Mundardjito Wadah Peleburpdf [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

WADAH PELEBUR LOGAM DARI EKSKAVASI BANTEN 1976: SUMBANGAN DATA BAGI SEJARAH TEKNOLOGI 1



Mundardjito



1. Penalaran Pembicaraan dalam makalah ini berpokok kepada masalah interpretasi fungsional yang seringkali dihadapi para ahli arkeologi dalam rangkaian kegiatan eksplanatif. Seperti semua ilmu tentang masa lalu yang tergolong interpretive science, arkeologi mendasarkan eksplanasinya kepada penafsiran dari data yang yang diperoleh. Akan tetapi penafsiran arkeologi yang tidak berakar pada data yang dicapai melalui serangkaian metode terkendali dalam keseluruhan tingkat penelitian 2 , pasti tidak akan menghasilkan suatu penjelasan ilmiah yang memuaskan. Makin sedikit informasi yang dimiliki artefak, makin banyak masalah yang ditimbulkannya; makin kurang daya eksplanasi artefak, makin rendah mutu interpretasinya. Sampai sekarang banyak museum di berbagai bagian dunia masih menyimpan sejumlah artefak yang fungsinya belum diketahui atau belum diyakini kebenarannya. Beberapa keterbatasan tertentu telah menyebabkan hal ini. Artefak ditemukan dalam keadaan fragmentaris, sehingga keseluruhan bentuknya tidak dapat diketahui dengan pasti, sukar diberi penjelasan yang memuaskan melalui analisis bentuk. Artefak yang diserahkan orang ke museum sebagai temuan lepas -- tanpa dilengkapi dengan data temuan-sertanya -tidak dapat diterangkan fungsinya melalui analisis konteks, yang justru amat berperan dalam rangkaian kegiatan penelitian arkeologi. Demikian pula bilamana di dalam suatu ekskavasi seorang arkeolog menemukan artefak yang belum pernah dilihat sebelumnya, dapat diduga betapa sukarnya atau kurang yakinnya ia menjawab beberapa pertanyaan sederhana, seperti: benda apakah itu, untuk apa, bagaimana dibuatnya, dan bagaimana benda itu digunakan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. 3 1



Karangan ini pertama kali diajukan sebagai makalah pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi, yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional di Cibulan, tanggal 21--25 Februari 1977. Diterbitkan dalam Majalah-Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia VII (2) 1977:57--88, dan kemudian dalam buku Pertemuan Ilmiah Arkeologi, 1980:544--574. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. Diterbitkan dalam bahasa Inggris berjudul The Problem of Functional Interpretation: The Need of Ethnographic Analogy in Indonesia. Dalam: Aspek-aspek Arkeologi Indonesia, Aspects of Indonesian Archaeology, No. 11, 1981. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta: PT. Rifa Jaya. 2 Dimaksudkan dengan keseluruhan tingkat penelitian di sini ialah ketiga tingkat penelitian arkeologi yang dikenal dalam Arkeologi Amerika, yaitu: tingkat penelitian observasi, tingkat penelitian deskripsi, dan tingkat penelitian eksplanasi (Willey dan Phillips 1970; Deetz 1967). Kegiatan arkeolog dalam tingkat terakhir ini disebut oleh Gordon Willey sebagai processual interpretation, menggantikan istilah functionalinterpretation, yang ia gunakan sebelumnya, karena istilah yang terakhir ini kurang mencakup seluruh kegiatan eksplanasi. Rupanya Willey sukar menemukan istilah yang tepat, sehingga dikatakannya: "So little work has been done in American Archaeology on the explanatory level that it is difficult to find a name for it." (Willey dan Phillips 1970:5). 3 Selain dari keterbatasan yang banyak disebabkan adanya masalah teknis arkeologis, yang sebenarnya dapat diatasi dengan memperketat pengendalian metode pengumpulan data, ada pula masalah yang lebih subyektif, dan dirasakan tidak mudah diatasi oleh ilmu arkeologi. Kita menyadari bahwa suatu artefak tidak selalu harus ditafsirkan mempunyai fungsi tunggal dalam satu unit waktu tertentu, tetapi bisa juga berfungsi ganda atau 1



Dalam pertemuan ilmiah ini, ‘wadah pelebur logam’ dari Ekskavasi Banten 1976 diajukan sebagai satu kasus yang bertalian dengan masalah interpretasi fungsional. Meskipun jumlah artefak ini cukup banyak dan beberapa di antaranya ada yang masih utuh, tetapi hanya dengan analisis bentuk (formal analysis) dan analisis konteks (contextual analysis) saja, ternyata tidak dapat dihasilkan keterangan yang patut diyakini. Baru setelah dilakukan studi analogi-etnografi (ethnographical analogy) dan percobaan peniruan (imitative experiment) yang diikuti dengan pemeriksaan laboratoris 4 , hasilnya cukup berarti untuk membangun suatu hipotesis yang akan diuji pada penelitian lapangan berikutnya. Sudah tentu kami tidak beranggapan bahwa cara penyelesaian masalah yang kami lakukan adalah satu-satunya model kerja yang paling baik dalam mencapai kesatuan pengetahuan tentang jenis artefak ini. Ini hanya merupakan sebuah model kerja yang pada akhirnya berakibat pada rencana penelitian dan pelaksanaan penelitian selanjutnya. Kami menganggap bahwa hasil studi ini perlu dikemukakan dalam pertemuan yang dihadiri oleh banyak ahli arkeologi, karena wadah pelebur logam adalah jenis artefak yang amat langka ditemukan dalam penggalian-penggalian di manapun. Bahkan sejauh pengetahuan kami, hingga kini belum pernah ada satu ekskavasi di Indonesia yang menghasilkan temuan artefak serupa ini. Bukan hal yang mustahil jika kelak kita akan menemukannya pada situs-situs yang tergolong dalam kelas situs-kota (urban-site) atau situs-pemukiman (settlement-site), yang dihuni oleh kelompok masyarakat yang sudah mengembangkan teknologi dan industri logam. 5 Dengan mengemukakan data serta masalah yang berhubungan dengan ini, diharapkan pada waktu yang akan datang akan dapat diperoleh data yang jauh lebih berarti dalam usaha kita untuk memberi sumbangan kepada penyusunan sejarah teknologi. 2. Wadah Pelebur Logam Di antara temuan hasil ekskavasi Banten 1976 6 , yang berjumlah lebih dari 40.000 buah terdiri dari kira-kira 40 jenis, terdapat 762 artefak yang dalam makalah ini kami beri nama "wadah pelebur logam", yaitu sebuah istilah deskriptif untuk jenis artefak yang oleh penduduk disebut kowi (Sunda dan Jawa), musa (Bali dan Madura), atau tambingka (Minangkabau). 7 Mereka menggunakannya untuk tempat melebur campuran bahan logam dan timah (yang menjadi bahan perunggu) dalam proses pembuatan alat-alat gamelan. Wadah pelebur yang kecil sekali (sekitar 1--5 cm) biasanya digunakan untuk melebur logam emas dalam proses pembuatan alat perhiasan. Wadah pelebur logam perunggu dari



lebih dari satu. Kita juga menyadari sepenuhnya bahwa fungsi artefak tidak senantiasa sama sepanjang masa, melainkan dapat berubah-ubah dari satu masa ke masa berikutnya. Begitu pula sebuah artefak misalnya dapat berbeda fungsinya dalam dua kelompok masyarakat yang tidak sama, tergantung kepada sistem atau subsistem budaya yang mengikatnya. Lewis R. Binford telah mendiskusikan berbagai aspek dari fungsi artefak dalam karangannya di majalah American Antiquity (Binford 1962). 4 Percobaan-peniruan telah dilakukan oleh Sdr. Samidi, Kepala Sektor Kemiko Arkeologi, dan pemeriksaan laboratoris dikerjakan oleh anggota staf pada Laboratorium Kemiko Arkeologi, Proyek Pemugaran Candi Borobudur (Laporan Khusus nomor 618/E.2/BB.1976). 5 Trowulan sebagai situs-kota (yang sampai sekarang dapat dijadikan sampel dari situs-kota dari masa sebelum kota-kota "Islam") mungkin sekali memiliki situs-perbengkelan-logam seperti disebutkan di atas. 6 Ekskavasi Banten 1976 diselenggarakan dalam bulan Juli dan merupakan program kerjasama antara Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dalam Proyek Penelitian dan Penggalian Purbakala dengan Fakultas Sastra Universitas Indonesia. 7 Lihat: Jasper dan Pirngadie 1927, IV:25. Istilah yang dipakai dalam kepustakaan asing untuk wadah pelebur logam ialah smeltkroes (Belanda) dan crucible (Inggris). 2



Ekskavasi Banten 1976 ini bentuknya silindrik seperti gelas atau cawan-dalam8 , dibuat dari bahan utama tanah liat, mempunyai ukuran bermacam-macam (tingginya antara 10-14 cm), berdinding tebal (terutama jika dibandingkan dengan ketebalan wadah tembikar biasa yang berukuran sama), dan bentuk permukaan dinding luarnya tidak rata melainkan berceruk-ceruk kecil, serta terlapis oleh lapisan atau lelehan bekuan mineral berwarna merah tua kilap kaca. Pada tepian wadah (rim) 9 terdapat sebuah saluran terbuka (cucuk, bhs. Jawa), sedangkan pada bagian yang berhadapan dengan saluran ini terdapat sebuah tonjolan berbentuk persegi atau membulat. Dasar wadah tidak rata, sehingga tidak dapat diberdirikan pada tempat yang datar, apalagi karena hampir semua dasar wadah digantungi oleh bekuan mineral yang meleleh dan meruncing ke bawah. Warna permukaan dindingdalam kurang merah, tidak berlapis bekuan mineral, dan lekukan-lekukannya terbentuk sebagai akibat tekanan oleh jari tangan dalam proses pembuatan. Pecahan wadah pelebur logam untuk pertama kali diketahui ketika dilakukan surveipermukaan beberapa hari sebelum ekskavasi. Karena belum dapat diidentifikasi sepenuhnya, temuan ini hanya dianggap sebagai fragmen wadah tanah liat berwarna merah kilap kaca. Temuan ini mudah sekali diamati dan amat mencolok di sela-sela gumpalan tanah di ladang penduduk, karena selain dari warna merah dan kilaunya, juga beberapa di antaranya telah ditemukan bersama-sama dengan partikel perunggu/tembaga yang berwarna hijau cerah dan butir-butir arang berwarna hitam pekat. Daerah sebarannya ialah di situs Sukadiri (SKD), kira-kira 300 meter di sebelah baratdaya Mesjid Agung Banten atau di sebelah barat Keraton Surosowan. Kemudian setelah ekskavasi berlangsung, dapat pula dilihat beberapa wadah pelebur yang masih utuh pada irisan dinding sebuah sumur milik penduduk dalam posisi berjajar dan tertangkup semua. Setelah temuan utuh ditemukan, maka setiap artefak serupa diberi nama "Wadah X", untuk kepentingan taksonomi selama ekskavasi berlangsung. Pemberian nama ini tentu bersifat sementara sampai para peneliti Banten yakin akan fungsinya. Setelah penggalian berakhir, ternyata telah dapat dikumpulkan 762 buah, terdiri dari 744 pecahan dan 18 buah yang masih utuh. Sebaran temuannya ialah sebagai berikut: Tabel 1. Sebaran Temuan Wadah X di Kotak Gali No. 01. 02. 03. 04. 05. 06. 07. 08.



Kotak Gali SKD VII SKD XIII SKD VI SKD V SKD XII SKD XV SKD IX SKD XIV Jumlah



Pecahan 343 227 140 28 5 1 0 0 744



Utuh 6 9 2 1 0 0 0 0 18



Jumlah 349 236 142 29 5 1 0 0 762



Himpunan temuan 10 yang paling banyak memberikan sumbangan data berkenaan dengan fungsinya ialah yang terdapat di SKD VII, karena selain terdapat pemusatan 8



Henry Hodges mendeskripsikan wadah pelebur logam sebagai "a deep cup-shaped container" (Hodges 1971b:69). 9 Dengan istilah ‘tepian’, kami maksudkan sebagai pengganti istilah rim (bhs. Inggris) seperti disebut dalam kamus arkeologi; dan kami bedakan dengan istilah ‘bibir’ untuk mengganti kata lip (bhs. Inggris) yang juga dikenal dalam terminologi pottery. 3



temuan wadah pelebur, juga ditemukan lantai bata yang masih tersusun seluas kira-kira 2 x 2 meter, sebuah hamparan bekuan bahan perunggu/tembaga seluas kurang lebih 1.5 x 0.5 meter, sejumlah besar partikel perunggu/tembaga, dan besi, kerak logam 11 , fragmen alat besi, beraneka ragam pecahan wadah keramik lokal maupun asing, mata uang logam, dan lain-lainnya, semuanya terdapat dalam kotak galian yang berisi tanah gembur berwarna kehitaman bercampur butir-butiran arang kayu dan bambu. 3. Analisis Merupakan satu keadaan yang menguntungkan apabila selama penggalian berlangsung para peneliti dapat melakukan perjalanan studi ke desa guna memperoleh pengetahuan yang berkenaan dengan temuan-temuannya. Sudah tentu hal serupa itu hanya dapat dilakukan pada daerah-daerah tertentu, di mana berbagai kebiasaan dan tingkah laku masyarakatnya dianggap merupakan kelanjutan dari tradisi masa lalu. Demikian misalnya untuk mendapatkan gambaran mengenai tembikar yang ditemukan dalam ekskavasi, arkeolog biasanya berusaha memperoleh data bandingan dari kelompok masyarakat pembuat tembikar (penganjun) yang desanya terletak dalam jarak yang dapat dipertimbangkan. Pengetahuan ini dapat diperoleh dengan cara pengamatan langsung dan serangkaian wawancara. Tetapi masalahnya ialah di dekat situs ekskavasi belum tentu ada desa yang masih menyimpan kebiasaan-kebiasaan membuat dan atau memakai tembikar. Adalah ideal pula bilamana selama ekskavasi para arkeolog dapat melakukan beberapa percobaan-peniruan tertentu, yang hasilnya amat diperlukan untuk pelaksanaan operasi arkeologi yang sedang diselenggarakan. Namun kebiasaan membawa seperangkat perlengkapan laboratorium lapangan belumlah ada di negara kita. Meskipun kemudian diketahui bahwa di Bogor, yaitu di tempat pembuatan gamelan 12 , mungkin dapat dilihat benda-benda serupa wadah X yang sedang dipermasalahkan, namun beberapa keterbatasan tertentu menyebabkan para peneliti mengurungkan keinginannya untuk mengamati tempat itu. Dalam masa penggalian di Banten hanya dapat diselenggarakan analisis-bentuk dan analisis konteks, seperti biasa dikerjakan oleh para ahli arkeologi. Di atas telah diuraikan bagaimana bentuk wadah X yang ditemukan di Banten. Ditilik dari bentuknya yang cekung seperti gelas, dapat diduga bahwa wadah ini dipakai untuk menempatkan benda cair. Kegunaan benda ini makin jelas karena pada tepian wadah terdapat sebuah saluran penuang cairan dan juga semacam pegangan yang diduga untuk memudahkan pelaksanaan penuangan itu. Kemudian jika dilihat hasil klasifikasi wadah X 10 Himpunan temuan atau himpunan adalah istilah yang kami berikan untuk pengertian assemblage, sedangkan untuk istilah aggregate kami terjemahkan menjadi kumpulan temuan atau kumpulan (Lihat Childe 1956:31). 11 Dimaksudkan dengan kerak logam ialah sisa tuangan atau sisa tempaan logam besi atau perunggu. Kerak besi ialah istilah untuk mengganti istilah iron-slag, sedangkan kerak perunggu untuk istilah bronze-slag. Ciricirinya ialah: berbentuk gumpalan tidak teratur sampai sebesar kepal tangan, permukaannya tidak rata, banyak lekukan dan lubang pori-pori, berwarna coklat kekuning-kuningan karena berkarat, di beberapa tempat kelihatan ada arang, bagian dalam berwarna antara abu-abu sampai hitam, timbangannya berat. Orang sering mengumpulkannya untuk campuran bahan bangunan, atau meleburnya lagi jika kadar besi atau perunggunya masih cukup banyak. Bagi arkeologi, ini penting diperhatikan karena benda-benda sisa pengerjaan logam ini menjadi salah satu indikator penting untuk mengetahui jenis situs (yaitu situs perbengkelan), jenis komunitas (yaitu komunitas industri), dan lain-lain. Kerak besi ditemukan juga di situs Bukit Patenggeng, Subang (Mundardjito dkk. 1973:33--34), di situs Ratu Baka (Teguh Asmar dkk. 1973:33), di situs Bowongan (Laporan Penataran Metode Arkeologi 1976:66), di situs Pasir Pasarean di dataran tinggi Bandung (benda-bendanya dipamerkan di Museum Geologi Bandung), dan di situs halaman bawah Candi Borobudur sebelah baratdaya. 12 Periksa Isobel Shaw 1976.



4



yang menunjukkan adanya aneka ukuran 13 , maka kita dapat menduganya bahwa wadah ini digunakan untuk cairan dalam ukuran jumlah yang berbeda-benda pula. Fungsinya mungkin semacam gelas-ukur di laboratorium. Menilik kepada tanda-tanda bekas terbakar yang terdapat pada dinding luar dan dinding dalam wadah, serta seringkali dijumpai arang menempel pada badannya, mungkin benda ini digunakan untuk mendidihkan benda cair pada tungku perapian. Bentuk tungku ini harus sedemikian rupa sehingga wadah ini dapat berdiri, terutama karena dasar wadah itu berbentuk cembung dan sering merupakan tempat berkumpulnya bekuan bahan tertentu (yang mengakibatkannya makin tidak rata). Permukaan dinding luar juga berkerut-kerut dan tidak rata, padahal permukaan wadah tembikar pada umumnya rata. Hampir seluruh badan wadah dilapisi bahan cairan panas yang kemudian membeku dan membentuk kerut-kerut, ceruk-ceruk, dan tonjolan-tonjolan yang amat tidak teratur. Lapisan luar yang terdapat pada permukaan badan wadah ini lebih banyak menunjukkan warna merah tua dan berkilau jika kena cahaya, serta di beberapa tempat seringkali berwarna hijau kehitaman. Semua data yang disebutkan tadi membawa kita kepada anggapan bahwa wadah X dipakai untuk memasak cairan berwarna merah dan diletakkan di atas perapian. Bekuan warna merah yang meleleh pada dinding luar mungkin merupakan tumpahan cairan dari dalam wadah pada saat pemanasan dilakukan. Berdasarkan peta Serrurier tahun 1900 yang tidak berskala itu 14 , situs yang digali para peneliti bisa termasuk daerah Pajantran (tempat pertenunan), tetapi bisa juga termasuk daerah Kapandean (tempat pemandaian logam). Apabila kita hubungkan temuan wadah X ini dengan Pajantran, kita dapat beranggapan bahwa artefak ini digunakan untuk memasak cairan tertentu untuk memberi warna kain tenun yang diproduksi. Dengan demikian warna merah pada dinding adalah tumpahan benda cair dari dalam. Tetapi pendapat ini menimbulkan pertanyaan berikutnya: apakah semua kain tenun yang dikerjakan di sini hanya diberi warna merah? Sebaliknya, kalau ini dihubungkan dengan Kapandean, kita dapat menduga bahwa wadah X tersebut dimaksudkan orang untuk mencairkan logam. Jenis logam apa yang membuat warna merah pada dinding luarnya dan mengapa pada dinding dalam tidak berwarna serupa itu, semua ini adalah pertanyaan yang hanya mungkin dijawab dengan analisis-khusus di laboratorium. Namun, dari data analisis-kontekstual seperti akan diuraikan di bawah nanti, kita dapat mempunyai kecenderungan untuk mengambil pilihan kedua. Dari sudut teknik pembuatannya dapat diamati bahwa wadah X dibentuk dengan teknik tangan, tidak dengan teknik memutar dengan roda-putar (turntable) 15 . Dugaan ini didasarkan pada kenyataan-kenyataan sebagai berikut: (1) permukaan dinding-dalam yang berlekuk-lekuk atau bergelombang menunjukkan lekukan bekas tekanan oleh jari tangan pembuatnya; (2) permukaan dinding-dalam tidak menampakkan garis-garis sejajar bekas putaran roda-putar (striation); dan (3) dilihat dari keseluruhan bentuknya wadah ini kurang simetris serta tidak konsentris. Dari permukaan dinding-dalam dapat pula kita amati bahwa dalam proses pembuatannya tidak digunakan pelandas (anvil). Hal ini memang dapat disebabkan pemadatan dinding tidak diperlukan, tetapi juga mungkin karena sempitnya ruang gerak. Sehingga sekalipun dipakai pelandas kecil, secara teknis tidak dapat dikerjakan dengan efektif. Jika ditilik dari ketebalan dinding yang tidak seimbang dengan 13



Untuk kepentingan klasifikasi taksonomis, kami menggolongkannya ke dalam 3 kelas, yaitu: (1) tipe besar, berukuran tinggi 20 cm, diameter 15 cm, dan tebal 3 cm; (2) tipe sedang, berukuran 15, 10, dan 2 cm; dan (3) tipe kecil, berukuran 15, 8, dan 1 cm. 14 Lihat Peta sketsa Banten Lama yang dibuat oleh K. Serrurier, TBG, XLV, 1902. 15 Istilah "roda putar" mungkin dirasakan kurang tepat, sama halnya dengan istilah yang juga kurang tepat: potter's wheel, tetapi amat umum digunakan di kalangan arkeolog. Dalam kepustakaan arkeologi dikenal pula tournette, selain turntable. Sedangkan istilah lokalnya (Jawa atau Sunda) ialah perabot atau perbot. 5



ukuran tinggi dan lebarnya, dapat ditafsirkan bahwa pemadatan dengan alat pemukul atau tatap (paddle), tidak dilakukan. Apalagi jika kita amati lebih jauh lagi bahwa dinding wadah amat berpori. Hal ini memberi gambaran bahwa proses pemadatan dinding tidak terjadi. Seakan-akan ketebalan yang menyolok dan berpori banyak itu, dimaksudkan untuk memberikan kemungkinan adanya daya lentur yang dibutuhkan oleh wadah X, terutama dalam menghadapi proses pemanasan yang tinggi. Sehubungan dengan ini kita dapat pula mengajukan pertanyaan yang sifatnya tidak mendukung adanya hubungan antara wadah X dengan kegiatan pertenunan di Pajantran; apakah cairan warna untuk kain tenun itu perlu dipanaskan sedemikian tinggi, jauh lebih tinggi daripada titik didih air? Dari konteks temuan-serta di SKD VII, yaitu: (1) sejumlah partikel perunggu dan butiran arang yang menempel pada dinding wadah X, (2) beberapa fragmen alat-alat besi, (3) fragmen-fragmen cetakan untuk mencetak benda logam yang terbuat dari tanah liat, (4) sejumlah kerak besi dan kerak perunggu, (5) hamparan bekuan perunggu seluas 1.5 x 0.5 meter, dan (6) tanah deposit berwarna hitam sebagai akibat percampurannya yang terusmenerus dengan arang, semua data konstektual ini memberi petunjuk mengenai hubungan yang erat antara wadah X dengan hal-hal yang berkenaan dengan sistem pengerjaan benda logam. Jadi apabila harus dijatuhkan pilihan, maka kita akan lebih cenderung memilih hubungannya dengan kegiatan memandai logam di Kapandean daripada dengan Pajantran. Melalui dua macam analisis yaitu analisis-bentuk (analisis spesifik) dan analisis-konteks, maka untuk sementara kita dapat menarik kesimpulan bahwa situs SKD VII pada khususnya adalah bengkel kerja pandai logam, di mana dahulu dilakukan pekerjaan pandaitempa maupun pandai-tuang. Akan tetapi dengan kesimpulan tersebut di atas tidaklah berarti bahwa masalah interpretasi fungsional telah selesai. Menurut hemat kami semua data yang telah diperoleh selama ekskavasi, masih harus diuji dan ditambah dengan bahan etnografi yang dapat dikumpulkan sesudah masa ekskavasi. Para peneliti Banten beranggapan bahwa dengan analogi-etnografi mungkin dapat diungkapkan hubungan antara wadah X dengan temuantemuan lainnya di SKD VII, seperti: bangunan struktur berupa lantai bata berukuran 2 x 2 meter, sekitar 1500 buah fragmen wadah keramik lokal dan keramik asing, 4 buah mata uang logam 16 , 12 buah terakota bulat (gacuk, bhs. Jawa; terracota disc, bhs. Inggris) 17 , sejumlah kerang, karang, siput, lokan, ikan, tulang burung, dan lain-lain. Pengumpulan bahan etnografi dengan dilandasi oleh pemikiran yang berorientasi kepada masalah arkeologi, menurut hemat kami adalah sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Pertimbangan teoritis yang melandasi penggunaan analogi-etnografi dalam interpretasi arkeologi sebagaimana disebutkan di atas telah menarik perhatian para ahli arkeologi dan antropologi dalam 15 tahun terakhir ini. 18 Landasan konsepsional dari penggunaan persejajaran ini ialah pandangan uniformitarianism dari gejala-gejala alam dan tingkah laku manusia. 19 Gejala alam pada masa lalu yang berkenaan dengan stratifikasi, 16



Dua di antara mata uang itu telah dapat diidentifikasi oleh Bagian Numismatik Museum Pusat Jakarta, sebagai mata uang VOC yang berasal dari tahun 1769 dan 1770, terbitan Dordrecht (Belanda). 17 Artefak-artefak ini hanya ditemukan di SKD VII. Diameternya antara 0.50, 1, 2, 3, dan 4 cm. Ditilik dari sisinya yang tidak rata, tampak bahwa gacuk-gacuk ini tidak dibuat secara khusus, dalam arti dikerjakan lebih dulu dengan rapi sebelum dibakar. Kami berpendapat, artefak ini dibuat dari pecahan wadah keramik lokal yang sudah tidak dipakai lagi. Sukar menafsirkan fungsi sebenarnya, karena keletakannya dalam satu himpunan dengan alat-alat dan sisa-sisa pengerjaan logam, tidak mendukung anggapan bahwa gacuk berfungsi keagamaan, seperti misalnya yang mungkin dimiliki oleh artefak serupa yang ditemukan di situs Borobudur atau Palembang (Ekskavasi Palembang 1974). 18 Lihat karangan-karangan Robert Ascher 1961 dan 1962; Lewis R. Binford 1967 dan 1968; Chang 1967; Leslie Freeman 1968. 19 Periksa Watson dkk. 1971:49 6



erosi, gerakan tektonis dan sebagainya, dapat ditafsirkan melalui studi mengenai gejalagejala serupa pada masa kini. Tingkah laku manusia dalam penciptaan dan penggunaan sistem peralatan untuk menanggapi lingkungan alam pada masa lampau, dapat dipelajari melalui studi etnografi dari berbagai masyarakat sekarang yang belum banyak mengalami perubahan-perubahan. Pengalaman telah membuktikan bahwa sukar bagi kita untuk melakukan interpretasi arkeologi sebelum kita melihat dan mengenal gejala-gejala yang sama yang terdapat dalam suatu masyarakat yang masih hidup. Alat batu yang semula dianggap sebagai gejala alam (gigi gledek), baru dapat diketahui sebagai alat kerja manusia, setelah Mercati pada abad ke-16 mengetahui fungsi alat itu dalam masyarakat yang belum dijamah oleh Revolusi Industri. 20 Baru jauh sesudah itu, yaitu setelah 300 tahun, kapak batu yang masih dipasang pada gagangnya dapat ditemukan di Swiss. Untuk kepentingan pemecahan masalah fungsi wadah X, maka dalam masa ekskavasi beberapa mahasiswa antropologi dan arkeologi peserta ekskavasi melakukan pengumpulan data etnografi di desa Kepandean (nama yang sama dengan situs yang sedang digali, tetapi daerahnya lain), Kecamatan Ciruas, Kabupaten Serang. Di desa yang berpenduduk sekitar 3000 orang dengan 450 buah rumah, terdapat 20 bengkel pengerjaan logam besi. Para pengamat telah merekam denah dan keletakan bengkel, serta alat-alat dan perlengkapan barang-tidak-bergerak yang ikut berperan dalam proses pembuatan alat-alat dari besi. Lebih dari 20 macam alat telah digambar bentuknya, dicatat kegunaan dan cara pakainya, serta nama-nama alat. Selain dapat diamati proses dan cara kerja, telah diamati pula beberapa aspek tingkah laku lain yang mungkin berguna kelak bagi eksplanasi arkeologi. Namun, justru benda yang berbentuk seperti wadah X tidak ditemukan. Hal ini kemudian dapat dipahami karena di tempat ini hanya dilakukan pekerjaan menempa besi, dan tidak ada pekerjaan lebur-melebur seperti yang terdapat dalam kegiatan pengerjaan alat-alat perunggu. Menyadari masih kurangnya data-masuk untuk bahan banding, maka sesudah ekskavasi selesai, dilakukan perjalanan studi ke desa Pancasan, kotamadya Bogor. Bengkel kerja yang dimiliki dan dipimpin oleh Sukarna, adalah satu-satunya tempat di Jawa Barat yang sampai saat ini masih membuat instrumen musik gong dan alat gamelan lain. 21 Di tempat inilah dapat dilihat proses pembuatan gong dari mulai saat melebur dan mencampur tembaga dengan timah di dalam wadah pelebur (kowi), mencetaknya dalam cetakan dari tanah liat, menempanya setelah dipanaskan dalam bara api, sampai terbentuk sebuah gong berdiameter 90 cm. Yang penting ialah di sini dapat dilihat sejumlah wadah pelebur logam yang sudah tidak dapat dipakai lagi, tergeletak dan terlena di sudut-sudut bengkel. Beberapa di antaranya masih utuh, tetapi kebanyakan sudah pecah. Seluruh situasi dapat direkam dengan mudah karena keterbukaan pemilik yang benar-benar mempunyai keahlian turun-temurun. 22 Di tempat ini dapat dilihat konteks dari wadah pelebur logam dengan amat jelas, serta fungsinya di dalam seluruh kegiatan. Konteks itu ialah: (1) tebaran arang di seluruh ruangan sehingga lantai tanah berwarna hitam, (2) tempat-tempat perapian berbentuk cekungan-cekungan di lantai tanah dalam berbagai ukuran dan penuh terisi arang dan abu, (3) bak air untuk mendinginkan logam membara yang sedang dalam proses pembentukan, 20



Lihat Childe 1956:48.



21



Menurut Isobel Shaw pada tahun 1945 ada 20 ahli pembuat gong yang bekerja di Jawa Barat. Dikatakannya juga bahwa sekarang hanya tinggal dua yang giat bekerja di seluruh Jawa, yaitu Bpk. Resowiguno di Solo dan Bpk. Sukarna di Bogor. 22 Menurut Sukarna sendiri, yang mendapat pengetahuan dari ayahnya (almarhum), anaknya tidak berkeinginan melanjutkan pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus ini. Dengan demikian Sukarna adalah ahli pembuat gong yang terakhir di wilayah Jawa Barat. 7



(4) batu pipih pada lantai tanah untuk digunakan sebagai landasan penempaan, (5) alat penghembus udara dari kulit kambing (skin bellows) 23 yang diperlengkapi dengan pipa saluran angin, (6) cetakan-cetakan terbuat dari tanah liat dalam berbagai bentuk dan ukuran, (7) alat-alat dari besi, seperti bermacam-macam palu bergagang kayu yang mempunyai guna dan nama sendiri, berbagai bentuk alat pencapit, serta alat-alat pencungkil bergagang kayu dengan ukuran panjangnya antara 1 sampai 2 meter. Para peneliti diberi kesempatan khusus untuk melihat bahan perunggu yang dilebur dalam wadah pelebur di atas perapian. Permukaan dinding-luar wadah pelebur logam Bogor memang tampak dengan jelas berkerut-kerut dan berlekuk-lekuk, berwarna merah tua dan cukup berkilau jika kena cahaya. Tetapi warna merahnya agak lain dan tidak sekeras wadah X dari Banten. Demikian pula, bentuknya lebih buntak seperti mangkuk besar, dengan ukuran garis tengahnya lebih besar dibandingkan dengan tingginya, 24 serta pada tepiannya tidak terdapat saluran dan pegangan. Mereka tidak dapat menjelaskan mengapa permukaan dinding-luar berkerut-kerut, sedangkan dinding dalam tidak. Dari hasil wawancara hanya dapat diketahui bahwa terjadinya kerutan itu tidak disebabkan karena luapan cairan perunggu yang tertumpah, tetapi karena hasil pemanasan di dalam perapian ketika proses peleburan logam berlangsung. Hanya yang masih menjadi soal ialah: apakah ini disebabkan karena bahan mineral tanah liatnya ikut mencair, atau unsur di dalam arang pembakar yang menghasilkan cairan, keluar dan menempel pada dinding-luar wadah, seperti dijelaskan oleh Sukarna sebagai informan ahli. Meskipun sekarang makin menjadi jelas fungsi dari wadah X, namun masih ada beberapa soal yang perlu mendapat jawaban. Selain dari itu, pengumpulan data-masuk, jika mungkin, harus diperoleh dari studi terhadap lebih dari satu sampel unit penelitian. Sebab dalam pengumpulan data empiris, prinsip yang perlu diperhatikan ialah: satu sampel bukanlah sampel. Demikianlah dalam bulan September 1976 dilakukan perjalanan studi 25 ke desa Tihingan, dekat kota Klungkung, kira-kira 40 kilometer dari Denpasar, Bali. Tihingan dikenal sebagai satu-satunya desa di Bali yang masih giat membuat alat-alat musik gamelan. Tentu saja masalah yang paling utama diperhatikan bukan hal-hal yang berkenaan dengan sistem kemasyarakatan seperti yang menjadi perhatian Clifford Geertz, 26 tetapi masalah-masalah teknologis belaka. Menurut seorang informan ahli, I Wayan Sandia, 27 di desa ini terdapat 20 rumah 23



Kalau di Bogor orang menggunakan kulit kambing utuh untuk alat penghembus udara ke dalam perapian (skin bellows), di Tihingan, seperti juga yang ada di Jawa dan Sumatera, menggunakan sepasang batang pohon kayu berbentuk silindrik (cylinder bellows). Masih ada satu bentuk lagi yang disebut drum bellows, seperti dikemukakan oleh Henry Hodges (1971b:67--68). 24 Salah satu wadah pelebur logam di Bogor berukuran tinggi 14 cm, tetapi garis tengahnya 28 cm, dan tebal dinding 4 cm. 25 Perjalanan studi ini dilakukan oleh I Ktut Linus, Ny. I.G.A. Surasmi, I Putu Darsana, dan Mundardjito, serta seorang pembantu tukang yang pernah bekerja di salah satu perapen. 26 Lihat karangan Geertz dalam Koentjaraningrat 1964:169--198. 27 I Wayan Sandia adalah seorang ahli yang cukup berpengaruh di desa itu, sudah lebih dari 15 tahun bekerja. Kini usianya 53 tahun. Ia pernah menemui ayah dari Sukarna di Bogor untuk memperoleh pengetahuan mencampur timah dan tembaga menjadi perunggu, sedangkan kunjungannya ke Sumatera ialah untuk melaras gong. Umumnya pada usia 50 tahun, mereka sudah tidak bekerja lagi, karena keadaan kesehatan amat menurun. Keluhan yang paling utama ialah sakit dada dan sakit mata. Kedua penyakit ini mungkin disebabkan karena aktivitas menempa dengan palu-palu besar sambil membungkuk dan sinar api dari arang dan perunggu membara yang amat menyilaukan mata. Anjuran untuk menggunakan kacamata hitam pada waktu bekerja tidak diperhatikan, karena alasan dengan kacamata hitam mereka tidak dapat melihat warna api dan logam membara secara tepat. Justru warna api ini yang menjadi petunjuk apakah menempa masih harus dilanjutkan atau berhenti, untuk kemudian dibakar lagi dalam perapian. 8



yang memiliki tungku atau perapen; 4 buah di antaranya merupakan perapen besar yang dapat membuat satu set lengkap gamelan Bali. Terdapat 25 orang ahli, termasuk Wayan Sandia, 75 orang setengah atau kurang ahli, dan kira-kira 100 orang pembantu tukang. Pengamatan langsung dilakukan di sebuah perapen besar, satu perapen kecil yang sedang bekerja, satu perapen kecil yang sedang tidak bekerja, 28 dan sebuah perapen kecil yang diminta oleh peneliti untuk digunakan membuat wadah pelebur, sampai kepada proses atau tahap peleburan di dalam tungku dan penuangan cairan perunggu dalam cetakan. 29 Demikian pula wawancara dilakukan terhadap beberapa orang terdiri dari ahli, setengah ahli, dan pembantu tukang. 30 Bengkel kerja letaknya berdampingan dengan rumah tinggal di dalam pagar tembok keliling. Sama seperti di Bogor, di Tihingan pun dapat dilihat konteks sebagai berikut: tebaran arang di mana-mana, tempat perapian lebih dari satu, 31 bak air pendingin logam membara, batu pelandas tempa berbentuk persegi panjang, alat penghembus udara (ububan), 32 cetakan-cetakan dari berbagai ukuran, serta beraneka bentuk dan ukuran peralatan tempa, capit dan cukil. 33 Dan sudah tentu yang paling penting ialah sejumlah wadah pelebur logam yang sudah dipakai melebur, dalam bentuk utuh atau pecahan, bertebaran di sudut-sudut ruangan, bertumpuk di dekat tungku, 34 atau di tempat pembuangan sampah. Bentuk musa dari Tihingan tidak buntak seperti kowi Bogor, tetapi profilnya menyerupai gelas, sama seperti wadah X Banten. Musa juga mempunyai sebuah saluran pada tepiannya, seperti dimiliki oleh wadah X Banten. Selain itu, ciri-ciri lain menunjukkan persamaan antara kedua wadah itu, ialah: permukaan dinding-dalam tidak semerah dinding-luar dan lebih menunjukkan warna hitam, dinding-luar berwarna merah tua kilap kaca dan berlekuk-lekuk, dasar wadah cembung, bahan utamanya tanah liat, dindingnya tebal dan berpori banyak sehingga tidak keras-padat, serta ukurannya berbedabeda. 35 Kecuali musa Tihingan tidak mempunyai semacam pegangan pada tepiannya, hampir seluruh ciri-ciri pokoknya memiliki kesamaan. Persamaan atribut ini mendorong para peneliti untuk berpendapat bahwa wadah X Banten mempunyai fungsi yang tidak berbeda dengan wadah pelebur Tihingan, yang digunakan untuk melebur logam, dan bukan 28



Selain melihat kegiatan bekerja, yang tentu juga bermanfaat, arkeolog sering merasa lebih bermanfaat untuk melakukan pengamatan sendiri secara langsung terhadap sisa-sisa dari kegiatan para pekerja. Pengamatan atas sisa-sisa yang tidak bergerak ini (fossilized behavior) tak ubahnya seperti ahli arkeologi mengamati situs arkeologi yang sedang ditelitinya. Seringkali jika wawancara dilakukan, arkeolog dapat terpengaruh oleh keterangan dari wawancara itu. 29 Orang yang membuat wadah pelebur ialah Bpk. Sukerti, yang bekerja pada seorang ahli bernama Pan Perapti. Para pelebur perunggu adalah Made Degdeg dan Nyoman Sumerta. Sedangkan yang menjalankan ububan adalah Ktut Sumanti dan Wayan Puniasiti. 30 Tingkat keahlian para pekerja tampak nyata sekali, terutama pada saat mereka sedang bekerja. Peranan dan tanggungjawabnya berbeda, namun secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang amat erat dan saling berkaitan. 31 Banyak perapen yang mempunyai ububan lebih dari satu. Dalam prasasti Jawa Kuno dinyatakan bahwa seorang pandai logam yang memiliki ububan lebih dari tiga pasang, harus membayar pajak (Buchari 1976:7). 32 Semua perapen di desa ini menggunakan ububan tipe silinder (Lihat catatan nomor 22). 33 I Wayan Sandia memiliki alat-alat tidak kurang dari 30 macam. 34 Tungku di Tihingan merupakan satu bangunan struktur, yang dibuat sedemikian rupa sehingga bahan bakar arang dapat dihemat. Sedangkan tungku di Borobudur hanya berbentuk sebuah cekungan lebar dengan garis tengah sampai 2 meter dan seluruh cekungan ditimbuni arang bakar. 35 Musa yang tingginya 20 cm dan diameternya 13 cm berisi 6 kg bahan perunggu, sehingga untuk sebuah gong besar yang beratnya 24 kg dibutuhkan 4 buah musa. Sedangkan yang berukuran 15 x 12 cm (diameter) berisi 5 kg; yang berukuran 14 x 10 cm untuk 3 x 8 cm untuk 1 kg perunggu. 9



untuk melebur cairan bahan lain. Pendapat ini dapat didukung oleh persamaan konteks, ialah: tanah gembur berwarna hitam dan mengandung abu, butiran-butiran arang tersebar di mana-mana, lantai tidak semua datar tetapi ada bagian-bagian yang lebih rendah, wadah pelebur ada yang tersusun dengan cara tertangkup dan ada yang tersebar begitu saja, terdapat partikel-partikel perunggu dan kerak logam, dan alat-alat dari besi (dalam hal ini di Banten tentu hanya dapat ditemukan fragmen yang sukar diketahui bentuk aslinya). Tetapi yang masih menjadi persoalan ialah: apakah wadah pelebur Banten dipakai dalam rangka kegiatan membuat gong dan alat gamelan lain, atau untuk keperluan lain? Pertanyaan ini belum dapat terjawab. Pertanyaan mengenai apa sebabnya terdapat hamparan perunggu di SKD VII, agaknya dapat terjawab oleh kenyataan-kenyataan yang sering dialami para pandai di Tihingan. Apabila pada saat sedang melebur logam, musa di dalam tungku pecah, maka cairan perunggu akan tertumpah ke dasar tungku atau perapen dan akan membentuk hamparan perunggu. Itulah sebabnya para pandai di Tihingan membuat konstruksi tungku sedemikian rupa terbuka pada dindingnya sehingga cairan perunggu yang tertumpah dapat diambil lagi. Hal itu dianggapnya sukar jika terjadi pada tungku model Bogor. Masalah tinggi rendahnya lantai SKD VII, mungkin juga dapat dicari jawabannya pada bengkel-bengkel di Tihingan. Mereka berpendapat apabila seluruh ruangan lantainya rata, maka para penempa akan terlalu bungkuk dalam melaksanakan penempaan logamnya. Mereka berdiri pada lantai yang rendah, sedangkan benda yang ditempa terletak pada lantai yang lebih tinggi. Mereka tidak dapat mengerti mengapa di Bogor seluruh lantai dalam ruangan bengkel rata, sehingga semua penempa bekerja lebih membungkuk. Berdasarkan pada kenyataan di Bali maupun di Bogor, yaitu letak bengkel kerja berdampingan dengan rumah tempat tinggal, maka bukan hal yang mustahil jika bendabenda yang secara langsung tidak termasuk dalam sistem pengerjaan logam, dapat memasuki ruangan bengkel kerja. Selama bekerja, para pekerja pada saat-saat tertentu mengambil istirahat sambil makan dan minum. Agaknya kini dapat dimengerti mengapa di SKD VII ditemukan tembikar-tembikar, sisa-sisa makanan, mata uang, dan sebagainya. Para peneliti telah melihat sendiri bagaimana musa Tihingan dibuat. Bahannya hanya terdiri dari tanah liat dan kulit padi yang telah dibakar. Setelah kedua bahan itu dicampur hingga padu, mulailah bahan campuran itu dibentuk dengan tangan, 36 hingga membentuk musa. Wadah pelebur logam ini yang masih basah ini kemudian dianginkan di bawah atap rumah supaya musa menjadi agak kering (istilah bhs. Inggris: hard leather). Sesudah itu dijemur di halaman rumah di bawah terik matahari. Selanjutnya musa diletakkan di dekat tungku api beberapa waktu lamanya, sehingga dianggap cukup kering dan cukup tahan untuk dipakai melebur perunggu dengan panas bersuhu tinggi (kira-kira 1.100o C). Setelah dipakai melebur ternyata dinding-luar musa menjadi berkerut-kerut dan berwarna merah kilap kaca, sedangkan dinding dalamnya tidak demikian, hanya berwarna agak merah kehitaman saja. Semua data ini tentu amat bermanfaat untuk interpretasi wadah X. Yang belum dapat dimengerti oleh para peneliti ialah mengapa permukaan dinding luar menjadi berkerut-kerut, padahal tidak ada bahan lapisan apapun yang dilapiskan pada dindingluarnya. Pengamatan terus-menerus selama proses peleburan sama sekali tidak menunjukkan adanya luapan cairan perunggu, yang semula diduga menyebabkan keadaan fisik musa yang berkerut-kerut itu. Menyadari perlunya penjelasan ilmiah mengenai hal ini, maka sampel Tihingan dikirim ke laboratorium di Candi Borobudur disertai dengan berbagai data dan sejumlah pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan ini diajukan sedemikian rupa sehingga maksudnya 36



Di Bali teknik pembuatan musa dengan tangan disebut calcalan. 10



mudah diketahui oleh para spesialis yang bukan arkeolog. Dan data yang diharapkan akan diperoleh ialah yang mungkin dapat digiring kepada masalah-masalah yang dihadapi. Demikianlah suatu percobaan-peniruan (imitative experiment) diselenggarakan untuk dapat mengamati dan menjelaskan perubahan-perubahan yang mungkin terjadi atau tidak terjadi atas sampel Tihingan yang menjadi obyek penelitian. Meskipun perlengkapan di laboratorium itu dinyatakan kurang lengkap untuk masalah seperti ini, namun dengan alat makroskop dan mikroskop polarisasi misalnya, cukup dapat diperoleh data tambahan bagi interpretasi arkeologi. Pertimbangan teoritis untuk menggunakan metode ini sama seperti analogi-etnografi, yaitu uniformitarianism. Dengan cara seakan-akan melakukan kegiatan seperti manusia pada masa lalu, maka dapatlah diamati gejala-gejala tertentu. Demikian misalnya Iversen, mengadakan percobaan-peniruan dengan menggunakan kapak batu untuk memotong sebatang pohon, 37 Outwater mencoba memotong dan menyerut kayu dengan alat batu yang lebih kecil 38 , melubangi manik-manik batu oleh Haury 39 , menggali dengan alat batu oleh Sonnenfeld, 40 atau mengadakan eksperimen untuk melihat perbedaan antara batu hasil tingkah laku manusia dengan hasil kegiatan alam oleh Harner. 41 Demikian pula telah dilakukan peniruan membakar barang tanah liat oleh Mayes, 42 menggunakan tungku tanah liat oleh O'Kelly, 43 menggambar lukisan pada dinding gua untuk menghasilkan garis-garis dan warna di permukaannya oleh Johnson, 44 sampai kepada suatu eksperimen peniruan terkenal yang dilakukan oleh sarjana Heyerdhal untuk menirukan kemampuan orang masa lalu berlayar dari Amerika Selatan ke Polynesia. 45 Percobaan-peniruan disertai dengan pemeriksaan laboratoris terhadap sampel Tihingan yang diselenggarakan oleh laboratorium kemiko-arkeologi di Candi Borobudur, telah menghasilkan data sebagai berikut: 1 Guna memenuhi titik lebur perunggu (sekitar 1.100o C), wadah pelebur harus dipanaskan lebih tinggi, sekurang-kurangnya 100o C lebih; ini berarti suhu api di luar wadah lebih panas daripada di dalam wadah. 2 Dalam proses peleburan perunggu, unsur mineral dalam wadah yaitu besi (Fe) dan kaca (Si) akan ikut mencair, tetapi hal itu hanya terjadi pada dinding-luar saja. 3 Setelah pemanasan berhenti, cairan Fe dan Si akan membeku dan membentuk sejumlah benjolan (amorf) dan beberapa retakan kecil pada dinding-luar wadah karena perubahan suhu yang mendadak. 4 Warna merah-tua kehijauan pada dinding-luar disebabkan karena oksidasi dari Fe, sedangkan kilap kaca yang tembus cahaya disebabkan karena silikanya. 5 Suhu di dalam wadah tidak sepanas di luar, karena itu unsur mineral wadah tidak ikut mencair, sehingga meskipun sama-sama mengalami perubahan temperatur yang mendadak, tetapi tidak menghasilkan benjolan merah kilap kaca pada dinding-dalam 37 38 39 40 41 42 43 44 45



Lihat Iversen 1959. Lihat Outwater 1957. Periksa artikel Haury 1931. Periksa artikel Sonnenfeld 1962. Lihat artikel Harner 1956. Periksa karangan Mayes 1961 dan 1962. Lihat artikel O'Kelley 1954. Periksa artikel Johnson 1957. Lihat artikel Heyerdhal, 1950. 11



wadah. 6 Selain dari faktor ekonomis yang tidak diinginkan, cairan perunggu tidak akan tumpah karena pemanasan tidak akan mencapai titik didihnya, yaitu 2.336o C, tetapi cukup dapat melebur Fe yang titik-leburnya 1.535o C dan titik-lebur Si 1.414o C. 4. Kesimpulan Dengan berusaha mengumpulkan berbagai data yang telah dicapai melalui beberapa metode analisis seperti dikemukakan di atas, maka dapatlah kiranya kita sekarang memberi penjelasan yang dapat diterima akal sehat mengenai temuan wadah X Banten, sebagai sebuah hipotesis yang nanti akan diuji dalam penelitian lapangan berikutnya. Wadah X Banten adalah wadah pelebur logam yang dibuat dari tanah liat, digunakan untuk melebur perunggu dalam rangkaian pekerjaan membuat alat musik gamelan. Bahan perunggu di dalam wadah dicairkan dengan suhu yang tinggi, untuk kemudian dituangkan ke dalam cetakan terbuka melalui saluran pada tepian wadah, dengan bantuan alat pencapit panjang yang dicapitkan pada semacam pegangan wadah. Wadah pelebur dengan ukuran tertentu dipakai sesuai dengan jumlah cairan perunggu yang dibutuhkan untuk membentuk alat gamelan dengan ukuran tertentu pula. Wadah pelebur yang berukuran besar dipakai untuk membuat benda besar, wadah kecil untuk benda kecil. Wadah pelebur dikerjakan dengan teknik tangan tanpa roda-putar. Letak bengkel kerja ini berada tidak jauh dari rumah tinggal para pekerja dan setidak-tidaknya mereka melakukan kegiatan itu di Banten (SKD VII) sampai tahun 1770, berdasarkan sejumlah temuan mata uang VOC. 46 Dengan hipotesis ini, maka penelitian lapangan berikutnya berupa ekskavasi di situs SKD VII (yang baru digali seluas 3 x 4 meter dan hanya sedalam 0.50 meter) perlu diperluas lagi untuk memberikan kemungkinan pengumpulan data yang bisa memperkuat dugaan kita. Jumlah fragmen alat-besi yang telah ditemukan amat sedikit dibandingkan dengan yang ada pada bengkel masa sekarang. Di Tihingan misalnya, sebuah bengkel memiliki perlengkapan tidak kurang dari: 5 palu besar, 5 palu kecil, 5 pencapit, 5 pencukil, 10 kikir, 1 buah landasan, 2 pasang ububan, 2 tungku api, 1 bak air, dan sebuah ruangan yang cukup luas untuk bekerja lebih dari 5 orang. Demikian pula dengan pengetahuan kita tentang tata-letak (lay-out) bengkel pada umumnya, tentu data ini dapat dipakai sebagai pedoman yang amat bermanfaat bagi operasi arkeologi selanjutnya. Kita tahu bahwa dari masa prasejarah Indonesia sudah banyak ditemukan alat-alat perunggu, seperti: nekara, aneka jenis kapak, bejana, senjata, perhiasan, boneka, dan sebagainya. Bahkan kita dapat menemukan di Manuaba 47 sisa-sisa dari proses pengerjaan berupa cetakan-cetakan dari tanah liat, yang merupakan petunjuk adanya situs perbengkelan atau situs industri. Dari masa Indonesia-Hindu kita pun menemukan banyak artefak perunggu seperti: arca, genta, lampu, talam, kendi, periuk, dan prasasti. Bahkan dari prasasti Jawa Kuno, kita mengenal bermacam-macam pandai di antara kelompok pedagang (masamwyawahara), yaitu pandai mas (pandai mas), pandai besi (pandai wsi), pandai tembaga (pandai tamra), dan pandai perunggu (pandai gansa). 48 Dari berita 46



Di antara 29 mata uang logam yang ditemukan di seluruh kotak-kotak ekskavasi di SKD ada 13 buah yang telah dapat diketahui. Dua mata uang berasal dari Banten sendiri (sebuah di antaranya bertuliskan "Pangeran Ratu ing Banten", sehingga mungkin pangeran yang dimaksud ialah Sultan Maulana Hasanuddin sekitar tahun 1580); 10 mata uang VOC dari berbagai tahun (mulai dari 1724 hingga 1792); dan sebuah lagi mata uang Republiek Batavia dari tahun 1808. Di SKD VII, dua mata uang VOC yang ditemukan bersamasama dengan wadah pelebur ialah dari tahun 1769 dan 1770. Lihat juga catatan nomor 15. 47 Lihat Soejono 1975:241. 48 Lihat karangan Buchari 1976. 12



prasasti, kita mengetahui bahwa jika sebuah bengkel memiliki ububan lebih dari 3 pasang, pemilik-pemilik bengkel tersebut akan dikenakan pajak. Ini mungkin dapat memberi petunjuk bahwa ukuran normal dari sebuah bengkel logam pada masa itu mempunyai 3 pasang ububan, dan lebih dari itu dianggap berlebihan dan harus dikenakan pajak. Dari masa ini kita juga mengenal relief, yaitu di Candi Sukuh (abad ke-15 M), menggambarkan adegan di sebuah tempat pembuatan keris. Di dalam sebuah rumah bertiang 4 dan beratap kayu (sirap), seorang pandai logam dengan pembantunya sedang bekerja dengan berbagai alat perlengkapannya dan hasil produksinya. Tampak sepasang ububan silindrik yang sedang dipompa oleh seorang pembantu. Di sini tidak tampak alatalat besar seperti yang terdapat pada bengkel gamelan, sehingga mungkin benar dugaan Bernet Kempers 49 bahwa adegan ini menggambarkan pandai keris. Kalau kita perhatikan memang pada relief tersebut tergambar semacam keris. Dari masa Indonesia-Hindu yang belum ditemukan mungkin justru situs perbengkelan dari keempat macam pandai. 50 Mungkinkah kita dapat menemukannya? Strategi untuk penelitian situs serupa ini bisa bermacam-macam, tetapi kami kira dengan bekerja mundur dari situs Arkeologi Islam yang termuda kepada situs-situs arkeologi dari masa yang lebih tua, dapatlah diperoleh keterangan dengan lebih cepat. Cara pendekatan serupa ini (direct-historical approach) 51 banyak dilakukan oleh para ahli arkeologi dengan hasil yang cukup memuaskan. 52 Mengenai metode analisis yang dipakai dalam kasus wadah pelebur, ternyata bahwa keempatnya saling mendukung. Bahkan yang justru ingin kami kemukakan di sini ialah bahwa analogi-etnografi dalam kenyataannya dapat memberikan sumbangan data yang cukup bermanfaat bagi terbentuknya hipotesis mengenai pokok masalah tersebut. Dengan pendapat yang dikemukakan di sini kami tidak mempunyai maksud untuk menolak sama sekali pandangan yang dikenal sebagai cultural-relativist 53 (dari mashab sejarah Amerika). Menurut pendapat Smith 54 misalnya dinyatakan bahwa sebaiknya kita harus meninggalkan analogi sepenuhnya dan hanya melaporkan apa yang kita temukan. Demikian misalnya sebuah serpih batu kecil dan tajam tidak dapat dikatakan mata panah karena kita tidak tahu benar apakah benda itu digunakan untuk mata panah; mungkin untuk tujuan lain. Namun 49



Lihat AJ Bernet Kempers 1959:103 dan gambar 334. Sebagai perbandingan, di salah satu kuburan Mesir dari tahun 1500 s.M. terdapat gambar yang melukiskan 2 pekerja sedang melebur logam dalam wadah pelebur di atas tungku api yang sedang menyala. Bentuk wadah pelebur ini seperti cawan lebar atau mangkuk, dan untuk meletakkan dan mengangkatnya dari api digunakan 2 batang ranting kayu yang dijepitkan pada permukaan atas dan dasar wadah. Dapat dilihat pula 2 pekerja yang sedang aktif menggerakkan ububan tipe drum bellows, seperti yang masih digunakan di Rhodesia. Dua pekerja lain sedang menuangkan cairan logam ke dalam cawan-cawan atau gelas-gelas kecil yang terletak berjajaran di meja kerja; sedangkan pekerja lain sedang membenahi hasil kerjanya, ialah pintu dari perunggu (Hodges 1971a:121). 51 Di Amerika cara ini dikenal dengan direct historical approach, sedangkan di Eropa umumnya disebut folk culture approach. 52 James N. Hill telah berhasil menentukan variabel tipe ruangan-ruangan dalam bangunan di situs yang dikenal dengan nama Broken K. Pueblo di Arizona, dengan menggunakan analogi etnografi dari masyarakat Pueblo yang masih hidup. Lihat James N. Hill 1970. 53 Kaum cultural-relativist berpendapat bahwa setiap kebudayaan adalah sejumlah ide dan sifat yang disusun secara unik dan tidak ada dua kebudayaan yang dapat dibandingkan. Mereka beranggapan bahwa semua interpretasi arkeologi melalui analogi adalah suatu pertahanan diri yang tidak dapat dibuktikan. Itulah sebabnya arkeologi harus meninggalkan analogi sepenuhnya; para arkeolog hanya melaporkan fakta yang dilihat saja. Sedangkan kaum unilinear evolusionist berpendapat bahwa suku bangsa yang masih hidup dan masih mempertahankan tradisi, merupakan contoh baik untuk menunjukkan tingkat-tingkat perkembangan kebudayaan. 54 Lihat Smith 1955 50



13



kami juga tidak setuju dengan pandangan beberapa arkeolog masa lalu yang dalam melakukan analogi terlalu dipengaruhi oleh ideologi evolusioner yang klasik, yang kadangkala menggunakan analogi secara kurang hati-hati. Para arkeolog masa kini sadar sepenuhnya akan segala keterbatasan analogi. Dalam mengadakan analogi, maka panjang dan luasnya dimensi ruang dan waktu agaknya perlu dipertimbangkan. Demikian misalnya Gordon Childe menyatakan bahwa suatu analogi "...drawn from the same region or ecological province is likely to give the most reliable hints..." 55 Pemikiran kaum cultural-relativist lain, misalnya Chang, cenderung untuk membatasi penggunaan analogi dalam arkeologi hanya kepada masalah teknologis, 56 sedangkan masalah yang berkenaan dengan ide, kepercayaan, dan kebiasaan, tidak mungkin diolah melalui analogi. Bahkan Thompson telah mengemukakannya secara eksplisit dalam karangannya. Kesimpulan-kesimpulan arkeolog pertama-tama harus didasarkan atas generalisasi teknologis, dan di luar itu semuanya subyektif sepenuhnya dan tergantung kepada kemampuan dan kompetensi arkeolog. 57 Sedangkan Julian Steward 58 misalnya, memberi kemungkinan digunakannya analogi dengan cara direct-historical approach seperti yang telah dikemukakan di atas. Memang mengadakan persejajaran begitu saja tanpa memperhitungkan perbedaanperbedaan dalam wilayah budaya tertentu, tentu akan menjerumuskan hasil interpretasi. Demikian pula melalui analogi tidak akan dicapai hasil seperti yang dikehendaki arkeolog, jika tidak secara terus-menerus diuji dengan data arkeologi yang sebanyak mungkin harus dikumpulkan. Untuk kasus Banten, menurut hemat kami, wajar digarap dengan analogi, karena (1) artefak yang dianalisis adalah artefak technomic 59 yang sifatnya universal; (2) jarak waktu antara Banten dan Tihingan tidak besar; (3) perubahan-perubahan hebat dalam hal teknologi agaknya tidak terjadi di Tihingan, bahkan sebaliknya menunjukkan gejalagejala persamaan tertentu dengan Banten; dan (4) kedua daerah itu masih dalam satu wilayah budaya Indonesia. Apa yang diutarakan dalam makalah ini tidak lain merupakan satu bukti tambahan lagi bahwa para ahli arkeologi senantiasa dihadapkan pada berbagai masalah yang hanya dapat diusahakan jalan pemecahannya dengan cara-cara yang dipertimbangkan. Ini semua adalah akibat dari sifat data arkeologi yang serba terbatas dalam hal kuantitas dan kualitas. 60 Meskipun mungkin ada anggapan bahwa analogi bukan jalan yang terbaik untuk interpretasi arkeologi, tetapi kami berpendapat jika arkeolog sama sekali tidak dapat menggunakan analogi, 61 maka kami kira habislah riwayat arkeologi. Dan kita dengan demikian tidak akan dapat menjalankan tugas yang dibebankan untuk "piecing together the past". Puluhan karangan telah membicarakan dan melaporkan hasil pelaksanaan eksperimen arkeologi yang diselenggarakan di berbagai negara maju, tetapi mungkin sedikit sekali yang telah kita lakukan di negara kita. Jika arkeologi-percobaan (experimental archaeology) tidak mulai digunakan secara efektif dan terkendali, mungkin 55



Periksa Childe 1956:51. Lihat Chang 1967. 57 Periksa Thompson 1956. 58 Lihat Steward 1942:56. 59 Lihat Binford 1962. Lebih sulit lagi untuk menggarap sosiotechnic artifacts dan ideotechnic artifacts. 60 Lihat makalah Mundardjito dalam Seminar Arkeologi tahun 1976 di Cibulan. 61 Tentu yang kami maksudkan ialah analogi dengan memperhatikan semua limitasi, dan diuji terusmenerus oleh data arkeologi yang harus sebanyak mungkin dikumpulkan untuk tujuan ini. Analogi seperti ini dalam kepustakaan sering disebut sebagai "new analogy". Guna kepentingan komunikasi dengan mahasiswa kami biasa menggantikan istilah ini dengan "analogi terbatas" atau "analogi terkendali". 56



14



kemajuan kita untuk menyelesaikan berbagai masalah arkeologi di Indonesia agak terhambat. Dengan kasus wadah pelebur logam dari Ekskavasi Banten 1976, maka sebenarnya kita telah dapat menjawab pertanyaan Frederick Matson: "Have crucible fragments been found in sufficient quantities in archaeological contexts to be of use in tracing developments in metallurgical practices? 62 Dan dengan masalah yang diakibatkan oleh temuan wadah pelebur ini mudah-mudahan mendorong kita untuk senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented excavation) dalam setiap penggalian yang diadakan, karena ini adalah ciri kuat dari arkeologi masa kini.



8/22/00 7:12 PM



62



Lihat Frederick Matson, "Ceramic Queries" dalam Matson 1965:261. 15



DAFTAR PUSTAKA Ascher, Robert 1961a "Analogy in Archaeological Interpretation", dalam Southwestern Journal of Anthropology 17:317--325. 1961b "Experimental Archaeology", dalam American Anthropologist 63:793--816. Binford, Lewis R. 1962 "Archaeology as Anthropology", dalam American Antiquity 28:217--225. 1967 "Smudge Pits and Hide Smoking: The Use of Analogy in Archaeological Reasoning", dalam American Antiquity 32 (1):1--12. 1968 "Methodological Considerations of the Archaeological Use of Ethnographic Data", dalam Man the Hunter, Chicago: R.B. Lee & Ide Vora, hlm. 268---273. Boechari 1976



"Some Considerations of the Problem of the Shift of Mataram's Center of Goverment from Central to East Java in the 10th Century A.D.", dalam Bulletin of the Research Centre of Archaeology of Indonesia No. 10, Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.



Brothwell, Don dan Eric Higgs 1971 Science in Archaeology: A Survey of Progress and Research, Revised and Enlarged Edition, London: Thames & Hudson Chang, Kwang Chih 1966 Rethinking Archaeology, New York: Aldine Publ. Co. 1967 "Mayor Aspects of the Interrelationship of Archaeology and Ethnology", dalam Current Anthropology 8 (34):227-243. Childe, V. Gordon 1956 Piecing Together the Past: The Interpretation of Archaeological Data. New York. Clark, John Grahame Douglas 1952 "Archaeological Theories and Interpretation: Old World", dalam A.L. Kroeber (ed.), Anthropology Today, Chicago. Clarke, David L. 1968 Analytical Archaeology, London. Daniel, Glyn E. 1967 The Origins and Growth of Archaeology, Harmondsworth: Pelican Books. Deetz, James 1967 Invitation to Archaeology, New York: Museum Science Book. 1970 "Archaeology as Social Science", dalam Current Directions in Anthropology: 115-125, American Anthropological Association from Bulletins, vol. III, No. 3 (2). Geetz, Clifford 1964 "Tihingan: Sebuah Desa di Bali", dalam Koentjaraningrat (ed.), Masyarakat Desa di Indonesia Masa Ini, Djakarta, hlm. 169--199. Goodyear, F.H. 1971 Archaeological Site Science. London. Harner, M.J. 1956 "Thermo-facts vs Artifacts: An Experimental Study of the Malpais Industry", University of California Archaeological Survey, Reports 33:39--43.



16



Haury, E.W. 1931 "Minute Beads from Prehistoric Pueblos", dalam American Anthropologist 33:80--87. Hawkes, Christoper 1954 "Archaeological Theory and Method: Some Suggestions from the Old World", dalam American Anthropologist 56:155--168. Heyerdhal, T. 1950 The Kon Tiki Expedition by Raft Across the South Seas. Diterjemahkan oleh F.H. Lyon. London. Hill, J.N. 1970



"Broken K. Pueblo: Prehistoric Social Organization in the American Southwest", dalam Anthropological Papers, University of Arizona, No. 18.



Hodges, Henry 1971a Technology in the Ancient World. Harmondsworth: Penguin Book. 1971b Artifacts: An Introduction to Early Materials and Technology. London. Hole, Frank dan Robert F. Heizer 1969 An Introduction to Prehistoric Archaeology. Cetakan ke-2. New York. Hume, Ivor Noel 1969 Historical Archaeology. New York. Iversen, J. 1959



"Forest Clearance in the Stone Age", Scientific American 194:36--41.



Jasper, J.E. dan Mas Pirngadie 1927 "De Goud en Zilversmeedkunst", dalam De Inlandsche Kunstnijverheid in Netherlandsch Indie IV. 's-Gravenhage. Johnson, T. 1957



"An Experiment with Cave-printing Media", dalam South African Archaeological Bulletin 47:98--101.



Kempers, Bernet 1959 Ancient Indonesian Art. Amsterdam. Laboratorium Kemiko Arkeologi, Proyek Pemugaran Candi Borobudur 1976 Laporan Khusus Nomor 618/E.2/BB.1976. Leone, Mark P. (ed.) 1975 Contemporary Archaeology: A Guide to Theory and Contributions. Cetakan ke-3, Southern Illinois University Press. Longacre, William A. 1970 Archaeology as Anthropology: A Case Study, Anthropological Papers of the University of Arizona No. 17: The University of Arizona Press. Matson, Frederick R. 1965 Ceramic and Man. Chicago. Mayes, P.dkk. 1962 "The Firing of a Second Pottery Kiln of Romano-British Type at Boston, Lincs", dalam Archaeometry 5:80--107. Mayes, P. et al. 1961 "The Firing of a Pottery Kiln of Romano-British Type at Boston, Lincs", dalam Archaeometry 4:4--30. 17



Mundardjito 1972 “Arkeologi Masa Kini: Segi Metode dan Teknik”, makalah pada Penataran Ahli Arkeologi di Borobudur, Sub-Konsorsium Sastra dan Filsafat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1973 Laporan Penggalian Percobaan di Bukit Patenggeng, Subang, (tidak diterbitkan) Jakarta. 1974 "Penyelenggaraan Kuliah Metode Arkeologi: Pentingnya dalam Pendidikan", dalam Hasil-hasil Lokakarya Pengajaran Arkeologi, Denpasar. Sub-Konsorsium sastra dan Fislafat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1976 "Pengembangan Teknik Modern untuk Arkeologi Indonesia", dalam Indonesian Magazine, 37:43--51. (Pertamakali dibawakan dalam Seminar Arkeologi di Cibulan tahun 1976). O'Kelly, M.J. 1954 "Excavation and Experiment in Ancient Irish Cooking-places", dalam Journal of Royal Society of Antiquaries of Ireland 84:105--155. Outwater, J.O. 1957 "Pre-Columbian Wood-cutting Techniques", dalam American Antiquity 22:410--411. Serrurier, L. 1902 (Peta Sketsa Kota Banten Lama) dalam TBG XLV. Shaw, Isobel 1976 "The Last Gong Smith in West Java", dalam The Indonesia Time, tanggal 9 Maret 1976. Smith, M.A. 1955 "The Limitations of Inference in Archaeology", dalam Archaeological Newsletter 6:3-7. Soejono, R.P. 1975 Sejarah Nasional Indonesia I, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Spaulding, Albert C. 1960 "The Dimensions of Archaeology", dalam G.E. Dole dan R.L. Carneiro (ed.), Essay in the Science of Culture: In Honour of Leslie A. White. New York. Sonnenfeld, J. 1962 "Interpreting the Function of Primitive Implement: The Celt and The Hoe", dalam American Antiquity 28:56--65. Steward, Julian H. 1942 "The Direct Historical Approach to Archaeology", dalam American Antiquity 7:337-343. Subkonsorsium Sastra dan Filsafat, Departemen P dan K 1976 Laporan Penataran Metode Arkeologi: Laporan Kerja Lapangan, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Taylor, Walter W. 1948 "A Study of Archaeology", dalam Memoirs of the American Anthropological Association, No. 9. Menasha. Teguh Asmar dan Bennet Bronson 1973 Laporan Ekskavasi Ratu Baka, Jakarta: Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional. 1975 Laporan Penelitian Rembang, Jakarta: Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional. 18



Thompson, R.H. 1956 "The Subjective Element in Archaeological Inference", dalam Southwestern Journal of Anthropology 12 (3):327--332. Tylecote, R.F. 1962 Metallurgy in Archaeology. London. Uka Tjandrasasmita 1976 Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Watson, Patty Jo et al. 1971 Explanation in Archaeology: An Explicitly Scientific Approach. London. Willey, Gordon R. 1952 "Archaeological Theories and Interpretation: New World", dalam A.L. Kroeber (ed.), Anthropology Today. Chicago. 1970 Method and Theory in American Archaeology, cetakan ke-7. Chicago: University of Chicago Press.



19