MORFOLOGI Bahasa Indonesia Docx [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

A. Morfologi Morfologi adalah cabang linguistik yang mengidentifikasi satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan gramatikal. Morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata. Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi



perubahan-perubahan



bentuk



kata



itu,



baik



fungsi



gramatik



maupun



fungsi semantik. Kata Morfologi berasal dari kata morphologie. Kata morphologie berasal dari bahasa Yunani morphe yang digabungkan dengan logos. Morphe berarti bentuk dan dan logos berarti ilmu. Bunyi yang terdapat diantara morphed an logos ialah bunyi yang biasa muncul diantara dua kata yang digabungkan. Jadi, berdasarkan makna unsur-unsur pembentukannya itu, kata morfologi berarti ilmu tentang bentuk. Dalam kaitannya dengan kebahasaan, yang dipelajari dalam morfologi ialah bentuk kata. Selain itu, perubahan bentuk kata dan makna (arti) yang muncul serta perubahan kelas kata yang disebabkan perubahan bentuk kata itu, juga menjadi objek pembicaraan dalam morfologi. Dengan kata lain, secara struktural objek pembicaraan dalam morfologi adalah morfem pada tingkat terendah dan kata pada tingkat tertinggi. B. Morfem Morfem adalah suatu bentuk bahasa yang tidak mengandung bagian-bagian yang mirip dengan bentuk lain, baik bunyi maupun maknanya. (Bloomfield, 1974: 6). Morfem adalah unsur-unsur terkecil yang memiliki makna dalam tutur suatu bahasa (Hookett dalam Sutawijaya, dkk.). Kalau dihubungkan dengan konsep satuan gramatik, maka unsur yang dimaksud oleh Hockett itu, tergolong  ke dalam satuan gramatik yang paling kecil. Morfem, dapat juga dikatakan unsur terkecil dari pembentukan kata dan disesuaikan dengan aturan suatu bahasa. Pada bahasa Indonesia morfem dapat berbentuk imbuhan. Misalnya



kata



praduga



memiliki



dua



morfem



yaitu



/pra/



dan



/duga/.



Kata duga merupakan kata dasar penambahan morfem /pra/ menyebabkan perubahan arti pada kata duga. Berdasarkan konsep-konsep di atas di atas dapat dikatakan bahwa morfem adalah satuan gramatik yang terkecil yang mempunyai makna, baik makna leksikal maupun makna gramatikal. C. Klasifikasi Morfem Menurut Bloomfield, morfem adalah satu bentuk bahasa yang sebagiannya tidak mirip dengan bentuk lain manapun juga, baik bunyi maupun arti, adalah bentuk tunggal atau morfem (dalam Jos Daniel Parera, 1988:14). Jadi, morfem adalah unit terkecil dalam bahasa sebagai unsur pembentuk kata yang bersifat abstrak. Dalam Bahasa Indonesia, morfem bisa berupa imbuhan atau kata yang bisa berdiri sendiri tanpa adanya imbuhan. Namun, ada morfem yang harus bergandeng dengan imbuhan. Dalam I.G.N. Oka (1994:149-162) morfem dapat diklasifikasikan menjadi 7 kategori. a. Morfem Bebas dan Morfem Terikat Morfem bebas adalah morfem yang dapat digunakan tanpa kehadiran morfem lain. Artinya, morfem bebas dapat berdiri sendiri tanpa adanya bantuan morfem lain. Contohnya, kata {pulang}, {makan}, {tidur}, {indah}, yang dapat digunakan tanpa harus dibantu oleh morfem lain. Morfem terikat adalah morfem yang tidak dapat digunakan tanpa adanya bantuan dari morfem lain atau morfem yang tidak dapat berdiri sendiri sebagai kata. Agar menjadi morfem bebas, maka morfem terikat harus didampingi imbuhan. Dalam I.G.N. Oka (1994:151) dijelaskan bahwa morfem-morfem seperti {lanjur}, {juang}, {lantar} merupakan beberapa morfem yang tidak pernah diucapkan tanpa bantuan imbuhan/morfem lain. Kata {lanjur} dapat disandingkan dengan imbuhan {ter-} yang menjadi {terlanjur}. Kata {juang} dapat disandingkan dengan imbuhan {ber-}, {per-an}, {diper-kan} menjadi kata



{berjuang}, {perjuangan}, {diperjuangkan}. Sedangkan kata {lantar} dapat disandingkan dengan imbuhan {ter-}, {men-kan} yang menjadi {terlantar} dan {menelantarkan}. Dalam morfem terikat terdiri atas 2 bagian yaitu : 1.



Morfem Terikat Morfologi Morfem terikat morfologi yakni morfem yang terikat pada sebuah morfem dasar. Morfem itu sebagai berikut: 1) Prefiks = awalan:  me-, ber, pe-, per-, se-, ke2) Infiks = sisipan : -er-, -el-, -em3) Sufiks = akhiran : -i, -kan, -an 4) Konfiks = imbuhan gabungan senyawa : per-an, ke-an, dan lain-lain. Morfem terikat morfologi  mempunyai fungsi yang bermacam-macam yaitu, a. Imbuhan yang berfungsi  membentuk kata kerja, yaitu: me-, ber-, di-, -kan, -i dsb. b. Imbuhan yang berfungsi membentuk kata benda yaitu: pe-, ke-, -an, peran, -man, wati, -wan, dsb. c. Imbuhan yang berfungsi membentuk kata sifat, yaitu: ter-, -i, wiah, iah. d. Imbuhan yang berfungsi membentuk kata bilangan, yaitu: ke-, se-. e. Imbuhan yang berfungsi membentuk kata tugas, misalnya: se- dan senya. Berdasarkan contoh di atas menunjukkan bahwa setiap kata berimbuhan akan tergolong dalam satu jenis tertentu, tetapi hanya imbuhan yang merupakan unsur langsung yang dapat diidentifikasi fungsinya sebagai pembentuk jenis kata. Untuk itu, perhatikan unsur langsung pembentuk kata dapat dilihat pada diagram berikut ini. Pakaian         



……………..   



kata



benda



Berpakaian  



……………..    



kata 



kerja



kata



kerja



Berkemauan     Kemauan     



……………..   ……………..   



kata



benda



Ber-    ke-an     mau    ……………..    keterangan Imbuhan Pembentuk Jenis Kata



Jadi,  dengan imbuhan yang berbeda, morfem dasar yang sama, akan berbeda maknanya. Tetapi perhatikan jika imbuhannya sama. Morfem  dasarnya berbeda, apa yang dapat terjadi? Kita ambil contoh akhiran –an pada morfem dasar tepi, darat, lapang; membentuk kata tepian, daratan, lapangan, ternyata menunjukkan persamaan makna imbuhan, yaitu tempat. Berarti dengan imbuhan yang sama, morfem dasarnya berbeda, dapat menghasilkan persamaan makna imbuhan  yaitu jenis kata benda. Selain itu yang perlu pula dicermati ialah, Imbuhan sama, melekat pada morfem dasar yang sama, tetapi mengandung makna yang berbeda perhatikan contoh berikut. Berkaca:      



Jendela



kamarnya



berkaca.



(mempunyai



kaca)



                           Ia berkaca sambil berdandan. (menggunakan kaca) Ketidaksamaan makna dari kata-kata di atas disebut makna struktural, hal ini disebabkan karena pengaruh kata yang menjadi unsur dalam kalimat tersebut. Untuk menentukan makna struktural dalam kata berimbuhan dapat dilakukan dengan cara-cara berikut. a) Menentukan morfem dasar dan satuan dasarnya b) Menentukan apakah makna kata berimbuhan itu diturunkan langsung dari morfem dasarnya c) Menentukan hubungan makna morfem dasar dengan makna berimbuhan d) Menguji hasilnya



melalui



pemakaian



kata



itu dalam



kalimat



Selanjutnya dalam konteksnya, kita jumpai ada morfem  terikat morfologis yang mengalami perubahan bentuk atau variasi, misalnya: ber-    be-    belAwalan yang mempunyai variasi bentuk seperti di atas adalah me-, ber-, ter-, dan pe-. Perubahan bentuk seperti di atas, terjadi sebagai akibat dari lingkungan kata yang dimasukinya, peristiwa seperti  ini disebut alomorf. Jadi , Alomorf adalah variasi bentuk dari suatu morfem yang disebabkan



oleh



pengaruh



lingkungan



yang



dimasukinya.



Selain menentukan jenis kata, morfem imbuhan juga menentukan makna



kata. Maka sebuah imbuhan yang menjadi unsur langsung pembentuk sebuah kata, merupakan penentu makna bagi kata yang dilekatinya. 2.



Morfem Terikat Sintaksis Morfem terikat sintaksis adalah morfem dasar yang tidak mampu berdiri sendiri sebagai kata. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat berikut. Mereka yang membaca dan menjual buku itu. Dari deretan morfem yang terjadi unsur kata dalam kalimat di atas, jika diklasifikasikan berdasarkan morfemnya adalah sebagai berikut. Mereka, baca, jual, buku, adalah morfem bebas. Me-, me- adalah morfem terikat morfologis. yang, dan adalah morfem terikat sintaksis. Hal ini terjadi karena kata yang, dan tidak mengandung makna  tersendiri.



f. Morfem Segmental dan Morfem Suprasegmental Morfem segmental adalah morfem-morfem yang terbentuk dari unsur-unsur segmental (I.G.N. Oka, 1994:152). Maksudnya, morfem segmental dapat dibagi ke dalam segmen-segmen/ bagian-bagian. Segmen-segmen itu berciri linear, contohnya kata {tried} dalam bahasa Inggris memiliki dua morfem yaitu {try} dan {-ed}. Morfem suprasegmental adalah morfem yang berupa tekanan, yakni nada turun, nada datar, nada turun naik, dan nada naik (I.G.N. Oka, 1994:154). Morfem suprasegmental harus hadir bersama morfem segmental. Hal ini merupakan syarat dalam pemakaian bahasa. g. Morfem Bermakna Lesikal dan Morfem Tak Bermakna Lesikal Morfem bermakna lesikal adalah morfem-morfem yang telah memiliki makna dirinya sendiri, tanpa harus dipasangkan dengan morfem lain terlebih dahulu. Morfem ini hampir sama dengan morfem bebas. Contohnya, morfem-morfem seperti {tidur}, {kuda}, dan {minum} adalah beberapa morfem yang bisa digunakan tanpa bantuan morfem lain.



Morfem tak bermakna lesikal adalah morfem-morfem yang tidak mempunyai makna jika tidak diproses terlebih dahulu. Agar morfem tersebut dapat digunakan, salah satunya adalah dengen menyematkan imbuhan pada morfem tersebut. Misalnya, kata {sepeda} dapat digandengkan dengan imbuhan {ber-} mejadi {bersepeda} yang berarti sedang memakai sepeda. h. Morfem Utuh dan Morfem Terbelah Menurut I.G.N. Oka (1994:156) morfem utuh adalah  morfem-morfem yang unsur-unsurnya bersambungan secara langsung. Contoh: {makan}, {tidur}, dan {pergi}. Morfem terbelah adalah morfem-morfem yang tidak tergantung menjadi satu keutuhan. morfem-morfem itu terbelah oleh morfem yang lain. Misalnya kata {kehujanan} dan {bertabrakan} terdapat imbuhan ke-an atau {ke….an} dan imbuhan ber-an atau {ber….an}. I.G.N Oka (1994:156) menjelaskan, contohnya adalah {gerigi} dan {gemetar}. Masing-masing morfem memilki morf /g..igi/ dan /g..etar/. Jadi, ciri terbelahnya terletak pada morfnya, tidak terletak pada morfemnya itu sendiri. morfem itu direalisasikan menjadi morf terbelah jika mendapatkan sisipan, yakni morfem sisipan {-er-} pada morfem {gigi} dan sisipan {-em-} pada morfem {getar}. i. Morfem Monofonemis dan Morfem Polifonemis Morfem monofonemis merupakan morfem yang terdiri dari satu fonem. Dalam bahasa Indonesia pada dapat dilihat pada morfem {-i} kata datangi atau morfem{a} dalam bahasa Inggris pada seperti pada kata asystematic (I.G.N. Oka, 1994:152). Morfem polifonemis merupakan morfem yang terdiri dari dua, tiga, dan empat fonem (I.G.N. Oka, 1994:152). Contoh, dalam bahasa Inggris morfem {un-} berarti ‘tidak’ dan dalam bahasa Indonesia morfem {se-} berarti ‘satu, sama’. Tidak dalam jumlah fonem yang boleh membentuk sebuah morfem. j. Morfem Aditif, Morfem Replasif, dan Morfem Substraktif



Menurut Samsuri (dalam I.G.N. Oka, 1994:158) morfem dapat dipilah menjadi tiga kategori berdasarkan hubungan strukturnya. Morfem aditif adalah morfem yang ditambah/ditambahkan Morfem-morfem aditif itu memungkinkan terbentuknya sebuah konstruksi morfem aditif. Morfem replasif adalah morfem yang bersifat penggantian. Sedangkan morfem substraktif adalah morfem yang alomorfnya terbentuk dan hasil pengurangan terhadap unsur ponen yang terdapat morf yang lain. k. Morfem Terbuka dan Morfem Tertutup Morfem terbuka adalah morfem yang masih terbuka dan dapat menciptakan morfem lain. Dijelaskan dalam I.G.N. Oka (1994:160) contohnya adalah kata {form}, kata tersebut masih morfem terbuka yang dapat dirubah menjadi berbagai kata. Dapat dirubah menjadi {form}, {formal}, {formalize}, {formalizer}, {formalization}, {formalizers}, {formalization}. Morfem tertutup adalah morfem bentukan hasil penambahan morfem pada morfem. Morfem-morfem yang dicontohkan di atas merupakan morfem terbuka yang menjadi tertutup ketika disandingkan dengan imbuhan lainnya. D. Identifikasi Morfem Menurut I.G.N. Oka (1994:162-163) identifikasi morfem dilakukan dengan cara membanding-bandingkan bentuk yang terdapat pada dalam deret morfologis. Dengan cara membanding-bandingkan, maka dapat diidentifikasikan bahwa bentuk-bentuk yang berulang itu adalah realisasi suatu morfem. Jika bentuk-bentuk sudah dibandingkan, selanjutnya adalah menentukan identitas morfem berdasarkan bentuk-bentuk yang sudah dibandingkan. Menurut Samsuri (dalam I.G.N. Oka, 1994:163-172) ada 2 kategori prinsip dalam penentuan morfem, yaitu prinsip utama dan prinsip pelengkap. Prinsip utama, yaitu : a.



Bentuk yang berulang memiliki pengertian yang sama dan merupakan hasil realisasi dari sebuah morfem yang sama. Misalnya kata {muslimin}, {muslima:ni}, dan



{muslimu:na} merupakan hasil realisasi dari morfem {muslimin} yang berarti orang muslim. Sedangkan {muslima:ni} berarti dua orang muslim dan kata {muslimu:na} berarti orang-orang muslim. b.



Bentuk-bentuk yang mirip dan memiliki makna yang sama, merupakan realisasi morfem yang sama apabila dapat dijelaskan secara fonologis. Apabila bentuk yang dibandingkan tidak sama, tetapi mirip dari segi fonologisnya dan memiliki makna yang sama, maka prinsip ini dapat dilalui. Contohnya beberapa kata dalam bahasa jawa, seperti {nggunting} yang berarti {menggunting}.



c.



Memiliki bentuk berbeda yang tidak dapat diterangkan secara fonologis, masih dianggap sebagai realisasi morfem yang sama asalkan dapat dijelaskan secara morfologis. Selain prinsip utama, terdapat pula 3 prinsip tambahan, yaitu :



a.



Bentuk-bentuk yang sebunyi merupakan realisasi morfem yang berbeda jika maknanya berbeda, atau realisasi morfem yang sama jika maknanya yang sama atau berhubungan diikuti oleh distribusi yang berlainan, atau realisasi morfem yang berbeda jika maknanya berhubungan, tetapi distribusinya sama.



b.



Sebuah kata dinyatakan sebagai morfem jika dapat berdiri sendiri, merupakan perbedaan formal dalam deret morfologis, dan terdapat dalam kombinasi dengan unsur yang lain baik berdiri sendiri atau berkombinasi.



c.



Apabila suatu bentuk hanya memiliki sebuah kombinasi dengan bentuk lain, dan bentuk lain tersebut berdiri sendiri atau berkobinasi dengan yang lain, maka bentuk tersebut adalah realisasi sebuah morfem.



d.



Jika dalam suatu deret struktur terdapat perbedaan yang tidak berupa bentuk, tetapi berupa “kekosongan”, kekosongan tersebut berlaku sebagai morfem jika kontras dengan morfem yang lain, atau disebut dengan alomorf dari suatu morfem apabila berurusan dengan alomorf-alomorf yang lain.



E. Proses Morfologis Proses morfologis dapat dikatakan sebagai proses pembentukan kata dengan menghubungkan morfem yang satu dengan morfem  yang lain yang merupakan bentuk



dasar (Cahyono, 1995: 145). Dalam proses morfologis ini terdapat tiga proses yaitu: pengafiksan, pengulangan atau reduplikasi, dan pemajemukan atau penggabungan. 1. Pengafiksan Bentuk (atau morfem) terikat yang dipakai untuk menurunkan kata disebut afiks atau imbuhan (Alwi dkk., 2003: 31). Pengertian lain proses pembubuhan imbuhan pada suatu satuan, baik satuan itu berupa bentuk tunggal maupun bentuk kompleks, untuk membentuk kata (Cahyono, 1995:145). Contoh: berbaju, menemukan, ditemukan. Bila dilihat pada contoh, berdasarkan letak morfem terikat dengan morfem bebas pembubuhan dapat dibagi menjadi empat, yaitu pembubuhan depan (prefiks), pembubuhan tengah (infiks), pembubuhan akhir (sufiks), dan pembubuhan terbelah (konfiks). 2. Reduplikasi Reduplikasi adalah pengulangan satuan gramatikal, baik seluruhnya maupun sebagian, baik disertai variasi fonem maupun tidak (Cahyono, 1995:145). Contoh: berbulan-bulan, satu-satu, seseorang, compang-camping, sayur-mayur. 3. Penggabungan atau Pemajemukan Proses pembentukan kata dari dua morfem bermakna leksikal (Oka dan Suparno, 1994:181). Contoh: sapu tangan, rumah sakit 4. Perubahan Intern Perubahan intern adalah perubahan bentuk morfem yang terdapat dalam morfem itu sendiri. 5. Suplisi Suplisi adalah proses morfologis yang menyebabkan adanya bentuk sama sekali baru. 6. Modifikasi kosong



Modifikasi kosong ialah proses morfologis yang tidak menimbulkan perubahan pada bentuknya tetapi konsepnya saja yang berubah. F. Proses morfemis menurut Verhaar 



Afiksasi adalah pengimbuhan afiks







Prefix adalah imbuhan di sebelah kiri bentuk dasar. Contoh:  mengajar







Sufiks adalah imbuhan di sebelah kanan bentuk dasar. Contoh: ajarkan







Infiks adalah imbuhan yang disisipkan dalam kata dasar. Contoh: gerigi







Konfiks adalah imbuhan dan akhiran pada sebuah bentuk dasar. Contoh: perceraian







Fleksi adalah afiksasai yang terdiri atas golongan kata yang sama. Contoh: mengajar – diajar







Derifasi adalah afiksasi yang terdiri atas golongan kata yang tidak sama. Contoh: mengajar – pengajar







Klitika adalah morfem pendek yang tidak dapat diberi aksen atau tekanan melekat pada kata atau frasa lain dan meiliki arti yang tidak mudah untuk dideskripsikan secara leksikal, serta tidak melekat pada kelas kata tertentu. Contoh: -pun, -lah



G. Tata Bahasa Tradisional Linguistik modern awal mulai pada saat munculnya paham baru Ferdinand de Saussure. Dibalik itu, terbentang ke belakang kira-kira 2000 tahun masa tata bahasa tradisional. Tata bahasa tradisional adalah suatu istilah yang kerap kali digunakan untuk meringkaskan jajaran sikap-sikap dan metode-metode yang dijumpai pada masa studi gramatikal



sebelum



kedatangan/



munculnya



ilmu



linguistik.



“Tradisi”



yang



dipermasalahkan itu telah berkisar sekitar 2000 tahun,Masa tersebut begitu panjang, dan menyangkut berbagai bahasa kuno, seperti Yunani, latin didunia barat, bahasa sangsekerta di India, bahasa Ibrani di timur tengah, Romawi kuno dan begitu pula karyakarya para pakar beserta para penulis Renaissance dan para pakar tata bahasa preskriptif abad ke-18. Pengajaran bahasa dikaitkan dengan pembicaraan dalam buku ini adalah bahasa Indonesia dan bahasa asing di Indonesia yang berasal dari barat, yakni bahasa Inggris, pengajaran bahasa Indonesia mendapat pengaruh dari bahasa Belanda yang juga berasal dari dunia barat.



Analisis tata bahasa tradisional mendasarkan pada kaidah bahasa lain terutama Yunani, Romawi, dan Latin. Semua mafhum bahwa karakteristiik bahasa Indonesia, misalnya, tidak sama dengan bahasa-bahasa tersebut. Bahasa Yunani, Romawi, dan Latin tergolong bahasa deklinatif, yaitu yang perubahan katanya menunjukkan kategori, kasus, jumlah, atau jenisnya (Kridalaksana,1984: 36), sedangkan bahasa Indonesia tergolong sebagai bahasa inflektif, yaitu perubahan bentuk katanya menunjukkan hubungan gramatikal (Kridalaksana, 1984: 75). Oleh karena itu, analisis yang demikian akan menjumpai berbagai kesulitan. a) Nomina (Kata Benda) Nomina adalah kelas kata yang dalam bahasa Indonesia ditandai oleh tidak dapatnya bergabung dengan kata tidak. Contohnya, kata rumahadalah nomina karena tidak mungkin dikatakan tidak rumah, biasanya dapat berfungsi sebagai subjek atau objek dari klausa. Nomina dibagi lagi menjadi beberapa jenis, antara lain; 1. Abstrak, nomina yang biasanya berasal dari adjektiva atau verba, yang tidak menunjuk pada sebuah objek tetapi pada suatu kejadian atau pada suatu abstraksi; 2. Atributif, nomina yang membatasi nomina lain, misalnya hutandalam anjing hutan; 3. Kolektif, nomina yang menunjukkan kelompok orang, benda, atau id; 4. Konkret, nomina yang menunjukkan benda berwujud; 5. Predikatif, nomina



atau



pronomina



yang



berfungsi



sebagai



predikat,



misalnya guru dalam Simon menjadi guru, dan dia dalamitu dia; 6. Verbal, nomina yang fungsi dan maknanya berdekatan degan verba b) Adjektiva (Kata Sifat) Adjektiva adalah kata yang menerangkan nomina (kata benda) dan secara umum dapat bergabung dng kata lebih dan sangat. Contohnya adalah kati cantik, jelek, rusak, dan lain-lain.



c) Verba (Kata Kerja) Verba adalah kelas kata yang menggambarkan proses, perbuatan, atau keadaan (kata kerja). Verba dibagi menjadi 24 jenis, antara lain: 1. Atelis, verba yang menggambarkan perbuatan yang tidak tuntas; 2. Bantu, kata yang dipakai untuk menerangkan verba dalam frasa verbal, biasanya untuk menandai modus, kala, atau aspek; 3. Defektif, verba yang tidak mempunyai semua bentuk konjugasi; 4. Desiderative, verba yang menyatakan keinginan untuk melaksanakan perbuatan; 5. Ekuatif, verba yang menghubungkan subjek dengan komplemen (seperti be, seem, become dalam bahasa Inggris) 6. Faktif, verba yang mempunyai komplemen kalimat dan yang menyimpulkan kebenaran komplemen itu (msl tahu dalam para sarjana tahu bahwa mereka masih belajar); atau dapat juga berarti verba yang mempunyai dua komplemen, seperti memilih, mengangkat 7. Finit, bentuk verba yang dibatasi oleh kala dan dalam beberapa bahasa menunjukkan kesesuaian dengan persona dan jumlah; 8. Frekuentatif, bentuk verba yang menyatakan kebiasaan atau perbuatan berulang dalam bahasa Rusia; 9. Impersonal, verba yang hanya dipakai dalam persona ketiga singularis dan tidak bersangkutan dengan nomina tertentu; 10. Instrumentatif, verba yang menunjukkan alat perbuatan di dalam maknanya; 11. Intransitive, verba yang tidak menggunakan objek; 12. Kausatif, verba yang berarti menyebabkan atau menjadikan sebab;



13. Komposit, verba yang terdiri atas dua bagian yang dalam struktur kalimat dipisahkan oleh objek dari verba itu; 14. Modal, verba bantu yang digunakan untuk menyatakan modus seperti optatif, obligatif; 15. Performatif, verba dalam kalimat dengan kala kini dengan “saya” sebagai subjek dengan atau tanpa “Anda” sebagai objek taklangsung, yang secara langsung menyatakan pertuturan yang dibuat pembicara pada waktu mengujarkan kalimat; 16. Personal, verba yang dipakai dalam ketiga persona; 17. Refleksif, verba yang digunakan bersama dengan pronomina refleksif; 18. Resiprokal, verba yang maknanya bersangkutan dengan perbuatan timbal balik; 19. Statif, verba yang tidak dapat disertai kata bantu sedang; 20. Takteratur, verba yang berubah vokal akarnya untuk mengubah kala dan bukannya dengan menambah sufiks inflektif; 21. Telis, verba



yang



verba menebang



menggambarkan



pohon yang



berbeda



perbuatan



yang



tuntas,



dengan sedang



misalnya



menebang dalam



kalimat Mereka sedang menebang pohon yang merupakan verba jenis ini; 22. Teratur, verba yang dikonjugasikan dengan sufiks inflektif menurut paradigma kelasnya dalam suatu bahasa; 23. Transitif, verba yang memiliki objek; 24. Utama, bentuk verba yang mengungkapkan makna ‘perbuatan’ (dipertentangkan dengan verba bantu) d) Numeralia (Kata Bilangan) Numeralia adalah kelas kata (atau frasa) yang menunjukkan bilangan atau kuantitas. Numeralia dapat dibagi menjadi beberapa jenis, antara lain:



1. Multiplikatif, numeralia yang menyatakan beberapa kali perbuatan terjadi, misalnya sekali, dua kali, dan sebagainya; 2. Partitif, numeralia yang menyatakan pecahan, misalnya setengah, sepertujuh, dan sebagainya; 3. Pokok, numeralia yang memberi jawaban atas pertanyaanberapa?; 4. Tingkat, numeralia yang memberi jawab atas pertanyaan ke berapa? e) Pronomina (Kata Ganti) Pronomina adalah kelas kata yang dipakai untuk mengganti orang atau benda. Misalnya kata aku, engkau, dia; Pronomina juga dibagi menjadi pronominal persona, yaitu pronominal yang menunjukkan kategori persona seperti saya, ia, mereka, kita, kami, dan seterusnya. f) Adverbia (Kata Keterangan) Adverbia adalah kelas kata yang memberikan keterangan pada verba, adjektiva, nomina predikatif, atau kalimat, misalnya sangat, lebih, tidak g) Konjungsi (Kata Sambung) Konjungsi adalah kata atau ungkapan penghubung antarkata, antarfrasa, antarklausa, dan antarkalimat. Konjungsi dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Koordinatif, konjungsi yang menggabungkan kata atau klausa yang berstatus sama, misalnya dan, tetapi, atau; 2. Subordinatif, konjungsi yang menghubungkan anak kalimat dan induk kalimat atau menghubungkan bagian dari kalimat subordinatif h) Preposisi (Kata Depan) Preposisi adalah kelas kata yang biasa terdapat di depan nomina, misalnya, dari, dengan, di, dan ke.



i) Artikel (Kata Sandang) Artikel adalah unsur yang dipakai untuk membatasi atau memodifikasi nomina, misalnya the dalam bahasa Inggris. Atau dalam bahasa Indonesia lazim digunakan artikel -lah, -pun. j) Interjeksi (Kata Seru) Interjeksi adalah kelas kata yang mengungkapkan seruan perasaan. Interjeksi atau kata seru adalah kata tugas yang mengungkapkan rasa hati pembicara. Secara stuktural, interjeksi tidak bertalian dengan unsur kalimat yang lain. Menurut bentuknya, interjeksi ada yang berupa bentuk dasar dan ada yang berupa bentuk turunan. Berikut janis interjeksi dapat dikelompokan menurut perasaan yang diungkapkannya, sebagai berikut : 



Interjeksi kejijikan : bah, cih, cis, ih, idih.







Interjeksi kekesalan : brengsek, sialan, buset, keparat.







Interjeksi kekaguman atau kepuasan : aduhai, amboi, asyik.







Interjeksi kesyukuran : syukur, Alhamdulillah







Interjeksi harapan : insya allah.







Interjeksi keheranan : aduh, aih, ai, lo, duilah, eh, oh, ah.







Interjeksi kekagetan : astaga, astagfirullah, masyaallah.







Interjeksi ajakan : ayo, mari.







Interjeksi panggilan : hai, be, eh, halo.







Interjeksi simpulan : nah.



H. Tata Bahasa Modern Tata bahasa adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari kaidah - kaidah yang mengatur penggunaan bahasa. Tata bahasa merupakan ilmu linguistik (ilmu yang



mempelajari bahasa). Tata Bahasa dalam bahasa Indonesia sudah diatur dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.



Menurut Keraf (dalam Misriyah, 2011: 1), tata bahasa merupakan suatu himpunan dari patokan-patokan dalam stuktur bahasa. Stuktur bahasa itu meliputi tata bunyi, tata bentuk, tata kata, tata kalimat dan tata makna. Dalam Bahasa Indonesia terdapat 4 bidang tata bahasa modern dalam bahasa indonesia yaitu meliputi bidang bidang sebagai berikut: a) Fonologi adalah ilmu tentang perbendaharaan fonem sebuah bahasa dan distribusinya. Fonologi adalah bagian tata bahasa atau bidang ilmu bahasa yang menganalisis bunyi bahasa secara umum. Istilah fonologi, yang berasal dari gabungan kata Yunani yaitu phone berarti bunyi dan logos berarti ilmu, disebut juga tata bunyi. Bidang ini meliputi dua bagian: 1) Fonetik atau fonetika adalah bagian ilmu dalam linguistik yang mempelajari bunyi yang diproduksi oleh manusia. Fonetik mempelajari bagaimana bunyibunyi fonem sebuah bahasa direalisasikan atau dilafazkan. Fonetik juga mempelajari cara kerja organ tubuh manusia,terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahasa, terdiri dari huruf vokal, konsonan, diftong (vokal yang ditulis rangkap) dank kluster (konsonan yang ditulis rangkap. Di sisi lain fonologi adalah ilmu yang berdasarkan foneyik dan mempelajari system fonetika. Fonetika memiliki tiga cabang utama: · Fonetik artikulatoris yang mempelajari bentuk dan gerakan bibir, lidah dan organ-organ manusia lainnya yang memproduksi suara atau bunyi bahasa. · Fonetik akustik yang mempelajari gelombang suara dan bagaimana mereka didengarkan oleh telinga manusia. · Fonetik auditori yang mempelajari persepsi bunyi dan terutama bagaimana otak mengolah data yang masuk sebagai suara. Internasional Phonetic Asociation (IPA) telah mengamati lebih dari 100 bunyi manusia yang berbeda dan menstransipsikannya dengan Internasional



Phonetic Alphabet mereka. Ilmu fonetika pertama kali dipelajari sekitar abad ke5 SM di India kuno oleh Panini, sang resi yang mempelajari Bahasa Sansekerta. Semua aksara yang berdasarkan aksara India sampai sekarang masih menggunakan klasifikasi Panini. 2) Fonemik, yaitu bagian fonologi yang mempelajari bunyi ujaran menurut fungsinya sebagai pembeda arti. Bunyi ujaran yang bersifat netral, atau masih belum terbukti membedakan arti disebutfona, sedangkan fonem ialah satuan bunyi ujaran terkecil yang membedakan arti. Variasi fonem karena pengaruh lingkungan yang dimasuki disebut alofon. Gambar atau lambang fonem dinamakan huruf. Jadi fonem berbeda dengan huruf. Untuk menghasilkan suatu bunyi atau fonem, ada tiga unsur yang penting yaitu: ·     udara ·     artikulator atau bagian alat ucap yang bergerak ·     titik artikulasi atau bagian alat ucap yang menjadi titik sentuh artikulator b) Morfologi secara harfiah berarti pengetahuan tentang bentuk. Morfologi adalah bidang linguistik atau tatabahasa yang mempelajari kata dan proses pembentukan kata secara gramatikal. Dalam beberapa buku tata bahasa, morfologi dinamakan juga tata bentukan.Satuan ujaran yang mengandung makna (leksikal atau gramatikal) yang turut serta dalam pembentukan kata atau yang menjadi bagian dari kata disebut morfem. Berdasarkan potensinya untuk dapat berdiri sendiri dalam suatu tuturan, morfem dibedakan atas dua macam yaitu: c) Sintaksis



berasal



dari



bahasa



Yunani



kuno



yaitu syn berarti



bersama



dan taxisberarti pengaturan. Sintaks adalah ilmu mengenai prinsip dan peraturan untuk membuat kalimat. Selain aturan ini juga digunakan untuk merujuk langsung pada peraturan dan prinsip yang mencakup struktur kalimat dalam bahasa apapun. Penelitian modern dalam sintaks bertujuan untuk menjelaskan bahasa dalam aturan ini. Banyak pakar sintaksis berusaha menemukan aturan umum yang diterapkan disetiap bahasa. Kata sintaksis juga kadang digunakan untuk merujuk



pada aturan yang mengatur sistem matematika seperti logika, bahasa formal buatan dan bahasa pemrograman komputer. d) Semantik diambil dari bahasa Yunani semantikos yang berarti memberikan tanda. Semantik adalah cabang linguistik yang mempelajari makna yang terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Semantik biasanya dikontraskan dengan dua asapek lain dari ekspresi makna; sintaksis, pembentukan simbol kompleks dari simbol yang lebih sederhana, serta pragamatika, penggunaan praktis simbol oleh agen atau komunitas pada suatu kondisi atau konteks tertentu. I. Nasalisasi Nasalisasi adalah proses merubah atau memberi nasal pada fonem-fonem. Di atas telah diterangkan bagaimana terjadinya nasal atas kata terang. Dalam menasalkan suatu fonem, orang tidak berbuat sesuka hati tetapi harus mengikuti kaidah-kaidah tertentu.setiap fonem yang dinasalkan haruslah mengambil nasal yang homorgan. Artinya nasal yang mempunyai artikulator dan titik artikulasi yang sama seperti fonem yang dinasalkan itu. Jadi: p dan b harus mengambil nasal m (karena sama-sama bilabial). t dan d harus mengambil nasal n (karena sama-sama dental). k dan g harus mengambil nasal ng (karena sama-sama velar) dan sebagainya. Dalam proses nasalisasi tersebut tampak pula bahwa: b, d, g, j, tidak pernah hilang bila mengalami nasalisasi, sedangkan p, t, k, s hilang atau luluh. Hal ini terjadi karena b, d, g itu adalah konsonan bersuara, sama seperti konsonan nasal itu. Jadi tidak perlu diadakan penyesuaian lagi karena sifat fonem itu sama (bersuara). Sebaliknya, p, t, k, s adalah konsonan yang tak bersuara yang harus disesuaikan dengan fonem nasal yang bersuara. Dalam penyesuaian ini konsonan-konsonan yang tak bersuara itu mengalami peluluhan. Kecuali itu fonem-fonem /r/, /y/, /l/, /w/ tampaknya tidak mendapat nasal, misalnya: merajai, meyakinkan, mewarnai, melakukan dan sebagainya. Namun prinsip



yang kita ambil adalah pembentukan dengan prefiks me- harus melalui proses nasalisasi, maka kata-kata yang fonem awalnya adalah r, y, l, w, juga harus mengalami proses nasalisasi. Nasalisasi semacam ini dikenal dengan istilah zero(tidak ada). Ada persoalan lain yang timbul dalam nasalisasi. Mengapa kadang-kadang kita mendapat bentuk-bentuk kembar seperti: menertawakan dan mentertawakan? Untuk menjawab persoalan di atas, baiknya kita melihat bentuk-bentuk seperti: mempertahankan, memperbaiki, mempersatukan dan sebagainya. Fonem /p/ di sini tidak diluluhkan, walaupun /p/ adalah konsonan tak bersuara. Sebaliknya bentukbentuk seperti mengeluarkan, mengemukakan, mengetengahkan mengalami peluluhan pada fonem awalnya: /k/. Selanjutnya kata-kata asing seperti sabot, koordinir, dan lainlain tetap mempertahankan konsonan awalnya walaupun konsonan itu tak bersuara. Jawaban dari semua persoalan di atas ialah pada prinsipnya peluluhan berlaku pada kata-kata dasar, bukan pada afiks (imbuhan). Kata tertawa oleh sebagian orang dianggap atau dirasakan terdiri dari prefiks ter- dan kata dasar tawa. Oleh karena itu dibentuklah kata jadian mentertawakan. Sebagian lagi menganggap tertawa adalah kata dasar karena itu fonem /t/ diluluhkan sehingga terdapat bentuk menertawakan. Kata keluar juga dianggap sebagai satu kata dasar, karena itu dibentuk kata turunan mengeluarkan. Sedangkan



bentuk-bentuk



seperti mengetengahkan, mengemukakandibentuk



secara



analogi mengikuti bentuk mengeluarkan. Sebaliknya, kata-kata asing yang terasa tidak familiar tetap mempertahankan konsonan-konsonan tak bersuara untuk menjaga jangan sampai menimbulkan kesalahpahaman. Ringkasnya, nasalisasi harus memenuhi ketentuan-ketentuan berikut: Nasalisasi berlangsung atas dasar homogen. Dalam nasalisasi konsonan bersuara tidak luluh, konsonan tak bersuara diluluhkan. Nasalisasi hanya berlangsung pada kata-kata dasar, atau yang dianggap kata dasar.



Fonem-fonem y, r, l, dan w dianggap mengalami proses nasalisasi juga tetapi nasalisasi yang zero. Catatan: Kata-kata yang mulai dengan vokal dan fonem /h/ mengambil nasal ng. Hal ini tidak menyalahi prinsip homorgan, karena alat-alat ucap yang menghasilkan buyibunyi ujaran itu berada dalam rongga laring dan faring. Untuk itu ia harus mencari nasal yang terdekat, yaitu ng. J. FRASA Banyak



sering



mempermasalahkan



antara



frasa



dengan



kata,



ada



yang



membedakannya dan ada juga yang mengatakan bahwa keduanya itu sama. Seperti yang telah dipelajari dalam morfologi bahwa kata adalah adalah satuan gramatis yang masih bisa dibagi menjadi bagian yang lebih kecil. Frasa adalah satuan konstruksi yang terdiri dari dua kata atau lebih yang membentuk satu kesatuan (Keraf, 1984:138). Frasa juga didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonprediktif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat (Chaer, 1991:222). Menurut Prof. M. Ramlan, frasa adalah satuan gramatik yang terdiri atas satu kata atau lebih dan tidak melampaui batas fungsi atau jabatan (Ramlan, 2001:139). Artinya sebanyak apapun kata tersebut asal tidak melebihi jabatannya sebagai Subjek, predikat, objek, pelengkap, atau pun keterangan, maka masih bisa disebut frasa. K. Jenis Frase 1. Frase Eksosentrik   Frase eksosentrik adalah frase yang komponen-komponennya tidak mempunyai perilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhannya.    Frase eksosentris biasanya dibedakan atas frase eksosentris yang direktif atau disebut frase preposisional (komponen pertamanya berupa preposisi, seperti di, ke, dan dari, dan komponen keduanya berupa kata atau kelompok kata, yang biasanya berkategori nomina) dan non direktif (komponen pertamanya berupa artikulus, seperti si dan sang



sedangkan komponen keduanya berupa kata atau kelompok kata berkategori nomina, ajektifa, atau verba). 2. Frase Endosentrik Frase Endosentrik adalah frase yang salah satu unsurnya atau komponennya memiliki perilaku sintaksias yang sama dengan keseluruhannya. Artinya, salah satu komponennya dapat menggantikan kedudukan keseluruhannya. Frase ini disebut juga frase modifikatif karena komponen keduanya, yaitu komponen yang bukan inti atau hulu (Inggris head) mengubah atau membatasi makna komponen inti atau hulunya itu. Selain itu disebut juga frase subordinatif karena salah satu komponennya, yaitu yang merupakan inti frase berlaku sebagai komponen atasan, sedangkan komponen lainnya, yaitu komponen yang membatasi, berlaku sebagai komponen bawahan. Dilihat dari kategori intinya dibedakan adanya frase nominal (frase endosentrik yang intinya berupa nomina atau pronomina maka frase ini dapat menggantikan kedudukan kata nominal sebagai pengisi salah satu fungsi sintaksis), frase verbal (frase endosentrik yang intinya berupa kata verba, maka dapat menggantikan kedudukan kata verbal dalam sintaksis), frase ajektifa (frase edosentrik yang intinya berupa kata ajektiv), frase numeralia (frase endosentrik yang intinya berupa kata numeral). 3. Frase Koordinatif Frase koordinatif adalah frase yang komponen pembentuknya terdiri dari dua komponen atau lebih yang sama dan sederajat dan secara potensial dapat dihubungkan oleh konjungsi koordinatif. Frase koordinatif tidak menggunakan konjungsi secara eksplisit disebut frase parataksis. 4. Frase Apositif Frase apositif adalah frase koordinatif yang kedua komponennya saling merujuk sesamanya, oleh karena itu urutan komponennya dapat dipertukarkan. L. Perluasan Frase



Salah satu ciri frase adalah dapat diperluas. Artinya, frase dapat diberi tambahan komponen baru sesuai dengan konsep atau pengertian yang akan ditampilkan. Dalam bahasa Indonesia perluasan frase tampak sangat produktif. Antara lain karena pertama, untuk menyatakan konsep-konsep khusus, atau sangat khusus, atau sangat khusus sekali, biasanya diterangkan secara leksikal. Faktor kedua, bahwa pengungkapan konsep kala, modalitas, aspek, jenis, jumlah, ingkar, dan pembatas tidak dinyatakan dengan afiks seperti dalam bahasa-bahasa fleksi, melainkan dinyatakan dengan unsur leksikal. Dan faktor lainnya adalah keperluan untuk memberi deskripsi secara terperinci dalam suatu konsep, terutama untuk konsep nomina. Frasa adalah satuan yang terdiri atas dua kata atau lebih yang menduduki satu fungsi kalimat. Contoh frasa: dua orang mahasiswa baru itu sedang membaca buku di perpustakaan.  Kalimat di atas terdiri atas tiga frasa yaitu dua orang mahasiswa, sedang membaca, dan di perpustakaan. Jadi, frasa memiliki sifat sebagai berikut. 1. Frasa terdiri atas dua kata atau lebih. 2. Frasa selalu menduduki satu fungsi kalimat. M. Kategori Frasa 1. Frasa Setara dan Frasa Bertingkat Sebuah frasa dikatakan setara jika unsur-unsur pembentuknya berkedudukan sederajat atau setara. Contoh: saya dan adik makan-makan dan minum-minum di taman depan. Frasa saya dan adik adalah frasa setara sebab antara unsur saya dan unsur adik mempunyai kedudukan yang setara atau tidak saling menjelaskan. Demikian juga frasa makan-makan dan minumminum termasuk frasa setara. Frasa setara ditandai oleh adanya kata dan atau atau di antara kedua unsurnya. Selain frasa setara, ada pula frasa bertingkat. Frasa bertingkat adalah frasa yang terdiri atas inti dan atribut. 2. Frasa Idiomatik 1) Dalam peristiwa kebakaran kemarin seorang penjaga toko menjadi kambing hitam.



2) Untuk menyelamati saudaranya, keluarga Pinto menyembelih seekor kambing hitam. Kalimat 1) dan 2) menggunakan frasa yang sama yaitu frasa kambing hitam. Kambing hitam pada kalimat 1) bermakna orang yang dipersalahkan dalam suatu peristiwa , sedangkan dalam kalimat 2) bermakna seekor kambing yang warna bulunya hitam. Makna kambing hitam pada kalimat 1) tidak ada kaitannya dengan makna kata kambing dan kata hitam. Frasa yang maknanya tidak dapat dirunut atau dijelaskan berdasarkan makna kata-kata yang membentuknya dinamakan frasa idiomatik. N. Konstruksi Frasa Frasa memiliki dua konstruksi, yakni konstruksi endosentrik dan eksosentrik. Contoh : kedua saudagar itu telah mengadakan jual beli. Kalimat di samping terdiri atas frasa kedua saudagar itu, telah mengadakan, dan jual beli. Menurut distribusinya, frasa kedua saudagar itu dan telah mengadakan merupakan frasa endosentrik. Sebaliknya, frasa jual beli merupakan frasa eksosentrik. Frasa kedua saudagar itu dapat diwakili kata saudagar.



Kata saudagar adalah inti frasa bertingkat kedua saudagar itu. Demikian



juga frasa telah mengadakan dapat diwakili kata mengadakan. Akan tetapi, frasa jual beli tidak dapat diwakili baik oleh kata jual maupun kata beli. Hal ini disebabkan frasa jual beli tidak memiliki distribusi yang sama dengan kata jual dan kata beli. Kedua kata tersebut merupakan inti sehingga mempunyai kedudukan yang sama. Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa frasa kedua saudagar itu berdistribusi sama dengan frasa saudagar itu dan kata saudagar. Frasa telah mengadakan berdistribusi sama dengan mengadakan. Frasa yang distribusinya sama dengan salah satu atau semua unsurnya dinamakan frasa endosentrik. Frasa yang distribusinya tidak sama dengan salah satu atau semua unsurnya disebut frasa eksosentrik. Frasa jual beli termasuk frasa eksosentrik karena baik kata jual maupun kata beli tidak dapat menggantikan jual beli. Frasa endosentrik meliputi beberapa macam frasa : 1. Frasa Endosentrik yang Koordinatif



Frasa ini dihubungkan dengan kata dan dan atau. Contoh : Pintu dan jendelanya sedang dicat. 2. Frasa Endosentrik yang Atributif Frasa ini terdiri atas unsur-unsur yang tidak setara. Contoh: pekarangan luas yang akan didirikan bangunan itu milik Haji Abdulah. 3. Frasa Endosentrik yang Apositif Secara semantik unsur yang satu pada frasa endosentrik apositif mempunyai makna sama dengan unsur yang lain. Unsur yang dipentingkan merupakan unsur pusat, sedangkan unsur keterangan merupakan aposisi. Contoh: alfia, putri pak bambang, berhasil menjadi pelajar teladan. O. Kelas Frasa Frasa dibagi menjadi enam kelas kata. Pembagian frasa meliputi frasa benda, kerja, sifat, keterangan, bilangan, dan depan. 1. Frasa Benda atau Frasa Nomina Frasa benda atau frasa nomina adalah frasa yang distribusinya sama dengan kata benda. Unsur pusat frasa benda yaitu kata benda. Contoh: dita menerima hadiah ulang tahun. Frasa hadiah ulang tahun dalam kalimat distribusinya sama dengan kata



benda



hadiah.



Oleh



karena



itu,



frasa



hadiah



ulang



tahun



termasuk frasa benda atau frasa nomina. 2. Frasa Kerja atau Frasa Verba Frasa kerja atau frasa verba adalah frasa yang distribusinya sama dengan kata kerja atau verba. Contoh: adik sejak tadi akan menulis dengan pensil baru. Frasa akan menulis adalah frasa kerja karena distribusinya sama dengan kata kerja menulis dan unsur pusatnya kata kerja, yaitu menulis. 3. Frasa Sifat atau Frasa Adjektiva Frasa sifat atau adjektiva adalah frasa yang distribusinya sama dengan kata sifat. Frasa sifat mempunyai inti berupa kata sifat. Kesamaan distribusi itu dapat dilihat pada jajaran berikut : lukisan yang dipamerkan itu memang bagus-bagus. 4. Frasa Keterangan atau Frasa Adverbia



Frasa keterangan adalah frasa yang distribusinya sama dengan kata keterangan. Biasanya inti frasa keterangan juga berupa kata keterangan dan dalam kalimat sering menduduki fungsi sebagai keterangan. a. Frasa keterangan sebagai keterangan. Frasa keterangan biasanya mempunyai keleluasaan berpindah karena berfungsi sebagai keterangan. Oleh karena itu, frasa keterangan dapat terletak di depan atau di belakang subjek atau di awal dan di akhir kalimat. Contoh: tidak biasanya dia pulang larut malam. b. Frasa



keterangan



sebagai



keterangan



pada



kata



kerja.



Contoh: Saya tidak hanya bertanya, tetapi juga mengusulkan sesuatu. 5. Frasa Bilangan atau Frasa Numeralia Frasa bilangan adalah frasa yang distribusinya sama dengan kata bilangan. Pada umumnya frasa bilangan atau frasa numeralia dibentuk dengan menambahkan kata penggolong atau kata bantu bilangan. Contoh: dua orang serdadu menghampirinya ke tempat itu. 6. Frasa Depan atau Frasa Preposisional Frasa depan adalah frasa yang terdiri atas kata depan dengan kata lain sebagai unsur penjelas. Contoh: laki-laki di depan itu mengajukan pertanyaan kepada pembicara.