Naskah Drama 5 Orang Laki Laki [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

NASKAH DRAMA 5 ORANG LAKI-LAKI NASKAH DRAMA Tema                     : Kehidupan Judul                     : Pengamen Cilik   Pemeran             :



1.       Didi 2.       Yoga 3.       Bang Ito 4.       Adril 5.       Roy   SINOPSIS



Didi adalah pengamen usia 12 tahun yang mengamen di daerah A. Setiap hari ia harus mengamen mulai pukul 6 pagi sampai pukul 5 sore. Uang yang ia dapat sebagian besar harus ia setorkan pada Bang Ito, preman yang menguasai daerah A. Jika ia tidak mendapat uang banyak, Bang Ito tidak akan segan untuk memukul Didi dan teman-teman pengamen lainnya. Sementara itu, Yoga adalah asli anak orang kaya yang sengaja memilih hidup di jalanan karena kurangnya perhatian orang tuanya. Yoga juga memilih mengamen, tapi ia bukan berada di daerah A, sehingga tidak harus setor uang. Yoga memiliki teman satu geng yang bernasip sama dengannya.   NASKAH DRAMA Di jalan pulang, sambil membawa ukulele, Didi baru akan menyetor uang kepada Bang Ito. Tapi ia kena marah dan pukul karena uang yang ia dapat tidak sesuai target. Bang Ito               : “Seharian ngapain aja? Ha? Jawab?” Didi                        : “Nyari uang Bang.” Bang Ito               : “Nyari uang apa jalan-jalan doang?” Didi                        : “Nyari uang Bang.” Bang Ito               : “Kalo nyari uang dapatnya nggak segini! Ngerti?” Didi                        : “Iya Bang, hari ini agak sepi pengendara.” Bang Ito               : “Alasan melulu!” Keesokan paginya, Didi berangkat mengamen lebih pagi dari hari-hari sebelumnya. Ia juga tidak hanya berada di perempatan lampu merah biasa ia ngamen. Tetapi keluar masuk bus juga. Sampai siang hari, ia lumayan mendapat uang. Ketika sedang asyik menghitung di terminal, seorang laki-laki seusianya tiba-tiba duduk menyampingnya. Bocah tersebut juga membawa ukulele. Hanya saja tidak lebih kumuh dari Didi. Kulitnya putih bersih, namanya Yoga. Yoga                      : “Ngamen juga?” Didi mengangguk pelan. Yoga                      : “Dapat uang berapa?” Didi                        : “Enam puluh ribu, tapi harus setor Bang Ito lima puluh ribu.” Yoga                      : “Bang Ito? Abang loe?” Didi                        : “Bukan, dia penguasa daerah A, jadi banyak pengamen yang harus setor uang                                    ke dia. Sebagai imbal baliknya, kami diberi izin tingga dan makan 2x sehari.” Yoga                      : “Tidur kalian di mana?” Didi                        : “Kolong jembatan.” Yoga                      : “Sama dong, aku juga di kolong jembatan. Tapi nggak ada tuh sistem setor-



                                   setor. Jadi nggak ada kejar target harus dapat uang berapa.” Didi                        : “Berarti penguasa wilayah di tempatmu baik banget ya.” Yoga tersenyum sebentar. Yoga                      : “Di tempatku nggak ada Abang-Abang penguasa wilayah. Bahkan jika ada                                   yang menyakiti salah satu dari kami, maka semua teman-teman akan maju                                   untuk membela.” Didi                        : “Ada tempat yang kayak gitu? Boleh saya gabung sama kalian?” Yoga                      : “Oh tentu, asalkan solidaritas harus terjaga. Nggak boleh ada pengkhianatan.                                   Jika ada suatu masalah harus dibicarakan baik-baik dengan yang lainnya.” Didi                        : “Saya sanggup. Saya sudah tidak tahan dengan perlakuan Bang Ito.” Yoga mengulurkan tangannya. Yoga                      : “Aku Yoga, mulai nanti ikutlah denganku. Akan kukenalkan ke teman   -temanku di base camp.” Didi menerima uluran tangan Yoga. Didi                        : “Didi. Oke aku mengerti.” Sesuai kesepakatan, selesai mengamen, sore itu Yoga membawa Didi ke tempat teman-temannya. Di base camp sudah ada 2 teman lainnya, Adril dan Roy. Keduanya terlihat sedang asyik menggambar sketsa sederhana.  Yoga                      : “Teman-teman, kenalkan ini Didi.” Adril dan Roy buru-buru meletakkan pensilnya dan memperkenalkan diri. Sambutan yang cukup baik. Adril                      : “Sini...sini... Duduk dulu, kalau mau pesan minum silakan pesan minum di                                   warung sebelah, ntar aku yang bayarin.” Dengan agak ragu, Didi ikut duduk tanpa pesan minum. Ia duduk hati-hati sekali, belum adaptasi. Roy                        : “Jadi, atas alasan apa kamu kabur dari rumah?” Didi terkejut mendengar pertanyaan Roy, wajahnya berubah pucat. Didi                        : “A...aku tidak kabur dari rumah. Aku hanya kabur dari wilayah Bang Ito.” Adril dan Roy saling berpandangan, tak mengerti. Tapi mereka yakin bahwa Didi anak jalanan juga, dilihat dari pakaiannya yang lusuh dan ukulele yang dibawanya. Yoga                      : “Jadi Bang Ito ini adalah penguasa wilayah A, di mana biasa Didi ngamen. Didi                                   harus setor uang 50 ribu rupiah setiap selesai ngamen tiap hari. Ia tak tahan,                                   jadi ia kabur dan gabung ke sini.” Adril                      : “Bang Ito bukan Abang loe?” Didi menggeleng pelan. Roy                       : “Lalu sebelumnya? Kenapa kamu kabur dari rumah? Punya rumah kan?” Kali ini Didi dipandang lekat oleh Adril, Roy, dan Yoga. Didi                        : “Aku nggak punya rumah. Sejak kecil aku sudah hidup di jalanan sama emak.                                   Sekarang emak sudah meninggal.” Yoga, Adril, dan Roy melongo mendengar penjelasan Didi. Didi                        : “Kalian? Apa kalian semua punya rumah?” Yoga, Adril, dan Roy mengangguk bersamaan.



Yoga                      : “Kau tenang saja Di, sekarang kamu bisa tinggal bersama kita.” Didi mengangguk diikuti dengan senyumnya. Roy                        : “Jadi Di, kita semua di sini sebenarnya memiliki rumah. Bahkan mewah                                  mewah. Kita tidak bermaksud paer. Kami hanya bercerita sama kamu, kenapa                                   kita berada di jalanan.” Yoga                      : “Papa sama mama kita pada sibuk karir di luar. Di rumah sama pembokat                                   doang, males lah.” Adril                      : “Di jalanan, kita ngerasa bebas dan banyak pengalaman baru, teman baru,                                   dan tentunya perhatian teman-teman yang nggak bisa kita dapat dari orang                                   tua. Sesekali kita juga pulang ke rumah, kangen sama mama.” Roy                        : “Haha dasar anak mama loe!” Didi mulai ikut tertawa. Didi                        : “Aku nggak mau milih kehidupan seperti ini, tapi aku yakin semua ada                                   hikmahanya. Dulu Emak bilang kalau hidup di jalanan itu keras. Banyak                                   penjahat seperti Bang Ito ataupun teman-teman dengan pergaulan bebas.                                   Tapi selama kita nggak macem-macem alias lurus-lurus aja, semuanya baik                                  baki saja. Tidak akan ada perbedaan antara anak jalanan dan anak rumahan.” Yoga                      : “Aku setuju. Hidup di jalanan emang keras, dan aku yakin kamu udah punya                                   jiwa tangguh dalam menghadapi kejahatan di jalanan.” Adril                      : “Di, kamu juga harus tahu, kalau kita di sini juga menikmati banget hidup di                                   jalanan. Sebisa mungkin memanfaatkan waktu dengan kegiatan yang positif.                                   Kamu lihat sendiri tadi kita sibuk menggambar sketsa.” Roy                        : “Selain membuat sketsa, kita juga belajar bikin kerajinan tangan dari barang                                   bekas. Itupun juga barang-barang hasil mulung.” Didi                        : “Kalian hebat. Aku mau gabung sama kalian.”



Kehidupan jalanan memang terkenal sangar dan ngerinya. Akan tetapi tak sedikit pula ada orang-orang yang peduli pada anak jalanan lainnya dan berusaha mengubah hal negatif menjadi sesuatu yang positif.



NASKAH 2 Di suatu siang di pinggir perkebunan jagung, datang seorang pemuda yang berjalan setengah berlari menghampiri temannya untuk memberitahukan sebuah kabar. Aldan : Hamzah…. Hamzahhhhhhhhhh (berteriak dari kejauhan) Hamzah : Kenapa teriak-teriak, ada apa? Aldan : Kamu kenapa enggak datang tadi di acara rapat desa? Diundang kan? Hamzah : Iya, untuk apa datang, aku udah tau apa yang mau diomongkan sama kepala desa baru itu. Aldan : Bukan soal sawah yang katanya mau dijual itu, kades baru nyuruh para warga untuk menyetor uang atau upeti jika mau mengadakan hajat di desa ini. Hamzah : Apa? Bukannya itu melanggar? Kita tidak bisa tinggal diam, kita harus cari bukti pelanggaran itu dan lapor kepada petugas peninjau desa. Aldan : Tapi gimana caranya? Kamu kan tau apapun yang dilakukan warga selalu diawasi olehnya. Hamzah : Coba kita bicara sama yang lain dulu. Babak 2 Di Ruang keluarga rumah Teguh Teguh : Kalo tau jadi kepala desa bisa cepet kaya, dari dulu aja bapak nyalon ya. Fatah : Iya pak, kan sekarang bapak udah jadi kepala desa ni, urusan jodohku gimana? Dengan Alifah? Teguh : Itu masalah kecil, Darka enggak mungkin bisa menolak perjodohannya. Fatah : Jadi aku pasti sama dia kan pak? Teguh : Iya sudah jangan khawatir,ini simpan dokumen penting ini. Fatah : Apa ini pak? Teguh : Ini adalah data penduduk desa yang tidak kebagian hak pilih kemaren. Fatah : Ooooooooo siap pak hehe… Babak 3 Sore hari di Rumah Pak Darka Pak Darka : Bapak tidak bisa berbuat banyak nak, mereka selalu mengancam dan utang-utang itu tidak bisa bapak bayar segera. Alifah : Tapi pak, aku tidak mungkin nikah sama Fatah, dia sama seperti bapaknya, angkuh! Hamzah : Apa tidak ada cara untuk membuktikan kalo kepala desa kita ini tidak berperikemanusiaan dan selalu memeras warganya. Pak darka : Maaf nak, bapak tidak bisa apa-apa untuk membantu kalian. Alifah : Kami tau pak, keadaan sedang sulit, emmmmm… kita harus cari bukti, apa saja… pokoknya bukti untuk diserahkan kepada pengawas desa supaya pak Teguh dicopot dari jabatannya. Aldan :  Pendapat Alifah benar, tapi harus mulai dari mana? Kita sendiri aja enggak bisa masuk ke kantornya. Hamzah : Kita akan temukan bukti-bukti itu dimanapun, di rumah atau kantor. Alifah : Bagaimana jika aku yang kesana? Mereka nggak akan curiga. Hamzah : Tapi kamu harus hati-hati, kamu tau kan sifat kejamnya kepala desa? Alifah : Iya jangan khawatir. Babak 4 Keesokan harinya di depan rumah Teguh (Suara pintu diketuk…)



Fatah : Alifah, ada apa? Tumben kemari, ayo masuk. Alifah : Iya, bapakku mau ketemu sama kamu, katanya mau bicara perjodohan. Fatah : Jadi kamu sudah setuju? Baik ayo kita ke rumahmu sekarang. (Rumah kosong, Hamzah dan Aldan masuk) Aldan : Apa enggak kenapa-kenapa kalo kita masuk seperti ini, nanti kita dituduh maling lagi. Hamzah : Tidak ada cara lain, resiko… ayo cepet cari apapun yang bisa jadi barang bukti. Aldan : Aku menemukan map kuning di ruang kerja isinya coba kau liat. Hamzah : Data penduduk yang tidak punya hak pilih waktu pemilihan kades kemaren. Aldan : Kita bawa saja, udah gak ada waktu lagi. Hamzah : Ayo jangan sampai ada yang curiga.