Naskah Tugas Mata Kuliah Universitas Terbuka Semester Teori Perundang-Undangan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

NASKAH TUGAS MATA KULIAH UNIVERSITAS TERBUKA SEMESTER: 2021/22.1 (2021.2) Fakultas                     : FHISIP/Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Kode/Nama MK       : HKUM4404/Teori Perundang-Undangan Tugas                         :1 No. Soal 1. Jakarta - Sejarah Indonesia mencatat pemakzulan seorang kepala negara pasca reformasi pernah terjadi di Era Abdurahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur. Dalam beberapa hari terakhir isu soal impeachment kembali mengemuka seiring dengan dikuasainya parlemen oleh kubu oposisi. Namun langkah untuk memakzulkan presiden pada masa sekarang ini, jauh lebih sulit untuk dilakukan. Gus Dur dimakzulkan pada Juli 2001, dua tahun setelah dia memerintah. Itu merupakan puncak dari rentetan ketegangan antara eksekutif dan legislatif. Gus Dur sempat mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi pembubaran MPR/DPR, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Dekrit tersebut ditolak dan malah ujung-ujungnya Gus Dur dimakzulkan. Akan tetapi impeachment semacam itu, dinilai tidak akan dengan mudah terjadi pada masa sekarang ini. "Sangat susah sekarang. Beda dengan yang dulu, pada waktu zamannya Gus Dur," kata Wakil Ketua MK Arief Hidayat. https://news.detik.com/berita/d-2714843/beda-dengan-era-gus-dur-ini-alasanpemakzulan-kini-sulit- untuk-dilakukan/1 1.   Pemakzulan terhadap Gus Dur terjadi sebelum Mahkamah Konstitusi dibentuk. Berikan analisis anda kedudukan Mahkamah Konstitusi atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden saat ini. Sertakan dasar hukumnya. 2.   Berikan analisis anda, atas alasan yang menyebabkan impeachment kini tidak lagi mudah. 2. Pada 12 Februari 2021 Muhamad Taufiq, S.Kom. mengajukan permohonan pengujian materiil Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 37 tentang Kemakmuran Rakyat dan Perubahan Pasal- Pasal  terhadap Pancasila Sila  Pertama, Kedua, dan  Kelima tentang Ketuhanan Yang Maha  Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradap, dan Keadilan Sosial atas permintaan Menko Polkuham atas nama Negara RI mengenai adanya sistem perlindungan Pancasila (sistem Khilafah) kepada Mahkamah Konstitusi. Pemohon  dalam   permohonannya  menyampaikan  kerugian   konstitusional  pemohon   yang   telah terlanggar atau  berpotensi untuk  terlanggar dengan keberadaan Pasal  33  ayat  (3)  dan  Pasal  37 Undang-Undang Dasar 1945. 1.   Berdasarkan  kasus  di  atas,  apakah  permohonan  sudah  sesuai  dengan  hak  uji  materiil Mahkamah Konstitusi? 2.   Buatlah  analisis  kerugian  konstitusional  apa   saja   yang  dialami  pemohon  berdasarkan permohonan yang dimohonkan. 3. JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah lembaga swadaya masyarakat mendesak Mahkamah Agung (MA) untuk lebih terbuka dalam menggelar sidang uji materi peraturan di bawah undang-undang. Menanggapi hal tersebut, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah mengatakan, permasalahannya adalah MA hanya memiliki waktu 14 hari untuk



menyelesaikan perkara pengujian peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang. Jika dibandingkan dengan proses persidangan uji materi di MK, Abdullah mengakui bahwa MK mampu melakukan proses persidangan secara terbuka. Sebab, MK juga tidak diberikan batasan waktu dalam pengujian materi sebuah undang-undang. 1.   Berdasarkan cuplikan kasus di atas, berikan analisis anda atas perbedaan kewenangan dalam judicial review oleh MA dan MK. 2.   Berikan   analisis   anda   kelemahan/kekurangan  hukum   acara   judicial   review   pada   MA dibandingkan hukum acara di MK.



Jawab :



1.      a) Adapun impeachment ditegaskan di dalam dasar hukum yang terdapat pada Pasal 24c ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Republik Indonesia Tahun 1945. Pada awalnya Dewan Perwakilan Rakyat melaksanakan hak untuk menyatakan pendapatnya terhadap presiden. Hak menyatakan pendapat itu berupa suatu impeachment atau dugaan bahwa presiden melakukan pelanggaran hukum. Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran tersebut di atas selanjutnya akan diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengetahui apakah pendapat DPR tersebut mempunyai landasan konstitusional atau tidak. Amar putusan MK atas pendapat DPR tersebut sekurang-kurangnya terdiri dari tiga kemungkinan. Pertama, amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima apabila permohonan tidak memenuhi syarat. Kedua, amar putusan MK menyatakan membenarkan pendapat DPR apabila Presiden dan/ atau Wakil Presiden terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan. Ketiga, amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan ditolak apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan. Putusan MK tersebut akan diserahkan kembali kepada DPR. Dan akan diteruskan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang kemudian memutus akhir pemakzulan terhadap presiden yang bersangkutan.      Dari hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa kedudukan dari Mahkamah Konstitusi atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden ialah sebagai jembatan akhir yang memberikan keputusan mengenai mekanisme pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden yang dikenal dengan istilah impeachment. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR, bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat



sebagai Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud UUD 1945. Selain itu, juga dapat dikatakan bahwa kedudukan  MK ialah sebagai pihak yang mengabulkan permohonan dari si pemohon (DPR) untuk berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah atau tidak  melakukan pelanggaran yang disebutkan dalam pasal 7A UUD 1945. MK adalah untuk melihat tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam perspektif hukum. Karena MK merupakan institusi peradilan sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman maka putusan yang dijatuhkan MK atas pendapat DPR adalah untuk memberi justifikasi secara hukum.  Sumber :   



Nendissa, Reny H. 2021. Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.



b) Impeachment yang dapat diartikan sebagai sebuah permintaan pertanggungjawaban kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden ketika dicurigai/diduga telah melakukan hal – hal yang bertentangan dengan UUD 1945. Alasan impeachment ini semakin tidak mudah dikarenakan dalam pelaksanaannya bukan hanya sekedar pertanggungjawaban formalitas saja, mengingat dalam proses impeachment itu sendiri dilaksanakan berdasarkan adanya dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan konstitusi. Hal ini harus dapat dibuktikan dengan kuat secara hukum oleh Mahkamah Konstitusi Kemudian, ketentuan-ketentuan mengenai impeachment yang terdapat di dalam konstitusi saat ini tidak mengatur lebih jauh persoalan-persoalan teknis, sehingga pada saat ini masih diupayakan formulasi yang tepat terhadapnya. Ada banyak persolan yang tidak atau belum sepenuhnya bisa terjawab dengan sebaikbaiknya. Di antara beberapa persoalan tersebut adalah apakah proses impeachment tunduk pada prinsip-prinsip dan asas-asas yang terdapat di dalam hukum pidana dan hukum acara pidana, atau perlukah disusun satu hukum acara tersendiri; apakah diperlukan semacam special prosecutor yang dibentuk secara khusus untuk melakukan penuntutan terhadap Presiden di depan sidang yang digelar oleh MK, bagaimanakah tata cara DPR mengumpulkan bukti-bukti sehingga bisa sampai pada suatu kesimpulan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden,apakah yang dimaksud dengan kata “pendapat” yang terdapat di dalam Pasal 7A dan 7B tersebut berupa “pendapat politik” yang berarti secara luas bisa dilatarbelakangi persoalan like and dislike kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden ataukah “pendapat hukum” yang berarti harus terukur dan terbingkai oleh norma- norma yuridis, apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat dan DPR telah menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden kepada MPR dan MPR pun menerima usulan tersebut, maka bisakah di kemudian hari, setelah tidak menjabat lagi, Presiden dan/atau Wakil Presiden diadili (lagi) di peradilan umum



dan tidak melanggar asas Ne Bis In Idem dalam hukum pidana, apakah proses peradilan yang bersifat khusus bagi Presiden dan/ atau Wakil Presiden ini tidak bertentangan dengan asas persamaan di depan hukum (equality before the law serta mengingat putusan MK yang memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat tidak mengikat MPR, apakah ini bisa diartikan bertentangan dengan prinsip supremasi hukum yang dikenal dalam hukum tata negara.          Selain itu, Sebelum amandemen UUD 1945 faktanya Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dengan alasan-alasan yang bersifat politik, bukan yuridis. Tetapi, hal ini tidak lagi lazim diterapkan di negara dengan sistem pemerintahan presidensial setelah amandemen. Oleh karena itu, Amandemen Ketiga UUD 1945 memuat ketentuan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang semata-mata didasarkan pada alasanalasan yang bersifat yuridis dan hanya mengacu pada ketentuan normatif-limitatif yang disebutkan di dalam konstitusi. Selain itu, proses pemberhentian tersebut hanya dapat dilakukan setelah didahului adanya proses konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.  Sumber :  







Nendissa, Reny H. 2021. Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Rahman, Abdul. 2016. “Impeachment dalam UUD 1945 Pasca Amendemen (Analisis Terhadap Proses Hukum Vis-A-Vis Proses Politik)”. Jurnal Hukum Diktum. 14(1), hlm. 89-105. Asshiddiqie, Jimly. 2005. Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Mahkamah Konstitusi dan Konrad Adenauer Stiftung.



2.   a) Permohonan di atas telah sangat sesuai dengan hak uji materill Mahkamah Konstitusi. Hak Uji Materiil  (HUM) adalah  hak yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi untuk menilai materi muatan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengujiannya berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 sesuai dengan pasal 4 Ayat 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor : 06/PMK2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian UndangUndang. Yang mana, pengujian dalam permohonan ini ditujukan pada Pasal  33  ayat  (3)  dan  Pasal  37 Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahan Pasal terhadap Pancasila Sila Pertama, Kedua, dan Kelima. Permohonan ini juga dikatakan sesuai karena dalam pengajuan permohonannya pun telah diuraikan hal yang menjadi dasar permohonan serta hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian materiil sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (3). Adapun hal yang menjadi dasar permohonan serta hal-hal yang dimohonkan ini terdapat pada Pasal 5 ayat 1. Pemohon judicial reviewnya merupakan pihak yang menganggap hak dan/atau



kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu (Pasal 51 ayat [1] UU MK) di mana dalam permohonan ini pemohonnya ialah  perorangan warga negara Indonesia yakni Muhamad Taufiq, S.Kom. Isi permohonan yang tercantum telah dibuat dengan uraian yang jelas mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (lihat Pasal 30 ayat [1] UU MK). Permohonan telah diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya dalam 12 rangkap dengan memuat identitas pemohon, uraian yang menjadi permohonan, hal yang dimohonkan b) dapun analisis  kerugian  konstitusional  apa   saja   yang  dialami  pemohon  saudara Muhammad Taufik berdasarkan permohonan yang dimohonkankannya ialah kerugian konstitusional pemohon itu sendiri. Adapun hak-hak tersebut ialah :     



Hak untuk mendapat perlindungan negara dan hak untuk menjadi masyarakat yang adil dan beradab sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945 Hak untuk tinggal dalam Negara yang berdaulat, berdasasrkan Ketuhanan YME serta kemanusiaan yang adil dan beradab yang termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945 Hak untuk memperjuangkan hak secara kolektif untuk kemajuan bangsa dan negara pada Pasal 28 C ayat 2 UUD NRI 1945 Hak atas rasa aman untuk bebas dari takut dan ancaman bagi diri, martabat, dan keluarga pada Pasal 28 G ayat 1 UUD NRI 1945 Hak untuk dihormati HAK sebagaimana sesama WNI pada Pasal 28 J ayat 1 UUD NRI 1945



Selain itu pemohon merasa dirugikan dalam hak mendapatkan kepastian hukum dan perlindungannya karena pasal-pasal tersebut tidak dapat lagi menjangkau kejahatan dan kerusakan lingkungan yang menimbulkan kerugian secara nyata.Pemohon merasakan adanya keresehan masyarakat atas perilaku eksploitasi SDA yang merusak alam lingkungan yang kemudian juga memicu bencana alam dan bencana sosial bagi diri pemohon secara pribadi, keluarga serta seluruh masyarakat bangsa Indonesia. Sumber :  



(berkasReg_3370_Perbaikan Permohonan Registrasi 18 PUU XIX 2021); https://www.mkri.id/public/filesimpp/berkasReg_3370_Perbaikan %20Permohonan%20Registrasi%2018%20PUU%20XIX%202021.pdf 



3. a) Perspektif



pengujian



peraturan



perundang-undangan



pada



dasarnya



memberikan kewenangan MA dan MK dalam menguji peraturan perundangundangan. MA dan MK sama-sama memiliki kewenangan judicial review, tetapi perbedaan judicial review di antaranya terdapat pada bagian objek yang diuji. MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, sementara MK berwenang menguji undang-undang terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Terdapat pembatasan produk hukum yang akan diuji oleh MA, yang secara langsung membatasi MA untuk melakukan kontrol secara normatif terhadap setiap produk hukum. MA hanya berwenang mengadili peraturan perundang-undangan dibawah undangundang terhadap undang-undang dengan waktu 14 hari untuk menyelesaikan perkara pengujiannya. Sementara untuk peraturan yang lebih tinggi, yaitu undang-undang terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kewenangannya dimiliki oleh MK tanpa adanya  batasan waktu dalam pengujian materi sebuah undang-undang. Sumber :  Putra, Antoni. 2018.“Dualisme Pengujian Peraturan Perundang-Undangan”. Jurnal Legislasi Indonesia. 15(2), hlm. 69-79.  Qamar, Nurul. 2021. “Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi. 1(1), hlm. 1-15.  Simamora, Janpatar. 2012. “Analisa Yuridis terhadap Model Kewenangan Judicial Review di Indonesia”. Jurnal Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen. hlm. 389-399. b)  Adapun kelemahan atau kekurangan  hukum   acara   judicial   review   pada   MA dibandingkan hukum acara di MK ialah judicial review pada MA memiliki pembatasan produk hukum yang akan diuji oleh MA, yang secara langsung membatasi MA untuk melakukan kontrol secara normatif terhadap setiap produk hukum. MA hanya berwenang mengadili peraturan perundangundangan dibawah undang-undang. Selain itu, dalam pelaksanaannya terdapat pembatasan waktu dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UUD NRI 1945 dengan  waktu 14 hari untuk menyelesaikan perkara pengujiannya. MK berwenang menguji undang-undang terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan kesan kedudukan yang lebih tinggi serta tidak memiliki batasan waktu dalam pengujian materi sebuah undang-undangnya. Sumber :  Putra, Antoni. 2018.“Dualisme Pengujian Peraturan Perundang-Undangan”. Jurnal Legislasi Indonesia. 15(2), hlm. 69-79.  Qamar, Nurul. 2021. “Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi. 1(1), hlm. 1-15.  Simamora, Janpatar. 2012. “Analisa Yuridis terhadap Model Kewenangan Judicial Review di Indonesia”. Jurnal Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen. hlm. 389-399.