Naskah Lomba Drama Pendek Teater Mandiri [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

NASKAH LOMBA DRAMA PENDEK TEATER MANDIRI 2018



ANAK KAKEK dan NENEK tua renta yang tak punya anak itu, mencoba melupakan kesedihannya. Mereka menggunjingkan betapa anak sudah mulai menimbulkan masalah. Betapa kini mahal dan sulitnya punya anak. Tapi di akhir kata, hati mereka ternyata semakin pedih: "Aku masih ingat apa persyaratanmu waktu aku lamar kamu seratus tahun yang lalu." "Ah, kamu paling demen mendramatisir apa yang kamu duga, bukan apa yang terjadi nyata." "Aku selalu ingat. Kamu bilang: aku mau punya anak tujuh, seperti doremifasolasido, supaya hidup kita bisa jadi lagu yang merdu." "Ngarang!" "Apa salahnya ngarang sedikit supaya asyik! "Tak usah tujuh, satu pun aku mau!" "Tapi nyatanya sampai sekarang, satu pun kita tak ada." "Jangan bilang tak ada. Kelakuanmu makin tua makin seperti anak-anak. Bahkan sering lebih rewel dari tujuh anak-anak. Dikasih kopi, minta teh, dibikinkan teh, ngajak tidur, apa hubungannya!"



"Itu gunanya kita punya mimpi, pesawat jet pribadi gratis yang bisa kita tumpangi ke mana kita mau pergi ke tempat terlarang pun jadi." "Baru dibilang, sudah kumat lagi!" "Mimpi membuat kita beringas! Tidak ada rambu-rambu lalu lintas! Tidak ada polantas." "Aku akan selalu jadi pengawas!" "Tapi kamu sedang tidur habis begadang dibetot sinetrom seribu episode!"



"Ngarang!" "Biarkan aku ngarang, pegel linu aku jadi isi karangan tok!" "Asal eling pulang pintu tidak akan pernah terkatup hagi yang hilang" "Baik. Jangan sangsikan waktu akan datang, jangan ragukan tahun berganti, jangan biarkan cemas mengubah sejarah, berjalanlah dengan langkah yang mantap, pasti kau akan sampai juga ke tujuan yang layak untukmu. Hanya mungkin tak sesuai dengan mimpimu. Tetapi belajar berbahagia dengan apa yang kau terima, itu akan jadikan hidupmu sempurna." "Siapa bilang aku tak bahagia? Aku hanya kurang bahagia sedikit." "Sedikit itu berapa banyak?" "Banyak itu berapa besar!" "Banyak itu hanya sedikit, tapi penuh!" "Ngarang!" "Buat kita yang sudah tak berdaya, ngarang itu karunia, asal jangan dipercaya lebih dari yang nyata ada" "Tapi kalau yang nyata begitu perih terasa, apa daya?" "Belajar dari lagu dangdut, Jangan takut kejedut yang penting bisa dut" "Tapi kita manusia bukan belut!" "Ah baru ngurus satu bayi tua bangka sudah semaput! Bagaimana kalau dorimifasolasido bisa bangkrut!" "Makanya mendingan tak punya!" "Betul! Betul! Tak usah ada! Biar jiwa tenang umur panjang”



“Awalnya anak memang buah hati. Tapi sekarang ternyata anak sudah mulai bikin stres orang tua." "Betul!" "Syukurlah kita tak punya!" "Di Malang, ada ibu membunuh bayinya dengan membiarkan terbakar. Selaku hanya istri seorang dosen, ibunya mengaku tak tega melihat anaknya itu kelak tak punya masa depan." "Padahal suaminya dosen, kan?" "Padahal! Itulah masalahnya!" "Bagaimana kalau suaminya pesuruh seperti si Suarli?" "Ya mungkin anaknya akan dibesarkan sampai dapat sarjana muda seperti anaknya Suarli! asal ibunya mau banting stir jadi pembantu!” "Itu kalau masalahnya kekurangan biaya." "Padahal gaji guru sudah mendingan sekarang? Kecuali kalau mau aksi naik Mercy!" "Kenapa bukan suaminya yang berhenti jadi dosen, tukar profesi seperti Suarli jadi pesuruh yang banyak peluag sabetan??" "Itu kalau masalahnya duit. Lha kalau cinta?" "Maksudmu, suaminya selingkuh?" "Di Denpasar, Bali, Angeline dibunuh Ibu angkatnya!" "Betul! Kenapa Angeline disiksa dan dibunuh dengan kejam. Padahal dari foto-foto kenangan, Angeline kelihatan begitu disayang?" "Mungkin ada gangguan jiwa."



"Tapi kalau dia terganggu tak mungkin hakim memberi vonis berat." "Sudah jangan menyidangkan lagi perkara yang sudah selesai. Persoalannya sekarang kenapa anak dibunuh? Apa mau dijual organ tubuhnya?" "Di Yogya anak diculik di pasar swalayan. Di jakarta anak ditelantarkan ortunya sendiri!" "Tapi di Makasar, anak menembak pelipis ibunya sendiri yang mengakibatkan maut." "Nah itu! Apa sebenarnya yang sedang terjadi di sekitar kita?" "Anak-anak dalam bahaya. Atau jadi bencana?" "Atau manusia sudah keranjingan darah sesama?" "Atau anak bukan lagi buah hati? Lantaran ortu lebih doyan lebih ngiler lebih teler ngumbar demenannya sendiri!" "Akibatnya orang tua terlalu sibuk banting tulang nyembah karir memuja sukses mendewakan pekerjaan memberhalakan duit demi bisa hidup lebih berlimpahan kenikmatan duniawi?" "Lebih mewah!" "Megah! Wah! Karena sekarang kebutuhan pokok, bukan hanya sandang-pangan - papan. Tapi juga." "Mapan!"



"Dulu, waktu kamu kecil, sayang, bapak dan ibu dua-duanya bekerja. Kamu kami titipkan di rumah tetangga. Sesudah mulai agak besar, kamu mulai kami suruh-suruh ini dan itu untuk bantu ibu kamu, ngantar. Bapak." "Bukan karena kami kejam. Tapi melatih kamu jangan jadi manja. Karena anak semata wayang memang kebanyakan kolokan, bandel, malas tapi cengeng, hanya suka nuntut tapi bisanya hanya kentut!"



"Seperti anak tetangga yang kaya itu! Begitu dimanja, dijaga seperti berlian. Apa yang dia mau harus dapat, cepat dan tidak boleh telat. Salah sedikit orang tua dijitak! Tapi jadinya setelah gede, masak ortu diperlakukan seperti pembantu! Pantes si Malin Kundang dikutuk Ibu jadi batu!” "Kamu tidak begitu, sayang! Kamu tidak manja, tidak kecewa orang tua tidak punya apa-apa! Kamu bukan anak durhaka!" "Kamu tidak pernah menuntut. Tidak mau lihat orang tua susah. Hari raya tidak dibelikan baju baru, tetap tertawa!" "Ke sekolah tidak dikasih uang jajan, tidak mutung. Tidak bisa beli buku tetap bintang kelas!” "Jalan kaki 5 KM tiap hari tak pernah mengeluh, tak pernah les ini atau itu, eh malah jadi S3." "Tapi lihat itu anak-anak sekarang terlalu manja! Belum lahir sudah nguras duit. Waktu dilahirkan bayar rumah sakit cukup buat beli rumah petak! Urusan vaksin selama balita, biaya play grup, TK sampai SMA sama dengan penghasilanku seumur hidup!" "Belum beli sepatu, kostum, piknik. Jajan, ulang tahun, nonton konser pop Korea di luar negeri, HP, komputer, mobil bisa milyardan! "Belum minta perhatiannya melebihi umur yang kita punya!" "Punya anak sekarang, jadi bikin susah! Biayanya terlalu mahal" "Kalau tidak diurus kita bisa dipersalahkan! "Kalau diurus kita kewalahan! "Keadaan sudah terlalu banyak berubah! Tidak ada tetangga lagi yang mau dititipi anak kalau kita sibuk. Banyak ancaman yang menerkam anak kalau kita lalai. Kendor sedikit, setan yang ada di internet bisa nyaplok."



"Atau kena sabet oleh para gerombolan yang menjajakan narkoba lewat permen." "Atau diculik untuk pemerasan." "Dijual. Diambil organ tubuhnya yang sudah dipesan dari luar negeri" "Kenalanku yang kawin dengan bule Amerika di New York, kalau meninggalkan anak sendirian dalam rumah di flat, hanya untuk keluar buang sampah, bisa dituntut. Sebab anak itu bukan milik orang tua, tapi milik negara. Akan diambil pengasuhannya kalau orang tuanya mentelantarkan!"



"Pokoknya ribet! "Ruwet! "Ringse! "Sesek esek esek esek!' "Jadi lebih baik tak punya anak! Kita bisa bebas, lepas, bablas” "Dan amblas!" Keduanya menangis tersedu-sedu kesepian



Jkt. Agustus '15 Jkt 24 Oktober '17



MALING 1.



Maling mengendap-endap masuk rumah yang sedang ditinggal oleh seluruh penghuninya. Ia memakai masker untuk menutup mukanya. Membawa 2 buah karung untuk menjarah. Setelah ngetes dengan melemparkan sesuatu untuk bunyi, tapi tidak ada reaksi, Ia mulai yakin rumah kosong. Untuk meyakinkan, ia tutup pintu agak keras seperti ditendang angin. Juga tak ada reaksi. Lalu ia mernirukan bunyi kucing. Mendadak ada suara anjing galak. Maling itu meloncat keluar. Maling masuk lagi bawa seikat daging mentah yang sudah disiapkannya untuk nyogok kalau ada anjing. Ia memancing-mancing lagi dengan suara kucing. Gonggong anjing itu kedengaran lagi. Maling itu siap dengan dagingnya. Ternyata aman. Ia melongok keluar. Ternyata itu suara anjing lewat yang lagi dibawa jalan-jalan oleh tuannya, Dengan cepat, gesit dan leluasa ia mulai melakukan penjarahan. Semua yang didapatnya dimasukkan karung. Dalam waktu singkat kedua karung yang dibawanya penuh. Tapi masih banyak lagi barang yang menarik yang sudah diketemukannya. Ia bingung. Kedua karungnya terlalu sedikit dibandingkan jarahan yang dia kumpulkan dari kamar ke kamar. Akhirnya terpaksa ia menyortir lagi apa yang sudah dimasukkannya ke dalam karung. Isi karung itu dituang disisihkan yang tidak perlu dan yang layak dicuri. Lalu memasukan KW 1 ke karung pertama. Tapi telepon berbunyi sebelum mengisi karung kedua. Maling terkejut, langsung lari menyelamatkan diri dengan mengorbankan karungnya. Setelah 3 kali berdering telepon senyap. Maling itu muncul lagi bawa pentungan. Lalu merayap menghampiri karungnya. Merasa aman, ia cepat memasukkan barang-barang jarahan lagi ke karung pertama. Telepon bunyi lagi. Sekarang ia tak peduli. Ia terus mengisi karungnya dengan KW1. Tapi telepon bunyi lagi. Bunyi



lagi. Ia jadi lepas kontrol. Dengan marah ia mendekati telepon dan mengangkatnya mau marah, tapi langsung sadar. Ia cepat menutup mulutnya sambil manaruh kembali telepon. Sadar salah ia jadi bingung. Cepat ia menyambar karungnya dan mau kabur. Meninggalkan satu karung yang masih kosong dan jarahan yang tak berharga. Tapi kejedot tembok. Ia merintih kesakitan.



Telepon bunyi lagi. Maling bingung. Antara lari atau ngibul. Akhirnya ia memutuskan untuk ngibul. Ia kembali ke dekat telepon. Tapi latihan dulu sebelum kontak. "Hallo, selamat pagi, maaf tidak ada orang di rumah. Saya pembantu, habis ngepel saya pergi. Hallo, selamat pagi, maaf tidak ada orang di rumah. Saya pembantu, habis ngepel saya pergi." Maling mengangkat telepon. "Hallo ... ." Dan sangat terkejut. "Apa sekarang di depan pintu? Siapa Tukang listrik?" Maling bingung. Dia sudah mau kabur, tapi pintu depan diketuk. Disertai dengan salam ramah. Maling bingung. Ia meletakkan karungnya, mau membuka pintu, tapi melihat tak ada kuncinya, urung. Ia berbalik mau kabur. "Aww!" Maling kaget. Tukang lisatrik sudah sda di belakangnya tertawa. "Selamat siang Pak Sombu. Saya periksa kabel-kabel instalasi di belakang, saya lihat pintu terbuka, jadi maaf saya masuk saja." Tukang listrik itu tersenyum ramah sambil melirik ke kabek-kabel listrik. "Bapak tadi yang nelpon?" "Betul, Pak Sombu. Jadi atau tidak?"



"Ya?" "Petugas pengontrolan dari kantor akan memeriksa rumah Bapak besok. Jadi kalau ada sambungan maaf liar yang ngambil dari kabel pusat, bisa didenda meskipun itu dilakukan oleh pemilik rumah sebelunya. Bagaimana boleh saya periksa?" "Maksudnya?" "Ya, kalau ada, saya bisa tolong rapihkan, jadi besok, kalau ada pemeriksaan beres. Dendanya tinggi Pak Sombu. Kalau tak mau bayar, ya masuk penjara. Bagaimana?" Maling itu bingung. "Lho di atas meja kok banyak barang, Pak Sombu? Jadi berangkat keluar kota?" "Ya." "Boleh saya duduk?" "Silakan." "Denger-denger bukannya kemaren Pak Sombu sudah berangkat bersama seluruh keluarga?" "Ya." "Kalau sudah, Pak Sombu kok masih ketinggalan di sini?" Maling itu bingung. “Apa?" "Kalau Pak Sombu sudah berangkat kemaren sama keluarga, kok masih ketinggalan di sini?" "Ya." "Jaga rumah, ya?"



"Ya." "Takut ada maling?" Maling ketawa. "Kok ketawa? Kenapa takut? Almari kan sudah dikunci semua, kan?" Maling heran. "Ya." "Dan semua barang berharga sudah disimpan di bank! Ya kan, Pak Sombu?!" "(Heran) Lho kok tahu?" "Bagaimana nggak tahu, aku kan Pak Sombu, Maling!" Maling kaget langsung berbalik loncat lari, tapi langsung dipentung oleh cs yang ngaku tukang listrik. Maling tumbang tak berdaya.



"Mati?” Maling diperiksa. "Mati?" "Belum. Matiin?" "Biarin aja, kasihan, anak baru belajar nyolong. Beresin aja barangnya!" Yang ngaku Pak Sombu makan buah di meja. Yang mukul memasukkan barang jarahan ke karung.



"Gua udah bilangin kader-kader muda, kalau mau profesional kerja yang betul. Belajar! Kuasai abcnya dulu, jangan asal tubruk! Ngerti?" "Siap, Bang!"



Tiba-tiba telepon berdering. "Jangan diangkat!" "Siapa tahu kawan kita, Bang!" "Di lapangan tidak ada kawan, musuh semua!" Telepon berdering. "Buruan!" Yang memasukkan jarahan ke karung selesai. Telepon bunyi. "Cabut!" Yang bawa karung lari ke pintu depan bawa karung. Terkunci. "Kunci, Bang!" Yang ngaku Pak Sombu melempar segepok kunci. Lalu keduanya lari keluar. Telepon terus berdering. Setelan keduanya kabur, Maling bangun sambil memegang HP-nya. Telepon terus berdering. Mematikan HP. Dering telepon berhenti. Lalu ia mengambil karung jarahannya dan mau pergi lewat belakang sambil menggerundel. "Kalau mau profesional pelajari ABC-nya!" Karung terlempar ke dalam mengenai kepalanya, ia terkejut lari "Sialan! Cuma celana dalam butut!"



2



Jaksa memberi penjelasan. Di belakangnya ketiga maling membelakangi penonton. "Itu tadi hasil rekaman CCTV. Dalam tempo kurang dari 24 jam para pelakunya sudah berhasil diamankan. Inilah mereka. Ketiga orang yang berjajar di belakang JAKSA membelakangi penonton, balik muka ke arah penonton. Semuanya senyum dan PD sama sekali tidak menunjukkan sesal. Ternyata salah satu yang memukul Maling seorang cewek. "Masih remaja semua. Mereka Jadi bandel akibat pengaruh narkoba, broken home, kurang kasih sayang orang tua dan pergaulan yang tak sehat! Ke depan mari kita rawat mereka lebih baik!”



SERPONG, Kampus UMN, menjemput Taksu, 2 November 2017



MALING MALANG PENCURI itu sudah hampir rampung nyolong. Kemudian terdengar suara rintihan di kamar. Ia mengintip. Ternyata pemiliknya, seorang nenek yang hampir jatuh dari tempat tidur mau mengambil sesuatu dari atas meja. Pencuri itu berpikir. Tapi kemudian ada ketukan di pintu. Pencuri itu terkejut membatalkan niatnya menolong. Ia kabur menyelamatkan diri. Perempuan itu jatuh ke lantai. Bunyinya keras. Pencuri itu kaget, kembali mengintip. Ia tak sampai hati melihat perempuan itu merayap ke meja. Tangannya menggapai gapai mencari. Pencuri itu menyangka nenek mau minum. Mengendap-endap ia ke dekat meja, mendekatkan gelas itu ke jangkauan tangan nenek. Tapi luput terus. Akhirnya pencuri nekat menaruh gelas minum plastik itu di tangan nenek. Nenek terkejut dan menepiskan gelas. Airnya nyiprat ke wajah pencuri. Pencuri itu mengumpat mundur. Nyaris mau pergi. Nenek memukul-mukul meja dengan gelas. Kemudian menangis. Pencuri itu ngintip lagi. Nenek menggapai-gapaikan tangannya. Ke arah obat. Pencuri itu mulai mengerti. Perlahan-lahan ia kembali ke meja mengambil obat dan mendekatkan ke tangan nenek. Kembali luput-luput melulu. Pencuri kesal, lalu nekat memegang tangan nenek dan meletakkan obat di genggamanya. Tiba-tiba nenek membentak. NENEK: Bukan obat! Pencuri kaget dan lari. Tapi kesandung dan jatuh. Barang curian yang sudah dikemasnya berhamburan berantakan.



NENEK: Kaca mataa! Kaca mata! Pencuri tak bisa ngumpet lagi. Ia cepat pergi ke meja dan mencari kaca mata. Tapi tak ketemu NENEK: Di laci! Pencuri mencari di laci. Tak ada! NENEK: (Membentak) Di laci! PENCURI: (Ikut membentak) Tak ada! NENEK: Kaca mata!! PENCURI: Tak ada!! NENEK: Harus ada! PENCURI: (Menggerundel) Dasar tua bangka! NENEK: Apa? PEBCURI: (Kesal tapi kemudian lihat nenek sudah pakai kaca mata) Itu yang sekarang dipakai apa?! Nenek memegang kaca mata yang dipakainya. NENEK: O, nggak kelihatan, tak kira (membuka kaca mata) sekarang baru jelas lagi



Pencuri diam-diam mau kabur. NENEK: Suratnya mana? Pencuri mengumpulkan beberapa keramik antik curiannya yang tadi jatuh berserakan ada yang luput kepegang menghampiri kaki nenek



NENEK: Itu jambangan bungaku kok ada di lantai. Itu kenang-kenangan waktu aku kerja di Taiwan. Di mana aku kerja aku pasti beli jambangan bunga. Di Hong Kong, Malaysia, Singapura. Anak-anak yang kuasuh itu semua ingat aku. Mereka semua kirim surat. Tapi aku tidak bisa baca. Coba ambil suratnya di laci! Pencuri pergi ke meja sambil mengambll vas bunga itu. Ia mencari surat yang ada dilaci. Tapi tak ada. NENEK: Mana suratnya? Pencuri bingung karena tak ada surat NENEK: Tak apa mungkin belum sempat dikirim. Tapi aku hapal isinya. Nenek pura-puraa membaca surat. NENEK: Nani, si Acu yang mak Nani asuk dulu sudah besar. Dia ingin jadi dokter. Hari Minggu dia ke rumah Oomnya, tapi tidak pernah pulang. Sampai sekarang masih hilang. Nenek itu menangis. Pencuri bingung. Tangis nenek itu makin sedih. Pencuri trenyuh dan mendekat, mengelusnya. Nenek lebih tenang.



NENEK: Aku capek. Tolong aku tidur. Pencuri menolong nenek berbaring di tempat tidur. NENEK: Kepalaku sakit. Badanku pegel linu. Pijit sedikit kakiku. Pencuri memijit. NENEK: Hari ini harusnyaa aku kerja. Tapi aku tak bisa bangun. Yang kiri juga! PENCURI: Apa? NENEK: Jangan kanan aja! Kiri juga dipijit. PENCURI: (Kesel) Gila! Nenek gambring! Pencuri mau kabur. Nenek terkejut, bangun. Melihat pencuri masih pakai masker hitam ia terkejut dan memekik. Pencuri cepat berbalik menutup mulut nenek. Nenek merengutkan selubung kepala pencuri. Ternyata ia perempuan. NENEK: Siapa kamu? Maling? PENCURI; Ya! Nenek menjerit lagi. Pencuri menghampiri dan membentak. PENCURI: Diam! Nenek langsung diam badannya gemetar.



PENCURI: Maaf! Jangan takut. Aku tidak pernah menyakiti orang tua NENEK: Aku tidak takut. PENCURI: Terus kenapa badanmu gemetar seperti tikus kecempiung got? NENEK: Aku kebelet kencing PENCURI: Ayo kencing! NENEK: Di sini? PENCURI: Terserah! Ini kan rumah sampeyan! NENEK: Gendong aku ke WC! PENCURI: Aku bukan pembantu aku maling NENEK: Kamu maling malang. Mau curi apa kamu di sini? Curi aku? (ketawa) PENCURI: Aku pendatang baru. Ini gladi resikku. Ternyata aku tidak berbakat. NENEK: Cepat! PENCURI: Jangan teriak! Mau ngasih kode satpam untuk menangkapku?



NENEK: Dari pagi aku tahan, aku mau kencing! PENCURI: Ya sudah, kencing saja!! NENEK: Aku tak kuat jalan. PENCURI: Ini hanya ada dalam kepala penulis drapen ini. Ayo buruan aku gendong! PENCURI menggendong NENEK ngibrit ke kamar kecil PENCURI: Awas! Jangan lepas di situ! Jailah anjirrr! Nenek ketawa ngakak



Jakarta, 09-11-17 06.30 WiB



ALUNG 1 Pagi hari, sambil baca koran ngopi dan merokok. Alung ngoceh: "Sebagai orang merdeka di tanah air merdeka yang sedang memperingati hari kemerdekaannya, aku Alung, serukan salam: merdeka! Sekali merdeka, merdeka sekali! Sebagai insan merdeka aku meloncat ke mana saja tanpa digondeli memory. Untuk apa memikul sejarah, berat begitu. Lebih baik mikul cita-citamu yang belum beres! Apa gunanya sejarah dipikul? Belum tentu isinya emas berlian. Jangan-jangan cuma kekalahan, kekecewaan, air mata dan darah! Pengalaman? Sorry! Tidak perlu nubrukkan kepala sendiri ke tembok hanya untuk cari pengalaman kepala bocor! I am so sorry, Bro! Pengalaman, serahkan saja pada Mister Google. Pengalaman orang lain malah lebih akurat eh bermanfaat. Sejarah? Bungkus saja dalam buku, buat pelajaran anak-cucu. Itu kan cuma prasasti, fosil untuk pajangan di musium. Aku, kita, kan kecambah yang sedang tumbuh untuk jadi kacang panjang yang panjaaaaaang sekali, melebihi semua sinetron ulur-ulur itu! Ha-ha-ha! Kita perlu kemerdekaan: bebas-lepas-bablas untuk mencipta, bereksploarasi, berkolaborasi!.



Ingat, waktu sudah berlari. Satu hari bukan 24 jam lagi, tapi hanya 12 jam. Potong mandi, ngedan di WC, baca koran, periksa SMS, FB, tweeter, BB, WA, makan, ngerokok, tidur siang, ngelamun melatih imajinasi, omong kosong sama tetangga, dll yang tak terduga! Paling sisanya kurang dari satu jam. Jadi catat, satu hari tak sampai satu jam!"



Alarm HP menjerit. Alung bingung mencari HP. Setelah pontang panting mencari tak juga ketemu, sementara alarm itu terus juga menggedor, Alung putus asa. Lalu ia kembali duduk di kursi, pada posisi tidurnya semula. ISTRI Alung muncul. Mengambil gelas kopi, piring, asbak dan koran di meja, mengambil HP yang masih menjerit di bawah meja, meletakkan di meja, lalu pergi. Alung mengambil HP. Membungkamnya dan terkejut. "Apa? Aduh, sialan, aku sudah ngoceh 42 jam?! Kalau gitu, demi kesehatan tiba saatnya untuk istirahat!" Alung tidur lagi di kursi. Kedua kakinya dinaikkan ke sandaran kursi tua yang punya tangan itu. Meja ditarik mendekat untuk membaringkan kepalanya dengan bantal sarungnya yang digulung. Langsung mendengkur.



2



ISTRI Alung muncul lagi. Ia meraba-raba tubuh suaminya untuk mencari dompet. Setelah ketemu, ia mencoba menguras isinya. Lalu masuk kembali.



"Seandainya sejarah bisa diulang. Bisa ditulis sekali lagi. Bagaimana sebaiknya, apa yang harus diubah, dilempengkan, diganti atau dipercantik?



Aku Alung kontan berkoar berang: Gila! Tidak bisa, tidak boleh, dilarang, itu tabu, haram, kriminal! Sejarah adalah sejarah, biarkan hanya sejarah, tetap sejarah, jangan dijarah! Jangan didandani! Jangan digagahi, diobok-obok, diolok-olok! itu namanya rampok!



Tata rias, kostum, asesoris, tafsir, akan membelokkan sejarah jadi dongeng. Sejarah tidak perlu puskesmas dan alergi klinik kecantikan!



Biarkan sejarah apa adanya, tidak perlu diraba-raba, dipoles. Tidak usah diedit, juga jangan direnovasi bahkan terlarang diberhalakan.



Siapa berani mengutak-atik sejarah akan aku sedot otaknya.



Sejarah adalah lukisan penghias kamar tamu kita yang paling indah. Tepat, mantap, pas, mahal dan sakral! Bingkailah sejarah dengan pigura ukiran emas.



Gantungkan sejarah tepat depan pintu masuk, supaya dibaca umum dan kontan nyodok mata tamu, turis dan musuh yang mau nyoba-nyoba ngobel kita.



Tapi maaf, karena kepanjangan, kata tukang kayu yang masang, mesti dikebiri sedikit ujungnya. Supaya klop dengan pigura antik buatan luar yang harganya selangit.



Apa boleh buat, kan cuma lima kalimat, potong saja! Cepat, tepat dan cermat! Oke? Bagus! Sekarang aku bisa tidur lagi!"



Alung tidur lagi.



3



ISTRI Alung berlari muncul. Ia kembali merogoh dompet suaminya. Tapi ternyata kosong. Ia mengembalikan dompet itu ke tempatnya. Duduk sebentar berpikir. Kemudian dengan hati-hati ia melepas beberapa cincin akik di jari suaminya. Lari keluar. Lalu lari lagi kembali masuk membawa susu.



"Ada yang bilang masa lampau tak hilang. Hanya tak kelihatan. Lalu dengan sukarela aku mencarinya.



Mula-mula aku panjat pohon-pohon yang aku curigai. Tapi di situ tak ada. Tahap kedua, aku nyemplung ke kali, tapi, bangsat, di situ hanya tai campur limbah dan sampah. Jadi tak mungkin dicurigai ke sana pergi yang sudah terjadi.



Tahap terakhir, segala sesuatu cuma ada tiga. Lihat angka tiga, ujung kedua kakinya nuding ke depan. Berarti apa pun di dunia ini, tiga langkah, tuntas. Tak perlu lagi dibahas. Memangnya DPR? Percuma!



Di situ aku lantas mendongak ke atas. Langit adalah cermin raksasa dunia. Kalau di mana-mana tak ada dan di atas sana juga kau tak jumpa, berarti no way. Tapi media sudah bilang ada, ada, jadi apa dikata, tinggal satu kemungkinan.



Dia ada di sini. Di sini, di dalam dada, hati, di dasar sukma kita. Semua nyemplung ke situ. Tapi kenapa harus dicari lagi kalau sudah di saku jiwamu? Untuk apa tubruk sana- tubruk sini, buangbuang energi? Tinggal calling, asal betul nomornya, kodenya, pass wordnya kata anak-anak IT. Asal tahu PIN-nya kata anak gaul.



Jadi terserah, giliran Ente sekarang, Ai sudah beri masukan, silakan mainkan bolanya. Ikke tidak punya urusan dengan yang sudah lalu. Yang itu biar saja dia kabur, mabur, daripada ngerecokin. Biar saja yang pergi bablas lepas bebas nanti tanggung sendiri resikonya.



Jadi aku ringan tidak dikuntit penumpang liar. Tapi awas! Nostalgia sama bahayanya dengan narkoba. Itu bisa menghancurkan jiwa zonder kita sadar. Dus sak betulnya lebih gawat. Hanya aku yang tahu!. Ha 10 X.



Ooooo! Apa itu? Siapa itu yang memanggil namaku?



Alungggg...Alunggg .. serak basah, lemah, memelas banget. Kasihan deh lhu. Ooo terus: Alungg, alunggg, aduh, apaan tuh!



Kek? Itu si Kakek?? Ente kenapa, didurhakain sama menantu, ya?!



Sabar, itu nasib semua orang tua! Makanya lebih baik mau masuk rumah jompo, yang dulu Ente kutuk kehilangan kemanusiaan Timur! Nama kakek siapa?



Apa? Alung? Alung? Jadi nama kita sama? Coba aku lihat macam mana tampang kamu. Lho, lho ini pintunya di mana? Cepetan buka, gua mau nolongin kakek!



Tidak bisa? Kenapa? Ada pintu masuk tapi tidak ada pintu keluar? Sialan! Ini di mana? Di mana? Astaga, dalam sukma kamu? Sukma si Kakek Tua Alung?



Ya?! Ya Allah jadi aku masa lalumu? Begitulah kita sendiri akhirnya juga jadi sejarah. Karena itu kita harus cepat bertindak!"



Alung cepat kembali tidur di lantai, di samping kursi.



ISTRI Alung muncul lagi. Sekarang bawa sebuah kopor tua, buntalan pakaian. Serta juga menggendong bayinya. Lalu membangunkan suaminya.



"Bang, Bang, Bang, bangun!"



Ia menggoyang kaki Alung.



"Bang! Bang! Bangggg!"



Alung terkejut bangun.



"Bang."



"Ada apa? Gue baru aja bisa tidur."



"Sudah waktunya, Bang."



"Waktunya apa?"



"Kita harus pergi."



"Pergi ke mana?"



"Yang mau ngontrak sudah datang."



"Masak? Kita diusir?"



"Ya! Sejak seminggu yang lalu yang punya rumah sudah ngancam. Kalau tidak mau pergi juga, akan dilaporkan ke polisi."



"Mau ke mana kita?"



"Ngga tahu."



Alung berdiri.



"Ini semua barang kita?



"Ya."



"Hanya ini?"



"Ya."



"Sebetulnya aku masih punya uang (mau ngambil dompet)



"Sudah tak pakai."



"Cincin akik.. ."



"Cincin akik Abang juga sudah ditukar susu dan bayar utang. Itu juga belum cukup. Jadi nanti jangan lewat warung."



Alung mengangguk.



"Ya udah. (Mengambil kopor dan bungkusan, lalu jalan keluar) Ayo!"



"Mau ke mana kita?"



"Nggak tahu."



Alung keluar diikuti istrinya yang lagi menyusui bayinya. Dari radio tetangga terdengar lagu Panbers/dangdut Burung Dalam Sangkar.



(Cermin 227- 229) Jakarta 2016



TRIK (Kepada penonton: "Keluar dari bank, kulihat TIM berdiri di tepi jalan. Ia menenteng tas dengan beberapa kopor tua yang bergeletakan di sekitarnya. Tubuhnya nampak lusuh tegang dan gelisah.")



AKU cepat menghampiri dan menyapa:



"Tim?"



Dia berbalik. (Kepada penonton: "Aku kaget melihat mukanya sudah banyak berubah. Tapi meskipun sembunyi di balik cambang dan kaca mata Ray Ben aku masih bisa mengenalinya setelah 20 tahun berpisah. Alangkah ganasnya waktu mengembat kita.")



"Tim!"



"Hee! Hallo"



Salaman dan pelukan



"Mau ke mana kau, Bro?"



TIM melengos. Seperti sebal karena ditanya.



"Mau ke mana?"



"Nggak tahu." "Lho nggak tahu gimana?"



"Ya, nggak tahu aja!"



"Semua kendaraan arahnya ke kiri menuju ka jalan Diponegoro. Yang ke kanan, di gondangdia, di belakang blok sana, arah ke Merdeka. Kau mau yang mana?"



"Nggak tahu!"



TIM nampak mulai marah karena merasa terganggu. ("Aku tambah benci pada waktu yang semenamena mengubah kepribadian manusia")



"Jangan marah. Gue kan hanya nanya. Barangkali bisa bantu elhu"



"Nggak usah!"



"Tapi kopormu itu terlalu banyak kelihatan berat-berat lagian antik semua. Bagaimana kalau ambrol di tengah jalan. Apa sih isinya?"



"Biasa."



"Ya, apa?"



"Nggak penting."



"Nggak penting kok dibawa'?



"Biarin."



"Lhu kenapa jadi misterius begini?"



"Nggak tahu!"



(Kepada penonton:"Aku mulai curiga. Jangan-jangan aku sedang menghadapi TIM yang lagi stres atau teler. Lalu aku ubah strategi. Sebaliknya dari mengelus aku menggertak.")



"Terserah lhu mau ke mana, itu urusan elhu. Tapi bayar dulu hutang elhu!"



(Dia terkejut. Entah karena dibentak, atau karena aku nagih hutang.)



"Hutang? Hutang apa?"



"Hutang apa? Hutang apa lagi! Duit dong!"



("He-he-he! Dia bengong, kepala batunya mulai retak. Rasain!")



"Hutang ya hutang. Nggak bakalan berubah sebelum dibayar, sekali pun Ente lupa!"



(TIM kelihatan bingung. Sialan seorang TEMAN mendekat. Dia rupanya mencium ada masaalah. Lantas menghampiri, berbisik:)



"Ada apa?"



"Nggak ada apa-apa?"



"Soal hutang?' "Bukan!"



"Biar aku yang antepin!"



"Nggak usah!"



"Berapa?"



"Sudah nggak usah!"



"(Sambil menunjukkan pisau) Diambil duitnya aja atau gua tusuk dikit untuk efek jera?"



"Jangan!"



"Biar jangan jadi kebiasaan! Tradisi kita di sini bisa rusak!"



"Nggak usah!"



"Berapa?"



"Ini bukan soal hutang!"



Tiba-tiba TIM nanya:



"Berapa?"



Giliran aku yang bingung. TIM meraba kantungnya, mengeluarkan dompet.



"Berapa?"



" Ah? Terserah!"



"Kok terserah? Yang tegas! Yang lima juta itu?"



"Lima juta yang mana?"



"Gua kagak pernah pinjam duit elhu!"



Tiba-tiba TEMAN yang teler itu nyeletuk sengit.



"Jangan pura-pura lupa lhu! Mana! Bayar dulu, baru kabur!"



TEMAN merebut dompet. AKU cepat mencegah, tapi AKU selangkangannya ditendang. Aku kesakitan. TIM ditikam tak kena tapi jatuh. TEMAN kabur membawa dompet. Aku cepat berdiri mau ngejar. Tapi sebuah motor yang nampaknya sudah disiapkan, melarikannya. AKU misuh-misuh!



"Bangsat! Bangsat! Banyak bajingan sekarang di sini? Sorry Tim!"



"Udah! Biarin!"



"Tapi dompet lhu!"



"Biarin!"



"Bangsat! Sekarang rusuh di sini! Banyak yang pura-pura teler. Padahal memang profesinya jamret!"



"Aku tahu."



"Sorry! Dompetmu?!



"Ya!"



"Duitmu dibawa semua?"



"Ya."



"Berapa?"



"Biarin."



"Ada KTP, SIM? ATM?



"Ya."



"Bangsat! Mestinya ada polisi yang jaga di sini. Ini kan ruang publik dengan banyak orang begini! Kok tidak dijaga?"



TIM nampak gugup.



"Lhu dikuras habis?"



"Emang gue pernah ngutang ama elhu, berapa?"



"Udah biar aja!"



"Berapa duit?"



"Lupakan aja jangan dipikirin!



"Berapa? Lima juta, bener?! Sepuluh? Empat puluh? Berapa?"



("Aku jadi nggak enak badan. TIM begitu nelongso. Wajahnya pucat sekali.")



"Lhu mau ke mana?"



"Nggak tahu!"



"Pindah?"



"Begitulah!"



"Ke mana? Di sini kan enak? Kamu sudah 50 tahun di sini kan?"



"Ya."



"Kenapa pindah?"



"Nggak tahu."



(Suaranya begitu lirih. Aku tahu ia punya alasan kuat. Tapi kepribadiannya yang tolerans menyebabkan ia tak mau menambah perkara yang sudah ricuh, tambah galau. TIM sejak dulu begitu. Aku merasa bersalah.")



"Sorry Tim."



"Nanti kalau udah ada rezeki lagi gua balikin. Berapa?"



"Sudahlah, lupakan. Ini salahku."



"Berapa?"



"Udah TIM! Cukup! Aku sudah dengar kabar burung, kawasan ini mau dijadikan Trading Center. Ada yang bilang dituntut oleh ahli warisnya di zaman Belanda dulu. Kau pasti akan diusir memang lebih baik kabur duluan ketimbang digaruk!



("Tim kelihatan panik. Aku tahu dia bingung, sudah tidak tahu mau ke mana, sekarang dompet dengan segala duit dan identitasnya hilang")



"Oke begni saja!"



(Sebuh fan berhenti dan membunyikan klakson kuat-kuat. Pintu tengahnya terbuka. Yang dalam fan melambai. TIM kebingungan. Aku cepat bertindak. Aku keluarkan amplop duit yang baru aku ambil dari bank untuk bayar tax amnesty. Aku sodorkan ke Tim)



"Nih untuk ganti dompetmu. Cuma 20 juta tapi lumayan untuk pindah!



TIM kebingungan. Klakson mobil tambah keras, karena kelihatan ada motor polisi datang. AKU menyodorkan dompet itu ke tangan TIM, tepat ketika motor polisi itu berhenti. TIM cepat mengambil amplop dan lari meloncat masuk fan. Fan kabur. Motor. Polisi itu mengejar. AKU bersorak kemenangan. Tetapi kemudian kaget melihat kopor-kopor TIM ketinggalan. AKU bingung melihat kopor-kopor itu.



Tak berapa lama, seorang ibu inang-inang mendekati AKU disertai dua orang pembantunya. Ia mengulurkan selembar 20 ribu pada AKU.



"Terima kasih sudah jagain kopor-kopor saya. Temannya mana? Untung ketemu yang bertugas membawa property sandiwara ini ke Jakarta Fair, mau gladi resik sekarang!" Kedua lelaki itu mengangkut semua kopor itu ke mobil box. Aku hanya bisa bengong.



Jakarta, 26-11-17



PRT 1



Para pembantu mulai kasak-kusuk mau pindah majikan mendengar BBM naik. Untuk mencegah kemungkinan, ditinggal pembantu mendadak. Sembari nonton TV NYONYA mulai mengadakan pendekatan.



NYONYA: Kamu baru tiga bulan bekerja di sini membantu Ibu. Bagaimana perasaan kamu, Ayu? Betah?



Ayu, mengangguk.



AYU: Betah, Bu.



NYONYA: Cocok?



AYU: Cocok, Bu.



NYONYA: Jadi kamu kerasan kerja sama Ibu”



Ayu tak menjawab.



NYONYA: Kok tidak menjawab? Kalau betah dan cocok, mestinya kan kerasan?



Ayu menundukkan kepalanya.



NYONYA: Ya kalau sekarang belum lama-lama nanti kan kerasan. Asal kalau bagaimana-bagaimana, jangan tiba-tiba, kasih tahu paling tidak seminggu di depan, supaya kita bisa siap-siap. Ya!



Belum ada jawaban.



NYONYA: Tapi namanya bekerja, ya di mana-mana pasti sama. Mesti ada kecocokan perasaan. Asal bukan karena mentok di matematikanya tidak sesuai, lingkungan baru memang memerlukan penyesuaian. Ibu juga kalau lagi nginap di rumah orang, sering susah beol, karena kamar kecilnya beda. (Ketawa) Itu normal. Tapi di sini, tidak ada yang menganggu perasaanmu, kan, Ayu?



Tak dijawab



NYONYA: Ada?



AYU: Tidak Nyonya



Tapi beberapa butir air mata Ayu jatuh berderai. Nyonya pura-pura tak lihat



NYONYA: (Ketawa melihat adegan di TV) Pokoknya kalau ada yang sampai membuat kamu tidak tenang bekerja, terus-terang saja. Itu akan lebih mudah Kita di sini terbuka. Sebagai sebuah tim, kalau samasama terbuka segalanya akan lancar. Dan kalau sudah lancar hal-hal yang tadinya berat akan jadi ringan. Itu akan membuat kamu betah. (Ketawa lagi lihat adegan TV)



Karena Nyonya seperti sudah selesai bicara, Ayu diam-diam ke belakang. Setelah ketawa melihat adegan di TV NYONYA mulai lagi wejangannya.



NYONYA: Bekerja itu di mana-mana sama. Ya, kerja. Pekerjaan, kerja apa saja sama. Tugas. Beban. Kewajiban. Bikin capek. Baik mentri atau presiden, kedengarannya saja keren, tapi pasti kerjanya berat. (ketawa)



TUAN datang. Heran melihat nyonya ngomong sendiri. Diam-diam mendengarkan.



NYONYA: Harus dilihat kembali, tujuan bekerja itu apa. Kalau mendatangkan kesenangan, itu bonus. Tapi sebenarnya tujuan bekerja itu, kan bukan itu. Bekerja itu untuk mendapatkan nafkah.



TUAN: Termasuk nafkah batin.



Nyonya terkejut



NYONYA: Apaan sih, kok ikut-ikutan aja!



TUAN: Habis, nonton TV atau ngomong sama TV?



NYONYA: Sapa ngomong sama TV ini lagi diskusi sama Ayu



TUAN: Mana Ayunya?



NYONYA menoleh.



NYONYA: Lho tadi di sini.



TUAN: Kalau sudah mulai suka ngomong sendiri terutama sama TV tanda-tanda



NYONYA: Sudah! Kamu bukan dokter, Jangan sok bikin diagnose!



TUAN: Tanda-tanda kurang kasih sayang suami!



NYONYA: Kalau itu betul!



TUAN: Terus terang saja kurang apa? Nafkah batin?



NYONYA: Frek! Aku ingin Ferari dan naik kapal pesiar!



TUAN: Beres! Tapi kenapa ada air mata di sudut pipinya.



NYONYA: (Mengusap matanya) O ini refleksi film tvnya terlalu tajam.



TUAN: Bukan pipimu, tapi pipi si Ayu!



NYONYA: Na itu. Aku bingung, kenapa ditanya begitu saja, si Ayu kok langsung nangis?



TUAN: Nanya apa?



NYONYA: Saya cuma tanya: apa di sini ada yang mengganggu perasaanmu, Ayu?



TUAN terperanjat.



NYONYA: Kok kaget?



TUAN: Kok nanyanya begitu?



NYONYA: Emang kenapa?



TUAN: Itu pertanyaan sadis!



NYONYA: Sadis apanya?!



TUAN: Jangan-jangan dia bunting!



NYONYA langsung melotot.



NYONYA: Si Ayu itu masih kecil, Pak, tidak mungkin!



TUAN: Itu dia! Pasti dia sendiri juga berpikir begitu sehingga berani melakukan, karena tidak menduga akibatnya bisa begini! Kalau dia bunting bahaya!



NYONYA: Bahayanya?



TUAN: Ya aku bisa dicurigai tetangga!



NYONYA: Ah frek!! Bapak ini selalu ke-GR-an. Ngaca dikit, dong! Tua bangka, gigi tinggal berapa begitu gigit kerupuk saja nggak bisa, mana mungkin si Ayu mau!”



TUAN: (Ketawa) Ingat pepatah: tua-tua keladi!



NYONYA: Makin tua barang makin mati!!



TUAN: Salah! Makin tua makin dicari!



NYONYA: Frek!



NYONYA marah, TUAN ketawa.



2



NYONYA. masuk ke kamar Ayu dan mulai menginterogasi. TUAN nguping di luar kamar



NYONYA; Ayu. Terus-terang saja. Kamu sudah punya pacar?



AYU: Belum, Bu.



NYONYA: Masak? Orang cantik seperti kamu ini pasti banyak yang mau!



AYU: Banyak si banyak, Bu. Tapi sayanya yang belum mau.



NYONYA: O jadi banyak tapi kamu tidak mau?



AYU: Ya, Bu. Termasuk sopir-sopir, tukang ojek dan tukang bakso itu! Mahasiswa yang mondok di seberang itu juga, Bu.



NYONYA: (terkejut) Mahasiswa temannya Ami itu?



AYU: Ya, Bu. Malah sudah 2 kali kirim surat, tapi saya tidak balas.



NYONYA: Yang naik Vespa itu?



AYU: Temannya yang naik Mercy.



NYONYA: Ah kamu jangan ke-GR-an!



AYU: Sumpah, Bu. Kalau tidak percaya saya ada suratnya!



Ayu mengambil beberapa surat dari bawah kasur dan menyerahkan pada Nyonya.



AYU: Saya tidak pernah balas, tapi terus saja kirim surat.



NYONYA: Kenapa tidak kamu balas?



AYU: Habis mau ngajak ke karaoke. Yang bawa mobil itu mau ngajak ke motel. Itu kan tempat tidak bener, Bu.



Nyonya takjub. Ia hanya melihat surat-surat itu, lalu mengembalikan kepada Ayu, nampak ia merasa tak sampai hati membaca surat orang lain.



NYONYA: Bagus kamu tolak. Mereka itu anak-anak iseng, jangan kamu biarkan diri kamu dijadikan permainan!



AYU: Saya takut mereka marah, Bu.



NYONYA: Marah? Kenapa? Kalau mereka sampai marah, aku bilangin sama Ami supaya ngasih tahu temantemannya jangan beraninya ganggu pembantu. Mahasiswa kok gangguin pembantu, kan mestinya belajar!



NYONYA cepat keluar kamar dan bisik-bisik mengadu pada TUAN.



TUAN: Jadi si Ayu ada main



NYONYA: Sstttt!



TUAN: (berbisik) Jadi si Ayu ada main dengan mahasiswa di depan kita itu?



NYONYA: Bukan ada main! Mahasiswa itu mengganggu Ayu dengan kirim-kirim surat. Ayu jadi takut. Makanya waktu ditanya betah tidak, dia nangis. Coba Bapak bilangin dia kalau kerja, ya kerja saja, jangan mikirin yang lain-lain. Jangan kayak pembantu lain, pecicilan, buang senyum di sinilah, di situlah kayak artis saja kelakuannya, mentang-mentang masih muda dan cantik, tapi dia kan tetap saja pembantu, jangan coba-coba menggaet mahasiswa nanti suami gua lagi ditoel! Gua sikat baru nyahok! Dan bilangin mahasiswa itu mbok jangan ganggu pembantu. Kalau kurang kerja lebih baik demo, jadi jelas! Ayo cepat sana kasih pesan moral si centil itu!



Nyonya mendorong tuan masuk kamar Ayu. TUAN manggut-manggut terdorong masuk. Ayu kaget.



AYU: Bapak?



TUAN: Ayu! Aku dengar mahasiswa di depan kita itu menulis surat sama kamu. Betul?”



Ayu terkejut.



TUAN: Jangan takut. Aku sudah tahu. Ibu yang sudah cerita. Itu bukan salah kamu. Yang salah mahasiswanya kok bukannya belajar, malah ganggu pembantu. Nanti kalau dia kirim surat lagi, jangan diterima. Tolak saja!



Ayu terkejut.



TUAN: Kok kamu terkejut?”



AYU: Suratnya tadi datang lagi, Pak, tadi diantar sama tukang kredit yang ngredit saya baju. (sambil mengeluarkan amplop dari balik dadanya.



Mata Tuan melotot.



TUAN: Dia ngajakin kamu ke motel lagi?



AYU: Saya tidak tahu, Pak, saya tidak berani baca. (mengulurkan surat itu pada Tuan)



Karena melihat amplop surat itu sudah terbuka, Tuan langsung mengeluarkan isinya dan membaca:



TUAN: (Membaca) Ayu, kalau Tuan kamu merayu kamu harus berani bilang tidak!



TUAN seperti disambar petir. NYONYA di luar kamar kaget, langsung masuk. Tuan cepat mengembalikan amplop surat itu pada Ayu. NYONYA melihat dengan curiga. Tanpa banyak omong dia melengos langsung menyambar surat itu dan membawanya keluar lalu masuk ke dalam kamar. Tuan cepat menyusul. Tapi begitu mau masuk, Nyonya melempar surat itu ke suaminya sambil membanting dan mengunci pintu.



TUAN bingung. Ia mengambil surat itu. Tak tahu mesti ngapain. Akhirnya ia duduk bengong depan TV.



Ami anaknya muncul pulang kuliah. Ia heran melihat bapaknya bengong memegang amplop.



AMI: Ada apa, Pa? Kenapa? Mama di mana?



TUAN tak menjawab.



AMI: Surat apa itu? Boleh Ami baca?



Tak ada jawaban. Ami mengambil amplop dari tangan bapaknya. Mengeluarkan surat



TUAN: Aku kan hanya mengikuti perintah mamamu supaya mengintrogasi si Ayu, sekalian memberi peringatan keras kepada mahasiswa temanmu itu? Kenapa sekarang malah aku yang jadi tertuduh?



Ami membaca:



AMi: (Membaca) Ayu, kalau Tuan kamu merayu kamu harus berani bilang tidak!



Ami ketawa, Tuan tercengang,



TUAN: Jangan ketawa!



AMI: Kenapa mama menulis seperti ini?



TUAN kaget



TUAN: Apa?



AMI: Ini kan tulisan tangan Mama!!



Jakarta 14 Oktober'15



KALAH PAKDE ELVIS yang masih kerabat jauh Bu Pao berkunjung. Ia curhat mengatakan dirinya kalah. "Aku ini pecundang yang mati separo, Pao!"



Lalu bertanya:



"Apa yang harus aku lakukan untuk bisa mengurangi rasa kalah ini, Pao?"



Ia tak mengatakan, kalah apa. Pao pun merasa kurang sopan kalau menanyakan, kalah apa.



"Ya, legawa saja, terima kekalahan itu, Pakde. Nanti Pakde, perlahan-lahan akan menang."



"Sudah, aku sudah menerimanya bahkan 200 prosen, tapi mengapa aku tetap saja kalah?"



"Ya, itu berarti, maaf, Pakde belum cukup legawa, maksud saya masih belum cespleng tuntas rela ikhlas menerima kekalahannya. Jadi sekali lagi maaf, tanpa mengecilkan upaya Pakde, tekad mengakui kekalahannya masih belum sungguh-sungguh tokcer afdol!"



"Jadi maksudnya aku harus menikmati kekalahan itu?"



"Betul. Persis! Kira-kira lebih kurangnya, begitu."



Tiba-tiba saja Pakde marah. Ia berdiri sambil berkata ketus.



"Kau enak saja ngomong begitu, Pao! Coba kau sendiri yang mengalaminya, kalau kagak modiar, baru tahu rasa, nyahok bagaimana sakitnya kalah! Remuk hancur luluh sudah jadi bubur perasaanku, Pao! Tai kucing! Bangsat!"



Ia masih sempat memotong roti gambang yang dibawanya untuk oleh-oleh dan memakannya sebelum kemudian kembali menggebrak meja:



"Tai kebo! Tikus cerurut! Najis! Bangsat!"



Dan pergi. Pao bingung. Hatinya ngedumel (kepada penonton)



"Aku kok. merasa sudah mencoba menjawab sesuatu yang tak jelas, dengan ikhlas, kok malah disumpahi?"



Bu Po muncul bawa kopi



"Lho ke mana Pakde?



"Bagaimana menjawab kalau kita tidak tahu apa kekalahannya? Dalam keadaan bagaimana, salahnya berapa fatal, kenapa, di mana dan mengapa?"



"Ada apa sih kok berkicau?"



"Jangan-jangan sebenarnya Pakde-mu itu, tidak kalah, hanya merasa kalah atau mengalah. Janganjangan pula sebetulnya beliau bukan kalah, tapi menang. Hanya merasa kurang menang! Kekalahan itu kan seribu wajah! Karenanya Pakde patut dicurigai, jangan-jangan hanya mendramatisir. Dia lupa aku ini kan mantan pemain jenong. ha-ha-ha!"



Bu Pao tersinggung.



"Nggak lucu! Maka dari itu, Bapak Jangan asal cuap saja! Tanya dulu abc-nya sebelum kasih solusi. Kalau perlu jangan dijawab. Tunggu! Jangan-jangan orang sebenarnya tidak sungguh-sungguh bertanya!"



"Ya, kalau tidak ada yang mau ditanyakan kenapa mesti bertanya? Mau menguji? Kenapa aku harus diuji? Yang Bener saja!"



"Tidak ada yang mau menguji Bapak. Jangan suka menuduh begitu. Keluargaku memang orang miskin tapi tahu adat semua! Tidak ada yang tidak sopan! Pakde pasti hanya ingin beramah-tamah, silahturachmi, begitu!"



"Silaturachmi dengan cara mengeluh?



"Ya, Pakde pasti hanya ingin didengarkan saja. Karena tidak tahu percakapan apa yang bisa nyambung, jadi asal omong saja! Kalau itu ditanggapi dengan jawaban nyelenehmu yang terinspirasi oleh gaya Srimulat itu, Pak Pao, jelas pernah Pakdeku itu akan tersinggung. Bahkan nampaknya sudah mutung!"



"Lho, Ibu jangan linglung. Ini bagaimana! Bapak kan minta dukungan, kok malah disemprot baygon?!"



"Habis Bapak tidak pernah nyimak apa kepentingan orang lain, selalu ngukur dari perasaan Bapak sendiri. Itu namanya egosentris! Makin tua harusnya makin bijak, jangan makin terjebak, Bro, nanti..."



"Sudah, cukup, aku tidak perlu siraman rohani, sekarang aku perlu dukungan karena malam Minggu tenangku sudah dizolimi!"



Pao duduk memunggungi istrinya memandangi malam.



"Lebih baik aku rembugan dengan malam yang selalu mengerti apa arti hati yang kelam! Bukan begitu, Ratu Malam?"



Lolong anjing di kejauhan langsung menjawab.



"Nah itu, si Ratu sudah langsung menjawab,"



"Terima kasih! Hanya malam teman setia setiap lelaki yang hatinya gundah karena kalah!"



Bu Pao tersenyum, berbisik (kepada penonton) dalam hati:



"Biar dia tahu bagaimana kesalnya hati orang yang kalah!"



Lalu Bu Pao menyenandungkan tembang "Yening Tawang Ono Lintang Cah Ayu", sambil nyeruput kopi yang dibawanya dan mengambil roti gambang yang dibawa Pakdenya.



"Roti gambang dan kopi hitam di malam Minggu yang kelam paling marem, Pak!"



Pao merengut.



"Jangan ganggu aku! Mantri sudah melarangku minum kopi tok?"



"Sekali, sekali, tak apa. Kan sudah ada gambangnya!"



"Kopi tok, kurang sehat, harus ada susunya baru nikmat."



"Susu murninya nanti menyusul sebelum tidur saja! Ini roti gambangnya dulu untuk ganjal truknya biar tak bablas jatuh ke jurang!"



"Roti gambangku lebih enak!"



"Tapi ini dibawa Pakde tadi! Katanya oleh-oleh dari Jakarta roti gambang buatan Tan Ek Tjuan! Asli



"Sudah kenyang!"



"Jadi, tidak mau?!"



"Bukan tidak mau. Hanya masih kenyang!"



"Ya sudah kalau begitu dibuang saja!"



Dengan marah Bu Pao mengangkat gelas kopi dan roti gambang mau dilemparkan ke halaman. Pao cepat mencegah.



"Sudah, sudah, nanti tak minum! Jangan ditendang nanti roti gambang tak ganyang meskipun masih kenyang!"



"Makanya, jangan sok tehu! Kalau disayang langsung ngelonjak. Kelakuan! Yang proposional saja Pemuda tua! Itu pernah Pakdeku! Meskipun orangnya rada nyentrik, tapi dia baik, hormati dia!"



"Siap!"



"Cepat minum kopinya nanti keburu dingin!"



Pao langsung menegak kopi itu meskipun panas. "Gambangnya? Makan!"



Pao cepat memasukan roti gambang ke mulutnya sampai megap-megap mengunyah.



"Begitu caranya membuat istrimu yang sudah banting tulang tiga dasa warsa ini tersenyum dan tertawa!"



Bu Pao tertawa lalu masuk ke rumah sambil ngedumel.



"Rasakan sendiri dulu sakitnya kalah, sebelum menasehati Pakdeku menikmati kekalahannya karena istrinya yang jadi TKW di mancanagara sudah 5 tahun tidak ada kabar beritanya! Ngarti?!"



Pao terkejut. Berbisik dalam hati (pada penonton)



"O, iya! Tiba-tiba aku baru ingat kisah Ester, istri Pakde. Tega meninggalkan Pakde bersama ketiga anak perempuannya yang masih kecil! Lantas kontan sekarang aku bisa merasakan betapa sakitnya kalah. Dengan menyesal aku mengumam: Ya Tuhan, sekarang aku mengerti bagaimana sulitnya menerima kekalahan. Bagaimana tak mungkinnya menikmati kesakitan. Kecuali kalau kita bisa sedikit ngedhan!"



Tak terduga-duga, Pakde yang sudah ngeloyor pergi tanpa pamit itu, muncul lagi. Ia nampak bingung, seperti mencari-cari sesuatu yang ketinggalan.



Tanpa menyapa Pao, Ia sibuk mencari. Pao spontan berdiri dan ikut mencari. Pakde menunduk, melihat-lihat ke seluruh sudut. Lalu jongkok dan merangkak menelusuri lantai.



"Cari apa, Pakde?"



"Tadi. Yang tadi!"



"Apa?"



"Yang aku buang tadi?!"



"Buang? Pakde tidak buang apa-apa kok!"



"Masak? Masak kamu tidak lihat?"



"Lihat apa? Saya tidak lihat? Dompet?"



"Bukan!!"



"Apa? Perhiasan? Cincin kawin? Atau semacam itu?"



"Bukan!"



"Terus apa?"



"Aku membuangnya dua kali!"



"Apa ya. Kalau tidak tahu apa yang dicari tak akan mungkin ketemu, tak mungkin mencari yang tidak kita tahu, Pakde!"



"Kamu tidak akan mengerti?"



"Tapi apa? Apa?!"



Pakde menatap hampa ke atas lantai.



Pao menggumam dalam hati (pada penonton)



"Ya Tuhan. Baru kulihat betapa cekung mukanya. Betapa dahsyat sakit hatinya. Pasti ini kristal derita karena harus merawat dan membesarkan ketiga anak yang ditinggal ibunya. Mendadak aku ditendang perasaanku sendiri hancur. Pasti pikiran Pakde lagi kacau. Ia telah mengejar berita istrinya sampai ke negara jiran, tetapi Ester seperti air jatuh ke pasir. Tak ada arah yang bisa ditempuh Pakde untuk menguntit jejaknya. KBRI sudah dihubungi tapi hasilnya zero."



"Sabar, Pakde."



Pao mengusap pundak Pakde. Pakde bengong dan kecewa.



"Mestinya di sini, tidak ke mana-mana. Kenapa, ya?"



Pao memberanikan diri berbisik.



"Sudahlah, Pakde, mungkin Ester sudah menikah dengan majikannya, lupakan saja, anggap dia sudah mati. Sekarang konsentrasi pada anak-anak Pakde saja. Buktikan Pakde bisa tanpa dia!"



Pakde tersenyum pedih.



"Kamu tidak mengerti, Pao. ini bukan soal Ester. Aku sudah ikhlas. Kalau tidak, aku sudah lama jadi tape."



"Bagus begitu Pakde. Itu yang tadi saya bilang legawa. Syukurlah Pakde sudah bisa atasi semuanya. Ayo kita jalan-jalan, beli oleh-oleh untuk anak-anak Pakde."



"Ya, nanti kalau sudah ketemu."



"Oke, nanti kita cari lagi. Kita pelesir saja dulu. Biar istri saya yang cari, pasti ketemu. Perempuan lebih pintar cari barang hilang."



Pakde terkejut. Kelihatan ketakutan.



"Jangan! Istrimu tidak boleh tahu. Malu aku, makanya harus ketemu!"



"Harus?"



"Mutlak!"



"Tapi apa? Yang hilang itu apa?"



Pakde mendekatkan mulutnya ke telinga Pao lalu berbisik:



"Tadi aku sampai dua kali memaki bangsat, bangsat! Itu harus dibuang jauh-jauh sebelum ditemukan istrimu!"



Pao tercengang. Dari dalam terdengar langkah istrinya keluar. Dengan panik Pakde kembali mencari.



"Pakkk! Pakde Elvis diajak makan dulu, nanti perutnya gembung!"



Pao buru-buru membantu Pakde mencari. Bu Pao muncul. Terkejut. Cemas melihat kedua lelaki itu merangkak di lantai mencari.



"Astaga! Apa, apa yang hilang?"



Ia langsung ikut merangkak, panik nencari sepenuh hati. Jkt 21 juni '15-2 Sept '17



IBU SAYA BUKAN SEORANG KARTINI



Talk show di TV. PUTRA, PUTRI, BAPAK dan IBU



PUTRI: Ibu saya bukan seorang "Kartini". Dia wanita biasa yang dijajah suami.



PUTRA: Dia tidak memiliki kebebasan apalagi karir. Tempatnya di dapur di belakang rumah. Dalam berbagai persoalan ia mengalah. Apa kata suaminya, ayah saya, tak berani ia bantah. Karena membantah, langsung berarti durhaka.



PUTRI: Dia mencabut seluruh hak-haknya dan memberikan segala-galanya termasuk namanya sendiri kepada suaminya.



PUTRA: Ayah saya juga lelaki biasa yang menerima ajaran dari generasinya bahwa wanita itu adalah makhluk lemah yang wajib melayani dan merawat lelaki. Lantas dilindungi suami sebagai ganjarannya.



PUTRI: lbu sudah diajarkan untuk menerima bahwa lelaki lebih utama daripada wanita. Apa yang terjadi pada istrinya, ibu saya, dianggapnya lumrah alias sudah biasa.



PUTRA: Begitulah umumnya wanita, begitulah seharusnya seorang istri.



PUTRI: Mereka tidak boleh menonjol. Tidak boleh lebih penting.



PUTRA: Ayah saya tidak merasa bahwa istrinya, ia perlakukan tidak adil.



PUTRI: Sebagai seorang anak, yang paham arti emansipasi, yang mendukung wanita tidak kurang terhormat dari lelaki, sebagai generasi baru yang belajar banyak yang bergaul luas di luar lingkungan adat, saya merasa tertantang, merasa wajib membetulkan duduk soal yang tak pantas ini.



PUTRA: Saya datangi ayah. Saya katakan: Ayah, ayah sudah melakukan dosa besar, karena sudah memperlakukan ibu, istri ayah, semena-mena. Harusnya ayah duduk sama tinggi dan sama rendah dengan Ibu. Tidak bisa main perintah saja.



PUTRI: Ayah juga harus bertanya dan meladeni dan kalau perlu membiarkan ibu yang memerintah. Karena kalau tidak, berarti ayah melakukan perkosaan hak azasi.



PUTRA: Ayah terkejut. Seperti seorang terdakwa ia langsung beri pembelaan.



BAPAK: Sebenarnya begini. Hal itu sudah turun temurun. Ibumu toh tidak pernah protes. Dan ayah pun tak merasa melakukan perkosaan karena ibu memang tidak pernah menuntut apa-apa. Itu sudah konsep harmoni dan pembagian kerja tradisional.



IBU: Wanita membereskan urusan belakang rumah, lelaki menggarap depan rumah.



BAPAK: Jadi kamu, sudah salah kaprah. Karena nyatanya ibu kamu itu bahagia.



PUTRA: Nah begitulah! Saya tambah yakin lagi bahwa ayah sudah kebablasan melakukan penindasan.



PUTRI: Ayah sudah memperalat sifat ibu yang pendiam!



PUTRA: Ayah sudah menyalahgunakan kelemahan ibu!



PUTRI: Ibu saya memang tidak tahu nilai kebahagiaan. Sebab ia tidak pernah diajari menilai. la selalu diberitahu untuk menerima semua apa adanya.



PUTRA: Keadaan seperti itu tidak bisa didiamkan. sebab lbu belum banyak melihat bandingan.



PUTRI: Saya harus bertindak. Kaum wanita harus bangkit. Tidak hanya yang muda. Yang tua pun harus bangkit. Saya datangi ibu. Saya akan tunjukkan padanya bahwa ia sudah membiarkan diri dalam keadaan tak berdaya. Saya pancing-pancing agar ia garang melihat hak-haknya yang dilangkahi semena-mena oleh ayah. Bahwa ia punya setengah suara dalam hidup pernikahan.



PUTRA: Suaminya, ayah saya, tidak bisa dibiarkan terus menginjak-injak hak-haknya.



PUTRI: Setiap saat ia bisa berkata tidak. Setiap saat ia bisa menolak.



PUTRA: Setiap saat ia bisa menuntut apa yang dirasanya baik.



PUTRI; Itulah kewajiban yang paling utamanya, jadi bukan justru melupakan dan menyerahkan hak-haknya.



PUTRA: Ibu saya tercengang. la menatap kegarangan saya dengan takjub.



PUTRI: Baginya, saya sudah termakan racun di luar rumah, sehingga pikiran saya tidak stabil.



PUTRA: Jadi, Ibu bukannya melaksanakan apa yang saya himbaukan,



PUTRI: Ibu justru berusaha merawat saya…saya dianggapnya sakit….kaki saya dipijit-pijit. Kening saya diurut-urut dengan minyak kayu putih. Persis sebagaimana kalau ayah sakit.



PUTRA: Saya jadi menangis di dalam hati.



PUTRI: Sudah demikian dalamkah jiwa budak itu?



PUTRA: Dengan tegas saya tolak perlakuan itu. Saya bukan anak kecil. Saya bukan type lelaki yang ingin memperalat wanita bak pembantu. Saya ingin menghargai wanita. Mereka harus benar-benar jadi Ratu rumah tangga.



PUTRI: Ibu harus punya hak suara dan pengaruh dalam menentukan berbagai langkah penting di rumah. la tidak boleh menjadi warganegara kelas dua. la harus menjadi seorang Kartini!



PUTRA: Hampir saja saya hendak menyemprotkan unek-unek agar Ibu segera sadar pada dirinya.



PUTRI: Bahwa ia tidak hanya berhak, tetapi juga wajib membebaskan diri dari perlakuan tidak senonoh itu.



PUTRA: Memerdekakan diri dari tradisi konyoll itu!



PUTRI; Bukan saja karena ia ibu saya. Tetapi demi masa depan wanita Indonesia lainnya.



PUTRA: Revolusi wanita yang dikobarkan Kartini, harus diteruskan oleh setiap wanita Indonesia.



PUTRI: Tetapi kemudian, ibu memberi isyarat, agar saya jangan bekoar dulu. Ia berkata lirih. Suaranya sama sekali tidak mengandung emosi.



PUTRA: Datar saja. Suara itu sama sekali tidak berusaha untuk menunjukkan nada minta diperhatikan lebih.



PUTRI: Suara ibu yang biasa saya dengar sehari-hari, seperti ketika ia memberitahu bagaimana caranya mengiris bawang.



IBU: Anakku, ibu tidak tahu siapa itu Kartini, apa ajaran dan jasa-jasa beliau kepada kita. Tapi ibu percaya beliau orang besar yang namanya harum dalam sejarah, sehingga ibu ikut bangga. Terutama karena kamu sebut-sebut terus, tentulah dia orang pintar, orang yang berjasa, yang sudah memberikan banyak tuntunan yang pantas diteladani. Ibu percaya padamu. Tetapi coba kamu lihat ayahmu itu. Perhatikan baik-baik. Tak tampakkah olehmu, betapa lemahnya dia. Perhatikan dengan seksama, tak kamu lihat ia tak punya kekuatan apa-apa? Hanya tubuhnya saja yang berotot, tetapi jiwanya kropos. Kalau ibu jadi Kartini, barangkali dari dulu ia sudah tak sanggup bertahan.



PUTRA: Saya jadi tertegun bingung.



PUTRI: Tiba-tiba saya merasa berhadapan langsung dengan Kartini.



Sunter Mas, 19 April 1996, sehari sebelum Taksu lahir.