan kebalikan dari dosa. Oleh karena itu, dosa sekarang dideskripsikan sebagai sikap dan pendirian menolak Allah serta kasih-Nya. Jika pengertian di atas dirangkumkan, maka dosa adalah suatu tindakan jahat secara moral yang dilakukan berdasarkan kebebasan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum Allah. Dalam Perjanjian Lama, orang-orang yang melakukan dosa ialah orang terkutuk yang akan langsung diadili oleh orang lain. Pengampunan pada masa itu ialah dalam bentuk kurban. Namun, pada Perjanjian Baru, Allah kembali ingin merangkul manusia dengan membentuk kembali jembatan yang sudah putus dengan mengirim anak-Nya yang tunggal, Yesus Kristus. Yesus mati di kayu salib untuk menebus semua dosa manusia dan  bangkit lagi untuk menunggu hari penghakiman kita yang sudah ditebus. F. Etika Kristen bersifat Deontologis Etika bersifat deontologis karena prilaku atau tindakan benar diukur atau bersifat kewajiban, sehingga etika Kristen juga bersifat deontologi karena berprilaku baik dan benar menjadi tuntutan utama orang Kristen. Maka berkewajiban prilaku atau tindakan yang baik dalam segala kondisi wajib dilakukan oleh orang percaya sesuai kebenaran Alkitab. Deontologi sendiri berasal dari kata “deon” dalam bahasa Yunani yang mengandung arti “duty” atau tugas. Teori ini memiliki keyakinan bahwa sesuatu yang baik berakar dari keberhasilan manusia dalam mengerjakan tugas atau kewajibannya. Teori ini diketahui juga 36



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



bertentangan dengan teori teleological yang mengganggap bahwa semua hal di dunia diciptakan Tuhan untuk melayani umat manusia. Fokus utama dari teori deontologi adalah tugas atau kewajiban manusia dan mengesampingkan konsekuensinya. Teori ini biasanya merupakan dorongan hati individu, sehingga pada umumnya terjadi ketika membela negara atau membela keluarganya sendiri (Ristica & Juliarti, 2014). Ristica dan Juliarti (2014:68-70) dalam bukunya: “Prinsip Etika Dan Moralitas Dalam Pelayanan Kebidanan” membagi teori deontologi menjadi tiga macam, yaitu: 1. Rational monism Teori ini dibuat oleh Immanuel Kant yang menyakini bahwa suatu tindakan dianggap bermoral jika dilakukan dengan sense of duty (rasa tanggung jawab). Tugas atau kewajiban individu adalah melakukan sesuatu yang rasional dan bermoral, sehingga semua tindakan yang berasal dari keinginan Tuhan dianggap bermoral. Untuk membedakan tindakan bermoral dan tidak bermoral, maka perlu diajarkan tentang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan. Ukuran yang digunakan adalah hati nurani individu yang bersangkutan. 2. Traditional deontology Teori ini memiliki dasar religi yang kuat, yaitu menyakini Tuhan dan kesucian hidup. Tugas dan kewajiban moral berpedoman pada perintah Tuhan. Semua tindakan yang harus dilakukan harus berdasarkan perintah Tuhan. 3. Intuitionistic pluralis Teori ini tidak memiliki prinsip utama, hanya menyatakan bahwa ada beberapa aturan moral atau kewajiban yang harus diikuti oleh semua manusia. Aturan dan kewajiban tersebut sama pentingnya sehingga sering muncul konflik satu aturan dengan aturan lainnya. Tujuh kewajiban utama yang harus dilakukan manusia, yaitu:  Kewajiban akan kebenaran, kepatuhan, ketaatan, menjaga rahasia, setia, dan tidak berbohong.  Kewajiban untuk berderma, murah hati, dan membantu orang lain.  Tidak merugikan orang lain.  Menjunjung tinggi keadilan.  Wajib memperbaiki kesalahan yang ada  Wajib bersyukur, membalas budi kepada orang yang telah berbuat baik kepada kita (khususnya orang tua).  Kewajiban untuk mengembangkan kemampuan diri Penerapan etika deontologi dalam bisnis berarti jangan



DAFTAR PUSTAKA Aman, P.C., Moral Dasar  Prinsip-prinsip Pokok Hidup Kristiani. Yogyakarta : Obor. 2016 Chang, William, Pengantar Teologi Moral. Yogyakarta : Kanisius. 2000 Cornner. J Kevin. The Foundations of Christian Doctrine (Pedoman Praktis tentang Iman Kristen). Malang: Gandum Mas, 2004 J. Verkuyl,”Etika Kristen: Bagian Umum”, BPK Gunung Mulia. Jakarta, 2000 Pink. Arthur W. The Soveretgnty of God (Kedaulatan Allah). Momentum. Surabaya. 2005. R.C. Sproul, Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen. Malang: Literatur SAAT, 2007 37



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



Ristica, O. D., & Juliarti, W. Prinsip Etika Dan Moralitas Dalam Pelayanan Kebidanan. Yogyakarta: Deepublish. 2014 Stevri. I. Lumintang, Keunikan Theologia Kristen Di Tengah Kepalsuan. Batu: Departemen Literatur PPII, 2010



BAB VII YESUS SEBAGAI PUSAT ETIKA KRISTEN A. Pendahuluan Ajaran etik Yesus Kristus di  antaranya  terdapat dalam Injil-injil Sinoptis (Matius, Markus, Lukas), salah  satu ajaran  tersebut  adalah khotbah di bukit (Mat 5-7; Luk 6:20-49). Dalam khotbah di bukit, Yesus mempermasalahkan etik orang Farisi yang sangat berpegang teguh pada pelaksanaan Hukum Taurat tetapi tidak mengarah kepada kegenapan Hukum  Taurat dan kitab  para  Nabi. Dalam  hal  ini  Yesus mengatakan bahwa "jika  hidup  keagamaanmu  tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya  kamu tidak akan masuk ke dalam kerajaan surga" (Mat 5:20) karena Kerajaan Allah  sudah  dekat  kepadamu (Luk 10:9. Selain itu, ajaran etik Yesus juga meminta kepada manusia  untuk menjadi seorang manusia yang bersifat ilahi. Kata ilahi ini memiliki arti menjadi seseorang yang lebih baik dari yang lain. Sebagai contoh, Yesus mengajarkan "Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapa yang menyuruh engkau berjalan  berjalan sejauh  satu mil, berjalanlah  bersama  dia sejauh dua mil. (Matius 5;39-41). 38



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



B. Pandangan Etika Kristen Tentang Manusia Di atas telah dikemukakan bahwa etika Kristen berpusat pada diri dan karya Tuhan Yesus Kristus. Mengapa demikian? Pertama-tama perlu ditegaskan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan, Anak Allah yang datang ke dunia, mengorbankan diri -Nya di atas kayu salib, menggantikan manusia menerima kutuk Allah, mati dan bangkit dari antara orang mati mengalahkan kuasa dosa dan maut. Yesus Kristus adalah Allah yang menjadi manusia. Dialah satu-satunya manusia yang dapat memenuhi semua tuntutan dari Allah yang telah dinyatakan melalui firman-Nya. Maka semua nilai etik harus diukur dari pribadi dan karya Kristus itu. Untuk itu, maka perlu dipahami arti dan makna karya Kristus itu, untuk mengerti isi etika Kristen. Untuk itu, pertamatama kita akan meninjau pandangan etika Kristen tentang manusia. Untuk dapat memahami arti dalam makna Karya Kristen, maka terlebih dahulu kita perlu mengerti siapakah manusia menurut pandangan etika Kristen? Mengapa manusia? Oleh karena manusia adalah subjek terhadap siapa Allah berhadap-hadapan dan yang menjadi pelaku yang disebut etika. Ada baiknya sepintas lalu kita memahami manusia yang disaksikan oleh Alkitab. 1.   Manusia adalah mahkota ciptaan. Dalam Kejadian pasal 1, khususnya ayat 27 dikatakan bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar Allah. Pernyataan bahwa manusia itu diciptakan menurut gambar Allah (Ibrani: tselem) dan seperti rupa Allah (Ibrani: demut) maka ini mengandung arti ya). Bahwa manusia adalah makhluk dan bukan Allah ng sangat luas. a. Bahwa manusia adalah makhluk dan bukan Allah. Istilah gambar Allah, tidak menunjukkan adanya kesamaan zat antara Allah dan manusia. Maka manusia harus patuh dan taat kepada Allah. b. Walaupun ia makhluk, manusia diciptakan sebagai makhluk berjiwa-raga (somatispsikis). Allah membentuk manusia dari tanah (Ibrani: adamah) tetapi kepadanya dihembuskan Roh dari Allah memberinya nafas kehidupan (nismat hajjim). Di sini tercermin adanya hubungan yang khusus antara Allah dan manusia. c. Hubungan antara Allah dan manusia dan manusia dengan Allah itulah yang dinyatakan dengan ungkapan gambar Allah. Hal itu mengandung dua makna, yaitu manusia diberi tanggung jawab sehingga ia menjadi makhluk yang bertanggung jawab. Gambar Allah mengandung pula arti bahwa manusia adalah pemegang mandat Allah di bumi. Manusia adalah wakil Allah di bumi. Di sini kita melihat bahwa manusia hidup di dalam persekutuan yang baik dengan Allah. Dalam arti itulah kita berbicara tentang etika. Yaitu bahwa manusia dalam hubungannya dengan Allah dan dengan sesamanya manusia memperlihatkan tingkah lakunya. Juga dalam melaksanakan tanggung jawabnya terhadap makhluk-makhluk lainnya. d. Gambar Allah juga mengungkapkan kebebasan memilih yang diberikan kepada manusia. Manusia bebas untuk berbakti secara sukarela kepada Allah. Di sini juga arti kata etika menjadi relevan. Manusia bebas memilih jalan hidupnya sesuai dengan kehendak hatinya. Kepatuhan yang bebas itulah yang diminta Allah dari manusia. Bukan kepatuhan karena paksaan. 2.  Manusia sebagai makhluk berdosa Kejadian 3 menjelaskan kepada kita bahwa tanggung jawab dan kebebasan yang diberikan Allah kepada manusia ternyata disalah gunakan. Manusia yang dibujuk oleh Iblis memilih  untuk lebih mendengar bujukan itu daripada mendengar firman Allah. Memang dalam hal itu manusia tidak mengambil inisiatif untuk melanggar perintah Allah, la dibujuk. Ia pasif, ia digoda dan disilaukan matanya. Tetapi ia menyatakan ya terhadap bujukan itu. 39



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



Sebab ia ingin menjadi sama seperti Allah. Ia ingin menyangkali hakikatnya sebagai makhluk dan menyerah kalah kepada iblis. Daripada menjadi gambar Allah, manusia lebih suka menjadi sama seperti Allah. Ia ingin memutuskan sendiri pada yang baik dan apa yang jahat. Ia mencurigai Allah dan tidak percaya kepada Allah. Ia juga tidak percaya kepada tujuan Allah menciptakan ia. Dengan kata lain manusia memberontak kepada Allah dan ingin hidup di luar tujuan yang telah ditetapkan Allah sendiri. Ia ingin menciptakan kebenarannya sendiri. Dosa dalam bahasa Ibrani disebut chet atau chatta. Dalam bahasa Yunani disebut Amartia.  Amartia berarti luncas (luput, tidak mengenai sasaran, menyeleweng dari tujuan). Benar, manusia menyeleweng dari tujuan ia diciptakan Allah. Di dalam keadaannya yang berdosa itu manusia tidak hanya dikuasai oleh dosa tapi juga oleh maut. Manusia tidak hanya mengalami kehancuran moral (Yunani: asebeia), ia juga mengalami ketiadaan hukum (anomia). Itulah ungkapan situasi manusia yang berdosa. Ia tidak hanya kehilangan kebenaran Allah, ia pun memutar balikkan kebenaran menjadi kefasikan, menindas kebenaran menjadi kelaliman (Roma 2:18 - 32; 3;9 - 19). Dalam situasi itu manusia tidak dapat melepaskan dirinya sendiri. Semakin ia berusaha, semakin ia terjerumus ke dalam dosa. C. Pandangan Etika Kristen Tentang Penebusan Melalui Karya Kristus        Dosa menyebabkan manusia kehilangan gambar Allah. Artinya manusia putus hubungan dengan Allah. Manusia tidak dapat menolong dirinya sendiri. Sebab itu, Allah sendiri, oleh karena kasih-Nya, datang menebus manusia dari kuasa dosa. Hal ini dilakukan Allah melalui dan di dalam diri Yesus Kristus. Yesus Kristus disebut gambar Allah (II Korintus 4:4; Kol. 1:15) dan barang siapa percaya kepada-Nya ia ciptakan kembali menjadi gambar Allah (I Korintus 15:49; II Korintus 3:18; Kolose 3:10). Pemulihan manusia dalam Yesus Kristus itulah yang kita sebut penciptaan baru. Dan itu terjadi bukan dengan usaha manusia melainkan anugerah Allah, kasih Allah (Yohanes 3:16). Hanya oleh karya penebusan Allah melalui pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib, manusia tidak lagi dikuasai dosa. Apakah arti penebusan itu dalam etika Kristus? 1. Pembenaran.  Melalui pengorbanan Yesus Kristus, manusia dibenarkan di hadapan Allah. Pembenaran itu berhubungan dengan iman. Maka arti pembenaran tidak bisa dipisahkan dengan iman. Manusia dianggap benar kalau ia percaya pada kasih Allah yang menyelamatkan (Latin: Justificatio sola fide). Melalui pengorbanan Kristus, Allah membenarkah orang durhaka (Roma 4:5) dan pembenaran itu diperhitungkan karena iman kepada anugerah Allah itu. Baca seterusnya Roma 3 : 21-30). Proses pembenaran itu, tidak hanya nyata melalui salib, tetapi juga telah nyata dalam pekerjaan Kristus ketika ia masih hidup la mengampuni dosa orang yang percaya kepada-Nya (lihat misalnya Lewi, Lukas 5 : 27-32; Zakheus, Lukas 19:1-8; dan perempuan berzinah, Yohanes 8 : 1-11). Banyak contoh lain dalam Perjanjian Baru yang mengungkapkan pekerjaan Kristus yang membaharui hidup orang yang percaya kepada-Nya dengan pengampunan dosa. "Imanmu menyelamatkan engkau". "Imanmu menyembuhkan engkau" dan sebagainya. Maka pembenaran itu pertama-tama adalah anugerah Allah (sola gratia, Roma 1 : 16-17; Efesus 2:8; Filipi 2.: 12-13) melalui iman kepada Yesus Kristus (sola fide). 2. Pengudusan.  Pengorbanan Kristus, tidak hanya membuat orang beriman dibenarkan atau dianggap benar, tetapi juga dikuduskan (Latin: sanctificatio). Pengudusan tidak dipisahkan dari pembenaran. Di dalam pembenaran Tuhan mengubah kedudukan hukum manusia. Keadilan Allah menuntut bahwa manusia berdosa harus dihukum mati (Kejadian 3:19), namun oleh 40



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



kasih-Nya yang nyata dalam Kristus, Hukum itu telah ditimpakan kepada Kristus, supaya orang berdosa dibenarkan (Roma 5) yang sekaligus mengundang pengudusan (I Korintus 1:30). Sama seperti pembenaran yang berarti dianggap benar karena percaya kepada Yesus Kristus, demikian pula kesucian berarti kita dianggap suci atau kudus karena iman kita kepada pengudusan Kristus. Yesus sendiri mengatakan kepada murid-murid-Nya bahwa kamu memang telah bersih (suci, kudus) karena Firman yang telah kukatakan kepadamu (Yohanes 15:3), tetapi pengudusan itu sendiri terjadi melalui pengorbanan Yesus di atas kayu salib. Darah Kristus yang dicurahkan adalah simbol dan materi dari kekudusan orang percaya (I Petrus 1 : 18-23). Pengudusan yang dilakukan Kristus di atas salib, diteruskan oleh Roh kudus yang bekerja dalam hati manusia untuk terus membaharui dan menguduskan orang percaya. Maka sama seperti kebenaran itu dapat diusahakan sendiri oleh manusia, demikianlah pengudusan itu merupakan anugerah Allah. Manusia pada hakikatnya ce'mar dan berdosa, tetapi dikuduskan oleh Allah karena karya Kristus dan melalui pekerjaan Roh Kudus. Konsep kekudusan dalam etika Kristus tidak dapat dilepaskan dari pengorbanan Yesus Kristus. Kehidupan Yesus Kristus dibaktikan kepada Allah tanpa cacat cela dan oleh sebab itu Ia dapat disebut sebagai personifikasi kekudusan. Di Golgota la mempersembahkan korban kudus hidup-Nya untuk mendamaikan orang-orang yang berdosa dan najis dengan Allah, yaitu melalui pertumpahan darah-Nya. Kekudusan sama sekali tidak merupakan hasil karya orang-orang yang beritikad baik, melainkan hadiah yang dilimpahkan oleh Allah dalam Yesus Kristus kepada manusia. Maka kekudusan itu tidak dipahami dalam arti kekudusan pribadi melainkan kekudusan dalam arti persekutuan orang-orang percaya. Dalam persekutuan itu setiap orang mengambil bagian melalui pergaulan mempraktekkan hidup yang telah diteladankan dan diajarkan oleh Yesus Kristus. Jadi kekudusan itu tidak melekat pada diri manusia melainkan pada Allah. Kekudusan orang percaya, dengan demikian, hanya dapat dipahami dan dan dialami dalam persekutuan dengan Allah sendiri . Orang yang percaya kepada-Nya diperhitungkan sebagai kudus kalau ia hidup taat dan setia kepada-Nya melalui seluruh hidupnya. 3. Kesempurnaan.  Selain kekudusan, dalam etika Kristen diyakini pula bahwa pengorbanan Yesus Kristus juga memberi kesempurnaan (Latin: perfectio). Perbedaan kekudusan dan kesempurnaan dijelaskan sebagai berikut. Kekudusan mengar.dung arti negatif yaitu terpisah dari atau lepas dari dosa atau kenajisan. Sedangkan kesempurnaannya mengandung arti positif yang berati tidak ada lagi dosa. Jadi sempurna berarti baik seutuhnya atau baik seluruhnya. Dalam etika Kristen diyakini bahwa hanya Allah yang sempurna. Namun Yesus Kristus dalam pengorbanannya juga membawa dampak penyempurnaan bagi hidup manusia. Ia mengajarkan: "haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapakmu yang di surga adalah sempurna" (Matius 5:48). Kesempurnaan itu tentu saja juga pemberian Allah. Manusia dianggap sempurna apabila ia sungguh-sungguh dengan segenap hati, jiwa dan seluruh hidupnya kepada Allah (Baca Roma 12:1). Kesempurnaan itu, sama seperti kekudusan, hanya dapat dipahami dalam hubungan dengan Allah atau dalam persekutuan dengan Allah (Kolose 3:14). Manusia tidak mungkin dapat mengusahakan sendiri kesempurnaannya. Ia dianggap sempurna oleh Allah dengan menyerahkan hidup seutuhnya kepada Allah dan dinyatakan melalui hidupnya setiap saat. Penyempurnaan itu bukanlah hasil karya manusia melainkan karunia Allah melalui pengorbanan Yesus Kristus dan yang dikerjakan dalam hidup manusia oleh Roh Kudus. Jelaslah kiranya landasan etika Kristen dalam diri Yesus Kristus yaitu melalui pengorbanan diri-Nya di atas kayu salib. Sekarang menjadi pertanyaan, bagaimanakah hal itu 41



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



dilakukan dalam praktek kehidupan kesusilaan? Pekerjaan Allah menuntut respon atau tanggapan manusia. Tanggapan itu dinyatakan dalam iman. Dan iman itu diwujudkan dalam bentuk penyerahan diri kepada Allah dan buah penyerahan itu adalah hidup sesuai dengan teladan dan ajaran Yesus Kristus. Maka baiklah kita meninjau ajaran Yesus Kristus yang sesuai dengan karya dan teladan-Nya bagi orang percaya. D.  Ajaran Yesus Kristus dan Hidup Baru             Ajaran Yesus Kristus tidak berdiri sendiri. Ajaran-ajarannya sejalan dengan karya dan pengorbanan-Nya sebagaimana telah dikemukakan di atas. Juga sejalan dengan teladan yang la berikan melalui hidup-Nya yaitu cinta kasih dan keadilan. Di atas salib, cinta dan keadilan Allah bertemu. Di sana la menyatakan kasih-Nya yang tak terbatas kepada manusia dan sekaligus. la juga menyatakan keadilan-Nya dengan melaksanakan hukuman terhadap manusia berdosa, dan itu diletakkan di atas pundak Kristus. Dalam seluruh hidup-Nya, Yesus mempraktekkan apa yang la lakukan di atas salib. Mengasihi sesama manusia dan menegakkan keadilan di antara manusia. Dan apa yang dilakukan-Nya, diajarkan-Nya juga supaya orang yang percaya kepadaNya hidup dari rahmat Allah, yang secara sempurna telah terjelma dalam diri-Nya.             Berikut ini akan dibahas tiga Inti ajaran Yesus, tapi yang merangkum juga kelembutan, kemurahan hati, damai dan sejahtera dan ajaran-ajaran lainnya. Hal-hal yang disebutkan belakangan itu dapat juga disebut sebagai bagian dari ketiga ajaran inti Yesus itu. 1. Kaidah Emas (golden Rule).  Ada dua rumusan kaidah emas. Yang negatif berbunyi : "Apa yang kamu tidak kehendaki orang berbuat kepadamu, janganlah kamu perbuat kepada orang-orang lain". Rumusan negatif ini diajarkan oleh hampir semua agama: Khususnya Yudaisme, Hinduisme, Bhudisme, Konfusionisme dan Iain-lain. Tetapi ajaran Yesus dirumuskan-Nya dalam kalimat positif: "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka" (Matius 7:12; Lukas 6:31). Rumusan positif ini memberi makna yang lebih luas daripada rumusan negatif. Dalam rumusan negatif hanya ada tuntutan minimum etis dalam masyarakat. Sedangkan rumusan Yesus mengandung maksimum etis. Rumusan itu mencakup norma hubungan antara individu maupun antarkelompok, antar suku, antar ras, antar-golongan dan seterusnya. Maka kaidah emas itu tidak hanya diperlakukan dalam hubungan pribadi tapi dalam seluruh hubungan manusia: ekonomi, sosial, politik dan sebagainya. Kaidah emas itu mendasarkan aktivitas orang Kristen dalam setiap situasi yakni sebagai aktivitas kasih dan keadilan. 2. Keadilan. Keadilan (Yunani: Dikaisune, Latin: iustitia) juga merupakan asas etika yang terdapat dalam hampir semua agama dan bahkan filsafat. Tetapi keadilan yang diajarkan Yesus (dikaisune) mempunyai arti yang universal dan tidak pertama-tama ditujukan pada diri sendiri tapi pada orang lain, khususnya kaum tertindas. Sebab itu keadilan yang diajarkan Yesus tidak dapat dilepaskan dari aspek kebenaran (Baca misalnya Matius 5:6,10; 6:33). Di situ keadilan Kerajaan Allah berarti pemberlakuan kebenaran, khususnya kepada kaum tertindas. Dalam seluruh hidupnya, kelompok inilah yang paling diperhatikan Yesus (Lukas 4, Matius 25 dan Iain-lain). Keadilan yang diajarkan Yesus dirumuskan sebagai keadilan yang memulihkan hukum yakni keadilan yang bersifat menolong, menyelamatkan dan memberi pembaharuan. 3. Kasih.  Kasih (Yunani: Agape, Latin: caritas). Kasih yang diajarkan Yesus adalah kasih yang tidak terbatas (Matius 5:43-46) yang meliputi baik kawan, maupun lawan. Kasih agape itu, adalah 42



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



kasih Allah yang mengampuni dan menerima kembali. Kasih yang tidak memilih bulu dan tidak pamrih. Seperti Allah mengasihi manusia berdosa, demikianlah kasih itu dilakukan tanpa pamrih, tanpa menuntut balas atau tanpa terbatas pada kalangan sendiri (keluarga, teman dan golongan). Kasih yang diajarkan Yesus adalah kasih kepada Allah dan kepada sesama manusia (Matius 22:37 - 40) tanpa syarat-syarat tertentu. Kasih merupakan pengejawantahan dari hidup yang telah ditebus Allah. Kasih, merupakan penggenapan dari kaidah emas dan prinsip keadilan yang memulihkan hukum yang diajarkan Yesus. (Baca I Korintus 13:13).               Apa yang diajarkan oleh Yesus Kristus telah terwujudkan melalui hidup dan pengorbanan-Nya. la mengajarkan-Nya supaya menjadi panduan hidup orang percaya dan manusia pada umumnya, dalam suatu pola hidup baru, hidup yang telah ditebus, dibaharui, dikuduskan dan bahkan disempurnakan melalui pengorbanan-Nya itu. Dengan melakukan ajaran itu, maka orang percaya dipandu hidup dalam persekutuan dengan Allah yang telah menebusnya dari pengaruh dan kuasa dosa. Ajaran Yesus itu tidaklah berdiri sendiri. la menjadi bagian yang tidak dipisahkan dari anugerah pengampunan-Nya.           Di dalam sejarah Etika Kristen, hidup baru itu sering dirumuskan dengan “Mengikuti Kristus”. Perumusan ini sangat penting. Karna dua macam sebab: 1. Karna di dalam perumusan ini hubungan yang erat antara hidup baru dan Yesus Kristus kelihatan sangat jelas.  Di dalam berbagai perumusan tentang hidup baru dan taurat. Di dalam perumusan “mengikuti Krristus” diterangkan hubungan antara Yesus dan hidup baru. “Dialah Pokok anggur dan kita ranting-rantingnya (Yohanes 15:1-8). 2. Karna pengertian “mengikuti Kristus” jelas menerangkan beberapa konsekwensi hdiup baru, yang tidak terdapat pada istilah-istilah dan perumusan-perumusan lainnya. Perumusan ini juga menerangkan adanya suatu macam situasi persengketaan antara hidup baru dan dunia, persengketaan yang  membawa, kesengsaraan. Barangsiapa mengikuti Kristus, maka yang diikuti ialah Dia yang dibuang dan disalibkan oleh dunia. Tetapi hanya sedikit perumusan tentang hidup baru itu di sepanjang sejarah begitu sering disalahgunakan seperti perumusan ini. Oleh sebab itu, pertama-pertama kita selidiki apa yang dimaksudkan dengan itu diterangkan di dalm sejarah gereja.N Apakah maksud “mengikuti Kristus” menurut Alkitab ? a. Menurut Perjanjian Lama. Istilah “mengikuti” sudah sering terdapat dalam kitab. Perjanjian Lama. Paling jelas dalam pergumulan antara nabi Elia dan nabi-nabi Baal di bukit Karmel (1 Raja-Raja 18:20-46). Di situ bangsa  Israel disuruh memilih: “ Berapa lama lagi kamu berlaku timpang dan bercabang hati? Kalau Tuhan itu Allah, ikutilah Dia, dan kalau Baal, ikutilah dia. b. Menurut injil-injil. Di dalam kitab Perjanjian Baru ucapan-ucapan semacam itu dapat kita dengar dari mulut Tuhan Yesus. Tuhan yang esa dan yang sesungguhnya menyatakan diri di dalm Yesus. Dalam Yesus, Tuahn ada di tengah-tengah kita. Ia tinggal di antara kita. Dan tiap-kali kita lihat, bahwa Yesus memanggil orang-orang supaya mengikuti Dia. “Ikuti aku”, itulah panggilan yang dipakai oleh Yesus untuk mengumpulkan muridmuridnya. Panggilan itu tidak berarti, bahwa Yesus meminta muridnya-muridnya supaya mereka meniru-meniru Dia, tetapi supaya mereka menyerahkan diri kepadaNya dan berjalan di jalan 43



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



yang di-tempuhNya. Keterangan yang paling jelas tentang apa yang dimaksudkan dengan “Mengikuti Kristus” terdapat dalam Injil Markus 8:34 dan 35 “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkalkan dirinya, memikul salibnya dan mengikuti Aku. Karna barang siapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barang siapa kehilangan nyawanya karna Aku dan karna Injil ia akan menyelamatkan. Janji yang diberikan kepada kita bila mengikuti Yesus: keselamatan, pertolongan. Barangsiapa “kehilangan” dirinya sendiri, jadi di dalam Kristus, maka dialah yang mendapat hidup yang sesungguhnya. Apakah yang di tuntut dari kita bila mengikuti Kristus? Menyangkal diri dan mengangkat salib  di belakang Yesus. Menyangkal diri adalah lawan mempertahankan diri. Mempertahankan diri berarti: menjawab “ya” terhadap atau berbuat menurut tabiat-tabiat kita yang jahat, berbuat menurut nafsu dan cacat. Menyangkal diri berarti: menjawab “tidak” terhadap nafsu, cacat, dan dosa-dosa kita dan menjawab “ya” terhadap Yesus, kehendakNya, kerajaannya. Adapun istilah “mengangkat salib” itu sama dengan istilah “menyangkal diri”. Pada zaman Yesus hidup di dunia, apabila tampak orang memikul salib, maka tahulah setiap orang: “orang itu dihukum mati. Akan binasalah ia. Ia mengangkat (memikul) tanda hukum di atas bahunya”. Menanggung salib berarti, menerima hukuman dari Tuhan atas tabiat kita yang lama, berarti: mengakui dengan perkataan dan perbuatan, bahwa sudah sepantasnya tabiat kita yang lama menerima upah hukuman amti yang telah ditanggun oleh Yesus. Itu juga: mengikuti Yesus dan berdoa. DAFTAR PUSTAKA J. Verkuly. Etika Kristen Bagian Umum. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1991 Kieser Bernhard, Moral Dasar: Kaitan Iman dan Perbuatan, Yogyakarta: Kanisius, 1997



BAB VIII ETIKA DAN MORAL KRISTEN A. Pendahuluan Untuk memahami pengertian etika, perlu diketahui akar kata dari etika itu sendiri. Verkuyl (Etika Kristen: Bagian 1, Tahun 2000) menyatakan bahwa kata etika berasal dari bahasa Yunani, ethos, yang artinya kebiasaan, adat. Kata etos dan ethikos lebih berarti kesusilaan, perasaan batin, atau kecenderungan hati seseorang melaksanakan sesuatu perbuatan. Etika bukanlah ilmu pengetahuan alam. Karena itu juga Etika bukanlah ilmu yang pengetahuan yang bersifat deskriptif, yang hanya menerangkan dan menguraikan tindakan dan kelakuan manusia, seperti halnya dengan ilmu bangsa-bangsa( antropologi kultural), yang menguraikan dan membahas adat-istiadat dan keadaan bangsa-bangsa. Etika merupakan Ilmu yang mempelajari  norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia. Etika berbicara tentang keharusan yang di lakukan oleh manusia tentang apa yang baik, benar dan tepat. Kata ethos yang menjadi etika berarti kebiasaan, baik kebiasaaan individu maupun kebiasaan masyarakat. Etika tidak hanya berurusan dengan dengan segi lahiriah seperti kelakuan dan tindakan, tetapi juga berurusan dengan  segi batiniah seperti sikap, motif, karakter atau tabiat. 44



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



B. Etika Dalam Perjanjian Lama Etika  dan moral  Abraham dapat terlihat ketika ia dipanggil Allah dalam usianya yang ke 75.Pada saat itu, ia bersama dengan istrinya Sarai beserta keponakannya Lot menuju Kanaan melalui Sikhem dan Betel sekitar tahun 2091 SM (Kej 12:1-5). Abraham yang  pada waktu itu bernama Abram pergi hanya dengan berbekal iman kepada Tuhan dan ia sendiri tidak mengetahui bagaimana sebetulnya daerah Kanaan tersebut. Ketika ia sampai di Kanaan, ternyata negeri itu sedang mengalami bencana kelaparan, oleh karena itu ia bersama dengan keluarganya pergi ke Mesir melalui Negep. Peristiwa Abraham yang menuruti perintah Allah memperlihatkan beberapa sikap iman dan moralnya, antara lain: 1. Berani melangkah mentaati perintah Tuhan untuk menuju ke negeri yang belum diketahui keadaannya. 2. Bersedia meninggalkan rumahnya dan pergi mengembara yang penuh suka duka serta ancaman bahaya.  3. Ketika Abraham mencapai tempat  yang ia tuju, ada bencana  kelaparan disana, namun Abraham tidak meninggalkan tempat itu melainkan tetap percaya dan setia pada Tuhan. 4. Percaya bahwa  Tuhan  pasti akan  memberikan yang terbaik dan hal itu terjadi hingga Abraham menjadi Bapa orang beriman bagi segala bangsa. Selain dari sikap iman dan moral yang ditunjukkan Abraham, ada juga moral buruk yang ia tunjukkan ketika menghadapi permasalahan hidupnya, yaitu: 1. Ketika ia berada di Mesir dimana ia kuatir dirinya akan dibunuh supaya orang bisa mengambil istrinya. 2. Abraham berbohong demi  menyelamatkan dirinya  dengan mengakui istrinya sebagai adik. 3. Sikap  egois  dan tidak  mengasihi istri dimana Abraham tidak melindungi  istrinya dan membiarkan  istrinya  rela  diambil  orang. 4. Abraham tidak menyerahkan perlindungannya pada  Allah tetapi ia tenggelam pada perasaan takutnya yang bisa   mengancam  nyawanya. C. Etika Dalam Perjanjian Baru Ajaran etik Yesus Kristus di  antaranya  terdapat dalam Injil-injil sinoptis (Matius, Markus, Lukas), salah  satu ajaran  tersebut  adalah khotbah di bukit (Mat 5-7; Luk 6:20-49). Dalam khotbah di bukit, Yesus mempermasalahkan etik orang farisi yang sangat berpegang teguh pada pelaksanaan hukum taurat tetapi tidak mengarah kepada kegenapan hukum  taurat dan kitab  para  nabi. Dalam  hal  ini  Yesus mengatakan bahwa "jika  hidup  keagamaanmu  tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya  kamu tidak akan masuk ke dalam kerajaan surga" (Mat 5:20) karena Kerajaan Allah  sudah  dekat  kepadamu (Luk 10:9). Selain itu, ajaran etik Yesus juga meminta kepada manusia  untuk menjadi seorang manusia yang bersifat ilahi. Kata ilahi ini memiliki arti menjadi seseorang yang lebih baik dari yang lain. Sebagai contoh, Yesus mengajarkan "Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapa yang menyuruh engkau berjalan  berjalan sejauh  satu mil, berjalanlah  bersama  dia sejauh dua mil. (Matius 5;39-41). 1.  Pengertian Moralitas 45



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



Moral berasal dari bahasa latin yakni mores, yang merupakan kata jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, moral diartikan sebagai susila. Moral adalah hal-hal yang sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan mana yang wajar. Abineno (1996) menuliskan bahwa istilah atau kata mos mempunyai arti yang kira-kira sama dengan Yunani “etos”, yaitu kebiasaan adat istiadat. Kata atau istilah ini lebih banyak digunakan oleh Gereja katolik  Roma, kalau dibandingkan dengan Gereja-gereja Protestan. Dalam gereja Katolik Roma teolog yang menghususkan diri di bidang moral disebut teolog moral. Dalam gereja-gereja protestan teolog demikian disebut tetikius, maksudnya: teolog dibidang etika. Kalau kita membaca karya para teolog katolik Roma kita mendapat kesan, bahwa pada waktu-waktu yang akhir ini istilah atau pengertian ‘teolog moral” makin lama makin kurang digunakan, diganti dengan istilah atau pengertian etikus”. Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu. Tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan atau adat istiadat masyarakat setempat. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia lainnya. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. 2. Perbedaan Etika dan Moral Meskipun secara etimologi arti kata etika dan moral mempunyai pengertian yang sama, tetapi tidak persis dengan moralitas. Etika semacam penelaah terhadap aktivitas kehidupan manusia sehari-hari, sedangkan moralitas merupakan subjek yang menjadi penilai benar atau tidak. beberapa perbedaan etikadan moral adalah:  Moral mengajarkan apa yang benar sedangkan etika melakukan yang kebenaran  Moral mengajarkan bagaimana seharusnya hidup sedangkan etika berbuat atau bertindak sesuai dengan apa yang telah diajarkan dalam pendidikan moral.  Moral menyediakan “rel” kehidupan sedangkan etika berjalan dalam “rel”kehidupan.  Moral itu rambu-rambu kehidupan sedangkan etika mentaati rambu-rambu kehidupan  Moral itu memberikan arah hidup yang harus ditepumpuh sedangkan etika berjalan sesuai arah yang telah ditetapkan (menuju arah )  Moral itu seperti kompas dalam kehidupan sedangkan etika memperhatikan dan mengikuti arah kompas dalam menjalani kehidupan .  Moral ibarat peta kehidupan sedangkan etika mengikuti peta kehidupan  Moral itu pedoman kehidupan sedangkan etika mengiuti pedoman  Moral tidak bisa dimanipulasisedangkan etika bisa dimanipulasi  Moral itu aturan yang wajib ditaati oleh setiap orang sedangkan etika sering berorientasi pada sikon, motif, tujuan, kepentingan, dsb. Tanpa pedoman moral manusia tidak mempunyai dasar bagaimana berperilaku dalam dunia yang multi arah. manusia tidak akan mampu mengambil keputusan etis yang baik,tepat, dan benar. pada dasarnya hidup manusia akan cenderung salah arah tanpa acuan moral. D. Persamaan Etika dan Moral  46



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



1. Persamaan   Ada beberapa persamaan etika, dan moral  yang dapat dipaparkan sebagai berikut:  Pertama, etika dan moral mengacu kepada ajaran atau gambaran tentang perbuatan, tingkah laku, sifat, dan perangai yang baik.  Kedua, etika dan moral  merupakan prinsip atau aturan hidup manusia untuk menakar martabat dan harakat kemanusiaannya. Sebaliknya semakin rendah kualitas etika dan moral seseorang atau sekelompok orang, maka semakin rendah pula kualitas kemanusiaannya.  Ketiga, etika dan moral  seseorang atau sekelompok orang tidak semata-mata merupakan faktor keturunan yang bersifat tetap, stastis, dan konstan, tetapi merupakan potensi positif yang dimiliki setiap orang. Untuk pengembangan dan aktualisasi potensi positif tersebut diperlukan pendidikan, pembiasaan, dan keteladanan, serta dukungan lingkungan, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat secara tersu menerus, berkesinambangan, dengan tingkat keajegan dan konsistensi yang tinggi. 2.



Kegunaan Etika dan moral dalam kehidupan sehari Etika adalah  pemikiran  yang  sistematis  tentang  moralitas, yang  dihasilkan  secara langsung bukan hanya kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis. Ada beberapa alasan mengapa etika pada zaman ini semakin perlu yaitu:  Kita hidup dalam masyarakat yang pluralistic, juga dalam bidang moralitas.  Kita hidup dalam masa transformasi masyarakat yang tanpa tanding.  Kita seringkali cepat-cepat memeluk segala pandangan yang baru, tetapi juga sering menolak nilai-nilai hanya karena baru dan belum biasa.



DAFTAR PUSTAKA J.L.Ch. Abineno, Sekitar Etika dan Soal-Soal Etis, BPK Gunung Mulia. Jakarta. 1996 Jerry. R.H. Sirait dkk, ”Diktat mata kuliah pendidikan Etika (Kristen)”, Departemen Mata Kuliah Dasar Umum Universitas Kristen Indonesia. 1993 J. Verkuyl,”Etika Kristen: Bagian Umum”, BPK Gunung Mulia. Jakarta, 2000 BAB IX ETIKA DALAM KEBUDAYAAN A. Pendahuluan Dalam bahasa Latin istilah ethos, éthos dan éthikos itu disebutkan dengan kata mos dan moralitas. Oleh sebab itu kata ‘etika’ sering pula diterangkan dengan kata ‘moral’. Etika tidak hanya menyinggung perbuatan lahir saja, tetapi menyinggung juga kaidah dan motif-motif perbuatan seseorang yang lebih dalam. Etika termasuk golongan ilmu pengetahuan normatif yang mempunyai tujuan untuk menerangkan hakikat kebaikan dan kejahatan. Hukum-hukum di dalamnya adalah hukumhukum normatif yang meminta kita membuat suatu pilihan keputusan jawaban “ya” atau “tidak”. Dunia manusia senantiasa dikuasai oleh gagasan-gagasan mengenai yang benar dan yang salah, yang baik dan yang jahat. Percakapan kita sehari-hari kebanyakan berisi penilaian mengenai apa saja yang kita lihat maupun kita dengar. Cara orang bertindak dipengaruhi oleh keyakinannya mengenai apa yang baik dan yang jahat. Manusia sebagai makhluk individual, hidup di dalam sebuah komunitas yang mempengaruhi pola pikir dan perilakunya. Kita senantiasa diperhadapkan dalam berbagai situasi yang membuat kita harus memilih bagaimana kita harus bersikap dan berhubungan dengan sesama. Karl Popper, Conjectures and Refutations, menulis: 47



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



“Tradisi diperlukan untuk membentuk hubungan antara lembaga-lembaga, maksud-maksud, dan penilaian-penilaian manusia individual ….. tak ada sesuatupun yang lebih berbahaya daripada penghancuran kerangka tradisional ini”. B. Pandangan Umum tentang Kebudayaan Kata “kebudayaan” sangat sulit didefinisikan. The Willowbank Report dalam paper Lausanne Occasional tahun 1978, memberikan definisi sebagai berikut: “Kebudayaan adalah suatu sistem terpadu dari kepercayaan-kepercayaan (mengenai Allah, atau kenyataan, atau makna hakiki), dari nilai-nilai (mengenai apa yang benar, baik, indah, dan normatif), dari adatistiadat (bagaimana berperilaku, berhubungan dengan orang lain, berbicara, berpakaian, bekerja, bermain, berdagang, bertani, makan, dan sebagainya, dan dari lembaga-lembaga yang mengungkapkan kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai, dan adat-istiadat ini (pemerintahan, hukum, pengadilan, kuil dan gereja, keluarga, sekolah, rumah sakit, pabrik, toko, serikat, klub, dan sebagainya), yang mengikat suatu masyarakat bersama-sama dan memberikan kepadanya suatu rasa memiliki jati diri, martabat, keamanan, dan kesinambungan”. Clifford Geertz mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu sistem simbol dari maknamakna, yaitu kebudayaan adalah sesuatu yang dengannya kita memahami dan memberi makna pada hidup kita. Geertz mengatakan bahwa kebudayaan mengacu pada suatu pola makna-makna yang diwujudkan dalam simbol-simbol yang diturunkan atau diwariskan secara historis, di mana dengannya manusia menyampaikan, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan serta sikap mereka mengenai kehidupan. Pengalaman hidup manusia membuat kenyataan bahwa nilai-nilai kita sendiri dibentuk dan ditentukan oleh kebudayaan. Tidak ada sesuatupun yang kita pikirkan, katakan atau lakukan, bebas dari pengaruh ras, kelas, usia, dan jenis kelamin. Iman tidak membuat kita bebas dari kebudayaan karena kebudayaan adalah lingkungan yang di dalamnya apa yang kita percayai terbentuk. Tidak ada tempat yang bukan merupakan tempat budaya. Bukan hanya tindakantindakan pribadi kita, tetapi juga lembaga-lembaga sosial kita, kebijakan-kebijakan ekonomi kita dan praktek-praktek politik kita, memcerminkan dan mempengarhi kepercayaan-kepercayaan dari kebudayaan kita. C. Kebudayaan Dalam Perspektif Alkitab Segera setelah manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26), Allah memberi perintah kepada manusia untuk menguasai dan mengatur dunia. Dalam Kej. 1:28 tertulis, –Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranak-cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan takhlukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”–. Kitab Kejadian mencatat dimulainya segala sesuatu yang ada di bumi, termasuk dimulainya kebudayaan yang diciptakan manusia sebagai penerima mandat budaya dari Allah. Dengan demikian, kebudayaan merupakan hasil karya manusia yang sejalan dengan perintah Allah. Budaya memberikan pengaturan supaya manusia bisa tinggal di suatu lingkungan bersama dengan sesama. Kita adalah makhluk sosial yang saling berhubungan dan membutuhkan orang lain. Ketika kita mengamati hasil karya manusia, yang merupakan wujud dari kebudayaan, kita tidak hanya menemukan sisi positif serta keagungannya, tetapi juga sisi negatif serta cacat celanya. Hal ini merupakan akibat wajar dari kondisi manusia yang telah jatuh ke dalam dosa (Kej. 3). Sebagai contoh, dalam budaya Batak terdapat tradisi membangun tugu untuk mengumpulkan tulang-belulang para leluhur, yang diungkapkan dengan pepatah: “Ditaruh tulang-tulang bapa kita ke dalam makam yang lebih tinggi. Semogalah meningkat 48



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



kemakmuran/kesuburan, meningkat kesejahteraan. Itu dilaksanakan kepada kita oleh nenek moyang kita, Dewata yang berbahagia, Disokong oleh roh para raja (yang sudah meninggal) yang hadir di sini”. Pepatah ini memperlihatkan dengan singkat corak dan makna pemujaan nenek moyang atau roh orang mati. Melalui pemindahan, diberikanlah kuasa kepada orang mati tersebut menjadi bapa leluhur yang dapat membagi-bagikan berkatnya kepada keturunannya. Hal ini jelas bertentangan dengan iman Kristen. Iman Alkitabiah senantiasa membuat pernyataan-pernyataan universal dan mutlak. Kita percaya bahwa Allah telah menjadi manusia di dalam suatu zaman dan tempat tertentu demi kepentingan seluruh dunia. Dialah Yesus, seorang manusia sempurna suku bangsa Yahudi dari Nazareth; diakui sebagai penyataan Allah, yang menjadi suatu contoh keteladanan hidup untuk setiap orang di dunia. Alkitab penuh dengan ajaran moral yang ditulis dengan maksud dan tujuan untuk “mendidik orang dalam kebenaran” (1 Tim. 3:16-17). Yesus sendiri memerintahkan para pengikut-Nya untuk menjadi sempurna-bukan sempurna menurut suatu ukuran budaya yang relatif sesuai situasi manusia pada saat-saat tertentu–, melainkan sempurna seperti Allah (Mat. 5:48). Hal ini meneguhkan otoritas Alkitab sebagai firman Allah yang menjadi sumber kekuatan kebudayaan dalam membentuk dan menentukan segala pengetahuan dan sikap kita. Terang firman Allah membuka semua budaya, menjadikannya transparan, bisa melihat yang tersembunyi, yang benar dan yang salah. D. Adat dalam Perspektif Alkitab Kata “adat” berasal dari kata kerja âda (bahasa Arab), yang artinya berbalik kembali, datang kembali. Sinonim lain dalam kebudayaan Indonesia ialah, “biasa” yang berasal dari kata Sansekerta abhaysa, yang mempunyai beberapa arti sebagai berikut: 2. Sebagai sediakala, sebagai yang sudah-sudah, yang tidak menyalahi yang dahulu, tidak aneh, tidak menarik perhatian; 3. Sudah lazim, sudah tersebar luas; 4. Berulang-ulang, telah dialami orang. Dari terminologi ini maka pengertian adat adalah tata kelakuan, perbuatan, tindakan yang biasa dilakukan di suatu daerah, yang diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi. Tujuan dibuat adat adalah untuk mengatur dan menata kehidupan manusia, untuk dapat aman, nyaman dan damai. Adat adalah salah satu sarana untuk menyejahterakan manusia agar dapat hidup dalam kerukunan dan kedamaian. 1. Adat dalam Perjanjian Lama Kata yang berhubungan dengan adat dalam Perjanjian Lama adalah kata Ibrani choq, chuqqah dan mishpat, yang mempunyai arti: undang-undang, hukum, tata-tertib, kebiasaan, adat-istiadat, keputusan atau ketetapan. Dalam beberapa nas, antara lain Keluaran 15:25; Yosua 24:25; Ezra 7:10; Yehezkiel 20:18; 1 Samuel 30:25, yang berhubungan dengan kata choq adalah ketetapan dan peraturan, baik yang dibuat oleh manusia maupun dibuat oleh Tuhan, yang berguna untuk melindungi dan menjaga kehidupan manusia agar tertib, aman, tentram dan sejahtera. Kita dapati juga adat atau kebiasaan yang dilarang dan tidak diijinkan Tuhan untuk dilakukan oleh umat-Nya. Dalam 2 Raja 17:8; Tuhan melarang umat Israel meniru dan mempraktekkan adat-istiadat bangsa-bangsa lain, yaitu perlakuan untuk menyembah berhala dan pola hidup yang bertentangan dengan kehendak Allah. Dalam Imamat 18:3,30; Tuhan melarang umat-Nya untuk melakukan kebiasaan masyarakat Mesir. Dalam Yeremia 10:2; 49



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



umat Tuhan dilarang untuk mengikuti kebiasaan bangsa-bangsa sekitar, yaitu penyembahan berhala, mempercayai kuasa dari benda-benda tertentu melebihi kuasa Tuhan, penyembahan patung dan segala bentuk kesia-siaan lainnya. Dalam penjelasan di atas maka Perjanjian Lama menegaskan kepada kita: a) Allah memberikan hukum, undang-undang, adat, kebiasaan dan berbagai ketetapan bagi umat-Nya. Allah mengijinkan bahkan memberkati manusia untuk melaksanakan adat yang tidak bertentangan dengan ketetapan Allah, untuk memelihara keharmonisan hubungan kita dengan Allah dan dengan sesama. b) Allah melarang umat-Nya untuk mengikuti adat dari luar Israel, seperti penyembahan berhala, karena itu bertentangan dengan kehendak Allah, serta dapat merusak kebiasaan baik yang sudah dimiliki oleh umat Allah. 2. Adat dalam Perjanjian Baru Kata “adat” dalam Perjanjian Baru adalah terjemahan dari kata paradosis yang mempunyai arti “adat-istiadat” (Mat. 15:2,6; Markus 7:3,5,8,9,13; Gal. 1:14), dan kata ethos yang mempunyai arti “kebiasaan” (Yoh. 19:40; Kis. 6:14). Sebegitu jauh, pemakaian itu adalah seragam dan jelas. Di kitab-kitab lainnya, “adat” itu merupakan terjemahan dari sejumlah istilah-istilah Yunani. Misalnya, entaphizein untuk adat penguburan (Mat. 26:12); eithismenos untuk kebiasaan pengudusan anak lelaki di Bait Suci (Luk. 2:27); synätheia untuk kebiasaan pergaulan (1 Kor. 11:16); anastrophe dalam 1 Pet. 1:18 Perjanjian Baru menunjukkan bahwa masyarakat Yahudi mempunyai adat-istiadat atau kebiasaan yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Dasar timbulnya adat ini adalah hukum Taurat dan kebiasaan-kebiasaan yang mereka serap dari suku bangsa di sekitar mereka. Adat atau kebiasaan ini adalah ketentuan manusia yang dipahami secara legalitas serta dipandang kudus di kalangan orang-orang Farisi pada zaman Yesus. Orang Farisi menuntut penaatannya secara mutlak seperti orang memenuhi perintah Allah. Dari Injil kita mengetahui bagaimana sikap Yesus terhadap adat Yahudi ini.



Yesus mengikuti hukum yang diatur oleh Musa, di mana setiap anak sulung berumur 8 hari harus dibawa ke Bait Allah untuk diserahkan kepada Allah (Luk. 2:22-23). Pada saat memulai pelayanannya Yesus mengikuti dan menghargai adat Yahudi tentang perjamuan kawin di Kana (Yoh. 2:1-11). Dalam Matius 12:1-8; orang Farisi dan ahli Taurat mengecam murid-murid Yesus yang dianggap melanggar adat Yahudi, di mana murid-murid memetik dan memakan bulir-bulir gandum pada hari Sabat, dan seolah-olah Yesus tidak mempedulikan pelanggaran tersebut. Yesus dengan tegas menampik tuduhan itu dengan mengambil contoh apa yang dilakukan Daud (1 Sam. 21:1-6). Ini menunjukkan bahwa Yesus menghargai adat tetapi Dia tidak menghendaki pengagungan adat di atas penyelamatan kehidupan manusia. 3. Fakta-fakta dalam Perjanjian Baru memberikan pandangan a) Dalam seluruh pelayanan-Nya, Yesus tidak pernah mengabaikan adat. b) Yesus menghargai adat tetapi Dia menolak adat yang menghalangi, menggagalkan atau membatalkan kebenaran firman Allah. Adat tidak boleh melampaui anugrah dan keselamatan yang diberikan Yesus bagi manusia.



50



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



c) Adat yang boleh dipelihara dan dikembangkan adalah adat yang dapat membantu orang untuk menghayati dan memperteguh imannya kepada Tuhan, serta menyejahterakan hidup manusia.



DAFTAR PUSTAKA Bernard T Adeney, Etika Sosial Lintas Budaya, Kanisius, Yogyakarta, 2004. J. Verkuyl, Etika Kristen Bagian Umum, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2004. Jenny Teichman, Etika Sosial, Kanisius, 1998. Larry West, Globalisasi dan Misi, Diktat Kuliah Program S2, Sekolah Tinggi Theologia Nazarene Indonesia, Yogyakarta, 2009. Lothar Schreiner, Adat dan Injil - Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2002.



BAB X ETIKA DALAM KEPUTUSAN ETIS A. Pendahuluan Dalam etika Kristen ada yang namanya pengambilan keputusan etis. Keputusan etis, dimana kita harus mengambil suatu keputusan yang sulit untuk dipertimbangkan. Sebagai seorang Kristen kita harus dapat mengambil keputusan-keputusan etis tersebut, karena dalam kehidupan kita tidak terlepas dengan yang namanya keputusan etis. Dalam pengambilan keputusan etis juga dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor. Keputusan etis yang kita buat haruslah kita pertanggung  jawabkan, karena itu adalah keputusan yang kristis tentang masalah yang sedang kita hadapi. Pengertian kata etis dan etika adalah pemikiran yang sistematis tentang kelakuan lahir serta motivasi dan keadaan batin yang mendasarinya. Sedangkan kata moralitas menyangkut kebaikan atau keburukan kelakuan lahir yang terjadi. Etika berkaitan dengan tabiat/watak/karakter manusia dan perbuatan yang dilakukan berdasar tabiatnya itu. Kepekaan 51



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



terhadap kehendak Allah akan menggiring seseorang dalam menentukan keputusan-keputusan etika yang diambil menjadi lebih baik. B. Ciri-ciri Keputusan Etis Dalam hidup sehari-hari, setiap orang senantiasa dihadapkan pada pertimbanganpertimbangan etis dalam menentukan keputusan (atau untuk tidak mengambil keputusan). Ada beberapa ciri-ciri dalam pengambilan keputusan yang etis : 1. Keputusan etis menyangkut pertimbangan tentang apa yang benar dan apa yang salah, apa yang baik dan apa yang buruk. Etika didefinisikan secara sederhana sebagai penyelidikan tentang apa yang baik atau benar atau luhur dan apa yang buruk atau salah atau jahat dalam kelakukan manusia, Juga menaruh perhatian kepada norma-norma yang membimbing perbuatan seseorang. 2. Arti dari kata ‘Etika’ hampir sama dengan kata ‘Moralitas’. Tetapi dari dua kata ini memiliki arti yang berbeda. Moralitas  biasanya berbicara tentang kebaikan atau keburukan kelakuan lahir yang sebenarnya terjadi. Sedangkan Etika sendiri berbicara tentang pemikiran yang sistematis tentang kelakuan itu serta motivasi dan keadaan batin yang mendasarinya. Etika berhubungan dengan tabiat seorang manusia dan juga sikap atau perilaku yang berasal dari tabiat tersebut. 3. Etika bersangkutan dengan kelakuan orang dan juga bagaimana seharusnya kelakuan orang itu. Etika menyelidiki perbuatan yang dilakukan seseorang dan memberikan bimbingan supaya orang tersebut dapat memperbaiki perbuatannya. 4. Etika sering dianggap sama dengan sopan santun. Tetapi pada hakekatnya etika dan sopan santun itu berbeda tetapi keduanya menaruh perhatian, kepada bagaimana seseorang harus bertindak. 5. Pengambilan keputusan etis sering menyangakut pilihan yang sulit. Banyak orang yang setuju dengan prinsip-prinsip etis tetapi tidak selalu setuju dalam penerapannya dalam kehidupan nyata. 6. Pertimbangan etis perlu untuk dibedakan dari kemauan etis. Meskipun kita sering mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan apa yang baik, haruslah kita mendapatkan keputusan yang benar dalam masalah yang rumit sekalipun. 7. Keputusan-keputusan etis tidak mungkin bisa dihindari. Keputusan etis tidak dapat terhindari dalam kehidupan kita karena, kita mengambil keputusan-keputusan etis tentang bagaimana  membelanjakan uang kita, bagaimana bergaul dengan teman-teman kita, dan bagaimana mengerjakan tugas-tugas kita 8. Kita hanya bisa dapat mengerti pengambilan keputusan etis jika kita dapat memperhitungkan hal-hal yang tidak dipertimbangkan disaat pengambilan keputusan. Keputusan kita tidak hanya dipengaruhi oleh norma-norma yang dipertimbangkan dan pengertian kita tentang situasi, tetapi juga oleh kepercayaan kita, tabiat dan lingkungan sosial kita. C. Dasar Etika Kristen Dasar kepercayaan kristen adalah kembali pada kehendak Tuhan sebagai patokan terakhir mengenai apa yang benar dan apa yang salah. Untuk mengerti kehendak Tuhan ada beberapa teori utama yaitu: 1. Etika akibat. Kehendak Tuhan dinyatakan dalam tujuan-Nya dan manusia menyelaraskan hidupnya dengan tujuan-Nya. ‘Apa yang baik menurut tujuan-Nya yang baik’? 2. Etika kewajiban. 52



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



Kehendak Tuhan dinyatakan dalam hukum-Nya dan kita harus mentaati perintah-Nya dalam norma yang sesuai. ‘Apa yang benar menurut hukum-Nya yang benar’? 3. Etika tanggung-jawab. Kehendak Tuhan dinyatakan dalam perbuatan-Nya. Manusia harus ber-respon, bertanggungjawab terhadap peristiwa di sekitarnya. ‘Apa tanggapan kita yang tepat terhadap situasi atau peristiwa ini’? Ketiga teori di atas mempunyai tekanan-tekanan yang berbeda, tapi dalam prakteknya sering menganjurkan perbuatan yang sama walau dengan alasan yang berbeda. Misalnya dalam hal berzinah semua teori menentang dengan alasan yang berbeda. Etika akibat menilai perzinahan sebelum pernikahan berdampak pada kesetiaan dan kasih di antara pasutri; etika kewajiban memandang perzinahan sebagai pelanggaran dari hukum-Nya; etika tanggung jawab memandang perzinahan sebagai penyalah-gunaan pemberian Allah yang baik. Dalam hal mendapatkan hak azasi dalam negara yang meniadakan hak azasi, semua teori dapat menuntut perbuatan-perbuatan yang berbeda. Etika akibat menekankan kebebasan dan keadilan adalah tujuan Allah bagi manusia sehingga pelanggaran hukum adalah sah untuk mencapai tujuan itu; etika kewajiban berpendapat bahwa setiap warga negara wajib tunduk pada perarturan pemerintah walau tidak adil; etika tanggung jawab mungkin akan patuh sampai batas tertentu, namun dalam keadaan tertentu hukum dapat dilanggar dalam konteks melaksanakan kehendak Tuhan. D. Faktor-Faktor Dalam Pengambilan Keputusan Etis Dalam pelaksanaannya etika tidak simple bahkan cenderung rumit. Sebuah acuan Firman Tuhan dalam 1 Korintus 12:23, dapat menjadi pegangan yang pasti. Faktor-Faktor Yang mempengaruhi keputusan etis ada lima faktor yang mempengaruhi keputusan etis, dan kelima unsur tersebut membentuk satu kesatuan yang hidup: 1. Iman a. Iman sebagai kepercayaan dan kesetiaan kepada hal yang dianggap terpenting. Iman bukan hanya suatu persetujuan intelektual bahwa pengajaran tentu benar, dan juga bukan pengetahuan yang tidak dapat dibuktikan. Tetapi iman adalah kepercayaan yang praktis pada sesuatu yang lebih dihargai daripada semua yang lain. Iman adalah kesetiaan kepada hal yang kita anggap paling pokok dalam kehidupan kita. b. Iman sebagai hubungan individu dengan Allah. Iman Kristen berarti persekutuan dengan Allah, persatuan dengan Dia, penyerahan diri ke dalam tanganNya. Iman adalah hubungan yang akrab antara Allah dengan manusia c. Iman sebagai pengikutsertaan dalam perkerjaan Allah d. Iman sebagai pendirian tentang apa yang benar. Iman adalah hubungan perorangan yang mengandung kepercayaan, kesetiaan, dan kasih. Dan iman ialah penyarahan kepada kehendah Allah dan partisipasi dalam pekerjaan Allah. b. Tehologia menguraikan sifat dasar dunia, dan etika menguraikan tanggung jawab manusia berdasarkan atas sifat dasar duia itu. c. Iman : empat unsur dalam satu perkara . Iman adalah kepercayaan dan kesetiaan, iman adalah tanggapan kepada panggilan perorangan dari Allah dan juga tanggapan kepada pekerjaan Allah dalam dunia, iman adalah pendirian kebenaran. 2.   Tabiat Tabiat sebagai sumber perbuatan-perbuatan lahiriah. Tabiat bisa didefinisikan sebagai susunan batin seseorang yang memberi arah terhadap perbuatan orang tersebut. Tabiat 53



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



mengandung perkataan hari tentang pengetahuan apa yang baik dan apa yang buruk. Tabiat kita terdiri dari sifat-sifat seperti kejujuran, keberanian, dan kemurahan hati. Bukanlah sifatsifat yang terpisah tetapi sifat-sifat yang saling berhubungan dan memiliki hubungan timbul. Tabiat tidak dapat disamakan dengan watak. Watak sendiri biasanya dianggap sebagai bentuk dari diri kita yang dapat secara alamiah dari kita lahir. Watak kita dapatkan di luar tanggung jawab kita. Banyak orang mengira watak lebih penting dari tabiat, padahal mereka ada sesuatu yang berbeda tetapi pada dasarnya sama. Arti tabiat juga hampir sama dengan budi pekerti. Tetapi, menurut pengertian umum, budi pekerti selalu berbicara tentang sifat yang baiki. Sedangkan tabiat berbicara tentang karakter yang baik dan buruk. 3. Lingkungan Sosial Pengambilan keputusan etis mau tidak mau dipengaruhi oleh lingkungan Sosial seperti keluarga, teman-teman,  masyarakat, dan mungkin oleh gereja. Pada satu sisi setiap orang bertanggung jawab atas kelakuannya sendiri.  Masing-masing orang wajib memilih normanorma dan nilai-nilai moral yang baik serta hidup yang sesuai dengan norma dan nilai yang ada. 4.  Norma-norma Salah satu faktor dalam pengambilan keputusan etis adalah norma. Norma ialah patokan yang dipakai untuk menilai perbuatan manusia dan menolong orang mengambil keputusan yang benar. Perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan norma baik dianggap benar. Perbuatan yang tidak sesuai dengan norma yang baik dianggap  salah. Dua jenis norma yang terpenting ialah prinsip-prinsip dan juga peraturan-peraturan. 5.  Situasi Kita harus mengerti situasi sebelum mengambil keputusan etis. Karena, kita perlu mengertia situasi supaya bisa mereapkan norma-norma dan nilai-nilai etis kepada situasi itu. Kita perlu mengerti situasi supaya kita dapat melakukan perbuatan yang tepat dan berguna dalam situasi itu. Dan juga kita perlu mengerti situasi supaya kita dapat mengetahui masalah-masalah yang  memperlukan perhatian kita.



E. Cara Pengambilan Keputusan Etis Dalam pemgambilan keputusan etis tentu diharapkan, jangan sampai salah menentukan sikap. Dalam hal ini, beberapa panduan atau cara, yaitu : 1. Doa, Ibadah, dan Roh Kudus. b. Doa harus dipandang bukan hanya sebagai jalan untuk memohon bimbingan Tuhan untuk keputusan-keputusan yang sulit, tetapi juga sebagai jalan untuk mengakrabkan persekutuan kita dengan Tuhan. Doa meningkatkan kemampuan kita untuk mengambilan keputusan yang tepat. c. Gaya kehidupan seseorang yang  dibentuk dari ibadat jemaat sama pentingnya dengan petunjuk yang diutarakan di dalam khotbah dan khotbah yang langsung menjurus kepada masalah yang dihadapi oleh anggota jemaat. d. Roh kudus dapat membimbing pikiran seseorang  yang betul-betul mencari kehendak Tuhan. Dan juga dapat mengubah kehendak kita agar supaya menjadi lebih sesuai dengan kehendak Tuhan serta menuntuk kita untuk dapat melakukan kehendak Tuhan itu. 2. Gereja dan orang-orang lain. 54



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



a. Seorang Kristen tidaklah mengambil keputusan-keputusan dengan seorang diri. Ia adalah anggota suatu persekutuan, ia didukung oleh kasih dan kesetiaan orang-orang Kristen yang ada dalam persekutuan tersebut, dan dibimbing oleh kebijaksaanaan mereka. b. Seorang Kristen juga memperluakan nasihat dan persahabatan dari orang-orang lain yang bukan Kristen. Acap kali orang-orang yang tidak seiman dengan kita memiliki pengetahuan dan pandangan yang tidak kita milik. Kadang kala mereka dapat membangkitkan kepekaan kita kepada kebutuhan dunia atau unsur dalam kehendak Tuhan yang kurang kita perhatikan. 3. Alkitab. Pengaruh Alkitab yang paling penting dalam pengambilan keputusan etis. Bukan bimbingan yang diperoleh dari Alkitab disaat kita menghadapi masalah moral, tetapi peranannya dalam membentuk iman dan tabiat kita dalam kehidupan kita. Pengaruh moral dari Alkitab tidaklah mempunya batas kepada norma-norma dan petunjuk-petunjuk moral yang termuat di dalamnya. Dengan mempelajari semua bahan ini orang Kristen dibekali untuk mengambil keputusan. Berita Alkitab yang utama bukan hanya petunjuk-petunjuk tentang bagaimana kita harus hidup. Terutama ialah sebagai buku kesaksian tentang perbuatan Allah demi mannusia, dengan mempelajari bagaimana Allah bekerja dalam zaman Alkitab. Kita dibantu untuk mengerti bagaimana Ia bekerja masa kini. Meskipun, pembentukan tabiat dan iman dipengaruhi oleh Alkitab, namun dalam proses pengambilan keputusan etis kita mencari bahan Alkitab yang menyangkut masalah yang kitab hadapi. 4. Bahan bacaan. Kemampuan kita untuk mengambil keputusan-keputusan etis dapat ditingkatkan dengan membaca bahan lain seperti buku-buku selain Alkitab. Dengan mengambil bahan bacaan yang lain itu menambah pengetahuan umum kita untuk menentukan dalam mengambil keputusan etis. DAFTAR PUSTAKA Hauerwas, Stanley, Character and the Christian Life, Trinity University Press, San Antonio, 1995. Keraf AS. Etika Lingkungan hidup. Jakarta : Penerbit Buku Kompas. 2010. Malcolm Brownlee. Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-Faktor Didalamnya. Jakarta : BPK Gunung Mulia. 2006. Ramsey, Ian T., Christian Ethics and Contemporary Philosophy, SCM Press, London, 1996. BAB XI ETIKA DALAM KEHIDUPAN SOSIAL A. Pendahuluan Di zaman modern ini, masalah etika di Indonesia mulai mengalami penurunan. Sebagian besar masyarakat mulai mengabaikan persoalan erikanya. Terutama etika dalam pergaulan. Hal ini terjadi di akibatkan masuknya ajaran-ajaran barat yang akhirnya mengikis ada budaya masyarakat Indonesia secara perlahan-perlahan. Etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud. Nilai yang terkandung dalam ajaran berbentuk petuah-petuah, nasihat, wejangan peraturan, perintah dan semacamnya. Pada dasarnya memberi kita orientasi bagaimana dan kemana kita harus melangkah dalam hidup ini. Etika memiliki keterkaitan dengan pergaulan sosial, sebagaimana yang diketahui apabila seseorang bergaul tanpa ada etika yang mengaturnya tentu pergaulan tersebut akan rusak. Sebagai contoh yakni pergaulan dalam remaja. Remaja merupakan generasi penerus yang akan 55



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



datang yakni penerus yang akan membangun  bangsa ke arah yang lebih baik yang mempunyai pemikiran jauh ke depan dan dapat menciptakan kegiatan yang dapat menguntungkan dirinya sendiri,keluarga, dan lingkungan sekitar, oleh karena itu remaja tersebut perlu mendapatkan perhatian dari orang tua dan masyarakat sekitar. B. Etika dan Agama Arus rasionalisasi demikian cepat melanda dunia religi, bukan hanya Kristenan, tetapi juga ajaran-ajaran agama lainnya. Abad modern telah membawa pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan nilai-nilai Kekristenan. Sejalan dengan berkembangnya kajian-kajian rasional kekristenan, kajian tentang pemikiran etika pun terangkat ke permukaan. Bahkan menjadi topik kajian menarik dalam konteks kekinian dan kemodernan, karena etika merupakan salah satu persoalan esensial dalam kajian keagamaan. Begitupun sebagian para ilmuan pada masa lalu berpandangan bahwa keberadaan agama secara perlahan akan ditelan oleh perkembangan zaman. Pandangan tersebut bertolak dari pemikiran bahwa perkembangan modernisasi dan sekularisasi menuntut sebuah peradaban yang mendasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah dan rasional, sedangkan perkembangan agama lebih mendasarkan pada keyakinan yang bersifat spekulatif dan tidak ilmiah. Tetapi dalam kenyataan hingga saat ini pandangan tersebut tidak terbukti, paling kurang hingga abad 21 ini. Tidak ada tanda-tanda yang meyakinkan bahwa agama akan ditinggalkan oleh para penganutnya. Hingga sekarang, sebagaimana yang kita saksikan, agama tetap berkembang di berbagai negara dan justru berperan penting dalam kehidupan sosial dan politik (Imam Tholkhah, 2002:1). Etika dan agama merupakan dua hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Meskipun manusia dilahirkan terpisah dari individu lain. Namun ia tidak dapat hidup sendiri terlepas dari yang lain, melainkan selalu hidup bersama dalam kelompok atau masyarakat yang oleh para filosof diartikan sebagai al-Insanu Madaniyyun bi ath-Thab’i (Osman Raliby, 1995:153). Di dalam masyarakatlah manusia mengembangkan hidupnya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan membangun peradaban. Hai ini menunjukkan bahwa seseorang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain, begitu pula sebaliknya. Dengan kata lain manusia saling memerlukan satu sama lain, apapun status dan keadaannya. Sebagai makhluk sosial, tentunya manusia selalu hidup bersama dalam interaksi dan interdepedensi dengan sesamanya. Untuk menjamin keberlangsungan kehidupan bersama tersebut, di dalam masyarakat terdapat aturan, norma atau kaidah sosial sebagai sarana untuk mengatur roda pergaulan antar warga masyarakat. Dalam rangka mengembangkan sifat sosialnya tersebut, manusia selalu menghadapi masalah-masalah sosial yang berkaitan dekat dengan nilai-nilai. Itulah sebabnya, selain ada agama, hukum, politik, adat istiadat, juga ada akhlak, moral dan etika. C. Hubungan Etika dan Agama Manusia merupakan salah satu makhluk hidup yang sudah ribuan abad lamanya menghuni bumi. Dalam prosesnya, pembinaan kepribadian manusia dipengaruhi oleh lingkungan dan didukung oleh faktor pembawaan manusia sejak lahir. Terkait dengan itu, manusia sebagai makhluk sosial, tidaklah terlepas dari nilai- nilai kehidupan sosial. Oleh karena nilai akan selalu muncul apabila manusia mengadakan hubungan sosial atau bermasyarakat dengan manusia lain. Dalam pandangan sosial, etika dan agama merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. K. Bertens (1994:2) mengatakan etika dapat dipakai dalam arti nilai-nilai dan normanorma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, arti ini disebut juga sistem nilai dalam hidup manusia perseorangan atau hidup 56



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



bermasyarakat. Misalnya, etika orang Jawa. Etika dipakai dalam arti kumpulan asas atau nilai moral yang biasa disebut kode etik. Kemudian etika dipakai dalam arti ilmu tentang yang baik dan buruk. Arti etika di sini sama dengan filsafat moral. Amsal Bakhtiar (1995:3) mengemukakan bahwa etika dipakai dalam dua bentuk arti: pertama, etika merupakan suatu kumpulan mengenai pengetahuan, mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia. Kedua, suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatanperbuatan atau manusia-manusia yang lain.9 Secara spesifik, Ahmad Amin mengatakan etika adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh sebagian orang kepada lainnya, mengatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat. Berdasarkan pemahaman di atas, etika merupakan ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan buruk dengan melihat pada amal perbuatan manusia, sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran dan hati nurani manusia. Agama merupakan suatu realitas yang eksis di kalangan masyarakat, sejak dulu ketika manusia masih berada dalam fase primitif, agama sudah dikenal oleh mereka. Meskipun hanya dalam taraf yang sangat sederhana sesuai dengan tingkat kesederhanaan masyarakat waktu itu. Dari masyarakat yang paling sederhana sampai kepada tingkat masyarakat yang modern, agama tetap dikenal dan dianut dengan variasi yang berbeda. Dengan demikian agama tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia, kapan dan dimanapun. Mahmud Syaltut (2009:180) menyatakan bahwa “agama adalah ketetapan Ilahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia”. Sementara itu, Syaikh Muhammad Abdullah Bardan berupaya menjelaskan arti agama dengan merujuk pada al Qur’an dengan melalui pendekatan kebahasaan. Emmanuel Kant mengatakan bahwa agama adalah perasaan tentang wajibnya melaksanakan perintah- perintah Tuhan. Harun Nasution berpandangan agama adalah kepercayaan terhadap Tuhan sebagai suatu kekuatan gaib yang memengaruhi kehidupan manusia sehingga melahirkan cara hidup tertentu. Sejalan dengan itu, Endang Saifuddin Ansari mengatakan agama adalah sistem kredo (tata ritus, tata peribadatan), sistem norma yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan alam sekitarnya berdasarkan sistem keimanan dan sistem peribadatan. Berdasarkan pemahaman diatas, bahwa agama adalah kebiasaan atau tingkah laku manusia yang didasarkan pada jalan peraturan atau hukum Tuhan yang telah ditetapkan oleh Allah. Dengan demikian, relasi antara etika dengan agama sangat erat kaitannya yakni adanya saling isi mengisi dan tunjang menunjang antara satu dengan yang lainnya. Keduanya terdapat persamaan dasar, yakni sama-sama menyelidiki dan menentukan ukuran baik dan buruk dengan melihat pada amal perbuatan manusia. Etika mengajarkan nilai baik dan buruk kepada manusia berdasarkan akal pikiran dan hati nurani. Sedangkan agama mengajarkan nilai baik dan buruk kepada manusia berdasarkan wahyu (kitab suci) yang kebenarannya absolut (mutlak) dan dapat diuji dengan akal pikiran. D. Fungsi Etika dan Agama Dalam Kehidupan Sosial Para tokoh Agama maupun pemikir Barat kontemporer sama-sama menyadari bahwa manusia saat ini berada pada puncak krisis yang akut, dimana kehadiran sains dan teknologi modern telah mereduksi eksistensi kemanusiaan sebagai potensi ideal dan kekuatan dalam mendesain peradaban modern. Jauh sebelum Karl Marx merasakan adanya fenomena penindasan oleh berjuis dan kapitalis alat dan modal yang telah meredekreditkan dimensi kemanusian, sehingga zaman modern adalah zaman dimana manusia benar-benar hidup secara real dan harfiah dalam bumi yang satu. Dalam menyikapi keadaan tersebut, dibutuhkan sikap 57



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



yang lebih apresiatif dan aktif dalam memfungsikan nilai-nilai etika dan agama dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan. Berbicara masalah etika dan agama tidak terlepas dari masalah kehidupan manusia itu sendiri. Olehnya itu, etika dan agama menjadi suatu kebutuhan hidup yang memiliki fungsi. Etika adalah sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu masyarakat tertentu yang berfungsi mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk, etika mengatur dan mengarahkan citra manusia kejenjang akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia. Etika menuntut orang agar bersikap rasional terhadap semua norma. Sehingga etika akhirnya membantu manusia menjadi lebih otonom. Etika dibutuhkan sebagai pengantar pemikiran kritis yang dapat membedakan antara yang sah dan tidak sah, apa yang benar dan apa yang tidak benar (Juhaya S. Praja, 2005:59-60). Etika memberi kemungkinan kepada kita untuk mengambil sikap sendiri serta ikut menentukan arah perkembangan masyarakat. Sedangkan agama yang kebenarannya absolut (mutlak) berfungsi sebagai petunjuk, pegangan serta pedoman hidup bagi manusia dalam menempuh kehidupannya dengan harapan penuh keamanan, kedamaian, sejahtera lahir dan batin. Agama sebagai sistem kepercayaan, agama sebagai suatu sistem ibadah, agama sebagai sistem kemasyarakatan. Agama merupakan kekuatan yang pokok dalam perkembangan umat manusia. Agama sebagai kontrol moral. Sebagai contoh dalam kehidupan modern yang serba pragmatis dan rasional, manusia menjadi lebih gampang kehilangan keseimbangan, mudah kalap dan brutal serta terjangkiti berbagai penyakit kejiwaan. Akhirnya manusia hidup dalam kehampaan nilai dan makna. Ketika itu agama hadir untuk memberikan makna. Ibarat orang tengah kepanasan di tengah Padang Sahara. Agama berfungsi sebagai pelindung yang memberikan keteduhan dan kesejukan, serta memiliki ketentraman hidup. 19 Dengan demikian, ajaran agama mencakup berbagai dimensi kehidupan manusia (multi dimensional) senantiasa dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan dan tidak pernah mengenal istlah ketinggalan zaman (out of date). Kedua fungsi tersebut tetap berlaku dan dibutuhkan dalam kehidupan sosial. Etika mendukung keberadaan agama, dimana etika sanggup membantu manusia dalam menggunakan akal pikiran untuk memecahkan masalah. Etika mendasarkan diri pada argumentasi rasional sedangkan agama mendasarkan pada wahyu Tuhan. Dalam agama ada etika dan sebaliknya. Agama merupakan salah satu norma dalam etika. Berdasarkan kedua fungsi tersebut di atas, manusia dapat meningkatkan dan mengembangkan dirinya menjadi manusia yang memiliki yang peradaban yang tinggi. E. Etika Dalam Pergaulan Sosial Etika adalah sebuah refleksi kritis dan moral yang menentukan dan terwujud dalam sikp dan dola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun kelompok. Menurut Magnis Suseno, etika adalah sebuah ilmu dan bukan suatu ajaran. Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuah-petuah, nasihat, wejangan peraturan, perintah dan  semacamnya yang bersifat turun temurun. Jadi moralitas adalah petunjuk konkrit yang siap pakai tentang bagaimana kita harus hidup sedangkan etika adalah perwujudan secara kritis dan rasional ajaran moral yang siap pakai itu. Pada dasarnya keduanya memberi kita orientasi bagaimana dan kemana kita harus melangkah dalam hidup ini. Tetapi bedanya moralitas langsung mengatakan “inilah caranya harus melangkah”, Sedangkan  etika justru mempersoalkan “apakah harus melangkah dengan cara ini dan mengapa harus dengan cara ini” 58



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



Etika pergaulan sosial adalah sesuatu yang diperlukan dalam kehidupan karena bagaimana bisa seseorang hidup tanpa melakukan interaksi yakni melakukan pergaulan dengan orang di sekelilingnya. Sebab, pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang yang selalu berhubungan satu sama lain, setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan serta  memerlukan bantuan orang lain.  Adapun yang menjadi dasar dalam etika adalah:  Bersikap sopan dan ramah kepada siapa saja.  Memberi perhatian kepada orang lain.  Berusaha selalu menjaga perasaan orang lain.  Bersikap ingin membantu.  Memiliki rasa toleransi yang tinggi.  Dapat menguasai diri, mengendalikan emosi dalam situasi apapun. a. Etika pergaulan dengan Orang Tua Yang dimaksud lebih tua disini adalah para orang tua kita yaitu nenek, paman, bibi, dan orang lain yang lebih tua dati kita. Kita wajib menghormati mereka yakni orang tua yang telah memelihara, membesarkan, mendidik, dan membiayai hidup kita. Karena tidak sedikit pengorbanan yang mereka lakukan untuk membesarkan anak-anaknya.  Namun, tidak selayaknya kita mengabaikan apa yang diperintahkannya, serta kewajiban menghormatinya serta menuruti segala nasehat dan perhatiannya. Oleh karena itu tentulah kita harus memiliki etika yang baik kepada mereka yakni dengan menghormati, serta bersikap sopan dan santun. Amsal 1:8-9: “Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu sebab karangan bunga yang indah itu bagi kepalamu, dan suatu kalung bagi lehermu”. Alkitab jelas mengajarkan agar kita selalu berlaku hormat dan sopan kepada semua orang yang lebih tua, terlebih kepada kedua orang tua kita, dari merekalah kita memperoleh pengalaman, memperoleh ilmu untuk bekal masa yang akan datang. Sebagaimana janji Allah pula seseorang yang menghormati orang yang lebih tua darinya maka kelak dia juga akan dihormati pada masa tuanya. Adapun etika berbicara dengan orang yang lebih tua yakni: berbicara bersopan dan santun, memperhatikan ia ketika sedang berbicara, tidak boleh sombong dalam berbicara minsal berkedik pinggang hal tersebut dinamakan kurang adat. Contoh lain saat bertanya kepada orang lain yakni sedang dalam kereta atau mobil, maka jika hendak bertanya maka turunlah dari kereta atau mobil yang dikendarai karena hal tersebut merupakan upaya yang kita lakukan menghargai orang yang ditanyai dan terlihat lebih sopan. b. Etika Pergaulan dengan orang yang sebaya Sebaya disini berati sama usianya, maka dari itu pergaulan sebaya sangatlah peting karena hal tersebut selalu dilakukan hampir setiap hari dilingkungan masyarakat, oleh sebab itu diperlukan etika yang baik dalam pergaulan sosial antara sebaya ini. c. Etika Pergaulan dengan Sesama  Etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun kelompok. Dalam pergaulan sehari-hari di kita dituntut memiliki etika yang baik agar dapat hidup berdampingan secara damai dan harmonis dengan orang lain yang memiliki adat, budaya, suku, ras, agama dan keyakinan yang berbeda dengan kita. 59



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



DAFTAR PUSTAKA Dadang Ahmad, Metode Perbandingan Agama (Perspektif Ilmu Perbandingan Agama). Bandung: Pustaka Setia, 2000. H Nursid Sumatmadja. Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya dan Lingkungan Hidup. Bandung: Alfabeta, 1998. Haidar Nashir. Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Juhaya S Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Ed. I, Jakarta: Kencana, 2005. K Bertens. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994. Muhammad Mufid. Etika dan Filsafat Komunikasi. Ed. I, Jakarta: Kencana, 2009.



BAB XII ETIKA KRISTEN DAN TEKNOLOGI INFORMASI A. Pendahuluan Perkembangan internet yang merambah ke dunia media sosial mengalami perkembangan yang cukup tajam terhadap sosial masyarakat. Internet tidak dikenal sebatas mengirimkan email, namun juga dipakai untuk media sosial. Dengan hadirnya situs media sosial, dunia seolah-olah berada di ujung jari. Tidak ada lagi batasan di dunia maya. Semua orang dapat dengan mudah bersosialisasi sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masing-masing. Ada begitu banyak situs media sosial yang berkembang dewasa ini. Dalam makalah ini, penulis akan membahas mengenai situs media sosial, yang ternyata telah memberikan dampak sosial yang luar biasa. Penulis akan membahas dampak sosial secara negatif dan positif dari situs media sosial. Kemudian penulis juga memberikan analisa Etika Kristen di dalam menyikapi situs media sosial. 60



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



Kemajuan teknologi informasi dan komputer telah memperkaya (dan sekaligus membombardir) kehidupan manusia saat ini dengan berbagai media. Sosiolog dan penulis Todd Gitlin (2004:140) mengatakan bahwa pengalaman hidup manusia saat ini telah menjadi pengalaman di dalam kehadiran media. Belum pernah terjadi di dalam sejarah bahwa manusia menghabiskan lebih banyak waktunya dengan menatap layar daripada berelasi dengan orangorang lainnya. Dengan melihat berbagai permasalahan pada bidang teknologi media, maka sangat diperlukan sebuah kompas atau pedoman etika berdasarkan kebenaran firman Tuhan. Karena etika berkenaan dengan konsep nilai (apa yang seharusnya, yang baik dan yang benar), untuk mengarahkan perilaku dalam penggunaan teknologi media komunikasi. B. Media Sosial dan Pandangan Alkitab Pada zaman postmodern ini, kebutuhan aktualisasi diri menjadi hal yang penting, bahkan menjadi suatu keharusan dalam kehidupan masyarakat. Kebutuhan aktualisasi diri pada saat ini seolah-olah bergeser dari kebutuhan yang sebenarnya tidak benar-benar vital menjadi “kebutuhan” yang sangat vital. Meningkatnya aktualisasi diri dan keinginan untuk menunjukkan eksistensi dapat dibuktikan dengan meningkatnya penggunaan aplikasi sosial media seperti instragram, youtube, facebook, dsb. Perkembangan teknologi mendukung hal ini. Kebutuhan ini dimulai dari keinginan manusia untuk menyatakan ekistensinya dimana manusia ingin agar keberadaannya disadari oleh orang lain dan mendapatkan perhatian. Kebutuhan ini memang seturut dengan rencana dan perintah Allah agar manusia menjadi pengelola alam dan mengembangkannya. Oleh karena itu kita mengenal mandat budaya, dimana sebagai implikasinya, manusia selalu memiliki naluri untuk menjadikan segala sesuatu semakin baik. Namun, bagaimana jika naluri dan kebutuhan ini terdistorsi? Kebutuhan untuk mengungkapkan eksistensi diri yang berlebihan ini tentu akan menyebabkan masalah. Salah satunya adalah narsisme media sosial. Manusia pada esensinya adalah ciptaan yang Allah kerjakan dengan begitu mulia, seperti yang dikatakan dalam Kejadian 1:27 manusia diciptakan serupa dengan rupa Allah. Manusia diberikan kebebasan untuk bertindak, berpikir, dan melakukan segala sesuatu. Namun di dalam kebebasan itu manusia lebih memilih untuk melakukan sesuatu yang berdosa, manusia melakukan sesuatu yang memuaskan hasratnya, melakukan tindakan yang bukan meninggikan Allah, tetapi menempatkan diri sebagai prioritas utamanya. Namun kejatuhan manusia dalam dosa berimplikasi penyimpangan citra diri. Manusia yang adalah gambar dan rupa Allah menjadi seteru Allah, bukan hanya dengan Allah semata tetapi dengan segala hal, termasuk dengan diri sendiri. Fokus hidup manusia beralih dari Allah, berpindah pada diri sendiri. Bahaya terbesar dari mengasihi diri sendiri adalah karena hal ini merupakan penyembahan kepada diri sendiri. Ini merupakan pemberhalaan dengan diri sebagai berhalanya, dan merupakan lawan dari Allah. Dengan demikian dapat mengakibatkan kesombongan terhadap Allah, keegoisan timbul, dan hidup yang berpusat pada diri sendiri semakin menguat. Gambar Allah di dalam diri manusia yang menyimpang karena kejatuhan harus dan senantiasa diperbaharui secara bertahap di dalam Yesus. Pembaharuan citra diri manusia terjadi dalam dua aspek, yang pertama ketika Allah dan Rohnya memperbaharui manusia, Ia memampukan manusia untuk meninggalkan kesombongan dan memandang diri sebagai pusat 61



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



segalanya. Manusia harus sadar dulu bahwa pusatnya pada Allah. Manusia harus secara sadar menyakini Allah adalah realita tertinggi. Yesus Kristus tidak pernah berhenti menjadi Tuhan sekalipun Ia membasuh kaki muridmurid-Nya. Bagi Yesus, harga Diri-Nya saa sekali bukan ditentukan dari bagaimana orang lain memandang Dia, namun bagaimana Allah memandang Dia. Etika Kristen harus menjadikan Yesus Kristus sebagai model satu-satunya yang sempurna. Karena itu orang Kristen pun harus melakukan apa yang Yesus lakukan. Kita tidak perlu membangun harga diri dari hal-hal yang remeh karena Allah Pencipta langit dan bumi sudah menganggap kita berharga. Pengertian mengenai hal tersebut seharusnya sudah cukup untuk membentuk citra diri kita. C. Dampak Positif dan Negatif Media Sosial Tidak dapat dipungkiri  bahwa sebuah fenomena pasti akan memberikan dampak yang cukup besar di dalam cara berkomunikasi masyarakat. Masyarakat yang tadinya cukup terbatas dalam sisi pergaulan dengan masyarakat yang lainnya, sekarang sudah tidak ada lagi pembatas atau pemisah didalam dunia maya. Awalnya banyak orang yang memiliki sahabat pena, teman sekolah, teman bermain, dan teman kerja. Maka sekarang kebanyakan orang memilih berteman lewat sistem online. Perkembangan ini tentu sekali memiliki dampak bagi kehidupan sosial dan pribadi masing-masing orang. 1. Dampak positif media sosial Banyak hal positif yang dapat dilakukan dengan perkembangan media sosial ini salah satunya yaitu dapat menghubungkan kerabat yang sangat jauh, menjadi dekat karena dapat saling menulis pesan hingga berbicara secara langsung bahkan dapat saling melihat dengan fitur Video Call. Masih banyak lagi hal-hal positif lainnya, karena hal-hal positif tersebut relatif dan tergantung dari penggunaan masing-masing individu, contohnya : a. Memperluas jaringan pertemanan. Berkat situs media sosial ini pengguna menjadi lebih mudah berteman dengan orang lain di seluruh dunia. Meskipun sebagian besar diantaranya tidak pernah bertemu secara langsung dalam dunia nyata. b. Pengguna akan termotivasi untuk belajar mengembangkan diri melalui teman-teman yang mereka jumpai secara online, karena mereka berinteraksi dan menerima umpan balik satu sama lain. c. Situs media sosial membuat pengguna menjadi lebih bersahabat, perhatian dan empati. Misalnya memberikan perhatian saat ada teman mereka berulang tahun, mengomentari foto, video dan status teman mereka, menjaga hubungan persahabatan meski tidak dapat bertemu secara fisik.    2. Dampak negatif media sosial Selain hal-hal positif yang sangat membantu diatas, banyak juga hal-hal negatif salah satunya adalah menebar kebencian melalui media sosial atau menebar hoax. Para penebar hoax tersebut kebanyakan menggunakan akun anonymous yang tidak bertanggung jawab ketika melakukan hal negatif tersebut. Hal negatif tersebut sangat menarik perhatian pihak yang berwenang untuk membangun tim cyber yang bertugas sebagai pembasmi akun-akun anonymous tersebut. a. Pengguna (khusunya Anak dan Remaja) menjadi malas belajar berkomunikasi di dunia nyata. Tingkat pemahaman bahasa pun menjadi terganggu. 62



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



b. Situs media sosial akan membuat pengguna (red. anak dan remaja) lebih mementingkan diri sendiri. Mereka menjadi tidak sadar akan lingkungan di sekitar mereka, karena kebanyakan menghabiskan waktu di internet. Hal ini dapat mengakibatkan menjadi kurang berempati di dunia nyata. c. Umumnya, bagi anak dan remaja, tidak ada aturan ejaan dan tata bahasa di situs media sosial. Hal ini membuat mereka semakin sulit untuk membedakan antara berkomunikasi di situs jejaring sosial dan di dunia nyata. d. Situs jejaring sosial adalah lahan yang subur bagi para orang yang memiliki niat untuk melakukan kejahatan. Kita tidak akan pernah tahu apakah seseorang yang baru dikenal di internet menggunakan jati diri yang sesungguhnya atau tidak. Pengaruh Media Sosial juga sangat besar dalam dunia pelayanan Gereja, baik kepada Anak-anak, Remaja, Pemuda, Jemaat umum, bahkan semua kalangan. Secara khusus, pengaruh negatif yang begitu kuat terjadi dalam kehidupan pelayanan. 1) Merusak moral dan etika kehidupan warga jemaat. a. Mempergunakan HP, Ipad dalam ibadah untuk online, browsing, chating, dll. b. Mempergunakan HP, Ipad dalam rapat atau pembicaraan sehingga mengangu konsentrasi. 2) Memberi kemungkinan akan keretakan dalam keluarga, banyak orang yang mencari kesenangan lewat media sosial, apabila sedang bermasalah dengan suami atau istri. 3) Pornografi. Anak-anak terlalu mudah mengakses apa saja yang mereka ingin lihat, padahal anak-anak memiliki rasa penasaran yang tinggi. 4) Media provokasi. 5) Pelanggaran Hak cipta, mencuri karya orang lain. D. Etika Kristen Terhadap Pengaruh Media Sosial Dengan melihat penjelasan tersebut diatas bahwa media sosial telah memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan sosial masyarakat. Terlebih khusus bisa berpengaruh negatif, maka bagaimana sikap kekristenan menghadapi hal ini. Ada tiga sorotan etika kekristenan, yakni komunikasi, karakter dan komunitas yang dapat dipakai untuk menyikapi pengaruh media sosial tersebut. 1. Komunikasi Relasi di dunia maya lebih menyenangkan dibandingkan dengan relasi secara nyata. Salah satu bentuk relasi adalah komunikasi. Semua orang dapat memberikan pernyataan, komentar, curhat, dll. Namun ada para pengguna situs media sosial melupakan bahwa mereka sedang melakukan komunikasi massa. Ketika seseorang memberikan pernyataan maka itu dapat dibaca oleh semua orang yang berjejaring maupun tidak berjejaring dengan dia. Komunikasi menjadi hal yang penting ketika orang menggunakan media sosial. Hal ini dapat kita lihat dari Yak. 3:1-12. Terutama di ayat 9-10 : “Dengan lidah kita memuji Tuhan dan Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, Saudara-saudaraku, tidak boleh terjadi.” Yakobus memakai pengertian “memuji Tuhan dan Bapa kita” adalah dalam konteks ibadah. Kemudian Yakobus mengkaitkan “mengutuk manusia” adalah pribadi. Bagi 63



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



Yakobus tidak mungkin satu lidah mengeluarkan hal berbeda, yaitu berkat dan kutuk. Maka hal ini disebut dengan jahat. Perlunya memiliki kesadaran komunikasi yang murni, yaitu mendatangkan berkat bukan kutuk sehingga media sosial menjadi media komunikasi yang saling memberkati. 2. Karakter Ketika seseorang menggunakan media sosial, maka suka maupun tidak suka karakter seseorang akan nampak dengan jelas, karena melalui media sosial kita tidak akan segan untuk menuangkan apa saja yang kita pikirkan. Seseorang yang telah ditebus oleh Tuhan Yesus Kristus seharusnya memiliki karakter yang bersumber dari Alkitab (2 Kor 3:18). Maka secara otomatis karakter Kristus akan menjadi cerminan seseorang ketika menggunakan media sosial. Jika dilihat dari segi Alkitab maka nasihat Paulus kepada jemaat Korintus sangat tepat, yaitu melakukan segala sesuatu untuk kemuliaan Tuhan (1 Kor 11:31). Yakobus juga memberikan satu nasihat kepada para pembacanya supaya memiliki iman dan perbuatan yang seimbang (Yak 2:20).  Stanly Hauerwas berpendapat mengenai etika karakter, yaitu : Memiliki paradigma karakter yang selalu memuliakan Tuhan akan cukup memberikan dampak yang luas ketika orang percaya menggunakan media sosial. 3. Komunitas Media sosial pada dasarnya ingin membangun sebuah komunitas yang saling terkait satu dengan yang lain. Oleh karena itu, penting kesadaran bagaimana model komunitas kekristenan dapat mempengaruhi atau setidaknya mencerminkan komunitas umat percaya. Stanly Hauerwas (1997:231) memberikan wawasan bagaimana keinginan Tuhan terhadap orang percaya. Komunitas orang percaya dibangun mencerminkan relasi antara Tuhan dengan manusia dan manusia dengan manusia. Ketika manusia sudah ditebus oleh Tuhan Yesus Kristus maka akan membentuk persekutuan orang percaya yang diikat oleh kasih Tuhan. Makaworldview yang dibangun di dalam komunitas orang percaya adalah berdasarkan Yesus Kristus dan Alkitab. Jika komunitas Kristen merefleksikan Kristus di dalam penggunaan media sosial, maka bukan tidak mungkin memberikan satu dampak yang cukup besar. DAFTAR PUSTAKA Natan, Bahan Ajar : Mata Kuliah Etika 1 (Diktat Etika 1 : STT. Basom, 2014) Stanley J. Grenz, The Moral Quest Foundations of Christian Ethics (Illinois : InterVarsity, 1997 BAB XIII ETIKA DALAM PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN A. Pendahuluan Etika Kristen pertama-tama adalah etika. Ia tidak jauh berbeda dengan konsep etika lainnya. Yang membedakan etika Kristen dengan etika lainnya adalah iman kristiani yang dipakai untuk menjadi asumsi dasar dalam melakukan penilaian etis. Tetapi dalam hal ini ada dua hal yang harus ditekankan agar tidak ada anggapan bahwa etika Kristen sangat bebeda dengan etika-etika lainnya, sehingga tidak mungkin terjadi titik temu. 64



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



Yang pertama etika Kristen tidak mengandung kebenaran yang hanya berlaku dan dapat diketahui sekelompok orang saja. Untuk dapat disebut “etika”, ia harus mengandung kebenaran yang berlaku bagi semua orang, dan dapat diterima oleh semua orang. Ia dapat diterima oleh semua orang bukan karena ia merupakan kebenaran “Kristen”, tetapi karena ia merupakan kebenaran yang universal yang dapat dipahami oleh semua orang. Yang kedua kebenaran dalam etika Kristen berdasarkan pada Alkitab. Namun, yang penting dalam hal ini adalah bahasa dan penyajiannya. Etika Kristen harus disajikan sedemikian rupa di dalam bahasa yang dapat ditangkap oleh semua orang. Ini berarti ia harus memakai penalaran yang objektif dan rasional. KEDUA Hal ini sangat penting. Sebab hanya dengan demikian etika dapat terhindar dari subjektivisme dan relativisme. Subjektivisme dan relativisme akan membuat etika menjadi sumber kebalauan dan kebingungan baru. Bertentangan dengan tujuannya yang pokok dan luhur, yaitu menjadi penuntun tindakan manusia mengenai apa yang seharusnya. Dalam hal menjadi penuntun tindakan manusia, etika Kristen menjadi salah satu tolok ukur dan dasar pembentukan serta pengembangan kepribadian seseorang. Kepribadian seseorang merupakan identitas dirinya. Pengembangan kepribadian merupakan suatu aspek yang penting bagi pribadi itu sendiri. Peranan-peranan etika tersebut antara lain : 1. Etika Kristen mengarahkan manusia menuju hidup baru Dalam hal ini, etika Kristen berperan sebagai “penunjuk jalan” bagaimanaseseorang berbuat atau bertindak dalam menanggapi sesuatu. Dalam etika Kristenhidup baru sering dirumuskan dengan mengkuti Kristus. Dalam konteks inimengikuti Kristus berarti menjadikan Yesus sebagai teladan. Menjadikan Yesussebagai teladan artinya kita hidup di bawah persekutuanNya, pengawasanNya, danpimpinanNya.3Etika Kristen membedakan segala sesuatu yang baik dan buruk berdasarkanpada alkitab dan Tuhan sendiri. Tuhan menjadikan semua ciptaanNya dalamkeadaan yang baik, namun karena kehendak dan keinginan manusia, manusiaterjerumus dalam dosa. Tetapi karena manusia diciptakan istimewa Tuhan tetapmemberikan pengampunan atas dosa-dosa manusia melalui sabdaNya yangkemudian harus kita pahami sehingga segala sesuatu yang kita lakukan tidak lagibertolak dari kehendakNya. Hidup baru juga berarti memperbaharui segala tingkah laku dan perbuatan yang salah di mata Allah maupun sesama, etika Kristen menjadi pegangan dalam rangka pembaharuan itu, ia menjadi pegangan utama untuk bertindak sehingga pada akhirnya manusia mampu mengubah pola pikir maupun tingkah laku yang bertentangan dengan konsep etika secara umum maupun konsep etika Kristen itu sendiri. 2. Etika Kristen berperan dalam pengambilan keputusan etis Keputusan-keputusan etis tidak mungkin dielakkan. Kita harus mengambil keputusan entah yang sukar maupun yang mudah. Kadang-kadang kemauan orang untuk mengambil keputusan dilemahkanoleh ketakutan bahwa keputusannya mungkin salah. Etika Kristen mengajarkan tentang apa yang benar dan apa yang salah berdasarkan iman Kristen. Pengambilan keputusan dipengaruhi oleh hubungan-hubungan kita dengan Tuhan, orang lain, dan diri sendiri. Padahal seringkali kita tidak menyadari pengaruh itu.1 Pengambilan keputusan etis agar sesuai dengan situasi, keadaan dan tujuan harus didasarkan pada konsep etika Kristen ini sehingga kecenderungan untuk mengambil keputusan yang membawa konsekuensi dapat diminimalisir 3. Etika Kristen sebagai sarana pengembangan pribadi dalam lingkungan sosial 65



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



Ada hubungan timbal balik antara lingkungan dan individu. Pada suatu sisi seseorang dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Norma-norma dan nilai-nilai masyarakat meresap ke dalam diri individu. Hubungan individu dengan orang lain dan lingkungan yang selalu berubah, ikut membentuk identitas seorang individu. Namun, kepribadian bukan semata-mata hasil dari pengaruh-pengaruh dari luar individu. Sebagai manusia, kita menjadi subjek atau pembuat, bukan objek atau buatan saja.1 Etika Kristen berlaku untuk seluruh kehidupan manusia. Tidak ada bagian kehidupan yang tidak perlu dibimbing oleh Tuhan. Maka etika Kristen mencari kehendak Tuhan untuk setiap bagian kehidupan etika. Etika Kristen tidak terbatas kepada hal-hal rohani dan gerejani saja tetapi juga menyangkut hal-hal duniawi. Etika Kristen tidak terbatas kepada kehidupan pribadi tetapi juga menyangkut perkara-perkara budaya, ekonomi dan politik. Tanggungjawab orang Kristen tidak terbatas pada orang-orang yang seiman atau segolongan tetapi meliputi seluruh umat manusia. 1 Dengan membentuk kepribadian diri sendiri, kita ikut membentuk kepribadian orang lain. Mereka juga ikut membentuk kepribadian kita. Semua norma, etika, dan nilai moral diajarkan kepada kita oleh masyarakat.1 Di sinilah peran etika itu ada, yakni dalam hal mengkritisi nilai dan norma apa saja yang bisa kita terima untuk kemudian menjadi sarana pengembangan dan pembentukan kepribadian kita. Nilai dan moral yang baik akan membentuk kepribadian yang baik pula.



DAFTAR PUSTAKA Brownlee, M. Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di dalamnya. Jakarta : BPK Gunung Mulia ; 2010 Darmaputera, E. Etika Sederhana untuk Semua. Jakarta : BPK Gunung Mulia ; 1996 J. Verkuyl, Etika Kristen Bagian Umum. Jakarta : BPK Gunung Mulia ; 2010



BAB XIV PENTINGNYA PENDIDIKAN ETIKA BAGI MAHASISWA A. Pendahuluan Pendidikan adalah dasar utama bagi semua manusia salah satunya “etika”, memberikan pembelajaran etika moral yang harus ditanamkan sejak kanak kanak hingga dewasa. Bahkan di perguruan tingi etika sangat mempengaruhi kehidupan manusia, terutama dalam kehidupan sehari-hari. Generasi bangsa adalah sekumpulan manusia intelektual yang akan 66



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



bermetamorfosa menjadi penerus tombak estafet pembangunan di setiap negara, dengan itelegensinya diharapkan bisa mendobrak pilar-pilar kehampaan suatu negara dalam mencari kesempurnaan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta secara moril akan dituntut tanggung jawab akdemisnya dalam menghasilkan buah karya yang berguna bagi kehidupan lingkungan. Sebagai seorang mahasiswa, beberapa hal menjadi perhatian dalam lingkungan kampus. Adapun peran mahasiswa, yakni.  Menciptakan kehidupan ilmiah yang kondusif dalam kampus,  Menjunjung tinggi nilai ilmiah,  Hubungan yang kondusif dengan dosen dan karyawan,  Mengetahui, memahami dan melaksanakan peraturan yang berlaku di kampus,  Kembangkan gairah membaca, menulis dan menggunakan komputer dengan bersikap, perilaku positif,  Bersedia menerima sanksi yang ditetapkan atas pelanggaran terhadap peraturan kampus  Memiliki target-target pribadi sambil mengintrospeksi diri,  Kooperatif kemampuan untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan kelompok di kampus. B. Etimologi Etika Secara etimologi, etika dapat diartikan sebagai (Yunani) kebiasaan atau pun tingkah laku, (Inggris) tingkah laku/ perilaku manusia yang baik. Keduanya merujuk pada tindakan yang harus dilaksanakan manusia sesuai dengan moral pada umumnya. Sedangkan dalam koteks yang lain secara luas dinyatakan bahwa: etika merupakan aplikasi dari proses & juga teori filsafat moral terhadap kenyataan yang sebenarnya. Hal ini juga berhubungan dengan prinsip-prinsip dasar serta konsep yang membimbing makhluk hidup dalam hal berpikir dan juga bertindak serta menekankan nilai-nilai mereka. Secara etimologi kata “etika” berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu ethos dan ethikos. Ethos berarti sifat, watak kebiasaan, tempat yang biasa, sedangkan ethikos berarti susila, keadaban, kelakuan dan perbuatan yang baik. Istilah moral berasal dari kata latin yaitu mores, yang merupakan bentuk jamak dari ‘mos’ yang ‟berarti adat istiadat atau kebiasaan watak, kelakuan, tabiat, dan cara hidup. Dalam bahasa Arab, kata etika dikenal dengan istilah akhlak yang berarti budi pekerti, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut tata susila. Dengan demikian, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik pada diri seseorang atau kepada masyarakat dan harus didukung atau diberi motivasi. Dalam motivasi mengandung keinginan yang mengaktifkan, menggerakkan, menyalurkan, dan mengarahkan sikap dan perilaku pembelajaran etika. Sedangkan Slavin berpendapat bahwa dalam bahasa yang sederhana, motivasi adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang melangkah masuk, memndorong untuk terus maju, dan menentukan dimana berada mencoba untuk bergerak. Motivasi selalu berhubungan untuk suatu tujuan. Seorang mahasiswa akan berhasil mencapai prestasi belajar etika saat didukung dengan motivasi belajar yang sangat kuat. Menurut (Dag Heward-Mills, 2015) menjelaskan bahwa etika Kristen merupakan petunjuk atau ide yang menolong orang Kristen untuk mempraktekan nilainilai iman Kristen. Sedangkan (Fletcher, 2007) menjelaskan bahwaetika Kristen harus menjadikan Allah sebagai pusat dan teladan dalam bersikap dan bertindak. Senada dengan Fletcher (Wogaman, 1993) bahwa etika Kristen merupakan cara hidup rukun orang Kristen yang mempraktekkan kasih tanpa terfokus pada materi dan dengan meneladani Kristus. Menurut Ramsey, (1950) menjelaskan bahwa etika Kristen adalah perbuatan yang dikehendaki oleh Allah, yang didasarkan pada nilai-nilai yang sesuai dengan sifat Allah, sehingga orang Kristen melalukan perbuatan baik dan sebagai tanggapan atas keselamatan yang dianugerahkan Allah. 67



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



Lebih lanjut lagi dijelaskan oleh (Mealey, 2009) bahwa etika Kristen merupakan cara berprilaku atau cara bertindak yang sesuai dengan ajaran-ajaran Alkitab dan mempunyai tujuan untuk berprilaku yang berbeda dengan orang yang belum percaya, seperti bertindak jujur dalam segala hal. Dalam hal ini, termasuk etika atau prilaku mahasiswa harus sesuai dengan nilai-nilai Alkitabiah, salah satu contoh juga etika atau prilaku yang harus dibiasakan dan harus diterapkan dalam Galatia 5:22-23 kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemah lembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu. Ayat ini dengan jelas mengatakan tidak hukum yang menentang kesepuluh hal tersebut. Etika Kristen diterapkan dalam kehidupan seharihari mahasiswa, supaya perilaku atau tindakan tidak melenceng ke jalur yang menyimpang dan yang tidak sesuai dengan Firman Allah. Menurut Geisler (2015) bahwa etika Kristen didasarkan pada kehendak Allah, diperintahkan oleh Allah sendiri yang sesuai dengan sifat Allah dan semua perintah ada di dalam Alkitab. Masalah karakter saat ini menjadi persoalan bagi beberapa negara terlebih khususnya bagi bangsa Indonesia (Fajarini, 2014). Masalah-masalah karakter yang dapat dirasakan adalah banyaknya anak-anak dibawah umur dijumpai sudah merokok, minum minuman keras dan narkoba, serta pada jaman sekarang banyak anak-anak Sekolah Dasar mengenal pacaran yang salah dengan melakukan ciuman (Prasasti, 2017). Dalam dunia pendidikan kasus karakter antara lain siswa dan mahasiswa yang selalu menyontek saat ujian dan beberapa tawuran antara siswa sekolah dan mahasiswa yang melakukan demo yang merusak fasilitas umum. Etika Kristen terkadang sering diabaikan dikalangan mahasiswa karena mereka sudah mempunyai pola pikir yang menurut mereka sudah benar. Merekara lebih kepada keinginan daginya dipandingkan dengan printah Allah. Sebab itu etika harus tetap ditanamkan bagi semua kalangan manusia baik dimasa kanak-kanak, remaja, orang tua bahkan lansia. C. Mahasiswa Pendidikan Agama Kristen Sebagai seorang mahasiswa perlu disadari bahwa tugasnya adalah belajar. Untuk mencapai keberhasilan sebagai seorang mahasiswa perlu mengalokasikan waktu yang lebih untuk belajar, membaca buku referensi baik dengan memanfaatkan fasilitas perpustakaan ataupun browsing di internet, berdiskusi dengan teman atau siapapun yang yang dapat memberikan masukan. Motivasi untuk keberhasilan tersebut dapat ditingkatkan melalui targettarget pribadi seperti target untuk nilai IPK, target untuk cepat lulus, untuk segera bekerja dan target lainnya tergantung pribadi mahasiswa. Dalam mencapai keberhasilan dan menambah motivasi seorang mahasiswa, harus dilandasi oleh ajaran kristen, yaitu menjadi garam dan terang yang dilandasi oleh kasih. Tentunya dalam mengejar cita-citanya tidak menghalalkan segala cara, misalnya malas belajar, tidak mau bertanya, dan mencontek. 



1. Mahasiswa dengan Mahasiswa Sebagai sesama mahasiswa kristen, perlu menerapkan ajaran kasih yang dapat diaplikasikan dengan kesediaan untuk menolong sesama mahasiswa dalam belajar, mau berbagi pengetahuan, bersikap ramah satu sama lain, kompak, tidak menyombongkan diri, dan mau memaafkan jika ada kesalahan teman. 2. Mahasiswa dengan Dosen 68



MK: Etika Kristen



Wandri Lumbantoruan, M.Pd



Dosen merupakan perwakilan orang tua di lingkungan kampus, dosen juga dapat dianggap sebagai atasan atau tuan dari mahasiswa kita. Seperti tertulis pada Kolose 3:22  yang berbunyi “Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia ini dalam segala hal, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan mereka, melainkan dengan tulus hati karena takut akan Tuhan. Ajaran ini jelas menggambarkan agar mahasiswa mentaati dosen ataupun aturan yang berlaku di Kampus. Lebih jauh lagi, ketaatan mahasiswa bukan karena dimotivasi oleh keinginan mendapat pujian ataupun mengharapkan nilai atau IPK yang tinggi, tetapi melakukannya dengan tulus hati. Hal tersebut, menurut saya adalah keunggulan dari etika Kristen. Mahasiswa tidak akan menjadi orang yang munafik di kampus. Jika dosen tidak masuk kelas atau berhalangan, akan merasa senang dan tidak belajar; tetapi jika dosen berada di kelas bertindak seolah-olah memperhatikan dengan seksama. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan iman Kristen. Tetapi, bagaimana jika dosen atau pengajar orang yang sangat menjengkelkan? Orang yang galak, kejam dan “killer”? Bolehkah kita tidak menghormatinya? Jawaban Alkitab sangat tegas, yaitu TIDAK. Dalam 1 Petrus 2:18 dikatakan, “Hai kamu, hamba-hamba, tunduklah dengan penuh ketakutan kepada tuanmu, bukan saja kepada yang baik dan peramah, tetapi juga kepada yang bengis.” Lihat, betapa jelasnya Tuhan meminta untuk taat kepada orang yang mempunyai posisi di atas kita. 3. Mahasiswa dengan Lingkungannya Kehidupan di luar kampus juga merupakan kunci keberhasilan dalam mencapai keberhasilan seorang mahasiswa. Jika kehidupan di luar kampus dapat berjalan dengan baik, tentu akan menghindari gangguan fisik ataupun gangguan mental sehingga dapat lebih fokus untuk mencurahkan waktu dan pikiran pada pelajaran. Kehidupan yang baik di luar kampus dapat dilakukan melalui hal-hal berikut:  Menjadi contoh yang baik di lingkungan dimana mahasiswa tersebut berada;  Berperilaku dan bertutur kata yang baik yang mencerminkan sebagai mahasiswa;  Berupaya mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya di masyarakat sebagai wujud pengabdian (misalnya aktif di organisasi gereja);  Mengembangkan ilmu pengetahuan di luar kampus.



DAFTAR PUSTAKA J.L.Ch. Abineno, Sekitar Etika dan Soal-Soal Etis, BPK Gunung Mulia. Jakarta. 1996 Jerry. R.H. Sirait dkk, ”Diktat mata kuliah pendidikan Etika (Kristen)”, Departemen Mata Kuliah Dasar Umum Universitas Kristen Indonesia. 1993 J. Verkuyl,”Etika Kristen: Bagian Umum”, BPK Gunung Mulia. Jakarta, 2000



69