Fiqh Siyasah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1 FIQH SIYASAH, HUKUM NEGARA, SOSIALISME & KESEJAHTERAAN SOSIAL PENGERTIAN SIYASAH SYAR’IYYAH DAN FIQIH SIYASAH SERTA CAKUPAN DAN SEJARAH MUNCULNYA A .    DEFINISI SIYASAH SYAR’IYAH  Secara sederhana siyasah syar’iyah diartikan sbg ketentuan kebijaksanaan pengurusan masalah kenegaraan yg berdasarkan syariat. Khallaf merumuskan siyasah syar’iyah dengan: Pengelolaan masalah2 umum bagi pemerintah islam yg menjamin terciptanya kemaslahatan dan terhindarnya kemudharatan dari masyarakat islam. Tidak bertentangan dengan ketentuan syariat islam dan prinsip2 umumnya. Abdurrahman taj yg merumuskan siyasah syariyah sebagai hukum2 yg mengatur kepentingan Negara, mengorganisasi permasalahan umat sesuai dg spirit syariat dan dasar2nya yang universal demi terciptanya tujuan2 kemasyarakatan, walaupun pengaturan tsb tidak ditegaskan baik oleh AlQur’an maupun al-sunah. Bahansi merumuskan bahwa siyasah syar’iyah adalah pengaturan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan tuntutan syara. Sementara para fuqaha, sebagaimana di kutip khallaf, mendefinisikan siysah syariyah sbg kewenangan pemerintah u melakukan kebijakan2 politik yg mengacu kpd kemaslahatan melalui peraturan yang tidak bertentangan dg dasar2 agama, walaupun tidak terdapat dalil yg khusus untuk hal itu. Dd menganalisis definisi2 yg di kemukakan para ahli di atas dpt ditemukan hakikat siyasah syar’iyah, y i: 1. Bahwa siyasah syar’iyah berhubungan dengan pengurusan dan pengaturan kehidupan manusia. 2. Bahwa pengurusan dan pengaturan ini dilakukan oleh pemegang kekuasaan(ulu ai-amr) 3. Tujuan pengaturan tersebut adalah untuk menciptakan kemaslahatan dan menolak kemudharatan. 4. Pengaturan tsb tidak boleh bertentangan dg syariat islam. Berdasarkan hakikat siyasah syar’iyah ini dpt disimpulkan bahwa sumber2 pokok siyasah syar’iyah  adalah al quran dan ai sunnah. Kedua sumber inilah yang menjadi acuan bagi pemegang pemerintahan untuk menciptakan peraturan2 perundang2an dan mengatur kehidupan bernegara. 1. PENGERTIAN FIQH SIYASAH Istilah Fiqh Siyasah merupakan tarqib idhafi atau kalimat majemuk yang terdiri dari 2 kata, yakni fiqh dan siayasah. Secara etimologis, Fiqh merupakan bentuk mashdar(gerund) dari tashrifan kata fiqhayafqahu-fiqhan yg berarti pemahaman yg mendalam dan akurat sehingga dapat memahami tujuan ucapan dan atau tindakan tertentu. Sedangkan secara terminologis, fiqh lebih popular di definisikan sebagai berikut: Ilmu ttg hukum2 syara’ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil2nya yang rinci. Sementara mengenai asal kata siyasah  terdapat dua pendapat. Pertama, sebagaimana di anut AL-Maqrizy menyatakan, siyasah berasal dari bahasa mongol, yakni dari kata yasah yang mendapat imbuhan huruf sin berbaris kasrah di awalnya sehingga di baca siyasah. Pendapat tsb di dasarkan kepada sebuah kitab undang2 milik jengish khan yang berjudul ilyasa yang berisi panduan pengelolaan Negara dg berbagai bentuk hukuman berat bagi pelaku tindak pidana tertentu. Kedua, sebagaimana di anut Ibn Taghri Birdi, siyasah berasal dari campuran tiga bahasa, yakni bahasa Persia,turki dan mongol. Ketiga, semisal dianut Ibnu manzhur menyatakan, siyasah berasal dari bahasa arab, yakni bentuk mashdar dari tashrifan kata sasa-yasusu-siyasatun  yg semula berarti mengatur, memelihara, atau melatih binatang, khususnya kuda. Sejalan dg makna yg disebut terakhir ini, seseorang yg profesinya sbg pemelihara kuda. Sedangkan secara terminologis banyak definisi siyasah yang di kemukakan oleh para yuridis islam. Menurut Abu al-Wafa Ibn ‘Aqil, siyasah adalah :“Suatu tindakan yg dapat mengantar rakyat lebih dekat kpd kemaslahatan dan lebih jauh dari kerusakan , kendati pun Rasulullah tidak menetapkannya dan Allah juga tidak menurunkan wahyu untuk mengaturnya” Dalam redaksi yang berbeda Husain Fauzy al-Najjar mendefinisikan siyasah sbb: “siyasah berarti pengaturan kepentingan dan pemeliharaan kemaslahatan rakyat serta pengambilan kebijakan (yang tepat) demi menjamin terciptanya kebaikan bagi mereka. Definisi yg paling ringkas dari Ibn Manzhur ttg siyasah adalah “ mengatur sesuatu dg cara yg membawa kpd kemaslahatan.” Setelah di uraikan definisi fiqh dan siyasah, baik secara etimologis maupun terminologis, perlu juga kiranya di kemukakan definisi fiqh siyasah. Penting dicatat, di kalanagn teoritisi politik islam, ilmu fiqh siyasah itu sering juga di sinonimkan dg ilmu siyasah syar’iyyah. Sebagaimana dijelaskan di atas dapat di tarik kesimpulan, fiqh siyasah adalah ilmu tata Negara Islam yang secara spesifik membahas tentang seluk beluk pengaturan kepentingan ummat manusia pada umumnya dan Negara pada khususnya, berupa penetapan



2 hukum, peraturan, dan kebijakan oleh pemegang kekuasaan yang bernafaskan / sejalan dengan ajaran islam, guna mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan menghadirkannya dari berbagai kemudaratan yg mungkin timbul dalam kejidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dijalaninya. 1. CAKUPAN FIQH SIYASAH Para ulama berbeda pendapat dalam menentukn ruang lingkup kajian fiqh siyasah.diantaranya ada yg menetapkan lima bidang. Namun ada pula yang menetapkan kepada empat atau tiga bidang pembahasan. Bahkan ada sebagian ulama yang membagi ruang lingkup kajian fiqh siyasah menjadi delapan bidang. Menurul al mawardi, ruang lingkup kajian fiqh siyasah mencakup: 1. Kebijaksanaan pemerintah ttg peraturan per-undang2an (siyasah dusturiyah). 2. Ekonomi dan militer (siyasah maliyah) 3. Peradilan (siyasah qadha’iyah) 4. Hukum perang (siyasah harbiah). 5. Administrasi negara (siyasah idariyah). Sedangkn ibn taimiyah meringkasnya menjadi empat bidang kajian yaitu: 1. Peradilan. 2. Administrasi negara. 3. Moneter 4. Serta hubungan internasional Sementara Abdul wahhab khallaf lebih mempersempitnya menjadi 3 bidang kajian saja yaitu: 1. Peradilan. 2. Hubungan internasional 3. Dan keuangan negara Berbeda  dengan tiga pemikirandi atas, T.M. Hasbi malah membagi ruang lingkup fiqh siyasah menjadi delapan bidang yaitu: 1. Politik pembuatan perundang-undangan. 2. Politik hukum. 3. Politik peradilan. 4. Politik moneter/ekonomi. 5. Politik administrasi. 6. Politik hubungan internasional. 7. Politik pelaksanaan perundang-undangan. 8. Politik peperangan. Berdasaran perbedaan pendapat di atas, pembagian fiqh siyasah dpt di sederhanakan menjadi 3 bag pokok. Pertama politik per-undang2an(al-siyasah al-dusturiyah). Bagian ini meliputi pengkajian ttg penetapan hukum (tasyri’iyah) oleh lembaga legislatif, peradilan (qadha’iyah) oleh lembaga yudikatif, dan administrasi pemerintahan (idariyah) oleh birokrasi / eksekutif. Kedua,  politik LN (al-siyasah al-kharijiah). Bagian ini mencakup hub keperdataan antara warga muslim dg warga negara non-muslim (al-siyasah al-duali al-‘am) atau disebut juga dg hubungan internasional. Ketiga, politik keuangan dan moneter (al-siyasah al-maliyah). Permasalahan yang termasuk dalam siyasah maliyah ini adalah negara, perdagangan internasional, kepentingan/hak-hak publik, pajak dan perbankan. 1. SEJARAH MUNCULNYA FIQH SIYASAH Pada dasarnya fiqh islam/ politik islam bersumber dari al-Quran, hadis serta rasio dan praktek kenegaraan yang terjadi baik pada masa nabi, khulafaurrasyidun, bani umayah dan abbasiah. Pembukuan dan perumusan secara sistematis tentang siyasah syar’iyyah baru pada masa khalifah al-Mu’tashim pd (218-228 bertepatan 883-824 M), dengan munculnya buku Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik (Prilaku Raja dalam pengaturan Kerajaan2) oleh Ibn Abu Rabi’ (227 H atau 842 M) terus di teruskan dan bermunculan kitab2 baru pada abad 18 dan 19 san, seperti karangan Al Mawardi (364-450 H/975-1058) dengan bukunya al-Ahkam alSulthaniyyah atas permintaan khalifah al-Qadir dan juga karangan Ibnu Taymiyyah (661-782 H)  Al-Siyasah al-Syari’ah fi Ishlah al-Ra’iyyah. Pada abad ke 20 muncul istilah2 keilmuan baru yakni: ‘ilm al-siyasah alsyai’ah, al-fikr al siyasi al islami ( Islamic political thought) dll. Krn politik ini lbh banyak terkait dg aktivitas mukallaf(af’alil-mukallifin), maka al-fiqh al-siyasi (fiqih politik), al fiqh al-dusturi (constitutional law),  atau fiqh al-dawlah (hukum ketatanegaraan). FIQH SIYASAH 2.2 Hubungan antara Ilmu fiqh dan Fiqh Siyasah



3             Hubungan antara Ilmu fiqh dan Fiqh Siyasah dalam system hukum islam adalah hukum2 islam yg digalih dari sumber yg sama dan ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan. Kemudian hubungan ke2nya dari sisi lain, Fiqh Siyasah dipandang sbg bag dari fiqh atau dalam kategori fiqh. Bedanya terletak pd pembuatanya. Fiqh ditetapkan oleh mujtahid. Sdgkan Siyasah Syar’iyah ditetapkan olh pemegang kekuasan.  2.3 Manfaat Fiqh Siyasah             Manfaat siyasah adalah: 1) mengatur peraturan dan per-undang2an Negara sbg pedoman dan landasan idiil dalam mewujudkan kemashalatan umat, 2) pengorganisasian dan pengaturan untuk mewujudkan kemaslahatan, dan 3) mengatur hub antara penguasa & rakyat serta hak & kewajiban masing2 dlm usaha mencapai tujuan Neg 2.4 Konsep-Konsep yang Berhubungan dengan Pemerintahan Islam : KHALIFAH Secara istilah pemimpin yg mengganti nabi dlm tanggung jawab umum thdp pengikut agama ini u mmbuat manusia tetap mengikuti UU yg mempersamakan seluruh umat islam di depan kebenaran sbg khalifah Rasul dalam memelihara agama dan mengatur dunia. Jadi, khalifah = pengganti / penguasa. IMAMAH Secara umum keimanan,kepemimpinan, dan pemerintahan. Menurut istilah seseorang atau kelompok orang yang melaksanakn wewenag dalam hal mengurus kepentingan masyarakat atau istilah lain kepemimpinan menyeliruh yang berkaitan dengan urusan keagamaan dan urusan dunia sbg pengganti  fungsi Rasulullah. Pendefinisian khilafah dan imamah lebih panjang oleh kepemimpinan Khulafaur Rosyidin. Hukum islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik Negara. Negara didasarkan pada prinsijp yang mengakui “kedaulatan tuhan”. Dan Nabi Muhammad SAW sebagai “wakil tuhan”. Dan menerapkan musyawarah sertra kedaulatan yang sesungguhnya berda pada Tuhan. IMAM Sebutan gelar yang paralel dengan khalifah dalam sejarah pemerintahan islam, adalah imam. Kata imam berarti ”pemimpin, atau contoh yang harus diikuti atau mendahului, memimpin. Kedudukan imam sama dengan khalifah, yaitu pengganti rasul sbg pemelihara agama dan penanggung jawab urusan umat. Secara istilah imam adalah ” seorang yg memegang jabatan umum dalam urusan agam dan urusan dunia sekaligus. IMARAH Imarah berasal dari kata “amr” yang artinya perintah persoalan, urusan atau dapat pula dipahami sebagai kekuasaan. Sementara itu imarat sebutan untuk jabatan amir dalam suatu Negara kecil yang berdaulat untuk melaksanakan pemerintahan oleh seorang amir. Istilah khilafah dan imamah lebih populer pemakaiannya dalam berbagai literatur ulama fiqh daripada  istilah imarah.  AMIR             Menurut istilah syara, amir adalah pejabat pemerintahan yg diangkat untuk mengatur dan memelihara salah satu urusan kaum muslimin. Ketika Rasulullah SAW masih berada di tengah umat islam’ istilah amir di gunakan untuk nama beberapa jabatan yang mengurusi suatu urusan.Umar bin khattab pernah berkata: “ Tidak ada arti islam tanpa jamah, tidak ada arti jamaah tanpa amir (pemimpin). Dalam arti lain amir adalah orang yang memerintah orang yg menangani persoalan, orang yang mengurus atau penguasa.             Konsep amir justru dapat di pahami lebih umum dalam seluruh pola kepemimpinan. Termasuk penguasa politik pemerintahan, pemimmpin organisasi dan perkumpulan dan sebagainya. Dalam proses pemilihannya pun, lebih banyak melibatkan unsur sosial kemasyarakatan, ketimbang doktrin. Dengan kata lain, legalisasi seorang amir ditentukan oleh kepercayaan orang banyak terhadap seseorang. 2.4.1. Ahlul Halli Wal Aqdi Dapat diartikan bahwa oran yg mempunyai wewenang untuk melonggarkan dan mengikat atau sekelompok orang yg memilih imam atau kepala Negara atau orang yg mempunyai wewenang.Biasanya istilah ini dirumuskan oleh ulama fiqih untuk sebutan bagi orang yg berhak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka. Paradigma pemikiran ulama fiqih merumuskan istilah Ahlul Halli Wal aqdi didasarkan pada system pemilihan empat khalifah pertama yang dilaksanakan oleh para tokoh sahabat yanag mewakili dua golongan yaitu Anshor dan Muhajirin. Bertolak dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa Ahlul Halli wal Aqdi merupakan suatu lembaga pilihan. Kecenderungan umat islam generasi pertama dalam sejarah secara tidak langsung atau melalui perwakilan. Dengan demikian Ahlul Halli wal Aqdi terdiri dari berbagai kelompok sasial yang memiliki profesi dan keahlian yang berbeda namun hal ini bukan hal prinsip, melainkan persoalan tekhnis dan temporer yang dapat berubah sesuai dengan tuntutan situasi dan kebutuhan masyarakat.



4 BAI’AT             Istilah bai’at berasal dari kata ba’a yg berarti “menjual”. Bai’at mengandung makna perjanjian, janji setia / saling berjanji dan setia. Dalam pelaksanaan bai’at selalu melibatkan dua pihak secara suka rela. Secar bahasa ialah berjabat tangan atas terjadinya jual beli dan untuk berjanji setia dan taat. Mk bai’at secara istilah = ungkapan perjanjian antara dua pihak yg seakan2 salah satu pihak menjual apa yang di milikinya. Dg demikian beberapa konsep yg berhub dg pemerintahan islam diatas, dapatlah ditarik bbrp pengertian, Pertama konsep khilafah lebih bersifat umum, artinya sebagai sebuah konsep, imamah dan imarah tercakup di dalamnya. Kedua masing2 konsep dpt dipahami dengan pendekayan karakteristik dan berbede2 khilafah lebih bersifat teologis & sosiologis sekaligus. Imamah  murni bersifat teologis, sementara itu imarah murni bersifat sosiologis . MAJLIS SYURO’ Permusyawaratan, hal yang bermusyawarah atau konsultasi. Majlis Syura berarti majelis permusyawaratan atau badan legislatif. Istilah syura berasal dari kata kerja syaawara-yusyawiru yg berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu. Bentuk2 lain yang berasal dari kata kerja syaawara adalah asyara (memberi isyarat), tasyawara (berunding, saling bertukar pendapat), syawir (meminta pendapat, musyawarah), dan mustasyir (meminta pendapat orang lain). Syura atau musyawarah adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai suatu perkara. Pengertian seperti ini terdapat pada tiga tempat di dalam Alquran. Pertama dalam surat al-Baqarah ayat 233 yang artinya: ‘’Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.’ Menyapih anak sebelum mencapai usia 2 th boleh apabila didasarkan pada kerelaan dan permusyawaratan antara suami - istri. Kedua dalam surat Asy-Sura ayat 38: ‘Dan (bagi) orang2 yg menerima (mematuhi) seruan TuhanNya dan mendirikan shalat, sdg urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah (syura) antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kpd mereka.’’ Ayat ini mgd pujian atas orang2 yg menerima seruan Allah SWT yg dibawa Nabi Muhammad SAW, mendirikan shalat dg baik dan benar, memusyawarahkan segala urusan mereka, dan menafkahkan sebagian dari rizki yang mereka peroleh. Bermusyawarah merupakan sifat terpuji bagi orang yang melaksanakannya dan akan memperoleh nikmat dari sisi Allah SWT, karena hal itu bernilai ibadah. Ketiga, dalam surat Ali ‘Imran ayat 159 yang artinya, ‘’Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kami bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah (syawir) dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu tlh membulatkan tekad, mk bertawakkal kepadaNya. Ayat ini merupakan perintah untuk melaksanakan musyawarah dg para sahabatnya dan perintah yang mensyariatkan musyawarah. Bermusyawarah merupakan ungkapan hati yg lemah lembut dan sifat terpuji orang yg melaksanakannya. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Tabari dalam menafsirkan ayat di atas menyatakan, sesungguhnya Allah SWT menyuruh Nabi Muhammad SAW untuk bermusyawarah dengan umatnya tentang urusan yang akan dijalankan supaya mereka tahu hakikat urusan tsb dan agar mereka mengikuti jejaknya. Namun kewajiban melaksanakan kewajiban musyawarah bukan hanya dibebankan kepada Nabi SAW, melainkan juga kepada tiap orang mukmin, sekalipun ayat tsb ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW. KESIMPULAN Dari penjelasan diatas dapat terlihat bahwa dalam berpolitik ada tata cara dan bernuansa Islam. Serta juga bukan hanya masalah Ubudiyah dan Ilahiyah saja yang dibahas. Melainkan segala masalah yg menyangkut aspek yg berkenan dg kemanusian dan kemaslahatan umat. Kajian Politik Islam sangatlah sempurna dan merupakan hal yang sangat di harapkan untuk di praktekkan. Diantara kajian Fiqh Siyasah (Politik Islam) ada beberapa bagian yang mengatur masalah dalam negeri, luar negeri, keuangan negara, serta keadaan perang atau darurat dalam negara. Makalah Pengertian Fiqh Siyasah Makna istilah, fiqh siyasah atau siyasah al-syar'iyyah diartikan sebagai berikut: 1. Menurut Ahmad Fathi; ‫تد بير مصـــالح العباد على وفق الشرع‬



5 "Pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan ketentuan syara\" (Ahmad Fathi Bahantsi dalam alsiyasah al-jinaiyyah fi al-syari 'at al-Islamiyah). 2. Menurut Ibnu 'Aqil, dikutip dari pendapat Ibnu al-Qoyyim, bahwa fiqh siyasah adalah; ‫ماكان فعال يكون منه النـاس أقرب الي المصلحة (الصالح) وأبعد عن الفسـاد وإن لم يكن يشرعه الرسول والنزل به وحي‬. . "Perbuatan yang membawa manusia lebih dekat pada kemalahatan (kesejahteraan) dan lebih jauh menghindari mafsadah (keburukan/ kemerosotan), meskipun Rasul tidak menetapkannya dan wahyu tidak membimbingnya". 3. Menurut Ibnu 'Abidin yg dikutip oleh Ahmad Fathi adalah; kesejahteraan manusia dg cara menunjukkan jalan yang benar (selamat) baik di dalam urusan dunia maupun akhirat. Dasar2 siyasah berasal dari Muhammad saw, baik tampil secara khusus maupun secara umum, datang secara lahir maupun batin. 4. Menurut Abd Wahab al-Khallaf; ‫تد بير الشئو ن العـامة للد ولة اإلســالمية بمايكفل تحقيق المصــالح ود فع المضار مما ال يتعدى حدود الشريعة وأصولها الكلية وإ لم يتفق‬ ‫بأقوال األئمة المجتهـــد ين‬. "Siyasah syar'iyyah = pengurusan hal2 yg bersifat umum bagi negara Islam dg cara menjamin perwujudan kemaslahatan dan menghindari kemadaratan (bahaya) dg tdk melampaui batas2 syari'ah dan pokok2 syari'ah yang bersifat umum, walaupun tidak sesuai dg pendapat ulama2 Mujtahid". Maksud Abd Wahab tentang masalah umum negara antara lain adalah ; a. Pengaturan perundangan-undangan negara. b. Kebijakan dalam harta benda (kekayaan) dan keuangan. c. Penetapan hukum, peradilan serta kebijakan pelaksanaannya, dan d. Urusan dalam dan luar negeri. 5. Menurut Abd al-Rahman Taj; siyasah syar'iyah adalah hukum-hukum yang mengatur kepentingan negara dan mengorganisir urusan umat yg sejalan dengan jiwa syari'at dan sesuai dg dasar2nya yg universal (kully), untuk merealisasikan tujuan-tujuannya yang bersifat kemasyarakatan, meskipun hal tersebuttidak ditunjukkan oleh nash-nash yang terinci dalam Al-Qur'an maupun al-Sunnah. 6. Ibn Taimiyah menganggap bahwa norma pokok dalam makna kontekstual ayat 58 dan 59 surat al-Nisa , tentang dasar2 pemerintahan adalah unsur penting dalam format siyasah syar'iyah. Ayat 1 berhubungan dengan penguasa, yang wajib menyampaikan amanatnya kpd yg berhak dan menghukumi dengan adil, sedangkan ayat berikutnya berkaitan dg rakyat, baik militer maupun sipil, yg harus taat kpd mereka. Jika meminjam istilah untuk negara kita adalah; Penguasa sepadan dengan legislatif, yudikatif dan eksekutif (trias politika)dan rakyat atau warga negara. 7. Sesuai dengan pernyataan Ibn al-Qayim, siyasah syar\'iyah harus bertumpu kepada pola syari\'ah. Maksudnya adalah semua pengendalian dan pengarahan umat harus diarahkan kepada moral dan politis yang dapat mengantarkan manusia (sebagai warga negara) kedalam kehidupan yang adil, ramah, maslahah dan hikmah. Pola yang berlawanan dari keadilan menjadi dzalim, dari rahmat menjadi niqmat(kutukan), dari maslahat menjadi mafsadat dan dari hikmah menjadi sia-sia. Seperti halnya beberapa definisi di atas, siyasah syar\'iyah mengisyaratkan dua unsur penting yang berhubungan secara timbal balik (kontrak sosial), yaitu 1). Penguasa atau yang mengatur dan 2). Rakyat atau warga negara. Dilihat dari norma2 pokok yang terlibat dalam proses siyasah syar\'iyah ini, ilmu ini layak masuk kategori ilmu politik. Hal ini sejalan dengan sinyalemen Wiryono Prodjodikoro: \"Dua unsur penting dalam bidang politik yaitu negara yang perintahnya bersifat eksklusif dan unsur masyarakat\". Pola siyasah syar\'iyah dan politik memiliki kemiripan jika dilihat secara umum. Akan tetapi jika diperhatikan dari fungsinya mengandung peredaan. Menurut Ali Syari\'ati siyasah syar\'iyah memiliki fungsi ganda yaitu khidmah (pelayanan) dan islah (arahan/bimbingan), sedangkan politik berfungsi hanya untuk pelayanan



6 (khidmah) semata-mata. Kemudian siyasah dilihat dari modelnya dibagi atas dua macam a). Siyasah syar\'iyah; siyasah yang berorientasi pada nilai-nilai kewahyuan (syari\'at) atau model politik yang dihasilkan oleh pemikiran manusia yang berlandaskan etika agama dan moral dengan memperhatikan prinsip-prinsip umum syari\'at dalam mengatur manusia hidup bermasyarakat dan bernegara b). Siyasah wadh\'iyah; siyasah yang didasarkan atas pengalaman sejarah maupun adat istiadat atau semata-mata dihasilkan dari akal pikir manusia dalam mengatur hidup bermasyarakat maupun bernegara. Meskipun aplikasi siyasah syar\'iyah dan siyasah wadh\'iyah mengandung perbedaan, tentu saja tidak harus diklaim bahwa siyasah syar\'yyah harus diberlakukan di negara-negara yang mayoritas muslim. Karena dalam pengalaman empiris, dapat terjadi siyasah wadh\'iyah dapat diterima oleh kaum muslimin, seperti Indonesia. Bidang siyasah syar\'iyyah prinsip-prinsip pokok yang menjadi acuan pengendalian dan pengarahan kehidupan umat bertumpu pada rambu-rambu sayri\'ah. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip pokok dalam fiqih secara umum pula. Rambu-rambu siyasah syar\'iyyah adalah (1) dalil-dalil kulliy, baik terdapat dalam Al-Qur\'an maupun al-Hadits; (2) maqasid al-syari\'ah; (3) semangat ajaran (hikmat al-tasyri\') dan (4) kaidah-kaidah kulliyah fiqhiyyah. Dengan demikian siyasah syar\'iyyah juga disebut fiqh siyasah. B. Objek kajian Fiqh Siyasah 1. Menurut Abdul Wahab Khallaf; objek kajian fiqh siyasah adalah pengaturan dan perundang-undangan yang dibutuhkan untuk mengurus negara sesuai dengan pokok-pokok ajaran agama dengan tujuan mewujudkan kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhan mereka. 2. Menurut Hasbi Ashshiddiqie; objek kajian fiqh siyasah adalah pekerjaan-pekerjaan mukallaf dan urusan2 mereka dari jurusan pentadbirannya, dg mengingat persesuaian pentadbiran itu dengan jiwa syari\'ah, yang kita tidak peroleh dalilnya yang khusus dan tidak berlawanan dg sesuatu nash dari nash2 yg merupakan syari\'ah \'ammah yg tetap. Objek fiqh siyasah menjadi luas, sesuai kapasitas bidang2 apa saja yg perlu diatur, seperti peraturan hub warga negara dengan lembaga negara, hubungan dengan negara lain, Islam dengan non Islam ataupun pengatuaran-pengaturan lain yang dianggap penting oleh sebuah negara, sesuai dengan ruang lingkup serta kebutuhan negara tsb. Hasbi kemudian membidangkan objek kajian fiqh siyasah pd 8 bidang, yaitu : 1. Siyasah Dusturiyah Syar\'iyyah (mirip MPR ? DPR). 2. Siyasah Tasyri\'iyyah Syar\'iyyah. 3. Siyasah Qadhaiyyah Syar\'iyyah. 4. Siyasah Maliah Syar\'iyyah. 5. Siyasah Idariyah Syar\'iyyah. 6. Siyasah Kharijiyyah Syar\'iyyah/Dawliyyah ( mirip Dep. Luar Negeri). 7. Siyasah Tanfidziyyah Syar\'iyyah. 8. Siyasah Harbiyyah Syar\'iyyah. Dalam kurikulum fakultas syari\'ah bidang tadi dibagi dalam empat macam : 1. Fiqh Dustury ( kira-kira Dep. Perundang-undangan dan hukum). 2. Fiqh Malliy (Dep. Keuangan). 3. Fiqh Dawliy ( Dep. LuarNegeri). 4. Fiqh Harbiy (Departemen Petahanan dan Keamanan). Tentu saja pembidangan tersebut di atas belum dianggap selesai dan hal ini akan berhubungnan dengan perubahan dan penambahan bidang-bidang yang diperlukan. C. Metoda mempelajari fiqh siyasah Metoda yang dipergunakan untuk mempelajari fikih siyasah adalah ushul fiqh dan kaidah fiqhiyyah. Hal ini, sama dengan fiqh2 lain. Penerapan dalil kulliy (umum) memiliki kandungan universal tidak terikat oleh dimensi ruang dan waktu. Metode tersebut tentunya harus dilanjutkan sebagai aplikasi yg dapat menyantuni masalah yang ramah mempertimbangkan kondisi dan situasi (maslahah). Membumi karena mampu mengatasi problim kemanusiaan yang bermoral agama (secara-horisontal), secara vertikal menyesuaikan nilai-nilai ketuhanan. Menggunakan metoda ushul fiqh dan qawa\'id al-fiqhiyyah dalam bidang siyasah syar\'iyyah (fiqh siyasah) lebih penting dibanding dengan fiqh2 lain, karena problim siyasah hampir tidak diatur secara terperinci oleh syari\'at Al-Qur\'an maupun al-Hadits. Misalnya Abdul Wahab Khallaf,



7 memandang ayat-ayat Al-Qur\'an yang secara implisit memiliki konteks siyasah (problim politik) hanya beberapa ayat. 10 ayat berhubungan dengan fiqh dustury, 25 ayat dengan dawliy dan 10 ayat lagi berhungan dengan fiqh maliy. Mirip halnya dengan fiqh munakahat ataupun muamalah yang menggunakan metoda secara langsung kepada al-Qur\'an dan al-Hadits. Baru -menggunakn pendektan ijtihad. Secara umum dalam fiqh siyasah diperlukan metoda2, seperti : (1) al-ijma\'; (2) al-qiyas (3) al-maslahah al-mursalah (4) fath aldzariah dan sadzu al-dzari\'ah (5) al-\'adah (6) al-istihsan termasuk kaidah2 fiqhiyyah. 1. Al-Ijma\': merupakn kesepakatan (konsensus) para fuqaha (ahli fiqh) dalam satu kasus. Misalnya pada masa khalifah \'Umar ra. Dalam mengatur pemerintahannya \'Umar ra melakukan musyawarah maupun koordinasi dengan para tokoh pada saat itu. Hal-hal baru seperti membuat peradilan pidana- perdata, menggaji tentara, administrasi negara dll, disepakati oleh sahabat-sahabt besar saat itu. Bahkan \'Umar ra mengintruksikan untuk salat tarawih jama\'ah 20 rak\'at di masjid, merupakan keberaniannya yang tidak diprotes oleh sahabat lain. Hal ini dapat disebut ijma\' sukuti. 2. Al-Qiyas: cara ini dipergunakan jika ada kemiripan kasus hukum baru dengan kasus hukum yang lama. Al-qiyas berpola a) al- ashal ; b) al-far\'u; c) illat hukum dan d) hukum baru. Al-Qiyas baik dipergunkan dalam masalah baru dengan kesamaan illat hukum yang lama, dalam dimensi waktu dan tempat berbeda. Contoh, Nabi saw melakukan dakwah islamiyyah dengan mengirimkan beberapa surat pada penguasa tetangga negara, untuk diajak menjalankan ajaran tawhid. Upaya tersebut diujudkan dalam bentuk ekspansi ke negara-negara tetangga oleh \'Umar ibn Khattab ra dan khalifah-khalifah sesudahnya. 3. Al-Maslahah al-mursalah: adalah sesuatu yang menjadi kepentingan hidup manusia, sedangkan hal tersebut tidak ditentukan dasarnya dalam nash Al-Qur\'an maupun al-Hadits baik yang menguatkan atau yang membatalkannya. Contoh, penulisan dan pembakuan bacaan al-Qur\'an yang ditangani oleh Usman ibn \'Affan ra yang kemudian dibukukan dan dijadikan pegangan para Gubernur di beberapa daerah, sehingga menjadi mushaf usmani. Upaya ini dilakukannya agar ayat Al-Qur\'an tidak hilang dan bacaannya seragam. 4. Fathu al-dzari\'ah dan sadd al-dzari\'ah: adalah upaya perekayasaan masyarakat untuk mewujudkan maslahah dan pengendalian mereka menghindari mafsadah (bahaya). Contoh, Tawanan perang (pada saat Umar ra) yg memiliki keahlian sep membuat senjata, tidak ditahan, tetapi ia dipekerjaan sesuai keahliannya untuk kelengkapan persenjataan muslimin. Pemberlakuan jam malam (ronda) oleh penguasa, atau wajib militer bagi masyarakat di masa genting. Umar ra pernah melarang sahabt nikah dg wanita ahli kitab. 5. Al-\'Adah artinya adat kebiasaan atau disebut juga al-\'uruf yaitu tradisi manusia baik berupa perkataan maupun perbuatan. Al-\'Adah dibagi dua macam 1) al-\'adah shohihah dan; 2) al-\'adah al-fasidah. Al-\'Adah al-shahihah adalah adat kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syara\' sedangkang al-\'adah al-fasidah adalah adat kebiasaan yang bertentangan dengan syara\'. Contoh al\'adah al-sahihah adalah tukar menukar barang dan jasa antara bangsa yang bersahabat. Maslahah al-mursalah ditujukan untuk kepentingan umat semata2, tidak terikat karena waktu dan tempat. 6. Al-Istihsan disebut juga mengambil satu dari dua dalil yang lebih kuat. Ibnu al-\'Arabiy menganggap bahwa istihsan adalah melaksanakan satu ketentuan hukum atas dasar dalil yg kuat diantara dua dalil yg ada. 7. Kaidah fiqhiyyah; kaidah fiqhiyah kulliyah banyak dipergunakan untuk menetapkan problim siyasah. Kaidah-kaidah tersebut bersifat umum, karena itu dalam aplikasinya harus memperhatikan pengecualian2 dan sayarat2 tertentu. Contoh; kaidah2 fiqhiyah dipergunakan dalam fiqh siyasah adalah : a. ‫الحكم يدو ر مع علته وجو د ا و عد ما‬. "Hukum selalu konsisten dengan illatnya (alasan-alasannya), ada dan tidakadanya hukum tergantung dg ada dan tidak adanya alasan tsb". Contoh, menurut \'Abduh jika disuatu negara masih ada perjudian, dana judi kemudian diberikan kepada fakir miskin, maka mereka dapat memanfaatkan dana tersebut untuk kebutuhan primer mereka. Pada suatu saat Umar ibn Khattab tidak memvonis pencuri-pencuri dipotong tangan, karena kejadian tersebut berada masa paceklik. Muallaf qlubuhum dipandang tidak ada pada saat itu, sehingga satu asnaf tidak diberi jatah zakat.



8 b. ‫تغير األحكام بتغير األزمنة واألمكنة واألحوال والعوائد والنيــــا ت‬. "Perubahan hukum sejalan dengan dimensi ruang dan waktu, keadaan, kebiasaan dan niat (hukum adalah bersifat kondisional)\". Contoh pada masa Orba UUD 45 hampir tidak tersentuh oleh perubahan. Sesudah reformasi amandemen UU D 45, dilakukan karena pertimbangan kepentingan/kebutuhan bangsa dan rakyat Indonesia. c. ‫د فع المفـــــا سد وجلب المصــالح‬. "Menghindari bahaya agar dapat memperoleh maslahat (kebaikan secara umum)". Contoh UU Perkawinan di Indonesia dg menggunakan azaz monogami merupakan keinginan bangsa ini, agar menghargai terhadap perempuan. Praktik ilegal gami dilakukan oleh laki2 krn kepentingan seks dan dilakukan dg main kuncing2an. D. Sketsa Historis Kajian Fiqh Siyasah; 1. Masa Nabi Muhammad dan dua pertama khulafa al-rasyidun: a. Nabi Muhammad menduduki jabatan penting, sebagai pimpinan agama maupun pimpinan negara (politik) khususnya di saat di Madinah. Kepentingan umat diatur berdasarkan wahyu turun, hal2 di luar wahyu dimusyawarahkan dg para sahabat. b. Saat Nabi wafat, proses suksesi muncul. Memilih orang yg dapat menduduki dua jabatan rangkap sekaligus, yaitu pimpinan spiritual dan politik. Atas dasar musyawarah dari beberapa kelompok ( sekarang kita kenal perwakilan-parlemen), akhirnya memilih Abu Bakar sebagai gantinya. Jabatan ini dipegang selama 2 th. Beliau lebih senang disbut khalifat al-rasul. c. Sinergitas antara Abu Bakar dan \'Umar ibn Khottob dalam menjalankan pemerintahan cukup kompok. Para pembangkang, yang terdiri dari kalangan murtad dan nabi-nabi palsu ditangani secara serius, sehingga kelompok-kelompok sparatis ini luluh dan tidak berdaya. Salah satu tokoh harismatik yang ikut tampil dalam mengatasi problim ini adalah Khalid ibn Walid. Sebelum ajal, Abu Bakar berpesan (wasiat) agar yang melanjutkan roda pemerintahan dan sekaligus tokoh agama adalah \'Umar ibn Khattab. Selama 10 tahun pemerintahannya dipegang cukup maju dan berkembang pesat. Ekspansi pemerintahan ini sampai ke wilayah Afrika, seperti Mesir dan negara2 di wilayah utara Arab Saudi. Penatan di sektor pemerintahan cukup menonjol, seperti mendirikan peradilan pidana dan perdata. Menggaji tentara, menertibkan administrasi negara dll. Dalam kajian peradaban Islam. Masa Umar dianggap sbg masa kejayaan Islam pertama. 'Umar terkenal dengan Amir al-mukminin. Pokok-pokok pengaruh politik saat Nabi di Makkah : Pengaruh eksternal ; 1. Ka'bah sbg monumen suci diakui olh masyarakat, dkunjungi olh pnganut2 agama Yahudi/ Nashrani. 2. Hijaz sebagai wilayah yang tidak diperhitungkan oleh kerajaan2 besar di wilayah Utara (meliputi Romawi dan Persia dll). 3. Sumber mata air, sumur zamzam sebagai salah satu potensi ekonomi yang strategis. 4. Muhammad saw yg dikenal dari sejak kecil sebagi \"al-amin\". Didukung dengan nasab yang sangat berpengaruh \"nabi Ismail ?Ibrahim \". 5. Pengaruh budaya dari kerajaan2 di wilayah Utara ? Timur; sbg transformasi dagang, pengaruh kerajaan protektorat (di bawah lindungan negara kuat ) Hirah dan Ghassan serta masuknya misi Yahudi Nasrani. Pengaruh internal 1. Kecerdasnnya yang sangat baik dan keadaannya yang yatim menjadikan dirinya kuat dan peka terhadap lingkungan. Cepat beradaptasi dengan lingkungan, protes dalam dirinya untuk tidak menyembah berhala serta berpihak kepada rakyat kecil (termarginal).



9 2. Pada usia muda beliau mengembala kambing. Dalam bertafakkur dapat menemukan jati dirinya sehingga dapat menjauh dari tradisi jahiliyah. 3. Pada usia 12 tahun disaat berdagang dengan Abu Thalib menemukan isyarat dari pendeta Kristen, tentang tanda-tanda pemimpin agama dan sekaligus pemimpin umat. 4. Pada usia 25 tahun menikah dengan wanita kaya dan isterinya sebagai orang pertama masuk Islam. Sokongan moral yang sangat berharga. 5. Usia 35 dapat mengatasi problim Hajar Aswad Ka\'bah dengan sangat bijaksana. Mampu mengatasi perpecahan kelompok. 6. Masuk usia 40 melakukan kontemplasi di Gua hira 5 tahun, mampu melakukan komunikasi dengan Malaikat Jibril. 7. Ayat2 al-Qur'an (di Makkah) dipandang sebagai doktrin ideologi yang bertujuan untuk merubah tradisi yang sesat. Ideologi ini yang menjadi program dasar merubah tatanan sosial. 8. Dakwah siriyah, sebagai bagian dari perjuangan oposan. Di Makkah Nabi saw tidak melakukan perang ? perlawanan. 9. Rekrutmen sahabat lbh banyak diterima olh kalangan tertindas. Orang2 penting seperti Abu Bakar. Corak pokok dari kepemimpinan nabi Muhammad saw dan dua khalifah pertama ; 1. Ideologi tawhid yang diperjuangkan, berhadapan dengan tradisi jahiliyah (sebagai gerakan oposan - di Makkah, di Madinah sebagai kekuatan yang dominan ). 2. Tatanan ekonomi yang berbasis kerakyatan berhadapan dengan kapitalis. 3. Rekrutmen warga yang berbasis rakyat kecil. 4. Mendanai kepentingan negara dg sumber dana yang besar, seperti ghanimah, fai, zakat, infak dll. 5. Kekuatan tentara yang memiliki kemampuan tawhid ( moral) dan fisik, serta mengangkat perwira tinggi secara proporsional. 6. Relasi antar warga yang diperkuat dengan model ukhuwah Islamiyah. 7. Mengutamakan dialogis antar warga (musyawarah). 8. Kekompakan pejabat tinggi negara dalam menangani disintegrasi (pada saat Abu Bakar). 9. Penghargaan kepada mantan pejabat tinggi negara dengan memberi tunjangan pensiun. 10. Menjunjung tinggi nilai2 kesejahteraan dan keadilan. ( pemerataan kekayaan dan supremasi hukum) dll. Masa \'Utsman ra dan Ali kw: 'Usman ibn \'Affan memimpin pemerintahannya selama 12 tahun. Di saat memasuki usianya 70 th 'Usman banyak di dikte oleh keluarganya yg bernama Marwan ibn Hakam yang sering membisikinya. Model pemerintahannya keluarga sentris. Kelurganya itu gemar menggunakan kekayaan negara yg tidak dapat dikontrol oleh Usman ibn 'Affan sehingga pemerintahannya rapuh dan dan terjadi beberapa pemberontakan di mana2. Disintregrasi tidak dapat dibendung lagi, beliau kemudian di bunuh. (awal masa disintegrasi). Ali kemudian dibai\'at oleh masyarakat secara berramai2. (masa puncak disintegrasi, chaos). Wilayah kekuasaan Islam saat ini sangat luas. Diduga beberapa pejabat tinggi negara di wilayah utara seperti Gubernur dll, tidak mengetahui proses suksesi tsb, karena jaraknya yang amat jauh dan sistem informasi masih sangat sederhana. Muawiyah ibn Abu Sufyan salah satu gubernur di Damaskus, dipecat oleh \'Ali, tidak mau turun dari jabatannya. Gubernur-gubernur yang diangkat Usman dicopot, karena dianggap melakukan konspirasi (persekongkolan) dengan rakyat untuk menentang \'Ali kw. Tanah yang diberikan penduduk di saat \'Usman, diminta kembali oleh\'Ali kw, dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dengan model pajak tahunan. Pada sisi lain, \'Ali mendapat perlawanan dari Thalhah, Zubair dan \'Aisyah ra. Mereka menuntut agar pembunuh \'Usman di adili. \'Ali kw akhirnya menghadapi dua musuh. Satu, berhadap-hadapan dengan Thalhah cs, maka terjadi perang jamal (perang unta), dua, menghadapi Muawiyah cs, lalu terjadi perang siffin. Perang ini kemudian memunculkan tahkim (arbitrase). Tahkim melahirkan persoalan baru. Sekian banyak orang yang tidak setuju, keluar dari barisan \'Ali (khawarij), mengakibatkan tentaranya menjadi lemah. Lahir tiga kekuatan a). kelompok \'Ali kemudian lahir istilah Syi\'ah b). kelompok Mu\'awiyah ibn Abi Sufyan dan c). kelompok khawarij (garis keras) yang menentang kebijakan \'Ali dalam tahkim tersebut dan d). kelompok I\'tizal (netral), memisahkan diri dari mereka. Pada tanggal 40 ramadhan \'Ali dibunuh oleh salah satu anggota khawarij (Ibnu Muljam).



10 Masa ini kemudian disebut sebagai akhir kekuasaan al-Khulafa al-Rasyidun. Kedudukan khalifah setelah \'Ali kemudian diganti oleh putranya Hasan. Hasan lemah, lalu mengikat perjanjian dengan Mu\'awiyah. Mu\'awiyah semakin kuat dan untuk seterusnya penguasa dijabat oleh putraptranya, dan dikenal monarchi heriditas (raja turun temurun). - Pada mulanya pemikiran politik masih berupa respon spontan dari perkembangan yang terjadi. Benihbenih tersebut kemudian menjadi pokok-pokok kajian politik yang mendasar yang kemudian menjadi pijakan. Dari simpulan kajian siyasah syar\'iyyah di atas adalah : a. Nomokrasi Islam (bentuk pemerintahan); Kepala negara menjalankan pemerintahan tidak berdasarkan mandat tuhan (seperti istilah Barat teokrasi), akan tetapi berdasarkan hukum2 syari\'at yg diturunkan Tuhan kepada manusia melalui Rasul-Nya Muhammad saw. Penguasa menjalankan syariat tsb bersumber kepada Al-Qur\'an dan Al-Sunnah. Dalam monokrasi Islam, kepala negara (para penguasa) bukan sosok untouchable man (orang kebal hukum), tetapi berkedudukan sama seperti warga negara lainnya. Tidak seperti teokrasi (dalam istilah Barat). Kepala negara membawa amanah suci yang harus ditaati oleh warganya. Ini semua, tentunya didasari oleh ketatannya kepada Tuhan YME. Seperti yg dilakukan dalam orasi pengukuhan Abu Bakar maupun \'Umar. b. Prinsip2 monokrasi Islam; amanah, musyawarah, keadilan, perlindungan terhadap HAM, peradilan, perdamaian, kesejahteraan dan ketaatan rakyat kepada pemerintah. c. Pola penanganan fiqh dustury, fiqh maliy, fiqh dawliy maupun harbiy sudah ditampilkan. 2. Dalam sejarah Islam perkembangan fiqh siyasah dapat dibagi menjadi tiga periode; 1. Periode klasik (661 M ? 1258 M). 2. Periode pertengahan abad 13 s/d abad 19. 3. Masa moderen abad 20 s/d sekarang. 1. Pereode klasik : Setting Historis : a. Pada masa Bani Umayyah (661 M ? 750 M) dan Bani Abbasiyah ( 750 M ? 1258 M). Islam memegang kekuasaan dan memiliki pengaruh yang signifikan di pentas internasional. Pada mas Umayyah mengarahkan kebijakan expansi (pengembangan wilayah kekuasaan Islam) sebagai ajang dakwah. Pada saat ini terdapat partai oposisi seperti syi\'ah, khawarij, akan tetapi tidak mempunyai pengaruh yang berarti. b. Pada masa Abbasiyah, adaulma sunny yang mulai menulis tentang siyasah, yaitu Ibn Abi Rabi\', mempersemahkan buku kepada khalifah al-Mu\'tashim berjudul \"Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik\" (pedoman raja dalam menjalankan roda pemerintahan). Meskipun buku tersebut dianggap memuja raja, tetapi alur pikir tentang \"tata negara\" sudah diwujudkan. Ibnu Abi Rabi\' menekankan wajib secara mutlak, rakyat patuh terhadap khalifah. Ia digambarkan sebagai khalifah yang adil, bijak dan mampu memberi kesejahteraan pada rakyatnya. Dalam teorinya terdapat kata \"kota dan negara\", meruapakan kerja sama antar manusia yang membentuk negara tersebut. Imam al-Ghazali (1058-1111 M) dalam bukunya alIqtishad fi al-I\'tiqad, menyetujui teori tersebut dan mengomentari bahwa misi kepala negara adalah suci (qudus). Berbeda dengan komentar al-Mawardi (975 ? 1059 M) bahwa memecat kepala negara mungkin terjadi. Ia mengemukakan teori \"kontrak sosil\". Mengangkat kepala negara adalah proses kontrak sosial. Tokoh sunny rata-rata menganggap bahwa kepala negara harus dari suku Quraisy, seperti al-Bqillani (w. 1013 M), al-Mawardi, al-Ghazali, sedangkan Ibn Abi Rabi\' tidak menampilkan bentuk ini. Ini semua dianggap wajar kerana secara structural legitimate, para khalifah dari kalangan mereka. al-Mawardi pada saat itu menjadi pejabat tinggi pada masa Abbasiyah. c. Para tokoh pada masa ini; 1. Ibn Abi Rabi' menulis buku ttg tata negara: "Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik" (pd masa Abbasiyah). 2. Imam al-Ghazali menulis: "Al-Iqtishad fi al-I'tiqad". Kepala negara adalah suci (qudus). 3. Al-Farabi (870-950 M); sebagai filosof, pemikirannya bersifat idealis yang cenderung utopis. Dipengaruhi filsafat Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles. Karyanya berjudul: "Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah" (Pandangan Para Penghuni Negara Utama). Al-Farabi mmbagi kelas sosial menjadi 3 a). kelas pemimpin b). kelas militer dan c). kelas rakyat jelata. Kalangan sunny menganggap bhw imamah adalah kewajiban syar'iy. 4. Kalangan Syiah mengembangkan teori: a). keutaman ahlu bait b). kema\'suman imam c). kegaiban imam, terutama pada masa al-Mu\'tamid (869-892 M), sebagai imam yg ke dua belas. Muhammad al-Mahdi (873 M) al-muntadhor= yang ditungu2 kehadirannya kelak. Kalangan Syi\'ah juga pernah mendirikan kekuasaan di Baghdad Bani Buwaihi dan Daulah Fathimiyyah di Mesir, yg lepas dari pengaruh Abbasiyah.



11 5. Kalangan Khawarij, sikap ekstrim dan radikalnya tidak banyak berpengaruh dalam pentas politik. Pemikiran mereka tidak banyak diadopsi. Tokoh mu\'tazilah yang mengadopsi salah satu teori mereka adalah Qadhi Abd al-Jabbar, menulis buku \" Syarh al-Ushul al-Khamsah\" dan al-Mughni. Diantara pokokpokok pikirannya; a). penegakan imamah (nasb al-imam) adalah bukan kewajiban syr\'iy, tetapi berdasarkan rasio. Sebab kepala negara bukan orang yang sempurna (tidak seperti syi\'ah) b).tidak harus dari suku Quraisy (seperti klaim sunny). Asal memiliki kemampuan dan syarat yang cukup. Simpulan yang mendasar terhadap kajian politik masa ini adalah; a) politik dipengaruhi oleh kepentingan golongan b). dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Yunani dan asing. 2. Pereode Pertengahan :Setting historis: a. Tahun 1258 kekuasaan Abbasiyah mengalami kehancuran dari serangan bangsa Mongol di Baghdad. Ibnu Taimiyyah (1263 M ? 1328 M) menyaksikan kehancuran dunia Islam ke tangan Mongol. Ia kemudian menulis buku \"al-Siyasah al-Syar\'iyyah si Islah al-Ra\'yi wa al-Ra\'iyyah\" (Politik Islam dalam menata kebaikan/kemaslahatan penguasa dan rakyat) dan Minhaj al-Sunnah, berupa 4 jilid besar. Pokok2 pikirannya : a). nasb al-imam atau mengangkat kepala negara bukan kewajiban syari\'y tetapi merupakan kebutuhan praktis b). tidak harus dari suku Quraiys tetapi harus al-amanah (jujur) dan al-quwah (wibawa), sebagai syarat mutlak. Al-Quwah sbg syarat yg utama karena kekuatannya sangat berguna untuk umat Islam. Adapun al-amanah (jujur), dianggap syarat kedua, karena kesalehannya untuk dirinya sendiri, berbahaya u rakyatnya. Jika jahat akan terpulang pada dirinya juga. c). kepala negara harus mampu srangan dari luar d). kepala negara adalah bayang2 dari Tuhan. Rakyat wajib taat kpdnya meskipun dzalim. Orang yg melakukan pemberontakan kepadanya dianggap mati jahiliyah (sia2). Pada masa ini kelompok syi\'ah menjadi oposisi yang merongrong kewibawaan negara. Krn itulah kitab yg terakhir tersebut diatas diterbitkan. Dari lingkup yg lebih luas, Islam terjebit dengan adanya perang salib. Di Spanyol umat Islam digerogoti Kristen. e). Jika dikehendaki, dua pemerintahan dalam satu masa diperbolehkan (contoh; negara protektorat, uni dll). b. Ibnu Khaldun ? sunny (1332 ? 1406 M) mengangap syayat Quraisy (dalam al-Hadits) sebagai seorang calon kepala negara bukan harga mati tergantung kondisi, berlaku kontekstual. Karyanya adalah Muqaddimah. Pada saat ini kondisi umat Islam sangat parah. Umat Islam di Spanyol diusir atau dipaksa masuk Kristen. Ia sebagai pelaku sejarah. c. Syaih Waliyullah al-Dahlawi (1702 M ? 1762 M); pokok pikirannya a). boleh membangkan kepala negara yang tiran dan dzalim b). mengaggap pemerintahan pasca khulafa al-rasyidun adalah tidak berbeda dengan kerajaan Romawi dan Kaisar di Persia. 3. Periode Moderen a. Dunia Islam semakin lemah, hampir seluruh negeri muslim di bawah penjajahan bangsa2 Barat. Para koloni ini mngembangkan gagasan politik dan budayanya yg memiliki pengaruh sekularisme di tengah2 umat Islam. b. Dunia Islam setelah tiga kerajaan besar Islam mundur; kerajaan Usmani di Turki, Mughal di India dan Safawi di Persia (1700-1800 M), tidak mampu menandingi keunggulan Barat dalam bidang tehnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi dan organisasi. c. Menghadapi penestrasi (perembesan) budaya dan tradisi Barat, sebagian pemikir Islam; a). ada yang apriori dan anti Barat b). ada yang ingin belajar dan secara selektif mengadopsi gagasannya dan c). ada juga yang sekaligus setuju utuk mencontoh gaya mereka. Sikap pertama menganggap bahwa ajaran Islam lengkap, untuk mengatur kehidupan manusia termasuk politik dan kenegaraan. Merujuk pada sistem dari nabi Muhammad saw dan al-Khulafa al-Rasyidun. Sikap kedua melahirkan kelompok yang beranggapan bahwa Islam hanya menyajikan seperangkat tata nilai dalam kehidupan politik kenegaraan umat Islam. Kajian-kajian politik kenegaraan harus digali sendiri melalui proses reasoning (ijtihad). Sikap yang ketiga melahirkan kelompok orang yang sekuler. Berkeinginan untuk memisahkan kehidupan politik dari agama. Model-model inilah yang kemudian berkembang sampai dengan sekarang. 1. Diantara tokoh2 aliran pertama adalah; M. Rasyid Ridha - Libanon (1865-1935 M), Hasan al-Banna (1906-1949 M), Abu al-A\'la al-Maududi-Pakistan (1903-1979 M), Sayyid Quthb (1906- 1966 M) dan Ayatullah Khomeini- Iran ( 1900-1989 M). Mereka beranggapan ajaran Islam komplit. Pemikiran Rasyid Ridha dalam kitab Al-Khilafat aw al-Imamah al-Udzma diantaranya mengupas bahwa pimpinan (kepala negara) dari suku Quraisy, sama seperti pemikir sunny klasik. Hasan al-Banna, terlihat dalam ceramah2nya yang populer dalam gerakan Al-Ikhwan al-Muslimun. Temannya Sayyid Quthb menyusun buku Al-\'Adalah al-Ijtima\'iyyah fi al-Islam dan Ma\'alim fi Thariq. Almaududi sbg pimpinan partai \"Jama\'at el-Islam\"di



12 Pakistan menulis buku Islamic Law and Constitution. Khomeini mengembangkan gagasan syi\'ahnya dalam polotik dengan konsep imamahnya dalam Wilayat al-Faqih. Menurutnya imam masih gaib, kepemimpinan umat Islam (Syi\'ah) dipegang oleh ahli agama yang mempunyai kekuasaan agama dan politik. Secara umum mereka mendambakan negara universal yang mampu menyatukan seluruh dunia Islam. Ridha menyebutnya negara Khilafah, Quthb menamakannya negara supranasional, sedangkan al-Maududi menyebutnya negara universal yang misip negara fasis (penentang ajaran marxis = antimarxis). Mereka memandang Barat sbg musuh Islam. Segala sesuatu yg datang dari Barat harus ditolak, karena tidak sesuai dg budaya Islam. Khomeni amat membenci Barat, Amerika dijuluki setan besar. 2. Tokoh2 aliran kedua diantaranya \'Ali \'Abd al-Raziq (1888-1966 M), Thaha Husain (1889-1973 M). Masing2 dari Mesir dan Mustafa Kemal Attaruk. \'Ali \'Abd Raziq memandang bahwa Islam tidak memiliki aturan tentang politik. Nabi hanya sebagai Rasul Allah, tidak berpretensi untuk membentuk negara dan politik. Karyanya yang kontroversi Al-Islam wa Ushul al-Hukm. Thaha menulis Mustaqbal al-Tsaqafah fi Mishr. Ia beranggapan , jika Mesir ingin maju, harus mencontoh Barat. Mustafa Kemal terlalu jauh mencontoh Barat. Ia melakukan sekularisasi besar2an. Aksara Arab diganti Latin, Adzan diganti dg bahasa Turki, mengadopsi hukum2 Barat dan menghapus lembaga2 keagamaan yg pernah ada di sana. 3. Tokoh aliran ketiga M. Abduh (1849-1905 M), M. Iqbal ( 1877-1938 M), M. Husain Haykal (1888-1956 M), Muhamad Natsir (1908-1993 M) dan Fazlur Rahman. Abduh menganggap bahwa kepala negara bukan wakil Tuhan, tetapi pemimpin politik, karena tidak memiliki kekuasaan keagamaan, seperti pandangan Kristen. Pandangan ini diikuti oleh Haykal murid Abduh. Ia menganggap bahwa pengamalan agama harus diawasi oleh penguasa. Haykal menulis Al-Hukumah al-Islamiyyah. Diantara isinya; a). Islam tidak mengatur secara mendetail tentang kenegaraan secara baku, hanya memuat prinsip-prinsip dasar saja. b). Umat Islam dibebaskan untuk menganut sistem pemerintahan. Disesuaikan kondisi masing-masing. Iqbal menulis buku The Reconstrucsion of Religious Thought in Islam. a). Ia menerima konsep sosialis, karena tidak bertentangan secara prinsip dengan Islam. b). Komunisme-ateisme bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan Ketuhanan. c). Demokrasi tidak memiliki landasan secara vertikal kepadaAllah, seperti tercermin dari karyanya Implementation of the Islamic Concept of State in the Pakistan Milleu. Di Indonesia salah satunya M. Natsir; a). Isalam berbeda dengan agama lain, mengandung pertauran dan hukum-hukum kenegaraan. b). Islam tidak memberi ketentuan yang baku tentang kenegaraan. Tokoh lain diatas antara lain Abd al-Wahhab Khalaf, menulis Al-Siyasah al-Syar\'iyyah. Yusuf al-Qardhawi menulis Min Fiqh al-Dawlah fi al-Islam, Muhammad Yusuf Musa menulis Nizham al-Hukum fi al-Islam. Abu Zahrah; Al-\'Alaqah alDauliyah fi al-Islam, \'Ali Ali Manshur menulis buku al-Syari\'ah al-Islamiyah wa al-Qanun al-Duali al-\'Am. Umar Kamal Tawfiq menulis Al-Diblumasiyah al-Islamiyah serta Wahbah al-Zuhaili menulis Atsar al-Harb fi al-Faqih al-Islam. Kajian-kajian tersebut tentu saja menambah hazanah fiqih siyasah. E. Kedudukan Fiqh Siyasah dalam sistematika hukum Islam Secara umum kajian ke Islaman dibagi dua macam; a). secara vertikal hubungan manusia dengan Allah, kemudian disebut bidang \'ubudiyyah b). secara horizontal hubungan antara individu manusia dengan manusia yang lain bahkan kelompok, kemudian menggunakan istilah mu\'amalah. Bagian pertama dikemas dalam kajian shalat, zakat, puasa dan haji. Bagian yang kedua dikemas dalam urusan muamalah secara luas. T.M. Hasbi ash-Shiddieqie (1904-1975 M), membagi sistematika hukum Islam menjadi; 1. Ibadah kepada Allah seperti shalat, zakat, puasa dan haji. 2. Hukum keluarga seperti nikah, thalak dan ruju\' 3. Hukum kebendaan seperti jual-beli, sewa-menyewa. 4. Hukum tentang perang ?damai dan jihad (siyar). 5. Hukum acara di peradilan. (al-ahkam al-murafa\'at). 6. Hukum ahlak (adab). Enam kelompok ini, masih dianggap global, karena masih ada lagi yang belum dimasukkan, seperti pengelompokan :



13 1. Hukum aqidah; mengimani dan meyakini adanya Tuhan. Hal ini diformulasikan melalui ikrar dalam pengucapan syahadatain, sebagai ujud totalitas keyakinan bagi seorang hamba. Kemudian hal ini dianggap pintu gerbang Islam. Setelah proses ini dilalui, kemudian 2. Hukum ibadah (disebut fiqh ibadah), merupakan tindak lanjut proses pertama sebagai aplikasi dari keimanan tersebut. Seperti shalat, zakat, puasa dan haji. 3. Hukum mu\'amalah (disebut fiqh mu\'amalah), meruapakan hukum yang menindaklanjuti urusan kemanusi-an karena urusan dengan Tuhan sudah selesai. Problim ini tidak dapat dihindari oleh manusia, karena setiap orang akan selalu bergantung pada orang lain Ketergantungan tersebut dapat berupa hal yang berkaitan dengan harta benda, kerja sama atau hal-hal keperdataan lainnya. Seperti, jual beli, utang piutang, sewa menyewa, gadai, syirkah (perseroan) pengaturan hak milik, perjanjian dll. 4. Hukum jinayah (fiqh jinayah = hukum pidana). Hukum ini merupakan perkembangan hukum sesudahnya yang menjadi akibat belakunya hukum tersebut di atas. Perselisihan maupun pertengkaran pada lingkup fiqh mu\'amalah sering terjadi sehingga perlu menampilkan hukum baru yang akan mengatasi masalah krusial tersebut. Hal-hal yang masuk kategori ini adalah hudud, qishash, diyat dan ta\'zir. 5. Hukum Acara (fiqh murafa\'ah = ahkam al-murafa\'ah), adalah hal-hal yang berkaitan tentang proses administrasi atau hukum acara. Fiqh ini membahas diantaranya etika persidangan, tata cara beracara, etika hakim dll. Kajian ini kemudian dikenal dengan hukum formil. Institusi yang menangani bidang ini secara khusus adalah Peradilan ( Al-Qadha). Lembaga ini mengatasi masalah2 yg berhubungan dengan perdata maupun pidana seseuai dengan kompetensi masing2. 6. Hukum perkawinan (fiqh munakahat), merupakan hukum lanjutan dari bidang-bidang di atas yang mengarahkan pergaulan seorang laki-laki dengan seorang untuk menyalurkan hasrat biologisnya, dalam rangka membentuk rumah tangga yang bahagia. 7. Hukum Waris (fiqh Mawarits), adalah hukum yang terkait dengan problem manusia yg dibatasi oleh usianya krn meninggal dunia. Meninggalkan isteri dan ank-anaknya. Hukum ini berfungsi melangsungkan hak milik kepada mereka, agar tidak menderita dan telantar. Dalam mawarits bagian seseorang diatur sedemikian rupa, sehingga job tersebut diposisikan secara proporsional. Ditentukan siapa yang berhak menerima dan yang tidak. Anak memiliki bagian terbanyak dibandingkan dengan dzawil furud yg lain. 8. Politik Islam (fiqh siyasah), adalah hal-hal yang berkaitan dengan tata hubungan masyarakat, kemudian dari unit terkecil ini menjadi masyarakat besar- bahkan negara. Hukum Islam ini mengatur masalah perundang-undangan, keuangan negara, hubungan pemerintah dengan rakyat dan hubungan dengan negara lainnya. Termasuk bagaimana cara mengelola negara secara baik. Dengan demikian fiqh siyasah menduduki peranan yang sangat penting dalam penerapan dan aktualisasi hukum Islam. Dalam fiqh siayasah diatur bagaimana sebuah ketentuan hukum Islam dapat berlaku secara efektif dalam masyarakat Islam. Tanpa keberadaan negara dan pemerintahan, aplikasi hukum Islam sulit diberlakukan, khususnya bidang-bidang yang menyangkut kemasyarakatan yang komplek. Dengan fiqh siyasah pemerintah dapat memberlakukan suatu hukum yang secara tegas ditentukan oleh nash Al-Qur\'an maupun Al-Hadits, dengan berorientasi almaslahah yang dibutuhkan oleh manusia. Contohnya: a).UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. b).UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. c. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Peradilan Agama mengatasi masalah-masalah perkawinan seperti talak, cerai, rujuk, warisan, wakaf dll. d. Bank Muamalat Indonesia (termasuk siyasah maliyah). Mempertimbangan gerak hidup masyarakat yang sangat cepat serta timbulnya berbagai problem manusia yang memerlukan jawaban hukum yang kongkrit, sementara fiqh belum memadai, maka keberadaan dan pemberdayaan fiqh siyasah amat penting untuk menjawab kebutuhan zaman. Hal2 yg sekarng muncul antara lain adalah hak asasi manusia, demokratisasi, hubungan pimpinan ? karyawan, pajak maupun perbankkan. II. Pembidangan Fiqh Siyasah Bidang fiqh siyasah meliputi siyasah dusturiyyah, maliyyah dan dauliyyah, uraian tsb : 1. Siyasah Dusturiyyah; Makna dustur adalah asas, dasar atau pembinaan. Secara istilah diartikan kumpulan kaidah yang mengatur dasar dan hubungan kerja sama antara sesama anggota masyarakat dalam sebuiah negara, baik tidak tertulis (konvensi) maupun yang tertulis (konstitusi). Menurut Abdul Wahab Khallaf, prinsip-prinsip yang diletakkan dalam pembuatan undang-undang dasar ini adalah jaminan atas hak-hak asasi manusia setiap anggota masyarakat dan persamaan kedudukan semua orang di depan hukum, tanpa membedakan status manusia. Atjep Jazuli mengupas ruang lingkup bidang ini, menyangkut masalah



14 hubungan timbal balik antara pemimpin dan rakyat maupun lembaga-lembaga yang berada di dalamnya. Karena terlalu luas, kemudian di arahkan pada bidang pengaturan dan perundang-undangan dalam persoalan kenegaraan. Lebih jauh Atjep Jazuli mempetakan bidang siyasah dusturiyah dalam persoalan; a). imamah, hak dan kewajibannya b). rakyat, hak dan kewajibannya c). bai\'at d). waliyu al-\'ahdi e). perwakilan f). ahlu halli wa al-\'aqdi dan g). wuzarah dan perbandingannya. Ada juga yang membidangkan kajian siyasah dusturiyah menjadi empat macam: a. Konstitusi; konstitusi disebut juga dusturi. Dalam konstitusi dibahas sumber2 dan kaedah perundang2ngan disuatu negara, baik berupa sumber material, sumber sejarah, sumber perundang2an maupun penafsiran. Sumber material adalah materi pokok uud. Inti sumber konstitusi ini adalahperaturan antara pemerintah dan rakyat. Latar belakang sejarah tidak dapat dilepaskan karena memiliki karakter khas suatu negara, dilihat dari pembentukan masyarakatnya, kebudayaan maupun politiknya, agar sejalan dengan aspirasi mereka. Pembentukan UUD tsb harus mempunyai landasan yg kuat, supaya mampu mengikat dan mengatur semua masyarakat. Penafsiran uu merupakan otoritas ahli hukum yg mampu menjelaskan hal2 tsb. Mis:UUD 1945. b. Legislasi; atau kekuasaan legislatif, disebut juga al-sulthah al-tasyri\'iyyah; maksudnya adalah kekuasaan pemerintah Islam dalam membentuk dan menetapkan hukum. Kekuasaan ini merupakan salah satu kewenangan atau kekuasaan pemerintah Islam dalam mengatur masalah kenegaraan. Disamping itu ada kekuasaan lain seperti al-sulthah al-tanfidziyyah; kekuasaan eksekutif dan al-sulthah al-qadhaiyyah; kekuasaan yudikatif. Di Indonesia menggunakan model trias politica (istialah ini dipopulerkan oleh Montesquieu- Perancis, dan model kedaulatan rakyat yg dipopulerkan oleh JJ Rousseau- Swiss; suatu model kekuasaan yg didasari oleh perjanjian masyarakat, yang membela dan melindungi kekuasaan bersama di samping kekuasaan pribadi dan milik dari setiap orang. Tiga kekuasaan legislatif, yudikatif dan ekssekutif yang secara imbang menegakkan teori demokrasi. Unsur2 legislasi dalam fiqh siyasah dapat dirumuskan sbb : a). Pemerintah sbg pemegang kekuasaan u menetapkan hukum yang akan diberlakukan dalam masyarkat Islam b). Masyarakat Islam yang akan melaksnakan c). Isi peraturan atau hukum yg sesuai dengan nilai dasar syari\'at Islam. c. Ummah; disebut juga umat. Dalam konsep Islam, ummah diartikan dalam 4 macam, yaitu a). bangsa, rakyat, kaum yang bersatu padu atas dasar iman/sabda Tuhan b). penganut suatu agama atau pengikut Nabi c) khalayak ramai dan d) umum, seluruh umat manusia. Orientalis Barat menganggap kata ummah tidak memiliki kata2 yg sebanding dgnya, bukan nation (negara) atau nation state (negara-kebangsaan) lebih mirip dengan communuity (komunitas). Akan tetapi Abdul Rasyid Meton, guru besar dari Malaysia tetap menggap bahwa komunitas dg ummah tidak sama. Community merupakan sekelompok masyarakat yang komunal memeliki persamaan kekerabatan, suku, budaya, wilayah dan bangsa, sedangkan ummah berlaku universal yang didasarkan persamaan agama, sehingga menembus ras, suku, bahasa maupun batas2 geografis. Ummah diaktualisasikan melalui kesamaan ideologis yg disandarkan pada ke Esaan Allah yangterarah pada pencapaian kebahagiaan dunia akhirat. Kata2 ummah yg bertumpu pada ajaran Al-Qur\'an. Kata um berarti ibu sedangkan imam artinya pemimpin. Ibu dan pemimpin merupakan dua sosok yg menjadi tumpuan bagi seseorang ? masyarakat. Menurut \'Ali Syari\'ati; ummah memiliki tiga arti, yaitu gerakan, tujuan dan ketetapan kesadaran. Makna selanjutnya adalah sekelompok orang yang berjuang menuju suatu tujuan yang jelas. Jika dikontekstualisasikan dengan makna ummah dalam terminologi makiyyah dan madaniyyah mempunyai arti sekelompok agama tawhid, orang-orang kafir dan manusia seluruhnya. Quraisy Shihab mengartikan ummah, sekelompok manusia yang mempunyai gerak dinamis, maju dengan gaya dan cara tertentu yang mempunyai jalan tertentu serta membutuhkan waktu untuk mencapainya. Dalam jangkauannya makna ummah juga berbeda dengan nasionalisme. Nasionalisme sering diartikan ikatan yang berdasar atas persamaan tanah air, wilayah, ras-suku, daerah dan hal2 lain yang sempit yang kemudian menumbuhkan sikap tribalisme (persamaan suku - bangsa) dan primodialisme (paling diutamakan). Makna ummah lebih jauh dari itu. Abdul Rasyid kemudian membandingkan antara nasionalisme dan ummah. 1. Ummah mnekankn kesetiaan manusia krn sisi kemanusiannya, sdgkan nasionalisme hanya kpd neg saja. 2. Legitimasi nalsionalisme adalah negara dan institusi2nya, sdgkan ummah adalah syari\'ah. 3. Ummah diikat dengan tawhid (keesaan Allah), adapun nasionalisme berbasisetnik, bahasa, ras dll. 4. Ummah bersifat universal, sedangkan nasionalisme didasarkan teritorial.



15 5. Ummah berkonsep persaudaraan kemanusiaan, adapun nasionalisme menolak kesatuan kemanusiaan. 6. Ummah menyatukan ummat seluruh dunia Islam, sdgkan nasionalisme memisahkan manusia pada bentuk negara2 kebangsaan. c. Syuro dan Demokarasi Kata syuro akar kata dari syawara- musyawaratan, artinya mengeluarkan madu dari sarang lebah. Kemudian dalam istilah di Indonesia disebut musyawarah. Artinya segala sesuatu yang diambil/dikeluarkan dari yang lain (dalam forum berunding) untuk memperoleh kebaikan. Dalam Al-Qur\'an kata syura ditampilkan dalam beberapa ayat. Dalam QS [2] al-Baqarah: 233 berarti kesepakatan. Dalam \'Ali \'Imran [3]:159 Nabi disuruh untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya, berkenaan peristiwa Uhud. Adapun QS al-Syura [42]:38 umat Islam ditandaskan agar mementingkan musyawarah dalam berbagai persoalan. Format musyawarah dan obyeknya yang bersifat teknis, diserahkan kepada ummat Islam untuk merekayasa hal tsb berdasarkan kepentingan dan kebutuhan. Menurut Quraisy Shihab, orang yg diajak musyawarah, sesuai hadits Nabi disaat memberi nasihat kepada \'Ali : Hai \'Ali, jangan musyawarah dengan penakut, ia kan mempersulit jalan keluar. Jangan dengan orang bakhil, karena dapat menghambat tujuanmu. Jangan dengan orang yang ambisi, karena akan menutupi keburukan. Wahai \'Ali, sesungguhnya takut, bakhil dan ambisi adalah bawaan yang sama, itu semua bersumber kepada buruk sangka kepada Allah. Etika bermusyawarah bila berpedoman kepada QS Ali-\'Imran [3]: 159 kira2 dapat disimpulan; a) bersikap lemah lembut b) mudah memberi maaf, jika terjadi perbedaan argumentasi yang sama2 kuat dan c) tawakkal kepada Allah. Hasil akhir dari musywarah kemudian diaplikasikan dalam bentuk tindakan, yang dilakukan secara optimal, sedangkan hasilnya diserahkan kepada kekuasaan Allah swt. Demokrasi, berasal dari bahasa Yunani demos artinya rakyat, kratein berarti pemerintahan. Kemudian dimaknai kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat. Abraham Lincoln selanjutnya mengartikan demokrasi adl bentuk kekuasaan yang berasal dar rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Ciri ini mensyaratkan adanya partisipasi rakyat untuk memutuskan masalah serta mengontrol pemerintah yang berkuasa. Menurut Sadek J. Sulaiman demokrasi memiliki prinsip kesamaan antara seluruh manusia, tidak ada diskriminasi berdasarkan ras- suku, gender, agama ataupun status sosial. Sadek kemudian memerinci norma2 demokrasi sbb : 1. Kebebasan berbicara atau mengemukakan pendapat. 2. Pelaksanaan pemilu (seperti di Indonesia Luber dan Jurdil). 3. Kekuasaan dipegang oleh mayoritas dengan tidak mengenyampingkan minoritas. 4. Parpol memainkan peranan penting dalam negara, rakyat bebas menyalurkan aspirasi politiknya. 5. Memisahkan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif yang berdiri sejarar, sehingga cheks and balance dapat diwujudkan. 6. Setiap individu menjunjung tinggi supremasi ( tunduk dan taat dibawah) hukum, tanpa memandang status sosial/kedudukan. 7. Individu atau kelompok bebas melakukan melakukan perbuatan, bebas mempuinyai hak milik, tidak boleh diganggu pihak lain. 2. Siyasah Dawliyyah; Siyasah dawliyah adalah bagin dari fiqh siyasah yang membahas ttg hub 1 negara dg negara lain. Perjanjian antar negara dan adat kebiasaan menjadi dua sumber yg terpenting dalam hub damai antar negara tsb. Dalam kajian selanjutnya, hal ini dikenal dd hub internasional. Pada mulanya hubungan ini terjadi akibat perang, karena setiap negara wajib mempertahankan eksistensinya dari serangan musuh. Di Cina dikenal dengan The great wall (tembok besar). Menurut Ameer \'Ali; terdapat perjanjian antara Fir\'aun raja Mesir dengan raja Kheta di Asia kecil, tentang pemberhentian peperangan dan ekstradisi. Kekuasaan Ramawi menampilkan sikap bahwa keturunan mereka lebih unggul. Dalam bidang hukum lahir istilah ius civil dan ius gentium (rakyat dan bangsawan). Dalam dunia Islam dikenal orang yg dianggap ahli dibidang huk internasional, yaitu Muhammad ibn Hasan Al-Syaibaini (132 H ? 189 H) murid Abu Hanifah dan guru Al-Syafi\'I menyusun buku Al-siyar Al-Kabir, diantara isinya : a) status orang asing dan perlakuannya b) para duta besar c) negara dibagi menjadi damai, netral dan negera yg menyerang. d) wajib mentaati perjanjian e) etika dlm perang f) hal2 yg berkaitan dg huk perdata internasional. Dasar-dasar siyasah dawliyah adalah :



16 a. Kesatuan umat manusia, sesuai aspirasi QS Al-Baqarah : 213, Al-Nisa : 1 Al-Hujurat : 13 dll. b. Al-\'Adalah (keadilan) , keadilan dapat diwujudkan jika didasari oleh pemahaman manusia ttg perlunya hidup berdampingan antar manusia maupun antar berbagai negara QS Al-Maidah: 8, Al-Nisa : 135. c. Kehormatan manusia (karomah insaniyyah), dipahami sebagai bentuk penghormatan kepada setiap manusia dengan tidak membeda2kan yang lain QS al-Isra : 70 dan Al-Hujarat : 11. d. Toleransi (Tasamuh), sikap bijaksana, pemaaf dan menghindari sikap dendam QS Fushshilat : 34 dan alNahl : 126-127. e. Kerjasama, hal ini diperlukan krn manusia memilki sifat ketergantungan kpd orang lain (negara lain). f. Al-Hurriyah (kemerdekaan), kemerdekaan yang diawali oleh individu yang selalu dibimbing keimanan. Bukan bebas mutlak, akan tetapi bertanggung jawab terhadap Allah, untuk keselamatan manusia di muka bumi. Islam memberi ruang yang cukup luas untuk bebas berfikir, beragama, menyampaikan pendapat, menuntut ilmu serta mempunyai harta ? benda. g. Al-Akhlaq Al-Karimah (moralitas yang baik); hubungan baik antar manusia, antar ummat, antar bangsa bahkan bersikap baik terhadap semua makhluk Allah seperti flora dan fauna. Pembagian Dunia menurut Prof. Atjep Jazuli dibagi dua macam: 1. Al-'Alam Islami (dunia Islam) dibagi dua macam a) Dawlah Islmiyah/ Islamic States b) Daldah Islamiyah (negeri muslim/negara2 yg mayoritas penduduknya beragama Islam). 2. Al-'alam al-ahdi; negara2 yg mengikat perdamaian dengan negara Islam. Dalam konsep Islam perang dianjurkan krn terpaksa, yg paling diutamakan adl siyasah dawliyah yaitu penerapan fungsi2 kebersamaan dlm hidup bertetangga dlm antar negara. Jihad diarahkan pd perjuangan pemperdalam sains dan iptek. 3. Siyasah Maliyah; siyasah maliyah merupakan salah satu pilar penting dalam sistem pemerintahan Islam yang mengatur anggaran pendapat dan belanja negara. Dalam kajian ini dibahas sumber2 pendapatan negara dan pos2 pengeluarannya. Menurut Hasbi, sumber2 yg ditetapkan syara' adalah khumus al-ghanaim (1/5 rampasan perang), sedekah dan kharaj. Abu Yusup menggunakan istilah dalam hal ini, zakat, khumus alghanaim, al-fai', jizyah, 'usyur al-tijarah, pajak dan sumber2 lainnya. a. Zakat, adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh pemilik yang memiliki persyaratan, diberikan kepada yang berhak menerimanya. Salah satunya untuk fi sabi lil Allah. b. Khumus al-Ghanaim 1/5 rampasan perang. Islam membolehkan umatnya untuk merampas harta musuh. Pengaturannya diatur berdasarkan Al-Qur\'an maupun hadits Nabi. c. Fai' adalah harta yang diperoleh dari musuh tanpa peperangan, seperti kewajiban dari kafir dzimi yg harus dikeluarkan berdasarkan perjanjian. Pos yang harus disantuni hampir sama dengan ghanimah. d. Jizyah adalah pajak kepala yang dibayarkan oleh penduduk dar al-Islam. Ini adalah wujud loyalitas mereka serta perlindungan yang diberikan oleh pemerintah Islam. e. 'Usyur al-Tijarah, sepersepuluh dari pajak perdagangan yang dikenakan kepada pedagang non muslim yang melakukan bisnis di negara Islam. Model ini pernah dilakukan pada masa 'Umar ibn Khattab. f. Kharaj, dapat diartikan pajak tanah. Dibebankan kepada pemilik non muslim dalam hal2 tertentu. Juga dapat dibebankan kepada umat Islam. Kharaj hampir sama dg upeti. Kharaj pertama dilakukan stlh terjadi Perang Khaibar. Yahudi Khaibar harus mengeluarkan kharaj dari sebagian hasil tanah mrk kpd muslimin. V. TEORI KETATANEGARAAN DALAM ISLAM Konsep teori politik Sunni; 1. Nasbu al-imam (mengangkat khalifah) adalah wajib syari?. 2. Cenderung pro kepada pemerintah (status quo), membela dan mempertahankan kekuasaan. Kadang menjadi alat legitimasi klalifah. Teori ini cukup beralasan karena bangunan kekuasaan pada saat itu ditokohi oleh kelompok yang kemudian hari disebut ahlu sunnah wa al-jama\'ah. Kalangan sunni umumnya melarang rakyat memberontak kepada penguasa, meskipun dzalim. Ibnu Taimiyah berpendapat; enam puluh tahun dibawah penguasa dzalim lebih baik dari pada sehari tanpa pemimpin. Akan tetapi jika kekuasaan dapat dipegang umat Islam, maka kedudukan penguasa sangat penting, karena unutk menjamin jiwa dan harta serta pemberlakuan hukum2 Tuhan. 3. Kekuasaan khalifah adalah dari Tuhan. Khalifah adalah wakil Tuhan di bumi. Karena itu kekuasaannya dianggap mutlak. Dalam sejarah, khalifah pertma kali yang mempopulerkan dirinya sebagi khalifah fi al-ardi (wakil tuhan) adalah Abu Ja\'far al-Manshur dari Abbasiyah. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Ibn Abi Rabi\' yang hidup abad ke 3 M/9 H pada masa al-Mu\'tashim dari Abasiyah (ke 8). Klalifah harus dihormati



17 dan ditaati (wajib di taati), karena ia menduduki jabatan istimewa di muka bumi. Hak-hak khalifah atas rakyatnya dilegitimasi Q.S al-An\'am [6];165 dan Q.S al-Nisa [4]; 59. ‫ وهو الذى جعلكم خلئف األرض ورفع بعضكم فوق بعض‬... ‫ يأيها الذين أمنوا أطيعوا هللا وأطيعوا الرسول وأولى األمر منكم‬... Imam ghazali (1058-1111 M) sependapat dengan teori tadi. Sumber kekuasaan adalah Tuhan, kekuasaanNya dilimpahkan kepadanya yang bersifat suci (muqaddas). Pembentukan negara menurut al-Ghazali berdasarkan syar\'iah. Ajaran agama mustahil dapat hidup disuatu negara yang tidak dipegang khalifah. Agama sebagai landasan basis kehidupan manusia, sedangkang politik sebagai penjaganya. Saat khulafa al-Rasyidun memerintah tidak ada wacana seperti diatas. Abu Bakar lebih senang disebut Khaliafatu al-Rasul. \'Umar senang diberi gelar Amir al-Mukminin. Sebelum risalah rasul, konsep penguasa sebagai wakil tuhan sudah berjalan berabad-abad. Kekuasaannya dianggap mutlak. 4. Kekuasaan kepala negara sakral; menurut Ibn Rabi\', Ibn Taimiyah dan al-Ghazali, kepada negara tidak dapat diturunkan, karena kekuasaannya tidak terbatas. Taimiyah berpendapat ;rakyat haram melakukan pemberontakan kepada penguasa kafir, selama menjalankan keadilan dan tidak menyuruh berbuat maksiat. Berbeda dengan al-Mawardi (975-1059 M), Ia berpendapat kekuasaan kepala negara terjadi karena kontrak sosial dengan rakyatnya, sehingga lahir hak dan kewajiban secara timbal balik. Rakyat berhak menurunkan kepala negara jika ia tidak mampu melaksanakan pemerintahannya. Rakyat wajib tunduk kepada kepala negara yang dipilih baik adil maupun fajir. Tetapi al-Mawardi tidak menentukan mekanisme menurunkan kepala negara. Penyimpangan kepala negara tidak secara otomatis menurunkannya jika ia mampu mendukung tindakannya secara logis. 5. Suku Qurais ; sebagai syarat kepala negara. Ada hadits yang menjelaskan ketentuan dinasti dalam wacana ini, seperti riwayat Abi Barzah dari Rasul, beliau bersabda : ‫ األ ئمة من قريش‬... ; ?pimpinan harus dari keturunan Quraisy?. Para tokoh yang memegang teori ini adalah Imam Ghazali, al-Juwaini, al-Baqillani dan al-Mawardi. Ibnu Abi Rabi? secara jelas tidak mensyaratkan suku Quraisy, akan tetapi dia sebagai penulis yang mengagungkan martabat khalifah di saat suku ini mengalami puncak kejayaannya, yaitu bani Abbas. Bahkan Rasyid Ridlo yang hidup di masa moderen masih menekankan syarat ini. Ibnu Khaldun (1332-1406 M) salah satu tokoh sunni yang berbeda. Ia tidak menekankan suku Quraisy menjadi sarat pokok kepala negara. Alasannya, pada saat itu diakui bahwa suku ini memiliki kekuatan dan kemampuan yang disegani di wilayah Arab. Suku ini memiliki ?ashabiyah (solidaritas) yang cukup tinggi. Khaldun selanjutnya mengungkap, boleh bagi suku non Quraisy untuk menjadi kepala negara asal mempunyai kemampuan. Khaldun mempunyai penafsiran yang longgar dalam memahami hadits di atas. 6. Musyawarah; adalah merupakan konsep dasar dari demokrasi. Berlandaskan ajaran QS ?Ali ?Imran [4]; 159 dan QS al-Syura [42]: 38. Wa syawirhum fi al-amri dan ?wa amruhum syura bainahum?. Ajaran musyawarah sebenarnya sudah dipelopori oleh Rasul dan diikuti oleh Khulafa al-Rasyidun dalam menentukan proses politik. Ajaran ini rupanya di amandir oleh Dinasti Bani Umayyah dan diikuti oleh Bani Abbasiyah yang lebih banyak bersifat monarkhi (kerajaan). Ibnu Taimiyyah membahas konsep syura dalam teori politiknya, akan tetapi konsep dasar syura tidak dirinci secara mendetail, seperti mekanisme pelaksanaan syura dan peranan anggota masyarakat dalam mengontrol kekuasaan. Sisi2 kelemahan teori-teori kenegaraan sunni, sisi2 kelemahan teori ini adalah ; a. Kepatuhan rakyat secara mutlak terhadap kepala negara menjadikan lembaga2 lain mejadi lemah. Ahlu halli wal aqdi berfungsi sebagai kaum elit politik yang menjadi alat legitimasi kekuasaan. Lembaga syura dianggap mesin rekayasa kekuasaan. Penguasa cenderung otoriter. b. Hak-hak anggota masyarakat hilang. Konsep teori politik Syi’ah. 1. Nasbu al-imamah adalah bukan wajib syar?i tapi masalah prinsip .Kelompok syi?ah lahir sebagai bentuk protes dari kelompok minoritas ke mayoritas kalangan sunni. Golongan ini pecah menjadi beberapa kelompok disebabkan karena salah satu perbedaan yang mendasar tentang sifat imam ma?sum atau non ma? sum serta siapa yang berhak menjadi penganti imam. Intisarinya Syi?ah dibagi tiga macam a) moderat b) ekstrim dan c) diantara keduanya (tengah). Kalangan moderat bernaggapan bahwa Ali sebagai manusia



18 biasa. Mereka mengakui kehalifafan sebelumnya. Kelompok ekstrim meyakini bahwa ?Ali ma?sum dan sebagai Nabi pengganti Muhammad saw. Ada yang meyakini sebagai penjelmaan tuhan. Golongan tengah menganggap ?Ali sebagai pewaris jabatan khalifah yang sah, tidak memperlakukan ?Ali sebagai nabi. Ada tiga sekte besar syi?ah yang berpengaruh sampai sekarang yaitu a) Syi?ah Zaidiyyah, dipimpin oleh ibn ? Ali, b) Syi?ah Ismailiyyah (sa?biyah)dari cucu Husain Moch. Al-Baqir , Ja?far al-Shadiq dan Ismailiyah dan c) Syi?ah Imamiyah (Isna ?Asyariyah), dumulai dari Musa al-Kazhim anak Ja?far, Ali al-Ridha anaknya dan ?Ali al-Hadi anak Ridho, Hasan al-Askari dan Muhammad al-Mahdi. 2. Ahlu al-Bait; Salah satu ideologi yang dibangun adalah ?Ali ibn Abi Thalib orang yang berhak menjadi khalifah setelah Rasul saw wafat (ahlu al-bait). Sebagian golongan ini menganggap Abu Bakar ra dan ? Umar ibn Khattab merebut khalifah. Pendirian imam Syiah atas dasar turun temurun. 3. Kepala neg adl al-Imam (lalu disebut imamah), bukan khalifah dan ia adalah ma’sum (terjaga dari dosa). Kalangan syi?ah imamiyah menganggap imamah adl salah satu rukun iman. Konsep2 pokok skte2 Syi?ah: a). Sekte Zaidiyyah : 1) Nabi tidak mengatakan/wsiat atas penunjukan kepada ?Ali sebagai khalifah. Nabi hanya menyebutkan sifat-sifat ?Ali yang takwa, alim, zahid, pemberani dan pemurah. Mereka menerima khehalifahan sebelumnya. Ali afdhal Abu Bakar dan Umar mafdhul. Tetapi umat pada saat itu dapat menerima Abu Bakar dan Umar sebagai khalifah. Pengangkatan imam berdasarkan kesepakatan umatIslam. 2) Imam tidak ma’sum. 3) Tidak mengakui kegaiban imam. 4) Jumlah imam 5 orang, ada isyarat imamah kepa a?Ali, ?ali afdhal dan yang lain mafdhul. Tidak ada ma? sum, ghaib maupun intidhar dalam imamah. b). Sekte Ismailiyah dan Imamiyah; 1. Imamah setelah Rasul wafat adalah ?Ali berdasarkan ketentuan dan wasiat Nabi Muhammad saw. 2. Imam adalah ma?sum, Menurui Ismailiyah imam tidak mungkin berbuat salah ataupun berbuat dosa. Mereka meyakini syariat ada yang tersurat dan tersirat. Syariat terserat disampaikan kepada umumnya umat manusia, sedangkan yang tersirat khusus hanya kepada ?Ali ibn Abi Thalib dan berlaku secara turun temurun. Mereka mengetahui makna lahir dan batin ajaran al-Qur?an maupun hadits Rasul. Kalangan Imamiyah menganggap kema?suman imam terjaga dari berbuat salah/dosa. Imam yang mengetahui makna syariat secara lahir dan batin (melalui takwil). Imam harus ditunjuk dari langit. Mempunyai otoritas lahir dan ruhaniyah dalam menafsirkan syariat, karena itu harus terpelihara dari salah/dosa. Ismailiyah jumlah imam 7, ada wasita yang jelas kepala ?Ali untuk jabatan khalifah. Imam ma?sum. Ada doktrin imam ghaib al-muntadhar. Imamiyah mempunyai imam 12, ada wasiat dalam hadits secara tegas untuk ?Ali. Imam ma? sum dan doktrin imam gaib al-muntadhar. 3. Meyakini keghaiban imam; (imam al-muntadhar= imam yang ditunggu kehadirannya). Disebut juga doktrin al-ghaib wa al-raj?ah. Imam yang nampak menurut Ismailiyah ada 7 orang, seperti Isma?il ibn Ja?far al-Shadiq. Ada 7 orang yang masih bersembunyi, demi keamanan mereka. Ada imam yang kuat Pada masa al-Mu?tamid (868-892 M) berkuasa mengembangkan doktrin imam ghaib. ?Ubaidillah al-Mahdi mendirikan dinasti Fathimiyyah tahun 969 M. Imamiyah mengganggap imam ada yang ghaib yaitu Muhammad alMahdi al-muntadhar. Imam yang ke 12 ini bersembunyi di gua Samarra Irak pada tahun 874 M saat masih kecil. Al-Mahdi membimbing kaum syi?ah melalui wakil-wakilnya. Imamiyah yang pengikut Isna ? Asyariyah membagi kegaiban dua macam. a) ghaib sughra terjadi tahun 874-939 M. Pereode ini imam membimbing lewat wakil-wakilnya. B) ghaib kubra, terjadi setelah 939 M, tidak pernah memperlihatkan dirinya kepada para wakil, tetapi selalu membimbing pengikut syi?ah sampai kiamat. Imam Mahdi akan kembali ke bumi untuk menegakkan kebenaran keadilan. Perkembangan doktrin Syi?ah dipengaruhi oleh ; a). Imam-imam Syi?ah hampir tidak pernah memegang kekuasaan, kecuali beberapa orang seperti ?Ali dan ? Ubaidillah dari daulah Fathimiyah. Mereka mempunyai semangat integritas dan kesalihan yang tinngi. Tetapi tidak memiliki pengalaman secara riil dalam berpolitik. Doktrin ma?sum imamah belum teruji dalam lapangan politik.



19 b). Kebiasaan warga Persia (Iran) yang mengagungkan raja dan menganggapnya sebagai penjelmaan Tuhan memunculkan keyakinan bahwa penguasa (raja) adalah sosok suci yang bebas dari dosa. Sabdanya suci, karena itu rakyat tertindas dengan sikap otoriternya. c). Doktrin al-mahdi al-muntadhar dan al-raj?ah sebagai pelampiasaan sikap politik kalangan minoritas. Menunggu ratu adil datang (satu istilah yang pernah poluler di Indonesia). Setidaknya menjadi penghibur bagi kelompok ini yang sering mengalami penderitaan. Kelompok ini minoritas di masa Umayyah dan Abbasiyah yang selalu dikejar2 disiksa oleh penguasa. d). Dalam perkembangan Syi?ah moderen, doktrin al-intidhar dikembangkan menjadi satu konsep yang maju dan realistis oleh Ali Syari?ati a) Pengikut Syi?ah diharuskan berjuang dengan berbagai cara untuk menentang penguasa dzalim b) intidhar diartikan menolak kejahatan, penindasan dan ketidak adilan c) intidhar juga diartikan sebuah perjuangan yang kontiniu untuk membebaskan yang tertindas dan mencari keadilan. Semangat Syari?ati ini yang dianggap satu keberhasilan dalam rangka menumbangkan rezim diktator dan Revolusi Islam di Iran bulan Pebruari 1979 yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeni. Konsep imamah dijawabrkan oleh Khumeni tentang wilayatul faqih, artinya sambil menunggu imam yang gaib, pemimpin politik harus dijabat oleh seorang faqih, yaitu khomeni sendiri. Konsep Politik Khawarij. 1. Mengangkat khalifah (nasbul imamah) bukan wajib syar?i, tetapi atas dasar pertimbangan akal dan kemaslahatan umat manusia. 2. Jabatan khalifah atas dasar kemampuan; siapapun dapat mendudukinya, asalkan mampu. Mengutamakan non Arab dan bukan monopoli Quraisy, serta tidak seperti Syi?ah. Lebih baik non Arab sehingga dapat menurunkannya atau membunuhnya. Mereka mempunyai sikap picik dan ekstrim. Khawarij adalah kelompok sparatis yang keluar dari kelompok Ali dan Muawiyah karena kecewa terhadap tahkim (arbitrase) disetujuai antara ?Ali dan Muawiyah. Mereka membenci Ali dan lebih membenci Mu?awiyah. Kebanyakan warganya adalah suku Badui Arab, sulit menerima perbedaan pendapat. 3. Lebih demokratis, karena mungatamakan syura karena di justifikasi al-Qur?an yang sudah terkubur oleh ambisi Mu?awiyah. 4. Kepala negara bukan orang yang sempurna, tetapi manusia biasa yang dapat melakukan salah dan dosa. 5. Kepala negara yang menyimpang dari semestinya dapat dibunuh. 6. Khalifah harus dipilih oleh seluruh rakyat secara bebas, krn itu tdk mengembangkan ashabiyah (keluarga). 7. Mengakui khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan ?Ali sebelum peristiwa tahkim, karena sesuai dg tuntunan syariat Islam. Konsep politik Mu’tazilah; 1. Nasbul imam bukan kewajiban syara?, tetapi hanya pertimbangan akal semata. Pengangkatan kepala negara harus dengan pemilihan atas dasar musyawarah. 2. Pembentukan kepala neg adalah bagian dari kewajiban melakukan kebaikan dan menghindari kejahatan. 3. Menurut ?Abd Jabbar kepala negara adalah orang biasa yang mengemban fungsi pemimpin politik dan spiritual umat Islam. Ia tidak harus dari suku Quraisy (seperti halnya kaum sunni) dan juga tidak maksum seperti keyakinan orang-orang syiah. Abd Jabbar mensyaratkan kepala negara harus a) merdeka b) memiliki kekuatan akal, nalar yang sehat, cerdas agar dapat melakukan tugas-tugasnya. c) menganut doktrin al-adl wa al-tawhid dan d) berjiwa wara. 4. Umat islam wajib taat kepada kepala negara. Karena telah terpenuhi syarat-syarat di atas. Komentar pokok-pokok alur pikir politik empat alirab di atas ; a) 4 aliran tersebut di atas tidak ada satupun yang menentukan lama jabatankepala negara. Syi?ah dg konsep ma’sum cenderung kep neg seumur hidup. Aliran Sunni dan Mu?tazilah memandang kekuasaan kep neg tidak terbatas. Khawarij kepala negara dapat diganti jika tidak dapat melaksanakan tugasnya. Secara implisit tidak membatasi jabatannya. b) Aliran sunni cenderung aristrokrasi (sistem pemerintahan yang dilakukan oleh kalangan ningrat = kaum Quraisy) dan monarki (kerjaan) ? diawali masa Umayah. Kepala negara sebagai bayang Tuhan di bumi cenderung teokrasi (pemerintahan yang berpedoman kepada hukum tuhan).



20 c) Aliran teokrasi yang diwakili Syi?ah (kecuali Zaidiyyah) menganggap kepala negara adalah imam yang ma’sum, diangkat berdasarkan penunjukkan Allah lewat wasiat Nabi, menjadikan kepala negara mempunyai otoritas yang tidak terbatas. d) Ajaran demokratis justru dilahirkan oleh kalangan Khawarij (kelompok minoritas dari pedalaman) yang menjadi bagian dari reaksi terhadap kalangan sunni ? syi’ah dan mu’tazilah. Konsep politik Ibnu Taimiyah; Lahir di Harran dekat Damskus, Suria tahun 661 H ( 1263 M). 1) Jabatan khalifah (imamah) adalah amanat, dan nasbul imamah adalah kewajiban agama. 2) Kepala negara disyaratkan cakap dan memiliki kemamuan. Mempunyai kekuatan (al-quwah) dan integritas (taqwa). 3) Kepala negara harus membelanjakan dana rakyat sesuai petunjuk al-Qur?an dan sunnah Rasul yang dapat menjamin segala kewajiban keuangan dari negara. Kebutuhan rakyat terpenuhi serta hak milik mereka dilindungi. Sebaliknya rakyat wajib membayar segala kewajiban yang telah diwajibkan oleh negara. 4) Hukum pidana wajib ditegkkan, baik hak Allah seperti penyamun, pencuri, pelaku zina dll maupun hak manusia seperti pembnuhan, penganiayaan yang dapat berubah karena dimaafkan. Hukuman karena hak Allah tidak ada toleransi sama sekali, diberlakukan tanpa pandang bulu. 5) Musyawarah; Kepala negara harus bermusyawarah dengan para ahli. Ia harus mengikuti pendapat mereka sepanjang mengikuti alur al-Qur?an dan Sunnah Rasul saw. 6) Kepala negara wajib menjamin keselamatan jiwa, harta, hak milik rakyat serta menjamin berlakunya syariat Islam. 7) Kepala negra wajib adil dan mampu menegakkan keadilan. Dia berseloroh, kepala negara kafir dan adil lebih baik dari pada yang tidak adil. Konsep Politik Imam Mawardi; Hidup di Baghdad antara 364-450 H atau 975-1059 M. 1) Imamah adalah kewajiban agama. Ia diangkat Tuhan sebagai khalifah, raja, sultan atau kepala negara. Dengan kata lain kepala negara adalah pemimpin agama dan politik. 2) Menentukan cara pemilihan kepala negara. Ada dua cara 1) Ahlu al-Ikhtiar; mereka yang berwenang memilih kepala negara untuk rakyatnya, harus memenuhi syarat a) adil b) mempunyai ilmu pengetahuan yang memadai dan c) mempunyai wawasan luas dan arif. 2) ahlu al-Imamah; mereka yang berhak mengisi jabatan kepala negara syarat-syaratnya a) adil b)ilmu pengetahuan yang memadai c) sehat pendengaran, penglihatan dan lissannya d) utuh anggota tubuhnya d) wawasan yang memadai untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengelola kepentigan umum e) keberanian yang memadai untuk melindungi rakyat dan melawan musuh f) keturunan Quraisy. Pengangkatan kep neg melalui a) lembaga/dewan formatur ahlu halli wa al-aqdi b) penunjukkan atau wasiat kep neg sebelumnya. Format Ahlu halli wa al-aqdi bermacam2; a) diambil dari perwakilan seluruh pelosok negeri b) paling sedikit lima orang. Contoh pemilihan Abu Bakar c) pemilihan sah dilakukan oleh 3 orang dengan persetuan dua orang yang lain (kalangan Kufah) dan d) cukup satu orang seperti pengangkatan Ali oleh Abbas pamannya. Al-Mawardi sangat hati2 mengungkap cara pemilihan kepala negara. Ia menangkap fakta2 sejarah yang ditemukan, dg demikian tidak ada sistem yg baku dalam wacana Islami ini. 3) Pembebasan jabatan imamah; kep neg dapat dibebaskan dari tugasnya jika menyimpang dari keadilan, kehilangan panca indra / organ tubuh yang lain atau kehilangan kebebasan bertindak krn dibisiki orang2 dekatnya atau tertawan. Hanya saja cara/mekanisme pemberhentian jabatan ini tidak dikemukakan. 4) Mengangkat wazir (pembantu utama) dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Wazir ada 2 macam a) wazir tafwidh; pembantu utama hampir dalam semua urusan pemerintahan. Merumuskan kebijakan2 dg kep neg dan menangani segala urusan umat b) Mazir tanfidz menangani kalangan birokrat (pejabat tinggi negara). 5) Teori kontrak sosial; hubungan ahlu halli wa al-aqdi ? ahlu al-ikhtiar dengan imam adalah sebagai kontrak sosial atau perjanjian atas dasar suka rela. Kontrak sosial melahirkan hubungan timbal balik hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban imam serta hak dan kewajiban rakyat secara spontan lahir dari kontrak tsb. Imam wajib menjalankan tugas dan rakyat wajib tunduk kepadanya. Teori kontrak sosial dilahirkan alMawardi pada abad XI sedangkan di Eropa pertama kali abad XVI, salah satunya Hubert Languet (1519 ? 1581 M).



21 Teori politik Moderen; 1. Jamal al-Din al-Afghani dan Mohammad Abduh; Konsep politik Jamal al-Din al-Afghani; lahir di As?adabad, kanar wilayah Kabul, Afganistan tahun 1838. Abduh lahir di Mesir hilir tahun 1849. Pokok-pokok pikiran politik Afghani dan Abduh tidak banyak berbeda karena jalinan guru dan muridnya. Teori politik mereka : Kedua tokoh ini terkenal sebagai agitator dan konseptor perjuangan umat Islam. 1) Afghani menghendaki bentuk negara menurut Islam adalah republik, karena terjamin kebebasan berpendapat dan kepala negara harus tunduk kepada undang-undang. Sedangkan Abduh tidak memformat bentuk negara. Artinya apapun bentuk negara asal dikehendaki oleh masyarakat, sistem pemerintahannya dinamis. Mampu menerjamahkan syari’ah untuk kemaslahatan rakyat dalam hal keduniaan. Pendapat ini mirip komentar Ibnu Taimiyyah. 2) Dalam negara republik, menurut Afghani yang berkuasa adalah uu dan hukum. 3) Lembaga legislatif sebagai pembuat uu, untuk memajukan kemaslahatn rakyat secara dinamis. 4) Pemerintah dan rakyat mempunyai hak dan kewajiban yang sama memelihara dasar2 agama. Menurut Abduh pemerintah harus membuat al-Tasyri? al-Islam (uu Islam) dengan jalan ijtihad, untuk mengatur kehidupan kaum muslimin dalam urusan muamalah yang selalu berkembang, sebagai hasil dari penafsiran2 dasar2 agama secara rasional dalam urusan syari’at secara luas. Ada 3 komponen pokok yang disampaikan Afghani - Abduh, agar umat Islam di dunia tidak di jajah oleh Barat dan kejayaan Islam dapat direbut kembali: 1) Kembali ke ajaran Islam yang masih murni, meneladani pola hidup shahabat Nabi dan khulafa rasyidun. 2) Perlawnan terhadap kolonialisme Barat dan 3) Pengakuan keunggulan Barat dan Islam dapat belajar kepada mereka. 4. Abu al-A’la al-Maududi (1903-1979 M). Maududi lahir tanggal 25 September 1903 di Aurangabad, India Tengah dan wafat tanggal 23 September 1979 di rumah sakit New York Amerika Serikat. Ayah Maududi bernama Ahmad hasan. Sejak kecil Maududi belajar kepada ayahnya sebagai seorang pengikut sufi yang meninggalkan profesinya sebagai pengacara. Maududi terpaksa harus meninggalkan Aurangabad dan hidup menumpang bersama abang tertua Maududi di Haiderabad, karena desakan ekonomi dan ayahnya yang sakit. Maududi belajar di Dar al-Ulum salah satu pendidikan tinggi di India yg mencetak ulama. Pokok2 Pikiran Maududi ; Buku2 Maududi yang berkaitan dengan kenegaraan banyak ditulis diantaranya adalah Perang dalam Islam dan 6 risalah ; a) Teori politik Islam. b) Metode revolusi Islam. c) Hukum Islam dan cara pelaksanaannya. d) Kodifikasi konstitusi Islam. e) Hak2 golongan dzimmi dal;am negara Islam. f) Prinsip2 dasar bagi negara Islam. Ada tiga dasar tentang kenegaraan Islam ; a. Islam adalah agama yang paripurna, lengkap sebagai petunjuk untuk mengatur semua segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik. Islam haram mencontoh politik Barat. Islam dapat mencontoh kehidupan al-Khulafa al-Rasyidun. b. Kekuasaan tertinggi atau kedaulatan ditangan Allah. Umat Islam hanya pelaksana kedaulatan tsb sbg khalifah2 di muka bumi. Gagasan kedaulatan rakyat tidak dibenarkan. Manusia harus tunduk kpd hukum2 yg tercantum dalam al-Qur’an maupun Sunnah Rasul saw. Maksud dengan khalifah-khalifah Allah di muka bumi adalah yg berwenang melaksanakan kedaulatan Allah yaitu semua umat Islam baik laki2/ perempuan. c. Sistem politik Islam adalah satu sistem universal tdk mengenal batas2 dan ikatan2 geografis, bahasa dan kebangsaan. Konsep kenegaraan Islam sbb: a) Sistem kenegaraan Islam adalah teokrasi Islam (teokrasi murni), bukan demokrasi dan teokrasi seperti Eropa, yaitu sitem kekuasaan negara pada kelas tertentu, kelas pendeta atas nama Tuhan yang menyusun dan mengundangkan uu atau hukum untuk rakyat. Mereka dapat berlindung dibelakang hukum2 Tuhan.



22 Demokrasi kekuasaan ditangan rakyat. Hukum dapat diubah atas dasar keinginan rakyat. Negara teokrasi kekuasaan Tuhan berada di tangan umat Islam yang melaksanakannya sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh al-Qur’an dan al-Hadits. b) Pemerintah/Badan Eksekutif hanya dibentuk oleh umat Islam. Mereka yang mempunyai hak untuk memecat dari jabatannya. Soal-soal kenegaraan yang tidak terjawab dalam teks al-Qur?an ? al-Hadits (syari? ah), dapat diputuskan oleh kesepakatan umat Islam. Hak untuk menjelaskan-menafsirkan undang atau nash adalah bagi seseorang yang mencapai tingkat mujtahid. c) Kekuasaan negara dilakukan oleh 3 lembaga atau badan; legislatif, eksekutif dan yudikatif . d. Syarat2 kep neg adalah muslim, laki2, dewasa, sehat fisik dan mental,warga negara yg baik, shalih dan kuat komitmen dalam Islam. e. Keanggotaan Majlis terdiri dari warga negara yang muslim, dewasa, laki-laki, terhitung shalih dan cukup terlatih untuk menafsirkan dan menerapkan syari?ah dan menyusun undang-undang yang tidak bertentangan dengan Al-Qur?an dan Sunnah Nabi. Tugas Majlis adalah 1) merumuskan dalam peraturan perundangundangan petunjuk-petunjuk yang secara jelas telah ditetapkan dalam al-Qur?an dan Hadits serta peraturan pelaksanaanya 2) jika terda[pat perbedaan penafsiran terhadap ayat al-Qur?an atau hadits, maka memutuskan penafsiran mana yang ditetapkan 3) jika tidak terdapat petunjuk yang jelas, menentukan hukum dengan memperhatikan semangat atau petunjuk umum dari al-Qur?an dan Hadits 4) dalam hal sama sekali tidak terdapat petunjuk-petunjuk dasar, dapat saja menyusun dan mengesahkan undang-undang, asalkan tidak bertentangan dengan huruf maupun jiwa syari?ah. f. Kewargaan negara atas dasar warga negara yang beragama Islam dan warga negara yang bukan Islam. Warga negara yang bukan Islam disebut dzimmi (rakyat yang dilindungi). 5. Khumaini : Pokok-poko pikirannya ; 1) Khomeni sebagai pelopor revolusi Iran tahun 1979, degan teori baru mencabut Unang-undang Sipil membuat fiqih syi?ah yang baru. 2) Umat Islam wajib membuat pemerintahan atau nasbul imam hukumnya wajib, sebab aturan-aturan Islam tanpa ada kekuasaan eksekutif tidak ada gunanya dan tidak efektif. 3) Kaum muslimin wajib taat kepada ulil amri disamping taat kepada Allah dan rasulNya. 4) Kekuatan anggaran pendapatan belanja negara diambil dari zakat, jizyah, kharaj, khumus al-ghanaim dll. Negara wajib mendirikan pelaksanaan qishas mapun hudud. 5) Ajaran Islam lengkap memuat berbagai aspek kehidupan baik persoalan sospolek maupun kebudayaan. 6) Negara adalah instrumen bagi pelasksanaan uu Tuhan dimuka bumi. Otoritas pembuat uu dan kedaulatan adalah ditangan Allah swt. Khomaini menulis buku tentang politik yaitu Kasyf al-Asror (menyingkap rahasia) dan Hukumat fi Islam . Ia agak dipengaruhi oleh pemikiran al-Farabi tentang negara ?kota? atau (al-madinah al-fadilah). 7. Sistem Politik Islam di Indonesia Dalam wacana politik Islam, Munawir Sjadzali berpendapat bahwa hubungan agama ? negara mempunyai tiga aliran 1) Islam adalah agama paripurna, mencakup semua aspek kehidupan, termasuk masalah negara. Oleh karena itu agama tidak dapat dipisahkan dengan negara 2) Islam tidak berhubungan dengan persoalan negara, karena tidak mengatur persoalan pemerintahan. Menurut aliran ini, Muhammad saw tidak mempunyai misi mengatur negara 3) Islam hanya mencakup seperangkat prinsip dan tata nilai tentang kehidupan bernegara. Umat Islam harus mengembangkan sendiri tata nilai tersebut. Terlepas dari komentar tersebut diatas, kalangan sunni (sebagai mayoritas masyarakat Indonesia) berdasarkan kajian diatas, sebenarnya tidak memisahkan antara agama dan negara, karena dua persoalan tersebut menjadi satu kesatuan. Pendapat seperti ini dimunculkan kalangan sunni salafi al-Ghazali, alMawardi serta Ibnu Taimiyyah. Ibnu Taimiyah lebih tegas berpendat, tanpa kekuasaan negara, agama dalam bahaya dan negara tanpa hukum yang bersumber wahyu akan menjadi otoriter atau tangan besi. Menurut Hussein Muhammad, Islam di Indonesia, terdapat dua model hubungan; a) hubungan integralistik dan b) hubungan simbiosis ? mutualitik. 1. Integralistik artinya hubungan antara negara ? agama tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, karena menjadi satu kestuan. Negara menjadi satu lembaga politik yang mengayomi kepentingan agama. Agama dan hukum Islam (syari?ah) dapat diberlakukan dengan kawalan negara (para penguasa). Model seperti ini sudah diberlakukan saat kehidupan Rasul di Madinah, Khulafa al-Rasyidun dan dinasti-dinasti sesudahnya. Konsep negara seperti ini dikenal dengan teokrasi.



23 2. Simbiosis ? mutualitik; negara dan agama berhubungan karena sama-sama membuthkan. Agama menjadi bagian yang terpenting dalam urusan negara, karena tanpa agama dapat terjadi dekadensi moral. Di Indonesia ada tiga kategori pemerintahan yang sekaligus bersinggungan dengan umat Islam, sejak Orde Lama, Orde Baru dan masa Reformasi. 1) Presiden Soekarno (Orde Lama) berusaha memisahkan urusan negara dengan agama. Konsep ini mencontoh M. Kemal Attaruk di Turki. Soekarno sebagai kelompok nasionalis berbeda pendapat dengan M. Natsir sebagai kelompok modernis. Natsir berpendapat ajaran agama harus masuk program negara. Negara harus mengurus agama, sedangkan norma-norma negara sejalan dengan ketentuan agama. 2) Presiden Soeharto ( Orde Baru: orde tatanan); pada masa ini dapat dibedakan dalam tiga macam; a) Antagonistik (saling berhadap-hadapan) atau hubungan hegemonik antar Islam dengan Pemerintah, Awal Orde Baru s/d tahun 1970-an. Menurut Masykuri Abdullah; Pada mulanya pemerintah mencurigari agama ? Islam. Orde Baru sangat khawatir pada politisi Islam yang mempunyai kemampuan untuk menggerakkan massa. Pada sisi lain pemerintahan ini juga didukung oleh kekuatan militer yang banyak berasal dari kalangan abangan dan priyayi (aristokrat dan birokrat ? jawa). b) Masa penjinakan idealisme politik Islam atau hubbungan resiprokal= hubungan timbal balik. Pereode tahun 1980-an. Pemerintahan Orde Baru memperlakukan Islam sebagai agama dan sistem kepercayaan pemeluknya. Pemerintah mendorong berbagai aktivitas keagamaan namun membatasi berbagai aktivitas politik Islam. Suasana ini hampir mirip saat Snouck berkuasa di Nusantara. Kebijakan yang sangat kontrofersi adalah penetapan ?Asas Tunggal Pancasila? bagi semua parpol dan ormas di Indonesia. Menurut Azyumardi Azra program de-islamisai politik di Indonesia tamat. c) Menjelang tahun 1990 ?an, disebut ? Bulan Madu ?; Umat Islam dan pemerintah berbulan madu. Menurut Munawir masa ini kepentingan umat Islam banyak terakomodasi oleh pemerintah. Beberapa lembaga yang dapat berdampingan dengan pemerintah terbentuk, seperti ICMI, Bank Muamalat, BPR Syari?ah, Festifal Istiqlal, Penetapan UU Sisdiknas, UU Peradilan Agama. Lebih lanjut menurut Munawir, di saat ini justru tidak ada partai Islam, tetapi kehidupan keagamaan bagi umat Islam sangat baik. 3) Masa Reformasi; dimulai sejak lengsernya Soeharto dan diganti dengan BJ Habibie. Pada masa ini dianggap sebagi tonggak awal sejarah demokrasi dalam arti luas. Simpul-simpul otoritarianisme terbuka. Kebebasan berpolitik di lepas. Bebas mengekspresikan ajaran-ajaran agama. Pada saat ini lahir 48 parpol dalam Pemilu 1999. Parpol dan Ormas bebas menentukan azaz. Pemeluk agama Konghucu misalnya, bebas mengadakan kegiatan keagamaan di saat Gus Dur menjadi Presiden. Pada Pasca Reformasi hubungan agama ? negara sangat menggembirakan, namun pemerintah belum mengeluarkan kebijakan politik tentang agama. Lahirnya partai yang dimotori kalangan Islam seperti PKB, PAN, PKS dan partai lain, dapat diasumsikan bahwa sistem siyasah syar?iyah telah masuk dalam perpolitikan di Indonesia. Istilah ahlu halli wa al-aqdi dalam lembaga negara dan al-sulthah tasyri?iyyah, al-sulthah tanfidziyah dan al-sulthah qadhaiyah, seperti legislatif, ekssekutif dan yudikatif sampai hari dipergunakan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Ulama berbeda pendapat dalam menentukan identitas suatu negara. 1) didasarkan atas hukum yg berlaku di suatu negara apakah Islam atau bukan 2) didasarkan atas kenyamanan2 rakyat dlm mengamalkan agama dan 3) didasarkan atas pemegang kekuasaan negara tersebut, apakah penguasa muslim atau bukan. Kemudian bebarapa ahli memerinci sbb ; a) Abu Yusuf (w. 182 H) tokoh madzhab Hanafi berpendapat Dar al-Islam adalah suatau negara yang memberlakukan hukum Islam, meskipun penduduknya banyak non muslim. Termasuk pendapat al-Kisani, suatu negara menjadi dar al-Islam jika memberlakukan hukum Islam. b) Syayid al-Qutub (w 1387 H) tokoh Ikhwanul Muslimin, menganggap suatu negara mejadi dar al-Islam (negara Islam) jika menerapkan hukum Islam baik penduduk tersebut berbaur dengan ahl al-dzimmi.



24 c) Imam Rafi?I (w 623 H) menganggap dar al-Islam adalah suatu negara yang dipimpin oleh orang Islam (muslim). Pendapat ini didasrkan kepada pemegang kekuasaan di suatu negara. d) Imam Abu Hanifah (80-150 H) berpendapat Dar al-Islam adalah suatu negara yang masyarakatnya merasa nyaman melaksanakan hukum Islam, sedangkan dar al-harab sebaliknya. e) Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah (w 751 H) Dar al-Islam adalah satu negara yang dihuni oleh mayoritas muslim serta berlaku hukum Islam, sedangkan dar al-hara sebaliknya. DAMAI ATAU PERANG Dalam hubungan internasional sebuah negara, terdapat suatu pertanyaan apakah damai atau perang. Pada awal pembentukan negara, perang dianggap sebagai cikal bakal satu negara. Apakah dalam mempertahankan eksistensi negara (daerah) yang dihuni oleh masyarakat atau melakukan ekspansi untuk memperluas pengaruh ke luar. Abdul Wahhab Khallaf dalam konsep siyasah dawliyah , menjawab dengan dua pernyataan: 1) Sekelompok ulama berpendapat; mempertimbangkan hukum asal dalam konteks siyasah dawliyah adalah (al-ashlu fi al-?alaqah al-harab) ?prinsip dalam hubungan internaional adalah perang. Perang menjadi bagian tak terpisahkan, jika umat Islam harus mempertahankan eksistensi diri dan negara serta menolak kedzliman ataupun fitnah. Dasar yang melatarbelakangi ketentuan ini adalah beberapa ayat QS al-Baqarah [2] : 216, alNisa : 74, al-Anfal : 65 dan al-Tawbah : 1. )216 ‫كتب عليكم القتال وهو كره لكم وعسى أن تكرهوا شيئا وهو خير لكم (البقرة‬. 2. )74: ‫( النساء‬... ‫فليقا تل في سبيل هللا‬ 3. )65 : ‫ (األنفال‬... ‫ياأيها النبي حرض المؤمنين على القتال‬. 4. )29 : ‫( التو بة‬... ‫قاتلوا الذين ال يؤ منون باهلل وال باليوم األخر‬. 2) Kelompok yang lain berpendapat bahwa hukum asal dalam hubungan internasional adalah (al-ashlu fi al-? alaqah al-silm) :?prinsip dalam hubungan internasional adalah damai?. Damai merupakan manifestasi dari ayat 13 QS al-Hujurat yang intinya saling mengenal antar invidu maupun kelompok ataupun bangsa. Bagian ini merupakan misi sosial umat manusia yang diutamakan dalam ayat tersebut. Pernyataan ini bersandar pada makna isyarat ayat dalam QS al-Baqarah [2]: 190-191, al-Nisa [4] :75, al-Anfal [8] : 39 dan al-Hajj [22] :39. Pada perkembangan berikutnya pendapat ke dua inilah yang dianggap paling populer. Dalam istilah siyasah dawliyah, peperangan terjadi akibat sistem politk yang ada antar dua negara atau lebih, tidak dapat menyerap dan memecahkan ketegangan antar dua pihak. Misi perdamaian dalam Islam antar hubungan negara tidak lain untuk saling mengenal dan menolong, karena itu : a) Perang tidak akan dilakukan kecuali dalam keadaan terpaksa/darurat. b) Tawanan perang diperlakukan manusiawi. c) Perang segera dihentikan jika satu pihak ingin damai. d) Menganggap sebagai musuh kepada orang yang tidak mau perang. Perang atau al-jihad adalah upaya optimal untuk membela atau mempertahankan agama Islam dari segala ancaman musuh atau orang kafir yang memerangi. Jihad atau al-qital pada dasarnya sesuatu yang dibenci oleh agama seperti hanlnya QS al-Baqarah [2]:216 ?Kutiba ?alaikum al-qitalu wahwa kurhun lakum?. Perang dapat dilakukan jika jalan buntu untuk perdamaian tidak dapat dilaksanakan atau dakwah Islamiyah diganggu atau orang Islam diserang. Dalam sejarah Islam dakwah yang dilakukan oleh Muhammad saw di saat beliau membawa misi risalah ada empat pereode a) dakwah secara rahasia b) dakwah secara terbuka c) dakwah kepada penguasa2 dan ba?iat Anshar untuk perang dan c) aplikasi syar?iat Islam secara menyeluruh.



25 Menurut banyak ulama Tafsir bahwa ayat pertama tentang ijin perang dengan kalangan musyrik adalah QS al-Haj [22} ; 39; ‫ أذن للذ ين يقا تلون بأنهم ظلموا وإن هللا علي نصرهم لقد ير‬. ?Telah diizinkan perang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu ?. Ayat ini diturunkan saat Rasul melakukan perjalanan hijrah ke Madinah, karena di usir dari Makkah. Dalam hadits riwayat Tirmidzi, Abu Bakar terinspirasi ayat ini, kelak akan terjadi perang denga kafir Quraisy. Dalam konteks pemerintahan pernyataan perang biasanya disampaikan oleh kepala negara, jika dengan perang tersebut menjadi alternatif penyelesaian yang terbaik, karena jalan damai tidak dapat ditemukan. Tujuan Pearang (al-Jihad fi sabil Allah) adalah : 1) Mempertahankan diri. 2) Misi dakwah Islamiyah. Konferensi Internasional di Den Haag menentukan bhw perang yg dibenarkan adalah : 1. Untuk mempertahankan diri dari serangan yang terjadi. 2. Melindungi hak negara yang sah yang dilanggar oleh negara lain tanpa sebab yang dapat diterima. Etika perang; 1) Tidak boleh membunuh anak2. 2) Dilarang membunuh wanita yg tidak ikut perang dan dilarang memperkosa. Pelaku pemerkosa dikenai had zina. 3) Dilarang membunuh orang tua yang tidak ikut perang. 4) Tidak memotong, merusak pohon-pohon, sawah ladang. 5) Tidak merusak binatang ternak, kecuali untuk dimakan. 6) Tidak boleh merusak tempat2 ibadah. 7) Dilarang mencincang2 mayat musuh. 8) Dilarang membunuh pendeta dan para pekerja yg tidak ikut perang. 9) Bersikap sabar, tidak balas dendam atau mencari duniawi. 10) Tidak melampaui batas. Fiqh Siyasah Indonesia, Siasat Politik Kontemporer Fiqh siyasah (pemikiran politik Islam) Indonesia sepanjang sejarah memiliki distingsi yang dalam banyak hal berbeda dengan fiqh siyasah di kawasan dunia Muslim lain. Distingsi fiqh siyasah Indonesia menjadi bagian integral perkembangan dan dinamika Islam Indonesia sejak masa klasik kesultanan, kolonialisme, moderen, dan kontemporer sejak masa kemerdekaan. Distingsi fiqh siyasah Indonesia terkait banyak dengan distingsi Islam Indonesia yang mengadopsi paradigma dan praksis Islam  wasathiyah yang akomodatif dan bersahabat dengan budaya lokal. Masa Klasik Kerajaan/Prakolonial Secara umum berdasarkan kerangka ortodoksi Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah yang terbentuk pada masa Dinasti Umayyah (41-132H/661-750M). Fiqh Siyasah Indonesia klasik berdasarkan kontekstualisasi Sunni menjadi tiga aspek ortodoksi Islam Indonesia: kalam Asy’ariyah, fiqh mazhab Syafi’i, dan tasawuf al-Ghazali. Rujukan utama fiqh siyasah Indonesia klasik termasuk al-Mawardi (975-1058), al-Ghazali (1058-1111), Ibn Taymiya (1263-1329). Konsep dan Praksis Sunni Fiqh siyasah Sunni Indonesia klasik menekan absolutisme Sultan, dan lingkungan kekuasaan. Raja/Sultan adalah ‘bayang2 Allah di muka bumi’ (zill Allah fi al-Ard ) yang sekaligus adalah ‘poros agama’ (Qutb alDin) atau bahkan ‘Wali Allah di muka bumi’–konsep tasawuf yg dipadukan dengan fiqh. Rakyat spenuhnya tunduk kpd penguasa—haram oposisi, perlawanan apalagi pemberontakan (bughat). Stabilitas negara— prasyarat untuk melaksanakan ‘ibadah dengan baik—lebih penting daripada keadilan dan shura. Sumber Fiqh Siyasah Indonesia Klasik Pemikiran fiqh siyasah Indonesia klasik terdapat  dalam berbagai kitab historiografi, sejarah dan fiqh. Banyak kerangka dan prinsip pokok fiqh siyasah klasik dapat ditemukan dalam: 1. Periwayatan historiografi dan sejarah seperti: Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, Hikayat Merong Mahawangsa, Hikayat Patani, Bustanus Salatin (Syekh Nuruddin ar-Raniri) dan sebagainya.



26 2. Kitab kompilasi tentang politik, tradisi dan adat seperti UU Melaka, Adat Melayu. 3. Kitab fiqh mua’amalah seperti Mir’atut Tullab  (Syekh ‘Abdurrauf Singkel). 4. Kitab khusus ttg politik seperti Tajus Salatin (Bukhari al-Jawhari), Tuhfatun Nafis (Raja Ali Haji). Cakupan Substantif Meski mengikut beberapa prinsip dasar Fiqh Siyasah Sunni, fiqh siyasah klasik Indonesia juga tidak mengikuti banyak konsep dan praksis fiqh siyasah Sunni. Tidak ada pembedaan di antara Dar al-Islam  dan Dar al-Harb atau Dar al-Kufr. Juga tidak ada sistem ‘millet’ untuk non-Muslim di masa Dinasti Turki Usmani (Ottoman). Juga tidak mengadopsi konsep dan praksis Zimmi (non-Muslims yang dilindungi) and jizyah  (poll tax). Perempuan diterima sebagai penguasa seperti pengalaman Kesultanan Aceh yg diperintah empat Sultanah berturut2 (1641-1699M). Sultan dan penguasa lainnya meski memegang kekuasan secara absolut, harus menegakkan keadilan. Hubungan antara Sultan dan warga/rakyat seperti mahkota cincin (Sultan) dan lingkaran cincin (rakyat). Raja/sultan dalam kekuasaannya harus mengikuti ketentuan hukum-hukum Allah (syari’ah dan fiqh). Raja/sultan juga harus mengikuti tradisi, istiadat dan adat resam yg tidak bertentangan dengan hukum Allah. Raja/sultan perlu membangun struktur birokrasi kerajaan dengan wazir (perdana menteri), menteri, syaikhul Islam/mufti/qadi, laksamana dan bendahari. Fiqh Siyasah Indonesia Klasik dan Kolonialisme Konsolidasi konsep dan praksis fiqh siyasah klasik Indonesia tidak berlanjut dengan kedatangan kekuatan Eropa (Portugis, Belanda, Spanyol) ke Kepulauan Indonesia. Belanda menundukkan kerajaan/kesultanan satu persatu di seluruh Kep Indonesia.Kesultanan/kerajaan yg dibiarkan Belanda tetap ada, tidak memiliki kekuasaan politik, ekonomi dan keagamaan. Penghapusan kerajaan/kesultanan membebaskan Islam Indonesia dari absolutisme dan feodalisme. Kolonialisme Inggris di wilayah Semenanjung memperkuat  otoritas kerajaan atas Islam dan adat. Fiqh Siyasah Moderen Indonesia Sejak akhir abad 19 dan awal abad 20 semakin banyak ulama dan pemikir Islam Indonesia yang terekspos pada fiqh siyasah Islam ‘pasca tradisionalisme’ dan pemikiran politik Barat modern. Fiqh siyasah Islam moderen ditandai dengan kemunculan kembali gagasan khilafah (pan-Islamisme) yang dianjurkan misalnya oleh Jamaluddin al-Afghani (1838-1897) dan ‘Abdurrahman al-Kawakibi (1855-1902). Konsep khilafah terbagi dua; khilafah politik berpusat di Istanbul, dan khilafah agama di Makkah. Pergulatan antara fiqh siyasah klasik dengan tendensi fiqh siyasah moderen. Gagasan pan-Islamisme (khilafah) tidak berkembang karena represi kolonialisme Belanda dan tidak adanya minat dari ulama/pemikir Indonesia. Pemikir dan aktivis Muslim lebih tertarik pada konsep dan praksis sistem politik Barat. Soekarno terpesona pemikiran dan praksis politik Kaum Turki Muda, sehingga kelak mengusulkan Indonesia berdasar sekularisme. Mohammad Natsir dan banyak ulama tradisional dan pemikir Muslim mengusulkan pembentukan ‘negara Islam’ moderen melalui proses demokrasi. Agus Salim memandang ‘khilafah tidak relevan dengan Indonesia. Fiqh Siyasah Indonesia Moderen dan NKRI Mendukung konsep negara bangsa moderen (NKRI berdasarkan Pancasila dan juga menganut prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Mendukung sistem politik demokrasi d/p teokrasi Islam dg tata hukum syari’ah. Memandang demokrasi kompatibel dengan prinsip-prinsip dasar Islam tentang politik dan kenegaraan. Tiga bentuk demokrasi dengan partisipasi kaum Muslim: demokrasi liberal (1955 dan era reformasi), demokrasi terpimpin (1959-65), dan demokrasi Pancasila (1966-98). NKRI sah secara fiqh siyasah, tidak pernah ada fatwa dari ormas Islam arus utama yang menyatakan NKRI tidak sah. Ulama NU (Maret 1954) memfatwakan presiden Indonesia adalah ‘waliyul amri dharuri bisy syaukah’ sehingga segala sesuatu terkait Islam dan umat Muslim sah secara fiqhiyah. Ulama NU juga menyebut NKRI sebagai ‘Darul Mitsaq’ (negara konsensus). NKRI dg Pancasila menurut Muhammadiyah adalah ‘Darul Ahdi wa as-Syahadah’—wilayah atau negara perjanjian dan kesaksian. Fiqh Siyasah Indonesia Moderen dan Pancasila Pancasila adalah dasar negara yang bersifat ‘deconfessional’ yang netral/tidak terkait dengan agama (confession). Pancasila dasar negara yang bersahabat dengan agama (religiously friendly). Pemimpin Muslim menerima Pancasila sudah Islam sebagai kalimah al-sawa’ Pancasila yang sudah final sbg dasar negara adalah sesuai kesepakatan 18 Agustus 1945. Pancasila diterima juga karena ia merupakan jalan tengah di antara sistem politik berdasar sekularisme atau berdasarkan Islam.



27 Fiqh Siyasah ‘Indonesia’ Moderen Kelompok Sempalan Ada beberapa kelompok sempalan (dari mayoritas) yang tumbuh dari Indonesia sendiri (splinter ‘homegrown’) tidak menerima NKRI dan Pancasila—berusaha mendirikan Negara Islam Indonesia (NII/DI). Juga ada kelompok sempalan seperti HTI atau JAD yang merupakan gerakan politik transnasional yg ingin membentuk khilafah dan menerapkan syari’ah atau membentuk dawlah Islamiyah di Indonesia. Terdapat romantisme dan utopinisme beserta salah paham dan salah konsepsi tentang dawlah Islamiyah dan/atau khilafah. POLITIK ISLAM (FIQIH SIYASAH)  PENGERTIAN Istilah politik berasal dari kata politics ( bahasa inggris) yang bermakna mengatur, strategi, cara, dan jalan untuk meraih kekuasaan. Dalam islam istilah politik dikenal dengan siyasah syar’iyyah yang kemudian populer diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia dengan politik islam. Secara bahasa siyasat berasal dari kata sa-sa yang berarti mengatur, mengurus, memerintah, memimpin, mengarahkan dan mengendalikan sesuatu. Definisi ini selaras dengan hadis nabi SAW, sbb : “ Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Bani Israil itu dipimpin oleh para nabi. Ketika nabi yang satu meningggal, digantikan dengan nabi yang lain. Dan sesungguhnya tiada nabi setelahku (Nabi Muhammad), (tetapi) akan ada banyak khalifah (pemimpin). Mereka (para sahabat) bertanya: “Apakah yang engkau perintahkan untuk kami? Nabi bersabda: “ Berikanlah bai’at kepada pemimpin pertama, kemudian hanya yang pertama. Dan berikanlah hak-hak mereka (pemimpin), karena sesungguhnya ALLAH akan meminta pertanggungjawaban mereka (pemimpin) terhadap apa yang mereka pimpin.” ISTILAH PENTING DALAM FIQIH SIYASAH. Khilafah dan khalifah Pembahasan Khilafah secara bahasa berkaitan erat dg bentukan  kata tersebut. Kata “khilafah” seakar dg kata “khalifah” (mufrad), khalaif (Jama) dan Khuldfa (Jama)”. Semua padanan kata tsb berasal dari kata dasar (fi’il madi), kholafa. Kata ”khalifah”, dengan segala padanannya, telah mengalami perkembangan arti, baik arti khusus maupun umum. Dalam First Encyclopedia of Islam, khalifah berarti Vakil” (deputy), “pengganti” (successor),  “penguasa” {vicegerent),  “gelar bagi pemimpin tertinggi dalam komunitas muslim” (title of the supreme head of the muslim community)} dan bermakna. “pengganti Rasulullah”. Makna terakhir senada dengan Al-Maududi bahwa khalifah adalah pemimpin tertinggi dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti Rasul. Makna khalifah digunakan oleh Al~Quran untuk siapa yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas. Dalam hal ini Daud [947-1000 SM] mengelola wilayah Palestina, sedangkan Adam secara potensial atau aktual diberi tugas mengelola bumi keseluruhannya pada awal masa sejarah kemanusiaan. Mufassir lain, misalnya Al-Maraghi, mengartikan khalifah sebagai “sesuatu jenis lain dari makhluk sebelumnya, namun dapat pula diartikan, sebagai pengganti (waktu) Allah SWT. dengan misi untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya terhadap manusia”. Terhadap arti pertama, Al-Maraghi hampir senada dengan kebanyakan mufassir, dan terhadap arti yang kedua, ia menyandarkan kepada firman Allah kepada Nabi Daud agar menjadi pemimpin atas kaumnya, yaitu: Artinya: “Hat Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi. (Q.S. Shad: 26). Abdur Raziq berpandangan bahwa “agama Islam tidak mengenal lembaga kekhalifahan. Lembaga ini tidak ada kaitannya dengan tugas-tugas keagamaan, melainkan tugas-tugas peradilan dan lain-lain dari pelaksanaan kekuasaan dan negara. Agama tidak mengakui dan tidak mengingkati, tidak memerintah dan tidak melarang. Agama menyerahkan semua itu kepada pilihan yang bebas dan rasional. Pandangan senada diungkapkan Qamaruddin Khan, bahwa kata-kata khalifah di bumi ini bermakna memerintah di bumi ini adalah sesuatu yang dipaksakan terhadap Al-Quran Politik dan tidak menunjukkan adanya teori ketatanegaraan apa pun. Demikian pula, ayat-ayat lain, tidak bisa dimanfaatkan untuk memolakan teori politik tata pemerintahan. Lebih lanjut, Qamarudiin Khan mengatakan bahwa, tidak ada satu ayat pun yang mengisyaratkan teori politik pemerintahan.Berbeda dengan yang lain, Ibnu Khaldun, berpandangan bahwa khalifah adalah “tuntutan syariah dalam menegakkan agama dan mengatur urusan dunia (sosial politik), guna mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat. Karena kemaslahatan akhirat lebih utama, menurut Ibnu Khaldun, semua kepentingan dunia harus disesuaikan dengan hukum syariat agama. Di samping itu, khilafah pada hakikatnya menobatkan diri sebagai pengganti pembuat undang-undang (Nabi-Rasul) memelihara kewibawaan syariat dan mengatur urusan keduniawian”.



28 As-Suyuti mengutip pendapat Al-Farusi dan Muawiyyah, bahwa khilafah adalah “kepala pemerintahan umat Islam. Pendapat ini di-kemukakan pula oleh Ibnu Katsir dan Al-Qurthubi. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Al-Wahidi dan Asy-Syaukani. Keduanya membatasi masalah tersebut pada pergantian kepemimpinan Nabi secara bergantian menegakkan hukum Tuhan. Pendapat ketiga dikemukakan, misalnya oleh AlFairuzzabadi dari Ibnu Abbas, A2-Zamakhsyari, dan An-Nawawi. Mereka melihat kedudukan khalifah mencakup kedudukan raja-raja dan nabi-nabi sebagai pemerintah”. Batasan ini sarat dengan muatan politis. Begitu pula, yang diungkapkan Al-Maududi, bahwa “khilafah pada hakikatnya merupakan manifestasi dari anugerah Allah, Sang Penguasa Tertinggi, Sang Hakim Agung yang sebenarnya kepada manusia yang menjadi wakilnya dalam menegakkan kekuasaanrxlan hukum Allah di antara manusia. Konsekuensi logisnya, jika tidak, dan berlaku menegakkan hukum, selain Allah, adalah merupakan pemberontakan atau kudeta melawan Sang Penguasa, Sang Hakim Agung yang hakiki. Dengan kata lain, perilaku tersebut sama dengan mengubah anugerah menjadi musibah”. PARADIGMA HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DALAM ISLAM Secara sederhana, paradigma dimaknai sebagai cara pandang. Sehingga paradigma mirip jenis kaca mata yang digunakan manusia, hanya saja paradigma bukan kacamata fisik, tetapi kacamata batin, persepsi, dan akal. Paradigma sangat menentukan apa yang terjadi keyakinan manusia yang pada akhirnya menentukan perilaku mereka. Sementara secara istilah, paradigma berarti sebagai asumsi2 dasar (basic asumption) yg dimiliki oleh seorang intelektual sebagai dasar pemahaman realitas. Dalam pemikiran politik islam, menurut kajian prof. Din Syamsudin, paling tidak terdapat tiga paradigma ttg hubungan islam dan negara yg berkembang di kalangan kaum itelektual muslim atau ulama. 1. Paradigma integralistik Paradigma ini berpandangan tentang kebersatuan antara islam dan negara (integral). Dengan kata lain, Agama dan Negara, dalam pandangan ini tidak dapat dipisahkan, wilayah agama juga meliputi politik atau negara. Untuk itu pemerintahan  negara harus diselenggarakan atas dasar “kedaulatan ilahi” (divine soveragnity), krn hal ini merupakan amanah agama. Islam tanpa negara tidak akan tegak, dan hukum2nya tidak akan dapat direalisasikan, karena negara merupakan instrumen penting untuk tegaknya tatanan islam. Demikian juga, suatau negara dimana masyarakat muslim bernaung dibawahnya, kalu negara tidak manggunakan hukum agama (islam) sebagai rujukan di dalam menata dan mengurus kaum muslimin, maka negara akan rusak dan salah arah dalam mengurus kaum muslimin. Dalam konteks modern, paradigma integralistik dianut oleh bbrp neg islam modern. Negara tsb menyatakan secara eksplisit bahwa konstitusi negara tersebut adalah islam, atau berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Contoh nyata aplikasi paradigma integralistik ini dalam konteks kenegaraan adalah Iran dan Kerajaan Saudi Arabia. Sementara Muhammad bin Abdul Wahab, Syaikh Muhammad rasyid Ridha, dan Imam Khomeini, adalah bebrapa tokoh intelektual Muslim yang sangat populer sbg pendukung gagasan integralistik tsb. 2. Paradigma Simbiotik Paradigma ini memandang bahwa agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan timbal balik saling memerlukan. Walaupun paradigma ini memandang bahwa negara adalah bukan agama dan agama bukan negara, tetapi paradigma ini berpandangan bahwa untuk bisa tegaknya negara yang baik diperlukan prinsip-prinsip moral yang baik, dimana prinsip-prinsip tersebut hanya ada dalam ajaran agama. Pengelola negara untuk dapat mengelola negara dengan baik sangat bergantung dengan moralitas yang menjadi pijakan dan keyakina mereka. Untuk itulah agama memainkan peran penting bagi terciptanya tatanan negara yang baik, walaupun agama (islam) tersebut tidak menjadi rujukan dan tidak dilembagakan secara resmi bagi konstitusi negara. Implementasi paradigma simbiotik ini, dapat dilihat dari beberapa negara muslim yang tidak mendasarkan secara resmi konstitusinya pada (agama) Islam atau Al-Qur’an dan Sunnah. 3. Paradigma Sekularistik Paradigma ini mengajukan pemisahan antara agama dan negara. Negara berdiri harus terlepas dari pengaruh agama sama sekali, demikian juga sebaliknya agama juga harus terlepas dengan negara sama sekali. Agama dalam paradigma ini hanya sebatas urusan publik (negara), islam tidak menyinggung tentang pendirian suatau negara, baik itu dalam Al-Qur’an maupun hadits. Islam lebih banyak menyinggung tentang persoalan moral yang bersifat umum. Untuk itulah posisi islam dan negara sangat jelas, yaitu bahwa islam diturunkan oleh Allah dala rangka untuk memperbaiki moralitas masyarakat manusia yang bersifat umum apakah mereka itu memiliki negara ataukah tidak.



29 Contoh kongkrit dari implementasi paradigma ini adalah neg Turki modern. Dan keberhasilan Turki dalam melakukan pemisahan antara agama dan negara, memperkokoh keyakinan sebagian intelektual muslim terhadap paradigma tsb. Ahmed Abdullah An-na’im dlm bukunya islam dan negara sekular mrepresentasikn salah seorang contoh yg sangat yakin dg paradigma sekularisme bagi masyarakat muslim. SISTEM PEMILIHAN KHALIFAH Permasalahan politik yg pertama kali muncul sepeninggal Rasulullah adalah siapakah yg akan menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan dan bagaimana sistem pemerintahannya. Masalah tersebut diserahkan kepada kaum muslimin. Rasul mengajarkan suatu prinsip, yaitu musyawarah, sesuai dengan ajaran islam itu sendiri. Prinsip musyawarah ini, dapat dibuktikan dengan peristiwa2 yg terjadi dalam setiap pergantian pimpinan dari empat khalifah periode Khulafa’ al-Rasyidun, meski dengan versi yg beragam. 1. Pemilihan Abu bakar memangku jabatan khalifah berdasarkan pilihan yang berlangsung sangat demokratis di Muktamar Tsaqifah Bani Saidah, memenuhi tata cara perundingan yg dikenal dunia modern saat ini. 2. Penunjukan Umar bin Khatab ditunjuk olh Abu Bakar atas persetujuan para pemuka masyarakat dan jamaah kaum muslimin. 3. Formatur Usman b Affan dipilih&diangkat dari enam orang calon yg ditunjuk oleh Khalifah Umar saat mnjelang ajalnya krn pembunuhan, Umar menempuh cara sendiri yg berbeda dg cara Abu Bakar. 4. Bai’at Ali bin Abi Thalib tampil memegang puncak pimpinan negara di tengah-tengah kericuhan dan huru hara perpecahan akibat terbunuhnya Usman oleh kaum pemberontak. Khalifah Ali dipilih dan diangkat oleh jamaah kaum muslimin di Madinah dalam suasana yang sangat kacau, dengan pertimbangan jika khalifah tidak segera dipilih dan diangkat, maka keadaan akan semakin bertambah kacau. PRINSIP-PRINSIP KETATANEGARAAN DALAM ISLAM 1. Prinsip al-Musawah dan al-ikha (Persamaan dan Persaudaraan) Dalam sejarah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW di Madinah, prinsip persamaan dan persaudaraan ini oleh nabi SAW dipraktekkan ketika ia menyusun piagam Madinah. Islam menganut prinsip persamaan dihadapan hukum dan penciptanya, yang menjadi pembedanya adalah kualitas ketaqwaan individu. Keberpihakan islam pada prinsip persaudaraan dan persamaan didasarkan pada tujuan yang hendak diraih yakni adanya pengakuan terhadap persaudaraan semesta dan saling menghargai diantara sesama umat manusia sehingga dapat tercipta kehidupan yang toleran dan damai. 2. Prinsip al-amanah (akuntabilitas) Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara , amanah merupakan amanah rakyat yang diberikan kepada seorang pemimpin untuk menjalankan roda pemerintah yang di dalamnya terkandung nilai-nilai kontrak sosial. Bagi pengemban amanah harus mampu manjalankan titah rakyat sekaligus harus mampu menjadi pelayan rakyat dan wajib hukumnya untuk bersikap adil. 3. Prinsip as-Salam (perdamaian) Islam sebagai agama rahmatan lilalamin mengedepankan prinsip perdamaian dalam segala aspek kehidupan sesuai dengan tujuan risalah yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW tersebut. 4. Prinsip at-Tasamuh (toleransi) Sikap toleran merupakan sikap yang harus dimiliki oleh setiap individu didalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena dalam suatu negara akan terdiri dari berbagai macam agama, suku, dan bangsa. Prinsip Toleransi berlaku universal, sikap saling menghargai dan menghormati antar sesama warga negara bukan saja terhadap sesama orang islam, tetapi juga harus berlaku lintas agama dan suku. 5. Prinsip al-Huriyah (kebebasan). Secara fitrah manusia sudah dibekali dengan daya intelektualitas dan kebebasan untuk memilih suatu keyakinan serta kebebasan untuk berpikir. Dalam islam prinsip kekebasan dalam menentukan suatu keyakinan atau memeluk suatu agama mendapatkan perhatian dalam al-Qur’an seperti dalam surat QS (2):256. Kebebasan dapat diperinci sebagai berikut: 1. Kebebasan berfikir 2. Kebebasan beragama 3. Kebebasan menyampaikan pendapat 4. Kebebasan menuntut ilmu 5. Prinsip at-Tasyawur/ as-Syura (musyawarah)



30 Prinsip musyawarah merupakan prinsip yang diajarkan oleh al-Qur’an dan nabi Muhammad yang dijadikan etika politik didalam kehidupan bernegara dan berbangsa yang menjadi media untuk mufakat apabila ada perselisihan pendapat. 6. Prinsip al-Adalah (keadilan, keseimbangan, dan moderasi) Prinsip ini mengandung pengertian penegakan keadilan. Keadilan merupakan prinsip yg sangat fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik di bidang hukum, ekonomi, politik, dan budaya. Krn sikap adil tsb merupakan bagian dari pentingnya keberadaan suatu hukum dan menjadi etika politik. 7. Prinsip al-Tha’ah (ketaatan) Ketaatan adalah suatu hal yang sangat penting bagi tegaknya sebuah pemerintahan yang baik dan teratur. Tanpa adanya kepatuhan dan ketaatan dari seluruh elemen masyarakat dan juga penyelenggara negara, maka tidak akan terwujud negara dengan pemerintahan yang baik. PRINSIP DASAR DALAM POLITIK ISLAM Untuk menyelenggarakan pemerintahan negara, menurut Salim (1994 : 306),  terdapat 4 prinsip dasar dalam politik islam. Keempat prinsip itu adalah: 1. Prinsip amanat Prinsip pertama mengandung makna bahwa kekuasaan politik yang dimilikioleh pemerintahan merupakan amanat Allah dan juga amanat rakyat yang telah mengangkatnya melalui baiat.Sebagaimana amanat Allah SWT , kekuasaan politik itu dianugerahkan oleh Allah SWT kepada manuasia. Penganugrahan itu dilakukan melalui satu ikatan perjanjian. Perjanjian itu terjalin antara sang penguasa Allah di satu pihak, dan dg masyarakat di pihak lain. Krn itu, prinsip ini menghendaki agar pemerintahan melaksanakan tugas2nya dg memenuhi hak–hak yang diatur dan dilindungi oleh hukum Allah, termasuk di dalamnya amanat yang dibebankan oleh agama dan yang dibebankan oleh individu dan masyarakt sehinggatercapai masyarakat yang sejahtera dan sentosa. Amanat yang dimaksud dengan banyak hal, salah satu di antaranya adil. 2. Prinsip keadilan Adil menjadi prinsip kedua dalam pengelolahan kekuasaan politik. Keadilan yang dituntut itu bukan hanya terhadap kelompok, golongan, atau kaum muslim saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk. Ayat-ayat al-Qur’an yang mencakup hal ini amat banyak, salah satunya berupa teguran kepada Nabi SAW yang hampir menvonis salah seorang Yahudi, karena terpengaruh oleh pembelaan keluarga seorang pencuri. Dalam kontek inilah turun firman Allah dalam Q.S al-Nisa’:105 . “Janganlah kamu menjadi penentang orang2 yg tidak bersalah, karena(membela) orang2 yg khianat”. Keadilan juga mengandung arti bahwa pemerintahan berkewajiban mengatur masyarakatat dengan membuat aturan-aturan hukum yang adil berkenaan dengan masalah-masalah yang tidak beraturan secara rinci atau didiamkan oleh hukum Allah. Dengan demikian, penyelenggaran pemerintahan berjalan di atas hukum dan bukan atas dasar kehendak pemerintahan atau penjabat. 3. Prinsip ketaatan Prinsip ketaatan mengandung makna wajibnya hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’qn dan sunnah ditaati. Demikian pula hukum  perundang-undangan dan kewajiban pemerintahan wajib ditaati. Kewajiban ini tidak haya dibebankan kepada rakyat, tetapi juga dibebankan kepada pemerintahan. Oleh karena itu, hukum perundang-undangan dan kebijakan politik yang diambil pemerintahan harus sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama. Jika tidak demikian, maka kewajiban rakyat kepada hukum dan kebijakan dinyatakan telah gugur, karena agama melarang ketaatan pada kemaksiaatan. Rakyat harus menaati pemerintah selama pemerintahan itu menaati Allah SWT dan rasul-Nya, sebagaimana difirmankan Allah dalam Q.S al-Nisa’:59 berikut. “Wahai orang2  yg beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kpd Rasul, dan para pemimpinu!”. Menutur Quraish Shihab, “Tidak disebutkan kata perintah taat pada ulil amri untuk memberi isyarat bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya. 4. Prinsip musyawarah Prinsip musyawarah menghendaki agar hukum perundang2an dan kebijakan politik diterapkan melalui musyawarah di antara mereka yg berhak. Masalah yang diperselisihkan para peserta musyawarah harus diselesaikan dengan menggunakan ajaran2 dan cara2 yg terkandung alam al-Qur’an dan sunnah Rasul Allah SAW. Prinsip musyawarah ini diperlukan agar para penyelenggara negara dapat melaksanakn tugasnya dengan baik dan bertukar pikiran dg siapa saja yg dianggap tepat guna mencapai yang terbaik untuk semua’ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaan orang-orang yang di luar golongan (non Muslim), karena mereka selalu menimbulkan kesulitan bagi kamu. Mereka ingin menyusahkanmu. Telah tampak dari ucapanmu mereka kebencian, sedang apa yang disembunyikan oleh



31 dada mereka lebih besar. Sungguh Kami telah jelsakan kepada kamu tanda-tanda (teman dan lawan), jika kamu memahaminya”. Ayat di atas, ditulis Rasyid Ridha, mengandung larangan dan penyebabnya. Adapun cita2 politik Islam-seperti dikemukakan secara implisit oleh al-Qur’an-adalah: 1. Terwujudnya sebuah sistem politik 2. Berlakunya hukum Islam dalam masyarakat secara mantap 3. Terwujudnya ketentraman dalam kehidupan masyarakat. Cita2 politik tersebut tersimpul dalam ungkapan“baldatun thayibbatun wa rabbun ghafur”, yg mengandung konsep “negeri sejahtera dan sentosa. Dari sini tampak kedudukan kekuasaan politik sebagai srana dan wahana,sedangkan pemerintahan merupakan pelakasana bagi tegaknya ajaran agama (Salim.1994: 298). PERSOALAN-PERSOALAN POLITIK ISLAM KONTEMPORER A. Kepemimpinan Wanita 1. Wanita tidak memiliki hak dalam kekuasaan politik Pandangan ini pada umumnya dianut oleh kaum fundamentalis dan literalis. Mereka mengguanakan nashnash baik al-Qur’an maupun as-Sunah dengan pemahaman yang bersifat literalis, bukan kontekstual, sehinggga mereka berkesimpulan kaum wanita tidak memiliki otoritas kepemimpinan. 2. Wanita memiliki hak terbatas dalam kekuasaan politik Pandangan ini merupakan pandangan umum ulama islam klasik. Menurut mereka, perempuan bisa menduduki semua jabatan politik, kecuali kepemimpinan agung. Sedangkan untuk cakupannya lebih terbatas keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi perdebatan para ulama. Perbedaan ini dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam menilai kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari kekuasaan, persaksian, ataukah fatwa. 3. Wanita memiliki hak yang sama dengan kaum laki2 dalam masalah kekuasaan politik Pandangan ini banyak dikemukakan oleh para ahli kontemporer. Secara substantif, Allah memberi beban yang sama antara kaum laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain, setiap lelaki dan perempuan sama-sama memiliki kewajiban patuh kepada Allah. Konsekuensi dari sistem ilahi ini adalah bahwa masing-masing lelaki dan permpuan bersam dan setar dalam keseluruhan  Hak Asasi Manusia, tanpa diskriminasi. Oposisi dalam Islam 1. Pengertian dan Fungsi Oposisi Oposisi berasal dari bahasa inggris opposition dan bahasa latin, oppositus, opponere, yang bermakna memperhadapkan, membantah, menyanggah, dan menentang. Di dalam islam opsisi dikenal dengan istilah “mu’aradhoh” yang berarti behadap-hadapan, mencegah, berbeda, menjauhi, dan persaingan. Dalam bahsa politik oposisi adalah partai yang memiliki kebijakan atau pendirian yang bertentangan dengan garis kebijakn kelompok yang menjalankan pemerintahan. Umat islam dianjurkan untuk menjadi oposisi yang loyal, konstruktif, dan reformatif. Hal ini berkaitan dengan amar ma’ruf nahi mungkar (nasihat menasihati dan mencegah kemungkaran). 1. Prinsip2 oposisi dalam Islam Adapun etika oposisi yang harus dipegang oleh semua pihak adalah etika amar ma’ruf nahi mungkar, disamping etika perbedaan pendapat. Karena, tujuan oposisi adalh meluruskan, memberikan hasil positif, dan memperbaiki bukan menjatuhkan. Landasan-landasan moral oposisi adalah sebagaimana yang dirangkum Yusuf Al-Qardhawi dalam Fiqh Ikhtilaf-nya adalah: 1)      Ikhlas karena Allah serta demi  kemaslahatan umat dan bangsa bukan karena nafsu. 2)      Meninggalkan fanatisme terhadap individu, partai, maupun golongan. 3)      Berprasangka baik dan berfikiran positif kepada orang lain. 4)      Tidak menyakiti dan mencela. 5)      Menjauhi debat kusir dan ngotot tanpa argumentasi jelas. 6)      Dialog dengan cara sebaik-baiknya. 7)      Bersikap adil dalam menilai dan bersikap. 8)      Memperhatikan skala prioritas. 9)      Mengedepankan persatuan dan menjauhi perpecahan. Demokrasi Dalam Islam. Penentang Demokrasi Barat 1)      Al-Maududi. Al-Maududi menganggap demokrasi modern (barat) merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Menurtnya islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). 2)      Mohammad Iqbal. Menurutnya, demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat tlh mengabaikan keberadaan agama. Karenanya, islam tidak dapat menerima model demokrasi tersebut yg telah kehilangan basis moral dan spiritual. 1. Pendukung Demokrasi.      Yusuf al-Qardhawi Menurut beliau, substansi demokrasi sejalan dengan islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya:



32 Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka.  Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tirani juga sejalan dengan islam.  Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi.  Penetapan hukum yg berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dg prinsip islam. KESIMPULAN Secara bahasa siyasat berasal dari kata sa-sa yang berarti mengatur, mengurus, memerintah, memimpin, mengarahkan dan mengendalikan sesuatu. Permasalahan politik yang pertama kali muncul sepeninggal Rasulullah adalah siapakah yang akan menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan dan bagaimana sistem pemerintahannya. Masalah tersebut diserahkan kepada kaum muslimin. Rasul mengajarkan suatu prinsip, yaitu musyawarah, sesuai dengan ajaran islam itu sendiri. Adapun cita2 politik Islam-seperti dikemukakan secara implisit oleh al-Qur’an-adalah: 1. Terwujudnya sebuah sistem politik 2. Berlakunya hukum Islam dalam masyarakat secara mantap 3. Terwujudnya ketentraman dalam kehidupan masyarakat. Oposisi berasal dari bahasa inggris opposition dan bahasa latin, oppositus, opponere, yang bermakna memperhadapkan, membantah, menyanggah, dan menentang. Adapun etika oposisi yang harus dipegang oleh semua pihak adalah etika amar ma’ruf nahi mungkar, disamping etika perbedaan pendapat. Karena, tujuan oposisi adl meluruskan, memberikan hasil positif, dan memperbaiki bukan menjatuhkan. Asas hubungan internasional adalah perdamaian dan saling membantu dalam kebaikan. Konsekuensi dari asas damai tsb, hubungan antar 1 negara dg neg lainnya adl saling membantu dalam kebaikan dan menghormati. FIQIH SIYASAH A.     Bentuk Fiqh Siyasah Pada Masa Rasulullah Fiqh Siyasah Syar’iyah telah dilaksanakan oleh Rasulullah SAW. dalam mengatur dan mengarahkan umatnya menuju tatanan sosial budaya yg diridloi Allah SWT. Terutama tampak setelah Rasulullah SAW. melakukan hijrah. Meskipun demikian bukan berarti bahwa fakta yg sama tidak ditemukan ketika Rasulullah SAW. masih tinggal di Mekkah. Pada masa itu, Rasulullah SAW. lebih memusatkan perhatian atas perencanaan d/p pelaksanaan hal-hal yang berhubungan dengan fiqh Siyasah Syar’iyah. Peristiwa2 sejarah yg terjadi setelah Rasulullah SAW. menetap di Madinah merupakan artikulasi nilai dasar fiqh Siyasah Syar’iyah. Sbg komunitas dalam masyarakat yang majmuk, kaum muslimin diharuskan berinteraksi dengan komunitas2 lain yang terdiri dari orang2 Nasrani, Yahudi dan musyrik Madinah. Dalam kedudukannya sebagai kepala negara, kebijakan Rasulullah SAW. melaksanakan fiqh Siyasah Syar’iyah. Salah satu contoh pelaksanaan fiqh Siyasah Syar’iyah adalah kebijakan yang dibuat Rasulullah SAW. berkenaan dengan persaudaraan intern kaum muslimin, yaitu antara kelompok Muhajirin dengan kelompok Ansor. Contoh lainnya adalah perjanjian ekstern antara komunitas muslim dengan komunitas non muslim. Sekalipun kendali kekuasaan dipegang oleh komunitas muslim dalam hal ini Rasulullah SAW., namun perjanjian yang dibuat tidak mengganggu keyakinan komunitas non muslim hal ini tercipta karena Rasulullah SAW. mendasarkan kebijakannya atas prinsip al-ukhuwah al-insaniyah. B.     Bentuk Fiqh Siyasah Pada Masa Khulafa al-Rasyidin Persoalan siyasah yang pertama yang dihadapi kaum muslimin setelah Rasulullah SAW. wafat adalah suksesi politik. Rasulullah SAW. tidak menentukan siapa yang akan menggantikannya dan bagaimana mekanisme pergantian itu dilakukan. Oleh sebab itu, dalam sejarah Islam, dikenal berbagai mekanisme penetapan kepala Negara, dan tentu saja, dengan berbagai kriteria yang sesuai dengan sosiohistoris yang ada. Sebagai contoh, Abu Bakar ditetapkan berdasarkan pemilihan suatu musyawarah terbuka, Umar bin Khattab ditetapkan berdasarkan penunjukan kepala Negara pendahulunya, Utsman bin al-Affan ditetapkan berdasarkan pemilihan dalam suatu dewan formatur, dan Ali bin Abi Thalib ditetapkan berdasarkan pemilihan melalui musyawarah dalam pertemuan terbuka. Kenyatan demikian dimungkinkan oleh perubahan sosial budaya dan dengan demikian menampilkan karakter siyasah yang berbeda dari waktu ke waktu dari tempat ke tempat. Berikut ini akan dipaparkan berbagai aspek siyasah yg dihadapi para Khulafa al-Rasyidin dalam mengendalikan dan mengarahkan masyarakat Islam. a.  Masa Khalifah Abu Bakar as-Shiddieq Sesudah Rasulullah SAW. wafat, pengandalian dan pengarahan kaum muslimin dipegang oleh sahabat Abu Bakar. Pada masa ini, timbul persoalan-persoalan yang tidak timbul pada masa Nabi oleh karena itu terdapat pemecahan masalah yang diambil oleh Abu Bakar, dan dalam hal ini dapat dipandang sebagai fakta siyasah. 



33 Adanya kelompok masyarakat yang enggan mengeluarkan zakat, karena zakat hanya wajib dikeluarkan pada waktu Rasul masih hidup, alasan mereka adalah ]103/‫ [التوبة‬ ‫ك َس َك ٌن لَهُ ْم َوهَّللا ُ َس ِمي ٌع َعلِي ٌم‬ َ َ‫صاَل ت‬ َ ‫ص ِّل َعلَ ْي ِه ْم إِ َّن‬ َ ‫ص َدقَةً تُطَهِّ ُرهُ ْم َوتُ َز ِّكي ِه ْم بِهَا َو‬ َ ‫ُخ ْذ ِم ْن أَ ْم َوالِ ِه ْم‬ Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. Mereka beralasan bahwa bentuk amar (perintah) pada ayat ini ditujukan hanya kepada Rasul, shg setelah Rasul wafat tidak ada kewajiban zakat. Selain itu, doa yang membawa ketentraman jiwa itu adalah doa Rasulullah SAW. bukan doa orang selain Rasul. Kebijakan Abu Bakar menentang hal ini tidak hanya karena tafsirannya, tetapi juga keengganan kelompok tertentu untuk mengeluarkan zakat dapat membahayakan keutuhan umat dan mempreteli sendi2 pokok ajaran Islam. b.  Masa Khalifah Umar bin al-Khattab Umar bin al-Khattab merupakan khalifah yang banyak sekali memberikan contoh2 siyasah. Diantaranya penerapan bea impor, dan pada masa itu berlaku atas dasar keseimbangan. Dalam hal ini, seimbang dengan bea impor yang dikenakan negara-negara non muslim kepada pedagang-pedagang muslim. Dalam hal ini sebesar 10%, karena negara non muslim pun memungut sebesar 10%. Umar bin Khattab yang pertama kali menunjuk seorang hakim khusus mengadili perkara2 dibidang harta kekayaan. Dengan demikian, sejarah Islam mulai mengenal pembagian kekuasaan meski terbatas pada lembaga eksekutif dan yudikatif. c.   Masa Khalifah Utsman bin Affan Sebagaimana para pendahulunya, Utsman bin Affan berusaha menerapkan Siyasah Syar’iyah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi selama masa pemerintahannya. Salah satu kebijakan Utsman bin Affan yang merupakan contoh Siyasah Syar’iyah adalah mempersatukan umat Islam melalui penyalinan al-Qur’an pada satu mushaf, yaitu mushaf Utsmany. Utsman bin Affan merupakan Khalifah pertama yang menentukan lokasi khusus untuk sidang pengadilan. Dikatakan demikian karena pada masa sebelumnya proses peradilan dilakukan di masjid. d.  Masa Ali bin Abi Thalib Pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, situasi politik sedang bergejolak, tentu saja, situasi demikian tidak memungkinkan khalifah untuk mengupayakan pengaturan dan pengarahan kehidupan umat secara leluasa. Pada  masa ini terjadi peperangan antar muslim sekalipun khalifah telah berusaha mempersatukan umat, namun situasi politik semakin memburuk. Konflik berdarah yang dikenal dengan perang Siffin dan perang Jamal pun pecah. Ali bin Abi Thalib terpaksa berperang meskipun ia senantiasa berkeinginan untuk islah dengan sesama muslim. Meskipun kepemimpinannya dihadapkan kepada situasi politik yg rawan namun bukan berarti bahwa Ali bin Abi Thalib tidak membuat kebijakan termasuk kategori fiqh siyasah antara lain dalam : 1. Urusan korespondensi. 2. Urusan pajak. 3. Urusan angkatan bersenjata. 4. Urusan administrasi peradilan. Kesimpulan Dari paparan singkat tentang fiqh siyasah tergambar bahwa siyasah adalah perbuatan kebijakan yang diwujudkan dalam pengaturan, serta dilaksanakan dan diawasi untuk meraih sebanyak mungkin kemaslahatan bagi umat manusia. Oleh karena itu, di dalam siyasah selalu diupayakan jalan2 menuju kemaslahatan dan selalu ditutup dan dihindarkan jalan2 yg mengarah kepada kemafsadatan. Secara garis besar muncul tiga kelompok yang memberikan penafsiran tentang hubungan antara Islam dan ketatanegaraan, yaitu: a). ada yang apriori dan anti Barat b). ada yang ingin belajar dan secara selektif mengadopsi gagasannya dan c). ada juga yang sekaligus setuju untuk mencontoh gaya mereka. Sikap pertama menganggap bahwa ajaran Islam lengkap, untuk mengatur kehidupan manusia termasuk politik dan kenegaraan. Merujuk pada sistem dari nabi Muhammad saw dan al-Khulafa al-Rasyidun. Sikap kedua melahirkan kelompok yang beranggapan bahwa Islam hanya menyajikan seperangkat tata nilai dalam kehidupan politik kenegaraan umat Islam. Kajian-kajian politik kenegaraan harus digali sendiri melalui proses reasoning (ijtihad). Sikap yang ketiga melahirkan kelompok orang yg sekuler. Berkeinginan untuk memisahkan kehidupan politik dari agama. Model2 inilah yang kemudian berkembang s/d sekarang. SIYASAH (POLITIK ISLAM). 2.1 Politik Islam Dalam Agama Islam, bukan masalah Ubudiyah dan Ilahiyah saja yang dibahas. Akan tetapi tentang kemaslahatn umat juga dibahas dan diatur dalam Islam, dalam kajian ini salah satunya adalah Politik Islam



34 yang dalam bahasa agamanya disebut Fiqh Siyasah. Fiqh Siyasah dalam koteks terjemahan diartikan sebagai materi yang membahas mengenai ketatanegaraan Islam (Politik Islam). Secara bahasa Fiqh adalah mengetahui hukum-hukum Islam yang bersifat amali melalui dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan Siyasah adalah pemerintahan, pengambilan keputusan, pembuatan kebijaksanaan, pengurusan, dan pengawasan. Sedangkan Ibn Al-Qayyim mengartikan Fiqh Siyasah adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemudharatan, serta sekalipun Rasullah tidak menetapkannya dan bahkan Allah menetapkannya pula. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Fiqh Siyasah adalah hukum yang mengatur hubungan penguasa dengan rakyatnya. Pembahasan diatas dapat diartikan bahwa Politik Islam dalam kajian Islam disebut Fiqh Siyasah. 2.2 Bagian-bagian Fiqh Siyasah Setelah kita mengetahui tentang pengertian dan penamaan Politik Islam dalam Islam adalah Fiqh Siyasah. Maka dalam kajian kali ini akan dibahas mengenai bidang21 Fiqh Siyasah. Dan Fiqh Siyasah ini menurut Pulungan (2002, hal:39) terbagi menjadi 4 bagian, yaitu: 1.      Siyasah Dusturiyah 2.      Siyasah Maliyah 3.      Siyasah Dauliyah 4.      Siyasah Harbiyah 2.2.1 Siyasah Dusturiyah Siyasah Dusturiyah menurut tata bahasanya terdiri dari dua suku kata yaitu Siyasah itu sendiri serta Dusturiyah. Arti Siyasah dapat kita lihat di pembahasan diatas, sedangkan Dusturiyah adalah undangundang atau peraturan. Secara pengertian umum Siyasah Dusturiyah adalah keputusan kepala negara dalam mengambil keputusan atau undang-undang bagi kemaslahatan umat. Sedangkan menurut Pulungan (2002, hal:39) Siyasah Dusturiyah adalah hal yang mengatur atau kebijakan yang diambil oleh kepala negara atau pemerintah dalam mengatur warga negaranya. Hal ini berarti Siyasah Dusturiyah adalah kajian terpenting dlam suatu negara, karena hal ini menyangkut hal-hal yang mendasar dari suatu negara. Yaitu keharmonisan antara warga negara dengan kepala negaranya. 2.2.2 Siyasah Maliyah Arti kata Maliyah bermakna harta benda, kekayaan, dan harta. Oleh karena itu Siyasah Maliyah secara umum yaitu pemerintahan yang mengatur mengenai keuangan negara. Djazuli (2003) mengatakan bahwa Siyasah Maliyah adalah hak dan kewajiban kepala negara untuk mengatur dan mengurus keungan negara guna kepentingan warga negaranya serta kemaslahatan umat. Lain halnya dengan Pulungan (2002, hal:40) yang mengatak bahwa Siyasah Maliyah meliputi hal-hal yang menyangkut harta benda negara (kas negara), pajak, serta Baitul Mal. Dari pembahsan diatas dapat kita lihat bahwa siyasah maliyah adalah hal-hal yang menyangkut kas negara serta keuangan negara yang berasal dari pajak, zakat baitul mal serta pendapatan negara yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam. 2.2.3 Siyasah Dauliyah Dauliyah bermakna tentang daulat, kerajaan, kekuasaan, wewenang, serta kekuasaan. Sedangkan Siyasah Dauliyah bermakna sebagai kekuasaan kepala negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan internasional, masalh territorial, nasionalitas, ekstradisi tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga negara asing. Selain itu juga mengurusi masalah kaum Dzimi, perbedaan agama, akad timbal balik dan sepihak dengan kaum Dzimi, hudud, dan qishash . Dari pengertian diatas dapat dilihat bahwa Siyasah Dauliyah lebih mengarah pada pengaturan masalah kenegaraan yang bersifat luar negeri, serta kedaulatan negara. Hal ini sangat penting guna kedaulatan negara untuk pengakuan dari negara lain. 2.2.4 Siyasah Harbiyah Harbiyah bermakna perang, secara kamus Harbiyah adalah perang, keadaan darurat atau genting. Sdgkan makna Siyasah Harbiyah adalah wewenang atau kekuasaan serta peraturan pemerintah dalam keadaan perang atau darurat.Dalam kajian Fiqh Siyasahnya y i Siyasah Harbiyah adl pemerintah /kep neg mengatur dan mengurusi hal2 dan masalah yang berkaitan dengan perang, kaidah perang, mobilisasi umum, hak dan jaminan keamanan perang, perlakuan tawanan perang, harta rampasan perang, dan masalah perdamaian



35 Kesimpulan AGAMA DAN POLITIK Perbincangan tentang relasi agama dan politik dalam analogi teologi pembebasan sendiri mengarahkan pada proses dekonstruksi maupun desakralisasi terhadap teks2 agama. Harus diakui bahwa relasi agama dan politik sendiri sangatlah resiprokal dan memiliki proses tarik-menarik yang cukup kuat antar keduanya. Agama bisa mempengaruhi dan terpengaruhi politik dalam skope luas maupun kecil. Implikasi yg ditimbulkan adalah munculnya interpretasi politik terhadap teks2 agama yang pada akhirnya menciptakan adanya sakralisasi maupun pengkultusan. Teologi yang sebelumnya berfungsi diametris yakni penghubung Tuhan dan manusia maupun sesama manusia justru mengarahkan pada proses hierarkis yakni dari Tuhan kepada manusia melalui ulama maupun negara. Anasir Marx tentang agama adalah candu, sebenarnya merupakan bentuk kritikan terhadap agama itu sendiri. Politisasi agama justru mengarahkan pada proses eklektisisme kehidupan shg menciptakan ada kelas masyarakat yang previeleged maupun kelas masyarakat yang neglected. Logika teologi pembebasan terlahir dari proses dialektis dan hermeneutika terhadap pemahaman agama yang dinilai masih konservatif u dipahami dan dijabarkan dalam masyarakat. Esensi dan spirit yang dibawakan teologi pembebasan ini pada dasarnya mengajak pada inklusivitas agama agar lebih membumi dalam menghadirkan resolusi masalah bagi manusia. Esensi pembebasan yang diusung dalam teologi mengajak pada pemahaman nilai2 origin dihadirkan dan dilahirkan agamanya di dunia yakni membebaskan umat manusia dari kezaliman menuju kesengsaraan. Penerapan teologi pembebasan setidaknya menjadi ideologi transformatif dalam melihat relasi agama dan politik ke depannnya. Hubungan Agama dan Negara Menurut Islam Dalam Islam, hubungan agama menjadi perdebatan yang cukup hangat dan berlanjut hingga kini di antara para ahli. Bahkan menurut Azzumardi Azra, perdebatan itu telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung hingga dewasa ini. Ketegangan perdebatan tentang hubungan (agama dan negara diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan negara (dawlah). Dalam bahasa lain, hubungan antara agama dengan politik (siyasah) dikalangan umat Islam, terlebihlebih dikalangan sunni yang banyak diatur oleh masyarakat Indonesia, pada dasarnya bersifat ambigous atau ambivalen. Hal demikian itu karena ulama sunni sering mengatakan bahwa pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan negara. Sementara terdapat pula ketegangan pada tataran konseptual maupun tataran praktis dalam politik, sebab seperti itu yang dilihat terdapat ketegangan dan tarik ulur dalam hubungan agama dan politik. Sumber dari hubungan yang canggung di atas, berkaitan dengan kenyataan bahwa din dalam pengertian terbatas pada hal-hal yang berkenaan dengan bidang-bidang ilahiyah, yang bersifat sakral dan suci. Sedangkan politik kenegaraan (siyasah) pada umumnya merupakan bidang prafon atau keduniaan. Selain hal-hal yang disebutkan di atas, kitab suci Alquran dan hadis tampaknya juga merupakan inspirasi yang dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda. Kitab suci sendiri menyebutkan dunya yang berarti dunia dan din yang berarti agama. Ini juga menimbulkan kesan dikotomis antara urusan dunia dan akhirat, atau agama dan negara yang bisa diperdebatkan oleh kalangan para ahli. Tentang hubungan antara agama dan negara dalam Islam, menurut Munawir Sjadzali, ada tiga aliran yang menanggapinya. Pertama, aliran yang menganggap bahwa agama Islam adalah agama paripurna yang mencakup segala-galanya, termasuk masalah-masalah negara. Oleh karena itu, agama tidak dapat dipisahkan dari negara, dan urusan negara adalah urusan agama serta sebaliknya. Aliran kedua, mengatakan bahwa Islam tidak ada hubungannya dengan negara, karena Islam tidak mengatur kehidupan bernegara atau pemerintahan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad saw tidak punya misi untuk mendirikan negara. Aliran ketiga berpendapat bahwa Islam tidak mencakup segalagelanya, tapi mencakup seperangkat prinsip dan tata nilai etika tentang kehidupan bermasyarakat termasuk bernegara. Oleh karena itu, dalam bernegara, umat Islam harus mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai dan etika yang diajarkan secara garis besar oleh Islam. Hussein Muhammad, menjelaskan bahwa dalam Islam ada dua model hubungan antara agama dan negara. Model pertama, ia disebut sebagai hubungan integralistik, dan yang kedua disebut hubungan simbiosis mutualistik. Hubungan integralistik dapat diartikan sebagai hubungan totalitas, di mana agama dan negara mempunyai hubungan yang merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kedua merupakan dua lembaga yang menyatu (integral). Ini juga memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali dalalm Islam bahwa tidak mengenal pemisahan agama, politik atu negara. Konsep seperti ini sama dengan konsep teokrasi. Model hubungan kedua adalah hubungan simbiosis-mutualistik. Model hubungan agama dan negara model ini, menurut Hussein Muhammad, menegaskan bahwa antara agama dan negara terdapat hubungan yang saling membutuhkan.



36 Menurut pandangan ini, agama harus dijalankan dengan baik dan tertib. Hal ini hanya terlaksana bila ada lembaga yang bernama negara. Sementara itu, negara juga tidak dapat dibiarkan berjalan sendiri tanpa agama. Sebab tanpa agama, akan terjadi kekacauan dan amoral dalam bernegara. Islam dan Demokrasi Konsep demokrasi dewasa ini dipahami secara beragam oleh berbagai kelompok kepentingan yang melakukan teoritisasi dan perspektif untuk tujuan tertentu. Keragaman konsep tersebut meskipun terkadang juga sarat dengan aspek-aspek subjektif dari siapa yang merumuskannya, sebenarnya bukan sesuatu yang harus dirisaukan. Karena hal itu sesungguhnya mengisyaratkan esensi demokrasi itu sendiri yaitu adanya perbedaan pendapat. Pada tataran praktis, rekonsiliasi tuntutan kelompok (mayoritas dan minoritas) ini seringkali tidak tercapai. Akibatnya, kualitas demokrasi itu sendiri menjadi tidak sejati. Jika demikian, apakah demokrasi seperti tersebut ? Abraham Lincolum (negarawan Amerika) mengistilahkan demokrasi sebagai “government of the people, by the people, for the people.Ada dua problem tentang hubungan Islam dan demokrasi. Pertama, problem filosofis yakni jika klaim agama terhadap pemeluknya sedemikian total, maka akan menggeser prinsip-prinsip demokrasi. Kedua, problem historis sosiologis, yakni ketika kenyataannya peran agama tidak jarang digunakan oleh penguasa untuk mendukung kepentingan politiknya . Bagi kalangan Neo-Modernis Islam, demokrasi dan agama sesungguhnya dapat dipertemukan. Demokrasi dipandang sebagai aturan politik yang paling layak, sementara agama diposisikan sebagai wasit moral dalam mengaplikasikan demokrasi. Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa nilai demokrasi ada yang bersifat pokok dan ada yang bersifat derivasi atau lanjutan. Menurutnya, ada tiga hal pokok demokrasi yaitu kebebasan, keadilan, dan musyawarah. Nurcholis Majid mengatakan bahwa kita memiliki demokrasi sebagai idiologi, tidak hanya karena pertimbangan-pertimbangan prinsipil yaitu karena nilai-nilai demokrasi itu dibenarkan dan didukung semangat ajaran Islam, tetapi juga karena fungsinya sebagai aturan permainan politik yang terbuka. Analisi mengenai seluk beluk demokrasi ini, banyak berlandaskan Alquran, seperti tentang kebebasan dan tanggung jawab individual, sikap kebijaksanaan, tentang keadilan, dan tentang musyawarah. Demokrasi menganut pandangan dasar kesetaraan manusia, sehingga hak-hak individu dapat dijamin kebebasannya, kata kuncinya adalah adanya kesepakatan dengan tujuan kebaikan bersama. Gagasan2 demokrasi pada intinya bahwa agama baik secara idiologi maupun sosiologis sangat mendukung proses demokratisasi. Agama lahir dan berkembang untuk melindungi dan menjunjung tinggi harkat manusia. Karena itu, meskipun agama tidak secara sistematis mengajarkan praktek demokratis, namun agama memberi spirit dan muatan doktrinal yang mendukung bagi terwujudnya kehidupan demokratis. Hubungan Antara Agama dan Hak Asasi Manusia Hak Asasi Manusia adalah suatu hal yang melekat pada diri manusia sebagai hak dasar yang diberikan oleh Tuhan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukannya. Menghargai hak asasi tersebut adalah suatu kewajiban bagi yang lain untuk mendapatkan perlindungan, sehingga memungkinkan terpenuhi hak-hak tersebut. Dalam Encyclopedia Internasional dikatakan bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar dan kebebasan fundamental manusia baik lakilaki maupun perempuan yang diakui di dunia, tanpa membedakan rasa dan seks. Kebutuhan dasar manusia meliputi jiwa (al-nafs), akal (al-aql) , keturunan (al-nasab), harta benda (al-māl), dan agama (al-dīn). Jadi ajaran Islam di sini melindungi kebutuhan dasar manusia dan melarang pelanggaran apapun terhadap kebutuhan dasar manusia tersebut. Selanjutnya, mengenai perlindungan hidup adalah misalnya mengimplikasikan hak untuk hidup dan hak untuk tidak dianiaya. Manusia sebagai salah satu makhluk hidup dan mulia menurut Islam, bahkan melebihi kemuliaan daripada makhluk-makhluk lainnya. Itulah sebabnya, ditemukan beberapa ayat dalam Alquran yang menyatakkan bahwa Islam melarang keras pembunuhan, baik terhadap orang lain tanpa hak maupun terhadap diri sendiri. Demikian pentingnya menyelamatkan nyawa, sehingga dalam Alquran diberikan ilustrasi yang tinggi bahwa “barang siapa yang menyelamatkan jiwa seseorang, maka seolah-olah dia menyelamatkan manusia seluruhnya. Dengan demikian, pemerintah bersama dengan orang-orang yang mampu, wajib menyediakan dan membantu masyarakat untuk mempertahankan hidup mereka dalam mengadapi krisis ekonomi yang berkepanjangan .menghargai hak hidup berarti menjalankan salah satu syarat Islam yang fundamental dan Tuhan menyediakan pahala bagi orang yang melakukannya. Perlindungan akal mengimplikasikan hak untuk mendapatkan pendidikan dan hak kebebasan berpikir serta hak berpendapat. Manusia diberi akal oleh Tuhan untuk dapat memilih mana yang dipandang baik dan mana pula yang dianggap buruk untuk kesejahteraan bagi mereka. Agama Islam sebagai salah satu norma meletakkan prinsip-prinsip dasar yang bersumber dari Tuhan dan prinsip-prinsip tersebut tidak ada yang bertentangan dengan hak asasi manusia. Hal tersebut terjadi karena Tuhan yang menciptakan manusia dan Dia juga yang memberikan fasilitas sesuai dengan kebutuhannya. Dengan demikian, esensi berpendapat dalam Islam bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia,atau



37 dengan kata lain mengembankan potensi yang ada pada setiap orang. Hal ini berarti manusia berpartisipasi terhadap sesuatu yang dipandang terbaik baginya. Begitu pentingya kebebasan berpendapat dalam Islam, sehingga penguasa diwajibkan untuk bermusyawarah, agar setiap orang dapat memberi manfaat atas potensi yang mereka miliki untuk kepentingan dirinya sendiri dan kepentingan orang lain. Mengenai perlindungan harta, mengimplikasikan hak untuk memiliki. Salah satu hak asasi dalam Syariat Islam adalah hak memiliki, meskipun secara hakiki bahwa segala sesuatu itu milik Tuhan. Namun dalam syariat Islam, Tuhan memberi hak kekuasaan pemilikan kepada manusia untuk memiliki sesuatu sebagai haknya dan dapat saja berbeda antara seorang dengan orang lain sesuai dengan kemampuan dan rezekinya. Berdasarkan hal ini, maka Shaby abd Said menambahkan bahwa di samping ayat-ayat menerangkan tentang hak-hak kepemilikan, juga diterangkan dalam hadis seperti tidak dihalalkannya harta seorang muslim diambil oleh seorang muslim lainnya, kecuali dengan cara yang baik dari pemilik harta. Dapatlah dipahami bahwa pemilikan dalam Islam adalah pemilikan yang seimbang antara pemilikan perorangan, kelompok dan masyarakat. Hal tersebut dimaksudkan agar terjadi keseimbangan kepemilikan dalam suatu negara, sehingga dapat menciptakan keseimbangan sosial ekonomi untuk mencegah kecemburuan sosial dalam suatu masyarakat atau negara. Terakhir adalah perlindungan agama yang mengimplikasikan hak kebebasan beragama. Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kepercayaan, sedangkan agama mengandung kepercayaan didalamnya, sehingga agama merupakan tempat perlindungan terbaik bagi yang mempercayainya. Dalam hal ini, Tuhan memberi peluang kepada manusia untuk memilih suatu agama, dan karena itulah tidak boleh seseorang dipaksa untuk mempercayai suatu agama. Pada sisi lain, meskipun Islam melarang keras adanya unsur paksaan, namun Islam tetap membentangi diri dengan memberi peluang orang yang masuk Islam untuk mempermainkan Islam itu sendiri. PENUTUP Dari uraian2 tsb di atas, maka dapat dipahami bahwa pemikiran Islam tentang hubungan agama dan negara saling berkaitan antara satu dengan lainnya, khususnya dalam aspek ketatanegaraan, demokrasi dan :hak asasi manusia, dengan kesimpulan sbb : Relasi antara agama dan negara dalam pemikiran Islam yaitu, Islam memberi prinsip2 terbentuknya suatu negara dengan adanya konsep khalīfah, dawlah, atau hukūmah. Dengan prinsip2 ini, maka terdapat 3 paradigma tentang pandangan agama Islam dan negara, yakni; paradigma integratif, paradigma simbiotik, dan paradigma sekularistik. Relasi antara agama dan demokrasi, dalam hal ini Islam menekankan pada nilai demokrasi itu sendiri, yakni kebenaran dan keadilan. Dg demokrasi ini pula, mk aturan permainan politik yang baik dapat terwujud. Karena itu konsep demokrasi seperti ini, sangat sesuai dengan Islam, krn Islam adl agama yang selalu mengedepankan nilai2 kebenaran dan keadilan dan Relasi antara agama dan HAM dalam pemikiran Islam, maka Islam telah menetapkan bahwa hak dasar yang dibawa manusia sejak lahir adalah hak kemerdekaan beragama. Karena itu, Islam secara esensial menekankan pentingnya hak asasi manusia untuk ditegakkan dalam sebuah negara. Karena hak asasi manusia itu adalah hak yang tidak boleh diganggu dan dirampas dari orang yang memiliki hak tsb. QAWAID FIQH SIYASAH



  ِ‫ص َل َحة‬ ْ ‫الر ِع َي ِة َم ُنو ٌط ِبال َم‬ َّ ‫ف االِ َم ِام َع َلى‬ ُ ‫ص ُّر‬ َ ‫َت‬ “Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan”



‫الع ْف ِو َخ ْي ٌر مِنْ اَنْ َي ْخ َط َئ فِي ال ُعقُو َب ُة‬ َ ‫اِنَّ االِ َما َم أَنْ َي ْخ َط َئ فِي‬ “Seorang pemimpin itu, salah memberi maaf lebih baik dari pada salah dalam menghukum”



‫الس ْل ُم‬ ِّ ‫العالَ َق ِة‬ َ ‫صل ُ فِي‬ ْ َ‫األ‬ “Hukum asal dalam hubungan antar negara adalah perdamaian” 8.      ‫الع ْق ُد يُرْ َعى َم َع ال َكاف ِِر َك َما يُرْ َعى َم َع المُسْ ل ِِم‬ َ



38 “Setiap perjanjian dengan orang nonmuslim harus dihormati seperti dihormatinya perjanjian sesama muslim” ‫ال ِج َبا َي ُة ِبال ِح َما َي ِة‬ “Pungutan harus disertai dengan perlindungan”  



‫َما الَ ُيدْ َر ُك ُكلُّ ُه الَ ُي ْت َر ُك ُكلُّ ُه‬



“Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya” ٌ‫ال ُخرُو ُج م َِن ال ِخاَل فِ مُسْ َت َحب‬



“Keluar dari perbedaan pendapat adalah disenangi”



  ‫َل ُه ْم َما َل َنا َو َع َل ْي ِه ْم َما َع َل ْي َنا‬ “Bagi mereka ada hak seperti hak-hak yang ada pada kita dan terhadap mereka dibebani kewajiban seperti beban kewajiban terhadap kita”



‫اع َو ُكلُّ ُك ْم َم ْس ُئ ْول ٌ َعنْ َرعِ َّي ِت ِه‬ ٍ ‫ُكلُّ ُك ْم َر‬ “Masing-masing kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.”



39



Etika Politik dalam Al Quran : Kedudukan Politik Nabi Muhammad SAW (1) Selalu menarik untuk didiskusikan tentang kedudukan politik Nabi, apakah ia memiliki status Kepala Pemerintahan dunia Islam di samping kedudukannya sebagai Nabi dan Rasul? Apakah peran politik yang diperankan Nabi terpisah dengan kedudukannya sebagai Nabi dan Rasul? Atau peran politiknya menjadi bagian dari misi kenabian dan kerasulannya? Jika peran politik Nabi terpisah dengan kedudukannya sebagai Nabi dan Rasul yang menjadi misi utamanya maka peran politik yang dilakukannya dapat dikatakan tidak mengikat (hujjah) bagi umat lain yang hidup di luar wilayah dan kurun waktu pemerintahannya. Kebijakan-kebijakan politiknya lebih merupakan pijakan moral bagi umatnya, bukannya sebagai bagian kerasulannya yang mengikat umatnya baik di masa hidupnya maupun di masa sesudahnya sampai akhir zaman. Akan tetapi jika peran politiknya satu paket dengan misi kerasulannya, maka seluruh kebijakan politik Nabi menjadi hujjah bagi umatnya. Berbagai kebijakan politik Nabi seperti penataan kota Madinah dan wilayah-wilayah yang dikuasainya dapat dikatakan kebijakan politik Islam yang harus dijadikan patokan di dalam menyelenggarakan kepemimpinan umat. Kelompok tekstualis selalu mengklaim kapasitas Nabi di Madinah selain sebagai Nabi dan Rasul juga sebagai kepala pemerintahan yang tak terpisahkan dengan kenabian dan kerasulannya. Apapun yang dilakukan Nabi, baik urusan keagamaan maupun urusan pemerintahan semuanya menjadi bagian dari kenabian dan kerasulannya yang harus dilestarikan sepanjang masa. Termasuk kebijaksanaan ekonomi yang mengelola kekayaan negara melalui Baitul Mal yang dipercayakan kepemimpinannya kepada Abi Hurairah. Dalam lintasan sejarah kehidupan Nabi, memang tidak banyak melakukan tindakan yang dapat dikategorikan tindakan politik praktis, karena Nabi lebih banyak menjalankan misi kenabian dan kerasulan. Hal ini disebabkan karena kandungan ayat-ayat Al-Qur'an yang diterimanya memang sangat terbatas berbicara tentang urusan politik. Dalam penelitian Abd Wahhab, ayat-ayat yang berbicara tentang urusan politik tidak lebih dari 10 ayat, itu pun tidak ada yang berbicara tentang mekanisme politik tetapi lebih merupakan seruan moral atau etika politik. Nabi juga tidak pernah memberikan wasiat kepada para sahabatnya tentang mekanisme politik seperti apa yang harus dilaksanakan di dalam suksesi kepemimpinan. Terbukti empat khalifah Nabi, yakni Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali peroses pengangkatannya berbeda satu sama lain. Seandainya Nabi pernah menetapkan model atau system politik tersendiri di dalam Islam maka sudah barang tentu bisa kita melihat adanya keseragaman pola pada suksesi para khalifahnya, namun dalam kenyataannya. Tidak heran ketika Nabi wafat jenazahnya sempat tertunda tiga hari untuk dimakamkan karena antara lain kesibukan para tokoh sahabat senior membicarakan siapa yang akan menggantikan Nabi sebagai pemimpin dan kepala pemerintahan di Madina. Para pihak yang terdiri atas kaum Anshar diwakili dua suku terbesar yaitu pemimpin suku Khazraj dan Suku 'Aus ditambah tokoh dari Muhajirin yang pada waktu itu diwakili oleh Abu Bakar yang kemudian terpilih sebagai pengganti Nabi sebagai pemimpin spiritual dan pemerintahan di kota Madinah. Para tokoh ini bersidang di teras Banū Sa'īdah, di luar kota Madinah. Pertemuan dengan mengedepankan ikatan primordial sesungguhnya tidak pernah lagi dilakukan Nabi karena itu merupakan tradisi jahiliah. Dalam tradisi Arab pra Islam dikenal ada dewan suku berfungsi untuk membicarakan pergantian pimpinan yang meninggal. Nabi semasa hidupnya selalu berusaha menghindari pertemuan yang berbasis etnik atau golongan, tetapi berusaha untuk mengedepankan pertemuan yang berbasis keumatan, yakni komunitas yang diikat oleh dasar keimanan. Kelihatan sekali Nabi berusaha untuk menggantikan secara total system kabilah ke system ummah semasa hidupnya. Nabi memilih demikian karena resiko komunitas berbasis ummah lebih amal daripada komunitas berbasis kabilah atau suku. Al-Qur'an sendiri dengan tegas memberikan dukungan terhadap sikap Nabi itu di dalam ayat: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersukusuku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (Q.S. A-Hujurat/49:13).



Zuhud Politik Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim. (Q.S. al-Hujurat/49:11). Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Q.S. alHujurat/49:12). Kedua ayat di atas mengesankan kekuatan kezuhudan politik di dalam Islam. Banyak daerah terlarang yang harus dihindari jika seseorang akan terjun di dalam dunia politik. Zuhud sesungguhnya berarti berpalingnya jiwa dari dari dunia tanpa beban. Zuhud berarti mengosongkan hati dari cinta kepada dunia dan semua keindahannya, serta mengisinya dengan cinta kepada Allah dan makrifah kepada-Nya. Zuhud politik bisa diartikan menghilangkan beban jiwa dan pikiran berbagai target politik dan mengisinya dengan kesadaran spiritual yang lebih mendalam. Ini tidak berarti harus menjauhi dunia politik tetapi



40 menghindarkan diri untuk terpukau kepada daya tarik politik sehingga tidak menyisakan ruang dan energi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kepuasan politik adalah fenomena sesaat, ketika diri kita masih memiliki potensi untuk diperhitungkan orang lain, namun yang harus disadari bahwa perjalanan umur tetap berjalan dan semakin dekat kita kepada kematian. Kita diminta untuk mempersiapkan bekal untuk menjalani kehidupan abadi di akhirat. Tanpa persiapan yang memadai pasti akan berakhir dengan penyesalan berat. Oleh karena itu, kita perlu menyusun program hidup dengan tetap memelihara keseimbangan untuk kepentingan kehidupan duniawi pada satu sisi dan untuk kepentingan kehidupan di akhirat pada sisi lain. Sehubungan dengan ini, sebuah hadis diriwayatkan dari Sahal ibn Sa'ad al-Saidi, bahwa datang seorang sahabat bertanya kepada Nabi, "Wahai Rasulullah tunjukkanlah kepadaku suatu pekerjaan yang apabila aku mengerjakannya maka Allah dan manusia akan mencintaiku". Rasulullah menjawab: "Berzuhudlah engkau terhadap dunia niscaya Allah mencintaimu. Dan Berzuhudlah engkau terhadap apa-apa yang ada pada manusia niscaya mereka mencintaimu". (H.R.Ibnu Majah). Al-Qur'an juga memperingatkan: "Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah". (Q.S. alFathir/35:5). "Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui". (Q.S. al-'Ankabut/29:64). "Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun". (Q.S. al-Nisa'/4:77).



Berangkat dari Asas Universal Mengapa konsep ummah begitu cepat dan mudah diterima? Mengapa begitu gampang menembus batas geografis dan merasuk di dalam lapis-lapis budaya masyarakat lokal? Jawabannya karena konsep ummah dibangun di atas asas universal. Konsep ummah Islam mempunyai kekuatan batin sehingga membuat sasaran-sasarannya tidak kuasa menolaknya. Bukan hanya gagasannya masuk akal tetapi juga sehati dengan masyarakat. Apabila stelsel ummah bersentuhan suatu negeri maka serta merta negeri itu respek dan merelakan diri tunduk di bawah spirit konsep ummah. Asas universal ummah inilah kemudian melahirkan kebudayaan Islam. Kemudahan penetrasi kebudayaan dan peradaban Islam disebabkan karena asas peradaban Islam sangat universal dan seolah tidak menimbulkan ancaman bagi kekuatan-kekuatan lokal. Penerimaan konsep ummah tidak menimbulkan ancaman terhadap pusat-pusat kerajaan dan pemerintahan setempat. Kalaupun ada maka itu memang sejalan dengan nilai-nilai luhur local mereka. Para penguasa lokal tetap saja bisa melanjutkan kekuasaan dan pengaruhnya tanpa harus terusik dengan kehadiran orang baru. Uang dihadirkan dalam konsep ummah ialah ajaran, bukan orang.



Di antara asas universal ummah ialah: 1) Al-ikha Yaitu menjunjung tinggi rasa persaudaraan kemanusiaan antara para pendatang dan penduduk local. Program al-ikha' ini dicontohkan Nabi ketika hijarah ke Madinah. Laki-laki pendatang (muhajirin) dikawinkan dengan perempuan pribumi (anshar). Demikian pula sebaliknya, laki-laki anshar dikawinkan dengan perempuan muhajirin. Akibatnya pembauran genetik yang dampaknya sangat strategis secara psikologis sangat penting. Generasi penerus kedua kelompok tidak direpotkan lagi dengan isu pribumi dan pendatang, karena terjadi pembauran utuh antara keduanya.



2) Al-Musawa Yaitu perinsip persamaan. Islam memperkenalkan asas peradabannya dengan prinsip persamaan (al-musawa). Baik sebagai sesama makhluk biologis, sesama pewaris sejarah peradaban masa lalu, dan bentuk-bentuk persamaan lainnya. Islam selalu atau lebih sering mengedepankan prinsip persamaan (principle of identity) ketimbang prinsip perbedaan (principle of negation). Perinsip persamaan ini didasari oleh banyak ayat antara lain Q.S. S. aal-Hujurat/49:13).



3) Al-Tasamuh Al-Tasamuh yaitu prinsip toleransi. Islam bukan hanya mewacanakan toleransi sebagaimana banyak disinggung di dalam Al-Qur'an, antara lain Q.S. al-Kafirun/109:1-6), tetapi juga dipraktekkan dalam lintasan sejarah umat Islam di berbagai Negara, dari dulu sampai sekarang. Tidak kurang dari 15 kali kata Nashara (Kristen) dan 10 kali kata Yahudi disebutkan di dalam Al-Qur'an. Bahkan agama-agama minoritas non Abrahamic Religion seperti Al-Shabi'in. Ini semua menggambarkan adanya spirit toleransi di dalam perkembangan kebudayaan dan peradaban Islam.



4) Al-Musyawarah Al Musyawarah sudah menjadi bahasa Indonesia (musyawarah) yang tidak lain maknanya adalah demokrasi, yaitu memberi kesempatan secara terbuka kepada semua pihak mengedepankan pendapatnya secara merdeka, tanpa harus khawatir sedikit pun kepada siapapun, karena prinsip demokrasi ini sesuai dengan anjuran Allah swt di dalam Q.S. Ali 'Imran/3:159).



41 Allah Swt juga memberi contoh dengan berdialog dengan para malaikat tentang rencana penciptaan amnesia (Q.S. alBaqarah/2:30 dst), berdialog dengan Iblis (Q.S. al-Hijr/15:32), dan manusia (Q.S. al-A'raf/7:172).



5) Al-Mu'awanah Yaitu prinsip tolong menolong atau gotong royong. Prinsip ini didukung di dalam Al-Qur'an dan hadis. Antara lain Q.S. alMaidah/5:2). Kelima asas ini menjadi faktor mudahnya diterima tawaran peradaban Islam di dalam dunia internasional.



Menimbang Aspek Kontinuitas dan Orisinalitas Sistematisasi Al-Qur'an yang turun bertahap sampai 23 tahun mengisyaratkan adanya unsur profesional di dalam mendekati masyarakat manusia. Ayat-ayat yang turun di bagian awal dalam periode Makkah berisi doktrin tauhid. Disusul ayat-ayat yang turun di Madinah berisi ajaran syariah dan sosial kemasyarakatan. Islam melestarikan tradisi positif dan menerima perubahan yang lebih produktif. Islam tidak dilahirkan di dalam ruang yang hampa budaya dan peradaban. Islam lahir di dalam sebuah dunia yang sarat dengan budaya dan peradaban. Nabi Muhammad Saw sebagai pembawa ajaran Islam tidak pernah mengklaim sebagai perintis budaya dan peradaban yang sama sekali baru. Ia bahkan dengan tawadu dikatakan dalam hadisnya: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia" (innama bu'itstu li utammim makarim al-akhlaq). Ia tidak pernah menolak budaya dan peradaban dari luar. Ia juga tidak pernah mematenkan budaya dan peradabannya yang yang dirasa positif untuk kemanusiaan. Ia menyerukan untuk mengejar pengetahuan walau sampai ke tanah Cina (utlub al-'ilma wa lau bis Shin). Ia juga mengatakan: "Hikmah (peradaban) adalah milik umat Islam, ambillah di mana pun kalian temukan" (al-hikmah dhalah al-mu'min fahaitsu wajadaha fa huwa ahaq biha). Al-Qur'an juga sejak awal menyerukan pentingnya memelihara kontinuitas budaya dan peradaban. Segala sesuatu yang positif pada umat-umat terdahulu harus dilestarikan, karena dengan tegas dikatakan: "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul rasulNya" (la nufarriq baina ahadin min rusulih). (QS Al-Baqarah/2:285). Dengan demikian, pola imitatif budaya dan peradaban dalam Islam harus dianggap sebagai sesuatu yang niscaya. Mungkin inilah yang dipopulerkan Umar ibn Khaththab sebagai bid'ah hassanah, sebuah kelanjutan tradisi yang konstruktif. Jika kita berbicara tentang kebudayaan dan peradaban Islam berarti kita berbicara tentang tradisi luhur kemanusiaan yang diwarisi secara kumulatif dari zaman ke zaman. Kebudayaan dan peradaban (civilization/al-hadharah) Islam bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah dengan budaya dan peradaban sebelumnya. Soal kehadiran Islam memberikan corak dan warna baru memang ia dan hal ini sulit diingkari. Di mana pun dan sejak kapan pun dalam lintasan sejarah kemanusiaan, selalu ada sintesis dan imitasi budaya dan peradaban. Hal ini lumrah dan wajar, karena bukankah pada mulanya anak manusia ini berasal dari sepasang kakek dan nenek (Adam dan Hawa)? Peta budaya dan peradaban kemanusiaan dari zaman ke zaman memiliki nilai-nilai universal di samping nilai-nilai lokalnya. Islam sebagai ajaran yang sarat dengan nilai-nilai universal sudah barang tentu memiliki pola dialektik sejarahnya. Dengan kata lain, satu sisi harus mempertahankan orisinalitas dan unsur-unsurnya yang genuine, tetapi pada sisi lain harus mampu menembus batas-batas geografis dengan seperangkat nilai-nilai lokalnya. Dalam kenyataan dialektika sejarah Islam, selain harus 'menjinakkan' sasaran-sasarannya, ia pun harus dijinakkan oleh sasaran-sasarannya. Sebagai contoh, selain harus mengislamkan Mesir, Persia, anak Benua India, dan Nusantara, terlebih dahulu ia harus mengalami proses pemesiran, pemersian, pengindiaan, dan penusantaraan. Sama seperti Islam dalam periode awal, Islam yang lahir dan tumbuh di jazirah Arab, lalu berekspansi keluar di kawasan sekitarnya, maka nilai-nilai Islam pun harus mengalami penyesuaian ke dalam dua konteks peradaban dengan apa yang disebut Marshall Hodgson dengan Irano-Semit di bagian Timur dan Afro-Erasia di bagian barat.



Khairah Ummah Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali 'Imran/3:104). Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Q.S. Ali 'Imran/3:110). Ummah adalah masyarakat yang diidealkan di dalam Al-Qur'an dan dipraktekkan sejak Nabi MuhammaSaw. Konsep khaira ummah menurut kedua ayat tersebut di atas ialah suatu komunitas masyarakat yang senantiasa menyerukan kepada kebaikan (yad'un ila al-khair) dan menyuruh kepada yang ma'ruf (ya'murun bi alm'ruf), dan mencegah kemungkaran (yanhauna 'an al-munkar). Kalangan mufassir menafsirkan kata al-khair sebagai kebaikan yang bersifat particular, termasuk di dalamnya karifan lokal (local wishdom). Sedangkan kata al-ma'ruf lebih bermakna kebaikan yang bersifat universal. Untuk kebaikan particular masih perlu digunakan pendekatan persuasive, dari bawah ke atas (da'wah). Sedangkan kebenaran universal yang sudah menjadi common sense sudah perlu ditegaskan (amr). Perincian khaira ummah dijelaskan dalam ayaat berikutnya: Menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.



42 Penjabaran konsep khaira ummah dalam ayat tersebut di atas menurut kalangan tafsir ialah menebarkan energi positif terutama kepada umat manusia tanpa membedakan jenis kelamin, golongan, etnik, kewaarganegaraan, warna kulit, agama, dan kepercayaannya masing-masing. Tidak termasuk khaira ummah bagi orang yang suka menghina dan menghujat orang lain. Kebenaran dan keadilan memang perlu ditegakkan tetapi dengan cara-cara terhormat dan bermartabat. Allah Swt mengenyampingkan pendekatan kekerasan di dalam menyelesaikan persoalan umat. Atas nama apapun, untuk siapapun, kepada siapapun, dan dari manapun, kekerasan tidak pernah ada tempatnya di dalam Islam. Allah Swt sendiri menegaskan: La ikraha fi al-din (Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)/Q.S. al-Baqarah/2:256). Allah Swt menegaskan perlunya mengutamakan pendekatan kemanusiaan di dalam menyelesaikan setiap persoalan di antara umat manusia, Karena Allah Swt sendiri memuliakan manusia tanpa membedakan etnik, agama, dan kepercayaan, sebagaimana ditegaskan: Wa laqad karramna Bani Adam (Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam/Q.S. Al-Isra'/17:70). Umat yang ideal selalu menebarkan kedamaian, persaudaraan, kerjasama satu sama lain. Dalam Islam tidak ada larangan untuk berbuat baik dan bekerjasama dengan orang-orang non-muslim. Nabi Muhammad aw senndiri mencontohkan terbuka menerima kehadiran non-muslim di dalam lingkungan pemerintahannya. Salman al-Farisi, arsitek perang Nabi, sudah lama bergabung dengan Nabi seblum ia menjadi muallaf di akhir hayat Nabi. Demikian pula praktek para sahabat dan tabi'in, selalu memberi ruang terhadap kelompok non-muslim.



Merancang Masyarakat Ummah Salah satu concern Al-Qur'an ialah mentransformasikan masyarakat berpola hidup kesukuan (qabiliyyah) ke pada masyarakat kosmopolitan (ummah). Masyarakat yang berorientasi primordial ke masyarakat yang berarientasi ke ummah. Kata ummah berasal dari bahasa Hebrew/Ibrani, alef-mem yang arti dasarnya cinta kasih (saint lover), kemudian menyeberang menjadi bahasa Arab umm yang arti dasarnya ibu. Umm diartikan ibu karena ibu memiliki cinta kasih yang paling dalam. Dari akar kata alif-mim membentuk kata amam (keterdepanan, keunggulan), imam (imam shalat, pemimpin), ma'mum (pengikut imam, rakyat), imamah (konsep yang mengatur antara imam dan makmum serta pemimpin dan rakyat). Keseluruhan makna dasar ini menghimpun suatu komunitas khusus yang bernama ummah. Kata ummah sebagai nama sebuah komunitas masyarakat pertama kali dipopulerkan oleh Nabi Muhammad Saw di kawasan jazirah Arab. Secara semantik kata ummah terabadikan dalam sejarah sebagai sebuah komunitas masyarakat yang dihimpun oleh ikatan kasih sayang yang amat dalam dan luhur, memiliki visi kemanusiaan yang berorientasi masa depan, di bawah sosok pemimpin berwibawa dan disegani, dengan makmun dan rakyat yang santun tapi kritis, dan dengan system yang kepemimpinan yang ideal. Bangunan masyarakat yang seperti itulah disebut dengan ummah. Jika kurang salahsatu di antara lima komponen tersebut maka tidak bias disebut ummah. Jika suatu komunitas mengacu kepada sebuah asas yang lebih subyektif disebut dalam Al-Qur'an dengan golongan (hizb/Q.S. al-Mu'minun/23:52). Jika komunitas tersebut mengacu kepada ikatan primordial kebangsaan disebut sya'b (Q.S. al-Hujurat/49:13). Jika komunitas itu mengacu kepada suku disebut qabilah (Q.S. al-Hujurat/49:13), atau komunitas tanpa idealisme dan ideology disebut qaum (Q.S. al-Nisa'/4:89). Jenis-jenis komunitas tersebut di atas diakui keberadaannya di dalam Al-Qur'an, seperti yang bias kita lihat di dalam ayat sebagai berikut: Q.S. al-Hujurat/:4913: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (Q.S. al-Hujurat/49:13) Bagi dunia Arab, konsep ummah betul-betul tampil sebagai the dream society yang mengangkat martabat bangsa Arab, sebuah bangsa yang tidak pernah diperhitungkan di dalam sepanjang sejarahnya. Mungkin ini merupakan wujud revolusi mental yang pernah dilakukan seorang Nabi Muhammad Saw. Bagi Nabi Muhammad sendiri konsep ummah ini mengorbitkan namanya sebagai The top of the best di antara 100 tokoh yang pernah lahir dari perut bumi ini menurut Michael Hart, atau The best of the best di antara 11 tokoh dunia menurut Thomas Carlile. Banyak lagi buku terakhir yang ditulis para orientalis yang memuji Nabi Muhammad Saw sebagai The Best Leader and The Best manager. Mungkin pertanyaan menarik ialah, apakah komunitas Islam Indonesia bisa disebut umat atau belum kita lihat unsur-unsur yang mempersatukan komunitas Islam di Indonesia. Dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia, secara politis belum pernah tampil sebagai pemenang di dalam pemilihan umum. Kaum nasionalis selalu lebih dominan, meskipun kaum nasionalis itu pada umumnya diisi oleh komunitas Islam. Sebagian pakar mengklaim bahwa komunitas muslim Indonesia sudah dapat disebut ummah mengingat unsur pokok yang harus dipenuhi sebuah umat sudah lengkap. Namun sebagian lainnya belum bisa menyebutnya sebagai suatu umat karena ikatan-ikatan keumatan masih terkalahkan oleh ikatan-ikatan lainnya.



Inklusifisme Syari'ah Sejak awalturunnya Al-Qur'an selalu memperkenalkan keutamaan nilai-nilai kemanusiaan. Syari'ah yang diperkenalkan kepada nabi Muhammad Saw juga sangat inklusif. Turunnya Al-Qur'an secara berangsur-angsur membuktikan betapa AlQur'an sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Meskipun tidak ada yang isa menghalani Allah Swt mnurunkan Al-Qur'an sekaligus tetapi memang terasa tidak manusiawi jika dalam waktu sekejab nilai-nilai luhur-universal yang sudah tertanam sekian lama tiba-tiba harus dicabut secara serentak.



43 Penerapan nilai-nilai Syari'ah Islam dikenal perinsip tadarruj, yaitu penerapan nilai-nilai secara berangsur tahap demi tahap (al-tadrij fi al-tasyri'). Selain itu juga dikenal dengan sedikit demi sedikit (taqlil al-taklif) hingga pada saatnya menjelma menjadi nilai-nilai yang utuh. Proses sosialisasinya pun berusaha menghindari kesulitan ('adam al-haraj). Keutuhan nilainilai universalitas Islam dicapai melali sinergi antara nilai-nilai lokal dengan ajaran dasar Islam. Dengan demikian, Islam dirasakan sebagai kelanjutan sebuah tradisi yang sudah mapan di dalam masyarakat. Bukannya menghadirkan sesuatu yang serba baru melalui penyingkiran nilai-nilai lokal. Bisa dibayangkan misalnya, bagaimana nilainilai lokal Minangkabau yang matriarchal bisa menyatu dengan nilai-nilai Islam yang cenderung patriarchal. Jika di sana ada kelompok radikal berusaha mengembangkan Islam ekslusif, yang kemudian menimbulkan kekhawatiran, kecemasan, dan ketakutan, maka di Indonesia ada suguhan Islam inklusif, ditampilkan oleh orang-orang yang penuh kearifan, memahami sumbstansi ajaran, dan dialektika perjuangan Nabi. Pemahaman Islam secara inklusif selalu berusaha menampilkan Islam sebagai ajaran agama yang penuh dengan kasih sayang (rahmah), tolerans (tasamuh), keadilan ('adalah), menekankan aspek pertemuan, titik temu, dan perjumpaan (kalimah sawa'); bukannya menampilakan kekerasan (tasyaddud) dan terorisme (irhab). Inklusifisme Syari'ah sesungguhnya juga ramah bagi lingkungan alam dan lingkungan sosial. Islam yang bisa tegak di atas atau di samping nilai-nilai lokal-kultural, Islam yang memberi ruang terhadap kearifan lokal. Bahkan Islam yang mampu menjadi wadah peleburan (melting pot) terhadap pluralitas nilai dan norma yang hidup di dalam masyarakat. Kehadiran Islam tidak mesti menyingkirkan nilai-nilai lokal setempat. Meskipun Islam sarat dengan nilai-nilai universal tetapi konsep universalitasnya tidak tertutup, melainkan terbuka. Sejarah dunia Islam menunjukkan betapa indahnya perpaduan nilai-nilai Islam yang bersifat universal dan budaya dan peradaban lokal. Satusama lain tidak saling mengorbankan tetapi saling mengisi dan sangat menguntungkan untuk dunia kemanusiaan. Amyata keduanya tidak perlu diperhadap-hadapkan karena nilai-nilai universal Islam bersifat terbuka, dalam arti feleksibel dan dapat mengakomodir berbagai nilai-nilai lokal. Bukti keterbukaan itu, Islam dapat diterima dari Timbektu, ujung barat Afrika sampai Merauke, ujung Timur Indonesia. Nabi Muhammad Saw mambangun peradaban Islam bukan memulai dari nol tetapi bagaimana melestarikan yang sudah baik dan mengembangkan yang masih sederhana, dan mengkreasikan sesuatu yang belum ada. Ini dipertegas dalam hadis Nabi: Innama bu'itstu li utammi makarim al-akhlaq (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mumulia). Tamma berarti menyempurnakan yang sudah ada dan akhlaq ialah sebuah kreasi positif. Nilai-nilai lokal tidak perlu terancam dengan kehadiran Islam. Ketegangan konseptual terjadi mana kala nilai-nilia universal difahami secara kaku di satu sisih, sementara di sisih lain berhadapan dengan fanatisme buta penganut nilai-nilai local. Dalam Islam hal ini dimungkinkan karena penerapan nilai-nilai Islam tidak serta-merta harus dilakukan sekaligus. Penyatuan kedua system budaya ini ternyata melahirkan sintesa kebudayaan yang indah, misalnya lahirnya istilah" Adat bersendi Syara', Syara' bersendi Kitabullah.



Tidak Berlebihan dalam Beragama Al Quran tidak hanya mengatur etika antar umat manusia tetapi internal manusia pun juga ada etikanya. Setiap orang tidak dibenarkan menzalimi dirinya sendiri. AlQuran menegaskan: "Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. alBaqarah/2:195). Dalam beribadah pun Allah Swt melarang hambanya melampaui batas sebagaimana ditegaskan dalam ayat: "Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar." (Q.S. al-Nisa/4:171). "Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israel dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas." (Q.S. al-Maidah/5:78). Suatu ketika Rasulullah didatangi seorang sahabat Nabi dengan mengatakan, alhamdulillah saya sudah lama tidak lagi makan siang. Rasulullah bertanya kenapa? Maka ia menjawab karena berpuasa sepanjang hari. Rasulullah bukannya memberikan apresiasi positif tetapi marah dengan mengatakan, aku Nabi tetapi masih memberi hak terhadap anggota badan untuk makan. Dalam hadis lain Rasulullah meminta sahabat-sahabatnya cukup dengan puasa Dawud atau puasa Senin-Kamis. Tidak lama kemudian datang lagi seorang sahabat kepadanya dan menyampaikan kepada Rasulullah bahwa al-hamdulillah, sudah lama saya tidak tudur malam. Rasulullah bertanya kenapa? Sahabat itu menjawab, malam-malam aku gunakan shalat sepanjaang malam. Rasulullah menjawab dengan agak kesal dengan mengatakan, saya ini Nabi tetapi tetap memberikan hak-hak badan saya untuk tidur. Sahabat lain datang lagi menyampaikan kepada Rasulullah kalau dirinya sudah tidak pernah lagi berhubungan suami isteri. Rasulullah bertanya kenapa? Lalu menjawab habis waktu saya untuk beribadah dan membersihkan diri. Rasulullah menanggapinya dengan agak marah, saya ini nabi tetapi masih tetap memberikan hak-hak kepada istri-istri saya. Dialog Rasulullah dengan sahabat-sahabatnya sebagaimana dijelaskan di atas menunjukkan bahwa beribadah sekalipun jika berlebihan juga tidak baik. Segala sesuatu yang berlebihan (al-ghuluw) adalah tidak baik. Rasulullah pernah bersabda: "Sebaik-baik urusan ialah yang dilakukan dengan biasa-bisa atau sedang-sedang saja, sekalipun itu sedikit". Apalagi



44 perbuatan yang mematasnamakan Islam dengan cara-cara kekerasan, seperti pengeboman dan penyanderaan (tasyaddud), samasekali tidak ada tempatnya di dalam agama. Beragama secara berlebih-lebihan tidak sejalan dengan tujuan ibadah itu sendiri, yaitu untuk mewujudkan ketenangan, ketenteraman, kedamaian, dan kebahagiaan. Itulah sebabnya para ulama menetapkan kaedah bahwa: Al-Ashlu fi al-'ibadah al-haram illa ma dalla 'ala jawazih (pada dasarnya semua ibadah itu haram kecuali yang ada dalil khusus yang membenarkannya). Ukuran baik atau buruknya seseorang tidak diukur oleh berlebih-lebihannya seseorang dalam menjalankan ibadah melainkan secara wajar menjalankan keseimbangan di dalam hidupnya. Rasulullah pernah mengatakan: Khairun nas anfa'uhum lin nas (sebaik-baik manusia ialah yang bermanfaat bagi sesamanya). Dalam Al-Qur'an surah al-Ma'un lebih tegas lagi menyatakan bahwa orang-orang yang beragama secara palsu atau kamuflase ialah mereka yang tidak care dengan anak-anak yatim dan fakir miskin. Bahkan sekalipun ahli shalat tetap diancam neraka jika shalatnya suka lalai (tidak fokus), didominasi riya, dan tidak peduli terhadap obyek-obyek yang membutuhkan perhatian.



45



46



47



48



49



50



51



52



53



54