Pajak PPH Ps. 22 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Pendahuluan PPh Pasal 22 adalah salah satu jenis PPh yang pengenaannya agak menyimpang dari ketentuan umum PPh itu sendiri. Jika secara umum objek PPh berupa income atau pendapatan, objek PPh Pasal 22 justru menjadikan expenditure atau biaya/pengeluaran sebagai objeknya. Terutama jika dilihat dari sisi pihak yang dikenakan pemungutan PPh Pasal 22.



Dasar Hukum Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983, menetapkan : Pasal 22 (1) Menteri Keuangan dapat menetapkan: a. bendahara



pemerintah



untuk



memungut



pajak



sehubungan



dengan



pembayaran atas penyerahan barang; b. badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain; dan c. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah. (2) Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. (3) Besarnya pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.



Ikhtisar Perhitungan PPh Pasal 22 Uraian



Perhitungan PPh Pasal 22



Sifat Pungutan



a. Menggunakan API



2,5% x Nilai Impor



Kredit Pajak



b. Tidak menggunakan API



7,5% x Nilai Impor



Kredit Pajak



c. Impor yang tidak dikuasai (barang



7,5% x Harga Jual Lelang



Kredit Pajak



Impor Barang



impor yang dilelang DJBC) Pembayaran atas pembelian dari APBN



1,5% x Harga Pembelian



Kredit Pajak



0,25% dari penjualan tidak



Final bagi



termasuk PPN



penyalur &



0,30% dari penjualan tidak



agen. Kredit



termasuk PPN



Pajak bagi



0,30% dari penjualan tidak



pembeli



termasuk PPN



lainnya.



dan / atau APBD-BUMN tertentu Penjualan barang produksi oleh produsen/importir BBM, BBG dan Pelumas atas penjualan BBM, BBG, dan Pelumas BBM a. SPBU Pertamina



b. SPBU bukan Pertamina



c. Pihak Lain



0,30% dari penjualan tidak termasuk PPN



BBG



0,30% dari penjualan tidak Pelumas



termasuk PPN



Industri tertentu :



0,25% x DPP PPN



Kredit Pajak



a. Semen



0,10% x DPP PPN



Kredit Pajak



b. Kertas



0,30% x DPP PPN



Kredit Pajak



c. Baja



0,45% x DPP PPN



Kredit Pajak



d. Otomotif



0,30% x DPP PPN



Kredit Pajak



e. Farmasi



0,45% x DPP PPN



Kredit Pajak



0,25% x Harga Pembelian



Kredit Pajak



f. ATPM, APM, dan importir umum kendaran bermotor g. Industri dan eksportir dalam sektor



tidak termasuk PPN



Perhutanan, Perkebunan, Pertanian, dan Perikanan Penjualan barang yang tergolong sangat



5% x harga jual tidak



mewah



termasuk PPN dan PPn-BM



Kredit Pajak



Yang Dikecualikan Dari Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 :



a. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan.



b. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai yaitu :



1. Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik;



2. Barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia yang diakui dan terdaftar dalam peraturan menteri keuangan yang mengatur tentang tata cara pemberian pembebasan bea masuk dan cukai atas impor barang untuk keperluan badan internasional beserta para pejabatanya yang bertugas di Indonesia;



3. Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, kebudayaan atau untuk kepentingan penanggulangan bencana;



4. Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konservasi alam dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum;



5. Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; 6. Barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya;



7. Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah; 8. Barang pindahan; 9. Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan kepabeanan;



10. Barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum;



11. Persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;



12. Barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;



13. Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN);



14. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama;



15. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, kapal angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau perusahaan penangkapan ikan nasional;



16. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional;



17. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT Kereta Api Indonesia;



18. Peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batas dan foto udara wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia;



19. Barang untuk kegiatan hulu Minyak dan Gas Bumi yang importasinya dilakukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama. c. Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali. d. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. e. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, berkenaan dengan : 1. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b, hurufc, dan huruf d yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah; 2.



Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;



3. Pembayaran untuk : a) Pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, bendabenda pos;



b) Pemakaian air dal listrik. f. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor. g. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).



PPh Pasal 22 Impor Impor barang adalah salah satu kegiatan yang dijadikan objek pengenaan atau pemungutan PPh pasal 22,sesuai dengan ketentuan pasal 22 UU PPh dan peraturan Menteri keuangan (PMK) Nomor 154/PMK.03/2010 sebagaimana telah diubah dengan PMK Nomor 224/PMK.011/2012.Jadi yang dimaksud impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar negeri ke dalam negeri,baik yang dilakukan secara legal atau tidak.Khusus untuk impor illegal,kalau tertangkap pihak berwajib,pengenaan PPh pasal 22-nya dilakukan secara khusus. Untuk impor yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), tarif PPh Pasal 22 yang dikenakan adalah 2,5%. Tetapi khusus untuk impor kedelai, gandum dan tepung terigu, dikenakan tarif 0,5%. Sedangkan untuk impor yang tidak menggunakan API dan impor yang tidak dikuasai dikenakan PPh Pasal 22 dengan tarif lebih tinggi, yaitu 7,5%. Nilai yang dijadikan sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk PPh Pasal 22 Impor adalah Nilai Impor, yaitu nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk yakni Cost-Insurance-Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan kepabeanan. Misalnya dalam suatu kegiatan impor diketahui harga jual (cost) barang impor tersebut dari produsen di luar negeri Rp 10.000.000,- sedangkan insurance dan freight (ongkos angkut yang diminta produsen) masing-masing Rp 5.000.000,- dan Rp 7.000.000,-. Bea Masuk yang dikenakan terhadap barang yang diimpor tersebut 25% dan pungutan lainnya sebesar Rp 1.000.000,-. Dari keterangan ini, maka dapat dihitung DPP PPh Pasal 22 sebagai berikut:



PPh Pasal 22 Impor yang harus dilunasi atau dibayar oleh importir adalah sebesar tarif PPh Pasal 22 impor dikalikan dengan DPP PPh Pasal 22 Impor tersebut. Dari gambar di atas, berarti besarnya PPh Pasal 22 Impor (asumsi impor menggunakan API) adalah = 2,5% x Rp 28.500.000,- = Rp 712.500,-. Jika ada kegiatan impor yang dilakukan secara illegal dan kemudian tertangkap oleh pihak berwajib, maka barang impor tersebut akan disita oleh negara. Selanjutnya barang sitaan impor tersebut akan dilelang dan akan dikenakan PPh Pasal 22 dengan tarif 7,5% dari harga jual lelang. Dalam hal ini, barang sitaan impor itu disebut dengan “impor yang tidak dikuasai”. Pihak yang dikenakan PPh Pasal 22 adalah pemenang lelang sehingga pemenang lelang harus membayar sebesar harga jual lelang ditambah PPh Pasal 22 sebesar 7,5% dari harga jual lelang tersebut.



Pengecualian PPh Pasal 22 Impor Tidak semua impor dikenakan PPh pasal 22 sebab seperti ditegaskan dalam pasal 3 PMK Nomor 154/PMK.03/2010 sebagaimana telah diubah dengan PMK Nomor 224/PMK.011/2012 ada beberapa jenis barang yang atas impornya dikecualikan dari pengenaan PPh pasal 22 impor (tidak dikenakan PPh pasal 22 impor. Jadi untuk tidak dikenakan PPh pasal 22 impor ada yang memerlukan Surat Keterangan Bebas (SKB) dari kepala KPP tempat importer atau pihak untuk melakukan



impor terdaftar NPWP,atau dari Kantor DJBC setempat.Tanpa ada SKB sebagai syarat pembebasan,PPh pasal 22 Impor tetap dapat dikenakan. Satu-satunya impor yang dibebaskan dari pengenaan PPh Pasal 22 dan tidak memerlukan SKB adalah impor kembali (re-impor), yaitu barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh DJBC.



PPh Pasal 22 Bendaharawan PPh Pasal 22 Bendahara adalah PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah (pusat maupun daerah).



Dalam konteks ini yang dimaksud dengan



Bendaharawan Pemerintah meliputi: 1. Bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya; 2. Bendahara pengeluaran yang melakukan pembayaran dengan mekanisme uang persediaan (UP); dan 3. KPA atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh KPA, untuk pembayaran yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS). Bendaharawan wajib memotong PPh Pasal 22 atas pembayaran tersebut dengan tarif PPh Pasal 22 sebesar 1,5% (satu setengah persen). Sedangkan nilai yang dijadikan DPP atau Dasar Pengenaan Pajaknya sebesar harga pembelian. Misalnya kita menjual barang (melakukan pengadaan barang) kepada salah satu instansi pemerintah dengan nilai tagihan Rp 25.000.000,-. Karena kita sudah PKP, atas pengadaan barang tersebut terutang PPN 10% dan asumsikan juga kena PPn-BM 20% sehingga jumlah tagihan kita ke instansi pemerintah tadi menjadi = Rp 25.000.000,- + ((10% x Rp 25.000.000,-) + (20% x Rp 25.000.000,-)) = Rp 32.500.000,-. Dari ilustasi itu dapat dihitung jumlah PPh Pasal 22 yang harus dipotong (baca: dipungut) oleh Bendaharawan Pemerintah sebesar 1,5% x Rp 25.000.000,- atau sebesar Rp 375.000,-. Jadi uang pembayaran yang akan kita terima dari instansi pemerintah tadi



(seharusnya) = Rp 25.000.000,- dikurangi PPh Pasal 22 Rp 375.000,- atau sejumlah Rp 24.625.000,-. Untuk PPN (Rp 2,5 juta) dan PPn-BM (Rp 5 juta) tidak dibayarkan ke kita (penjual), melainkan akan disetor sendiri oleh Bendaharawan Pemerintah karena kebetulan Bendaharawan Pemerintah adalah Wapu PPN. Bendaharawan Pemerintah selanjutnya wajib menyetorkan PPh Pasal 22 dengan menggunakan SSP yang dibuat atas nama vendor atau rekanan, dan ditandatangani oleh Bendaharawan yang bersangkutan. Jadi, satu SSP hanya untuk satu vendor atau rekanan. Sesuai PMK Nomor 184/PMK.03/2007, Bendaharawan pemerintah seharusnya menyetor PPh Pasal 22 tersebut pada hari yang sama dengan pembayaran kepada vendor atau rekanan. Kemudian setelah menyetorkan PPh Pasal 22 tadi, Bendaharawan Pemerintah harus menyerahkan lembar ke-1 dan ke-3 SSP penyetoran tersebut kepada vendor atau rekanan. SSP ini diperlakukan sama seperti Bukti Potong PPh dan dapat dikreditkan oleh vendor atau rekanan di SPT Tahunan PPh karena PPh Pasal 22 Bendaharawan Pemerintah ini tidak bersifat final.



PPh Pasal 22 Semen PPh Pasal 22 Semen adalah PPh Pasal 22 yang dikenakan terhadap penjualan semua jenis semen di dalam negeri yang dilakukan oleh badan usaha yang bergerak di bidang industri semen (produsen semen). Subjek yang wajib melakukan pemungutan PPh Pasal 22 Semen adalah produsen semen yang sudah ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 oleh KPP tempat produsen semen tersebut terdaftar NPWP. Penunjukan sebagai pemungut PPh Pasal 22 ini dilakukan dengan penerbitan surat keputusan (SK) penunjukan sebagai pemungut PPh Pasal 22 oleh Kepala KPP setempat. PPh Pasal 22 Semen yang harus dipungut oleh oleh produsen semen adalah sebesar 0,25% dan DPP PPN. Sesuai dengan ketentuan di bidang PPN, yang dimaksud dengan DPP untuk BKP seperti halnya semen adalah Harga Jual semen itu sendiri.



Jadi dengan harga semen sekarang misalnya Rp 70.000,-/zak, berarti PPh Pasal 22 yang dikenakan adalah 0,25% x Rp 70.000,- = Rp 175,-. Dengan demikian, harga yang harus kita bayar ke produsen semen tersebut adalah Rp 70.175,-/zak dan jika ditambah dengan PPN 10% dari Rp 70.000,- berarti total yang harus kita bayar Rp 77.175,-/zak. Sebagai bukti bahwa kita (sebagai pembeli semen) sudah membayar PPh Pasal 22 Semen, kita harus meminta Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dari produsen semen yang memungut PPh Pasal 22 tersebut. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, PPh Pasal 22 Semen ditetapkan bersifat tidak final. Jadi Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 ini penting terutama jika kita hendak mengkreditkannya di SPT Tahunan PPh kita.



PPh Pasal 22 Kertas PPh Pasal 22 Kertas merupakan PPh Pasal 22 yang harus dipungut oleh badan usaha yang bergerak di bidang industri kertas (produsen kertas). PPh ini wajib dipungut untuk setiap penjualan kertas di dalam negeri. Produsen kertas wajib memungut PPh Pasal 22 Kertas apabila yang bersangkutan sudah ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 oleh KPP tempatnya terdaftar NPWP. Penunjukan itu dilakukan melalui penerbitan Surat Keputusan Penunjukan Sebagai Pemungut PPh Pasal 22 (sama seperti industri semen yang sudah diuraikan dalam artikel sebelumnya). Dalam hal ini, pihak yang dikenakan pemungutan PPh Pasal 22 (subjek yang dipungut) adalah para pembeli kertas yang melakukan pembelian secara langsung kepada produsen kertas. Perlu diingat bahwa [embelian kertas yang dikenakan PPh Pasal 22 juga hanya apabila pembelian tersebut dilakukan di dalam negeri. Seandainya kita berada di luar negeri dan membeli kertas dari produsen kertas di Indonesia, yang berarti produsen kertas itu melakukan ekspor, maka kita tentu tidak akan dikenakan PPh Pasal 22. Sebab seperti dinyatakan dalam PMK Nomor 154/PMK.03/2010, objek pemungutan PPh Pasal 22 Kertas adalah penjualan di dalam negeri (bukan terhadap penjualan ekspor). PPh Pasal 22 Kertas yang harus dipungut oleh produsen adalah sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dari DPP PPN. Sesuai dengan ketentuan dan peraturan di bidang PPN, yang dimaksud dengan DPP untuk BKP seperti halnya kertas adalah Harga Jual.



Sesuai dengan PMK Nomor 154/PMK.03/2010, PPh Pasal 22 Kertas ditetapkan bersifat tidak final yang artinya dapat kita (pembeli) kreditkan di SPT Tahunan PPh. Dan untuk bisa mengkreditkan PPh Pasal 22 tersebut, kita harus meminta Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dari produsen kertas tempat kita membeli kertas tadi.



PPh Pasal 22 Baja PPh Pasal 22 Baja adalah PPh yang dikenakan atas penjualan baja di dalam negeri yang dilakukan oleh badan usaha yang bergerak di bidang usaha industri baja (produsen baja). Dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor 57/PJ/2010 tanggal 10 Desember 2010 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan produsen baja dalam hal ini adalah industri baja yang merupakan industri hulu. Jika dalam kegiatan operasionalnya industri hulu itu mengolah atau memproses lebih lanjut sebagian atau seluruh hasil produksinya menjadi produk antara maupun produk hilir (kegiatan produksinya integrated), maka PPh Pasal 22 harus dipungut atas penjualan produk hulu, produk antara, dan produk hilir. Dirjen Pajak, melalui SE-05/PJ.43/1996 tanggal 15 Januari 1996, pernah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan produk hulu adalah produk yang dihasilkan oleh industri hulu seperti: besi spons, slab baja, bloom, dan bilet baja. Sedangkan yang dimaksud produk antara adalah produk yang dihasilkan oleh industri hulu maupun industri antara seperti: batang kawat baja (wire rod), kawat tali baja (wire rope), kawat baja (steel wire), baja batangan (shafting bar), pelat baja canai panas gulungan/lembaran (hot rolled coil/plate), pelat baja canai dingin gulungan/lembaran (cold rolled coil/plate), pipa las lurus, pipa las spiral, dlsb. Sementara yang dimaksud dengan produk hilir adalah produk yang dapat dipakai langsung tanpa diproses lebih lanjut yang dibuat dari bahan baku produk hulu maupun produk antara. Subjek yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 Baja adalah produsen baja yang termasuk dalam kelompok industri hulu. Penunjukan sebagai pemungut ini dilakukan melalui penerbitan Surat Keputusan Sebagai Pemungut PPh Pasal 22 oleh Kepala KPP tempat produsen tersebut terdaftar NPWP.



Subjek yang dikenakan (dipungut) PPh Pasal 22 adalah pembeli baja yang melakukan pembelian langsung kepada produsen baja yang sudah ditunjuk menjadi pemungut PPh Pasal 22 oleh Kepala KPP. Jadi pada saat membayar kepada produsen baja, harga yang harus dibayar adalah harga beli, PPN dan PPh Pasal 22 Baja. PPh Pasal 22 Baja yang harus dibayar oleh pembeli baja adalah sebesar 0,3% dari DPP PPN (harga jual). Jika misalnya harga jual baja yang kita beli Rp 100.000.000,- belum termasuk PPN, maka besarnya PPh Pasal 22 Baja yang dikenakan adalah = 0,3% x Rp 100.000.000,- = Rp 300.000,-. Tapi jika harga jual yang Rp 100.000.000,- itu sudah termasuk PPN, maka PPh Pasal 22 Baja yang harus dibayar adalah = (Rp 100.000.000,- x 100



/110) x 0,3% = Rp 272.727,27. Sama seperti PPh Pasal 22 Kertas dan Semen yang sudah dibahas di artikel



sebelumnya, PPh Pasal 22 Baja ini juga prinsipnya bisa dikreditkan di SPT Tahunan PPh si pembeli (pihak yang dikenakan PPh Pasal 22). Sebab seperti dinyatakan dalam PMK Nomor 154/PMK.03/2010, PPh Pasal 22 Baja ini tidak bersifat final. Tapi untuk bisa mengkreditkan PPh Pasal 22 Baja, kita harus minta Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dari produsen baja tempat kita membeli baja tersebut.



PPh Pasal 22 Otomotif



PPh Pasal 22 Otomotif adalah PPh yang dipungut terhadap penjualan kendaraan bermotor beroda dua (2) atau lebih, di dalam negeri yang dilakukan oleh badan usaha yang bergerak di bidang industri otomotif. Melalui PER-57/PJ./2010 tanggal 10 Desember 2010, Dirjen Pajak menegaskan bahwa yang termasuk sebagai industri otomotif tersebut adalah ATPM (agen tunggal pemegang merek), APM (agen pemegang merek) dan importir umum kendaraan bermotor. Subjek Pemungut Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, industri otomotif—termasuk ATPM, APM dan importir umum kendaraan bermotor—merupakan subjek yang wajib memungut PPh Pasal 22 atas penjualan kendaraan bermotor. Penunjukkan sebagai pemungut PPh Pasal 22 tersebut dilakukan melalui penerbitan Surat Keputusan Penunjukan Sebagai Pemungut PPh Pasal 22 oleh Kepala KPP tempat industri



otomotif tersebut terdaftar NPWP. Industri otomotif yang sudah mendapat SK penunjukkan dari Kepala KPP selanjutnya wajib memungut, menyetor dan melaporkan PPh Pasal 22 terhadap setiap penjualan kendaraan bermotor roda dua atau lebih yang dilakukan di dalam negeri. Subjek yang Dipungut Dalam hal ini subjek yang dikenakan (dipungut) PPh Pasal 22 adalah para pembeli kendaraan bermotor yang membeli kendaraan bermotor dari industri otomotif yang sudah ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 Otomotif. Tarif dan DPP PPh Pasal 22 Otomotif yang harus dibayar pembeli kepada pemungut PPh Pasal 22 tersebut sebesar 0,45% dari DPP PPN (harga jual yang belum termasuk PPN). Misalkan kita membeli mobil dari ATPM seharga Rp 250.000.000,- di mana harga jual mobil itu belum termasuk PPN (10%) dan PPn-BM (40%). Dengan demikian, PPh Pasal 22 yang harus yang harus kita bayar kepada ATPM tersebut adalah = 0,45% x Rp 250.000.000,- atau sebesar Rp 1.125.000,-. Tidak Bersifat Final Bagi pembeli kendaraan bermotor (subjek yang dipungut), PPh Pasal 22 yang mereka bayarkan kepada industri otomotif saat mereka membeli kendaraan tersebut merupakan uang muka pajak (kredit PPh). Untuk itu, mereka harus meminta Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dari industri otomotif yang telah memungut PPh Pasal 22 agar dapat dijadikan bukti pengkreditan di SPT Tahunan PPh.



PPh Pasal 22 BBM PPh Pasal 22 BBM adalah PPh yang harus dipungut oleh produsen atau importir bahan bakar minyak, gas dan pelumas pada saat mereka melakukan penjualan bahan bakar minyak, gas dan pelumas tersebut. Subjek Pemungut Berbeda dengan subjek pemungut yang sudah dijelaskan pada artikel sebelumnya, subjek pemungut PPh Pasal 22 berlaku tanpa harus ada surat keputusan penunjukan dari Kepala KPP. Artinya ada SK dari Kepala KPP maupun tidak, setiap produsen maupun importir



bahan bakar minyak (BBM), gas dan pelumas harus melakukan pemungutan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 22 terhadap setiap penjualan ketiga jenis produks tersebut. Subjek yang Dipungut Pihak atau subjek yang dikenai PPh Pasal 22 adalah pembeli yang membeli BBM, gas dan pelumas langsung kepada produsen ataupun kepada importir. Jika kita membeli BBM dari agen seperti SPBU misalnya, maka kita tidak akan dipungut PPh Pasal 22 lagi oleh agen atau SPBU tersebut. Tarif dan DPP Sesuai dengan PMK Nomor 154/PMK.03/2010, tarif PPh Pasal 22 untuk BBM, bahan bakar gas (BBG) dan pelumas adalah sebagai berikut:



Sedangkan DPP-nya atau nilai yang dipakai untuk menghitung PPh Pasal 22 adalah sebesar penjualan tidak termasuk PPN. Sayangnya dalam PMK Nomor 154/PMK.03/2010 tidak dijelaskan apa yang termasuk dalam kelompok BBM dan apa yang dimaksud dengan„penjualan‟ yang dijadikan sebagai DPP PPh Pasal 22. Untuk menentukan jenis BBM yang dimaksud di PMK itu, menurut saya mungkin harus disesuaikan dengan pemahaman umum di mana biasanya yang dimaksud dengan BBM adalah bensin, minyak tanah, minyak solar, minyak diesel dan minyak bakar. Sedangkan untuk pengertian nilai „penjualan‟ yang menjadi DPP PPh Pasal 22 menurut saya Menteri Keuangan atau Dirjen Pajak sebaiknya memberikan penegasan khusus. Sebab seperti yang diketahui, dalam harga seliter BBM biasanya sudah mencakup harga jual, PBBKB, PPN dlsb. Karena harga jual BBM kan dipatok secara resmi oleh pemerintah.



Disetor Sendiri



Khusus untuk pembelian BBM, BBG dan Pelumas dari PT Pertamina (Persero), biasanya kita (pembeli) harus menyetor sendiri PPh Pasal 22 dan pajak-pajak lainnya ke bank persepsi dengan menggunakan SSP. Biasanya yang kita setor itu terdiri dari harga beli, PBBKB, PPN dan PPh Pasal 22. Setelah kita menyetorkan ke bank persepsi, SSP tadi kemudian kita bawa ke PT Pertamina untuk ditukarkan dengan Surat Perintah Pengeluaran Barang (SPPB) yang diterbitkan oleh PT Pertamina. Selanjutnya SPPB tadi berfungsi sebagai surat perintah kepada depo tersebut untuk mengangkut dan mengirimkan BBM yang kita beli. Uang Muka atau Final Pada saat SSP kita tukarkan dengan SPPB, kita juga akan mendapat Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dari PT Pertamina. Jika kita (pembeli) bukan berstatus sebagai agen/penyalur BBM, BBG maupun pelumas, PPh Pasal 22 itu bisa dikreditkan di SPT Tahunan PPh. Sementara jika kita (pembeli) berstatus sebagai agen/penyalur BBM, BBG maupun pelumas, misalnya SPBU, maka PPh Pasal 22 tadi bersifat final dan tidak boleh dikreditkan di SPT Tahunan PPh.



PPh Pasal 22 Pedagang Pengumpul PPh Pasal 22 Pedagang Pengumpul adalah PPh yang dikenakan terhadap penjualan bahanbahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan, dari pedagang pengumpul kepada industri dan eksportir yang bergerak di sektor kehutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan. Misalnya pengusaha perkebunan kelapa sawit dan produsen CPO membeli TBS dari pedagang pengumpul atau perusahaan penghasil sarden membeli ikan segar dari pengumpul ikan segar. Subjek Pemungut Subjek yang ditunjuk untuk melakukan pemungutan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 22 dalam hal ini adalah industri atau eksportir yang sudah ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 oleh Kepala KPP setempat. Penunjukkan tersebut dilakukan melalui Surat Penunjukan Sebagai Pemungut PPh Pasal 22. Subjek yang Dipungut



Pihak yang dikenakan pemungutan PPh Pasal 22 adalah pedagang pengumpul bahan-bahan dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan dan perikanan. Kita biasanya menyebut mereka dengan istilah tengkulak. Jadi para tengkulak inilah, orang pribadi atau badan, yang akan dikenakan pemotongan PPh Pasal 22 manakala yang bersangkutan menjual hasil perkebunan, kehutanan, pertanian dan perikanan, kepada industri atau eksportir yang sudah ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22. Tarif PPh Pasal 22 Pedagang Pengumpul adalah 0,25% sedangkan DPP-nya adalah harga beli yang belum termasuk PPN. Misalnya tengkulak menjual hasil pertanian seniali Rp 100.000.000 (nilai tidak termasuk PPN), maka PPh Pasal 22 yang harus dipotong oleh industri/eksportir adalah 0,25% x Rp. 100.000.000 = Rp. 250.000. Dengan demikian jumlah yang akan dibayar industri/eksportir kepada tengkulak sebesar Rp. 99.750.000.



PPh Pasal 22 Barang Mewah Penunjukan sebagai pemungut Pph pasal 22 tersebut berlaku secara otomatis artinya tidak membutuhkan surat keputusan khusus dari Kepala KPP setempat. Jadi setiap WP badan yang melakukan penjualan atas pengalihan barang mewah tersebut otomatis harus memungut, menyetor dan melaporkan Pph pasal 22 Barang mewah.



Pihak yang dikenakan PPh pasal 22 barang mewah adalah pembeli atau penerima barang mewah tersebut. Dengan demikian, saat membayar kepada penjual barang sangat mewah tadi, pembeli harus membayar pula PPh pasal 22 selaim PPN dan PPn-BM.



PPh pasal 22 Barang Mewah dihitung berdasarkan tarif 5% dikalikan dengan harga jual yang belum termasuk PPN maupun PPn-BM. Jika harga jual barang sangat mewah tersebut misalnya senilai Rp. 30 milyar, maka PPh sal 22 harus dibayar oleh pembeli kepaa penjualnya adalah Rp.30.000.000.000,-x5%=Rp. 1.500.000.000.-.



Bagi pembeli barang sangat mewah PPh pasal 22 yang dipungut oleh penjualnya tadi, tidak bersifat final dan dianggap sebagai kredit PPh. Untuk itu, pembeli sebaiknya meminta



Bukti Pemungutan PPh pasal 22 dari penjual barang sangat mewah tersebut untuk kepentingan pengkreditan PPh di SPT Tahunan PPh si pembeli.



Tarif dan DPP Tarif PPh Pasal 22 Pedagang Pengumpul adalah 0,25% sedangkan DPP-nya adalah harga beli yang belum termasuk PPN. Misalnya tengkulak menjual hasil pertanian senilai Rp 100.000.000,- (nilai tidak termasuk PPN), maka PPh Pasal 22 yang harus dipotong oleh industri/eksportir adalah 0,25% x Rp 100.000.000,- = Rp 250.000,-. Dengan demikian jumlah yang akan dibayar industri/eksportir kepada tengkulak sebesar Rp 99.750.000,-. Dapat Dikreditkan Bagi para tengkulak, PPh Pasal 22 yang sudah dipotong oleh industri/eksportir itu merupakan uang muka PPh dan dapat dikreditkan di SPT Tahunan PPh. Oleh karena itu, para tengkulak sebaiknya meminta Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dari industri/eksportir yang membeli bahan-bahan hasil pertanian, perkebunan, kehutanan maupun perikanan dari mereka, agar tengkulak tadi bisa mengkreditkan PPh Pasal 22 itu di SPT Tahunan PPh mereka.



PPh Pasal 22 Farmasi Pengenaan PPh ini mulai diberlakukan sejak tahun 2012 berdasarkan PMK Nomor 224/PMK.11/2011 tanggal 26 Desember 2012 yang mulai berlaku 60 hari setelah tanggal diundangkan. Melalui Peraturan Menteri Keuangan tersebut, pemerintah menunjuk industri farmasi sebagai WP pemungut PPh pasal 22. PPh pasal 22 farmasi adalah PPh pasal 22 yang dikenakan terhadap penjualan semua jenis obat didalam negeri yang dilakukan oleh badan usaha yang bergerak di bidang industri farmasi kepada distibutor yang melakukan pembelian atas semua jenis obat. Subjek yang wajib melakukan pemungutan PPh Pasal 22 Farmasi adalah industri farmasi sebagai produsen semua jenis obat. Penunjukkan sebagai pemungut PPh Pasal 22 tersebut berlaku secara otomatis artinya tidak membutuhkan surat keputusan khusus dari kepala KPP setempat.



Subjek yang dipungut dalam objek PPh pasal 22 kali ini adalah distributor yang melakukan pembelian obat-obatan (semua jenis) produsen farmasi. Jika misalnya pembeli melakukan pembelian obat di apotek, maka pembeli tersebut tidak akan dikenakan PPh pasal 22 Farmasi karena aoptek bukan distributor dari indsutri farmasi tersebut. PPh Pasal 22 Farmasi yang harus dipungut oleh produsen farmasi adalah sebesar 0,3% dan DPP PPN. Sesuai dengan ketentuan di bidang PPN, yang dimaksud dengan DPP untuk BKP seperti halnya obat adalah haga jual obat itu sendiri. Sebagai bukti bahwa distributor (sebagai pembeli obat) sudah membayar PPh Pasal 22 Farmasi, distributor harus meminta Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dari produsen obat (farmasi) yang memungut PPh Pasal 22 tersebut. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, PPh pasal 22 Farmasi ditetapkan bersifat tidak final. Jadi Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 ini penting terutama jika kita hendak mengkreditkannya di SPT Tahunan PPh distributor. SOAL DEMONSTRASI PT.Abunidal suatu badan usaha yang bergerak di bidang industri sepatu dan perlengkapan militer serta kontraktor instalasi militer, eksportir, importir yang memiliki API. Pada awal tahun 200X mengadakan kontrakkerja dengan Departemen Hankam untuk membuat sepatu sebanyak 750.000 pasang dengan harga per pasang Rp. 50.000,-. Untuk memenuhi bahan baku kulitnya, telah dilakukan pembelian impor maupun pembelian dalam negeri: Pembelian Impor Harga barang



US$ 843.750



Asuransi



3% dari harga barang



Ongkos angkut



US$ 25.312



Bea masuk



20% dari CIF



Bea masuk tambahan



Rp. 27.843.750



Pungutan lain (UU Pabean)



2%



PPN Impor



10%



Kurs Kep.Menkeu per 1US$



Rp. 6.500



Kurs Bank devisa saat transaksi



Rp.6.750/1 US$



Pembelian Dalam Negeri Bahan kaku kulit



Rp. 1.026.562.500



Bahan pewarna



Rp. 74.614.500



Ongkos angkut



Rp. 25.664.061



Premi asuransi



2%dari harga barang



PPN



10%



Untuk keperluan angkutan barangnya pada tahun yang sama PT.Abunidal membeli 2 buah truk seharga Rp. 150.000.000/buah. Selain itu dibeli pula kertas untuk bahan pembungkus seharga Rp. 55.600.000 sedangkan untuk bahan bangunan instalasi militer dibeli besi beton seharga Rp. 175.000.000 dan semen Rp. 50.000.000 Dalam kaitannya dengan soal ditas : a. Siapa pemungut PPh Pasal 22 b. Siapa WP PPh psal 22 c. Hitung DPP PPh pasal 22 impor d. Hitung DPP PPh Pasal 22 lokal e. Hitung pula PPh pasal 22 yang merupakan kredit pajak bagi PT.Abunidal Jawaban soal demonstrasi a. Pemungut PPh pasal 22: Dirjen Bea Cukai dan Bank Devisa atas impor Bendaharawan Dep. Hakam atas kontrak dengan Dep. Hankam Industri otomotif atas pembelian truk Industri kertas atas pembelian kertas pembungkus Industri baja atas pembeian besi beton Industri semen atas pembelian semen b. Wajib Pajak PPh Pasal 22 : Pt. Abunidak sebagai importir, rekanan pemerintah dan konsumen tertentu c. DPP PPh pasal 22 impor



Cost



US$



843.750.00



Insurance



US$



25.312.50



Freight



US$



25.312.00



US$



894.374.50



CIF=US$ 894.3745 X Rp. 6.500/1US$



Rp 5.813.434.250.00



Bea masuk 20% x Rp. 5.813.434.250.00



Rp 1.162.686.850.00



Bea masuk tambahan



Rp



27.843.750.00



Pungutan lain 2% x Rp. 5.813.434.250.00



Rp



116.268.685.00



Nilai impor



Rp 7.120.233.535.00



d. DPP PPh Pasal 22 lokal Industri otomotif (2 buah x Rp. 150.000/buah)



Rp 300.000.000.00



Industri kertas



Rp



Industri baja



Rp 175.000.000.00



Indsutri semen



Rp



55.600.000.00



50.000.000.00



Bendaharawan Dept. Hankam (750.000 x Rp. 50.000)



Rp 37.500.000.000.00



e. PPh pasal 22 impor



2,5% x Rp. 7.120.233.535.00 = Rp 178.005.883.50



industri otomotif



0,45% x Rp. 300.000.000.00 = Rp



industri kertas



0,10% x Rp. 55.600.000.00



industri baja



0,30% x Rp. 175.000.000.00 = Rp



525.000.00



industri semen



0,25% x Rp. 50.000.000.00



= Rp



125.000.00



Dept. Hankam



1,5% x Rp. 37.500.000.00



= Rp 562.500.000.00



= Rp



1.350.000.00 55.600.00