Muhammad Anas Zarqa [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Eka Rahmawati 12/332992/EK/19010



PAI II



MUHAMMAD ANAS ZARQA Dr Muhammad Anas Zarka saat ini menjabat sebagai penasihat dan anggota dari Grup Syariah di The International Investor di Kuwait. Dr Zarka memegang gelar Bachelor of Law dari Universitas Damaskus, dan MA dan PhD (Ekonomi) dari University of Pennsylvania, Amerika Serikat. Dia juga belajar dari almarhum ayahnya, Sheikh Mustafa Zarka, seorang sarjana Syariah terkenal dan penulis. Dr Zarka adalah kontributor tetap dan penyelenggara dari seminar dan konferensi di seluruh dunia, sering menulis tentang keuangan Islam dan ekonomi. Pada tahun 1990, Dr Zarka dianugerahi penghargaan oleh The Islamic development bank atas kontribusinya untuk penelitian di bidang Ekonomi Islam. Dr Zarka sering mengunjungi MIHE dan secara teratur memberikan kontribusi untuk kuliah secara online yg disampaikan oleh IRTI kepada siswa Islamic Finance di MIHE. Konsep Ekonomi Islam Muhammad Anas Zarqa Muhammad Anas Zarqa (1992), menjelaskan bahwa ekonomi Islam itu terdiri dari 3 kerangka metodologi. Pertama adalah presumptions and ideas, atau yang disebut dengan ide dan prinsip dasar dari ekonomi Islam. Ide ini bersumber dari Al Qur’an, Sunnah, dan Fiqih Al Maqasid. Ide ini nantinya harus dapat diturunkan menjadi pendekatan yang ilmiah dalam membangun kerangka berpikir dari ekonomi Islam itu sendiri. Kedua adalah nature of value judgement, atau pendekatan nilai dalam Islam terhadap kondisi ekonomi yang terjadi. Pendekatan ini berkaitan dengan konsep utilitas dalam Islam. Terakhir, yang disebut dengan positive part of economics science. Bagian ini menjelaskan tentang realita ekonomi dan bagaimana konsep Islam bisa diturunkan dalam kondisi nyata dan riil. Melalui tiga pendekatan metodologi tersebut, maka ekonomi Islam dibangun. Ahli ekonomi Islam lainnya, Masudul Alam Choudhury (1998), menjelaskan bahwa pendekatan ekonomi Islam itu perlu menggunakan shuratic process, atau pendekatan syura. Syura itu bukan demokrasi. Shuratic process adalah metodologi individual digantikan oleh sebuah konsensus para ahli dan pelaku pasar dalam menciptakan keseimbangan ekonomi dan perilaku pasar. Individualisme yang merupakan ide dasar ekonomi konvensional tidak dapat lagi bertahan,



Eka Rahmawati 12/332992/EK/19010



PAI II



karena tidak mengindahkan adanya distribusi yang tepat, sehingga terciptalah sebuah jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin. Maka, sesungguhnya kerangka dasar dari ekonomi Islam didasari oleh tiga metodolodi dari Muhammad Anas Zarqa, yang kemudian dikombinasikan dengan efektivitas distribusi zakat serta penerapan konsep shuratic process (konsensus bersama) dalam setiap pelaksanaannya. Dari kerangka tersebut, insyaAllahekonomi Islam dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Dan semua itu harus dibungkus oleh etika dari para pelakunya serta peningkatan kualitas sumber daya manusianya (Al Harran, 1996). Utilitas yang optimal akan lahir manakala distribusi dan adanya etika yang menjadi acuan dalam berperilaku ekonomi. Oleh karena itu semangat untuk memiliki etika dan perilaku yang ihsan kini harus dikampanyekan kepada seluruh sumber daya insani dari ekonomi Islam. Agar ekonomi Islam dapat benar-benar diterapkan dalam kehidupan nyata, yang akan menciptakan keadilan sosial, kemandirian, dan kesejahteraan masyarakatnya.



Beberapa dasar-dasar penting dalam ekonomi Islam diantaranya adalah; pertama ekonomi Islam bertujuan untuk mencapai masyarakat yang sejahtera baik didunia maupun di akhirat, serta tercapainya pemuasan optimum berbagai kebutuhan baik individu maupun masyarakat atau kelompok. Untuk produk untuk memenuhi kebutuhan itu diciptakan secara optimal dengan pengorbanan tanpa pemborosan dan tetap menjaga kelestarian alam. Kedua, hak milik relatif perorangan diakui sebagai usaha dan kerja halal dan harus digunakan untuk hal-hal yang halal pula. Ketiga, ekonomi Islam melarang menimbun harta benda dan menjadikan harta benda tersebut terlantar. Keempat, didalam harta benda yang dimiliki seseorang, terdapat hak untuk orang miskin, oleh karena itu harus dinafkahkan sehingga dicapai pembagian rizki. Kelima, pada batas tertentu, hak milik relatif tersebut dikenakan zakat. Keenam, ekonomi Islam memperkenankan perniagaan, akan tetapi melarang praktek riba. Dan terakhir, tidak ada diskriminasi suku atau keturunan dalam bekerja sama dan yang menjadi perbedaan adalah prestasi kerja (ur-Rahman,1998).



Eka Rahmawati 12/332992/EK/19010



PAI II



Satu hal yang menjadi pertentangan antara ekonomi Islam dan ekonomi kapitalis adalah mengenai halal-haramnya bunga (rente stelseel) yang bagi sebagian ulama dianggap sebagai riba. Islam mengakui maanfaat uang dalam berbagai fungsi baik sebagai alat tukar, alat penyimpanan kekayaan dan pendukung peralihan dari sitem barter ke sistem perekonomian uang. Namun riba sendiri diharamkan didalam ajaran Islam. Larangan riba dalam Islam bertujuan membina suatu paham ekonomi yang menyatakan bahwa modal tidak dapat bekerja dengan sendirinya, dan tidak ada keuntungan bagi modal tanpa kerja dan tanpa penempatan diri pada resiko sama sekali (Karim,1992). Karena itu di dalam Al Quran Islam menyatakan perang terhadap riba dan umat Islam wajib meninggalkannya (Qs. Al-Baqarah: 278), dan menghalalkan keuntungan lewat perniagaan (Qs. 83:1-6).



Konsep pemikiran Muhammad Anas Zarqa



1. Islamisasi Ekonomi Muhammad Anas Zarqa15 dalam Islamization of Economics: The Concept and Methodology mengungkapkan bahwa Islamisasi ekonomi merupakan relasi antara Islam dan ekonomi. Dimana Islam sebagai pemyataan normatif yang berperan sebagai petunjuk di dalam berbagai disiplin akademi. Zarqa mengungkapkan pemikirannya dalam sebuah diagram di bawah ini.



Eka Rahmawati 12/332992/EK/19010



PAI II



Kategori 1 dan 3 sebagai assumsi Islam normatif dimana terletak otoritas syariah text dari al Quran dan al Hadist. Kategori 2 dan 4 sebagai assumsi Islam deskriptif, di dalam kategori ini mendiskripsikan sebuah kenyataan dengan mengambil suatu hasil hubungan diantara beberapa variabel dalam masalah tertentu. Kategori 4, merupakan hubungan antara ekonomi dan Islam. Kategori 6 mendiskripsikan assumsi ekonomi, yang menangkap berbagai opini ekonomi. 2. Distribusi Sementara Anas Zarqa mengemukakan bahwa definisi distribusi itu sebagai suatu transfer dari pendapatan kekayaan antara individu dengan cara pertukaran (melalui Pasar) atau dengan cara lain, seperti warisan, shadaqah, wakaf dan zakat. (Zarqa, 1995 : 181) Dari definisi yang dikemukakan oleh Anas Zarqa di atas, dapat diketahui bahwa pada dasarnya ketika kita berbicara tentang aktifitas ekonomi di bidang distribusi, maka kita akan berbicara pula tentang konsep ekonomi yang ditawarkan oleh Islam. Hal ini lebih melihat pada bagaimana Islam mengenalkan konsep pemerataan pembagian hasil kekayaan negara melalui distribusi tersebut, yang tentunya pendapatan negara tidak terlepas dari konsep-konsep Islam, seperti zakat, wakaf, warisan dan lain sebagainya.



Eka Rahmawati 12/332992/EK/19010



PAI II



3. Sumber Pendapatan Negara Sebelum membahas tentang macam-macam sumber pendapatan negara, di bawah ini akan penulis kemukakan beberapa pembahasan yang menyangkut kriteria-kriteria yang mendukung terwujudnya distribusi dalam aktifitas ekonomi suatu negara. Hal ini berdasarkan pada asumsi sementara penulis yang cenderung menilai bahwa distribusi tersebut tidak akan pernah terwujud tanpa di topang oleh kriteria-kriteria yang merupakan pondasi kuat bagi perwujudan distribusi. Adapun kriteria yang mendukung terwujudnya distribusi tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh Anas Zarqa, meliputi : 1. Pertukaran. Kriteria ini lebih mengacu pada konsep di mana orang berhak mengeluarkan pendapatannya untuk didistribusikan kepada orang lain. Sehingga implikasi yang mengemukakan kemudian ialah adanya pondasi yang solid dalam menunjang terbentuknya kemanusiaan yang adil. 2. Kebutuhan. Yang dimaksudkan dalam pembahasan ini lebih pada nilai keadilan di mana pendistribusian tersebut haruslah disesuaikan dengan tingkat kebutuhan masingmasing individu. 3. Kekuasaan atau Negara, dengan lebih merujuk pada prinsip ini, bagaimana peran kekuasaan atau negara turut mewarnai pendistribusian kekayaan negara secara lebih merata. 4. Norma-norma yang berkaitan dengan nilai sosial atau sistem yang sesuai dengan etika. Ketiga kriteria yang telah dipaparkan hendaknya lebih mengarah pada norma-norma sosial atau mengarah pula pada nilai etika yang berkembang di masyarakat. Di antara contohnya adalah alokasi pendistribusian dari bagian pendapatan nasional hendaknya lebih diarahkan pada beberapa ilmuan atau bisa pula dikategorikan disini dengan ulama, selain itu alokasi modal hendaknya lebih mengarah pada otoritas publik guna mewujudkan peningkatan keuntungan (pendapatan) masyarakat dan masih banyak lagi uraian mengenai pentingnya distribusi yang berlandaskan pada nilai-nilai etika. (Zarqa, 1995 : 182-184) 4. Pasar bebas Anas zarqa menyatakan dalam “Islamic distributive scheme” bahwa salah satu prinsip distribusi pasar bebas yaitu: tukar menukar (exchange), kebutuhan (need), kekuasaan (power),



Eka Rahmawati 12/332992/EK/19010



PAI II



system social dan nilai etika (social system and ethical values). Muhammad anas zarqa mengungkapkan bahwa tujuan dalam pasar bebas dapat dijelaskan sebagai: kesejahteraan ekonomi adalah tujuan pasar bebas yang terpenting. Kesejahteraan ini mencakup kesejahteraan individu, masyarakat dan Negara. Menurut Muhammad Anas Zarqa, peran Negara dapat melihat kepada ulama klasik yaitu al-Ghazali. Al-Ghazali merupakan cendekiawan muslim pertama yang merumuskan konsep fungsi kesejahteraan (maslahah) sosial yang pertama. Menurutnya, maslahah adalah memelihara tujuan syariah yang terletak pada perlindungan agama (din), jiwa (nafs), akal (al), keturunan (nasab), dan harta (mal).