Near Drowning PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DROWNING AND NEAR DROWNING (TENGGELAM) Dadang Hudaya Somasetia



PENDAHULUAN Tenggelam merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena menyebabkan kesakitan dan kematian terutama pada anak, paling sering terjadi pada anak usia 1-14 tahun dan laki-laki remaja (usia 15-19 tahun). Tenggelam merupakan penyebab kedua terbanyak kematian karena jejas yang tidak disengaja pada anak diseluruh dunia, dan 96% terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Sebanyak sepertiga korban tenggelam yang selamat mengalami sekuele neurologis sedang sampai berat. Langkah awal tatalaksana resusitasi ABC korban tenggelam sama seperti resusitasi jantung paru pada kasus lain, tidak bergantung pada jenis cairan media tenggelam. Ancaman utama yang segera timbul adalah efek terhadap susunan saraf pusat (SSP) dan kardiovaskuler.Tata laksana yang harus segera dilakukan adalah memulihkan hipoksemia dan asidosis. Derajat jejas SSP bergantung pada derajat dan lama hipoksia. Efek jangka panjang hipoksia, termasuk keadaan vegetatif, sangat merusak fungsi otak. Pencegahan merupakan kunci untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian karena tenggelam. Pendidikan kepada masyarakat merupakan kunci pencegahan tenggelam. BATASAN Resusitasi adalah segala bentuk usaha yang dilakukan terhadap orang yang berada dalam keadaan gawat atau kritis untuk mencegah terjadinya kematian. Hampir tenggelam (near drowning) adalah penderita yang selamat dari kejadian tenggelam paling sedikit dalam 24 jam setelah kejadian. Istilah ini tidak tepat karena penderita dapat mengalami penurunan kesadaran atau menghirup air (cairan) dan mungkin mendapat penyulit sekunder serius atau bahkan meninggal dunia sesudah periode 24 jam tersebut (mungkin >72 jam sesudah kejadian). Tenggelam (drowning) adalah proses terjadinya gangguan respirasi karena terjerembab kedalam cairan.Tenggelam dapat menyebabkan mati lemas (suffocation) karena seluruh badan terendam (submersion) atau sebagian tubuhnya tercelup (immersion) kedalam media cairan (biasanya air).



Tenggelam (definisi lama) adalah kematian sekunder karena asfiksia selama terjerembab kedalam cairan, biasanya air, atau kematian dalam 24 jam setelah terjerembab kedalam cairan. World Congress on Drowning (2002) di Amsterdam melahirkan konsensus baru tentang tenggelam: Tenggelam (definisi baru) adalah proses yang menyebabkan gangguan respirasi primer karena terjerembab kedalam media cairan. Penderita tidak bisa bernapas sehingga dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas, walaupun dapat juga selamat tanpa morbiditas. Dengan batasan diatas maka istilah tenggelam basah, tenggelam kering, tenggelam aktif dan pasif, hampir tenggelam, tenggelam sekunder, dan tenggelam diam-diam tidak perlu dipakai lagi.



PATOFISIOLOGI Keadaan yang paling memengaruhi morbiditas dan mortalitas tenggelam adalah hipoksemia dan asidosis, serta efek multiorgan dari proses tersebut. Kerusakan SSP dapat terjadi karena hipoksemia (jejas primer) yang terjadi selama tenggelam atau karema aritmia, jejas paru lanjut, jejas reperfusi, dan disfungsi multiorgan (jejas sekunder), terutama bila terjadi hipoksemia jaringan lama. Ketika korban tenggelam, terjadi proses berikut ini: sesudah menahan napas awal, kemudian terjadi aspirasi sedikit cairan kedalam laring yang memicu upaya menahan napas atau spasme laring (laringospasme involunter) sehingga terjadi deplesi oksigen dan retensi karbon dioksida. Pada kebanyakan kasus, karena tekanan oksigen didalam darah turun, maka laringospasme



menghilang,



korban



tenggelam



akan



menarik



napas



megap-megap,



hiperventilasi, mungkin menghirup cairan. Keadaan ini akan memperberat hipoksemia. Spasme laring menghilang kemudian sejumlah besar air atau isi lambung terisap kedalam paru selanjutnya merusak surfaktan dan menyebabkan alveolitis serta disfungsi pertukaran gas alveolus-kapiler. Sekitar 10-15% korban tenggelam mengalami asfiksia tanpa aspirasi. Bergantung pada derajat hipoksemia dan gangguan asidosis didalam keseimbangan asam basa, korban tenggelam dapat mengalami disfungsi jantung, hantaran listrik, henti jantung, dan iskemia SSP. Asfiksia mengakibatkan relaksasi saluran napas, sehingga cairan dapat masuk kedalam paru (wet drowning), walapun kebanyakan korban tenggelam menghirup cairan 22 mL/kgBB akan menyebabkan gangguan elektrolit. Menelan (bukan aspirasi) air tawar dalam jumlah banyak dapat menyebabkan gangguan elektrolit bermakna, misalnya hiponatremia pada korban sesudah tenggelam. Sebanyak 10-20% korban tetap



memertahankan laringospasme sampai terjadi henti jantung dan upaya inspirasi menghilang (dry drowning, lihat Gambar 1).



Gambar 1 hipoksia pada tenggelam Diunduh



Mekanisme jejas otak karena dari:



http://emedicine.medscape.com/article/772753Bila terjadi henti jantung pada korban tenggelam, maka akan terjadi kolaps sirkulasi yang menghambat perfusi ke jaringan otak dan organ lainnya dan menyebabkan kerusakan ireversibel pada organ vital. Tanpa ventilasi adekuat, O



di dalam darah sangat cepat 2



dikonsumsi dan tidak dapat diperbaharui. Kesadaran menurun akan timbul sesudah anoksia berlangsung selama 10-20 detik. Respons jantung primer pada korban tenggelam adalah takikardia dan hipertensi. Sesudah 60-90 detik, mekanisme kompensasi akan gagal, denyut jantung melambat hingga terjadi hipotensi.



Asistole



timbul



sesudah



anoksia



3-5



menit.



Oleh



karena



itu



resusitasi



kardiopulmonum akan berhasil baik bila dilakukan dalam 4 menit sejak terjadinya henti jantung, kemudian diberikan bantuan hidup lanjut dalam waktu 8 menit sesudah henti jantung.



RIWAYAT DAN ETIOLOGI TENGGELAM Korban tenggelam dapat terjadi di dalam berbagai cairan, terutama didalam air tawar (96%), bisa terjadi di kolam renang, bak mandi, ember, sungai, danau; atau di air asin (laut) dan cairan lain. Penolong harus menelusuri lingkungan, lokasi tempat kejadian tenggelam, cara terjadinya, kapan ditemukannya, dan siapa yang menolong serta pertolongan pertama apa yang sudah diberikan, oleh siapa. Lamanya tenggelam biasanya tidak diketahui pada saat penderita ditemukan. Etiologi tenggelam sering berhubungan erat dengan faktor penyebab tenggelam seperti: 



Usia korban







Waktu lamanya tenggelam







Suhu air







Tonisitas air







Derajat kontaminasi air







Gejala klinis







Jejas penyerta (vertebra servikalis dan kepala)







Pemakaian alkohol dan obat terlarang







Kondisi kesehatan sebelumnya







Tipe dan waktu penyelamatan serta upaya resusitasi yang diberikan







Respons terhadap resusitasi awal



Riwayat penyakit penting lainnya pada kasus tenggelam adalah: 



Napas pendek, sulit bernapas, apnea  Batuk persisten,mengi  Tenggelam didalam air mengalir, danau, atau air asin, aspirasi benda asing, kemasukan jamur, bakteri, dan mikroorganisme lainnya  Derajat kesadaran saat ditemukan, hilang kesadaran, cemas, lelah, dan perubahan tingkah laku. Kebanyakan penderita kehilangan kesadaran sementara sesudah tenggelam karena hipoksia otak.  Vomitus, diare  Pemakaian alkohol atau obat terlarang sebelumnya Riwayat kesehatan sebelumnya meliputi hal berikut ini: 



Kejang



    



Diabetes mellitus Gangguan jiwa Artritis berat Penyakit jantung Kelainan neuromuskuler



DIAGNOSIS Gejala klinis korban tenggelam sangat bervariasi, dan dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok: 



Asimptomatis







Simptomatis







Henti kardiopulmonum







Meninggal secara nyata



Korban tenggelam akan asimptomatis bila korban segera diketahui dan cepat dilakukan pertolongan dan resusitasi. Korban tenggelam simptomatis bila korban telat diketahui, telat resusitasi, dan dapat menunjukkan hal berikut ini: 



Tanda vital menurun (hipotermia, takikardia atau bradikardia)







Tampak tidak sadar  Takipnea, dispnea, atau hipoksia: bila terjadi dispnea seringan apapun, pasti simptomatis.  Asidosis metabolis (dapat terjadi pada korban tenggelam asimptomatis)  Penurunan kesadaran, defisit neurologis  Batuk  Mengi  Hipotermia  Vomitus dan/atau diare Pada korban tenggelam yang mengalami henti kardiopulmonum ditemukan hal berikut ini: 



Apnea  Asistole (55%), takikardia ventrikel /fibrilasi (29%), bradikardia (16%)  Sindrom tenggelam Pada korban tenggelam yang meninggal dapat ditemukan hal berikut ini:  Normotermia dengan asistole  Apnea  Rigor mortis  Dependent lividity







Fungsi susunan saraf pusat tidak ditemukan



Gejala umum korban tenggelam dapat tampak lemah, sakit berat, sulit bernapas, bahkan tidak ada napas spontan dan tidak ada gerak. Disfungsi pernapasan Sianosis, pernapasan cuping hidung, retraksi dinding dada,



merintih (grunting), suara



pernapasan menurun atau tidak terdengar, mengi, takipnea, dan apnea Disfungsi serebrum Agitasi, gelisah, bingung, sakit kepala, tak ada respons terhadap rangsang fisik, kejang, koma Disfungsi kardiosvaskuler Takikardia, hipertensi, bradikardia, hipotensi, kolaps perifer, dan henti jantung Laboratorium: Analisis gas darah/AGD Hipoksemia: PaO anak 50 mmHg 2 Asidosis metabolis/respiratoris (pH < 7,35) Pada korban tersangka tenggelam dan mengalami henti kardiopulmonum harus segera dilakukan pemeriksaan pernapasan dan nadi. Langkah awal, yakinkan jalan napas terbuka, lihat gerakan napas pada dinding dada, dan dengarkan suara pernapasan untuk menentukan apakah ada ventilasi atau tidak. Jika tidak ada napas spontan, lakukan ventilasi awal 2–5x, raba nadi (arteri brakialis atau arteri femoralis pada bayi 1 tahun). Bila korban tenggelam mengalami henti napas, tidak sadar, nadi tidak teraba/sangat lambat, segera lakukan resusitasi jantung paru (RJP).



PEMERIKSAAN PENUNJANG Tata laksana hipoksemia merupakan kunci keberhasilan tata laksana korban tenggelam. Hipoksia dapat ditemukan pada penderita tenggelam asipmtomatis. Pemeriksaan pulse oximetry kontinyu penting. Periksa kadar gas darah arteri pada semua penderita tenggelam (bila memungkinkan). Waspadai kemungkinan terjadinya trauma kepala dan medulla spinalis servikalis. Lakukan pemeriksaan gula darah, darah lengkap, elektrolit, laktat, dan profil koagulasi. Tampung urin untuk urinalisis. Periksa uji fungsi hati.



Pemeriksaaan radiografi untuk mendeteksi aspirasi, edema paru, atau atelektasis karena benda asing. Elektrokardiografi (EKG) harus dikerjakan bila



korban tenggelam mengalami bradikardia,



takikardia, aritmia atau ada riwayat kelainan jantung.



Penyulit Bergantung pada lamanya tenggelam, etiologi, penyakit penyerta, dan ketepatan resusitasi dini. TATA LAKSANA RESUSITASI JANTUNG PARU OTAK PADA KORBAN TENGGELAM Resusitasi jantung paru otak anak korban tenggelam mengikuti format ABC standar orang dewasa. Tata laksana resusitasi menurut panduan American Heart Association (AHA) 2010 diubah urutannya dari ABC menjadi CAB, karena banyak kasus henti jantung primer pada orang dewasa. Pada anak, terutama di negara berkembang seperti di Indonesia masih lebih banyak kasus henti napas primer, sehingga masih dapat melakukan resusitasi jantung paru otak dengan urutan ABC sebagai berikut: A. Membebaskan jalan napas B. Bantuan napas C. Bantuan sirkulasi D. Pemberian obat E. Kejutan listrik (defibrilasi) Tata laksana pra-rumah sakit Tata laksana pra-rumah sakit optimal sangat menentukan luaran penderita tenggelam. Langkah ABC resusitasi jantung paru dasar (Basic Life Support/BLS) dan kompresi jantung sama seperti kasus lainnya. Aktifkan bantuan medis, siapkan transportasi ke sarana medis terdekat, bila memungkinkan. Korban tenggelam harus segera diangkat dari dalam air, tidak perlu intervensi khusus. Napas buatan segera diberikan sejak penderita masih didalam air, tetapi kompresi jantung tidak memungkinkan. Perhatikan vertebra servikalis, bila mungkin diangkat dalam posisi telungkup untuk mengurangi kemungkinan hipotensi. Bila ada penurunan kesadaran, periksa adanya benda asing dan aspirasi. Debris di dalam orofaring dikorek dengan finger-sweep maneuver. Jangan membuang waktu dengan mengeluarkan cairan dari lambung karena berisiko terjadi muntah dan aspirasi. Abdominal thrust (Heimlich) maneuver tidak efektif mengeluarkan cairan aspirasi. Ventilasi buatan bermanfaat walaupun terdapat cairan di dalam paru.



Oksigen 100% harus diberikan sesegera mungkin melalui sungkup muka. Derajat hipoksemia sulit ditentukan dengan pengamatan klinis. Bila tersedia, dipasang pemantau pulse oximetry kontinyu; bila masih sesak atau saturasi oksigen rendah, pakailah oksegen tekanan positif (continuous positive airway pressure/CPAP) bila tersedia; bila tidak ada lakukan intubasi, berikan oksigen tekanan positif (positive end expiratory pressure/PEEP). Tekanan positif lebih besar diperlukan bila terjadi edema paru sehingga perlu dipasang ventilator. Resusitasi jantung paru harus dilakukan segera dengan memerhatikan keadaan hipoksia dan hipotermia penderita tenggelam, sambil menghangatkan penderita. Membuka baju basah, diganti dengan baju kering dan hangat. Hipotermia terapeutis masih harus dibuktikan dengan penelitian klinis. Tata laksana Korban Tenggelam di Ruang Emergensi Anak Tata laksana korban tenggelam di ruang emergensi anak ditujukan untuk melakukan resusitasi dan mengatasi gagal napas. Penilaian status neurologis memakai skala koma Glasgow Coma cukup efektif. Evaluasi jejas penyerta seperti jejas vertebra servikalis karena dapat mempersulit tata laksananya. Berikan oksigen 100% selama evaluasi. Bila hipoksia atau dispnea menetap dengan pemberian oksigen 100%, maka segera berikan CPAP atau bilevel positive airway pressure (BiPAP), atau intubasi awal. Intubasi endotrakea dan ventilasi mekanis (dengan PEEP) mungkin perlu bila tidak dapat memertahankan oksigenasi dengan sungkup muka, CPAP/BiPAP, atau bila perlu proteksi saluran napas. Defisit volume intravaskuler sering terjadi sekunder karena edema paru, dan pergeseran cairan intrakompartemen, tanpa melihat tipe aspirasi cairan. Resusitasi cairan dilakukan memakai kristaloid isotonis NaCl 0,9%, Ringer laktat, atau Ringer asetat (20 mL/kgBB) atau koloid. Inotrop mungkin diperlukan (dopamin dan/atau dobutamin). Kebanyakan asidosis pulih sesudah dilakukan koreksi defisit cairan dan oksigenasi. Hipotermia mungkin terjadi dan menyebabkan bradikardia, asidosis, dan hipoksemia. Pipa nasogaster dipakai untuk mengeluarkan air atau debris yang tertelan. Pipa orogaster dipakai bila tersangka trauma kepala atau muka. Korban tenggelam yang mengalami hipotermia berat mungkin tampak seperti meninggal karena bradikardia berat dan vasokonstriksi, resusitasi harus dilakukan sambil memulihkan suhu tubuh normal.



DISPOSISI DAN KONSULTASI Terhadap korban tenggelam dilakukan disposisi bergantung pada riwayat sakit, jejas penyerta, dan derajat jejas karena tenggelam. Penderita tenggelam yang mendapat resusitasi jantung paru harus disiapkan rujuk ke ruang perawatan intensif. Korban tenggelam dapat keluar dengan aman dari ruang emergensi anak sesudah observasi selama 6-8 jam bila memenuhi kriteria sebagai berikut: 



Riwayat jejas tenggelam ringan







Tidak ada jejas bermakna







Tidak ada perubahan derajat kesadaran atau tingkah laku







Tidak ada bukti bronkospasme atau takipnea/dispnea







Tidak ada bukti oksigenasi tidak memadai (hasil pantau AGD dan pulse oximetry)



Pemantauan tekanan intrakranium, elektrofisiologi; tatalaksana oksigenasi, suhu tubuh dan farmakologi khusus; serta kontrol glukosa cepat akan memengaruhi luaran neurologisnya. Pantau terhadap kemungkinan pneumonia dan infeksi SSP (infeksi bakteri dan jamur). Infeksi yang tidak lazim kadang-kadang muncul belakangan. Antimikroba profilaksis tidak terbukti bermanfaat. Rehabilitasi medis agresif dini untuk mencegah jejas tidak pakai (disuse injury) dan mempercepat perbaikan fungsional. Rujuk Transpor Korban Tenggelam Tata laksana korban tenggelam harus dilakukan di sarana kesehatan yang memiliki fasilitas perawatan intensif, mungkin harus dilakukan rujuk transport, bila penderita menunjukkan hal hal berikut ini: 



Hipoksia berat yang memerlukan intubasi endotrakea







Dispnea memburuk dan perlu intubasi endotrakea







Ada bukti jejas otak hipoksia







Ada bukti insufisiensi ginjal







Ada bukti hemolisis







Hipotermia berat yang memerlukan mesin pintas kardiopulmonum



Anak tenggelam yang memerlukan perawatan khusus karena jejas vertebra servikalis atau trauma kepala harus dirawat di sarana kesehatan yang dapat melakukan perawatan neurologi anak, rehabilitasi medis dan bedah saraf.



Daftar Pustaka 1. Lee KJ, Markdante KJ, Somasetia DH. Sakit akut atau jejas pada anak. Dalam Markdante KJ, Kliegman RM,Jenson HB, Behrman RE. (editor) Nelson Ilmu Kesehatan Esensial. Edisi keenam Edisi bahasa Indonesia.. Singapore: Elsevier; 2011. h 159-86. 2. Cantwell GP, Alcock J, et al. Drowning. Medscape Updated: Apr 29, 2013. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/772753 (28-20-2014). 3. Hoodge III D. Environmental emergencies. Dalam: APLS. The Pediatric emergency medicine resource. Fourth edition. Sudbury: Jones and Bartlett Publishers; 2012. h. 208-33. 4. Drowning. Diunduh dari: http://en.wikipedia.org/wiki/Drowning (28-10-2014). 5. Nadkarni V, Berg RA. Cardiopulmonary resuscitation. Dalam: Slonim AD, Pollack MM, penyunting. Pediatric critical care medicine. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. h. 235-41. 6. Trinkaus P, Schlein CL. Physiologic Foundations of cardiopulmonary resuscitation. Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman J, penyunting. Pediatric critical care. Edisi ke-3. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2 7. National Center for Injury Prevention and Control, Division of Injury Response. Guidelines for field triage of injured patients006. h. 1795-1818. 8. American Academy of Pediatrics and American College of Emergency Physicians (ACEP).The Pediatric Emergency Medicine Resource (book), 9. American Academy of Pediatrics, Committee on Injury, Violence, and Poison Prevention. Prevention of drowning. Pediatrics. 2010;126(1):178-185.. Pediatrics. 2012;129(4):e1110.



10. Weiss J, American Academy of Pediatrics, Committee on Injury, Violence, and Poison Prevention. Technical Report: Prevention of drowning. Pediatrics. 2010;126(1):e253-e262.



11. Pool Safety for Children (fact sheet), American Academy of Pediatrics. 12. Water Safety for Your School-age Child (fact sheet), American Academy of Pediatrics. 13. American Academy of Pediatrics. Point-of-Care Quick Reference. Drowning and Near Drowning.