Modul Tugas Besar Sistem Produksi 2021 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SKENARIO TUGAS BESAR SISTEM PRODUKSI TAHUN AKADEMIK 2021 / 2022 M Tugas besar dilaksanakan untuk menunjang mata kuliah Sistem Produksi dengan meimplementasikan teori-teori yang telah diberikan di kelas. Teori-teori ini saling terintegrasi antara satu dengan yang lainnya. Tugas besar Sistem Produksi terdiri dari 3 modul, yaitu Pemetaan Aliran Produksi, Opmitized Production Technology (OPT) dan Just In Time (JIT). Tugas Besar Sistem Produksi dengan skenario yaitu suatu perusahaan bernama PT. LSP memproduksi tiga jenis produk yaitu Mobil Truk Kontainer 1 (MTK 1), Mobil Truk Kontainer 2 (MTK 2) dan Mobil Truk Tangki (MTT). Dalam proses produksinya dilakukan pemetaan aliran produksi untuk mengindentifikasi aliran nilai dari suatu sistem produksi dan dapat mengetahui kendala-kendala yang terjadi. Salah satu tools yang digunakan dalam mengindetifikasi aliran tersebut dengan menggunakan Value Stream Mapping (VSM). Tujuannya yaitu untuk menampilkan keterkaitan antar proses, dan memfasilitasi dalam mengidentifikasi waste serta sumber waste. Berdasarkan hasil identifikasi dengan VSM, dilakukan beberapa perbaikan untuk aliran nilai yang telah digambarkan. Metode perbaikan tersebut yaitu penerapan Jig, OPT dan JIT. PT LSP memiliki kebijakan yaitu perbaikan Jig dilakukan untuk menghilangkan proses berulang atau berlebih yang tidak memberikan nilai tambah untuk sebuah produk. Sedangkan OPT dan JIT, masingmasing penerapan perbaikan dilakukan untuk lini pabrikasi dengan menggunakan OPT dan lini perakitan dengan menggunakan JIT. Penerapan Jig dilakukan pada proses produksi di stasiun kerja pengeboran. Tujuannya agar proses yang berlebih dapat diminimalisir. OPT menyelesaikan masalah dengan menerapkan 5 langkah utama (Goldratt, 2004) yaitu mengidentifikasi constraints, eksploitasi constraints, subordinasi aktivitas lain, elevasi constraint dan melakukan langkah pertama jika suatu constraints telah dihilangkan. Sementara itu penggunaan JIT bertujuan untuk mengubah sistem push menjadi pull pada lini perakitan dengan memperhatikan keinginan konsumen melalui penggunaan sistem kanban. Perbaikan dengan menggunakan JIT dilakukan



i



dengan membuat penjadwalan produksi dengan menggunakan metode Mixed Model Scheduling serta menentukan jumlah kanban dalam memenuhi permintaan konsumen. Hasil akhir dari perbaikan yang telah dilakukan, kemudian dipetakan ulang dengan Value Stream Mapping Future untuk melihat aliran nilai yang telah diperbaiki.



ii



DAFTAR ISI SKENARIO TUGAS BESAR SISTEM PRODUKSI ............................................. i DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii MODUL 1 PEMETAAN ALIRAN PROSES ........................................................ 1 1.1



Pendahuluan ............................................................................................. 1



1.2



Tujuan Praktikum ..................................................................................... 2



1.3



Landasan Teori ......................................................................................... 2



1.3.1



Lean Manufacturing .......................................................................... 2



1.3.2



Jenis-jenis Pemborosan ..................................................................... 5



1.3.3



Alat dan Teknik Lean Manufacturing ............................................... 8



1.3.4



Value Stream Mapping (VSM) ....................................................... 11



1.3.5



Kuesioner Seven Waste................................................................... 19



1.3.6



Perhitungan Waktu Baku ................................................................ 20



1.4



Data dan Alat yang Dibutuhkan ............................................................. 21



1.5



Langkah Pembuatan Value Stream Map ................................................ 22



DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 24 MODUL II OPTIMIZED PRODUCTION TECHNOLOGY ............................... 25 2.1



Pendahuluan ........................................................................................... 25



2.2



Tujuan Praktikum ................................................................................... 25



2.3



Landasan Teori ....................................................................................... 26



2.3.1



Optimized Production Technology (OPT) ...................................... 26



2.3.2



Teory Of Constraints (TOC) ........................................................... 34



2.3.3



Langkah - Langkah Utama dalam Mengatasi Constraint ............... 40



2.3.4



Penjadwalan Campbell Dudeck Smith (CDS) ................................ 41



2.4



Mengenal Software Winqsb 2.0 ............................................................. 42



2.5



Data dan Alat yang Dibutuhkan ............................................................. 44



2.6



Pelaksanaan Praktikum........................................................................... 44



DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 45 MODUL III JUST IN TIME DENGAN PENERAPAN SISTEM KANBAN ...... 47 3.1



Pendahuluan ........................................................................................... 47



3.2



Tujuan Praktikum ................................................................................... 48



iii



3.3



Landasan Teori ....................................................................................... 48



3.3.1



Just In Time ..................................................................................... 49



3.3.2



Koefisien Safety Stock ..................................................................... 55



3.3.3



Sistem Kanban ................................................................................ 56



3.3.4



Mixed Model Scheduling ................................................................. 63



3.4



Data dan Alat yang Dibutuhkan ............................................................. 68



3.5



Prosedur Pelaksanaan Praktikum ........................................................... 68



DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 70



iv



MODUL 1 PEMETAAN ALIRAN PRODUKSI 1.1



Pendahuluan Manufacturing adalah proses produksi untuk menghasilkan produk-produk



fisik. Pada masa sekarang, manufacturing dilihat sebagai suatu proses yang mengintegrasikan kegiatan dari tiga pihak yaitu pemasok bahan (suppliers), pabrik pengolahan (manufacturing plants), dan para pelanggan (costumers). Produksi merupakan proses yang berkenaan dengan pengubahan input menjadi output berupa barang atau jasa. Perubahan ini tentunya untuk menghasilkan value. Value atau nilai tambah pada suatu produk menjadi sangat penting bagi perusahan atau industri agar produk yang dihasilkan dapat bersaing dengan kompetitor. Memberikan nilai tambah pada produk dapat dilakukan dengan mendesain proses produksi yang lebih efektif dan efisien. Salah satu cara yang dapat digunakan yaitu dengan meminimalkan atau menghilangkan pemborosan (waste) pada proses produksi. Apabila hal tersebut dapat dicapai maka perusahaan dapat memenuhi value yang diinginkan oleh konsumen dengan sumber daya yang minimal. Pencapaian untuk meminimalkan pemborosan dapat dilakukan dengan melakukan pendekatan lean manufacturing. Lean Manufacturing merupakan konsep yang dapat mendesain proses produksi menjadi lebih sedikit limbah, lebih sedikit tenaga manusia, lebih sedikit ruang produksi, lebih sedikit investasi dalam alat, dan lebih sedikit waktu rekayasa untuk mengembangkan produk baru (Jhon X. Wang, 2011). Salah satu tools yang dapat digunakan untuk menerapkan lean adalah Value Stream Mapping (VSM). VSM adalah alat yang digunakan untuk membuat peta arus material dan informasi dari suatu produk atau jasa (Jhon X. Wang, 2011). Gambaran seluruh proses tersebut tergambarkan dengan simbol-simbol tertentu pada selembar kertas. Proses produksi yang dimaksud adalah dari bahan baku hingga produk berada pada tangan konsumen. Tujuan dari VSM adalah mengidentifikasi proses produksi agar material dan informasi dapat berjalan tanpa adanya gangguan, meningkatkan produktivitas dan daya saing, serta membantu dalam mengimplementasikan sistem (Womack dkk, 1996). Oleh karena itu VSM



PEMETAAN ALIRAN PRODUKSI



|1



membantu dalam menemukan waste yang ada dalam proses produksi. 1.2



Tujuan Praktikum Tujuan dari value stream mapping ini adalah sebagai berikut: 1. Praktikan mampu memahami konsep dasar Lean Manufacturing. 2. Praktikan mampu membuat Value Stream Mapping. 3. Praktikan mampu mengidentifikasi waste. 4. Praktikan mampu menganalisis perbaikan untuk meminimasi waste.



1.3



Landasan Teori Lean Manufacturing merupakan konsep yang dapat mendesain proses



produksi menjadi lebih sedikit limbah, lebih sedikit tenaga manusia, lebih sedikit ruang produksi, lebih sedikit investasi dalam alat, dan lebih sedikit waktu rekayasa untuk mengembangkan produk baru (Jhon X. Wang, 2011). Lean Manufacturing atau lean production atau yang lebih dikenal sebagai lean adalah suatu filosofi bisnis yang meliputi pada penggunaan sumber daya yang termasuk sumber waktu dalam aktivitas perusahaan yang melalui perbaikan dan peningkatan terus-menerus, sehingga hanya berfokus pada eliminasi aktivitas yang tidak bernilai dalam desain produksi yang berhubungan dengan manufaktur atau operasi yang berkaitan langsung dengan pelanggan (Gaspersz, 2007). Konsep pendekatan ini dirintis oleh Taichi Ohno dan Shigeo Shingo dimana implementasi dari konsep ini didasarkan pada 5 prinsip, yaitu understand customer value, value stream analysis, flow, pull, dan perfection. Karakteristik dari lean meliputi struktur lantai produksi yang aktif melakukan pemecahan masalah dengan penerapan kaizen dan continuous improvement, serta pelaksanaan lean manufacturing melalui tingkat inventory yang rendah, manajemen kualitas mengutamakan



tindakan



preventive



(pencegahan)



dibandingkan



tindakan



corrective (Perbaikan), penggunaan pekerja yang sedikit, ukuran lot yang kecil serta penerapan konsep Just in Time (JIT) (William, 2001). 1.3.1



Lean Manufacturing Kata Lean dalam Bahasa Inggris berarti ramping. Suatu perusahaan



dikatakan lean jikan semua aktivitas yang dilakukan adalah aktivitas yang bersifat value added atau aktivitas yang memberikan nilai tambah dilihat dari sudut pandang customer. Lean dapat didefinisikan sebagai suatu pendekatan sistematik untuk



PEMETAAN ALIRAN PRODUKSI



|2



mengidentifikasi dan menghilangkan pemborosan (waste) dan meningkatkan nilai tambah (value added) produk agar memberikan nilai kepada pelanggan (customer value). Menurut Gaspersz (2007) tujuan lean pada hakikatnya adalah meningkatkan terus menerus customer value melalui peningkatan terus menerus rasio antara nilai tambah terhadap waste (the value-to-waste ratio). Konsep lean pada awalnya merupakan terminology yang digunakan untuk mendeskripsikan pendekatan yang dilakukan di industri otomotif Jepan yaitu Sistem Produksi Toyota (Toyota Production System) untuk membedakannya dengan pendekatan produksi massal yang ada di Barat, pendekatan Toyota Production System yang diterapkan di pabrik Toyota tersebut yang kemudian disarikan dalam beberapa dekade dengan istilah lean. Lean Manufacturing berevolusi dari Toyota Production System (TPS), yang dikembangkan pasca perang dunia II, menggabungkan konsep yang dipinjam dari Henry Ford's Highland Park dan River Rouge Model T factories. Ford dengan nama sistem produksi massal “flow manufacturing”, sebuah konsep pusat bersandar pada kunci sederhana manufacturing Ford garis conveyor untuk memindahkan pekerjaan ke pekerja, spesialisasi tenaga kerja kerja terpisah dan tugas-tugas repetitif sederhana, dan rantai pasokan terpadu adalah untuk mengatur fabrikasi mesin ke stasiun kerja (workstation) terpisah, yang diterjemahkan ke dalam batch produksi, antrian, persediaan (inventory), dan akhirnya mendorong (push) sistem penjadwalan (Ehrlich, 2002). Beberapa definisi mengenai Lean Manufacturing, yaitu: 1.



Lean



Manufacturing



digunakan



untuk



proses



identifikasi



dalam



menghilangkan semua aktivitas pemborosan (Waste) secara dinamis serta berkelanjutan dengan melibatkan seluruh karyawan perusahaan (Dailey, 2003). 2.



Lean Manufacturing juga merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mendefinisikan sistem produksi yang bebas dari pemborosan dengan prinsip muda sebagai dasar rujukan (Santos, 2006).



3.



Lean Manufacturing merupakan konsep yang dapat mendesain proses produksi menjadi lebih sedikit limbah, lebih sedikit tenaga manusia, lebih



PEMETAAN ALIRAN PRODUKSI



|3



sedikit ruang produksi, lebih sedikit investasi dalam alat, dan lebih sedikit waktu rekayasa untuk mengembangkan produk baru (Jhon X. Wang, 2011). Definisi lain mengatakan bahwa Lean Manufacturing adalah produksi bebas dari pemborosan (waste-free production). Dalam upaya menerapkan konsep ini terdapat 3 pilar utama sebagai berikut (Dailey, 2003) 1.



The Problem Setiap Waste terdapat di semua level dan aktivitas yang ada di perusahaan.



2.



The Solution Lakukan proses identifikasi dan eleminasi setiap Waste yang ada.



3.



The Who Dalam proses penerapan konsep ini diperlukan peranan dari semua karyawan dan departemen yang ada diperusahaan. Toyota menggunakan istilah bahasa Jepang muda bila mereka berbicara



tentang pemborosan dan menghilangkan muda menjadi fokus dari sebagian besar upaya Lean Manufacturing. Namun ada dua M lain yang sama pentingnya untuk membuat Lean Manufacturing berjalan, dan ketiga M tersebut saling mengisi berbagai



sistem



produksi.



Dokumen



Toyota



Way



berkenaan



dengan



“Menghilangkan Muda, Muri, Mura” (Gambar 1.1).



Muda Pemborosan



Mura Ketidakseimbangan



Muri Memberi Beban Kerja Berlebih



Gambar 1.1 Tiga M Sumber: Liker (2004)



Ketiga M tersebut yang dijelaskan Liker (2004) dalam bukunya adalah: ●



Muda-Tidak menambah nilai. Ini adalah aktivitas yang tidak berguna yang memperpanjang lead time, menimbulkan gerakan tambahan untuk memperoleh komponen atau peralatan, menciptakan kelebihan persediaan, atau berakibat pada berbagai jenis waktu tunggu.



PEMETAAN ALIRAN PRODUKSI



|4







Muri-Memberi beban berlebih kepada orang atau peralatan. Dari sudut pandang tertentu, hal ini merupakan ujung yang bersebrangan dari spectrum muda. Muri adalah memanfaatkan mesin atau orang di luar batas kemampuaannya. Membebani orang secara berlebih menimbulkan masalah dalam keselamatan kerja dan kualitas. Membebani peralatan secara berlebih menyebabkan kerusakan dan produk cacat.







Mura-Ketidakseimbangan. Anda dapat memandang hal ini sebagai kesimpulan dari kedua M lainnya. Di sistem produksi yang normal, kadangkadang terdapat lebih banyak pekerjaan disbanding dengan yang dapat ditangani oleh orang atau mesin yang ada, dan saat yang lain hanya ada sedikit pekerjaan. Ketidakseimbangan diakibatkan oleh jadwal produksi yang tidak teratur atau volume produksi yang berfluktuasi karena masalah internal, seperti kerusakan mesin atau kekurangan komponen atau produk cacat. Muda merupakan akibat dari Mura. Ketidakseimbangan tingkat produksi berarti perlu memiliki peralatan, material, dan orang untuk melakukan tingkat produksi yang tertinggi-bahkan bila permintaan rataratanya jauh lebih rendah dari itu.



1.3.2



Jenis-jenis Pemborosan Pada dasarnya dikenal dua kategori utama pemborosan (waste), yaitu Type



One Waste dan Type Two Waste. Type One Waste adalah aktivitas kerja yang tidak menciptakan nilai tambah dalam proses transformasi input menjadi output sepanjang value stream, namun aktivitas itu pada saat sekarang tidak dapat dihindarkan karena berbagai alasan. Misalnya, aktivitas inspeksi dan penyortiran dari perspektif lean merupakan aktivitas tidak bernilai tambah sehingga merupakan waste, namun pada saat sekarang kita masih membutuhkan inspeksi dan penyortiran karena mesin dan peralatan yang digunakan sudah tua dan tingkat keandalannya berkurang. Demikian pula, pengawasan terhadap orang, misalnya, merupakan aktivitas tidak bernilai tambah berdasarkan perspektif Lean, namun pada saat sekarang kita masih harus melakukannya, karena orang tersebut baru saja direkrut oleh perusahaan sehingga belum berpengalaman. Dalam konteks ini, aktivitas, inspeksi, penyortiran, dan pengawasan dikategorikan sebagai Type One Waste. Dalam jangka panjang Type One Waste harus dapat dihilangkan atau dikurangi.



PEMETAAN ALIRAN PRODUKSI



|5



Type One Waste ini sering disebut sebagai Incidental Activity atau Incidental Work yang termasuk ke dalam aktivitas tidak bernilai tambah (non-value-added work or activity) (Gaspersz, 2007). Type Two Waste merupakan aktivitas yang tidak menciptakan nilai tambah dan dapat dihilangkan dengan segera. Misalnya, menghasilkan produk cacat (defect) atau melakukan kesalahan (error) yang harus dapat dihilangkan dengan segera. Type Two Waste ini sering disebut sebagai waste saja, karena benar-benar merupakan pemborosan yang harus dapat diidentifikasi dan dihilangkan dengan segera (Gaspersz, 2007). Konsep value added activity, incidental (non value added activity) atau type one waste, dan type two waste (Waste) ditunjukkan dalam Gambar 1.2.



Gambar 1.2 Un-Lean (Traditional) Work Activity yang tipikal Sumber: Gaspersz (2007)



Berdasarkan riset empiris yang dilakukan oleh Lean Enterprise Research Centre di Cardiff Business School, UK pada tahun 2000 diketahui bahwa hanya sekitar 5% dari seluruh kegiatan di perusahaan manufaktur yang memberikan nilai tambah. Selebihnya sekitar 60% merupakan non value added activities dan 35% merupakan necessarry but non value added activities. Menurut Gaspersz dan Fontana (2011), Secara umum terdapat “Seven plus One Type of Waste” yang terdapat pada sistem produksi: 1.



Overproduction Waste Overproduction merupakan jenis pemborosan yang terburuk yang



mempengaruhi keenam jenis pemborosan lainnya. Overproduction terjadi karena memproduksi suatu produk melebihi kebutuhan pelanggan yang mengakibatkan penumpukan pada produk sehingga memerlukan pengangkutan, penyimpanan,



PEMETAAN ALIRAN PRODUKSI



|6



pemeriksaan, serta memungkinkan akan mengakibatkan kecacatan. Selain itu, overproduction terjadi karena variasi produk yang di produksi oleh perusahaan. 2.



Waiting Time (Delay) Waste Waiting time disebabkan karena tidak seimbangan pada lintasan produksi



sehingga keterlambatan tampak melalui orang-orang yang sedang menunggu mesin, peralatan dan bahan baku. 3.



Transportation Waste Transportation merupakan pemborosan yang berupa pergerakan di sekitar



lantai produksi. Transportasi terjadi diantara langkah proses pembuatan, aliran pengolahan serta pengiriman ke pelanggan. 4.



Overprocessing Waste Pemborosan pada proses disebabkan oleh proses yang berlebihan yang tidak



diinginkan oleh pelanggan. Perusahaan membuat spesifikasi produk diluar keinginan pelanggan sehingga sering menciptakan limbah dalam produksi. 5.



Motion Waste Motion merupakan jenis pemborosan yang disebabkan oleh gerakan yang



tidak diperlukan oleh seorang operator atau mekanik seperti berjalan, mencari alat atau bahan. Ini dikatakan limbah ketika melihat seorang operator yang aktif bergerak dan terlihat sibuk sehingga sering melakukan gerakan yang tidak diperlukan. 6.



Inventory Waste Inventory termasuk jenis pemborosan klasik, semua inventory termasuk



pemborosan kecuali jika diterjemahkan langsung untuk penjualan. Inventory dapat berupa raw materials, work in process atau finished goods. 7.



Defect Product Waste Jenis pemboran ini dapat disebut scrap yang disebabkan oleh ketidakpuasan



konsumen terhadap produk sehingga produk dikembalikan ke perusahaan selain itu proses yang tidak baik. 8.



Defective Design Waste Pemborosan yang disebabkan oleh pengerjaan desain yang tidak memenuhi



kebutuhan pelanggan serta penambahan feature yang tidak perlu.



PEMETAAN ALIRAN PRODUKSI



|7



1.3.3



Alat dan Teknik Lean Manufacturing Menurut Dailey (2003) dan Ehrlich (2002) dalam melakukan desain lean



production terdapat beberapa alat dan teknik yang digunakan, yaitu sebagai berikut: 1.



Value Stream Mapping (VSM) VSM didefinisikan sebagai prosses identifikasi dan memetakan arus



informasi, proses dan barang di seluruh rantai pasokan yang diawali dari mulai pemasok bahan baku sampai dengan produk jadi ke pelanggan. VSM merupakan alat perencanaan dasar untuk mengidentifikasi waste, solusi desain dan mengkomunikasikan konsep lean. Manfaat dari VSM, yaitu: ● Ketergantungan yang disorot, ● Identifikasi peluang untuk aplikasi alat dan strategi tertentu, ● Peningkatan pemahaman terhadapsistem yang sangat kompleks, ● Kegiatan



perbaikan



berkelanjutan



yang



disinkronisasikan



dan



diprioritaskan. 2.



Poka Yoke & Jig Poka Yoke didefinisikan sebagai suatu pendekatan terhadap kualitas yang



bertanggung jawab untuk mencegah cacat dalam desain produk dan/atau proses produksi. Poka Yoke juga dikenal sebagai pembuktian kesalahan dimana idenya yaitu untuk dapat merancang proses yang kuat dari kesalahan. Pendekatan pada spesifikasi desain produk yaitu dengan mengganti proses atau komponen yang rawan cacat dengan yang tidak rawan cacat. Sedangkan pendekatan proses/fixture dalam manufaktur yaitu dengan mengganti proses/fixture yang rentan dengan yang tidak rentan. Menurut Hoffman (1996) Jig & Fixture merupakan alat bantu produksi yang digunakan pada proses manufaktur sehingga dihasilkan duplikasi part yang akurat. Hubungan yang tepat antara pemotong, atau alat yang lain, dan benda kerja harus dijaga. Jig atau Fixture didesain dan dibangun untuk menahan, menopang dan memposisikan setiap bagian untuk memastikan bahwa proses pemesinan dilakukan dengan akurat dan presisi. Jig adalah peralatan khusus yang berfungsi untuk menahan dan menopang benda kerja, yang akan mengalami proses pemesinan. Jig tidak hanya menahan dan menopang benda kerja, tetapi juga mengarahkan alat pemotong ketika proses produksi dilakukan. Jig biasanya terbuat dari hardened steel, untuk memandu proses drilling atau alat pemotong lainnya.



PEMETAAN ALIRAN PRODUKSI



|8



3.



5S Pengorganisasian Tempat Kerja 5S adalah metodologi untuk mengatur, membersihkan, mengembangkan,



dan mempertahan kan lingkungan kerja yang produktif. Istilah Jepang untuk 5S yaitu Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, dan Shitsuke. Penjelasan dari 5S ini yaitu sebagai berikut: 1) Seiri (Ringkas), memisahkan antara barang yang diperlukan dengan barang yang tidak diperlukan. 2) Seiton (Rapi), menempatkan barang-barang ditempat kerja secara teratur. 3) Seiso (Resik), menjaga agar segala sesuatu tetap bersih ditempat kerja. 4) Siketsu (Rawat), menjaga tempat kerja selalu ringkas, rapid dan resik. 5) Shitsuke (Rajin), membiasakan disiplin 5S dengan baik dan mandiri. Manfaat dari 5S, yaitu: ● Kepemilikan pekerja atas ruang kerja, ● Meningkatkan pemeliharaan, ● Meningkatkan moral, ● Meningkatkan produktivitas, ● Meningkatkan keamanan, ● Meningkatkan transparansi. 4.



Total Productive Maintenance (TPM) TPM merupakan strategi untuk dapat menciptakan kepemilikan operator



dan pemeliharaan produksi secara otonom dengan kata lain operator bertanggung jawab atas pemeliharaan preventif mesin mereka dan memiliki wewenang untuk mengambil tindakan korektif jika perlu. 5.



Visual Control Visual Control membuat informasi tentang proses produksi dan kegiatan



sehari-hari mendasar yang tersedia secara visual. Teknik ini membuat informasi tersedia secara sekilas untuk semua yang terlibat dalam proses. Idenya adalah bahwa setiap orang dalam proses produksi memiliki tingkat informasi yang sama tentang status saat ini. Manfaat dari Visual Control, yaitu: ● Visualisai yang jelas dan sedehana untuk status produksi, ● Meningkatkan komunikasi antara departemen dan shift, ● Respon yang lebih cepat terhadap kerlainan (contoh: cacat),



PEMETAAN ALIRAN PRODUKSI



|9



● Peningkatan kesadaran dari waste/scrap, ● Perubahan budaya, ● Tekanan sesama pekerja untuk perbaikan. 6.



Single Minut Exchange of Dies (SMED) SMED adalah metodologi untuk mereduksi setup time. SMED merupakan



teknik untuk pergantian cepat mesin multiguna, dikembangkan oleh Shiego Shingo di Toyota untuk memfasilitasi penggunaan aliran kontinu dan produksi batch kecil. Manfaat dari SMED, yaitu: ● Dokumentasi prosedur pengaturan, ● Peningkatan fleksibilitas dan responsif terhadap perubahan pelanggan, ● Peningkatan kemampuan untuk mengejar ● Ukuran lot yang lebih kecil, ● Peningkatan kapasitas, ● Mengurangi ukuran batch dan mengurangi inventori, ● Mengurangi waktu setup. 7.



Standarisasi Kerja Standarisasi Kerja adalah proses untuk mendokumentasi dan strandarisasi



kerja sepanjang value stream (instruksi proses dan prosedur operasi standar). Menfaat dari standarisasi kerja, yaitu: ● Meningkatkan efektivitas pelatihan silang, ● Peningkatan berkelanjutan pada produksi dan prosedural, ● Mengurangi downtime karena ketidakhadiran, ● Penjadwalan produksi yang lebih konsisten, ● Mengurangi variasi produk, ● Mengurangi biaya pelatihan. 8.



Kanban Kanban adalah bahasa Jepang untuk “kartu”. Penjadwalan tarik



dikombinasikan dengan instruksi perjalanan yang disampaikan oleh perangkat visual sederhana dalam bentuk kartu, wadah, dan lain-lain. Manfaat dari kanban, yaitu: ● Mengurangi inventori, ● Memprediksi aliran material,



PEMETAAN ALIRAN PRODUKSI



| 10



● Menyederhanakan penjadwalan, ● Meningkatakan produktivitas. 1.3.4



Value Stream Mapping (VSM) Value Stream Mapping (VSM) adalah salah satu teknik Lean yang biasa



digunakan untuk menganalisis aliran material dan informasi saat ini, yang dibutuhkan untuk membawa produk atau jasa hingga sampai ke konsumen. Value Stream Mapping (VSM) ini berasal dari perusahaan Toyota dan teknik ini juga sering disebut sebagai Material and Information Flow Mapping. Peta ini mencakup proses, alur material dan informasi dari satu famili produk tertentu dan membantu mengidentifikasi pemborosan dalam sistem (Liker, 2004). Manfaat dari pemetaan value stream lebih dari sekedar alat yang baik untuk membuat gambaran yang menyoroti pemborosan, walaupun hal tersebut jelas bermanfaat. Melakukan pemetaan value stream merupakan filosofi mengenai bagaimana melakukan peningkatan dengan menghilangkan waste. Layaknya sebuah peta juga menyediakan sebuah “bahasa” sehingga semua orang mempunyai visi yang sama, sama seperti halnya peta jalan, alat pemetaan value stream menunjukan jalan yang akan ditempuh, tetapi peta ini peta ini menyebutkan secara mendetail apa yang akan ditemukan selama dalam perjalanan (Liker dan Meier, 2006). Gambar 1.3 merupakan tahapan dari pemetaan nilai pada Value Stream Mapping (VSM).



Gambar 1.3 Tahapan Value Stream Mapping (VSM) Sumber: Rother dan Shook (1999)



PEMETAAN ALIRAN PRODUKSI



| 11



1.3.4.1 Manfaat dan Tujuan Value Stream Mapping Value



Stream



Mapping



adalah



alat



perencanaan



dasar



untuk



mengidentifikasi waste, merancang solusi dan menyampaikan konsep lean (Dailey, 2003). Adapun manfaat yang di berikan dari pemetaan Value Stream Mapping sebagai berikut: Manfaat Value Stream Mapping: 1.



Memperlihatkan keterkaitan antar proses.



2.



Mengidentifikasi metode dan strategi yang akan digunakan.



3.



Meningkatkan pemahaman tentang sistem yang sangat kompleks.



4.



Mengsinkronisasi dan memprioritaskan kegiatan perbaikan berkelanjutan.



Tujuan Value Stream Mapping: 1.



Visualisasi Material dan Arus Informasi.



2.



Memfasilitasi dalam mengidentifikasi dan mengeliminasi Waste beserta Sumber Waste.



3.



Membantu untuk memprioritaskan kegiatan perbaikan berkelanjutan di suatu perusahaan.



4.



Membantu dalam menganalisis Constraint.



5.



Memberikan bahasa yang umum untuk proses evaluasi.



1.3.4.2 Simbol-simbol yang Digunakan Pada Value Stream Mapping Simbol-simbol yang digunakan dalam menggambarkan aliran porses pada VSM ditunjukan pada Tabel 1.1. Tabel 1. 1 Simbol-simbol Value Stream Mapping (VSM) Sumber: Rother dan Shook (1999)



No



Nama



Lambang



Fungsi



1



Manufacturing Process



Digunakan untuk melambangkan suatu proses yang sama pada suatu aliran material.



2



Outside Sources



Menggambarkan supplier, customer dan segala proses yang terjadi diluar lantai produksi.



PEMETAAN ALIRAN PRODUKSI



| 12



Tabel 1. 1 Simbol-simbol Value Stream Mapping (VSM) (Lanjutan)



No



Nama



Lambang



Fungsi



Data Box



Digunakan untuk mencatat informasi mengenai suatu proses manufaktur, departemen maupun pelanggan yang digunakan sebagai data analisis suatu sistem.



Inventory



inventory yang terdapat diantara dua proses. Setiap hitungan dan waktu perlu dicatat.



Truck Shipment



Sebagai lambang yang menggambarkan frekuensi pengiriman, baik saat pengiriman raw material maupun pengiriman barang jadi.



6



Push Arrow



Menggambarkan pergerakan suatu item secara push dari proses sebelumnya kepada proses berikutnya sebelum proses tersebut membutuhkannya.



7



Finished Goods to Customer



Menggambarkan pergerakan suatu raw material dari supplier menuju gudang, maupun pergerakan produk jadi dari gudang penyimpanan menuju konsumen.



8



Supermarket



Menggambarkan controling inventory terhadap part dan digunakan untuk menjadwalkan produksi pada upstream proses.



9



Withdrawal



Menunjukan adanya penarikan atau penarikan ulang suatu part atau item, biasanya dari supermarket.



10



First-in-FirstOut Sequence Flow



Menunjukan suatu perangkat untuk memastikan aliran material secara FIFO diantara proses. Setiap kuantitas yang maksimal harus dicatat.



11



Electronic Information Flow



Menunjukan suatu aliran informasi yang disampaikan dengan bantuan alat elektronik, seperti melalui Electronic Data Interchange (EDI).



3



4



5



PEMETAAN ALIRAN PRODUKSI



| 13



Tabel 1. 1 Simbol-simbol Value Stream Mapping (VSM) (Lanjutan)



No



Nama



Lambang



Fungsi



12



Manual Information Flow



Menunjukan suatu aliran informasi yang disampaikan secara manual, seperti melalui catatan, percakapan mauapun laporan. Contohnya seperti jadwal produksi atau jadwal pengiriman.



11



Electronic Information Flow



Menunjukan suatu aliran informasi yang disampaikan dengan bantuan alat elektronik, seperti melalui Electronic Data Interchange (EDI).



12



Manual Information Flow



Menunjukan suatu aliran informasi yang disampaikan secara manual, seperti melalui catatan, percakapan mauapun laporan. Contohnya seperti jadwal produksi atau jadwal pengiriman.



13



Information



Menggambarkan suatu aliran data informasi atau hal lain yang penting.



14



Production Kanban



Menjelaskan mengenai jumlah dari yang akan diproduksi dan sebagai bentuk izin untuk melakukannya.



15



Withdrawal Kanban



16



Signal Kanban



17



Kanban Arriving in Batches



18



SequencedPull Ball



Untuk mengintruksikan material handler untuk mendapatkan atau mengirimkan suatu part atau item. Contohnya dari supermarket ke proses konsumen. Kanban “satu per batch”. Memberi intruksi atau sinyal untuk melakukan proses produksi ketika pemesanan telah tercapai dan batch yang lain membutuhkannya. Lambang menggambarkan bahwa kanban telah tiba atau telah tersampaikan kepada batch atau stasiun yang bersangkutan. Memberikan intruksi untuk segera menghasilkan produk dengan jenis dan jumlah yang telah ditentukan, biasanya satu unit. Sebuah push sistem untuk sebuah sub perakitan biasanya tidak menggunakan supermarket.



PEMETAAN ALIRAN PRODUKSI



| 14



Tabel 1. 1 Simbol-simbol Value Stream Mapping (VSM) (Lanjutan)



No



Nama



Lambang



Fungsi



19



Kanban Post



Menggambarkan tempat untuk menyimpan kanban dan mengambil kanban.



20



Load Levelling



Lambang yang digunakan ketika akan menghentikan proses batch dari kanban dan tingkat volume tercampur secara berlebih dari suatu periode waktu.



21



“Go See” Production Scheduling



Menyesuaikan penjadwalan berdasarkan tingkat persediaan yang tersedia.



22



Buffer or Safety Stock



23



Timeline



24



Kaizen Lightening Burst



Menekankan kepada perbaikan yang dibutuhkan pada proses yang spesifik dan kritis untuk mencapai tujuan value stream.



25



Operator



Menggambarkan jumlah atau operator yang sedang bekerja.



Sebagai notifikasi dalam memperhatikan “buffer” atau “safety stock” Menunjukan total waktu yang dibutuhkan suatu komponen dalam lantai produksi, dimulai dari raw material hingga pengiriman ke konsumen.



1.3.4.3 Langkah-langkah Memetakan Value Stream Mapping Current State Adapun secara garis besar ada 6 langkah yang perlu dilakukan untuk membentuk VSM Current State Map (Rother dan Shook,1999) yaitu: 1.



Mengidentifikasi Family Produk Family produk merupakan sekumpulam produk yang memiliki tahapan dan



menggunakan mesin yang sama dalam pemrosesan (Rother dan Shook,1999). Contoh Matriks Famili Produk dapat dilihat pada Gambar 1.4.



PEMETAAN ALIRAN PRODUKSI



| 15



Gambar 1.4 Tahapan Value Stream Mapping (VSM) Sumber: Rother dan Shook (1999)



2.



Mengidentifikasikan Kebutuhan Pelanggan Pemetaan



dimulai



dengan



mengidentifikasi



kebutuhan



pelanggan.



Pelanggan digambarkan dengan ikon Factory yang ditempatkan pada bagian kanan atas peta. Di bawah ikon Factory digambarkan Data Box yang berisi data kebutuhan pelanggan. Contoh Data Box dapat dilihat pada Gambar 1.5.



Gambar 1.5 Data Box Kebutuhan Pelanggan Sumber: Rother dan Shook (1999)



3.



Memetakan Tahapan Proses Langkah selanjutnya dalam membuat Current State Map adalah



menggambarkan proses produksi. Untuk menggambarkan proses menggunakan ikon Process Box. Process Box mengindikasikan aliran material. Apabila menemukan Inventory terakumulasi gambarkan dengan menggunakan ikon Warning Triangle untuk menandakan lokasi dimana terjadi Inventory. Contoh pemetaan tahapan proses dapat dilihat pada Gambar 1.6.



PEMETAAN ALIRAN PRODUKSI



| 16



Gambar 1.6 Pemetaan Tahapan Proses Sumber: Rother dan Shook (1999)



4.



Memetakan Aliran Material Ikon Truck dan Board Arrow menunjukan perpindahan barang jadi ke



pelanggan. Selain itu ikon Truck dan Board Arrow juga digunakan untuk menunjukan perpindahan material dari supplier. Contoh pemetaan aliran material dapat dilihat pada Gambar 1.7.



Gambar 1.7 Pemetaan Aliran material Sumber: Rother dan Shook (1999)



5.



Memetakan Aliran Informasi Untuk meletakan aliran informasi menggunakan ikon Narrow Line untuk



menunjukan arus informasi dan garis yang dimodifikasi seperti kilat digunakan untuk menunjukan arus informasi secara elektronik. Departemen pengendalian produksi digambarkan dengan Process Box. Pengendalian produksi mengumpulkan informasi dari pelanggan dan lantai produksi, menggabungkan dan memprosesnya dan mengirimkan instruksi secara spesifik ke setiap proses manufaktur tentang apa yang harus di produksi dan kapan harus diproduksi. Contoh pemetaan aliran informasi dapat dilihat pada Gambar 1.8.



PEMETAAN ALIRAN PRODUKSI



| 17



Gambar 1.8 Pemetaan Aliran Informasi Sumber: Rother dan Shook (1999)



6.



Melengkapi VSM dengan Informasi Lead Time dan Value Added Time dari Keseluruhan Proses Gambar Timeline dibawah Process Box dan Inventory Triangle untuk



menunjukan Lead Time produksi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu produk di lantai produksi. Diawali dari kedatangan bahan baku hingga pengiriman ke konsumen. Contoh pemetaan dengan melengkapi VSM dengan informasi lead dan value added time dapat dilihat pada Gambar 1.9.



Gambar 1.9 Pemberian Timeline dengan Informasi Lead Time dan Value Added Time Sumber: Rother dan Shook (1999)



PEMETAAN ALIRAN PRODUKSI



| 18



Untuk melihat value-stream suatu produk secara keseluruhan tentunya perusahaan perlu dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh, sehingga batasan-batasan organisasi dalam perusahaan perlu diterobos. Untuk setiap pembuatan data box, maka ukuran-ukuran yang diperlukan antara lain: 1)



Cycle Time (C/T) Cycle Time (C/T) merupakan salah satu ukuran penting yang dibutuhkan



dalam kegiatan lean selain Value-creating time (VCT) dan Lead Time (L/T) Cycle Time menyatakan waktu yang dibutuhkan oleh satu operator untuk menyelesaikan seluruh elemen kegiatan/kerja dalam membuat satu part sebelum mengulangi kegiatan untuk membuat part berikutnya. 2)



Change-over Time (C/O) Menyatakan waktu yang dibutuhkan untuk merubah posisi (switch) dari



memproduksi satu jenis produk menjadi produk yang lainnya. Dalam hal ini biasanya change-over time menyatakan waktu untuk memindahkan dari posisi kiri menjadi posisi kanan dalam pembuatan suatu produk simetris. 3)



Uptime Menyatakan kapasitas mesin yang digunakan dalam mengerjakan satu



proses. Kapasitas mesin bersifat on-demand machine uptime. Artinya informasi mesin ini tetap. 4)



Jumlah Operator Menyatakan jumlah orang yang dibutuhkan saat untuk satu proses.



5)



Waktu Kerja Waktu kerja yang dibutuhkan untuk setiap shift pada suatu proses sesudah



dikurangi dengan waktu istirahat (break), waktu rapat (meeting), dan waktu membersihkan area kerja (cleanup times). 1.3.5



Kuesioner Seven Waste Kuesioner 7 waste ini digunakan untuk mengetahui kondisi atau



permasalahan yang ada pada lantai produksi terutama pemborosan (waste). Kuesioner ini berisi score yang harus dipilih oleh responden agar memudahkan penilaian responden tentang sejauh mana akibat yang ditimbulkan oleh waste terkait kondisi yang terjadi di lantai produksi. Kuesioner 7 waste dapat dilihat pada Tabel 1.2.



PEMETAAN ALIRAN PRODUKSI



| 19



Tabel 1. 2 Kuisioner 7 Waste Sumber: Intifada dan Witantyo (2012) Jenis Waste Score Keterangan Jenis Waste Score Keterangan 0 Tidak terjadi over production 0 Tidak terjadi transportasi berlebih Overproductio n memakan tempat tapi belum mengganggu flow Tidak terjadi transportasi berlebih namun belum 1 1 process mengganggu proses produksi Overproduction memakan tempat yang sudah mulai Transportasi berlebih mengakibatkan kualitas komunikasi 2 2 mengganggu flow process yang buruk Overproduction mulai menimbulkan inventory yang memakan Over Transportasi berlebih mengakibatkan konsumsi floor Transportation 3 3 tempat, mengganggu flow process dan meningkatkan Production space lebih banyak inventory cost 4 5 0 1 2 3



Defect



4



5 0



Unnecessary Inventory



meningkatkan waktu work in progress yang mengakibatkan bertambahnya lead time produksi



5



Menimbulkan potensi kerusakan pada produk



0



Tidak terjadi waiting selama proses produksi Terdapat waiting namun belum mengganggu proses produksi Waiting yang terjadi mulai menyebabkan banyak potensi bertambahnya leadtime produksi Waiting menyebabkan poor workflow continuity yang memperpanjang leadtime produksi



1 2 Waiting



3



4



5 0



1



1



2



Menimbulkan extra resource to manage



2



3



Inventory yang tidak perlu mulai mengganggu proses produksi



5 0 1



2 3 4 5



1.3.6



Overproduction menimbulkan kerusakan barang akibat barang terlalu lama di gudang penyimpanan Tidak terjadi defect Defect terjadi di own process step yang mengakibatkan minor rework Defect terjadi di next process step yang mengakibatkan minor delay Defect terjadi di later process step yang membutuhkan rework atau berpotensi menimbulkan reschedule Defect terjadi saat sebelum sampai ke customer atau defect yang membutuhkan significant rework , mengakibatkan keterlambatan pengiriman,, dan membutuhkan additional inspection Defect ditemukan oleh customer menimbulkan warranty cost, admin cost dan berkurangnya reputasi Tidak terjadi unnecessary inventory



4



Terdapat inventory yang tidak perlu namun belum mengganggu proses produksi dan tidak membutuhkan extra inventory cost



4



Excess Processing



Overproduction memakan terlalu banyak bahan baku yang mengakibatkan terganggunya flowprocess produksi berikutnya



Membutuhkan extra storage space dan menimbulkan potensi kerusakan barang Membutuhkan extra storage space dan menimbulkan kerusakan barang yang tidak diketahui karena banyaknya inventory Tidak terjadi Excess Processing Pengerjaan yang dilakukan berada dibawah atau diatas spesifikasi yang dibutuhkan namun efeknya tidak signifikan pada hasil processing Pengerjaan yang dilakukan berada dibawah atau diatas spesifikasi yang dibutuhkan dan menimbulkan efek yang signifikan pada hasil processing Mengakibatkan konsumsi bahan baku yang lebih banyak Mengakibatkan bertambahnya waktu produksi sehingga memperpanjang leadtime Excess Processing menimbulkan defect atau menimbulkan kerusakan pada mesin produksi dan berpotensi menimbulkan bahaya pada manusia



Unnecessary motion



3



waiting yang terjadi menyebabkan poor workflow and material flow pada proses produksi dan berpotensi timbulnya keterlambatan pengiriman Waiting menyebabkan keterlambatan pengiriman produk Tidak terdapat unnecessary motion Terdapat pergerakan yang tidak perlu namun belum mengganggu proses produksi Terdapat pergerakan-pergerakan yang menyela production flow Terdapat pergerakan-pergerakan yang menyela production flow dan berpotensi memperpanjang leadtime produksi



4



Unnecessary motion memperpanjang leadtime dan mengurangi produktivitas pekerja



5



Berpotensi menimbulkan cedera pada manusia



Perhitungan Waktu Baku Jika data yang didapat memiliki keseragaman yang dikehendaki dan



jumlahnya telah memenuhi tingkat-tingkat ketelitian dan keyakinan yang diinginkan, maka selesailah kegiatan pengukuran waktu tersebut. Langkah selanjutnya adalah mengolah data tersebut sehingga memberikan waktu baku. Cara



PEMETAAN ALIRAN PRODUKSI



| 20



untuk mendapatkan waktu baku adalah (Sutalaksana, Anggawasista, dan Tjakraatmadja, 2006): 1. Hitung Waktu Siklus (Ws) Waktu Siklus adalah waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja pada saat melakukan pekerjaannya tanpa memperhatikan faktor penyesuaian dan faktor kelonggaran. Cara sederhana melakukan perhitungan Waktu Siklus adalah:



𝑊𝑠 =



∑ 𝑋𝑖 𝑛



……………………………………………………(I–1)



Dimana: ∑ 𝑋𝑖 = Jumlah seluruh data pengamatan n



= Jumlah pengamatan yang dilakukan



2. Hitung Waktu Normal (Wn) Waktu Normal merupakan waktu kerja yang telah mempertimbangkan faktor penyesuaian, yaitu waktu siklus rata-rata dikalikan dengan faktor penyesuaian. Cara sederhana melakukan perhitungan Waktu Normal adalah: 𝑊𝑛 = 𝑊𝑠 𝑥 𝑝……………………………………………………...(I – 2) Dimana: p



= Faktor penyesuaian



3. Hitung Waktu Baku (Wb) Waktu Baku adalah waktu yang dibutuhkan secara wajar oleh seorang pekerja normal untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang dijalankan dalam sistem kerja terbaik. Cara sederhana melakukan perhitungan Waktu Baku adalah: 𝑊𝑏 = 𝑊𝑛 𝑥 (1 + 𝐼)……………………………...………………..(I – 2) Dimana: I = Faktor kelonggaran 1.4



Data dan Alat yang Dibutuhkan Adapun data dan alat yang dibutuhkan yaitu sebagai berikut: 1. Data Produk dan demand. 2. Data waktu kerja. 3. Layout fasilitas produksi. 4. Peta Proses Operasi (OPC). 5. Data waktu operasi.



PEMETAAN ALIRAN PRODUKSI



| 21



6. Komputer. 7. Software Microsoft Visio 2013. 8. Alat Tulis. 1.5



Langkah Pembuatan Value Stream Map Praktikan akan membuat Value Stream Mapping sesuai dengan



implementasi yang telah dilakukan. Pemetaan Value Stream dilakukan secara keseluruhan mulai dari identifikasi kebutuhan pelanggan hingga pengiriman barang jadi ke pelanggan. Langkah-langkah dalam membuat Value Stream Map adalah sebagai berikut: 1.



Identifikasi Family Produk Proses mengidentifikasi family produk dengan cara melihat kembali dan



memilah produk yang memiliki tahapan dan menggunakan mesin yang sama dalam prosesnya. 2.



Identifikasi Kebutuhan Pelanggan Proses mengidentifikasi kebutuhan pelanggan untuk setiap produk PT.LSP



dengan memberikan informasi mengenai kebutuhan produk Mobil Truk Kontainer 1 (MTK 1), Mobil Truk Kontainer 2 (MTK 2), dan Mobil Truk Tangki (MTT) ke departemen PPIC sebelum dilakukan kegiatan produksi. 3.



Menggambarkan Tahapan Proses Pada Value Stream Map Menggambarkan proses pengolahan material mulai dari bahan baku mentah



yang dikirim dari supplier hingga menjadi produk akhir untuk didistribusikan kepada konsumen meliputi waktu disetiap proses, waktu proses, waktu transfer, status inventory. Proses pemetaan dilakukan sejelas mungkin untuk mempermudah identifikasi masalah yang terjadi. 4.



Menggambarkan Aliran Material Pada fase ini akan menggambarkan aliran informasi dalam proses produksi



produk Mobil Truk Kontainer 1 (MTK 1), Mobil Truk Kontainer 2 (MTK 2), dan Mobil Truk Tangki (MTT) yang dibuat dari supplier, customer hingga pemegang kendali dalam proses produksi. Pada proses ini akan tergambar aliran produksi dan pihak penanggung jawab sepanjang proses produksi.



PEMETAAN ALIRAN PRODUKSI



| 22



5.



Menggambarkan Aliran Informasi Tahap ini merupakan fase penggabungan hasil dari fase 2 dan fase 3 untuk



pembuatan Current State Map untuk mengetahui penganggung jawab proses setiap aktivitas produksi. 6.



Melengkapi VSM dengan Informasi Lead Time dan Value Added Time dari Keseluruhan Proses.



7.



Setelah penggabungan dilakukan, langkah selanjutnya yaitu proses perhitungan Production Lead Time dan Value Stream Mapping.



PEMETAAN ALIRAN PRODUKSI



| 23



DAFTAR PUSTAKA Dailey, K. W., 2003. Lean manufacturing pocket handbook. Published Company. Ehrlich, H.B., 2002. Transactional Six Sigma and Lean Servicing: Leveraging Manufacturing Concept to Achieve World-Class Service. New York: St. Lucie Press Feld, M., William., 2001, “Lean manufacturing : tools, techniques, and how to use them” CRC Press, Taylor and Francis Group, Boca Raton. Gaspersz, V., 2007. The Executive Guide to Implementing Lean Six Sigma. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Gaspersz, V. & Fontana, A. 2011. Lean Six Sigma for Manufacturing and Service Industries. Bogor: Vinchristo Publication. Hoffman, Edward G., 1996, Jig And Fixture De-sign, Delmar Publishers. John X., 2011. Lean Manufacturing Business Bottom-Line Based. USA: Taylor and Francis Group, LLC Liker, J.K., 2004. The Toyota Way. USA: McGraw and Hill. Liker, J.K. dan Meier, David., 2006. The Toyota Way Field Book (Panduan untuk mengimplementasikan Model 4P Toyota). Jakarta : Erlangga. Rother, M., dan Shock, J., 1999. Learning To See: Value Stream Mapping To Create Value and Eliminate Muda. Brookline, MA : The Lean Enterprise Institute. Santos, J., WYSK., A. Richard., and Torres, M.J., 2006. Improving Production With Lean Thinking. Hoboken, New Jersey: John Wiley & Sonc.Inc. Sutalaksana, I. Z., Anggawisastra, R., dan Tjakraatmadja, J. H. (2006). Teknik Perancangan Sistem Kerja, ITB. Bandung. Witantyo., dan Intifada, G., 2012. Minimasi Waste (Pemborosan) Menggunakan Value Stream Analysis Tool Untuk Meningkatkan Efisiensi Waktu, Vol. 1, No. 1. [pdf] Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Tersedia



pada:



http://digilib.its.ac.id/public/ITS-paper-26110-



2108100045-Paper.pdf [Diakses 27 Februari 2021]. Womack, J. P., dan Jones, D.T., 1996. Lean thinking: Banish Waste and Create Wealth for Your Corporation. Simon & Schuster, UK



PEMETAAN ALIRAN PRODUKSI



| 24



MODUL II OPTIMIZED PRODUCTION TECHNOLOGY 2.1



Pendahuluan Perusahaan manufaktur atau jasa saat ini sedang berjuang untuk



mempertahankan usaha yang telah dibangun pada kompetisi global. Semakin maju perkembangan teknologi menuntut setiap perusahaan untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Selain untuk survive di pasar global, mengikuti perkembangan teknologi dapat membantu perusahaan untuk mengumpulkan, mengolah, memprediksi, dan mengambil keputusan dengan tepat. Setiap perusahaan harus mempunyai atau mencari pendekatan yang sesuai dengan strategi yang ditetapkan untuk mendapatkan keuntungan maksimal. Bagi perusahaan manufaktur, proses produksi merupakan salah satu faktor penting untuk mencapai keuntungan maksimal tersebut. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan oleh perusahaan yaitu Optimized Production Technology (OPT). Tujuan dari OPT tersebut untuk meningkatkan produktivitas dan memenuhi permintaan pelanggan serta mencapai keuntungan maksimal. OPT merupakan alat komputerisasi perencanaan produksi dan penjadwalan yang dikembangkan oleh Creative Output of Milford Connecticut. OPT digunakan untuk memperinci penjadwalan dan shop floor ketika proses bottleneck tersebut ada dan proses non-bottleneck harus tetap bekerja. OPT sendiri memiliki tujuan untuk mengejar keuntungan yang diterima perusahaan dengan meningkatkan throughtput, sementara persediaan (inventory) dan pengeluaran operasional yang dikurangi semaksimal mungkin. OPT memiliki prinsip-prinsip yang sama dengan Theory of Constraint (TOC), karena TOC itu sendiri merupakan teori pengembangan dari OPT. Teori ini memfokuskan pada kapasitas constraint (hambatan) atau bottleneck pada suatu operasi. Pelaksanaan dilakukan dengan mengidentifikasi lokasi constraint, eksploitasi untuk menghilangkan constraint, kemudian mencari constraint lainnya pada operasi yang dapat mempengaruhi output. 2.2



Tujuan Praktikum Tujuan pelaksanaan praktikum Optimized Production Technology adalah



sebagai berikut:



OPTIMIZED PRODUCTION TECHNOLOGY



| 25



1.



Praktikan mampu mengetahui dan memahami konsep Optimized Production Technology.



2.



Praktikan mampu mengetahui dan memahami 9 prinsip dasar Optimized Production Technology.



3.



Praktikan mampu mengetahui dan memahami jenis-jenis constraint.



4.



Praktikan mampu memahami dan melakukan perbaikan dengan langkahlangkah Optimized Production Technology dalam mengatasi constraint.



5.



Praktikan mampu memahami dan melakukan penjadwalan Optimized Production Technology.



6.



Praktikan mampu memahami dan menggunakan software WIN QSB Ver. 2.0 untuk proses penjadwalan serta memahami hasil Gantt Chart yang diperoleh.



2.3



Landasan Teori



2.3.1



Optimized Production Technology (OPT) Tahun 1979, Goldratt mengenalkan sebuah solusi yang dinamakan



Optimized Production Technology (OPT). Menurut Goldratt, Tujuannya yaitu untuk meningkatkan output perusahaan yang tidak dapat memenuhi permintaan karena hambatan sumber daya (Zeynep, 2014). Ketika OPT mulai banyak dikenal dan digunakan oleh perusahaan, para ahli mulai mengembangkan konsep OPT. Tahun 1983, Jacobs mencari bagaimana OPT dapat digunakan pada penjadwalan dan perencanaan produksi. Fox (1984), menginvestigasi bottleneck pada lantai produksi dan menjelaskan dasar-dasar OPT. Harrison (1995) menjelaskan konsep OPT dengan memfokuskan kepada tujuan dari organisasi perusahaan. Aggarwal (1985) menjeleaskan bahwa pemilihan sebuah sistem memiliki membutuhkan waktu dan implementasi yang dapat menghabiskan jutaan dolar sehingga Dia membandingkan MRP, JIT, OPT dan FMS. Terkahir Ronen dan Starr (1990) menjelaskan bahwa konsep drum-buffer-rope (DBR) dapat digunakan di OPT. Optimized Production Technology (OPT) mengambil jalan tengah antara MRP II dan JIT dengan mengurangi jumlah buffer (MRP II) dengan usaha yang tidak terlalu tinggi (JIT). Banyaknya pengembangan dari OPT memunculkan konsep-konsep baru dengan lebih rinci tetapi memiliki tujuan yang sama. Konsep baru tersebut yaitu Theory of Constraint yang dikembangkan Goldratt tahun 1989



OPTIMIZED PRODUCTION TECHNOLOGY



| 26



(Cox dan Schleier, 2013) dan Synchronous Manufacturing (Umble dan Srikanth, 1990). Konsep-konsep tersebut ada untuk mengembangkan dan memperinci lagi konsep OPT. Pada dasarnya Optimized Production Technology dan Theory of Constraint (TOC) memiliki prinsip yang sama. Fokus utama dari kedua konsep inipun sama yaitu memfokuskan pada constraint capacity atau bottleneck pada suatu proses. Tetapi TOC dapat mengarah ke beberapa jenis constraint seperti material constraint, resource constraint dan policy constraint dan digunakan untuk level manajemen yang lebih luas tidak hanya pada lingkungan manufaktur. OPT dan TOC mempunyai tujuannya yang sama, yaitu “Menghasilkan uang pada saat ini dan pada saat yang akan datang” (Goldratt dan Cox 1986). Dengan tercapainya tujuan tersebut perusahaan dapat melakukan perubahan yang lebih baik, diantaranya perusahaan dapat menghasilkan throughput, mengurangi inventory, dan memotong biaya operasi. Poin tersebut akan mewujudkan tujuan OPT dan TOC (Umble 1996, h. 570). Pendapat mengenai OPT adalah dasar untuk menangani produksi yang bottlenecks dengan penjadwalan dan perencanaan kapasitas (Capacity Planning), menggolongkan sumber daya yang mengalami bottlenecks dan nonbottleneck. Sumber daya bottlenecks dijadwalkan untuk memaksimumkan utilisas, dan nonbottleneck dijadwalkan untuk memperbaiki yang bottleneck. 2.3.1.1 Optimized Production Technology Rules Menurut Goldratt pada Cox & Scheiler (2010), Optimized Production Technology memiliki 9 prinsip atau aturan utama yaitu: 1)



Seimbangkan aliran, bukan kapasitas Selama ini perusahaan manufaktur berusaha untuk menyeimbangkan



kapasitas produksi terhadap permintaan pasar. Penyeimbangan dilakukan dengan menyesuaikan beban kerja, keterampilan pekerja, kerja lembur, mesin atau peralatan yang digunakan dan lainnya, sesuai dengan kebutuhan. Dalam filosofi OPT, menyeimbangkan kapasitas merupakan keputusan yang tidak tepat. Waktu proses yang bervariasi akan mengakibatkan stasiun kerja hilir menganggur jika stasiun kerja hulu memproses dengan waktu yang lebih lama, sebaliknya jika stasiun kerja hulu memproses dengan waktu yang lebih cepat, akan menimbulkan



OPTIMIZED PRODUCTION TECHNOLOGY



| 27



persediaan di stasiun kerja berikutnya. Penyeimbangan akan berjalan dengan baik jika output setiap stasiun kerja konstan atau distribusi variansinya kecil dan pada kenyataannya hal itu sulit tercapai. Pengaruh variansi statistik bersifat kumulatif, yaitu stasiun kerja hulu hingga hilir. Jalan yang dapat ditempuh untuk mengatasi variansi yaitu menaikkan persediaan penyangga (buffer). Tentunya pilihan ini tidak baik karena biaya tambahan yang diperlukan. Cara lain, yaitu dengan memperbesar stasiun kerja hilir sehingga dapat menyerap keluaran stasiun kerja hulu walaupun terjadi variansi waktu proses. Berdasarkan kejadian di atas maka OPT mengimplikasikan untuk tidak menyeimbangkan kapasitas tetapi menyeimbangkan aliran produk dalam sistem. Pada saat aliran produk seimbang, kapasitas stasiun kerja tidak seimbang (aturan 1,OPT). 2)



Tingkat Utilitas non-bottlenek ditentukan oleh Stasiun Kerja Bottleneck atau sumber kritis lainnya. Berkaitan dengan sumber (Resources), dalam suatu perusahaan ada sumber



bottleneck dan sumber non-bottleneck. Bottleneck didefinisikan sebagai sumber yang memiliki kapasitas yang lebih kecil dari kapasitas yang dibutuhkan. Dengan kata lain bottleneck adalah suatu proses yang mempengaruhi throughput. Bottleneck dapat berupa mesin, tenaga kerja terampil, peralatan khusus dan sebagainya. Dalam OPT, hubungan antara bottleneck dan non-bottleneck dibagi menjadi 4 relasi seperti tercantum pada Gambar 2.1.



Gambar 2. 1 Hubungan Sumber Bottleneck dan Sumber Non-Bottleneck



Sumber : Browne et al (1988) OPTIMIZED PRODUCTION TECHNOLOGY



| 28



Pada dasarnya keempat hubungan di atas mempunyai prinsip kerja yang sama, yaitu non-bottleneck bekerja pada utilitas tertentu untuk mendukung kelancaran bottleneck, pada saat yang bersamaan mencegah terjadinya kenaikan persediaan (work in process) dan bottleneck bekerja pada utilitas 100%. Dalam suatu perusahaan, OPT memisahkan sumber menjadi dua kelompok, yaitu bottleneck dan non-bottleneck. Ilustrasi bottleneck dan non-bottleneck dapat dilihat pada Gambar 2.2. A



C Sumber X: 200 Unit Produk (200 Jam)



Sumber Y: 200 Unit Produk (200 Jam)



Pasar Pasar



B Perakitan



Sumber X



Sumber Y



Suku Cadang



Pasar



Y hanya dipakai 75% waktu yang tersedia, jika tidak WIP akan naik



Y hanya dipakai 75% waktu yang tersedia, jika tidak spare part akan naik



Gambar 2. 2 Aliran Produk Berdasarkan 4 Hubungan Stasiun Kerja



Sumber : Goldratt, 2004 Hal. 212 Terdapat 2 Sumber yaitu X dan Y. Terdapat permintaan sebesar 200 unit. Sumber X dapat memproduksi 200 unit selama 200 Jam. Sumber Y dapat memproduksi 200 unit selama 150 Jam. Berdasarkan hubungan bottleneck dan non-bottleneck maka Sumber X merupakan bottleneck yang harus bekerja pada utilitas 100% untuk mencegah kenaikan persediaan (Work in Process). Sehingga kapasitas yang terpakai yaitu: Sumber X = 200 Jam/200 Jam x 100% = 100% Sumber Y = 150 Jam/200 Jam x 100% = 75% Hasil tersebut menunjukkan dengan sumber X sebagai bottleneck memiliki utilitas sebesar 100 %. Sedangkan sumber Y memiliki utilitas sebesar 75 % karena terdapat 50 Jam atau 25% kapasitas yang tidak terpakai di sumber Y.. 3)



Satu jam kehilangan pada bottleneck merupakan satu jam kehilangan sistem keseluruhan. Prinsip ini menjelaskan ketika 1 jam kehilangan pada stasiun kerja yang



menjadi bottleneck, maka efektifitas dari keseluruhan sistem akan hilang selama 1



OPTIMIZED PRODUCTION TECHNOLOGY



| 29



jam dan kehilangan throughput yang akan dihasilkan selama ini (Cox dan Scheiler, 2010). Kapanpun kehilangan pada bottleneck, throughput akan hilang pada keseluruhan sistem karena waktu yang hilang karena bottleneck tidak dapat dikembalikan lagi. 4)



Satu jam penghematan pada non-bottleneck merupakan suatu fatamorgana. Penghematan waktu yang dilakukan pada stasiun kerja non-bottleneck



sebenarnya tidak benar-benar menghemat waktu dari keseluruhan sistem. Tetapi ketika menghemat waktu pada stasiun kerja bottleneck akan memengaruhi keseluruhan sistem. 5)



Aktivasi tidak selalu sama dengan utilitas. Menjalankan non-bottleneck dapat mengakibatkan bertumpuknya work in process (buffer) dalam jumlah yang berlebihan. Bagian B (Gambar 2.2) merupakan kebalikan bagian A; sumber bottleneck



menerima produk dari sumber non-bottleneck. Karena sumber X hanya mampu memproduksi 200 unit produk, maka sumber Y tidak boleh memproduksi melebihi 200 unit atau sebagai akibatnya persediaan WIP akan naik (aturan 3, OPT). 6)



Penjadwalan harus ditetapkan dengan melihat seluruh kendala (constraint) secara bersamaan (simultan). Penjadwalan dilakukan dengan memperhatikan constraint yang ada pada



lini produksi karena lead time dihasilkan dari penjadwalan dan tidak dapat ditentukan sebelumnya (Cox dan Scheiler, 2010). 7)



Batch proses sebaiknya tidak tetap (variabel). Ukuran dalam batch proses dapat merusak fleksibilitas dan responsif



terhadap permintaan pelanggan. Variasi dalam ukuran batch lebih menarik untuk memonitor dengan baik permintaan pelanggan. 8)



Bottleneck mempengaruhi throughput dan inventory. Bagian C (Gambar 2.2) menunjukkan sumber X dan sumber Y dirakit



menjadi suatu produk. Sebagai sumber non-bottleneck, Y hanya berproduksi 75% waktu operasi atau sebaliknya akan memproduksi suku cadang yang berlebihan. Dari ilustrasi diatas sudah cukup jelas mengapa bottleneck dan non-bottleneck harus diorganisir dalam OPT (aturan 6, OPT).



OPTIMIZED PRODUCTION TECHNOLOGY



| 30



9)



Batch transfer tidak selalu sama jumlahnya dengan batch proses. OPT memisahkan batch menjadi dua jenis yaitu batch proses dan batch



transfer. Pemisahan kedua jenis batch tersebut berkaitan dengan kemampuan ukuran batch mempengaruhi troughput (aturan 7, OPT). •



Batch proses adalah jumlah komponen yang diproses dalam kurun waktu tertentu. Dengan semakin besarnya batch proses, maka jumlah setup yang diperlukan semakin sedikit, waktu proses lebih lama dan akibatnya menghasilkan produk yang lebih banyak. Untuk sumber bottleneck, batch proses besar lebih dikehendaki. Untuk sumber non-bottleneck, batch proses kecil akan mengurangi persediaan penyangga (WIP).







Batch transfer adalah jumlah komponen yang berpindah dari satu proses ke proses lainnya. Perpindahan komponen dilakukan tanpa harus menunggu seluruh batch proses diproses, komponen yang sudah diproses langsung dipindahkan ke sumber berikutnya sehingga terjadi overlapping. Ukuran batch transfer dapat sama atau lebih kecil dari batch proses. Batch transfer juga dapat dilakukan dengan memindahkan batch pada lebih dari satu mesin yang identik (splitting). Proses-proses diatas digambarkan pada Gambar 2.4.



Job



Job



Assembly



Assembly



Painting



Painting



Inspection



Inspection



10 menit



20 menit



30 menit Time



10 menit



20 menit



30 menit Time



Overlapping Schedule



Sequence Schedule



Job



Assembly Painting



Painting Inspection Time 10 menit



20 menit



30 menit



Splitting Schedule



Gambar 2. 3 Penjadwalan Overlapping dan Splitting



Sumber : Goldratt, 2004 Hal. 290



OPTIMIZED PRODUCTION TECHNOLOGY



| 31



Keuntungan menggunakan transfer batch lebih kecil dari batch proses total waktu produksi lebih kecil (cepat) dan sebagai akibatnya persediaan penyangga (WIP) mengecil. 2.3.1.2 Kerangka Pengaturan OPT Dasar pemikiran OPT bersandar bahwa tujuan utama suatu perusahaan adalah menghasilkan uang. Untuk mencapai tujuan ini OPT menganggap aktivitas lantai pabrik seperti bottleneck, setup, ukuran penyangga, prioritas dan ukuran performansi, mendapat perhatian yang cukup banyak. Diantara faktor-faktor diatas, tiga faktor yang menjadi perhatian utama OPT yaitu bottleneck, penyangga (buffer) dan batch. Ketiga perhatian ini menjadi faktor utama karena kemampuan faktor tersebut mempengaruhi throughput (Goldratt, 1992) : a)



Bottleneck Bottleneck adalah stasiun kerja yang memiliki kapasitas yang lebih kecil



dari kebutuhan produksi. Jika suatu sistem memiliki sumber bottleneck, maka sumber tersebut merupakan tempat kontrol yang terbaik. Kontrol yang dimaksud yaitu sebagai penentu kecepatan produksi sistem. Ada dua cara untuk mengidentifikasi bottleneck suatu sistem. Pertama, dengan melihat beban kerja (load) setiap stasiun kerja menggunakan prinsip perencanaan kebutuhan kapasitas (Capacity Requirement Planning-CRP). CRP cukup rinci dalam menghitung beban stasiun kerja yaitu mempertimbangkan waktu operasi, waktu setup dan ukuran batch. Secara prinsip walaupun ada berbagai jenis algoritma CRP memiliki keluaran akhir yang sama, yaitu beban kerja mesin. Metode kedua untuk



mengidentifikasi bottleneck yaitu melakukan observasi



langsung suatu perusahaan. Metode ini dapat digunakan untuk dijadikan referensi performansi CRP dalam model OPT yang digunakan. b)



Penyangga (Buffer) Penyangga dimaksudkan untuk menghadapi ketidakpastian (fluktuasi dan



ketergantungan) suatu sistem. Semakin besar penyangga yang disediakan, semakin aman sistem tersebut terhadap gangguan dan secara bersamaan biaya yang diperlukan naik. Dalam TOC, penyangga yang besar bukan merupakan suatu kerugian jika penyangga tersebut digunakan untuk mengamankan sumber



OPTIMIZED PRODUCTION TECHNOLOGY



| 32



bottleneck (Fogarty 1999). Sebaliknya untuk sumber non-bottleneck, penyangga ditekan seminimal mungkin bahkan jika perlu tanpa penyangga. Untuk menentukan ukuran batch, Goldratt menyarankan melakukan perhitungan variansi kerja mesin bottleneck. Cara yang dapat dilakukan untuk menghitung variansi yaitu melakukan perhitungan statistik data masa lalu dengan memperhitungkan umur hidup mesin, waktu operasi dan distribusi umur hidup mesin. c)



Ukuran Batch Telah disebutkan bahwa ukuran batch mempengaruhi throughput sistem



produksi. Batch dalam OPT dibagi menjadi batch proses dan batch transfer, sedangkan teknik penjadwalannya dapat dilakukan secara berurutan (sequence), overlapping dan splitting. Jika komponen memasuki suatu sumber identik lebih dari satu maka splitting dilakukan. Overlapping akan dilakukan pada setiap komponen dengan memperhatikan: a.



Kombinasi perbandingan batch proses dan batch transfer.



b.



Jalur yang dilewati komponen apakah non-critical resources atau critical resources. Perlu dipahami secara garis besar perbedaan antara Batch Proses dan Batch



Transfer yang diuraikan sebagai berikut (Tersine 1994, h. 430) : •



Process Batch Batch proses merupakan kuantitas produk yang diproses dalam sumber,



sebelum sumber berubah menghasilkan produk yang berbeda. Batch proses dalam nonbottleneck lebih sedikit dibandingkan dengan batch proses dalam bottleneck , sebab kapasitas yang berlebih tersedia untuk digunakan set up. •



Transfer Batch Batch transfer merupakan kuantitas unit yang dipindahkan dalam waktu



yang bersamaan dari satu sumber ke sumber lainnya. Batch transfer dari stasiun bottleneck lebih kecil dibandingkan dengan batch prosesnya sehingga tidak akan mengganggu aliran stasiun kerja selanjutnya.



OPTIMIZED PRODUCTION TECHNOLOGY



| 33



2.3.2



Theory Of Constraints (TOC) Dalam suatu organisasi, pasti selalu dirasakan hambatan dalam mencapai



suatu tujuan sehingga tidak mencapai performansi yang diinginkan. Tujuan setiap organisasi pasti sama yaitu melaksanakan seluruh prosedur kerja dengan performasi yang baik dalam mencapai suatu tujuan. Hambatan itu disebut constraints yang merupakan penghambat organisasi untuk mencapai performansi yang diinginkan sehingga harus diidentifikasi dan dikelola untuk memperbaiki performansi. TOC fokus pada peranan constraint dalam sistem untuk meningkatkan kinerja sistem ke arah tujuan. Secara garis besar tujuan perusahaan tudak jauh berbeda antar perusahaan yang satu dengan yang lain. Menurut Goldratt, tujuan perusahaan adalah menghasilkan keuntungan (uang). Goldratt menentang suatu organisasi mempuanyai tujuan berikut; menyerap tenaga kerja, meningkatkan penjualan, meningkatkan pangsa pasar, mengembangkan teknologi, atau menghasilkan produk berkualitas. Dalam penerapan OPT, menganjurkan dua tujuan yang harus dicapai oleh organisasi bisnis, yaitu (Tersine 1994, h. 426): 1) Menghasilkan uang dimasa sekarang dan yang akan datang 2) Menciptakan suatu proses perbaikan yang berkelanjutan Namun untuk mencapai kedua tujuan tersebut, suatu organisasi bisnis (perusahaan) harus mampu mengatasi beberapa jenis constraint, maka dari itu penekanan kepada constraint sangat diperlukan untuk meningkatkan performansi dari perusahaan. Dalam pengukuran performansi perusahaan terdapat dua ukuran yang menjadi kriteria performansi yang digunakan Goldratt yaitu ukuran finansial dan ukuran operasional. •



Ukuran Finansial (Techt, 2015): 1) Net Profit; merupakan uang sisa hasil penjualan atau keuntungan yang didapat setelah melakukan Opertaing Expenses. 2) Return of Investment; Investasi yang dilakukan pada inventory dan fasilitas yang dibayar secara dividen (pembagian keuntungan) melalui net profit yang telah dibuat. 3) Cash Flow, aliran (input/output) keuangan tiap interval waktu tertentu Untuk mengevaluasi performansi perusahaan secara finansial, kriteria diatas



tidak dapat digunakan secara terpisah tetapi digunakan bersamaan sebagai satu



OPTIMIZED PRODUCTION TECHNOLOGY



| 34



kesatuan. Kriteria finansial biasanya digunakan untuk manajemen tingkat atas (corporate). Untuk tingkat menengah (middle management), dan tingkat bawah (line staff) digunakan kriteria operasional. •



Ukuran Operasional (Dettmer, 2007): 1) Throughput; adalah tingkatan pada seluruh sistem yang menghasilkan uang melalui penjualan. Adapun definisi lainnya yaitu seluruh uang masuk ke dalam sistem. Apabila suatu sistem menghasilkan suatu produk namun tidak dijual, maka hal tersebut tidak menghasilkan throughput. 2) Inventory/Investment; merupakan sejumlah uang yang diinvestasikan oleh suatu sistem dengan maksud untuk dijual, termasuk didalamnya pabrik, property dan peralatan. Inventory termasuk kedalam biaya material, produk setengah jadi, pembelian part dan item lainnya untuk dipasarkan ke Konsumen. Investment mencakup pengeluaran yang dilakukan organisasi untuk perlengkapan dan fasilitas. 3) Operating Expenses; merupakan sejumlah uang yang dikeluarkan oleh suatu sistem untuk mengubah inventory menjadi throughtput pada periode tertentu. Contoh dalam Operating Expenses yaitu tenaga kerja langsung dan tidak langsung, utilities, interest, dan sejenisnya.



Berdasarkan kriteria operasional diatas, maka tujuan perusahaan adalah “Meningkatkan throughput dan secara berkesinambungan menurunkan persediaan dan biaya operasi”. 2.3.2.1 Sumber Bottleneck & Non-Bottleneck Dalam suatu perusahaan pasti memiliki sumber bottleneck maupun sumber nonbottleneck yang mempengaruhi aktivitas produksi. Perlu dipahami perbedaan antara sumber bottleneck dan sumber nonbottleneck yang ada di suatu perusahaan. Diuraikan gambaran perbedaan antara sumber bottleneck dan sumber nonbottleneck sebagai berikut (Tersine 1994, h. 428): 1)



Sumber Bottleneck Sebuah sumber bottleneck adalah setiap sumber yang kemampuannya sama



dengan atau kurang dari permintaan yang berada pada suatu tempat. Mungkin setiap departemen, stasiun kerja, atau operasi yang membatasi aliran produk yang melalui sistem produksi. Untuk mencapai pemanfaatan maksimum dari sumber bottleneck,



OPTIMIZED PRODUCTION TECHNOLOGY



| 35



maka penting hanya melakukan proses pada material yang akan memberikan throughput melalui sumber bottleneck. Ketika permintaan melebihi kapasitas pada bottleneck sebenarnya, pihak manajemen harus mengeksplorasi alternatif bauran produk yang berbeda untuk memastikan produk campuran yang paling menguntungkan dari produk-produk yang ada. Throughput yang lebih besar dapat dicapai dengan menggunakan sumber hambatan secara efektif dan efisien untuk seluruh aktivitas lain sesuai kebutuhan. 2)



Sumber Nonbottleneck Sebuah sumber nonbottleneck adalah setiap sumber yang kemampuannya



lebih besar dari pada permintaan yang berada pada suatu tempat. Sumber daya ini memiliki kapasitas yang besar. Mengoperasikan sumber nonbottleneck menjadi kapasitas tidak akan meningkatkan throughput pabrik, justru akan menurunkan performansi melalui peningkatan inventory dalam pabrik. Besarnya kapasitas pada sumber nonbottleneck dapat dimanfaatkan tanpa mengeluarkan biaya apapun, seperti untuk set up tambahan atau aktivitas lainnya seperti perawatan mesin. 2.3.2.2 Mengidentifikasi dan Mengatur Constraints Perkembangan dunia manufaktur dan kecepatan yang dibutuhkan dalam suatu perusahaan seiring dengan peningkatan permintaan pasar, beberapa perusahaan telah mengalami berbagai kemajuan untuk mencapai tujuannya, melalui usaha dengan mengeluarkan waktu dan uang untuk melakukan implementasi berbagai program yang dirancang untuk meningkatkan produktifitas dan profitabilitas, tetapi kebanyakan manajer merasa kecewa terhadap hasilnya, hal ini dikarenakan oleh: 1) Kebanyakan manajer tidak memiliki pemahaman dalam menjalankan aliran produk yang sinkron pada lingkungan manufaktur yang bersifat dinamis. 2) Terdapat konflik dasar antara kebutuhan aliran sinkron dengan keberadaan infrastruktur manajemen praktis beserta kebijakannya. Faktor utama yang terkait dalam 2 hal tersebut adalah ketidakmampuan manajemen dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi constraint yang ada pada setiap perusahaan. Dalam upaya untuk melakukan pendekatan logis dalam synchronizing manufacturing operation, pertama harus dijelaskan secara signifikan aturan permainan constraint dalam lingkungan manufaktur. Manajer manufaktur



OPTIMIZED PRODUCTION TECHNOLOGY



| 36



adalah orang yang harus memahami keberadaan constraint dalam hubungannya dengan pencapaian tujuan perusahaan. Definisi constraints tersebut (Tersine 1994, h. 427) adalah ”A Contraints any element that prevent the sistem from achieving the goal of making more money (constraint adalah suatu elemen yang menghambat suatu sistem dalam mencapai tujuannya untuk memperoleh uang)”. Setiap perusahaan setidaknya memiliki sebuah constraint, kalau tidak tentu perusahaan dapat menghasilkan uang dalam jumlah yang tidak terbatas. Derajat sistem dapat menghasilkan uang ditentukan oleh adanya constraint dalam sistem tersebut. Untuk menghasilkan produktivitas dan profitabilitas suatu perusahaan, manajer harus fokus terhadap constraint yang menghambat performance sistem tersebut.Pada beberapa perusahaan, terdapat sejumlah constraint yang membatasi performance dan seiring dengan sifat sistem manufaktur yang dinamis maka constraint pun berubah setiap waktu. 2.3.2.3 Tipe Constraints Terdapat beberapa kategori constraint yang ada pada lingkungan manufaktur, diantaranya adalah pasar, material, kapasitas, logistic manajerial dan behavioral constraint (Umble 1996). Kebutuhan dan keinginan pasar merupakan batas throughput bagi perusahaan. Masalah kapasitas dan material dalam proses produksi merupakan permasalahan penting bagi manajer produksi. Logistic, manajerial dan behavioral constraint bertanggungjawab terhadap disruption dalam proses produksi yang secara tidak langsung akan melibatkan kapasitas dan material constraint. a)



Market Constraints Dalam operasi manufaktur, permintaan pasar merupakan faktor penggerak



kritis. Permintaan dari suatu pasar menentukan batasan throughput dimana perusahaan tersebut beroperasi. Tipe produk ditentukan oleh pasar. Pertimbangan tambahan, seperti: pembatasan jumlah, lead time, harga dan standar kualitas tidak sepenuhnya ditentukan oleh perusahaan tetapi akan bergantung pada kondisi pasar. b)



Material Contraints Proses produksi dapat berjalan jika ada input material. Oleh karena itu



pentingnya menjaga bahan baku dan work in process tetap ada demi



OPTIMIZED PRODUCTION TECHNOLOGY



| 37



berlangsungnya proses produksi pada suatu perusahaan. Material constraint akan memiliki pengaruh untuk jangka panjang (long term) dan jangka pendek (short term). Short term material constraint akan terjadi ketika pemasok tidak mengirimkan sesuai dengan jadwal atau material yang dikirim rusak. Situasi seperti ini akan memacu timbulnya disruption pada aliran sistem produksi. Long term materialconstraint merupakan keadaan material setelah berada di pasar. Situasi ini akan berkaitan dengan kualitas material dan lead time. Material constraint merupakan



faktor



penting



yang



harus



diperhatikan



pada



saat



akan



mengimplementasikan jadwal produksi induk. c)



Capacity Constraints Terdapat dua faktor yang mempengaruhi kemampuan aliran produksi



berjalan mulus, yaitu ketersediaan material dan kapasitas yang dimiliki. Kapasitas constraint merupakan kapasitas yang dapat mempengaruhi throughput yang akan dihasilkan oleh perusahaan dalam bagian lantai produksinya. Pada saat manajer melakukan identifikasi constraint dari aliran produksi, kapasitas constraint merupakan faktor utama yang pertama kali diperhitungkan. Kapasitas yang dihasilkan melalui sumber daya yang dimiliki perusahaan dapat menimbulkan aliran produksi tidak berjalan sesuai kebutuhan jika kapasitas yang dimiliki tidak dapat memenuhi permintaan yang terjadi. Kurangnya kapasitas tersebut dapat menimbulkan sumber bottlenenck dan sumber non-bottlenenck. Sumber nonbottleneck didefinisikan sebagai sumber yang memiliki kapasitas yang lebih besar dari kapasitas yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan. Dan sumber bottleneckmerupakan sumber dengan kapasitas yang lebih kecil dari kebutuhan untuk memenuhi permintaan. Jika terjadi bottleneckdalam suatu operasi, kemudian aliran produk menjadi lebih kecil dari aliran produk yang diharapkan dapat dihasilkan, maka kapasitas sumber bottleneck harus ditingkatkan. Pengalaman mengatakan manajer secara cepat dapat mengidentifikasi sumber bottleneck sementara, yaitu dengan memberi tanda waktu, dimana satu sumber akan timbul sebagai sumber bottleneck dan pada waktu lain sumber yang sama tersebut akan memiliki kapasitas yang berlebih. Saat bottleneckterjadi pada suatu operasi maka akan mempengaruhi throughput dan completion time.



OPTIMIZED PRODUCTION TECHNOLOGY



| 38



d)



Logistical Constraints Constraint lainnya yang terdapat pada suatu rencana manufaktur dan sistem



pengendalian adalah logistical constraint. Constraint ini berperan pada kelancaran aliran produk pada suatu sistem. Logistical constraint merupakan suatu constraint yang sulit untuk dikenali oleh manajemen sebagai suatu parameter yang dapat diubah atau dimodifikasi. Sebagai gambaran, dengan mempertimbangkan sistem entri bahwa utilisasi pesanan berasal dari level lokal. Pesanan dikumpulkan dan disesuaikan dengan tujuan perusahaan dengan mengkombinasikan dengan pesanan lain dari berbagai bagian. Akhirnya, pesanan tersebut diproses dan jadwal produksi induk (Master Production Scheduling) dapat dikembangkan untuk berbagai variasi yang ada. Gambaran lain dari suatu logistical constraint adalah adanya sistem pengendalian material dalam waktu bulanan (monthly time bucket).Dengan menggunakan timebucket untuk satu bulan dibandingkan satu minggu atau satu hari, mengakibatkan loss of visibility dari due date yang telah direncanakan. e)



Managerial Constraints Managerial constraint adalah strategi dan kebijakan manajer yang



berpengaruh terhadap keseluruhan pengambilan keputusan manufaktur. Dalam banyak hal, manajerial constraint merupakan hasil dari dangkalnya pemahaman terhadap faktor yang enhance atau detract dari synchronous manufacturing. Manegerial constraint juga dapat mempengaruhi sistem dalam 2 cara dasar. Managerial constraint dapat menciptakan situasi menuju sub-optimal atau dapat menggabungkan constraint yang ada pada sistem. Managerial constraint memiliki efek untuk mengenali masalah yang diakibatkan oleh constraint. Contohnya, adalah kebijakan untuk mengurangi ukuran batch dengan menggunakan economic order quantity, contoh lainnya adalah latihan bagi supervisor secara independent untuk menjadwalkan pekerjaan pada non-bottleneck untuk memperkecil waktu setup. Keberadaan bottleneck atau CCRs dalam sistem, jadwal yang tidak tepat akan menggenerasikan kebijakan yang akan mengganggu waktu dan kelancaran aliran produk dalam sistem. f)



Behavioral Constraint Karakteristik suatu perusahaan dapat dilihat dari sikap dan kebiasaan yang



mendorong suatu pekerjaan yang dilakukan oleh manajer maupun pekerjanya.



OPTIMIZED PRODUCTION TECHNOLOGY



| 39



Kebiasaan (behavioral) akan mengembangkan prinsip synchronous manufacture. Kebiasaan ini akan menjadi constraint pada sistem. Kebiasaan merupakan refleksi dari budaya organisasi. Pada kebanyakan lingkungan manufaktur, pola kebiasaan merupkan hasil dari gaya manajemen praktis dalam hubungannya dengan evaluasi kerja dan struktur penghargaan yang dikembangkan. Salah satu contoh dari behavioral constraint ini adalah sikap sibuk (keep busy) yang dibiasakan oleh supervisor dan karyawan. Sikap ini dibentuk oleh rasa takut jika manajer tidak dapat mempertahankan keberlangsungan pekerjaannya. 2.3.3



Langkah - Langkah Utama dalam Mengatasi Constraint Perbaikan yang dilakukan secara berkelanjutan harus dilakukan oleh suatu



perusahaan karena pencapaian performansi yang baik tidak dapat dicapai hanya dengan menjalani satu kali perbaikan. Menurut Goldratt (2004) Terdapat lima langkah untuk memperbaiki kinerja perusahaan dengan menngunakan Theory of Constraints (dalam Cox dan Scheiler, 2010) antara lain: 1.



Identifikasi Constraint Dalam



mengidentifikasi



constraint



cara



termudah



yaitu



dengan



membandingkan beban yang ditempatkan pada sumber daya (mesin) dengan total produksi dan set-up yang dibutuhkan sumber daya (Cox dan Scheier, 2010). Constraint dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang menghambat suatu sistem untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi. Ada dua tipe pokok kendala, yaitu Batasan fisik dan batasan non fisik. Batasan fisik adalah batasan yang berhubungan dengan kapasitas mesin, sedangkan Batasan non fisik berupa permintaan terhadap produk dan prosedur kerja. (Fogarty, Blackstone, dan Hoffman, 1991). Kategori constraint antara lain: a. Kendala intern (internal constraint) dan kendala ekstern (external constraint). Kendala intern adalah faktor-faktor yang membatasi yang terdapat dalam perusahaan. Kendala ekstern adalah faktor-faktor yang membatasi perusahaan yang berasal dari luar perusahaan. b. Kendala yang longgar (loose constraint) dan kendala yang mengikat (binding constraint). Kendala yang longgar adalah kendala dimana sumber daya yang terbatas tidak digunakan sepenuhnya oleh bauran produk.



OPTIMIZED PRODUCTION TECHNOLOGY



| 40



Kendala yang mengikat adalah kendala dimana sumber daya yang tersedia dimanfaatkan sepenuhnya. 2.



Eksploitasi Constraint Eksploitasi constraint memiliki arti bagaimana memaksimalkan performasi



constraint dengan memperhatikan sebuah matriks operasional yaitu throughput, inventory dan operating expense. Rincinya yaitu untuk memaksimumkan throughput, efesiensikan pengelolaan inventory dan operating expenxe (Cox dan Scheier, 2010). Dalam eksploitasi constraint bertujuan untuk menentukan cara dalam mengelola constraint. Salah satu cara untuk memaksimalkan penggunaan constraint yang mengikat adalah menjamin bauran produk optimal yang diproduksi. Namun upaya ini lebih dari sekedar menjamin produksi bauran optimal. Constraint disebut sebagai drummer (the major binding constarint). Sebagai contoh, diasumsikan bahwa hanya ada satu kendala intern yang mengikat, yang secara otomatis dapat menjadi drummer. Tingkat produksi constraint menentukan tingkat produksi secara keseluruhan. 3.



Subordinasi Sumber Selain Constraint (Subordinating Everybody Else) Constraint pada intinya menetapkan kapasitas keseluruhan. Semua stasiun



kerja lainnya harus disubordinasi demi kebutuhan constraint. Prinsip ini mengharuskan banyak perusahaan untuk mengubah cara mereka memandang sesuatu. 4.



Elevasi Constraint Langkah selanjutnya adalah memulai program perbaikan berkelanjutan



dengan mengurangi keterbatasan constraint yang dapat mempengaruhi kinerja perusahaan. 5.



Mengulangi Proses Keseluruhan Pada akhirnya constraint sumber daya akan dihilangkan sampai ke titik



dimana constraint tidak lagi mengikat. 2.3.4



Penjadwalan Campbell Dudeck Smith (CDS) Penjadwalan dengan algoritma CDS digunakan untuk menemukan



sequence yang optimal atau mendekati optimal dari job-job yang akan dijadwalakan dalam situasi flow shop (Campbell, Dudek, dan Smith, 1970). Algoritma CDS merupakan pengembangan Algoritma Johnson ketika mesin yang digunakan lebih



OPTIMIZED PRODUCTION TECHNOLOGY



| 41



dari 2 mesin. Dalam permasalahan ini digunakan ‘n’ sebagai job dan ‘m’ merupakan Mesin. Mesin yang memiliki waktu terkecil dari mesin pertama akan diletakkan pada urutan yang paling depan, sedangkan untuk nilai terkecil dari mesin kedua akan diletakkan pada urutan yang paling belakang. Algoritma CDS berjalan dengan melakukan generasi nilai K sebanyak m – 1 untuk sequences (Campbell, Dudek, dan Smith, 1970). Perhitungan ini berlangsung terus dengan ketentuan K = 1, 2, 3, . . ., (m-1), artinya harga perhitungan k mulai dari 1 sampai dengan m-1, bentuk perhitungan melalui tabeltabel konstulasi (k) dari 1 s/d m –1 tersebut dan setiap tabel memiliki urutan job tersendiri. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penyelesaian penjadwalan dengan metode ini adalah sebagai berikut : ∗ ∗ 1. Tentukan K = 1, hitung 𝑡𝑖,1 dan 𝑡𝑖,2 dengan menggunakan persamaan:



dimana: t



i,k



= waktu proses untuk job ke-I pada mesin ke K



k



= 1,2,…,m-1



m



= jumlah mesin



2. Jadwalkan job dengan menggunakan Algoritma Johnson, dimana ti = ,1



∗ ∗ 𝑡𝑖,1 danti = 𝑡𝑖,2 , seperti pada langkah awal. Catat urutan pekerjaan dan ,2



hitung makespan. Ulangi langkah 1 dan 2 sampai K = m – 1 (dimana m = jumlah mesin). 3. Jika K = m-1, perhitungan dihentikan, catat makespan yang terkecil sejak K = 1 sampai K = m –1. Makespan yang terkecil merupakan penjadwalan yang terpilih. 2.4



Mengenal Software Winqsb 2.0 Software QSB (Quantity System for business) atau umumnya juga dikenal



dengan nama WINQSB (QSB yang berjalan pada sistem operasi Windows) merupakan software yang mengandung algoritma problem solving untuk riset operasi (operational research) dan untuk ilmu manajemen. Software ini dikembangkan oleh Yih-Long Chang. Software ini terdapat beberapa submodul yang dapat membantu menyelesaikan permasalahan umum dalam menajemen bagi manajer dan masalah bisnis umumnya. WINQSB sendiri terdapat beberapa modul



OPTIMIZED PRODUCTION TECHNOLOGY



| 42



yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah masalah operation riset dan ilmu manajemen seperti analisis Sampling, Agregat dalam sistem Produksi, Analisis Keputusan, Pemrograman dinamis, goal programming, Tata letak fasilitas, peramalan permintaan, Sistem inventory, Penjadwalan kerja, Pemrograman Linier dan Integer, Pernencanaan kebutuhan material (MRP), Proses Markov, dan teori antrian. Masing-masing permasalahan tersebut bisa diselesaikan dengan masingmasing modular yang terdapat dalam aplikasi WINQSB ini. •



Pemrograman Linier dan Integer Langkah – langkah menjalankan software WINQSB untuk Pemrograman Linier dan Integer : 1) Pilih File , kemudian pilih New Problem 2) Selanjutnya isikan : -



Problem Title (judul problem)



-



Number of Variables (jumlah produk)



-



Number of Contraints (jumlah stasiun kerja)



-



Object Criterion, pilih Maximization



-



Data Entry Format, pilih Spreadsheet Matrix Form



-



Default Variable Type, pilih Nonnegative Continous



3) Kemudian klik Ok 4) Setelah itu isikan data pada tabel yang telah tersedia 5) Jika pengisian telah selesai, kemudian pilih menu Solve and Analyse •



Job scheduling Langkah – langkah menjalankan software WINQSB untuk Job scheduling: 1) Pilih File , kemudian pilih New Problem 2) Selanjutnya isikan : - Problem title (judul problem) - Number of jobs to be schedule (jumlah komponen yang akan dikerjakan) - Number of worker (jumlah mesin) - Maximum mumber of operation per job (jumlah maksimum operasi yang dilalui komponen) - Time unit (minute)



OPTIMIZED PRODUCTION TECHNOLOGY



| 43



- Ceklis (all jobs have the same machine/worker sequence) 3) Kemudian klik Ok 4) Setelah itu isikan data pada tabel yang telah tersedia 5) Jika pengisian telah selesai, kemudian pilih menu Solve and Analyse 6) Setelah itu pilih CDS Method untuk solution method dan Cmax (min. Makespen) untuk objective criterion. Kemudian klik Ok 7) Setelah itu pilih result lalu pilih show mesin schedule untuk memperlihatkan solusi permasalahan. 8) Untuk memperlihatkan gant chart pilih result lalu pilih show ghant chart for job atau show ghant chart for mecine 2.5



Data dan Alat yang Dibutuhkan Adapun data dan alat yang di butuhkan yaitu sebagai berikut:



✓ Data routing masing-masing job pada 5 mesin untuk General Flow Shop. ✓ Set data demand ✓ Software Win QSB Ver. 2.0. ✓ Komputer ✓ Alat Tulis dan Kalkulator 2.6



Pelaksanaan Praktikum Setiap shift akan diberikan data waktu operasi setiap job pada setiap mesin



sesuai dengan routing. Kemudian praktikan mengolah data tersebut dengan urutan sebagai berikut: 1)



Identifikasi sumber bottleneck menggunakan prinsip – prinsip OPT untuk menentukan kuantitas produk dengan profit maksimum menggunakan program linier pada software Win QSB Ver. 2.0.



2)



Penjadwalan bottleneck dilakukan untuk masing-masing job pada 6 mesin dengan metode bottleneck scheduling dan mampu membuat ganttchart keseluruhan jika batch proses tidak sama dengan batch transfer untuk Mobil Truk Kontainer 1, Mobil Truk Kontainer 2, dan Mobil Truk Tangki. Serta praktikan diharapkan mampu menganlisis prinsip OPT lainnya.



OPTIMIZED PRODUCTION TECHNOLOGY



| 44



DAFTAR PUSTAKA



Browne, J., Harhen, J. and Shivnan, J., 1996. Production management systems. Harlow, England: Addison-Wesley Pub. Co. Campbell H., G., Dudek R., A., dan Smith M., L. 1970. A Heuristic Algorithm for the n Job, m Machine Sequencing Problem. Management Science 16(10): B-630-B-637. Cox, J. dan Schleier, J. 2013. Theory of constraints handbook. New York: McGraw-Hill. Dettmer, H., 2008. The Logical Thinking Process. Milwaukee: ASQ Quality Press. Fogarty, D., W., Blackstone, J., H., dan Hoffmann, T., R. 1991. Production and Inventory Management. Cincinnati: South-Western Publishing Co. Goldratt, E., M., dan Cox, J. 1992. The Goal, A Process of Ongoing Improvement Rev. 2nd Ed. New York: Nort River Press. Morton, T., E., dan Pentico, D., W. 1993. Heuristich Schedulling With Application To Production System & Product Management. Canada: John Waley & Son., Inc. Sipper, D., dan Buffin, R., L. 1997. “Production Planning, Control & Integration”. New York: McGraw Hill, Inc. Techt, U., 2015. Goldratt and the theory of constraints. Stuttgart: Ibidem Press. Tersine, R., J. 1994. Principles of Inventory and Material Management. New Jersey: Prentice Hall. Umble, M., M., dan Srikanth, M., L. 1996. Synchronous Manufacturing: Principles for World-Class Excellence. Utah: The Spectrum Pub. Co.



OPTIMIZED PRODUCTION TECHNOLOGY



| 45



MODUL III JUST IN TIME DENGAN PENERAPAN SISTEM KANBAN 3.1



Pendahuluan Perusahaan dapat dikatakan unggul dari para pesaingnya apabila



memperhatikan beberapa faktor produksi, diantaranya waktu, mutu, biaya, dan sumber daya manusia. Salah satu faktor penting yang sangat mempengaruhi keunggulan daya saing adalah waktu karena perusahaan harus dapat memenuhi permintaan konsumen tepat waktu, mengurangi waktu untuk aktivitas yang tidak bernilai tambah (non-value added), dan mengefisienkan waktu untuk aktivitas bernilai tambah (value added). Maka dari itu, Sistem Produksi Toyota memperkenalkan konsep Just In Time yang bertujuan untuk membuat perusahaan menjadi lebih unggul dalam segi ketepatan dan minimasi waktu. Just In Time merupakan sebuah konsep yang berfokus pada upaya yang menghasilkan produk dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan pada tempat dan waktu yang tepat. Tujuan utama penerapan Just In Time adalah untuk meminimasi kecacatan, minimasi waktu set up, minimasi ukuran lot, minimasi penanganan produk, minimasi antrian, minimasi kerusakan mesin, dan minimasi lead time (Tersine 1994). Beberapa manfaat penerapan Just In Time adalah untuk mengatasi pemborosan seperti over production, excess inventory, dan waiting yang harus dihindari dalam Sistem Produksi Toyota, sehingga perusahaan tidak akan mengeluarkan biaya yang berlebih dalam menangani inventory. Salah satu contoh penerapan Just In Time adalah dengan menggunakan sistem kanban. Sistem kanban merupakan alat untuk mencapai produksi Just In Time, diharapkan dapat menekan kelemahan-kelemahan yang terjadi pada sistem produksi mulai dari penyediaan bahan baku, pengurangan inventory, menghilangkan aktivitas yang tidak perlu serta melakukan produksi sesuai kebutuhan. (Monden, 1995, hal 2) Penerapan Just In Time yang dilakukan pada tugas besar sistem produksi bertempat di Laboratorium Sistem Produksi Unisba. Implementasi yang dilakukan yaitu merakit produk MTK 1, MTK 2, dan MTT menggunakan sistem kanban. Penggunaan sistem kanban dilakukan untuk dapat memahami konsep dasar sistem tarik (pull system). Cara kerja pull system yaitu menarik material dari proses operasi



JUST IN TIME DENGAN PENERAPAN SISTEM KANBAN | 47



sebelumnya berdasarkan kebutuhan aktual dari proses operasi tersebut. Hal ini berbeda dengan sistem dorong (push system) yang dilakukan pada stasiun kerja permesinan yang cara kerjan sistemnya adalah mendorong material sepanjang proses produksi. 3.2



Tujuan Praktikum Tujuan praktikum Just In Time adalah sebagai berikut:



1.



Praktikan mampu memahami konsep dasar Pull System dan perbedaannya dengan Push System.



2.



Praktikan mampu memahami konsep Just In Time.



3.



Praktikan mampu memahami sistem kanban dalam Just In Time.



4.



Praktikan mampu memahami metode penjadwalan berbasis harian untuk multi-item (Mixed Model Scheduling).



3.3



Landasan Teori Terdapat dua cara dalam pengontrolan sistem produksi, yaitu sistem



pengontrolan push system (sistem dorong) dan sistem pengontrolan pull system (sistem tarik). Pada dasarnya dalam Push System material akan dipindahkan dan produk dibuat dengan cara mendorong material itu sepanjang proses produksi, dimana aktivitas ini akan berlangsung terus-menerus meskipun stasiun kerja tidak menggunakan material pada tingkat yang sama dengan material yang didorong dari proses



sebelumnya.



MRP



(Material



Requirement



Planning/Perencanaan



Kebutuhan Material) merupakan contoh penerapan dari push system karena semua keputusan pengontrolan bersifat terpusat (Gaspersz, 2001). Konsep push system berbeda dengan pull system karena dalam pull system proses operasi sesudahnya akan meminta atau menarik material dari proses operasi sebelumnya berdasarkan kebutuhan aktual dari proses tersebut. Salah satu implementasi dari pull system adalah sistem kanban yang berasal dari Jepang dan diperkenalkan melalui Sistem Produksi Toyota. Perbedaan antara Push System dan Pull System dapat dilihat pada Gambar 3.1.



JUST IN TIME DENGAN PENERAPAN SISTEM KANBAN | 48



Push System Menyusun jadwal



Gudang Bahan Baku



Stasiun Kerja 1



Stasiun Kerja 2



Stasiun Kerja n



Gudang Barang Jadi



Pelanggan



Pull System Menyusun jadwal Gudang Bahan Baku



Stasiun Kerja 1



Stasiun Kerja 2



Stasiun Kerja n



Gudang Barang Jadi



Pelanggan



: Aliran Material : Aliran Informasi



Gambar 3.1 Aliran Material dan Penyusunan Jadwal dalam Push System dan Pull System



3.3.1



Just In Time



3.3.1.1 Definisi dan Tujuan Just In Time Ada beberapa definisi dari Just In Time, yaitu: 1.



Just In Time adalah suatu konsep filosofi yang berfokus pada upaya untuk menghasilkan produk dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan, pada tempat dan waktu yang tepat (Gaspersz, 2001, hal 23).



2.



Just In Time berarti bahwa, dalam suatu rangkaian proses produksi, suku cadang yang diperlukan untuk perakitan tiba pada ujung lini rakit pada waktu yang diperlukan dan hanya dalam jumlah yang diperlukan. Perusahaan yang menerapkan sistem ini pada seluruh lini produksi dapat mendekati persediaan nol (Ohno, 1995, hal 4).



3.



Just In Time adalah penyelesaian produk atau jasa dengan baik/berhasil pada setiap tingkatan aktivitas produksi dari vendor ke konsumen secara tepat waktu untuk digunakan dan dengan ongkos yang minimum (Schniederjans, 1993, hal 4). Tujuan utama yang ingin dicapai dari Just In Time menurut Tersine (1994,



hal 416) adalah meminimasi kecacatan (Zero Defect), meminimasi waktu Set-up (Zero Set-up Time), meminimasi ukuran lot (Zero Lot Excesses), meminimasi penanganan produk (Zero Handling), meminimasi antrian (Zero Queues), meminimasi kerusakan mesin (Zero Breakdowns), meminimasi Lead Time (Zero Lead Time).



JUST IN TIME DENGAN PENERAPAN SISTEM KANBAN | 49



3.3.1.2 Penerapan Strategi Just In Time Strategi Just In Time agar dapat diterapkan pada sistem informasi dalam industri harus bersifat transparan dan komprehensif, beberapa model informasi yang diperlukan adalah (Gaspersz, 2001, hal 37): 1.



Daftar pemasok material dalam program Just In Time,



2.



Laporan kualitas yang komprehensif dalam perusahaan,



3.



Laporan secara rutin kepada pemasok material dan departemen pembelian material dari perusahaan,



4.



Pertemuan secara periodik dengan setiap pemasok material. Adapun penerapan strategi Just In Time agar menjadi lebih efektif, yaitu



perlu dibuat tindakan korektif dalam program ini apabila berjalan tidak sesuai dengan harapan. Beberapa tindakan korektif dalam program Just In Time adalah (Gaspersz, 2001, hal 38): 1.



Membuat daftar masalah kepada pemasok material,



2.



Meminta komitmen pemasok untuk menyelesaikan masalah,



3.



Memberikan dukungan teknik dan manajemen kepada pemasok apabila diperlukan,



4.



Diskualifikasi pemasok material itu apabila tidak ada respon terhadap masalah dalam waktu tertentu,



5.



Melakukan inspeksi secara berkala,



6.



Diskualifikasi terhadap pemasok yang tidak melakukan peningkatan atau perbaikan kualitas terus menerus. Sasaran dari strategi produksi Just In Time (JIT) adalah reduksi biaya dan



meningkatkan arus perputaran modal (capital turnover ratio) dengan jalan menghilangkan setiap pemborosan (waste) dalam sistem industri. Waste adalah segala sesuatu baik material, mesin dan peralatan, sumber daya manusia, modal, informasi, manajerial, proses, dan lain-lain yang tidak memberikan nilai tambah pada produk. Atau dengan kata lain, waste adalah segala sesuatu yang mengganggu aliran produk dalam organisasi atau tidak mendukung produksi atau penjualan produk tersebut (Tersine, 1994, hal 421). JIT harus dipandang sebagai sesuatu yang lebih luas daripada sekedar suatu program pengendalian inventory.



JUST IN TIME DENGAN PENERAPAN SISTEM KANBAN | 50



Skema sistem produksi Just In Time yang tercantum pada Gambar 3.2 menunjukkan bahwa untuk menghilangkan pemborosan, perlu diciptakan aliran produksi kontinyu, dalam pengertian bahwa proses produksi perlu dibuat stabil. Semakin lancar aliran produksi itu akan semakin baik. Aliran produksi kontinu ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan sistem produksi Just In Time yang dibantu dengan sistem autonomous. Pengertian autonomous tidak sekedar berupa penggunaan alat-alat otomatis tetapi lebih merupakan suatu sikap untuk menghentikan proses produksi secara otomatis apabila ditemukan adanya bagianbagian yang cacat dalam sistem produksi itu. Dengan demikian bagian-bagian yang cacat itu sejak awal telah disingkirkan secara otomatis, dan tidak dibiarkan lolos sampai menjadi produk cacat yang merupakan pemborosan. Sistem produksi Just In Time menggunakan metode produksi yang berorientasi pada inventory minimum, waktu set up mesin dan peralatan yang pendek, penciptaan pekerja multifungsional (memiliki keterampilan multifungsi), serta penyelesaian pekerjaan dalam waktu siklus (cycle time) yang pendek sesuai standar yang ditetapkan. Sistem produksi Just In Time menggunakan aliran informasi berupa kanban berbentuk kartu atau peralatan lainnya. Dengan demikian, aliran informasi dalam sistem produksi Just In Time menggunakan kartu-kartu yang berisi catatan singkat yang mendukung metode produksi Just In Time. STRATEGI PRODUKSI JUST IN TIME (JIT)



MENINGKATKAN ARUS PERPUTARAN MODAL ( CAPITAL TURNOVER RATIO )



REDUKSI BIAYA



MENGHILANGKAN PEMBOROSAN (WASTE)



MENCIPTAKAN ALIRAN PRODUKSI KONTINU



SISTEM PRODUKSI JIT



METODE PRODUKSI



ALIRAN INFORMASI



- Inventory Minimum - Waktu Set Up Pendek - Pekerja Multifungsional - Siklus Waktu Pendek



MENGGUNAKAN KARTU (KANBAN) ATAU ALAT LAIN



SISTEM AUTONOMOUS



KONTROL MELALUI KERJASAMA (TEAMWORK)



PERALATAN OTOMATIS



Gambar 3.2 Skema Sistem Produksi Just In Time Sumber: (Gaspersz, 2001, hal 39)



JUST IN TIME DENGAN PENERAPAN SISTEM KANBAN | 51



3.3.1.3 Prinsip Manajemen Produksi Just In Time Banyak kebijakan, aturan, dan prosedur manajemen produksi yang berhubungan dengan perencanaan dan penjadwalan produksi dalam operasi Just In Time. Beberapa di antaranya dapat dikarakteristikkan sebagai prinsip manajemen produksi (Schniederjans, 1993, hal 5): 1.



Temukan penjadwalan produksi harian yang seragam Jadwal produksi harian yang seragam adalah jadwal produksi per hari



dimana ada sedikit atau tidak ada variasi dalam jumlah produksi setiap harinya. Untuk menyelesaikan jadwal produksi harian yang seragam diperlukan aktivitas perencanaan yang disebut Load Leveling. Load Leveling adalah rencana produksi yang dibuat untuk menyediakan level unit tiap produk agar dapat berubah secara fleksibel setiap bulannya, tetapi tetap sama setiap harinya selama periode perencanaan bulanan. Perubahan jumlah produk diperbolehkan pada basis bulanan untuk memenuhi perubahan permintaan konsumen, tetapi produksi setiap harinya selama bulan itu berada pada level yang tetap. 2.



Temukan fleksibilitas penjadwalan produksi Kapasitas produksi dapat didefinisikan sebagai kemampuan stasiun kerja



untuk menghasilkan output. Jadwal produksi dibuat untuk memenuhi permintaan konsumen. Operasi JIT harus memiiki fleksibilitas yang cukup untuk membuat jadwal produksi harian (dan semua sistem yang mendukung, termasuk persediaan yang disuplai oleh vendor) untuk mencocokkan dengan permintaan pasar aktual. 3.



Temukan pull system yang sinkron Operasi pull system hanya berlangsung pada lingkungan produksi dimana



permintaan konsumen mengendalikan usaha produksi. Jadwal produksi ditentukan oleh permintaan konsumen aktual. Salah satu metode penjadwalan yang sering digunakan dalam pull system adalah sistem kartu yang disebut kanban. 4.



Gunakan sistem otomasi Dalam operasi produksi JIT, otomasi biasanya melibatkan robot, sensor



elektronik, dan sistem penanganan otomatis. Produksi JIT hanya mengotomasikan pekerjaan tertentu yang lebih baik dikerjaan secara otomasi daripada dikerjakan oleh manusia. Prinsip ini mencoba untuk mengalokasikan sumber daya dengan dasar ekonomi rasional. Manusia memiliki tingkat intelegensia dan fleksibilitas



JUST IN TIME DENGAN PENERAPAN SISTEM KANBAN | 52



yang tinggi dalam bekerja. Sedangkan robot lebih efisien dan akurat dalam bekerja. Dalam operasi JIT, pekerja manusia diberi tugas yang membutuhkan fleksibilitas yang lebih baik, yang akan lebih ekonomis daripada dilakukan oleh robot. Dalam situasi yang lain, dimana pekerjaan menghabiskan tenaga fisik yang banyak, terlalu sederhana atau membosankan, robot dipekerjakan karena lebih efisien. 5.



Temukan Focused Factory Focused Factory adalah pabrik yang memproduksi jumlah perbedaan



produk yang terbatas dengan jumlah proses produksi yang terbatas juga. Pada JIT yang mementingkan fleksibilitas, Focused Factory dapat digunakan ketika ada demand yang cukup dan berkelanjutan untuk single product atau untuk family product, yaitu sekelompok produk yang memiliki kebutuhan produksi dan atau komponen-komponen produksi yang sama. 6.



Tingkatkan fleksibilitas pekerja Dalam operasi JIT kita harus mempekerjakan pekerja yang berkualitas



tinggi serta memilki banyak keahlian. Hal ini dilakukan dalam upaya meminimasi biaya. Manajemen secara logika tidak mau membayar upah pekerja yang tinggi dengan hasil kerja yang rendah. Salah satu strategi dalam memperbaiki fleksibilitas pekerja adalah dengan melakukan cross training dan mempekerjakan pekerja paruh waktu. 7.



Kurangi ukuran lot produksi dan ongkos setup Pereduksian biaya setup membantu mereduksi ukuran lot jadwal produksi.



Pereduksian ongkos setup, dapat dilakukan dengan melaksanakan 5S.



8.



-



Seiri (ringkas)



-



Seiton (rapi)



-



Seiso (resik/bersih)



-



Seiketsu (rawat)



-



Shitsuke (rajin) Pekerja diperbolehkan untuk menentukan aliran produksi Setiap stasiun kerja bersama dengan Group Technology (GT) atau lintasan



perakitan harus dirancang untuk memperbolehkan pekerja dalam menentukan aliran produksi. Dengan kata lain, pekerja harus memutuskan apakah dia telah menyelesaikan pekerjaannya dalam suatu produk sebelum item produk tersebut



JUST IN TIME DENGAN PENERAPAN SISTEM KANBAN | 53



dikirim ke stasiun kerja berikutnya. Banyak operasi JIT merancang aliran produksinya untuk menghentikan barang yang masih dalam proses pada stasiun kerja sampai pekerja mengirim ke stasiun kerja berikutnya. Dengan membiarkan pekerja mengontrol aliran lintasan, manajemen dapat mengawasi dimana aliran produksi tidak stabil atau adanya masalah produksi yang akan mempengaruhi jadwal produksi. 9.



Memperbaiki Komunikasi dan Kontrol Visual. Perbaikan komunikasi tidak hanya melibatkan pembahasan mengenai



tujuan JIT, tetapi juga melihat bagaimana tujuan tersebut dapat dicapai. Operasi JIT harus dirancang untuk memfasilitasi visibility management yang meningkatkan control management saat tujuan tidak tercapai. Visibility management juga melibatkan seluruh design layout dari fasilitas produksi. Dengan merancang fasilitas untuk memfasilitasi penelitian atas penyimpangan dari tujuan JIT, manajer dan pekerja akan termotivasi untuk menyelesaikan masalah yang akan menyebabkan ketidakefisienan dalam produksi dengan lebih cepat. Perbedaan mendasar antara prinsip JIT dan konvensional dapat dilihat pada Tabel 3.1 (Tersine, 1994, hal 417). Tabel 3.1 Perbedaan Prinsip Just In Time dengan Konvensional Sumber: Tersine (1994), h. 417



Konvensional



Just In Time



Beberapa kecacatan masih dapat diterima



Zero defects merupakan hal penting dan harus dicapai.



Ukuran lot yang besar adalah efisien (lebih



Ukuran lot yang lebih kecil lebih baik



besar lebih baik)



(ukuran lot ideal adalah satu)



Produksi yang cepat lebih baik



Produksi yang seimbang adalah efisien Safety stock merupakan pemborosan



Inventory merupakan pengaman



(waste)



Inventory memperlancar proses produksi



Inventory tidak diharapkan



Inventory merupakan aset



Inventory cenderung merugikan



Antrian diperlukan



Antrian harus dieliminasi



Suppliers dianggap saingan



Suppliers merupakan partners



Sumber



persediaan



merupakan pengaman



yang



beragam



Sedikit persediaan lebih mudah dikontrol



JUST IN TIME DENGAN PENERAPAN SISTEM KANBAN | 54



Tabel 3.2 Perbedaan Prinsip Just In Time dengan Konvensional (Lanjutan)



Konvensional



Just In Time



Memperbaiki kerusakan sudah cukup



Perawatan untuk pencegahan adalah penting



Lead time yang panjang/lama lebih baik



Lead time pendek lebih baik



Setup time ditentukan



Setup time diminimasi



Manajemen ditentukan secara resmi



Manajemen berdasarkan keputusan bersama



Spesialisasi pekerjaan



3.3.2



Pekerjaan multifungsional



Koefisien Safety Stock Menurut Heizer dan Render (2011), safety stock adalah persediaan



pengaman, dimana konsep persediaan pengaman ini merupakan suatu persediaan tambahan yang memungkinkan permintaan yang tidak seragam dan menjadi sebuah cadangan. Safety stock pada dasarnya adalah persediaan yang kita siapkan untuk mengantisipasi ketidakpastian. Beberapa elemen ketidakpastian: 1. Variasi Permintaan (S) Permintaan dari waktu ke waktu selalu berubah atau bervariasi. Oleh karena itu variasi tersebut harus dimasukkan dalam perhitungan safety stock. Semakin besar variasi permintaan, maka semakin besar safety stock yang harus disiapkan. 2. Lead Time (LT) Lead time adalah durasi waktu sejak pesanan dilakukan sampai pemesan menerima pesanannya. Semakin lama leadtime, maka semakin besar stok yang yang harus disiapkan. 3. Service Level (z) Service



level merupakan



kebijakan



perusahaan



dalam



melakukan



pelayanan permintaan, semakin tinggi service level yang ditetapkan oleh manajemen, maka semakin tinggi stok yang harus disiapkan. Terkait dengan safety stock, service level direpresentasikan oleh parameter z, nilai standar pada distribusi normal. Secara praktis nilai z dapat dihitung dengan fungsi matematis pada microsoft excel z = normsinv(prob). parameter prob adalah probabilitas pada distribusi normal (luas area di bawah kurva normal). Sebagai contoh, kebijakan service level 95%, artinya probabilitas distribusi normalnya adalah 95%, sehingga nilai z = normsin (0,95) = 1,64.



JUST IN TIME DENGAN PENERAPAN SISTEM KANBAN | 55



Adapun dibawah ini merupakan rumus cara menghitung safety stock diuraikan sebagai berikut (Heizer dan Render, 2011, hal 322): Rumus perhitungan standar deviasi: ̅̅̅̅2 ∑𝑛 𝑖=1(𝑋𝑖 −𝑋)



S=√



𝑛−1



............................................................................................(III – 1)



Dimana: 𝑆 = standar deviasi dari tingkat kebutuhan 𝑋 = jumlah item 𝑋̅ = rata-rata jumlah item n = jumlah jenis item Rumus perhitungan Safety Stock: SS = 𝑆 x k ......................................................................................................(III – 2) Dimana: σ = Safety Stock k = safety factor (didapatkan dari nilai service level perusahaan) Rumus perhitungan Koefisien Safety Stock: Koef SS = 𝑆𝑆 / total demand ..........................................................................(III – 3) 3.3.3



Sistem Kanban Kanban adalah suatu alat untuk mencapai produksi Just In Time (Monden,



1993, hal 8). Kanban dalam bahasa Jepang berarti visual record or signal. Dengan demikian, sistem kanban adalah suatu informasi yang secara harmonis mengendalikan produksi suatu produk yang diperlukan dalam jumlah dan waktu yang diperlukan dalam tiap proses suatu pabrik. Bentuk yang paling sering digunakan pada sistem ini adalah selembar kertas yang terdapat dalam suatu amplop vinil segi empat. Lembaran kertas ini membawa informasi yang terdiri atas tiga kategori (Ohno, 1995, hal 33), yaitu informasi pengambilan, informasi pemindahan, dan informasi produksi. Kanban membawa informasi secara vertikal dan horizontal, yaitu di dalam pabrik itu sendiri maupun antara pabrik dengan perusahaan mitra. Fungsi kanban serta aturan yang digunakan dalam sistem produksi Just In Time dapat dilihat pada Tabel 3.2.



JUST IN TIME DENGAN PENERAPAN SISTEM KANBAN | 56



Tabel 3.2 Fungsi Kanban serta Aturan yang Digunakan dalam JIT Sumber: Ohno, 1995, hal 37



Fungsi Kanban Memberikan informasi pengambilan dan pengiriman.



Aturan Yang Digunakan Proses paling belakang mengambil jumlah barang yang ditunjukkan oleh kanban dari proses sebelumnya. Proses terdahulu memproduksi barang



Memberikan informasi produksi.



sesuai dengan jumlah dan urutan yang ditunjukkan kanban.



Mencegah kelebihan produksi atau



Tidak ada barang yang diangkut tanpa



kelebihan pengangkutan.



kanban.



Berlaku sebagai perintah kerja yang



Selalu menempelkan kanban pada



ditempelkan langsung pada barang.



barang.



Mencegah produk cacat dengan mengenali proses yang membuat cacat. Mengungkapkan masalah yang ada dan mempertahankan pengendalian persediaan.



Produk yang cacat tidak dikirimkan ke proses berikutnya. Hasilnya adalah 100% barang bebas cacat. Pengurangan jumlah kanban meningkatkan kepekaan.



3.3.2.1 Jenis-jenis Kanban Terdapat dua jenis Kanban yang sering digunakan, yaitu kanban pengambilan dan kanban perintah-produksi (Monden, 1995, hal 23). 1.



Kanban Pengambilan Suatu Kanban Pengambilan menspesifikasikan jenis dan jumlah produk yang harus diambil dari proses terdahulu oleh proses berikutnya. Yang termasuk pada Kanban Pengambilan di antaranya adalah Kanban Permintaan Komponen. Contoh Kanban Pengambilan dapat dilihat pada Gambar 3.3.



2.



Kanban Perintah Produksi Kanban Perintah Produksi menspesifikasikan jenis dan jumlah produk yang harus dihasilkan proses terdahulu. Kanban Perintah Produksi sering disebut Kanban dalam Pengolahan atau secara sederhana, Kanban Produksi. Kanban lain yang termasuk Kanban Perintah Produksi di antaranya adalah



JUST IN TIME DENGAN PENERAPAN SISTEM KANBAN | 57



Kanban Permintaan Rakitan. Contoh Kanban Perintah Produksi dapat dilihat pada Gambar 3.4.



Gambar 3.3 Kanban Pengambilan Sumber: (Monden, 2011, hal. 37)



Gambar 3.4 Kanban Perintah-Produksi Sumber: (Monden, 2011, hal. 37)



Adapun langkah-langkah penggunaan Kanban Pengambilan dan Kanban Perintah Produksi dapat dilihat pada Gambar 3.5. Pos Kanban Perintah Produksi Pos Penerima Kanban



5



Kanban Perintah Produksi



3



Kanban Pengambilan dan unit fisik



2



Gudang A



7



6 8



1 4



Proses Terdahulu (lini mesin) Kanban Pengambilan



Pos Kanban Pengambilan



Proses berikutnya (lini rakit)



Gambar 3.5 Langkah Penggunaan Kanban Pengambilan dan Kanban Perintah Produksi Sumber: (Monden, 2011, hal. 42)



JUST IN TIME DENGAN PENERAPAN SISTEM KANBAN | 58



Gambar 3.5 menunjukan bagaimana kanban pengambilan dan kanban perintah produksi digunakan. Pada Gambar 3.5 dimisalkan terdapat dua stasiun kerja yaitu stasiun kerja 1 (SK 1) dan stasiun kerja 2 (SK 2), gudang bahan baku dan gudang barang jadi yang digabungkan dalam satu tempat yaitu gudang A, serta stasiun perakitan. 1.



Pembawa dari proses berikutnya pergi ke gudang proses terdahulu dengan kanban pengambilan yang disimpan dalam pos kanban pengambilan (yakni, kotak atau berkas penerima) bersama palet kosong (peti kemas) yang ditaruh di atas forklift atau jip. Ia melakukannya secara teratur pada waktu yang telah ditentukan.



2.



Bila pembawa proses berikutnya mengambil suku cadang di gudang A, pembawa itu melepaskan Kanban perintah produksi yang dilampirkan pada unit fisik dalam palet (perhatikan bahwa tiap palet mempunyai satu lembar kanban) dan menaruh kanban ini dalam pos penerima kanban. Ia juga meninggalkan palet kosong di tempat yang ditunjuk oleh orang yang ada pada proses terdahulu.



3.



Untuk tiap kanban perintah produksi yang dilepaskannya, di tempat itu ia menempelkan satu kanban pengambilan. Ketika menukarkan kedua jenis kanban itu, dengan hati-hati ia membandingkan kanban pengambilan dengan kanban perintah produksi untuk melihat konsistensinya.



4.



Bila pekerjaan dimulai pada proses berikutnya, kanban pengambilan harus ditaruh dalam pos kanban pengambilan.



5.



Pada proses terdahulu, kanban perintah produksi harus dikumpulkan dari pos penerima kanban pada waktu tertentu atau bila sejumlah unit telah diproduksikan dan harus ditempatkan dalam pos kanban perintah produksi dengan urutan yang sama dengan urutan penyobekan kanban di gudang A.



6.



Menghasilkan suku cadang sesuai dengan urutan nomor kanban perintah produksi di dalam pos.



7.



Ketika diolah, unit fisik dan kanban itu harus bergerak secara berpasangan.



8.



Bila unit fisik diselesaikan dalam proses ini, unit ini dan kanban perintah produksi disimpan kembali ke gudang A, sehingga pembawa akan melakukan proses pengerjaan berikutnya dapat mengambilnya kapan saja.



JUST IN TIME DENGAN PENERAPAN SISTEM KANBAN | 59



Ada beberapa jenis kanban lainnya, yang biasa digunakan antara lain (Monden, 1995, hal 40): 1.



Kanban Darurat Kanban darurat adalah suatu kanban yang dikeluarkan untuk sementara jika terdapat barang yang rusak, sisipan ekstra, atau permintaan banyak secara tiba-tiba.



2.



Kanban Ekspres Kanban ekspres dikeluarkan bila terjadi kekurangan suku cadang. Kanban ekspres ini hanya dikeluarkan dalam situasi yang luar biasa dan harus dikumpulkan segera setelah digunakan.



3.



Kanban Terusan Bila dua proses atau lebih saling berhubungan dengan sangat erat, mereka dapat dianggap sebagai satu proses tunggal, tidak perlu menukarkan kanban di antara proses-proses yang bersebelahan ini. Dalam kasus itu, suatu lembaran kanban biasa digunakan pada proses jamak tersebut. Kanban semacam itu disebut kanban terusan.



4.



Kanban Pesanan Pekerjaan Kanban pesanan pekerjaan disiapkan untuk suatu lini produksi pesanan pekerjaan dan dikeluarkan untuk tiap pesanan pekerjaan.



5.



Kanban Pemasok Kanban pemasok digunakan untuk melaksanakan pengambilan dari penjual (pemasok suku cadang atau bahan). Kanban pemasok berisi perintah yang meminta pemasok atau subkontraktor untuk mengirimkan suku cadang. Kanban pemasok ini juga biasa disebut dengan kanban subkontraktor.



6.



Kanban Segitiga Kanban segitiga merupakan jenis kanban pemberi tanda untuk menetapkan spesifikasi produksi lot. Kanban pemberi tanda ini ditempelkan pada suatu kotak dalam lot. Kanban segitiga terbuat dari lembaran logam dan cukup berat.



3.3.2.2 Peraturan Kanban JIT dalam pencapaian dengan menggunakan Kanban, terdapat beberapa peraturan yang harus diikuti, yaitu (Monden, 1995, hal-32):



JUST IN TIME DENGAN PENERAPAN SISTEM KANBAN | 60



1.



Proses berikutnya harus mengambil produk yang diperlukan dari proses terdahulu dalam jumlah yang diperlukan dari proses terdahulu dalam jumlah yang diperlukan pada saat diperlukan.



2.



Proses terdahulu harus menghasilkan produk sesuai dengan jumlah yang diambil oleh proses berikutnya.



3.



Produk cacat tak boleh diserahkan pada proses berikutnya.



4.



Jumlah kanban harus sesedikit mungkin.



5.



Kanban harus digunakan untuk menyesuaikan diri terhadap fluktuasi kecil dalam permintaan (penyetelan produksi dengan kanban).



3.3.2.3 Penentuan Jumlah Kanban Sistem kanban merupakan sistem tarik, sehingga proses pemesanan yang diperlukan mengambil dari proses terdahulu dalam jumlah yang tepat dan saaat yang tepat, kemudian proses terdahulu melakukan produksi sesuai dengan banyaknya unit yang diambil. Sistem kanban dapat ditinjau dari sistem pengendalian persediaan yang terdiri dari dua jenis yaitu, sistem jumlah pesanan tetap (Q-System) dan sistem siklus pesanan tetap (P-System) (Monden, 2000, hal 33). Perbedaan dari kedua sistem tersebut ialah, apabila menggunakan sistem jumlah pesanan tetap maka tidak perlu melakukan pemeriksanaan persediaan secara terus menerus sedankan sistem siklus pesanan tetap memerlukan pemeriksaaan persediaan secara terus menerus. Melalui sistem jumlah pesanan tetap, jumlah tetap telah ditentukan akan dipesan jika tingkat persediaan menurun ke titik pesan ulang. Meskipun jumlah pesanan tetap, namun waktu pesan ulang tidak menentu. Tetapi, dengan sistem siklus pesanan. Berdasarkan sistem persediaan tersebut terdapat dua jenis sistem pengambilan yang terdiri dari sistem pengambilan jumlah tetap, siklus tidak tetap dan sistem pengambilan siklus tetap, jumlah tidak tetap. 1.



Sistem Pengambilan Jumlah Tetap, Siklus Tidak Tetap Sistem pengambilan ini digunakan apabila waktu pemesanan pendek



karena jarak antar proses yang relatif pendek, dan karena adanya aktivitas perbaikan proses. Dengan sistem ini, jumlah tetap yang telah ditentukan untuk pengambilan akan dipesan ke proses sebelum apabila tingkat persediaan telah mencapai re-order point, yaitu jumlah yang diperkirakan akan digunakan selama proses pemesanan (pesanan telah diberikan tetapi belum diterima). Bila metode



JUST IN TIME DENGAN PENERAPAN SISTEM KANBAN | 61



penyiapan telah diperbaiki, dan jarak antara proses sesudah dan proses sebelum telah pendek, “jumlah tetap” akan setara dengan satu lot yang sesuai dengan satu lembar kanban. Bila proses sesudah mengambil satu lot (jumlah tetap), maka proses sebelum harus mengambil lot yang dikosongkan dan dengan segera memproduksi unit sejumlah yang harus diisikan dalam lot. Persamaan yang digunakan dalam penentuan jumlah kanban sistem ini ditunjukkan pada persamaan III-1 (Monden, 2011, hal 37). Y=



D x L (1+ α) c



............................................................................(III – 4)



L = Tp + Tw + Tc + Tkc ......................................................................(III – 5) Dengan: Y



= Jumlah Kanban



D



= Rata-rata permintaan harian



L



= Lead Time (hari)



α



= Koefisien Safety Stock



c



= Kapasitas peti kemas (unit)



Tp = Waktu pengolahan Tw = Waktu tunggu Tc = Waktu pengiriman Tkc = Waktu pengumpulan kanban 2.



Sistem Pengambilan Siklus Tetap, Jumlah Tidak Tetap Sistem pengambilan ini berlaku untuk waktu pemesanan yang relatif lama



karena disebabkan oleh jarak yang lebih jauh, sehingga waktu pengirimannya menjadi lebih lama. Sistem ini, tanggal pemesanan ulang dibuat tetap dan jumlah yang dipesan bergantung pada penggunaan sejak pesanan terdahulu diberikan dan perkiraan selama waktu pemesanan. Perkiraan ini terjadi setelah pesanan diberikan, tetapi pesanan tersebut belum diterima. Persamaan yang digunakan dalam penentuan jumlah kanban sistem ini ditunjukkan pada persamaan III-5 (Monden, 2011, hal 37). Y=



D x (Oe + L + sp) c



...................................................................(III – 6)



L = Tp + Tw + Tc + Tkc ......................................................................(III – 7) Dengan: Y



= Jumlah Kanban



JUST IN TIME DENGAN PENERAPAN SISTEM KANBAN | 62



D



= Rata-rata permintaan harian



L



= Lead Time (hari)



Oe = Siklus pesanan sp



= Periode keamanan (hari)



c



= Kapasitas peti kemas (unit)



Tp = Waktu pengolahan Tw = Waktu tunggu Tc = Waktu pengiriman Tkc = Waktu pengumpulan kanban Satu hal yang penting dilakukan apabila perusahaan akan menerapkan sistem kanban adalah menentukan jumlah kanban yang harus disuplai ke suatu sistem produksi dalam suatu periode tertentu. Hal ini diperlukan, mengingat jumlah kanban akan berpengaruh langsung terhadap tingkat persediaan dalam sistem. Penentuan jumlah kanban harus dilakukan setiap ada proses penjadwalan produksi. Apabila diinginkan untuk meningkatkan jumlah produksi maka dapat dilakukan penambahan kanban dan sebaliknya apabila ingin mengurangi jumlah produksi maka jumlah kanban tersebut dikurangi. 3.3.4



Mixed Model Scheduling Apabila perusahaan industri manufaktur ingin mengubah sistem



penjadwalan berbasis bulanan atau mingguan menjadi berbasis harian, maka perusahaan itu dapat mengadopsi konsep Just In Time, dengan penjadwalan produksi dilakukan pada basis harian yang merata. Selanjutnya apabila jenis produk yang akan diproduksi setiap hari itu lebih dari satu jenis, maka dalam hal ini membutuhkan mixed model scheduling. Metode mixed model scheduling merupakan suatu prosedur yang dapat digunakan untuk menentukan minimum banyaknya unit yang diurutkan dalam suatu production run untuk jadwal produksi harian. Metode ini didasarkan pada upaya untuk meminimumkan lot size dan menetapkan ukuran dari production run (Schniederjans, 1993, hal 83). 3.3.3.1 Pendekatan Mixed Model Scheduling Menurut Schniederjans Satu pendekatan untuk Mixed Model Scheduling terdiri dari tahap-tahap berikut (Schniederjans, 1993, hal 83-85): 1.



Tentukan demand per hari untuk beberapa model atau jenis produk.



JUST IN TIME DENGAN PENERAPAN SISTEM KANBAN | 63



Demand per hari didasarkan pada permintaan total bulanan untuk setiap model produk yang akan diproduksi selama bulan itu dibagi dengan banyaknya hari kerja dalam bulan itu. Rasio untuk setiap produk menentukan banyaknya unit yang harus diproduksi setiap hari selama bulan itu agar memenuhi sasaran Jadwal Produksi Induk untuk bulan itu. 2.



Tentukan cycle time untuk setiap produk. Cycle time untuk suatu produk adalah banyaknya waktu yang dibutuhkan diantara penyelesaian berurutan dari produk, atau banyaknya waktu untuk menyelesaikan satu unit produk.



3.



Tentukan perbandingan terbalik (reciprocals) dari waktu siklus (cycle time) untuk setiap produk. Dalam kasus ini akan menjadi: (1/CT A), (1/CT B), dan (1/CT C), dimana CT = Cycle Time.



4.



Tentukan rasio dari total minimum number of units a sequence pada sequence time. Hal ini dicapai dengan membuat agar penyebut dari rasio 1/CT A, 1/CT B, dan 1/CT C menjadi sama, kemudian dijumlahkan secara bersama untuk memperoleh rasio yang diinginkan. Penjumlahan secara bersama itu menghasilkan total sequence time, yang merupakan total banyaknya cycle time yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu sequence produksi.



5.



Menentukan urutan produksi dari urutan produk (product sequence). Penjadwalan dalam JIT mengusahakan agar produk individual akan diproduksi dalam sequence atau urutan yang berulang. Apabila dapat diterapkan, JIT menginginkan agar ukuran lot produksi adalah satu unit. Namun hal ini sering tidak dapat dipenuhi, mengingat adanya kendala produksi yang mengharuskan ukuran lot lebih besar. Beberapa peralatan manufakturing dengan set up time yang tetap mungkin membatasi ukuran lot tertentu.



3.3.3.2 Pendekatan Mixed Model Scheduling Menurut Monden Menurut Monden (1995, hal 1) pendekatan untuk melakukan mixed model scheduling didasarkan pada dua tujuan, yaitu:



JUST IN TIME DENGAN PENERAPAN SISTEM KANBAN | 64



1.



Meratakan beban (waktu rakitan keseluruhan) pada tiap proses dalam lintasan. Penting diperhatikan bahwa suatu produk mungkin mempunyai waktu operasi yang lebih lama dari pada waktu siklus yang telah ditentukan. Ini akibat fakta bahwa penyeimbangan lintasan pada mixed model scheduling dibuat dengan syarat bahwa waktu operasi tiap proses, diseimbangkan berdasarkan tiap jumlah mixed model, tidak boleh melebihi waktu siklus (Monden, 2000, hal 2). Syarat ini akan diuraikan dengan rumus:



   max    



α



Q T i



il



i =1 α



Q



i



i =1



     C, ........................................................................(III – 8)   



Dengan:







Qi



= jumlah produksi produk Ai ( i = 1 . . . ,



Til



= waktu operasi per unit produk Ai pada waktu operasi keseluruhan proses



) yang direncanakan



per hari



Waktu operasi keseluruhan per hari C



= waktu siklus =



a



Q



i



i =1



Akibatnya, apabila produk dengan waktu operasi yang relatif lebih lama secara berturut-turut dimasukkan ke dalam lintasan, produk ini akan menyebabkan keterlambatan dalam penyelesaian produk dan dapat menyebabkan kemacetan lintasan. Meskipun tujuan pertama ini juga dipertimbangkan dalam program pengurutan di pabrik Toyota, tujuan ini dimasukkan



ke



dalam



algoritma



pemecahan



yang



terutama



mempertimbangkan tujuan kedua. Akibatnya, Toyota menganggap bahwa yang paling penting adalah tujuan kedua dari awal urutan yaitu mempertahankan agar kecepatan konsumsi tiap komponen selalu tetap. 2.



Mempertahankan kecepatan yang tetap dalam mengkonsumsi tiap komponen pada lintasan.



JUST IN TIME DENGAN PENERAPAN SISTEM KANBAN | 65



Dalam sistem kanban yang digunakan di pabrik Toyota, proses terdahulu yang memasok berbagai komponen atau bahan kepada lintasan diberi perhatian utama. Dengan sistem “tarik” ini, variasi dalam jumlah produksi atau jumlah pengangkutan pada proses yang terdahulu harus dibuat sekecil mungkin. Selain itu, masing-masing persediaan barang dalam pengolahan harus diperkecil. Untuk itu, jumlah yang digunakan per jam (yakni, kecepatan perakitan) untuk tiap komponen dalam lintasan mixed model harus dipertahankan agar sedapat mungkin selalu tetap. Metode pengurutan Toyota dirancang untuk mencapai tujuan kedua ini (Monden, 1995, hal 3). Untuk mengerti metode pengurutan ini, lebih dahulu perlu didefinisikan beberapa notasi dan nilai: Q = Jumlah produksi keseluruhan untuk semua produk Ai = (i = 1,...,  ) 



=



Q i =l



i



(Qi = jumlah produksi tiap produk Ai)



Nj = Jumlah keseluruhan komponen aj yang diperlukan untukmemproduksi semua produk Ai (i = 1,….,  ; j = 1,……,  ) Xj k = Jumlah keseluruhan komponen aj yang diperlukan untuk memproduksi produk yang telah ditentukan, dari yang pertama sampai yang ke-K. bij= Jumlah komponen aj (j = 1,…..,  ) diperlukan untuk memproduksi satu unit produk Ai (i = 1,…….,  ) Dengan mengingat notasi ini, diperoleh dua nilai berikut:



Nj Q K .N j Q



= Rataan jumlah komponen aj yang diperlukan per unit produk



= Rataan jumlah komponen aj yang diperlukan untuk memproduksi sejumlah K unit produk.



Untuk menjaga agar kecepatan konsumsi komponen aj tetap, jumlah Xjk harus sedekat mungkin dengan nilai



K .N j Q



. Ini adalah konsep dasar yang mendasari



algoritma pengurutan Toyota dan dilukiskan dalam Gambar 3.6.



JUST IN TIME DENGAN PENERAPAN SISTEM KANBAN | 66



Jumlah komponen aj yang telah digunakan Nj



( Q, Nj )



Jarak harus dibuat sekecil mungkin Xjk



K .N j Q



O



K



Q Jumlah urutan pesanan produk yang dimasukkan ke dalam lintasan



Nj / Q



Gambar 3.6 Hubungan antara Xjk dan K.Nj / Q Sumber: (Monden, 1995, hal 4)



Algoritma yang dikembangkan oleh Toyota dari gagasan ini disebut Metode Mengejar Tujuan, dengan langkah-langkah sebagai berikut: Langkah 1 : Tetapkan K = 1, Xj,k-1 = 0, (j = 1,…….,  ), Sk-1 = {1, 2,…..,  } Langkah 2 : Tetapkan produk Ai sebagai urutan ke K dalam jadwal urutan, yang akan meminimalkan jarak Dk jarak minimum akan diperoleh dengan rumus berikut:



Dki * = min {Dki }, i  Sk −1 ,



...................................(III – 9)



i 



Dengan Dki =



 K .N j   − X j ,k −1 − b ij   j =1  Q







2



..................................(III – 10)



Langkah 3 : Kalau semua unit produk Ai dipesan dan telah dimasukkan dalam jadwal urutan, maka Tetapkan Sk = S



k-1



– {I*}. Kalau beberapa unit



produk Ai masih tersisa karena tidak dipesan maka Sk = Sk-1 Langkah 4 : Kalau Sk =  (set kosong), algoritma akan berakhir. Kalau Sk = 0, maka hitunglah Xjk = Xj,k-1 + bi*j (j = 1,……,  ) dan kembali ke langkah 2 dengan menetapkan K = K + 1



JUST IN TIME DENGAN PENERAPAN SISTEM KANBAN | 67



3.4



Data dan Alat yang Dibutuhkan Adapun data dan alat yang di butuhkan yaitu sebagai berikut:



1.



Data permintaan produk (item) yang harus dipenuhi oleh lintas perakitan.



2.



Komponen yang dibutuhkan untuk masing-masing item.



3.



SOP perakitan



4.



Stopwatch



5.



Worksheet untuk mencatat waktu



6.



Kartu Kanban Pengambilan



7.



Kartu Kanban Perintah Produksi



8.



Surat Purchase Order



3.5 1.



Pelaksanaan Praktikum Bagian Pemasaran perusahaan LSP memberikan informasi kepada supervisor bagian produksi mengenai permintaan ketiga jenis produk mainan yang harus diproduksi pada saat itu. (Ketiga jenis produk diasumsikan terdiri dari jenis Ai, Bi, dan Ci)



2.



Supervisor bagian produksi kemudian mencantumkan jumlah unit yang harus



diproduksi



melalui



surat



purchase



order



dan



kemudian



menyampaikannya ke stasiun kerja paling akhir (stasiun kerja paling akhir adalah gudang barang jadi). Anggap saja pada saat itu produk yang diminta adalah 5 unit produk A. 3.



Supervisor bagian produksi mengambil produk yang diminta saat itu dari gudang barang jadi, kemudian gudang barang jadi memberikan Kanban perintah produksi ke stasiun kerja perakitan 3.



4.



Pencatat Kanban di stasiun kerja perakitan 3 menerima informasi tersebut. Kemudian memproduksi sesuai permintaan dan memberikan Kanban pengambilan kepada mizusumashi. Stasiun perakitan 3 juga memberikan kanban perintah produksi kepada stasiun kerja perakitan 2.



5.



Pencatat Kanban di stasiun kerja perakitan 2 menerima informasi tersebut. Kemudian memproduksi sesuai permintaan dan memberikan Kanban pengambilan kepada mizusumashi. Stasiun perakitan 2 juga memberikan kanban perintah produksi kepada stasiun kerja perakitan 1.



JUST IN TIME DENGAN PENERAPAN SISTEM KANBAN | 68



6.



Pencatat Kanban di stasiun kerja perakitan 1 menerima informasi tersebut. Kemudian memproduksi sesuai permintaan dan memberikan Kanban pengambilan kepada mizusumashi.



7.



Pemberian kartu Kanban perintah produksi dan pengambilan dilakukan terus-menerus dari stasiun kerja terakhir ke stasiun kerja awal sesuai dengan jenis dan jumlah permintaan hingga semua permintaan terpenuhi.



JUST IN TIME DENGAN PENERAPAN SISTEM KANBAN | 69



DAFTAR PUSTAKA Gaspersz, V. 2001. Production Planning and Inventory Control. PT. Gramedia. Jakarta: Pustaka Utama. Heizer, J., Barry, R. 2011. Manajemen Operasi. Edisi Sembilan. Diterjemahkan oleh Chriswan Sungkono. Jakarta: Salemba Empat. Monden, Y. 1995. Sistem Produksi Toyota, Suatu Ancangan Terpadu untuk Penerapan Just In Time. 1st ed. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo. Monden, Y. 2011. Sistem Produksi Toyota, Suatu Ancangan Terpadu untuk Penerapan Just In Time. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo. Schniederjans, M. J., 1993. Topics in Just In Time Management. Massachusett: Allyn and Bacon. Taichi, O. 1995. Just In Time dalam Sistem Produksi Toyota. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo. Tersine, R. J., 1994. Principles of Inventory and Materials Management. New Jersey: Prentice Hall Inc.



JUST IN TIME DENGAN PENERAPAN SISTEM KANBAN | 70