Mosi Debat [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1.  Kontra Mardiasmo menyarankan agar pemerintah proaktif dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas akuntan. Sebab tanggung jawab seperti ini bukan hanya berada di pundak asosiasi profesi seperti IAI. Tapi juga harus bersinergi dengan regulasi pemerintah dapat menyokong asosiasi profesi meningkatkan kuantitas dan kualitas akuntan di Indonesia dengan membuat regulasi yang mendukung. “IAI sendiri siap menjadi mitra pemerintah dalam memperkuat profesi Akuntan itu,” ucapnya. Pantas saja akuntan Indonesia mesti senantiasa meningkatkan profesionalisme. Pasalnya, jalan panjang profesi akuntan ke depannya kian berkelok-kelok. Apalagi peberlakuan ASEAN Economic Community 2005 sudah menghitung waktu. Sadar akan hal tersebut, IAI berharap akan banyak perubahan yang segera dirajut demi perbaikan akuntan Indonesia. “Bagaimana cara menyiapkan diri menjelang AEC 2015? Jawabannya, terkait regulasi proteksi dan kompetensi. Dan juga mengasah kompetensi ini, CA menjadi jawabannya,” imbuh dia. Mardiasmo mengakui, sertifikasi CA ini juga karena dilatarbelakangi keinginan mempertebal kemampuan menjelang AEC tersebut. Ini adalah satu dari empat alasan di-launch-nya gelar CA oleh IAI. Tiga lainnya, untuk menaati Statement Memberhip Obligations (SMOs) & garis pedoman IFAC, memberi nilai tambah akuntan beregister, serta yang terakhir persiapan menyongsong Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Pelaporan Keuangan. Liberalisasi jasa akuntan se-ASEAN pada 2015 nanti tidak  bisa dipandang sebelah mata. Maklum saja, akuntan di Indonesia harus bersiap-siap menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan akuntan-akuntan negara tetangga. Saat ini, ketika keran liberalisasi belum benar-benar dibuka, akuntan asing sudah menyebar di negeri ini. Tentu saja nanti, ketika gerbang sudah dibentang jangan sampai akuntan Indonesia menjadi tamu di negeri sendiri.



http://hmjakt-unnes.blogspot.com/2015/11/identitasprofesionalisme-akuntan.html/



”Peluang Partnership KJA” 17 praktisi akuntan Singapura yang difasilitasi oleh ISCA (the Institute of Singapore Chartered Accountants) dan ACCA (Association of Chartered Certified Accountants), berkunjung ke Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) di Grha Akuntan, Jakarta. Pertemuan ini juga didukung oleh SPRING, sebuah lembaga di bawah Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura yang bertugas membantu perkembangan sektor UKM di Singapura. Kunjungan ini dimaksudkan dalam rangka mengetahui apakah mereka mereka memiliki peluang bekerjasama dengan Indonesia dan membangun network dengan para akuntan Indonesia. Pertemuan dengan IAI juga dimanfaatkan untuk mempelajari regulasi dan seluk-beluk membuka usaha di Indoensia. Anggota Dewan Pengurus Nasional IAI, Prof. Sidharta Utama melihat kunjungan ini memiliki dua arti penting bagi para akuntan Indonesia. Di satu sisi, kunjungan ini menyiratkan kesiapan akuntan Singapura untuk memperluas pasar di Indonesia dalam kerangka implementasi ASEAN Economic Community (AEC) yang efektif akhir tahun ini. Kondisi ini jelas menjadi lonceng peringatan bagi akuntan Indonesia untuk bersiap memasuki persaingan terbuka di era pasar bebas ASEAN itu. Namun di sisi lain, kunjungan ini sekaligus membuka peluang bagi akuntan Indonesia untuk membangun partnership yang lebih kuat dengan para praktisi akuntan negeri Singa itu. “Ini jelas peluang bagi Kantor Jasa Akuntansi (KJA). Regulasi membuka peluang partnership dilakukan dengan pihak asing,” ujar Sidharta. PMK 25/PMK.01/2014 tentang Akuntan Beregister Negara memang membuka ruang bagi akuntan asing untuk mendirikan KJA, namun harus ber-partner dengan akuntan lokal. Aturan itu mensyaratkan jumlah partner asing tidak boleh lebih dari



seperlima dari seluruh partner yang ada di KJA. “Ini adalah bentuk proteksi regulasi bagi akuntan lokal. Dengan demikian, KJA bisa mendapatkan keahlian dan pengalaman mereka sambil tetap menjaga kepentingan akuntan lokal,” jelas Sidharta. Saat ini Kementerian Keuangan telah memberi izin bagi 48 KJA untuk berpraktik di Indonesia. Peluang partnership dengan akuntan asing ini merupakan angin segar bagi praktik jasa akuntansi Indonesia dalam rangka memasuki AEC, sekaligus menumbuhkan industri jasa akuntansi di Indonesia. Chief Operating Officer ISCA Goh Puay Cheh mengatakan, pertemuan ini akan membuka peluang kerjasama dua organisasi profesi ASEAN ini ke arah yang lebih strategis dalam rangka menuju AEC 2015. Kolaborasi ini akan berdampak positif bagi perkembangan  profesi akuntansi yang pada gilirannya berkontribusi pada sektor bisnis dan investasi di Indonesia. Bagi ISCA dan SPRING, selain membangun kerjasama dengan organisasi profesi di Indonesia, pertemuan ini akan membuka jalan bagi para akuntan Singapura untuk memperluas basis pasarnya di wilayah ASEAN, khususnya Indonesia. Sementara bagi IAI, pertemuan ini akan membuka jalan untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi akuntan Indonesia  dalam menghadap AEC, serta peluang perkembangan jasa akuntansi di kedua negara.  Pro Periode Joko Widodo (2014-sekarang) Dalam Pemilihan Presiden Indonesia 2014, Joko Widodo (Jokowi) terpilih menjadi Presiden ke-7 Indonesia dan mulai menjabat sejak20Oktober 2014. Kemenangan Jokowi sebagai Presiden menimbulkan optimisme publik, karena Jokowi dipersepsikan sebagai seorang pemimpin yang reformisdan menjalankan program kerja yang konkrit menyelesaikan masalah di lapangan, seperti yang terlihat dari pengalamannya menjadi walikota Solodan gubernur DKI Jakarta.Jokowi lebih merupakan tipe pemimpin yang taktis yang menekankan langkah/kerja konkritdan



cepat di lapangan, ketimbang tipe pemimpin strategis yang berfokus kepada 9visi/gambaran besar.Pemerintahan baru Jokowi, yang dijalankan oleh Kabinet Kerja, sangat diharapkan oleh publik untuk dapat melaksanakan beberapa agenda kebijakan reformasi ekonomi, terutama pada percepatan proyek infrastruktur, pengembangan sektor maritim, dan program jaminan sosial.Jokowi menghadapi sejumlah tantangan eksternal maupun internal dalam mengusahakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia terus melambat dalamempat tahun terakhir, dari 6,8% pada tahun 2010 menjadi 5,0%, yang menandakan daya beli masyarakat yang melemah. Selain itu, kondisi eksternal juga kurang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,yang ditandai dengan perlambatan ekonomi global (terutama resesi di Eropa dan Jepang dan perlambatan pertumbuhan Tiongkok dan India), likuiditas global yang mengering, serta jatuhnya harga komoditas ekspor. Dalam situasi demikian, pendekatan Jokowi untuk merangsang pertumbuhan ekonomi adalah melalui reformasi ekonomi domestik yang terutama lebih berfokus pada sisi penawaran (supply-side reforms), antara lain melalui pengembangan infrastruktur dan perbaikan iklim investasi.Salah satu reformasi radikal yang dilakukan Jokowi terjadi kurang dari sebulan setelah pelantikan, yaitu pemotongan signifikan dari subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebagai usaha untuk mengurangi beban fiskal. Pada tanggal 18 November 2014, pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi (Premium) menjadi Rp 8.500 per liter, dan harga solar bersubsidi menjadi Rp 7.500 per liter. Bahkan, mengambil momentum dari jatuhnya harga minyak dunia, Jokowi melakukan reformasi lebih jauh, dengan menghapus subsidi BBM Premium, memberikan subsidi tetap Rp 1.000 per liter untuk solar, dan mengikuti mekanisme pasar dalam penentuan harga. Langkah reformasi yang berani ini berhasil menciptakan ruang fiskal yang sangat dibutuhkan untuk membiayai sejumlah agenda pembangunan lainnya, terutama pembangunan infrastruktur.Meskipun langkah tersebut sempat menumbuhkan kepercayaan publik akan komitmen pemerintah untuk melakukan reformasi ekonomi yang serius, namun hal ini tidak berlangsung lama. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2015 terus melambat, hingga mencapai titik terendah 4,7% pada



triwulan II. Banyak hal yang mengakibatkan hal tersebut, tetapi setidaknya dua tren utama yang dapat diamati pada setahun pertama pemerintahan Jokowi adalah.Pertama, belum terdapat perbaikaniklim investasi yang signifikan hingga pertengahan 2015. Pembangunan infrastruktur pun berjalan cukup lambat. Nampaknya terdapat ketidaksinambungan antara pernyataan reformis di tingkat Presiden dan Menteri dengan kenyataan pada tingkat pemerintahan yang lebih rendah serta pemerintah daerah. Hal-hal umum seperti perizinan yang berbelit, memakan waktu dan biaya yang tinggi masih terlihat jelas di berbagai sektor.Kedua,rezim perdagangan yang menjadi semakin restriktif, terutama melalui penggunaan hambatan non-tarif dalam berbagai bentukregulasi, baik pada sisi impor maupun ekspor. Sebenarnya, tren proteksionis semacam ini mulai terlihat sejak periode kedua pemerintahan SBY sejak 2009 dan terus berlanjut setidaknya hingga pertengahan 2015. Marks (2015), misalnya, menemukan bahwa pada sisi impor,jumlah hambatan non-tarif naik dari 6.537 pada tahun 2009 menjadi 12.863 pada 2015. Patunru dan Rahardja (2015) menemukan bahwaproteksionisme ini 10diciptakan melalui kebijakan sepertihambatan nontarif(kebanyakan berasal dari peraturan Menteri Perdagangan)dalam berbagai bentuk, mulai dari persyaratan perizinan, inspeksi, kebijakan labeling, serta pengetatan regulasi yang sudah ada, serta melalui kebijakan seperti persyaratan konten lokal dan larangan ekspor (salah satu yang terbesar adalah larangan ekspor mineral). Tren ini baru mengalami titik balik setelah dua perubahan besar pada semester kedua 2015, yaitu ketika ThomasLembong sebagai Menteri Perdagangan pada Agustus 2015 serta ketika Presiden Jokowi menyatakan ketertarikan untuk bergabung dengan Trans-Pacific Partnership (TPP) pada Oktober 2015.Sebagai respon dari kondisi demikian, Presiden Jokowi memutuskan untuk kembali melakukan langkah reformasi ekonomi melalui peluncuran Paket Kebijakan Ekonomi pada September 2015. Hingga Juni 2016, telah terdapat 12 Paket Kebijakan Ekonomi (PKE), yang masing-masing berusaha menyelesaikan permasalahan kebijakan yang berbeda-beda. Kebanyakan dari reformasi yang dilakukan melalui paket kebijakan tersebut berusaha untuk menghilangkan hambatan



regulasi maupun birokrasi yang menghambat sektor swasta untuk melakukan usahanya secara efisien, serta memberikan insentif investasi bagi pelaku usaha swasta di beberapa sektor tertentu.Paket kebijakan pertama (yang paling komprehensif dengan cakupan terluas) bertujuan untukmeningkatkan daya saing industri dalam negeri, mempercepat proyek strategis nasional, serta meningkatkan investasi di sektor properti. Dua langkah penting dalam paket ini adalah deregulasi dan debirokratisasi. Deregulasi dilakukan dengan melakukan tinjauan regulasi yang komprehensif, serta menghilangkan regulasi yang berulang, tidak diperlukan, tumpang tindih, atau yang tidak relevan. Deregulasi juga berusaha untuk meningkatkan koherensi serta konsistensi antar regulasi, terutama yang terkait dengan sektorekonomi. Sementara itu, debirokratisasi mencakup simplifikasi, delegasi otoritas, serta elektronisasi dari berbagi prosedur untuk mendapatkan perizinan, dalam rangka memfasilitasi pelaku usaha untuk berinvestasi di Indonesia.Beberapa pencapaian kunci dalam usaha deregulasi mencakup pendirian Layanan Perizinan Investasi 3 Jam, simplifikasi perizinan kehutanan, pendirian sistem pelayanan terpadu kepelabuhanan secara elektronik, serta sejumlah insentif pajak dan kredit bagi beberapa industri dan Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM).Institusi yang ditunjuk untuk mengkoordinasikan pelaksanaan paket kebijakan ekonomi ini adalah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, yang juga menyelenggarakan sejumlah pertemuan yang melibatkan beberapa kementerian teknis yang terkait isu kebijakan tertentu.Melalui 12 paket kebijakan tersebut, pemerintah menargetkan untuk menghasilkan 203 regulasi (terdiri dari 154 Peraturan Menteri dan 49 Peraturan Presiden) yang menggantikan regulasi yang dianggap bermasalah. Hingga Juni 2016, kurang lebih 98% dari regulasi yang ditargetkan sudah diselesaikan. Beberapa sektor strategis yang dicakup deregulasi meliputi pertanian, infrastruktur, properti, maritim, perikanan, kehutanan, pertambangan, dan logistik. Sementara itu, berdasarkandomain kementerian, tiga kementerian yang paling banyak terlibat 11dalam deregulasi adalah Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi & UMKM, serta Kementerian Keuangan. Hal



ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk memfasilitasi usaha perdagangan dan mengurangi hambatan regulasi yang tidak perlu, sebagai titik balik dari tren kedua yang dijelaskan di atas.Meskipun demikian, reformasi ekonomi yang dilakukan melalui peluncuran paket kebijakan ini masih memiliki masalah dalam efektivitas implementasi serta dalam usaha pemantauan dan evaluasi.Terkadang, sebuah paket kebijakan yang baru sudah diumumkan, tanpa evaluasi yang menyeluruh pada paket sebelumnya. Baru pada 31 Mei 2016 pemerintah secara resmi membentuk empat gugus tugas (task forces) yang bertanggung jawab memantau pelaksanaan paket kebijakan ekonomi. Gugus tugas ini bertanggung jawab untuk memantau dan memastikan bahwa paket kebijakan ekonomi ini betul-betul dilaksanakan dengan baik, hingga ke tingkat daerah, serta memformulasikan langkah aksi untuk mengatasi hambatan spesifik dalam pelaksanaan.Sebagai kesimpulan, dalam periode ini, pemerintah Jokowi tidak lagi bisa mengandalkan ekspor sebagai sumber pertumbuhan karena ekonomi global yang melambat serta harga komoditas yang masih rendah. Belanja pemerintah pun juga kurang bisa diandalkan, mengingat penerimaan pajak yang sangat rendah dalam beberapa tahun terakhir (tax ratio Indonesia hanya sekitar 10-11% dari PDB). Oleh karena itu, upaya Presiden Jokowiuntuk menekankan reformasi ekonomi dari sisi penawaran sebenarnya sudah tepat. Namun demikian, dalam kenyataannya, pelaksanaan reformasi ini masih kurang efektif. Beberapa pernyataan reformis dari Presiden dan sejumlah Menteri bahwa Indonesia terbuka terhadap investasi, masih gagal diterjemahkan dalam kebijakan yang ramah investasi (misalnya kecenderungan proteksionis di atas, serta perubahan konkrit pada iklim investasi di lapangan setidaknya hingga pertengahan 2015). Hal ini mengirimkan sinyal bahwa pemerintah nampak setengah hati dalam menggandeng sektor swasta, termasuk PMA, sebagai lokomotif pembangunan ekonomi yang tengah lesu ini. Oleh karena itu, presiden reformis seperti Jokowi pun masih perlu didukung dengan mekanisme koordinasi dan implementasi kebijakan yang baik, serta dukungan politik yang memadai.



https://www.csis.or.id/uploads/attachments/post/2019/01/10/perja lanan_reformasi_ekonomi_indonesia_1997_2016.pdf/



2. Pro Menggagas Akuntansi Untuk Cryptocurrencies By ersa in Uncategorized on 11 February, 2018. Oleh : Ersa Tri Wahyuni Tulisan ini dimuat dalam majalah Akuntan Indonesia edisi Februari 2018.   Bulan November dan Desember 2017, berita mengenai fluktuasi harga Bitcoin mendominasi dunia maya. Bitcoin sebagai cryptocurrencies dengan kapitalisasi pasar terbesar menyentuh nilai fantastis sampai US$19.783.06 per koinnya pada hari 17 Desember 2017, padahal Bitcoin hanya bernilai dibawah US$1000 pada 1 Januari 2017. Bukan hanya Bitcoin yang bergerak seperti roller-coaster pada akhir tahun 2017 tapi juga cryptocurrencies lainnya seperti Etherum, Litecoin dan Cardano. Cardano misalnya meningkat 90% nilainya hanya dalam waktu 24 jam.[1] Eforia Bitcoin banyak dipengaruhi oleh spekulasi terhadap teknologi blockchain yang diharapkan akan semakin berpengaruh di masa depan. Artikel artikel mengenai teknologi blockchain di jagad maya biasanya mengagung-agungkan keuntungan dan manfaatnya. Secara sederhana teknologi blockchain adalah seperti excel spreadsheet di internet yang mana siapa saja dapat menambahkan baris baru di dalam file tersebut. Setiap baris mencerminkan transaksi antar pihak – bisa transaksi tunai kas atau transfer aset lainnya. Dan bila suatu baris telah tercipta maka transaksi tersebut tidak bisa diubah atau dihilangkan.



Sebelum transaksi tersebut “tertulis”, komputer para pengguna blockchain diseluruh dunia berkomunikasi dan memverifikasi para pihak yang akan bertransaksi. Bila ada pihak yang berusaha mengakali system maka transaksi akan ditolak. Teknologi blockchain dianggap membuat transaksi lebih transparan, aman, dan menghilangkan fungsi perantara (seperti bank misalnya). Banyak perusahaan yang sedang mempertimbangkan teknologi blockchain ini untuk memperkuat operasional mereka seperti proses penagihan ke pelanggan. Seiring dengan teknologi blockchain yang meningkat, banyak orang berspekulasi bahwa harga cryptocurrency seperti Bitcoin juga akan meningkat karena Bitcoin menggunakan teknologi blockchain. Meningkatnya harga Bitcoin yang tidak wajar (bila dibandingkan dengan mata uang normal suatu negara), ditengarai bukan karena semakin banyak yang menggunakannya sebagai alat tukar, namun banyak yang membeli Bitcoin untuk tujuan investasi dengan harapan nilainya akan berlipat ganda di masa depan. Nilai mata uang suatu negara biasanya turun apabila perekonomian Negara tersebut memang memburuk (seperti contoh mata uang Negara Zimbabwe yang menjadi tidak bernilai), namun naik turunnya harga Bitcoin murni disebabkan karena hukum permintaan dan penawaran.  Apabila Bitcoin (yang katanya adalah mata uang) jarang digunakan sebagai alat tukar dalam transaksi perdagangan, bagaimana mungkin permintaannya menjadi sangat kuat sehingga harganya melambung fantastis. Maka pastinya permintaan lebih didorong oleh motif spekulasi atau investasi. Bank Sentral dan pengawas pasar modal seperti Bank Indonesia dan US SEC telah memperingatkan para investor untuk berhati hati bila berinvestasi dengan cryptocurrency ini karena tidak dijamin nilainya oleh bank sentral manapun. Ini mirip dengan demam tanaman hias Anthurium atau Batu Akik belum lama ini, di mana harganya bisa sangat melambung tinggi, namun bisa saja kemudian turun mendekati nol. Bedanya para investor batu akik, bila harganya turun sampai nol setidaknya masih bisa mengelus ngelus batu akik mereka, nah kalau investor bitcoin tidak ada sesuatu yang dimiliki kecuali digital trail saja.



Dengan semakin populernya cryptocurrency seperti Bitcoin dan Etherum, timbul pertanyaan bagaimana pencatatan akuntansi bila perusahaan menerima pembayaran Bitcoin dan juga memiliki Bitcoin untuk tujuan investasi. Apakah Bitcoin dapat dianggap seperti mata uang tradisional lainnya dan dianggap kas dan setara kas? Apakah investasi dalam Bitcoin dapat dianggap sebagai aset keuangan dan tunduk pada standar PSAK untuk instrument keuangan? Cryptocurrency sebagai Kas atau Instrumen Keuangan? Standar Akuntansi biasanya memang sering terlambat dalam mengatur perkembangan bisnis yang sangat pesat. Kekosongan standar akuntansi IFRS yang mengatur investasi pada cryptocurrency mendorong dewan standard akuntansi Australia (AASB) untuk menyusun position paper dan merekomendasikan agar IASB memikirkan hal tersebut. Menurut AASB, digital currency seperti Bitcoin tidak dapat memenuhi definisi kas dan setara kas karena belum banyak negara yang mengakui digital currency sebagai alat transaksi yang sah. Di dalam PSAK 50 PP 03 disebutkan bahwa mata uang (kas) adalah aset keuangan karena merupakan alat tukar. Sementara itu transaksi Bitcoin yang bergairah akhir akhir ini ditengarai bukan sebagai alat tukar, namun masyarakat membeli Bitcoin sebagai aset. Transaksi menggunakan bitcoin dalam transaksi online juga masih sangat kecil. Hal ini disebabkan oleh minimnya pedagang online yang mau menerima pembayaran dengan Bitcoin. Misalnya, laporan yang dibuat JP Morgan pada pertengahan 2017 menyebutkan bahwa dari 500 penjual di internet hanya tiga saja yang menerima pembayaran menggunakan Bitcoin.[2] Padahal tahun 2016 ada lima penjual yang menerima pembayaran Bitcoin. Untuk dapat diakui sebagai aset keuangan juga cukup sulit bagi Bitcoin karena tidak dapat memenuhi definisi sebagai instrumen keuangan. Dalam PSAK yang dimaksud dengan Instrumen keuangan (financial instrument) adalah kontrak yang mengakibatkan timbulnya aset keuangan bagi satu entitas dan



kewajiban keuangan atau instrumen ekuitas bagi entitas lainnya. Bila perusahaan memiliki Bitcoin, maka perusahaan tidak memiliki hak kontraktual untuk menerima kas atau aset keuangan lainnya. Hal ini serupa dengan emas batangan yang juga tidak bisa dianggap sebagai instrumen keuangan walaupun sifatnya sangat likuid.   Cryptocurrency Persediaan?



sebagai



Aset



Takberwujud



atau



Cryptocurrency memenuhi definisi aset takberwujud karena tidak memiliki bentuk fisik, bersifat non keuangan dan memenuhi definisi aset. Namun PSAK 19 lebih mengatur aset taberwujud kategori tidak lancar yang dimanfaatkan atau digunakan oleh perusahaan seperti misalnya hak paten, merk, royalti, piranti lunak, dan sebagainya. Bila entitas memiliki Bitcoin karena menerimanya sebagai alat pembayaran, biasanya ini akan memenuhi kriteria sebagai aset tersedia untuk dijual (PSAK 58), dan ini dikecualikan dari ruang lingkup PSAK 19. Entitas yang fokusnya jual beli Bitcoin mungkin saja dapat menggunakan PSAK 14 Persediaan.  Namun bila entitas yang memiliki Bitcoin bertindak sebagai broker atau trader maka PSAK 14 mengecualikan pengukurannya dan meminta entitas untuk mengukur komoditasnya dengan nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual dengan selisih nilai wajar diakui dalam laba rugi. Hal ini dengan asumsi Bitcoin dianggap sebagai komoditas seperti emas batangan.   Arah ke depan Kerangka IFRS saat ini memang dirasakan kurang memberikan panduan untuk aset takberwujud yang dimiliki untuk investasi. Selain Bitcoin, aset takberwujud lainnya mungkin saja ada juga dimiliki untuk tujuan investasi, dicontohkan oleh AASB misalnya



adalah hak emisi karbon yang juga secara aktif diperjualbelikan di beberapa negara maju. Kerangka IFRS juga dirasakan kurang untuk mengatur pencatatan investasi pada komoditas seperti Emas batangan. Hal ini menimbulkan banyak perbedaan perlakuan akuntansi untuk Emas di antara Bank Sentral, perbankan syariah, dan industri pembuatan perhiasan emas.  Padahal Emas adalah komoditas yang likuid dan tahan inflasi serta nilainya jauh lebih stabil daripada Bitcoin yang juga suka dijuluki “digital gold”. Keragaman pencatatan akuntansi untuk emas menimbulkan keprihatinan World Gold Council yang belum lama ini mengeluarkan discussion paper terkait hal tersebut[3]. Namun mengharapkan IASB untuk mengeluarkan standar akuntansi terkait dengan investasi pada komoditas dan cryptocurrency sepertinya masih terlalu jauh. IASB dan juga FASB sepertinya belum memiliki ketertarikan untuk memikirkan akuntansi untuk cryptocurrency terlalu serius. Hal ini dapat saja berubah apabila penggunaan cryptocurrency di dalam transaksi perdagangan online semakin meluas di masa depan. Sementara itu IASB masih banyak memiliki pekerjaan rumah untuk standardstandar yang sudah lama dibutuhkan seperti standard untuk kombinasi bisnis entitas sepengendali. *) Penulis adalah Dosen Akuntansi Universitas Padjadjaran dan anggota DSAK IAI. Tulisan ini adalah opini pribadi Penulis. Kontra Keajaiban Bitcoin Dalam perjalanannya, Bitcoin menjadi mata uang dunia virtual. Transaksi Bitcoin (BTC) meledak dan mengejutkan. Produk tersebut laris manis dan menjadi sebuah prestise kekayaan individu dalam dunia internasional. Organisasi Bitcoin Indonesia menyebutkan nilai total semua BTC yang beredar  menembus US$1,5 miliar dengan transaksi pertukaran Bitcoin senilai jutaan dolar setiap hari, meskipun baru empat tahun dideklarasikan di tengah publik. Di Amerika Serikat sendiri



peredaran Bitcoin mencapai 35 persen dari peredaran Bitcoin di seluruh dunia. Sementara China 5 persen dan di Indonesia masih sekitar 1 persen. Nilai Bitcoin juga mencengangkan. Awalnya 10.000 Bitcoin hanya berharga dua potong pizza ketika diujicoba diperdagangkan secara perdana pada Januari Tahun 2010. Itu berarti 1 BTC dinilai US$0.0025 yang setara Rp23 menggunakan kurs Januari 2010 yang berada di level Rp9.200 atau Rp33.75 dengan kurs Rp13.500 pada medio Februari 2016. Kini dengan jumlah 10.000 BTC, pundi-pundi uang dapat membubung hingga US$3,9 juta atau setara dengan Rp52,8 miliar menggunakan kurs tertinggi Bitcoin pada tanggal 12 Februari 2016 seharga US$391.24 per 1 BTC. Nominal pertumbuhan tersebut sudah terbilang relatif normal. Harga 1 BTC pernah melonjak hingga Rp1.216.73 di MT Gox Exchange pada 17 November 2013. Namun pada lain waktu sebuah Bitcoin hanya bernilai US$13-US$100. Harga Bitcoin pernah anjlok hingga kisaran US$500 per BTC dari sebelumnya US$1.100 per BTC ketika Pemerintah China melarang penggunaan Bitcoin atau bahkan terjun bebas hingga US$3.50 ketika agen Bitcoin MT.Gox dan MyBitcoin diretas hacker yang berujung bocornya informasi dan pencurian atas mata uang virtual tersebut. Namun pada periode lain harga Bitcoin dapat melambung hingga US$1.242 tak lama setelah  Senat dan Pemerintah Amerika Serikat menegaskan untuk pertama kali bahwa inovasi Bitcoin tidak boleh memperoleh hambatan dalam proses perkembangannya. Fluktuasi kurs Bitcoin tersebut erat berhubungan dengan kebijakan ekonomi dunia termasuk regulasi sebuah negara, persepsi harapan dan kekhawatiran (kepanikan) pemilik Bitcoin dan jumlah permintaan dan penawaran Bitcoin di dalam pasar. Ketika permintaan bitcoin bertumbuh dapat menggenjot kenaikan harga dan ketika permintaan lesu harga pun melemah. Bitcoin yang beredar jumlahnya terbatas dan bitcoin baru dibuat dengan



tingkat yang dapat diprediksi dengan tren menurun, sehingga dengan demikian permintaan harus mengikuti besaran inflasi untuk menjaga harga tetap stabil. Bitcoin pernah dinobatkan sebagai currency of the year, kemudian dinobatkan sebagai best investment of the year. [Tapi] pernah juga  dinobatkan sebagai the worst currency atau mata uang terburuk di dunia ketika harganya jatuh. Namun demikian, banyak yang pesimis Bitcoin akan mampu menggeser mata uang konvensional baik ditingkat lokal dan global.  Alasannya Bitcoin punya masalah karena tidak memiliki underline dan  tidak terpusat. Selain itu, Bitcoin juga tidak memiliki mekanisme deposit  dan kredit seperti mata uang yang lain. Poltak Hotradero, Kepala Divisi Riset Bursa Efek Indonesia mengatakan, penggunaan dan status Bitcoin memang hanya sebagai mata uang alternatif saja yang dimanfaatkan oleh sekelompok masyarakat. Dari segi fungsi, bitcoin dinilai hanya dapat memenuhi sebagian kecil fungsi mata uang yaitu sebagai alat pembayaran. “Jadi saya tidak bilang bahwa Bitcoin itu hanya untuk kaum hobbies, tetapi penggunaan dan statusnya sebagai mata uang alternatif hanya terus akan menjadi alternatif. Karena Bitcoin sampai saat ini bentuknya hanya sebagai sebuah pembayaran saja untuk memenuhi sebagian fungsi dari sejumlah fungsi  semua mata uang,” katanya. Poltak menambahkan pemanfaatan Bitcoin yang tidak membutuhkan lembaga perbankan juga dinilai tidak akan mampu menggeser fungsi perbankan, sebab nilai tukarnya yang sangat fluktuatif. “Meskipun dari sisi transfer murah tetapi risiko nilai tukarnya sangat tinggi. Sehingga Saya tidak melihat bahwa Bitcoin bisa menggantikan fungsi mata uang secara mainstream,” kata Poltak. Untuk itu, ia menilai Bank Indonesia belum perlu mengeluarkan kebijakan khusus terkait mata uang digital ini. Kalau dalam hal ini



BI bereaksi dan over reaktif, justru akan mengundang minat yang lebih besar lagi dari masyarakat. Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Legal dan ASEAN KADIN, Bernardino Moningka Vega menilai mata uang digital sangat terkait dengan transaksi e- commerce, sehingga lebih urgen untuk mengatur sistem transaksi elektronik itu terlebih dahulu. Seiring meningkatnya transaksi e-commerce di tanah air, sudah selayaknya pemerintah mengatur sistem dan mendata semua transaksi melalui internet. Menurutnya perlu dibuat sebuah format akuntansi yang memadukan data semua transaksi lewat internet sebagaimana platform transaksi elektronik yang sudah diterapkan di Amerika Serikat, sehingga potensi ekonominya dapat dioptimalkan. Dia mengatakan sistem mata uang digital Bitcoin sulit untuk menjadi mata uang masa depan, karena kepercayaan dan penerimaan terhadap mata uang konvensional masih begitu besar. Di level regional ASEAN, Rupiah, Ringgit maupun Dollar Singapura masih menjadi mata uang dominan yang digunakan oleh khalayak luas. “Digital transaksinya satu hal yang perlu diregulasi [pemerintah], tetapi kalau kreatif produknya kita biarkan saja sendiri karena itu kreativitas,” katanya. *IFA/AFM



Perbandingan Bitcoin Dengan Mata Uang Lainnya Bitcoin Mata Uang Lainnya Menggunakan teknologi peer-to-peerdan tanpa otoritas pusat atau lembaga untuk mengawasi operasi Dikeluarkan oleh bank sentral sebagai bentuk dari kewenangannya mengelola kebijakan moneter nasional Bitcoin dirancang untuk menjadi mata uang digital Diciptakan dalam bentuk fisik



Jumlah bitcoin yang diproduksi dibatasi sampai 21 juta Dapat diterbitkan tanpa batas Membutuhkan tingkat pengetahuan yang tinggi karena menggunakan teknologi cryptocurrency Tidak membutuhkan teknologi dan pemahaman mendalam Penerimaan masih terbatas, hanya dapat digunakan di toko-toko tertentu Dapat digunakan dan diterima dimana saja Legalitas Bitcoin di indonesia belum diakui oleh Bank Indonesia sebagai alat pembayaran karena tidak sesuai dengan Undang-undang no 7 tahun 2011 tentang Mata Uang dan Undang-undang no. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dalam undang undang. Mata Uang dinyatakan bahwa mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral yang disebut rupiah, dan dalam Undangundang Bank Indonesia dinyatakan mata uang yang sah beredar di Negara Republik Indonesia adalah uang rupiah. Hal ini diperkuat pula dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/3/PBI/2015 Tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah karena Rupiah wajib digunakan untuk segala transaksi yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, penggunaan alat pembayaran lain selain Rupiah di Indonesia dapat dikenakan sanksi pidana baik kurungan maupun dendam kecuali pada perbuatan-perbuatan yang dikecualikan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang. Danella et al (2015) berpendapat bahwa bitcon memenuhi syarat sebagai alat pembayaran yang sah antara lainkarena: 1. Tidak mudah rusak. 2. Mempunyai kualitas yang cenderung sama. 3. Tidakdapat dipalsukan 4. Mudah dibawa 5. Mempunyai nilai yang stabil Dapat disimpulkan bitcoin bisa dipakai sebagai alat pembayaran yang sah,



Namun belum tersedia regulasi dari pemerintah dan tidak ada landasan hokum atas penggunaan bitcoin. Pro dan kontra (1) Bitcoin (BTC) Kelebihan: Mendefinisikan kelebihan dan kekurangan Bitcoin pada dasarnya akan mewakili mata uang kripto secara umum. Keunggulan pertama dari Bitcoin ialah sifatnya sebagai mata uang kripto, dengan Hash Rate (tingkat kompleksitas algoritma kriptografi) yang semakin canggih, kepercayaan publik juga semakin terjamin untuk terhindar dari risiko seperti pemalsuan. Kepercayaan tersebut turut membantu pengembangan komunitas global yang menguatkan posisinya sebagai mata uang yang tidak mudah goyah dengan kondisi masyarakat. Seperti emas, mata uang kripto dapat menekan laju inflasi. Kekurangan: Jika ditelisik lebih dalam, Bitcoin sifatnya spekulatif (dalam kaitan dengan nilai). Nilainya ditentukan oleh sejumlah orang atau unit bisnis yang menerima Bitcoin. Jika semakin banyak yang menggunakan, nilainya akan terus meningkat. Sebaliknya jika semakin sedikit, implikasinya harga jual akan turun. Selain itu sebagai mata uang kripto, Bitcoin tidak mengenal pembatalan transaksi. Prosesnya pun bersifat publik, tidak ada entitas yang dapat memberikan jaminan untuk kelalaian yang menyebabkan kehilangan atau kesalahan dalam proses pengiriman. Dompet hardware (perangkat khusus untuk menyimpan kunci privat) juga rentan diserang virus atau mengalami kerusakan jika tidak dirawat dengan baik, bisa menyebabkan koin melayang. (2) Ethereum (ETH) Kelebihan:



Sangat mirip dengan Bitcoin, namun didesain khusus untuk menjadi smart contract yang terbuka. Transaksi yang dilakukan di blockchain dapat mengeksekusi suatu smart contract melalui berbagai cara, misalnya dengan mengirimkan mata uang digital atau data ke alamat kontrak. Jika berhasil dieksekusi, smart contract tersebut dapat memproses lebih banyak transaksi atau mengeksekusi smart contracts lainnya. Ethereum Virtual Machine (EVM), merupakan software yang dapat digunakan pengembang untuk membuat berbagai aplikasi semudah membuat aplikasi berbasis transaksi kripto. Dengan konsep yang ditawarkan, pengembang tidak perlu membuat dan mengurus blockchain mereka sendiri. Kekurangan: Di balik kemudahan yang ditawarkan dalam proses pengembangan, ada beberapa hal yang justru menjadi kelemahan. Pertama ialah soal kecepatan akses, tidak sepenuhnya bisa diandalkan karena menggantungkan pada server yang terdistribusi. Pengembangan aplikasi di atas platform Ethereum bisa dianalogikan dengan penyewaan jasa web-hosting, ketika server down, maka sistem yang bekerja di bawahnya juga tidak berfungsi. Apesnya, pengembang pun tidak dapat meningkatkan fungsionalitas blockchain secara mandiri, karena harus berkontribusi secara keseluruhan. Apabila mengalami hardfork (penambang menjalankan protokol yang berbeda secara masif), akan berpengaruh langsung terhadap aplikasi yang dikembangkan. Setiap komputasi juga akan membutuhkan Ether (jenis koin) yang meningkat bergantung pada kompleksitas dan basis pengguna aplikasi.



4. demonetisasi - demonetization



penghapusan atau penarikan kembali fungsi standar moneter dan alat pembayaran tertentu;



Para eksekutif di seluruh sektor formal India menyuarakan optimisme mengenai pertumbuhan ekonomi negara tersebut dalam India Economic Summit, World Economic Forum (WEF), yang digelar di New Delhi pekan lalu. Namun optimisme itu berjalan beriringan dengan sebuah pesan kepada pemerintah yakni, sudah saatnya melacarkan lebih banyak reformasi. Saat negara demokrasi terbesar di dunia tersebut memulai serangkaian kebijakan dramatis yang diharapkan dapat mengubah keseluruhan budaya dalam hal melakukan bisnis, perekonomiannya terdampak. Tekanan yang terus berlanjut akibat demonetisasi dan gangguan rantai pasokan menjelang penerapan Pajak Barang dan Jasa (Goods and Service Tax/GST) pada Juli memicu perlambatan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) ke level terendah tiga tahun sepanjang kuartal kedua tahun ini. Turut mempersulit situasi tersebut adalah lesunya investasi swasta serta lemahnya penciptaan lapangan kerja baru. Dalam suatu panel CNBC pada hari Jumat (6/10), sejumlah pelaku bisnis terkemuka India menggambarkan isu-isu tersebut sebagai hambatan jangka pendek yang penting bagi mendapatkan keuntungan jangka panjang. “Kita akan mengalami penurunan, kita akan melihat apakah hal tersebut berlangsung selama dibutuhkan satu atau tiga kuartal,” kata Sanjiv Bajaj, Managing Director Bajaj Finserv, seperti dikutip dari laman CNBC, Senin (9/10/2017). “(Namun) dampak perubahan akan sangat positif. Setahun berikutnya, kita akan berbicara dengan nuansa yang sangat positif dibandingkan dengan keadaan kita saat ini,” lanjut Bajaj.