Pandangan Orientalis Terhadap Hadis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH PANDANGAN ORIENTALIS TERHADAP HADIST Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah : Uluumul Hadist Dosen Pengampu : Isnaini, S.Pd.I., M.Pd.I



Disusun Oleh : Muhammad Samsudin (17610004)



FAKULTAS AGAMA ISLAM PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM



UNIVERSITAS DARUL ULUM ISLAMIC CENTRE SUDIRMAN GUPPI UNGARAN 2018



KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji syukur kami haturkan ke hadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya serta Taufik dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Fikih ini dengan baik. Shalawat serta salam tak lupa kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa umat manusia dari zaman jahiliyah dan zaman tidak berakhlaq kepada zaman yang berilmu pengetahuan dan berakhlaq mulia seperti yang kita rasakan pada saat sekarang ini. Pada makalah ini, kami akan menguraikan tentang Pandangan orientalis terhadap hadist. Dan tentunya terdapat banyak definisi, kriteria, dan hal-hal penting yang perlu kita ketahui perihal Pandangan orientalis terhadap hadist. Semoga dengan adanya makalah ini para pembaca dapat mengambil ilmu serta menjadikan makalah ini sebagai rujukan atau referensi mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan Pandangan orientalis terhadap hadist. Akhir kata kami selaku penulis menyadari penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan.



Semarang, 20 Oktober 2018



PENULIS



i



Daftar Isi Halaman Judul ............................................................................................................................ i Kata Pengantar ........................................................................................................................... ii Daftar Isi ..................................................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .................................................................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................................................ 1 C. Tujuan ............................................................................................................................... 2 BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Orientalis.......................................................................................................... B. Pandangan Orientalis Terhadap Hadist .............................................................................. C. Bantahan Ilmuwan Hadist .................................................................................................. D. Kontribusi Orientalis Terhadap Hadits ..............................................................................



3 5 9 3



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ....................................................................................................................... 15 B. Saran ................................................................................................................................. 15 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 16



ii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hadits dalam ajaran Islam menempati posisi yang sangat strategis. Hal itu terjadi karena hadits menjadi sumber hukum kedua bagi hukum-hukum Islam. (M. Hasybi Ash Shiddieqy:1999:hlm. 154) Para ulama sepakat bahwa hadits atau sunnah paling tidak memiliki tiga fungsi utama dalam rangka hubungannya dengan Al-Qur’an, yakni kadangkala ia berfungsi sebagai bayan ta’qid terhadap ketentuan hukum yang ada dalam AlQur’an, atau bayan tafsir terhadap kemujmalan Al-Qur’an dan fungsi bayan tasyri’ terhadap segala sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam Al-Qur’an. (M. Hasybi Ash Shiddieqy:1999:hlm. 154) Oleh karena sedemikian sentralnya keberadaan hadits nabi maka banyak penelitian dan kajian-kajian yang dilakukan ulama-ulama hadits untuk menentukan atau mengetahui kualitas hadits yang diteliti dalam hubungannya dengan kehujahan hadits yang bersangkutan.(M. Syuhudi Ismail:1992:Hlm. 28) Penelitian pengkajian hadits itu ternyata tidak hanya milik kaum muslimin tetapi musuh-musuh Islam pun melakukan kajian-kajian terhadap hadits itu, diantaranya dilakukan oleh orientalis, yang memiliki tujuan untuk meragukan dasardasar validitas hadits sebagai dalil atau dasar argumentasi. Kajian Islam yang dilakukan oleh orientalis pada mulanya hanya ditujukan hanya kepada materi-materi keislaman secara umum, termasuk bidang sastra dan sejarah. Baru pada masa-masa belakangan mereka mengarahkan kajiannya secara khusus kepada bidang Hadits Nabawi. (Ali Mustafa Yaqub:1996:hlm. 8) Gugatan orientalis terhadap hadits dimulai pada pertengahan abad ke-19 M. adalah Alois Sprenger, yang pertama kali mempersoalkan status hadits dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad SAW, misionaris asal Jerman yang pernah tinggal lama di India ini mengklaim bahwa hadits merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik). (Syamsuddin Arif, Orientalis Menggugat Hadits, http://www.inpasonline.com, 21 Oktober 2009) Klaim ini diamini oleh rekan satu misinya William Muir. Menurutnya dalam literatur hadits, nama Nabi Muhammad SAW sengaja dicatut untuk menutupi bermacam-macam kebohongan. (Syamsuddin Arif, Orientalis Menggugat Hadits, http://www.inpasonline.com, 21 Oktober 2009)



1



Serangan terhadap hadits itu mencapai puncaknya setelah Ignaz Goldziher menulis Muhammadenische Studien (Studi Islam) yang dipandang sebagai kritikan paling penting terhadap hadits diabad 19. (Tajul Arifin:2009:Hlm 11) Kurang lebih enam puluh tahun sesudah terbitnya buku Goldziher itu, Joseph Schacht yang juga orientalis Yahudi menerbitkan hasil penelitiannya tentang hadits dalam sebuah buku yang berjudul The Origins of Muhammadan Jurisprudence. (Ali Mustafa Yaqub:1996:hlm. 8) Sebagai laskar orientalis, Ignaz Goldziher dan Joseph Schaht adalah tokoh yang paling terkemuka dalam pengkajian hadits. (Wahyudin Darmalaksana:2004:hlm. 11) Baik Goldziher maupun Schaht meragukan otentisitas hadits, sedangkan Schact berpendapat lebih jauh sampai pada kesimpulan yang meyakinkan bahwa tidak ada satupun hadits yang otentik dari Nabi s.a.w, khususnya hadits-hadits yang berhubungan dengan hukum Islam. (Ali Mustafa Yaqub:1996:hlm. 8) Diantara sekian banyak orientalis yang mengkaji hadits, penulis mencoba menelusuri pandangan kedua orientalis tersebut yaitu Ignaz Goldziher dan Joseph Schaht yang berpengaruh dalam penelitian hadits, dan karena orientalis-orientalis sesudahnya pada umumnya hanya mengikuti kedua tokoh tersebut. (Ali Mustafa Yaqub:1996:hlm. 9) Bangunan tulisan ini dimulai dengan melihat batasan orientalisme, pemikiran mereka dalam kajian hadits yang disertai komentar dan bantahan muhaditsin kontemporer, dan bagaimana kontribusi orientalis terhadap hadits.



B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah 1. Apa pengertian orientalis? 2. Bagaimana pandangan orientalis terhadap hadist dan siapa tokoh-tokohnya? C. Tujuan Masalah Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah 1. Untuk mengetahui pengertian pengertian orientalis. 2. Untuk mengetahui pandangan orientalis terhadap hadist dan tokoh-tokohnya.



2



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Orientalis Orientalisme merupakan istilah yang diambil dari bahasa Perancis dengan asal kata ”orient” yang berarti timur dan ”isme” artinya faham, ajaran, cita-cita atau sikap. (Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam:2002:hlm. 55) Sedangkan menurut Mustolah Maufur bahwa kata ”orient” berasal dari bahasa Latin ”oriri” yang berarti terbit, dan dalam bahasa Inggris artinya ”direction of rising sun” (arah terbitnya matahari atau bumi belahan Timur). (Mustolah Maufur:1995:hlm. 11) Menurut H.M. Joesoef Sou’yb[15] Orientalisme berasal dari kata orient, bahasa Perancis, yang secara harfiah berarti timur dan secara geografis berarti dunia belahan timur, dan secara etnologi berarti bangsa-bangsa di timur. Kata Orient itu memasuki berbagai bahasa di Eropa, termasuk Inggris. Oriental adalah sebuah kata sifat yang berarti hal-hal yang bersifat Timur, yang sangat luas ruang lingkupnya. Suku kata isme (Belanda) atau ism (Inggris) menunjukkan pengertian tentang sesuatu paham. Jadi Orientalisme adalah sesuatu paham atau aliran, yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa Timur beserta lingkungannya. (Joesoef Sou’yb:1995: hlm 1) Lawan kata orien dalam bahasa Perancis adalah occident, yang secara harfiah berarti Barat dan secara geografis berarti dunia belahan Barat, dan secara etnologi berarti bangsa-bangsa di Barat. Adapun kada Occidental berarti hal-hal yang berkaitan dengan dunia Barat beserta lingkungannya. Berbeda dengan orientalisme kata Occidental hampir tidak pernah disebut, karena bukan merupakan suatu keahlian khusus dalam lingkungan disiplin ilmu. (Mannan Buchari:2006:hlm. 7) Secara istilah orientalisme mengandung beberapa pengertian, dalam konteks suatu kajian keilmuan Abdul Haq Ediver, mengartikan orientalisme secara umum, yaitu suatu pengertian sempurna yang terkumpul dari sumber pengetahuan asli mengenai bahasa, agama, budaya, geografis, sejarah, kesusastraan dan seni-seni bangsa Timur. (Mustolah Maufur:1995:hlm. 11) Adapun menurut Edward Said, orientalisme adalah suatu cara untuk memahami dunia Timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman Barat Eropa dengan sebuah gaya pemikiran berdasarkan ontologi dan epistimologi antara Timur dan Barat pada umumnya; dan sebuah gaya Barat untuk mendominasi, membangun kembali dan mempunyai kekuasaan terhadap timur. (Edward E. Said:2001:hlm 2-3)



3



Dalam pengertian yang sempit ialah kegiatan penyelidikan ahli ketimuran di Barat tentang agama-agama di Timur, khususnya tentang agama Islam. Secara analitis pengertian orientalisme pada tiga hal; 1) keahlian mengenai wilayah Timur; 2) metodologi dalam mempelajari masalah ketimuran; 3) sikap ideologis terhadap masalah ketimuran khususnya terhadap dunia Islam. (Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam:2002:hlm. 55) Adapun pengertian orientalis adalah kata nama pelaku yang menunjukkan seorang yang ahli tentang hal-hal yang berkaitan dengan ”Timur”, biasanya disingkat dengan sebutan ahli ketimuran. (Joesoef Sou’yb:1995: hlm 1) Atau juga orientalis adalah segolongan sarjana Barat yang mendalami bahasa dunia Timur dan kesusastraannya, dan mereka yang menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia Timur, sejarahnya, adat-istiadatnya, dan ilmu-ilmunya. (A. Hanafi:1981:hlm 8) Tidak ada keterangan yang jelas kapan dan siapa sebenarnya orang Barat yang pertama kali mempelajari Islam. Sebagian peneliti menyatakan kegiatan orientalis itu sendiri ada pada abad kesepuluh Masehi. Sebagian lain berpendapat muncul setelah Perang Salib yang berlangsung selama dua abad antara 1097-1295. Adapula yang menyatakan orientalisme telah memulai aktifitasnya pada abad XIII di Andalusia, ketika serangan kaum Salibi Spanyol terhadap Islam mencapai Puncaknya. Ada pula yang menyatakan bahwa kajian ketimuran yang kemudian dinamakan dengan orientalisme bersamaan dengan munculnya imperialisme dan kolonialisme Eropa ke dunia Islam abad XVIII Masehi, disaat melemahnya kekuasaan Daulah Utsmaniyah yang dianggap sebagai garis pemisah antara Eropa dengan negara-negara Timur. (Wahyudin Darmalaksana:2004:hlm. 55) Namun diantara kemunculan orientalisme disebabkan beberapa hal, yaitu : Pertama: terjadinya Perang Salib dan Imperialisme atau kolonialisme. Kedua : sentuhan Barat dengan perguruan-perguruan tinggi Islam. Ketiga : penyalinan naskah-naskah ke dalam bahasa latin pada setiap bidang ilmu pengetahuan. (Wahyudin Darmalaksana:2004:hlm. 65) Kajian orientalisme mempunyai karakter khusus, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemahaman orientalisme itu sendiri, diantaranya : a. Orientalisme adalah suatu kajian yang mempunyai ikatan sangat erat hubungannya dengan kolonial Barat. Khususnya kolonial Inggris dan Perancis sejak akhir abad XIII hingga usainya perang dunia kedua. Kalau ada kolonialisme, disitu ada orientalisme.



4



b. Orientalisme merupakan gerakan yang mempunyai ikatan yang kuat dengan gerakan kristenisasi. Antara lain untuk mempelajari dan memahami secara mendalam masalah-masalah yang mungkin dapat digunakan sebagai sarana mengotori citra Islam, menumbuhkan perselisihan dan pertentangan di kalangan sesama umat Islam serta menumbuhkan perasaan ragu terhadap ajaran Islam dan berusaha keras memurtadkan umat Islam. c. Orientalisme merupakan kajian gabungan yang mesra antara kolonialisme dengan gerakan kristenisasi, yang validitas ilmiah dan objektivitasnya tidak dapat dipertanggung jawabkan secara mutlak, terutama dalam kajian Islam, yang dimulai dengan mengalihkan dan mengubah pandangan dari metode Islam kepada metode pengetahuan Barat. d. Orientalisme merupakan bentuk kajian yang dianggap potensial dalam politik dan dunia Barat untuk melawan Islam dan kaum muslimin. (Mannan Buchari:2006:hlm. 14) Dengan demikian di dunia Islam pemaknaan orientalisme mengalami penyempitan objek bahasan. Orientalisme dipahami sebagai pengkajian Islam menurut orang Barat atau sarjana lainnya yang berkiblat ke Barat. (Wahyudin Darmalaksana:2004:hlm. 9) Pengkajian yang dilakukan lebih cenderung berkiblat ke Barat dengan etnosentrisnya, orientalisme dalam dunia Islam kemudian juga dipahami sebagai gazwah al-fikr dari diskursus Barat dalam upaya melemahkan nilai-nilai dan semangat keagamaan umat Islam. Kenyataan ini dapat dipahami lantaran kelompok orientalis yang murni sebagai pencari kebenaran sangatlah sedikit jika dibanding dengan yang lainnya. (Wahyudin Darmalaksana:2004:hlm. 10) B. Pandangan orientalis terhadap hadist Hadits adalah sebuah bangunan yang mengandung ucapan, perbuatan atau ketentuan-ketentuan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw., sehingga bagi orientalis hadits adalah merupakan kajian yang mudah bagi mereka untuk mendistorsikan hadits secara keseluruhan. Ada beberapa faktor yang mendorong hadits menjadi kajian orientalis dalam menjelekan Islam, yaitu; Pertama : Faktor lebih mudahnya usaha memburukkan Islam melalui penyelidikan hadits daripada penelitian terhadap Al-Qur’an. Beberapa studi yang dibuat secara serius , objektif dan jauh dari polemik telah menunjukkan adanya keinginan kuat para orientalis untuk mendiskriditkan Islam. Kedua : Faktor lain yang juga kuat dalam mendorong perhatian terhadap penyelidikan hadits adalah banyaknya kontradiksi dalam materi corpus hadits sendiri. (Wahyudin Darmalaksana:2004:hlm. 81)



5



Tiga wilayah cakupan studi hadits yang telah dikenal umum oleh para muhadditsin untuk menentukan otentisitas hadits hadits yaitu pelacakan isnad hadits, ktirik matan dan metode kritik perawi, dibongkar kembali oleh para orientalis dan memunculkan tesis-tesis baru yang menyanggah kebenaran-kebenaran hadits; terutama kebenaran bahwa hadits berasal dari Muhammad. Aspek-aspek yang dijadikan sebagai lahan kritik orientalis dalam penolakan mereka terhadap otentisitas hadits, diantaranya banyak argumen yang secara umum dikemukakan oleh mereka, yaitu : 1) Aspek Pribadi Nabi Muhammad Argumen pertama dan paling utama orientalis meragukan otentisitas hadits adalah bahwa hadits-hadits itu buatan manusia dan bukan wahyu. Menurut orientalis pribadi Muhammad perlu dipertanyakan, mereka membagi status Muhammad menjadi tiga, sebagai rosul, kepala negara dan pribadi biasa sebagaimana orang kebanyakan. Sesuatu yang didasarkan dari Nabi Muhammad baru disebut hadits jika sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan, karena jika tidak hal itu tidak layak disebut dengan hadits, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad. (Tajul Arifin:2009:hlm 11) 2) Aspek Asanid (Rangkaian Perawi). Orientalis memiliki kesimpulan bahwa semua asanid itu fiktif atau bahwa yang asli dan yang palsu itu tidak bisa dibedakan secara pasti. Isnad yang sampai kepada Nabi Muhammad jauh lebih diragukan ketimbang isnad yang sampai kepada shahabat. (Tajul Arifin:2009:hlm 7) 3) Aspek Matan Pada umumnya dapat dikatakan bahwa ktirik isnad adalah satu-satunya metode yang dipraktekkan ahli-ahli hadits untuk menyaring mana hadits yang shahih dan hadits mana yang tidak shahih. Menurut orientalis matan hampir tidak pernah dipertanyakan; hanya jika isi sebuah hadits yang isnad-nya shahih jelas bertentangan dengan Al-Qur’an, baru ditolak; kalau isinya dapat diinterpretasikan sedemikian sehingga menjadi selaras dengan Al-Qur’an dan hadits-hadits lain, hadits itu tidak dikritik.(G.H.A. Juyhnbool:1999:hlm 202) Selanjutnya penulis akan menelusuri kajian yang dilakukan oleh sebagian dari para orientalis atas keraguannya terhadap otentisitas hadits. 1.



Ignaz Goldziher



Ignaz Goldziher (1850-1921) adalah satu-satunya orientalis yang sempat belajar secara resmi di Universitas al-Azhar, Mesir. Seorang Yahudi yang lahir di



6



Hungaria 1850, ia terlatih dalam bidang pemikiran sejak usia dini. Ia belajar di Budapest, Berlin dan Leipzig. Pada tahun 1873 ia pergi ke Syiria dan belajar pada Syeikh Tahir al-Jazairi. Kemudian Pindah ke Palestina, lalu ke Mesir dimana ia belajar dari sejumlah ulama di Universitas Al-Azhar Kairo. Pada tahun 1894 dia menjadi calon tenaga pengajar bahasa Semit dan pada tahun 1904 menjadi guru besar bahasa-bahasa Semit di Universitas Budapest akhirnya ia meninggal pada 13 November 1921. Goldziher melontarkan tuduhan bahwa Islam merupakan himpunan pengetahuan dan pandangan agama-agama lain yang sengaja dipilih Muhammad. Hal ini diketahui dan ditimba oleh Muhammad karena hubungannya dengan oknumoknum Yahudi, Nasrani dan lain-lainnya. (Hafsa Mutazz, Sosok Orientalisme dan Kiprahnya, dalam internet website: http://www.gaulislam.com/sosok-orientalismedan-kiprahnya.) Ignaz Goldziher melalui analisa dan pemikirannya telah melahirkan paham sesat dalam Islam yaitu Inkar Sunnah (inkar hadits). Pada tahun 1890 Ignaz Goldziher menerbitkan hasil penelitiannya tentang hadits Nabawi dengan judul Muhammadanische Studies, di mana ia membantah otentisitas apa yang disebut hadits oleh orang-orang Islam. Menurutnya hadits Nabawi tidak lebih dari produk perkembangan keadaan sosial politik Islam pada waktu itu. Ia juga menuduh bahwa yamg disebut sanad adalah bikinan orang-orang belakangan. (H. Ali Mustofa Yaqub, MA:1991:hal. 2) Tidaklah benar pendapat yang menyatakan bahwa hadits merupakan dokumen Islam yang sudah ada sejak masa dini (masa pertumbuhan) melainkan ia adalah pengaruh perkembangan Islam pada masa kematangan. Nampak dari ungkapan Ignaz ini adanya keraguan untuk meyakini otentisitas hadits sudah ada pada masa Nabi, Sahabat ataupun masa tabi’in. Hadits tidak lain adalah karya-karya ulama masa sesudah wafat Nabi yang diedarkan pada fenomena-fenomena sosial dan kasus-kasus aktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Adapun argumentasi yang digunakan Goldziher untuk membuktikan keaslian hadits Nabi adalah berdasarkan pada sebuah riwayat yang berkenaan dengan kasus penulisan hadits yang dilakukan oleh Ibn Syihab al-Zuhri. Menurut Goldziher al-Zuhri mengatakan: “Sesungguhnya para pejabat itu (Umar bin Abdul Aziz dan Hisyam bin Abdul Malik) telah “memaksa” kami untuk menulis beberapa “hadits ”. Kata-kata “ahadits ” dalam kutipan Goldziher tanpa memakai “al” yang dalam bahasa arab menunjukkan sesuatu yang sudah definitif (ma’rifah) sementara dalam teks yang asli seperti terdapat pada kitab Ibn Sa’ad dan Ibn Asyakir adalah “al Ahadits ” yang berarti hadits -hadits yang sudah dimaklumi secara definitif yakni hadits-hadits yang berasal dari Nabi Saw. Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadits-hadits Nabi yang pada saat itu sudah ada, akan tetapi belum terhimpun dalma satu buku. sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadits yang belum pernah ada pada saat itu.



7



2.



Joseph Schacht



Prof. Dr. Joseph Schacht lahir di Silisie Jerman pada 15 Maret 1902.Karirnya sebagai orientalis dimulai dengan belajar pilologi klasik, theologi, dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Berslauw dan Universitas Leipzig. Meskipun ia seorang pakar Sarjana Hukum Islam, namun karya-karya tulisnya tidak terbatas pada bidang tersebut. Secara umum, ada beberapa disiplin ilmu yang ia tulis. Antara lain, kajian tentang Manuskrip Arab, Edit-Kritikal atas Manuskrip-manuskrip Fiqh Islam. Kajian tentang ilmu Kalam, kajian tentang Fiqh Islam, kajian tentang Sejarah Sains dan Filsafat, dan lain-lainnya, seperti Al Khoshaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal fi al Fiqih (1924), Ath Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan lain-lain. Karya tulisnya yang paling monumental dan melambungkan namanya adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada tahun 1950, kemudian bukunya An Introduction to Islamic Lau yang terbit pada tahun 1960. Dalam dua karyanya inilah ia menyajikan hasil penelitiannya tentang Hadits Nabawi, di mana ia berkesimpulan bahwa Hadits Nabawi, terutama yang berkaitan dengan Hukum Islam, adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijrah. Pemikiran Josepht Schahct atas hadits banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadits, Josepht Schahct sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu, dan berhasil “menyakinkan” tidak adanya otentisitas itu, khususnya hadits-hadits fiqih. (H. Ali Mustofa Yaqub, MA: 1991:hal.2) Joseph Schacht menyusun beberapa teori untuk membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang kepalsuan hadits Nabi saw, antara lain: a.



Teori Projecting Back



Maksud dari teori ini bahwa untuk melihat keaslian hadits bisa direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum islam dengan apa yang disebut hadits Nabi. Selain itu, Ia juga mengklaim bahwa sanad lengkap yang berujung ke Rasulullah saw adalah ciptaan atau tambahan para fuqaha di era Tabi’in dan setelahnya, yang ingin memperkokoh madzhab mereka dengan menjadikannya sebagai hadits nabawi. b.



Teori E Siliento



Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang sarjana (ulama/perawi) pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah hadits dan gagal menyebutkannya. Membuktikan hadits itu eksis/ tidak cukup dengan menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam



8



diskusi para fuqaha. Sebab seandainya hadits itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai refrensi. c.



Teori Common Link



Teori yang beranggapan bahwa orang yang paling bertanggungjawab atas kemunculan sebuah hadits adalah periwayat poros (common link) yang terdapat di tengah bundel sanad-nya. Common link itulah yang menurut Juynboll merupakan pemalsu dari hadits yang dibawanya. C. Bantahan Ilmuan Hadits Kritikan terhadap hadits dari kalangan orientalis tidak membuat ulama Islam berdiam diri, setidaknya ada tiga ulama kontemporer yang menangkal teori-teori ketiga orientalis di atas, mereka adalah Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy dalam bukunya as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam, Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib dalam bukunya as Sunnah Qabla Tadwin, dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami dalam bukunya Studies in Early Hadith Literature. Bantahan dari ulama-ulama tersebut, terutama Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami yang telah menelanjangi para orientalis sampai mereka tidak berkutik karena argument-argument yang disampaikannya benar dan valid sebagai berikut. 1.



Bantahan untuk Ignaz Goldziher



Pendapat Goldziher bahwa hadits belum menjadi dokumen sejarah yang ada pada masa-masa awal peertumbuhan Islam disanggah oleh beberapa pakar hadits. Mereka itu di antaranya : Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy (as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as Sunnah Qabla Tadwin) dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in Early Hadith Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah baik dari sisi metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya. Alasan mereka adalah karena ketidaktahuan mereka (kekurang percayaan) pada bukti-bukti sejarah. Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah kesalahan orientalis yang tidak konsisten dalam mendiskusikkan perkembangan hadis Nabi yang berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah hukum, mereka malah memasukkan hadis-hadits ritual/ibadah. Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher adalah teks hadis itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Bukhari, hadis tersebut tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di al-Quds (Yurussalem) yang ada hanya isyarat pemberian keistimewaan kepada masjid al Aqsha, dan hal ini wajar mengingat masjid itu pernah dijadikan qiblat pertama bagi ummat islam. Sementara itu tawaran Goldziher agar hadis tidak semata-mata didekati lewat perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik matan, perlu dicermati. Sebenarnya semenjak awal para sahabat dan generasi sesudahnya sudah



9



mempraktekkan metode kritik matan. Penjelasan argumentatif telah disajikan oleh Subkhi as Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadis juga bertumpu pada matan. (Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalist”,dalaminternet,website:http://lenterahadits.com/index.php?option=com_c ontent&view=category&layout=blog&id=36&Itemid=57) 2.



Bantahan untuk Josep Schacht



Menurut Azami kekeliruan Schacht adalah bahwa dia keliru ketika menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai asumsi penyusunan teorinya. Dalam rangka meruntuhkan teorinya Schacht telah melakukan penelitian terhadap beberapa naskah hadits dengan sanad Abu Hurairah, Abu Shalih, dan Suhail, yang ternyata dari hasil kajiannya sangat mustahil hadis bisa dipalsukan begitu saja. Di samping itu Azami membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadis pada masa kemudian, padahal pada masa-masa awal hadis itu dicatat oleh perawi, disebabkan pengarangnya menghapus/menasakh hadis tersebut, sehingga ia tidak menulisnya dalam karya-karya terbaru. Ketidakkonsistenan Schacht terbukti ketika dia mengkritik hadis-hadis hukum adalah palsu, ternyata ia mendasarkan teorinya itu pada hadis-hadis ritual (ibadah) yang jika diteliti lebih dalam lagi ternyata tidak bersambung ke Nabi. Membantah teori yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami membantah teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah Hadis. Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadis-hadis Nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H). Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Schacht dengan teorinya Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad Hadis itu baru terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para qadhi dalam menetapkan suatu hukum, adalah masih dipertanyakan keabsahannya, hal ini dibantah oleh Azami dengan penelitiannya bahwa sanad Hadis itu memang muttashil sampai kepada Rasulullah Saw. melalui jalur-jalur yang telah disebutkan di atas. Dan membuktikan juga bahwa Hadis-hadis yang berkembang sekarang bukanlah buatan para generasi terdahulu, tetapi merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari Rasul Saw. sebagai seorang Nabi dan panutan umat Islam. (Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalist”, dalam internet website:http://lenterahadits.com/index.php?option=com_content&view=category&la yout=blog&id=36&Itemid=57) D. Kontribusi Orientalis Terhadap Hadits Dalam sejarah yang panjang dikalangan orang Islam, orientalis dikenal sebagai orang Barat yang menekuni masalah-masalah yang berhubungan dengan Islam, dengan berbagai kajian ketimuran, baik konsumsi politik penjajahan maupun



10



dalam bentuk penelitian ilmiah yang terselubung dengan membawa misi kristenisasi, zionesme dan sebagainya. Walaupun demikian, masih terdapat orientalis yang hanya menggunakan pendekatan ilmiah atau setengah ilmiah, khususnya ketika pengkajian Islam di berbagai lembaga di Barat tidak lagi dibawah organisasi keagamaan atau fakultas teologi, dan setelah orientalis tidak lagi sepenuhnya berasaal dari kalangan tokohtokoh agama semata. Ini secara khusus dalam perkembangan terakhir orientalisme mengenai Islam. (Mannan Buchari: 2006:hlm. 110) Dari kalangan inilah lahir hasil karya yang banyak memberikan kontribusi bagi perkembangan kajian Islam dikalangan muslim dan bukan muslim. Saham terbesar adalah karya dalam bidang penyusunan berbagai indeks, kamus, leksikon dan ensiklopedi secara kolektif dan perorangan. Kontribusi karya orientalis yang banyak digunakan ilmuwan dan ulama Islam khususnya dalam bidang hadits adalah indek hadits Consordance et Indices da la Traadition Musulmane, dibawah asuhan orientalis Belanda A.J. Wensinck, terdiri atas 7 jilid. (Mannan Buchari:2006:hlm. 110) Hingga sekarang belum ada indeks hadits yang lebih baik dan sistematis, disusun berdasarkan kitab-kitab hadits yang digunakan umat Islam, terutama Kutubus Sittah. Dengan mempergunakan indeks ini, kita dapat mencari perawi sebuah hadits, kutipan pokok “matan” (teks) hadits dan dalam kitab mana kita dapat menemukannya. Ini sangat penting, mengingat matan hadits tidak dapat di cek kebenarannya secara mudah seperti mengecek kebenaran ayat Al-Qur’an. Dalam indeks ini, kita tidak lagi direpotkan untuk meneliti satu persatu daftar isi semua kitab hadits untuk menemukan hadits yang dicari, tetapi cukup dengan mencari pokok atau kata kunci dalam sebuah hadits, kemudian dapat dicari langsung pada sumber yang ditunjukkannya. (Mannan Buchari:2006: hlm.111) Kesulitan kecil yang ditemukan adalah indeks ini disusun berdasarkan kitab-kitab hadits sebelum tahun 1939, sementara kitab-kitab hadits tersebut telah diterbitkan lagi dalam berbagai edisi, sehingga kadang-kadang, halaman dan jilid buku hadits yang ditunjuk oleh indeks tidak lagi persis. Selain itu akhir-akhir ini telah terbit kitab-kitab yang menyaring kembali hadits-hadits menurut shahih dan dha’ifnya, seperti beberapa jilid tebal oleh Nashiruddin Al-Albani.



11



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan paparan di atas, bahwa di dunia Islam pemaknaan orientalis mengalami penyempitan objek bahasan. Orientalis dipahami sebagai pengkajian Islam menurut orang Barat atau sarjana lainnya yang berkiblat ke Barat. Pengkajian yang dilakukan lebih cenderung berkiblat ke Barat dengan etnosentrisnya, orientalisme dalam dunia Islam kemudian juga dipahami sebagai gazwah al-fikr dari diskursus Barat dalam upaya melemahkan nilai-nilai dan semangat keagamaan umat Islam. Goldziher dan Schacht sebagai orientalis yang terkemuka dan berpengaruh memiliki pandangan bahwa hadits itu diragukan otentisitasnya sebagai sabda Nabi s.aw. menurut mereka hadits adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijriyah setelah Nabi Muhammad SAW wafat, bukan berasal dan tidak asli dari beliau, dengan alasan ketidakmungkinan keshahihan hadits dalam masyarakat Islam pada abad pertama, kemudian Goldziher menawarkan metodenya dengan menggunakan kritik matan. Sementara menurut Schacht sanad mulai dari sumber pertama sampai yang terakhir, yang atas mereka keaslian sebuah hadits disandarkan pada Nabi SAW menurut otentisitasnya sangat diragukan. Untuk membuktikan kepalsuan-kepalsuan itu ia lalu menyodorkan teori Projecting back. Sanggahan-sanggahan dilakukan oleh para Ulama hadits untuk merontokkan teori-teori mereka. Dan ada beberapa catatan yang dapat dikemukakan bahwa adanya sekumpulan subjektivitas paradoks dari keduanya sebagai orientalis yang setidaknya menyimpan misi-misi tersendiri untuk menyudutkan Islam dibalik kacamata orientalisme, yang sesungguhnya merupakan neo-kolonialisme atas belahan dunia Timur, khususnya kawasan Islam. Kemudian mereka memiliki kemampuan yang terbatas dalam metodologi dan teknik memahami hadits dengan tanpa mempertimbangkan hal-hal lain dibalik maksud dari hadits tersebut. B. Saran Seyogyanya kita sebagai orang muslim hendaknya mempelajari keilmuan agama islam secara lebih mendalam lagi, terlebih pada bidang ilmu hadist. Karena banyak pemikiran orientalis yang bersifat subjektif yang sangat berbahaya jika kita langsung mempercayainya. Apalagi akhir-akhir ini banyak sekali masyarakat muslim yang berfikiran seperti mereka. Maka dari itu kita harus memperdalam dan memperluas keilmuan agama kita agar tidak terjadi kesalahfahaman dalam beragama.



12



DAFTAR PUSTAKA 1. M. Hasybi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999) Cet. IV 2. M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992) 3. Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1996), Cet. 2 4. Syamsuddin Arif, Orientalis Menggugat Hadits, http://www.inpasonline.com, 21 Oktober 2009 5. Tajul Arifin, The Application Of “Unity Theory” In Understanding Matan Of Al-Hadits And Determining Its Validity, Critique to the Critique of Orientalis, (Bandung, Inaugural Speech, 2009) 6. Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004) 7. Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), jil. 4. 8. Mustolah Maufur, Orientalisme; Serbuan Ideologis dan Intelektual, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1995) 9. Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995) cet. 3 10. Mannan Buchari, Menyingkap Tabir Orientalisme, (Jakarta: Amzah, 2006), Cet 1 11. Edward E. Said, Orientalisme, (Bandung: Pustaka, 2001), cet. IV 12. A. Hanafi, Orientalis Ditinjau Menurut Kacamata Agama (Qur’an dan Hadits), (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1981) 13. G.H.A. Juyhnbool, The Authenticity of Tradition Literature Discussions in Modern Egypt,, trj. Ilyas Hasan (Bandung : Mizan, 1999) 14. Hafsa Mutazz, Sosok Orientalisme dan Kiprahnya, dalam internet website: http://www.gaulislam.com/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya. 15. H. Ali Mustofa Yaqub, MA, Imam Bukhori dan Metodologi kritik dalam Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus), 1991 16. Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalist”, dalam internet,website:http://lenterahadits.com/index.php?option=com_content&vie w=category&layout=blog&id=36&Itemid=57)



13