Objek Kajian Fiqh Siyasah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

A. OBJEK KAJIAN FIQH SIYASAH Dari batasan-batasan di atas, baik dalam pengertian etimologis maupun terminologis, dapat diketahui bahwa objek kajian fiqh siyasah meliputi aspek pengaturan hubungan antara warga negara dengan warga negara, hubungan antara warga negara dengan lembaga negara, baik hubungan yang bersifat intern suatu negara maupun hubugan yang berfifat ektern antarnegara, dalam berbagai bidang kehidupan. Dari pemahaman seperti itu, tampak bahwa kajian siyasah memusatkan perhatian pada aspek pengaturan. Penekanan demikian terlihat dari penjelasan T. M. Hasbi Ash Shiddieqy: Objek kajian siyasah adalah pekerjaan-pekerjaan mukallaf dan urusan-urusan mereka dari jurusan penadbirannya, dengan mengingat persesuaian penadbiran itu dengan jiwa syariah, yang kita tidak peroleh dalilnya yang khusus dan tidak berlawanan dengan sesuatu nash dari nashnash yang merupakan syariah ‘amah yang tetap.1 Objek pembahasan ilmu siyasah adalah pengaturan dan perundanganundangan yang dituntut oleh hal ikhwal kenegaraan dari segi persesuaiannya dengan pokok-pokok agama dan merupakan realisasi kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhannya.2 Dalam tulisan ini, berkenaan dengan pola hubungan antarmanusia yang menuntut pengaturan siyasah, dibedakan: 



Fiqh siyasah dusriyyah, yang mengatur hubungan antara warga negara dengan lembaga negara yang satu dengan warga negara dan lembaga negara yang lain dalam batas-batas administrasif suatu negara.



1



T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Op. cit hlm. 28.



2



Abul Wahhab Khallaf, Op. cit., hlm. 5.







Fiqh siyasah dawliyyah, yang mengatur antara warga negara dengan lembaga negara yang satu dengan warga negara dan lembaga dari negara lain.







Fiqh



siyasah



maliyyah



yang



mengatur



tentang



pemasukan,



pengelolaan, dan pengeluaran uang milik negara. B. METODE MEMPELAJARI FIQH SIYASAH Metode yang digunakan untuk mempelajari fiqh siyasah tidak berbeda dengan metode yang dipakai dalam mempelajari fiqh lain, semisal fiqh munakahat dan fiqh mawaris. Dalam kaitan ini, digunakan ‘ilm ushul al-fiqh dan kawait al-fiqh. Dibandingkan dengan fiqh-fiqh yang disebutkan di atas, penggunaan metode ini dalam fqh siyasah terasa lebih penting. Alasannya masalah siyasah di atur secara terperinci oleh syariat al-qur’an dan hadist. ‘Abd Wahhab Khallaf3 sebagai contoh, mengemukakan beberapa ayat Alqur’an yang berhubungan dengan masalah siyasah, dalam hal ini: 1. 10 ayat yang berhubungan dengan fiqh dustury. 2. 25 ayat berhubungan dengan fiqh dawly. 3. 10 ayat berhubungan dengan fiqh maliy.



Metoda yang dipergunakan untuk mempelajari fikih siyasah adalah ushul fiqh dan kaidah fiqhiyyah. Hal ini, sama dengan fiqh-fiqh lain. Penerapan dalil kulliy (umum) memiliki kandungan universal tidak terikat oleh dimensi ruang dan waktu. Metode tersebut tentunya harus dilanjutkan sebagai



aplikasi



yang



dapat



menyantuni



masalah



yang



ramah



mempertimbangkan kondisi dan situasi (maslahah). Membumi karena mampu mengatasi problim kemanusiaan yang bermoral agama (secara-horisontal), secara vertikal menyesuaikan nilai-nilai ketuhanan. Menggunakan metoda ushul fiqh dan qawa\’id al-fiqhiyyah dalam bidang siyasah syar\’iyyah (fiqh



3



‘Abd Wahhab Khallaf



siyasah) lebih penting dibanding dengan fiqh-fiqh lain, karena problim siyasah hampir tidak diatur secara terperinci oleh syari\’at Al-Qur\’an maupun al-Hadits. Misalnya Abdul Wahab Khallaf, memandang ayat-ayat Al-Qur\’an yang secara implisit memiliki konteks siyasah (problim politik) hanya beberapa ayat. 10 ayat berhubungan dengan fiqh dustury, 25 ayat dengan dawliy dan 10 ayat lagi berhungan dengan fiqh maliy. Mirip halnya dengan fiqh munakahat ataupun muamalah yang menggunakan metoda secara langsung kepada al-Qur\’an dan al-Hadits. Baru -menggunakn pendektan ijtihad. Metode yang digunakan dalam fiqih siyasah tidak berbeda dengan metode yang digunakan dalam mempelajari fiqih pada umunya yaitu metode usul fiqih dan metode kaidah fiqih. Keduanya telah teruji keakuratannyad alam menyelesaikan berbagai masalah. Metode usul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih memiliki banyak alternatif untuk dihadapkan dengan masalah-masalah yang timbul. Metode tersebut adalah qiyas, istihsan, ‘uruf, maslahat mursalat, istishab, yang dikenal dengan istilah mashadir al tasyri’ al islam fi ma la nashasha fih (sumber penetapan hukum islam yang tidak berasal dari nash) dan kaidah-kaidah fiqih. Metode ini memberikan kebebasan berfikir bagi penggunanya. Tapi ia harus merujuk kepada dalil-dalil kulli (umum) yang terdapat dalam Al Qur’an dan Sunnah. Dalil-dalil umum dijadikan sebagai alat kontrol terhadap ketetapan produk berpikir. (Dr. J. Suyuthi Pulungan; 1993, hal.30).



1. Qiyas (Analogi) Qiyas adalah penjelasan hokum terhadap sesuatu hal yang tidak ada penjelasan nash atau hukumnya dengan mengaitkannya dengan sesuatu hal yang ada nash hukumnya dalam Al qur’an dan Sunnah karena ada persamaan ‘illat (sebab) hokum pada kedua hal tersebut. Jadi kias dapat diterapkan dalam



menetapkan hukum suatu masalah yang tidak adanya nash hukumnya bila ada persamaan illat hokum dengan suatu masalah yang jelas hukumnya dalam nash. Contoh, Nabi saw melakukan dakwah islamiyyah dengan mengirimkan beberapa surat pada penguasa tetangga negara, untuk diajak menjalankan ajaran tawhid. Upaya tersebut diujudkan dalam bentuk ekspansi ke negara-negara tetangga oleh \’Umar ibn Khattab ra dan khalifah-khalifah sesudahnya. 2. Istihsan (Memandang lebih baik) Istihsan secara sederhana dapat diartikan sebagai berpaling dari ketetapan dalil khusus kepada ketetapan dalil umum. Dengan kata lain, meninggalkan suatu dalil, beralih kepada dalil yang lebih kuat, atau membandingkan satu dalil dengan dalil lain untuk menetapkan hukum. Sebagai contoh menurut sunnah tanah wakaf tidak boleh dialikan kepemilikannya dengan dijual, atau diwariskan atau dihibahkan. Tapi jika jika tanah wakaf tersebut tidak difungsikan sesuai dengan tujuan wakaf, ini berarti mubazir. Al-Qur’an melarang perbuatan mubazir. Untuk kasus seperti ini bisa diterapkan metode istihsan untuk mengefektifkan tanah wakaf tersebut sesuai dengan tujuan wakaf. 3. Mashlahah mursalah Kata mashlahah berarti kepentingan hidup manusia. Kata Mursalah sesuatu yang tidak ada ketentuan nash syariat yang menguatkan atau membatalkanya. Maslahah mursalah yang disebut juga istihlah secara terminologis menurut ulama-ulama usul, adalah maslahah yang tidak ada ketetapannya dalam nash yang membenarkannya atau membatalkannya. Metode ini adalah salah satu cara dalam menetapkan hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah yang ketetapannya tidak sama sekali disebutkan dalam nash dengan pertimbangan untuk mengatur kemaslahatan hidup manusia.



4. Istishab Istishab adalah menjadikan ketetapan hukum yang ada tetap berlaku hingga ada ketentuan dalil yang merubahnya. Artinya mengembalikan segala sesuatu kepada ketentuan semula selama tidak ada dalil nash yang mengharamkannya atau melarangnya. Allah menyatakan; Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu. (QS Al Baqarah;29). Dan Dia menundukkan untuk kamu apa yang ada dilangit dan apa yang ada dibumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada Nya (QS Al- Jatsiyah) 5. ‘Urf Kata ‘Urf berarti adat istiadat atau kebiasaan. ‘Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan menjadi tradisinya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, dan atau meninggalkan sesuatu. Pengertian ini dinamakan juga adat. Para ulama juga tidak membedakan antara ‘urf dan adat. Sebab definisi adat adalah apa yang telah dikenal oleh manusia dan menjadi suatu kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. A. Kaidah-kadiah fiqih Kaidah-kadiah fiqih yang dapat digunakan untuk mempelajari dan mengembangkan siyasah antara lain: 



“Perubahan hukum dengan sebab berubahnya zaman, tempat, situasi, adat dan niat”







“Kemaslahatan yang umum didahulukan atas kemaslahatan yang khusus”







“Kesulitan membawa kepada kemudahan”







“Tindakan atau kebijaksanaan kepala Negara terhadap rakyat tergantung kepada kemaslahatan.”







“Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya (secara sempurna) janganlah ditinggalkan seluruhnya.”



Kaidah-kaidah



tersebut



menegaskan



bahwa



suatu



kebijaksanaan,



keputusan, peraturan, perundang-undangan atau hukum di bidang muamalah yang ditetapkan pada suatu waktu dan tempat tertentu dapat diubah atau diganti oleh pemegang kekuasaan/ pemerintah.