NAMA [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

NAMA



: Aginta Putri Rehulina Keliat



NPM



: 140410120037



1. Apa definisi Indeks diversitas? fungsi indeks diversitas? Mengapa indeks shannon-wiener bukan simpson? Diversitas adalah suatu keragaman atau perbedaan di antara anggota-anggota suatu kelompok. Diversitas umumnya mengarah pada spesies, pengukurannya melalui jumlah spesies dalam komunitas dan kelimpahan relatifnya. Indeks-indeks yang sering digunakan oleh para ahli ekologi untuk perhitungan diversitas suatu komunitas adalah Indeks Shannonwiener (H’), J, dan Indeks Jackknife (S) (S.J. Mc Naughton-Larry L. Wolf, 1992 dalam insafitri, 2010 ). Indeks diversitas adalah suatu penggambaran secara sistematik yang melukiskan struktur komunitas dan dapat memudahkan proses analisa informasi-informasi mengenai macam dan jumlah organisme. Semakin banyak jenis yang ditemukan maka akan semakin besar indeks diversitas yang diperoleh (Wilhm dan Doris, 1986 dalam insafitri, 2010). Sedangkan menurut Leviton (1998) dalam insafitri (2010) yang dimaksud dengan indeks keragaman adalah komposisi setiap individu pada suatu spesies yang terdapat dalam suatu ekosistem. Indeks Keragaman Simpson digunakan untuk mengetahui kompleksitas suatu komunitas yang populasnya tak terhingga sehingga memungkinkan digunakan dalam luas area yang luas. Indeks ini berkisar antara 0 – 1. Semakin mendekati angka 1 maka komunitas semakin kompleks dan baik (Odum, 1993). Sedangkan untuk indeks Shannon-Wiener merupakan konsep keanekaragaman yang relatif paling dikenal dan paling banyak digunakan (Magurran, 1988 dalam Olivia, 2013).



2. Indeks abudance untuk apa? Definisi diversity (keanekaragaman) seringkali dianggap agak sulit karena sifatnya yangkompleks. Namun, yang patut diingat, diversity melingkupi 2 komponen yaitu species apa saja yang terdapat dan kelimpahan species tersebut (jumlah individu tiap species). Jadi, harap dipastikan bahwa survey kita tidak hanya mencatat jenis tetapi juga berapa individu species tersebut. Pengukuran species diversity umumnya menggunakan indeks yaitu suatu nilai tunggal yang menggambarkan suatu keadaan secara sederhana. Secara praktis, jika kita



melakukan survey di beberapa lokasi, maka nilai indeksnya dapat dibandingkan untuk mengetahui bagaimana perbedaan keanekaragaman di lokasi-lokasi tersebut. Beberapa indeks species diversity yang umum digunakan: 1. Indeks species richness (Margalef’s index) 2. Shannon’s index 3. Simpson index Meskipun terdapat beberapa indeks yang menyangkut species richness, Margalef’s index adalah yang paling sederhana. Namun, yang patut diingat adalah, proporsi kelimpahan jenis tidak diperhitungkan.



3. Pengertian indeks ketidaksamaan (dissimilatiry) dan kesamaan (similarity)? Dua komunitas yang berbeda dapat dihitung tingkat kesamaannya dengan menggunakan indeks kesamaan. Indeks kesamaan yang digunakan merupakan komplemen dari indeks ketidaksamaan Bray-Curtis, yang menggunakan kelimpahan populasi dan kehadiran jenis yang sama. Hasil dari indeks ini berupa nilai dengan kisaran 0-1. Semakin sama tingkat kesamaan dua komunitas maka nilainya akan mendekati nilai satu, begitu juga sebaliknya nilai nol yang menyatakan bahwa dua komunitas berbeda (Krebs, 1989).



4. Daerah teritori dan jelajah Home range hewan adalah suatu tempat di mana hewan–hewan tersebut menutupi atau berkisaran pada tempat tersebut untuk mencari makanan, kawanan, dan lain–lainnya. Daerah jelajah ini tidak hanya dihuni oleh satu spesies saja. Daerah jelajah dipengaruhi oleh banyaknya makanan, perlindungan, kedatangan musuh atau spesies lain, dan ukuran tubuh. Sedangkan Teritori adalah suatu tempat di mana hewan-hewan yang berada dalam daerah jelajah ingin menguasai tempat dari seluruh atau sebagian daerah jelajah untuk spesiesnya sendiri. daerah teritori membuat hewan lebih mudah mendapat makanan, kawanan, berkembang biak, dan kegiatan yang lain. Dan daerah jelajah sebagai media di luar teritori yang memberikan kesempatan untuk hidup, apabila suatu ketika daerah teritori hilang, atau dikuasai spesies lain (Widodo, 2009). Di awal pembentukan teritori ini akan banyak konflik yang terjadi antara jenis satu dengan yang lain. Misalnya burung, katak, dan serangga, biasanya mempertahankan wilayah/teritorinya dengan cara bernyanyi dari beberapa titik. Nyanyian tersebut bertujuan sebagai tanda kepada musuh yang ingin merebut wilayah tersebut agar tidak mencoba untuk



menduduki wilayah tersebut. Ada pula hewan yang menandai wilayah teritorialnya dengan urine, feses, atau cakaran, contohnya singa, harimau, anjing, kucing, atau serigala (Widodo, 2009). Korelasi luuas dengan keanekaan Habitat adalah suatu kawasan atau area yang terdiri dari beberapa komponen yang merupakan satu kesatuan fisik dan biotik, din dipergunakan sebagai tempat hidup serta berbiak suatu jenis hewan (Alikodra: 2000). Widodo (2009), “ Memberikan pernyataan bahwa habitat yang kondisinya baik dan jauh dari gangguan manusia serta di dalamnya mengandung bermacam-macam sumber pakan, memungkinan memiliki jenis burung yang banyak”. Beberapa



penelitian



yang



dilakukan terhadap



komunitas



pulau



mendorong



dikembangkannya konsep dasar mengenai penyebaran keanekaragaman hayati yang dikenal sebagai model biogeografi pulau. Model ini pertama kali diperkenalkan oleh MacArthur dan Wilson (1967) dan lebih dikenal dengan Teori Equilibrium. Teori equilibrium sampai saat ini teori tersebut menjadi konsep dasar dalam biogeografi kepulauan dan sangat mempengaruhi dasar-dasar ekologi dan biologi konservasi (Lomolino 2000). Model biogeografi pulau menyebutkan adanya hubungan antara luas area dan jumlah spesies (species-area relationship), yaitu pulau yang lebih luas memiliki jumlah spesies yang lebih besar dibandingkan pulau yang berukuran lebih sempit. Wilson (1967) juga menyatakan bahwa jarak akan menentukan jumlah spesies di suatu lokasi, pulau yang berada pada jarak yang lebih jauh dari daratan utama (mainland) atau pulau yang sangat terisolasi akan memiliki jumlah spesies yang lebih sedikit dibandingkan pulau yang lebih dekat atau berjarak dekat dari daratan utama.



5. Relung dan Habitat Relung (niche) adalah posisi atau status suatu organisme dalam suatu komunitas dan ekosistem tertentu, yang merupakan akibat adaptasi struktural, tanggap fisiologis serta perilaku spesifik organisme itu. Jadi relung suatu organisme bukan hanya ditentukan oleh tempat organisme itu hidup, tetapi juga oleh berbagai fungsi yang dimilikinya. Dapat dikatakan, bahwa secara biologis, relung adalah profesi atau cara hidup organisme dalam lingkungan hidupnya. Dimensi-dimensi pada niche pokok menentukan kondisi-kondisi yang menyebabkan organisme-organisme dapat berinteraksi tetapi tidak menentukan bentuk, kekuatan atau arah interaksi. Dua faktor utama yang menetukan bentuk interaksi dalam populasi adalah kebutuhan fisiologis tiap-tiap individu dan ukuran relatifnya. Empat tipe



pokok dari interaksi diantara populasi sudah diketahui yaitu: kompetisi, predasi, parasitisme dan simbiosis. Pengertian umum habitat menurut Alikodra (1990), adalah sebuah kawasan yang terdiri dari komponen fisik maupun abiotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biaknya satwa liar. Satwa liar menempati habitat yang sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya, karena habitat mempunyai fungsi menyediakan makanan, air dan pelindung. Habitat yang sesuai untuk suatu jenis, belum tentu sesuai untuk jenis yang lain, karena setiap satwa menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda. Habitat suatu jenis satwa liar merupakan sistem yang terbentuk dari interaksi antar komponen fisik dan biotik serta dapat mengendalikan kehidupan satwa liar yang hidup di dalamnya. Komponen habitat yang dapat mengendalikan kehidupan satwa liar, terdiri dari: 1. Pakan (food), merupakan komponen habitat yang paling nyata dan setiap jenis satwa mempunyai kesukaan yang berbeda dalam memilih pakannya. Sedangkan ketersediaan pakan erat hubungannya dengan perubahan musim; 2. Pelindung (cover), adalah segala tempat dalam habitat yang mampu memberikan perlindungan bagi satwa dari cuaca dan predator, ataupun menyediakan kondisi yang lebih baik dan menguntungkan bagi kelangsungan kehidupan satwa; 3. Air (water), dibutuhkan oleh satwa dalam proses metabolisme dalam tubuh satwa. Kebutuhan air bagi satwa bervariasi, tergantung air dan/atau tidak tergantung air. Ketersediaan air pada habitat akan dapat mengubah kondisi habitat, yang secara langsung ataupun tidak langsung akan berpengaruh pada kehidupan satwa; 4. Ruang (space), dibutuhkan oleh individu- individu satwa untuk mendapatkan cukup pakan, pelindung, air dan tempat untuk kawin. Besarnya ruang yang dibutuhkan tergantung ukuran populasi, sementara itu populasi tergantung besarnya satwa, jenis pakan, produktivitas dan keragaman habitat. Tipe habitat merupakan komponen-komponen sejenis pada suatu habitat yang mendukung sekumpulan jenis satwa liar untuk beraktivitas. Tipe habitat yang diperlukan suatu satwa di identifikasi melalui pengamatan fungsi-fungsinya, misalnya untuk makan atau bertelur. Satwa memilih habitat yang tersedia dan sesuai untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Sedangkan struktur vegetasi merupakan susunan vertikal dan distribusi spasial tumbuh-tumbuhan (vegetasi) dalam suatu komunitas. Menurut Mueller, Dombois dan Ellenberg, 1974, struktur vegetasi berfungsi sebagai pengaturan ruang hidup



suatu individu dengan unsur utama adalah: bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk.



6. Metode survei burung Keberadaan dan perubahan populasi burung dapat digunakan sebagai indikator perubahan lingkungan pada suatu ekosistem (Satria, 2010). Struktur vegetasi merupakan salah satu faktor kunci yang mempengaruhi kekayaan spesies burung (Wiens dalam Purnomo 2008). Menurut Djuwantoko dan Hardiwinoto,1983 adanya perubahan vegetasi di dalam jenis, kelebatan, kerapatan, serta susunan komposisi dapat berpengaruh terhadap populasi satwa burung. Hubungan yang sangat erat antara komunitas burung dengan keragaman habitat menunjukkan bahwa burung sangat tergantung pada keragaman kompleksitas dari pohon, tiang, dan semak (Chettri et al., 2005). Terjadi perbedaan struktur komunitas burung pada daerah yang mempunyai struktur vegetasi yang berbeda, ataupun antara vegetasi alami dengan yang terganggu (Paerman 2002). Keberadaan



tumbuhan



sangat



terkait



dengan



ketersedian



pakan,



tempat



bersarang, perlindungan dari pemangsa dan juga faktor mikroklimat. Perubahan komposisi komponen habitat berupa jenis-jenis tumbuhan yang berimplikasi langsung terhadap perubahan ketersediaan sumber daya, akan merubah pula komposisi burung-burung yang memanfaatkannya yang sekaligus akan merubah jenis burung yang mendiami habitat tersebut (Partasasmita, 2003). Hilangnya keanekaragaman spesies tumbuhan menjadi salah satu faktor terpenting penurunan keanekaragaman spesies burung karena tumbuhan yang berragam pada suatu habitat akan menyediakan tempat pakan yang berlimpah (Beukema et al., 2007) Dilihat dari kondisi alam suatu vegetasi yang baik untuk habitat satwa yang berupa dataran rendah, strata tajuk pohon bervariasi dengan kerapatan vegetasi sedang. Tajuk yang rimbun serta percabangan yang memadai tersebut menjadikan tempat beristirahat burung, selain pohon sebagai penyedia sumber makanan. Hal tersebut memberikan bukti bahwa keberadaan burung yang bertengger atau hinggap di suatu kawasan dipengaruhi oleh ketinggian tajuk. Ketinggian tajuk optimal untuk burung bertengger adalah10-15 m. Selain itu, adanya tumbuhan bawah pada lantai hutan dengan kerapatan sedang serta keadaan bentang alam yang terdapat berbagai sumber air menyebabkan kelembaban tanahnya tinggi, sehingga sangat baik untuk habitat satwa (Hansell, 2000). Struktur vegetasi mempengaruhi pemilihan habitat oleh burung. Apabila habitat tidak lagi memenuhi kebutuhan hidup, maka burung tersebut akan berpindah. Menurut Paerman



(2002) hubungan antara struktur vegetasi dan struktur komunitas burung terkadang sulit untuk diamati. Perubahan struktur vegetasi yang menimbulkan areal hutan sekunder yang sangat luas yang meningkatkan kekayaan dan keanekaragaman spesies burung. Pola gangguan ini memungkinkan spesies-spesies burung hutan dan burung-burung pinggiran hutan hidup secara bersamaan (co-eksistensi) dalam satu areal. Untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi habitat yang secara langsung mendukung habitat burung, dilakukan analisis vegetasi. Analisis vegetasi secara kuantitatif ini menggunakan metode kuadran. Untuk pemilihan tingkat-tingkat vegetasi mengikuti batasan Wyatt-Smith (1963) dalam Soerianegara (1976), yaitu : 1. Pancang (sapling) Permudaan yang tingginya 1,5 m atau lebih sampai pohon-pohon muda yang berdiameterr kurang dari 10 cm. 2. Tiang (pole) Pohon muda berdiameter antara 10-34 cm. 3. Pohon (tree) Tumbuhan dewasa dengan diameter 35 cm keatas. Stratifikasi yang terdapat pada hutan hujan tropis oleh Richards (1954) dibagi menjadi 5 stratum dari atas ke bawah, sebagai berikut: 1. Stratum A : lapisan teratas, terdiri dari pohon-pohon yang tinggi totalnya 30m ke atas. Biassanya mempunyai tajuk diskontinu, batang pohon tinggi dan lurus, batang bebas cabang tinggi. 2. Stratum B : terdiri dari pohon-pohon yang tinggginya 20m-30m, tajuknya kontinu, batang pohon banyak bercabang, batang bebas cabang tidak terlalu tinggi. 3. Stratum C : terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 4-20m, tajuknya kontinu. Pohonpohon ditratum ini rendah, kecil, banyak bercabang yang tersusun rapat. 4. Stratum D : lapisan perdu dan semak. Tingginya 1-4m. Pada stratum ini juga terdapat dan dibentuk oleh spesies pohon yang masih muda. 5. Stratum E : lapisan tumbuhan-tumbuhan penutup tanah yang tingginya 0-1m.



7. Teori pulau Keanekaan jenis di daerah liar : 1. Teori pulau biogeografi



Pada dasarnya teori ini menyatakan jumlah jenis disuatu daerah akan makin besar, makin luas daerah itu, dan makin dekat daerah itu pada sumber jenis.jumlah jenis di suatu daerah di tentukan oleh kecepatan kepunahan jenis dan kecepatan migrasi atau masuknya jenis kedalam daerah tersebut.kepunahan jenis mengurangi jumlah jenis. Proses ini terjadi terus-menerus, juga tanpa adanya campur tangan manusia. Kepunahan terjadi diantaranya karena, persaingan antar jenis, iklim yang luar biasa, dan bencana alam yang mematikan makhluk hidup dan merusak habitat jenis didaerah itu. Faktor penting yang menentukan kecepatan kepunahan jenis adalah menentukan kecepatan kepunahan jenis ialah kepadatan jenis, yaitu jumlah jenis persatuan luas. Makin tinggi kepadatan jenis, makin tinggi pula kecepatan kepunahan itu, sebab makin tinggi kepadatan jenis berarti makin kecil populasi asing-masing jenis. Artinya, jumlah individu berjenis kecil. Faktor lain yang mempengaruhi kerentanan kepunahan jenis ialah makin tinggi kepadatan jenis, makin besar terjadinya tumpang tindihrelung berbagai jenis. Relung ialah peranan jenis dalam ekosistem, yaitu cara hidup dalam menggunakan sumber daya yang ada. Relung dapat disamakan dengan profesi jenis dalam ekosistem. Tumpang tindih relung itu akan menyebabkan persaingan. Persaingan itu makin intensif, mana kala tumpang tindih relung makin besar. Kenaikan intensitas persaingan akan memacu kecepatan pemunahan. Disuatu daerah orang mendapatkan kehidupannya dengan melakukan profesi atau pekerjaan tertentu. Orang yang melakukan profesi yang sama dapatlah dianggap menjadi jenis dan profesi itu sebagai relung, profesi yang satu dapat bertampang tindih dengan profesi yang lain. Kepadatan jenis adalah jumlah jenis per satuan luas. Karena itu dengan memperluas daerah, kepadatan jenis akan menurun. Dengan demikian dibawah kondisi yang sama, kecepatan kepunahan jenis akan lebih kecil didaerah yang luas dibandingkan didaerah yang sempit. Kepunahan didaerah tepi umumnya lebih besar daripada ditengah daerah tertentu, karena didaerah tepi itu pengaruh dari luar lebih besar daripada ditengah. Hal ini terlihat dengan jelas ditepipis hutan yang berbatasan dengan pemukiman. Karena itu, makin panjang garis batas suatu daerah, makin besar terjadinya kepunahan. 2. Teori bercak



Tempat yang terbuka itu merupakan bercak. Bercak itu ada yang kecil, ada pula yang besar. Bercak yang disebabkan oleh tumbangnya sebuah pohon adalah bercak kecil. Yang disebabkan oleh tanah longsor lebih besar, bahkan dapat sangat besar. Bercak didalam hutan sangat dinamis. Setelah pohon tumbang, bercak lambat laun tertutup kembali. Dilain tempat ada pohon lain yang tumbang dan terjadilah bercak baru. Jadi, bercak itu berpindah-pindah. Bercak mempunyai sifat yang berbeda dari keadaan hutan secara keseluruhan. Misalnya, lebih banyak cahaya matahari dapat sampai kelantai hutan. Karena itu suhu tanah lebih tinggi. Karena bercak terbuka, kelembaban lebih rendah. Mikroiklim yang berbeda didalam bercak menciptakan mikrohabitat. Mikroiklim dalam mikrohabitat berbeda-beda menurut besarnya bercak. Karena itu fauna dan flora yang hidup bercak yang kecil juga berbeda dengan yang hidup dibercak yang besar. Dengan demikian berpendapat memperkaya jumlah jenis dalam suatu hutan



DAFTAR PUSTAKA



Baukema, H, Danielsen, F, Vincent, G, Hardiwinoto, & Andel, V. Jelte. 2007. Plant and BirdDiversity in Rubber Agroforestry in The Lowlands Of Sumatera Indonesia. Agroforest syst . 70:217-242. Chettri N, Deb DC, Sharma E, Jackson R. 2005. The Raliationship Bird Communities and Habitat



a



Study



Along



a



Tracking



Corridor



in



The



Sikkim



Himalaya. Mountain Research and Development 25: 235-243. Djuwantoko, S. Hardiwinoto. 1983.



Studi Peranan Vegetasi



Sebagai Habitat Satwa



Burung di Wanagama I. L P U F a k u l t a s K e h u t a n a n . Y o g ya k a r t a : UGM. Hansell, Mike. (2000). Bird Nests and Construction Behaviour . London : Cambridge University Press Insafitri. 2010. Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Bivalvia di Area Buangan Lumpur Lapindo Muara Sungai Porong. Jurnal Kelautan Vol. 3, No. 1, ISSN: 19079931. Lomolino MV. 2000. A Call for a New Paradigm of Island Biogeography 9: 1-6. MacArthur RH, Wilson EO. 1967. The Theory of Island Biogeography (Jurnal). New Jersey : Princenton University Press. Odum, Eugene P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Penerjemah: Tjahjono Samingan Yogyakarta. UGM Press



Olivia,



U.



2013.



Analisis



Keanekaragaman



Ekosistem.



Akses



pada



https://www.academia.edu/6489420/14._ANALISIS_KEANEKARAGAMAN_EKOS ISTEM tanggal 21 Oktober 2014 pukul 16.00 WIB. Partasasmita, R. (2003). Ekologi Burung Pemakan Buah dan PeranannyaSebagai Penyebar Biji. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana. Bogor: Institut PertanianBogor. S.J. Mc Naughton-Larry L. Wolf. 1992. Ekologi Umum Edisi Kedua. Penerjemah: Sunaryono P. dan B. Srigandono. Yogyakarta: UGM Press. Satria, Ryan Adi.2010. Pengaruh Kerapatan Vegetasi Terhadap Jumlah Jenis Burung di Hutan Wanagama I. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada. Widodo, W. 2009. Komparasi Keragaman Jenis Burung-Burung di Taman Nasional Baluran dan Alas Purwo Pada Beberapa Tipe Habitat. Jurnal Berkala Penelitian Hayati. (14). 113-124