Novel Nadi (R) A PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

NADI(R)A



NADI(R)A



Pimpinan Produksi : Irkham Farid Aldar Sekretaris : Diyanti



Tim Fiksi Koordinator : Dian Paramesty Ken Utami Ana Risqiana Diyanti Anggota : Fahmi Fachri Fitri Indriana Nur Indah Sari Riski Mauliah Inayatul Ulya Hunik Kharamah Hafizh Dimas Syurur Ilmatul Ilahiyah Nur Nailil Izzah Mila Agustin



Tim Desain dan Ilustrasi Koordinator : Anis Rismayanti Anggota : Fina Jazalatun Nikmah



Mulyati Faiq Tasyrifil Huda



Tim Musik Koordinator : M. Imammudin Anggota : Nailis Sakinah Rifkhatul Khoeriyah Nur Iskandar Hening Sekar Arum Asep Kurniawan M. Aldi Fikriansyah



Tim Video Klip dan Film Koordinator : Irkham Farid Aldar Sari Amalia Anggota : Tira Pujiana Anisa Fitria Melani Eryana Dwi Rahmawati Siti Alfiatunisa Tuginah Faiqotus Sakinah Nizmatul Laely Ilmiyatul Afifah



Setya Ningrum Teguh Maolana Firna Maftukhah Kholisatul Khasanah Agusi Bela Stabita Akmal Rizkullah Firdaus M. Mustain Lutfi Hudayani Luluk Azizah



Kata Pengantar



Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Berkat limpahan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan penulisan novel berjudul Nadi(r)a. Dalam penyusunan novel ini semua penulis telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan masing-masing penulis. Namun sebagai manusia biasa, penulis tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan baik dari segi teknik penulisan maupun tata bahasa. Selain bertujuan untuk membangkitkan minat baca masyarakat umum, novel berjudul Nadi(r)a ini bertujuan memperkenalkan beberapa budaya Arab dengan kemasan yang ringan dibaca. Tujuan lainnya adalah sebagai sarana penyalur bakat mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pekalongan dalam mata kuliah Hukum Etika Media Massa Kelas A Tahun 2018/2019, baik dalam kepenulisan maupun beberapa hal yang mendukung seperti desain, musik, serta video. Kami menyadari tanpa arahan dari dosen pembimbing Bapak Ahmad Hidayatullah S.Sos.I.,M.Sos., serta masukan-masukan dari berbagai pihak, kami tidak mungkin dapat menyelesaikan novel berjudul Nadi(r)a ini. Untuk itu penulis menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang terlibat, sehingga kami dapat menyelesaikan novel ini. Semoga novel berjudul Nadi(r)a ini bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat dalam penertbitan dan khususnya para pembaca novel ini.



Pekalongan, Januari 2019



Tim Penyusun



PROLOG Seorang perempuan terlihat memejamkan mata cukup lama setelah selesai salam. Matanya perlahan meneteskan air mata. Kali ini pertahanannya goyah. Ia pikir dirinya tidak akan sekalut ini soal kelanjutan perjodohan dengan anak dari sepupu ayahnya. Sebelum ia mendengar percakapan dua orang di telepon yang terdengar dari balik pintu kamar di sampingnya. Memang dirinya dalam banyak hal tidak pernah mengalah. Tapi ia sangat dilema. Apa ia yakin jika dirinya yang harus menjadi istri seseorang yang belum dikenalnya dekat. Walaupun ia sudah tahu resiko tersebut dari dulu. Namun, tidak tahu jika semuanya seberat seperti saat ini. "Ya Allah, aku harus bagaimana? Tunjukkanlah jalan yang terbaik untukku. Aku tidak mau salah mengambil keputusan dan menyakiti siapapun." Suaranya lirih, matanya menatap sajadah hijaunya. Ia menunduk lebih dalam. Merasakan air matanya yang semakin mengalir deras. Bahkan peluh juga membasahi wajahnya, hingga basah kuyup. Ia kemudian kembali memejamkan mata, menopang wajahnya dengan kedua telapak tangannya sambil terisak. Ia sangat dilema. Pilihan apapun tidak terbesit dalam pikirannya sekarang. Ia belum bisa memilih. Ia tidak mau meninggalkan seseorang yang dia cintai ataupun mengorbankan kakaknya untuk menikah dengan pilihan ayahnya. Ia belum menemukan apapun. "Aku takut, ya Allah. Aku takut, jika aku salah. Aku takut jika aku menyesal. Berikanlah petunjuk-Mu dan yakinkan aku semua akan baik-baik saja." Suaranya sedikit serak karena terisak. Mukenanya terlihat sedikit basah karena air matanya yang kian deras. Suara sesenggukan juga terdengar keras saat malam yang sunyi ini. Ia berusaha keras agar tangisnya tidak terdengar oleh siapapun. Ia tidak ingin membuat siapapun khawatir, terlebih kepada kakaknya. Sedang di kamar lain, pundak seorang perempuan terlihat berguncang. Sesak menjalar pada seluruh tubuhnya. Deru nafasnya cukup terdengar dalam kesunyian malam ini. Berkali-



kali dadanya naik turun karena sesak yang semakin menikam. Ia tak tahu kalau akan seberat ini. Ia tak pernah merasakan sesesak ini karena dihadapkan pada sebuah pilihan. Ia berkali-kali mengusap air matanya dengan tisu, namun percuma, air matanya semakin mengalir deras. Sekarang hidung dan wajahnya juga semakin memerah, ia sangat berantakan. Mungkin besok pagi ia akan diberondongi banyak pertanyaan. Sekarang saja matanya sangat berat untuk dibuka, apalagi besok. Matanya sudah terlihat sangat sembab. Gulingnya bahkan sekarang sangat basah karena air mata yang terus mengalir sejak obrolannya di telepon dengan kekasihnya tadi. Ucapan yang terlontar dari mulut kekasihnya sangat mengganggu pikirannya. Ia mana mungkin mengorbankan adiknya untuk hal yang tidak sepele ini. Ia tak ingin mengiyakan apa yang telah diucapkan kekasihnya. Dalam tangisnya, ia terus berpikir. Ia tidak mau adiknya akan sehancur dirinya seperti sekarang. Ia tidak mungkin mengorbankan dua orang yang disayanginya. Namun dibaliknya, ia ingin egois. Ia ataupun adiknya sama-sama sadar, bahwa ia lah yang sering mengalah untuk adiknya. Sekali ini ia sangat ingin egois. Tapi bagaimanapun, ia merasa tidak akan setega itu. 000 Sebuah gang besar di daerah terkenal itu ditutup sejak kemarin lusa. Janur kuning melengkung sempurna terpasang mengapit pintu masuknya. Siapapun yang melihat papan nama pengantinnya akan tahu, ini adalah pernikahan satu marga. Suara musik gambus samar terdengar hingga ujung gang. Mobil-mobil beraneka plat berderet rapih di sisi kiri. Tapi sebuah mobil berwarna lemon itu justru berhenti di seberang gang. Sudah satu jam. Namun pengemudinya tidak beranjak. Memandang nanar gang yang sebenarnya biasa ia lewati itu. Kedua tangannya memegang erat-erat kemudi, menyalurkan segala emosi yang memenuhi benak. Seharusnya ia yang menikahi perempuan itu. Perempuan yang sejak dulu ia cintai. Perempuan yang tawanya selalu memenuhi mimpi-mimpinya. Harusnya ia yang mengucapkan ijab kabul itu tadi pagi, menjabat erat tangan ayahnya, memberikan mahar terbaik yang ia punya. Harusnya ia yang mengulurkan tangannya untuk dicium perempuan itu. Harusnya ia yang mengusap air mata haru yang membasahi pipi gadis itu. Hanya ia. Bukan laki-laki pilihan Ibnu. Atau bahkan laki-laki lain.



Siapa yang mengatakan tiada hasil yang menghianati usaha? Siapa? Siapa sialan yang mengatakan itu? Kepalan tangan laki-laki itu terayun, memukul kemudinya hingga buku-buku tangannya terasa sakit. Pikiran warasnya melarang keras segala rencana jahat seperti merubuhkan tenda ataupun membunuh mempelai prianya. Tidak. Bukan begitu cara seorang gantleman mencinta. Tapi apalah gunanya jika kewarasannya itu sudah terenggut lebih dari separuhnya. Dibukanya pintu mobil dan ditutupnya dengan satu sentakan keras. Tungkaitungkai kakinya melangkah, menyebrangi jalanan yang cukup sepi. Ia berjalan lambatlambat, mencoba menghitung presentase kewarasannya sendiri, sekaligus menghitung tindakan apa yang akan dilakukannya dengan sisa kewarasannya itu. 000



01



Siang itu matahari terasa panas. Suara bising kendaraan memenuhi jalan pantura yang padat merayap. Mobil dan truk-truk memenuhi jalan. Motor-motor mencoba mencari celah. Salah satunya sebuah motor yang dikendarai dua sejoli itu. “Kita makan siang dimana ya? Sekalian neduh,” kata si laki-laki sambil memberhentikan kendaraannya karena lampu lalu lintas menyala merah. “Terserah sih,” jawab si perempuan keturunan Arab yang duduk di belakangnya. “Eh, coba lihat. Wajah siapa tuh, kok panas gini masih cantik?” si perempuan melongokkan kepalanya ke spion motor. Ia tersenyum. “Oh itu sih wajah Nadia, pacarnya pak Sigit Prayogi.” Yogi tertawa, sambil menjalankan sepeda motornya ketika lampu lalu lintas menyala hijau. “Di dekat alun-alun itu yuk!” ajak Yogi. Nadia pun menganggukan kepalanya. Mereka berjalan menuju tempat makan setelah memarkirkan motor di depan Plaza Pekalongan. Mereka memilih duduk lesehan di bawah pepohonan yang rindang, sehingga suasana asri pun ikut berpartisipasi melupakan kebisingan kota yang tidak pernah sepi. Yogi langsung memesan makanan, sementara Nadia duduk sambil memainkan ponselnya. Tidak lama kemudian Yogi kembali dan duduk di samping Nadia. “Lagi apa sih, sibuk banget sama ponselnya?” tanya Yogi. “Eh nggak kok, cuma biar nggak bosen aja. Udah pesen pok?” jawab Nadia dengan logat khas Pekalonganya. “Iya udah, bentar lagi paling. Gimana bimbingan skripsinya hari ini Di?” tanya Yogi. Nadia Alkaff, gadis yang usianya dua tahun lebih muda dari Yogi itu kini tengah disibukkan dengan skripsinya. Mereka memang tidak satu kampus, ditambah Yogi sudah mulai bekerja setahun belakangan, membuat pertemuan mereka sedikit berkurang. Hari ini akhirnya mereka bisa bertemu walau hanya sekadar makan berdua.



“Alhamdulillah lancar, dosen pembimbingnya baik, baru di kirim pesan langsung disuruh datang. Padahal ada loh yang lagi nungguin sampai berjam-jam terus habis itu dosennya sedang tidak ingin bimbingan. Haha kasian banget ya!” kata Nadia sambil tertawa. “Terus kamu gimana Gi?” sambungnya. “Iya kerjaanku juga lancar kok. Doain ya aku bisa cepet diangkat jadi PNS,” jawab Yogi. “Amin..,” timpal Nadia. “Omong-omong kamu udah sampai bab berapa? Jangan sampai bilang banyak yang di revisi ya.. anak rajin kok skripsinya mengulang terus,” kata Yogi sedikit meledek. “Iya pak guru. Tinggal nerusin bab 3 kok, yah walau memang kenyataannya banyak yang diulang, tapi kalo kita semangat dan terus berusaha semuanya tidak membebankan kok. Kan dosen pembimbingnya baik, jadi semuanya tetep lancar. Lagian di dunia ini tidak ada kesuksesan tanpa melalui kegagalan. Bener kan?” kata Nadia panjang lebar. “Iya bener, kamu kan selalu benar,” jawab Yogi sambil tertawa kecil. “Ada salahnya, dan kamu harus bisa membenarkan yang salah dari aku,” kata Nadia. “Iya siap. Hehe,” jawab Yogi sambil hormat layaknya hormat kepada Sang Saka Merah Putih. Tak lama, makanan mereka pun datang. Nadia dan Yogi mulai melahap makanannya. Namun tampak terlihat gelisah di raut wajah Yogi sesaat setelah mengecek ponselnya. “Kamu kenapa Gi?” tanya Nadia. “Nggak papa kok. Emang ada apa?” tanya Yogi kembali kepada Nadia. “Kayak gelisah? Apa ada masalah dengan pekerjaanmu?” “Nggak sih, cuma aku lagi kepikiran saja. Besok tuh anak-anak didik aku ada imunisasi dan harus disuntik. Aku takut mereka nangislah, histeris atau bahkan kabur,” terang Yogi. Nadia mengangguk paham. “Yaampun Gi, gitu aja sampai gelisah. Jangan-jangan dulu kamu juga takut ya sama jarum suntik?” ledek Nadia dengan kerling mata jahil.



“Eh ya nggak lah. Cuma kalau lihat anak-anak nangis nggak tega saja,” terang Yogi. Laki-laki di hadapannya ini memang sesayang itu terhadap kanak-kanak. Itu sebabnya dia mengambil jurusan pendidikan guru sekolah dasar dulu. Dan setelah mengabdi selama setahun, Yogi kini sudah diangkat menjadi PNS. “Yaudah berarti kamu harus meyakinkan anak-anak didik kamu bahwa imunisasi itu penting untuk mencegah penyakit yang berbahaya dan menular. Terus habis itu kamu kasih hadiah deh. Anak-anak kan seneng kalo dikasih hadiah, entah itu lolipop, biskuit dan sebagainya,” tutur Nadia sambil tersenyum kepada Yogi. Penjelasan Nadia yang disertai senyumannya itu benar-benar menggetarkan hati Yogi. Dalam hati ia yakin bisa mempertahankan hubungannya, namun disisi lain ia sadar hubungannya dengan Nadia tidaklah mudah. Karena keluarga Nadi pasti tidak akan menerima Yogi kerena berbeda golongan serta adat yang harus dilakukan. Namun Yogi tetap berusaha mempertahankan hubungannya yang telah lama mereka jalani. Apapun yang terjadi dalam hati Yogi telah bertekad untuk tetap mempertahankan Nadia. Walaupun entah bagaimana akhir dari kisah yang akan terjadi nanti. “Yogi! Yogi!” suara Nadia membuyarkan lamunan Yogi. “Eh iya Di? Kamu ngagetin ah!” Laki-laki itu tidak sadar telah melamun cukup lama. “Habis kamu tiba-tiba berhenti makan, terus senyum-senyum. Ada apa sih? Mikir apa coba?” tanya Nadia. “Nggak kok, nggak ada apa-apa,” jawab Yogi sembari tersenyum. “Kalo ada apa-apa bilang. Entah itu pekerjaan, skripsi atau yang lainnya. Aku siap kok mendengar semua keluh kesahmu,” jelas Nadia sembari tersenyum pula kepada Yogi. “Iya Arab, makasih ya,” “Sama-sama, Gi. Tapi benar nggak ada masalah dengan pekerjaanmu?” sambung Nadia “Benar kok nggak ada. Semua lancar. Cuma..,” terang Yogi dengan lagak misterius. “Tuh kan. Cuma apa? Pasti ada masalah kan? Kenapa nggak bilang aja sih?” serbu Nadia kesal.



"Iya ada sih masalahnya pas aku kerja. Dan kamu tau masalahnya itu sulit banget.," kata Yogi "Apaan Gi? Sama kepala sekolah?" tanya Nadia dengan cemas. "Bukan!" jawab Yogi. "Terus? Kamu itu yah tinggal bilang aja kenapa sih? Sebel banget," kata Nadia, kembali kesal karena Yogi berbelit-belit. "Masalahnya tuh kalau lagi kerja tiba-tiba kangen aja sama kamu. Terus bayangan kamu muncul di hadapan aku. Jadi nggak konsen deh ngajarnya," jawab Yogi, tersenyum lebar. "Ya Allah Gi. Apaan sih kamu, lebay banget. Nggak perlu segitunya. Lagian sejak kapan kamu bisa gombal dan alay gitu? Coba bilang siapa yang ngajarin?" kata Nadia sambil mengetuk pelan piring Yogi dengan sendoknya. "Hehe, ada kalanya orang yang teoritis dan kritis itu humoris dan romantis. Iya kan?" jawab Yogi enteng. "Iya deh, iya," kata Nadia sambil tersenyum. Sebelumnya Nadia tidak menyangka Yogi bisa mengeluarkan kata-kata yang jarang sekali ia ungkapkan. Karena memang Yogi dikenal pendiam, cerdas dan berpikir kritis. Rasanya Nadia saat itu ingin selalu tersenyum namun ia malu ketahuan Yogi. Akhirnya mereka pun kembali menikmati makan siang masing-masing. Saat tengah menikmati makan siang, tiba-tiba ada seorang wanita tua mencari botol serta barang-barang bekas yang masih layak untuk di ambil. Ia berjalan dengan membawa kantong dan kayu untuk mengorek barang-barang di tempat sampah. "Kasihan ya, seharusnya masa tuanya itu duduk di teras sambil menyaksikan cucunya bermain," kata Nadia usai pemulung itu mulai menjauh. "Iya, tandanya ibu itu masih kuat," sambung Yogi. "Hebat yah, tapi kasihan," kata Nadia sambil pandangannya mengikuti pemulung itu pergi.



"Udah kita lanjutin makannya," kata Yogi. "Harusnya kita belikan makanan buat ibu itu, tapi udah jauh. Tadinya kita tahan ibunya," kata Nadia menyesal. "Kalau gitu, kita doain aja semoga ibu itu selalu sehat dan dipermudah mendapat rizkinya," terang Yogi. "Iya, amin," jawab Nadia. Suasana hening dalam beberapa detik.. "Nadi, kamu itu dewasa, cantik baik lagi. Kira-kira kalo ibuku kenal kamu pasti bahagia banget," kata Yogi mencairkan suasana yang hampir hening itu sembari menghabiskan makanannya. "Ibuku pasti benar-benar seneng kalo dia tahu bakal punya menantu yang pinter, rajin, cantik terus apa ya?" lanjut Yogi dengan ekspresi sedikit berpikir. "Ah kamu mah sukanya ngerayu mulu," jawab Nadia. "Tapi bener kok, masa iya aku bohong sama calon istri aku?" lanjut Yogi. Nadia yang saat itu sedang minum ia tiba-tiba berhenti dan wajah agak ragu karena perkataan Yogi yang ingin mengajaknya bertemu orang tuanya. Dalam hati Nadia ingin sekali bertemu dengan keluarga Yogi, namun juga sepertinya terlalu cepat. Walaupun memang hanya sekedar memperkenalkan kepada keluarga Yogi. Nadia takut hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Nadia tau posisinya sangat sulit. "Kedengarannya menarik dan juga menantang," Nadia tergagap. Ia menggigit bibir bawahnya. "Menantang? Kenapa?" tanya Yogi. "Ya.. iya. Karena kaya hal baru aja, aku bertemu keluarga kamu, keluargamu mengenal aku. Lalu mereka akan menganggap kita akan melangkah ke yang lebih serius. “Padahal kita baru skripsi, belum nanti bekerja," jawab Nadia panjang lebar namun sedikit salah tingkah. Karena memang saat itu Nadia belum siap untuk bertemu keluarga Yogi.



"Ya Allah Di, cuma ketemu ibu bapak aku aja kok. Lagian aku juga sering cerita ke ibuku tentang kamu. Katanya penasaran pingin ketemu Nadia," kata Yogi sambil tersenyum. Nadia hanya bisa terdiam, ia tidak tau harus jawab apa. Yang ia lakukan hanya menundukkan kepala. "Di?" pangggil Yogi "Kenapa?" sambungnya. Nadia tetap menundukkan kepala, ia tidak berani menatap Yogi. "Nadi?" suara Yogi makin keras serta menadahkan wajah Nadia yang terus menundukkan kepalanya. "Ada apa? Kok diam dan menunduk?" suara Yogi sedikit lebih halus. Tatapan Yogi kepada Nadia begitu dalam, membuat Nadia tidak bisa mengelak lagi dari perasaannya. "Aku takut, Gi," jawab Nadia dengan meneteskan air mata. "Ada apa? Takut kenapa?" tanya Yogi bingung disertai cemas. Saat itu Nadia tidak langsung menjawab. Tanpa sadar air matanya turun. "Di? Ada apa? Kok jadi nangis? Bicara saja ada apa?" tanya Yogi semakin cemas. Sementara itu Nadia tetap belum bisa menghentikan tangisnya. "Apa karena ajakanku untuk bertemu keluargaku kamu jadi nangis gini? Sebenarnya apa yang kamu takuti Di? Kamu tidak yakin tentang kita?" tanya Yogi. "Aku minta maaf, Di. seharusnya aku tidak perlu berkata seperti itu. Maafin aku," lanjut Yogi. Tangis Nadia semakin pecah. Hatinya serasa hancur. Entah harus bagaimana ia menjelaskan perasaannya kepada Yogi. Nadia takut jika Yogi akan kecewa. ∞∞∞



02



Dira memutuskan menikmati senjanya di Pantai. Ia duduk di atas sebuah batu besar. Desir pasir membuat sebagian telapak kakinya tenggelam, hangat. Sembari memandangi debur ombak yang beraturan. Dira tampak kesal. Setelah seharian menunggu di ruang dosen untuk menerima bimbingan tugas akhirnya, ternyata dibatalkan begitu saja. Dira mengembuskan nafasnya kesal. Beberapa menit berlalu, lamunan Dira terkacau dengan suara seseorang di belakangnya. “Percaya atau tidak, ice cream terbukti mampu melelehkan emosi seseorang. Jadi, ambilah ice cream ini sebelum ia meleleh sia-sia di genggamanku,” sebuah suara memecah keheningan disusul sebuah tangan menyodorkan ice cream kepada Dira. Dira menengok ke belakang dan sedikit terkejut saat mengetahui Tyo yang berada di sana. Sedikit senyum tampak di bibir mungilnya ketika mendengar ucapan Tyo. Namun Dira langsung menyembunyikannya kembali dan berharap Tyo tidak melihat senyumnya. Dira langsung mengambil ice cream di tangan Tyo, karena dia sangat menyukai ice cream cokelat. “Senyumnya nggak usah ditahan-tahan, nanti giginya sakit loh,” Tyo sudah terlanjur melihat senyum di pipi Dira dan kini mencoba menggodanya. “Apa sih, Yo. Pede banget kamu ngomong begitu,” Dira mencoba menutupi gengsinya. Seketika itu, sembari tersenyum Tyo menekuk kaki lalu menyelonjorkannya, duduk di atas batu bersama Dira. “Ice creamnya mau dilihatin aja sampai meleleh?” goda Tyo melirik ice cream di tangan Dira. “Ice cream ini kan sudah jadi milikku, jadi terserah aku dong,” jawab Dira ketus Tyo hanya membalasnya dengan senyuman. Dira mulai memakan ice cream cokelatnya, menikmati sensasi dingin dan manis di lidahnya. Dia sangat menyukai ice cream cokelat dan Tyo selalu tau kesukaan Dira. Tyo selalu bisa membuat moodnya mambaik. “Kamu ngapain disini, Yo? Ngikutin aku ya?”



Lagi lagi hanya senyum yang terlihat di bibir Tyo. “Yeee ditanyain kok cuma senyum,” Dira sedikit sebal dengan tingkah Tyo. Kali ini senyumnya berubah tawa kecil sambil memandang bibir Dira. “Kenapa malah ketawa?" matanya melirik Tyo dengan sinis. "Lap dulu nih biar nggak bikin ketawa," Tyo tersenyum sembari menyodorkan saputangan polos berwarna biru kepada Dira. Dira meraih ponselnya dan bercermin. Ternyata bibirnya belepotan. Ia mengambil saputangan dari Tyo dan sesegera mungkin mengelap bibirnya yang belepotan ice cream. Dira sangat malu. Jauh dalam benaknya, dia memastikan bahwa Tyo pasti menganggapnya sebagai gadis kecil yang jorok karena memakan ice cream dengan belepotan. "Kamu ngapain di sini Ra?" Tyo membalikkan pertanyaan itu ke Dira. "Aku harus jawab?" jawab Dira sembari melirik Tyo dengan rasa sebal. "Pertanyaan pasti butuh jawaban, kalau tidak jawab nanti kamu nggak dapat nilai dong,"Tyo tertawa kecil. Dira menahan tawanya hingga bibirnya sedikit bergetar. "Berarti tadi kamu dapet nilai nol dong, Yo? Kan kamu hanya menjawab soal dengan senyuman," bibir Dira berlahan mulai terbuka. Tawa itu sekarang berpindah ke Dira. Tyo selalu mampu membuatnya tersenyum hingga tertawa. Candaan mereka berlangsung cukup lama. Menghabiskan waktu senja mereka di depan gemuruh gelombang yang mengiringi di bawah langit jingga yang berlahan menggelap. "Tadi aku melihatmu di depan ruang dosen cukup lama, ada masalah dengan bimbingannya?" suara Tyo memulai topik pembahasan yang serius. "Ya begitu, Yo. Bukan cukup lama, tapi sangat lama. Hampir 2 jam aku menunggu dosen pembimbingku," jawab Dira. "Lalu? Gimana hasilnya?"



"Boro-boro hasil, aku diberi harapan palsu, Yo,"Dira masih saja kesal. Tyo tertawa melihat ekspresi Dira yang sewot dengan dosennya. Matanya mendelik dan bibir mungilnya manyun. "Kamu malah tertawa sih, Yo?" "Hehe, kamu imut sih," "Apa sih nggak jelas banget," Tyo selalu mampu melukis senyum di bibir Dira. Kata-kata Tyo yang terkadang tidak bermakna dan terkesan receh membuat Dira geli mendengarnya. Namun sebisa mungkin dia harus pandai menyembunyikan senyumnya. Dia tidak mau memberi harapan yang lebih kepada Tyo lewat senyumnya. Karena dia tau, jika rasa itu semakin tumbuh yang ada hanya akan menyakiti hatinya saja. Dira cukup mengenal Tyo. Semenjak ia kecil, Tyo selalu menemaninya bermain. Melukis senyum di bibir Dira bagi Tyo bukanlah hal yang sulit. Tetapi, Dira yang tidak pernah mau menunjukkan senyumnya. Dekat dengan Tyo semenjak kecil karena rumah mereka yang berdekatan membuat mereka sering bersama-sama. Tidak ada hubungan yang spesial antara keduanya. Namun, kedekatan ini membuat Dira merasa bahwa ada yang berbeda, ada perubahan dengan sifat Tyo. Mereka yang sama-sama tumbuh dewasa mampu merasakan perubahan itu dengan jelas meskipun tidak diungkap dengan gamblang. Dira selalu merasa nyaman berada di dekat Tyo. Begitu sebaliknya, Tyo sangat menyayangi Dira. Dira mampu merasakan rasa sayang Tyo kepadanya sebab dia telah bersahabat dengan Tyo sejak kecil. Namun,Dira pura-pura tidak mengetahuinya, Dia takut nantinya dirinya akan menyakiti Tyo. Dengan memberi harapan Dira akan menciptakan masalah baru. Masalah yang amat rumit nantinya. Itulah sebabnya Dira selalu menyembunyikan senyumnya. Sementara itu, Tyo selalu berusaha menunjukkan perasaan sayangnya kepada Dira. Perhatiannya, sikapnya, dan keberadaannya yang sewaktu-waktu muncul saat Dira sedang mendapat masalah. Tanpa sadar Tyo merasa setiap saat harus menjaga Dira. Jadi, kemanapun Dira pergi, Tyo mengikutinya. Meskipun tidak semua aktifitas Dira harus dia awasi. Itulah sebabnya, dimana Dira berada, Tyo selalu menemani. Meskipun demikian Tyo selalu berusaha menghargai Dira. Tyo tidak mau hubungan Dira dengan dirinya menjadi renggang karena perasaan yang dia miliki saat ini.



Obrolan mereka seketika Hening. Entah keduanya memikirkan apa sehingga tawa yang tadinya pecah kini menjadi suasana yang begitu sepi. "Skripsimu gimana? Sudah selesai?" tanya Dira mencoba memecah keheningan. "Alhamdulillah semua sudah beres Ra. Tinggal menanti wisuda saja," Tyo tersenyum kepada Dira. "Alhamdulillah. Rencana kamu habis ini mau ngapain, Yo?" "Mau cari pendamping hidup," Tyo menggoda Dira. "Hah? Serius kamu mau nikah?" tanya Dira dengan tatapan menyelidik. "Hahaha, kamu serius banget sih Ra?" "Aku bakal cari pendamping Ra, tapi setelah aku pantas menemui kedua orang tuanya," Dira tersenyum. Tanpa ingin tau lebih dalam ia memutuskan mengalihkan pembicaraan mereka. Dira takut kalau Tyo membicarakan tentang perasaannya. "Ohiya, Yo, gimana dengan bisnis keluargamu?" "Alhamdulillah berjalan lancar Ra. Penjualannya juga sudah menembus beberapa pasar dalam negeri. Ya walau belum begitu banyak sih," "Alhamdulillah, aku ikut senang dengarnya, Yo. Semoga diperlancar dan nantinya bisa tembus pasar Internasional ya, Yo," "Aamiin, makasih ya Ra," Dira mengangguk sambil tersenyum. Senja mulai tenggelam. Kini, gelap segera menjemput untuk menggantikan perannya. Hampir satu jam pembicaraan mereka berlangsung. Senyum serta tawa yang dicipta Tyo di pipi Dira menjadi saksi bahwa Tyo sangat menyayanginya. Begitupun Dira, dia merasa masalahnya hilang seketika. Hatinya terasa lega meskipun dia tau ini hanya sesaat, setelah pulang pasti dia memikirkan kembali masalahnya. Bagi Dira, Tyo adalah sahabatnya yang mampu menghiburnya dan menghilangkan masalahnya walau hanya sejenak. Hingga Dira tidak mau menyakiti hati Tyo sedikitpun. Namun, bagi Tyo, Dira adalah perempuan spesial



dan Tyo tidak menginginkan Dira hanya menjadi sahabat, dia menginginkan hal yang lebih dari sahabat. Meskipun Tyo tahu, tidak akan mudah untuk bersanding bersama Dira. “Ra, habis ini kamu mau kemana?” “Aku pulang saja, Yo. Sudah mau gelap juga nanti Abi marah kalau aku pulang malem-malem,” “Aku anterin kamu ya,” Dira hanya tersenyum, karena Dira tahu meski Tyo tidak berniat mengantarnyapun dia tetap melewati rumah Dira. Jadi otomatis Tyo mengantarnya sampai rumah. “Ayo Ra, bengong aja sih,” “Ehehe. Iya, Yo,” Dira masih tersenyum membayangkan perkataan Tyo yang ingin mengantarnya. Merekapun pulang bersama di atas jok yang berbeda. Dira memakai motor merahnya dan Tyo menaiki motor hitamnya. Langit senja lagi-lagi mengiringi perjalanan pulang mereka. ∞∞∞



03



Nadira dan Tyo sama-sama tinggal di sebuah daerah di Pekalongan yang dijuluki Kampung Arab. Hal ini disebabkan karena dulu, pendiri masjid pertama di daerah ini adalah seorang keturunan Nabi. Ia mengadakan pengajian-pengajian yang kemudian didatangi mulai dari masyarakat sekitar, hingga keturunan Arab dari berbagai daerah. Lalu perdagangan di sana mulai diisi oleh keturunan-keturunan Arab, sehingga dikenal sebagai kampung Arab. Karena memang sebagian besar penghuninya masyarakat keturunan Arab. Walaupun tidak semuanya. Seperti Tyo contohnya. Ia tinggal di daerah dan gang yang sama dengan Nadi, tapi bukan keturunan Arab. Ia dan keluarganya adalah pribumi yang memang berasal dari daerah ini. Tyo melajukan sepeda motornya pelan-pelan, mengekor di belakang motor merah Dira. Gadis itu hampir tidak pernah menjadi penumpang Tyo. Bahkan sejak mereka masih sama-sama kanak-kanak dan masih mengenakan sepeda. Dira lebih suka mengendarai sepeda atau motornya sendirian. Lebih bebas karena ketika kesal dan banyak masalah, Dira suka melampiaskannya dengan ngebut. Itu juga yang menyebabkan bekas jahitan menjadi tato abadi di mata kakinya. Dira tiba lebih dulu di depan sebuah rumah dengan gerbang putih setinggi kepala. Tyo datang dan terheran karena gadis itu tidak segera membuka pintu gerbang dan masuk seperti biasanya. “Kok nggak langsung masuk?” tanya Tyo, sambil menoleh ke belakang setelah mensejajarkan motornya di depan motor Dira. “Bentar lagi, mau chat Nadi dulu. Abi udah pulang belum ya.” Baru saja dibicarakan, sebuah suara mengejutkan mereka berdua. “Assalamu’alaikum.” Nada datar itu, Dira menelan ludah. “Wa’alaikumsalam,” Dira dan Tyo serempak menjawab. Disusul tatapan tajam Ibnu. Tyo tergopoh-gopoh turun dari motornya dan menghampiri Ibnu. Ia mengulurkan tangannya hendak meraih tangan ayah Dira. Tapi pria pertengahan empat puluh itu acuh saja.



“Masuk, dek. Sebentar lagi maghrib,” usai berucap seperti itu, Ibnu langsung membuka pintu pagar dan masuk ke dalam. Tangan Tyo dibiarkan saja mengambang di udara. Dira menatap laki-laki di hadapannya dengan tidak enak hati. “Maafin Abi ya, Yo. Kayanya beliau lagi capek,” ucap Dira lirih. Ia tahu sikap ayahnya membuat Tyo kecewa. “Iya aku ngerti kok. Ya sudah aku pamit pulang duluan Ra, sudah mau maghrib,” balas Tyo, mencoba tersenyum hangat untuk menyembunyikan rasa kecewanya. Dira mengangguk lirih, tidak tahu harus berucap apa. “Jangan lupa maghriban, ya. Assalamualaikum,” pamit Tyo sambil menyalakan mesin motornya. "Waalaikumsalam, hati-hati Tyo,” Setelah sholat maghrib berjamaah, Dira membantu Uminya menyiapkan makan malam di dapur. Sementara Kurniawati menghangatkan ayam balado di microwave sambil sesekali mengaduk sop di atas kompor, Dira menyiapkan alat makan di meja kecil lebar yang diletakkan di atas karpet lembut tidak jauh dari ruang televisi. Keluarga mereka memang lebih suka makan malam dengan duduk lesehan di atas karpet bermotif cantik itu. Jadi, meja marmer besar dengan kursi tinggi yang ada di dapur hanya digunakan saat mereka makan secara terpisah. Sarapan misalnya. Dira dan kakaknya punya kebiasaan sarapan sambil berebut sisa kopi yang mendingin dari gelas ayah mereka. Ibnu terkadang suka menyisakan setengah gelas kopi hitam bercampur kapulaga yang dibuatnya sendiri untuk menemaninya membaca koran. Namun setelah tahu kedua putrinya itu suka sekali berebut sisa kopinya, ia jadi suka membuat dua gelas, satu gelas untuk ia minum dan satu gelas lagi didiamkan hingga dingin khusus untuk mereka. Mungkin aneh. Tapi bagi Dira dan kakaknya, kopi hitam dengan rempah yang tidak terlalu banyak buatan Ibnu itu lebih enak ketika diminum setelah didiamkan hingga dingin. Sensasi dingin beserta hangatnya rempah amat mereka nikmati. Ah, mengingat kebiasaan itu Dira jadi menyesal karena pagi tadi ia harus berangkat pagi-pagi sekali, saat ayahnya baru saja menyalakan kompor untuk membuat kopi. Kakaknya yang paling senang karena satu gelas kopi itu diminumnya sendirian.



Ohiya. Kakak kok belum juga pulang? Dira tanpa sadar telah mengucapkan pertanyaannya. “Kakak kamu tadi izin sama Abi, ada riset katanya. Paling sebentar lagi pulang.” Jawab Ibnu di sela-sela makannya. Dira sendiri sudah selesai sementara Kurniawati— Ibunya—menyesap sedikit air putih dalam gelasnya sebelum menambahi, “Tapi ini udah malam banget, Bi. Coba telepon kakak, dek.” Dira mengangguk, ia membawa piringnya ke bak cuci, mencuci tangan dan mengeringkannya sebelum mengambil ponselnya di atas meja marmer. “Baterainya habis, Mi. Bentar, Adek ambil charger dulu di jok motor.” Pamitnya, setelah meraih kunci motornya yang ia gantung di atas kulkas. Dengan buru-buru ia melangkah ke bawah, menuju garasi. Ia berdendang kecil sembari mengambil kabel chargernya dari dalam jok motor maticnya. Saat hendak kembali naik, Dira tak sengaja menyaksikan kakaknya tengah bercengkerama dengan seorang pria di depan pintu pagar. Ia memicingkan mata, mencoba memperjelas



pandangannya.



Sadar



tengah



diperhatikan,



Nadi



segera



mengakhiri



percakapannya. Ia segera masuk ke dalam rumah tak lama setelah pria itu pergi. Kakaknya itu terkesiap mendapati Dira yang menatapnya tanpa ekspresi. Ia menelan ludah. Tapi adiknya tidak mengatakan apa-apa. Ia bahkan berlalu lebih dulu, tanpa menyapa Nadi seperti biasanya. Saat Nadi masuk, orangtua dan adiknya telah berpindah duduk di ruang keluarga. Samar-samar suara acara televisi terdengar, sesekali ibunya berkomentar. “Assalamualaikum, maaf Nadi pulang terlambat,” ucap Nadi sembari ikut duduk juga mengulurkan tangannya kepada Abi dan Uminya. "Waalaikumsalam," suami istri itu menjawab kompak. “Duduk, nak. Umi sudah buatkan teh hangat.” Menurut, Nadi duduk di sisi ayahnya. Menyesap pelan teh hangat buatan ibunya. “Makasih, Umi.” Katanya, sambil menatap ibunya yang duduk sambil mengusap pelan rambut panjang Dira. Adiknya lagi-lagi hanya diam mengamati acara televisi yang sedang berlangsung.



“Kakak sudah makan?” Nadi mengangguk pelan, ia memang sempat makan terlebih dahulu sebelum pulang. “Gimana risetnya, kak?” Nadi diam sebentar ketika ayahnya bertanya. “Hng.. Lancar sih, Bi.” “Emang kakak riset tantang apa sih?” Uminya menyambung, yang ditanya menelan ludah. Tanpa sadar Dira mendengus cukup keras. “Adek,” tegur Kurniawati, diiringi delikan tajam Ibnu kepada anak bungsunya. Dira meringis, “Adek ke atas dulu ya. Mau urus riset juga.” Pamitnya, menekankan dua kata terakhir yang sukses membuat kakaknya merasa tertohok. Kurniawati melongokkan kepalanya ke dapur saat terdengar bunyi dari teko putih cukup besar yang ada di atas kompor. Ia kemudian menatap anak sulungnya lembut. “Kakak mandi di kamar mandi dapur ya, Umi siapkan air hangatnya.” Gadis itu hanya mengangguk kemudian pamit ke atas untuk mengambil perlengkapan mandinya. Setelah mandi, Nadi berbincang sebentar dengan orang tuanya sebelum naik ke atas. Rumah mereka memang berlantai dua. Dengan garasi sebagai basement. Ruang tamu, kamar mandi, dapur, musholla dan kamar orangtua mereka di lantai pertama. Sedangkan lantai dua diisi dua kamar Nadi dan Dira, kamar mandi dan ruang baca. Nadi sengaja melangkah melewati kamarnya sendiri dan berhenti di depan kamar adiknya. Ditatapnya pintu kayu bercat putih itu cukup lama. Menimbang-nimbang akan mengetuknya atau tidak. Banyak yang perlu ia jelaskan pada gadis yang lahir dua menit setelahnya itu. Pada akhirnya diketuknya perlahan pintu tersebut, Nadi memanggil nama adiknya lirih. “Dek,” pintu terbuka, namun belum satu kalimatpun keluar dari bibir Nadi, Dira sudah lebih dulu menarik tangannya ke dalam kamar. Ditatap dengan begitu dalam oleh adiknya membuat Nadi terlihat gentar. Ia lalu menunduk.



“Kamu bisa bebohong dengan Umi dan Abi, tapi tidak denganku,” ucap Dira dengan nada tinggi dan perasaan kecewa terhadap kakaknya. Beruntung, kamar adiknya itu dirancang kedap suara sejak kebiasaan belajar Dira yang harus diiringi musik yang disetel keras terungkap. Itu juga yang membuat mereka dipisah, Nadi tidak bisa belajar jika bising. “Apa kamu lupa dengan janji kita dulu, kak,?” timpal Dira. “Iya, aku tidak bermaksud untuk membohongi Umi dan Abi. Tapi..,” jawab Nadi. “Tapi apa?” “Aku belum bisa menceritakannya ke Abi sama Umi,” Dira menatapnya tidak percaya. “Seriously? Mau sampai kapan kamu berbohong?” tanya Dira dengan nada tinggi. “Ingat, kamu itu bukan hanya berbohong tapi sudah melanggar perjanjian kita,” tambahnya. “Aku ingat perjanjian kita dulu. Tapi aku nggak bisa mencegahnya. Nggak ada yang bisa, Di." balas Nadi, ia menangis. Dira sendiri memilih memalingkan tubuhnya, memunggungi Nadi yang terisak. ∞∞∞



04



Perihal janji, kita hanya punya dua pilihan. Ingkari atau buktikan. Jam dinding berdetak lambat. Suaranya lamat-lamat terdengar syahdu. Namun tidak dengan detak jantung Nadi, justru bergemuruh. Tak berirama, bahkan tak beraturan. Langitlangit kamar Nadi kosong, hanya ada satu bolam lampu neon yang bergantung. Vas bunga diatas meja belajar Nadi masih berdiri seperti biasanya, menjejeri laptop yang acapkali nadi gunakan untuk menyelesaikan skripsinya. Dan ada yang ketinggalan, disudut meja kecil itu, foto kakak-beradik yang berpose berangkulan – tertawa terbahak, memakai seragam SMA yang masih terlihat baru ikut menambah harmoni kamar Nadi. Dira benar-benar kecewa dengan kakaknya. Tak lain juga dengan Nadi, perasaannya diluar kendali, tak terkondisikan. Nadi banyak diam malam ini. Mencerna tiap potongan adegan yang terjadi. Hanyut dalam lamunan, mengapa semuanya bisa sampai serumit ini. Ah, berbicara perasaan, itu tak se-simple yang dibayangkannya. “Coba saja, kita boleh memilih kehendak yang akan Allah berikan pada kita. Mungkin, hal serumit ini bisa saja kita ajukan permohonan pada Allah biar lebih dimudahkan persoalannya,” ucap Nadi dalam hatinya. Tapi mau bagaimana lagi, toh semuanya sudah diatur Yang Maha Esa. Mau tidak mau, suka tidak suka, mampu tidak mampu. Takdir akan terjadi.” Seketika dengan menikmati udara yang berhembus lewat jendela kamarnya, Nadi turut mengembuskan nafasnya. Sesekali terasa berat. Lalu, berulang kali Nadi melakuan hal yang sama. Ambil nafas, tahan – buang. Ada ingatan lama, yang tiba-tiba muncul dikepalanya. Sesuatu yang tidak sengaja dialewatkan, hanya karena perihal perasaan. Janji – antara dirinya, pun dengan adiknya. Lima tahun yang lalu Di sudut taman sekolah. Asri. Banyak pohon mangga, pucuk merah, dan tumbuhan kecil berpot menjadi sesuatu yang telah setia menempati posisi itu. Samping kiri, ada satu kursi panjang – terbuat dari besi yang dicat putih. Warnanya sudah terbilang tidak putih lagi, tapi mendekati crem, bukti kursi yang dianggap telah setia selama ini. Berteman



dengan hujan, angin, panas matahari, malam juga Nadi-Dira. Mungkin, beberapa tahun lagi – kursi itu akan berubah bentuk dan warna. Rapuh dan berkarat. Suara gelak tawa Nadi dan Dira memecah keheningan sudut taman sekolah tadi. Selepas makan siang, dan sela-sela menghabiskan jam istirahat. Mereka yang memang ditakdirkan lahir dari seorang ibu yang sama, tinggal di rumah yang sama, wajah yang hampir dikatakan sama – jika orang yang baru melihatnya, pasti akan bingung bagaimana membedakan antara keduanya. Dan tak lain lagi, mereka juga satu sekolah yang sama. Bedanya kali ini mereka tidak satu kelas. Meski begitu, mereka lebih sering menikmati waktu bersama. Bercerita bagaimana tadi sekolahnya, teman sekelasnya, guru yang mengajar sampai ibu kantin pun ikut terbawa dalam obrolan receh mereka. Sampai dari salah satunya mengingat, sebuah percakapan singkat Abi – Uminya. “Dek, masih ingat nggak?” ucap Nadi, yang terkesan masih menggantung. “Eh ingat apaan, kak? Hutang ibu kantin?” jawab Dira asal nyeletuk saja. Dia masih menikmati es krim coklat ditangan kanannya. Tapi, dari raut wajah Nadi, jelas menampakkan keseriusan untuk membahas hal yang satu ini. Dan sempat terjadi keheningan yang cukup lama diantantara keduanya. Selepas itu, keduanya saling menatap – tawa kecil pun muncul tanpa perlu dikomando-kan. “Kakak tau, bagaimanapun diusia kita. Tidak bisa dibohongi, perasaan suka ataupun kagum pada seseorang – maksudnya dengan teman pria, itu pasti ada. Manusiawi dek. Tapi, ingat pesen Abi-Umi ya, biar siapapun jodoh kita nanti dipilihkan mereka. Biar bisa meneruskan nasab keluarga kita.” Jelas Nadi. Perlahan Dira mulai mencoba mengolah apa yang dikatakan kakaknya, benar. Orangtuanya kelak akan menjodohkan mereka, entah dengan siapapun itu lelaki yang memang semarga dengan keluarga mereka. Dan siapa dia, bagaimana sosoknya itu masih menjadi rahasia Allah. Dan akan terbukti beberapa tahun mendatang. “Oke kak. Terus kita musti gimana ya kak?” respon Dira. “Kita buat perjanjian aja diantara kita dek, gimana?” lanjut Nadi. “Boleh kak, Dira manut deh sama kakak,”



“Diantara kita, nggak boleh ada yang pacaran sampai nanti . Biar abi sama umi yang milihin siapa pasangan kita. Itu juga untuk menjaga posisi kita sebagai putri Abi. Setuju nggak?” jelas Nadi, walaupan sebenarnya dia tahu – Adiknya, Dira jelas terlihat menyukai sahabatnya sedari kecil, siapa lagi kalau bukan Tyo. “Emmm.” Dira terlihat menimbang janji yang ditawarkan kakaknya, antara setuju atau tidak. Tapi, baiklah. Dira pikir, mungkin itu jalan yang dianggapnya paling baik. Toh sekarang dia merasa bukan anak kecil lagi, sudah saatnya hal semacam itu dia pertimbangkan. “Baiklah kak, Dira setuju,” nada suaranya lebih tegas, namun sebenarnya ada keraguan dibaliknya. Dan hal itu tertutup rapat dari pandangan kakaknya. “Oke, kalau begitu kita sepakat ya?” Nadi memantapkan kembali. “Sepakat,” lanjut Dira, dengan senyuman. “Janji,” kata Nadi sembari mengacungkan jari kelingkingnya, bukti kesepakatan janji antara kakak adik tersebut. “Janji,” ucap Dira sembari menyambut kelingking kakaknya. Jari kelingking Nadi dan Dira saling mengait, janji sudah mengema. Dan sudut taman itu, adalah saksi keduanya. Burung pipit diatas pohon mangga sebelah kursi panjang itu ikut bersiul, menyetujui kata-kata yang mengandung janji. Akankah itu atau terbukti, atau malah teringkari. Getar ponsel mengembalikan Nadi dari lamunannya. Sontak, Nadi terkejut, dan langsunglah diraih ponsel miliknya itu. Nama dan foto Yogi memenuhi layarnya. Mood Nadi masih berantakan, ponsel yang diambilnya tadi dia kembalikan ke meja. “Masya Allah, sudah jam 12 malam. Berapa lama aku melamunkan janji itu,” ujar Nadi lirih sambil mengusap wajahnya. Menyadari waktu mulai memasuki tengah malam, Nadi beranjak dari kamarnya. Menuju kamar mandi yang letaknya berada di antara kamarnya dan kamar Dira – hendak cuci kaki dan gosok gigi. Sepintas Nadi keluar, beberapa lampu ruangan sudah dimatikan. Dia menengok kamar Dira, sudah gelap.



Tapi, sedikit muncul keinginkan Nadi untuk melihat sosok adiknya itu. Dibukalah perlahan pintu kamar itu. Pelan sekali, kebetulan tidak terkunci. Dengan bantuan lampu tidur di samping ranjang Dira, Nadi bisa melihat dengan cukup jelas melihat wajah Dira tertidur pulas. Jelaslah, Dira pasti capek beraktivitas seharian, hatinya juga agaknya lelah. “Selamat tidur Dira. Cepat pulih lelahnya. Maafkan kakak,” bisik Nadi dari belakang pintu. Lalu dia kembali menuju niat awalnya, menuju kamar mandi. Selepas itu tidur. Melanjutkan mimpi. Pukul 04.00 pagi. Nadi membuka matanya perlahan. Tubuhnya masih terasa lelah. Tapi dia paksakan bangun. Kebiasaan, baru bangun pasti ponsellah yang pertama dia tuju. Diaktifkannya benda pipih itu, menyalakan data, dan membuka WhatsApp. Notifikasi seketika beruntutan memenuhi layar. Terutama pesan dari Yogi. Kekasihnya sekarang ini, seseorang yang selalu muncul dan memenuhi imajinya. Laki-laki itu menanyakan kabarnya juga mengucapkan selamat tidur. Nadi menghela napasnya pelan, sebelum membalas pesan itu seadanya. Nadi ingin mencoba menghilang dari Yogi, tapi perasaannya enggan menuruti. Dilema yang dirasa, rasa bersalah dengan Dira pun dengan Yogi. Perihal rasa, Nadi tak bisa menutupinya dengan tirai jendela atau dengan jubah. Semuanya terlihat jelas. Apalagi di mata adiknya. Tentang janji yang sudah disepakati. Mau tidak mau, suka tidak suka memang harus terbukti. Perasaan Nadi tercampur-adukkan dengan kenyataan sekarang ini. Hubungannya dengan Yogi, dia sudah terlanjut hanyut dan mengikuti perjalanan asmaranya. Seperti biasa, sholat subuh berjamaah rutin dilaksanakan di keluarga Alkaff. Selepas sholat selesai, Dira masih tetap diam dengan kakaknya. Abi-Uminya bingung menghadapi kedua putrinya itu. Hanya berjabat tangan, selepas itu Dira masuk lagi kekamarnya. Nadi yang melihatnya hanya bisa pasrah, dia merasa sikap adiknya pada dirinya memang pantas. Kesalahan Nadi memang mutlak. Dia lebih memilih mengingkari sebuah janji. Perasaannya lebih kuat untuk Yogi. Jika harus dipaksa berhenti, rasanya sudah berada dipuncak tertinggi. Sulit untuk dihilangkan, dan jika dipaksa untuk tetap berjalan, Nadi telah melukai adiknya. Dengan janji yang teringkari.



Tidak seperti biasanya, Nadi turun lebih awal pagi ini. Berniat membantu Uminya membuat sarapan. Kurniawati tersenyum melihat putri sulungnya. Mencoba menenangkan keadaan. “Lagi berantem sama adek?” Uminya memilih bersuara duluan. Nadi hanya diam. “Ditanya kok diam saja kak,” lanjut uminya, sembari mengiris wortel yang akan dikombinasikan dengan beberapa sayuran lain dalam adonan bakwan. “Ngak kok, Umi,” jawab Nadi. “Oh iya umi, bawang sama cabainya Nadi aja yang iris,” Nadi mencoba mengalihkan perhatian ibunya. Ibnu duduk dengan tenang di belakang meja marmer, asik membaca koran pagi dengan dua gelas kopi di hadapannya. Suasana khidmat pun tercipta. Sedang Dira, masih sibuk membersihkan kamar. Semuanya sibuk dengan aktivtasnya masing-masing. Kenapa janji harus ber-dua pilihan? Bukti atau ingkari. Benarkah janji hanya membawa luka hati? Nadi rasa itu benar. Kaca yang retakpun, tidak akan bisa kembali utuh seperti semula. Kertas yang robekpun, tidak mungkin bisa menyatu seperti awalnya. Begitu pula dengan janji yang teringkari. “Semoga, kesempatan untuk memperbaiki masih ada,” ucap Nadi lirih. ∞∞∞



05



Jam dinding terus berputar. Tak terasa, dingin gelap malam selalu menemani tanpa ada rasa toleransi dan tak heran kini kesunyian tengah menyapa. Tak ada keramaian dan tak ada aktivitas sedikitpun. Akan tetapi, di kediaman keluarga Tyo tak pernah libur sedikitpun meskipun sudah larut malam, kegigihan keluarganya dalam produksi batik tak diragukan lagi. Sedari dulu Ibu Tyo selalu saja dibuat terpesona dengan keindahan batik, apapun jenisnya. Sewaktu kecil, Ibu Tyo selalu senang melihat aktifitas membatik keluarganya di rumah dan tetangga sekitar. Dari situlah kecintaannya dimulai. Ia memulai usaha batik sejak muda, dimulai dari pesanan sampai dijual di beberapa butik sekitar dan berambisi untuk bisa menghasilkan batik terbaik di seantero kota. Saat ini, beberapa lembar desain batik sedang menumpuk dan berceceran di ruangan khusus produksi. Sebagian lembaran berasal dari goresan indah tangannya yang kini mulai menua, ada pula beberapa lembaran berasal dari buah hatinya yang sedari dulu dia banggakan. Tyo dan ibunya menatap lembar-lembar itu dengan mata berbinar. Di mata mereka, semua lembaran itu tampak seperti sekumpulan lego yang harus disusun menjadi sebuah istana megah, dan mereka akan menjadi pemilik dan penghuni yang bebas berkeliaran kemanapun mereka menginginkannya. Ditengah keheningan malam, Ibu Tyo memperhatikan anaknya yang tengah mempersiapkan desain batik untuk perlombaan tingkat provinsi. Ia bangga akan kegigihan anaknya dalam membantunya berkecimpung di dunia batik. Disisi lain, ia merasa kasihan dengan anaknya perihal kedekatannya dengan keturunan syarifah, Dira. Anak tetangga mereka yang sejak kecil menjadi teman bermain Tyo. Ibu Tyo merasa bahwa perjuangan anaknya kelak akan sia-sia, karena ia tahu bagaimana keluarga Dira akan menjaga keturunannya. “Adit,” suara lembut penuh kasih sayang seorang ibu memanggil. “Iya bu, ada apa?” jawab Tyo dengan nada penuh perasaan. “Terima kasih ya, Adit sudah mau ikut melembur membantu Ibu,”



“Ibu, kan sudah sepantasnya Adit sebagai anak membantu menyelesaikan usaha keluarga,” jawab Tyo dengan lembut. “Adit kalau ada apa-apa bilang ya sama Ibu. Ibu siap kok mendengar keluh kesahmu,” jelas Ibu Tyo sembari tersenyum pada anaknya. “Iya bu, terima kasih,” sambil mengerjakan desain batiknya. Tak lama kemudian, terdengar suara ponsel Ibu Tyo memecah keheningan malam. Seketika Tyo mengambilkan ponsel milik Ibunya, dan memberikannya sambil meresapi semua perkataan Ibunya. ”Halo? Assalamualaikum.” ”Iya waalaikumsalam.” “Benar ini dengan pengrajin batik ternama itu? saya melihat baliho di perempatan jalan, di situ tercantum siap menerima pesanan.” “Iya benar disini pengrajin batik dan siap menerima pesanan.” ”Jadi gini saya hendak memesan seragam batik warna biru sebanyak satu lusin untuk acara nikahan, soal pola motif saya percayakan kepada Anda.” ”Oh iya bisa bisa, pengerjaan untuk itu kira kira memakan waktu dua minggu. Untuk lebih jelasnya dan masalah harga anda bisa datang ke toko kami, mungkin besok atau lusa.” ”Oke siap, lusa saya akan kesana sekalian negoisasi masalah harga,” “Iya ditunggu kehadirannya dan terima kasih,” “Iya sama sama, wassalamualaikum” “Waalaikumussalam” Terlihat wajah bungah Ibu Tyo mendapatkan pesanan lagi. Dalam seminggu sudah keempat kalinya Ibu Tyo melayani pesanan batik. Tyo yang melihat gelagat ibunya pasti sudah mengerti apa yang tengah terjadi. Memang benar adanya, Ibu Tyo sudah mempunyai nama dalam dunia bisnis perbatikan di desa dan kotanya. Dari rakyat biasa, konglomerat, sampai pemerintah kota selalu saja memesan batik di tempat Ibu Tyo.



“Alhamdulillah Dit, tadi ada orang pesan batik satu lusin untuk acara nikahan. Lusa orangnya akan datang kesini,” tutur Ibu Tyo penuh semangat. “Waaah, alhamdulillah.” jawab Tyo penuh rasa syukur. “Iya Dit, nanti kamu ikut andil ya dalam pembuatannya.” “Iya bu, siaaaap!” Tyo menjawab. Akan tetapi, mendengar kata nikahan dari sang penelpon tadi, Ibu Tyo jadi teringat perihal hubungan anaknya. Ada firasat kuat tentang kegegalan hubungan yang dijalani anaknya, Tyo. “Eh tapi bener nggak ada masalah, Le?” Ibu Tyo kembali bertanya. “Iya nggak ada bu,” jawab Tyo, tenang. “Lalu bagaimana kedekatanmu dengan si Dira, gadis keturunan Arab itu? Apakah kamu ada perasaan lebih? Kamu tahu sendiri kan resikonya,” terang Ibu tyo tanpa basa basi. “Iya bu, kami bersahabat dekat. Dan Adit sangat mencintainya bu. Adit sudah tahu resikonya, Adit tahu ini sangat menyakitkan, maka dari itu Adit belum berani ambil keputusan,” jawab Adit sungguh-sungguh. “Tapi kamu tahu kan Dit, siapa mereka dan siapa kita?” Ibu Tyo mencoba berbicara dengan baik. “Iya mereka keturunan Arab dan kita bukan, bahkan kita orang jawa tulen.” spontan Tyo menjawab. “Ibu tidak ingin kamu semakin terluka, Dit. Kamu sudah tahu kenyataannya. Ibu nggak mau kamu berenang dan tenggelam dalam perasaanmu sendiri,” terang Ibu Tyo. Pada dasarnya, tiada orang yang benar-benar bisa memahami soal isi hati. Jika diibaratkan seperti arus sungai, dan Tyo seperti sebuah benda yang mengapung diatasnya. Tyo akan mengikuti arusnya hingga Tyo sampai di muara, tempat Tyo berhenti. Tyo percaya, ketika dirinya jatuh cinta pada Dira tanpa adanya sebuah alasan dan siap menghadapi semua rintangan dan resikonya, maka dari sini Tyo meyakini bahwa itu cinta sebenarnya.



Akan tetapi takdir berkata lain dengan apa yang tyo yakini dengan sepenuh hati. Keinginan Tyo sebenarnya mudah dan tidak sulit, Tyo hanya ingin kisah cintanya dengan Dira direstui dan disambut baik oleh orang tuanya. Tapi semua tahu hal itu bagai pungguk yang merindukan bulan. “Maaf bu sudah membuat ibu sangat khawatir. Adit sangat berterima kasih karena selama ini Ibu merawat dan menjaga Adit dengan baik. Barangkali Ibu bosan dan lelah mendengar pernyataan dan perjuangan cinta Adit padanya yang berulang kali tak berujung. Baik yang dilantangkan kepada Dira dengan secara blak-blakan, maupun yang dibisikan lewat doa-doa dini hari,” jelas Tyo dengan penuh ketulusan. “Iya, nak. Ibu tetap mendukung Adit. Apapun keputusanmu. Pada dasarnya, ada dua kemungkinan yang akan terjadi padamu,” “Apanya yang ada dua bu?” tanya Tyo penuh keheranan. “Pada dasarnya kamu dihadapkan pada dua kemungkinan, cinta dalam perjuangan ataupun cinta dalam diam. Bila memilih cinta dalam perjuangan, meskipun kamu terjatuh ataupun ditolak kamu akan tetap mengejarnya. Bagaikan rahwana yang memperjuangkan cintanya untuk mendapati sang dewi sinta. Akan tetapi, jika kamu memilih dalam diam, kamu akan merasakan sakit yang amat sangat dan hanya bisa mengaguminya saja,” jelas Ibu Tyo dengan wajah ayunya. “Apapun pilihan dan keputusanmu, ibu tetap mendukungmu Dit. Asalkan kamu harus selalu siap apapun hasilnya nanti,” lanjutnya. “Iya bu. Terima kasih atas nasihatnya. Adit akan ingat itu baik-baik,” Setelah mendengar nasehat dalam dari ibunya, mereka diam akan kecanggungan. Hening memecahkan kehangatan mereka, Tyo sendiri tengah memikirkan baik-baik dan selalu mengucap doa dalam ketidakadlian yang ia dapati. Kepada hati yang dia punya mengundang tanya, untuk segera Tyo sapa. Melalui kata Tuhan dengan fatihah–Nya, Semoga ijabah menyertai harapan Tyo. “Nganu, Dir. Aku punya cita-cita kecil denganmu. Pada suatu malam kelak, ketika lampu-lampu taman kota tak melihat percumbuan kita, aku ingin kamu merebahkan tubuhmu di dadaku dan mendengarkan detak jantung yang tak lelah berpuisi dengan degubnya. Lalu, kau bercerita, anak-anak telah tertidur sebab bermain seharian, sementara kau tak sempat membacakan kisah cinta kita. Tentu pada malam malam semacam itu, aku akan menjadi



lelaki sempurna, dan aku tahu sejak sekarang, barangkali memang kamulah yang akan menjadi sempurnaku kelak,” batin Tyo dalam hati dengan penuh rindu. Rindu tak harus sama. Biar ia berbeda-beda waktu merasa. Juga tak mengharuskan ‘kudu’ saling berbalas. Nanti, kehilangan arti mencari juga menunggui. Biarlah, rindu kita ini menjadi inspirasi cerita untuk terus dituliskan nantinya. ∞∞∞



06



Nadira bosan sedari tadi berada di depan laptop, dengan beberapa buku referensi yang tertumpuk ikut menambah kacau moodnya kali ini untuk mengerjakan skripsi. Padahal sebelum mulai mengerjakannya, Dira selalu membaca doa terlebih dahulu sesuai pesan Abinya agar selalu diberi kemudahan dan kelancaran. Tapi entah karena Dira yang tidak pernah khusu’ berdoa atau karena dia tidak pernah benar-benar berniat mengerjakan skripsi, setiap kali ia mengerjakan skripsi selalu saja tidak dapat bertahan lama. Paling banter satu jam Dira bisa berkonsentrasi, setelahnya dia akan meraih ponsel dan mulai berselancar di dunia maya. Seperti saat ini, dengan posisi berbaring di sofa ruang keluarga, Dira asik menscroll timeline instagramnya. Tak lupa lagu dari Sabyan Gambus juga ikut mengiringi kegiatan gadis keturunan Arab tersebut. Dira sudah tidak peduli bagaimana keadaan di sekitarnya, bahkan kehadiran wanita paruh baya yang masih terlihat cantik meskipun terlihat garis-garis halus yang menghiasi wajahnya pun tidak disadarinya. “Dek, sudah sampai mana skripsimu sekarang?” Ucap Umi sembari menghampiri Dira. “Yaaa sampai sini aja, Mi...” jawab Dira yang masih sibuk dengan ponselnya. “Sampai sini mana dek? Dari seminggu yang lalu Umi lihat kamu nggak bersemangat banget ngerjain skripsinya,” Umi duduk di sebelah Dira sambil membereskan tumpukan buku yang tidak beraturan di atas meja ruang keluarga. Dira menghela napas panjang sembari membenarkan duduknya dan mematikan musik sabyan gambus yang sedari tadi menemaninya, “Nggak tau, Mi. Tiap kali adek mulai ngerjain skripsi selalu aja gini, apalagi dosen pembimbing skripsi adek susah banget ditemuin. Makin badmood deh jadinya.” Sebenarnya Dira tidak begitu merasa terbebani dengan tugas akhirnya yang seringkali ditakuti oleh sebagain mahasiswa lain, justru ia sangat bersemangat saat judul skripsi yang ia tunjukan kepada dosen walinya langsung mendapat dukungan.



Tetapi semesta seakan tidak mendukungnya, Dira mendapat dosen pembimbing skripsi yang sibuknya luar biasa. Sudah lima kali ia akan bimbingan dan sudah lima kali pula bimbingan tersebut gagal, hingga akhirnya mood Dira mengerjakan skripsi semakin turun. “Apa kamu mau langsung nikah aja dek? Daripada males ngerjain skripsinya.” Gurau Umi “Astaghfirullah Umi, jangan bilang gitu ihhhh.. nanti kalo Abi dengar bisa-bisa dikira beneran, Adek masih mau wisuda dulu, baru nikah,” “Iya-iya dek, Umi kan cuman guyon, kamu kok serius begitu tanggepannya.” “Lagian umi sih, nggak lucu tau mi guyonannya.” “Yaudah deh Umi minta maaf. Nah sebagai permintaan maaf umi kasih saran mau enggak?” “Apa coba? Jangan yang aneh-aneh lho tapi.” “MasyaAllah kamu sama Umi sendiri kok suudzon gitu sih. Yaudah nggak jadi deh Umi mau masak aja.” Jawab Umi hampir berdiri sebelum lengannya dipeluk oleh Dira. “Ihhhh umi baperan banget sih, padahal kan adek penasaran banget sama saran umi.” “Hmmmm gitu yaaa, berhubung kamu anak Abi. Umi kasih tau deh sarannya apa.” “Adek kan anaknya umi juga.” “Eittsss jangan dipotong dulu dong sayang omongan umi’.” “Baiklah umiku sayang.” “Daripada kamu putek banget akhir-akhir ini mending kamu cari suasana baru gitu dek, ke pantai barangkali atau kemana gitu yang penting mood kamu buat ngerjain skripsi kembali membaik.” “Bener juga sih kata umi’, oh iya kebetulan banget tadi aku liat postingan tempat wisata bagus bangetttt di instagram.” Jawab Dira bergegas mengambil Handphonenya yang ia letakkan di meja sejak umi mengajaknya mengobrol.



“Waduh bakal panjang kayaknya kalo umi layanin ngobrol sama kamu, udahan dulu ya kita lanjut nanti. Umi mau masak makan siang dulu buat kakak kamu katanya mau pulang cepet.” “Ihhhh umi jahat masak buat kak Nadi doang, terus aku makan apa dong.” “Makan aja skripsi kamu itu yang enggak kelar-kelar.” Jawab Umi sambil berjalan kearah dapur dan menghilang dari pandangan Dira. Menghela nafas sejenak Dira kembali sibuk dengan ponselnya, hingga ide jahil mampir ke otaknya. “Ahhh daripada gabut mending gangguin Tyo ajalah, lagi ngapain ya dia sekarang.” Nadira Tyoooo P P P Adityooo Ihhhh sok sibuk banget sih, chatku gak dibales:’( Adityo Apa sih Ra, ganggu orang sibuk aja deh Ada apa? Kangen aku ya? Nadira Ihhh apaan sih Tyo, mulai deh Adityo Lha yo bener kan? Kalo gak kangen apa coba :P Nadira Send Photo ajak kesitu ayo ;)) Hei Hei



Tyo Hei Tyoo Dia pedagang batik ganteng



Sembari menunggu balasan dari Tyo, Dira pun menyempatkan kembali mengecek skripsinya dan menelitinya dengan menyandingkan buku referensi yang sempat dibereskan oleh Uminya tadi. Beberapa menit kemudian ponsel Dira berbunyi dan langsung disambar begitu saja. Adityo MasyaAllah raaa, gitu banget sihh kamu kalo kangen sama aku Maaf ya aku lagi bantuin Ibu nyiapin desain batik buat lomba soalnya Kamu pengen kesitu? Nadira Ehhh maaf juga yaa jadi ganggu waktu kamu  Semangatttt yaaa iyaaa nih pengen banget kesitu Adityo Udah deh gak usah jaim sama babang tyo yang ganteng ini Waduhhh beruntung sekali saya disemangati sama Bidadari Surga :D Kalo mau kesitu, ada syaratnya tapi Nadira Hmmmmmm 10 hari apa itu syaratnya wahai Adityo Wicaksono? Adityo Selesaiin skripsi kamu Nadira Huwaaaaa lama dong Mau bimbingan aja susah, ehh ini malah nyuruh buat nyelesein Gimana ceritanya Adityo Yaudah sihhh tinggal selesain juga, apa susahnya?



Pati-pati pas temu dosen pembimbingmu semuanya udah beres tinggal cek cek, revisi deh wkwkwkwk Nadira Aishshhhhh kalo aku tau tempatnya mah aku mending kesitu sendiri Adityo Udah kerjain dulu aja, gak usah kebanyakan ngeluh Kerjain sampe bab 4 dulu aja deh nanti kalo udah selesai aku minta buktinya kita langsung cusss kesitu, okay ;) Nadira Gimana kalo kamu aja deh yang jadi dosen pembimbing skripsiku Jahaharrra sekali kauuu Adityo Heheheheheh gak mau, aku maunya jadi pembimbing hidup kamu aja nanti Udahlah aku mau lanjut bantuin ibu, kamu juga… lanjutin ngerjain skripsinya Gak perlu dibales wa ku yang ini Semangattttt Nadira!!!! Setelah membaca pesan terakhir dari Tyo, entah mengapa hati Dira menghangat dan tanpa sadar pesan tersebut sangatlah berpengaruh dalam diri Nadira. Yang tadinya Nadira tidak bersemangat mengerjakan skripsi kini terlihat sibuk membolak balikan halaman buku dan matanya bergantian memandangi layar laptop dan buku. Saking sibuknya kedatangan Nadia saudari kembarnya tidak disadarinya “Assalamualaikum Warakhmatullahi Wabarakatuh.” Ucap Nadia. Tidak mendapat respon baik dari sang adik, Nadi kembali berbicara lebih tepatnya berbisik tepat ditelinga Nadira “Ucap salam itu sunnah, tapi kalo jawab salam itu wajibb.” “MasyaAllah Nadiiii ngagetin aja tau nggak. Iya iya, waalaikumussalam. Tumben banget pulang jam segini?.” “Pulang telat dinyinyirin, pulang lebih awal dinyinyirin, apa aku enggak usah pulang aja sekalian biar kamu seneng.”



Tanpa diduga Ibnu Alkaff Abi Nadia dan Nadira juga telah berada di batas antara ruang tamu dengan ruang keluarga, berdeham sejenak sembari melirik tajam kearah dua putri kembarnya. “Assalamualaikum…” “Waaalaikumussalam A a a a biii.” Jawab Nadia dan Nadira gugup tapi tetap terdengar kompak. “Sudah sholat dhuhur belum kalian berdua?.” Tanya Abi masih dengan lirikan tajam. Nadira yang merasa belum melaksanakan sholat hanya terpaku menatap mata Abinya, dan sikunya sudah sibuk menyenggol-nyenggol lengan Nadia. “Hmmmm kakak udah sholat Bi di masjid kampus tadi sebelum pulang, ehhh kok tumben Abi jam segini udah pulang?.” Jawab Nadia seakan mengalihkan pembicaraan. “Iya Umi kamu tadi nelfon katanya masak banyak, dan ngasih tau kalo kakak pulang cepet juga. Alhamdulillah pas sedang agak luang juga, jadi Abi pulang biar bisa makan siang bareng kalian.” “Ohya ini kok diatas meja penuh banget sama buku-buku dan laptop?.” Tanya kembali Abi “Ehhh iya Abi ini adek lagi ngerjain skripsi, ehehehehhe.” Jawab Nadira kikuk. “Udah sampe mana skripsimu dek?” “Sekarang mau masuk bab tiga bi, targetnya sih seminggu lagi sampe bab empat harus udah selesai.” “Kalo kamu sudah sampe mana kak skripsinya?.” “Barusan aku ke kampus bab satu sampe empat udah di acc bi, tapi tetep masih ada beberapa bagian harus direvisi.” Jawab Nadia “Baguslah kalian sebentar lagi akan wisuda. Aafi nggak perlu menunggu lebih lama lagi untuk menikahi salah satu dari kalian.”



Seakan tersambar petir, dua saudari kembar tersebut kini saling lempar pandang dan seakan sedang berkomunikasi melalui tatapan. Hingga kedatangan umi dari dapur menyelamatkan suasana genting bagi kedua saudari kembar tersebut. “Dek, sholat dhuhur dulu sana..” ucap Umi sembari berjalan ke arah Abi untuk mencium tangan suaminya. “Kebiasaan!!! Sholat sana dek, doa yang khusu’ biar cepet wisuda.” Ledek Abi “Na’am Abi ku yang ganteng.” “Nggak usah sok sokan pakai bahasa arab dek kalo skripsi aja enggak selesai-selesai.” Uminya makin menghakiminya. “Sholat sana dek, inget pesen abi.” Kini Kakaknya yang meledek. Sembari berjalan menuju ke musholla kecil di sudut rumah, Nadira membuang napas berkali-kali. Hari ini sungguh semesta seakan mempermainkannya, baru saja ia merasa bahagia karna Adityo beberapa jam kemudian Abinya sendiri menjatuhkannya ke dasar jurang. “Sholat sajalah dulu siapa tau bisa memperbaiki moodku hari ini.” ∞∞∞



07



Surya mulai meredup, tergantikan senja yang mulai memerah memecah kegundahan. Embus angin dan suara desiran ombak sedikit menenangkan sesosok gadis yang tengah duduk di bebatuan pesisir pantai itu. Beberapa hari ini, Dira uring-uringan. Ia teringat akan perjodohan yang memaksanya masuk dalam permasalahan dengan kakaknya, Nadi. Mau tak mau, pikiran itu muncul di kepalanya. Meski sejak awal ia tahu bahwa hal ini akan terjadi. “Ra,” terdengar suara bariton seorang lelaki sembari memegang pundaknya. “Eh, kamu. Kenapa si kamu selalu muncul? Cari kerjaan, biar punya kerjaan lain selain buntutin aku,” jawab Dira dengan nada sedikit kesal. “Kerjaku kan bukan dikerjain, jadi suka-suka aku saja kapan mau kerja dan kapan mau ketemu kamu,” jawabnya ketus sambil duduk di samping Dira. “Iya-iya, Aditya Wicaksono,” “Kamu kenapa? Disuruh revisi lagi?” tanya Tyo karena memperhatikan raut muka Dira yang tampak sedang kacau. “Hm, Iya,” “Sabar. Sini aku bantu. Malam ini kerjaanku sudah selesai,” Kalimat yang terakhir seakan menusuk hati Dira. Dengan refleks, ia langsung menatap wajah pria yang duduk disampingnya dalam-dalam.. “Biasa saja lihatinya, bahaya kalau naksir,” cetus Tyo dengan ekpresi tengil. “Bahaya lagi kalau kamu terus disini,” jawab Dira ketus. “Mana mungkin aku ngebiarin kamu sendirian di Pantai sore gini,” “Heran aku. Lagian, kamu tahu aku disini darimana sih?” “Hati yang menuntunku kesini,” Dira memutar bola matanya, malas. “Jijik,”



“Hehe. Iya iya. Rencana aku mau cari kamu ke kampus, tapi di tengah jalan aku haus, pingin cari kelapa muda di sini. Eh, ternyata ada kamu,” jelas Tyo. “Oh,” “Kita jodoh ya,” “Jangan ngarep,” “Siapa yang di depan kamu, orang aku di belakang kamu kok,” “Lusa kamu harus ikut denganku Ra,” lanjutnya. “Kemana?” “Kejutan. Lusa aku datang ke rumahmu,” Lagi dan lagi. Dira dibuat terdiam . Ia kembali menatap Tyo dengan perasaan yang ia sendiri tidak bisa mengungkapkannya. Satu sisi, ia mulai tersadar akan keberadaan Tyo dan perjuangannya yang selama ini ia sia-siakan. Namun di sisi lain ia kasihan, terkait keadaan yang mungkin suatu saat akan melukai perasaannya. Tak lama, mereka pulang. Tyo mengantar Dira ke rumahnya dan berpamitan pulang tanpa mampir. Tyo tahu bahwa mungkin untuk sekarang kehadirannya di rumah orang yang sangat ia cintai belum diinginkan. Namun ia percaya, akan tiba saatnya kelak dimana perjuangannya selama ini akan terbalaskan. Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa perasaan pesimis lebih dominan di hatinya. “Hati-hati di jalan Tyo,” ucap Dira. “Iya, aku pamit. Assalamu’alaikum,” sembari menyalakan motornya untuk bergegas pergi. “Walaikumsalam,” Dapat dikatakan, selama ia bersahabat dengan Tyo, mungkin baru kali ini Dira mengungkapkan kata hati-hati dengan hati. Lusa telah tiba. Arloji yang melingkar di tangan kirinya menunjukkan pukul 10.01 WIB, dan Tyo bilang sudah di perjalanan menuju rumah Dira untuk mengajaknya pergi.



Seharusnya sih pria itu sudah sampai, mengingat rumah mereka yang hanya berjarak sepuluh rumah. “Umi, Adek pamit dulu, mungkin sore baru pulang,” pamit Dira sembari mencium tangan ibundanya. “Kamu mau kemana dek?” kakaknya menyahut, “Sesungguhnya mencampuri urusan orang lain itu tidaklah baik wahai Nadia,” Dira menjawab dengan berlagak seperti motivator televisi. “Kamu jangan begitu dengan kakakmu,” tegur Umi mereka. “Iya maaf Umi, Yaudah Dira pamit dulu ya. Assalamu’alaikum,” ucap Dira sembari bergegas keluar rumah. Sesampainya di depan rumah, Tyo baru saja memberhentikan motornya. “Halo, dengan kakak Dira ya. Saya dari Ngo-jek.” Kata Tyo dengan wajah ganjen. “Jam 10.03, telat ya,” ucap Dira “3 menit itu telat?,” “3 menit itu waktu,” jawab Dira. “Iyaudah, kita mau kemana hari ini?,” lanjutnya. “Ikut saja,” jawab Tyo sembari memberikan helm kepada Dira. “Iya bang,” jawab Dira sembari menerima dan memakai helm. “Kok bang?,” “Abang ojek online, hehehe,” celetus Dira sembari menaiki motor Tyo. Mereka memulai perjalanan. Yang jelas, ia percaya bahwa Tyo tidak akan berbuat macam-macam kepadanya. Hingga akhirnya mereka melewati tugu bertuliskan “Selamat datang di Petungkriyono”. Iya, sejak itulah Dira mulai mengerti kemana Tyo akan membawanya, meski ia belum mengetahui persis tempat yang akan mereka kunjungi. Sampai di tanjakan meninggalkan Desa Kasimpar, salah satu desa di Petungkriyono, motor yang dikemudikan Tyo berhenti. Bukan hanya Tyo, Dira pun ikut panik karena



posisinya tepat di jalanan menanjak. Nasib baik masih menghampiri mereka, Tyo dengan refleks menggunakan rem motor agar motor yang ia kemudikan tidak jatuh ke bawah. “Tyoooo, ini kenapa?” ucap Dira dengan nada panik dan bergegas turun dari motor. “Aku juga tidak tahu Ra,” jawab Tyo sembari turun dan bergegas mencagak motornya. “Astaghfirullah Ra, maaf aku lupa ngisi bensin,” lanjutnya. “Tumben si kamu lupa isi bensin?” ucap Dira dengan nada sedikit kesal dengan Tyo. “Terus ini bagaimana? Di desa tadi aku gak lihat ada yang jualan bensin,” lanjut Dira. “Iya maaf Ra, tadi aku kesiangan. Ini kalau gak salah diatas sana ada yang jualan bensin. Kalau kamu tunggu disini bagaimana? Sebentar kok, biar aku naik jalan kaki beli bensin,” jawab Tyo. “Iyaudah, aku tunggu disini, sambil nungguin motor kamu,” “Iya, makasih cantik. Hati-hati ya, kalau ada apa-apa telfon. Aku gak lama kok,” ucap Tyo sembari bergegas mencari bensin dengan berjalan kaki. Selang beberapa menit, Tyo kembali dengan tangan kanannya membawa botol bensin. “Kok cepat?” ucap Dira. “Kamu pinginnya aku lama?” jawab Tyo sembari membuka jok motornya untuk segera mengisi bensin. “Bukan begitu juga,” “Iyaudah ayok naik, kita lanjutkan perjalanan. Bisa tolong pegangin botolnya?” ucap Tyo sembari menaiki motor dan memberikan botol bensin ke Dira. Tanpa pikir panjang, Dira langsung menerima botol bensin yang diberikan Tyo dan manaiki motor Tyo. Mereka melanjutkan perjalanan hingga sampailah mereka di wisata Curug Lawe. Tyo segera memarkirkan motornya. “Ini botolnya bagaimana Tyo?” ucap Dira sembari turun dari motor. “Astaghfirullah lupa Ra, warungnya sudah kelewat tadi. Kok kamu gak bilang dari tadi sih?”



“Yeee, kok aku yang salah? Kan aku gak tahu tadi kamu beli dimana. Kamu jalan ya aku ikut saja,” “Hehe, iya maaf. Aku juga bingung ini bagaimana. Apa kita balik sekarang?” Belum sempat Dira menjawab pertanyaan Tyo, sesosok lelaki bertopi menghampiri motor Tyo dan Dira. “Dua ribu mas,” ucap seorang lelaki bertopi sembari memberikan nomor parkir kepada Tyo. “Begini mas, kalau semisal saya pergi dulu dan nitip calon istri saya di sini bagaimana? Saya tadi kelupaan belum mengembalikan botol bensin,” jawab Tyo. “Apaan calon istri,” jawab Dira dengan ketus. “Lagian masa iya aku ditinggal disini sendirian. Aku ikut,” lanjutnya. “Oh iyaudah silahkan mas,” jawab sesosok lelaki tersebut. “Iya terimakasih mas, nanti saya kembali lagi. Nitip calon istri ya mas, jangan sampai lecet,” ujar Tyo sembari memakai helm. Ia lalu menatap Dira, “Kamu sama masnya dulu saja, aku janji gak ada 10 menit aku balik. Assalamu’alaikum,” “Jangan kangen ya,” Katanya sambil mengedipkan mata. “Gak.” Sahut Dira. Dengan berderai tawa, Tyo berlalu. “Waalaikumsalam… Jahat banget ninggalin aku di sini sendirian,” kesal Dira. “Maksud masnya baik mbak, masnya ga mau nyusahin mbaknya. Mending mbaknya istirahat di pos saja dulu,” laki-laki bertopi itu berjalan memimpin menuju ke pos. “Ayok mbak,” lanjutnya. “Hehe, iya mas. Memang boleh?” “Kenapa nggak mbak,” 7 menit berlalu. Nampak Tyo kembali ke Curug Lawe. Ia bergegas turun dari motor dan menghampiri Dira di pos. “Tyo?” ucap Dira.



“Iya Ra, kenapa? Lama ya? Maaf ya bikin kangen,” jawab Tyo, diakhiri dengan senyum ganjennya yang khas. “Nampaknya kamu perlu ke dokter deh,” “Maksudnya? Aku baik-baik saja. Kamu gak usah khawatir,” “Jelas aku khawatir. Pertama, tadi kamu lupa isi bensin, dan kita hampir saja jatuh di jalanan menanjak. Kedua, kamu lupa mengembalikan botol bensin yang akhirnya kamu harus putar balik untuk mengembalikannya. Dan kamu tahu yang ketiga apa?” “Apa?” jawab Tyo dengan kebingungan. “Kamu gak sadar kalau kamu masih pakai helm ke sini?” Dengan refleks Tyo memegang kepalanya. Betul yang dikatakan Dira, helm Tyo masih terpasang di kepalanya. Dan anehnya, Tyo tidak menyadari akan hal itu. Pria itu nyengir lebar, “Mas, nitip helm di pos boleh kan?” ucap Tyo kepada penjaga pos pintu masuk wisata Curug Lawe. “Iya mas, boleh,” Tyo langsung menitipkan helmnya dan bergegas menelusuri jalanan menuju Curug Lawe bersama Dira. Sepanjang perjalanan, Dira dan Tyo menghabiskan waktu dengan bercanda dan sharing tanpa sedikitpun menyinggung perihal revisi skripsi dan perjodohan yang menimpa Dira. Selang beberapa waktu, langkah Dira mulai terhenti. “Tyo, aku lelah. Kita istirahat di sini dulu ya,” ucap Dira sembari duduk disalah satu kursi yang terbuat dari kayu. “Lagian ini masih jauh nggak sih? Serius kakiku sudah berat,” lanjutnya. “Ini belum ada setengahnya Ra,” “HAH! Serius?” jawab Dira dengan nada keras dan ekspresi kaget. “Iya Ra,”



“Iyaudah, di sini saja ya. Gak usah lanjut perjalanannya Ra. Disini saja pemandangannya sudah bagus kok. Kasihan kamu capek.” Putusnya, melihat Dira mencoba meluruskan kakinya yang lelah dan napasnya yang terengah. “Hng?” Dira menatap Tyo, setelah yang mampu ditangkap telinganya adalah “Di sini aja.” Dan “Gak usah dilanjut.” Ia lalu menggeleng-geleng, merasa apa yang ia tangkap itu ambigu. “Kamu lucu Ra,” jawab Tyo sambil tersenyum melihat tingkah Dira. “Iya, kita istirahat disini. Habis ini aku akan ngajak kamu ke tempat yang aku jamin kamu akan suka. Maaf, aku lupa kalau disini memang perjalanan dari pintu masuk ke Curug dapat dibilang yang paling jauh,” “Tapi..,” “Aku jamin Ra,” “Baiklah,” Detik demi detik terus berputar. Mereka menghabiskan waktu dengan duduk menikmati pemandangan sembari bercanda. Tawa demi tawa pun terpancar dari wajah Dira. Meskipun Tyo tahu bahwa sebenarnya Dira sedang mengalami banyak permasalahan yang mengganggu pikirannya, Tyo ingin Dira sejenak melupakannya. Tertiba suara adzan dzuhur berkumandang. Tyo dan Dira bergegas menuju musholla tempat wisata Curug Lawe untuk melaksanakan sholat berjamaah. Setelah itu, mereka sejenak memberikan makanan kepada cacing-cacing di perut mereka sebelum melanjutkan perjalanannya ke tempat wisata selanjutnya. 10 menit semenjak Tyo dan Dira meninggalkan Curug Lawe, mereka disambut dengan tugu bertuliskan “Karang Srity”. Tidak ada curug disana, namun mereka disuguhkan dengan pemandangan alam yang luar biasa. Seperti dugaan, Dira menyukai tempat itu. Terpancar dari rona wajah gadis keturunan arab berusia 21 tahun itu. “Tyo,” panggil Dira dengan nada lirih. “Iya Ra, kenapa?” “Terimakasih untuk hari ini,”



“Sama-sama,” Surya mulai jatuh dari singgasananya, sebagai pertanda senja akan menggantikan posisinya. Arloji menunjukkan pukul 15.55 WIB. Dengan perjalanan pulang sekitar 1 jam, Tyo segera mengajak Dira pulang. “Ra, sudah sore. Ayo kita pulang,” “5 menit lagi. Aku masih betah disini,” “5 menit itu kita gunakan untuk berjalan menuju parkiran. Setuju?” “Hm, baiklah,” Dira dan Tyo bergegas untuk pulang. Tyo berjalan lebih dulu, sedang Dira mengekor di belakangnya sembari memegang ujung jaket yang dikenakan pria itu. Tanpa mampu dicegah, pandangan Dira terus beralih dari jalan setapak kepada punggung Tyo yang menghadap kearahnya. Ia menyesal mengapa selama ini ia menyia-nyiakan pria di depannya itu, sosok pria yang jelas dari dulu menyayanginya. sosok pria yang dari dulu mengharapkannya. Dan sosok pria yang dari dulu selalu ada untuknya. “Jangan dilihatin terus. Nanti jatuh cinta loh,” ucap Tyo sembari menoleh ke arah Dira. Ia sadar bahwa sembari tadi Dira melihatny. Tyo sudah menduga gadis itu pasti akan menjawab, “Sok tahu, kaya punya spion aja.” Tapi ia terkesiap saat yang diucapkan gadis itu adalah, “Yo, sebentar saja, aku ingin menjadi Dira yang sesungguhnya. Dira yang menyayangi Tyo,” Dira berucap lirih. Tyo terdiam. Ia tak pernah sedikitpun menduga bahwa Dira akan mengatakan hal tersebut. Tyo tidak tahu bagaimana seharusnya perasaannya sekarang. Apakah ia harus senang? Karena wanita yang sejak dulu ia sayangi nampak mulai perasaannya. Atau ia harus sedih? Mengingat perjodohan yang harus dijalani Dira, tentu hal itu akan semakin membuat Tyo lara. “Entah apapun yang terjadi kelak, hari ini aku bahagia karenamu Tyo. Terimakasih. Maaf jika membuatmu semakin lara, yang jelas hari ini aku sadar bahwa aku menyayangimu,” ucap Dira lirih sembari memandang Tyo yang terdiam.



Perkataan itu semakin membuat Tyo kacau. Tanpa sepatah katapun ia terdiam. Namun, Tyo berpikir, apapun yang akan terjadi kelak, hari ini ia bahagia. Bahagia melihat wanita yang dicintainya bahagia karenanya. Tyo percaya bahwa waktu tak akan pernah salah. Waktu akan menuntun kemana harusnya hubungan mereka. Waktu akan memberikan yang terbaik untuk mereka. ∞∞∞



08



Dira terjaga. seharian ini ia sibuk mengerjakan semua pekerjaan yang bisa ia lakukan. dari pekerjaan rumah seperti menyapu, ngepel, menyapu halaman, hingga memotong rumput, kemudian ia lanjutkan dengan mengerjakan skripsinya. itu semua ia lakukan untuk mengalihkan dari masalah yang ada. Masalah yang cukup membuatnya terkejut. tak hanya ia, Nadi kakaknya mungkin juga sama terkejutnya. Dira merasakan dan memahami bagaimana cara ibunya memperhatikannya seharian ini. sebelumnya ia bersemangat mengerjakan tugas skripsinya, ya benar, semangatnya itu tentu ada sebabnya. Karena Tyo. Tyo mendorongnya kuat untuk terus menyelesaikan skripsinya, apalagi tempo hari Dira diajak ketempat sebegitu indahnya oleh Tyo. Namun setelah mengingat perjodohan itu kembali, ia sedikit terguncang, ia masih perlu memahami semua keadaan yang sekarang menimpa dirinya. Ini terlalu mendadak. Ibunya pasti terheran karena semangatnya kini dua kali lebih semangat tak seperti biasanya. Namun ini bukan karena semangatnya yang menggebu-gebu, semua itu ia lakukan untuk mengalihkan pikirannya tentang ucapan ayahnya mengenai perjodohan. Meski itu semua tak berhasil. Seharian ini Dira duduk dikamar. Termenung sendirian. Memikirkan apa saja yang ada dikepalanya. Mondar mandir seperti orang kebingungan, duduk di kursi belajar hingga berbaring di tempat tidur. melakukan semua hal dikamar dari mengerjakan tugas hingga merapikan kamar. itu semua ia lakukan setelah mengerjakan semua pekerjaan rumah yang bisa ia kerjakan hari ini dan tentunya untuk mengalihkan pikirannya mengenai perjodohan. Dan lagi, hasilnya nihil. Kadang-kadang Dira menyesali dirinya sendiri yang terlahir dari etnis Arab. Mengapa harus dia, tidak orang lain saja? Mengapa Ibunya tidak melahirkan anak laki-laki saja? Mengapa ia harus bertemu dengan Tyo atau kenapa Tyo tidak dari keturunan Arab juga. Dengan begitu ia tak perlu menyembunyikan semua ini. Perasaannya, keinginannya untuk hidup bersama Tyo. Ia mulai menerawang tidak jelas, menerawang kemungkinankemungkinan yang jelas-jelas tidak akan pernah terjadi. Ia mulai menjadi sedikit egois dan menyalahkan takdir. Hingga tak terasa cairan bening menetes dari matanya. Ia biarkan mengalir, dengan begitu beban dalam hati dan pikirannya menjadi sedikit ringan.



Dira tiduran di atas kasur., menatap langit-langit kamar yang dicat biru muda. Di sana tergambar adegan ketika Ayahnya membicarakan tentang perjodohan bahwa salah satu diantara putrinya akan dijodohkan dengan Aafi Alkaff. Anak laki-laki satu-satunya dari keluarga besar Ayahnya. Aafi adalah pilihan terakhir Ayahnya untuk meneruskan marga dalam keluarga. Aafi lebih tua tiga tahun dari Dira dan Nadi. Dira memejamkan mata sejenak. Tenggelam dalam pikiran yang berhasil mengusik setangah dari ketenangannya. Dan lagi ia tak mampu membendung air matanya, kali ini dibiarkan air matanya mengalir. Tak ditahan. Tak dipaksa. Ia biarkan mengalir deras hingga menandingi hujan di luar sana. Jam dinding kamar menunjukkan pukul 11 malam. Dan ia masih dalam posisi yang sama.



Menatap langit-langit



kemungkinan-kemungkinan



kamar



apa



yang



dengan tatapan kosong hingga akan



terjadi



nanti.



Seperti



menerawang haruskah



dia



mempertahankan perasaannya dengan Tyo dan membiarkan Nadi yang mengalah untuk dijodohkan dengan Aafi. Namun ia berpikir bahwa ia sangat egois. Ia selalu memposisikan Nadi untuk mengalah. Hujan pun tak kunjung usai di luar sana. Seakan-akan ikut merayakan kesedihan yang dirasakan oleh Dira. Ia yang



merasa kehausan setelah menangis menumpahkan segala



kekesalannya pada takdir, kegaulannya yang cukup menguras tenaga dan pikirannya. Kini ia beranjak bersiap untuk turun mencari air minum. Ia berjalan perlahan menuruni tangga agar penghuni rumah tidak terganggu dengan langkahnya. Sebentar, ia berhenti didepan kamar Nadi. Mengira-ngira apa yang tengah Nadi lakukan. Apakah Nadi juga merasakan kegalauan yang amat hebat seperti yang tengah ia rasakan. Namun ia memilih melanjutkan langkahnya menuju dapur. Matanya teralih melihat bungkusan mie instan terjejer dalam lemari berpintukan kaca. Ia memang sedikit merasa lapar. Akan sangat nikmat makan mie instan apalagi dengan suasana hujan sepert ini. Namun niatnya ia urungkan. Hatinya sedang tidak baik-baik saja. Ia memilih kembali menuju kamarnya. Setelah minum air yang cukup untuk menghilangkan rasa hausnya Dira kembali menuju kamarnya, tentu masih dalam langkah yang hati-hati. Lagi, ia terhenti di depan kamar Nadi. Perasaannya terasa tidak enak. Ia mendengar sayup-sayup suara tangis. Dira mendekat, berusaha untuk mendengarkan dengan lebih jelas. Suara selain Nadi terdengar, khas suara dari telepon. Dira mengernyit, bertanya-tanya dengan siapa kakaknya berbicara tengah malam begini. Lalu terdengar orang di seberang telepon mengatakan, “Di, aku nggak akan menyerah. 3 tahun Di aku jalanin ini semua secara sembunyi. Berbicara dengan orang tua kamu bukan hal yang aku takutkan sejak dulu, kamu tahu itu.



Aku melakukannya untuk menghormati keinginan kamu.” Lalu di jawab oleh Nadi diiringi dengan isak tangisnya, “Aku benar-benar nggak bisa kalau pilihannya adalah kamu atau Dira, Gi.” Kini Dira mengerti suara di seberang telepon sana merupakan suara Yogi. Laki-laki yang diyakini Dira adalah kekasih Nadi. Laki-laki yang dicintai Nadi. Laki–laki yang pernah mengantar Nadi pulang sore itu. “Kita bicara besok, Di. Dan coba kamu ingat, ini kali ke berapa kamu mengalah dengan Dira.” Sambung Yogi di seberang sana. Percakapan berakhir namun tangisan di dalam kamar Nadi tak kunjung reda. Seperti hujan malam ini. Dira kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar.



Ia berjalan seperti orang



linglung dengan mata sembab. Di kamarnya, ia kembali menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Dalam batinnya ia membenarkan apa yang diakatakan Yogi. “Benar, selama ini Nadi yang selalu mengalah untukku.” Ucapnya lirih pada diri sendiri. Namun rasa ego kembali menghampiri hatinya. Ia benar-benar menyayangi Tyo. Ia tahu tidak seharusnya ia begini. Dari awal ayahnya sudah menjelaskan tentang tradisi di keluarganya. Perang dalam batinnya ini mungkin takkan pernah terjadi jika mereka hanya berdiam diri di rumah. Jam dinding kamar menunjukkan pukul 00:13 dan hujan diluar sana tak kunjung reda. Ia seperti merayakan kesedihan yang dialami oleh Dira atau malah menertawakan atas apa yang tengah dialaminya. Dira masih terjaga. Ia masih terus bergelut dengan batinnya. Dibiarkannya tugas skripsi berserakan begitu saja. Sudah tak ada niatan untuk menyentuhnya. Pikirannya terlalu sesak dipenuhi dengan masalah-masalah yang ada. Pikirannya terbayang oleh percakapan Nadi dan Yogi di seberang telepon tadi. Setelah mendengar percakapan Nadi dan Yogi batinnya dibuat berteriak. Meminta solusi dari permasalahan ini. Solusinya adalah bahwa diantara mereka, entah Nadi atau Dira untuk siap dijodohkan dengan Aafi. Namun itu bukanlah persoalan yang mudah. Mereka semua memiliki masing-masing laki-laki yang mereka cintai. Malam semakin larut dan Dira tak kunjung terlelap. Kegalauan dalam hatinya semakin memuncak. Masalah-masalah yang ada semakin rumit. Untuk menemui titik temu dari persoalan yang ada tak kunjung ditemukan. Dadanya sesak. Tekanan dalam batinnya semakin memuncak. Rasanya ia ingin berteriak, lari dari kenyataan yang ada atau ingin singgah sebentar menyingkir dari perosoalan yang ada. Mencari kedamaian hingga ia tak perlu berkawan dengan persoalan yang menguras hati dan pikirannya. Kini ia menangis sejadinya. Terisak-isak. Beruntunglah hujan diluar sana serta kamarnya yang kedap suara



membuat suara tangisnya tak terdengar oleh siapapun. Sekarang ia benar-benar tidak mengerti harus bebuat apa. Kemana lagi ia harus meminta pertolongan. Ia lupa bahwa ada Dzat yang maha pengampun, maha penyayang, maha pengasih. Ia lupa bahwa semua ini adalah skenario yang telah ditetapkan olehNya, Dzat yang pemberi hidup, pemberi rizki. Kini ia sedikit tersadar. Permasalahan ini takkan pernah selesai jika sang pemberi hidup tak dilibatkan didalamnya. Dira bangkit diusapnya air matanya kemudian ia beranjak dari tempat tidur untuk bersiap mengambil air wudhu. ∞∞∞



09



Dira terlihat memejamkan mata cukup lama setelah selesai salam. Matanya perlahan meneteskan air mata. Kali ini pertahanannya goyah. Ia pikir dirinya tidak akan sekalut ini soal kelanjutan perjodohan dengan anak dari sepupu ayahnya. Sebelum ia mendengar percakapan Nadi dengan Yogi di telepon yang terdengar dari balik pintu kamar Nadi. Memang dalam banyak hal, dia tidak pernah mengalah. Tapi ia sangat dilema. Apa ia yakin jika dirinya yang harus menjadi istri seseorang yang belum dikenalnya dekat. Walaupun ia sudah tahu risiko tersebut dari dulu. Namun, tidak tahu jika semuanya seberat ini. "Ya Allah, aku harus bagaimana? Tunjukkanlah jalan yang terbaik untukku. Aku tidak mau salah mengambil keputusan dan menyakiti siapapun." Suaranya lirih, matanya menatap sajadah hijaunya dengan pandangannya yang buram. Dira menunduk lebih dalam. Merasakan air matanya yang semakin mengalir deras. Bahkan peluh juga membasahi wajahnya, hingga basah kuyup. Ia kemudian kembali memejamkan mata, menopang wajahnya dengan kedua telapak tangannya sambil terisak. Dira sangat dilema. Pilihan apapun tidak terbesit dalam pikirannya sekarang. Ia belum bisa memilih. Ia tidak mau meninggalkan Tyo ataupun mengorbankan Nadi untuk menikah dengan Aafi. Dira belum menemukan apapun. "Aku takut, ya Allah. Aku takut jika aku salah. Aku takut jika aku menyesal. Berikanlah petunjuk-Mu dan yakinkan aku semua akan baik-baik saja." Suaranya sedikit serak karena terisak. Mukenahnya terlihat sedikit basah karena air mata Dira yang kian deras. Suara sesenggukan juga terdengar keras saat malam yang sunyi ini. Dira berusaha keras agar tangisnya tidak terdengar oleh siapapun. Ia tidak ingin membuat siapapun khawatir, terlebih kepada Nadi. Ia tahu, bagaimanapun Nadi juga pasti sama seperti dirinya. Tidak ingin mengorbankan siapapun dalam perjodohan ini. Ia tahu kakaknya itu sangat perasa. Pasti ia



lebih tak karuan dari dirinya sekarang. Tapi tetap saja, Dira masih bingung. Ia takut banyak kemungkinan yang terjadi membuat dirinya menyesal atau salah memilih. Dira kembali bersujud. Menangis sejadi-jadinya. Ia cukup lama dalam bersujud kali ini. Mengutarakan segala kekhawatiran dan kegundahan hatinya. Kemudian bangun kembali dari sujudnya, matanya memerah dan sajadah hijaunya juga basah. Semakin lama bukan semakin berhenti air matanya mengalir, namun malah semakin deras. Dira benar-benar bimbang. Ia tak tahu, mana yang harus dipilihnya. Dua orang yang sangat disayanginya bukanlah sebuah pilihan. Mereka berdua tidak bisa dipilih salah satu. Keduanya sangat berharga bagi Dira. "Engkau tahu, ya Allah. Aku menyayangi mereka berdua. Tidak mungkin aku memilih salah satunya. Mereka tidak bisa menjadi sebuah pilihan bagiku." Dira masih terisak. Tangisnya tidak kunjung reda. Dira terus memanjatkan doa. Sambil air matanya terus mengalir. Ia benar-benar tidak tahu. Jadi semuanya ia adukan kepada Allah SWT. Biarkan seluruh langkahnya atas petunjuk-Nya. Ia benar-benar bimbang, tidak tahu, dan takut salah langkah. Setelah menyelesaikan doanya. Dira kembali merenung. Matanya terus menatap langit-langit pada dinding kamarnya. Semuanya memang sangat membingungkan. Ia tidak mungkin kembali tidur. Pikirannya berantakan dan itu sangat tidak menenangkan. Jika ia memilih memejamkan matapun, ia tidak akan tertidur. Pikirannya penuh, tidak bisa sedetikpun ia berhenti tidak memikirkan soal ini. Suasana malam ini tidak hanya sunyi, namun juga menyesakkan. Tangisnya memang sudah reda, namun hatinya masih tetap kacau balau. Sedang di kamar lain, pundak Nadi terlihat berguncang. Sesak menjalar pada seluruh tubuhnya. Deru napasnya cukup terdengar dalam kesunyian malam ini. Berkali-kali dadanya naik turun karena sesak yang semakin menikam. Ia tak tahu kalau akan seberat ini. Ia tak pernah merasakan sesesak ini karena dihadapkan pada sebuah pilihan. Nadi berkali-kali mengusap air matanya dengan tisu, namun percuma, air matanya semakin mengalir deras. Sekarang hidung dan wajahnya juga semakin memerah, ia sangat berantakan. Mungkin besok pagi ia akan diberondongi banyak pertanyaan. Sekarang saja matanya sangat berat untuk dibuka, apalagi besok.



Matanya sudah terlihat sangat sembab. Gulingnya bahkan sekarang sangat basah karena air mata yang terus mengalir sejak obrolannya di telepon dengan Yogi tadi. Ucapan Yogi sangat mengganggu pikirannya. Ia mana mungkin mengorbankan Dira untuk hal yang tidak sepele ini. Nadi tak ingin mengiyakan apa yang telah diucapkan Yogi. Dalam tangisnya, Nadi terus berpikir. Ia tidak mau adiknya akan sehancur dirinya seperti sekarang. Ia tidak mungkin mengorbankan dua orang yang disayanginya. Namun di baliknya, ia ingin egois. Nadi ataupun Dira sama-sama sadar, bahwa Nadi lah yang sering mengalah untuk Dira. Sekali ini Nadi sangat ingin egois. Tapi bagaimanapun, Nadi merasa tidak akan setega itu. Ia tidak ingin membuat adiknya yang harus menikah dengan Aafi. Nadi ingin ia tetap dengan Yogi. Ucapan Yogi bahkan masih terngiang-ngiang sangat jelas. Ia ingin memperjuangkan hubungannya dengan Yogi. Dari lubuk hatinya yang paling dalam, ia hanya menginginkan Yogi. Ini memang kesalahannya karena memilih menjalin hubungan dengan Yogi. Namun siapa yang mampu mengendalikan sebuah perasaan? Tidak ada. Nadi sudah berusaha, tapi semuanya mengalir begitu saja. Hubungan dengan Yogi semakin dekat. Hingga Nadi tidak tahu bagaimana cara dia agar terlepas dari dekapannya. Tangisnya semakin menyesakkan. Teringat raut wajah Dira, Yogi, dan kedua orangtuanya berputar dalam ingatannya. Nadi tidak ingin melukai siapapun, ia tidak mau orang-orang tersayangnya harus terluka karena pilihan yang ia ambil nanti. Nadi masih berbaring di kasurnya. Ia tak mampu untuk bangkit dari tidurnya. Kepalanya sangat pusing, tubuhnya juga lemas. Ternyata tentang perjodohan yang sering ia abaikan bisa membuat dirinya serapuh sekarang. Tubuh dan hatinya tidak karuan. "Mengapa aku tidak berdaya seperti ini!" Gerutunya dalam isakan tangisnya yang tidak kunjung reda. Tubuhnya bahkan terlihat tidak memiliki tenaga. Wajahnya basah kuyup karena air mata juga dari peluhnya. Nadi terlihat beberapa kali mencengkram spreinya dengan erat, karena sesak di dadanya yang sulit dikendalikan. Tisu pada meja samping kasurnya sudah hampir habis. Walau tahu sia-sia ia menghabiskan tisunya, setidaknya kamarnya tidak banjir oleh air matanya karena tidak



sempat ia bersihkan. Nadi kembali memungut tisu yang tidak sengaja terjatuh tadi, dan membersihkan peluh yang kini penuh di wajahnya. Deru napasnya kini beradu dengan isak tangisnya. Nadi terus mengatur napasnya, beberapa kali menghembuskan napasnya berat. Sesak kali ini memang sungguh mengganggu pernafasannya. Bagaimana tidak, tangisnya yang pecah hampir berjam-jam tidak kunjung berhenti. Juga sebuah pilihan yang menguras tenaga hingga nafasnya. Matanya yang sembab, mulai ia paksa untuk terbuka. Walaupun cahaya dari lampu kamarnya sangat terang dan langsung membuat matanya seketika menyipit. Ia bukan salah seorang yang menyukai tidur dengan lampu padam. Namun kali ini, demi menyelamatkan matanya yang perih, ia memaksa bangun kemudian mematikan lampu kamarnya. Nadi kembali terisak. Sesak pada dadanya tak kunjung membaik. Bahkan sekarang kepalanya semakin pening karena memaksa untuk bangun. Nadi memilih untuk memejamkan mata, perlahan-lahan menenangkan pikirannya. Mugkin ia bisa sedikit reda, ataupun terlelap dan bangun sudah merasa baik-baik saja.



∞∞∞



10



Ibnu Alkaff menatap tajam ke arah Dira. Dira hanya bisa menunduk. Tidak berani melihat Ibnu yang sebentar lagi akan mengeluarkan bom yang ada pada dirinya. Kalau saja bisa, ingin rasanya Dira menghilang dari hadapan Abinya sekarang juga. Namun apalah daya, Dira bukan seorang malaikat, peri, ataupun bidadari yang tiba-tiba bisa menghilang dengan sayap ajaibnya atau dengan satu kedipan mata. Dira sungguh tidak bisa. “Dek! Kamu sudah Abi peringatin! Kuliah yang bener! Jangan sering bolos! Kalau memang sudah tidak ada mata kuliah, kamu harus pulang! Kamu nggak sadar status kamu itu apa? Jangan sekali-kali pergi jalan-jalan seenak kamu! Berapa kali Abi harus peringatin! Kamu ini nggak pernah denger apa kata Abi. Kamu pikir Abi tidak tahu, Hah?!!!” Dira menelan ludah. Menutup matanya dalam-dalam. Kembali berfikir ingin punya ilmu menghilang. Nadi memegang tangan Dira, memberi kekuatan untuk saudara kembarnya. “Abi. Tapi Dira sebenarnya tadi itu…….” “Kamu diam, Kak! Abi sedang bicara dengan saudara kembarmu!” Kata Ibnu memotong ucapan Nadi. Dira semakin takut. Ia benar-benar tak bisa berkutik. Jika biasanya dia bisa menjawab amarah Ayahnya. Kali ini ia berubah menjadi patung. Ia menahan air matanya. Ia menyadari kesalahannya, tapi tetap saja Dira merasa tidak benar-benar salah. Memang apa salahnya Dira pergi keluar? Dira bukan anak kecil lagi yang harus selalu meminta persetujuan orang tua nya ketika akan jalan-jalan. Dira bukan Rapunzell yang selamanya harus di kurung di dalam menara. Dira ingin hidup layaknya gadis-gadis normal. Dira ingin punya banyak pengalaman. Apa karena status keluarganya, maka ia pun harus jadi seperti Rapunzell? “Kenapa kamu diam saja, Dek? Kamu sudah tidak punya kekuatan melawan Abi?” Ucap Ibnu yang masih tidak menurunkan nada bicaranya. “Adek nggak bermaksud begitu, Bi.” Jawab Dira gugup. Dira sudah tidak bisa membendung air matanya. Perlahan-lahan sudah mengalir begitu saja.



“Lalu maksud kamu apa? Apalagi alasan yang akan kamu berikan?!!” Suara Ibny naik satu oktaf. Kurniawati yang mendengar suara amarah suaminya tak bisa menahan kakinya untuk melangkah dan mencari sumber kebisingan. Melihat itu, sesungguhnya Kurniawati menyayangkan kedua putrinya yang harus dihadapkan dengan status keluarga yang penuh dengan aturan. Ia mendekati suaminya, menyentuh pundak suaminya, mencoba untuk menenangkan. “Maaf, Bi….” Jawab Dira masih menunduk. Tidak ada kata-kata yang bisa Dira ucapkankan selain kata maaf. “Abi. Dira nggak macem-macem kok. Tadi Kakak nyuruh dia ke toko buku buat beliin buku untuk tugas kuliah Kakak. Abi jangan salah paham. Adek nggak bakal macem-macem, Bi.” Nadi mencoba menjelaskan, membantu Dira yang sedang merasa ketakutan. Gemercik api kemarahan yang ada di mata Ibnu Alkaff perlahan-lahan menghilang. “Benar, dek?” Patah-patah, Dira menganguk. “Kalau kamu pergi tanpa seizin Abi lagi, Abi tidak akan membiarkanmu keluar dari rumah.” Kata Ibny sembari melangkah meninggalkan mereka berdua. Nadi menghembuskan nafasnya lega. Sejujurnya Nadi pun tadi merasa kekurangan oksigen. Dia hanya pura-pura tenang untuk menenangkan Dira saja. Nadi menengok ke arah Dira. Dira sudah benar-benar menangis. “Sudah, Dek. Kamu tenang saja. Kakak disini. Kakak bakal lindungin kamu. Sudah jangan nangis.” Nadi merangkul Dira dan mengusap air matanya. 0000 Memori Dira melayang pada segelintir kejadian, tentang Nadi yang seringkali melindungi dan membantunya. Namun sebagian otaknya juga mengingat kata-kata uminya seminggu yang lalu. “Dek, umi minta maaf karena kalian harus dihadapkan pada situasi seperti ini. Hanya ini satu-satunya cara untuk melanjutkan marga Alkaff di keluarga kita. Mau tidak



mau, antara kamu dan saudara kembarmu harus ada salah satu diantara kalian yang meneruskan nasab keluarga kita. Baik kamu ataupun Nadi, harus ada yang menikah dengan Aafi. Hanya kalian satu-satunya harapan kita.” Kalimat itu yang mampu menusuk ulu hati Dira. Antara keluarga dan perasaannya, mana yang harus ia terima? Tak tahu harus bagaimana, rasanya seperti ada palu besar yang menghantam kepala Dira. Bendenyut-denyut. Dira tak bisa berfikir jernih. Ingin sekali Dira memecahkan kepalanya saja. Dira sudah cukup sering merepotkan Kakaknya. Kakaknya selalu ada untuknya, selalu melindunginya. Lalu apa sekarang Dira akan membiarkan saudara kembarnya mengalah lagi demi dirinya? Sedangkan di dalam hatinya, Adityo sudah merajai, tidak ada Aafi. Tapi Dira tidak bisa membiarkan Nadi mengalah lagi. Sudah hampir seminggu Dira menghindari Adityo. Dira tak punya cukup nyali untuk bertemu dengan pribumi itu. Dira tidak bisa menjelaskan perihal dilema yang dihadapinya saat ini. Adityo juga sudah lama merasakan sesuatu yang berbeda dari sosok Dira. Tyo yakin bahwa Dira sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Sudah beberapa kali Tyo mencoba berbicara pada Dira, tapi Dira tetap bungkam. Hingga suatu malam, Adityo berhasil megajak gadis itu ke Pantai. Dengan paksaan tentunya, mereka duduk di tepi pantai. Angin malam yang dingin mengalahkan ketidakkuatan Dira yang sudah lelah menyimpan dukanya sendiri. Pada awalnya Dira masih saja bungkam. Hanya suara ombak dan angin yang terdengar di telinga mereka. Dira tidak bisa menahannya lagi. Selama perjalanan menuju pantai tadi, ia sudah menahan bulir-bulir bening yang ada di matanya. Dan tanpa sadar, kini sudah mengalir begitu saja. Adityo tak berani bertanya. Ia membiarkan Dira menumpahkan air matanya. “Yo,” Panggil Dira dengan tangis yang masih menghiasi pipinya. Adityo tak menjawab. Ia hanya menoleh pada gadis malang yang berada di sebelahnya itu. “Yo. A… aku minta maaf.” Ucap Dira yang membuat Adityo semakin kebingungan.



Apa sebenarnya yang telah terjadi dengan gadis ini? Apakah sebuah permintaan maaf ini berkaitan dengan kejadian saat terakhir mereka bertemu? “Apa yang terjadi padamu, Ra?” Jawab Adityo tak sabar. “Yo. Aku benar-benar minta maaf.” Ucapnya sekali lagi. “Yo. Kamu sudah tahu kan siapa sebenarnya aku? Dan bagaimana status keluargaku?” Adityo mengangguk, “Iya, Ra. Kenapa?” “Beberapa hari yang lalu Umi bilang kalau diantara aku dan Nadi harus ada yang menikah dengan Aafi, lelaki yang tanpa harus aku jelaskan pasti kamu sudah tau siapa. Aku bingung, Yo. Aku bingung.” Dira mencoba menjelaskan. Jantung Adityo serasa berhenti berdetak. Adityo tersentak. Dia tak bisa berkata-kata. Sejak awal ia tahu Dira akan dihadapkan dengan pilihan keluarganya. Tapi kenapa harus sekarang? Setelah hubungan Adityo dan Dira mulai ada perkembangan? Adityo menatap Dira lekat. Dira masih menangis menundukkan kepalanya. Kedua tangannya menutupi wajahnya. Adityo tahu betul apa yang dirasakan Dira. “Apa aku harus membiarkan Nadi mengalah lagi? Aku bahkan selama ini terlalu egois, Yo. Nadi sudah sering mengalah untukku. Lalu harus bagaimana aku?” Ucap Dira sesenggukan. “Jadi? Kamu yang akan menikah dengan Aafi-Aafi itu?” Adityo mencoba bersikap tenang. Dira menggeleng. Dira tak tahu. Dira sungguh kebingungan. “Rasanya aku pengen egois lagi, Yo. Tapi aku tak bisa membiarkan Nadi mengalah untuk ke sekian kali. Kapan aku bisa melakukan sesuatu untuk keluargaku? Sama sekali tidak pernah, Yo. Sama sekali.” Tangis Dira semakin menjadi-jadi. Untuk pertama kalinya, Adityo benar-benar merasa terluka. Berkali-kali Tyo diabaikan Dira dengan sikap cueknya. Berkali-kali Tyo berusaha menyembunyikan perasaannya. Kini setelah cintanya telah terbalas, ia harus dikembalikan pada posisi awal. Mau tidak mau, cintanya harus cukup untuk dirinya sendiri lagi.



Adityo mencoba mengerti, walau kenyataannya hatinya teriris. Tyo hanya diam dan memilih mengantarkan Dira pulang. Cerita Dira tidak menyadarkan mereka bahwa hari pun sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Terlalu larut malam untuk posisi Dira. Adityo beranjak dari tempat duduknya. Meninggalkan gemercik ombak yang melambai memintanya tetap terduduk saja. Tapi Adityo tidak bisa egois. Mengingat Dira dan keluarganya, dia harus cepat-cepat mengantarkan gadisnya pulang. Dira mengangkat wajahnya menatap Adityo yang berdiri dengan pandangan mengarah ke laut. Dira kembali bersuara Tyo. “Yo. Aku benar-benar minta maaf.” Tyo mencoba tersenyum. Menunjukkan bahwa dia baik-baik saja. Perlakuan Adityo justru semakin mencabik-cabik hati Dira. Pria ini, sahabatnya sejak kecil yang paling mengerti dirinya. Tapi apa balasan Dira? Dira malah mengkhianatinya. Menyakiti perasaannya. Motor Adityo sudah membelah jalan raya. Masih ada sedikit manusia yang berlalulalang dengan kendaraannya meskipun sudah larut malam, sama seperti dirinya. Bedanya mereka pulang dengan keadaan ingin segera bertemu dengan keluarganya. Lain dengan Dira. Dira ingin menghentikan waktu sekali ini saja agar bisa tetap bersama dengan laki-laki yang saat ini sedang bersamanya. Di sepanjang perjalanan, Dira menangis. Meratapi takdirnya. Disaksikan dengan bulan sabit dan bintang-bintang yang berada di atasnya. Pun dengan Adityo. Dia menyembunyikan tangisannya. Mengangis diam-diam dalam hatinya. Dia hanya pura-pura baik-baik saja. Padahal sesungguhnya sangat merana. Tidak ada satu pun suara yang menghiasi perjalanan mereka, hanya ada perasaan terluka dan derai air mata. 0000 Di tempat lain, Yogi sudah berdiri di depan pintu rumah besar bernuansa Arab. Memantapkan hatinya untuk berbicara dengan Ibnu Alkaff, Ayah Nadia. Perlahan-lahan tangannya mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Yogi sedikit ragu untuk mengetuknya lagi. Namun hatinya memaksa untuk meneruskan perjuangannya. Diketuknya pintu itu sekali lagi, tetap tidak ada tanda-tanda yang mendengarkannya. Satu kali lagi Yogi akan mencoba, kalau memang pintu itu tidak terbuka, Yogi berjanji akan kembali. Mungkin ini belum saatnya.



Satu detik, dua detik, sampai sepuluh detik pintu di depannya tetap tertutup rapat. Yogi mengembuskan nafasnya kasar. Sekali lagi ia menatap pintu, tapi tetap hanya suara angin yang terdengar, akhirnya dia memutuskan untuk pergi. Namun belum satu langkah ia pergi, terdengar suara pintu terbuka. Yogi membalikkan badannya. Nadi terlihat dari balik pintu. Yogi tersenyum penuh arti. Tapi gadis yang di depannya malah membulatkan mata ketika melihat siapa yang datang. Wajahnya menunjukkan ketakutan. Senyum di bibir Yogi seketika menghilang. “Abi kamu, ada?” Nadi mengangguk, “Kamu mau apa, Gi? Kenapa nggak ngabarin dulu?” Yogi tersenyum, “Aku mau ketemu ayah kamu.” Nadi terkejut, “Gi, kamu jangan bercanda. Kamu tahu Ayah aku seperti apa.” Yogi kembali tersenyum, “Iya Di, Aku tahu. Aku sudah siap. Kamu pasti masih ingat, berbicara dengan orang tua kamu bukan hal yang aku takutkan. Aku benar-benar ingin menunjukkan keseriusan hubungan kita.” Nadi bergeming, “Di, biarkan aku berjuang. Kamu nggak sendiran, kita hadapi semua ini sama-sama.” Dengan ragu-ragu, akhirnya Nadi mengangguk. Untuk pertama kalinya, Yogi memasuki rumah Nadi. Ia menerawang seisi ruangan. Banyak terpajang foto-foto habib dan syeikh di dindingnya. Di setiap sudutnya pun terisi tulisan kaligrafi yang mengagumkan. Di dinding tengah, terdapat satu foto berukuran besar berisikan anggota keluarga mereka. Nadi dan Dira berada ditengah, diapit oleh kedua orang tuanya. Mereka tersenyum bahagia, seolah tak ada badai yang selalu menerpa. Bayangan Yogi terhenti dengan kedatangan Ibnu, ayah Nadi. Nadi berada di belakangnya dengan menunduk pasrah. Yogi mencoba bersikap ramah. Ia bangun dari duduknya, menyalami pria paruh baya yang jauh lebih tinggi darinya itu. Mencium punggung tangan dengan rasa hormat. Ibnu Alkaff menerima uluran tangan Yogi. Tapi ketika melihat matanya, Yogi bergidik ngeri. Sorotan matanya yang tajam, raut wajahnya yang tegas, rahangnya yang mengeras, menunjukkan betapa laki-laki di depannya ini sedang menyembunyikan kemarahannya. Tapi Yogi tak boleh gentar. Ia sudah bertekad untuk



memperjuangkan cintanya. Ia sudah bertekad untuk membawa Nadi dalam keluarga kecilnya. Ia sudah bertekad untuk membuat Nadi bahagia. Ya, Yogi pasti bisa. Yogi melirik Nadi sekilas. Nadi hanya berdiri di sebelah Abinya yang sudah terduduk di depan Yogi. Tangannya meremas-remas kerudung, menandakan ia sedang cemas. Yogi menarik nafasnya perlahan dan memulai pembicaraan. “Om. Saya Sigit Prayogi.” Katanya memperkenalkan diri. Laki-laki di depannya tetap diam. Kemudian Yogi meneruskan kata-katanya. “Jadi kedatangan saya ke sini, saya ingin melamar Nadi, putri Om.” Nadi memejamkan matanya kuat-kuat. Tidak kuasa menanti jawaban dari Abinya. “Saya ingin menunjukkan keseriusan saya kepada Nadi, Om. Saya ingin menjadi Imam untuk Nadi. Saya ingin Nadi menikah dengan saya.” Ibnu Alkaff berdiri mendengar ucapan yang terlontar dari bibir Yogi. Raut wajahnya semakin memperlihatkan ketidaksukaan. Dadanya naik turun menahan marah. Jari telunjukknya mengarah tepat ke arah Yogi. “Apa kamu sadar, apa yang sudah kamu katakan?!!” Katanya dengan penuh penekanan. “Berani-beraninya kamu melamar putri saya? Memangnya kamu tidak sadar kamu ini siapa? Kamu tidak pantas bersanding dengan putri saya! Lagi pula saya sudah menyiapkan jodoh untuknya. Jadi lebih baik kamu pulang saja!” Nadi tak kuasa menahan air matanya. Jantungnya kekurangan oksigen. Rasanya sesak sekali. Nadi menangis. Ia berlari ke arah kamarnya, ingin menumpahkan segala kesedihannya. Ibnu Alkaff dan Yogi memandangi kepergian Nadi dari ruang tamu. Yogi pun terpukul. Tak menyangka ia akan ditolak mentah-mentah di depan gadis yang sudah diimpiimpikannya sejak tiga tahun terakhir. “Pintu keluar ada di sana.” Tunjuk Ibnu. “Lebih baik kamu mencari perempuan yang lebih baik dan lebih cocok bersanding denganmu.”



Ibnu Alkaff berlalu meninggalkan Yogi di ruang tamu. Ia berjalan cepat mengikuti putrinya. Yogi terpaku. Menunduk diam-diam, menyembunyikan rasa kecewa yang mendalam. Nadi menjatuhkan diri di tempat tidur. Menutup wajah dengan telapak tangannya. Ia menggigit kuat bibir bawahnya agar isakannya tak terdengar. Semakin dalam air matanya tumpah ruah membentuk sebuah bendungan. Ibnu perlahan menyusul duduk di ujung ranjang. Tangannya menyentuh lembut puncak kepala Nadi. “Abi minta maaf, nak..” Nadi bergeming. “Abi tidak ada maksud melukaimu. Tapi Abi mau berharap pada siapa lagi, Nak? Pohon untuk meneruskan nasab keluarga kita ada padamu dan Aafi. Abi mohon mengertilah. Dan kamu tentu tau resiko ini sejak kecil” Rasanya Nadi tak tega mendengar permohonan itu. Nadi tahu, Abi hanya ingin dirinya tidak menentang agama dan meneruskan nasab keluarga mereka. Nadi tahu semua itu. Bagaimana lagi? Nadi terlanjur mencintai. Tiga tahun ia bersembunyi. Kini dengan gampang hubungannya harus berhenti. “Abi harus bersikap keras padamu dan Dira. Hanya kalian yang Abi punya. Abi seperti ini karena Abi sangat menyayangi kalian berdua. Maafkan Abi..”



∞∞∞



11



Mengingat perkataan Ayahnya semalam, Nadi kemudian langsung meletakan kepalanya diatas meja serta menutupi wajahnya yang mulai murung itu. “Ya Allah, aku tidak tau harus bagaimana dalam menyikapi persoalan ini.” Lirih Nadi dengan air mata yang mulai membasahi wajah cantiknya. “Haruskah aku mengorbankan keinginanku bahkan dalam masalah perasaan? Aku ingin egois, tapi aku juga tidak mau membantah keinginan keluargaku?” Nadi tidak henti-hentinya bertanya pada dirinya sendiri apa yang harus dilakukannya, keputusan apa yang harus diambil jika keadaanya seperti ini. Mencoba untuk berusaha sejenak melupakan persoalan yang rumit ini, Nadi mulai melanjutkan menyelesaikan skripsinya kembali. Dari kejauhan terlihat seorang laki-laki yang diam-diam memerhatikan garak gerik Nadi. Siapa lagi kalau bukan Yogi. Dibalik rak buku besar yang bersebrangan dengan tempat duduk Nadi, Yogi memandanginya penuh nanar mengingat kedatangannya semalam ke rumah Nadi. Yogi ingat betul bahwa kehadirannya di rumah Nadi sangatlah tidak disukai oleh Ibnu, Ayah Nadi. Yogi memang sengaja untuk tidak menemui Nadi secara langsung, tidak dalam waktu dekat ini. Karena Yogi tahu bukan hanya dirinya lah satu-satunya orang yang terluka dalam permasalahannya ini, Nadipun sama terlukanya. “Mungkin bila ditelaah dengan baik yang paling tersakiti dalam masalah ini bukan aku, melainkan Nadi.” Batin Yogi, penuh sesak. Memperhatikan Nadi dari jauh saat ini mungkin menjadi salah satu cara terbaik untuk membantu persoalan yang dihadapi Nadi. Selain Yogi belum siap, menemui Nadi sekarang bisa saja menyakiti Nadi kembali. Barangkali Nadi butuh ketenangan agar bisa menemukan solusi dari permasalahanya itu. “Maafkan aku Nadi, kali ini aku harus jadi pengecut yang hanya bisa memandangmu dari jauh tanpa tau apa yang harus aku lakukan” Kata Yogi sambil memandang Nadia.



Sementara, Dira yang sudah tau persoalan tentang perjodohan itu, kini ia berusaha menerima apapun yang nantinya akan terjadi. Walaupun didalam hatinya, ia sudah berniat untuk mengalah kepada kakaknya, Nadi. Berbeda dengan Nadi, Dira lebih memilih untuk tidak terlalu memikirkanya walau memang didalam benak hatinya juga terdapat rasa sedih, marah namun seperti biasa ia lebih memilih untuk menyembunyikanya dengan memasang wajah yang datar. Dira, bergegas ke kamar mandi setelah latihan olahraga dengan teman-teman seorganisasinya. Setelah selesai ia bergegas untuk ke parkiran. Di sana Dira bertemu dengan Tyo. Karena pertemuan mereka sebelumnya membuat Tyo kali ini sedikit canggung, namun seperti biasa sikap cuek Dira kembali muncul. Tanpa sepatah katapun Dira langsung menuju motornya. Melihat sikap Dira yang seperti itu Tyo langsung menghampirinya dan duduk disebelahnya meskipun agak jauh. “Kayaknya, ada tuan putri yang lagi sedih nih.” Sindir Tyo. “Assalamualaikum Tyo.” Jawab Dira menyembunyikan kesedihannya. “Astaghfirullah… Waalaikumussalam sholikhah.” Jawab Tyo sedikit tersindir. “Nah gitu dong, menjawab salam wajib hukumnya” jawab Dira dengan sedikit senyum diraut wajahnya. “Akhirnya aku ngliat senyum itu juga di wajah kamu, he..he..he” tambah Tyo Seperti biasanya, Tyo berusaha membuka pembicaraan dengan kekonyolanya. Tiba-tiba terdengar nada suara hp pertanda sms pada hp Dira. Setelah Dira membuka ternyata sms tersebut tertulis: From: Abiku Sayang “Assalamualaikum putrid-putriku Nadi dan Dira. Abi berharap hari ini kalian bisa pulang kerumah lebih awal, karena ada seseorang yang penting yang akan bertamu di rumah kita. Usahakan atur ulang jadwal apapun jika kebetulan jadwal itu ada pada hari ini. Abi tunggu. Wassalam”



Pesan singkat itu sontak membuat Dira bingung kenapa Ayahnya tiba-tiba mengirim pesan seperti ini. To: Abiku Sayang “Waalaikumussalam Abi.. memang ada siapa yang mau bertamu?” balas Dira bingung. “Tumben banget sih Abi ngirim pesan kayak gini.” Tambah Dira kebingungan. Di tempat lain, Nadi yang sama-sama mendapatkan pesan dari ayahnya memiliki respon yang berbeda dari Dira. Dia ingat betul dengan ucapan ayahnya semalam mengenai perjodohannya dengan Aafi. “Secepat inikah bi?” “Bukankah baru tadi malam Abi menolak lamaran laki-laki yang aku cintai.” “Dan sekarang Abi sudah merencanakan pertemuan keluarga dengan laki-laki yang sama sekali aku tidak cintai.” Sesak Nadi Didalam hati Nadi memberontak, dengan keputusan Ayahnya yang begitu tiba-tiba. Namun, sekali lagi Nadi tidak berdaya untuk membantah kemauan Ayahnya, atau lebih tepatnya kewajiban yang harus ia jalani bahwa dia harus menikah dengan golongan yang sama dengannya. Karena ia tau ini bukanlah kesalahanya, hal ini mungkin memang sudah ditakdirkan jauh sebelum Nadi dilahirkan. Malam ini terasa berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Kepanikan Nadi tergambar dengan jelas di raut wajahnya. Sementara Dira masih saja bertanya-tanya siapakah sebenarnya yang akan bertamu. Maghrib berlalu, waktu terasa begitu cepat bagi Nadi yang dari awal sudah tau siapa yang akan datang dan untuk tujuan apa mereka datang, memilih menyelesaikan skripsinya. Sebaliknya, waktu terasa sangat lambat bagi Dira karena dia masih diselubungi oleh rasa penasaranya, ia tidak bertanya kepada kakaknya, karena ia tidak ingin terlihat penasaran didepan kakaknya sendiri. Sementara dua putri Ibnu Alkaff ini menunggu dikamar masing-masing, Kuniawati sibuk dengan mempersiapkan makanan untuk makan malam bersama, serta hal-hal yang lain



juga. Karena Ibnu tidak ingin ada hal yang nantinya akan kurang, maka semuanya mereka persiapkan demi kelancaran pertemuan keluarga ini. “Tok! tok! tok!” Terdengar suara ketukan pintu, dari kamar Nadi “Ini Umi kak” “Oh, iya mi, bentar” bergegas Nadi membuka pintunya setelah mendengar suara ibunya. “Silahkan masuk mi” jawab Nadi sambil membuka pintu kamarnya. “Kamu kok belum siap-siap kak?” “Iya belum mi, aku lagi nyelesaiin skripsi aku nanggung lagi konsen, jadi belum sempet siap-siap.” “Loh, ko gitu? Umi tau kakak pasti merasa kecewa dengan rencana yang mendadak ini, tapi Umi minta sama kakak untuk mencoba memahami ini semua.” Jelas Umi “Iya umi, maaf. Bentar lagi aku siap-siap.” Pasrah Nadi “Ya udah Umi tinggal dulu.” Sambil berjalan keluar kamar Nadi Setelah keluar tiba-tiba Kurniawati berpapasan dengan Dira yang kebetulan juga keluar dari kamarnya. “Eh, adek udah siap-siap ternyata.” Terkejut Umi “Iya mi, emang kenapa mi? kan tadi siang Abi sms ada orang penting yang mau bertamu” bingung Dira dengan ucapan umi yang langsung membahas itu. “Enggak apa-apa, soalnya tadi umi lihat kakak kamu malah belum siap sama sekali, dia malah sibuk nyelesaiin skripsinya.” Ungkap umi “Oh, ya? Ko tumben banget kakak kaya gitu.” Heran Dira “Nggak tau itu kakak kamu” sambil berlalu umi berjalan meninggalkan Dira. Dalam hati Dira masih keheranan dengan perkataan umi tadi, sambil memandangi pintu kamar Nadi



“Tumben banget dia bersikap seperti itu, biasanya juga dia yang paling rajin dan bersemangat dalam segala hal” Batin Dira. Tiba-tiba muncul Nadi dibalik pintu kamarnya, “Astaghfirullah, ngagetin aja.” Ucap Dira spontan “Lah... kamu ngapain berdiri di depan pintu?” lanjut Nadi yang kebingungan. “Hmmm.. nggak ngapa-ngapain kok, Cuma kebetulan lewat aja terus kamu keluar dan kaget.” Jawab Dira singkat. Sambil mengalihkan pandangan ke ponselnya lalu Dira meninggalkan Nadi. Tak lama kemudian, keluarga dari Aafi datang, Dengan sapaan yang hangat Abi langsung mempersilahkan mereka duduk dan memulai pembicaraan. “Bagaimana nih, kabar ente” sapa Ibnu Alkaff setelah menjawab salam dari Ayah Aafi. “Alhamdulillah, bikhoir, ente sendiri gimana?” “Alhamdulillah, harus sehat dong, apalagi kedatangan tamu istimewa.” Jelas Ibnu Tak lama kemudian Kurniawati dibantu Nadia dan Nadira datang menghampiri mereka dengan membawa beberapa makanan ringan dan minuman untuk para tamu. Sontak Aafi yang sudah lama tidak bertemu dua gadis yang memiliki wajah hampir sama tersebut tidak bisa melepaskan pandanganya kearah mereka. Hal itu pula disadari oleh Nadia dan Nadira. Kemudian, mereka langsung bergabung duduk bersama Ibnu, Kurniawati serta keluarga Aafi. “Oh, jadi ini jawabannya, pantas saja Nadi terlihat tidak bersemangat malam ini.” Ungkap Dira dalam hati sambil menoleh kearah Nadia. Setelah melihat keluarga Aafi akhirnya Dira mengerti, apa maksud dari isi pesan yang dikirimkan Abinya tadi siang. “Udah lama kita nggak ketemu ya Nadi, Dira.” Sapa Uminya Aafi. “Iya Umma, udah lama keluarga kita tidak berkumpul seperti ini.” Jawab Nadi sopan.



“Tambah dewasa kalian, tambah cantik- cantik juga nih.” Tambah Abi Aafi “Bisa aja Abu, kita biasa-biasa aja kok, iya kan kak.” Jawab Dira ganti “Hmm.. iya Adek bener, kita biasa-biasa aja kok Abu.” Balas Nadi terdengar kikuk Di tengah pembicaraan mereka, tiba-tiba saja Ibnu langsung mengganti topik yang menjadi tujuan utama keluarga Aafi datang bertamu. “Nah, nak Aafi kan udah liat nih, anak-anak abuyah sekarang sudah dewasa sudah pantes lah buat menjalani rumah tangga, Lalu bagaimana tentang kelanjutannya?” “Iya, ente bener. Ini Aafi juga sudah cukup dewasa ini, sudah saatnya kita merencanakan pernikahan diantara Aafi dan salah satu dari salah satu dua putrimu.” Jawab Abi Aafi “Kalau untuk permasalahan siapa yang nantinya akan menjadi istri dari Aafi, Ane sih terserah dari merekanya saja. Jadi, Ane kembalikan lagi kepada Nadi dan Dira.” Mendengar pembicaraan mereka, Nadi dan Dira seperti tidak bisa berkata apapun. Mereka hanya bisa terdiam dan pasrah akan keputusan, siapa yang nantinya akan menjadi pendamping dari seorang laki-laki yang sama sekali mereka (Nadia dan Nadira) tidak cintai. “Kalau begitu bagaimana Nadi, Dira siapa diantara dari kalian yang bersedia menerima lamaran dari Aafi?” tanya Ibnu kepada kedua putrinya. Sejenak diam, mereka bingung apa yang harus mereka jawab. Di satu sisi Nadi yang telah terlanjur mencintai laki-laki lain sulit rasanya untuk menerima Aafi namun jika dia menolak maka itu sama saja dia mengorbankan adiknya untuk bersama Aafi atau bahkan menentang agamanya sendiri. Sementara Dira yang awalnya sudah tau ini akan terjadi ditambah dia juga sudah tau dengan hubungan Nadi dengan Yogi, dia berniat untuk mengalah. Karena melihat Nadi dan Nadira yang diam tidak menjawab, Ibnu kemudian mengulangi pertannyaan itu lagi “Bagaimana Nadi, Dira kita yang ada disini sedang menunggu jawaban kalian.” Sahut Ibnu dengan nada yang sedikit tegas



“Abi, boleh nggak aku dan kakak, izin kebelakang sebentar untuk merundingkan ini, apalagi ini menyangkut masa depan kami juga.” Jawab Dira dengan nada yang pelan “Baiklah, tapi jangan lama-lama ya.” Dira langsung memegang tangan Nadi, kemudian mengajaknya pergi menjauh menuju dapur. Nadi yang tidak tau rencana Dira sontak ia langsung melepaskan tanganya dari genggaman Dira. “Apa yang kamu lakukan, kenapa kamu malah bawa aku kesini?” tanya Nadi “Tenang dulu, aku ngajak kamu untuk ngobrol disini semata-mata buat bilang sesuatu ke kamu.” Jawab Dira dengan serius “Apa?” Tanya Nadi singkat “Apa… kamu sudah memutuskan tentang perjodohan ini?” Dira balik bertanya dengan nada yang serius Sontak Nadi kaget dengan apa yang dikatakan oleh Dira, meskipun sudah beberapa hari ini keduanya sama-sama kepergok sedang memikirkan hal yang sama. Kemudian Nadi memang tidak langsung menjawabnya karena, dia masih dilema dengan keputusan yang akan dia ambil. “Jawab kak, apakah kamu akan menerimanya atau menolaknya?” tanya Dira lagi. “Aku enggak tau dek, aku masih bingung.” Jawab Nadi sambil sesekali memegeng pelipisnya. “Baiklah kalau seperti itu biar aku saja yang menikah dengan dia.” Mendengar Dira mengatakan hal itu, Nadi langsung menatap Dira dengan tatapan yang serius. “Apa? Apa maksud kamu bilang seperti itu. Memang aku masih bingung dengan keputusan yang aku ambil tapi bukan berarti kamu yang akhirnya menikah dengan Aafi.” “Aku hanya berfikir selama kita menjadi anak Abi, kamu yang selalu mengalah dalam segala hal, kamu yang selalu membela aku disaat Abi memarahiku, kamu juga yang selalu membantuku dalam segala hal. jadi, aku fikir ini saatnya aku membalas semua kebaikan yang pernah kamu berikan kepadaku.” Jawab Dira dengan mata yang berkaca-kaca.



Mendengar jawaban Dira yang seperti itu Nadi langsung memeluknya dengan air mata yang mulai membasahi kerudung Dira. “Nggak dek, kamu tidak perlu melakukan ini semua hanya untuk balas budi kepadaku. Semua yang aku lakukan itu semata-mata adalah kewajiban dari seorang kakak yang harus selalu melindungi adiknya. Jadi aku mohon jangan pernah berfikir untuk berkorban dengan menerima lamaran ini.” Tambah Nadi Kebersamaan mereka terhenti saat Umi tiba-tiba muncul diantara mereka. Seketika itu mereka segera menghapus air mata yang masih terlihat di raut wajahnya. “Ternyata kalian ada disini, Abi sudah nunggu loh.” Kata Kurniawati sambil berjalan mendekati keberadaan dua putrid kembarnya. “Iya Umi, ini kita mau kesana.” Jawab Dira Kemudian mereka langsung kembali bergabung dengan para tamu “Maaf ya semuanya, sudah menuggu lama.” Kata Nadi “Oh, iya ngga apa-apa ko, Abu tau ini bukan keputusan yang gampang, jadi kita semua memakluminya.” Jawab Abi Aafi “Terima kasih Abu, Umma.” “Terus bagaimana keputusannya?” tanya Abi “Begini saya dan Nadi sudah berdiskusi tadi, dan kami juga sudah memutuskan bahwa yang akan menikah dengan Aafi adalah ..” jawab Dira Namun, seketika Nadi memotong pembicaraan Dira, karena dia tau kalau Dira akan mengatakan hal yang tidak seharusnya dikatakan sekarang. “Maaf, saya potong. Hmm.. maksud perkataan Dira tadi kami memang sudah berdiskusi sipa yang nantinya akan menjadi pendamping hidup Aafi. Namun, seperti apa yang dikatakan Abu tadi bahwa keputusan ini sangat sulit, jadi kami mohon untuk meminta sedikit waktu untuk memikirkan hal ini. Mungkin dua minggu lagi” Tambah Nadi “Kalau seperti itu keputusanya, maka baiklah kami sekeluarga memaklumi karna memang untuk menjalani sebuah pernikahan bukanlah sesuatu hal yang mudah, butuh



kesiapan yang matang biar nantinya bisa bertahan selamanya. Perbanyak sholat tahajjud dan istikharah minta petunjuk-Nya” Kata Abi Aafi Setelah kesepakatan tersebut terjadi, bukannya membuat kedua gadis tersebut lega. Malahan membuat mereka semakin tak karuan.



∞∞∞



12



Yogi memasuki rumahnya dengan langkah gontai. Ia tak bersemangat. Ibu Yogi menatap kepulangan putranya. Raut keterpurukan yang justru terlihat. Wanita paruh baya itu mendekati Yogi dan menepuk pundaknya. Yogi hanya menoleh dan tersenyum kaku dengan Ibunya. Yogi terus melanjutkan langkah, ia ingin segera sampai di kamar. Yogi merasa lelah sekali malam ini. Tidak. Yogi yakin ia baik-baik saja. Bukankah sejak awal dia sudah tahu hubungannya akan sesulit ini? Yogi baik-baik saja. Sungguh baik-baik saja. Yogi menutup pintu kamarnya. Tidak sengaja matanya menangkap gitar di sebelah lemari. Setelah sibuk mengurus skripsi, sudah cukup lama Yogi tidak bermain-main dengan gitar lagi. Tangannya beralih mengambil gitar. Dulu, saat sedang gundah Yogi akan menumpahkannya dengan petikan gitar. Baginya gitar mampu memperbaiki mood. Mungkin saja kalau Yogi melayang bersama suara alunan gitar ia bisa melupakan kejadian malam ini. Yogi yakin setelah ini dia akan benar-benar baik-baik saja. Jemarinya mulai memetik senar. Mengingat beberapa kunci. Sembari ia bernyanyi menghilangkan duka malam ini. Ku tak mengerti semua ini Berawal saat pertama kita jumpa Kau membuatku jatuh hati Tanpa alasan yang pasti, hati berseri Tatapan matamu yang mengalihkanku dari duniaku Ku tak menyangka ini semua sejauh ini kita menjalin kasih Aku mengharapkanmu Agar kau bisa hidup denganku Aku menginginkanmu Bersatu padu dalam jiwaku



Aku merindukanmu Saat kita jauh Yogi menghentikan jemarinya. Memukul-mukul gitar yang ada di pangkuannya. Ia menunduk. Tanpa sadar, Yogi menangis. Yogi tidak baik-baik saja. Yogi memang sedang terluka. Apakah Yogi dan Nadi harus mengakhiri hubungannya? Apa tiga tahun ini ternyata sia-sia? Yogi tak kuasa. Ia tergugu dalam tundukan. Tyo pun sama porak-porandanya. Laki-laki itu terlihat berantakan. Separuh kewarasannya lenyap. Salah memang, harusnya Tyo mampu membatasi perasaannya sendiri. Karena sejak awal dia tahu perbedaan di antara ia dan Dira. Tapi siapalah Tyo untuk mengatur hatinya. Ia kelewat jatuh sedalam-dalamnya untuk Dira. Hingga ketika semuanya seperti ini, hari-harinya tidak lagi sama. Tyo adalah ahli dalam menyimpan kemarahan. Sejak dulu, ia lebih suka mengaplikasikan emosinya dengan diam. Ia masih tetap menjalani aktivitasnya yang biasa. Tapi jiwanya terlihat hampa. Ia jadi lebih irit berbicara dan lebih banyak menyendiri. setiap hari memilih memutari jalan, sebisa mungkin menghindari segala kemungkinannya bertemu dengan Dira atau keluarganya. Sampai akhirnya, laki-laki itu jatuh sakit. Badannya demam dan hanya bias berbaring. Ibu Tyo yang melihatnya merasa batinnnya ikut terluka. “YaAllah, nak..” Ibu Tyo mengganti kompres di kening Tyo untuk kedua kalinya. Sejak sejam lalu panasnya belum juga turun. “Bu..” Tyo meracau. Dalam igau, tangisnya meledak. Dadanya terasa sesak. Sesenggukan laki-laki itu mengeluarkan segala perasaannya yang selama ini coba ia redam. Ibu Tyo ikut menangis. Telapak tangannya mengusap pelan rambut kepala Tyo. “Besok kita pergi ya, nak. Kita ke Surabaya setelah Adit sembuh.” Ibu Tyo akhirnya memutuskan pilihan untuk membawa anaknya pergi sebentar untuk berlibur sekaligus mengikuti semi final perlombaan design batik di Surabaya. Mereka hanya hidup berdua. Hanya Tyo dan batik yang selama ini membuatnya tetap hidup. Patah-patah, Tyo mengangguk. Dia memang harus pergi, walaupun untuk waktu yang tidak lama.



Sesungguhnya, tidak hanya dua laki-laki itu yang terluka. Nadi dan Dira pun sama. Saudari kembar itu tidak memiliki pilihan selain mengorbankan diri ketimbang saudarinya yang lain. Posisi mereka lemah dalam struktur keluarga. Tidak bisa membantah. Mengingat marga mereka yang harus dilanjutkan, mereka akhirnya harus melukai tidak hanya Yogi dan Tyo, melainkan juga diri mereka sendiri. ∞∞∞



EPILOG



Sebuah gang besar di daerah terkenal itu ditutup sejak kemarin lusa. Janur kuning melengkung sempurna terpasang mengapit pintu masuknya. Siapapun yang melihat papan nama pengantinnya akan tahu, ini adalah pernikahan satu marga. Suara musik gambus samar terdengar hingga ujung gang. Mobil-mobil beraneka plat berderet rapih di sisi kiri. Tapi sebuah mobil berwarna lemon itu justru berhenti di seberang gang. Sudah satu jam. Namun pengemudinya tidak beranjak. Memandang nanar gang yang sebenarnya biasa ia lewati itu. Kedua tangannya memegang erat-erat kemudi, menyalurkan segala emosi yang memenuhi benak. Seharusnya ia yang menikahi perempuan itu. Perempuan yang sejak dulu ia cintai. Perempuan yang tawanya selalu memenuhi mimpi-mimpinya. Harusnya ia yang mengucapkan ijab kabul itu tadi pagi, menjabat erat tangan ayahnya, memberikan mahar terbaik yang ia punya. Harusnya ia yang mengulurkan tangannya untuk dicium perempuan itu. Harusnya ia yang mengusap air mata haru yang membasahi pipi gadis itu. Hanya ia. Bukan laki-laki pilihan Ibnu. Atau bahkan laki-laki lain. Siapa yang mengatakan tiada hasil yang menghianati usaha? Siapa? Siapa sialan yang mengatakan itu? Kepalan tangan laki-laki itu terayun, memukul kemudinya hingga buku-buku tangannya terasa sakit. Pikiran warasnya melarang keras segala rencana jahat seperti merubuhkan tenda ataupun membunuh mempelai prianya. Tidak. Bukan begitu cara seorang gantleman mencinta. Tapi apalah gunanya jika kewarasannya itu sudah terenggut lebih dari separuhnya. Dibukanya pintu mobil dan ditutupnya dengan satu sentakan keras. Tungkaitungkai kakinya melangkah, menyebrangi jalanan yang cukup sepi. Ia berjalan lambatlambat, mencoba menghitung presentase kewarasannya sendiri, sekaligus menghitung tindakan apa yang akan dilakukannya dengan sisa kewarasannya itu. Air matanya tidak lagi ia ijinkan untuk turun. Sudah cukup. Itulah mengapa ia memilih untuk pergi selama beberapa minggu ini. Itulah mengapa ia berada di sini. Ia akan berdamai. Hanya itu pilihan paling waras yang tersisa. Dan hanya itu yang harus dia lakukan. Untuk kebahagiaan perempuan itu. Untuk ketenangan hatinya sendiri. Walaupun mungkin



setelah ini hatinya tidak akan mudah membawa kembali masuk apapun yang berhubungan dengan cinta, tak apa, ia akan mengikuti segala prosesnya hingga sembuh. “Mas Tyo!” Diantara samar-samar musik gambus dan euforia keramaian pernikahan keturunan Arab, terdengar seruan seorang wanita. Diiringi langkah-langkah kaki yang ritmenya cukup sering. Bunyi ketukan alas kaki terasa semakin dekat. Tyo menoleh, terkejut mendapati siapa yang berada di belakangnya. Gadis itu! Mahasiswi yang menjadi tour guidenya selama event perlombaan design batik di Surabaya. Mahasiswi tengil yang suka menjahilinya. Pun mahasiswi yang berjasa membawa kesedihannya pergi dengan berkeliling kota Surabaya. Bagaimana bisa gadis itu di sini? Rasanya Tyo masih belum lupa ia membatalkan tawaran gadis itu untuk menemaninya ke acara pernikahan Dira. Kebetulan gadis itu memang tengah berlibur, setelah tertarik dengan asal muasal Tyo dan Ibunya. “Kamu. Saya kan sudah bilang saya bisa datang sendiri.” Gadis di hadapannya tidak langsung menjawab. Ia tampak sibuk mengatur napas karena berlari kecil mengejar Tyo. Setelah napasnya mulai teratur, ia mendelik sebal kepada Tyo. “Ngebatalin janji pas hari H. Gimana sih? Aku tuh udah prepare dari kemarinkemarin tahu. Lagian Ibu aja nggak ngelarang kok. ” sungutnya. Tyo memutar bola matanya, malas. “Yang kondangan itu saya. Bukan ibu saya. Dan kamu, tolong jangan panggil ibu saya begitu. Beliau bukan ibu kamu.” Tyo merutuk dalam hati mendengar omongannya yang ketus. Kemana hilangnya gombal-gombal recehnya yang dulu. Gadis di hadapannya menghela napas dan mengembuskannya dengan perlahan. Sambil mencari sisa-sisa kesabaran di dalam hati. “Aku nggak mau bahas itu. Sekarang, yang terpenting itu harga diri mas.” “Harga diri saya?”



“Ah susah ngomong sama mas Tyo. Udah ayo masuk aja.” Gadis itu mendekat, melingkarkan lengannya pada lengan kiri Tyo. “Anya.” Gadis itu masa bodoh. Tyo mana mungkin bisa menghempas kasar tangan gadis itu. Ia memberatkan langkah. “Zevanya Prihasinta.” Anya berhenti. “Kalau mas Tyo lupa, mas itu janji mau ajak aku keliling dan mengenal budaya Pekalongan. Pernikahan keturuan Arab ini kan budaya juga. Udah deh ya. Mas itu harusnya bersyukur didampingin sama anak muda cantik kayak aku. Ketimbang sendirian, mas tuh bakalan ditolak masuk. Kayak video-video yang viral di sosmed, mantan gagal move on kayak mas gini berpotensi merusak acara.” Bibir Tyo terkatup. Beberapa detik ia tidak bisa membalas. Ia mengembuskan napas lelah. Benar juga, setidaknya kehadiran gadis ini bisa menjadi pengontrol kewarasannya. 000 Di sela-sela antrean tamu yang mengular di sekitar pelaminan, Dira meminta waktu untuk duduk sebentar. Heels tujuh senti yang membingkai kakinya ia lepas. Perempuan itu sejujurnya sudah luar biasa lelah. Kakinya terasa sakit karena terlalu lama memakai heels. Perempuan itu terkesiap mendapati Aafi berjongkok di hadapannya. Ujung gaun resepsinya sedikit disingkap dan tangan Aafi meraih telapak kakinya. Pria itu memijat pelan kaki Dira sebelum memakaikan selop pengantin tanpa heel. Ia lalu mendongak, menatap wajah Dira yang diam-diam terasa panas. “Sabar sedikit lagi, ya.” Katanya. Dira mengangguk sebelum mengalihkan pandangannya dari Aafi. Selama proses menuju pernikahan, pria itu memang sering mengenakan gamis saat datang ke rumah Dira. Baru beberapa kali Dira melihatnya mengenakan pakaian kasual, saat membantunya menyelesaikan skripsi dan ketika menemaninya bimbingan. Tapi rasanya Dira belum terbiasa. Apalagi mendapati pagi tadi Aafi duduk di hadapan ayahnya dengan kemeja putih dibalut jubah berbordir benang emas dan celana senada. Peci putih membingkai bagian atas kepalanya. Wajahnya tampak cerah dengan kumis tipis mengiringi senyumannya yang lepas kala menyambut Dira di acara Temu. Acara yang mempertemukan pengantin pria dengan istrinya setelah ijab kabul.



Aafi menatap Dira yang memalingkan wajahnya sambil tersenyum. Gadis itu dan saudarinya sudah sejak beberapa tahun lalu menjadi topik di setiap makan malamnya di rumah. Dira beginilah, Nadi begitulah. Sudah sejak beberapa tahun ia mulai dikenalkan sifat dan karakter dua gadis yang dinilai bertolak belakang itu. Dan kesan baik memang lebih banyak mendominasi Nadi. Sekali lihat pun, orang-orang akan setuju. Gadis itu terlihat lebih lembut, pembawaannya tenang dan dewasa. Sampai akhirnya, Dira memintanya untuk bertemu, berbicara berdua. Siang itu langit cerah, angin berembus cukup kencang. Seharusnya Aafi bisa tidur siang sebentar di rumah, sesuatu yang jarang dilakukannya. Tapi di sinilah ia sekarang, duduk di atas sebuah batu besar yang ada di tepi laut. Memandang punggung Dira yang berdiri beberapa meter di hadapannya. Gadis itu masih bungkam sejak mereka makan bertiga—bersama orang kepercayaan keluarga Aafi untuk menemani mereka agar tidak hanya berdua—hingga gadis itu meminta untuk berbicara di pantai saja. Ghani—orang kepercayaan keluarga Aafi—duduk di bawah naungan tenda terpal sebuah warung, tidak jauh dari tempat Aafi duduk. Memberikan sedikit privasi untuk Aafi dan Dira. Aafi lalu melangkah maju, berdiri dengan jarak yang dirasa cukup di belakang Dira. Gadis itu seolah mengerti, akhirnya buka suara. “Dari dulu, kakak aku itu memang selalu mengalah. Jeleknya sih, aku jadi terbiasa dengan sikap mengalahnya itu. Aku jadi sering meminta tolong, bahkan untuk hal-hal yang bisa dibilang sepele. Sampai akhirnya, aku sakit, lumayan parah dan hampir satu minggu opname. Aku keluar dari rumah sakit beberapa hari sebelum hari tes SBMPTN. Nggak kayak Nadi yang langsung keterima SNMPTN, aku harus menerima kenyataan sejak awal aku nggak bisa ikut jalur undangan. Tes SBMPTN itu adalah satu-satunya kesempatan aku buat bisa sekampus sama Nadi. Satu-satunya kesempatan juga yang dikasih Abi. Beliau nggak mau aku coba ujian Mandiri atau lewat jalur-jalur lain. Yah, salahku sih yang memang bandel. “Sebenarnya, abi nggak kasih ijin buat aku pergi. Tapi aku beneran maksa. Akhirnya beliau kasih ijin asal aku berangkat ditemani umi dan Nadi. Kami berangkat bareng. Tapi, sebelum berangkat, aku benar-benar takut nggak akan bisa mengerjakan soal-soalnya. Mengingat waktuku kebanyakan habis untuk pemulihan. Aku akhirnya minta Nadi buat purapura jadi aku di hari ujian. Dan Abi nggak tahu, aku yang malah nunggu Nadi di luar dan



kakakku itu yang ngerjain soal ujiannya. Abi nggak tahu yang bisa bikin aku lolos adalah Nadi.” Aafi diam saja, mencoba menjadi pendengar yang baik. “Aku merasa bersalah sampai sekarang. Sama umi yang harus bohong sama suaminya. Sama Nadi yang harus bohong sama penguji dan juga ayahnya. Sama abi yang sudah dibohongi istri dan anak-anaknya. Makannya aku bersedia mengikuti keinginan beliau untuk menikah dengan Abang. Karena mungkin dengan ini aku bisa menebus kesalahankesalahanku kepada beliau sekaligus Nadi. Nadi sudah banyak mengalah, aku ingin dia berjuang untuk mempertahankan hubungannya. Aku ingin sekali-kali Nadi melakukan apa yang dia mau, apa yang buat dia bahagia.” Entah bagaimana, suara Dira terdengar jelas di telinga Aafi. Mengalahkan suara debur ombak yang memecah di tepi. Aafi terkejut saat tiba-tiba gadis itu menoleh, “Dira tahu, abang bisa saja menolak perjodohan ini. Abang laki-laki, pemegang nasab. Abang bebas menentukan akan menikah dengan siapapun, dari suku manapun. Karena nasab keluarga abang akan tetap berlanjut. Tapi abang memilih untuk menerima. Untuk itu, aku meyampaikan banyak terimakasih karena sudah mau memenuhi permintaan abi, bang. Terimakasih sudah mau berkorban untuk kelanjutan keturunan. Aku nggak bisa menjanjikan apa-apa. Tapi InsyaAllah, aku mau memulai semuanya bersama abang.” Sudut hati Aafi menghangat, semudah itu ia jatuh pada Dira. “Bang.” Tepukan di pundaknya membuat lamunan Aafi terhenti. Istrinya yang berhati besar itu menyodorkan segelas air putih. Setelah sempat minum, acara menyalami pengantin pun dilanjutkan. Dan pengantin itu terkejut mendapati siapa yang akan menghampiri mereka. Tyo dan Anya. Setelah menyalami orang tua Aafi, mereka kini berhadapan langsung dengan pengantin. Dira tercekat. Ia tidak menyangka laki-laki itu akan datang. Bersama seorang gadis muda dengan balutan dress katun tanpa lengan berwarna gading dan sneaker senada. Rambutnya tergerai hingga bahu. Dira mendadak gemetar. Melihat sekilas bagaimana ekspresi Tyo yang sempat menatapnya pilu. Lalu, ia merasakan sela-sela jarinya diisi jari Aafi. Pria itu mengeratkan genggaman sebelum melepaskannya dan memajukan sedikit badannya ke depan. Tyo



menatap Aafi serius sebelum membisikan sesuatu yang dibalas Aafi dengan bisikan juga. Dua pria itu tampak sama-sama mengetatkan rahang. Dira menelan ludah. Takut apa yang akan terjadi. Tapi ternyata setelah itu Tyo justru tersenyum, menjabat tangan Aafi dan mengucapkan selamat. Saat kemudian berhadapan dengan Dira, laki-laki itu hanya menatapnya sebentar, mengulurkan tangan. Dira menyambutnya, memasang baik-baik fokus telinganya yang sejak tadi diisi musik-musik gambus. “Selamat, Ra. Aku mendoakan yang terbaik buat kamu.” Dira mengangguk, pelupuk matanya sudah basah. “Terima kasih sudah datang, Tyo. Semoga doa itu kembali ke kamu.” Gadis yang datang bersama Tyo berdehem, merasa kesal karena partner kondangannya tidak mengenalkan mereka. Dira mencoba tersenyum saat mereka berjabat tangannya. “Halo, aku Anya. Selamat ya mbak atas pernikahannya. Mbak jangan khawatir, mas Tyo akan segera move on. Saya jamin.” Dira melebarkan senyum, merasa sedikit lebih baik mendengar ucapan Anya. Ditatapnya Tyo dan Anya yang berlalu sambil bergandengan. Tyo memang terlihat acuh, tapi lihat, laki-laki itu masih memperlakukan Anya dengan baik. Terlihat saat Tyo turun dari tangga pelaminan lebih dulu dan mengulurkan tangannya pada Anya, membantu gadis itu turun. Dira merasa lega dan bersyukur karena gadis itu kelihatan cheerful dan gigih. Diam-diam Dira mendoakan mereka sambil penasaran apa yang dibisikkan laki-laki itu kepada Aafi. Namun tidak ada kesempatan untuk membicarakannya. Sampai acara menyalami pengantin selesai dan mereka turun ke bawah untuk menari bersama keluarga dan kerabat. Aafi dan Dira berdiri di tengah dilingkari orang-orang. Pengantin dipersilahkan untuk memulai tarian lebih dulu. Musik mengalun, tamu-tamu mulai bertepuk dengan ritme yang khas. Sambil tersipu-sipu, dua sejoli itu akhirnya menari sambil bertepuk tangan juga. “Tadi Tyo bilang apa?” tanya Dira di sela-sela tarian mereka. Aafi mendekatkan telinga, suara musik pengiring tarian memenuhi telinganya. “Apa?” “Tadi Tyo bisikin apa??” ulang Dira, lebih keras. Aafi tersenyum.



“Tadi dia ancam saya, kalau sampai saya sakitin kamu, dia bakal cari dan bunuh saya.” Dira bergidik, membuatnya hampir jatuh andai saja tidak ditahan oleh Aafi. Sorakan riuh terdengar. Sedang dua sejoli itu sibuk membicarakan hal lain sambil mencoba mengikuti irama musik yang menghentak-hentak. “Terus abang bilang apa?” Dira masih berteriak. “Saya bilang akan selalu mencoba jadi suami terbaik buat kamu.” Aafi mengatakannya sambil berhenti menari dan mendekat ke istrinya. Napasnya tersengal, tapi ia tetap tersenyum. “Dan saya nggak bilang begitu karena ancaman Tyo. Melainkan karena saya memang mau begitu. Saya menghormati orang tua kamu. Saya juga akan menghargai kamu sebagai istri saya. Kita lewati semua tahapnya bersama-sama. Mungkin aka nada beberapa kesulitan dan luka, tapi saya akan berusaha untuk bertanggung jawab pada kamu, pada keluarga kita.” Di tengah keramaian itu, Dira menangis. Tidak menyangka pria di hadapannya akan berbicara begitu. Aafi akhirnya menarik istrinya dalam dekapan saat tamu-tamu mulai mendekat dan menari. Untuk sebentar, berbanding terbalik dengan irama musiknya yang menghentak, dua sejoli itu justru bergerak pelan. Barulah ketika tangis istrinya berhenti, mereka menari lagi bersama orang-orang dengan tawa lebar menghiasi wajah.



∞TAMAT∞