Noning PROPOSAL Hasil PENELITIAN [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan Negara Republik Indonesia secara jelas dituangkan di dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa Negara bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah dara Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa ikut serta dalam usaha perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.1Sehubungan dengan hal itu maka sudah sepatutnya masyarakat Indonesia mendapatkan perlindungan terhadap keselamatan dan keamanan yang secara nyata dalam aspek kehidupan. Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang didalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak juga merupakan tunas sumber potensi dan generasi muda penerus perjuangan cita-cita bangsa dimasa yang akan datang nantinya, oleh karena itu harus kita jaga dan kita lindungi dari perbuatan buruk ataupun sebagai korban dari perbuatan buruk seseorang. Anak mempunyai hak-hak yang harus diakui dan dilindungi oleh Negara. Hak anak merupakan bagian dari HAM meskipun anak masih dalam kandungan seorang ibu. Yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala upaya 1



yang ditunjukan untuk mencegah, merehabilitasi dan



Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945



1



memberdayakan anak yang mengalami tindakan perlakuan salah, eksploitasi, penelantaran serta pelecehan seksual. Selain itu anak juga mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan dan perlindungan dalam dunia pendidikan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 9 butir 1 dan 1a Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak yang berbunyi : Butir 1 “setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat.” Butir 1a “setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga pendidik, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.2 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tertulis bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Artinya bahwa segala sesuatu yang ada di bumi telah mempunyai kekuatan hukum kuat. 3 Di Indonesia, masalah perlindungan anak mendapat perhatian yang serius. Hal ini dibuktikan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Lebih lanjut masalah perlindungan anak ditegaskan di dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-undang 2



Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945



3



2



Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan, bahwa: “Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya”. Meskipun terkandung regulasi demikian, namun dalam kenyataannya anakanak di Indonesia masih mengalami pelbagai tindak kejahatan kekerasan baik berupa kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan kekerasan psikis. Kekerasan tersebut dilakukan bukan hanya oleh orang yang tidak dikenal namun orangorang terdekatlah yang melakukannya. Salah satunya adalah guru di sekolah. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tertulis bahwa “ Guru merupakan pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.4 Namun dewasa ini, banyak



kejadian-kejadian



yang



kurang



menyenangkan



yang



terjadi



dilingkungan sekolah yakni guru mencabuli muridnya sendiri seperti kasus yang terjadi di salah satu sekolah dasar favorit di Kota Kefamenanu, Kabupaten TTU. Kejadian tersebut mengundang banyak pernyataan dari berbagai kalangan bahwa Guru seharusnya mendidik muridnya dengan sabar dan penuh kasih sayang bukan melakukan hal yang tidak senonoh. Memang sangat sulit untuk dipercaya karena guru yang dikenal sebagai pahlawan tanpa jasa yang dengan sabar memberikan ilmunya, tega mencabuli



4



Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen



3



siswa didiknya sendiri. Mungkin bagi dirinya perbuatan cabul yang seharusnya tidak boleh dilakukan dan perbuatan itu melanggar norma kesusilaan dianggap hanyalah sebuah aturan belaka yang hanya tercantum dalam selembar kertas putih dan disimpan rapi. Berdasarkan pemikiran penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai kasus pencabulan yang dilakukan oleh seorang guru terhadap siswa SD GMIT Kefamenanu 4 di Kabupaten Timor Tengah Utara yang kejadiannya sudah berlangsung lama namun baru diketahui sejak tanggal 28 September 2017 pukul 01:00 Wita oleh salah seorang guru kelas Va yang bernama Albina Amfoang, S.pd. kejadian itu diketahui melalui selembar kertas yang dituliskan oleh siswi-siswi SD GMIT Kefamenanu 4 mengenai perilaku yang tidak senonoh. Dalam kertas tersebut tertulis bahwa oknum guru HLN melakukan aksinya saat jam istirahat. Ketika semua siswa/siswi keluar dari kelas, guru tersebut memanggil siswa perempuan untuk masuk kembali ke dalam kelas dengan alasan ingin memberikan pelajaran tambahan. Setelah siswi-siswi berada dalam kelas. HLN memanggil satu persatu dan memangkunya sambil meramas-ramas buah dada, memasukan tangannya kedalam rok lalu merabaraba kemaluan hingga mencium siswi tersebut. Aksi ini dilakukan secara bergantian kepada siswi-siswi SD tersebut. Setelah melakukan aksinya HLN memberitahukan kepada siswi-siswi tersebut



bahwa perbuatan



yang



dilakukannya tidak boleh diketahui oleh siapapun dan HLN juga memberikan uang senilai Rp. 1000.00 atau Rp. 2000.00 pada siswi-siswi tersebut. Karena



4



perkataan HLN yang begitu manis maka membuat siswi-siswi tersebut merasa bahwa HLN sangat menyayangi mereka.5 Dari kejadian tersebut maka penulis mengambil sebuah judul “Tinjauan Kriminologis Mengenai Perbuatan Cabul Yang Dilakukan Oleh Seorang Guru Terhadap Siswa SD GMIT Kefamenanu 4 Kabupaten Timor Tengah Utara”



B. Rumusan Masalah 1.



Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya perbuatan cabul yang dilakukan oleh seorang guru terhadap siswa SD GMIT Kefamenanu 4 Kabupaten Timor Tengah Utara?



2.



Bagaimanakah upaya penanggulangan oleh aparat hukum terhadap perbuatan cabul yang dilakukan oknum guru tersebut?



C. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil pengamatan dan penelusuran yang penulis lakukan, terdapat dua judul yang berkaitan judul calon peneliti mengenai pencabulan yakni: 1. Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencabulan Anak Dalam Perkara Pidana Nomor 9/Pid.Sus/2016/Pn Bsk Di Pengadilan Negeri Batusangkar. Skrisi ini ditulis oleh Elvyasa Eka Zayuti. Fakultas



5



Hasil wawancara dengan Ibu Margaretha Banu, S.pd



5



Hukum, Universitas Andalas Padang pada tahun 2017 dengan mengangkat dua rumusan masalah yakni : a. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan



anak



oleh



hakim



dalam



Perkara



Nomor



9/Pid.Sus/2016/PN BSK di Pengadilan Negeri Batusangkar? b. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menentukan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan anak oleh hakim dalam Perkara Nomor 9/Pid.Sus/2016/PN.BSK di Pengadilan Negeri Batusangkar? 2. Tindak Pidana Pencabulan oleh Lelaki Usia Lanjut terhadap Anak di Kota Kupang. Skripsi ini di tulis oleh Adeleyda Harefa. Fakultas Hukum, Universitas Nusa Cendana. Dengan mengangkat 2 (dua) Rumusan Masalah yakni : a. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan lelaki usia lanjut melakukan tindak pidana pencabulan? b. Bagaimana praktek penegakan hukum terhadap lelaki usia lanjut yang melakukan tindak pidana pencabulan di Kota Kupang?



6



D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan berdasarkan dengan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini, sebagai berikut : a. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya perbuatan cabul yang dilakukan oleh seorang guru kepada siswa SD GMIT Kefamenanu 4 Di Kabupaten Timor Tengah Utara. b. Untuk mengetahui upaya penanggulangan oleh aparat hukum terhadap pelaku perbuatan cabulan yakni guru SD GMIT Kefamenanu 4. 2.



Manfaat a. Secara Teoritis Melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi ilmiah bagi pengembangan ilmu hukum pidana khususnya mengenai penyebab perbuatan cabul dan akibat dari perbuatan cabul. b. Secara praktis Melalui hasil penelitian ini, diharapkan dapat berguna dan bermanfaat bagi masyarakat yakni sebagai bahan bacaan di fakultas hukum.



7



E. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian Jenis penelitian dalam proposal skripsi ini adalah jenis penelitian hukum yuridis empiris yakni mengkaji dan menganalisis data yang diperoleh dari lokasi penelitian. 2. Metode Pendekatan Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus (case approach). Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan telaah pada kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi. Kasus-kasus yang ditelaah merupakan kasus yang telah memperoleh putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. 3. Lokasi Penelitian Penelitian yang akan dilakukan dalam rangka menjawab rumusan masalah yang diangkat oleh penulis pada penulisan skripsi ini, dilakukan di Kota Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara. 4. Jenis dan Sumber Data Data pendukung dalam penelitian ilmiah yang penulis lakukan terdiri atas 2 (dua) jenis data, yakni : a. Data Primer Data dan informasi yang diperoleh secara langsung melalui wawancara dengan Kepala Sekolah dan Pihak berwajib yang menangani kasus pencabulan oleh guru terhadap siswa SD GMIT Kefamenanu 4 Kabupaten Timor Tengah Utara.



8



b. Data Sekunder Data yang sudah ada dalam bentuk jadi dan diperoleh dari dokumen-dokumen, arsip-arsip resmis, serta literatus lainnya yang relevan dalam melengkapi data primer penelitian. 5. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara (interview) Wawancara (interview) adalah pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara kepada responden dan jawaban responden dicatat atau direkam. Selain itu wawancara juga dapat dilakukan melalui telepon. Teknik wawancara dapat digunakan pada responden yang buta huruf dan/atau tidak terbiasa membaca atau menulis, termasuk anak-anak. b. Studi Kepustakaan (library Study) Studi Kepustakaan (library study) yaitu penelitian yang dilakukan pada buku-buku, artikel hukum, di internet untuk memperoleh data yang berkaitan dengan kasus pencabulan tersebut. 6. Teknik Pengolahan dan Analisi Data a. Pengolahan data Pengolahan data dilakukan dengan beberapa proses yaitu editing. Artinya dimana data yang dikumpulkan diperiksa dan kemudian dilakukan pengelolaan coding atau memberi kode pada data yang telah diperiksa dan klasifikasi ke dalam kelompok.



9



b. Analisis Data Data yang diperoleh baik primer maupun sekunder diolah terlebih dahulu kemudian dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara



deskripsi



yaitu



menjelaskan,



menguraikan



dan



menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan permasalahan penelitian ini. 7. Populasi Sampel dan Responden a. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah semua pihak yang terlibat dalam peristiwa pencabulan ini, maupun yang menanganinya yaitu Pelaku, Siswa dan Guru SD GMIT Kefamenanu 4, Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim. b. Sampel Teknik dalam penentuan sampel ini adalah purposive sampling (penunjukan) yakni Pelaku, dan Guru, beberapa Polisi, Jaksa dan Hakim yang menangani kasus tersebut. c. Responden/Informasi Yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah : 1. Pelaku



: 1 orang



2. Siswa SD GMIT Kefamenanu 2 (korban)



: 2 orang



3. Kepala Sekolah SD GMIT Kefamenanu 4



: 1 orang



4. Guru SD GMIT Kefamenanu 4



: 2 orang



5. Penyidik



: 2 orang



10



6. Jaksa



: 1 orang



7. Hakim



: 1 orang



Jumlah



: 10 orang



8. Aspek Penelitian Aspek-aspek dalam penelitian ini adalah a. Faktor penyebab terjadinya perbuatan cabul yang dilakukan oleh seorang guru kepada siswa SD Gmit Kefamenanu 4 Kabupaten Timor Tengah Utara. 1. Faktor internal merupakan faktor-faktor yang terdapat dalam diri individu dalam hal ini dalam diri pelaku yang mendorong pelaku untuk melakukan perbuatan cabul serta yang hal-hal yang mempunyai hubungan dengan kejahatan seksual. 2. Faktor eksternal merupakan faktor-faktor yang berada diluar diri pelaku yang mendukung terjadi perbuatan cabul. b. Upaya penanggulangan oleh aparat hukum terhadap pelaku perbuatan cabul yakni seorang guru SD GMIT Kefamenanu 4.



11



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



A. Pencabulan 1. Pengertian pencabulan Istilah mengenai tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu strafbaarfeit atau delict, namun dalam perkembangan hukum istilah strafbaarfeit atau delict memiliki banyak definisi yang berbeda-beda, sehingga untuk memperoleh pendefinisian tentang tindak pidana secara lebih tepat sangatlah sulit mengingat banyaknya pengertian mengenai tindak pidana itu sendiri. Pengertian Tindak Pidana (Strafbaar Feit) menurut salah satu ahli hukum yaitu Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.6 Pencabulan berasal dari kata “cabul”. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memuat arti kata sebagai berikut: “keji dan kotor”, tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan). Perbuatan cabul digolongkan sebagai salah satu bentuk kejahatan terhadap kesusilaan. KUHP belum mendefinisikan dengan jelas maksud perbuatan cabul itu sendiri dan terkesan mencampur arti kata persetubuhan maupun perkosaan. Dalam rancangan KUHP sudah terdapat



6



(http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/sulistiyaningsih.pdf) hlm 18 di akses 3 maret 2018



12



penambahan kata “persetubuhan” disamping kata perbuatan cabul. Perumusan tersebut dapat dilihat bahwa pengertian perbuatan cabul dan persetubuhan sangatlah berbeda. Perbuatan cabul tidak menimbulkan kehamilan. Menurut Simon ”ontuchtige handelingen” atau cabul adalah tindakan yang berkenaan dengan kehidupan dibidang seksual, yang dilakukan dengan maksud-maksud untuk memperoleh kenikmatan dengan cara yang sifatnya bertentangan dengan pandangan umum untuk kesusilaan. Ketika seorang dewasa melakukan hubungan seksual dengan anak yang belum berumur 18 tahun maka orang tersebut akan dianggap sebagai pelaku yang telah melakukan penyimpangan seksual ataupun kejahatan seksual kepada anak. Secara Yuridis orang dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan anak dianggap mempunyai kelainan yang sering disebut pedofilia dan telah melakukan perbuatan cabul padaanak, namun dewasa ini perbuatan cabul juga sering dilakukan oleh ayah kepada anaknya, saudara ataupun teman dan hubungan kekasih. Pengertian perbuatan cabul itu sendiri adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan atau perbuatan keji, yang semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin misalnya mencium, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada. Persetubuhan masuk pula dalam pengertian perbuatan cabul akan tetapi dalam undang-undang ditentukan sendiri.7 Perbuatan cabul merupakan salah satu bentuk kejahatan yang diatur dalam bab XIV buku ke dua KUHP tentang kejahatan kesusilaan. Perbuatan cabul juga merupakan perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa kepada



7



R.Soesilo. Kitab Undang-undang Hukum Pidana 13



anak dibawah umur dan harus di pertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responbility atau “pertanggungjawaban” itu merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Hukum pidana merupakan saranan yang sangat penting dalam penanggulangan setiap permasalahan yang merugikan masyarakat pada umumnya dan korban pada khususnya. Penanggulangan tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yakni secara “preventif”



(pencegahan)



dan



“refresif



(penindakan).



Bentuk



penanggulangan tersebut yakni diterapkan sanksi berupa pemenjaraan terhadap pelaku tindak pidana dengan tujuan memberikan efek jera kepada pelaku agar tidak melakukan tindak pidana dan juga agar pelaku sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya salah, selain itu juga pelaku dapat mengubah diri sehingga menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat. Sanksi pemidanan mengenai perbuatan cabul diatur dalam KUHP pasal 294 ayat (1) yang ancamannya adalah penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.8 Selain itu juga diatur dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, ketentuan tersebut dalam Pasal 82 yang berbunyi “setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa melakukan tipu muslihat, serangkaiaan kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat



8



Kitap undang-undang hukum acara pidana



14



(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000.00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60. 000.000. 00 (enam puluh juta rupiah)”9 2. Jenis-jenis Tindak Pidana Pencabulan Dalam KUHP perbuatan cabul diatur dalam pasal 289 sampai pasal 296, dimana dikategorikan sebagai berikut : a. Perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan Perbuatan tersebut diatur dalam pasal 289 KUHP yang berbunyi “barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau dibiarkan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun. Perbuatan cabul yang dilakukan kepada seseorang yang pingsan atau tak berdaya diatur dalam Pasal 290 KUHP di pidana paling lama tujuh tahun penjara. Ayat (1) “ barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya orang itu pingsan atau tak berdaya” b. Perbuatan cabul dengan sesama jenis yang diketahui belum dewasa diancam dengan pidana penjara lima tahun. Diatur dala Pasal 292 KUHP. c. Perbuatan cabul dengan cara membujuk diatur dalam Pasal 290 KUHP dengan ancaman tujuh tahun penjara. d. Perbuatan cabul dengan cara tipu daya dan kekuasaan yang timbul dari pergaulan terdapat dalam Pasal 293 KUHP yang menentukan bahwa “barang siapa dengan hadiah atau dengan perjanjian akan memberikan



9



Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak



15



uang atau barang dengan memakai kekuasaan yang timbul dari pergaulan atau dengan memperdayakan, dengan sengaja membujuk orang dibawah umur yang tidak bercacat kelakuannya, yang diketahuinyaatau patut dapat disangkanya masih dibawah umur, melakukan perbuatan cabul dengan dia, atau membiarkan perbuatan cabul itu dilakukannya pada dirinya, dipidana dengan pdana penjara selama-lamanya lima tahun.10 e. Perbuatan



cabul



dengan



anaknya,



anak



tirinya,



anak



dibawah



pengawasannya yang belum dewasa terdapat pada Pasal 294 KUHP diancam pidana penjara tujuh tahun. f. Memudahkan perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya yang belum dewasa terdapat dalam Pasal 295 KUHP diancamlima tahun perjara dan diancam empat tahun penjara jika memudahkannya. g. Memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain sebagai pencarian atau kebiasaan terdapat Pasal 296 KUHP yang menentukan pidana penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu ripiah. 3. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencabulan Untuk menentukan seseorang bersalah telah melakukan perbuatan cabul yang melanggar Pasal 289, 290, 292, 293, 294, 295, 296 KUHP serta Undangundang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak maka harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :



10



Op cit. hlm 309



16



a. Barangsiapa Sebagian pakar berpendapat bahwa “barangsiapa” bukan merupakan unsur, hanya memperlihatkan si pelaku (dader) adalah manusia, tetapi perlu diuraikan lagi manusia siapa dan beberapa orang, jadi identitas “barangsiapa” tersebut harus dijelaskan. b. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan Artinya suatu perbuatan yang dilakukan dengan kekuatan badan yang berlebihan. Pasal 89 KUHP memperluas pengertian kekerasan sehingga memingsangkan atau melemahkan orang, disamakan dengan melakukan kekerasan. Ancaman kekerasan tersebut ditunjukan kepada wanita itu sendiri dan bersifat sedemikian rupa sehingga berbuat lain tidak memungkinkan baginya selain membiarkan dirinya untuk disetubuhi. c. Memaksa Perbuatan memaksa ini di tafsir sebagai suatu perbuatan sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa takut orang lain. d. Seseorang Merupakan individu yang mempunyai hak yang sama dengan lainnya dan berhak untuk hidup secara bebas dan mendapatklan perlindungan hukum. e. Melakukan perbuatan cabul Suatu perbuatan yang dilakukan terhadap orang lain akibat dorongan seksual yang ada pada diri untuk melakukan perbuatan cabul untuk memuaskan nafsu birahinya.



17



B. Konsep guru Guru merupakan seorang pengajar suatu ilmu. Dalam Bahasa Indonesia guru umumnya merujuk pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Sedangkan dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menjelaskan bahwa “Guru merupakan pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.11 Menurut Noor Jamaluddin, guru adalah orang dewasa yang bertanggungjawab memberikan bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu berdiri sendiri dapat melaksanakan tugasnya sebagai makluk Allah Khalifah di muka bumi, sebai makluk social dan individu yang mampu berdiri sendiri. Menurut peraturan pemerintah, guru adalah jabatan fungsional, yaitu kedudukan yang menunjukan tugas, tanggungjawab, wewenang dan hak seorang PNS dalam suatu organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan keahlian atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri.12 Menurut keputusan Menteri Pendidikan, guru adalah pegawai negeri sipil yang



11



Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (http://pengertian.guru.setimartina.blogspot.co.id) diakses 6 maret 2018



12



18



diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab oleh pejabat untuk melaksanakan pendidikan disekolah. Dari pengertian diatas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa guru tugas dan fungsi guru sebagai berikut : a. Guru sebagai mendidik artinya guru adalah pendidik yang menjadi tokoh dan panutan bagi para peserta didik dan lingkungannya. b. Guru sebagai pengajar artinya peran guru sebagai pengajar dan pembimbing dalam kegiatan belajar peserta didik dipengaruhi oleh berbagai factor seperti motivasi. c. Guru sebagai pemimpin artinya mempunyai kepribadian yang baik dan ilmu pengetahuan yang luas. d. Guru sebagai pengelolah pembelajaran artinya guru harus menguasai berbagai metode pembelajaran. e. Guru sebagai model dan teladan artinya guru menjadi sorotan peserta didik dan apa yang dilakukan guru akan diikuti oleh peserta didiknya jadi guru diharapkan memiliki kepribadian yang baik. f. Guru sebagai anggota masyaraat artinya guru diharapkan untuk berperan aktif dalam pembangunan segala bidang yang sedang dilakukan. g. Guru sebagai penasehat artinya menjadi seorang penasehat bagi peserta didik dan juga bagi orang tua, meskipun mereka tidak memiliki latihan khusus sebagai penasehat dan dalam beberapa hal tidak dapat berharap untuk menasehati orang.



19



h. Guru sebagai pendorong kreativitas artinya guru dituntut untuk kreatif dalam mengajar peserta didik. Selain tugas dan peran, guru juga mempuyai kode etik tersendiri yakni : 1. Kewajiban beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2. Menjunjung tinggi hokum dan aturan yang berlaku. 3. Mematuhi norma dan etika susila. 4. Menghormati kebebasan akademik. 5. Melaksanakan tridarma perguruan tinggi. 6. Menghormati kebebasan mimbar akademik. 7. Mengikuti perkembangan ilmu. 8. Mengembangkan sikap obyektif dan universal. 9. Menghargai hasil karya orang lain. 10. Menciptakan kehidupan sekolah/kampus yang kondusif. 11. Mengutamakan tugas dari kepentingan lain. 12. Pelanggaran terhadap kode etik guru dan dosen dapat dikenai sanksi akademik, administrasi dan moral.



20



C. Konsep Anak Berdasarkan pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang “Perlindungan anak” pengertian anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.13 Sehingga anak yang ada dalam kandungan ibu atau yang belum lahir kedunia telah mendapatkan suatu perlindungan hukum. Pengertian anak memiliki arti yang sangat luas, anak dikategorikan menjadi beberapa kelompok usia, yakni masa anak-anak ( berumur 0-12 tahun), masa remaja (berumur 13-20 tahun) dan masa dewasa (berumur 21-25 tahun).14 Namun disini penulis berfokus pada anak yang dalam masa anakanak (berumur 0-12 tahun). Pada masa kanak-kanak,



anak cenderung



memiliki sifat meniru perilaku dari orang-orang terdekatnya yakni keluarga, teman dan guru disekolah. selain itu dalam masa ini sifat emosionalnya masih sangat tinggi dan susah untuk dikontrol. Pada masa ini pula anak-anak mulai mencari teman sebaya dan mulai berhubungan dengan orang-orang yang ada di lingkungannya lalu mulailah terbentuk pemikiran mengenai dirinya sendiri. Selain itu pada masa ini juga perkembangan anak dapat berkembang secara cepat dalam segala bidang baik itu perubahan tubuh, perasaan, kecerdasan, sikap sosial dan kepribadian. Berbicara tentang anak tentu tidak terlepas dari hak-hak yang dimiliki anak itu sendiri. Hak tersebut tertuang dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2014



tentang



Perlindungan



Anak



13



yang



menjelaskan



bahwa



upaya



Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak (https://www.google.co.id/pengertian-anak-dibawah-umur) di akses pada 18 februari 2018 14



21



perlindungan anak berdasarkan Pancasila dan berlandaskan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 serta prinsip-prinsip Konvensi Hak anak yang meliputi : a. Non diskriminasi b. Kepentingan yang terbaik bagi anak c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, perkembangan dan penghargaan kepada pendapat anak.



D. Kriminologi 1. Pengertian Kriminologi Kriminologi berasal dari kata “crimen” yang memiliki arti sebagai penjahat atau kejahatan dan kata “logos” yang mempunyai arti ilmu pengetahuan. Jadi kriminologi dalam bahasa Indonesia adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang penjahat dan kejahatan. Pertama kali istilah kriminologi digunakan oleh seorang antropologi Prancis yang bernama Paul Topinard istilah yang digunakan adalah antropologi criminal.



Menurut



Sutherland,



kriminologi



adalah



seperangkat



pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena social, termasuk didalamnya proses pembuatan undang-undang, pelanggaran undang-undang dan reaksi terhadap pelanggaran undang-undang dan reaksi terhadap pelanggaran undang-undang. Kriminologi berorientasi pada: pertama, pembuatatan hukum yang dapat meliputi telaah konsep kejahatan, siapa pembuat hukum dan faktor-



22



faktor yang harus diperhatikan dalam pembuatan hukum. Kedua, pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat meliputi siapa pelakunya, mengapa sampai terjadi pelanggaran hukum tersebut, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Ketiga, reaksi terhadap pelanggaran hukum melalui proses peradilan pidana dan reaksi masyarakat.15 W. A. Bonger berpendapat bahwa kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. Kriminologi



berkaitan



dengan



ilmu



hukum



pidana,



dalam



hal



penanggulangan kejahatan dengan menetapkan rumusan kejahatan, memberikan sanksi pada pelaku kejahatan.



2. Teori-teori Sebab Kejahatan Didalam kriminologi dikenal adanya beberapa teori yang dapat dipergunakan untuk menganalisis permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan kejahatan. Teori-teori tersebut pada hakikatnya berusaha untuk mengkaji dan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan penjahat dan kejahatan. Namun untuk menjelaskan hal tersebut tentunya terdapat hal-hal yang berbeda antara teori satu dengan teori yang lain. a. Teori Psikoanalisa16 Teori



psikoanalisa



tentang



kriminalitas



menghubungkan



delinquent dan perilaku criminal dengan suatu “conscience” (hati nurani) yang baik dia begitu menguasai sehingga menimbulkan 15



Lilik Mulyadi. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. Kriminologi dan Viktimologi. Djambatan Jakarta, hlm 54 16 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2017 Kriminologi. PT RajaGrafindo Persada. Depok. hlm 50



23



perasaan bersalah atau ia begitu lemah sehingga tidak dapat mengontrol dorongan-dorongan si individu, dan bagi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi segera. Sigmund Freud, penemu dari Psychoanalysis, berpendapat bahwa kriminalitas mungkin hasil dari “an overactive conscience” yang menghasilkan perasaan bersalah yang berlebihan. Freud menyebut bahwa mereka yang mengalami perasaan bersalah yang tak tertahankan akan melakukan kejahatan dengan tujuan agar ditangkap dan dihukum, dengan begitu perasaan bersalah mereka akan mereda. Seseorang melakukan perilaku yang terlarang karena hati nurani, atau superegonya begitu lemah atau tidak sempurnah sehingga egonya (yang berperan sebagai suatu penengah antara superego dan id) tidak mampu mengontrol dorongan-dorongan id (bagian dari kepribadian yang mengandung keinginan dan dorongan yang kuat untuk dipuaskan dan dipenuhi). b. Teori penyimpangan budaya (cultural deviance theories)17 Teori ini memandang kejahatan sebagai seperangkat nilai-nilai yang khas pada lower class (kelas bawah). Artinya menyesuaikan diri dengan system nilai kelas bawah yang menentukan tingkah laku di daerah-daerah kumuh (slum areas), menyebabkan benturan dengan hukum-hukum masyarakat. Teori ini juga berargumentasi bahwa masyarakat kita terdiri atas kelompok dan sub-kelompok yang



17



Ibid hlm 57



24



berbeda, masing-masing dengan ukuran benar dan salahnya sendiri. Tingkah laku yang diangkap normal di satu masyarakat mungkin dianggap menyimpang dimasyarakat lain. Akibatnya, orang-orang yang menyesuaikan diri dengan standar budaya yang dipandang menyimpang sebenarnya telah berlaku sesuai dengan norma mereka sendiri, tetapi dengan melakukan hal tersenut mungkin ia telah melakukan kejahatan (yaitu norma-norma dari kelompok dominan). Jadi penyimpangan itu tidak selalu berarti buruk/jahat, namun hanya berbeda. c. Social control18 Para penganut teori ini menerima bahwa pencurian dapat dilakukan oleh siapa saja, bahwa kenakalan juga bias dilakukan oleh siapa saja, bahwa penyala gunaaan obat-obatan juga dapat dilakukan oleh siapa saja. Pertanyaannya mengapa orang-orang masih mentaati norma? Jawabannya adalah bahwa anak anak muda dan orang dewasa mengikuti hukum sebagai respon atas kekuatan pengontrol tertentu dalam kehidupan mereka. Mereka menjadi criminal ketgika kekuatan yang mengontrol tersebut menjadi lemah atau hilang. Teori control social memfokuskan diri pada teknik-tenik dan strategi-strategi yang mengatur tingkahlaku manusia dan membawa pada penyesuaiaan atau ketaatan kepada aturan-aturan masyarakat. Menurut E. A. Ross, salah satu bapak sosiologi Amerika, system



18



Ibid hlm 87



25



keyakinanlah (disbanding hukum-hukum tertentu) yang membimbing apa yang dilakukan orang-orang dan yang secara universal mengontrol tingkah laku, tidak perduli apa pun bentuk keyakinan yang dipilih. d. Teori NKK19 Teori ini merupakan teori terbaru yang mencoba menjelaskan sebab terjadinya kejahatan di dalam masyarakat. Teori ini sering dipergunakan oleh apparat kepolisian di dalam menanggulangi kejahatan dimasyarakat. Menurut A S. Alam bahwa rumusan teori ini adalah N + K1 = K2



Ket : N K1 K2



: Niat : kesempatan : Kejahatan



3. Faktor penyebab terjadinya perbuatan cabul20 a. Faktor internal Faktor internal adalah faktor-faktor yang terdapat dalam diri individu. Faktor ini khusus dilihat pada diri individu dan hal-hal yang mempunyai hubungan dengan kejahatan seksual. 1. Faktor kejiwaan



19



(http://raypratama.blogspot.co.id) diakses 16 maret 2018



20



(http://www.academia.edu/Faktor-faktor-Terjadinya-Kejahatan-Seksual-pada-Anak ) diakses 28 september 2018



26



Kondisi kejiwaan atau keadaan diri yang tidak normal dari seseorang dapat mendorong seseorang melakukan kejahatan. Misalnya nafsu seks yang abnormal dapat menyebabkan perbuatan cabul bahkan sampai pada pemerkosaan terhadap korban anak-anak dengan tidak menyadari keadaan diri sendiri. Psikologi (kejiwaan) seorang yang pernah menjadi korban perbuatan cabul dan/atau pemerkosaan sebelumnya seperti kasus Emon yang kejiwaannya telah terganggu sehingga ia kerap melakukan kejahatan seksual pada anak. 2. Faktor Biologis Pada realitanya kehidupan manusia mempunyai berbagai macam kebutuhan yang harus dipenuhi. Kebutuhan biologis itu terdiri atas tiga jenis, yakni kebutuhan makan, kebutuhan seksual dan kebutuhan potensi. Kebutuhan akan seksual sama dengan kebutuhan-kebutuhan lain yang menuntut pemenuhannya. 3. Faktor Moral Moral merupakan faktor penting untuk menentukan timbulnya kejahatan. Moral sering disebut sebagai filter terhadap munculnya perilaku yang menyimpang. Perbuatan cabul, disebabkan moral pelakunya yang sangat rendah. Seperti kasus yang terjadi di Kota Kefamenanu yakni seorang guru yang berinisial HLN tega mencabuli 30 siswa didiknya sendiri.



27



b. Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada diluar diri si pelaku. 1. Faktor social budaya Meningkatnya kasus-kasus kejahatan asusila atau perkosaan dan/atau pencabulan terkait erat dengan aspek social budaya. Akibat modernisasi berkembanglah budaya yang semakin terbuka dan pergaulan yang semakin bebas. 2. Faktor Media Massa Media



massa



kehidupan



merupakan



seksual.



sarana



Pemberitahuan



informasi



didalam



tentang



kejahatan



pencabulan, pemerkosaan dan lai sebagainya sering diberitahukan secara terbuka dan didramatisasi umumnya digambarkan tentang kepuasan pelaku. Hal seperti ini dapat merangsang para pembaca khususnya orang yang bermental jahat memperoleh ide untuk melakukan pencabulan.



4. Upaya Penanggulangan Kejahatan Upaya penanggulangan kejahatan telah dilakukan oleh semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Banyak sekali caracara yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat hanya untuk memberi efek jera pada pembuat kejahatan.



28



Menurut E. H. Sutherland dan Cressey mengemukakan bahwa dalam crime prevention dalam pelaksanaannya ada dua metode yang dipakai untuk mengurangi frekuensi kejahatan, yakni : a. Metode untuk mengurangi pengulangan dari kejahatan Merupakan suatu cara yang ditunjukan kepada pengurangan jumlah residivis (pengulangan kejahatan) dengan suatu pembinaan yang dilakukan secara konseptual. b. Metode untuk mencegah the firs crime Merupakan satu cara yang ditujukan untuk mencegah terjadinya kejahatan yang pertama kali (the firs crime) yang dilakukan oleh seseorang dan metode ini juga dikenal sebagai metode prevention (preventif). Berdasarkan pendapat dapat dilihat bahwa upaya penanggulangan dapat dilakukan secara preventif dan represif. a. Upaya preventif Penanggulangan kejahatan secara preventif dilakukan untuk mencegah terjadinya atau timbulnya kejahatan yang pertama kali. Mencegah kejahatan lebih baik dari pada mencoba untuk mendidik penjahat menjadi lebih baik kembali, sebagaimana semboyan dalam kriminologi yaitu usaha-usaha memperbaiki penjahat perlu diperhatikan dan diarahkan agar tidak terjadi lagi kejahatan ulangan. Menurut Barnest dan teeters mengemukakan bahwa cara untuk menanggulangi kejahatan yakni :



29



1. Menyadari



bahwa



akan



adanya



kebutuhan-kebutuhan



untuk



mengembangkan dorongan-dorongan social atau tekanan-tekanan social dan tekanan ekonomi yang dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang ke arah perbuatan jahat. 2. Memusatkan perhatian kepada individu-individu yang menunjukan potensialitas criminal atau social, sekalipun potensialitas tersebut disebabkan gangguan-gangguan biologis dan psikologis atau kurang mendapatkan kesempatan social ekonomis yang cukup baik sehingga dapat merupakan suatu kesatuan yang harmonis. b. Upaya represif Merupakan



suatu



upaya



penanggulangan



kejahatan



secara



konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan. Penanggulangan dengan upaya represif dimaksudkan untuk menindak para pelaku kejahatan sesuai dengan perbuatannya serta memperbaikinya kembali agar mereka sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat, sehingga tidak akan mengulanginya dan orang lain juga tidak melakukannya mengingat sanksi yang akan ditanggungnya sangat berat. Dalam upaya ini tentunya tidak terlepas dari system peradilan pidana, yang dimana dalam system peradilan pidana paling sedikit terdapat 5 (lima)



sub-sistem



yakni



kehakiman,



kejaksaan,



kepolisian,



pemasyarakatan, dan pengacara, yang merupakan suatu keseluruhan yang terangkai dan berhubungan secara fungsional.



30



Upaya represif dalam pelaksanaannya dilakukan pula dengan metode perlakuan (treatment) dan penghukuman (punishment). 1. Perlakuan (treatment) Perlakuan berdasarkan penerapan hukum, menurut Abdul Syani yang membedakan dari segi jenjang berat dan ringan suatu perlakuan yakni : a. Perlakuan yang tidak menerapkan sanksi-sanksi pidana, artinya perlakuan yang paling ringan diberikan kepada orang yang belum terlanjur melakukan kejahatan. Dalam perlakuan ini, suatu penyimpangan dianggap belum begitu berbahaya sebagai usaha pencegahan. b. Perlakuan dengan sanksi-sanksi pidana secara tidak langsung, artinya tidak berdasarkan putusan yang menyatakan suatu hukum terhadap si pelaku kejahatan. Adapun yang diharapkan dari penerapan perlakuan-perlakuan ini ialah tanggapan baik dari pelanggar hukum terhadap perlakuan yang diterimanya. Perlakuan ini dititikberatkan pada usaha pelaku kejahatan agar dapat kembali sadar akan kekeliruannya dan kesalahannya serta dapat kembali bergaul di dalam masyarakat seperti sedia kala. 2. Penghukuman (punishment) Jika ada pelanggar hukum yang tidak memungkinkan untuk diberikan perlakuan (treatment), mungkin karena kronisnya atau terlalu beratnya kesalahan yang telah dilakukan, maka perlu diberikan



31



penghukuman yang sesuai dengan perundang-undangan dalam hukum pidana. Oleh karena Indonesia sudah menganut system pemasyarakatan, bukan lagi system kepenjaraan yang penuh dengan penderitaan, maka dengan system pemasyarakatan hukuman dijatuhkan kepada pelanggar hukum adalah hukuman yang semaksimal mungkin (bukan pembalasan) dengan berorientasi pada pembinaan dan perbaikan pelaku kejahatan.



32



E. Kerangka Berpikir



KRIMINOLOGI



PENCABULAN



FAKTOR PENYEBAB



UPAYA PENANGGULANGAN



GURU-SISWA



Penjelasan : Perbuatan cabul adalah salah satu perbuatan keji dan kotor yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang guru karena dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menjelaskan bahwa “ Guru merupakan pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Namun dalam kenyataanya berbanding terbalik dengan pengertian tersebut. Guru yang seharusnya mendidik dengan penuh tanggungjawab malah melakukan hal-hal yang tidak senonoh atau mencabuli siswa didiknya sendiri oleh karena itu penulis sangat tertarik untuk mengkaji kasus ini dengan melihat dari aspek kriminologinya yakni faktor apakah yang menyebabkan perbuatan cabul itu terjadi dan bagaimana cara menanggulangi perbuatan tersebut.



33



BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN



Dewasa ini banyak sekali kejahatan-kejahatan yang terjadi di Indonesia, mulai dari kejahatan pencurian, perampokan, pengeroyokan, perbuatan cabul dan bahkan sampai pada tahap pemerkosaan. Saat ini penulis membahas mengenai kejahatan perbuatan cabul yang marak diperbincangkan saat ini di wilayah kota kefamenanu. Perbuatan yang tidak terpuji itu dilakukan oleh seorang guru terhadap siswa didiknya sendiri, Sesuai hasil wawancara dengan dengan penyidik pembantu Briptu Syukur A. S. Djailape mengatakan ada 2 orang siswa yang dicabuli yakni anak MSN dan anak ADP.21 Dalam pemeriksaan pelaku mengakui perbuatannya pada Briptu Syukur bahwa pelaku melakukan perbuatan cabulnya sejak tahun 2016 sampai dengan 2017 namun pelaku lupa hari, tanggal dan bulan saat kejadian cabul itu terjadi. Pelaku menjelaskan bahwa pada tahun 2016 yang mana pelaku lupa hari tanggal dan bulan, pelaku menyuruh muridnya untuk setiap pagi harus mencium pipinya sebelum memulai aktifitas belajar mengajar. Selain itu pelaku juga sering menghukum korban dalam hal ini anak MSN dan anak ADP dengan cara mencium pelaku dan memeluk korban, saat itu korban masih berada didekat pelaku lalu pelaku memasukan tangannya kedalam rok



21



Wawancara dengan penyidik pembantu Briptu Syukur a. S. Djailape



34



seragam para korban dan tangan pelaku memegang kemaluan korban, pelaku melakukan hal tersebut dengan alasan karena korban tidak bisa membaca. Kemudian pada tahun 2017 yang mana pelaku juga melupakan hari tanggal dan bulan pada saat itu korban MSN datang bersama beberapa siswa lainnya, pelaku langsung memeluk korban dan mencium serta memegang kemaluan korban, setelah itu korban MSN langsung kembali ke kelasnya. Kemudian pelaku menarik lagi seorang siswa yang berinisial ADP, pelaku langsung memasukan tangan kedalam rok seragam dan memegang kemaluan korban, setelah itu korban langsung disuruh kembali kedalam kelasnya. Atas kejadian tersebutlah pelaku dilaporkan ke kantor Polres TTU untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Menurut pengakuan korban, anak ADP dan anak MSN bahwa memang benar dirinya mengalami perlakuan yang tidak senonoh dari pelaku sejak tahun 2016 saat itu korban duduk dibangku kelas II SD, bahwa hamper setiap hari pelaku berbuat bejat pada korban dan teman-teman korban. Kejadiannya bermula saat korban beserta murid lainnya berada didalam kelas, pelaku menyuruh siswa laki-laki keluar dari dalam kelas



untuk bersenang atau



beristirahat namun siswa perempuan tetap berada di dalam ruang kelas.22 Saat itulah pelaku melakukan aksi bejatnya yakni menyuruh satu atau dua siswa untuk masuk ke dalam kolong meja, kemudian pelaku menyuruh korban naik ke atas pangkuannya lalu pelaku mencium pipi kiri dan pipi kanan korban, kemudian membuka rok korban dan menurunkan celana dalam korban hingga 22



Wawancara dengan korban ADP dan MSN di SD GMIT Kefamenanu 4 pada tanggal 4 Desember 2018



35



pelaku memasukan tangannya sambil meraba-raba kemaluan korban. Saat penulis bertanya lagi korban mengatakan bahwa pelaku mencabulinya dengan cara “dia (pelaku) buka dia (pelaku) pu lelak (selangkangan) kemudian dia (pelaku) suruh saya (korban) duduk di dia (pelaku) punya pangku, terus dia (pelaku) buka saya (korban) punya rok dan celana dalam terus dia (pelaku) raba saya punya pepe (kemaluan) terus dia (pelaku) cium saya (korban) punya pipi kiri dan pipi kanan lalu dia (pelaku) ramas-ramas saya punya susu (payudara). Korban mengaku bahwa sering merasa kesakitan saat pelaku meramas-ramas payudaranya dan meraba-raba alat kelaminnya. Korban tidak pernah memberitahukan pada siapapun tetang kejadian tersebut karena takut, tidak ada guru satupun yang mengetahuinya selain korban dan siswa lainnya yang saat itu berada didalam kelas. Kejadian ini terungkap ketika korban telah naik ke kelas III SD. Karena kejadian itulah yang membuat penulis ingin mencari tahu faktor penyebab terjadinya perbuatan cabul dan upaya pemerintah dalam penanganan kasus tersebut.



1. Faktor Penyebab Terjadinya perbuatan Cabul Yang dilakukan Oleh seorang Guru SD GMIT Kefamenanu 4 Kabupaten Timor Tengah Utara Ada bermacam-macam kejahatan yang sering terjadi disekitar kita, baik itu kejahat secara fisik, psikis, seksual maunpun ekonomi tanpa kita sadari kejahatan tersebut dapat merugikan diri kita sendiri maupun orang lain, seperti yang terjadi di Kefamenanu, kejadian terbut menyita banyak



36



perhatian dari berbagai kalangan karena kejadian itu terjadi di tempat yang tidak seharusnya terjadi yakni di sekolah, sekolah merupakan tempat dimana seseorang dapat menuntut ilmu setinggi-tingginya. di sekolah kita dididik untuk menjadi seseorang yang berkelakuan baik namun di SD GMIT Kefamenanu seorang guru tega mencabuli siswa didiknya. Oleh karena itu berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan pelaku HLN, data yang didapat terkait faktor penyebab terjadinya perbuatan cabul yakni pelaku mengakui bahwa adanya perbuatan percabulan terhadap anak dibawah umur dan pelaku mengenali korban, pelaku mengaku bawasannya dia tidak sadar saat dia melakukan perbuatan cabul dikarenakan dirinya mengalami penyakit kelainan sejak awal bulan Oktober tahun 2014 tetapi dari pengakuan ini ada sedikit kejanggalan karena pelaku tidak memeriksa keadaannya ke dokter dengan alasan tidak memiliki biaya.23 Namun yang kita ketahui bahwa gaji guru setiap bulannya dipotong 2% dari penghasilan yang didapatnya per bulan untuk biaya kesehatan dan mereka diberikan kartu BPJS serta dokter keluarga yang dapat membantu mereka dikala sakit. Oleh karena itu menurut penulis pengakuan dari pelaku hanyalah sebuah alasan semata untuk meringankan hukuman yang akan dijalaninya. Menurut penulis mengenai pernyataan pelaku mengenai kelainan itu hanya dijadikan alasan semata untuk meringankan hukuman yang akan



23



Wawancara dengan pelaku HLN di Rutan Kefamenanu pada tanggal 5 Desember 2018



37



dijalaninya.



Pemikirann



penulis



mengenai



alasan



pelaku



yang



mengatakan dirinya mengalami kelainan hanya dijadikan sebagai alasan, dibenarkan oleh Kepala Kanit Unit Perlindungan Perempuan dan Anak, Brigpol ibu Arsi Kartiningsih pada saat diwawancarai pada jumaat 11 januari 2019, beliau mengatakan bahwa saat dirinya memeriksa pelaku, pelaku terlihat normal, selain itu dari pihak penyidik juga menghadirkan psikolog untuk membantu dalam pemeriksaan dan pelaku terbukti tidak mengalami kelainan/gangguan mental. Kata ibu Arsi kelainan yang dimaksudkan oleh pelaku berkaitan dengan hal-hal mistis yakni adat, dalam pemeriksaan pelaku mengatakan bahwa setelah isterinya meninggal dunia, dirinya salah menyelesaikan adat karena adanya beberapa tata cara adat orang belu yang harus diselesaikan stelah istri/suami meninggal dunia yakni lobu tali artinya potong tali sepotong sebelum penguburan sebagai tanda melepaskan kepergian sang istri/suami. Koro metan artinya melepaskan duka setelah jangka waktu sekitar 40 hari terhitung tanggal kematian namun pada kenyataannya pelaku tidak melakukan kedua adat tersebut selain itu juga pada saat istrinya meninggal dunia pelaku diberikan oleh keluarganya sebotol minuman adat untuk diminum saat itulah pelaku mengaku bahwa setelah dirinya meminum minuman tersebut, pelaku tidak dapat mengontrol setiap perilakunya oleh karena itulah pelaku melakukan perbuatan cabul tanpa disadari.24



24



Wawancara dengan Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak, Brigpol Ibu Arsi



38



Berdasarkan penjelasan diatas penulis meranik kesimpulan bahwa ada dua faktor penyebab terjadinya perbuatan cabul yakni : faktor internal dan faktor eksternal : a. Faktor Internal 1. Kebutuhan Seks Kebutuhan ini merupakan satu dari sekian banyak kebutuhan manusia yang harus dipenuhi, mungkin bagi sebagian orang kebutuhan ini tidaklah penting namun bagi pelaku kebutuhan akan hubungan seksualitas adalah salah satu kebutuhan



terpenting



yang



harus



dipenuhi.



Umumnya



kebutuhan akan seksualitas merupakan kebutuhan primer. Pria selalu erat kaitannya dengan seks, bagi kebanyakan pria kebutuhan seks lebih penting dibandingkan dengan kebutuhan makanan, sudah menjadi perbincangan public bahwa sebagian besar pria selalu memikirkan seks setiap saat karena bagi mereka seksualitas mempunyai kenikmatan tersendiri. Sesuai



hasil



wawancara



dengan



pelaku,



penulis



menemukan beberapa fakta bahwa pelaku memulai aksi cabulnya ketika istrinya telah tiada atau dapat dikatakan telah meninggal dunia. Saat istri pelaku meninggal dunia mereka telah memiliki 6 orang anak yakni 5 orang anak perempuan dan 1 orang anak laki-laki. Pelaku melakukan perbuatan bejatnya



Kartiningsih pada jumat 11 Januari 2019



39



dikarenakan tidak terpenuhinya kebutuhan seks sehingga pelaku menyalurkan hasrat seksualitasnya kepada orang-orang yang berada disekitarnya dan orang-orang tersebut merupakan siswa didiknya sendiri.



2. Unsur Sakit Hati Sakit hati merupakan tumpukan emosi yang terakumulasi dan melibatkan perubahan perilaku seseorang dari yang ceria menjadi sedih dan bahkan dari seorang yang memiliki perilaku baik bias berubah menjadi seorang yang jahat. Emosi juga bias berujung pada tindakan kekerasan yang merugikan arang lain, efek lainnya dapat timbul dalam bentuk pikiran buruk yang mengarah baik kedalam maupun keluar diri. Menurut hasil wawancara pelaku HLN mengaku bahwa dirinya merasa sangat kehilangan karena ditinggal mati oleh sang istri dan juga merasa bahwa dirinya tidak mampu untuk membesarkan ke 6 orang anaknya itu.25 Sehingga dirinya berniat untuk mencoba mencari pengganti istrinya yang mampu mendidik dan merawat anak-anaknya serta menjadi pendamping hidupnya. Namun apa daya, niatnya itu kandas ditengah jalan kerena orang yang dianggap mampu menjadi pendamping



25



Hasil wawancara dengan pelaku HLN di rutan kefamenanu



40



hidupnya dan menjadi ibu pengganti bagi anak-anaknya itu menolak lamarannya tersebut. Ketika



pelaku



menceritakan



hal



tersebut



pelaku



mengatakan bahwa dia merasa sakit hati dan mengganggap bahwa Tuhan tidak adil pada dirinya, mengapa Tuhan memberikan cobaan yang begitu berat pada dirinya. Sakit hati yang mendalam mampu membuat seseorang tidak berpikir secara jernih, sakit hati tergolong emosi negative yang dapat berpengaruh terhadap perilaku individu (pelaku) dalam proses pengambilan subuah keputusan. Sakit hati juga dapat dipahami sebagai sebuah keadaan dimana pelaku tidak merasa senang karena dilukai hatinya (ditolak cintanya, dihianati, dihina dan lain sebagainya). Pelaku mengatakan bahwa sejak awal perkenalan, dirinya sudah menyimpan rasa simpatik pada sang pujaan hati yang juga berprofesi sebagai guru, waktu itu istri pelaku belum meninggal dunia namun sudah mulai sakit-sakitan sehingga pada saat itu pelaku pelaku masih menahan diri untuk mendekati pujaan hatinya karena dia menyadari bahwa dirinya masih memiliki seorang istri yang mesti dirawat, disayangi dan dijaga dengan penuh kasih sayang tetapi setelah istrinya meninggal dunia pelaku pun mencoba untuk mendapatkan hati sang pujaan hati, tetapi takdir berkata lain pujaan hatinya tidak mencintai dirinya. Karena cintanya ditolak pelakupun merasa



41



sakit hati dan tanpa berpikir panjang pelaku melampiaskan hasrat seksualitasnya pada siswa yang berada didekatnya.



3. Faktor moral Ketika penulis bertanya pada pelaku apakah dia pernah mengalami kekerasan seksual semasa kecilnya? Namun pelaku membantah hal tersebut, dia mengatakan bahwa dirinya tidak pernah mengalami kekerasan seksual semasa kecil tetapi pelaku mengakui bahwa ketika cintanya ditolak dia tak dapat menyalurkan hasratnya sehingga pelaku melampiaskan pada orang



yang



berada



disekitarnya.26



Pelaku



juga



tetap



mempertahankan bahwa dirinya mengidap penyakit kelainan namun pelaku tidak mengetahui secara jelas penyakit kelainan apa yang dideritanya sejak awal bulan Oktober 2014 silam. Penulis sempat berpikir bahwa pelaku mengidap penyakit kelainan



pedofilia



yakni



keinginan



atau



hasrat



untuk



berhubungan seksual hanya pada anak kecil, orang-orang yang mengidap kelainan ini akan merasa sangat puas jika melakukannya dengan anak kecil. Namun pada kasus ini penulis tidak yakin jika pelaku mengidap penyakit pedofila karena pelaku mengakui bahwa ketika penyakit itu kambuh, pelaku tidak mampu menahan diri untuk melakukan perbuatan cabul



26



Hasil wawancara dengan pelaku HLN



42



kepada



orang-orang



yang



berada



di



sekitarnya,



tanpa



memikirkan siapa yang ada di sekitarnya baik itu anak kecil atau orang dewasa dia akan melakukan perbuatan cabul, karena profesinya adalah seorang guru sekolah dasar dan kesehariannya hanya



bersama



dengan



anak-anak



kecil,



akhirnya



dia



melampiaskannya pada siswa tersebut. Pendapat penulis ini dibenarkan oleh Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak, Brigpol ibu Arsi Kartiningsih pada saat diwawancarai jumaat 11 januari 2019. Sesuai dengan pembahasan penulis sebelumnya. Penulis merasa bahwa moral yang dimiliki pelaku sangatlah rendah, seharusnya pelaku menunjukan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku didalam masyarakat. Pelaku yang merupakan seorang guru seharusnya memiliki moral yang baik untuk dijadikan teladan bagi setiap siswa tetapi pelaku malah menunjukan perilaku yang tidak senonoh atau dapat dikatakan pelaku memiliki moral yang buruk atau amoral. Moral merupakan salah satu faktor penting yang sering diajarkan di rumah, gereja dan di sekolah, tidak perduli seberapa pintarnya seseorang namun yang lebih diutamakan adalah moral yang baik. Karena moral yang baik akan memajukan bangsa dan Negara tetapi amoral akan menghancurkan segalanya.



43



4. Faktor Keinginan Keinginan manusia merupakan segala sesuatu kebutuhan yang ingin dipenuhi oleh seseorang, namun keinginan tidak bersifat mengikat dan tidak memiliki keharusan harus terpenuhi. Keinginan juga merupakan suatu dorongan dari dalam diri seseorang untuk memiliki, mendapatkan dan melakukan sesuatu, keinginan berbeda dengan kebutuhan, kebutuhan adalah hal yang wajib dan harus dipenuhi. Sesuai dengan hasil penelitian, penulis menemukan adanya keinginan oleh pelaku dimana rasa untuk melampiaskan hasrat seksualitasnya. Dibuktikan dengan hasil yang ditemui dilapangan yakni pelaku melakukan aksinya hampiar setiap harinya, hal tersebut sudah menunjukan bahwa adanya keinginan untuk melakukan perbuatan bejat tersebut. Anak yang seharusnya disayangi malah dijadikan sebagai tempat pemuas nafsu birahinya.



b. Faktor eksternal Sesuai hasil wawancara dengan kepala sekolah Margaretha Banu, Spd membenarkan bahwa pelaku merupakan Guru Kelas II B, pelaku bekerja di sekolah dasar GMIT Kefamenanu 4 sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 201727. Ibu margaretha mengatakan bahwa siswi sering sekali meminta uang dari pelaku



27



Wawancara dengan kepala sekolah Margaretha Banu, Spd



44



selain itu siswi merasa senang digendong oleh pelaku, beliau menilai bahwa perilaku pelaku itu dianggap biasa-biasa saja oleh siswa/siswi sehingga mereka selalu mencari keberadaan pelaku dan pelaku pun memanfaatkan kesempatan tersebut. Menurut ibu Hana E. Ratuwalu, S.pd. SD selaku wakil kepala sekolah sekaligus merangkap sebagai guru kelas VI B mengatakan bahwa pelaku sering menggendong, memangku dan mencium siswanya namun ibu Hana E. Ratuwalu tidak mengetahui maksud terselubung dari si pelaku, semuanya berpikir bahwa perbuatan pelaku merupakan hal yang biasa-biasa saja karena pelaku memang terlihat dekat dengan anak kecil dan sayang kepada anak-anak sehingga tidak ada yang menyadari perbuatan cabul pelaku tersebut28. oleh karena berdasarkan pembahasan diatas penulis membagi beberapa faktor ekternal pendukung terjadinya perbuatan cabul yakni : 1. Faktor lingkungan Situasi dan kondisi yang mendukung pelaku saat melakukan aksi bejatnya dalam hal ini pelaku memiliki kesempatan maka terjadilah perbuatan cabul tersebut dalam hal ini kurangnya pengawasan dari pihak sekolah. Selain itu juga salah satu warga (tetangga) yang tidak ingin namanya disebutkan



mengatakan



28



bahwa



dirinya



juga



terkejut



ibu Hana E. Ratuwalu, S.pd. SD selaku wakil kepala sekolah sekaligus merangkap sebagai guru kelas VI B



45



mendengar berita bahwa HLN merupakan pelaku perbuatan cabul. Karena dimata warga sekitar pelaku adalah orang yang ramah, baik dan berpendidikan jadi pelaku tidak mungkin melakukan perbuatan tersebut, karena pemikiran tersebut pelaku beranggapan perbuatan bejatnya tidak akan diketahui oleh siapapun. 2. Faktor Informasi mengenai organ seks Artinya kurangnya pengetahuan tentang pentingnya menjaga organ seksualitas sejak dini dalam hal ini orang tua serta guru masih menganggap bahwa memberitahukan mengenai organ seksualitas kepada anak-anak adalah hal yang tabuh yang tidak boleh dibicarakan kepada anak dibawah umur. Sehingga dewasa ini banyak terjadinya tindakan bejad yang sering dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab salah satu contohnya seperti yang dilakukan oleh HLN. Oleh karena pandangan tersebutlah pelaku mengambil kesempatan untuk melakukan aksinya, pelaku berpikir bahwa aksinya tidak akan diketahui oleh siapapun, karena anak didik yang dicabulinya belum mengerti apapun. Menurut penulis cara pandang masyarakat bahwa tidak boleh membicarakan mengenai seksualitas didepan anakanak adalah



suatu hal yang salah, seharusnya anak-anak



46



sudah harus diberitahukan sejak dini mengenai pentingnya menjaga organ seksualitasnya. Sehingga adank tersebut dapat mengetahui dan memahami dengan baik bagian-bagian mana saja yang tidak boleh dijamah oleh siapapun terkecuali, orang tua, dokter dan saudara demi kepentingan kesehatan anak tersebut. 3. Faktor Media Masa Dewasa ini banyak sekali tersebar video-video porno yang menyebar dimana-mana terkhususnya di sosial media. Sesuai hasil yang penulis temui dilapangan yakni pelaku sering



menggunakan



sosial



media



(facebook)



milik



almarhumah istrinya. Saat ini banyak sekali pemberitahuan mengenai kejahatan seksual yang tersebar dimana-mana, salah satunya difacebook. Dalam pemberitahuan tersebut banyak



kata-kata



yang



telah



didramatisir



umumnya



digambarkan tentang kepuasan pelaku. Hal ini akan merangsang para pembaca terkhususnya para pelaku kejahatan beransumsi



untuk



melakukan



bawasannya



aksi



sebelum



bejatnya. pelaku



Penulis



melakukan



perbuatan bejatnya, pelaku sudah membaca bahkan sampai pada menonton hal-hal yang berbau ponografi sehingga merangsang pelaku untuk melakukan hal tersebut karena



47



bagi orang yang telah menikah hal yang berbau pornografi adalah hal yang biasa dan merupakan kebutuhan.



2. Upaya penanggulangan oleh aparat penegak hukum terhadap pelaku perbuatan cabul yang dilakukan oleh seorang guru SD GMIT Kefamenanu 4, Kab. TTU



a. Upaya Preventif Dalam menanggulangi sebuah kejahatan tentulah dibutuhkan kerja sama anrat team, begitu juga dalam pencegahan kasus ini, sudah banyak sekali yang dilakukan oleh pihak aparat hukum untuk mencegah timbulnya kejahatan terkhususnya kejahatan perbuatan cabul. Sesuai hasil wawancara dengan kanit PPA mengampaikan bahwa dari puhak sosial telah melakukan penegakan hukum, selain itu dari pihak kepolisisan bekerja sama dengan Dinas Sosial dan Dinas pemberdayaan untuk melakukan sosialisasi terkait dengan kasus-kasus kejahatan seksual dan sosialisasi tersebut telah dilakukan setiap tahunnya demi mencegah timbulnya kejahatan baru.29 b. Upaya represif Upaya ini dilakukan untuk menangani pelaku sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya sekaligus menegakan hukum yang



29



Wawancara dengan Kanit PPA ibu Arsi Kartiningsih



48



telah dibuat. Berbicara tentang penegakan hukum tentunya kita tidak terlepas dari kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Sesuai hasil wawancara dengan kepala sekolah ibu Margaretha Banu, Spd menyampaikan bahwa pada tanggal 28 september 2017 pukul 01:00 wita wali kelas VA ibu Albina Amfoang Spd menyita sebuah kertas yang berisikan perbuatan bejat pelaku. Penyitaan kertas tersebut bermula dari kelas VA gaduh (ribut) dan siswa-siwi tidak fokus dalam pembelajaran, para siswa hanya sibuk menulis surat yang berisikan perbuatan bejat pelaku. Saat surat itu dibaca, wali kelas VA terkejut dan melaporkan pada kepala sekolah pada tanggal 29 September 2017, setelah kepala sekolah mengetahuinya pelaku pun dipanggil untuk ditanyai kebenaran namun saat itu pelaku menyangkal segala pertanyaan yang dituduhkan pada diri. Pelaku dipanggil untuk kedua kalinya tertanggal 1 oktober 2017 namun pelaku tetap menyangkal bahwa pelaku tidak pernah melakukan perbuatan bejat seperti mana yang dituduhkan pada dirinya, hingga sampai pada panggilan yang ketiga tertanggal 5 oktober 2017 pelakupun mengakui segalanya, beliau mengatakan bahwasannya dirinya melakukan perbuatan cabul tersebut pada siswa didiknya.



Setelah itu pelakupun dilaporkan ke Yayasan,



tertanggal 6 oktober 2017 pelaku ditari kembali keyayasan dan yayasan pun menyerahkan pelaku pada dinas, setelah itu pelaku dilaporan ke kepolisian.



49



Atas laporan tersebut pelaku ditangkap pada tanggal 21 November 2017 berdasarkan surat perintah penangkapan Nomor : SP-Kap/164/XI?2017/Reskim;30 1. Terdakwa ditahan dalam Rumah Tahanan Negara sampai dengan tanggal 11 Desember 2017. Setelah pelaku ditangkap, pelaku kemudian menjalankan serangkaiaan pemeriksaan terkait kasus perbuatan cabul tersebut. pelaku diperiksa oleh Briptu Syukur A.S Djailape NRP 89090633, jabatan selaku penyidik pembantu pada kantor kepolisian resort TTU, dalam pemeriksaan pelaku megakui segala perbuatan bejatnya namun dalam pengakuan tersebut terdapat pembelaan dari pelaku bahwasannya dirinya tidak pernah memberikan uang pada siswa/i untuk membujuk mereka agar dapat pelaku bisa melakukan perbuatan cabul, pelaku membenarkan bahwa memang benar adanya perbuatan cabul yang pelaku lakukan pada jam pembelajaran dan juga jam istirahat. Pelaku mengatakan bahwa pelaku memberikan hukuman pada siswanya yang tidak tahu membaca dengan cara mencabuli mereka. Kepala Unit PPA ibu Arsi Kartiningsih membenarkan bahwa korban perbuatan cabul berjulah kurang lebih 30 siswa dikarenakan pelaku melakukan aksinya sejak 2016 silam dan para korban sudah ada yang berada dikelas 3 SD. Namun dalam kasus ini hanya



30



Wawancara dengan Brigpol Ibu Arsi Kartiningsi_Kanit PPA



50



terdapat 2 korban yang memberanikan diri untuk melapor ke Polres TTU. Kedua korban tersebut dijadikan sampel karena menyinyat banyak korban yang tidak diiainkan oleh orang tuanya karena orang tua para korban beranggapan bahwa mereka akan menghancurkan nama baik keluarga, selain itu juga keluarga korban juga tidak ingin memperpanjang masalah perbuatan cabul ini karena ditakutkan psikologi korban terganggu dan korban tidak dapat bergaul seperti anak pada umumnya, selain itu juga orang tua korban menganggap bahwa dengan adanya kejadian tersebut dapat menjatuhkan nama baik keluarga. Setelah diperiksa berkas dan bukti yang diberikan kepada penuntut umum maka berdasarkan surat perintah pengkapan Nomor : SP-Kap/164/XI/2017/Reskrim: untuk perpanjangan penuntut umum sejak tanggal 12 Desember sampai dengan tanggal 20 januari 2018. Hasil wawancara dengan penuntut umum Kundarat Mantolas, SH. MH menyatakan bahwa sesuai hasil pemeriksaan dan bukti yang ada membenarkan adanya tindakan perbuatan cabul dan benar adanya pelaku perbuatan cabul tersebut adalah HLN oleh karena itu penuntut umum mengajukan tuntutan pada pelaku sebagai berikut :31 1. Menyatakan pelaku HLN terbukti bersalah melakukan tindak pidana “Perbuatan cabul terhadap anak dibawah umur” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 82 ayat



31



Hasil wawancara dengan Penuntut Umum Kundrat Mantolas, SH.,MH



51



(2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana telh didakwakan; 2. Menjatuhkan pidana terhadap pelaku HLN dengan pidana penjara selama 12 tahun dikurangi selama pelaku ditahan, dan dipidana denda sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) subsidir pidana kurungan selama 6 (enam) bulan dengan perintah pelaku tetap ditahan. 3. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah). Hakim ketua bapak Decky Arianto Safe Nitbani, SH.,MH menyatakan bahwa dalam persidangan pelaku HLN didampingi oleh penasihat hukumnya Adelcy J. A. Teiseran, SH Atvokat Ketua Pos Bantuan



Hukum



Advokat



Indonesia



(Posbakumadin)



Cabang



Kefamenanu yang berkantor di jalan Ahmad Yani. KM 2 Kefamenanu jurusan Atambua. Kelurahan Kefamenanu selatan. Kecamatan Kota Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara, berdasarkan surat kuasa khusus Nomor : 15/SK-PID/ADV.POSKUM/II/2018 tanggal 14 Februari 2018 yang telah didaftarkan di kepanitraan Hukum Pengadilan Negeri



52



Kefamenanu



Kelas



II



dibawah



register



Nomor



:



21/LGS.SRT.KHS/II/2018/PN Kfm, tanggal 21 Februari 2018;32 Hakim ketua mengatakan bahwa setelah mendengar pembacaan tuntuttan oleh jaksa penuntut umum sesuai yang telah disebutkan penulis sebelumnya dan mendengar juga nota pembelaan pelaku melalui penasihat hukum yang pada pokoknya menyampaikan bahwa : 1. Memohon kepada Majelis Hakim untuk berkenan melihat hasil analisa yurudis Penasehat Hukum pelaku agar pelaku dapat memperoleh keringanan hukuman. 2. Pelaku dalam persidangan selalu bersikap sopan sehingga tidak menyuliykan jalannya persidangan dan tidak pernah dihukum, 3. Terdakwa sudah cukup tua sehingga mohon ada pertimbangan hukum agar pelaku tidak mengakhiri hidupnya di dalam penjara, 4. Memohon agar putusan yang seringan-ringannya sesuai dengan perbuatan terdakwa, 5. Apabila Majelis Hakim Yang Mulia berpendapat lain mohon memberikan putusan yang seadil-adilnya berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa; Setelah hakim mendengarkan tuntutan dan



pembelaan serta



berdasarkan alat bukti maka hakim meimbang bahwa berdasarkan fakta dipersidangan pelaku memang benar melakukan perbuatan cabul terhadap kedua anak korban tersebut berulang-ulang atau lebih dari satu kali dalam



32



Hasil wawancara Hakim ketua bapak Decky Arianto Safe Nitbani



53



tempus delicti sesuai keterangan hampir setiap hari dilakukan yakti berkisar dari pukul 08:00 wita sampai dengan pukul 13:30 wita,perbuatan tersebut berlangsung sejak takun ajaran 2016 sejak korban duduk dibangku kelas II SD. Akibat dari perbuatan pelaku korban mengalami trauma dan sesuai data yang penulis dapat bawasannya korban dijauhi oleh tean-teman sebayanya dan dianggap yang terjadi pada diri korban meupakan sesuatu yang tabuh dan yang tidak boleh terjadi pada anak usianya. Dalam penyelesaian kasus ini korban didampingi oleh Satuan Bakti Pekerja Sosial Kemensos RI atas nama Patrius Iwan Ro, A.Md dan Yunita Jublina Sollo, A.Md agar psikologi korban tidak terganggu karena pengaruh dari lingkungan. Selanjutnya hakim memberikan pandangan bawasannya menurut ketentuan pidana sebagaimna dimaksud dalam pasal 82 ayat (2) Undangundang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan “dalam hal tindak pidana sebagaimna dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik atau tenaga pendidik, maka pidanya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimna dimaksud dalam ayat (1) disebutkan “setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimna dimaksud dalam pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).33



33



Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak



54



Dari uraian diatas Majelis Hakim berpendapat bahwa berdasarkan keterangan-keterangan saksi-saksi yang dijatuhkan penuntut umum didukung dengan keterangan terdakwa sendiri dan alat bukti lainnya, ternyata dipandang cukup memenuhi prinsip minimum pembuktian sebagaimna diatur dalam ketentuan pasal 184 KUHAP. Oleh karena semua unsur dari pasal 82 ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP, telah terpenuhi maka pelaku HLN terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “beberapa kali pendidik memaksa anak melakukan perbuatan cabul” sebagaimna didakwakan dalam dakwaan tunggal penuntut umum. Selain itu dalam perkara Perlindungan Anak disamping hukuman pidana juga dapat dijatuhi pidana denda, maka berdasarkan ketentuan pasal 82 ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, terhadap pelaku turut pula dijatuhkan pidana denda yang besarnya akan dipertimbangkan dan ditentukan dalam persidangan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Ketua Decky Arianto Safe Nitbani, SH.,MH Menyatakan Bawasannya didalam pemidanaan, Hakim diwajibkan pula menjamin dan melindungi hak pelaku/terdakwa.34 Tuntutan keadilan bukan saja menjadi kepentingan pihak korban atau kepentingan masyarakat saja tetapi juga merupakan kepentingan pelaku/terdakwa. Baik



34



Hasil wawancara dengan hakim ketua Decky Arianto Safe Nitbani, SH.,MH



55



dalam doktrin maupun peraturan perundang-undangan disebutkan bahwa tujuan pemidanaan untuk mengembalikan atau memulihkan pelaku kejahatan menjadi warga negara yang baik dan bertanggungjawab. Tujuan ini tidak hanya sebagai kewajiban Lembaga Permasyarakatan tetapi seharusnya sudah diperimbangkan pula pada saat penjatuhan pemidanaan oleh hakim. Oleh karena itu berdasarkan Hasil Putusan Nomor 15/Pid.Sus/2018/PN Kfm pertimbangan diatas Majelis Hakim mengadili sesuai ketentuan pasal 222 ayat (1) KUHAP haruslah dibebani pula untuk membayar biaya perkara dan memperhatikan pasal 82 ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP dan Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan sebagai berikut :35 MENGADILI : 1. Menyatakan terdakwa HLN alias Leki tersebut diatas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “beberapa kali pendidik yang memaksa anak melakukan perbuatan cabul” sebagaimna dalam dakwaan tunggal; 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh sebab itu dengan pidana penjara selam 20 (dua puluh) tahun dan denda sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda



35



Hasil putusan Nomor 15/Pid.Sus/2018/PN Kfm halaman 41



56



tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan; 3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalanin oleh terdakwa dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4. Menetapkan terdakwa tetap ditahan; 5. Membebani kepada terdakwa tetap membayar biaya perkara sejumlah Rp. 5.000,- (lima ribu rupih); Selanjutnya melalui pertimbangan bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap didalam pertimbangan korban anak ADP dan MSN masing-masing engalami kerugian dalam hal ini trauma yang dibuktikan ketika korban melihat pelaku mereka terlihat ketakutan dan menghindar dari hadapan pelaku. Awalnya korban menyembunyikan kejadian tersebut dari semua orang, namun dengan berjalannya waktu korban pun menceritakan perbuatan bejat pelaku pada saudara laki-lakinya yang juga bersekolah di tempat yang sama dengan dirinya, korban memberitahukan bahwa dirinya telah mendapat perlakuan yang tidak senonoh dari gurunya sendiri. Berdasarkan



peraturan



pemerintah



korban



berhak



untuk



mendapatkan restitusi sesuai pasal 1 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Konpensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban menjelaskan bahwa restitusi merupakan ganti kerugian yang diberikan kepada korban dan keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti



57



rugi untuk kehilangan atau penderitaan atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Namun dalam kasus ini korban tidak mendapatkan restitusi dikarenakan tidak adanya pengajuan dari korban dan/atau keluarga korban untuk mendapatkan restitusi. Sesuai hasil wawancara dengan jaksa penuntut umum Bapak Kundrat Mantolas, SH.,MH melalui telepon seluler menyatakan bahwa tidak adanya pengajuan dari pihak korban untuk mendapatkan restitusi dikarenakan pihak korban menganggap bahwa mereka tidak mengalami kerugian secara materil serta adanya pertimbangan kemanusiaan dari pihak korban yakni para orang tua/wali korban anak Adp dan MSN. Bagi mereka hukuman badan/fisik sudahlah cukup memuaskan36. Meskipun demikian seharusnya restitusi tidak boleh ditiadakan karena mengingat masa depan korban yang masih sangatlah panjang. Korban



seharusnya



mendapatkan



restitusi



setidaknya



dalam



hal



penanganan psikologi korban dengan tujuan mengembalikan rasa kepercayaan diri yang tinggi karena jika korban tidak ditangani dengan baik maka setelah korban dewasa, korban bisa saja berubah status menjadi pelaku perbuatan cabul. Selain itu juga penderitaan korban bisa berkepanjangan dan terkadang dapat menimbulkan gangguan kejiwaan misalnya korban mengalami trauma, depresi, kehilangan harga diridan bahkan korban mnejadi gila. Oleh sebab itu dalam kasus ini dibutuhkannya bantuan medis khusunya pada Psikolog atau psikiater



36



Wawancara dengan jaksa penuntut umum Kundrat Mantolas, SH.,MH



58



dalam penanganan sejak dini agar ingatan korban mengenai kejadian perbuatan cabul yang dialaminya dapat dilupakan sehingga timbullah kepercayaan diri.



59



BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Dari paparan sebelumnya, dapat diamabil kesimpulan sehubung dengan pokok permasalahan yang diteliti yakni sebagai berikut : 1. Faktor-faktor penyebab terjadinya perbuatan cabul oleh seorang guru yakni : a. Faktor Internal Ada beberapa faktor internal yang mempengaruhi terjadinya perbuatan cabul yakni : 1. Kebutuhan Seks artinya dalam hal ini pelaku tidak dapat menyalurkan hasrat seksualitasnya dikarenakan intrinya telah meninggal dunia akibatnya orang-orang yang berada disekitarnya yang menjadi tempat pelampiasan hasrat seksualitasnya dalam hal ini adalah siswa siswinya sendiri yang telah menjadi korban perbuatan bejatnya. Pelaku menggangap bahwa anak kecil tidak memahami apa pun jadi pelaku bisa melakukan apa saja yang diinginkannya. 2. Unsur Sakit Hati Artinya pelaku merasa sakit hati karena cintanya ditolak, namun tak ada yang menyangka bahwa ketika cintanya ditolak, pelaku akan melakukan perbuatan bejat.



60



3. Faktor Moral Pelaku memiliki moral yang rendah karena jika seseorang memiliki moral yang baik, ia tidak akan setega ini untuk melakukan perbuatan cabul pada siswa didiknya sendiri 4. Faktor Keinginan Karena adanya dorongan dari dalam diri dalam hal ini



pelaku



memiliki



keinginan



yang



besar



untuk



melankukan aksi bejatnya tersebut pada siswa didiknya sendiri. b. Faktor Eksternal Keseharian pelaku hanya bersama dengan anak-anak jadi dari situlah yang memicu timbulnya perbuatan cabul karena pelaku beranggapan bahwasannya anak kecil tidak mengerti apapun yang akan dilakukan pelaku pada diri mereka, yang diketahui oleh anak-anak bahwa pelaki melakukan perbuatan cabul tersebut karena pelaku sangat menyayangi mereka, oleh karena itu ada faktor eksternal yang mendukung terjadinya perbuatan cabul yakni : 1. Faktor Lingkungan 2. Informasih Mengenai Organ Seks 3. Faktor Media Masa



61



2. Upaya penggulangan oleh aparat hukum terhadap perbuatan cabul yang dilakukan oleh oknum gurur tersebut yakni ada 2 : a. Upaya preventif Yakni upaya ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kejahatan dalam hal ini kejahatan perbuatan cabul. Upaya ini dilakukan oleh pihak Kepolisisan Resort TTU bekerja sama dengan Dinas Sosoal dan Dinas Pemberdayaan untuk melakukan sosialisasi terkait seksualitas setiap tahunnya. b. Upaya Represif Sesuai



data



yang



penulis



dapat



bawasannya



pelaku



mendapatkan hukuman sesuai perbuatan yang dilakukannya yakni pelaku dipecat dan diadili sesuai pasal 222 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa pelaku harus dibebani pula untuk membayar biaya perkara dan memperhatikan pasa 82 ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta Peraturan Perundang Undangan lainnya yang bersangkutan.



B. Saran Adapun saran yang dapat penulis ajukan antara lain :



62



1. Selain sosialisasi dari pihak yang berwajib, sekolah juga dapat memberikan sosialisasi kepada siswa mengenai area mana saja yang tidak boleh dijamah oleh siapapun seperti payudara/buah dada, vagina/penis/alat kelamin, bibir, bokong/pantat, paha dan leher terkecuali dokter, orang tua, saudara dan juga diri sendiri dalam hal ini demi kesehatan anak itu sedndiri. 2. Bagi pihak kepolisian diharapkan jangan hanya memberikan sosialisasi setahun sekali tetapi miniman diprogramkan agar melakukan sosialisasi minimal sebulan sekali. 3. Di setiap kelas dipasang camera CCV agar proses pembelajaran selalu diawasi agar tidak terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. 4. Memberikan bimbingan ohani kepada seluruh civitas academik sesuai keyakinan yang dianut setiap orangnya. 5. Diberikannya restitusi pada korban dalam hal ini perawatan psikologi korban agar korban tidak merasa diasingkan dan juga mencegah terjadinya kejahatan baru.



63



ORGANISASI PENELITIAN



F. PELAKSANA PENEITIAN Nama



: Noning Rina Mantolas



NIM



: 1502010055



Semester



: VI (enam)



Penasehat akademik



: Norani Asnawi, SH.,M.H



Jurusan



: Hukum Pidana



G. PEMBIMBING Pembimbing 1 Nama



: Heryanto Amalo, SH. MH



Nip



: 19651130 199203 1 002



Pembimbing II Nama



: Adrianus Djara Dima, SH. M.Hum



Nip



:19660407 199005 1 001



64



DAFTAR PUSTAKA



Buku-buku dan Literatur Hukum Abdul Haris Semendawai, 2017. Potret Perlindungan Saksi Dan Korban. Bogor. Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban. Anonymuous, 2015. Pedoman penulisan skripsi Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana. Kupang. Irianto Sulistyowati & Shidarta, 2009, Metode Penelitian Hukum, Yayasan Pustaka Obor, Jakarta. Lilik Mulyadi. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. Kriminologi dan Viktimologi. Djambatan Jakarta. Maya Hehanusa dan Sulistyanta. 2016. Kriminlogi Dalam Teori dan Solusi Penanganan Kejahatan. Yogyakarta. Absolute Media. Modul Sekolah Aktivis Perempuan Muda Moerti Hadiati. 2014. Diktat Penologi Dan Viktimologi. Malang. Fakultas Hukum Universitas Merdeka Prof. Suryana. 2010. Metodologi Penelitian, e-book Suratman & Dillah Philips, 2014, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung. Syarifi Pipin, 2000. Hukum Pidana Di Indonesia, Pustaka Setia. Bandung Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2017, Kriminologi, PT Rajagrafindo Persada, Depok.



65



Dokumen perundang-undangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Dokumen tambahan (Internet) (https://www.pengertian-pencabulan) di akses pada 18 februari 2018 (https://www.pengertian-anak-dibawah-umur) di akses pada 18 februari 2018 (http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Sulistiyaningsih.) hlm 18 di akses 3 maret 2018



(http://pengertian.guru.setimartina.blogspot.co.id) diakses 6 maret 2018 (http://raypratama.blogspot.co.id/teori-sebab-kejahatan) diakses 16 maret 2018 (http://www.academia.edu/Faktor-faktor-Terjadinya-Kejahatan-Seksual-padaAnak ) diakses 28 september 2018



66