Naskah Cerpen (Menggapai Asa) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Menggapai Asa “Kenapa sih kita harus belajar? Toh, gak guna kalau ujung-ujungnya cuma jadi ibu rumah tangga.” Kalimat tersebut mengudara dari seorang gadis berusia sepuluh tahun yang duduk di bangku paling belakang. “Kita cuma buang-buang waktu dan uang, mending untuk makan aja.” Maya yang tadinya menulis soal-soal latihan di papan tulis kini berbalik, ia menelisik anak tadi cukup lama lalu menghela napas panjang. “Nisa, kalau tugasmu nggak selesai nanti nggak boleh pulang.” Anak bernama Nisa itu membuang muka dengan kesal. Maya menghela napas lalu tersenyum tipis. Maya tau betul anak satu ini, si bandel yang selalu menjadi buah bibir guru-guru di kantor karena ulahnya yang membuat kepala nyeri. Memang butuh kesabaran ekstra untuk menghadapi murid seperti Nisa. Wanita itu tidak pernah marah, anak seperti Nisa membutuhkan bimbingan langsung dari orang tua atau walinya. Saat melihat anak itu, Maya teringat pada dirinya di masa lalu. Dulu ia juga seperti Nisa, tidak menyukai apapun tentang belajar. Menghadapi dengan kemarahan jelas akan sia-sia. Karena Nisa perlu dibimbing secara langsung dan perlahan, agar dirinya tidak tertekan. “Bu, Nisa nakal banget. Kenapa nggak dihukum aja?,” ujar salah satu murid. Pertanyaan tersebut selalu saja terlontar, baik oleh murid ataupun sesama guru. Lama ... Maya terdiam, tengah menimbang-nimbang. Haruskah ia menjawab? Atau ... mungkin ini waktu yang tepat untuk bercerita? “Mau dengar sebuah cerita?” tawar wanita itu akhirnya pada anak-anak. Semua anak kecuali Nisa terlihat sangat antusias. Maya duduk di kursi sembari memasang senyum keibuan yang hangat. Ia yakin mereka akan menyukai kisah ini, termasuk Nisa. 🌸🌸🌸



Dulu, Maya bukanlah orang berada yang semua kebutuhan bisa terpenuhi dengan mudah, ia hanya gadis sepuluh tahun dengan perkerjaan mengumpulkan botol-botol bekas untuk dijual kembali. Saat seorang wanita muda mengajaknya mengikuti sebuah program pendidikan untuk anak jalanan, ia merasa sedikit tersinggung, dan tidak percaya diri. Sesungguhnya, Maya bukan anak kurang mampu yang mengharapkan pendidikan, ia justru beranggapan kalau pendidikan itu tidak penting. Tetapi, sang gadis tetap mengikuti program karena Nadia, pengajar sekaligus donatur utama memaksa dirinya ikut serta. Walau pada akhirnya Maya mengikuti kehendak wanita muda tersebut, ia tetap tidak menyukai apapun pelajaran yang diberikan pada saat itu. Terutama ia paling tidak menyukai Nadia, hingga tanpa terasa waktu bergulir dengan cepat. Tiga tahun berlalu begitu saja dan mereka akan segera lulus sekolah dasar. Maya ingat, pada tahun akhir masa sekolahnya di program pendidikan itu, Nadia memberikan sebuah tugas di mana masing-masing murid diminta menuliskan mimpi mereka di masa depan nanti. Sungguh, berada di sekeliling anak-anak yang berfantasi dapat hidup bahagia hanya karena mendapat sedikit ilmu selamat tiga tahun ini sudah cukup membuat Maya jengkel. Apalagi, ia sudah stress memikirkan biaya perawatan kakaknya yang koma di rumah sakit. Waktu yang seharusnya ia gunakan untuk mencari uang justru habis untuk belajar! Lagipula, apa-apaan tugas itu? Tidak masuk akal sama sekali. Belum tentu juga apa yang dicita-citakan terwujud. “Sadar gak? Anak-anak seperti kita nggak punya harapan. Berhenti berharap lebih hanya karena program ini! Nilai tidak menentu masa depan!” ujarnya sedikit membentak. “Maya, Kok kamu ngomongnya begitu?” tegur Nadia menghampiri gadis itu yang menatap dirinya penuh amarah. “Aku udah liat sendiri. Banyak yang ikut program belajar, tapi mereka tetap nggak sukses,” ujar Maya menatap sinis Nadia. Nadia terdiam, bagaimana bisa anak sekecil Maya sudah kehilangan semangatnya dalam belajar. Tanpa sadar Maya sudah berdiri dari duduknya dan meneriakkan semua isi hati yang



selama ini ia pendam. Karena itu, anak-anak yang lain menjadi tidak percaya diri dengan keadaan mereka saat ini. “Di dunia ini, tidak ada pendidikan yang sia-sia,” ujar Nadia dengan tutur kata lembut khasnya. “Jangan jadikan ekonomi sebagai penghalang kesuksesan kalian.” “Kalau ngomong aja mudah! Tapi di dunia sekarang ini, uang adalah segalanya.” Maya mengepalkan kedua tangan, menatap tajam Nadia yang selalu berkata-kata manis padahal isinya hanya omong kosong dan harapan palsu bagi sang gadis. “Anak-anak, ingatlah satu hal. Kalau kalian memiliki tekad kuat dan bekerja keras, Tuhan pasti mempermudah jalan kita.” Melihat keadaan kelas kembali ceria, Maya semakin murka dan meninggalkan kelas begitu saja. Anak-anak kembali gaduh. “Bagus deh Maya pergi, dia gampang marah, dari dulu aku takut sama dia,” ujar salah satu anak. “Dia kayak benci kita semua,” sahut anak lainnya. “Aku pikir, dia sangat membenci program pendidikan ini.” Nadia menghela napas dalam, ia kembali menenangkan dan menghilangkan pemikiranpemikiran buruk tentang Maya dari apa yang dikatakan anak-anak tersebut. “Kalau Maya benci program ini, dia pasti sudah pergi sejak tiga tahun lalu,” tukas Nadia sambil tersenyum tipis. Semua terdiam. Merenungi ucapan Nadia barusan. “Saya berharap dapat melihat kalian menggapai asa di masa depan.” Wanita tadi berucap tiba-tiba, mengalihkan topik pembicaraan. “Cita-cita saya sudah tercapai. Dalam hidup ini tidak ada lagi yang saya sesali,” imbuhnya. 🌸🌸🌸 Nadia berkeliling mencari ke mana Maya pergi, namun itu tidaklah sulit. Gadis tersebut tidak akan pergi terlalu jauh, ia hanya duduk di pohon rindang di tepi sungai tempat biasa Maya menenangkan diri. Nadia melihat sang gadis merenung sembari melempar-lemparkan kerikil ke air. Wajahnya suram membuat hati wanita itu iba.



“Kenapa ke sini, sih? Pergi sana!” ujar Maya sengit, namun wanita tadi tetap duduk di sampingnya, masih menyisahkan jarak di antara mereka. “Kamu tau? Jika saya diberi tiga permohonan, yang pertama saya ingin bisa memakan bubur pakai sendok,” tutur Nadia, ia menerawang jauh ke seberang sungai. Maya tidak tau apa yang diucapkan wanita itu hanya candaan, atau sungguhan setelah melihat ekspresi wajahnya. “Kedua, saya ingin punya sebelas anak biar kayak Gen Halilintar. Pada permohonan terakhir...” Maya menoleh penasaran karena Nadia menggantungkan kalimatnya. Ia berpikir, permohonan konyol apalagi yang diinginkan wanita itu? Tidak masuk akal sekali. Tanpa diduga, Nadia ikut menoleh, menatap dalam ke iris Maya sambil menunjukkan senyum manisnya. “Yang saya inginkan hanya melihatmu mencapai apa yang kamu inginkan di masa depan.” Maya sontak tertawa miris, “Tidak pernah ada yang berharap padaku sebelumnya, termasuk ibuku.” “Tapi, saya berharap banyak padamu.” Walau Nadia tulus mengatakan hal tersebut, bagaimana pun, Maya tetap kokoh kalau dirinya tidak akan memiliki masa depan. Maya dapat mengingat jelas, senyuman yang Nadia berikan kala itu ketika ia pergi meninggalkan sang gadis. Maya tidak ingin terlalu memikirkan kejadian di hari itu. Ia menyibukkan diri dengan kegiatan sehari-harinya. Ia menjalani hari seperti biasa, menjenguk sang kakak yang masih koma lebih dari tiga tahun. Di rumah sakit, gadis itu melewati sebuah ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka. Terlihat seorang dokter dan pasien tengah bercakap-cakap di dalam sana. Muncul perasaan yang menarik Maya untuk mengintip dan menguping pembicaraan dua orang tersebut. “Tiga tahun itu waktu yang lama dan sangat cukup bagi saya,” ujar pasien dengan suara lemah dan kalimat tak lagi jelas. “Kamu sudah berjuang keras.” Dokter tadi menangis sembari memegangi tangan sang pasien, tangisannya terdengar amat pilu. Tidak lama kemudian ia menutup wajah pasien tadi menggunakan kain putih. Butuh waktu lama bagi Maya menyadari kalau pasien tersebut ialah Nadia. Menurut si gadis, alangkah menyedihkannya kehidupan orang tersebut.



Jika dia yang ada di posisi tersebut, Maya lebih memilih untuk meninggalkan dunia ini. Daripada bertahan dengan sakit yang bersarang di tubuh dan membuat orang lain susah. Setelah banyak hal terjadi, Maya tersadar kata-kata dan besarnya harapan Nadia terdapat pada senyuman yang menjadi hal terakhir yang Maya lihat hari itu. Maya tentu sangat sedih, selama ini ia bersikap jahat pada Nadia. Dirinya menyesal karena tidak sempat meminta maap pada wanita itu sampai akhir hayatnya. 🌸🌸🌸 Murid-murid di kelas tampak serius mendengarkan, mereka benar-benar tertarik dengan cerita tersebut. “Lalu kenapa dulu Ibu berpikir kalau pendidikan itu tidak penting?” tanya salah satu anak. “Kalau itu, ah! Keasikan cerita sebentar lagi sudah jam pulang loh.” Maya berdalih, dirinya di masa lalu benar-benar pecundang. Ia tidak ingin anak-anak mengetahui hal tersebut. Seisi kelas bersorak kecewa karena bel pulang benar-benar berbunyi. Maya hanya tersenyum membereskan buku-bukunya, ia pun menatap Nisa yang tanpa sadar asik mendengarkan sejak tadi. “Apa saya harus meninggal terlebih dahulu seperti Nadia baru kamu akan berubah? Seperti yang saya lakukan dahulu?” tanya Maya. Semua tatapan kini tertuju pada Nisa. Gadis yang duduk di bangku paling belakang tersebut merenung. Wajahnya tampak sangat bersalah dengan air mata yang menggenang. Tepat setelah anak-anak dari kelas lain sudah keluar hendak pulang, perhatian pun teralihkan. Nisa hanya duduk menangis terisak-isak, gadis itu menundukkan kepalanya. Ia takut menatap wajah Maya, ia benar-benar merasa bersalah. “Ma-maaf Bu. Aku nggak mau gitu,” ujar gadis itu tersedu-sedu. “Kamu pasti punya alasan terhadap pemikiranmu itu kan?” Nisa mengangguk. “Saya juga.” Maya tersenyum lembut, menghampiri Nisa yang masih terisak-isak ditempat duduknya. Wanita itu memeluk si gadis agar ia tenang. 🌸🌸🌸 Hidup dibesarkan oleh orang tua tunggal dan memiliki seorang kakak laki-laki bukanlah hal bagus dalam hidup Maya. Terlebih lagi, gadis itu harus mengorbankan pendidikan sekolah dasar



yang sudah ia lalui setengah jalan karena sang ibu tidak sanggup membiayai sekolah kedua anakny sekaligus. Awalnya memang tidak masalah karena sang ibu selalu mengatakan di masa depan kakak akan mendapatkan pekerjaan baik agar ekonomi mereka ikut membaik pula. Jujur, Maya juga mengharapkan hal tersebut. Walau sang ibu sakit-sakitan, beliau tetap tegar mencari nafkah dibantu oleh si bungsu. Kakaknya lulus kuliah berkat itu semua, harapan mereka bertumpu pada anak tertua. Mungkin karena pemikiran jika pendidikan bagus akan mendapat kerja yang bagus pula atau terlalu mengecilkan dunia yang nyatanya begitu keras dan tidak adil, lamaran kerja sang kakak selalu ditolak sana-sini. Si sulung sama sekali tidak dapat membantu sang ibu, mungkin karena stress ia mulai terjerumus menjadi pecandu dan pengedar narkoba. Ekonomi sempat terbantu, meski ibu tidak tau pasti yang kakaknya kerjakan karena ia tidak pernah mau bercerita. Sampai di hari itu, si sulung tidak pulang ke rumah, justru polisi datang dan menggeledah rumah Maya, membuat keributan yang mengganggu para tetangga. Ibu baru mengetahui pekerjaan kakak selama ini, beliau sangat kecewa mengetahui sang anak menjadi buronan para polisi selama ini. Kakak Maya mengalami kecelakaan berat dalam pengejaran tersebut membuatnya koma dan harus dirawat di rumah sakit. Sang Ibu yang sangat kecewa memutuskan untuk mengakhiri hidupnya tanpa memikirkan masa depan Maya. Pikiran Maya tidak lagi terbuka, ia mulai berpikir sesungguhnya pendidikan tidak penting dan hanya membuang-buang uang. Untuk apa terus belajar kalau nanti tetap menjadi pengangguran? Bukankah lebih baik mengasah skill daripada otak? Dunia ini kejam. Maya menanamkan dalam diri kalau ia tidak butuh cita-cita, pada akhirnya itu hanya angan yang tidak dapat diraih oleh anak miskin seperti dirinya. Karena itulah ia menutup hati dan pikiran, tidak ingin terlalu berharap pada dunia yang kejam ini. Maya mengutuk nasibnya yang begitu menyedihkan. Mencaci dunia yang kejam pada orang-orang seperti dirinya. 🌸🌸🌸



Meskipun memiliki masa lalu yang tidak terlalu indah, Maya bersyukur dapat bertemu Nadia. Ia merasa beruntung memiliki guru seperti wanita itu. Seseorang yang membuat dirinya membuka pikiran terhadap dunia luar, Maya ingin seperti beliau. Mungkin karena terlalu terbawa perasaan atau memang sedang rindu, pulang mengajar Maya memutuskan untuk berziarah ke makam Nadia, terlebih dahulu sembari membawa dua buket bunga Lily. Tidak diduga ia malah bertemu dengan dokter yang dulu merawat Nadia. Tentu saja Maya sedikit terkejut, jari-jari tangannya terasa dingin. “Hai, Dokter,” sapa gadis itu ramah. “Oh, hai. Em ... Maya, kan?” balas sang dokter. Maya tersenyum memandangi wajah pria tadi yang mulai muncul keriput dan tidak lagi muda. “Dokter masih kenal saya ternyata.” “Kita beberapa kali papasan di rumah sakit sih, dulu juga Nadia sering cerita tentang kamu.” “Oh, ya?” Maya tertawa hambar, lalu memasang senyuman tipis, “Pasti karena saya murid paling bandel waktu itu.” “Tidak juga. Saya yakin, dia pasti bangga melihat kamu sekarang. 18 tahun berjalan cepat, gak kerasa kamu udah dewasa.” Dokter tersebut memberi senyuman ramah. “Sedih rasanya bahwa saya tidak muda lagi.” Keduanya tertawa dan bercakap-cakap ringan. Melihat bagaimana cara dokter itu bercerita tentang Nadia, tampaknya waktu pun tak dapat mengobati luka batin yang beliau alami. “Sebenarnya, Nadia ingin melihat anak didiknya lulus sekolah. Tidak heran dia milih anakanak usia 10 tahun untuk dididik.” “Tiga tahun waktu yang singkat, ya.” Dokter itu menunduk, ia seperti hendak mengatakan sesuatu namun tidak jadi. Hal itu membuat Maya sedikit penasaran. Namun Maya memilih untuk tidak bertanya, karena sang Dokter masih sulit mengatakannya. “Ah, saya jadi lupa waktu.” Maya menaruh buket bunga di makam Nadia lalu berdoa sebentar. Ia hendak berpamitan pada dokter tadi. “Selain mengunjungi Bu Nadia, saya berniat mengunjungi kakak juga. Saya duluan, Dokter, mari.”



Sang dokter menggangguk dan tersenyum ramah. Ia menghela napas usai kepergian Maya. “Tiga tahun waktu yang singkat.” Rasanya baru kemarin ia mendiagnosa penyakit si pujaan hati. Sekarang ia sudah tidak ada lagi disampingnya. “Iya, Dok?” Gadis itu meminta pengulangan. “Kami memang bukan Tuhan yang menentukan hidup manusia, namun berdasarkan analisis, dengan berat hati kami menyampaikan bahwa hidup anda hanya tersisa lebih kurangnya 3 tahun.” “Apa penyakit gagal ginjal saya sudah separah itu?” Dokter tadi mengangguk. “Stadium 5 merupakan tahap terakhir dan angka harapan hidup kecil.” Gadis berusia 22 tahun itu terdiam begitu lama, seakan merenungi kejadian yang menimpanya. Dokter paham, pasien akan terpukul mendengar kabar buruk tersebut apalagi di usia yang masih sangat muda. “Kami dapat memberi beberapa perawatan agar anda dapat bertahan hidup lebih lama, seperti–“ “Tidak. Terimakasih,” tolak Nadia cepat. “Tiga tahun itu waktu yang lama dan sangat cukup untuk saya.”



Profil penulis : Siti Hawa s.pd. Lahir di Tanjung Simalidu, pada 1 Juli 1967. Lulusan dari FKIP Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Jambi tahun 1993. Sekarang bekerja di SMA 2 Muara Bungo, provinsi Jambi. Hobi membaca buku tentang cerita rakyat daerah Jambi dan berkhayal tinggi.