Panduan BKL 2023 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BERLITURGI



DENGAN PENUH SUKACITA Membangun Formasio Liturgi Umat Renungan Bulan Maria dan Bulan Katekese Liturgi 2023 Penyusun: E. Martasudjita, Pr. A. Agus Widodo, Pr. Y. Subali, Pr. J. Kristanto, Pr. FX. Sukendar Wignyosumarto, Pr. Ig. Sukawalyana, Pr. R. Budiharyana, Pr. A.R. Yudono Suwondo, Pr. P. Suratmin, Pr. Y. Sunaryadi, Pr. Y. Gunawan, Pr. Ig. Fajar Kristianto, Pr. Y. Warsito, Pr. Bonifasius Dwi Yuniarto N., Pr. Y. Dhani Puspantoro, Pr. Y. Slamet Witokaryono, Pr. H. Rony Suryo Nugroho, Pr. Bernardus Himawan, Pr. Antonius Hendri Atmoko, Pr. Gregorius Prima Dedy Saputro, Pr. Ilustrator: Rm. B. Windyatmoko, MSF



Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang 2023



KATA PENGANTAR



Memasuki tahun 2023 kita bersama seluruh masyarakat Indonesia dan dunia menghadapi berbagai tantangan baru, seperti adaptasi baru setelah melewati pandemi covid-19 ke endemi, ancaman resesi dunia, peperangan antara Rusia dan Ukraina yang belum kelar, berbagai bencana alam seperti di Turki-Suriah, ataupun khususnya tahun politik 2023 di Indonesia. Menghadapi berbagai tantangan tersebut orang dapat merasa kecil hati dan khawatir. Tetapi kita tidak pernah boleh lupa bahwa iman kita kepada Tuhan Yesus Kristus adalah sebuah tanggapan atas Injil Yesus Kristus yang merupakan kabar baik sebab Tuhan telah datang, menebus dan menyelamatkan kita. Dunia ini bukan dunia yang serba gelap dan seolah ditinggalkan Allah. Justru di sinilah tempat dan peran liturgi begitu penting dan sentral dalam kehidupan umat beriman. Bertepatan dengan periode peringatan 60 tahun Konsili Vatikan II (1962 - 1965), gelaran Gereja sinodal yang diprakarsai Paus Fransiskus (2021 - 2023/2024), Keuskupan Agung Semarang sedang menghidupi ARDAS VIII “Tinggal dalam Kristus dan Berbuah”, dan secara khusus tahun 2023 ini menyuarakan keyakinan pastoral: “Tinggal dalam Kristus dan Berbuah: Bersatu dan Bersinergi demi Indonesia Damai”. Secara khusus iii



Paus Fransiskus telah menerbitkan Surat Apostolik Desiderio Desideravi pada Hari Raya Santo Petrus dan Santo Paulus tanggal 29 Juni 2022. Dalam surat apostolik ini Sri Paus mengajak seluruh umat beriman untuk menemukan keindahan dan kebenaran perayaan liturgi dalam rangka formasio liturgi umat Allah. Mengingat kedalamannya yang sangat kaya, Bulan Katekese Liturgi (BKL) 2023 ini mengajak umat beriman di KAS atau di mana pun untuk mendalami butir-butir penting dokumen Desiderio Desideravi ini. Paus Fransiskus berharap agar kita tidak hanya merayakan liturgi secara biasa-biasa saja, begitu-begitu saja tanpa pernah mengerti dan memahami kekayaan keindahan dan kebenaran perayaan iman ini. Muara dari pembelajaran yang diberikan Sri Paus ini akhirnya adalah agar kita merayakan liturgi penuh dengan sukacita. Kita memang perlu merayakan liturgi dengan sukacita yang menimbulkan harapan dan semangat menghadapi konteks zaman yang berubah-ubah dan tidak mudah ini. Itulah sebabnya bahan BKL tahun 2023 ini berjudul BERLITURGI DENGAN PENUH SUKACITA. Mem­ bangun Formasio Liturgi Umat. Formasi atau pendidikan liturgi umat memang sangat kita perlukan agar kita senantiasa merayakan liturgi dengan penuh sukacita karena merasakan keindahan dan kesegaran iman yang dirayakan. Bulan Katekese Liturgi 2023 ini telah memasuki tahun yang ke-43. Tema BKL senantiasa mengikuti gerak Keuskupan Agung Semarang dan sekaligus Gereja iv



universal, sambil tetap membumi di dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara di NKRI ini. Semoga dengan katekese ini iman umat Katolik makin diperdalam dan wawasan kita diperluas, dan kita semua menemukan kekayaan keindahan dan kebenaran liturgi sehingga sanggup merayakan liturgi dengan penuh sukacita. Seperti tahun-tahun lalu, renungan harian yang ditawarkan di sini merupakan bahan renungan yang dapat dibaca secara pribadi atau dibacakan dalam acara doa bersama, khususnya doa Rosario keluarga atau lingkungan. Diharapkan pula, seluruh keluarga berkumpul bersama setiap malam untuk berdoa Rosario dan merenungkan bahan BKL ini, agar hidup seluruh anggota keluarga selalu dekat dengan Tuhan dan diberkati dalam seluruh jalan. Bahan BKL ini memang digunakan selama bulan Mei, yang menjadi bulan Maria, tetapi umat juga dapat menggunakannya pada bulan Oktober. Beberapa catatan lain: 1. Renungan dibuat singkat dan berlangsung sekitar 5-6 menit saja. 2. Renungan terdiri atas pengalaman hidup sehari-hari, pendalaman liturgi dan sabda Allah. 3. Renungan ini dapat dibacakan pada awal doa atau di antara peristiwa-peristiwa atau pada akhir doa Rosario, atau tempat lain yang sesuai. Pemimpin bebas menentukan kapan renungan ini disampaikan.



v



4. Memang sangatlah baik, apabila dalam kelompok ada kemungkinan waktu untuk sharing dan berdiskusi mengenai isi buku ini. Semoga bahan BKL 2023 semakin mendorong kita untuk tetap tinggal dalam Kristus dan berbuah, terutama mewujudkan Ardas VIII KAS, secara khusus menghidupi pengalaman tinggal dalam Kristus dan Berbuah, sehingga dapat bersatu dan bersinergi demi Indonesia Damai. Semoga bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia tetap dilindungi dan diberkati Tuhan pada tahun politik 2023 dan Pemilu pada tahun 2024 berlangsung aman, damai, dan dalam semangat persatuan. Berkah Dalem. Yogyakarta, 12 Februari 2023



Komisi Liturgi KAS



vi



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ................................................................. iii Hari ke-1 SEMANGAT BELAJAR UNTUK PEMBARUAN DIRI ..........................................................................



1



Hari ke-2 BERLITURGI DENGAN SUKACITA ...............................



3



Hari ke-3 KERINDUAN UNTUK BERJUMPA DENGAN TUHAN .............................................................................



5



Hari ke-4 EKARISTI: PUNCAK KERINDUAN DAN PEMBERIAN DIRI KRISTUS .......................................................................................



7



Hari ke-5 LITURGI: TEMPAT PERJUMPAAN DENGAN KRISTUS ......



9



Hari ke-6 MISTERI PASKAH: PUNCAK LITURGI DAN PERJUMPAAN DENGAN KRISTUS .......................................................................... 11



vii



Hari ke-7 GEREJA SEBAGAI SATU TUBUH: KRISTUSLAH KEPALA DAN KITA ANGGOTA-ANGGOTA-NYA ................................................. 13 Hari ke-8 MERAYAKAN LITURGI SECARA PENUH, SADAR, DAN AKTIF



.....................



15



Hari ke-9 LITURGI BERPUSAT PADA ALLAH, BUKAN DIRI KITA SENDIRI .................................................. 17 Hari ke-10 LITURGI MEMBEBASKAN KITA DARI SELERA DAN KEPENTINGAN PRIBADI .. 19 Hari ke-11 LITURGI MERAYAKAN KESELAMATAN SEBAGAI KARYA ALLAH ......................................................... 21 Hari ke-12 LITURGI MEMBEBASKAN KITA DARI KEDUNIAWIAN ROHANI ......................................... 23 Hari ke-13 LITURGI SEBAGAI PELAKSANAAN TUGAS IMAMAT KRISTUS .................................................... 25 Hari ke-14 MENGAGUMI KEINDAHAN LITURGI ....................... 27 Hari ke-15 KEKAGUMAN PADA MISTERI PASKAH .................. 29



viii



Hari ke-16 MENGAGUMI DENGAN SEDERHANA



....................



31



Hari ke-17 MEMAHAMI SIMBOL DALAM LITURGI ............... 33 Hari ke-18 TANDA SALIB: SIMBOL PENYERTAAN TUHAN ..................................... 35 Hari ke-19 LITURGI MERUPAKAN TINDAKAN SELURUH GEREJA .......................................................................... 37 Hari ke-20 LITURGI MELAHIRKAN HIDUP BARU ................... 39 Hari ke-21 LITURGI MENGUNGKAPKAN JATI DIRI GEREJA ............................................................................. 41 Hari ke-22 BERANI BERTANYA UNTUK MENDALAMI MAKNA LITURGI ..................................... 43 Hari ke-23 KITA DIBENTUK OLEH LITURGI YANG KITA RAYAKAN ............................................................... 45 Hari ke-24 LITURGI: PEMULIAAN ALLAH, KESELAMATAN KITA ... 47 Hari ke-25 MERAWAT KEKAGUMAN DALAM LITURGI .... 49 ix



Hari ke-26 SENI MERAYAKAN IMAN ........................................................ 51 Hari ke-27 MENGHAYATI TATA GERAK DALAM LITURGI .............................................................................. 53 Hari ke-28 LITURGI DAN SEMANGAT PENTAKOSTA



..........



55



Hari ke-29 JIWA ARS CELEBRANDI ............................................................ 57 Hari ke-30 ARS CELEBRANDI DALAM GERAK TUBUH



........



59



Hari ke-31 ARS CELEBRANDI DALAM KATA .................................... 61



x



Hari ke-1



SEMANGAT BELAJAR UNTUK PEMBARUAN DIRI



Sepulang dari sekolah siang itu, Dita melihat ayahnya, Pak Rangga, yang sedang konsentrasi membaca buku liturgi yang cukup tebal. “Pak, baca apa sih, kok serius amat?” tanya Dita. “Ini, lho, baca buku liturgi. Bagus banget, ternyata liturgi itu menarik dan berkembang terus ya,” kata Pak Rangga sambil membalik-balik halaman buku. Rambutnya yang sudah mulai memutih itu diusapnya, lalu ia berkata kembali, “Dita pulang sekolah ya, sana makan dulu, tadi ibumu masak ayam geprek lho.” “Ya, makasih, Pak. Bapak itu sudah lansia, tetapi kok semangat belajar Bapak tetap tinggi ya….?” tanya Dita sambil melepas sepatu. “Wah yang namanya usia itu boleh tua, tetapi terus belajar dan mengembangkan 1



pengetahuan tetap penting, anakku,” jawab Pak Rangga dengan semangat. Pak Rangga adalah salah satu contoh orang tua yang walaupun sudah masuk usia lansia, tetapi tetap semangat untuk belajar. Tidak terasa, Konsili Vatikan II juga sudah berusia 60 tahun. Dari usia manusia, Konsili Vatikan II ini sudah masuk usia lansia, tetapi api dan jiwa Konsili Vatikan II tetap hidup dan tidak pernah tua, persis seperti semangat Pak Rangga yang ingin terus berkembang. Dalam Konstitusi Liturgi, para Bapa Konsili berkata, “KONSILI SUCI bermaksudkan untuk makin meningkatkan kehidupan kristiani di antara umat beriman…. Oleh karena itu, Konsili memandang sebagai kewajibannya untuk secara istimewa mengusahakan juga pembaruan dan pengembangan liturgi” (SC 1). Apa yang dihidupi Pak Rangga dengan suka membaca buku atau artikel tentang liturgi ataupun ajaran iman Gereja lainnya itulah yang sebenarnya dikehendaki oleh para Bapa Konsili Vatikan II, sejak 60 tahun yang lalu. Gereja berkehendak untuk terus mengadakan pembaruan dan pengembangan liturgi. Tetapi kehendak Gereja itu tidak ada artinya kalau umatnya, termasuk kita ini, tidak suka diajak maju untuk mau memperbarui diri dan berkembang. Bulan Katekese Liturgi yang hari ini dimulai mengajak kita untuk terus belajar dan mendalami liturgi dengan penuh semangat. Paus Fransiskus yang mengajak kita untuk bersinodal juga berkehendak agar kita terus saling belajar, saling mendengarkan, saling memperbarui diri dalam gerak bersama seluruh umat beriman di mana pun. 2



Hari ke-2



BERLITURGI DENGAN SUKACITA



Hari Minggu pagi itu Tini dan Tanti berangkat ke gereja bersama. Tetapi sepanjang jalan Tini yang kelas 2 SMA ini menggerutu karena ayah mereka selalu menyuruh agar mereka pergi ke gereja. Tanti kakaknya yang sudah kuliah, sambil memboncengkan dengan motor, berkata, “Tini, pergi ke gereja itu jangan hanya dilihat sebagai kewajiban dari orang tua kita. Mbak kemarin bertemu Frater yang mengatakan bahwa liturgi itu indah dan menarik kalau kita tahu makna sebenarnya.” Begitu nasihat Tanti, tetapi Tini tetap berwajah badmood, tidak semangat dan apatis. Tini berkata dalam hati, “Ah liturgi ya hanya begitu-begitu saja”.



3



Pandangan bahwa liturgi itu tidak menarik, hanya begitu-begitu saja, hanya rutinitas, dan seterusnya, sebagaimana dipikirkan Tini, merupakan pengalaman banyak orang. Apa yang dikatakan Tanti kepada Tini merupakan upaya yang baik untuk menyadarkan orang seperti Tini, agar kita merayakan liturgi dengan sukacita. Persis dalam rangka membantu kita untuk menemukan sukacita dalam berliturgi itulah, Paus Fransiskus menerbitkan Surat Apostolik Desiderio Desideravi mengenai formasio liturgi umat Allah pada tanggal 29 Juni 2022. Dengan kutipan awal dari Lukas 22:25 “Aku sangat rindu makan Paskah ini bersama-sama dengan kamu, sebelum Aku menderita,” Paus Fransiskus mengingatkan bahwa Tuhan Yesus sudah lebih dahulu merindukan untuk menjumpai kita dalam perayaan liturgi. Kita biasa sekali berpikir bahwa untuk dapat berliturgi dengan penuh semangat, kita harus merindukan Tuhan. Tentu itu betul, tetapi ternyata sebenarnya Tuhanlah yang telah lebih dulu rindu menjumpai kita. Itulah alasan sukacita kita berliturgi karena Tuhan selalu menunggu kita untuk datang kepada-Nya. Dengan datang kepada Tuhan yang telah merindukan kita itu, kita dapat tinggal dalam Kristus dan berbuah. Berkat persatuan kita dengan Kristus, kita akan dapat bersinergi dalam rangka mewujudkan bersama semua orang yang berkehendak baik bagi Indonesia yang damai.



4



Hari ke-3



KERINDUAN UNTUK BERJUMPA DENGAN TUHAN



Dalam pertemuan lingkungan atau dalam berbagai kesempatan lainnya, mungkin kita pernah mendengar ajakan seperti ini: “Bapak, ibu, saudara, saudari, dan adik-adik yang terkasih, kita mesti menumbuhkan kerinduan dalam diri untuk bisa berjumpa dengan Tuhan. Kerinduan ini menjadi syarat agar Tuhan berkenan hadir dan menjumpai kita. Apabila kita tidak merindukan-Nya, tidak akan mungkin terjadi perjumpaan antara kita dengan Tuhan. Ia menunggu sampai kita merindukan, mencari Dia dan berseru kepada-Nya.” Pernyataan seperti ini bisa jadi membuat kita gelisah karena menimbulkan pemikiran: “Sayalah yang mesti mencari Tuhan. Sayalah yang harus pertama-tama merindukan-Nya.” 5



Pernyataan di atas tidaklah keliru, tetapi juga tidak sepenuhnya tepat. Kita perlu mempersiapkan hati agar Tuhan dapat hadir dalam diri kita. Namun, kita harus ingat dan menyadari bahwa justru pertama-tama Tuhanlah yang merindukan dan ingin dekat dengan kita. Tuhan berinisiatif dan bergerak untuk mendekati kita. “Aku sangat rindu makan Paskah ini bersama-sama dengan kamu sebelum Aku menderita” (Luk. 22:15). Ayat Kitab Suci ini menunjukkan bahwa Tuhan Yesus memiliki kerinduan yang membara untuk memberikan diri-Nya kepada para murid dan kita semua. Yesus menampakkan kerinduan dan rencana keselamatan Allah sejak semula. “Dia merindukan kita jauh sebelum kita menanggapi undangan-Nya” (Desiderio Desideravi 6). Liturgi merupakan perayaan karya keselamatan Allah yang dilaksanakan oleh Yesus Kristus dalam Roh Kudus. Dalam liturgi, kita berjumpa dengan Allah yang sangat merindukan agar kita menanggapi undanganNya. Oleh karena itu, marilah kita menyadari rahmat yang dihadirkan di dalam liturgi. Marilah membangun sikap yang sesuai ketika terlibat di dalam liturgi yaitu menyambut dengan penuh syukur kerinduan Allah yang ingin dekat dengan kita.



6



Hari ke-4



EKARISTI: PUNCAK KERINDUAN DAN PEMBERIAN DIRI KRISTUS



Ada umat yang pernah mengungkapkan isi hatinya demikian: “Ada banyak sekali bentuk liturgi Gereja. Namun Ekaristi tampaknya paling banyak diberi perhatian oleh paroki, lingkungan, dan umat. Banyak peristiwa penting sehari-hari disyukuri dan dimohon dalam Perayaan Ekaristi. Saudara atau saudari yang meninggal, juga didoakan dalam Misa peringatan arwah. Kelahiran anak, kelulusan kuliah, kesembuhan, atau ulang tahun perkawinan, juga didoakan dalam Perayaan Ekaristi. Jadi, apa-apa dikaitkan dan dihadirkan di dalam Perayaan Ekaristi. Namun saya sendiri belum mengerti 7



mengapa Ekaristi mendapatkan tempat yang penting dan bahkan pokok dalam kehidupan umat beriman.” Ungkapan dari salah satu umat tersebut bisa jadi juga merupakan pengalaman dan pertanyaan kita. Mari kita belajar dari apa yang disampaikan oleh Desiderio Desideravi terkait dengan Ekaristi. Kerinduan Allah untuk dekat dengan umat manusia dan karya keselamatanNya, dilaksanakan oleh Yesus Kristus dalam Roh Kudus. Karya keselamatan ini berpuncak pada peristiwa Paskah yang meliputi sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus Kristus. Yesus mengurbankan diri-Nya demi manusia. Pengurbanan diri Yesus dalam peristiwa Paskah ini, kini dihadirkan dan kita terima secara aktual dalam Perayaan Ekaristi. “Lakukan ini sebagai kenangan akan Daku.” Dikenangkan di sini artinya dihadirkan (bdk. Desiderio Desideravi 9). Marilah kita mensyukuri karya keselamatan Allah yang terlaksana dalam diri Yesus Kristus ini. Lewat pengurbanan-Nya yang meliputi sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus Kristus, kita ditebus. Dalam Ekaristi, pengurbanan diri Yesus Kristus ini secara istiwewa kita terima dalam rupa roti dan anggur. Dengan demikian, benar jika semua peristiwa hidup keseharian kita satukan dan persembahkan dalam Ekaristi.



8



Hari ke-5



LITURGI: TEMPAT PERJUMPA DENGAN KRISTUS



“Ahhh…. bosen online terus, videocall, telepon. Ayo ketemuan di kafe saja. Kita makan bersama di mall ini,” begitu ungkapan banyak anak muda. Memang, saat kita melakukan videocall dengan seseorang, kita bisa mendengar suaranya, bisa melihat wajahnya, tetapi tidak bisa bertemu langsung dengannya. Ada fasilitas videocall atau telepon, tetapi manusia belum puas bila belum bertemu langsung, menyentuh, berpegangan, berbicara, menatap mata, mendengar dan merasakan embusan napasnya. Inilah perjumpaan yang dirasakan lebih nyata. 9



Perjumpaan dua orang yang saling merindukan tentu akan berbeda dengan perjumpaan teman biasa. Makin ada kedekatan hati dan perasaan, perjumpaan itu akan makin kuat dirindukan dan dinanti-nantikan. Perjumpaan dengan penantian kuat itu selalu ada unsur lama dan baru. Dikatakan “lama” karena bertemu dengan orang yang sama; “baru”, karena waktu, tempat, penampilan, suasana, caranya baru. Perasaan rindu yang kuat membuat orang kreatif, mencari “jalan lain dan jalan baru”. Misa online jelas tidak cukup. Itu seperti halnya menonton atau videocall saja dengan Tuhan dan Rama yang memimpin. Bagaimana pun juga Misa yang diharapkan Gereja adalah Misa secara langsung di gereja, saat kita berjumpa dengan Tuhan secara sakramental, dalam rupa roti dan anggur, dan juga dengan semua saudara kita yang lain. Perjumpaan dengan saudara saudari seiman di gereja atau di kapel mampu menghadirkan Kristus dalam diri kita: meneguhkan, memberi semangat karena perjumpaan dan sapaan satu sama lain. Mungkin juga ketika kita berjalan menuju atau pulang dari gereja, kita bertemu Kristus yang hadir dalam diri tukang becak, ojek online, sopir online, pengemis di jalan, anak terlantar, orang jualan, dsb. Semua itu bisa memberikan pengalaman sapaan dan kehadiran Kristus bagi kita. Tunggu apa lagi. Mari, kita datang ke gereja lagi, merayakan Ekaristi.



10



Hari ke-6



MISTERI PASKAH: PUNCAK LITURGI DAN PERJUMPAAN DENGAN KRISTUS



Sebelum latihan misdinar untuk tugas Misa Perayaan Paskah, si kembar, Dhika dan Nanda, berdiskusi seru di meja pingpong pastoran: “Perayaan Natal itu lebih meriah dan menggembirakan, ya, Dhik,” kata Nanda, “Sementara itu, kalau kita tugas Paskah, suasananya sendu, perayaannya panjang dan lama. Kita juga susah menghafal bagian untuk tugas kita.” Dhika menimpali, “Makan-makannya juga sedikit kalau latihan persiapan Pekan Suci, karena suasananya puasa dan pantang selama 40 hari Masa Prapaskah.” 11



Apa yang disampaikan oleh Dhika dan Nanda ini kiranya mewakili ungkapan dan perasaan banyak umat dalam memahami liturgi, khususnya berkaitan dengan kemeriahan dan suasana yang terjadi. Padahal, inti semua perayaan liturgi adalah menghadirkan secara hic et nunc (di sini dan sekarang) Misteri Paskah, yaitu sengsara, wafat, dan kebangkitan Tuhan Yesus. Perayaan Natal yang biasa kita rayakan dengan meriah pun sebenarnya mengalir ke muara yang pokok, yaitu perayaan Misteri Paskah. Setiap perayaan liturgi, terutama sakramen-sakramen, selalu merupakan perayaan Misteri Paskah. Konstitusi Liturgi artikel 6 menyebutkan bahwa sejak Pentakosta, “Gereja tidak pernah lalai mengadakan pertemuan untuk merayakan Misteri Paska.” Semua perayaan sakramen dan liturgi selalu menghadirkan Misteri Paskah ini, sehingga dengan begitu umat beriman memperoleh anugerah karya penebusan Tuhan Yesus Kristus. Dalam Misteri Paskah, wafat dan kebangkitan Kristus, kita didamaikan dengan Allah Bapa dan ambil bagian dalam kehidupan ilahi-Nya berkat persekutuan dengan Roh Kudus. “Dalam Ekaristi dan semua sakramen kita mendapatkan jaminan akan kemungkinan berjumpa dengan Tuhan Yesus Kristus dan kuasa Misteri Paskah-Nya menjangkau kita” (Desiderio Desideravi 11).



12



Hari ke-7



GEREJA SEBAGAI SATU TUBUH: KRISTUSLAH KEPALA DAN KITA ANGGOTA-ANGGOTANYA



Pandemi Covid-19 yang sudah melandai memungkinkan umat merayakan ibadat, doa bersama, dan sakramensakramen dengan cara berkumpul bersama. Parokiparoki telah membuka pelayanan Perayaan Ekaristi mingguan dan harian. Kendati kehadiran umat belum begitu maksimal, umat yang mengikuti Perayaan Ekaristi mingguan sudah pulih seperti sebelum pandemi. Umat yang hadir dan berkumpul bersama dalam Perayaan Ekaristi ini merupakan perwujudan Gereja yang paling nyata. Gereja tidak hanya dimengerti sebagai bangunan 13



gedung, melainkan kesatuan Umat Allah yang berkumpul bersama. Oleh karena itu, ketika Perayaan Ekaristi dilakukan secara online, muncul banyak diskusi dan ketegangan. Sebab, Gereja yang sesungguhnya adalah saat Umat Allah berkumpul terlebih untuk merayakan sakramen. Umat yang berkumpul dan merayakan ibadat atau merayakan sakramen ini menampakkan Tubuh Mistik Kristus. Masing-masing pribadi yang berkumpul mendasarkan diri pada iman yang sama, yaitu Kristus. Kristus adalah Kepala dari Tubuh Mistik ini. Kristus selalu mendampingi Gereja-Nya terutama dalam kegiatankegiatan liturgis. Ia hadir dalam Kurban Ekaristi, baik dalam pribadi pelayan, “karena yang sekarang mempersembahkan diri melalui pelayanan imam sama saja dengan Dia yang ketika itu mengurbankan Diri di kayu salib, maupun terutama dalam (kedua) rupa Ekaristi. Dengan kekuatan-Nya, Ia hadir dalam Sakramensakramen sedemikian rupa. Akhirnya Ia hadir, sementara Gereja memohon dan bermazmur karena Ia sendiri berjanji: bila dua atau tiga orang berkumpul dalam namaKu, di situlah Aku berada di antara mereka” (SC 7). Dengan demikian, kebersamaan dan kesatuan umat yang berkumpul untuk berliturgi menjadi sangat bermakna. Bukan hanya bermakna sosial karena di situ orang-orang berkumpul, tetapi juga mempunyai makna ekklesial karena di situlah mewujud secara nyata kehadiran Gereja sebagai persekutuan umat beriman sekaligus kesatuan kita semua, sebagai Tubuh Mistik Kristus, dengan Kristus, Sang Kepala. 14



Hari ke-8



MERAYAKAN LITURGI SECARA PENUH, SADAR, DAN AKTIF



Sudah kurang lebih 6 bulan ini, Bambang merasa gelisah karena sudah beberapa kali mengikuti Perayaan Ekaristi dan merasa ampang serta tidak memperoleh sesuatu. Selidik punya selidik ternyata ia sering datang terlambat ketika mengikuti Perayaan Ekaristi. Pernah ia terlambat sampai 20 menit, pas bacaan Injil baru masuk gereja. Ketika merayakan Ekaristi, Bambang pun sering mengantuk karena malamnya begadang sampai subuh. Kadang, ia tidak sempat mandi, dan dengan pakaian 15



seadanya langsung ke gereja. Ya masuk akallah kalau Bambang selama ini merasa tidak memperoleh sesuatu dari Perayaan Ekaristi yang diikutinya karena ia tidak secara penuh, sadar, dan aktif dalam merayakannya. Gereja sangat mengharapkan agar setiap umat beriman ikut serta dalam perayaan-perayaan liturgi secara penuh, sadar, dan aktif (SC 14). Merayakan Ekaristi secara penuh berarti mengikuti Perayaan Ekaristi dari awal sampai akhir, dari lagu perarakan masuk sampai lagu perarakan keluar. Hati dan pikiran pun menyatu untuk Misa. Merayakan Ekaristi secara sadar artinya tahu, paham, dan mengerti apa yang dilakukan dan diucapkan, apa yang dilihat dan didengarnya. Mudahnya, kita mesti tahu, paham, dan mengerti maksudnya duduk, berdiri, berlutut, menyembah. Kita juga harus tahu artinya jawaban ‘amin’, ‘dan bersama rohmu’, ‘alleluia’. Merayakan Ekaristi secara aktif maksudnya kita mengikuti, berperan serta menurut bagiannya masing-masing, dan bukan menonton. Ikutlah menyanyi, di saat harus duduk, duduklah; di saat harus berdiri, berdirilah; di saat harus menjawab ‘amin’, ya jawablah ‘amin’. Bila kita sudah berusaha merayakan liturgi, khususnya Ekaristi secara penuh, sadar, dan aktif, ada harapan besar Perayaan Ekaristi akan berdaya makna, berdaya ubah, dan berdaya buah. “Tinggal dalam Kristus dan Berbuah” akan terwujud dengan mengupayakan Perayaan Ekaristi yang dirayakan secara penuh, sadar, dan aktif. Untuk semua itu perlu diadakan sekolah liturgi bagi seluruh umat secara berkelanjutan. 16



Hari ke-9



LITURGI BERPUSAT PADA ALLAH, BUKAN DIRI KITA SENDIRI



Suatu hari, Pak Petrus, Kabid Liturgi Paroki Santo Paulus Kwarasan, bersitegang dengan Rama Paroki perihal konsep Misa yang akan dilaksanakan di Hari Paroki. Rama Paroki ingin agar semua kebiasaaan dan adat di wilayahnya ditampilkan dalam Misa Hari Ulang Tahun Paroki yang akan dilaksanakan. Pak Kabid, tidak setuju karena jika dibuat demikian akan ada risiko dan bahaya bahwa Misa hanya akan menjadi ajang penampilan kelompok-kelompok. Perayaan liturgi, sebagaimana telah kita renungkan pada hari-hari sebelumnya, merupakan perjumpaan dengan Allah. Kardinal Robert Sarah, Prefek Kongregasi 17



Suci untuk Ibadat Ilahi dan Disiplin Sakramen Takhta Suci Vatikan (2014-2021), dalam Konferensi Liturgi Suci di London, 5 Juli 2016, mengatakan demikian: “Saya ingin menegaskan fakta yang sangat penting: Allah, dan bukan manusia, yang menjadi pusat liturgi Katolik. Kita datang untuk menyembah Dia. Liturgi bukan tentang Anda dan saya; liturgi bukanlah tempat kita merayakan identitas kita, atau pencapaian, ataupun pemuliaan, liturgi bukanlah tempat untuk mendukung budaya dan kebiasaan religius lokal kita. Liturgi, pertama dan terutama, adalah tentang Allah dan apa yang telah Dia lakukan bagi kita.” Seruan Bapa Suci Fransiskus dalam Desiderio Desideravi artikel 16 mengajak Gereja untuk menemukan kembali keindahan, kuasa, dan kebenaran Perayaan Liturgi. Umat diajak untuk menjaga kemurnian liturgi dari kepentingan-kepentingan tertentu yang malah justru memerosotkan nilai dasariah liturgi itu sendiri sebagaimana diuraikan Kardinal Sarah.



18



Hari ke-10



LITURGI MEMBEBASKAN KITA DARI SELERA DAN KEPENTINGAN PRIBADI



Yohanes dan Yakobus suatu saat berdiskusi tentang Perayaan Ekaristi. Bagi Yohanes, Perayaan Ekaristi terlalu kaku dan monoton. Lagu-lagunya juga kurang njamani. Menurutnya, Ekaristi saat ini sama sekali tidak memenuhi seleranya sebagai anak muda yang sangat menyukai dangdut dan campursari. Yakobus, yang baru saja membaca Desiderio Desideravi menjelaskan bahwa liturgi “bukanlah tindakan individu tetapi tindakan



19



Gereja Kristus, tindakan keseluruhan umat beriman yang bersatu dalam Kristus” (no. 19). Memang, dewasa ini sering muncul adanya godaan berbahaya yang oleh Paus Fransiskus disebut sebagai gnostisisme yang mereduksi iman menjadi subjektivisme yang “pada akhirnya membuat seseorang terpenjara dalam pikiran dan perasaannya sendiri” (EG 94). Kalau tidak hati-hati, kehidupan rohani dan liturgi pun bisa dirasuki oleh racun gnostisisme ini. Orang berliturgi dan menghayati hidup rohani hanya untuk memenuhi selera pribadi. Bahkan, ada yang bersembunyi di balik penampilan kesalehan dan kasih pada Gereja bukan untuk mencari kemuliaan Allah, melainkan kemuliaan dan kesejahteraan pribadi, sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Farisi (Yoh. 5:44). Berhadapan dengan gnostisisme ini, perayaan liturgi diharapkan mampu membebaskan kita dari penjara selera dan kepentingan pribadi. Sebab, tindakan liturgi bukanlah tindakan individu tetapi tindakan Gereja Kristus, tindakan keseluruhan umat beriman yang bersatu dalam Kristus. Liturgi tidak mengatakan “aku” tetapi “kita”. Liturgi tidak meninggalkan kita sendirian untuk mencari pengetahuan individu tentang misteri Allah. Sebaliknya, liturgi membawa kita dengan tangan, bersama-sama, sebagai satu persekutuan, untuk membawa kita jauh ke dalam misteri yang diungkapkan oleh Sabda dan tanda-tanda sakramental kepada kita.



20



Hari ke-11



LITURGI MERAYAKAN KESELAMATAN SEBAGAI KARYA ALLAH



Para rohaniwan, biarawan, dan biarawati yang sedang menjalankan tugas belajar di Roma sering kali berdiskusi tentang keprihatinan yang mereka alami. Mereka melihat gereja-gereja yang makin sepi. Banyak orang, baik tua maupun muda, tidak peduli lagi dengan Tuhan. Mereka menduga bahwa saat ini, makin banyak orang yang merasa tidak membutuhkan Tuhan. Mereka merasa cukup dengan kemampuan sendiri. Dengan belajar sungguh, mereka bisa lulus dengan hasil baik. Dengan bekerja tekun, mereka bisa mencukupi kebutuhan hidup. 21



Diskusi tersebut menggambarkan situasi dunia saat ini yang oleh Paus diidentifikasi telah terkena racun neopelagianisme. Racun ini membuat orang hanya mengandalkan diri sendiri, percaya pada kekuatan mereka sendiri, dan merasa lebih unggul daripada yang lain. Mereka juga meyakini bahwa keselamatan pun dapat diperoleh melalui usaha sendiri. Akibatnya, orang menjadi tidak peduli lagi pada Tuhan dan sesama. Jika neo-pelagianisme memabukkan kita dengan anggapan bahwa keselamatan dapat diperoleh melalui usaha kita sendiri, perayaan liturgi memurnikan kita dengan menyatakan bahwa keselamatan adalah karunia yang diterima dalam iman. Keikutsertaan kita dalam Kurban Ekaristi bukanlah pencapaian kita sendiri, seolah-olah karena itu kita bisa bermegah di hadapan Tuhan atau di hadapan saudara-saudara kita. Awal setiap perayaan mengingatkan kita akan “siapa saya”, meminta saya untuk mengakui dosa saya dan mengundang saya untuk memohon kepada Santa Maria yang selalu perawan, para malaikat dan orang-orang kudus, dan semua saudara dan saudari saya untuk berdoa bagi saya kepada Tuhan, Allah kita. Tentu saja, kita tidak layak untuk memasuki rumah-Nya; kita membutuhkan rahmat-Nya untuk diselamatkan (Mat. 8:8). Oleh karena itu, kita mesti bersikap rendah hati di hadapan Tuhan dan sesama.



22



Hari ke-12



LITURGI MEMBEBASKAN KITA DARI KEDUNIAWIAN ROHANI



Pujian dan tepuk tangan umat membahana dalam Misa Natal kala itu sebagai bentuk apresiasi kepada Panitia Natal Paroki Santo Thomas Sukamulya. Perayaan Natal diselenggarakan secara meriah dan megah. Tata dekorasi spektakuler, petugas liturgi cekatan, terlebih kor yang mengiringi Misa dengan lagu-lagu berbahasa Inggris dan Latin. Sayang dalam evaluasi pertanggungjawaban Panitia Natal tersebut, 50% lebih biaya Perayaan Natal dihabiskan untuk kebutuhan konsumsi, 30% untuk keperluan liturgi, dan 20% untuk sewa perlengkapan dan biaya keamanan. Yang memprihatinkan: tidak ada 23



dana sedikit pun yang disisihkan untuk aksi sosial/aksi peduli bagi yang menderita. Bagaimana ini? Liturgi merupakan perayaan iman akan Tuhan yang telah membebaskan kita dari belenggu dosa melalui kurban salib-Nya sebagai wujud kasih-Nya yang paling besar. Justru karena liturgi itu merupakan perayaan kasih Tuhan, liturgi selalu mendorong dengan sendirinya perwujudan kasih kepada sesama, khususnya yang menderita. Perayaan liturgi yang meriah mestinya mendorong pada aksi kasih yang konkret secara sosial. Dalam Dokumen Desiderio Desideravi 17-20, Paus Fransiskus menyatakan liturgi sebagai penawar racun keduniawian rohani. Dengan berliturgi, manusia dihindarkan dari bayang-bayang subjektivisme yang meng agungkan diri, ataupun neo-pelagianisme yang beranggapan bahwa keselamatan diperoleh melalui usaha manusia belaka. Liturgi bukanlah pencarian keindahan ritual dengan taat pada ritus atau merusak keindahan liturgi dengan kreativitas yang berlebihan. Untuk itu dibutuhkan sebuah formasio liturgi bagi semua lapisan dalam Gereja, baik para imam, calon imam, maupun semua umat Allah.



24



Hari ke-13



LITURGI SEBAGAI PELAKSANAAN TUGAS IMAMAT KRISTUS



“Bimo..., Bimo, ayo ke gereja, ikut Misa!” teriak Devian memanggil temannya. Bimo pun keluar dari rumahnya dan menemui Devian. “Dev, aku tidak ikut Misa dulu dech, …rasanya males!” Jawab Devian, “Lah, kamu kayaknya sudah satu bulan ini tidak Misa, lho, Bim, ada apa denganmu? Padahal kamu kan juara dalam Tarcisius Cup Misdinar kemarin!” “Entahlah, Dev, aku merasa males saja,” kilah Bimo. Sahut Devian, “Aduh Bimo, kamu tuh yang paling jago menghafal tugas-tugas misdinar, paling jago menghafal nama-nama peralatan misa dan buku-buku misa, mengapa kamu begitu, Bim?” 25



Apa yang dialami Bimo barangkali juga dialami oleh sebagian remaja atau orang muda Katolik zaman ini. Kehilangan rasa kagum terhadap apa yang kita rayakan dalam Ekaristi. Bisa jadi sebagian bisa menghafal tata urutan Misa, tahu mengenai warna liturgi, buku misanya yang mana, tapi semua itu hanya dipandang sebagai upacara belaka. Ritual yang dilakukan tanpa penghayatan makna. Upacara yang hanya dilakukan demi memenuhi hukum kewajiban belaka. Bapa Suci Fransiskus menegaskan bahwa setiap hari kita dipanggil untuk menemukan kembali keindahan dan kebenaran perayaan Kristiani yang kita rayakan (Desiderio Desideravi 21). Perayaan Liturgi bukanlah sekadar ritus atau upacara, tetapi merupakan perayaan iman yang dengan banyak simbol ingin mewartakan tindakan Kristus atas seluruh kehidupan kita. Paus mengutip Konstitusi Liturgi artikel 7 yang menegaskan kehadiran Kristus yang istimewa dalam setiap perayaan liturgi. Dengan demikian, kita harus melihat setiap perayaan liturgi dengan penuh kekaguman agar Roh Kudus, yang membenamkan kita ke dalam Misteri Paskah, mengubah setiap dimensi kehidupan kita dan membuat kita makin serupa dengan Kristus. Kita menjadi “kristus-kristus” lain yang hadir pada zaman ini. Dengan demikian, dalam pendampingan orang muda atau remaja pun jangan hanya berhenti pada hafalan-hafalan tentang pernak-pernik liturgi semata, tetapi harus sampai kepada makna dan penghayatan terhadap apa yang kita rayakan.



26



Hari ke-14



MENGAGUMI KEINDAHAN LITURGI



Pada suatu hari Giovanni dan teman-teman OMK diminta bertugas kor dalam Misa Pernikahan Ketua OMK paroki mereka. Pernikahan dirayakan di sebuah kapel kecil yang sangat antik dan indah. Kapel itu dibangun pada zaman Belanda. Tanpa pengeras suara (mikrofon) di tempat kor, suara mereka sudah terdengar keras dan bagus. Tata ruang kapel itu sangat bagus. Kursi kapel itu sangat nyaman dan ada tempat untuk berlutut yang empuk. “Wow, kapelnya bagus sekali. Tata akustiknya sangat baik. Kursinya juga nyaman, entah untuk duduk ataupun 27



berlutut,” ujar Giovanni seusai Misa selesai. “Iya, ya. Lantainya juga masih asli. Keramiknya indah. Ornamen kapel juga bagus,” tambah Maria, pacarnya. “Menikah di sini kayaknya asyik. Bagaimana jika kita menikah tahun depan di kapel sini saja?” tanya Giovanni kepada Maria. Maria pun menganggukkan kepala sebagai tanda setuju. Sejak awal mula Gereja Katolik sangat menjunjung tinggi keindahan dalam berliturgi. Keindahan dapat membawa orang untuk beriman kepada Allah. Ada begitu banyak sarana dan cara yang dikembangkan untuk membantu umat dalam beribadah dan memuji Allah. Uskup Auxilier Los Angeles (USA), Mgr. Robert Barron pernah mengungkapkan, “Keindahan berperan besar pada iman, baik keindahan gedung gereja, keindahan gambar suci, keindahan seni religius, keindahan liturgi, maupun keindahan nyanyian.” Demikian pula, Paus Fransiskus dalam Desiderio Desideravi mengajak kita semua untuk menemukan kembali keindahan Liturgi Gereja (no. 22). Keindahan yang ada perlu dijaga, dirawat, dan dihidupkan terusmenerus dengan cara-cara yang kreatif pada zaman sekarang ini. Dengan tegas, Beliau mengajak, “Mari kita perjelas di sini: setiap aspek perayaan harus dijaga dengan hati-hati (ruang, waktu, gerak tubuh, kata-kata, perlengkapan liturgi, busana, lagu, musik…) dan setiap rubrik yang harus menjadi hak umat; yaitu, Misteri Paskah dirayakan menurut ritual yang ditetapkan Gereja” (no. 23).



28



Hari ke-15



KEKAGUMAN PADA MISTERI PASKAH



Dewi yang masih duduk di kelas IV SD dan sudah mendaftarkan untuk mengikuti pelajaran Komuni Pertama, bertanya pada Pak Budi, bapaknya, “Pak, sesudah bunyi gong itu (maksudnya konsekrasi), kok Rama selalu menyanyikan ‘Agunglah misteri iman kita…’. Kenapa sih, Pak?” Pak Budi menjelaskan dengan sabar, “Itu namanya nyanyian aklamasi anamnese. Mengenangkan wafat, kebangkitan, dan kedatangan Tuhan Yesus.” “Lho kok dikenangkan, memang kayak 29



ulang tahunku, Pak?” tanya Dewi. “Oh lebih dari itu. Itunya namanya mengenangkan Misteri Paskah, artinya Misteri Paskah itu hadir saat Misa itu.” Pembicaraan Dewi dan bapaknya merupakan bentuk katekese yang bagus untuk menarik pada kekaguman akan Misteri Paskah. Paus Fransiskus berkata, “Keajaiban pada rencana keselamatan Allah yang telah dinyatakan pada kita dalam tindakan Paskah Yesus (lih. Ef. 1:314), dan kuasa tindakan paskah ini terus menjangkau kita dalam perayaan ‘misteri’ sakramen” (Desiderio Desideravi 25). Berhadapan dengan keagungan Misteri Paskah, Paus mengajak kita untuk terus-menerus menumbuhkan kekaguman yang tepat, yang mengantar kita untuk merasakan dan mengalami kehadiran Tuhan yang menyelamatkan. Melalui kenangan akan Misteri Paskah yang kita rayakan dengan penuh kekaguman, kita sungguh-sungguh mengalami Kristus yang hadir dan menyelamatkan. Kehadiran Kristus dan karya penyelamatan-Nya itu, dalam liturgi, tampak dalam aneka macam simbol. Oleh karena itu, Paus juga mengajak kita untuk menumbuhkan kekaguman pada aneka macam simbol liturgi: “Kekaguman adalah bagian yang esensial dari tindakan liturgi karena merupakan sikap orang-orang yang tahu akan kekhasan tata gerak simbolis, sesuatu yang menakjubkan bagi mereka yang mengalami kekuatan simbol, yang tidak sekadar mengacu pada konsep abstrak melainkan berkaitan dengan mengungkapkan maknanya secara lebih konkret” (Desiderio Desideravi 26). 30



Hari ke-16



MENGAGUMI DENGAN SEDERHANA



Di aula pastoran, seorang Rama sedang ngobrol dengan beberapa orang muda Katolik. Salah satu yang mereka bahas adalah Ekaristi. Rama tersebut menanyakan, bagian Ekaristi mana yang paling menyentuh mereka? Krisna, salah seorang dari mereka, menjawab, “Rama, saya selalu kagum dan tersentuh, saat mendaraskan doa Persiapan Komuni. Ada rasa yang berbeda di hati. Saya merasa berdosa dan tidak pantas, tetapi Tuhan tetap rela datang kepada saya.” Kata-kata doa, “Tuhan, saya tidak pantas Engkau datang kepada saya, tetapi bersabdalah saja, maka saya akan sembuh,” bagi Krisna tidak hanya



31



menyentuh, tetapi juga sering terngiang saat doa-doa pribadi, waktu sendiri, dan setelah Ekaristi selesai. Rasa tersentuh dan kagum yang dirasakan Krisna dapat dimaknai sebagai kekaguman di hadapan Misteri Paskah. Ia membuka hati kepada Yesus yang hadir dalam rupa Hosti Suci. Kata-kata sederhana tersebut menghadirkan misteri iman yang teramat agung. Dalam Desiderio Desideravi artikel 26, Paus Fransiskus mengatakan bahwa, “Kekaguman adalah bagian esensial dari tindakan liturgi karena merupakan sikap orangorang yang tahu akan kekhasan tata gerak simbolis, sesuatu yang menakjubkan bagi mereka yang mengalami kekuatan simbol.” Kekaguman menjadi pintu pembuka bagi rahmat yang tercurah dan membuahkan pemaknaan akan hidup yang lebih mendalam dan nyata. Untuk menerima rahmat tersebut, kita diajak menjadi pribadi yang sederhana. Kita meninggalkan prasangka, rasa bebal, dan keras hati. Saat kita hadir dengan hati yang tulus dan jujur, Tuhan menyapa kita lewat sabda, simbol, dan tata gerak dalam Liturgi. Kesederhanaan hati menjadi gerbang bagi kata-kata sederhana dalam Ekaristi menjadi Rahmat yang luar biasa bagi hidup dan perutusan kita.



32



Hari ke-17



MEMAHAMI SIMBOL DALAM LITURGI



Keluarga Pak Joko selalu berangkat ke gereja bersamasama. Hari itu mereka duduk di baris depan sesuai arahan petugas tata laksana. Dua anak Pak Joko, yang berusia 9 dan 14 tahun itu, duduk rapi diapit kedua orang tuanya. Si bungsu, Dora, tampak antusias memperhatikan semua hal yang dilihatnya. Dia tampak berbinar melihat lilin dalam korona adven yang menyala, warnanya ungu dan merah jambu. “Ma, Mama, lilinnya merah jambu kayak punya adik di rumah,” Dora berbisik kepada ibunya yang tersenyum lalu mengangguk. 33



Misa dimulai, anak-anak mengikuti dengan riang, ikut berdoa dan menyanyi sebisanya. Sampai pada saat persembahan, Doni melihat Rama mencuci tangan dan mengelapnya dengan kain. “Yah, Ayah, itu kenapa Rama cuci tangan lagi di altar? Dan nyucinya kok cuma mencelupkan jari di mangkok kayak begitu, bagaimana bisa bersih?” Ayahnya berbisik, “Iya, itu beda sama cuci tangan kita tadi. Rama mencuci tangan sebagai simbol membersihkan diri dari dosa, agar layak mempersembahkan Tubuh Darah Kristus.” Doni mengangguk paham, “O, begitu, ya, Yah.” Liturgi memang penuh dengan simbol. Bahkan, salah satu ciri liturgi adalah bersifat simbolis. Meskipun ada banyak simbol ditampilkan yang bisa dipahami dengan mudah, tetapi tidak semua pemahaman kita benar, terkadang kita hanya menebak-nebak saja karena mirip dengan kebiasaan kita sehari-hari, seperti lilin merah jambu, atau Rama mencuci tangan tadi. Karena itu, kita perlu mengerti dengan sungguh makna setiap simbol yang ditampilkan agar kita dapat memaknai setiap peristiwa dalam peribadatan liturgi secara benar (Desiderio Desideravi 26). Dalam Ekaristi, semua simbol yang digunakan merujuk pada kenangan akan Perjamuan Paskah ketika Yesus hadir memberikan diri-Nya demi keselamatan manusia. Kita diajak untuk peka melihat, merasakan, dan memaknai simbol yang ada, agar semua itu memberikan peneguhan serta menambah iman kita akan misteri Allah sendiri.



34



Hari ke-18



TANDA SALIB: SIMBOL PENYERTAAN TUHAN



Setelah mencetak gol ke gawang kiper tim nasional Prancis pada gelaran Piala Dunia 2022, Lionel Messi membuat tanda salib lalu menengadahkan tangan ke atas. Di ajang olahraga lainnya, ada atlet yang membuat tanda salib seusai bertanding meski menelan kekalahan. Tanda salib bukan sekadar penanda identitas kekatolikan, melainkan keyakinan bahwa mereka tidak berjuang sendirian, tetapi dalam dan bersama Tuhan. Hari ini Gereja merayakan Hari Raya Kenaikan Tuhan. Namun, dengan naik ke surga, Tuhan tidak meninggalkan kita sendirian. Sesuai dengan janji-Nya, “Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” 35



(Mat 28:20), Ia selalu hadir dan menyertai kita. Bahkan, dengan naik ke surga, Yesus juga membawa kemanusiaan kita bersama-Nya. Sebab, ketika berinkarnasi, Ia mengenakan kemanusiaan kita, Ia menjadi sama dengan kita dalam segala hal, kecuali dalam hal dosa (Ibr. 4:15), dan sekali dikenakan, tidak pernah Ia tanggalkan lagi. Dengan berinkarnasi, Ia menjadi sungguh Allah dan singguh manusia. Demikian pula, ketika naik ke surga, Ia tidak menanggalkan kemanusiaan-Nya. Ia naik ke surga sebagai sungguh Allah dan sungguh manusia. Jadi, Tuhan sungguh-sungguh dan selalu bersama kita. Salah satu bentuk ungkapan iman akan penyertaan Tuhan adalah melalui tanda salib. Dalam tradisi liturgi, tanda salib merupakan pengungkapan iman akan salib Kristus yang membawa penebusan dan keselamatan. Melalui tanda salib, orang beriman diajak untuk mengenang baptisannya dan memohon perlindungan Kristus dari kuasa jahat. Kita patut bersyukur bahwa tradisi baik sudah dilakukan oleh para orang tua yang memberikan berkat tanda salib di dahi anak-anak mereka saat hendak pergi berkegiatan maupun memintakan berkat pada saat Misa bagi anak-anak yang belum menerima Komuni. Semoga kita makin disadarkan akan arti pentingnya membuat tanda salib dengan hormat dan pantas, bukan sekadar sebagai bahan konten di media sosial.



36



Hari ke-19



LITURGI MERUPAKAN TINDAKAN SELURUH GEREJA



Dalam suatu kesempatan Misa di lingkungan yang jauh dari paroki dengan umat yang sedikit, seorang umat bertanya kepada Rama demikian, “Rama, karena umatnya sedikit apakah bisa Misanya dipersingkat saja sehingga lebih cepat selesai?” Rama itu kemudian menjawab sambil tersenyum kecil, “Tidak ada yang namanya dalam pesta hajatan kita datang lalu tiba-tiba makan.” Semua lalu tertawa bersama. Sekeping cerita singkat ini menggambarkan salah satu situasi konkret bagaimana umat menghayati imannya melalui perayaan liturgi. Umat yang sedikit merupakan 37



salah satu potret gereja di pelosok. Terkadang situasi ini membuat umat cenderung menerima apa adanya dan tidak mencari apa yang benar dalam konteks liturgi dan pemahaman tentang Gereja itu sendiri. Yang penting bisa jalan saja itu sudah baik. Meskipun demikian, perlu untuk selalu disadari bahwa perayaan liturgi itu selalu sama. Artinya, entah perayaan itu dihadiri oleh umat yang sangat banyak, dipimpin oleh Uskup, dan diadakan di gereja Katedral yang megah, atau hanya dihadiri oleh sedikit umat, dipimpin oleh Rama Paroki desa, dan diadakan di rumah umat yang sangat sederhana, yang terjadi sama. Keduanya sama-sama mengenangkan Misteri Paskah, yaitu kurban salib dan kebangkitan Kristus yang mendatangkan keselamatan manusia. Oleh karena itu, entah perayaan itu meriah atau sederhana, semua harus dipersiapkan dan dihayati dengan cara yang sama. Tidak pernah dibenarkan bahwa karena hanya perayaan sederhana, maka disiapkan dan dihayati ala kadarnya saja, apalagi hanya mengikuti selera pribadi. Semua perayaan liturgi bukanlah tindakan individu, tetapi tindakan seluruh Gereja Kristus. Liturgi menjadikan kita sebagai satu persekutuan, baik persekutuan dengan sesama umat beriman maupun dengan Kristus.



38



Hari ke-20



LITURGI MELAHIRKAN HIDUP BARU



Selesai Misa pagi, Ibu Sri segera mencari Rama untuk bertanya, “Rama, mengapa Perayaan Ekaristi yang sekarang banyak berdirinya? Mengapa juga TPE kita harus berubah?” Rama Ignas, meski kaget diberondong pertanyaan-pertanyaan tersebut, mengajak Ibu Sri ke tempat yang teduh, dan sambil tersenyum menjelaskan makna dari sikap-sikap dalam liturgi serta perlunya kesatuan dalam hidup menggereja. Perayaan Ekaristi merupakan kekayaan Gereja yang hendak menunjukkan undangan kerinduan Allah kepada kita untuk datang kepada-Nya. Yesus mewariskan 39



Perjamuan Paskah sebagai tanda perjanjian baru dalam Tubuh dan Darah-Nya. Dalam misteri yang agung ini kita diundang menanggapi kesempatan perjumpaan dengan Allah melalui sikap-sikap, tata gerak, ucapan, dan nyanyian yang pantas. Liturgi yang dilakukan dengan baik sekaligus membentuk kita dalam memahami kedalaman makna akan cinta Allah kepada kita. Kita bukan lagi bergerak/ bersikap menurut selera/penghayatan pribadi, tetapi dalam kebersamaan satu Tubuh Mistik Kristus. Dalam setiap doa dan nyanyian kita menanggapi dan mengungkapkan rasa syukur atas karunia rahmat keselamatan dari Allah. Liturgi mendorong sikap hidup kita makin selaras dan dekat pada kehendak-Nya. Marilah kita makin menyadari setiap tata gerak dan doa yang kita buat dalam berliturgi, selalu mendorong kita untuk mewujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari. Perayaan Ekaristi terus-menerus mendorong pada kelahiran baru untuk sungguh-sungguh bertobat, mengampuni, dan menjadi pelaku sabda.



40



Hari ke-21



LITURGI MENGUNGKAPKAN JATI DIRI GEREJA



Seperti biasa, selesai Misa, Rama Paroki menjumpai umat untuk sekadar menyapa atau bercerita ke sana kemari. Ketika itu, ada salah satu umat yang bercerita, “Rama, ada lho umat di paroki kita ini yang memiliki kesulitan pendengaran. Mereka ini aktif ke gereja juga. Kira-kira, apa ya yang bisa kita buat untuk memberikan perhatian kepada mereka?” Rama tertegun dan merenung: Gereja seperti apa yang bisa mereka rasakan secara nyata dan konkret dalam liturgi? Hari ini kita merayakan Hari Minggu Komunikasi Sosial Sedunia ke-57. Gereja menghendaki agar semua 41



orang beriman dapat menggunakan media komunikasi secara tepat sehingga membangkitkan kesegaran iman umat dalam memperjuangkan keselamatan. Untuk membantu orang yang kurang pendengarannya itu, Rama Paroki di atas membagikan ringkasan homilinya melalui sosmed yang dikelola oleh Komsos Paroki. Melalui usaha kecil ini hendak ditampilkan sosok Gereja yang peduli dan sekaligus berbela rasa dengan situasi yang dialami oleh umat. Penggunaan media digital secara tepat dapat menjadi sarana “reformasi liturgi yang lahir dari Sacrosanctum Concilium, sebuah dokumen yang mengungkapkan realitas liturgi yang terkait erat dengan visi Gereja yang digambarkan secara mengagumkan dalam Lumen Gentium” (Desiderio Desideravi 31). Penggunaan yang tepat akan membawa umat sampai pada perjumpaan dengan Allah sendiri dalam liturgi. Sebaliknya, penggunaan yang asal-asalan dan meninggalkan rasa perasaan liturgi, justru akan mengalihkan pandangan umat dari puncak liturgi itu sendiri. Kemajuan media komunikasi tak terbendung. Mampukah kita memanfaatkannya menjadi sarana menghadirkan wajah Gereja melalui perayaan liturgi? Dibutuhkan usaha dan pembinaan terus-menerus agar melalui upaya-upaya ini Gereja tidak salah arah.



42



Hari ke-22



BERANI BERTANYA UNTUK MENDALAMI MAKNA LITURGI



Pak Bejo dan Bu Mela tampak sedang berdiskusi seru setelah bertugas sebagai prodiakon pada Misa pagi ini. “Saat konsekrasi, seharusnya kita menyembah Tuhan dengan tangan terkatup. Itu sudah tradisi sejak zaman saya kecil,” kata Pak Bejo. “Bukan begitu! Pokoknya saat konsekrasi, kita harus memandang Tubuh dan Darah Kristus yang diangkat oleh imam,” sanggah Bu Mela. Keduanya tidak sependapat mengenai tata gerak yang dilakukan ketika imam mengangkat Tubuh dan Darah Kristus saat konsekrasi. Pak Gembul yang sejak tadi memperhatikan perdebatan mereka pun bertanya, “Mengapa kita harus mengatupkan tangan atau 43



memandang Tubuh dan Darah Kristus saat konsekrasi? Apa maknanya bagi kita?” Kata ‘seharusnya’ atau ‘pokoknya’ kerap kali muncul dalam diskusi mengenai tata gerak liturgi di kalangan umat. Orang jatuh pada tindakan ritualistik yang tidak terpahami. Liturgi pun dipersempit hanya pada perkara tata gerak saja. Kita berdiri, berlutut, mengatupkan tangan, membungkuk, atau melakukan tata gerak liturgi tertentu tanpa kita pahami tujuan dan maknanya. Hanya sejumlah kecil orang yang mau bertanya mengenai makna yang terkandung di dalam tata gerak liturgi tertentu. Pengetahuan mengenai makna teologis liturgi tidak hanya menjadi konsumsi mereka yang secara khusus belajar mengenai liturgi, tetapi juga dapat diakses oleh setiap orang beriman. Harapannya, setiap orang beriman dapat tumbuh dalam pengetahuan tentang makna teologis liturgi (Desiderio Desideravi 35). Gereja sebagai Tubuh Kristus adalah subjek yang merayakan Misteri Paskah di dalam liturgi (Desiderio Desideravi 36). Pentinglah bagi kita sebagai umat beriman memiliki kerendahan hati anak kecil dan sikap terbuka bagi rasa kagum dalam menghayati liturgi (Desiderio Desideravi 38).



44



Hari ke-23



KITA DIBENTUK OLEH LITURGI YANG KITA RAYAKAN



Setahun terakhir ini, Pak Anton dan Bu Antik mengalami perubahan hidup yang luar biasa. Mereka menjadi lebih harmonis. Kalau sebelumnya cenderung sibuk sendiri-sendiri, kini mereka saling berbagi cerita dan pekerjaan. Mereka juga lebih murah hati untuk berbagi kepada tetangga dan sanak saudara yang membutuhkan. Mereka sudah bisa menerima kenyataan bahwa Tuhan belum menganugerahi momongan, tanpa kehilangan kasih sayang pada anak-anak. Dengan murah hati, mereka membantu biaya pendidikan bagi keponakankeponakan yang ada di kampung. Ketika ditanya, apa yang membuat mereka bersikap dan berbuat demikian, 45



mereka menjawab, “Kami diubah oleh Tuhan berkat Ekaristi yang kami rayakan setiap hari.” Dalam Desiderio Desideravi artikel 34, Paus Fransiskus mengharapkan agar kita tidak hanya mengalami formasio terhadap liturgi, artinya memperdalam pengetahuan kita tentang liturgi, tetapi juga mengalami formasio oleh liturgi, artinya dibentuk oleh liturgi yang kita rayakan. Paus menegaskan bahwa “Pengetahuan yang berasal dari studi hanyalah langkah awal untuk bisa masuk ke dalam misteri yang dirayakan,” (Desiderio Desideravi 36). Oleh karena itu, kepada para imam, Paus secara khusus mengingatkan pesan Bapa Uskup ketika mentahbiskan mereka untuk menjadikan hidup mereka selaras dengan misteri-misteri yang dirayakan. Hal yang sama juga berlaku bagi kita semua: kita mesti menyelaraskan hidup kita dengan misteri-misteri yang kita rayakan. Lex orandi, lex credendi, lex vivendi: apa yang kita doakan/rayakan, kita percayai, dan kita hidupi. Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa liturgi adalah sumber dan puncak seluruh kehidupan Kristiani (SC 10). Oleh karena itu, Paus Fransiskus menegaskan bahwa “Tidak ada aspek kehidupan gerejawi yang tidak menemukan puncak dan sumbernya dalam Liturgi,” (Desiderio Desideravi 37). Beliau juga mengutip ajaran Santo Leo Agung yang mengatakan, “Partisipasi kita dalam Tubuh dan Darah Kristus tidak memiliki tujuan lain selain membuat kita menjadi seperti yang kita makan” (Desiderio Desideravi 41).



46



Hari ke-24



LITURGI: PEMULIAAN ALLAH, KESELAMATAN KITA



Berbagai macam Perayaan Ekaristi dan liturgi lain membutuhkan persiapan. Persiapan itu tidak semuanya sama. Misalnya, persiapan yang dilakukan untuk Perayaan Ekaristi Penahbisan Uskup, tentu akan berbeda dengan Penahbisan Diakon atau Imam. Persiapan itu juga berbeda antara Misa Perkawinan Pesta Perak dan Pesta Emas; atau Misa Kaul Sementara dan Kaul Kekal. Begitu pula perlu persiapan khusus saat Misa Requiem bagi orang yang meninggal. 47



Apakah semua itu menambah kemuliaan Tuhan? Apakah Misa sederhana dan meriah akan mengubah rahmat Tuhan? Pakai paduan suara yang hebat atau tingkat lingkungan kecil; pakai dekorasi dengan bungabunga atau sekadar pot-pot tanaman: mengubah berkat Tuhan kah? Kiranya tidak! Yesus berkali-kali mengatakan, “Imanmu yang menyelamatkan.” Keterbukaan hati dan memberi waktu untuk mempersiapkan diri, akan berbeda bila kita datang tanpa persiapan, “asal datang,” atau menggenapi hukum Gereja saja. Namun, tidak dipungkiri bahwa suasana yang megah dan mengesan mampu menghadirkan Tuhan. Siapa yang hadir dan merayakannya bisa mengalami keagungan dan kemuliaan Tuhan melalui perayaan yang disiapkan dengan benar, baik, indah, dan meriah. Di sini unsur persiapan merupakan hal penting. Selain itu, kita yang hadir ikut ambil bagian secara sadar dan aktif (SC 14). Sadar artinya tahu apa yang kita buat; aktif artinya ikut terlibat. Lebih lanjut Konstitusi Liturgi artikel 14 menyebutkan: “Keikutsertaan seperti itu dituntut oleh liturgi sendiri, dan berdasarkan Baptis merupakan hak serta kewajiban umat kristiani sebagai 'bangsa terpilih, imamat rajawi, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri'” (1Ptr. 2:9; lih. 2:4-5). Mari kita berpartisipasi dalam liturgi dengan hati, memuliakan Tuhan dan keselamatan diri kita. Tuhan memberkati.



48



Hari ke-25



MERAWAT KEKAGUMAN DALAM LITURGI



Ketika mengikuti Misa hari Minggu di Paroki Santo Paulus, pasutri Bernard-Chandra merasa kewalahan menjawab pertanyaan-pertanyaan buah hati mereka yang masih berumur 3 tahun. “Pa, Ma, bajunya Rama lucu dan kayak superman, ya. Rama itu bisa terbang nggak, Ma?” tanya Andrew. “Iya, Dik, baju Rama itu namanya kasula. Rama nggak bisa terbang kayak superman,” jawab mamanya. Pada saat ritus tobat, Andrew bertanya lagi sambil mengusap wajahnya, “Wah seger ya, Ma. Tadi wajah adik kecipratan air dari Rama. Itu air apa ya, Ma, kok terasa asin?” “Itu tadi Rama memerciki kita 49



dengan air suci. Air suci itu air yang sudah dicampur dengan garam lalu diberkati,” papar mamanya. Dalam berliturgi kita memang perlu terus mengembangkan kekaguman kita. Kekaguman menjadi tanda awal yang sangat baik agar bisa mencintai dan menghayati liturgi dengan baik dan benar. Seperti semangat anak kecil, kita perlu memiliki sikap keterbukaan, kekaguman, dan ketaatan pada liturgi Gereja. Dalam liturgi Gereja ada banyak kekayaan simbol benda liturgi, tata gerak liturgi, pakaian liturgi, dsb. Paus Fransiskus mengingatkan kita semua mengenai pentingnya pendidikan atau katekese berliturgi kepada semua orang Katolik, mulai dari anak-anak sampai dengan orang lanjut usia (Desiderio Desideravi 47). Pendidikan liturgi diperlukan agar dapat diperoleh sikap batin yang memungkinkan kita menggunakan dan memahami simbol-simbol liturgi secara baik dan benar. “Tidak banyak wacana yang dibutuhkan di sini. Tidak perlu memahami segala sesuatu dalam gerakan itu. Yang dibutuhkan adalah menjadi seperti anak kecil, baik dalam menyerahkannya maupun dalam menerimanya. Selebihnya adalah pekerjaan Roh Kudus. Dengan cara ini kita diinisiasi ke dalam bahasa simbolik. Kita tidak bisa membiarkan diri kita dirampok dari kekayaan seperti itu. Saat tumbuh dewasa kita akan memiliki lebih banyak cara untuk dapat memahami, tetapi selalu dengan syarat tetap menjadi seperti anak kecil” (Desiderio Desideravi 47).



50



Hari ke-26



SENI MERAYAKAN IMAN



Setelah Ekaristi Malam Natal, seorang Rama menyapa dan ngobrol dengan umat di selasar gereja. Mereka saling mengucapkan Selamat Natal dan berbagi cerita. Salah seorang umat bertutur, “Rama, Ekaristi tadi sungguh menyentuh. Homili, kor, tata gerak petugas liturgi, dan dekorasi gereja sungguh dipersiapkan. Semua itu membuat saya makin khusyuk dalam berdoa. Saya merasakan nyaman dalam berdoa dan hati saya menjadi ayem.” Tak dimungkiri bahwa keindahan dan keagungan liturgi membawa umat makin mendalam dalam berdoa. Tata gerak, suara, dan seluruh jalannya Ekaristi, 51



membuat umat merasa betah, nyaman, dan berdoa secara mendalam. Umat makin mengalami perjumpaan dengan Yesus Kristus melalui Sakramen Ekaristi. Akan tetapi, jika Ekaristi dilakukan dengan asal-asalan, grusa­grusu, dan tidak indah; umat pun akan merasa makin menjauh dari kedekatan personal dengan Tuhan Yesus Kristus. Sebaliknya, umat malah menggerutu, mengeluh, dan tidak mendapatkan ketenteraman hati. Seni Merayakan (ars celebrandi) adalah salah satu cara untuk memelihara dan menumbuhkan pemahaman vital tentang simbol-simbol liturgi. Seni merayakan tidak dapat direduksi/dikurangi menjadi mekanisme rubrik, apalagi dianggap sebagai kreativitas fantasi, tanpa aturan. Ritus itu sendiri merupakan norma, dan norma tidak pernah menjadi tujuan itu sendiri, tetapi selalu melayani realitas yang lebih tinggi yang berarti melindungi (Desiderio Desideravi 48). Seni merayakan liturgi mencakup penghayatan rasa yang mendalam dan terlibat penuh dalam misteri iman yang dirayakan.



52



Hari ke-27



MENGHAYATI TATA GERAK DALAM LITURGI



Seorang ibu mengikuti Misa dengan wajah cemberut dan bersungut-sungut. Dengan berpegangan pada sandaran kursi di depannya, dia mengikuti tata gerak selama Misa. Ia berdiri dalam waktu cukup lama pada saat awal Misa dan Doa Syukur Agung. Pada saat konsekrasi, dia juga berlutut. Dia melihat ke sekelilingnya, dan di antara umat ada beberapa orang yang tetap duduk saat yang lain berdiri atau berlutut, dan mereka tampak tenang-tenang saja. Hal itu tentu membuatnya makin geram. Dia melihat 53



ke dalam teks panduan Misa yang ditaruh di kursi, lalu melihat adanya tulisan “Umat berdiri”, “Umat berlutut”. Dia menggeleng-gelengkan kepala seraya mengomel dalam hati, “Kenapa harus dituliskan kalau tidak ditaati? Kenapa sih semuanya perlu diatur-atur begitu?” Gereja, yaitu kita semua, adalah satu tubuh. Kita ini bagian dari Tubuh Kristus yang satu dengan seluruh umat yang lain. Oleh karena itu, ketika kita mengikuti peribadatan atau perayaan liturgi tertentu, ada ketentuan tata gerak yang perlu kita ikuti bersama-sama dengan umat lainnya. Bukan hanya tata gerak, tetapi juga tanggapan atas doa-doa, jawaban atas sapaan, dan sebagainya. Semua itu dituliskan dalam panduan dan disampaikan untuk dipahami dan dilaksanakan oleh semua umat tanpa kecuali. Mengikuti Perayaan Ekaristi dengan tertib dan teratur sesuai dengan tata gerak dan tanggapan yang direkomendasikan merupakan upaya kita untuk terlibat aktif dalam peristiwa mengenangkan perayaan Paska bersama Kristus. Dalam Desiderio Desideravi artikel 44 dikatakan bahwa keterlibatan kita dalam perayaan liturgi dengan melaksanakan tata gerak yang sesuai dan aktif menjawab sesuai tanggapan yang disediakan, merupakan wujud keterlibatan aktif yang menampakkan penerimaan dan kesiapan kita menerima kehadiran Kristus yang kita rayakan.



54



Hari ke-28



LITURGI DAN SEMANGAT PENTAKOSTA



Saat Misa pada Hari Raya Pentakosta, sesudah Bacaan Kedua dan sebelum Alleluia, terdengar suara merdu dari seorang solis yang menyanyikan Madah Pentakosta: “Datanglah Roh Ilahi, dan terangilah kami, dengan sinar surgawi. Datanglah sumber kasih, pelipur hati sedih, pencipta tanpa pamrih….” Itulah sepenggal Madah Pentakosta yang sungguh menyentuh hati dan kalbu. Dalam liturgi, hanya ada 3 perayaan yang memberi tempat ritus Sekuensia. Yang pertama adalah pada Perayaan Paskah Pagi yang disebut sebagai Madah Paskah (Victimae Paschali Laudes). Kemudian pada Hari 55



Raya Tubuh dan Darah Kristus, sering disebut sebagai Madah Ekaristi (Lauda Sion Salvatorem). Yang ketiga adalah Sekuensia Pentakosta yang sering disebut sebagai Madah Pentakosta (Veni Sancte Spiritu). Sekuensia Pentakosta memberi tempat yang kuat akan peranan Roh Kudus dalam perayaan iman Gereja. Tanpa Roh Kudus tidak ada perayaan iman. Adapun yang membuat kita mampu mengerti dan juga mengimani seluruh bagian perayaan liturgi adalah karena Roh Kudus. Keagungan dan keindahan liturgi hanya akan dirasakan dan dipahami kalau kita juga terbuka akan Roh Kudus. Roh Pentakosta yang membuat banyak orang yang lemah merasa dikuatkan dan dihibur, orang yang berkeras hati merasa dilunakkan dan dicairkan hatinya. Liturgi menjadi Pentakosta ketika yang gersang merasa disirami, yang luka hati juga dipulihkan. Pendek kata “hanya semangat Pentakosta-lah yang dapat memahami manusia sebagai pribadi, terbuka untuk hubungan penuh dengan Allah, dengan ciptaan, dan dengan saudara serta saudarinya (Desiderio Desideravi 33).



56



Hari ke-29



JIWA ARS CELEBRANDI



Miguel dan Wani adalah dua orang misdinar yang baru saja dilantik. Mereka masih perlu banyak berlatih sebelum bertugas. Miguel terbiasa berjalan cepat, sedangkan Wani cenderung berjalan lambat. Wani selalu ketinggalan langkah saat latihan perarakan. “Ayo, jalanlah lebih cepat!” kata Miguel kepada Wani. “Ah, jalannya jangan cepat-cepat. Kakiku nggak sepanjang kakimu!” kata Wani. Dengan bantuan pendamping misdinar, mereka terus berlatih demi lancarnya Perayaan Ekaristi. Para petugas liturgi yang baru perlu berlatih keras untuk menghafalkan tata gerak ataupun urutan yang ada



57



di dalam rubrik. Tujuannya adalah agar mereka dapat menjalankan tugas dengan baik dan perayaan liturgi yang sedemikian agung dapat berjalan dengan baik, benar, dan indah. Pergulatan para petugas liturgi baru kerap kali lebih pada hal-hal teknis: seberapa cepat misdinar berjalan, seberapa tinggi prodiakon mengangkat sibori, seberapa lebar imam merentangkan tangan, dsb. Perlu jam terbang agar gerak yang terasa mekanis itu dapat sungguh menjadi ekspresi dan menumbuhkan rasa di dalam hati. Paus Fransiskus, dalam Surat Apostolik Desiderio Desideravi artikel 32, mengungkapkan bahwa seni merayakan (ars celebrandi) bukanlah sesuatu yang dapat diimprovisasi menurut selera pribadi. Sebagaimana seni, ars celebrandi membutuhkan penerapan yang konsisten dan dedikasi yang terus-menerus, agar apa yang kita rayakan dapat menyampaikan seninya kepada kita. Ars celebrandi bukan hanya perkara teknis, tetapi juga mengandung inspirasi yang didapatkan melalui doa yang konsisten. Maka, marilah kita suka berdoa pribadi ataupun bersama setiap hari, apalagi sebelum bertugas, agar seluruh perayaan kita menjadi hidup dan tampak alami tetapi agung.



58



Hari ke-30



ARS CELEBRANDI DALAM GERAK TUBUH



Setelah selesai gladi bersih untuk Perayaan Pesta Pelindung Paroki ‘Hati Kudus Tuhan Yesus’, anakanak putra altar dan putri sakristi, juga para prodiakon masih seru membicarakan tata gerak yang dilatihkan oleh ceremoniarius. Kebanyakan anak tidak setuju dengan saat hening dan saat berlutut yang cukup lama, apalagi tidak mudah konsentrasi dalam tugas dengan begitu banyaknya petugas liturgi yang lalu lalang tanpa koordinasi. Tata gerak dalam perayaan liturgi tidak hanya berlaku bagi para petugas liturgi dengan imam yang memimpin perayaan. Seluruh umat juga mesti ikut serta 59



dalam seluruh tata gerak yang berlaku. Para petugas dan umat melakukan tata gerak tubuh sebagai ungkapan keindahan serta keagungan liturgi yang dirayakan. Ada saat umat berdiri seperti saat perarakan masuk semua petugas liturgi, saat Injil dibacakan, atau saat pernyataan Syahadat Iman Kepercayaan Katolik serta saat bagian Prefasi dalam Doa Syukur Agung. Ada kesempatan hening untuk menyadari kehadiran Tuhan dan meresapkan ungkapan pertobatan serta saat menyambut kehadiran-Nya baik dalam liturgi sabda maupun dalam penyambutan Komuni. Berlutut atau membungkuk hormat saat mendaraskan Syahadat pada bagian “yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria”. Menyerukan aklamasi sebelum dan sesudah Injil dengan lantang, juga aklamasi anamnese sebagai ungkapan kepercayaan akan misteri agung penyelamatan; wafat, kebangkitan Tuhan Yesus, serta kedatangan-Nya kembali yang dinantikan. Apabila umat bersama para petugas liturgi paham akan indahnya makna dari tata gerak itu, maka perayaan liturgi akan lebih bermakna dan membawa sukacita serta keindahan dalam merayakannya, bukan sekadar capai atau tidak suka.



60



Hari ke-31



ARS CELEBRANDI DALAM KATA



Suatu saat, Rama Barto harus merayakan Ekaristi dalam keadaan yang sangat capai karena padatnya acara. Pada Minggu pagi, ia telah memimpin Misa di kapel stasi yang cukup jauh. Sesudahnya, ia harus memimpin rapat Dewan Pastoral Paroki. Jam 15.00 dia juga harus memimpin Misa Pemberkatan Jenazah untuk umatnya di wilayah yang jauh. Maka, ketika jam 19.00 ia memimpin Misa di gereja paroki, ia sudah merasa sangat capai. Namun, ia tetap membawakan Misa dengan penuh semangat. Ia 61



tetap menghayati dengan sungguh-sungguh semua kata dan tindakan yang dibuat selama perayaan. Setiap kali memimpin Ekaristi, di satu sisi, para imam bertindak in persona Christi, menampilkan sabda dan tindakan Kristus sendiri. Namun di sisi lain, secara manusiawi mereka juga manusia biasa yang pasti mengalami kerapuhan seperti rasa bosan, jenuh, dan capai. Lalu bagaimana agar mereka tetap dapat menghayati Perayaan Ekaristi yang dipimpinnya? Paus Fransiskus, dalam Surat Apostolik Desiderio Desideravi artikel 60 menyatakan: “imam terus-menerus dibentuk oleh tindakan perayaan”. Beliau mengingatkan bahwa imam dibentuk dengan memimpin melalui kata-kata dan melalui gerakan yang diletakkan oleh liturgi pada bibir dan tangannya. Para imam, ketika memimpin Ekaristi, adalah sebuah tanda Kristus yang hadir di altar. Ia memiliki karisma yang mengalir dari rahmat imamat dan bersumber dari Pribadi Yesus Kristus sendiri. Oleh karena itu, semua tindakan, sikap, dan kata yang dibuat selama perayaan, dilakukan dengan penuh penghayatan, tidak boleh asalasalan. Imam dituntut menghadirkan ars celebrandi (keindahan dalam merayakan), termasuk dalam kata atau doa yang ia lambungkan.



62