Nurul Azmi (Interaksi Obat Dan Makanan) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS INTERAKSI OBAT INTERAKSI OBAT DAN MAKANAN



DISUSUN OLEH Nurul Azmi



( 14334732 )



PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL 2015



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Interaksi obat dianggap penting karena dapat menguntungkan dan merugikan. Salah satu dari interaksi obat adalah interaksi obat itu sendiri dengan makanan. Interaksi antara obat dan makanan dapat terjadi ketika makanan yang kita makan mempengaruhi obat yang sedang kita gunakan, sehingga mempengaruhi efek obat tersebut. Interaksi anatara obat dan makanan dapat terjadi baik untuk obat dan makanan dapat terjadi baik untuk resep dokter maupun obat yang dibeli bebas, seperti obat antasida, vitamin, dll. Kadang-kadang apabila kita minum obat bersamaan dengan makanan, maka dapat mempengaruhi efektivitas obat dibandingkan apabila diminum dalam keadaan perut kosong, selain itu konsumsi secara bersamaan antara vitamin atau sumplemen herbal dengan obat juga dapat menyebabkan terjadinya efeksamping. Contoh reaksi yang dapat timbul apabila terjadi interaksi antara obat dan makanan, diantaranya : Makanan dapat mempercepat atau memperlambat efek dari obat, beberapa obat tertentu dapat menyebabkan vitamin dan mineral tidak bekerja secara tepat ditubuh, menyebabkan hilangnya atau bertambahnya nafsu makan, obat dapat mempengaruhi nutrisi tubuh, Obat herbal dapat berinteraki dengan obat modern. Selain itu, besar kecilnya efek interaksi obat dengan makanan antara tiap orang dapat berbeda, hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu seperti : Besarnya dosis obat yang diminum, usia, kondisi tubuh dan kondisi kesehatan pasien, waktu konsumsi makan dan waktu konsumsi obat. Untuk menghindari terjadinya interaksi obat dan makanan, bukan berarti menghindari untuk mengkonsumsi obat atau makanan tersebut. Yang sebaiknya dilakukan adalah pengaturan waktu antara obat dan makanan untuk dikonsumsi dalam waktu yang berbeda. Dengan mempunyai informasi yang cukup mengenai obat yang digunakan serta kapan waktu yang tepat untuk mengkonsumsinya, maka kita dapat menghindari terjadinya interaksi antara obat dengan makanan.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Interaksi Obat Interaksi obat adalah modifikasi efek suatu obat akibat obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan sehingga keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih berubah. Interaksi obat didefinisikan oleh Committee for Proprietary Medicine Product (CPMP) sebagai suatu keadaan bilamana suatu obat dipengaruhi oleh penambahan obat lain dan menimbulkan pengaruh klinis. Efek-efeknya bisa meningkatkan atau mengurangi efektifitas atau menghasilkan efek baru yang tidak dimiliki sebelumnya. Tetapi interaksi bisa saja terjadi antara obat dengan makanan, obat dengan herbal, obat dengan mikronutrien, dan obat injeksi dengan kandungan infus. Prevalensi interaksi obat secara keseluruhan adalah 50% hingga 60%. Obat-obatan yang mempengaruhi farmakodinamika atau farmakokinetika menunjukkan prevalensi sekitar 5% hingga 9%. Sekitar 7% efek samping pemberian obat di rumah sakit disebabkan oleh interaksi obat. Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi respons tubuh terhadap pengobatan terdapat faktor interaksi obat. Obat dapat berinteraksi dengan makanan, zat kimia yang masuk dari lingkungan, atau dengan obat lain. Biasanya, pengaruh ini terlihat sebagai suatu efek samping, tetapi terkadang pula terjadi perubahan yang menguntungkan. Obat yang mempengaruhi disebut dengan precipitant drug, sedangkan obat yang dipengaruhi disebut sebagai object drug. Sedangkan object drug, biasanya merupakan obat yang mempunyai kurva dose response yang curam. Obat-obat ini menimbulkan perubahan reaksi terapeutik yang besar dengan perubahan dosis kecil. Kelainan yang ditimbulkan bisa memperbesar efek terapinya. Juga bila dosis toksik suatu object drug, dekat dengan dosis terapinya, maka mudah keracunan obat bila terjadi suatu interaksi. Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi, terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi rendah) seperti glikosida jantung, antikoagulan dan obat-obat sitostatika. Dengan kemajuan teknologi dan pengalaman pemakaian obat-obatan, maka interaksi obat makin banyak diketahui. Secara farmakologis, obat yang bertindak sebagai precipitant drug mempunyai sifat sebagai berikut :



a. Obat yang terikat banyak oleh protein plasma akan menggeser obat lain (object drug) dari ikatan proteinnya. Contoh : aspirin, fenilbutazon dan golongan sulfa b. Obat yang menghambat atau merangsang metabolisme obat lain. Contohnya :  Perangsang metabolisme : fenitoin, karbamazepan, rifampisin, antipirin, dan 



griseofulvin. Penghambat metabolisme : alopurinol, simetidin, siklosporin, luminal,



ketokonazol, eritromisin, klaritromisin, dan siprofloksasin. c. Obat yang mempengaruhi renal clearance object drug. Contohnya : furosemid (diuretik) dapat menghambat ekskresi gentamisin sehingga menimbulkan toksik. Interaksi obat menurut jenis mekanisme kerja dibagi menjadi 2 yaitu interaksi farmakodinamika dan interaksi farmakokinetika. a. Interaksi farmakodinamika Interaksi farmakodinamika hanya diharapkan jika zat berkhasiat yang saling mempengaruhi bekerja sinergis atau antagonis pada suatu reseptor, pada suatu organ sasaran atau pada suatu rangkaian pengaturan. b. Interaksi farmakokinetika Interaksi farmakokinetika dapat terjadi selama fasa farmakokinetika obat secara menyeluruh juga pada absorpsi, distribusi, biotransformasi dan eliminasi. B. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Interaksi Obat Berbagai faktor dapat mempengaruhi kerentanan pasien terhadap interaksi obat antara lain : 1. Faktor Usia Distribusi obat-obatan yang larut dalam lipid (obat-obatan yang larut dalam lemak) mengalami perubahan yang jelas, di mana wanita usia lanjut memiliki jaringan lemak 33% lebih banyak dibandingkan wanita yang lebih muda, sehingga terjadi akumulasi obat. Usia juga mempengaruhi metabolisme dan klirens obat akibat perubahan yang terjadi pada hati dan ginjal. Saat tubuh semakin tua aliran darah melalui hati berkurang dan klirens beberapa obat dapat terhambat sekitar 30-40%. Selain itu enzim-enzim hati yang menjalankan metabolisme obat mudah melimpah sehingga memperlambat metabolisme akibatnya terjadi peningkatan konsentrasi obatobatan tertentu. Berdasarkan WHO kelompok usia lanjut dibagi menjadi 3 golongan besar yaitu usia 60-74 tahun (young old), 75-84 tahun (old old) dan > 85 tahun (oldest old). Perubahan fisiologis yang terjadi pada orang usia lanjut adalah penurunan massa otot, cairan tubuha, laju filtrasi glomerulus, aliran darah ke hati serta peningkatan lemak tubuh.



Tabel 2.1 . Perubahan farmakokinetika pada orang usia lanjut Faktor Farmakokinetik Motilitas Gastrointestinal



Kemaknaan Klinis Dapat mempengaruhi kecepatan, namun tidak mempengaruhi tingkat, penyerapan obat



pH Lambung



Perubahan tidak bermakna pada penyerapan obat



Fungsi Ginjal



Penurunan eliminasi obat-obat yang diekskresi melalui ginjal



Albumin dalam Serum



Penurunan pengikatan protein sehingga meningkatkan fraksi obat bebas



Total air tubuh



Penurunan volume distribusi obat-obatan yang larut dalam air



Rasio Lemak tubuh/massa



Peningkatan volume distribusi obat-obatan yang larut



tubuh dalam lemak 2. Faktor Polifarmasi Tujuan dari Polifarmasi ini tidak lain adalah untuk mencapai efek terapi yang optimum mengurangi efek samping, menghambat timbulnya resistansi, mencegah kemungkinan adanya efek toksik yang disebabkan oleh substansi zat aktif. Polifarmasi berarti pemakaian banyak obat sekaligus pada seorang pasien, lebih dari yang dibutuhkan secara logis-rasional dihubungkan dengan diagnosis yang diperkirakan. Banyak obat yang tidak ada hubungannya dengan penyakit pasien diberikan pada pasien yang tentu saja merupakan pemborosan dan meningkatkan insiden penyakit karena obat. 3. Faktor Penyakit Diabetes, hipotensi atau hipertensi, tukak, glaucoma, pelebaran prostat, kontrol kandung kemih yang buruk, dan insomnia adalah beberapa kondisi yang perlu diperhatikan karena penderita penyakit seperti ini berpeluang lebih tinggi mengalami interaksi obat-penyakit. 4. Faktor Genetik Karena faktor genetik sebagian orang memproses (metabolisme) obat secara lambat akibatnya suatu obat bisa berakumulasi di dalam tubuh sehingga menyebabkan toksisitas. C. Dampak Klinis Interaksi Obat Dampak klinis interaksi obat dilakukan dari beberapa obat yang saling berinteraksi dimana ha yang paling utama adalah interaksi yang berpengaruh signifikan terhadap klinis



Tabel 2.2. Dampak klinis interaksi obat berdasarkan level kejadian Level signifikan 1



Level Skala Interaksi Obat Level Level Lokumentasi Major Established, probable atau suspected



2



Moderat



Established, probable atau suspected



3



Minor



Established, probable atau suspected



4



Major atau Moderat



Possible



5 Minor untuk seluruh kelas Possible dan Unlikely a) Level signifikansi 1 risiko yang ditimbulkan berpotensial mengancam individu atau dapat mengakibatkan kerusakan yang permanen. b) Level signifikansi 2 efek yang timbul akibat penurunan dari status klinik pasien sehingga dibutuhkan terapi tambahan atau perawatan di rumah sakit. c) Level signifikansi 3 efek yang dihasilkan ringan; akibatnya mungkin dapat menyusahkan atau tidak dapat diketahui tetapi secara signifikan tidak mempengaruhi terapi sehingga treatment tambahan tidak diperlikan. d) Level signifikansi 4 efek yang dihasilkan dapat berbahaya dimana respons farmakologi dapat berubah sehingga diperlukan terpi tambahan e) Level signifikansi 5 efek yang dihasilkan ringan dimana respons klinik dapat berubah namun ada beberapa yang tidak mengubah respons klinik.



BAB III PEMBAHASAN



Seperti halnya makanan obat-obatan yang diminum harus diserap melalui mukosa lambung atau usus kecil. Akibatnya adanya makanan di dalam sistem pencernaan dapat menurunkan absorpsi suatu obat. Biasanya interaksi semacam ini dapat dihindari dengan meminum obat satu jam atau dua jam setelah makan. Serat makanan juga mempengaruhi absorpsi obat. Karakteristik fisik dan kimia suatu obat adalah faktor yang sangat menentukan potensi interaksinya dengan makanan. Obat yang berbeda di dalam kelompok obat yang sama atau



formulasi obat-obatan identik yang berbeda bisa menunjukkan karakteristik kimia yang berbeda sehingga menghasilkan interaksi obat dengan makanan yang benar-benar berbeda. Terjadinya interaksi makanan dengan obat tergantung pada ukuran dan komposisi makanan serta waktu pemberian obat dalam kaitannya dengan makan. Misalnya bioavailabilitas obat-obatan lipofilik biasanya meningkat dengan kandungan lemak yang tinggi atau karena peningkatan daya larut obat (misalnya albendazol dan isotretinoin) atau perangsangan sekresi asam lambung (misalnya griseofulvin dan halofantrin). Atau kandungan serat yang tinggi dapat menurunkan bioavailabilitas obat-obatan tertentu (misalnya digoksin dan lovastatin) karena pengikatan terhadap serat. Bioavailabilitas dan efek sebagian besar obat saling berkaitan sehingga perubahan bioavailabilitas merupakan suatu parameter efek interaksi obat dengan makanan yang sangat penting. Interaksi farmakokinetik obat dengan makanan yang paling penting disebabkan oleh perubahan absorpsi suatu obat karena reaksi kimia yang terjadi antara obat dengan makanan atau respons fisiologi terhadap makanan ; perubahan keasaman lambung, sekresi asam empedu , atau motilitas saluran percernaan. Interaksi makanan dengan obat yang hanya mempengaruhi tingkat absorpsi obat sering terjadi secara klinis namun jarang signifikan. Namun untuk beberapa obat, ansorpsi cepat yang menghasilkan konsentrasi tertinggi obat mungkin tidak dianjurkan karena terjadinya efek negatif yang terkandung konsentrasi (misalnya kapsul misoprostol dan nifedipin). Hubungan antara parameter farmakokinetik dengan efek farmakologi tidak selalu sederhana. Umumnya perubahan-perubahan bioavailabilitas yang terkait makan hanya bisa digunakan sebagai indikasi-indikasi obat dengan makanan. Relevan tergantung pada titik obat (misalnya anti kuman, antihipertensi, obat penurun lipid atau anti koagulan). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat interaksi antara makanan dan obat dimana dampak interaksi makanan dengan obat tergantung pada sejumlah faktor seperti dosis obat, usia subjek, ukuran dan kondisi kesehatan. Terlepas dari faktor-faktor ini, waktu konsumsi makanan dan obat juga memperlihatkan peran penting. Pencegahan interaksi obat bukan berarti menghindari obat atau makanan. Tidak semua obat dipengaruhi makanan, namun banyak obat yang dapat dipengaruhi oleh makanan dan waktu makan. Misalnya, minum obat bersamaan dengan waktu makanan dapat mempengaruhi absorpsi obat. Makanan dapat memperlambat dan menurunkan absorpsi obat. Itulah sebabnya obat-obatan ini mesti diminum saat perut dalam keadaan kosong. Disisi lain, beberapa obat lebih mudah ditoleransi ketika diminum pada waktu makan.sebaiknya ditanyakan ke dokter atau apoteker apakah obat bisa digunakan bersamaan dengan snack atau



makanan utama, atau apakah obat mesti digunakan ketika perut dalam keadaan kosong. Makanan dapat mempengaruhi absorpsi obat didalam traktus gastrointestinalis dengan mengubah pH lambung, sekresi, dan motilitas saluran pencernaan, serta waktu transit. Hal ini menyebabkan perubahan kecepatan absorpsi atau tingkat absorpsi obat. 1. Contoh interaksi obat dan makanan yang diambil dari jurnal a. Interaksi Jus Buah Nanas Dan Paracetamol Hewan uji dikelompokkan secara acak dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok I (parasetamol) diberikan parasetamol tunggal dosis 9 mg/200g BB peroral. Kelompok II (parasetamol dan jus nanas dosis 1) diberikan parasetamol dosis 9 mg/200gBB bersamaan dengan jus buah nanas dosis 2,7 g/200gBB. Kelompok III (parasetamol dan jus nanas dosis 2) diberikan parasetamol dosis 9 mg/200gBB bersamaan dengan jus buah nanas dosis 5,4 g/200gBB. Cuplikan darah hewan uji diambil selama 9 jam pada vena lateralis ekor tikus. Penetapan kadar parasetamol pada plasma dilakukan dengan spektrofotometer UV. Parameter farmakokinetik dihitung menggunakan metode regresi linear dan metode residual selanjutnya diuji secara statistik menggunakan One Way ANOVA dengan tingkat kepercayaan 95%. Berdasarkan hasil penelitian memperlihatkan bahwa kelompok II dan kelompok III meningkatkan secara signifikan parameter Cpmaks, tmaks, t½ab, t½el, AUC dan menurunkan secara signifikan parameter ka, ke, dan CL. Kelompok III memberikan pengaruh yang paling kuat terhadap profil farmakokinetik parasetamol yaitu dengan menurunkan parameter absorbsi dan eliminasi serta meningkatkan parameter metabolisme parasetamol pada tikus. b. Interaksi Madu Dan Aspirin Penelitian menggunakan tikus putih Wistar jantan, umur 2 bulan, berat badan rata-rata 200 gram. Sebanyak 24 ekor tikus dibagi dalam 4 kelompok, dengan perlakuan control: diberi aquadest peroral l ml/200gram BB, perlakuan 1, 2 dan 3 diberi madu masing- masing l ml/200gram BB. 2 m1/200gram, 3 ml/200gram BB tikus. Pemberian madu per oral selama 7 hari dan pada hari ke-7 seluruh tikus diberi aspirin masing-masing dosis 150 mg/ekor, Pada hari ke-8, seluruh tikus dinekropsi dan organ hepar diambil untuk selanjutnya dibuat preparat histologi dengan metode blok parafin dan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE). Pengamatan preparat dilakukan dalam 5 lapang pandang mikroskopik meliputi adanya kongesti, peradangan, hemoragi dan nekrosis. Data hasil pemeriksaan dianalisis dengan uji



statistik non parametric Kruskal Wallis. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan lesi kongesti dan peradangan antara kontrol dengan perlakuan 1, 2 dan 3. Tidak ada perbedaan lesi yang signifikan antara perlakuan 1, 2 dan 3. Kesimpulannya adalah ada peran madu sebagai barier pada mukosa lambung dan usus terhadap efek samping aspirin sebagai zat hepatotoksik. c. Interaksi Madu Dan Indometasin Metode : Penelitian eksperimental dengan rancangan post test only control group design ini menggunakan 24 ekor tikus putih jantan galur wistar dibagi dalam 6 kelompok secara random, lama perlakuan 15 hari. Kelompok I: pakan standar dan aquadest (PS+A); kelompok II: (PS+A), dan indometasin 3,8 mg; kelompok III : (PS+A), indometasin 3,8 mg, dan madu 3,6 ml 25%; kelompok IV: (PS+A), indometasin 3,8 mg, dan madu 3,6 ml 50%; kelompok V: (PS+A), indometasin 3,8 mg, dan madu 3,6 ml 75%; kelompok VI: (PS+A), indometasin 3,8 mg, dan madu 3,6 ml 100%. Gambaran histopatologi lambung diukur dengan derajat gastritis dan derajat ulkus peptikum dan diuji dengan uji Kruskal-Wallis, dilanjut dengan uji MannWhitney. Hasil : Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan paling tidak terdapat perbedaan bermakna derajat gastritis dan derajat ulkus peptikum antara dua kelompok (p < 0,05). Hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan derajat gastritis dan derajat ulkus peptikum antara kelompok kontrol dan perlakuan berbeda secara bermakna.



d. Permen Karet Yang mengandung Xylitol Dan Amlodipine Metode: Penelitian ini menggunakan eksperimental dengan rancangan pre and post test design. Jumlah sampel sebesar 15 orang lansia penderita hipertensi dengan terapi amlodipine di Puskesmas Kedungmundu Semarang. Hasil pengukuran curah dan pH saliva sebanyak dua kali, berupa data primer dengan skala rasio yaitu sebelum dan sesudah pemberian permen karet yang mengandung xylitol tiga kali sehari selama seminggu. Uji statistik menggunakan uji paired t-test yang dilanjutkan dengan uji non parametrik Wilcoxon. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna curah saliva dengan nilai p=0,000 (p < 0,05) pada uji paired t-test dan perbedaan yang bermakna pH saliva dengan nilai p=0,046 (p < 0,05) pada uji non parametrik wilcoxon.



e. Jus Alpukat Dan Aspirin Rancangan penelitian menggunakan The Posttest-Only Control Group Design. Subyek penelitian yaitu 30 mencit jantan galur Swiss webster, umur 2-3 bulan, dan massa ±20 gram. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Sampel dibagi 3 kelompok dengan 10 mencit tiap kelompok secara acak. Kelompok terdiri atas kelompok kontrol (K) tanpa diberi perlakuan, perlakuan 1 (P I) dengan pemberian aspirin 0,1 mL, dan perlakuan 2 (P II) dengan pemberian aspirin 0,1 mL setelah 1 jam sebelumnya diberi jus alpukat 0,5 mL. Pemberian perlakuan secara peroral setiap hari selama 7 hari. Pembuatan preparat lambung dilakukan pada hari ke-8 dengan metode blok parafin dan pengecatan Hematoxilyn-Eosin. Preparat kemudian diobservasi seluruh lapang pandang dan dinilai berdasarkan gambaran kerusakan yang paling berat. Dari data yang diperoleh dilakukan uji statistika Kruskal-Wallis H ( = 0,05) dilanjutkan uji statistika Mann-Whitney U ( = 0,05) dengan software SPSS Statistics 17.0. Dari hasil uji Kruskal-Wallis H diperoleh p < 0,05 dan nilai = 47,923. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna di antara tiga kelompok sampel atau dengan kata lain terdapat perbedaan gambaran histologist pada seluruh kelompok perlakuan tanpa diketahui kelompok mana yang berbeda. Kemudian hasil uji Mann-Whitney U diperoleh K dengan P I (p < 0,05), menunjukkan bahwa aspirin dapat menginduksi terjadinya kerusakan pada mukosa lambung. P I dengan P II (p < 0,05), menunjukkan bahwa jus alpukat dapat mengurangi kerusakan mukosa lambung mencit yang diinduksi aspirin. K dengan P II (p = 0,492), menunjukkan bahwa jus alpukat dapat mengurangi kerusakan mukosa lambung mencit yang diinduksi aspirin mendekati gambaran mukosa lambung mencit pada kelompok K. f. Pasien peminum kopi dengan pemberian anastetikum local. Kafein adalah derivat xantin yang bersifat memacu kerja jantung dengan meningkatkan denyut jantung. Tampak adanya pengaruh pada sistem kardiovaskuler yaitu terjadi penebalan pembuluh darah pada individu laki-laki usia 25 tahun keatas, sedangkan yang berusia 40 tahun keatas sering terjadi aterosklerosis. Hal ini sering terjadi pada individu laki-laki. Di bidang kedokteran gigi , anestetikum lokal yang mengandung vasokonstriktor sering digunakan untuk bius lokal yang juga dapat berpengaruh pada kardiovaskuler. Penggunaan vasokonstriktor perlu dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat penyakit jantung.



Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya perbedaan denyut jantung antara pasien laki-laki peminum kopi dan bukan peminum kopi usia 25 – 39 tahun setelah pemberian anestetikum lokal yang mengandung vasokonstriktor. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental klinis dengan rancangan penelitian one group pretest – pos test. Penelitian ini dilakukan di Klinik Bedah Mulut Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember pada bulan Februari-Maret 2005 dengan 20 sampel yang sesuai kriteria sampel kemudian dipilih secara simple selective sampling. Kemudian data ditabulasi dan dilakukan analisis data dengan paired t-test dan independent t-test. Besar rata-rata denyut jantung pasien laki-laki peminum kopi dan bukan peminum kopi usia 25-39 tahun dengan uji paired t-test, derajat kemaknaan 95% didapatkan probabilitas 0.000 pada peminum kopi dan 0.003 pada bukan peminum kopi (p