Papdi Jilid 1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



BUKU AJAR ILMU PENYAKIT DALAM Edisi Kelirna Jilid I



1 Editor Aru W. Sudoyo Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Bambang Setiyohadi Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Marcellus Simadibrata K. Konsultan Gastroenterologi Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Siti Setiati Konsultan Geriatri Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Idrus Alwi Konsultan Kardiologi Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIIRSUPN-CM, Jakarta



InternaPublishing Pusat Penerbitan llmu Penvakit Dalarn Diponegoro 71 Jakarta pusat



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



Editor:



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi,Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati Editor Topik: Ari Fahrial Syam, Arif Mansjoer, Arina Widya Murni, C. Rinaldi Lesmana, Ceva W. Pitoyo, Dante Suksmono, Dyah Purnamasari, Erni J. Nelwan, Esthika Dewiasty, Hamzah Shatri, Ika Prasetya Wijaya, Ikhwan Rinaldi, Imam Effendi, M. Begawan Bestari, Nafrialdi, PN. Haryanto, Parlindungan Siregar, Purwita W. Laksmi, Rudy Hidayat, Ryan Ranitya, Sally A.Nasution, Teguh Ha rjono Ka rjadi, Tri Juli Edy Tarigan



Redaktur Pelaksana: Setting dan Layout: Design Cover:



Nia Kumiasih Edy Supardi, Nia Kurniasih, Sudiariandini S., Harry Haryanto, Zikri Anwar, Sandi Saputra Harry Haryanto



210 mm x 275 mm 30 + 933 halaman ISBN : 9 7 8 - 9 7 9 - 9 4 5 5 - 9 5 - b ( J i 1 i d ISBN : 9 7 8 - 9 7 9 - 9 4 5 5 - 9 b - 3 ( J i l i d



Lengkap)



I)



Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Sanksi Pelanggaran Pasal44 Undang -undang Nomor 12 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas undang-undang Nomor 6 Tahun 1987Tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Nomor 7 Tahun 1987. 1.



2.



Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000.00,(seratus juta rupiah) barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat(l), dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000.00,- (lima puluh juta rupiah)



Diterbitkan pertama kali oleh: InternaPublishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam J1. Diponegoro 71 Jakarta Pusat 10430 Telp. : 021-3193775 Faks. : 021-31903776 Email :[email protected] Cetakan Pertama November 2009 Cetakan Kedua Agustus 2010



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



, -



l$!Lvwt""qF *.py$$L>7



b$$~&$~~~@ (.y23.~ek



PENGANTAR TIM EDITOR



Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan, sehingga kami dapat menerbitkan revisi Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi ke-V. Buku ini merupakan penyempunaan buku edisi sebelumnya. Revisi selalu kami upayakan karena kami meyadari begitu cepatnya perkembangan tatalaksana di bidang ilmu Penyakit Dalam. Hal inilah yang membuat kami beke rja keras agar dapat menerbitkan buku yang dapat dijadikan andalan. Kami berhararap buku ini dabat dijadikan pintu masuk untuk mengembangkan diri menelusuri sumber-sumber ilmu pengetahuan kedokteran lebih lanjut. Buku ajar edisi ini mengalami perubahan hampir di semua bab. Perkembangan terbaru dalam 4 tahun terakhir telah menjadi bagian dalam buku ini. Pada proses revisi, dari 450 naskah terdapat 81 naskah yang direvisi. Seperti buku sebelumnya, buku ini juga berisi bab dasar-dasar ilmu penyakit dalam serta pendekatan holistiknya, ditambah pula kedokteran kegawatdaruratan (emergency medicine), genetika, biologi molekular, dan ilmu kedokteran adolesen dan kami menambahkan satu bab baru khusus untuk penatalaksanaan Nutrisi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Kami tim editor amat sadar karena keterbatasan yang kami miliki saat buku ini terbit, pasti telah terjadi penambahan informasi maupun pengetahuan yang tidak sempat dimuat. Untuk itu, para pembaca dipersilakan menelusuri kepustakaan yang telah dicantumkan sebagai bacaan anjuran di akhir setiap topik, dengan memegang asas l?lediciizeis a lifP-long study. Tim editor mengucapkan terima kasih kepada Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis



&&bb



&&u.



6.



Penyakit Dalam Indonesia (PB. PAPDI) yang tetap percaya memberlkan tugas terhormat ini, Juga kepada tim editor buku ajar sebelumnya yang telah bekerja keras merevisi buku ajar ini sehingga kita dapat memiliki Buku Ajar yang menjadi acuan di bidang ilmu kedokteran di seluruh Indonesia. Tim editor juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, para penulis dari seluruh negeri, sekretariat Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Jakarta, tim editor dan semua pihak yang telah rela meluangkan waktu menulis dan mengedit buku ini Kami sangat menyadari buku ini pasti tidak luput dari kesalahan-kesalahan, baik itu berupa salah ketik, kesalahan dalam bahasa maupun tata letak. Pada kesempatan ini tim editor memohon maaf kepada para penulis maupun pembaca. Masukan, kritik dan saran akan kami jadikan cambuk supaya kami dapat menerbitkan buku ajar ini kearah yang lebih baik. Insya Allah.. ... Sebagai kata akhir, perkenankan kami juga mengucapkan penghargaan kami kepada semua mahasiswa fakultas kedokteran di Indonesia yang dengan kepercayaan merupakan motivator serta pendorong semangat bagi kami unfxk menyelesaikan buku ajar ini sebaik mungkin. Tanpa kalian, mahasiswa di seluruh Indonesia, buku ini tidak akan menjadi seperti sekarang ini. Semoga persembahan para anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia bagi masyarakat kedokteran dapat lebih menerangi dunia ilmu kedokteran di negara ini untuk Indonesia yang lebih maju lagi.



Jakarta, Nopember 2009 Tim Editor



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Assalamu'alaikum wr. wb. Sejawat Yang Terhormat. Kita bersama mengucapkan syukur pada Tuhan YME bahwa Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ini telah mencapai cetakan yang kelima, sehingga buku yang telah banyak dibaca ini senantiasa diremajakan dan tetap populer. Ada beberapa makna dari keberadaan buku ini yang saya ingin garis bawahi, yaitu 1)Ilmu Penyakit Dalam masih tetap utuh dengan semua subdisiplin yang bernaung di bawahnya, yaitu Alergi dan Imunologi, Gastroenterologi, Geriatri, Ginjal dan Hipertensi, Hematologi dan Onkologi, Hepatobilier, Kardiologi, Metabolik dan Endokrin, Pulmonologi, Psikosomatik, Reumatologi dan Penyakit Tropik dan Infeksi. Pendekatan holistik yang menjadi falsafah dasar cabang utama dan tertua Ilmu Kedokteran ini menjadi landasan bagi semua cabang-caban g ilmu kedokteran lainnya, dan untuk Indonesia ha1 ini menjadi lebih penting karena luasnya wilayah serta besarnya populasi yang harus dijangkau. Hal lain adalah 2) keterlibatan dan partisipasi begitu banyaknya anggota Perhimpunan Dokter Spersialis Penyakit Dalam (PAPDI) dalam penulisan buku ini, sesuatu yang membahagiakan bagi setiap pengurusnya, karena menunjukkan tidak hanya kebersamaan tetapi juga suatu tekad besar untuk be rjalan bersama.



Para penulis Buku Ajar Penyakit Dalam ini adalah para anggota PAPDI dari seluruh Indonesia yang ditunjuk tim editor dan telah meluangkan waktunya di samping kesibukan masing-masing. Tidaklah mudah untuk menyusun suatu makalah yang akan digunakan sebagai referensi oleh calon-calon dokter dan spesialis, dan tidak ringan bagi para editor untuk mengirim kritik serta saran dalam perjalanan merealsisasikan buku ajar ini. Untuk itu saya sebagai Ketua Umum menyampaikan apresiasi serta terima kasih yang sebesar-besarnya. Saya yakin buku ini dapat menjadi referensi yang baik bagi para dokter, baik mahasiswa kedokteran, dokter umum, calon Dokter SpesialisPenyakit Dalam maupun dokter dari keahlian lainnya. Dengan membaca buku ajar ini diharapkan kemampuan sejawat meningkat baik dalam teori maupun keterampilan sehingga pelayanan pada pasien pun akan meningkat kualitasnya. Sekali lagi saya mengucapkan selamat atas terbitnya buku ajar cetakan kelima ini, semoga Allah SWT meberikan rahmatNya pada kita semua. Amin.



Jakarta, Nopember 2009



Ketua DR. dr. Aru W Sudoyo, SpPD-KHOM, FACP



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Prof. DR. Dr. A Harryanto Reksodiputro, Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi H e m a t o l o g i - O n k o l o g i M e d i k D e p a r t e m e n Ilmu P e n y a k i t D a l a m FKUI/RSUPN-CM, J a k a r t a



Dr. Agus S.Waspodo, Sp.PD K o n s u l t a n Gastroenterologi-Hepatologi Divisi H e p a t o l o g i D e p a r t e m e n I l m u P e n y a k i t Dalam FKUI/RSUPN-CM, J a k a r t a



Dr. A. Madjid, Sp.PD Konsultan Kardiovaskular, Bagian Fisiologi FK. USU/RSUP. Dr. P r i n g a d i M e d a n



Prof. Dr. Agus Tessy, Sp.PD K o n s u l t a n Ginjal H i p e r t e n s i S u b b a g i a n Ginjal H i p e r t e n s i Bagian I l m u P e n y a k i t D a l a m FK UNHAS/ RS. W a h i d i n S u d i r o h u s o d o , M a k a s s a r .



Dr. A. Muin Rachrnan, Sp.PD Konsultan Kardivaskular Divisi K a r d i o l o g i D e p a r t e m e n I l m u P e n y a k i t D a l a m FKUI/RSUPN-CM, J a k a r t a



Prof. Dr. H. Ahrnad A Asdie, Sp.PD Konsultan Endokrinologi Metabolik d a n Diabetes Bagian I l m u Penyakit Dalam FK UGM/RSU Dr. S a r d j i t o , Yogyakarta



Dr. A. Sanusi Tarnbunan, Sp.PD Konsultan Reumatologi Divisi R e u m a t o l o g i D e p a r t e m e n I l m u Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, J a k a r t a



Dr. Ahrnad Fauzi, Sp.PD Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, J a k a r t a



Prof. Dr. H. A.Aziz Rani, Sp.PD K o n s u l t a n G a s t r o e n t e r o l o g i H e p a t o l o g i Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIIRSUPN-CM, J a k a r t a



Dr. Ahmad Rasyid, Sp.PD K o n s u l t a n P u l m o n o l o g i , Bagian I l m u P e n y a k i t Dalam FK UNSRI/RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang



Dr. A.Nurrnan, Ph.D,Sp.PD K o n s u l t a n Gastroenterologi-Hepatologi D e p a r t e m e n I l m u P e n y a k i t D a l a m RSAL M i n t o h a r j o , J a k a r t a



Dr. Aida Lydia, Sp.PD K o n s u l t a n Ginjal H i p e r t e n s i D i v i s i Ginjal H i p e r t e n s i D e p a r t e m e n I l m u P e n y a k i t DalamFKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Prof. Dr. A.R.Nasution, Sp.PD Konsultan Reumatologi Divisi R e u m a t o l o g i D e p a r t e m e n I l m u Penyakit Dalam FKUIIRSUPN-CM, J a k a r t a



Dr. H. Akmal Sya'roni,Sp.PD Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian I l m u P e n y a k i t D a l a m , FK UNSRI/ RSUP Dr. M o h . H o e s i n , P a l e m b a n g



Dr. Abdulmuthalib, Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi H e m a t o l o g i - O n k o l o g i Medik D e p a r t e m e n I l m u P e n y a k i t D a l a m FKUI/RSUPN-CM, J a k a r t a



Dr. Ali Djurnhana, Sp.PD K o n s u l t a n Gastroenterologi-Hepatologi, Bagian I l m u P e n y a k i t D a l a m FKUNPAD/RSUP. H a s a n S a d i k i n , Bandung



Dr. Adiwiyono, Sp.PD K o n s u l t a n H e m a t o l o g i - O n k o l o g i Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. S a r d j i t o Yogyakarta



Prof. Dr. Ali Ghani, Sp.PD Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi Bagian I l m u P e n y a k i t D a l a m FK UNSRI/RS Dr. Moh.Hoesin P a l e m b a n g



Dr. Agus P. Sarnbo, Sp.PD B a g i a n P e n y a k i t Dalam FK Univ. H a s a n u d d i n l RS. D r . W a h i d i n S u d i r o h u s o d o Makassar



Prof. Dr. H. Ali Sulaiman,Ph.D,Sp.PD K o n s u l t a n Gastroenterologi-Hepatologi Divisi H e p a t o l o g i D e p a r t e m e n I l m u P e n y a k i t D a l a m FKUI/ RSUPN-CM, J a k a r t a



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI vii



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Dr. Alwi Shihab, Sp.PD Konsultan Endokrinologi Metabolik d a n Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUNSRI/ RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang



Prof. DR. Dr.Askandar Tjokroprawiro, Sp.PD Konsultan Endokrinologi Metabolik d a n Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya



Dr. Alwlnsyah, Sp.PD Divisi Pulmonologi d a n Alergi-Imunologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUSU/ RSUP H. Adam Malik Medan



Prof.Dr.Asrnan Manaf,Sp.PD Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAND/ RS Dr. M. Djamil, Padang



Dr. Arnaylia Oehadian, Sp.PD Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/ RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung



Dr. Asril Bahar, Sp.PD Konsultan Pulmonologi-Konsultan Geriatri Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. AMC Karena-Kaparang, Sp.PD Konsultan Reumatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Sam RatulangilRSU Malalayang, Manado



Dr. Asrul Harsal, Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. Ami Ashariati,Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Lab. Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/ RSU Dr. Soetomo, Surabaya Dr. Andi Fachruddin Benyarnin,Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNHAS/ RS Wahidin Sudirohusodo, Makassar Dr. Andri Sanityoso, Sp.PD Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Ari Baskoro, Sp.PD Divisi Alergi Imunologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/RSUD. Dr. Soetomo, Surabaya Dr. Ari Fahrial Syarn, Sp.PD, MMB Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit DalamFKUI/RSUPN-CM, J a k a r t a Dr. Arif Mansjoer, Sp.PD, KIC Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, J a k a r t a



Prof. Dr. Azhar Tandjung, Sp.PD Konsultan Alergi Imunologi-Konsultan Pulmonologi Divisi Pulmonologi d a n Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUD Dr. Pringadi-RSUP.H.Adam Malik, Medan Prof. Dr. B. Fanani Lubis, Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RS Dr. Pringadi, Medan Dr. B.J. Waleleng, Sp.PD Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRAT/RSUP Malalayang, Manado Dr. B. P. Putra Suryana, Sp.PD Konsultan Reumatologi Seksi Reumatologi, Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNBRAW/ RS Dr. Saiful Anwar, Malang Dr. Barnbang lrawan M, Sp.PD SMF Penyakit Dalam FK. UGM/RSUP. Dr. Sardjito, Yogyakarta



Dr. Arnadi Taslim, Sp.PD RS. Krakatau Steel Cilegon Jawa Barat



Dr. Barnbang Karsono, Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit DalamFKUI/RSUPN-CM, Jakarta



DR. Dr. Aru W. Sudoyo, Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. Bambang Setlyohadi, Sp.PD Konsultan Reumatologi, Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit DalamFKUI[RSUPN-CM, Jakarta



Dr. Arya Govinda, Sp.PD Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Prof. Dr. Boedhi Darmojo, Sp .PD Konsultan Geriatri Divisi Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP /RSUP Dr. Kariadi, Semarang



Dr. Aryanto Suwondo, Sp.PD Konsultan Pulmonologi Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. Bambang Slglt Riyanto, Sp.PD Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGMIRSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Prof. Dr. Barwani Hisyam, Sp.PD Konsultan Pulmonologi Divisi Pulmonologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/ RSUP. Dr. S a r d j i t o , Yogyakarta



Dr. Chairul Effendi, Sp.PD Konsultan Alergi Imunologi Subbagian Alergi Imunologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/ RSUD. Dr. Soetomo, Surabaya



Dr. Blondina Marpaung, Sp.PD Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi D e p a r t e m e n I l m u Penyakit DalamFK USU/ RSUD.Dr. Pringadi-RSUP.H.Adam Malik, Medan



Dr. Candra Wibowo, Sp.PD Bagian I l m u Penyakit Dalam FK Univ. S a m Ratulangi/RSU Malalayang M a n a d o



Prof.DR.Dr. Asman Boedisantoso R, Sp.PD Konsultan Endokrinologi Metabolik d a n Diabetes Divisi Metabolik Endokrin Departemen I l m u Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, J a k a r t a Prof. Dr. Boediwarsono,Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Lab. Ilmu Penyakit Dalam FK. UNAIR/ RS. Dr. Soetomo, S u r a b a y a Dr. Budi Darrnawan Machsoos, Sp.PD Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF I l m u Penyakit DalamFK UNBRAW/ RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang Dr. Budi Muljono, Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/ RS Dr. Moh. Hoesin, Palembang Dr. Budi Setiawan, Sp.PD Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIIRSUPN-CM, J a k a r t a DR. Dr. Budirnan, Sp.PD Departemen I l m u Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, J a k a r t a Dr. Budiono, Sp.PD Divisi Pulmonologi Bagian I l m u Penyakit Dalam FK UGMIRSUP Dr. S a r d j i t o , Yogyakarta Dr. C. Singgih Wahono,Sp.PD Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNBRAWIRSUD Dr. Saiful Anwar, Malang Dr. Catharina Suharti, Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik S u b b a g i a n Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/ RSUP Dr. Kariadi, S e m a r a n g



Dr. Carta A. Gunawan,Sp.PD Konsultan Penyakit Tropik d a n Infeksi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNMULIRSUD A. Wahab Sjahranie, Samarinda Dr. Chudahman Manan, Sp.PD Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit DalamFKUI/RSUPN-CM, J a k a r t a DR.Dr. Cleopas Martin Rumende, Sp.PD Konsultan Pulmonologi Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIIRSUPN-CM, Jakarta Dr. Cosphiadi Irawan, Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik D e p a r t e m e n I l m u Penyakit DalamFKUI/RSUPN-CM, J a k a r t a DR. Dr. Czeresna Heriawan Soejono, Sp.PD,MEpid Konsultan G e r i a t r i Divisi G e r i a t r i Departemen I l m u Penyakit DalamFKUI/RSUPN-CM, J a k a r t a Dr. Dadang Makmun, Sp.PD Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi Departemen I l m u Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, J a k a r t a Prof. DR. Dr. Daldiyono Hardjodisastro, Sp.PD Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi Departemen I l m u Penyakit Dalam FKUIIRSUPN-CM, Jakarta Dr. Dante Saksono Harbuwono, PhD, SpPD Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. Dasnan Ismail, Sp.PD Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. Ceva Wicaksono Pitoyo, Sp.PD Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, J a k a r t a



Dr. Daulat Manurung, Sp.PD Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIIRSUPN-CM, Jakarta



Dr. Chairul Bahri, Sp.PD Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RS Dr. Pringadi, Medan



Dr. Dewa Putu, Sp.PD Subbagian G e r i a t r i Bagian I l m u Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUKDr.dr. PRIYO PANJI Edy Mart Salim, Sp.PD



Dr. Dharmeizar, Sp.PD Konsultan Ginjal HipertensiDivisi Ginjal H i p e r t e n s i D e p a r t e m e n Ilmu Penyakit DalamFKUIJRSUPN-CM, Jakarta Dr. Dharmika Djojoningrat, Sp.PD Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi D e p a r t e m e n Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, J a k a r t a Prof. DR. Dr. Dina Jani Mahdi, Sp.PD Konsultan Alergi Imunologi Divisi Alergi Imunologi D e p a r t e m e n Ilmu Penyakit Dalam FKUIJ RSUPN-CM, J a k a r t a Dr. Djoko Wahono, Sp.PD Konsultan Endokrinologi Metabolik d a n Diabetes Bagian I l m u Penyakit DalamFK UNBRAWJ RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang Prof. Dr. Djoko Widodo, Sp.PD Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik InfeksiDepartemen I l m u Penyakit DalamFKUIJ RSUPN-CM, J a k a r t a Dr. Djoni Djunaedi, Sp.PD Konsultan Penyakit T r o p i k Infeksi Bagian Ilmu Penyakit DalamFK UNBRAWJ RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang Dr. Dody Ranuhardy, Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik D e p a r t e m e n I l m u Penyakit DalamFKUIj RSUPN-CM, J a k a r t a Dr. Dono Antono, Sp.PD Divisi Kardiologi D e p a r t e m e n Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, J a k a r t a Dr. Doni Priambodo Witjaksono, Sp.PD Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/ RS Dr. Sardjito, Yogyakarta Prof. Dr. Dwi Sutanegara, Sp.PD Konsultan Endokrinologi Metabolik d a n Diabetes Bagian I l m u Penyakit DalamFK UNUD/ RSUP. Sanglah Denpasar, Bali



Dr. E.N.Keliat, Sp.PD Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUD.Dr. Pringadi-RSUP.H.Adam Malik, Medan Prof. Dr. Eddy Soewandojo Soewondo, Sp.PD Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Lab. Ilmu Penyakit DalamFK UNAIR/ RSUD Dr.Sutomo, Surabaya Prof. Dr. Edu Tehupeiory, Sp.PD Konsultan Reumatologi Subbagian Reumatologi Bagian I l m u Penyakit Dalam FK UNHAS/ RSUP. Dr. Wahidin S. Makassar



Konsultan Alergi Imunologi, Subbagian Alergi Imunologi Bagian I l m u Penyakit DalamFK UNSRI/ RSMH, Palembang



Dr. Eko Budiono, Sp.PD Divisi Pulmonologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGMJRSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta Dr. Elias Pardjono, Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit DalamFK UGMIRSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta Prof. DR. Dr. EndangSusallt, Sp.PD Konsultan Ginjal H i p e r t e n s i Divisi Ginjal H i p e r t e n s i Departemen I l m u Penyakit DalamFKUIJ RSUPN-CM, J a k a r t a Prof. Dr. Enday Sukandar, Sp.PD Konsultan Ginjal H i p e r t e n s i Subbagian Ginjal H i p e r t e n s i Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPADJRSUP. Hasan Sadikin, Bandung Dr. Erwanto Budi W.,Sp.PD Divisi Alergi Imunologi Departemen I l m u Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, J a k a r t a Dr. Evy Yunihastuti, Sp.PD Divisi Alergi Imunologi Departemen I l m u Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, J a k a r t a Dr. F. Sumanto Padmomartono, Sp.PD Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/ RSUP Dr. Kariadi, S e m a r a n g Dr. Faridin, Sp.PD Konsultan Reumatologi Subbagian Reumatologi, Bagian I l m u Penyakit Dalam FK Univ. H a s a n u d d i n , Makasar Dr. Gatoet Ismanoe, Sp.PD Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit DalamFK UNBRAWJ RS Dr. Sjaiful Anwar Malang Dr. Gatot Soegianto, Sp.PD Subbagian Alergi Imunologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/ RSUP Dr. Soetomo. Surabaya Dr. Ginova Nainggolan, Sp.PD Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal H i p e r t e n s i Departemen Ilmu Penyakit DalamFKUIJRSUPN-CM, Jakarta



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Prof. DR.Dr. Guntur Hermawan, Sp.PD Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Subbagian Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Surakartal RSUD Dr. Moewardi, Solo Prof. Dr. H. Soemarsono, Sp.PD Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. H.A. Fuad Bakry F,Sp.PD Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/ RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang Prof. Dr. H.A.M.Akil, Sp.PD Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNHAS/ RSUP Dr. Wahidin S. Makassar Dr. H.E.Mudjaddid, Sp.PD Konsultan Psikosomatik Divisi Psikosomatik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, J a k a r t a Prof. Dr. H. Hanum Nasution, Sp.PD Kansultan Psikosomatik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RSU Dr. Pringadi, Medan Prof. Dr. H.M.S. Markum, Sp.PD Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, J a k a r t a Dr. Hadi Halim, Sp.PD Konsultan Pulmonologi SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/ RS Dr. Moh. Hoesin, Palembang Dr. Hadi Martono, Sp.PD Konsultan Geriatri Divisi Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/ RSUP Dr. Kariadi Semarang Dr. Hadi Yusuf, Sp.PD Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Subbagian Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/ RS. Hasan Sadikin, Bandung Prof. DR. Dr. Abdul Halim Mubin, Sp.PD Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit DalamFK UNHAS/RSUP Dr.Wahidin S. Makassar Dr. Hamzah Shatri, Sp.PD, MEpid Konsultan Psikosomatik Divisi Psikosomatik Departemen Ilmu Penyakit DalamFKUI/ RSUPN-CM, Jakarta



Prof. Dr. Hanafi B. Trisnohadi, Sp.PD Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. Handono Kalim, Sp.PD Konsultan Reumatologi Bagian Patologi Klinik, Bagian Penyakit Dalam FK Univ. Brawaijaya, Malang Dr. Hans Salonder, Sp.PD Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Sam Ratulangi/RSU Malalayang, Manado Prof. Dr. Hariono Achmad, Sp.PD Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNBRAW/ RSUD. Dr. Sjaiful Anwar, Malang Dr. Harlinda Haroen, Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRAT/ RSUP Malalayang, Manado Prof. DR. Dr. Harry Isbagio, Sp.PD Konsultan Reumatologi-Konsultan Geriatri Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit DalamFKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RSU Dr. Pringadi, Medan Prof. DR. Dr. Hendromartono, Sp.PD Konsultan Endokrinologi Metabolik d a n Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIRI RSUD Dr. Soetomo, Surabaya Prof. Dr. Herdiman T.Pohan, Sp.PD Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta Dr. Hermasyah, Sp.PD Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/ RSU Dr. Moh. Hoesin, Palembang Prof. Dr. Hernomo Kusumobroto, Sp.PD Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/ RSUP Dr. Soetomo, Surabaya



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Prof. DR. Dr. Heru Sundaru, Sp.PD K o n s u l t a n Alergi I m u n o l o g i Divisi Alergi I m u n o l o g i D e p a r t e m e n I l m u P e n y a k i t D a l a m FKUI/ RSUPN-CM, J a k a r t a



Dr. Imam Subekti, Sp.PD Konsultan Endokrinologi Metabolik d a n Diabetes Divisi Metabolik E n d o k r i n D e p a r t e m e n I l m u P e n y a k i t Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. Hilman Tadjoedin, Sp.PD K o n s u l t a n Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik D e p a r t e m e n I l m u P e n y a k i t D a l a m FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Prof. Dr. lman Supandiman, Sp.PD K o n s u l t a n Hematologi-Onkologi Medik S u b b a g i a n Hematologi-Onkologi Medik Bagian I l m u Penyakit Dalam FK UNPADJ RS H a s a n S a d i k i n , B a n d u n g



Dr. Hirlan, Sp.PD K o n s u l t a n Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi Bagian I l m u Penyakit Dalam FK UNDIP/ RSUD Dr. Kariadi, S e m a r a n g



DR. Dr. Iris Rengganls, Sp.PD K o n s u l t a n Alergi I m u n o l o g i , Divisi Alergi I m u n o l o g i , D e p a r t e m e n I l m u P e n y a k i t Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. IGde Raka Widiana, Sp.PD Divisi Ginjal H i p e r t e n s i Bagian/ S M F I l m u Penyakit Dalam FK UNUD/RS S a n g l a h , Bali



Dr. lrsan Hasan, Sp.PD K o n s u l t a n Gastroenterologi-Hepatologi Divisi H e p a t o l o g i D e p a r t e m e n I l m u P e n y a k i t Dalam FKUI/RSUPN-CM, J a k a r t a



Dr. IKetut Suega, Sp.PD Divisi Hematologi-Onkologi Medik Bagian/ S M F Penyakit Dalam FK UDAYANAIRS S a n g l a h D e n p a s a r , Bali



Dr. lrza Wahid,Sp.PD S u b a g i a n Hematologi-Onkologi Medik Bagian I l m u P e n y a k i t Dalam FK UNAND/ RS Dr. M. Djamil, P a d a n g



Prof. DR. Dr. IMade Bakta, Sp.PD S u b b a g i a n Hematologi-Onkologi Medik S M F I l m u P e n y a k i t Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah D e n p a s a r , Bali



Prof. Dr. lskandar Zulkarnaen, Sp.PD Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi, D e p a r t e m e n I l m u P e n y a k i t D a l a m FKUI/ RSUPN-CM, J a k a r t a



Dr. Ian Effendi N. Sp.PD K o n s u l t a n Ginjal H i p e r t e n s i Divisi Ginjal H i p e r t e n s i D e p a r t e m e n I l m u P e n y a k i t Dalam FK UNSRI/ RS. Moh. Hoesin, P a l e m b a n g



Dr. lswan A.Nusi, Sp.PD S u b b a g i a n Gastroenterologi-Hepatologi Bagian I l m u Penyakit Dalam FK UNAIR/ RSUP Dr. S o e t o m o , S u r a b a y a



Dr. lbnu Purwanto, Sp.PD S u b b a g i a n Hematologi-Onkologi Medik S M F I l m u Penyakit Dalam FK UGM/ RSUP Dr. S a r d j i t o , Yogyakarta



Dr. twang Gumiwang, Sp.PD K o n s u l t a n K a r d i o v a s k u l a r Divisi Kardiologi D e p a r t e m e n I l m u P e n y a k i t D a l a m FKUI/ RSUPN-CM, J a k a r t a



DR. Dr. ldrus Alwi, Sp.PD Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi D e p a r t e m e n I l m u P e n y a k i t Dalam FKUIIRSUPN-CM, J a k a r t a



Dr. Jodi Sidharta Loekman, Sp.PD K o n s u l t a n Gastroenterologi-Hepatologi D e p a r t e m e n I l m u P e n y a k i t Dalam FK UNUD/ RSUP S a n g l a h , Denpasar-Bali



Dr. Ika PrasetyaWijaya, Sp.PD Divisi Kardiologi D e p a r t e m e n I l m u P e n y a k i t Dalam FKUI/RSUPN-CM, J a k a r t a



DR.Dr. Johan Kumianda, Sp.PD K o n s u l t a n Hematologi-Onkologi M e d i k S u b b a g i a n Hematologi-Onkologi Medik SMF I l m u Penyakit Dalam FK UGM/ RSUP Dr. S a r d j i t o , Yogyakarta



Dr. lkhwan Rinaldi, Sp.PD Divisi Hematologi-Onkologi Medik D e p a r t e m e n I l m u Penyakit Dalam FKUIIRSUPN-CM, Jakarta DR. Dr. Imam Effendi, Sp.PD Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi G i n j a l H i p e r t e n s i D e p a r t e m e n I l m u P e n y a k i t Dalam FKUIIRSUPN-CM, Jakarta



Prof. DR. Dr. Johan S. Masjhur, Sp.PD Konsultan Endokrinologi Metabolik d a n Diabetes Bagian I l m u Penyakit Dalam FK UNPAD/ RS H a s a n S a d i k i n , B a n d u n g Dr. Johanes Purwoto,Sp.PD D e p a r t e m e n I l m u P e n y a k i t Dalam FKUI/ RSUPN-CM, J a k a r t a



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Prof. Dr. John M.F. Adam, Sp.PD Konsultan Endokrinologi Metabolik d a n Diabetes Divisi Endokrin d a n Metabolik Bagian Penyakit Dalam FK Univ. H a s a n u d d i n l R S Dr. Wahidin S, Makasar DR. Dr. Joewono Soeroso, MSc, Sp.PD Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi Lab. UPF Penyakit Dalam FK UNAIR/ RSUD Dr. Sutomo, Surabaya Prof. Dr. Jose Roesma, PhD, Sp.PD Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, J a k a r t a Dr. Vuliasih, Sp.PD Konsultan Reumatologi, Subbagian Reumatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/ RSUD Dr. Soetomo, Surabaya Prof. Dr. Julius, Sp.PD Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Andalas1 RSUP Dr. M. Djamil, Padang DR. Dr. Karel Pandelaki, Sp.PD Konsultan Endokrinologi Metabolik d a n Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRATIRSUP Manado Prof. DR. Dr. Karmel L. Tambunan, Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit DalamFKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. DR. Dr. Karnen G Bratawijaya, Sp.PD Konsultan Alergi Imunologi, Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit DalamFKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. Kris Pranarka, Sp.PD Konsultan Geriatri Divisi Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUP. Dr. Kariadi, Semarang Dr. Kuntjoro Harimurti, Sp.PD Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, J a k a r t a DR. Dr. Kusworini Handono, Sp.PK Konsultan Patologi Klinik Bagian Patologi Klinik FK Univ. Brawijaya, Malang Prof. Dr. Laurentius A. Lesmana, PhD,Sp.PD Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, J a k a r t a Dr. Leonard Nainggolan, Sp.PD Konsultan Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, J a k a r t a Dr. Lestariningsih, Sp.PD Konsultan Ginjal Hipertensi Subbagian Ginjal Hipertensi Bagian/ SMF Ilmu Penyakit DalamFK UNDIP/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang Dr. Linda K. Wijaya, Sp.PD Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM. J a k a r t a Dr. Linda W.A. Rotty, Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRAT/ RSUP Malalayang, Manado



Dr. Kartika Widayati, Sp.PD Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit DalamFK UGM/ RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta



Dr. Lucky Aziza Bawazier, Sp.PD Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, J a k a r t a



Dr. Ketut Suega, Sp.PD Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit DalamFK UNUD/ RSUP Sanglah, Denpasar, Bali



DR. Dr. Lugyanti Sukrisman, Sp.PD Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Prof. DR. Dr. Ketut Suwitra, Sp.PD Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal Hipertensi Bagian/ SMF Ilmu Penyakit DalamFK UNUD/ RSUP Sanglah, Denpasar, Bali



Prof. Dr. Lukman Hakim Makmun, Sp.PD Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIIRSUPN-CM, J a k a r t a



Dr. Khie Chen, Sp.PD Konsultan Tropik Infeksi, Divisi Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, J a k a r t a



Dr. Lukman Hakim Zain, Sp.PD Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RSUP H. Adam Malik, Medan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Dr. M Tantoro Harmono, Sp.PD Konsultan Ginjal H i p e r t e n s i SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRAT/ RSUD Dr. Muwardi, S u r a k a r t a Dr. M. Darwin Prenggono, Sp.PD Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNLAMIRSUD. Ulin, Banjarmasin



DR.Dr. Murdani Abdullah, Sp.PD Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, J a k a r t a Dr. H. Murnizal Dahlan, Sp.B Konsultan Bedah Vaskular, Divisi Bedah Vaskular Departemen Bedah FKUI/RSUPN-CM, J a k a r t a



Dr. Muhammad Diah, Sp.PD Divisi Kardiologi, Bagian Penyakit Dalam FK UNSRI/ RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang



Dr. Nafrialdi, Ph.D,Sp.PD Departemen Farmakologi FKUI/RSUPN-CM, J a k a r t a



Prof. Dr. M.Yusuf Nasution, Sp.PD Konsultan Ginjal H i p e r t e n s i I n s t a l a s i Hemodialisa SMF Penyakit Dalam FK USU/RSUP H. Adam Malik, Medan



Dr. Najirman, Sp.PD Konsultan Reumatologi, Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. Andalas/RSUP Dr. M. Djamil, Padang



Dr. Made Putra Sedana, Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Lab. Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/ RSU Dr. Soetomo, S u r a b a y a



Dr. Nanang Sukmana, Sp.PD Konsultan Alergi Imunologi, Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. Marcellus Simadibrata K, Ph.D, Sp.PD Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi D e p a r t e m e n Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, J a k a r t a Dr. Marulam M. Panggabean, Sp.PD Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi D e p a r t e m e n I l m u Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, J a k a r t a Dr. Meddy Setiawan, Sp.PD Bagian Penyakit Dalam, FK Univ. Brawijaya, Malang Dr. Mediarty Syahrir, Sp.PD Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF I l m u Penyakit Dalam FK UNSRI/RS Dr. Moh. Hoesin, Palembang Prof. Dr. Mochammad Sja'bani, Sp.PD Konsultan Ginjal H i p e r t e n s i , Divisi ~ i n j a H l ipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/ RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta Dr. Moefrodi Wirjoatmodjo, Sp.PD Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Lab. Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta Prof. DR. Dr. Mohammad Yogiantoro, Sp.PD Konsultan Ginjal Hipertensi, Divisi Ginjal Hipertensi Bagian I l m u Penyakit Dalam FK Airlangga RS Dr. S u t o m o Surabaya Dr. Muhamad Yamin, Sp.JP Konsultan Kardiovaskular, Divisi Kardiologi D e p a r t e m e n I l m u Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, J a k a r t a



Dr. Nasronudin,Sp.PD Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Subbagian Tropik Infeksi Bagian Penyakit Dalam FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo, Surabaya Dr. Nasrul Jubir, Sp.PD Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Bagian I l m u Penyakit Dalam FK Univ. Andalas1 RSUP Dr. M. Djamil, Padang Dr. Nelly Tendean Wenas, Sp.PD Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian I l m u Penyakit Dalam FK UNSRAT/RSUP Malalayang, Manado Dr. Nina KemalaSari, Sp.PD Konsultan Geriatri, Divisi G e r i a t r i Departemen I l m u Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Niniek Burhan,Sp.PD Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNBRAW/ RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang Prof. Dr. Nizam Oesman, Sp.PD Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/ RSUP Dr. Soetomo, S u r a b a y a DR. Dr. Noorwati Sutandyo, Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Nugroho Prayogo, Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Prof. Dr. Nurhay Abdurachman, Sp.PD Konsultan Kardiovaskular Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIIRSUPN-CM, J a k a r t a Prof. Dr. Nurul Akbar, Sp.PD Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIIRSUPN-CM, J a k a r t a Prof. Dr. Nuzirwan Acang, Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit DalamFK Univ. Andalas1 RSUP Dr. M. Djamil, Padang Dr. Nyoman Astika, Sp.PD Instalasi Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUDIRS Sanglah Denpasar - Bali Drs. Nyoman Gde Suryadhana Bagian Gigi Mulut FKG Univ. Indonesia, J a k a r t a Dr. Nyoman Kertia, Sp.PD Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UGMIRS Dr. Sardjito, Yogyakarta Prof. Dr. OK Moehad Syah, Sp.PD Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK USU/RSUP H. Adam Malik, Medan Prof. Dr. Pangarapen Tarigan, Sp.PD Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USUI RSUP H. Adam Malik, Medan Dr. Pangestu Adi, Sp.PD Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/ RSUP Dr. Soetomo, Surabaya Dr. Panji lrani Fianza, Sp.PD Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Penyakit Dalam FK Univ. P a d j a d j a r a n l RS Dr. Hasan Sadikin Bandung DR. Dr. ParlindunganSiregar, Sp.PD Konsultan Ginjal Hipertensi, Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, J a k a r t a Prof. Dr. Pasiyan Rahmatullah, Sp.PD Konsultan Pulmonologi, Divisi Pulmonologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi, Semarang Prof. DR. Dr. Paulus Wiyono, Sp.PD Konsultan Endokrinologi Metabolik d a n Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/ RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta



Dr. Pernodjo Dahlan, Sp.PD Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSU Dr. Sardjito, Yogyakarta Prof. DR. Dr. PG Konthen, Sp.PD Konsultan Alergi Imunologi Subbagian Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIRI RSUD Dr. Soetomo,Surabaya Dr. PN. Harryanto, Sp.PD Konsultan Penyakit Tropik Infeksi RSU Bethesda, Tomohon, Sulawesi Utara Dr. Poernomo Budi Setiawan, Sp.PD Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIRIRSUD Dr. Soetomo, Surabaya Dr. Pradana Soewondo, Sp.PD Konsultan Endokrinologi Metabolik d a n Diabetes Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit DalamFKUI/RSUPN-CM, J a k a r t a Dr. Pranawa, Sp.PD Konsultan Ginjal Hipertensi Divisi Ginjal HipertensiLabISMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIRIRSUD Dr. Soetomo, Surabaya Dr. Probosuseno, Sp.PD Subbagian Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/ RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta Dr. F.X. Pridady, Sp.PD Unit Penyakit Dalam, RSAB. H a r a p a n Kita, Jakarta Dr. Primal Sudjana, Sp.PD Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Subbagian Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPADIRS Dr. Hasan Sadikin, Bandung Dr. Putut Banyupurnama, Sp.PD Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagianl SMF Ilmu Penyakit DalamFK UGMIRS Dr. Sardjito, Yogyakarta Dr. R.A. Tuty Kuswardhani, Sp.PD Konsultan Geriatri Instalasi Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUDI RS. Sanglah Denpasar - Bali Prof. DR. Dr. RR. Djokomoeljanto, Sp.PD Konsultan Endokrinologi Metabolik d a n Diabetes SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP /RSUP Dr. Kariadi, Semarang Dr. R. Soertadi, Sp.PD Prof. Dr. R.H.H.Nelwan, Sp.PD Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit DalamFKUII RSUPN-CM, J a k a r t a



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Prof. DR. Dr. Rachrnat Soelaeman, Sp.PD Konsultan Ginjal H i p e r t e n s i Unit Penelitian Kesehatan FK UNPAD/ RS Dr. H a s a n Sadikin, Bandung



Dr. H. Rahrnat Surnantri, Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPADIRS Dr. H a s a n Sadikin, Bandung Dr. Rawan Broto, Sp.PD Konsultan Reumatologi, Divisi Reumatologi D e p a r t e m e n Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/ RS Dr. Sardjito, Yogyakarta Dr. Rejeki Andayani Rahayu, Sp.PD Konsultan G e r i a t r i Divisi Geriatri Bagian I l m u Penyakit Dalam FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi, Semarang Dr. Restu Pasaribu, Sp.PD Divisi Ginjal H i p e r t a n s i Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RS Moh. Hoesin, Palembang Dr. Riardy Prarnudyo, Sp.PD Konsulatan Reumatologi S u b Unit Reumatologi Lab/ UPF Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/ RS Dr. H a s a n Sadikin, Bandung Prof. DR. Dr. Rifai Arnirudin, Sp.PD Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNHASIRSUP Dr. Wahidin S, Makasar Dr. Rino A.Gani, Sp.PD Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Hepatologi D e p a r t e m e n I l m u Penyakit DalamFKUI/RSUPN-CM, J a k a r t a Dr. Ririn H, Sp.Gk I n s t a l a s i Gizi RS. Kanker Dharmais, Jakarta Dr. RizasyahDaud, Sp.PD Konsultan Reumatologi, Divisi Reumatologi D e p a r t e m e n I l m u Penyakit Dalam FKUIIRSUPN-CM, J a k a r t a Dr. Rizka Hurnardewayanti Asdie, Sp.PD Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/ RS Dr. Sardjito, Yogyakarta Dr. Ronald A. Hukorn, Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIIRSUPN-CM, Jakarta



Dr. Rudi Putranto, Sp.PD Divisi Psikosomatik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIIRSUPN-CM, J a k a r t a Dr. Rully M.A. Roesli, PhD, Sp.PD Konsultan Ginjal H i p e r t e n s i Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/ RSUP Dr. H a s a n Sadikin, Bandung Dr. Rose Dinda, SpPD SMF Ilmu Penyakit Dalam, FK Univ. Andalas1 RSUP Dr. M. Djamil, Pandang Prof. Dr. S.A. Abdurachrnan, Sp.PD Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit DalamF K UNPAD/ RSUP Dr. H a s a n Sadikin, Bandung Prof. Dr. Saharman Lernan, Sp.PD Konsultan Kardiovaskular SMF I l m u Penyakit Dalam FK Univ. Andalas1 RSUP Dr. M. Djamil, Pandang Dr. Sally Arnan Nasution, Sp.PD Divisi Kardiologi Departemen I l m u Penyakit Dalam FKUIIRSUPN-CM, J a k a r t a Prof. DR. Dr. Sarnsuridjal Djauzi, Sp.PD Konsultan Alergi Imunologi, Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIIRSUPN-CM, Jakarta Prof. DR. Dr. Sarwono Waspadji, Sp.PD Konsultan Endokrinologi Metabolik d a n Diabetes Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIIRSUPN-CM, J a k a r t a Dr. Shofa Chasani, Sp.PD Konsultan Ginjal H i p e r t e n s i Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/ RS Dr. Kariadi, S e m a r a n g Dr. Shufrie Effendy, Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. DR. Dr. Sidartawan Soegondo, Sp.PD Konsultan Endokrinologi Metabolik d a n Diabetes Divisi Metabolik Endokrin, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Dr. Siti Nurdjanah, Sp.PD, M.Kes. Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Gastroenterologi-Hepatologi Bagian I l m u Penyakit Dalam FK UGM/ RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta DR. Dr. Siti Setiati, MEpid, Sp.PD Konsultan G e r i a t r i Divisi Geriatri, Departemen I l m u Penyakit Dalam FKUIIRSUPN-CM, J a k a r t a



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Prof. Dr. Sjaharuddin Harun, Sp.PD Konsultan Kardiovaskular, Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, J a k a r t a



DR. Dr. Suhendro, Sp.PD Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, J a k a r t a



Prof. Dr. Slamet Suyono, Sp.PD Konsultan Endokrinologi Metabolik d a n Diabetes Divisi Metabolik Endokrin, Departemen Ilmu Penyakit DalamFKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Prof. DR. Dr. Sujono Hadi, Sp.PD Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/ RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung



Dr. Soebagyo Loehoeri, Sp.PD Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/ RS Dr. Sardjito, Yogyakarta



Dr. Sukamto, Sp.PD Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, J a k a r t a



Prof. Dr. Soebandiri, Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/ RSU Dr. Soetomo, Surabaya



Dr. Sumardi, Sp.PD Divisi Pulmonologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta



Prof. DR. Dr. Soeharyo Hadisaputro, Sp.PD Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RS Dr. Kariadi Semarang Prof. Dr. Soenarto, Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang Prof. DR. Dr. Soewignjo Soemohardjo, Sp.PD Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSU. Mataram Dr. Stephanus Gunawan, Sp.PD Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSU. Mataram Dr. Sugianto, Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Subbagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit DalamFK UNAIR/ RSU Dr. Soetomo, Surabaya Dr. Sugiyono Somoastro, Sp.PD Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI /RSUPN-CM, J a k a r t a Dr. Suhardi Darmo A. Sp.PD Konsultan Ginjal Hipertensi Subbagian Ginjal Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit DalamF K UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta DR. Dr. Suhardjono, Sp.PD Konsultan Ginjal Hipertensi, Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. Sumariyono, Sp.PD Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Prof. Dr. Supartondo,Sp.PD Konsultan Endokrinologi Metabolik DiabetesKonsultan Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIIRSUPN-CM, Jakarta Dr. Suradi Maryono, Sp.PD Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRAT/RSUD Dr. Muwardi, Surakarta Dr. Suyono, Sp.PD Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIPIRS. Dr. Kariadi, Semarang Dr. Syadra Bardiman Rasyad, Sp.PD Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Subbagian Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit DalamFK UNSRI/RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang Dr. Syafii Piliang, Sp.PD Konsultan Endokrinologi Metabolik d a n Diabetes Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RS Dr. Pringadi, Medan Prof. Dr. Syafril Syahbuddin, Sp.PD Konsultan Endokrinologi Metabolik d a n Diabetes Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNANDIRSUP Dr. M. Djamil, Padang . DR. Dr. Syakib Bakri, Sp.PD Konsultan Ginjal Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNHASIRSU Dr. Wahidin S, Makasar



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Prof. DR. Dr.T.Santoso, Sp.PD, FACC, FESC Konsultan Kardiovaskular,Divisi Kardiologi D e p a r t e m e n Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Prof. Dr. Wasilah Rochmah, Sp.PD Konsultan Geriatri, Subbagian Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/ RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta



Dr. Taufik Indrajaya, Sp.PD S u b Divisi Kardiologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK UNSRI/ RSUP Dr. Moh. Hoesin, Palembang



Dr. Widayat Djoko S., Sp.PD Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Divisi Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, J a k a r t a



Dr. Teguh H. Karjadi, Sp.PD Konsultan Alergi Imunologi, Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



Prof. DR. Dr. Wiguno Prodjosudjadi, Sp.PD Konsultan Ginjal H i p e r t e n s i Divisi Ginjal H i p e r t e n s i Departemen I l m u Penyakit DalamFKUI/ RSUPN-CM, J a k a r t a



Dr. Tjokorda Gde Dharmayuda, Sp.PD Subbagian Hematologi-Onkologi Medik SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, D e n p a s a r , Bali Dr. Tjokorda Rakaputra, Sp.PD Konsultan Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali Dr. Trinugroho Heri Fadjari, Sp.PD S u b Bagian Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/ RS Dr. H a s a n Sadikin, Bandung Dr. Triwibowo, Sp.PD Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/ RS Dr. Sardjito, Yogyakarta DR. Dr. Tuti Parwati Merati, Sp.PD Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/ RSUP Sanglah, Denpasar, Bali Dr. UjainahZaini Nasir, Sp.PD Konsultan Pulmonologi Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, J a k a r t a Dr. Umar Zain, Sp.PD Konsultan Penyakit Tropik Infeksi BagianJSMF I l m u Penyakit Dalam FK USU/RSU H.Adam Malik, Medan Dr. Unggul Budihusodo, Sp.PD Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Divisi Hepatologi D e p a r t e m e n I l m u Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, J a k a r t a Dr. Usman Hadi, Sp.PD Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Subbagian Penyakit Tropik d a n Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR/ RSU Dr. Soetomo, Surabaya. Dr. Purwita W. Laksmi, Sp.PD Divisi Geriatr, D e p a r t e m e n I l m u Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, J a k a r t a



Dr. Yenny DianAndayani, Sp.PD Divisi Hematologi-Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/ RSU Dr. Moh.Hoesien Palembang Dr. Yoga I.Kasjmir, Sp.PD Konsultan Reumatologi, Divisi Reurnatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, J a k a r t a Dr. Yosia Ginting, Sp.PD Konsultan Penyakit Tropik Infeksi Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RSU H.Adam Malik, Medan Dr. Zakifman Jack, Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, J a k a r t a Prof. DR. Dr. Zubairi Djoerban, Sp.PD Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, J a k a r t a DR. Dr. Zul Dahlan, Sp.PD Konsultan Pulmonologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPADIRSUP Dr. H a s a n Sadikin, Bandung DR. Dr. Zuljasri Albar, Sp.PD Konsultan Reumatologi, Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, J a k a r t a Dr. Zulkarnain Arsyad, Sp.PD Konsultan Pulmonologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Univ. AndalaslRSUP Dr. M. Djamil, Padang DR. Dr. Zulkifli Amin, Sp.PD Konsultan Pulmonologi, Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM, J a k a r t a



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



iii



PENGANTAR TIM EDITOR SAMBUTAN KETUA UMUM PB. PAPDI



v vii



KONTRIBUTOR



11. Pemeriksaan Fisis Jantung



JILID I



Lukman H. Makmun, Nurhay Abddurachman



12. Pemeriksaan Abdomen, Urogenital dan Anorektal



DASAR-DASAR ILMU PENYAKIT DALAM 1. Pengembangan Ilmu dan Profesi Penyakit Dalam



Marcellus Simadibrata K.



13. Catatan Medik Berdasarkan Masalah (CMBM) Lukman H. Makmun 1



14. Psikoneuro Imunoendokrinologi



Samsuridjal Djauzi



E.Mudjaddid, Harnzah Shatri, R. Putranto



2. Perkembangan Ilmu Penyakit Dalam sebagai Suatu Disiplin Ilmu



4



Nurhay Abdurachman



15. Masalah Kesehatan Akibat Alkohol dan Merokok Budiman



3. Pendekatan Holistik d i Bidang Ilmu Penyakit Dalam



7



H.M.S.Markum, E.Mudjaddid



Bambang Setiyohadi



17. Kesehatan Perempuan



4. Empati dalam Komunikasi Dokter-Pasien



Siti Setiati, Purwita W. Laksmi



Samsuridjal Djauzi, Supartondo



5. Praktik Ilmu Penyakit Dalam Rantai Kokoh Cost-effectiveness



16. Kesehatan Remaja



18. Kesehatan Keluarga



12



Bambang Setiyohadi



19. Dasar-dasar Penyakit Akibat Kerja



Supartondo



6. Masa Depan Ilmu Penyakit Dalam dan Spesialis Penyakit Dalam



Teguh H. Karjadi, Samsuridjal Djauzi



20. Dasar-dasar Farmakologi Klinik 21. Genetika Medik dan Biologi Molekular



7. Evidence Based Medicine



Bambang Setiyohadi, Nyoman Gde Suryadhana



Zubairi Djoerban



8. Anamnesis Supartondo, Bambang Setiyohadi



9. Pemeriksaan Fisis Umum Bambang Setiyohadi, Imam Subekti



10. Pemeriksaan Fisis Dada dan Paru Cleopas Martin Rumende



133



Nafrialdi



Slamet Suyono



KEGAWATDARURATAN MEDIK 22. Terapi Oksigen Anna Uyainah Z. N.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



140



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



23. Dukungan Ventilator Mekanik



166



44. Penatalaksanaan Perdarahan Varises Esofagus 297



175



45 Ileus Paralitik Ali Djumhana, Ari F. Syam



307



46 Trombosis Arterial Tungkai Akut



309



Ceva W. Pitoyo, Zulkifli Amin



Hernomo Kusumobroto



24. Gangguan Keseimbangan Cairan



dan Elektrolit Parlindungan Siregar 25 Gangguan Keseimbangan Asam Basa Metabolik 190



Parlindungan Siregar



Murnizal Dahlan 47 Diagnosis dan Penatalaksanaan



26. Rehidrasi



197



Rizka Hurnardewayanti Asdie, Doni Priambodo Witjaksono, Soebagjo Loehoeri 27. Penatalaksanaan Umum Koma



Sindrom Lisis Tumor Zakifman Jack



311



48. Kegawatan Onkologi dan Sindrom



205



Budiman



Paraneoplastik



313



Aru W. Sudoyo, Sugiyono Somoastro



28. Sinkop



210



Kasim Rasjidi, Sally Aman Nasution 29. Gaga1 Napas Akut Zulkifli Amin, Johanes Purwoto



218



30. Resusitasi Jantung Paru Arif Mansjoer



227



NUTRISI 49. Dasar-dasar Nutrisi Klinik pada Proses



Penyembuhan Penyakit Daldiyono, Ari Fahrial Syam



31. Acute Respiratoy Distress Syndrome (ARDS) 234 Zulkifli Amin



50. Nutrisi Enteral



32. Syok Hipovolemik



51. Nutrisi Parenteral: Cara Pemillihan Kapan



242



Ika Prasetya Wijaya 33. Syok Kardiogenik



245



ldrus Alwi, Sally Aman Nasution 34. Penatalaksanaan Syok Septik



252



Khie Chen, Herdiman T. Pohan 35. Renjatan Anafilaktik



257



lris Rengganis, Heru Sundaru, Nanang Sukmana, Dina Mahdi



319 323



Marcellus Simadibrata dan Bagaimana Imam Subekti



328



52. Dukungan Nutrisi pada Penyakit Kritis Arif Mansjoer, Marcellus Simadibrata K



335



53. Terapi Nutrisi pada Pasien Kanker



342



Noorwati Sutandyo 54. Gangguan Nutrisi pada Usia Lanjut



347



Nina Kemala Sari



36. Kegagalan Multi Organ (Disfungsi Organ Multipel) Aryanto Suwondo



262



37. Sindrom Termal dan Sengatan Listrik



2 70



55. Malnutrisi Ari Fahrial Syam



354



56 Malnutrisi d i Rumah Sakit



358



Siti Setiati, Rose Dinda



Budiman 38. Sengatan Serangga



275



Budiman



ALERGI IMUNOLOGI KLINIK



39. Penatalaksanaan Keracunan Bisa



Kalajengking Djoni Djunaedi



278 280



41. Intoksikasi Narkotika (Opiat)



284



Nanang Sukmana 42. Keracunan Bahan Kimia, Obat dan



Ceva W. Pitoyo



58. Prosedur Diagnostik Penyakit Alergi



377



Azhar Tanjung, Evy Yunihastuti



Djoni Djunaedi



43. Hemoptisis



367



Karnen Garna Baratawidjaja, lris Rengganis



40. Penatalaksanaan Gigitan Ular Berbisa



Makanan Widayat Djoko, Djoko Widodo



57. Imunologi Dasar



289 294



59. Alergi Makanan lris Rengganis, Evy Yunihastuti



382



60. Alergi Obat



387



Samsuridjal Djauzi, Heru Sundaru, Dina Mahdi, Nanang Sukmana 61. Rinosinusitis Alergi



Heru Sundaru, Erwanto Budi Winulyo



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



392



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 62. Urtikaria dan Angiodema



395



Ari Baskoro, Gatot Soegiarto, Chairul Effendi, P.G. Konthen



63. Asma Bronkial



81. Tukak Gaster Pengarapen Tarigan



82. Tukak Doudenum



404



Heru Sundaru, Sukarnto



H.A.M. Akil



83. Dispepsia Fungsional



64. Penyakit kompleks Imun



415



Edy Mart Salirn, Nanang Sukrnana



65. Respons Imun Infeksi HIV



84. Pendekatan Diagnostik Diare Kronik



421



Tuti Parwati Merati, Sarnsuridjal Djauzi



66. Imunisasi Dewasa



Marcellus Sirnadibrata K.



85. Diare Akut



429



Erwanto Budi, Sarnsuridjal Djauzi



67. Vaskulitis



Dharrnika Djojoningrat



Marcellus Sirnadibrata K., Daldiyono



86. Polip Kolon



435



Nanang Sukrnana



H.A. Fuad Bakry F



87. Kolitis Infeksi Nizarn Oesrnan



88. Tumor Kolorektal



GASTROENTEROLOGI



Murdani Abdullah



68. Pendekatan Klinis Penyakit Gastrointestinal 441 Dharrnika Djojoningrat



447



Chudahman Manan, Ary Fahrial Syarn



70. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah



(Hematokezia) dan Perdarahan Samar (Occult)



92. Hemoroid



453



Murdani Abdullah



Bawah



460



Diagnosis dan Pengobatannya di Indonesia" Dharmika Djojoningrat



Marcellus Sirnadibrata K.



72. Pemeriksaan Endoskopi Saluran Cerna



467



94. Pankreatitis Kronik Marcellus Sirnadibrata K.



Marcellus Sirnadibrata K.



73. Nyeri Abdomen Akut



474



95. Penyakit Divertikular H.A.M.Akil



Daldiyono, Ari Fahrial Syam



74. Malabsorpsi



477



96. Penyakit Vaskular Mesentrika Syadra Bardirnan Rasyad



Ari Fahrial Syarn



75. Penyakit Refluks Gastroesofageal



480



97. Penyakit Tropik Infeksi Gastrointestinal Marcellus Sirnadibrata K., Ahrnad Fauzi



Dadang Makrnun



76. Akalasia



488



HA. Fuad Bakry F.



77. StrikturIStenosis Esofagus



493



Marcellus Sirnadibrata K.



HEPATOBILIER 98. Fisiologi dan Biokimia Hati



78. Tumor Esofagus



497



A. Abdurachrnan



Penyakit Gastro-Duodenal



627



Rifai Amirudin



99. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus



79. Infeksi Helicobacter Pylori dan



634



Ali Sulairnan



501



A.Aziz Rani, Achrnad Fauzi Hirlan



Marcellus Sirnadibrata K.



93. Inflammatory Bowel Disease Alur



71. Gangguan Motilitas Saluran Cerna Bagian



80. Gastritis



Dadang Makrnun



91. Irritable Bowel Syndrome (IBS)



Pangestu Adi



*



Julius



90. Kolitis Radiasi



69. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna



Bagian Atas



89. Tumor Gaster



100. Kelainan Enzim pada Penyakit Hati



640



Nurul Akbar



509



101. Hepatitis Viral Akut Andri Sanityoso



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



644



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 653



102. Hepatitis B Kronik



662



103. Hepatitis C



123. Pengkajian Paripurna Pada Pasien Geriatri 768 Czeresna Heriawan Soejono



Soewignjo Soemohardjo, Stephanus Gunawan



124. Pedoman Memberi Obat Pada Pasien Geriatri



Serta Mengatasi Masalah Polifarmasi



Rino A.Gani



668



104. 'Sirosis Hati



776



Supartondo, Arya Govinda Roosheroe



125. Pelayanan Kesehatan Sosial dan



Siti Nurdjanah



674



105. 'Asites Hirlan



677



106. 'Koma Hepatik Nasrul Jubir



681



107. 'Sindrom Hepatorenal Purnorno Budi Setiawan, Hernorno Kusurnobroto



Kesejahteraan Usia Lanjut 126. Regulasi Suhu pada Usia Lanjut



685



789



Siti Setiati, Nina Kernala Sari



127. Dehidrasi dan Gangguan Elektrolit



79 7



R A.Tuty Kuswardhani, Nina Kernala Sari



128. Gangguan Tidur pada Usia Lanjut



108. Karsinoma Hati



779



Hadi Martono, I Dewa Putu Prarnantana S.



802



Rejeki Andayani



129. Gangguan Keseimbangan Jatuh dan Fraktur 812



Unaaul -- Budihusodo



692



109. Abses Hati Piogenik



130. Dizzines pada Lanjut Usia



Nelly Tendean Wenas, B.J. Waleleng



Probosuseno, Niko Adhi Husni, Wasilah Rochrnah



110. Perlemakan Hati Non Alkoholik lrsan Hasan



111. Penyakit Hati pada Kehamilan



702



Hariono Achmad



112. Hepatotoksisitas Imbas Obat



Siti Setiati, Purwita W. Laksmi



708



Putut Bayupurnarna



113. Hiperbilirubinemia Non Hemolitik Familial 714 A. Fuad Bakry F.



131. Demensia



837



Wasilah Rochmah, Kuntjoro Hari Murti



132. Depresi pada pasien Usia Lanjut



845



Czeresna H. Soejono, Probosuseno, Nina Kenala Sari



133. Penyakit Parkinson Rejeki Andayani Rahayu



114. Kolesistitis



718



F.X. Pridady



134. Imobilisasi pada Usia Lanjut



859



Siti Setiati, Arya Govinda Roosheroe



721



115. Penyakit Batu Empedu Laurentius A. Lesrnana



135. Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih



Hiperaktif



116. Tuberkulosis Peritoneal ' Lukrnan Hakim Zain



727



117. Pankreatitis Akut



731



136. Konstipasi dan Inkontinensia Alvi



'



A. Nurrnan



865



Siti Setiati, I Dewa Putu Pramantara



876



Kris Pranarka, Rejeki Andayani



137. Penatalaksanaan Infeksi pada Usia Lanjut



739



118. Tumor Pankreas 119. Tindakan Intervensi pada Penyakit Hati



Secara Menyeluruh



884



Rejeki Andayani Rahayu, Asril Bahar



F. Soernanto Padmornartono



747



138. Strok dan Penatalaksanaannya oleh Internis



892



Hadi Martono, R.A.Tuty Kuswardhani



Agus Sudiro Waspodo



750



120. Biopsi Hati



139. Hipertensi pada Usia lanjut Suhardjono



Agus Sudiro Waspodo



753



121. Transplantasi Hati



140. Kegawatdaruratan pada Pasien Geriatri



904



Lukrnan Hakirn Makrnun



lswan A. Nusi



141. Sindrom Delirium (Acute Confusional State) 907 Czeresna H.Soejono, Dewa Putu P.



GERIATRI



142. Iatrogenesis



913



143. Asuhan pada Kondisi Terminal



916



R.A.Tuty Kuswardhani, Nyornan Astika



122. Proses Menua dan Implikasi Klinis Siti Setiati, Kuntjoro Hari Murti, Arya Govinda R



757



Supartondo



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 144. Elderly mistreatment (Salah Perlakuan Terhadap Orang Tua)



163. Penyakit Ginjal Kronik



919



Ketut Suwitra



Supartondo, Nina Kemala Sari



145. Gerontologi dan Geriatri di Indonesia



164. Gangguan Ginjal Akut



924



1041



H.M.S. Markum



R. Boedhi Darmojo



165. Hemodialisis



1050



J. Pudji Rahardjo, Endang Susalit, Suhardjono



166. Dialisis Peritoneal



JILID I1 GINJAL HIPERTENSI



-



167. Terapi Pengganti Ginjal Berkesinambungan (CRRT) 1059 Rully M.A. Roesli



168. Transplantasi Ginjal



146. Pemeriksaaan Penunjang pada Penyakit Ginjal



Endang Susalit



169. Hipertensi Esensial



Imam Effendi, H.M.S. Markum



Mohammad Yogiantoro



147. Edema Patofisiologi dan Penanganan



170. Hipertensi pada Penyakit Ginjal



Ian Effendi, Restu Pasaribu



Agus Tessy



148. Hematuria



171. Hipertensi Renovaskular



Lestariningsih



Syakib Bakri



149. Proteinuria



172. Hiperaldosteronisme Primer



Lucky Aziza Bawazier



Ginova Nainggolan



150. Sindrom Poliuria



173. Feokromositoma



Shofa Chasani



151. Glomerulonefritis



1053



Imam Parsudi, Parlindungan Siregar. Rully M.A Roesli



Imam Effendi



.



174. Hipertensi pada Kehamilan



Wiguno Prodjosudjadi



Suhardjono



152. Amiloidosis Ginjal



175. Krisis Hipertensi



M. Rachmat Soelaeman



Jose Roesma



153. Penyakit Ginjal Diabetik Harun Rasyid Lubis



154. Nefritis Lupus



HEMATOLOGI



Lucky Aziza Bawazier: Dharmeizar, H.M.S. Markum



-



176. Hemopoiesis



155. Nefropati IgA Idiopatik



1105



Soebandiri



Enday Sukandar, Parlindungan Siregar



177. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia



156. Nefritis Herediter



1109



I Made Bhakta



Jodi Sidharta Loekman



178. Anemia Aplastik



157. Sindrom Nefrotik



1116



Abidin Widjanarko, Aru W. Sudoyo, Hans Salonder



Wiguno Prodjosudjadi



,158.Vaskulitis Renal



179. Anemia Defisiensi Besi



Aida Lydia



1127



I Made Bakta, Ketut Suega, Tjokorda Gde Dharmayuda



159. Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa Enday Sukandar



180. Anemia pada Penyakit Kronis



160. Penyakit Tubulointerstisial



1138



lman Supandiman, Heri Fadjari. Lugyanti Sukrisman



I Gde Raka Widiana



161. Batu Saluran Kemih



181. .Anemia Megaloblastik



Mochammad Sja'bani



1141



Soenarto



162. Penyakit Ginjal dan Kehamilan



182. Anemia Hemolitik Autoimun



Jose Roesma



1152



Elias Parjono, Kartika Widayati Taroeno Hariadi



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



xxiii



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



183. Anemia Hemolitik Non Imun



1157



184. Purpura Trombositopenia Imun



204 Dasar-dasar Hemostasis C. Suharti



lkhwan Rinaldi, Aru W. Sudoyo



1165



205. Patogenesis Trombosis Karmel L. Tambunan



lbnu Purwanto



185. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH)



206. Hemofilia A dan B 1174



Made Putra Sedana



Linda W.A. Rotty



207. Penyakit Von Willebrand



186. Kelainan Hematologi pada Lupus Eritematosus Sistemik



Sugianto



208. Koagulasi Intravaskular Diseminata



Zubairi Djoerban



1319



Lugyanti Sukrisman



1183



187. Hipersplenisme Budi Muljono



209. Fibrinolisis Primer



1323



Boediwarsono



188. Dasar-Dasar Transfusi Darah



210. Gangguan Hemostasis pada Sirosis Hati



Zubairi Djoerban



1327



Karrnel L. Tambunan



189. Darah dan Komponen: Komposisi, Indikasi dan Cara Pemberian



1190



Harlinda Haroen



211. Gangguan Hemostasis pada Diabetes Melitus 1334 Andi Fachruddin Benyamin



212. Kondisi Hiperkoagulabilitas



190. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi Transfusi Darah



1198



M. Tantoro Harmono



191. Aferesis Donor dan Terapeutik



1336



Hilman Tadjoedin



1205



Ronald A. Hukom



213. Sindrom Antibodi Antifosfolipid: Aspek Hematologik dan Penatalaksanaan 1345 Shufrie Effendy



214. Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru 1354



192. Leukemia Granulositik Kronis



1209



Heri Fadjari, Lugyanti Sukrisrnan



193. Polisitemia Vera



1214



M. Darwin Prenggono



-.



Luavanti Sukrisrnan



215. Pemakaian dan Pemantauan Obat-obatan Antitrombosis



1359



Nusirwan Acang



194. Trombositosis Esensial



1220



216. Trombositopenia pada Wanita Hamil



1225



217. Trombosis pada Kanker



lrza Wahid



1364



Yenny Dian Andayani



195. Mielofibrosis Suradi Maryono



1369



Cosphiadi lrawan



196. Leukemia Mieloblastik Akut



1234



218. Sitogenetika



1241



219. Dasar-dasar Talasemia: Salah Satu Jenis Hemoglobinopati



Johan Kurnianda



1374



Aru W. Sudoyo



197. Sindrom Dismielopoetik Arni Ashariati



198. Dasar-dasar Biologis Limfoproliferatif



1245



Arnaylia Oehadian, Trinugroho Heri Fadjari



199. Limfoma Non Hodgkin (LNH)



1251



1379



Djurnhana Atrnakusuma, lswari Setyaningsih



220. Thalassemia: Manifestasi Klinis, Pendekatan Diagnosis, dan Thalassemia Intermedia 1387 Djumhana Atmakusurna, lswari Setyaningsih



A Harryanto Reksodiputro, Cosphiadi lrawan



221. Transplantasi Sel PuncaIInduk Darah 1262



200. Penyakit Hodgkin Rachmat Surnantri



222. Sel Punca (Stem Cell) dan Potensi Klinisnya



201. Leukemia Limfoblastik Akut



1266



1394



A. Harryanto Reksodiputro



1401



Cosphiadi lrawan



Panji lrani Fianza



202. Leukemia Limfositik Kronik



1276



ONKOLOGI MEDIK



Linda W. A. ~ o t t y



203. Mieloma Multipel dan Penyakit Gamopati Lain Mediarty Syahrir



1283



223. Pendekatan Diagnostik Tumor Padat Budi Darrnawan Machsoos



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1407



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



224. Aspek Selular dan Molekular Kanker Barnbang Karsono



1413



225. Teknik-teknik Biologi Molekular dan



Selular pada Kanker



1417



244. Ekokardiografi Trans Esofageal (ETE) Lukrnan H. Makrnun



1422



245. Pemeriksaan Kardiologi Nuklir Ika Prasetya Wijaya



Barnbang Karsono



226. Penanda Tumor dan Aplikasi Klinik Ketut Suega, I Made Bakta



246. Penyadapan Jantung



227. Penggunaan Obat-obatan Antikoagulan



(Cardiac Catheterization)



Antitrombotik, Trombolitik dan Fibrinolitik 1434 Soenarto



228. Peran Flow Cytometric Immunophenotyping



di Bidang Keganasan Hematologi dan Onkologi



243. Pengantar Diagnosis Ekokardiografi Ali Ghanie



1440



Hanafi B.Trisnohadi



247. Intervensi Koroner Perkutan T. Santoso 248. Gagal Jantung Marularn M. Panggabean



Cosphiadi Irawan, Zubairi Djoerban



229. Prinsip Dasar Terapi Sistemik pada Kanker 1446 Abdulrnuthalib



249. Gagal Jantung Akut Daulat Manurung



230. Teknik-teknik Pemberian Kemoterapi Adiwijono



1454



250. Gagal Jantung Kronik Ali Ghanie



231. Terapi Hormonal Pada Kanker Noorwati Sutandyo



1471



251. Mekanisme dan Klasifikasi Aritmia A. Muin Rachrnan



232. Terapi Biologi pada Kanker Johan Kurnianda



1478



252. Gangguan Irama Jantung yang Spesifik Hanafi B. Trisnohadi



233. Pengobatan Suportif pada Pasien Kanker A. Harryanto Reksodiputro



1482



253. Fibrilasi Atrial Sally Arnan Nasution, Ryan Ranitya



234. Neutropeni Febril pada Kanker Dody Ranuhardy



1498



254. Aritmia Supra Ventrikular Lukrnan H. Makrnun 255. Aritmia Ventrikel M. Yarnin, Sjaharuddin Harun



235. Penatalaksanaan MetastasisKanker



ke Tulang



1506



Nugroho Prayogo



236. Penanggulangan Nyeri pada Kanker Asrul Harsal



1512



2378. Sindrom Paraneoplastik Sugiyono Sornoastro, Abdulrnuthalib



1516



238. Penatalaksanaan Pasien Kanker Terminal



dan Perawatan di Rumah Hospis



1519



Asrul Harsal



256. Bradikardia M. Yamin, A. Muin Rachrnan 257. Kardioversi M. Yarnin, A. Muin Rachrnan 258. Pacu Jantung Sementara A. Muin Rachrnan 259. Elektrofisiologi M. Yarnin, Sjaharuddin Harun, Lukrnan H. Makrnun 260. Pacu Jantung Menetap (Permanen) M. Yarnin



KARDIOLOGI 239. Elektrokardiografi 1523 Sunoto Pratanu, M. Yarnin, Sjaharuddin Harun 240. Radiologi Jantung ldrus Alwi



261. Demam Reumatik dan Penyakit Jantung



Reumatik Saharman Lernan



262. Stenosis Mitral Taufik Indrajaya, Ali Ghanie



241. Elektrokardiografi Pada Uji Latih Jantung 1544 Ika Prasetya Wijaya 242. Pemantauan Irama Jantung (Holter



Monitoring)



1548



M. Yarnin, Daulat Manurung



263. Regurgitasi Mitral Daulat Manurung 264. Stenosis Aorta Marulam M. Panggabean



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



265. Regurgitasi Aorta



1689



287. Kor Pulmonal Kronik



Saharrnan Lernan



1842



Sjaharuddin Harun, Ika Prasetya Wijaya



266. Kelainan Katup Pulmonal



1693



288. Hipertensi Pulmonar Primer



Barnbang lrawan M



1845



Muhammad Diah, Ali Ghanie



267. Penyakit Katup Trikuspid



1698



289. Penyakit Jantung dan Operasi non Jantung 1853



Ali Ghanie



Sjaharuddin Harun, Abdul Majid



268. Endokarditis ldrus Alwi



JILID I11



269. Miokarditis ldrus Alwi, Lukman H. Makmun



270. Kardiomiopati



1720



METABOLIK ENDOKRIN



Sally Aman Nasution



271. Perikarditis



1725



290. Sindrom Metabolik



Marularn M. Panggabean



1865



Sidartawan Soegondo, Dyah Purnarnasari



272. Angina Pektronis Tak Stabil



1728



291. Diabetes Melitus di Indonesia



Hanafi B.Trisnohadi



1877



Slarnet Suyono



273. Angina Pektoris Stabil



1735



292 Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus 1880



A. Muin Rachrnan



Dyah Purnarnasari



274. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST



1741



293. Farmakoterapi pada Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus Tipe 2



ldrus Alwi



275. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST Sjaharuddin Harun, ldrus Alwi



294. Terapi Non Farmakologi pada Diabetes



Melitus



276. Antitrombotik dan Trombolitik pada



Penyakit Jantung Koroner



1767



295. Insulin: Mekanisme Sekresi dan Aspek



Metabolisme



1772



1896



Asrnan Manaf



Sjaharuddin Harun, Sally Arnan Nasution



278. Penyakit Jantung Hipertensi



1891



M. Yunir, Suharko Soebardi



lwang Gurniwang, Ika Prasetya W, Dasnan lsrnail



277. Edema Paru Akut



1884



Sidartawan Soegondo



1757



1777



296. Hipoglikemia Iatrogenik Djoko Wahono Soemadji



Marularn M. Panggabean



297. Ketoasidosis Diabetik



279. Penyakit Jantung Kongenital pada Dewasa 1779 Ali Ghanie



Pradana Soewondo



280. Penyakit Jantung pada Usia Lanjut



298. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik



1790



non Ketotik



Lukrnan H. Makrnun



281. Manifestasi Klinis Jantung pada Penyakit



Sistemik



1912



Pradana Soewondo



299. Asidosis Laktat



1792 -



Pradana Soewondo, Hari Hendarto



ldrus Alwi



282. Penyakit Jantung Tiroid



300. Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme



1798



Terjadinya, Diagnosis dan Strategi Pengelolaan



Dono Antono, Yahya Kisyanto



283. Penyakit Jantung pada Penyakit



Jaringan Ikat



1922



Sarwono Waspadji



1804



ldrus Alwi



'



301. Retinopati Diabetik Karel Pandelaki



284. Tumor Jantung



1818



ldrus Alwi



285. Kehamilan pada Penyakit Jantung



1822



Sally Arnan Nasution, Ryan Ranitya



286. Penyakit Arteri Perifer



302. Komplikasi Kronik DM: Penyakit Jantung



Koroner 303 Nefropati Diabetik



1831



1947



Alwi Shahab Hendromartono



Dono Antono, Dasnan lsmail



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1943



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



304. Neuropati Diabetik



PSIKOSOMATIK



lmam Subekti



305. Diabetes Melitus Gestasional John MF Adam



325. Kedokteran Psikosomatik: Pandangan



dari Sudut Ilmu Penyakit Dalam



306. Diabetes Melitus dalam Pembedahan Supartondo



2089



S.Budihalim, E. Mudjaddid



326. Gangguan Psikomatik :



Gambaran Umum dan Patofisiologi



307. Kaki Diabetes



2093



E.Mudjaddid, Hamzah Shatri



Sarwono Waspadji



308. Diabetes Melitus pada Usia Lanjut



327. Ketidakseimbangan Vegetatif



2098



S. Budihalim, D. Sukatman, E.Mudjaddid



Wasilah Rochmah



328. Psikofarmaka dan Psikosomatik



309. Obesitas



2102



E.Mudjaddid, S.Budihalim, D. Sukatman



Sidartawan Sugondo



329. Pemahaman dan Penanganan Psikosomatik



310. Dislipidemia John MF Adam



311. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan



Hipertiroidisme



Gangguan Ansietas dan Depresi: di Bidang Ilmu Penyakit Dalam 2105 E.Mudjaddid



330. Dispepsia Fungsional



R. Djoko Moeljanto



312. Gangguan Akibat Kurang Iodium R. Djoko Moeljanto



331. Psikosomatik pada Saluran Cerna Bagian



Bawah



313. Tiroiditis



2109



E.Mudjaddid



2111



Sujono Hadi



Paulus Wiyono



332. Sindrom Kolon Iritabel



314. Nodul Tiroid



2115



E.Mudjaddid



Johan S. Masjhur



333. Aspek Psikosomatik Hipertensi



315. Karsinoma Tiroid



2119



S. Budihalim, D. Sukatman, Hamzah Shatri



lmam Subekti



334. Gangguan Jantung Fungsional



316. Tumor Hipofisis



2122



Hamzah Shatri



Pradana Soewondo



335. Aspek psikosomatik pada Gangguan



317. Gangguan Pertumbuhan



Irama Jantung



Syafril Syahbuddin



2127



S. Budihalim, D.Sukatman, Hamzah Shatri



318. Diabetes Insipidus



336. Sindrom Hiperventilasi



Asman Boedi Santoso Ranakusuma, lmam Subekti



319. Hormon Steroid



2130



E. Mudjaddid, Rudi Putranto, Hamzah Shatri



337. Aspek Psikosomatik pada Asma Bronkial 2133 E.Mudjaddid



Sjafii Piliang. Chairul Bahri



338. Gangguan Psikosomatik pada Penyakit



320. Hiperkortisolisme



Reumatik dan Sistem Muskuloskeletal



Sjafii Piliang. Chairul Bahri



321. Penyakit Korteks Adrenal Lainnya



339. Fibromialgia



Sjafii Piliang



2136



D. Sukatman, S. Budihalim, Rudi Putranto, Hamzah Shatri



2140



E.Mudjaddid



322. Metabolisme Kalsium Agus P. Sambo, John MF Adam



323. Menopause, Andropause, dan Somatopause



Perubahan Hormonal pada Proses Menua



340. Nyeri Psikogenik



2143



Hamzah Shatri, Bambang Setiyohadi



341. Sindrom Lelah Kronik



2148



Hamzah Shatri, E.Mudjaddid



Pradana Soewondo



342. Migren dan Sakit Kepala



324. Pre Diabetes Dante Saksono Harbuwono



Ahmad H. Asdie, Pernodjo Dahlan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI xxvii



2152



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



343. Psikosomatik Pada Kelainan Tiroid



2156



363. Fibrosis Kistik (Cystic Fibrosis) Alwinsyah A,, E.N.Keliat, Azhar Tandjung



R. Djokomoeljanto



344. Aspek Psikosomatik Pasien Diabetes Melitus 2159



364. Pneumonitis dan Penyakit Paru



Lingkungan



E. Mudjaddid, Rudi Putranto



345. Gangguan Psikosomatik Obesitas



2163



365. Bronkiektasis



Harnzah Shatri, Rudi Putranto, Z. Arsyad. S. Syahbuddin



346. Gangguan Makan Pasien Psikosomatik



Pasiyan Rahrnatullah



2167 2171



368. Abses Paru



2177



Hanum Nasution, H.E.Mudjaddid



349. Gangguan Psikosomatik Saluran Kemih



Hadi Halim



370. Hipertensi Pulmonal Primer (HPP)



2182



Samsuridjal Djauzi, Rudi Putranto, E. Mudjaddid



351. Masalah Psikosomatik Pasien Kanker



Ahmad Rasyid



369. Penyakit-penyakit Pleura



2180



S. Budihalim, D. Sukatman, E. Mudjaddid



350. Aspek Psikososial AIDS



367. Penyakit Paru Interstisial Ceva Wicaksono Pitoyo



R. Sutadi, Rudi Putranto, Hamzah Shatri, E. Mudjaddid



348. Gangguan Tidur Pasien Psikosomatik



366. Tromboemboli Paru Pasiyan Rahmatullah



Hamzah Shatri, Hanum Nasution



347. Gangguan Seksual Psikosomatik



Pasiyan Rahmatullah



2184



Zoebairi Djoerban, Hamzah Shatri



Zulkarnain Arsyad



371. Pneumotoraks Spontan Barmawi Hisyam, Eko Budiono



372. Sleep Apnea (Gangguan Bemapas Saat Tidur) Surnardi, Barwani Hisjam, Bambang Sigit Ryanto, Eko Budiono



PULMONOLOGI 352. Manifestasi Klinik dan Pendekatan pada



Pasien dengan Kelainan Sistem Pernapasan 2189 Zulkifli Amin



REUMATOLOGI 373. Introduksi Reumatologi



353. Pneumonia



2196



Zul Dahlan



2353



A.R.Nasution, Sumariyono



374. Penerapan Evidence Based Medicine



354. Pneumonia Bentuk Khusus



2207



Zul Dahlan



Dalam Bidang Reumatologi



2360



Joewono Soeroso



355. Transplantasi Paru



2211



Zulkifli Amin



375. Metrologi Dalam Bidang Reumatologi



2365



Rizasyah Daud



356. Obstruksi Saluran Pernafasan Akut



2216



Barnbang Sigit Riyanto, Barwani Hisyarn



357. Tuberkulosis Paru



376. Struktur Sendi, Otot, Saraf dan Endotel



Vaskular 2230



Zulkifli Amin, Asril Bahar



377. Struktur dan Biokimia Tulang Rawan Sendi



358. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir



2240



Zulkifli Arnin, Asril Bahar



2249



Zulkifli Amin



2254



Zulkifli Amin



2263



Azhar Tandjung, E.N. Keliat Azhar Tandjung, E.N. Keliat



2416



Linda Kurniaty Wijaya



361. Penyakit Paru karena Mikobakterium



362. Penyakit Paru karena Jamur



2402



Soenarto



380. Apoptosis



Atipik



2385



Bambang Setiyohadi



379. Inflamasi



360. Kanker Paru



2382



Harry lsbagio



378. Struktur dan Metabolisme Tulang



359. Penyakit Mediastinum



2370



Sumariyono, Linda K. Wijaya



2267



381. Peran Protease, Derivat Asam Arakidonat



dan Oksida Nitrit pada Patogenesis Penyakit Reumatik 2422 B.P. Putra Suryana



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI xxviii



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



382. Imunogenetika Penyakit Reumatik



2430



401. Kehamilan pada Lupus Eritematosus Sistemik 2580 Yuliasih



Joewono Soeroso



383. Interaksi Neuroimunoendokrinologi



2435



pada Proses Inflamasi



402. Sindrom Vaskulitis



2587



Laniyati Hamijoyo



Kusworini Handono, Handono Kalirn, Meddy Setiawan



403. Sindrom Antifosfolipid-Antibodi



384. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis Penyakit



Muskuloskeletal



2445



Harry Isbagio, Bambang Setiyohadi



385. Artrosentesis dan Analisis Cairan Sendi



2609



Sumartini



404. Sklerosis Sistemik



2620



Barnbang Setiyohadi



2456



Surnariyono



405. Miologi



2629



Barnbang Setiyohadi



386. Pemeriksaan CRF, Faktor Reumatoid,



Autoantibodi dan Komplemen



2462



Arnadi Taslim, N.G. Suryadhana, Yoga I. Kasjrnir



2639



Barnbang Setiyohadi, A. Sanusi Tambunan



407. Osteoporosis



2650



Bambang Setiyohadi



387. Pemeriksaan Pencitraan Dalam Bidang



Reumatologi



406. Infeksi Tulang dan Sendi



2472



408. Osteomalasia



2677



Nyoman Kertia



Zuljasri Albar



388. Pemeriksaan Densitometri Tulang



2477



409. Penyakit Paget



2680



Nyoman Kertia



Barnbang Setiyohadi



389. Nyeri



2483



411. Nyeri Tulang



2495



I Nyornan Suarjana



2514



Yuliasih



2695



Barnbang Setiyohadi



412. Reumatik Ekstra-Artikular



391. Sindrom Sjogren



2685



Bambang Setiyohadi



Barnbang Setiyohadi, Sumariyono, Yoga I. Kasjrnir, Harry Isbagio, Handono Kalim



390. Artritis Reumatoid



410. Hiperkalsemia dan Hipokalsemia



2698



Blondina Marpaung



413. Gangguan Muskuloskeletal Akibat Kerja 2705



392. Artritis Rumatoid Juvenil (Artritis Idiopati



Juavenill Artritis Kronis Juvenil)



2519



Yuliasih



Zuljasri Albar



414. Fibromialgia dan Nyeri Miofasial



2695



OK Moehad Sjah



393. Spondilitis Ankilosa



2526



Jeffrey A. Onkowijaya



415. Nyeri Spinal



2709



Yoga I. Kasjrnir



394. Artritis Psoriatik



2532



Zuljasri Albar



416. Penyakit Jaringan Ikat Herediter



2725



Faridin



395. Reactive Arthritis



2535



Rudi Hidayat



417. Displasia Tulang dan Sendi



2729



Nyornan Kertia



396. Osteoartritis



2538



Joewono Soeroso, Harry Isbagio, Handono Kalim, Rawan Broto, Riardi Pramudiyo



397. Hiperurisemia



418. Neoplasma Tulang dan Sendi 419. Obat Anti Inflamasi Non Steroid



2550



420. Opioid, Anti Depresan dan Anti



Konvulsan pada Terapi Nyeri 2556



Edward Stefanus Tehupeiory



399. Kristal Artropati Selain Gout



2737



Najirrnan



Tjokorda Raka Putra



398. Artritis Pirai (Artritis Gout)



2733



Edward Stefanus Tehupeiory



2744



Riardi Pramudiyo



421. Peran Kortikosteroid di Bidang



2561



Faridin



Reumatologi



2749



A.M.C Karena-Kaparang, Chandra Wibowa



400. Lupus Eritematosus Sistemik Harry Isbagio, Zuljasri Albar, Yoga I. Kasjmir, Bambang Setiyohadi



2565



422. Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs



(DMARD) Herrnasyah



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



2755



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



423 Agen Biologik Dalam Terapi Penyakit Reumatologi



440. Toksoplasmosis



2761



B. P. Suryana



Herdirnan T. Pohan



441. Sepsis A. Guntur H.



442. Pemakaian Antimikroba Secara Rasional di Klinik



TROPIK INFEKSI



R.H.H. Nelwan



424. Demam: Tipe dan Pendekatan



2767



R.H.H. Nelwan



Usman Hadi



425. Demam Berdarah Dengue



2773



Suhendro, Leonard Nainggolan, Khie Chen, Herdirnan T Pohan



426. Demam Kuning (Yellowfever) 427. Influenza dan Pencegahan



2780 2783



R.H.H Nelwan



428. Influenza Burung (Avian Influenza)



2786



Leonard Naingolan, Cleopas martin Rurnende, Herdiman T Pohan



429. Severe Acute Respiratory Sindrome (SARS) 2790 Khie Chen, Clepas Martin Rurnende



430. Demam Tifoid



2797



Djoko Widodo



431. Leptospirosis



2807



Urnar Zein



432. Malaria



2813



Paul N. Harijanto



433. Malaria Berat



2826



lskandar Zulkarnain, Budi Setiawan



434. Diare Akut Karena Infeksi



2836



Budi Setiawan



435. Kolera



2843



H. Soernarsono



436. Amebiasis



2850



Eddy Soewandojo Soewondo



437. Disentri Basiler



2857



Akrnal Sya'roni



438. HIVIAIDS di Indonesia



2861



Zubairi Djoerban, Sarnsuridjal Djauzi



Nasronudin



444. Infeksi Nosokomial lskandar Zulkarnain



Primal Sudjana



439. Infeksi Jamur



443. Resistensi Antibiotik



2871



445. Tetanus Gatoet lsrnanoe



446. Rabies Paul N. Harijanto, Carta A. Gunawan



447. Filariasis Herdiman T. Pohan



448. Penyakit Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah Herdiman T. Pohan



449. Cacing Hati Yosia Ginting



450. Taeniasis I Made Bakta



451. Difteri Nuzirwan Acang



452. Penyakit Sampar Triwibowo



453. Antraks Hadi Yusuf



454. Bruselosis Akmal Sya'roni



455 Trypanosomiasis Niniek Burh,an



456. Sistosomiasis (Bilharziasis) A. Halim Mubin



457. Penyakit Prion A. Nugroho, Paul N. Harijanto



INDEKS



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1-1



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PENGEMBANGAN ILMU DAN PROFESI PENYAKIT DALAM Samsuridjal Djauzi



PENDAHULUAN



ILMU PENYAKIT DALAM



Ilmu kedokteran terus berkembang. Salah satu perkembangan yang terjadi adalah terbentuknya percabangan ilmu kedokteran. Jika ilmu kedokteran semula merupakan seni menyembuhkan penyakit (the art of healing) yang dilaksanakan oleh dokter yang mampu melayani pasien yang menderita berbagai penyakit maka kemudian sesuai dengan kebutuhan, ilmu kedokteran bercabang menjadi cabang bedah dan medis. Percabangan ini sudah terjadi cukup lama yaitu sejak abad kedelapan sebelum masehi. Percabangan bedah memungkinkan pendalaman ilmu untuk mendukung layanan bedah sedangkan medis melayani ilmu yang mendukung layanan non bedah. Selanjutnya terjadi percabangan lagi, medis bercabang menjadi ilmu penyakit dalam dan ilmu kesehatan anak. Istilah penyakit dalam pertama kali digunakan oleh Paracelsus pada tahun 1528. Percabangan ilmu kedokteran ternyata tidak hanya sampai disitu namun terus terjadi percabangan baru sesuai dengan kebutuhan pelayanan di masyarakat. Percabangan ilmu memungkinkan terjadinya pendalaman yang amat bermanfaat untuk pengembangan ilmu dan keterarnpilan yang pada akhirnya dapat digunakan untuk meningkatkan mutu pelayanan. Namun selain manfaat yang dipetik dari percabangan ilmu kedokteran, kita juga menghadapi tantangan bahwa percabangan ilmu dapat memecah ilmu kedokteran menjadi kotak-kotak yang kurang mendukung ilmu kedokteran sebagai kesatuan. Untuk itu perlu disadari bahwa percabangan ilmu kedokteran haruslah mendukung kesatuan ilmu kedokteran sendiri. Selain itu juga hams disadari bahwa layanan yang terkotak akan meningkatkan biaya kesehatan dan menjadikan pasien kurang diperlakukan sebagai manusia yang utuh.



Sebagai salah satd cabang ilmu kedokteran, ilmu penyakit dalam mempunyai nilai dan ciri yang merupakan jati dirinya. Sudah tentu ilmu penyakit dalam memiliki nilai bersama yang merupakan nilai inti ilmu kedokteran yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, bebas dari diskriminasi serta melaksanakanpraktek kedokteran dengan penuh rasa tanggung jawab. Nilai tersebut diamalkan dalam melaksanakan profesi penyakit dalam. Namun karena ilmu penyakit dalam medukung layanan spesialis penyakit dalam yang menyediakan layanan spesialis untuk orang dewasa secara berkesinambungan maka salah satu nilai penting yang dijunjung dalam layanan spesialis penyakit dalam adalah nilai yang mewarnai layanan yang komprehensif berupa penyuluhan, pencegahan, diagnosis, terapi dan rehabilitasi. Layanan yang komprehensif ini memungkinkan seorang dokter spesialis penyakit dalam untuk menatalaksana baik penyakit akut maupun penyakit kronik. Selain itu pendekatan dalam penatalaksanaan penyakit adalah pendekatan holistik yang berarti memandang pasien secara utuh dari segi fisik, psikologis dan sosial. Pendekatan ini memunglunkan dokter untuk memandang pasien sebagai manusia dengan berbagai persoalan tidak hanya terbatas pada persoalan biologik semata. Nilai lain yang dimiliki oleh ilmu penyakit dalam adalah keinginan untuk mengikuti perkembangan ilmu dan kebutuhan masyarakat. Keterampilan kognitif merupakan kemampuan yang penting dalam ilmu penyakit dalam. Berbagai penemuan baru dalam ilmu kedokteran merupakan masukan yang berharga dalam mengamalkan keterampilan kognitif ini. Selain itu ilmu penyakit dalam tanggap pada masalah kesehatan baik masalah kesehatan individu maupun masyarakat. Meningkatnya populasi usia



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DASAR-DASARILMU PENYAKlT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI tua misalnya merupakan contoh yang memerlukan tanggapan ilmu penyakit dalam. Dalam pelayanan spesialis penyakit dalam diperlukan kemampuan untuk mengkoordinasi agar pasien dapat dilayani secara tepat guna dan berhasil guna. Keterampilan ini menghendaki kemampuan memimpin (leadership). Dengan demikian nilainilai yang diamalkan oleh dokter spesilasi penyakit dalam adalah nilai untuk mendukung layanan yang komprehensif dan berkesinambungan dengan pendekatan holistik, nilai untuk tanggap terhadap persoalan kesehatan masyarakat serta nilai kepemimpinan dan profesionalisme. Nilai-nilai ini bukanlah nilai yang baru namun perlu dimililu oleh dokter spesialis penyakit dalam agar dapat melaksanakanperannya sebagai dokter spesialis penyakit dalam yang baik.



PROFESI SPESlALlS PENYAKIT DALAM Dl INDONESIA Perhimpunan Spesialis Ilmu Penyakit Dalam (PAPDI) merupakan salah satu perhimpunan profesi yang tertua di Indonesia. Perhimpunan ini lahir pada 16 Nopember 1957 di Jakarta. Dalam perkembangan keprofesian PAPDI berusaha secara aktif untuk mengembangkan layanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Sumbangan tersebut dapat berupa pendidikan dokter spesialis penyakit dalam serta pemikiran-pemikiran untuk dapat mewujudkan layanan kesehatan yang diperlukan oleh masyarakat. PAPDI bersama perhimpunan profesi lain berusaha juga untuk meningkatkan mutu layanan kesehatan di Indonesia. Dalam mewujudkan layanan kesehatan yang dapat meningkatkan taraf kesehatan masyarakat Indonesia PAPDI menerapkan nilai-nilai yang dianut dan berlaku dalam pengembangan ilmu penyakit dalam. Ini berarti PAPDI menerapkan layanan yang bersifat komprehensif dengan pendekatan holistik serta merupakan layanan yang berkesinambungan. Adakalanya seorang dokter spesialis penyakit dalam melayani pasiennya sejak pasien masih berusia muda sampai pasien tersebut berusia lanjut, layanan yang lamanya puluhan tahun dan berkesinambungan. Dalam mengamati masalah kesehatan di Indonesia PAPDI memandang perlunya ditumbuhkan perilaku sehat dalam kehidupan sehari-hari. Upaya pencegahan penyakit menular akan lebih murah dan lebih mudah dilaksanakan daripada terapi. Karena itu meski sebagaian besar waktu dokter spesialis penyakit dalam digunakan dalam penatalaksanaan pasien secara individu namun dokter spesialis penyakit dalam perlu menyediakan waktu cukup untuk penyuluhan penyakit baik untuk individu maupun masyarakat luas. Pemahaman mengenai latar belakang sosial pasien memungkinkan seorang dokter spesialis penyakit dalam untuk memilih tindakan diagnostik dan terapi yang sesuai dengan kemampuan pasien dan keluarga. Dalam berbagai kesempatan kuliah Prof. Dr.



Supartondo, salah seorang spesialis penyakit dalam senior di Jakarta, mengungkapkan layanan kesehatan yang diberikan tanpa mempertimbangkan cost effectiveness merupakan layanan yang kurang etis.



MASA DEPAN SPESlALlS PENYAKIT DALAM Di tingkat global dewasa ini tumbuh kesadaran untuk menggalakkan kembali layanan yang komprehensif dan pendekatan holistik. Pengalaman Amerika Serikat yang menghabiskan dana amat banyak dalam memberikan layanan kesehatannya, ternyata menghasilkan indikator kesehatan masyarakat yang lebih buruk daripada Jepang dan Swedia, sehingga menyadarkan para pakar kesehatan di sana bahwa layanan terkotak hams dikembalikan pada layanan komprehensif. Spesialisasi penyakit dalam yang semula dianggap berada pada masa redup sekarang menjadi bersinar kembali karena nilai yang dianut oleh spesialis penyakit dalam jika diamalkan dengan baik akan mendukung layanan yang lebih manusiawi, lebih hemat dan lebih tepat guna. Slamet Sujono mengemukakan perlunya reorientasi layanan kesehatan di Indonesia agar Indonesia tidak mengulangi kembali pengalaman Amerika Serikat.



PERSYARATAN MENJADI DOKTER SPESlALlS PENYAKIT DALAM Indonesia membutuhkan banyak dokter spesialis penyakit dalam. Dokter spesialis penyakit dalam berperan penting dalam meningkatkan taraf kesehatan masyarakat. Mahasiswa kedokteran yang senang mengikuti perkembangan ilmu kedokteran, yang menonjol dalam keterampilan kognitif, bersedia menjadi sahabat pasien, yang mau menyediakan waktu untuk penyuluhan serta bersedia melakukan layanan yang komprehensif, bersifat holistik dan berkesinambungan, serta mampu mengkoordinasikan layanan kesehatan untuk pasiennya merupakan calon spesialis penyakit dalam yang baik. Bersama dengan profesi lain dokter spesialis penyakit dalam mudah-mudahan akan dapat mewujudkan masyarakat Indonesia yang berperilaku sehat dan mencapai taraf kesehatan yang baik. Untuk itu Indonesia memerlukan banyak dokter spesialis penyakit dalam.



REFERENSI Abdurrachman N. Jati diri dokter spesialis penyakit dalam Indonesia. 2000 (tidak dipublikasikan). Bryan CS. Association of professors of medicine: General internal medicine as a 21" century specialty: perspective of community-based chairs of medicine. Am J Med. 1995;99:1-3.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



3



PENGEMBANGANILMU DAN PROFESI PENYAKlT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Kucharz JE. Internal medicine: yesterday, today, and tomorrow Part I. origin and development: the historical perspective. Eur J Intern Med. 2003;14:205-8. Lindgren S, Kjellstrom. Future development of general internal medicine: a Swedish perspective. Eur J Intern Med. 2001;12:464-9. Myerburg RJ. Departments on medical specialties: a solution for the



divergent mission of internal medicine? N Engl J Med. 1994;330:1453-6. SGIM task force. The future of general internal medicine. J Gen Intern Med. 2004;19(1):69-77. Suyono S. Pidato wisuda guru besar: Quo vadis penyakit dalam suatu renungan di awal abad ke 21. 2003.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PERKEMBANGAN ILMU PENYAKIT DALAM SEBAGAI SUATU DISIPLIN ILMU Nurhay AWurrahman



PENDAHULUAN Ilmu adalah kumpulan pengetahuan, namun tidak semua kumpulan pengetahuan adalah ilmu. Kumpulan pengetahuan untuk dapat dinamakan ilmu dengan disiplin tersendiri hams memenuhi syarat atau kriteria tertentu. Syarat yang dimaksud adalah hams adanya obyek materi dan obyek forma-dari kumpulan pengetahuan itu yang tersusun secara sistematis. Obyek materi adalah sesuatu ha1 yang dijadikan sasaran pemikiran, yaitu sesuatu yang dipelajari,dianalisis dan diselidiki menumt metode yang berlaku dan disepakati dalam keilmuan, sehingga dapat tersusun secara sistematis dengan arah dan tujuan tertentu secara khusus memenuhi persyaratan epistemiologi. Obyek materi mencakup segala sesuatu bak hal-ha1yang kongknt (misalnya manusia, hewan, tanaman atau bendabenda lain di alam raya sekitar kita), ataupun hal-ha1 yang abstrak (misalnya:ide-ide,nilai-nilai, atau ha1kerohanian atau fenomena-fenomena yang substantif lainnya). Obyek forma dibentuk oleh cara dan sudut pandang atau peninjauati yang dilakukan oleh seseorangyang mempelajari atau peneliti terhadap obyek materi dengan prinsip-prinsip ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan esensi dari penelitiannya,secara sistematis sehingga mendekati hakekat sesuatu kebenaran mengenai obyek materinya. Obyek forma dari sesuatu ilmu, tidak hanya memberi keutuhan tertentu yang substantif dan sistematis (body of knowledge), tetapi pada saat yang sama juga membedakannyadariberbagai ilmu dalam bidang-bidang lain. Sebagai contoh: anatomi manusia adalah ilmu yang mempelajari struktur organ-organ manusia, sedangkan fisiologi manusia adalah ilmu yang mempelajari fungsi



organ-organ manusia. Kedua macam ilmu itu mempunyai obyek materi yang sama, akan tetapi berbeda dalam obyek formanya Jadi sebuah disiplin ilmu harus memiliki obyek f m a dan obyek materi sehingga dapat dipelajari dengan seksama. Obyek materi bersama dengan obyek forma menjadi bagian mutlak dari keberadaan atau dikenal sebagai "raison d'etre" dari suatu ilmu pengetahuan. Dapat juga dikatakan dalam bahasa yang lebih sederhana: bahwa sesuatu yang secara ontologisdapat diakui keberadaannya karena dikenal eksistensinya secara substantif atas pengetahuan dan pengalaman; bersamaan dengan esensinya sebagai ciri-ciri yang bersifat unik (unique) dan universal yang dapat disebut sebagai jati diri disiplin keilmuannya. Jadi dapat dipahami bahwa secara fenomonologis keberadaan ilmu pengetahuan seperti uraian di atas adalah suatu kenyataan. Dari segi keilmuan, ilmu penyakit dalam mempunyai dasar metodologi yang khusus, dengan paradigma yang bersifat holistik, integratif, dan komprehensif, sedemikian rupa mampu untuk menjamin dalam memberikan penyelesaian yang lebih tuntas mengenai pelayanan medis pada kasus pasien dewasa seutuhnya. Pada kenyataannya semua sistern organ tubuh (menjadi obyek ilmu penyakit dalam), karena fungsinya terkait saling berpengaruh satu sama lain, dan pandangan ini adalahtumpuan pokok profesi ilmu penyalat dalamuntukmernberikanpelayanan medis yang optimal pada pasien dewasa. Profesi dalam pelayanan ilmu penyakit dalam bermula dengan pelayanan klinis yang paling sederhana secara holistik, lambat laun pelayanan medis klinis tersebut berkembang secara intregratif dengan tetap berdasar pada keterkaitannya secara holistik dalam penanggulangan pasien dewasa. Adapun pengelolaan tiap sistem organ, masing-masing



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



P-CAN



ILMU PENYAKIT DALAMSEBAGAISUATU DISIPI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI menjadi pendukung pada pelayanan yang holistik yang hams dikuasai oleh seorang ahli IPD, agar pelayanan medisnya tetap komprehensif dan optimal.



INTERNAL MEDICINE Internal Medicine is a scientific discipline encompassing the study of diagnosis and treatment of non surgical diseases of adolescent and adult patients. Intrinsic to the discipline are the tenets ofprofesionalism and humanistic values. Mastery of internal medicine requires not only comprehensive knowledge of the pathophysiology, epidemiology, and natural history of disease processes but also acquisition of skills in medical interviewing, physical examination, humanistic relation with patients and procedural competency rnlliam N Kelly and Joel D.Howell.in Kelly k Text Book of Internal Medicine). The core paradigm of Internal Medicine are the presenting symptoms and signs then proceeds in a logical fashion using pathophysiology as the basis for the developing symptoms and signs complex holistically, supported by apropriate competencies of diagnostic and therapeutical procedures into a known disease entity, which, after all as way of clinical thinking is the very basis of Internal Medicine. (Harrison k: Principles of Internal Medicine). Ilmu penyakit dalam (IPD) keberadaannya sebagai disiplin ilmu yang unik mempelajari ilmu kedokteran dengan sudut pandang klinis (clinical thinking) dan holistik yang bersifat humanistis sebagai obyek forma, sedangkan obyek materinya adalah manusia dewasa secara utuh dengan keterkaitan seluruh sistem organ tubuh yang mengalami gangguan. Atas dasar pandangan ini dapatlah dikatakan bahwa keunikan atas dasar klinis dan humanistis merupakan karakteristik IPD. Ilmu penyalut dalam mempunyai sasaran sebagai obyek materi yaitu "si pasien dewasa" dan bertujuan mtuk penyembuhan yang optimal penyakit secara utuh. Hal ini menjadi salah satu dasar profesionalisme bagi para penyandang ahli penyakit dalam sebagai misi IPD, terhadap pasien dewasa seutuhnya. Yang dibutuhkan dari seseorang yang profesional dalam bidang pekerjaannya adalah pertama-tama kemampuan (kompetensi) untuk melihat masalah secara utuh, kemudian dapat merinci masalahnya secara terkait untuk dapat diatasi secara optimal. Dari tinjauan ini IPD, nyata atas dasar jati dirinya telah memenuhi kriteria keilmuannya dalam bidang kedokteran. Sejarahllmu kedokteran khk, sejak awal menggambarkan bahwa IPD adalah induk atau pokok batang (science tree) dari semua cabang subspesialisasinya yang mencakup : pulmonologi, kardiologi, endokrinologi, hematologi, neffologi, alergi-imunologi, reumatologi, hepato-gastroenterologi,ilmu penyakit tropik, geriatri, clan ilmu psikosomatk. Pada dasarnya



setiap cabang subspesialisasi tersebut lahir dari pelayanan internistis, sehingga wajar seorang internis tidak dapat melepaskan salah satu cabang dari keilmuannya secara integral. Di samping kemampuan seperti tersebut di atas IPD merupakan perpaduan yang harmonis antara science and art dalam bidang kedokteran, sehingga senantiasa bermanfaat bagi kesejahteraan manusia seutuhnya. Kedudukan manusia dalam ikatan dengan ilmu pengetahuan adalah sebagai subyek, yaitu manusia dengan segenap akal-budi dan nalurinya menjadi pengolah atau peneliti dalam bidang ilmu pengetahuan, sedangkan objek ilmu pengetahuan hams tetap terbuka, baik obyek materi maupun obyek formanya, sehingga ilmu pengetahuan tetap berkembang secara wajar dan diolah secara sistematis dan metodologis dalam mencapai sasarannya yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Sewajarnya bagi suatu ilmu pengetahuan selalu menuntut perkembangan yang berkesinambungan dan pendalaman ilmunya serta teknologinya yang terkait yang menghasilkan diversifikasi ilmu pengetahuan tersebut secara wajar. Akan tetapi dalam perkembangannya senantiasa hams tetap dicegah terjadinya-fragmentasi dari IPD tersebut, agar misi keilmuannya tidak hilang-lenyap. Hal ini sangat penting bagi ilmu kedokteran khususnya IPD karena berkenaan dengan kemaslahatan manusia secara keseluruhan. Selain itu ahli IPD tetap diperlukan untuk kelangsungan pendidikan dokter umum (Sl), sedang pendidikan ilmu penyakit dalam (Spl) tetap memerlukan ahli-ahli ilmu penyakit dalam yang telah memperdalam keahliannya secara khusus dalam bidang subspesialisasi dari ilmu penyakit dalam (Sp2). Kejelasan tentang obyek forma dan obyek materi dari kumpulan pengetahuan mengenai penyakit dalam (internaldiseases)sebagaimana uraian di atas, membuktikan suatu kenyataan bahwa eksistensi ilmu-penyakitdalam adalah suatu disiplin ilmu yang memenuhi kriteria keberadaan ilmu pengetahuan itu dengan obyek materi dan obyek forrnanya tersendiri. Selain ha1 tersebut ini, baik secara empirismaupun teoritis telah memperkuat pandangan bahwa IPD telah benarbenar senantiasa membuktikan kemanfaatannya bagi kemaslahatan manusia atas dasar misi dan visi yang hams dipelihara pengembangannya. Dalam memelihara keberadaan serta integritas dan pengembangan disiplin ilmu penyakit dalam (IPD) terutama visi dan misi hams dijaga dan dipelihara keutuhannya. Semua subspesialitas dari IPD menjadi komponen atau unsur cabang ilmu penyakit dalam, yang satu sama lain terkait dan tidak dapat dipisahkan baik dalam disiplin keilmuan, pendidikan maupun dalam praktek pelayanan medistklinis pada orang dewasa dengan penekanan pada pandangan holistik dan sikap humanistis (termasuk medical ethics) yang juga menjadi esensi dari IPD. Untuk ha1 ini dapat diambil contoh dari ketentuan dan langkah American Board of Internal Medicine yang berlaku hinggakini di Amerika. Demikianlahjati diri dari



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



IPD yang senantiasa hams dipertahankan keutuhannya dengan misi dan visi seperti uraian di atas. Menjadi tanggungjawab dan tantangan di masa datang bagi para ahli ilmu penyakit dalam untuk memertahankan integritas ilmu penyakit dalam sebagai suatu disiplin Ilmu yang utuh untuk selamanya Para ahli ilmu penyakit dalam hams tetap bemsaha mengembangkan secara wajar ilmu kedokteran dengan bertitik tolak pada science tree ilmu kedokteran dengan



percabangannya dari ilmu kedokteran, yaitu bahwa semua kemajuan setiap subspesialitasnya dari ilmu penyakit dalam adalah continuum dari Ilmu Penyakit Dalam, dengan kata lain adalah kelanjutan dari perkembangan ilmu penyakit dalam. Dari perkembangan ini dapat dipahami bahwa pendidikan kelanjutan dari IPD adalah tingkat konsulen-darisalah satu subspesialitas ilmu penyakit dalam (Sp2), yang dalam pelayanan atau profesinya di bidang medis tetap memelihara integritas ilmu penyakit dalam.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PENDEKATAN HOLISTIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM HMS. Markurn, E. Mudjaddid



PENDAHULUAN Pendekatan holistik dalam menangani berbagai penyakit di bidang kedokteran konsep dasamya sudah diterapkan sejak perkembangan ilmu kedokteran itu sendiri. Konsep dasar ini bertumpu pada anggapan bahwa manusia adalah sesuatu kesatuan yang utuh yang terdiri atas badan dan jiwa, yang satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan. Selain itu manusia adalah makhluk sosial yang setiap saat berinteraksi dengan manusia lain dan lingkungannya di mana dia berada. Adanya dikotomi antara badan dan jiwa dalam menangani pasien agaknya lebih merupakan akibat dari perkembangan ilmu kedokteran yang tidak seimbang antara kemajuan yang dicapai di bidang fisik seperti patologianatomi,biokimiawi, biologi dan sebagainya dibandingkan dengan kemajuan di bidang non-fisik. Oleh karena itu kita hams mundur dulu jauh ke belakang mengingat kembali beberapa ratus tahun sebelum masehi pada saat Sokrates dan Hipokrates meletakkan dasar pendekatan holistik yang menyatakan bahwa selain faktor fisik, faktor psikis sangat penting pada kejadian dan perjalanan penyakit seorang pasien. Ucapan Socrates (400BC) yang sangat populer adalah: "As it is notproper to cure the eyes without the head; nor the head without the body; so neither it is the proper to cure the body without the soul". Tidaklah etis seorang dokter mengobati mata tanpa melihat kepala dan tidak etis bila mengobati kepala tanpa mengindahkan badannya, lebih-lebih sangatlah tidak etis bila mengobati badannya tanpa mempertimbangkanjiwanya. Sedangkan Hipocrates menekankan pentingnya pendekatan holistik dengan mengatakan: "inorder to cure the human body, it is necessary to have a knowledge of



the whole of things ". Dalam perkembangan konsep kedokteran dasar tersebut mengalami pasang-surut sesuai dengan pengaruh alam pikiran para ahli pada zamannya. Pada abad pertengahan konsep dan cara berpikir para ahli kedokteran banyak dipengaruhi oleh alam pikiran fisika dan biologi semata. Pendekatan pada orang sakit semata-mata adalah pendekatan somatis saja. Pada saat itu pengetahuan tentang sel menonjol dan mengalami perkembangan pesat, karenanya pandangan para ahli hanya ditujukan pada bidang selular semata tanpa mengindahkan faktor-faktor lain seperti faktor psikis, sehingga pada zaman ini seolah-olah dokter bertindak sebagai "mekanik" yang memerbaiki bagian-bagian "kendaraan" yang rusak. Pada masa ini kita mengenal sarjana Virchow (18121902) seorang ahli patologi anatomi yang memperkenalkan teori patologi selular dengan dogmanya omnis cellula et cellula. Dengan sendirinya pada masa ini yang menonjol adalah anggapan bahwa manusia sakit disebabkan oleh karena selnya yang sakit. Manusia hanya dipandang sebagai kumpulan sel belaka. Kemajuan di bidang patologi-anatomi serta patofisiologi berikutnya mendorong para ahli untuk berpikir menurut organ tubuh dan sistem. Masa inipun agaknya belum memandang manusia secara utuh. Timbulnya beberapa macam cabang ilmu spesialistis menurut sistem yang ada dalam tubuh seperti kardiovaskular, paru-paru, urogenital, gastrointestinal dan sebagainya, walaupun memang pada gilirannya nanti pendekatan secara sistem di atas bermanfaat pada peningkatan mutu pelayanan. Pendekatan menurut organ dan sistem kenyataannya tidak selalu memberikan hasil yang memuaskan. Banyak pasien yang tidak merasakan adanya kesembuhan setelah



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DASAR-DASAR ILMU PENYAKIT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



mendatangi beberapa ahli sesuai dengan organ tubuh yang dideritanya. Keluhan-keluhan fisik tetap saja tidak berkurang. Sejalan dengan kenyataan tersebut para ahli kedokteran mulai menengok kembali sisi lain, yaitu semua aspek yang mempengaruhi segi kehidupan manusia termasuk aspek psikis. Di pihak lain, dalam perkembangan ilmu kedokteran para ahli psikoanalisis menemukan dan menekankan kembali pentingnya peranan faktor-faktor psikis dan lingkungan dalam kejadian dan perjalanan suatu penyakit. Bahkan kemudian para ahli yakin bahwa patologi suatu penyakit tidak hanya terletak pada sel atau jaringan saja tetapi terletak pada organisme yang hidup, dan kehidupan tidak ditentukan oleh faktor biologis semata tetapi erat sekali hubungannya dengan faktor-faktor lingkungan yaitu bio-sosio-kultural dan bahkan agama. Inilah konsep yang memandang manusialorang sakit secara utuh dan paripurna (holistik). Faktor-faktor fisik, psikis dan lingkungan masingmasing mempunyai inter-relasi dan interaksi yang dinamis dan terus-menerus, yang dalam keadaan normal atau sehat ketiganya dalam keadaan seimbang. Jika ada gangguan dalam satu segi maka akan memengaruhi pula segi yang lain dan sebaliknya. Jadi jelaslah bahwa setiap penyakit memiliki aspek fisik, psikis dan lingkungan bio-sosiokultural dan agama. Dengan demikian, konsep monokausal suatu penyakit sudah tidak dianut lagi. Pendekatan yang demikian semakin dirasa perlu, karena pendekatan semata-mata hanya dari sudut fisik saja baik secara teknis, mekanis, biokemis dan fisiologis ternyata dirasakan semakin tidak banyak menolong pasien dengan memuaskan, terutama pada pasien-pasien dengan penyakit yang tergolong gangguan fungsional. Dengan perkataan lain, seorang dokter sebagai manusia yang sarat dengan segala pengetahuan yang dimilikinya secara timbal balik mengobati pasienlpasien juga sebagai manusia dengan segala aspeknya yang harus dipertimbangkan. Dan tidaklah semata hanya memandang pasien sebagai "sosok tubuh" yang tidak berdaya tergolek di tempat tidur, atau melulu hanya melihat "penyakit"-nya saja. Kemajuan yang pesat di bidang ilmu kedokteran termasuk pengetahuan tentang biomolekular, rekayasa genetik dan kemajuan di bidang teknologi kedokteran (baik untuk diagnostik maupun terapetik) yang semakin canggih di satu pihak membawa dunia kedokteran ke dalam era baru yang semakin maju. Tetapi di pihak lain seiring dengan merebaknya globalisasi, kemajuan-kemajuan yang dicapai tadi sering pula menimbulkan malapetaka, misalnya dengan pemanfaatan tehnologi kesehatan yang tidak pada tempatnya atau makin banyaknya praktek-praktek yang tergolong "ma1 praktis" yang dilakukan oleh oknum tenaga kesehatanldokter yang tidak bertanggung jawab. Disinilah dalam kaitannya dengan pendekatan holistik tadi perlunya diperhatikan masalah "etika", moral dan



agama. Kemampuan menggunakan alat canggih serta kepandaian pemanfaatan laboratorium yang memadai sebagai modal dasar untuk melakukan terapi, belumlah cukup untuk menjadi dokter yang baik. Kombinasi antara pengetahuan medik, intuisi dan pertimbanganpertimbangan yang matang adalah "seni" dalam bidang kedokteran yang diperlukan sebagai modal dalam praktek. Memang benar sekali bahwa medicine science and art. Dalam kaitannya dengan masalah etika kedokteran, maka yang hams diperhatikan adalah hak dan kewajiban dokter di satu sisi, dan disisi lain adalah hak dan kewajiban pasien. Hak-hak pasien dalam hukum kedokteran bertumpu dan berdasarkan atas dua hak azasi manusia, yaitu: 1). Hak atas pemeliharaan kesehatan (The right to health care); 2). Hak untuk menentukan nasib sendiri (The right to self determination) Pasien berhak untuk menerima atau menolak tindakan pengobatan sesudah ia memperoleh keterangan yang jelas. Informed consent adalah persetujuan pasien atas tindakan setelah sebelumnya diinformasikan terlebih dahulu secara jelas dan bukan hanya sekedar memperoleh tandatangan pasien. Inilah hak untuk menentuka nasib sendiri. Bagaimanakah pendekatan holistik yang menjunjung tinggi etik ini dimasa yang akan datang dengan kemajuan ilmu kedokteran yang semakin pesat dan juga semakin merebaknya arus globalisasi ? Jawabannya tentu merupakan tantangan besar yang hams dihadapi secara arif dan bijaksana oleh para praktisi dibidang medik. Sebagai ilustrasi terdapat beberapa pertanyaan yang belum terjawab yang merupakan tantangan di masa yang akan datang: Apa yang akan dilakukan terhadap kelebihan frozen embryo yang belakangan dilaporkan tersimpan di laboratorium ? . Bagaimana menyikapi keabadian benda-benda biologis seperti sperma, yang saat ini sudah bisa dilakukan ? Bagaimana segi-segi hukum yang mengatur tentang inseminasi buatan, serta bagaimana akibat yang mungkin terjadi dimasa datang ? Bagaimana pendekatan kepada sejumlah pasien hepatitis B karier yang masih hams melakukan aktivitas kerjanya dan bagaimana anggapan lingkungan sekelilingnya ? Bagaimana perlakuan terhadap pasien dengan HIV positif? Nampaknya pada masa yang akan datang masih diperlukan produk hukum dan perundang-undangan dengan tetap bersumber dan mengindahkan segi-segi dan sendi agama. Perkembangan di bidang biologi molekular telah membawa dunia kedokteran maju dengan pesat, baik dalam segi diagnostik maupun terapi. Belakangan misalnya telah dikembangkan terapi gen. Pada bulan September 1990yang lalu Michael Bleese dkk, telah memulai melakukan terapi



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENDEKATAN HOLISTIK DI BIDANC ILMU PENYAKIT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI gen terhadap pasien Ashanti-4 tahun, yang menderita Several Combined lmmunodefciency (SCID) dan berhasil membuat pasien lebih kebal dari serangan infeksi hingga pasien berumur 9 tahun saat dilaporkan oleh Scientific American. Beberapa penyakit lain yang mungkin dapat diperbaiki oleh terapi gen ini misalnya leukemia, limfoma malignum, kistik fibrosis, reumatoid artritis, AIDS dan sebagainya. Ini merupakan harapan baru, namun yang harus tetap diingat adalah bahwa yang dihadapi dalam ha1 ini bukanlah sel, tetapi manusia sebagai kumpulan sel yang segi-segi lainnya tetap harus dipertimbangkan.



MANFAAT PENDEKATAN HOLlSTlK Sudah tidak dapat disangkal lagi bahwa pendekatan secara holistik dalam penanganan berbagai kasus harus senantiasa dilakukan. Pendekatan holistik yang dimaksud sekali lagi ditekankan ialah, pendekatan yang memperhatikan semua aspek yang mempengaruhi segi kehidupan pasien. Tidak hanya memandang segi fisikbiologi saja, tetapi juga mempertimbangkan segi-segi psikis, sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan yang mempengaruhi pasien serta menjunjung tinggi normanorma, etika dan agama. Dengan berdasarkan pengertian seperti di atas, maka pendekatan holistik akan memberikan banyak manfaat, antara lain:



Pendekatan hubungan antara dokter dengan pasien. Dengan demikian persoalan penyakitlpasien menjadi transparan. Hal ini berarti menjunjung tinggi hak dan kewajiban pasien. Akibat yang menguntungkan adalah mempermudah rencana tindakanlpenanganan selanjutnya. Hubungan yang baik antara dokter dengan pasien akan mengurangi ketidakpuasan pasien. Selanjutnya tentu akan mengurangi tuntutan-tuntutan hukum pada seorang dokter. Pendekatan holistik yang menjunjungtinggi norma, etika dan agama membuahkan pelayanan yang lebih manusiawi serta menempatkan hak pasien pada porsi yang lebih baik.



Dari segi pembiayaan akan tercapai cost-effectiveness, hemat dan mencapai sasaran. Dalam kaitan ini, maka konsultasi yang tidak dianggap perlu akan berkembang. Pemakaian alat canggih yang berlebihan dan tidak perlu juga akan berkurang. Untuk kelainan yang bersifat fungsional misalnya dengan pendekatan holistik tidak lagi hams menjalani pemeriksaan penunjang yang berlebihlebihan. Pemakaian obat-obat yang bersifat "multi farmasi" yang biasanya didapatkan pasien dari beberapa spesialisasi yang terkait dengan penyakitnya akan bisa dikurangi sedikit munglun. Dalam bidang pendidikanjelas pendekatan holistik hams sudah ditekankan sejak awal sebagai bekal, baik selama menempuh pendidikan maupun pada saat sang dokter terjun ke masyarakat. Dengan bekal pendekatan holistik bagi dokter yang sedang menempuh pendidikan maka jalan pikirannya tidak menjadi terkotak-kotak, misalnya hanya berpikir menurut cabang ilmu yang sedang ditekuni.



REFERENSI Anderson WP. Gene therapy. Scientific American.1995;September. p. 96-9. Horton R. What to do with spare embryos. Lancet. 1996;347:1-2. Isselbacher KJ, Braunwald E. The practice of medicine. In: Isselbacher KJ, editor. Harrison's principles of internal medicine. 131h edition. New York: McGraw-Hill Inc; 1995. p. 1-6. Jonsen AR, Siegler M, Winslade WJ. Clinical ethics. 2nded. New York: Macmillan Publishing ; 1996. Kaplan HI. History of psychosomatic medicine. In: Kaplan HI, ed. Comprehensive textbook of psychiatry. 5Ih ed.Baltimore: William and Wilkins; 1989. p. 1155-60. Lo B. Ethical issues in clinical medicine. In: Isselbacher KJ, editor. Harrison's principles of internal medicine. 13Ih edition. New York: McGraw-Hill Inc; 1995. p. 6-8. Maranto G. Embryo overpopulation. Scientific American. 1996.p. 12-6. Oken D. Current theoretical concepts in psychosomatic medicine. In: Kaplan HI, editor. Comprehensive textbook of psychiatry. 5Ih ed. Baltimore: William and Wilkins; 1989. p.1160-9. Samil RS. Hak serta kewajiban dokter dan pasien. In: Tjokronegoro A, ed. Etika kedokteraan Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1994. p. 42-9.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



EMPATI DALAM KOMUNIKASI DOKTER-PASIEN Samsuridjal Djauzi, Supartondo



PENDAHULUAN



KETERAMPILAN KOMUNIKASI DAN EMPATI



Komunikasi dokter pasien merupakan landasan utama dalam proses diagnosis, terapi, rehabilitasi maupun pencegahan penyakit. Agar komunikasi dapat berjalan baik maka kedua belah pihak baik dokter maupun pasien perlu memelihara agar saluran komunikasi dapat terbuka lebar. Dari pihak dokter saluran komunikasi akan terbuka jika dokter bersedia mendengarkan secara aktif dan mempunyai empati. Sedangkan dari segi pasien, saluran komunikasi akan terbuka lebar jika pasien mempunyai motivasi untuk sembuh (atau diringankan penderitaannya) serta percaya kepada dokternya. Unsur kepercayaan pasien terhadap dokter tidak hanya akan terpelihara jika pasien yakin atas kemampuan dokter dalam mengobatinya namun tak kalah pentingnya pasien juga perlu yakin dokter akan memegang rahasia yang diungkapkannya kepada dokter. Rahasia pribadi pasien diungkapkan kepada dokter dengan harapan akan membantu dokter mencapai diagnosis penyakit secara tepat atau memilih tindakan terapi yang sesuai. Begitu besar kepercayaan pasien kepada dokter, rahasia pribadinya itu hanya diungkapkan kepada dokter saja, bahkan seringkali tidak diungkapkan kepada keluarga dekat atau sahabat sekalipun. Karena itulah dokter perlu menjaga kepercayaan pasien dengan menyimpan rahasia tersebut dengan baik. Kewajiban dokter untuk menjaga rahasia telah dilaksanakan sejak zaman Hipocrates dan sampai sekarang masih terpelihara baik. Namun dalam era informasi dewasa ini sering kali dokter didesak oleh berbagai pihak untuk membuka rahasia dokter dengan alasan untuk kepentingan umum. Hendaknya dokter dapat berpegang teguh pada sumpahnya untuk menjaga kerahasiaan pasien agar kepercayaan pasien tetap terjaga.



Manusia sudah berlatih berkomunikasi sejak lahir bahkan sekarang ini banyak pendapat yang mengemukakan janin dalam kandungan juga sudah mampu berkomunikasi. Dengan demikian mahasiswa kedokteran diharapkan sudah mampu berkomunikasi dengan baik. Keterampilan yang sudah dipunyai mahasiswa kedokteran tersebut akan merupakan modal utama dalam meningkatkan keterampilan berkomunikasi dengan pasien. Namun setiap individu mengalami perjalanan hidup yang berbeda mulai masa kecil, masa sekolah dan pergaulan di luar sekolah. Pengalaman hidup tersebut akan mempengaruhi keterampilan komunikasi seseorang. Jadi keterampilan komunikasi mahasiswa kedokteran dapat berbeda-beda. Padahal dalam melaksanakan pekerjaannya sebagai dokter kelak keterampilan komunikasi merupakan salah satu syarat yang penting untuk dikuasai. Karena itulah dalam pendidikan kedokteran keterampilan komunikasi perlu dilatih. Keterampilan ini dapat dilatih dalam bentuk kegiatan kurikuler. Namun peningkatan keterampilan ini dapat didukung melalui kegiatan mahasiswa di luar kampus. Pengalaman dalam mengikuti kegiatan organisasi mahasiswa, organisasi sosial di masyarakat secara berkesinambungan dapat mempercepat penumbuhan empati pada mahasiswa kedokteran. Di negeri Timur, termasuk Indonesia keterampilan komunikasi non verbal amat penting. Bahkan sering lebih penting daripada komunikasi verbal. Dokter di Indonesia perlu melatih diri untuk dapat membaca bahasa tubuh pasiennya agar dapat memahami pesan yang disampaikan pasien melalui bahasa tubuh tersebut. Dalam masyarakat majemuk di Indonesia, terdapat berbagai suku yang



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



EMPAT1 DALAM BERKOMUNIKASI DOKTER - PASIEN



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI mempunyai aneka ragam budaya. Keanekaragamanbudaya suku di Indonesia ini perlu dipahami terutama bagi dokter yang akan bertugas di daerah. Perkembangan teknologi dapat mempermudah komunikasi. Namun dalam konteks dokter-pasien hubungan tatap muka tak dapat digantikan begitu saja dengan teknologi canggih yang ada. Hubungan dokterpasien secara pribadi masih tetap cara terbaik untuk komunikasi pasien-dokter.



Seperti juga keterampilan komunikasi maka kemampuan empati seseorang tumbuh sejak kecil. Beruntunglah mereka yang tumbuh dalam keluarga yang menumbuhkan empati pada anak-anak. Namun tidak semua orang memperoleh pendidikan untuk berempati pada orang lain. Empati diperlukan untuk meningkatkankomunikasi dengan pasien. Dokter yang mampu merasakan perasaan pasiennya serta mampu pula menanggapinya akan lebih berhasil berkomunikasi dengan baik dengan pasien. Empati juga dapat dilatih dan ditingkatkan. Masyarakat tidak hanya mengharapkan dokter mampu mengobati pasien dengan cara mutakhir, teliti, dan terampil tapi juga berharap dokter mampu mendengarkan, menghormati pendapat pasien, berlaku santun dan penuh pertimbangan. Dengan demikian dokter diharapkan mampu berkomunikasi dengan baik serta memberi nasehat tanpa menggurui. Kesediaan untuk menghargai pendapat orang lain dan menghormati nilai-nilai yang dianut pasien perlu ditumbuhkan. Kesediaan ini amat penting dalam masyarakat Indonesia yang mempunyai banyak suku dan beraneka ragam budaya. Dokter hendaknya tidak memaksakan nilai yang dianutnya kepada pasien. Meski dokter berkewajiban menumbuhkan perilaku sehat namun kewajiban tersebut disertai dengan menghargai pendapat orang lain dan penuh pertimbangan. Penggunaan teknologi canggih berdampak pada biaya kesehatan yang meningkat tajam. Padahal sebagian besar masyarakat Indonesia belum mampu untuk membiayai biaya kesehatan yang mahal tersebut. Rasa empati dokter akan menyebabkan dia berhati-hati memilih pemeriksaan



diagnostik maupun terapi yang dapat dipikul oleh pasien atau keluarganya.



KOMUNIKASI, EMPATI, DAN ETIKAKEDOKTERAN



Sebagian besar pelanggaran etika yang terjadi adalah akibat dokter tidak terampil berkomunikasi dan kurang mempunyai empati. Bahkan di Amerika Serikat, latihan ketrampilan komunikasi yang diadakan secara rutin pada pertemuan tahunan dokter spesialis ilmu penyakit dalam diharapkan dapat menurunkan tuntutan terhadap dokter. Dalam era berlakunya Undang Undang Praktek Kedokteran di Indonesia (2004) yang memungkinkan dokter dituntut baik secara perdata maupun pidana oleh pasien maka keterampilan komunikasi serta rasa empati diharapkan akan dapat meningkatkan mutu hubungan dokter-pasien di Indonesia. Hubungan dokter-pasien yang baik akan menimbulkan suasana saling membantu dan bersahabat menuju keberhasilan pengobatan. Kita hams menghindari hubungan dokter pasien menjadi hubungan produsen dan konsumen. Profesi kedokteran perlu mengembangkan terus kemampuan anggotanya untuk berkomunikasi dan mempunyai empati. Dengan demikian kita tak akan terperangkap pada praktek kedokteran defensif yang amat mahal dan tak akan dapat dijangkau oleh sebagian besar masyarakat kita.



REFERENSI Mc Manus IC. Teaching communication sills to clinical students. BMJ. 1993;306: 1322-7. Guwandi J. Tindakan medik dan tanggung jawab produk medik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1993. Samil RS. Etika kedokteran Indonesia, edisi kedua. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharja; 2001. Supartondo. Pidato Ilmiah. Dokter Indonesia menghadapi tuntutan pasca 2000. Disampaikan pada peringatan ulang tahun ke-70 Prof Supartondo. Ruang Kuliah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 22 Mei 2000. Supartondo. Menghadapi milenium ketiga, siapkan dokter Indonesia? Acta Med Indones 2000;32:200. Szasc T, Hollender M. The basic models of the doctor-patients relationship. Arch Intern Med. 1956;97:585-92.



-



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PRAKTIK ILMU PENYAKIT DALAM : RANTAI KOKOH COST-EFFECTIVENESS Supartondo



PENDAHULUAN Umur harapan hidup di berbagai kawasan dunia bertambah, karena turunnya angka kematian anak dan ibu. Penduduk makin berubah, artinyajumlah golongan usia lanjut bertambah, juga karena jumlah golongan usia muda berkurang akibat turunnya angka kelahiran. Ini terjadi di Barat. Meskipun kondisi lingkungan hidup berbeda, di Indonesia jumlah penduduk usia lanjut juga bertambah. Sekarang jumlah penduduk yang berumur 60 tahun lebih dari 17juta orang. Mereka ini, daya cadangan tubuhnya memang berkurang, rawan sakit dan mungkin menggunakan biaya kesehatan yang sangat besar. Biaya ini, yang harus digunakan secara adil dan merata untuk semua golongan umur masyarakat, hams dipertimbangkan oleh petugas kesehatan (terutama dokter) bila mereka melayani pasien. Gagasan ini sama dengan pendapat Kwik Kian Gie tentang PDB (produk domestik bruto).



PEMERIKSAAN, PENETAPAN MASALAH KESEHATAN DAN PENGELOLAANNYA Pada seorang pasien, cara pemeriksaan baku berpangkal dari keluhan yang ditelusuri penyebabnya sesuai dengan hipotesis yang dipikirkan. Tanya jawab mungkin menghasilkan perubahan hipotesis sehingga akhirnya ditemukan penyebab yang tepat. Dalam proses ini akan terungkap perjalanan penyakit sejak awal. Biasanya pemeriksaan laboratorium atau pencitraan (radiologi, MRI dsb) diperlukan untuk mendukung hipotesis ini.



Pilihanjenis pemeriksaan penunjang ini dilakukan dengan cermat supaya tidak ada tindakan yang berlebihan atau membahayakan, juga pada tahap pengobatan kemudian. Inilah yang disebut cost-efectiveness, yaitu: menetapkan pilihan cerdas (segi teknik diagnosis dan terapi) yang paling tepat untuk pasien dan keadaan klinik tertentu. Perkembangan teknologi medik sangat pesat sehingga dokter memang dituntut memilih sesuatu yang berguna dalam penetapan masalah pasien yang dihadapi. Berbagai panduan telah dikembangkan oleh perhimpunan profesi maupun institusi pelayanan kesehatan untuk memberikan pengarahan. Panduan seperti ini merupakan kerangka untuk: 1). mengelola pasien dengan masalah kesehatan (termasuk diagnosis dan gejala) tertentu, 2). melindungi pasien , khususnya mereka yang tidak dapat memanfaatkan kemudahan pelayanan kesehatan, supaya tidak mendapat pelayanan di bawah tingkat baku, 3). membela pemberi layanan yang teliti terhadap tuntutan hukum yang tak berdasar, 4). mencegah penggunaan fasilitas kesehatan secara berlebihan sehingga merugikan masyarakat. Pengelolaan masalah kesehatan kemudian harus dinilai hasilnya.Tentu saja keberhasilan dipastikan secara obyektif. Demam tifoid, hipertensi, diabetes dapat ditegaskan tanda-tanda kesembuhan atau pengendaliannya. Tetapi kita tidak boleh lupa bahwa pasien merupakan kesatuan bio (logi) - psiko (logi) - sosial sehingga segi subyektif yang menyertai kelainan di atas juga perlu diperhatikan. Inilah cara pendekatan terpadu yang didambakanseorang pasien. Cara pendekatan ini digunakan oleh setiap dokter, supayapasien mendapat layananyang bermutu. Pada masalah kesehatan yang tidak sederhana (keganasan misalnya) suatu tim dokter akan bekerja sarna, setidaknya untuk membenkan asuhan yang mengutamakan kualitas hidup.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



P R A K ~ KILMU PENYAKITDALAM :RANTAI KOKOH YANC COSTEFFECTNENESS



13



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI INSTITUSI PELAYANAN KESEHATAN Dokter yang dibekali dengan panduan yang telah dibahas tadi, tentu saja bekerja dalam suatu sistem yang biasanya terdiri dari sistem pelayanan primer (puskesmas, praktik mandin)-sekunder (rurnah sakit pemerintah, swash)-tersier (rumah sakit khusus, menggunakan teknologi tinggi). Sistem pelayanan ini tentu berjalan baik dengan tersedianya sumber daya manusia dan dana cukup. Komunikasi di abad 21 menambah pengetahuan kita tentang berbagai cara pengobatan baru. Dianjurkan menjawab tiga pertanyaan lebih dahulu untuk menanggapi cara pengobatan baru: 1). Apakah cara baru ini lebih unggul secara bermakna dibanding cara yang dipakai sekarang; 2). Berapa biayanya dan apakah ekonomis; 3). Berapa jumlah pasien yang memerlukannya serta siapa yang menanggung biaya. Dokter di klinik hams memperhatikan pertanyaan pertama, sebaiknya tidak terlibat di segi ekonominya. Jika hasil cara pengobatan baru lebih baik, tetapi biayanya lebih tinggi, diperlukan cost-effectiveness analysis, yang menghitung jumlah dana untuk mendapatkan manfaat lebih, dibanding cara lama. Manfaat ini dapat berupa penambahan jumlah pasien yang terselamatkan dengan cara diagnosis baru atau peningkatan jumlah tahun umur dengan cara pengobatan baru. Hasil analisis ini dapat mendukung usul dari dokter di klinik. Pertanyaan ketiga perlu dijawab oleh penyangga dana dan ahli analisis kebijakan kesehatan.



ETlK PROFESI DAN KURIKULUM PENDlDlKAN DOKTER Pembahasan tentang pemeriksaan pasien, penetapan masalah kesehatan, pilihan pemeriksaan penunjang dan pengobatan ternyata membentuk rantai kokoh, sehingga penerapan konsep cost-effectiveness berkaitan dengan penerapan etik profesi, bukan semata-mata keterampilan teknik. Kedua butir ini jelas harus ada dalam kurikulum pendidikan dokter kita. Kalau memang sudah ada, pelatihannya harus ditingkatkan. Tetapi bila belum tercantum, diperlukan reformasi kurikulum. Akan semakin nyata, bahwa keterpaduan antara tiga unsur: perhimpunan profesi-institusi pendidikan doktersistem pelayanan kesehatan diperlukan untuk mencapai taraf kesehatan yang direncanakan.



DOKTER DAN TARAF KESEHATAN MASYARAKAT Bahwa dokter dengan kemampuannya dan nalurinya tetap merupakan unsur dari suatu kesatuan, tampak dari Laporan Pembangunan Manusia 2003 yang dikeluarkan oleh Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa.



Sangat mencemaskan bahwa Indeks Pembangunan Manusia Indonesia turun dari 0,684 ke 0,682 dan peringkat turun dari urutan 110 ke 112 dari 175 negara. Walaupun Indonesia mencapai kemajuan dalam upaya mengurangi jumlah orang miskin sejak 13 tahun lalu, indikator lain seperti kekurangan gizi, kematian ibu melahirkan, pelayanan imunisasi, persalinan, sanitasi belum banyak berubah. Ketidak berdayaan dokter tergambar dari komentar Kwik Kian Gie: "Pertumbuhan ekonomi tinggi tidak berarti jika tidak dinikmati secara merata" dan Chatib Basri: " Manusia miskin, kelaparan dan sakit bukan karena tidak ada makanan, tetapi karena tidak ada akses (hak perolehan) untuk mendapat makanan. Dan ini tugas negara (daerah)". Sejak 1 Maret 2005 pemerintah RI menetapkan kenaikan harga BBM yang diperkirakan menghasilkan Rp 20 triliun untuk alokasi program pendidikan dan kesehatan 36 juta orang miskin. Informasi non medik lain seperti pencapaian pendidikan dasar, pelestarian lingkungan dan sebagainya mungkin menambah pemberdayaan dokter.



KESIMPULAN Berangkat dari himbauan menggunakan konsep costeffectiveness dalam tugas dokter, rantai berikut bertambah panjang dan sangat berguna dalam pengembangan diri dokter sebagai intelektual : kurikulum (pelatihan intensif dan bermutu) - etik profesi (pemantauan bermakna) layanan medik (penataran berkala dan penyuluhan sesuai masalah di lapangan seperti DBD) - informasi non medik nasional (gambaran utuh tentang warga).



REFERENSI Indeks Pembangunan Manusia membumk. Kompas, 10 Juli 2003. Kadarisman (2003) Interaksi gaya hidup sehat dan perlindungan ekonomi. (tidak diterbitkan) Kwik Kian Gie. Apakah resep IMF mesti baik ? Kompas, 12 Juli 2003. Mark, DB (2001) Economic Issues in Clinical Medicine dalam Harrison's Principles of Internal Medicine 15Ih edition, ha1 17, 18, E. Braunwald dkk (eds), Mc Graw - Hill, New York. Mulyani S (Kepala Bappenas), Kompas, 4 Maret 2005. Supartondo (2002). Pendekatan Klinik Pasien Geriatri di Rawat Jalan dan di Rawat Inap dalam Prosiding T.I. Geriatri. Supartondo dkk (eds) ha1 18-21, Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Supartondo (1997). Cost-effectivesness dalam tindak medik. Kuliah dalam acara Orientasi Tatalaksana RS Pendidikan I FKUI oleh Diklat RS Dr Cipto Mangunkusumo 18-20 Juni 1997. The Practice of Medicine dalam Harrison's Principles of Internal Medicine 15'h edition, 2001, hal. 2-4, E. Braunwald dkk (eds), Mc Graw - Hill, New York. Vergijzing dalam Inleiding Gerontologie en Geriahie, ed. F. Eulderink dkk. hal. 7, Bohn Stafleu Van Loghum, Houten I Zaventem 1993.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



MASA DEPAN ILMU PENYAKIT DALAM DAN SPESIALIS PENYAKIT DALAM Slamet Suyono



PENDAHULUAN Periode 1970-2000ditandai dengan adanya perubahan yang cukup memprihatinkan terutama di negara-negara maju karena pada masa itu ilmu penyakit dalam mengalami masa suram yang mereka sebut masa "twilight" (menjelang magrib), artinya tinggal menunggu saatnya bubar. Menjamurnya subspesialisasi dengan sangat pesat merupakan penyebab utama.Tidak ada atau sedikit sekali yang mau jadi internis. Ini tentu saja hams diantisipasi dengan baik karena Indonesia sebagai suatu negara yang akan terkena arus globalisasi mau tidak mau akan terkena dampaknya.



Masuk abad ke-20, timbul berbagai ha1 yang penting dikemukakan terutama di bidang umum dan bidang kedokteran.



Bidang Umum Berkecamuknya perang global, timbul perang di manamana, dimulai dengan Perang Dunia 1 kemudian Perang Dunia 2, perang Korea, perang Vietnam, perang dingin yang sangat berkepanjangan, kemudian perang teluk,dll. Dampak perang pada bidang kesehatan sangat nyata, baik kesehatan fisik maupun kesehatan rohani (perang Vietnam). Kemajuan yang sangat pesat di bidang ilmu dan teknologi. Pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat di luar dugaan terutama di negara berkembang.



ILMU PENYAKIT DALAM DARl MASA KE MASA Ada baiknya bila tulisan ini dimulai dengan sejarah ilmu penyakit dalam secara singkat. Ilmu penyakit dalam mulamula berkembang di Jerman dan Austria pada abad ke- 19. Praktek penyakit dalam, Innere Medizine dalam bahasa mereka, saat itu didasarkan terutama atas kemajuan dalam penemuan-penemuan di bidang fisiologi, bakteriologi dan patologi dengan misi utamanya terutama untuk menegakkan diagnosis.Virchow, Osler dan raksasa-raksasa lain di bidang kedokteran pada abad ke- 19 mendapatkan ilmunya dengan mengkorelasikancatatan klinik yang dibuat oleh registrar dengan penemuanpostmortem. Oleh karena itu Osler mendefinisikan ilmu kedokteran sebagai ilmu tentang ketidakpastian (uncertainty) dan seni tentang P ~ (the science ~ 'f ~ ~and lhe art ~ f probabilip). Dengan demikian dasar ilmu kedokteran vada abad ke- 19. saat awal ilmu kedokteran berkembang, sangat diliputi ketidak pastian dan berbagai kemungkinan.



'



Bidang llmu Kedokteran Di bidang kedokteran abad ke-20 merupakan tonggak kemajuan yang sangat penting; Bidang infeksi. Banyak penemuan-penemuan yang menghantarkan penemunya mejadi Nobel Laureates misalnya tahun 1901 Behring untuk penemuan difterinya, 1902 Ross untuk malaria, 1907 Laveran juga malaria, 1945 Fleming dengan penisilinnya, 1952 Waksman dengan streptomisinnya. Bidangprinciples of life, misalnya ditemukannya vitaminvitamin, dan pada tahun 1921 Banting dan Best menemukan insulin. Biologi molekular dan genetik, yang berkembang dengan ~ ~ ~ ~ Y pesat sekali. penemuan sistem signaling dalam mekanisme kerja selular. Di bidang praktek klinik, terjadi perkembangan hubungan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



MASA DEPAN ILMU PENYAKIT DALAM DAN SPESlALlS PENYA



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI antara ilmu dengan teknologi dan ilmu dengan pelayanan kesehatan dan adanya tendensi dimulainya globalisasi pelayanan kesehatan akibat globalisasi ekonomi. Masuk abad Ke-21. Juga timbul berbagai ha1 yang dapat dibagi menjadi dua bagian, bidang umum dan bidang kedokteran. Bidang Umum



Globalisasi. Tampak bahwa abad'ke-21 merupakan abad globalisasi. Tak ada lagi batas negara. Globalisasi ini sudah begitu hebat, maka mau tidak mau seseorang hams jadi warga dunia. Pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk dari 6 miliar tahun ini akan mejadi 9 miliar pada tahun 2050, yang jelas akan menimbulkan konsekuensi berat terutama di bidang ekonomi. Bidang lingkungan, global warming yang makin jelas di abad ke-2 1 ini merupakan ancaman bagi manusia, bila tidak segera ditanggulangi. Kesenjangan Utara-Selatan yang makin tajam di bidang ekonomi maupun di bidang ilmu. Sesuatu yang sebelum ini tak terpikirkan, yaitu terorisme tetutama bioterorisme misalnya antraks, small pox, dan barangkali juga avianflu. Bidang llmu Kedokteran Yang mencolok adalah kemajuan di bidang ilmu biomedik;



menjadi dua isu. Isu Pertama mengenaijenis penyakit. Dalam ha1 ini yang akan menjadi masalah adalah meledaknyajumlah pendudul lanjut usia dengan dampak peningkatan morbiditas dan mortalitas yang akan membebani masyarakat dan negara. Meningkatnya penyakit karena lifestyle bola hidup) yang salah misalnya aterosklerosis, penyakit jantng koroner, diabetes, hipertensi, obesitas. Isu Kedua mengenai manajemen pelayanan kesehatan. Akses terhadap informasi kedokteran menjadi luas sekali, baik melalui media massa cetak maupun elektronik (TV) atau maya (internet). Masyarakat menjadi lebih proaktif, misalnya mereka menuntut informed consent dan euthanasia menjadi masalah besar karena menyangkut hak azasi manusia. Kemajuan di bidang teknologi kedokteran, misalnya imaging dan transplantasi akan menimbulkan masalah mengenai akses terhadap pelayanan kesehatan seseorang yang memerlukannya, terutama tentang biaya. Dalam ha1 ini diperlukan kebijakan pemerintah untuk mengaturnya.Dualisme spesialispenyakit dalam (internis) dan subpesialis akan menjadi masalah terutama tentang kualifikasi dan wewenangnya. Sejauh mana batas layanan internis/subspesialis itu, apakah bisa sampai ke primary care atau tidak, bila ya bagaimana dengan dokter umum atau dokter keluarga. Mahalnya biaya perawatan menyebabkan pelayanan kesehatan akan bergerak dari perawatan rumah sakit (hospitalisasi) ke rawat jalan (outpatient). (Gambar 1)



Human genome yang sudah lengkap pada tahun 2000, mudah-mudahan di masa datang kita dapat menikmati manfaatnya. Berkembangnyadiagnosisgenetik, penyakit-penyalutakan bisa didiagnosis secara genetik hingga memungkinkan terapinya juga secara genetik (gene therapy). In vitrofertilization akan lebih berkembang lagi dibanding dengan abad ke- 20. Teknologi cloning akan lebih berkembang dengan berbagai dampaknya. Cloning sudah dapat dilakukan pada binatang (DOLLY) bahkan manusia cloning pertama sudah lahir. Penelitian stem cell berkembang dengan pesat. Ini sangat menarik karena akan memberikan harapan besar bagi pasien kanker karena pengobatan dengan cara transplantasi stemcell menunjukkan hasil yang cukup menjanjikan pada beberapa jenis kanker. Kemungkinan berkembangnya pembuatan obat-obat baru berdasarkan atas genom. Demikianlah beberapa ha1 yang disinyalir akan menjadi masalah besar di bidang kedokteran pada abad ke-2 1 ini. Bidang Kesehatan Juga akan terjadi berbagai perubahan yang dapat dibagi



Gambar 1. Pelayanan kesehatan di Arnerika



Pada tahun 1936 pelayanan kesehatan umumnya lebih banyak di rumah sakit, sekitar 80%, sedangkan pada tahun 2001 terbalik keadaannya menjadi 20% rumah sakit dan 80% rawat jalan. Hal ini akan membawa dampak terhadap pelayanan kesehatan pada umumnya. Pasien jarang dirawat hanya untuk menegakkan diagnosis. Diagnosis lebih banyak dikerjakan secararawat jalan dan pasien baru dirawat di rumah sakit hanya bila keadaannya sangat berat, itupun untukjangka waktu pendek saja. Hal ini akan mengakibatkan hambatan di bidang pendidikan dokter atau pendidikan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



16



DASAR-DASAR ILMU PENYAKIT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



memanfaatkan teknologi informasi canggih terutama dalam menentukan program dan pembiayaannya, komitmen-komitmen yang sudah disepakati harus dijalankan. Dan yang paling penting bagi negara berkembang, seperti Indonesia, adalah networking mengenai pelayanan kesehatan seperti konsultasi, dialoglworkshop, misi fact finding, CME, fellowship dll, hingga kita bisa menimba ilmu dari pusat-pusat atau ahliahli dari seluruh dunia tanpa hams pergi jauh-jauh ke tempat mereka, atau tanpa mengundang mereka ke sini. Cukup dengan telemedicine atau dengan e-mail misalnya. Tetapi meskipun demikian John Eisenberg, ketua ISIM, menekankan bahwa meskipun sudah ada network jangan lupa untuk menerapkannya secara bijaksana di negara masing-masing karena yang dianggap baik di suatu negara belum tentu baik di negara lain, karena itu sebaiknya gunakan motto "globalize the evidence but localize the decision", artinya kita harus dapat memilah-milah buktibukti mana yang terdapat di negara lain yang cocok dengan keadaan di negara kita. Hal lain yang tampak pada abad ke-20 dalam memasuki abad ke-21 adalah struktur pelayanan kesehatan selama satu generasi satu lifetime di negara maju, seperti digambarkan oleh Greenlick tahun 1995 seperti pada Tabel 1. Dari tabel 1 tampak bahwa jenis pelayanan berubah dari solo practice pada tahun 1935 menjadi menjadi small/ medium organization seperti rumah sakit atau praktek dokter bersama pada 1985 dan pada tahun 2001 menjadi suatu organisasi yang besar seperti Medicaid dll. Sedangkan tempat pelayanan di tahun 1935 di tempat praktek dokter, pada tahun 1985 di rumah sakit dan 2005 dalam network. Kualitas pelayanan diukur dengan how nice pada tahun 1935, menjadi how technical pada tahun 1985 dan how cost effective di tahun 2005. Lee Goodman pada tahun 200 1 mengemukakan 10 isu pokok yang akan dihadapi pada abad ke-2 1, seperti tampak pada Tabel 2. Dari kesepuluh isu itu sebetulnya banyak yang sudah dibicarakan sebelum ini, oleh karena itu yang akan disorot di sini hanya beberapa saja seperti perubahan asuransi kesehatan, resertifikasi, konsumerisme dan penyelenggara pengobatan alternatif.



spesialis; pelatihan akan bergeser ke setting poliklinik. Kekurangan pasien merupakan masalah bagi para peserta pendidikan dan dengan sendirinyajuga akan menyebabkan berkurangnya waktu untuk bertemu dengan senior untuk berkonsultasi. Sebagai insan yang terlibat dalam pelayanan kesehatan terutama di bidang penyakit dalam baik langsung maupun tidak langsung, melihat berbagai perubahan yang terjadi di abad ke-2 1 itu, para internis sebaiknya segera berupaya untuk menyiasati apa saja kekuatan yang dapat membentuk penyakit dalam dan determinan keberhasilan pelayanan itu. Pertumbuhan subspesialisasi yang cepat, keinginan masyarakat untuk mengendalikan biaya pelayanan kedokteran dan tumbuhnya perusahanperusahan pengelolaan di bidang pelayanan kesehatan merupakan kekuatan yang akan membentuk jenis pelayanan yang berlaku, meskipun hasilnya tidak dapat diprediksi, begantung kepada faktor determinannya, di antaranya demografi penduduk, misalnya bagaimana komposisi penduduk di suatu negara apakah banyak lanjut usianya atau lebih banyak anak-anaknya atau lebih banyak laki-lakinya dibanding perempuannya dll. Jumlah tenaga kesehatan, dalam ha1 ini jumlah internisnya, merupakan faktor lain yang menentukan keberhasilan pelayanan kesehatan. Adat istiadat dan ekonomi setempat akan menentukan juga. Majunya perkembangan ilmu dasar tentang mekanisme suatu penyakit juga merupakan determinan keberhasilan pelayanan. Kesemuanya ini menyebabkan pelayanan internistis akan berbeda-beda di setiap daerah atau wilayah. Menanggapi masalah ini, ISIM (International Society of Internal Medicine) dalam kongresnya yang lalu tahun 2002 mengemban dua misi untuk masa depan, yaitu: Pertama, capacity building berupa upaya penyempitan kesenjangan Utara-Selatan baik segi ekonomi maupun segi kesehatan, penerapan EBM (evidence based medicine) sebagai pegangan dalam mempertimbangkan penyebaran ilmu yang merata ke seluruh dunia dan pengembangan pendidikan dan pelatihan spesialis penyakit dalam secara global hams menjadi tugas pokok ISIM. Kedua, membangun global physician network dengan



---



-



-



-



Nature of practice Payment mechanism Dominant site of care Role of Government Form of payment Role of technology Function of Med Care



Solo practice Out-of-pocket Doctor's office None Free for service Minimal Care



Smalllmedium organ Insurance and pocket Hospital Payer of last resort Mixed Moderatelhospital Curing disease



Measured by Physician obligation to patients



How nice ? 1:l



How technical ? Ambiguous



Large organization Social org. mechanism Diffuse network Promary organizer of financing Capitation and salary Extremely high Disease prevention, Function maintenance How cost effective ? l:n



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



17



MASA DEPAN ILMU PENYAKITDALAM DAN SPESIALIS PENYAKIT DAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Free-for-service reimbursement



Perubahan dalam asuransi kesehatan Kebutuhan akan kualitas Resertifikasi Komunikasi elektronik Konsurnerisrne Penyedia peralatan rnedis lainnya RS versus kantor Populasi usia lanjut Era pasca genomik Obat dan teknologi baru



Asuransi Kesehatan Kurang lebih pada tahaun 1980-an saat dicanangkannya managed care di AS oleh presiden Clinton, pelayanan kesehatan didasarkan atas kebijakan bagaimana memotong budget kesehatan dengan penekanan pada cost effectiveness dan referral system melalui peningkatan peran primary heath care dan meningkatkan jumlah dokter umum dan general internist sekaligus mengurangi jumlah subspesialis. Managed care adalah suatu sistem asuransi yang berdasarkan kapitasi atau premi per kepala. Misalnya ada 1000 kepala dalam suatu populasi, maka si penyelenggara asuransi akan memberikan biaya pemeliharaan kesehatan untuk 1000 orang pesertanya sekian rupiah kepada rumah sakit untuk jangka waktu setahun. Tentu saja RS atau dokter yang ditunjuk akan sekeras mungkin menekan biaya supaya uang premi itu jangan sampai habis, agar dapat untung. Dia akan bekerja keras supaya pesertanya tetap sehat dan mencegah agar tidak sakit. Secara tidak langsung ini akan menyebabkan hubungan pasien dengan dokter jadi lebih baik. Dengan mekanisme ini terjaminlah keberadaan internis dan dokter keluarga. Dampak diberlakukannya managed care di AS, jumlah internis yang bekerja di rumah sakit (hospitalist) meningkat dengan tajam. Ini tampak pada waktu managed care mulai diberlakukanjumlah internis hanya 200 orang, sepuluh tahun kemudian meningkat jadi 3000 orang dan dalam satu dekade berikutnya akan jadi 19000 orang. Sebaliknya internis yang bekerja di luar rumah sakit berkurang. Sebenarnya banyak yang mengkritisi managed care ini terutama dari para subspesialis karena pasien mereka jadi berkurang jumlahnya. Problem lain yang berkembang adalah dalam bidang asuransi seperti tampak pada Gambar 2. Di jalur kiri tampak bahwa pada sistem asuransi kesehatan yang bebas weefor service reimbursement) dokter akan berbuat terlalu banyak untuk memuaskan pasien, tanpa melalui prosedur skrining, hingga pelayanan jadi mahal, sebaliknya pada jalur kanan pada managed care si dokter tidak terlalu banyak berbuat karena hams menekan biaya; untuk itu dia akan melakukan prosedur skrining, dengan demikian



Capitated payment managed care



1



1



Physicians are doing too much



I



1



Expensive



1 More patient satisfaction



Physicians are doing too little



I



1



Less expensive



1 Less patient satisfaction



Gambar 2. Problems of health insurance in USA



pelayanan akan lebih murah, tetapi pasien banyak yang kurang puas. Oleh karena itu sekarang banyak berkembang sistem asuransi lain diantaranya sistem defined contribution plan atau dengan sistem voucher. Di Indonesia managed care ini sebagian sudah berjalan seperti JPKM, ASKES, dan ASTEK, tetapi dalam keseluruhannya jumlah orang yang terlindung asuransi di Indonesia masih sangat kecil. Dari jumlah seluruh penduduk Indonesia 118 juta orang di antaranya tak telindung, suatu keadaan yang memprihatinkan. Resertifikasi Sertifikasi ulang memang suatu ha1 yang hams dikerjakan untuk menjaga kualitas pelayanan seorang internis, misalnya ijin praktek berlaku untuk 10 tahun. Setelah itu hams menempuhproJiciency test berupa tes keterampilan atau prosedur di bidangnya. Konsumerisme Ini merupakan dampak negatif dari perasuransian, terutama pada sistem deJined contributionplan atau voucher karena dapat diperjual belikan. Pada managed care ha1 ini tak akan terjadi. Penyelenggara Pengobatan Alternatif Hal ini sebenarnya untuk kita merupakan ha1 yang agak diluar dugaan bahwa di negara maju ada praktek non dokter atau pengobatan alternatif, Tetapi ini memang nyata, dan sudah menjadi masalah pada saat ini terutama di kota-kota besar. Melihat hal-ha1 yang diramalkan akan terjadi di abad ke-21 tadi bagaimanakah spesialis penyakit dalam menyikapi perubahan itu? Yang jelas jumlah internis di negara-negara maju meningkat, seperti tadi sudah disinggung, di AS sejak managed care diberlakukan.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DASAR-DASARILMU PENYAKIT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Di Irlandia internis merupakan dokter yang highly qualzjied dan jumlanya makin meningkat. Di Perancis profesi internis relatif baru, dikenal baru tahun 1970 dan kemudian meningkat terns jumlahnya sejak itu. Kemudian di Swedia, selama dekade terakhir permintaan untuk internis sangat mencolok.



BAGAIMANA KEADAAN Dl INDONESIA? .. Di Indonesia pun perkembangannya mirip dengan di Amerika; pada saat didirikanpada tahun 1957 PAPDI sangat kuat, tetapi kemudian sejak tahun 70-an subspesialis berkembang dengan cepat sekali dan PAPDI menjadi kurang solid, malahan sampai ke luar dari ISIM (International Society of Internal Medicine), tapi alhambdulillah pada tahun 1994 PAPDI kembali lagi menjadi anggota. Jumlah anggota PAPDI saat ini kurang lebih ada 1350 internis dan 500 orang anggota muda jumlah yang lumayan meningkat bila dibandingkan dengan angka pada tahun 2000 yang hanya berjumlah 1000 orang. Jadi pada saat ini (2004) empat tahun kemudian kebutuhan internis teoritis sudah terpenuhi karena produksi internis 80 orang setahunnya. Minat untuk menjadi spesialis penyakit dalam di Indonesia alhambdulillah masih cukup baik saat ini, berarti masih jauh dari twilight-nya Amerika. Semua maklum bahwa AFTA akan berlaku tahun 2003 dan APEC tahun 2020.Tentu saja ini merupakan tantangan yang cukup berat bagi Indonesia dan tidak boleh didiamkan saja. Pengembangan sistem pelayanan kesehatan yang tepat harus dibangun agar tidak digilas oleh dokter-dokter dari luar negeri yang akan membanjiri negara kita. Ada dua alternatif yang dapat ditempuh.



Alternatif pertama seperti tampak pada Gambar 3, sistem yang mengutamakan pelayanan generalis dengan penekanan pada sistem rujukan yang mantap, dengan dampak status kesehatan masyarakat yang baik dengan biaya tidak terlalu mahal. Konsekuensi memilih alternatif 1 adalah hams meningkatkan kualitas internis, dia hams dapat Screening procedures



Cost-Efectivet



Referral T



mengintegrasikandan menimbang-nimbang informasi. Dia hams mengimplementasikan apa yang disebut holistic approach dengan penekanan pada problem oriented solution. Dia hams selalu up to date, misalnya dia hams mampu menguasai non medical affairs seperti medical economics, psychology. Dia harus langsung terlibat di dalam sistem rujukan di wilayahnya. Untuk itu diperlukan seorang internis yang bermutu seperti yang diingi*an oleh SGIM (Society of General Internal Medicine di Amerika) seperti tampak pada Tabel 3, ditambah dengan muatan lokal yang relevan dengan negara masing-masing.



Excellence in patient-centered,scientifically sound medical care, research and education Adopting creative and innovative approarches to advance clinical care, teaching and research Promoting social responsibility and the health of vulnerable, underserved population Incorporatingthese core values into daily professional lives with integrity and love of medicine



Alternatif kedua sistem pelayanan yang berlaku di AS sebelum managed care diberlakukan, di mana pelayanan sangat canggih dan sangat superspesialistis yang akan mengakibatkan status kesehatan masyarakat kurang baik.Untukjelasnya lihat Gambar 4 di bawah ini. Bukti bahwa alternatif 2 tidak cocok adalah kenyataan yang terjadi di AS, misalnya sebelum managed care diberlakukan biaya kesehatan di Amerika besarnya $900 miliar per tahun, dengan peningkatan 10% tiap tahun. Tahun 1970,biaya itu mencapai 7% dari pada GNP, tahun 1980 naik jadi 9% dan tahun 1995 naik lagi menjadi 15%. Sedangkan di Inggris dan Canada biaya kesehatan mereka 4% dan 2% berturut-turut di bawah Amerika, padahal status kesehatan di AS tidak lebih baik dibandingkan dengan negara-negara Canada, Eropa ataupun Jepang. Misalnya IMR dan MMR di Amerika lebih tinggi dari pada Eropa dan Jepang. IMR di Amerika menempati urutan



1



Cost-Efect~ve+



Referral



Less Expensive



Expensive



1-



Better status



(



t



I



Gambar 3.



-



1



Better status o f h e a l t h i e s s costly



Expensive



Expensive



Cost-Efective



t



Cost-Efective



Referral .1



Gambar 4.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



-



Referral .1



(



19



MASA DEPAN ILMUPENYAKIT DALAM DAN SPESIALIS PENYAKIT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI nomor 20 dunia, life expectancy pada saat lahir di Eropa dan Jepang lebih panjang dari pada di Amerika. Life expectancy di Amerika menempati umtan di bawah 10 dunia dan ada 3 1 juta orang Amerika tidak terlindung oleh asuransi. Bukti-bukti tadi menunjukkan bahwa alternatif 2 memang tidak baik.Di samping itu dengan memilih alternatif 2, kita hams meningkatkan jumlah subspesialis dengan konskuensi pelayanan menjadi sangat canggih dan mahal. Pasien dipecah-pecah menjadi beberapa bagian, menghambat holistic approarch principle. Peranan subspesialis tidak sentral tetapi lebih perifer dan tidak terintegrasi di dalam pelayanan kesehatan secara umum, hingga cakupannya terbatas. Tetapi memang baik sekali untuk research dan pendidikan atau di center o j excellence. Meskipun demikian, subspesialis tetap hams dikembangkan karena pada era keterbukaan sekarang perkembangan ilmu tidak boleh dibendung atau dijegal, pendidikan subspesialis untuk semua disiplin harus terbuka, bahkan larangan spesialis gandapun harus ditinjau kembali, tetapi hams diingat dan hams waspada terhadap alternatif 2 yang akan menjerumuskan masyarakat kedalam keadaan yang menjadi lebih kurang menguntungkan. Untuk Indonesia alternatif 1 jauh lebih baik dan lebih cocok karena menjamin pengembangan ilmu tanpa mengorbankan pelayanan masyarakat luas. Alternatif 1 akan sukses bila sistem mjukan bejalan dengan baik. Untuk itu asuransi, dalam bentuk apapun merupakan syarat mutlak untuk keberhasilan rujukan, dan akan mempakan benteng yang ampuh menghadapi dokter asing dalam era AFTA dan APEC. Konsekuensi memilih alternatif I di Indonesia adalah kita hams meningkatkan jumlah internis dan meningkatkan kualitas internis itu sendiri, sesuai internis versi SGIM plus muatan Indonesia, supaya dapat bersaing dengan tenaga luar yang akan masuk ke Indonesia. Kurikulum hams diubah, mungkin lebih lama. Subspesialis harus tetap dibatasi supaya tidak terjebak pada alternatif 2. Subspesialis hanya untuk pusat pendidikan dan untuk rumah sakit center of excellence misalnya, mmah sakit untuk kelas A dan B dan rumah sakit khusus. Dalam menyusun kurikulum baru, pendapat Coyle seperti pada tabel 4 di bawah perlu dipertimbangkan, tentu saja hams ditambah atau dikurangi sesuai dengan keadaan lokal.



Devote larger portlon of faculty tlme for teching In hosp~tal (hospital~st)and community- based ambulatory care settlngs (Including managed care training) Retaln faculty who are good role models for tralnees In medical educat~on,prlmary care cllnlcal practice and research Establ~shnew, and enhance exlstlng GIM fellowsh~psand research programs Make health services research a priority research area Coyle YM, Battles JB, Tysinger JW, Reed G. 1997 Texas



Di samping itu juga hams dicantumkan beberapa ha1 lain misalnya hams selalu up to date seperti molecular biology, emergency care, training mengenai non medical affairs seperti medical economics dan lain-lain. Training atau pelatihan sistem rujukan di daerahnya masing- masing. Juga harus tanggap terhadap masyarakat yang kurang mampu dan semuanya itu hams dalam kegiatan yang terpadu dan secara professional dengan integritas yang tinggi dan cinta terhadap profesi kedokteran. Dengan kata lain seorang intemis hams menjalankan tugas sebagai resource managkr, dia hams dapat mempertimbangkan secara bijaksqna keinginan pasien untuk dapat pelayanan yang baik meskipun dengan dana yang terbatas. Selain itu dia hghs bertindak sebagai clinical manager dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi yang canggih dalam mengelola pasien-pasiennya misalnya internet, dan dia juga hams menjadi generalis sekaligus subspesialis untuk bidang-bidang tertentu. Untuk mendapatkan tenaga internis seperti tadi, diperlukan kurikulum pendidikan yang mendasar. Bagan yang saya tampilkan dalam gambar berikut dapat diterapkan. (Garnbar 5)



dther s p e c ~ a l ~ s t Cardlolog~st Pulmonolog~st



, . . '



Neurologist



Gambar 5.



Tahapan itu dimulai dari dokter umum baik lulusan baru atau yang sudah berpengalaman, setelah lulus ujian masuk, diharuskan mengikuti kurikulum inti (core curriculum) selama kurang lebih 3 tahun, setelah itu yang bersangkutan boleh menemskan pendidikan yang dia inginkan misalnya ingin jadi internis masuk jalur kiri untuk mengikuti pendidikan lanjutan khusus penyakit dalam yang terdiri dari beberapa subdisiplin. Sedangkan yang berminat untuk menjadi spesialis lain mengikuti jalur kanan misalnya ingin jadi kardiologis, pulmonologis, neurologis atau bahkan pslkiatris. Bila setelah lulusjadi internis, yang bersangkutan berminat atau ingin memperdalam salah satu bidang subspeslisasi, boleh meneruskan pendidikan subspesialis



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DASAR-DASAR ILMU PENYAKITDALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



yang diinginkan hingga mendapat predikat konsultan. Sepintas lalu bagan ini tidak ada bedanya dengan yang berlaku sekarang tetapi ada satu yang berbeda yaitu adanya core curriculum untuk semua bidang medis hingga lulusannya dapat dipertanggungjawabkan secara nasional atau malah secara internasiomal. Dan perbedaan lainnya adalah karena dengan adanya core curriculum seseorang boleh berganti haluan untuk menjadi spesialis lain di samping yang sudah diikutinya. Ini bisa terjadi karena pada tiap kurikulum/katalog pendidikannya hams memberikan penekanan pada kompetensi seseorang tidak lagi pada sistem kavling-kavlingan seperti yang sekarang berlaku. Barangkali dengan cara seperti ini kemelut yang sudah lama berlangsung antara KKV dengan SpJP akan segera selesai. Untuk mewujudkan ha1 itu ada baiknya kolegium dari berbagai disiplin ilmu kedokteran medik berembug untuk menentukan isi core curiculum dan selanjutnya kolegium masing-masing menentukan katalog sendiri sesuai dengan spesialisasinya. Ide ini sebenarnya sudah lama diutarakan oleh Prof Ma'rifin Husin, tetapi sampai sekarang masih belum dapat tanggapan, karena saat itu kita tidak merasa terancam oleh arus globalisasi. Sekarang ini saat yang tepat untuk merealisasikan ide ini.



KESIMPULAN Penyakit dalam di negara maju pada dekade akhir abad ke-20 mengalami masa suram karena munculnya subspesialisasi, tetapi dengan pengaturan pelayanan kesehatan yang baik (alternatif I), munculnya penyakitpenyakit baru yang tidak melibatkan satu organ, atau pasien yang tidak jelas gambaran klinisnya, meningkatnya jumlah usia lanjut, pasien dengan multipatologi, dan majunya ilmu kedokteran yang menyebabkan penyakit dapat didiagnosis secara lebih mendasar (basic), pangsa pasar penyakit dalam akan mengalami peningkatan, yang terbukti dengan meningkatnya jumlah internis di negara maju. Untuk mendukung suksesnya pilihan alternatif 1, diperlukan internis yang bermutu dengan pendidikan yang berdasarkan kurikulum yang mantap yang didukung dengan kurikulum inti untuk semuajenis spesialisasimedik. Internis masa datang harus seseorang yang dapat berperan sebagai resource manager dan clinical manager sekaligus sebagai generalis dan spesialis dengan sentuhan manusiawi. Tulisan in ditutup dengan kata-kata mutiara yang akan selalu relevan sepanjang masa; What can be expected from an internist ?. tact, sympathy and understanding are expected of the physician, for the patient is no mere



collection of symptoms, signs, disordered functions, damaged organs, and disturbed emotion. He or she is human, fearful, and hopeful, seeking relieJ; help and reassurance.



REFERENSI Anderson RJ. Subspecialization in internal medicine: a historical review, an analysis, and proposals for change. Amer J Med. 1995;99:74-81. Coyle YM, Battles JB, Tysinger JW, Reed G. Developing strategic plans for academic general internal medicine. Amer J Med. 1997;102:470-6. Davidson C, Muller H. European perspective on general medicine. Commentary The Lancet. 1997;350:1645. Ervin FR. Strategic business planning for internal medicine. Amer J Med. 1996; 101 :96-9. Flexner A. Medical Education in the United States and Canada. A Report to the Carnegie Foundation for the Advancement of Teaching. Bulletin No 4 Boston. Massachusetts, 1910 (quoted by Greenlick ref No 2). Gesensway D. What i9s internal medicine's future? ACP Observer, March 1998 SGIM Council 1998. Goldman L . Cost awareness in medicine. In: Isselbacher, et al, eds. Harrison's principles of internal medicine. 13thedition. Volume 1. New York: McGraw-Hill; 1994. p. 38-42. . Greenlick MR. Educating physicians for the twenty-first century academic medicine. 1995;70: 179-85. Harrison. Introduction to clinical medicine. In: Isselbach, et al, editors. Harrison's Principle of Internal Medicine. 13Ih edition. Volume 1. New York: McGraw-Hill; 1994. p. 1. Kellett J. Internal medicine - back to the future of health care delivery. Eur J Int Med. 2002;13:4-8. Kimball HR, Bennet JC. Training the future internal medicine subspecialist. Amer J Med. 1994;96:559-62. Langdon LO, Toskes PP, Kimball HR and ABIM. Task force on subspecialty internal medicine. Ann Intern Med. 1996;124:68791. Lindgren S, Kjelstrom T. Future development of general internal medicine: a Swedish perpective. Eur J Int Med. 2001;12:464-9. Lyttle CS, Levey GS. The national study of internal medicine manpower: XX. The changing demographics of internal medicine recidency training programs. Ann Intern Med. 1994; 121:435-41. Mysterious, unseen, and quite possibly unpleasant. Editorial The Lancet. 1997;350:1641. Paradis NA. How the high-tech U.S medical system milks the most out of death. An opinion article in the International herald tribune, Friday, May 8, 1992. p. 5. Petersdorf RG, Goitein L. The future of internal medicine. Amer Coll of Phys. 1993;119:1131. Salerno SM, Cowl CT, et al. The opinion of currentand recent internal medicine residents regarding a fouryear of training and the future of general internal medicine. Amer J Med. 1997;102:144-6. Sereni D. Internal medicine in France : past, present, and future. Eur J Int Med. 2000;11:55-7.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



E VIDENCEmBASED MEDICINE Zubairi Djoerban



PENDAHULUAN Ilmu pengetahuan dewasa ini berkembang dengan pesat. Informasi mengenai berbagai penelitian yang terbaru semakin mudah didapatkan dengan semakin berkembang teknologi informasi yang memungkinkan setiap orang di belahan dunia manapun dapat dengan mudah mengakses artikel-artikel penelitian terbaru melalui internet secara cepat. Penatalaksanaan pasien selayaknya selalu berdasarkan pengetahuan sahih yang terkini sehingga diharapkan akan tercapai hasil pengobatan yang optimal. Untuk itu setiap dokter perlu meningkatkan kemampuan mempraktekkan evidence-based medicine. Pentingnya penerapan evidence-based medicine tercermin dari beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa seringkali pemikiran yang logis tidak terbukti benar. Sebagai contoh adalah konsep mengenai antioksidan yang akan mencegah kanker atau menurunkan angka kematian. Temyata pada beberapa kondisi khusus menunjukkan ha1 sebaliknya. Studi pada 29.133 perokok pada Alpha Tocopherol, Beta Carotene Cancer Prevention (ATBC) Study dan 18314 perokok, bekas perokok, dan pekerja terpapar asbestos pada Alpha-Carotene and Retinol Eflcacy Trial (CARET)melaporkan tejadinya peningkatan insidens kanker paru pada perokok dan bekas perokok dengan pemberian beta karoten. Contoh lain adalah hasil meta-analisis mengenai konsumsi vitamin E yang menyatakan bahwa konsumsi vitamin E dosis tinggi (2400 International Unit) per hari akan meningkatkan risiko kematian sehingga hams dihindari. Contoh lain adalah mengenai tatalaksana kanker payudara. Sebelumnya sebagian besar pasien kanker payudara baik stadium dini maupun lanjut menjalani mastektomi radikal, tetapi kemudian pada pertengahan tahun 60-an mulai timbul pertanyaan mengenai keefektifan terapi ini jika dibandingkan operasi payudara dengan



daerah eksisi yang lebih terbatas. National Surgical Adjuvant Breast and Bowel Project (NSABP) kemudian mengadakan B-04 clinical trial, suatu studi acak terkontrol, selama 25 tahun sejak 1971 untuk membandingkan mastektomi radikal dengan mastektomi total pada pasien kanker payudara dengan dan tanpa anak sebar pada kelenjar getah bening. Penelitian yang melibatkan 1079 perempuan ini membandingkan antara mastektomi radikal, mastektomi total dan radiasi dan mastektomi total saja pada pasien tanpa anak sebar pada kelenjar getah bening, serta membandingkan antara mastektomi radikal dengan mastektomi total dan radiasi pada pasien dengan kelenjar getah bening positif. Hasilnya adalah mastektomi radikal ternyata tidak menimbulkan perbedaan bermakna dibandingkan mastektomi total terhadap disease-free survival, relapse-free survival, distant-disease-free survival dan overall survival. Tidak setiap hasil penelitian merupakan bukti yang sahih. Oleh karena itu setiap dokter hams memiliki keterampilan dalam melakukan langkah-langkah EBM dan memiliki strategi untuk mengatasi keterbatasan waktunya sambil tetap menerapkan prinsip EBM dalam praktek sehari-hari.



SEJARAH



Filosofi konsep evidence-based medicine (EBM) sebenamya telah dikenal di Perancis, sejak pertengahan abad ke-19, dan kini menjadi topik yang sering dibicarakan, terutama sejak dibentuknya suatu kelompok yang dipimpin oleh Gordon Guyatt dari Universitas McMaster, Kanada pada tahun 1992.Sejak saat itujurnlah artikel mengenai EBM meningkat dengan pesat, dari satu publikasi pada tahun 1992 menjadi sekitar 1000pada tahun 1998, dan telah terbit jumal intemasional yang menggunakan pendekatan EBM.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



22



DASAR-DASAR ILMU PENYAKITDALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Ada beberapa alasan yang mendasari perkembangan EBM yaitu 1). tingginya kebutuhan klinisi sewaktu merawat pasien akan informasi mengenai diagnosis, prognosis, terapi dan upaya prevensi; 2). sumber informasi yang tidak adekuat karena dituliskan sudah terlalu lama (buku teks), seringkali salah (pendapat ahli), tidak efektif (pendidikan kedokteran berkelanjutan) atau jumlah volumenya terlalu banyak dan validitasnya terlalu beragam Cjurnal ilmiah); 3). dengan bertambahnya waktu, akan terdapat kesenjangan antara ketrampilan diagnostik dan pertimbangan klinis, yang semakin meningkat akibat pengalaman, dengan pengetahuan terkini yang semakin menurun; dan 4). keterbatasan waktu para klinisi untuk membaca tulisan ilmiah kedokteran. -



-



Sackett mendefinisikan EBM sebagai the conscientious, explicit andjudicious use ofthe best current evidence in making decisions about the care of individual patients. Bila diterjemahkan secara harfiah dapat dinyatakan sebagai penggunaan bukti-bukti terbaik yang terkini secara hatihati, eksplisit dan bijaksana dalam menatalaksana pasien. Sudigdo menerjemahkannya secara lebih sederhana sebagai pemanfaatan bukti mutakhir dari penelitian yang sahih dalam tata lahana pasien. EBM merupakan integrasi antara bukti-bukti tersahih dari hasil penelitian terkini dengan ekspertis klinis dan nilai-nilai pasien. Bukti tersahih yang dimaksud adalah laporan hasil penelitian dasar dan penelitian klinis yang relevan. Ekspertis klinis adalah kemampuan untuk menggunakan keahlian klinis dan pengalaman sebelumnya untuk mengidentifikasi keadaan dan menegakkan diagnosis secara cepat, risiko dan keuntungan intervensi yang akan dilakukan, serta nilai-nilai dan harapan pasien. Nilainilai pasien yang dimaksud adalah preferens, perhatian dan harapan masing-masing pasien saat datang ke klinik.



LANGKAH-LANGKAH MELAKUKAN EBM DALAM PRAKTEK Penerapan EBM dalam praktek dilakukan dengan 5 langkah berikut: Langkah 1, mengubah kebutuhan akan informasi (mengenai prevensi, diagnosis, terapi, dan penyebab) menjadi pertanyaan yang dapat dijawab. Langkah 2, menemukan bukti terbaik yang dapat menjawab pertanyaan Langkah 3, melakukan telaah kritis (critical appraisao, menilai bukti yang ditemukan yaitu dari segi validitas, besarnya efek serta kegunaannya dalam praktek.



Langkah 4, mengintegrasikan hasil penilaian tersebut dengan ekspertis klinis dan situasi khas setiap pasien. . . Langkah 5, mengevaluasi efektifitas dan efisiensi langkahlangkah yang telah dilakukan. Dalam praktek, penerapan EBM tidak selalu dilakukan langkah demi langkah karena sangat tergantung dengan penyakit dan kondisi pasien. Langkah ke-4 selalu dikerjakan, tetapi pelaksanaan langkah yang lain sangat bervariasi. Sebagai contohjika kita menghadapi kasus yang sering terjadi, maka kita hams siap segera dan yakin akan apa yang akan kita kerjakan. Maka kita hams menyediakan waktu untuk melakukan langkah ke-2 dan 3. Untuk kondisi yang jarang kita jumpai, langkah ketiga tidak perlu dikerjakan, kita dapat melihat telaah kritis yang telah ada dari sumber-sumber informasi berbasis EBM yang terpercaya.



IDENTlFlKASl MASALAHIPERTANYAAN KLlNlS Langkah pertama dalam penerapan EBM adalah menetapkan masalah atau pertanyaan yang ada. Pertanyaan dibedakan menjadi pertanyaan background yang mempertanyakan pengetahuan umum mengenai suatu kelainan, dan pertanyaan foreground yang mempertanyakan pengetahuan spesifik mengenai tata laksana pasien dengan suatu kelainan tertentu. Untuk membuat pertanyaan foreground, model PIC0 dapat menjadi alat yang membantu, yaitu Pasien mana yang terlibat dan apakah problemnya, Intervensi apa yang dilakukan, apa perbandingan (Comparator)dari intervensi tersebut, dan apakah keluaran (Outcomes) yang dikehendaki.



TELAAH KRlTlS Setelah informasi yang diperlukan telah didapatkan, maka langkah berikutnya adalah memutuskan apakah infomasi tersebut relevan, apakah studi tersebut telah dilakukan dengan metode yang baik, dan apakah kesimpulannya sahih. Untuk itu suatu artikel harus dibaca secara seksama dan dianalisis untuk mengetahui bagaimana studi tersebut dilakukan (metodologi), apakah hasilnya, dan apakah kesimpulan yang diambil masuk akal. Keterampilan untuk melakukan telaah kntis hams dipelajari dan dikembangkan. Untuk menentukan diagnosis penyakit, terapi dan prognosis seorang pasien, maka kita hams menelaah buktibukti yang didapatkan dengan menggunakan pertanyaanpertanyaan sebagai berikut: 1). Apakah bukti tersebut sahih ?; 2). Apakah bukti tersebut penting ?; 3). Apakah bukti tersebut dapat diaplikasikan ? Pada prakteknya langkah ke-1 dan 2 tidak harus dikerjakan berurutan, tetapi keduanya sudah harus



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



EVIDENCE BASED MEDICINE



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dilaksanakan sebelum kita melangkah ke pertanyaan ketiga. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu kita hams membaca suatu artikel dengan seksama, terutama metode penelitiannya.



TINGKAT KESAHIHAN BUKTl Bukti adalah informasi yang berasal dari penelitian, "kebenaran" sebagaimana ditunjukkan secara obyektif melalui studi ilmiah. Bagaimanapun, bukti juga mencakup pendapat ahli dan konsensus. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa seorang ahli akan memberikan pendapat yang berdasarkan pengetahuannya yang luas di bidangnya, seperti juga pengalaman klinis pribadinya sendiri. Bukti yang didapat dari studi ilmiah mempunyai tingkat kesahihan yang lebih tinggi dibandingkan pendapat ahli karena kita dapat melihat hasilnya sendiri, mengikuti proses pertimbangan dilakukannya studi, dan memeriksa langkah demi langkah metodologi risetnya. Studi eksperimentaljuga mempunyai tingkat bukti yang lebih tinggi daripada studi observasional karena intervensi telah lebih dahulu dipersiapkan sehingga bias dan faktor perancu dapat dikontrol. Uji klinik acak (randomised clinical trials (RCT)) merupakan bukti yang tingkatnya tertinggi pada hirarki bukti, diikuti dengan uji klinik terkontrol tidak acak dan penelitian eksperimental prospektif lainnya. Urutan selanjutnya adalah studi observasional, dimana studi kohort adalah yang terbaik, diikuti studi potong lintang dan kemudian case series. Pendapat ahli menduduki urutan terbawah dari hirarki bukti. Meta-analisis adalah artikel yang merupakan integrasi dari beberapa studi yang dipublikasikan (terutama RCT). Perlu diingat bahwa hirarki ini hanya merupakan cara untuk memudahkan evaluasi kekuatan suatu bukti, ha1 ini tidak menyingkirkan kebutuhan untuk menelaah secara kritis suatu studi individual. Meskipun pendapat ahli tanpa adanya bukti yang lebih tinggi tingkatannya, dalam hirarki berada di bawah, tidak berarti bahwa tidak berguna. Konsensus merupakan bagian penting dari impelementasi dalam praktek klinik. Saat ini juga berbagai konsensus dan panduan sudah dibuat berdasarkan prinsip evidencebased medicine. Salah satu kelemahan RCT adalah jarang dapat menjawab pertanyaan mengenai etiologi, diagnosis dan prognosis. Untuk mengetahui akurasi tes diagnostik misalnya, yang diperlukan adalah hasil studi potong lintang terhadap pasien yang secara klinis diduga menderita suatu kelainan. RCT, khususnya meta-analisis terhadap beberapa RCT, memang merupakan baku emas (gold standard) untuk menentukan apakah suatu terapi memberikan banyak manfaat atau malah membahayakan. Walaupun demikian, tidak semua masalah dalam terapi



hams dijawab dengan RCT, terkadang dibutuhkan bukti yang berasal dari penelitian dasar seperti genetika atau imunologi. Terdapat dua kelompok yang berbeda pendapat mengenai hasil penelitian seperti apa yang tepat untuk menjadi referensi sehingga bukti yang didapatkan merupakan bukti yang sahih. Kelompok pertama beranggapan bahwa RCT, meta-analisis dan konsensus konferensi merupakan bukti yang paling terpercaya untuk memutuskan tindakan pengobatan yang akan diberikan. Kelompok yang kontra beranggapan bahwa penelitianpenelitian tersebut hanya menjawab pertanyaan yang sangat sederhana, mengecilkan kompleksitas penyakit pada manusia, terlalu menekankan pada analisa statistik dan tidak mengikutsertakan hasil penelitian yang negatif. Bukti-bukti yang diperlukan dalam EBM tidak dapat hanya bersumber dari RCT, karena bagaimanapun masih sedikit sekali masalah dalam ilmu kedokteran yang telah dicari jawabannya dengan RCT, karena menyangkut masalah sistem, waktu dan biaya. Dengan EBM, maka semua bukti yang ada ditelaah secara eksplisit, setiap bukti ditelaah secara hati-hati dan hasilnya dinyatakan dengan jelas.



KETERBATASAN EVIDENCE-BASED MEDICINE Evaluasi terhadap konsep dan pelaksanaan EBM telah memunculkan banyak perdebatan mengenai kelebihan dan kekurangan EBM. Seperti panduan yang lain, EBM juga memiliki keterbatasan. Keterbatasan tersebut dapat muncul dari ilmunya sendiri, baik ilmu dasar maupun ilmu aplikasi, seperti kurangnya data atau data yang ada tidak dapat digeneralisasi. Kesalahan juga dapat terjadi jika panel penilai membuat kesimpulan yang salah saat menerjemahkan teori menjadi kebijakan. Keterbatasan dalam mempraktekkan EBM yang saat ini telah diidentifikasi adalah 1). adanya ketakutan klinisi karena hams menguasai dan mengembangkan keterampilan untuk mencari dan menelaah suatu bukti, 2). klinisi yang sibuk tidak mempunyai waktu dan untuk menguasai dan menerapkan keterampilan baru tersebut, serta tidak adanya sarana untuk mengakses secara cepat bukti yang diperlukan di tempat praktek, 3). penerapan EBM membutuhkan banyak waktu. Saat ini masalah keterbatasan waktu telah bisa diatasi dengan adanya 1). strategi untuk mencari dan menelaah bukti-bukti dengan efisien, 2). saripustaka sistematik, 3). jurnal yang menggunakan pendekatan EBM, dan 4). perkembangan sistem informasi sehingga mempercepat proses pencarian bukti. Untuk mengatasi masalah keterbatasan waktu, seorang klinisi tidak hanya hams mengetahui bagaimana membaca sebuah artikel, namun juga hams dapat menentukan artikel apa yang hams dibaca dan kapan artikel itu hams dibaca.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DASAR-DASAR ILMU PENYAKIT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Saat ini bukti-bukti tersahih dari penelitian mutakhir bisa didapatkan melalui situs-situs yang menyediakan database, beberapa telah mengolahnya dengan langkahlangkah yang eksplisit sehingga kita dapat langsung mengetahui kesimpulannya, sementara beberapa situs lain hanya menyediakan informasi yang masih hams kita olah sendiri.



KESIMPULAN Langkah-langkah penerapan EBM yang terlihat 'rumit' menakutkan sebagianklinisi untuk mempraktekkannya.Hal ini seharusnya tidak perlu terjadi karena kemajuan teknologi telah memberikan banyak manfaat dan kemudahan untuk menerapkan EBM dalam praktek seharihari. Akses informasi melalui internet mengenai suatu topik yang menjadi pertanyaan dalam praktek dapat dilakukan dengan mudah di tempat praktek. Beberapa situs dengan fokus EBM telah menyediakan artikellabstrak mengenai berbagai macam permasalahan dalam praktek menggunakan metode pencarian yang mudah dan cepat.



REFERENSI Beta Carotene Cancer Prevention Study Group The Alpha-Tocopherol. The effect of vitamin E and beta carotene on the inci-



dence of lung cancer and other cancers in male smokers. N Engl J Med. 1994;330:1029-35. Eden OB. Evidence-based medicine. Arch Dis Child. 2000;82:275-7. Evidence-Based Medicine Working Group. Evidence-based medicine. A new approach to teaching the practice of medicine. JAMA. 1992; 268:2420-5. Feinstein AR, Horwitz R. Problems in the "evidence" of "evidencebased medicine". Am J Med. 1997;103:529-35. Fisher B, Jeong JH, Anderson S, Bryant J, Fisher ER, Wolmar N. Twenty-five year follow-up of a randomized trial comparing radical mastectomy, total mastectomy, and total mastectomy followed by irradiation. N Engl J Med. 2002;347:567-75. Miller ER 3d, Pastor-Baniuso R, Dalal D, Riemersma RA, Appel LJ, Guallar E. Meta-analysis: high-dosage vitamin E supplementation may increase all-cause mortality. Ann Intern Med. 2005;142(1):37-46. Omenn GS, Goodman GE, Thomquist MD, dkk. Effects of a combination of beta carotene and vitamin A on lung cancer and cardiovascular disease. N Eng J Med. 1996;334:1150-5. Pwee KH.Wbat is this thing called EBM. Singapore Med J. 2004;45:413-7. Sackett DL, Rosenberg WMC, Gray JAM, Haynes RB, Richardson WS. Evidence based medicine: what it is and what it isn't [editorial]. BMJ. 1996;3 12:71-2. Sackett DL, Straus SE, Richardson WS, Rosenberg W, Haynes RB. Evidence-based medicine: how to practice and teach EBM. 2"d ed. London: Churchill Livingstone; 2000. Sastroasmoro S. Logika dalam kedokteran: dari Hippocrates, Ibnu Sina, hingga wacana "Evidence-based medicine". Pidato pengukuhan guru besar FKUI. 2000. Woolf SH. Evidence-based medicine and practice guidelines: an overview. JMCC. 2000;7:362-7.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ANAMNESIS Supartondo, Bambang Setiyohadi



Tidak seperti dokter hewan, maka seorang dokter "manusia" hams melakukan wawancara yang seksama terhadap pasiennya atau keluarga dekatnya mengenai masalah yang menyebabkan pasien mendatangi pusat pelayanan kesehatan. Wawancara yang baik seringkali sudah dapat mengarahkan masalah pasien ke diagnosis penyakit tertentu. Didalam Ilmu Kedokteran, wawancara terhadap pasien disebut anamnesis. Tehnik anamnesis yang baik disertai dengan empati merupakan seni tersendiri dalam rangkaian pemeriksaan pasien secara keseluruhan dalam usaha untuk membuka saluran komunikasi antara dokter dengan pasien. Empati mendorong keinginan pasien agar sembuh karena rasa percaya kepada dokter. Penting diperhatikan bahwa fakta yang terungkap selama anamnesis hams dirahasiakan (Mc Kellar: Provacy Laws, 2002) meskipun di zaman yang modern ada beberapa bagian yang dapat dikecualikan. Perpaduan keahlian mewawancarai dan pengetahuan yang mendalam tentang gejala (simtom) dan tanda (sign) dari suatu penyakit akan memberikan hasil yang memuaskan dalam menentukan diagnosis kemungkinan sehingga dapat membantu menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya, termasuk pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis harus dilakukan secara tenang, ramah dan sabar, dalam suasana yang rahasia dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien. Sebelum melakukan anamnesis, perkenalkan diri dulu kepada pasien, dan tanyakan juga nama pasien secara baik; harap jangan salah menyebutkan nama pasien. Buatlah catatan penting selama melakukan anamnesis sebelum dituliskan secara lebih baik didalam status pasien. Status adalah catatan medik pasien yang memuat semua catatan mengenai penyakit pasien dan perjalanan penyakit pasien. Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis)atau terhadap keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis) bila



keadaan pasien tidak memungkinkan untuk diwawancarai, misalnya keadaan gawat-darurat, afasia akibat strok dan lain sebagainya.. Dalam melakukan anamnesis, tanyakanlah hal-ha1 yang logik mengenai penyakit pasien, dengarkan dengan baik apa yang dikatakanpasien,jangan memotong pembicaraan pasien bila tidak perlu. Bila ada hal-ha1 yang tidak jelas atau pasien menceriterakan sesuatu ha1 secara tidak runut, maka tanyakanlah dengan baik agar pasien menjelaskan kembali. Selain melakukan wawancara (verbal), maka selama anamnesis juga harus diperhatikan tingkah laku non verbal yang secara tidak sadar ditunjukkan oleh pasien, yang seringkali mengungkapkan arti terpendam saat ekspresi wajah dan gerak tangan yang secara tidak sadar muncul, misalnya gelisah, mimik kesakitan, sedih, marah dan lain sebagainya. Anamnesis yang baik akan berhasil bila kita membangun hubungan yang baik dengan pasien, sehingga pasien merasa aman untuk menceritakan masalah penyakitnya dengan dokter. Dalam melakukan wawancara, hams diperhatikan bahwa pengertian sakit (illness) sangat berbeda dengan pengertian penyakit (disease). Sakit (illness) adalah penilaian seseoranmg terhadap penyakit yang dideritanya, berhubungan dengan pengalaman yang dialaminya, bersifat subyektif yang ditandai oleh perasaan tidak enak. Sedangkan penyakit (disease)adalah suatu bentuk reaksi biologik terhadap suatu trauma, mikroorganisme, benda asing sehingga menyebabkan pembahan fungsi tubuh atau organ tubuh; oleh sebab itu penyakit bersifat obyektif. Tidak seluruh rasa sakit yang dialami oleh pasien merupakan tanda dari suatu penyakit, sebaliknya seringkali suatu penyakit juga dapat tidak memberikan rasa sakit pada pasien, sehingga seringkali diabaikan oleh pasien dan ditemukan secara kebetulan, misalnya pada waktu pasien melakukan general check up. Anamnesis yang baik akan terdiri dari identitas, keluhan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DASAR-DASARILMU PENYAKITDALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat obstetri dan ginekologi (khusus wanita), riwayat penyakit dalam keluarga, anamnesis susunan sistem dan anamnesis pribadi (meliputi keadaan sosial ekonmomi, budaya, kebiasaan, obat-obatan, lingkungan). Pada pasien usia lanjut perlu dievaluasi juga status fungsionalnya, seperti ADL, IADL (lihat bab Geriatri). Pasien dengan sakit menahun, perlu dicatat pasang-surut kesehatannya, termasuk obat-obatannya dan aktivitas sehari-harinya.



RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG



hipotesis selama wawancara akan menghindari timbulnya diagnosis sementara dan diagnosis diferensial, yang dimasa lalu dibahas pada penetapan masalah, yaitu pada akhir pemeriksaan, sebelum pengobatan. Hipotesis akan memberikan pengarahan yang diperkuat dengan hasil pemeriksaan jasmani. Ketelitian seluruh pemeriksaan memberikan gambaran lengkap tentang masalah pasien. Berdasarkan anamnesis yang baik, dapat diputuskan dengan cermat jenis pemeriksaan penunjang yang diperlukan oleh pasien untuk menambah kepastian diagnosis. Riwayat perjalanan penyakit disusun dalam Bahasa Indonesia yang baik sesuai dengan apa yang diceriterakan oleh pasien, tidak boleh menggunakan bahasa kedokteran, apalagi melakukan interpretasi dari apa yang dikatakan oleh pasien. Dalam mewawancarai pasien gunakanlah kata tanya apa, mengapa, bagaimana, bilamana, bukan kata tanya yang mendesak sehingga pasien hanya dapat menjawab ya dan tidak, kecuali bila akan memperjelas sesuatu yang kurang jelas. Pasien hams dibiarkan bercerita sendiri dan jangan terlalu banyak disela pembicaraannya. Ketrampilan komunikasi di negeri seluas Indonesia yang didiami oleh berbagai suku bangsa merupakan masalah yang harus dipelajari terus-menerus. Bahasa Indonesia memang berhasil mengatasi kesulitan ini, walaupun bukan tanpa korban, yaitu hilangnya penggunaan bahasa daerah oleh generasi muda (UNESCO, 2 1 Februari, Hari Bahasa Ibu Internasional). Dalam melakukan anamnesis, harus diusahakan mendapatkan data-data sebagai berikut : 1. Waktu dan lamanya keluhan berlangsung, 2. Sifat dan beratnya serangan, misalnya mendadak, perlahan-lahan, terus menerus, hilang timbul, cenderung bertambah berat atau berkurang dan sebagainya, 3. Lokalisasi dan penyebarannya, menetap, menjalar, berpindah-pindah, 4. Hubungannya dengan waktu, misalnya pagi lebih sakit dari pada siang dan sore, atau sebaliknya, atau terus menerus tidak mengenal waktu, 5. Hubungannya dengan aktivitas, misalnya bertambah berat bila melakukan aktivitas atau bertambah ringan bila beristirahat, 6. Keluhan-keluhan yang menyertai serangan, misalnya keluhan yang mendahului serangan, atau keluhan lain yang bersamaan dengan serangan, 7. Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang



Riwayat perjalanan penyakit merupakan cerita yang kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat. Keluhan utama ditelusuri untuk menentukan penyebab; tanya jawab diarahkan sesuai dengan hipotesis yang dapat berubah bila jawaban pasien tidak cocok. Secepatnya diharapkan hipotesis akhir ditemukan lewat beberapa cara dan dianggap memastikan. Perubahan



8. Faktor risiko dan pencetus serangan, termasuk faktorfaktor yang memperberat atau merinngankan serangan, 9. Apakah ada saudara sedarah, atau teman dekat yang menderita keluhan yang sama, 10. Riwayat perjalanan ke daerah yang endemis untuk penyakit tertentu, 11. Perkembangan penyakit, kemungkinan telah terjadi komplikasi atau gejala sisa,



Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, nama orang tua atau suami atau isteri atau penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa dan agama. Identitas perlu ditanyakan untuk memastikan bahwa pasien yang dihadapi adalah memang benar pasien yang dimaksud. Selain itu identitas ini juga perlu untuk data penelitian, asuransi dan lain sebagainya.



KELUHAN UTAMA (CHIEF COMPLAINT) Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien pergi ke dokter atau mencari pertolongan. Dalam menuliskan keluhan utama, hams disertai dengan indikator waktu, berapa lama pasien mengalami ha1 tersebut. Contoh : Buang air besar encer seperti cucian beras sejak 5jam yang lalu. Bila pasien mengatakan Saya sakit jantung atau Saya sakit mag, maka ini bukan keluhan utama. Seringkali keluhan utama bukan merupakan kalimat yang pertama kali diucapkan oleh pasien, sehingga dokter hams pandaipandai menentukan yang mana keluhan utama pasien dari sekian banyak ceritera yang diungkapkan pasien. Hal lain yang juga hams diperhatikan adalah pasien mengeluhkan hal-ha1 yang sebenarnya bukan masalah pokok atau keluhan utama pasien tersebut, misalnya mengeluh lemas dan tidak nafsu makan sejak beberapa hari yang lalu, tetapi sesungguhnya ia menderita demam yang tidak diceriterakan segera pada waktu ditanyakan oleh dokter.



kali



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 12. Upaya yang telah dilakukan dan bagaimana hasilnya, jenis-jenis obat yang telah diminum oleh pasien; juga tindakan medik lain yang berhubungan dengan penyakit yang saat ini diderita. Setelah semua data terkumpul, usahakan untuk membuat diagnosis sementara dan diagnosis diferensial. Bila mungkin, singkirkan diagnosis diferensial, dengan menanyakan tanda-tanda positif dan tanda-tanda negatif dari diagnosis yang paling mungkin.



RIWAYAT PENYAKIT DAHULU Bertujuan untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang pernah diderita dengan penyakitnya sekarang. Tanyakan pula apakah pasien pernah mengalami kecelakaan, menderita penyakit yang berat dan menjalani operasi tertentu, riwayat alergi obat dan makanan, lama perawatan, apakah sembuh sempurna atau tidak. Obat-obat yang pernah diminum oleh pasien juga harus ditanyakan, termasuk steroid, kontrasepsi, transfusi, kemoterapi, dan riwayat imunisasi. Bila pasien pernah melakukan berbagai pemeriksaan, maka harus dicatat dengan seksama, termasuk hasilnya, misalnya gastroskopi, Papanicolaou b smeal; mamografi, foto paru-paru dan sebagainya.



RIWAYAT OBSTETRI Anamnesis terhadap riwayat obstetri hams ditanyakan pada setiap pasien wanita. Tanyakan mengenai menstruasinya, kapan menarche, apakah menstruasi teratur atau tidak, apakah disertaui rasa nyeri atau tidak. Jugaharus ditanyakan riwayat kehamilan, persalinan dan keguguran.



ANAMNESIS SUSUNAN SISTEM (SYSTEMS REVIEW) Anamnesis susunan sistem bertujuan mengumpulkan datadata positif dan negatif yang berhubungan dengan penyakit yang diderita pasien berdasarkan alat tubuh yang sakit. Anamnesis ini juga dapat menjaring masalah pasien yang terlewat pada waktu pasien menceriterakan Riwayat Penyakit Sekarang. 1. Kepala: sefalgia, vertigo, nyeri sinus, trauma kapitis 2. Mata: visus, diplopia, fotofobia, lakrimasi 3. Telinga: pendengaran, tinitus, sekret, nyeri 4. Hidung: pilek, obstruksi, epistaksis, bersin, 5. Mulut :geligi, stomatitis, salivasi 6. Tenggorok :nyeri menelan, susah menelan, tonsilitis, kelainan suara 7. Leher :pembesaran gondok, kelenjar getah bening



8. Jantung : sesak nafas, ortopnu, palpitasi, hipertensi 9. Paru :batuk, riak, hemoptisis, asma 10. Gastrointestinal :nafsu makan, defekasi, mual, muntah, diare, konstipasi, obsipasi, hematemesis, melena, hematoskezia, hemoroid, 11. Saluran kemih : nokturia, disuria, polakisuria, oligosuria, poliuria, retensi urin, anuria, hematuria 12.Alat kelamin : fungsi seks, menstruasi, kelainan ginekologik, good morning discharge 13. Payudara :perdarahan, discharge, benjolan 14. Neurologik :kesadaran, gangguan saraf otak, paralisis, kejang, anestesi, parestesi, ataksia, gangguan fungsi luhur, 15.Psikologik : perangai, orientasi, anxietas, depresi, psikosis 16. Kulit :gatal, ruam, kelainan kuku, infeksi kulit 17.Endokrin : struma, tremor, diabetes, akromegali, kelemahan umum 18. Muskuloskeletal : nyeri sendi, bengkak sendi, nyeri otot, kejang otot, kelemahan otot, nyeri tulang, riwayat gout



RIWAYAT PENYAKIT DALAM KELUARGA Penting untuk mencari kemungkinan penyakit herediter, familial atau penyakit infeksi. Pada penyakit yang bersifat kongenital, perlu juga ditanyakan riwayat kehamilan dan kelahiran.



RIWAYAT PRlBADl Riwayat pribadi meliputi data-data sosial, ekonomi, pendidikan dan kebiasaan. Pada anak-anak perlu juga dilakukan anamnesis gizi yang seksama, meliputi jenis makanan, kuantitas dan kualitasnya. Perlu ditanyakan pula apakah pasien mengalami kesulitan dalam kehidupan sehari-hari seperti masalah keuangan, pekerjaan dan sebagainya. Kebiasaan pasien yang juga hams ditanyakan adalah kebiasan merokok, minum alkohol, termasuk penyalahgunaan obat-obat terlarang (narkoba). Pasienpasien yang sering melakukan perjalanan juga hams ditanyakan tujuan perjalanan yang telah dilakukan untuk mencari kemungkinan tertular penyakit infeksi tertentu di tempat tujuan perjalanannya. Bila ada indikasi, riwayat perkawinan dan kebiasaan seksualnya juga harus ditanyakan. Yang tidak kalah pentingnya adalah anamnesis mengenai lingkungan tempat tinggalnya, termasuk keadaan rumahnya, sanitasi, sumber air minum, ventilasi, tempat pembuangan sampah dan sebagainya. Pada pasien-pasien dengan kecenderungan anxietas dan depresi, juga hams dilakukan anamnesis psikologik secara khusus.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



REFERENSI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



1. Supartondo. Rekam Medik Berorientasi Masalah (RMOM) : 55-57. Dalam Ikut Berperan &lam Perubahan Kurikulum FKUI, Pemikiran dan Pandangan dalam Bidang Pendidikan Kedokteran, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta 2006: 33-63. 2. Epstein 0 , Perkin GD, Cookson J, de Bono DP. Clinical examination. 3rd ed. Mosby, Edinburg, 2003. 3. Delph MH, Manning RT. Major's physical diagnosis. An



4. 5. 6.



7.



Introduction to Clinical Process. 9th ed. WB Saunders Co, Philadelphia 1981. Talley N, O'Connor S. Pocket Clinical Examination. 2nd ed. Elsevier Australia, NSW, 2004. Lamsey JSP, Bouloux PMG. Clinical examination of the patient. 1st ed. Buttorsworsh, London, 1994. Bates B, Bikcley LS, Hoekelman RA. A Guide to Physical examination and History Taking. 6th ed. JB Lippincott, Philadelphia, 1995:123-30. Wahidiyat I, Matondang C, Sastroasmoro S. Diagnosis Fisis pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1989.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PEMERIKSAAN FISIS UMUM Bambang Setiyohadi, Imam Subekti



Pemeriksaan fisis mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat temuan-temuan dalam anamnesis. Teknik pemeriksaan fisis meliputi pemeriksaan visual atau pemeriksaan pandang (Inspeksi), periksa raba (Palpasi), pemeriksaan ketok (Perkusi) dan Pemeriksaan dengar dengan menggunakan stetoskop (Auskultasi). Sikap sopan santun dan rasa hormat terhadap tubuh dan pribadi pasien yang sedang diperiksa harus diperhatikan dengan baik oleh pemeriksa. Hindarkan segala tindakan yang dapat mengakibatkan rasa malu atau rasa tidak nyaman pada diri pasien. Sebaliknya pemeriksa juga tidak boleh bersikap kaku dan canggung, karena akan mengurangi kepercayaan pasien terhadap pemeriksa. Hindarkan membuka pakaian pasien yang tidak diperlukan. Periksalah pasien secara sistematik dan senyaman mungkin, mulai melihat keadaan umum pasien, tanda-tanda vital, pemeriksaanjantung, paru, abdomen dan ekstremitas. Pemeriksaan pada daerah sensitif, misalnya payudara, anorektal dan urogenital sebaiknya dilakukan atas indikasi.



dan pasien yang gemuk memiliki habitus piknikus. Keadaan gizi pasien juga harus dinilai, apakah kurang, cukup atau berlebih. Berat badan dan tinggi badan juga harus diukur sebelum pemeriksaan fisis dilanjutkan. Dengan menilai berat badan dan tinggi badan, maka dapat diukur Indeks Massa Tubuh (IMT), yaitu berat badan (kg) dibagi kuadrat tinggi badan (cm). IMT 18,5-25 menunjukkan berat badan yang ideal, bila IMT < 18,5 berarti berat badan kurang, IMT > 25 menunjukkan berat badan lebih dan IMT >30 adalah obesitas.



KESADARAN Kesadaran pasien dapat diperiksa secara inspeksi dengan melihat reaksi pasien yang wajar terhadap stimulus visual, auditor maupun taktil. Seorang yang sadar dapat tertidur, tapi segera terbangun bila dirangsang. Bila perlu, tingkat kesadaran dapat diperiksa dengan memberikan rangsang nyeri.



KEADAAN UMUM Sebelum melakukan pemeriksaan fisis, dapat diperhatikan bagaimana keadaan umum pasien melalui ekspresi wajahnya, gaya berjalannya dan tanda-tanda spesifik lain yang segera tampak begitu kita melihat pasien, misalnya eksofialmus, cusingoid, parkinsonisme dan sebagainya. Keadaan umum pasien dapat dibagi atas tarnpak sakit ringan atau sakit sedang atau sakit berat. Keadaan umum pasien seringkali dapat menilai apakah keadaan pasien dalam keadaan darurat medik atau tidak. t pada pasien adalah lain yang se%erad a ~ adilihat keadaan gizi dan habitus. Pasien dengan berat badan dan bentuk badan vane; . - ideal disebut memiliki habitus atletikus; pasien yang kurus memiliki habitus astenik.us;



TINGKAT KESADARAN



Kompos mentis, yaitu sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya. Pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan baik. Apatis, yaitu keadaan di mana pasien tampak segan dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya. Delirium, yaitu penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus bangun yang terganggu. Pasien tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi dan meronta-ronta. Somnolen (letargia, obtundasi, hipersomnia), yaitu



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DASAR-DASARILMU PENYAKIT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



keadaan mengantuk yang masih dapat pulih penuh bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti, pasien akan tertidur kembali.



Sopor (stupor), yaitu keadaan mengantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang h a t , misalnya rangsang nyeri, tetapi pasien tidak terbangun sempuma dan tidak dapat memberikanjawaban verbal yang baik. Semi-koma (koma ringan), yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan respons terhadap rangsang verbal, dan tidak dapat dibangunkan sama sekali, tetapi refleks (komea, pupil) masih baik. Respons terhadap rangsang nyeri tidak adekuat. Koma, yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan spontan dan tidak ada respons terhadap rangsang nyeri.



Sinkop adalah penurunan kesadaran sementara (transient) yang biasanya berhubungan dengan penurunan aliran darah di otak. Sinkop dapat berhubungan dengan kolaps postural dan dapat membaik sendiri tanpa gejala sisa. Sinkop dapat terjadi tiba-tiba tanpa gejala yang mendahului, atau dapat juga didahului oleh gejala presinkop seperti nyeri kepala, pusing, kelemahan umum, muntah, penglihatan kabur, tinitus atau berkeringat. Sinkop hams dibedakan dengan serangan epileptik. Serangan epileptik biasanya timbul tanpa penyebab yang khas dan tidak dipengaruhi oleh posisi pasien, tetapi pasien akan merasakan sensasi abnormal sebelumnya yang disebut aura, misalnya halusinasi, mencium bau yang aneh dan sebagainya; sedangkan sinkop seringkali didahului oleh penyebab tertentu, misalnya nyeri akut, ansietas, bangun dari posisi berbaring atau duduk. Pasien sinkop biasanya menunjukkan gejala perifer pucat (palor) sedang serangan epileptik seringkali disertai sianosis. Penurunan kesadaran akibat epilepsi biasanya lebih lama dibandingkan penurunan kesadaran akibat sinkop. Penyebab sinkop dalam garis besarnya dapat dibagi 3, yaitu kelainan tonus vaskular atau volume darah (termasuk sinkop vasovagal dan hipotensi ortostatik), kelainan kardiovaskular (aritmia, infark miokardial) dan kelainan serebrovaskular. Kelainan lain yang juga dapat menyebabkan sinkop adalah hipoksia, anemia, hipoglikemia, ansietas atau reaksi histeris.



SKALA KOMA GLASGOW Skala koma Glasgow merupakan ukuran perkembangan tingkat kesadaran yang menilai 3 komponen, yaitu



membuka mata, respons verbal (bicara) dan respons motorik (gerakan). Secara lengkap, skala tersebut tercantum pada Tabel 1.



Parameter



Nilai



a. Mernbuka rnata - Spontan - Terhadap bicara (Suruh pasien membuka mata) - Dengan rangsang nyeri (Tekanan pada saraf supraorbita atau kuku jari) - Tidak ada reaksi (Dengan rangsang nyeri) b. Respons verbal (bicara) - Baik, tak ada disorientasi (Dapat menjawab dengan kalimat yang baik) - Kacau (confused) (Dapat bicara, tetapi terdapat disorientasi waktu dan tempat) - Tidak tepat (Dapat mengucapkan kata-kata, tetapi tidak berupa kalimat, dan tidak tepat) - Mengerang (Tidak mengucapkan kata, hanya mengerang) - Tidak ada jawaban c. Respons rnotorik (Gerakan) - Menurut perintah - Mengetahui lokasi nyeri - Reaksi menghindar - Reaksi fleksi (dekortikasi) (Rangsang nyeri memberikan respons fleksi siku) - Reaksi ekstensi (deserebrasi) (Rangsang nyeri memberikan respons ekstensi siku) - Tidak ada reaksi (Rangsang nyeri tidak memberikan respons apapun) Nilai maksimal adalah 15, sedangkan nilai minimal adalah 3 (koma)



MATI BATANG OTAK Akhir berbagai kelainan struktural dan metabolik yang menyerang otak adalah kerusakan otak yang permanen yang menghasilkan koma yang dalam sehingga fungsi respirasi hams dibantu dengan alat. Terdapat bukti-bukti yang menguatkan bahwa bila fhngsi batang otak telah berhenti maka kemungkinan pasien akan pulih sangat kecil sekali. Oleh sebab itu penilaian terhadap kemunglunan telah terjadi mati batang otak sangat penting untuk menentukan apakah dukungan alat penyambung hidup masih akan diberikan atau tidak. Penilaian mati batang otak hams dilakukan secermat mungkm untuk menghindari berbagai penyebab koma yang bersifat reversibel, misalnya koma akibat obatobatan atau metabolik. Biasanya penentuan mati batang otak dilakukan setelah 24 jam keadaan pasien dipertahankan dan tidak menunjukkan gejala perbailcan. Kematian batang otak hams dilakukan oleh beberapa dokter dan dilakukan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PEMERlKSAAN FISIS UMUM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI evaluasi beberapa kali, misalnya setiap 2,3,6 atau 12jam, di mana pasien tidak mendapatkan obat penekan saraf pusat atau pelemas otot atau obat yang menyebabkan hipotermia. Adapun tanda-tanda mati batang otak adalah: 1). Refleks pupil. Gunakan lampu senter untuk mengkonfirmasikan bahwa refleks pupil terhadap cahaya negatif; 2). Refleks kornea. Gunakan kapas yang halus dan secara hati-hati usap pada bagian lateral kornea, pada mati batang otak tidak didapatkan refleks kornea; 3). Refleks vestibulo-okuler. Dilakukan hanya bila membran timpani utuh dan tidak ada serumen. Dengan menggunakan kateter, masukkan 50 ml air es ke dalam liang telinga luar, pada mati batang otak tidak akan ditemukan deviasi okuler. Ulangi tes pada telinga yang lain; 4). Respons motorik pada saraf otak. Dilakukan dengan cara memberikan respons nyeri pada glabela dan pasien tidak menunjukkan respons; 5). Respons trakeal. Rangsang palatum atau trakea dengan kateter isap dan pasien tidak menunjukkan respons apapun; 6). Reaksi pernapasan terhadap hiperkapnia. Berikan 95% 0, dan 5% CO, melalui respirator sehingga PCO, mencapai 6,O kPa (40 mmHg), kemudian lepaskan respirator, tapi berikan oksigen 100% lewat kateter trakea 6 Llmenit, perhatikan apakah timbul respons pernapasan pada waktu PCO, mencapai 6,7 kPa (50 mmHg). TANDA-TANDA VITAL Suhu Suhu tubuh yang normal adalah 36"-37°C. Pada pagi hari suhu mendekati 36"C, sedangkan pada sore hari mendekati 37°C. Pengukuran suhu di rektum juga akan lebih tinggi 0,5"-1°C, dibandingkan suhu mulut dan suhu mulut 0,5OC lebih tinggi dibandingkan suhu aksila. Pada keadaan demam, suhu akan meningkat, sehingga suhu dapat dianggap sebagai termostat keadaan pasien. Suhu merupakan indikator penyakit, oleh sebab itu pengobatan demam tidak cukup hanya memberikan antipiretika, tetapi hams dicari apa etiologinya dan bagaiman menghilangkan etiologi tersebut. Selain diproduksi, suhu juga dikeluarkan dari tubuh, tergantung pada suhu disekitarnya. Bila suhu sekitar rendah, maka suhu akan dikeluarkan dari tubuh melalui radiasi atau konveksi; sedangkan bila suhu sekitar tinggi, maka suhu akan dikeluarkan dari tubuh melalui evaporasi (berkeringat). Tubuh dapat mengatur pengeluaran suhu dari tubuh melalui peningkatan aliran darah ke permukaan tubuh (kulit) sehingga suhu dapat diangkut ke perifer oleh darah dan dikeluarkan. Cara lain adalah dengan evaporasi (berkeringat yang diatur oleh saraf simpatik dan sistem vagus). Suhu diatur oleh pusat suhu di otak, yaitu hipotalamus, di tuber senereum melalui proses fisik dan kimiawi. Pada binatang percobaan yang dipotong hipotalamusnya, maka



suhu tubuhnya akan berubah-ubah sesuai dengan suhu lingkungannya; keadaan ini disebut poikilotermis. Bila suhu tubuh tidak dapat dipengaruhi oeh suhu lingkungan, maka disebut homoeotermis. Untuk mengukur suhu tubuh, digunakan termometer demam. Tempat pengukuran suhu meliputi rektum (2-5 menit), mulut (10 menit) dan aksila (15 menit). Di rumah sakit, suhu tubuh diukur berulang kali dalam waktu 24 jam, kemudian dibuat grafik. Stadium peningkatan suhu dari suatu penyakit disebut stadium prodromal, sedangkan stadium penurunan suhu disebut stadium rekonvalesensi. Selain membuatu grafik suhu, maka frekuensi nadi juga hams diukur. Pada demam tifoid didapatkan bradikardia relatg di mana kenaikan suhu tidak diikuti kenaikan frekuensi nadi yang sesuai. Biasanya, setiap kenaikan suhu 1°C akan diikuti kenaikan frekuensi nadi 10 kali per-menit. Pada keadaan syok, frekuensi nadi meningkat, tapi suhu tubuh menurun; keadaan ini disebut sebagai crux mortis. Bila dinilai lebih lanjut, grafik suhu dapat dibagi atas 3 stadium, yaitu stadium inkrementi, stadium fastigium dan stadium dekrementi. Stadium inkrementi adalah stadium di mana suhu tubuh mulai meningkat, dapat perlahan-lahan atau mendadak; biasanya akan diikuti oleh rasa letih, lemah, muntah dan anoreksia. Stadium fastigium adalah puncak dari demam. Ada beberapa macam demam berdasarkan stadium fastigiumnya, yaitu : a). Febris kotinua, yaitu bila variasi suhu kurang dari 1°C,terdapat pada pneumonia dan demam tifoid; b). Febris remiten, bila variasi suhu 1 OC; c). Febris intermiten, yaitu bila variasi suhu lebih dari 1°C, sehingga kadang-kadang suhu terendah dapat mencapai suhu normal. Keadaan ini dapat ditemukan pada malaria, tb milier dan endokarditis bakterialis; d). Tipus inversus, yaitu bila didapatkan suhu pagi meningkat, sedangkan suhu siang dan sore menurun. Keadaan ini dapat ditemukan pada tb paru dengan prognosis yang buruk. Stadium dekrementi adalah stadium turunnya suhu tubuh yang tinggi. Bila suhu turun secara mendadak disebut krisis, sedangkan bila suhu turun perlahan disebut lisis. Bila suhu yang sudah mencapai normal meningkat kembali, maka disebut residif; sedangkan bila suhu meningkat sebelum turun sampai batas normal disebut rekrudensi. Bila grafik suhu bergelombang sedemikian rupa sehingga didapatkan 2 puncak gelombang dengan variasi diantara 1-3 minggu, maka disebut febris undulans, misalnya didapatkan pada limfoma Hodgkin, kolesistitis dan pielonefritis. Tekanan Darah Tekanan darah diukur dengan menggunakan tensimeter (sfigmomanometer), yaitu dengan cara melingkarkan manset pada lengan kanan 1 % cm di atas fossa kubiti anterior, kemudian tekanan tensimeter dinaikkan sambil meraba denyut A. Radialis sampai kira-kira 20 mmHg di



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



atas tekanan sistolik, kemudian tekanan diturunkan perlahan-lahan sambil meletakkan stetoskop pada fossa kubiti anterior di atas A. Brakialis atau sambil melakukan palpasi pada A. Brakialis atau A. Radialis. Dengan cara palpasi, hanya akan didapatkan tekanan sistolik saja. Dengan menggunakan stetoskop, akan terdengar denyut nadi Korotkov, yaitu : Korotkov I, suara denyut mulai terdengar, tapi masih lemah dan akan mengeras setelah tekanan diturunkan 10-15 mmHg; fase ini sesuai dengan tekanan sistolik, Korotkov 11, suara terdengar seperti bising jantung (murmur) selama 15-20mmHg benkutnya, Korotkov 111, suara menjadi kecil kualitasnya dan menjadi lebih jelas dan lebih keras selama 5-7 mmHg berikutnya, Korotkov IK suara akan meredup sampai kemudian menghilang setelah 5-6 mmHg berikutnya, Korotkov K titik di mana suara menghilang; fase ini sesuai dengan tekanan diastolik.



Perbedaan antara tekanan sistolik dan diastolik disebut tekanan nadi. Bila terdapat kelainan jantung atau kelainan pembuluh darah, maka tekanan darah hams diukur baik pada lengan kanan maupun lengan kiri, bahkan bila perlu tekanan darah tungkai juga diukur. Faktor-faktor yang turut mempengaruhihasil pengukuran tekanan darah adalah lebar manset, posisi pasien dan emosi pasien. Dalam keadaan normal, tekanan sistolik akan turun sampai 10 mmHg pada waktu inspirasi. Pada tarnponade perikardial atau asma berat, penurunan tekanan sistolik selama inspirasi akan lebih dari 10mmHg. Nadi Pemeriksaan nadi biasanya dilakukan dengan melakukan palapasi A. Radialis. Bila dianggap perlu, dapat juga dilakukan di tempat lain, misalnya A. Brakialis di fosa kubiti, A Femoralis di fosa inguinalis, A. Poplitea di fosa poplitea atau A. Dorsaluis pedis di dorsum pedis. Pada pemeriksaan nadi, perlu diperhatikan frekuensi denyut nadi, irama nadi, isi nadi, kualitas nadi dan dinding arteri.



Frekuensi nadi yang normal adalah sekitar 80 kali permenit. Bila frekuensi nadi lebih dari 100 kali per menit, disebut takikardia (pulsus frequent); sedangkan bila frekuensi nadi kurang dari 60 kali per-menit, disebut bradikardia (pulsus rams). Bila terjadi demam, maka fiekuensi nadi akan meningkat, kecuali pada demam tifoid, frekuensi nadi justri menurun dan disebut bradikardia relatif. Irama denyut nadi hams ditentukan apakah teratur (reguler) atau tidak teratur (ireguler). Dalam keadaan normal, denyut nadi akan lebih lambat pada waktu ekspirasi dibandingkan pada waktu inspirasi; keadaan ini disebut aritimia sinus. Pada keadaanfibrilasi atrium, denyut nadi sangat ireguler, frekuensinyajuga lebih kecil dibandingkan dengan frekuensi denyut jantung; keadaan ini disebut



pulsus defisit. Pada gangguan hantaran jantung (aritmia), dapat terjadi 2 denyut nadi dipisahkan oleh interval yang panjang, keadaan ini disebutpulsus bigeminus. Bila tiap 3 denyut nadi dipisahkan oleh interval yang panjang, maka disebut pulsus trigeminus. Kadang-kadang, dapat teraba ekstra-sistole, yaitu denyut nadi datang lebih dulu dari seharusnya yang kemudian juga diikuti oleh interval yang panjang. Pada keadaan demam, misalnya demam tifoid, dapat ditemukan nadi dengan 2 puncak yang disebut dicrotic pulse (bisferiens); sedangkan pada stenosis aorta, akan didapatkan anacrotic pulse, yaitu puncak nadi yang rendah dan tumpul. Pada kelainan jantung koroner, dapat ditemukan pulsus alternans, yaitu denyut nadi yang kuat dan lemah terjadi secara bergantian.



Isi nadi dinilai apakah cukup, kecil (pulsus pawus) atau besar (pulsus magnus). Pulsus parvus didapatkan pada keadaan perdarahan, infark miokardial, efusi perikardial dan stenosis aorta, sedangkan pulsus magnus didapatkan pada keadaan demam atau pada keadaan sedang bekerja keras. Pengisian nadi juga hams dinilai apakah selalu sama (ekual) atau tidak sama (anekual). Pada inspirasi, denyut nadi akan lebih lemah dibandingkan dengan pada waktu ekspirasi, karena pada waktu inspirasi darah akan ditarik ke rongga toraks; keadaan ini disebutpulsusparadoksus. Bila denyut nadi melemah hanya pada waktu inspirasi dalam dan kembali normal pada akhir inspirasi, maka disebut pulsus paradoksus dinamikus. Bila denyut nadi melemah pada seluruh fase inspirasi dan bam kembali normal pada awal ekspirasi, misalnya pada perikarditis konstriktif, maka keadaan ini disebut pulsus paradoksus mekanikus. Kualitas nadi, tergantung pada tekanan nadi. Bila tekanan nadi besar maka pengisian dan pengosongan nadi akan berlangsung mendadak, dan disebut pulsus celer (abrupt pulse), sedangkan sebaliknya bila pengisian dan pengosongan berlangsung lambat, disebut pulsus tardus (plateau pulse), misalnya pada stenosis aorta. Kualitas dinding arteri,juga hams dinilai dengan seksama. Pada keadaan aterosklerosis, biasanya dinding arteri akan mengeras. Demikian juga pada arteritis temporalis. Frekuensi Pernapasan Dalam keadaan normal, frekuensi pernapasan adalah 1624 kali per menit. Bila frekuensi pernapasan kurang dari 16 kali per menit, disebut bradipneu, sedangkan bila lebih dari 24 kali permenit, disebut takipneu. Pernapasan yang dalam disebut hiperpneu, terdapat pada pasien asidosis atau anoksia; sedangkan pernapasan yang dangkal disebut hipopneu, terdapat pada gangguan susunan saraf pusat. Kesulitan bernapas atau sesak napas disebut dispneu, ditandai oleh pernapasan cuping hidung, retraksi suprasternal, dapat disertai sianosis dan takipneu. Pada pasien gaga1jantung, akan didapatkan sesak napas setelah pasien tidur beberapa jam, biasanya pada malam hari,



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



33



PEMERlKSAAN FISIS UMUM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI disebut paroxysmal nocturnal dvspneu. Pada pasien gagal jantung atau asma bronkiale, seringkali pasien akan mengalami sesak napas bila berbaring dan akan lebih nyaman bila dalam posisi tegak (berdiri atau duduk); keadaan ini disebut ortopneu. Sifat pernapasan pada perempuan biasanya abdomino-torakal, yaitu pernapasan torakal lebih dominan, sedangkan pada laki-laki torakoabdominal, yaitu pernapasan abdominal lebih dominan. Pada keadaan asidosis metabolik, akan didapatkan pernapasan yang dalam dan cepat, keadaan ini disebut pernapasan Kussmaul. Pada kerusakan otak, dapat ditemukan irama pernapasan Biot atau pernapasan Cheyne-Stokes. Pernapasan Biot adalah pernapasan yang tidak teratur irama dan amplitudonya dengan diselingi periode henti napas (apnezt), sedangkan pernapasan Che-vne-Stokes, adalah irama pernapasan dengan amplitudo yang mula-mula kecil, kemudian membesar dan mengecil kembali dengan diselingi periode apneu. Pada pleuritis sika (Schwarte) akan didapatkan asimetri pernapasan, di mana dinding toraks kiri dan kanan tidak bergerak secara bersamaan selama inspirasi dan ekspirasi.



Pernapasan normal



1a . .i



,.



. ,' .



.



,



:.x



..



.. .



Pernapasan Biot



.I ..



,



I



,



.I .-' , ,



.



.



-. .



Pernapasan Cheyen Stokes



I



I



- -



--



-



Tanda lasegue, diperiksa dengan cara pasien berbaring dengan kedua tungkai ekstensi; kemudian satu tungkai difleksikan pada sendi panggul (koksa), sementara tungkai yang satu lagi tetap ekstensi. Pada keadaan normal, tungkai yang difleksikan dapat mencapai sudut 70"; bila pasien sudah merasa nyeri sebelum mencapai sudut 7 0 , maka menunjukkan tanda Lasegue positif. Selain sebagai tanda perangsangan meningeal, tanda Lasegue juga dapat positif pada iskialgia, HNP lumbal dan kelainan sendi panggul. Tanda kernig, diperiksa dengan cara pasien berbaring dengan fleksi panggul 9OU, kemudian sendi lutut diekstensikan sampai sudut antara tungkai bawah dan tungkai atas mencapai 135". Bila sudut tersebut tidak tercapai menunjukkan tanda Kernig positif, yaitu terdapat perangsangan meningeal atau iritasi radiks lumbal. Pada rangsang meningeal, tanda Kernig akan positif bilateral, sedangkan pada iritasi radiks lumbal biasanya unilateral. Tanda Brudzinski 1 (Brudzinski'sneck sign), dilakukan dengan cara pasien berbaring dengan tungkai ekstensi, kemudian leher difleksikan sampai dagu menyentuh dada seperti memeriksa kaku kuduk; bila tanda Brudzinski I positif, maka pasien akan memfleksikan kedua lututnya. Sebelum pemeriksaan harus diperhatikan bahwa pasien tidak lumpuh.



Pernapasan Kussmaul -



kepala pasien yang sedang berbaring, kemudian fleksikan kepala pasien semaksimal mungkin agar dagu menyentuh dada; bila terdapat tahanan, maka kaku kuduk positif. Pada pasien yang koma, kadang-kadang kaku kuduk menghilang atau berkurang. Kaku kuduk juga dapat positif pada keadaan miositis otot paraservikal, abses retroparingeal atau artritis servikal.



-



I



Gambar 1. Tipe-tipe pernapasan



Tanda Brudzinski I1 (Brudzinski'scontralateral leg sign), diperiksa dengan cara membaringkan pasien dengan kedua tungkai ekstensi, kemudian salah satu tungkai diekstensikan pada sendi panggulnya, bila kemudian tungkai kontralateral ikut terfleksi, menunjukkan tanda Brudzinski I1 positif.



TANDA RANGSANG MENINGEAL



Perangsangan meningeal (selaput otak) dapat terjadi bila selaput otak meradang (meningitis) atau terdapat benda asing di ruang subaraknoid (misalnya perdarahan subaraknoid). Seringkali perangsangan meningeal juga disertai dengan kekakuan punggung sehingga kepala dan punggung melekuk ke belakang (ekstensi) dan disebut opistotonus. Tanda-tanda spesifik perangsangan meningeal meliputi Kaku kudztk, Tanda Lasegue, Tanda Kernig, Tanda Brudzinski I, Tanda Brudzinski II.



Kaku kuduk (nuchal rigidig), merupakan gejala yang sering didapatkan. Tangan pemeriksa diletakkan di bawah



Kualitas Kulit Kelembaban kulit. Dapat d ~ b a g iatas hiperhidrosis dan hipahidrosis. Hiperhidrosis didapatkan pada hipertiroidisme, setelah serangan malaria, tuberkulosis (keringat malam) atau efek obat-obatan (salisilat); sedangkan hipohidrosis didapatkan pada miksedema, lepra (anhidrosis lokal, tanda Gunawan) dan obatobatan (atropin).



Elastisitas kulit (turgor),diperiksa pada kulit dinding perut, di kulit lengan atau kulit punggung tangan, yaitu dengan cara mencubitnya. Turgor yang menurun didapatkan pada keadaan dehidrasi, kaheksia atau senilitas. Bila kehilangan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI elastisitas kulit hanya sebagian tanpa disertai perubahan berarti pada bagian kulit yang lain disebut anetodema, misalnya pada striae gravidarum. Atrofi kulit, yaitu penipisan kulit karena berkurangnya satu lapisan kulit atau lebih, sehingga kulit tampak pucat, turgornya menurun dan dalam keadaan yang berat, kulit teraba seperti kertas. Dapat disertai meningkatnyategangan kulit, misalnya pada skleroderma (sklerosis sistemik) atau tanpa tegangan kulit, misalnya pada gangguan sirkulasi. Pada sindrom Ehler-Danlos, didapatkan atrofi kulit dengan turgor yang meninggi. Hipertrofi kulit, yaitu penebalan kulit karena bertambahnya jumlah sel atau ukuran sel pada satu lapisan kulit atau lebih. Bila penebalan tersebut disertai dengan relief kulit yang bertambah jelas, maka disebut likenifikasi, misalnya pada neurodermatitis. Bila penebalan kulit terjadi pada lapisan korneum, maka disebut hiperkeratosis, sedangkan bila penebalan terdapat pada lapisan spinosum, maka disebut akantosis.



Warna Kulit Melanosis, yaitu kelainan warna kulit akibat berkurang atau bertambahnya pembentukan pigmen melanin pada kulit. Bila produksi pigmen bertambah, maka disebut hipermelanosis (melanoderma), sedangkan bila produksi pigmen berkurang disebut hipomelanosis (leukoderma). Albinisme (akromia kongenital), yaitu tidak adanya pigmen melanin di kulit, rambut dan mata, dapat bersifat partial atau generalisata. Pasien biasanya sensitif terhadap cahaya. Vitiligo, yaitu hipomelanosis yang berbatas jelas (sirkumskripta), biasanya disertai tepi yang hiperpigmentasi. Rambut didaerah vitiligo dapat tidak bewarna (akromik), dapat pula bewarna seperti biasa. Piebaldisme (albinisme partial), yaitu bercak kulit yang tidak mengandung pigmen yang ditemukan sejak lahir dan menetap seumur hidup. Palor, yaitu warna kulit kepucatan, yang dapat terjadi karena gangguan vaskularisasi (sinkop, syok) atau akibat vasospasme.



pepaya. Gejala ini akan hilang sendi dengan memperbaiki dietnya. Klorosis, yaitu warna kulit hijau kekuningan, biasanya terdapat pada orang yang tidak pernah terpapar sinar matahari (green sickness). Pada perempuan juga sering diakibatkan dilatasi pembuluh darah (chlorosis cum rubra). Eritema, yaitu warna kemerahan pada kulit akibat vasodilatasi kapiler. Bila ditekan, warna merah akan hilang (diaskopi positif). Didapatkan pada berbagai infeksi sistemik, penyakit kulit dan alergi. Bila bersifat temporer, disebutflushing. Bila eritema hanya didapatkan di muka, maka disebut eritemafaciei, misalnya pada demam tinggi, stenosis mitral, hipertensi, intoksikasi karbonmonoksida, Pb. Pada perempuan yang berusia 40-60 tahun, dapat timbul eritema faciei yang disebut rosacea. Pada pasien sirosis hepatis, dapat didapatkan eritema pada permukaan tenar dan hipotenar telapak tangan yang disebut eritema palmaris (palmar erythem). Eritema dengan bentuk yang beragam, timbul serentak dengan kecenderungan melebar ke perifer dan menipis ditengahnya disebut eritema multiforma. Bila eritema disertai nodus di bawah kulit, b e r u k m 2-4 cm dan nyeri, maka disebut eritema nodosum. Kedua jenis eritema tersebut dapat ditemukan pada sindrom Stevens-Johnson, lupus eritematosus, artritis reumatoid dan juga tuberkulosis. Pada penyakit jantung reumatik, dapat ditemukan eritema berbentuk cincin yang tidak menimbul dan tidak nyeri, disebut eritema marginatum. Sianosis,yaitu warna biru pada kulit, karena darah banyak mengandung reduced-Hb red-Hb). Penyebabnya bermacam-macam. Sianosis dapat bersifat umum (sianosis sentral), misalnya sianosis pulmonal (akibat gangguan ventilasi alveoli, misalnya pada Penyakit paru obstruktif menahun, PPOK) dan sianosis kardial (misalnya pada penyakit jantung kongenital). Sianosis juga dapat bersifat lokal (sianosisperifer), biasanya disebabkan oleh sirkulasi perifer yang buruk. Sianosis yang disebabkan oleh meningkatnya kadar red-Hb disebut sianosis Vera, sedangkan bila penyebabkan adalah peningkatan kadar sulf-Hb atau met-Hb, disebutr sianosis spuria (palsu). Kulit coklat, disebabkan peningkatan pigmen dalam kulit, misalnya akibat terlalu sering terpapar sinar matahari, atau pada penyakit Addison. Pada intoksikasi Arsen (melanosis Arsen) atau intoksikasi perak (argirosis), kulit akan bewarna coklat keabu-abuan.



Ikterus, yaitu warna kekuningan; biasanya mudah dilihat di sklera. Iktems akan mudah terlihat di bawah sinar matahari. Ada beermacam-macam ikterus, rnisalnya kuning sperti jerami (pada ikterus hemolitik, anemia pernisiosa); kuning kehijauan (pa& ikterus obstruktif), kuning keabuabuan (pada sirosis hepatis); kuning agak jingga (pada penyakit Weil).



Melasma (kloasma), yaitu pigmentasi kulit yang tak berbatas tegas, umumnya pa& muka clan simetrik, disertai hiperpigrnentasi areola payudara dan genitalia eksterna. Dapat bersifat idiopatik atau akibat keharnilan (kloasma gravidarum).



Pseudoikterus (karotenosis), yaitu kulit bewarna kekuningan, tetapi sklera tetap normal; disebabkan oleh hiperkarotenemia, misalnya banyak makan wortel atau



Poikiloderma of civafte, yaitu pigmentasi retikuler pada muka, leher, bagian atas dada dan bersifat simetrik. Terdapat pada keadaan menopause akibat gangguan endokrin.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PEMERlKSAANFISH UMUM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dermatografia, yaitu warna kemerahan yang menimbul akibat suatu iritasi, misalnya goresan benda tumpul. Gambaran ini akan hilang dalarn 3-4 menit.



melewati lapisan basal; pada permukaannya tampak darah,



Cafe' au laitpatches, yaitu bercak-bercak bewarna seperti kopi dengan permukaan rata, dapat berukuran beberapa sentimeter, misalnya terdapat pada penyakit von Recklinghausen.



Fisura (rhagade), yaitu belahan kulit tanpa kehilangan jaringan kulitnya,



Efloresensi (Ruam) A. Efloresensi Primer



Makula, yaitu perubahan wama semata-mata yang berbatas tegas (sirkumskripta), Papula, yaitu benjolan padat berbatas tegas yang menonjol di permukaan kulit dengan ukuran milier (seujung jarum pentul), lentikuler (sebesar biji jagung) atau kurang dari 1 cm. Bila ukurannya lebih dari 1 cm (numuler) disebut tuber. Bila ukurannya lebih dari 1 cm dan permukaannya datar, disebut plakat (plaque), Nodus, yaitu benjolan padat berbatas tegas pada perrnukaan kulit yang letaknya lebih dalam dari papula, sehingga tidak menonjol. Bila ukurannya lebih kecil, maka disebut nodulus. Urtika, yaitu edema setempat yang timbul mendadak dan hilang perlahan-lahan, Vesikel, yaitu gelembung beriisi cairan serosa yang mempunyai atap dan dasar, dengan ukuran kurang dari 1 cm. Bila berisi pus disebut pustula dan buila berisi darah disebut vesikel hemoragik, Bula, yaitu gelembung berisi cairan serosa, mempunyai atap dan dasar, dengan ukuran lebih dari 1 cm. Bila berisi pus disebut bulapurulen, dan buila berisi darah disebut bula hemoragik, Kista, yaitu rongga berkapsul betrisi cairan atau massa lunak. B. Efloresensi Sekunder



Skuama, yaitu pengelupasan lapisan lapisan komeum. Bila pengelupasannya lebar seperti daun disebut eksfoliasi. Skuama yang berbentuk lingkaran (circiner) disebut colorette. Krusta, yaitu cairan tubuh yang mengering di atas kulit. Bila berasal dari serum, maka wamanya kuning muda; bila berasal dari darah, warnanya merah tua atau hitam; bila berasal dari pus bewarna kuning tua atau coklat; dan bila berasal dari jaringan nekrotik bewarna hijau. Erosi, yaitu hilangnyajaringan kulit yang tidak melampaui lapisan basal; pada permukaannya biasanya akan tampak serum, Ekskoriasi, yaitu kehilangan jaringan kulit yang telah



Ulkus, yaitu kehilangan jaringan kulit yang dalam sehingga tampak tepi, dinding, dasar dan isi,



Sikatriks, yaitu jaringan parut dengan relief tidak normal, permukaan licin mengkilat, adneksa kulit tidak ada. Bila tampak cekung disebut sikatriks atrofik, sedangkan bila menonjol disebut sikatriks hipertroJik, Keloid, yaitu sikatriks hipertrofik yang pertumbuhanya melampaui batas luka.



Lesi Lain pada Kulit Edema, adalah akumulasi eksesif dari cairan di dalam rongga-rongga jaringan yang jarang. Kulit yang edema, permukaannya akan mengkilat dan bila ditekan akan melekuk (pitting). Pada limfedema, misalnya filariasis, edemanya tidak melekuk bila ditekan (non-pitting), oleh sebab itu bukan merupakan edema sejati. Penyebab edema bermacam-macam, misalnya ekstravasasi (akibat tekanan intravaskular yang meningkat), vaskulitis, alergi (peningkatan permeabilitas kapiler akibat histamin), tekanan koloid menurun (misalnya akibat hipoproteinemia).Awal edema, seringkalitampak di daerah palpebra, disebut edem palpebra; biasanya didapatkan pada kelainan ginjal, seperti sindrom nefiotik. Bila edema bersifat merata diseluruh tubuh, disertai ehsi pleural, asites dan kadang-kadang efusi perikardial, disebut edema anasarka. Ernfisema subkutis, adalah akumulasi udara atau gas pada jaringan kulit. Keadaan ini dapat menyerta pneumotoraks, pneumomediastinum atau tindakan yang mengenai kulit dan jaringan subkutis yang lama, misalnya trakeostomi, pemasangan WSD (water sealeddranage); atau dapatjuga ditemukan pada gas gangren. Pruritus,adalah rasa gatal tanpa kelainan kulit yang nyata. Dapat disebabkan oleh ikterus hemolitik, diabetes melitus yang tidak terkontrol, usia tua (pruritus senilis, terutama di daerah anogenital), penyakit kulit atau psikogenik. Kelainan kulit yang ditandai oleh rasa gatal dengan efloresensi papula dan bersifat kronik dan rekurens disebut prurigo. Purpura, adalah ekstravasasi darah ke dalam kulit atau mukosa, sehingga bila ditekan maka warna kemerahannya tidak akan hilang (diaskopi negatg. Bila ukurannya sejarum pentul disebut petekie; bila ukurannya 2-5 mm, disebut purpuric spot; bila lebih besar lagi disebut ekimoses; dan bila lebih besar lagi sehingga menonjol di permukaan kulit, maka disebut hematoma. Purpura dapat disebabkan oleh trombositopenia (purpura trombositopenik), misalnya pada trombositopenia idiopatik (ITP), Lupus eritematosus



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI sistemik (SLE), sepsis, lekemia dan sebagainya. Purpura dapat juga terjadi tanpa disertai oleh trombositopenia (purpura non-trombositopenik), misalnya pada purpura Henoch-Schonlein.



Xanthoma, adalah deposit lipid yang sirkurnskriptadengan ukuran 1 mm-2 cm dengan wama merah kekuningan, berhubungan dengan gangguan metabolisme lipid, yang dapat ditemukan di kulit, sarung tendon, dinding arteri, kelenjar getah bening dan kadang-kadang pada organ lain. Biasanya ditemukan di kelopak mata (xanthoma palpebrarum) atau telapak tangan (xanthomaplanum) atau siku atau bokong (xanthoma tuberosum), atau pada sarung tendon Aciles (xanthoma tendinosum). Xanthoma dapat hilang timbul tergantung pada kadar lipid di dalam darah dan disebut xanthoma eruptif. Pada sindrom HansSchuller-Christian, xanthoma dapat ditemukan pada kornea dan mukosa, jarang ditemukan di kulit. Komedon, yaitu gumpalan bahan sebasea dan keratin yang bewarna putih kehitaman yang menyumbat folikel pilosebasea. Penyakit kulit yang disebabkan penyumbatan folikel pilosebasea disebut akne (jerawat). Bila akne timbul pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri disebut akne vulgaris. Miliaria, yaitu kelainan kulit akibat retensi keringat, ditandai adanya vesikel milier, berukuran 1-2 mm pada bagian badan yang banyak berkeringat. Pada keadaan yang lebih berat dapat timbul papul merah atau papul putih. Angioma adalah tumor yang berasal dari sistem pembuluh darah (hemangioma) atau dari pembuluh limfe (limfangioma). Hemangioma yang berasal dari kapiler disebut hemangioma kapilaris, biasanya terdapat pada anak-anak, bewarna kemerahan, di daerah pangkal hidung, kelopak mata atas atau leher. Hemangioma yang lebih besar disebut hemangioma kavernosa, terdapat di kulit atau di bawah kulit, bersifat merata dan luas. Teleangiektasis, adalah pelebaran pembuluh darah kapiler yang menetap di kulit. Nevus pigmentossus, yaitu daerah hiperpigmentasi yang menetap, kadang-kadang disertai pertumbuhan rambut, nyeri dan ulserasi. Spider naevi, adalah arteriol yang menonjol dan kemerahan serta bercabang-cabang dengan diameter 3-10 mrn.Banyak didapatkan pada orang hamil, sirosis hepatis. Bila pusatnya ditekan dengan ujung yang runcing, maka cabangcabangnya akan menghilang Striae, adalah garis putih kemerahan dari daerah kulit yang atrofik yang dikelilingi oleh kulit yang normal. Banyak didapatkan pada perempuan hamil (striae gravidarum), orang gemuk dan sindrom Cushing. Eksantema, adalah kelainan kulit yang tirnbul dalam waktu yang singkat yang biasanya didahului oleh demam,



misalnya morbili. Eksantema yang berbentuk lentikuler disebut eksantema morbiliformis; bila berbentuk dihs, berupa eritema numuler, dapat generalisata atau terlokalisir, disebut eksantema skarlatiniformis. Bila kelainan tersebut timbul pada mukosa, maka disebut enantema.



Gumma, adalah infiltrat lunak, berbatas tegas, kronik dan destruktif yang dikemudian hari dapat mengalami ulserasi dan membentuk ulkus gummosum. Kelainan ini hanya terdapat pada 4 penyakit kulit, yaitu sifilis, frambusia tropika, tuberkulosis kulit dan mikosis dalam. KEPALA DAN WAJAH Kepala Untuk pemeriksaan kepala, pasien disuruh duduk dihadapan pemeriksa dengan mata pasien sama tinggi dengan mata pemeriksa. Bentuk dan ukuran kepala hams diperhatikan dengan seksama. Bila diameter kepala frontooksipital lebih besar daripada diameter bitemporal, maka disebut dolikosefalus (kepala panjang), sedangkan bila diameter fronto-oksipitalkurang lebih sama dengan diameter bitemporal disebut brakisefalus (kepala bulat). Pada hidrosefalus, ukuran kepala sangat besar dibandingkan dengan ukuran muka dengan dahi menonjol sedangkan mata tampak tenggelam; sutura mudah teraba karena hubungan antara tulang-tulang kepala longgar; bila dilakukan perkusi akan terdengar seperti suara kendi yang retak (crack pot sign). Ukuran kepala yang kecil dengan dahi dan kalvaria kecil dan muka tampak seperti orang yang terbelakang mental disebut mikrosefalus. Penutupan sutura yang prematur seringkali menyebabkan kelainan bentuk kepala yang khas. Secara kolektif kelainan ini disebut kraniosinostosis atau kraniostenosis. Bila penutupan prematur terjadi pada sutura sagitalismaka akan timbul penonjolan di frontal dan oksipital dan kepala menjadi panjang dan sempit, disebut skafosefali. Bila penutupan prematur terjadi pada sutura koronal sehingga kepala menjadi tinggi dan kecil, disebut akrosefali (kepala menara). Bila penutupan prematur hanya terjadi pada sutura koronal dan lambdoid pada satu sisi, maka akan terjadi kraniostenosis asimetrik yang disebutplagiosefali. Bila akrosefali disertai sindaktili (jari-jari melekat) yang berat, hipertelorisme Cjarak kedua mata yang melebar), hipoplasi maksila, maka akan timbul akrosefalosindaktili (sindrom Apert).Pada sindrom Crouzon, terjadi penutupan sutura sagital dan koronal sejak lahir disertai penutupan fontanel dan sutura frontalis yang prematur, hipertelorisme, hipoplasi maksila dan letak daun telibnga yang rendah. Pada kelainan vertebra servikalis, seringkali didapatkan posisi kepala yang terdorong ke depan, misalnya pada Sindrom Klippel-Feil. Pada pasien dengan insufisiensi aorta akan didapatkan gerak kepala mengangguk dan menengadah berulang-ulang (to andfio bobbing) seirama



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



37



PEMERIKSAANRSIS UMUM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dengan denyut jantung; keadaan ini disebut tanda Musset. Kemungkinan adanya benjolan di kepala juga hams dicari, yang sering didapatkan adalah kista aterom pada kulit kepala. Penonjolan pada glabela atau pertengahan dahi bawah yang berdenyut bila ditekan, dengan lubang didasarnya akibat cacat bawaan pada tulang, merupakan tanda dari ensefalokel. Pada kelainan pembuluh darah, seringkali dapat didengar bising kranial pada auskultasi kepala, misalnya pada fistula arteriovenosa pembuluh darah serebral, aneurisma sakuler intrakranial, tumor otak dan sebagainya.



Rambut Rambut merupakan salah satu adneksa kulit yang dapat ditemukan pada seluruh tubuh, kecuali telapak tangan, telapak kaki, kuku dan bibir. Kerontokan rambut disertai tidak tumbuhnya rambut (kebotakan) disebut alopesia. Bila alopesia mengenai seluruh tubuh, disebut alopesia universalis; bila hanya mengenai seluruh rambut kepala disebut alopesia totalis dan bila kebotakan timbul hanya setempat dan berbatas tegas disebut alopesia areata. Pada laki-laki sering didapatkan alopesia androgenika, ditandai oleh kerontokan rambut kepala secara bertahap mulai dari bagian verteks dan frontal pada awal umur 30 sehingga dahi menjadi terlihat lebar. Kerontokan rambut daopat juga tanpa disertai kebotakan, misalnya setelah pengobatan sitostatika; keadaan ini disebut ejluvium. Kelebatan rambut juga dapat bertambah. Bila rambut bertambah pada tempat-tempat yang biasa ditumbuhi rambut disebut hipertrikosis. Bila pertumbuhan rambut yang merupakan tanda seks sekunder, seperti kumis, janggul atau jambang tumbuh berlebihan pada perempuan dan anak-anak, maka disebut hirsutisme. Pada pasien miksedema akibat hipotiroidisme akan didapatkan rambut yang jarang, kasar, kering dan tampak tidak bercahaya. Pigmen rambut juga dapat berkurang atau menghilang, sehingga akan timbul uban dan disebut kanitis.. Kanitis dapat bersifat bawaan (misalnya pada pasien albino), atau akibat usia menua (kanitis senilis). Uban juga dapat timbul pada usia yang lebih muda, disebut kanitis prematur. Kadang-kadang didapatkan uban hanya pada jambul di dahi, disebut white forelock. Pada Sindrom Wawdenburg, didapatkan whiteforelock, tuli, alis mata lebat dan pangkal hidung yang lebar.



Wajah Pucat, ikterus dan sianosis akan segera terlihat pada wajah pasien. Sianosis akan ditemukan pada pasien kelainan jantung bawaan dengan shunt dari kanan ke kiri, penyakit paru ostruktif menahun atau keadaan hipoksia lainnya. Pasien lupus eritematosus akan menunjukkan gambaran eritema pada kedua pipinya yang disebut mum malar atau Butterfly rash. Pasien lepra juga akan menunjukkan wajah



yang khas akibat infiltrasi subkutan pada dahi, pipi dan dagu disertai debgan pendataran dan pelebaran pada hidung sehingga wajah mirip dengan wajah singa dan disebut facies leonina. Ekspresi wajah juga seringkali menunjukkan tanda yang khas. Pembesaran kelenjar adenoid akan menyebabkan ekspresi wajah dengan mulut tergantung menganga dan dagu sedikit ke belakang. Pasien yang dehidrasi akan menunjukkan ekspresi wajah seperti orang susah, mata cekung, kulit kering, telinga dingin yang disebut fasies Hipocratic. Pada pasien Parkinsonisme, tampak wajah tanpa ekspresi yang disebut muka topeng. Pada pasien skleroderma, akan tampak kulit yang menipis dan tegang sehingga pasien tidak dapat menutup mulut dan tidak dapat tersenyum. Pasien tetanus akan mengalami spsme tonik pada otot-otot wajah, sehingga alis terangkat, sudut mata luar tertarik keatas dan sudut mulut tertarik ke samping membentuk wajah yang disebut risus sardonikus (muka setan)



Gambar 2. Tanda Chovstek dan tanda Trosseau



Beberapa penyakit genetik, seperti sindrom Down, juga menunjukkan wajah yang tidak normal (dismorjik), misalnya hipertelorisme ('jarak anatara kedua pupil lebih dari normal, normal 3,5-5,5 cm), telekantus (kantus medial tertarik ke lateral) dan sebagainya.. Asimetri muka dapat ditemukan pada paralisis N. VII, misalnya pada Bellis palsy. Otot wajah yang terserang akan mengalami paralisis dan pasien tidak dapat bersiul. Bila pasien diminta mengerutkan dahinya, maka dahi pada sisi yang lumpuh akan tetap rata. Mata pada sisi yang lumpuh juga tidak dapat menutup, sehingga kornea akan mengering yang bila didiamkan akan menyebabkan k eratitis dan ulkus kornea. Pada pasien spasmofilia akan didapatkan tanda Chovstek, yaitu kontraksi pada sudut mulut atau disekitar mata bila dilakukan ketokan pada garis antara sudut mulut dengan telinga. Pada tic fasialis, didapatkan otot-otot wajah yang bergerak secara spontan tak terkendali. Sensibilitas wajah juga harus diperika untuk mengetahui fungsi sensorik N. Trigeminus (N. V). Bagian sensorik N V terdiri dari ramus ojtalmik, yang mengurus sensibilitas dahi, mata, hidung, selaput otak, sinus paranasal dan sebagian mukosa hidung; ramzrs maksilaris,



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DASAR-DASARILMU PENYAKIT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI mengurus sensibilitas rahang atas, bibir atas, pipi, palatum durum, sinus maksilaris dan mukosa hidung; dan ramus mandibularis, yang mengurus sensibilitas rahang bawah, gigi bawah, bibir bawah, mukosa pipi, 2/, bagian depan lidah, sebagian telinga luar dan selaput otak. Gangguan refleks kornea, seringkalijuga merupakan gejala dini ganggunan N V. Mata



Pemeriksaan mata dapat dimulai dengan mengamati pasien waktu masuk ke ruang periksa, misalnya apakah pasien dibimbing oleh keluarganya, atau memegang satu sisi kepalanya yang menunjukkan adanya nyeri kepala yang hebat, atau mata merah atau mata berdarah. Eksoftalmus, yaitu bola mata keluar karena fisura palpebra melebar, dapat dijumpai pada tirotoksikosis, trombosis sinus kavernosus atau tumor orbita. Pada aneurisma intrakranial atau fiostula arteriovenosa kadang-kadang didapatkan eksojialmus yang berdenyut, sedangkan pada trombosis sinus kavernosus, selain didapatkan eksoftalmus juga didapatkan edema di mata dan kelumpuhan otot mata. Ada beberapa pemeriksaan yang menyokong keberadaan eksoftalmus, yaitu : 1). Tanda Stellwag, yaitu mata jarang berkedip; 2). Tanda von Graefe,yaitu bila melihat ke bawah, palpebra superior tidak ikut turun sehingga sklera atas tampak seluruhnya; 3). Tanda Moebius, yaitu sukar melakukan atau menahan konvergensi; 4). Tanda Joffroy, yaitu jika melighat ke atas, dahi tidak berkerut; 5). Tanda Rosenbach, yaitu tremor pada palpebra bila mata ditutup. Enoftalmus, yaitu bola mata tertarik ke dalam, biasanya didapatkan pada dehidrasi atau sindrom Horner. Sindrom Homer disebabkan oleh kerusakan saraf simpatis pada mata sehingga menimbulkan gejala enojialmus, ptosis ringan, miosis (pupil mengecil), vasodilatasi pembuluh darah kepala dan konyungtiva sisi ipsilateral, anhidrosis kepala dan muka sisi ipsilateral. Gerak Bola Mata. Motilitas okuler perlu diperiksa untuk mencari kelainan pada N. 111 (okulopmotorius), IV (troklearis) dan N VI (abdusen). Gerak bola mata yang normal adalah gerak terkonyugasi yaitu gerak bola mata kiri dan kanan yang selalu bersama-sama. Lirikan yang terkonyugasi dapat berlangsung cepat sebagai suatu respons terhadap stimulus visual di perifer yang mendadak disebut saccade. Pemeriksaan dapat juga dilakukan dengan menyuruh pasien mengikuti jari pemeriksa yang di gerakkan ke lateral, medial, atas, bawah, atas lateral, medial bawah, atas medial dan bawah lateral sehingga terjadi lirikan mata yang mulus yang disebut pursuit. Perhatikan apakah bola mata pasien dapat mengikuti gerakjari pemeriksa clan apakah gerak bola matanya mulus atau kaku. Bila respons stimulus saccade danpursuit tidak dapat dilakukan, dapat dilakukan rejleks okulosefalik (Doll S head manoevre), yaitu dengan



menyuruh pasien memfiksasi penglihatannya pada mata pemeriksa, kemudian pemeriksa memegang kepala pasien dan memutarnya pada bidang horizontal dan vertikal; bila pandangan pasien tidak berubah, tetap ke arah mata pemeriksa, maka respons pasien dikatakanbaik. Pada waktu memeriksa gerak bola mata, tanyakan apakah pasien melihat kembar (diplopia)yang biasanya disebabkan kelumpuhan otot penggerak mata. Juga hams diperhatikan apakah ada deviation conjugee, yaitu mata selalu dilirikkan ke satu arah, tidak dapat dilirikkan ke arah lain; kadang-kadang kepala juga berdeviasi ke arah yang sama. Deviation conjugee biasanya disebabkan oleh lesi otak kortikal. Strabismus, yaitu keadaan di mana mata tidak dapat digerakkan ke suatu arah, biasanya terjadi akibat kelumpuhan salah satu otot penggerak bola mata sehingga pasien akan mengalami diplopia. Berdasarkan penyebabnya, strabismus dapat dibagi 2, yaitu strabismus konkomitans (non-paralitik), disebabkan oleh kerusakan saraf penggerak mata dan sudut deviasi menetap pada sernua lapang pandang; dan strabismus inkomitans (paralitik), akibat kelumpuhan saraf pengerak bola mata dengan sudut deviasi yang tidak sama pada semua lapang pandang. Berdasarkan arah bola mata, strabismus juga dapat dibagi 2, yaitu strabismus divergens (eksotrofia), bila mata cenderung untuk melihat ke lateral; strabismus konvergens (esotrofia),bila mata cenderung melihat melihat ke medial; strabismus hipertroja, bila mata cenderung deviasi ke atas; dan hipotrofia, bila mata cenderung deviasi ke bawah. Nistagmus, yaitu gerak bolak-balik bola mata yang involunter dan ritrnik, dapat horizontal, vertikal atau rotatoir. Bila gerak bolak balik bola mata tersebut sama cepatnya, disebut nistagmus penduler, dapat dijumpai pada pasien dengan visus buruk sejak bayi, kelainan makula, korioretinitis,albinisme dan lain sebagainya.Bila gerak bola mata memiliki komponen gerak cepat dan lambat, maka disebut jerk nystagmus. Arah nistagmus ditentukan oleh komponen gerak cepatnya, misalnya nistagmus horizontal kanan, maka komponen gerak cepatnya ke arah horizontal kanan. Untuk memeriksa adanya nistagmus, pasien disuruh melirik kesatu arah dan dipertahankan selama 5 detik, tetapi lirikannyajangan terlalu jauh, karena dalam keadaan normal juga dapat timbul nistagmus yang disebut end position nystagmus. Nistagmus akibat kelainan labirin atau N VIII akan disertai dengan vertigo dan disebut nistagmus vestibuler atau nistagmus perifel: Bila kelainan terletak di otak, maka akan timbul nistagmus sentral, yang dapat bersifat horizontal, vertikal atau rotatoar, tergantung letak lesinya. Bila nistagmus terjadi atau bertambah berat pada posisi kepala tertentu, maka disebuyt nistagmus posisional. Palpebra. Kelainan palpebra hams diperhatikan dengan seksama. Edema palpebra, biasanya didapatkan pada



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI sindrom nefrotik, penyakit jantung atau dakrioadenitis. Edema palpebra dapat juga berbatas tegas, biasanya akibat peradangan, misalnya blefaritis (radang palpebra), dakriosistitis (radang kelenjar air mata), kalazion (radang pada tarsus), iridosiklitis (uveitis). Bila tepi palpebra melipat ke arah luar, misalnya akibat senilitas, sikatriksatau tumor palpebra, maka disebut ektropion; sedangkan bila melipat ke dalam, terutama pada palpebra inferior, disebut entropion. Pada trakoma, entropion didapatkan pada palpebra superior. Bila palpebra tidak dapat menutup sempurna, disebut lagojlalmus. Bila palpebra superior tidak dapat diangkat, sehingga fisura palpebra menyempit, disebut ptosis, misalnya didapatkan pada kelumpuhan N 111, miastenia gravis dan sindrom Horner. Bila palpebra superior tidak dapat diangkat karena bebannya, misalnya pada edema palpebra, enoflalmus atau ftisis bulbi, maka disebut pseudoptosis. Bila bulu mata tumbuh salah arah sehingga dapat melukai kornea, disebut trikiasis. Pada pasien dislipidemia, seringkali didapatkan deposit bewarna kekuningan pada palpebra yang disebut xantelasma. Pada radang palpebra (blefaritis), hipertiroidisme dan sindrom Vogt-Koyanagi-Harada, bulu mata dapat rontok dan disebut madarosis.



Sekresi Air i\lata. Sekresi air mata dapat diuji dengan melakukan tes Schirmer I dan 11. Tes Schirmer I bertujuan untuk memeriksa berkurangnya produksi air mata, rnisalnya pada Sindrom Schogren (keratokonyungtivitis sika). Disini digunakan sepotong kertas filter sepanjang 30 mm, di mana ujung yang satu diselipkan di forniks konyungtiva bulbi inferior dan ujung yang lain dibiarkan menggantung; bila setelah 5 menit kertas tidak basah menunjukkan sekresi air mata kurang. Bila bagian kertas yang basah kurang dari 10 mm, menunjukkan sekresi air mata terganggu, sedangkan bila lebih dari 10 mm menunjukkan hipersekresi air mata. Bila kertas yang basah kurang dari 10 mm, maka hams dilakukan tes Schirmer 11, yaitu pada satu mata diteteskan anestesi lokal dan diletakkan kertas filter, kemudian hidung dirangsang dengan kapas selama 2 menit. Bila setelah 5 menit kertas filter tidak basah menunjukkan refleks sekresi gaga1total, sedangkan bila setelah 5 menit kertas filter basah sampai 15 mm menunjukkan keadaan yang normal. Konyungtiva. Konyungtiva adalah selaput mata yang melapisi palpebra (koynungtiva tarsal superior dun inferior) dan bola mata (konyungtiva bulbi). Pada keadaar anemia, konyungtiva akan tampak pucat (anemik). Pada radang konyungtiva (konyungtivitis), tampak konyungtiva bewarna merah, mengeluarkan air mata clan kadang-kadang sekret mukopurulen. Trakoma merupakan konyungtivitis yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis. Peradangan konyungtiva yang disertai neovaskularisasi disekitarnya, disebutfrikten. Kadang-adang didapatkan pelebaran arteri konyungtiva posterior yang disebut innjebi konyungtival. Bila peleberan pembuluh darah terjadi pada pembuluh perkorneal atau arteri siliaris anterior, maka disebut injelcsi



siliar; sedangkan bila pelebaran pembuluh darah terjadi pada pembuluh episklera dan arteri siliaris longus disebut injeksi episklera. Peradangan konyungiva seringkali disertai dengan perlekatan konyngtiva dengan kornea atau palpebra yang disebut simblefaron. Pada avitaminosis A (xerojlalmia) akan didapatkan bercak Bitot, yaitu bercak segitiga bewarna perak di kedua sisi kornea yang berisi epitel yang keras dan kering. Kadang-kadang didapatkan bercak degenerasi pada konyungtiva di daerah fisura palpebra yang berbentuk segitiga di bagian nasal dan temporal yang disebutpinguekula. Lesi lain pada konyungtiva adalah pterigium, yaitu proses proliferasi dengan vaskularisasi pada konyungtiva yang berbentuk segitiga yang meluas ke arah kornea. Selain itu juga terdapat lesi yang disebut pseudopterigium, yaitu perlekatan konyungtiva dengan kornea yang cacat yang biasanya terjadi pada penyembuhan ulkus kornea, sehingga letaknya tidak selalu pada fisura palpebra. Kerapuhan pembuluh darah konyungtiva, misalnya akibat umur, huipertensi, aterosklerosis atau akibat konyungtivitis hemoragik, atau akibat trauma atau bat& rejan, dapat terhjadi perdarahan (hematoma) subkonyungtival.



Sklera. Perhatikan warna sk1era dengan baik. Pada pasien kelainan metabolisme bilirubin, akan didapatkan sklera yang ikterik yaitu sklera yang bewarna kekuningan. Sedangkan pada pasien osteogenesis imperfekta, akan didapatkan sklera yang bewarna bim (blue sclerae). Pada reaksi hipersensitivitas atau penyakit autoimun (Artriris Reumatoid, Lupus Eritematosus), dapat ditemukan episkleritis atau skleritis. Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak antara konyungtiva dan permukaan sklera, urnumnya unilateral dengan rasa nyeri yang ringan. Sedangkan skleritis adalah radang sklera yang bersifat bilateral, ditandai mata merah berair, fotofobia dan penurunan visus, serta nyeri yang hebat yang menjalar ke dahi, alis dan dagu. Kornea. Diameter kornea yang normal adalah 12 mm; bila ukurannya lebih disebut makrokornea, sedangkan bila ukurannya kurang disebut mikrokornea. Pada usia lanjut, seringkali didapatkan cincin putih kelabu yang melingkari bagian luar kornea yang disebut arkus senilis. Pada penyakit Wilson (degenerasi hepatolentikuler) akan didapatkan cincin lengkung hijau yang mengelilingi kornea yang disebut cincin Kayser-Fleische~Pada trakoma, dapat ditemukan pannus, yaitu sel radang dengan pembuluh darah yang membentuk tabir pada kornea. Peradangan pada kornea (keratitis) seringkali mengakibatkan timbulnya infiltrat dan ulkus kornea. Infiltrat akan memberikan uji plasidopositiJ; sedangkan ulkus kornea akan memberikan uji fluoresein positif: Pada xeroftalmia atau keratokonyungtivitis sika, dapat ditemukan keringnya permukaan kornea yang disebut xerosis kornea. Penyembuhan ulkus atau radang kornea akan meninggalkan sikatriks pada kornea sehingga kornea



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DASAR-DASAR ILMU PENYAKlTDALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



menjadi ireguler dan memberikan tes plasido posit$ Bila sikatriks hanya berbentuk kabut halus disebut nebula; bila lebih jelas dan berbatas tegas disebut makula; dan bila bewarna putih padat disebvut leukoma. Bila leukoma disertai penempelan iris pada permukaan belakang kornea, disebut leukoma aderens. Untuk menilai sensibilitaskornea yang merupakan mungsi dari N V (trigeminus), dapat dilakukan tes refleks kornea, yaitu dengan cara menyuruh pasien melihat jauh ke depan, kemudian bagian lateral kornea diusap dengan kapas kering dan dilihat refleks mengedip, rasa nyeri dan mata berair. Bila test ini positif, menunjukkan fungsi N V baik.



Pupil. Bentuk pupil normal adalah bulat dengan ukuran normal adalah 4-5 rnm pada penerangan sedang. Bila ukuran pupil lebih dari 5 mm disebut midriasis, sedangkan bila ukuran pupil kurang dari 2 mm disebut meiosis; bila ukuran pupil sangat kecil disebut pin point pupil. Bila ukuran pupil kiri dan kanan sama disebut isokol; Isedangkan bila tidak sama disebut anisokor. Posisi pupil normal adalah ditengah, bila letak pupil agak eksentrik, disebut ektopia. Refleks pupil dapat dilakukan dengan memberikan cahaya pada mata. Bila cahaya diarahkan langsung pada pupil dan memberikan hasil meiosis, disebut reflekspupil langsung. Bila cahaya diarahkan pada pupil dan didapatkan meiosis pupil kontralateral, disebut refleks pupil tidak langsung. Bila konyungtiva, kornea dan palpebra dirangsang, maka akan didapatkan meiosis, keadaan ini disebut refleks okulopupil. Bila pasien diminta melihat jauh, lalu disuruh melihat tangannya sendiri pada jarak 30 cm dari matanya, maka akan timbul meiosis; disebut refleks akomodasikonvergensi (refleks dekat). Bila reaktivitas pupil terhadap cahaya langsung dikalahkan oleh rangsang cahaya tidak langsung yang dapat diuji dengan menyinari mata kanan dan kiri berganti-ganti, disebut pupil Marcus-Gunn, yang didapatkan pada pasien neuritis optika, ablasi retina, atrofi papil saraf optik dan oklusi arteri retina sentralis. Reaksi pupil akan negatif pada keadaan ruptur sfingter, sinekua posterior, pangguan parasimpatis, atau akibat obat miotika dan midriatika atau pada kebutaan total. Padapupil Argyl Robeertson, didapatkan refleks cahaya negatif, sedangkan refleks dekat positif kuat. Pada sindrom Holmes-Ardy akan didapatkan anisokori pupil, refleks pupil negatif, penglihatan kabur dan refleks tendon menurun. Bilik mata depan (kamera okuli anterior). Diperiksa apakah dalam atau dangkal. Bilik mata yang dalam didapatkan pada keadaan afakia (tanpa lensa), miopia dan glaukoma kongenital. Bilik mata depan dangkal didapatkan pada dislokasi lensa, sinekia anterior atau glaukoma subakut. Penimbunan sel radang pada bagian bawah bilik mata depan disebut hipopion, yang biasanya berhubungan dengan ulkus kornea, uveitis berat, endojialmitis atau tumor intraokulel: Bila bilik mata depan berisi sel darah, maka disebut hifema, biasanya berhubungan dengan trauma mata atau hemofilia.



Lensa. Dalam keadaan normal lensa tidak bewarna Cjernih). Kekeruhan lensa disebut katarak. Katarak kongenital dapat ditemukan pada infeksi rubela kongenital, toksoplasmosis, herpes simpleks dan sitomegalovirus. Untuk menilai derajat kekeruhan lensa, dapat dilakukan tes bayangan iris, yaitu dengan cara mengarahkan lampu senter ke arah pupil dengan sudut 45" dan dilihat bayangan iris pada lensa yang keruh; letak bayangan jauh dan besar, berarti katarak imatur ; seangkan bila bayangan kecil dan dekat pupil, berarti katarak matul: Bila katarak mengalami degenerasi lanjut menjadi keras atau lembek dan mencair disebut katarak hipermatul: Bila lensa mata diangkat, maka keadaan ini disebut afakia dan mata akan mengalami hipermetropia tinggi.



Tajam penglihatan (acies visus). Diperiksa dengan menggunakan tabel Snellen (untuk melihatjauh), atau tabel Jagger (untuk melihat dekat). Tajam penglihatanjuga dapat diperiksa dengan menyuruh pasien menghitung jari pemeriksa pada jarak tertentu (normal jari pemeriksa masih terlihat sampaijarak 60 m) atau menyuruh pasien membaca huruf-hump dalam buku. Bila penglihatan sempurna, maka proyeksi benda yang dilihat akan jatuh pada retina; keadaan ini disebut mata emetropia. Pada pelihat jauh (mata hipermetropia),proyeksi bayangan dari benda yang dilihat akan jatuh di belakang retina; sedangkan pada pelihat dekat (mata miopia), bayangan benda yabng dilihat akan jatuh di depan retina. Pada orang tua akan trjadi gangguan akomodasi sehingga proyeksi bayangan dari benda yang dilihat akan jatuh di belakang retina; jkeadaan ini disebut matapresbiopia. Bila berkas sinar tidak difokuskan pada 1 titik di retina, tetapi pada 2 garis titik api yang saling tegak luruh, maka disebut astigmatisme; keadaan ini terjadi akibat kelainan lengkung permukaan kornea. Penglihatan warna. Penglihatan warna diperankanoleh sel kerucut retina. Warna primer utama pada pigmen sel kerucut adalah merah, hijau dan biru. Orang yang memiliki ketiga pigmen sel kerucut, disebut trikromat; bila hanya 2 pigmen sel kerucut, disebut dikromat; dan bila hanya memiliki 1 pigmen sel kerucut disebut monokromat atau akromatopsia. Penglihatan warna-warna yang tidak sempurna disebut buta warna, yang dapat bersifat kongenital atau didapat akibat penyakit tertentu, misalnya buta warna merah-hiiau d a ~ a disebabkan t oleh kelainan saraf optik, sedangkan buta warna biru-kuning dapat disebabkan oleh glaukoma atau kelainan retina. Untuk mengetahui defek penglihatan warna dapat dilakukan tes Ishihara. Lapang pandang (kampus visus), yaitu kemampuan mata yang yang difiksasi pandangannya ke satu titik untuk melihat benda-benda disekitarnya. Lapang pandang dapat diperiksa dengan tes konfrontasi, kampimetri, perimetri atau layar Byerrum. Lapang pandang normal adalah 90" temporal, 50" kranial, 50" nasal dan 65" kaudal. Penyempitan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



P



7 PISIS UMUM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI lapang pandang sehingga tinggal separuh disebut hemianopsia. Pada waktu memeriksa lapang pandang, juga hams dicari adanya skotoma, yaitu daerah atau bercak yang tidak terlihat pada lapang pandang seseorang. Dalam keadaan normal, kita memiliki bercak buta yang disebut skotoma fisiologik yaitu bercak dimana bayangan benda yang dilihat jatuh pada bintik buta retina (papila newi optici). Funduskopi, yaitu pemeriksaan retina dengan menggunakan oftalmoskop. Pada waktu melakukan funduskopi, perhatikan warna retina yang kemerahan dengan pembuluh darahnya yang dapat menggambarkan keadaan pembuluh darah di seluruh tubuh. Perhatikan pula fovea sentralis, daerah makula dan papila newi optici. Papila n. Optici berbentuk bulat, bewarna merah muda, berbatas jelas dengan cupping normal berukuran diameter papil. Perlu pula diperhatikan adanya papiledema (papil berbatas kabur, terdapat pada peninggian tekanan intra-kranial), atroppapil (papil tampak pucat, mengecil dengan batas bertambah jelas), kelainan vaskular (akibat hipertensi, D M , trombosis), kelainan retina yang lain (retinitis pigmentosa, ablasio retina). Pada retinopati diabetik akan didapatkan mikroaneurisma, perdarahan retina, dilatasi pembuluh darah retina, eksudat, neovaskularisasi dan edema retina. Retinitis pigrnentosa adalah kelainan genetik yang mengakibatkan degenerasi epitel retina terutama sel batang dan atrofi saraf optik dengan gambaran klinis yang khas tidak dapat melihat di malam hari dengan lapang pandang yang makin menyempit. Ablasio retina adalah lepasnya retina dari koroid yang biasanya berhubungan dengan trauma atau miopia atau degenerasi retina. Pasien ablasio retina akan mengeluh lapang pandang yang terganggu seperti melihat adanya tabir yang mengganggu lapang pandangnya dan pada funduskopi akan terlihat retina bewarna abu-abu dengan pembuluh darah yang terlihat terangkat dan berkelok-kelok. Telinga Untuk memeriksa telinga pasien, suruh pasien duduk dengan posisi badan agak condong sedikit ke depan dan kepala lebih tinggi sedikit dari kepala pemeriksa sehingga pemeriksa dapat melihat liang telinga luar dan membran timpani. Pertama-tama, perhatikan daun telinga, kemudian bagian belakang telinga, daerah mastoid, adakah tanda peradangan atau sikatriks. Pada pasien yang diduga gout, daun telinga hams diperiksa dengan cermat untuk mencari kemungkinan adanya tofus, yaitu benjolan keras akibat penimbunan kristal monosodium urat. Untuk melihat liang telinga dan membran timpani, tarik daun telinga ke atasbelakang sehingga liang telinga lebih lurus. Bila terdapat serumen di dalam liang telinga, maka hams dibersihkan dulu dengan kapas, pengait atau pinset, tergantung



konsistensinya. Setelah liang telinga bersih, perhatikan membran timpani, apakah masih utuh atau tidak, apakah sifat tembus sinar normal, adakah retraksi membran timpani yang menunjukkan perlekatan di telinga tengah. Adanya otitis media dengan supurasi akan menyebabkan membran timpani menonjol (bulging) ke arah telinga luar. Bila didiamkan saja, maka membran timpani dapat mengalami ruptur. Sekret yang keluar dari hang telinga disebut otore. Perhatikan apakah otore tersebut jernih, mukoid atau berbau. Bila otore bercampur darah hams dicurigai kemungkinan infeksi akut yangt berat atau tumor, sedangkan bila jernih hams dicurigai kemungkinan likuor serebrospinal. Bila didapatkan nyeri telinga (otalgia), hams diperhatikan apakah nyeri berasal dari telinga atau merupakah nyeri pindah (referred pain) dari jaringan sekitamya. Nyeri pada tarikan daun telinga menunjukkan tanda-tanda adanya otitis eksterna; sedangkan nyeri pada prosesus mastoideus menunjukkan adanya mastoiditis, yang seringkali merupakan komplikasi otitis media. Untuk menilai fungsi pendengaran, dapat dilakukan tes pendengaran dengan cara tes berbisik dan tes garpu tala. Untuk pemeriksaan yang lebih khusus dapat dilakukan pemeriksaan audiometri. Gangguan pendengaran (tuli), dapat dibagi 2, yaitu tuli konduktiJ; akibat kelaianan pada telinga luar dan telinga tengah; tuli saraf (sensoneural), akibat kelainan pada koklea, N VIII atau pusat pendengaran; dan tuli campuran. Pada pasien usia lanjut, seringkali didapatkan tuli saraf frekuensi tinggi yang dapat menyerang kedua telinga dan dapat dimulai pada usia 65 tahun; keadaan ini disebut presbiakusis. Tes berbisik, merupakan pemeriksaan semi-kuantitatif, menentukan derajat ketulian secara kasar. Pemeriksaan hams dilakukan di ruangan yang tenang dengan panjang minimal 6 meter. Tes penala merupakan tes kualitatif.Ada bermacam-macam tes penala, diantaranya tes Rinne, tes Weber dan tes Schwabach. Tes Rinne bertujuan untuk membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran melalui tulang pada telinga yang diperiksa. Garpu tala digetarkan, kemudian tangkainya diletakkan di prosesus mastoideus; setelah tidak terdengar, garpu tala dipegang didepan telinga pada jarak 2,5 cm; bila masih terdengar, disebut Rinne (+),menunjukkan pendengaran yang normal atau adanya tuli saraf; dan bila tidak terdengar disebut Rinne (-), menunjukkan adanya tuli konduktif). Tes Weber bertujuan untuk membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan kanan. Garpu tala digetarkan, kemudian tangkai garpu tala diletakkan di garis tengah kepala (verteks, dahi, di tengah-tengah gigi seri, dagu). Bila bunyi garpu tala terdfengar lebih keras pada salah satu telinga, maka disebut Weber lateralisasike telinga tersebut. Bila bunyi garpu tala tidak dapat dibedakan apakah lebih keras kearah satu telinga atau tidak, maka disebut Weber tidak ada lateralisasi. Pada tuli konduktif, akan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



teqadi lateralisasi ke telinga yang sakit; sedangkan pada tuli saraf akan terjadi lateralisasi ke telinga yang haik. Tes Schwabach bertujuan membandingkan fungsi pendengaran pasien dengan fungsi pendengaran pemeriksaan yang normal. Garpu tala digetarkan kemudian tangkainya diletakkan di prosesus masteoideus pasien sampai tidak terdengar lagi suaranya, kemudian dipindahkan ke prosesus masteoideus pemeriksa; bila pemeriksa masih dapat mendengar, maka disebnut Schwabach memendek. Bila pemeriksa juga tidak mendengar, maka pemeriksaan dibalik, mula-mula garpu tala yang telah digetarkan. tangkainya diletakkan di prosesus mastoideus pemeriksa, setyelah tidak terdenghar kemudian dipindahkan ke prosesus masteoideus pasien; bila pasien masih dapat mendengar maka disebut Schwahach memanjang; bila pasien juga tidak juga mendengar, maka dikatakan Schwahach sama dengan pemeriksaan.



M



I



Gambar 3. Tes Weber dan tes Rinne



Gambar 4. Rinoskopi posterior dan laringoskopi indirek



Hidung Hidung berfungsi sebagai jalan napas; pengatur kondisi udara pernapasan; penyaring udara; indra penghidu; reonansi suara; turut membantu proses bicara; dan refleks nasal. Pemeriksaan hidung meliputi pemeriksaan hidung bagian luar; rinoskopi anterior; rinoskopi posterior; dan bila diperlukan dilakukan nasoendoskopi. Lakukan pemeriksaan hidung kiri dan kanan. Pada pemeriksaan hidung luar, perhatikan bentuk luar hidung, apakah ada deviasi atau depresi septum, serta pembengkakan hidung. Pada pasien sifilis, sering terrjadi erosi tulang hidung sehingga akan terbentuk hidung pelana yang khas. Pada rinofirna hidung kelihatan bewarna merah, besar dan berbentuk seprti umbi. Pada pasien Lupus ritematosus, khas tampak gambaran ruam kupu-kupu pada hidung yang sayapnya membentang sampai ke kedua pipi. Pemeriksaan



rongga hidung disebut rinoskopi anterior, yaitu dengan menggunakan spekulum hidung. Pada pemeriksaan rongga hidung, perhatikan vestibulum nasi, septum bagian anterior, konka dan mukosa hidung. Perhatikan kemungkinan adanya polip nasi, yaitu kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, bewarna putih kelabu dengan permukaan licin yang bening karena banyak mengandung cairan. Untuk melihat hidung bagian belakang, termasuk nasofaring, dilakukan pemeriksaan rinoskopi posterior, yaitu dengan menggunakan kaca nasofaring yang dilihat melalui rongga mulut. Pada rinoskopi posterior akan dapat terlihat koana, ujung posterior septum, ujung posterior konka, sekret yang keluar dari hidung ke nasofaring (post nasal drip), torus tubarius, osteium tuba dan fossa Rosenmuller. Hidung sering mengalami perdarahan yang disebut epistaksis. Epistaksis bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan gejala suatu penyakit, misalnya hipertensi, infeksi, neoplasma, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfer dan sebagainya. Fungsi menghidu juga hams diperiksa, satu persatu untuk masing-masing lubang hidung dengan cara menutup 1 lubang hidung secara bergantian. Sebelum memeriksa fungsi menghidu, pastikan bahwa lubang hidung tidak meradang dan tidak tersumbat. Gunakan zat pengetes yang dikenal sehari-hari, misalnya kopi, jeruk, tembakau. Jangan menggunakan zat pengetes yang dapat merangsang mukosa hidung, seperti alkohol, mentol, cuka atau amoniak. Kemampuan menghidu secara normal disebut normosmia; bila kemampuan menghidu meningkat disebut hiperosmia; bila kemampuan menghidu menurun disebut hiposmia; dan bila kemampuan menghidu hilang disebut anosmia. Bila dapat menghidu, tetapi tidak dapat mengenal atau salah menghidu, maka disebut parosmia. Sinus paranasal. Sinus paranasal adalah rongga-rongga di sekitar hidung dengan bentuk bervariasi yang mempakan hasil pneumatisasi tulang kepala. Ada 4 pasang sinus, yaitu sinus maksilaris, sinus .frontalis, sinus etmoidalis dan sinus sfenoidalis. Semua sinus mempunyai muara (ostium)ke dalam rongga hidung. Muara sinus maksilaris, frontalis dan etmoidalis anterior terletak pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yang memiliki struktur yang rumit yang disebut kompleks osteo-meatal. Fungsi sinus paranasal adalah sebagai pengatur kondisi udara pernapasan; penahan suhu; membantu keseimbangan suara; membantu resonansi suara; peredam perubahan tekanan udara; dan membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung. Untuk pemeriksaan sinus paranasal dilakukan inspeksi, palpasi dan transluminasi. Pada inspeksi, perhatikan adanya pembengkakan pipi dan kelopak mata bawah yang menggambarkan adanya sinusitis maksilaris akut; sedangkan pembengkakan pada kelopak mata atas menunjukkan sinusitis frontalis akut.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



43



PEMERIKSAAN LlSIS UMUM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Gambar 5. Sinus paranasal



Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketok pada gigi menunjukkan adanya sinusitis maksilaris; sedangkan nyeri tekan pada bagian medial atap orbita menunjukkan adanya sinusitis frontalis; dan nyeri tekan daerah kantus medius menunjukkan adanya sinusitis etmoidalis. Pemeriksaan transluminasi digunakan untuk melihat adanya sinusitis maksilaris atau frontalis. Bila pada pemeriksaan transluminasi dida patkan gelap pada daerah infra-orbita menunjukkan kemungkinan sinus maksilaris terisi pus atau mukosa sinus maksilaris menebal atau terdapat neoplasma didalam sinus maksila. Transluminasi sinus frontalis seringkali memberikan hasil yang meragukan, karena seringkali sinus frontalis tidak berkembang dengan baik. Bila dicurigai adanya kelainan pada sinus paranasal, dapat dilakukan pemeriksaan radiologi dengan posisi Waters, PA dan lateral. Bila hasil pemeriksaan radiologik meragukan dapat dilakukan pemeriksaan CT-scan sinus paranasal.



Mulut Bibir dan mukosa mulut. Perhatikan wamanya, apakah pucat, merah atau sianosis. Bibir yang tebal terdapat pada pasien akromegali dan miksedema. Bibir yang retak-retak terdapat pada pasien demam dan avitaminosis. Luka pada sudut mulut menandakan adanya aribojlavinosis. Radang pada bibir disebut keilitis. Pada pasien morbili, dapat ditemukan bercak Koplik, yaitu bercak kecil, bewama biru keputihan, dikelilingi oleh tepi yang merah, terdapat pada mukosa pipi yang letaknya berhadapan dengan gigi molar dekat muara kelenjar parotis. Pada pasien Stomatitis aftosa akan didapatkan 1-3 ulkus yang dangkal, berbentuk bundar, terasa nyeri dan tidak mengalami indurasi. Oral thrush akibat infeksi Kandida albikans ditandai oleh bercakbercak membran putih, menimbul, seperti sisa-sisa susu di mukosa mulut, bila dipaksa angkat akan timbul perdarahan. Pada sindrom Peutz-Jeghers, akan didapatkan bercak pigrnentasi berbatas tegas bewarna kebiruan atau coklat pada mukosa bibir, mulut, hidung dan kadang-kadang di sekitar mata.



Gigi geligi. Perhatikan jumlah gigi, oklusi gigi dan adanya gigi berlubang (karies). Oklusi normal gigi terjadi bila barisan gigi pada rahang atas dan rahang bawah dapat saling menangkap secara tepat. Anomali kongenital atau fraktur rahang akan menyebabkan timbulnya rnaloklusi. Pada pasien sifilis kongenital, dapat ditemukan gigi seperti gergaji yang disebut gigi Hutchinson. Bila air minum banyak mengandung fluorida, maka gigi akan berlubang kecil-kecil dan bewama kuning, disebutfluorosis (mottled enamel). Pada intoksikasi timah hitam, akan tampak garis timuh bewama kebiruan pada batas antara gusi dan gigi. Pada pemeriksaan gigi, juga hams diperhatikan keadaan gusi. Radang gusi disebut ginggivitis. Pada pyorrhoeu, akan tampak gusi membengkak dan bila ditekan akan keluar nanah. Pada pasien leukemia monoblastik akut atau pasien yang mendapatkan pengobatan fenitoin akan didapatkan hiperplasigusi. Kadang-kadang didapatkan neoplasia jinak gusi yang disebut epulis.



Lidah. Perhatikan ukuran lidah, apakah normal, lebih besar (rnakroglosus), atau lebih kecil (rnikroglosus). Kadangkadang terdapat kelainan kongenital dimana lidah bercabang yang disebut lingua bzjida. Pada parese N XII, lidah akan membelok bila dikeluarkan. Pada kelainan pseudobulbar; pasien akan sukar menggerakkan dan mengeluarkan lidahnya. Lidah yang pucat menunjukkan adanya anemia, sedangkan lidah yang merah tua dan nyeri menunjukkan adanya defisiensi usam nikotinat. Pada keadaan dehidrasi, lidah akan tampak kering, sedangkan pada uremia lidah akan kering dan bewama kecoklatan. Lidah yang kering dan kotor, dalam keadaan normal ditemukan pada perokok atau orang yang bemapas lewat mulut. Pada pasien demam tifoid akan didapatkan lidah yang kering dan kotor, tepi yang hiperemis dan tremor bila dikeluarkan perlahan-lahan. Lidah yang merah, berselaput tipis dengan papil yang besar-besar didapatkan pada pasien demam skarlatina, yang disebut strawberry tongue. Lidah yang licin karena atrofi papil disebut lingua grabia, didapatkan pada pasien anemia pemisiosa, tropical sprue, pelagra. Pada leukoplakia, lidah diselubungi oleh lesi-lesi yang keras, bewama putih dan mengalamim indurasi yang kelihatan seperti kerak dan sulit diangkat. Lidah pasien angina Ludovici, tampak meradang merah dan bengkak sehingga menonjol keluar dari mulut. Kadangkadang pada lidah dapat ditemukan bercak-bercak seperti peta yang disebut geographic tongue; keadaan ini sering didapatkan pada pasien depresi dan tidak berbahaya. Lidah yangkelihatan aneh adalah lidah skrotum, yang memiliki aluralur seperti skrotum. Kadang-kadang di bawah lidah di sisi frenulum didapatkan kista retensi yang transparan bewama kebiruan yang disebut ranula. Pada waktu memeriksa lidah, jangan lupa memeriksa fungsi pengecapan, dengan cara menaruh berbagai zat secara bergantian pada permukaan lidah, misalnya garam, gula, bubuk kopi dan sebagainya. Hilangnya fungsi pengecapan disebut ageusia.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DASAR-DASAR ILMU PENYAKIT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Langit-langit (palaturn). Pertama-tama,perhatikan apakah terdapat celah langit-langit (palatoskizis).Kadang-kadang pada garis tengah palatum didapatkan benjolan yang membesar seperti tumor yang disebut torus palatinus). Perhatikan juga lengkungan palatum durum, apakah simetris atau tidak. Kelumpuhanpalatummole seringkalimerupakan gejala sisa dari difteri. Palatum dengan lengkung tinggi didapatkan pada pasien sindrom Ehlers-Danlos, Marfan, Rubenstein-Taybi dan Trecher-Collins.



Bau pernapasan (Halitosis, foetor ex ore). Bau napas aseton ditemukan pada pasien ketoasidosis diabetik atau pasien kelaparan (starvation). Pada pasien uremia, napas akan berbau amoniak. Pasien dengan abses paru-paru atau higiene mulut yang buruk akan memberikan bau napas yang busuk (gangren). Pasien ensefalopati hepatik akan menunjukkan bau napas yang apek yang disebut fetor hepatikum. Bau napas alkohol akan didapatkan pada pasien alkoholisme. Anak-anak yang menderita fenilketonuria akan memberikan bau napas seperti rumput kering yang baru disabit. Pasien kanker rongga mulut akan memberikan bau napas yang busuk yang sangat spesifik. Angina plaut vincent (stomatitis ulseromembranosa), merupakan infeksi spirilum dan basil fusiformis di rongga mulut akibat kurangnya higiene mulut. Kelainan ini ditandai oleh demam yang tinggi dengan nyeri di mulut; bau mulut Cfetor ex ore); mukosa mulut dan faring hiperemis dilapisi oleh membran putih keabuan di atas tonsil, uvula, faring dan gusi. Faring dan Laring Faring dan laring diperiksa bersama-sama dengan pemeriksaan mulut. Untuk memeriksa faring, tekanan lidah ke bawah dengan penekan lidah, sehingga faring akan tampak. Perhatikan dinding belakang faring, apakah terdapat hiperemi yang biasanya berhubungan dengan infeksi saluran napas atas. Pada sinusitis, biasanya akan tampakpost nasal drips. Pada anak-anak yang menderita difteria, akan didapatkan selaput putih pada dinding faring yang sulit diangkat, bila dipaksa diangkat akan timbul perdarahan; selaput ini disebut pseudomembran. Selanjutnya, periksa nasofaring dengan cara menggunakan cermin laring yang menghadap ke atas yang ditempatkan di belakang palatum mole setelah lidah ditekan. Batas nasofaring adalah dasar tengkorak sampai palatum mole. Di anterior nasofaring adalah rongga hidung. Pada nasofaring bermuara saluran dari telinga tengah yang disebut tuba Eustachius. Selanjutnya perhatikan tonsil. Tonsil adalah massa jaringan limfoid yang terdiri atas 3 macam, yaitu tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina, dan tonsil lingua yang ketiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Adenoid merupakan massa jaringan limfoid yang terletak pada dinding posterior nasofaring. Pada



anak-anak yang sering mengalami infeksi saluran napas atas, seringkali terjadi hiperplasi adenoid sehingga koana serta tuba Eustachius tertutup dan pasien bernapas melalui mulut. Pasien hiperplasi adenoid akan menunjukkan muka yang khas Cfasies adenoid) yang ditandai oleh hidung yang kecil, gigi seri prominen, arkus faring menonjol, sehingga memberi kesan tampak seperti orang bodoh. Tonsil palatina yang biasa disebut tonsil saja terletak di dalamfosa tonsil yang dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Permukaan tonsil biasanya mempunyai banyak celah yang disebut kriptus. Perhatikan ukuran tonsil. Bila fosa tonsil kosong, disebut To; tonsil yang normal berukuran T,; bila ukuran tonsil lebih besar dari fosa tonsil, maka disebut T,; dan bila ukuran tonsil sangat besar hampir mencapai uvula, disebut T,. Kemudian periksalah laring. Batas atas laring adalah epiglotis. Untuk memeriksa laring, pegang lidah hati-hati dengan menggunakan kasa, kemudian tarik keluar perlahan-lahan, kemudian tempatkan cermin yang sebelumnya telah dipanaskan sedikit, menghadap ke bawah, di palatum mole, di depan uvula, gerakkan cermin hati-hati untuk melihat pita suara. Suruh pasien mengucapkan huruf "EEE", perhatikan gerak pita suara apakah simetris atau tidak. Infeksi pada rongga mulut maupun saluran napas atas seringkali menyebabkan komplkasi abses leher dalam, yang terdiri dari abses peritonsil (Quinsy), abses retrofaring, abses parafaring, abses submandibula dan angina Ludovici. Abses peritonsil (Quinsy), merupakan komplikasi tonsilitis akut, ditandai oleh demam yang tinggi, odinofagia (nyeri menelan), otalgia (nyeri telinga) pada sisi yang sama, fetor ex ore (mulut berbau), muntah, rinolalia (suara sengau), hipersalivasi (banyak meludah) dan trismus (sukar membuka mulut). Pada pemeriksaan akan tampak tonsil membengkak dan uvula terdorong ke sisi yang sehat. Abses retrofaring, banyak didapatkan pada anak-anak di bawah 5 tahun. Abses submandibula, ditandai oleh nyeri leher dan pembengkakan di bawah mandibula yang berfluktuasi bila ditekan. Angina Ludovici, merupakan infeksi ruang submandibula yang ditandai oleh pembengkakan submandibula tanpa pembentukan abses, sehingga teraba keras.



LEHER Bentuk Leher Leher yang panjang terdapat pada orang-orang dengan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



45



PENZWKSAAN RSIS UMUM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI bentuk badan ektomorfi kahekti.~,atau pasien tuberkulosis paru yang lama. Leher yang pendek dan gemuk terdapat pada orang dengan bentuk badan endomorf: obesitas, sindrom Cushing, miksedema, kretinisme. Leher bersayap (webed neck) terdapat pada pasien sindrom Turner.



Otot-otot leher. Dengan menyuruh pasien menengok ke kiri dan ke kanan, kita dapat memeriksa m. Stemokleidomastoideus. Bila pasien tidak dapat menengok, mungkin terdapat kelumpuhan otot ini. Otot lain yang juga hams diperiksa adalah m. Trapezius. Perhatikan keadaan otot ini dalam keadaan istirahat, perhatikan posisi bahu, apakah sama tinggi. Bila terdapat kelumpuhan m. Trapezius, maka bahu sisi yang lumpuh akan lebih rendah daripada bahu sisi yang sehat. Kemudian letakkan kedua tangan kita masing-masing pada bahu kiri dan kanan pasien; suruh pasien mengangkat bahunya dan kita tahan dengan tangan; bandingkan kekuatan otot itu kiri dan kanan. Kontraksi otot leher yang berlebihan, akan mengakibatkan kepala dan leher berdeviasi dan berputar; keadaan ini disebut tortikolis.



Kelenjar getah bening leher. Harnpir semua bentuk radang dan keganasan kepala dan leher akan melibatkan kelenjar getah bening leher. Bila ditemukan pembesaran kelenjar getak bening di leher, perhatikan ukurannya; apakah nyeri atau tidak; bagaimana konsistensinya, apakah lunak, kennyal atau keras; apakah melekat pada dasar atau pada kulit. Menurut Sloan Kattering Memorial Cancer Center Classification, kelenjar getah bening leher dibagi atas 5 daerah penyebaran, yaitu :



I. Kelenjar yang terletak di segitiga submentale dan submandibula, 11. Kelenjar yang terletak di 'I, atas dan termasuk kelenjar getah bening jugularis superior, kelenjar digastrik dan kelenjar servikal posterior, III. Kelenjar getah bening jugularis di antara bifurkasio karotis dan persilangan m. Omohioid dengan m. Sternokleidomastoideus dan batas posterior m. Sternokleidomasteoideus, n! Grup kelenjar getah bening di daerah jugularis inferior dan supraklavikula, V Kelerfjar getah bening yang berada di segitiga posterior servikal. Kelenjar tiroid. Tiroid diperiksa dengan cara inspeksi dan palpasi. Palpasi tiroid dilakukan dari belakang pasien, kemudian pasien disuruh menelan, bila yang terba tiroid, maka benjolan tersebut akan ikut bergerak sesaui dengan gerak menelan.Pembesarantiroid disebut struma. Perhatikan ukuran tiroid, konsistensinya, apakah noduler atau difus, adanya nyeri tekan; kemudian lakukan auskultasi, bila terdengan bising (bruit), menunjukkan struma tersebut banyak vaskularisasinya. Struma yang noduler disebut



Gambar 6. Webbed neck



Garnbar 7. Palpasi tiroid



strurna nodosa; sedangkan struma yang difus disebut struma difusa. Berdasarkan fungsi tiroidnya, maka struma dengan gambaran tirotoksikosis disebut struma toksik; sedang struma yang tidak disertai tirotoksikosis, disebut struma non-toksik. Pada waktu melakukan auskultasi, dengarkan juga bising napas akibat sumbatan laringltrakea yang disebut stridor. Selain itu, lakukan juga perkusi sternum atas, bila terdengar suara redup mungkin didapatkan struma retrosternal. Kemudian suruh pasien mengangkat tangan keatas kepala setinggi mungkin, bila timbul kemerahan atau sianosis pada muka, menujukkan adanya sumbatan akibat struma retrosternal, keadaan ini disebut tanda Penber~on.Kadang-kadang di atas atau di bawah pertengahan korpushioid terlihat benjolan di garis tengah yang ikut bergerak padawaktu proses menelan; benjolan ini merupakan sisa saluran turun tiroid dari pangkal lidah yang disebut kista atau sinus duktus tiroglosus. Tekanan vena jugularis. Tekanan vena jugularis diperiksa pada posisi pasien berbaring telentang dengan kepala membentuk sudut 30"dengan bidang datar. Aturlah posisi kepala sedemikian rupa sehingga aliran vena jugularis tampak jelas. Tekanlah bagian distal vena jugularis (di bawah mandibula), tandai batas bagian vena yang kolaps. Kemudian buat bidang datar melalui angulus Ludovici, ukur jarak antara bidang tersebut dengan batas bagian vena yang kolaps. Bila jaraknya 2 cm, maka ha1 ini menunjukkan tekanan vena jugularis adalah 5-2 cm H,O yang merupakan ukuran normal tekanan vena jugularis. Bidang datar yang dibuat melalui angulus Ludovici, merupakan bidang yang berjarak 5 cm di atas atrium kanan dan dianggap titik 5 + 0 cmH,O. Pada pasien gagal jantung atau efusi perikardial, maka tekanan vena jugularis akan meningkat di atas 5 -2 crnH,O. Arteri karotis. Denyut nadi karotis menunjukkan garnbaran denyut jantung yang lebih baik dibandingkan denyut arteri brakialis. Denyut arteri karotis kanan dapat diraba dengan menggunakan ibu jari tangan kiri yang diletakkan di samping laring dekat m. Sternokleido- masteoideus. Selain itu juga dapat diraba dari belakang dengan menggunakan empat jari pemeriksa pada tempat yang sama. Pada stenosis aorta, denyut artri karotis akan teraba lebih lemah



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



daripada keadaan normal; sedangkan pada insufisiensi aorta, denyut arteri karotis akan teraba kuat dan keras.



seperti kulit jeruk (peau d'oranges) yang berhubungan dengan adanya kanker payudara.



Trakea. Perhatikan letak trakea, apakah di tengah atau bergeser atau tertarik ke samping. Untuk melakukan palpasi trakea, letakkan jari tengah tangan pemeriksa pada suprasternal notch, kemudian secara hati-hati geser jari tersebut ke atas dan agak ke belakang sampai trakea teraba. Bila trakea bergeser ke salah satu sisi, maka ruang di sisi kontralateral trakea akan lebih luas dibandingkan dengan ruang yang searah dengan pergeseran trakea. Lakukan pemeriksaan ini secara hati-hati, karena tidak menyenangkan bagi pasien. Pada aneurisms aorta, akan tampak adanya tracheal tug, yaitu tarikan-tarikan yang teraba sesuai dengan sistole jantung dengan sedikit dorongan keatas pada os krikoid; tampak jelas pada posisi duduk atau berdiri dengan sedikit menengadah.



Palpasi. Dilakukan pada posisi pasien berbaring dan diusahakan agar payudara jatuh merata di atas buidang dada, bila perlu bahu atau punggung dapat diganjal dengan bantal kecil. Palpasi dilakukan dengan falang distal dan falang tengah jari 11,111 dan IV pemeriksa dan dilakukan secara sistematis mulai dari iga I1 sampai ke inferior di iga VI atau secara sentrifugal dari tepi ke sentral. Jangan lupa memeriksa puting susu dengan memegang puting susu diantara ibu jari dan jari te telunjuk pemeriksa, perhatikan adakah cairan yang keluar dari puting susu (nipple discharge). Dalam keadaan normal cairan dapat keluar dari puting susu pada perempuan pada masa laktasi, perempuan hamil atau perempuan yang lama menggunakan pi1 kontrasepsi. Bila cairan yang keluar dari puting susu berdarah, hams dicurigai kemungkinan adanya papiloma intraduktal atau papilokarsinoma.



PAYUDARA



Pemeriksaan massa pada payudara. Bila ditemukanmassa pada payudara, perhatlkan letaknya, ukurannya, bentuknya, konsistensinya, adakah nyeri tekan atau tidak, apakah bebas atau terfiksir baik pada kulit maupun pada dasar, dan yang sangat penting adalah pembesaran kelenjar getah bening regional. Untuk menemukan adanya kanker payudara secara dini, Haagenson mengemukakan bahwa ada 5 kelompok perempuan yang memiliki risiko tinggi yang hams diperiksa secara rutin, yaitu : l).Perempuan yang memiliki anggota keluarga menderita kanker payudara; 2).Perempuan yang menderita kista di kedua payudaranya; 3). Perempuan yang menderita kanker payudara pada 1 sisi; 4). Perempuan yang menderita perubahan-perubahan lobuler pada kedua payudaranya; 5).Perempuan yang mempunyai banyak papiloma di kedua payudaranya.



Payudara adalah organ khas hewan kelas Mammalia, termasuk manusia. Bentuk payudara pada perempuan seperti kuncup terletak pada hemitoraks kanan dan kiri mulai dari iga 11-111 di superior sampai iga VI-VIII di inferior; dan dari tepi sternum di medial sampai garis aksilaris anterior di lateral. Walaupun demikian, jaringan payudara dapat mencapai klavikula di superior dan m. Latisimus dorsi di lateral. Adakalanya kelenjar payudara sampai ke ketiak dan berhubungan dengan payudara unilateral dan disebut mamma aberans. Adakalanya terbentuk payudara tambahan di tempat lain, dapat lengkap, dapat pula hanya areola dan puting, dan selalu timbuh padagaris susu embrionikyang berjalan dari aksila ke lipat paha unilateral. Parenkim payudara dibentuk oleh kurang lebih 15-20 lobus yang masing-masing mempunyai saluran tersendiri yang bermuara di puting susu. Tiap lobus terdiri dari lobulus-lobulus yang masing-masing terdiri dari 10-100kelompok asini. Payudara dibungkus oleh fasia pektoralis superfisialis dan permukaan anterior dan posterior dihubungkan oleh ligamentum Cooper yang berfungsi sebagai penyangga.



Pemeriksaan payudara. Pemeriksaan payudara hams dilakukan secara baik dan halus, tidak boleh keras dan kasar, apalagi bila ada dugaan keganasan karena kemungkinan akan menyebabkan penyebaran. Inspeksi. Pasien duduk di muka pemeriksa dengan posisi sama tinggi dengan pemeriksa. Pertama kali posisi tangan pasien bebas di samping tubuhnya, kemudian tangan pasien diangkat ke atas kepala dan terakhir tangan pasien pada posisi di pinggang. Perhatikan simetri payudara kiri dan kanan, kelainan puting susu, letak dan bentuk puting susu, adakah retraksi puting susu, kelainan kulit, tandatanda radang, edem kulit sehingga memberi gambaran



Kelenjar getah bening regional. Ada 3 kelompok kelenjar getah bening regional yang berhubungan dengan payudara, yaitu kelenjar getah bening aksila, kelenjar getah bening prepektoral dan kelenjar getah bening mamaria interna. Kelenjar getah bening aksila, terdiri dari 6 kelompok, yaitu : 1). Kelenjar getah bening mamaria eksterna, yang terletak pada tepi lateral m. pektoralis mayor sepanjang tepi medial aksila. Kelompok kelenjar ini dibagi 2, yaitu kelompok superior, yang terletak setinggi interkostal II111; dan kelompok inferior,yang terletak setinggi interkostal IV, V dan VI; 2). Kelenjar getah bening skapula, terletak sepanjang vena subskapularis dan torakoddorsalis, mulai dari percabangan v. aksiiaris menjadi v. subskapularis, sampai ke tempat masuknya v. torakodorsalis ke dalam m. latisimus dorsi; 3). Kelenjar getah bening sentral, terletak di dalamjaringan lemak di pusat aksila, merupakan kelenjar yang terbanyak dan terbesar ukurannya dan paling mudah dipalpasi; 4). Kelenjar getah bening interpektoral (Ratter's nodes), terletak diantara m. pektoralis mayor dan minor, sepanjang rami pektoralis v.torakoakromia1is;



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



47



PEMERIl(SAANmSIS UMUM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 5). Kelenjar getah bening v. aksilaris, terletak sepanjang v. aksilaris bagian lateral mulai dari tendon m.latisimus dorsi ke arah medial sampai percabangan v. aksilaris menjadi v. torakoakromialis; 6). Kelenjar getah bening subklavikula, terletak sepanjang v. aksilaris, mulai dari sedikit medial percabangan v. aksilaris menjadi v. torakoakromialis sampai v aksilaris menghilang di bawah tendon m. subklavius. Kelenjar getah bening prepektoral, merupakan kelenjar tunggal yang terletak di bawah kulit atau di dalam jaringan payudara, di atas fasia pektoralis pada payudara kwadran lateral. KeIenjar getah bening mamaria interna, tersebar di sepanjang trunkus limfatikus mamaria interna, kira-kira 3 cm dari tepi sternum, di dalam lemak di atas fasia endotorasika pada sela iga.



Gambar 8. Segmen payudara



Just opening p-



le



iC



Gambar 9. Stnrktur payudara



Pemeriksaan kelenjar getah bening aksila. Dilakukan pada posisi pasien duduk, karena pada posisi ini fosa aksilaris menghadap ke bawah sehingga mudah diperiksa dan akan lebih banyak kelenjar yang dapat dicapai. Lengan pasien pada sisi aksila yang akan diperiksa diletakkan pada lengan pemeriksa sisi yang sama, kemudian pemeriksa melakukan palpasi aksila tersebut dengan tangan kontralateral. Pada posisi ini yang dipalpasi adalah kelenjar getah bening mamaria eksterna di bagian anterior dan di tepi bawah m. pektoralis mayor, kelenjar getah bening subskapularis di posterior aksila, kelenjar getah bening sentral di pusat aksila, dan kelnjar getah bening apikal di ujung atas fossa aksilaris. Pada palpasi dinilai jumlah kelenjar, ukuran, konsistensi, terfiksir atrau tidak, adakah nyeri tekan atau tidak. Selain kelenjar getah bening aksila, juga hams diperiksa kelenjar getah bening supra dan infkiklavlkula. Ginekomastia. Ginekomastia adalah pembesaran payudara pada laki-laki, biasanya berhubungan dengan hipogonadisme, sirosis hati, obat-obatan (spironolakton, digoksin, estrogen), tirotoksikosis, keganasan (bronkogenik, adrenal, testes). Pada palpasi, ginekomastia teraba sebagai massa jaringan di bawah puting dan areola payudara.



PUNGGUNG DAN PINGGANG



Gambar 12. Palpasi payudara



Gambar 13. Palpas1 puting susu



Pemeriksaan punggung dan pinggang hams dilakukan bila ditemukan adanya nyeri radikuler, deformitas tengkuk, punggung dan pinggang, nyeri di sekitar vertebra, gangguan miksi dan defekasi, serta kelemahan lengan dan tungkai. Pemeriksaan punggung dan pinggang terdiri dari inspepsi, palpasi, gerakan dan refleks-refleks ekstremitas. Pada inspeksi, perhatikan sikap pasien, cara berjalan, posisi bahu, punggung, pinggang, lipatan gluteal dan lengkung vertebra. Pada palpasi, rabalah otot-otot paraspinal, prosesus spinosus, sudut ileo-lumbal, sendi sakro-iliakal dan cekungan pangkal paha. Paad pasien dengan dugaan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



48



DASAR-DASAR ILMUPENYAKITDALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



peradangan ginjal, dapat dilakukan pukulan yang hati-hati di sudut kostovertebral, bila pasien merasa nyeri (nyeri ketok kostovertebral) menunjukkan adanya peradangan ginjal. Kemudian lakukan gerak aktif dan pasif tulang belakang yang meliputi fleksi ke anterior, ekstensi dan laterofleksi. Pada pasien ankolisong spondilitis, akan didapatkan kekakuan tyulang belakang yang dapat dinilai dengan melakukan tes Schober, yaitu dengan cara menentukan 2 titik yang berjarak 10 cm pada pinggang pasien di garis tengah (di atas vertebra lumbal), kemudian pasien disruh membungkuk semaksimal mungkin, dalam keadaan normal kedua titik tersebut akan menjauh 5 cm sehingga jaraknya menjadi 15 cm. Bila terdapat kekakuan tulang belakang, maka pasien tidak dapat membungkuk secara maksimal dan jarak kedua titik tersebut tidak akan mencapai perpanjangan 5 cm; dikatakan tes Schober positif: Sendi sakroiliakal juga hams diperiksa, karena pada ankilosing spondilitis sering disertai adanya sakrolliitis. Pemeriksaan sendi ini adalah dengan cara menekan kedua sisi pelvis ke bawah dalam posisi pasien berbaring telentang, bila timbul nyeri di bokong menunjukkan adanya sakroiliitis. Selanjutnya, untuk mempelajari pemeriksaan tulang belakang secara rinci, silahkan membaca Bab Pemeriksaan Reumatologi.



Gambar 14. Deformitas tulang belakang



Beberapa Kelainan Tulang Belakang



Tortikolis, yaitu kepala dan leher berdeviasi dan berputar ke satu sisi secara menetap, Kaku kuduk, yaitu leher kaku, tidak dapat ditekuk ke depan, ke belakang maupun ke samping, didapatkan pada pasien dengangan perangsangan meningeal, misalnya meningitis, peradrahan subaraknoid, Kifosis, yaitu lengkung tulang belakang ke arah belakang; lordosis, yaitu lengkung tulang belakang ke arah depan; dan skoliosis, yaitu lengkung tulang belakang ke arah samping, Gibbus, yaitu penonjolan tulang belakang karena korpus vertebra hancur, didapatkan pada pasien spondilitis tuberkulosis. Bila penonjolan tersebut runcing disebut gibbus angularis, sedangkan bila tidak bersudut disebut gibbus arkuatus. Opistotonus, yaitu kontraksi otot-otot erektor trunci sehingga vertebra mengalami hiperlordosis (melekuk ke depan); keadaan ini didapatkan pada pasien tetanus, Spina bifida, yaitu kelainan kongenital yang mengakibatkan arkus vertebra tidak terbentuk. Bila disertai penonjolan lunak (berisi meningen dan likuor serebrospinal), maka disebut spina bijda sistika, sedangkan bila tidak disertai penonjolan disebut spina blfida okulta.



Gambar 15. Tes schober



EKSTREMITAS Otot



Perhatikan bentuk otot, apakah eutroj? (normal), hipertroj? (membesar), atau hipotroj?/atroj?(mengecil). Tonus otot juga harus diperiksa sdecara pasif, yaitu dengan cara merngangkat lengan atau tungkai pasien, kemudian dijatuhkan. Pada keadaan hipotonus, anggota gerak tadi akan jatuh dengan cepat sekali, seolah tanpa tahanan. Tonus otot yang tinggi disebut hipertonus (spastisitas). Spastisitas dapat diperiksa dengan cara memfleksikan atau mengekstensikan lengan atau tungkai, akan terasa suatu tahanan yang bila dilawan terus akan menghilang dan disebut fenomena pisau lipat. Selain spastisitas, juga terdapat rigiditas dimana pada pemeriksaan seperti spastisitas akan terasa tersendat-sendat dan disebut fenomena roda bergerigi.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



49



PENIEW(SAAN FISIS UMUM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pemeriksaan otot yang lain adalah pemeriksaan kekuatan otot. Ada 5 tingkatan kekuatan otot, yaitu : Derajat 5 : kekuatan normal, dapat melawan tahanan yang diberikan pemeriksa berulang-ulang, Derajat 4 : masih dapat melawan tahanan yang ringan, Derajat 3 : hanya dapat melawan gaya berat, Derajat 2 : otot hanya dapat digerakkan bila tidak ada gaya berat, Derajat 1 : kontraksi minimal, hanya dapat dirasakan dengan palpasi,tidak menimbulkan gerakan, Derajat 0



: tidak ada kontraksi sama sekali Gambar 16. Tes jari-hidung-jari



Sendi Semua sendi pada ekstremitas harus diperiksa secara inspeksi, palpasi dan lingkup geraknya, termasuk sendi bahu, siku, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, interfalang proksimal, interfalang distal, panggul, lutut, pergelangan kaki, metatarso falangeal. Untuk mempelajari peme-riksaan sendi secara rinci, silahkan membaca Bab Pemeriksaan Reumatologi. Cara berdiri. Perhatikan cara berdiri pasien secara keseluruhan, adakah kelainan bentuk badan, asimetri atau deformitas. Pada posisi berdiri juga dapat dilakukan tes keseimbangan, yaitu tes Romberg, dengan cara pasien disuruh berdiri dengan kedua kaki rapat, kemudian disuruh menutup mata; bila pasien jatuh, maka dikatakan tes Romberg positifi Cara berjalan. Pasien disuruh berjalan pada garis lurus, mula-mula dengan mata terbuka, kemudian dengan mata tertutup. Langkuh avam, yaitu berjalan dengan mengangkat kaki setinggi mungkin supaya jari-jari kaki yang masih tertinggal menmyentuh tanah dapat terangkat, kemudian padawaktu kaki dijatuhkan ke tanah, jari-jari kaki akan lebih dulu menyentuh tanah; kelainan ini terdapat pada pasien polineuritis. Langkah muhuk, yaitu pasien berjalan dengan kedua kaki yang terpisah jauh (wide basedgait), dan bila disuruh berjalan lurus, pasien akan terhuyung jatuh ke satu sisi; keadaan ini terdapat pada pasien ataksia serebeler. Langkah menggeser, yaitu pasien berjalan dengan langkah pendek dan kaki menyeret tanah, hampir-hampir tak pemah terangkat; bila langkah makin cepat dan pendek, pasien cenderung terjatuh ke depan (propulsion) atau ke bellakang (retropulsion);keadaan ini terdapat pada pasien Parkinsonisme. Langkah spastik, yaitu pasien berjalan dengan cara melempar tungkainya keluar sehingga membentuk setengah lingkaran dan jari tetap menyentuh tanah dengan lengan serta tangan dan jari-jari ipsilateral dalam keadaan fleksi; keadaan ini terdapat pada pasien paralisis spastik, biasanya akibat strok. Berjalan dengan mengangkat pinggul, terdapat pada pasien poliomielitis.



I Gambar 17. Tes turnit-lutut



Gerakan spontan abnormal. Tremor;yaitu gerak involunter bolak-balik pada anggota tubuh, sehingga tampak seperti gemetar. Pada pasien Parkinsonisme, tremor ini kasar sehingga ibu jari bergerak-gerak seperti gerakan menghitung uang. Biasanya tremor tampak waktu istorahat dan hilang waktu bekerja. Ateto.~is,yaitu gerakan onvolunter pada otot lurik yang terjadi pada bagian distal dan terjadi secara perlahan-lahan. Khorea, yaitu gerakan involunter yang tidak teratur, tanpa tujuan, asimetrik, sekonyong-konyong, cepat dan sebentar. Balismus, yaitu gerakan involunter yang sangat kasar, sebentar, berulang-ulang, dan kuat sehingga anggota tubuh seakan-akan berputar-putar tidak teratur. Spasme, yaitu ketegangan otot yang menyebabkan pergerakan yang terbatas. Tes koordinasi gerak. Tes,jari-hidung,jari, yaitu pasien dengan lengan dan tangan ekstensi penuh, kemudian diminta menunjuk hidungnya sendi dan jari pemeriksa secara bergantian; kemudian pemeriksa memindahkankan posisi jarinya ke berbagai tempat dan pasien diminta melakukan gerakan menunjuk jari-hidung-jari berulangulang dengan cepat, Tes jari hidung, yaitu pasien pada posisi lengan dan tangan ekstensi diminta menunjuk hidungnya berulangulang, mula-mula lambat kemudian makin cepat. Tespronasi-supinasi, yaitu pasien dalam posisi duduk, diminta meletakkan tangannya pada posisi pronasi di



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



bagian distal pahanya; kemudian disruh melakukan gerakan supinasi dan pronasi berlang-ulang dengan cepat. Tes tumit-lutut, yaitu pasien dalam posisi berbaring diminta meletakkan tumit kanan di lutut kiri, kemudian disuruh menggeser tumit kananya sepanjang tibia kiri ke arah dorsum pedis kiri berulang-ulang bergantian untuk kedua tungkai.



Refleks fisiologis. Refeks biseps, pasien dalam posisi duduk, lengan bawah pronasi rileks di atas baha, kemudian ibu jari pemeriksa menekan tendon biseps di atas fosa kubiti dan diketok, bila positif akan timbul fleksi lengan bawah. Refleks brakioradialis, pasien dalam posisi sama dengan di atas, lengan bawah pada posisi diantara pronasi dan supinasi, kemudian ujung distal radius, 5 cm proksimal pergelangan tangan diketok sambil mengamati dan merasakan adanya kontraksi. Yang mengakibatkan fleksi dan supinasi lengan bawah. Rejleks triseps, pasien pada posisi yang sama dengan di atas, kemudian dilakukan ketokan pada tendon triseps dari belakang, 5 cm di atas siku, amati adanya kontraksi triseps. Refleks lutut (refeks patela; Kniepessreflex, KPR), pasien dalam posisi duduk, tungkai bawah tergantung, atau pasien pada posisi tidur dengan posisi tungkai bawah rileks rileks di fleksikan; kemudian dilakukan ketokan pada tendon patela, bila positif akan tampak ekstensi tungkai bawah atau kontraksi kuadriseps femoris. Rtlfleks Achiles (Achillespeesreflex), pasien dalam posisi duduk dengan kaki dorsifleksi maksimal secara pasif, kemudian dilakukan ketokan pada tendon Achiles, bila positif akan tampak kontraksi m. gastroknemius dan gerakan plantarfleksi. Refleks kremaster, dilakukan pada posisi pasien telentang dengan paha sedikit abduksi, kemudian permukaan dalam paha di gores dengan benda tajam, bila posistif akan tampak kontraksi m. kremaster dan penarikan testes ke atas. Refleks patologis. Refleks Babinslr), dilakukan dengan cara menggoreskan telapak kaki dengan benda runcing mulai dari tumit menuju ke oangkal ibu jari kaki, bila positif akan terjadi dorsofleksi kaki dengan pemekaran jari-jari kaki. Refleks Chaddock, biIa bagian bawah maleolus lateralis digoreskan kearah depan, akan timbul tanda Babinsky. Refleks Oppenheim, tanda Babinsky akan ditimbulkan dengan cara mengurut permukan kulit di atas tibia dari lutut ke bawah. Refleks Gordon, tanda Babinsky ditimbulkan dengan cara menekan m. gastroknemius. Refleks Schaeffer, tanda Babinsky ditimbulkan dengan cara memijit tendon Achiles. Refleks Rossolimo, yaitu bila bagian basis telapak jarijari kaki diketok, maka bila positif akan timbul fleksijari-jari kakl.



Rejleks Mendel-Bechterew, sama dengan refleks Rossolimo, tapi ditimbulkan dengan cara mengetok bagian dorsal basis jari-jari kaki. Refleks Hofiann-Tromner: bila kuku jari telunjuk atau jari tengah dipetik, maka bila postif akan terlihat gerakan mencengkeram. Rejleks Leri, pergelangan tangan difleksikan maksimal, dalam keadaan normal siku akan fleksi, tetapi bila refleks ini positif, maka fleksi siku tidak akan terjadi. Refleks Mayer, seperti refleks Leri, tetapi ditimbulkan dengan cara melakukan hiperhiperfleksi maksimal sendi metakarpofalangeal jari tengah. Klonzis, dlperiksa dalam posisi tungkai pasien rileks, kemudian pemeriksa menyentak kaki ke arah dorsofleksi tiba-tiba, bila positif akan timbul gerakan plantar fleksi kaki tersebut berulang-ualang. Selain itu dapat juga dilakukan dengan mendorong patela secara tiba-tiba ke bawah, bila positif akan timbul gerakan patela keatas yang bemlangulang.



-



Gambar 18. Tes rasa getar



Gambar 19. Tes rasa nyeri



Sensibilitas Hubungan manusia degan dunia luar terjadi melalui reseptor sensorik, yaitu : 1). Reseptoreksteroseptif, yang merenspons rangsang visual, pendengaran dan taktil; 2). Reseptor proprioseptif, yang menerima informasi mengenai posisi bagian tubuh atau tubuh didalam ruangan; 3). Reseptor interoseptif; mendeteksi kejadian di dalam tubuh. Pemeriksaan sensibilitas merupakan pemeriksaan yang tidak mudah dan sangat subyektif, bahkan kadang-kadang pasien meng-ia-kan apa yang disugestikan dokternya. Pada pemeriksaan sensibilitas eksteroseptif, diperiksa rasa raba, rasa nyeri dan rasa suhu. Untuk memeriksa rasa raba, digunakan sepoting kapas atau kain dengan ujung yang sekecil mungkin yang diusapkan pada seluruh tubuh pasien. Rasa nyeri, diperiksa dengan cara menusukkan jarum pada permukaan tubuh pasien. Pemeriksaan rasa suhu dilakukan dengan memeriksa rasa panas dan rasa dingin, yaitu dengan menggunakan tabung reaksi yang diisi air panas atau air dingin dan diusapkan ke seluruh tubuh pasien. Pemeriksaan rasa gerak dan rasa sikap dilakukan dengan menggerak-gerakan jari pasien secara pasif dan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



51



PEMERMSAANFlSIS UMUM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI menanyakan apakah pasien merasakan gerakan tersebut dan kemana arahnya. Pemeriksaan rasa getar dilakukan dengan cara menempelkan garpu tala yang telah digetarkan pada ibu jari kaki, maleolus lateral dan medial, tibia, spina iliaka a nterior superior (SIAS), sakrum, prosesus spinosus vertebra, sternum, klavikula, prosesus stiloideus radius dan ulna serta jari-jari tangan. Pemeriksaan rasa tekan (rasa raba kasar), dilakukan dengan cara menekan tendon atau kulit dengan jari atau benda tumpul. Tekanan tidak boleh terlalu kuat, karena akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan rasa nyeri dalam, dilakukan dengan cara menekan otot atau tendon dengan keras, atau menekan bola mata atau menekan testes.



Nyeri Nyeri adalah rasa dan pengalaman emosional yang tidak nyaman yang berhubungan atau potensial berhubungan dengan kerusakan jaringan seperti kerusakan jaringan. Nyeri merupakan sensasi dan reaksi terhadap sensasi tersebut. Nyeri dapat mengakibatkan impairment dan disabilitas.Impairment adalah abnormalitasatau hilangnya struktur atau fungsi anatomik, fisiologik maupun psikologik. Sedangkan disabilitas adalah hasil dari impairment, yaitu keterbatasan atau gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas yang normal. Persepsi yang diakibatkan oleh rangsangan yang potensial dapat menyebabkan kerusakan jaringan disebut nosisepsi, yang merupakan tahap awal proses timbulnya nyeri. Reseptor yang dapat membedakan rangsang noksius dan non-noksius disebut nosiseptor. Pada manusia, nosiseptor meruipakan terminal yang tidak tediferensiasi serabut a-delta dan serabut c. Serabut a-delta merupakan serabut saraf yang dilapisi oleh mielin yang tipis dan berperan menerima rangsang mekanik dengan intensitas menyakitkan, dan disebut juga high-threshold mechanoreceptors. Sedangkan serabut c merupakan serabut yang tidak dilapisi mielin. Intensitas rangsang terendah yang menimbulkan persepsi nyeri, disebut ambang nyeri. Ambang nyeri biasanya bersifat tetap, misalnya rangsang panas lebih dari 50°C akan menyebabkan nyeri. Berbeda dengan ambang nyeri, toleransi nyeri adalah tingkat nyeri tertinggi yang dapat diterima oleh seseorang. Toleransi nyeri berbeda-beda antara satu individu dengan individu lain dan dapat dipengaruhi oleh pengobatan. Dalam praktek sehari-hari, toleransi nyeri lebih penting dibandingkan dengan ambang nyeri. Alodinia adalah nyeri yang dirasakan oleh pasien akibat rangsang non-noksius yang pada orang normal, tidak menimbulkan nyeri. Nyeri ini biasanya didapatkan pada pasien dengan berbagai nyeri neuropatik, misalnya



neuralgia pasca herpetik, sindrom nyeri regional kronik dan neuropati perifer lainnya.



Hiperpatia adalah nyeri yang berlebihan, yang ditimbulkan oleh rangsang berulang. Kulit pada area hiperpatia biasanya tidak sensitif terhadap rangsang yang ringan, tetapi memberikan respons yang berlebihan pada rangsang multipel. Kadang-kadang, hiperpatia disebutjuga disestesi sumasi. Disestesi adalah adalah parestesi yang nyeri. Keadaan ini dapat ditemukan pada neuropati perifer alkoholik, atau neuropati diabetik di tungkai. Disestesi akibat kompresi nervus femoralis lateralis akan dirasakan pada sisi lateral tungkai dan disebut neueralgia parestetika. Parestesi adalah rasa seperti tertusukjarum atau titik-titik yang dapat timbul spontan atau dicetuskan, misalnya ketika saraf tungkai tertekan. Parestesi tidak selalu disertai nyeri; bila disertai nyeri maka disebut disestesi. Hipoestesia adalah turunnya sensitivitas terhadap rangsang nyeri. Area hipoestesia dapat ditimbulkan dengan infiltrasi anestesi lokal. Analgesia adalah hilangnya sensasi nyeri pada rangsangan nyeri yang normal. Secara konsep, analgesia merupakan kebalikan dari alodinia. Anestesia dolorosa, yaitu nyeri yang timbul di daerah yang hipoestesi atau daerah yang didesensitisasi. Neuralgia yaitu nyeri yang timbul di sepanjang distribusi suatu persarafan. Neuralgia yang timbul di saraf skiatika atau radiks S 1, disebut Skiatika. Neuralgia yang tersering adalah neuralgia trigeminal. Nyeri tabetik, yaitu salah satu bentuk nyeri neuropatik yang timbul sebagai komplikasi dari sifilis. Nyeri sentral, yaitu nyeri yang diduga berasal dari otak atau medula spinalis, misalnya pada pasien stroke atau pasca trauma spinal. Nyeri terasa seperti terbakar dan lokasinya sulit dideskripsikan. Nyeri pindah (referredpain) adalah nyeri yangdirasakan ditempat lain, bukan ditempat kerusakan jaringan yang menyebabkan nyeri. Misalnya nyeri pada infark miokard yang dirasakan di bahu kiri atau nyeri akibat kolesistitis yang dirasakan di bahu kanan. Nyeri fantom yaitu nyeri yang dirasakan paada bagian tubuh yang baru diamputasi; pasien merasakan seolaholah bagian yang diamputasi itu masih ada. Substansi algogenik adalah substansi yang dilepaskan oleh jaringan yang rusak atau dapat juga diinjeksi subkutaneus dari luar, yang dapat mengaktifkan nosiseptor, misalnya histamin, serotonin, bradikinin, substansi-P, K', Prostaglandin. Serotonin, histamin, K', H', dan prostaglandin terdapat di jaringan; kinin berada



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



D A M - D A M ILMU PENYAKIT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



cakar, biasanya disebabkan pemotongan kuku yang tidak teratur.



Anonikia, yaitu tidak tumbuhnya kuku, biasanya berhubungan dengan kelainan kongenital, iktiosis, infeksi berat dan fenomena Raynaud. Onikoatrofi, yaitu kuku menjadi tipis dan lebih kecil; biasanya berhubungan dengan kelainan vaskular, epidermolisis bulosa dan liken planus.



Gambar 20. Tes rasa diskriminasi



di plasma; substansi-P berada di terminal saraf aferen primer; histamin berada didalam granul-granul sel mast, basofil dan trombosit Nyeri akut, yaitu nyeri yang timbul segera setelah rangsangan dan hilang setelah penyembuhan. Nyeri kronik, yaitu nyeri yang menetap selama lebih dari 3 bulan walaupun proses penyembuhan sudah selesai. Rasa Somestesia Luhur



Rasa Somestesia luhur adalah perasaan yang mempunyai sifat diskriminatif dan bersifat tiga dimensi. Termasuk kelompok ini adalah rasa diskriminasi, barognosia, stet-eognosia, topognosia, frafeestesia. Rasa diskriminasi,adalah kemampuan untuk membedakan 2 titik yang berbeda pada tubuh. Barognosia adalah kemampuan untuk mengenal berat suatu benda yang dipegang dan membedakan berat suatu benda dengan benda yang lain. Stereognosia adalah kemempuan untuk mengenal bentuk benda dengan jalan meraba tanpa melihat. Topognosia adalah kemampuan untuk melokalisasi tempat dengan cara meraba. Grafestesia adalah kemampuan untuk mengenal huruf atau angka yang dituliskan pada kulit dengan mata tertutup. Kelainan Kuku



Jari tabuh (clubbing.finger.s, Hippocratic ,fingers), ujung jari mengembung termasuk kuku yang berbentuk konveks; terdapat pada penyakit paru kronik, kelainan jantung kongenital. Koilonikia (spoon nails), kuku tipis dan cembung dengan tepi yang mininggi; terdapat pada gangguan metabolisme besi, sindrom Plummer Vinsen. Onikauksis, kuku menebal tanpa kelainan bentuk; terdapat pada akromegali, psoriasis. Onikogrifosis, kuku berubah bentuk, menebal seperti



Onikolisis, yaitu terpisahnya kuku dari dasarnya, terutama bagian distal dan lateral; biasanya berhubungan dengan infeksi jamur, trauma atau zat kimia. Bila disebabkan oleh infeksi Pseudomonas aeruginosa, maka warna kuku akan berubah menjadi hijau. Pakionikia, yaitu penebalan lempeng kuku; biasanya berhubungan dengan hiperkeratosis dasar kuku. Kuku psoriasis, yaitu kelainan kuku pada pasien psoriasis yang ditandai oleh warna kuku yang menjadi putih (leukonikia) dan adanya terowongan dan cekungan transversal (Beau i line) yang berjalan dari lunula ke arah distal sesuai dengan pertumbuhan kuku. Paronikia, yaitu reaksi inflamasi yang meliputi lipatan kulit disekitar kuku; biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri atau jamur. Onikomikosis, yaitu infeksi jamur pada kuku.



REFERENSI Bates 0 , Bikcley LS, Hoekelman RA. A Guide to Physical examination and History Taking. 6th ed. JB Lippincott. Philadelphia. 1995: 123-30. Budimulja U. Morfologi dan Cara membuat diagnosis. Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aisah S (eds). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 4th ed. Balai Penerbit FKUI, 2005:34-42. Delph MH, Manning RT. Major's physical diagnosis. An Introduction to Clinical Process. 9th ed. WB Saunders Co, Philadelphia 1981. Djuanda S. Hubungan kelainan kulit dan penyakit sistemik. Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aisah S (eds). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 4th ed. Balai Penerbit FKUI, 2005:318-26. Epstein 0 , Perkin GD, Cookson J , de Bono DP. Clinical examination. 3rd ed. Mosby, Edinburg, 2003. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Ed 3 cet 2. Balai Penerbit FKUI, 2005: 14-54. Lamsey JSP, Bouloux PMG. Clinical examination of the patient. 1st ed. Buttorsworsh, London, 1994. Lumbantobing SM. Neurologi Klinik. Pemeriksaan Fisis dan Mental. Cet 7. Balai Penerbit FKUI, 2005. Talley N, O'Connor S. Pocket Clinical Examination. 2nd ed. Elsevier Australia, NSW, 2004. Ramli M. Kanker Payudara. Dalam: Reksoprodjo S et al (eds). Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah FKUIIRSCM, Jakarta, 1995:342-63. Soepardiman L. Kelainan rambut. Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aisah S (eds). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 4th ed. Balai Penerbit FKUI, 2005:301-11.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Soepardiman L. Kelainan kuku. Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aisah S (eds). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 4th ed. Balai Penerbit FKUI, 2005:312-7. Supardi EA. Pemeriksaan telinga, hidung dan tenggorok. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N (eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Tenga, Hidung, Tenggorok, Kepala, Leher. 5th ed. Balai Penerbit FKUI, 2004: 1-8. Supartondo, Sulaiman A. Abdurrachman N, Hadiarto, Hendarwanto. Perut. Dalam: Sukaton U editor. Petunjuk tentang riwayat penyakit dan pemeriksaan jasmani. Jakarta. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Cetakan ke 2. 1986. Wahidiyat I, Matondang C, Sastroasmoro S. Diagnosis Fisis pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1989.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PEMERIKSAAN FISIS DADA DAN PARU Cleopas Martin Rumende



PENDAHULUAN Walaupun teknologi kedokteran sudah sangat maju, namun anamnesis yang baik dan pemeriksaan fisis yang sistematis masih sangat diperlukan dalam mendiagnosis kelainan sistem respirasi. Banyak gangguan sistem pernapasan yang dapat ditegakkan diagnosisnya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang baik serta pemeriksaan foto toraks dan pemeriksaan fungsi ventilasi yang sederhana. Keluhan yang sering didapatkan pada penyakit paru dan saluran napas: batuk, banyak dahak, batuk darah, sakit dada, sesak napas, napas berbunyi, keluhan umum lainnya seperti demam, keringat malam, berat badan menurun. Semua keluhan tersebut dapat juga terjadi walaupun tidak ada gangguan pada sistem pernapasan misalnya pada infark miokard akut dengan komplikasi edema paru didapatkan keluhan sakit dada, sesak napas dan napas berbunyi. Pada diabetes dengan komplikasi ketoasidosis didapatkan adanya sesak napas dan berat badan yang menurun. Beberapa penyakit saluran napas (misalnya pneumonia, asma, PPOK dan bronkiektasis) dapat menimbulkan gejala yang hampir sama yaitu batuk, berdahak dan sesak napas, namun masing-masing keluhan tersebut menunjukkan karakteriksitik yang berbeda. Karena itu tidaklah cukup bila hanya menanyakan adaltidaknya keluhan, dan setiap keluhan tersebut perlu diuraikan secara rinci mengenai awal mula keluhan, lamanya, progresivitas, faktor yang memperberatlmemperingan serta hubungannya dengan keluhan-keluhan lain.



BATUK Batuk bisa merupakan suatu keadaan yang normal atau abnormal. Dalam keadaan abnormal penyebab tersering



adalah infeksi virus yang umumnya bersifat akut dan selflimiting. Batuk berfungsi untuk mengeluarkan sekret dan partikel-partikel pada faring dan saluran napas. Batuk biasanya merupakan suatu refleks sehingga bersifat involunter, namun dapatjuga bersifat volunter. Batuk yang involunter merupakan gerakan refleks yang dicetuskan karena adanya rangsangan pada reseptor sensorik mulai dari farings hingga alveoli. Bunyi suara batuk dan keadaan-keadaan yang menyertainya dapat membantu dalam menegakkan diagnosis. Batuk ringan yang bersifat non-explosive disertai dengan suara parau dapat terjadi pada pasien dengan kelemahan otot-otot pernapasan, kanker paru dan aneurisma aorta torakalis yang mengenai nervus rekuren laringeus kiri sehingga terjadi paralisis pita suara. Pasien dengan obstruksi saluran napas yang berat (asma dan PPOK) sering mengalami batuk yang berkepanjangan disertai dengan napas berbunyi, dan kadang-kadang bisa sampai sinkope akibat adanya peningkatan tekanan intratorakal yang menetap sehingga menyebabkan gangguan aliran balik vena dan penurunnan curah jantung. Batuk akibat adanya intlamasj, infeksi dan tumor pada laring umumnya bersifat keras, membentak dan nyeri serta dapat disertai dengan suara parau dan stridor. Batuk yang disetai dengan dahak yang banyak namun sulit untuk dikeluarkan umumnya didapatkan pada bronkiektasis. Batuk dengan dahak yang persisten tiap pagi hari pada seorang perokok merupakan keluhan khas bronkitis kronik. Batuk kering (non-produktif) disertai nyeri dada daerah sternum dapat terjadi akibat trakeitis. Batuk pada malam hari yang menyebabkan gangguan tidur dapat terjadi akibat asma. Batuk dapat disebabkan oleh adanya occult gastrooesophageal reflux dan sinusitis kronik yang disertai dengan post-nasal drip dan umumnya timbul pada siang hari Penggunaan ACE inhibitor untuk pengobatan hipertensi dan gaga1 jantung dapat menyebabkan batuk



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



55



PEMERlKSAAN FISIS DADA DAN PARU



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI kering khususnya pada perempuan. Keadaan ini disebabkan karena adanya bradikinin dan substance-P yang normalnya didegradasi oleh angiotensin-converting enzyme. Batuk yang timbul pada saat dan setelah menelan cairan menunjukan adanya gangguan neuromuskular orofaring. Paparan dengan debu dan asap di lingkungan kerja dapat menyebabkan batuk kronik yang berkurang selama hari libur dan akhir pekan.



BERDAHAK



sel eritrosit Sputum yang berbusa dengan bercak darah yang difis dapat terjadi pada edema paru akut (Gambar 1). Bau sputum. Sputum yang berbau busuk menunjukan adanya infeksi oleh kuman-kuman anaerob clan dapat terjadi pada bronkiektasis dengan infeksi sekunder, abses paru dan empiema.



Solid material. Pada asma dan allergic broncho pulmonary aspergillosis dapat terjadi akumulasi sekret yang kental pada saluran napas. Bila sekret ini dibatukkan keluar akan tampak struktur yang menyerupai cacing yang merupakan cetakan bronkus.



Ada 4 jenis sputum yang mempunyai karakteristik yang berbeda : 1. Serous : - Jernih dan encer, pada edema paru akut. - Berbusa, kemerahan, pada alveolar cell cancer. 2. Mukoid : - Jernih keabu-abuan, pada bronkitis kronik. - Putih kental, pada asma. 3. Purulen : - Kuning, pada pneumonia, - Kehijauan, pada bronkiektasis, abses paru. 4. Rusty (Blood-stained): Kuning tua/coklat/merahkecoklatan seperti warna karat, pada Pneumococcal pneumonia dan edema paru. Hal-ha1 yang perlu ditanyakan lebih lanjut mengenai sputum adalah: . Jumlah. Produksi sputum purulen yang banyak dan dipengaruhi posisi tubuh khas untuk bronkiektasis. Produksi sputum purulen dalam jumlah besar yang mendadak pada suatu episode menunjukan adanya ruptur abses paru atau empiema ke dalam bronkus. Sputum encer dan banyak yang disertai dengan bercak kemerahan pada pasien dengan sesak napas mendadak menunjukan adanya edema paru. Sputum yang encer dan banyak bisa juga didapatkan pada alveolar cell cancer.



Warna. Warna sputum dapat membantu dalam menentukan kemungkinan penyebab penyakit. Sputum yang jernih atau mukoid selain didapatkan pada PPOK (tanpa infeksi) bisa juga ditemukan akibat adanya inhalasi zat iritan. Sputum kekuningan bisa didapatkan pada infeksi saluran napas bawah akut (karena adanya neutrofil aktif), dan juga pada asma (karena mengandung eosinofil). Sputum kehijauan yang mengandung neutrofil yang mati didapatkan pada bronkiektasis dan dapat membentuk 3 lapisan yang khas yaitu lapisan atas yang mukoid, lapisan tengah yang encer dan lapisan bawah yang purulen Sputum purulen biasanya benvarna kehijauan karena adanya sel-sel neutrofil yang lisis serta produk hasil katabolismenya akibat adanya enzim green-pigmented enzyme verdoperoxidase. Padapneumococcal pneumonia stadium awal dapat ditemukan sputum yang benvarana coklat kemerahan akibat adanya inflamasi parenkim paru yang melalui fase hepatisasi merah. Rusry (Blood-stainedsputum) menunjukan adanya hemoglobin/



I



1



Gambar 1. Berbagai macarn warna sputum. (A) Putih.(B) Kuning.(C) Hijau.(D) Rusty (merah kecoklatan).



BATUK DARAH



Batuk darah (hemoptisis) terjadi karena adanya darah yang dikeluarkan pada saat batuk yang berasal dari saluran napas bagian bawah. Batuk darah dapat bervariasi jumlahnya mulai dari blood-streakedsputum hingga batuk darah masif. Hemoptisis dengan sputum purulen dapat terjadi pada bronkiektasis terinfeksi. Batuk darah masif yang potensial fatal sering didapatkan pada bronkiektasis, tuberkulosis dan kanker paru.



SAKlT DADA



Sakit dada dapat berasal dari dinding dada, pleura dan organ-organ mediastinum. Paru mendapatkan persarafan otonom secara eksklusif sehingga tidak dapat menjadi sumber nyeri dada. Nyeri dada hams diuraikan secara rinci yang mencakup lokasi nyeri serta penyebarannya, awal mula keluhan, derajat nyeri, faktor yang memperberatl meringankan misalnya efek terhadap pernapasan dan pergerakan. Sakit dada dapat berasal dari nyeri dinding dada, nyeri pleura dan nyeri mediastinum.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DASAR-DASARILMU PENYAKIT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Nyeri Pleura Karakteristik nyeri pleura yaitu bersifat tajam, menusuk dan semakin berat bila menarik napashatuk. Iritasi pleura parietal pada daerah 6 iga bagian atas dirasakan sebagai nyeri yang terlokalisir, sedangkan iritasi pada pleura parietal yang meliputi diafragma yang dipersarafi oleh nervus prenikus dirasakan sebagai nyeri yang menjalar ke leher atau puncak bahu. Enam nervus interkostalisbagian bawah mempersarafi pleura parietal bagian bawah dan lapisan luar diafragama sehingga nyeri pada daerah ini dapat menjalar ke abdomen bagian atas.



Nyeri Dinding Dada Nyeri pada dinding dada dapat terjadi akibat adanya gangguan pada saluran napas maupun kelainan pada muskuloskeletal. Tidak jarang pasien dengan batuk atau sesak napas yang kronik (pasien asma dan PPOK) mengalami rasa nyeri yang difus. Ada beberapa gejala yang dapat membedakan antara nyeri pleura dan nyeri dada. Nyeri yang timbul mendadak dan terlokalisir setelah mengalami batuk-batuk yang hebat atau trauma langsung menunjukan adanya injuri pada otot-otot interkostal ataupun fraktur iga. Herpes zoster dan kompresi pada radiks nervus interkostalis dapat menyebabkan nyeri dada pada daerah yang sesuai dengan distribusi dermatom. Nyeri dada akibat kanker paru, mesotelioma dan metastase pada tulang umumnya bersifat tumpul, iritatif, tidak berhubungan dengan pernapasan dan semakin memberat secara progresif. Nyeri akibat Pancoast tumor pada apeks paru akibat erosi pada iga 1 sering kali menjalar ke lengan bagian medial akibat adanya invasi pada radiks pleksus brakhialis bagaian bawah. Nyeri Mediastinurn Nyeri mediastinum mempunyai ciri-ciri yaitu bersifat sentral/retrostrenal serta tidak berkaitan dengan pernapasan ataupun batuk. Namun demikian nyeri yang berasal dari trakea dan bronkus akibat infeksi maupun iritasi oleh debu-debu iritan dapat dirasakan sebagai rasa panas pada daerah retrosternal, yang semakin berat bila pasien batuk. Nyeri tumpul yang bersifat progresif sehingga mengganggu tidur dapat terjadi akibat adanya keganasan pada kelenjar getah bening mediastinum atau akibat timoma. Tromboemboli paru masif yang menyebabkan peningkatan tekanan ventrikel kanan dapat menyebabkan nyeri sentral yang menyerupai iskemik miokard.



SESAK NAPAS Orang yang sehat dalam keadaan normal tidak menyadari akan pernapasannya. Sesak napas (dispnea) merupakan keluhan subyektif yang timbul bila ada perasaan tidak



nyaman maupun gangguanlkesulitan lainnya saat bernapas yang tidak sebanding dengan tingkat aktivitas. Rasa sesak napas ini kadang-kadang diutarakan pasien sebagai kesulitan untuk mendapatkan udara segar, rasa terengah-engah atau kelelahan. Saat anamnesis mengenai sesak napas ini harus ditanyakan mengenai awal mula keluhan, lamanya, progresivitas, variabilitas, derajat beratnya, faktor-faktor yang memperberatlmemperingan dan keluhan yang berkaitan lainnya. Tentukan apakah sesak napas terjadi secara mendadak dan semakin memberat dalam waktu beberapa menit (misalnya akibat pneumotoraks ventil, emboli paru masif, asma, aspirasi benda asing), atau terjadi secara bertahap dan semakin memberat secara progresif dalam waktu beberapa jam atau hari (akibat pneumonia, asma, PPOK eksaserbsi akut) atau bahkan memberat dalam waktu beberapa minggu, bulan atau tahun (akibat efusi pleura, PPOK, TB paru ,anemia, gangguan otot-otot pernapasan) Sesak napas akibat gangguan psikis seringkali timbul mendadak dimana pasien mengeluh tidak dapat menghirup cukup udara, sehingga hams menarik napas dalam. Keluhan sesak ini dapat disertai dengan keluhan lainnya seperti pusing, kesemutan pada jari-jari dan sekitar mulut, dada rasa penuh dan walaupunjarang dapat disertai sinkop. Keadaan atau aktivitas apa yang dapat menimbulkan sesak perlu diketahui, karena dapat memberi petunjuk akan kemungkinan penyebabnya. Sesak saat berbaring (ortopnea) seringkali didapatkanpada pasien dengan gagal jantung kiri dan pasien dengan kelelahan otot-otot pernapasan akibat keterlibatan diafi-agma.Namun demikian ortopnea ini dapat juga terjadi pada semua peyakit paru yang berat. Sesak yang menyebabkan pasien terbangun pada malam hari merupakan gejala khas asma dan gagal jantung kiri. Pasien asma umumya terbangun di antarajam 03.00-05.00 dan disertai dengan mengi. Sesak napas yang berkurang pada setiap akhir pekan atau pada saat hari libur menunjukan kemungkinan adanya asma akibat kerja. Pada asma perlu ditanyakan adanya paparan dengan alergen atau iritan yang kemungkinan sebagai pencetus sesak napas. Derajat beratnya sesak.napas harus ditentukan dengan mengkaitkannya dengan aktivitas sehari-hari.



NAPAS BERBUNYI (WHEEZING) Wheezing adalah adalah bunyi siulan yang bernada tinggi yang terjadi akibat aliran udara yang melalui saluran napas yang sempit. Umumnya wheezing terjadi pada saat ekspirasi, namun pada keadaan yang berat dapat terdengar baik pada ekspirasi maupun inspirasi. Pasien sering menggambarkan wheezing sebagai bunyi yang mendesir akibat adanya sekret pada saluran napas atas. Wheezing yang timbul pada saat melakukan aktivitas merupakan gejala yang sering didapatkan pada pasien asma dan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



57



PEMERIKSAAN FISIS DADA DAN PARU



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI PPOK. Wheezing yang menyebabkan pasien terbangun pada malam hari didapatkan pada asma sedangkan wheezing yang timbul pada saat bangun pagi didapatkan pada PPOK.



Agar dapat melakukan pemeriksaan fisis paru dengan baik perlu dipelajari mengenai anatomi dinding dada dan paru (Gambar 2).



I



Manubriurn sterni



Lekuk supra strenal



I



Processus Xyphoideus



1



Sela iga 2



I'



Angulus inferior scapula



Rawan iga 2 Costochondral junction



I



Angulus costae



Gambar 2. Anatorni dinding dada dan paru Gambar 3. Dinding dada bagian anterior (A) dan posterior ( B )



Menentukan Lokasi pada Dinding Dada Lokasi kelainan pada dada dapat ditentukan dalam 2 dimensi yaitu sepanjang aksis vertikal dan sepanjang lingkar dada. Penentuan lokasi bedasarkan aksis vertikal dilakukan dengan menghitung sela iga. Angulus sternalis Ludovici dapat digunakan sebagai pedoman dalam menghitung sela iga. Untuk mengidentifikasi angulus sternalis ini pertamatama letakkan jari pada suprasternal notch, kemudian gerakan jari ke kaudal kira-kira 5 cm untuk mendapatkan angulus tersebut yang merupakan penonjolan (sudut) yang dibentuk oleh manubrium sterni dan corpus sterni. Dengan menggerakan jari ke arah lateral akan didapatkan perlengketan iga ke 2 pada sternum. Selanjutnya dengan menggunakan 2 jari dapat dihitung sela iga satu persatu dengan arah oblique seperti tampak pada Gambar 3. Pada perempuan untuk menghitung sela iga maka payudara hams disingkirkan kearah lateral. Perhatikan bahwa tujuh rawan iga pertama melekat pada sternum seangkan rawan iga ke- 8 , 9 dan I0 melekat pada rawan iga yang berada di atasnya. Iga ke 11 dan 12 yang merupakan iga melayang bagian anteriornya tidak mengadakan perlekatan. Ujung rawan iga 1 1 biasanya dapat di raba pada daerah lateral, sedangkan ujung iga 12 pada daerah posterior. Untuk menentukan lokasi kelainan pada dada bagian posterior dapat dilakukan beberapa cara yaitu: I). Cara



yang umum dilakukan yaitu dengan menggunakan pedoman processus vertebrae prominens (penonjolan processus spinosus vertebrae cervical 7 ) . Dengan melakukan palpasi dapat dihitung processus yang ada di bawahnya khususnya pada tulang belakang yang lentur; 2). Untuk menentukan lokasi pada dada bagian posterior yaitu dengan menggunakan pedoman iga ke 12 sebagai titik awal penghitungan. Letakkan jari salah satu tangan pada tepi bawah iga 12, kemudian kearah kranial dihitung sela iga seperti tampak pada gambar 3. Cara ini khususnya dapat membantu menentukan lokasi kelainan pada daerah dada posterior bagian bawah; 3). Cara lain yaitu dengan menggunakan angulus inferior skapula (yang biasanya terletak pada igalsela iga 7) sebagai pedoman dalam penghitungan. Untuk menetukan lokasi disekitar lingkar dada digunakan beberapa garis vertikal seperti tampak pada Gambar 4 dan Gambar 5 yaitu: Garis midsternal: Garis vertikal yang melalui pertengahan sternum. Garis midklavikula: Garis vertikal yang melalui pertengahan klavikula Garis aksilaris anterior: Garis vertikal yang melalui lipat aksila anterior.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Garis midaksilaris: Garis vertikal yang melalui puncak aksila. Garis aksilarisposterior: Garis vertikal yang melalui lipat aksila posterior. Garis skapularis: Garis vertikal yang melalui angulus inferior skapula. Garis vertebralis (Midspinalis): Garis vertikal yang melalui processus spinalis vertebrae.



Gar~s rn~dsternalls



Gar~s rn~dklav~kula



I



Gans aks~lar~s anter~or



Teknik Perneriksaan Pemeriksaan dada dan paru bagian depan dilakukan pada pasien dengan posisi berbaring terlentang, sedangkan pemeriksaan dada dan paru belakang pada pasien dengan posisi duduk. Pada saat pasien duduk kedua lengannya menyilang pada dada sehingga kedua tangan dapat diletakkan pada masing-maisng bahu secara kontralateral. Dengan cara ini kedua skapula akan bergeser ke arah lateral sehingga dapat memperluas lapangan paru yang diperiksa. Pakaian pasien diatur sedemikian rupa sehingga seluruh dada dapat diperiksa. Pada perempuan pada saat memeriksa dada dan paru belakang maka dada bagian depan ditutup. Pada pasien dengan keadaan umum yang lemah bila perlu dibantu agar bisa didudukkan sehingga dada bagian posterior dapat diperiksa. Bila ha1 ini tidak memungkinkan maka pasien dimiringkan ke salah satu sisi, kemudian ke sisi yang lainnya. Sebelum melakukan pemeriksaan fisis paru maka dilakukan pengamatan awal untuk mengetahui untuk mengetahui adanya kelainan diluar dada yang mungkin berkaitan dengan penyakit paru. Selain itu juga diamati apakah ada suara-suara abnormal yang langsung terdengar tanpa bantuan stetoskop. Kelainan pada ekstremitas yang berhubungan dengan penyakit paru seperti: Jan tabuhlclubbing pada penyakit paru supuratif dan kanker paru (Gambar 6) Sianosis perifer (pada kuku jari tangan) menunjukkan hipoksemia Karat nikotin, pada perokok berat, Otot-otot tangan dan lengan yang mengecil karena penekanan nervus torakalis I oleh tumor di apeksparu (sindrom Pancoast).



Gar~saks~lar~s posterlor



Gar~saksllans rned~a Gars aks~lar~s anter~or



('3)



Gambar 4. Gar~s-gar~s vert~kaldl sepanlang dlndlng dada bag~ananter~or(A) dan Lateral (B)



Kelainan pada daerah kepala yang berkaitan dengan kelainn pada paru yaitu: Sindrom Horner: Ptosis, miosis, enoftalmus dan anhidrosis hemifasialis Sianosis pada ujung lidah akibat hipoksemia. Di samping melihat keadaan-keadaan pada Gambar 6, pemeriksaan hendaknya juga mendengar kelainan yang langsung dapat didengar tanpa bantuan alat pemeriksa, seperti:



Gar~sskapular~s Gar~svertebral~s



I Gambar 5. Dinding dada bagian posterior



I



Gambar 6. Jari tabuh



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PEMERIKSAAN HSlS DADA DAN PARU



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Suara mengi (wheezing), suara napas seperti musik yang terdengar selama fase inspirasi dan ekspirasi karena terjadinya penyempitan jalan udara, Stridor, suara napas yang mendengkur secara teratur. Terjadi karena adanya penyumbatan daerah laring. Stridor dapat berupa inspiratoar atau ekspiratoar. Yang terbanyak adalah stridor inspiratoar, misalnya pada tumor, peradangan pada trakea, atau benda asing di trakea, Suara serak (hoarseness), terjadi karena kelumpuhan pada saraf laring atau peradangan pita suara. Setelah melakukan pengamatan awal dilakukan pemeriksaan fisis paru yang terdiri dari inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.



Inspeksi. Inspeksi dilakukan untuk mengetahui adanya lesi pada dinding dada, kelainan bentuk dada, menilai frekuensi, sifat dan pola pernapasan. 1. Kelainan dinding dada. Kelainan-kelainan yang bisa didapatkan pada dinding dada yaitu parut bekas operasi, pelebaran vena-vena superfisial akibat bendungan vena, spider naevi, ginekomastia tumor, luka operasi, retraksi otot-otot interkostal dan lain-lain (Gambar 7). 2. Kelainan bentuk dada. Dada yang normal mempunyai diameter latero-lateral yang lebih besar dari diameter anteroposterior. Kelainan bentuk dada yang bisa didapatkan yaitu:



Dada paralitikum dengan ciri-ciri: Dada kecil, diameter sagital pendek. - Sela iga sempit, iga lebih miring, Angtrlus costae 90° - Terdapat pada pasien dengan bronkitis kronis, PPOK.



Kifosis: Kurvatura vertebra melengkung secara berlebihan kearah anterior. Kelainan ini akan terlihat jelas b'ila pemeriksaan dilakukan dari arah lateral pasien (Gambar8 A). Skoliosis: Kurvatura vertebra melengkung secara berlebihan ke arah lateral. Kelainan ini terlihat jelas pada pemeriksaan dari posterior (Gambar 8 B). Pectus excavatum: dada dengan tulang sternum yang mencekung ke dalam (Gambar 9A). Pectus carinaturn (pigeon chest atau dada burung); dada dengan tulang sternum menonjol ke depan (Gambar 9 B).



-7



(A) (6) Gambar 8. Kelainan dinding dada berupa kifosis (A) dan skoliosis (B)



-



--



(A) (B) Gambar 7. Lesi pada dinding dada bempa parut bekas operasi (A) dan pelebaran Vena-vena superfisial (B).



3. Frekuensi pernapasan. Frekuensi pernapasan normal 14-20 kali per menit. Pernapasan kurang dari 14 kali per menit disebut bradipnea, misalnya akibat pemakaian obat-obat narkotik, kelainan serebral. Pernapasan lebih dari 20 kali per menit disebut takipnea, misalnya pada pneumonia, anksietas, asidosis. 4. Jenis pernapasan: Torakal, misalnya pada pasien sakit tumor abdomen, peritonitis umum.



(A) (B) Gambar 9. Pectus excavaturn (A) dan Pectus carinaturn (B)



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DASAR-DASARILMU PENYAKIT D



M



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Abdominal misalnya pasien PPOK lanjut, Kombinasi (jenis pernapasan ini yang terbanyak). Pada perempuan sehat umumnya pernapasan torakal lebih dominan dan disebut torako-abdominal. Sedangkan pada laki-laki sehat, pernapasan abdominal lebih dominan dan disebut abdominotorakal. Keadaan ini disebabkan bentuk anatomi dada dan perut perempuan berbeda dari laki-laki. Perhatikan juga apakah terdapat pemakaian otototot bantu pernapasan misalnya pada pasicn tuberkulosis paru lanjut atau PPOK. Di samping itu adakah terlihat bagian dada yang tertinggal dala~n pernapasan dan bila ada, keadaan ini menunjukkan adanya gangguan pada daerah tersebut. Jenis pernapasan lain yaitu pursed lips breathing (pernapasan seperti menghembus sesuatu melalui mulut, didapatkan pada pasien PPOK) dan pemapasan cuping hidung, misalnya pada pasien pneumonia. 5. Pola Pernapasan Pernapasan normal: Irama pernapasan yang berlangsung secara teratur ditandai dengan adanya fase-fase inspirasi dan ekspirasi yang silih berganti. Pada gambar 10 dapat dilihat gambaran irama pernapasan yang normal dan abnormal. takipnea : napas cepat dan dangkal. Hiperpnea/hiperventilasi: napas cepat dan dalam. Bradipnea: napas yang lambat. Pernapasan Cheyne Stokes: irama pernapasan yang ditandai dengan adanya periode apnea (berhentinya



1-1



Normal Nap as Chenstokes



E k s p ~ r a smemanjang ~ I



I



Napas obstruktlf



I



Napas cepat dan dangkal (takipnea) Napas cepat dan dalam (hiperpnealhiperventilas~) Napas lambat (brad~pnea)



-



-



Gambar 10. G a m b a r a n i r a m a p e r n a p a s a n y a n g n o r m a l d a n abnormal



gerakan pernapasan) kemudian disusul periode hiperpnea (pernapasan mula-mula kecil amplitudonya kemudian cepat membesar dan kemudian mengecil lagi). Siklus ini terjadi berulang-ulang. Terdapat pada pasien dengan kerusakan otak, hipoksia kronik. Hal ini terjadi karena terlambatnya respons reseptor klinis medula otak terhadap pertukaran gas. Pernapasan Biot (Ataxic breathing) : jenis pernapasan yang tidak teratur baik dalam ha1 frekuensi maupun amplitudonya. Terdapat pada cedera otak. Bentuk kelainan irama pernapasan tersebut, kadang-kadang dapat ditemukan pada orang normal tapi gemuk (obesitas) atau pada waktu tidur. Keadaan ini biasanya merupakan pertanda yang kurang baik. Sighing respiration: pola pernapasan normal yang diselingi oleh tarikan napas yang dalam.



Palpasi. Palpasi dinding dada dapat dilakukan pada keadaan statis dan dinamis. 1 Palpasi dalarn keadaan statls. Pemeriksaan palpasi yang dilakukan pada keadaan ini adalah sebagai berikut: Pemeriksaan kelenjar getah bening. Kelenjar getah bening yang membesar di daerah supraklavikula dapat memberikan petunjuk adanya proses di daerah paru seperti kanker paru. Pemeriksaan kelenjar getah bening ini dapat diteruskan ke daerah submandibula dan kedua aksila. Pemeriksaan untuk menentukan posisi mediastinurn. Posisi mediastinum dapat ditentukan dengan melakukan pemeriksaan trakea dan apeks jantung. - Pergeseran mediastinum bagian atas dapat menyebabkan deviasi trakea. Pemeriksa berada di depan pasien kemudian ujung jari telunjuk tangan kanan diletakkan pada suprasternal notch lalu ditekan kearah trakea secara perlahanlahan (Gambar 11 A). Adanya deviasi trakea dapat diketahui dengan cara meraba dan melihat. Pergeseran ringan trakea ke arah kanan bisa didapatkan pada orang normal. Pergeseran trakea dapat juga terjadi pada kelainan paru yaitu akibat scwartelfibrosis pada apeks paru. - Jarak antara suprasternal notch dengan kartilago krikoid normal selebar 3-4 jari. (Gambar 11 B). Berkurangnya jarak ini menunjukkan adanya hiperinflasi paru. Pada keadaan hiperinflasi yang berat dapat terjadi tracheal tug yaitu pergerakan jari-jari (yang ada pada trakea) ke arah inferior pada setiap kali inspirasi. - Deviasi pulsasi apeks jantung menunjukan adanya pergeseran mediastinum bagian bawah. Perpindahan pulsasi apeks jantung tanpa disertai deviasi trakea biasanya disebabkan oleh pembesaran ventrikel kiri.dan walaupun lebih



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PEMERIKSAAN FISIS DADA DAN PARU



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



(A) Garnbar 12. Pemeriksaan anterior (A) dan posterior (6).



Gambar 11. Pemeriksaan trakea



jarang bisa juga didapatkan pada skoliosis, kifoskoliosis atau pada pectus excavatum yang berat. Pemeriksaan palpasi selanjutnya diteruskan ke daerah dada depan dengan jari tangan untuk mengetahui adanya kelainan dinding dada misalnya tumor, nyeri tekan pada dinding dada, krepitasi akibat emfisema subkutis, dan lain-lain. 2. Palpasi dalam keadaan dinamis. Pada keadaan ini dapat dilakukan pemeriksaan untuk menilai ekspansi paru serta periksaan vokal fremitus. Pemeriksaan ekspansi paru. Dalam keadaan normal kedua sisi dada harus sama-sama mengembang selama inspirasi biasa maupun inspirasi maksimal. Pengembangan paru bagian atas dilakukan dengan mengamati pergerakan kedua klavikula. Berkurangnya gerakan pada salah satu sisi menunjukan adanya pada sisi tersebut. Untuk menilai pengembangan paru bagian bawah dilakukan pemeriksaan dengan meletakkan kedua telapak tangan dan ibu jari secara simetris pada masing-masing tepi iga, sedangkanjari-jari lainnya menjulur sepanjang sisi lateral lengkung iga. Kedua ibu jari hams saling berdekatanl hampir bertemu di garis tengah dan sedikit diangkat ke atas sehingga dapat bergerak bebas saat bernapas. Pada saat pasien menarik napas dalam kedua ibu jari akan bergerak secara simetris (Gambar 12).B e r h g n y a ekspansi dada pada salah satu sisi akan menyebabkan gerakan kedua ibu jari menjadi tidak simetris dan ini memberikan petunjuk adanya kelainan pada sisi tersebut. Pemeriksaan vokal fremitus. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara meletakkan kedua telapak tangan pada permukaan dinding dada, kemudian pasien diminta menyebutkan angka 77 atau 99, sehingga getaran suara yang ditimbulkan akan lebih jelas. Rasakan dengan teliti getaran suara yang ditimbulkannya (Gambar 12 Adan B). Pemeriksaan ini disebut tactilefremitus. Bandingkan tactilefiemitus secara bertahap dari atas ke tengah dan seterusnyake bawah baik pada paru bagian depan maupun belakang (Gambar 13 A dan B). Pada saat pemeriksaan



palpasi



(B) paru



bagian



(A) (B) Gambar 13. Lokasi untuk pemeriksaan vocal fremitus pada dada anterior (A) dan posterior (6)



kedua telapak tangan harus selalu disilang secara bergantian. Hasil pemeriksaan fremitus ini dilaporkan sebagai normal, melemah atau mengeras. Fremitus yang melemah didapatkan pada penyakit empiema, hidrotoraks, atelektasis. Fremitus yang mengeras terjadi karena adanya infiltrat pada parenlum paru (misalnya pada pneumonia, tuberkulosis paru aktif). Perkusi. Perkusi dilakukan dengan meletakkan telapak tangan kiri pada dinding dada dengan jari-jari sedikit meregang. Jari tengah tangan kiri tersebut ditekan ke dinding dada sejajar dengan iga pada daerah yang akan diperkusi. Bagian tengah falang medial tangan kiri tersebut kemudian diketuk dengan menggunakan ujung jari tengah tangan kanan, dengan sendi pergelangan tangan sebagai penggerak (Gambar 14). Jangan menggunakan poros siku, karena akan memberikan ketokan yang tidak seragam. Sifatsifat ketokan selain didengar, juga hams dirasakan oleh jari-jari. Berdasarkan patogenesisnya bunyi ketukan yang terdengan dapat bermacam-macam yaitu: a). Sonor (resonant): terjadi bila udara dalam paru (alveoli) cukup banyak, terdapat pada paru yang normal; b). Hipersonor (Hiperresonant): terjadi bila udara di dalam paddada menjadi jauh lebih banyak, misalnya pada emfisema paru, kavitas besar yang letaknya superfisial, pneumotoraks dan bula yang besar; c). Redup (dull), bila bagian yang padat lebih banyak dari pada udara misalnya : adanya infiltratl konsolidasi akibat pneumonia, efusi pleura yang sedang.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DASAR-DASAR ILMU PENYAKIT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



perkusi pada ke 2 jari tersebut Dalam keadaan normal akan terjadi perubahan bunyi yaitu dari yang tadinya redup kemudian menjadi sonor kembali. Dalam keadaan normal didapatkan peranjakan sebesar 2 jari. (Gambar 16) Untuk menentukan batas paru lambung dilakukan perkusi sepanjang garis aksilaris anterior kiri sampai didapatkan perubahan bunyi dari sonor ke timpani. Biasanya didapatkan setinggi sela iga ke- 8. Batas ini sangat dipengaruhi oleh isi lambung.



Cambar 14. Cara melakukan perkusi



d). Pekak f i t /stony dull) : terdapat pada jaringan yang tidak mengandung udara di dalamnya, misalnya pada tumor paru, efusi pleura masic e). Bunyi timpani terdengar pada perkusi lambung akibat getaran udara di dalam lambung. Pada paru bagian depan dilakukanpemeriksaan perkusi perbandingan secara bergantian kiri dan kanan (zigzag). (Gambar 15). Dalam keadaan normal didapatkan hasil perkusi yang sonor pada kedua paru. I



Gambar 1%.Perneriksaan peranjakan paruh hati



Gambar 15. Lokasi unluk Melakukon Perkusi Perbandingan clan Auskultasi Paw Depan



Pemeriksaan lain yang dilakukan pada paru depan adalah perkusi untuk menentukan batas paru hati dan paru lambung. Untuk menentikan batas paru hati dilakukan perkusi sepanjang garis midklavikula kanan sampai didapatkan adanya perubahan bunyi dari sonor menjadi redup. Perubahan ini menunjukan batas antara paru dan hati. Tentukan batas tersebut dengan menghitung mulai dari sela iga ke 2 kanan, dan umumnya didapatkan setinggi sela iga ke 6. Setelah batas paru hati diketahui selanjutnya dilakukan tes peranjakan antara inspirasi dan ekspirasi. Pertama-tama pasien dijelaskan mengenai apa yang akan dilakuan, kemudian letakkan 2 jari tangan kiri tepat di bawah batas tersebut. Pasien diminta untuk menarik napas dalam dan kemudian ditahan, sementara itu dilakukan



Pada paru belakang dilakukanjuga pemeriksaan perkusi perbandingan secara zigzag seperti tampak pada Gambar 17. Selanjutnya untuk menentukan batas paru belakang bawah kanan dan kiri dilakukan dengan pemeriksaan perkusi sepanjang garis skapularis kanan dan kiri. Dalam keadaan normal didapatkan hasil perkusi yang sonor pada kedua paru. Skapula sebaiknya dikesampingkan dengan cara meminta pasien menyilang kedua lengannya di dada. Biasanya batasnya adalah setinggi vertebrae torakalis 10 untuk paru kiri sedangkan paru kanan 1 jari lebih tinggi.



Gambar 17. Lokasi untuk melakukan perkusi perbandmgan dan auskultasi paru belakang



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



63



PEMERIKSAAN FISIS DADA DAN PARU



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Daerah aksila dapat diperkusi dengan cara meminta pasien mengangkat tangannya ke atas kepala. Pemeriksa menaruh jari-jari tangan setinggi mungkin di aksila pasien untuk diperkusi. Perkusi pada daerah Kronig yaitu daerah supraskapula seluas 3 sampai 4 jari di pundak. Perkusi di daerah ini sonor. Hilangnya bunyi sonor pada daerah ini menunjukkan adanya kelainan pada apeks paru, misalnya tumor paru, tuberkulosis paru. Bila ada cairan pleura yang cukup banyak akan didapatkan Garis Ellis Damoiseau yaitu garis lengkung konveks dengan puncak pada garis aksilaris media. Selain itu bisa didapatkan adanya segitiga Garland dan segitiga Grocco. Segitiga Garland: daerah timpani yang dibatasi oleh ver-tebra torakalis, garis Ellis Damoiseau dan garis horizontal yang melalui puncak cairan. Segitiga Grocco: daerah redup kontralateral yang dibatasi oleh garis vertebra, perpanjangan garis Ellis Damoiseau ke kontralateral dan batas paru belakang bawah. (Gambar 18).



diselingi jeda. Dalam keadaan normal bisa didapatkan pada dinding anterior setinggi sela iga 1 dan 2 serta daerah interskapula. Bronkial : suara napas pokok yang keras dan berfkekuensi tinggi, dimana fase ekspirasi menjadi lebih panjang dari fase inspirasi dan diantaranya diselingi jeda. Terjadi perubahan kualitas suara sehingga terdengar seperti tiupan dalam tabung (Gambar 19). Dalam keadaan normal dapat didengar pada daerah manubrium sterni. Trakeal : suara napas yang sangat keras dan kasar, dapat didengarkan pada pada daerah trakea. Amforik : suara napas yang didapatkan bila terdapat kavitas besar yang letaknya perifer dan berhubungan dengan bronkus, terdengar seperti tiupan dalam botol kosong. lnspirasi



Ekspirasi



Y (A) (B) Gambar 18. Segitiga Garland dan Grocco (A) serta garis Ellis Damoiseau (B)



Auskultasi. Auskultasi merupakan pemeriksaan yang paling penting dalam menilai aliran udara melalui sistem trakeobronkial. Pemeriksaan auskultasi ini meliputi pemeriksaan suara napas pokok, pemeriksaan suara napas tambahan dan jika didapatkan adanya kelainan dilakukan pemeriksaan untuk mendengarkan suara ucapan atau bisikan pasien yang dihantarkan melalui dinding dada. Pola suara napas diuraikan berdasakan intensitas, frekuensi serta lamanya fase inspirasi dan ekspirasi. Auskultasi dilakukan secara berurutan dan selang seling baik pada paru bagian depan maupun belakang (Gambar 15 dan 17). Suara napas pokok yang normal terdiri dari : Vesikular : suara napas pokok yang lembut dengan frekuensi rendah dimana fase inspirasi langsung diikuti dengan fase ekspirasi tanpa diselingi jeda, dengan perbandingan 3: 1 (Gambar 19). Dapat didengarkan pada hampir kedua lapangan paru. Bronkovesikular : suara napas pokok dengan intensitas dan frekuensi yang sedang, di mana fase ekspirasi menjadi lebih panjang sehingga hampir menyamai fase inspirasi dan diantaranya kadang - kadang dapat



Gambar 19. Garnbaran skematis suara napas vesikular (A) dan bronkial (B). perhatikan adanya jeda antara fase inspirasi dan fase ekspirasi.



Dalam keadaan normal suara napas vesikular yang berasal dari alveoli dapat didengar pada hampir seluruh lapangan paru. Sebaliknya suara napas bronkial tidak akan terdengar karena getaran suara yang berasal dari bronkus tersebut tidak dapat dihantarkan ke dinding dada karena dihambat oleh udara yang terdapat di dalam alveoli. Dalam keadaan abnormal misalnya pneumonia dimana alveoli terisi infiltrat maka udara di dalamnya akan berkurang atau menghilang. Infiltrat yang merupakan penghantar getaran suara yang baik akan menghantarkan suara bronkial sampai ke dinding dada sehingga dapat terdengar sebagai suara napas bronkovesikuler (bila hanya sebagian alveoli yang terisi infiltrat) atau bronkial (bila seluruh alveoli terisi infiltrat) (Gambar 20). Suara napas tambahan terdiri dari: Ronki basah (crackles atau rules): Suara napas yang terputus-putus, bersifat nonmusical, dan biasanya terdengar pada saat inspirasi akibat udara yang



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



64



DM-DASAR



ILMU PENYAKITDALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Alveoli normalLumen bronkial terbuka



-Alveoli yang ter~siseksuda -



Ves~kular



Bronkoves~kular



Bronk~al



Gambar 20. Suara napas pokok dalam keadaan normal dan abnormal



melewati cairan dalam saluran napas. Ronki basah lebih lanjut dibagi menjadi ronki basah halus dan kasar tergantung besarnya bronkus yang terkena. Ronki basah halus terjadi karena adanya cairan pada bronkiolus, sedangkan yang lebih halus lagi berasal dari alveoli yang sering disebut krepitasi, akibat terbukanya alveoli pada akhir inspirasi. Krepitasi terutama dapat didengar fibrosis paru. Sifat ronki basah ini dapat bersifat nyaring (bila ada infiltrat misalnya pada pneumonia) ataupun tidak nyaring (pada edema paru). Ronki kering: Suara napas kontinyu, yang bersifat musical, dengan frekuensi yang relatif rendah, terjadi karena udara mengalir melalui saluran napas yang menyempit, misalnya akibat adanya sekret yang kental. Wheezing adalah ronki kering yang fiekuensinya tinggi dan panjang yang biasanya terdengar pada serangan asma. Bunyi gesekan pleura (Pleuralfriction rub): Terjadi karena pleura parietal dan viseral yang meradang saling bergesekan satu dengan yang lainnya. Pleura yang meradang akan menebal atau menjadi kasar. Bunyi gesekan ini terdengar pada akhir inspirasi dan awal ekspirasi. Hippocrates succussion: suara cairan pada rongga dada yang terdengar bila pasien digoyang-goyangkan. Biasanya didapatkan pada pasien dengan hidropneumotoraks. Pneumothorax click: Bunyi yang bersifat ritmik dan sinkron dengan saat kontraksi jantung, terjadi bila didapatkan adanya udara diantara kedua lapisan pleura yang menyelimuti jantung. Bunyi Hantaran Suara Bila pada pemeriksaan auskultasi didapatkan adanya bising napas bronkovesikuler atau bronkial, maka pemeriksaan dilanjutkan untuk menilai hantaran bunyi suara. Stetoskop diletakkan pada dinding dada secara simetris, kemudian pasien diminta untuk mengucapkan sembilan puluh sembilan. Dalam keadaan normal suara yang dihantarkan ke dinding dada tersebut akan menjadi tidak jelas Bila suara



yang terdengar menjadi lebih jelas dan keras disebut bronkoponi. Pemeriksaan dengan cara ini disebut pemeriksaan auditoryfremitus. Pasien diminta juga untuk mengucapkan "ee ". dimana dalam keadaan normal akan terdengar suara E panjang yang halus. Bila suara "ee" terdengar sebagai "ay" maka perubahan "En menjadi "A" ini disebut egofoni, misalnya pada pneumonia. Pasien kemudian diminta untuk berbisik dengan mengucapkan kata sembilan puluh sembilan. Dalam keadaan normal suara berbisik itu terdengar halus dan tidak jelas. Bila suara berbisik tersebut menjadi semakin jelas dan keras disebut whispered pectoriloquy (Gambar 21).



(A)



(B)



Gambar 21. A. Paru yang normal. B. Paru yang mengalami pneumonia dl mana seluruh udara dalam alveoli pada paru bagian atas menghilang akibat terisi oleh inflitrat sehingga bisa didapatkan adanya bronkofoni, egofoni dan whispered pectoriloquy.



Bahar A, Suwondo A. Pemeriksaan fisis paru. In: Markum HMS, ed. Penuntun anamnesls dan pemerlksaan fisls Jakarta Pusat Penerbltan Departemen Ilmu Penyaklt Dalam FK-UI, 2005, 103-23 Brckley L, Szllagy~P BATES' Gurde to Physlcal Examlnatlon and History Taklng, 81h ed Tokyo Llpplncott Wlllams & Wlllklns, 2003, 209-43 Devereux G Douglas G The Resplratory System In Douglas G, N~colF, Robertson C, ed Macleod's Cllnlcal Examlnatlon, I lth ed Toronto Elsevrer Churchlll Llvingstone, 2005 p 124-52 Haniey ME The History & Physlcal Examlnatlon In Pulmonary Medlclne In Hanley ME, Welsh CH, ed Current Dlagnosls & Treatment In Pulmonary Medlclne, Toronto Lange Medical BooksiMcGraw-H111,2003, 16-25 Irwin RS Symptoms of Resplratory Dlsease ACCP Pulmonary Bord Revlew 2003, Northbrook 2003, 327-54



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PEMERIKSAAN FISIS JANTUNG Lukman H. Makmun, Nurhay Abdurachman



PENDAHULUAN Letak topografi jantung adalah 213 bagian jantung terletak di rongga dada kiri dan 113 sisanya terletak disebelah kanan. Di bagian bawah berbatas langsung dengan diafiagma. Sisi kanan dibatasi oleh atrium kanan sedangkan sisi kiri dibatasi sebagian besar ventrikel kiri dan sisanya oleh atrium kiri. Batas antara atrium kiri dan ventrikel kiri adalah pinggang jantung. Di bagian atas terdapat vena kava superior, aorta asendens, arteri pulmonalis dengan percabangan kiri dan kanan. Dalam melakukan pemeriksaan fisis jantung diperlukan patokan berupa garis-garis dan titik-titik tertentu.



Garis-garis patokan adalah sebagai berikut: Garis mid sternal, yaitu garis tengah yang ditarik mulai dari manubrium sterni sampai processus xyphoideus. Garis sternal adalah garis yang melalui titik-titik batas antara sternum dengan tulang rawan iga, dari atas kebawah dan didapatkan kiri dan kanan. Garis midclavicular didapatkan kin dan kanan. Mulamula diraba keseluruhan tulang klavikula. Kemudian ditentukan titik tengahnya. Dari titik tengah ini ditarik garis lurus ke kaudal. Biasanya pada pria normal garis midclavicula ini melewati papila marnrnae. Garis parasternal adalah garis paralel dengan garis midcIavicula yang ditarik dari titik tengah jarak antara garis midclavicula dengan garis sternal. Garis aksila anterior adalah garis yang ditarik melalui tepi lipat ketiak anterior, ke arah kaudal. Garis aksila posterior adalah garis yang ditarik melalui tepi ketiak posterior ke arah kaudal. Garis mid aksila adalah garis di tengah antara garis aksila anterior dan garis aksila posterior.



Titik-titik Patokan Angulus Ludovici adalah perbatasan antara manubrium sterni dan corpus sterni, yang bila diraba terasa menonjol. Titik ini merupakan perlengketan antara tulang iga I1 dengan sternum. Titik ini dipakai juga sebagai patokan dalam mengukur tekanan vena jugularis eksterna. Area apeks: terletak di sela iga V sekitar 2 jari medial dari garis midclavicula kiri. Titik ini merupakan titik lokasi untuk auskultasi katup mitral, karena bunyi jantung dari katup mitral paling optimal terdengar di titik tersebut. Area trikuspidal: terletak di sela iga IV-V sternal kin clan di sela iga IV-V sternal kanan. Titik ini merupakan titik lokasi untuk auskultasi katup tricuspidal, karena bunyi jantung trikuspidal paling optimal terdengar di titik tersebut. Area septa1terletak di sela iga I11 sternal kiri merupakan titik auskultasi optimal untuk mendengarkan bising akibat aliran shunt di septum karena terdapat defek, yaitu pada ASD dan VSD. Area pulmonal terletak di sela iga I1 garis sternal kiri merupakan titik auskultasi optimal untuk bunyi jantung katup pulmonal. Area aorta terletak di sela iga I1 garis sternal kanan merupakan titik auskultasi optimal untuk bunyi jantung aorta. Titik karotis setinggi processus thyroideus kiri dan kanan untuk mendengarkan bila ada bising yang menjalar dari katup aorta. Pada area-area apeks, trikuspidal, pulmonal, dan aorta dapat dilihat pulsasi yang berlebihan, getaran (thrill), gerakan-gerakan dinding jantung abnormal yang teraba. Pada pemeriksaan jantung seperti juga pada pemeriksaan organ lain, menerapkan urutan sebagai berikut:



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



66



DASAR-DASAR ILMU PENYAKITDALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



inspeksi yaitu memperhatikan palpasi yaitu meraba perkusi yaitu mengetuk-ngetuk dinding dada. auskultasi yaitu mendengarkan bunyi-bunyi dari jantung, dengan menggunakan stetoskop.



Stetoskop mempunyai dua jenis pendengar, yaitu: membran untuk mendengarkan bunyi-bunyi dengan fiekuensi tinggi, seperti bunyi jantung I dan 11. sungkup untuk mendengarkan bunyi dengan frekuensi rendah, misal bunyi jantung 111.



Secara umum hal-ha1 yang berkaitan dengan akibat penyakit jantung hams diamati, misal tampak capai, kelelahan karena akibat cardiac output rendah, frekuensi napas meningkat, sesak yang menunjukkan adanya bendungan paru atau edema paru. Sianosis sentral dengan clubbingfinger dan kaki berkaitan dengan adanya aliran shunt kanan ke kin. Begitu juga dengan ada tidaknya edem. Khusus inspeksi pada organ jantung adalah dengan melihat pulsasi di area apeks, trikuspidal, pulmonal, aorta. Sedangkan bentuk dada, gerakan napas dibicarakan sewaktu melakukan pemeriksaan fisis pan.



Dengan mempergunakan ujung-ujung jari atau telapak tangan, tergantung rasa sensitivitasnya, meraba area-area apeks, trikuspidal, septal, pulmonal, dan aorta. Yang diperiksa adalah: pulsasi. thrill yaitu getaran yang terasa pada tangan pemeriksa tadi. Hal ini dapat teraba karena adanya bising yang minimal derajat 3. Dibedakan thrill sistolik atau thrill diastolik tergantung di fase mana berada. Heaving yaitu rasa gelombang yang kita rasakan di tangan kita. Hal ini karena overloadventrikel kiri, misal pada insufiensi mitral. Liji yaitu rasa dorongan terhadap tangan pemeriksa. Hal ini karena adanya peningkatan tekanan di ventrikel, misal pada stenosis mitral. Ictus cordis yaitu pulsasi di apeks. Diukur berapa cm diameter, di mana normalnya adalah 2 cm dan ditentukan lokasinya yang biasanya terletak pada 2 jari medial dari garis midklavikula kiri.



Telapak tangan kiri berikutjari-jarinya diletakkan di dinding dada, dengan jari tengah sebagai landasan ketok,



sedangkan telapak dan keempat jari lain agak diangkat. Tujuannya adalah supaya tidak meredam suara ketukan. Sebagai jari pengetuk adalah jari tengah tangan kanan. Pada waktu pengetukan hanya menggerakkan sendi pergelangan tangan dan tidak menggerakkan sendi siku. Dengan perkusi dapat ditentukan batas-batas jantung, pinggang jantung dan contour jantung.



Batas Jantung Kanan Mula-mula ditentukan lebih dahulu titik tengah garis rnidklavikula kanan. Jari-jari tangan kanan diletakkan sejajar dengan iga. Kemudian dilakukan perkusi mulai dari titik tengah tadi, dari kranial kearah kaudal. Suara normal yang didapat adalah bunyi sonor yang berasal dari paru. Perkusi diteruskan sampai timbul suara redup, biasanya pada sela iga VI kanan. Bunyi redup ini adalah berasal dari batas antara paru dan puncak hati. Puncak hati ini ditutupi oleh diafragma dan masih ada jaringan paru di atasjaringan puncak hati itu, sehingga terdapat gabungan antara massa padat dan sedikit udara dari paru. Setelah didapat titik batas sonor-redup, diukur dua jari kearah kranial. Pada titik yang baru ini diletakkan kembali telapak tangan clanjari-jarinya diposisikan dengan arah jari tegak lurus terhadap iga. Kemudian dilakukan perkusi kearah medial untuk mencari perubahan suara dari sonor ke redup yang merupakan batas relatif kanan jantung dan normal adalah pada garis sternal kanan. Dari titik batas ini selanjutnya dilakukan perkusi sampai mendapat suara pekak, yang merupakan batas absolut jantung kanan, biasanya pada garis midsternal. Batas Jantung Kiri Mula-mula ditentukan garis aksila anterior kiri. Bila terdapat pembesaran jantung kekiri, perkusi dapat dirnulai dari garis aksila medial. Kemudianjari tengah kiri diletakkan pada titik teratas garis aksila anterior dengan arah jari sejajar dengan iga. Perkusi dari kranial ke kaudal untuk mencari perubahan bunyi dari sonor ke tympani yang merupakan batas parulambung, biasanya pada sela iga VIII kiri. Dari titik ini diukur dua jari kearah kranial. Dari titik yang baru ini, dilakukan perkusi lagi ke arah medial dengan posisi jari kiri tegak lurus terhadap iga, sampai timbul perubahan suara dari sonor ke redup, yang merupakan batas relatifjantung kiri clan biasanya terletak pada 2 jari medial garis midklavikular kiri. Perkusi diteruskan ke medial, sampai terjadi perubahan s u m clan redup ke pekak yang merupakan batas absolutjantung kin. Pada keadaan emfisema paru batas-batasjantung absolut akan mengecil. Seandainya pasien sudah makan yang banyak, bunyi timpani yang merupakan batas paru lambung tidak muncul, maka dilakukan teknik pemeriksaan lain untuk menentukan batas jantmg kiri. Mula-mula dilakukan penentuan batas pan-hati lebih dahulu seperti di atas, kemudian diukurkan 2 jari kearah kranial. Dari titik ini ditarik lurus sejajar iga, memotong garis aksila anterior kiri. Dari titik ini



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dilakukan perkusi tegak lurus iga, kearah medial untuk menentukan titik pembahan bunyi sonor ke redup, yang mempakan batas jantung kiri. Batas Jantung Atas Tentukan garis sternal kiri lebih dahulu. Dari titik teratas dilakukan perkusi dengan arah sejajar iga kearah kaudal, sampai terjadi perubahan suara dari sonor ke redup. Normal adalah sela iga I1 kiri. Pinggang Jantung Ditentukan lebih dahulu garis parasternal kiri. Kemudian dilakukan perkusi kearah caudal mulai dan titik teratas garis tersebut, dengan posisi jari tengah sejajar iga. Yang dicari adalah pembahan bunyi sonor- redup. Batas ini normal terletak pada sela iga I11 kiri. Bila titik batasnya misal pada sela iga 11, berarti pinggang jantung menghilang. Hal ini terjadi karena pembesaran atrium kiri,misalnya pada kasus mitral vitium.



CONTOUR JANTUNG



Tujuannya untuk menggambar bentuk jantung, memastikan besarnya jantung dan apakah masih ada pinggang jantung. Dimulai dari sela iga I kanan dilakukan dari lateral ke medial dengan posisi jari tengah sejajar iga sarnpai terjadi perubahan suara dari sonor ke redup. Kemudian dilakukan perkusi dari sela iga I1 kanan dengan cara yang sama dan seterusnya sampai ke kaudal. Titik-titik batas tadi ditentukan dan kemudian "ditarik" garis sehingga terdapat garis batas jantung kanan. Begitu juga dilakukan pada sisi jantung kiri dengan cara yang sama. Akhirnya didapatkan gambaran garis batas jantung kanan dan kiri dan juga terlihat gambaran pinggang jantung.



AUSKULTASI



Dengan auskultasi akan didengarkan bunyi-bunyi dari jantung dan juga bising jantung bila ada kelainan di jantung dengan menggunakan alat stetoskop. Investigator pertama yang mempelajari bunyi jantung adalah Laemec. Untuk mendapatkan hasil auskultasi yang baik, perlu diperhatikan hal-ha1 sebagai berikut: didalam mangan yang tenang, perhatian ter fokus untuk mendengarkan bunyi yang lemah, sinkronisasi nadi untuk menentukan bunyi jantung I dan setemsnya menetukan fase sistolik dan diastolik dan menentukan bunyi-bunyi jantung dan bising secara teliti. Lokasi titik pemeriksaan auskultasi adalah: apeks untuk mendengar bunyi jantung yang berasal



dan katup mitral sela iga IV-V sternal kiri dan sela iga IV-V kanan untuk mendengarkan bunyi jantung yang berasal dari katup trikuspidal Sela iga I11 kiri untuk mendengarkan bunyi patologis yang berasal dari septa1 bila ada kelainan yaitu ASD atau VSD. Sela iga I1 kin untuk mendengarkanbunyi jantung yang berasal dari katup pulmonal. Sela iga I1 kanan untuk mendengarkan bunyi jantung yang berasal dari kari katup aorta.. Arteri karotis kanan dan kiri untuk mendengarkan bila ada penjalaran bising dari katup aorta ataupun kalau ada stenosis di arteri karotis sendiri. Pemeriksaan auskultasi hendaknya dilakukan secara sistematik mulai dari apeh sampai ke titik aorta. Bunyi jantung normal terdiri atas bunyi jantung I dan bunyi jantung (BJ) 11. Di area apeks dan tricuspidal BJ I lebih keras daripada BJ 11, sedangkan di area basal yaitu pulmonal dan aorta BJ I lebih lemah daripada BJ 11. BJ I mempakan suara yang dihasilkan dari penutupan katupkatup mitral dan trikuspidal, sedangkan BJ I1 adalah karena menutupnya katup-katup aorta dan pulmonal. Untuk menentukan yang mana BJ I adalah dengan meraba arteri radialis atau arteri karotis atau iktus kordis, dimana BJ I sinkron dengan denyut nadi arteri-arteri tersebut atau dengan denyut iktus kordis. Fase antara BJ I dan BJ I1 disebut fase sistolik, sedangkan fase antara BJ I1 dan BJ I disebut fase diastolik. Fase sistolik lebih pendek daripada fase diastolik. Bunyi Jantung Tambahan Bunyi jantung I11 yaitu bunyi jantung yang terdengar tidak lama sesudah BJ II,0.14 - 0.16 detik dan didengar pada area apeks. BJ I11 ini berintensitas rendah, mempakan bunyi yang dihasilkan karena aliran darah yang mendadak dengan jumlah banyak dari atrium kiri ke ventrikel kiri, pada permulaan fase diastolik. Biasanya terdapat pada kasus insufisiensi mitral. Bunyi jantung IV yaitu bunyi jantung yang terdengar sesaat sebelum BJ I, yang juga dapat didengar di apeks, merupakan bunyi akibat kontraksi atrium yang h a t dalam memompakan darah ke ventrikel. Hal ini terjadi karena terdapat bendungan di ventrikel sehingga atrium hams memompa lebih kuat untuk mengosongkan atrium. Biasanya didapat pada kasus gaga1 jantung. Split BJ I1 yaitu BJ I1 terpecah dengan intensitas yang sama dan jarak keduanya dekat. Hal ini terjadi karena penutupan katup-katup pulmonal dan aorta tidak jatuh bersamaan sehingga tidak sinkron. Perbedaan ini terjadi karena ventrikel kanan misal lebih besar sehingga katup, pulmonal menutup lebih lambat. Misal terjadi pada kasus ASD. Openingsnap yaitu terbukanya katup mitral yang kaku dengan mendadak, sehingga terdengar bunyi dengan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DAN-DASAR ILMU PENYAKITDALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



intensitas tinggi sesudah BJ 11. Didapat pada kasus stenosis mitral. Makin dekatjarak opening snap dengan BJ 11, makin berat derajat MS, berkisar antara 0.04 - 0.12 detik. Aortic click adalah bunyi yang dihasilkan karena katup aorta yang membuka secara cepat dan didapat pada kelainan stenosis aorta. Pericardial rub didapat pada kasus perikarditis konstriktiva,terjadi gesekan antara perikard lapis viseral dan lapis parietal. Bunyi ini tidak dipengaruhi oleh pernapasan. Bunyinya kasar dan dapat didengar di area trikuspidal dan apikal dan bisa terdengar pada fase sistolik atau diastolik atau keduanya.



lrama Jantung Normal adalah reguler, dengan denyutjantung berkisar antara 60 - 100per menit irreguler: + terdengar ekstra sistole, yaitu irama dasarnya reguler tetapi diselingi oleh denyut jantung ekstra. + irama dasarnya memang sudah tidak teratur, yaitu pada kelainan aritmia fibrillasi atrial. irama gallop (derap kuda). Iramajantungnya cepat dan bunyi - bunyi jantungnya terdiri atas tiga komponent atau empat komponen, yaitu terdiri dari BJ I - BJ I1 dan BJ I11 atau terdiri atas: BJ IV-BJ I-BJ I1 atau keduanya yaituBJIV-BJI-BJII-BJIII. Biasanya dapat didengar di apeks dan terdapat pada kasus gaga1 jantung. Bising Jantung Pada tiap kali melakukan auskultasi pada titik-titik area harus diperhatikan apakah ada bising jantung. Bila ada bising, hams diperhatikan hal-ha1 sebagai berikut: terletak di fase manakah bising tersebut, yaitu dengan menentukan terlebih dahulu yang mana BJ I dan setelah itu ditentukan letak bising tersebut. Bagaimana kualitas bising tersebut, yaitu apakah: Kasar seperti ada gesekan yang sering disebut rumble dan biasanya didapat pada kasus stenosis mitral sebagai bising diastolik. Sekaligus ditentukan posisi bising diastolik tersebut, apakah: early-, mid diastolik atau pra sistolik. Dicari juga bunyi jantung tambahan opening snap dan biasanya BJ I mengeras. Kelainan ini didapat pada stenosis mitral. Halus seperti angin bertiup dan biasanya mengisi fase sistolik. Tentukan posisi letak bising, yaitu early-,late systolik ataupun pan (holo) sistolik.Pan sistolik bising sering didapat pada kelainan insufisiensi mitral, disinijuga BJ I melemah dan cari juga apakah ada BJ 111. Type ejection yaitu bising dengan nada keras, karena dipompakanmelalui celah yang sempit. Didapatpada kasus stenosis aorta. Continous murmur yaitu bising yang terdengar tern menerus di fase sistolik dan fase diastolik, didapatkan pada kasus PDA (Patent Ductus Arterious).



Punctum maksimum bising jantung hams ditentukan, misal pada apeks, trikuspidal, ataupun lainnya. Bila pada apeks kurang keras, misal karena obesitas, pasien dapat dimiringkan kekiri, sehingga bising jantung dapat terdengar lebihjelas. Untuk tricupidal, supaya lebih jelas, pasien disuruh bernapas dalam (inspirasi) kemudian tahan. Bising jantung akan terdengar lebih keras pada inspirasi dan pada ekspirasibising akan melemah. Untuk mendengar bising di katup aorta dan pulmonal, pasien disuruh duduk dengan stetoskop tetap di lokasi. Penjalaran hams diperhatikan. Misal pada kasus insufisiensi mitral akan terjadi penjalaran ke lateral dan ke aksila, sedangkan pada kasus Mitral valve prolapse (MVP)tidak terjadi penjalaran bising. Pada kasus dengan kelainan katup aorta akan menjalar ke arteri karotis, sehingga perlu dilakukan auskultasi pada karotis. Derajat intensitas bising terdapat 6 tingkat, yaitu: + derajat 1 terdengar samar-samar. + derajat 2 terdengar halus + derajat 3 terdengar jelas dan agak keras + derajat 4 terdengar keras. Dapat juga dengan cara telapak tangan pemeriksa diletakkan misal di apeks kemudian dapat didengar dengan stetoskop yang diletakkan pada punggung telapak tangan tersebut. + derajat 5 terdengar sangat keras. Dapat dilakukan dengan cara telapak tangan pemeriksa diletakkan di apeks, kemudian stetoskop diletakkan di lengan bagian bawah dan bising jantung masih terdengar. + derajat 6 sudah terdengar meskipun stetoskoptidak diletakkan di dinding dada. Untuk lebih jelas mengenai bunyi dan bising jantung silahkan lihat juga mengenai bab fonokardiografi. Khusus untuk bising sistolik perlu diperhatikanbahwa tidak semuanya akibat dari kelainan organik katup jantung. Ada kemungkinan karena over volume misal pada anemia berat, perempuan hamil. Biasanya bising sistolik ini halus dan terdengar pada semua ostia. Pembesaran ventrikel, biasanya pada ventrikel kanan terjadi dilatasi sekunder karena stenosis mitral, terjadi pelebaran annulus trikuspidal sehingga akan terdengar arus regurgitasi pada katup trikuspidal. Pada tumor miksoma yang menutupi katup mitral akan menyebabkan bising diastolik.



REFERENSI Bates B, Bickley LS, Hoekelman R. A guide to physical examination and history taking. 6th ed. Philadelphia: JB Lippincott; 1995. p. 123-30. Braunwald E. Disorders o f the Heart. Diagnostic method. In: Petersdorf, Adams, Braunwald, Isselbacher, Martin, Wilson, eds. Hamson's principles of internal medicine.10th ed. New York: Mc Graw Hill; 1983. Part 6. p. 1313-9. Delp MH, Manning RT. Major's physical diagnosis. An introcution to the clinical process. 9th ed. Tokyo: Igaku-ShoinIWB Saunders; 1981. Chap.10. p. 227-69.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PEMERIKSAAN ABDOMEN, UROGENITAL DAN ANOREKTAL Marcellus Simadibrata K.



PENDAHULUAN Pemeriksaan fisis abdomen merupakan bagian dari pemeriksaan fisis umum secara keseluruhan. Secara urnum tujuan pemeriksaan abdomen yaitu untuk mencari atau mengidentifikasi kelainan di sistem gastrointestinal, atau sistem ginjal dan saluran kemih atau genitalialperineum (jarang). Sebelum melakukan pemeriksan fisis abdomen sangatlah diperlukan pengambilan anamnesis yang berhubungan dengan kelainan sistem saluran cernaJgastrointestina1 atau sistem lainnya di abdomen. Yang dimaksud abdomen yaitu suatu rongga dalam badan di bawah diafragma sampai dasar pelvis. Sedangkan yang dimaksud dengan pemeriksaan fisis abdomen yaitu pemeriksaan daerah abdomen atau perut di bawah arkus kosta kanan-kiri sampai garis lipat paha atau daerah inguinal.



PEMBAGIAN REGIONAL Ada beberapa cara untuk membagi permukaan dinding perut dalam beberapa regio: Dengan menarik garis tegak lurus terhadap garis median melalui umbilikus. Dengan cara ini dinding depan abdomen terbagai atas 4 daerah atau lazim disebut sbb: a). Kuadran kanan atas, b). Kuadran kiri atas, c). Kuadran kiri bawah, d). Kuadran kanan bawah. Kepentingan pembagian ini yaitu untuk menyederhanakan penulisan laporan misalnya untuk kepentingan konsultasi atau pemeriksaan kelainan yang mencakup daerah yang cukup luas. Pembagian yang lebih rinci atau lebih spesifik yaitu dengan menarik dua garis sejajar dengan garis median dan



Gambar 1. Pembagian abdomen (4 Daerah).



daerah



dua garis transversal yaitu yang menghubungkan dua titik paling bawah dari arkus kosta dan satu garis lagi yang menghubungkan kedua spina iliaka anterior superior (SIAS). Berdasarkan pembagjan yang lebih rinci tersebut permukaan depan abdomen terbagi atas 9 regio: 1). Regio epigastrium, 2). Regio hipokondrium kanan, 3). Regio hipokondrium kiri, 4). Regio umbilicus,5). Regio lumbal kanan, 6). Regio lumbal kiri, 7). Regio hipogastrium atau regio suprapubik, 8). Regio iliaka kanan, 9). Regio iliaka kiri. Kepentingan pembagian ini yaitu bila kita meminta pasien untuk menunjukkan dengan tepat lokasi rasa nyeri serta melakukan desknpsi penjalaran rasa nyeri tersebut. Dalam ha1 ini sangat penting untuk membuat peta lokasi rasa nyeri beserta penjalarannya, sebab sudah diketahui karakteristikdan lokasi nyeri akibat kelainan masing-masing organ intraabdominal berdasarkan hubungan persarafan viseral dan somatik. Secara garis besar organ-organ dalam abdomen dapat diproyeksikan pada permukaan abdomen walaupun tidak



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Garis Schuffner: yaitu garis yang menghubungkan ti& pada arkus k o m kiri dengan umbilikus (dibagi 4) dm garis ini diterushn sampai SIAS kanan yang merupakkan titik VIII. Garis ini digundcan untuk menyatakan pembesaran



limpa.



Gambar 2. Pembagian daerah abdomen (9 Regio)



setepat dada antara lain : a). hati atau hepar berada di daerah epigastrium dan didaerah hipokondrium kanan, b). lambung berada di daerah epigastrium, c). limpa berkedudukan di daerah hipokondrium kiri, d). kandung ernpedu atau vesika felea seringkali berada pada perbatasan daerah hipokondrium kanan dan epigastrium, e). kandung kemih yang penuh dan uterus pada orang hamil dapat teraba di daerah hipogastrium, f). apendiks berada di daerah antara daerah iliaka kanan, lumbal kanan dan bagian bawah daerah umbilikal. Selain peta regional tersebut terdapat beberapa titik dan garis yang sudah disepakati: Titik Mc Burney: yaitu titik pada dinding perut kuadran kanan bawah yang terletak pada 1/3 lateral dari garis yang menghubungkan SIAS dengan umbilikus. Titik Mc Burney tersebut dianggap lokasi apendiks yang akan terasa nyeri tekan bila terdapat apendisitis.



Gambar 4. Penentuan titik Mc Burney (a), penentuan garis schuffner (b).



PEMERIKSAAN ABDOMEN Pemeriksaan ini dilakukan dengan posisi pasien terlentang, --.kedua .- - --- tangan --- -=---.--" ----hantal d~nrran di sisi kanan-kirinya. Usahakan semua bagian abdomen dapat diperiksa termasuk xiphisternum dan mulut hernia. Sebaiknya kandung kencing dikosongkan dulu sebelum pemeriksaan dilakukan. Pemeriksaan abdomen ini terdiri 4 tahap yaitu inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Lensla ratn ntaii d ~ n u a ncatti . . . , y " . " "'""



Pemeriksaan lnspeksi Pemeriksaan ini vaitu melihat Derut baik bagian d e ~ a n . - ...... .ataupun belakang (pinggang). Inspeksi ini dilakukan dengan penerangan cahaya yang cukup sehingga didapatkan keadaan abdomen seperti simetris atau tidak, bentuk atau kontur, ukuran, kondisi dinding perut(kulit, vena. umbilikus, striae alba) dan pergerakan dinding perut. Pada pemeriksaan tahap awal ini diperhatikan secara inspeksi kelainan-kelainan yang terlihat pada perut seperti jaringan parut karena pembedahan, asimetri perut yang menunjukkan adanya masa tumor. stria, vena yang berdilatasi. Cari kaput medusa (aliran berjalan keluar dari umbilikus) atau obstruksi vena kava inferior, peristalsis usus, distensi dan hernia. Pada keadaan normal terlentang, dinding perut terlihat simetris. Bila ada tumor atau abses atau pelebaran setempat lumen usus membuat perut terlihat tidak simetris. Pada keadaan normal dan fisiologis, pergerakan dinding usus akibat peristaltik usus tidak terlihat. Bila terlihat gerakan peristaltik usus maka dapat dlpastikan adanya hiperperistaltik dan dilatasi sebagai akibat obstruksi lumen usus. Obstruksi lumen usus ini dapat disebabkan macam-macam kelainan antara lain tumor, perlengketan, strangulasi dan skibala. u



,-.a;



1



I



;



asi nyeri aw udlan men



Seca



1



\I I1 4YERI ULKUS



JYER



rlKREAS



Garnbar 3. Proyeksi nyeri organ pada dinding depan abdomen.



I



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PEMERUCSAANABDOMEN. UROCJ3NlTAL DAN ANOREKTAL



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Bentuk dan ukuran perut dalam keadaan normal b e ~ a r i a s itergantung habitus, jaringan lemak subkutan atau intraabdomen dan kondisi otot dinding perut. Pada keadaan starvasi bentuk dinding perut cekung dan tipis, disebut bentuk skopoid. Pada keadaan ini dapat terlihat gerakan peristaltik usus. Abdomen yang membuncit dalam keadaan normal dapat terjadi pada pasien gemuk. Pada keadaan patologis, perut membuncit disebabkan oleh ileus paralitik, ileus obstruktif, meteorismus, asites, kistoma ovarii, dan kehamilan. Tonjolan setempat menunjukkan adanya kelainan organ di bawahnya, misal tonjolan regio suprapubis terjadi karena pembesaran uterus pada perempuan atau terjadi karena retensi urin pada pria tua dengan hipertrofi prostat atau perempuan dengan kehamilan muda. Pada stenosis pilorus, lambung dapat menjadi besar sekali sehingga pada abdomen terlihat pembesaran setempat. Pada kulit perut perlu diperhatikan adanya sikatriks akibat ulserasi pada kulit atau akibat operasi atau luka tusuk. Adanya garis-garis putih sering disebut striae alba yang dapat tejadi setelah kehamilan atau pada pasien yang mulanya gemuk atau bekas asites. Striae kemerahan dapat terlihat pada sindrom Cushing. Pulsasi arteri pada dinding perut terlihat pada pasien aneurisma aorta atau kadangkadang pada pasien yang kurus, dan dapat terlihat pulsasi pada epigastrium pada pasien insufisiensi katup trikuspidalis. Kulit perut menjadi kuning pada berbagai macam ikterus. Adakal ditemukan garis-garis bekas garukan yang menandakan pruritus karena ikterus atau diabetes melitus. Pelebaran vena terjadi pada hipertensi portal. Pelebaran di sekitar umbilikus disebut kaput medusa yang terdapat pada sindrom Banti. Pelebaran vena akibat obstruksi vena kava inferior terlihat sebagai pelebaran vena dari daerah inguinal ke umbilikus, sedang akibat obstruksi vena kava superior aliran vena ke distal.



1 -



A. Apendiktomi



B. Kolesistektomi C. Operasi Sectio Caesarea segmen bawah



D. Operasi ginjal E Parut garis tengah("midlineU) F. Parut paramedian I . Parut laparoskopik (3 Gambar 5. Jaringan parut abdomen



lubang)



Pemeriksaan Palpasi Palpasi dinding perut sangat penting untuk menentukan ada tidaknya kelainan dalam rongga abdomen. Palpasi dilakukan secara sistematis dengan seksama, pertama kali



tanyakan apakah ada daerah-daerah yang nyeri tekan. Perhatikan ekspresi wajah pasien selama pemeriksaan palpasi. Sedapat mungkin seluruh dinding perut terpalpasi. Kemudian cari apakah ada pembesaran masa tumor, apakah hati, limpa dan kandung empedu membesar atau teraba. Periksa apakah ginjal, ballottement positif atau negatif. Palpasi dilakukan dalam 2 tahap yaitu palpasi permukaan (superficial) dan palpasi dalam (deep p a l pation). Palpasi dapat dilakukan dengan satu tangan dapat pula dua tangan (bimanual) terutama pada pasien gemuk. Biasakan palpasi dengan seksama meskipun tidak ada keluhan yang bersangkutan dengan penyakit traktus gastrointestinal. Pasien diusahakan dalam posisi terlentang dengan bantal secukupnya, kecuali bila pasien sesak napas. Pemeriksa berdiri pada sebelah kanan pasien, kecuali pada dokter yang kidal. Palpasi superfisial: posisi tangan menempel pada dinding perut. Umumnya penekanan dilakukan oleh mas terakhir dan mas tengah jari-jari, bukan dengan ujung jari. Sistematika palpasi dilakukan dengan hati-hati pada daerah nyeri yang dikeluhkan oleh pasien. Palpasi superfisial tersebut bisa juga disebut palpasi awal untuk orientasi sekaligus memperkenalkan prosedur palpasi pada pasien. Palpasi dalam: palpasi dalam dipakai untuk identifikasi kelainanlrasa nyeri yang tidak didapatkan pada palpasi superfisial dan untuk lebih menegaskan kelainan yang didapat pada palpasi superfisial dan yang terpenting yaitu untuk palpasi organ secara spesifik misalnya palpasi hati, limpa, ginjal. Palpasi dalam juga penting pada pasien yang gemuk atau pasien dengan otot dinding yang tebal. Perinci nyeri tekan abdomen antara lain berat ringannya, lokasi nyeri yang maksimal, apakah ada tahanan (peritonitis), apakah ada nyeri rebound bila tak ada tahanan. Perinci masa tumor yang ditemukan antara lain lokasi, ukuran (diukur dalam cm), bentuk, permukaan (rata atau ireguler), konsistensi (lunak atau keras), pinggir (halus atau iregular), nyeri tekan, melekat pada kulit atau tidak, melekat pada jaringan dasar atau tidak, dapat di indent (tinja indentable), berpulsasilexponsile (misal aneurisma aorta), lesi-lesi satelit yang berhubungan (misal metastase), transiluminasi (misal kista berisi cairan) dan adanya bruit. Pada palpasi hati, mulai dari fosa iliaka kanan dan bergerak ke atas pada tiap respirasi, jari-jari hams mengarah pada dada pasien. Pada palpasi kandung empedu, kandung empedu yang teraba biasanya selalu abnormal, pada keadaan ikterus, kandung empedu yang teraba berarti bahwa penyebabnya bukan hanya batu kandung empedu tapi juga hams dipikirkan karsinoma pankreas. Pada palpasi limpa, mulai dekat urnbilikus: raba limpa pada tiap inspirasi, bergerak secara bertahap keatas dan kiri setelah tiap inspirasi dan jika tidak teraba, baringkan pasien pada posisi left lateral, dengan pinggul kiri dan lutut kiri ditekuk, dan ulangi. Palpasi ginjal, dilakukan dengan cara bimanual dan pastikan dengan pemeriksaan ballotement.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Usahakan dapat membedakan limpa dengan ginjal. Bila limpa, tak dapat mencapai bagian atasnya, bergerak dengan respirasi, redup-pekak pada perkusi, ada notch atau insisura limpa, negatif pada ballotement. Bila ginjal, dapat mencapai bagian atasnya, tidak dapat digerakkan (atau bergerak lambat), beresonansi pada perkusi, tidak ada notch atau insisura dan positif pada ballotement.



Pemeriksaan Perkusi Perkusi abdomen dilakukan dengan cara tidak langsung, sama seperti pada perkusi di rongga toraks tetapi dengan penekanan yang lebih ringan dan ketokan yang lebih perlahan. Pemeriksaan ini digunakan untuk: mendeteksi kandung empedu atau vesika urinaria, di mana suaranya reduplpekak menentukan ukuran hati dan limpa secara kasar menentukan penyebab distensi abdomen: penuh gas (timpani),masa tumor (redup-pekak)datl asites 1).pekak pada pinggir dan timpani resonant pada bagian tengahl sentral, 2). shifting dullness menentukan letak pekak pada perkusi, miringkan pasien pada sisi kananfkiri, asites didemonstrasikan dengan adanya timpani pada perkusi setelah dimiringkankembali, 3). demonstrasikan thrill cairan atau pemeriksaan gelombang.



Perkusi abdomen sangat membantu dalam menentukan apakah rongga abdomen berisi lebih banyak cairan atau udara. Dalam keadaan normal suara perkusi abdomen yaitu timpani, kecuali di daerah hati suara perkusinya adalah pekak. Hilangnya sama sekali daerah pekak hati dan bertambahnya bunyi timpani di seluruh abdomen hams dipikirkan akan kemungkinan adanya udara bebas di dalam rongga perut, misal pada perforasi usus. Dalam keadaan adanya cairan bebas di dalam rongga abdomen, perkusi di atas dinding perut mungkin timpani dan di sampingnyapekak. Dengan memiringkan pasien ke satu sisi, suara pekak ini akan berpindah-pindah (shifting dullness). Pemeriksaan shifting dullness sangat patognomonis dan lebih dapat dipercaya dari pada memeriksa adanya gelombang cairan. Suatu keadaan yang disebut fenomena papan catur (chessboard phenomen) dimana pada perkusi dinding perut ditemukan bunyi timpani dan redup yang berpindah-pindah, sering ditemukan pada peritonitis tuberkulosa.



Beberapa cara pemeriksaan asites: Cara pemeriksaan gelombang cairan. Cara ini dilakukan pada pasien dengan asites yang cukup banyak dan perut yang agak tegang. Pasien dalam keadaan berbaring terlentang dan tangan pemeriksa diletakkan pada satu sisi sedangkan tangan lainnya mengetuk-ngetuk dinding perut pada sisi lainnya. Sementara itu mencegah gerakan yang diteruskan melalui dinding abdomen sendiri, maka tangan pemeriksa lainnya (dapat pula dengan pertolongan tangan pasien sendiri) diletakkan di tengah-tengah perut dengan sedikit tekanan.



Pemeriksaan menentukan adanya redup yang berpindah (shifting dullness):



Untuk cairan yang lebih sedikit dan meragukan dapat dilakukan pemeriksaan dengan posisi pasien tengkurap dan menungging (knee-chest position). Setelah beberapa saat, pada perkusi daerah perut yang terendahjika terdapat cairan akan didengar bunyi redup. Pemeriksaanpuddlesign.Seperti pada posisi knee-chest dan dengan menggunakan stetoskop yang diletakkan pada bagian perut terbawah didengar perbedaan suara yang ditimbulkan karena ketukan jari-jari pada sisi perut sedangkan stetoskop digeserkan melalui perut tersebut ke sisi lainnya. Pasien pada posisi tegak maka suara perkusi redup didengar di bagian bawah. Pemeriksaan Auskultasi Pemeriksaan ini untuk memeriksa:



Suaralbunyi usus: frekuensi danpitch meningkat pada obstruksi, menghilang pada ileus paralitik Succussion splash - untuk mendeteksi obstruksi pada tingkat lambung. Bruit arterial Venous hum pada kaput medusa. Dalam keadaan normal, suara peristaltik usus kadangkadang dapat didengar walaupun tanpa menggunakan stetoskop, biasanya setelah makan atau dalam keadaan lapar. Dalam keadaan normal bising usus terdengar lebih kurang 3 kali permenit. Jika terdapat obstruksi usus, suara peristaltik usus ini akan meningkat, lebih lagi pada saat timbul rasa sakit yang bersifat kolik. Peningkatan suara usus ini disebut borborigmi. Pada keadaan kelumpuhan usus (paralisis) misal pada pasien pasca-operasi atau pada keadaan peritonitis umum, suara ini sangat melemah dan jarang bahkan kadang-kadang menghilang. Keadaan ini juga bisa terjadi pada tahap lanjut dari obstruksi usus di mana usus sangat melebar dan atoni. Pada ileus obstruksi kadang terdengar suara peristaltik dengan nada yang tinggi dan suara logam (metallic sound). Suara murmur sistolik atau diastolik mungkin dapat didengar pada auskultasi abdomen. Bruit sistolik dapat didengar pada aneurisma aorta atau pada pembesaran hati karena hepatoma. Bising vena (venous hum) yang kadangkadang disertai dengan terabanya getaran (thrill), dapat didengar di antara umbilikus dan epigastrium. Pada keadaam fistula arteriovenosa intraabdominal kadangkadang dapat didengar suara murmur. Pemeriksaan Jasmani Organ Abdomen Hati. Pada inspeksi hams diperhatikan apakah terdapat penonjolan pada regio hipokondrium kanan. Pada keadaan pembesaran hati yang ekstrim (misal pada tumor hati) akan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



73



PEMERU(SAANABD0MEN. UROGENITAL DAN ANOREKTAL



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI terlihat permukaan abdomen yang asimetris antara daerah hipokondrium kanan dan kiri. Untuk memudahkan perabaan hati diperlukan: a). Dinding usus yang lemas dengan cara kaki ditekuk sehingga membentuk sudut 4560°, b). Pasien diminta untuk menarik napas panjang, c). Pada saat ekspirasi maksimal jari ditekan ke bawah, kemudian pada awal inspirasijari bergerak ke kranial dalam arah parabolik, d). Diharapkan, bila hati membesar akan terjadi sentuhan antara jari pemeriksa dengan hati pada saat inspirasi maksimal. Posisi pasien berbaring terlentang dengan kedua tungkai kanan dilipat agar dinding abdomen lebih lentur. Palpasi dikerjakan dengan menggunakan sisi palmar radial jari tangan kanan(bukan ujung jari) dengan posisi ibu jari terlipat di bawah palmar manus. Lebih tegas lagi bila arah jari membentuk sudut 45' dengan garis median. Ujung jari terletak pada bagian lateral muskulus rektus



Internal o b l ~ q u e aponeurosls



abdominalis dan kemudian pada garis median untuk memeriksa hati lobus kiri. Palpasi dimulai dari regio iliaka kanan menuju ke tepi lengkung iga kanan. Dinding abdomen ditekan ke bawah dengan arah dorsal dan kranial sehingga akan dapat menyentuh tepi anterior hati. Gerakan ini dilakukan berulang dan posisinya digeser 1-2 jari ke arah lengkung iga. Penekanan dilakukan pada saat pasien sedang inspirasi. Bila pada palpasi kita dapat meraba adanya pembesaran hati, maka harus dilakukan deskripsi sebagai berikut: Berapa lebarjari tangan di bawah lengkung iga kanan? Bagaimaan keadaan tepi hati. Misalnya tajam pada hepatitis akut atau tumpul pada tumor hati? Bagaimana konsistensinya? Apakah kenyal (konsistensi normal) atau keras (pada tumor hati)?



Inferior epigastric artery



Femoral $rtery Femoral



veln



Femoral artery Femoral veln



1



Femoral canal



Internal 1hgulna rlng



Fas~ial sheath



cord



Gambar 6. Anatorni kanalis inguinalis



i



Hernia may migrate to scrotum



Gambar 7. Hernia inguinalis indirek



Gambar 8. Palpasi kanalis inguinalis



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DASAR-DASAR ILMU PENYAKIT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Bagaimana permukaannya? Pada tumor hati permukaannya teraba berbenjol Apakah terdapat nyeri tekan. Hal ini dapat terjadi pada kelainan antara lain abses hati, tumor hati. Selain itu pada abses hati dapat dirasakan adanya fluktuasi.



Pada keadan normal hati tidak akan teraba pada palpasi kecuali pada beberapa kasus dengan tubuh yang kurus (sekitar 1jari). Terabanya hati 1-2 jari di bawah lengkung iga hams dikonfirmasi apakah ha1 tersebut memang suatu pembesaran hati atau karena adanya perubahan bentuk diafragma (misal emfisema paru). Untuk menilai adanya pembesaran lobus kiri hati dapat dilakukan palpasi pada daerah garis tengah abdomen ke arah epigastrium. Batas atas hati sesuai dengan pemeriksaan perkusi batas paru hati (normal pada sela iga 6). Pada beberapa keadaan patologis misal emfisema paru, batas ini akan lebih rendah sehingga besar hati yang normal dapat teraba tepinya pada waktu palpasi. Perkusi batas atas dan bawah hati (perubahan suara dari redup ke timpani) berguna untuk menilai adanya pengecilan hati (misal sirosis hati). Pekak hati menghilang bila terjadi udara bebas di bawah diafragma karena perforasi. Suara bruit dapat terdengar pada pembesaran hati akibat tumor hati yang besar. Limpa. Teknik palpasi limpa tidak berbeda dengan palpasi hati. Pada keadaan normal limpa tidak teraba. Limpa membesar mulai clan bawah lengkung iga kiri, melewati umbilikus sampai regio iliaka kanan. Seperti halnya hati, limpa juga bergerak sesuai inspirasi. Palpasi dimulai dari regio iliaka kanan, melewati umbilikus di garis tengah abdomen, menuju ke lengkung iga kiri. Pembesaran limpa diukur dengan menggunakan garis Schufier, yaitu garis yang dimulai dari titik di lengkung iga kiri menuju ke umbilicus dan diteruskan sampai di spina iliaka anterior superior (SIAS) kanan. Garis tersebut dibagi menjadi 8 bagian yang sama. Palpasi limpa juga dapat dipermudah dengan memiringkan pasien 45 derajat ke arah kanan (ke arah pemerha). Setelah tepi bawah limpa teraba, maka dilakukan deskripsi sbb: Berapa jauh dari lengkung iga kiri pada garis Schuffier (S-I sampai dengan S-VIII)? Bagaimana konsistensinya? Apakah kenyal (splenomegali karena hipertensi portal) atau keras seperti pada malaria? Untuk meyakinkan bahwa yang teraba itu adalah limpa, hams diusahakan meraba insisuranya. Ginjal. Ginjal terletak pada daerah retroperitoneal sehingga pemeriksaan hams dengan cara bimanual. Tangan kiri diletakkan pada pinggang bagian belakang dan tangan kanan pada dinding abdomen di ventralnya. Pembesaran ginjal (akibat tumor atau hidronefrosis) akan teraba di antara kedua tangan tersebut, dan bila salah satu tangan digerakkan akan teraba benturannya di tangan lain. Fenomena ini dinamakan ballotement positif. Pada keadaan normal ballotement negatif.



Pemeriksaan Perineum 1). Pemeriksaan abdomen akan lengkap dengan pemeriksan perineum dan colok dubur, 2). Untuk pemeriksaan ini penting dijelaskan terlebih dahulu pada pasien tentang tujuan dan manfaatnya, 3). Pasien berbaring dalam posisi lateral dekubitus kiri dengan kedua lutut terlipat kearah dada, 4). Pemeriksaan memakai sarung tangan. Dengan penerangan cahaya yang adekuat, bokong kanan pasien ditarik ke atas dengan menggunakan tangan kiri pemeriksa sehingga kita dapat melakukan inspeksi perineum dengan baik. Adanya hemoroid ekstema atau interna yang prolaps, fisura ani, jaringan parut, perianal tags, dermatitis, keganasan, ulkus, ataupun tumor dapat dinilai dengan baik. Pemeriksaan Inguinal Daerah inguinal ditempat oleh spermatic cord, kelenjar getah bening inguinal dan arteri femoralis. Pembengkakan pada daerah inguinal dapat disebabkan oleh hernia inguinalis atau hermia femoralis atau limfadenopati. Pada fase embrional seorang laki-laki, testes dan spermatic cord turun dari rongga abdomen ke dalam skrotum melalui kanalis inguinalis. Proses penurunan ini meninggalkan saluran yang bila tidak tertutup akan dapat menyebabkan hernia di kemudian hari. Kanalis inguinalis berjalan ke bawah dari lateral ke medial melalui anulus inguinalis interna ke anulus inguinalis eksterna di atas dan sejajar dengan ligamentum inguinalis sehingga ligamentum tersebut menjadi dasar kanalis inguinalis. Anulus inguinalis interna terletak di atas titik persilangan antara ligamentum inguinalis dan arteri femoralis. Arteri femoralis berjalan dari kranial ke kaudal pada titik tengah antara spina iliaka anterior superior dan simfisis pubis masuk kedalamfemoral sheath. Selain arteri femoralis, didalam femoral sheath juga terdapat vena femoralis dan kanalis femoralis. Kanalis femoralis ditutup oleh jaringan lemak dan kelenjar getah bening dan merupakan jalan bagi terbentuknya hernia femoralis. Hernia inguinalis akan tampak sebagai benjolan di daerah inguinal atau di dalam skrotum bila tekanan intraabdominal meninggi. Massa itu akan hilang secara spontan bila pasien berbaring, oleh sebab itu pemeriksaan untuk mencari hernia sebaiknya dilakukan dalam posisi pasien berdiri. Untuk melakukan palpasi kanalis inguinalis, terutama bila ada keluhan hernia inguinalis, letakkan ujung jari pemeriksa di bawah skrotum, lalu mengikuti spermatic cordnaik keatas menembus anulus inguinaliseksterna.Lima cm di atas anulus ini, terletak anulus inguinalis interna. Bila ujung jari telah mencapai anulus inguinalis interna, pasien di suruh mengejan atau batuk, bila teraba ada massa yang mendorong, maka berarti terdapat hernia tersebut. Untuk membedakan hernia inguinalis dengan hernia femoralis dilihat dari letak hernia terebut dengan pubic tubercle; hernia inguinalis terletak di atas dan medial terhadap pubic tubercle sedang hernia femoralis terletak di bawah dan lateral terhadap pubic tubercle.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PEMEW(SAANABDOMEN. UROGENITALDAN ANOREKTAL



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pemeriksaan Urogenital Eksterna Pemeriksaan ini merupakan ha1 yang penting, walaupun agak sensitif karena hams mendapat ijin dari pasien apalagi bila dokter dan pasien berbeda kelamin dan ada indikasi pemeriksaan. Bila ditemukan kelainan genital pada pasien perempuan dapat dikonsulkan ke dokter kulit kelamin atau dokter kandungan. Yang perlu diperhatikan tentu semua kelainan bawaan, penyakit seksual dan lainnya dari genital eksterna.



Genitalia laki-laki. Lakukan inspeksi dengan seksama, perhatikan pertumbuhan rambut pubes yng kadang-kadang dapat mencapai umbilikus. Perhatikan lubang penis, terutama bila ada keluhan retentio urin. Bila pasien mengeluh nyeri waktu ereksi, perhatikan kemungkinan terdapat hipospadia. Tanda-tanda peradangan pada glans penis juga hams diperhatikan, misalnya tanda-tanda uretritis gonoroika, balanitis circinata pada sindrom Reiter, ulkus dan sebagainya. Kalau perlu lakukan pengurutan penis untuk melihat adanya uethral discharge. Pada pasien yang tidak disunat, preputium hams dibuka untuk melihat adanya smegma atau peradangan. Skrotum dan testes juga hams diperiksa dengan seksama, apakah terdapat pembesaran atau tidak. Dalam keadaan normal testes kiri dapat lebih besar dibandingkan testes kanan. Perhatikan terhadap kemungkinan adanya hidrokel, varikokel dan hernia. Varikokel adalah pelebaran vena-vena pleksus pampiniformis, biasanya pada bagian kiri tanpa keluhankeluhan yang berarti. Hidrokel adalah penimbunan cairan pada tunika vaginalis testes. Biasanya kulit teraba agak tegang, mengkilat dan tidak nyeri serta teraba fluktuasi. Bila diberikan sinar dengan cara melekatkan lampu senter pada skrotum, maka nakan tampak sinar tersebut menembus lapisan cairan tersebut (diafanoskopi [transluminasi] positif). Pada hernia, karena didalam skrotum didapatkan massa padat yang berasal dari rongga abdomen (usus, omentum dsb), maka bela diberikan sinar tidak akan menembus massa skrotum (diafanoskopi negatif). Testes yang membesar dan lunak serta nyeri merupakan tanda adanya orkitis virus. Bila konsistensi testes keras dan tidak nyeri, hati-hati terhadap kemuingkinan slJilis atau tumor: Pada tumor, biasanya permukaan testes tidak rata. Pada palpasi juga hams dicari epididimis. Pada epididimitis tuberkulosis, akan teraba epididimis seperti manik-manik. Pada palpasi daerah inguinal, cari benjolan yang mungkin merupakan kelenjar getah bening, hernia, testes yang tidak turun atau limfogranuloma inguinale. Denyut a. Femoralis juga harus dipalpasi dan dinilai apakah normal atau tidak. Demikian juga daerah suprapubik hams dipalpasi, terutama pada retensio urin untuk melihat adakah pembesaran kandung kemih. Genitalia perempuan. Bila dianggap perlu, pemeriksaan genitalia perempuan hams disertai dokter atau perawat atau koasisten perempuan. Perhatikan pertumbuhan rambut pada mons veneris, klitoris, labia mayora dan labia minora.



Pisahkan labia majora dengan tangan kiri dan perhatikan bagian medial clan labia, akan tampak kemerahan dan lembab. Palpasi bagian dalam labia majora dengan ibu jari dan telunjuk tangan kanan. Usahakan mencari kelenjar Bartolini, dalam keadaan normal kelenjar ini tidak teraba. Pembesaran kelenjar Bartolini akan teraba di bagian posterolateral labia majora, biasanya disebabkan oleh infeksi atau abses. Pisahkan kedua labia minora sehingga introitus vagina dan uretra tampak. Perhatikan vulva dengan seksama, adakah ulkus, atau lekoplakia. Perhatikan juga cairan vagina, apakah normal atau berlebih, berbau busuk atau tidak. Kemudian dengan kedua labia masih dipisahkan oleh jari telunjuk dan jari tengah, pasien diminta untuk meluruskan kedua tungkainya. Perhatikan adanya penonjolan (bulging) pada dinding vagina yang mungkin disebabkan oleh sistokel atau rektokel. Pemeriksaan Anorektal Pemeriksaan ini terdiri dari inspeksi dan palpasi, serta pasien dalam posisi miring lateral dekubitus kiri. Pada pemeriksaan inspeksi diperhatikan kelainan anus misal adanya hemoroid eksterna, keganasan dll. Pada palpasi dilakukan pemeriksaan colok dubur (digiti manual atau rectal toucher). Oleskan jari telunjuk tangan kanan yang telah memakai sarung tangan dengan jeli atau vaselin dan juga oleskan pada anus pasien. Beritahu pasien bahwa kita akan memasukkanjari ke dalam anus. Letakkan bagian palmar ujung jari telunjuk kanan pada tepi anus dan secara perlahan tekan agak memutar sehingga jari tangan masuk ke dalam lumen anus. Masukkan lebih dalam secara perlahan-lahan sambil menilai apakah terdapat spasme anus (misalnya pada fisura ani), hemoroid interna beserta derajatnya, masa tumor, rasa nyeri, mukosa yang teraba iregular, pembesaran prostat pada laki-laki atau penekanan dinding anterior oleh vaginaIrahim pada perempuan. Pada waktu jari telunjuk sudah dikeluarkan dari anus, perhatikan pada sarung tangan apakah terdapat darah merah atau hitam ter, lendir ataupun bentuk feses yang menempel. Pada akhir pemeriksaan colok dubur jangan lupa membersihkan dubur pasien dari sisa jelilkotoran dengan menggunakan kertas toilet.



REFERENSI Bates B, Bickley LS, Hoekelman RA. A guide to physical examination and history taking. 6" edition. Philadelphia: JB Lippincott; 1995. p. 33 1-60. Delp MH, Manning RT. Major's physical diagnosis. 8Ih edition. Tokyo: WB Saunders; 1975. Djojoningrat D, Rani HAA, Daldiyono H. Pemeriksaan fisis abdomen. In: Markum HMS, editor. Anamnesis dan pemeriksaan fisis. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2000. p. 107-26. Leung W-C. Clinical examination passing your medical finals. London: Oxford University Press; 1996.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Lumley JSP, Bouloux PMG. Clinical examination of the patient. 1'' edition. London: Butterworth; 1994. p. 110-30. Sidharta P. Pemeriksaan klinis umum. Jakarta: Dian Rakyat; 1983. Supartondo, Sulaiman A. Abdurrachman N, Hadiarto, Hendarwanto. Perut. In: Sukaton U, editor. Petunjuk tentang riwayat penyakit dan pemeriksaan jasmani. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1986. p. 55-63.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



CATATAN MEDIK BERDASARKAN MASALAH (CMBM) Lukman H. Makmun



PENDAHULUAN



,



Setelah mendapatkan data-data (anamnesis) (history taking) dan pemeriksaan fisik, data-data ini harus didokumentasikan, yang dikenal sebagai catatan medik (medical record) atau status rawat inap atau status rawat jalan (poli). Dahulu hanya dituliskan data anamnesis, data pemeriksaan kemudian dibuat diagnosis dan selanjutnya dituliskan rencana pemeriksaan penunjang serta rencana terapi. Sebetulnya ha1 ini belum cukup, karena harus dilengkapi dengan alasan (reasoning) mengapa masalah itu yang ditetapkan sehingga orang lain yang membacanya dapat mengetahuijalan pikiran sipemeriksa;langkah ini disebut pengkajian masalah (assessment). Sebelum menuliskan daftar masalah perlu juga dibuatkan ringkasan dari datadata anamnesis dan pemeriksaan fisik tadi, karena biasanya data-data tersebut panjang-panjang dan berisi banyak ha1 yang relevansinya terhadap masalah kasus yang dihadapi tidak cukup h a t . Dengan membaca ringkasan ini orang lain sudah dapat menangkap gambaran permasalahan pasien dengan cepat dan menyeluruh. Kemudian dari tiap masalah yang sudah diberikan alasannya, dibuatkan rencana pemeriksaan penunjang dan rencana terapi serta rencana apa yang mesti disuluhkan kepada pasien. Setelah itu dibuatkan lagi kesimpulan dari keseluruhan isi dengan menyebutkan juga bagaimana prognosisnya.



Untuk mendapatkan fakta tentang keadaan penyakit si pasien, berikut dengan faktor-faktor yang memengamhi-



nya. Wawancara dapat dilakukan dengan pasien sendiri yang disebut auto-anamnesis tetapi dapat juga dilakukan dengan menanyai keluarga atau yang menemani pasien misal pada anak-anak atau bila pasien dalam keadaan gawat atau menderita strok dengan afasia dan disebut allo-anarnnesis. Dalam melakukan anamnesis diperlukan teknik komunikasi dengan rasa empati yang tinggi dan teknik komunikasi itu terdiri atas komunikasi verbal dan non verbal yang hams diperhatikan. Kemudian rahasia hams dipegang kuat karena pasien datang dengan rasa kepercayaan. Bila anamnesis dilakukan dengan baik maka lebih kurang 70% diagnosis penyakit sudah dapat ditegakkan. Bagan anamnesis terdiri atas: Menanyakan identitas pasien termasuk nama, umur, alamat, status keluarga, pekerjaan dan pendidikan Menanyakan keluhan utama yang menjadi sebab mengapa dia datang mencari pertolongan ke dokter. Menyusun riwayat penyakit sekarang. Dari wawancara dengan pasien dapat disusun lamanya keluhan, awitan timbulnya akut atau berangsung-angsur, faktor pencetus dan kronologis perkembangan penyakit. Dalam rangka mengajukan pertanyaan, dipergunakan kerangka pendekatan klinik (clinical approach) terhadap gejala yang disampaikan. Dalam pikiran pemeriksa sudah langsung muncul tentang mekanisme terjadi gejala tersebut. Selanjutnya disusun daftar diagnosis banding dari gejala tadi. Gejala masingmasing penyakit dari daftar diagnosis banding sudah disimpan di kepala untuk kalau perlu nanti akan ditanyakan kepada pasien. Sesuai dengan teknik komunikasi diberikan jenis pertanyaan terbuka, yang kemudian diolah, kira-kira akan menuju kemana dari daftar diagnosis banding tadi. Setelah kira-kira sudah



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DASAR-DASARILMU PENYAKIT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ada penyakitheberapa penyakit yang akan dituju, maka gejala-gejalanya dapat ditanyakan kepada pasien dengan memberikan jenis pertanyaan tertutup atau pertanyaan spesifik. Kemudian ditanyakanjuga tentang faktor-faktorpenyebab, yang mempengaruhi pejalanan penyakitnya dan kemungkinan komplikasinya. Secara rutin ditanyakan tentang keluhan tambahan yang mungkin ada kaitannya dengan penyakit utama. Menanyakan riwayat penyakit dahulu Menanyakan masalah sosial ekonomi budaya Menanyakan penyakit-penyakit yang terdapat dalam keluarganya. Menilai status psikologisnya Melaukukan check list anamnesis sistem yang maksudnya supaya tidak ada yang terlupakan dan kemudian akan ditanyakan lebih lanjut bila memang ada. Hal ini mungkin masih dirasa perlu untuk latihan mahasiswa dalam melakukan anamnesis. Khusus untuk pasien usia lanjut, ditanyakan tentang kemandiriannya (ADL=ActivityDaily Living) dan IADL yaitu ADL dengan menggunakan instrumen misal apakah dapat menyapu lantai. Juga dites apakah ada depresi dan tes memori untuk melihat demensia. Bila sudah ada hasil pemeriksaan penunjang yang relevan dapat dituliskan juga.



PEMERIKSAAN FlSlS Melakukan teknik pemeriksaan fisis untuk mendapatkan tanda-tanda penyakit yang diidap pasien. Pemeriksaan fisis sudah dapat dinilai, mulai saat pasien masuk ke ruang praktek, melihat bentuk tubuh, cara berjalan, cara bergerak dan keadaan secara umum. Sekilas sudah tampak apakah dia sakit ringan, sedang ataupun berat. Akan terlihat juga kesadaran, sesak, bengkak di seluruh badan atau di muka, warna kulit kuning atau pucat dan keadaan gizi. Selanjutnya diperiksa tandatanda vital yaitu: kesadaran, tekanan darah, nadi, frekuensi napas, suhu tubuh. Kemudian pemeriksaan dimulai dari rambut, secara sistematik turun sampai ke ujung kaki dengan menerapkan langkah-langkah: inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Dilakukan pemeriksaan dari daerah kepala termasuk mata, daerah telinga hidung tenggorokan (THT) termasuk mulut dan gigi. Turun ke leher berupa pemeriksaan tekanan vena jugularis (Jugular venous pressure, JVP), kelenjar getah bening (KGB), kelenjar tiroid. Selanjutnya pemeriksaan daerah dada meliputi paru dan jantung baik bagian depan maupun belakang, termasuk daerah ginjal. Seterusnya ke arah abdomen dan kalau perlu dilakukan pemeriksaan rektal dan genitalia. Akhirnya pemeriksaan pada daerah ekstremitasdengan melakukanjuga tes refleks baik fisiologis maupun patologis.



RINGKASAN



Dari hasil pengumpulan data-data anamnesis termasuk hasil pemeriksaan penunjang terkait yang sudah ada, dan pemeriksaan fisis biasanya cukup panjang dan berisikan semua informasi baik yang menyokong ataupun tidak menyokong untuk penegakan diagnosis. Karena itu diperlukan suatu ringkasan mengenai hal-ha1 yang relevan saja, mulai dari identitas, gejala-gejala dengan perkembangan singkat dan tanda-tandanya. Informasi untuk tujuan menyingkirkan penyakit tertentu dari dugaan diagnosis banding dapat juga dituliskan.



DAFTAR MASALAH Berdasarkan informasi gejala dan tanda yang sudah ditulis dalam ringkasan, diolah atas dasar clinical reasoning dengan membuat pengelompokan (clustering) baik yang menunjang maupun yang tidak menunjang, masalah dapat ditegakkan berikut dengan diagnosis bandingnya. Karena kadang-kadang seorang pasien mempunyai banyak keluhan yang berasal dari berbagai masalah, misalnya pada pasien usia lanjut, maka jumlah masalahnya bisa lebih dari satu sehingga dibuatlah daftar masalah dengan masing-masing diagnosis banding bila ada. Masalah ini dapat berupa: nama penyakit, sindrom yang merupakan kumpulan gejalaltanda, tanda saja atau gejala saja, kondisi psikososial. Diusahakan supaya sedapat mungkin masalah ini berupa nama penyakit. Daftar masalah ini disusun berdasar prioritas untuk ditatalaksana.



PENGKAJIAN MASALAH Daftar masalah telah disusun, tetapi perlu disampaikan alasan-alasan mengapa pemeriksa menentukan masalah tersebut.dan juga menganalisa kemungkinan diagnosis bandingnya. Caranya dengan menyampaikan informasi dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang relevan yang diambil dari ringkasan, untuk menyokong penentuan masalah itu. Artinya diagnosis pemeriksaan dapat dipertanggung jawabkan.



RENCANA PENATALAKSANAAN Terdiri atas tiga hal, yaitu : rencana diagnostik penunjang, misal : pemeriksaan darah, urin, EKG foto toraks rencana pengobatan non farmaka dan farmaka. Non farmaka berupa : tirah baring, diet Farmaka : obat-obatan baik intravena maupun oral.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



CATATATANMEDIK BERDASARKAN M A S A W i (CMBM)



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI rencana penyuluhan untuk memberikan nasihat kepada pasien dan keluarganya. Seperti penyuluhan pada penyakit-penyakit kanker, AIDS, PPOK dan lain-lain. Terutama untuk diagnositik dan terapeutik dengan memperhatikan prinsip cost-effectiveness. Semuanya ini direncanakan berdasarkan masalahmasalah yang telah ditentukan tadi. Untuk setiap masalah direncanakan ketiga aspek rencana tersebut, yaitu penunjang, terapi dan penyuluhan.



follow up di bangsal. Untuk hasil follow up merupakan penulisan lanjutan di rekam medik. Kerangka penulisan adalah SOAP; S = Subjective (keluhan pasien) 0 = Objective (tanda yang didapat) A = assessment (analisis data) P = planning (perencanaan) Keluhan subjektif adalah keluhan yang mungkin masih ada atau sudah ada perbaikan ataupun timbul keluhan baru. Tanda objektif adalah hasil pemeriksaan fisik yang relevan bila ada perubahan



PROGNOSIS Bagaimana kelanjutan dari penyakit terhadap pasien, ini yang sering ditanyakan oleh pasien dan keluarganya. Apakah masih bisa sembuh, ataukah perlu operasi, bagaimana selanjutnya dimasa depan ? Dalam ha1 ini perlu pengalaman dan mengetahuan statistik tentang penyakit tersebut dengan juga menggunakan EBM (Evidence Based Medicine) untuk prognosis penyakit. Prognosis terbagi atas : 1). ad vitam, 2). ad sanationam, 3). ad functionam.



Assessment yaitu penilaian atau pengkajian terhadap gejala yang ada dan tanda yang didapat. Mungkin sudah ada perbaikan atau sembuh sama sekali. Daftar masalah mungkin ada perubahan. Perencanaan mencakup ke tiga aspek yaitu rencana diagnostik, kalau ada yang baru mau dikerjakan, misal USG CT scan toraks dll. Rencana terapi bila ada yang mau diubah ataupun dihentikan karena timbul efek samping. Rencana penyuluhan bila masih ada hal-ha1 yang mau disampaikan kepada keluarga. CMBM berguna untuk mencatat seluruh perjalanan penyakit



KESIMPULAN Dituliskan ulang identitas singkat, daftar masalah yang penting dan juga mungkin ada ha1 yang khusus tentang rencana penatalaksanaan serta prognosisnya. Inilah CMBM pasien baru, sesudah pemeriksaan dokter. Rekam medik awal ini yaitu dibuat saat pasien pertama kali bertemu dokter. Bila pasien dirawat di rumah sakit dilakukan



REFERENSI Bates B, Bickley LS, Hoekelman RA. A guide to physical examination and history taking. 61h ed. Philadelphia: JB Lippincott; 1995. p.1-30.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PSIKONEURO IMUNOENDOKRINOLOGI E. Mudjaddict, Hamzah Shatri, R. Putranto



Sistem saraf vegetatif-otonom memiliki hngsi mengatur dan mempertahankan homeostasis terhadap gangguan yang mungkin timbul baik akibat faktor lingkungan, psikis atau terhadap penyakit. Sistem saraf otonom-vegetatif terdiri atas sentra-sentra vegetatif di korteks serebri, mesensefalon dan diensefalon, nuklei vegetatif di medula oblongata, medula spinalis dan ganglia parasimpatik di saraf perifer. Serat saraf simpatik dan parasimpatik memasulu sistem organ perifer. Sistem limbik yang berperan dalam integrasi emosi berhubungan dengan hipotalamus sebagai pusat sistem saraf otonom-vegetatif dan berhubungan dengan sistem lain seperti korteks serebri sebagai pusat intelektualitas, formasio retikularis yang mengatur kesadaran dan irama tidur serta hipofisis sebagai pusat endokrin. Jadi terdapat hubungan antara pusat vegetatif, kesadaran dan endokrin yang saat ini dikenal sebagai psikoneuroendokrinologi. Psikoneuroendokrinologi meneliti perubahan sistem endokrin yang disebabkan oleh stres psikis. Beberapa penelitian baik pada binatang maupun pada manusia membuktikan bahwa stres psikis ataupun perubahan emosi dapat mempengaruhi fungsi sistem hormonal misalnya peningkatan produksi katekolamin, bertambahnya sekresi Adrenocorticotropin hormone (ACTH) yang mengakibatkan bertambahnya sekresi steroid dari korteks anak ginjal, kenaikan produksi hormon pertumbuhan, prolaktin dan sebagainya, ataupun sebaliknya produksi hormon bukan meningkat tetapi menurun. Dikenal juga istilah somatopsikis psikosomatik, yaitu terjadinya perubahanperubahan fungsi psikis pada hampir semua penyakit endokrin seperti terjadinya kecemasan pada hipertiroidisme atau sebaliknya terdapat gejala-gejala depresi pada pasien hipotiroid. Dalam ilmu kedokteran psikosomatik, paradigma baru mengenai mind-body connection (hubungan psikis dan fisik), berkembang sejak Cohen dan Adler pada tahun 1975



menemukan bahwa imunosupresi dapat terjadi akibat perubahan tingkah laku. Sejak itu diperkenalkan istilah psikoneuroimunologi. Baik psikoneuroendokrinologi maupun psikoneuroimunologi merupakan suatu rangkaian proses yang terkait satu sama lain sehingga kemudian dikenal istilah psikoneuroimunoendokronologi.



PSIKONEUROENDOKRINOLOGI Neurosekresi sebagai dasar neuroendokrinologi ialah kemampuan sel-sel neuron tertentu yang berada di hipotalamus dan hipofisis untuk mengeluarkan zat-zat sekresi yang memiliki sifat-sifat hormon, kemudian mengalirkan zat-zat tersebut ke organ-organ sasaran melalui darah. Sel-sel peptidergis di hipotalamus dipengaruhi oleh sel-sel otak yang lain, sebagai lazimnya, melalui berbagai jenis transmiter di sinaps. Sistem neurosekresi terpenting berada di neuro-hipofisis (lobus posterior) dan adenohipofisis (lobus anterior). Hipofisis posterior berisi vasopresin dan oksitosin, yang dibuat di hipotalamus kemudian dialirkan melalui neuro-sekresi ke hipofisis posterior. Hipofisis anterior menyimpan ACTH, STH, TSH, LH dan prolaktin. Sekresi hormon-hormon ini dikontrol oleh hipotalamus dengan mengalirkan hormon-hormon hipofisiotrop dari hipotalamus ke hipofisis anterior. Hormon-hormon hipofisiotrop ialah: TRH, luteotrop releasing hormone, growth hormone releasing hormone, GNRH, dan sebagainya. Stres psikis mempengaruhi fungsi endokrin, telah dikemukakan oleh Cannon. Stimulasi emosional menimbulkan perubahan fisiologis melalui sistem endokrin, yaitu kelenjar adrenal. Dalam keadaan stimulasiyang hebat, pada aktivitas fisis (latihan), keadaan demam atau infeksi,



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



pola reaksi tersebut mulai bekerja. Akibatnya tercapailah kompleks penyesuaian yang luas dan terintegrasi, yang menggerakkan sumber energi badan dengan melibatkan sistem saraf otonom dan sistem endokrin. Pola yang dilukiskan Cannon ini, bersifat adaptif, karena seringkali timbul dalam keadaan darurat, keadaan luka-luka dan sebagainya untuk menyiapkan organisme mengatasi situasi-situasi tersebut. Pembahan-perubahan yang terjadi sebagian besar mengenai sistem kardiovaskular, respirasi, kelenjar-kelenjar dan sistemsistem lain. Dasar pola adaptif ini ialah sekresi kelenjar adrenal (suatu hormon), yang memperkuat dan mempertahankan reaksi emergensi, yang biasanya digerakkan temtama oleh sistem saraf simpatik. Kelenjar adrenal bekerja sama dengan sistem saraf simpatik melaksanakan pola respons fisiologis yang adaptif tersebut sehingga terjadi keadaan simpatikotoni. Pola adaptif yang merupakan reaksi darurat sistem saraf simpatisialah: l).Produksi e p i n e h (adrenalin) oleh kelenjar adrenal yang kemudian masuk aliran darah; 2). Epinefiin melepaskan glikogen di hati, kemudian bembah menjadi karbohidrat, masuk ke dalam aliran darah hingga meningkatkan kadar glukosa darah. Hal itu dibutuhkan untuk metabolisme energi; 3). Bronkioli pam melebar, hingga pernapasan dan ambilan oksigen lebih sempuma; 4). Irama jantung dan curah jantung naik, hingga sirkulasi darah meningkat. Hal itu dibutuhkan untuk suatu kerja fisik. 5). Vasodilatasi perifer, hingga darah dialirkan lebih banyak ke otot-otot perifer dan fingsi motorik menjadi optimal. Pengetahuan kita mengenai faktor-faktor psikis yang menimbulkan penyakit endokrin masih sangat sedikit. Gangguan psikis yang sangat berat sekalipun, misalnya



psikosis akut, belum diketahui menimbulkan reaksi endokrin yang jelas walaupun anatomis sel-sel peptidergis dapat dipengamhi oleh rangsang-rangsang psikis melalui sel-sel neuron bagian otak yang lain. Beberapa penyakit endokrin yang sangat dipengamhi faktor psikis memegang peranan penting antara lain adalah hipertiroidisme, diabetes melitus, anoreksia nervosa dengan amenorea fungsional, sindrom Cushing dan obesitas. Sebaliknya, bermacam-macam hormon perifer mempengamhi pusat saraf seperti hipotalamus dan sistem limbik, yang merupakan pusat sistem saraf otonom, sehingga dapat dimengerti mengapa setiap penyakit endokrin dapat menimbulkan gejala-gejalapsikopatologis. Tidak jarang gejala-gejala psikis pada suatu penyakit endokrin lebih berat dari pada manifestasi gangguan keseimbangan hormonalnya sendiri.



Konsep utama psikoneuroimunologi adalah konsep hubungan antara sistem stres, sistem saraf (otonom), sistem imun serta sistem endokrin, sehingga lebih tepat disebut sebagai psikoneuroimunoendokrinologi. Respons imun dipengaruhi secara kimiawi oleh sistem saraf dan endokrin. Sebaliknya sistem endokrin dapat dipengamhi oleh sistem imun secara kimiawi melalui zat kimia yang disekresikan oleh sistem imun. Hubungan antara stres, sistem adrenergik dan neuron di otak adalah suatujaringan yang terjadi melalui komunikasi psikologis dan neurologis (Gambar 1).Telah lama diketahui bahwa pembahan pada sistem adrenergik berperan dalam terjadinya depresi akibat



dengan variabel Psikososial



Gambar 1. Hubungan fungsi psikoneuroirnunoendokrin dengan stresor psikososial



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DASAR-DASARILMU PENYAKIT D A M



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



stres. Hubungan antara sistem saraf pusat (SSP), endokrin dan imun sangat kompleks. Hubungan SSP dengan locus ceruleus (LC) dalam berkomunikasi terjadi lewat 40.000 neuron melalui hipokampus, amigdala d m lobus limbik yang berperan dalam afek perasaan dan emosi serta berhubungan dengan korteks serebral yang mempengaruhi kognisi. LC terletak bilateral pada dorsal pons didekat dasar ventrikel keempat, dan merupakan sumber utama norepinefrin (NE). LC juga mempengaruhi dopamin, asetilkolin dan serotonin. Jaringan LC mempengaruhi hormon lewat hipotalamus. Sistem limbik (emosi), hipotalamus (hormon) dan frontal korteks (pikiran abstrak dan afek) saling berhubungan. Neuropeptida yang mempengaruhi emosi (enkafalin dan b-endorphin) dilepas dari hipotalamus sedangkan hipofisis dan kelenjar adrenal mengawasi migrasi monosit sel imun. Monosit ini akan berubah menjadi makrofag bila meninggalkan sirkulasi menuju jaringan target untuk fagositosis. Sel sekretoris di hipotalamus dimodulasi oleh persepsi stres, kemudian melepaskan neuropeptida ke hipofisis dan bagian lain di otak. Pesan ini memodulasi pengeluaran beberapa hormon seperti adrenocorticotropin (ACTH), yang mengaktifkan kortikosteroiddi korteks adrenal. Secara bersamaan, neuron di hipotalamus membangkitkan sistem saraf simpatis pada saat stres dan dilepasnya katekolamin dari medula adrenal. Reseptor neuropeptidajuga ditemukan pada sel imun. Sel imun mempunyai kemampuan belajar, mengingat kembali dan memproduksi neuropeptida lebih lanjut. Selain itu astrosit dapat menjadi perantara suatu respons imun di otak. Sitokin suatu protein yang mempengaruhi proliferasi limfositjuga mempengaruhi otak melalui kompleks reseptor. Jadi adanya gangguan satu sistem akan mempengaruhi sistem yang lain.



EFEK STRES TERHADAP SISTEM IMUN DAN PROSES INFLAMASI Aktifasi aksis Hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) oleh stres akan menyebabkan penghambatan pada respons imun inflamasi, karena seluruh komponen sistem imun dihambat oleh kortisol. Pada tingkat selular, terjadi gangguan pada fungsi dan lalu lintas lekosit, penurunan produksi sitokin dan mediator inflamasi lainnya. Hambatan tersebut terhadap organ target terjadi melalui efek antiinflamasi dan imunosupresi sebagai akibat efek hormon glukokortikoid. Efek ini terjadi saat istirahat (basal) dan selama stres inflamasi, saat konsentrasi glukokortikoid meningkat.



Hubungan yang luas antara anatomi, kimiawi dan molekular menyebabkan terjadinya komunikasi tidak hanya diantara mereka, tetapi juga antara sistem imun dan endokrin. Sistem adreno-medular atau eferen simpatis berperan penting dalam interaksi aksis HPA dan stres imun atau stres inflamasi, seperti hubungan antara sistem Corticotropin Releasing Hormon (CRH), transmisi humoral, sinyal saraf, dan organ limfoid melalui tempat inflamasi pada neuron simpatis postganglion. Sel imun dan asesori sel imun memiliki reseptor untuk merespons neurotransmiter, neuropeptida dan neuro-hormon yang disekresikan oleh neuron simpatis pascaganglion atau medula. Sel mast diaktifasioleh produk neurohormon seperi CRH. Hal ini menjelaskan stres akut menginduksi keadaan alergi seperti asma dan dermatitis atau penyakit vaskular fungsional seperti sakit kepala migrain. Sistem otonom dapat diaktifasi saat stres juga secara sistemik dapat terjadi pada imun humoral dengan menginduksi sekresi interleukind (IL-6) ke dalam sirkulasi sistemik. Aktivitas IL-6 dihambat oleh sekresi glukokortikoid dan melalui penekanan sekresi TNF-a, dan IL-1 yang berperan penting dalam kontrol inflamasi. Gambaran umum konsep psiko-neuro-imunoendokrinologi ini lebih memudahkan dalam memahami gangguan psikosomatik pada penyakit endokrin maupun pada penyakit-penyakit inflamasi.



REFERENSI Ader R, Cohen N. Behaviorally conditioned immunosupression. Psychosom Med 37:333-40, 1975. Assaad G. Psychosomatic disorder, theoritical and clinical aspect. BrunnerIMazel, Inc. 1996 :pp29. Budihalim S, Sukatman D. Ketidakseimbangan vegetatif , in Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam I1 edisi 3, Suyono S et al (eds). BP FKUI, Jakarta, 2001. Chrousos GP, Gold PW. The concept of stress and stress system disorders : overview of physical and behavioral homeostasis. JAMA 9:1244-152,1992. Herbert TB, Cohen S. Stress and immunity in humans : A metaanalytic review. Psychosom Med 55:364-79, 1993. Kaye et al. Stress, Depression, and Psychoneuroimmunology. J Neurosc Nurs 32: 93-100, 2000. O'Connor TM, Hlloran DJ, Shanahan F. The stress response and HPA-axis: from molecule to melancholia. Q J Med 93:323-33, 2000. Watkins A. Mind-Body Medicine: A Clinician's Guide to Psychoneuro immunology. Churchill Livingstone, 1997.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



MASALAH KESEHATAN AKIBAT ALKOHOL DAN MEROKOK Budiman



PENDAHULUAN Alkohol, adalah suatu zat yang pada dosis rendah mempunyai efek menguntungkan seperti menurunkan kejadian infark miokard, strok, batu kantong empedu dan kemungkinan penyakit Alzheimer. Akan tetapi bila konsumsi lebih dari dua gelas standar sehari dapat menyebabkan problem kesehatan pada beberap sistem. Minum dalam jumlah besar dan berulang-ulang seperti pada penyalahgunaan alkohol dan ketergantungan alkohol dapat memperpendek harapan hidup baik pada laki-laki maupun perempuan, pada semua kelompok kultur dan tingkat sosial ekonomi.



/



fZO%



Etanol -(



Dehidrogenase



I Asetik KoA



. .



Asetaldehida



Asetaldehida



I Asetat



Asarn lernak



I



I



Siklus asarn sitrat



CO, + air



I i



1



Gambar 1. Jalur oksidasi etanol



FARMAKOLOGI DAN PENGARUH KONSUMSI ETANOL Etanol merupakan molekul yang lemah, dan dapat dengan



mudah menembus membran sel, serta dapat dengan cepat merata dalam darah dan jaringan. Kadar alkohol di dalam darah dinyatakan dalam miligram atau gram etanol per desiliter (misal 100 mg/dL atau 0,l g/dL). Pada orang yang minum 1 (satu) sampai dengan 2 (dua) gelas per hari, memiliki kadar 0,02 - 0,03 g/dL. Minuman yang mengandung etanol 10 - 15 g adalah: 340 ml(12 02): bir 115 ml(4 02): anggur yang nonfortzyed 43 m1(1,502) minuman yang profort$ed 0.5 1 beverage (coctail, brew) mengandung etanol 160 g (* 16 minuman standar) 11 anggur mengandung 80 g etanol. Zat-zat lain yang ada dalam minuman yang beralkohol meliputi zat molekul yang rendah dan tinggi seperti metanol dan butanol, aldehid, ester, histamin, fenol, tannins, zat besi, timbal, kobal, yang merusak kesehatan pada peminum berat. Etanol adalah depresan susunan saraf pusat yang menyebabkan penurunan aktivitas saraf, meskipun pada kadar yang rendah juga memperlihatkan pengaruh perangsangan. Zat ini mempunyai toleransi silang dengan obat depresan meliputi benzodiazepin dan barbiturat dan semuanya menghasilkan perubahan perangai yang sama. Alkohol diserap dari mukosa mulut dan esofagus (dalam jumlah kecil) dari lambung dan usus besar (sebagian kecil) dan dari bagian proksimal usus kecil (sebagian besar). Absorbsi dipercepat oleh pengosongan lambung yang cepat, atau tidak adanya protein, lemak, karbohidrat, dengan pengenceran volume etanol atau dengan karbonasi (misalnya champagne). Pada konsentrasi 2% - 10% dari kadar alkohol yang rendah, di dalam darah etanol diekskresi langsung melalui paru, air kencing atau keringat. Bagian yang terbesar,



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DASAR-DASAR ILMU PENYAKIT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dari sitoplasma ke nukleus.



dimetabolisme dalam hati menjadi asetoldehida. Setelah itu, secara cepat dihancurkan oleh aldehida dehidrogenase (ALDH) dalam sitosol dan mitokondria. Pada konsentrasi alkohol dalam darah yang tinggi, etanol akan dioksidasi >lo%, oleh mikrosom dari retikulum endoplasma (merupakan jalur kedua yaitu MEOS: microsomal etanol oxidizing sistem). Meskipun alkohol memberikan kalori 300 kJ atau 70 100 kcal (per gelas) tetapi tidak mengandung mineral, protein dan vitamin. Alkohol dapat mempengaruhi absorbsi vitamin dalam usus halus dan menurunkan cadangannya dalam hati, yang terpengaruh adalah folat Volacin atau folic acid),piridoxime (B6), tiamin (B l), asam nikotinat (niacin, B3) dan vitamin A. Pemberian etanol dalam keadaan puasa pada induividu yang sehat dapat menyebabkan hipoglikemia sepintas yang terjadi dalam 6 - 36 jam sebagai akibat mekanisme glukoneogenesis yang cepat dari etanol, sampai alkohol hilang dalam waktu 2 - 4 minggu. Ketoasidosis akibat alkohol menggambarkan adanya penurunan oksidasi asam lemak yang dikombinasi dengan buruknya diet atau muntah yang berulang yang tidak dapat dianggap sebagai ketosis diabetik. Pasien akan memperlihatkan peningkatan keton di dalam serum bersama-sama kenaikan gula tetapi dengan anon gap yang tinggi, kenaikan yang ringan sampai sedang dari serum laktat dan rasio b hidroksi butiratl laktat berkisar antara 2: 1 dan 9: 1 (dalam keadaan minimal 1:1).



EFEK TERHADAP PERILAKU, TOLERANSI DAN KETERGANTUNGAN



Efek suatu obat tergantung pada dosis, kenaikan kadarnya di dalam plasma, adanya obat lain dan riwayat pemakaian obat di masa yang lalu. Pada pemakaian alkohol, adanya penurunan atau kenaikan kadarnya di dalam darah, efeknya akan sangat tergantung kadar alkohol pada keadaan sebelumnya. Meskipun secara nyata intoksifikasi akan terjadi bila kandungan alkohol dalam darah setidaknya 80 - 100 mgl dL, akan tetapi perubahan perilaku, psikomolar dan kesadaran akan terlihat pada kadar antara 20 - 30 mg/dL (misalnya setelah minum 1 - 2 gelas). Tidur yang dalam tetapi tidak nyenyak dapat terjadi pada kadar 2 kali kadar intoksifikasi, sedangkan kematian dapat terjadi pada kadar 300 - 400 mg/dL. Minuman alkohol mungkin lebih bertoleransi terhadap kelebihan dosis dibanding dengan obat yang lain. Efek intoksifikasi alkohol berhubungan dengan reseptor neurotransmiter dan transporter. Alkohol menambah reseptor gamma amino butyric acid (GABAA) dan menghambat reseptor N methyl - D - aspartat (NMDA). Penelitian in vitro menunjukkan efek tambahan meliputi penghambatan uptake adenosin dan translokasi sub unit siklik AMP - dependent protein kinase katalitik



Neuron secara cepat beradaptasi terhadap aksi ini dan efek yang berbeda bisa terjadi selama pemakaian yang lama dengan penghentian yang tiba-tiba. Pada akhirnya ada 3 tipe penambahan kompensisasi yang berkembang setelah paparan yang berulang oleh alkohol, menghasilkan toleransi terhadap kadar alkohol yang tinggi.



Pertama Setelah 1 sampai 2 minggu minum yang rutin, toleransi metabolik dan farmakokinetik dapat dilihat dengan penambahan 30% dari kecepatan metabolisme etanol di dalam hati. Penambahan ini menghilang hampir secepat perkembangannya.



Kadar dalarn darah (rngldl)



Efek yang terjadi



20



Penurunan hambatan, keracunan yang ringan



80



Penurunan fungsi kesadaram dan tarnpilan rnotorik



200



Bicara rneracau; gerakan motorik tidak terkoordinasi, irritable, gangguan penilaian



300



Korna yang ringan, tanda-tanda vital terdepresi



400



Meninggal



Kedua Toleransi selular dan farmakodinamik berkembang melalui penambahan neurokemikal dan itu memberi peranan pada ketergantungan fisik. Ketiga Individu dapat belajar untuk beradaptasi pada perangai mereka maka mereka dapat berfungsi lebih baik dibanding pengaruh obat yang diharapkan (behavioral tolerance). Perubahan selular yang disebabkan oleh paparan etanol kronis tidak dapat hilang dalam beberapa minggu atau penghentian minum alkohol yang lebih lama sementara neuron membutuhkan etanol untuk berfungsi optimal dan individu dapat menjadi dependen secara fisik. Daur ini berbeda dari ketergantungan psikologis suatu konsep yang menunjukkan bahwa seseorang secara psikologis tidak nyaman bila tanpa obat.



EFEK ETANOL PADA SISTEM ORGAN



Meskipun minum 1 atau 2 gelas sehari pada orang sehat dan tidak hamil dapat menyebabkan efek yang menguntungkan, tetapi pada dosis alkohol yang lebih



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



MASALAH KESEHATAN AKIBAT ALKOHOL DAN MEROKOK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI tinggi adalah toksik untuk kebanyakan organ tubuh. Pengetahuan mengenai efek yang merusak dari alkohol dapat membantu dokter untuk mengidentifikasi pasien alkoholik dan menyediakan informasi yang dapat membantul memotivasi mereka.



Halusinasi pendengaran dan delusi paranoid (alkohol inducedpsychiatric disorder) dapat terjadi pada 1 - 10% peminum. Pengobatannya adalah dengan cara pemberhentian minuman alkohol dan terapi suportif, dan kesembuhan penuh dapat terjadi pada beberapa hari sampai dengan 4 minggu.



SUSUNAN SYARAF PUSAT SISTEM GASTROINTESTINAL Hampir 35% peminum pernah mengalami black out, suatu episode amnesia anterograde sementara, dimana seseorang akan melupakan apa yang terjadi selama minum alkohol. Masalah lain yang sering terjadi setelah minum beberapa gelas alkohol adalah akan menyebabkan penurunan yang cepat gerakan mata dan tidur yang dalam, dan kadang-kadang menimbulkan gangguan mimpi di tengah malam. Akhirnya alkohol akan merelaksasi otot-otot di faring dan dapat menyebabkan ngorok dan eksaserbasi apnea dalam tidur dan ini terjadi pada laki-laki dengan usia di atas 60 tahun dengan presentasi sekitar 75%. Sebagai konsekuensi penurunanjudgment dan kondisi yang dihubungkan dengan alkohol yang mengakibatkan kurang lebih separuh pemakainya mendapatkan trauma fisik dan data menunjukkan bahwa di Amerika Serikat sekitar 40% peminum mengalami intoksikasi saat mengendarai kendaraan bermotor. Dosis yang kronis dapat menyebabkan neuropati perifer pada 5- 15% peminum. Pasien menunjukkan gejala mati rasa di kedua kaki, gatal dan kesemutan. Sindrom Wernike's (oftalmoparesis, ataksia, dan ensefalopathy) dan sindrom Korsakoff terdapat pada 10% peminum dengan defisiensi tiamin terutama pada orang-orang dengan defisiensi transketolase. Hampir mendekati 1% peminum berkembang menjadi degenerasi serebelar suatu sindrom progresif yang menyebabkan cara berdiri dan cara berjalan yang tidak kokoh dan sering dihubungkan dengan nistagmus yang ringan, dan dalam pemeriksaan pencitraan neurologis menunjukkan adanya atrofi pada vermis serebelum. Alkohol dapat menyebabkan gangguan kesadaran berat yang meliputi penurunan ingatan kejadian yang baru dan yang lama dalam jangka waktu beberapa minggu sampai bulan setelah pesta minuman keras. Ventrikel otak dan sulkus otak dapat membesar dan ini terlihat pada 250% peminum alkohol yang kronis, akan tetapi pembesarkan ini sering reversibel, kembali normal dalam setahun setelah berhenti minum. Kadang problem psikiatrik dapat terlihat pada peminum alkohol yang berat atau peminum yang berhenti tiba-tiba. Meliputi rasa sedih yang mendalam untuk beberapa minggu terakhir dan ini terjadi pada 40% peminum dan diklasifikasikan dalam kelainan mood, yang dipengaruhi oleh alkohol. Kecemasan yang tinggi terjadi pada awal berhenti minum dan dapat terjadi sampai berbulan-bulan setelah berhenti minum.



*



Esofagus dan Lambung Pengaruh alkohol yang akut dapat menyebabkan inflamasi pada esophagus dan lambung, menyebabkan distress pada epigastrium dan pendarahan gastrointestinal. Pada pemakaian yang kronik menyebabkan muntah yang hebat dan dapat menyebabkan lesi Mallory Weiss yaitu suatu robekan memanjang dalam mukosa pada daerah gastroesophageal junction. Pankreas dan Liver Kejadian pankreatitits akut (2,5% pertahun) hampir mendekati 3 kali lipat dibanding populasi yang umum. Alkohol mengganggu glukoneogenesis di dalam hati dan mengakibatkan penurunan produksi gula dari glikogen, produksi laktat meningkat dan menurunkan oksidasi asam lemak dan menyebabkan akurnulasi lemak di dalam sel hati. Pada individu yang normal perubahan ini reversibel tetapi dengan pengulangan pemaparan dengan etanol perubahan yang lebih berat dapat terjadi termasuk penumpukan lemak, hepatitis yang diinduksi oleh alkohol, perifenular sklerosis, dan sirosis hati. Kejadian sirosis terjadi pada 15%-20% dari peminum Kanker Minurn alkohol 1,5 gelas perhari meningkatkan risiko kanker payudara 1,4 kali. Untuk semuajenis kelamin minum lebih dari 4 gelas per hari akan meningkatkan risiko kanker mulut dan esofagus 3 kali dan kanker rektum 1,5 kali.



SISTEM HEMATOPOIETIK Etanol dapat menyebabkan kenaikan besarnya sel darah merah (mean corpuscular volume) dan ha1 itu menggambarkan efek pada stem sel. Pada peminum yang berat dengan defisiensi asam folat juga akan terjadi hipersegmentasi neutrofil, retikulositopenia, dan sumsum tulang yang hiperblastik. Jika ada malnutrisijuga bisa terjadi perubahan-perubahan sideroblastik. Pada peminum berat yang kronis dapat menyebabkan terjadinya penurunan produksi sel darah putih, menurunnya mobilitas dan adherensi granulosit dan berkurangnya respons yang lambat dari reaksi hipersensitivitas terhadap antigen yang baru (dengan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



kemungkinan negatif palsu pada tes tuberkulin). Dan akhirnya pada beberapa peminum akan terjadi trombositopenia yang ringan dan akan membaik dalam beberapa minggu. Kenali jika terdapat sirosis hepatik atau splenomegali yang kongestif.



SISTEM'KARDIOVASKULAR



Efek etanol yang akut akan menyebabkan menumnnya kontraktilitas miokard dan menyebabkan vasodilatasi perifer dengan hasil penurunan yang ringan pada tekanan darah dan sebagai kompensasi akan terjadi peningkatan curah jantung. Aktivitas akan menyebabkan kenaikan konsumsi oksigen kardiak yang tinggi setelah asupan alkohol. Dan keadaan akut ini hanya menimbulkan efek klinis yang kecil pada orang-orang yang sehat, tetapi menimbulkan masalah pada orang-orang dengan penyakit jantung. Pemakaian 3 gelas atau lebih perhari akan menimbulkan kenaikan tekanan darah tergantung dosis etanolnya. PengaruhTerhadap PerubahanSistem Genitoutinaria, Fungsi Seksual, dan Perkembangan Bayi Dalam keadaan akut dosis alkohol 1100 mg/dL dapat meningkatkan nafsu birahi akan tetapi dapat juga menurunkan kemampuan ereksi. Bahkan pada orang dengan fungsi hati yang normal alkohol dapat menyebabkan atrofi testis bersamaan dengan mengecilnya tubula seminiferus, menumnnya volume ejakulasi dan jumlah sperma. Pemakaian yang tinggi pada perempuan akan membuat amenorea, menumnnya ukuran ovarium, hilangnya korpus luteus yang dihubungkan dengan infertilitas dan abortus spontan. Minum yang banyak selama kehamilan menyebabkan penyebaran yang cepat dari etanol dan asetaldehida lewat plasenta yang membuat efek serius bagi perkembangan bayi. Sindrom pengaruh alkohol terhadap bayi meliputi perubahan pada wajah dengan lipatan epicanthal pada mata, kurangnya pembentukan konka, gigi yang kecil dengan enamel yang buruk, kelainan atrial kardiak dan septa1 ventrikular, lipatan telapak tangan yang abnormal, hambatan pada pergerakan sendi, mikrosefali dengan retardasi mental. Efek Etanol yang Lain Kurang lebih 113 sampai dengan 213 dari peminum mempunyai kelemahan otot karena miopati akut alkoholik, suatu keadaan yang dapat bertambah berat dan kemungkinan tidak hilang meskipun sudah berhenti minum. Efek pada peminum berat dan berulang-ulang pada sistem otot dapat menyebabkan perubahan pada metabolisme kalsium,densitas tulang yang rendah dan



pertumbuhan yang lambat pada epifisis yang akan meningkatkan risiko fraktur dan osteonekrosis. Perubahan hormonal meliputi : kenaikan kadar kortisol yang tetap akan tetap tinggi selama minum alkohol yang banyak; hambatan sekresi vasopresin pada peningkatan kadar alkohol dengan hasil akhir pada kebanyakan alkoholik akan menjadi overhidrasi; adanya penurunan hormon tiroksin (T4) dan triodotironin (T3).



KETERGANTUNGAN NlKOTlN



Penggunaan daun tembakau untuk membuat rokok dan memuaskan ketergantungan nikotin, diperkenalkan oleh orang Indian pada Christopher Columbus, yang kemudian menyebar secara cepat di Eropa. Kandungan utama tembakau yang menyebabkan terjadinya ketergantungan adalah Nikotin. Pecandu rokok mengatur asupan nikotin dan kadar darah dengan menyesuaikan frekuensi dan intensitas penggunaan rokok, baik untuk mempertahankanefek psikoaktif yang diinginkan dan menghindari pengeluaran. Rokok yang belum dinyalakan mengandung nikotin, karsinogen, dan toksin lain yang dapat menyebabkan penyakit gusi dan kanker mulut. Jika rokok dinyalakan, maka asap resultan mengandung nikotin, CO, dan 4000 komponen lain sebagai hasil dari volatisasi, pirolisis, dan pirosintesis tembakau, serta aditif kimia lain yang digunakan dalam memproduksi rokok.



PENYAKITYANG DIAKIBATKAN OLEH MEROKOK



Penyakit utama yang disebabkan oleh merokok, dapat dilihat pada Tabel 2.



Penvakit atau kondisi Penyakit jantung Koroner Usia 35 - 64 Usia > 65 Lesi serebrovaskular Usia 35 - 64 Usia > 65 Aneurisma Aorta Obstruksi jalan napas kronik Kanker Bibir, mulut, faring Esophagus Perut Pankreas Laring Paru-paru Serviks Ginjal Kandung kemih, organ urinary lain Sudden infant death syndrome Infant respiratory distress syndrome Berat badan lahir rendah



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



Pria



Wanita



MASALAH KESEHATANAKIBAT ALKOHOL DAN MEROKOK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Penyakit Kardiovaskular Perokok lebih rentan menderita aterosklerosis pembuluh darah besar dibandingkan bukan perokok. Terdapat interaksi multiplikatif antara merokok dan faktor risiko penyakit jantung lebih tinggi pada perokok dengan hipertensi dan peningkatan serum lipid. Merokok juga meningkatakan kejadian infark miokard dan sudden cardiac death melalui agregasi platelet dan oklusi vaskular. Berhenti merokok menurunkan risiko seranganjantung kedua dalam 6 - 12 bulan. Infark miokard dan kematian akibat PJK juga menurun dalam tahun-tahun pertama setelah berhenti merokok. Kanker Merokok menyebabkan kanker paru-paru, mulut, naso-oro, dan hipofaring, lubang hidung dan sinus paranasal, laring, esofagus, perut, pankreas, liver, ginjal (badan dan pelvis), ureter, kandung kemih, dan serviks uterin dan juga menyebabkan leukemia mieloid. Terdapat bukti bahwa merokok berperan meningkatkan risiko kanker kolorektal dan payudara. Risiko kanker meningkat berdasarkan meningkatnya jumlah rokok perhari dan meningkatnya durasi merokok, dan terdapat hubungan sinergistik antara merokok dan minum alkohol dengan kanker mulut, esofagus, dan paru. Berhenti merokok, menurunkan risiko terjadinya kanker. Kendati demikian, terdapat kemungkinan terjadinya kanker paru setelah 20 tahun. Penyakit Pernapasan Merokok,merupakan sebab utama penyakit paru obstruktif kronik. Dalam 1-2 tahun merokok, seorang perokok muda akan terjadi perubahan inflamasi di jalur pernapasan kecil, kendati pengukuran fungsi paru pada perubahan ini tidak dapat memprediksi terjadinya obstruksi kronis jalur napas. Setelah 20 tahun merokok, terjadi perubahan patofisiologi pada paru secara proporsional seiring dengan intensitas dan durasi merokok. Inflamasi kronik dan penyempitan jalur napas kecil danlatau digestif enzimatik dinding alveolar pada empisema pulmonal menyebabkan pengurangan aliran napas ekspirasi sehingga terjadi gejala klinis napas terhambat pada -1 5% perokok. Seorang perokok muda yang mengalami perubahan pada jalur pernapasan kecil akan kembali normal setelah berhenti merokok selama 1 - 2 tahun. Kehamilan Merokok berhubungan dengan beberapa komplikasi maternal selama kehamilan: ruptur prematur pada membran, abrupsio plasenta, dan plasenta previa; juga terdapat sedikit peningkatan risiko aborsi spontan pada perempuan perokok. Janin pada seorang ibu yang merokok, akan lebih berisiko mengalami kelahiran sebelum waktunya, mortalitas perinatal yang lebih tinggi, ukuran janin yang lebih kecil



dari ukuran normal yang sesuai usia kandungan, berisiko lebih tinggi mengalami infant respiratory distress syndrome, kemungkinan mengalami kematian akibat sudden infant death syndrome, dan mengalami pertumbuhan yang terhambat setidaknya pada tahuntahun pertama. Kondisi Lain Merokok menghambat penyembuhan ulkus peptik; meningkatkan risiko osteoporosis, katarak senilis, dan degenerasi makular, dan menyebabkan menopause prematur, keriput, batu empedu dan kolesistitis pada perempuan dan impotensi pada pria. Perokok Pasif Asap rokok dapat dipisahkan menjadi dua komponen, asap utama yang dihisap oleh perokok dan asap sampingan yang tidak terfilter (dikeluarkan dari ujung rokok) yang dihisap secara pasif oleh bukan perokok. Diperkirakan di Australia terdapat 150 kematian akibat kanker paru dan 1000 kematian akibat penyakit jantung, disebabkan perokok pasif. Paparan dalam jangka panjang pada asap rokok, dapat meningkatkanrisiko kanker paru dan penyalut arteri koroner diantara bukan-perokok. Juga meningkatkan insiden infeksi pernapasan, otitis media kronik, dan asma pada anak-anak



MANlFESTASl PENYAKIT AKIBAT ALKOHOL DAN ROKOK



Ketergantungan alkohol dan rokok sering kali berdampingan satu sama lain. Perokok, termasuk pecandu nikotin, berisiko lebih tinggi untuk ketergantungan alkohol. Perokok pada umumnya 2,l kali lebih besar dan ketergantungan nikotin memiliki 2,7 kali lebih besar untuk berisiko menjadi pecandu alkohol, dibandingkan bukan perokok. Sementara itu, orang yang mengalami ketergantungan alkohol, juga berisiko untuk merokok daripada orang yang tidak mengalami ketergantungan alkohol. Merokok dan penggunaan alkohol yang berlebihan merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular dan penyakit paru, yang kemudian dapat mengakibatkan kanker. Risiko kanker mulut, faring, dan esofagus, bagi seorang perokok-peminum lebih tinggi dibandingkan yang menggunakannya sendiri-sendiri. Misalnya, risiko relatif terjadinya kanker mulut dan faring lebih besar 7 kali pada seorang perokok; 6 kali lebih besar pada peminum; dan 38 kali lebih besar pada peminum-perokok, daripada mereka yang tidak merokok dan minum alkohol. Hal tersebut disebabkan oleh lebih kurang 4000



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



substansi kimia yang terjadi akibat reaksi kimia dari panas yang dibuat oleh rokok yang menyala. Zat kimia seperti tar, akan dibawa ke paru-paru melalui asap rokok yang terhisap, kemudian aliran darah akan mendistribusikan ke seluruh tubuh. Suatu enzim di hati (enzim mikrosomal) mengikat beberapa kandungan tar menjadi zat kimia yang menyebabkan kanker. Seorang peminum lama, dapat mengaktifkan beberapa enzim mikrosomal sehingga meningkatkan aktivitas dan berkontribusi pada berkembangnya penyakit kanker yang berhubungan dengan merokok.



REFERENSI Blot WJ: Alcohol and cancer. Cancer Res (suppl) 52, 1992. Breslau N: Psychiatric comorbidity of smoking and nicotine dependence. Behav Genet 2:25, 1995. Flemming MF et al: Brief physician advice for problem drinkers: Long term efficacy and benefit-cost analysis. Alcohol Clin Exp res 26:36, 2002. Garro Aj, et al: Alcohol and cancer. Alcohol Health Res World 1:16, 1992 Glassman AH et al: Smoking, smoking cessation, and major depression. JAMA 12:264, 1990. Hardman JG et al, eds. Goodman and Gliman's the pharmacological; basis of therapeutics. New York, 9" ed. Mc Graw Hill, 1995.



International Agency for Research on cancer: Tobacco smoke and involuntary smoking. IARC Monogrpahs on the Evaluation of Carcinogenic Risks to Human. Lyon, France, vol 83, 2003. Kiefer F et al: Comparing and combining naltrexone and acamprosate in relapse prevention of alcoholism. Arch Gen Psychiatry 60:92, 2003. Murin S, et al: The effect of cigarette smoke exposure on pulmonary metastatic disease in a murine model of metastatic breast cancer. Chest 4:125, 2004. Patten CA, et al: Can psychiatric and chemical dependency treatment units be smoke free? J Subst Abuse Treat 2:13, 1996. Piasecki BA, et al: Influence of alcohol use, race, and viral coinfections on spontaneous HCV clearance in a US veteran population. Accepted June 14 2004. available at: www.interscience.wiley.com. Schuckit MA et al: a 5-year prospective evaluation of DSM-IV alcohol dependence with and without a physiological component. Alcohol Clin Exp Res 27: 818, 2003. Schuckit MA: Alcohol and alcoholism. Kasper DL, et al eds. Harrison's principles of Internal Medicine. 16&edition. McGrawHill. New York, 2005. US Departement of Helath and Human Services: The health consequences of tobacco use: a report of the surgeon general. National center for Chronic disease Prevention a,nd Health Promotion, Office on Smoking and Health, 2003. US Departement of Helath and Human Services : Treating tobacco use and dependence. Clinical Practice Guideline. Public Health Service, DHHS, 2000.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



KESEHATAN REMAJA Bambang Setiyohadi



PENDAHULUAN



TUMBUH-KEMBANG PRANATAL(SEBELUM LAHIR)



Masa remaja adalah masa transisi antara masa anak-anak dengan masa dewasa. Pada masa ini terjadi pacu tumbuh, timbul ciri-ciri seks sekunder, tercapai fertilitas dan terjadi perubahan-perubahan kognitif dan psikologis. Peristiwa yang penting semasa remaja adalah pubertas, yaitu perubahan morfologis dan fisiologis yang pesat dari masa anak-anak ke masa dewasa, terutama maturasi sistem reproduksi. Perubahan psikososial yang menyertai pubertas disebut adolesen.



Masa pranatal dibagi atas masa embrio (trimester I masa pranatal), masa fetus dini (trimester 11 masa pranatal) dan masa fetus lanjut (trimester I11 masa pranatal). Pada masa embrio (trimester I masa pranatal), terjadi pembentukan berbagai organ dari satu sel berkembang menjadi jaringan dan akhirnya membentuk suatu organ yang sempurna. Bahkan pada masa ini, beberapa organ sudah mulai bekerja, antara lain adalah denyut jantung yang sudah dimulai pada umur 4 minggu. Pada akhir masa embrional, dari penampilan luar sudah dapat dibedakan jenis kelamin janin. Sistem sirkulasi janin mencapai tahap akhir pembentukan pada minggu ke-8- 12. Darah dari plasenta yang banyak mengandung oksigen dan nutrien mengalir ke tubuh janin melalui vena umbilikalis, duktus venosus dan memasuki vena kava inferior. Ketika memasuki atrium kanan, sebagian besar volume darah akan masuk ke atrium kiri melalui foramen ovule untuk dialirkan ke kepala dan jaringan otak melalui aorta desendens, kemudian aliran darah kembali melalui vena kava superior kembali ke atrium kanan, lalu ke ventrikel kanan dan melalui arteri



TUMBUH-KEMBANG PRA-REMAJA



Tumbuh-kembang adalah peristiwa yang terjadi sejak masa pembuahan sampai masa dewasa yang mencakup perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, pematangan bentuk dan hngsi organ, serta perubahan aspek sosial dan emosional akibat pengaruh lingkungan. Oleh sebab itu, proses tumbuhkembang dapat dibedakan atas tumbuh-kembang fisis, tumbuh-kembang intelektual dan tumbuh-kembang emosional. Tumbuh-kembang fisis meliputi perubahan ukuran besar dan fungsi organ atau individu, mulai dari tingkat mlolekular sampai metabolisme yang kompleks dan perubahan fisik sampai masa pubertas. Tumbuh-kembang intelektual berkaitan dengan kemampuan berkomunikasi dan menangani berbagai masalah abstrak dan simbolik, seperti berbicara, bermain, berhitung atau membaca. Tumbuh-kembang emosional berkaitan dengan kemampuan membentuk 2 5 2 6 12 25 ikatan batin, berkasih-sayang, mengelola rangsang Bulan Butan Tahun Tahun Tahun Tahun dari luar serta kemampuan menangani kegelisahan bz? akibat suatu kegagalan. Garnbar 1. Perubahan perbandrngan bagian tubuh selarna proses turnbuh kernbang



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DAM-DASAR ILMU PENYAKITDALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



pulmonalis, duktus arteriosus dan aorta desendens kembali ke plasenta melalui arteri umbilikalis. Dengan demikian kepala dan otak mendapatkan porsi darah yang mengandung nutrien dan oksigen lebih banyak dibandingkan bagian tubuh yang lain. Dari penjelasan tersebut dapat dimengerti bahwa masa embrional merupakan masa yang sangat penting pada kehidupan pranatal. Bila pada masa ini pertumbuhan embrio dipengaruhi oleh berbagai zat kimia, infeksi virus atau radiasi, maka akan terjadi gangguan atau perubahan pertumbuhan organ sehingga akan terjadi kelainan bawaan. Pada masa fetus dini, janin akan lebih tahan, beberapa organ telah selesai pertumbuhannya dan mulai berfungsi. Pada masa ini terjadi pembentukan jasad manusia sempurna dan pertambahan panjang janin. Pada akhir masa ini, panjang janin mencapai 70% panjang pada saat dilahirkan, sedangkan berat badan janin baru mencapai 20% berat pada waktu dilahirkan, karena jaringan lemak subkutan belum terbentuk. Pada masa fetus lanjut, terjadi pertambahan massa janin yang sangat pesat karena pertumbuhanjaringan lemak subkutis. Berat badan janin yang pada akhir triwulan I1 hanya 700 gram, bertambah 200 gramlminggu sampai pertengahan triwulan I11 sehingga mencapai berat badan waktu lahir 3000-3500 gram.



TUMBUH KEMBANG PASCANATAL(SETELAHLAHIR) Tumbuh kembang pascanatal dibagi atas beberapa tahap, yaitu masa neonatal (0-1 bulan setelah lahir), masa bayi (1 bulan - 2 tahun), masa pra-sekolah (2-6 tahun), masa sekolah (perempuan 6- 10 tahun; laki-laki 6- 12 tahun), masa remaja (perempuan 10-18 tahun; laki-laki 12-20 tahun). Dengan terpisahnya bayi dari ibu melalui proses persalinan, maka terjadi berbagai perubahan fisiologikpada tubuh bayi, yaitu : 1). Peredaran darah melalui plasenta digantikan oleh aktifnya fungsi paru untuk pertukaran oksigen dengan karbon dioksida; 2). Saluran cerna berfungsi untuk menyerap makanan; 3). Ginjal berfungsi untuk mengeluarkan bahan-bahan yang tidak diperlukan oleh tubuh dan menjaga homeostasis biokimia dalam tubuh; 4). Hati berfungsi untuk menetralisisr dan mengeluarkan sampah sisa metabolisme dari dalam tubuh; 5). Sistem imunologis berfungsi untuk mencegah infeksi; 6). Sistem kardiovaskular dan endokrin ikut menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan organ tersebut di atas. Perubahan aliran darah janin beberapa saat setelah dilahirkan meliputi penutupan duktus venosus, duktus arteriosus,foramen ovule, serta vena dan arteri umbilikalis. Perbandingan berbagai bagian tubuh bayi baru lahir sangat berlainan dengan proporsi pada janin, anak besar maupun orang dewasa, yaitu ukuran kepalanya relatif lebih besar, muka berbentuk bundar, mandibula lebih kecil, dada lebih bundar, abdomen lebih membuncit dan ekstremitas



lebih pendek. Titik tengah tinggi badan pada neonatus kira-kira terletak sejajar dengan umbilikus, sedangkan pada orang dewasa sejajar dengan simfisis pubis. Berat badan neonatus dapat turun sampai 10% pada minggu pertama kehidupan dan akan pulih kembali pada hari ke- 14. Bayi yang dilahirkan prematur, mulai mempunyai kemungkinan hidup sejak masa gestasi 26-28 minggu dengan berat badan 800-1000 gram dan panjang badan 33-35 cm. Berat badan bayi akan meningkat menjadi 2 kali lipat berat badan lahir pada waktu bayi berumur 5 bulan dan menjadi 3 kali lipat berat badan lahir pada waktu bayi berumur 1 tahun. Fontanel anterior akan menutup pada waktu bayi berumur 918 bulan, sedangkan fontanel posterior menutup pada waktu bayi berumur 4 bulan. Erupsi gigi susu pertama kali muncul pada waktu bayi berumur 5-9 bulan. Masa bayi merupakan masa yang kritis, karena bayi hams belajar beradaptasi dengan dunia luar, serta ritme tubuhnya, seperti rasa lapar dan mengantuk. Pada masa ini, umurnnya bayi masih bersifat soliter dan belum siap mengadakan interaksi dengan anak lainnya. Dalam waktu 3 bulan pertama, terjadi tumbuh kembang yang cepat pada seorang bayi, yaitu: 1). Kemampuan menggerakkan bola mata untuk mengikuti suatu obyek; 2). Kemampuan mengenal seseorang atau suatu benda; 3). Kemampuan tersenyum secara naluriah; 4). Kemampuan bersuara; 5). Timbulnya rasa aman sejalan dengan perawatan yang penuh kasih sayang secara tulus dan ikhlas. Pada posisi telungkup di atas alas yang keras, pada umurnnya bayi berumur 3 bulan sudah dapat mengangkat kepala dan dadanya dengan melakukan gerak ekstensi sambil menekankan kedua tangannya. Pada umur 4 bulan, bayi yang telungkup di alas yang keras mulai dapat mengangkat kepalanya dan memalingkan mukanya ke kiri dan kanan. Bila sebelum umur 4 bulan kepala bayi akan terkulai bila bayi ditegakkan dengan cara menarik kedua tangannya sehingga duduk tegak, maka pada umur 4 bulan posisi kepala akan lebih tegak bil? bayi didudukan. Selain itu sejak umur 4 bulan, bayi juga akan lebih senang bila dipangku pada posisi tegak. Fungsi tangan untuk menggenggam benda sedangjuga mulai tampak pada umur bayi 4 bulan, sedangkan fungsi menggenggam benda besar baru mulai tampak setelah bayi berurnur 6 bulan. Pada urnur 6 bulan, bayi juga sudah mampu duduk sendi sambil bersandar kedepan dengan kedua tangannya. Bayi mulai dapat berdiri sesaat pada umur 8 bulan. Pada umur 9 bulan, bayi sudah dapat duduk sendiri tanpa bantuan, mampu merayap dan mampu berdiri setrta melangkah sambil berpegangan. Pada umumnya bayi dapat berjalan sendiri pada umur 15 bulan dan pada umur 18 bulan sudah dapat berlari kaku. Pada umur 3 tahun, anak sudah dapat naik tangga dengan kaki bergantian sambil berpegangan tangan. Dengan makin bertambahnya umur, maka koordinasi dan mekanisme motorik bertambah. Seiring dengan perkembangan kemampuan berdiri dan berjalan,



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



maka bayi akan memiliki ruang lingkup yang lebih luas dan dapat diajar untuk lebih mandiri. Selain itu risiko terhadap bahaya juga bertambah. Pada masa inilah bayi sudah hams mulai belajar mengenai kebersihan. Setelahumur 10bulan, nafsu makan bayi akan berkurang dan dapat berlanjut sampai umur 2 tahun, sehingajaringan subkutan akan berkurang dan bayi yang semula gemuk akan tampak lebih langsing. Pertumbuhan fisis mulai tahun ke 2 sampai ke 5 relatif larnbat, yaitu kenaikan berat badan hanya 2,O kgltahun dan pertambahan tinggi badan 6-10 cdtahun. Pada usia sekolah pertumbuhan fisikjuga tetap, berat badan akan meningkat 2,5 kgltahun, sedangkan pertambahan tinggi badan 5 cdtahun. Pada usia 2% tahun, biasanya anak sudah memiliki 20 gigi susu. Gigi tetap pertama, yaitu geraham pertama akan tumbuh pada usia 7 tahun. Bersamaan dengan tumbuhnya keempat geraham pertama, maka gigi susu mulai tanggal secara berurutan sesuai dengan masa erupsinya. Geraham tetap kedua akan timbul pada usia 14 tahun, sedangkan geraham tetap ketiga akan timbul menjelang usia 20 tahun. Selama tahun kedua, bayi sangat gemar meniru dan akan lebih mengenal orang lain termasuk saudaranya.Pada umur 18 bulan, bayi juga mulai belajar berbicara dan mulai memiliki perbendaharaan kata-kata. Pada umur 3 tahun, seorang anak sudah mampu menyebutkan nama 3 benda secara benar. Pada usia pra-sekolah (2-6 tahun), seorang anak akan sangat cepat menangkap pelajaran. Pada umur 4-6 tahun, seorang anak akan sering terlihat melamun dan berkhayal. Dengan kesadaran bahwa kelak akan menjadi anak besar dan dewasa, seorang anak akan berusaha mencari tokoh panutan yang menurut pendapatnya patut ditiru. Bahkan seorang anak lelaki akan meniru dan mengkhayalkan bahwa dirinya menjadi seorang bapak dengan segala tanggung jawabnya. Masa sekolah merupakan masa yang penuh dengan kegiatan fisik bagi anak. Berbagai gerakan seperti berlari, naik-turun tangga, lebih memiliki tujuan tertentu, misalnya sebagai suatu bentuk permainan. Selain itu anak juga mulai merasakan kehidupan di luar rumah sehingga dapat merasakan hidup mandiri yang turut membentuk wataknya di kemudian hari. Pada masa inilah anak akan belajar bermasyarakat dan menjalin persahabatan. Dari pengalaman bermain dan bermasyarakat, banyak ha1 yang dipelajari oleh anak, tidak hanya hal-ha1 yang positif, tapi juga hal-ha1 yang negatif, seperti kata-kata kasar, kotor atau makian. Ada 3 sumber yang selalu menjadi panutan bagi anak, yaitu orang tua, guru dan teman sebayanya. Bimbingan orang tua sangat diperlukan untuk mengarahkan anak agar tidak melakukan hal-ha1 yang negatif. Anak hams diajar mengenai konsep moral, konsep baik dan buruk serta mengerti konsekuensi suatu perbuatan. Pada masa inilah anak dapat mulai belajar berorganisasi, misalnya dengan mengikuti kegiatan pramuka atau perkumpulan olah raga. Berbagai organ tubuh mengalami pertumbuhan dan



maturasi yang berbeda-beda kecepatannya. Jaringan otak akan berkembang penuh pada umur 1 %-2 tahun, sedangkan alat genital akan tumbuh lambat sampai umur 12 tahun, kemudian akan berkembang sangat cepat sampai umur 20 tahun.



Umur (anak lelaki) 3 minggu 2 bulan f 2 bulan 3 bulan f 2 bulan 30 bulan f 16 bulan 42 bulan f 19 bulan 67 bulan f 19 bulan 89 bulan f 15 bulan 86 bulan f 15 bulan Tidak ada standard 18 bulan f 5 bulan 20 bulan f 5 bulan 23 bulan f 6 bulan 26 bulan f 7 bulan 32 bulan f 9 bulan 16 bulan f 4 bulan 16 bulan f 4 bulan 17 bulan f 5 bulan 19 bulan f 7 bulan 21 bulan f 5 bulan 24 bulan f 6 bulan 24 bulan f 6 bulan 26 bulan f 6 bulan 28 bulan f 6 bulan 28 bulan f 6 bulan 32 bulan f 7 bulan 37 bulan f 9 nulan 37 bulan f 8 bulan 39 bulan f 10 bulan 152 bulan f 18 bulan Janin cukup bulan Janin cukup bulan 4 bulan f 2 bulan 46 bulan f 11 bulan



Osifikasi



Humeri, kaput Kapitatum Hamatum Triangular Lunatum Trapezium Trapezoid Skafoid Pisiformis Metakarpal II Metakarpal Ill Metakarpal IV Metakarpal V Metakarpal I Falang proksimal, jari Ill Falang proksimal, jari II Falang proksimal, jari IV Falang distal, jari I Falang proksimal, jari V Falang tengah, jari Ill Falang tengah, jari IV Falang tengah, jari II Falang distal, jari Ill Falang distal, jari IV Falang proksimal, jari I Falang distal, jari V Falang distal, jari II Falang tengah, jari V Sesamoid (aduktor longus) Femur, distal Tibia, proksimal Femur, kaput Patela



Umur (anak perempuan) 3 minggu 2 bulan 2 bulan 2 bulan f 2 bulan 21 bulan f 14 bulan 34 bulan f 13 bulan 47 bulan f 14 bulan 49 bulan f 12 bulan 51 bulan f 12 bulan Tidak ada standard 12 bulan f 3 bulan 13 bulan f 3 bulan 15 bulan f 4 bulan 16 bulan f 5 bulan 18 bulan f 5 bulan 10 bulan f 3 bulan 11 bulan f 3 bulan 11 bulan f 3 bulan 12 bulan f 4 bulan 14 bulan f 4 bulan 15 bulan f 5 bulan 15 bulan f 5 bulan 16 bulan f 5 bulan 18 bulan f 4 bulan 18 bulan f 5 bulan 20 bulan f 5 bulan 23 bulan f 6 bulan 23 bulan f 6 bulan 22 bulan f 7 bulan 121 bulanf 13 bulan Janin cukup bulan Janin cukup bulan 4 bulan f 2 bulan 29 bulan f 7 bulan



+



PERTUMBUHAN DAN MATURASI TULANG Pemeriksaan radiologis terhadap tulang merupakan parameter yang baik untuk menilai tumbuh-kembang seorang anak dibandingkan tinggi badan, karena tidak selamanya tinggi seorang anak akan sesuai dengan umurnya. Umur tulang berkorelasi baik dengan tingkat pubertas seorang anak dan maturasi sistem reproduksi. Masa prapubertas terjadi segera setelah fusi epifisis falang dengan tulang panjangnya. Pada keluarga pendek, umur tulangnya tetap normal, sesuai dengan umur kronologik anak yang bersangkutran. Pada anak pendek akibat gangguan gizi atau kelainan endokrin, umur tulangnya rendah dibandingkan dengan umur kronologiknya. Bila umur tulang seseorang lebih maju daripada umur kronologisnya, maka disebut tumbuh awal, sedangkan bila umur tulangnya kurang dari umur kronologis disebut tumbuh lambat. Untuk menilai umur tulang, digunakan radiologi tangan dan pergelangan tangan, kadang-kadangjuga dapat ditambahkan radiologi lutut. Pertumbuhan tulang anak



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DASAR-DASAR ILMU PENYAKIT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



perempuan lebih cepat daripada anak lelaki dengan variasi yang lebih kecil. Cikal bakal kerangka berasal dari tulang rawan embrio yang sudah mengalami diferensiasi sejak embrio berumur 2 bulan. Kemudian pada umur janin 5 bulan mulai terjadi osifikasi yang dimulai pada klavikula dan tulang tengkorak, yang kemudian diikuti dengan cepat pada tulang panjang dan tulang belakang. Osifikasi epifisis distal femur dan proksimal tibia baru terjadi pada waktujanin berurnur cukup bulan. Pada anak perempuan yang memasuki masa pubertas, akan tampak kaput dan batang humerusnya menyatu, dan biasanya akan diikuti oleh munculnya haid yang pertama.



PERTUMBUHAN GIGI-GELIGI Pertumbuhan gigi geligi meliputi mineralisasi, erupsi dan eksfoliasi. Mineralisasi awal akan dimulai pada awal trimester I1 dan berlanjut sampai umur 3 tahun untuk gigi susu, dan 25 tahun pada gigi tetap. Mineralisasi diawali dari mahkota, kemudian turun ke bawah sampai ke akar gigi. Erupsi dimulai dari gigi seri tengah kemudian berlanjut ke lateral. Eksfoliasi gigi susu dimulai pada umur 6 tahun dan berlanjut sampai umur 12 tahun yang kemudian akan diikuti oleh erupsi gigi permanen. Gigi tetap yang akan erupsi pertama kali adalah molar I yang akan berperan dalam stabilisasi lengkung gigi, bentuk rahang dan susunan gigi. Oleh sebab itu, kelainan pada molar I hams mendapat perhatian yang serius. Bila sampai umur 13 bulan belum tumbuh gigi, maka mungkin terjadi kelambatan erupsi gigi susu. Berbagai faktor turut berperan pada struktur gigi yang sehat, seperti status gizi, hormon tiroid, hormon paratiroid dan fluorida.



Jenis gigi



Erupsi gigi susu 2 gigi seri tengah bawah 2 gigi seri tengah atas 2 gigi seri lateral atas 2 gigi seri lateral bawah 2 molar I bawah 2 molar I atas 4 kuspid 4 molar II Erupsi gigi tetap Molar I Gigi seri Premolar Kaninus Molar II Molar Ill



Umur 5 - 10 bulan 8 - 12 bulan 9 - 13 bulan 10 - 14 bulan 13 - 16 bulan 13 - 17 bulan 12 - 22 bulan 24 - 30 bulan 6 - 7 tahun 7 - 9 tahun 9 - IItahun 10 - 12 tahun 12 - 16 tahun 17 - 25 tahun



FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TUMBUH-KEMBANG



Ada 3 faktor yang berperan pada tumbuh-kembang, yaitu faktor genetik, hormonal dan lingkungan.



Faktor genetik adalah faktor-faktor yang diturunkan melalui gen. Anak yang tinggi seringkali berasal dari keluarga yang tinggi juga, demikian pula anak yang pendek. Ras kulit kuning juga cenderung lebih pendek dibandingkan dengan ras kulit putih. Jenis kelamin juga mempengaruhi tumbuh kembang, anak perempuan akan mencapai pubertas lebih dulu dibandingkan anak lelaki. Aspek genetik lain dalam tumbuh kembang adalah adanya variabilitas bentuk tubuh (somatotipe) yang dapat dibagi atas 3 kelompok, yaitu ektomorfik, mesomorfik dan endomorfik. Somatotipe ektomorfik ditandai oleh bentuk tubuh yang langsing, tulang tipis dan renggang, serta massa jaringan tubuh yang relatif kurang dibandingkan dengan tinggi badan. Somatotipe endomorfik ditandai oleh bentuk tubuh yang pendek, gemuk dan banyak mengandung jaringan lunak. Sedangkan ciri somatotipe mesomorfik terletak diantara somatotipe ektomorfik dan endomorfik. Faktor hormonal yang turut berperan pada proses tumbuh kembang dapat dibagi dalam 2 kelompok, yaitu faktor hormonal pranatal dan pasca natal. Faktor hormonal pranatal adalah somatotropin (growth hormon, GH), hormon plasenta, hormon tiroid, insulin dan insulin-like growth factors (IGFs), sedangkan faktor hormonal pasca natal adalah hormon pertumbuhan, tiroid, glukokortikoid dan hormon seks. Hormon pertumbuhan somatotropin (growth hormone, GH) dihasilkan oleh hipofisis sejak minggu ke 9 kehidupan janin dan merupakan pengatur utama pertumbuhan somatis pasca natal, terutama pertumbuhan tulang, tetapi perannya pada pertumbuhan pranatal masih belum jelas. Hormon tiroidjuga berperan pada pertumbuhan dan maturasi tulang pasca natal. Walaupun peran hormon tiroid terhadap pertumbuhan pranatal belum jelas, defisiensi hormon tiroid intrauterin akan mengakibatkan gangguan pertumbuhan susunan saraf pusat sehinggamengakibatkan retardasi mental. Insulin mulai diproduksi oleh janin pada minggu ke-1 1 dan berperan pada pertumbuhan janin melalui pengaturan keseimbangan glukosa, sintesis protein janin dan pengaruhnya terhadap pembesaran sel setelah minggu ke-30. Hormon plasenta (chorionic somato mammotrophic hormone) dihasilkan oleh plesenta dan tidak dapat masuk ke tubuh janin; gunanya untuk mengatur nutrisi plasenta. Glukokortikoid mempunyai efek negatif terhadap turnbuh kembang pascanatal, yaitu menghambat pertumbuhan dan menyebabkan osteoporosis. Hormon seks, baik testosteron, dehidroandrosteron, maupun estrogen, akan memacu pertumbuhan pada masa pubertas, tetapi sesudah beberapa lama justru akan menghentikan pertumbuhan. Faktor lingkungan yang turut berperan pada proses



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



KESEHATAN REMAIA



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI tumbuh-kembang terdiri dari faktor pranatal dan faktor pascanatal. Yang termasuk faktor lingkungan pranatal adalah status gizi ibu, faktor mekanis (misalnya posisi janin yang abnormal), toksin kimia dan obat-obatan yang dikonsumsi ibu, ibu yang menderita diabetes melitus, radiasi, infeksi, gangguan plasenta, faktor imunologis (misalnya inkomptabilitas golongan darah). Sedangkan faktor lingkungan pascanatal meliputi asupan gizi pada anak, penyakit kronik yang diderita anak, keadaan sosial ekonomi dan lain sebagainya.



TUMBUH KEMBANG REMAJA Pertumbuhan Tinggi Badan dan Berat Badan Segera sebelum pubertas, kecepatan pertumbuhan tinggi badan menurun, tetapi pada masa pubertas, terjadi percepatan pertumbuhan tinggi badan yang disebut pacu tumbuh (height spurt) sehingga mencapai kecepatan puncak tinggi badan (peak height velocity, PHV) selama 2 tahun yang diikuti dengan penurunan kecepatan tinggi badan selama 3 tahun. Pertumbuhan remaja pada umumnya mengikuti pola kaudorostral, dimana ukuran sepatu akan lebih dulu membesar, kemudian diikuti ukuran celana dan diakhiri dengan peningkatan ukuran baju. Walaupun tungkai remaja laki-laki lebih panjang daripada tungkai perempuan, tetapi tinggi badan keduanya sama-sama berhubungan dengan panjang batang tubuh. Pada remaja perempuan, rata-rata pacu tumbuh adalah pada usia 9 tahun dan PHV sekitar umur 11,5 tahun. Sebelum pacu tumbuh, rata-rata kecepatan pertambahan tinggi badan perempuan adalah 5,5 cmltahun, sedangkan setelah tercapai PHV kecepatan pertambahan tinggi badan. remaja perempuan mencapai 8 cmltahun sampai 6- 12 bulan sebelum menarche, kemudian dalam 2 tahun berikutnya mengalami penurunan kecepatan. Pada remaja laki-laki, rata-ratapacu tumbuh adalah pada usia 11 tahun dan PHV sekitar usia 13,5 tahun. Rara-rata kecepatan pertambahan tinggi badan sebelum pacu tumbuh pada remaja laki-laki adalah 5 cmltahun, sedangkan setrelah tercapai PHV, kecepatanannya mencapai 9 cml tahun. Pada akhimya, remaja laki-laki akan lebih tinggi daripada remaja perempuan, karena pada laki-laki penutupan epifisis terlambat 2 tahun dibandingkan perempuan, sehingga masa prapubertas laki-laki lebih lama 2 tahun dan pada awal pacu tumbuh, remaja laki-laki lebih tinggi 10 cm dari pada remaja perempuan. Selain itu PHV laki-laki juga lebih besar daripada PHV perempuan. Bila pertumbuhan tinggi badan di bawah -2SD pada kurva pertumbuhan yang berlaku pada suatu populasi, disebut perawakan pendek (short stature), sedangkan bila tinggi badan lebih besar dari + 2SD di atas tinggi ratarata disebut perawakan tinggi. Perawakan pendek dapat merupakan varian normal, dapat juga diakibatkan oleh



berbagai kelainan, seperti kelainan kromosom (misalnya sindrom Turner), penyakit sistemik (misalnya : malnutrisi, malabsorpsi, terapi glukokortikoid jangka panjang dan sebagainya), dan kelainan hormonal (misalnya kekurangan hormon pertumbuhan, hipotiroidisme dan sebagainya). Pertambahan berat badan tidak mencerminkan perubahan pertumbuhan yang substantif, karena berat badan menggambarkan jumlah massa berbagai jaringan tubuh. Apalagi dengan adanya pandangan saat ini bahwa badan yang langsing merupakan badan yang ideal, sehingga berat badan normal seringkali tidak tercapai. Pada masa prasekolah, kecepatan peningkatan berat badan adalah 2 kgltahun, kemudian pada masa pra-pubertas 33,5 kg/ tahun dan pada puncak pacu tumbuh berat badan pada remaja perempuan mencapai 8 kgltahun dan remaja laki-laki mencapai 9 kgltahun. Pertumbuhan Tulang, Otot dan Jaringan Lemak Selama pubertas, terjadi pertumbuhan panggul remaja perempuan, yang walaupun secara kuantitatif sama dengan pertumbuhan panggul laki-laki, tetapi karena pertumbuhan badan remaja perempuan lebih kecil daripada lalu-laki, maka akan tampak panggul remaja perempuan lebih besar daripada panggul remaja laki-laki.Akibat pengaruh hormon androgen, maka akan tampak ciri khas remaja laki-laki, yaitu bahu lebih lebar, pinggul lebih sempit, serta tungkai lebih panjang . Semua otot mengalami pertumbuhan selama masa pubertas, terutama pada laki-laki. Hormon androgen sangat berperan pada pertumbuhan massa otot dan kekuatan otot. Pada laki-laki, kekuatan otot akan bertambah terus sampai usia 25 tahun, apalagi bila disertai latihan dan olahraga. Pertumbuhan jaringan lemak pada remaja laki-laki berbeda dari remaja perempuan. Pada umunnya, remaja laki-laki mengalami penurunan jaringan lemak selama pubertas, terutama pada daerah anggota gerak, sedangkan pada remaja perempuan tidak pemah kehilangan massa lemak selama pubertas, bahkan terjadi penambahan jaringan lemak yang kontinyu. Akumulasi lemak pada remaja perempuan terutama terdapat pada anggota gerak, tubuh bagian bawah dan paha bagian belakang, sehingga dicapai bentuk tubuh perempuan dewasa. Perkembangan Organ Reproduksi Pertumbuhan organ reproduksi (rambut pubis, payudara, testes dan penis) pada anak-anak masih lambat, dan akan mengalami pacu tumbuh yang cepat pada masa pubertas. Tanner membuat klasifikasi Tingkat Maturitas Seksual (TMS) remaja dalam 5 stadium yaitu TMS 1 sampai 5. TMS 1 dan 2 merupakan masa remaja awal, TMS 3 dan 4 merupakan masa remaja menengah, dan TMS 5 merupakan masa remaja lanjut dan maturitas seksual penuh (Tabel 3 dan 4). Perkembangan organ reproduksi perempuan terjadi



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DASAR-DASAR ILMU PENYAKIT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI TMS



Rambut pubis



Penis



1 2



Belum ada Sedikit, panjang, pigmen sedikit



Praremaja Sedikit membesar



3



Sedikit, lebih gelap, mulai ikal Seperti tipe dewasa, tetapi lebih sedikit, kasar, keriting



Lebih panjang



4



5



Garnbar 2. Tingkat maturasi seksual: a. Maturasi payudara; b. Maturasi rarnbut pubis perempuan; c. Maturasi rambut pubis dan penis



A



Ap"; strength



-



Height spurt



13 - 17.5



10.5- I6



II I



Penis Testis pubic hair 10



B



I 1



I I



13.5 - 17



11 - 14.5



:



11 '



"



10- 13.5 2 10-15 12 I



13 I



14.5 - 18 5 14 - IX



4



14



15



Umur ' (tahun) " '



I6 I



17



18



i



I



Menarche



10- 16.5



Breast



21314.58-13 2=3=4-5 8 - 14



Pubic hair



I



8



9



I



1



1



1



1



10



11



12



13



l



l



i



14



15



16



Umur (tahun)



Gambar 3. Umur perkembangan ciri seks sekunder: A. Laki-laki; B. Perempuan



TMS



Rarnbut pubis



1 2



Praremaja Jarang, berpigmen sedikit, atas medial labia Lebih hitam, mulai ikal, jumlah bertambah



3 4



5



Kasar, keriting, banyak, tapi lebih sediki dari dewasa Bentuk segitiga seperti pada perempuan dewasa, tersebar sampai ke medial paha



Pawdara Praremaja Menonjol seperti bukit kecil, areola melebar Payudara dan areola membesar, tak ada kontur pemisah Areola dan papila membentuk bukit kedua Matang, papila menonjol, areola sebagai bagian dari kontur payudara



Seperti dewasa. menyebar sampai medial paha



Lebih besar, ukuran glans dan lebar penis bertambah Ukuran dewasa



Testes Praremaja Skrotum membesar, warna merah muda Lebih besar Lebih besar, skrotum lebih gelap Ukuran dewasa



atas pengamh estrogen yang dihasilkan oleh ovarium sebagai respons terhadap FSH (follicle stimulating hormone) yang dihasilkan oleh hipofisis. Fungsi FSH adalah merangsang pertumbuhan ovarium. Sedangkan fungsi estrogen adalah merangsang perkembangan payudara, merangsang penebalan mukosa vagina, meningkatkan pigmentasi, vaskularisasi dan erotisasi labia majora, serta merangsang pembesaran klitoris dan uterus. Endometriumjuga akan menebal dan berdiferensiasi sebagai persiapan menstruasi dan proses kehamilan dan persalinan. Efek lain estrogen adalah meningkatkan deposit glikogen didalam sel mukosa vagina sehingga pertumbuhan bakteri Doederlein akan meningkat dan suasana vagina menjadi asam. Selain FSH, hipofisis juga akan menghasilkanluteinizing hormone (LH) yang berfungsi merangsang produksi progesteron oleh ovarium. FSH dan LH juga dihasilkafl oleh laki-laki. FSH berfungsi pada pematangan sel Leydig didalam testes yang kemudian atas pengaruh LH akan menghasilkan testosteron. Pubertas pada laki-laki sering diikuti oleh pengalaman ejakulasi yang merupakan respons terhadap masturbasi atau muncul sendiri pada malam hari dalam bentuk mimpi basah. Selain rambut pubis, pada remaja laki-laki juga akan tumbuh rambut wajah yang mula-mula akan timbul di sudut bibir atas yang akan menyebar ke medial, kemudian juga ke dagu. Rambut atau bulu tubuh yang terakhir tumbuh pada remaja laki-laki adalah bulu dada. Testosteron juga akan merangsang pertumbuhan tulang krikoid dan tiroid serta otot laring, sehinggaremaja laki-laki akan mengalami perubahan suara menjadi berat dan dalam. Selain testosteron, adrenal juga menghasilkan androgen lemah, yaitu dehidroepiandrosteron (DHEA), dehudroepiandrosteron sulfat (DHEAS) dan androstenedion. Umur mulai disekresikannya androgen adrenal disebut adrenarche, yang terjadi beberapa tahun sebelum pubertas. Umur adrenarche tidak berhubungan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dengan umw mulai disekresikannya steroid seks gonad. Di dalam darah, androgen dan estrogen dapat ditemukan dalam bentuk bebas atau terikat pada protein. Sekitar 30% testosteron terikat pada albumin, sedangkan sebagian besar testosteron (60%) terikat pada sex hormone binding globulin (SHBG). SHBG disintesis di hati. Kadar SHBG meningkat akibat pengaruh estrogen, tamoksifen, fenitoin, hormon tiroid atau sirosis hati; dan menurun atas pengaruh androgen eksogen, glukokortikoid, GH, hipotiroidisme, akromegali dan obesitas.



Daur Haid (Menstruasi) Haid mulai terjadi pada umur 12-14 tahun. Haid yang pertarna disebut menarche. Haid terjadi setiap 28 hari sekali selama masa subur mulai dari menarche sampai masa menopause. Menopause tidak terjadi serentak, tetapi melalui masa peralihan yang disebut klimakterium. Daur haid melibatkan 3 organ yang penting yang saling bekerjasama satu sama lain, yaitu hipofisis anterior, ovarium dan uterus. Hipofisis anterior, akan menghasilkan gonadotropin yang berfimgsi mempengaruhi kelenjar kelamin (gonad). Pada perempuan, dikenal2 macam gonadotropin, yaitu Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing hormone (LH). FSH akan mempengaruhi perkembangan folikel di dalam ovarium membentuk folikel de Graaf, dan merangsang folikel de Graaf untuk menghasilkan estrogen. Estrogen akan menekan produksi FSH oleh hipofisis anterior, sehingga akan dikeluarkan gonadotropin yang lain, yaitu LH. LH akan mempengaruhi pertumbuhan folikel, serta perkembangan struktur dan fungsi korpus luteum didalam ovarium, kemudian merangsang korpus luteum untuk menghasilkan progesteron. Peranan ovarium. Di dalam ovarium banyak ditemukan ovum yang memang sudah ada sejak lahir dan disebut ovum primordial yang belum berkembang sampai masa pubertas. Pada waktu pubertas, setiap bulan (28 hari sekali) terjadi perkembangan beberapa ovum atas pengaruh gonadotropin. Dari beberapa ovum yang berkembang, hanya 1 ovum yang akan mencapai kematangan sempurna sedangkan lainnya berdegenerasi membentuk korpus atretikum. Atas pengaruh FSH dan LH, ovum yang dilapisi oleh selapis sel-sel folikel (disebut folikel primer) akan berkembang. Sel-sel folikel yang semula gepeng akan berbah menjadi kuboid. Pada stadium folikel primer, ovum berada pada stadium oocyt I. Kemudian sel-sel folikel akan berproliferasi menjadi berlapis-lapis membentuk folikel sekunder. Diantara sel-sel folikel terdapat cairan yang homogen yang selalu ingin berkumpul menjadi satu, sehingga membentuk satu ruangan yang disebut antrum folikuli dan cairan didalamnya disebut likuor folikuli. Folikel semakin lama semakin membesar sehingga ovum terdesak ke dinding folikel membentuk tonjolan yang



disebut kumulus ooforus. Dalam keadaan masak folikel ini disebut folikel teertier atau folikel de Graaj '~olikelde Graaf dkelilingi oleh 2 lapisjaringan ikat, yaitu teka intema, disebelah dalam yang kaya akan pembuluh darah; dan teka eksterna, disebelah luar yang menyatu dengan jaringan ikat ovarium. Teka interna juga berfungsi sebagai kelenjar endokrin yang menghasilkan hormon estrogen dan progesteron. Fungsi kedua hormon seks perempuan tersebut adalah : a). Mempengaruhi hipofisis anterior secara timbal balik menghambat produksi FSH dan LH; b). Estrogen akan membangun mukosa uterus yang runtuh pada waktu haid bulan yang lalu, kemudian progesteron akan membuat mukosa tersebut berfimgsi; c). Estrogenjuga berperan menumbuhkan ciri seks sekunder pada perempuan. Sementara itu folikel de Graaf semakin matang, dan pada puncak kematangannya diameternya mencapai 15 mm dan membentuk tonjolan pada permukaan ovarium yang disebut stigma. Pada pertengahan siklus haid, stigma akan pecah, folikel sobek dan ovum beserta likuor folikuli terlempar keluar. Pelepasan ovum dari ovarium disebut ovulasi yang terjadi tepat 14 *1 hari sebelum haid berikutnya. Setelah ovulasi, sisa-sisa sel folikel pada ovarium yang bewarna kemerah-merahan (disebut korpus rubrum)akn diubah menjadi korpus luteum oleh LH, yang sel-selnya bewarna kekuningan karena mengandung zat lutein. Atas pengaruh LH, korpus luteum akan berfkngsi menghasilkan progesteron. Bila tidak ada fertilisasi, maka korpus luteum akan mengalami degenerasi pada hari ke 25 dan sel-selnya berubah menjadi jaringan ikat dan disebut korpus albikan. Produksi progesteron pun berhenti.



Peranan uterus. Endometrium (mukosa uterus) terdiri dari 2 lapis, yaitu stratum basale, yang selalu ada dan merupakan 10% dari tebal endometrium; dan stratum fungsionale, yang tidak selalu ada, merupakan 90% dari tebal endometrium. Pada waktu haid, stratum fungsionale akan runtuh dan atas pengaruh estrogen akan dibangunkembali oleh stratum basale. Jika ada fertilisasi, maka lapisan ini akan dipertahankan karena kadar estrogen dan progesteron juga dipertahankan oleh hormon gonadotropin korion, yang dihasilkan oleh selaput ekstraembrional yang disebut korion. Setelah plasenta terbentuk, maka fimgsi korpus luteum sebagai penghasil estrogen dan progestreron diambil alih oleh plasenta. Pada waktu ovulasi, pembangunan stratum fungsional oleh stratum basal hampir mencapai loo%, tetapi belum berfungsi. Setelah ovulasi, pengaruh estrogen akan berhenti dilanjutkan oleh progsteron yang akan membuat stratum fungsional berfungsi, kelenjarnya berkelok-kelok dan bercabang-cabang dengan perm&aan yang berair. Bila tidak ada fertilisasi, produksi progesteron akan berhenti, vaskularisasi stratum fungsional akan berhenti dan lapisan tersebut akan mati dan runtuh, keluar sebagai darah haid. Darah haid tidak dapat membeku karena tidak merniliki faktorfaktor pembekuan. Lamanya haid berkisar antara 2-7 hari.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DASAR-DASAR ILMU PENYAKIT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Perkembangan Kognitif Masa remaja seringkali dianggap sebagai masa yang penuh dengan penentangan dan pemberontakan, karena banyaknya perubahan yang harus dihadapi oleh remaja dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Salah satu perkembangan yang hams dihadapi oleh remaja adalah kemampuannya berpikir secara lebih dewasa dan rasional serta memiliki pertimbangan yang lebih matang dalam menyelesaikan suatu masalah yang dihadapinya. Kemampuan berpikir dan mengamati dalam memecahkan suatu permasalahan atau rangsang dari luar, disebut kognitg Manusia mengalami perkembangan kognitif secara bertahap. Keating menyatakan bahwa ada 5 ciri kemampuan kognitif remaja, yaitu : 1). Mampu berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan, baik yang telah terjadi maupun kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi; 2). Berpikir dengan hipotesis; 3). Berpikir jauh kedepan, membuat rencana ke depan, dan merencanakan suatu strategi yang tepat; 4). Metakognisi, yaitu berpikir tentang berpikir, mampu mengukur kemampuan diri, memiliki tujuan serta mampu menganalisa alternatif pemecahan masalah; 5). Berpikir tanpa batas dan bersifat abstrak, misalnya tentang agama, politik, moral dan hubungan antar manusia. Dengan kemampuan seperti tersebut di atas, seringkali menimbulkan konflik anatar remaja dengan orang tua, sekolah dan lingkungannya.



Perkembangan Psikososial Remaja harus dapat menyesuaikan diri terhadap 3 lingkungan, yaitu keluarga, sekolah dan teman sebaya. Seringkali remaja mengharapkankebebasan dari lingkungan keluarga dan kemampuan untuk mandiri yang tidak jarang menimbulkan konflik dengan orang tua dan akan menimbulkan depresi bila tidak dapat diselesaikan dengan baik. Remaja biasanya belum dapat menentukan normanormanya sendiri, sehingga ia mengharapkan bimbingan dari orang tua, guru atau orang dewasa di lingkungannya. Remaja juga tidak mudah berkomunikasi, sangat sensitif dan mudah tersinggung. Selain itu, remaja juga mulai senang berkumpul dengan kelompok sebaya, yang mulamula berjenis kelamin sama, kemudian dengan bertambahnya usia, juga akan menjalin persahabatan dengan sebaya yang berjenis kelamin berbeda. Persahabatan ini cenderung berperan untuk meningkatkan berbagai kegiatan bersama, seperti keagamaan, kelompok belajar, olah raga, kesenian dan sebagainya. Persahabatan dengan sebaya yang berjenis kelamin berbeda, seringkali berkembang menjadi proses percintaan dan berpacaran. Perkembangan yang sangat penting pada masa remaja adalah pembentukan identitas diri yang merupakan proses yang panjang dan kompleks serta dipengaruhi oleh lingkungan sosial dimana remaja tersebut berkembang, balk lingkngan keluarga, tetangga, sekolah, maupun lingkungankecil dalam kelompok-kelompok kegiatan yang



dimasula remaja tersebut. Proses identitas diri akan semakin panjang akibat bertambah lamanya ketergantungan dan masa pendidikan formal. Tuntutan masyarakat terhadap kelompok remaja sudah pasti akan berlainan dengan apa yang diharapkan remaja itu sendiri. Remaja harus menyesuaikan ketegangan emosional dan kebutuhan biologisnya dengan keinginan dan harapan masyarakat dengan cara mempelajari berbagai norma dan peraturan yang berlaku. Kemampuan remaja untuk bergaul akan menghindari remaja dari perasaan terpencil, terutama dalam menghadapi berbagai tantangan dari lingkungannya. Bila remaja tidak mampu mengembangkan dirinya, baik dalam bidang pendidikan maupun pekerjaan, seringkali menimbulkan frustasi yang akan membahayakan kehidupannya kelak. Untuk itu, remaja harus dirangsanguntuk giat belajar dan bekerja, memupuk rasa persahabatan, memiliki tanggung jawab, serta tidak mudah putus asa. Perkembangan fisik remaja seringkali menimbulkan permasalahan sendiri, dimana yang perempuan takut tubuhnya terlalu gemuk, sementara yang laki-laki takut tubuhnya terlalu pendek. Untuk itu remaja harus berusaha untuk menerima dan menyukuri keadaan tubuhnya dan menggunakannya secara efektif. Dengan demikian remaja tidak akan rendah din, tidak akan merasa terkucil dan tidak akan timbul keinginan untuk menentang dan memberontak. Pada masa remaja menengah dan lanjut, harus mulai dilakukan tindakan pendidikan dan latihan kerja. Kadangkala pemilihan bidang studi, penentuan karir dan persiapan diri untuk suatu pekerjaan juga sudah harus dihadapi oleh remaja. Bahkan yang lebih berat lagi, mereka hams mempersiapkan diri untuk suatu perkawinan dan kehidupan berkeluarga. Dengan makin berkembangnya remaja menuju kedewasaan, maka mereka mulai mengevaluasi dirinya serta perubahan-perubahan disekitarnya. Perasaan ingin memberontak yang sering muncul pada masa-masa sebelumnya sudah mulai mereda, mereka mulai mendekati keluarga walaupun dengan sikap yang berbeda dibandingkan dengan masa sebelumnya. Selain itu juga mulai timbul kemampuan untuk melakukan hubungan interpersonal yang empatik dan keinginan mengembangkan konsep-konsep yang obyektif dan independen. KELAINAN PUBERTAS Pubertas Terlambat Pubertas terlambat, didefinisikan berbeda antara laki-laki dan perempuan. Pada laki-laki, pubertas terlambat adalah bila panjang testes tidak mencapai 2,s cm dan volume testes tidak mencapai 4 ml; sedangkan pada perempuan, pubertas terlambat adalah tidak membesarnya payudara sampai umur 13 tahun atau tidak adanya menstruasi sampai



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI umur 15 tahun. Sebagian besar keterlambatan pubertas masih dalam batas normal, tetapi sebagian disebabkan oleh kelainan hormonal. Pubertas terlambat lebih banyak ditemukan pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Penyebab pubertas terlambat :



1. Tinggi badan dan berat badan normal a. Kelainan konstitutional b. Disgenesis gonad XY c. Sindrom Kallrnann d. Tumor hipofisis e. Hipotiroidisme f Sindrom ovarium polikistik g. Abnormalitas adrenal h. Amenora sekunder lainnya 2. Berat badan rendah a. Malnutrisi b. Penyakit kronik c. Sindrom malabsorpsi d. Anoreksia nervosa e. Diet yang terlalu ketat 3. Tubuh pendek a. Penyakit kronik b. Sindrom Turner c. Lesi hipotalamus atau hipofisis d. Hipotiroidisme e. Combined pituitary hormone deJciencies f. Sindrom Prader-Wili g. Sindrom Laurence-Moon-Biedl Berdasarkan penyebab hipogonadisme, dapat dibagi 2 kelompok, yaitu : 1. Hipogonadisme hipogonadotropik: a. Kelainan Susunan Saraf Pusat (tumor, radioterapi dsb) b. Idiopathic Hypopitutay Dwar-sm c. Kelainan lain (sindrom Prader-Willi, sindrom Laurence-Moon-Biedl,malnutrisi, penyakit kronik, anoreksia nervosa, peningkatan aktivitas, hipotiroidisme) 2. Hipogonadisme hipergonadotropik: a. Sindrom Klinefelter b. Sindrom Turner c. Sindrom Pseudo-Turner (Sindrom Noonan) d. Kelainan testis atau ovarium yang lain e. Kriptorkismus, anorkia Pubertas Prekoks Pubertas prekoks adalah ditemukannya tanda-tanda pubertas pada anak perempuan sebelum berumur 8 tahun atau pada anak laki-laki sebelum berumur 9 tahun. Tandatanda perkembangan seksual yang terlalu cepat dan abnormal adalah : a. Pembesaran payudara sebelum umur 8 tahun, b. Menarche sebelum umur 10 tahun, c. Tumbuh rambut yang kasar dan tebal di pubis dan



ketiak, d. Pembesaran penis atau klitoris yang tidak sesuai dengan umur anak, e. Gejala pubertas lainnya, seperti pertumbuhan rambut wajah, akne, perubahan suara, pigrnentasi puting susu dan pigmentasi alat kelamin.



Ada 2 macam pubertas prekoks, yaitu: 1). Pubertas prekoks sejati, disebabkan oleh aktivasi prematur aksis hipotalamus-hipofisis; ditandai oleh perturnbuhan ciri seks sekunder yang lebih cepat, pembesaran gonad disertai pembentukan spermatozoa dan ovum yang matang. Kelainan ini dapat disebabkan oleh kelainan serebral (tumor, ensefalitis, hidrosefalus), virilizing syndrome, idiopatiMkonstitutiona1; 2). Pubertas prekoks semu (precoccious pseudopuberty), disebabkan oleh sekresi gonadotropin ektopik atau sekresi steroid seks otonom; ditandai oleh pertumbuhan ciri seks sekunder yang lebih cepat, tanpa disertai permatangan gonad maupun pembentukan spermatozoa dan ovum. Kelainan ini dapat disebabkan oleh tumor yang menghaslkan gonadotropin, tumor ang menghasilkan estrogen, produksi androgen yang berlebihan, hipotiroidisme berat, kista ovarium, sindrom McCune-Albright. Variasi Perkembangan Pubertas



Thelarche Prematur, yaitu pembesaran payudara unilateral atau bilateral tanpa disertai tanda-tanda sekresi estrrogen dan androgen pubertas. Biasanya muncul pada anak di bawah 3 tahun dan akan menghilang dalam beberapa bulan atau menetap sampai menjelang pubertas. Kelainan ini biasanya disebabkan oleh peningkatan produksi estrogen sepintas, misalnya akibat kista ovarium. Pemeriksaan kadar estrogen dapat normal, karena mungkin pada waktu pemeriksaan dilakukan, kadar estrogen sudah kembali normal. Menarche prematur, yaitu timbulnya haid pada anak-anak tanpa disertai tanda-tanda peningkatan estrogen yang lain. Pada umumnya kelainan ini akan hilang sendiri dalam 1-6 tahun dan pubertas normal tetap terjadi sebagaimana mestinya. Adrenarche prematur, yaitu munculnya rarnbut pubis dan aksila pa& anak laki-laki tanpa disertai tan&-tan& virilisasi atau pubertas yang lain. Biasanya terjadi pa&-anak-an& di bawah 6 tahun dan lebih sering menyerang anak perempuan daripada anak laki-laki. Kadar DHEAS plasma dan urin meningkat ke kadar usia pubertas. Umur tulang dan tinggi badan lebih dari umur kronologik. Gambaran elektroensefalografi dapat abnormal walaupun tidak ditemukan disfungsi neurologik. Secaraklinik akan tampak gambaran seperti late onset adrenal hyperplasia, sehingga untuk membedakannya diperlukan tes stimulasi ACTH. Ginekomastia adolesen, yaitu pembesaran payudara pada



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



98



DAM-DAM



ILMU PENYAKITDALAM



HANYA DI SCAN UNTUKefek dr.pinhole. PRIYOPengobatan PANJI



laki-laki yang bersifat sementara, dapat unilateral atau bilateral, dimulai pada saat pubertas dan menghilang 2 tahun kemudian. Kadar estrogen dan progesteron normal, tetapi rasio estradiol : testosteron dan kadar SHBG (sex hormone binding globulin) dapat meningkat. Bila ginekomastia tidak membaik, kadang-kadang diperlukanmamoplasti reduksi.



MASALAH KESEHATAN REMAJA Akne Vulgaris Akne vulgaris merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh inflamasi kronik unit pilosebasea yang ditandai oleh pembentukan komedo, papula, pustula, nodul dan pada beberapa kasus disertai jaringan parut, dengan predileksi di wajah, leher, lengan atas, dada dan punggung. Sekitar 90% remaja mengalami akne dalam berbagai derajat dan sekitar 20% membutuhkan pertolongan dokter. Kelenjar sebasea, merupakan kelenjar yang tidak aktif sebelum masa pubertas. Pada pubertas, terjadi peningkatan androgen, baik androgen adrenal (dehidroepiandrosteron sulfat, DHEA-S), maupun androgen dari testis (testosteron). Androgen ini akan meningkatkan produksi sebum yang lebih dari rata-rata dan keratinisasi abnormal duktus pilosebasea. Faktor lain yang turut berperan terhadap timbulnya akne adalah kolonisasi bakteri Propionibacterium acnes, dan proses inflamasi. Akne dapat meninggalkan bekas yang buruk pada kulit sehingga menimbulkan rasa malu dan rendah diri pada pasiennya. Beberapa ha1 yang harus diperhatikan dalam penanganan akne pada remaja: 1). Perhatikan keadaan emosional pasien; 2). Jelaskan pada pasien, bahwa pengobatan dapat memakan waktu yang lama; 3). Diet tidak memperburuk akne; 4). Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik, terutama tanda-tanda virilisasi pada perempuan, siklus menstruasi dan penggunaan obat kontrasepsi; 5). Higiene kulit yang baik dan sikap yang penuh pengertian akan turut membantu mengatasi masalah akne pada remaja. Miopia Miopia adalah kelainan refraksi akibat diameter anteroposterior bola mata terlalu panjang atau kekuatan pembiasan media refraksi terlalu kuat,sehingga bayangan benda yang dilihat jatuh di muka retina. Miopia biasanya mulai timbul pada usia remaja dan dapat dicurigai bila seorang remaja tidak dapat membaca tulisan di papan tulis di kelasnya dari bangku belakang, sehingga akan bolakbalik maju ke depan untuk membaca tulisan tersebut. Karena pasien miopia tidak dapat melihat jauh dan akan sangat jelas bila melihat dekat, maka miopia disebut juga rabun jauh. Pasien miopia akan sering mengeluh sakit kepala dan mempunyai kebiasaan mengerenyitkan matanya untuk mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan



miopia adalah dengan memberikan kacamata sferis negatif terkecil yang memberikan visus yang maksimal.



Kifosis Adolesen (Penyakit Scheuermann) Kifosis adolesen terjadi akibat kerusakan lempeng epifisis korpus vertebra bagian depan, sehingga daerah itu menjadi lemah dan timbul herniasi diskus intervertebralis melalui bagian depan lempeng epifisis ke dalam korpus veertebra, membentuk benjolan yang disebut Schmorl's node. Schmorl4 node ini akan merusak lempeng epifisis di daerah itu, baik scara langsung atau melalui gangguan pada perdaran darah di tempat itu. Penyakit ini dapat sembuh spontan, pengobatan biasanya ditujukan untuk mencegah kifosisnya bertambah progresif. Skoliosis Skoliosis adalah deformitas tulang belakang berupa deviasi ke lateral. Skoliosisdapat bersifat nonstruktural (misalnya akibat postural, nyeri dan spasme otot paraspinal, tungkai tidak sama panjang), dapat juga bersifat struktural. Salah satu skoliosis struktural yang sering menyerang remaja adalah skoliosis idiopatik adolesen, yang mulai timbul pada usia 10 tahun sampai umur pertumbuhan tulang berhenti (16 tahun) dan kebanyakan menyerang remaja perempuan. Selain skoliosis, kelainan ini juga disertai rotasi tulang belakang, sehingga mengganggu perkembangan tulang belakang dan iga, penyempitan kanalis spinalis, kontraktur ligamen dan otot-otot sisi konkaf dan pendorongan organ-organ di dalam mediastinum. Dengan pemeriksaan radiologik tulang belakang, dapat diukur sudut pembengkokan tulang belakang yang disebut sudut Cobb. Berdasarkan besarnya sudut Cobb, dapat ditentukan derajat skoliosis, yaitu ringan (sudut Cobb < 209, sedang (sudut Cobb 21"- 40") dan berat (sudut Cobb >40°). Hampir semua skoliosis dapat ditangani secara konservatif. Tujuan pengobatan skoliosis adalah mencegah progresifitas skoliosis dan melakukan koreksi dan stabilisasi skoliosis yang berat. Tindakan bedah pada pasien skoliosis dilakukan bila : pengobatan konservatif gagal, sudut Cobb >40°, terdapat deformitas yang memberikan gangguan. Penyakit Osgood-Schlater Penyakit Osgood-Schlater adalah avulsi tuberositas tibia yang diikuti nekrosis avaskularbagian tersebut. Pada anakanak, tuberositas tibia terdiri dari tulang rawan berbentuk lidah yang merupakan kelanjutan dari epifisis proksimal tibia yang sangat rentan terhadap gaya tarikan berulangulang dari tendon patela yang melekat pada tempat itu. Penyakit ini sering menyerang remaja laki-laki yang aktif. Pasien akan mengeluh nyeri pada tuberositas tibia, terutama bila berjalan, berlari atau berlutut. Pada pemeriksaan radiologi akan tampak fiagmentasi atau bagian



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI yang ireguler dari tuberositas tibia. Penyakit ini akan sembuh spontan bila lempeng epifisis sudah menutup. Pasien dianjurkan untuk menghentikan kegiatan yang dapat menyebabkan tarikan atau iritasi pada tuberositas tibia, misalnya berlutut, jongkok, berlari, mendaki, main sepak bola dan sebagainya. Tuberkulosis Tuberkulosis sering didapatkan pada remaja akibat daya tahan tubuh yang rendah. Seringkali tidak memberikan gejala yang spesifik, sehingga pada remaja yang mengeluh batuk-batuk kronik atau penurunan berat badan hams dilakukan uji tuberkulin. Bila uji tuberkulin positif hams dilanjutkan dengan pemeriksaan radiologi toraks untuk diagnosis dan penatalaksanaan selanjutnya. Remaja yang menderita tuberkulosis hams diberikan pengobatan yang adekuat secepatnya. Selain itu asupan gizi juga hams diperbaiki, terutama asupan protein. Penyakit Menular Seksual Penyakit menular seksual sering didapatkan pada remaja yang aktif secara seksual. Usaha pencegahan meliputi pendidikan kesehatan kepada para orang tua dan remaja, menanamkan norma-norma hidup yang baik pada anak, menanamkan sikap yang baik dan benar mengenai seks kepada para remaja, kewaspadaan terhadap adanya penyakit kelamin pada remaja. lnfeksi HIV Berbagai faktor risiko infeksi HIV pada remaja meliputi perubahan fisiologik pada remaja yang dapat memodulasi risiko infeksi dan pejalanan alamiah HIV, aktivitas seksual tanpa proteksi atau dengan banyak pasangan, perilaku penggunaan obat (narkoba, alkohol), serta anak jalanan yang lari dari rumah. Untuk itu hams dilakukan upaya pencegahan dan pengurangan risiko tertular HIV yang meliputi : 1). Penyebaran informasi mengenai infeksi HIV, transmisi dan pencegahannya; 2). Memasyarakatkan penggunaan kondom; 3). Membantu remaja menilai sendiri perilaku yang berhubungan dengan risiko; 4). Membantu remaja mengembangkan kemampuan komunikasi dan bersikap tegas terhadap berbagai ajakan dan tekanan yang menjurus ke perilah berisiko.



di daerah subkutan dan jaringan lainnya. Faktor-faktor yang sering menyebabkan asupan kalori berlebih adalah gangguan emosional, gaya hidup masa kini, paksaan ibu yang mengharuskan anak menghabiskan makanannya walaupun anak sudah kenyang, dan kebiasaan memberikan makanan tambahan berkalori tinggi pada usia yang terlalu dini. Pada remaja yang gemuk, keinginan untuk makan bertambah akibat pengalaman emosional yang kurang menyenangkan, agresi yang terpendam dan proteksi berlebihan yang terlalu lama. Untuk mengatasi ha1 ini hams dilakukan pengaturan diet yang baik, aktivitas fisik dan olah raga yang cukup dan teratur, penanggulangan masalah psikologis yang ada, dan memotivasi pasien akan pentingnya menurunkan berat badan. Remaja perempuan yang gemuk, seringkali melakukan diet yang sangat ketat sehingga mengakibatkan timbulnya malnutrisi. Anoreksia Nervosa Anoreksia adalah keadaan nafsu makan kurang atau sama sekali tidak ada, sedangkan anoreksia nervosa merupakan anoreksia yang sangat berat, dimana pasien membiarkan dirinya terus menerus dalam keadaan kelaparan sehingga berat badannya turun secra drastis, biasanya terjadi pada remaja perempuan dan berhubungan dengan gangguan psikologik. Kepribadian premorbid pasien pada umumnya adalah seorang yang perfeksionis, pengritik diri sendiri dan obsesif. Walaupun pertumbuhan fisiknya terganggu, aktivitas fisiknya tems berjalan. Perkembangan pubertas terlambat, bahkan pada remaja perempuan dapat timbul amenora. Pasien kemudian menunjukkan kelainan psikologik seperti depresi, membatasi diri dalam pergaulan, sukar berkomunikasi, dengan penampilan yang kaku dan tidak gembira. Penatalaksanaan yang terpenting adalah rehabilitasi nutrisi dan psikoterapi untuk memperbaiki gangguan psikologiknya.



Defisiensi Besi Defisiensi besi sering didapatkan pada remaja, terutama remaja perempuan setelah datangnya haid dan kurangnya asupan besi.



Bulimia Nervosa Bulimia nervosa adalah gangguan makan yang ditandai oleh episode mengkonsumsi makanan yang banyak dalam periode yang singkat (binge eating) diikuti tingkah laku menurunkan berat badan (purging), seperti merangsang muntah, gerak berlebihan, puasa berkepanjangan, penyalahgunaan laksan dan diuretika. Pasien biasanya mengalami depresi karena pengalaman binge eating dan purging menimbulkan rasa bersalah, penyesalan yang dalam dan perasaan malu. Prinsip penatalaksanaan bulimia adalah menurunkan pola makan bulimik serta mengatasi depresi dengan cara psikoterapi dan pemberian obat anti depresan.



Obesitas Obesitas biasanya terjadi pada golongan remaja tertentu akibat kebiasaan makan yang kurang baik dan aktivitas fisik yang kurang. Akibatnya akan terjadi akumulasi lemak



Epilepsi Pada masa remaja terjadi maturasi susunan saraf pusat sehingga dapat menyebabkan perubahan serangan epilepsi. Serangan epilepsi petit ma1 biasanya akan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DASAR-DASARILMU PENYAKIT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI menurun, tetapi pada umur 10-20 tahun, kejang umum dan gangguan psikomotor dapat bertambah. Nampaknya perubahan hormonal dan ansietas mempengaruhi sensitivitas neuron, sehingga merubah pola serangan epileptik.



Kehamilan pada Awal Masa Remaja Kehamilan pada remaja dapat terjadi baik akibat hubungan seks pranikah atau pernikahan dini. Terdapat bukti bahwa bayi yang dilahirkan dari kehamilan demikian mempunyai berat badan lahir yang rendah dan sering menderita akibat kelalaian para ibu yang masih belum matang. Kecelakaan Risiko kecelakaan pads remaja cukup tinggi seiring dengan meningkatnya aktivitas remaja untuk melakukan berbagai bentuk kreatifitas serta untuk menunjukkan kemandiriannya. Keberanian untuk mengambil risiko serta emosi yang meledak-ledak menjadi salah satu faktor risiko terjadinya kecelakaan pada remaja. Umumnya kecelakaan lebih sering terjadi pada remaja laki-laki dibandingkan perempuan, karena remaja laki-laki lebih aktif secara fisik dibandingkan remaja perempuan. Berbagai bentuk kecelakaan yang dapat menimpa remaja adalah kecelakaan lalu lintas, kecelakaan di tempat kerja atau sekolah, kecelakaan akibat olah raga, kekerasan, baik karena penganiayaan maupun karena usaha bunuh diri. Kecelakaan merupakan salah satu penyebab mortalitas, morbiditas dan kecacatan di kalangan remaja, sehingga perlu dilakukan berbagai tindakan pencegahan dan pengendalian sedini mungkin. Upaya ini hams melibatkan berbagai pihak, seperti orang tua, guru, lingkungan fisik dan sosial, media massa, tenaga kesehatan, kebijakan pemerintah dan perundangundangan. Penyalahgunaan Zat atau Obat Penyalahgunaan obat atau zat merupakan setiap penggunaan zat atau obat yang menyebabkan gangguan fisik, psikologik, ekonomi, hukum atau sosial, baik pada individu pengguna, maupun orang lain sebagai akibat tingkah laku pengguna tersebut. Berbagai faktor risiko penyalahgunaan obat pada remaja meliputi faktor genetik, pola asuh dalam keluarga, pengaruh teman, atau gangguan psikiatri. Obat-obat yang sering disalahgunakan meliputi antidepresan, stimulan, halusinogen, derivat opium dan juga alkohol. Di beberapa negara, konsumsi alkohol sering dihubungkan dengan kebudayaan setempat. Mengingat dampak penyalahgunaan zat dan obat yang luas, maka penanganannya hams dilakukan secara terpadu.



Merokok Merokok merupakan suatu kebiasaan yang dapat memberikan kenikmatan bagi si perokok, tetapi dilain pihak menimbulkan dampak buruk baik bagi si perokok sendiri maupun bagi orang-orang disekitarnya. Nikotin merupakan zat psikoaktif yang mengakibatkan kecanduan bagi perokoknya. Nikotin diketahui dapat meningkatkan aktivitas motorik, menurunkan intelegensia anak yang dikandung oleh ibu yang perokok, meningkatkan risiko dishgsi seksualpada laki-laki, meningkatkan risiko infeksi saluran napas, serangan asma, penyakit jantung koroner dan kanker paru. Berbagai tindakan preventif dan promotif yang terpadu perlu dilakukan untuk mengatasi masalah merokok di kalangan remaja. Kenakalan Remaja Kenakalan remaja merupakan tindakan kriminal yang dilakukan oleh remaja yang berumur kurang dari 17-18 tahun. Kelakuan seorang remaja banyak dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya. Kenakalan remaja biasanya berhubungan dengan kurangnya pengawasan di rumah, kurang kasih sayang, tidak ada pembatasan atas perilaku yang agresif, terlalu manja atau terlalu sering dihukum. Berbagai faktor yan turut berperan terhadap timbulnya kenakalan remaja meliputi faktor-faktor sosial, ekonomi, agama, pendidikan dan bahkan faktor politik.



REFERENSI Budiman M. Perkembangan Psikososial pada Anak. Dalam:Markum AH, Ismael S, Alatan H, Akib A et al (eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. 1st ed. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta 199 1 . Hasan R, Napitupulu PM. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, jilid 1. Cet 4. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1985. Lachelin GCL. Introduction to Clinical Reproductive Medicine. 1st ed. Butterworth-Heinemann, London 1991. Markum AH. Tumbuh-Kembang. Dalam:Markum AH, Ismael S, Alatan H, Akib A et a1 (eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. 1st ed. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta 1991. Needlman RD. Growth and Development. In : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds). Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed. WB Saunders, Philadelphia, 2004. Soetjiningsih. Buku Ajar Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya, 1st ed. Sagung Seto, Jakarta, 2004. Styne D. Puberty. 1n:Greenspan FS, Gardner DG (eds). Basic and Clinical Endocrinology. 7th ed. McGraw-Hill Co, New York, 2004.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



'



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



KESEHATAN PEREMPUAN Siti setiati, Purwita W. Laksmi



PENDAHULUAN Studi mengenai perbedaan biologis antara jenis kelamin telah berkembang menjadi satu disiplin ilmu tersendiri di Amerika Serikat. Institute ofMedicine melaporkan bahwa jenis kelamin memiliki pengaruh besar terhadap proses biologis dan penyakit. Integrasi kesehatan perempuan dalam ilmu penyakit dalam dan bidang lain diikuti dengan pendekatan baru dalam pelayanan kesehatan, termasuk perhatian besar pada pendidikan pasien dan keterlibatan dalam pencegahan penyakit serta pengambilan keputusan medis.



RlSlKO PENYAKIT: ANTARA PERSEPSI DAN KENYATAAN Risiko perempuan terhadap berbagai penyakit meningkat setelah menopause, yang umumnya terjadi pada median usia 5 1,4 tahun. Seiring dengan menurunnya kadar estrogen secara mendadak setelah menopause, kejadian penyakit kardiovaskular meningkat dandensitas hassa tulang mulai menurun. Selain itu, usia harapan hidup' perempuan lebih tinggi dibandingkan pria sehinggajurnlah populasi perempuan juga lebih besar dibandingkan pria. Sebagai contoh, di Amerika Serikat usia harapan hidup perempuan saat ini 7 9 3 tahun sedangkan pria 73,8 tahun; sementara di Indonesia sendiri usia harapan hidup perempuan meningkat dari usia 48,l tahun di tahun 1970 menjadi usia 70 tahun di tahun 2000, sedangkan pada pria dari usia 45 tahun menjadi 65 tahun. Dengan demikian penyakit atau kondisi yang tidaklah mengherankan jika . . . terkait dengan usia seperti hipertensi, mempunyai pengaruh yang lebih besar pada perempuan. Berbeda dengan asumsi yang selama ini ada, ternyata



penyebab kematian utama di Amerika Serikat pada perempuan dan pria sama, yaitu penyakit jantung, kanker, dan penyakit serebrovaskular. Kanker paru sebagai penyebab utama kematian akibat kanker juga sama pada kedua jenis kelamin. Sayangnya persepsi perempuan bahkan dokter mengenai risiko penyakit tersebut seringkali tidak akurat. Hanya 70mmHg PCO, < 50 mm Hg pHl5 mlkg Volume tidal >400 ml(50-70 kg dewasa)



+



PaCO,> 50 m m H g



High P a C 0 2 no special hazard



Kesadaran baik



1



Teruskan terapi



I



Teruskan terapi



I



t.r__7



I



FIO, 1 ,O



Fail chest berat



Fail chest ring an



PaCO,< 45 m m H g



PaCO,> 45 m m H g



Ll



I



+



I



Tidak ada kelelahan Teruskan terapi



Ventilasi prevent~f I



Masalah neuromuskular I



m



By pass kardiopulmonari



r



Kelelahan jelas



Pascasurgical



1



Kesad ran baik



I



1



I



I



4



Bukan bypass kardiopulmonari



Hemodinamik labil



I



Kapasitas vital < 10 mllkg



B u ka n Pascasurgical



,



Kapasitas vital > 10 mllkg



Sukar menelan



Bisa menelan



Kelelahan jelas



Tidak ada kelelahan



+



Teruskan terapi



Deliberate hipokapnia 14 Obesitas



Efek obat prolong



Hemodinamik tak stabil



I



-



I



Peninggian tekanan intrakranial



I M u n g k ~ nperlu IPPV



Gambar 1.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



Asidosis rnetabolik berat



I



I



PaCO, < 45 m m H g



I



Kesadaran menurun



Hemodinamik tak stabil



Lanjutkan terapi



+



I



PaCO, > 45 m m H g



d



Hemodinamik stabil



Teruskan terapi



Kesadaran menurun Kesadaran baik



Kesadaran menurun



I



1



-



PaCO, < 50 m m H g



IPPV



Trauma dinding toraks



Prognosis ad malam



Prognosis ad bonam



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI NIF (negative inspiratory force) > -25 cm H,O (lebih negatif). c. Sebelum pipa endotrakeal dilepas, pasien hams dalam fase inhalasi. Jadi saat pelepasan pipa, pasien adalah pada fase ekshalasi yang akan membantu mencegah terhisapnya sekret yang ada di trakea ke paru. d. Ingat bahwa pipa berbentuk lengkung dan ikutilah lengkungan itu saat melepasnya. 5. Pesan penting setelah ekstubasi.



a. Pasang 40-50% masker muka b. Sucsion bilamana perlu c. Bila pasien telah mengalami bantuan pernapasan dalam waktu lama, biarkanlah ventilator di samping pasien selama 24 jam, karena setiap waktu dapat dipergunakan bila terjadi ha1 kegawatan yang memerlukan ventilator kembali. d. Cek gas darah setelah 30-60 menit e. Periksa spirometri tiap jam f. Rangsang batuk dan napas dalam g. Perhatikan takipnu, yang sering merupakan pertanda awal gagal napas.



Keputusan untuk memasang ventilator harus dipertimbangkansecara matang. Sebanyak 75% pasien yang dipasang ventilator umumnya memerlukan alat tersebut lebih dari 48 jam. Bila seseorang terpasang ventilator lebih dari 48 jam maka kemungkinan dia tetap hidup keluar dari rumah sakit (bukan saja lepas dari ventilator) jadi lebih kecil Secara statistik angka survival berhubungan sekali dengan diagnosisutama, usia ,dan jumlah organ yang gagal . Pasien asma bronkial lebih dari 90% survive sedangkan pasien kanker kurang dari 10%. Usia di atas 65 tahun kemungkinan survive kurang dari 50%. Sebagian penyebab rendahnya survival pasien terpasang ventilator ini adalah akibat komplikasi pemakaian ventilator sendiri, terutama tipe positive pressure.



AKIBAT MERUGIKAN DARl VENTlLASl MEKANIK Pengaruh pada Paru-paru Barotrauma mengakibatkan emfisema, pneumomediastinum, pneumoperitoneum, pneumotoraks, dan tension pneumothorax. Puncak tekanan pengisian paru yang tinggi (lebih besar dari 40 cmH,O) berhubungan dengan peningkatan insidens barotrauma. Disfungsi sel alveolar timbul akibat tekanan jalan napas yang tinggi. Pengurangan lapisan surfaktan mengakibatkan atelektasis, yang mengakibatkan peningkatan tekananjalan napas lebih lanjut. Tekanan jalan napas yang tinggijuga mengakibatkan



distensi berlebihan alveolar (volutrauma), meningkatkan permeabilitas mikrovaskular dan kerusakan parenkim. Konsentrasi oksigen inspirasi yang tinggi (FIO, lebih besar dari 0,5) mengakibatkan pembentukan radikal bebas dan kerusakan sel sekunder. Konsentrasi oksigen yang tinggi ini dapat mengakibatkan hilangnya nitrogen alveolar dan atelektasis sekunder. Pengaruh pada Kardiovaskular Jantung, aorta, dan pembuluh darah pulmonal berada di dalam rongga dada dan potensial dalam meningkatkan tekanan intra torakal. Hasilnya berupa penurunan curah jantung sehingga aliran balik vena ke jantung kanan menurun, disfungsi ventrikel kanan, dan pembesaran jantung kiri. Penurunan curah jantung akibat preload ventrikel kanan kurang, banyak dijumpai pada pasien hipovolemik dan memberikan reaksi pada penambahan volume cairan. Pengaruh pada Ginjal, Hati, dan Saluran Cerna Tekanan ventilasi positif bertanggung jawab pada keseluruhan penurunan fungsi ginjal dengan penurunan volume urin dan ekskresi natrium. Fungsi hati mendapat pengaruh buruk dari penurunan curah jantung, meningkatnya resistensi pembuluh darah hati, dan peningkatan tekanan saluran empedu. Iskemia mukosa gaster dan perdarahan sekunder mungkin terjadi akibat penurunan curah jantung dan peningkatan tekanan vena lambung. Ventilator Noninvasif (NIPPV) Ventilasi invasif adalah suatu alat bantuan napas mekanik (ventilator) tanpa suatu pemasangan pipa endotrakeal ke jalan napas Manfaat alat ini adalah: efek samping akibat intubasi jalan napas atau efek samping trakeostomi dapat dihindari, ukuran alatnya relatif kecil, portabel, pasien saat alat terpasang bisa bicara, makan, batuk, dan bisa diputus untuk istirahat. NIPPV disebut juga body ventilator (iron lung, pneumo wrap, chest cuirass), positive pressure ventilator (PPV), continuous possitive airway pressure (CPAP). Body ventilator disebut juga negative pressure ventilator. Alat ini bekerja dengan menimbulkan tekanan negatif di sekeliling dada dan perut yang menghasilkan pengembangan rongga dada sehingga udara terisap ke paru melalui mulut dan hidung. Saat tekanan sudah sama kembali dengan sekitarnya, maka secara pasif akibat elastic recoil paru dan dinding dada akan terjadi ekspirasi. Pada pneumo belt (intermitent abdominal pressure ventilator), mekanisme kerja justru sebaliknya; yaitu alat melakukan penekanan pada perut untuk ekspirasi aktif dan inspirasi terjadi secara pasif karena gravitasi. Pada rocking bed ventilatol; mekanisme kerjanya adalah



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



174



KEGAWATDARURATAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pengubahan posisi pasien dan akibat gravitasi akan membantu pergerakan pasif diafragma untuk inspirasi dan ekspirasi. Non invasifpositive pressure ventilators, mekanisme kerjanya adalah secara aktif membantu inpirasi dengan mengantarkan suatu volume tidal udara yang sudah diatur tekanannya. Teknik ini memungkinkan kita mengontrol ventilasi menyeluruh atau hanya membantu usaha napas spontan saja. Ekspirasi (ekshalasi) terjadi secara pasif terhadap PEEP yang sudah diatur tekanannya atau terhadap tekanan atmosfer. CPAP (Continous possitive air pressure) mengantar secara konstan suatu tekanan udara selarna inspirasi dari ekspirasi,jadi tekanan udara dibuat positif terhadap tekanan atrnosf~selama siklus napas. CPAP ini bukan murni suatu model ventilator karena tak membantu inspirasi secara aktif, tapi mengurangi beban bernapas pada pasien yang bisa bernapas spontan dengan memperbaiki compliance atau mengimbangi PEEP intrinsik.Tekanan yang dipakai biasanya 5- 10 cm$0 jarang yang melebihihisamentolerir sampai lebih dari 15cmH,O.



Keuntunaan



Keterbatasan



Mudah dipasang dan dipindah Lebih nvaman ~ e n ~ u i apemakaian n~i sedatif Bisa sambil bicaralmenelan lbatuk Menghindari komplikasi pipa berupa: resistensi pipa trauma jalan napas atas aspirasi mini infeksi paru



Stres psikis Peninakatan .~enaawasan perawatan Timbul hipoksemi saat dilepas Timbul iritasi mata Sulit higienis jalan napas Tak ada proteksi jalan napas Tak nyaman di muka Distensi lambung Terbatas kemampuan ventilasinya Tidak ada ~erlindunaanudara



-



REFERENSI Dellinger RP. Mechanical ventilation. I n : The ACCP pulmonary board review 1998-1999. Illinois. ACCP: 346-359. Gomella LC, Braen GR, Haist SA, Olding M. Fundamental o f ventilator management. 1n:Clinicians pocket reference. 61h ed. California: Appleton&Lange; 1989.p.226-32. Marini JJ and Wheeler AP. Indications and option on mechanical ventilation. In: Critical care medicine, the essentials. 2nd.ed. Baltimore: Williams&Wilkins; 1997.p.116-35.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



GANCGUAN KESEIMBANGAN CA A N DAN ELEKTROLIT Parlindungan Siregar



CAIRAN TUBUH TOTAL Scbagian besar tubuh manusia terdiri dari cairan. Pada bayi prematur jumlahnya sebesar 80% dari berat badan; bayi normal sebesar 70-75% dari berat badan, sebelum pubertas sebesar 65%-70% dari berat badan; orang dewasa sebesar 50-60% dari berat badan. Kandungan air di dalam sel lemak lebih rendah dari pada kandungan air di dalam sel otot, sehingga cairan tubuh total pada orang yang gemuk (obes) lebih rendah dari mereka yang tidak gemuk. Cairan dalam tubuh dibagi dalam dua kompartemen utama yaitu cairan ekstrasel dan cairan intrasel. Volume cairan intrasel sebesar 60% dari cairan tubuh total atau sebesar 36% dari berat badan pada orang dewasa. Volume cairan ekstrasel sebesar 40% dari cairan tubuh total atau sebesar 24% dari berat badan pada orang dewasa. Cairan ekstrasel dibagi dalam dua subkompartemen yaitu cairan interstisium sebesar 30% dari cairan tubuh total atau 18% dari berat badan pada orang dewasa dan cairan intravaskular (plasma) sebesar 10% dari cairan tubuh total atau 6% dari berat badan pada orang dewasa (Cambar 1). Cairan ekstrasel dan cairan intrasel dibatasi oleh membran merupakan membran semipermeabel sel (lipid-sol~~hle), yang bebas dilewati oleh air akan tetapi tidak bebas dilewati oleh solut yang ada di kedua kompartemen tersebut kecuali urea. Cairan interstisium dan cairan intravaskular dibatasi oleh membran permeabel yang bebas dilewati oleh air dan solut kecuali Albumin. Albumin hanya terdapat di intravaskular. Dalam dua kompartemen cairan tubuh ini terdapat solut berupa kation dan anion (elektrolit) yang penting dalam mengatur keseimbangan cairan dan fungsi sel. Ada dua kation yang penting, yaitu natrium dan kalium. Keduanya mempengaruhi tekanan osmotik cairan ekstrasel dan



Gambar 1. Cairan total tubuh dengan komparternen intrasel dan ekstrasel



intrasel dan langsung berhubungan dengan fungsi sel. Kation dalam cairan ekstrasel adalah natrium (kation utama) dan kalium, kalsium, magnesium. Untuk menjaga netralitas (elektronetral), di dalam cairan ekstrasel terdapat anionanion seperti klorida, bikarbonat dan albumin. Kation utama dalam cairan intrasel adalah kalium dan sebagai anion utama adalah fosfat.



GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN Gangguan keseimbangan air dalam topik ini adalah ketidakseimbangan antara air yang masuk ke dalam dan air yang ke luar dari tubuh, ketidakseimbangan antara cairan intra dan ekstrasel serta ketidakseimbangan antara



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



176



KEGAWATDARURATAN MEDIK Dl BIDANC ILMU PENYAKIT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



cairan interstisium dan intravaskular. Ketidakseimbangan ini khususnya antara intra dan ekstrasel atau antara interstisium dan intravaskular, sangat dipengaruhi oleh osmolalitas atau oleh tekanan osmotik. Osmolalitas adalah perbandingan antara jumlah solut dan air. Solut-solut yang mempengaruhi osmolalitas dalam tubuh adalah natrium, kalium, glukosa dan urea. Makin tinggi osmalilitas maka makin tinggi tekanan osmotik. Urea mempengaruhi osmolalitas akan tetapi tidak berpengaruh terhadap tekanan osmotik oleh karena urea memiliki kemampuan untuk menembus membran sel (lipid-soluble) berpindah bebas dari intrasel ke ekstrasel atau sebaliknya, sehingga urea disebut sebagai osmol yang tidak efektif (ineffective-osmole). Berpindahnya cairan dari intrasel ke ekstrasel atau sebaliknya, dipengaruhi oleh perbedaan osmolalitas. Cairan akan berpindah dari daerah yang osmolalitas lebih rendah ke daerah dengan osmolalitas lebih tinggi. Dalam keadaan normal maka osmolalitas cairan intrasel adalah sama dengan osmolalitas cairan ekstrasel. Kandungan air di intrasel lebih banyak oleh karena jumlah kalium total dalam tubuh lebih besar dari jumlah natrium total dalam tubuh. Natrium, kalium, glukosa bebas berpindah antar interstisium dan intravaskular (plasma), sehingga ketiga osmol ini tidak berpengaruh terhadap perpindahan cairan dari intersisium ke dalam plasma atau sebaliknya. Protein dalam plasma yaitu albumin tidak mudah berpindah dari intravaskular ke dalam cairan interstisium sehingga albumin adalah osmol utama yang mempengaruhi tekanan osmotik di intravaskular. Tekanan osmotik dalam plasma ini disebut juga sebagai tekanan onkotik dalam plasma. Berpindahnya cairan dari intravaskular ke interstisium atau sebaliknya sangat dipengaruhi oleh kadar albumin dalam plasma. Ada beberapa keadaan yang dapat kita temukan dalam ha1 gangguan keseimbangan air antara lain : 1). Hipovolemia, 2). Dehidrasi, 3). Hipervolemia, 4). Edema.



Hipovolemia. Hipovolemia adalah suatu keadaan di mana berkurangnya volume cairan tubuh yang akhirnya menimbulkan hipoperfusi jaringan. Hipovolemia adalah berkurangnya cairan ekstrasel di mana air dan natrium berkurang dalam jumlah yang sebanding. Hipovolemia dapat terjadi pada kehilangan air dan natrium melalui saluran intestinalis seperti muntah, diare, pendarahan atau melalui pipa sonde. Dapat juga melalui ginjal antara lain penggunaaan diuretik, diuresis osmotik, 'salt-wasting nephropathy ', hipoaldosteronisme. Melalui kulit dan saluran napas seperti 'insensible water losses ', keringat, luka bakar. Atau juga melalui sekuestrasi cairan seperti pada ileus obstruksi, trauma, fraktur, pankreatitis akut. Pada hipovolemia cairan yang berkurang atau hilang hanyalah cairan ekstrasel. Karena cairan yang keluar atau hilang adalah cairan yang isotonik, inaka kadar natrium plasma tetap dalam batas normal.



Dehidrasi. Dehidrasi adalah keadaan di mana berkurangnya volume air tanpa elektrolit (natrium) atau berkurangnya air jauh melebihi berkurangnya natrium dari cairan ekstrasel. Akibatnya terjadi peningkatan natrium dalam ekstrasel sehingga cairan intrasel akan masuk ke ekstrasel (volume cairan intrasel berkurang). Dengan kata lain, dehidrasi melibatkan pengurangan cairan intra dan ekstrasel secara bersamaan di mana 40% dari cairan yang hilang berasal dari ekstrasel dan 60% berasal dari intrasel. Pada keadaan dehidrasi, akan terjadi hipematremia karena cairan yang keluar atau hilang adalah cairan yang hipotonik. Dehidrasi dapat terjadi pada keadaan keluamya air melalui keringat, penguapan dari kulit, saluran intestinal, diabetes insipidus (sentral dan nefrogenik), diuresis osmotik, yang kesemuanya disertai oleh rasa haus dengan gangguan akses cairan. Atau dapat terjadi bila cairan ekstrasel masuk ke intrasel secara berlebihan pada kejang hebat atau setelah melakukan latihan berat. Atau dapat terjadi bila asupan cairan natrium hipertonik yang berlebihan. Hipewolemia. Hipervolemia adalah suatu keadaan di mana terjadinya peningkatan volume cairan ekstrasel khususnya intravaskular (volume overload) melebihi kemampuan tubuh mengeluarkan air melalui ginjal, saluran intestinal, kulit. Keadaan ini lebih dipermudah dengan adanya gangguan pada otot jantung (gagal jantung kongestif) atau pada gangguan fungsi ginjal berat (penyakit ginjal kronik stadium IV dan V atau pada gagal ginjal akut oligurik). Edema. Edema adalah suatu pembengkakan yang dapat diraba akibat penambahan volume cairan intersisium. Ada dua faktor penentu terhadap terjadinya edema antara lain : a). Perubahan hemodinamik dalam kapiler yang memungkinkan keluamya cairan intravaskular ke dalam jaringan interstisium. b). Retensi natrium di ginjal. Hemodinamik dalam kapiler dipengaruhi oleh : a). Permeabilitas kapiler. b). Selisih tekanan hidrolik dalam kapiler dengan tekanan hidrolik dalam intersisium. c). Selisih tekanan onkotik dalam plasma dengan tekanan onkotik dalam interstisium. Retensi natrium dipengaruhi oleh : a). Aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron yang erat kaitannya dengan baroreseptor di arteri aferen glomerulus ginjal. b). Aktivitas ANP (atrial natriuretik peptide) yang erat kaitannya dengan baroreseptor di atrium dan ventrikel jantung. c). Aktivitas saraf simpatis, ADH yang erat kaitannya dengan baroreseptor di sinus-karotikus. d). Osmoreseptor di hipotalamus. Pada keadaan volume sirkulasi efektif yang rendah misalnya pada gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindromnefrotk, dan gagal ginjal, makajumlah total natrium tubuh akan meningkat oleh karena adanya retensi natrium ginjal akibat peningkatan sistem renin-angiotensinaldosteron. Akibat semua ini terjadi penimbunan air pada interstisium yang akan menimbulkan edema umum.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



CANCCUANKESEIMBANCAN CAlRAN DAN ELEICTROLIT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Di samping faktor-faktor penyebab edema di atas, ada faktor lain yang mencegah berlanjutnya penumpukan cairan dalam jaringan interstisium (edema) yaitu aliran limfatik yang dapat menampung kelebihan cairan dalam jaringan interstisium. Faktor lain adalah dengan meningkatnya jumlah cairan dalam jaringan interstisium pada edema, akan mengurangi tekanan onkotik dan meningkatkan tekanan hidrolik jaringan interstisium sehingga penumpukan cairan dalam interstisium terhambat. Manifestasi klinis edema dapat berupa : edema paru, edema perifer misalnya pada tungkai, asites, bendungan pada vena setempat misalnya pada tungkai yang biasanya unilateral, bendungan vena dalam, edema 'pitting' pada hipotiroid.



sebanyak duapertiganya ke cairan interstisium.Bila cairan keluar dari saluran intestinal (diare atau muntah), jenis cairan pengganti dapat berupa NaCl isotonis atau ringer-laktat. Pada diare lebih dianjurkan pemberian ringer-laktat oleh karena potensi terjadinya asidosis metabolik pada diare yang berat. Dehidrasi Dehidrasi melibatkan pengurangan cairan intrasel dan ekstrasel secara bersamaan di mana 40% dari cairan yang hilang berasal dari ekstrasel dan 60% berasal dari intrasel. Hipernatremia pada pasien dengan hipovolemia, merupakan tanda klinis dehidrasi. Defisit cairan tubuh total ini dapat dihitung dengan rumus : Defisit Cairan = 0,4 x berat badan (Na PLASMA I 140 - 1)



PENANGGULANGANGANGGUANKESEIMBANGAN CAIRAN Hipovolemia Ada dua tindakan yang dilakukan dalam mengatasi keadaan ini yaitu menanggulangipenyakit yang mendasari dan penggantian cairan yang hilang. Untuk mengetahui jumlah cairan yang akan diberikan perlu diketahui prediksi cairan yang hilang dari tubuh. Pada hipovolemia, cairan yang hilang berasal dari cairan ekstrasel (intravaskular dan interstisium) oleh karena cairan yang hilang adalah cairan yang isotonik. Dalam keadaan normal, osmolaritas cairan interstisium dan intravaskular adalah sama, maka penghitungan cairan yang hilang didasarkan pada persen berkurangnya plasma (cairan intravaskular). Disebut hipovolemi ringan bila kehilangan 5 20% volume plasma. Gejala klinis yang timbul hanya takikardia. Disebut hipovolemia sedang bila kehilangan 20 - 40% volume plasma. Gejala klinis yang timbul adalah takikardia dan hipotensi ortostatik Disebut hipovolemia berat bila kehilangan 2 40% volume plasma. Gejala klinis yang timbul adalah penurunan tekanan darah, takikardia, oliguria, agitasi, pikiran kacau. Perlu diingat bahwa volume plasma adalah sebesar 6% dari berat badan pada orang dewasa. Sebagai contoh, deplesi volume ringan (20%) pada orang dewasa seberat 60 kg, volume cairan yang hilang sebesar 20% dari 3,6 liter adalah 0,72 liter (720 ml). Kecepatan pemberian cairan tergantung pada keadaan klinis yang terjadi. Pada deplesi volume yang berat, kecepatan cairan diberi dalam waktu yang cepat hingga terjadi perbaikan takikardia dan tekanan darah. Jenis cairan yang diberikan tergantung dari cairan yang ke luar. Bila pendarahan sebaiknya diganti dengan darah juga. Bilapersediaan darah tidak ada, dapat diberikan cairan koloid atau cairan kristaloid seperti NaCl isotonis atau cairan-ringer-laktat. Cairan koloid tetap tertahan dalam intravaskular, sedangkan cairan kristaloid akan masuk



Untuk koreksi cairan,jenis cairan yang diberikan adalah cairan dekstrosa isotonik. Volume cairan yang dibutuhkan sesuai dengan perhitungan rumus di atas ditambah dengan 'insensible water losses' + volume urin 24 jam + volume cairan yang keluar melalui saluran cerna. 'Insensible water losses' sebanyak 40 mlljam. Cairan dapat diberikan intravena atau oral bila pasien sadar. Kecepatan pemberian cairan hams tidak menimbulkan penurunan kadar natrium plasma > 0,5 meqljam. Sebagai contoh bila kadar Na-plasma diturunkan dari 160menuju 140, maka kecepatan pemberian cairan adalah selama 40 jam (20 dibagi 0,5). Bila berat pasien ini adalah 60 kg, maka defisit cairan sebesar 0,4 x 60 (1601140 - 1) = 3,43 L. Bila insensible loss sebesar 960 ml dan volume urin 1500mu24 jam, maka volume cairan yang dibutuhkan sebesar 3,43 + 0,96 + 1,5 = 5,89 Liter. Jumlah cairan ini diberikan dalam waktu 40 jam atau 0,15 literljam. Tindakan lain adalah mengatasi penyebab terjadinya dehidrasi. Hipervolemia Hipervolemia (volume overload), volume intravaskular yang meningkat, pada kegagalan otot jantung dan penurunan fungsi ginjal dapat menimbulkan edema paru. Penganggulangan yang dilakukan dalam ha1 ini adalah pemberian diuretik kuat, furosemid, serta restriksi asupan air. Asupan air yang dianjurkan hanya sebanyak 'insensible water losses' yaitu 40 mlljam. Pasien dengan gagal ginjal akut atau gagal ginjal terminal dengan hipervolemia memerlukan dialisis untuk penanggulangannya. Pasien dengan polidipsia primer, asupan air melebihi kemampuan pengeluaran melalui ginjal dan kulit, akan menimbulkan gejala akibat hiponatremia. Penanggulanganpada keadaan ini adalah dengan restriksi asupan air serta mengatasi gejala akibat hiponatremia akut bila ada.



*



Edema Penanggulangan edema yang dilakukan meliputi:



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1 /E(



KECAWATDARURATAN MEDIK Dl BIDANC lLMU PENYAKIT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



memperbaiki penyakit dasar bila mungkin, restriksi asupan natrium untuk minimalisasi retensi air, pemberian diuretik. Hal-ha1 yang hams diperhatikan dalam pemberian diuretik untuk penanggulangan edema adalah : saat yang tepat, risiko yang akan dihadapi bila edema dikurangi, waktu yang dibutuhkan untuk menangani edema, cepat atau lambat. Indikasi atau saat yang paling tepat untuk menanggulangi edema adalah bila ada edema paru, merupakan satu satunya indikasi pemberian diuretik yang paling tepat dalam menanggulangi edema dibandingkan dengan penanggulangan jenis edema yang lain. Retensi natrium sekunder (kompensasi) yang terjadi pada gagal jantung atau sirosis hati adalah dalam rangka untuk memenuhi volume sirkulasi efektif menjadi normal kembali guna optimalisasi pefisi jaringan. Pemberian diuretik yang terlalu besar pada keadaan ini akan menimbulkan risiko berkurangnya perfusi jaringan. Berkurangnya perfusi jaringan, dalam klinik dapat dinilai dari kenaikan ureum' dan kreatinin. Retensi natrium primer seperti pada penyakit ginjal, akibat obat-obatan (minoksidil, NSAID, estrogen), 'refeeding edema', tidak ada pengurangan volume sirkulasi efektif , pada keadaan ini yang terjadi adalah ekspansi cairan ekstrasel. Pemberian diuretik pada keadaan ini tidak akan mengurangi volume sirkulasi efektif sehingga tidak mengurangi perfusi jaringan. Pada edema umum akibat gagal jantung, sindrom nefrotik, retensi natrium primer, bila dilakukan pemberian diuretik, mobilisasi cairan edema dapat berlangsung cepat sehingga pengeluaran cairan edema sebanyak 2-3 liter dalam 24 jam tidak akan mengurangi perfusi jaringan. Berbeda dengan pengeluaran cairan asites, mobilisasi cairan asites masuk ke intravaskular berlangsung lambat sehingga bila diberikan diuretik kuat untuk mengurangi asites dengan cepat, akan terjadi penurunan perfusi jaringan sehingga akan menimbulkan kenaikan ureum atau sindrom hepato-renal dan dapat menjadi penyebab ensefalopati hepatikum.



GANGGUAN KESEIMBANGAN NATRIUM Natrium berperan dalam menentukan status volume air dalam tubuh. Keseimbangan natrium yang terjadi dalam tubuh diatur oleh dua mekanisme yaitu pengatur : Kadar natrium yang sudah tetap pada batas tertentu (Set-Point) Keseimbangan antara natrium yang masuk dan yang keluar (Steady-State) Perubahan kadar natrium dalam cairan ekstrasel akan mempengaruhi kadar hormon terkait seperti hormon antidiuretik (ADH), sistem RAA (renin angiotensin aldosteron), atrial natriuretic peptide (ANP), brain



natriuretic peptide (BNP). Hormon-hormon ini akan mempengaruhi ekskresi natrium di dalam urin. Naik turunnya ekskresi natrium dalam urin diatur oleh filtrasi glomerulus dan reabsorbsi oleh tubulus ginjal. Peningkatan volume cairan (hipervolemia)dan peningkatan asupan natrium akan meningkatkan laju filtrasi glomerulus dan pada deplesi volume (hipovolemia) serta asupan natrium yang rendah akan terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus. Perubahan perubahan yang terjadi pada laju filtrasi glomerulus akan mempengaruhi reabsorbsi natrium di tubulus (glomerulotubular balance). Sebanyak 60%-65% natrium yang difiltrasi direabsorbsi di tubulus proksimal, 25%-30% di 'loop of Henle ', 5% di tubulus distal dan 4% di duktus koligentes. Reabsorbsi di tubulus proksimal dan duktus koligentes tergantung pada kebutuhan tubuh yang diatur oleh faktor neurohumoral (angiotensin-I1dan norepinefrin di tubulus proksimal dan aldosteron di duktus koligentes). Reabsorbsi di lengkung-Henle dan tubulus distal tergantung dari jumlah natrium yang ada dalam filtrat di tubulus atau disebut juga tergantung banyaknya jumlah filtrat. Reabsorbsi natrium di tingkat sel tubulus proksimal dimulai dari aktivitas pompa NaK-ATPase di membran basolateral sel tubulus sehingga menimbulkan gradien elektrokimia sehingga memudahkan masuknya natrium secara pasif dalam bentuk solut kotranspor dengan glukosa, asamamino, fosfat yang dihantarkan oleh protein pembawa (carrier) masuk menembus membran-sel dan juga melalui antiport Na-H (reabsorbsi natrium dan sekresi ion-H). Reabsorbsi natrium di lengkung-Henle asending, dilakukan oleh proses elektronetral melalui kontranspor NaK2C1. Bila Na di reabsorbsi, maka absorbsi C1 akan terhalang sebaliknya bila C1 di reabsorbsi maka reabsorbsi Na terhalang dan bila K diareabsorbsi maka reabsorbsi Na dan C1 terhalang. Kalium yang direabsorbsi akan kembali masuk ke dalam lumen melalui saluran-K yang ada di membran sel bagian lumen, sehingga membuat lumen menjadi elektropositif dan mendorong Na masuk dari lumen ke dalam sel. Natrium yang masuk ke dalam sel akan dikeluarkan dari sel masuk ke dalam sirkulasi dengan bantuan pompa NaK-ATPase di membran basolateral di mana akan ke luar 3 Na dan masuk 2 K. Kalium yang masuk kemudian di keluarkan ke dalam lumen melalui saluran-K di membran sel. C1 yang direabsorbsi, kemudian ke luar dan masuk dalam sirkulasi melalui saluran C1 di membran basolateral. Keluarnya kalium ke dalam lumen dan keluarnya natrium ke dalam sirkulasi membuat sel menjadi elektronegatif dan lumen menjadi elektropositif sehingga memudahkan natrium masuk ke dalam sel dari lumen lengkung-Henle asending. Reabsorbsi natrium di tubulus distal, dilakukan oleh proses elektronetral melalui kotranspor Na-Cl. Di dalam sel, natrium dikeluarkanmelalui membran basolateral oleh pompa NaKATPase ke dalam sirkulasi dan C1 keluar dari sel pada membran basolataeral melalui saluran C1. Pompa



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



GANCCUAN KESEIMBANCAN CAIRANDAN ELEKTROLJT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI NaK-ATPasejuga membuat agar sel menjadi elektronegatif sehingga mendorong Na masuk ke dalam sel melalui kotranspor Na-Cl. Reabsorbsi Na di duktus koligentes, terjadi di bagian korteks duktus koligentes dan di medulla dalam. Pada bagian korteks dilakukan melalui sel-prinsipal. Reabsorbsi natrium di sel-prinsipal bagian korteks duktus koligentes bersifat elektrogenik yang memungkinkan kadar natrium dalam lumen turun sampai kurang dari 5 meq/L pada keadaan hipovolemi. Sifat elektrogenik ini menyebabkan muatan dalam lumen menjadi negatif sehingga memungkinkan terjadinya reabsorbsi pasif Cl melalui jalur paraselular dan juga memungkinkan terjadinya sekresi K ke dalam lumen melalui saluran-K yang peka aldosteron pada membran sel bagian lumen. Aldosteron sangat berperan dalam proses transpor natrium dengan meningkatkan jumlah saluran natrium di bagian apikal membran sel prinsipal duktus koligentes. Lumen yang bermuatan negatif ini dimungkinkan oleh pompa-NaKATPase di bagian basolateral sel prinsipal, 3 Na keluar dari sel masuk dalam sirkulasi dan 2 K masuk dalam sel dan kemudian 1 K keluar kembali dari sel yang menciptakan muatan negatif dalam sel. Muatan negatif dalam sel, mendorong Na masuk ke dalam sel melalui saluran natrium. Di samping itu, ion-K yang keluar ke dalam lumen melalui saluran kalium peka aldosteron, akan mendorong Na dalam lumen masuk ke dalam sel melalui saluran natrium tersebut. Prostaglandin E2 dapat menghambat reabsorbsi natrium di sel prinsipal sebaliknya ADH meningkatkan reabsorbsi natrium di sel prinsipal dengan meningkatkan jumlah saluran natrium.



Polidipsia primer atau gagal ginjal merupakan keadaan di mana ekskresi cairan lebih rendah dibanding dengan asupan cairan yang menimbulkan respons fisiologis menekan sekresi ADH. Hiponatremia dengan osmolalitas plasma normal atau tiriggi. - Tingginya osmolalitas plasma pada keadaan hiperglikemi atau pemberian manitol intra vena menyebabkan cairan intrasel keluar dari sel menyebabkan dilusi cairan ekstrasel yang menyebabkan hiponatremia. - Pemberian cairan isoosmotik tidak mengandung natrium ke dalam cairan ekstrasel dapat menimbulkan hiponatremia disertai osmolalitas plasma normal. - Pseudohiponatremia, pada keadaan hiperlipidemia atau hiperproteinemia di mana menyebabkan volume air plasma berkurang. Jumlah natrium tetap,osmolalitas normal akan tetapi secara total dalam cairan intravaskular kadar natrium jadi berkurang. Pada kelompok-I (ADH meningkat) dapat dibagi dalam: Volume sirkulasi efektif turun. - Na keluar berlebihan dari tubuh. I). Melalui ginjal: diuretik akut, renal salt wasting, muntah akut, hipoaldosteron. 2). Melalui non- ginjal: diare, diuretik lama, muntah lama. - Peningkatan volume air bebas elektrolit. 1). Gagal jantung. 2). Sirosis Hati 3). Pendarahan 4). Adrenal insufisiensi 5. Hipotiroidisme 6.Hipoalbuminemia Volume sirkulasi efektif tidak turun. SIADH (Syndrome Inappropriate of ADH secretion) Menurut waktu terjadinya hiponatremia, maka hiponatremia dapat dibagi dalam :



Respons fisiologis dari hiponatremia adalah tertekannya pengeluaran ADH dari hipotalamus sehingga ekskresi urin meningkat oleh karena saluran-air (AQP2) di bagian apikal duktus koligentes berkurang (osmolaritas urin rendah). Hiponatremia terjadi bila : a). Jumlah asupan cairan melebihi kemampuan ekskresi, b). Ketidakmampuan menekan sekresi ADH misalnya pada kehilangan cairan melalui saluran cema atau gagal jantung atau sirosis hati atau pada SIADH (syndrome of inappropriate ADHsecretion). Berdasarkan prinsip di atas maka hiponatremia dapat dikelompokkan atas : Hiponatremia dengan ADH meningkat - ADH yang meningkat oleh karena deplesi volume sirkulasi efektif seperti pada : muntah, diare, pendarahan, jumlah urin meningkat, pada gagal jantung, sirosis hati, insufisiensi adrenal, hipotiroidisme. - ADH yang meningkat pada SIADH. Hiponatremia dengan ADH tertekan fisiologis.



Hiponatremia kronik. Disebut kronik bila kejadian hiponatremia berlangsung lambat yaitu lebih dari 48 jam. Pada keadaan ini tidak terjadi gejala yang berat seperti penurunan kesadaran atau kejang, gejala yang terjadi hanya ringan seperti lemas atau mengantuk. Kelompok ini disebut juga sebagai hiponatremia asimptomatik. Hiponatremia akut. Disebut akut bila kejadian hiponatremia berlangsung cepat yaitu kurang dari 48 jam. Pada keadaan ini akan terjadi gejala yang berat seperti penurunan kesadaran dan kejang. Hal ini terjadi akibat adanya edema sel otak karena air dari ekstrasel masuk ke intrasel yang osmolalitasnya lebih tinggi. Kelompok ini disebut juga sebagai hiponatremia simptomatik atau hiponatremia berat. Di dalam klinik bila ditemukan kasus dengan hiponatremia disertai gejala yang berat maka hiponatremia masuk dalam kategori akut dan sebaliknya bila tidak dengan gejala berat maka hiponatremia masuk dalam kategori kronik. Hal ini penting untuk diketahui sehubungan tindakan yang akan dilakukan bila ada kejadian hiponatremia.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



180



KECAWATDARURATANMEDIK DI BIDANGILMU PENYAKITDAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Penatalaksanaan Hiponatremia Langkah pertama yang dilakukan adalah mencari sebab terjadinya hiponatremia dengan cara : Anamnesis yang teliti (antara lain riwayat muntah, penggunaan diuretis, penggunaan manitol) Pemeriksaan fisis yang teliti (antara lain apakah ada tanda tanda hipovolemi atau bukan) Pemeriksaan gula darah, lipid darah Pemeriksaan osmolalitas darah (antara lain osmolalitas rendah atau tinggi) Pemeriksaan osmolalitas urin atau dapat juga dengan memeriksa BJ (berat jenis) urin (interpretasi terhadap adakah ADH yang meningkat atau tidak, gangguan pemekatan) Pemeriksaan natrium, kalium dan klorida dalam urin untuk melihat jumlah ekskresi elektrolit dalam urin.



Langkah selanjutnya adalah melakukan pengobatan yang tepat sasaran. Perlu dibedakan apakah kejadian hiponatremia, akut atau kronik. Tanda atau penyakit lain yang menyertai hiponatremia perlu dikenali (deplesi volume, dehidrasi, gagaljantung, gagal ginjal) Hiponatremia akut, koreksi Na dilakukan secara cepat dengan pemberian larutan natrium hipertonik intravena. Kadar natrium plasma dinaikkan sebanyak 5 meq/L dari kadar natrium awal dalam waktu 1jam. Setelah itu, kadar natrium plasma dinaikkan sebesar 1 meq/L setiap 1jam sampai kadar natrium darah mencapai 130meq/L. Rumus yang dipakai untuk mengetahui jumlah natrium dalam larutan natrium hipertonik yang diberikan adalah 0,s x Berat Badan (kg) x delta Na. Delta natrium adalah selisih antara kadar natrium yang diinginkan denga kadar natrium awal. Hiponatremia kronik, koreksi Na dilakukan secara perlahan yaitu sebesar 0,s meq/L setiap 1jam, maksimal 10 meq/L dalam 24 jam. Bila delta Na sebesar 8 meq/L, dibutuhkan waktu pemberian selama 16 jam. Rumus yang dipakai adalah sama dengan di atas. Natrium yang diberikan dapat dalam bentuk natrium hipertonik intravena atau natrium oral.



Respons fisiologis hipernatremia adalah meningkatnya pengeluaran ADH dari hipotalamus sehingga ekskresi urin berkurang oleh karena saluran-air (AQP2) di bagian apikal duktus koligentes bertambah (osmolalitas urin tinggi). Hipematremia terjadi bila : Adanya defisit cairan tubuh akibat ekskresi air melebihi ekskresi natrium atau asupan air yang kurang. Misalnya pada pengeluaran air tanpa elektrolit melalui 'insensible water loss ' atau keringat; osmotik diare akibat pemberian



laktulose atau sorbitol; diabetes insipidus sentral maupun nefrogenik; diuresis osmotik akibat glukosa atau manitol; gangguan pusat rasa haus di hipotalamus akibat tumor atau gangguan vaskular. Deplesi volume dan defisit cairan menyebabkan ekskresi Na dalam urin rendah sehingga kadamya kurang dari 25 meq/L. Penambahan natrium yang melebihijumlah cairan dalam tubuh misalnya koreksi bikarbonat berlebihan pada asidosis metabolik. Pada keadaan ini tidak terjadi deplesi volume sehingga natrium yang berlebihan akan diekskresikan dalam urin menyebabkan kadar Na dalam urin lebih dari 100 meq/L. Masuknya air tanpa elektrolit ke dalam sel. Misalnya pada latihan olahraga yang berat, asam laktat dalam sel meningkat sehingga osmolalitas sel juga meningkat dan air dari ekstrasel akan masuk ke intrasel. Biasanya kadar natrium akan kembali normal dalam waktu 5- 15 menit setelah istirahat.



Manusia dalam keadaan normal tidak akan pernah mengalami hipematremia, karena respons haus yang timbul akan dijawab dengan asupan air yang meningkat sehingga tidak terjadi hipernatremia. Hiperna&emia terjadi bila kekurangan air tidak diatasi dengan baik misalnya pada orang dengan usia lanjut, diabetes insipidus (volume urin dapat >10 L). Dalam keadaan hipotalamus yang normal serta fungsi ginjal normal, hipernatremia akan menyebabkan osmolalitas urin menjadi lebih dari 700-800 mosmol/kg. Dalam kaitan dengan hipernatremia, kita harus membedakan antara deplesi volume dengan dehidrasi. Deplesi volume adalah keluarnya air bersama natrium secara seimbang (isotonik) dari dalam tubuh. Dehidrasi adalah keluarnya air tanpa natrium (cairan hipotonik) dari dalam tubuh yang mengakibatkan timbulnya hipernatremia. Dengan kata lain, deplesi volume adalah hipovolemia dengan normonatremia sedang dehidrasi adalah hipovolemia dengan hipernatremia. Pada dehidrasi terjadi pengurangan air baik ekstra maupun intrasel sedang pada deplesi volume air yang berkurang hanyalah air ekstrasel. Gejala Klinis Timbul pada keadan peningkatan natrium plasma secara akut hingga di atas 158 meq/L. Gejala yang ditimbulkan akibat mengecilnya volume otak oleh karena air keluar dari dalam sel. ~ e n ~ e c i l volume an ini menimbulkan robekan pada vena menyebabkan perdarahan lokal di otak dan perdarahan subaraknoid. Gejala dimulai dari letargi, lemas, twitching, kejang dan akhirnya koma. Kenaikan akut di atas 180 meq/L dapat menimbulkan kematian. Penatalaksanaan Hipernatremia Langkah pertama yang dilakukan adalah menetapkan etiologi hipernatremia. Sebagian besar penyebab



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



CANCCUAN KESEIMBANCANCAIRAN DAN ELEKTROLIT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI hipernatremia adalah defisit cairan tanpa elektrolit akibat koreksi air yang tidak cukup akan kehilangan cairan tanpa elektrolit melalui saluran cerna, urin, atau saluran napas. Setelah etiologi ditetapkan, langkah berikutnya mencoba menurunkan kadar natrium dalam plasma ke arah normal. Pada diabetes insipidus, sasaran pengobatan adalah mengurangi volume urin (desmopressin pada diabetes insipidus sentral atau diuretik tiasid, mengurangi asupan garam atau protein pada diabetes insipidus nefrogenik). Bila penyebabnya adalah asupan natrium berlebihan, pemberian natrium dihentikan. Penyebab yang tersering adalah defisit cairan tanpa elektrolit, pengobatan dilakukan dengan koreksi cairan berdasarkan penghitungan jumlah defisit cairan (lihat penanggulangan gangguan keseimbangan cairan).



GANGGUAN KESEIMBANGAN KALIUM



Kalium merupakan kation yang memiliki jumlah yang sangat besar dalam tubuh dan terbanyak berada di intrasel. Kalium berfungsi dalam sintesis protein, kontraksi otot, konduksi saraf, pengeluaran hormon, transpor cairan, perkembangan janin. Untuk menjaga kestabilan kalium di intrasel diperlukan keseimbangan elektrokimia yaitu keseimbangan antara kemampuan muatan negatif dalam sel untuk mengikat kalium dan kemampuan kekuatan kimiawi yang mendorong kalium keluar dari sel. Keseimbangan ini menghasilkan suatu kadar kalium yang kaku dalam plasma antara 33-5 meq/L. Kadar kalium plasma kurang dari 3,5 meq/L disebut sebagai hipokalemia dan kadar lebih dari 5 meq/L disebut sebagai hiperkalemia. Kedua keadaan ini dapat menyebabkan kelainan fatal listrik jantung yaitu disebut aritmia.



Disebut hipokalemia bila kadar kaliurn dalam plasma kurang dari 3,5 meq/L. Hipokalemia merupakan kejadian yang sering ditemukan dalam klinik. Penyebab hipokalemia dapat dibagi sebagai berikut :1. Asupan kalium yang kurang. 2. Pengeluaran kalium yang berlebihan melalui saluran cerna atau ginjal atau keringat. 3. Kalium masuk ke dalam sel. Pengeluaran kalium yang berlebihan dari saluran cerna antara lain muntah, selang naso-gastrik, diare atau pemakaian pencahar. Pada keadaan muntah atau pemakaian selang nasogastrik, pengeluaran kalium bukan melalui saluran cerna atas karena kadar kalium dalam cairan lambung hanya sedikit (5-10 meq/L), akan tetapi kalium banyak ke luar melalui ginjal. Akibat muntah atau selang nasogastrik, terjadi alkalosis metabolik sehingga banyak bikarbonat yang difiltrasi di glomerulus yang akan mengikat kalium di tubulus distal (duktus koligentes) yang juga



dibantu dengan adanya hiperaldosteron sekunder dari hipovolemia akibat muntah. Kesemuanya ini akan meningkatkan ekskresi kalium melalui urin dan terjadi hipokalemi. Pada saluran cema bawah, kalium keluar bersama bikarbonat (asidosis metabolik). Kalium dalam saluran cema bawah jumlahnya lebih banyak (20-50 meq/L). Pengeluaran kalium yang berlebihan melalui ginjal dapat terjadi pada pemakaian diuretik, kelebihan hormon mineralokortikoid primer/hiperaldosteronisme primer (adenoma kelenjar adrenal). Anion yang tak dapat di reabsorbsi yang berikatan dengan natrium berlebihan dalam tubulus (bikarbonat, beta-hidroksibutirat, hippurat) menyebabkan lumen duktus koligentes lebih bermuatan negatif dan menarik kalium masuk ke dalam lumen lalu dikeluarkan dengan urin, pada hipomagnesemia, poliuria (polidipsia primer, diabetes insipidus) dan 'salt-wasting nephropathy' (sindrom Bartter atau Gitelman, hiperkalsemia). Pengeluaran kalium berlebihan melalui keringat dapat terjadi bila dilakukan latihan berat pada lingkungan yang panas sehingga produksi keringat mencapai 10 L. Kalium masuk ke dalam sel dapat terjadi pada alkalosis ekstrasel, pemberian insulin, peningkatan aktivitas betaadrenergik (pemakaian P2-agonis), paralisis periodik hipokalemik, hipotermia. Gejala Klinis Kelemahan pada otot, perasaan lelah, nyeri otot, 'restless legs syndrome ' merupakan gejala pada otot yang timbul pada kadar kalium kurang dari 3 meq/L. Penurunan yang lebih berat dapat menimbulkan kelumpuhan atau rabdomiolisis. Aritmia berupa timbulnya fibrilasi atrium, takikardia ventrikular merupakan efek hipokalemia pada jantung. Hal ini terjadi akibat perlambatan repolarisasi ventrikel pada keadaan hipokalemi yang menimbulkan peningkatan arus re-entry. Tekanan darah dapat meningkat pada keadaan hipokalemia dengan mekanisme yang tak jelas. Hipokalemia dapat menimbulkan gangguan toleransi glukosa dan gangguan metabolisme protein. Efek hipokalemia pada ginjal berupa timbulnya vakuolisasi pada tubulus proksimal dan distal. Juga terjadi gangguan pemekatan urin sehingga menimbulkan poliuria dan polidipsia. Hipokalemia juga akan meningkatkan produksi NH, dan produksi bikarbonat di tubulus proksimal yang akan Menimbulkan alkalosis metabolik. Meningkatnya NH, (amonia) dapat mencetuskan koma pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Diagnostik pada Hipokalemia Pada keadaan normal, hipokalemia akan menyebabkan ekskresi kalium melalui ginjal turun hingga kurang dari 25 meq per hari sedang ekskresi kalium dalam urin lebih dari



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



40 meq per hari menandakan adanya pembuangan kalium berlebihan melalui ginjal. Ekresi kalium yang rendah melalui ginjal dengan disertai asidosis metabolik merupakan pertanda adanya pembuangan kalium berlebihan melalui saluan cema seperti diare akibat infeksi atau penggunaan pencahar. Ekskresi kalium yang berlebihan melalui ginjal dengan disertai asidosis metabolik merupakan petanda adanya ketoasidosis diabetik atau adanya RTA (renal tubular acidosis) baik yang distal atau proksimal. Ekskresi kalium dalam urin rendah disertai alkalosis metabolik, petanda dari muntah kronik atau pemberian diuretik lama. Ekskresi kalium dalam urin tinggi disertai alkalosis metabolik dan tekanan darah yang rendah, petanda dari Sindrom Bartter. Ekskresi kalium dalam urin tinggi disertai alkalosis metabolik dan tekanan darah tinggi, petanda dari hiperaldosteronisme primer. Pengobatan Indikasi koreksi kalium dapat dibagi dalam



Indikasi mutlak, pemberian kalium mutlak segera diberikan yaitu pada keadaan; 1) pasien sedang dalam pengobatan digitalis, 2) pasien dengan ketoasidosis diabetik, 3) pasien dengan kelemahan otot pernapasan, 4) pasien dengan hipokalemia berat ( K < 2 meq/L ). Indikasi kuat, kalium hams diberikan dalam waktu tidak terlalu lama yaitu pada keadaan; 1). insufisiensi koronerl iskemia otot jantung, 2). ensefalopati hepatikum, 3). pasien memakai obat yang dapat menyebabkan perpindahan kalium dari ekstrasel ke intrasel. Indikasi sedang,pemberian kalium tidak perlu segera seperti pada; hipokalemia ringan (K antara 3-3,5 meq/L). Pemberian kalium lebih disenangi dalam bentuk oral oleh karena lebih mudah. Pemberian 40 - 60 meq dapat menaikkan kadar kalium sebesar 1- 1,5 meq/L, sedang pemberian 135 - 160 meq dapat menaikkan kadar kalium sebesar 2,5-3,5 meq/L. Pemberian kalium intravena dalam bentuk larutan KC1 disarankan melalui vena yang besar dengan kecepatan 1020 meqljam. Pada keadaan aritmia yang berbahaya atau kelumpuhan otot pernapasan, dapat diberikan dengan kecepatan 40-100 meqljam. KC1 dilarutkan sebanyak 20 meq dalam 100 cc NaCl isotonik. Bila melalui vena perifer, KC1 maksimal60 meq dilarutkan dalam NaCl isotonik 1000 cc, sebab bila melebihi ini dapat menimbulkan rasa nyeri dan dapat menyebabkan sklerosis vena.



Disebut hiperkalemia bila kadar kalium dalam plasma lebih



dari 5 meq/L. Dalam keadaan normal jarang terjadi hiperkalemia oleh karena adanya mekanisme adaptasi oleh tubuh. Penyebab hiperkalemia dapat disebabkan oleh : 1. Kelumya kalium dari intrasel ke ekstrasel. 2. Berkurangnya ekskresi kalium melalui ginjal. Kalium keluar dari sel dapat terjadi pada keadaan asidosis metabolik bukan oleh asidosis organik (ketoasidosis, asidosis laktat), defisiensi insulin, katabolisme jaringan meningkat, pemakaian obat penghambat P-adrenergik, pseudo hiperkalemia akibat pengambilan contoh darah di laboratorium yang mengakibatkan sel darah merah lisis dan pada latihan olahraga. Berkurangnya ekskresi kalium melalui ginjal terjadi pada keadaan hipoaldosteronisme, gaga1 ginjal, deplesi volume sirkulasi efektif, pemakaian siklosporin. Gejala Klinis Hiperkalemia dapat meningkatkan kepekaan membran sel sehingga dengan sedikit perubahan depolarisasi, potensial aksi lebih mudah terjadi. Dalam klinik ditemukan gejala akibat gangguan konduksi listrik jantung, kelemahan otot sampai dengan paralisis sehingga pasien merasa sesak napas. Gejala ini timbul pada kadar K > 7 meq1L atau kenaikan yang terjadi dalam waktu cepat. Dalam keadaan asidosis metabolik dan hipokalsemi, mempermudah timbulnya gejala klinik hiperkalemia. Pengobatan Prinsip pengobatan hiperkalemia adalah: Mengatasi pengaruh hiperkalemia pada membran sel, dengan cara memberikan kalsium intravena. Dalam beberapa menit kalsium langsung melindungi membran akibat hiperkalemia ini. Pada keadaan hiperkalemia yang berat sambil menunggu efek insulin atau bikarbonat yang diberikan (baru bekerja setelah 30-60 menit), kalsium dapat diberikan melalui tetesan infus kalsium intravena. Kalsium glukonat 10 ml diberikan intravena dalam waktu 2-3 menit dengan monitor EKG. Bila perubahan EKG akibat hiperkalemia masih ada, pemberian kalsium glukonat dapat diulang setelah 5 menit. Memacu masuknya kembali kalium dari ekstrasel ke intrasel, dengan cara : - Pemberian insulin 10unit dalam glukosa 40%, 50 ml bolus intravena, lalu diikuti dengan inhs Dekstrosa 5% untuk mencegah tejadinya hipoglikemi. Insulin akan memicu pompa NaK-ATPase memasukkan kalium ke dalam sel, sedang glukosa/dekstrosa akan memicu pengeluaran insulin endogen. - Pemberian Natrium bikarbonat yang akan meningkatkan pH sistemik. Peningkatan pH akan merangsang ion-H ke luar dari dalam sel yang kemudian menyebabkan ion-K masuk ke dalam sel.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



GANCCUAN KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Dalam keadaan tanpa asidosis metabolik, natrium bikarbonat diberikan 50 meq i.v selama 10 menit. Bila ada asidosis metabolik, disesuaikan dengan keadaan asidosis metabolik yang ada. - Pemberian a 2-agonis baik secara inhalasi maupun tetesan intravena. a 2-agonis akan merangsang pompa NaK-ATPase, kalium masuk ke dalam sel. Albuterol diberikan 10 mg-20 mg. Mengeluarkan kelebihan kalium dari tubuh. - Pemberian diuretik-loop (furosemid) dan tiasid. Sifatnya hanya sementara. - Pemberian resin-penukar. Dapat diberikan per oral maupun supositoria. - Hemodialisis.



GANGGUAN KESEIMBANGAN KALSIUM Empat puluh persen kalsium dalam plasma terikat dengan protein, 15% membentuk kompleks dengan sitrat, sulfat dan fosfat, 45% sebagai kalsium-ion bebas. Kalsium yang terikat dengan protein atau disebut juga sebagai kalsium yang tidak dapat terdifusi, 80%-90% terikat dengan albumin. Perubahan kadar protein dalam plasma juga akan mempengaruhi kadar kalsium yang terikat dengan protein. Peningkatan albumin 1 gram/dl akan meningkatkan kalsium terikat protein sebesar 0,8 mgldl, sedang peningkatan globulin 1 graddl akan meningkatkan kalsium terikat protein 0,16 mg/dl. Kalsium yang tidak terikat protein / diffusible / ultrafiltrable termasuk di dalamnya kalsium-kompleks dan kalsium-ion bebas. Kalsium-ion bebas merupakan kalsium yang aktif secara biologis; kadarnya dalam plasma sebesar 4 mgldl-4,9 mg/ dl atau 45% dari kadar kalsium total dalam plasma. Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kalsium-ion bebas membutuhkan darah segar, diambil secara anaerob, tanpa heparin dan terbebas dari fibrin. Keseimbangan kalsium merupakan hubungan timbal balik antara absorbsi usus, ekskresi dalam urin dan faktor hormonal. Absorbsi kalsium terjadi di usus halus terutama di duodenum dan jejunum proksimal. Berbeda dengan absorbsi natrium dan kalium di usus yang berlangsung lengkap, absorbsi kalsium tidak berlangsung lengkap. Hal ini terjadi karena absorbsi Kalsium membutuhkan vitaminD dan juga terbentuknya ikatan Kalsium yang sukar larut seperti kalsium-fosfat, kalsium-oksalat. Absorbsi dalam usus lebih efisien pada keadaan asupan diit rendah kalsium dan juga meningkat bila kebutuhan tubuh akan kalsium bertambah misalnya kehamilan atau adanya deplesi kalsium tubuh total. Beberapa obat dapat menghambat absorbsi kalsium antara lain kolkisin, fluor, teofilin dan glukokortikoid. Motilitas usus yang tinggi juga menghambat absorbsi kalsium. Pada keadaan malnutrisi ptotein, absorbsi kalsium juga terganggu oleh karena ikatan kalsium-protein di sel mukosa usus mengalami defisiensi.



Untuk menghitung berapa kalsium yang diabsorbsi dapat dilakukan dengan rumus di bawah sebagai berikut: Kalsium diet - Kalsium feses Absorbsi kalsium fraksional = Kalsium diet x 100



Ekskresi kalsium dalam urin diatur oleh kalsium yang difiltrasi oleh glomerulus (kalsium ultrafiltrable) dan kalsium yang direabsorbsioleh tubulus (kalsium-ionbebas lebih mudah direabsorbsi dari pada kalsium-kompleks, sehingga kadar kalsium-ion bebas hanya 20% dari jumlah kalsium yang diekskresi dalam urin). Asupan dan ekskresi natrium dalam urin akan mempengaruhi ekskresi kalsium urin. Ekskresi natrium yang meningkat pada keadaan peningkatan volume cairan ekstrasel akan meningkatkan ekskresi kalsium urin. 97-99% dari total kalsium yang difiltrasi oleh glomerulus akan direabsorbsi oleh tubulus. 50-70% dari total kalsium yang difiltrasi direabsorbsi di tubulus proksimal, 30-40% antara akhir tubulus proksimal dan tubulus distal dan 10% di duktus koligentes. Faktor hormonal yang mempengaruhi keseimbangan kalsium diperankan oleh vitamin-D dengan metabolit aktihya 1,25dihidroksikolekalsiferol(1 ,25[OH]2D3)yang disebutjuga kalsitriol dan hormon paratiroid. Sumber vitamin-D di dalam tubuh manusia berasal dari vitamin-D3 endogen.VitaminD3 atau disebut juga kolekalsiferol, dibentuk secara termal isomerisasi dari previtamin-D,. Previtamin-D3 berasal dari provitamin-D3 yang disebut juga 7-dehidrokolesterol. Kolekalsiferol dimetabolisme dalam hati menjadi 25hidroksivitamin-D3 atau 25 (OH)D,. Setelah melalui siklus enterohepatik, 25(OH)D3 dalam bentuk komplek dengan protein difiltrasi melalui glomerulus dan direabsorbsi di tubulus proksimal. Di dalam sel tubulus proksimal, 25 (OH) D, dimetabolisme menjadi 1,25[OH]2D3atau kalsitriol. Kalsitriol yang bersirkulasi dalam darah merupakan pengatur utama absorbsi kalsium di usus. Efek vitamin-D pada tulang ada dua yaitu 1)Membantu mineralisasi mah-iks tulang organik dan 2) Membantu mobilisasi kalsium tulang untuk meningkatkan kadar kalsium plasma yang tidak berhubungan dengan kemampuan absorbsi kalsium di usus. Vitamin-D juga meningkatkan reabsorbsi kalsium di tubulus ginjal. Hormon paratiroid berperan utama dalam mengatur kadar kalsium dalam darah. Melalui efek umpanbalik (feedback mechanism) perubahan kadar kalsium-ion, akan mempengaruhi sekresi hormon paratiroid yang kemudian mengembalikan kadar kalsium-ion dalam batas normal. Permukaan sel kelenjar paratiroid memiliki sensor yang disebut sebagai 'calcium-sensing receptor' yang merupakan anggota dari 'G protein-coupled receptor'. Bila kalsium dalam darah tinggi, melalui jalur fosfolipaseC, kalsium dalam sel kelenjar paratiroid meningkat yang kemudian menghambat sekresi hormon paratiroid oleh sel



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



184



KECAWATDARURATAN MEDIKDI BIDANGILMUPENYAKITDALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



kelenjar paratiroid. 'Calcium-sensing receptor' juga terdapat di kelenjar tiroid dan di ginjal. Kalsitriol dan hormon paratiroid saling mempengaruhi satu sama lain. Hormon paratiroid merangsang pembentukan kalsitriol di ginjal, akan tetapi kalsitriol dapat menurunkan sekresi hormon paratiroid dalam waktu 12-24jam. Hiperkalsemia atau hipokalsemia akan menghambat atau merangsang terbentuknya kalsitriol melalui perubahan sekresi hormon paratiroid. Hormon paratiroid berpengaruh dalam perubahan pembentukan tulang. Hormon paratiroid akan meningkatkan aktivitas osteoblas (sel pembentuk tulang) melalui reseptor hormon paratiroid pada sel osteoblas. Osteoblas kemudian akan menstimulasi peningkatan osteoklas (sel resorbsi kalsium tulang). Hormon paratiroid menghambat reabsorbsi kalsium di tubulus proksimal akan tetapi meningkatkan reabsorbsi kalsium di tubulus distal sehingga hasil akhir adalah menurunkan ekskresi kalsium dalam urin. Sehingga efek akhir kerja hormon paratiroid pada tulang dan ginjal adalah meningkatkan kadar kalsiurn dalam darah.



Etiologi



Defisiensi vitamin-D. Keadaan keadaan yang dapat menyebabkan defisiensi vitamin-D adalah : Asupan makanan yang tidak mengandung lemak. Malabsorbsi yang terjadi pada gastrektomi sebagian, pankreatitis kronik, pemberian laksan yang terlalu lama, bedah-pintas usus dengan tujuan mengurangi obesitas. Metabolisme vitamin-D yang terganggu pada penyakit riketsia, pemberian obat anti kejang, gangguan fungsi ginjal, dan gangguan fungsi hati kronik. Hipoparatiroidisme. Dapat terjadi pada saat pasca bedah kelenjar tiroid, secara tidak sengaja kelenjar paratiroid ikut terangkat. Dapat juga terjadi secara idiopatik sejak anak anak. Pengobatan eklampsia dengan memakai magnesiumsulfat, dapat menekan sekresi hormon paratiroid. Efek toksik langsung obat golongan aminoglikosida dan obat sitotoksik. Pseudohipoparatiroidisme. Bersifat diturunkan. Organ sasaran tidak memberi respons yang baik terhadap hormon paratiroid.



Proses keganasan. Karsinoma medular kelenjar tiroid, menyebabkan kalsitonin meningkat sehingga ekskresi kalsium urin meningkat. Hipoparatiroidisme akibat karsinoma payudara dan karsinoma prostat dengan anak sebar yang bersifat osteoblastik. Hiperfosfatemia. Terjadi pada pemberian fosfat berlebihan, penyakit ginjal kronik atau gaga1 ginjal akut, pemberian sitotoksik pada limfoma atau leukemia.



Pengobatan Kadar kalsium-ion normal adalah 4-5,2 mg/dl atau 1- 1,3 mmol/L. Gejala hipokalsemia belum timbul bila kadar kalsium-ion lebih dari 3,2 mgldl atau lebih dari 0,8 mmol/L atau kalsium-total sebesar lebih dari 8-8,5 mgldl. Pada keadaan asimptomatik, dianjurkan meningkatkan asupan kalsium dalam makanan sebesar 1000 mglhari. Gejala hipokalsemia baru timbul bila kadar kalsium-ion kurang dari 2,8 mgldl atau kurang dari 0,7 mmol/L atau kadar kalsium-total 1 7 mgldl. Gejala hipokalsemia berupa parestesi, tetani, hipotensi dan kejang. Dapat ditemukan tanda-Chovstek atau tandaTrousseau, bradikardi dan interval-QT yang memanjang. Pengobatan yang diberikan bila timbul gejala adalah pemberian kalsium intravena sebesar 100-200mg kalsiumelemental atau 1 gram-2 gram kalsium glukonas dalam 1020 menit. Lalu diikuti dengan infus kalsium glukonas dalam larutan dextrosa atau NaCl isotonis dengan dosis 0,5-1,5 mg kalsium-elemental1KgBB dalam 1jam. Kalsium infus kemudian dapat ditukar dengan kalsium oral dan kalsitriol 0,25-0,5 igihari. Hipomagnesemia dapatjuga menimbulkan hipokalsemi. Bila ada hipomagnesemia dengan fungsi ginjal normal, dapat diberikan larutan 10% magnesium sulfat sebesar 2 gram selama 10 menit dan kemudian diikuti dengan 1 gram dalam 100 cc cairan per 1jam. Pada keadaan hipokalsemi kronik disertai hipoparatiroid, diberi kalsium oral seperti kalsium karbonat 250 mg kalsium elementaV650 mg tablet.



Hiperkalsemia sering menyertai penyakit penyakit seperti :



Hiperparatiroidisme.Hiperparatiroidismeprimer terjadi adenoma, karsinoma dan hiperplasia (akibat hipokalsemia yang lama) kelenjar paratiroid. Hiperparatiroidisme sekunder dapat disebabkan oleh malabsorbsi vitamin-D, penyakit ginjal kronik berat. Hiperparatiroidisme tersier ditandai dengan sekresi berlebihan yang sangat bermakna hormon paratiroid dan hiperkalsemi disertai dengan hiperplasi paratiroid akibat respons berlebihan terhadap hipokalsemi. Keadaan ini disebut juga sebagai hiperparatiroidisme refrakter. Tidak memberi respon terhadap pemberian kalsium dan kalsitriol dan terjadi pada penyakit ginjal kronik tahap terminal. Tumor ganas. Sering terjadi pada karsinoma paru, buahdada, ginjal, ovarium dan keganasan hematologi. Faktor penyebab hiperkalsemia disebabkan oleh 1) faktor lokal pada tulang akibat metastasis yang bersifat osteoklastik dan 2) faktor humoral. Faktor humoral disebabkan oleh substansi yang beredar dalam darah dihasilkan oleh sel tumor dan bersifat osteoklastik. Substansi ini disebut juga sebagai 'osteoclast-activating cytokines'.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



CANCGUAN KESEIMBANCAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Intoksikasi vitamin-D. Batas antara normokalsemia dan hiperkalsemia akibat pemberian vitamin-D sempit, sehingga kadang kadang tidak disadari sudah terjadi hiperkalsemia. Hiperkalsemia dipermudah dengan pemberian vitamin-D bersama dengan diuretik tiazid. Intoksikasi vitamin-A. Pemberian vitamin-A berlebihan dapat menyebabkan hiperkalsemi. Pada percobaan binatang, pemberian vitamin-A berlebihan menyebabkan ffaktur tulang dan peningkatan jumlah sel osteoklast serta ditemukan kalsifikasi metastatik. Sarkoidosis. Dapat terjadi hiperkalsemia karena adanya peningkatan absorbsi kalsium melalui usus dan pelepasan kalsium dari tulang. Pada sarkoidosis dapat terjadi peningkatan produksi vitamin-D. Hipertiroidisme. Terjadi akibat meningkatnya resorbsi tulang. Hormon tiroid dapat memperkuat kerja hormon paratiroid atau secara langsung hormon tiroid dapat meresorbsi kalsium tulang. Insufisiensi adrenal. Deplesi volume yang terjadi meningkatkan reabsorbsi kalsium pada tubulus ginjal. Absorbsi kalsium usus juga meningkat akibat kurangnya hormon glukokortikoid. Sindrom 'Milk-Alkali'. Pemberian antasid yang mengandung kalsium karbonat dengan disertai pemberian susu yang berlebihan pada pengobatan tukak lambung dapat menyebabkan hiperkalsemia. Pengobatan Hiperkalsemia



Meningkatkan ekskresi kalsium melalui ginjal. Dilakukan dengan pemberian larutan NaCl isotonis. Pemberian cairan ini akan meningkatkan volume cairan ekstraselular yang umumnya rendah akibat pengeluaran urin berlebihan disebabkan induksi oleh hiperkalsemia, muntah muntah akibat hiperkalsemia. Menghambat Resorbsi Tulang Kalsitonin-menghambat resorpsi tulang dengan cara menghambat maturasi osteoklas. Diberikan intramuskular atau subkutan setiap 12jam dengan dosis 4IukgBB. Bifosfonat-menghambat aktivitas metabolik osteoklas dan juga bersifat sitotoksik terhadap osteoklas. Galium nitrat-menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas dengan menghambat pompa proton 'ATPase dependent' pada membran osteoklas.



Mengurangi absorbsi kalsium dari usus. Glukokortikoid (prednison, 20-40 mglhari) mengurangi produksi kalsitriol oleh paru dan kelenjar limfe yang diaktivasi produksinya oleh sel mononuklear. Kalsium serum dapat turun dalam 25 hari.



Kelasi kalsium-ion. Kalsium-ion dapat dikelasi dengan mempergunakan Na-EDTA atau fosfat secara intravena. Penggunaan terbatas oleh karena efek toksik bahan kelasi ini.



Hemodialisis/dialisis-peritoneal. Dialisis efektif menurunkan kadar kalsium dengan memakai dialisat bebas kalsium. Merupakan pilihan terakhir terutama untuk hiperkalsemia berat khususnya disertai insufisiensi ginjal atau pada gaga1jantung dimana pemberian cairan dibatasi. GANGGUAN KESEIMBANGAN FOSFOR Terdapat dua bentuk fosfor di dalam badan kita yaitu fosfor organik dan fosfor inorganik. Semua fosfor organik terdapat dalam fosfolipid yang terikat dengan protein. Fosfor inorganik, 90% dapat difiltrasi oleh glomerulus (ultrafiltrable) dan sisanya terikat dengan protein. 53% dari fosfor ultrafiltrabelberdisosiasi dalam bentuk H,PO, dan HP0,2 - dengan perbandingan 1 : 4 dan sisanya dalam bentuk garam natrium, kalsium dan magnesium. Jumlah fosfor tubuh total adalah 0,5-0,8 mg/kgBB, 85% disimpan dalam tulang; 1% dalam cairan ekstraselular serta sisanya berada dalam sel (intraselular). Kadar fosfor dalam darah orang dewasa adalah 2,5-4 mgldl dan pada anak 2,5-6 mgl dl. Terdapat hubungan yang terbalik antara kadar kalsium dan fosfor dalam darah. Hasil perkalian kedua kadar ini adalah tetap. Dalam keadaan akut, peningkatan kadar fosfor darah akan diikuti dengan penurunan kadar kalsium darah. Peningkatan akut kadar kalsium darah tidak segera diikuti penurunan fosfor darah sebelum ada perubahan fosfor dalam urin. Dalam keadaan alkalosis dan hiperventilasi terjadi penurunan kadar fosfor dan meningkat pada keadaan asidosis. Pemberian insulin dan epinefrin akan menurunkan kadar fosfor darah. Pemberian glukosa akan menurunkan kadar fosfor darah oleh karena masuknya fosfor ke dalam sel bersamaan dengan terjadinya fosforilasi glukosa. Absorbsi Fosfor di Usus Sekitar 50-65% fosfor dalam usus diabsorbsi secara aktif bergabung dengan natrium terutama di daerah yeyunum melalui kotransporter Na-P (NaPi2b) yang identik dengan NaPi2a di tubulus ginjal. Absorbsi bergantung pada gradien natrium antara mukosa usus dan bagian basolateral sel usus oleh pompa NaKATPase. Adanya fosfor dalam usus akan membantu absorbsi kalsium, akan tetapi absorbsi fosfor dihambat oleh asupan kalsium yang tinggi. Absorbsi fosfor juga dihambat oleh antasid aluminium hidroksida. Vitamin-D3 menstimulasi absorbsi fosfor dalam USUS. Ekskresi Fosfor Melalui Urin Ekskresi fosfor dipengaruhi oleh kadar fosfor inorganik dalam plasma, Laju filtrasi glomerulus (LFG) dan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



kemampuan absorbsi maksimal dalam tubulus (Tm). Tm berbanding lurus dengan LFG. Makin tinggi kadar fosfor inorganik dalam darah, makin tinggi ekskresi melalui urin. Fosfor yang difiltrasi, 60% di reabsorbsi di tubulus proksimal, 10%-25% di tubulus distal sedang sisanya 5%20% terdapat dalam urin. Reabsorbsi fosfor di tubulus proksimal melalui kotranspor Na-Pi dengan bantuan energi dari pompa NaK-ATPase di basolateral, fosfor keluar dari sel bersama natrium sebesar 70% dan tidak tergantung natrium sebesar 30%. Ada tiga jenis kotranspor Na-Pi yaitu tipe I, I1 dan 111. Kotranspor Na-Pi yang dominan dalam tubulus manusia adalah tipe I1 (Na-Pi2a). Hanya reabsorbsi di bagian luminal tubulus yang dipengaruhi oleh hormon paratiroid dan oleh regulator lain.



Keadaan yang Mempengaruhi Ekskresi Fosfor Hormon paratiroid, menghambat reabsorbsi fosfor di tubulus proksimal sehingga ekskresi dalam urin meningkat. Hambatan ini melibatkan reseptor hormon paratiroid yang memediasi pembentukan CAMPintrasel, inositol trifosfat, diasilgliserol, kalsium-bebas sitosol dan aktifasi protein kinase A dan C. Vitamin-D3 merangsang reabsorbsi fosfor inorganik di tubulus ginjal. Meningkatnya asupan fosfor melalui makanan akan meningkatkan ekskresi fosfor sebaliknya diit rendah fosfor akan mengurangi ekskresi fosfor urin. Growth hormone, hormon tiroid, insulin dan insulin-like growth factor meningkatkan reabsorbsi fosfor (ekspresi NaPi-2a meningkat di tubulus). Peningkatan volume cairan ekstraselular yang akut dengan pemberi larutan NaCl isotonik meningkatkan ekskresi fosfor, sebaliknya hipovolemia akut akan mengurangi ekskresi fosfor. Diuretik yang menghambat reabsorbsi Na, Cl, HCO, di tubulus proksimal memiliki sifat fosfaturik, akan tetapi sifat fosfaturik ini hilang sejalan dengan terjadinya hipovolemia. Diuretik yang bersifat menghambat enzim karbonik anhidrase di tubulus proksimal, bersifat paling fosfaturik. Asidosis akan meningkatkan ekskresi fosfor urin dan sebaliknya pada alkalosis.



HIPOFOSFATEMIA Ada tiga ha1 yang dapat menyebabkan berkurangnya kadar fosfor dalam darah antara lain: Redistribusi fosfor dari ekstrasel ke dalam sel. - Meningkatnya sekresi insulin khususnya pada realimentasi. Pemberian insulin atau glukosa pada orang dengan keadaan kekurangan fosfor misalnya ketoasidosis diabetik, hiperglikemi non-ketotik, pada keadaan malnutrisi, pasien dengan realimentasi. - Alkalosis respiratorik akut. Pada keadaan ini, CO, dari dalam sel akan keluar dari sel sehingga menstimulasi aktivitas fosfofruktokinase yang



kemudian meningkatkan glikolisis. Aktivitas ini banyak menggunakan fosfor. - Hungry Bone Syndrome. Terjadi setelah dilakukan paratiroidektomi atau tiroidektomi pada pasien dengan osteopeni. Pada keadaan ini akan terjadi deposisi kalsium dan fosfor pada tulang sehingga menimbulkan hipokalsemia. Absorbsi melalui usus berkurang - Asupan fosfor rendah - Menggunakan antasid yang mengandung aluminium atau magnesium - Diare kronik, steatorrea *. Ekskresi melalui urin meningkat - Hiperparatiroidisme primer atau sekunder - Defisiensi vitamin-D atau resisten terhadap vitaminD - Primary renal phosphate wasting - Sindrom Fanconi



TANDA DAN GEJALA YANG DITEMUKAN PADA HlPOFOSFATEMlA Gejala yang ditimbulkan akibat hipofosfatemia baru timbul pada saat kadar fosfor darah kurang dari 2 mg/dl dan gejala berat seperti rabdomiolisis baru timbul bila kadar fosfor kurang dari 1 mg/dl.



Hiperkalsiuri.Hipofosfatemi yang lama akan menghambat reabsorbsi kalsium dan magnesium dalam tubulus terhambat. Disamping itu terjadi resorbsi kalsium tulang yang dimediasi oleh peningkatan kalsitriol akibat induksi oleh hipofosfatemi. Ensefalopati metabolik. Timbul gejala parestesi, berlanjut kearah gejala delirium, kejang dan koma. Gejala ini timbul akibat iskemi jaringan. Gejala gangguan otot skeletal dan otot polos. Hipofosfatemi dapat menimbulkan gejala miopati-proksimal, disfagia dan ileus. Pada keadaan akut dapat terjadi pelepasan fosfor dari otot dan menimbulkan rabdomiolisis. Kerusakan fungsi sel darah merah. Pada keadaan hipofosfatemi terjadi pengurangan kadar ATP menyebabkan terjadi perubahan regiditas dan timbul hemolisis. Hemolisis terjadi bila kadar fosfor kurang dari 0,5 mgldl. Kadar 2,3 difosfogliserat mengakibatkan kemampuan melepaskan oksigen ke jaringan berkurang dan menimbulkan iskemijaringan. Gangguan fungsi sel darah putih. Gangguan h g s i lekosit yaitu berkurangnya fagositosis dan kemotaksis granulosit akibat ATP intrasel berkurang. Gangguan fungsi trombosit. Timbul gangguan retraksi bekuan dan trombositopenia sehingga menimbulkan perdarahan mukosa.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



GANCCUANKESEMBANGAN CAIRANDAN ELEKIROLIT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Pendekatan Diagnostik Hipofosfatemi Dapat dilakukan dengan mengukur ekskresi fosfor dalam urin 24 jam atau menghitung Ekskresi Fraksional Fosfor (EFF) dalam urin sewaktu.



EFF= [Ufo x Pcr x 1001 : [Pfo x Ucr) Ekskresi Fosfor Rendah : Fosfor dalam urin 24 jam kurang dari 100 mg atau FFE kurang dari 5% (normal FFE 5% - 20%). Keadaan ini dapat disebabkan oleh: l).Redistribusi fosfor dari ekstrasel ke dalam sel. 2). Absorbsi melalui usus berkurang. Ekskresi Fosfor Tinggi : 1). Hiperparatiroidisme primer atau sekunder, 2). Defisiensi vitamin-D atau resisten terhadap vitamin-D. 3). Primary renal phosphate wasting (defek pada tubulus), 4). Sindrom Fanconi. Pengobatan Pengobatan terhadap hipokalsemia tidak diberikan bila tidak ada indikasi yang kuat. Umumnya pengobatan ditujukan kepada faktor etiologi timbulnya hipofosfatemia. Bila terdapat kekurangan vitamin-D, dapat diberikan vitamin-D sebanyak 400-800 IU per hari. Pemberian fosfor baru diberikan bila sudah timbul gejala atau pada keadaan gangguan tubulus sehingga terjadi pengeluaran fosfor berlebihan melalui urin secara kronik. Lebih disukai memberikan fosfor per oral karena pemberian secara intravena banyak menimbulkan efek samping seperti aritmia. Dosis per oral sebesar 2,5 gram-3,5 gram per hari. Bila terpaksa pemberian intravena, diberikan tidak lebih dari 2,5 mg/kgBB selama 6 jam. Penelitian yang baru yang masih dalam evaluasi adalah pemberian dipiridamol 75 mg satu kali sehari dapat meningkatkan kadar fosfor darah.



Ekskresi fosfor melalui urin sangat efisien, dengan sedikit saja kenaikan fosfor darah, ekskresi melalui urin akan meningkat. Hiperfosfatemi disebabkan oleh terutama disebabkan oleh ketidakrnampuan ginjal dalam ekskresi fosfor : Jumlah fosfor yang meningkat tinggi dalam darah pada sindrom lisis tumor, rabdomiolisis, asidosis laktat, ketoasidosis, pemberian fosfor berlebihan. Gangguan fungsi ginjal, akut atau kronik. Reabsorbsi fosfor yang meningkat melalui tubulus pada hipoparatiroid, akromegali, pemberian bifosfonat, familial tumoral calcinosis. Pseudohiperfosfatemipada hiperglobulinemi (mieloma multipel), hiperlipidemia, hemolisis, hiperbilirubinemia. Pengobatan Pada keadaan akut dengan disertai gejala hipokalsemia,



dapat diberikan infus NaCl isotonis secara cepat yang akan meningkatkan ekskresi fosfor urin. Dapat juga dilakukan dengan memberikan asetazolamida (inhibitor karbonik anhidrase) 15 mg/kgBB setiap 4 jam. Atau dapat juga dilakukan hemodialisis khususnya hiperfosfatemia pada gangguan fungsi ginjal. Pada hiperfosfatemia kronik, yang biasanya terjadi pada gaga1 ginjal kronik atau pada familial tumoral kalsinosis, pengobatan ditujukan untuk menekan absorbsi melalui usus dengan memberikan pengikat fosfat seperti kalsium karbonat, kalsium asetat, sevelamer, lantanum karbonat.



GANGGUAN KESEIMBANGAN MAGNESIUM Hipomagnesemia merupakan kelainan yang ditemukan sebesar 12% pada pasien rawat inap dan 60%-65% dari jumlah tersebut terdapat di ruang rawat inap intensif (ICU). Ekskresi magnesium satu satunya terjadi sangat efisien melalui ginjal. Hipermagnesemia dapat terjadi apabila ada gangguan ekskresi 'atau pemberian yang berlebihan. Berbeda dengan zat pelarut yang lain, magnesium yang difiltrasi oleh glomerulus sebagian besar di reabsorbsi sebesar 60-70% di Thick Ascending Limb of Henle (TAL) bukan di tubulus proksimal. 15%-25% magnesium yang difiltrasi, di reabsorbsi secra pasif di tubulus proksimal dan 5%- 10% reabsorbsi di tubulus distal. 3% dari Magnesium yang difiltrasi akan dibuang dalam urin. Sepertiga dari magnesium dalam makanan akan diabsorbsi oleh usus halus secara pasif dan dalam bentuk sistem transpor. Di dalam tubuh kita magnesium berpengaruh pada reaksi enzim di antaranya transfosforilasi, sintesis protein, metabolisme hidrat-arang, sintesis dan degradasi DNA, aktivasi ATP. Hanya sebagian kecil magnesium berada dalam cairan ekstrasel. 60% berada di dalam tulang, 20% berada di dalam otot. Kadar magnesium dalam serum berkisar antara 1,4-1,75 meq/L, 20% terikat dengan protein. Peningkatan atau penurunan kadar magnesium dalam darah berturutan akan meningkatkan atau menurunkan ekskresi magnesium melalui ginjal. Penambahan volume cairan ekstrasel yang akut dan kronik akan meningkatkan ekskresi magnesium melalui ginjal. Pemberian diuretik seperti manitol, asetazolamid, tiasid, furosemid dan asam etakrinik akan meningkatkan ekskresi magnesium dengan menghambat reabsorbsi di tubulus. Tidak ada hormon yang diketahui dapat mempengaruhi keseimbangan magnesium dalam tubuh kita. Hiperkalsemia akan meningkatkan ekskresi magnesium dalam urin. Ekskresi magnesium mempunyai pola diurnal. Ekskresi paling rendah terjadi pada waktu sore dan paling tinggi pada waktu subuh.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



[(0,7 x PMg) x Ucr]. Mg bebas dalam plasma adalah 0,7 x kadar Mg plasma.



Hipomagnesemia dapat terjadi oleh karena: 1). Gangguan absorbsi di dalam usus misalnya pada diare kronik maupun akut, malabsorbsi, steatorea, operasi pintas usus halus. Kelainan genetik seperti hipomagnesemia intestinal primer yang terjadi pada saat periode neonatal menyebabkan gangguan absorbsi magnesium. Pankreatitis akut juga dapat menyebabkan hipomagnesemia melalui saponifikasi lemak yang nekrotik; 2). Terbuang melalui ginjal antara lain pada penggunaan diuretik loop dan tiazid, ekspansi volume cairan ekstrasel, alkoholik, hiperkalsemia, nefrotoksin seperti aminoglikosida; sisplatin; siklosporin dll, disfungsi loop Henle atau tubulus distal seperti pasca nekrosis tubular akut; pasca cangkok ginjal; sindrom Bartter; sindrom Gitelman, Ekskresi berlebihan Ginjal Primer seperti pada Gitelman; mutasi Paracellin-1; mutasi NaKATPase; 3). Terlihat juga pada pasca operasi, pasca pemberian foscarnet, pada hungry bone syndrome. Gejala Klinis Gangguan neuromuskular seperti otot terasa lemas, fasikulasi otot, tremor, tetani, tanda Chvostek dan Trousseau positif. Tetani dapat timbul tanpa disertai hipokalsemia. Hipokalemia terjadi karena pada hipomagnesemia, jumlah dan aktivitas ATP akan berkurang sehingga terjadi peningkatan saluran-kalium (K-channel) di loop Henle dan di duktus koligentes. Akibatnya ekskresi kalium meningkat. Hipokalsemia terjadi karena resisten terhadap hormon paratiroid akibat penurunan pembentukan siklik-AMP. Terjadi defisiensi vitamin-D yang sebabnya belum &pat dijelaskan. Gangguan pada aktivitas listrik jantung berupa pelebaran komplek-QRS; perpanjangan interval-PR; menghilangnya gelombang-T, sehingga menimbulkan aritrnia ventrikel. Diagnosis Untuk membedakan apakah hipomagnesemia diakibatkan oleh gangguan renal atau non-renal dapat dilakukan dengan pengukuran kadar Mg urin 24 jam atau pengukuran ekskresi fraksional magnesium dalam urin. Bila magnesium urin 24 jam lebih dari 10-30 mg atau ekskresi fraksional lebih dari 2%, ha1 ini disebabkan oleh penggunaan diuretik, sisplatin atau aminoglikosida. Pada gangguan non-renal, ekskresi fraksional antara 0,5% 2,7% atau reratanya 1,4%. Pada pengeluran renal berlebihan (renal wasting), ekskresi fraksional 15% (antara 4%-48%). Ekskresi fraksional = [UMg x Pcr x 1001:



Pengobatan Bila fungsi ginjal baik, kita tidak perlu takut memberikan magnesium agak berlebihan. Bila ada gangguan fungsi ginjal, pemberian hams berhati hati. Pemberian dapat dilakukan secara intravena atau intramuskular MgS04. Pada pasien tetani atau aritmia ventrikel dapat diberikan 50 meq (600 mg) MgS04 &lam 8-24jam. Pemberian secara infus intravena dilakukan pengenceran dengan larutan glukosa. Pemberian per oral pada hipomagnesemia kronik dengan MgO 250-500 mg empat kali sehari.



Hipermagnesemia dapat terjadi pada keadaan gangguan fungsi ginjal. Pada pasien gagal ginjal terminal, kadar magnesium serum adalah 2-3 meqL (2,4-3,6 mg/dl). Pemberian antasid yang mengandung magnesium pada pasien gangguan fungsi ginjal dapat menimbulkan gejala hipermagnesemia. Pemberian magnesium berlebihan melebihi kemampuan ekskresi ginjal atau pemberian MgS04 sebagai laksan dengan cara melalui oral maupun suppositoria dapat menimbulkan hipermagnesemi. Pemberian laksan ini pada pasien gagal ginjal dapat bersifat fatal. Gejala Kadar magnesium plasma sebesar 4,s-7,2 mgldl, menimbulkan gejala nausea, flushing, sakit kepala, letargi, ngantuk dan penurunan reflek tendon. Kadar magnesium plasma sebesar 7,2-12 mgldl, menimbulkan gejala somnolen, hipokalsemi, reflek tendon hilang, hipotensi, bradikardia, perubahan EKG. Kadar magnesium plasma sebesar lebih dari 12 mg/dl, menimbulkan gejala kelumpuhan otot, kelumpuhan pernapasan, blok jantung komplit, henti jantung. Seluruh gejala ini ditimbulkan oleh karena gangguan neuromuskular, kardiovaskular dan efek magnesium sebagai penghambat saluran kalsium (calcium-channel blocker) dan menurunkan sekresi hormon paratiroid yang berakibat hipokalsemia. Pengobatan Langkah pertama adalah antisipasi akan terjadinya hipermagnesemia. Misalnya kehati-hatian pemberian magnesium pada pasien gangguan fungsi ginjal. Bila timbul gejala yang berat dapat diberikan 100 mg-200 mg elemental kalsium secara intravena selama 5- 10 menit.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



CANCCUAN KES-CAN



REFERENSI



CAIRAN DANE L E I C T R O ~



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Halperin ML, Goldstein MB. Fluid, electrolyte, and acid-base physiology. a problem-based approach. 3rd ed. W.B.Saunders. 1999. Rose B.D. Symptoms of hyponatremia and hypernatremia. UpToDate, Version 13.2., 2005., CD-ROM. Rose B.D. Diagnosis of hypokalemia. UpToDate, Version 13.2., 2005., CD-ROM. Rose B.D. Causes of hyperkalemia. UpToDate, Version 13.2., 2005., CD-ROM. Schrier R.W. (ed). Renal and electrolyte disorders. 6th ed. Lippincolt Williams & Wilkins. 2003. Siregar P., Roesma J., Suhardi D.A., Parsudi I. Gangguan elektrolit dalam klinik. Buku ajar ilmu penyakit &lam Jilid 11. edisi ketiga. 2001. Suyono S., Waspadji S., Lesmana L et all (eds), halaman 307-24. Zalman S.A. Causes and treatment of hypermagnesemia. UpToDate, Version 13.2., 2005., CD-ROM.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



189



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



GANGGUAN KESEIMBANGAN Parlindungan Siregar



PENDAHULUAN Ion-H merupakan salah satu komponen ion ion yang berada dalam cairan ekstrasel disamping ion-Na dan ionK. Dalam keadaan normal kadar ion-H adalah sebesar 40 nanomolIL, secara kasar senilai 1 per sejuta kadar ion-Na dan ion-K dalam milimol1L. Ikatan ion-H dengan protein yang bermuatan negatif sangat kuat dan lebih kuat dibandingkan dengan ikatan ion-Na dan ion-K dengan protein. Meningkat atau berkurangnya ikatan ion-H dengan protein akan merubah muatan protein, bentuk molekul protein yang akhirnya menimbulkan kerusakan jaringan akibat perubahan fungsi protein. Konsekuensi dari ha1 ini tubuh hams menjaga kadar ion-H tetap dalam batas normal walaupun pembentukan asam maupun basa



terus berlangsung dalam kehidupan manusia. Pengaturan kadar ion-H ini dimungkinkan dengan tiga cara yaitu 1) Penyangga kimiawi di dalam maupun di luar sel. 2) Pengaturan tekanan parsial CO, dengan cara pengaturan kecepatan ventilasi paru. 3) Pengaturan kadar bikarbonat dalam plasma dengan cara pengaturan ekskresi ion-H melalui ginjal (net acid excretion) (Gambar 1). Menurut Bronsted, yang disebut dengan asam adalah zat penyumbang ion-H sedang basa adalah penerima ion-H. Penyangga di luar sel (Extracellular Buffer) sebagian besar dilakukan oleh ion-HCO,. Ion-HCO, bermula dari hidrasi CO, yang larut dalam cairan ekstra selular membentuk asam karbonat (H,CO,). H2C03 kemudian berdisosiasi menjadi ion-H dan ion-HC03. Kadar H2C03 sangat rendah dibanding C0,-terlarut (1:340) dan ion-



Keseim bangan asam-basa



, 7, Penyangaan kimiawi



,



Ekstraselular



lntraselular



Eksresi Co,



Ginjal



Sekresi H' H' + HPO,'-



Reabsropsi HC03-



Gambar 1. Keseimbangan a s a m b a s a d a n pengaturan ion-H



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI 190



GANGCUAN KESEIMBANGAN ASAM BASA METABOLIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Kadar H2C03 sangat kecil dibanding dengan kadar C02 ataupun ion-HC03, sehingga reaksi di atas dapat diperlakukan seperti di bawah ini:



HCO, (1:6800) sehingga reaksi di atas dapat disederhanakanmenjadi CO, + H,O H++ HC0,-. Reaksi ke kiri dan ke kanan sama kuatnya sehingga bila ion-H berlebihan pada keadaan asidosis metabolik, ion-H akan disangga oleh penyangga ion-HCO, membentuk H,CO,. Disamping itu, keberadaan ion-H yang berlebih menyebabkanreaksi bergeser ke arah CO, + H,O. Akibatnya CO, akan berlebih sehingga terjadi hiperventilasi pada paru untuk mengatur tekanan parsial CO,. Peningkatan ion-H dalam plasma akan meningkatkan sekresi ion-H dalam tubulus ginjal. Ion-H di dalam tubulus akan berikatan dengan bikarbonat yang di filtrasi oleh glomerulus sehingga terdisosiasi menjadi H,O dan CO, dengan bantuan enzim karbonik anhidrase dalam lumen tubulus proksimal. Secara pasif CO, dan H,O akan di reabsorbsi masuk ke dalam sel tubulus proksimal yang kemudian bereaksi dengan H20 membentuk ion-HCO,. Ion-HCO, ini kemudian akan masuk ke dalam sirkulasi darah oleh kotranspor Na-3HC0, pada membran basolateral. Pada keadaan alkalosis metabolik, ion-HCO, berlebih menyebabkan kadar ion-H berkurang, reaksi akan bergeser ke kanan dan terjadi hipoventilasi untuk mempertahankan tekanan parsial CO,. Akibat penurunan kadar ion-H, sekresi ion-H di tubulus berkurang, sehingga reabsorbsi bikarbonat menurun. Bikarbonat kemudian di ekskresi dalam bentuk Na-bikarbonat. Penyangga di dalam sel (intracellular buffer) dan penyanggaan oleh tulang (bone buffer) sebagian besar dilakukan oleh protein, fosfat organik dan inorganik, hemoglobin dalam sel darah merah serta oleh disolusi mineral tulang berupa pelepasan CaCO, dan CaHPO, ke ekstrasel. Pada keadaan asidosis metabolik, penyanggaan terjadi sebanyak 43% di luar sel dan 57% terjadi di dalam sel. Pada keadaan asidosis respiratori, penyanggaan terjadi sebanyak hanya 3% di luar sel dan sebagian besar (97%) terjadi di dalam sel.



Berdasarkan rumus perhitungan di atas, maka perubahan menjadi asidemi atau alkalemi adalah dipengaruhi oleh rasio antara PC02 dan ion-HC03. Bila rasio meningkat maka kadar ion-H naik (asidemi) dan bila rasio menurun maka kadar ion-H akan turun (alkalemi). Proses yang menyebabkan terjadinya perubahan rasio tersebut disebut sebagai asidosis atau alkalosis.



RUMUS HENDERSON-HASSELBALCH



ASlDOSlS METABOLIK



Sistem penyanggaan di dalam tubuh manusia terutama dilakukan oleh asam lemah yang dapat berdisosiasi sehingga memiliki kemampuan untuk menangkap atau melepaskan ion-H. Asam karbonat merupakan asam lemah yang terutama dalam sistem penyanggan dalam tubuh manusia. Asam karbonat merupakan bentukan dari hidrasi CO,. Tekanan parsil CO, dalam darah arteri adalah sama dengan tekanan CO, dalam udara aleveol. Sebagian dari CO, ini yaitu sebanyak 0,03 x PCO, melarut dalam cairan plasma. Tekanan parsil CO, dalam arteri adalah 40 mrn Hg, sehingga CO, yang terlarut adalah sebanyak 0,03 x 40 = 1,2 mmol/L. Hidrasi CO2-terlarutmenghasil asam karbonat.



Asidosis metabolik ditandai dengan turunnya kadar ionHC03 diikuti dengan penurunan tekanan parsiil C02 di dalam arteri. Kadar ion-HC03 normal adalah sebesar 24 meq/L dan kadar normal PC02 adalah 40 mmHg dengan kadar ion-H sebesar 40 nanomolll. Penurunan kadar ion-HC03 sebesar 1 meq/L akan diikuti oleh penurunan PC02 sebesar 1,2mmHg. Penyebab asidosis metabolik dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu: I. Pembentukan asam yang berlebihan di dalam tubuh. 11. Berkurangnya kadar ion-HC03 di dalam tubuh. III. Adanya retensi ion-H di dalam tubuh.



C0,- terlarut



+ H,O



@



H2C03 * H'



+



HCO,



C0,- terlarut



+ H20



@



H+



+



HC0,-



Menurut hukum 'Law-Mass Action', reaksi ke kanan sama kuatnya dengan reaksi ke kiri sehingga:



Oleh karena Ka dan H,O adalah sesuatu yang konstan maka reaksi berubah menjadi:



K'a = (H' ) @KO3-) / (C0,-terlarut) Dalam plasma pada suhu 37 derajat celcius, K'a adalah sebesar 800 nmoVL sehingga:



@I+) = 24 x (PCO,) / (HC03-)



Dalam rumus Henderson-Hasselbalch dinyatakan sebagai berikut: pH



=



6,10



+



log (HC0,-) / 0,03 PCO,



Konversi antara besaran pH dengan kadar ion-H dapat dilakukan sebagai berikut: : kadar ion-H = 100nmoVL pH7 pH7,lO : kadar ion-H = 100x 0,8 nmol/L pH7,20 : kadarion-H= 10Ox0,8x0,8 pH 6,9 : kadar ion-H = 100x 1,25



Kompensasi paru dengan cara hiperventilasi yang menyebabkan penurunan tekanan parsiil C02, dapat



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



192



KECAWATDARURATAN MEDIK DI BIDANC ILMU PENYAKITDALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI bersifat lengkap, sebagian atau berlebihan. Berdasarkan kompensasi ini, asidosis metabolik dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu : Asidosis metabolik sederhana (simpel), di mana penurunan kadar ion-HCO, sebesar I meq1L diikuti penurunan PCO, sebesar 1,2 mmHg.



i1-3 Na'



Asidosis metabolik bercampur dengan asidosis respirasi, dimana penurunan kadar ion-HCO, sebesar 1 meq/L diikuti penurunan PCO, sebesar kurang dari 1,2 mmHg.



HCO, + H'



g



?



Asidosis metabolik b e r c a m p u r d e n g a n alkalosis Respirasi, dimana penumnan kadar ion-HC03 sebesar 1 meqL diikuti penurunan PCO, sebesar lebih dari 1,2 mrnHg.



Peran Ginjal Dalam keadaan asidosis metabolik, kompensasi tubuh melalui ginjal adalah meningkatkan sekresi dan ekskresi ion-H (asidifikasi urin, pH urin tumn) sebanyak 50- 100 meqihari serta reabsorbsi ion-HCO, yang terdapat dalam cairan filtrat glomerulus. Sekresi ion-H terjadi di tubulus proksimal (sampai dengan bagian teballasendmg loop dari Henle) dan di sel interkalated duktus koligentes. Sekresi ion-H di tubulus proksimal terjadi melalui penukar (antiporter) Na-H dan pompa H-ATPase pada bagian apikal (lumen) sel tubulus. Sebanyak dua pertiga sekresi ion-H di tubulus proksimal adalah melalui penukar Na-H sedang sisanya melalui pompa H-ATPase. Ion-H yang disekresi di tubulus proksimal akan bergabung dengan ion-HCO, yang difiltrasi glomerulus membentuk H,CO,, kemudian terdisosiasi menjadi H,O dan C 0 2 dengan bantuan enzim karbonik anhidrase dalam lumen tubulus proksimal. Secara pasif CO, dan H,O akan di reabsorbsi masuk ke dalam sel tubulus proks;mal yang kemudian bereaksi dengan H 2 0 membentuk ion-HCO,. Ion-HCO, ini kemudian akan masuk ke dalam sirkulasi darah oleh kotranspor Na-3HC0, pada membran basolateral (perivaskular) (Gambar 2). Sebagian besar (90% dari yang difiltrasi) ion-HCO, direabsorbsi di tubulus poroksimal dan sisa 10% di bagian tebal loop dari Henle melalui penukar Na-H dan di duktus koligentes bagian medula-luar. Di tubulus distal khususnya pada duktus koligentes, asidifikasi urin terjadi dengan disekresinya ion-H oleh pompa H-ATPase dan pompa H-K-ATPase pada bagian apikal. Pompa H-K-ATPase berfungsi sebagai sekresi ionH dan reabsorbsi ion-K dimana fungsi utama adalah mencegah hilangnya kalium pada keadaan hipokalemia. Ada beberapa asam lemah yang difiltrasi oleh glomerulus antara lain yang bertindak sebagai penyangga ion-H dalarn lumen tubulus. Asam lemah yang menonjol sebagai penyangga tersebut adalah adalah HPO, (2-) (Gambar 3). Proses penyanggaan ini disebut sebagai 'titratable-acidity'. Dalam keadaan normal, sebanyak 1040 meqihari ion-H dalam lumen tubulus disangga oleh asam



Membran basolateral



Membran luminal



Gambar 2. Reabsorpsi ion-HCO, di tubulus proksirnal



Difiltrasi Disekresi HPO,'+ H'



Membran basolateral



Membran luminal



Gambar 3. Sekresi ion-H di tubulus proksirnal dan proses penyanggaan ion-H oleh HP0,2-



lemah ini. Ion-NH4 dalam keadaan normal dibentuk di tubulus proksimal melalui metabolisme glutamin menjadi ion-NH, dan alfa-ketoglutarat (Gambar 4). Ion-NH, kemudian disekresi ke dalam lumen melalui penukar-Na-H. Ion-NH, ini kemudian di reabsotbsi kembali di bagian tebal loop dari Henle oleh penukar Na-K-2CI. Ion-NH, yang di reabsorbsi ini kemudian masuk dalam sel intersisium. Di jaringan intersisium, NH, kemudian terdisosiasi menjadi NH, sehingga kadar NH, dalam intersisiurn meningkat. NH, kemudian dapat berdifusi masuk ke dalam lumen tubulus coligentes di bagian medula dalam oleh karena pH urin di bagian ini memiliki pH yang rendah. NH3 di lumen duktus koligentes ini kemudian bergabung dengan ion-H yang disekresi oleh pompa H-ATPase dan pompa H-K-ATPase rnembentuk NH, yang kemudian diekskresi mealui urin (Gambar 5).



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI basalatera1 sel tubulus probimal awal sehingga terjadi peningkatan sekresi ion-H dan reabsorbsi ion-HC03.



I



~ u b u l u sproksimal



T



NH,'



Cwco,+



Aiia-Let0 glutarat



Membran basolateral



Aldosteron. Aldosteron mempengaruhi sekresi ion-H melalui aktifasi pompa H-ATPase di duktus koligentes bagian kortek ginjal pada sel interkalated d m pada medula bagian luar . Aldosteronjuga mempengaruhi secara tidak langsung sekresi ion-H oleh sel prinsipal pada duktus koligentes di kortek ginjal meIalui efek r~absorbsiion-Na. Reabsorbsi ion-Na mengakibatkan muatan negatif di dalam lumen b e w b a h sehingga mempemudah sekresi ion-K ke &lam lumen. Hormon paratiroid. Hormon paratiroid menghambat penukar Na-H di bagian qikal sel tubulus proksimal serta koteranspomr Na-3HCO, di bagjan basolateral. Akibatnya sekresi ion-H dan reabsorbsi ion-HC03 terhambat.



Membran lum~nal



Gambar 4. Pernbentukan ion-NH, di tubulus proksirnal.



Duktus Koligentea



I



Anion-gap Dalam Plasma Untuk mengetahui etiologi dari tiap tiap kelompok penyebab asidosis mebbolik tersebut perlu diketahui besarnya anion-gap (senjang anion). Dalam keadaan normal, jumlah anion dan jumlah kation di dalam tub& adalah sama besar. Ada anion dan kation yang dapat dihitung (CI, HCQ, dan Na) dan ada anion dan kation yang &pat dihitung (anion atau kation lain dari zat organik). Selisih antara Na dengan HCCI, dan C1 atau selisih dari anion lain dan kation lain disebut sebagai anion-gap. Bmarnya anion gap, Na - (HCQ, + Cl), dabm keadaan normal sebesar 12 3 meq. Pada kelompok pembentukan asam organik yang berlebihan sebagai penyebab asidosis metabolik, besar anion-gap akan meningkat oleh karena adanya penambahm anion lain yang berasal dari asam organik antara lain asam hidroksi butirat pada ketoasidosis diabetik, asam laktat pada asidosis laktatf asam salisilat pada intoksikasi salisilat atau asam organik akibat intoksikasi etanol. Pada kelompok berkurangnya kadar ion-HCO3 sebagai p y e b a b asidosis metaboIik, besar anion-gap tetap dalam batas normal dengan peningkatan kadar ion-C1. Misalnya pada keadaan diare m u Renal Tubular Asidosis proksimal (RTA-2), pernakaian obat inhibitor enzirn karbonik anhidrase am pada Penyakit Ginjal Kronik Stadium 111 -



*



Mem bran basolateral



Membran luminal



Garnbar 5. Difusi NH, pada duktus koligentes dan penggabungan ion-H dengan NH, di dalarn lumen tubulus.



Jumlah ion-H yang diekskresi melalui ginjal (net acid excretion) adalah merupakan penjumlahan dari titratableacid dengan ion-NH4 dan dikurangj dengan jumlah ionHC03 yang terdapat dalam urin. Jadi dapat diformulasikan sebagai berikut : Net acid excretion = Titratable acid + NH,'



- HC0,-



Ion-H dalam bentuk bebas sangat sedikit di dalam urin final yaitu kurang dari 0,04 meq/L. Peran Hormon Dalam Sekresi Ion-H



Angiotensin-11.Angiotensin-I1dapat mengaktifasi penukar Na-H pada apikal dan kotransporter Na-3HC0, pada bagian



1V;



Asidosis metabolik dengan anion-gap yang normal selalu disertai dengan peningkatan ion-Cl dalam plasma sehingga disebut juga sebagai asidosis metabolik hiperkloremik. Pada kelompok retensi ion-H sebagai penyebab asidosis metabalik, besar anion-gap meningkat, misalnya pada penyakit ginjal kronik stadium IV - V, dan besar anion-gap normal misalnya pada renal tubular asidosis (RTA- 1 atau RTA4).



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



194



KEGAWATDARURATANMEDIK DI BIDANC ILMU PENYAKITDALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Anion-gap Dalam Urin Pada keadaan asidosis metabolik dengan anion-gap normal (hiperkloremik), ion-C1 yang berlebih akan di sekresikan oleh sel interkalated duktus koligentes bersama dengan sekresi ion-H (ion-C1 melalui saluran-Cl dan ion-H melalui pompa H-ATPase). Ekskresi ion-C1 dilakukan bersama dengan ion-NH3 dalam bentuk NH4C1. Ion-NH4 dibentuk dari ikatan antara ion-NH3 dalam tubulus dengan ion-H yang disekresikan oleh sel nefron distal (duktus koligentes). Terganggu atau normalnya ekskresi ion-NH3 dalam bentuk NH4C1 dapat dinilai dengan menghitung anion-gap di dalam urin. Anion-gap dalam urin dihitung dengan rumus :



Bila hasilnya positif,' terdapat gangguan ekskresi ionNH3 sehingga NH4C1 tidak terbentuk akibat adanya gangguan sekresi ion-H di nefron distal (tidak dapat berikatan dengan ion-NH3) misalnya pada RTA-1 dan RTA-4. Hasil yang negatif, menunjukkan keadaan asidosis metabolik anion-gap normal dimana ekskresi ion-C1 dalam bentuk NH4CI sebanding dengan sekresi ion-H di nefron distal yang terjadi akibat adanya asidosis metabolik, misalnya pada keadaan diare. Penghitungan anion-gap dalam urin tak dapat diaplikasikan bila terjadi deplesi volume sehingga ekskresi Na-urin menjadi rendah atau bila terjadi peningkatan ekskresi anion tak dapat dihitung seperti P-hidroksi butirat pada ketoasidosis-DM sehingga jumlah Na dan K yang diekskresi dalam urin bertambah. Tampilan Klinik Asidosis Metabolik pH lebih dari 7,l : 1. Rasa lelah uatique) 2. Sesak nafas (Kussmaull) 3. Nyeriperut 4. Nyeritulang 5. Muallmuntah pH kurang dari atau sama dengan 7,l : 1. Gejala pada pH > 7.1 2. Efek inotropik negatip, aritrnia 3. Konstriksi vena perifer 4. Dilatasi arteri perifer (penurunan resistensi perifer) 5. Penurunan tekanan darah 6. Aliran darah ke hati menurun 7. Konstriksi pembuluh darah paru (pertukaran 0, terganggu) Koreksi Asidosis Metabolik Indikasi koreksi asidosis metabolik perlu diketahui dengan baik agar koreksi dapat dilakukai dengan tepat tanpa menimbulkan ha1 ha1 yang membahayakan pasien.



Langkah pertama adalah menetapkan berat ringannya gangguan asidosis. Gangguan disebut letal bila pH darah kurang dari 7 atau kadar ion-H lebih dari 100 nmol1L. Gangguan yang perlu mendapat perhatian bila pH darah 7,l - 7,3 atau kadar ion-H antara 50 80 nrnol/L. Langkah kedua adalah menetapkan anion-gap atau bila perlu anion-gap urin untuk mengetahui dugaan etiologi asidosis metabolik. Dengan bantuan tanda klinik lain, kita dengan mudah menetapkan etiologi. Langkah ketiga, bila kita mencurigai adanya kemungkinan asidosis laktat, hitung rasio delta anion gap dengan delta HC03 (delta anion gap: anion gap pada saat pasien diperiksa dikurangi dengan median anion gap normal; Delta HCO,: kadar HCO, normal dikurangi dengan kadar HCO, pada saat pasien diperiksa). Bila rasio lebih dari 1, asidosis disebabkan oleh asidosis laktat atau lebih tepat 1,6.Langkah ketiga adalah menetapkan sampai sejauh mana koreksi dapat dilakukan. Pada penurunan fungsi ginjal, koreksi dapat dilakukan secara penuh hingga mencapai kadar ion-HC03 20 22 meq/L. Pertimbangan yang dilakukan adalah mencegah terjadinya hiperkalemi, mengurangi kemungkinan malnutrisi, mengurangi percepatan gangguan tulang (renal osteodistrofi). Pada keto-asidosis diabetik, atau pada asidosis-laktat tipe A, koreksi dilakukan bila kadar ion-HCO, dalam darah sebesar kurang dari atau sama dengan 5 m e q k atau bila terjadi hiperkalemi berat atau setelah koreksi insulin pada DM dan koreksi oksigen pada asidosis laktat, asidosis belum terkendali. Koreksi dilakukan sampai kadar ion-HCO, sebesar 10 meq/L. Pada asidosis metabolik bercampur dengan asidosis respiratori, tidak dalam ventilator, koreksi harus dilakukan secara hati hati atas pertimbangan depresi pernapasan. Koreksi dilakukan dengan pemberian larutan NaBikarbonat, setelah diketahui kebutuhan bikarbonat pada pasien. Kebutuhan bikarbonat adalah berapa banyak bikarbonat yang akan kita berikan untuk mencapai kadar bikarbonat darah yang kita tuju. Untuk ini kita hams mengetahui 'bicarbonate-space' atau ruang-bikarbonat (Ru-bikar) pasien pada kadar bikarbonat tertentu dari pasien. Ruang-bikarbonat adalah besarnya kapasitas penyanggaan total tubuh, termasuk bikarbonat ekstraselular,protein intraselulardan bikarbonat tulang. Rumus untuk menghitung ruang-bikarbonat pada kadar bikarbonat plasma tertentu adalah sebagai berikut :



Ru-bikar = {0,4 + (2,6 : [HC03])} x BB (kg)



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



CANCCUAN KESEMBANCAN ASAM BASA METABOLIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Contoh : Ru-bikar pada kadar bikarbonat plasma 20 meq/L adalah : {0,4+ (2,6 : 20)) x BB atau 0,53 BB atau 53% BB (lihat Tabel 1)



Ruang-bikarbonat (Ru-bikar) pada keadaan bikarbonat plasma tertentu. Bila kita menginginkan menaikkan kadar bikarbonat plasma dari 10 meq/L menjadi 20 meqIL, maka bikarbonat yang kita butuhkan adalah sebagai berikut : Ru-bikar pada keadaan 10 meqIL atau 66% BB



=



{0,4+ (2,6 : 10) x BB



Ru-bikar pada keadaan 20 meq/L atau 53%BB



=



{0,4+ (2,6 : 20) x BB



I. Terbuangnya ion-H melalui saluran cerna atau melalui ginjal dan berpindahnya (shift) ion-H masuk ke dalam sel. 11. Terbuangnya cairan bebas-bikarbonat dari dalam tubuh (contraction alkalosis). m. Pemberian bikarbonat berlebihan. Dalam keadaan normal, sekresi ion-H oleh gaster akan merangsang ekskresi bikarbonat oleh pankreas dan penyanggaan ini berlangsung adekuat (tidak terjadi gangguan keseimbangan asam-basa). Terbuangnya ion-H akibat muntah muntah maupun pemakaian sonde naso-gastrik yang terbuka, ionbikarbonat tidak diekskresi oleh pankreas karena hilangnya stimulus oleh ion-H di duodenum. Akibatnya hilangnya ion-H yang tidak diimbangi oleh berkurangnya bikarbonat akan menimbulkan alkalosis. Sekresi ion-H melalui ginjal, akan meningkat pada keadaan keadaan hiperaldosteronisme primer, penggunaan diuretik loop dan tiazid, pasca hiperkapni, hiperkalsemi. Penggunaan diuretik loop dan tiazid akan meningkatkan kadar aldosteron, sekunder dari pengurangan volume plasma. Deplesi volume plasma akan merangsang sistem renin-aldosteron-angiotensin. Semua keadaan keadaan ini akan merangsang peningkatan sekresi ion-H dan reabsorbsi bikarbonat dalam tubulus (Gambar 6).



Ru-bikar adalah antara 53% - 66% berat badan, jadi rerata Ru-bikar adalah 59,5 %.



Volume sirkulasi efektif turun



Bila berat badan 60 kg, maka bikarbonat yang dibutuhkan adalah :



Renin dilepas



{(0,66 + 0,53) :2) x 60 x (20 - 10))



=



357 meq.



Aldosteron t di dukt. kol



Aktif. Na3HC0, 8 naH-antiporter



I Rerata Ru-bikar x Berat Badan x Delta Bikarbonat Plasma I 357 meq bikarbonat kita berikan secara intra-vena selama 1 sampai 8jam, tergantung berat ringannya asidosis yang terjadi (letal atau tidak letal).



Alkalosis metabolik merupakan suatu proses terjadinya peningkatan primer bikarbonat dalam arteri. Akibat peningkatan ini, rasio PCO, dan kadar HCO, dalam arteri berubah. Usaha tubuh untuk memperbaiki rasio ini dilakukan oleh paru dengan menurunkan ventilasi (hipoventilasi)sehingga PCO, meningkat dalam arteri. Pada alkalosis metabolik yang simpel, kenaikan kadar HC03 1 meq/L akan menyebabkan kenaikan PCO, sebesar 0,7 mmHg. Penyebab alkalosis metabolik dapat disebabkan oleh:



Stimulasi NaH-ATPase dan CIHC0,exchanger



K1



pH&



Ion K keluar dari sel



Alon-H masuk ke dalam sel



eks.ion-H



4 Reabsorbsi HCO,



ALKALOSIS METABOLIK



I



Ang.ll Meningkat



CI1




10% BB) Keadaan umum apatisfkoma, rasa haus +++, sirkulasi darah nadi cepat (>140), pernapasan Kussmaul (cepat dan dalam), mata cekung sekali, turgor kurang sekali, kencing tidak ada.



PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan kelainan antara lain : 1. Hematokrit, biasanya meningkat akibat hemokonsentrasi 2. Peningkatan berat jenis plasma 3. Peningkatan protein total 4. Kelainan pada analisis gas darah (asidosis metabolik) 5. Sel darah putih meningkat (karena hemokonsentrasi) 6. Fosfatase alkali meningkat 7. Natrium dan kalium masih normal, setelah rehidrasi kalium ion dalam serum rendah



Di negara yang sedang berkembang dengan fasilitas laboratorium yang terbatas tidak semua diagnosis etiologi bisa ditegakkan, sehingga sering kali diagnosis klinis yang dapat digunakan. Media kultur yang tidak lengkap, hasil kultur yang tidak tumbuh, sehingga diagnosis klinis lah yang digunakan. Diagnosis etiologi penyebab diare akut atau dehidrasi dibagi atas :



1.Virus Merupakan penyebab diare akut terbanyak pada anak (70 - 80%). Beberapa jenis virus penyebab diare akut :



Rotavirus serotype 1 , 2, 8, dan 9 : pada manusia. Serotype 3 dan 4 didapati pada hewan dan manusia. Dan serotype 5,6, dan 7 didapati hanya pada hewan. Nonvalk virus : terdapat pada semua usia, umumnya akibatfood borne atau water borne transmisi, dan dapat juga terjadi penularan person to person. Astrovirus, didapati pada anak dan dewasa Adenovirus (type 40,4 1) Small bowel structured virus Cytomegalovirus



2. Bakteri Enterotoxigenic E.coli (ETEC). Mempunyai 2 faktor



virulensi yang penting yaitu faktor kolonisasi yang menyebabkan bakteri ini melekat pada enterosit pada usus halus dan enterotoksin (heat labile (HL) dan heat stabile (ST) yang menyebabkan sekresi cairan dan elektrolit yang menghasilkan watery diarrhea. ETEC tidak menyebabkan kerusakan brush border atau menginvasi mukosa. Enterophatogenic E.coli (EPEC). Mekanisme terjadinya diare belum jelas. Didapatinya proses perlekatan EPEC ke epitel usus menyebabkan kerusakan dari membrane mikro vili yang akan mengganggu permukaan absorbsi dan aktivitas disakaridase. Enteroaggregative E.coli (EAggEC).Bakteri ini melekat kuat pada mukosa usus halus dan menyebabkan perubahan morfologi yang khas. Bagaimana mekanisme timbulnya diare masih belum jelas, tetapi sitotoksin mungkin memegang peranan. Enteroinvasive E.coli (EIEC). Secara serologi dan biokimia mirip dengan Shigella. Seperti Shigella, EIEC melakukan penetrasi dan multiplikasi di dalam sel epitel kolon. Enterohemorrhagic E.coli (EHEC).EHEC memproduksi verocytotoxin (VT) 1 dan 2 yang disebut juga Shiga-like toxin yang menimbulkan edema dan perdarahan difuse di kolon. Pada anak sering berlanjut menjadi hemolytic-uremic syndrome. Shigella spp. Shigella menginvasi dan multiplikasi didalam sel epitel kolon, menyebabkan kematian sel mukosa dan timbulnya ulkus. Shigella jarang masuk kedalam alian darah. Faktor virulensi termasuk :smooth lipopolysaccharidecell-wall antigen yang mempunyai aktivitas endotoksin serta membantu proses invasi dan toksin (Shiga toxin dan Shiga-like toxin) yang bersifat sitotoksik dan neurotoksik dan mungkin menimbulkan watery diarrhea Campylobacterjejuni (Helicobacterjejuni). Manusia terinfeksi melalui kontak langsung dengan hewan (unggas, anjing, kucing, domba dan babi) atau dengan feses hewan melalui makanan yang terkontaminasi seperti daging ayam dan air, Kadang-kadang infeksi dapat menyebar melalui kontak langsung person to person. Cjejuni mungkin menyebabkan diare melalui invasi kedalam usus halus dan usus besar.Ada 2 tipe toksin yang dihasilkan, yaitu cytotoxin dan heatlabile enterotoxin. Perubahan histopatologi yang terjadi mirip dengan proses ulcerative colitis. Vibrio cholerae 0 1 dan K choleare 0 139. Air atau makanan yang terkontaminasi oleh bakteri ini akan menularkan kolera. Penularan melalui person toperson jarang terjadi. Kcholerae melekat dan berkembang biak pada mukosa usus halus dan menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan diare. Toksin kolera ini sangat mirip dengan heat-labile toxin (LT) dari ETEC. Penemuan terakhir adanya enterotoksin yang lain yang mempunyai karakteristik tersendiri, seperti



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



202



KECAWATDARURATAN MEDIK DI BIDANC ILMU PENYAKIT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



accessory cholera enterotoxin (ACE) dan zonular occludens toxin (ZOT).Kedua toksin ini menyebabkan sekresi cairan kedalam lumen usus. Salmonella (non thypoid). Salmonella dapat menginvasi sel epitel usus. Enterotoksin yang dihasilkan menyebabkan diare. Bila terjadi kerusakan mukosa yang menimbulkan ulkus, akan terjadi bloody diarrhea



3. Protozoa Giardia lamblia. Parasit ini menginfeksi usus halus. Mekanisme patogensis masih belum jelas, tapi dipercayai mempengaruhi absorbsi dan metabolisme asam empedu. Transmisi melalui rute fecal-oral. Interaksi host-parasite dipengaruhi oleh umur, status nutrisi, endemisitas, dan status imun. Didaerah dengan endemisitas yang tinggi, giardiasis dapat berupa asimtomatis, kronik, diare persisten dengan atau tanpa malabsorbsi. Di daerah dengan endemisitas rendah, dapat terjadi wabah dalam 5 - 8 hari setelah terpapar dengan manifestasi diare akut yang disertai mual, nyeri epigastrik dan anoreksia. Kadang-kadang dijumpai malabsorbsi dengan fatty stools, nyeri perut dan gembung. Entamoeba histolytica. Prevalensi disentri amoeba ini bervariasi, namun penyebarannya di seluruh dunia. Insiden nya mningkat dengan bertambahnyaumur, dan terbanyak pada laki-laki dewasa. Kira-kira 90% infksi asimtomatik yang disebabkan oleh E.histolytica non patogenik (E.dispar).Amebiasis yang simtomatik dapat berupa diare yang ringan dan persisten sampai disentri yang fulminant. Cryptosporidium. Di negara yang berkembang, cryptosporidiosis 5 - 15% dari kasus diare pada anak. Infeksi biasanya simtomatik pada bayi dan asimtomatik pada anak yang lebih besar dan dewasa. Gejala klinis berupa diare akut dengan tipe watery diarrhea, ringan dan biasanya self-limited. Pada penderita dengan gangguan sistem kekebalan tubuh seperti pada penderita AIDS, cryptosporidiosis merupakan reemerging disease dengan diare yang lebih berat dan resisten terhadap beberapa jenis antibiotik. Microsporidium spp Isospora belli Cyclospora cayatanensis 4. Helminths Strongyloides stercoralis. Kelainan pada mukosa usus akibat cacing dewasa dan larva, menimbulkan diare. Schistosoma spp. Cacing darah ini menimbulkan kelainan pada berbagai organ termasuk intestinal dengan berbagai manifestasi, termasuk diare dan perdarahan usus.. Capilariaphilippinensis. Cacing ini ditemukan di usus halus, terutama jejunum, menyebabkan inflamasi dan



atrofi villi dengan gejala klinis watery diarrhea dan nyeri abdomen. Trichuris trichuria. Cacing dewasa hidup di kolon, caecum, dan appendix. Infeksi berat dapat menimbulkan bloody diarrhea dan nyeri abdomen. - Bakteri patogen noninvasif, antara lain :Escherichia coli, Klebsiella enterobacter, Clostridium pe@ingens Staphylococcus aureus, Bacillus cereus - Bakteri patogen invasif atau destruktif antara lain: Salmonella, Ersinia enferocollJica,Campylobacter jejuni, fibrio parahemolyticus, Vibrio mimicus, Vibrio vulviticus, E.coli invasif dan E.coli entero hemoragik - Virus penyebab diare akut : Rofa virus - Protozoa penyebab diare akut : Giardia lamblia, Amoeba histolytica



Dehidrasi akibat bakteri patogen noninvasif biasanya ringan, namun pada kondisi pasien yang jelek tanpa memperoleh rehidrasi yang adekuat dapat menjadi nekrosis tubular akut hingga bisa menyebabkan kematian yang diakibatkan dengan renjatan hipovolemik. Untuk rehidrasi sendiri jika tidak mencapai hidrasi normal dapat terjadi gagal ginjal akutdan sebaliknyajika terjadi overhidrasi bisa meninggal akibat edema paru akut. Dehirasi akibat bakteri patogen invasif biasanya lebih berat dibanding dengan noninvasif, dan komplikasinya semakin berat jika rehidrasinya tidak adekuat, sehingga bisa menyebabkan gagal ginjal akut dan akan terjadi edema paru akut jika rehidrasi yang berlebihan. Dehidrasi akibat virus komplikasinya hampir sama dengan yang disebabkanbakteri, kebanyakan lebih ringan. Sedangkan dehidrasi yang disebabkan protozoa biasanya lebih akut ataupun kronik tergantung dengan banyak maupun virulensi protozoa tersebut. Bila jumlahnya banyak dan virulensinya tinggi selain komplikasinya seperti yang disebabkan oleh bakteri juga dapat mengakibatkan perforasi usus, peritonitis maupun terjadinya abses secara emboli pada organ yang terserang.



PENGOBATAN



Pengobatan dapat dibagi menjadi : rehidrasi ( suportif), pengobatan yang ditujukan etiologinya, pengobatan spesifik untuk rotavirus, dan pengobatan protozoa penyebab diare.



REHlDRASl



Rehidrasi menurut Goldberge E ( 1980)



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Cara 1 : Jika ada rasa haus dan tidak ada tanda-tanda klinis dehidrasi lainnya, maka kehilangan air diperkirakan 2% dari berat badan pada waktu itu. Jika seseorang pada waktu itu sedang berpergian 3-4 hari tanpa air dan ada rasa haus, mulut kering dan oliguria, maka defisit air diperkiraan6% dari berat badan pada waktu itu. Bila ada tanda-tanda di atas ditambah dengan kelemahan fisik yang nyata, perubahan mental seperti bingung atau delirium maka defisit air sekitar 7- 14%berat badan pada waktu itu. Cara 2 : Jika pasien dapat ditimbang tiap hari maka kehilangan berat badan 4 kg pada fase akut sama dengan defisit air 4 liter Cara 3 : Dengan kenyataan konsentrasi natrium dalam plasma berbanding terbalik dengan volume air ekstraselular dengan pengertian bahwa kehilangan air tidak disertai dengan perubahan konsentrasi natrium plasma maka dapat dihitung dengan rumus : Na2 x BW2 = Nal x BW1 Di mana : Nal : kadar natrium plasma normal (142 mEq/L) BW1 : volume air badan normal, biasanya 60% dari BB pria dan 50% dari BB wanita Na2 : kadar natrium plasma sekarang BW2 : volume air badan sekarang



Gejala klinis



Skor



Muntah Voxs Choleric (Suara serak) Kesadaran apatis Kesadaran somnolen, soporous sarnpai korna Tensi sistolik kurang atau sama dengan 90 mmHg Nadi lebih atau sama dengan 120lmenit Napas Kussmaul (lebih dari 30lmenit) Turgor kulit kurang Facies cholerica Ekstremitas dingin Jari tangan keriput (washer hand) Sianosis Umur 50 tahun atau lebih Umur 60 tahun atau lebih



1 2 1 2 2 1 1 1 2 1 1 2 - I(negatif) - 2 (neaatin



Rehidrasi menurut Daldiyono Daldiyono (1973) mengemukakan salah satu cara menghitung kebutuhan cairan untuk rehidrasi inisial pada gastroenteritisakutl diare kolifonn berdasarkan sistem skor (nilai). Jumlah skor dapat dihitung dan dihitung pemberian cairan dalam 2 jam :



Skor x 10 %BB ( kg) x 1 liter 15 Rehidrasi menurut Morgan-Watten Dengan mengukur berat jenis plasma :



Berat jenis plasma - 1.025 x BB (kg) x 4 0,001 Cara Pemberian Bila pasien dapat menelan, air diberikan per oral, kecuali kalau pasien muntah-muntah. Air juga diberikan per rektal. Air murni tidak boleh diberikan perinfus dikarenakan akan menyebabkan eritrosit membengkak dan terjadi hemolisis. Oleh karena itu hams diberikan cairan per infus. Puruhito (1 980) memberikan pedoman sebagai berikut : Ligasi pungsi Infus sebaiknya diberikan pada lengan untuk memudahkan perawatannya, antara lain vena jugularis eksterna, vena subklavia, vena basilika, vena sefalika, vena mediana kubiti, vena dorsalis manus atau pedis, vena safena magna. Untuk pemasangan central venous catheter (CVC), vena yang dipakai adalah vena jugularis eksterna, vena subklavia, vena basilika, vena sefalika, vena inguinalis interna. Urutan kerja : Lihat etiket pada botol infus, apakah sesuai dengan yang dijadwalkan, lihat kualitas cairan apakah ada kekeruhan, perubahan warna, partikei kotoran. Jarum infus yang dipakai sebaiknya yang disposable. Tutup infus dibersihkan dengan alkohol dan infus set diisi dengan cairan infus terisi penuh dan tidak ada udara. Kemudian dilakukanpungsi vena di tempat yang dipilih. Jarum pungsi difiksasipada kulit plester, lalu pengaturan tetesan dibuka sesui dengan jadwal yang diberikan.



Di samping pemberian cairan lewat infus, kita kenal pemberian cairan lewat hipodemoklinis pada pasien dengan penyakit jantung yang tidak memungkinkan pemberian lewat per oral atau infus, dengan syarat-syarat sebagai berikut : 1. Cairan hams isotonik dengan plasma. Jika hipertonik akan terjadi retribusi cairan ke jaringan interstisial dan merangsang subkutan 2. Dekstrosa 5% dan air tidak boleh diberikan subkutan karena akan terjadi difusi glukosa dari jaringan interstisial ke plasma dan difusi natrium dari plasma ke jaringan interstisial. Kecepatan Tetesan Biasanya kehilangan cairan dapat dikoreksi dalam 2 hari. Setengah kebutuhan diberikan pada hari yang pertama, dapat per oral, rektal atau infus. Bila kehilangan cairan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



204



KEGAWATDARURATAN ~



I DI BIDANC K ILMU PENYAKITDALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



cukup berat dan pemberian infus terlalu cepat, akan mengakibatkan intoksikasi air dan kejang, disebabkan selsel otak dengan osmolaritasnya yang tinggi dibanding dengan sel-sel lain mengalami edema dengan cepat. Untuk itu pemberian cairan dengan memperlambatnya dan selalu diukur kadar natrium serum setelah setengah kebutuhan cairan diberikan.



PENGOBATAN PADA ETIOLOGINYA Penggunakan antibiotik terhadap bakteri patogen noninvasif, pada umumnya : Tetrasiklin 30 mg/kgBB per oral tiap 6jam, selama 2 hari Trimetoprim 160 mg dan sulfametoksazol800 mg, per oral, 2x/hari, selama 5 hari Pengobatan bakteri patogen yang invasif, pada umumnya selain obat - obat di atas, dapat diberikan juga kloramfenikol ataupun ampisilin. Pengobatan untuk Rotavirus, yang spesifik tidak ada, jadi sifat pengobatannya hanya simtomatik atau suportif. Sedangkan untuk pengobatan diare yang disebabkan protozoa adalah Untuk Giardia lamblia dengan Quinakrin 100 mg, 3x1 hari, selama 5-7 hari atau metronidazol250 mg, 3x/hari, selama 5-7 hari Untuk amoebiasisdengan metronidazol750 mg, 3x/hari, selama 7-10 hari



PROGNOSIS Pada umumnya baik, terutama jika mendapat penanganan cepat, tepat dan adekuat. Kematian terjadi jika mempunyai penyakit dasar yang berat dan penanganan yang tidak adekuat.



Terutama bila pasien mempunyai penyakit dasar apalagi lebih dari satu penyakit dan multiorgan seperti pada geriatri.



REFERENSI



Daldiyono H et al., Menghitung jumlah cairan untuk initial rehidrasi pada gastrointestinal akut/ Choleriform Diarrhea dengan sistem skore. Naskah Lengkap KOPAPDI, 1973 : 489 - 95. Depkes RI, 2005a, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 12161 MENKES/SK/XI/2001 tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare,Edisi ke-4, Jakarta. Depkes RI, 2005b, Rencana Pembangunan Kesehatan Tahun 20052009, Jakarta. DuPont HL : Guidelines on Acute Infectious Diarrhea in Adults, American Journal of Gastroenterology, Vo1.92, No. 11, November 1997. Goldfinger SE : Constipation, Diarrhea, and Disturbances of Anorectal Function, In : Braunwald, E, Isselbacher, K.J, Petersdorf, R . 4 Wilson, J.D, Martin, J.B, Fauci AS (Eds) : Harrison's Principles of Internal Medicine, 1 lthEd. McGraw-Hill Book Company, New York, 1987, 177 - 80. Ganong WF. Review of Medical Physiology six teenth ed. Pretice Hall International Inc. Appleton and Lange Simon and Schuster Business and Professional Group 1993 : 434. Ilnyckyj A : Clinical Evaluation and Management of Acute Infectious Diarrhea in Adult, Gastroenterology Clinics, Volume 30, No.3, WB Saunders Company, September 2001. Montgomery L : What is the best way to evaluate acute diarrhea ?, Journal of Family Practice, June, 2002, From : http://



www.cebm.jr2.ox.ac.uk/docs/levels. html Pitisuttithum P : Acute Dysentry, DTM&H Course 2002, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University, Bangkok, Thailand. Puruhito. Dasar-dasar Pemberian Cairan dun Elektrolit pada Kasus - Kasus Bedah. Air Langga Press Swabaya, 1980. Schiller LR. Diarrhea, Medical Clinics of North America, Vo1.84, No.5, September 2000. Suthisarnsuntorn U. Bacteria Causing Diarrheal Diseases & Food Poisoning, DTM&H Course 2002, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University, Bangkok, Thailand. Turgeon DK, Fritsche, T.R. Laboratory Approachs to Infectious Diarrhea, Gastroenterology Clinics, Volume 30, No.3, WB Saunders Company, September 200 1. Tantivanich S. Viruses Causing Diarrhea, DTM&H Course 2002, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University, Bangkok, Thailand. Wanke CA. Epidemiology and cause of diarrhea in developed countries, 2008 . Uptodate 16.3 Wingate D, Phillips SP, Lewis SJ, et a1 : Guidelines for adults on selfmedication for the treatment of acute diarrhoea, Aliment Pharmacol Ther, 2001 : 15;771-82.



ASPEK KHUSUS Penanganan rehidrasi yang terlambat dan tidak adekuat sering menimbulkan penyulit gaga1 ginjal, tetapi jarang yang memerlukan hemodialisis kecuali kalau memang mempunyai penyakit dasar berat dan lama, misalnya diabetes melitus.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PENATALAKSANAAN UMUM K O M A Budiman



PENDAHULUAN Kondisi tidak sadar dan koma merupakan masalah umum dalam kedokteran. Keadaan ini mendominasi unit gawat darurat pada berbagai pelayanan rumah sakit. Ketidaksadaran dan kehilangan kesadaran memiliki manifestasi klinik dan penjelasan fisiologi yang berbeda, kendati dapat disebabkan oleh berbagai penyakit.



orang, merangsang tidur ringan dan ditandai dengan mudahnya dibangunkan dan persistensi kesadaran pada periode yang singkat. Vegetative state adalah kondisi tubuh yang sadar tetapi tidak responsif. Pasien ini sudah bangun dari koma setelah periode berhari-hari atau berminggu-minggu, kondisinya tidak responsif , yaitu kelopak mata yang terbuka, memperlihatkan bahwa dia dalam keadaan sadar. Dapat mengunyah, batuk, menelan, sebagaimana gerakan limbus dan kepala, akan tetapi dengan sedikit respons.



KEADAAN TlDAK SADAR (CONFUSIONAL STATE) ANATOMI DAN FlSlOLOGl KETIDAKSADARAN Tidak sadar adalah kondisi mental dan perilaku dari menurunnya pemahaman (comprehension), rasionalitas (coherence), dan kapasitas motivasi. Ketidaksadaran, sebagaimana didefinisikan di atas, diawali dengan ketidakmampuanuntuk mempertahankanfokus pikiran dan kerja, serta adanya disorientasi. Jika kondisi tidak sadar ini memburuk akan terjadi penurunan kesadaran mental secara menyeluruh, termasuk kerusakan dalam ingatan, persepsi, komprehensi, penyelesaian masalah, bahasa, praksis, hngsi visiospasial dan aspek perilaku emosional lainnya yang merupakan bagian dari otak.



KOMA DAN KELAINAN KESADARAN LAIN Koma adalah keadaan penurunan kesadaran dan respons dalam bentuk yang berat, kondisinya seperti tidur yang dalam di mana pasien tidak dapat bangun dari tidurnya. Stupor adalah kadar yang lebih rendah dari ketidaksadaran yang mana pasien dapat bangun hanya dengan rangsangan h a t , disertai dengan perilaku motorik yang menghindarkan diri dari ketidaknyamanan atau rangsangan yang mengganggu. Drowsiness, yang biasa terjadi pada setiap



Kesadaran secara kompleks berhubungan dengan korteks serebral. RAS adalah kelompok agregasi neuron yang terletak di atas batang otak dan talamus media, mempertahankan korteks sereberal dalam keadaan sadar. Jadi, prinsip dasar terjadinya koma adalah : I). Luka atau kerusakan pada RAS atau proyeksinya; 2). Rusaknya sebagian besar kedua serebral hemisfer; 3). Tertekannya fungsi retikulo serebral oleh obat-obatan, toksin, atau gangguan metabolik seperti hipoglikemia, anoksia, azotemia, atau kegagalan hati. Bagian formasi retikular yang penting bagi pertahanan kesadaran menyebar dari otak tengah kaudal menuju talamus bagian bawah. Neuron RAS berdiri pada korteks terutama melalui nukleus penghantar talamik yang kemudian mengeluarkan dorongan rangsang pada aktivitas korteks serebral keseluruhan. Yang terpenting adalah pemahaman bahwa secara anatomi RAS mengontrol f h g s i pupil dan gerakan mata. Jadi apabila terdapat pembesaran pupil dan hilangnya gerakan vertikal dan aduksi bola mata, maka dapat dipastikan penyebab koma adalah kerusakan pada batang otak bagian atas.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



206



KEGAWATDARURATAN MEDIK DI BIDANC ILMUPENYAKITDALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Korna Akibat Lesi Besar pada Serebral dan Herniasi Lubang kranial dipisahkan menjadi kompartemen oleh lipatan (infolding) dura. Herniasi adalah pergeseran jaringan otak ke kompartemen yang secara normal tidak terjadi.



Herniasi transtentorial uncal. Merupakan impaksi girus temporal media anterior (uncus) ke bagian anterior bukaan tentorial. Jaringan yang bergeser menekan saraf ketiga ketika ia melalui ruang subarachnoid dan mengakibatkan pembesaran pupil ipsilateral (kemunglunankarena serat para simpatetik fungsi pupil terletak pada daerah periperal saraf). Koma yang terjadi merupakan akibat dari tekanan lateral dari otak tengah yang berbenturan dengan sudut tentorial yang berseberangan karena pergeseran gyrus parahipokampus. Herniasi transtentorial sentral. Merupakan gerakan simetik ke bawah dari bagian thalamus atas melalui bukaan tentorial. Tanda utama adalah pupil miotik dan drowsiness. Herniasi temporal dan sentral dianggap sebagai penyebab tekanan progresif batang otak dari atas: pertama otak tengah, kemudian pons dan terakhir medulla. Sehingga terjadi tanda neurologis yang berhubungan dengan tingkat yang terpapar. Bentuk lain adalah herniasi transfalsial (pergeseran gyms singulat di bawah falx,dan disamping garis tengah) dan herniasi foramina1(dorongan ke bawah tonsil serebelar ke foramen magnum). Hubungan langsung antara berbagai konfigurasi herniasi transtentorial dan koma, tidak selalu ditemukan. Pergeseran, struktur otak dalam ke arah manapun oleh massa, cukup adekuat untuk menekan bagian RAS, sehingga terjadi koma. Drowsiness dan stupor dapat terjadi dengan pengangkatan sedang secara horizontal pada daerah diencefalon (thalami), sebelum transtentorial atau herniasi. Pada kasus tempaknya massa akut, terdapat hubungan konsisten antara tingkat pergeseran horizontal struktur garis tengah dengan tingkat kesadaran. Pergeseran horizontal pineal 3 - 5 mm : drowsiness Pergeseran horizontal pineal 6 - 8 mm : stupor Pergeseran horizontal pineal > 9 mm :koma Korna dan Kondisi Ketidaksadaran Karena Gangguan Metabolik Gangguan metabolik mengakibatkan koma dan mengganggu pengiriman substrat energi (hipoksia, iskemia, hipoglikemia) atau dengan mengganti eksitabilitas neuron. Neuron cerebral sangat tergantung pada aliran darah cerebral (CBF=cerebral bloodflow) dan berhubungan dengan pengiriman oksigen dan glukosa. Otak menyimpan glukosa untuk energi selama 2 menit setelah aliran darah terganggu dan oksigen yang tersisa



sekitar 8 - 10 detik setelah aliran darah berhenti. Ritme EEG menjadi lambat dan ketika kondisi pengiriman substrat memburuk, maka semua aktivitas elektrik otak berhenti. Pada sebagian besar ensefalopati metabolik , aktivitas metabolik global otak menurun sesuai tingkat ketidaksadaran. Kondisi seperti hipoglikemia, hiponatremia, hiperosmolar, hiperkapnia, hiperkalsemia, dan kegagalan hati dan ginjal, berhubungan dengan berbagai perubahan pada neuron dan astrosit. Efek reversibel kondisi tersebut tidak jelas, tetapi mungkin disebabkan oleh gangguan penyediaan energi, perubahan pada aliran ion di sepanjang membran neuron, dan abnormalitas neurotransmiter. Koma dan kejang adalah penyerta yang biasa terjadi akibat ketidakseimbangan sodium dan air dalam skala yang besar. Perubahan osmolar ini meningkat karena adanya gangguan sistemik termasuk di antaranya diabetik ketoasidosis, kadar hiperosmolar nonketotik, dan hiponatremia. Sebagaimana ensephalopati metabolik lain, keparahan perubahan neurologik tergantung pada kecepatan perubahan serum yang terjadi.



Koma epileptik. Pengeluaran listrik menyeluruh dan berkelanjutan dari korteks (seizures1kejang) berhubungan dengan koma, walaupun tidak ada aktivitas motor epileptik (convulsion). Koma yang terjadi setelah kejang, merupakan tahap postictal, yang disebabkan oleh kekurangan persediaan energi atau efek molekul toksik lokal yang merupakan hasil dari kejang. Koma farmakologis. Ensefalopatijenis ini sangat reversibel dan tidak menimbulkan kerusakan residual yang menyebabkan hipoksia. Overdosis beberapa obat dan toksin dapat menekan h g s i sistem saraf. Ada pula yang menyebabkan koma dengan mengganggu nukleus batang otak termasuk RAS dan korteks cerebral. Penatalaksanaan. Evaluasi medik yang lengkap dapat ditunda kecuali tanda vital, funduskopi, pemeriksaan nuchal rigidity sampai evaluasi neurologi dapat menentukan keparahan dan sebab koma. Riwayat. Pada berbagai kasus, sebab dari koma akan cepat dibuktikan (misalnya. trauma atau serangan jantung). kendati demikian, terdapat beberapa ha1 yang harus diketahui: 1). kondisi dan kecepatan terjadinya gejala neurologis; 2). gejala anteseden (confusion, lemah, sakit kepala, kejang, pusing, pandangan ganda, atau muntah); 3). penggunaan obat-obatan, narkoba, atau alkohol; 4). penyakit hati kronik, ginjal, paru-paru, jantung, dan lainlain. Perneriksaan Urnurn Fisis



Hams segera diperiksa: Suhu. 1). Hipertermia; kemungkinan adanya infeksi sistemik, meningitis bakterial, atau ensefalitis. Suhu 42" -



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENAT-



UMUM KOMA



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 44" C: heat stroke atau intoksikasi obat antikolinergik; 2).



Hipotermia; kemungkinan intoksikasi alkohol, barbiturat, sedatif, atau fenotiazin, hipoglikemia, kegagalan sirkulasi periferal, atau hipotiroid, dan suhu < 3 1 "C.



Denyut nadi. Takipnea yang disebabkan oleh asidosis atau pneumonia Pola pernapasan. Pola pernapasan tidak teratur berindikasi adanya gangguan batang otak Tekanan darah. 1). Hipertensi: ensefalopati hipertensi atau peningkatan cepat tekanan intrakanial; 2). Hipotensi: koma karena intoksikasi alkohol, barbiturat, perdarahan internal, infark miokard, sepsis, krisis hipotiroid atau penyakit Addison. Pemeriksaan funduskopi mendeteksi. Perdarahan subaraknoid, ensefalopati hipertensif, dan peningkatan tekanan intrakranial (edema papil ). Petekiae mendeteksi trombotik trombositopenik purpura, meningokoksemia, atau diatesis pendarahan.



KADARTERJAGAAN(AROUSAL) DAN GERAKAN YANG DlHASlLKAN



Jika pasien tidak terangsang oleh suara yang keras, stimulus yang intensif dan semakin kuat dapat digunakan untuk menentukan besarnya terjagaan dan respons motorik optimal pada setiap sisi tubuh. Hasilnya dapat bervariasi dari menit ke menit dan sangat diperlukan pemeriksaan beruntun. Misalnya dengan menggelitik lubang hidung. menggunakan tangan untuk mengeluarkan rangsangan yang salah.



Sebagian besar penyebab koma adalah karena masalah medis yang jelas seperti intoksikasi obat, hipoksia, strok, trauma, atau gaga1 hati dan ginjal. Kondisi yang menyebabkan koma mendadak, misalnya minum obat, perdarahan serebral, trauma, serangan jantung, epilepsi, atau emboli arteri basilar. Koma subakut biasanya akibat riwayat masalah medis atau neurologis sebelumnya, seperti tumor atau infark serebral. Penyakit serebrovaskular merupakan penyebab terbesar kejadian koma. Perdarahan ganglia basal dan talamik (onset akut tetapi tidak instan, muntah, sakit kepala, hemipegia, dan tanda tertentu pada mata) Perdarahan pontin (onset mendadak, pupil terlihat, gerakan refleks mata hilang, dan respon kornea, okular naik turun, posturing, hiperventilasi, dan keringat berlebih) perdarahan serebelar (sakit kepala oksipital, muntah, gaze paresis, dan tidak dapat berdiri) trombosis arteri basilar (nezrrologic prodome atau warning spells, diplopia, disartria, muntah, gangguan gerakan mata dan respon kornea, dan paresis asimetris tungkai dan lengan). perdarahan subaraknoid (koma presipitus sesudah sakit kepala dan muntah).



Apabila riwayat dan pemeriksaan fisik tidak menunjukkan penyebab terjadinya koma, maka diperlukan pindaian CT atau MRI. Sebagian besar penyebab klinis dari koma dapat diketahui tanpa pindaian neurologis.



.



,h*.



- '31 p.



Refleks Cahaya Pupil



Refleks Batang Otak Penilaian fungsi batang otak sangat penting untuk mengetahui lokasi lesi pada koma. Refleks yang dinilai biasanya respons pupil pada cahaya, gerakan mata spontan dan keluar, respons kornea, dan pola pernapasan. Jadi, ketika aktivitas batang otak terdeteksi, terutama reaksi pupil dan gerakan mata, maka koma dinyatakan sebagai penyakit hemisfer bilateral.



PENEGAKAN DIAGNOSIS KOMA



Penyebab koma secara umum dikategorikan menjadi 3 (tiga) konsep: I). Tanpa tanda-tanda neurologis yang penting, misalnya. ensefalopati metabolik; 2). Sindrom meningitis, dengan kategori demam atau leher kaku dan adanya keluaran sel pada cairan spinal, misalnya. meningitis bakterial, perdarahan subaraknoid; 3). Dengan tanda-tanda penting yang biasa terjadi, misalnya strok, perdarahan serebral.



Saraf



\



rrnanasan



I Gambar 1. Pemeriksmn refleks hatang atak gada kgma



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



208



KECAWATDARURATAN MEDIK DI BIDANC ILMU PENYAKIT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Kematian Otak Kematian otak terjadi akibat terhentinya aliran darah serebral, hasil dari hilangnya fungsi otak secara global sementara itu pernapasan dipertahankan dengan alat dan jantung terus dipompa. Kerusakan otak ini merupakanjenis yang dapat dikatakan sama dengan kematian. Diagnosis kematian otak, terdiri dari beberapa elemen penting: 1). kerusakan batang korteks yang luas, yang ditunjukkan dengan koma yang dalam (tidak responsif terhadap semua bentuk rangsangan); 2). kerusakan menyeluruh batang otak, yang ditunjukkan dengan pupil tidak bereaksi terhadap cahaya dan hilangnya refleks okulovestibular dan kornea; 3). kerusakan medulla yang disebabkan oleh apnea komplet. Denyut nadi tidak bervariasi dan tidak respons pada atropin. Biasanya terjadi diabetes insipidus, tetapi terjadi beberapa jam atau hari setelah kematian otak. Pupil membesar berukuran sedang. Refleks tendon tidak diperlukan karena tulang belakang tetap berfungsi. Tes apnea dapat dilakukan dengan aman, dengan menggunakan difusi oksigenisasi (ventilator dilepaskan). Kemudian dilengkapi dengan preoksigenisasi 100% oksigen. Tekanan CO, meningkat sekitar 0.3 sampai 0.4 kPa/menit (2 - 3 mmHg/menit) selama apnea. Beberapa menit pada akhir observasi, PCO, arterial minimal sebesar > 6.6 sampai 8.0 kPa (50 - 60 rnmHg). Penatalaksanaan Tujuan utama adalah mencegah kerusakan sistem saraf yang lebih parah. Kondisi hipotensi, hipoglikemia, hiperkalsemia, hipoksia, hiperkapnia, dan hipertermia harus segera diperbaiki. Pada pasien drowsy yang bernapas secara normal, diperlukan pengawasan agar oropharyngeal aim~aj, tetap tcrbuka. Intubasi trakeal diperlukan. apabila terjadi apnea, obstruksi saluran napas atas, hipovehtilasi, emesis, atau jika terjadi aspirasi karena koma. Diperlukan ventilasi mekanik jika terdapat hipoventilasi atau kebutuhan untuk merangsang hipokapnia untuk menurunkan ICP. Dilakukan suntikan intravena dan diberikan nalokson dan dekstrosa jika terjadi overdosis narkotika dan hipoglikemia; tiamin diberikan bersama dengan glukosa untuk menghindari terjadinya penyakit Wernicke pada pasien malnutrisi. Pada kasus trombosis basilar dengan iskemia batang otak, digunakan heparin intravena atau obat trombolitik, jika tidak terdapat perdarahan serebral. Penggunaan fisostigmin untuk membangunkan pasien overdosis obat antikolinergik, harus diberikan oleh dokter konsulen dan dengan pengawasan yang ketat. Banyak dokter yang berpendapat bahwa obat tersebut hanya boleh digunakan pada pasien overdosis antikolinergik yang berhubungan dengan aritmia jantung. Penggunaan antagonis benzodiazepin memiliki prospek untuk perbaikan setelah overdosis obat soporifik dan bermanfaat untuk ensefalopati hepatik.



Pemberian cairan hipotonik intravena hams dilakukan dengan hati-hati pada semua gangguan serius otak karena berpotensi terjadi edema serebri. Luka pada tulang servikal hams diperhatikan ,terutama jika akan dilakukan intubasi atau evaluasi respons okulosefalik. Sakit kepala dengan demam dan meningismus merupakan tanda dibutuhkannya pemeriksaan cairan serebrospinal untuk mendiagonsis meningitis. Jika penekanan lumbal terlambat dilakukan karena suatu hal, maka hams segera diberikan antibiotik seperti sefalosporin generasi ketiga, terutama setelah diambil kultur darah. Glasgow Coma Scale (GCS).Pertama kali diperkenalkan pada tahun 1974 oleh Teasdale dan Jennett, sebagai alat bantu dalam asesmen klinis kondisi ketidaksadaran. Kemudian GCS digunakan secara luas untuk mengukur pasien individual, membandingkan efektifitas perawatan, dan faktor menentukan prognosis. GCS telah digunakan pada berbagai sistem klasifikasi trauma dan penyakit kntis.



Glasgow Coma Scale terdiri dari nilai dengan kisaran 3 15, yang merupakan kisaran tingkat ketidaksadaran pasien trauma atau kritis (Tabel 1). Skala dihitung dengan cara penjumlahan semua nilai respon. E + M + V = 3 sampai dengan 15 Penjumlahan nilai respons merupakan asesmen tingkat kategori ketidaksadaran pasien, yang terbagi menjadi: Ringan: 13-15poin Moderat : 9 - 12 poin Berat : 3 - 8 poin Koma: nilai < 8 poin



Eye Opening Response (E)



Respons Motorik (M)



Respons Verbal (V)



Spontan: terbuka dengan kedipan pada garis dasar Terbuka pada perintah verbal, bicara, atau jeritan Terbuka pada rasa sakit, tidak terlihat pada wajah Tidak ada respons Melakukan gerakan yang diperintahkan Gerakan karena rangsang rasa sakit (rasa sakit lokal) Tidak merasakan sakit Fleksus tidak normal, decorticate posture Respons ekstensor (rigid), decerebrate posture Tidak ada respons Terorientasi Pembicaraan membingungkan, tetapi dapat menjawab pertanyaan. Respons tidak jelas, kata-kata jelas Kata-kata meracau Tidak ada respons



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



4 poin 3 poin 2 poin 1 poin



6 poin 5 poin 4 poin 3 poin 2 poin 1 poin 5 poin 4 poin 3 poin 2 poin 1 poin



PENAT-



UMUM KOMA



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Berbagai cara pengukuran lain telah dikembangkan untuk mengatasi kekurangan GCS. Salah satu kekurangannya adalah kegagalan dalam mengukur refleks batang otak Pengukuran ini juga memiliki bias numerik dalam menghitung respons motorik. Masalah yang bekembang sekarang ini adalah penggunaan GCS pada pasien intubasi. Beberapa pendekatan lain digunakan untuk pasien tersebut. Kendati banyak kekurangannya, Glasgow Coma Scale masih digunakan secara luas untuk mengukur ketidaksadaran.



PROGNOSIS



Dampak koma adalah dibutuhkannya perawatan jangka panjang. Vegetative state persisten memiliki prognosis yang buruk. Prognosis lebih baik dapat terjadi pada kelompok anak-anak dan remaja. Koma metabolik memiliki pronosis yang lebih baik dibandingkan dengan koma traumatik. Segala pendapat mengenai prognosis pada orang dewasa, sebaiknya hanya berupa perkiraan, dan keputusan medis seharusnya disesuaikan dengan faktor-faktor seperti usia, penyakit sistemik yang ada, dan kondisi medik secara keseluruhan. Informasi prognosis dari banyak pasien dengan luka di kepala, dapat dilakukan dengan Glasgow Coma Scale; secara empiris, pengukuran ini dapat memprediksi trauma



otak. Hilangnya gelombang kortikal pada potensi terjaga somatosensori merupakan indikator prognosis koma yang buruk.



REFERENSI Bartlett D. The coma cocktail: indications, contraindications, adverse effects, proper dose, and proper route. J Emerg Nurs. 2004;6:30. Fukuda N, Tanizawa Y. Progress in diagnosis of and therapy for hypoglycemic coma in patients with well-controlled diabetes. Nippon Naika Gakkai Zasshi. 2004;8:93. Gerber CS. Understanding and managing coma stimulation: are we doing everything we can? Crit Care Nurs Q. 2005;2:28. Kochanek PM, et al. Therapeutic hypothermia for severe traumatic brain injury. JAMA. 2003;22:289. Michelson DJ, S. Ashwal. Evaluation of coma and brain death. Semin Pediatr Neurol. 2004;2: 1 1. Nayana PP, TV Serane, et al. Long-term outcome in coma. Indian J Pediatr. 2005;4:72. Ropper AH. Acute confusional states and coma. In: Kasper DL, et al, eds. Harrison's principles of internal medicine. 16Ih edition. New York: McGraw-Hill; 2005. Shaffer L, et al. Case report: can mild head injury cause ischaemic stroke? Arch Dis Child. 2003;88. Sternbach GL. The Glasgow coma scale. J Emerg Med. 2000;1:19. Wang JT, et al. Prognostic value of evoked responses and eventrelated brain potentials in coma. Can J Neurol Sci. 2004;4:3 1. Waterhouse C. The Glasgow Coma Scale and other neurological



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Kasim Rasjidi, Sally Aman Nasution



PENDAHULUAN Berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata syn dan koptein, yang artinya memutuskan. Sehingga definisi dari sinkop tersebut adalah kehilangan kesadaran dan kekuatan postural tubuh yang tiba-tiba dan bersifat sementara, dengan konsekuensi terjadi pemulihan spontan. Kehilangan kesadaran tersebut terjadi akibat penurunan aliran darah ke sistem aktivasi retikular yang berlokasi di batang otak, dan akan membaik tanpa membutuhkan terapi kimiawi maupun elektrik. Kebanyakan individu yang pernah mengalami pingsan (terutama sinkop vasovagal) tidak mencari pertolongan dokter sehingga prevalensi dari sinkop tersebut sulit ditentukan. Diperkirakan sepertiga dari orang dewasa pernah mengalami paling sedikit sekali episode sinkop selama hidupnya.. Di Amerika dikatakan bahwa + 3% dari kunjungan pasien di gawat darurat disebabkan oleh kejadian sinkop, dan merupakan 6% dari alasan seseorang datang ke rumah sakit. Angka rekurensi dalam pemantauan selama 3 tahun lebih kurang 34%. Pada studi Framingham mengenai kejadian sinkop dilakukan pemeriksaan sekali dalam dua tahun yang melibatkan 78 14 individu, dilaporkan bahwa insidens sinkop pertama kali terjadi 6,211000 orangltahun. Sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan evaluasi dan pengobatan pasien dengan sinkop tersebut dapat mencapai US $ 800 juta. Pasien yang mengalami episode sinkop akan mengalami penurunan kualitas hidup mereka. Prognosis dari sinkop sangat bervariasi tergantung dari diagnosis etiologinya. Sebagai contoh pada studi Framingham tersebut, individu yang mengalami sinkop termasuk sinkop yang tidak diketahui penyebabnya mempunyai tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak pernah mengalami episode sinkop. Pada pengamatan dikatakan bahwa tingkat mortalitas tertinggi ditemukan pada kasus sinkop yang



disebabkan oleh masalah kardiak. Sedangkan pada kelompok dengan kejadian sinkop yang berhubungan dengan persarafan termasuk hipotensi ortostatik dan sinkop yang berhubungan dengan obat-obatan, tidak menunjukkan peningkatan tingkat mortalitas.



Penyebab sinkop dapat diklasifikasikan dalam enam kelompok utama yaitu vaskular, kardiak, neurologikserebrovaskular, psikogenik, metabolik dan sinkop yang tidak diketahui penyebabnya. Kelompok vaskular merupakan penyebab sinkop terbanyak kemudian diikuti oleh kelompok kardiak.



Penyebab Vaskular dari Sinkop Dibagi dalam beberapa kelompok gangguan vaskular seperti kelainan anatomik (subclavian steal syndrome), ortostatik (insufisiensi otonom, idiopatik, hipovolemia dan akibat induksi obat-obatan) serta diakibatkan refleks (hipersensitivitas sinus karotis, sinkop yang dimediasi persarafan, sinkop glossofaringeal, situasional pada keadaan batuk, mengunyah atau berkemih serta keadaan sensitif terhadap adenosin). Hipotensi ortostatik. Definisi hipotensi ortostatik adalah apabila terjadi penurunan tekanan darah sistolik 20 mmHg atau tekanan darah diastolik 10 mmHg pada posisi berdiri selama 3 menit . Pada saat seseorang dalam posisi berdiri sejumlah 500-800 ml darah akan berpindah ke daerah abdomen dan ekstremitas bawah, sehingga berakibat terjadinya penurunan besar volume darah balik vena secara tiba-tiba ke jantung. Penurunan besar volume ini akan mengakibatkan penurunan curah jantung dan stimulasi pada aorta, karotis dan baroreseptor kardiopulmonal yang



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



SINKOP



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



akan mencetuskanpeningkatan refleks simpatis. Hasil akhir yang ditemukan adalah keadaan di mana terjadi peningkatan denyut jantung, kontraktilitas otot jantung dan resistensi vaskular untuk mempertahankan tekanan darah sistemik menjadi stabil. Kondisi hipotensi ortostatik ini dapat asimtomatik tetapi dapat pula menimbulkan gejala-gejala seperti kepala terasa ringan, pusing, gangguan penglihatan, lemah, berdebar, gemetar dan sinkop. Sinkop yang terjadi setelah makan, terutama pada usia lanjut disebabkan oleh redistribusi darah ke usus. Penurunan tekanan darah sistolik sebanyak 20 mmHg rata-rata satu jam setelah makan terjadi pada sekitar sepertiga populasi usia lanjut yang berada di rumah perawatan. Walaupun sering tidak bergejala tetapi dapat mengakibatkan gejala kepala terasa ringan bahkan sinkop. Penyebab lain terjadinya hipotensi ortostatik adalah obat-obatan terutama yang mengakibatkan terjadinya deplesi volume atau vasodilatasi. Populasi usia lanjut merupakan kelompok yang rentan dengan efek hipotensif obat-obatan akibat penurunan sensitivitas baroreseptor, berkurangnya aliran darah serebral, renal sodium wasting dan gangguan mekanisme haus akibat proses penuaan. Di antara obat-obatan yang sering menyebabkan hipotensi ortostatik adalah: diuretika penghambat adrenergik alfa misalnya : terazosin penghambat saraf adrenergik misalnya : guanetidin penghambat ACE antidepresan : MA0 Inhibitor alkohol penghambat ganglion misalnya : heksametonium, mekamilamin tranquilizer misalnya : fenotiazin, barbiturat vasodilator : prazosin, hidralazin, penghambat saluran kalsium obat hipotensif yang bekerja sentral misalnya : metildopa, clonidin. Hipotensi ortostatik juga dapat disebabkan oleh penyebab neurogenik yang digolongkan dalam gangguan primer dan sekunder. Gangguan atau kelainan primer biasanya idiopatik, sedangkan kelainan sekunder biasanya berhubungan dengan zat biokimiawi tertentu atau kelainan struktur yang merupakan bagian dari sindrom tertentu. Salah satu contoh adalah postural orthostatic tachycardia syndrome (POTS) adalah salah satu bentuk ringan dari gangguan otonom kronik dan intoleransi ortostatik ini ditandai dengan gejala-gejala yaitu peningkatan denyut jantung sebanyak 28 kalilmenit atau lebih tanpa diikuti perubahan bermakna dari tekanan darah selama 5 menit dalam posisi berdiri atau upright tilt. POTS ini diakibatkan oleh kegagalan vaskular perifer sehingga terjadi vasokonstriksi. Dapat pula terjadi akibat sinkop yang berhubungan dengan hipotensi yang dimediasi persarafan.



Sinkop yang dimediasi persarafan. Ada beberapa sindrom sinkop yang dimediasi refleks di antaranya adalah hipersensitivitas sinus karotis, sinkop yang dimediasi persarafan, sinkop glossofaringeal, situasional (batuk, mengunyah dan berkemih) serta sensitif terhadap adenosin. Pada setiap kasus refleks timbul akibat pencetus (pada afferent limb) dan respon (pada efferent limb).Akibat dari refleks tersebut akan timbul peningkatan aktivitas vagal dan umpan balik pada simpatis perifer sehingga terjadi bradikardi, vasodilatasi dan pada akhimya hipotensi, presinkop atau sinkop. Penyebab refleks yang paling sering adalah hipersensitivitas sinus karotis dan hipotensi yang dimediasi persarafan. Pencetus yang khusus dari masing-masing keadaan misalnya pada sinkop akibat berkemih disebabkan oleh aktivasi mekanoreseptor pada kandung kemih. Sinkop akibat defekasi timbul akibat input neural dari reseptor tekanan pada dinding usus, sedangkan sinkop akibat mengunyah timbul akibat impuls saraf aferen yang berada di saluran cerna bagian atas.



Penyebab Kardiak dari Sinkop Sinkop yang disebabkan oleh masalah kardiak merupakan penyebab kedua tersering dari sinkop tersebut, meliputi 10-20% atau seperlima dari seluruh kejadian. Sinkop yang disebabkan kardiak ini akan menyebabkan risiko mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan kasus yang tidak mempunyai dasar kelainan jantung. Pasien dengan sinkop kardiak ini mempunyai risiko kematian tertinggi dalam 1 sampai 6 bulan. Tingkat mortalitas dalam 1 tahun pertama 18-33%, dibandingkan dengan sinkop yang bukan disebabkan kelainan kardiak yaitu 0-12%, bahkan pada sinkop tanpa sebab yang jelas hanya kira-kira 6%. Demikian pula dengan angka kematian mendadak yang lebih tinggi pada populasi yang mempunyai kelainan dasar kardiak. Aritmia. Sinkop akibat iramajantung yang tidak beraturan paling sering disebabkan oleh keadaan takiaritmia (ventrikular atau supraventrikular) atau bradiaritmia. Takikardia ventrikel merupakan keadaan takiaritmia yang paling sering menyebabkan sinkop. Takikardia supraventrikular juga merupakan penyebab sinkop yang cukup sering, walaupun sebagian besar penderita mempunyai keluhan yang lebih ringan seperti berdebar, sesak napas dan kepala terasa ringan. Bradiaritmia juga dapat menyebabkan terjadinya sinkop termasuk sicksinus syndrome dan blok atrioventrikular.Contoh yang spesifik misalnya sinus arrest, fibrilasi atrial dengan respons ventrikel yang sangat cepat melalui jalur aksesori pada pasien dengan sindrom Wolff-Parkinson-White dan takikardia ventrikel monomorfik yang menetap. Sedangkan pada pasien dengan blok jantung komplit dapat mengalami episode sinkop yang membaik sendiri pada saat terjadinya curah jantung yang tidak efektif akibat takiaritmia ventrikel



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



212



KEGAWATDARURATAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKITDALAM



HANYA DI SCAN UNTUKmenyebabkan dr. PRIYO PANJI obstruksi pada pengisian ventrikel



'



atau episode asistol sementara (pada serangan stokesAdams). Satu bentuk dari takikardi ventrikel polimorfik adalah Torsade de pointes yang terjadi pada pasien dengan repolarisasi ventrikel yang memanjang (sindrom QT memanjang atau Long QT syndrome ILQTS), tetapi mempunyai jantung yang secara struktural normal. LQTS dapat terjadi akibat penyakit dasar yang didapat ataupun kongenital misalnya pada keadaan hipokalemia atau terpapar obat-obatan tertentu. Torsade de pointes dalam perkembangannya dapat menjadi fibrilasi ventrikel. Maka seseorang dengan LQTS mempunyai risiko mengalami sinkop atau bahkan kejang (akibat hipoksia serebral sesaat) dan yang lebih fatal adalah kematian mendadak. Kelainan kongenital lain yang berpotensi mengakibatkan gangguan aritrnia yang fatal adalah sindrom Brugada (elevasi segmen ST di daerah prekordial V,, V, dan V, yang sering disertai blok berkas cabang kanan inkomplit maupun komplit), takikardi ventrikel polimorfik akibat katekolaminergik familial serta displasia ventrikel kanan -yang- berhibungan dengan aritmia ventrikel. Pada kardiomiopati hipertrofi, akibat hipertrofi kardiak yang terjadi dapat menyebabkan kematian mendadak karena takiaritmia ventrikel menetap. Penjelasan lain dari sinkop yang dapat terjadi adalah tipe obstruktif di mana terdapat gradien intraventrikular. Pada pengguna pacu jantung dan ICD (Implantable Cardiac Dejibrillator) yang mengalami gangguan fungsi dapat menyebabkan terjadinya sinkop. Individu pengguna ICD misalnya, apabila terjadi takiaritmia ventrikel yang cepat dan dapat diatasi dengan alat tersebut, sinkop masih mungkin dapat terjadi, ha1 ini tergantung dari lamanya keadaan hipotensi akibat proses terminasi dari takiaritmia tersebut. Sehingga penting sekali mendapatkan keterangan mengenai ICD yang dipergunakan terutama apabila terdapat episode sinkop tersebut.



Struktur anatomi jantung. Kelainan anatomijantung yang dapat menyebabkan sinkop termasuk stenosis valvular (aorta, mitral, pulmonal), disfungsi katup protesa atau trombosis, kardiomiopati hipertrofik,emboli paru, hipertensi pulmonal, tamponade jantung dan anomali dari arteri koroner. Sinkop pada stenosis aorta terjadi saat aktivitas ketika terjadi obstruksi katup menetap dan menghambat peningkatan curahjantung sehingga timbul dilatasi vaskular pada otot-otot skeletal yang bergerak. Sinkop dapat terjadi saat aktivitas atau latihan tersebut bahkan sesaat setelahnya. Sinkop juga dapat terjadi pada saat istirahat pada stenosis aorta bila ditemukan keadaan takiaritmia paroksismal atau bradiaritmia yang timbul bersamaan dengan abnormalitas katup ini. Diseksi aorta, subclavian steal syndrome, disfungsi berat ventrikel kin dan infark miokard merupakan penyebab penting lain dari sinkop kardiak. Pada usia lanjut, sinkop dapat merupakan tampilan dari infark miokard akut. Miksoma atrial kiri atau trombus pada katup protesa yang menutupi katup mitral selama fase diastolik akan



dan



terjadi sinkop. Penyebab neurologik/serebrovaskular dari sinkop. Penyebab neurologik dari sinkop termasuk migrain, kejang, malformasi Arnold-Chiari dan TIA (Transient Ischemic Attack) yang ternyata cukup mengejutkan karena merupakan < 10% sebagai penyebab sinkop secara keseluruhan. Kebanyakan individu yang mengalami sinkop akibat kelainan neurologik seringkali mengalami kejang, daripada hanya episode sinkop saja. Kelainan neurologi yang terjadi seringkalimirip dengan sinkop yaitu terdapatnya gangguan atau hilangnya kesadaran seseorang. Keadaan ini termasuk iskemi serebral sementara (biasanya pada daerah vertebrobasiler), migrain (daerah arteri basiler), epilepsi lobus temporal, kejang atonik dan serangan kejang umum. Pada gangguan neurologi yang berhubungan dengan nyeri hebat seperti neuralgia trigeminal atau glosofaringeal, kehilangan kesadaran biasanya disebabkan sinkop vasovagal. Penyebab metaboliMain-lain dari sinkop. Penyebab metabolik pada sinkop sangat jarang, hanya kira-kira 5% dari seluruh episode sinkop. Gangguan metabolik yang seringkali menjadi penyebab sinkop tersebut adalah hipoglikemi, hipoksia dan hiperventilasi. Sinkop akibat hipoglikemi adalah hilangnya kesadaran yang berhubungan dengan kadar gula darah di bawah 40 mg/dL dan disertai gejala tremor, bingung, hipersalivasi, keadaan hiperadrenergik dan rasa lapar. Hipoglikemi selalu hams dipikirkan pada pasien dengan diabetes melitus yang mendapatkan terapi insulin atau obat hipoglikemik oral. Penting diperhatikan bahwa sinkop akibat hipoglikemi berbeda dengan sinkop pada keadaan lain yaitu tidak berhubungan dengan hipotensi, bahkan pada saat pasien dalam posisi terlentang. Hipoadrenalism yang dapat menyebabkan terjadinya hipotensi postural akibat sekresi kortisol yang tidak adekuat, merupakan penyebab penting episode sinkop yang dapat diobati. Keadaan ini hams dipikirkan pada individu yang mendapatkan terapi steroid jangka panjang dan tiba-tiba menghentikannya atau bila sudah terdapat stigmata insufisiensi adrenal.



UJI DlAGNOSTlK



Mengetahui penyebab pasti dari sinkop seringkali merupakan sesuatu keadaan sulit yang menantang. Hal ini disebabkan oleh karena kejadian sinkop tersebut terjadi secara sporadis dan jarang, sehingga sulit untuk dapat melakukan pemeriksaan fisis ataupun membuat rekaman jantung saat kejadian sinkop tersebut. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis Pada saat sinkop kehilangan kesadaran terjadi akibat berkurangnya perfusi darah di otak. Penting sekali



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



diketahui riwayat kejadian di saat-saat sebelum terjadinya sinkop tersebut untuk menentukan penyebab sinkop serta menyingkirkan diagnosis banding yang ada. Dari anamnesis hams ditanyakan riwayat pasien secara teliti dan seksama, sehingga dari riwayat tersebut dapat menggambarkan kemungkinan penyebab sinkop tersebut atau dapat sebagai petunjuk untuk strategi evaluasi pada pasien. Gambaran klinis yang muncul pada setiap pasien sangat penting untuk diketahui terutama faktor-faktoryang dapat merupakan predisposisi terjadinya sinkop beserta akibatnya. Hal-ha1 penting untuk ditanyakan pada saat anamnesis tercantum pada Tabel 1. Sebaiknya semua ha1 yang tercantum ditanyakan secara teliti dan seksama. Selain berguna untuk diagnostik, mengetahui riwayat kejadian juga dapat merupakan strategi untuk evaluasi. Sebagai contoh, penyebab kardiak sangat mungkin dipikirkan apabila sinkop didahului dengan keluhan berdebar-debar, atau sinkop terjadi pada posisi terlentang atau pada saat selama melakukan latihan fisik. Sebaliknya,mekanisme mediasi oleh persarafan sangat mungkin menjadi penyebab apabila terdapat faktor-faktor



Pertanyaan-pertanyaan seputar keadaan saat sebelum serangan - Posisi (duduk, terlentang atau berdiri) - Aktivitas (istirahat, pembahan posisi, sedang atau sehabis melakukan latihan fisik, sedang atau sesaat setelah berkemih, buang air besar, batuk atau menelan) - Faktor-faktor predisposisi (misalnya tempat ramai atau panas, berdiri dalam waktu lama, saat setelah makan) dan faktor yang memberatkan (misalnya ketakutan, nyeri hebat, pergerakan leher) Pertanyaan-pertanyaan mengenai saat terjadinya serangan - Mual, muntah, rasa tidak enak di perut, rasa dingin, berkeringat, aura, nyeri pada leher atau bahu, penglihatan kabur Pertanyaan-pertanyaan mengenai serangan yang terjadi (saksi mata) - Bagaimana cara seseorang tersebut jatuh (merosot atau berlutut), warna kulit (pucat, sianosis, kemerahan), lamanya hilang kesadaran, jenis pernapasan (mengorok), pergerakan (tonik, klonik, tonik-klonik atau minimal mioklonus, otomatisasi) dan lama kejadiannya, jarak antara timbulnya pergerakan-pergerakantersebut dengan kejadian jatuh, lidah tergigit Pertanyaan-pertanyaan mengenai latar belakang - Riwayat keluarga dengan kematian mendadak, penyakit jantung aritmogenik kongenital atau pingsan - Riwayat penyakit jantung sebelumnya - Riwayat kelainan neurologis (parkinsonisme, epilepsi, narkolepsi) - Gangguan metabolik (misalnya diabetes melitus) - Obat-obatan (antihipertensi, antiangina, antidepresan, antiaritmia, diuretika dan obat-obatan yang dapat membuat QT memanjang) - (Bila terjadi sinkop berulang) Keterangan mengenai berulangnya sinkop misalnya waktu dari saat episode sinkop pertama dan jumlah rekurensi yang terjadi



predisposisi, keadaan yang memberatkan, gejala ikutan dan pasien mengalami episode sinkop berulang dalam beberapa tahun. Beberapa penyebab terjadinya kehilangan kesadaran yang paling sering ditemukan antara lain : 1). Serangan Stokes-Adam misalnya, keadaan asistol sementara atau fibrilasi ventrikel pada blok atrioventrikular; 2). Aritmia Jantung lain, atau 3). Kejang (misalnya petit ma1 pada epilepsi). Kemungkinan bahwa hal-ha1 tersebut di atas merupakan penyebabnya harus dipikirkan apabila kehilangan kesadaran tersebut terjadi tiba-tiba dan lamanya berkisar antara 1 sampai 2 detik. Kejadian yang gradual atau bertahap kemungkinan disebabkan oleh sinkop vasodepresor, misalnya pingsan pada umumnya atau sinkop akibat hiperventilasi atau ha1 lain yang lebih jarang adalah hipoglikemia. Pada pemeriksaan fisis, gambaran klinis dan tampilan pasien sangat penting diketahui. Pemeriksaan-pemeriksaan yang meliputi tanda-tanda sistem kardiovaskular, pemeriksaan neurologis serta gejala-gejala terdapatnya hipotensi ortostatik hams dilakukan pada pasien dengan sinkop. (Tabel 2) Rekomendasi klas 1 untuk diagnosis berdasarkan evaluasi awal (anarnnesis, pemeriksaan fisis, pengukuran tekanan darah ortostatik dan elektrokardiogram, maka diagnosis penyebab sinkop pada keadaan-keadaan :



Sinkop vasovagal : bila terdapat kejadian-kejadian yang memberatkan seperti rasa takut, nyeri hebat, stres emosi, berdiri lama yang timbul dengan gejala prodromal tipikal Sinkop situasional :bila sinkop terjadi selama atau segera setelah berkemih, defekasi, batuk atau mengunyah Sinkop ortostatik : bila diketahui terdapat hipotensi ortostatik dan berhubungan dengan kejadian sinkop atau pre-sinkop. Pengukuran tekanan darah ortostatik dilakukan setelah pasien berbaring terlentang selama 5 menit. Pengukuran diteruskan setelah 1 atau 3 menit berdiri dan tetap diteruskan pengukurannya bila tekanan darah masih menurun dalam 3 menit. Bila pasien tidak dapat berdiri lama, tekanan darah sistolik terendah selama posisi tegak hams direkam. Penurunan tekanan darah sistolik > atau sama dengan 20 mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik sampai 90 mmHg dapat didefinisikan sebagai hipotensi ortostatik, terlepas dari ada atau tidaknya gejala yang menyertainya. Sinkop akibat aritmia :Dilihat dari gambmn EKG dan bila terdapat: Sinus bradikardia < 40 kalilmenit atau blok sinoatrial berulang atau henti sinus > 3 detik Mobitz 11. Blok AV derajat 2 atau 3 Blok berkas cabang kanan dan diri bergantian Takikardia supraventrikular paroksismal dengan laju ventrikel cepat Malfungsi pacu jantung dengan henti irama.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



214



KECXWATDARURATAN MEDK DI BIDANC ILMU PENYAKITDALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Gejala atau Penemuan Klinis Setelah tibatiba timbul perasaan, suara atau bau yang tidak menyenangkan dan tidak dapat dijelaskan Posisi berdiri dalam waktu lama atau di keramaian, tempat yang hangat Mual, muntah berhubungan dengan sinkop Satu jam setelah makan Setelah latihan fisik Sinkop dengan nyeri di daerah tenggorokan atau wajah



Dengan rotasi kepala, terdapat Denekanan pada sinus karotis (tumor, bercukur, kerah yang ketat) Dalam beberapa detik sampai menit bila berdiri aktif Terdapat hubungan waktu dengan dimulainya terapi obat tertentu atau perubahan dosis obat yang diberikan Selama latihan fisik , atau posisi terlentang Didahului keluhan berdebardebar Riwayat keluarga mengalami kematian mendadak



Disertai gejala vertigo, disartria dan diplopia Lengan yang sering dipergunakan untuk latihan Perbedaan tekanan darah atau denyut nadi pada kedua lengan Bingung setelah serangan selama lebih dari 5 menit Pergerakan tonik klonik, automatisme, lidah tergigit, wajah kebiruan, aura epileptik Seringkali serangan disertai keluhan somatis, tanpa kelainan organik Dada jantung.



Kemungkinan Penyebab Vasovagal



Vasovagal atau gangguan otonom Vasovagal Post prandial (gangguan otonom) Vasovagal atau gangguan otonom Neuralgia (neuralgia glosofaringeal atau triaeminal) sincop akibat gangguan sinus karotis yang spontan Hipotensi ortostatik Drug Induced



Sinkop kardiak Takiaritmia Sindrom QT memanjang, sindrom Brugada, Displasi Ventrikel Kanan, Hipertrofi Kardiomiopati TIA (Transient Ischemic Attack) pada batang otak Subclavian steal Subclavian steal atau diseksi aorta Kejang Kejang Gangguan psikiatrik



Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah rutin. Pemeriksaan laboratorium darah rutin seperti elektrolit serum, enzim jantung, kadar gula darah dan hematokrit memiliki nilai diagnostik yang rendah. Sehingga pemeriksaan-pemeriksaan tersebut tidak direkomendasikan pada pasien dengan sinkop, kecuali terdapat indikasi tertentu dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisis. Misalnya pemeriksaan kadar gula darah untuk menyingkirkan kemungkinan hipoglikemiadan kadar hematokrit untuk mengetahui kemungkinan adanya



perdarahan dan lain-lain. Pada keadaan sindrom QT memanjang keadaan hipokalemia dan hipomagnesemia hams disingkirkan terlebih dahulu. Tes kehamilan hams dilakukan pada wanita usia reproduksi, terutama yang akan menjalani head-up tilt testing atau uji elektrofisiologi. Pemeriksaan elektrokardiografi. Rekaman elektrokardiografi 12 sandapan hams selalu dilakukan pada pasien dengan sinkop. Walaupun tidak banyak informasi yang dapat diperoleh apabila sinkop tersebut disebabkan keadaan non-kardiak, tetapi pemeriksaan ini mudah, cepat, tanpa risiko dan tidak mahal. Beberapa penemuan penting yang dapat diperoleh dari pemeriksaan ini serta kemunglunan dapat diidentifikasi sebagai penyebab sinkop antara lain, pemanjangan interval QT (sindrom QT memanjang),pemendekan interval PR dan gelombang delta (pada sindrom Wolff-Parkinson-White), blok berkas cabang kanan dengan elevasi segmen ST (pada sindrom Brugada), infark miokard akut, blok atrioventrikularderajat tinggi atau inversi gelombang T pada sandapan prekordial kanan (pada displasi ventrikel kanan aritmogenik). Banyak pasien dengan sinkop menunjukkan gambaran rekaman elektrokardiografi yang normal. Hal ini sangat berguna untuk menunjukkan kemungkinan kecil penyebab sinkop berasal dari kelainan kardiak, yang berhubungan dengan prognosis yang lebih baik. Terutama bila terjadi pada pasien usia muda yang mengalami sinkop.



Blok bifasikular (didefinisikan sebagai blok berkas cabang kiri atau blok berkas cabang kanan atau blok fasikular posterior kiri) Abnormalitaslkelainan konsuksi intraventrikular lain (durasi QRS > 0,12 detik) Blok atrioventrikular derajat dua Mobitz I Bradikardia sinus asimptomatik (< 50 derajat per menit), atau blok sinoatrial Kompleks QRS praeksitasi Interval QT memanjang Pola blok berkas cabang kanan dengan elevasi ST pada sadapan V1-V3(sindrom Brugada) Gelombang T negatif pada sadap prakordial kanan. gelombang epsilon, dan kelambatan ventrikular yang berpotensi pada dugaan dispasia ventrikular kanan aritmogenik Gelombang Q diduga infark miokard.



Ekokardiografi. Dipergunakan sebagai uji penapisan untuk deteksi penyakit jantung pada pasien dengan sinkop. Walaupun mempunyai nilai diagnostik yang rendah bila dari anamnesis, pemeriksaan fisis dan EKG tidak ditemukan abnormalitas kardiak. Pada pasien yang mengalami sinkop atau pre-sinkop dengan pemeriksaan fisis yang normal, kelainan yang paling sering ditemukan (4-6% sampai 1850% kasus) adalah prolaps katup mitral. Abnormalitas kardiak lain termasuk penyakit katupjantung (paling banyak stenosis aorta), kardiomiopati, abnormalitas pergerakan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



SINKOP



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dinding ventrikel regional yang menunjukkan kemungkinan terdapat infark miokard, penyakit jantung infiltratif seperti amyloidosis, tumor kardiak, aneurysma dan tromboemboli atrial. Penemuan kelainan jantung ini penting sebagai stratifikasi risiko. Bila ditemukan kelainan jantung yang sedang-berat, maka evaluasi langsung dilakukan pada penyebab kardiak dari sinkop tersebut. Di sisi lain, bila kelainan struktur yang ditemukan hanya ringan, kemungkinan sinkop kardiak menjadi kecil sehingga evaluasi dilanjutkan seperti pada seseorang tanpa kelainan struktur jantung.



Elektrofisiologi. Untuk indikasi rekomendasi dilakukannya studi elektrofisiologi invasif bila pada evaluasi awal dicurigai sinkop terjadi disebabkan oleh aritmia (pasien dengan abnormalitas EKG dan atau terdapat penyakit struktur jantung atun sinkop yang berhubungan dengan palpitasi, atau pasien dengan riwayat kematian mendadak pada keluarga). Sedangkan untuk diagnosis dikatakan apabila hasil studi elektrofisiologi normal tidak dapat sepenuhnya menyingkirkan aritmia sebagai penyebab sinkop, sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan selanjutnya. Pada beberapa keadaan dikatakan studi elektrofisiologi sangat tinggi nilai diagnostiknya sehingga tidak diperlukan pemeriksaan tambahan lain. Sebagianbesar ahli berpendapat bila hasil studi dapat menginduksi terjadinya ventrikular takikardia monomorfik yang menetap dengan mempergunakan protokol standard. Sedangkan kriteria lain yang menunjukkan hasil positif adalah : 1). Pemanjangan waktu CSNRT (Corrected Sinus Node Recovery Time) lebih dari 1000 ms; 2). Pemanjangan yang bermakna dari interval HV (His-Purkinje) lebih dari 90- 100 ms; 3). Terjadinya blok infra-His baik alubat induksi ataupun secara spontan; 4). Takikardia supraventrikular dengan hipotensi Pemijatan pada sinus karotis. Pemijatan pada sinus karotis ini adalah suatu teknik dengan melakukan tekanan secara halus pada sinus karotis untuk mendiagnosis hipersensitivitas sinus karotis. Bila hasil yang ditemukan : Terjadi asistol selama lebih dari 3 detik berarti : terjadi respons kardioinhibisi Terjadi penurunan tekanan darah sistolik 50 mmHg berarti: terjadi respons vasodepresor Pasien dengan respons kardioinhibisi harus ditatalaksana dengan menggunakan alat pacu jantung. Pada beberapa studi dikatakan bahwa manuver ini sangat berguna bila dilakukan pada individu berusia > 60 tahun dengan rata-rata nilai diagnostiknya 46%. Selama dilakukan manuver ini selalu dilakukan dengan pemantauan EKG dan pengukuran tekanan darah, karena manuver ini bukan tanpa risiko walaupun kecil. Tentu saja pasien yang sebelumnya diketahui mempunyai kelainan pada arteri karotis (misalnya terdapat bruit karotis) atau yang mempunyai risiko strok tidak dianjurkan untuk dilakukan manuver tersebut.



Tilt-Table Testing.Uji ini merupakan pemeriksaan standar dan sudah diterima secara luas sebagai salah satu uji diagnostik pada evaluasi pasien dengan sinkop. Pemeriksaan upright tilt testing diindikasikan pada sinkop yang kemungkinan dimediasi oleh persarafan, dan uji ini penting sebagai baku emas untuk membuat diagnosis tersebut. Dalam acuan yang dikeluarkan the American College of Cardiologydicantumkan rekomendasi sekaligus interpretasi dari pemeriksaan ini. Upright tilt testing biasanya dilakukan selama 30 sampai 45 menit dengan sudut kemiringan antara 60 sampai 80 derajat (biasanya dipakai 70 derajat). Sensitivitas dari hasil pemeriksaan ini dapat meningkat, dengan spesifisitas yang lebih rendah, menggunakan lama pemeriksaan yang lebih panjang, sudut pemeriksaan yang lebih curam dan obat-obatan provokatif seperti isoproterenol atau nitrogliserin. Kesepakatan yang dipakai adalah uji ini disarankan pada kejadian sinkop berulang, atau pada kejadian sinkop pertama kali tetapi pasien dengan risiko tinggi, pada serangan sinkop pertama kali tanpa kelainan struktur jantung atau penyebab sinkop lain dapat disingkirkan dengan pemeriksaan ini, dan pada evaluasi pasien yang penyebab sinkop telah terbukti (seperti asistol, blok atrioventrikular) tetapi menunjukkan kemungkinan adanya penyebab persarafan pada kejadian sinkop tersebut yang akan mempengaruhi rencana pengobatan selanjutnya, serta pemeriksaan ini juga dianjurkan sebagai evaluasi sinkop yang berhubungan atau akibat aktivitas fisik.



Tipe 1. Campuran. Denyut jantung menurun pada saat sinkop tetapi laju ventrikel tidak menurun < 40 kalilmenit atau turun sampai < 40 kalilmenit selama minimal 10 detik dengan atau tanpa periode asistol < 3 detik. Tekanan darah menurun sebelum penurunan denyut jantung. Tipe 2 k Hambatan kardiak tanpa asistol. Denyut jantung menurun sampai laju ventrikel < 40 kalilmenit selama lebih dari 10 detik tetapi tidak terjadi episode asistol yang > 3 detik. Tekanan darah menurun sebelum penurunan denyut jantung. Tipe 2 B. Hambatan kardiak dengan asistol. Asistol terjadi > 3 detik. Tekanan darah menurun bersamaan dengan atau terjadi sebelum penurunan denyut jantung. Tipe 3. Vasodepresor. Denyut jantung tidak menurun lebih dari 10% dari puncaknya pada saat sinkop. Pengecualian I.lnkompetensi kronotropik. Tidak terjadi peningkatan denyut jantung selama tilt testing (misalnya < 10% dari laju pre-tilt testing) Pengecualian 2. Peningkatan denyut jantung berlebihan. Peningkatan denyut jantung yang berlebihan pada saat posisi tegak dan selama waktu sebelum sinkop (misalnya > 130 kalilmenit)



PENATALAKSANAANPASIEN DENGAN SINKOP



Pendekatan dalam penatalaksanaan pasien dengan sinkop sangat bergantung dari diagnosis yang telah dibuat. Seperti contohnya pasien dengan sinkop yang disebabkan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



216



KECAWATDARURATAN MEDIK DI BIDANC ILMU PENYAKITDALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



adalah : disopiramid, golongan antikolinergik, teofilin dan clonidine. Pacu Jantung: Secara teoritis, pacu jantung akan banyak bermanfaat pada pasien dengan dominasi kelainan pada kardioinhibisi dibandingkan dengan respon vasodepresan. Sinkop akibat aritmia: Belum banyak data yang mengevaluasi efek antiaritmia, baik farmakologik ataupun pemasangan alat pada pasien dengan episode sinkop akibat aritmia. Saat ini telah dipertimbangkan untuk pemasangan defibrilator intrakardiakpada pasien yang mengalami sinkop dan membutuhkannya sesuai rekomendasi dari American College Cardiology (ACC)/ American Heart Association (AHA), yaitu: pasien dengan riwayat infark miokard, ejection fraction (EF) < 35% atau sama, terdapat dokumentasi yang membuktikan terjadinya takikardia ventrikular yang tidak menetap, dan takikardia ventrikular yang diinduksi pada studi elektrofisiologi, atau kejadian takikardia ventrikular yang spontan. Sedangkan pacu jantung harus dipasang pada pasien dengan bukti dokumentasi terjadinya bradiaritmia berat atau simtomatik. Hal lain yang harus diperhatikan adalah indikasi perawatan di rumah sakit pada pasien dengan sinkop dan lamanya larangan seorang pasien untuk mengemudikan



oleh blok atrioventrikular atau sick sinus syndrome hams dilakukan pemasangan pacu jantung menetap, tatalaksana pasien dengan sindrom Wolff-Parkinson-White membutuhkan ablasi kateter, sedangkan pasien dengan takikardi ventrikel kemunglunan hams dilakukan implantasi defibrilator. Jenis-jenis lain dari penyebab sinkop mengharuskan penghentian obat-obatan tertentu, peningkatan asupan garam atau edukasi terhadap pasien. Sinkop neurokardiogenik : Yaitu pada pasien-pasien dengan sinkop berulang atau sinkop yang berhubiungan dengan cedera fisik atau stres pada pasien. Pendekatan non-farmakologikbiasanya merupakan pilihan pertama dalam terapi, termasuk mengajari pasien untuk menghindari faktor-faktor yang dapat menjadi pemicu timbulnya sinkop, seperti panas yang berlebihan, dehidrasi, posisi berdiri setelah latihan fisik, alkohol dan obat-obatan tertentu. Ada pula pengalaman klinis yang mengatakan bahwa suplementasi garam dan asupan cairan dapat menurunkan episode sinkop. Sedangkan untuk terapi farmakologis, ada beberapa obat-obatan yang direkomendasikan seperti golongan: atenolol (p- blocker), midodrine (a-agonist), paroxetine (selective serotonin reuptake inhibitor)dan enalapril. Golongan obat-obatan lain yang juga direkomendasikan sebagai terapi sinkop vasovagal SiNKOP



I



Anamnesis, Pemeriksaan fisis. EKG



I



I Diagnostik (termasuk vasovagal, situasionai, hipotensi ortostatik, dan polifarmasi pada usia lanjut)



1



TERAPI



1



Sinkop dengan penyebab yang



Suggestive (termasuk stenosis aorta, emboli paru, gejala neuroiogis, riwayat keiuarga dengan sinkop atau kematian mendadak



I



TERAPI



I



I



3



I



O ( O 1



Tidak dicurigai terdapat peny. Jantung



Pemijatan karotis



Ekokardiografi dan treadmill test



a



I



2



I



Penyakitjantung organik(PJ0) Usia 1 6 0 th (abnormalitas EKG, gejala saat aktivitas, sinkop mendadak)



Pemeriksaan khusus (Ekokardiografi, kateterisasi jantung, scan paru, EEG. tomografi komputerisasi)



0



""""('"'



1



PJO



2



I Ekokardiografi dan treadmill test



I



Irama sinus normal dengan gejala



1



Aritmia dengan



Tidak diagnostik



I



Studi elektrofisiologi



j a a TERAPi



Hentikan mencari penyeba; aritmia



P J O ~



b



0



b



1



01 Gejala beruiang



4



Tilt test, evaluas~psikiatri



Episode pertama



6



TERAPI



4 STOP



I Sering



I



Monitor EKG, tilt test, evaluasi psikiatri



I Tidak Sering



I tilt test, evaiuasi psikiatri



Gambar 1. Algoritme Diagnostik Sinkop (Sumber: Linzer M, et al, Ann Intern Med. 1997;126:989-96)



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



Episode pertama



I



STOP



SINKOP



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI kendaraan. Pada umumnya perawatan di rumah sakit diindikasikan pada pasien yang : Mempunyai riwayat penyakit arteri koroner, gagal jantung kongestif atau aritmia ventrikular Disertai gejala nyeri Gads Pada pemeriksaan fisik terdapat kelainan katup yang bermakna, gagal jantung,,kongestif, strok atau gangguan neurologis fokal Pada pemeriksaan EKG ditemukan gambaran : iskemia, aritrnia, interval QT memanjang atau blok berkas cabang Indikasi lain : Kehilangan kesadaran yang tiba-tiba disertai terjadinya cedera, denyut jantung yang cepat atau sinkop yang berhubungan dengan aktivitas Frekuensi kejadian makin meningkat, kemungkinan penyakit jantung koroner atau terdapat aritmia (misalnya pada pemakaian obat-obatan yang dapat menginduksi terjadinya torsades depointes). Hipotensi ortostatik sedang - berat Usia di atas 70 tahun Demikian pula dengan masalah izin mengemudikan kendaraan bermotor. Dokter yang merawat pasien dengan sinkop hams memberitahukan kemungkinan risiko yang dapat timbul bila pasien tersebut mengemudikan kendaraan, baik risiko terhadap dirinya maupun terhadap orang di sekitarnya. Sebagian ahli berpendapat seseorang yang pernah mengalami sinkop sebaiknya tidak diizinkan untuk mengemudikan kendaraan, karena terdapat kemungkinan sinkop berulang. Di AS dari AHA/NASPE dibuat suatu rekomendasi mengenai izin mengemudikan kendaraan bermotor bagi individu yang pernah mengalami episode sinkop, aturan ini dikenakan pada kejadian aritmia yang mengakibatkan kehilangan kesadaran, yaitu : Episode vasovagal ringan (hanya pre-sinkop saja, dengan tanda-tanda sebelum kejadian sinkop tersebut, hanya pada posisi berdiri, jelas faktor pemicunya, tidak sering frekuensi timbul serangan), tidak dikenai batasan dalam memperoleh izin mengemudikan kendaraan bermotor. Sinkop vasovagal berat (kehilangan kesadaran sepenuhnya, tanpa tanda-tanda sebelum kejadian sinkop tersebut, dapat timbul pada berbagai posisi tubuh, tanpa faktor pemicu yang jelas, frekuensi timbul serangan cukup sering), izin untuk mengemudikan kendaraan bermotor setelah sinkop teratasi dapat diberikan dengan pemantauan dalam 3 bulan. Sinkop vasovagal berat yang tidak diobati : izin untuk mengemudikan kendaraan bermotor sama sekali tidak dapat diberikan.



REFERENSI



Abboud FM, Neurocardiogenic syncope. N Engl J Med 1993; 328: 11 17-20. Alboni P, Menozzi C, Brignole M et al. An abnormal neural reflex plays a role in causing syncope in sinus bradycardia. J Am Coll Cardiol 1993;22: 1123-9. Alboni P, Brignole M, Menozzi C et al. The diagnostic value of history in patients with syncope with or without heart disease. J Am Coll Cardiol 2001; 37; 1921-8. Atkins D, Hanusa B, Sefcik T et al. Syncope and orthostatic hypotension. Am J Med 1991 ; 91 : 179-85. Benditt DG, Ferguson DW, Grubb BP et al. Tilt table testing for assessing syncope. American College of Cardiology, J Am Coll Cardiol 1996; 28: 263-75. Benditt DG, Lurie KG, Fabian WH : Clinical approach to diagnosis of syncope. An overview. Cardiol Clin 1997; 15: 165-76. Brignole M, Menozzi C, Gianfranchi L et al. Neurally mediated syncope detected by carotid sinus massage and head-up tilt test in sick sinus syndrome. Am J Cardiol 1989; 63: 58-65. Brignole M, Alboni P, Benditt D, Bergfeldt L, Blanc JJ, Thomsen PEB,Van Dijk J G Fitzpatrick A, Hohnloser S, Janousek J, et al. Guidelines on management (diagnosis and treatment) of syncope. Eur Heart J, 2001; 22: 1256-1306. Brugada J, Brugada R, Antzelevithch C et al. Long-term follow-up of individual with the electrocardiographic pattern of right bundle branch block and ST-segment elevation in precordial leads V1 to V3. Circulation 2002; 105: 73-8. Day SC, Cook EF, Funkenstein H et al. Evaluation and outcome of emergency room patients with transient loss of consciousness. Am J Med 1982; 73: 15-23. Denes P, Uretz E, Ezri MD et al. Clinical predictors of electrophysiologic findings in patients with syncope of unknown origin. Arch Intern Med 1988; 148: 1922-8. Fonarow GC, Feliciano Z, Boyle NG et al. Improved survival in patients with nonischemic advanced heart failure and syncope treated with an implantable cardioverter defibrillator. Am J Cardiol 2000; 85: 981-5. Hoefnagels WAJ, Padberg GW, Overweg J et al. Transient loss of consciousness : the value of the history for distinguishing seizure from syncope. J Neurol 1991; 238: 39-43. Knight BP, Goyal R, Pelosi F et al. Outcome of patients with nonischemic dilated cardiomyopathy and unexplained syncope treated with an implantable defibrillator. J Am Coll Cardiol 1999; 33: 1964-70. Krumholz HM, Douglas PS, Goldman L, Waksmonski C. Clinical utility of transthoracic two-dimensional and Doppler echocardiography. J Am Coll Cardiol 1994; 24: 125-3 1. Leitch JW, Klein GJ, Yee R et al. Syncope associated with supraventricular tachycardia : An expression of tachycardia or vasomotor response. Circulation 1992; 85: 1064-7 1. Linzer M et al. Syncope. Ann Intern Med 1997; 126: 989-96. Nienaber CA, Hiller S, Spielmann RP, Geiger M, Kuck KH. Syncope in hypertropic cardiomyopathy : multivariate analysis of the heart of prognostic determinants. J Am Coll Cardiolo 1990; 15: 948-55. Schnipper JL, Kapoor WN. Diagnostic evaluation and management of patients with syncope. In : Thakur RK, ed. The Medical Clinics of North America, WB Saunders Company, 2001; 85(2): 423-56. Zhang L, Timothy KW, Vincent GM et al. Spectrum of ST-T wave patterns and repolarization parameters in congenital long-QT syndrome : ECG findings identify genotypes. Circulation 2000; 102: 2849-55.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



GAGAL NAPAS AKUT Zulkifli Amin, Johanes Purwoto



PENDAHULUAN Gagal napas ialah ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan tubuh normal. Secara sederhana, peranan sistem pernapasan ialah mempertahankan PO,, PcO,, dan pH darah arteri tetap normal. Gagal napas dapat diakibatkan kelainan pada: Pam, jantung, dinding dada, otot pernapasan, mekanisme pengendalian sentral ventilasi di medula oblongata Meskipun tidak dianggap sebagai penyebab langsung gagal napas, disfungsi dari: jantung, sirkulasi paru, sirkulasi sistemik, transpor oksigen hemoglobin, dan disfungsi kapiler sistemik mempunyai peran penting pada gagal napas.



Gagal napas terjadi bila: 1). PO, arterial (Pao,) < 60 mmHg, atau 2). PCO, arterial (Paco,) > 45 mmHg, kecuali jika peningkatan PCO, merupakan kompensasi dari alkalosis metabolik. PaO, < 60 mmHg, yang berarti adanya gagal napas hipoksemia, berlaku bila bernapas pada udara ruangan biasa (fraksi 0, inspirasi [F,O, ] = 0,21), maupun saat mendapat bantuan oksigen. PaCO, > 45 mmHg yang berarti suatu gagal napas hiperkapnia. Pengecualian terhadap angka di atas terjadi pada keadaan asidosis metabolik. Tubuh pasien yang asidosis metabolik secara fisiologis akan menurunkan PaCO, sebagai kompensasi terhadap pH darah yang rendah. Tetapijika ditemukan PaCO, meningkat secara tidak normal, meskipun masih di bawah 45 mmHg pada keadaan asidosis metabolik, ha1 ini dapat dianggap sebagai gagal napas tipe hiperkapnia.



Efektivitas dan Efisiensi Sistem Pernapasan PO, arteri 100 mmHg menunjukkan oksigenasi darah arteri yang efisien. Fungsi pengeluaranleliminasi CO, yang efektif diperlihatkan dengan kadar PCO, arterial dibawah 40 mmHg, kadar ini hams pada status asam basa normal. Kondisi yang berbeda ditemukan pada dua orang pasien yang sama-sama mempunyai PO, arterial 100mmHg, tetapi pasien pertama bernapas pada suasana udara ruangan (F,o, = 0,21), sedangkan pasien kedua bernapas dengan 0,100 % (F,o, = 1,O). Pasien pertama melakukan pertukaran oksigen antara atmosfer dengan darah arteri secara lebih efisien. PaO, mengukur efektivitas oksigenasi; hubungan antara konsentrasi oksigen inspirasi dan Pao, merupakan petunjuk proses oksigenasi yang efisien. Pco, arterial menggambarkan fungsi efektivitas ventilasi. Dua orang pasien yang sama-sama mempunyai PCO, arterial 40 mmHg mempunyai ventilasi yang sama efektifnya. Tetapi jika pasien pertama membutuhkan ventilasi semenit yang lebih tinggi (volume udara respirasi dalam 1 menit) daripada pasien kedua, berarti pasien pertama kurang efisien dalam mengeliminasikan CO, daripada pasien kedua yang mempunyai ventilasi semenit yang lebih rendah. Jadi, PaCO, ialah ukuran efektivitas ventilasi; hubungan antara PaCO, dan ventilasi semenit (V,) merefleksikan efisiensi ventilasi. Pengukuran derajat inefisiensi oksigenasi dan ventilasi didiskusikan di bawah.



KLASlFlKASl GAGAL NAPAS Kelainan yang mempengaruhiparenkim paru (termasuk jalan napas, ruang-ruang alveolar, interstisial, dan sirkulasi pulmoner). Pasien dengan kelainan ini hampir selalu ditandai dengan hipoksemia, tetapi dapat disertai



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



atau tidak disertai hiperkapnia tergantung pada tipe spesifik penyakit dan derajat beratnya. Perubahan hubungan anatomik dan fisiologik antara udara di alveolus dan darah di kapiler paru menyebabkan hipoksemia. Contoh: Pneumonia bakterial, pneumonia viral, aspirasi isi lambung, Acute respiratory distress syndrome (ARDS), emboli paru, asma, penyakit paru interstisial.



Kelainan yang terutama mempengaruhikomponen nonparu sistem pernapasan. Tipe kelainan ini umumnya menyebabkan hiperkapnia. Contoh: Penyakit yang menyebabkan kelemahan otot pernapasan, penyakit sistem saraf pusat yang mengganggu pengendalian ventilasi, kondisi yang mempengaruhi bentuk atau ukuran dinding dada, seperti kifoskoliosis. Paru mungkin normal, tetapi hipoksemia yang tidak proporsional terhadap hiperkapnia yang terjadi dapat menandakan adanya keterlibatan paru. Sebagai contoh seorang pasien dengan kelemahan neuromuskular karena myasthenia gravis, mula-mula menunjukkan gagal napas hiperkapnia. Tetapi kemudian mengalami pneumonia karena ketidakmampuan membatukkan dahak, sehingga selain hiperkapnia juga timbul gagal napas hipoksemia.



Nilai 863 merupakan faktor yang menyesuaikan VCO, pada suhu dan tekanan standar, kering; menyesuaikan V, pada suhu dan tekanan tubuh, jenuh; dan menyesuaikan PaCO, dalam mmHg. Untuk output CO, yang konstan, hubungan antara PaCO, dan V, menggambarkan hiperbola ventilasi, dimana PaCO, dan V, berhubungan terbalik. Jadi, hiperkapnia selalu ekuivalen dengan hipoventilasi alveolar, dan hipokapnia sinonim dengan hiperventilasi alveolar. Karena ventilasi alveolar tidak dapat diukur, perkiraan ventilasi alveolar hanya dapat dibuat dengan menggunakan PCO, arterial dan rumus di atas.



Ventilasi semenit. Pada pasien dengan hipoventilasi alveolar, V,berkurang (dan PaCO, meningkat). Meskipun V, tidak dapat diukur secara langsung, jumlah total udara yang bergerak masuk dan keluar kedua paru setiap menit dapat diukur dengan mudah. Ini didefinisikan sebagai minute ventilation (ventilasi semenit, V,, Llmen). Konsep fisiologis yang berguna ialah menganggap bahwa V, merupakan penjumlahan dari V, (bagian dari V, yang berpartisipasi dalam pertukaran gas) dan ventilasi ruang rugi (dead space ventilation, V,):



vA=vE-vD



GAGAL NAPAS HIPERKAPNIA



Kemudian didapatkan rumus : Berdasarkan definisi, pasien dengan gagal napas hiperkapnia mempunyai kadar PCO, arterial (PaCO,) yang abnormal tinggi. Karena CO, meningkat dalam ruang alveolus, 0, tersisih di alveolus dan Pao, arterial menurun. Maka pada pasien biasanya didapatkan hiperkapnia dan hipoksemia bersama-sama, kecuali bila udara inspirasi diberi tambahan oksigen. Pam mungkin normal atau tidak pada pasien dengan gagal napas hiperkapnia, terutama jika penyakit utama mengenai bagian non parenkim paru seperti dinding dada, otot pernapasan, atau batang otak. Penyakit paru obstruktif kronis yang parah tidak jarang mengakibatkan gagal napas hiperkapnia. Pasien dengan asma berat, fibrosis paru stadium akhir, dan ARDS berat dapat menunjukkan gagal napas hiperkapnia. Patofisiologi



VCO, (Limen)=PaCO, (mmHg) x VE(Limenit)x (1- V,N,) 863 VDNTmenunjukkan derajat inefisiensi ventilasi kedua paru. Pada orang normal yang sedang istirahat, nilai V,/ V, sekitar 0,30, berarti sekitar 30 % dari ventilasi semenit tidak ikut berpartisipasi dalam pertukaran udara. Pada kebanyakan penyakit paru, proporsi V, yang tidak ikut pertukaran udara meningkat, maka VDNTmeningkat. Dari rumus di atas, untuk suatu VDNTyang konstan dan VCO, yang konstan, hubungan antara PaCO, dan V, digambarkan sebagai hiperbola yang bergeser ke atas dari hiperbola yang digambarkan oleh hubungan antara Paco, dan V,. Untuk nilai yang berbeda, hubungan ini digambarkan oleh kelompok kurva hiperbola yang sejajar (lihat gambar). Kurva-kurva ini bermanfaat untuk memperkirakan V,N,dari pengukuran PaCO, dan V,, atau dapat dipakai untuk menentukan perubahan V, yang diperlukan untuk merubah PaCO, yang diinginkan.



Hipoventilasi alveolar. Dalam keadaan stabil, pasien memproduksi sejumlah CO, dari proses metabolik setiap menit dan hams mengeliminasi sejumlah CO, tersebut dari kedua paru setiap menit. Jika keluaran semenit CO, (VCO,) menukarkan CO, ke ruang pertukaran gas di kedua paru, sedangkan V, adalah volume udara yang dipertukarkan di alveolus selama semenit (ventilasi alveolar), didapatkan rumus:



Mekanisme hiperkapnia. Hiperkapnia (hipoventilasi alveolar) terjadi saat: 1. nilai V, di bawah normal, 2. nilai V, normal atau tinggi, tetapi rasio VDNTmeningkat, 3. nilai V, di bawah normal, dan rasio V,NT meningkat.



VCO, (Llmen) = PaCO, (mmHg) x V, (Llmenit) x 1 863



Perlu ditekankan disini bahwa istilah hipoventilasi merujuk pada hipoventilasi alveolar, karenanya hiperkapnia



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



220



KEGAWATDARURATAN MEDIK DI BIDANC ILMU PENYAKlTDALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



dapat timbul meskipun ventilasi semenit lebih besar daripada normal, jika rasio VDNTtinggi atau keluaran CO, meningkat (pada saat aktivitas atau keadaan laju metabolisme meningkat yang lain). Ruang rugi alveolar dan rasio volume ruang rugi I volume tidal merupakan konsep fisiologi yang memudahkan kita mengerti mekanisme ini, tetapi tidak selalu mempunyai hubungan dengan anatomi. Trakea dan jalan napas menjadi penghantar pergerakan udara dari dan ke dalam paru selama siklus pernapasan, tetapi tidak ikut berpartisipasi pada pertukaran udara dengan darah kapiler paru. Komponen ini merupakan ruang rugi anatomis. Jalan napas buatan dan bagian dari sirkuit ventilator mekanik yang dilalui udara inspirasi dan ekspirasi juga merupakan ruang rugi anatomis. Pada pasien dengan penyakit paru, sebagian besar peningkatan ruang rugi total terdiri dari ruang rugi fisiologis. Ruang rugi fisiologis terjadi karena ventilasi regional melebihi jumlah aliran darah regional (ventilationpe@sion [VIQ] mismatching).Walaupun VIQ mismatching umumnya dianggap sebagai mekanisme hipoksemia dan bukan hiperkapnia, secara teori V/Q mismatching juga akan menyebabkan peningkatan PaCO,. Kenyataannya dalam hampir semua kasus, kecuali dengan VIQ mismatching yang berat, hiperkapnia merangsang peningkatan ventilasi, mengembalikan PaCO, ke tingkat normal. Jadi, VIQ mismatching umumnya tidak menyebabkan hiperkapnia, tetapi normokapnia dengan peningkatan V,. Seperti dapat dilihat pada gambar 1, peningkatan V, pada kondisi PaCO, normal menunjukkan peningkatan VD/VT- dalam ha1 ini, peningkatan ruang rugi fisiologis. Garnbaran Klinis Hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat (Tabel 1). Peningkatan PaCO, merupakan penekan sistem saraf pusat, tetapi mekanismenya terutama melalui turunnya pH cairan serebrospinal yang terjadi karena peningkatan akut PaCO,. Karena CO, berdifusi secara bebas dan cepat ke dalam cairan serebrospinal, pH turun secara cepat dan hebat karena hiperkapnia akut.



Hiperkapnia



Hipoksemia



Somnolen Letargi Koma Asteriks Tidak dapat tenang Tremor Bicara kacau Sakit kepala Edema papil



Ansietas Takikardia Takipnea Diaforesis Aritmia Perubahan status mental Bingung Sianosis Hipertensi Hipotensi Kejang Asidosis laktat



Peningkatan PaCO, pada penyakit kronik berlangsung lama sehingga bikarbonat serum dan cairan serebrospinal meningkat sebagai kompensasi terhadap asidosis respiratorik kronik. Hal ini menjelaskan bahwa kadar pH yang rendah lebih berkorelasi dengan perubahan status mental dan perubahan klinis lain daripada nilai PaCO, mutlak. Gejala hiperkapnia dapat tumpang tindih dengan gejala hipoksemia. Hiperkapnia menstimulasi ventilasi pada orang normal, pasien dengan hiperkapnia mungkin memiliki ventilasi semenit yang meningkat atau menurun, tergantung pada penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas. Jadi, dispnea, takipnea, hiperpnea, bradipnea dan hipopnea dapat berhubungan dengan gagal napas hiperkapnia. Pasien dengan gagal napas hiperkapnia akut hams diperiksa untuk menentukan mekanisme. Diagnosis banding utama ialah gagal napas hiperkapnia karena penyakit paru versus penyakit non-paru. Pasien dengan penyakit paru seringkali menunjukkan hipoksemia yang tidak sesuai dengan derajat hiperkapnia. Hal ini dapat dinilai menggunakan perbedaan PO, alveolar-arterial. Tetapi, pasien dengan masalah non-paru dapat pula mempunyai hipoksemia sekunder sebagai efek kelemahan neuromuskular (sebagai contoh) yang mengakibatkan atelektasis atau pneumonia aspirasi. Kelainan pada parukontras dengan kelainan komponen lain sistem pernapasan berhubungan dengan peningkatan VDNTdan, karenanya sering menunjukkan peningkatan V, dan frekuensi pernapasan. Tetapi, pada pasien dengan kelumpuhan otot pernapasan dapat juga ditemui takipnea. Efek dari hiperkapnia dan hipoksemia dapat menyamarkan gangguan neurologis, pengobatan berlebih dengan sedatif, mixedema, atau trauma kepala. Perubahan status mental dapat menyulitkan penilaian kekuatan otot, dan kekuatan otot ekstremitas dapat tidak berhubungan dengan kekuatan otot respirasi.



GAGAL NAPAS HlPOKSEMlA



Gagal napas hipoksemia jauh lebih sering dijumpai daripada gagal napas hiperkapnia. Pasien tipe ini mempunyai nilai PO, arterial yang rendah, tetapi PaCO, normal atau rendah. Paco, tersebut membedakannya dari gagal napas hiperkapnia, yang masalah utamanya ialah hipoventilasi alveolar. Selain pada lingkungan yang tidak biasa di mana atmosfer memiliki kadar oksigen yang sangat rendah, seperti ketinggian atau saat oksigen digantikan oleh udara lain, gagal napas hipoksemia menandakan adanya penyakit yang mempengaruhi parenkim paru atau sirkulasi paru. Contoh situasi klinis yang umum menunjukkan hipoksemia tanpa peningkatan PaCO, ialah pneumonia, aspirasi isi lambung, emboli paru, asma, dan ARDS.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Patofisiologi



Hipoksemia dan hipoksia. Istilah hipoksemia paling sering menunjukkan PO, yang rendah di dalam darah arteri (PaO,), dan dapat digunakan untuk menunjukkan PO, pada kapiler, vena dan kapiler paru. Istilah tersebut juga dipakai untuk menekankan rendahnya kadar 0, darah atau berkurangnya saturasi oksigen di dalam hemoglobin. Hipoksia umumnya berarti penurunan penyampaian (delivery) 0, ke jaringan atau efek dari penurunan penyampaian 0, ke jaringan. Hipoksemia berat akan menyebabkan hipoksia. Hipoksia dapat pula terjadi akibat penurunan penyampaian 0, karena faktor rendahnya curah jantung, anemia, syok septik, atau keracunan karbon monoksida, di mana Po, arterial dapat normal atau meningkat. Mekanisme hipoksemia. Mekanisme fisiologi hipoksemia mempunyai kegunaan dalam identifikasi tipe penyakit paru dan respons terapi. Mekanisme ini dibagi dalam dua golongan utama: 1). berkurangnya PO, alveolar, dan 2). meningkatnya pengaruh campuran darah vena (venous admixture). Jika darah vena yang bersaturasi rendah kembali ke paru, dan tidak mendapatkan oksigen selama perjalanan di pembuluh darah paru, maka darah yang keluar di arteri akan memiliki kandungan oksigen dan tekanan parsial oksigen yang sama dengan darah vena sistemik. PO, darah vena sistemik (PVO,) menentukan batas bawah PO, arteri. Bila semua darah vena yang bersaturasi rendah melalui sirkulasi paru dan mencapai keseimbangan dengan gas di rongga alveolar, maka PO, = PAO,. Maka PO, alveolar (PAO,) menentukan batas atas PO, arteri. Semua nilai PO, berada diantara PVO, dan PAO,. Hipoksemia arteri selalu merupakan akibat penurunan PO, alveolar, atau peningkatan jumlah darah vena bersaturasi rendah yang bercampur dengan darah kapiler pulmonal (campuran vena). Pada banyak pasien dengan gaga1 napas hipoksemik, kedua mekanisme ini berperan (Tabel 2). Penurunan PO, alveolar. Tekanan total di ruang alveolar



Mekanisme PO2 alveolar PO2 inspirasi Hipoventilasi Campuran darah vena Pirau kanan ke-kiri VIQ mismatching Keterbatasan difusi



ialah jumlah dari PO,, PCO,, PH,O, dan PN,. Bila PH,O dan PN, tidak berubah bermakna, setiap peningkatan pada PAC02akan menyebabkan penurunan PaO,, Hipoventilasi alveolar menyebabkan penurunan PAO,, yang menimbulkan penurunan PaO, bila darah arteri dalam keseimbangan dengan gas di ruang alveolus. Persamaan gas alveolar; bila disederhanakan, menunjukkan hubungan antara PO, dan PCO, alveolar:



PAO, = FiO, x PB



- P,co, R



FIo, ialah fraksi oksigen dari udara inspirasi. PB ialah tekanan barometrik, dan R ialah rasio pertukaran udara pernapasan, menunjukkan rasio steady-state CO, memasuki dan 0, meninggalkan ruang alveolar. Dalam praktek, PCO, arteri digunakan sebagai nilai perkiraan PCO, alveolar (PaCO,). PAO, berkurang bila PAco, meningkat. Jadi, hipoventilasi alveolar menyebabkan hipoksemia (berkurangnya PaO,). Persamaan gas alveolar juga mengindikasikan bahwa hipoksemia akan terjadi jika tekanan barometrik total berkurang, seperti pada ketinggian, atau bila FIO, rendah (seperti saat seseorang menghisap campuran gas di mana sebagian oksigen digantikan oleh gas lain). Hal ini juga akibat penurunan PaO,. Pada hipoksemia yang terjadi hanya karena penurunan PaO,, penurunan Pao, kira-kira sebanding dengan penurunan PaO,, dan perbedaan antara PaO, dan PaO, tidak berbeda bermakna. Perbedaan PO, alveolar-arteri adalah normal pada hipoksemia karena hipoventilasi.



Pencampuran vena (venous admixture). Meningkatnya jumlah darah vena yang mengalami deoksigenasi, yang mencapai arteri tanpa teroksigenasi lengkap oleh paparan gas alveolar. Perbedaan PO, alveolar-arterial (P(A-a, 0,) meningkat dalam keadaan hipoksemia karena peningkatan pencampuran darah vena. Dalam pernapasan udara ruangan, P(A-a,02normalnya sekitar 10 dan 20 mmHg, meningkat dengan usia dan saat subyek berada pada posisi tegak. Dalam pernapasan udara ruangan, FiO, = 0,2 1;jika R = 0,8, PaCO,= 40 mmHg, dan PaO, = 55 mmHg, maka :



PO2 pada P(A-~) 100% o2 0 2 (mmHg)



PaC02 (PACOz)



PA02



T J



J J



Normal



> 550 > 550



Ketinggian Penyakit neuromuskular, sindrom obesitas-hipoventilasi



Normal atau J Normal atau J Normal atau J



Normal Normal Normal



t t t



< 550 > 550 > 550



ARDS,defek septa1



Contoh



Pneumonia, asma, PPOK Proteinosis alveolar



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



222



KEGAWATDARURATAN MEDIK DI BIDANC ILMU PENYAKITDALAM



HANYA UNTUK PAO, = (0,21 x 713) 40 = 150 -DI 50 SCAN = 100 mmHg 0,8 dan



PC,-.,0, = 100 - 55 = 45 mmHg Pada contoh ini, ditemukan hipoksemia arterial (PaO, < 60 mmHg) dan P(,-a, 0, meningkat (> 20 mmHg). Disimpulkan bahwa hipoksemia terjadi karena salah satu penyebab meningkatnya pencampuran vena:



Pirau kanan ke kiri (right-to-left shunt). Sebagian darah vena sistemik tidak melalui alveolus, bercampur dengan darah yang berasal dari paru, akibatnya ialah pencampuran arterial dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru dengan PO, diantara PAO, dan PVO,. Nilai mutlak PO, tergantung pada proporsi darah yang tidak melalui paru clan nilai PAO, dan PVO,. Mekanisme hipoksemia ini dikenal sebagai pirau kanan-ke-kin. Hal ini dapat terjadi pada: kolaps lengkap atau atelektasis salah satu paru atau lobus sedangkan aliran darah dipertahankan, penyakit jantung kongenital dengan defek septum. ARDS, dimana dapat terjadi edema paru yang berat, atelektasis lokal, atau kolaps alveolar sehingga terjadi pirau kanan-ke kiri yang berat. Petanda terjadinya pirau kanan-ke kiri ialah: 1). Hipoksemia berat dalam pernapasan udara ruangan, 2). Hanya sedikit peningkatan Pa02jika diberikan tambahan Oksigen, 3). Dibutuhkan Fi02 untuk menca~ai yank! diinginkan, dan 4). Pa02 < 550 mmHg menda~at 0,100 %. Berdasarkan kesepakatan,jika PaO,< 550 rnmHg saat bemapas dengan 0, 1o0 %, dikatakan terjadi pirau kanan-ke kiri.



'



076



Ketidaksesuaian ventilasi-perfusi (ventilation-perfusion mismatching = VIQ mismatching). Merupakan penyebab hipoksemia tersering, terjadi ketidaksesuaian ventilasiperfbsi. Ketidaksesuaianini bukan disebabkan karena darah vena tidak melintasi daerah paru yang mendapat ventilasi seperti yang terjadi pada pirau kanan-ke-kiri. Sebaliknya beberapa area di paru mendapat ventilasi yang kurang dibandingkan banyaknya aliran darah yang menuju ke areaarea tersebut. Di sisi lain, beberapa area paru yang lain mendapat ventilasi yang berlebih dibandingkan aliran darah regional yang relatif sedikit. Darah, yang melalui kapiler paru di area yang hipoventilasi relatif, akan kurang mendapat oksigen dibandingkan keadaan normal. Hal tersebut menimbulkan hipoksemia darah arteri. Efek ketidaksesuaian V/Q terhadap pertukaran gas antara kapiler - alveolus seringkali kompleks, tetapi untuk kepentingan klinis, kelainan ini dapat disebabkan semua penyakit paru yang merubah distribusi ventilasi atau aliran darah. Contohnya ialah : Asma dan penyakit paru obstruktif kronik lain, dimana variasi pada resistensi jalan napas cenderung



dr.mendistribusikan PRIYO PANJI ventilasi secara tidak rata. Penyakit vaskular paru seperti tromboemboli paru, dimana distribusi perfusi berubah.



Petunjuk akan adanya ketidaksesuaian V/Q ialah Pao, dapat dinaikkan ke nilai yang dapat ditoleransi secara relatif mudah dengan pemberian oksigen tambahan.



Keterbatasan difusi (diffusion limitation). Keterbatasan difusi 0, merupakan jarang menyebabkan hipoksemia. Dasar mekanisme ini sering tidak dimengerti. Dalam keadaan normal, terdapat waktu yang lebih dari cukup bagi darah vena yang melintasi kedua paru untuk mendapatkan kesetimbangan gas dengan alveolus. Walaupun jarang, dapat terjadi darah kapiler paru mengalir terlalu cepat sehingga tidak cukup waktu bagi PO, kapiler paru untuk mengalami kesetimbangan dengan PO, alveolus. Keterbatasan difusi akan menyebabkan hipoksemia bila PAo, sangat rendah sehingga difusi oksigen melalui membran alveolar-kapilermelambat atau jika waktu transit untuk darah kapiler paru sangat pendek. Beberapa keadaan di mana keterbatasan difusi untuk transfer oksigen dianggap sebagai penyebab utama hipoksemia ialah: Penyakit vaskular paru Pulmonery alveolar proteinosis, keadaan di mana ruang alveolar diisi cairan mengandung protein dan lipid. Gambaran Klinis Manifestasi gagal napas hipoksemik merupakan kombinasi dari gambaran hipoksemia arterial dan hipoksia jaringan (Tabel 1). Hipoksemia arterial meningkatkan ventilasi rnelalui stimulasi kemoreseptor glomus karotikus, diikuti dispnea, takipnea, hiperpnea, dan biasanya hiperventilasi. Derajat respon ventilasi tergantung kemampuan mendeteksi hipoksemia dan kemampuan sistem pernapasan untuk merespons. Pada pasien hipoksemik dengan penyakit paru berat atau keterbatasan ventilasi, peningkatan ventilasi mungkin hanya ditemukan sedikit atau bahkan tidak ada, dan tidak ada hiperventilasi. Pada pasien yang terganggu fungsi glomus karotikusnya, tidak ada respon ventilasi terhadap hipoksemia. Mungkin didapatkan sianosis, terutama jelas di ekstremitas distal, tetapi juga didapatkan pada daerah sentral di sekitar membran mukosa dan bibir. Derajat sianosis tergantung pada konsentrasi hemoglobin dan keadaan perfusi pasien. Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibat pasokan oksigen yang tidak mencukupi ke jaringan, atau hipoksia. Hipoksia menyebabkan pergeseran metabolisme ke arah anaerobik, disertai pembentukan asam laktat. Peningkatan kadar asam laktat di darah akan selanjutnya merangsang ventilasi. Hipoksia dini yang ringan dapat menyebabkan gangguan mental, terutama untuk pekerjaan kompleks atau berpikir abstrak. Hipoksia yang lebih berat dapat menyebabkan perubahan status mental yang lebih lanjut,



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



C A W NAPAS AKUT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI seperti somnolen, koma, kejang, dan kerusakan otak hipoksik permanen. Aktivitas sistem saraf simpatis meningkat, sehingga turut menyebabkan terjadinya takikardia, diaforesis, dan vasokonstriksi sistemik, diikuti hipertensi. Hipoksia yang lebih berat lagi, dapat menyebabkan bradikardia, vasodilatasi, dan hipotensi, serta menimbulkan iskemia miokard, infark, aritmia, dan gagal jantung. Manifestasi gagal napas hipoksemik diperburuk oleh adanya gangguan hantaran oksigen ke jaringan (tissue oxygen delivery). Pasien dengan curah jantung yang berkurang, anemia, atau kelainan sirkulasi, dapat diramalkan akan mengalami hipoksia jaringan global dan regional pada derajat hipoksemia yang lebih dini. Contohnya ialah peningkatan risiko iskemia miokard dari hipoksemia pada pasien dengan aterosklerosis arteri koroner atau pasien dengan syok hipovolemik yang menunjukkan tanda-tanda asidosis laktat pada hipoksemia arterial ringan.



Oxygen Delivery. 0, delivery yang adekuat ke jaringan ialah fungsi sistem pernapasan yang paling penting, dan membutuhkan fungsi paru, jantung, dan sirkulasiyang normal. Deteksi dan penatalaksanaan gangguan 0, delivery sistemlk hams menjadi tujuan utama pada tatalaksana gagal napas, selain memperbaiki kelainan gas darah arteri. 0, delivery merupakan hasil dari konsentrasi 0, arteri (mL O,/L darah) dan curah jantung (Llmenit). 0,delivery (mLlmenit)



=



CaO, (mL O,/L darah)



x



Q (Limenit)



CaO, , mL 02/L darah = ( saturasi 0, x Hb, g/dL x 1,34 mL O,/g Hb + PaO,, rnrnHg x 0,003 mL O,/mrn Hg/dL) x 10. Perhitungan ini tidak membantu menentukan apakah darah dan 0 2 terdistribusi ke organ-organ dengan proporsi yang sesuai dengan kebutuhan organ tersebut, sehingga 0, delivery yang normal atau tinggi mungkin tidak cukup untuk beberapa kondisi tertentu seperti syok, sepsis atau penyakit hati stadium akhir. Hal-ha1 yang potensial menyebabkan penurunan 0, delivery ialah: 1. Penurunan konsentrasi 0, arteri yang dapat berkurang sebagai akibat: Penurunan saturasi 0, hemoglobin karena berkurangnya PaO, atau bergesernya kurva disosiasi oksihemoglobin ke kanan (karena asidemia, hipertermia, atau hemoglobinopati). Anemia, Karbon monoksida, yang akan menggantikan 0, karena afinitas terhadap hemoglobin yang tinggi, serta menggeser kurva disosiasi oksihemoglobinke kiri. Pergeseran ke kiri ini meskipun tampaknya meningkatkan konsentrasi 0, pada semua tingkat PaO,, akan menyebabkan kesulitan melepas oksigen ke jaringan. '



2. Penurunan curah jantung, yang tergantung dari: Aliran balik vena sistemik yang adekuat, fungsi ventrikel kanan dan kiri, resistensi pulmonar dan resistensi sistemik, frekuensi denyut jantung Hipoksemia dan asidosis mempengaruhi kontraktilitas miokard, atau dapat menimbulkan takikardia, bradikardia, atau infark miokard. Sepsis dan syok sepsis dapat menekan fungsi miokard. Ventilasi mekanik dengan tekanan tinggi mempengaruhijantung dan sirkulasi, di antaranya melalui berkurangnya aliran balik vena sistemik, compliance diastolik ventrikel kiri, peningkatan resistensi vaskular paru, serta perubahan afterload ventrikel kanan dan kiri. Tanda - tanda kurangnya 0, delivery terlihat dari pemantauan fungsi ginjal, hati, jantung, dan sistem organ lainnya. Asidosis laktat juga dapat menjadi petunjuk adanya gangguan 0, delivery.



TATALAKSANA GAGAL NAPAS AKUT Dasar-dasar Fisiologis Terapi Gaga1 napas hiperkapnia. Karena hiperkapnia berarti adanya hipoventilasi alveolar, tata laksana suportif bertujuan memperbaiki ventilasi alveolar menjadi normal, hingga penyakit dasar dapat diobati. Kadang-kadang ventilasi alveolar dapat ditingkatkan dengan mengusahakan tetap terbukanya jalan napas yang efektif - penyedotan sekret, stimulasibatuk, drainase postural, atau perkusi dada - atau dengan membuat jalan napas artifisial dengan selang endotrakeal atau trakeostomi. Alat bantu napas mungkin diperlukan untuk mencapai dan mempertahankan ventilasi alveolar yang normal sarnpai masalah primer diperbaiki. Meskipun secara teoritis ventilator mekanik dapat memperbaiki ventilasi sesuai yang diinginkan, pada pasien dengan hiperkapnia kronik hams hati-hati dalam menurunkan hiperkapnia. Hal ini karena koreksi PaCO, hingga batas normal pada kasus tersebut dapat menyebabkan alkalosis yang berat dan mengancam nyawa karena sudah terjadi kompensasi berupa peningkatan kadar bikarbonat serum. Hipoksemia sering ditemukan pada pasien dengan gagal napas hiperkapnik - terutama yang didasari oleh penyakit paru - dan pemberian oksigen tambahan seringkali dibutuhkan. Tetapi pada beberapa pasien dengan hiperkapnia, oksigen tambahan dapat berbahaya bila tidak dimonitor dan disesuaikan secara hati-hati. Kelompok pasien dengan penyakit paru kronik ini (obstruktif maupun restriktif) atau gangguan dinding dada (kifoskoliosis) tampaknya tidak sensitif lagi terhadap hiperkapnia dan tergantung pada hipoksemia sebagai pemicu ventilasi. Bila oksigen yang cukup diberikan untuk mengatasi hipoksemia, rangsang ventilasi menjadi tumpul dan pasien



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



224



KECAWATDARURATAN MEDIK DI BIDANC ILMU PENYAKITDALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



akan mengalami hipoventilasi. Pasien dengan gagal napas hiperkapnik karena overdosis obat sedatif atau botulisme, dan kebanyakan pasien dengan trauma dada, akan membaik seiring berlalunya waktu, dan penatalaksanaan terutama bersifat suportif. Penyakit primer yang membutuhkan terapi khusus ialah miastenia gravis, kelainan elektrolit, penyakit paru obstruktif, obstructive sleep apnea, dan miksedema.



Gagal Napas Hipoksemia Suplementasi oksigen ialah terapi terpenting untuk gagal napas hipoksemik. Pada penyakit berat seperti ARDS, mungkin diperlukan ventilasi mekanik, positive endexpiratoy pressure (PEEP) dan terapi respirasi tipe lain. Walaupun umumnya tidak didapatkan hiperkapnia, tetapi dapat terjadi karena beban kerja pernapasan menyebabkan kelelahan otot pernapasan. Perhatian terhadap transportasi oksigen penting, dan anemia berat hams dikoreksi serta curah jatung yang adekuat harus dipertahankan. Penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas hipoksemik hams diatasi, terutama jika pneumonia, sepsis, atau penyebab lain sebagai dasarnya. Tatalaksana dapat meliputi diuretika, antibiotik, dan bronkodilator selain tindakan-suportif lainnya. Pada beberapa pasien dengan penyakit paru yang tidak merata pada semua bagian paru (tidak mengenai kedua paru), memiringkan pasien pada posisi di mana area paru yang tidak terlibat atau yang kurang terlibat berada lebih bawah dapat meningkatkan oksigenasi. Hal ini karena gravitasi dan berat paru meningkatkan perfusi dan ventilasi ke derah paru yang tergantungllebih di bawah. Pasien dengan hemoptisis berat atau sekret Idahak banyak, tidak boleh ditempatkan pada posisi seperti ini karena kemungkinan akan terjadi aspirasi darah atau sekret ke area yang belum terlibat. Pada ARDS dengan edema paru nonkardiogenik yang difus, terdapat banyak pendapat yang menganjurkan pasien ditempatkan dalam posisi pronasi (tengkurap). Pasien yang berada pada posisi pronasi lebih jarang mengalami kolaps pada sisi paru yang tergantung. Selain itu lebih sedikit area paru yang mendapat penekanan oleh jantung atau isi abdomen. Pada beberapa pasien, perbaikan pada hipoksemia arterial bersifat sementara setelah perubahan dari posisi supinasi ke pronasi, tetapi pada banyak kasus efeknya bertahan selama minimal beberapa jamJalan napas (airway). Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi, dan pemberian obat-obatan pernapasan. pada semua pasien dengan gangguan pernapasan, harus dipikirkan dan diperiksa adanya obstruksijalan napas atas. Pertimbangan untuk insersijalan napas artifisial, seperti endotracheal tube (ETT) berdasarkan manfaat dan risiko jalan napas artifisial



dibandingkan jalan napas alami. Risiko jalan napas artifisial ialah trauma insersi, trauma orofaring atau nasofaring karena penekanan kronik, kerusakan trakea (erosi, trakeomalasia),gangguan respons batuk, risiko aspirasi meningkat, gangguan fungsi mukosiliar, risiko infeksi meningkat, tak dapat berbicara, dan meningkatnya resistensi dan kerja pernapasan. Keuntungan jalan napas artifisial ialah dapat melintasi obstruksijalan napas atas, menjadi rute pemberian oksigen dan obat-obatan, memfasilitasi ventilasi tekanan-positif dan PEEP, memfasilitasi penyedotan sekret, dan rute untuk bronkoskopi fiberoptik. Pada pasien dengan gagal napas akut, pilihan didasarkan pada apakah oksigen, obat-obatan pernapasan, dan terapi pernapasan via jalan napas alami cukup adekuat ataukah lebih baik denganjalan napas artifisial. Tatalaksana yang agresif sebelum intubasi dapat dicoba, dan hasilnya membimbing dokter untuk membuat keputusan. Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik ialah : Secara fisiologis: a). hipoksemia menetap setelah pemberian oksigenb). PCO, > 55 mm Hg dengan pH < 7,25, c). Kapasitas vital < 15 mL/kg dengan penyakit neuromuskular Secara klinis: a). Perubahan status mental dengan gangguan proteksi jalan napas, b). Gangguan respirasi dengan ketidakstabilan hemodinamik c). obstruksijalan napas atas (pertimbangkan trakeostomi jika obstruksi terletak di atas trakea), d). sekret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan oleh pasien, dan membutuhkan penyedotan Panduan untuk memilih pasien yang memerlukan intubasi endotrakeal di atas mungkin berguna, tetapi pengkajian klinis respons terhadap terapi seringkali lebih berguna lagi. Faktor lain yang perlu dipikirkan ialah ketersediaan fasilitas dan potensi manfaat ventilasi tekanan-positif tanpa ETT (ventilasi tekanan-positif noninvasif, NIPPV = NIV). Oksigen. Besarnya oksigen tambahan yang diperlukan tergantung pada mekanisme hipoksemia; tipe alat pemberi oksigen tergantung pada jumlah oksigen diperlukan, kecenderungan pasien dan dokter, potensi efek samping oksigen pada konsentrasi berbeda-beda, dan ventilasi semenit pasien. Karena oksigen konsentrasi tinggi merusak paru, hams diupayakan untuk meminimalkan jumlah dan lama terapi oksigen. Lebih lengkap mengenai terapi oksigen akan dibahas dalam bab tersendiri. Bronkodilator. Bronkodilator mempengaruhi langsung terhadap kontraksi otot polos, tetapi beberapa mempunyai efek tidak langsung terhadap edema dan inflamasi. Bronkodilator merupakan terapi utama untuk penyakit paru obstruktif, tetapi peningkatan resistensi jalan napas juga ditemukan pada banyak penyakit paru lainnya, seperti edema paru, ARDS, dan mungkin pneumonia.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Alat Low-flow delivery devices : m Kanul nasal Simple mask



0 2 flow rate (Urn)



Fi02



Keuntungan



2-6



0,24 - 0,35 Pasien nyaman



4 -8



0,24 - 0,40



2 - 12



0,25 - 0.50 F102 konstan dengan VE



Nonrebreathingmask



6 - 15



0,70 - 0,90 F102 tinggi



High-flow O2blender



6 - 20



0,50 - 0,90 F102 tinggi pada aliran total



High-flow delivery devices : Venturi mask



Agonis beta-adrenergik l simpatomimetik. Obat-obat ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan secara parenteral atau oral. Untuk efek bronkodilatasi yang sama, efek samping sangat berkurang bila dilakukan dengan rute inhalasi, sehingga dosis yang lebih besar dan kerja lama dapat diberikan. Terapi yang efektif mungkin membutuhkan jumlah agonis beta-adrenergik yang dua hingga empat kali lebih banyak daripada yang direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit obstruksi paru stabil. Peningkatan dosis (kuantitas lebih besar pada nebulisasi) dan peningkatan frekuensi pemberian (hingga setiap jam atau nebulisasi kontinu) seringkali dibutuhkan. Pemilihan jenis obat didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan pemberian, dan efek samping. Diantara yang tersedia ialah albuterol, metaproterenol, terbutalin. Epinefrin tidak digunakan karena tidak spesifik terhadap reseptor a,, juga tidak menunjukkan kelebihan dalam mengatasi bronkospasme dibandingkan obat lain yang lebih selektif. Agonis beta-adrenergik kerja lama (LABA), berguna untuk penggunaan kronik seperti mencegah bronkospasme, tetapi tidak direkomendasikan untuk serangan bronkospasme akut. Efek samping meliputi tremor, takikardia, palpitasi, aritrnia, dan hipokalemia. Efek kardiak pada pasien dengan penyakit jantung iskemik dapat menyebabkan nyeri dada dan iskemia, walaupunjarang terjadi. Hipokalemia biasanya dieksaserbasi oleh diuretik tiazid dan kemungkinan disebabkan oleh perpindahan kalium dari kompartemen ekstrasel ke intrasel sebagai respons terhadap stimulasi beta-adrenergik. Komplikasi yang jarang terjadi ialah perburukan karena eksaserbasi dari ketidakseusaian ventilasi-perfusi. Pada kasus ini, vasokonstriksi arteri pulmonar lokal yang wajar di area yang rendah rasio ventilasi-perfusinya, dinetralkan oleh efek obat. Antikolinergik. Respons bronkodilator terhadap obat antikolinergik (parasimpatolitik) tergantung pada derajat



Kerugian



F102 bervariasi dengan VE F102 bervariasi dengan VE



Aliran tidak adekuat pada F102 tinggi Tidak nyaman; F102 tidak dapat disesuaikan



tonus parasimpatis instrinsik. Obat-obat ini kurang berperan pada asma, di mana obstruksi jalan napas berkaitan dengan inflamasi, dibandingkan bronkitis kronik, dimana tonus parasimpatis tampaknya lebih berperan. Antikolinergik direkomendasikan terutama untuk bronkodilatasi pasien dengan bronkitis kronik. Pada gagal napas, antikolinergik harus selalu digunakan dalam kombinasi dengan agonis beta-adrenergik. Ipratropium bromida tersedia dalam bentuk MDI (metered-dose inhaler) atau solusio untuk nebulisasi. Efek samping jarang terjadi, seperti takikardia, palpitasi dan retensi urin.



Teofilin. Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan agonis beta-adrenergik. Mekanisme kerja ialah melalui inhibisi kerja fosfodiesterase pada AMP siklik (CAMP),translokasi kalsium, antagonis adenosin, stimulasi reseptor beta-adrenergik, dan aktivitas anti-inflamasi. Sekitar 90 % teofilin dimetabolisme di hepar menjadi metabolit tidak aktif dengan sistem sitokrom P450. Sistem enzim ini distimulasioleh merokok tembakau atau marijuana clan fenobarbital.Aktivitas enzirn ini menurun dengan adanya simetidin,eritromisin, kontrasepsi oral, dan banyak obat lain. Metabolisme teofilin sangat berkurang dengan demam, usia lanjut, berhenti merokok, atau dengan obat yang meningkatkan metabolisme, penyakit hati, dan gagaljantung. Efek samping meliputi takikardia, mual dan muntah. Komplikasi yang lebih parah ialah aritmia jantung, hipokalemia, perubahan status mental, dan kejang. ~



~



~~ ~ ~ kortikosteroid i k ~ dalam ~~ inflamasi jalan napas tidak diketahui pasti, tetaPi perubahan pa& sifat dan jumlah sel inflamasi telah didemonstrasikan setelah pemberian sistemik dan topikal. Kortikosteroid aerosol kurang baik distribusinya pada gagal napas akut, dan hampir selalu digunakan preparat oral atau parenteral. Efek samping kortikosteroid parenteral ialah hiperglikemia, hipokalemia, retensi natrium dan air, miopati



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI steroid akut (temtama pada dosis besar), gangguan sistem imun, kelainan psikiatrik, gastritis dan perdarahan gastrointestinal. Kortikosteroid inahalasi sangat jarang menimbulkan efek samping sistemik kecuali batuk, karena provokasi bronkospasme, dan kandidiasis oral dan faring. Kortikosteroid inhalasi yang lebih kuat mempunyai efek samping jangka panjang pada pertumbuhan, osteoporosis, dan perkembangan katarak. Penggunaan kortikosteroid bersama-sama dengan obat penghambat neuromuskular non-depolarisasi telah dihubungkan dengan kelemahan otot yang memanjang dan menimbulkan kesulitan weaning.



Ekspektoran dan nukleonik. Cairan per oral atau parented dapat memperbaiki volume atau karakteristik sputum pada pasien yang kekurangan cairan. Kalium yodida oral munglun berguna untuk meningkatkan volume dan menipiskan sputum yang kental. Penekan batuk seperti kodein dikontraindikasikan bila kita menghendaki pengeluaran sekret melalui batuk. Obat mukolitik dapat diberikan langsung pada sekret jalan napas, temtama pada pasien dengan ETT. Sedikit (35 ml) Na CI 0,9 %, salin hipertonik, dan natrium bikarbonat hipertonik juga dapat diteteskan sebelum penyedotan (suctioning)dan bila berhasil akan keluar sekret yang lebih banyak. Asetilsistein memsak ikatan disulfid pada protein sputum dan dapat menjadi obat mukolitik yang h a t . Tetapi asetilsistein yang diaerosolisasi kurang efektif dan dapat merangsang bronkospasme pada penderita asma. Jika diperlukan, sedikit asetilsitein dapat diberikan saat lavase dengan bronkoskopi fleksibel pada jalan napas yang bermasalah. Karena beberapa kualitas abnormal sputum disebabkan DNA yang berasal dari penghancuran sel, enzim yang melisiskan DNA (DNAase) dapat bermanfaat, tetapi belum disetujui untuk pemakaian pada pasien PPOK atau asma.



TATALAKSANA LAIN Fisioterapi dada dan nutrisi mempakan aspek tata laksana yang perlu diintegrasikan dalam tata laksana menyeluruh gagal napas akut. Pemantauan hemodinamik dilakukan sesuai kondisi dan umumnya meliputi pengukuran mtin frekuensi denyut jantung, ritme jantung, tekanan darah sistemik, tekanan vena sentral, dan penentuan hemodinamik dengan teknik



yang lebih invasif seperti kateterisasijantung kanan. Perlu diperhatikan bahwa pengukuran tekanan vena sentral (CVP) dipengamhi positive end-expiratory pressure (PEEP). Pada kateterisasijantung kanan penderita dengan resistensi vaskular paru yang meningkat (emfisema, emboli pam, dan penyakit vaskular paru lainnya), tekanan diastolik arteri pulmonar (PAD) tidak dapat menggambarkan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVEDP). Hasil perhitungan curahjantung dengan metode Fick juga terpengamh pada gagal napas akut, karena ketidakakuratan pengukuran konsumsi oksigen saat fraksi oksigen inspirasi melebihi 0,6. Pemantauan respirasi meliputi frekuensi napas, penilaian mekanika respirasi, pertukaran udara, dan h g s i terintegrasi sistem kardiovaskular dan respirasi. Ventilasi Mekanik Mengenai ventilasi mekanik akan dibicarakandalam judul tersendiri.



REFERENSI Amin Z. Acute Respiratory Distress Syndrome. 20d National Symp. Cardiovascular, Respiratory and Immunology, Jakarta Mei 2003 Bellini LM. Nutrition in Acute Respiratory Failure. In Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM (eds). Fishman's Manual of Pulmonery Diseases and Disorders. New York: McGraw-Hill. 2002. 1082-9). Bellini LM, Grippi MA. Hemodynamic and Respiratory Monitoring in Acute Respiratory Failure. In Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM (eds). Fishman's Manual of Pulmonery Diseases and Disorders. New York: McGraw-Hill. 2002. 1064-72.) Brochard L, Mancebo J, Elliot MW. Noninvasive ventilation for acute respiratory failure. Eur Respir J, 2002; 19:7 12-21. Colin Selby. Respiratory Medicine: An Illustrated Colour Text. Edinburgh: Churchill Livingstone, 2002:70-1. Consensus Conference Report: Clinical indications for noninvasive positive pressure ventilation in chronic respiratory failure due to restrictive lung disease, COPD and nocturnal hypoventilation. Chest, 1999;116:521-34. Make BJ et al. Mechanical ventilation beyond the intensive care unit. Report of a consensus conference of the American College of Chest Physicians. Chest, 1998; 113(Suppl):289S-344s. Sue DY, Lewis DA. Respiratory Failure. In Bongard FS, Sue DY (eds). Current Critical Care Diagnosis and Treatment. New York: Lange Medical BooksMcGraw-Hill, 2002:268-304. Wysocki M, Antonelli M. Noninvasive mechanical ventilation in acute hypoxaemic respiratory failure. Eur Respir J, 2001;18:20920.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



RESUSITASI JANTUNG PARU Arif Mansjoer



PENDAHULUAN Resusitasi jantung paru merupakan upaya pertolongan pertama pada orang tidak sadar yang mengalami henti jantung atau henti napas. Perkembangan upaya pertolongan ini memiliki sejarah yang panjang. Tercatat pada tahun 1740 Paris Academy of Science secara resmi merekomendasikan resusitasi mulut ke mulut pada korban tenggelam. Selanjutnya metode resusitasi terus berkembang hingga Peter Safar tahun 1950-an mengembangkan pengendalianjalan napas (airway control) serta metode pernapasan buatan dari mulut ke mulut dan W.B. Kouwenhoven tahun 1960.mengembangkan metode pijat jantung dada tertutup (closed-chest cardiac massage). Selanjutnyakedua metode ini dipadukan menjadi resusitasi jantung paru (RJP). Pada tahun 1974 American Heart Association merekomendasikan dan mensosialisasikan metode resusitasi jantung paru. Sistem ini kemudian digunakan dan dikembangkan di seluruh dunia. Pada tahun 2005 perhimpunan berbagai organisasi bidang resusitasi di dunia bersepakat membentuk suatu komite pemersatu (ILCOR)bertemu dan membuat konsensus dan rekomendasi. International Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR) yang dibentuk tahun 1993 merupakan organisasi yang terdiri dari berbagai organisasi resusitasi di dunia dan dibentuk untuk melakukan pengkajian berbagai ilmu pengetahuan resusitasi secara sistematis dan membuat rekomendasinya. ILCOR telah dua kali mengadakan konferensi, yaitu pada tahun 1999 dan 2005. Pada konferensi pertama dihasilkan Guidelines 2000 for Cardiopulmonaly Resuscitation (CPR) and Emergency Cardiovascular Care (ECC). Sedangkan pada konferensi kedua di Texas pada 23-30 Januari 2005, yang diikuti 249 peserta dari 18 negara dikeluarkan konsensus internasional yang memuat kesimpulan dan rekomendasi pengobatan berdasarkan bukti ilmiah (evidence-based medicine).



Pada rekomendasi ILCOR 2005 terdapat beberapa perubahan mendasar dalam tata laksana resusitasi. Beberapa ha1 penting dalam rekomendasi resusitasi jantung paru 2005: Tekanan dan rekomendasi perbaikan efektivitas tindakan kompresi dada Rasio kompresi dan ventilasi yang sama oleh penolong pada semua korban (kecuali bayi baru lahir) Rekomendasibahwa setiap napas buatan diberikan selama 1 detik dan hams dapat menyebabkan kenaikan dada. Rekomendasi satu shock segera diikuti resusitasi jantung paru yang digunakan saat defibrilasi korban henti jantung akibat fibrilasi ventrikular. Irama jantung diperiksa setiap 2 menit. Perubahan yang ada menitikberatkan pada informasi tentang cara melakukan resusitasi jantung paru lebih sederhana sehingga mudah dipelajari, mudah diingat, dan mudah dilakukan. Hal penting lainnya adalah semakin diminimal waktu terputusnya kompresi dada sehingga aliran darah ke organ vital dapat dipertahankan. Rekomendasi hasil konsensus terakhir tersebut dibuat sebagai panduan pembentukan pedoman resusitasi bagi para anggota ILCOR. Di Arnerika, misalnya, American Heart Association (AHA) membuat '2005 American Heart Association Guidelinesfor Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care' sedangkan di Eropa, European Resuscitation Council (ERC). Panduan yang dibuat dari rekomendasi ILCOR 2005 banyak berbeda dengan panduan-panduan yang ada sebelumnya.



KEBERHASILAN RESUSITASI JANTUNG PARU Hentijantung mendadak telah menjadi penyebab kematian utama di dunia. Di Eropa 700.000 kematian per tahun disebabkan oleh henti jantung mendadak. Di Amerika



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



228



KEGAWATDARURATAN MEDIK DI BIDANC ILMU PENYAKITDALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



(kompresi dada dan pemberian napas buatan) ditambah defibrilasi. Sedangkan pada trauma, overdosis obat, tenggelam, dan kebanyakan anak mekanisme henti jantungnya adalah asfiksia di mana resusitasi terbaiknya adalah pemberian napas buatan. Agar resusitasi korban, baik fibrilasiventrikular maupun asfiksia, dapat berhasil ada 4 langkah penting yang dikenal dengan konsep Chain of Survival, yaitu: 1. Pengenalan dini keadaan gawat (emergency) dan meminta bantuan pelayanan gawat darurat medis atau pelayanan medis setempat. Pertolongan dini dan efektif dapat mencegah henti jantung. 2. Resusitasi jantung paru dini oleh penolong. Resusitasi segera dapat menyelamatkan hidup dari henti jantung akibat fibrilasi ventrikular dua hingga tiga kali lipat. 3. Defibrilasi dini. Resusitasi jantung paru ditambah defibrilasi dalam 3-5 menit pertama terjadinya kolaps dapat menyelamatkan hidup hingga 49-75%. Tiap menit penundaan defibrilasi mengurangi kemungkinan selamat sebanyak 10-15%.



insidensnya 0,55 kematian per 1.000 populasiltahun dengan kematian karena penyakit arteri koroner di luar rumah sakit atau unit gawat darurat sebesar 330.000 kematian per tahun sedangkan di dalam rumah sakit 250.000 kematian per tahun. Empat puluh persen korban henti jantung mendadak mengalami fibrilasi ventrikular (VF) saat pertama kali diperiksa. Namun sedemikian banyaknya fibrilasi ventrukular atau takikardia ventrikular yang terjadi pada henti jantung mendadak, saat dilakukan rekaman elektrokardiogram irama jantung telah berubah menjadi asistol. Fibrilasi ventrikular merupakan depolarisasi dan repolarisasi yang cepat dan tidak teratur di mana jantung kehilangan fungsi koordinasi dan tidak dapat memompa darah secara efektif. Banyak korban henti jantung dapat ditolongjika penolong segera bertindak saat masih terdapat fibrilasi ventrikular, namun sebaliknya resusitasi kurang berhasil bila irama jantung telah asistol. Tindakan terbaik yang dapat diberikan pada henti jantung akibat fibrilasi ventrikel adalah resusitasi segera



I



Unresponsive?



I



S h o u t for h e l p



call EMSlResuscltation Team



+ Give 30 chest Compressions (almost 2 cornpressionslsecond) followed b y 2 breaths Continue until1 def~brillatorlrnonttoris attached.



C



I



D



Non-Shockkable (PEAIAsystole)



Shockkable (VFIPulseless VT) Advanced Life Support



I



w



w



Durlng C P R Maintam open alrway Ventilate and oxygenate Obtaln vascular access Verify electrodelpaddle postion and contact Correct revers~blecauses



Immediately r e s u m e CPR 30 compressions. 2 breaths x 5 cycles



Consrder A ~ r w a yadjunct Vasopressorslantiarrhythm~cs



I



Glve 1 shock



Monltor and Manager GlucoseltemperaturelC0,lelectrolytes



Gambar 1. Algor~tmeumum penanganan hent~jantung (ILCOR, 2005)



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



Immediately resume CPR 30 c o m p r e s s ~ o n s 2 breaths x 5 cycles



,



RESUSITASIJANTUNC PARU



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 4. Bantuan hidup lanjut dini dan perawatan pascaresusitasi. Kualitas pengobatan selama fase pascaresusitasi akan mempengaruhi hasil (outcome). Weisfeldt dan Becker (2005) mengemukakan 3 fase henti jantung akibat fibrilasi ventrikular. Fase pertama adalah fase elektrik yag berlangsung dalam 4 menit pertama henti jantung. Tindakan yang penting pada fase ini adalah defibrilasi. Fase kedua adalah fase sirkulasi (hemodinamik) fase ini berlangsung antara 4 sampai 10 menit pertama. Pada fase ini yang penting adalah kompresi dan ventilasi untuk memberi perfusi pada otak dan jantung. Sedangkan fase ketiga adalah fase metabolik yang berlangsung setelah 10 menit henti jantung. Pilihan pada fase ini adalah memberi kesempatan pada otak untuk recovery atau menurunkan kebutuhan oksigen otak dengan cara terapi hipotermia.



HENTIJANTUNG DAN RESUSITASIJANTUNG PARU Henti jantung adalah keadaan terhentinya aliran darah dalam sistem sirkulasi tubuh secara tiba-tiba akibat terganggunya efektivitas kontraksi jantung saat sistolik. Berdasarkan etiologinya henti jantung dapat disebabkan oleh penyakit jantung (82,4%); penyebab internal nonjantung (8,6%) seperti akibat penyakitparu, penyakit serebrovaskular, penyakit, kanker, perdarahan saluran cerna, obstetriwpediatrik, emboli paru, epilepsi, diabetes melitus, penyakit ginjal; dan penyebab eksternal nonjantung (9,0%) seperti akibat trauma, asfiksia, overdosis obat, upaya bunuh diri (selain yang telah disebutkan), listriwpetir. Henti jantung dibedakan berdasarkan aktivitas listrik jantung (elektrokardiogram), yaitu asistol, aktivitas elektrik tanpa nadi (pulseless electrical activity, PEA), fibrilasi ventrikel (VF), clan takikardia ventrikel tanpa nadi (pulseless VT). Tindakan resusitasi jantung paru dilakukan oleh tenaga medis bila sudah ditegakkan masalah henti jantung. Resusitasi jantung paru tidak dimulai bila pasien memiliki keterangan DNAR (do not attemptresuscitation), pasien memiliki tanda kematian yang ireversibel (seperti rigormortis, dekapitasi, dekomposisi, atau pucat), atau tidak ada manfaat fisiologis yang dapat diharapkan karena hngsi vital telah menurun walau telah diberi terapi 'maksimal (seperti syok septik atau syok kardiogenik yang progresif). RJP dihentikan bila sirkulasi dan ventilasi spontan secara efektif telah membaik, perawatan dilanjutkan oleh tenaga medis di tempat rujukan atau di tingkat perawatan yang lebih tinggi, ada kriteria yang jelas menunjukkan sudah terjadi kematian yang ireversibel, penolong sudah tidak dapat meneruskan tindakan karena lelah atau ada keadaan lingkungan yang membahayakan atau meneruskan tindakan resusitasi akan menyebabkan orang lain cedera, atau keterangan DNAR diperlihatkan kepada penolong



BANTUAN HIDUP DASAR Bantuan hidup dasar (basic life support) adalah suatu tindakan Pada saat pasien ditemukan dalam keadaan tiba-tiba tidak bergerak, tidak sadar, atau tidak bernapas, maka periksa respons pasien. Bila pasien tidak respons, aktifkan sistem darurat dan lakukan tindakan bantuan hidup dasar. Singkatan ABCD sudah terkenal luas dan mempermudah tata laksana pasien henti jantung. ABCD tersebut adalah airway, breathing, circulation, dan defibrillation. Airway adalah upaya untuk mempertahan kan jalan napas yang dapat dilakukan secara noninvasif maupun invasif. Breathing adalah upaya memberikan pernapasan atau ventilasi. Circu lation adalah upaya mempertahankan sirkulasi darah baik dengan obat-obatan maupun dengan kompresi dada ('jantung). Pembukaan jalan napas dengan teknik noninvasif dilakukan dengan cara mengekstensikan kepala (head tilt) serta mengangkat dagu (chin lift). Membuka jalan napas dengan mengangkat rahang (jaw trust) dilakukan bila dicuriga ada trauma kepala (fraktur vertebra servikal). Penilaian pernapasan (breathing) dengan memantau atau observasi dinding dada pasien dengan cara melihat (look) naik dan turunnya dinding dada, mendengar (listen) udara yang keluar saat ekshalasi, dan merasakan (feel) aliran udara yang menghembus di pipi penolong. Bila pasien bernapas, posisikan pasien dalam posisi pemulihan. Bila pasien tidak bernapas atau pernapasan tidak adekuat, berikan napas buatan 2 kali. Setiap napas diberikan 1 detik dan terlihat menaikkan dinding dada. Penilaian sistem sirkulasi darah (Circulation) dilakukan dengan menilai adanya pulsasi arteri karotis. Penilaian ini maksimal dilakukan selama 5 detik. Bila tidak ditemukan nadi maka dilakukan kompresi jantung yang efektif, yaitu kompresi dengan kecepatan 100 x/m, kedalaman 4-5 cm, memberikan kesempatan jantung mengembang (pengisian ventrikel), waktu kompresi dan relaksasi sama, minimalkan terputusnya kompresi dada, dan rasio kompresi dan ventilasi 30:2. Salah satu faktor keberhasilan penanganan henti jantung adalah defibrilasi dini (early de$brillation). Resusitasi jantung paru yang disertai dengan defibrilasi dini (dalam 3-5 menit henti jantung) akan memberikan angka kesintasan 49-75% dan tiap keterlambatan defibrilasi 1 menit maka kesintasan akan menurun 10- 15. Berdasarkan ha1 tersebut dikembangkan alat yang dapat mengenali irama jantung, menganalisis dan memberikan instruksi tindakan yang perlu dilakukan. Alat yang disebut AED (automated axternal defibrillator) ini diletakkan di tempat-tempat umum dan dapat dapat digunakan oleh orang awam pada pasien henti jantung di luar rumah sakit.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



230



KECAWATDARURATAN MEDIK DI BIDANCILMU PENYAKIT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Tidak ada gerakan atau respon



4 Hubungi 911 atau nomor kontak gawat darurat Mlnta alat defibrllasl atau klrlmkan tenaga penyelamat kedua jlka ada untuk mendapatkannya



1 Bebaskan jalan napas cek pernapasan



1 J~kat~dakbernapas, benkan 2 kal~napas bantuan yang membuat dada terangkat



I........................................... j



:



1



jlka ttdak ads respon, cek nadl apakah secara jelas teraba nad~ dalam waktu 10 det~k?



:



Nad~ teraba leks:



.........................J



:..................



:...0enmn ......sat" ....k.~..lnapas l. *..h.* a e* n* .j .. g ; l ~ $ y G ~ ~ m sj n n -.............................



hdak ada nad~ Berlkan slklus 30 kall kompres~dan 2 kal~napas bantuan hlngga defibnlator t~ba,penyed~abantuan hldup lanjut mengambll al~h. atau korban bergerak. Tekan kuat dan cepat (100 kalllmen~t)dan lepaskan penuh Mlnlmalkan ~ n t e ~ pada p s ~ kompresl



1 Defibrllator tlba



1 Ritme shockable'



Berlkan satu kal~tembakan (shock) Segera ulang~RJP 5 slklus



Segera ulangi RJP 5 slklus Cek r~trnetlap 5 slklus, lanjutkan hlngga penyed~abantuan hldup lanjut mengambll allh atau korban bergerak



Gambar 2. Algoritma bantuan hidup dasar



(AHA,



-



2005)



Gambar 3. T~ndakan-tindakanbantuan h~dupdasar: a. Evaluas~respons pasien, b Minta pertolongan, c.Amankan j a l a n napas, d. Evaluas~pernapasan pasien, e. Pernber~annapas buatan, f. Kornpres~d~ndingdada.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



RESUSITASI JANTUNG PARU



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI BANTUAN HlDUP LANJUT



Gambar 4. Posisi pernulihan



Gambar 5. Kornpresi dindrng dada dilakukan di trtrk tengah sternum. Saat rnelakukan kompres~dada rnaka tekanan rntratoraks meningkat dan jantung paru akan tertekan. Darah darr jantung (ventrikel krrr) akan terpompa ke sistem sirkulasi. Saat kompresr dilepas (dekornpresr) maka tekanan intratoraks rnenurun dan jantung-paru akan rnendapat kesernpatan pengrsran volume



-1



L



-,.Js-



Gambar 6. Automated external defibrillator diletakkan di ternpat urnurn dan drgunakan saat diternukan pasien yang dicurigai rnengalarni hentr jantung



Bantuan hidup lanjut (AvancedLife Support) dilakukan di fasilitas kesehatan. Tindakan bantuan hidup dasar tetap dipertahankan dan dilengkapi oleh bantuan hidup lanjut. Pada manajemen jalan napas (airway), tindakan yang dilakukan adalah mempertahankan patensi jalan napas dengan head tilt-chinlifi bila perlu gunakan oropharyngeal airway atau nusopharyngeal ainzq*.Tindakan lanjut seperti intubasi endotrakeal atau penggunaan laryngeal mask ainvuy (LMA) dapat dilakuan. Suplementasi oksigen diberikan dan nilai oksigenasi dan ventilasi dengan melihat naiknya dinding dada, saturasi oksigen, kapnograf. Pada pasien yang sudah menggunakan pipa endotrakeal (endotracheal tzrhe) maka ventilasi dapat diberikan dengan frekuensi kali permenit dan kompresi dinding dads dapat dilakukan 100 kali permenit tanpa terputus. Periksa posisi pipaendotrakeal baik dengan auskultasi atau kapnograf Fiksasi pipa enfotrakeal agar tidak mudah lepas. Untuk menjarnin akses vascular maka pada pasien perlu dipasang akses intravena. Lead EKG dipasang untuk memantau adanya aritmia atau henti jantung (asistol, PEA, VF, atau VT tanpa nadi). Sesuai indikasi berikan cairan dan obat untuk mengatur:irama seperti amiodaron, lidokain, sulfas atropine, magnesium; mempertahankan tekanan darah seperti epinefrin, dopamin. Panduan algoritma penanganan henti jantung dibagi menjadi dua, yaitu henti jantung yang dapat dilakukan



Gambar 7. Langkah-langkah pernasangan AED (automated external defibrillator): a. buka tutup tas atau kotak AED, dengarkan instruksi yang terdengar dari mesin AED, b,c,d. ternpelkan elektroda sternal pada srsr kanan sternal dr bawah klavrkula dan elektroda apeks di srsi lateral apeks pada garis aksilar~santerior, e,f,g,h ikuti instruksr rnenghentikan kompresi dada saat rnesin AED rnenganalrsis,tidak memegang pasien saat mesin AED rnelakukan shock, rnelanjutkan kompresi dada, dan pernberran napas buatan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI .



-



Pulseless Arrest Algoritme bantuan hldup dasar: memlnta bantuan. lakukan RJP Berlkan okolgen jika tersedia Pasang rnonitor/defibrilator jika tersedia



Shockable



Not Shockable



1



1



Rltme shockable7



AststolelPEA



VFlVT



1



1 I



-



Segera ulangi RJP cabanyak 5 siklus Jlka tersedla akses IV atau 10, berlkan vasopresor' Eplnafrln 1 mg lVllO Uiango llap 3 hingga 5 menlt atau Berlkan satu dosis vasopresin 40 U lVllO untuk mengganttkan eplnefnn dosls pertama alau kedua



Berikan 1 kali tembakan (shock) Blfaslk manual: sesual alat. (pada umumnya 120 hingga 200 J) Calatan: jika tdak diketahui, gunakanZOOJ A E D sesuai alat Monofaslk 360 J



--



Berikan 5 slklus RJP Cek rllme Rltme shockable?



Lanjutkan RJP bersamaan dengan defibriiator menglsi (charging) Berlkan 1 kall tembakan (shock) Bifasik manual: sesuai alat (sarna atau lebih tinggi dlbandlngkan dengan tembakan perlama) Calatan: jika tidak diketahui, gunakan 200 J AEO: sesuai alat Mondasik: 360 J Segera ulangi R I P sstelah tembakan Jtka tersed~aakses iV atau 10. berikan vas+msw selama RJP (sebelum atau sesudah tembakan) Eponefrln 1 mg IVIIO Ulangi t~ap3 hlngga 5 mend atau Berikan salu dosis vasopresin 40 U lVllO untuk menggantikan ep~nefnndosis pertama atau kedua



. .. .. .



v



Berikan 5 siklus RJP



Not Shockable



Jlka asistole, ianjutkan ke kotak 5 Jlka terdapat aktlvltas Ihslrlk, cek nadl J,ka t~dakada "ad,, lanjulkan ke kotak 10 J~katerdapat nadl. mula#tatalaksana poslresusltasl



Rltme shockable?



-



Berlkan 1 kali tembakan (shocg Bifasik manual: sesuai ala? M m a atau lebih tinggi dibandingkan dengan tembaian peltama) Calatan. jlka tidak dikelahui, gunakan 200 J AED: sesua! aiat Monofaslk 360 J Segera ulangi RJP setelah tembakan Pertlmbangkan pernbenan antlantmla, berikan sepanjang RJP dilakukan (sebeium atau sesudah tembakan). Amlodaron (300 mg iVliO satu kali) atau lidokain (1 sampai 1 5 mglkgBB dosis pertama. lalu 0.5 sampai 0.75 mglkgBB IV atau 10.rnakslmal 3 dosls atau 3 mgikgBB Pertimbangkan pembenan magneslum. dosls permulaan 1 hingga 2 g iV/IO untuk tarsades de polntes Setelah 5 slklus RJP, lanptkan ke kotak 5



Shockable



4



Saal RJP Tekan kuat dan cepat (100 kalilmenlt) Pastikan dada mcoll sempurna Minirnalkan lnterupsi pada kompresi dada . Satu slklus RJP. 30 kompresl dllanjutkan 2 kall napas bantuan: 5 S I ~ I U=S 2 mentt Hlndarl hlperventllasl Amankan iaian napas dan konf~rmasiposisl Lakukan rotas, tompresortlap 2 menotdengan pengecekan rltme Tentukan dan atasi faktor penyebab: o Htpovolemia o Hlpoksla o ton Hldrogen (asidosis) o Hipolh~perkalemia o Htpogllkemla o Hlpotermla o Toksln o Tampo"?.de, jantung o Tenslon pneumolhorax o Trombosls (koroner atau paru) o Trauma



-



Gambar 8. Algoritma bantuan lanjut dasar (AHA, 2005)



defibrilasi (fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel tanpa nadi) dan yang tidak dapat dilakukan defibrilasi (asistol dun pulseless electrical activity). Saat melakukan bantuan hidup lanjut, maka penyebab henti jantung yang reversible hams dicari dan diatasi. Penyebab yang reversible adalah 6H dan 6T, yaitu Hypovolemia, Hypoxia, Hydrogen ion (asidosis), Hypo-/ Hyperkalemia, Hypoglycemia, hypothermia, Toxins, Tamponade Jantung, Tension pneumothorax, Thrombosis coronary, Thrombosis pulmonary), dan Trauma.



PENUTUP Perubahan pada rekomendasi tahun 2005 didasarkan pada upaya mengurangi waktu terputusnya kompresi yang merupakan waktu perfusi. Perubahan besar adalah kapan CPR dimulai, rasio kompresi:ventilasi 30:2, perkembangan AED, dan strategi 1-shock diikuti kompresi-ventilasi. Ilmu pengetahuan tentang resusitasi jantung paru terus berkembang. Pedoman saat ini akan berkembang dan berubah di kemudian hari. Saat ini prinsip resusitasi tetap early recognition and call for help, early CPR, early



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



233



RESUSITASIJANTUNC PARU



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI defibrillation, dan postresuscitation care. Berbagai penelitian terus berjalan dengan tujuan mendapatkan metode resusitasi dengan hasil (outcome)yang lebih baik.



REFERENSI American Heart Association. Guidelines 2000 for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation. 2000;102(suppl):11-1384. American Heart Association, In collaboration with International Liaison Committee on Resuscitation. Guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care - an international consensus on science. Resuscitation. 2000;46:1430.



Ewy GA. Cardiocerebral resuscitation-the new cardiopulmonary resuscitation. Citculation. 2005: 11I :2134-2142 Handley A, Koster R, Monsieurs K, GD Perkins, Davies S, Bossaert L. European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2005 - section 2. adult basic life support and use of automated external defibrillators. Resuscitation. 2005;67 (suppl 1):S7-S23. International Liaison Committee on Resuscitation. 2005 International consensus on cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care science with treatment recommendations. Circulation. 2005; 112:IIIl-111136. Mitka M. Peter J. Safar, MD -"father of CPR," innovator, teacher, humanist. J Am Med Assoc. 2003;289:2485-6.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME Zulkifli Amin, Johanes Purwoto



ARDS merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan permeabilitasmembran alveolar-kapilerterhadap air, larutan dan protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan yang mengandung protein dalam parenkim paru . Dasar definisi dipakai konsensus Komite Konferensi ARDS Amerika-Eropa tahun 1994 tdd: 1. Gagal napas (respiratory failure/distress) dengan onset akut 2. Rasio tekanan oksigen pembuluh arteri berbanding fraksi oksigen yang diinspirasi ( PaO, / FIO,) < 200 rnrnHg -hipoksemia berat. 3. Radiografi torak: infiltrat alveolar bilateral yang sesuai dengan edema paru 4. Tekanan baji kapiler pulmoner (pulmonary capillary wedge pressure) < 18 rnrnHg, tanpa tanpa tanda klinis (Ro dll) adanya hipertensi atrial kiri/(tanpa adanya tanda gaga1jantung kiri). Bila PaO, I FIO, antara 200-300 mmHg, maka disebut Acute Lung Injury (ALI) Konsensus juga mensyaratkan terdapatnya faktor risiko terjadinyaAL1 dan tidak adanya penyakit paru kronik yang bermakna. Acute Lung Injury (ALI) dan ARDS didiagnosis ketika bermanifestasi sebagai kegagalan pernapasan berbentuk hipoksemi akut bukan karena peningkatan tekanan kapiler paru.



Patogenesis dan Patofisilogi Patogenesis ALI/ARDS dimulai dengan kemsakan pada epitel alveolar dan endotel mikrovaskular. Kerusakan awal



Akibat Sistemik Luka berat Sepsis Pankreatitis Shock Tranfusi berulang DIC Luka bakar Obat-obatanloverdosis Opiat Aspirin Phenothiazines Tricyclicls antidepresan Amiodarone Khemoterapi Nitrofurantoin Protamine Thrombotic thrombocyiopenic purpura Cardiopulmonary bypass Trauma k e ~ a l a Paraquat



Akibat Paru sendiri Aspirasi asam lambung Emboli karena pembekuan darah, lemak, udara, atau cairan amnion TBC miliar Radang paru difuslluas (cth. SARS) Radang paru eosinofilik akut Cryptogenic organizing pneumonitis Obstruksi saluran napas atas Asap rokok yang mengandung kokain Near-drowning Terhisap gas beracun: o Nitrogen diosida o Chlorine o Sulfur dioksida Amonia Asap Keracunan Oksigen Trauma paru Ekspose radiasi o o



High-altitudeexposure Lung reexpansion or reperfusion



ARDS = acute respiratory distress syndrome (sindmm pernapas- an akut) SARS = severe acute respiratofy syndrome (sindrom pernapasanakut berat



dapat diakibatkan injury langsung atau tidak langsung. Kedua ha1 tersebut mengaktifkan kaskade inflamasi, yang dibagi dalamtigafase Yang &pat dijumpai secara WmPang



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



235



ACUTE RESPIRATORYDITRESS SYNDROME (ARDS)



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



tindih: inisiasi, amplifikasi, dan injury. Pada fase inisiasi, kondisi yang menjadi faktor risiko akan menyebabkan sel-sel imun dan non-imun melepaskan mediator-mediator dan modulator-modulator inflamasi didalam paru dan ke sistemik. Pada fase amplifikasi, sel efektor seperti netrofil teraktivasi, tertarik ke dan tertahan di dalam paru. Di dalam organ target tersebut mereka melepaskan mediator inflamasi, termasuk oksidan dan protease, yang secara langsung merusak paru dan mendorong proses inflamasi selanjutnya. Fase ini disebut fase injury. Kerusakan pada membran alveolar-kapiler menyebabkan peningkatan permeabilitas membran, dan aliran cairan yang kaya protein masuk ke ruang alveolar. Cairan dan protein tersebut merusak integritas surfaktan di alveolus, dan terjadi kerusakan lebih jauh.



Terdapat tiga fase kerusakan alveolus: 1. Fase eksudatif : ditandai edema interstisialdan alveolar, nekrosis sel pneumosit tipe I dan denudasilterlepasnya membran basalis, pembengkakan sel endotel dengan pelebaran intercellular junction, terbentuknya membran hialin pada duktus alveolar dan ruang udara, dan inflamasi netrofil. Juga ditemukan hipertensi pulmoner dan berkurangnya compliance paru. 2. Fase proliferatif: paling cepat timbul setelah 3 hari sejak onset, ditandai proliferasi sel epitel pneumosit tipe 11, 3. Fase fibrosis: kolagen meningkat dan paru menjadi padat karena fibrosis.



Diagnosis Klinis Onset akut umumnya berlangsung 3-5 hari sejak adanya diagnosa kondisi yang menjadi faktor risiko ARDS (lihat Faktor Risiko). Tanda pertama ialah takipnea, retraksi intercostal, adanya ronkhi basah kasar yg jelas. Dapat ditemui hipotensi, febris. Pada auskultasi ditemukan ronki basah kasar. Gambaran hipoksialsianosis yang tak respon dengan pemberian oksigen. Sebagian besar kasus disertai disfugsi/gagal organ ganda yang umumnyajuga mengenai ginjal, hati, saluran cerna, otak dan sistem kardiovaskular. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: - Analisa Gas darah: hipoksemia, hipokapnia (sekunder karena hiperventilasi), hiperkapnia (pada emfisema atau keadaan lanjut).Alkalosis respiratorik pada awal proses, akan berganti menjadi asidosis respiratorik. - leukositosis (pada sepsis), anemia, trombositopenia (refleksi inflamasi sistemik dan kerusakan endotel), peningkatan kadar amilase (pada pankreatitis) - gangguan fungsi ginjal dan hati, tanda koagulasi intravaskular diseminata (sebagai bagian dari MODSlmultiple organ &sfunction syndrome) Radiologi Foto toraks: pada awal proses, dapat ditemukan lapangan paru yang relatif jernih, serial foto kemudian tampak bayangan radio-opak d i h s atau



Ciri-ciri



Penyebab



Hipoksemia



? Kebutuhan volume per menit



True shunt (perfusi ruang udara non-ventilasi) Vasokonstriksi pulmoner hipoksik terganggu VIQ mismatch adalah komponen minor Disfungsi surfaktan 3 ketidakstabilan alveolar Kompresi normal yang berlebihan pada paru karena peningkatan berat (? cairan paru, inflamasi) Disfungsi surfaktan (f elastisitas spesifik) & volume paru ('baby lung? ? elastisitas dinding dada Alveolitis fibrosis (lambat) ? ruang rugi alveolar (alveolar dead space) [Vm& sering 0,4-0,7



? Usaha napas



? elastisitas



? Densitas dipenden (berdasar CT scan) (terjadi Kolaps/konsolidasi)



? Elastisitas (1Compliance)



Vc02



? kebutuhan volume per menit Vasokonstriksi pulmoner (TxA2,endotelin) Trombosis mikrovaskuler pulmoner Alveolitis fibrosis PEEP



Hipertensi pulmoner



Kondisi



Waktu



PaOdFiO.



ALI



Akut



5



ARDS



Akut



5 200



300 mmHg



mmHg



Foto Toraks



lnfiltrat bilateral lnfiltrat bilateral



PaoP



"8 mmHg atau tidak ada tanda klinis dari peningkatan tekanan atrium kiri 5 18 mmHg atau tidak ada tanda klinis dari peningkatan tekanan atrium kiri



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



236



KECAWATDARURATAN MEDIK DI BIDANC ILMU PENYAKIT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



patchy bilateral dan diikuti pada foto serial berikutnya lagi gambaran confluent, tidak terpengaruh gravitasi, tanpa gambaran kongesti atau pembesaran jantung.



CT scan :pola heterogen, predominasi infiltrat pada area dorsal paru (foto supine). Interpretasi foto toraks berorientasi pada definisi ALI dan ARDS, meskipun demikian terdapat keberagaman yang sangat dipengaruhi oleh pengamat baik pada interpretasi foto toraks dan penentuan infiltrat. Pada definisi Konferensi Konsensus Amerika-Eropa, infiltrat hams bilateral dan konsisten dengan edema paru. CT toraks terbukti sangat membantu dalam penelitian patofisiologi ALI, Bisa menggambarkan keberagaman inflasi paru, dan secara umum digunakan untuk memandu tatalaksana klinis. Otopsi dan foto toraks ALI menunjukkan proses yang seragam yang melibatkan kedua paru, akan tetapi CT toraks pada awal perjalanan ALI pada pasien dengan posisi terlentang menunjukkan terdapat peningkatan densitas paru pada bagian dorsal, dan pada paru ventral relatif normal. Selain itu, CT sering kali menunjukkan adanya pneumotoraks, pneumomediastinum dan efusi pleura yang tidak terdiagnosis sebelumnya. Setelah dua minggu dengan ventilasi mekanik, CT scan dapat menunjukkan arsitektur paru yang berubah dan kista emfisematosa atau pneumatokel. Banyaknya CT atau unit Hounsfield dapat ditetapkan menjadi masing-masing voxel (- 2000 alveolus dalam slice standar 10 mm). Data ini dapat digunakan untuk menilai proporsi dari bagian yang menarik perhatian, apakah tidak terdapat aerasi, sedikit aerasi, aerasi normal, atau hiperinflasi. Pada mulanya dinilai satu slice paru basal, tetapijelas bahwa informasi yang lebihjauh dapat diperoleh dengan mempelajari seluruh paru. Ini memberikan (i) rekonstruksi lobus atas dan bawah (lobus tengah sulit untuk dipisahkan, (ii) potongan paru yang sama dapat dinilai pada level inflasi yang berbeda atau PEEP (paru juga digerakkan arah sefalo-kaudal dengan pernapasan) dan (iii) gambaran paru yang lebih luas dapat dicapai (kerusakan paru bewariasi pada ALI). Namun CT seluruh paru membutuhkan paparan yang banyak terhadap radiasi ionisasi, dan informasi yang berbeda, mungkin lebih berhubungan dengan ventilasi mekanik yang didapatkan dari CT dinamik. Diagnosis banding secara radiologi: 1. Edema paru kardiogenik 2. Infeksi paru: viral, bakterial, fungal 3. Edema paru yang berhubungan dengan ketinggian (High-altitudepulmonary edema = HAPE) 4. Edema paru neurogenik 5. Edema paru diinduksi laringospasme 6. Edema paru diinduksi obat: heroin, salisilat, kokain 7. Pneumonitis radiasi 8. Sindrom emboli lemak



9. Stenosis mitral dengan perdarahan alveolar 10. Vaskulitis 11. Pneumonitis hipersensitivitas 12. Penyakit paru interstisial



Perbedaan edema paru kardiogenik dan non kardiogenik (ARDS)



PERJALANAN PENYAKIT ARDS muncul sebagai respons terhadap berbagai trauma dan penyakit yang mempengaruhi paru secara langsung (seperti aspirasi isi lambung, pneumonia berat, dan kontusio paru) atau secara tidak langsung (sepsis sistemik, trauma berat, pankreatitis). Dalam 12-48jam setelah kejadian awal pasien mengalami distress pernapasan dengan perburukan sesak napas dan takipneu. Pemeriksaan gas darah arteri menunjukkan hipoksemia yang tidak respons terhadap oksigen melalui nasal. Infiltrat difus bilateral terlihat pada rontgen tanpa disertai gambaran edema paru kardiogenik. ARDS merupakan bentuk acute lung injury yang paling berat dan dicirikan oleh: Riwayat trauma atau suatu penyakit yang menjadi inisiator Hipoksemia efrakter terhadap terapi oksigen (misal PO2 < 8.0 kPa (60 mmHg) dengan 40% oksigen). Derajat hipoksemia dapat terlihat sebagai rasio tekanan oksigen arteri (P02) terhadap konsentrasi fraksi oksigen inspirasi (FiO2/100%oksigen=Fi02 dari 1).PadaARDS PO2Fi02 10 mg ivlambat, fenitoin 15 mglkg ivdalam larutan garam dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mglmnt atau fenobarbital 120-240 mg ivlambat setiap 20-30 menit sampai total 400-600 mg. Asidosis berat (pH 35 < 1.3



1/11 Ringan - sedang 34 - 51 28 - 35 1.3-1,5



IllllV Berat > 51 < 28 > 1.5



Menurut sistem skor di atas, kelas A Child-Pugh, sesuai dengan skor 6 atau kurang, Kelas B = skor 7 -9, dan kelas C = 10 atau lebih. Pasien dari kelas A, biasanya meninggal akibat efek perdarahannya sendiri, sementara pasien dengan kelas C kebanyakan akibat penyakit dasamya. (Rekomendasi kuat tingkat AI).



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



299



PENATALAKSANAAN PERDARAHANVARISES ESOFAGUS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Untuk menilai derajat besarnya varises, baik konsensus Inggris maupun Baveno 1-1990 sampai dengan 111-2000, semuanya menganjurkan pemakaian cara yang paling sederhana, yaitu membagi menjadi 3 tingkatan (Tabel 5).



Tingkat 1 Tingakt 2 Tingakt 3



varises yang kolaps pada saat inflasi esofagus dengan udara. varises antara tingkat 1 dan 3. varises yang cukup untuk rnenutup lumen esofagus. (Rekomendasi kuat tingkat CII.)



Dari Konsensus Baveno 11-1995, telah disepakati bahwa pada semua pasien sirosis hati seyogyanya secara rutin diperiksa ada tidaknya hiper-tensi portal, dengan pemeriksaan endoskopi dan USG (sebaiknya dengan dop-pler), terutama pada pasien yang belum pernah mengalami perdarahan SMBA. Sarana diagnosis yang lain seperti: pengukuran tekanan varises dengan cara langsung, angiografi, dan MRI, hanya dianjurkan untuk keperluan penelitian saja. Dalam Konsensus Baveno I1 ini ada beberapa kesepakatan baru yang dibuat, antara lain: perdarahan varises baru berarti secara klinik bila memenuhi persyaratan membutuhkan minimal 2 unit darah dalam waktu 24 jam. Sedang perdarahan ulang terjadi bila timbul hematemesis dan atau melena barn, setelah 24 jam keadaan umum pasien stabil (tensi, nadi, Hb, PCV) pascaperdarahan akut. Konsensus Baveno 111-2000 (41) menyebutkan bahwa diagnosis klinik hipertensi portal (CSPH = clinical signzficant of portal hypertension), dapat ditegakkan berdasarkan : Meningkatnya gradien tekanan portal di atas batas sekitar 10 mm Hg. Adanya varises, perdarahan varises, danlatau asites, dapat dipakai sebagai dasar adanya hipertensi portal secara klinik (CSPH). Selain itu, semua pasien sirosis seyogyanya dilakukan skrining secara rutin untuk mengetahui adanya varises pada saat diagnosis awal sirosis dibuat. Pemeriksaan ulang untuk setiap pasien yang dengan atau tanpa tanda-tanda klinik hipertensi portal (CSPH) dapat dilakukan seperti berikut : Pada pasien dengan sirosis kompensata tanpa varises, pemeriksaan endoskopi dapat diulangi setiap 2 - 3 tahun, untuk mengetahui kapan varises mulai timbul. Pada pasien dengan sirosis kompensata dengan varises kecil, endoskopi dapat diulangi setiap 1 - 2 tahun, untuk mengetahui progresivitas pembesaran varises. Untuk diagnosis perdarahan akut akibat gastropati hipertensi portal (GHP), dibutuhkan pembuktian secara endoskopik adanya lesi yang berdarah aktif. Bila ditemukan varises esofagus atau lambung, endoskopi dapat diulangi



dalam waktu 12-24 jam. Untuk klasifikasi GHP, Konsensus Baveno I1 sepakat untuk menggunakan sistem skoring seperti dalam tabel 6. Kriteria untuk menetapkan perdarahan kronik akibat GHP, adalah adanya fecal blood loss, penurunan Hb > 2 gram% dalam 3 bulan, dan saturasi transferin yang rendah, disertai adanya GHP pada pemeriksaan endoskopi, tanpa adanya kolopati, duodenopati, supresi sumsum tulang, penyakit ginjal kronik, maupun pamakaian obat-obat antiinflamasi (OAIN).



Lesi



Skor



1 . MLP (Mosaic Like Pattern) Ringan Berat 2. RM (Red Marking) Terisolasi Berkonfluen 3. GAVE (Gastric Anhral Vascular Ectasis) Negatif Positif GHP ringan GHP berat



FAKTOR RlSlKO PADA PERDARAHAN PERTAMA Faktor-faktor predisposisi dan yang memacu terjadinya perdarahan varises, sampai saat ini masih tetap belum jelas. Dugaan bahwa esofagitis dapat memacu terjadinya perdarahan varises telah diabaikan. Pada saat ini faktorfaktor paling penting yang dianggap bertanggung jawab adalah: 1). Tekanan dalam varises; 2). Ukuran varises; 3). Tekanan di dinding varises, dan; 4). Beratnya penyakit hati. Pada sebagian besar kasus, tekanan portal yang merefleksikan (menunjukkan) tekanan intravarises, dan gradien tekanan vena hepatika (HVPG = hepatic venous pressure gradient) lebih besar dari 12 mm Hg, dibutuhkan untuk terjadinya perdarahan varises esofagus; namun tidak ditemukan hubungan lurus antara beratnya hipertensi portal dan risiko terjadinya perdarahan varises. Gradien tekanan vena hepatika (HPVG) menunjukkan tendensi lebih tinggi pada pasien yang mengalami perdarahan, demikian pula pasien yang mempunyai varises yang lebih besar. Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa risiko perdarahan varises meningkat dengan makin besarnya ukuran varises. Dengan menggunakan model in vitro, Polio dan Groszmann menunjukkan bahwa pecahnya varises berhubungan dengan tegangan (tension) pada dinding varises. Tegangan ini tergantung pada radius varises. Pada model ini, meningkatnya ukuran varises dan mengurangnya tebal dinding varises, menyebabkan varises pecah.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



AWATDARURATAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Gambaran endoskopi, seperti bintik kemerahan (red spots) dan tanda wale, pertama kali dikemukakan oleh Dagradi. Kedua tanda ini digambarkan sebagai sangat penting dalam meramalkan terjadinya perdarahan varises. Dalam penelitian retrospektif di Jepang (The Japanese Research Society for Portal Hypertension), Beppu dan kawan-kawan menunjukkan bahwa 80% pasien yang mempunya varises kebiruan (blue varices) atau bintik kemerahan (cherry red spots) ternyata mengalami perdarahan varises. Hal itu menimbulkan dugaan bahwa keduanya merupakan prediktor penting untuk terjadinya perdarahan varises esofagus pada sirosis. Kedua penelitian ini - The North Italian Endoscopic Club (NIEC) dan data dari Jepang menunjukkan bahwa risiko perdarahan tergantung pada 3 faktor : 1). Beratnya penyakit hati (diukur dengan klasifikasi Child); 2). Ukuran varises, dan; 3). Tanda kemerahan (red wale markings). Penelitian lebih jauh menunjukkan bahwa gradien tekanan vena hepatika (HVPG) dan tekanan intravarises juga merupakan prediktor independen untuk timbulnya perdarahan varises yang pertama. Sebagai ringkasan, 2 faktor terpenting (utama) yang menentukan risiko perdarahan varises adalah : beratnya penyakit hati dan ukuran varises. Pengukuran gradien tekanan vena hepatika (HPVG) berguna sebagai petunjuk untuk seleksi pasien, guna menentukan cara pengobatan dan responsnya terhadap terapi.



PROGNOSIS PERDARAHANVARlSES AKUT Angka kematian rata-rata pada serangan perdarahan pertama pada sebagian besar penelitian menunjukkan sekitar 50%. Angka kematian ini berhubungan erat dengan beratnya penyakit hati. Dalam pengamatan rata-rata selama 1 tahun, angka kematian rata-rata akibat perdarahan varises berikutnya adalah sebesar 5 % pada pasien dengan Child kelas A, 25 % pada Child kelas B, dan 50 % pada Child kelas C. Walaupun kreatinin serum dapat dipakai sebagai prediktor ketahanan hidup secara menyeluruh pada beberapa penelitian, klasifikasi Child masih dianggap lebih superior dibanding prediktor-prediktor lain, dalam menentukan mortalitas dalam 6 minggu atau 30 hari setelah perdarahan pertama. Vinel dan kawan-kawan menunjukkan bahwa HVPG dapat dipakai sebagai prediktor ketahanan hidup, bila diukur 2 minggu setelah perdarahan akut. Masih belum jelas, apakah perdarahan aktif pada saat pemeriksaan endoskopi dapat dipakai sebagai prediktor mortalitas. Namun perdarahan aktif pada saat endoskopi ini dapat dipakai sebagai prediktor terjadinya perdarahan ulang yang lebih awal. Risiko kematian menurun dengan cepat sesudah perawatan di rumah sakit, demikian pula risiko kematian ini menjadi konstan sekitar 6 minggu setelah perdarahan.



Indeks hati (Tabel 7) juga dapat dipakai sebagai petunjuk untuk menilai prognosis pasien hematemesis melena yang mendapat pengobatan secara medik. Dari hasil penelitian sebelumnya,pasien yang mengalami kegagalan hati ringan (indeks hati 0 - 2), angka kematian antara 0 - 16 %, sementara yang mempunyai kegagalan hati sedang sampai berat (indeks hati 3 - 8) angka kematian antara 18 40 %.



1. 2. 3. 4.



Perneriksaan



0



1



2



Albumin (g %) Bilirubin (mg %) Gangguan kesadaran Asites



> 3.6 < 2.0



3.0 - 3.5 2.0 - 3.0 minimal minimal



< 3.0 > 3.0



1. Kegagalan hati ringan 2. Kegagalan hati sedang 3. Kegagalan hati berat



= = =



indeks hati indeks hat1 indeks hati



+



+



0- 3 4- 6 7 - 10



PROFllAKSlS PRIMER (PRIMARY PROPHYLAXIS) Karena 30-50% pasien dengan hipertensi portal akan mengalami perdarahan dari varises, dan sekitar 50 % akan meninggal akibat efek perdarahan pertama, tampaknya sangat rasional untuk membuat panduan pengobatan profilaksis untuk mencegah terjadinya varises, juga perdarahan varises. Namun sebagian besar penelitian yang dipublikasi tidak mempunyai cukup data untuk menunjukkan cara pengobatan mana yang paling efektif. Bedah pintasan profilaksis telah banyak dicoba dengan cara acak, penelitian dengan metaanalisis menunjukkan keuntungan yang bermakna dalam menekan perdarahan varises, tetapi ternyata juga menunjukkan peningkatan risiko terjadinya ensefalopati hepatik dan mortalitas pada pasien yang dilakukan operasi pintasan. Inokuchi dan kawan-kawan berhasil menunjukkan penurunan yang bermakna dalam perdarahan varises dan mortalitas pada pasien yang mendapat pengobatan dengan berbagai macam prosedur devaskularisasi. Namun ada sejumlah masalah yang berhubungan dengan interpretasi penelitian ini, karena tiap-tiap senter (ada 22 pusat penelitian) temyata menggunakan teknik devaskularisasi yang berbeda-beda. Hasil penelitian ini masih membutuhkan konfirmasi lebih jauh. Panduan utama penggunaan obat farmakologi sebagai profilaksis primer perdarahan varises masih tetap propanolol, yang terbukti dapat menurunkan gradien tekanan portal, menurunkan aliran darah vena azigos, dan juga tekanan varises. Efek ini disebabkan karena vasokonstriksi splanknik dan penurunan volume semenit. Hasil metaanalisis menunjukkan bahwa risiko perdarahan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENATALAK!%NAAN PERDARAHANVARISES ESOFACUS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI lebih rendah secara bermakan, namun untuk angka kematian hanya berbeda sedikit. Perhatian terhadap pemakaian vasodilator, seperti isosorbid mononitrat tumbuh karena dalam penelitian terbukti bahan ini dapat menekan tekanan portal sama efektifnya dengan propanolol. Kombinasi nadolol dan isosorbid mononitrat telah dibandingkan dengan nadolol sebagai obat tunggal, dalam penelitian acak terkontrol.Ternyataterapi kombinasi dapat menekan frekuensi perdarahan secara bermakna, tetapi tidak berbeda dalam angka kematian pasien. Terdapat bukti-bukti yang kuat bahwa penurunan denyut nadi istirahat sebesar 25 % dengan penghambat beta (propanolol, atenolol, atau nadolol) dapat mencegah perdarahan pertama, karena penurunan ini berhubungan langsung dengan penurunan tekanan portal. Isosorbide5-mononitrate 2 x 40 mg, dalam penelitian yang belum terlalu banyak, efektif juga untuk mencegah perdarahan yang pertama. Masih dibutuhkan metodologi penelitian yang lebih baik untuk menetapkan siapa saja yang mempunyai risiko yang paling tinggi untuk berdarah, sehingga dengan demikian dapat diketahui siapa saja yang paling diuntungkan untuk pengobatan profilaksis. Metodologi yang lebih baik juga dibutuhkan untuk menetapkan obat mana yang efektif untuk menurunkan tekanan portal. Endoskopi juga telah dipakai sebagai salah satu teknik untuk mencegah perdarahan varises. Sklero Terapi Endoskopi (STE) telah dipakai sejak beberapa tahun untuk pengobatan perdarahan varises, namun akhir-akhir ini tidak dianjurkan lagi sebagai pengobatan profilaksis karena kurang efektif. Ligasi varises endoskopi (LVE)mungkin bermanfaat untuk pengelolaan perdarahan varises akut, tetapi untuk pengobatan profilaktik masih belum banyak dipakai, sehingga efektivitasnya juga masih perlu dibuktikan. Pada saat ini skleroterapiendoskopi (STE) belum dapat direkomendasi sebagai terapi profilaksis untuk perdarahan varises pada pasien sirosis. Sarin dan kawan-kawan membandingkan terapi ligasi varises (LVE) dengan tanpa terapi aktif dengan cara acak, dan hasilnya menunjukkan terjadi penurunan secara bermakna perdarahan varises pada pasien yang mendapat pengobatan LVE. Sementara angka kematian tidak berbeda. Penelitian selanjutnya yang menyangkut 120 pasien, menunjukkan hasil yang sama. LVE juga telah dibandingkan dengan propanolol dalam penelitain secara acak, hasilnya menunjukkan bahwa LVE dapat menekan frekuensiperdarahan pertama, namun tidak mempengaruhi angka kematian. Sesuai dengan rekomendasi Inggris,juga rekomendasi Baveno 111-2000, metode profilaksisprimer yang paling baik dan efektif adalah: Terapi farmakologi dengan propranolol merupakan modalitas terapi terbaik yang ada pada saat ini. (Rekomendasitingkat AI.) Tujuanpengobatan dengan propranolol: Menurunkan



gradien tekanan vena hepatika (HVPG = hepatic venous pressure gradient) menjadi kurang dari 12 mm Hg. (Rekomendasitingkat AI). Dosis: Mulai dengan dosis 2 x 40 mg, dinaikkan hingga 2 x 80 mg bila perlu. Pemakaian long acting propranolol dalam dosis 80 atau 160 mg dapat dipakai untuk memperbaiki ketaatan pasien. (Rekomendasitingkat AI) Pada kasus di mana terdapat kontraindikasi atau terjadi intoleransi tehadap propanolol, pengobatan LVE merupakan pilihan utama (Rekomendasitingkat AI.) Dalam situasi di mana baik propanolol maupun LVE tidak dapat digunakan, isosorbide mononitrate dapat dipakai sebagai obat pilihan utama (2 x 20 mg). (Rekomendasi tingkat BI.) 1. Siapa yang harus dilakukan surveilans untuk perdarahan varises ? Semua pasien dengan sirosis sebaiknya dikerjakan endoskopi pada saat diagnosis dibuat. (Rekomendasi tingkat CI.) 2. Berapa kali pasien sirosis harus di endoskopi ? Bila pada saat endoskopi pertama tidak ditemukan varises, pasien sirosis hams dilakukan endoskopi berkala denganjarak 3 tahun sekali. (Rekomendasi tingkat AII.) Bila ditemukan varises kecil pada saat diagnosis dibuat, pasien hams dilakukan endoskopi berkala setiap tahun sekali. (Rekomendasi grade aii.) 3. Pasien sirosis mana yang harus diberi profilaksis primer ? Bila dibuat diagnosis varises tingkat 3, pasien hams mendapat profilaksis primer, tanpa melihat beratnya gangguan faal hati pasien (Rekomendasi tingkat AI.) Bila pasien mempunyai varises tingkat 2, dengan gangguan faal hati Child kelas B atau C, mereka hams mendapat profilaksis primer. (Rekomendasi tingkat BI).



PENATALAKSANAAN AWAL (INITIAL MANAGEMEN9 Langkah pertama yang paling penting dalam pengelolaan perdarahan varises akut adalah segera mulai resusitasi dan proteksi jalan napas untuk mencegah terjadinya aspirasi. Endoskopi dini dapat mengevaluasi saluran cerna bagian atas secara lebih akurat untuk membuat diagnosis sumber perdarahan, serta menentukan pengobatan secara tepat. Di negara-negara maju, setiap pasien dengan perdarahan akut saluran makan bagian atas (SMBA), terutama perdarahan varises, dianjurkan diawasi di rumah sakit, bila perlu di ruangan perawatan intensif, walaupun perdarahan tampaknya ringan. Bila ada Tim Hipertensi Portal, sebaiknya Tim tersebut telah dilibatkan sejak awal perawatan pasien. Setelah keadaan umum pasien stabil, segera dilakukan pemeriksaan endoskopi darurat untuk



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



302



KEGAWATDARURATANMEDIK DI BIDANC ILMU PENYAKIT DALAM



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI menetapkan penyebab perdarahan dan menentukan pengobatan yang tepat. Konsensus Baveno 111-2000 (4 1) merekomendasikan bahwa pemberian darah hams dikerjakan secara hati-hati dan lebih konsernatif, dengan menggunakan sel darah yang dipadatkan (PRC = packed red cell), cukup untuk mempertahankan hematokrit antara 25 - 30 %, dan pemberian cairan pengganti plasma ('plasma expander) untuk mempertahankan hemodinamik yang stabil. Mengenai pemberian obat-obat koagulopati dan pengobatan terhadap trombositopeni, masih diperlukan data yang lebih banyak. Adanya infeksi harus dipertimbangkan pada semua pasien. Karena itu pemberian antibiotika profilaksis seyogyanya dilakukan sebagai bagian pengobatan rutin untuk semua pasien pada saat masuk rumah sakit. Intervensi awal untuk setiap pasien dengan perdarahan akut adalah pemasangan akses intravena yang baik, selanjutnya mulai dengan penggantian volume darah yang hilang (volume replacement). Hampir pada semua pasien, tindakan ini dapat dimulai dengan cairan kristaloid, diikuti dengan transfusi darah. Bila pasien masih berdarah aktif, dan diketahui kemungkinan besar ada hipertensi portal, vasopressin atau octreotide dapat diberikan dalam dosis empirik sebagai usaha untuk menurunkan tekanan portal dengan cepat. Dengan demikian dapat menurunkan risiko atau menghentikan perdarahannya. Vasopressin diberikan dalam dosis 0.1-1.0 unitlmenit, meskipun dosis di atas 0.6 unitlmenit masih diragukan efektifitasnya. Obat ini dapat menimbulkan vasokonstriksi bermakna, yang dapat menyebabkan iskemi atau nekrosis organ. Pasien dengan penyakit pembuluh darah koroner atau penyakit pembuluh darah perifer, mempakan kontraindikasi pemberian obat ini. Pemberian nitrogliserin intravena dalam dosis 0.3 mgl menit, atau secara sublingual, maupun transdermal (patch) dapat ditambahkan pada vasopressin untuk menumnkan risiko terhadap komplikasi pada jantung dan pembuluh darah. Octreotide (analog sintetik dari somatostatin) dapat menurunkan tekanan portal tanpa menimbulkan efek samping seperti pada vasopressin. Penelitian menunjukkan bahwa dosis efektif octreotide adalah 25-200 mcgljam secara intravena, dengan atau tanpa didahului bolus 50 - 100 mcg. Plasma segar beku (FFP = fresh frozen plasma) dapat diberikan pada pasien yang terus berdarah yang menunjukkan PPT yang memanjang. Demikian pula tombosit (TC = thrombocyte concentrate) dapat diberikan bila trombosit < 50,0001ml dan perdarahan masih berlangsung. Pasien dengan ensefalopati, intoksikasi, atau gangguan mental1kesadaran yang lain, perlu dilakukan pemasangan intubasi endotrakheal sebelum pemeriksaan endoskopi, atau prosedur invasif lain, karena risiko aspirasi cukup tinggi. Setiap pasien dengan perdarahan varises mempunyai tambahan risiko tinggi untuk mengalami efek samping yang lebih berat, bila terjadi komplikasi seperti



aspirasi pneumonia atau infeksi. Penelitian terakhir menunjukkanbahwa pasien dengan sirosis yang mengalami perdarahan, menunjukkan perbaikan perjalanan klinik dengan pemberian antibiotikaprofilaksis (amoksisilin-asam klavulanik dan siprofloksasin).



PENGOBATAN DEFlNlTlF (DEFINITIVE THERAPY) Pipa Sengstaken-Blakemore (SB tube) dengan modifikasi Minnesota (dengan penambahan lubang aspirator di atas balon esofagus) dapat dipakai untuk mengatasi perdarahan varises esofagus atau varises lambung di daerah proksimal, namun harus dipastikan dulu sumber perdarahannya. SB tube harus dipasang secara tepat dan dengan pengawasan (monitoring) yang ketat, karena risiko kemungkinan terjadinya komplikasi yang sedang sampai berat. Pada umumnya dianjurkan untuk melakukan inflasi balon esofagus maupun lambung pada awalnya, dan segera dilakukan deflasi dalam waktu 12 - 24 jam, untuk menghindari kerusakan mukosa. Sekali balon dikempeskan, dianjurkan untuk segera dilakukan pengobatan lanjutan untuk mencegah perdarahan ulang, karena perdarahan ulang setelah pengempesan SB tube terjadi sekitar 80 % atau lebih. Beberapa pengobatan definitif termasuk antara lain : terapi endoskopi (STE atau LVE), embolisasi transhepatik atau transmesenterik (minilaparotomi), operasi (pintasanlshunt, ligasi, devaskularisasi), Transjugular Zntrahepatic Portosystemic Shunts (TIPS), atau orthotopic liver transplantation (OLT). Terapi definitif awal yang terpilih adalah STE atau LVE. Baik penyuntikan bahan sklerosan (1.5% sodium tetradecyl sulfate atau 5% ethanolamine oleate) dan pemasangan ligator pada varises esofagus, terbukti dapat mencegah perdarahan ulang varises dan memperpanjang ketahanan hidup pasien (survival). Untuk mencapai tujuan ini, pasien harus diterapi secara berkala dan teratur, dengan pengobatan awal selanjutnya dengan interval 1 - 2 minggu sampai varises dapat dieradikasi. Makin cepat eradikasi tercapai, makin baik hasil prevensi perdarahannya. Sayangnya, STE mempunyai banyak efek samping seperti : demam, nyeri dada, mediastinitis, efusi pleura, tukak esofagus yang dalam, perforasi esofagus, dan striktur). LVE lebih efektif dari pada STE, mempunyai efek samping jauh lebih sedikit, juga menunjukkan perdarahan ulang yang lebih sedikit serta mortalitas yang lebih baik dibanding STE. Dengan pemakaian ligator ganda (multiple ligators), pemakaian overtube dapat dikurangi bahkan dihindari, sehingga LVE menjadi lebih aman dan lebih cepat. Embolisasi radiologik pada arteri koronaria gastrika dan kolateralnya, yang memberi pasokan pada varises yang berdarah, dapat menghentikan perdarahan secara efektif. Namun pendekatan transhepatik menjadi sulit pada hati yang sangat sirotik, keras, dan disertai asites, dan dapat



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENATALAKSANAANPERDARAHAN VARlSES ESOFACUS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI menimbulkan risiko komplikasi yang sangat tinggi. Pendekatan lewat vena transmesenterik tampaknya dapat mengatasi masalah ini, namun membutuhkan insisi kecil, yang tetap masih dapat memberi tambahan komplikasi. Tindakan bedah mempunyai hasil yang sangat bervariasi. Devaskularisasi lambung bagian proksimal dan esofagus, dengan atau tanpa transeksi esofagus, mempunyai beberapa keuntungan, namun tindakan ini belum dapat diterima secara luas sebagai tindakan yang aman dan efektif. Pintasan porto-sistemik dengan bermacam cara, sangat efektif untuk menghentikan perdarahan, tetapi mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang bermakna, khususnya pada pasien dengan Child C. Pintasan mesokaval (H-graft) dan splenorenal distal (Warren) telah dikembangkan untuk menekan angka ensefalopati pasca pintasan. Meskipun hasilnya cukup lumayan, pada beberapa kasus pintasan ini dapat mengalami pembuntuan (clotting), sehingga ensefalopati tetap dapat timbul di kemudian hari. Pengenalan prosedur TIPS menambah perbaikan dan makin banyaknya variasi pilihan pengobatan pada pasien yang mengalami kegagalan dengan pengobatan endoskopi. Di tangan seorang radiolog yang handal atau terlatih, kesuksesan prosedur TIPS dapat mencapai 95% kasus. Pintasan ini dapat menurunkan tekanan portal secara efektif sampai lo00 U11; 2). leukosit > 50.0001 mL; 3). asam urat > 6,5 mg/dl; 4). tumor bulky; 5). gangguan fbngsi ginjal; 6). dehidrasi. Evaluasi Gejala. Menunjukkan gejala hipokalsemia seperti penurunan kesadaran, tetani, otot kram, disritmia, akhirnya bisa terjadi bradikardi dan syok. Gejala hiperkalemia bisa berupa kelemahan otot atau letargi. Tanda. 1). Kalium > 6 mrnoV1,2). Kalsium < 6 mgldl, 3). Kreatinin > 2,4 mg/dl, 4). Disritmia, 5). Peningkatan 25% fosfat, 6). Peningkatan 25% asam urat. EKG Peningkatan gelombang T dan pelebaran kompleks QRS.



Pencegahan Profilaksis hidrasi. Pasien hams dapat 3-5 L/m2cairan intravena (glukosa 5%:NaC10,9% 1:1). Alkalinisasi urin dengan pemberian natrium bikarbonat. Target pH urin dipertahankan antara 7 sampai 7 3 . Balans cairan minimal 2 kali sehari Bila pasien dengan risiko tinggi terjadi sindrom lisis tumor hams diperiksa setiap hari asam urat, Na, K, Ca, Mg, fosfat, kreatinin, LDH, INR, fibrinogen, DPL, glukosa.



Menghambat resorpsi tulang dengan pemberian :



- Bisfosfonat misal klodronat, pamidronat, zolendronat. - Kalsitonin - Kortikosteroid Komplikasi akibat pengobatan kanker



Penatalaksanaan Jika secara klinik terbukti ada sindrom lisis tumor maka: Pasien segera dimasukkan ke ICU Monitor EKG dan tanda vital Tekanan vena sentral hams diukur tiap 8 jam



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Balans cairan ketat Hidrasi hams dilanjutkan dengan 5 Vm2 Diuresis sedikitnya 150-200mVjarn. Jika diuresis kurang atau berat badan bertambah saat hidrasi, berikan diuretika terutama furosemid intravena, diuretika hemat kalium dihindari. Hindari pemakaian kontras medium, aminoglikosida, OAINS, probenesid, tiazid. Terapi Hiperurisemia pada Sindrom Lisis Tumor Alopurinol adah obat pilihan untuk mencegah peningkatan asam urat. Enzim xantin oksidase mengubah alopurinol menjadi oksipurinol, yang selanjutnya menghambat enzim tersebut. Akibatnya mencegah metabolisme hipoxantin menjadi asam urat. Kelamtan dan eliminasi xantin lebih baik dibanding asam urat di ginjal. Dosis alopurinol yang diperlukan 10 mg/kgBB. Jika terdapat penurunan pungsi ginjal , dosis alopurinol diturunkan. Bila kreatinin klirens >20 mymenit diberi 300 mglhari. Alopurinol tidak boleh dikombinasi dengan 6-merkaptopurin, ampisilin, siklosporin. Jika alergi alopurinol, bisa diberikan urat oksdase atau rasburikase.



Terapi Hiperkalemia pada Sindrom Lisis Tumor Hidrasi dan diuresis Pemberian nebulisasi beta-2 agonis seperti fenoterol dapat membantu. Pemberian 10-20 U insulin dan 25-50 g glukosa. Kalsium glukonat 10% 10 ml bolus perlahan-lahan selama 2-3 menit diberikan dalam keadaan yang mengancam disritmia.



Dialisis pada Sindrom Lisis Tumor Jika kalium > 7 mmolll tidak bisa ditangani dengan pengobatan konvensional hams segera dilakukan dialisis bila keadaannya mengancam nyawa. Indikasi lain adalah kalium > 6 mmollldalam terapi hidrasi, fosfat > 10 mg/dl, ureum > 150 mg/dl dan oliguria atau anuria. Komplikasi Sindrom lisis tumor adalah keadaan yang mengancam nyawa, dengan komplikasi gaga1 ginjal akut, disritmia maligna, DIC dan akhirnya meninggal.



REFERENSI Friedman JD. Oncologic Emergencies. In : Pillot G et a1 eds.The Washington Manual Hematology and Oncology Subspeciality Consult. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2004. Gucalp R, Dutcher J. Oncologic Emergencies. In: Kasper DL et a1 eds. Harisson's Principle of Internal Medicine, 16Lhed. New York, McGraw-Hill, 2005. Jouriles NJ. Oncologic Emergencies. In : Markovchick VJ, Pons PT eds.Emergency Medicine Secrets 3" ed. Philadelphia, Hanley & Belfus, 2003. Kosmidis PA, Schijvers D, Andre F, Rottey S, eds. European Society for Medical Oncology Handbook of Oncological Emergencies. London, Taylor & Francis, 2005. Liu G, Robins HI. Oncological Emergencies. In: Pollock RE, ed. UICC Manual of Clinical Oncology, gth ed.New Jersey, John Wiley & Sons, 2004. Yahalom J. Oncologic Emergencies. In : de Vita VT et a1 eds. Cancer Principles & Practice in Oncology, 7& ed. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2005.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



DASAR-DASAR NUTRISI KLINIK PADA PROSES PENYEMBUHAN PENYAKIT Daldiyono, Ari Fahrial Syam



DEFlNlSl



Nutrisi klinik merupakan bidang ilmu kombinasi (Integrasi) antara ilmu gizi dan ilmu tentang penyakit, terutama yang bersangkutan dengan proses penyembuhan. Ilmu gizi adalah ilmu yang mempelajari zat makanan (nutrisi) dalam kaitannya dengan pemeliharaan kesehatan, pencegahan dan penyembuhan penyakit, beserta proses pengolahan dan penyajian makanan. Berbagai terminologi sejenis.



apabila asupan makan dan minum tidak terpenuhi maka proses penyembuhan yang diharapkan tidak berjalan optimal se~ertiYang dihara~kan(Gambar 2). Metabol~sme nutrisi Patofislologl Patobiologis



-



ii","," Sehat Penyembuhan endogen dari Tuhan



Sakit



Proses recovery



Proses defens~ Proses Hormon Proses lmun Enz~matik neurotransmiter Vitamin Glukosa 0 , Kardiovaskuler Respirasi E ritrosit



EZ.rgi



dan lain- lam Psikis Rekonstruksi jaringan Reqenerasi Pmses eliminasi



Gambar 2. Kesatuan ilmu nutrisi klinik (Scientific Entity of Clinical Nutrition)



Gambar 1. Kaitan antara ilmu gizi, gizi rnedik dan nutrisi klinik



NUTRlSl KLlNlK DALAM BIDANG PENYAKIT DALAM



Nutrisi klinik dalam bidang penyakit dalam adalah nutrisi untuk orang sakit khususnya dalam bidang ilmu penyakit yaqg berkaitan dengan proses penyembuhan, lebih tegasnya nutrisi berperan sebagai dasar proses penyembuhan. Pada suatu proses penyembuhan dibutuhkan berbagai rangkaian reaksi kimiawi dan enzimatik. Agar proses penyembuhan tersebut dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan tergantung pula pada asupan makan termasuk asupan mineral, vitamin dan air. Oleh karena itu



PROSES METABOLISME ZAT GlZl



Metabolisme zat gizi secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 bagian besar yaitu pemecahan zat gizi untuk utilisasi, proses pembentukan energi dan regenerasi sel. (Gambar 3)



I I



I



Metabolisme Nutrisi



1



dan jaringan -



-



I



Gambar 3. Garis besar metabolisrne zat gizi = nutrisi



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Untuk memahami metabolisme produksi jaringan dan proses regenerasi dapat dapat disimak perubahan dari telur ke anak ayam. Dalam proses perubahan telur menjadi aayam dibutuhkan energi CO, dan 0, dan proses pengeraman. Melalui proses metabolisme dalam telur putih dan kuning telur serta faktor genetik membentuk bagian-bagian dari organ tubuh dari anak ayam.



n Em brio rival (sen)



Otak Tulang Darah Daaina



1-1



Putih Telur



-1



Kuning Telur



1-



Gambar 4. Problematik keilrnuan produksi jaringan dan regenerasi dari zat gizi



Karbohidrat. Metabolisme karbohidrat meliputi: 1). Pembentukan ATP melalui glukosa, galaktosa, dan fruktosa; 2). Membentuk Karboprotein; 3). Glukosa membentuk ribosa untuk sintesis asam nukleat; 4). Konservasi karbohidrat glikogen.



dari satu asam amino berikatan dengan gugus karboksil dari asam amino yang lain. Dipeptida saling berikatan membentuk polipeptida dan selanjutnya menjadi struktur protein.



Lipid. Lipid selain berperan sebagai sumber energi juga mempunyai peran sebagai regulator metabolic. MetabolismeLipid untuk Energi dari Makanan. Trigliserida terdiri dari gliserol dan asam lemak. Gliserol akan dipecah menjadi gliserophosfat kemudian piruvat dan bentuk akhirnya asetil CoA yang masuk proses metabolisme melalui Siklus Krebs. Sedang asam lemak sendiri terdiri dari asam lemak esensial (Omega3, omega 6 dan Arakhidonat), sedang asam lemak essensial dipecah menjadi Asetil CoA untuk memproduksi kolesterol. Kolesterol sendiri mempunyai peran untuk pembentukan membran sel, sebagai bagian dari garam empedu untuk proses digesti lemak (emulsi lemak) dan peran kdesterol lain untuk membnetuk berbagai hormon yang dibutuhkan oleh tubuh seperti kortisol, aldosteron, testosterone serta estrogen dan progesterone. Air = Pembentuk tubuh terpenting dalam bentuk cair , 60% berat badan terdiri dari air. Air yang ada didalam tubuh terdapat pada intravascular, intraselular, cairan interstitial. Air juga berperan sebagai pelarut untuk eliminasi zat sisa yang tak berguna (end product). Mineral. Kalium dalam sel berperan untuk menjaga homeostasis keseimbangan elektorlit dan asam basa, Posfat berperan dalam pembentukan membrane pospolipid, sulfat untuk membentuk protein. Natriurn sendiri merupakan salah satu elektrolit utama dalam tubuh berperan sebagai kation dan agen osmotic dari cairan ekstraseluler. Trace Element. Sejumlah elemen dengan jumlah sangat kecil dapat sangat dibutuhkan oleh tubuh karena sangat penting untuk proses tmbuh kembang dan menjaga kesehatan secara umum. Beberapa zat elemen penting antara lain Fe, Sulfur, Mn, Zn, Se dan I. Fe dibutuhkan untuk pembentukan hemoglobin. Trace element lain mempunyai peran pada reaksi enzimatik, sebagai antioksidan dan sebagai donor dan reseptor elektron.



Gambar 5. Garis besar metabolisme karbohidrat



Protein, terdiri dari molekul-molekul besar dengan berat molekul yang bervariasi dari 1000 sampai lebih dari 1.000.000. Protein dapat dipecah melalui proses hidrolisis kedalam bentuk-bentuk yang lebih sederhana yang kita kenal sebagai asam amino. Protein dipecah menjadi asam amino dan sebaliknya asam amino bergabung membentuk protein. Ada 20 asam amino yang ditemukan dialam. Asam amino berikatan satu sama lain dalam molekul protein melalui ikatan Peptida (dipeptida), dimana gugus amino



Vitamin. Vitamin bekerja dalam proses enzimatik dalam semua metabolisme dan tiap vitamin berperan secara spesifik. Enzim adalah katalisator dalam semua proses metabolisme yang terpenting adalah donor d a d atau reseptor elektron. Serat. Terdapat 2 jenis serat yang berperan dalam tubuh manusia ,yaitu: 1). Serat kasar, panjang dan kuat (Rough Fiber). Tidak berubah selama pencemaan hanya hancur dalam proses pengunyahan, berguna: a). Menahan air, b). Memberi volume feses agar berbentuk padat dan lunak menyebabkan peregangan usus dan merangsang



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



321



DASAR-DASAR NUTRISI KLINIKPADAPROSES PENYEMBUHAN PENYAKIT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI '



peristalsis, Contoh: selulose pada sayur dan buah; 2). Serat halus larut dalam air (finejbre water soluble). Terdapat pada sayur dan buah yang lunak. Macammacamnya: pektin, lignin dan laktulosa. Berfungsi sebagai prebiotik memberi makanan bakteri yang baik dalam intestine dan kolon. Bakteri tersebut disebut probiotik yaitu Laktobasilus spp, Bifidobakteria spp, Enterobacteri cae spp. Probiotik tersebut membentuk vitamin K, Biotin dan merangsang terbentuk zat imun. Selain itu serat halus dalarn kolon difermentasi oleh probiosik menjadi asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid) yaitu asetat, propionat dan butirat. Asam lemak rantai pendek dikomsumsi kolonosit sebagai substrat energi yang utama. Jadi, hidupnya kolonosit tergantung pada prebiotik dan probiotik.



[



Glukosa



Mttkondria



INTERAKSI DAN INTERRELASI Interaksi dan interrelasi terjadi antara karbohidrat, lemak dan protein. Ada 2 jenis Interaksi dan Interrelasi : a). Saling menjadi; b). Konversi membentuk energi (Glukoneogenesis). Metabolisme energi berpusat pada siklus Krebb atau siklus asam Sitrat. Sebagai awal metabolisme adalah masuknya piruvat kedalam mitokondna oleh enzim piruvat karboksilase menjadi Acetyl COA + C02. Apabila persediaan piruvat (dari glukosa = 1 glukosa + 2 piruvat) atau kekurangan glukosa misalnya waktu puasa, starvesilkelaparan), terjadilah apa yang disebut glukoneogenesis. Sebenarnya glukoneogenesis kurang tepat karena lipid dan asam amino untuk di rubah ke proses energi melalui berbagai jalur. Keterkaitan ketiga unsur gizi utama ini yaitu karbohidrat, lemak dan protein tampak lebih jelas pada proses glukoneogenesis dan siklus Krebs. Penjabaran peristiwa tersebut adalah sebagai berikut:



ATP + CO,+H,O



Gambar 7. Siklus Krebs + oksidatif fosforilasi perhatikan produksi CO2 dan masuknya Oksigen



Asam lemak bebas (Free Fatty Acid (FAA) & oks~das~ Asam Lemak



Acetyl COA



Gambar 8. Garis besar interaksi karbohidrat dalam metabolisme energi



Gambar 6. lnteraksi dan interrelasi



Karbohidrat Molekul karbohidrat awal adalah amilum yang di dalam usus dipecah menjadi glukosa-fruktosa- galaktosa. Fruktosa menjadi fruktosa 6 fosfat masuk dalam rantai glukolisis. Galaktosa dalam hati diubah menjadi glukosa. Sehingga akhirnya dapat dipahami bahwa subtrat energi yang terpenting adalah glukosa.



--- protein---lipid



Lipid Lipid berasal dari kilomikron yang terdiri atas Trigliserid, fosfolipid dan apoprotein sebagai pembawa dalam plasma. Trigliseride yang berasal dari kilomikron oleh enzim lipoprotein lipase dari endothel di pecah menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Gliserol masuk ke rantai glukolisis menjadi glisero fosfat kemudian menjadi piruvat. Asam lemak bebas (Free Fatty Acid =FFA) masuk ke sel setelah diaktifkan menjadi Asil CoA, kemudian masuk ke mitokondira dengan pembawanya carnitine. Dalam mitokondria asam lemak yang telah aktif berkat Co enzim A (Co A) dipotong secara berturut-turut dengan melepaskan asetil Co A lalu masuk ke dalam siklus Krebb.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Jadi ada 2 jalur lipid menjadi energi, yang pertama melalui gliserol masuk ke rantai glukolisis dan ke dua melalui oksidasi asam lemak membentukAseti1Co A.



Protein Protein disusun dengan asam amino. Ada 2 jenis asam amino yaitu esensil(10 Asam Amino) yang hams di dapat dari makanan dan asam amino non esensiel yang dapat di buat oleh tubuh dari asam amino yang lain (1 2 asam amino). Masuknya asam amino kedalam metabolisme energi melalui 3 tahap, yaitu: 1. Deaminasi



NH3



NH3



Asam Amino



Molekul Asam Lemak



2. Degradasi menjadi karbohidrat. Ada 3 Jurusan, yaitu: glukogenik, lipogenik, ketogenik 3. Masuk kedalam salah satu rantai glukolisisatau ke dalam siklus Krebbs.



I nw Hidroksiprolin



Fruktosa G Fasfat



Threoninil Glisin



,



Oksaloasetat



/+



~



.



~



~



~



i



n



a



y



;



,



i



n



, i



I



Lipogenik Glukogenik



Tirosine Phenilalanin ATP + CO2+ Hz0 Isoleusin



KONSERVASI ENERGI



Konservasi energi dalam badan hanya ada 2 jenis, yaitu: 1). Glikogen. Disimpan dalam sel hati dan otot, karena itu ada gerakan glikogen hati dan glikogen rantai otot, yang merupakan rantai glukosa. Dalam keadaan puasa dimana tidak ada asupan karbohidrat, maka glikogen dimobilisasi. Peristiwa ini disebut Gluneo glikogeneoisis atau glukoneogenesis. 2). Jaringan adikosa yang tidak lain adalah molekul trigliserid. Glikogen dalam keadaan normal mampu mencukupi kebutuhan kalori selama 13 jam, sedangkan jaringan adiposa bisa sampai 40 hari baru habis. Tetapi bila berat badan turun sebanyak 20% akan terjadi banyak perubahan struktur jaringan dan membran sel. Jadi batasan starvasi yang masih dapat ditolerir oleh badan adalah berkurangnya berat badan dalam waktu singkat sebanyak 20% dari berat badan.



Nutrisi merupakan dasar bagi proses penyembuhan. Dalam proses penyembuhan tersebut berbagai reaksi ensimatik terjadi dan ha1 ini membutuhkan asupan nutrisi yang baik. Reaksi biokimiawi zat-zat nutrisi utama yaitu karbohidrat, protein dan asam amino dan lipid berlangsung sangat rumit. Ketiga unsur gizi utama tersebut dalam tubuh saling



Gambar 9. Masuknya a s a m amino dalarn metabolisrne energi



berinteraksi dan berinterelasi dalam rangka menghasilkan energi yang dibutuhkan oleh tubuh.



REFERENSI Carpentier. Energy. In: Sobotka L, Allison SP, Furst P, Meier R, Pertkiewicz M, Soeters PB et al, eds. Basics in clinical nutrition. 2nd ed. Prague: Galen; 2000. p. 37-9. Carpentier. Carbohydrate. In: Sobotka L, Allison SP, Furst P, Meier R, Pertkiewicz M, Soeters PB et al, eds. Basics in clinical nutrition. 2nd ed. Prague: Galen; 2000. p. 39-41. Carpentier. Lipids. In: Sobotka L, Allison SP, Furst P, Meier R, Pertkiewicz M, Soeters PB et al, eds. Basics in clinical nutrition. 2nd ed. Prague: Galen; 2000. p. 41-4. Furst P. Protein and amino acids. In: Sobotka L, Allison SP, Furst P, Meier R, Pertkiewicz M, Soeters PB et al, eds. Basics in clinical nutrition. 2nd ed. Prague: Galen; 2000. p. 44-50. Greenberger NJ, Isselbacher KJ. Disorders of absorbtion. In: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ et al, eds. Hamson's principle of internal medicine. 14th ed. USA: McGraw Hill; 1998. p. 1616-32.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



NUTRISI ENTERAL Marcellus Simadibrata K



PENDAHULUAN Saluran cerna bertugas mempertahankan nutrisi yang adekuat sejak masuknya makanan, mencernakan (digesti), hingga mengabsorpsi makanan beserta air elektrolit. Beberapa penelitian di luar negeri menunjukkan nutrisi enteraljauh lebih unggul dibanding nutrisi parenteral dalam mempertahankan fungsi gastro-intestinal, kelangsungan hidup enterosit, dan kolonosit. Berdasarkan ha1 tersebut, maka setiap manusia sangat memerlukan nutrisi enteralpada saat sehat atau sakit. Pada beberapa penyakit, fungsi saluran cema menjadi kacau sehingga nutrisi enteral hanya dapat diberikan sebagian atau tidak dapat diberikan sama sekali.



Yang dimaksud dengan nutrisi enteral yaitu semua makanan cair yang dimasukkan ke dalam tubuh lewat saluran cema, baik melalui mulut (oral), selang nasogastrik, maupun selang melalui lubang stoma gaster (gastrotomi) atau lubang stoma jejunum (jejunostomi). Tujuanlindikasi pemberian nutrisi enteral: 1). Tambahan (suplementasi); 2). Digunakan pada pasien yang masih dapat makanlminum tetapi tidak dapat mencukupi kebutuhan energi dan protein; 3). Pengobatan; 4). Digunakan untuk mencukupi seluruh kebutuhan zat gizi bila pasien tidak dapat makan sama sekali. Kontra indikasi pemberian nutrisi enteral: 1). Potensial mengalami pneumonia aspirasi; 2). Peritonitis; 3). Obstruksi saluran cema; 4). Ileus paralitik; 5). Perdarahan gastrointestinal; 6). Intractable vomiting



PRlNSlP NUTRlSl ENTERAL Keputusan penggunaan nutrisi enteral sesuai



kepustakaan tergantung pada fungsi saluran gastrointestinal. Nutrisi enteral dapat diberikan bila saluran gastrointestinal berfungsi. Bila fungsinya normal dapat diberikan nutrien lengkap, sedangkan bila fungsinya kurang baik diberikan formula khusus. Nutrisi parenteral dianjurkan diberikan bila saluran gastrointestinal tidak berfungsi. Pemberian melalui selang nasoenterik dianjurkan bila nutrisi enteral hanya diberikan kurang atau sama dengan 6 minggu (Gambar 1).Bila nutrisi enteral tidak dapat diberikan melalui mulut selama lebih dari 6 minggu, maka dianjurkan pemberian melalui selang enterostomi (gastro duodenostomi). Pemilihan pemberian melalui selang nasoenterik tergantung pada apakah pasien memiliki risiko aspirasi atau tidak. Waktu 6 minggu sebenarnyarelatif dan masih kontroversial karena ada yang menyatakan bahwa selang nasogastrik poliuretan dapat dipakai sampai 6 bulan. Dalam memberikan nutrisi enteral harus selalu diperhatikan jumlah kalori, karbohidrat, protein, lemak, elektrolit, air, dan vitamin yang dibutuhkan pasien per hari. Kebutuhan kalori pasien dapat dihitung dengan rumus: 1. Hams-Benedict Kebutuhan kalori = BEE x 1,2 - 1,5 BEE (Basal Energy Expenditure): Perempuan: 655,10+ 9,56 W + 1,85 H-4,68A %a: 66,47 + 13,75W + 5,00 H- 6,7A W = berat badan (kg) H = tinggi (cm) A = umur (tahun) 2. Rumus kebutuhan kalori sub bagian metabolik endokrin FKUI/RSUPNCM.Kebutuhan kalori dasar : pria 30 kkal/kgBB ideal perempuan 25 kkaVkgBB ideal



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



324



NUTRISI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Gastrostomi Jejunostomi



~id~k-



Selang nasogastrik Selang nasoduodenal Selang nasojejunal



Suplementasi nutrisi parenteral Lanjut ke diet lebih kompleks dan makanan oral



Lanjut ke makanan oral Lanjut ke makanan enteral oral



Sesuai toleransi



Garnbar 1. Bagan keputusan penggunaan nutrisi enteral



Kebutuhan kalori dasar ini hams ditambah dengan kalori tambahan bila ada komplikasi lain, misalnya infeksi 20-30%, kurang gizi 20-30%, panasl demam 10% tiap naik 1°C, aktivitas (ringan, sedang, berat). 3. Secara mudah, untuk pasien penyakit saluran cema di Indonesia diusulkan pemberian nutrisi dengan jumlah kalori 1200-1500 kalori dengan nutrien lengkap.



JENlS MAKANANlNUTRlSl ENTERAL Jenis makanadnutrisi enteral yang ada yaitu: 1. Makananlnutrisi enteral formula rumah sakit (blenderized):Makanan ini dibuat dari beberapa bahan makanan yang diracik dan dibuat sendiri dengan menggunakan blender. Konsistensi larutan, kandungan zat-zat gizi, dan osmolaritas dapat berubah pada setiap kali pembuatan dan dapat terkontaminasi. Formula ini dapat diberikan melalui pipa sonde yang besar, rasanya enak, dan harganya relatif murah. Contoh : a). Makanan cair tinggi energi dan tinggi protein. Bahan: susufull cream, susu skim, susu rendah laktosa, telur, glukosa, gula pasir, tepung beras, minyak kacang, dan sari buah; b). Makanan cair rendah laktosa.



Bahan: susu rendah laktosa, telur gula pasir, maizena, dan minyak kacang; c). Makanan cair tanpa susu (bebas laktosa). Bahan: telur, kacang hijau, wortel,jeruk, tepung beras, dan gula pasir; d). Makanan khusus: untuk penyakit hati, rendah protein untuk penyakit ginjal, rendah purin untuk penyakit gout, diet diabetes. Makananlnutrisi enteral formula komersial : Formula komersial ini berupa bubuk yang siap dicairkan atau berupa cairan yang dapat segera diberikan.Nilai gizinya bermacam-macam sesuai kebutuhan, konsistensi dan osmolaritasnya tetap, praktis menyiapkannya, dan tidak mudah terkontaminasi. Jenis makanadnutrisi enteral komersial yang ada di Indonesia antara lain: a). Polimerik: mengandung protein utuh untuk pasien dengan fungsi saluran gastrointestinal normal atau hampir normal. Contoh: Panenteral, Fresubin; b). Pradigesti: diet dibuat dengan formula khusus dalam bentuk susu elemental. Diet ini mengandung asam aminolpeptida dan lemak medium chain tryglyceride (MCT) yang langsung diserap usus (contoh: Pepti 2000), digunakan untuk pasien dengan gangguan fungsi saluran gastrointestinal; c). Diet enteral khusus untuk: sirosis (contoh: Aminoleban EN, Falkamin), diabetes (contoh: diabetasol), gaga1 ginjal



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



NuTRISl ENTERAL



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI (contoh: nefrisol), dan tinggi protein (contoh: peptisol); d). Diet enteral tinggi serat (contoh: indovita). SISTEM PEMBERIAN NUTRlSl ENTERAL DAN ALATNYA Nutrisi enteral dapat diberikan langsung melalui mulut (oral) atau melalui selang makanan bila pasien tak dapat makan atau tidak boleh per oral. Selang makanan yang ada yaitu: 1. Selang nasogastrik. a). Selang nasogastrik biasa yang terbuat dari plastik, karet, dan polietilen. Ukuran selang ini bermacam-macam tergantung kebutuhan. Selang ini hanya tahan dipakai maksimal 7 hari; b). Selang nasogastrik yang terbuat dari polivinil (Flocare hijau Nutricia). Selangini benhran 7 h c h , kecil sekali dapat mencegah terjadinya aspirasi pneumonia makanan dan tidak terlalu mengganggu pernapasan atau kenyamanan pasien. Selang ini tahan dipakai maksimal 14 hari; c). Selang nasogastrik yang terbuat dari silikon. Ukuran selang ini bermacam-macam tergantung kebutuhan. Selang ini tahan dipakai maksimal6 minggu; d). Selang nasogastrik yang terbuat dari poliuretan. Ukuran selang ini 7 french (Flocare biru Nutricia). Selang ini dapat dipakai sampai 6 bulan. 2. Selang nasoduodenaWnasojejuna1. Ukuran selang ini bermacam-macam, namun lebih panjang daripada selang nasogastrik. Pemakaian selang ini tergantung dari bahan dasarnya. Selang yang terbuat dari poliuretan dan silikon dapat lebih lama dipakai sebelum diganti. 3. Selang dan set untuk gastrostomi atau jejunostomi. Gastroljejuno-stomi dapat di-buat dengan cara operasi atau paren-doskopi. Selang dan set alat ini masih sangat mahal untuk orang Indonesia, tetapi di luar negeri merupakan alat yang rutin dipakai untuk pasien yang tidak dapat makan per oral atau terdapat obstruksi esofaguslgaster.Biasanya alat ini terbuat dari campuran silikon. Pemberian nutrisi enteral komersial dapat melalui selang yang berukuran kecil (minimal 7 french) dibantu catheter tip/spuit besar secara bolus atau dengan drip seperti infus intravena yang dapat diatur kecepatan pemberiannya. Pemberian drip seperti infus ini lebih baik dari-pada sistem bolus karena dapat mencegah muntah, aspirasi pneumonia, atau diare. Beberapa perusahaan komersial telah membuat pompa makanan enteral khusus (memakai listrik atau baterai) sehingga kecepatan masuknya nutrisi dapat diatur lebih tepat dan kontinyu. Pompa ini lebih diperuntukkan pada pemberian nutrisi enteral hiperosmolar pada pasien dengan gangguan gastrointestinal, mencegah muntah atau aspirasi pneumonia, atau diare. Indikasi selang nasoenterik (nasogastrik atau nasoduodenal atau nasojejunal (Tabel 1).



-



Neurologik dan Psikiatrik



Gastrointestinal



Kecelakaan serebrovaskular Neoplasma Trauma lnflamasi Penyakit demielinisasi Depresi berat Anoreksia nervosa Gaga1 tumbuh Orofaringeal dan Esofageal



Pankreatitis Penyakit usus inflamatorik Sindrom usus pendek Penyakit usus neonatal Malabsorpsi Persiapan usus Preoperatif Fistula



Neoplasma lnflamasi Trauma



Luka bakar Kemoterapi Radioterapi Al DS Transplantasi organ



'dikutip dari Guenter P et al



MONITOR EFEKTlVlTAS NUTRlSl ENTERAL Untuk memonitor efektivitaspemberian nutrisi enteral pada status nutrisi pasien dapat dilakukan beberapa macam cam: Penimbangan berat badan, body mass index (BMI) Pemeriksaan lingkar pinggang dan panggul, lingkar lengan atas, tebal lipat kulit trisep. Pemeriksaan keseimbangan nitrogen Pemeriksaan albumin, prealbumin serum, kolesterol darah, kadar besi, transferin darah. Anamnesis gizi



KOMPLIKASI NUTRlSl ENTERAL Komplikasi yang terjadi karena nutrisi enteral dibagi atas 4 macam, yaitu gastrointestinal,metabolik, disebabkan atau berhubungan dengan selang makanan, dan infeksi. Komplikasi ini dapat dilihat pada Tabel 2.



NUTRlSl ENTERAL PADA PENYAKIT SALURAN CERNA Pada penyakit saluran cerna di mana makanan tidak dapat masuk ke dalam saluran cerna atau memang harus dipuasakan per orayenteral (misalnya pada disfagia, ileus, pankretitis akut, operasi usus), nutrisi diberikan melalui parenteral. Sedangkan pada penyakit saluran cerna di mana nutrisi per oral/enteral masih dapat diberikan (misal dispepsia, sindrom usus iritatif, diare), sebaiknya diberikan per oral atau enteral atau dapat diberikan kombinasi oral1 enteral dengan parenteral pada tahap awal. Sedapat mungkin bila usus berfungsi, lebih baik diberikan nutrisi enteral dibanding parenteral. Nutrisi enteral peroral lebih dipilih dibanding per selang makanan. Pada pankreatitis akut, selain nutrisi parenteral sebenarnya dapat juga diberikan nutrisi enteral per jejunostomi atau kombinasi.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Penyebab yang mungkin



Komplikasi Gastronintestinal Nausea atau vomitus



Ansietas, residu gaster yang banyak, formula "malodorous". obat, letak selang, posisi penderita yang tidak tepat, pemberian makanan dingin, kecepatan infus yang cepat Kecepatan infus yang cepat. makanan atau obat hiperosmolar, intoleransi laktosa, terapi antibiotika, hipoalbuminemia, formula yang terkontaminasi bakteri, formula rendah residu Formula rendah residu, dehidrasi, obat Gangguan motilitas usus halus dan usus besar



Diare



Konstipasi Kembung dan kram abdomen



Metabolik Dehidrasi



-



-



Demam atau infeksi, masukan cairan tidak adekuat, kehilangan cairan berlebihan Peningkatan elektrolit dalam formula, masukan cairan yang tidak adekuat, kehilangan cairan berlebihan Pemberian atau retensi air berlebihan, elektrolit tidak adekuat dalam formula Stres metabolik, riwayat diabetes, pemberian glukosa berlebihan



Peningkatan elektrolit serum



Penurunan elektrolit serum Hiperglikemia



Mekanik (disebabkan atau berhubungan dengan selang nasoenterik) Selang makanan tersumbat lritasi atau erosi nasal Perubahan posisi selang Patologi esofagus: esofagitis, erosi esofagus. ulkus esofagus, denganl tanpa perdarahan dan striktur Fistula trakeoesofagus Tidak enak nasofaring Laring: serak, ulserasi, stenosis Ruptus varises esofagus Aspirasi saluran napas lnfeksi Pneumonia aspirasi



---



-



Kontaminasi bakterial dari makanan enteral



Residu formula berlebihan di selang Pemberian obat melalui selang Penderita batuk atau muntah = Efek lokal selang nasoenterik



-.



Tekanan berat yang menimbulkan nekrosis Efek lokal Efek lokal Efek lokal Salah posisi penempatan selang nasoenterik



Regurgitasi, salah posisi penempatan selang nasoenterik Kontaminasi eksogen di rumah (waktu pembuatan), tempat nutrisi, dan alat-alat pemberian nutrisi.



karbohidrat glukosa polimer, sumber lemak trigliserid dengan rantai asam lemak sedang dan asam linoleat, 1 kcall ml, osmoloaritas450-650 mOsm0I/ kg, total energi bertahap (kombinasi parenteral), elektrolit 70-90 mmolll (natrium 3070 m m o ~ &kaliwn 70-90 m m o ~ )vitamin , 1 kebutuhan mineral minumhari. Pemberian nutrisi enteral sebaiknya diberikan perdrip dengan bot01500 CC,tidak bolus langsung.



,&



NUTRlSl ENTERAL PADA PASIEN KANKER



Penggunaan saluran gastrointestinal yang utuh bagi pemberian nutrisi merupakan pilihan pertama pada pemberian nutrisi pasien kanker. Pasien kanker yang akan mendapat suplementasi enteral dapat diberikan melalui salah satu dari 3 jalur pemberian yang umum, yaitu oral, nasoenterik, atau enterik (gastrostomi atau jejunostomi). Pemilihan jalur pemberian tergantung pada indikasi pemberian nutrisi. Pada umumnya, pasien kanker dengan masukan makanan yang terganggu ringan harus disuplementasi oral. Jika jalur ini tidak mungkin, karena penyakit atau kebutuhan nutrien yang lebih tinggi maka perlu dipertimbangkan selang makanan. Pada pasien malnutrisi sedang (kehilangan berat badan antara 6 dan 12% berat badan biasa, albumin serum lebih besar dari 3,5 gldl, dan kadar transferin serum lebih besar dari 220 mgl dl), metode yang dipilih yaitu selang makanan nasointestinal. Jika diperlukan nutrisi enteral suportif preoperatifjangka panjang, cairan nutrien dapat diinfuskan melalui gastrostomi atau jejunostomi. Pemberian makanan melalui selang sebaiknya dibantu drip gravitasi kontinu atau pompa infus. Kecepatan infis yang aman yaitu 30 mlljam dan dapat ditingkatkan kecepatan tiap 12jam dalam 48 jam dengan kenaikan 15 mlljam. Target yang dicapai yaitu pemberian kalori 35 kalori1kgBB per hari dengan sedikitnya protein 1,5 gram/kgBB/hari.



NUTRlSl ENTERAL PADA PASIEN "IMMUNO COMPROMISED"



Nutrisi enteral per oral diberikan bila makanan masih dapat melalui mulut dan esofagus. Nutrisi enteral per selang makanan diberikan bila makanan tak dapat diberikan melalui mulut dan esofagus (misalnya pada stenosisl striktur esofagus) atau melalui gastrostomi (pada stenosis/striktur esofagus, kanker esofagus distal, atau tumor proksimal lambung) atau melalui jejunostomi (pada tumor distal lambung, obstruksilstenosis pilorus, pankreatitis akut). Nutrisi perorallenteral sangat penting untuk saluran cerna, karena dapat mencegah atrofi vili usus serta tetap menjaga kelangsungan fungsi usus, enterosit, dan kolonosit. Pada penyakit atau gangguan saluran cerna (gastrointestinal) direkomendasikan diet orallenteral dengan sumber protein asam amino atau peptida, sumber



Nutrisi enteral yang mengandung asam amino glutamin dianjurkan, karena glutamin merupakan sumber energi utama bagi usus halus dan sumber oksidan selama keadaan katabolik. Nutrisi enteral yang diberikan sebaiknya rendah kuman mikrobial atau steril dengan bantuan isolasi ultra dan antibiotika tidak diabsorpsi.



NUTRlSl ENTERAL PADA PASIEN GERlATRl



Pasien geriatri (berusia 60 tahun atau lebih) lebih sering mengalami malnutrisi, karena itu nutrisi merupakan ha1yang penting diperhatikan dalam pengobatan pasien tersebut. RDA kebutuhan kalori energi disesuaikan dengan berat



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



NUTRlSl ENTERAL



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



badan ideal dengan rumus yang ada. Kebutuhan protein yang disepakati sekitar 0,8 gram/kgBB/hari, sedangkan konsumsi lemak antara 10-15% kebutuhan energi total. Kebutuhan vitamin-mineral pada geriatri dapat dilihat pada Tabel 3. Kebutuhan serat yang dianjurkan sekitar 25 gram per hari.



Vitamin-Mineral



RDA Usia Lanjut



RDA Dewasa Normal



Vitamin A (USIRE) B l (mg) B6 (mg) 812 (mg) c (mg) D (us) E (mg x TE) K ('Jgr) Mineral zn (ms) Ca (ms) P (mg) Mg (mg) Fe (mg) s e (ug) Na (mg) K (mg) (mg)



NUTRISI ENTERAL PADA PENYAKIT GINJAL



Pasien penyakit ginjal akutl kronik atau gagal ginjal sering mengalami penyakit katabolik yang membutuhkan nutrisi suportif khusus. Pada gagal ginjal akut, harus diberikan diet bebas protein atau rendah protein, mengandung energi-kalori atau gula. Pada penyakit ginjal kronik tidak terkomplikasi, untuk mencegah uremia, protein yang diberikan dalam bentuk protein nilai biologi tinggi (asam amino esensial) 20 gram/ hari. Pada gagal ginjal kronik tidak terkomplikasi (termasuk yang menjalani dialisis), kebutuhan energi tidak berbeda dengan orang dewasa normal. Keseimbangan nitrogen netral dicapai dengan pemasukan nutrisi yang mengandung protein nilai biologi tinggi 0,55-0,60 g r a d kgBB/hari dan kalori- energi 35 kkaVkgBB/hari.



* dikutip dari Soejono CH & Weinsier RL et al



Pada gagal ginjal kronik dan penyakit katabolik berat, kebutuhan kalori-energi dan nitrogen lebih tinggi, tidak berbeda dengan pasien yang tidak menderita gagal ginjal. Pada pasien gagal ginjal dengan hiperkalemia atau hipofosfatemiadilakukan pembatasan kaliurn atau diberikan fosfor. Pada pasien gagal ginjal dengan hipomagnesemia perlu diberikan magnesium. Pada pasien gagal ginjal dengan hipokalsemia diberikan kalsium.



NUTRlSl ENTERAL PADA PENYAKIT HATI



Pada penyakit gagal hati, protein yang diberikan dikurangi kadarnya (rendah protein) untuk mencegah peningkatan kadar amonia dalam darah yang masuk ke otak, sehingga dapat mencegah timbulnya ensefalopati dan koma hepatikum. Dewasa ini ada nutrisi enteral komersial yang mengandung protein dalam bentuk asam amino rantai cabangPBCAA" (contoh: Falkamin dan Aminoleban EN) yang dapat mencegah dan mengobati ensefalopati atau koma hepatikum. Yang termasuk asam amino rantai cabang antara lain valin, leusin, isoleusin, alanin. Nutrisi enteral asam amino rantai cabang ini dapat diberikan tunggal atau sebagai suplementasi dengan diet hati buatan rumah sakit. Pada penyakit sirosis hati, kebutuhan protein minimal yaitu 50 grarnlhari, tergantung fimgsi liver apakah terkompensasi atau tidak. Pada pasien yang terkompensasi, kebutuhan kalori energi, lemak sama dengan orang dewasa sehat.



Nutrisi enteral memiliki kelebihan dan keuntungan dibanding nutrisi parenteral. Dalam pemilihanjenis nutrisi yang baik, harus dipertimbangkan bagaimana fungsi saluran gastrointestinal dan fungsi organ tubuh pasien.



REFERENSI Betzhold J, Howard L. Enteral nutrition and gastrointestinal diseases. In: Rombeau JL, Caldwell MD, editors. Enteral dan tube feeding. Clinical nutrition. Volume 1. PhiladelphiaLondon-Toronto: WB Saunders; 1984. p. 338-61. Dobrilla G, Amplatz S. Dietetic approach to patients with functional dyspepsia. In: Barbara L-Porro B-Cheli R-Lipkin M, editors. Nutrition in gastrointestinal disease. New York: Raven Press; 1987. p. 27-39. Guidlines for the use of parenteral and enteral nutrition in adult and paediatrics patients. JPEN. 1993: 17.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



NUTRISI PARENTERAL: CARA PEMILIHAN, KAPAN, DAN BAGAIMANA Imam Subekti



PENDAHULUAN Salah satu aspek pengelolaan yang penting untuk proses pemeliharaan dan penyembuhan penyakit adalah nutrisi pasien. Tubuh manusia membutuhkan makanan untuk hidup dan aktivitas. Zat kimia yang menyusun makanan manusia dalam jumlah besar adalah karbohidrat, lemak, dan protein, dikenal dengan istilah makronutrien. Makronutrien dibutuhkan tubuh untuk memenuhi kebutuhan energi dan pembentukan serta perbaikan struktur tubuh hingga dapat berfungsi semestinya. Kebutuhan energi tubuh dapat dibagi menjadi kebutuhan untuk memenuhi metabolisme basal; untuk aktivitas dan specific dynamic efSect. Kebutuhan nutrisi untuk orang sakit sering lebih besar, karena pada saat sakit terdapat peningkatan hormon stres yang memerlukan tarnbahan energi, misalnya pada keadaan infeksi atau keadaan yang memerlukan pengaturan makanan secara khusus. Di lain pihak, banyak kendala atau kesulitan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi karena pasien tidak mau makan (selera makan kurang) atau tidak mampu makan akibat penyakitnya. Pada keadaan-keadaan tersebut, untuk dapat memenuhi kebutuhan nutrisi, pasien harus tetap mendapat makanan baik secara nutrisi enteral (NE) yaitu melalui selang nasogastrik atau secara nutrisi parenteral (NPE). Walaupun manfaat klinik yang didapat baik melalui NPE maupun NE boleh dikatakan setara, tetapi mengingat teknik NE kurang invasif dan lebih murah, maka bila masih memungkmkan teknik yang dipilih adalah NE. Tetapi dalam kondisi tertentu, di mana teknik NE tidak memungkinkan, NPE menjadi pilihan. Pemberian nutrisi dengan cara parenteral tidak dapat menggantikan fungsi alamiah usus, karena hanya merupakan jalan pintas sementara sampai usus dapat



berfhgsi normal kembali. Disadari bahwa harga NPE relatif mahal, tetapi jika digunakan dengan benar pada pasien yang tepat, pada akhimya akan dapat dihemat banyak biaya yang semestinya keluar untuk obat-obatan dan waktu tinggal di rumah sakit. Mengingat teknik NPE yang tidak mudah, makalah ini akan membahas tentang cara pemilihan, kapan dan bagaimana NPE itu.



Yang dimaksud dengan terapi nutrisi parenteral ialah semua upaya pemberian zat nutrien melalui inhs. Tujuan NPE tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan energi basal dan pemeliharaan kerja organ, tetapi juga menambah konsumsi nutrisi untuk kondisi tertentu, seperti keadaan stres (sakit berat, trauma), untuk perkembangan dan pertumbuhan.3 Dengan pengertian tersebut, maka terapi nutrisi parenteral dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu : 1. Terapi nutrisi parenteral parsial (suportif atau suplemen), diberikan bila: Dalam waktu 5-7 hari pasien diharapkan mampu menerima nutrisi enteral kembali Masih ada nutrisi enteral yang dapat diterima pasien NPE parsial ini diberikan dengan indikasi relatif. 2. Terapi nutrisi parenteral total, diberikan jika batasan jumlah kalori ataupun batasan waktu tidak terpenuhi. NPE total ini diberikan atas indikasi absolut.



Pada terapi NPE, yang perlu ditentukan terlebih dulu ialah



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI apakah memang ada indikasi atau tidak. Secara umum, NPE diindikasikan pada pasien yang mengalami kesulitan mencukupi kebutuhan nutrisi untuk waktu tertentu. Tanpa bantuan nutrisi, tubuh memenuhi kebutuhan energi basal rata-rata 25 kkaVkgBBhari. Jika cadangan habis, kebutuhan glukosa selanjutnya dipenuhi melalui proses glukoneogenesis, antara lain dengan lipolisis dan proteolisis 125-150 ghari. Puasa lebih dari 24 jam menghabiskan glukosa darah (20 g), cadangan glikogen di hati (70 g) dan otot (400 g). Sedangkan cadangan energi lainnya, lemak (12.000 g), dan protein (6.000 g) habis dalam waktu kira-kira 60 hari. Keadaan-keadaan yang memerlukan NPE adalah sebagai berikut: Pasien tidak dapat makan (obstruksi saluran pencernaan seperti striktur atau keganasan esofagus, atau gangguan absorbsi makanan) Pasien tidak boleh makan (seperti fistula intestinal dan pankreatitis) Pasien tidak mau makan (seperti akibat pemberian kemoterapi) Meskipun terdapat ketiga ha1 tersebut, NPE tidak langsung diberikan pada keadaan: Pasien 24 jam pascabedah yang masih dalam Ebb phase, masa di mana kadar hormon stres masih tinggi. Sel-sel resisten terhadap insulin dan kadar gula darah meningkat. Pada fase ini cukup diberikan cairan elektrolit dan dekstrosa 5%. Jika keadaan sudah tenang yaitu demam, nyeri, renjatan, dan gagal napas sudah dapat diatasi, krisis metabolisme sudah lewat, maka NPE dapat diberikan dengan lancar dan bermanfaat. Makin berat kondisi pasien, makin lambat dosis NPE total (dosis penuh) dapat dimulai. Sebelum keadaan tenang v o w phase) tercapai, NPE total hanya menambah stres bagi tubuh pasien. Fase tenang ini ditandai dengan menurunnya kadar kortisol, katekolamin, dan glukagon. Pasien gagal napas (p02 50) kecuali dengan respirator. Pada pemberian NPE penuh, metabolisme karbohidrat akan meningkatkan produksi C02 dan berakibat memperberat gagal napasnya. Pasien renjatan dengan kekurangan cairan ekstraselular Pasien penyakit terminal, dengan pertimbangan costbenefit



STRATEGI PEMBERIAN NPE Sebelum memulai NPE, tahapan yang perlu dilakukan ialah: 1). identifikasi status gizi; 2). menentukan problem nutrisi; 3). menghubungkan tujuan NPE dengan penyakit primernya; 4). menghitung kebutuhan nutrien per hari; 5). menyusun kebutuhan nutrien dengan preparat cairan yang tersedia; 6). menentukan cara pemasangan infus



ldentifikasi Status Gizi Identifikasi status gizi hams dilakukan sebelum memulai terapi NPE. Dengan mengetahui status gizi pasien, lebihcukup atau kurang, dapat diputuskan saat mulai dan komposisi nutrisi yang akan diberikan. Pada pasien dengan gizi cukup, NPE baru dimulai pada hari ketiga, setelah fase Ebb dilewati. Bila gizi pasien kurang, NPE bisa dimulai lebih awal yaitu setelah 24-48 jam. Menentukan Masalah Nutrisi Pada tahap ini ditentukan sifat dukungan NPE yang akan diberikan, apakah untuk suportif (parsial) dan berapa lama, atau NPE total. Keputusan ini bergantung pada kondisi pasien: apakah bisa menerima makanan per oral penuh, sebagian atau sama sekali tidak bisaltidak diperbolehkan, berapa lama kondisi tersebut diperkirakan akan berlangsung. Menghubungkan Tujuan Nutrisi Parenteral dengan Penyakit Primer Keadaan-keadaan seperti status gizi, proses katabolisme dan penyakit pasien mempengaruhi tujuan, saat mulai, dosis, jenis dan susunan nutrisi yang akan digunakan. Pasien dengan masalah khusus (gizi kurang, diabetes melitus, gangguan ginjal dan hati), maka NPE dapat diberikan lebih dini, yaitu setelah 24-48 jam.3,8 Juga,jenis penyakit, seperti gangguan hati atau ginjal misalnya, akan menentukan pilihan jenis formula maupun dosis yang akan dipakai. l,8 Beberapa pertimbangan NPE pada pasien dengan gangguan khusus, seperti tersebut di bawah ini: Gangguan hati. Pasien dengan gangguan hati akut atau kronik mengalami penurunan kadar asam amino rantai cabang (AARC) dan peningkatan asam amino aromatik (AAA) di plasma dan otak. Laporan penelitian menyebutkan bahwa nutrisi parenteral dengan formula tinggi AARC dan rendah AAA memberikan imbangan nitrogen yang lebih baik, mengurangi risiko ensefalopati dan memperbaiki angka kelangsungan hidup pasien. Peradangan hati akut dengan sebab apapun, akan didahului stadium preikterik yang ditandai dengan rasa mual yang sangat, nafsu makan menurun dan nyeri daerah epigastrium,sehingga memerlukan nutrisi parenteral.1 Pada saat awal di mana pasien menampakkan tanda-tanda dehidrasi, sebaiknya diberikan infus knstaloid, selanjutnya diberikan infus dekstrose 5-10%. Bila perlu dapat diselingi dengan cairan infus yang mengandung asam amino esensial yang cukup. Pada gangguan hati kronik, seperti sirosis hati, umumnya nutrisi parenteral baru diberikan bila disertai komplikasi, misalnya asites masif, hematemesis melena, ensefalopati,clan formula cairan yang diberikan disesuaikan dengan masalah klinik yang dihadapi. Pada ensefalopati hepatik misalnya, langkah pertama yang penting ialah



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pemberian dekstrosa 10% atau maltosa 10% sebagai sumber kalori, koreksi gangguan keseimbangan elektrolit, dan langkah berikutnya ialah pemberian cairan kaya AARC. Tujuan pemberian AARC ialah mencegah masuknya AAA ke dalam jaringan otak, di samping untuk menurunkan katabolisme protein dan mengurangi konsentrasi amonia darah. Gangguan ginjal. Pada pasien gagal ginjal, kekurangan air (dehidrasi) dan kekurangan garam adalah 2 kelainan yang sering ditemukan. Kelainan ini bersifat reversibel dan apabila koreksi tidak segera dilaksanakan, akan merupakan tahap pertama dari rangkaian kelainan yang akan menurunkan faal ginjal. Di samping itu, pada pasien gagal ginjal terdapat gangguan ekskresi nitrogen, sehingga pengurangan masukan protein akan memperbaiki keadaan. Yang harus diperhatikan ialah bagaimana caranya memberikan kalori yang cukup dengan diet rendah protein tanpa membuat pasien mengalami malnutrisi kalori-protein. Pemberian nutrisi parenteral yang mengandung asam amino esensial dan glukosa pada gagal ginjal akut memberikan angka kelangsungan hidup lebih baik dibanding glukosa saja. Diabetes melitus. Pada orang normal, NPE biasanya diberikan pada hari ketiga. Sedang pada pasien DM, karena umumnya mudah jatuh dalam keadaan hipokalorik, maka NPE pada pasien DM dimulai lebih dini. Syarat NPE pada DM ialah setelah kadar glukosa darah kurang dari 250 mgl dl. Bila kadar glukosa darah masih di atas angka tersebut dan hams segera mulai NPE, untuk menurunkan kadar glukosa dapat dilakukan regulasi cepat dengan insulin.



Menghitung Kebutuhan Nutrien Per hari Dalam menghitung kebutuhan nutrien, di samping kebutuhan untuk keadaan sehat,juga perlu diperhitungkan kondisi penyakit yang mendasarinya. Kalori adalah unsur yang mutlak hams diberikan cukup. Sumber kalori yang utama dan harus selalu ada adalah glukosa. Otak dan eritrosit mutlak memerlukan glukosa ini setiap saat. Jika tidak tersedia cukup, tubuh melakukan glukoneogenesis dari substrat lain. Selain karbohidrat, sumber kalori yang lain ialah lipid. Untuk keperluan regenerasi sel, sintesis enzim dan protein diperlukan sumber protein, yaitu asam amino. Komponen nutrisi penting lainnya ialah vitamin yang larut lemak dan larut air, elektrolit, trace element. Albumin, insulin, dan obat-obatan lain mungkin diperlukan sesuai kondisi tertentu. Cairan. Pemenuhan kebutuhan cairan dipengaruhi oleh adanya penyakit yang mendasarinya, seperti gagal jantung, gangguan respirasi, ginjal dan hati. Kebutuhan cairan pasien dewasa pada umumnya berkisar 1-2,2 mll kkal atau 20-50 rnLkgBBhari, atau rata-rata 35 mVkgBB.6,7 Bila terdapat kehilangan cairan yang abnormal, seperti diare atau muntah, cairan perlu ditambahkan sejumlah yang



hilang tersebut. Bila terdapat demam, cairan ditambah sebanyak 150Wpeningkatan 1"C.(l) Dalam ha1 hilangnya cairan lambung, berartijuga hilangnya komponen mineral/ elektrolit, maka perlu diperhitungkan dalam menentukan formula NPE.6 Kalori. Kebutuhan kalori secara sederhana dapat diperkirakan dari berat badan. Untuk menghitung resting metabolic expenditure (RME), rumus yang biasa digunakan ialah rumus Harris-Benedict: Pria: RME (kkalhari) = 66,5+13,8xBB (kg)+SxTB (cm) 6,8xUmur(th) Perempuan: RME (kkal/han)=655+9,6xBB(kg)t l,8xTB(an) - 4,7xUmur (th) Di samping kebutuhan basal tersebut, tambahan kalori diperhitungkan bila menghadapi stres atau aktivitas, sebagai berikut: 1,2 x RME, untuk kondisi tanpa stres 1,5 x RME, untuk kondisi stres sedang seperti trauma dan operasi 2,O x RME, untuk kondisi stres berat seperti sepsis dan luka bakar > 40% permukaan tubuh Dalarn pemberian NPE, tambahan kalori yang diperlukan untuk aktivitas (energy expenditure of activifylEEA) tidak perlu lagi, karena dalam RME kebutuhan untuk spesifik dinamik action sudah diperhitungkan. Untuk kepentingan praktis, mengingat rumus Haris Benedict rumit, Howard Lyn6 menyederhanakan perhitungan menjadi: 25 kkalkgBB, untuk kondisi tanpa stres 30 kkalkgBB, untuk stres ringan 35 kkalkgBB, untuk stres sedang 40 kkalkgBB, untuk stres berat



SUMBER KALORI Dua sumber utama kalori adalah karbohidrat dan lemak. Tetapi bila kebutuhan NPE hanya dipenuhi oleh karbohidrat, ada beberapa ha1 yang hams diperhatikan, terutama bila cairan dekstrosenya bersifat hipertonis, yaitu: trombosis meningkatkan kebutuhan insulin bahaya hipoglikemia bila infus dekstrose hipertonis dihentikan mendadak meningkatkan BMR meningkatkan produksi C02 Untuk mengatasi keadaan ini, setengah sumber kalori nonprotein dapat digantikan dengan emulsi lemak karena produksi C02 akan ditekan. Jangan menggunakan protein sebagai sumber energi, karena protein penting untuk regenerasi sel dan sintesis protein viseral seperti enzim, albumin, imunoglobulin.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Karbohidrat Glukosa. Glukosa adalah karbohidrat pilihan untuk nutrisi parenteral, karena glukosa merupakan substrat paling fisiologis, secara natural ada dalam darah, banyak persediaan, murah, dapat diberikan dalam berbagai konsentrasi, dengan nilai kalori 4 kkallg. Untuk dapat memberikan pengaruh maksimum terhadap keseimbangan nitrogen, minimal diperlukan 100-150g glukosa. Kebutuhan tersebut juga digunakan untuk memenuhi energi yang diperlukan oleh susunan saraf pusat dan perifer, eritrosit, leukosit, fibroblas yang aktif dan fagosit tertentu yang menggunakan glukosa sebagai satu-satunya sumber energi. Untuk menghindari hiperglikemi yang tiba-tiba, peningkatan konsentrasi glukosa, misalnya dari 5% menuju 20% hams bertahap, (start slow @ go slow). Kecepatan infus yang dianjurkan ialah 6-7 mgIkgBB1 menit. Beban glukosa akan merangsang pankreas mengeluarkan insulin. Pada keadaan produksi insulin menurun, seperti pada sepsis, infus glukosa yang berlebihan atau kecepatan inhs lebih dari yang dianjurkan berakibat meningkatnya konsumsi oksigen, produksi dan konsumsi energi akibat lipogenesis, yang akan memperburuk keadaan. Bila terjadi hiperglikemia, untuk selanjutnya lebih baik mengurangi kecepatan infus glukosa dibanding dengan pemberian insulin. Jika larutan glukosa diselingi cairan lain, besar kemungkinan kadar glukosa darah berfluktuasi karena overshoot insulin dari waktu ke waktu. Agar fluktuasi seminimal mungkin, larutan karbohidrat dibagi rata sepanjang 24 jam.



Fruktosa. Fruktosa merupakan sumber kalori yang potensial karena tidak memerlukan insulin untuk masuk ke dalam sel, lebih sedikit iritasi vena, dimetabolisasi lebih cepat di hati dan mempunyai efek hemat nitrogen lebih baik. Tetapi kebanyakan jaringan tidak menggunakan fruktosa secara langsung. Perubahan menjadi glukosa terutama terjadi dalam hati, dan jaringan hanya dapat menggunakan glukosa sebagai sumber energi. Kerugian lain penggunaan fruktosa ialah bila infus terlalu cepat atau berlebihan dapat menyebabkan asidosis laktat, hipoposfatemia, penurunan nukleotida adenin hati, peningkatan bilirubin dan asam urat. Gula alkohol (sorbitol dan xylitol). Jenis karbohidrat ini juga tidak memerlukan insulin untuk menembus dinding sel. Keduanya tidak dapat digunakan langsung sebelum diubah menjadi glukosa di hati. Mengingat adanya risiko asidosis laktat, peningkatan asam urat darah dan diuresis osmotik, gula alkohol ini tidak mempunyai keunggulan dibanding glukosa. Untuk mendapatkan efek positif, xylito1 diberikan dalam kemasan kombinasi dengan glukosa dan fruktosa (GFX=Glukosa-Fruktosa-Xylitol)dengan perbandingan 4:2: 1 yang dianggap ideal secara metabolik. Maltosa. Maltosa memiliki beberapa keuntungan sebagai



karbohidrat alternatif, terutama pada pasien DM, karena: mengandung 2 molekul glukosa tidak memerlukan insulin saat menembus dinding sel Isotonis, sehingga dapat diberikan melalui vena perifer, dan dapat dicampur dengan cairan lain yang hipertonis (untuk menurunkan osmolaritas) Meskipun tidak memerlukan insulin untuk masuk sel, tetapi proses intraselular mutlak masih memerlukannya. Pemberian dosis yang m a n dan efisien adalah 1,5 gkgBB1 hari. I n h s yang berlebihan menyebabkan pemborosan melalui urin, bisa sampai ekskresi melebihi 25% d m maltosa yang diinhskan. Lemak Selain karbohidrat, lemak juga berfungsi sebagai sumber energi dengan nilai 9 kkallg, lebih tinggi nilai energinya per unit volume dibanding karbohidrat. 1,8 Hati merupakan organ terpenting dalam metabolisme lemak, karena hati dapat menggunakan asam lemak sebagai sumber energi, sekaligus mensintesis asam lemak untuk penyimpanan energi. Lemak penting untuk integritas dinding sel, sintesis prostaglandin dan sebagai pelarut vitamin yang larut lemak. Nutrisi parenteral dengan kemasan bebas lemak untuk jangka lama menyebabkan defisiensi asam lemak esensial yang terlihat sebagai alopesia, dermatitis, perlemakan hati dan gangguan fungsi imunitas. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian emulsi lemak sebesar 3040% dari kalori total merupakanjumlah yang optimal. Untuk mencegah defisiensi asam lemak esensial, perlu diberikan asam lemak esensial sebanyak 4-8% dari kalori total sehari. Emulsi lemak 10%dan 20% tidak hipertonis, dapat diberikan melalui vena perifer. Kecepatan infus emulsi lemak tidak melebihi 0,5 g/kgBB/jam, sesuai dengan batas maksimal kemampuan ambilan lemak. Tiap 500 mL diberikan dalam waktu 6-8 jam, dapat diteteskan bersama karbohidrat dan a s m amino. Sebagai sumber kalori, lemak perlu dikombinasi dengan kalori karbohidrat dalam perbandingan 1:I . Misalnya untuk 1200 kkal, diberikan 150 g glukosa dan 70 g lemak.5,8 Keuntungan kombinasi sumber kalori ini adalah dihindarkannya penyulit hiperosmolar dan hiperglikemia. Mengingat harga emulsi lemak mahal untuk digunakan secara rutin, emulsi cukup diberikan sekali tiap minggu. Sumber Protein Asam amino yang menyusun protein hampir seluruhnya tergolong asam amino-a. Asam amino yang tidak disintesis tubuh disebut asam amino esensial. Asam amino diperlukan untuk regenerasi sel, pembentukan enzim dan sintesis protein somatik dan viseral, hormon peptida (insulin dan glukagon). Pemberiannya hams dilindungi kalori agar asam amino tersebut tidak dibakar menjadi energi (glukoneogenesis). Jangan memberikan asam amino bila kebutuhan energi dasar belurn dipenuhi. Untuk melindungi



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



tiap gram nitrogen diperlukan 80-150 kkal karbohidrat (25 kkal per gram asam amino). Kalori yang berasal dari asam amino tidak ikut diperhitungkan sebagai sumber protein untuk kalori. Kebutuhan nitrogen berkisar 0,2 g/kgBB/hari, setara dengan protein 1,25 g/kgBB/hari, atau 1,5 g/kgBB/ hari asam amino. Kebutuhan ini akan berkurang pada keadaan gangguan fungsi ginjal dan hati dan meningkat pada keadaan katabolik. l,6 Kebutuhan protein pada keadaan katabolik bisa sampai 1,5 g/kgBB/hari untuk menginduksi keseimbangan nitrogen positif dan membangun kembali massa tubuh yang normal. Kebutuhan asam amino pada keadaan sepsis lebih tinggi lagi, 2-3 g/kgBB/hari. Jika pasien sepsis tidak mendapat kalori eksogen, akan terjadi destruksi jaringan otot 750- 1000gram sehari. Namun pemberian protein yang dianjurkan cukup 1- 1,5 g/kgBB/hari. Proteolisis akan mengganggu dan menghabat sintesis protein viseral waktu paruh pendek, terutama enzim-enzim di hati.



komponen nutrisi. Defisiensi vitamin yang sering dilaporkanpada NPE Total 1-2minggu sampai 3 bulan ialah defisiensi asam folat dengan gambaran pansitopenia, defisiensi tiamin dengan gambaran ensefalopati,defisiensi vitamin K dengan gambaran hipoprotrombinemi. Kebutuhan vitamin yang diberikan melalui intravena lebih besar dibanding melalui oral, diduga akibat ekskresi melalui ginjal yang lebihbesar. Sedangkan kelebihan vitamin A dan D dapat menyebabkan berturut-turut dermatitis eksfoliativa dan hiperkalsemia.



Elektrolit Elektrolit merupakan komponen esensial pada NPE. Kebutuhan elektrolit pada NPE bervariasi tergantung keadaan klinik. Umumnya kebutuhan dasar elektrolit per kgBB1hari pada dewasa adalah: natrium (Na) 1,O-2,0mmol atau 100-200mEq/han kalium (K) 0,7- 1mmol atau 50- 100mEq/hari kalsium (Ca) 0,l mmol atau 7,5-10 mEq/hari magnesium (Mg) 0,l mmol atau 10-12mEq/hari fosfor (P) 0,4 mmol atau 12-16mEq/hari



TRACE ELEMENT



Kalium merupakan elektrolit esensial untuk sintesis protein. Kebutuhan K biasanya lebih banyak pada awalawal NPE(Total), diduga karena disimpan dalam hati dan masuk ke dalam sel. Kebutuhan K meningkat pada saat terjadi masukan glukosa. Kalsium diperlukan pada NPE jangka lama, di mana biasanya terdapat kehilangan Ca endogen akibat imobilisasi. Kalsium juga diperlukan lebih banyak pada pankreatitis. Fosfor diperlukan untuk metabolisme tulang, sintesis jaringan dan fosforilasiATP. Hipopospatemia dapat terjadi segera pada kemasan NPE tanpa P. Akibat yang berbahaya ialah menurunnya kadar eritrosit yang berakibat berkurangnya suplai 0 2 ke jaringan, otot menjadi lemah dan berpengaruh pada respirasi. Magnesium penting dalam anabolisme dan pada sistem enzim, khususnya enzim yang berkaitan dengan aktivitas metabolik di otak dan hati. Kebutuhan meningkat pada keadaan diare, poliuria, pankreatitis dan keadaan hiperkatabolik. Kehilangan Mg paling banyak melalui cairan gastrointestinal. Vitamin Vitamin diperlukan untuk penggunaan komponen-



Kebutuhan vitamin yang direkomendasikan: VitaminAmg (IU)1(3300) Vitamin D ug 5 (200) IU VitaminEug(IU)lO(lO) VitaminC l00mg Asam Folat 400 ug Nikotinamid 40 mg Tiamin 3 mg Riboflavin 3,6 mg Piridoksin 4 mg Sianokobalamin 5 ug Asam Pantotenat 15 mg Biotin 60 ug



Seng (Zn) merupakan unsur esensial dari berbagai enzim. Defisiensi Zn menyebabkan dermatitis dan penyembuhan luka lambat yang dapat terjadi dalam beberapa minggu. Defisiensi ini dapat dicegah dengan pemberian 3 mg Zn perhari, dan ada diare perlu tambahan 12 mg per hari setiap 1 liter cairan yang keluar.1,2,7 Besi (Fe) penting untuk sintesis hemoglobin (Hb) sedang cadangan dalam tubuh sedikit. Tembaga (Cu) diperlukan untuk maturasi eritrosit dan metabolisme lipid. Mangan (Mg) penting untuk metabolisme Kalsium/Fosfor, proses reproduksi dan pertumbuhan. Kobalt (Co) merupakan unsur penting vitamin B- 12. Trace element yang direkomendasikan (uglhari): Seng 25006000 Tembaga 500-1500 Iodine 130-910 Mangan 150-800 950 Florid Krornium 10-15 Selenium 200 Molibdenum 20



MENYUSUN KEBUTUHAN NUTRIEN DENGAN KEMASAN CAlRAN YANG TERSEDIA Setelah berhasil menentukan kebutuhan nutrien per-hari, kita dapat memilih kemasan infus yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Nutrisi parenteral komersial yang dapat dipakai antara lain: mengandung kalori karbohidrat saja, Dekstrose 5%; Dekstrose 10%; Dekstrose 40% mengandung karbohidrat dan elektrolit



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI KOMPLlKASl



Triparen 1; Triparen 2; KA-EN 1B; KA-EN 3A/B mengandung asam amino Aminovel600; Aminofisin 1000;Pan Amin G mengandung lemak Intralipid 10%; Intralipid 20%



Dari berbagai komplikasi yang ada, dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu: Mekanik Komplikasi mekanik yang sering terjadi ialah akibat pemasangan kateter vena sentral, yaitu pneumototaks, hidrotoraks, tromboflebitis,dan emboli udara. Oleh karena itu pemasangan vena sentral hams dikerjakan oleh dokter yang terampil untuk itu.



MENENTUKANCARA PEMASANGAN INFUS



Program nutrisi parenteral parsial untuk jangka pendek dapat diberikan melalui vena perifer, karena sebagian besar larutannya bersifat isotonis (osmolaritas 4 0 0 m O s d kgBB).6 Vena perifer dapat menerima osmolaritas cairan sampai maksimal900 mOsm.5 Makin tinggi osmolaritas (makin hipertonis) makin mudah terjadi kerusakan dinding vena perifer seperti tromboflebitis atau tromboemboli. Sedangkan NPE total yang diprogram untuk jangka panjang, harus diberikan melalui vena sentral karena larutannya bersifat hipertonis dengan osmolaritas >900 mOsm. Melalui vena sentral, aliran darah menjadi lebih cepat sehingga tidak sampai merusak dinding vena.



Metabolik Komplikasi metabolik yang terjadi antara lain gaga1jantung akibat kelebihan cairan, hiperglikemia, hipoglikemia, hiperosmolar,ketidakseimbanganelektrolit, defisiensi asarn lemak esensial. Untuk mengatasi masalah ini, terapi NPE harus dimulai dengan dosis rendah (start low) dan dinaikkan secara perlahan (go slow), dengan pemantauan yang ketat.



1 Penilaian I



Nutrisi



I



I



Keputusan untuk rnemulai (Obstruksi nutrisi khususdukungan peritonitis, pankreatitis,



Fungsi saluran pencernaan -1~ida



short bowel syndrome,



k



rnunrah refrakter) Penilaian Nutrisi



1



1



Jangka panjang I



Jangka pendek I Nasogastrik nasoduodenal, nasojejunal



Gastrostomi, jejunostomi



4



I



Adekuat lanjut ke makanan oral



I



1



1



Nutrisi parenteral total



Nutrisi parenteral perifer



I



Normal nutrisi lengkap



4



Kurang formula khusus I



Tidak adekuat NPE sebagai



I



Jangka panjang atau pembatasan cairan



Jangka Pendak



I



I



I



1



1



Nutrisi Parental I



1 Fungsi saluran cerna mem baik



I



4



Adekuat lanjut ke diet lebih kompleks dan mekanan sesuai penerimaan



v



Dilanjutkan ke nutrisi . enteral total Gambar 1. Algoritme pemberian dukungan nutrisi



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



4



I~ i d k*a



A



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



lnfeksi Infeksi melalui kateter pada NPE jarang terjadi pada 72 jam pertama. Bila ada panas selama 72 jam pertama, harus dicari kemungkinan penyebab dari sumber lain. Untuk memastikan adanya infeksi melalui kateter hams dilakukan kultur mikroorganisme ujung kateter.



Nutrisi pasien merupakan salah satu aspek penting dalam pengelolaan penyakit. Namun disadari bahwa kondisi sakit menyebabkan pasien mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi yang sering lebih banyak dari kebutuhan dalam keadaan biasa. Pada keadaan pasien tidak bisa makan, tidak boleh makan atau tidak mau makan maka terapi nutrisi parenteral menjadi pilihan. Mengingat teknik NPE yang tidak mudah, komplikasi yang bisa terjadi, dan harga relatif mahal, perlu dipahami betul pemilihan pasien (tepat pasien), bagaimana menghitung kebutuhan nutrisi, kapan dimulai, berapa lama, dan bagaimana cara pemberiannya. Yang tidak kalah penting ialah pemantauan timbulnya komplikasi, sehingga secara keseluruhan akan memberikan hasil terapi nutrisi yang maksimal.



REFERENSI



ASPEN Board of Directors : Guidelines for the use of parenteral and enteral nutrition in adult and paediatric patients. JPEN. 1993;17. Daldiyono, Darmawan I., Kadarsyah. Pencegahan malnutrisi di mmah sakit. Dalam Kapita Selekta Nutrisi Klinik. Seri 1. Daldiyono, Abd Razak Thaha (editor). PERNEPARI (Perhimpunan Nutrisi Enteral dan Parenteral Indonesia). 1998 : 1-22. Daldiyono. Terapi nutrisi parenteral dalam bidang ilmu penyakit dalam. Dalam: Daldiyono, Abd Razak Thaha (editor). Kapita Selekta Nutrisi Klinik. Seri 1. PERNEPARI (Perhimpunan Nutrisi Enteral dan Parenteral Indonesia). 1998: 107-13. Howard L. Parenteral and enteral nutrition therapy. Dalam: Isselbacher, Braunwald, dkk (editor). Harrison's Principles of Internal Medicine. Edisi 13, Edisi Internasional. Singapore: McGraw Hi11;994 : 464-72. Jeejeebhoy KN. Nutrition in critical illness. Dalam: Stephen MA., Ake G, Peter RH (editor). Textbook of Critical Care 11. Edisi 3. Philadelphia, USA: WB Saunders Company; 1995: 1106-15. Phillips GD. Parenteral nutrition. Dalam: T.E. Oh (editor). Intensive Care Manual. Edisi 4. Oxford: Butterworth-Heinemann;1997: 724-32. Rahardjo E. Pola umum pelaksanaan nutrisi parenteral (pertimbangan pengetrapan dalam sarana terbatas). Simposium Terapi Cairan 111. Lab UPF Anestesiologi dan Penyakit Dalam FK Unair RSUD Dr. Sutomo Surabaya. 1992 : 13-27. Silberman H. Parenteral nutrition : general principles. Dalam Parenteral and Enteral Nutrition. Edisi 2. California USA: Appleton & Lange; 1989: 189-222. Tjokoprawiro A. Nutrisi parenteral pada diabetes melitus. Simposium Terapi Cairan 111. Lab UPF Anestesiologi dan Penyakit Dalam FK Unair RSUD Dr. Sutomo Surabaya. 1992: 29-54.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



DUKUNCAN NUTRISI PADA PENYAKIT KRITIS Arif Mansjoer, Marcellus Simadibrata K.



PENDAHULUAN Keadaan atau penyakit h t i s dapat terjadi pada berbagai kasus akut seperti trauma, luka bakar, operasi, atau infeksi berat. Proses terjadinya sangat cepat, berfluktuasi dan menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Keadaan ini memerlukan penanganan yang cepat dan tepat serta pengawasan yang ketat. Kegagalan multiorgan sering terjadi pada keadaan ini dan tidak jarang membutuhkan dukungan sementara sebelum organ yang terganggu pulih seperti penggunaan ventilator sebagai alat bantu napas pada kasus gagal napas atau alat hemodialisis sebagai alat pengganti fungsi ginjal pada kasus gagal ginjal akut. Dukungan lainnya yang tak kalah pentingnya adalah dukungan nutrisi. Pada tulisan berikut ini akan dibahas tentang respons metabolik pada penyakit kritis dan tahapan-tahapan pemberian nutrisi pada pasien dengan penyakit kritis, yaitu: 1). Status nutrisi; 2). Masalah nutrisi; 3). Kebutuhan nutrisi; 4). Saat dan dosis pemberian; 5). Nutrisi enteral; 6). Nutrisi parenteral.



Pada fase selanjutnya, fase flow, terjadi hipermetabolisme, katabolisme, dan peningkatan penggunaan 0,. Hal ini terjadi akibat pelepasan sitokin dan sinyal saraf aferen dan jaringan yang rusak. Fase ini merupakan fase respons metabolik yang mengubah penggunaan energi dan protein untuk menyelamatkan fungsi organ penting dan memperbaiki kerusakan jaringan. Substrat endogen secara aktif dilepas seperti glukosa dari glikogen, asam amino dari otot rangka, asam lemak dari jaringan adiposa. Pada fase inilah dukungan nutrisi diberikan.



Glukosa darah



Meningkat



Asam lemak bebas dalam sirkulasi Insulin



Meningkat



Katekolamin Curah jantung Konsumsi oksigen Suhu tubuh



Meningkat Menurun Menurun Menurun



Menurun



Normal atau sedikit meningkat Normal atau sedikit meningkat Normal atau meningkat Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat



RESPONS METABOLIK PADA PENYAKIT KRlTlS Trauma, luka bakar, operasi, infeksi berat merupakan stres bagi tubuh. Tubuh akan memberikan respons metabolik yang menyebabkan hipermetabolisme, hiperkatabolisme. Pada awal adanya stres terjadi fase ebb (fase syok, fase resusitasi) dan diikuti faseflow (fase akut). Pada fase ebb terjadi ketidakstabilan hemodinamik, tekanan darah menurun, curah jantung menurun, penggunaan 0, menurun, suhu tubuh rendah, serta terjadi peningkatan kadar glukagon, katekolamin, asam lemak bebas. Fase ini dapat terjadi hingga 12-24 jam dan terapi ditujukan untuk resusitasi cairan hingga hemodinamik stabil.



PENGKAJIAN STATUS NUTRlSl Pengkajian status nutrisi merupakan ha1 yang penting selain pengkajian kondisi medis pasien. Tujuan dari pengkajian nutrisi adalah mengindentifikasi pasien yang mengalami atau memiliki risiko terjadinya malnutrisi, menentukan derajat malnutrisi pasien, dan memantau hasil dukungan nutrisi yang diberikan. Langkah awal pengkajian nutrisi adalah anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Pada pasien kritis sering kali perlu dilakukan allo-an-



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI sepsis, disfungsi organ)



Pengkajian: 1. Status nutrisi 2. Masalah nutrisi 3 . Masalah medis 4. lndikasi pemberian nutrisi 5. Lama pemberian nutrisi 6 . Kebutuhan nutrisi 7. Metode pemberian nutrisi 8. Formula nutrisi 9. Cara pemberian nutrisi



4 Saluran gastrointestinal berfungsi Peritonitis difus, obstruksi iskemia gastrointestinal



Jangka pendek



Nasogastrik Nasoduodenal Nasoyeyunal



Jangka panjang



Jangka pendek



Jangka panjang



V. Jugulris int. V . Subklavia Peripherally Inserted central



Gastrostomi Yeyunostomi



Gambar 1. Algoritme pengkajian dan pemilihan jalur pemberian nutrisi pada pasien kritis



amnesis pada keluarga atau kerabat dekat. Hal yang perlu digali adalah riwayat penyakit saat ini dan sebelumnya, lama sakit, asupan nutrisi, dan adanya gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, atau diare. Perlu ditanyakan pula adanya riwayat penurunan berat badan yang sering menjadi penyebab malnutrisi. Malnutrisi adalah gangguan status nutrisi akibat kurangnya asupan nutrisi, terganggunya metabolisme nutrien, atau nutrisi berlebih. Faktor yang mengarahkan adanya malnutrisi adalah penurunan 10% atau lebih berat badan selama 6 bulan, penurunan 5% atau lebih berat badan selama 1 bulan, atau berat badan lebih atau kurang 20% dari berat badan ideal. Pemeriksaan fisik yang penting adalah berat badan (BB), tinggi badan (TB), dan pemeriksaan antropometrik lain. Berdasarkan BB dan TB dapat ditentukan indeks massa tubuh (IMT), yaitu :



IMT= BB (dalamk i l o m ) TBZ(dalam meter) 48,s kg/m2 18,5 - 22,9 kg/m2 > 23,O kg/m2 23,O - 24,9 kg/m2 25,O - 29,9 kg/m2 > 30 kg/m2 -



BB kurang BB normal BB lebih + dengan risiko + obesitas I + obesitas I1



Pada pasien kritis sukar untuk melakukan pemeriksaan BB, TB, atau pemeriksaaan antopometrik sehingga data BB dan TB sering didapatkan dari menaksir atau menanyakan pada keluarga atau kerabat dekat. Kadar albumin, transferin, dan prealbumin yang diproduksi oleh hati merupakan penanda cadangan protein viseral dan juga merupakan indikator status gizi.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DUKUNCAN NUTRISI PADA PENYAKIT KRITIS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PENGKAJIAN MASALAH NUTRlSl



Pada setiap pasien ditentukan dahulu permasalahan asupan nutrisi. Apakah pasien tidak dapat makan, tidak boleh makan, atau makan tidak adekuat sehingga tidak mencukupi kebutuhan. Apakah terdapat indikasi atau terdapat kontraindikasi pemberian nutrisi oral, enteral, atau parenteral. Kesadaran menurun pada pasien dengan penyakit kritis merupakan indikasi pemberian terapi nutrisi. Metoda yang dipilih adalah pemberian nutrisi enteral bila fungsi absorpsi saluran gastrointestinal baik. Namun bila saluran gastrointestinal tidak berfungsi, atau terdapat peritonitis difus, obstruksi usus, muntah-muntah, ileus paralitik, dan iskemia gastrointestinalmaka dipilih metode pemberian nutrisi parenteral. Perlu pula ditentukan perkiraan lamanya pasien akan membutuhkan dukungan nutrisi. Apakah keadaan kritis ini merupakan keadaan akut saja atau merupakan keadaan akut dari suatu penyakit kronik seperti keganasan. Apakah keadaan akut tersebut dapat menyebabkan gangguan proses pencernaan yang permanen.



Pemeriksaan (satuan) Albumin (g/dL) Transferin (mg/dL) Prealbumin (mgldL)



Waktu



Status nutrisi



paruh (t%)



Normal



::.A :D



Sedang



Berat



20 hari



> 3,5



2,8 - 3,5



2,2 - 2.8



< 2.2



9hari



>200



150-200100-150



1-2 hari



> 18



10- 18



5 - 10



el00 5% dalam 1 bulan atau > 7 3 % dalam 3 bulan, atau > 10% dalam 6 bulan dianggap bermakna. Beberapa studi menyatakan terdapat hubungan antara turunnya berat badan dengan peningkatan risiko mortalitas. Pengukuran berat badan dilakukan dengan Nilai-nilai antropometrikberhubungan erat dengan nutrisi, menggunakan timbangan yang dikalibrasi, dengan lingkungan, kondisi sosiokultural, gaya hidup, status memakai pakaian ringan dan tanpa sepatu dengan fungsional dan kesehatan. Pemeriksaan antropometrik mempertimbangkan beberapa faktor yang memengaruhi merupakan ha1 esensial dalam penentuan malnutrisi pada seperti edema, asites dan kehilangan anggota tubuh. Pada evaluasi nutrisi geriatri. pasien yang tidak dapat berdiri pengukuran berat badan dilakukan dengan menggunakan upright balance beam Berat Badan, Tinggi Badan dan lndeks Massa scale atau wheelchair scale, pada pasien imobilisasi Tubuh pengukuran dilakukan dengan menggunakan bed scale. Berat badan merupakan prediktor kuat morbiditas dan Alat pengukur tersebut hams rutin dikalibrasi. mortalitas pasien rawat inap. Berat badan cenderung meningkat hingga akhir usia 60 tahun dan selanjutnya Pengukuran Tebal Lipatan Kulit dan Massa Otot menurun secara bertahap. Malnutrisi dapat terjadi pada Persentase lemak pada orang tua lebih besar dibanding usia lanjut yang overweight, yang perlu dicurigai bila usia muda. Proses menua juga memengaruhi distribusi ditemukan penurunan berat badan bermakna. lemak dimana lemak pada tubuh dan intraabdomen Pengukuran antropometrik pertama adalah mengukur meningkat sementara pada ekstremitas kurang. tinggi badan dan berat badan kemudian mengukur indeks Pengukuran lingkar lengan atas (LLA) dan lipatan triceps massa tubuh (IMT). Indeks massa tubuh dihitung dengan berkorelasi dengan lemak tubuh pada orang usia lanjut membagi berat badan (dalam kilogram) dengan kuadrat dan merupakan perkiraan kasar simpanan lemak dan massa tinggi badan (dalam meter persegi). Menurut Nutritional otot. Pemeriksaan lipatan kulit lebih sulit dilakukan Survey Initiative (NSI) IMT normal 22-27, malnutrisi ringan dibanding pengukuran lingkar lengan atas dan butuh IMT < 18,4 dan malnutrisi berat IMT < 16. ketrampilan. Pada saat mengukur tinggi badan seseorang berusia lanjut, perlu diingat bahwa dalam perjalanan usianya dapat terjadi pengurangan tinggi badan. Pengurangan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa ha1 antara lain: berkurangnya komponen cairan tubuh sehingga discus intervertebralis relatif kurang mengandung air sehingga menjadi lebih pipih; makin tua seseorang ada kecenderungan semakin kifosis sehingga tinggi tegak lurusnya berkurang, berkurang kekuatan otot dan perubahan postural. Penurunan tinggi badan tersebut akan memengaruhi hasil perhitungan IMT; oleh sebab itu dianjurkan menggunakan tinggi lutut (knee height) untuk menentukan secara pasti tinggi badan sesorang. Tinggi lutut tidak akan berkurang kecuali jika terdapat fraktur tungkai bawah. Dari tinggi lutut dapat dihitung tinggi badan sesungguhnya (lihat rumus)



Pemeriksaan Penanda Biokimiawi Selain untuk identifikasi malnutrisi, penanda biokimiawi dapat untuk mendeteksi defisiensi mikronutrien dan untuk monitor efikasi intervensi nutrisi. Beberapa penanda biokimia yang dipakai antara lain serum albumin, prealbumin, serum transferin, retinol bindingprotein dan ZGF-I. Peneltian Kuzuya dkk menunjukkan bahwa serum albumin pada pasien dengan ADL rendah tidak berkorelasi dengan parameter nutrisi lain seperti antropometrik dan kuesioner SGA.



PENAPISANSTATUS NUTRlSl Beberapa instrumen telah dikembangkan untuk mendeteksi adanya malnutrisi, berupa kuesioner self-assessment maupun yang harus dikerjakan oleh tenaga medis, diantaranya : Mini Nutritional Assessment (MNA) MNA merupakan kuesioner yang terdiri atas 18 pertanyaan untuk menilai dan mendeteksi adanya risiko malnutrisi.,



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pemeriksaan Biokimiawi



Albumin



Waktu paruh



18 hari



Pengaruh usia



10,8 glL



Faktor penyebab peningkatan



Faktor penurunan penyebab



Panproteinemia



Gagal jantung Sindrom nefrotik Dialisis



per dekade Transferin



9 hari



Penurunan bertahap



Defisiensi besi Hepatitis akut Estrogen



Penyakit hati lanjut Sindrom nefrotik Neoplasma



Prealbumin



2 hari



Gagal ginjal Steroid



lnflarnasi Defisiensi besi



Retinol-binding Protein



12 jam



Tidak ada Perubahan Bermakna Pria 1 Wanita ?



Gagal ginjal Acute liver injury



Gagal hati lanjut Defisiensi vitamin A Hipotiroid



IGF-1



2-4 jam



& 35-60%



Gagal ginjal



Gagal hati lnflamasi Stres



(decade 4-9) CRP Kolesterol



4-6 jam



Tidak ada Perubahan



Trauma Sepsis



? decade 6-9



Hipotiroidisme



Penyakit hati



Diet tinggi protein



Gagal ginjal Steroid



Kemudian 1 Kreatini urin



d



terbagi menjadi menjadi 6 butir pertanyaan untuk skrining malnutrisi dan dilanjutkan dengan 12 pertanyaanfull MNA untuk menilai status nutrisi. Pertanyaan pada MNA mencakup antropometrik (penurunan berat badan, IMT, LLA dan lingkar betis), asupan makanan (asupan makanan dan cairan, frekuensi makanan, dan kemampuan makan sendiri), penilaian global (gaya hidup, obat-obatan, mobilitas, ada tidaknya stress akut, demensia atau depresi) dan self-assessment (persepsi pasien tentang kesehatan dan nutrisi). Skor 2 24 menunjukkan status nutrisi baik, skor 17-23,5 menunjukkan risiko malnutrisi dan skor < 17 menunjukkan malnutrisi. MNA selain mudah digunakan, tidak mahal, memiliki sensitivitas96% dan spesifisitas98%. Donini,dkk mendapatkan hasil sensitivitas dan spesifisitas MNA adalah 96% dan 98%. MNA telah divalidasi di berbagai negara dan berkorelasi dengan penilaian klinis dan indikator objektif status nutrisi lain seperti albumin dan IMT. Uji keandalan di Perancis membandingkan MNA dengan klinis, skala ADL, penanda biokimiawi sesuai dengan klinis pada 89% responden sedangkan pengelompokkan berdasarkan MNA dengan penanda biokimiawi sesuai dengan klinis pada 88% responden.I5 Neumann dkk melaporkan uji keandalan inter-rater pada pasien usia lanjut di bangsal rehabilitasi di Australia didapat hasil interclass correlation coeffient (ICC) 0,833 yang berarti memiliki korelasi baik sedangkan Bleda dkk di Spanyol mendapatkan nilai ICC 0,89. Penelitian yang dilakukan Ellen S (2009) di RSCM pads



193 responden, mendapatkan penilaian status nutrisi berdasarkan skor total MNA memiliki nilai keterandalan yang cukup baik, dengan nilai ICC 0,794 dan 0,750 untuk inter dan intraobserver. Hal tersebut menunjukkan MNA memiliki keterandalan yang baik untuk menilai status gizi pada usia lanjut. Kelebihan lain MNA adalah dapat mendeteksi orang usia lanjut dengan risiko malnutrisi sebelum tampak perubahan bermakna berat badan dan protein. Nilai MNA yang rendah merupakan prediktor lamanya perawatan dan mortalitas tinggi. Subjective Global Assessment (SGA) Instrumen ini memiliki sensitivitas 82% dan spesifisitas 72%. Studi kesahihan menunjukkan bahwa hasilnya tergantung pengalaman pelaksana dan sensitivitas tergantung tanda fisik mikronutrien yang umumnya baru nampak jelas pada keadaan lanjut, sehingga SGA tidak dapat dipakai untuk deteksi dini,follow up maupun monitor dukungan nutrisi



TATALAKSANA Tatalaksana malnutrisi pada usia lanjut memerlukan pendekatan multidisiplin dengan kerjasama interdisiplin, yang melibatkan dokter, perawat, ahli gizi, dan keluarga atau pramurawat (care giver). Pengkajian paripurna yang meliputi pengkajian status nutrisi pada setiap pasien usia



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK lanjut yang dirawat mutlak hams dilakukan agar diketahui dan dideteksi adanya malnutrisi atau risiko mengalami malnutrisi pada pasien-pasien tersebut. Selanjutnya tatalaksana dapat diterapkan sesuai dengan masalah yang dialami oleh pasien. Tatalaksana meliputi tatalaksana umum, obat-obatan, dan dukungan nutrisi (nutritional support). Secara umum pasien dikelola berdasarkan penyakit dan atau masalahmasalah yang diderita. Perlu dipahami, pada umumnya pasien usia lanjut yang dirawat di rumah sakit mengalami



dr. PRIYO berbagai macamPANJI penyakit (tidak satu penyakit) dan masalah kesehatan. Penyakit dan masalah kesehatan tersebut harus dikelola secara komprehensif dan terintegrasi oleh tim terpadu geriatri atau tim kesehatan yang terlibat, jangan sampai terjadi polifarmasi yang justru akan memperburuk kondisi pasien. Perlu dipertimbangkan semua jenis obat yang diberikan, efek sampingnya terhadap pasien, termasuk terhadap nafsu makan pasien yang mungkin sudah kurang baik.



Mini Nutritional Assessment (Penilaian Nutrisi Mini) Penilaian Nutrisi Mini Nama : Usia : thn



Jenis Kelarnin : L IP Tgl : BB : Kg TB : Crn Tinggi Lutut : Crn Nama Pewawancaralpemeriksa : Tuliskan angka penilaian dalam kotak. Jumlahkan nilai-nilai dalam kotak dan sesuaikan jumlah penilaian ke dalam Skor lndikator Malnutrisi.



Penilaian Antropometri 1. lndeks Massa Tubuh : BB ITB (dlm m2) a. el9 =O b. 19-21 = 1 C.



d.



21-23 = 2 >23 = 3



2. Lingkar lengan atas (cm) a. 22 = 1



3. Lingkar betis (cm) a. 31 =1 4. BB selama 3 bulan terakhir a. Kehilangan BB > 3 Kg b. Tidak Tahu c. Kehilangan BB anatara 1-3Kg d. Tidak ada kehilangan BB



=0 =1 =2 =3



Penilaian Umum 5. Hidup tidak tergantung ( tidak di tempat perawatan atau rumah sakit) a. Tidak =0 b. Ya =1



6. Menggunakan lebih dari 3 obat per hari a. Tidak =0 b. Ya =1 7. Mengalami stres psikologis atau penyakit akut dalam 3 bulan terakhir a. Tidak =0 b. Ya =1 8. Mobilitas =0 a. Hanya terbaring atau di atas kursi roda Dapat bangkit dari tempat tidur tapi tidak ke luar rurnah = 1 b. c. Dapat pergi ke luar rumah =2 9. Masalah Neuropsikologis a. Dernensia berat dan depresi b. Dernensia ringan c. Tidak ada masalah psikologis



=0 =1 =2



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



Nilai



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Penilaian Diet



10. Nyeri tekan atau luka kulit =0 a. Ya =1 b. Tidak 11. Berapa banyak daging yang dimakan setiap hari? a. I x rnakan = 0 b. 2xrnakan = 1 c. 3xrnakan = 2 12. Asupan protein terpilih a. Minimal I x penyajian produk-produk susu olahan (susu, keju, yoghurt, es krirn, dll) per hari



b.



c.



0 0



Ya



0



Ya



Tidak Dua atau lebih penyajian produk -produk kacang-kacangan (tahu, ternpe, susu kedelai, dll) dan telur perminggu.



0 Tidak Daging, ikan dan unggas tiap hari (ayarn, sapi, karnbing, kerbau, kerangkerangan, teri, burung, dll). 0 0



Ya



Tidak Untuk jawaban no. 1. 0 2. 0,5 3. 1 13. Konsumsi 2 atau lebih penyajian sayuran atau buah-buahan per hari =0 a. Tidak b. ya =1 14. Bagaimana asupan makanan 5 bulan terakhir karena hilangnya nafsu makan, masalah pencernaan, atau kesulitan menelan. =0 a. Kehilangan nafsu rnakan yang berat b. Kehilangan nafsu rnakan sedang =1 c. Tidak kehilangan nafsu rnakan =2 15. Berapa banyak cairan (air, jus, kopi, teh, susu, dll) yang dikonsumsi per hari. a. < 3 cangkir =0 =1 b. 3-5 cangkir c. > 5 cangkir =2 16. Pola Makan =0 a. Tak dapat rnakan tanpa bantuan b. Dapat rnakan sendiri dengan sedikit kesulitan = 1 c. Dapat makan sendiri tanpa rnasalah =2



Penilaian Diri 17. Apakah mereka tahu bahwa mereka memiliki masalah gizi? =0 a. Malnutrisi berat b. Tidak tahu atau rnalnutrisi sedang =1 c. Tidak ada rnasalah gizi =2 18.Dibandingkan dengan orang lain dengan usia yang sama, bagaimana mereka menilai kesehatan mereka sekarang? a. Tidak baik =0 = 0,5 b. Tidak tahu c. Baik =1 d. Lebih baik =2



Total Penilaian (Maksimal30 poin) Skor lndikator Malnutrisi : Skor 24 = gizi baik Skor 17 - 23,5 = berisiko rnalnutrisi Skor < 17 = rnalnutrisi



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA SCAN UNTUK PRIYO PANJI 3.dr. Kuzuya M, Kanda S, Koike T, Suzuki Y, Satake S, Iguchi A. Dukungan nutrisi amat pentingDI diperhatikan dan Evaluation of Mini-Nutritional Asessment for Japanese frail dievaluasi secara seksama dan teratur selama perawatan. elderly. Nutrition 2005;21:498-503 Cara pemberian nutrisi hams disesuaikan dengan kondisi 4. Omran ML, Salem P. Diagnosing undernutrition. Clin Geriatr pasien. Pada awal atau selama perawatan, pasien mungkin Med 2002; 18: 719-36. memerlukan nutrisi parenteral total, mungkin juga 5. Kagansky N, Berner Y. Koren-Morag N, Perlman L, Knobler kombinasi nutrisi parenteral dan enteral, atau cukup nutrisi H, Levy S. Poor nutritional habits are predictors of poor outenteral atau nutrisi per oral, sangat tergantung pada situasi come in very old hospitalized patients. Am J Clin Nutr 2005;82:784-91. dan kondisi kesehatan pasien. Jumlah, jenis, komposisi 6. Intan M. Studi pendahuluan indeks risiko gizi dan status gizi nutrisi yang diberikan juga perlu diperhatikan dan dihitung geriatri di instalasi rawat inap B dan poliklinik geriatri RSUPN dengan baik, apapun bentuk nutrisi yang diberikan.



Malnutirisi khsusunya kurang nutrisi (undernutrition) di rumah sakit merupakan masalah yang sering dialami oleh pasien, khsusunya pasien berusia lanjut. Berbagai masalah kesehatan akut maupun kronik, gangguan fisik maupun mental psikologi-kognitif dapat memicu timbulnya masalah malnutrisi tersebut. Gangguan nutrisi tersebut akan berdampak buruk pada status kesehatan usia lanjut dan menimbulkan komplikasi yang menungkatkan lama penyembuhan, lama perawatan, mortalitas dan morbiditas. Umuk itu, pengkajian paripurna yang meliputi pengkajian status nutrisi perlu dilakukan sejak dini, sejak awal pasien masuk rumah sakit dan secara berkala dikerjakan selama pasien dirawat hingga menjelang pemulangan pasien ke rumah. Pengkajian Nutrisi Mini ( Mini Nutritional assessment) dapat digunakan untuk mengkaji status nutrisi pasien usia lanjut yang dirawat di rumah sakit. Tatalaksana yang komprehensif dan terintegrasi hams dilakukan pada semua pasien usia lanjut yang dirawat, termasuk tatalaksana nutrisinya. Untuk itu diperlukan kerjasama yang baik antar sesama petugas kesehatan yang terlibat, termasuk ahli gizi, dan juga yang tidak kalah penting adalah peran keluarga dan atau pramurawat selama perawatan berlangsung.



REFERENSI 1. Stratton RJ, Green CJ, Elia M. Disease related malnutrition : an evidence basal approach to treatment. Oxford: CABI, 2003 2. Milne AC, Potter J, Avenell A. Protein and energy supplementation in elderly people at risk from malnutrition. Cocrane Database of systematic review 2005, Issue 1, Art No.: CD003288.pub2.



Dr. Cipto Mangunkusumo. Akademi Gizi Yayasan RS MH Thamrin Jakarta, 200 1:25 7. Wallace JI. Malnutrition and enterallparentera1 alimentation. In: Hazzard's Geriatric Medicine and Gerontology. Editor : Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME, Studenski S, High KP, Asthana S. 6" ed. Mc Graw Hill. 2009 :469-81 8. Sullivan HD, Johnson LE. Nutrition and aging. In: Hazzard's Geriatric Medicine and Gerontology. Editor : Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME, Studenski S, High KP, Asthana S. 6" ed. Mc Graw Hill. 2009 :439-57. 9. Omran ML, Morley JE. Assessment of protein energy malnutrition in older persons, part I: hidtory, examination, body composition, and screening tools. Nutrition, 2000; 16: 50-63 10. USDA (United State Departement of Agricultural). Nutrient Data Bank System 2006, diunduh dari http:www.ars.usda.gov/ ese~ices/docs.htm/docid 11. Bales CW, Ritchie CS. The elderly. In : Modem nutrition in health and disease. 10" ed.Lippincott Willians & Wilkins. 2006: 843-57. 12. Garcia SC, Pena CG, Duque-Lopez MX, Cedi110 TJ, CortezNunez AR, Reyes-Beaman S. Anthropometric measures and nutritional status in a healthy elderly population. BMC Public Health 2007; 7:l-9 13. Kuzuya M, Izawa S, Enoki H, Okada K, Iguchi A. Is serum albumin a good marker for malnutrition in the physically impairment elderly ? Clin Nutr 2007; 26: 84-90 14. Donini LM, Savina C, Rosano A et al. J Nutr Health Aging 2003;7:282-93. 15. Guigoz Y, Lauque S, Vellas BJ. Identifying the elderly at risk for malnutrition. The Mini Nutritional assessment. Clin Ger Med 2002; 18:737-57 16. Neumann SA, Miller MD, Daniels LA, Ahern M, Crotty M. Mini Nutritional Assessmmt in geriatric rehabilitation: interrater reliability and relationship to body composition and nutritional biochemistry. Nutrition & Dieteticcs 2007;64: 179-85 17. Bleda MJ, Bolibar I, Pares R, Salva A. Reliability of the mini nutritional assessment (MNA) in institutionalized elderly people. The Journal of Nutrition, Health & Aging 2002;6(2): 134-37. 18. Ellen S. Uji Keandalan Mini Nutritional Assessment untuk menilai status nutrisi pada usia lanjut. Tesis. Orogram Sudi Ilmu Penyakit Dalam FK UI 2009



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



KLINIK



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



IMUNOLOGI DASAR Karnen Garna Baratawidjaja, Iris Rengganis



PENDAHULUAN Imunologi dasar pada tulisan berikut ini diuraikan dalam 3 bab, yaitu sistem iImun, antigen dan antibodi, dan reaksi hipersensitivitas.



Pertahanan Fisik Kulit, selaput lendir, silia saluran napas, batuk dan bersin dapat mencegah berbagai kuman patogen masuk ke dalam tubuh. Kulit yang rusak misalnya oleh luka bakar dan selaput lendir yang rusak oleh karena asap rokok akan meningkatkan risiko infeksi.



SISTEM IMUN



Pertahanan Larut



Keutuhan tubuh dipertahankan oleh sistem pertahanan yang terdiri atas sistem imun nonspesifik (natural/innate) dan spesifik (adaptive/acquired). Komponen-komponen sistem imun nonspesifik dan spesifik terlihat dalam Gambar 1.



Pertahanan Biokimia. Bahan yang disekresi mukosa saluran napas, kelenjar sebaseus kulit, kelenjar kulit, telinga, spermin dalam semen merupakan bahan yang berperan dalam pertahanan tubuh. Asam hidroklorik dalam cairan lambung, lisosim dalam keringat, ludah, air mata dan air susu dapat melindungi tubuh terhadap kurnan Gram positif dengan jalan menghancurkan dinding kuman tersebut. Air susu ibu mengandung pula laktoferin dan asam neuraminik yang mempunyai sifat antibakterial terhadap E. coli dan stafilokok. Lisozim yang dilepas makrofag dapat menghancurkan kuman negatif-Gram dengan bantuan komplemen. Laktoferin dan transferin dalam serum dapat mengikat zat besi yang dibutuhkan untuk hidup kuman pseudomonas (Gambar 2). Udara yang kita hirup, kulit dan saluran cerna, mengandung banyak mikroba, biasanya berupa bakteri dan virus, kadang jamur atau parasit. Sekresi kulit yang bakterisidal, asam lambung, mukus dan silia di saluran napas membantu menurunkanjumlah mikroba yang masuk tubuh, sedang epitel yang sehat biasanya dapat mencegah mikroba masuk ke dalam tubuh. Dalam darah dan sekresi tub&, enzim lisosom membunuh banyak bakteri dengan mengubah dinding selnya. IgA juga merupakan pertahanan permukaan mukosa.



- Kultt B~oktm~a - Fagos~t - Selaput lendir - Llsozlm(ker~ngat) - Mononuklear - Sll~a - Sekres~sebaseus - Polimorfonuklear - Batuk -Asam lembung - Sel NK - Bers~n - Laktofer~n - Sei mast -Asam neuram~n~k- basof11



Sel B



- IgD - IgM - IgG - IgE - IgA



-Sel T



- Thl - Th2 .TslTrlTh3 -- Tdth CTLfTc



Gambar 1 . Sistem Imun. NK= Natural Killer; Tdth = T delayed type hypersensitivity; CTL/Tc = Cytotoxic T Lymphocyte/ T cytotoxic/ T cytolytic; Ts = T supresor; Tr = T regulator



SISTEM IMUN NONSPESlFlK 'istern imun nons~esifikmeru~akanpertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, karena sistem imun spesifik memerlukan waktu sebelum memberikan responsnya. Sistem tersebut disebut nonspesifik, karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu.



Pertahanan Humoral Komplemen. Komplemen mengaktifkan fagosit dan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



-



Gambar 4. Fungsi sel NK



2. Pertahanan eksternal tubuh



membantu destruksi bakteri dan parasit dengan jalan opsonisasi (Gambar 3). 1. Komplemen dapat menghancurkan sel membran banyak bakteri (C8-9) 2. Komplemen dapat berhngsi sebagai faktor kemotaktik yang mengerahkan makrofag ke tempat bakteri ((3-6-7) 3. Komplemen dapat diikat pada permukaan bakteri yang memudahkan makrofag untuk mengenal (opsonisasi) dan memakannya (C3b. C4b). Kejadian-kejadian tersebut di atas adalah fungsi sistem imun nonspesifik, tetapi dapat pula terjadi atas pengaruh respons imun spesifik.



Sel NK membunuh sel terinfeksi virus intraselular, sehingga dapat menyingkirkan reservoir infeksi. Sel NK memberikan respons terhadap IL-12 yang diproduksi makrofag dan melepas IFN-y yang mengakt~fkan makrofag untuk membunuh mikroba yang sudah dimakannya. C-Reactive Protein (CRP). CRP dibentuk tubuh pada infeksi. Peranannya ialah sebagai opsonin dan dapat mengaktifkan komplemen (Gambar 5).



Interferon. Interferon adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan berbagai sel manusia yang mengandung nukleus dan dilepas sebagai respons terhadap infeksi virus. Interferon mempunyai sifat antivirus dengan jalan menginduksi sel-sel sekitar sel yang telah terserang virus tersebut. Di samping itu, interferon dapat pula mengaktifkan nrrtzrralkillercell sel NK untuk membunuh virus dan sel neoplasma (Gambar 4).



Titer CRP



-&a=-%



1-



IF-Reactive Protein ( C R P ~



Kornponen



@ ..-. . . -..



I



Bakteri



I



1. Lisis



Fapit



& \ '



\



I



Bakteri



2. Kernotaksis 3. 0psoI3isasi



I



Gambar 3. Fungsi komplemen



I



Gambar 5. C-Reactive Protein (CRP)



I



Pertahanan Selular Fagositimakrofag, sel NK dan sel mast berperan dalam sistem imun nonspesifik selular. Fagosit. Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan fagositosis, sel utama yang berperan pada



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pertahanan nonspesifik adalah sel mononuklear (monosit dan makrofag) serta sel polimorfonuklear seperti neutrofil. Kedua golongan sel tersebut berasal dari sel hemopoietik yang sama. Fagositosis dini yang efektif pada invasi kuman, akan dapat mencegah timbulnya penyakit. Proses fagositosis terjadi dalam beberapa tingkat sebagai berikut: kemotaksis, menangkap, membunuh dan mencerna.



NaturdKilCerceU (sel NK). Sel NK adalah sel limfosit tanpa ciriciri sel limfoid sistem imun spesifikyang diternukandalam sirkulasi. Oleh karena itu disebut juga sel non B non T atau sel populasi ke tiga atau null cell. Morfologis, sel NK merupakan limfosit dengan granul besar, oleh karena itu disebutj u g a m e GramIarLymphocyteLGL. Sel N K dapat menghancurkan sel yang mengandung virus atau sel neoplasma. Interferon mempercepat pematangan dan meningkatkan efek sitolitik sel NK. Sel mast. Sel mast berperan dalam reaksi alergi dan juga dalam pertahanan pejamu yang jumlahnya menurun pada sindrom imunodefisiensi. Sel mast juga berperan pada imunitas terhadap parasit dalam usus dan terhadap invasi bakteri. Berbagai faktor nonimun seperti latihan jasmani, tekanan, trauma, panas dan dingin dapat pula mengaktifkan dan menimbulkan degranulasi sel mast.



Berbeda dengan sistem imun nonspesifik, sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama timbul dalam badan yang segera dikenal sistem imun spesifik, akan mensensitasi sel-sel sistem imun tersebut. Bila sel sistem tersebut terpajan ulang dengan benda asing yang sama, yang akhir akan dikenal lebih cepat dan dihancurkannya. Oleh karena itu sistem tersebut disebut spesifik. Sistem imun spesifik dapat bekerja sendiri untuk menghancurkan benda asing yang berbahaya bagi badan, tetapi pada umumnya terjalin kerja sama yang baik antara antibodi, komplemen, fagosit dan antara sel T-makrofag. Komplemen turut diaktifkan dan ikut berperan dalam menimbulkan inflamasi yang terjadi pada respons imun. Sistem lmun Spesifik Humoral 1. Sistem imun spesifik humoral. Berperan dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B. Sel B tersebut berasal dari sel asal multipoten dalam sumsum tulang. Pada unggas sel asal tersebut berdiferensiasi menjadi sel B di dalam alat yang disebut Bursa Fabricius yang letaknya dekat cloaca. Bila sel B dirangsang benda asing, sel tersebut akan berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang dapat



membentuk antibodi. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan di dalarn serum. Fungsi utama antibodi ialah mempertahankan tubuh terhadap infeksi bakteri, virus dan menetralisasi toksin. 2. Sistem imun spesifik selular. Berperan dalam sistem imun spesifik selular adalah limfosit T atau sel T. Fungsi sel T urnurnnya ialah: membantu sel B dalam memproduksi antibodi mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi virus mengaktifkan makrofag dalam fagositosis mengontrol ambang dan kualitas sistem imun Sel T juga dibentuk dalam sumsum tulang, tetapi diferensiasi dan proliferasinya terjadi dalam kelenjar timus atas pengaruh berbagai faktor asal timus. Sembilan puluh sampai sembilan puluh lima persen semua sel timus tersebut mati dan hanya 5-10% menjadi matang dan meninggalkan timus untuk masuk ke dalam sirkulasi dan kelenjar getah bening. Fungsi utama sistem imun selular ialah pertahanan terhadap mikroorganisme yang hidup intraselular seperti virus, jamur, parasit dan keganasan. Berbeda dengan sel B, sel T terdiri atas beberapa sel subset seperti sel T naif, Thl, Th2, T Delayed Type Hypersensitivity (Tdth), Cytotoxic T Lymphocyte (CTL) atau T cytotixic atau T cytolytic (Tc) dan T supresor (Ts) atau T regulator (Tr).



Sel T Naif (virgin). Sel T naif adalah sel limfosit yang meninggalkan timus, namun belum berdiferensiasi,belum pernah terpajan dengan antigen dan menunjukkan molekul permukaan CD45RA. Sel ditemukan dalam organ limfoid perifer. Sel T naif yang terpajan dengan antigen akan berkembang menjadi sel Tho yang selanjutnya dapat berkembang menjadi sel efektor Thl dan Th2 yang dapat dibedakan atas dasar jenis-jenis sitokin yang diproduksinya. Sel Tho memproduksi sitokin dari ke 2 jenis sel tersebut seperti IL-2, IFN dan IL-4. Sel T CD4' (Thl dan Th2). Sel T naif CD4' masuk sirkulasi dan menetap di dalam organ limfoid seperti kelenjar getah bening untuk bertahun-tahun sebelum terpajan dengan antigen atau mati. Sel tersebut mengenal antigen yang dipresentasikan bersama molekul MHC-I1 oleh APC dan berkembang menjadi subset sel Thl atau sel Tdth (Delayed Type Hypersensitivity) atau Th2 yang tergantung dari sitokin lingkungan. Dalam kondisi yang berbeda dapat dibentuk dua subset yang berlawanan (Gambar6). IFN-7 dan IL- 12yang diproduksiAPC seperti makrofag dan sel dendritik yang diaktifkan mikroba merangsang diferensiasi sel CD4' menjadi ThlITdth yang berperan dalam reaksi hipersensitivitas lambat (reaksi tipe 4 Gel1 dan Coombs). Sel Tdth berperan untuk mengerahkan makrofag dan sel inflamasi laimya ke tempat terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



berperan menekan aktivitas sel efektor T yang lain dan sel B. Menumt fungsinya, sel Ts dapat dibagi menjadi sel Ts spesifik untuk antigen tertentu dan sel Ts nonspesifik.Tidak ada petanda unik pada sel ini, tetapi penelitian menemukan adanya petanda molekul CD8'. Molekul CD4' kadang dapat pula supresif. Kerja sel T regulator diduga dapat mencegah respons sel Thl. APC yang mempresentasikan antigen ke sel T naif akan melepas sitokin IL-12 yang merangsang diferensiasi sel T naif menjadi sel efektor Thl. Sel Thl memproduksi IFN-y yang mengaktifkan makrofag dalam fase efektor. Sel T regulator dapat mencegah aktivasi sel T melalui mekanisme yang belum jelas (kontak yang diperlukan antara sel regulator dan sel T atau APC). Beberapa sel T regulator melepas sitokin imunosupresif seperti IL-I0 yang mencegah fungsi APC dan aktivasi makrofag dan TGF-P yang mencegah proliferasi sel T dan aktivasi makrofag.



ANTIGEN DAN ANTlBODl



Gambar 6. D~ferens~as~ Sel Naif CD4 Menjadi Thl dan Th2



Atas pengaruh sitokin IL-4, IL-5, IL-I 0, IL-13 yang dilepas sel must yang terpajan dengan antigen atau cacing, Tho berkembang menjadi sel Th2 yang merangsang sel B untuk meningkatkan produksi antibodi. Kebanyakan sel Th adalah CD4' yangmengenal antigen yangdipresentasikan di permukaan sel APC yang berhubungan dengan molekul MHC-U. Sel T CD8' (Cytotoxic T Lymphocyte/CTL / Tcytotoxic /Tcytolytic/ Tc). Sel T CD8' naif yang keluar dari timus disebut juga CTLITc. Sel tersebut mengenal antigen yang dipresentasikan bersama molekul MHC-I yang ditemukan pada semua sel tubuh yang bernukleus. Fungsi utamanya ialah menyingkirkan sel yang terinfeksi virus dengan menghancurkan sel yang mengandung virus tersebut. Sel CTLITc akan juga menghancurkan sel ganas dan sel histoimkompatibel yang menimbulkan penolakan pada transplantasi. Dalam keadaan tertentu, CTLITc dapat juga menghancurkan sel yang terinfeksi bakteri intraselular. Istilah sel T inhrcer digunakan untuk menunjukkan aktivitas sel Th dalam mengaktifkan sel subset T lainnya. Sel Ts (T supresor) atau sel Tr (T regulator). Sel Ts (supresor) yang juga disebut sel Tr (regulator) atau Th3



Antigen Antigen poten alamiah terbanyak adalah protein besar dengan berat molekul lebih dari 40.000 dalton dan kompleks polisakarida m~krobial.Glikol~pid&an lipoprotein dapatjuga ber-sifat imunogenik, tetapi tidak demikian halnya dengan lipid yang dimurnikan. Asam nukleat dapat bertindak sebaga~lmunogen dalam penyakit autoimun tertentu, tetapi tidak dalam keadaan normal.



Pembagian Antigen 1. Pembagian antigen menurut epitop a. Unideterminan, univalen. Hanya satu jenis determinanlepitop pada satu molekul. b. Unideterminan, multivalen. Hanya satu j e n ~ s determinan tetapi dua atau lebih determinan tersebut ditemukan pada satu molekul. c. Multideterminan, univalen. Banyak epitop yang bermacam-macam tetapi hanya satu dari setiap macamnya (kebanyakan protein). d. Multideterminan, multivalen. Banyak macam determinan dan banyak dari setiap macam pada satu molekul (antigen dengan berat molekul yang tinggi dan kompleks secara kimiawi). (Gambar 7) 2. Pernbagian antigen menumt spesifisitas a. Heteroantigen, yang dimiliki oleh banyak spesies b. Xenoantigen, yang hanya dimiliki spesies tertentu c. Aloantigen (isoantigen), yang spesifik untuk individu dalam satu spesies d. Antigen organ spesifik, yang hanya dimiliki organ tertentu e. Autoantigen, yang dimiliki alat tubuh sendiri 3. Pernbagian antigen menurut ketergantungan terhadap sel T



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI '



-



rJ e n ~ santigen



':A~ It';



1



& .



'



Unidetermlnan un~velan



1



I -4 !



'



Contoh



Hapten



Unideterm~nan multivalen



Pol~sakarrda



Multideterm~nan



Protein



M ultideterm inan multrvalen



Kimia kompleks



:'.' I univalen



1



I



tetapi bahan tersebut sendiri tidak dapat mengaktifkan sel B (tidak imunogenik). Untuk memacu respons antibodi, bahan kecil tersebut perlu diikat oleh molekul besar. Kompleks yang terdiri atas molekul kecil (disebut hapten) dan molekul besar (disebut carrier atau molekul pembawa) dapat berperan sebagai imunogen. Contoh hapten ialah berbagai golongan antibiotik dan obat lainnya dengan berat molekul kecil. Hapten biasanya dikenal oleh sel B, sedangkan molekul pembawa oleh sel T. Molekul pembawa sering digabung dengan hapten da-lam usaha memperbaiki imunisasi. Hapten membentuk epitop pada molekul pembawa yang dikenal sistem imun dan merangsang pembentukan antibodi (Gambar 8).



Gambar 7. Berbagai antigen dan epitop



a. T dependen, yang memerlukan pengenalan oleh sel T terlebih dahulu untuk dapat menimbulkan respons antibodi. Kebanyakan antigen protein termasuk dalam golongan ini b. T independen, yang dapat merangsang sel B tanpa bantuan sel T untuk membentuk antibodi. Kebanyakan antigen golongan ini berupa molekul besar polimerik yang dipecah di dalam tubuh secara perlahan-lahan, misalnya lipopolisakarida, jcoll, dekstran, levan, flagelin polimerik bakteri 4. Pembagian antigen menurut sifat kimiawi a. Hidrat arang (polisakarida). Hidrat arang pada umurnnya imunogenik. Glikoproteinyang mempakan bagian permukaan sel banyak mikroorganisme ciapat menimbulkan respons imun terutama pembentukan antibodi. Contoh lain adalah respons imun yang ditimbulkan golongan darah ABO, sifat antigen dan spesifisitas imunnya berasal dari polisakarida pada permukaan sel darah merah b. Lipid. Lipid biasanya tidak imunogenik, tetapi menjadi imunogenik bila diikat protein pembawa. Lipid dianggap sebagai hapten, contohnya adalah sfingolipid c. Asam nukleat. Asam nukleat tidak imunogenik, tetapi &pat menjadi imunogenik bila diikat protein molekul pembawa. DNA dalam bentuk heliksnya biasanya tidak imunogenik. Respons imun terhadap DNA terjadi pada pasien dengan Lupus Eritematosus Sistermk (LES) d. Protein. Kebanyakan protein adalah imunogenik dan pada umurnnya multideterminan dan univalen. Irnunogen dan Hapten. Antigen yang juga disebut imunogen adalah bahan yang dapat merangsang respons imun atau bahan yang dapat bereaksi dengan antibodi yang sudah ada tanpa memperhatikan kemampuannya untuk merangsang produksi antibodi. Secara fungsional antigen dibagi menjadi imunogen dan hapten. Bahan kimia ukuran kecil seperti dinitrofenol dapat diikat antibodi,



Garnbar 8. Respons sel B terhadap hapten



Respons sel B terhadap hapten yang memerlukan protein pembawa (carrier) untuk dapat dipresentasikan ke sel Th. Epitop. Epitop atau determinan antigen adalah bagian dari antigen yang dapat membuat kontak fisik dengan reseptor antibodi, meng-induksi pembentukan antibodi; dapat diikat dengan spesifik oleh bagian dari antibodi atau oleh reseptor antibodi. Makromolekul dapat memiliki berbagai epitop yang masing-masing merangsang produksi antibodi spesifik yang berbeda. Paratop ialah bagian dari antibodi yang mengikat epitop. Respons imun dapat terjadi terhadap semua golongan bahan kimia seperti hidrat arang, protein dan asam nukleat (Gambar 9). Lokasi epitop dan paratop (bagian dari antibodi) dalam interaksi antara antigen dan TCR dan reseptor sel B.



Gambar 9. Epitop



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Epitop adalah bagian dari antigen yang membuat kontak fisik dengan reseptor Ab = antibodi; Ag = antigen.



Superantigen. Superantigen (Gambar 10) adalah molekul yang sangat poten terhadap mitogen sel T. Mungkin lebih baik bila disebut supermitogen, oleh karena dapat memacu mitosis sel CD4'tanpa bantuan APC. Superantigen berikatan dengan berbagai regio dari rantai P -reseptor sel T. lkatan tersebut merupakan sinyal poten untuk mitosis, dapat mengaktifkan sejumlah besar populasi sel T. Sampai 20% dari semua sel T dalam darah dapat diaktifkan oleh satu molekul superantigen. Contoh superantigen adalah enterotoksin dan toksin yang menimbulkan sindrom syok toksin yang diproduksi stafilokokus aureus. Molekul tersebut dapat memacu penglepasan sejumlah besar sitokin seperti IL-1 dan TNF dari sel T yang berperan dalam patologi jaringan lokal pada syok anafilaktik oleh stafilokokus.



Unit dasar antibodi yang terdiri atas 2 rantai berat dan 2 rantai ringan yang identik, diikat menjadi satu oleh ikatan disulfida yang dapat dipisah-pisah dalam berbagai fragmen. A = rantai berat (berat molekul: 50.000-77.000) B = rantai ringan (berat molekul: 25.000) C = ikatan disulfida Ada 2 jenis rantai ringan (kappa dan lambda) yang terdiri atas 230 asam amino serta 5 jenis rantai berat yang tergantung pada kelima jenis imunoglobulin, yaitu IgM, IgG, IgE, IgAdan IgD (Gambar 12).



I Gambar 12. Berbagai kelas antibodi



,



10. Superantigen



Antibodi atau imunoglobulin (Ig) adalah golongan protein yang dibentuk sel plasma (proliferasi sel B) setelah terjadi kontak dengan antigen. Antibodi ditemukan dalam serum dan jaringan dan mengikat antigen secara spesifik. Bila serum protein dipisahkan secara elektroforetik, Ig ditemukan terbanyak dalam fraksi globulin g meskipun ada beberapa yang ditemukan juga dalam fraksi globulin a dan b. Semua molekul Ig mempunyai 4 polipeptid dasar yang teridiri atas 2 rantai berat (heavy chain) dan 2 rantai ringan (light chain) yang identik, dihubungkan satu dengan lainnya oleh ikatan disulfida (Gambar 11).



Gambar 11. Unit dasar antibodi



IgG IgG merupakan komponen utama (terbanyak) imunoglobulin serum, dengan berat molekul 160.000. Kadarnya dalam serum yang sekitar 13 mglml merupakan 75% dari semua Ig. IgG ditemukan juga dalam berbagai cairan lain antaranya cairan saraf sentral (CSF) dan juga urin. IgG dapat menembus plasenta dan masuk ke janin dan berperan pada imunitas bayi sampai umur 6-9 bulan. IgG dapat mengaktifkan komplemen, meningkatkan pertahanan badan melalui opsonisasi dan reaksi inflamasi. IgG mempunyai sifat opsonin yang efektif oleh karena monosit dan makrofag memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari IgG yang dapat mempererat hubungan antara fagosit dengan sel sasaran. Selanjutnya opsonisasi dibantu reseptor untuk komplemen pada permukaan fagosit. IgG terdiri atas 4 subkelas yaitu Ig I, Ig2, Ig3 dan Ig4. Ig4 dapat diikat oleh sel mast dan basofil. IgA IgA ditemukan dalam jumlah sedikit dalaln serum, tetapi kadarnya dalam cairan sekresi saluran napas, saluran cerna, saluran kemih, air mata, keringat, ludah dan kolostrum lebih tinggi sebagai IgA sekretori (sIgA). Baik IgA dalam serum maupun dalam sekresi dapat menetralisir toksin atau virus dan atau mencegah kontak antara toksinlvirus dengan alat sasaran. sIgA diproduksi lebih dulu dari pada IgA dalam serum dan tidak menembus plasenta. sIgA melindungi



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI tubuh dari patogen oleh karena dapat bereaksi dengan molekul adhesi dari patogen potensial sehingga mencegah adherens dan kolonisasi patogen tersebut dalam sel pejarnu. IgA juga bekerja sebagai opsonin, oleh karena neutrofil, monosit dan makrofag memiliki reseptor untuk Fca (Fca-R) sehingga dapat meningkatkan efek bakteriolitik komplemen dan menetralisir toksin. IgA juga diduga berperan pada imunitas cacing pita.



IgM IgM (M berasal dari makroglobulin) mempunyai rumus bangun pentamer dan merupakan Ig terbesar. Kebanyakan sel B mengandung IgM pada permukaannya sebagai reseptor antigen. IgM dibentuk paling dahulu pada respons imun primer tetapi tidak berlangsung lama, karena itu kadar IgM yang tinggi merupakan tanda adanya infeksi dini. Bayi yang baru dilahirkan hanya mempunyai IgM 10% dari kadar IgM dewasa oleh karena IgM tidak menembus plasenta. Fetus umur 12 minggu sudah dapat membentuk IgM bila sel B nya dirangsang oleh infeksi intrauterin seperti sifilis kongenital, rubela, toksoplasmosis dan virus sitomegalo. Kadar IgM anak mencapai kadar IgM dewasa pada usia satu tahun. Kebanyakan antibodi alamiah seperti isoaglutinin, golongan darah AB, antibodi heterofil adalah IgM. IgM dapat mencegah gerakan mikroorganisme patogen, memudahkan fagositosis dan merupakan aglutinator kuat terhadap butir antigen. IgM juga merupakan antibodi yang dapat mengikat komplemen dengan kuat dan tidak menembus plasenta.



Hipersensitivitas adalah respons imun yang berlebihan dan yang tidak diinginkan karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi tersebut oleh Gell dan Coombs dibagi dalam 4 tipe reaksi menurut kecepatamya dan mekanisme imun yang terjadi. Reaksi ini dapat terjadi sendiri-sendiri, tetapi di dalam klinik dua atau lebih jenis reaksi tersebut sering terjadi bersamaan.



Reaksi Tipe I atau Reaksi Cepat Reaksi Tipe I yang disebut juga reaksi cepat, reaksi anfilaksis atau reaksi alergi dikenal sebagai reaksi yang segera timbul sesudah alergen masuk ke dalam tubuh. Istilah alergi yang pertama kali digunakan Von Pirquet pada tahun 1906diartikan sebagai "reaksi pejamu yang berubah" bila terjadi kontak dengan bahan yang sama untuk kedua kali atau lebih. Antigen yang masuk tubuh akan ditangkap oleh fagosit, diprosesnya lalu dipresentasikanke sel Th2. Sel yang akhir melepas sitokin yang merangsang sel B untuk membentuk IgE. IgE akan diikat oleh sel yang memiliki reseptor untuk IgE (Fce-R) seperti sel mast, basofil dan eosinofil. Bila tubuh terpajan ulang dengan alergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat IgE (spesifik)pada permukaan sel mast yang menimbulkan degranulasi sel mast. Degranulasi tersebut mengeluarkan berbagai mediator antara lain histamin yang didapat dalam granul-granul sel dan menimbulkan gejala pada reaksi hipersensitivitas tipe I (Gambar 13).



IgD IgD ditemukan dengan kadar yang sangat rendah dalam darah (1% dari total imunoglobulin dalam serum). IgD tidak mengikat komplemen, mempunyai aktivitas antibodi terhadap antigen berbagai makanan dan autoantigen seperti komponen nukleus. Selanjutnya IgD ditemukan bersama IgM pada permukaan sel B sebagai reseptor antigen pada aktivasi sel B.



lergen ~ediator Gambar 13. Tipe I: Alergen, IgE, sel mast, mediator



IgE IgE ditemukan dalam serum dalam jumlah yang sangat sedikit. IgE mudah diikat mastosit, basofil, eosinofil, makrofag dan trombosit yang pada permukaannya memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari IgE. IgE dibentuk juga setempat oleh sel plasma dalam selaput lendir saluran napas dan cerna. Kadar IgE serum yang tinggi ditemukan pada alergi, infeksi cacing, skistosomiasis, penyakit hidatid, trikinosis. Kecuali pada alergi, IgE diduga juga berperan pada imunitas parasit. IgE pada alergi dikenal sebagai antibodi reagin.



Penyakit-penyakit yang timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen adalah asma bronkial, rinitis, urtikaria dan dermatitis atopik. Di samping histamin, mediator lain seperti prostagladin dan leukotrin (SRS-A) yang dihasilkan metabolisme asam arakidonat, berperan pada fase lambat dari reaksi tipe I yang sering timbul beberapa jam sesudah kontak dengan alergen.



Reaksi Tipe II atau Reaksi Sitotoksik Reaksi tipe I1 yang disebut juga reaksi sitotoksik terjadi



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



oleh k m n a dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. b t a n antibodi dengan antigen yang merupakan bagian dmi sel pejamu tersebut dapat mengaktifkan komplemen dan menimbulkan lisis (Gambar 14). Lisis seI dapat pula tmjadi melalui sensitasi sel NK sebagai efektor Antibody Dependent Cell C@toxicify (ADCC). Contoh reaksi t i p I1 adalah destruksi sel darah merah akibat r e a h i transfusi dan penyakit anemia hemolitik pada bayi yang barn dilahirkan dan dewasa. Sebagian kerusakan jaringan pada penyakit autoimun setperti miastenia gravis dan tirotoksikosis juga ditimbulkan melalui mekanisme reaksi tipe 11. Anemia hemolitik dapat ditimbulkan oleh obat seperti penisilin, kinin dan sulfonamid.



Cambar 15. Reaksi Tipe Ill: Kompleks imun yang terdiri atas antigen dalam sirkulasi dan lgh4 atau I Q Gyang ~ diendaphn &lam mmbran basal vaskular



Tabel 1. Penyakit Kompleks Imun: Sebab, Antigen dan Tempat Kompleks Mengendap



Antrgen



S ~ D ~ D



I ernpal: ~ornplens



rnengendap lnfeksi persisten Autoimunitas Ekstrinsik



Reaksi Tipe Ill atau Reaksi Kompleks lmun Reaksi tipe Ill yang juga disebut reaksi kompleks imun terjadi akibat endapan kompleks antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah. Antibodi di sini biasanya jenis IgG atau IgM. Kompleks tersebut mengaktifkan komplemen yang kemudian rnelepas berbagai mediator terutama macrophage chemotacticjirctor. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut akan merusak jaringan sekitar tempat tersebut. Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria). bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis ekstrinsik alergi) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi tersebut disertai dengan antigen dalam jumlah yang berlebihan, tetapl tidak disertai dengan respons antibodi efektif. Pernbentukan kompleks imun yang terbetuk dalam pembuluh darah terlihat pada Gambar 15. Antigen (Ag) dan antibodi (Ab) bersatu membentuk kompleks imun. Selanjutnya kompleks imun mengaktifkan C yang melepas C,a dan C,ddan merangsang basofil dan trombosrt melepas berbagai mediator antara lain histamin yang meningkatkan permeabilitas vaskular. Sebab-sebab reaksi tipe I11 dan alat tubuh yang sering merupakan sasaran penyakit kompleks imun terlihat pada Tabel 1. Dalam keadaan normal kompleks imun dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear terutama dalam hati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Dalam proses tersebut, ukuran kompleks imun merupakan faktor penting. Pada umumnya kompleks yang besar, mudah dan cepat



Antigen mikroba Antigen sendiri Antigen lingkungan



Organ yang diinfeksi, ginjal Ginjal, sendi, pembuluh darah, kulit Paru



dimusnahkan dalam hati. Kompleks yang larut terjadi bila antigen ditemukan jauh lebih banyak dari pada antibodi yang sulit untuk dimusnahkan dan oleh karena itu dapat lebih lama ada dalam sirkulasi. Kompleks imun yang ada dalam sirkulasi meskipun untuk jangka waktu lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun menembus dinding pembuluh darah dan mengendap di jaringan. Gangguan fungsi fagosit diduga dapat lnerupakan sebab mengapa kompleks imun sulit dimusnahkan. Reaksi Tipe IV atau Reaksi Hipersensitivitas Lambat Reaksi tipe IV yang juga disebut reaksi hipersensitivitas lambat, timbul lebih dari 24jam setelah tubuh terpajan dengan antigen. Dewasa ini, reaksi Tipe 4 dibagi dalam Delayed Tvpe Hvper-sensitivip yang terjadi melalui sel CD4' dan T cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8' (Gambar 16).



wmbar 16. ~ e a n s hipersensitivitas i lambat



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Delayed Type Hypersensitivity (DTH). Pada DTH, sel CD4'Th 1 yang mengaktifkan makrofag berperan sebagai sel efektor. CD4'Thl melepas sitokin (IFN-y) yang mengaktifkan makrofag dan menginduksi inflamasi. Pada DTH, kerusakan jaringan disebabkan oleh produk makrofag yang diaktifkan seperti enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediet, oksida nitrat dan sitokin proinflamasi. Sel efektor yang berperan pada DTH adalah makrofag. Contoh-contoh reaksi DTH adalah sebagai berikut: 1). Reaksi tuberkulin. Reaksi tuberkulin adalah reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi dermatitis kontak dan terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Reaksi terdiri atas infiltrasi sel mononuklear (50% adalah limfosit dan sisanya monosit). Setelah 48 jam, timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah besar sekitar pembuluh darah yang merusak hubungan serat-serat kolagen kulit. Bila reaksi menetap, reaksi tuberkulin dapat berlanjut menimbulkan kavitas atau granuloma. 2). Dermatitis kontak. Reaksi DTH dapat terjadi sebagai respons terhadap bahan yang tidak berbahaya dalam lingkungan seperti nikel yang menimbulkan dermatitis kontak. Dermatitis kontak dikenal dalam klinik sebagai dermatitis yang timbul pada kulit tempat kontak dengan alergen. Reaksi maksimal terjadi setelah 48 jam dan merupakan reaksi epidermal. Sel Langerhans sebagai antigen presenting cell (APC), sel Thl dan makrofag memegang peranan pada reaksi tersebut. 3). Reaksi granuloma. Pada keadaan yang paling menguntungkan DTH berakhir dengan hancurnya mikrooorganisme oleh enzim lisosom dan produk makrofag lainnya seperti peroksid radikal dan superoksid. Pada beberapa keadaan terjadi ha1 sebaliknya, antigen bahkan terlindung, misalnya telur skistosoma dan mikobakterium yang ditutupi kapsul lipid. DTH kronis sering menimbulkan fibrosis sebagai hasil sekresi sitokin dan growthfactor oleh makrofag yang dapat menimbulkan granuloma. Reaksi granuloma merupakan reaksi tipe IV yang dianggap paling penting oleh karena menimbulkan banyak efek patologis. Hal tersebut terjadi oleh karena adanya antigen yang persisten di dalam makrofag yang biasanya berupa mikroorganismeyang tidak dapat dihancurkan atau kompleks imun yang menetap misalnya pada alveolitis alergik. Reaksi granuloma terjadi sebagai usaha badan untuk membatasi kehadiran antigen yang persisten dalam tubuh, sedangkan reaksi tuberkulin merupakan respons imun selular yang terbatas. Kedua reaksi tersebut dapat terjadi akibat sensitasi terhadap antigen mikroorganisme yang sama misalnya M tuberkulosis dan M lepra. Granuloma terjadi pula pada hipersensitivitas terhadap zerkonium sarkoidosis dan rangsangan bahan non-antigenik seperti bedak (talcum). Dalam ha1 ini makrofag tidak dapat memusnahkan benda inorganik tersebut. Granuloma nonimunologis dapat dibedakan dari yang imunologis oleh karena yang pertama tidak mengandung limfosit. Dalam reaksi granuloma ditemukan sel epiteloid yang



diduga berasal dari sel-sel makrofag. Sel-sel raksasa yang memiliki banyak nukleus disebut sel raksasa Langhans. Sel tersebut mempunyai beberapa nukleus yang tersebar di bagian perifer sel dan oleh karena itu diduga sel tersebut merupakan hasil diferensiasi terminal sel monosit1 makrofag. Granuloma imunologik ditandai oleh inti yang terdiri atas sel epiteloid dan makrofag, kadang-kadang ditemukan sel raksasa yang dikelilingi oleh ikatan limfosit. Di samping itu dapat ditemukan fibrosis (endapan serat kolagen) yang terjadi akibat proliferasi fibroblas dan peningkatan sintesis kolagen. Pada beberapa penyakit seperti tuberkolusis, di bagian sentral dapat ditemukan nekrosis dengan hilangnya strukturjaringan (Gambar 17).



Gambar 17. Pembentukangr~nutama



Sel THl berhubungan dengan tuberkulosis bentuk ringan oleh karena sitokin THI mengerahkan dan mengaktifkan makrofag (A), menimbulkan terbentuknya granuloma (B) yang mengandung kuman. Sel TH 1 spesifik diahfkan oleh kompleks peptida MHC dan melepas sitolun yang bersifat kemotaktik untuk berbagai sel, termasuk monosit/makrofag. Sitokin TH I yang lain terutama 1FN-y, mengaktifkan makrofag dijaringan (A). Dalam bentuk kronik atau hipersensitivitas lambat, terjadi susunan sel-sel terorganisasi, yang spesifik dengan sel T di perifer dan mengaktifkan makrofag yang ada di dalam granuloma dan menimbulkan kerusakan jaringan (B). Beberapa makrofag berfusi menjadi sel datia dengan banyak nukleus atau berupa sel epiteloid. T Cell Mediated Cytolysis. Dalam T cell mediated cytolysis, kerusakan terjadi melalui sel CD8+/Cytotoxic T Lymphocyte (CTLITc) yang langsung membunuh sel sasaran. Penyakit hipersensitivitas selular diduga merupakan sebab autoimunitas. Oleh karena itu, penyakit yang ditimbulkan hipersensitivitas selular cenderung terbatas kepada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik. Pada penyakit virus hepatitis, virus sendiri tidak sitopatik, tetapi kerusakan ditimbulkan oleh respons CTL terhadap hepatosit yang terinfeksi. Sel CDX' spesifik untuk antigen atau sel autologus dapat membunuh sel dengan langsung. Pada banyak



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



penyakit autoimun yang terjadi melalui mekanisme selular, biasanya ditemukan baik sel CD4' maupun CD8' spesifik untuk self antigen dan kedua jenis sel tersebut dapat menimbulkankerusakan.



Abbas AK, Lichtman AH. Basic immunology. 2nd edition. Philadelphia: WB Saunders Company; 2004. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Cellular and molecular immunology. Philadelphia: WB Saunders Company; 2003. Altman LC, Becker JW, Williams PV. Allergy in primary care. Philadelphia: WB Saunders Company; 2000. Anderson WL. Immunology. Madison: Fence Creek Publishing; 1999. Austen KF, Burakoff SJ, Rosen FS, Strom TB. Therapeutic immunology. 2nd edition. Oxford: Blackwell Science; 2001. Baratawidjaja KB. Sistem imun. Imunologi dasar. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004. p. 1-31.



Baratawidjaja KB. Sistem imun nonspesifik. Imunologi dasar. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004. p. 32-50. Baratawidjaja KB. Sistem imun spesifik. Imunologi dasar. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004. p. 51-72. Baratawidjaja KB. Antigen dan antibodi. Imunologi dasar. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004. p.73-91. Baratawidjaja KB. Reaksi hipersensitivitas. Imunologi dasar. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004. p. 171-90. Decker JM. Introduction to immunology. Oxford: Blackwell Science; 2000. Kreier, JP. Infection, resistance and immunity. Edisi ke-2. An Arbor: Taylor and Francis; 2002. Male D. Immunology, an illustrated outline. 3rd edition. London: M Mosby; 1998. Playfair JHL, Lydyard PM. Medical immunology. 2nd Edition. Edinburgh: Churchill Livingstone; 2000. Roitt I, Rabson A. Really essential medical immunology. Oxford: Blackwell Science; 2000.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PROSEDUR DIACNOSTIK PENYAKIT ALERCI Azhar Tanjung, Evy Yunihastuti



PENDAHULUAN Penyakit alergi merupakan kumpulan penyakit yang sering dijumpai di masyarakat. Diperkirakan 10-20% penduduk pernah atau sedang menderita penyakit tersebut. Alergi dapat menyerang setiap organ tubuh, tetapi organ yang sering terkena adalah saluran napas, kulit, dan saluran pencernaan. Samsuridjal dkk melaporkan penyakit alergi yang sering dijumpai di Bagian Penyakit Dalam RSCM Jakarta adalah asma, rinitis, urtikaria, dan alergi makanan. Di Medan, TanjungA melaporkan bahwa manifestasi klinis pasien alergi saluran napas adalah rinitis 41,9%, asma 30,6%, asma dan rinitis 25%, serta batuk kronik 5%. Agar penanganan pasien alergi lebih tepat dan terarah, diperlukan diagnosis tepat dan cepat supaya komplikasi dapat dihindari. Bila seorang pasien yang datang dengan kecurigaan menderita penyakit alergi, langkah pertarna hams ditentukanterlebih dahulu apakah pasien memang menderita alergi. Selanjutnya baru dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan dalam rangka mencari alergen penyebab, selainjuga faktorfaktor non alergik yang mempengaruhi timbulnya gejala.



Pada anamnesis umumnya ditanyakan hal-ha1 seperti berikut: a. Kapan gejala timbul dan apakah mulainya mendadak atau berangsur. Umur permulaan timbulnya gejala dapat menuntun kita untuk membedakan apakah kondisi tersebut diperantarai IgE atau tidak. Sebagai contoh, lebih dari 90% pasien dengan gejala rinitis yang sudah muncul sebelum urnur 10 tahun menunjukkan tes kulit yang positif, sedangkan pada pasien yang gejalanya timbul sesudah 40 tahun kurang dari 40% yang menunjukkan sensitivitas terhadap alergen.



Karakter, lama, fiekuensi dan beratnya gejala. Urtikaria akut lebih mungkin disebabkan oleh alergen dibandingkan urtikaria yang kronik. Frekuensi dan beratnya gejala diperlukan untuk menentukan apakah diperlukan pengobatan terus-menerus atau hanya saat timbulnya gejala. Saat timbulnya gejala. Apakah keluhan paling hebat di waktu pagi, siang, malam, atau tidak menentu. Alergi dapat intermiten, setiap tahun, atau berhubungan dengan musim. Di Indonesia, karena tidak ada musim gugur, semi, atau panas, keluhan lebih banyak menetap sepanjang tahun. Gejala yang menetap sepanjang tahun biasanya dihubungkan dengan aeroalergen seperti tungau debu rumah, kecoa, jamur, atau serpihan kulit binatang peliharaan. Pekerjaan dan hobi. Keluhan pasien dapat saja timbul saat berada di rumah, di sekolah, atau di tempat kerja. Sekitar 5% kasus asma berhubungan dengan tempat kerja. Demikian juga dengan kejadian pajanan lateks, binatang percobaan, atau produk kimia di tempat kerja. Bagaimana pejalanan penyakit dari permulaan sampai sekarang, apakah bertambah baik, tidak berubah, atau bertambah berat. Bagaimana pengaruh pengobatan sebelumnya. Adakah jangka waktu paling lama tanpa serangan, bilamana dan di mana. Apakah timbul keluhan setelah mengeluarkan tenaga. Faktor-faktor yang mempengaruhi serangan penting ditanyakan dalam rangka penanganan pasien, misalnya faktor musim, faktor tempat, faktor hewan, faktor kelelahan, kurang tidur, pergantian cuaca, hawa dingin, debu, makanan, obat, emosi, kehamilan, asap, baubauan, dan lain-lain. Kebiasaan merokok, dan berapa batang sehari. Dalam usaha mencari alergen, hubungan antara gejala



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



alergi dengan waktu clan tempat sangat penting. Dengan mengenal timbulnya gejala pada waktu tertentu, kecurigaan akan penyakit alergi lebih dipertegas. Begitu juga halnya dengan faktor tempat. Dalam ha1 ini kita harus mempunyai pengetahuan dengan alergen sekeliling pasien. Untuk itu yang ditanyakan adalah tentang: keadaan rumah, apakah sudah tua, masih baru, dan kelembabannya kamar tidur, karena di tempat ini banyak dijumpai D. pteronyssinus keadaan sekeliling pasien, apakah banyak hewan peliharaan seperti anjing, kucing, burung, dan sebagainya. k Pada pasien asma atau alergi saluran napas lain ditanyakan juga tentang dahak: jumlahnya (banyak, sedang, sedikit), warnanya (putih, kuning, hijau), kekentalan (encer, kental). L Pengaruh terhadap kualitas hidup. Apakah keluhan tersebut mempengaruhi pekerjaan, absensi sekolah, mengganggu aktivitas olahraga atau hobi lainnya, atau mengganggu tidur. m Perlu juga ditanyakan riwayat alergi pada keluarga, apakah ada keluarga sedarah yang menderita asma, rinitis, eksim, alergi makanan, atau alergi obat.



PEMERIKSAAN FlSlS



Pemeriksaan fisis yang lengkap hams dibuat, dengan perhatian ditujukan terhadap penyakit alergi bermanifestasi kulit, konjungtiva, nasofaring, dan paru. Kalau seseorang datang dengan keluhan hidung, maka perhatian lebih lanjut ditujukan lagi terhadap pemeriksaan hidung dan kerongkongan, baik dari luar maupun dari dalam rongga hidung. Kulit Seluruh kulit hams diperhatikan apakah ada peradangan kronik seperti ekskoriasi, bekas garukan terutama daerah pipi atau lipatan-lipatan kulit daerah fleksor. Kelainan ini mungkin tidak dikeluhkan pasien, karena dianggap tidak mengganggu ataupun tidak ada hubungan dengan penyakitnya. Lihat pula apakah terdapat lesi urtikaria, angioedema, dermatitis, dan likenifikasi. Mata Diperiksa terhadap hiperemia konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan dan katarak yang sering dihubungkan dengan penyakit atopi, dan kadangkaladisebabkan pengobatan kortikosteroid dosis tinggi dalam jangka lama. Pada rinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak



Telinga Telinga tengah dapat merupakan penyulit penyakit alergi saluran napas, perlu dilakukan pemeriksaan membran timpani untuk mencari otitis media. Demikianjuga dengan sinus paranasal berupa sinusitis yang dapat diperiksa secara palpasi dan transiluminasi. Hidung Pada pemeriksaan hidung bagian luar di bidang alergi ada beberapa tanda yang sudah baku, walaupun tidak patognomonik, misalnya: allergic salute, yaitu pasien dengan menggunakan telapak tangan menggosok ujung hidungnya ke arah atas untuk menghilangkan rasa gatal dan melonggarkan sumbatan; allergic crease, garis melintang akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic facies, terdiri dari pernapasan mulut, allergic shiners, dan kelainan gigi-geligi. Bagian dalam hidung diperiksa dengan menggunakan spekulum hidung dengan bantuan senter untuk menilai warna mukosa, jumlah dan bentuk sekret, edema, polip hidung, dan abnormalitas anatomi seperti deviasi septum. Mulut dan Orofaring Pemeriksaan ditujukan untuk menilai eritema, edema, hipertrofi tonsi1,post nasal drip. Pada rinitis alergi, sering terlihat mukosa orofaring kemerahan, edema, atau keduanya. Oral trush juga perlu diperhatikan pada pasien yang menggunakan kortikosteroid inhalasi. Palatum yang cekung ke dalam, dagu yang kecil, serta tulang maksila yang menonjol kadang disebabkan oleh penyakit alergi yang kronik. Dada Diperiksa secara inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi, baik terhadap organ paru maupun jantung. Pada waktu serangan asma kelainan dapat berupa hiperinflasi, penggunaan otot bantu pernapasan dan mengi, sedangkan dalam keadaan normal mungkin tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan Lain Jangan lupa memeriksa tekanan darahnya, karena tekanan sistolik yang rendah (90-1 10 rnrnHg) sering dijumpai pada penyakit alergi. Pada pengguna kortikosteroid perlu dinilai striae, obesitas, miopati, hipertensi, dan efek samping kortikosteroid lainnya.



PEMERIKSAAN LABORATORIUM



Pemeriksaan laboratorium hanya memperkuat dugaan adanya penyakit alergi, jadi tidak untuk menetapkan diagnosis. Selain itu, pemeriksaan laboratoriurnjuga dipakai



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PROSEDUR DIACNOSTIK PENYAKITALERGI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



untuk pemantauan pasien, misalnya untuk menilai timbulnya penyulit penyakit dan hasil pengobatan.



Jumlah Leukosit dan Hitung Jenis Sel Pada penyakit alergijumlah leukosit normal, kecuali kalau disertai infeksi. Eosinofilia sering dijumpai tetapi tidak spesifik, sehingga dapat dikatakan eosinofilia tidak identik dengan alergi. Pada penyakit alergi, eosinofilia berkisar antara 5-15% beberapa hari setelah pajanan alergen, tetapi pada pasien dengan pengobatan kortikosteroid dapat timbul eosinopenia. Eosinofilia merupakan petanda hipersensitivitas dan beratnya hipersensitivitas tersebut. Selain itu harus dipikirkan penyakit lain, misalnya infeksi parasit, keganasan, imunodefisiensi, akibat radioterapi, penyakit jantung bawaan, dan lain-lain. Sel eosinofil normal, untuk dewasa 0-450 sel/mm3. Sel Eosinofil pada Sekret Konjungtiva, Hidung dan Sputum Semasa periode simtomatik sel eosinofil banyak dalam sekret, tetapi kalau ada infeksi, sel neutrofil yang lebih dominan. Serum IgE Total Meningkatnya serum 1gE total menyokong adanya penyakit alergi, tetapi sayang hanya didapatkan pada sekitar 60-80% pasien. Sebaliknya peningkatan kadar lg E total ini juga dijurnpai pada penyakit lain misalnya infeksi parasit, sirosis hati, monokleosis,penyakit autoirnun, lirnfoma, HIV dan lainlain. Oleh karena itu pemeriksaan serum lg E total saat ini mulai ditinggalkan,kecuali pada: a) Rarnalan alergi pada anak yang orang tuanya menderita penyakit alergi, b) Ramalan alergi pada anak dengan bronkiolitis, c) Membedakan asma dan rinitis alergik dengan non alergik, d). Membedakan dermatitis atopik dengan dermatitis lainnya, e). Diagnosis dan pengelolaan selanjutnya aspergilosis bronkopulmoner alergk. Ig E Spesifik Dilakukan untuk mengukur 1gE terhadap alergen tertentu secara in vitro dengan cara RAST (Radio Allergo Sorbent Test) atau ELISA (Enzym Linkedlmmuno Sorbent Assay). Keuntungan pemeriksaan lg E spesifik dibandingkan tes kulit adalah risiko pada pasien tidak ada, hasilnya kuantitatif, tidak dipengaruhi obat atau keadaan kulit, alergen lebih stabil. Sedangkankerugiannya adalah mahal, hasil tidak segera dapat dibaca, kurang sensitif dibanding tes kulit. Untuk alergi makanan, pemeriksaan ini kurang mendukung, bahkan jika dibandingkan tes kulit. Pemeriksaan ini dapat dipertimbangkanjika tes kulit tidak dapat dilakukan, misalnya pada penyakit kulit yang luas, pasien tidak dapat menghentikan pengobatan, atau pada kasus alergi berat.



TES KULlT Tes kulit sebagai sarana penunjang diagnosis penyakit alergi, telah dilakukan sejak lebih 100 tahun yang lalu, karena cara pelaksanaannya cukup sederhana dan terbukti mempunyai korelasi yang baik dengan kadar 1gE spesifik atau dengan tes provokasi. Tujuannya adalah untuk menentukan antibodi IgE spesifik dalam kulit pasien, yang secara tidak langsung menggambarkan adanya antibodi yang serupa pada organ yang sakit. Tes kulit hanya dilakukan terhadap alergen atau alergen-alergen lain yang dicurigai rnerupakan penyebab keluhan pasien dan terhadap alergen-alergen yang ada pada lingkungan pasien. Di bidang alergi, cara-cara tes kulit yang dilakukan adalahprick test. scratch test, fiiction test, patch test dan intradermal test. Di antara berbagai tes ini yang lebih disukai adalah cara prick test, karena mudah melakukannya, murah, spesifik dan aman. Menurut laporan yang ada di Indonesia, prick test ini hampir tidak pemah menimbulkan efek samping.Patch test biasanya dilakukan pada pasien dermatitis kontak. Selanjutnya yang dibicarakan adalah tes prick (tes tusuk) dan tes patch (tes tempel).



Tes Tusuk (Prick Test) Mula-mula kulit bagian volar dari lengan bawah dibersihkan dengan alkohol, biarkan hingga kering. Tempat penetesan alergen ditandai secara berbaris dengan jarak 2-3 cm di atas kulit tersebut. Teteskan setetes alergen pada tempat yang disediakan, juga kontrol positif (larutan histamin fosfat 0.1%) dan kontrol negatif (larutanphospatebuffered saline dengan fen01 0.4%). Dengan jarum disposibel ukuran 26, dilakukan tusukan dangkal melalui masing-masing ekstrak yang telah diteteskan. Jarum yang digunakan harus baru pada tiap-tiap tusukan pada masingmasing tetesan untuk menjaga supaya alergen jangan tercampur. Tusukan dijaga jangan sampai menimbulkan perdarahan. Pembacaan dilakukan setelah 15-20 menit dengan mengukur diameter bentol dan eritema yang timbul, juga pseudopoda yang terjadi. Hasil yang negatif, didapatkan bila hasil tes sama dengan kontrol negatif. Hasil tes positif dinilai berdasarkan bentol atau eritema dengan penilaian sebagai berikut: Hasil negatif = sama dengan kontrol negatif = 25% dari kontrol positif H a d +1 Hasil+2 = 50% dari kontrol positif Hasil+3 = 100% dari kontrol positif Hasil+4 = 200% dari kontrol positif Harus diingat sebelum melakukan tes kulit, pasien diminta menghentikan konsumsi beberapa obat. Sebagian besar antihistamin generasi pertama hams dihindari minimal 72 jam sebelum tes, sedangakan untuk antihistamin generasi kedua harus dihentikan minimal satu minggu sebelumnya. Pemakaian kortikosteroid sistemik jangka



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



singkat dosis rendah (< 20 mg prednison) dihentikan 3 hari, dosis tinggi hams dihentikan 1 minggu. Sedangkan pemakaian kortikosteroid jangka lama perlu dihentikan minimal 3 minggu sebelum dapat dilakukan tes. Untuk kortikosteroid topikal cukup dihentikan 1 hari menjelang tes. Obat lain yang juga hams dihindari adalah antidepresan trisiklik (1-2 minggu sebelum tes) dan beta adrenergik (1 hari sebelumnya).Teofilin, obat-obat simpatomimetik, dan sodium kromoglikat karena tidak menghalangi reaksi tes kulit, tidak perlu dilarang.



Tes Provokasi Nasal Pada tes ini alergen diberikan pada mukosa hidung baik dengan disemprotkan atau mengisap alergen yang kering melalui satu lubang hidung sedang lubang hidung yang lain ditutup. Tes dianggap positifbila dalam beberapa menit timbul bersin-bersin, pilek, hidung tersumbat, batuk, atau pada kasus yang berat menjadi gejala sama. Pada pemeriksaan mukosa hidung, tampak bengkak sehingga menyumbat rongga hidung.



TesTempel (Patch Test.) Dilakukan dengan cara menempelkan suatu bahan yang dicurigai sebagai penyebab dermatitis alergi kontak. Jika pada penempelan bahan kulit menunjukkan reaksi, mungkin pasien alergi terhadap bahan tersebut, ataupun bahan atau benda lain yang mengandung unsur tersebut. Bahan dan konsentrasi yang sering digunakan pada tes tempel adalah benzokain 5%, merkapto benzotiazol 1%, kolofoni 20%, p.fenilendiamin 1%, imidazolidinil urea 2%, sinamik aldehid 1%, lanolin alkohol30%, karbamiks 3%, neomisin sulfat 20%, tiuran miks 1%, etilendiamin dihidroklorid 1%, epoksi resin 1%, quatemium 15,2%, p.tert butifenol formaldehid resin 1%, merkapto mix 1%, black rubber mix 0,6%, potasium dikronat 0,25%, balsam of Peru 25%, nikel sulfat 2,5%. Cara melakukan tes tempel yaitu bahan-bahan yang akan dites ditaruh pada kertas saring, yang diletakkan di atas lembaran impermeabel. Kemudian ditempelkan pada kulit dengan plester. Tempat pemasangan bisa di punggung. Pembacaan dilakukan setelah 48 jam. Sesudah plester dilepas kemudian pasien diminta menunggu selama %- 1 jam, dengan maksud menghilangkan adanya faktor tekanan pada kulit. Sebaiknya pembacaan diulangi 96 jam sesudah pemasangan tes karena reaksi alergi muncul lebih jelas sesudah 96 jam.



Tes Provokasi Bronkial Pasien asma umumnya mempunyai kepekaan yang berlebihan terhadap berbagai rangsangan, baik bersifat alergen maupun non alergen (kegiatan jasmani, bahanbahan kimia, perubahan cuaca dan lain-lain). Untuk melakukan tes provokasi diperlukarinalat-alat yang cukup rumit, tenaga yang berpengalaman dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit untuk menjaga kemungkinan terjadinya penyulit (obstruksi laring, trakea atau bronkus) dapat diatasi segera. Banyak cara untuk menimbulkan serangan asma, tetapi yang paling sering dipahai adalah tes kegiatan jasmani (exercise induced-asthma), tes inhalasi antigen, tes inhalasi metakolin dan tes inhalasi histamin. a. Tes kegiatan jasmani. Kegiatan jasmani dapat menimbulkan serangan asma. Sutopo dan kawan-kawan (1984) melaporkan 42% pasien asma memberikan tes kegiatanjasmani positif. b. Tes inhalasi antigen. Pada tes ini diperlukan alat yang dapat menyemprotkan larutan yang mengandung antigen dalam jumlah yang tetap pada setiap semprotan (dosimeter) dan besar partikelnya hams sangat kecil antara 1-3 mikron. c. Tes inhalasi histamin dan metakolin. Tes inhalasi histamin dan metakolin banyak dipakai untuk menentukan reaktivitas saluran napas., bahkan dianjurkan sebagai salah satu kriteria diagnosis asma. karena lebih 90% pasien memberikan reaksi yang h a t terhadap tes ini.



0 +Il+ 2+ 3+



= = = = =



tidak adareaksi eritema ringan, meragukan reaksi ringan (eritema dengan edema ringan) reaksi h a t (papular eritema dengan edema) reaksi sangat h a t (vesikel atau bula)



TES PROVOKASI Tes provokasi adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen secara langsung kepada pasien sehingga timbul gejala. Tes ini hanya dilakukan jika terdapat kesulitan diagnosis dan ketidakcocokan antara gambaran klinis dengan tes lainnya. Tes provokasi yang dapat dilakukan adalah tes provokasi nasal, tes provokasi bronkial, tes provokasi konjungtival, tes eliminasi dan provokasi terhadap makanan.



PEMERIKSAAN-PEMERIKSAAN LAIN 1. Spirometri,untuk menentukan obstruksi saluran napas baik beratnya maupun reversibilitasnya, serta untuk menilai hasil pengobatan asma (monitoring). 2. Foto dada, untuk melihat komplikasi asma dan foto sinus paranasal untuk melihat komplikasi rinitis. Bila ada kecurigaan rinitis akut maupun kronik maka diperlukan pemeriksaan scanning sinus. 3. Pemeriksaan tinja, untuk melihat cacing dan telurnya pada kasus urtikaria yang tidak bisa diterangkan, dan lain-lain. 4. Laju endap darah normal pada penyakit atopi. Kalau



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



381



PROSEDUR DIACNOSTIK PEN~WC~T ALERGI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI laju endap darah meninggi kemunglunan disertai infeksi. 5. Tes penglepasan histamin dari basofil 6. Anti-tripsin alfa 1. 7. IgG, IgA, tes kompleks imun dan stimulasi limfosit.



REFERENSI Boguniewicz M, Beltrani VS. Atopic dermatitis and contact dermatitis. In: Adelman DC, Casale TB, Corren J, editors. Manual of allergy and clinical immunology. 4Ih edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002.p.165-86. Demoly P, Piette V, Bousquet J. In vivo methods for the study of allergy: skin tests, techniques and interpretation. In: Adkinson NF, Yunginger JW, Busse WW, Boschner BS, Holgate ST, Simmons FER, editors. Middleton's allergy: principles and practices. 6'h edition. St Louis: Mosby-Year Book, Inc; 2003.p.632-43. Durham SR, Church MK. Principles of allergy diagnosis. In: Holgate ST, Church MK, Lichtenstein LM, editors. Allergy. 2ndedition. London: Mosby Int, Ltd; 2001. p. 3-16. Fish JE. Peters SP. Bronchial provocation testing. In: Adkinson NF, Yunginger JW, Busse WW, Boschner BS, Holgate ST, Simmons FER, editors. Middleton's allergy: principles and practices. 6" edition. St Louis: Mosby-Year Book, Inc; 2003. p. 657-67.



Hamilton RG. Clinical laboratory assessment of IgE-dependent hypersensitivity. J Allergy Clin Immunol. 2003; 111:S687-701. Hamilton R. Laboratory tests for allergic and immunodeficiency diseases. In: Adkinson NF, Yunginger JW, Busse W, Boschner BS, Holgate ST, Simmons FER, editors. Middleton's allergy: principles and practices. 6'" edition. St Louis: Mosby-Year Book, Inc; 2003.p.611-32. Lachapelle JM, Maibach HI. Patch testing prick testing: a practical guide. Berlin-Heidelberg: Springer-Verlag; 2003. Li JT. Allergy testing. Am Fam Physician. 2002;66:621-4,6. Rajakulasingam K. Nasal provocation testing. In: Adkinson NF, Yunginger JW, Busse WW, Boschner BS, Holgate ST, Simmons FER, editors. Middleton's allergy: principles and practices. 6" edition. St Louis: Mosby-Year Book, Inc; 2003.p.644-56. Ring J. Allergy diagnosis. In: Ring J, editor. Allergy in practice. Berlin-Heidelberg: Springer-Verlag; 2005. p. 60-73. Sanico AM, Bochner BS, Saini SS. Immediate hypersensitivity: approach to diagnosis. In: Adelman DC, Casale TB, Corren J, editors. Manual of allergy and clinical immunology. 4" ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002.p.24-43. Yunginger JW, Ahlstedt S, Eggleston PA, Hornburger HA, Nelson HS, Ownby DR, et al. Quantitative IgE antibody assays in allergic diseases. J Allergy Clin Immunol. 2000;105:1077-84.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ALERGI MAKANAN Iris Rengganis, Evy Yunihastuti



Makanan merupakan salah satu penyebab reaksi alergi yang berbahaya. Walaupun kejadian alergi makanan lebih sering ditemui pada anak-anak, penelitian terbaru melaporkan 1,4-6% populasi dewasa juga pernah mengalami alergi makanan. Prevalensi pada perempuan dewasa juga dilaporkan lebih banyak daripada laki-laki dewasa. Sebagian besar alergi makanan tersebut sudah muncul pada masa kanak-kanak, kemudian menghilang setelah usia 3 tahun. Alergi makanan yang baru muncul pada usia dewasa jarang terjadi. Tidak semua reaksi makanan yang tak diinginkan dapat disebut sebagai alergi makanan. Klasifikasi yang dikeluarkan EAACI (European Association ofAllergy and ClinicalImmunology) membagi reaksi makanan yang tidak diinginkan menjadi reaksi toksik dan reaksi non-toksik. Reaksi toksik ditimbulkan iritan tertentu atau racun dalam makanan, misalnya jamur, susu atau daging terkontaminasi atau sisa pestisida dalam makanan. Reaksi non-toksik dapat berupa reaksi imunologis dan reaksi non-imunologis (intoleransi makanan). Intoleransi makanan dapat diakibatkan zat yang terdapat pada makanan tersebut (seperti histamin yang terdapat pada ikan yang diawetkan), farmakologi makanan (seperti tiramin pada keju), atau akibat kelainan pada orang tersebut (seperti defisiensi laktosa), atau idiosinkrasi. Sedangkan alergi makanan adalah respons abnormal terhadap makanan yang diperantaraireaksi imunologis. Sebenarnya sebagian besar keluhan akibat makanan termasuk intoleransi makanan, bukan alergi makanan. Seperti alergen lain, alergi terhadap makanan dapat bermanifestasi pada satu atau berbagai organ target: kulit (urtikaria, angioedema, dermatitis atopik), saluran napas (rinitis, asma), saluran cerna (nyeri abdomen, muntah, diare), dan sistem kardiovaskular (syok anafilaktik). Pada perempuan dapat juga menyebabkan kontraksi uterus.



Alergi makanan pada orang dewasa dapat merupakan reaksi yang memang sudah terjadi saat kanak-kanak atau reaksi yang memang baru terjadi pada usia dewasa.



Diperantarai IgE Secara imunologis, antigen protein utuh masuk ke dalam sirkulasi dan disebarkan ke seluruh tubuh. Untuk mencegah respons imun terhadap semua makanan yang dicerna, diperlukan respons yang ditekan secara selektif yang disebut toleransi atau hiposensitisasi. Kegagalan untuk melakukan toleransi oral ini memicu produksi berlebihan antibodi IgE yang spesifik terhadap epitop yang terdapat pada alergen makanan. Antibodi tersebut berikatan kuat dengan reseptor IgE pada basofil dan sel mast, juga berikatan dengan kekuatan lebih rendah pada makrofag, monosit, limfosit, eosinofil dan trombosit. Ketika protein makanan melewati sawar mukosa, terikat dan bereaksi silang dengan antibodi tersebut, akan memicu IgE yang telah berikatan dengan sel mast. Kemudian sel mast akan melepaskan berbagai mediator (histamin, prostaglandin, dan leukotrien) yang akan menyebabkan vasodilatasi, sekresi mukus, kontraksi otot polos, dan influks sel inflamasi lain sebagai bagian reaksi hipersensivititas cepat. Sel mast yang teraktivasi tersebut juga mengeluarkan berbagai sitokin lain yang dapat menginduksi reaksi tipe lambat. Selama 4-8 jam pertama, neutrofil dan eosinofil akan dikeluarkan ke tempat reaksi alergi. Neutrofil dan eosinofil yang teraktivasi akan mengeluarkan berbagai mediator seperti platelet activating factor, peroksidase, eosinophil major basic protein dan eosinophil cationic protein. Sedangkan pada 24-48 jam berikutnya, limfosit dan monosit menginfiltrasi lokasi tersebut dan memicu reaksi inflamasi kronik. Belakangan ini alergi makanan pada orang dewasa



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI seringkali dihubungkan dengan sensitisasi alergen lain sebelumnya (terutama inhalan) yang berhubungan dengan jenis alergi lainnya. Manifestasinya seringkali disebut menggunakan istilah sindrom, seperti sindrom alergi oral, dan sindrom polen-alergi makanan. Diduga terjadi reaksi silang IgE antar beberapa alergen makanan dengan alergen lainnya.



Tidak Diperantarai IgE Patogenesis reaksi alergi makanan yang tidak diperantarai IgE belumlah diketahui dengan jelas. Reaksi hipersensitivitas tipe I1 (reaksi sitotoksik), tipe I11 (reaksi kompleks imun), dan tipe IV (reaksi hipersensitivitas diperantarai sel T) pernah dilaporkan terjadi pada pasien yang mengalami alergi makanan, walaupun belum cukup bukti untuk membuktikan perannya pada alergi makanan.



PENYEBAB ALERGI MAKANAN Hampir setiap jenis makanan memiliki potensi untuk menimbulkan reaksi alergi. Sifat fisikokimiayang berperan dalam alergenisitas masih belum banyak diketahui. Alergen dalam makanan terutama berupa protein yang terdapat di dalamnya. Beberapa makanan seperti susu sapi, telur, dan kacang mengandung beberapa protein alergen sekaligus. Namun demikian, tidak semua protein dalam makanan tersebut mampu menginduksi produksi IgE. Penyebab tersering alergi makanan pada orang dewasa adalah kacang-kacangan, ikan, dan kerang. Sedangkan penyebab tersering alergi makanan pada anak adalah susu, telur, kacang-kacangan, ikan, dan gandum. Sebagian besar alergi makanan akan menghilang setelah pasien menghindari makanan tersebut dan kemudian melakukan cara eliminasi makanan, kecuali alergi terhadap kacangkacangan, ikan, dan kerang cenderung menetap atau menghilang setelah jangka waktu yang sangat lama. Sebab-sebab alergi makanan terlihat dalam Tabel 1.



Golongan Makanan sehari-hari Legume Tree nuts



crustacea kerang-kerangan Sayuran Buah-buahan Sereal Protein bukan makanan



Contoh Susu sapi, telur Kacang tanah, kedelai Almond, kacang Brazil, kacang mede, kemiri,kenari, filbed, pine nuts, pistachio Biji bunga matahari, opium, wijen, biji kapas lobster, kepiting, udang, dan udang karang. Remis, tiram, keonglsiput, gurita, cumi-cumi Seledri, wortel, tomat, kentang Apel, peach, pir, aprikot, melon, semangka, pisang, alpukat, kiwi Gandum, gandum hitam, Barley Polen (serbuk sari tumbuhan)



Makanan Sehari-hari Susu sapi. Tidak hanya susu sapi yang ditemukan dalam makanan bayi. Susu sapi sedikitnya merupakan 20% komponen yang dapat menimbulkan produksi antibodi. Fraksi protein susu utama adalah kasein (76%) dan whey. Whey mengandung beta-laktoglobulin, alfa-laktalbumin, imunoglobulin sapi dan albumin serum sapi. Alergi dilaporkan dapat terjadi terhadap semua komponen tersebut. Ditemukan reaksi silang antara susu sapi dengan susu domba, sehingga tidak dapat digunakan sebagai pengganti pada anak dengan alergi susu sapi. Manifestasi alergi susu sapi pada orang dewasa lebih berupa gangguan saluran napas dan kulit, namun menetap lebih lama daripada alergi susu sapi pada anak. Telur. Telur ayam sering merupakan sebab alergi makanan pada anak, Putih telur lebih alergenik dibanding dengan kuning telur dan reaksi terhadap kuning telur dapat disebabkan oleh karena kontaminasi protein. Alergen utama putih telur adalah ovalbumin. Hanya sedikit reaksi silang dengan daging ayam sehinga pasien alergi telur terbanyak dapat mengkonsumsi daging ayam. Pada orang dewasa alergi telur unggas seringkali didahului dengan alergi terhadap bulu unggasnya. Beberapa pekerja pabrik pengolahan telur yang terpajan protein telur melalui inhalasi juga mengalami alergi ketika memakan telur yang disebut "egg-egg syndrome". Daging. Walaupun daging merupakan sumber protein utama, alergi terhadap protein daging sapi hampir tidak pemah dilaporkan.Reaksi alergi akibat daging yang pernah dilaporkan antara lain alergi terhadap daging ayam, kalkun, dan babi. Legume. Legume terutama kacang tanah merupakan sebab utama alergi makanan. Berbagai jenis Legume memiliki beberapa antigen yang sama, tetapi tidak menunjukkan reaksi silang yang relevan. Pasien dengan alergi kacang tanah dapat makan legume jenis lain. Kacang tanah. Kacang mungkin merupakan makanan alergenik paling berbahaya. Reaksi dapat berupa anafilaksis. Tiga jenis protein telah diidentifikasi sebagai alergen utama; Ara h 1, Ara h2 dan Ara h3. Minyak kacang tanah yang dimurnikan adalah aman untuk orang yang alergi kacang tanah. Kedelai. Kedelai sering menimbulkan reaksi alergi. Kedelai banyak digunakan sebagai sumber protein yang murah. Telah diidentifikasi jenis alergen, dan tidak ada yang predominan. Minyak kedelai yang dimurnikan meskipun aman, tetap hams diwaspadai. Tree Nuts. Tree nuts merupakan golongan alergen makanan utama pada orang dewasa. Seperti halnya dengan kacang tanah, almond, kacang Brazil, kacang mede, kemiri,kenari, filbert, pine nuts, dan pistachio telah dilaporkan dapat menimbulkan anafilaksis.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Biji-bijian. Beberapa biji-bijian seperti biji bunga matahari, opium, biji kapas, dan wijen sudah dilaporkan sebagai penyebab alergi makanan, terutama anafilaksis.



Ikan. Ikan dapat menimbulkan sejumlah reaksi. Alergen utama dalam codfish adalah Gad c 1telah diisolasi dari fraksi miogen. Spesies ikan biasa memiliki alergen yang analog dengan Gad c l yang juga menunjukkan reaksi silang dengan Gad I c codfish. Antigen rentan terhadap manipulasi dan penyimpanan, tetapi tidak untuk dalam kaleng. Antigen tersebut mudah disebarkan ke udara dan dapat memicu reaksi alergi saluran napas akibat bau ikan yang dimasak. Alergi ikan juga dapat disebabkan kontak langsung dengan kulit berupa dermatitis kontak. Apakah seseorang yang alergi terhadap satu jenis ikan juga hams pantang jenis ikan lainnya, masih merupakan kontroversi. Crustacea dan molluscum. Golongan kerang-kerangan merupakan alergen utama yang mengenai sekitar 250.000 orang dewasa di Amerika. Dalam golongan Crustacea termasuk lobster, kepiting, udang, dan udang karang. Dalam golongan kerang-kerangan termasuk remis, tiram, keongl siput, gurita, cumi-cumi. Udang mengandung beberapa alergen. Antigen I1 dianggap sebagai alergen utama. Otot udang mengandung glikoprotein otot yang mengandung Pen a 1 (tropomiosin). Tropomiosinjuga dapat menyebabkan reaksi silang antara crustacea, molluscum, dan beberapa artropoda Sayuran. Alergi terhadap sayuran yang sering dilaporkan pada usia dewasa adalah terhadap seledri dan wortel. Alergi terhadap kedua sayuran ini dapat bereaksi silang dengan polen. Sedangkan alergi terhadap jenis sayuran lain sangat jarang dilaporkan, demikian juga dengan bawang. Patatin, sejenis alergen yang ditemukan pada tomat dan kentang juga dilaporkan menyebabkan berbagai reaksi alergi, termasuk reaksi silang dengan alergen lateks. Buah-buahan. Ape1 merupakan penyebab alergi buahbuahan yang paling sering terjadi dengan manifestasi utama berupa sindrom alergi oral, diikuti reaksi anafilaksis dan edema laring, lalu manifestasi saluran napas dan cerna lainnya. Sedangkan alergi peach 86% manifestasinya berupa sindrom alergi oral, diikuti dengan urtikaria kontak, lalu reaksi sistemik. Sebagian besar pasien alergi peach juga mengalami alergi terhadap polen. Alergi melon dilaporkan menunjukkan reaksi silang dengan semangka, pisang, kiwi, dan alpukat. Sereal. Reaksi alergi terhadap sereal sering ditemukan terutama pada anak. Fraksi globulin dan fraksi glutenin diduga merupakan alergen utama yang menimbulkan reaksi IgE, sedang gliadin merupakan sebab penyakit celiac. Ada reaksi silang antara gandum, rye dan barley. Tes kulit positif sering ditemukan pada anak, namun arti klinisnya hams diintrepretasi dalam hubungan dengan sereal yang dikonsumsi. Berbagai variasi jenis padi dan sereal lain



dengan sifat alergen yang kurang telah dikembangkan dengan rekayasa genetik. Pada orang dewasa terutama yang bekerja di tempat pembuatan roti ada risiko terjadinya sensitisasi yang menimbulkan rinitis dan asma akibat inhalasi debu tepung. Namun pasien tersebut dapat mengkonsumsi produk gandum.



Protein bukan makanan. Polen dilaporkan dapat bereaksi silang dengan makanan. Reaksi tersebut terjadi dalam dua arah; pasien alergi terhadap hazelnut bereaksi dengan polen birch dan pasien alergi terhadap polen birch menimbulkan reaksi bila makan hazelnut. Reaksi silang terjadi antara polen birch dengan apel, kentang mentah, wortel, sledri dan hazelnut;antara ljolen mugwort (semak) dengan sledri, apel, kacang tanah dan kiwi; antara ragweed dengan melon; antara lateks dan pisang, alpukat, kiwi, chestnut dan pepaya.



GAMBARAN KLlNlS Dari segi klinis dan penanganan perlu dibedakan reaksi yang terjadi diperantarai IgE dan yang tidak diperantarai IgE.



Reaksi Hipersensitivitas Diperantarai IgE Gambaran klinis reaksi alergi terhadap makanan terjadi melalui IgE dan menunjukkan manifestasi terbatas: gastrointestinal, kulit dan saluran napas. Tanda dan gejalanya disebabkan oleh penglepasan histamin, leukotrin, prostaglandin dan sitokin. Awitan respons alergi terjadi dalam 30 menit setelah mengkonsumsi makanan. Ada hubungan tidak erat antara derajat alergi dan cepatnya awitan. Pasien yang sangat alergi dapat menimbulkan reaksi dalam menit atau bahkan detik setelah konsumsi. Ciri kedua reaksi alergi nampaknya tidak tergantung dosis. Reaksi berat yang terjadi oleh dosis kecil sama dengan yang ditimbulkan dosis besar. Anafilaksis dapat terjadi hanya melalui kontak kacang tanah dengan bibir atau setelah makan kacang tanah dalarnjumlah besar. Ciri reaksi alergi lainnya ialah terjadinya reaksi berat di berbagai tempat dan organ. Mengapa alergen yang dimakan menimbulkan efek luas? Respons dapat berupa urtikaria, ditentukan oleh distribusi random IgE pada sel mast di seluruh tubuh. Makanan sebagian dicerna. Dalam usus kecil terjadi absorbsi direk peptida di plak Peyer. Plak Peyer dilapisi sel berdinding tipis, disebut sel M yang memudahkan peptida masuk langsung ke dalam plak Peyer. Begitu sampai di senter germinal plak Peyer, antigen diikat sel dendritik dan sel Langerhans. Sel-sel tersebut bermigrasi melalui saluran limfe dan menyebarkan informasi mengenai antigen dan dapat menimbulkan reaksi dihs. Reaksi Hipersensitivitas Non-lgE Reaksi hipersensitivitasnon-IgE akibat makanan umumnya



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



bermanifestasi sebagai ganggguan saluran cerna dengan berbagai variasi, mulai dari mual, muntah, diare, steatorea, nyeri abdomen, berat badan menurun. Pada beberapa kasus dapat ditemukan darah dalam pemeriksaan fesesnya. Berlawanan dengan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai IgE, beratnya reaksi yang terjadi bergantung pada jumlah alergen yang dikonsumsi dan awitannya sangat bervariasi, mulai dari beberapa menit sampai beberapajam kemudian. Beberapa kasus reaksi hipersensitivitas non-IgE mekanismenya diatur IgG, misalnya hipersensitivitas terhadap gliadin, protein utama gandum yang terjadi pada sariawan. Pasien menunjukkan tanda malabsorbsi dan steatorea akibat reaksi antara IgG terhadap gliadin dan gandum. Reaksi terjadi di permukaan mukosa, meratakan vilus mikro dan malabsorbsi. Pada umumnya pasien dengan hipersensitivitas menunjukkan reaksi berlebihan terhadap makanan atau aditif. Sebagai contoh reaksi terhadap kafein, yang menimbulkan kesulitan tidur setelah pasien mengkonsumsi kopi dalamjumlah sedikit. Banyak bahan kimia yang dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas yang dapat dikaburkan dengan reaksi alergi melalui IgE. Jenis reaksi hipersensitivitas terlihat pada Tabel 2.



alergi makanan pada target organ tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.



Organ target



Hipersentitivitas IgE



Hipersentitivitas non-lgE



Kulit



Urtikaria dan angioedema Dermatitis atopik Dermatitis atopik Dermatitis herpetiformis



Saluran cerna



Sindrom alergi oral Anafilaksis gastrointestinal Gastroenteritis eosinofilik alergi



Proktokolitis Enterokolitis Gastroenteritis eosinofilik alergi Sindrom enteropati Penyakit celiac



Saluran napas



Asma Rinitis alergi



Sindrom Heiner (pada anak)



multisistem



Food-induced anaphylaxis Food-associated, exercise-induced Anaphylaxis



DIAGNOSIS



Mekanisme lntoleransi Kimiawi



Kategori Gula Alkohol Kafein Sodium Metabisulfit Monosodium glutamat Nitrit Nitrat Histamin Feniletilamin Serotonin Teobromin Triptamin Tiramin



Reaksi silang



Zat warna azo



Contoh Laktosa, sukrosa, manosa Bir, anggur, alkohol lain Kopi, soft drink Salad anggur Buah dikeringkan makanan cina Pengawet Daging, ikan lkan Coklat Pisang, tomat Coklat, teh Tomat, plum Keju tua, anggur merah Beberapa acar Tartrazin



Manifestasi alergi makanan juga dapat berupa manifestasi lokal dan sistemik. Manifestasi lokal biasanya karena kontak langsung dengan makanan. Pada kulit berupa urtikaria kontak, pada saluran napas berupa rinitis atau sama setelah inhalasi partikel makanan, dan pada saluran cerna misalnya sindrom alergi oral. Manifestasi sistemik terjadi setelah menelan makanan. Faktor penentu terjadinya reaksi sistemik ataupun lokal adalah reaksi biokimia protein makanan tersebut, absorbsi dan proses dalam saluran cerna, respons imun individu, dan hipereaktivitas target organ. Berbagai macam manifestasi



Anarnnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti merupakan ha1 terpenting dalam alergi makanan. Kebanyakan reaksi cepat oleh makanan terjadi dalam beberapa menit, tetapi dapat terjadi sampai 30 menit. Formulasikan makanan yang diduga sebagai penyebab, dan singkirkan sebab-sebab lainnya. Gambaran umum dalam pendekatan terhadap diagnosis alergi makanan dapat dilihat pada Tabel 4. Bila pada pasien yang diduga alergi terhadap makanan ditemukan tes kulit positif, yang pertama hams dilakukan ialah mengeliminasi jenis makanan tersebut dari dietnya. Tes kulit tidak dilakukan pada pasien dengan reaksi akut yang berat. Bila keadaan kronis (dermatitis atopi, asma) danlatau banyak jenis makanan terlibat, mungkin diperlukan food challenge.



Riwayat Awitan Gambaran Reaksi dahulu Banyak makanan Faktor yang berhubungan Catatan harian makanan Eliminasi diet Pemeriksaan Tes kulit lntradermal (tidak dianjurkan untuk makanan) RAST (radio-allergosorbenttest) Double blind placebo-controlled food challenge (gold standard)



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Oral Food Challenge Double blind placebo controlled food challenge dianggap sebagai gold standard untuk menegakkan diagnosis alergi makanan. Prosedur tersebut lama dan tetapi dapat dimodifikasi. Pasien pantang makanan terduga untuk sedlkitnya 2 minggu, antihistamin dihentikan sesuai waktu paruhnya. Makanan diberikan dalam bentuk kapsul. Supewisi medis dan fasilitas gawat darurat termasuk epinefiin, antihistamin, steroid, inhalasi beta 2 agonis, dan peralatan resusitasi kardiopulmoner diperlukan untuk mencegah terjadinya reaksi berat. Selama diuji, pasien diawasi seringkali untuk perubahan kulit, dan saluran cerna dan napas. Tes tantangan dihentikan bila timbul reaksi dan terapi gawat darurat diberikan seperlunya. Pasien juga diawasi untuk reaksi larnbat. Hasil yang negatif dikonfirmasijika setelah menelan makanan yang dicurigai dalam jumlah yang lebih besar, tidak ada reaksi alergi yang terjadi. Oral challenge tidak dilakukan bila pasien menunjukkan riwayat hipersensitivitas yang jelas atau reaksi berat.



Menghindari Makanan Sebenarnya terapi alergi makanan adalah menghindari makanan penyebab. Hal itu kadang sulit untuk dilakukan. Konsultasi dengan ahli gizi dapat berguna.



REFERENSI



Bruijnzeel-Koomen C, Ortolani C, Aas K, Bindslev-Jensen C, Bjorksten B, Moneret-Vautrin D, et al. Adverse reactions to food. European Academy of Allergology and Clinical Immunology Subcommittee. Allergy. 1995;50: 623-35. Crespo JF, Rodriguez J. Food allergy in adulthood. Allergy. 2003;58:98-113. Sampson HA. Food allergy-accurately identifying clinical reactivity. Allergy. 2005;60(Supp1.79): 19-24. Sampson HA. Update on food allergy. J Allergy Clin Immunol. 2004;113:805-19. Sampson HA. Food allergy. J Allergy Clin Immunol. 2003;111:S5407. Sampson HA, Sicherer SH, Bimbaum AH. AGA technical review on the evaluation of food allergy in gastrointestinal disorders. Gastroenterology. 2001 ;120:1026-40. Sampson HA. Adverse reactions to food. In: Adkinson NF, Yunginger JW, Busse WW, Boschner BS, Holgate ST, Simmons FER, editors. Middleton's allergy: principles and practices. 6Ih edition. St Louis: Mosby-Year Book, Inc; 2003. p. 1619-44. Sampson HA. Food allergy. Part 1: immunopathogenesis and clinical disorders. J Allergy Clin Immunol. 1999; 103:717-28. Sampson HA. Food allergy. Part 2: diagnosis and management. J Allergy Clin Immunol. 1999; 103:98 1-9. Sicherer SH. Food allergy. Lancet. 2002;360:701-10. Sicherer SH. Clinical implications of cross-reactive food allergens. J Allergy Clin Immunol. 2001;108:881-90. Sicherer SH. Manifestations of food allergy: evaluation and management. Am Fam Phys. 1999:59:415-28. Wolf RL. Food allergy. Essential pediatric allergy, asthma, & immunology. New York: McGraw-Hill; 2004. p. 91-106.



Medikamentosa Pada reaksi alergi makanan ringan hanya diberikan antihistamin, dan jika perlu ditambahkan kortikosteroid pada reaksi sedang. Sedangkan pada serangan anafilaksis terapi utamanya adalah epinefiinladrenalin.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ALERCI OBAT Samsuridjal Djauzi, Heru Sundaru, Dina Mahdi, Nanang Sukmana



PENDAHULUAN Perkembangan yang pesat dalam penemuan, penelitian dan produksi obat untuk diagnosis, pengobatan, maupun pencegahan telah menimbulkan berbagai reaksi obat yang tidak diinginkan yang disebut reaksi adversi. Reaksi tersebut tidak saja menimbulkan persoalan baru di samping penyakit dasamya, tetapi kadang-kadang dapat membawa maut. Hiperkalemia, intoksikasi digitalis, keracunan aminofilin, dan reaksi anafilaktik merupakan contoh reaksi adversi yang potensial sangat berbahaya. Gatal karena alergi obat, dan efek mengantuk antihistamin merupakan contoh lain reaksi adversi obat yang ringan. Karena pada umumnya adversi obat dan pada khususnya alergi obat sering terjadi dalam klinik, pengetahuan mengenai diagnosis, penatalaksanaan dan pencegahan masalah tersebut amat penting untuk diketahui.



Insidens reaksi adversi obat belum diketahui dengan pasti. Penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa reaksi adversi obat yang terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit berkisar antara 6-15%. Anga insidens di luar rumah sakit biasanya kecil, karena kasus-kasus tersebut bila ringan tidak dilaporkan. Reaksi alergi obat merupakan 6- 10%dari reaksi adversi obat. Di masyarakat nilai ini berkisar 1-3% tetapi mungkm angka inilebih kecil lagi, mengingat idioslnkrasidan intoleransi obat sering dilaporkan sebagai reaksi alergi obat.



KLASlFlKASl REAKSI ADVERSl Reaksi Adversi yang Terjadi pada Orang Normal 1. Overdosis yaitu reaksi adversi yang secara langsung



berhubungan dengan pemberian dosis yang berlebihan. Contoh: depresi pemapasan karena obat sedatif. 2. Efek samping yaitu efek farmakologis suatu obat yang tidak diinginkan tetapi juga tak dapat dihindarkanyang terjadi pada dosis terapeutik. Misalnya efek mengantuk pada pemakaian antihistamin. 3. Efek sekunder yaitu reaksi adversi yang secara tidak langsung berhubungan dengan efek farmakologis primer suatu obat. Contoh: penglepasan antigen atau endotoksin sesudah pemberian antibiotik (reaksi Jarisch-Herxheimer) 4. Interaksi obat yaitu efek suatu obat yang mempengaruhi respons satu atau lebih obat-obat lain misalnya induksi enzim suatu obat yang mempengaruhi metabolisme obat lain.



Reaksi Adversi pada Orang-orang yang Sensitif 1. Intoleransi yaitu reaksi adversi yang disebabkan oleh efek farmakologis yang meninggi. Misalnya gejala tinitus pada pemakaian aspirin dosis kecil. Idiosinkrasi adalah reaksi adversi yang tidak berhubungan dengan efek farmakologisdan tidak juga disebabkan reaksi imunologis, misalnya primakuin yang menyebabkan anemia hemolitik. Reaksi alergi atau hipersensitivitas dapat tejadi pada pasien tertentu. Gejala yang ditimbulkan adalah melalui mekanisme imunologis. Jadi reaksi alergi obat merupakan sebagian dari reaksi adversi. Pseudoalergi (reaksi anafilaktoid) yaitu tejadinya keadaan yang menyerupai reaksi tipe I tanpa melalui ikatan antigen dengan IgE (1gE independent). Beberapa obat seperti opiat, vankomisin, polimiksin B. D tubokurarin dan zat kontras (pemeriksaan radiologis) dapat menyebabkan sel mast melepaskan mediator (seperti tipe I). Proses di atas tanpa melalui sensitisasi terlebih dahulu (non-imunologis).



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Manifestasi klinis alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau menurut mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi imunologis Gell dan Coombs (Tipe I sld IV). Untuk memudahkan pengertian patogenesis dan pengobatannya, dalam makalah ini digunakan klasifikasi Gell dan Coombs. Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat) Manifestasi klinis yang tejadi merupakan efek mediator kimia akibat reaksi antigen dengan IgE yang telah terbentuk yang menyebabkan kontraksi otot polos. meningkatnya permeabilitas kapiler serta hipersekresi kelenjar mukus. 1). Kejang bronkus gejalanya berupa sesak. Kadang-kadang kejang bronkus disertai kejang laring. Bila disertai edema laring keadaan ini bisa sangat gawat karena pasien tidak dapat atau sangat sulit bernapas, 2). Urtikaria, 3). Angioedema, 4). Pingsan dan hipotensi. Renjatan anafilaktik dapat terjadi beberapa menit setelah suntikan seperti penisilin. Manifestasi klinis renjatan anafilaktik dapat terjadi dalam waktu 30 menit setelah pemberian obat. Karena ha1 tersebut mengenai beberapa organ dan secara potensial membahayakan, reaksi ini sering disebut sebagai anafilaksis. Penyebab yang tersering adalah penisilin. Pada tipe I ini terjadi beberapa fase yaitu: a). Fase sensitasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE. b). Fase aktivasi, yaitu fase yang terjadi karena paparan ulang antigen spesifik. Akibat aktivasi ini sel masthasofil mengeluarkan kandungan yang berbentuk granul yang dapat menimbulkan reaksi. c). Fase efektor, yaitu fase terjadinya respons imun yang kompleks akibat penglepasan mediator. Tipe I1 Reaksi hipersensitivitas tipe I1 atau reaksi sitotaksik terjadi oleh karena terbentuknya IgMIIgG oleh pajanan antigen. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel-sel yang memiliki reseptornya (FcgR). Ikatan antigen-antibodi juga dapat mengaktifkan komplemen melalui reseptor komplemen. Manifestasi klinis reaksi alergi tipe I1 umumnya berupa kelainan darah seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia, dan granulositopenia. Nefritis interstisial dapat juga merupakan reaksi alergi tipe ini. Tipe Ill Reaksi ini disebut juga reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila kompleks ini mengendap pada jaringan. Antibodi yang berperan di sini ialah IgM dan IgG. Kompleks ini akan mengaktifkan pertahanan tubuh yaitu dengan penglepasan komplemen. Manifestasi klinis reaksi alergi tipe I11 dapat berupa: 1). Urtikaria. angioedema, eritema. makulopapula, eritema



multiforme, dan lain-lain. Gejala tersebut sering disertai pruritus. 2). Demam. 3). Kelainan sendi, artralgia, dan ehsi sendi. 4). Limfadenopati. 5). Lain-Iain: kejang perut, mual neuritis optik glomerulonefntis sindrom lupus eritematosus sistemik gejala vaskulitis lain Gejala tadi timbul 5-20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumnya pernah mendapat obat tersebut, gejala dapat timbul dalam waktu 1-5 hari. Tipe IV Reaksi tipe IV disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH)juga dlkenal sebagai Cell Mediatedlmmunity(reaksi imun selular). Pada reaksi ini tidak ada peranan antibodi. Reaksi terjadi karena respons sel T yang telah disensitasi oleh antigen tertentu. Berbagai jenis DTH (Delayed Type Hypersensitivity): l).Cutaneous Bmophil Hypersensitivity. 2). Hipersensitivitas kontak (Contact Dermatitis). 3). Reaksi tuberkulin. 4). Reaksi granuloma. Manifestasi klinis reaksi alergi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk, infiltrat paw, dan e h s i pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofurantoin, Nefritis interstisial, ensefalomielitis, dan hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi alergi obat. Namun demikian dermatitis merupakan manifestasi yang paling sering. Kadang-kadang gejala baru timbul bertahun-tahun setelah sensitisasi. Contohnya pemakaian obat topikal (sulfa,penisilin atau antihistamin). Bila pasien telah sensitif, gejala dapat muncul 18-24 jam setelah obat dioleskan.



DIAGNOSIS Anamnesis Wawancara mengenai riwayat penyakit (anamnesis) merupakan cara yang paling penting untuk diagnosis alergi obat, karena cara-cara pemeriksaan yang ada sekarang masih rumit dan hasilnyajuga belum memuaskan. Kesulitan yang sering timbul yaitu apakah gejala yang dicurigai timbul sebagai manifestasi alergi obat atau karena penyakit dasarnya. Masalah tersebut lebih sulit lagi bila pada saat yang sama pasien mendapat lebih dari satu macam obat. Hal-ha1 yang perlu diperhatikan pada anamnesis pasien alergi obat adalah : a). Catat semua obat yang dipakai pasien termasuk vitamin, tonikum, dan juga obat yang sebelumnya telah sering dipakai tetapi tidak menimbulkan gejala alergi obat; b). Riwayat pemakaian obat masa lampau dan catat bila ada reaksi; c). Lama waktu yang diperlukan mulai dari pemakaian obat sampai timbulnya gejala. Pada reaksi



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



ALERC1OBAT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Uji kulit yang disebutkan di atas adalah uji kulit yang lazim dipakai untuk reaksi alergi tipe I (anafilaksis). Uji kulit untuk tujuan lain seperti untuk melihat reaksi lambat belum diketahui sebagai prosedur yang berguna, demikian pula peran uji tempel (patchtest)untuk menilai reaksi alergi tipe I. Uji tempel bermanfaat hanya untuk obat-obat yang diberikan secara topikal (tipe IV).



anafilaksis gejala timbul segera, tetapi kadang-kadang gejala alergi obat baru timbul7-10 hari setelah pemakaian pertama; d). Catat lama pemakaian serta riwayat pemakaian obat sebelumnya. Alergi obat sering timbul bila obat diberikan secara berselang-seling, berulang-ulang, serta dosis tinggi secara parenteral; e). Manifestasi klinis alergi obat sering dihubungkan dengan jenis obat tertentu; f). Diagnosis alergi obat sangat mungkin. bila gejala menghilang setelah obat dihentikan dan timbul kembali bila pasien diberikan obat yang sama; g). Pemakaian obat topikal (salep) antibiotikjangka lama merupakan salah satu jalan terjadinya sensitisasi obat yang hams diperhatikan.



Pemeriksaan Laboratorium Seperti telah dibicarakan sebelumnya, reaksi alergi obat tipe I terutama ditunjang dengan pemeriksaan uji kulit, sayangnya uji tersebut hanya terbatas pada beberapa macam obat. Dikenal pemeriksaan RAST (Radio Allergo Sorbent test) yaitu pemeriksaan untuk menentukan adanya IgE spesifik terhadap berbagai antigen. Tetapi untuk obat, jenis antigennya juga terbatas. Pemeriksaan ini berguna pada kasus-kasus dengan risiko tinggi seperti pada pasien yang mungkin timbul bila dilakukan uji kulit atau bila tidak dapat dilakukan uji kulit (karena seluruh kulit rusak, minum antihistamin dan kulit tidak sensitif lagi). Pemeriksaan untuk diagnosis reaksi sitolitik (tipe 11), seperti pada anemia hemolitik dapat ditunjang dengan pemeriksaan Coombs indirek, sedangkan trombositopenia dengan pemeriksaan fiksasi komplemen atau reaksi aglutinasi. Pemeriksaan hemaglutinasi dan komplemen dapat menunjang reaksi obat tipe 111. Dibuktikan dengan adanya antibodi IgG atau IgM terhadap obat. Sedangkan pemeriksaan laboratorium untuk reaksi alergi tipe IV selain sangat rumit, hasilnya pun sering tidak memuaskan. Untuk jelasnya tipe reaksi, manifestasi klinik, uji laboratorium dan pemakaian obat masa depan dapat dilihat pada Tabel 1.



Uji Kulit Uji kulit yang ada pada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam obat (penisilin, insulin, sediaan serum), sedangkan untuk obat-obat yang lain masih diragukan nilainya. Hal ini karena beberapa hal, antara lain : a. Kebanyakan reaksi alergi obat disebabkan hasil metabolismenya dan bukan oleh obat aslinya, sehingga bila kita melakukan uji kulit dengan obat aslinya, hasilnya kurang dapat dipertanggungjawabkan kecuali penisilin yang telah diketahui hasil metabolismenya serta obat-obat yang mempunyai berat molekul besar (insulin, ACTH, serum serta vaksin yang mengandung protein telur). b. Beberapa macam obat bersifat sebagai pencetus lepasnya histamin (kodein, tiamin), sehingga uji positif yang tejadi adalah semu false positive). c. Konsentrasi obat terlalu tinggi,juga menimbulkan hasil positif semu. Sebagian besar obat mempunyai berat molekul kecil sehingga hanya merupakan hapten, oleh sebab itu sukar untuk menentukan antigennya.



~



Tipe reaksi



~ - - - ~



~



~



-



Karakteristik klinik



Gell dan Coombs Tipe 1



Urtikaria, angioedema, mengi, hipotensi, nausea, muntah, nyeri abdomen, diare



Gell dan Coombs Tipe 2



Anemia hemolitik, granulositopenia, trombositopenia Demam, urtikaria, arthralgia, limfadenopati 2-21 hari sesudah mulai terapi Eritema, blister (kulit melepuh) Ruam makulo popular (dapat bergabung)



Gell dan Coombs Tipe 3 Gell dan Coombs Tipe 4 Morbiliform Eritema multiforme Steven-JohnsonTTEN Anafilaktoid



p



Uji laboratorium



Penggunaan obat selanjutnya



Uji kulit, uji radioalergosorben Darah perifer lengkap (DPL)



lndikasi kontra



Kadar komplemen



lndikasi kontra



Uji tempel Mungkin uji tempel, uji kulit intradermal (reaksi lambat)



Agaknya indikasi kontra Pemakaian hati-hati



Lesi sasaran tertentu Lesi sasaran, keterlibatan membran mukosa, deskuamasi kulit Utikaria, mengi, angioedema, hipotensi



Tidak ada Tidak ada



lndikasi kontra lndikasi kontra



Tidak ada



Dermatitis, eksfoliativa, demam, limfadenopati



DPL, enzim hati, kreatinin, urinalisis



Pencegahandengan prednison dan antihistamin untuk sensitivitas terhadap radiokontras lndikasi kontra



HSS : Hypersensitivity Syndrome; DRESS : Drug Rash with Eosinophilia and Systemic Symptom



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



Desensitisasi



PENGOBATAN



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Tindakan pertama adalah menghentikan pemakaian obat yang dicurigai. Bila pada saat itu pasien memakai bermacam-macam obat, kalau mungkin semuanya dihentikan. Tetapi bila tidak mungkin berikan obat yang esensial saja dan diketahui paling kecil kemungkinannya menimbulkan reaksi alergi. Dapat juga diberikan obat lain yang rumus imunokimianya berlainan. Pengobatan simtomatik tergantung atas berat ringannya reaksi alergi obat. Gejala yang ringan biasanya hilang sendiri setelah obat dihentikan. Pengobatan kasus yang lebih berat tergantung pada erupsi kulit yang tejadi dan derajat berat reaksi pada organ-organ lain. Apapun penyebabnya pengobatannya lebih kurang sama. Pada kelainan kulit yang berat seperti pada sindrom Steven Johnson, pasiennya hams dirawat, karena selain hams mendapat kortikosteroid, yang lebih penting lagi adalah pemasukan kalori dan cairan perlu dijaga. Perawatan kulit juga memerlukan waktu berhari-hari sampai berminggu-minggu. Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder sehingga pasien perlu diberikan antibiotik. Kelainan sistemik yang berat seperti anafilaksis, dibicarakan tersendiri pada bab anafilaksis. Pada urtikaria dan angioedema pemberian antihistamin saja biasanya sudah memadai, tetapi untuk kelainan yang lebih berat seperti vaskulitis, penyakit serum, kelainan darah, hati, nefritis interstisial, dan lain-lain diperlukan kortikosteroid dosis tinggi (60- 100 mg prednison atau ekuivalennya) sampai gejala terkendali dan selanjutnya prednison tersebut diturunkan dosisnya secara bertahap selama satu sampai dua minggu.



PENCEGAHAN Cara yang efektif untuk mencegah atau mengurangi ,



terjadinya reaksi alergi obat yaitu memberikan obat hanya kalau ada indikasinya. Jangan hanya untuk menyenangkan pasien atau kita sendiri. Suatu penelitian retrospektif yang dilakukan terhadap 30 kematian karena penisilin, ternyata hanya 12 pasien yang mempunyai indikasi yang jelas. Jika sudah tepat indikasinya.barulah ditanyakan secara teliti riwayat alergi obat di masa lalu, terutama yang ada hubungannya dengan yang akan kita berikan. Sering pasien menyebutkan alergi terhadap bermacam-macam obat yang sebenarnya kurang masuk akal, tetapi untuk sementara ha1 ini hams kita terima saja. Selanjutnya kepada pasien diberikan obat yang mempunyai rumus imunokimia yang berlainan. Masalah reaksi silang di antara obat juga hams diperhatikan. Seperti penisilin dengan sefalosporin, gentamisin dengan kanamisin atau streptomisin, sulfa dengan obat-obat golongan sulfonilurea. Pada pasien dengan riwayat alergi obat, atau dicurigai alergi obat sedangkan obat atau tindakan alternatif tidak



mungkin diperoleh, dapat dilakukan uji kulit atau kalau ada fasilitas dengan pemeriksaan laboratorium.Jika negatif, obat tadi boleh diberikan namun tetap hams berhati-hati. Tetapi bila hasil uji positif dan obat memang harus diberikan, dipertimbangkan cara pemberian obat secara desensitisasi. Sedangkan bagi obat-obat yang uji kulit tidak bermakna dilakukan pemberian obat secara provokasi dan bila reaksinya positif kembali kita melakukan prosedur desensitisasi (Gambar 1).



I



Adakah obat alternatif yang efektif



I



*I a Tidak ada



Obati dengan obat alternatif



Uji kulit atau laboratorium (tersedia dan dapat dipercaya) I



I



Uji



I



Uji provokasi



I



I



Negatif



I Berikan obat hati-hati



Desensitisasi



Teruskan pengobatan



pikirkan kembali alternatif yang lain



Gambar 1. Skerna pencegahan reaksi alergi obat



Baik prosedur uji provokasi maupun desensitisasi selalu mengandung risiko yang kadang-kadang dapat menimbulkan kematian. Karena itu diperlukan beberapa syarat untuk melakukannya, antara lain: 1). Indikasi kuat dan tak ada obat atau alternatif lain; 2). Pasien dan keluarganya diberitahu perihal tujuan tindakan ini, serta untung ruginya; 3). Dilakukan di rumah sakit yang mempunyai obat dan peralatan untuk menanggulangi keadaan darurat; 4). Dilakukan oleh dokter yang berpengalaman; 5). Umumnya rute pemberian obat pada desensitisasi atau provokasi sesuai dengan rute pemberian yang akan diberikan; 6). Pada desensitisasi pasien dipasang infus, yang sewaktu-waktu bisa dipergunakan bila terjadi keadaan darurat; 7). Uji kulit dilakukan segera sebelum pemberian obat. Jangan menunggu berhari-hari kemudian obat baru diberikan, karena uji kulit sendiri menimbulkan sensitisasi. Prinsip uji provokasi atau desensitisasi yaitu memberikan dosis permulaan yang sangat kecil, kemudian dinaikkan perlahan-lahan sampai dosis terapeutik tercapai. Meskipun uji provokasi menyerupai desensitisasi, tetapi sebenarnya pada uji provokasi tidak selalu tejadi



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



ALERGI OBAT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



desensitisasi karena sensitisasinya sendiri belum bisa dibuktikan. Prosedur desensitisasi hanya memberi pasien keadaan bebas sensitisasi sementara, karena bila suatu hari diperlukan pemakaian obat yang sama, prosedur tersebut hams diulangi kembali. Perlu ditambahkanbahwa kedua prosedur tadi hanya untuk mencegah terjadinya reaksi anafilaktik. Contoh uji provokasi dengan anestesi lokal pada TabeI 2.



Urutan No.



Rute



1. 2. 3. 4. 5. 6.



uji tusuk uji tusuk intrakutan intrakutan subkutan subkutan



Dosis



1 : 100 (pengenceran) tidak diencerkan 0,02 ml larutan 1 : 100 0,02 rnl tidak diencerkan 0, 1 ml tidak diencerkan 1 ml tidak diencerkan



Peran obat-obat anti alergi seperti antihistamin, kortikosteroid, dan simpatomimetikdalam upaya mencegah reaksi alergi amat terbatas. Pada umumnya pemberian antihistamin dan steroid untuk pencegahan reaksi alergi tidak bermanfaat kecuali untuk mencegah reaksi alergi yang disebabkan oleh radioaktivitas. Pasien perlu diberikan penyuluhan. Pasien harus mengetahui obat-obat yang menyebabkan alergi padanya, termasuk obat yang diberikan dalam bentuk campuran dengan obat yang lain. Metampiron, misalnya, banyak terdapat pada berbagai obat baik sebagai obat analgesik maupun sebagai antipiretik atau campuran analgetik spasmolitik. Bila berobat ke dokter, pasien hendaknya memberitahukan kepada dokter yang dikunjunginya perihal obat yang pemah menyebabkan reaksi alergi, agar dokter dapat membuat catatan khusus di kartu berobat pasien.



Catatan : - Larutan obat tidak mengandung epinefrin - Urutan no: 1 dan 3 boleh dilewatkan bila riwayat penyakit tak jelas.



Frekuensi alergi obat ternyata tidak banyak berbeda antara pasien yang atopi dan non atopi, tetapi pasien yang mempunyai riwayat penyakit alergi tipe I (atopi) seperti asma alergik, rinitis alergik, atau eksim, lebih besar 3 sampai 10 kali kemunglanannya untuk mendapat reaksi anafilaksis. Kalau mungkin obat sebaiknya diberikan secara oral, karena selain jarang menimbulkan reaksi alergi, juga paling kecil menimbulkan sensitisasi. Tetapi bila pasien sudah jelas mempunyai riwayat alergi obat, tentu obat tadi tidak boleh diberikan. Demikian pula pasien yang pernah mendapat reaksi anafilaktik. Pemberian obat topikal seperti antibiotik, anesujii lokal dan antihistamin paling besar kemungkinannya menimbulkan sensitisasi, sehingga pemberian obat secara topikal hams dihindari. Di samping kewaspadaan untuk mengenal tanda dini reaksi anafilaktik, sebelum menyuntik sebaiknya disediakan dulu obat-obat untuk menanggulangi keadaan darurat alergik. Obat-obat tersebut adalah adrenalin, antihistamin, kortikosteroid, aminofilin, dan diazepam yang semuanya dalam bentuk suntikan. Begitu pula setelah disuntik, pasien diminta menunggu paling tidak 20 menit sebelum diperbolehkan pulang. Selain perawat dan petugas kesehatan yang membantu dokter, pasien juga sebaiknya diberitahu mengenai tanda-tanda dini reaksi anafilaktik, sehingga bila terjadi reaksi, mereka dapat segera memberitahukan kepada kita.



Adkinson NF, Jr. Drug allergy. In: Adkinson NF Jr, Yunginger JW, Busse WW, Bochner BS, Holgate ST, Simons FER, editors. Middleton's allergy principles and practice. 61h edition. Philadelphia: Mosby; 2003. p.1679-94. Anderson JA. Allergic reactions to drugs and biological agents. JAMA. 1992; 268:2845-57. De Swarte RD, Patterson R. Drug allergy. In: Patterson R, Grammer LC, Greenberger PA, editors. Allergic diseases, diagnosis and management. 5th edition. Philadelphia: JB Lippincott; 1997. p. 317-412. De Swarte RD. Drug allergy, problem and strategies. J Allergy Clin Immunol. 1984;74:209-21. Gruchalla RS. Drug allergy. J Allergy Clin Immunol. 2003;111:S54859. Incaudo G, Schatz M, Patterson R, et al. Administration of local anesthetic to patient with a history of prior adverse reaction. J Allergy Clin Immunol. 1978;61:339- 45. Jost BC. Drug allergy and desensitization. In: Jost BC, Abdel-Hamid KM, Friedman E, Jani AL, editors. Allergy, asthma and immunology subspecialty consult. Lippincott Williams & Wilkins; 2003. p. 89-101. Mellon MH, Schatz M, Patterson R. Drug allergy. In: Lawlor GJ, Fischer T J, Adelman DC, editors. Manual of allergy and immunology. 3th edition. Boston: Little Brown and Company; 1995. p. 262-89. Pichler WJ. Immune mecharism of drug hypersensitivity. Immunol Allergy Clin North Am. 2004;24:373-97. Solensky R, Mendelson LM. Drug allergy. In: Leung DYM, Sampson HA, Geha RS, Szefler SJ, editors. Pediatric allergy principle and practice. St Louis: Mosby; 2003. p. 61 1-32. Volcheck. Clinical evaluation and management of drug hypersensitivity. Immunol Allergy Clin North Am. 2004;24:357-71.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



RINOSINUSITIS ALERGI Heru Sundaru, Erwanto Budi Winulyo



PENDAHULUAN



Istilah rinosinusitis saat ini lebih sering dipakai dibandingkan dengan sinusitis karena baik rinitis alergik maupun non alergik hampir selalu mendahului terjadinya sinusitis, sedangkan sinusitis tanpa rinitis sangat jarang. Demikian pula mukosa hidung dan sinus paranasal merupakan kesatuan, gejala obstruksi maupun sekret hidung yang merupakan gejala utama sinusitis juga terdapat pada rinitis. Laporan dari Amerika Serikat menunjukkan 14% penduduknya menderita rinosinusitis dan merupakan salah satu penyakit kronis yang sering dilaporkan. Sebagian besar pasien dengan keluhan rinosinusitis akan datang berobat ke dokter umum, sebagian lagi ke ahli telinga, hidung dan tenggorok, sisanya ke dokter lain seperti dokter ahli penyakit dalam, anak atau alergi. Rinosinusitis sangat menganggu penyandangnya, menurunkan kualitas hidup, produktivitas kerja dan pada anak meningkatkan absensi sekolah. Berbagai penyakit sering menyertai atau sebagai komplikasi penyakit tersebut seperti asma, polip hidung, otitis media atau konjungtivitis alergik. Gejala batuk kronik, terutama malam hari atau setelah bangun tidur, hams diwaspadai sebagai salah satu gejala rinosinusitis. Dari berbagai penyebab rinosinusitis seperti infeksi, polusi, obat-obatan, tumor atau kelainan anatomis, faktor alergi cukup penting, karena rinosinusitis sering terjadi akibat komplikasi rinitis alergi.



PERANAN ALERGI



Beberapa penelitian menunjukkan ada hubungan antara kejadian rinitis alergik dan sinusitis. Pelikan dan Pelikan melaporkan provokasi alergen pada hidung 37 pasien rinosinusitis kronik, 29 pasien menunjukkan respons gejala



hidung dan sinus seperti rasa tertekan dan otalgia, serta 32 pasien menunjukkan perubahan gambaran radiologis sinus. Disimpulkan pajanan alergen menyebabkan edema atau obstruksi rongga hidung, penurunan bersihan mukosilier sinus paranasal dan peningkatan produksi mukus. Savolainen melaporkan dari 224 pasien dengan sinusitis maksilaris akut, 102 (45%) memperlihatkan reaksi uji kulit positif terhadap alergen, dibanding hanya 34 dari 105 kontrol(33%) sehingga disimpulkan kejadian sinusitis akut lebih sering terjadi pada pasien alergi dibanding non alergi. Newman dkk, juga melaporkan bahwa pasien alergi menunjukkan peningkatan risiko luasnya penyakit dibanding pasien non alergik ditinjau dari gambaran Tomografi Komputer=TK (CTScan)sedangkan penelitian Berrettini dkk, menyimpulkan faktor alergi berperan dalam beratnya rinosinusitis. Penelitian Wright dkk, menunjukkan peran IL-4 dan IL5 pada rinosinusitis kronik. IL-4 dan IL-5 adalah sitokin yang dihasilkan Th2, IL-4 berkaitan dengan sensitisasi alergen sedangkan IL-5 berkaitan dengan gejala rinitis. Dari kasus yang diteliti, temyata IL-4 ditemukan pada kasus rinosinusitis alergi sedangkan IL-5 pada rinosinusitis alergi maupun non alergi.



DIAGNOSIS



Diagnosis rinosinusitis dibuat berdasarkan adanya riwayat penyakit, pemeriksaan fisis, sitologi sekret hidung dan pemeriksaan radiologi. Gejala utama yang sering dijumpai adalah hidung buntu, sekret hidung purulen, 'post nasal drip ', rasa sakit di muka dan pipi, pusing, hiposmia dan batuk. Selain keluhan-keluhan di atas, perlu ditanyakan adanya faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis seperti rinitis alergi, rinitis akibat kerja, rinitis vasomotor, polip hidung, rinitis medikamentosa dan defisiensi imun. Pada



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pemeriksaan fisis ditemukan adanya nyeri tekan pada daerah sinus, mukosa hidung kemerahan, sekret purulen, meningkatnya sekret farings posterior, edema periorbita dan di rongga hidung kadang-kadang ditemukan adanya deviasi septum, polip, benda asing atau tumor. Pemeriksaan radiologi diperlukan bila gejala tidakjelas, hasil pemeriksaan fisis meragukan atau respons pengobatan tidak memuaskan. Pemeriksaan foto polos sinus paranasal dilaporkan tidak sensitif dan spesifik, sehingga dianjurkan pemeriksaan dengan TK untuk menilai rongga hidung serta sinus paranasal terutama obstruksi di kompleks ostiomeatal. Hal ini diperlukan pada tindakan operasi. Pemeriksaan foto polos sinus paranasal pada rinosinusitis akut sering dijumpai adanya perselubungan, batas cairan-udara, penebalan mukosa sinus >6 mm, atau berkurangnya volume udara sinus melebihi sepertiga. Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) hanya dianjurkan bila rinosinusitis diduga disebabkan oleh jamur atau tumor. Berbagai pemeriksaan laboratorium juga diperlukan seperti sitologi sekret hidung, untuk menilai adanya rinitis alergi, rinitis non alergi disertai eosinofil (NARES) atau infeksi lain. Uji tusuk kulit dengan alergen untuk menilai peranan alergi. Bila diperlukan dilakukan pemeriksaan imunoglobulin IgA, IgM atau IgG bila dicurigai adanya imunodefisiensi kongenital. Demikian pula halnya bila dicurigai adanya imunodefisiensi didapat seperti AIDS pemeriksaan anti HIV serta CD4 perlu dilakukan. Pada umumnya diagnosis rinosinusitis berdasarkan gambaran klinis, seperti ditemukakan oleh Krouse pada Tabel 1. a). Muka rasa nyeriltertekan saja, belum mendukung diagnosis rinosinusitis tanpa disertai gejala atau tanda mayor lainnya.



Klasifikasi



Lama



b). Demam pada sinusitis akut belum mendukung diagnosis rinosinusitis tanpa disertai gejala atau tanda mayor lainnya. Untuk menyatakan diagnosis rinosinusitis kronik, pasien hams menunjukkan 2 atau lebih faktor mayor atau satu faktor mayor disertai dua faktor minor (Tabel 1).



Faktor mayor - Muka rasa nyeriltertekan (a) - Rasa tersumbat atau penuh pada muka - Hidung tersumbat - Sekret hidung purulenlpost nasal drip - Hiposmialanosmia - Sekret purulen di rongga hidung pada pemeriksaan - Demam (hanya pada stadium akut) (b) Faktor minor - Sakit kepala - Demam (pada yang bukan akut) - Halitosis - Lesu - Sakit gigi - Batuk - Telinga rasa sakitltertekanlpenuh



Gugus tugas untuk rinosinusitis yang dibentuk oleh American Academy of Otolaryingology-Head and Neck Surgery (AAOHNS) dan kemudian juga disetujui oleh American College of Allergy and Immunology (ACAI) sepakat bahwa pada orang dewasa rinosinusitis diklasifikasi dalam 5 jenis, seperti terlihat pada Tabel 2.



Riwayat



1. Akut



< 4 minggu



2



2. Sub akut



4-12 minggu



Seperti kronik



3. Akut, rekuren



4 episode dalam setahun, setiap episode berlangsung 2 7-10 hari 2 12 minggu



2



4. Kronik



5. Eksaserbasi akut pada kronik



2 faktor mayor, 1 faktor mayor dan 2 faktor minor atau sekret purulen pada perneriksaan



Catatan Demam atau rnuka sakit saja tidak mendukung, tanpa adanya gejala atau tanda hidung yang lain. Pertimbangkan rinosinusitis akut bakte6 bila gejala memburuk setelah 5 hari, atau gejala menetap > 10 hari atau adanya gejala berlebihan daripada infeksi virus Sembuh sempurna setelah pengobatan yang efektif



2



2 faktor mayor, 1 faktor mayor dan 2 faktor minor atau sekret purulen pada pemeriksaan



Muka sakit tidak mendukung, tanpa disertai tanda atau gejala hidung yang lain



Perburukan mendadak dari rinosinusitis kronik, dan kembali ke asal setelah pengobatan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENGOBATAN



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Dalam pengobatan rinosinusitis, Krouse mengemukakan konsep faktor dinamik dan adinamik. Alergi merupakan salah satu faktor dinamik yang penting di samping infeksi (bakteri, virus ataujamur), iritasi mukosa dan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi mukosa seperti suhu, kelembaban dan pengendapan partikel-partikel yang ada di udara. Dari faktor adinamik umumnya berhubungan dengan kelainan anatomi, sikatriks pasca operasi, diskinesia silier, polip, benda asing atau keganasan. Kedua faktor tersebut hams selalu menjadi pertimbangan dalam memberikan terapi. Bila gejala rinosinusitismenetap lebih dari 7 hari, besar kemungkinan penyebabnya bakteri. Antibiotika sebaiknya diberikan pada pasien yang mempunyai gejala sedang atau berat, sementara pada kasus yang ringan umumnya dapat sembuh tanpa antibiotik. Meskipun demikian secara keseluruhan pasien yang mendapat antibiotik lebih cepat sembuh dibanding plasebo. Pada rinosinusitis akut lama pemberian antibiotika 1014 hari, sedangkan jenisnya tergantung harga, keamanan dan pola resistensi kuman di daerah tersebut. Amoksilin dosis tinggi, atau kombinasi amoksilin-asam klavulanat, klaritromisin dan azitromisin dapat dipakai sebagai lini pertama. Bila obat di atas gaga1 dapat dicoba dengan sefalosporin generasi ke 3 (sefuroksim, sefpodoksim atau sefprozil) yang mempunyai spektrum luas. Obat golongan kuinolon seperti siprofloksasin, gatifloksasin atau levofloksasin dipakai pada pasien dewasa, sebagai cadangan bila obat yang terdahulu tidak memuaskan. Pada rinosinusitis kronik ada yang menganjurkan pemberian antibiotika sampai 4-6 minggu. Dekongestan oral atau topikal dipakai untuk mengurangi pembengkakan mukosa rongga hidung, sehingga melebarkan rongga hidung. Pemakaian dekongestan topikal dianjurkan tidak melebihi 5-7 hari, untuk menghindari rinitis medikamentosa. Kortikosteroid oral atau nasal mengurangi inflamasi. Irigasi atau semprotan air garam faali dapat mengurangi kekentalan sekret hidung serta memperbaiki bersihan mukosilier. Nc Nally melaporkan dari 200 kasus rinosinusitis kronik, dengan terapi medis yang agresif yang terdiri dari antibiotik oral selama 4 minggu, kortikosteroid nasal, lavase rongga hidung dan dekongestan topikal, ternyata hanya 6% (12 kasus) yang kurang memberikan respons sehingga memerlukan operasi FESS (Functional Endoscopic Sinus Surgery).Disimpulkantadpi medik cukup mernadai clan efektif untuk pengobatan rinosinusitis.



Oleh karena rinosinusitis kronik berhubungan dengan rinitis alergi, 40-80% pada orang dewasa dan 30-60% pada



anak, pasien dengan rinosinusitis kronik memerlukan evaluasi alergi, untuk pengendalian lingkungan atau imunoterapi. Evaluasi spesialistik diperlukan untuk menilai adanya kelainan imunologis yang lain, atau penyakit penyerta seperti asma, polip hidung, rinosinusitis karena jamur, otitis media, imunodefisiensi dan alergi terhadap berbagai macam antibiotik. Rujukan ke ahli telinga, hidung dan tenggorok diperlukan. Pemeriksaan rinosikopi fiber optik untuk melihat polip hidung, deviasi septum atau sekret purulen. Kultur cairan aspirasi sinus untuk uji resistensi kuman dan tentu saja tindakan operasi seperti Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS). Mata bengkak di daerah sinus, gangguan pergerakan bola mata, gangguan penglihatan, edema periorbita, gejala gangguan susunan saraf pusat menunjukkan komplikasi intrakranial akibat rinosinusitis akut (abses periorbita, abses otak atau meningitis) memerlukan konsultasi bedah dengan segera.



REFERENSI Baroody. Rhinosinusitis. In: Lichtenstein LM, Busse WW, Geha RS, editors. Current therapy in allergy, immunology and rheumatology. 61h edition. Philadelphia: Mosby; 2004. p. 25-30. Chan KH, Abzug MJ, Fakhri S, Hamid QA, Liu AH. Sinusitis. In: Leung DYM, Sampson HA, Geha RS, Szefler SJ, editors. Pediatric allergy, principle and practice. Philadelphia: Mosby; 2003. p. 309-20. de Benedictis FM, Bush A. Rhinusitis and asthma epiphenomenon or association? Chest. 1999;115:550-6. Dykewicz MS. Rhinitis and sinusitis. J Allergy Clin Immunol. 2003; 11 1:S520-9. Grossman J. One airway, one disease. Chest 1997;111:S11-6. Krouse JH. Rhinosinusitis and allergy. In: Krouse JH, Chadwick SJ, Gordon BR, Derebery MJ, editors. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002. p. 221-31. Mc Nally PA, White MV, Kaliner MA. Sinusitis in allergist's office: analysis of 200 consecutive cases. Allergy Asthma Proc. 1997;18:169-75. Newman LJ, Platts-Mills TAE, Phillips D, et al. Chronic sinusitis: relationship of computed tomographyc findings to allergy, asthma and eosinophille. JAMA. 1994;271:363-2. Pelikan Z, Pelikan-Filipek M. Role of nasal allergy in chronic maxillary sinusitis: diagnostic value of nasal challenge with allergen. J Allergy Clin Immunol. 1990;86:484-91. Savolainen S. Allergy in patients with acute maxillary sinusitis. Allergy. 1989;44: 116-22. Spector SL, Bemstein IL, Li JT, et al. Parameters for the diagnosis and management of sinusitis. J Allergy Clin Immunol. 1998;102:S107-44. Spector SL. The role of allergy in sinusitis in adults. J Allergy Clin Immunol. 1992;90:5 15-7. Vignola AM, Chanez P, Bousquet J. The relationship between asthma and allergic rhinitis: exploring the basis for a common pathophysiology. Clin Exp All Rev. 2003;3:63-8. Wright ED, Frankiel S, Al-Ghamdi K, et al. Interleukin-4, interleukin5, and granulocyte colony stimulating factor receptor expression in chronic sinusitis and response to topical steroids. Otolaryngol Head Neck Surg. 1998; 118:490-5.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



URTIKARIA DAN ANGIODEMA Ari Baskoro, Gatot Soegiarto, Chairul Effendi, PG.Konthen



Urtikaria: Suatu kelainan yang terbatas pada bagian superfisial kulit berupa bintul (wheal) yang berbatas jelas dengan dikelilingi daerah yang eritematous. Pada bagian tengah bintul tampak kepucatan. Biasanya kelainan ini bersifat sementara (transient), gatal dan bisa terjadi di manapun di seluruh permukaan kulit. Angiodema: Edema lokal dengan batas yang jelas yang melibatkan lapisan kulit yang lebih dalam Cjaringan subkutan), bila dibandingkan pada urtikaria. Bisa terjadi di manapun, tetapi paling sering pada daerah mulut, kelopak mata dan genitalia. Urtikaria dan angioedema merupakan edema nonpitting yang dapat terjadi secara tersendiri atau bersamaan. Selain di kulit, kelainan yang sama dapat terjadi pada permukaan mukosa gastrointestinal ataupun saluran napas atas. Episode urtikaridangioedemayang berlangsungkurang dari 6 minggu disebut urtikarialangioederna akut. Dan bila proses tersebut cenderung menetap lebih dari 6 minggu, disebut kronik.



PENDAHULUAN



Dalam sejarahnya, urtikaria dikenal pertama kali oleh pengamat-pengamat dibidang medis seperti Hippocrates, Pliny dan Celsus. Terminologi urtikaria pertama kali dipergunakan secara luas pada abad 18 masehi. Urtikaria dikenal juga sebagai penyakit kulit dengan bintul-bintul kemerahan sebagai akibat proses alergi. Bentuk kelainan klinisnya amat bervariasi dengan ukuran beberapa milimeter hingga berdiameter beberapa sentimeter. Lesi ini bisa bersifat terlokalisir seperti pada urtikaria fisik, meluas atau menggabung menjadi satu membentuk giant urticaria. Serangan urtikaria bisa terus



menerus atau munculnya kadang-kadang saja. Biasanya berlangsung sekitar 30 menit (misalnya pada urtikaria fisik) hingga beberapa hari pada urtikaria vaskulitis. Namun jarang sekali progresif menjadi reaksi anafilaksis. Secara umum keluhan pasien urtikaria hanya merasakan gatal, tetapi pada episode serangan urtikaria yang berat dapat mengeluh badan terasa lelah, gangguan pencernaan dan menggigil. Angioedema merupakan spektrum urtikaria yang terjadi pada lapisan kulit yang lebih dalam, lebih sering terasa nyeri dibanding gatal dengan waktu penyembuhan yang relatif lebih lama.



Walaupun dapat terjadi pada setiap umur, namun urtikaria dan angioedemameningkat insidennya setelah dewasa dan mencapai puncaknya pada usia dekade ketiga. Suatu survei pada pelajar sekolah, memperkirakan sekitar 15-20% pelajar pernah mengalami urtikarialangioedema.Mungkin sekali frekuensinya lebih dari angka-angka tersebut, mengingat kelainan ini bersifat dapat hilang sendiri dan jarang memerlukan pertolongan secara medis, apalagi kalau hanya terbatas pada kulit. Belum ada data insiden yang terjadi di Indonesia.



ETlOLOGl DAN FAKTOR PREDlSPOSlSl



Pada waktu-waktu tertentu terjadi peningkatan insiden urtikaridangioedema. Hal ini terutama pada pasien-pasien dengan alergi saluran napas musiman sebagai akibat inhalasi tepung sari, serpihan kulit hewan dan sporajamur. Selain dicetuskan bahan-bahan inhalan, dapat juga dicetuskan makanan tertentu seperti buah-buahan, udang, ikan, produk-produk susu, coklat, kacang-kacangan dan obat-obatan. Bahan-bahan tersebut dapat mencetuskan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



reaksi anafilaksis dengan keluhan yang menonjol pada sistem kardiovaskular dan gastrointestinal, selain mengakibatkan juga urtikaria kronik. Urtikaria kronik yang disebabkan oleh alergi makanan dengan perantaraan IgE hanya mencakup 1% kasus. Sisanya dengan penyebab yang sangat heterogen. Ada terminologi pseudoallergy atau hipersensitivitas non alergi terhadap bahan-bahan pseudoallergen. Gejala urtikaria sebagai akibat pseudoallergy ini sangat menyerupai hipersensitivitas tipe 1, tetapi mekanismenya sangat berbeda. Urtikaria kronik sering dikaitkan dengan bahan-bahan makanan yang mengandung pseudoallergen, selain penyakit autoimun dengan didapatkannya autoantibodi terhadap tiroid atau reseptor IgE. Bahan-bahan makanan seperti ini bisa mencetuskan manifestasi klinis urtikaria, diduga melalui mekanisme kerusakan fungsi b a r r i e r mukosa gastroduodenal. Apakah infeksi H.pylori ikut berperanan dalam ha1 ini, masih memerlukan penelitian yang lebih mendalam. Infeksi lainnya seperti Hepatitis B dan C pada beberapa laporan dapat menyebabkan urtikaria, walaupun dengan etiopatogenesis yang belum jelas. Oleh karena itu masih diperlukan data dan penelitian yang lebih intensif. Pencetus urtikaria lainnya yang mungkin adalah rangsangan fisik seperti dingin, panas, sinar matahari, latihan fisiWolah raga dan iritasi mekanik. Dermografisme dapat dicetuskan oleh goresan yang cepat dari benda keras tertentu dengan membentuk gambaran urtikaria yang linear, walaupun ini tidak dipengaruhi oleh status atopi pasien. Membawa tas yang cukup berat, merupakan rangsangan timbulnya pressure urticaria pada bahu. Demikian juga berlari atau mengangkat beban, dapat mencetuskan pressure urticaria pada kaki dan lengan. Demam, mandi air hangat atau olah raga di mana terjadi peningkatan temperatur tubuh, dapat mencetuskan urtikaria kolinergik. Cold urticaria dapat timbul sebagai akibat pajanan terhadap udara dingan, es batu, bahkan dapat mengarah pada kolaps vaskular bila berenang pada air dingin. Pemicu lain adalah cahaya (solar urticaria), air pada temperatur berapapun (aquagenic urticaria) dan bahan kimia tertentu (contact urticaria). Alergi terhadap bahanbahan karet alam seperti lateks, merupakan masalah tersendm bagi pekerja medis. Timbulnya manifestasi klinis contact urticaria seperti ini, melalui hipersensitivitas tipe 1. Pada angioedema,perlu dilihat ada atau tidaknya bintulbintul (wheals) yang menyertai. Bila disertai adanya urtikaria, dapat dikatakan angioedema tersebut merupakan bagian dari urtikaria yang kebetulan terjadi bersamaan. Tetapi bila angioedema yang terjadi tanpa disertai adanya urtikaria, perlu dipikirkan kemungkinan keterkaitannya dengan kadar C1 inhibitor. Angioedema dengan kadar C l inhibitor yang normal, umumnya penyebabnya tidak diketahui (idiopatik). Walaupun demikian perlu dipertimbangkan kemungkinannya akibat penggunaan obat (aspirin, ACE inhibitor, OAINS) atau episodic angioedema with eosinophilia (EAAE).



Apabila didapatkan kadar C1 inhibitor di bawah normal, mungkin bisa diakibatkan oleh faktor yang didapat (misalnya limfoma, lupus eritematosus sistemik) atau bawaanlherediter yang sifatnya diturunkan secara autosomal dominan.



ANATOMI DAN FlSlOLOGl KULlT Sebelum membahas lebih lanjut patogenesis urtikarial angioedema, akan disinggung secara sepintas tentang anatomi dan fisiologi kulit, dengan harapan dapat mempermudah pemahaman selanjutnya. Kulit merupakan organ yang terluas dengan berbagai macam fungsi selain fungsi perlindungan terhadap dehidrasi, pengaruh lingkungan dan alergen. Komposisi terbanyak pada epidermis adalah keratinosit, sedangkan sel-sel Langerhan mencapai sekitar 2-6% struktur epidermis. Peranan penting sel-sel ini adalah sebagai antigen presenting cells yang mengolah antigen. Di bawah epidermis terdapat lapisan dermis yang terdapat pembuluh darah kecil, pembuluh limfe, sel mast dan serabut saraf sensoris yang berperanan dalam patogenesis urtikaria. Akhir serabut saraf di dermis dipersarafi oleh neuron aferen menuju susunan saraf pusat. Rangsangan yang bersifat mekanik terutama dihantarkan oleh serabut saraf bermielin tipe A, sedangkan stimulasi nyeri akan diterima nosiseptor dan dihantarkan melalui serabut saraf tidak bermielin tipe C. Hantaran serabut saraf tipe C ini relatif lebih lambat dibanding serabut saraf tipe A. Antidromic stimulation serabut saraf tipe C ini yang berperanan dalam terbentuknya eritema pada urtikaria seperti yang terlihat pada triple response dari Lewis. Saat ini terdapat buktibukti bahwa proses tersebut diperantarai pelepasan neuropeptida dari akhiran saraf dibanding akibat pengaruh histamin. Histamin sendiri berperan dalam terbentuknya bintul (wheal). Sistem simpatis auotonom yang mempersarafi kelenjar keringat lebih banyak memperantarai pelepasan asetilkolin dibanding norepinefrin. Limfosit normal di dapatkan di lapisan dermis. Walaupun jarang, sejumlah kecil (kurang dari 10%) berkecenderungan migrasi ke epidermis. Selanjutnya limfosit tersebut berdiferensiasi menjadi limfosit yang mempunyai sifat kusus, berdasarkan sitokin yang dikeluarkan serta berperan dalam menentukan macam respons imun pada kulit. Limfosit CD,, yang memproduksi Interleukin-2 (IL-2) dan Interferon-y (IFNy) merupakan T helper sel tipe 1 (Th 1) yang berperanan sebagai sel efektor pada imunitas selular (Cell-mediated immunity). Sebaliknya limfosit CD, yang memproduksi IL-4, IL-5 dan IL-6 merupakan T helper sel tipe 2 (Th2) yang mempunyai peranan penting dalam respons hipersensitivitas yang diperantarai IgE (hipersensitivitas tipe 1). Sel Langerhan, keratinosit dan limfosit kulit merupakan suatu sistem yang saling mempengaruhi dan satu kesatuan ini disebut



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



URTIl(ARIADAN ANCIODEMA



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI sebagai skin associ'crted limphoid tissue (SALT). Pada uttihria, sel mast telah dikerahui sebagai sel efektor, tetapi temyata limfosit Tjuga mmpunyai peranan. Hal ini terlihat dari penelitian, bahwa pada pasien urtikaria mernperiihatkan dominasi sel CD,+dibanding CD,. Sitokin dari limfosit dan sel ma,rt dapat inemperantarai peningkatan vascu/or adhe.rion molecnrtes. E-selc9ctin atau Endarhelial Adhesion Molerule-l dan Vascadar Adhesion /kf~lt.cu/e1 (VCAM- I ) manjadi meningkat yang tnerupakan respons dini terhadap tekanan pada delqed-.prcs.~ur~ r r f i c a r i ~ ~ .



Pada penyakit aiegi, sel must memainkan peran yang amat penting. Reaksi hipersensitivitas tipe P dan urtikarial angioedema diawali oleh "tertangkapnya" antigen pada reseptor IgE yang saling herhubungan Qan menempel p d a sel mmf atau b w f i l . Proses wlanjutnya tejadi aktifasi sel mast/basofil dengail mengelnarkan berbagai macam mediator yang pada akhirnye mengundang sel-sel inflamasi. Sel-set yang berperan pada reaksi fase lambat termasuk contoh diantaranya eosinofil, netr~fil,limfosit dan b m ~ f i lMekanisme . tersebut di atas dapat terjadi pnda urtikaria yang terjadi ~ k i b a tmakanan teraenru dan pcmakaian bahan yang mengindung lateks. Pa& 30% pasien urtikaria kronik idiopatik terdapat aut~antibodidari kelas IgG yang merniliki sifat sebagai anti IgE atau anti Fe reseptor IgE. 1gG tersebut memiliki kemampuan melepaskan histamin dari sel nrusl, tanpa tergantung dari ada atau tidaknya IgE spaif& pada meptar sel mast. Pengukuran terhadap aktivitas melepaskan histamin ini hanya dapat dilakuhn pada pusat-pusat penelitian terrentu. Tes kulit menggunakan seturn pasien sendiri (auto log of^^ serum skin test/ASST) atau plasma pasien yang



Tabel - .



1.



Bahan-bahan . . . - yang t



No



Jenis bahan



...



1



Rangsangan lrnunolog~s non sltotokstk



r.



Fisiotogis



3.



Dbatabatan



5.



Rangsangan s1t0toksL



Dapat



3



Menyebabkar



Reaksi hipersens~livdas(latekc+, biapa, ikan leut) Otoantibodi yang trekerja pada hgian FG dari IgE atau recara langsung pada reseptor I@ di sel masf = Anafilatoksln C3a dan C h



Lanitan 48/80 Calcium bnaphore



c%,e,



Surfaktan



6 Reaksi anafitakto~d



Dekstran Endtrtoksln



Kmtras radidoqi



telah diberi heparin, dapat digunakan sebagai tes penyaring sederhana untuk aktivitas melepaskan histamin dalatn darah pasien urtikaria. Ditempat penyuntikan akan timbul wheal andflai-e dalam waktu 30-60 menit. Tes ini dapat dikatakan sensitif tetapi tidak spesifik pada pengukuran aktivitas melepaskan histamin oleh basofil. Pada penelitian sebelumnya, ASST yang positif dapat dihasilkan dari penglepasan histamin oleh sel mast kulit tetapi bukan oleh basofil yang berasal dari donor sehat. Adanya autoantibodi anti IgE ini dapat dideteksi dengan metode ELlSA atau western melalui i~nrnzmoa~ssa~~ hlotti~lg.Selain pada pasien urtikaria kronik, autoantibodi



m (see Fig 19 23)



bamDar 1, InauKsl aan rnekanlsrne efektor pada hlpersens~t~f~tas Tlpe 1



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ini bisa didapatkan pada pasien atapi ataupun pasien sehat. Autoantibodi terhadap reseptor Fc IgE juga blsa didapatkan pada pasien dermatomiosttis, lupus eritematosus sistemik, pempigus vulgaris dan pempigoid bulosa. Peranan se1 maxt kulit pada urtikaria kronik, untuk pertama kali diperkenalkan oleh Juhlin pada tahun 1967. Dinyatakan bahwa hampir pada semua pasien urtikaria kronik, menunjukkan peningkatan histamin pada lesi urtikaria. Hasil yang sama diperoIeh pada kasus cold t~rticarru.Kadar histamin total pada lesi urtikaria ataupun pada kulit yang tanpa lesi, lebih tinggi pada pasien urtikaria kronicdibandingkan pasien tanpa urtikaria. Waktu yang diperlukan $el masr untuk melepaskan histamin pada pasien celd urficaria, ternyata tidak sesederhana dengan cara menurunkan temperatur kulit sehingga terjadi degranulasi sel ma,vt ataupunmenghangatkannya sebelum dilakukan tes. Pada pasien mikaria, berkembang pendapat terjadinya peningkatan kemampuan sel must dalam melepaskan histamin serta peningkatan jumlahn yarkadarnya. Keadaan ini dapat diketahui melalui tes kulit menggunakan bahan degranulatar sel mast yang non spesifik, seperti misafnya larutan 48/80 atau menggunakan kodein (selengkapnya llhat tabel). Peningkatan histamin ini rnurni akibat degranulasi sel mast kulit dan bukanlah akibat sekunder dari mobilisasi dan stimulasi basofil yang juga dikenal sebagai surnber histamin. Kenyataan ini terlihat dari peningkahn kadar triptase, selain histamin pada cairan urtikaria. Peranan neuropeptida dalam ha1 degranulasi sel mast belum jelas clan masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Mungkin saja lingkungan rnikro disekitar sel must terjadi peningkatan sitokln, ketnokin atau histamin releasil~g Jirctors yang pada gilirannya dapat menurunkan ambang rangsang sel mast, sehingga mudah terdegranulasi. Angjoederna diakibatkan peningkatan aktivitas



komponen d a r ~komplemen yang mengarah pada petnbcntukan bahan-bahan vasoaktif dari peptida yang menyerupai kinin dan bradikinin. Trauma mekanik ringan mengaktifkan faktor Hageman (faktor XII) yang mengawali pe~nbentukanplasmin dan kalikrein. Plasmin selanjutnya mengaktifkan C1 dengan pembentukan C2 kinin-like poptrdc),sedangkan kalikrein menghasilkan bradikinin yang berasal dari kininogen. Cl inhibitor menghambat fungsi katalltik dari faktor XlI aktif, kalikrein dan komponen C 1. Dengan demikian bisa dipaharni, pada pasien defisiensi C'l inhibitor, selama terjadinya serangan klinik ang~ocdema,terjadi peningkatan kadar bradikinin. Di lain pihak, kadar C4 komplemen akan menurun. Pada kasus defis~ensiCI inhibitor yang didapat bisa dikaitkan adanya penyakit autoimun atau Limfoma.



SEL-SEL INFLAMASI DAN MEDIATOR Peranan Sel Mast Sel must diketahui sebagai efektor primer yang menghasilkan histam~npada urtikaria dan angioedema. Selain histamin, sel niust menghasilkan berbagai macam mediator yaitu triptase. kimase dan sitokin. Bahan-bahan ini di salnplng meningkatkan kemampuan degranulasi sel must lebih lanjut, juga terjadi peningkatan aktivitas ELAM dan VCAM. Molekul adesi ini memudahkan migrasi limfosit dan granulosit menuju tempat terjadinya lesi urtikaria. Peranan Eosinofil Eosinofil sangat berperanan bila penyebab urtikaria adalah proses alergi, seperti reaksi alergi terhadap obat, makanan atau antigen eksogen. Bersama-sama dengan netrofil merupakan bagian dari infiltrat sel-sel inflamasi pada delayed pressure urticaria. Eosinofil secara dominan



Gambar 2. Aktivas~sel mast dan pengaruh rned~atoryang d~hasilkan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



URTIKARlADAN ANGIODEMA



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI didapatkan pada jaringan. Bila diperbandingkan, setiap eosinofil pada darah tepi sesuai dengan 300 eosinofil di jaringan. Ada suatu sindrom yang disebut sebagai Episodic Angioedema Associated With Eosinophiliu (EAAE), menggambarkan adanya angioedema yang berulang, penambahan berat badan hingga 15%, demam, urtikaria, lekositosis dan peningkatan eosinofil pada jaringan dan darah tepi. Tidak didapatkan kelainan organ internal dengan perjalanan klinis yang tidak seberat sindrom hipereosinofil. Bagaimana sebenarnya pengaruh eosinofil pada urtikaria belum sepenuhnya dipahami. Akan tetapi eosinofil merupakan penghasil utama leukotrien C, (LTC,) pada inflamasi alergi. Dengan adanya antagonis terhadap reseptor leukotrien, dapat diketahui dengan jelas peranan leukotrien dalam menimbulkan gejala pada urtikaria kronik. Selain itu, adanya wheal andjlare dapat ditimbulkan dengan penyuntikan pada kulit oleh protein kationik dari eosinofil. Ada juga suatu bentuk urtikaria kronik di mana secara histopatologis didominasi oleh sel-sel PMN dan eosinofil tanpa bukti-bukti adanya vaskulitis. Gambaran ini menyerupai reaksi alergi fase lambat. Perbedaannya adalah pada reaksi alergi fase lambat timbul beberapa jam setelah rangsangan antigen dan lesi ini dapat berlangsung lebih dari 24 jam. Lesi pada reaksi alergi fase lambat berupa bintul yang lunak, gatal, dan rasa panaslmenyengat. Secara histopatologis didapatkan infiltrat yang mengandung netrofil, eosinofil dan limfosit. Tidak didapatkan gambaran vaskulitis. Sebaliknya pada urtikaria vaskulitis, umumnya tampak adanya purpura yang dapat teraba serta gambaran vaskulitis pada pemeriksaan histopatologis. Peranan Basofil Pada pasien urtikaria kronik terjadi penurunan jumlah basofil darah tepi. Keadaan ini mungkin terkait dengan adanya proses degranulasi yang ikut andil dalam reaksi urtikaria. Hal lain yang mungkin bisa menerangkan adalah



PMN



Gambar 3. Reseptor hlstamin dan pengaruhnya



migrasi basofil menuju lesi urtikaria atau menggantikan posisi makrofag setelah mengalami degranulasi parsial. Pada suatu penelitian menunjukkan bahwa basofil pasien urtikaria melepaskan histamin yang relatif lebih rendah dibanding kontrol orang sehat, ketika dirangsang dengan anti IgE. Mungkin basofil tersebut sebelumnya sudah dalam keadaan desentisasi terhadap adanya autoantibodi yang dapat merangsang pelepasan histamin. Basofil juga berperan pada peningkatan histamin pada fase lambat reaksi hipersensitivitas tipe 1. Pada keadaan tersebut terjadi migrasi basofil menuju kulit dan ini dapat terjadi 6 jam setelah provokasi oleh alergen. Sel mast tidak berperanan melepaskan histamin pada fase lambat ini. Secara teknis tidak mudah mendeteksi basofil pada jaringan. Dengan berkembangnya antibodi anti basofil, kendala tersebut dapat diatasi.



DIAGNOSIS URTlKARlAlANGlOEDEMA



Untuk membuat diagnosis urtikaria perlu dilakukan anamnesis yang baik terhadap riwayat penyakit, gejala klinis, dan pemeriksaan penunjang. Riwayat Penyakit Anamnesis ini sangat penting, terutama menyangkut lamanya keluhan. Bintul-bintul yang berlangsung kurang dari 1 jam, mungkin merupakan suatu physical urticaria, dengan perkecualian delayed pressure urticaria yang biasanya gejala puncaknya antara 3-6 jam dan menghilang dalam 24 jam. Contact urticaria biasanya berlangsung singkat, tapi bila dapat menimbulkan reaksi fase lambat, akan bisa berlangsung hingga beberapa jam. Pada urtikaria vaskulitis yang khas, dapat berlangsung sampai 1 minggu. Bintul-bintul pada urtikaria yang umum, berlangsung hingga 24 jam. Walaupun berulang, urtikaria yang berlangsung total kurang dari 6 minggu disebut urtikaria akut. Lebih dari waktu tersebut dikatakan kronik. Untuk mengetahui pencetusnya, perlu anamnesis yang teliti tentang keadaan-keadaan sebelumnya seperti infeksi, obat-obat yang dikonsumsi termasuk cairan infus, imunisasi dan makanan tertentu, walaupun pada urtikaria kronik biasanya sulit menentukan faktor pencetusnya. Perlu juga diperhatikan apakah keluhan-keluhan tersebut semakin memberat dengan adanya panas, stres dan kadang-kadang oleh alkohol. Riwayat angioedema pada beberapa anggota keluarga, perlu diwaspadai kemungkinan defisiensi C1 inhibitor. Penyebab yang paling sering urtikaria akut yang umum adalah obat-obatan dan infeksi (misalnya infeksi virus pada saluran napas atas). Saat ini cukup sering seorang pasien mendapatkan berbagai macam obat (polifarmasi) saat datang berobat. Atau mereka membeli sendiri dari tokotoko obat, termasuk beberapa produk bahan kimia yang



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



tak berijin. Semua bahan-bahan ini berpotensi sebagai pengenalan antigen pada saluran pencernaan. Obat-obatan bisa memperberat gejala urtikaria dengan cara stimulasi sel mast atau mempengaruhi sintesis eikosanoid pada saat terjadi degranulasi sel mast. Degranulasi sel mast non-imunologis, dapat dicetuskan oleh beberapa obat seperti opiat, curare, bahan kontras radiologi dan beberapa antibiotika (misalnya polimiksin B). Walaupun demikian, jarang sekali terjadi urtikaria, bila diberikan dalam dosis terapi pada kondisi sehat. Pada pasien urtikaria kronik, obat-obat tersebut bisa meningkatkan risiko eksaserbasi dan seharusnya dihindari penggunaannya sebisa mungkin. Obat-obatan lain yang bisa menyebabkan urtikaria atau reaksi anafilaktoid adalah obat-obat golongan COX-2 inhibitor, aspirin, atau NSAID. Selain itu, sepertiga pasien urtikaria akan bisa diperberat oleh obat-obatan tersebut, dengan mekanisme yang belum jelas benar. Mungkin saja melalui mekanisme hambatan terhadap terbentuknya prostaglandin, pada saat terjadinya degranulasi sel mast. Pergeseran metabolit asam arakidonat ke arah terbentuknya leukotrien, mungkin memudahkan terjadinya infiltrasi sel-sel radang pada lesi urtikaria dengan memperpanjang fase reaksinya. Sebagian kecil pasien urtikaria kronik yang dicetuskan oleh aspirin memiliki reaksi yang hampir sama terhadap salisilat, azo+es (termasuk tartrazin) dan benzoat pada makanan. Reaksi hipersensitivitas terhadap penisilin diduga dapat menyebabkan urtikaria kronik, walaupun belum terbukti. Obat-obatan lain golongan ACE inhibitor dan antagonis reseptor angiotensin 11, dapat menyebabkan angioedema. Makanan-makanan tertentu dapat juga menimbulkan urtikaria. Biasanya gejala akan muncul dalam waktu 30-90 menit setelah makan dan bisa disertai gejala lain seperti diare, mual, kejang perut, hidung buntu, bronkospasme hingga gangguan vaskular. Semua gejala ini diperantarai oleh IgE. Walaupun belum jelas benar, beberapa peneliti menduga, bahan pengawet seperti benzoat dan azodyes (misalnya tartrazin), dapat memperberat gejala urtikaria kronik.



Gejala Klinis Lesi urtikaria biasanya tidak akan sulit dikenali. Bentuk kelainannya berupa bintul-bintul yang eritematous dan disertai rasa gatal. Gatal ini bervariasi dari ringan hingga yang berat bahkan terasa terus-menerus hingga sangat mengganggu irama kerja dan tidur malam. Lesi ini cenderung bersifat sementara, namun dapat bertambah besar atau mengecil dalam beberapa jam. Apabila menetap lebih dari 24 jam, perlu mendapat perhatian khusus akan kemungkinan suatu urtikaria vaskulitis. Kadang-kadang lesi yang terjadi lebih dalam pada lapisan dermis, akan membentuk bercak eritematous dan cenderung terjadi edema. Lesi yang demikian umumnya dapat menghilang dalam beberapa menit hingga beberapa jam. Kejadian



urtikaria, 50% akan disertai angioedema. Bila kedua kelainan tersebut terjadi bersamaan, kemungkinan mempunyai prognosis yang lebih buruk dibanding urtikaria umumnya. Sebab ada kemungkinan terjadi berulang dengan episode yang bisa berlangsung hingga 5 tahun. Pada urtikaria vaskulitis ada gambaran kelainan dematologi lain yang biasanya menyertai, seperti eritema multiforme, pruritic urticaria1 plaques a n d papules of pregnancy (PUPP syndrome), pempigoid bulosa, dermatitis herpetifomis dan urtikaria papular. Pada angioedema yang tanpa disertai urtikaria, mungkin bisa diawali adanya trauma mekanik ringan sehingga menimbulkan edema subkutan yang cukup besar dan terasa nyeri. Edema ini bisa terjadi pada jaringan submukosa dengan berbagai macam manifestasi klinis. Pada submukosa usus dapat memberikan gejala kolik, sedangkan pada laring menyebabkan gejala sufokasi. Semua gejala ini dapat menetap sampai beberapa hari bila tidak dilakukan pengobatan yang memadai. Dalam ha1 ini, pemeriksaan fisik ditujukan untuk menilai aktivitas urtikaria, bentuk dan distribusi dari lesi, apakah disertai angioedema, memar, edema kulit yang luas serta kemungkinan keterlibatan kelainan jaringan ikat. Perlu diperhatikan juga adanya kemungkinan penyakit sistemik seperti kelainan tiroid, artritis dan ikterus. Pemeriksaan Laboratorium Penunjang



Tes Alergi. Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi dengan melakukan tes kulit invivo (skin prick test), pemeriksaan IgE spesifik (radioallergosorbent test-RASTs) atau invitro yang mempunyai makna yang sama. Apabila secara klinis "memungkinkan", dapat dilakukan tes provokasi. Pada prinsipnya tes kulit dan RAST, hanya bisa memberikan informasi adanya reaksi hipersensitivitas tipe 1. Tes yang demikian itu tidak dapat menunjang diagnosis urtikaria vaskulitis yang merupakan reaksi imun kompleks atau sitotoksik, sebagaimana terjadi akibat obat-obatan atau transfusi darah. Untuk urtikaria akut, tes-tes alergi mungkin sangat bermanfaat, khususnya bila urtikaria muncul sebagai bagian dari reaksi anafilaksis. Pada kasus urtikaria kontak, mungkin sulit dilacak penyebabnya dari riwayat perjalanan penyakitnya. Bentuk lain dari intoleransi obat dan makanan yang tidak diperantarai oleh IgE, mungkin dihubungkan dengan manifestasi klinis sebagai urtikaria kronik. Untuk mengetahui adanya faktor vasoaktif seperti histamine-releasing autoantibodies, tes injeksi intradermal menggunakan serum pasien sendiri (autologous serum skin test-ASST) dapat dipakai sebagai tes penyaring yang cukup sederhana. Tes Provokasi. Tes provokasi akan sangat membantu diagnosis urtikaria fisik, bila tes-tes alergi memberi hasil yang meragukan atau negatif. Namun demikian, tes provokasi ini hams dipertimbangkan secara hati-hati untuk menjamin keamanannya. Hal ini dilakukan pada tempat yang



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



URTIKARIA DANANGIODEMA



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI mempunyai tenaga ahli dan fasilitas untuk resusitasi, terutama bila ada riwayat anafilaksis atau reaksi anafilaktoid. Adanya alergen kontak terhadap karet sarung tangan atau buah-buahan, dapat dilakukan tes pada lengan bawah, pada kasus urtikaria kontak. Tes provokasi oral mungkin diperlukan untuk mengetahui kemungkinan urtikaria akibat obat dan makanan tertentu. Tes ini menggunakan suatu seri kapsul yang mengandung pengawet makanan, pewarna makanan, dan dosis kecil asetilsalisilat yang diberikan secara bergantian dengan kapsul plasebo. Metode tes seperti ini relatif sulit disimpulkan dan pasien hams benar-benar tidak mengkonsumsi obat-obatan. Selain itu, tes ini dilakukan saat tidak terjadi urtikaria, diet ketat terhadap bahan yang dicurigai sebelum dilakukannya tes tersebut. Biopsi. Punch biopsy dengan ukuran 4 mm dapat digunakan membantu diagnosis. Urtikaria mencakup kelainan histopatologis yang luas, mulai infiltrasi berbagai macam sel radang yang agak jarang dengan edema dermis hingga edema dermis yang menonjol disertai infiltrasi selsel radang yang relatif banyak. Sel-sel infiltrat tersebut terdiri dari netrofil, limfosit dan eosinofil. Adanya infiltrat eosinofil, lebih mengarah pada urtikaria alergi. Pada beberapa pasien vaskulitis nekrotikan, tampak juga inflamasi dengan sel-sel radang limfosit yang jarang disekitar pembuluh darah dermis dengan atau tanpa eosinofil. Perneriksaan pelengkap. Pemeriksaan darah rutin biasanya tidak banyak membantu diagnosis urtikaria umumnya atau urtikaria fisik. Pemeriksaan tersebut bermanfaat untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit penyerta, misalnya urtikaria vaskulitis atau adanya infeksi penyerta. Pemeriksaan-perneriksaan seperti komplemen, autoantibodi, elektroforesis serum, faal ginjal, faal hati dan urinalisis akan membantu konfirmasi urtikaria vaskulitis. Pemeriksaan C1 inhibitor dan C4 komplemen sangat penting pada kasus angioedema berulang tanpa urtikaria.



Garnbar 4. Histopatologi reaksi fase lambat urtikaria Keterangan: tampak infiltrasi sel PMN dan eosinofil daerah perivaskular tanpa terlihat garnbaran vaskulitis



PENATALAKSANAAN URTlKARlAlANGlOEDEMA Penjelasan Pada pasien perlu dijelaskan tentang jenis urtikaria, penyebabnya (bila diketahui), cara-cara scderhana untuk mengurangi gejala, pengobatan yang dapat dilakukan dan harapan di masa mendatang, merupakan ha1 yang penting untuk pasien, karena mungkin hams hidup dengan kondisi tersebut untuk beberapa bulan bahkan beberapa tahun. Menghindari Alergen Prioritas utaina pengobatan urtikaria adalah eliminasi dari bahan penyebab, bahan pencetus atau antigen, yang sebenarnya lebih mudah diucapkan dari pada dilakukan. Menghindari alergen penyebab dari urtikaria kontak atau anafilaksis, seharusnya akan dapat menyelesaikan masalah. Intoleransi terhadap makanan dan obat yang tidak diperantarai IgE, harus dipertimbangkan sebagai urtikaria kronik yang tidak memberikan respons yang baik dengan pemberian antihistamin. Pada kasus seperti ini, lebih menguntungkan menghindari salisilat, nzodves, benzoat dan pengawet makanan lain seperti asam sorbik, khususnya bila akan dilakukan tes provokasi double blind. Medikamentosa Pengobatan lini pertama. Mayoritas pasien urtikaria kronik, mendapatkan pengobatan simtomatis dengan antihistamin 1 ( A H , ) klasik. Keberhasilan obat-obat tersebut agak terbatas, karena timbulnya efek samping berupa sedasi dan mulut kering. Seperti telah diketahui, bahwa sel mast kulit dapat mengalami degranulasi oleh berbagai macam stimulus yang kadang-kadang tidak diketahui, dengan mengeluarkan bermacam-n~acammediator. Mediator-mediator tersebut, terutama adalah histamin dan triptase. Dengan keterangan seperti ini, sangat sesuai ~ n e m b e r i k a n antihistamin sebagai cara profilaksis daripada saat terjadinya urtikaria. Beberapa dokter menjadi segan memberikan obat-obat terscbut, dengan adanya antihistamin yang lebih baru yang tidak atau kurang menimbulkan sedasi. Beberapa antihistamin non sedasi yang saat ini digunakan untuk urtikaria adalah setirizin, loratadin, astemizol, akrivastin dan feksofenadin yang juga bersifat non kardiotoksik, tidak seperti terfenadin. Pengalainan klinis menunjukkan terdapat sedikit variasi di antara obat-obat tersebut dalam mengatasi urtikaria kronik, walaupun beberapa pasien lebih menyukai suatu obat dibanding lainnya. Loratadin lebih efektif dibanding plasebo. Berdasarkan kinetika obat, loratadin diberikan sekali sehari yang cukup efektlf dalarn beberapa jam setelah ditelan dan mempunyai lama kerja 12-48jam. Akrivistin berbeda dengan antihistamin non sedasi lainnya, karena singkatnya masa



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



paruh dalam darah dan diberikan dalam dosis 3 kali sehari. Setirizin merupakan metabolit dari hidroksizin yang merupakan golongan antihistamin dengan efek sedasi yang rendah. Obat ini terbukti mengurangi insiden eritema, bintul dan pruritus pada urtikaria spontan dan yang diprovokasi, pada double-blindcross-overtrials. Beberapa peneliti dapat menunjukkan berkurangnya infiltrasi eosinofil pada lesi reaksi fase lambat, setelah diberikan setirizin. Dengan memiliki sifat sebagai anti inflamasi serta penyekat H, yang baik, mungkin menguntungkan pasien dimana gambaran histopatologisnya menunjukkan inflamasi dengan infiltrasi berbagai macam sel radang. Doksepin, suatu antidepresantrisiklik, merniliki efek yang h a t sebagai penghambat reseptor H,. Pengaruh hambatan terhadap reseptor H, tersebut lebih kuat dibanding antihistamin umumnya. Pada penelitian terhadap pasien urtikaria kronik, Doksepin yang diberikan 3x10mg, dikatakan 7 kali lebih efektif dibanding Difenhidramin, tetapi efek samping antikolinergiknya lebih besar. Obat ini mungkin lebih baik dipergunakan malam hari, karena efek samping mengantuk. Penghambat reseptor H, juga mempunyai peranan dalam pengobatan urtikaria kronik. Ada beberapa penelitian yang mendukung adanya kombinasi yang cukup efektif antara penghambat reseptor H, dan H,, pada pasien urtikaria tertentu. Dari pengalaman klinis, kombinasi tersebut mengecewakan untuk pengobatan urtikaria, tapi cukup membantu mengatasi keluhan dispepsia yang tidak jarang berhubungan dengan urtikaria berat. Obat-obat yang secara teoritis sebagai stabilisator membran sel mast, seperti nifedipin, pada beberapa penelitian menunjukkan pengaruh yang menguntungkan. Namun demikian, penggunaan di lapangan mempunyai efek yang minimal dan mungkin baik dipergunakan pada pasien urtikaria yang bersamaan menderita hipertensi. Sodium kromolin, absorbsinya dari saluran pencernaan buruk sekali dan tidak mempunyai makna dalam terapi urtikaria. Untuk selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.



Klasik (sedasi)



Klorfenirarnin Hidroksizin Difenhidrarnin Prornetazin



4 Mg, 3 kali sehari 10-25 Mg, 3 kali sehari 10-25 Mg, (rnalarn hari) 25 Mg, (rnalarn hari)



Generasi II



Akrivastin Setirizin Loratadin Mizolastin



4 Mg, 3 kali sehari 10 Mg, sekali sehari 10 Mg, sekali sehari 10 Mg, sekali sehari



Generasi Ill



Desloratadin Feksofenadin



5 Mg, sekali sehari 180 Mg, sekali sehari



Antaaonis H7 "



Sirnetadin Ranitidin



400 Ma. 2 kali sehari 150 ~ g 2 ,kali sehari



Pengobatan lini kedua. Walaupun umumnya antihistamin dapat mengatasi gejala urtikaria, pada beberapa kasus yang berat memerlukan kortikosteroid. Sebelum diputuskan pemberian steroid, seharusnya dilakukan biopsi kulit terlebih dahulu, untuk mengklasifikasikanurtikaria secara histopatologis. Berhubung penggunaan steroid jangka panjang berkaitan dengan beberapa efek samping, saat ini sedang diteliti kemungkinan penggunaan obat seperti stanozolol, sulfasalazin dan metotreksat. Obat-obat tersebut dapat mengurangi kebutuhan akan steroid. Pada urtikaria yang berat dan sangat mengganggu aktivitas pasien, dapat diberikan dosis tinggi steroid secara oral. Prednisolon 60 mg sehari diberikan sebagai pulse dosing untuk 3-5 hari. Obat-obatan lain seperti kolkisin, dapson, indometasin dan hidroksiklorokuin pernah dilaporkan pada beberapa kepustakaan, mempunyai efektivitas yang cukup baik dalam mengurangi dosis atau frekuensi penggunaan steroid pada kasus urtikaria vaskulitis. Adrenalin yang diberikan secara intramuskular, subkutan atau perinhalasi, sangat berperan pada penatalaksanaan angioedema yang berat yang bisa menyertai urtikaria, kecuali yang terkait dengan defisiensi C, inhibitor. Montelukast sebagai antagonis reseptor leukotrien dengan dosis oral 10 mglhari diindikasikan khususnya pada urtikaria akibat sensitisasi terhadap aspirin atau pressure urticaria. Pengobatan lini ketiga. Plasmaferesis pernah berhasil dilakukan pada beberapa pasien urtikaria kronik yang terjadi sepanjang waktu. Pada kasus tersebut, didapatkan buktibukti adanya autoantibodi yang dapat mencetuskan pelepasan histamin. Obat-obatan imunosupresan yang cukup menjanjikan, seperti siklosporinAdan imunoglobulin secara intravena dapat dipergunakan dengan evaluasi yang ketat. Namun demikian, penggunaannya masih amat terbatas pada pusat-pusat rujukan tertentu. Pengobatan angioedema akibat defisiensi C, inhibitor, secara gawat darurat dapat diberikan konsentrat C, inhibitor atau fresh frozen plasma. Anti histamin tidak diindikasikan, karena terjadinya kebocoran plasma bukan akibat histamin sebagai mediator, Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti asam traneksamat, sering kali sangat efektif.



PENGOBATAN DENGAN PENDEKATANTERAPI TERBARU Urtikaria, etiologinya dan cara penatalaksanaannya masih merupakan masalah pada dokter maupun pasiennya. Dengan semakin dipahaminya perkembangan terbaru tentang sitokin yang dapat mendorong terjadinya degranulasi sel mast, interleukin yang merangsang aktivitas dan menghambat terjadinya apoptosis eosinofil



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



U#IIKARIADAN ANCIODEMA



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI serta autoantibodi yang mempunyai afinitas tinggi terhadap reseptor IgE pada sel mast, merupakan gambaran yang kompleks pada urtikaria. Walaupun kita telah memiliki berbagai cara yang adekuat pada pengobatan urtikaria umumnya, penatalaksanaan di masa mendatang seperti imunomodulasi dari produksi sitokin, penggunaan obatobat anti inflamasi non steroid yang Iebih baik dan pengaturan produksi antibodi autoimun akan semakin berkembang. Perkembangan penggunaan peptida yang menghambat reseptor IgE pada sel mast dan penelitian murin anti IgE, bisa memberi pilihan pendekatan terapi yang baru dimasa mendatang.



Austen KF. Allergies, anaphylaxis, and systemic mastocytosis. Harrison's principles of internal medicine. In: Kasper DL, Faucy AS, Longo DL, editors. 16thedition. New York, Chicago, San Fransisco: Mc Graw Hill Medical Publishing Division; 2005. p. 1951. Buhner S, Reese I, Kuchll F. Pseudoallergic reaction in chronic urticaria are associated with altered gastroduodenal permeability. Allergy. 2004;59: 1118.



Condemi JJ, Dykewicz MS. Immune mediated dermatologic disorders. Allergy and immunology, medical knowledge self assesment program. In: Condemi JJ, Dykewicz MS, Bielory L, editors. 2ndedition. American academy of allergy asthma & immunology. Philadelphia, Pensylvania; 1997. p. 94. Grattan CEH. Chronic urticaria. Current therapy in allergy. Immunology and rheumatology. In: Lichtenstein LM, Busse WW, Geha RS, editors. 6* edition. Mosby, United States; 2004. p. 72. Grattan CEH, Charlesworth EN. Urticaria. Allergy. 1n:Holgate ST, Church MK, Lichtenstein LM, editors. 2ndedition. Mosby. London, Edinburgh, New York; 2001. p. 93. Nettis E, Colanardi MC, Ferrannini A. Type I latex allergy in health care workers with latex-induced contact urticaria syndrome: a follow-up study. Allergy. 2004;59:719. Roitt. I M, Delves PJ. Hypersensitivity. Essential immunology. In:Roitt, I M, Delves PJ, editors. lothedition. Oxford, London, Edinburgh: Blackwell Science; 2001. p. 322. Siddique N, Pereira BN, Arshad SN. Hepatitis C and urticaria: cause and effect? Allergy. 2004:59:668. Toubi E, Kessel A, Avshovich N. Clinical and laboratory parameters in predicting chronic urticaria duration: a prospective study of 139 patients. Allergy. 2004;59:869.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ASMA BRONKIAL Heru Sundaru, Sukamto



PENDAHULUAN Meskipun asma telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu. para ahli masih belum sepakat mengenai definisi penyakit tersebut. Dari waktu ke waktu definisi asma terus mengalami perubahan. Definisi asma ternyata tidak mempermudah membuat diagnosis asma, sehingga secara praktis para ahli berpendapat: asma adalah penyakit paru dengan karakteristik: 1). obstruksi saluran napas yang reversibel (tetapi tidak lengkap pada beberapa pasien) baik secara spontan maupun dengan pengobatan; 2). inflamasi saluran napas; 3). peningkatan respons saluran napas terhadap berbagai rangsangan (hipereaktivitas). Obstruksi saluran napas ini memberikan gejala-gejala asma seperti batuk, mengi, dan sesak napas. Penyempitan saluran napas pada asma dapat terjadi secara bertahap, perlahan-lahan dan bahkan menetap dengan pengobatan tetapi dapat pula terjadi mendadak, sehingga menimbulkan kesulitan bernapas yang akut. Derajat obstruksi ditentukan oleh diameter lumen saluran napas,dipengaruhi oleh edema dinding bronkus, produksi mukus, kontraksi dan hipertrofi otot polos bronkus. Diduga baik obstruksi maupun peningkatan respons terhadap berbagai rangsangan didasari oleh inflamasi saluran napas.



asma anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi dan anak.Angka ini juga berbeda-beda antara satu kota dengan kota yang lain di negara yang sama. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5 -7%.



PREVALENSI



Sangat sukar membedakan satu jenis asma dengan asma yang lain. Dahulu dibedakan asma alergik (ekstrinsik) dan non-alergik (intrinsik). Asma alergik terutama munculnya pada waktu kanak-kanak mekanisme serangannya melalui reaksi alergi tipe I terhadap alergen. Sedangkan asma dikatakan asma intrinsik bila tidak ditemukan tanda-tanda reaksi hipersensitivitas terhadap alergen. Namun klasifikasi tersebut pada prakteknya tidak mudah dan sering pasien mempunyai kedua sifat alergik dan nonalergik, sehingga Mc Connel dan Holgate membagi asma dalam 3 kategori, yaitu: 1). asma ekstrinsik, 2). asma intrinsik, 3). asma yang berkaitan dengan penyakit paru obstruktif kronik. SelanjutnyaGlobal Initiative for Asthma (GINA) mengajukan klasifikasi asma intermiten dan persisten ringan, sedang dan berat. Baru-baru ini, berdasarkan gejala siang, aktivitas, gejala malam, pemakaian obat pelega dan eksaserbasi, GINA membagi asma menjadi asma terkontrol, terkontrol sebagian dan tidak terkontrol.



Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur pasien, status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Pada masa kanak-kanak ditemukan prevalensi anak Iaki-laki berbanding anak perempuan 1,5:1, tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak dari laki-laki. Umurnnya prevalensi



Sampai saat ini patogenesis dan etiologi asma belum diketahui dengan pasti, namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah inflamasi dan respons saluran napas yang berlebihan.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Asma sebagai penyakit inflamasi Asma saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran napas. Inflamasi ditandai dengan adanya kalor (panas karena vasodilatasi) dan rubor (kemerahan karena vasodilatasi), tumor (eksudasi plasma dan edema), dolor (rasa sakit karena rangsangan sensoris), danfunctio laesa (fungsi yang terganggu). Akhir-akhir ini syarat terjadinya radang hams disertai satu syarat lagi yaitu infiltrasi selsel radang. Temyata keenam syarat tadi dijumpai pada asma tanpa membedakan penyebabnya baik yang alergik maupun non-alergik. Seperti telah dikemukakan di atas baik asma alergik maupun non-alergik dijumpai adanya inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Oleh karena itu paling tidak dikenal 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan tersebut. Jalur imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf autonom. Pada jalur IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells = sel penyaji antigen), untuk selanjutnyahasil olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th (T penolong). Sel T penolong inilah yang akan memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, serta sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator-mediator inflamasi. Mediator-mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrin (LT),platelet activatingfactor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX) dan lain-Iain akan mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan hipereaktivitas saluran napas (HSN). Jalur non-alergik selain merangsang sel inflamasi, juga merangsang sistem saraf autonom dengan hasil akhir berupa inflamasi dan HSN. Hipereaktivitas saluran napas (HSN) Yang membedakan asma dengan orang normal adalah sifat saluran napas pasien asma yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan (debu), zat kimia (histamin, metakolin) dan fisis (kegiatan jasmani). Pada asma alergik, selain peka terhadap rangsangan tersebut di atas pasien juga safigat peka terhadap alergen yang spesifik. Sebagian HSN diduga didapat sejak lahir, tetapi sebagian lagi didapat. Berbagai keadaan dapat meningkatkan hipereaktivitas saluran napas seseorang yaitu:



Inflamasi saluran napas. Sel-sel inflamasi serta mediator kimia yang dikeluarkanterbukti berkaitan erat dengan gejala asma dan HSN. Konsep ini didukung oleh fakta bahwa intervensi pengobatan dengan anti-inflamasi dapat menurunkan derajat HSN dan gejala asma. Kerusakan epitel. Salah satu konsekuensi inflamasi adalah



kerusakan epitel. Pada asma kerusakan bervariasi dari yang ringan sampai berat. Perubahan struktur ini akan meningkatkan penetrasi alergen, mediator inflamasi serta mengakibatkan iritasi ujung-ujung saraf autonom sering lebih mudah terangsang. Sel-sel epitel bronkus sendiri sebenarnya mengandung mediator yang dapat bersifat sebagai bronkodilator. Kerusakan sel-sel epitel bronkus akan mengakibatkan bronkokonstriksi lebih mudah terjadi.



Mekanisme neurologis. Pada pasien asma terdapat peningkatan respons saraf parasimpatis. Gangguan intrinsik. Otot polos saluran napas dan hipertrofi otot polos pada saluran napas diduga berperan pada HSN. Obstruksi saluran napas. Meskipun bukan faktor utama. obstruksi saluran napas diduga ikut berperan pada HSN.



Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus, sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF). dan pasien akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas. Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara objektif dengan VEPl (Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) atau APE (Arus Puncak Ekspirasi), sedangkan penurunan KVP (Kapasitas Vital Paksa) menggambarkan derajat hiperinflasi paru. Penyempitan saluran napas dapat terjadi baik pada saluran napas yang besar, sedang, maupun kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan di saluran napas besar, sedangkan pada saluran napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding mengi. Penyempitan saluran napas temyata tidak merata di seluruh bagian paru. Ada daerah-daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang melalui daerah tersebut mengalami hipoksemia. Penurunan Pa02 mungkin merupakan kelainan pada asma sub-klinis.Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan hiperventilasi, agar kebutuhan oksigen terpenuhi. Tetapi akibatnya pengeluaran C02 menjadi berlebihan sehingga PaC02 menurun yang kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada serangan asma yang lebih berat lagi banyak saluran napas dan alveolus tertutup oleh mukus



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



sehingga tidak memungkinkan lagi terjadinya pertukaran gas. Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot pernapasan bertambah berat serta terjadi peningkatan produksi C02. Peningkatan produksi C02 yang disertai dengan penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi C02 (hiperkapnia) dan terjadi asidosis respiratorik atau gaga1 napas. Hipoksemia yang berlangsung lama menyebabkan asidosis metabolik dan konstriksi pembuluh darah paru yang kemudian menyebabkan shunting yaitu peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang baik. yang akibatnya memperburuk hiperkapnia. Dengan demikian penyempitan saluran napas pada asma akan menimbulkan hal-ha1 sebagai berikut: 1). Gangguan ventilasi berupa hipoventilasi. 2). Ketidakseimbangan ventilasi perfusi di mana distribusi ventilasi tidak setara dengan sirkulasi darah paru. 3). Gangguan difusi gas di tingkat alveoli. Ketiga faktor tersebut akan mengakibatkan: hipoksemia, hiperkapnia, asidosis respiratorik pada tahap yang sangat lanjut.



GAMBARAN KLlNlS Gambaran klinis asma klaslk adalah serangan episodik batuk, mengi, dan sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant asthma. Bila ha1 yang terakhir ini dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan metakolin. Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergkjuga memberikan gejala terhadap faktorpencetus non-alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas ataupun perubahan cuaca. Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya tetap memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila pasien dijauhkan dari lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya. Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji provokasi dengan bahan tersangka yang ada di lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis.



DIAGNOSIS Diagnosis asma didasarkan pada riwayat penyakit,



pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk, sesak, mengi, atau rasa berat di dada. Tetapi kadang-kadang pasien hanya mengeluh batuk-batuk saja yang umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani. Adanya penyakit alergi yang lain pada pasien maupun keluarganya seperti rinitis alergi, dermatitis atopik membantu diagnosis asma. Gejala asma sering timbul pada malam hari, tetapi dapat pula muncul sembarang waktu. Adakalanya gejala lebih sering terjadi pada musim tertentu. Yang perlu diketahui adalah faktor-faktor pencetus serangan. Dengan mengetahui faktor pencetus, kemudian menghindarinya, maka diharapkan gejala asma dapat dicegah. Faktor-faktor pencetus pada asma yaitu: 1. Infeksi virus saluran napas: influenza 2. Pemajanan terhadap alergen tungau, debu rumah, bulu binatang 3. Pemajanan terhadap iritan asap rokok, minyak wangi 4. Kegiatanjasmani: lari 5. Ekspresi emosional takut, marah, frustasi 6. Obat-obat aspirin, penyekat beta, anti-inflamasi nonsteroid 7. Lingkungan kerja: uap zat kimia 8. Polusi udara: asap rokok 9. Pengawet makanan: sulfit 10. Lain-Iain, misalnya haid, kehamilan, sinusitis Yang membedakan asma dengan penyakit paru yang lain yaitu pada asma serangan dapat hilang dengan atau tanpa obat, artinya serangan asma tanpa diobati ada yang hilang sendiri. Tetapi membiarkan pasien asma dalam serangan tanpa obat selain tidak etis, juga dapat membahayakan nyawa pasien. Gejala asma juga sangat bervariasi dari satu individu ke individu lain, dan bahkan bervariasi pada individu sendiri misalnya gejala pada malam hari lebih sering muncul dibanding siang hari. PEMERIKSAAN FlSlS Penemuan tanda pada pemeriksaan fisis pasien asma, tergantung dari derajat obstruksi saluran napas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, pernapasan cepat sampai sianosis dapat dijumpai pada pasien asma. Dalam praktek jarang dijumpai kesulitan dalam membuat diagnosis asma, tetapi sering pula dijumpai pasien bukan asma mempunyai mengi, sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis. PEMERIKSAAN PENUNJANG Spirometri Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis asma adalah melihat respons pengobatan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik beta. Peningkatan VEPl sebanyak 2 12% atau (2 200mL) menunjukkan diagnosis asma. Tetapi respons yang kurang dari 2 12% atau (2 200mL) tidak berarti bukan asma. Halha1 tersebut dapat dijumpai pada pasien yang sudah normal atau mendekati normal. Demikian pula respons terhadap bronkodilator tidak dijumpai pada obstruksi saluran napas yang berat, oleh karena obat tunggal bronkodilator tidak cukup kuat memberikan efek yang diharapkan. Untuk melihat reversibilitas pada ha1 yang disebutkan di atas mungkin diperlukan kombinasi obat golongan adrenergik beta, teofilin dan bahkan kortikosteroid untuk jangka waktu pengobatan 2-3 minggu. Reversibilitas dapat terjadi tanpa pengobatan yang dapat dilihat dari hasil pemeriksaan spirometri yang dilakukan pada saat yang berbeda-beda misalnya beberapa hari atau beberapa bulan kemudian. Pemeriksaan spirometri selain penting untuk menegakkan diagnosis, juga penting untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan. Kegunaan spirometri pada asma dapat disamakan dengan tensimeter pada penatalaksanaan hipertensi atau glukometer pada diabetes melitus. Banyak pasien asma tanpa keluhan, tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi. Hal ini mengakibatkan pasien mudah mendapat serangan asma dan bahkan bila berlangsung lama atau kronik dapat berlanjut menjadi penyakit paru obstruktif kronik. Uji provokasi bronkus Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukkan adanya hipereaktivitas bronkus dilakukan uji provokasi bronkus. Ada beberapa cara untuk melakukan uji provokasi bronkus seperti uji provokasi dengan histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam hipertonik, dan bahkan dengan aqua destilata. Penurunan VEPl sebesar 20% atau lebih dianggap bermakna. Uji dengan kegiatan jasmani, dilakukan dengan menyuruh pasien berlari cepat selama 6 menit sehingga mencapai denyut jantung 80-90% dari maksimurn. Dianggap bermakna bila menunjukkan penurunan APE (Arus Puncak Ekspirasi) paling sedikit 10%. Akan halnya uji provokasi dengan alergen, hanya dilakukan pada pasien yang alergi terhadap alergen yang diuji. Pemeriksaan sputum Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil sangat dominan pada bronkhitis kronik. Selain untuk melihat adanya eosinofil, kristal Charcot-Leyden, dan Spiral Curschmann, pemeriksaan ini penting untuk melihat adanya miselium Aspergillus fumigatus.



Pemeriksaan eosinofil total Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada pasien asma dan ha1 ini dapat membantu dalam membedakan asma dari bronkitis kronik. Pemeriksaan ini juga dapat dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup tidaknya dosis kortikosteroid yang dibutuhkan pasien asma. Uji kulit Tujuan uji kulit adalah untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik dalam tubuh. Uji ini hanya menyokong anamnesis, karena uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma, demikian pula sebaliknya. Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputum Kegunaan pemeriksaan IgE total hanya untuk menyokong adanya atopi. Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna dilakukan bila uji kulit tidak dapat dilakukan atau hasilnya kurang dapat dipercaya. Foto dada Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di paru atau komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis, dan lain-lain.



Analisis gas darah Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma yang berat. Pada fase awal serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaC02 < 35 mmHg) kemudian pada stadium yang lebih berat PaC02 justru mendekati normal sampai normo-kapnia. Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadinya hiperkapnia (PaC02 2 45 mmHg), hipoksemia, dan asidosis respiratorik. DIAGNOSIS BANDING DAN KOMPLlKASl ASMA Diagnosis banding Bronkitis kronik. Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Penyebab batuk kronik seperti tuberkulosis, bronkitis atau keganasan hams disingkirkan dahulu. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya didapatkan pada pasien berumur lebih dari 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya dimulai dengan batuk pagi hari, lama kelamaan disertai mengi dan menurunnya kemampuan kegiatan jasmani. Pada stadium lanjut dapat ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pulmonal.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Emfisema paru. Sesak merupakan gejala utama emfisema. sedangkan batuk dan mengi jarang menyertainya. Pasien biasanya kurus. Berbeda dengan asma, pada emfisema tidak pemah ada masa remisi, pasien selalu sesak pada kegiatan jasmani. Pada pemeriksaan fisis ditemukan dada kembung, peranjakan napas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, dan suara napas sangat lemah. Pemeriksaan foto dada menunjukkan hiperinflasi. Gagal jantung kiri akut. Dulu gagal jantung kiri akut dikenal dengan nama asma kardial, dan bila timbul pada malam hari disebutparoxysmal nocturnal dyspnoe. Pasien tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau berkurang bila duduk. Pada anamnesis dijumpai hal-ha1 yang memperberat atau memperingan gejala gagal jantung. Di samping ortopnea, pada pemeriksaan fisis ditemukan kardiomegali dan edema paru.



Emboli paru. Hal-ha1 yang dapat menimbulkan emboli antara lain adalah imobilisasi, gagal jantung dan tromboflebitis. Di samping gejala sesak napas, pasien batuk-batuk yang dapat disertai darah, nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan pingsan. Pada pemeriksaan fisis ditemukan adanya ortopnea, takikardia, gagaljantung kanan, pleural friction, irama derap, sianosis, dan hipertensi. Pemeriksaan elektrokardiogram menunjukkan perubahan antara lain aksis jantung ke kanan. Penyakit lain yang jarang seperti: stenosis trakea, karsinoma bronkus, poliarteritis nodosa. Kompllkasi asma 1. Pneumotoraks 2. Pneumodiastinum dan emfisema subkutis 3. Atelektasis 4. Aspergilosis bronkopulmoner alergik 5. Gagal napas 6. Bronkitis 7. Fraktur iga



PENGOBATAN Berdasarkan patogenesis yang telah dikemukakan, strategi pengobatan asma dapat ditinjau dari berbagai pendekatan. Seperti mengurangi respons saluran napas, mencegah ikatan alergen dengan IgE, mencegah penglepasan mediator kimia, dan merelaksasi otot-otot polos bronkus. Mencegah ikatan alergen-lgE a. Menghindari alergen, tampaknya sederhana, tetapi sering sukar dilakukan. b. Hiposensitisasi, dengan menyuntikkan dosis kecil alergen yang dosisnya makin ditingkatkan diharapkan tubuh akan membentuk IgG (blocking antibo4) yang akan mencegah ikatan alergen dengan IgE pada sel mast.



Efek hiposensitisasi pada orang dewasa saat ini masih diragukan.



Mencegah penglepasan mediator Premedikasi dengan natrium kromolin dapat mencegah spasme bronkus yang dicetuskan oleh alergen. Natrium kromolin mekanisme kerjanya diduga mencegah penglepasan mediator dari mastosit. Obat tersebut tidak dapat mengatasi spasme bronkus yang telah terjadi. oleh karena itu hanya dipakai sebagai obat profilaktik pada terapi pemeliharaan. Natrium kromolin paling efektif untuk asma anak yang penyebabnya alergi. meskipun juga efektif pada sebagian pasien asma intrinsik dan asma karena kegiatan jasmani. Obat golongan agonis beta 2 maupun teofilin selain bersifat sebagai bronkodilator juga dapat mencegah penglepasan mediator. Melebarkan saluran napas dengan bronkodilator a. Simpatomimetik : 1). Agonis beta 2 (salbutamol, terbutalin, fenoterol, prokaterol) merupakan obat-obat terpilih untuk mengatasi serangan asma akut. Dapat diberikan secara inhalasi melalui MDI (MeteredDosed Inhaler) atau nebulizer; 2). Epinefrin diberikan subkutan sebagai pengganti agonis beta 2 pada serangan asma yang berat. Dianjurkan hanya dipakai pada asma anak atau dewasa muda. b. Aminofilin dipakai sewaktu serangan asma akut. Diberikan dosis awal, diikuti dengan dosis pemeliharaan. c. Kortikosteroid Sistemik. Tidak termasuk obat golongan bronkodilator tetapi secara tidak langsung, dapat melebarkan saluran napas. Dipakai pada serangan asma akut atau terapi pemeliharaan asma yang berat. d. Antikolinergik (ipatropium bromida) terutama dipakai sebagai suplemen bronkodilator agonis beta 2 pada serangan asma. Mengurangi respons dengan jalan meredam inflamasi saluran napas Banyak peneliti telah membuktikan bahwa asma baik yang ringan maupun yang berat menunjukkan inflamasi saluran napas. Secara histopatologis ditemukan adanya infiltrasi sel-sel radang serta mediator inflamasi di tempat tersebut. Implikasi terapi proses inflamasi di atas adalah meredam inflamasi yang ada baik dengan natrium kromolin, atau secara lebih poten dengan kortikosteroid baik secara oral, parenteral, atau inhalasi seperti pada asma akut atau kronik.



Obat-obat anti-asma. Pada dasamya obat-obat anti-asma dipakai untuk mencegah dan mengendalikan gejala asma. Fungsi penggunaan obat anti-asma antara lain : Pencegah (controller) yaitu obat-obat yang dipakai setiap hari, dengan tujuan agar gejala asma persisten tetap



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI terkendali. Termasuk golongan ini yaitu obat-obat antiinflamasi dan bronkodilator kerja panjang (long acting). Obat-obat anti-inflamasi khususnya kortikosteroid hirup adalah obat yang paling efektif sebagai pencegah. Obatobat antialergi, bronkodilator atau obat golongan lain sering dianggap termasuk obat pencegah, meskipun sebenarnya kurang tepat, karena obat-obat tersebut mencegah dalam ruang lingkup yang terbatas misalnya mengurangi serangan asma, mengurangi gejala asma kronik, memperbaiki fungsi paru, menurunkan reaktivitas bronkus dan memperbaiki kualitas hidup. Obat antiinflamasi dapat mencegah terjadinya inflamasi serta mempunyai daya profilaksis dan supresi. Dengan pengobatan antiinflamasi jangka panjang ternyata perbaikan gejala asma, perbaikan fungsi paru serta penurunan reaktivitas bronkus lebih baik bila dibandingkan bronkodilator. Termasuk golongan obat pencegah adalah kortikosteroid hirup, kortikosteroid sistemik, natrium kromolin, natrium nedokromil, teofilin lepas lambat (TLL), agonis beta 2 kerja panjang hirup (salmaterol dan formoterol)dan oral, dan obat-obat anti alergi. Falmaterol, antileukotrien dan anti-IgE.



Penghilang gejala (reliever). Obat penghilang gejala yaitu obat-obat yang dapat merelaksasi bronkokonstriksi dan gejala-gejala akut yang menyertainya dengan segera. Termasuk dalam golongan ini yaitu agonis beta 2 hirup kerja pendek (short-acting), kortikosteroid sistemik, anti kolinergik hirup, teofilin kerja pendek, agonis beta 2 oral kerja pendek. Agonis beta 2 hirup (fenoterol, salbutamol, terbutalin, prokaterol) merupakan obat terpilih untuk gejala asma akut serta bila diberikan sebelum kegiatan jasmani, dapat mencegah serangan asma karena kegiatanjasmani. Agoriis beta 2 hirup juga dipakai sebagai penghilang gejala pada asma episodik. Peran kortikosteroid sistemik pada asma akut adalah untuk mencegah perburukan gejala lebih lanjut. Obat tersebut secara tidak langsung mencegah atau mengurangi fiekuensi perawatan di ruang rawat darurat atau rawat inap. Antikolinergik hirup atau Ipatropium bromida selain dipakai sebagai tambahan terapi agonis beta 2 hirup pada asma akut, juga dipakai sebagai obat altematif pada pasien yang tidak dapat mentoleransi efek samping agonis beta 2. Teofilin maupun agonis beta 2 oral dipakai pada pasien yang secara teknis tidak bisa memakai sediaan hirup. PengobatanAsma Menurut GINA (Globallnitiative for Asthma). Para ahli asma dari berbagai negara terkemuka telah berkumpul dalam suatu lokakarya Global Initiative for Asthma: Management and Prevention yang dikoordinasikan oleh National Heart, Lung and Blood Institute Amerika Serikat dan WHO. Publikasi lokakarya tersebut



yang dikenal sebagai GINA diterbitkan pada tahun 1995, dan diperbaharui tahun 1998,2002,2006, dan yang terakhir 2008. Hampir seluruh negara di dunia mengikuti protokol pengobatan yang dianjurkan. Namun cara pengobatan tersebut masih mahal bagi negara sedang berkembang, sehingga masing-masing negara dianjurkan membuat kebijakan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi serta lingkungannya. Asma akan mempunyai dampak terhadap kehidupan pasien, keluarganya maupun masyarakat. Sampai sejuh ini belum ada cara untuk menyembuhkan asma, namun dengan penatalaksanaan yang baik tujuan untuk dapat memperoleh kontrol asma yang baik, pada sebagaian besar dapat tercapai. Dalam pembicaraan berikut, akan dibahas mengenai tujuan penatalaksanaan asma, tes kontrol asma (TKA), obat-obat asma, serta komponen-komponen yang berperan dalam mencapai keberhasilan pengobatan. Tujuan penatalaksanaan asma adalah untuk: Mencapai dan mempertahankan kontrol gejala-gejala asma Mempertahankan aktivitas yang normal termasuk olah raga Menjaga fungsi paru senormal mungkin Mencegah eksaserbasi asma Menghindari reaksi adversi obat asma Mencegah kematian karena asma Untuk mencapai tujuan di atas GINA merekomendasikan 5 komponen yang saling terkait dalam penatalaksanaan asma: 1. Bina hubungan yang baik antara pasien dengan dokter 2. Identifikasi dan kurangi pemaparan faktor risiko 3. Penilaian, pengobatan dan pemantauan keadaan kontrol asma 4. Atasi serangan asma 5. Penatalaksanaan keadaan khusus



1. Bina hubungan yang baik antara pasien dengan dokter Kerja sama yang baik antara dokter-pasien, akan mempercepat tujuan penatalaksanaan asma. Dengan bimbingan dokter, pasien didukung untuk mampu mengontrol asmanya. Pasien akan mampu mengenal kapan asmanya memburuk, mengetahui tindakan sementara sebelum menghubungi dokter, kapan hams menghubungi doktemya, kapan hams segera mengunjungi instalasi gawat darurat dan akhirnya akan meningkatkan kepercayaan diri dan ketaatan berobat. 2. ldentifikasi dan kurangi pemaparan faktor risiko Untuk mencapai kontrol asma diperlukan identifikasi mengenai faktor-faktor yang dapat memperburuk gejala asma atau lebih dikenal sebagai faktor pencetus.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Dulu GINA menyandarkan pengobatan pada klasifikasi derajat berat asma, yang terdiri dari asma intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten berat. Selain aplikasinya rumit, klasifikasi tadi hanya pendapat para ahli, dan belum pernah divalidasi, sehingga menuai berbagai kritik. Derajat berat asma juga dapat berubah seiring dengan berjalannya waktu atau pengaruh pengobatan. Oleh karena itu sekarang diperkenalkan istilah kontrol asma yang lebih mengarah kepada upaya pencegahan dengan cara mengendalikan gejala klinik penyakit termasuk juga perbaikan fungsi paru. GINA membagi tingkat kontrol asma menjadi tiga tingkatan yaitu terkontrol sempurna, terkontrol sebagian dan tidak terkontrol (Tabel 1) yang juga belum divalidasi. Berbagai



Menghindari faktor pencetus diharapkan dapat mengurangi gejala dan serangan asma. Berbagai alergen, baik yang di dalam rumah seperti tungau debu, bulu binatang, kecoa, atau di luar ruangan serta polusi udara, lingkungan kerja, pengawet makanan, obat-obatan, virus influenza, ketegangan jiwa, rinosinusitis, refluks gastroesofagal, dan lain sebagainya, patut untuk diidentifikasi dan selanjutnya dihindari. 3. Penilaian, pengobatan dan pemantauan keadaan kontrol asma Tujuan terpenting penatalaksanaan asma adalah mencapai dan mempertahankan kontrol asma.



Karakteristik Gejala Harian Keterbatasan Aktivitas Gejala NokturnallTerbangun karena Asma Kebutuhan Pelega Fungsi Paru (APENEPI)



Kontrol Penuh (Sernua Kriteria)



Terkontrol Sebagian (Salah satu Dalarn Per rngg) - -.



Tidak Terkontrol



Tidak ada (5 2x1 mgg) Tidak ada



> 2x Imgg Ada



Tidak ada



Ada



t3 Gambaran asma terkontrol sebagian ada dalam setiap minggu



Tidak Ada (5 2x1 rngg) Normal



> 2x mgg < 80% prediksi Inilai terbaik



Tidak ada



Eksaserbasi



2



1 ltahun



2



1 ltahun



1 X/mgg



-4 Tlngkat kc



-



kontrol oi sebag~an terkontrol



Pertahankan



.



Pilih salah Satu



I



P8 ICE ditarnbah agonis panjang



ICS"Dosis rendah



ICS dosis sedang atau dosis tinggi ditarnbah Agonis p, aksi panjang



P, aksi



ICS dosis tinggi atau sedang



Leukotriene 0 modifier



1



lCS dosis rendah ditambah anti-??,????



'



ICS dosis sedang atau dosis tinggi ditarnbah Agonis p, aksi panjang Pewobatan Anti-lgE



Leukotriene modifier



I



Teofilin iepas lambat



I



ICS dosis rendah ditarnbah teofilin lepas lambat



I 'ICS = inhalasi glucocorticosteroids 0 = Antagonis reseptor atau inhibitor syntesis



Garnbar 1. Penatalaksanaan Berdasarkan Kontrol pada Anak > 5 tahun, Remaja dan Dewasa



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI alat tingkat kontrol asma saat ini telah dikembangkan baik yang menggunakan fungsi paru sebagai salah satu komponen pengukuran kontrol maupun yang tidak, dan semuanya telah divalidasi. Salah satu diantaranya adalah Tes Kontrol Asma (TKA), yang tidak menggunakan fungsi paru, mudah pemakaiannya dan praktis karena sebagian besar dokter di negeri kita tidak menggunakan fungsi paru dalam prakteknya. TKA ini telah pula divalidasi di Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan untuk TKA beserta interpretasinya dapat dilihat pada Tabel 1 Pada sebagian besar pasien dengan intervensi obat asma dan hubungan dokter pasien yang baik tujuan di atas dapat tercapai. Pengobatan merupakan proses yang berkesinambungan. Bila dengan obat yang diberikan saat ini asma belum terkontrol, dosis atau jenis obat ditingkatkan. Seperti diketahui pada panduan penatalaksanaan asma yang baru, terdapat 5 tingkatan pengobatan asma. Bila kontrol asma dapat tercapai dan dapat dipertahankan terkontrol paling tidak selama 3 bulan maka tingkat pengobatan asma dapat dicoba untuk diturunkan. Sebaliknya bila respons pengobatan belum memadai tingkat pengobatan dinaikkan. Pada tingkat berapa pengobatan untuk mencapai kontrol dimulai, tergantung berat atau tidaknya kontrol asma. Bila dianggap ringan tingkat 2, yang agak berat tingkat 3 Tabel 1).



Pengukuran kontrol asma Pada penyakit-penyakit kronik sasaran pengobatan umumnya sudah jelas, sehingga pengobatan ditujukan kepada sasaran tersebut. Hipertensi dikatakan terkontrol bila tekanan darah 5 140190 mmHg, diabetes mellitus terkontrol bila kadar HbAlc I 6.5% atau dislipidemia dianggap terkontrol bila kadar LDL kolesterol5 100 mgl dL. Namun asma sebagai penyakit multidimensi persepsi tentang kontrol asma belum ada kesepakatan, sehingga tidak mengherankan bila sebagian besar asma tidak terkontrol. Seperti dilaporkan dari beberapa negara maju. Oleh karena itu para ahli berupaya mencari alat ukur yang diperkirakan dapat mewakili kontrol asma secara keseluruhan mulai dari pengukuran salah satu variabel sampai kepada gabungan beberapa variabel. Sejauh ini paling tidak terdapat 5 alat ukur berupa kuesioner dengan atau tanpa pemeriksaan fungsi paru, tetapi yang lazim dipakai adalah tes kontrol asma seperti terlihat pada Gambar 2. Asthma Control Test (Tes Kontrol Asma). Diperkenalkan oleh Nathan dkk yang berisi 5 pertanyaan dan masing-masing pertanyaan mempunyai skor 1 sampai 5, sehingga nilai terendah ACT adalah 5 dan tertinggi 25. Interpretasi dari skor tersebut adalah : a. bila kurang atau sama dengan 19 berarti asma tidak terkontrol, sedangkan di bawah 15 dikatakan terkontrol buruk b. 20-24 dikatakan terkontrol baik



.-



c. 25 dikatakan terkontrol total atau sempuma. ACT ini juga telah di uji coba oleh Susilawati di Poliiinik Alergi ImunologiK l i i DepartemenIlmu Penyakit Dalam, FKUI RSCM. Pengobatan dimulai sesuai dengan tahap atau tingkat beratnya asma. Bila gejala asma tidak terkendali, lanjutkan pengobatan ke tingkat berikutnya. Tetapi sebelumnya perhatikan lebih dahulu apakah teknik pengobatan, ketaatan berobat serta pengendalian lingkungan (penghindaran alergen atau faktor pencetus) telah dilaksanakan dengan baik. Setelah asma terkendali paling tidak untuk jangka waktu 3 bulan, dapat dicoba menurunkan obat-obat anti asma secara bertahap, sampai mencapai dosis minimum yang dapat mengendalikan gejala. Akhir-akhir ini dperkenalkan terapi anti IgE untuk asma alergi yang berat. Penelitian menunjukkan anti IgE dapat menurunkan berat asma, pemakaian obat anti asma, kunjungan ke gawat darurat karena serangan asma akut dan kebutuhan rawat inap.



Pengobatan asma berdasarkan sistem wilayah bagi pasien. Sistem pengobatan ini dimaksudkan untuk memudahkan pasien mengetahui perjalanan dan kronisitas asma. memantau kondisi penyakitnya. mengenal tandatanda dini serangan asma dan dapat bertindak segera mengatasi kondisi tersebut. Dengan menggunakan peak flow meter pasien diminta mengukur secara teratur setiap hari dan membandingkan nilai APE yang didapat pada waktu itu dengan nilai terbaik APE pasien atau nilai prediksi normal.



4. Merencanakan pengobatan asma akut (serangan asma) Serangan asma ditandai dengan gejala sesak napas, batuk, mengi, atau kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Derajat serangan asma bervariasi dari yang ringan sampai berat yang dapat mengancam jiwa. Serangan bisa mendadak atau bisa juga perlahan-lahan dalam jangka waktu berhari-hari. Satu ha1 yang perlu diingat bahwa serangan asma akut menunjukkan rencana pengobatan jangka panjang telah gaga1 atau pasien sedang terpajan faktor pencetus. Tujuan pengobatan serangan asma yaitu : a. Menghilangkan obstruksi saluran napas dengan segera b. Mengatasi hipoksemia c. Mengembalikan hngsi paru ke arah normal secepat mungkin d. Mencegah terjadinya serangan berikutnya e. Memberikan penyuluhan kepada r :sien dan keluarganya mengenai cara-cara me gatasi dan mencegah serangan asma Dalam penatalaksanaan serangan asma pcrlu diketahui lebih dahulu derajat beratnya serangan asma baik berdasarkan cara bicara, aktivitas, tanda-tanda fisis, nilai



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



412



ALERCI IMUNOLOCI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI sliahkan p111hsalah satu jawaban yang sesual dengan kond~s~ asma Anda Ber~kantanda s~lang( x ) Pertanyaan 1



Dalam 4 mlnggu terakh~rseberapa ser~ngpenyak~tasma mengganggu anda untuk melakukan pekerjaanseharl-har~dl kontor dl sekolah, atau dl rumah?



~ l ~ " " " ' " ' ~ (r l ~ kadang



Pertanyaan 2



Dalam 4 m~ngguterakh~rseberapa ser~nganda mengalam1 sesak napas?



Warh~i Pertanyaan 3



fehari



Dalam 4 rnlnggu terakh~rseberapa sering gejala asrna (bengek, batuk-batuk, sesak napas, nyerl dada atau rasa tertekan dl dada) menyebabkan Anda terbangun di malam hari atau leb~hawal dan b~asanya



F l1 eminggu



Pertanyaan 4



sekali



1-



sebulan



perna



I.



Daiam 4 mlnggu terakh~rseberapa Anda menggunakan obat semrotatau obatminum (tabletlslrup) untuk melegakan pernapasan?



lebih



Pertanyaan 5



pernah



sehari



seminggu



pemah



Baga~manaAnda send~r~ rnen~la~ t~ngkatkontrollkendali asma anda dalam 4 mlnggu terakh~r?



sama sekal~



Gambar 2. Tes Kontrol Asrna



APE, dan bila mungkin analisis gas darah seperti terlihar pada tabel 2. Hal lain yang juga perlu diketahui apakah pasien terlnasuk pasien asma yang berisiko tinggi untuk kematian karena asma, yaitu pasien yang : sedang memakai atau baru saja lepas dari kortikosteroid sisteniik riwayat rawat inap atau kunjungan ke unit gawat damrat karena asma dalam setahun terakhir gangguan kejiwaan atau psikososial pasien yang tidak taat mengikuti rencana pengobatan Pengobatan asma akut Prinsip pengobatan asma akut adalah memelihara saturasi oksigen yang cukup (Sa 0, 2 92%) dengan memberikan oksigen, melebarkan saluian napas dengan pemberian bronkodilator aerosol (agonis beta 2 dan Ipratropium bromida) dan mengurangi inflamasi serta mencegah



kekambuhan dengan memberikan kortikosteroid sistemik. Petnberian oksigen 1-3 literimenit, diusahakan mencapai Sa 0 , 2 92%. sehingga bila penderita telah mempunyai Sa O,> 9i% sebenarnya tidak lagi membutuhkan inhalasi oksigen. Bronkodilator khususnya agonis beta 2 hirup (kerja pendek) merupakan obat anti-asma pada serangan asma, baik dengan MDI atau nebulizer. Pada serangan asma ringan atau sedang, pemberian aerosol 2-4 kali setiap 20 menit cukup memadai untuk mengatasi scrangan. Obatobat anti-asma yang lain seperti antikolinergik hirup, teofilin, dan agonis beta 2 oral merupakan obat-obat altematif karena mula kerja yang lama serta efek sampingnya yang lebih besar. Pada serangan asma yang lebih berat, dosis agonis beta 2 hirup dapat ditlngkatkan. Sebagian peneliti menganjurkan pemberlan kombinasi Ipratropium brolnida dengan salbutamol, karena dapat mengurangi perawatan rumah sakit dan mengurangi biaya pengobatan.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Ringan



Sedang



Berat



Aktivitas



Dapat berjalan Dapat berbaring



Jalan terbatas Lebih suka duduk



Bicara Kesadaran Frekuensi napas Retraksi otot-otot bantu napas



Beberapa kalimat Mungkin terganggu Meningkat Umumnya tidak ada



Kalimat terbatas Biasanya terganggu Meningkat Kadang kala ada



Sukar berjalan Duduk membungkuk ke depan Kata demi kata Biasanya terganggu Sering > 30 kalilmenit Ada Keras



Mengi



Lemah sampai sedang



Keras



Frekuensi nadi



I20



Pulsus paradoksus



Tidak ada (< 10mmHg)



APE sesudah bronkodilator (% prediksi) PaCOz Sa02



> 80% < 45 mmHg > 95%



Mungkin ada (10- 25 mmHg) 60-80% < 45 mmHg 91-95%



Sering ada ( > 25 mmHg ) < 60% < 45 mmHg 5 tahun dan beberapa saran: Individu berisiko tinggi terjadinya infeksi pnemokok yang serius sesuai deskripsi ACIP Individu mempunyai tingkat antibodi yang cepat turun Macam vaksin : polkisakarida : 90% Efektivitas Rute : suntikan intramuskular atau sub kutan Hepatitis A. Diberikan dalam dua dosis dengan jarak 6 hingga 12 bulan pada individu berisiko terjadinya infeksi hepatitis A. (penyaji makanan) dan mereka yang menginginkan imunitas, individu yang, sering melakukan perjalanan atau bekerja di suatu negara yang mempunyai prevalensi hepatitis A tinggi, homoseksual, pengguna narkoba, pasien penyakit hati, individu yang bekerja dengan hewan primata terinfeksi Hepatitis A, peneliti virus Hepatitis A dan pasien dengan gangguan faktor pembekuan darah. Macam vaksin : antigen virus inaktif : 94-95 % Efektifitas Rute : intramuskular Hepatitis B. Kelompok individu yang mempunyai risiko terinfeksi hepatitis B diantaranya: individu terpapar darah atau produk darah dalam bekerja, klien dan staf dari institusi pendidikan cacat, pasien hemodialisis, penerima konsentrat faktor VII atau IX, rumah tangga atau kontak seksual dengan individu yang teridentifikasi HbsAg positif, individu yang berencana pergi atau tinggal di suatu tempat di mana infeksi hepatitis B sering dijumpai, pengguna obat injeksi, homoseksual/biseksual aktif, individu heteroseksual aktif dengan pasangan berganti-ganti atau baru terkena PMS, fasilitaspenampungan korban narkoba, individu etnis kepulauan pasifik, atau imigranJpengungsi baru dimana endemisitas daerah asal sangat tinggi, dapat diberikan 3 dosis dengan jadwal 0, 1 dan 6 bulan. Bila pemberian imunisasi respons baik maka tidak perlu dilakukan pemberian imunisasi penguat (booster). Macam vaksin : Antigen virus aktif Efehfitas :75-90% Rute suntikan : intramuskular Meningokok. Vaksin polisakarida tetravalen (AICNIW135) wajib diberikan pada calon jemaah haji. Vaksin ini juga dianjurkanuntuk individu defisiensi komponen faktor pembekuan darah, pasien asplenia, anatomik dan fungsional dan pelancong negara dimana terdapat penyakit meningokok (Mengitis Belt di Sub Sahara Afrika). Pertimbangkan pemberian ulang setelah 3 tahun Macam vaksin :Polisakarida inaktif Efektifitas :90% Rute suntikan : Sub kutan Varisela. Vaksin diberikan pada individu yang kontak



dekat dengan pasien yang berisiko tinggi terjadinya komplikasi (misalnya: petugas kesehatan dan keluarga yang kontak dengan individu imunokompromais). Pertimbangkan vaksinasi bagi mereka yang pekerjaannya berisiko (mis. Guru yang mengajar anak-anak, petugas kesehatan dan residen serta staf di lingkungan institusi), mahasiswa, penghuni serta staf rehabilitasi militer, perempuan usia subur yang belum hami1,dan mereka yang sering melakukan perjalanan wisata. Vaksinasi terdiri dari 2 dosis yang diberikan dengan jarak 4-8 minggu. Macam vaksin : Virus hidup dilemahkan : 86% Efektifitas Rute suntikan : Sub kutan Demam tifoid. Penggunaan vaksin ini dianjurkan pada pekerja jasa boga, wisatawan yang berkunjung ke daerah endemis. Pemberian vtifoid perlu diulang setiap 3 tahun. Macam vaksin :Antigen Vi inaktif :50-80% Efektifitas Rute suntikan : Sub kutan



Yellow fever. Vaksin ini diwajibkan oleh WHO bagi wisatawan yang berkunjung ke Afrika Selatan. Pemberian ulang dianjurkan setiap 10 tahun Macam vaksin :Virus hidup dilemahkan : tinggi Efektifitas Rute suntikan : Sub kutan Japanese ensefalitis. Pemberian vaksin dianjurkan bagi wisatawan yang akan bepergian ke daerah endemis (Asia) dan tinggal lebih dari 30 hari atau akan tinggal lama di sana, terutama jika mereka melakukan aktivitas di pedesaan. Macam vaksin :Virus inaktif : 91% Efektifitas Rute suntikan : Sub kutan Rabies. Bukan merupakan imunisasi rutin, pemberiannya dianjurkan pada individu yang berisiko tinggi tertular (dokter hewan dan petugas yang bekerja dengan hewan, pekerja laboratorium), wisatawan berkunjung ke daerah endemis yang berisiko kontak dengan hewan dan individu yang tergigit binatang tersangka rabies. :Virus yang dilemahkan Macam vaksin Efektifitas : 100% Rute penyuntikan : Intramuskular, Sub kutan



REFERENSI Ada G. Vaccines and vaccination. N Engl J Med. 2001;345:1043-53. Ada G. The immunology of vaccination. In: Plotkin SA, Orenstein WA, editors. Vaccine. 31dedition. Philadelphia: WB Saunders Company; 1999. p. 28-71. Baratawidjaja KG. Imunoprofilaksis. Imunologi dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2000. p. 226-58. Djauzi S. Imunisasi untuk orang dewasa. Siang klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIIRSUPNCM. November 2000.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Djauzi S. Manfaat imunisasi pada orang dewasa. Imunisasi dewasa. In: Djauzi Sundaru H, editor. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003. p. 3-6. Gardner P, Schafner W. Immunization of adult. N Engl J of Med. 1993;29:1252-8. Goodman JW. The immune responssse. In: Sites DP, Terr AI, editors. Basic clincal immunology. 51h edition. New Jersey: Prentice-Hall International; 1991. p. 34-44. Hyde RM. Immunization. Immunology. 31d edition. Philadelphia: William&Wilkins; 1995. p. 137-45. Johnson AG, Immunization. High yield immunology. Philadelphia: Lippincort William&Willkin; 1995. p. 137-45. Perhimpuanan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI). Konsensus imunisasi dewasa. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2003. Qureshi H, Gessner BD, Lebon Heux et al. The incidence of vaccine preventable influenza like illness and medication use among



Pakistan pilgrim to the Haj in Saudy Arabia. Vaccine. 2000; 18:2956-62. Ramkisson A, Jugnundan. Reactogenicity and immunogenicity of a single dose of a typhoid VI polysaccharide vaccine in adolescents. Biodrugs. 2001;15(Suppl.):21-6. Roitt I, Brostoff J, Male D. Vaccination. Immunology. 4Ih edition. Mosby. London;1996. p. 19; 1-9. Ryan ET, Kain KC. Health advice and immunization for travelers. N Engl J of Med. 2000;8:1716-24. Sundaru H. Rekomendasi jadwal imunisasi pada orang dewasa dalarn. Imunisasi dewasa. In: Djauzi S, Sundaru H, editor. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003. p. 145-50. Zimmerman RK, Ahwesh ER. Vaccines for persons at high risk teaching immunization for medical education (TIME) project (abstract). J Farm Pract. 2000;49:551-63.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



VASKULITIS Nanang Sukmana



PENDAHULUAN Walaupun prevalensi vaskulitis belum banyak dilaporkan, tetapi penyakit ini dapat dijumpai seiring dengan kemajuan pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan imunologi lainnya. Vaskulitis baru dicurigai bila dijumpai gejala yang tidak dapat diterangkan dengan keadaan iskemia pada kelompok usia muda dan ditemukan kelainan berbagai organ, neuritis atau adanya kelainan pada kulit. Berbagai ahli mengemukakan kriteria diagnostik vaskulitis agar penyakit tersebut mudah diketahui supaya pengobatan dapat dilakukan lebih dini. Arti kata vaskulitis sendiri adalah suatu proses inflamasi pembuluh darah. Disebut vaskulitis primer bila kumpulan gejala (sindrom) yang ditemukan tidak diketahui penyebabnya dan ini merupakan kelompok terbanyak, sedang vaskulitis sekunder penyebabnya dapat diketahui, misal oleh karena infeksi, virus, tumor, penyakit kolagen dan kerusakan pembuluh darah akibat obat, bahan kimia atau radiasi. Umumnya pembagian klinis vaskulitis primer didasarkan ukuran pembuluh darah, dan pembagian ini telah diterima oleh banyak klinis. Masalah yang muncul untuk kepastian diagnosis dapat diatasi dengan diterimanya konsensus Chapel1 Hill tahun 1994. Kehadiran konsensus ini membuka peluang bila menemukan masalah diagnostik, karena pembagian tersebut lebih lengkap. Penyakit Kawasaki, poliarteritis mikroskopik (poliangiitis mikroskopik) dan vaskulitis esensial krioglobulinemia dimasukkan dalam konsensus tersebut, dan tidak ada pada kriteria American College of Rheumatology (ARA) tahun 1990. Walaupun demikian, kriteria ARA masih dapat dipergunakan dalam upaya pendekatan diagnostik oleh karena kriteria tersebut berdasarkan pada gejala klinis, pemeriksaan jasmani, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan penunjang (angiogram), biopsi jaringan, pengobatan, dan hasil pengobatan bahkan pemeriksaan



autopsi. Kriteria ARA 1990 hanya membahas 7 (tujuh) penyakit, yaitu poliarteritis nodosa, sindrom ChurgStrauss, granulomatosa Wagener, vaskulitis hipersensitif, purpura Henoch-Schonlein, arteritis temporal dan penyakit Takayasu. Dengan diterimanya kedua konsensus tersebut terbuka peluang bagi klinis untuk mendiagnosis vaskulitis sebaik mungkin sesuai dengan sarana yang ada. Pada makalah ini akan dibahas mengenai vaskulitisprimer.



Vaskulitis adalah suatu kumpulan gejala klinis dan patologis yang ditandai adanya proses inflamasi dan nekrosis dinding pembuluh darah. Pembuluh darah yang terkena dapat arteri atau vena dengan berbagai ukuran.



Walaupun banyak pembagian mengenai vaskulitis akan tetapi klasifikasi yang banyak dianut adalah pembagian menurut Consensus Chapel Hill (1994) yang melibatkan berbagai ahli sehingga dapat diterima dari berbagai sudut pandang. Pembagian Vaskulitis Secara Umum Vaskulitis primer A. Vaskulitis pembuluh darah besar 1. Arteritis Takayasu 2. Arteritis temporal (giant cell arteritis) B. Vaskulitis pembuluh darah sedang 1. Poliarteritis nodosa (poliarteritis nodosa klasik) 2. Penyakit Kawasaki



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



C. Vaskulitis pembuluh darah kecil 1. Granulomatosis Wagener 2. Sindrom Churg-Strauss 3. Poliarteritismikroskopik 4. Purpura Henoch-Schonlein 5. Vaskulitis krioglobulinemia esensial 6. Angiitis kutaneus leukositoklastik



Vaskulitis Sekunder 1. Vaskulitis yang berhubungan dengan penyakit infeksi (endokarditis bakterial, viral, mikrobakterial clan riketsia) 2. Vaskulitis yang berhubungan dengan penyakit kolagen (lupus eritematosus sistemik, artritis, reumatoid, sindrom Sjogren's, dermatomiositis) 3. Vaskulitis oleh karena obat (drug induced vasculitis) 4. Vaskulitis yang berhubungan dengan keganasan 5. Vaskulitis yang berhubungan dengan penyakit sistemik (hepatitiskronik aktif, sirosis biliaris primer) Vaskulitis Menurut Konsensus Chapel Hill 1994 (Vaskulitis Primer) A. Vaskulitis pembuluh darah besar 1. Arteritis temporal (giant cell arteritis): Arteritis granulomatosa aorta serta cabang-cabang yang besar dengan predileksi pada cabang ekstra kranial arteri karotis. Sering mengenai arteri temporalis. Umumnya terjadi pada pasien usia lebih dari 50 tahun dan sering dihubungkan dengan polimialgia reumatika. 2. Arteritis Takayasu. Suatu proses inflamasi granulomatosa aorta dan cabang-cabang utama. Umumnya didapat pada pasien usia 10 mmHg antara kedua lengan Ditermukan bruit pada pemeriksaan auskultasi di atas kedua daerah atau salah satu arteri subklavia ataupun aorta abdominalis Ditemukan arteriogram dengan penyempitan atau penyumbatan aorta dan cabang-cabangnya



Poliarteritis Nodosa (Poliarteritis Nodosa Klasik) Suatu penyakit kompleks imun arteri muskularis dan arteriol. Penyakit ini jarang mengenai paru dan etiologinya tidak diketahui. Gejala yang dapat ditemukan ialah; artralgia, mialgia, gangguan saraf perifer, kemerahan pada kulit, nodul di kulit, nyeri abdomen, hipertensi dan gangguan pada jantung (gaga1 jantung).Untuk memudahkan pendekatan diagnosis perlu diingat ha1 sebagai berikut: 1. Vaskulitis yang mengenai pembuluh darah sedang, organ yang terkena kulit, otot, saraf perifer, lambung dan ginjal, sedang paru-paru tidak terkena. 2. Dihubungkan dengan HbsAg (kurang lebih 20%) 3. Didiagnosis ditegakkan dengan angiografi dan biopsi jaringan. Arteriografi menunjukkan adanya aneurisma atau oklusi arteri visera yang bulan disebabkan oleh arteriosklerosis atau sebab noninflamasi lainnya. Pada biopsi didapatkan adanya gambaran granulosit dan mononuklear pada dinding arteri. Penyakit Kawasaki Beberapa buku menyebutkan istilah poliarteritis infantil, karena berhubungan dengan usia yang terjadi pada anakanak. Penyakit ini jarang mengenai orang dewasa. Kriteria diagnosis: 1. Panas >S hari 2. Ditemukan 4 dari 5 keadaan ini:



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



a. Injeksi konjungtiva non-eksudatif bilateral b. Ditemukan salah satu kelainan di orofaring: Injected atau fisura di bibir Injected farings Strawberry tongue c. Satu atau lebih kelainan di ekstremitas Eritema di telapak tangan Edema di tangan atau kaki Deskuamasi periungual Eksantema polimorfi Kelenjar getah bening servikal akut non supuratif inflamasi 3. Penyakitnya tidak dapat diterangkan oleh sebab lain



Granulomatosa Wagener Suatu vaskulitis yang banyak menyerang saluran napas bagian atas dan bawah serta ginjal yang etiologinya tidak diketahui. Proses inflamasi yang terjadi dapat mengenai sistem arteri dan vena terbukti dengan ditemukannya deposit sel limfosit dan sel fagosit lainnya. Dari keadaan ini dapat disimpulkan bahwa yang bertanggung jawab pada proses di atas adalah sistem imun. Hubungan dengan ANCA (merupakan suatu keadaan kompleks imun) yang dapat merusak pembuluh darah banyak dilaporkan peneliti, walaupun pada beberapa kasus belum terbukti hubungannya. Bila mengenai ginjal akan menimbulkan glomerulonefritiskresentik.



Kriteria 1



lnflarnasi oral atau nasal



2



Foto dada abnormal



3



Sedirnen urin



4



Biopsi, adanya inflamasi



Definisi Timbulnya ulkus di mulut yang nyeri atau tidak ditemukannya sekret hidung yang purulen atau hemoragik Dapat terlihat gambaran nodul, infiltrat yang menetap atau kavitas Diketemukan mikrohematuria (>5 sel darah merahlLPB) atau kavitas lnflamasi granulornatosa ditemukan pada granulomatosa dinding arteri atau daerah perivaskularlekstravaskular



Beberapa penelitian mengemukakan bahwa granulomatosa Wagener sangat berhubungan erat dengan ANCA, sehingga pemeriksaan ini sekarang dapat dipakai sebagai pemeriksaan penapis untuk penyakit Wagener. Sindrom Churg-Strauss Keadaan yang perlu diketahui mengenai sindrom ChurgStrauss ialah: 1). Vaskulitis yang mengenai arteri dan vena pembuluh darah sedang dan dapat mengenai paru, saluran napas bagian atas, usus, susunan saraf parifer, kulit dan



ginjal; 2). Diawali gejala fase alergi (gejala asma); 3). Eosinofilia dan peninggian eosinofil di paru.



Kriteria



1.



Asrna



2.



Eosinofillia



3.



Riwayat alergi



4.



Mononeuropati



5.



lnfiltrat paru yang tidak menetap Kelainan sinus paranasal Eosinofil ekstra vaskular



6. 7.



Definisi Riwayat wheezing atau ronki kering nyaring pada ekspirasi Eosinofil > 10% hitung jenis Riwayat alergi musirn dan makanan serta kontak lainnya kecuali alergi obat Berhubungan dengan vaskulitis sistemik atau polineuropati



Biopsi arteri, arteriol atau venul menunjukkan penumpukan eosinofil ekstra vaskular



Poliarteritis Mikroskopik (Poliangiitis Mikroskopik) Poliarteritis mikroskopik (PM) adalah suatu vaskulitis sistemik yang mengenai arteriol dan kapiler dengan gejala prodromal panas, lelah dan mialgia, yaitu suatu sindrom yang menyerupai infeksi virus. Pada PM ini tidak ada hubungannya dengan infeksi. Gejala tersebut dapat berlangsung 1 bulan sebelum tanda dan gejala penuh poliarteritis mikroskopik terlihat. Kelainan akut GN kresentik dapat disebabkan oleh poliarteritis mikroskopik selain granulomatosa Wagener. Walaupun penyakit tersebut hampir serupa akan tetapi gejala di luar ginjal berbeda. Poliarteritis mikroskopik dapat menyebabkan gaga1 ginjal akut (GGA) sehingga bila menemukan gejala GGA tanpa sebab tidak jelas perlu dipikirkan PM. Perbedaan yang lain dengan granulomatosis Wagener adalah bahwa pada PM, jarang ditemukan ANCA. Penyakit ini bila tidak segera diobati akan berakibat fatal, oleh karena itu penemuan secara cepat akan memberikan prognosis yang lebih baik. Purpura Henoch-Schonlein Suatu sindrom tanpa trombositopenia, nyeri abdomen, kadang ditemukan perdarahan saluran cerna, dan kelainan ginjal. Ditemukannya kompleks imun IgA di jaringan merupakan ha1 yang patognomonik. Umumnya pasien adalah anak-anak dan kadang-kadang penyakit ini self limiting yang tidak memerlukan pengobatan. Kriteria diagnostik (ditemukan 2 dari 4 kriteria): 1. Purpura palpabel 2. Umur mulai kena kurang atau sama dengan 20 tahun 3. Bowel angina 4. Pada biopsi ditemukan granulosit pada dinding pembuluh darah (arterio maupun venul)



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Vaskulitis Krioglobulinemia Esensial Tanda dan gejala yang perlu diketahui: 1. Vaskulitis pada pembuluh darah kecil umumnya mengenai kulit, saraf parifer, sendi dan ginjal 2. Umurnnya karena infeksi Hepatitis C



Angiitis Leukositoklastik Vaskulitis yang mengenai pembuluh darah kecil ini sering juga disebut hipersensitivitas vaskulitis, oleh karena gejala lebih banyak pada daerah kulit, jarangl tidak ditemukan kelainan pada viseral. Nama lain ialah alergik vaskulitis, kutaneus sistemik vaskulitis, leukositoklastik vaskulitis atau small vessel vaskulitis. Walaupun banyak nama, akan tetapi semua sependapat bahwa kelainan hanya pada kulit saja yaitu pada biopsi akan terlihat suatu endapan (deposit) kompleks imun dengan suatu aktivasi komplemen.



Kriteria



Definisi



1. 2.



Usia saat awitan penyakit Pengobatan saat awitan penyakit



3.



Purpura palpabel



> I 6 tahun Pengobatan yang didapat yang rnungkin rnenjadi faktor persipitasi Tidak berhubungan dengan trombositopenia



4. 5.



Ruarn makulopapular Garnbaran biopsi arteriol dan venul



I



Adanya gambaran granulosit pada perivaskular dan ekstra vaskular



Pemberian steroid dalam dosis terbagi dapat dimulai bila menemukan vaskulitis, karena efek anti-inflamasi steroid dapat segera terlihat lebih cepat dibanding pemberian siklofospamid. Dosis prednison dimulai 1 mgtkg BBhari, dapat diberikan tiap 6-8 jam. Dosis permulaan diberikan antara 7-10 hari dan setelah itu dapat diberikan pagi hari sampai 2 minggu berikutnya. Pemberian ini umumnya disebut sebagai dosis induksi. Setelah dosis induksi, pemberian steroid diturunkan secara bertahap dosis 60 mg diberikan secara selang sehari untuk waktu 1-2 bulan berikutnya. Setelah itu dosis diturunkan secara perlahan sampai dosis pemeliharaan yang bergantung pada gambaran klinis. Pada keadaan khusus seperti pada penyakit granulomatosis Wagener, serta poliarteris nodosa, arteritis Takayasu dan vaskulitis susunan saraf eusat vane , " resisten terhadap steroid diberikan kombinasi dengan siklofosfamid. Umumnya pemberian siklofosfamid secara oral tiap hari yang digabung dengan steroid dosis kecil selang sehari untuk menghindari terjadinya infeksi sekunder akibat pemakaian steroid jangka lama. Lama pemberian siklofosfamid berkisar antara 18-24 bulan, sedang lama pemberian steroid tergantung kepada aktivitas penyakitnya. Pemberian pulse metilprednisolon 0,5- 1 ghari selama tiga hari berturut-turut diberikan pada permulaan pengobatan kasus-kasus yang mengancam nyawa (life threatening vasculitis syndrome) atau vaskulitis yang progresif. Intervensi pembedahan hanya dimungkinkan



9



Poliangiitis mikroskopik



I '



PRlNSlP PENGOBATAN VASKULlTlS



I



Biopsi paru atau ginjal



4 I



P - A N C A positif



Sakit perut,testicular pain.



t



claudication, bruits



Hemoptisis.kelainan urinalisis, kreatini T,kelainan foto dada Riwayat obat-obatanjnfeksi, penyakit rematlk,atau keganasan hematologi,rash,palpable purpura



I



Riwayat penyakit, pemeriksaanjasmni, DPL, kreatinin, urinali~a / I



+



-



Gambar 1. Spektrum jenis-jenis vaskulitis dan pendekatan diagnostiknya



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



Sinusitis atau gejala saluran napas, kelainan urin atau foto dada, kreatinint , c-ANCA positif I



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



pada penyakit Takayasu setelah aktivitas penyakitnya tenang, sedang pada arteritis temporal jarang dilakukan tindakan pembedahan.



REFERENSI Arend WP, Michel BA, Bloch DA, Hunder GG, Calabrese LH, et al. The American College of Rheumatology 1990. Criteria for the classification of Takayasu arteritis. Arthritis Rheum. 1990;33:1129-34. Bloch DA, Michel BA, Hunder GG, MsShane DJ, Arend WP, et al. The American College of Rheumatology. Criteria for the classification of vasculitis. Patients and methods. Arthritis Rheum. 1990;33: 1068-73. Calabrese LH, Michel BA, Bloch DA, Arend WP, Edworthy SM, et al. The American College of Rheumatology. Criteria for the classification of hypersensitivity. Arthritis Rheum. 1990;33:1114-21. Cohen MD and Conn DL. In: Ball GV, Bridges JR.SL, editors. Vasculitis. Oxford: Oxford University Press Inc; 2002. p. 228. Cupps TR. In: Stites DP, Terr AI, Parslow G, editors. Medical immunology. Stamford: Appleton & Lange; 1997. p. 513-26. Falk RJ, Jennette C. Anti-neutrophil cytoplasmic autoantibodies with specificity for myeloperoxidase in patients with systemic vasculitis and idiopathic necrotizing and crecentic glomerulonephritis. N Engl J Med. 1988;3 18:1651-7. Fries JF, Hunder GG, Bloch DA, Michel BA, Arend WP, et al. The American College of Rheumatology. Criteria for the classification of vasculitis. Summary. Arthritis Rheum. 1990;33: 1135-36. Gardner GC. Vasculitis. In: Eisenberg MS, Dugdale DC, editors. Medical diagnostics. Philadelphia: WB Saunders; 1992. p. 73846. Gay RM, Ball GV. Vasculitis. In: Koopman WJ, editor. Artritis and allied conditions. A textbook of rheumatology. Baltimore,



Maryland: William & Wilkins; 1997. p. 1491-517. Griffith ME, Coulthart A, Pusey CD. T cell responses to myeloperoxidase (MPO) and proteinase 3 (PR 3) in patients with systemic vasculitis. Clin Exp Immunol. 1996;103:253-58. Gross WL, Csemok E. Immunodiagnostic and pathophysiologic aspects of antineutrophil cytoplasmic antibodies in vasculitis. Current Opinion Rheumatol. 1995;7: 1 1-9. Hunder GG, Lie JT, Goronzy JJ, Weyand CM. Pathogenesis of giant cell arteritis. Arthritis Rheum. 1993;36:757-61. Hunder GG, Bloch DA, Michel BA, Stevens MB, Arend WP, et al. The American College of Rheumatology 1990. Criteria for the classification of giant cell arteritis. Arthritis Rheum. 1990;33:1122-8. Jennette JC, Falk RJ, Andrassy K, Bacon PA, Chwg J, Gross WI, et al. Nomenclature of systemic vasculitides. Proposal of an international consensus conference. Arthritis Rheum. 1994;37: 187-92. Kallenberg CGM, Mulder AHL, Tervaert JWC. Antineutrophil cytoplasmic antibodies in inflamatory disorder. Am J Med. 1992;93:675-80. Lighfoot RW, Michel BA, Bloch DA, Hunder GG, Zvaifler NJ, et al. The American College of Rheumatology 1990. Criteria for the classification of polyarteritis nodosa. Arthritis Rheum. 1990;33: 1088-93. Maaten JC, Franssen CFM, gans ROB, Strack van Schijndel RJM, et al. Respiratory failure in ANCA associated vasculitis. Chest. 1996;110:357-62. Masi AT, Hunder GG, Lie JT, Michel BA, Bloch DA, Arend WP, et al. The American College of Rheumatology. Criteria for the classification of Churg-Strauss syndrome (allergic granulomatosis and angiitis). Arthritis Rheum. 1990;33:1094-100. Mills JA, Michel BA, Bloch DA, Calabrese LH, Hunder GG, et al. The American College of Rheumatology. Criteria for the classification of Henoch-Schanlein purpura. Arthritis Rheum. 1990;33:1114-21. Pall AA. Savage COS. In: Savage COS, Pearson JD, editor. Immunological aspects of the vascular endothelium. Cambridge: Cambridge University Press; 1995. p. 173-90. Puett DW. Vasculitis. Bull Rheum Dis. 1996;348:4-7.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PENDEKATAN KLINIS PENYAKIT GASTROINTESTINAL Dharmika Djojoningrat /--.



@rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual,



PENDAHULUAN Keluhan pada pasien gastrointestinal (GI) dapat berkaitan dengan gangguan lokallintra lumen saluran cerna (misalnya adanya ulkus duodeni, gastritis, dan sebagainya) atau dapat pula disebabkan oleh penyakit sistemik (misalnya diabetes melitus). Diperlukan anamnesis yang teliti, akurat dan bertahap untuk memformulasikan gangguan yang terjadi sehingga bila dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik, kita dapat merencanakan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Terdapat beberapa gejald kumpulan gejalalkeluhan yang karakteristik untuk penyakit GI yang dikemukakan oleh pasien dan perlu diperoleh persepsi yang sama oleh dokter yang memeriksanya. Untuk itu diperlukan teknik anamnesis yang baik. Sakit perut yang dikeluhkan oleh pasien hams dijabarkan dan diinterpretasikan dengan baik agar diperoleh data apakah sakit perut tersebut merupakan nyeri epigastrik, kolik bilier, kolik usus atau suatu nyeri akibat rangsang peritoneal. Tidak jarang pula suatu keluhan tertentu diekspresikan secara berbeda-beda, terutama dalam istilah, tergantung pada latar belakang pendidikan, sosial, budaya pasien. Dalam makalah ini akan diajukan beberapa keluhanlgejala awal yang merupakan masalah pokok utama penyakit GI dan prakiraan penyakit yang mendasarinya (rinciannya akan lebih jelas pada masing-masing topik penyakit dasarnya).



Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrbm atau kumpulan gejald keluhan yang terdiri dari _C



--



muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuhl b&a&~eluhanini tidak perlu selalu semua a d m t i a p pasien, dan bahkan pada satu pasien pun keluhan dapat berganti atau bervariasi baik d-nsi keluh kualitas5ijGa. Terdapat berbagaixMinisi Salah satunya yang dapat dipakai adalah dyspesia refers k to pain or discomfort centered in t Delinisi ini berdasarkan kriteria Roma I1 tahu 1999-2000. -Jadi dispepsia bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan suatu sindrom yang hams dicari penyebabnya. \



"p



Etiologi D i s ~ & Gangguan atau penyakit dalam tukak gasterlduodenum, Helicobacter pylori. ~ba>obatan: anti inflamasi non steroid &!l.NS), aspi-erapa jenis antibiotik, digitalis, teofilin dsb. &nyakit pada hati, pankreas, sistem bilier: hepatitis, p a n k r c stitis kronik. Pe akit sistemi : d i a m e n y a k i t tiroid, penya i jantun koroner. Bersifa@g*tu dispepsia yang terdapat pads kasus y a a a k terbukti adanya Ee~aina~gangguanorganik/struktudA%ckimia. Tipe ini dikenal sebagai dispepsia fungsional atau dispepsia non ulkus.



-



Pendekatan Diagnostik Anamnesis yang akurat untuk memperoleh gambaran keluhan yang terjadi, karakteristik keterkaitan dengan penyakit tertentu, keluhan bersifat lokal atau manifestasi gangguan sistemik. Harus terjadi persepsi yang sama untuk menginterpretasikan keluhan tersebut antara



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



c



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



dokter dan pasien yang dihadapinya. Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra abdomen atau intra lumen yang padat (misalnya tumor), organomegali, atau nyeri tekan yang sesuai dengan adanya rangsang peritoneaVperitonitis. Laboratorium: untuk mengidentifikasi adanya faktor infeksi (lekositosis), keganasan saluran cem Ultrasonografi:untuk intri?GEEmen, misalnya adanya batu kandung empedu, kolesistitis, siresis hati dsb. Endoskopi (esofagogastroduodenoskopi): pemeriksaan ini sangat d i a n i i a n unm-anTila dispepsia tersebut disertai oleh keadaan yang disebut alarm symptoms yaitu adanya penurunan berat badan, anemia, muntah hebat dengan dugaan adanya obstruksi, muntah darah, melena, atau keluhan sudah berlangsung lama dan terjadi pada usia lebih dari 45 tahun. Keadaan ini sangat mengarah pada gangguan organik, terutama keganasan, sehingga memerlukan eksplorasi diagnosis secepatnya. Teknik pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi dengan akurat adanya kelainan strukturallorganik intra lumen saluran cema bagian atas seperti adanya tukaklulkus, tumor dsb, serta dapat disertai pengambilan contoh jaringan (biopsi) dari jaringan yang dicurigai untuk memperoleh gambaran histopatologiknya atau untuk keperluan lain seperti mengidentifikasi adanya kuman Helicobacter pylori. Radiologi (dalam ha1 ini pemeriksaan barium meal): Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi kelainan struktural dindinglmukosa saluran cema bagian atas seperti adanya tukak atau gambaran ke arah tumor. Pemenksaan ini terutama bermanfaat pada kelainan yang bersifat penyempitadstenotiWobstruktifdimana skop endoskopi tidak dapat melewatinya.



DlSFAGlA



Etiologi Disfagia Fase orofaringeal:Penyakit serebrovaskular, miastenia gravis, kelainan muskular, tumor, divertikulum Zenker, gangguan motilitaslsfingter esofagus atas. Fase esofageal: Inflamasi, stnktur esofagus,tumor, ring/ web, penekanan dari luar esofagus, akalasia, spasme esofagus difus, skleroderma. Pendekatan Diagnostik Esofagogamkopi. Barium meal (esofago esofagus.



.



1



Anamnesis dan pemeriksaan fisik



4



I



I



Terduga fase oro faringeal Terduga fase esofageal



I



Gagal



'



1



1



Alarm symptoms (anemia, penurunan berat badan, hematemesis, melena dsb)



t



c



/



Dgdiiga-adalah sensasi gangg n pasase makanan dari mulut ke lambung. Pasien menge uisulit menelan atau makanan terasa mengganjal di leherldada atau makanan terasa tidak turun ke lambung. Hams dibedakan dengan odinofagia (rasa sakit waktu menelan). Daidapat disebabkan oleh gangguan pad? masingmasing fase menelan yaitu pada fase orofaringeal dan fase e f a g e a l . Keluhan disfagia pada fase orofaringeal berupa keluhan adanya regurgitasi ke hidung, terbatuk waktu berusaha menelan atau sulit untuk mulai menelan. Sedangkan disfagia fase esofageal, pasien mampu menelan tapi terasa bahwa yang ditelan terasa tetap mengganjal atau tidak mau turun serta sering disertai nyeri retrostemal. Disfagia yang pada awalnya terutama terjadi pada waktu menelan makanan padat dan secara progresif kemudian terjadi pula pada makanan cair, diperkirakan bahwa penyebabnya adalah kelainan mekanik atau struktural. Sedangkan bila gabungan makanan padat dan cair diperkirakan penyebabnya adalah adalah gangguan neuro muskular. Bila keluhan bersifat progresif bertambah berat, sangat dicurigai adanya proses keganasan.



4



4



4



Barium meal



(+)



4



I



Barium meal



4



4



4



AbnormalNormal



Abnormal Normal



Endoskopi atas + biopsi Fluoroskopi



Manometri



teridentifikasi



vdefinitif 1



I



I



Dispepsia fungsional I I Garnbar 1. Alur tatalaksana ringkas diagnosis pada kasus dispepsia



Garnbar 2. Alur tatalaksana ringkas diagnostik pada kasus disfagia Catatan: Dapat pula dirnulai dari eksplorasi endoskopi, dan bila terdapat proses penyempitan (rnisalnya pada akalasia, striktura dll) dirnana skop tidak dapat lewat, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan barium meal.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENDEKATAN KLINIS PENYAKITGASTROEN'IER0UX;I



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



MUAL DAN MUNTAH



Pada umumnya keluhan ini merupakan bagian dari sindroma dispepsia. Muntah dapat dirangsang melalui (disertai etiologinya): Serabut aferen Vagus dari lapisan viseral GI (sindrom reseptor 5-HT3), misalnya muntah akibat rangsang peritoneum atau peritonitis, kolik bilier atau distensi gastrointestinal. Sistem vestibuler yang dirangsang oleh posisi atau infeksi vestibulum (reseptor histamin H1 dan muskarinik). Susunan saraf pusat, misalnya rangsangan penciuman, penglihatan dan emosi. Chemoreceptor trigger zone pada area postrema medulla (reseptor serotonin 5-HT3 dan dopamin D3): muntah akibat obat kemoterapi, toksin, hipoksia, uremia, asidosis, dan pengobatan radiasi.



Etiologi Obat-obatan: OAINS, digoksin, eritromisin. Gangguan susunan saraf pusat: Tumor, perdarahan intra kranial, infeksi, motion sickness, gangguan psikiatrik, gangguan labirin. Gangguan gastrointestinal dan peritoneal: gastric outlet obstruction, obstruksi usus halus, gastroparesis, pankreatitis, kolesistitis, hepatitis akut. Gangguan metabolik endokrin: uremia, ketoasidosis diabetik, penyakit tiroid. Pendekatan Diagnostik Setiap kasus muntah hams dinilai keadaan sistemik yang menyertainya (uremia, kehamilan, status nutrisi, diabetes melitus) serta adanya gangguan aspek neurologi (vertigo, parestesia, nyeri kepala yang hebat, rasa lemas yang mencolok). Muntah yang disertai nyeri perut yang hebat hams diwaspadai adanya rangsang peritoneum, obstruksi intestinal akut atau penyakit pankreatobilier. Korelasi dengan waktu makan juga dapat menuntun ke arah penyebabnya (psikogenik, gastroparesis, tukak peptik yang menimbulkan obstruksi, akalasia). Anamnesis dan pemeriksaan fisik



1



Skrining laboratorium



' I'



Terduga metabolik



\r Dehidrasi+



Terapi



I



Terduga inflamasi intra abdomen Terduga obstruksi Terduga penyakit neurologik



Gambar 3. Alur tatalaksana ringkas diagnostik pada kasus mual muntah



Laboratorium: biasanya merupakan dampak muntah atau menggambarkan penyakit sistemik dasarnya. Aspirasi melalui selang nasogastrik yang meperlihatkan banyak residu lambung, membawa kita berpikir akan adanya obstruksi (baik organik maupun fungsional). Esofagogastroskopi. Bariummeal . Pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab dasarnya.



PERDARAHANSALURAN CERNA Perdarahan saluran cerna dapat bermanifestasi klinis mulai dari yang seolah ringan, misalnya perdarahan tersamar sampai pada keadaan yang mengancam hidup. Hematemesis adalah mutah darah segar (merah segar) atau hematin (hitam seperti kopi) yang merupakan indikasi adanya perdarahan saluran cerna bagian atas atau proksimal ligamenturn Treitz. Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA), terutama dari duodenum dapat pula bermanifes dalam bentuk keluarnya darah segar per anum bila perdarahannya banyak. Melena (feses benvarna hitam) biasanya berasal dari perdarahan SCBA, walaupun perdarahan usus halus dan bagian proksimal kolon dapat juga bermanifes dalam bentuk melena. Hematokezia (darah segar keluar per anum) biasanya berasal dari perdarahan saluran cerna bagian bawah (kolon). Maroon stools (feses benvarna merah hati) dapat berasal dari perdarahan kolon f bagian proksimal (ileo-caecal).



Etiologi Perdarahan Saluran Cerna Saluran cerna bagian atas: pecahnya varises esofagus (tersering di Indonesia, lebih kurang 70-75 %), perdarahan tukak peptik, gastritis erosiva (terutama akibat OAINS), gastropati hipertensi portal, esofagitis, tumor, angiodisplasia. Saluran cerna bagian bawah: kolitis (infeksi, radiasi, ikemik), tumor, divertlkulosis,inflammatoryBowel Disease, hemoroid.



Pendekatan Diagnostik Endoskopi(esofagogastroduodenoskopi, kolonoskopi), radiologi (skintigrafi, angiografi). catatan: lihat alur tatalaksana perdarahan saluran cerna.



Diare adalah meningkatnya frekuensi buang air besar dan konsistensi feses menjadi cair. Secara praktis dikatakan diare bila frekuensi buang air besar lebih dari tiga kali sehari dengan konsistensi cair. Diare dapat digolongkan diare



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



akut atau bila telah berlangsung lebih dari 2 minggu dikategorikan sebagai diare kronik. DlARE AKUT



Etiologi Virus, protozoa; Giardia lambdia, Entamoeba hystolitica, bakteri: yang meproduksi enterotoksin (S aureus, C perfringens, E coli, V cholera, C difficile) dan yang menimbulkan inflamasi mukosa usus (Shigella, Salmonella sp, Yersinia), iskemia intestinal, inflammatory Bowel Disease (acute on chronic), kolitis radiasi. Pendekatan Diagnostik Pada umumnya diare akut disebabkan infeksi atau toksin bakteri. Adanya riwayat makan makanan tertentu (terutama makanan siap santap) dan adanya keadaan yang sarna pada orang lain, sangat mungkin merupakan keracunan makanan yang disebabkan toksin bakteri. Travellers diarrhea merupakan kejadian diare pada wisatawan. Adanya riwayat pemakaian antibiotika yang lama, harus dipikirkan kemungkinan diare karena C dzficile. Diare yang terjadi tanpa kerusakan mukosa usus (noninflamatorik) dan disebabkan oleh toksin bakteri (terutama E coli), biasanya mempunyai gejala feses benar-benar cair, tidak ada darah, nyeri perut terutama daerah umbilikus (karena kelainan terutama di daerah usus halus), kembung , mual dan muntah. Bila muntahnya sangat mencolok, biasanya disebabkan oleh virus atau S aureus dalam bentuk keracunan makanan. Bila diare dalam bentuk bercampur darah, lendir dan disertai demam, biasanya disebabkan oleh kerusakan mukosa usus yang ditimbulkan oleh invasi Shigella, salmonella atau amuba. Daerah yang terkena adalah kolon. Pada umurnnya diare akut bersifat sembuh sendiri dalam 5 hari dengan pengobatan sederhana yang disertai rehidrasi. DlARE KRONIK Etiologi Umumnya etiologi diare kronik dapat dikelompokkan dalam 6 kategori patogenesis terjadinya. Diare osmotik: disebabkan oleh osmolaritas intra lumen usus lebih tinggi dibandingkan osmolaritas serum. Hal ini terjadi pada intoleransi laktosa, obat laksatif (laktulosa, magnesium sulfat), obat (antasida).



Diare sekretorik: terjadinya sekresi intestinal yang berlebihan dan berkurangnya absorpsi menimbulkan diare yang cair dan banyak. Pada umumnya disebabkan oleh tumor endoskrin, malabsorpsi garam empedu, laksatif katartik. Diare karena gangguan motilitas:ha1 ini disebabkan oleh transit usus yang cepat atau justru karena terjadinya stasis yang menimbulkan perkembangan berlebih bakteri intralumen usus. Penyebab yang klasik adalah irritable bowel sindrome. Diare inflamatorik: disebabkan oleh faktor inflamasi seperti Inflammatory Bowel Disease. Malabsorpsi: pada umumnya disebabkan oleh penyakit usus halus, reseksi sebagian usus, obstruksi limfatik, defisiensi enzim pankreas, dan pertumbuhan bakteri yang berlebihan. Infeksi kronik: Seperti G lamblia, Ehystolitica, nematoda usus, atau pada keadaan immuno- compromized.



Pendekatan Diagnostik Bila dengan puasa diare berkurang, biasanya disebabkan diare osmotik. Adanya penurunan berat badan yang bermakna, hams diwaspadai kemungkinan suatu keganasan saluran cema (terutama tumor kolon). Anamnesis yang akurat pada umumnya akan mendekatkan kita pada kemungkinan patogenesisnya. Pemeriksaan feses: mulai dari kemunglanantelur cacing, parasit, lekosit feses (infeksi) sampai analisis lemak feses 24 jam, osmolalitas feses dan test pemakaian laksatif. Pemeriksaan darah: elektrolit (kemungkinan adanya hipokalemia, hiponatremia), adanya anemia karena malabsorpsi (vitamin B12, folat dan zat besi), adanya hipoalbuminemia (malabsorpsi, inflamasi, kehilangan protein pada enteropati). Untuk kelainan yang spesifik misalnya VIP serum (Vipoma), gastrin (untuk penyakit Zollinger Ellison), 5-HIAA urin (untuk tumor karsinoid). Kolonoskopi dan biopsi.



Konstipasi adalah persepsi gangguan buang air besar berupa berkurangnya frekuensi buang air besar, sensasi tidak puasllampiasnya buang air besar, terdapat rasa sakit, perlu ekstra mengejan atau feses yang keras. Disepakati bahwa buang air besar yang normal frekuensinya adalah 3 kali sehari sampai 3 hari sekali. Dalam praktek sehari-hari dikatakan konstipasi bila buang air besar kurang dari 3 kali seminggu atau lebih dari 3 hari tidak buang air besar atau dalam buang air besar diperlukan mengejan secara berlebihan.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Etiologi Pola hidup; diet rendah serat, kurang minum, kebiasaan buang besar yang tidak teratur, kurang olah raga. Obat-obatan : antikolinergik, penyekat kalsium, alumunium hidroksida, suplemen besi dan kalsium, opiat (kodein, morfin). Kelainan struktural kolon: tumor, striktur, hemoroid, abses perineum, megakolon. Penyakit sistemik: hipotiroidisme, gaga1 ginjal kronik, diabetes melitus. Penyakit neurologik: hirschprung, lesi medula spinalis, neuropati otonom. Disfungsi otot dinding dasar pelvis. Idiopatik transit kolon yang lambat, pseudo obstruksi kronik. Irritable Bowel Syndrome tipe konstipasi. Pendekatan Diagnostik Anamnesis yang akurat untuk mendeteksi adanya penurunan berat badan, perdarahan saluran cerna, riwayat kanker dalam keluarga, pola buang besar sebelumnya. Pemeriksaan fisik untuk menilai keadaan sistemik dan lokal, terutama tanda adanya masa intra abdomen, peristaltik usus dan tidak boleh dilupakan adalah colok dubur. Data laboratorium penunjang terutama untuk menyinglurkankelainan sistemik. Kolonoskopi. Barium enema. Pemeriksaan transit kolon. Manometri anorektal.



NYERl PERUT Nyeri perut dapat merupakan variasi kondisi dari yang bersifat sangat ringan sampai yang bersifat fatal. Dapat berasal dari nyeri viseral abdomen akibat rangsang mekanik (seperti regangan, spasme) atau kimiawi (seperti iflamasi, iskemia). Nyeri viseral bersifat tumpul, rasa terbakar dan samar batas lokasinya. Sedangkan nyeri peritoneum parietal lebih bersifat tajam dan lokasinya lebih jelas. Ujung saraf nyeri pada organ seperti hati dan ginjal terbatas pada kapsulanya,jadi rasa nyeri tirnbul bila ada regangan karena pembesaran organ. Referred pain dapat dijelaskan pada keadaan dimana serat nyeri viseral dan serat somatik berada pada satu tinggkat di susunan saraf spinal. Etiologi Inflamasi peritoneum parietal: perforasi, peritonitis, apendisitis, divertikulitis,pankreatitis, kolesistitis. Kelainan mukosa viseral: tukak peptik, injlammatory bowel disease, kolitis infeksi, esofagitis.



Obstruksi viseral: ileus obstruksi,kolik bilier atau renal karena batu. Regangan kapsula organ: hepatitis, kista ovarium, pieloneftitis. Gangguan vaskular: iskemia atau infark intestinal. Gangguan motilitas: irritable bowel syndrome, dispepsia fungsional. Ekstra abdominal: herpes, traumamuskuloskletal, infark miokard dan paru. Pendekatan Diagnostik Berdasarkan lokasi nyeri: Lokasi nyeri Dugaan sumber nyeri Epigastrium Gaster, pankreas ,duodenum Periumbilikus Usus halus, duodenum Kuadran kanan atas Hati, duodenum, kandung empedu Pankreas, limpa, gaster, kolon, Kuadran kiri atas ginjal Kualitas nyeri: perlu diketahui kualitas rasa nyeri tersebut. Hal ini tidak mudah, terutama di Indonesia, dimana ekspresi bahasa tidak sama untuk menggambarkan rasa nyeri. Pada dasarnya harus dibedakan rasa nyeri kolik seperti pada obstruksi intestinal dan bilier, rasa nyeri yang bersifat tumpul seperti pada batu ginjal, rasa seperti diremas pada kolesistitis, rasa panas seperti pada esofagitis, dan apendisitis tidak jarang menimbulkan rasa nyeri tumpul dan menetap. Intensitas nyeri: pada kadaan akut, intensitas nyeri dapat diurut berdasarkan intensitas nyeri yang paling hebat sarnpai ke relatif ringan sebagai berikut; perforasi ulkus, pankreatitis akut, kolik ginjal , ileus obstruksi, kolesistitis, apendisitis,tukak peptik, gastroenteritis dan esofagitis. Sedangkan nyeri kronik lebih sulit menentukannya karena banyak faktor psikologis yang turut berperan. Faktor yang mencetuskan dan faktor yang meringankan nyeri: nyeri perut yang dapat diringankan dengan minum antasid dapat diperkirakan menderita tukak peptik (terutama tukak duodenum). Nyeri pada penyakit pankreas sering terjadi setelah makan, dan juga pada ikemia intestinal. Pada penyakit kolon, rasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Harus juga ditelusuri gejala sistemik lain yang menyertainya. Pemeriksaan penunjang berupa laboratorium,radiologi, dan endoskopi sesuai indikasi penyakit yang diduga mendasarinya.



PENUTUP Dalam bidang gastroenterologi, anamnesis yang baik akan sangat mendekatkan kita pada dugaan penyakit yang



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI mendasarinya sehingga perencanaan pemeriksaan penunjang dapat lebih efektif dan hemat biaya.



REFERENSI Yamada T. (eds) Textbook of Gastroenterology. Lippincott-Raven Publishers, Philadelphia.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PENGELOLAAN PERDARAHAN S-ILURAN CERNA--AS g Pangestu Adi a l a h Perdarahan saluran cerna bagian atao (SCBA) perdarahan saluran makanan proksimal i ' mentum Treitz. Untuk keperluan klinik dibedakan perdarahan varises esofagus dan non-varises, karena antara keduanya terdapat ketidaksamaan dalam pengelolaan dan prognosisnya. Manifestasi klinik perdarahan saluran cerna bisa beragam tergantung lama, bagian atas (&A) sedikitnya darah yang hilang, dan kecepatan, ba apakah perdarahan berlangsung terus menerus atau tidak. Kemungkinan pasien datang dengan' 1). anemia defisiensi besi akibat perdarahan tersembunyi yang berlangsung lama, 2). hematemesis dan atau melena disertai atau tanpa anemia, dengan atau tanpa gangguan hemodinamik; derajat hipovolemi menentukan tingkat kegawatan pasien. Penyebab perdarahan SCBA yang sering dilaporkan adalah pecahnya varises esofagus, gastritis erosif, tukak peptik, gastropati kongestif, sindroma Malloly- Weiss, dan keganasan. Perbedaan di antara laporan-laporanpenyebab perdarahan SCBA terletak pada urutan penyebab tersebut. Pengelolaan dasar pasien perdarahan saluran cerna sama seperti perdarahan pada umumnya, yakni meliputi pemeriksaan awal, resusitasi, diagnosis, dan terapi. Tujuan pokoknya adalah mempertahankan stabilitas hemodinamik, menghentikan perdarahan, dan mencegah perdarahan ulang. Konsensus Nasional PGI-PEGI-PPHI menetapkan bahwa pemeriksaan awal dan resusitasi pada kasus perdarahan wajib dan hams bisa dikerjakan pada setiap lini pelayanan kesehatan masyarakat sebelum dirujuk ke pusat layanan yang lebih tinggi. Adapun langkah-langkah praktis pengelolaan perdarahan SCBA adalah sebagai berikut: 1). pemeriksaan awal, penekanan pada evaluasi status hemodinamik; 2). resusitasi, terutama untuk stabilisasi hemodinamik; 3).



&



melanjutkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lain yang diperlukan; 4). memastikan perdarahan saluran cerna bagian atas atau bagian bawah; 5). menegakkan diagnosis pasti penyebab pedarahan; 6). terapi untuk menghentikan perdarahan, penyembuhan penyebab perdarahan, mencegah perdarahan ulang. Tegaknya diagnosis penyebab perdarahan sangat menentukan langkah terapi yang diambil.



PEMERIKSAAN AWAL PADA PERDARAHAN SALURAN CERNA Langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran makanan adalah menentukan beratnya perdarahan dengan memfokuskan pada status hemodinamik. Pemeriksaannya meliputi : 1). tekanan darah dan nadi posisi baring, 2). perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi, 3). ada tidaknya vasokonstriksiperifer (akral dingin), 4). kelayakan napas, 5). tingkat kesadaran, 6). produksi urin. Perdarahan akut dalamjumlah besar melebihi 20% volume intravaskular akan mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan tanda-tanda sebagai berikut : 1). hipotensi (< 90160 mm Hg atau MAP < 70 mmHg) dengan frekuensi nadi > 100lmenit; 2). tekanan diastolik ortostatik turun > 10 mm Hg atau sistolik turun > 20 mm Hg; 3). frekuensi nadi ortostatik meningkat > 151 menit; 4). akral dingin; 5). kesadaran menurun; 6). anuria atau oliguria (produksi urin < 30 mlljam). Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai kondisi hemodinamik tidak stabil ialah bila ditemukan : 1). hematemesis, 2). hematokesia (berak darah segar), 3). darah segar pada aspirasi pipa nasogastrik dan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dengan lavase tidak segera jernih, 4). hipotensi persisten, 5). dalarn 24 jam menghabiskan tranfusi darah melebihi 8001000rnl.



STABlLlSASl HEMODlNAMlKPADA PERDARAHAN SALURAN CERNA Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan infus cairan kristaloid (misalnya cairan garam fisiologis dengan tetesan cepat menggunakan dua jarum berdiameter besar (minimal 16 G) dan pasang monitor CVP (central venouspressure); tujuannya memulihkan tanda-tanda vital dan mempertahankan tetap stabil. Biasanya tidak sampai memerlukan cairan koloid (misalnya dekstran) kecuali pada kondisi hipoalbuminemia berat. Secepatnya kirim pemeriksaan darah untuk menentukan golongan darah, kadar hemoglobin, hematokrit, trombosit, lekosit.Adanya kecurigaan diatesis hemoragik perlu ditindaklanjuti dengan melakukan tes Rumpel-Leede, pemeriksaan waktu perdarahan, waktu pembekuan, retraksi bekuan darah, PPT, dan aPTT. Kapan transfusi darah diberikan sifatnya sangat individual, tergantung jumlah darah yang hilang, perdarahan masih aktif atau sudah berhenti, lamanya perdarahan berlangsung, dan akibat klinik perdarahan tersebut. Pemberian transfusi darah pada perdarahan saluran cerna dipertimbangkan pada keadaan berikut ini: I). Perdarahan dalam kondisi hemodinamik tidak stabil, 2).Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1 liter atau lebih, 3).Perdarahanbaru atau masih berlangsung dengan hemoglobin < 10 g% atau hematokrit < 30%. 4). Terdapat tanda-tanda oksigenasi jaringan yang menurun. Perlu dipahami bahwa nilai hematokrit untuk memperkirakan jumlah perdarahan kurang akurat bila perdarahan sedang atau baru berlangsung. Proses hemodilusi dari cairan ekstravaskular selesai 24 - 72 jam setelah onset perdarahan. Target pencapaian hematokrit setelah tranfusi darah tergantung kasus yang dihadapi, untuk usia muda dengan kondisi sehat cukup 20-25%, usia lanjut 30%, sedangkan pada hipertensi portal jangan melebihi 27-28%.



PEMERIKSAANLANJUTAN Sambil melakukan upaya mempertahankan stabilitas hemodinamik lengkapi anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan-pemeriksaan lain yang diperlukan. Dalam anamnesis yang perlu ditekankan : I). Sejak kapan terjadinya perdarahan dan berapa perkiraan darah yang keluar, 2). Riwayat perdarahan sebelumnya, 3). Riwayat perdarahan dalam keluarga, 4). Ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain, 5). Penggunaan obatobatan terutama anti inflammasi non-steroid dan anti



koagulan, 6). Kebiasaan minum alkohol, 7). Mencari kemungkinan adanya penyakit hati kronik, demam berdarah, demam tifoid, gaga1 ginjal kronik, diabetes melitus, hipertensi, alergi obat-obatan, 8). Riwayat transhsi sebelumnya. Pemeriksaan fisis yang perlu diperhatikan : 1). Stigmata penyakit hati kronik, 2). Suhu badan dan perdarahan di tempat lain, 3). Tanda-tanda kulit dan mukosa penyakit sistematik yang bisa disertai perdarahan saluran makanan, misalnya pigmentasi mukokutaneus pada sindrom Peutz-Jegher. Kelengkapan pemeriksaan yang perlu diperhatikan : 1). Elektro kardiogram; terutama pasien berusia > 40 tahun, 2).BUN, kreatinin serum; pada perdarahan SCBA pemecahan darah oleh kuman usus akan mengakibatkan kenaikan BUN, sedangkan kreatinin serum tetap normal atau sedikit meningkat, 3). Elektrolit (Na, K, Cl); perubahan elektrolit bisa terjadi karena perdarahan, transfusi, atau kumbah lambung, 4). Pemerikscan lainnya tergantung macam kasus yang dihadapi.



MEMBEDAKAN PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIANATAS ATAU BAWAH Cara praktis membedakan perdarahan saluran cema bagian atas (SCBA) atau saluran cerna bagian bawah (SCBB) terdapat dalam Tabel 1.



Perdarahan SCBA Manifestasi klinik pada umumnya Aspirasi nasogastrik Rasio (BUNlkreatinin) Auskultasi usus



Hematemesis dan 1 melena Berdarah Meningkat > 35 Hi~erakti~



Perdarahan SCBB Hematokesia Jernih < 35 Normal



Seorang pasien yang datang dengan keluhan hematemesis, muntahan seperti kopi karena berubahnya darah oleh asam lambung, hampir pasti perdarahannya berasal dari SCBA. Timbul melena, berak hitam lengket dengan bau busuk, bila perdarahannya berlangsung sekaligus sejumlah 50 - 100 mlatau lebih. Untuk lebih memastikan keterangan melena yang diperoleh dari anamnesis, dapat dilakukan pemeriksaan digital rektum. Perdarahan SCBA dengan manifestasi hematokezia (berak darah segar) dimungkinkan bila perdarahannya cepat dan banyak melebihi 1000ml dan disertai kondisi hemodinamik yang tidak stabil atau syok. Pada semua kasus perdarahan saluran makanan disarankan untuk pemasangan pipa nasogastrik, kecuali pada perdarahan kronik dengan hemodinamik stabil atau yang sudah jelas perdarahan SCBB. Pada perdarahan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENCELOLAAN PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATA



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI SCBA akan keluar cairan seperti kopi atau cairan darah segar sebagai tanda bahwa perdarahan masih aktif. Selanjutnya dilakukan kumbah lambung dengan air suhu kamar. Sekiranya sejak awal tidak ditemukan darah pada cairan aspirasi, dianjurkan pipa nasogastrik tetap terpasang sampai 12 atau 24 jam. Bila selama kurun waktu tersebut hanya ditemukan cairan empedu dapat dianggap bukan perdarahan SCBA. Perbandingan BUN dan kreatinin serum juga dapat dipakai untuk memperkirakan asal perdarahan, nilai puncak biasanya dicapai dalam 24 - 48 jam sejak terjadinya perdarahan, normal perbandingnya 20, di atas 35 kemungkinan perdarahan berasal dari SCBA, di bawah 35 kemungkinan perdarahan SCBB. Pada kasus yang masih sulit untuk menentukan asal perdarahannya, langkah pemeriksaan selanjutnya ialah endoskopi SCBA.



DIAGNOSIS PENYEBAB PERDARAHANSALURAN CERNA BAGIANATAS Dari 1673kasus perdarahan SCBA di SMF Penyakit Dalam RSU dr. Sutomo Surabaya, penyebabnya 76,9% pecahnya varises esofagus, 19,2% gastritis erosif, 1,0%tukak peptik, 0,6% kanker lambung, dan 2,6% karena sebab-sebab lain. Laporan dari RS Pemerintah di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta urutan 3 penyebab terbanyak perdarahan SCBA sama dengan di RSU dr. Sutomo Surabaya. Sedangkan laporan dari RS Pemerintah di Ujung Pandang menyebutkan tukak peptik menempati urutan pertama penyebab perdarahan SCBA. Laporan kasus di rumah swasta yakni RS Darmo Surabaya perdarahan karena tukak peptik 5 1,2%, gastritis erosif 11,7%, varises esofagus 10,9%,keganasan 9,8%, esofagitis 5,3%, sindrom MalloryWeiss 1,4%, tidak diketahui 7%, dan penyebab-penyebab lain 2,7% Di negara barat tukak peptik berada di urutan pertama penyebab perdarahan SCBA dengan frekuensi sekitar 50% Walaupun pengelolaan perdarahan SCBA telah banyak berkembang namun mortalitasnya relatif tidak berubah, masih berkisar 8 - 10%. Hal ini dikarenakan bertambahya kasus perdarahan dengan usia lanjut, dan



Aktivitas perdarahan



KriteFitr Endoskopis



F o r e s t k p e r d e aktif



- perdaphn arteri



Forest Ib - pepjarahan aktif Forest II - perdarahan berhenti dan rnasih terdapat sisa-sisa perdarahan



-



Forest Ill - perdarahan berhenti tanoa sisa ~erdarahan



rnenpmbur perdarahan r n m e s gurnpalan darah pada dasar tukak atau terlihat pernbuluh darah - lesi tanpa tanda sisa ~erdarahan



Konsensus pengelolaan perdarahan SCBA yang dibuat PGIPEGI-PPHI dapat dilihat pada larnpiran.



akibat komorbiditas yang menyertai. Sarana diagnostik yang bisa digunakan pada kasus perdarahan saluran makanan ialah endoskopi gastrointestinal, radiografi dengan barium, radionuklid, dan angiografi. Pada semua pasien dengan tanda-tanda perdarahan SCBA atau yang asal perdarahannya masih meragukan pemeriksaan endoskopi SCBA merupakan prosedur pilihan. Dengan pemeriksaan ini sebagian besar kasus diagnosis penyebab perdarahan bisa ditegakkan. Selain itu dengan endoskopi bisa pula dilakukan upaya terapeutik. Bila perdarahan masih tetap berlanjut atau asal perdarahan sulit diidentifikasi perlu dipertimbangkan pemeriksaan dengan radionuklid atau angiografi yang sekaligus bisa digunakan untuk menghentikan perdarahan. Adapun hasil tindakan endoskopi atau angiografi sangat tergantung tingkat keahlian, ketrampilan, dan pengalaman pelaksana. Tujuan pemeriksaan endoskopi selain menemukan penyebab serta asal perdarahan, juga untuk menentukan aktivitas perdarahan. Forest membuat klasifikasi perdarahan tukak peptik atas dasar temuan endoskopi yang bermanfaat untuk menentukan tindakan selanjutnya. TERAPI PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS. Non-Endoskopis SZkdrSG usaha menghentikan perdarahan yang sudah lama dilakukan adalah kumbah l a m m l e w a t piFa nqogcstrik dengan air suhu kamar. Prosedur iIsi diharaPkanhengmangi distensi lambung dan memperbaiki proses hemostatik, namun demikian manfaatnya dalam menghentikan perdarahan tidak terbukti. Kumbah lambung ini sangat diperlukan untuk persiapan pemeriksaan endoskoopi dan dapat dipakai untuk membuat perkiraan kasar jumlah perdarahan. Berdasar percobaan hewan, kumbah lambung dengan air es kurang menguntungkan, waktu perdarahan jadi memanjang, perfusi dinding lambung menurun, dan bisa timbul ulserasi pada mukosa lambung. Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang mengalami perdarahan SCBA diperbolehkan, dengan pertimbangan pemberian tersebut tidak merugikan dan relatif murah. Vasopressin dapat menghentikan perdarahan SCBA lewat efek vasokonstriksi pembuluh darah splanknik, menyebabkan aliran darah dan tekanan vena porta menurun. Digunakan di klinik untuk perdarahan akut varises esofagus sejak tahun 1953. Pernah dicobakan pada perdarahan nonvarises, namun berhentinya perdarahan tidak berbeda dengan plasebo. Terdapat dua bentuk sediaan, yakni pitresin yang mengandung vasopressin murni dan preparat pituitary gland yang mengandung vasopressin dan oxcytocin. Pemberian vasopressin



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PENGKAJlANlEVALUAS A W A L D A N RESULlTASl



Penilaian A w a l d a n Resus~tasi Anamnesls dan pemertksaan flslk Tanda Vltal aksas vena Selang nasogostr~k Pemeriksaan laboratarlum Hb, Ht. Trombaslt pemerlksaan hemostasls



Tanda vltal akrer vena



Calran ls!stalold callan Kolold



Transfuss darah Hemodlnamlk stab11 Perdarahan Akttf(-) H e m o d i n a m i k stabil tldak a d a perdarahan aktlf



H e m o d i n a m i k slabil p e r d a r a h a n berhenti



H e m o d l n a m l k stabil perdarahan menetap



Obat-obatan antisekresi



I



Somatostatin Octreottde



Hemod!nsrn#l slab81 Perdarahan berhenb



P e r d a r a h a n berhenti



Endoskopl saiuran cerna



Hemodlnarntk tidak stabil Perdarahan Akllf



H e m o d i n a m i k t ~ d a kstablt perdarahan aktif



EMERGENSI orAWAL



t-* Tekanan dlrah > 90160 mmHg lckanan darah rata-rata 70 mmHg tooim



Tekanan darah > 90160 mmHg tekanan darah rab-rata > 10 m m ~ g nadir 1001rn



"ad,



,es 1,lM 1.1



1er Tllt /+)



teraplradloogl lntelven~lonaiatau operas, segera



123bgal TERAPI DEFINITIF



Gambar 1. Penanganan perdarahan saluran cerna atas



PENGKAJlANlEVALUAS A W A L D A N RESUUTASI



.



I H181 b ,Till 9 g %1-1



Tekansn dsrsh > 90160 mmHg leksnln darah rata-rata < 70 mmHp tes "84,Tilttooim /.I



Somalostat," Ocbeotlde



Pedarahan berhenu



I



I EVALUASI EFEKTIF Rad#olog#barlln ~alurilncerna baglan atar



Gambar 2.



Perdsrshan brrbnpt



I



I I



Radlologl barlln Saluran cerna bagian alas atau r u p k untuk endoskopl r a l u r a n cerna baatan a t a r



REFERRAL INSTABLE



Gambar 3.



Terapl emplrls Vltarnln K 3 I 1 amp Obal obabn a n b s ~ k r e s ~



Tekanan darah 90160 mmHg leksnsn darah rala-rata > 70 mmHg " a d # * lOOlm



Ruluk untuk evaluasl elektif lebih tanjut



Terapl deflnitif



Anamnesls dan pemerlksaan flslk Tanda vital a k ~ vena e ~ Sslang nasogostrlk Psrneilkraan laboratarlurn Hb, Ht,Trombo~#t pemertksaan hemostall$



1



PERDARAHANBERHENn



Terapi b e d a h



dilakukan dengan mengencerkan sediaan vasopressin 50 unit dalarn 100 ml dekstrose 5%, diberikan 0.5 - 1 mdrnenit.1 iv selama 20-60 menit dan dapat diulang tiap 3 - 6 jam; atau setelah pemberian pertama dilanjutkan per infus 0,l0.5 Ulmenit. Vasopressindapat menimbulkan efek samping serius berupa insufiensi koroner mendadak, oleh karena itu pemberiannya disarankan bersamaan preparat nitrat, misalnya nitrogliserin intravena dengan dosis awal40 mcgl menit kemudian secara titrasi dinaikkan sampai maksimal 400 mcglmenit dengan tetap mempertahankan tekanan sistolik di atas 90 mm Hg. Somatostatin dan analognya (octreotide) diketahui dapat menurunkan aliran darah splanknik, khasiatnya lebih selektif dibanding vasopressin. Penggunaan di klinik pada perdarahan akut varises esofagus dimulai sekitar tahun 1978. Somastostatin dapat menghentikan perdarahan akut varises esofagus pada 7 0 4 0 % kasus, dan dapat pula digunakan pada pada perdarahan nonvarises. Dosis pemberian somastatin, diawali dengan bolus 250 mcg/iv, dilanjutkan per infus 250 mcgljam selama 12-24jam atau sampai perdarahan berhenti; oktreotide dosis bolus 100 mcgliv dilanjutkan per infus 25 mcgljam selama 8-24 jam atau sampai perdarahan berhenti.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



451



PENGELOLAANPERDARAHAN SALURANCERNA BACIAN ATAS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Obat-obatan golongan anti sekresi asam yang dilaporkan bermanfaat untuk mencegah perdarahan ulang SCBA karena tukak peptik ialah inhibitor pompa proton dosis tinggi. Diawali bolus omeprazol80 mgliv kemudian dilanjutkan per infus 8 mg/kgBB/jam selama 72 jam, perdarahan ulang pada kelompok plasebo 20% sedangkan yang diberi omeprazol hanya 4,2%. Suntikan omeprazol yang beredar di Indonesia hanya untuk pemberian bolus, yang bisa digunakan per infus ialah persediaan esomeprazol dan pantoprazol dengan dosis sama seperti omeprazol. Pada perdarahan SCBA ini antasida, sukralfat, dan antagonis reseptor H2 masih boleh diberikan untuk tujuan penyembuhan lesi mukosa penyebab perdarahan. Antagonis reseptor H2 dalam mencegah perdarahan ulang SCBA karena tukak peptik kurang bermanfaat. Penggunaan balon tamponade untuk menghentikan perdarahan varises esofagus dimulai sekitar tahun 1950, paling populer adalah Sengstaken-Blakemore tube (SBtube) yang mempunyai tiga pipa serta dua balon masingmasing untuk esofagus dan lambung. Komplikasi pemasangan SB-tube yang bisa berakibat fatal ialah pnemoni aspirasi, laserasi sampai perforasi. Pengembangan balon sebaiknya tidak melebihi 24 jam. Pemasangan SBtube seyogyanya dilakukan oleh tenaga medik yang berpengalaman dan ditindaklanjuti dengan observasi yang ketat.



Keberhasilan terapi perdarahan bisa tambahan lainnya perdarahan u l a ~ e k u e n s i ~ ~ a l5*%. Hemostasis endoskopi merupakan terapi pilihan pada perdarahan karena varises esofagus. Ligasi varises m,erupakan pilihan pertama untuk mengatgsi perdarahan -~arisesesofagus. Dengan ligasi varises dapat Zhindari efek samping akibat pemakaianskIerosan, lebih sedikit frekuensi terjadinya ulserasi dan striktur. Ligasi dilakukan mulai distal mendekati cardia bergerak spiral setiap 1 - 2 cm. Dilakukan pada varises yang sedang berdarah atau bila ditemukan tanda baru mengalami perdarahan seperti bekuan darah yang melekat, bilur-bilur merah, noda hematokistik, vena pada vena. Skleroterapi endoskopik sebagai alternatif bila ligasi endoskopik sulit dilakukan karena perdarahan yang masif, terus berlangsung, atau teknik tidak memungkinkan. Sklerosan yang bisa digunakan antara lain campuran sama banyak polidokanol 3%, NaCl 0,9%, dan alkohol absolut. camp-at sesaat sebelum skleroterapi dikerjakan. Penyuntikan dimulai dari bagian paling distal mendekati kardia dilanjutkan ke proksimal bergerak spiral sampai sejauh 5 lambungdilakukan sk-erapi untuk varises



ENDOSKOPIS



TERAPI RADlOLOGl



__--.



Terapi endoskopi ditujukan pada perdarahan tukak yang masih aktif atau tukak dengan p e s h yang tampak. Metode t e r a p m e l i p u t i : 1). Contact thermal (monopolar atau bipolar elektrokoagulasi, heater probe) 2). Noctthermamaser) 3). Nonthermals&nya suntikan adn-, p o l i d o w alkohol, cyanoacrylate, atau pemakaian klip). Berbagai cara terapi endoskopi tersebut akan efektif dan aman apabila dilakukan ahli endoskopi yang terampil dan berpengalaman. Endoskopi terapeutik ini dapat diterapkan pada 90% kasus perdarahan Z B A , sedangkan 10% sisanya tidak dapat dikerjakan karena alasan teknis seperti darah terlalu banyak sehingga pengamatan terhalang atau letak lesi tidak terjangkau. Secara keseluruhan 80% perdarahan tukak peptik dapat berhenti spontan, namun pada kasus perdarahan arterial yang bisa berhenti spontan hanya 30%. Terapi endoskopi yang relatif mudah dan tanpa banyak peralatan pendukung ialah penyuntikan s u b m u k w sekitar t$.k perdarahan menggunakan adrenalin 10sebanyak 0,SLrnltiap kali suntik dengan batas dosis 10 ml atau alkohol absolut (98%) tidak melebihi m p e n y u i a n bahan skl&n seperti alkohol absolut atau polidokanol umumnya tidak dianjurkan karena bahaya timbulnya tukak dan perforasi akibat nekrosis jaringan di lokasi penyuntikan.



- -



-



Terapi angiografi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tetap berlangsung dan belum bisa ditentukan asal perdarahan, atau bila terapi endoskopi dinilai gagal dan pembedahan sangat berisiko. Tindakan hemostasis yang bisa dilakukan dengan penyuntikan vasopressin atau embolisasi arterial. Bila dinilai tidak ada kontraindikasi dan fasilitas dimungkinkan, pada perdarahan varises dapat dipertimbangkanTIPSfTransjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt).



PEMBEDAHAN



Pembedahan pada dasarnya dilakukan bila terapi medik, endoskopi dan radiologi dinilai gagal. Ahli bedah seyogyanya dilibatkan sejak awal dalam bentuk tim multidisipliner pada pengelolaan kasus perdarahan SCBA untuk menentukan waktu yang tepat kapan tindakan bedah sebaiknya dilakukan.



-



--



Penyebab perdarahan SCBA dapat digolongkan menjadi 2 kelompok, perdarahan varises dan perdarahan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI n o m e s . Pengelolaan perdarahan saluran makanan secara praktis meliputi: evaluasi status h e d n a m i k , stabilisasihemd-inamik, mel-an anamnesis, pemeriksaan fisis, dan p e m e r i k w lain yang diperlukan, memastikan perdarahan saluran &anan bagian atas atau bawah, menegakkan diagnosis pasti penyebab perdarahan, terapi spesifik. Prioritas utama dalam menghadapi kasus perdarahan SCBA ialah penentuan status hemodinamik d z upaya resusitasi s e m m e n e g a k k a n diagnosis &&u pemberian / terapkimya. Pemeriksaan endoskopi SCBA merupakan cara terpilih untuk menegakkan diagnosis penyebab perdarahan dan sekaligus berguna untuk melakukan hemostasis. Pada perdarahan tukak lambung dapat dilakukan antara lain dengan penyuntikan adrenalin 1 : 10000, sedangkan pada perdarahan varises esofagus dengan ligasi atau skleroterapi. Manfaat terapi medik tergantung macam kelainan yang menjadi penyebab perdarahan. Somatostatin dapat digunakan untuk menghentikan perdarahan SCBA, terutama pada perdarahan varises. Pada perdarahan karena tukak peptik pemberian PPI intra vena dosis tinggi bermanfaat untuk mencegah perdarahan ulang. Ahli radiologi dan ahli bedah seyogyanya dilibatkan dalam tim multidisiplinerpengelolaan perdarahan SCBA.



REFERENSI Bongiovanni GL. Gastrointestinal bleeding. Essentials of clinical gastroenterologycision making. In: Bongiovanni GL, ed. Pd ed. New York: McGraw-Hill Book Co; 1998. p. 15. Burroughs AK. Somatostatin and octreotide for variceal bleeding. J Hepatology. 1991; 13:1. Chen RJ, Fang JF, Chen MF. Octreotide in the management of postoperative enterocutaneus fistula and stress ulcer bleeding. Am J Gastroenterol. 1992;87:1212. Christiansen J, Yotis A. The role of somatostatin and longacting analogue, SMS 201-995, in acute bleeding due to peptic ulceration. Scand J Gastroenterol. 1986;21: 109. Cotton PB, Williams CB. Practical gastrointestinal endoscopy. The fundamentals. 5th ed. Blackwell Oxford; 2003. Daniel WA, Egan WS. The quantity of blood required to produce a tarry stool. JAMA. 1942;113:2232. Djajapranata LI. Pandangan mutakhir pengobatan perdarahan saluran cema nonvariseal. Simposium Ilmiah dalam rangka HUT ke 82 RS Darmo Surabaya. Surabaya 8 Februari 2003. Ebert RA, Stead EA, Gibson JG. Response of normal subjects to acute blood loss. Arch Intem Med. 1940;68:578. Fleischer D. Therapy for gastrointestinal bleeding. Techniques in therapeutic endoscopy. In: Geenen JE, Fleischer DE, Waye JD, Venu RM, editors. Pd ed. New York: Gower Med. Publ; 1992. p.



Fogel M, Kracer M, Andrew L. Continous intravenous vasopressin in active upper gastrointestinal bleeding. Ann Intern Med. 1982;96:65. Gilbert DA, Saunders DR. Iced saline lavage does not slow bleeding from experimental Canine gastric ulcers. Dig Dis Sci. 1982;26: 1065. Gupta PK, Fleischer DE. Nonvariceal upper gastrointestinal bleeding. Med Clin North Am. 1993;77:973. Hernomo K, Iswan A Nusi, Pangestu Adi. Endoscopic variceal ligation with local ligator compared with endoscopic sclerotherapy in variceal bleeding: a prospective randomized trial. Endoscopy. 1995;27:S3. Hernomo K. Hematemesis melena karena perdarahan varises esofagus. Gastroenterologi hepatologi. In: Ali Sulaiman, ed. Jakarta: CV Infomedika. 1990. p. 328. Jutabha R, Jensen DM. Acute upper gastrointestinal bleeding. Current diagnosis & treatment in gastroenterology. In: Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH, editors. 2nd ed. New York: Lange Medical BooksIMcGraw-Hill. 2003. p. 53. Konsensus Nasional PGI-PEGI-PPHI. Perdarahan saluran makanan bagian atas. Bandung 13 April 2002. Lau JYW, Sung JJY, Lee KKC, Yung MY, Wong SKH, Wu JYC, Chan FKL, Ng EKW, You JHS, Lee CW, Chan Acw, Chung SCS. Effect of intravenous omeprazole on recurrent bleeding after endoscopic treatment of bleeding peptic ulcers. N Engl J Med. 2000;343:310. Lichtenstein DR. Therapy of digestive disorders: a companion to Sleisenger and Fordtran's gastrointestinal and liver disease. in: Wolfe MM, Cohen S, Davis GL, Giannella RA, Hanauer SB, Silen W, Toskes PP, editors. Philadelphia: WB Saunders Co; 2000. p. 127. Longstreth GF. Epidemiology of hospitalization for acute upper gastrointestinal hemorrhage: a population based study. Am J Gastroenterol. 1995; 90:206. Moitinho E, Planas R, Banares R Albillos A, Ruiz-delarbol L, Galvez C, Bosch J. Multicenter randomized controlled trial comparing different schedules of somatostatin in the treatment of acute variceal bleeding. J Hepatol. 2001;35:7 12. Oesman N. Diagnosis perdarahan saluran makanan bagian atas. Simposium penanggulangan perdarahan saluran makan bagian atas. PGI-PPHI-PEG1 Cabang Surabaya. 8 Mei 1993. Rockall TA, Logan RF, Devlin HB, Nothfield TC. Incidence and mortality from acute upper gastrointestinal hemorrhage in the United Kingdom. Steering Committee and members of the National Audit of acute upper gastrointestinal haemorrhage. BMJ. 1995;3 11:222. Rockey DC. Gastrointestinal bleeding. Sleisenger and Fordtran's gastrointestinal and liver disease: pathophysiology/diagnosis/ management. In: Feldman M, Friedman LS, Sleisenger MH, editors. 7th ed. Philadelphia: WB. Saunders; 2002. p. 21 1. Schiff L, Stevens RJ, Shapiro N, Goodman S. Observation on the oral administration of citrated blood in man. The effect on the stool. Am J Med Sci. 1939;203:409. Skok P. The epidemiology of hemorrhage from the upper gastrointestinal tract in the mid nineties has anything changed? Hepatogastroenterology. 1998;45:2228. Van Rensburg CL, Thorpe A, Waren B. Intragastric pH in patients with bleeding peptic ulceration during pantoprazole infusion 8 mglhour. Gastroenterology. 1997;112:A321.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



,



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN BAWAH ( H E ~ ~ E Z I DAN A ) PERDARAHAN SAMAR =CULT) Murdani Abdullah



r



PENDAHULUAN Perdarahan saluran cerna merupakan massering dihadapi. Manifestasinya bervariasi mulai dengan perdarahan masif yang m e n g a n c a h - p w - h i n g g a perdarahan samar yang tidakdirasakan. Pendekatan pada pasien dengan perdarahan saluran an beratnya perdarahan dan is (muntah darah segar atau hitam) menunjukkan perdarahan dari saluran cerna bagian atas, proksimal dari li amenturn Treitz. Melena (tinja hitam, bau khas) biasanya aki % tnperl -ara- an r saluran t cerna bagian atas-ipun demikian perdarahan dari usus halus atau kolon bagian kanan, juga dapat menimbulkan melena. Hematokezia (perdarahan merah segar) lazimnya menandakan sumber perdarahan dari kolon, meskipun perdarahan dari saluran cerna bagian atas yang banyak juga dapat menimbulkan hematokezia atau feses warna marun. Dalam kurun waktu d kade terakhir tampaknya pasien akibat perdarahan saluran cerna mening=cara sign-rtalitas a-erdarahan saluran cerna bagian atas adalah 3,5-7%, sementara akibat perdarahan bawah adalah 3,6%. aspek medis dari perdarahan akut saluran cerna b a g i a m w e z w d a n perdarahan samar saluran-.



B



-



PERDARAHANAKUT SALVRAN CERNA B&IAN BAWAH PEA I-) Perdarahan saluran cerna bagian bawah umumnya



didefinisikan sebagai perdaraha berasal dari usus di sebelah bawah ligamentu Treitz. Pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian awah datasdengan keluhan darah segar sewaktu buang air besar. Ham& 80% dalam keadaan akut berhenti dengan sendirinya dan tidak berpengaruh pada tekanan darah, seperti pada p&darahan hemoroid, polip kolon, kanker kolon atau k o l i t M a n y a 15% pasien dengan perdarahan berat dan berkelanjutan berdampak pada tekanan darah. Perdarahan berat biasanya berasal dari bagian proksimal dan terminal ileum seperti. Sebelas persen pasien-pasien dengan hematokezia sebenarnya berasal dari perdarahan saluran cerna bagian atas dan 9% berasal dari usus halus. Karakteristik Klinik dari Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah Hematokezia. Hematokezia diartikan darah s e g a r a n g uilkanus dan m ~ p a---k anmanifestasi tersering -I - --dari perdarahan saluwwenmhgian bzwah. Hematokezia lazimnya menunjukkan perdarahan kol n sebelah kiri, namun demikian perdarahan seperti ini dari saluran cerna ba~i-s, usus halus, transit darah C -Pat.



7 -



-



,L7t



Melena. Melena diartikan sebagai tinja y a n m a r n a - Jitamdengan bau y i m g k h s . Melena timbul bilamana -



hemoglobin dikonversi menjadi hematin atau hemokrom lainnya oleh bakteri setelah 14 jam. Umumnya melena menunjukkan perdarahan di saluran cerna bagian atas atau usus halus, namun demikian melena dapat juga berasal dari perdarahan kolon sebelah kanan dengan perlambatan mobilitas. Tidak semua kotoran hitam ini melena karena



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



bismuth, sarcol. Lycorice, obat-obat yang mengandung besi (obat tambah darah) dapat menyebabkan faeces menjadi hitam. Oleh karena itu dibutuhkan test guaiac untuk menentukan adanya hemoglobin.



Darah samar. Darah samar timbul bilamana ada perdarahan ringan namun tidak sampai merubah wama tinjalfeses. Perdarahan jenis ini dapat diketahui dengan tes guaiac.



Sebagaimana halnya dengan vaskular ekstasia di saluran cema, jejas di kolon umumnya berhubungan degan usia lanjut, insufisiensi ginjal, dan riwayat radiasi.



nkayG bebkasus kolitis iskemia ditandai dengan penurunan aliran darah viseral dan tidak ada kaitannya dengan penyempitan pembuluh darah mesenterik. Umumnya pasien kolisis iskemia berusia tua. Dan kadang-kadang dipengaruhui juga oleh sepsis, perdarahan akibat lain, dan dehidrasi. n



DIAGNOSIS BANDING



\



Perdarahan divertikel k~lon~angiodisplasia dan kol& i&mik merupakan penyebab tersering dari s a l u r a n h bag-awah. Perdarahan saluran cema bagian bawah yang kronik dan berulang biasanya berasal darihemorojd dan neoplasia kolon. T i d a k ~ --e r_ t halnya i pqdarahan saluran cerna bagian atas, kebanyakan pejdarahan saluran cema bagian bawah bersifat lambat, intermiten, dan tidak memerlukan perawatan rumah sakit.



-



,,



araheri divertikulum biasanya pada 3% ~siencdiyerkulosis.Tinja bia-arna m e r a h q w , kadang-kadang bisajuga menjadi merah. Meskipun divertikel kebanyakan ditemukan di kolon sigmoid rpmun perdarahandivertikel biasanya terletakTsebelah kanan. Uinumnya terhenti secara spontan dan tidak berulang, oleh karena itu tidak ada pengobatan khusus yang dibutuhkan oleh para pasien



@nyakit-Yalut perianal contohnya: hemoroid dan fisura ani biasanya menimbulkan perdarahan dengan wama merah segar tetapi tidak bercampur dengan faeces. Berbeda dengan perdarahan dari varises rectum pada pasien dengan hipertensi portal kadang-kadang bisa mengancam nyawa. Polip dan karsinoma kadang-kadang menimbulkan perdarahan yang mirip dengan yang disebabkan oleh hemoroid oleh karena itu pada perdarahan yang diduga dari hemoroid perlu dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan kemungkinan polip dan karsinoma kolon.



.Tumor kolon yang jinak maupun ganas pada pasien usia lanjut dan biasanya berhubungan dengan ditemukannya perdarahan berulang atau darah samar. Kelainan neoplasma di usus halus relatif jarang namun meningkat pada pasien IBD seperti Crohn 5 Disease atau celiac sprue.



Q



a o d i s p l a s i a . Angiodisplasia merupakan penyeba 10r = n saluran cerna bagian bawa Angiodiplasia merupakan salah satu penyebab kehilangan darah yang kronik. Angiodisplasia kolon biasanya multipel, ukuran kecil kurang dari diemeter 80% tereradikasi pada pasien yang telah resisten



dapat dianjurkan, bila belum juga berhasil dianjurkan kultur dan tes sensitivitas. Tukak gaster refrakter adalah tukak yang belum sembuh walaupun telah diberi terapi eradikasi penuh selama 14 hari diikuti pemberian PPI selama 10 minggu lagi (total 12 minggu) dengan syarat: 1). obat tetap dimakanlcompliance; 2). bukan suatu keganasan; 3). tidak sedang mengalami infeksi HP, tidak menggunakan OANS dan bukan perokok berat; 4). diagnosa benar ( bukan Crohn's, SZE,amyloidosis, sarcaidosis, TBC, syphilis) bukan keganasan. Tukak refrakter bisa sembuh lebih 90% bila dosis PPI ditingkatkanldosis ganda Omeprazole 40 gram, lansoprazole 60 mg bila ini pun masih gagal dilakukan tindakan operasi elektif. Untuk daerah dengan resistensi yang tinggi terhadap metronidazol, maka dapat digantikan dengan regimen PPI + Bismuth + Tetrasiklin + amoxicilin. Bila Bismuth tidak tersedia diganti dengan triple drugs. (PPI, Amox, klaritromisin).



1. Elektip (tukak refrakterlgagalpengobatan) 2. Darurat (komplikasi : perdarahan, perforasi, stenosis pilorik) 3. Tukak gaster dengan sangkaan keganasan (corpus dan fundus, 70%keganasan). Tindakan Operasi saat ini frekuensinya menurun akibat keberhasilan terapi medikamentosa dan endoskopi terapi. Tukak refrakter saat ini jarang dijumpai. Prosedur operasi yang dilakukan pada penyakit tukak gaster ditentukan adanya penyertaan tukak duodenum: 1). Tukak antrum dilakukan anterektomi (termasuk tukaknya) dan Bilroth 1 anastomosis gastroduodenostomi, bila disertai TD dilakukan vagotomi. Tingginya kejadian rekurensi tukak paska operasi maka prosedur ini kurang diminati. 2). Tukak gaster dekat EG junction tindakan operasi dilakukan lebih radikallsub total gastrektomi dengan Roux-en-Ylesofagogastro jejunostomi (prosedur Csendo). Bila keadaan pasien kurang baik lokasi tukak proksimal dilakukan prosedur Kelling Madlener termasuk anterektomi, biopsi tukak intra operatif dan vagotomi, rekurensi tukak 30%. Komplikasi operasi : Primer akibat perubahan anatomi gaster paska operasi Semakin radikal tindakan operasi semakin kurang kekambuhan tukak tapi semakin meningkat komplikasi pasca operasi. Morbiditas operasi < 1-5 %, mortalitas 1 tahun), kurang bermaknanya penurunan berat badan( < 5 kg), tidak adanya diare malam hari dan mengedan pada waktu defkasi memiliki spesifitas 70%.



Pemeriksaan FisiklManifestasi Klinik Kebanyakan gejala klinik tidak spesifik dan menunjukkan adanya malabsorbsi nutrien & defisiensi vitamin/elektrolit (Tabel 5). Tetapi adanya gejala klinik tertentu menunjukkan adanya penyakit tertentu (Tabel 6 ) . Meskipun 3 nutrien utama (lemak, karbohidrat dan protein) dapat mengalami malabsorbsi, gejala klinik biasanya mengikuti malabsorbsi karbohidrat atau lemak. Malabsorbsi protein atau asam amino (azotorea) dapat terjadi tidak terlihat secara klinik kecuali berat sekali sehingga menimbulkan malnutrisi atau kerusakan transport asam amino yang menimbulkan penyakit sistemik kongenital. Malabsorbsi elektrolit dan air juga merupakan bagian dari patofisiologi diare malabsorbsi. Tanda-tanda steatorea (lemak berlebihan dalam tinja) yaitu tinja berwarna muda, berbau busuk, cenderung mengambang dan sulit dibersihkan dengan siraman air. Kadang-kadang terlihat kilauan lemak dipermukaan air. Hal ini menunjukkan adanya maldigesti atau malabsorbsi lemak.



-



-



-



Berat Badan turun Edemalberkurangnya otot Kulit kering bersisik Anemia Glositis, dermatitis Parestesia, neuropati perifer Cenderung memar, berdarah Buta malam Kelemahan Tetani, nyeri tulang Kehilangan rambut



-



Lemaklproteinlkalori Protein Asam lemak esensial Besi, asam folat, vit 812 Asam nikotinat Vitamin B1 & 812 Vit K Vit A K+, Na+, Mg++ Kalsium Zinc, protein



Penyakit



Gejala klinik



--



Disfungsi pankreas Pankreatitislkankerpankreas Sindrom Zollinger Ellison Penyakit usus halus Penyakit seliak, dermatitis herpetiformis Penyakit Whipple Amiloidosis karena artritis reumatoid lskemi mesenterik Penyakit Crohn



Defisiensi garam empedu Sirosis bilier Kolangitis sklerosing Pasca-gastrektomi Pasca-gastrektomi (Bilroth II)



Nyeri abdomen tengah, tromboflebitis migrasi Penyakit tukak lambung yang tidaklsulit sembuh Badan kecil, menarche terlambat, ulkus mulut Erupsi kulit yang gatal-panas Poliartritis dengan pigmentasi Poliartritis Angina abdominal Ulkus mulut, ulkuslfistel perianal, obstruksi usus sub-akut, masa abdomen Limfadenopati limfoma lkterus



Parut abdomen dengan atau tanpa blind loop



Tinja yang mengambang selain karena steatorea dapat juga disebabkan karena adanya produksi gas oleh bakteri. Diare berdarah menunjukkan bahwa penyakit mengenai rektum atau kolon kiri. Hal ini menunjukkan adanya ulserasi mukosa. Gejala klinik tergantung dari etiologi. Gejala klinik diare tidak berdarah tidak steatorea juga tergantung etiologi. Penderita dengan sindrom usus iritabel (IBS) biasanya keadaan umumnya baik dan keluhan mereka tidak sesuai dengan keadaan umumnya. Diare lebih sering pagi hari, jarang malam hari dan berganti-ganti dengan konstipasi dan disertai nyeri abdomen.Penyakit ini biasanya disertai dispepsia fungsional dan keluhan nonspesifik tak jelas lainnya. Seringkali penderita dapat menghubungkan antara presipitasi dan tercetusnya diare dengan periode stres atau ketegangan. Gejala-gejalanya akan berkurang bila mereka santai atau sedang dalam liburan. Diare kadang-kadang merupakan gejala utama penderita tirotoksikosis, sehingga kita hams berhati-hati bila ada penderita diare kronik disertai pembesaran kelenjar gondok atau berdebar-debar, gemetaranttremor, penurunan berat badan dan suhu badan meningkat dl1 biasanya disebabkan hiperfimgsi kelenjar tiroid. Kebiasaan memakai laksans kadang-kadang sangat sulit didiagnosis. Kolitis mikroskopik, limfositik dan kolagen ditandai dengan adanya diare air kronik dengan gambaran endoskopi normal, timbul lebih sering pada wanita umur 50-60 tahun. Diare tidak berdarah, tidak steatore tersebut biasanya kontinyu atau intermiten, dengan remisi dan relaps timbul spontan atau dalam pengobatan. Kadangkala timbul nyeri kolik abdomen, nausea atau mulitah. Keadaan umum penderita biasanya baik, pemeriksaan laboratorium normal.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Gejala klinik alarm yang mengarahkan penyebab penyakit organik antara lain: riwayat diare berlangsung kurang dari 3 bulan, diare predominan malam hari atau kontinyu dan penurunan berat badan yang bermakna. Tidak adanya gejala alarm tersebut ditambah gejala-gejala yang masuk dalam kriteria Manning atau roma dan pemeriksaan fisik normal, lebih mengarah pada gangguan usus fungsional, tapi hanya memiliki spesifisitas 52-74%. dan tidak dapat menyingkirkan penyakit usus inflamatorik 0 ) .



C. Pemeriksaan Tinja Hams diperhatikan benar apakah tinja berbentuk airlcair, setengah cairllembek, berlemak atau bercampur darah. Contoh tinja hams segera diperiksa untuk melihat adanya leukosit, eritrosit, parasit (ameba, giardia, cacingltelur cacing). Adanya gelembung lemak memberi dugaan kearah malabsorbsi lemak yang mengarah ke penyakit pankreas dll. Adanya amylum yang banyak dalam tinja menunjukkan adanya maldigesti karbohidrat. Eritrosit dalam tinja menunjukkan adanya luka, kolitis ulseratif, polip atau keganasan dalam usus atau kadang infeksi juga. Leukosit dalam tinja menunjukkan adanya kemunglunan infeksi atau inflamasi usus. Pemeriksaan pH tinja perlu dilakukan bila ada dugaan malabsorbsi karbohidrat, dimana pH tinja dibawah 5,5 (asam) disertai tes reduksi positif menunjukkan adanya intoleransi karbohidrat 1 glukosa. pH diantara 6,O - 7,5 ditemukan pada sindrom malabsorpsi asam amino dan asam lemak. Pewarnaan dengan gram perlu dikerjakan untuk mencari kemungkinan infeksi oleh bakteri, jamur dll. Pemeriksaan darah samar (occult blood test) yang positif, kelainan lemak tinja dan tes phenolphthalein tinja positif mengarahkan pada diagnosis penyakit usus inflamatorik ("IBD"), diare malabsorbsi, atau diarefactitious. Analisis tinja ini merupakan pemeriksaan yang relatif murah dan mudah tetapi sering terdapat positif maupun negatif palsu. Oleh karena itu sebaiknya diperiksakan 2 contoh sekaligus atau 2 kali pada hari berlainan secara berturut-turut. Hams dimintakan pemeriksaan tinja dengan cara pemekatan sehingga kemungkinan positif lebih besar. Diare dengan volume banyak dan berbau busuk menunjukkan adanya infeksi, dan bila terdapat keadaan demikian, dapat langsung dilakukan pemeriksaan kultur tinja untuk bakteri atau jamur. Hams diingat bahwa pemeriksaan fisik dan tinja normal tidak selalu menyingkirkan kelainan organik. Pemeriksaan beda osmotik tinja (stool osmotic gap) dapat dilakukan untuk membedakan diare osmotik dengan sekretorik. Rumus beda osmotik tinja ("stool osmotic gap") = 290 - 2 ([Na'] + [K']) mOsm/kg tinja. Pada diare osmotik beda osmotik tinja lebih dari 50 mOsm per kg air tinja sedang pada diare sekretorik beda osmotik tinja kurang dari 50 mOsm per kg air tinja2.Pemeriksaan osmolalitas cairan tinja mungkin berguna untuk kasus diare yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Osmolalitas tinja yang rendah



( 290 mOsm/kg sering disebabkan metabolisme bacterial dari karbohidrat tinja selama penyimpanan tinja (sampai 600 mOsmkg). Untuk melihat adanya steatorea perlu dilakukan pengukuran kadar lemak dalam tinja 24 jam atau 72 jam secara kuantitatif dan pemeriksaan kualitatif lemak tinja dengan pewarnaan Sudan. Tes pewarnaan Sudan sangat sensitif untuk mendeteksi malabsorbsi asam lemak (test pertama) dan trigliserida (test kedua). Karena itu bila test Sudan kedua (dan test pertama) pemeriksaan tersebut positif, klinisi harus mencurigai adanya maldigesti trigliserida makanan (insufisiensi pankreas, reseksi usus halus). Hasil test Sudan kedua yang negative tidak mengeksklusi insufisiensi pancreas. Mineral oil dan bahan lemak tidak terabsorbsi, sucrose polyester dapat menyebabkan hasil Sudan (tes pertama dan kedua) positif Jumlah lemak tinja yang berhubungan dengan diet orang Arnerika normal (mengandung 75 - 100 gr lemakhari) yaitu < 7 gr 1 24 jam. Jumlah lemak tersebut didapat dari perhitungan 100-(100x0,95)+2, dimana 0,95 merupakan koefisien absorbsi lemak dan 2 gram lemak diekskresi melalui tinja pada absorbsi lemak nol. Bila penderita menghasilkan > 14 gram lemakl24jam, dia jelas mengalami steatorea. Jika kandungan lemak tinja perhari diantara 7 dan 13 gram, steatorea merupakan akibat sekunder dari etiologi diare yang lain. Pemeriksaan lemak tinja kualitatif dengan pewarnaan Sudan memiliki sensitivitas 90% jika lemak tinja lebih dari 10 grad24 jam. Berat tinja lebih dari 400 g r a d 2 4 jam menunjukkan adanya penyakit organik. Diare amebik dapat berupa cairl air atau berdarah dan dapat berlangsung tahunan, dengan ditemukannya leukosit pada finja. Setengah kasus steatorea mengalami diare cairlair karena sekresi air dan elektrolit kolon dapat dicetuskan olah asam lemak dan asm hidroksi lemak. Tidak ada satu pemeriksaanpun yang dapat mengidentifikasi penderita dengan kasus sindroma usus iritatif (irritable bowel syndrome), sehingga eksklusi kelainan patologi lain setelah semua pemeriksaan hasilnya negatif akan menunjang diagnosis. Pemeriksaan tinja untuk giardia penting untuk dilakukan, walaupun hasil tinja mungkin akan negatif palsu. Seringkali pengobatan percobaan (trial) dengan metronidazole menolong dan dapat mendiagnosis giardiasis. Diare pada penderita Human Immunodeficiency firus (HIV) dengan atau tanpa Acquired Immunodeficiendy Syndrome (AIDS) biasa disebabkan infeksi di usus (7585% kasus). Pada penderita dengan infeksi HIV ini perlu dilakukan pemeriksaan tinja untuk menemukan organisme yang jarang seperti Cryptosporidium atau Isospora belli. Analisis tinja untuk mendeteksi adanya penggunaan obat laksans sebagai penyebab diare kronik faktisius perlu



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENDEKATAN DIACNOSTIKDIARE KRONIlC



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dilakukan bila tidak ditemukan penyebab. Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan tinja adanya phenolphthalein, emetin, bisacodyl dan metabolitnya dengan tes kromatografi atau kimia. Pemeriksaan Head of Meal Transit Time (HOMTT) dipakai untuk menilai transit time usus secara kasar. Normal transit time bila waktu dari pasien menelan setengah cangkir corn kernel atau 1 kaleng beet sampai tinja terlihat benvarna,merah,berkisar antara 12jam sld 22 jam. Transit time usus cepat bila waktu penelanan sampai warna merah pada tinja berlangsung kurang dari 12jam. Pemeriksaan parasit tinja hams dilakukan antara lain: Giardia lambilia, Entamoeba histolytica dll. Pemeriksaan tinja untuk mendeteksi adanya insufisiensi pankreas yaitu pemeriksaan elastase tinja. Pemeriksaan marker tinja untuk mendeteksi adanya inflamasi gastrointestinal seperti lactoferrin dan calprotectin masih dalam penelitian.



Pemeriksaan Laboratorium Lain 1. Darah: Idealnya pemenksaan darah ini dilakukan setelah pemeriksaan tinja, bila pemeriksaan tinja saja belum mengarah pada diagnosis. Laju endah darah (LED) yang tinggi, kadar hemoglobin yang rendah, kadar albumin serum yang rendah menunjukkan adanya penyakit organik. LED dan CRP yang tinggi ditemukan pada penyakit usus inflamatorik (IBD). Pada anemia (hemoglobin turun), perlu diperiksa apakah ada defisiensi vitamin B 12, asam folat ,defisiensi besi karena gangguan absorbsi. Leukositosis mengarahkan pada adanya inflamasi. Sedangkan eosinofilia ditemukan pada neoplasma, alergi, penyakit kolagen vaskular, infestasi parasit dan gastroenteritis atau kolitis eosinofilik. Kadar asam folat yang rendah menunjukkan penyakit seliak. Kadar B 12 rendah menunjukkan pertumbuhan bakteri berlebihan (bacterial overgrowth) dalam usus halus. Kadar albumin rendah menunjukkan tanda kehilangan protein dari peradangan di ileum, jejunum, kolon dan pada sindrom malabsorbsi. Pada semua keadaan diatas perlu konfirmasi dengan biopsi. Eosinofil meningkat pada gastroenteritis eosinofilik, alergi makananatau infeksi parasit di usus. Pemeriksaan serologis terhadap ameba harus dilakukan. Bila dicurigai infeksi Campylobacterjejuni dapat dilakukan pemeriksaan serologis (IgG) terhadap Campylobacter jejuni. Pada penderita dengan kecurigaan infeksi kroniklperlu diperiksa juga kemungkinan imunodefisiensi. Selain Hemoglobin, perlu diperiksa juga tes darah lengkap, hitung jenis, LED untuk melihat adanya inflamasi, infeksi di usus. Elektrolit, Nitrogen urea darah ("BUN"), kreatinin perlu juga diperiksa. Untuk mengetahui fungsi kelenjar tiroid, perlu diperiksa kadar TSH darah, T3 uptake & T4 serum. Bila didapatkan ullcus duodenum bersamaan diare yang mengarah pada



'



gastrinoma (Zollinger-Ellison) ,perlu diperiksa kadar gastrin dalam darah (meningkat). Jika diare lebih dari 1 liter per hari dan terlebih ada hipokalemia, maka diperlukan pemeriksaan kadar vasoactive intestinal polypeptide (VIP), kalsitonin, glukagon, histarnin dalarn darah. Kadar VIP yang tinggi menunjukkan adanya tumor vipoma. Calcitonin untuk mendiagnosis karsinoma medulare tiroid, glukagon untuk mendiagnosis tumor glukagonoma. Pemeriksaan gula darah perlu dilakukan bila ada kecurigaan penyakit diabetes melitus. Pemerikaan serologik yang berguna dalam menunjang diagnosis termasuk tes antibody antinucleal; antibodi Imunoglobulin (1g)A dan IgG antigliadin dan antibodi IgA antiendomysial, antibodi cytoplasmic antineutrophil perinuclear, tipe HLA dan antibody terhadap HIV dan Entamoeba histolytica. Pemeriksaan serologik untuk spm seliak tidak hanya untuk diagnosis tetapi juga untuk evaluasi pasien setelah pengobatan. Pada penyakit spru seliak ini dapat diperiksa antibody IgA atau IgG antigliadin dan antibody antiendomysial. Antibodi antinuclear digunakan untuk mendiagnosis vaskulitis, sklerodenna, spru seliak, kolitis mikroskopik, hipotiroidisme, enteropati autoitnun. Antibodi cytoplasmic antineutrophil perinuclear digunakan untuk mendiagnosis kolitis ulseratif. Pemeriksaan tipel HLA-DR berguna untuk konfirmasi diagnosis spru seliak, spru yang refrakter atau tidak tergolongkan, mungkin penyakit Crohn dan kolitis ulseratif. Jika ada kemungkinan kuat penyakit dasar infeksi HIV pada penderita dengan diare kronik, maka skrining pemeriksaan infeksi HIV dalam darah penting dilakukan. Titer antibody terhadap E.histolytica digunakan untuk mendiagnosis amebiasis kolon dan 1 atau hati. Hipoalbuminemia, Laju endap darah yang tinggi dan anemia memiliki spesifitas tinggi untuk adanya penyakit organik. Adanya defisiensi besi merupakan indikator sensitif enteropati usus halus, terutama penyalut seliak, tetapi bukan mempakan test yang spesifik. Bila dicurigai adanya hipersensitif terhadap gluten yang disebut penyakit seliak, diusulkan pemeriksan IgG antigliadin, antibodi IgA antiendomysial (EMA), antibodi retikulin, dan IgG anti tissue transglutarninase (tTG).



2. Urin: Untuk menunjang diagnosis sindromltumor karsinoid ("flushing" kulit dll), dapat dilakukan pemeriksaan kadar 5-HIAA urin 24 jam. Vanillylmandelic acid (VMA) atau metanefrin urin untuk pheochromocytoma. Histamine urine untuk penyakit sel mast dan karsinoid usus proksimal. Untuk penggunaan laksan golongan antrhraquinone dapat diperiksa urine dengan pemeriksaan kromatografi dan



kimia



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr.kelainan PRIYO PANJI inflamatorik mikroskopik



Pemeriksaan Lain Beberapa negara maju atau pusat studi yang maju dimana penghasilan masyarakat umumnya mampu, menganjurkan memasukkan pemeriksaan BNO (foto polos abdomen), Barium enema atau follow through dan sigmoidoskopi (dengan biopsi) kedalam pemeriksaan tahap awal. Tapi untuk negara berkembang seperti Indonesia, secara umum pemeriksaan-pemeriksaan tersebut masih dimasukkan kedalam pemeriksaan tahap lanjutan. Kecuali pada keadaan khusus, dimana penderitanya mampu dan fasilitas memungkinkan, maka pemeriksaan tersebut dapat dilakukan. Dari suatu studi didapatkan bahwa 99,7% diagnosis kelainan usus dibuat berdasarkan biopsi bagian distal kolon dengan pemeriksaan sigmoidoskopi fleksibel antara lain kolitis mikroskoik, penyakit Crohn, melanosis coli, kolitis ulseratif dan infeksi Clostridium DifJicile.



PEMERIKSAAN LANJUTAN Pemeriksaan lanjutan atau pemeriksaan penunjang dibawah ini tidak semua diperlukan pada diare kronik. Urutan pemeriksaan ini tidak menggambarkan makin pentingnya pemeriksaan, tetapi disesuaikan dengan perkiraan diagnosis yang sudah didapat pada pemeriksaan awal. Tidak semua pemeriksaan ini dapat dilakukan di Indonesia. Pemeriksaan anatomi usus 1. Barium enema kontras ganda (Colon in loop) dan BNO: Pemeriksaan BNO dilakukan untuk melihat adanya kalsifikasi pankreas dan dilatasi kolon. Pemeriksaan barium enema kontras ganda dilakukan untuk melihat adanya kelainan di kolon dan ileum terminal, akan tetapi 10% kasus kelainan dinilminimal (misal polip kecil atau keganasan kolon dini atau kolitis tanpa ulkus) tidak terdiagnosis.



+



2. Kolonoskopi dan ileoskopi: Pemeriksaan ini tidak dilakukan rutin pada setiap diare kronik, tetapi membantu dalam menegakkan diagnosis terutama dalam mendapatkan diagnosis patologi anatomi dengan biopsi mukosa usus. Pemeriksaan ini dapat langsung dilakukan tanpa didahului pemeriksaan barium enema atau dilakukan setelah pemeriksaan barium enema bila masih belum jelas kelainan anatomis kolon. Dengan pemeriksaan kolonoskopi dapat diketahui penyebab diare apakah keganasan atau hanya inflamasi penyebab perdarahan masifltersamar, dapat ditentukan apakah sudah terjadi displasi atau keganasan pada kolitis yang lama. Selain itu, ditemukannya darah pada pemeriksaan ini dapat menyingkirkan penyakit fungsional (nonorganik). Pada kolitis mikroskopik (kolagen) walaupun gambaran kolon dan ileum normal secara endoskopik, tetapi secara histopatologik dapat ditemukan adanya



(kolagen) yang menimbulkan diare. Pada pemeriksaan kolonoskopi penderita sindrom usus iritatif akan terlihat adanya mukus berlebihan dan spasme sigmoid, walaupun mukosa usus normal. Melanosis coli, diskolorasi hitam clan mukosa kolon, merupakan gambaran dari kebiasaan makan laksans.



3. Barium follow through danlatau Enteroclysis: Pemeriksaan rontgen ini dilakukan bila ada kecurigaan kelainan pada ileum & jejunum. Pada pemeriksaan Barium follow through, interpretasi gambaran usus lebih sulit daripada barium enema, karena itu gambaran normal belum dapat menyingkirkan diagnosis. Pemeriksaan enteroclysis atau pemeriksaan usus halus kontras ganda merupakan pemeriksaan rontgen yang lebih teliti dari pemeriksaan barium follow through, karena kelainan yang minimaydini dapat lebih terlihat. Pada kedua pemeriksaan rontgen ini, bila hasilnya normal, tapi kita masih curiga adanya penyempitan atau masa, sebaiknya dilakukan laparotomi. Penyalut Crohn usus halus dini, seringkali sulit didiagnosis secara radiologi, karena itu perlu pemeriksaan enteroclysis untuk lebih mendapatkan mukosa lebih teliti lagi. 4. Gastroduodenejejunoskopi:



Pemeriksaan ini dilakukan setelah pemeriksaan rontgen barium follow through atau enteroclysis atau barium enema atau kolonoskopi dan masih dicurigai adanya kelainan pada gaster, duodenum dan jejunum. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan pada penderita steatorea atau adanya malabsorbsi. Bersamaan pemeriksaan ini dapat dilakukan biopsi mukosa lambung, duodenum dan jejunum proksimal sehingga dapat diketahui diagnosis histopatologiknya. Bagian usus halus lebih bawah tak mungkin dibiopsi, sehingga bila ada kecurigaan didaerah ini hams dilakukan laparotomi. Biopsi jejunum penting dilakukan untuk menentukan adanya infeksi giardiasis. 5. Endoscopic Retrograde Cholangi Pancreatography (ERCP): Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat



adanya kelainan pankreas. Bila pada BNO sudah tampak kelainan kalsifikasi pankreas, ERCP tak diperlukan lagi. Biopsi pada papilla vateri diperlukan untuk melihat add tidaknya keganasan. 6. Sidik Indium 111 leukosit: Pemeriksaan ini sangat baik untuk melihat adanya inflamasi usus secara cepat, tetapi tidak dapat membedakan macam inflamasi. Prinsipnya yaitu daerah yang abnormal pada saluran cerna akan menerima Indium 111, sedangkan daerah yang normal tidak tampak karena tidak menerima Indium 1 11. 7. Ultrasonografi abdomen: Pemeriksaan ini untuk melihat kelainan pankreas (pankreatitis kronik, kanker pankreas dll.), hati (sirosis hati, hepatoma dll.), curiga limfoma



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI malignum dan TBC usus. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas hanya 50-60% terhadap pankreatitis kronik. Pada penyakit Crohn, kadang dapat ditemukan gambaran penebalan dinding usus. Pada kanker kolon yang besar atau sudah metastase dapat ditemukan adanya masa abdomen secara USG



8. Sidik perut (CT-Scan abdomen): Pemeriksaan ini dilakukan bila pemeriksaan ultrasonografi belum dapat dengan jelas menyokong diagnosis kelainan pankreas, hati, keganasan saluran cernalmetastasenya atau masa abdomen yang belum jelas asalnya dl]. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 74-90% terhadap penyakit pankreas. 9. Arteriografdangiografi mesenterika superior dan inferior: Pemeriksaan ini untuk menentukan sumbatan arteri mesenterika yang menimbulkan kolitis iskemik.



10. Enteroskopi: Pemeriksan enteroskopi akhir-akhir ini dapat menggantikan pemeriksaan rontgen usus halus follow through, karena lebih jelas dalam mendiagnosis kelainan-kelainan organik di usus halus (lebih sensitif dan spesifik daripada rotgen follow through), dapat melakukan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi dan dapat melakukan terapi seperti polipektomi dll. 11. Magnetic resonance cholangio pancreatography (MRCP) Beberapa studi melaporkan bahwa MRCP sama sensitifnya dengan ERCP dalam mendeteksi penyakit pancreas (pankreatitis kronik dan karsinoma pankreas). Pengembangan terbaru pemeriksaan MRI pankreatografi setelah stimulasi secretin dapat mendeteksi kelainan pancreas hngsional dan struktural.



12. Endosonografi atau endoscopic ultrasound (EUS). Pemeriksaan ini dilaporkan memiliki sensitivitas y&g tinggi dalam mendeteksi penyakit pankreas dini tetapi jarang digunakan karena keterbatasan penggunaannya dalam klinik dan mahal. Fungsi usus dan pankreas 1. Tes fungsi ileum dan jejunum: Tes D-xylose, digunakan untuk menilai integritas & fungsi absorbsi usus halus. Pengukuran kadar lemak dalam tinja, untuk melihat kemampuan absorbsi lemak oleh usus. 2. Tes fungsi pankreas: Tes sekretin-kolesistokinin, yaitu tes yang banyak dipakai, tes ini memakai infus terus menerus dengan hormon-hormon tersebut, lalu diukur pengeluaran bikarbonat dan ensim. Tes ini sangat membantu menilai fungsi pankreas pada diare berlemak (steatorea). Tes PABA, untuk menilai fungsi eksokrin pankreas .Tes elastase- 1 feses, digunakan untuk menilai fungsi eksokrin pankreas juga.



3. Tes schilling: Tes ini digunakan untuk mendiagnosis defisiensi vitamin B 12 dan infeksi usus halus yang luas.



4. Tes Napas (Breath test): C cholyl glycine breath: tes ini pentingjuga untuk menilai fungsi ileum, keberhasilan pengobatan atau fungsi usus yang tersisa setelah reseksi luas. Jumlah C14 yang diekskresi di tinja dapat membedakan antara bacterial overgrowth dengan malabsorbsi. Bile acid breath :mengukur kadar C 0 2 napas setelah pemberian sejumlah dosis C-xylose. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan perkembangan bakteri pada usus halus. H2 breath: mengukur kadar H2 napas, dapat menentukan adanya maldigesti malabsorbsi, intoleransi laktosa, orocaecal transit time dan adanya pertumbuhan bakteri yang berlebihan (bacterial overgrowth) di usus. I4C-triolein absorption: pemeriksaan alternative untuk malabsorbsi lemak, menilai adanya lipolisis dan absorbsi. Sensitivitas 85- 100% dan spesifisitas >90%, akan tetapi pemeriksaan ini tidak baik untuk penderita diabetes mellitus, penyakit hati atau obesitas. 5. Tes Kehilangan protein: Protein dicerna di dalam lumen usus menjadi polipeptida dan asam amino oleh enzim pancreas sebelum absorbsi aktif. Malabsorbsi produk-produk tersebut jarang terjadi bila tidak ada malabsorbsi lemak atau karbohidrat. Dua metode yang telah dipakai untuk menilai kehilangan protein dari usus antara lain faecal clearance of a,- antitrypsin atau radiolabelled albumin.



6. Tes Malabsorbsi asam empedu (BileAcid Malabsotption) : Malabsorbsi asam empedu dapat dinilai melalui pengukuran turnover asam empedu yang dilabel radioisotop, pengukuran metabolit serum atau pengukuran kuantitatif asam empedu yang diekskresi. Pemeriksaan pertama untuk mengukurfaecal recove? dalam tinja selama 48-72 jam setelah 0f~~Cglycoch01ate menelan secara oral marker tersebut. Pengukuran konsentrasi serum metaboit asam empedu contohnya 7-hydroxy-4-cholesten-3-one, menghindari penggunaan radilolabels dan telah diteliti hasilnya sesuai hasil pemeriksaan "Se homotaurocholate ('%eHCAT). Tes '-'Se-HCAT merupakan test yang paling banyak dipakai membutuhkan penelanan obat sintetis 75 Se-HCAT tersebut yang merupakan konjugasi alamiah asam empedu adsam taurocholat. Fraksi yang tertinggal dinilai dengan gamma camera 7 hari setelah pemberian ral. Nilai kurang dari 1 5% menunjukkan adanya malabsorbsi asam empedu. 7. Tes small and large bowel transit time: D i a r e karena percepatan transit time usus dapat disebabkan oleh keadaan pasca bedah (vagotomy, gastrektomi), kelainan endokrin (karsinoid, hipertiroid, diabetes), penyakit usus halus infiltratif, sindrom usus iritabel.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Berbagai metode yang digunakan mengukur transit time orosekal (orocaecal transit timelOCTT) a.1. rontgen usus dengan brarium, scintigrafi radionuclide dan lactulose hydrogen breath test. Metode scintigrafi dapat memakai makanan solid (telur dan roti) dan cairan yang dilabel y9mtechnetiumatau "'indium-diethylene triamine pentacetic acid, dan waktu yang terukur bagi substrat radioaktif mencapai caeum dicatat. Hasil pemeriksaan tes ini sesuai dengan hasil lactulose hydrogen breath test. Tes transit time kolon dapat menggunakan marker radioopaque atau scintigrafi. 8. Tes permeabilitas usus Tes ini masih dalam penelitian.



Pemeriksaan lain 1. Petanda tumor. Pemeriksaan Carcino Embvyonic Antigen (CEA) untuk mengetahui adanya keganasan pada pankreas dan kolon. Pemeriksaan Ca 19-9 untuk mengetahui adanya keganasan pankreas, tapi kadang juga meningkat pada keganasan kolon. 2. Pemeriksaan thin-layer chromatography urine. untuk memeriksa adanya pemakaian obat pencahar bisacodyl, phenolphthalein, anthraquinones dapat dilakukan untuk menentukan etiologi diare. 3. Pemeriksaan ELISA tinja untuk menentukan antigen giardia, assay alkalinisasi (untuk phenolphthalein), pengukuran natrium, kalium, sulfat, fosfat tinja. 4. Tes untuk alergi makanan gastrointestinal. Antibodi terhadap makanan dalam tinja dan sekresi usus halus dapat dideteksi untuk mendiagnosis alergi makanan.



membedakan osmotik dan sekretorik. Urutan prosedur tambahan yang dianjurkan antara lain: Hari ke 1: Pemastian dan pelajari ulang hasil-hasil evaluasi diagnostik selama rawat jalan Pengukuran berat atau volume tinja pada diit normal Skrining laksan urin dengan pemeriksaan thin-layer chromatography Pemeriksaan alkalnisasi tinja Pengukuran natrium, kalium, sulfat, fosfat tinja, osmolalitas tinja, penghitungan beda osmotik tinja ("stool osmotic gap") Hari ke 2-4: Puasa 72 jam dengan hidrasi intravena (Jika diare berhenti total dalam 24 jam, tidak perlu dilanjutkan puasanya. Diare sekretorik seringkali berkurang dengan puasa, tapi berlangsung terus dengan tinja lebih 200 gram per 24 jam. Monitor berat tinja 24 jam tiap hariHari ke 5-8: Berikan diet mengandung lemak 75- 100 gram dalam 24 jam Monitor rerata berat tinja dan kadar lemak tinja dalam 24 jam pada hari ke 6,7 dan 8.



PENDEKATAN DIAGNOSIS DlARE KRONIK AGA merekomendasikan pendekatan sistematik tahap awal dan lanjut yang dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2



1-



Anamnesis



I* I 0 Pemeriksaan Fisis



Tes laboratorium



1-



Analisis tinja



Ill. PROSEDURTAMBAHANEVALUASI PENDERITA RAWAT INAP Donowitz M dkk mengusulkan prosedur tambahan evaluasi diagnostik pada penderita rawat inap, antara lain penderita diberikan dietlmakanan seperti dirumah, dan dilakukan pemeriksaan berat tinja 24 jam. Jika tinja lebih dari 0,5 kg dalam 24 jam, lebih mengarah pada penyakit organik. Jika tinja kurang dari 0,2 kg dalam 24 jam, penderita tidak mengalami diare, mungkin mengalami inkontinensia, sindrom usus iritabel (IBS) atau penyakit rektum. Lalu evaluasi diagnostik berikutnya yaitu puasa 72 jam. Tinja 24 jam dihitung, terutama selama hari kedua dan ketiga puasa, yang dapat membedakan diare osmotik dari sekretorik. Diare yang berhenti pada puasa menunjukkan bahwa penyebab diare yaitu bahan yang dimakan secara langsung atau tidak langsung. Etiologinya yaitu penggunaan laksan atau karbohidrat yang tidak dapat diabsorbsi, asam empedu atau asam lemak dll. (Tabel 4). Penyakit diare sekretorik ditujukan pada diare yang tetap berlangsung atau berhenti parsial setelah puasa 48 jam. Beda osmotik tinja (stool osmotic gap) dapat juga



Gambar 1. Algoritme tahap awal diare kronik



I



Analisis



Gambar 2. Evaluasi tahap lanjut diare kronik



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENDEKATANDIACNOSTIK DlARE KRONIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI PENUTUP



Kesulitan dalam mendiagnosis etiologi dan patofisiologi diare kronik merupakan tantangan dalam praktek dokter sehari-hari karena etiologi dan patofisiologinya sangat beragam. Anamnesis riwayat penyakit, latar belakang penderita, kelainan pemeriksan fisik yang didapatkanperlu dipelajari secara seksama agar dapat ditentukan jenis pemeriksaan penunjang diagnostik yang sistematik,terarah dan cost effectiveness.



REFERENSI 1. Daldiyono. Pendekatan diare kronik pada orang dewasa. in: Sulaiman HA-Daldiyono-Akbar HN-Rani AA eds. Gastroenterologi Hepatologi. CV Infomedika. Jakarta. 1990: 34-44. 2. Donowitz M, Kokke FT, Saidi R. Evaluation of patients with chronic diarrhea. N Engl J Med 1995; 332 (11): 725-9. 3 . Noerasid H, Suraatmadja S, Asnil PO. Gastroenteritis (Diare) Akut. dalam: Suharyono - Boediarso-Halimun EM eds. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 1988: 51-76. 4 . Schiller LR. Chronic diarrhea. Gastroenterology 2004;127:28793. 5 . Sutoto,Moechtar MA,Karyadi,Brotowasisto. Morbidity and mortality on diarrhoea1 disesases in North Jakart, an urban area. South East J.Trop Med Pub1 helth 1982: 405-11. 6 . Ammon HV, Soergel KH. Diarrhea. in: Berck JE-Haubrich WSKalser MH-Roth JLA-Schaffner F eds. Bockus Gastroenterology Volume 1. 4th edition. WB Saunders. Philadelphia. 1985: 125-41. 7. Geraedts AAM. De waarde van het niet-invasieve onderzoek bij patienten met chronische diarree. Academisch Proefschrift ter verkrijging van de graad van doctor aan de Universiteit van Amsterdam.Nederland. 1987. 8 . Teh Lip Bin. Diarrhoea. in: Guan R-Kang Jy-Ng HS eds. Management of Common Gastroenterological Problems. a Malaysia & Singapore perspective. second edition. MediMedia Asia. Singapore. 1995: 74-82. 9. American Gastroenterological Association Clinical Practice and Practice Economics Committee. AGA Technical review on the evaluation and management of chronic diarrhea. Gastroenterology 1999; 1 16: 1464-86. 10. Schiller LR. Diarrhea. Medical Clinics of North America 2000;84: 1259-74.



11. Rani A. Pendekatan Diagnosis Pasien Diare Kronik. Simposium Diare Kronik. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 1997. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta.1997: 91-9. 12. Simadibrata M. Patofisiologi dan etiologi diare kronik. Naskah lengkap Siang Klinik Penyakit Dalam: "Diagnostik & Peranan Nutrisi Pada Diare Kronik". Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas IndonesiaIRSUPN Cipto Mangunkusumo. 3 April 1997. 13. Powell DW. Approach to the patient with diarrhea. in:Yamada T-Alpers DH- Owyang C-Powell DW-Silverstein FE. Textbook of Gastroenterology Volume 1. Second edition. JB Lippincott Co.Philadelphia: 1995:813-63. 14. Simadibrata MK. Pendekatan diagnostic diare kronik. Dalam: Sudoyo AW-Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK-Setiati S eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. edisi ke 4. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006 . 357-65. 15. Binder HJ. Causes of Chronic Diarrhea. NEJM 2006;355:236-9. 16. Mayer EA. Irritable Bowel Syndrome. NEJM 2008; 358: 16929. 17. AGA. American gastroenterological association medical position statement: Guidelines for the evaluation and management of chronic diarrhea. Gastroenterology 1999; 116: 1461-3. 18. Bonis PA, LaMont JT. Approach to the patient with chronic diarrhea. Available from url: http://www.uptodateonline.com/



patients/content/topic.do?topicKey=-FFFFC3rs~msz9#2. 19. Thomas PD, Forbes A, Green J, Howdle P, Long R, Playford R et.al. Guidelines for the investigation of chronic diarrhea, 2" edition. Gut 2003;52 (Supplement 5):vl-v15; doi: 10.11361 gut.52.suppl-5.~1. 20. . Giardia. Available from url: http://www. Diare%20kroniWGiardia%20- %2OMicrobeWiki.htm. 21. Habba, SF. Chronic diarrhea: identifying a new syndrome. Am J Gastroenterol 2000; 95:2 140. 22. Guerrant RL, Van Gilder T, Steiner Ts, Thielman NM, Stutsker L, Tauxe RV et.al. Practice guidelines for the management of infectious diarrhea. Chron Infect Dis 2001; 32 : 331-50. 23. American Society for Gastrointestinal Endoscopy. Use of endoscopy in diarrheal illnesses. GIE 2001; 54: 821-3. 24. da Silva JGN, Brito TD, Damiao AOMC, Laudanna AA, Sipahi AM. Histologic study of colonic mucosa in patients with chronic diarrhea and normal colonoscopic findings. J Clin Gastroenterol 2006; 40: 44-8. I 25. Surawicz CM, Ochoa B. Diarrheal diseases. http:Nwww.acg.~i.org/ patients1 gihealthl pdfl diarrheal.pdf 36k 27/Jan/2008. 26. Hecker LM, Saunders DR, Losh D. Diarrhea. Available from url:



http:l/www.Diare%20kroniWDIARRHEA.htm



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



DIARE AKUT Marcellus Sirnadibrata K, Daldiyono



PENDAHULUAN Diare merupakan keluhan yang sering ditemukan pada dewasa. Diperkirakan pada orang dewasa setiap tahunnya mengalami diare akut atau gastroenteritis akut sebanyak 99.000.000 kasus. Di Amerika Serikaf diperkuakan 8.000.000 pasien berobat ke dokter dan lebih dari 250.000 pasien dirawat di rumah sakit tiap tahun (1,5% merupakan pasien dewasa) yang disebabkan karena diare atau gastroenteritis. Kematian yang terjadi, kebanyakan berhubungan dengan kejadian diare pada anak-anak atau usia lanjut usia, dimana kesehatan pada usia pasien tersebut rentan terhadap dehidrasi sedangberat. Frekuensi kejadian diare pada negara-negara berkembang termasuk Indonesia lebih banyak 2-3 kali dibandingkan negara maju.



Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau 200 mV24jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapatltanpa disertai lendir dan darah. Diare akut yaitu diare yang berlangsung kurang dari 15 hari. Sedangkan menurut World Gastroenterology Organisation global guidelines 2005, diare akut didefinisikan sebagai pasase tinja yang cairllembek dengan jumlah lebih banyak dari normal, berlangsung kurang dari 14 hari. Diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 15 hari. Sebenarnyapara pakar di dunia telah mengajukan beberapa kriteria mengenai batasan kronik pada kasus diare tersebut, ada yang 15 hari, 3 minggu, 1 bulan dan 3 bulan,



tetapi di Indonesia dipilih waktu lebih 15 hari agar dokter tidak lengah, dapat lebih cepat menginvestigasi penyebab diare dengan lebih tepat. Diare persisten merupakan istilah yang dipakai di luar negeri yang menyatakan diare yang berlangsung 15-30 hari yang merupakan kelanjutan dari diare akut (peralihan antara diare akut dan kronik, dimana lama diare kronik yang dianut yaitu yang berlangsung lebih dari 30 hari). Diare infektif adalah bila penyebabnya infeksi. Sedangkan diare non infektif bila tidak ditemukan infeksi sebagai penyebab pada kasus tersebut. Diare organik adalah bila ditemukan penyebab anatomik, bakteriologik, hormonal atau toksikologik. Diare fungsional bila tidak dapat ditemukan penyebab organik.



Diare dapat diklasifikasikan berdasarkan: 1. lama waktu diare: akut atau kronik, 2.mekanismepatofisiologis: osmotik atau sekretorik dll), 3. berat ringan diare: kecil atau besar, 4. penyebab infeksi atau tidak: infektif atau non-infektif, dan 5. penyebab organik atau tidak: organik atau fungsional.



Diare akut disebabkan oleh banyak penyebab antara lain infeksi (bakteri, parasit, virus), keracunan makanan, efek obat-obat dan lain-lain. (Tabel 1) Menurut World Gastroenterology Organisation global guidelines 2005, etiologi diare akut dibagi atas empat penyebab: bakteri, virus, parasit dan noninfeksi.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DlARE AKUT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI lnfeksi 1. Enteral Bakteri: Shigella sp, E.colipatogen, Salmonella sp, Vibrio cholera, Yersinia enterocolytica, Campylobacterjejuni, V. aureusi parahaemoliticus, V. NA G.,~taph~lococcus Streptococcus, Klebsiella, Pseudomonas, Aeromonas, Proteus dll. Virus: Rotavirus, Adenovirus, N o ~ f a l virus, k Norwalk like virus, cytomegalovirus (CMV), echovirus, virus HIV. Parasit: - Protozoa: Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Cryptosporidiumparvum, Balantidium coli. Worm: A.lumbricoides, Cacing tambang, Trichuris trichiura, S.stercoralis, cestodiasis dll. Fungus: Kandidalmoniliasis 2. Parenteral: Otitis media akut (OMA), pneumonia.Trave1er's diarrhea: E. coli, Giardia lamblia, Shigella, Entamoeba histolytica dll. Makanan: lntoksikasi makanan: Makanan beracun atau mengandung logam berat, makanan mengandung bakteril toksin: Clostridium perfringens, B.cereus, S.aureus, Streptococcus anhaemo lyticus dll. Alergi: susu sapi, makanan tertentu. Malabsorpsilmaldigesti: karbohidrat: monosakarida (glukosa,laktosa,galaktosa), disakarida(sakarosa,laktosa),lemak: rantai panjang trigliserida protein: asam amino tertentu, celiacsprue gl;ten malabsorption, protein intolerance, cows milk, vitamin & mineral Imunodefisiensi: hipogamaglobulinemia, panhipogamaglobulinemia(Bruton), penyakit granulomatose kronik, defisiensi IgA, imunodefisiensi IgA heavycombination. Terapi obat. antibiotik, kemoterapi, antasid dll. Tindakan tertentu seperti gastrektomi, gastroenterostomi, dosis tinggi terapi radiasi. Lain-lain: Sindrom Zollinger-Ellison, neuropati autonomik (neuropati diabetik).



KEADAAN RlSlKO DAN KELOMPOK RlSlKO TlNGGl YANG MUNGKIN MENGALAMI DlARE INFEKSI 1. Baru saja bepergianlmelancong :ke negara berkembang, daerah tropis, kelompok perdamaian dan pekerja sukarela, orang yang sering berkemah (dasar berair) 2. Makanan atau keadaan makan yang tidak biasa: makanan laut dan shelljish, terutama yang mentah, Restoran dan rumah makan cepat saji @st food), banket dan piknik 3. Homoseksual, pekerja seks, pengguna obat intravena, risiko infeksi HIV, sindrom usus homoseks (Gay bowel syndrome) sindrom defisiensi kekebalan didapat (Acquired immune deficiency syndrome) 4. Baru saja menggunakan obat antimikroba pada institusi: institusi kejiwaanlmental, rumah rumah perawatan, rumah sakit.



Pada penelitian diare akut pada 123 pasien di RS Persahabatan dari 1 Nopember 1993 s.d 30 April 1994 Hendarwant0,Setiawan B dkk. mendapatkan etiologi infeksi seperti pada Tabel 2. World Gastroenterology Organisation global guidelines 2005 membuat daftar epidemiologi penyebab yang berhubungan dengan vehicle dan gejala klinik (Table 3 dan Tabel 4).



Etiologi



Frekuensi (%)



E.coli Vibrio cholerae Ogawa Aeromonas sp Shigella flexneri Salmonella sp Entamoeba histolytica Ascaris lumbricoides Rotavirus Candida sp Vibrio NAG Trichuris trichiura Plesiomonasshigelloides Ancylostoma duodenalis Blastocystis hominis



Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih patofisiologil patomekanisme sebagai berikut: 1). Osmolaritas intraluminal yang meninggi, disebut diare osmotik; 2). Sekresi cairan dan elektrolit meninggi, disebut diare sekretorik; 3). Malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi lemak; 4). Defek sistem pertukaran anionltransport elektrolit aktif di enterosit; 5). Motilitas dan waktu transit usus abnormal; 6). Gangguan permeabilitas usus; 7). Inflamasi dinding usus, disebut diare inflamatorik; 8). Infeksi dinding usus, disebut diare infeksi. Diare osmotik: diare tipe ini disebabkan meningkatnya tekanan osmotik intralumen dari usus halus yang disebabkan oleh obat-obatlzat kimia yang hiperosmotik (a.1. MgS04, Mg(OH)2, malabsorpsi umum dan defek dalam absorpsi mukosa usus misal pada defisiensi disararidase, malabsorpsi glukosalgalaktosa. Diare sekretorik: diare tipe ini disebabkan oleh meningkatnya sekresi air dan elektrolit dari usus, menurunnya absorpsi. Yang khas pada diare ini yaitu secara klinis ditemukan diare dengan volume tinja yang banyak sekali. Diare tipe ini akan tetap berlangsung walaupun dilakukan puasa makanlminum. Penyebab dari diare tipe ini antara lain karena efek enterotoksin pada infeksi Vibrio cholerae, atau Escherichia coli, penyakit yang menghasilkan hormon (VIPoma), reseksi ileum (gangguan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Perantara (vehicle)



Patogen klasik Vibrio cholerae, Norwalk agent, Giardia lamblia dan Cryptosporidium species



Air (terrnasuk sarnpah makanan pada air tersebut) Makanan Poultry Sapi Babi Makanan laut dan shellfish(termasuk sushi dan ikan rnentah ) Keju Telur Makanan dan krirn rnengandung mayonnaise Pie



Salmonella, Campylobacter dan Shigella species Enterohemorrhagic E coli, Taenia saginata Cacing pita Vibrio cholerae. Vibrio ~arahaemolvticusdan Vibriovulnificus, Salmonella sbecies, ;acing pita dan cacing anisakiasis Listeria species Salmonella species Staphylococcus dan Clostridiurn, Salmonella Salmonella, Campylobacter, Cryptosporidium dan Giardia species



Binatang ke rnanusia (binatang piaraan dan livestock) Manusia ke rnanusia (terrnasuk kontak seksual) Pusat perawatan harian



Kebanyakan bakteri enterik, virus dan parasit



Shigella, Campylobacter, Cryptosporidium dan Giardia species, virus, clostridiurn difficile C. difficile Giardia dan Cryptosporidium species E.coli berbagai tipe, Salmonella, Shigella, Campylobacter, Giardia dan Cryptosporidium species, Entamoeba histolytica



Rurnah sakit, antibiotik atau kernoterapi Kolarn renang Bepergianlrnelancong ke luar negeri



Nausea dan muntah



Mikroorganisrne 1. Organisme penghasil toksin Toksin preformed Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, Clostridium perfringens Enterotoksin Vibrio cholerae, enterotoxigenic E.coli(ETEC),Klebsiella pneumoniae, Aeromonas species Cytotoksin Clostridium difficile



Hemorrhagic E.coli



Nyeri abdomen



Diare



Lokasi Usus halus



+++-++++



+-++



++-++++



+-++



-+



+++-++++



+-++



-+



+-++++



+-++



+-+++, biasa air, kadang berdarah +-+++, awal air, cepat berdarah



+-++



+-++, air



2. Organisme Enteroadherent Enteropathogenic dan enteroadherent E.coli, Organisme Giardia, Cryptospon'diosis,cacing 3. Organisme invasif lnflamasi minimal Rotavirus dan virus Nowalk lnflamasi variabel Salmonella, Campylobacter, dan Aeromonas species, Vibrio parahaemolyticus, Yersinia enterocolitica lnflamasi berat Shigella species, enteroinvasive E.coli, Entamoeba histolytica



Dernarnlpanas



Usus halus



+-++



++-+++



+++-++++



+-+++, air



-+++



+-++++



++-++++



+++-++++, air atau berdarah



-+



+-++++



-++++



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



+-++, berdarah



Kolon Ileum terminal



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI absorpsi garam empedu), dan efek obat laksatif dioctyl sodium sulfosuksinat dll). Malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi lemak: Diare tipe ini didapatkan pada gangguan pembentukadproduksi micelle empedu dan penyakit-penyakit saluran bilier dan hati. Defek sistem pertukaran aniodtranspor elektrolit aktif di enterosit: diare tipe ini disebabkan adanya hambatan mekanisme transport aktif Na+K+ ATP ase di enterosit dan absorpsi Na+ dan air yang abnormal. Motilitas dan waktu transit usus abnormal: diare tipe ini disebabkan hipermotilitas dan iregularitas motilitas usus sehingga menyebabkan absorpsi yang abnormal di usus halus. Penyebab gangguan motilitas antara lain: diabetes melitus, pasca vagotomi, hipertiroid. Gangguan permeabilitas usus: diare tipe ini disebabkan permeabilitas usus yang abnormal disebabkan adanya kelainan morfologi membran epitel spesifik pada usus halus Inflamasi dinding usus (diare inflamatorik): diare tipe ini disebabkan adanya kerusakan mukosa usus karena proses inflamasi, sehingga terjadi produksi mukus yang berlebihan dan eksudasi air dan elektrolit kedalam lumen, gangguan absorpsi air-elektrolit. Inflamasi mukosa usus halus dapat disebabkan infeksi (disentri Shigella) atau non infeksi (kolitis ulseratif dan penyakit Crohn) Diare infeksi: Infeksi oleh bakteri merupakan penyebab tersering dari diare. Dari sudut kelainan usus, diare oleh bakteri dibagi atas non-invasif (tidak merusak mukosa) dan invasif (merusak mukosa). Bakteri non-invasif menye-babkan diare karena toksin yang disekresi oleh bakteri tersebut, yang disebut diare toksigenik. Contoh diare toksigenik a.1. kolera (Eltor). Enterotoksin yang dihasilkan kuman fibrio cholare/eltor merupakan protein yang dapat menempel pada epitel usus, yang lalu membentuk adenosin monofosfat siklik (AMF siklik) di dinding usus dan menyebabkan sekresi aktif anion klorida yang diikuti air, ion bikarbonat dan kation natrium dan kaliurn. Mekanisme absorpsi ion natrium melalui mekanisme pompa natrium tidak terganggu karena itu keluarnya ion klorida (diikuti ion bikarbonat, air, natrium, ion kalium) dapat dikompensasi oleh meningginya absorpsi ion natrium (diiringi oleh air, ion kalium dan ion bikarbonat, klorida). Kompensasi ini dapat dicapai dengan pemberian larutan glukosa yang diabsorpsi secara aktif oleh dinding sel usus.



Yang berperan pada terjadinya diare akut terutama karena infeksi yaitu faktor kausal(agent) dan faktor pejamu(host). Faktor pejamu adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap organisme yang dapat menimbulkan diare akut, terdiri dari faktor-faktor daya tangkis atau lingkungan internal saluran cerna antara lain: keasaman lambung, motilitas usus, imunitas dan juga



lingkungan mikroflora usus. Faktor kausal yaitu daya penetrasi yang dapat merusak sel mukosa, kemampuan memproduksi toksin yang mempengaruhi sekresi cairan usus halus serta daya lekat kuman. Patogenesis diare karena infekti bakterilparasit terdiri atas:



Diare karena bakteri non-invasif (enterotoksigenik). Bakteri yang tidak merusak mukosa misal Kcholerue Eltol; Enterotoxigenic E.coli (ETEC) dan C. Perfringens. K Cholerae eltor mengeluarkan toksin yang terikat pada mukosa usus halus 15-30 menit sesudah diproduksi vibrio. Enterotoksin ini menyebabkan kegiatan berlebihan nikotinamid adenin dinukleotid padad dinding sel usus, sehingga meningkatkan kadar adenosisn 3',5'-siklik monofosfat (siklik AMP) dalam sel yang menyebabkan sekresi aktif anion klorida kedalam lumen usus yang diikuti oleh air, ion bikarbonat, kation natrium dan kalium. Diare karena bakterilparasit invasif (enterovasif).Bakteri yang merusak (invasiqantara lain Enteroinvasive E.coli (EIEC), Salmonella, Shigella, Yersinia, C.perfringenstipe C. Diare disebabkan oleh kerusakan dinding usus berupa nekrosis dan ulserasi. Sifat diarenya sekretorik eksudatif. Cairan diare dapat tercampur lendir dan darah. Walau demikian infeksi kuman - kuman ini dapat juga bermanifestasi sebagai diare koleriformis. Kuman Salmonella yang sering menyebabkan diare yaitu S.paratyphi B, Styphimurium, S enterriditis, S choleraesuis. Penyebab parasit yang sering yaitu E.histolitika dan Glamblia.



DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis Pasien dengan diare akut datang dengan berbagai gejala klinik tergantung penyebab penyakit dasarnya. Keluhan diarenya berlangsung kurang dari 15 hari. Diare karena penyakit usus halus biasanya berjumlah banyak, diare air, dan sering berhubungan dengan malabsorpsi, dan dehidrasi sering didapatkan. Diare karena keiainan kolon seringkali berhubungan dengan tinja berjumlah kecil tetapi sering, bercampur darah dan ada sensasi ingin ke belakang. Pasien dengan diare akut infektif datang dengan keluhan khas yaitu nausea, muntah, nyeri abdomen, demam, dan tinja yang sering, bisa air, malabsorptif, atau berdarah tergantung bakteri patogen yang spesifik. Secara umum, patogen usus halus tidak invasif, dan patogen ileokolon lebih mengarah ke invasif. Pasien yang memakan toksin atau pasien yang mengalami infeksi toksigenik secara khas mengalami nausea dan muntah sebagai gejala prominen bersamaan dengan diare air tetapi jarang mengalami demam. Muntah yang mulai beberapa jam dari masuknya



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



makanan mengarahkan kita pada keracunan makanan karena toksin yang dihasilkan. Parasit yang tidak menginvasi mukosa usus, seperti Giardia lamblia dan Cryptosporidium, biasanya menyebabkan rasa tidak nyaman di abdomen yang ringan. Giardiasis mungkin berhubungan dengan steatorea ringan, perut bergas dan kembung. Bakteri invasi f seperti Campylobacter; Salmonella, dan Shigella, dan organisme yang menghasilkan sitotoksin seperti Clostridium difficile and enterohemorrhagic E coli (serotipe 0 1 5 7 : H 7 ) menyebabkan inflamasi usus yang berat. Organisme Yersinia seringkali menginfeksi ileum terminal dan caecum dan memiliki gejala nyeri perut kuadran kanan bawah, menyerupai apendisitas akut. Infeksi Campylobacterjejuni sering bermanifestasi sebagai diare, demam dan kadangkala kelumpuhan anggota badan dan badan(sindrom Guillain-Barre). Keluhan lumpuh pada infeksi usus ini sering disalahtafsirkan sebagai malpraktek dokter karena ketidaktahuan masyarakat. Diare air merupakan gejala tipikal dari organisme yang menginvasi epitel usus dengan inflamasi minimal, seperti virus enterik, atau organisme yang menempel tetapi tidak menghancurkan epitel, seperti enteropathogenjc E coli, protozoa, and helminths. Beberapa organisme seperti Campylobacter;Aeromonas, Shigella, and Vibrio species (misal, Vparahemolyficzrs)menghasilkan enterotoksin dan juga menginvasi mukosa usus; pasien karena itu menunjukkan gejala diare air diikuti diare berdarah dalam beberapa jam atau hari. Sindrom Hemolitik-uremik dan purpura trombositopenik trombotik (TTP) dapat timbul pada infeksi dengan bakteri E coli enterohemorrhagic dan Shigella , terutama anak kecil dan orang tua. Infeksi Yersinia dan bakteri enterik lain dapat disertai sindrom Reiter (artritis, uretritis, dan konjungtivitis), tiroiditis, perikarditis, atau glomerulonefritis. Demam enterik, disebabkan Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi, merupakan penyakit sistemik yang berat yang bermanifestasi sebagai demam tinggi yang lama, prostrasi, bingung, dan gejala respiratorik, diikuti nyeri tekan abdomen, diare dan kemerahan (rash). Dehidrasi dapat timbul jika diare berat dan asupan oral terbatas karena nausea dan muntah, terutama pada anak kecil dan lanjut usia. Dehidrasi bermanifestasi sebagai rasa haus yang meningkat, berkurangnya jumlah buang air kecil dengan warna urine gelap, tidak mampu berkeringat, dan perubahan ortostatik. Pada keadaan berat, dapat mengarah ke gaga1 ginjal akut dan perubahan status jiwa seperti kebingungan dan pusing kepala. Dehidrasi menurut keadaan klinisnya dapat dibagi atas 3 tingkatan:



Dehidrasi Ringan (hilang cairan 2-5% BB): gambaran klinisnya turgor kurang, suara serak(vox cholerica) ,



pasien beluln jatuh dalam presyok.



Dehidrasi sedang (hilang cairan 5-8% BB): turgor buruk, suara serak, pasien jatuh dalam presyok atau syok, nadi cepat, napas cepat dan dalam. Dehidrasi berat (hilang cairan 8-10% BB): tanda dehidrasi sedang ditambah kesadaran menurun (apatis sampai koma), otot-otot kaku, sianosis. Pemeriksaan Fisis Kelainan-kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik sangat berguna dalam menentukan beratnya diare daripada menentukan penyebab diare. Status volume dinilai dengan memperhatikan perubahan ortostatik pada tekanan darah dan nadi, temperatur tubuh dan tanda toksisitas. Pemeriksaan abdomen yang seksama merupakan ha1 yang penting. Adanya dan kualitas bunyi usus dan adanya atau tidak adanya distensi abdomen dan nyeri tekan merupakan "clue" bagi penentuan etiologi. Pemeriksaan Penunjang Pada pasien yang mengalami dehidrasi atau toksisitas berat atau diare berlangsung lebih dari beberapa hari, diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan tersebut a.1. pemeriksaan darah tepi lengkap (hemoglobin, hematokrit, leukosit, hitung jenis leukosit), kadar elektrolit serum, Ureum dan kreatinin, pemeriksaan tinja dan pemeriksaan Enzym-linked immunosorbent assay (ELISA) mendeteksi giardiasis dan test serologic amebiasis, dan foto x-ray abdomen. (Gambar 1) Pasien dengan diare karena virus, biasanya memiliki jumlah dan hitung jenis leukosit yang normal atau limfositosis. Pasien dengan infeksi bakteri terutama pada infeksi bakteri yang invasif ke mukosa, memiliki leukositosis dengan kelebihan darah putih muda. Neutropenia dapat timbul pada salmonellosis. Ureum dan kreatinin diperiksa untk memeriksa adanya kekurangan volume cairan dan mineral tubuh Pemeriksaan tinja dilakukan untuk melihat adanya leukosit dalam tinja yang menunjukkan adanya infeksi bakteri, adanya telur cacing dan parasit dewasa. Pasien yang telah mendapatkan pengobatan antibiotik dalam 3 bulan sebelumnya atau yang mengalami diare di rumah sakit sebaiknya diperiksa tinja untuk pengukuran toksin Clostridium difficile. Rektoskopi atau sigmoidoskopi perlu dipertimbangkan pada pasien-pasien yang toksik, pasien dengan diare berdarah, atau pasien dengan diare akut persisten. Pada sebagian besar pasien, sigmoidoskopi mungkin adekuat sebagai pemeriksaan awal. Pada pasien dengan AIDS yang mengalami diare, kolonoskopi dipertimbangkan karena kemungkinan penyebab infeksi atau limfoma didaerah kolon kanan. Biopsi mukosa sebaiknya dilakukan jika mukosa terlihat inflamasi berat.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



4



4



Lama Epidemiologi Bepergian m a k a n a n air



4



-



Nyeri a b d o m e n Karakteristik tinja Kolitis akut Air Penyakit ususinflamasi Berdarah -



Penyakit lain obat-obat



v Pemeriksaan



Pemeriksaan rektal F e c a l occult b l o o d



Nyeri tekan Distensi Nutrisi



Pemeriksaan a w a l Nontoksik Lama penyakit sebentar Tidak berdarah Tidak nyeri tekan



Toksik Penyakit berjalan terus Darah d i tinja Dehidrasi



Terapi simtomatik Cairan rehidrasi oral O b a t antidiare



b



Tidak respons



Respons



Replesi cairanl elektrolit



Evaluasi Laboratorium



4 Pemeriksaan darah tepi lengkap Hemokonsentrasi Diferensial leukosit



4



4 Elektrolit Ureum Kreatinin



P e m . Telur dan parasit Antigen Giardia Toksin clostridium difficile



1



v Kolonoskopi dengan



Leukosit tinja Postif Negatif



1



Kultur tinja Terapi antibiotik empirik



Gambar 1. Algoritme untuk evaluasi pasien dengan diare akut



PENENTUAN DERAJAT DEHlDRASl Derajat dehidrasi dapat ditentukan berdasarkan; 1. Keadaan klinis: ringan, sedang dan berat (telah dibicarakan di atas) 2. Berat Jenis Plasma: Pada dehidrasi BJ plasma meningkat



a. Dehidrasi berat: BJ plasma 1,032 - 1,040 b. Dehidrasi sedang: BJ plasma 1,028- 1,032 c. Dehidrasi ringan: BJ plasma 1,025- 1,028 3. Pengukuran Central Venous Pressure (CVP): Bila CVP +4 s/d +11 cm H2): normal Syok atau dehidrasi maka CVP kurang dari +4 cm H 2 0



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DIAGNOSIS BANDINGHANYA



DI SCAN UNTUK dr. PRIYO kehilangan cairanPANJI yang banyak



Diagnosis banding diare akut perlu dibuat sehingga kita dapat memberikan pengobatan yang lebih baik. Pasien diare akut dapat dibagi atas diare akut yang disertai demaml tinja berdarah dan diare akut yang tidak disertai demaml tinja berdarah. Pasien Diare Akut Disertai Demam dan Tinja Berdarah Observasi umum: diare sebagai akibat mikroorganisme infasif, lokasi sering di daerah kolon, diarenya berdarah sering tapi jumlah volume sedikit, sering diawali diare air. Patogen: 1). Shigella spp (disentri basiler, shigellosis), 2). Campylobacterjejuni, 3). Salmonella spp, Aeromonas hydrophila, Kparahaemolyticus, Plesiomonas shigelloides, Yersinia. Diagnosis: 1). Diferensiasi klinik sulit, terutama membedakan dengan penyakit usus inflamatorik idiopatik non infeksi, 2). Banyak leukosit di tinja(patogen invasif), 3). Kultur tinja untuk Salmonella, Shigella, Campylobactel; Yersinia, 4). Darah tebal untuk malaria Diare Akut Tanpa Demam Ataupun Darah Tinja Observasi umum: patogen non-invasif( tinja air banyak, tidak ada leukosit tinja), seringa disertai nausea, kadang vomitus, lebih sering manifestasi dari diare turis(85% kasus), pada kasus kolera, tinja seperti cucian bera, sering disertai muntah. Patogen: 1. ETEC, penyebab tersering dari diare turis, 2. Giardia lamblia, 3. Rotavirus, virus Norwalk, 4. Eksotoksin Preformed dari S.aureus, Bacillus cereus, Clostridium perj?ingens(tipe A), diare disebabkan toksin dikarakterisasi oleh lama inkubasi yang pendek 6 jam, 5. Penyebab lain: J4brio parahaemolyticus (ikan laut dan shell fish yang tidak cukup didinginkan), Vibrio cholerae(kolera), Bahan toksik pada makanan(1ogamberat misal preservatif kaleng, nitrit, pestisida, histamin pada ikan),jamur, kriptosporidium, Isospora belli (biasa pada pasien HIV positif meskipun dapat terjadi juga pada manusia normal). Diagnosis: Tidak ada leukosit dalam tinja, kultur tinja(sangat rendah pada diare air), tes untuk ETEC tidak biasa, tersedia pada laboratorium rutin, pemeriksaan parasit untuk tinja segar, sering beberapa pemeriksaan ulangan dibutuhkan untuk mendeteksi Giardia lamblia



PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan pada diare akut antara lain : Rehidrasi. Bila pasien keadaan m u m baik tidak dehidrasi, asupan cairan yang adekuat dapat dicapai dengan minuman ringan, sari buah, sup dan keripik asin. Bila pasien



dan dehidrasi, penatalaksanaan yang agresif seperti cairan intravena atau rehidrasi oral dengan cairan isotonik mengandung elektrolit dan gula atau starch hams diberikan. Terapi rehidrasi oral murah, efektif dan lebih praktis daripada cairan intravena. Cairan oral antara lain: pedialit, oralit dll. Cairan infus antara lain: ringer laktat dll. Cairan diberikan 50 - 200 mVkgBB124 jam tergantung kebutuhan dan status hidrasi. Untuk memberikan rehidrasi pada pasien perlu dinilai dulu derajat dehidrasi. Dehidrasi terdiri dari dehidrasi ringan, sedang dan berat. Ringan bila pasien mengalami kekurangan cairan 2-5% dari berat badan. Sedang bila pasien kehilangan cairan 5-8% dari Berat Badan. Berat bila pasien kehilangan cairan 8-10% dari Berat Badan. Prinsip menentukan jumlah cairan yang akan diberikan yaitu sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari tubuh. Macam-macam pemberian cairan: 1. BJ plasma dengan rumus:



Kebutuan cairan -



BJ plasma - 1,025 x Berat badan x 4 ml 0,001



2. Metode Pierce berdasarkan klinis: Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan = 5% x Berat badan (kg) Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan = 8% x Berat badan (kg) Dehidrasi berat, kebutuhan cairan= 10% x Berat badan (kg) 3. Metode Daldiyono berdasarkan skor klinis a.1. (Lihat Tabel 5) Skor Kebutuhan cairan = -x 10% x kgBB x 1 liter 15 Bila skor kurang dari 3 dan tidak ada syok, maka hanya diberikan cairan peroral (sebanyak mungkin sedikit demi sedikit). Bila skor lebih atau sama 3 disertai syok diberikan cairan per intravena. Cairan rehidrasi dapat diberikan melalui oral, enteral melalui selang nasogastrik atau intravena. Bila dehidrasi sedangherat sebaiknya pasien diberikan cairan melalui infus pembuluh darah. Sedangkan dehidrasi ringanlsedang pada pasien masih dapat diberikan cairan per oral atau selang nasogastrik , kecuali bila ada kontra indikasi atau oral/saluran cerna atas tak dapat dipakai. Pemberian per oral diberikan larutan oralit yang hipotonik dengan komposisi 29 g glukosa, 3,5 g NaC1,2,5 g Natrium Bikarbonat dan 1,5 g KC1 setiap liter. Contoh oralit generik, renalyte, pharolit dll. Pemberian cairan dehidrasi terbagi atas: a. Dua jam pertama (tahap rehidrasi inisial): jumlah total kebutuhan cairan menurut rumus BJ plasma atau skor



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DIARE AKUT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Klinis



skor



Rasa hauslmuntah Tekanan darah sistolik 60-90 mmHg Tekanan darah sistolik < 60 mmHg Frekuensi nadi > 120 kalilmenit Kesadaran apati Kesadaran somnolen, sopor atau koma Frekuensi napas > 30 kalilmenit Facies cholerica Vox cholerica Turgor kulit menurun Washer woman's hand Ekstremitas dingin Sianosis Umur 50 - 60 tahun Umur > 60 tahun



Daldiyono diberikan langsung dalam 2 jam ini agar tercapati rehidrasi optimal secepat mungkin. b. Satu jam berikutljam ke-3 (tahap kedua) pemberian diberikan berdasarkan kehilangan cairan selama 2 jam pemberian cairan rehidrasi inisial sebelurnnya. Bila tidak ada syok atau skor Daldiyono kurang dari 3 dapat diganti cairan per oral. c. Jam berikutnya pemberian cairan diberikan berdasarkan kehilangan cairan melalui tinja dan Insensible water loss (IWL)



Diet. Pasien diare tidak dianjurkan puasa, kecuali bila muntah-muntah hebat. Pasien dianjurkan justru minum minuman sari buah, teh, minuman tidak bergas, makanan mudah dicerna seperti pisang, nasi, keripik dan sup. Susu sapi hams dihindarkan karena adanya defisiensi laktase transien yang disebabkan oleh infeksi virus dan bakteri. Minuman berkafein dan alkohol hams dihindari karena dapat meningkatkan motilitas dan sekresi usus. Obat anti-diare. Obat-obat ini dapat mengurangi gejalagejala. a). Yang paling efektif yaitu derivat opioid misal loperamide, difenoksilat-atropin dan tinktur opium. Loperamidepaling disukai karena tidak adiktif dan memiliki efek samping paling kecil. Bismuth subsalisilat merupakan obat lain yang dapat digunakan tetapi kontraindikasi pada pasien HIV karena dapat menimbulkan ensefalopati bismuth. Obat antimotilitas penggunaannya hams hatihati pada pasien disentri yang panas (termasuk infeksi Shigella) bila tanpa disertai anti mikroba, karena dapat memperlama penyembuhan penyakit. b). Obat yang mengeraskan tinja: atapulgite 4 x 2 tablhari, smectite 3 x 1



saset diberikan tiap diare/BAB encer sarnpai diare berhenti. c. Obat anti sekretorik atau anti enkephalinase: Hidrasec 3 x 1tabhari.



Obat antimikroba. Karena kebanyakan pasien memiliki penyakit yang ringan, self limited disease karena virus atau bakteri non-invasif, pengobatan empirik tidak dianjurkan pada semua pasien. Pengobatan empirik diindikasikan pada pasien-pasien yang diduga mengalami infeksi bakteri invasif, diare turis (traveler S diarrhea) atau imunosupresif. Obat pilihan yaitu kuinolon (misal siprofloksasin 500 mg 2 x/hari selama 5-7 hari). Obat ini baik terhadap bakteri patogen invarsif termasuk Campylobacter, Shigella, Salmonella, Yersinia, dan Aeromonas species. Sebagai alternatif yaitu kotrimoksazol (trimetoprirn/sulfametoksazol, 1601800 mg 2 xhari, atau eritromisin 250 - 500 mg 4 xhari. Metronidazol250 mg 3 x/ hari selama 7 hari diberikan bagi yang dicurigasi giardiasis. Untuk turis tertentu yang bepergian ke daerah risiko tinggi, kuinolon (misal siprofloksasin 500 mglhari) dapat dipakai sebagai profilaktik yang memberikan perlindungan sekitar 90%. Obat profilaktik lain termasuk trimetoprim-sulfametoksazol dan bismuth subsalisilat. Patogen spesifik yang hams diobati a.1. Kbrio cholerae, Clostridium difficile, parasit, traveler S diarrhea, dan infeksi karena penyakit seksual (gonorrhea, sifilis, klamidiosis, and herpes simpleks). Patogen yang mungkin diobati termasuk Vibrio non kolera, Yersinia, dan Campylobacter, dan bila gejala lebih lama pada infeksi Aeromonas, Plesiomonas dan E coli enteropathogenic. Obat pilihan bagi diare karena Clostridium difJicile yaitu metronidazol oral 25-500 mg 4 xhari selama 7-10 hari. Vankomisin merupakan obat alternatif, tetapi lebih mahal dan hams dimakan oral karena tidak efektif bila diberikan secara parenteral. Metronidazol intravena diberikan pada pasien yang tidak dapat mentoleransi pemberian per oral. Obat antimikroba dapat dilihat pada Tabel 6.



Pada diare akut harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan klinis yang baik untuk menentukan diagnosis penyebab diare akut dan adaltidaknya dehidrasi. Penatalaksanaan diare akut terdiri dari rehidrasi, diet, obat anti diare dan obat anti mikroba bila penyebabnya infeksi.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Penyebab Shigellosis (serius) S.(para) typhi Salmonellosis lain Campylobacter (keluhan serius dan persisten) Yersinia Disentri amebik Vibrio cholerae Giardia lamblia Schistosoma s p p Strongyloides stercoralis Trichurs trichiura Cryptosporidiosis sernbuh spontan dengan staus irnun normal. Jika pejamu immunocompromised dengan diare persisten Cyclospora lsospora belli Clostridium difficile Biasanya penyembuhan spontan setelah menghentikan antibiotik



Terapi Siprofloksasin 500 rng 2 kalilhari; 3 hari Siprofloksasin 500 mg, 2 kalilhari; 1 0 hari (pilihan ke 1) Amoksisilin 750 rng 4 kalilhari; 1 4 hari (alternatif 1 ) KO-trirnoksazol 960 rng 2 kalilhari; 1 4 hari (alternatif 2) Siprofloksasin 500 rng 2 kalilhari; 10 hari (pilihan ke 1 ) Arnoksisilin 750 rng 4 kali/hari;(alternatif 1) KO-trirnoksazol 960 rng kalilhari; 14 hari (alternatif 2) Eritrornisin 250 rng 4 kalilhari; 5 hari Klaritrornisin 250 rng 4 kalilhari; 5 hari Doksisiklin 200 rng hari ke-I; lalu 100 rng 1 kali hari; 4 hari KO-trirnoksazol 960 rng 2 kalilhari; 5 hari (alternatif 1) Siprofloksasin 500 rng 2 kalilhari 5 hari (alternatif 2) Tinidazol 2 g 1 kalilhari; 3 hari (pilihan ke 1) Metronidazol 750 rng 2 kalilhari; 5 hari (alternatif 1) (diikuti oleh diloksanid furoat 500 rng 3 kalilhari; 1 0 hari) Siprofloksasin 1 g sekali sehari Vibramisin 300 rng satu kali sehari Tinidazol 2 gr satu kali sehari Praziquantel40 rnglkg sekali sehari Albendazol400 rng 1 kalilhari; 3 hari lverrnektin 150-200 mikrogramlkg satu kali sehari Tiabendazol 2 5 mglkg 2 kalilhari (rnaks. 1500 rng per dos) Mebendazol 100 rng 2 kalilhari. 3 hari Parornomisin 500-1000 mg 3 kalilhari; 14 hari Azitromisin 500 rng 1 kalilhari; 3 hari KO-trimoksazol 960 rng 3 kalilhari; 14 hari KO-trirnoksazol 960 mg 3 kalilhari; 14 hari Metronidazol 500 mg 3 kalilhari; 7-10 hari (jika diperlukan) Vancornisin 125 rng 4 kalilhari; 7-10 hari (alternatif)



Catatan; Salmonella typhi rnultiresistan dan mikroorganisme rnultiresistan, terutarna di negara berkernbang. Terapi dengan amoksisilin dan ko-trirnoksazol tidak efektif di beberapa negara. Lama terapi antirnikroba dalarn literatur.



Boediarso A. Pendekatan diagnostik-etiologik diare kronik.In: Suharyono,Sunoto-Firmansyah A eds. Penanganan mutakhir beberapa penyakit gastrointestinal anak. Pendidikan Tambahan Berkala IKA ke XVI FKUI. Jakarta September 30th-October 1st 1988.h. 57-68. Daldiyono. Diare. Dalam: Sulaiman HA-Dsdaldiyono, Akbar HN-Rani AA eds. Gastroenterologi Hepatologi. Jakarta.CV Infomedika. 1990.p. 2 1-33. Gangarosa RE, Glass RI, Lew JF. Boring JR. Hospitalizations involving gastroenteritis in the United States, 1985: the special burden of disease among the elderly. Am J Epidemiol. 1992; 135: 28 1-90 Garthright WE, Archer DL, Kvenberg JE. Estimates of incidence and costs of intestinal infectious diseases in the United States. Public Health Rep. 1998; 103: 107-15. Hendarwanto. Diare akut karena infeksi. In: Noer HMS, Waspadji S, Rachman AM, Lesmana LA, Widodo D, lsbagio H, Alwi I eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam Jilid I. Edisi ketiga. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 1997.h. 45 1-7. Junadi P, Soemasto AS, Amels H. eds. Kapita selekta kedokteran. Edisi kedua. Media Aesculapius FKUI. 1982. Morgenroth K, Kozuschek W, Hotz J. Pancreatitis. deGruyter. Berlin-NewYork. 1991. Rani AA. Pendekatan diagnosis pasien diare kronik. In: Markum MS. Sudoyo AW-Effendy S, Setiati S-Gani RA, Alwi I eds. Naskah



Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan llmu Penyakit Dalam 1997. Bagian llmu Penyakit Dalam FKUII RSUPNCM;1997.p.91-9. Schiller LR. Diarrhea. Med Clin North Am. 2000;84:1259-74. Sellin JH. Intestinal electrolyte absorption and secretion. In: Feldman M, et al, eds. Sleisenger & Fordtran's gastrointestinal and liver disease: pathophysiology, diagnosis, management. 6th ed. Philade1phia:WB Saunders; 1998.p. 145 1-71. Simadibrata M et al. Chronic diarrhea in adult. Asian Pacific Congress of Gastroenterology. Yokohama-Japan. 1996. Simadibrata M. Pengobatan farmakologis diare kronik. 1n:Markum MS, Sudoyo AW, Effendy S, Setiati S, Gani RA Alwi I eds. Naskah lengkap pertemuan ilmiah tahunan ilmu penyakit dalam 1997. Bagian llmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPNCM;l997.p. 101-9. Soffer EE. Diarrhea. In: Andreoli TE, et al, eds. Cecil essentials of medicine. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2001 .p.31620. Suharyono. Penatalaksanaan mutakhir diare kronik. 1n:SuharyohoSunoto-Firmansyah A eds. Penanganan Mutakhir Beberapa Penyakit Gastrointestinal Anak.Pendidikan Tambahan Berkala IKA ke XVI FKUI. Jakarta September 30th-October 1st 1988.h. 69-73. Teh Lip Bin. Diarrhoea. in: Guan R-Kang JY, Ng HS eds. Management of Common Gastroenterological Prob1ems.a Malaysia & Singapore perspective. second edition Singapore.MediMedia Asia. 1995.p. 74-82. World Gastronterology Organisation. Global guidelines 2005.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



POLIP KOLON H.A. Fuad Bakry F



PENDAHULUAN Istilah polip kolon dalam klinik dipakai untuk menggambarkan tiap kelainan yang jelas (ainv c.il.c.zrrnvc.rihedlesion),yang menonjol di atas permukaan mukosa yang mengelilinginya, Bentuk. besar. dan permukaan polip dapat berbedabeda. Ada yang bertangkai. disebut ,t~cdmculutcrlpollp dan ada yang tidak bertangkai dan mcmpunyai dasar yang Iebar, disebut scssilepo/v/). Walaupun secara makroskopis beberapa jenis polip dapat diketahui akan tetapi untuk mengetahui secara pasti jenis polip, diperlukan pemeriksaan histologis. Ini penting sekali karena jenisjenis polip berbeda secara klinis terutama dalam ha1 potensi untuk menjadi ganas. Polip kolon-rektum lebih sering ditemukan dari pada pollp lambung-duodenum. Polip pada usus besar dibagi atas: I ). Polip non-epitelial, 2).Polip epitelial. Polip non-epiteltal berasal dari jaringan limfoid, otot halus, letnak dan saraE Misalnya polip limfoid. yang .se,ssilc~ dan submukosa, terdapat pada bagian distal rektum dan tidak ganas. Polip limfoid ini terjadi karena pcradangan lokal. Polip epitelial lebih sering terdapat. Dapat dibagi atas 4 golongan : 1 ) . Adenoma atau golongan neoplastik. Jenis ini sangat penting karena potensinya untuk menjadi ganas. 2). Hamartoma. 3). Polip karena peradangan (inf1umrnutor-y/)ol~/).v). 4 ) . Polip hiperplastik (hjpriplnsti~~ polbp). Adenoma. Terdapat 3 jenis Adcnoma, yaitu: a). Adenoma tubular, b). Adenoma villosa, c). Adenoma tubulo-villosa. Adenoma tubular yang khas ialah kec~l,sferis dan bertangkai dengan permukaan yang lic~n.A~lc~noma \Vllo.s~r biasanya besar dan scvsil dengan permukaan yang tidak licin. Sedangkan adenoma tubulo-villosa adalah campuran dari kedua jenis adenoma tadi.



Hampir semua karsinotna kolon timbul dari adenoma. Proses ini dinamakan tr~/et.,1om~r-c~trr~.~i17on7~1 .scyzrcncc. Menurut penyelidikan rnengenai adenoma, perubahan ke arah keganasan menjadi lebih mungkin bila adenoma tersebut berukuran lebih besar. bila berupa tru'enomrr \~illosuatau displasia epitel berat. Poliposis kolon merupakan suatu polip adenomatosa tetapi penyakit ini di Indonesia jarang ditelnukan dan diturunkan menurut hukum Mendel. Bila salah satu dari orang tua tnenderita poliposis. kira-kira 50 O O dari keturunannya aka11 tnenderita penyakit ini. Sebelum polip mulai nampak. daerah-daerah dengan proliferasi atipik sudah dapat ditemukan pada biopsi mukosa rektum. Ini kemudian tumbuh menjadi polip adenomatosa. Biasanya terdapat ratusan sampai ribuan polip pada poliposis familial. Pcrdarahan, bnnyak lendir dan tenesmus rnenunjukkan adanya transformasi keganasan.



Gambar 1. Polip kolon



Hamartomalncnipakan suatu malfonnasi, terdiri atas suatu campuran jaringan yang secara normal terdapat di bagian badan tersebut. Pada usus besar ada 2 macam hamartoma yang dikenal, akan tetapi jarang terdapat. yaitu: a).polip juvenil (Jtn~rnilcpolyp), b). polip pada Sinhorn Pt~rfzJ c d 1er.s.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Polip juvenil biasanya terdapat pada anak-anak. walaupun tidak selalu demikian. Sebagian besar t~mbuldi rektuln bagian distal sainpai 5 ern dari rektum, biasanya hanya satu atau sedikit jumlahnya. Juvc~nilepoI\po.\r\ syndrome yaitu keadaan dlmana ada polip di lambung. usus kecil dan usus besar jarang terdapat. Makroskop~s kelihatan sebagai pollp kecll sampai 2 em, bundar dcngan permukaan yang licin dan ~nerahterang. Polip pada sindroln Pelit:-Jegher sebagian besar terdapat pada usus kecil akan tqtapi pada 15 %, pollp terdapat juga di kolon. Polip tersebut .srssile atau bertangkai, permukaan kasar dan lohularrd tidak menjadi ganas.



Poiip adeno



Inflammatory polyps, terdapat pada peradangan kron~h sepertl penyakit Crohn, kolitis ulseratif, disentri basilaris, amebiasis dan sk~stosomiasis.Polip-polip ini dapat berbentuk yang aneh-aneh. Walaupun kelihatannya bertangkai akan tetapi sukar dibedakan antara tangkai dan kepala. Polip hiperplastik atau metaplastik. Biasanya multiple dan sessile, tlmbul pada usia Iebih dari 40 tahun. Dapat ditemukan di semua baglan usus besar, akan tetapi lebih sering terdapat di rektum. Biasanya kecil, lebih kccil dari 0,s em, warnanya sama dengan rnukosa di sekitarnya atau lebih pucat.



Berhubungan dengan kcmungkinan keganasan, tiap polip perlu diangkat dan dikiri~nke patologi anatolni untuk pemeriksaan, begitu pula polip kecil. Sejak permulaan tahun ti~juhpuluhan, polipcktorni secara cndoskopik dapat dikerjakan dengan koagulasi-elcktris. Pengalaman mcnunjukkan. bahwa prosedur tersebut cukup aman dan tidak sulit bila dikerjakan olch seorang ahli endoskopi yang terlatih dan berpengalaman. Sebaiknya polip tidak dibiopsi karena spesimen biopsi kurang representatif. Suatu adenolna villosa yang lebih besar dari 2 ern lcbih baik tidak dikeluarkan secara polipektomi endoskopik, tetapi perlu dilakukan reseksi oleh ahli bedah. Sebelum polipektomi, usus hams dibersihkan dengan baik dan tidak boleh kotor. Usus yang tidak bersih mengandung banyak gas-gas seperti lnetan dan hidroge~i yang dapat menilnbulkan peledakan bila terkena aliran listrik. Premcdikasi biasanya tidak diperlukan. Kadangkadang diperlukan diazepam atau buskopan secara intravcna. Endoskop dimasukkan sampai dckat polip, yang akan dikeluarkan. Bila lebih dari satu polip yang akan dikeluarkan dalarn satu tahap, kita ~nulaidengan polip yang paling proksimal. Kolon dikembangkan dengan suatu inert gus seperti CO, yang tidak mudah tcrbakar untuk menghindari lcdakan karena gas-gas yang biasanya terdapat di usus bcsar, tenltama metan. Dcngan suatu



Gambar 2. Perubahan pol~padenoma menjad~karsinoma



rnetul .polip ditangkap dan dijerat pada pada tempat yang tidak terlalu dekat dasarnya karena bahaya heat necro.si.s pada dinding usus, akan tetapi juga tidak boleh terlalu tinggi dan perlu cukup ke bawah supaya sebanyak ~iiungkintangkai terpotong. Perlu dijaga supaya kepala polip tidak menyentuh dinding usus berhadapan karena dapat menyebabkan nekrosis. Ke~nudiandcngan aliran listrik polip dapat dipotong. Biasanya dengan cara ini polip yang bertangkai besar sampai 2 ern dapat diangkat. Lebih besar dari 2 cni sampai 4 ern sulit untuk ditangkap dengan sntn-c.. Untuk polip yang besar ini atau yang lebih besar lagi. bila keadaan pasien tidak memungkinkan untuk diopcrasi dapat diusahakan polipektomi secarapiec,c. meal, jadi sedikit demi sedikit, atau dikerjakan dalam beberapa tahap. Untuk mengeluarkan polip yang sudah dipotong dapat dilnksanakan dengan penyedotan pada ujung endoskop. Akan tetapi dengan cara iiii kadang-kadang polip dapat terlepas lagi dan hams dicari-cari lagi. Sebaiknya polip dikeluarkan dengan rc~tricvalfi)rc~p,s, atau ditangkap dengan .snure tanpa aliran listrik. Komplikasi yang dapat t~rnbuldengan polipektomi endoskopik adalah: perdarahan, perforasi, reflcks vagovagal, eksplosi. Eksplosi tidak akan terjad~bila usus bersih dan lebih aman lagi bila dipakal CO,. Rcfleks vago-vagal sangat jarang tcrjadi. Bila dikerjakan dcngan hati-hati dan memperhatikan semua petunjuk-petunjuk teknis yang diperlukan untuk polipektomi, komplikasi perdarahan atau perforasi akan berkurang. Bila polip teniyata ganas dan jaringan karsinoma sudah dldapat pada tcpi potongan atau menembus ~nuskularis



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI mukosa maka hams dikejakan reseksi pada bagian usus tersebut. Pada karsinoma in situ tidak perlu tindakan reseksi akan tetapi sangat dianjurkan untuk kontrol endoskopi secara teratur. Pada adenoma, walaupun tidak ganas, diperlukan pula kontrol endoskopi. Demikian pula pada polip-polip lain akan tetapi dalam ha1 ini kontrol tidak perlu terlalu sering, misalnya cukup sekali setahun. Tidak terlalu sukar untuk mengeluarkan polip secara endoskopi. Akan tetapi dokter yang mengerjakan polipektomi perlu dilatih dahulu untuk menghindari terjadinya komplikasi seperti perdarahan, perforasi atau eksplosi. Dengan polipektomi dapat dicapai : 1). mencegah perdarahan dari polip. 2). mencegah terjadinya karsinoma. 3). tidak jarang merupakan diagnosis dan pengobatan dini karsinoma kolon/rekturn.



REFERENSI Corman ML. Polipoid disease. Colon and rectal surgery. 2"* edition. p. 345-85. Luk GD. Colonic polyp: benign and premalignant neoplasms of the colon. In: Yamada T, Alpers DH, Owyang C, Powell DW, Silverstein FE, editors. Textbook of gastroenterology. Volume 2. 2" edition. Philadelphia: JB Lippincott Co; 1995. p. 191 1- 43. Robbins Cortran. The gastrointestinal tract-colon: pathologic basis of disease. International student. p. 987-91. Rosai J. Ackerman's surgical pathology. Mosby Year Book; 1966. p. 754-66. Scwartz SI. Neoplastic disease. Principles of surgery. 6Ih edition. New York: Mc Graw Hill; 1994. p. 1259-71. Simadibrata R. Polip kolon. In: Soeparman, editor. Ilmu penyakit dalam. Jilid 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. p. 149-51. Taylor L. Colon polyps and colon cancer. Med Int. 1986;2(9):10634. Taylor L. Colon polyps and colon cancer. Med Int. 1990;3:33004. Way LW. Polyps of the colon and rectum. Current surgical diagnosis and treatment. 10Ih edition. A Lange Medical Book. 1994. p. 662-7.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



KOLITIS INFEKSI Nizam Oesman



Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon, yang berdasarkan penyebab dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. ~ o l i t iinfeksi, s misalnya: shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis amebik, kolitis pseudomembran, kolitis karena virus/bakteri/parasit lain. b. Kolitis non-infeksi, misalnya: kolitis ulseratif, penyakit Crohn 's, kolitis radiasi, kolitis iskemik, kolitis mikroskopik, kolitis non-spesifik (simple colitis). Pembahasan ini difokuskan pada kolitis infeksi yang sering ditemukan di Indonesia sebagai daerah tropik, yaitu kolitis amebik, shigellosis, dan kolitis tuberkulosa. Di samping itu dibahas pula kolitis pseudomembran yang timbulnya terkait dengan pemakaian antibiotik, dan infeksi E. coli patogen yang dilaporkan sebagai salah satu penyebab utama diare kronik di Jakarta.



KOLlTlS AMEBIK (AMEBIASIS KOLON)



Batasan. Peradangan kolon yang disebabkan oleh protozoa Entamoeba histolytica. Epidemiologi. Prevalensi amebiasis di berbagai tempat sangat bervariasi, diperkirakan 10% populasi terinfeksi. Prevalensi tertinggi di daerah tropis (50-80%). Manusia merupakan host sekaligus reservoir utama. Penularannya lewat kontaminasi tinja ke makanan dan minuman, dengan perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal, atau lewat hubungan seksual anal-oral. Sanitasi lingkungan yang jelek, penduduk yang padat dan kurangnya sanitasi individual mempermudah penularannya. Pasien yang asimtomatik tanpa adanya invasi jaringan, hanya mengeluarkan kista pada tinjanya. Kista tersebut dapat bertahan hidup di luir tubuh manusia. Sedangkan pada pasien dengan infeksi amuba akutkonik yang invasif



selain kista juga mengeluarkan trofozoit, namun bentuk trofozoit tersebut tidak dapat bertahan lama di luar tubuh manusia.



Patofisiologi. E.histolytica terdapat dalam dua bentuk yaitu: kista dan trofozoit yang bergerak. Penularan terjadi melalui bentuk kista yang tahan suasana asam. Di dalam lumen usus halus, dinding kista pecah mengeluarkan trofozoit yang akan menjadi dewasa dalam lumen kolon. Akibat klinis yang besar - - ditimbulkan bervariasi, sebagian asimtomatik atau menimbulkan sakit yang sifatnya ringan sampai berat. Berdasar pola isoenzimnya, E. histolytica dibagi menjadi golongan zymodeme patogenik dan zymodeme non patogenik. Walaupun mekanismenya belum seluruhnyajelas, diperkirakan trofozoit menginvasi dinding usus dengan cara mengeluarkan enzim proteolitik. Pasien dalam keadaan imunosupresi seperti pemakai steroid memudahkan invasi parasit ini. Penglepasan bahan toksik menyebabkan reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi mukosa. Bila proses berlanjut, timbul ulkus yang bentuknya seperti botol undermined, kedalaman ulkus mencapai submukosa atau lapisan muskularis. Tepi ulkus menebal dengan sedikit reaksi radang. Mukosa di antara ulkus terlihat normal. Ulkus dapat terjadi di semua bagian kolon, tersering di sekum, kemudian kolon asenden dan sigmoid, kadang-kadang apendiks dan ileum terminalis. Akibat invasi amuba ke dinding usus, timbul reaksi imunitas humoral dan imunitas cell-mediated amebisidal berupa makrofag lymphokine-activated serta limfosit sitotoksik CD8. Invasi yang mencapai lapisan muskularis dinding kolon dapat menimbulkan jaringan granulasi dan terbentuk massa yang disebut ameboma, sering terjadi di sekum atau kolon asenden. Gejala klinis. Gejala klinis pasien amebiasis sangat bervariasi, mulai dan asimtomatik sampai berat dengan



ONLY SCANNED FOR 560dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



gejala klinis menyerupai kolitis ulseratif. Beberapa jenis keadaan klinis pasien amebiasis adalah sebagai berikut: 1. Carrier (cystpasser) : ameba tidak mengadakan invasi ke dinding usus, tanpa gejala atau hanya keluhan ringan seperti kembung, flatulensi, obstipasi, kadang kadang diare. Sembilan puluh persen pasien sembuh sendiri dalam waktu satu tahun, sisanya (10%) berkembang menjadi kolitis ameba. 2. Disentri ameba ringan : kembung, nyeri perut ringan, demam ringan, diare ringan dengan tinja berbau busuk serta bercampur darah dan lendir, keadaan umum pasien baik. 3. Disentri ameba sedang: kram perut, demam, badan lemah, hepatomegali dengan nyeri spontan. 4. Disentri ameba berat :diare disertai banyak darah, demam tinggi, mual, anemia. 5. Disentri ameba kronik: gejala menyerupai disentri ameba ringan, diselingi dengan periode normal tanpa gejala, berlangsung berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, neurastenia, serangan diare biasanya timbul karena kelelahan, demam atau makanan yang sukar dicerna.



-



Algoritme Diagnosis Kolitis Amebik



1



Tes tinja untuk darah tersamar



Positif



Negatif



Negatif



Kolonoskopi 8 biopsi (Utamakan tepi ulkus)



Positif



I Lakukan pengobatan dengan amebisidal Gambar 1. Algoritrne diagnosis kolitis amebik



Diagnosis. Pada pasien yang dicurigai mengidap amebiasis kolon, pertama kali diperiksa adanya eritrosit dalam tinja, bila positif, pemeriksaan dilanjutkan (lihat algoritma diagnosis). Pemeriksaan tinja segar yang diberi larutan garam fisiologis, dilakukan minimal pada 3 spesimen tinja yang terpisah, untuk mencari adanya bentuk trofozoit.



Diagnosis banding. Kolitis amebik sangat perlu dibedakan dengan kolitis ulserosa atau kolitis Crohn karena pemberian kortikosteroid pada kollitis amebik menyebabkan penyebaran organisme dengan cepat dan dapat menimbulkan kematian pasien. Diagnosis banding yang lain adalah kolitis karena infeksi Shigella, Salmonella, Campy10 bacter, Yersinia, E. coli patogen, dan kolitis pseudomembran. Komplikasi 1. Intestinal. Berupa perdarahan kolon, perforasi, peritonitis, ameboma, intususepsi, dan striktur. 2. Ekstraintestinal.Dapat terjadi abses hati, amebiasis kulit, amebiasis pleuropulmonal, abses otak, limpa, atau organ lain.



Pemeriksaan bisa dihentikan



Pemeriksaan tinja segar (minimal 3 spesimen): mencari trofozoit, Pewarnaan trichome untuk kista pemeriksaan serologi anti ameba



Positif



Untuk identifikasi lush dilakukan pemeriksaan tinja dengan pengecatan trichrome, bila perlu dengan teknik konsentrasi tinja. Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap ameba, positif pada 85-95% pasien dengan infeksi ameba yang invasif. Pemeriksaan endoskopi bermanfaat untuk menegakkan diagnosis pada pasien amebiasis akut. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan dini sebelum dilakukan terapi. Ulkus yang terjadi bentuknya khas, berupa ulkus kecil, berbatas jelas, dengan dasar yang melebar (undermined), dan dilapisi dengan eksudat putih kekuningan. Mukosa di sekitar ulkus biasanya normal. Bentuk trofozoit biasanya dapat ditemukan pada dasar ulkus dengan cara mengerok atau aspirasi kemudian diperiksa dengan mikroskop setelah diberi larutan garam fisiologis. Pemeriksaan radiologi tidak banyak membantu, karena gambarannya sangat bervariasi dan tidak spesifik. Bila terbentuk ameboma tampak sebagaiJlling defect.



I



Penatalaksanaan 1. Karier asimtomatik. Diberi obat yang bekerja di lumen usus (luminal agents) antara lain: Iodoquinol (diiodo- hidroxyquin) 650 mg tiga kali perhari selama 20 hari atau Paromomycine 500 mg 3 kali sehari selama 10 hari 2. Kolitis ameba akut. Metronidazol750mg tiga kali sehari selama 5 -1 0 hari, ditambah dengan obat luminal tersebut di atas. 3. Amebiasis ekstraintestinal (misalnya: abses hati ameba). Metronidazol750 mg tiga kali sehari selama 5 10 hari ditambah dengan obat luminal tersebut di atas. Penggunaan 2 macam atau lebih amebisidal ekstraintestinal tidak terbukti lebih efektif penggunaan dari satu macam obat. Beberapa obat yang juga dapat digunakan untuk amebiasis ekstra intestinal antara lain: 1). Kloroquin fosfat 1gram perhari selama 2 hari dilanjutkan 500 mgfhari selama 19 hari. 2). Emetin 1 mg/kgBB/ hari IM (maksimal60 mg) selama 10 hari. Emetin merupakan obat yang efektif untuk



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



membunuh trofozoit di jaringan atau yang berada di dinding usus, tetapi tidak bermanfaat untuk ameba yang berada di lumen usus. Beberapa dasawarsa yang lalu emetin sangat populer namun saat ini telah ditinggalakan karena efek toksiknya, yaitu dapat menimbulkan mual muntah, diare, kram perut, nyeri otot, takikardia, hipotensi, nyeri prekardial, dan kelainan EKG berupa Inversi getombang T dan interval QT memanjang, sedangkan aritrnia dan QRS yang melebar jarang ditemukan. Disarankan pasien yang mendapatkan obat ini dalam keadaan tirah baring dengan pemantuan EKG. Hindari penggunaan emetin bila terdapat kelainan ginjal, jantung, otot, sedang hamil, atau pada anak-anak, kecuali bila obat yang lain gagal.



DlSENTRl BASILER (SHIGELLOSIS)



Batasan. Infeksi akut ileum terminalis dan kolon yang disebabkan oleh bakteri genus Shigella. Epidemiologi. Infeksi Shigella mudah terjadi di tempat pemukiman padat, sanitasi jelek, kurang air, dan tingkat kebersihan perorangan yang rendah. Di daerah endemik infeksi Shigella merupakan 10-15% penyebab diare pada anak. Sumber kuman Shigella yang alamiah adalah manusia walaupun kera dan simpanse yang telah dipelihara dapat juga tertular. Jumlah kuman untuk menimbulkan penyakit relatif sedikit, yaitu berkisar antara 10-100 kuman. Oleh karena itu sangat mudah terjadi penularan secara fecal-oral, baik secara kontak langsung maupun akibat makanan dan minuman yang terkontaminasi. Di daerah tropis termasuk Indonesia, disentri biasanya meningkat pada musim kemarau di mana S.flexnerii merupakan penyebab infeksi terbanyak. Sedangkan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat prevalensinya meningkat di musim dingin. Prevalensi infeksi oleh S. flexnerii di negara tersebut telah menurun sehingga saat ini S. sonnei adalah yang terbanyak. Mikrobiologi. Shigella termasuk kelompok enterobacteriaceae, yang bersifat gram negatif, anaerob fakultatif dan sangat mirip dengan Escherichia coli. Beberapa sifat yang membedakan kuman ini dengan E. coli adalah kuman ini tidak bergerak aktif, tidak memproduksi gas dalam media glukosa dan pada umumnya laktosa negatif. Dikenal 4 spesies Shigella dengan berbagai serotipenya yaitu: S. dysenteriae (12 serotipe), S.flexnerii (14 serotipe), S. boydii (15 serotipe) dan S. sonnei (1 serotipe). Keempat spesies Shigella itu secara berurutan disebut sebagai golongan A, B, C, dan D. Gejala klinis terberat terjadi pada infeksi S. dysenteriae, kuman ini juga sering menyebabkan wabah di negara sedang berkembang. Sedangkan gejala klinis yang teringan adalah akibat infeksi S. sonnei. Patofisiologi. Semua strain kuman Shigella menyebabkan



disentri, yaitu suatu keadaan yang ditandai dengan diare, dengan konsistensi tinja biasanya lunak (tidak cair), disertai eksudat inflamasi yang mengandung leukosit polymorphonuclear (PMN) dan darah. Kolon merupakan tempat utama yang diserang Shigella namun ileum terminalis dapat juga terserang. Pada kasus yang sangat berat dan mematikan kuman dapat ditemukan juga pada lambung serta usus halus. Setelah melewati lambung dan usus halus, kuman ini menginvasi sel epitel mukosa kolon dan berkembang biak di dalamnya. Perluasan invasi kuman ke sel disekitamya melalui mekanisme cell to cell transfer. Walaupun lesi awal terjadi di lapisan epitel respons inflamasi lokal yang menyertai cukup berat, melibatkan leukosit PMN dan makrofag. Hal tersebut menyebabkan edema, mikroabses, hilangnya sel goblet, kerusakan arsitektur jaringan dan ulserasi mukosa. Bila penyakit berlanjut, terjadi penumpukan sel inflamasi pada lamina propria, dengan abses pada kripta merupakan gambaran yang utama. S. dysenteriae, S.flexneri dan S. sonnei menghasilkan eksotoksin antara lain ShET1, ShET2, toksin Shiga, yang mempunyai sifat enterotoksik, sitotoksik, dan neurotoksik. Enterotoksin tersebut merupakan salah satu faktor virulen sehingga kuman lebih mampu menginvasi sel epitel mukosa kolon dan memperberat gejala klinis. Kuman Shigella jarang melakukan penetrasi ke jaringan di bawah mukosa sehingga jarang menyebabkan bakteriemia. Walaupun demikian pada keadaan malnutrisi dan pasien immuno-compromized dapat terjadi bakteriemia. Selain itu dapat pula terjadi kolitis hemoragik dan sindrom hemolitik uremik (SHU). SHU diduga akibat adanya penyerapan enterotoksin yang diproduksi oleh kuman Shigella. Infeksi Shigella menimbulkan imunitas humoral yang protektif untuk spesies yang sama.



Gejala klinis. Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Pada dasamya gejala klinis Shigeleosis bervariasi. Lama gejala rerata 7 hari pada orang dewasa, namun dapat berlangsung sampai 4 minggu. Disentri basiler yang tidak diobati dengan baik dan berlangsung lama gejalanya menyerupai kolitis ulserosa. Pada fase awal pasien mengeluh nyeri perut bawah, rasa panas rektal, diare disertai demam yang bisa mencapai 40°C. Selanjutnyadiare berkurang tetapi tinja masih mengandung darah dan lendir, tenesmus, dan nafsu makan menurun. Pada anak-anak mungkin didapatkan demam tinggi dengan atau tanpa kejang, delirium, nyeri kepala, kaku kuduk, dan letargi. Pengidap pasca-infeksi pada umumnya berlangsung kurang dari 4 minggu. Walaupun jarang terjadi telah dilaporkan adanya pengidap Shigella yang mengeluarkan kuman bersama feses selama bertahun. Pengidap kronik tersebut biasanya sembuh sendiri, dan dapat mengalami gejala shigellosis yang intermiten. Diagnosis. Perlu dicurigai adanya Shigellosis pada pasien yang datang dengan keluhan nyeri abdomen bawah, rasa



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



panas rektal, dan diare. Pemeriksaan mikroskopik tinja menunjukkan adanya eritrosit dan leukosit PMN. Untuk memastikan diagnosis dilakukan kultur dan bahan tinja segar atau hapus rektal. Sigmoidoskopi dapat memastikan diagnosis adanya kolitis, namun pemeriksaan tersebut pada umumnya tidak diperlukan, karena menyebabkan pasien merasa sangat tidak nyaman. Indikasi untuk melakukan sigmoidoskopi adalah bila segera diperlukan kepastian diagnosis apakah gejala yang terjadi merupakan dicentri atau manifestasi akut kolitis ulserosa idiopatik. Dalam keadaan tersebut, biopsi hams dikerjakan dalam waktu 4 hari dari saat gejala. Pada fase akut infeksi Shigella, tes serologi tidak bermanfaat. Pada disentri subakut gejala klinisnya serupa dengan kolitis ulseratif. Demikian pula pemeriksaan barium enema, sigmoidoskopi, dan histopatologi juga tidak dapat membedakannya. Perbedaan utama adalah kultur Shigella yang positif dan perbaikan klinis yang bermakna setelah pengobatan dengan antibiotik yang adekuat.



Diagnosis Banding Salmonelosis Sindrom diare karena enterotoksin E. colli Kolera Kolitis ulserosa Komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat berupa komplikasi intestinal dan ekstraintestinal. Komplikasi intestinal biasanya berupa megakolon toksik, perforasi intestinal, dehidrasi renjatan hipovolemik dan malnutrisi. Sedangkan komplikasi ekstraintestinal yang telah dilaporkan cukup banyak, di antaranya adalah batuk, pilek, pneumonia, meningismus, kejang, neuropati perifer, sindrom hemolitik uremik, trombositopenia, reaksi leukemoid, dan artritis (sindrom Reiter). Penatalaksanaan 1. Mengatasi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Sebagian besar pasien disentri dapat diatasi dengan rehidrasi oral. Pada pasien dengan diare berat, disertai dehidrasi dan pasien yang muntah berlebihan sehingga tidak dapat dilakukan rehidrasi oral hams dilakukan rehidrasi intravena. 2. Antibiotik. Keputusan penggunaan antibiotik sepenuhnya berdasarkan beratnya penyakit yaitu pasien dengan gejala disentri sedang sampai berat, diare persisten serta perlu diperhatikan pola sensitivitas kuman didaerah tersebut. Beberapajenis antibiotik yang dianjurkan adalah: ampisilin 4 kali 500 mg per hari, atau kotrimoksazol2 kali 2 tabl.et per hari, atau tetrasiklin 4 kali 500 mg per hari selama 5 hari. Dilaporkan bahwa pada daerah tertentu di Indonesia kuman Shigella telah banyak yang resisten dengan antibiotika tersebut di atas sehingga diperlukan antibiotika lain seperti golongan kuinolon dan



sefalosporin generasi I11 terutama pada pasien dengan gejala klinik yang berat. 3. Pengobatan simtomatik. Hindari obat yang dapat menghambat motilitas usus seperti narkotika dan derivatnya, karena dapat mengurangi eliminasi bakteri, dan memprovokasi terjadinya megakolon toksik. Obat simtomatik yang lain diberikan sesuai dengan keadaan pasien antara lain analgetik-antipiretikdan antikonvulsi.



ESCHERlCHlA COLI (PATOGEN) Batasan., Infeksi kolon oleh serotipe Escherichia coli tertentu (0157:H7) yang menyebabkan diare berdarahl tidak. Epidemiologi. Karena pemeriksaan laboratorium untuk E. Coli patogen jarang dilakukan, maka angka kejadiannya tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan di Amerika Serikat sekitar 21.000 orang terinfeksi setiap tahunnya. Di Canada dan Amerika Serikat,E. Coli ( 0 157:H7) lebih sering diisolasi pada pasien diare dibandingkan dengan Shigella demikian juga pada pasien diare kronik di Jakarta. E. coli patogen tersebut 'didapatkan pada usus ternak sehat (sekitar I%), penularan ke manusia sehingga menyebabkan KLB (kejadian luar biasaloutbreaks) adalah lewat daging yang terkontaminasi pada saat penyembelihan, daging tersebut kemudian digiling dan kurang baik dalam proses pemanasannya. Cara penularan lain adalah lewat air minum yang tercemar, tempat berenang yang tercemar, dan antar manusia. Masa inkubasi rerata 3-4 hari, namun dapat terjadi antara 1-8 hari. E. Coli patogen dapat ditemukan pada pasien sampai 3 minggu setelah sembuh namun tidak pernah ditemukan pada orang sehat (bukan flora normal pada manusia). Patofisiologi. Mekanisme terjadinya diare dan sindrom hemolitik uremik (SHU) pada pasien yang terinfeksi E. coli patogen masih belum jelas. Diduga E. coli patogen melekat pada mukosa dan memproduksi toksin (Shigalike toxins) yang bekerja secara lokal dan sistemik. Kerusakan pembuluh darah kolon akibat toksin tersebut menyebabkan lipopolisakarida dan mediator inflamasi dapat beredar dalam tubuh dan memicu terjadinya SHU. Anak di bawah lima tahun dan manula lebih sering mengalami SHU dari pada orang dewasa. Tidak didapatkan kekebalan yang protektif terhadap infeksi E. coli patogen. Gejala klinis. Manifestasi klinis infeksi E. coli patogen sangat bervariasi, dapat berupa: infeksi asimtomatik, diare tanpa darah, diare berdarah (hemorrhagic colitis), SHU, purpura trombositopenik, sampai kematian. Gejala klasik adalah nyeri abdomen yang sangat (severe abdominal cramp), diare yang kemudian diikuti diare berdarah dan sebagian dari pasien disertai nausea



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



dan vomiting. Pada umumnya suhu tubuh pasien sedikit meningkat atau normal, sehingga dapat dikelirukan sebagai kolitis non infeksi. Pemeriksaan tinja pasien biasanya penuh dengan darah, namun sebagian pasien tidak mengandung darah sama sekali. Pada pemeriksaan barium enema dapat terlihat gambaran thumbprinting pattern pada colon ascenden dan atau transversum akibat adanya edema atau pendarahan submukosa. Pada pemeriksaan kolonoskopi didapatkan gambaran mukosa yang edematous dan hiperemia, kadang kadang ditemukan ulserasi superfisial. Dapat dijumpai pula pseudomembran sehingga menyerupai infeksi C. difficile. Pemeriksaan patologi menunjukkan gambaran infeksi atau iskemik dengan polapatchy kadang kadang dijumpai mikrotrombi fibrin. Gejala biasanya membaik dalam seminggu, namun dapat pula terjadi SHU (sekitar 6 % dari pasien) antara 212 hari dari onset diare. SHU ditandai dengan anemia hemolitik mikroangiopatik, trombositopenia, gagal ginjal dan gejala saraf sentral. Komplikasi neurologik berupa kejang, koma, dan hemiparesis terjadi pada sekitar seperempat dari pasien SHU. Sedangkan hemodialisis diperlukan oleh sekitar setengah dari pasien. Faktor risiko terjadinya SHU antara lain: Balitalmanula, diare berdarah, febris, leukosit yang meningkat, pengobatan dengan obat anti motilitas. Prediktor keparahan SHU antara lain meningkatnya jumlah lekosit, gejala gastrointestinal yang berat, cepat timbul anuria, usia di bawah 2 tahun. Mortalitas antara 3-5%. Purpura trombositopenik mempunyai gejala yang mirip dengan SHU namun dengan gejala gagal ginjal dan kelainan neurologik yang lebih ringan. Biasanya ditemukan pada dewasa



Diagnosis. Setiap pasien dengan diare berdarah seyogyanya dicurigai sebagai infeksi E. coli patogen. Demikian pula dengan pasien dengan kemunglunan tertular E. coli patogen walaupun mengalami diare tanpa darah juga patut dicurigai. Kultur dengan agar sorbitolMacConkey dan aglutinasi dengan 0157 anti serum merupakan sarana yang murah untuk memastikan diagno;a infeksi E. coli patogen. Diagnosis banding. Kolitis pseudomembran dan kolitis infeksi yang lain. Penatalaksanaan.Pengobatan infeksi E. coli patogen tidak spesifik, terutama pengobatan suportif dan simtomatik. Komplikasi SHU dilaporkan lebih banyak terjadi pada pasien yang mendapat antibiotik dan obat yang menghambat motilitas. Di samping itu pemberian kotrimoksazol dilaporkan tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap perjalanan gejala gastrointestinal, ekskresi organisme dan komplikasi SHU.



KOLlTlS TUBERKULOSA



Batasan. Infeksi kolon oleh kuman Mycobacterium tuberculosae. Epidemiologi. Lebih sering ditemukan di negara berkembang dengan penyakit tuberkulosis yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Patofisiologi. Penyebab terbanyak Mycobacterium tuberculosae, biasanya lewat tertelannya sputum yang mengandung kuman. Kadang-kadang akibat minum susu yang tercemar Mycobacterium bovis. Terdapat hubungan tingginya frekuensi tuberkulosis saluran cerna dengan beratnya tuberkulosis paru. Timbul3 bentuk kelainan: 1) ulseratif pada 60% kasus, lesi aktif berupa tukak superfisial; 2) hipertropik pada 10% kasus, bentuk lesinya berupa parut fibrosis, dan massa yang menonjol menyerupai karsinoma; 3) ulserohipertropik pada 30% kasus, terdapat ulserasi dengan fibrosis yang merupakan bentuk penyembuhan. Semua bagian saluran cerna dapat terinfeksi, namun lokasi yang tersering (85 -90% kasus) adalah di daerah ileosekal. Gejala klinis. Keluhan paling sering (pada 80-90% kasus) adalah nyeri perut kronik yang tidak khas. Dapat terjadi diare ringan bercampur darah, kadang-kadang konstipasi, anoreksia, demam ringan, penurunan berat badan, atau teraba massa abdomen kanan bawah. Pada sepertiga kasus ditemukan kuman pada tinja, tetapi pada pasien dengan tuberkulosis paru aktif adanya kuman pada tinja mungkin hanya berasal dan kuman yang tertelan bersama sputum. Diagnosis. Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya kuman tuberkulosis di jaringan, baik dengan pemeriksaan mikroskopik langsung atau atas dasar hasil kultur biopsi jaringan. Sedangkan diagnosis dugaan adanya kolitis tuberkulosa adalah bila didapatkan tuberkulosis paru aktif dengan penyakit ileosekal. Pada pemeriksaan barium enema dapat ditemukan penebalan dinding, distorsi lekuk mukosa, ulserasi, stenosis, pseudopolip, atau massa mirip keganasan di sekum. Mungkin pula terbentuk fistula diusus halus. Kolonoskopi merupakan pemeriksaan yang penting untuk membantu menegakkan diagnosis kolitis tuberkulosa. Dengan kolonoskopi didapatkan visualisasi lesi secara langsung, sekaligus melakukan biopsi untuk pemeriksaan kultur dan histopatologi. Pada tuberkulosis kolon biasanya ditemukan penyempitan lumen, dinding kolon kaku, ulserasi dengan tepi yang iregular dan edematous. Tes tuberkulin untuk menunjang diagnosis tuberkulosis paru di daerah endemik kurang bernilai. Diagnosis banding. Penyakit Crohn, amebiasis, divertikulitis, dan karsinoma kolon.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Komplikasi. Komplikasi yang mungkin terjadi berupa perdarahan, porforasi, obstruksi intestinal, terbentuknya fistula, dan sindrom malabsorpsi. Komplikasi yang sering terjadi adalah obstruksi (* 30% kasus) intestinal. Mulamula berupa obstruksi parsial yang kemudian berkembang menjadi obstruksi total. Penatalaksanaan. Diperlukan kombinasi 3 macam atau lebih obat anti tuberkulosis seperti pada pengobatan tuberkulosis paru, demikian pula lama pengobatan dan dosis obatnya. Kadang-kadang perlu tindakan bedah untuk mengatasi komplikasi. Beberapa obat anti tuberkulosis yang sering dipakai adalah: INH 5-10 mg/kgBB atau 400 mg sekali sehari. Etarnbutol15-25 mg/kgBB atau 900- 1200mg sekali sehari. Rifampisin 10 mg/kgBB atau 450-600 mg sekali sehari. Pirazinainid 25-35 mg/kgBB atau 1,5-2 g. sekali sehari.



KOLlTlS PSEUDOMEMBRAN Batasan. Kolitis pseudomembran adalah peradangan kolon akibat toksin yang ditandai dengan terbentuknya lapisan eksudatif (pseudomembran) yang melekat di permukaan mukosa. Disebut pula sebagai kolitis terkait antibiotik sebab umumnya timbul setelah menggunakan antibiotik. Etiologi. Walaupun umumnya timbul sebagai komplikasi pemakaian antibiotik, namun kolitis pseudomembran ini telah ditemukan sebelum era antibiotik. Yang dianggap sebagai kuman penyebab adalah Clostridium dif'jcile, toksin yang dikeluarkan mengakibatkan kolitis. Mekanisme pasti antibiotik menjadikan usus lebih rentan terhadap C. difficile belum jelas. Penjelasan yang paling mungkin adalah penekanan flora usus normal oleh antibiotik memberi kesempatan tumbuh dan terbentuknya kolonisasi C. difJicile disertai pengeluaran toksin. Epidemiologi. C. difJicile ditemukan di tinja 3 -5% orang dewasa sehat tanpa kelainan apapun di kolon nya. Kolitis pseudomembran bisa mengenai semua tingkat umur. Kemungkinan tidak di laporkannya kolitis pseudomembran karena untuk menegakkan diagnosis perlu kolonoskopi dan pemeriksaan toksin kuman di tinja. Penularan bisa secara kontak langsung lewat tangan atau perantaraan makanan minuman yang tercemar. Semuajenis antibiotik, kecuali aminoglikosida intravena, potensial menimbulkan kolitis pseudomembran, namun yang paling sering adalah ampisilin, klindamisin, dan sefalosporin. Patogenesis. C. difficile menimbulkan kolitis dengan cara toxin-mediated. Kuman mengeluarkan dua toksin utama, toksin A dan toksin B. Toksin A merupakan enterotoksin yang sangat berpengaruh terhadap semua kelainan yang terjadi, sedangkan toksin B adalah sitotoksin dan tidak melekat pada mukosa yang masih utuh. Sebanyak 75%



isolat C.dif'jcile menghasilkan kedua toksin tersebut. Kuman yang tidak menghasilkan toksin tidak menyebabkan kolitis maupun diare. Pemeriksaan toksin A dan toksin B diambil dan sediaan tinja, dengan metode ELISA masing-masing spesifitasnya 98,6% dan 100%. Gejala Klinis. Kolitis mungkin sudah timbul sejak sehari setelah antibiotik digunakan, tetapi mungkin pula baru muncul setelah 6 minggu antibiotik di hentikan. Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah diare cair disertai kram perut. Diare yang terjadi dapat ringan, tetapi biasanya banyak, sampai 10-20 kali sehari. Mual muntah jarang. ditemukan. Sebagian besar pasien mengalami demam walaupun dapat terjadi hiperpireksia, umumnya suhu tidak melampaui 38°C. Terdapat leukositosis, sering sampai 50.000/mm Pada beberapa pasien mungkin hanya diawali demam dan leukositosis, sedangkan diare baru muncul beberapa hari kemudian. Temuan lain meliputi nyeri tekan abdomen bawah, edema, dan hipoalbuminemia. Yang lebih sering terjadi adalah kolitis ringan. Pada kasus yang berat dapat terjadi komplikasi berupa dehidrasi, edema anasarka, gangguan elektrolit, megakolon toksik, atau perforasi kolon. Penggunaan narkotik atau antiperistaltik meningkatkan risiko megakolon. Tedesco ( 1 982) melaporkan gejala klinis yang ditemukan pada kolitis pseudomembran seperti yang tertera pada Tabel 1.



Gejala Diare cair Diare berdarah Nyeri perut kram Demam Leukositosis Nyeri tekan abdomen



Frekuensi 90-95% 5-10% 80-90% 80% 80% 10-20%



Diagnosis. Jika ditemukan pasien diare selama atau setelah menggunakan antibiotik perlu dipikirkan terjadinya kolitis pseudomembran. Diagnosis kolitis pseudomembran dapat cepat dibuat dan akurat dengan melakukan pemeriksaan kolonoskopi. Sensitivitasnya tinggi dan merupakan alat diagnostik definitif. Jika ditemukan lesi khas kolitis pseudomembran, seyogyanyatetap dilakukan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi. Secara tipikal, diawali dengan lesi kecil(2-5 mm) putih atau kekuningan, diskret, timbul, mukosa di antaranya seringkali terlihat normal atau mungkin menunjukkan berbagai derajat eritema, granularitas, dan kerapuhan. Jika lesi membesar, terbentuk pseudomembran yang luas berwama kuning keabu-abuan dan jika diambil dengan forsep biopsi terlihat mukosa di bawahnya mengalami ulserasi. C. dflcile tumbuh pada 95% biakan tinja pasien kolitis pseudomembran yang terdiagnosis secara kolonoskopi. Hasil biakan positif tidak diagnostik, karena pada pasien



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



yang berada di rumah sakit tanpa kolitis ditemukan biakan C. difficile positif sebesar 10-25%. Sebagai standar baku adalah ditemukannya toksin B di tinja, sehubungan dengan efek sitopatik toksin B pada kulturjaringan. Karena pemeriksaan ini memakan waktu dan mahal, biasanya cukup memeriksa terdapatnya toksin A dengan metode ELISA. Gambaran histopatologi kolitis pseudo membran bewariasi tergantung beratnya penyakit dan saat kapan biopsi dikerjakan. Price dan Davies (1977), membagi Iesi menjadi 3 tipe (Tabel 2). Lesi tipe 3 yang ditandai dengan nekrosis total mukosa tidak khas karena C. dificile, dapat terjadi pula pada kasus berat lainnya, misalnya kolitis iskemia.



Klasifikasi



Histopatologi



Vulkano



Lesi



Tipe I



Glandular



Tipe 2



Nekrosis



Tlpe 3



Nekrosis epitelial fokal dengan PMN dan fibrin tersebar di dalam lumen. Pelebaran kelenjar dengan PMN dan musin, dilapisi pseudomernbran. rnukosa sekitarnya tidak terkena. Nekrosis mukosa total dengan mukosa dilapisi pseudomembran yang tebal



Diagnosis banding. Kolitis pseudomembran perlu dibedakan dengan kasus diare akibat kuman patogen lain, efek samping penggunaan obat yang bukan antibiotik, kolitis non-infeksi, dan sepsis intra abdominal. Penatalaksanaan. Tindakan awal terpenting adalah menghentikan antibiotik yang diduga menjadi penyebab, juga obat yang mengganggu peristaltik, dan mencegah penyebaran nosokomial. Pada kasus yang ringan keadaan sudah bisa teratasi dengan penghentian antibiotik disertai pemberian cairan dan elektrolit. Pada kasus dengan gejalagejala yang lebih berat seyogyanya dilakukan pemeriksaan deteksi toksin C. difjcile dan terapi spesifik per oral menggunakan metronidazol atau vankomisin. Pada kolitis ringan sampai sedang digunakan metronidazol dengan dosis peroral 250- 500 mg empat kali sehari selama 7-10 hari Pada kasus dengan kolitis yang berat menggunakan vankomisin per oral. dosisnya 125500 mg empat kali sehari selama 7-14 hari. Alternatif pengobatan lainnya menggunakan kolestiramin untuk mengikat toksin yang dihasilkan C.dijjjcile, tetapi obat ini juga mengikat vankomisin; diberikan peroral dengan dosis 4 gram tiga kali sehari selama 5-10 hari. Pada kasus yang berhasil disembuhkan,ternyata dalam beberapa minggu atau bulan kemudian sebanyak 15-35% kambuh. Dianjurkan setelah pengobatan spesifik



diusahakan kembalinya flora normal usus dengan memberikan kuman laktobasilus atau ragi (Saccharomyces boulardii) selama beberapa minggu.



REFERENSI Azim T, Islam LN, Raidemam RC, Hamadani I, Khanum N, Sarker MS. Salam MA, Albert MI. Peripheral blood neutrophil responses in children with Shigellosis. Clin Diagn Lab Immunol. 1995;2:616. Bartlett IG. Psoudomebraneus enterocolitis and antibiotic-associated colitis. In: Sleissenger MH, Fordtran IS, editors. Gastrointestinal disease: pathophysiology, diagnosis, management. 5Ih ed. Philade1phia:WB Saunders; 1993. p. 1181. Chan KL, Sung IV, Hsu R, Liew CT. The association of the amoebic colitis and chronic ulcerative colitis. Singapore Med J. 1995;36:303. Chun D, Chandrasoma P. Kiyabu M. Fulminant amoebic colitis: a morphologic study of four cases. Dis Colon Rectum. 1994;37:535. Chuah SK, Sheen IS, Changchien CS. Chiu KW, Fan KD. Risk factors associated with fulminant amoebic colitis. Formos Med Assoc. 1996;95:446. Fekety R, Shah AB. Diagnosis and treatment of Clostridium dificile colitis. JAMA. 1993;269:71. Haque R, Huston CD., Hughes M, et al. Amebiasis. N Engl J Med. 2003; 348:1565. Hsu YB, Chen FM, Lee PR, Yu SC, Chen KM, Yao YT, Hsu HC. Fulminant amoebiasis: a clinical evaluation. Hepatogastroenterol. 1995; 42: 109. Islam MM, Azad AK, Bardhan PK, Raqib R, Islam D. Pathology of shigellosis and its complications. Histopathology. 1994;24:65. Jacobs NF Jr. Antibiotic-induced diarrhea and pseudomembranous colitis. Postgrad Med J. 1995;95: 1-1 1. Kumar N, Govil A, Puri AS, Gulati R, Iain M, Rawal KK, Gupta R. Tuberculosis in ulcerative colitis: bird in the bush. Trop Gastroenterol. 1995;15:219. La Hatte LI. Tedesco FI, Schuman BM. Antibiotic-associated injury to the gut. In: Hausbrich WS, Schaffner F, Berk JE. editors. Bockus gastroenterology. 5th edition. Philadelphia: WB Saunders; 1995. p. 657. Raqib R, Lindberg AA, Wretlind B. Bardhan PK, Andersson U, Andersson I. Persistence of local cytokine production in shigellosis in acute and convalescent stages. Infect Immun. 1995;63:289. Shimizu S, Tada M, Kawai K. Endoscopic ultrasonography in Inflammatory bowel diseases. Gastrointest Endosc Clin North Am. 1995:5:851. Simadibrata M, Tytgat GNJ, Yuwono V, et al. Microorganisme dan parasit pada diare kronik infektif. Acta Med Indones. 2004;36:218. Spiro HM. Clinical gastroenterology: pseudomembranous enterocolitis. 4th edition. New York: McGraw-Hill; 1993. p. 425. Tedesco FI, Corless JK, Brownstein RE. Rectal sparing in antibioticassociation pseudomembranous colitis: a prospective study. Gastroenterol. 1982;83: 1259. Tjaniadi P, Lesmana M, Subekti D, et al. Antimicrobial resistence of bacterial pathogens associated with diarrheal patients in Indonesia. Am J Trop Med Hyg. 2003;68:666.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



TUMOR KOLOREKTAL Murdani Abdullah



PENDAHULUAN



Tumor Kolorektal dapat dibagi dalam dua kelompok yakni polip kolon dan kanker kolon. Polip adalah tonjolan di atas permukaan mukosa. Polip kolon dapat dibagi dalam 3 (tiga) tipe yakni neoplasma epitelium, nonneoplasma dan submukosa (Tabel 1). Makna klinis yang penting dari polip ada dua yakni pertama kemungkinan mengalami transformasi menjadi kanker kolorektal dan kedua dengan tindakan pengangkatan polip, kanker kolorektal dapat dicegah.



Epitelium Neoplasia Prernaligna Tubular



Nonneoplasia Mukosa Hiperplastik



Tubulo Villousum



lnflamatosa



Villosum Displasia rendah Displasia berat (karsinoma intra mukosa) Maligna I karsinoma Karsinomatosus Poiip maligna



Pseudo polip Hamartoma Juvenille Peutz Jeghers



Submukosa Limfoid hiperplasia Pneumatosis cystoides intestinalis Colitis cystica profunda Lifoma karsinoid Lesi metastasis Leiomioma Hemangioma Fibroma Endometriosis Dan lain-lain



Dan lain-lain



Penyakit tersebut paling banyak ditemukan di Amerika Utara, Australia, Selandia Baru dan sebagian Eropa. Kejadiannya beragam di antara berbagai populasi etnik, ras atau populasi multietnik/multi rasial. Secara umum didapatkan kejadian kanker kolorektal meningkat tajam setelah usia 50 tahun. Suatu fenomena yang dikaitkan dengan pajanan terhadap berbagai karsinogen dan gaya hidup.



INSIDEN DAN EPlDEMlOLOGl



Secara epidemiologis, kanker kolorektal di dunia mencapai urutan ke-4 dalam ha1 kejadian, dengan jumlah pasien lakilaki sedikit lebih banyak daripada perempuan dengan perbandingan 19,4 dan 15,3 per 100.000 penduduk



Gambar .. Jistribusi kanker kolarektal rnenurut lokasi di kolon sebanyak 73% dapat dideteksi dengan pemeriksaan rektosigrnoidoskopi (Data Unit Endoskopi, Divisi Gastroenterologi Departemen llmu Penyakit Dalam FKUIIRSCM, Jakarta 2005).



Kanker kolorektal adalah penyebab kematian kedua terbanyak dari seluruh pasien kanker di Amerika Serikat. Lebih dari 150.000kasus baru, terdiagnosis setiap tahunnya di AS dengan angka kematian per tahun mendekati angka 60.000.



Di AS umumnya rata-rata pasien kanker kolorektal adalah berusia 67 tahun dan lebih dari 50% kematian terjadi pada mereka yang berumur di atas 55 tahun.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Di Indonesia, seperti yang terdapat pada laporan registrasi kanker nasional yang dikeluarkan oleh Direktorat Pelayanan Medik Departmen Kesehatan bekerja sama dengan Perhimpunan Patologi Anatomik Indonesia, didapatkan angka yang agak berbeda. Hal yang menarik di sini adalah kecenderungan untuk umur yang lebih muda dibandingkan dengan laporan dari negara barat. Untuk usia di bawah 40 tahun data dari Bagian Patologi Anatomik FKUI didapatkan angka 35,265%.



ETlOLOGl DAN PATOGENESIS Kanker kolorektal timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik mendominasi yang lainnya pada kasus sindrom herediter seperti Familial Adenomatous Polyposis (FAP) dan Hereditary Nonpolyposis Colorectal Cancer (HNPC), Kanker kolorektal yang sporadi muncul setelah melewati rentang masa yang lebih panjang sebagai akibat faktor lingkungan yang menimbulkan perubahan genetik yang berkembang menjadi kanker. Kedua jenis kanker kolorektal (herediter vs sporadi) tidak muncul secara mendadak melainkan melalui proses yang dapat diidentifikasikan pada mukosa kolon (seperti: displasia adenoma).



1. Probably relafed - Konsurnsi diet lernak tinggi - Konsurnsi diet lernak rendah 2. Possibly related - Karsinogen dan mutagen Heterocyclic arnines Hasil metabolisrne bakteri - Bir dan konsurnsi alkohol - Diet rendah selenium 3. Probably protektif - Konsurnsi serat tinggi (wheat bran, cellulose, lignin) - Diet kalsiurn - Aspirin dan OAlNS - Aktivitas fisik (BMI rendah) 4. Possibly protektif - Sayuran hijau dan kuning - Makanan dengan karoten tinggi - Vitamin C dan E - Selenium - Asarn folat 5. Cyclooxygenase-2 (COX-2) inhibitor, 6. Hormone Replacement Therapy (estrogen)



berhubungan dengan risiko mendapat kanker kolorektal yang lebih rendah. Meskipun anti-oksidan seperti vitamin A, E dan C dianggap dapat menurunkan risiko kanker, namun sebuah penelitian prospektif gaga1 membuktikan penurunan insiden polip pada kelompok yang mendapat suplemen vitamin tersebut.



PENGARUH LINGKUNGAN Sejumlah bukti menunjukkan bahwa lingkungan berperan penting pada kejadian kanker kolorektal. Risiko mendapat kanker kolorektal meningkat pada masyarakat yang bermigrasi dari wilayah dengan insiden kanker kolorektal yang rendah ke wilayah yang insidennya tinggi. Hal ini menambah bukti bahwa lingkungan sentrum perbedaan pola makanan berpengaruh pada karsinogenesis. Beberapa faktor lingkungan yang berperan pada proses karsinogenesis dapat dilihat pada Tabel 2. Kandungan dari makronutrien dan mikronutrien berhubungan dengan kanker kolorektal. Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa lemak hewani, terutama dari sumber daging merah, berpengaruh pada kejadian kanker kolorektal. Penelitian pada binatang yang diberikan diet lemak tinggi meningkatkan proliferasi kolonosit dan pembentukan tumor. Transformasi sel tampaknya melalui peningkatan konsentrasi empedu dalam kolon dan ini telah diketahui sebagai promotor kanker lagipula pada masyarakat dengan konsumsi serat rendah disertai dengan insiden kanker kolon yang tinggi. Keseringan minum alkohol meningkatkan 2 sampai 3 kali lipat kejadian kanker kolon. Sebaliknya masyarakat yang mengkonsumsi ikan laut memiliki insiden kanker kolorektal yang rendah. Diet folat tinggi



FAKTOR GENETIK Banyak kelainan genetik yang dikaitkan dengan keganasan kolorektal di antaranya sindroma poliposis. Namun demikian sindroma poliposis hanya terhitung 90



85 70-80



35-65 5



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Umumnya rekurensi kanker kolorektal terjadi dalam 4 tahun setelah pembedahan sehingga harapan hidup ratarata 5 tahun dapat menjadi indikator kesembuhan. Indikator buruknya prognosis kanker kolorektal setelah menjalani operasi dapat dilihat pada Tabel 4.



rata harapan hidup setelah ditemukan metastasis berkisar 6-9 bulan (hepatomegali & gangguan pada hati) atau 2030 bulan (nodul kecil di hati yang ditandai oleh peningkatan CEA dan gambaran CT-Scan).



GAMBARAN KLlNlS



Derajat Ill



I



Derajat IV



-



-8



@



h h u n artelah dlrgnoris dltrgannan Gambar 3. Nilai rata-rata relatif suwival pasien kanker kolorektal



Tabel 4. Prediktor Prognosis yang Buruk Setelah Operasi Total Kanker Kolorektal Sebaran tumor ke KGB regronal Jumlah KGB reg~onalyang terllbat Penetrasi tumor ke dlndlng usus Dlferenslasl yang buruk (hlstologl) Perforas! Pencepatan tumor ke jarlngan sekltar lnvasl ke vena Tltlk CEA > 5,O mglml pra operas! Aneuploldl Kehllangan kromosorn yang speslfik (meal kehllangan Alela ~ a d akromosom 180) Catatan: CEA = CarsinoernbtyonicAntigen



Kanker kolorektal umurnnya menyebar ke KGB regional atau ke hati melalui sirkulasi vena portal. Hati merupakan organ yang paIing sering mendapat anak sebar KGB. Sepertiga kasus KKR yang rekuren disertai dengan metastasis ke hati dan duapertiga pasien KKR ditemukan metastasis di hati pada waktu meninggal. KKR jarang bermetastasis ke paru. KGB superklavikula tulang atau otak tanpa ditemukan anak sebar di hati terlebih dahulu. Pengecualian terjadi bilamana tumor dapat terletak di distal rektum, sel tumor dapat menyebar melalui pleksus vena paravertebrae kemudian dapat mencapai paru atau KGB superklavikula tanpa melewati sistem vena porta. Rata-



Keluhan dan Tanda Kebanyakan kasus KKR didiagnosis pada usia sekitar 50 tahun dan umumnya sudah memasuki stadium lanjut sehingga prognosis juga buruk. Keluhan yang paling sering dirasakan pasien KKR di antaranya: perubahan pola buang air besar, perdarahan per anus (hematokezia dan konstipasi). KKR umumnya berkembang lamban, keluhan dan tanda-tanda fisik timbul sebagai bagian dari komplikasi seperti obstruksi. Pendarahan invasi lokal kakheksia. Obstruksi kolon biasanya terjadi di kolon transversum. Kolon descenden dan kolon sigmoid karena ukuran lumennya lebih kecil daripada bagian kolon yang lebih proksimal. Obstruksi parsial awalnya ditandai dengan nyeri abdomen. Namun bila obstruksi total terjadi akan menyebabkan nausea, muntah, distensi dan obstipasi. KKR dapat berdarah sebagai bagian dari tumor yang rapuh dan mengalami ulserasi. Meskipun perdarahan umunnya tersamar namun hematochesia timbul pada sebagian kasus. Tumor yang terletak lebih distal umurnnya disertai hematozia atau darah tumor dalam feses tetapi tumor yang proksimal sering disertai dengan anemia defesiensi besi. Invasi lokal dari tumor menimbulkan tenesmus, hematuria, infeksi saluran kemih berulang dan obstruksi uretra. Abdomen akut dapat terjadi bilamana tumor tersebut menimbukan perforasi. Kadang timbul fistula antara kolon dengan lambung atau usus halus. Asites maligna dapat tejadi akibat invasi tumor ke lapisan serosa dan sebaran ke peritoneal. Metastasis jauh ke hati dapat menimbulkan nyeri perut, ikterus dan hipertensi portal. PENDEKATAN DIAGNOSIS Prosedur Diagnosis pada Pasien dengan Gejala Keberadaan kanker kolorektal dapat dikenali dari beberapa tanda seperti: anemia mikrositik, hematokezia, nyeri perut, berat badan turun atau perubahan defekasi, oleh sebab itu perlu segera dilakukan pemeriksaan endoskopi atau radiologi. Temuan darah samar di feses memperkuat dugaan neoplasia namun bila tidak ada darah samar tidak dapat menyingkirkan lesi neoplasma.



Laboratorium. Umurnnya pemeriksaan laboratorium pada



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Kedalaman invansi



J



Frekuensi



Survival



-~ J



=. .:.*-



. a lr.c I



Ikmlnra UlrYlu I



I .I



-



8



rn



I r



J



- --



F -1 i.Lba



ktn



I1



I



'



100%



I



*F



2:



Moninvasif



a :-



95%-1MYI



83A



15%



n



I I



.I



7



Bill)



I



Nonlnvasif 31%



klM4-@%



79%



w -



I



"s,



Noninv~sif ,



'



a n - 1I L 8



b



I



'



4 .



L



.



L?



-I



k& 56%



23%



.I



b



50%-70%



P' 1 9



I



.. &a 1 I



-5%-15%



I



-



I t



-



I



-.-



Gambar 4. Klasifikasi kanker kolorektal menurut Dukes-Turnbull



pasien adenoma kolon memberikan hasil normal. Perdarahan internzitten dan polip yang besar dapat dideteksi melalui darah samar feses atau anemia defisiensi Fe.



Pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan enema barium kontras ganda hanya mampu mendeteksi 50% polip kolon dengan spesifisitas 85%. Bagian rektosigmoid sering sulil untuk divisualisasi meskipun bila dibaca oleh ahli radiologi senior. Oleh karena itu pemeriksaan rektosigmoidoskopi masih diperlukan. Bilarnana ada lesi yang mencurigakan pemeriksaan kolonoskopi diperlukan untuk biopsi.



Pemeriksaan lumen barium teknik kontras ganda merupakan alternatif lain untuk kolonoskopi namun pemeriksaan ini sering tak bisa mendetaksi lesi berukuran kecil. Enema barium cukup efektifuntuk memeriksa bagian kolon di balik striktur yang tak terjangkau dengan pemeriksaan kolonoskopi.



Kolonoskopi. Kolonoskopi merupakan cara pemeriksaan mukosa kolon yang sangat akurat dan dapat sekaligus melakukan biopsi pada lesi yang mencurigakan. Pemeriksaan kolon yang lengkap dapat mencapai >95% pasien. Rasa tidak nyaman yang timbul sangat bergantung



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



573



TUMOR KOLOItElcbu



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI ,



,



-



Sigmoid l



Karsinoma



a



iShouldered



'



margin



Rektum



Gambar 5. Gambar kanker koton dsngan menggunakan pemeriksaan banurn e n e m



pada operator untuk itu sedikit obat penenang intravena akan sangat membantu meskipun ada risiko perforasi dan perdafahan, tetapi kejadian seperti ini 2 cenderung ke penyakit hepatitis alkoholik Biasanya meningkat bersamaan pada kolestasis, obstruksi bilier atau infiltrasi hepatik. Fosfatase alkali juga diproduksi oleh tulang, usus, dan plasenta Menunjukkan fungsi sintesis hati. Konsentrasi dapat menurun pada malabsorpsi, protein-losing enteropathy, penyakit kritis (kebalikan dari fase akut protein), luka bakar, dan sindrom nefrotik. Sensitifitas dan spesifisitasnya rendah pada penyakit hati. Mungkin meningkat pada hepatitis iskemik. Kadarnya juga meningkat setelah kerusakan tulana atau hemolisis



5-40 IUII 5-35 lull



Fosfatase Alkali .I-GT



30-130 lull



Albumin



35-43 grlL



LDH



5-50 IU /I



Kirnia Darah Pemeriksaan kimia darah digunakan untuk mendeteksi kelainan hati, menentukan diagnosis, mengetahui berat ringannya penyakit, mengikuti perjalanan penyakit dan penilaian hasil pengobatan. Pengukuran kadar bilirubin serum, aminotransferase, alkali fosfatase, yGT dan albumin sering disebut sebagai tes fungsi hati atau LFTs. Pada banyak kasus, tes-tes ini dapat mendeteksi penyakit hati dan empedu asimtomatik sebelum munculnya manifestasi klinis. Tes-tes ini dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama, antara lain: 1). Peningkatan enzim aminotransferase Cjuga dikenal sebagai transaminase), SGPT dan SGOT, biasanya mengarah pada perlukaan hepatoselular atau inflamasi; 2). Keadaan patologis yang memengaruhi sistem empedu intra dan ekstrahepatis dapat menyebabkan peningkatan fosfatase alkali dan y GT; 3). Kelompok ketiga merupakan kelompok yang mewakili fungsi sintesis hati, seperti produksi albumin, urea dan faktor pembekuan. Pada keadaan terjadinya gaga1 hati akut, glukosa darah dan pH arteri dapat juga dipertimbangkan sebagai petanda bantuan cadangan fungsional hati. Bilirubin dapat meningkat pada hampir semua tipe patologis hepatobilier. Nilai tes tersebut di atas biasanya saling tumpang tindih antara berbagai kelainan hati dan kolestasis. Sebagai



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



contoh, obstruksi ekstrahepatis akan menyebabkan peningkatan bilirubin, alkali fosfatase dan y GT, namun juga dapat ditemukan iritasi dan inflamasi sekunder hepatosit sebagai akibat obstruksi bilier sehingga sebagai konsekuensinya, akan terjadi peningkatan transaminase serum. Hal sebaliknyajuga sering terjadi. Beberapa bentuk tertentu hepatitis dapat menimbulkan berbagai derajat kolestasis dan sebagai konsekuensinya terjadi peningkatan alkali fosfatase dan y GT. Oleh karena itu, klinisi hams bekerja berdasarkan pada pola yang ada, dan memilih peningkatan enzim mana yang nampaknya paling dominan. Sangat penting untuk mengingat kemungkinan penyakit-penyakit ekstrahepatis, terutama jika pola LFT nampaknya berbeda dari biasanya atau jika hanya ditemukan satu abnormalitas. Merupakan ha1 yang sangat jarang, sebagai contoh, ditemukan peningkatan kadar SGOT hingga 20 kali normal tanpa peningkatan parameter lain sehingga faktor ekstrahepatis hams dipertimbangkan (misalnya otot) dan selalu ada kemungkinan terjadi kesalahan laboratorium. Oleh karena itu, kombinasi beberapa tes fungsi hati sangat diperlukan pada saat pasien dalam observasi dan disesuaikan dengan tanda klinis. Kadang-kadang diperlukan bantuan pemeriksaan lain, seperti pemeriksaan radiologis (ultrasonografi, CTscan, MRI), histopatologis dan serologis.



Hemostasis dan Hati Gangguan hemostasis dan penyakit hati merupakan ha1 yang beriringan. Hal ini bukan hanya menggambarkan peranan hati sebagai sumber protein plasma dan faktor pembekuan, namun juga produksi protein-protein yang secara normal akan menghambat koagulasi, kontrol fibrinolisis, atau aktivasi fibrinolisis. Banyak pasien dengan penyakit hati mengalami trombositopenia dan defisisiensi vitamin K atau vitamin C. Waktu protrombin (atau INR) merupakan parameter yang banyak digunakan untuk tujuan prognosis, sebagaimana skor Child-Pugh. Perpanjangan waktu protrombin juga merupakan salah satu kriteria yang digunakan dalam menentukan perlunya transplantasi hati pada pasien gaga1 hati akut. Waktu protrombin secara khusus sangat sensitif terhadap defisiensi faktor pembekuan seperti faktor V, VII dan X. Vitamin K dibutuhkan untuk sintesis faktor 11,VII, IX dan X, bertindak sebagai kofaktor untuk y-karboksilase residu glutamat. Setiap kali reaksi ini terjadi, akan terbentuk epoxide vitamin K. Enzim vitamin K epoxide reductase yang mengubahnya kembali menjadi vitamin K merupakan target terapi warfarin. Defisiensi vitamin K aktif, baik disebabkan oleh antikoagulan, defisiensi dari diet atau malabsorpsi, juga akan mempunyai efek yang sama dalam memperpanjang waktu protrombin. Oleh karena cadangan vitamin di hati sangat terbatas, sehingga keadaan defisiensi ini akan



terjadi pada saat minggu IV defisiensi dari diet. Keakuratan dari pemanjangan waktu protrombin dalam mengukur kapasitas sintesis hati sangat baik dikonfirmasi dengan pemberian vitamin K injeksi 10 mg pada pasien yang defisiensi vitamin K, minimal 12jam sebelum dilakukan tes ulangan. (Tabel 5)



Penurunan sintesis faktor pembekuan Penurunan produksi penghambat koagulasi Peningkatan fibrinolisis Faktor Pembekuan Abnormal Kualitatif DIC



Trombositopenia Fragilitas kapiler Peningkatan risiko trombosis



Disfungsi hepatoselular Defisiensi vitamin K ( Diet atau malabsorpsi) Anti trombin Ill Protein C Protein S Penurunan produksi Tissue Palsminogen Activator Inhibitor (TPA-I) Disfibrinogenemia (sialisasi berlebihan molekul fibrinogen) mungkin karena peningkatan waktu trombin Low-grade DIC biasanya pada sirosis hati Mungkin refleks endotoksemia dan klirens yang rendah dari faktor pembekuan teraktifasi. Hipersplenisme, infeksi hepatitis C kronis Defisiensi vitamin C Antibodi anti fosfolipid (antibodi anti kardiolipin, antikoagulan) lupus. Umumnva Dada he~atitiskronik



Tes lmunologi Pengukuran autoantibodi sangat berperan dalam penyakit hati dan empedu. Nilai antibodi anti-smooth muscle yang positif dapat mengarahkan adanya hepatitis autoimun kronik aktif, antibodi anti-mitochondria1 terutama ditemukan pada sirosis bilier dan pANCA (perinuclear anti-neutrophil cytoplasmic antibody) sering ditemukan pada sclerosing cholangitis. Beberapa autoantibodi lain yang biasa ditemukan pada kelenjar tiroid juga ditemukan pada hepatitis C kronik. Sehingga sering terjadi tumpang tindih antara berbagai autoantibodi dan beberapa penyakit. Pasien dengan hepatitis autoimun dapat menunjukkan peningkatan kadar IgG serum, sedangkan IgM sering meningkat pada sirosis bilier primer dan IgA pada penyakit hati alkoholik. Petanda Penyakit Hati Metabolik Pada keadaan defisisiensi a,-antitripsin, diagnosis ditegakkan berdasarkan pengukuran kadar enzim serum. Pada keadaan hemokromatosis dan penyakit Wilson, tes ini menjadi lebih rumit. Hemokromatosis genetik ditandai dengan muatan besi berlebihan yang akan mempengaruhi semua sistem organ. Konsentrasi besi dan feritin serum biasanya meningkat, namun dapat berfluktuasi tergantung



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



FISI0UX;I DAN BIOKIMIA H A '



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



keadaan penyakit. Pengukuran saturasi transferin dapat sangat membantu, dan sekarang dapat dilakukan tes genetik dengan memakai darah perifer. Pada penyakit Wilson, konsentrasi tembaga dan seruloplasmin serum biasanya juga menurun, namun konsentrasinya sangat berfluktuasi tergantung pada keadaan penyakit hatinya. Sebagaimana pada hemokromatosis, biopsi hati dapat sangat bermanfaat, namun pengukuran lain yang sensitif dan spesifik terhadap penyakit Wilson adalah pengukuran ekskresi tembaga urin 24 jam, sebelum dan sesudah pemberian penisilin.



Petanda Tumor Petanda tumor yang paling banyak digunakan pada penyakit hati adalah a-fetoprotein (AFP), dimana akan terjadi peningkatan hingga 80% pada karsinoma hepatoselular. Protein ini diekspresikan dari pembelahan hepatosit dan sel oval peribilier sehingga biasanya dapat ditemukan peningkatan sedang dari regenerasi hati selama hepatitis kronik. Peningkatan kadar AFP yang terus menerus, hams mengarahkan kecurigaan pada terjadinya karsinoma. Petanda ini juga dihasilkan oleh tumor sel germinasivum lainnya. Akhir-akhir ini, beberapa petanda tumor yang berdasarkan pada musin epitelial juga ditemukan pada adenokarsinoma saluran empedu dan pankreas. Salah satu contohnya adalah CA 19-9 yang dapat dihasilkan oleh berbagai epitel gastrointestinal. Peningkatan kadar serum ini dapat ditemukan pada 70% kanker saluran empedu, 50% karsinoma hepatoselular, 40% adenokarsinoma lambung dan 30% kanker kolon. Sebagaimana tes-tes lainnya, sensitivitas dan spesifisitasnya ditentukan oleh nilai cutoff, namunjika ditemukan kadar dari CA 19-9 lebih dari 40 IU11 maka mempunyai sensitivitas 75-90% dan spesifisitas 80-95% untuk kanker duktus pankreatikus. Perlu diperhatikan bahwa nilai dari CA 19-9akan menurun sangat cepatjika ditemukan ikterus, sedangkan pada penyakit non



neoplasma lainnya yang dapat mengiritasi traktus empedu (seperti kolangitis atau koledokolitiasis) atau pankreas (seperti pankreatitis kronis) dapat menyebabkan peningkatan CA 19-9. Petanda laimya, CAM 17-1, biasa dinilai pada penelitian klinis dan nampaknya mempunyai potensi untuk dapat digunakan dalam deteksi kanker pankreas.



TES KUANTlTATlF FUNGSI HATI



Meskipun metode ini sering digunakan dalam penelitian, namun sebagian besar metode yang digambarkan hanya mempunyai sedikit dampak klinis. Skor Child-Pugh dan tes darah sebagaiman disebut diatas lebih banyak digunakan. Tes kuantitatif biasanya berdasarkan pada kemampuan hati untuk membersihkan substansi yang dimasukkan ke dalam darah. Pada kasus-kasus pemberian obat yang banyak mengalami metabolisme di hati (seperti lignokain) maka akan mempengaruhi aliran darah hati. Oleh karena itu pembersihan dengan substansi yang sedikit mengalami metabolisme di hati (seperti antipirin) biasanya memberikan hasil yang lebih akurat.



REFERENSI Aspinall R, Tyler-Robinson, SD. Gastroenterology and Liver Disease. Mosby International Limited, 2002 Husada Y. Fisiologi dan pemeriksaan biokimia hati. Dalam : Noer S (ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid I edisi 111. Balai Penerbit FKUI. Jakarta 1996: 224-31 Pratt DS, Kaplan MM. Evaluation of liver function. In : Kasper DL, Fauci AS, Longo DL (eds.) Harrison's Principle of Internal Medicine. 161h ed. Mc Graw Hill, New York. 2005 : 1813-16 Sherlock S. Disease of the liver and biliary system. 5" ed. Blackwell Science Publ. Oxford & edinburg. 1975.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PENDEKATAN KLINIS PADA PASIEN IKTERUS Ali Sulairnan



PENDAHULUAN Ikterus adalah perubahan wama kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Bilirubin dibentuk sebagai akibat pemecahan cincin hem, biasanya sebagai akibat metabolisme sel darah merah. Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis jaune yang berarti kuning. Ikterus sebaiknya dipenksa di bawah cahaya terang siang hari, dengan melihat sklera mata. Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal pada sklera mata, dan kalau ini terjadi konsentrasi bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dL (34 sampai 43 umol/L) Jika i k t e ~sudah s jelas dapat dilihat dengan nyata maka bilirubin mungkin sebenarnya sudah mencapai angka 7 mg%.



Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang berlangsung dalam 3 fase; prehepatik, intrahepatik, dan pascahepatik masih relevan, walaupun diperlukan penjelasan akan adanya fase tambahan dalam tahapan metabolisme bilirubin. Pembagian yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga tahapan metabolisme bilirubin menjadi 5 fase. yaitu fase 1). Pembentukan bilirubin, 2). Transpor plasma, 3). Liver uptake,4). Konjugasi, dan 5). Ekskresi bilier.



Fase Prahepatik 1. Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4 mg per kg berat badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah yang matang. Sedangkan sisanya 20-30% (early labelled bilirubin) datang dari protein hem



lainnya yang berada terutama di dalam sumsum tulang dan hati. Sebagian dari protein hem dipecah menjadi besi dan produk antara biliverdin dengan perantaraan enzim hemeoksigenase. Enzim lain, biliverdin reduktase, mengubah biliverdin menjadi bilirubin. Tahapan ini terjadi terutama dalam sel sistem retikuloendotelial (mononuklir fagositosis). Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin. Pembentukan early labelled bilirubin meningkat pada beberapa kelainan dengan eritropoiesis yang tidak efektif namun secara klinis kurang penting. Tmport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, kanmanya bilirubin tak terkonjugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat melalui membran glomerulus, karenanya tidak muncul dalam air seni. Ikatan melemah dalam beberapa keadaan seperti asidosis, dan beberapa bahan seperti antibiotika tertentu, salisilat berlomba pada tempat ikatan dengan albumin.



Fase lntrahepatik 3. Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati secara rinci dan pentingnya protein pengikat seperti ligandin atau protein Y, belum jelas. Pengambilanbilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin. 4 Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konjugasi dengan asam glukuronik membentuk bilirubin diglukuronida atau bilirubin konjugasi atau bilirubin direk. Reaksi ini yang dikatalisasi oleh enzim mikrosomal glukuronil-transferase menghasilkan bilirubin yang larut air. Dalam beberapa keadaan reaksi ini hanya menghasilkan bilirubin monoglukuronida, dengan bagian asam



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



635



PENDEKATAN KLINISPADA PASIENIKTERUS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI glukuronik kedua ditambahkan dalam saluran empedu melalui sistem enzim yang berbeda, namun reaksi ini tidak dianggap fisiologik. Bilirubin konjugasi lainnya selain diglukuronidjuga terbentuk namun kegunaannya tidakjelas.



Fase Pascahepatik 5. Ekskresi Bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus bersama bahan lainnya. Anion organik lainnya atau obat dapat mempengaruhi proses yang kompleks ini. Di dalam usus flora bakteri men"dekonjugasi" dan mereduksi bilirubin menjadi sterkobi1inogen.dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang memberi wama coklat. Sebagian diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai air seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan diglukuronida tetapi tidak bilirubin unkonjugasi. Hal ini menerangkan wama air seni yang gelap yang khas pada gangguan hepatoselular atau kolestasis intrahepatik. Bilirubin tak terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak. Karenanya bilirubin tak terkonjugasi dapat melewati barier darahotak atau masuk ke dalam plasenta. Dalam sel hati, bilirubin tak terkonjugasi mengalami proses konjugasi dengan gula melalui enzim glukuroniltransferase dan larut dalam empedu cair.



PENYAKITGANGGUAN METABOLISMEBILIRUBIN 1. Hiperbilirubinemiatak terkonjugasi 2. Hiperbilirubinemiakonjugasi



Beberapa anggota keluarga sering terkena tetapi bentuk genetika yang pasti belum dapat dipastikan. Patogenesisnyabelum dapat dipastikanAdanya gangguan (defek) yang kompleks dalam proses pengambilan bilirubin dari plasma yang betfluktuasi antara 2-5 mg/dL (34-86 umol/L) yang cenderung naik dengan berpuasa dan keadaan stres lainnya. Keaktifan enzim glukuroniltransferase rendah; karenanya mungkin ada hubungan dengan sindrom Crigler-Najjar tipe 11. Banyak pasien juga mempunyai masa hidup sel darah merah yang berkurang, namun demikian tidak cukup untuk menjelaskan keadaan hiperbilirubinemia. Sindrom Gilbert dapat dengan mudah dibedakan dengan hepatitis dengan tes faal hati yang normal, tidak terdapatnya empedu dalam urin, dan fraksi bilirubin indirek yang dominan. Hemolisis dibedakan dengan tidak terdapatnya anemia atau retikulositosis. Histologi hati normal, namun biopsi hati tidak diperlukan untuk diagnosis. Pasien hams diyakinkan bahwa tidak ada penyakit hati. Sindrom Crigler-Najjar. Penyakit yang diturunkan dan jarang ini disebabkan oleh karena adanya keadaan kekurangan glukuro- niltransferase, dan terdapat dalam 2 bentuk. Pasien dengan penyakit autosom resesif tipe I (lengkap=komplit) mempunyai hiperbilirubinemia yang berat dan biasanya meninggal pada umur 1 tahun. Pasien dengan penyakit autosom resesif tipe I1 (sebagian=parsial) mempunyai hiperbilirubinemia yang kurang berat (< 20 mg/ dL, < 342 umoVL) dan biasanya bisa hidup sampai masa dewasa tanpa kerusakan neurologik. Fenobarbital, yang dapat merangsang kekurangan glukuronil transferase, dapat mengurangi kuning. Hiperbilirubinemiashunt primer. Keadaan yang jarang, yang bersifat jinak dan familial dengan produksi early labeled bilirubin yang berlebihan.



Hiperbilirubiemia Tak Terkonjugasi Hemolisis. Walaupun hati yang normal dapat memetabolisme kelebihan bilrubin, namun peningkatan konsentrasi bilirubin pada keadaan hemolisis dapat melampaui kemampuannya. Pada keadaan hemolisis yang berat konsentrasi bilirubin jarang lebih dari 3-5 ing/dL (> 5 1-86umol/L) kecuali kalau terdapat kerusakan hati juga. Namun demikian kombinasi hemolisis yang sedang dan penyakit hati yang ringan dapat mengakibatkan keadaan ikterus yang lebih berat; dalam keadaan ini hiperbilirubinemia bercampur, karena eksresi empedu kanalikular terganggu. Sindrom Gilbert. Gangguan yang bermakna adalah hiperbilirubinemiaindirek (tak terkonjugasi),yang menjadi penting secara klinis, karena keadaan ini sering disalahartikan sebagai penyakit hepatitis kronik. Penyakit ini menetap, sepanjang hidup dan mengenai sejumlah 3-5% penduduk dan ditemukan pada kelompok umur dewasa muda dengan keluhan tidak spesifik secara tidak sengaja.



Hiperbilirubiemia Konjugasi 1. Nonkolestasis 2. Kolestasis Hiperbilirubinemia Konjugasi Non-kolestasis Sindrom Dubin-Johnson. Penyakit autosom resesif ditandai dengan ikterus yang ringan dan tanpa keluhan. Kerusakan dasar terjadinya gangguan ekskresi berbagai anion organik sepertijuga bilirubin, namun ekskresi garam empedu tidak terganggu. Berbeda dengan sindrom Gilbert hiper-bilirubinemia yang terjadi adalah bilirubin konjugasi dan empedu terdapat dalam urin. Hati mengandung pigmen sebagai akibat bahan seperti melanin, namun gambaran histologi normal. Penyebab deposisi pigmen belum diketahui. Nilai aminotransferase dan fosfatase alkali normal. Oleh karena sebab yang belum diketahui gangguan yang khas ekskresi korpoporfirin urin dengan rasio reversal isomer I; I11 menyertai keadaan ini.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Smdrom rotor. Penyalutyangjarang ini menyerupai sindrom Dubin-Johnson, tetapi hati tidak mengalami pigmentasi dan perbedaan metabolik lain yang nyata ditemukan. Hiperbilirubinemia Konjugasi Kolestasis 1. Kolestasis intrahepatik 2. kolestasis ekstrahepatik (sumbatan pada duktus bilier, di mana terjadi hambatan masuknya bilirubin ke dalam usus). Kolestasis intrahepatik. Istilah kolestasis lebih disukai untuk pengertian ikterus obstruktif sebab obstruksi yang bersifat mekanis tidak perlu selalu ada. Aliran empedu dapat terganggu pada tingkat mana saja dari mulai sel hati (kanalikulus), sampai ampula Vater. Untuk kepentingan klinis, membedakan penyebab sumbatan intrahepatik atau ekstrahepatik sangat penting. Penyebab paling sering kolestatik intrahepatik adalah hepatitis, keracunan obat, penyakit hati karena alkohol dan penyakit hepatitis autoimun. Penyebab yang kurang sering adalah sirosis hati bilier primer, kolestasis pada kehamilan, karsinoma metastatik dan penyakit-penyakit lain yang jarang Virus hepatitis, alkohol, keracunan obat (drug induced hepatitis), dan kelainan autoimun merupakan penyebab yang tersering. Peradangan intrahepatik mengganggu transport bilirubin konjugasi dan menyebabkan ikterus. Hepatitis A merupakan penyakit self limited dan dimanifestasikan dengan adanya ikterus yang timbul secara akut. Hepatitis B dan C akut sering tidak menimbulkan ikterus pada tahap awal (akut), tetapi bisa berjalan kronik dan menahun dan mengakibatkan gejala hepatitis menahun atau bahkan sudah menjadi sirosis hati. Tidak jarang penyakit hati menahun juga disertai gejala kuning, sehingga kadang-kadang didiagnosis salah sebagai penyakit hepatitis akut. Alkohol bisa mempengaruhi gangguan pengambilan empedu dan sekresinya, dan mengakibatkan kolestasis. Pemakaian alkohol secara terus menerus bisa menimbulkan perlemakan (steatosis), hepatitis, dan sirosis dengan berbagai tingkat ikterus. Perlemakan hati merupakan penemuan yang sering, biasanya dengan manifestasi yang ringan tanpa ikterus, tetapi kadang-kadang bisa menjurus ke sirosis. Hepatitis karena alkohol biasanya memberi gejala ikterus sering timbul akut dan dengan keluhan dan gejala yang lebih berat. Jika ada nekrosis sel hati ditandai dengan peningkatan transaminase yang tinggi. Penyebab yang lebih jarang adalah hepatitis autoimun yang biasanya sering mengenai kelompok muda terutama perempuan. Data terakhir menyebutkan juga kelompok yang lebih tua bisa dikenai. Dua penyakit autoimun yang berpengaruh pada sistem bilier tanpa terlalu menyebabkan reaksi hepatitis adalah sirosis bilier primer dan kolangitis sklerosing. Sirosis bilier primer merupakan penyakit hati bersifat progresif dan terutama mengenai perempuan paruh baya. Gejala yang mencolok adalah rasa lelah dan gatal



yang sering merupakan penemuan awal, sedangkan kuning merupakan gejala yang timbul kemudian. Kolangitis sklerosis primer (Primary sclerosing cholungitislPSG)merupakan penyakit kolestatik lain, lebih sering dijumpai pada laki-laki, dan sekitar 70% menderita penyakit peradangan usus. PSG bisa menjurus ke kolangiokarsinoma. Banyak obat mempunyai efek dalam kejadian ikterus kolestatik,seperti asetaminofen, penisilin, obat kontrasepsi oral, klorpromazin (Torazin) dan steroid estrogenik atau anabolik. Kolestasis ekstrahepatik. Penyebab paling sering pada kolestasis ekstrahepatik adalah batu duktus koledokus dan kanker pankreas. Penyebab lainnya yang relatif lebih jarang adalah striktur jinak (operasi terdahulu) pada duktus koledokus, karsinoma duktus koledokus, pankreatitis atau pseudocystpankreus dan kolangitis sklerosing.Kolestasis mencerminkan kegagalan sekresi empedu. Mekanismenya sangat kompleks, bahkan juga pada obstruksi mekanis empedu. Efek patofisiologi mencerminkan efek backup konstituen empedu (yang terpenting bilirubin, garam empedu, dan lipid) ke dalam sirkulasi sistemik dan kegagalannya untuk masuk usus halus untuk ekskresi. Retensi bilirubin menghasilkan campuran hiperbilirubiemia dengan kelebihan bilirubin konjugasi masuk ke dalam urin. Tinja sering benvama pucat karena lebih sedikit yang bisa mencapai saluran cerna usus halus.Peningkatan garam empedu dalam sirkulasi selalu diperkirakan sebagai penyebab keluhan gatal (pruritus), walaupun sebenarnya hubungannya belum jelas sehingga patogenesis gatal masih belum bisa diketahui dengan pasti. Garam empedu dibutuhkan untuk penyerapan lemak, dan vitamin K, gangguan ekskresi garam empedu dapat berakibat steatorrhea dan hipoprotrombinemia. Pada keadaan kolestasis yang berlangsung lama (primary biliary cirrhosis), gangguan penyerapan Ca dan vitamin D dan vitamin lain yang larut lemak dapat terjadi dan dapat menyebabkan osteoporosis atau osteomalasia. Retensi kolesterol dan fosfolipid mengakibatkan hiperlipidemia, walaupun sintesis kolesterol di hati dan esterifikasi yang berkurang dalam darah turut berperan; Konsentrasi trigliserida tidak terpengaruh. Lemak beredar dalam darah sebagai lipoprotein densitas rendah yang unik dan abnormal yang disebut sebagai lipoprotein X. Manifestasi Klinis Kolestasis lntrahepatik dan Ekstrahepatik Tidak jarang kolestasis ekstrahepatik sukar dibedakan dengan kolestasis intrahepatik, padahal membedakan keduanya sangat penting dan urgen. Gejala awal terjadinya perubahan warna urin yang menjadi lebih kuning, gelap, tinja pucat, dan gatal (pruritus) yang menyeluruh adalah tanda klinis adanya kolestasis. Kolestasis kronik bisa menimbukan pigmentasi kulit kehitaman, ekskoriasi karena



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



637



PENDEKATAN KLINIS PADA PASIEN IKTERUS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pruritus, perdarahan diatesis, sakit tulang, dan endapan lemak kulit (xantelasma atau xantoma). Gambaran seperti di atas tidak tergantung penyebabnya. Keluhan sakit perut, gejala sistemik (seperti, anoreksia, muntah, demam atau tambahan tanda gejala mencerminkan penyebab penyakit dasarnya daripada kolestasisnya dan karenanya dapat memberi petunjuk etiologinya.



DIAGNOSIS Riwayat penyakit yang rinci dan pemeriksaan jasmani sangat penting, karena kesalahan diagnosis terutama dikarenakan penilaian klinis yang kurang atau penilaian gangguan laboratorium yang berlebihan. Kolestasis ekstrahepatik dapat diduga dengan adanya keluhan sakit bilier atau kandung empedu yang teraba. Jika sumbatan karena keganasan pankreas (bagian kepalakaput) sering timbul kuning yang tidak disertai gejala keluhan sakit perut (painless jaundice). Kadang-kadang bila bilirubin telah mencapai konsentrasi yang lebih tinggi sering warna kuning sklera mata memberi kesan berbeda di mana ikterus lebih memberi kesan kehijauan (greenish jaundice) pada kolestasis ekstrahepatik dan kekuningan ('yellowish jaundice) pada kolestasis intrahepatik.



TES LABORATORIUM Mempunyai keterbatasan diagnosis. Kelainan laboratorium yang khas adalah peninggian nilai fosfatase alkali, yang terutama diakibatkan peningkatan sintesis daripada gangguan ekskresi, namun tetap belum bisa menjelaskan penyebabnya. Nilai bilirubin juga mencerminkan beratnya tetapi bukan penyebab kolestasisnya, juga fraksionasi tidak menolong membedakan keadaan intrahepatik dari ekstrahepatik. Nilai aminotransferase bergantung terutama pada penyakit dasarnya, namun seringkalimeningkat tidak tinggi. Jika peningkatan tinggi sangat mungkin karena proses hepatoselular, namun kadang-kadang terjadi juga pada kolestasis ekstrahepatik, terutama pada sumbatan akut yang diakibatkan oleh adanya batu di duktus koledokus. Peningkatan amilase serum menunjukan sumbatan ekstrahepatik. Perbaikan waktu protrombin setelah pemberian vitamin K mengarah kepada adanya bendungan ekstrahepatik, namun hepatoselular juga dapat berespons. Ditemukannya antibodi terhadap antimitokondria mendukung keras kemungkinan sirosis bilier primer.



saluran bilier, yang menunjukkan adanya sumbatan mekanik, walaupun jika tidak ada tidak selalu berarti sumbatan intrahepatik, terutama dalam keadaan masih akut. Penyebab adanya sumbatan mungkin bisa diperlihatkan, umumnya batu kandung empedu dapat dipastikan dengan ultrasonografi, lesi pankreas dengan CT. Kebanyakan pusat menggunakan terutama USG untuk mendiagnosis kolestasis karena biayanya yang rendah. Endoscopic Retrograde Cholangio-Pancreatography (ERCP) memberikan kemungkinan untuk melihat secara langsung saluran bilier dan sangat bermanfaat untuk menetapkan sebab sumbatan ekstrahepatik. Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC) dapat pula dipergunakan untuk maksud ini. Kedua cara tersebut diatas mempunyai potensi terapeutik. Pemeriksaann MRCP dapat pula untuk melihat langsung saluran empedu dan mendeteksi batu dan kelainan duktus lainnya dan merupakan cara non-invasif alternatif terhadap ERCP.



Biopsi hati akan menjelaskan diagnosis pada kolestasis intrahepatik; walaupun demikian, bisa timbul juga kesalahan, terutama jika penilaian dilakukan oleh yang kurang berpengalaman. Umumnya, biopsi aman pada kasus dengan kolestasis, namun berbahaya pada keadaan obstruksi ekstra-hepatik yang berkepanjangan, karenanya hams disingkirkan dahulu dengan pemeriksaan pencitraan sebelum biopsi dilakukan. Kecuali pasien dalam keadaan kolangitis kolestasis supurativa, bukan keadaan emergensi. Diagnosis sebaiknya ditegakkan melalui penilaian klinis, dengan bantuan alat penunjang khusus jika ada. Jika diagnosis tidak pasti, ultrasonografi atau CT akan sangat membantu. Obstruksi mekanis dapat ditegakkan jika ditemukan tanda pelebaran saluran bilier, terutama pada pasien dengan kolestasis yang progresif. Pemeriksaan lebih lanjut dengan kolangiografi langsung (ERCP, PTC, MRCP) dapat dipertimbangkan. Jika pada pemeriksaan ultrasonografi tidak ditemukan pelebaran saluran empedu, sangat mungkin lebih cenderung ke masalah intrahepatik, dan biopsi sangat dianjurkan. Jika alat penunjang tersebut di atas tidak terdapat, maka laparoskopi diagnosis harus dipertimbangkan, jika pertimbangan klinis lebih menjurus ke sumbatan ekstrahepatik dan kolestasis memburuk progresif.



PENDEKATAN KLlNlS



Pemeriksaan saluran bilier sangat penting. Pemeriksaan sonografi, CT, dan MRI memperlihatkan adanya pelebaran



Warna kekuningan pada kulit atau telapak tangan (pseudoikterus) dapat terjadi karena memakan terlalu banyak makanaan yang mengandung beta-carotin (seperti squash, melon, pepaya, dan wortel); berbeda dengan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI ikterus yang sesungguhnya, keadaan di atas (karotenemi) tidak mengakibatkan warna kuning di sklera atau peningkatan bilirubin. Ikterus disebabkan oleh gangguan pada salah satu dari 5 fase metabolisme bilirubin. Ikterus dapat disebabkan oleh karena berbagai sebab mulai dari yang bersifatjinak sampai kepada keadaan yang bisa membahayakanjiwa. Tahap awal ketika akan mengadakan penilaian klinis seorang pasien dengan ikterus adalah tergantung kepada apakah hiperbilirubinemia bersifat terkonjugasi atau tak terkonjugasi. Tes paling sederhana adalah melihat apakah terdapat bilirubin di dalam urin atau tidak, dan kemudian dipastikan oleh pemeriksaan bilirubin dalam darah. Pemeriksaan jasmani awal hams memusatkan terhadap keluhan utama dan perjalanan penyakitnya, kemudian dilihat adanya tanda-tanda penyakit akut atau kronik. Jika ikterus ringan tanpa warna air seni yang gelap harus dipikirkan kemungkinan adanya hiperbilirubinemia indirek yang mungkin disebabkan oleh penyakit sindrom Gilbert dan bukan oleh karena penyakit hepatobilier. Keadaan lkterus yang lebih berat dengan disertai warna air seni yang gelap jelas menandakan penyakit hati atau bilier. Pembagian diagnosis banding ke dalam penyebab prehepatik, intrahepatik, dan posthepatik walaupun mempunyai kekurangan namun masih dapat membuat penatalaksanaan menjadi lebih mudah. Misalnya penyebab ikterus yang tergolong prehepatik termasuk hemolisis dan penyerapan hematom, akan menyebabkan peningkatan bilirubin tak terkonjugasi (indirek). Kelainan intrahepatik dapat berakibat hiperbilirubinemia tak terkonjugasi maupun konjugasi. Peningkatan bilirubin konjugasi (direk) bisa diakibatkan hepatitis infeksiosa, alkohol, reaksi obat dan kelainan autoimun. Kelainan posthepatik dapat pula meningkatkan bilirubin konjugasi. Pembentukan batu merupakan keadaan yang paling sering yang bersifat jinak dalam kelompok kelainan posthepatik yang menyebabkan kuning. Diagnosis banding akan mengikutsertakan juga berbagai keadaan lain seperti infeksi di saluran empedu, pankreatitis, dan keganasan. Jika terdapat penyakit hepatobilier, apakah kondisinya akut atau kronik. Apakah penyakitnya disebabkan penyakit hati primer atau diakibatkan penyakit sistemik yang mengikutkan hati. Apakah penyakit penyebab kuning ini adalah hepatitis virus, alkohol atau karena obat. Jika mengarah ke kolestasis apakah intra atau ekstrahepatik. Apakah dibutuhkan tindakan operasi. Apakah ada komplikasi anamnesis. Riwayat penyakit yang rinci sangat dibutuhkan, sebab kesalahan diagnosis dapat terjadi akibat keputusan klinis yang kurang tepat dan terlalu mempercayai data laboratorium. Jika terdapat tanda-tanda adanya hipertensi portal, asites, perubahan kulit seyogyanya mengarah ke penyakit kronis daripada proses akut. Seringkali pasien melihat



gejala warna gelap air seni lebih dahulu dari pada warna kuning kulit, karenanya warna gelap urin lebih bisa dipakai sebagai ukuran awal mulainya penyakit. Jika terdapat keluhan mual dan muntah yang mendahului terjadinya warna kuning pada kulit, keadaan tersebut lebih menandakan ke arah hepatitis akut atau sumbatan duktus koledokus oleh karena batu. Jika ada sakit perut atau menggigil lebih cenderung yang terakhir.Adanya anoreksia dan malaise yang timbul perlahan dan tidak begitu nyata lebih menjurus ke hepatitis kronis. Penyakit sistemikpatut dicurigai, misalnya, jika terdapat peninggian tekanan vena jugularis yang menjurus ke adanya dekompensasi kordis atau perikarditis konstriktif pada pasien dengan hepatomegali dan asites. Status gizi kurang yang menjurus kepada keadaan kakeksia dengan hati yang membesar dan keras dan iregular sering disebabkan oleh keganasan daripada sirosis. Limfadenopati yang difus mengarah kepada adanya mononukleosis infeksiosa pada kasus ikterus yang akut dan leukemia pada penyakit kronis. Adanya hepatosplenomegali tanpa tanda adanya penyakit hati kronik bisa diakibatkan oleh penyakit infiltratif (seperti limfoma, amiloidosis), walaupun biasanya ikterus bersifat minimal atau bahkan tidak ada; dalam keadaan ini perlu dipikirkan skistosomiasis dan malaria yang sering memberikan gambaran seperti itu jika terjadi di daerah endemik. Jika ikterus berjalan sangat progresif perlu dipikirkan segera bahwa kolestasis lebih bersifat ke arah sumbatan ekstrahepatik (batu saluran empedu atau keganasan kaput pankreas).



PENEMUAN LABORATORIUM Hiperbilirubinemia dengan nilai aminotransferase dan fosfatase alkali yang normal menunjukan kemungkinan proses hemolisis atau penyakit sindrom Gilbert; ini dipastikan dengan fraksionasi bilirubin. Sebaliknya beratnya ikterus dan fraksionasi bilirubin tidak bisa membantu untuk membedakan ikterus hepatoselular dari keadaan ikterus kolestatik. Peninggian aminotransferase >500 U lebih mengarah kepada hepatitis atau keadaan hipoksia akut; peninggian fosfatase alkali yang tidak proporsional mengarah kepada kolestatik atau kelainan infiltratif. Pada keadaan yang disebut belakangan bilirubin biasanya normal atau hanya naik sedikit saja. Bilirubin di atas 25 sampai 30 mg/dL (428-5 13 umol/L) seringkali disebabkan adanya hemolisis atau disfungsi ginjal yang menyertai pada keadaan penyakit hepatobilier berat. Penyakit yang disebut terakhir saja jarang mengakibatkan keadaan ikterus yang berat. Konsentrasi albumin yang rendah dan globulin yang tinggi menunjukan adanya penyakit kronis. Peningkatan waktu protrombin yang membaik setelah pemberian vita-



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



639



PENDEKATAN KJJNIS PADA PASIEN IKTERUS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI min K (5- 10 mg IM selama 2-3 hari) lebih mengarah kepada keadaan kolestatik daripada proses hepatoselular. Namun ha1 ini tidak bisa terlalu dipastikan karena pada pasien dengan penyakit hepatoselular pun pemberian vitamin K bisa juga memberikan perbaikan.



Pemeriksaan pencitraan (imaging) sangat berharga untuk mendiagnosis penyakit infiltratif dan kolestatik. Pemerikasaan sonografi perut, CT, dan MRI sering bisa menemukan metastatik dan penyakit fokal pada hati dan telah menggantikan pemeriksaan nuklir scan untuk maksud tersebut. Namun demikian pemeriksaan ini kurang bermanfaat dalam mendiagnosis penyakit hepatoselular (seperti sirosis) sebab penemuannya bersifat tidak spesifik. Pemeriksaan biopsi hati perkutan mempunyai arti yang sangat penting, namun jarang dibutuhkan pada pasien ikterus. Pemeriksaan peritoneoskopi (laparoskopi) memungkinkan untuk memeriksa langsung hati dan kandung empedu dan bermanfaat untuk pasien tertentu. Laparatomi diagnostik jarang diperlukan pada pasien dengan kolestatik atau hepatosplenomegali yang belum bisa diterangkan penyebabnya.



PENGOBATAN Pengobatan ikterus sangat tergantung penyakit dasar penyebabnya. Beberapa gejala yang cukup mengganggu misalnya gatal (pruritus) pada keadaan kolestasis intrahepatk, pengobatan penyakit dasarnya sudah mencukupi. Pruritus pada keadaan ireversibel(sepertisirosisbilier primer) biasanya responsif terhadap kolestiramin 4- 16 ghari PO dalam dosis terbagi dua yang akan mengikat garam empedu di usus. Kecuali jika terjadi kerusakan hati yang berat, hipoprotrombinemiabiasanya membaik setelah pemberian fitonadion (vitamin Kl) 5-10 mg/ hari SKuntuk2-3 hari. Pemberian suplemen kalsium dan vitamin D dalam keadaan kolestasis yang ireversibel, namun pencegahan penyakit tulang metabolik mengecewakan. Suplemenvit A dapat mencegah kekurangan vitamin yang larut lemak ini dan steatorrhea yang berat dapat dikurangi dengan pemberian sebagian lemak dalam diet dengan medium chain trigliceride.



Sumbatan bilier ekstra-hepatik biasanya membutuhkan tindakan pembedahan, ekstraksi batu empedu diduktus, atau insersi stent, dan drainase via kateter untuk striktur (sering keganasan) atau daerah penyempitan sebagian. Untuk sumbatan maligna yang non-operabel, drainase bilier paliatif dapat dilakukan melalui stent yang ditempatkan melalui hati (transhepatik) atau secara endoskopik. Papilotomi endoskopik dengan pengeluaran batu telah menggantikan laparatomi pada pasien dengan batu di duktus koledokus. Pemecahan batu di saluran empedu mungkin diperlukan untuk membantu pengeluaran batu di saluran empedu.



REFERENSI Fallon MB, Anderson JM and Boyer JI. Intrahepatic cholestasis. In: Schiff L and Schiff ER, editors. Philadelphia: JB Lippincott Co; 1993. p. 343-54. Johnston DE. Special considerations in interpreting liver function tests. Am Fam Physician. 1999;59:2223-30. Kalloo AN, Kantsevoy SV. Gallstones and biliary disease. Prim Care. 2001 ;28:7:591-606. Lewis JH. Drug-induced liver disease. Med Clin North Am. 2000;84:10:1275-3 11. Pasanen PA, Partanen K, Pikkarainen P, Alhava E, Pirinen A, Janatuinen E. A prospective study on the value of ultrasound, computed tomography and endoscopic retrograde. Pasha TM, Lindor KD. Diagnosis and therapy of cholestatic liver disease. Med Clin North Am. 1996;80:995-1019. Pashankar D, Schreiber RA. Jaundice in older children and adolescents. Pediatr Rev. 2001;22:219-26. Pauli-Magnus, Christiane MD, Meier, Peter J MD. Hepatocellular transporters and cholestasis. J Clin Gastroenterol. 2005;39:4(s):s103-s10. Pinto F, Mognol D, Garbelotto G, Dannhauser D, Grava G, Sanmol F. Carotenodermia: an erroneous diagnosis of jaundice [in Italian]. Recenti Prog Med. 2000;91:70-1. Pyrsopoulos NT, Reddy K. Extrahepatic manifestations of chronic viral hepatitis. Curr Gastroenterol Rep. 2001;3:71-8. Roche SP and Kobos R. Am Fam Physician. 2004;69:299-304. Sackey K. Hemolytic anemia: part 1. Pediatr Rev. 1999;20: 152-8. Schiff L. Jaundice: a clinical approach. Diseases of the liver. In: Schiff L and Sciff ER, eds. Philadelphia: JB Lippincott Co; 1993. p. 334-40. Schramm C, Kanzler S, zum Buschenfelde KH, Galle PR, Lohse AW. Autoimmune hepatitis in the elderly. Am J Gastroenterol. 2001;96:1587 91. Tung BY, Carithers RL Jr. Cholestasis and alcoholic liver disease. Clin Liver Dis. 1999;3:585-601.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



KELAINAN ENZIM PADA PENYAKIT HAT1 Nurul Akbar



enzim akan banyak keluar ke ruang ekstra selular dan dapat digunakan sebagai sarana untuk membuat diagnosis. Enzim adalah protein dan senyawa organik yang dihasilkan oleh sel hidup. Enzim merupakan katalisator biologis yang mempercepat reaksi kimia di dalam sel hidup. Reaksi itu bisa timbal balik. Enzim tersebut ada yang spesifik untuk suatu reaksi tetapi ada pula satu reaksi yang dapat dikatalisasi oleh bermacam-macam enzim. Sekarang sudah dikenal ribuan enzim pada proses kimia dalam tubuh. Berat molekulnya antara 12.700-1.000.000.



STRUKTUR DAN KLASlFlKASl Enzim terdiri atas bagian protesis yaitu bagian yang tidak mengandung protein tetapi mangandung vitamin atau mineral dan bagian yang mengandung protein yang terdiri atas polipeptida. Enzim terdiri atas 6 kelas yaitu : l).Oksidoreduktase misalnya LDH; 2).Transferase misalnya alanin aminotransferase; 3). Hidrolase misalnya CHE; 4). Liase misalnyaALD; 5). Isomerase misalnya glukosa fosfat isomerase; 6). Ligase misalnya piruvat karboksilase.



DlSTRlBUSl ENZlM INTRA DAN EKSTRA SELULAR Enzim umumnya terdapat di &lam sel dan bisa berada dalam struktur yang spesifik seperti organel atau mitokondria atau juga terdapat di dalam sitosol. Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan antara pembentukan enzim dengan penghancurannya. Walaupun terdapat keseimbangan antara penghancuran dengan pembentukan enzim, akan selalu terdapat sedikit enzim yang keluar ke ruangan ekstraselular. Apabila terjadi kerusakan sel atau peningkatan permeabilitas membran sel,



DIAGNOSIS ENZlMATlK PADA PENYAKIT HAT1 Gejala penyakit hati sangat bervariasi dari yang tanpa gejala sampai pada yang berat sekali. Kadang-kadang dapat ditemukan keadaan dengan kelainan hati sangat berat tetapi gejala yang dikeluhkan sangat sedikit. Untuk menegakkan diagnosis pasti penyakit hati, kita tidak bisa hanya melihat salah satu pemeriksaan saja tetapi hams dimulai dengan membuat anarnnesis yang baik, melakukan pemeriksaan fisis yang teliti dan diikuti dengan pemeriksaan biokimia, imunologi dan pemeriksaan penunjang lainnya serta juga pemeriksaan morfologi dan histopatologi hati. Pemeriksaan enzim dapat dibagi dalam beberapa bagian : 1). Enzim yang berhubungan dengan kerusakan sel yaitu SGOT, SGPT, GLDH, dan LDH, 2). Enzirn yang berhubungan dengan penanda kolestasis seperti gamma GT dan fosfatase alkali; 3). Enzim yang berhubungan dengan kapasitas sintesis hati misalnya kolinesterase. Pemeriksaan-pemeriksaan lain yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis bisa bermacam-macam,mulai dari uji untuk fungsi ekskresi dan metabolisme seperti bilirubin, bromsulfoftalein, indosianin hijau, galaktosa, pemeriksaan elektroforesis untuk melihat imunoglobulin dan juga pemeriksaan untuk serologis penanda virus. Di samping itu masih diperlukan juga pemeriksaan untuk amoniak, besi, tembaga, porfirin, antibodi mitokondria, alfa feto protein dan sebagainya. Untuk pemeriksaan penyaring, dari sekian banyak enzim-enzim itu agaknya yang paling diperlukan adalah enzim SGPT, gamma GT clan CHE; SGPTbisa dipakai untuk melihat adanya kerusakan sel, gamma GT untuk melihat



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



64 1



KEWNANENZIM PADA PENYAKIT HATI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI adanya kolestasis dan CHE untuk melihat gangguan fungsi sintesis hati. Dalam menilai kelainan enzim kita hams berhati-hati oleh karena seringkali tidak terdapat hubungan antara tingginya kadar enzim dengan derajat kerusakan yang terjadi. Sebagai contoh pada keadaan hepatitis akut, meskipun kerusakan hati yang terjadi sedikit, peninggian enzimnya sangat hebat. Pada keadaan infeksi akut tersebut yang terlihat mencolok adalah peninggian SGPT yang lebih besar daripada peninggian SGOT. Apabila terjadi kerusakan mitokondria atau kerusakan parenkim sel maka yang terlihat meninggi adalah GLDH dan SGOT, di mana SGOT nya akan lebih meningkat dibandingkan dengan SGPT.



SGOT Hepatitis akut Sirosis hepatis CPH CAH Perlemakan hati Kolesistitis



20 - 50 kali N 20 - 50 kali N 5-10kaliN 5-10kaliN



0,7 -1



>1 51



5 - 10 kali N 5-10kaliN 2 - 5 kali N



5 - 10 kali N 5-10kaliN 2 - 5 kali N



0.7 > I 1 (1 40 tahun), b). risiko meningkat pada perempuan hamil dengan infeksi HEV, c). risiko meningkat pada pasien yang telah mempunyai penyakit hati sebelumnya; 3). Tidak pemah menjadi kronik atau karier virus yang berkepanjangan. lnfeksi dengan Transmisi Melalui Darah (HBV, HDV dan HCV) 1. HBV a. Risiko untuk kronisitas tergantung umur, menurun secara progresif dengan meningkatnya umur. 90 % infeksi pada neonatus akan berkembang menjadi karier 1-5% pasien dewasa akan berkembang menjadi



kronik. b. Gaga1 hati akut pada < 1% infeksi akut c. Infeksi persisten (HBsAg positif dengan atau tanpa replikasi aktifHBV) Karier asimtomatik dengan gambaran histologi normal atau non-spesifik Hepatitis kronik, sirosis, karsinoma hepatoselular. Dihubungkan dengan glomerulonefritis membranosa, poliarteritis nodosa, dan yang lebih jarang krioglobulinemia campuran (mixed cryoglobulinemia). 2. HDV a. Koinfeksi HDV clan HBV biasanya sembuh spontan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



dan sembuh tanpa gejala sisa. b. Gagal hati akut lebih sering pada superinfeksi HDV dibanding dengan koinfeksi dengan HBV c. Superinfeksi HDV dapat berlanjut menjadi HDV kronik superimposed dengan HBV kronik dan berkembang menjadi hepatitis kronik berat dan sirosis. 3. HCV a. 15-45% akan sembuh spontan b. Kejadian akut sangat jarang dijumpai. c. Umumnya akan terjadi infeksi menetap dengan viremia yang memanjang dan konsentrasi serum aminotransferase yang meningkat atau berfluktuasi. d. Histologi pada infeksi HCV persisten Hepatitis kronik - inflamasi ringan, sedang, berat. Porta, periporta, bridgingfibrosis atau sirosis e. Risiko utuk terjadinya karsinoma hepatoselularpada pasien yang telah mengalami sirosis. f. Dihubungkan dengan Mixed cryoglobulinemia Cutaneous vasculitis Glomerulonefvitis membranosa Porphyria cutanea tarda.



Sementara menunggu perbaikan infeksi spontan dan perbaikan fungsi hati dilakukan monitoring kontinu dan terapi suportif. Pengenalan dini dan terapi terhadap komplikasi yang mengancam nyawa Mempertahankan fungsi vital Persiapan transplantasi bila tidak terdapat perbaikan. 4. Angka survival mencapai 65-75% bila dilakukan transplantasi dini



PENGOBATAN



Pencegahan dengan imunoprofilaksis 1. Imunoprofilaksissebelum paparan a. Vaksin HAV yang dilemahkan Efektivitas tinggi (Angka proteksi 94- 100%) Sangat imunogenik (Hampir 100%pada subyek sehat) Antibodi protektif terbentuk dalam 15 hari pada 85-90% subjek Aman, toleransi baik Efektifitas proteksi selama 20-50 tahun Efek samping utama adalah nyeri di tempat penyuntikan. b. Dosis dan jadual vaksin HAV > 19 tahun. 2 dosis of HAVRIXB (1440 Unit Elisa) dgn interval 6-12 bulan Anak > 2 tahun. 3 dosis HAVRIXB (360 Unit Elisa), O,1, dan 6- 12bulan atau 2 dosis (720 Unit Elisa), 0,6-12 bulan c. Indikasi vaksinasi Pengunjung ke daerah risiko tinggi Homoseksual dan biseksual



lnfeksi yang Sembuh Spontan 1. Rawat jalan, kecuali pasien dengan mual atau anoreksia berat yang akan menyebabkan dehidrasi 2. Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat Tidak ada rekomendasi diet khusus Makan pagi dengan porsi yang cukup besar merupakan makanan yang paling baik ditoleransi. Menghindari konsumsi alkohol selama fase akut 3. Aktivitas fisis yang berlebihan dan berkepanjangan hams dihindari 4. Pembatasan aktivitas sehari-hari tergantung dari derajat kelelahan dan malaise 5. Tidak ada pengobatan spesifik untuk hepatitis A, E, D. Pemberian interferon-alfa pada hepatitis C akut dapat menurunkan risiko kejadian infeksi kronik. Peran lamivudin atau adefovir pada hepatitis B akut masih belum jelas. Kortikosteroid tidak bermanfaat. 6. Obat-obat yang tidak perlu hams dihentikan.



Hepatitis Kolestasis 1. Perjalanan penyakit dapat dipersingkat dengan pemberian jangka pendek prednison atau asam ursodioksikolat. Hasil penelitian masih belum tersedia. 2. Pruritus dapat dikontrol dengan kolestiramin. Hepatitis relaps. Penanganan serupa dengan hepatitis yang sembuh spontan. PENCEGAHAN Pencegahan Terhadap lnfeksi Hepatitis dengan Penularan Secara Enterik HAV



mu



Gagal Hati Akut 1. Perawatan di RS Segera setelah diagnosis ditegakkan ~ e n a n ~ a n terbaik an dapat dilakukan pada RS yang menyediakan program transplantasi hati. 2. Belum ada terapi yang terbukti efektif 3. Tujuan



Anak dan dewasa muda pada daerah yang pernah mengalami kejadian luar biasa luas Anak pada daerah dimana angka kejadian HAV lebih tinggi dari angka nasional Pasien yang rentan dengan penyakit hati kronik Pekerja laboratorium yang menangani HAV F'ramusaji



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HEPATITISVIRUS AKUT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Pekerja pada bagian pembuangan air 2. Imunoprofilaksis pasca paparan Keberhasilan vaksin HAV pada pasca paparan belum jelas Keberhasilan imunoglobulin sudah nyata akan tetapi tidak sempurna. Dosis dan jadwal pemberian imunoglobulin: Dosis 0,02 mlkg, suntikan pada daerah deltoid sesegera mungkin setelah paparan. Toleransi baik, nyeri pada daerah suntikan Indikasi: kontak erat dan kontak dalam rumah tangga dengan infeksi HAV akut



Kemunculan IgG anti HEV pada kontak dengan pasien hepatitis E dapat bersifat proteksi, akan tetapi efektifitas dari imunoglobulin yang mengandung anti HEV masih belum jelas. Pengembangan imunoglobulin titer tinggi sedang dilakukan. Vaksin HEV sedang dalam penelitian klinis pada daerah endemik.



Pencegahan pada lnfeksi yang Ditularkan Melalui Darah Dasar utama imunoprofilaksis adalah pemberian vaksin hepatitis B sebelum paparan. 1. Imunoprofilaksis vaksin hepatitis B sebelum paparan a. Vaksin rekombinan ragi Mengandung HBsAg sebagai imunogen Sangat imunogenik, menginduksi konsentrasi proteksi anti HBsAg pada > 95% pasien dewasa muda sehat setelah pemberian komplit 3 dosis. Efektifitas sebesar 85-95% dalam mencegah infeksiHBV. L Efek samping utama 1. Nyeri sementara pada tempat suntikan pada 10-25% 2. Demam ringan dan singkat pada < 3% Booster tidak direkomendasikan walaupun setelah 15 tahun imunisasi awal Booster hanya untuk individu dengan imunokompromaisjika titer di bawah 1OmUlrnL Peran imunoterapi untuk pasien hepatitis B kronik sedang dalam penelitian b. Dosis dan jadwal vaksinasi HBV. Pemberian IM (deltoid) dosis dewasa untuk dewasa, untuk bayi, anak sampai umur 19 tahun dengan dosis anak (112 dosis dewasa), diulang pada 1 dan 6 bulan



kemudian c. Indikasi Imunisasi universal untuk bayi baru lahir Vaksinasi catch up untuk anak sampai umur 19 tahun (bila belum divaksinasi) Grup risiko tinggi: 1. Pasangan dan anggota keluarga yang kontak dengan karier hepatitis B. 2. Pekerja kesehatan dan pekerja yang terpapar darah, 3. IVDU. 4. Homoseksual dan biseksual pria, 5. Individu dengan banyak pasangan seksual. 6. Resipien transfusi darah, 7. Pasien hemodialisis, 8. Sesama narapidana, 9. Individu dengan penyakit hati yang sudah ada (misal hepatitis C kronik) 2. Imunoprofilaksis pasca paparan dengan vaksin hepatitis B dan imunoglobulinhepatitis B (HBIG). Indikasi: Kontak seksual dengan individu yang terinfeksi hepatitis akut: 1). Dosis 0,04-0,07 mL1kg HBIG sesegera mungkin setelah paparan; 2). Vaksin HBV pertama diberikan pada saat atau hari yang sama pada deltoid sisi lain; 3). Vaksin kedua dan ketiga diberikan 1 dan 6 bulan kemudian. Neonatus dari ibu yang diketahui mengidap HBsAG positif: 1). Setengahmili liter HBIG diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir di bagian anterolateral otot paha atas; 2). Vaksin HBV dengan dosis 5-10 ug, diberikan dalam waktu 12 jam pada sisi lain, diulang pada 1 dan 6 bulan. Efektivitasperlindungan melampaui 95%. Vaksin Kombinasi Untuk Perlindungan dari Hepatitis A dan B Vaksin kombinasi (Twinrix-GlaxoSmithKline8) mengandung 20ug protein HBsAg (Engerix B 8 ) dan > 720 Unit Elisa hepatitis A virus yang dilemahkan (Havrix8) memberikan proteksi ganda dengan pemberian suntikan 3 kali berjarak 0,l dan 6 bulan. Diindikasikan untuk individu dengan risiko baik terhadap infeksi HAV maupun HBV.



#



REKOMENDASI UMUM



Pasien dapat dirawat jalan selama terjamin hidrasi dan intake kalori yang cukup Tirah baring tidak lagi disarankan kecuali bila pasien mengalami kelelahan yang berat. Tidak ada diet yang spesifik atau suplemen yang memberikan hasil efektif Protein dibatasi hanya pada pasien yang mengalami ensefalopati hepatik. Selama fase rekonvalesen diet tinggi protein dibutuhkan untuk proses penyembuhan.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Alkohol hams dihindari dan pemakaian obat-obatan dibatasi. Obat-obat yang dimetabolisme di hati hams dihindari akan tetapi bila sangat diperlukan dapat diberikan dengan penyesuaian dosis. Pasien diperiksa tiap minggu selama fase awal penyakit dan terus evaluasi sampai sembuh. Harus terus dimonitor terhadap kejadian ensefalopati seperti kesadaran somnolen, mengantuk dan asteriks. Masa protrombin serum merupakan petanda yang baik untuk menilai dekompensasi hati dan menentukan saat yang tepat untuk dikirim ke pusat transplantasi. Memonitor konsentrasi transaminase serum tidak membantu dalam ha1 menilai h g s i hati pada keadaan hepatitis fulminan karena konsentrasinya akan turun setelah terjadi kerusakan sel hati masif. Anti mual muntah dapat membantu meghilangkan keluhan mual. Pasien yang menunjukkan gejala hepatitis fulminan hams segera dikirim ke pusat transplantasi. Transplantasi hati bisa merupakan prosedur penyelamatan hidup untuk pasien yang mengalami dekompensasi setelah serangan akut hepatitis. Pasien dengan hepatitis akut tidak memerlukan perawatan isolasi. Orang yang merawat pasien hepatitis akutA dan E hams selalu mencuci tangannya dengan sabun dan air. Orang yang kontak erat dengan pasien hepatitis B akut seharusnya menerima vaksin hepatitis B.



REFERENSI



Dienstag JI, Isselbacher KJ. Acute viral hepatitis In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Jameson JL. Editors. Harrison's principles of internal medicine. 16th edition. Vol 1. New York: Mc Graw Hi11;2005.p 1822-38. Emerson SU, Purcell RH. Running like water - The omnipresence of hepatitis E. N Engl J Med 2004;351:2367-2368. Friedman LS. Disease of the liver. In: Tierney LM, Mc Phee SJ. Papadakis MA. Editors. Current medical diagnosis and treatment. 43th edition. New York: Lange medical bookMcGraw-Hill 2004.p 626-32 Ganem D, Prince AM. Hepatitis B virus infection-Natural history and clinical consequences. N Engl J Med 2004;350: 11 18-29. Gany MG, Liang TJ. Acute viral hepatitis. In: Yamada. Editor. Textbook of gastroenterology. 4th edition. Vol 2. New York: Lippincott william & wilkins;2003.p 2276-2309. Giammarino LD, Dienstag JL. Hepatitis A - the price of pregress. N Engl J Med 2005:353:944-6. Jaeckel E, Cornberg M, Wedemeyer H, Santatonio T, Mayer J, Zankel M etal. Treatment of acute hepatitis C with interferon alfa 2b. N Engl J Med 2001;345:1452-7. Lauer GM, Walker BD. Hepatitis C virus infection. N Engl J Med 2001;345:41-52. Lee WM. Hepatitis B Virus Infection. N Engl J Med 1997;24:173345. Lemon SM, Thomas DL. Vaccines to prevent viral hepatitis. N Engl J Med 1997;3:196-204. Poland GA, Jacobson RM. Prevention of hepatitis B with hepatitis B vaccine. N Engl J Med 2004;351:2832-8. Schiff ER. Viral hepatitis. In: Schiff ER, Sorrel MF, Maddrey WC. Editors. Schiff's diseases of the liver. 9th edition. Vol 1. New York: Lippincott william & Wilkins;2003.p 741-877. Sulaiman A, Julitasari. Virus hepatitis A sampai E di Indonesia. Yayasan penerbitan ikatan dokter Indonesia 1995.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



HEPATITIS B KRONIK Soewignjo Soemohardjo, Stephanus Gunawan



PENDAHULUAN Dalam 10tahun terakhir telah terjadi perubahan besar dalam pengertian, diagnosis serta klasifikasi hepatitis B kronik. Perubahan ini sangat besar pengaruhnya terhadap penatalaksanaan pasien. Salah satu yang mendasar adalah tentang perubahan definisi hepatitis B kronik. Pada saat ini definisi hepatitis B kronik adalah adanya persistensi virus hepatitis B (VHB) lebih dari 6 bulan, sehingga pemakaian istilah carrier sehat (healty carrier) tidak dianjurkan lagi. Hepatitis B kronik merupakan masalah kesehatan besar terutama di Asia, dimana terdapat sedikitnya 75% dari seluruhnya 300 juta individu HBsAg positif menetap di seluruh dunia. Di Asia sebagian besar pasien B kronik mendapat infeksi pada masa perinatal. Kebanyakan pasien ini tidak mengalami keluhan ataupun gejala sampai akhirnya terjadi penyakit hati kronik.



PATOGENESIS PERSlSTENSlVHB Virus hepatitis B (VHB) masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran darah partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus. Selanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel HBsAg bentuk bulat dan tubuler, dan HBeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. VHB merangsang respons imun tubuh, yang pertama kali dirangsang adalah respons imun nonspesifik (innate immune response) karena dapat terangsang dalam waktu pendek, dalam beberapa menit sampai beberapa jam. Proses eliminasi nonspesifik ini terjadi tanpa restriksi HLA, yaitu dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T. Untuk proses eradikasi VHB lebih lanjut diperlukan respons imun spesifik, yaitu dengan mengaktivasi sel limfosit T dan sel limfosit B. Aktifasi sel T CD8+ terjadi



setelah kontak reseptor sel T tersebut dengan kompleks peptida VHB- MHC kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada permukaan dinding Antigen Presenting Cell (APC) dan dibantu rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan kompleks peptida VHB-MHC kelas I1 pada dinding APC. Peptida VHB yang ditampilkan pada permukaan dinding sel hati dan menjadi antigen sasaran respons imun adalah peptida kapsid yaitu HBcAg atau HBeAg. Sel T CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus yang ada di dalam sel hati yang terinfeksi. Proses eliminasi tersebut bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati yang akan menyebabkan meningkatnya ALT atau mekanisme sitolitik. Di samping itu dapat juga terjadi eliminasi virus intrasel tanpa kerusakan sel hati yang terinfeksi melalui aktivitas Interferon gamma dan Tissue Necrotic Factor (TNF) alfa yang dihasilkan oleh sel T CD8+ (mekanismenonsitolitik). Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan produksi antibodi antara lain anti-HBs, antiHBc dan anti-HBe. Fungsi anti-HBs adalah netralisasi partikel VHB bebas dan mencegah masuknya virus ke dalam sel. Dengan demikian anti-HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel. Infeksi kronik VHB bukan disebabkan gangguan produksi anti-HBs. Buktinya pada pasien Hepatitis B Kronik temyata dapat ditemukan adanya anti-HBs yang tidak bisa dideteksi dengan metode pemeriksaan biasa karena anti-HBs bersembunyi dalam kompleks dengan HBsAg. Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi VHB dapat diakhiri, sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi VHB yang menetap. Proses eliminasi VHB oleh respons imun yang tidak efisien dapat disebabkan oleh faktor m u s ataupun faktor pejamu.



Faktor virus antara lain: terjadinya imunotoleransi terhadap produk VHB, hambatan terhadap CTL yang berfungsi melakukan lisis sel-sel terinfeksi, terjadinya



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI mutan VHB yang tidak memproduksi HBeAg, integrasi genom VHB dalam genom sel hati. Faktor pejamu antara lain: faktor genetik, kurangnya produksi IFN, adanya antibodi terhadap antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit, respons antiidiotipe, faktor kelamin atau hormonal. Salah satu contoh peran imunotoleransi terhadap produk VHB dalam persistensi VHB adalah mekanisme persistensi infeksi VHB pada neonatus yang dilahirkan oleh ibu HBsAg dan HBeAg positif. Diduga persistensi tersebut disebabkan adanya imunotoleransi terhadap HBeAg yang masuk ke dalam tubuh janin mendahului invasi VHB, sedangkan persistensi pada usia dewasa diduga disebabkan oleh kelelahan sel T karena tingginya konsentrasi partikel virus. Persistensi infeksi VHB dapat disebabkan karena mutasi pada daerahprecore dari DNA yang menyebabkan tidak dapat diproduksinya HBeAg. Tidak adanya HBeAg pada mutan tersebut akan menghambat eliminasi sel yang terinfeksi VHB.



PERJALANAN PENYAKIT HATI



Sembilan puluh persen individu yang mendapat infeksi sejak lahir akan tetap HBsAg positif sepanjang hidupnya dan menderita Hepatitis B Kronik, sedangkan hanya 5% individu dewasa yang mendapat infeksi akan mengalami persistensi infeksi. Persistensi VHB menimbulkan kelainan yang berbeda pada individu yang berbeda, tergantung dari konsentrasi partikel VHB dan respons imun tubuh. Interaksi antara VHB dengan respons imun tubuh terhadap VHB, sangat besar perannya dalam menentukan derajat keparahan hepatitis. Makin besar respons imun tubuh terhadap virus, makin besar pula kerusakan jaringan hati, sebaliknya bila tubuh toleran terhadap virus tersebut maka tidak terjadi kerusakan hati. Ada 3 fase penting dalam perjalanan penyakit Hepatitis B Kronik yaitu fase imunotoleransi, fase imunoaktif atau fase immune clearance,dan fase nonreplikatif atau fase residual. Pada masa anak-anak atau pada masa dewasa muda, sistem imun tubuh toleran terhadap VHB sehingga konsentrasi virus dalam darah dapat sedemlkian tingginya, tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Dalam keadaan itu VHB ada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi, HBeAg positif, anti-HBe negatif, titer DNA VHB tinggi dan konsentrasi ALT yang relatif normal. Fase ini disebut fase imunotoleransi. Pada fase imunotoleransi sangat jarang terjadi serokonversi HBeAg secara spontan, dan terapi untuk menginduksi serokonversiHBeAg tersebut biasanya tidak efektif. Pada sekitar 30% individu dengan persistensi VHB akibat terjadinya repllkasi VHB yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi ALT. Pada keadaan ini pasien mulai kehilangan



toleransi imun terhadap VHB. Fase ini disebut Fase imunoaktif atau immune clearance. Pada fase ini tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Pada fase imunoaktif serokonversi HBeAg baik secara spontan maupun karena terapi lebih sering terjadi. Sisanya, sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar partikel VHB tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti. Pada keadaan ini, titer HBsAg rendah dengan HBeAg yang menjadi negatif dan anti-HBe yang menjadi positif secara spontan, serta konsentrasi ALT yang normal, yang menandai terjadinya fase nonreplikatif atau fase residual. Sekitar 20-30 % pasien Hepatitis B Kronik dalam fase residual dapat mengalami reaktivasi dan menyebabkan kekambuhan. Pada sebagian pasien dalam fase residual, pada waktu terjadi serokonversiHBeAg positif menjadi anti-HBe justru sudah terjadi sirosis. Hal ini disebabkan karena terjadinya fibrosis setelah nekrosis yang terjadi pada kekambuhan yang berulang-ulang sebelum terjadinva serokonversi tersebut. Dalam fase residual, replik:asi VHB sudah mencapai titik minimal dan penelitian menunjukkan bahwa angka harapan hidup pada pasien yang anti-HBe positif lebih tinggi dibandingkan pasien HBeAg positif. Penelitian menunjukkan bahwa setelah infeksi Hepatitis B menjadi tenang justru risiko untuk terjadi karsinoma hepatoselular (KHS) mungkin meningkat. Sebagai contoh, Onata melaporkan dari 500 pasien KHS, 53 orang (11%) menunjukkan HBsAg yahg positif. Darijurnlah ini, 46 (87%) anti-HBe positif dan 30% HBeAg positif. Diduga integrasi genom VHB ke dalam genom sel hati merupakan proses yang penting dalam karsinogenesis. Karma itu, terapi anti VIRUS hams diberikan selama mungkin untuk mencegah sirosis tapi di samping itu juga sedini mungkin untuk mencegah integrasi genom VHB dalam genom sel hati yang dapat berkembang menjadi KHS.



HBeAg PADA HEPATITIS B KRONIK



Parameter untuk mengukur replikasi VHB yang biasa dipakai adalah HBeAg dan anti-HBe serta konsentrasi DNA VHB. Ada 2 kelompok pemeriksaanDNA VHB yang lazim dipakai yaitu metode hibridisasi dan amplifikasi sinyal (non PCR) dan PCR. Belakangan ini banyak dipakai metode PCR kuantitatif. Pada saat ini nilai DNA VHB yang dipilih sebagai kriteria dignostlk hepatitis B kronik adalah 1O5 kopi/ml yang merupakan batas kemampuan deteksi metode non PCR. Metode non ampliflkasi mempunyai kepekaan sampai 1O51O6 kopi/rnl, sedang PCR mempunyai kepekaan 10-100kopd ml. Pada fase replikatif nilai DNA VHB lebih besar dari 1O5 kopilml. Dengan demikian bila DNA VHB tidak bisa dideteksi dengan metode non PCR maka infeksi VHB dianggap sudah tidak aktif. Dalam keadaan normal, pada fase replikatif didapatkan titer HBsAg yang sangat tinggi, HBeAg positif



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HEPATITIS B KRONIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI dan anti-HBe negatif serta konsentrasi DNA VHB yang tinggi. Pada sekelompokpasien dengan HBeAg negatif dan bahkan anti-HBe positif dapat pula dijumpai konsentrasi DNA VHB dengan titer yang masih tinggi (> 100.000 atau lo5 kopilml) dengan tanda-tanda aktivitas penyakit. Pada kelompok pasien tersebut didapatkan mutasi pada daerah precore dari genom VHB yang menyebabkan HBeAg tidak bisa diproduksi.Mutasi tersebut dinamakan mutasiprecore. Berdasarkan status HBeAg, hepatitis B kronik dikelompokkan menjadi hepatitis B kronik HBeAg positif dan hepatitis B kronik HBeAg negatif. Hepatitis B kronik HBeAg negatif sering ditandai dengan perjalanan penyakit yang berfluktuasi dan jarang mengalami remisi spontan. Karena itu pasien dengan HBe negatif dan konsentrasi DNA VHB tinggi merupakan indikasi terapi antivirus. Pada pasien dengan infeksi VHB mutanprecore mungkin masih ada sisa-sisa VHB tipe liar yang belurn mengalami mutasi.



GAMBARAN KLlNlS Gambaran klinis Hepatitis B Kronik sangat bervariasi. Pada banyak kasus tidak didapatkan keluhan maupun gejala dan pemeriksaan tes faal hati hasilnya normal. Pada sebagian lagi didapatkan hepatomegali atau bahkan splenomegali atau tanda-tanda penyakit hati kronis lainnya, misalnya eritemapalmaris dan spider nevi, serta pada pemeriksaan laboratorium sering didapatkan kenaikan konsentrasiALT walaupun ha1 itu tidak selalu didapatkan. Pada umumnya didapatkan konsentrasi bilirubin yang normal. Konsentrasi albumin serum umumnya mash normal kecuali pada kasuskasus yang parah. Secara sederhana manifestasi klinis hepatitis B kronik dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu: 1. Hepatitis B kronik yang masih aktif (hepatitis B kronik aktif). HBsAg positif dengan DNA VHB lebih dari lo5 kopilml didapatkan kenaikan ALT yang menetap atau intermiten. Pada pasien sering didapatkan tanda-tanda penyakit hati kronik. Pada biopsi hati didapatkan gambaran peradangan yang aktif. Menurut status HBeAg pasien dikelompokkan menjadi hepatitis B kronik HBeAg positif dan hepatitis B kronik HBeAg negatif. 2. Carrier VHB Inaktif (Inactive HB V Carrier State). Pada kelompok ini HBsAg positif dengan titer DNA VHB yang rendah yaitu kurang dari 1O5 kopilml. Pasien menunjukkan KONSENTRASI ALT normal clan tidak didapatkan keluhan. Pada pemeriksaan histologik terdapat kelainan jaringan yang minimal. Sering sulit membedakan Hepatitis B Kronik HBe negative dengan pasien carrier VHB inaktif karena pemeriksaan DNA kuantitatif masih jarang dilakukan secara rutin. Dengan demikian perlu dilakukan pemeriksaanALT berulang kali untuk waktu yang cukup



lama



Pemeriksaan biopsi untuk pasien Hepatitis B Kronik sangat penting terutama untuk pasien dengan HBeAg positif dengan konsentrasi ALT 2 x nilai normal tertinggi atau lebih. Biopsi hati diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti dan untuk meramalkan prognosis serta kemungkinan keberhasilan terapi (respons histologik). Sejak lama diketahui bahwa pasien Hepatitis B Kronik dengan peradangan hati yang aktif mempunyai risiko tinggi untuk mengalami progresi, tetapi gambaran histologik yang aktif juga dapat meramalkan respons yang baik terhadap terapi imunomodulator atau antivirus.



GAMBARAN HISTOPATOLOGIK HEPATITIS B KRONIK Pada segitiga portal terdapat infiltrasi sel radang terutama limfosit dan sel plasma, dapat terjadi fibrosis yang makin meningkat sesuai dengan derajat keparahan penyakit. Sel radang dapat masuk ke dalam lobulus sehingga terjadi erosi limiting plate, sel-sel hati dapat mengalami degenerasi baluning dan dapat terjadi badan asidofil (acidophilic bodies). Pada pasien hepatitis B kronik jarang didapatkan gambaran kolestasis. Untuk menilai derajat keparahan hepatitis serta untuk menentukan prognosis, dahulu gambaran histopatologik hepatitis B kronik dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: l).Hepatitiskronik persisten (HKP) adalah infiltrasi sel-sel mononuklir pada daerah portal dengan sedikit fibrosis, limiting plate masih utuh, tidak ada piecemeal necrosis. Gambaran ini sering didapatkan pada carrier asimtomatik, 2). Hepatitis kronik aktif (HKA) adalah adanya infiltrat radang yang menonjol, yang terutama terdiri dari limfosit dan sel plasma yang terdapat di daerah portal. Infiltrat peradangan ini masuk sampai ke dalam lobulus hati dan menimbulkan erosi limiting plate dan disertai piecemeal necrosis. Gambaran ini sering tampak pada carrier yang sakit (simtomatik); 3). Hepatitis Kronik Lobular (HKL), sering dinamakan hepatitis akut yang berkepanjangan. Gambaran histologik mirip hepatitis akut tetapi timbul lebih dari 3 bulan. Didapatkan gambaran peradangan dan nekrosis intra-lobular, tidak terdapat piecemeal necrosis dan bridging necrosis. Klasifikasi di atas telah dipakai berpuluh-puluh tahun oleh para ahli di seluruh dunia tetapi ternyata kemudian tidak bisa dipertahankan lagi karena terlalu kasar dan hasilnya sering overlapping. Salah satu klasifikasi histologik untuk menilai aktivitas peradangan yang terkenal adalah Histological Activity Index (HAI), yang ditemukan oleh Knodell pada tahun 1981, yang dapat dilihat pada Tabel 1. Dengan demikian skor HA1 yang mungkin adalah 0- 18. Pada Tabel 2 dapat dilihat hubungan antara skor indeks aktivitas histologik dengan derajat hepatitis kronik. Belakangan dibuat suatu pembagian baru berdasarkan skor yang menunjukkan intensitas nekrosis (grade) dan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Adefovir Dipivoksil



Komponen



Skor



Nekrosis periportal dengan atau tanpa bridging necrosis Regenerasi intralobular dan nekrosis fokal lnflamasi portal



0-10



HA1



Diagnosis



1-3 4-8 9-12 13-18



Minimal Ringan Sedang Berat



0-4 0-4



progresi struktural penyakit hati (stage) yang dinyatakan dalam bentuk kuantitatif yang lebih sederhana dan lebih sering dipakai. Berikut ini rincian dari sistem skor tersebut: I. Aktivitas peradangan portal dan lobular



0 1



2 3 4



Tidak ada peradangan portal atau peradangan portal minimal Peradangan portal tanpa nekrosis atau Peradangan lobular tanpa nekrosis Limiting plate necrosis ringan (Interface Hepatitis ringan) dengan atau nekrosis lobular yang bersifat fokal Limiting plate necrosis sedang atau Interface Hepatitis sedang dan atau nekrosis fokal berat (Confluent necrosis) Limiting plate necrosis berat (Interface hepatitis berat) dan atau bridging necrosis



II. Fibrosis 0 1 2



3 4



Tidak ada Fibrosis Fibrosis terbatas pada zona portal yang melebar Pembentukan septa periportal atau septa portalportal dengan arsitektur yang masih utuh Distorsi arsitektur (Fibrosis septa bridging) tanpa sirosis yang jelas Kemunakinan sirosis atau ast ti sirosis



PENATALAKSANAAN Pada saat ini dikenal2 kelompok terapi untuk hepatitis B kronik yaitu: I. Kelompok Imunomodulasi Interfefon Timosin alfa 1 Vaksinasi Terapi 11. Kelompok Terapi Antivirus Lamivudin



Tujuan pengobatan hepatitis B kronik adalah mencegah atau menghentikan progresi jejas hati (liver injury) dengan cara menekan replikasi virus atau menghilangkan injeksi. Dalam pengobatan hepatitis B kronik, titik akhir yang sering dipakai adalah hilangnya petanda replikasi virus yang aktif secara menetap (HBeAg dan DNA VHB). Pada umumnya, serokonversi dari HBeAg menjadi anti-HBe disertai dengan hilangnya DNA VHB dalam serum dan meredanya penyakit hati. Pada kelompok pasien hepatitis B kronik HBeAg negatif, serokonversi HBeAg tidak dapat dipakai sebagai titik akhir terapi dan respons terapi hanya dapat dinilai dengan pemeriksaan DNA VHB. Terapi dengan lmunomodulator Interferon (IFN) alfa. IFN adalah kelompok protein intraselular yang normal ada dalam tubuh dan diproduksi oleh berbagai macam sel. IFN alfa diproduksi oleh limfosit B, IFN beta diproduksi oleh monosit fibroepitelial, dan IFN gamma diproduksi oleh sel limfosit T. Produksi IFN dirangsang oleh berbagai macam stimulasi terutama infeksi virus. Beberapa khasiat IFN adalah khasiat antivirus, imunomodulator, anti proliferatif, dan anti fibrotik. IFN tidak memiliki khasiat anti VIRUS langsung tetapi merangsang terbentuknya berbagai macam protein efektor yang mempunyai khasiat antivirus. Dalam proses terjadinya aktivitas antivirus, IFN mengadakan interaksi dengan reseptor IFN yang terdapat pada membran sitoplasma sel hati yang diikuti dengan diproduksinya protein efektor. Salah satu protein yang terbentuk adalah 2 :5'-oligoadenylate synthetase (OAS) yang merupakan suatu enzim yang berfungsi dalam rantai terbentuknya aktivitas antivirus. Khasiat IFN pada hepatitis B kronik terutama disebabkan oleh khasiat imunomodulator. Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien Hepatitis B Kronik sering didapatkan penurunan produksi IFN. Sebagai salah satu akibatnya terjadi gangguan penampilan molekul HLA kelas I pada membran hepatosit yang sangat diperlukan agar sel T sitotoksik dapat mengenali sel-sel hepatosit yang terkena infeksi VHB. Sel-sel tersebut menampilkan antigen sasaran (target antigen) VHB pada membran hepatosit. IFN adalah salah satu pilihan untuk pengobatan pasien hepatitis B kronik dengan HBeAg positif, dengan aktivitas penyakit ringan sampai sedang, yang belum mengalami sirosis. Pengaruh pengobatan IFN dalam menurunkan replikasi virus telah banyak dilaporkan dari berbagai laporan penelitian yang menggunakan follow-up jangka panjang. Pada Tabel 3 tampak hasil meta analisis tentang khasiat IFN pada pasien dengan Hepatitis B kronik yang dilakukan oleh Wong et al, pada tahun 1995.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



657



H E P A ~ BSKRONIK



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Hilangnya Parameter (%)



IFN (n=498'



Kontrol (n=139)



P



DNA VHB HBeAg HBsAa



37 33 7.8



17 12 1,8



0.0001 0.0001 0.001



Beberapa faktor yang dapat meramalkan keberhasilan IFN: 1. Konsentrasi ALT yang tinggi Konsentrasi DNA VHB yang rendah Timbulnyaflare-up selama terapi IgM anti-HBc yang positif 2. Efek samping EN: Gejala seperti flu Tanda-tanda supresi sumsum tulang Flare-up Depresi Rambut rontok Berat badan turun Gangguan fungsi tiroid Sebagai kesimpulan, IFN merupakan suatu pilihan untuk pasien hepatitis B kronik nonsirotik dengan HBeAg positif dengan aktivitas penyakit ringan sampai sedang. Dosis IFN yang dianjurkan untuk hepatitis B kronik dengan HBeAg positif adalah 5-10 MU 3 x seminggu selama 16-24 minggu. Penelitian menunjukkan bahwa terapi IFN untuk hepatitis B kronik HBeAg negatif sebaiknya diberikan sedikitnya selama 12 bulan. Kontra indikasi terapi IFN adalah sirosis dekompensata, depresi atau riwayat depresi di waktu yang lalu, dan adanya penyakit jantung berat.



PEG Interferon. Penambahan polietilen glikol (PEG) menimbulkan senyawa IFN dengan umur paruh yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan IFN biasa. Dalam suatu penelitian yang membandingkan pemakaian PEG IFN alfa 2a dengan dosis 90,180, atau 270 mikrogram tiap minggu selama 24 minggu menimbulkan penurunan DNA VHB yang lebih cepat dibandingkan dengan IFN biasa yang diberikan 4,5 MU 3 x seminggu. SerokonversiHBeAg pada kelompok PEG IFN pada masing-masing dosis adalah 27, 33,37% dan pada kelompok IFN biasa sebesar 25%. 1. Penggunaan steroid sebelum terapi IFN. Pemberian steroid pada pasien Hepatitis B Kronik HBsAg positif yang kemudian dihentikan mendadak akan menyebabkanflare up yang disertai dengan kenaikan konsentrasi ALT. Beberapa penelitian awal menunjukkan bahwa steroid withdrawl yang diikuti dengan pemberian IFN lebih efektif dibandingkan dengan pemberian IFN saja, tetapi ha1 itu tidak terbukti dalam penelitian skala besar. Karena itu steroid withdraw1 yang diikuti dengan pemberian IFN tidak dianjurkan secara rutin. 2. Timosin Alfa 1. Timosin adalah suatu jenis sitotoksin



yang &lam keadaan alami ada &lam ekstrak pinus. Obat ini sudah dapat dipakai untuk terapi baik sebagai sediaan parenteral maupun oral. Timosin alfa 1 merangsang fungsi sel limfosit. Pemberian Timosin alfa 1 pada pasien hepatitis B kronik dapat menurunkan replikasi VHB dan menurunkan konsentrasi atau menghilangkan DNA VHB. Keunggulan obat ini adalah tidak adanya efek samping seperti IFN. Dengan kombinasi dengan IFN, obat ini meningkatkan efektivitas IFN. 3. Vaksinasi Terapi. Salah satu langkah maju dalam bidang vaksinasi hepatitis B adalah kemungkinan penggunaan vaksin Hepatitis B untuk pengobatan infeksi VHB. Prinsip dasar vaksinasi terapi adalah fakta bahwa pengidap VHB tidak memberikan respons terhadap vaksin Hepatitis B konvensional yang mengandung HBsAg karena individu-individu tersebut mengalami imunotoleransi terhadap HBsAg. Suatu vaksin terapi yang efektif adalah suatu vaksin yang kuat yang dapat mengatasi imunotoleransi tersebut. Salah satu dasar vaksinasi terapi untuk hepatitis B adalah penggunaan vaksin yang menyertakan epitop yang mampu merangsang sel T sitotoksik yang bersifat Human Leucocyte Antigen (HLA)-restricted, diharapkan sel T sitotoksik tersebut mampu menghancurkan sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Salah satu strategi adalah penggunaan vaksin yang mengandung protein pre-S. Strategi kedua adalah menyertakan antigen kapsid yang spesifik untuk sel limfosit T sitotoksik (CTL). Strategi ketiga adalah vaksin DNA. Terapi Antivirus



1. Lamivudin. Lamivudin adalah suatu enantiomer (-) dari 3' tiasitidin yang merupakan suatu analog nukleosid. Nukleosid berfungsi sebagai bahan pembentuk pregenom, sehingga analog nukleosid bersaing dengan nukleosid asli. Lamivudin berkhasiat menghambat enzim reverse transkriptase yang berfungsi dalam transkripsi balik dari RNA menjadi DNA yang terjadi dalam replikasi VHB. Lamivudin menghambat produksi VHB baru dan mencegah terjadinya infeksi hepatosit sehat yang belum terinfeksi, tetapi tidak mempengaruhi sel-sel yang telah terinfeksi karena pada sel-sel yang telah terinfeksi DNA VHB ada dalam keadaan convalent closed circular (cccDNA). Karena itu setelah obat dihentikan, titer DNA VHB akan kembali lagi seperti semula karena sel-sel yang terinfeksi akhirnya memproduksi virus baru lagi. Lamivudin adalah analog nukleosid oral dengan aktivitas antivirus yang kuat. Kalau diberikan dalam dosis 100 mg tiap hari, lamivudin akan menurunkan konsentrasi DNA VHB sebesar 95% atau lebih dalam waktu 1 minggu. Dengan metode hibridisasi, DNA VHB tidak bisa dideteksi lagi dengan metode non PCR dalam waktu 8 minggu tetapi masih dapat dideteksi dengan metode PCR. Setelah dihentikan selama 2 minggu,



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



konsentrasi DNA akan kembali positif dan mencapai konsentrasi sebelum terapi. Menurut penelitian, dalam waktu 1 tahun serokonversi HBeAg menjadi anti-HBe terjadi pada 16-18% pasien yang mendapat Lamivudin, sedangkan serokonversi hanya terjadi pada 4-6% pasien yang mendapat plasebo (p 5 x nilai normal tertinggi 2 - 5 x nilai normal tertinggi < 2 x nilai normal tertinaai



Frekuensi Serokonversi



64 % (p 2 x nilai normal tertinggi dengan DNA VHB positif. Untuk ALT < 2 x nilai normal tertinggi tidak perlu terapi antivirus. Terapi antivirus untuk hepatitis B kronik dengan konsentrasi ALT normal atau hampir normal. Kebanyakan ahli berpendapat bahwa untuk hepatitis B kronik dengan konsentrasi ALT normal tidak diperlukan pemberian terapi antivirus walaupun didapatkan DNA VHB titer tinggi atau HBeAg positif. Beberapa ahli menyatakan bahwa pada kasus-kasus seperti di atas, yang pada biopsi hati didapatkan gambaran biopsi yang sangat aktif apalagi bila disertai fibrosis berat perlu diberikan terapi anti VIRUS.



IFN atau analog nukleosid UntukALT2-5 kali nilai tertinggi dapat diberikan Lamivudin 100 mg tiap hari atau IFN 5 MU 3x seminggu. Untuk ALT > 5 x nilai normal tertinggi dapat diberikan lamivudin 100 mg tiap hari. Pemakaian IFN tidak dianjurkan.



Gabungan antara IFN dan nukleosid. Untuk meningkatkan khasiat monoterapi IFN dan monoterapi lamivudin telah dilakukan penelitian yang membandingkan pemakaian monoterapi dengan PEG interferon, monoterapi dengan lamivudin dan kombinasi antara PEG inteferon dan lamivudin pada pasien hepatitis B kronik. Ternyata gabungan antara kedua obat itu tidak lebih baik dibandingkan dengan monoterapi PEG Interferon atau monoterapi lamivudin. Lama terapi antivirus.Dalam keadaan biasa IFN diberikan sampai 6 bulan sedangkan lamivudin sampai 3 bulan setelah serokonversi HBeAg. Kriteria respons terhadap terapi antivirus. Respons terhadap antivirus (IFN atau analog nukleosid) yang biasa dipakai adalah hilangnya DNA VHB dalarn serum (nonPCR), hilangnya HBeAg dengan atau tanpa munculnya anti-HBe (serokonversi HBeAg), normalnya konsentrasi ALT serta turunnya nekroinflamasi dan tidak adanya progresi fibrosis pada biopsi hati yang dilakukan secara seri. Para ahli menganjurkan standardisasi respons terhadap terapi antivirus untuk hepatitis B. Respons tersebut dibagi menjadi: respons biokimiawi (BR), respons virilogik (VR), dan respons histologik (HR), pada akhir terapi dan 6-12 bulan setelah terapi dihentikan. Kategori Respons Antivirus. Respons biokirniawi (BR) adalah penurunan konsentrasi ALT menjadi normal. Respons virologik (VR), negatifnya DNA VHB dengan metode nonamplifikasi ( 1,l g r a d d l . Kurang dari nilai itu disebut rendah. Gradien tinggi



terdapat pada asites transudasi dan berhubungan dengan hipertensi porta sedangkan nilai gradien rendah lebih sering terdapat pada asites eksudat. (Tabel 1) Konsentrasi protein asites kadang-kadang dapat menunjukkan asal asites, misalnya : protein asites < 3 gramldl lebih sering terdapat pada asites transudat sedangkan konsentrasi protein > 3 graddl sering dihubungkan dengan asites eksudat. Pemeriksaan ini terbukti tidak akurat karena nilai akurasinya hanya kira-kira 40%; 3). Hitung sel. Peningkatan jumlah sel lekosit menunjukkan proses inflamasi. Untuk menilai asal infeksi lebih tepat digunakan hitung jenis sel. Sel PMN yang meningkat lebih dari 2501 mm3 menunjukkan peritonitis bakteri spontan, sedangkan peningkatan MN lebih sering terjadi pada peritonitis tuberkulosa atau karsinomatosis; 4). Biakan kuman. Biakan kuman sebaiknya dilakukan pada setiap pasien asites yang dicurigai terinfeksi. Asites yang terinfeksi akibat perforasi usus akan menghasilkan kuman polimikroba sedangkan peritonitis bakteri spontan monomikroba. Metoda pengambilan sampel untuk biakan kuman asites sebaiknya disamakan dengan sampel untuk biakan kuman dari darah yakni bed side innoculation bloodculture botle; 5). Pemeriksaan sitologi. Pada kasuskasus karsinomatosis peritoneum, pemeriksaan sitologi asites dengan cara yang baik memberikan hasil truepositive hampir 100%. Sampel untuk pemeriksaan sitologi hams cukup banyak (kira-kira 200ml) untuk meningkatkan sensitivitas. Hams diingat banyak tumor penghasil asites tidak melalui mekanisme karsinomatosis peritoneum sehingga tidak dapat dipastikan melalui pemeriksaan sitologi asites. Tumor-tumor itu misalnya: karsinoma hepatoselular masif, tumor hati metastasis, limfoma yang menekan aliran limfe.



Gradien tinggi Sirosis hati Gagal hati akut Metastasis hati masif Gagal jantung kongestif Sindrom Budd-Chiari Penyakit veno-oklusif Miksedema



Gradien rendah Karsinomatosis peritoneum Peritonitis Tuberkulosa Asites surgikal Asites biliaris Penyakit jaringan ikat Sindroma nefrotik Asites pankreatik



PENGOBATAN Pengobatan asites transudat sebaiknya dilakukan secara komprehensif, meliputi : Tirah baring. Tirah baring dapat memperbaiki efektifitas diuretika, pada pasien asites transudat yang berhubungan dengan hipertensi porta. Perbaikan efek diuretika tersebut berhubungan dengan perbaikan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus akibat tirah baring. Tirah baring akan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



menyebabkan aktivitas simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron menurun. Yang dimaksud dengan tirah baring disini bukan istirahat total di tempat tidur sepanjang hari, tetapi tidur terlentang, kaki sedikit diangkat, selama beberapa jam setelah minum obat diuretika.



Diet. Diet rendah garam ringan sampai sedang dapat membantu diuresis. Konsumsi garam (NaCl) perhari sebaiknya dibatasi hingga 40-60 meqhari. Hiponatremia ringan sampai sedang bukan merupakan kontraindikasi untuk memberikan diet rendah garam, mengingat hiponatremia pada pasien asites transudat bersifat relatif. Jumlah total Na dalam tubuh sebenamya di atas normal. Biasanya diet rendah garam yang mengandung NaCl kurang dari 40 rnEq/hari tidak diperlukan.KonsentrasiNaCl yang amat rendah justru dapat mengganggu fungsi ginjal. Diuretika. Diuretika yang dianjurkan adalah diuretika yang bekerja sebagai antialdosteron, misalnya spironolakton. Diuretika ini merupakan diuretika hemat kalium, bekerja di tubulus distal dan menahan reabsorpsi Na. Sebenamya potensi natriuretik diuretika distal lebih rendah dari pada diuretika loop bila etiologi peningkatan air dan garam tidak berhubungan dengan hiperaldosteronisme. Efektifitas obat ini lebih bergantung pada konsentrasinya di plasma, semakin tinggi semakin efektif. Dosis yang dianjurkan antara 100- 600rnghari. Jarang diperlukan dosis yang lebih tinggi lagi. Diuretika loop sering dibutuhkan sebagai kombinasi. Diuretika ini sebenamya lebih berpotensi daripada diuretika distal. Pada sirosis hati, karena mekanisme utama reabsorpsi air dan natrium adalah hiperaldosteronisme, diuretika loop menjadi kurang efektif. Target yang sebaiknya dicapai dengan terapi tirah baring, diet rendah garam dan terapi diuretika adalah peningkatan diuresis sehingga berat badan turun 400-800 g 1 hari . Pasien yang disertai edema perifer penurunan berat badan dapat sampai 1500 g/hari . Sebagian besar pasien berhasil baik dengan terapi kombinasi tirah baring, diet rendah garam dan diuretika kombinasi. Setelah cairan asites dapat dimobilisasi,dosis diuretika dapat disesuaikan. Biasanya diet rendah garam dan spironolakton masih tetap diperlukan untuk mempertahankan diuresis dan natriuresis sehingga asites tidak terbentuk lagi. Komplikasi diuretika pada pasien sirosis hati hams diwaspadai. Komplikasi itu misalnya : gaga1 ginjal fungsional, gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan asam-basa, dan ensefalopati hepatikum. Spironolakton dapat menyebabkan libido menurun, ginekomastia pada laki-laki, dan gangguan menstruasi pada perempuan.



Terapi parasentesis. Parasentesis sebenamya merupakan cara pengobatan asites yang tergolong kuno. Pada mulanya karena berbagai komplikasi. parasentesis asites tidak lagi disukai. Beberapa tahun terakhir ini parasentesis kembali dianjurkan karena mempunyai banyak keuntungan dibandingkan terapi konvensional bila dikerjakan dengan baik. Untuk setiap liter cairan asites yang dikeluarkan sebaiknya diikuti dengan substitusi albumin parenteral sebanyak 6-8 gram. Setelah parasentesis sebaiknya terapi konvensional tetap diberikan. Parasentesis asites sebaiknya tidak dilakukan pada pasien sirosis dengan Child-Pugh C, kecuali asites tersebut refrakter Pengobatan terhadap penyakit yang mendasari.Asites sebagai komplikasi penyakit-penyakit yang dapat diobati, dengan menyembuhkan penyakit yang mendasari akan dapat menghilangkan asites. Sebagai contoh adalah asites pada peritonitis tuberkulosa. Asites yang merupakan komplikasi penyakit yang tidak dapat disembuhkan memerlukan pengobatan tersendiri. Asites eksudat yang penyebabnya tidak dapat disembuhkan, misalnya karsinomatosis peritoneum, sering hanya dilakukan pengobatan paliatif dengan parasentesis berulang.



Angeli P, Gatta A. Medical treatment of ascites in cirrhosis. In. Arroyo V, Gines P, Rodes J, Schrier RW (eds). Ascites and renal dysfunction in liver disease. Blackwell Science Inc ;1999: 442462 Arroyo V and Ramon B. Historical notes on Ascites in cirrhosis. In. Arroyo V, Gines P, Rodes J, Schrier RW (eds). Ascites and renal dysfunction in liver disease. Blackwell Science Inc;1999:3-13 Bemardi M, Caraceni P. Ascites. In. Porro GB, Gremer M, Krejs G, Ramadori G, Rask-Madsen J (eds). Gastroenterology and Hepatology. McGraw-Hill; 1999 :pp :69-76. Cardenas A and Gines P. Pathogenesis and treatment of dilutional hyponatremia in cirrhosis. In Arroyo V, Foms X, Garcia-Pagan JC, Rodes J (eds). Progress in the treatment of liver diseases. Ars Medica. Barcelona ;2003:pp3 1-42. Gines P, Schrier RW. The arterial vasodilation hypothesis of ascites formation in cirrhosis. In. Arroyo V, Gines P, Rodes J, Schrier RW (eds). Ascites and renal dysfunction in liver disease. Blackwell Science Inc; 1999: 41 1-430. Groszmann RJ. Progression of Portal Hypertension: An analysis of variants. In . Arroyo V, Foms X, Garcia-Pagan JC, Rodes J (eds). Progress in treatment of liver disease. Ars Medica. Barcelona;2003:pp 3-12. Hoefs JC. Characteristics of ascites. In. Arroyo V, Gines P, Rodes J, Schrier RW (eds). Ascites and renal dysfunction in liver disease. Blackwell Science. Inc.; 1999: 14-35 Sherlock S and Dooley J. Ascites. Diseases of the liver and billary system. l o t h ed. 1997. p. 119-34.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



KOMA HEPATIK Nasrul Zubir



PENDAHULUAN Hati merupakan salah satu organ yang sangat berperan penting dalam mengatur metabolisme tubuh, yaitu pada proses anabolisme atau sintesis bahan-bahan yang penting seperti sintesis protein, pembentukan glukosa serta proses katabolisme yaitu dengan melakukan detoksikasi bahan-bahan seperti amonia, berbagai jenis hormon, obat obatan, dan sebagainya. Selain itu hati juga berperan sebagai penyimpan bahan-bahan seperti glikogen dan vitamin serta memelihara keseimbangan aliran darah splanknikus. Adanya kerusakan hati akan mengganggu fungsifungsi tersebut sehingga dapat menyebabkan terjadinya gangguan sistem saraf otak akibat zat-zat yang bersifat toksik. Keadaan klinis gangguan sistem saraf otak pada penyakit hati tersebut merupakan gangguan neuropsikiatrik yang disebut sebagai koma hepatik atau ensefalopati hepatik. Perjalanan klinis koma hepatik dapat subklinis, apabila tidak begitu nyata gambaran klinisnya dan hanya dapat diketahui dengan cara-cara tertentu. Angka kekerapan (prevalensi) ensefalopati subklinis berkisar antara 30% sampai 88% pada pasien sirosis hati.



Patogenesis koma hepatikum sampai saat ini belum diketahui secara pasti ha1 ini disebabkan karena: 1). Masih terdapatnya perbedaan mengenai dasar neurokimial neurofisiologis; 2). Heterogenitas otak baik secara fungsional ataupun biokimia yang berbeda dalam jaringan otak; 3). Ketidakpastian apakah perubahan-perubahan mental dan penemuan biokimia saling berkaitan satu dengan lainnya.



Sebagai konsep umum dikemukakan bahwa koma hepatik terjadi akibat akumulasi dari sejumlah zat neuroaktif dan kemampuan komagenik dari zat-zat tersebut dalam sirkulasi sistemik (Sherlocks, 1989). Beberapa hipotesis yang telah dikemukakan pada patogenesis koma hepatik antara lain adalah: Hipotesis amoniak. Amonia berasal dari mukosa usus sebagai hasil degradasi protein dalam lumen usus dan dari bakteri yang mengandung urease. Dalam hati amonia diubah menjadi urea pada sel hati periportal dan menjadi glutamin pada sel hati perivenus, sehinggajumlah amonia yang masuk ke sirkulasi dapat dikontrol dengan baik. Glutaminjuga diproduksi oleh otot (50%), hati, ginjal, dan otak (7%). Pada penyakit hati kronis akan terjadi gangguan metabolisme amonia sehingga terjadi peningkatan konsentrasi amonia sebesar 5-10 kali lipat. Beberapa peneliti melaporkan bahwa amonia secara invitro akan mengubah loncatan (fluk) klorida melalui membran neural dan akan mengganggu keseimbangan potensial aksi sel saraf. Di samping itu, amonia dalam proses detoksikasi akan menekan eksitasi transmiter asam amino, aspartat, dan glutamat. Hipotesis toksisitas sinergik. Neurotoksin lain yang mempunyai efek sinergis dengan amonia seperti merkaptan, asam lemak rantai pendek (oktanoid), fenol, dan lain-lain. Merkaptan yang dihasilkan dari metionin oleh bakteri usus akan berperan menghambat NaK-ATP-ase. Asam lemak rantai pendek terutama oktanoid mempunyai efek metabolik seperti gangguan oksidasi, fosforilasi dan penghambatan konsumsi oksigen serta penekanan aktivitas NaK-ATP-ase sehingga dapat mengakibatkan koma hepatik reversibel. Fenol sebagai hasil metabolisme tirosin dan fenilalanin dapat menekan aktivitas otak dan enzim hati monoamin



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



oksidase, laktat dehidrogenase, suksinat dehidrogenase, prolin oksidase yang berpotensi dengan zat lain seperti amonia yang mengakibatkan koma hepatikum. Senyawasenyawa tersebut akan memperkuat sifat sifat neurotoksisitas dari amonia.



Hipotesis neurotransmiter palsu. Pada keadaan normal pada otak terdapat neurotransmiter dopamin dan noradrenalin, sedangkan pada keadaan gangguan fungsi hati, neurotransmiter otak akan diganti oleh neurotransmiter palsu seperti oktapamin dan feniletanolamin, yang lebih lemah dibanding dopamin atau nor-adrenalin (Mullen, 19%). Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah : a). Pengaruh bakteri usus terhadap protein sehingga terjadi peningkatan produksi oktapamin yang melalui aliran pintas (shunt) masuk ke sirkulasi otak; b). Pada gagal hati seperti pada sirosis hati akan terjadi penurunan asam amino rantai cabang (BCAA) yang terdiri dari valin, leusin dan isoleusin, yang mengakibatkan terjadinya peningkatan asam amino aromatik (AAA) seperti tirosin, fenilalanin, dan triptopan karena penurunan ambilan hati (hepaticuptake). Rasio antara BCAA dan AAA (Fisischer 'ratio) normal antara 3-3,5 akan menjadi lebih kecil dari 1,O. Keseimbangan kedua kelompok asam amino tersebut penting dipertahankan karena akan menggambarkan konsentrasi neurotransmiter pada susunan saraf. Hipotesis GABA dan Benzodiazepin. Ketidakseimbangan antara asam amino neurotransmiter yang merangsang dan yang menghambat fungsi otak merupakan faktor yang berperan pada terjadinya koma hepatik. Terjadi penurunan transmiter yang memiliki efek merangsang seperti glutamat, aspartat dan dopamin sebagai akibat meningkatnya amonia dan gama aminobutirat (GABA) yang menghambat transmisi impuls. Efek GABA yang meningkat bukan karena influks yang meningkat ke dalam otak tapi akibat perubahan reseptor GABA dalam otak akibat suatu substansi yang mirip benzodiazepin (benzodiazepin-like substance).



Tingkat Prodromal



Koma mengancam Koma ringan Koma dalam



GAMBARAN KLlNlS



Koma hepatik merupakan suatu sindrom neuropsikiatri yang dapat dijumpai pada pasien gagal fungsi hati baik yang akut maupun yang kronik.Pada umumnya gambaran klinis berupa kelainan mental, kelainan neurologis, terdapatnya kelainan parenkim hati serta kelainan laboratorium. Sesuai dengan perjalanan penyakit hati maka koma hepatik dibedakan atas : 1). Koma hepatik akut Vulminant hepatic failure) ditemukan pada pasien hepatitis virus, hepatitis toksik obat (halotan, asetaminofen), perlemakan hati akut pada kehamilan, kerusakan parenkim hati yang fulminan tanpa faktor pencetus (presipitasi). Perjalanan penyakit eksplosif, ditandai dengan delirium, kejang disertai dengan edema otak. Dengan perawatan intensif angka kematian masih tinggi sekitar 80%. Kematian terutama disebabkan edema serebral yang patogenesisnya belum jelas, kemungkinan akibat perubahan permeabilitas sawar otak dan inhibisi neuronal (Na' dan K') ATP-ase, serta perubahan osmolar karena metabolisme amonia; 2). Pada penyalut hati kronik dengan koma portosistemik, perjalanan tidak progresif sehingga gejala neuropsikiatri terjadi pelan-pelan dan dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus. Beberapa faktor pencetus seperti azotemia, sedatif, analgetik, perdarahan gastrointestinal, alkalosis metabolik, kelebihan protein, infeksi, obstipasi, gangguan keseimbangan cairan, dan pemakaian diuretik akan dapat mencetuskan koma hepatik. Pada permulaan perjalanan koma hepatikum (ensefalopati subklinis) gambaran gangguan mental mungkin berupa perubahan dalam mengambil keputusan dan gangguan konsentrasi. Keadaan ini dapat dinilai dengan uji psikomotor atau pada pasien dengan intelektual cukup dapat dites dengan membuat gambar-gambar atau dengan uji hubung angka (UHA), Reitan trail making test, dengan menghubungkan angka-angka dari 1 sampai 25, kemudian diukur lama penyelesaian oleh pasien dalam satuan detik. (Tabel 1)



Elektroensefalografi



Gejala gejala Afektif hilang, eufori Depresi, apati, kelakuan tak wajar, perubahan kebiasaan tidur Kebingungan, disorientasi, mengantuk Kebingungan nyata, dapat bangun dari tidur, bereaksi terhadap rangsangan Tidak sadar, hilang reaksi rangsangan



.



IEEGI, Asteriksis, kesulitan bicara, kesulitan menulis



(+)



Asteriksis, fetor hepatik



(++)



Asteriksis, fetor hepatik, lengan kaku, hipereflek, klonus, reflek menggenggam, mengisap Fetor hepatik, tonus otot hilang



(+++)



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



(++++)



679



KOMA HEPATIK



DIAGNOSIS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Diagnosis koma hepatik ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan dibantu dengan beberapa pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang antara lain adalah: Elektroensefalografi (EEG). Dengan pemeriksaan EEG terlihat peninggian amplitudo dan menurunnya jumlah siklus gelombang perdetik. Terjadi penurunan frekuensi dari gelombang normal Alfa (8- 12 Hz).



Tingkat Ensefalopati Tingkat 0 Tinakat I ~ i n g k aIIt Tingkat Ill Tingkat lV



Frekuensi gelombang EEG Frekuensi alfa ( 8,512 siklusldetik) 7-8 siklus Idetik 5-7 siklus 1detik 3-5 siklus ldetik 3 siklus ldetik atau negatif



(Conn H0,1994)



Tes psikometri. Cara ini dapat membantu menilai tingkat kemampuan intelektual pasien yang mengalami koma hepatik subklinis. Penggunaannya sangat sederhana dan mudah melakukannya serta memberikan hasil dengan cepat dan tidak mahal. Tes ini pertama kali dipakai oleh Reitan (Reitan Trail Making Test) yang dipergunakan secara luas pada ujian personal militer Amerika (Conn HO, 1994) kemudian dilakukan modifikasi dari tes ini yang disebut sebagai Uji Hubung Angka (UHA) atau Number Connection Test (NCT). Dengan UHA tingkat ensefalopati dibagi atas 4 kategori.



Tingkat Ensefalopati Normal Tingkat I Tingkat II Tingkat Ill Tingkat IV



Hasil Uji Hubung Angka (UHA) dalam detik 15-30



(Sanyal, 1994)



Tes psikometri UHA dapat dipakai untuk menilai tingkat ensefalopati hepatik terutama pada pasien sirosis hati yang rawat jalan. Pemeriksaan Amonia Darah. Amonia merupakan hasil akhir dari metabolisme asam amino baik yang berasal dari dekarboksilasi protein maupun hasil deaminasi glutamin pada usus dari hasil katabolisme protein otot. Dalam keadaan normal amonia dikeluarkan oleh hati dengan pembentukan urea. Pada kerusakan sel hati seperti sirosis hati, terjadi peningkatan konsentrasi amonia darah karena gangguan fungsi hati dalam mendetoksifikasiamonia serta adanya pintas (shunt) porto-sistemik. (Tabel 4)



Tingkat Ensefalopati Tingkat Tingkat Tingkat Tingkat



0 1 2 3



Tingkat 4



Kadar amonia darah dalam ~lgldl < 150 151 -200 201 - 250 251 - 300



> 300



Diagnosis Banding Koma Hepatik 1. Koma akibat intoksikasi obat-obatan dan alkohol 2. Trauma kepala seperti komosio serebri, kontusio serebri, perdarahan subdural, dan perdarahan epidural 3. Tumorotak 4. Koma akibat gangguan metabolisme lain seperti uremia,koma hipoglikemia, koma hiperglikemia 5. Epilepsi



PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan koma hepatik harus memperhatikan apakah koma hepatik yang terjadi adalah primer atau sekunder. Pada koma hepatik primer terjadinya koma adalah akibat kerusakan parenkim hati yang berat tanpa adanya faktor pencetus (presipitasi), sedangkan pada koma hepatik sekunder terjadinya koma dipicu oleh faktor pencetus. Upaya yang dilakukan pada penatalaksanaan koma hepatik adalah: 1). Mengobati penyakit dasar hati; 2). Mengidentifikasi dan menghilangkan faktor-faktor pencetus; 3). Mengurangilmencegahpembentukan influks toksin-toksin nitrogen ke jaringan otak antara lain dengan cara: a). Menurunkan atau mengurangi asupan makanan yang mengandung protein, b). Menggunakan laktulosa dan antibiotika., c). , Membersihkan saluran cerna bagian bawah. 4). Upaya suportif dengan memberikan kalori yang cukup serta mengatasi komplikasi yang mungkin ditemui seperti hipoglikemia, perdarahan saluran cerna, dan keseimbangan elektrolit. Secara umum tatalaksana pasien dengan koma hepatik adalah memperbaiki oksigenasi jaringan, pemberian vitamin terutama golongan vitamin B, memperbaiki keseimbangan elektrolit dan cairan, serta menjaga agar jangan terjadi dehidrasi. Pemberian makanan berasal dari protein dikurangi atau dihentikan sementara, dan dapat kembali diberikan setelah terdapat perbaikan. Protein dapat ditingkatkan secara bertahap, misalnya dari 10 gram menjadi 20 gram sehari selama 3-5 hari disesuaikan dengan respon klinis, dan bila keadaan telah stabil dapat diberikan protein 40-60 gram sehari. Sumber protein terutama dari campuran asam amino rantai cabang. Pemberian asam amino ini diharapkan akan menormalkan keseimbangan asam amino sehingga



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



neurotransmiter asli dan palsu akan berimbang dan kemungkinan dapat meningkatkan metabolisme amonia di otot. Tujuan pemberian asarn amino rantai cabang pada koma hepatik (ensepalopati hepatik) antara lain adalah: 1). Untuk mendapatkan energi yang dibutuhkan tanpa memperberat fungsi hati; 2). Pemberian asam amino rantai cabang akan mengurangi asam amino aromatik dalam darah; 3). Asam amino rantai cabang akan memperbaiki sintesis katekolamin pada jaringan perifer; 4). Pemberian asam amino rantai cabang dengan dekstrosa hipertonik akan mengurangi hiperaminosidemia. Selanjutnya dapat dipergunakan laksansia, antibiotika, atau keduanya. Pemakaian laksansia laktulosa diberikan secara oral dengan dosis 60-120 ml perhari untuk merangsang defekasi. Laktulosa merupakan suatu disakarida sintetis yang tidak diabsorbsi oleh usus halus, tetapi dihidrolisis oleh bakteri usus besar, sehingga terjadi lingkungan dengan pH asam yang akan menghambat penyerapan amoniak. Selain itu frekuensi defekasi bertambah sehingga memperpendek waktu transit protein di usus. Penggunaan laktulosa bersama antibiotika yang tidak diabsorbsi usus seperti neomisin, akan memberikan hasil yang lebih baik. Neomisin diberikan 2-4 gram perhari baik secara oral atau secara enema, walaupun pemberian oral lebih baik kecuali terdapat tanda-tanda ileus. Metronidazol4 x 250 mg perhari merupakan alternatif. Upaya membersihkan saluran cerna bagian bawah dilakukan terutama kalau terjadi perdarahan saluran cerna (hematemesis/melena) agar darah sebagai sumber toksin nitrogen segera dikeluarkan.



Pada koma hepatik portosistemik sekunder, bila faktorfaktor pencetus teratasi, maka dengan pengobatan standar hampir 80% pasien akan kembali sadar. Pada pasien dengan koma hepatik primer dan penyakit berat prognosis akan lebih buruk bila disertai hipoalbuminemia, ikterus, serta asites. Sementarakoma hepatik akibat gaga1hati fulminan kemungkinan hanya 20% yang dapat sadar kembali setelah dirawat pada pusat-pusat kesehatan yang maju.



REFERENSI Akil HAM. Koma hepatik. In: HM Syaifullah Noer, editor. Ilmu penyakit dalam. Jilid I. Edisi 3. Jakarta: Balai Pustaka Penerbit FKUI; 1999. p. 300-9. Conn HO, et al. Subclinic hepatic encephalophaty syndrome and therapies. In: Conn HO, editor. Bloomington, Illinois: Medied Press; 1994. p. 26-39. Conn HO. Trailmaking and number connection test in assessment of mental state in portal systemic encephalophaty. Dig dis. 1997;22:541-50. Hoyumpa AM, Schouber S. Hepatic encephalopathy. In: Berk TE, editor. Bockus gastroenterology. 41h edition. Philadelphia: WB Saunders; 1985. p. 3083-108. Lai WK, Murphy N. Management of acute liver failure. CEACCP. 2004; 4:40-3. Mattarozzi K, Stracciari A, Vignatelli L, D'Allesandro. Minimal hepatic encephalophaty: longitudinal effects of liver transplantation. Arch Neurol. 2004:61:242-7. O'Grady JG. Acute liver failure. Postgrad Med J. 2005;81:148-54. Ong JP, Agganval A, Krieger D, Easley KA. Correlation between ammonia levels and the severity of hepatic encephalopathy. Nutr Clin Pract. 2004; 19. p. 413-4. Scheuber S, Hoyumpa AM. Prinsiple of liver failure. In: Stein JH, editors. Internal medicine. 4Ih edition. St Louis Baltimore: Mosby; 1994. p. 571-6. Thaler H, editors. Sherlock S. Hepatic encephalopathy. In: Csomas Clinical hepatology. Berlin: Spriner-Verlag; 1983. p. 291-8. Siniscalchi A, Mancuso F, Scornaienghi D. Acute encephalophaty induced by oxycarbazepineand\furosemide. Ann Pharmacother. 2004:509-10.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



SINDROM HEPATORENAL Purnomo Budi Setiawan, Hernomo Kusumobroto



PENDAHULUAN



DEFlNlSl



Pasien dengan sirosis dan asites sering berkembang menjadi gaga1 ginjal yang bersifat khusus, yang lebih dikenal dengan nama sindrom hepatorenal (SHR), yang disebabkan oleh terjadinya vasokonstriksi pada sirkulasi ginjal. Gambaran histologi pada pasien seperti ini biasanya normal, dan ginjal akan kembali menjadi normal atau mendekati normal fungsinya, setelah transplantasi hati. Di samping perubahan pada fungsi ginjal, pasien dengan SHR juga menunjukkan kelainan yang mencolok dari sirkulasi pembuluh nadi sistemik dan aktivitas sistem vasoaktif endogen, yang mungkin memegang peranan yang sangat penting untuk timbulnya hipoperfusi ginjal. Pasien penyakit hati yang berat misalnya sirosis hati (SH) dekompensata, yang sering mengalami gangguan fungsi ginjal ini, umumnya akan memperburuk prognosis pasien. Gangguan fungsi ginjal pada pasien SH ini dapat disebabkan adanya gangguan hemodinamik, terutama vasodilatasi perifer, yang akan diikuti aktivasi hormon vasokonstriksi, sistem neurohormonal seperti reninaldosteron, vasopresin, endotelin dan peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis. Gangguan ini akan memicu retensi air dan natrium di ginjal, dan penurunan laju filtrasi glomerulus ginjal (LFG). Kelainan fungsi ginjal pada pasien SH ini bersifat fungsional, yaitu tanpa disertai perubahan morfologis ginjal. Pada stadium awal gangguan fungsi ginjal ini bersifat reversibel, yaitu dapat membaik dengan intervensi medis. Stadium ekstrim dari gangguan fungsi ginjal ini adalah sindrom hepatorenal (SHR) yang umumnya bersifat ireversibel. Sekitar 20% pasien SH dengan asites disertai fungsi ginjal yang normal, akan mengalami SHR setelah 1 tahun, dan 39% setelah 5 tahun perjalanan penyakit. Prognosis SHR umurnnya buruk. Tanpa transplantasi hati atau pengobatan dengan vasokonstriktor yang tepat, rerata angka ketahanan hidup kurang dari 2 minggu.



Sindrom hepatorenal (SHR) adalah gangguan fungsi ginjal sekunder pada penyakit hati tingkat berat baik yang akut maupun kronis. SHR bersifat fungsional dan progresif. SHR merupakan suatu gangguan fungsi ginjal pre renal, yaitu disebabkan adanya hipoperfusi ginjal, namun dengan hanya perbaikan volume plasma saja ternyata tidak dapat memperbaiki gangguan fungsi ginjal ini.



Patogenesis SHR sampai sekarang belum secara lengkap diketahui. Hipotesis patogenesis SHR adalah sbb: akibat sirosis hati (SH) atau penyakit hati tingkat berat dan bersama-sama dengan hipertensi portal akan mengakibatkan terjadinya vasodilatasi arteri splanknik. Vasodilatasi ini akan mengakibatkan hipovolemia arterial sentral, sehingga merangsang aktivasi sistem saraf simpatis, renin-angiotensin-aldosteron, dan hormon antidiuretik yang secara keseluruhan akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah ginjal. Di ginjal seharusnya akan terjadi mekanisme kompensasi, namun dengan alasan yang belum jelas justru terjadi ketidak-seimbangan mekanisme kompensasi ini, yaitu meningkatnya vasokonstrikor disertai penurunan vasodilator. Beberapa studi melaporkan beberapa perubahan biokimiawi pada pasien SH dengan SHR sebagai berikut: a. Hati penurunan sintesis angiotensinogen dan kininogen penurunan pemecahan renin, angiotensin 11, aldosteron, endotoksin, dan vasopresin b. Plasma peningkatan kadar renin, angiotensin 11, aldosteron, endotoksin noradrenalin, vasopresin, endotelin 2 dan 3, leukotrien C4 dan D4, kalsitonin peptida dan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



hormon antidiuretik penurunan kadar kalikrein, bradikinin, dan faktor natriuretik arterial c. Urin atau ginjal peningkatan renin, angiotensin 11, aldosteron, endotelin, tromboksan A2, leukotrien E4, prostaglandin E2, prostasiklin, bradikinin. Fakta hasil studi di atas kiranya menunjukkan betapa pada pasien SHR terjadi vasokonstriksi ginjal dengan segala akibatnya dengan mekanisme atau patogenesis yang sangat kompleks. Studi lain menyatakan bahwa terjadi penurunan sintesis nitrit oksida yang merupakan vasodilator h a t , pada pasien SH dan SHR.



sirosis hati



1 Vasodilatasi arterial splanik bertambah



1 Hipovolemi arterial sentral



- Simpatis - Renin/angiotensin/Aldosteron - Hormon antidiuretik



1 Vasokonstriksi renal meningkat



Vasokontrikstormeningkat



1 Vasokontriksi renal lebih meningkat



Sindrom Hepatorenal Garnbar 1. Patogenesis terjadinya sindrom hepatorenal



pada pasien dengan penyakit hati berat atau sirosis hati (dikutip dari Sherlock, 2002)



dan 5 kriteria tambahan. Diagnosis SHR dapat dibuat bila ditemukan seluruh kriteria mayor.



Kriteria Mayor 1. Penyakit hati akut atau kronis dengan kegagalan tingkat lanjut dan hipertensi portal 2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) yang rendah (kreatinin serum >1,5 mg/dl (1 30mmoV1) atau bersihan kreatinin < 40 mumenit) 3. Tidak ada syok, sepsis, kehilangan cairan, maupun pemakaian obat-obatan nefiotoksik (misalnya OAINS atau aminoglikosida) 4. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal (penurunan kreatinin serum < 1,5 mg/dl atau peningkatan bersihan kreatinin > 40 mumenit) sesudah pemberian cairan isotonik salin 1,5 liter 5. Proteinuria< 500 mghari, tanpa obstruksi saluran kernih atau penyakit ginjal pada pemeriksaan USG Kriteria Tambahan (tidak harus ada untuk menegakkan diagnosis) 1. Volume urine 3 gldl. Jumlah sel di antara 1003000 seVml, biasanya lebih dari 90% limfosit. LDH biasanya meningkat. Cairan asites yang purulen dapat ditemukan, begitu juga cairan asites yang bercampur darah (serosanguineus). Basil tahan asam didapati hasilnya kurang dari 5% yang positip dan kultur cairan ditemukan kurang dari 20 % yang positip. Ada beberapa peneliti yang mendapatkan hampir 66 % kultur BTA positip yang akan meningkat sampai 83% bila menggunakan kultur cairan asites yang telah disentrijiuge dengan jumlah cairan lebih dari 1 liter. Hasil kultur cairan asites dapat diperoleh dalam waktu 4-8 minggu. Perbandingan albumin serum asites pada tuberkulosis peritoneal ditemukan rasionya 1,l grldl merupakan cairan asites akibat portal hipertensi. Perbandingan glukosa asites dan darah pada tuberkulosis peritoneal tersebut < 0,96, sedangkan pasien asites dengan penyebab lain rasionya > 0,96. Pemeriksaan cairan asites lain yang sangat membantu diagnosis tuberkulosis peritoneal, cepat dan non invasif adalah pemeriksaan adenosin deaminase activity (ADA), interferon gamma (IFNy), dan PCR. Menurut Gimene dkk nilai ADA lebih dari 0,40 uKat/l mempunyai sensitivitas 100% dan spesifisitas 99% untuk mendiagnosis tuberkulosis peritoneal. Menurut Gupta dkk nilai ADA 30 u/l mempunyai sensitivitas 100% dan spesifisitas 94,1%, serta mengurangi positip palsu dari sirosis hati atau keganasan karena nilai ADA nya 14 10,6 d l . Hafb A dkk melakukanpenelitian untuk membandingkan



*



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



konsentrasi ADA pada pasien tuberkulosis peritoneal, tuberkulosis peritoneal dan sirosis hati. Didapatkan hasilnya 131,l 638,l u/l,29* 18,6u/l,dan 12,9*7u/l.Padaasites yang konsentrasi proteinnya rendah nilai ADA nya akan rendah sehingga dapat menyebabkan negatif palsu. Oleh sebab itu pada kasus seperti ini dapat dilakukan pemeriksaan IFNy. Fathy ME melaporkan angka sensitivitas IFNy90,9%, ADA 81,8% dan PCR 36,3% dengan masing-masing spesivisitas 100% untuk mendiagnosis tuberkulosis peritoneal. Bhargava dkk melakukan penelitian terhadap konsentrasi ADA pada cairan asites dan serum pasien tuberkulosis peritoneal. Konsentrasi ADA 36 u/l pada cairan asites dan 54 u/l pada serum dan perbandingan konsentrasi ADA pada asites dan serum > 0,984 mendukung diagnosis tuberkulosis peritoneal. Pemeriksaan yang lain adalah mengukur konsentrasi CA- 125 (cancer antigen 125).CA- 125 merupakan antigen yang terkait karsinoma ovarium, antigen ini tidak ditemukan pada ovarium orang dewasa normal namun dilaporkanjuga meningkat pada kista ovarium, gaga1ginjal kronis, penyakit autoimun, pankreas, sirosis hati dan tuberkulosis peritoneal. Zain LH di medan menemukan pada 8 kasus tuberkulosis peritoneal dijumpai konsentrasi CA-125 meninggi dengan konsentrasi rata-rata 370,7 dm1 (66,2907 ulml). Dengan demikian disimpulkan bahwa bila dijumpai peninggian serum CA-125 disertai dengan cairan asites yang eksudat,jumlah sel > 350/m3,limfosit dominan maka tuberkulosis peritoneal dapat dipertimbangkan sebagai diagnosa. Beberapa peneliti menggunakan CA- 125 untuk melihat respon pengobatan seperti yang dilakukan Mas MR dkk yang menemukan CA- 125 sama tingginya dengan kanker ovarium 475,80 6 106,19dm1 dan setelah pemberian obat antituberkulosiskonsentrasi serum CA 125 menjadi 20,80 5,18 dm1 (normal < 35 ulml) setelah 4 bulan pengobatan antituberkulosis. Teruya dkk pada tahun 2000 di Jepang menemukan peningkatan konsentrasi CA 19-9 pada serum dan cairan asites pasien tuberkulosis peritoneal, setelah diobati selama 6 minggu dijumpai penurunan menjadi normal.



*



Pemeriksaan Penunjang



Ultrasonografi. Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat dilihat adanya cairan dalam rongga peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk kantong-kantong). Menurut Ramaiya dan Walter gambaran sonografi tuberkulosis peritoneal yang sering antara lain, cairan yang bebas atau terlokalisasi dalam rongga abdomen, abses dalam abdomen, massa di daerah ileosekal dan pembesamn kelenjar limfe retroperitoneal. Adanya penebalan mesenterium, perlengketan lumen usus dan penebalan omentum, dapat dilihat dan hams diperiksa dengan seksama.



CT Scan. Pemeriksaan CT Scan untuk tuberkulosis peritoneal tidak ada suatu gambaran yang khas, secara umum ditemukan gambaran peritoneum yang berpasir. Rodriguez dkk melakukan suatu penelitian yang membandingkantuberkulosisperitoneal dengan karsinoma peritoneal. Didapatkan penemuan yang paling baik untuk membedakannya dengan melihat gambaran CT scan terhadap peritoneum parietalis. Bila peritoneumnya licin dengan penebalan yang minimal dan pembesaran yang jelas menunjukkan gambaran tuberkulosis peritoneal, sedangkan karsinoma peritoneal terlihat adanya nodul yang tertanam dan penebalan peritoneum yang tak teratur.



Peritoneoskopi. Peritoneoskopi cara yang terbaik untuk mendiagnosis tuberkulosis peritoneal. Tuberkel pada peritoneum yang khas akan terlihat pada lebih dari 90% pasien dan biopsi dapat dilakukan dengan terarah, selanjutnyadilakukan pemeriksaan histologi. Pada tuberkel peritoneal ini dapat ditemui BTA hampir 75% pasien tuberkulosis peritoneal. Hasil histologi yang penting adalah didapatnya granuloma. Yang lebih spesifik lagi adalahjika didapati granuloma dengan perkejuan. Gambaran yang dapat dilihat pada tuberkulosis peritoneal 1). Tuberkel kecil ataupun besar pada dinding peritoneum atau pada organ lain dalam rongga peritoneum seperti hati, omentum, ligamentum atau usus; 2). Perlengketan di antara usus, omentum, hati, kandung empedu dan peritoneum; 3). Penebalan peritoneum; 4). Adanya cairan eksudat atau purulen, mungkin cairan bercampur darah. Walaupun dengan cara peritoneoskopi tuberkulosis peritoneal dapat dikenal dengan mudah namun gambaramya dapat menyerupai penyakit lain seperti peritonitis karsinomatosis. Karena itu pengobatan baru diberikan bila hasil pemeriksaan histologi menyokong suatu tuberkulosis peritoneal. Kadang-kadang peritoneoskopi tidak dapat dilakukan pada kasus dengan perlengketan jaringan yang luas, sehingga trokar sulit dimasukkan. Pada keadaan seperti itu sebaiknya dilakukan laparatomi diagnostik. Laparatomi. Dahulu laparatomi eksplorasi merupakan tindakan diagnosis yang sering dilakukan, namun saat ini banyak penulis menganggap pembedahan hanya dilakukan jika cara lain yang lebih sederhana tidak memberikan kepastian diagnosisataujika dijumpai indikasi yang mendesak seperti obstruksi usus.



PENGOBATAN Pengobatannya sama dengan tuberkulosis paru. Obatobatan seperti streptomisin, INH, etambutol, rifampisin, pirazinamid memberikan hasil yang baik, perbaikan akan terlihat dalan waktu 2 bulan. Lama pengobatan biasanya mencapai 9 bulan sampai 18 bulan atau lebih.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Beberapa penulis berpendapat kortikosteroid &pat mengurangi perlengketan peradangan dan mengurangi terjadinya asites. Terbukti juga kortikosteroid dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian, namun pemberian kortikosteroid hams dicegah pada daerah endemis dimana terjadi resistensi terhadap mikobakterium tuberkulosis.



PROGNOSIS Prognosis tuberkulosis peritoneal cukup baik bila diagnosis dapat ditegakkan dan biasanya akan sembuh dengan pengobatan anti tuberkulosis yang adekuat.



REFERENSI Ahmad M. Tuberculous peritonitis: fatality associated with delayed diagnosis. South Med J. 1999:92:406-8. Alrajhi AA, Halim MA, Al-hokail, et al. Corticosteroid treatment of peritoneal tuberculosis. Clin infect Dis. 1998:27:52-6. Bhargava DK, Gupta M, Nijhawan S, Dasarathy S. Adenosin deaminase activity in peritoneal tuberculosis: diagnostic value in ascitic fluid and serum. Tubercle. 1990;71: 121-6. Daniel. TM tuberculous peritonitis. Harrison's principles of internal medicine. 16'h edition. New York: MC Graw Hill Book Co; 2005. p. 712. Ellis H. Primary and special types of peritonitis. In: Schawarz S, Ellis H, Hussic WC, editors. Maingots abdominal operations. 1'' edition. New York: Prenticehall International inc; 1990:355-6. Fathy EM, EL Salam FA, Lashin AH. et al. A comparative study of different procedures for diagnosis of tuberculosis ascites. Available from:http://www.membersh.ipod.com/ejimunology/p~ious/ jan 99-9.html. Fox E. Tuberculous perionitis. Hunter's tropical medicine. 81h edition. London: WB Saunder Co; 2000. p. 503-4. Gupta VK, Mukherjee S, Dutta SK, Mukherjee P. Diagnostic evaluation of ascitic adenosine deaminase activity in tubercular perionitis. J Assoc Physicians India. 1992;40 (6):387-9 (abstract). Hafta A. Adenosin deaminase activity in the diagnosis of peritoneal tuberculosis with cirrhosis. http:/lwwwcu.edu.trlfakulterer/tf/tfd/ 97-2-9.htm.



Ibrahim G Gelzayd B, Demantia F, etal. CA-125 tumor associated antigen in a patien with tuberculous peritonitis. Available from:



htt~://www.medscape.com/SMA/SMJ/1999V92nii/ smj9211.13.ibra/pntsmj921113.ibra.html. Isaev GB, Guseinov SA, Gasanov VM, Aliva EA'Mirzoev EB, Diagnosis and treatment of tuberculos peritonitis. Khimggiia ( M O S ~ )1999;7:16-8. . Jakubowski A, Elwood RK, Enarson DA. Clinical features of abdominal tuberculosis. J Infect Dis. 1988;158 (4):687-92. Lyche KD. Miscelaneous disease of the peritonium and mesentery. In: Grendell Jh, Mc Quaid KR, Friedman SL, editors. Current diagnosis and treatment gastroenterology. New York: Prentice Hall International; 1996. p. 144-5. Mas MR, Comert B, Saglamkaya V. Ca 125 a new marker for diagnosis and follow up patients with tuberculous peritonitis. Dig Liber dis. 2000:32;595-7. Manohar A, Simjee AE, Haffejee AA, Pettengell KE. Symptom and investigative findings in 145 patients with tuberculous perionitis diagnosed by peritoneoscopy and biopsy over a five year period. Gut. 1990;31:1130-2. Nafeh MA, Medhat A, Abdul Hameed AG, et al. Tuberculous perionitis in Egypt: the value of laparoscopy in diagnosis. Am J Trop Med Hyg. 1992;47(4):470-7 (abstract). Ramaiya LI, Walter DF. Sonographic features of tuberculous peritonitis. Abdom Imaging. 1993;18 (1):23-6 (abstract). Rodriguez E, Pombo F. Peritoneal tuberculosis versus peritoneal carsinomatosis distingtion based on CT findings. J Conput assistttomogr. 1996;20;269-72. Rosengat TK, Coppa GF. Abdominal mycobacterial infection in immuno-compromised patients. Am J Surg. 1990; 159 (1): 1253 1. Sandikci MU, Colakoglu B, Ergun Y, et al. Presntation and role of peritoneoscopy in the diagnosis of tuberculous peritonitis. J Gastroenterol Hepatol. 1992;7 (3):298-301 (abstract). Spiro HM. Peritoneal tuberculosis. Clinical gastroenterologi. 14'h edition. London: Mc Graw Hill Inc; 1993. p. 551-2. Sulaiman HA. Peritonitis tuberkulosis. Gastroenterologi hepatologi. Jakarta: Infomedika; 1990. p. 456-61. Teruya JU, Deguchi S, Takeshima Y, Nakachi A, Muto Y. Tuberculous peritonitis with high level of Ca 19-9 in serum acitic fluid. Jpn J Gastroenterol Surg. 2000;33:230-4. Varon J. Corticosteroid for tuberculosis Available from: http:// www.postgrandmed.com/issues/2000/04-00/cc-cc-aproo.htm. Yanshan Xue, Zhi ji, Xiumei liu. Form of peritoneal ostosis by tuberculosis: CT findings with pathologic correlation Available from:httpll:www.Cmj.org/xueyanshanz:htm. Zain LH. Peran analisis cairan asites dan serum Ca 125 dalam mendiagnosa TBC peritoneum. In: Acang, Nelwan RHH, Syamsum W, editors. Padang: KOPAPDI X; 1996. p. 95.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PANKREATITIS AKUT A. Nurman



PENDAHULUAN Pankreatitis adalah reaks klinis pankreatitis akut dit disertai dengan Enaikan Perjalanan penyakitnya sa self limited sampai sangat berat yang disertai dengan r & j a w n g a n gangguan ginjal dan paru-paru yang berakibat fatal. Pada pankreatitis enzim-enzim -eas, bahan-bahan vasoaktif dan bahan-bahan tohsik lajnnya keluar dari saluran-saluran pankreas dan masuk ke dalam ruang pararenal anterior dan ruang-ruang lain seprti lesser sac dan rongga ruang-ruang p r 1 -or, peritoneum. B an-bahan ini mengakibatkan iritasi kimiawi y a n a ~ a s Penyulit . yang serius dapat timbul seperti kehilangan cairan (masuk ke rongga Y



melalui jalur getah bening r e t r o p e r i t o n e d ~ v e m dan mengalubatkan bkrbagai penyuulit_sistemik seperti gagal p m a s ~ a g a ginjal l dan kolap-skardiovaskular. Faktor-faktor yang menentukan beratnya pankreatitis akut sebagian besar belum diketahui. Pada hampir 80% kasus pankreatitis akut, jaringan pankreas mengalami inflamasi tetapi masih hidup; keadaan ini disebut pankreatitis in rstisia ,sisanya 20% mengalami nekrosis .----pankreas atau peripankreas yang merupakan k o m p E yang bexmengancam jiwa dan memerlukan perawatan intensif. Nekrosi ankreas diduga terjadi sebagai akibat aktivitas i asg ankreas p?da jaringan --lemak peripankreas; sedangkan penyebab nekrosis pankreas -masuk kerusakan mikrosirkulasi dan efek langsung enzim-enzim pankreas pada parenkim pankreas. Pasien dengan pankreatitis interstisial dapat juga menunjukkan toksisitas sistemik yang jelas dengan gagal



P



0



pernapasan; tetapi pada umumnya keadaan toksik ini self limited bila tidak terdapat nekrosis pankreas. Bilamana pankreas mengalami nekrosis apalagi bila nekrosisnya luas, keadaan toksik yang sistemik ini akan menetap. Penyebab keadaan ini belum jelas, tetapi yang pasti adalah adanya enzim-enzim pankreas serta toksintoksin dan timbulnya infeksi sekunder pada jaringan pankreas yang mengalami nekrosis. Kematian terbesar pasien pankreatitis akut terdapat pada pasien-pasien pankreatitis akut dengan nekrosis pankreas yang mengalami infeksi ini.



-a KLASlFlKASl



Pankreatitis akut Pankreatitis akut; disini fungsi pankreahmbahmrmal, 2 Pankreatitis kronik, dimana terdapat sisa-sisa kerusakan yang permanen. Untuk menyempurnakan k m s i tersebut, pMa tahun 1992 diadakan simposium internasional di Atlanta, Georgia, untuk mengembangkan sistem klasifikasi yang lebih b e r o r i m .



L



3



Terdapat ua ha1 penting yang dicetuskan pada simposium tersebut, yaknl : - -1. Indikator beratny



*



dimasukka~sebagaikomponen sekunder dalam penentuan beratnya pankreatitis. -. ".Sebelum timbulnya gagal organ atau nekrosis pankreas, terdapat 2 kriteria di i.yangy k u r yakni kriteria -. Ramen (Tabel 5)G A P A C H E 11. Pentingnya kriteria-kriteria tersebut adalah untuk dapat



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



c



memberikan informasi sedini mungkin, pasien mana yang paling besar kemungkinannya untuk ber menjadi pankreatitis berat. Adanya tanda- da Ranso?, 2 dalam 48 jam pertama dan atau 2 dari A -'merupakan tanda-ta6da dini yang b e r h s a mengenai beratnya p a n k r r i s . 2. Pankreatitis interstisial dapa nekrosis dengan mema Perbedaan ini secara kli umumnya pankreatitis nekrosis lebih berat daripada pankreatitis interstisial, dan disertai dengan gagal organ yang lebih lama, mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk infeksi dan disertai dengan mortalitas yang lebih tinggi. Pankreatitis dapat merupakan episode tunggal atau bedang. 'lergantung pada beratnya V Z g a n dan luasnya nekrosis parenkim dapat d l b e d a k c : Pankreatitis @tipe interstisial; terdapat nekrosis lemak di tepi pankreas dan e d z a interstisial;%iasan~a ringan dan %elflimited. 2. Pankreatitls akut tipe nekrosis yang dapat setempat atau difus; terdapat korelasi antara derajat nekrosis pankreas dan beratnya serangan serta manifestasi sistemiknya. Di antara kedua tipe ini terdapat bentuk antara yang secara klinis beratnya penyakit sedang-sedang saja; nekrosis hanya sebagian dan sebagian besar pankreas edem dan membengkak. Keadaan ini sering menjurus kepada timbulnya pseudokista dengan fungsi pankreas baik eksokrin dan endokrin terganggu selama beberapa waktu.



-



Frekuensi dan Penyebab Insidens pankreatitis sangat bervariasi dari satu negara ke negara yang lain dan juga di satu tempat dengan tempat lain di dalam negara yang sama. Hal ini disebabkan selain karena faktor-faktor lingkungan yang . - sebenarnya (alkoholisme, batu empedu,dll), iuga karena tidak adania keseragaman pengumpulan dan pencatatan data, serta perbedaan kriteria diagnosis yang dipakai, misalnya pencampuradukan antara diagnosis pankreatitis akut dan kekambuhan yang akut dari pankreatitis kronik. Di negara barat penyakit ini seringkali ditemukan dan berhubungan erat dengan panyalahgunaan p a a l a n alkohol dan penyakit hepatobilier.Frekuensi berkisar antara R a d a 100.000 penduduk. Terdapat kecenderungan meningkatnya insidens pankreatitis akut dan etiologi alkohol sebagai akibat pankreatitis akut makin bertambah di negara-negara yang konsumsi alkoholnya meningkat. Walaupun demikian batu empedu juga masih merupakan faktor risiko terpenting.



Di Indonesia penyakit ini sudah banyak dilaporkan, sebelumnya jarang dilaporkan mungkin karena adanya dugaan bahwa tingkat konsumsi allphol masih sangat r m a penyakit ini tidak terpikirkan. Pasien-pasien dengan ny-it hebat pada waktu yang lalu kebanyakan didiagnosis sebagai gastritis akut atau tukak peptik. Lesmana dkk pe kasus-kasus pankreatitis akut kare D i F b a b ut alkoh (80-90% pada r i a ) e t u perempuan . (Lihat tabel 2) Kelompo penyebabny'a tidak diketahui (idiopatik, m w . Ketiga penyebab ini merupakan 90% penyebab pankreatitis akut. Sisanya 10% (8) antara lain karena trauma pada pankreas (tumpul atau tajam atau pada pembedahan abdomen), tukak peptik yang menembus pankreas, obstruksi saluran pankreas oleh fibrosis atau konkrema, penyakit-penyakit metabolik antara lain hiperlipoproteinemia, hiperkalsemia (sarkoidosis, metastasis tulang, hiperparatiroidisme), diabetes, gagal ginjal, hemokromatosis, pankreatitis herediter, kehamilan (0,025%), pemakaian obat-obat tertentu (tiazid, furosemid, kontrasepsi (?), steroid, azatioprin, isoniasid, tetrasiklin, salazopirin, asparginase, indometasin), infeksi virus, penyakit vaskular primer (misalnya SLE, periarteritis nodosa), akibat ERCP. Di negara Barat, pankreatitis jarang terjadi pada anakanak dan dewasa muda, dan kebanyakan disebabkan oleh infeksi (parotitis, infeksi parasit misalnya askaris, giardia, klonorkis), trauma tumpul abdomen, kelainan bilier bawaan atau obat-obatan. Etiologi pankreatitis akut yang kami dapatkan pada 87 kasus dengan 94 episode pankreatitis akut selama 10 tahun (1985-2005) dapat dilihat pada Tabel 1. Bilamana dicari dengan?-ungguh di antara pasien dengan nyeri hebat di perut bagian atas, kasus pankreatitis akan lebih sering ditemukan. Pengalaman kami selama 10 tahun (1 995-2005) menunjukkan penyebab yang bervariasi (Tabel I), yang terbanyak tidak diketahui (idiopatik).



1. 2.



3. 4.



5.



Batu bilier I 8 episode (l9,1%) lnfeksi 20 episode (21&/0) terdiri atas. tifus 3 episode demam berdarah dengue 5 episode leptospirosis 3 episode c/ askaris 5 episode - apendisitis akut 1 episode 'w sepsis 2 episode / ldiopatik 52 episode (55,3%) J Metabolik (hipertrigliseridemia dan.g gal ginjal masingmasing 1 dan 2 episode (2,3%) Lain-lain 2 episode (2.3%) terdiri a t e J pankreas dan gravid masing-masin



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



7



9.



2



733



P A N K R E A " AKUT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI 1. 2. 3. 4. 5. 6.



Alkohol Batu ernpedu Pasca bedah Pasca ERCP Trauma terutarna trauma turnpul Metabolik, antara lain: - Hipertrigliseridernia. - Hiperkalsernia. - Gagal ginjal. 7. Infeksi: virus parotitis, hepatitis, koksaki, askaris, rnikoplasma. 8. Berhubungan dengan obat-obatan, antara lain azatioprin, 6 rnerkaptopurin, sulfonamid, tiasid, furosemid, tetrasiklin. 9. Penyakit jaringan ikat antara lain lupus eriternatosus sisternik. 10. ldiopatik



Pada seri ini didapatkan kausa yang tidak diketahui cukup banyak yakni 55,3%, sedangkan batu bilier dan penyakit infeksi masing-masing 19,1% dan 2 1,3%. Dari kelompok yang idiopatik ini dilaporkan penyebabnya sesudah diteliti lebih lanjut sampai 80% karena mikrolitiasis atau lumpur dalam saluradkandung empedu, disfungsi sfingter Oddi, kelainan anatomi (seperti stenosis papilla mayor, divisum pankreas, striktur d.pankreatikus dan tumor, mutasi gen). Frekuensi Berdasarkan Kelamin Di negara Barat bilamana batu empedu merupakan penyebab utama pankreatitis akut, maka usia terbanvak 60 tahun dan terdapat l e a banyak pada perempuan



perempuan sedikit lebih banyak daripada pria 1.04 : 1, dan pada penyebab batu empedu, pria dan perempuan sama banyaknya. Lesmana dkk juga mendapatkan perempuan yang sama banyak dengan pria pada pankreatitis karena batu empedu. Di negara Barat, pankreatitis akut lebih sering terjadi pada usia 60 tahun dan jarang terjadi pada anak dan dewasa muda. Pada seri yang kami dapatkan (Tabel 3) kelompok remaja 10-20 tahun cukup banyak, yakni 16,1% sedang yang terbanyak 2 1,8%pada kelompok umur 41-50 tahun.



+



L-Sebagai kontras adanya berbagai faktor etiologi yang menyertai pankreatitis akut, terdapat rangkaian kejadian patofisiologis yang uniform pada timbulnya penyakit ini. Kejadian ini didasarkan pada aktivasi enzim di dalam pankreas yang kemudian mengakibatkan autodigesti organ.



No.



Kelompok usia (Tahun)



Jumlah



Persentase



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.



10 - 20 21 - 30 31 -40 41 - 50 51 - 60 61 - 70 71 - 80 81 -90



14 11 14 19 15 10 3 1



16,l 12,6 16,l 21,8 17,2 11,5 3-4 1,1



(Yo)



Dalam keadaan normal pankreas terlindungi dari efek enzimatik enzim digestihya sendiri. Enzim ini disintesis sebagai zimogen yang inaktif dan diaktivasi dengan pemecahan rantai peptik secara enzimatik. Enzim proteolitik (tripsin, kimotripsin, karboksipeptidase, elastase) dan fosfolipase A termasuk dalam kelompok ini. Enzim digestif yang lain seperti amilase dan lipase disintesis dalam bentuk inaktif dan disimpan dalam butir zimogen sehingga terisolasi oleh membran fosfolipid di dalam sel asini. Selain itu, terdapat inhibitor di dalam jaringan pankreas, cairan pankreas dan serum sehingga dapat menginaktifasi protease yang diaktifasi terlalu dini. Dalam proses aktifasi enzim di dalam pankreas, peran penting terletak pada tripsin yang mengaktifasi semua zimogen pankreas yang terlihat dalam proses autodigesti (kimotripsinogen, proelastase, fosfolipase A). Hanya lipase yang aktif yang tidak tergantung pada tripsin. Aktifasi zimogen secara normal dimulai oleh enterokinase di duodenum. Ini mengakibatkan mulanya aktifasi tripsin yang kemudian mengaktivasi zimogen yang lain. Jadi diduga bahwa aktifasi dini tripsinogen menjadi tripsin adalah pemicu bagi kaskade enzim dan autodigesti pankreas. Adapun mekanisme yang memulpi aktifasi e g m u n w a laka-dalah refldan refl-empedu, aktifasi sistem komplemen, stimulasi,du-esienzim yang berlebihan. Isi duodenu akan campuran enzim pagkreas m a k t i f , a am empe u, lisolesitin dan l m k . f i c w yang telah mengalami e m s d u k s i pankreatitis akut. sam empe efekretergen pada sel pankreas, ngkatkan aktifasi lipase dan fesfolipase A, memecah l e s m m e n j a d i lisolesitin dan asam lemak serta menginduksi spontan sejumlah kecil Qpsino_gen sehingga berikutnya mengaktifasi p w k r e a s yang b m j u t n y a , perfusi asam empedu ke dalam duktus pankreatikus yang utama menambah permeabilitas sehingga mengakibatkan perubahan struktural yang jelas. Perfusi 16,16 dimetil prostaglandin E2 mengubah penemuan histologik panhatitis tipe edema ke tipe hemoragik. Kelainan histologis utama yang ditemukan pada pankreatitis akut adalah nekrosis koagulasi parenkim dan piknosis inti atau kariolisis yang cepat diikuti oleh



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



P



-



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



degradasi asini yang nekrotik dan absorpsi debris yang timbul. Adanya edema, perdarahan dan trombosis menunjukkan kerusakan vaskular yang terjadi bersamaan.



: CAIRAN EMPEDU I



Lesitin I



Asam empedu



Substrat untuk pembentukan Lisolesitin oleh fosfolipase A



Aktivasi fosfolipase



Alkohol Masih menjadi pertanyaan mengapa hanya pada pasien tertentu timbul pankreatitis akut sesudah minum alkohol. Mungkin alkohol mempunyai efek toksik yang langsung pada pankreas pada orang-orang tertentu yang mempunyai kelainan enzimatik yang tidak diketahui. Teori lain adalah bahwa selain merangsang sfingter Oddi sehingga terjadi spasme dan meningkatkan tekanan di dalam saluran bilier dan saluran-saluran di dalam pankreas, alkohol juga merangsang sekresi enzim pankreas, sehingga mengakibatkan pankreatitits. Alkohol mengurangi jumlah inhibitor tripsin sehingga pankreas menjadi lebih mudah dirusak tripsin. Selanjutnya sekresi pankreas yang pekat yang ditemukan pada pasienpasien alkoholik, seringkali mengandung small protein plugs, yang berperan pada pembentukan batu di dalam saluran-saluran pankreas. Obstruksi saluran-saluran pankreas yang kecil oleh plugs ini dapat merusak asinus pankreas.



Faktor etiologik (penyakit bilier, alkoholisme, tak diketahui dan lain-lain).



1



Proses yang memulai (refluks empedu, refluks duodenum, dll)



1 Kerusakan permulaan pankreas (edem, kerusakan vaskuler, pecahnya saluran pankreas asinar).



1 Aktivasi enzim digestif.



l1 Tripsin



1 I > Fosfolipase A Elastase Kimotripsin Kallikrein



v



Lipase



Nekrosis pankreas Gambar 1. Faktor etiologik dan patologik pada pankreatitis (dari Creutzfeld & Lankisch)



Efek detergen



Proses koagulasi



tripsin aktif



I Aktivasi proenzim pankreas I Gambar 2. Efek cairan ernpedu pada pankreas (oleh Creutzfeld & Lankisch)



Penyakit-penyakit Saluran Empedu Batu empedu yang terjepit pada ampulla Vaterilsfingter Oddi atau adanya mikrolitiasis dapat mengakibatkan pankreatitis akut karena refluks cairan empedu ke dalam saluran pankreas. Adanya mikrolitiasis ini diketahui dengan didapatkannya kristal-kristal (kolesterol monohidrat, kalsium bilirubinat atau kalsium karbonat) via ERCP atau dengan ditemukannya lumpur pada kandung empedu pada pemeriksaan ultrasonografi. Pengobatan dengan asam ursodeoksikolat atau tindakan kolesistektomi atau sfingterotomi per endoskopik mengurangi insidensii pankreatitis akut yang rekurens. Obat-obatan mengakibatkan pankreatitis karena hipersensitivitas atau terbentuknya metabolit-metabolit yang toksik. Hipertrigliseridemia dapat memicu pankreatitis akut, mungkin karena efek toksik langsung dari lemak pada selsel pankreas; namun juga kebanyakan pasien dengan hipertrigliseridemia dan pankreatitis akut adalah alkoholik, dan kelainan lemak disebabkan sekunder oleh alkoholisme. Patologi Terdapat dua bentuk anatomis utama yakni pankreatitis akut interstisial dan pankreatitis akut tipe nekrosis hemoragik. Manifestasi klinisnya dapat sama; kedua bentuk tersebut dapat pula berakibat fatal walau lebih sering pada bentuk yang kedua. Pemeriksaan pencitraan kini dapat secara tepat membedakan kedua bentuk tersebut. Pankreatitis Akut lnterstisial Secara makroskopik, pankreas membengkak secara difus dan tampak pucat. Tidak didapatkan nekrosis atau perdarahan, atau bila ada, minimal sekali. Secara mikroskopik, daerah interstisial melebar karena adanya edema ekstraselular, disertai sebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear. Saluran pankreas dapat terisi dengan bahan-bahan purulen. Tidak didapatkan destruksi asinus.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PANKREATITISAKUT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Pankreatitis Akut Tipe Nekrosis Hemoragik Secara makroskopik tampak nekrosis jaringan pankreas disertai dengan perdarahan dan inflamasi. Tanda utama adalah adanya nekrosis lemak pada jaringan-jaringan di tepi pankreas, nekrosis parenkim dan pembuluh-pembuluh darah sehingga mengakibatkan perdarahan dan dapat mengisi ruangan retroperiteoneal. Bila penyakit berlanjut, dapat timbul abses atau daerahdaerah nekrosis yang berdinding, yang subur untuk timbulnya bakteri sehingga dapat menimbulkan abses purulen. Gambaran mikroskopis adalah adanya nekrosis lemak dan jaringan pankreas, kantong-kantong infiltrat yang meradang dan berdarah ditemukan tersebar pada jaringan yang rusak dan jaringan-jaringan yang mati. Pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di sekitar daerah yang nekrotik menunjukkan kerusakan mulai dari inflamasi peri vaskular, vaskulitis dan trombosis pembuluhpembuluh darah.



ditemukan pada sebagian kasus, kadang-kadang asites yang berwarna seperti sari daging dan mengandung konsentrasi amilase yang tinggi dan efusi pleura terutama sisi kiri. Nyeri perut ditemukanpada semua kasus (100%). Pada 10,4% didapatkan peritonitis umum dan pada 48% peritonitis lokal pada daerah epigastrium sampai ke pusat; secara keseluruhan peritonitis didapatkan pada 58,4% episode. Mual dan muntah-muntah didapatkan 79% dan demam pada 89,6% episode. Ikterus/subikterus hanya didapatkan pada 373% episode.



Kelainan Laboratorium Kenaikan enzim amilase dan atau lipase serum hanya didapatkan pada 65% episode; lekositosis pada 39,6% episode; fungsi hati terganggu pada 70,8% episode; hiperglikemia pada 25 % episode. Penurunan konsentrasi kalsium dan kolesterol serum didapatkan pada masingmasing 47,6% dan 10,4% episode.



GEJALA KLlNlS



Gejala pankreatitis akut dapat demikian ringan sehingga hanya dapat ditemukan dengan pemeriksaan konsentrasi enzim-enzim pankreas di dalam serum atau dapat sangat berat dan fatal dalam waktu yang singkat. Seseorang yang tiba-tiba mengalami nyeri epigastrium dan muntah-muntah sesudah minum alkohol berlebihan, perempuan setengah umur yang mengalami serangan seperti kolesistitis akut yang berat, seorang pria dalam keadaan renjatan dan koma yang tampak seolah-olah menderira bencana pembuluh darah otak atau ketoasidosis diabetik mungkin menderita pankreatitis akut. Pada kasus-kasus yang kami temukan, keluhan yang mencolok adalah rasa nyeri yang timbul tiba-tiba, kebanyakan intens, terus menerus dan makin lama makin bertambah. Kebanyakan rasa nyeri terletak di epigastrium, kadang-kadang agak ke kiri atau agak ke kanan. Rasa nyeri ini dapat menjalar ke punggung, kadang-kadang nyeri menyebar diperut dan menjalar keabdomen bagian bawah. Nyeri berlangsung beberapa hari. Selain rasa nyeri sebagian kasus juga didapatkan gejala mual dan muntahmuntah serta demam. Kadang-kadang didapat tanda-tanda kolaps kardiovaskular, renjatan dan gangguan pernapasan. Pada pemeriksaan fisis ditemukan nyeri tekan pada perut bagian atas karena rangsangan peritoneum, tandatanda peritonitis lokal bahkan kadang-kadang peritonitis umum. Mengurangnya atau menghilangnya bising usus menunjukkan ileus paralitik. Meteorismus abdomen ditemukan pada 70-80% kasus pankreatitis akut. Dengan palpasi dalam, kebanyakan dapat dirasakan seperti ada massa di epigastrium yang sesuai dengan pankreas yang membengkak dan adanya infiltrat radang di sekitar pankreas. Suhu yang tinggi menunjukkan kemungkinan kolangitis, kolesistitis atau abses pankreas. Ikterus



Penyulit terutama terjadi pada pankreatitis akut tipe hemoragik nekrosis. (Tabel 4) Sebagai penyulit lokal antara lain pembentukan pseudokista, abses pada dan di sekitar pankreas, peradangan pada organ dan di sekitarnya dengan nekrosis dan kadang-kadang pembentukan fisitel, stenosis duodenum yang terjadi dini atau lambat, ikterus obstruktif, kadang-kadang pembentukan asites yang dapat juga sebagai akibat gangguan saluran getah bening karena proses peradangan. Penyulit yang bersifat lebih umum termasuk antara lain: sepsis, kelainan paru yang kadang-kadang menimbulkan insufisiensi pernapasan, kelainan kardiovaskular dengan renjatan, gangguan saraf pusat, tanda-tanda steatonekrosis lokal atau umum, kadang-kadang perdarahan saluran cerna akibat nekrosis duodenum atau kolon, gangguan ginjal dan gangguan metabolik (hiperglikemia, hipokalsemia).



PROGNOSIS PANKREATITISAKUT



Spektrum klinis pankreatitis akut luas dan bemariasi dari ringan dapat sembuh sendiri sampai fulminan, yang cepat menimbulkan kematian dan refrakter terhadap semua pengobatan. Sehubungan dengan ha1 tersebut di atas, untuk pendekatan terapi yang rasional diperlukan identifikasi dini pasien mana yang mempunyai risiko tinggi bagi timbulnyapenyulityang mematikan. Ranson dan Irnrie mengajukan kriteria prognostik untuk menentukan ha1 tersebut (Tabel 5).



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI A. Penyulit lokal - Pembentukan pseudokista - Abses pankreas - Penjalaran peradangan yang bersifat hemoragik - Nekrosis pada organ-organ sekitar - Pembentukan fistel - Ulkus duodenum - lkterus obstruksi - Asites dengan kadar amilase yang tinggi B. Penyulit berjarak jauh - Sepsis * Eksudat pleura Atelektasis Pneumonia Gangguan pernapasan - Kardiovaskular Eksudat perikard Perubahan aspesifik ST-T pada EKG Tromboflebitis Koagulasi intravaskular diseminata - Susunan saraf pusat Psikosis Emboli lemak - Steatonekrosis Bercak-bercak lemak pada omentum dan peritoneum Nekrosis lemak pada jaringan subkutan, mediastinum, pleura susunan saraf pusat Nekrosis tulang - Perubahan gastrointestinal Nekrosis dinding duodenum, kolon Perdarahan dari pankreas melalui duktus pankreatikus Trombosis v.porta dengan perdarahan varises Perdarahan varises Nekrosis arteri intraperitoneal didalam dan disekitar pankreas - Ginjal Trombosis arteri atau vena renalis = Gagal ginjal akut - Metabolik Hiperglikemia, ketoasidosis, koma, hipokalsemia, hi~erli~emia



-



1.



2. 3. 4.



Kriteria Ranson a. Pada saat masuk rumah sakit - Usia > 55 tahun. - Lekosit > 16.000lml. - Gula darah > 200 mg% - Defisit basa > 4 mEq/l - LDH serum > 350 Ulll - AST > 250 Ulll b. Selama 48 jam perawatan - Penurunan hematokrit > 10% - Sekuestrasi cairan > 4.000 ml - Hipokalsemia < 1,9 mMol (8,O mg%) - PO2 arteri < 60 mmHg - BUN meningkat > 1,8 mmol1L (>5 mg%) setelah pemberian cairan i.v. - Hipoalbuminemia < 3,2 g%. Skor APACHE II > 12 (Acute Physiologic and Chronic Health Evaluation) Cairan peritoneal hemoragik lndikator penting a. Hipotensi (< 90 mmHg) atau takikardia > 130 lmenit b. PO2 < 60 mmHg c. Oliguria (< 50 mlljam) atau BUN, kreatinin yang meningkat d. MetaboliklCa serum < 8,O mg% atau albumin serum < 3,2 g%.



akut yang berat sebagian besar disebabkan oleh infeksi. Dari kepustakaan, secara keseluruhan, mortalitas pankreatitis intertisial kurang dari 2%, pankreatitis dengan nekrosis yang steril 10% dan pankreatitis dengan nekrosis dan infeksi 2 30%. Pada seri kami yang pertama, dari 42 kasus pankreatitis akut yang terdiri atas 36 kasus (86 %) tipe interstisial dan 6 (14%) kasus tipe nekrosis, angka kematian tipe intestisial 2,8%, tipe nekrosis 33,3%, dan angka kematian secara keseluruhan 7%.



+



DIAGNOSIS BANDING Akhir-akhir ini dipakai juga skor APACHE I1 untuk penentuan prognostik tersebut. Bilamana terdapat 3 atau lebih dari kriteria pada kriteria Ransom, pasien dianggap menderita pankreatitis akut yang berat. SkorAPACHE I1 menggunakan nilai-nilai yang terburuk dari 12 pengukuran-pengukuran fisiologik, usia, status kesehatan sebelumnya, dan dapat merupakan pegangan yang baik untuk mendapatkan gambaran beratnya penyakit untuk penyakit-penyakit pada umumnya. Skor ini juga mempunyai korelasi dengan prognosis. Kerugian APACHE I1 adalah rumit, diperlukan komputer untuk menentukan skor, memerlukan standarisasi untuk menentukan angka tertinggi dan angka terendah. Adanya cairan abdomen yang hemoragik juga merupakan petunjuk prognostik yang penting. Mortalitas yang tinggi pada pasien-pasien pankreatitis



Diagnosis banding pankreatitis akut terutama ditujukan kepada penyakit-penyakit yang menimbulkan gejala-gejala nyeri yang hebat di perut bagian atas, antara lain meliputi kolik batu empedu, kolesistitis akut, kolangitis, gastritis akut, tukak peptik dengan atau tanpa perforasi, infark mesenterial, aneurisma aorta yang pecah, pneumoni bagian basal, obstruksi usus yang akut dengan strangulasi, infark miokard dinding inferior, kehamilan ektopik yang pecah, serangan akut porfiria, kolik ginjal, vaskulitis pada SLE, dan periarteritis nodosa. DIAGNOSIS PANKREATITISAKUT Diagnosis pankreatitis akut pada umumnya dapat ditegakkan bilamana pada pasien dengan nyeri perut bagian atas yang timbul tiba-tiba didapatkan: 1). Kenaikan amilase serum atau urin ataupun nilai lipase dalam serum sedikitnya



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



737



PANKREA'TITISAKUT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



dua kali harga normal tertinggi; 2). Atau penemuan ultrasonografi yang sesuai dengan pankreatitis akut. Pemeriksaan laboratorium bertujuan selain untuk menegakkan diagnosis, juga untuk mengetahui berat ringan penyakit dan memantau perjalanan penyakitnya, mengikuti terapi, melacak penyulit dan mengevaluasi fungsi sisa pankreas. Peningkatan amilase atau lipase serum masih merupakan kunci untuk diagnosis. Amilase serum hanya menunjukkan kenaikan berarti pada 75%, mencapai maksimum dalam 24-36jam, kemudian menurun dalam 2436 jam. Peningkatan iso amilase lebih spesifik untuk pankreatitis akut. Lipase serum meningkat pada 50% dan berlangsung lebih lama yakni 5- 10 hari. Kembalinya dengan cepat angka-angka peningkatan enzim ini ke normal biasanya menunjukkan tanda-tanda prognosis yang baik, dan adanya peningkatan yang persisten mengarah kepada kecurigaan timbulnya penyulit seperti obstruksi pankreatitis yang berlanjut atau timbulnya pseudokista pankreas, abses atau nekrosis pankreas atau proses inflamasi yang menetap. Pada seri karni, kenaikan amilase atau lipase serum hanya terdapat pada 65% kasus. Hal ini antara lain tergantung pada kapan pasien-pasien datang berobat ke rumah sakit dan kapan dilakukan pemeriksaan amilase dan lipase serum. Ultrasonografi dapat menunjukkan pembengkakan pankreas setempat atau difus dengan ekoparenkim yang berkurang, pseudokista di dalam atau di luar pankreas. Ultrasonografi juga sangat berguna untuk menilai saluran empedu. Adanya batu dalam kandung empedu dan duktus koledokus yang melebar walau tidak tampak adanya batu di dalamnya adalah indikasi untuk melakukan ERCP dini dan sfingterotomi. Walaupun demikian, ultrasonografi memiliki keterbatasan-keterb'atasan yakni pankreas sukar dilihat dengan baik karena adanya gas di dalam usus (meteorisme, ileus paralitik) atau karena obesitas pada 17% kasus; pada sebagian pasien pankreas tampak normal yakni pada 33% kasus. CT Scan penting untuk mendeteksi adanya penyulit seperti nekrosis, pengumpulan cairan di dalamldi luar pankreas, pseudokista, pembentukan flegrnon, abses, dll. Pemantauan pasien dengan CT Scan secara serial dapat berguna bila terdapat kecurigaan timbulnya penyulit seperti di atas. PENGOBATAN Tujuan pengobatan pada pankreatitis akut adalah menghentikan proses peradangan dan autodigesti atau menstabilkan sedikitnya keadaan klinis sehingga memberi kesempatan resolusi penyakit tersebut. Pada sebagian besar kasus (+ 90%) cara konservatif ini berhasil baik dan



Problem Renjatan Sepsis Gagal ginjal Gangguan respirasi Hipokalsemia Hiperglikemia lntoksikasi Batu bilier Trombosis vena dan KID



Tindakan



Cairan parenteral, albumin sesuai dengan tekanan vena sentral, dopamin Antibiotik, operasi Hemodialisis 02, bantuan pernapasan (PO2< 60 mmHg (PEEP) lnfus kalsium + albumin Insulin Lavase peritoneum Papilotomi endoskopik Heparin



pada sebagian kecil (+ 10%) masih terjadi kematian yang terutama terjadi pada pankreatitis hemoragik yang berat dengan nekrosis subtotal atau total. Pada keadaan ini diperlukan tindakan bedah. Pada pankreatitis bilier, secepatnya hams dilakukan kolangiografi retrograd secara endoskopi dan papilotomi endoskopik untuk mengeluarkan batu empedu. Tidak selalu mudah menentukan apakah akan dilakukan tindakan bedah atau konservatif. Diperlukan data dan pengetahuan mengenai tanda-tanda prognostik dan stadium penyakit. Penggunaan ultrasonografi, terutama CTScan abdomen sangat membantu pengambilan keputusan tersebut. Tindakan konservatif masih dianggap terapi dasar pankreatitis akut stadium apa saja dan terdiri atas: 1). Pemberian analgesik yang h a t seperti petidin beberapa kali sehari, morfin tidak dianjurkan karena menimbulkan spasme sfingter Oddi. Selain petidin dapat juga diberikan pentazokin; 2). Pankreas diistirahatkan dengan cara pasien dipuasakan; 3). Diberikan nutrisi parenteral total berupa cairan elektrolit, nutrisi, cairan protein plasma; 4). Penghisapan cairan lambung pada kasus berat untuk mengurangi penglepasan gastrin dari lambung dan mencegah isi lambung memasuki duodenum untuk mengurangi rangsangan pada pankreas. Pemasangan pipa nasogastrik ini berguna pula untuk dekompresi bila terdapat ileus paralitik, mengendalikan muntah-muntah, mencegah aspirasi. Pemakaian antikolinergik, glukagon, antasida, penghambat reseptor H2 atau penghambat pompa proton diragukan khasiatnya. Demikian pula Aprotinin (Trasylol) untuk menghambat tripsin. Penghambat reseptor H, atau penghambat pompa proton mungkin bermanfaat untuk mencegah tukak akibat stres. Selain daripada itu pemakaian antasid danlpenghambat reseptor H2 atau penghambat pompa proton bermanfaat bila terdapat riwayat dispepsia sebelum menderita pankreatitis akut tersebut. Sampai sebagaimanajauhnya terapi konservatif medik ini diberikan tergantung kepada beratnya gambaran klinis pasien. Dengan demikian pada pankreatitis akut yang



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



'



ringan cukup dengan beberapa hari puasa, pemberian cairan dan elektrolit parenteral dan supervisi medis. Pengalaman kami pada kasus pankreatitis akut selama 10 tahun, pada sebagian besar kasus pankreatitis akut, terapi standar ini cukup baik. Antibiotik tidak rutin diberikan dan diberikan bila pasien panas tinggi selama lebih dari 3 hari atau bila pasien menderita pankreatitis karena batu empedu atau pada pankreatitis yang berat. Terapi medis pada pankreatitis yang berat dapat dilihat pada Tabel 7.



1.



Pindahkan ke Unit Perawatan lntensif (ICU) Resusitasi cairan Perawatan pernapasan. Pipa nasogastrik Terapi infeksi Pembuangan enzim pankreas yang aktif Anti nyeri Terapi pada penyulit metabolik. Dukungan gizi



TINDAKAN BEDAH Indikasi tindakan bedah adalah bilamana dicurigai adanya infeksi dari pankreas yang nekrotik atau infeksi terbukti dari aspirasi dengan jarum halus atau ditemukan adanya pengumpulan udara pada pankreas atau peripankreas pada pemeriksaan CT Scan. Tindakan bedah juga dapat dilakukan sesudah penyakit berjalan beberapa waktu (kebanyakan sesudah 2-3 minggu perawatan intensif) bilamana timbul penyulit seperti pembentukan pseudokista atau abses, pembentukan fisitel, ileus karena obstruksi pada duodenum atau kolon, pada ikterus obstruksi dan pada perdarahan hebat retroperitoneal atau intestinal. Tindakan pembedahan yang dikerjakan adalah laparatomi dan nekrosektomi, diikuti dengan strategi membuka abdomen atau lavase pasca bedah terus menerus dan nekrosektomi dengan prosedur invasif minimal.



Andren Sandberg A,, Hafstr6m A. Aspects on Phatogenesis of Acute Pancreatitis dari Advance in Pancreatitic Disease. Molecular Biology Diagnosis and Treatment. Editor C.G. Denenis, hal. 101-104. George Thieme Verlag Stuttgart New York, 1996.



Banks P.A. Acute Pancreatitis: Medical and Surgical Management. 1994; 89-8: S78-S85. Cavalini G., Riela A,, Brocco G, dkk. Epidemiology of Acute Pancreatitis, in: Acute Pancreatitis. Editor: Hans G Beger, Marcus Buchler, hal. 25-31, Springer-Verlag Berlin Heidelberg, 1987. Femandez-Oruz L. Navarro S., Valderrama R., dkk. Acute Necmtizing Pancreatitis. A Multicentre Study. Hepato-Gastroenterol 1994: 41: 185-9. Fogel E.V., Sherman S. Acute Biliavy Pancreatitis: When Should the Endoscopist Intervenes. Gastroenterology 2003; 125: 229-235. Huibregtse K, Smits ME. Endoscopic Management of Disease of The Pancreas. Amer J. Gastroenterol 1994: 89-8: S66-S77. Lankisch P.G. Etiology of Pancreatitis, dari Acute Pancreatitis Experimental and Clinical Aspects of Pathogenesis and Management, ha1 167-81. Editor Blazer G., Ranson J.H.G., Tindall B., W.B. Saunders, 1988. Lankisch P.G. Pathogenesis of Pancreatic Inflamation, dari Acute Pancreatitis Experimental and Clinical Aspects of Pathogenesis and Management, ha1 183-93. Editor Blazer G., Ranson J.H.G., Tindall B., W.B. Saunders, 1988. Law NM., Freeman M.L. Emergency Complications of Acute and Chronic Pancreatitis. Gastroenterol Clin N Am 32 (2003) 11691194. Lempiner M. Indications of Surgery in Extended Pancreatic Necrosis. Dan Acute Pancreatitis. Editor Beger HG, Buchler M, hal. 305-9, Springer-Verlag 1987. Lesmana L.A., Nurman A., Tjokrosetio N., Noer HMS. Clinical Presentation and Treatment of Gallstone Pancreatitis. 8th APCGE, 5th APCDE, Seoul, October 1988. Niewenhuis V.B., Besselink M.G.H, Van Minnen L.P. Gooszen HG. Surgical Management of Acute Necrotizing Pancreatitis; a 13 year Experience and a Systemic Review. Scan J Gastroenterol 2003 (Suppl 239). Nunnan A,, Lesmana L.A., Noer HMS. Peranan USG pada diagnosis pankreatitis akut. Kuski 11, Bandung, 1987. Nurman A. Is Acute Pancreatitis Rare in Indonesia ? 8th APCGE, 5th APCDE, Seoul, October, 1988. Nurman A., Lesmana L.A., Noer HMS. Diagnosis Klinis dan Laboratorik Pankreatitis Akut di RS Angkatan Laut Dr. Mintohardjo. Simposium Pankreatitis Akut. Konas 111 PGIPEGI, Pertemuan Ilmiah IV PPHI, Surabaya, Desember 1987. Schuppisser JP. Methode. Dari: Acute Pancreatitis, hal. 15-17. Verlag Hans Huber, Bern Stutgart Toronto, 1986. Spiro HM. Inflammatory Disorders, dalam: Clinical Gastroenterology, Edisi IV, Editor: Spiro HM, halaman 959-87. McGraw-Hill, Inc. 1993. Tytgat G.N.J. Pankreas, dari Leerboek, Maag, D m en Lever Ziekte, hal. 373-427. Editor Tytgat G.N.J., dkk. Bohn, Scheltema & Holkema, 1985. Van Brummelen S.E., Venneman N.G., Van Erpecum K.J., van Bergehenegounen G.P. Acute Idiopathic Pancreatitic: Does it really exist or Is it a Myth?. Scan J Gastroenterol 2003 (suppl 239).



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



TUMOR PANKREAS F. Soemanto Padmomartono



PENDAHULUAN



KANKER PANKREAS (ADENOKARSINOMA DUKTUS PANKREAS)



Tumor pankreas dapat berasal dari jaringan eksokrin dan jaringan endokrin pankreas, sertajaringan penyangganya. Tumor pankreas dapat tumor jinak atau tumor ganas. Dalam klinis sebagianbesar pasien (290%) tumor pankreas adalah tumor ganas dari jaringan eksokrin pankreas, yaitu adenokarsinoma duktus pankreas. Dalam buku ini akan dibahas lebih mendalam tentang adenokarsinoma duktus pankreas sedangkan tumor endokrin pankreas akan dibahas secara singkat.



TUMOR EKSOKRIN PANKREAS Menurut klasifikasi WHO, tumor primer eksokrin pankreas dibagi 3 bagian, yaitu: A. Jinak: I). Serous cystadenoma, 2). Mucinous cystadenoma, 3). Intraductal papillarymucinous adenoma, 4). Mature cystic teratoma; B. Perbatasan (Borderline): I). Mucinous cystic tumor with moderate dysplasia, 2). Intraductal papillary mucinous tumor with moderate dysplasia, 3). Solidpseudopapillary tumor; C . Ganas: I). Ductal adenocarcinoma, 2). Serous/mucinous cystadenocarcinoma, 3). Intraductal mucinous papillary tumor: Tumor eksokrin pankreas pada umurnnya berasal dari sel duktus dan sel asiner. Sekitar 90% merupakan tumor ganas jenis adenokarsinoma duktus pankreas (disingkat kanker pankreas). Suatu penelitian patologi anatomi di Memorial Hospital, New York, Amerika Serikat terhadap kelompok kanker primer pankreas non-endokrin (645 spesimen) telah diidentifikasi lebih dari 30 variasi histopatologi, dimana 88% berasal dari sel duktus, 1,2% dari sel asiner, 0,2% tipe sel campuran, 0,6% dari jaringan penyangga, dan 9,2% tidak jelas (uncertain histo-genesis).



lnsidensi dan Riwayat Penyakit Insidensi kanker pankreas di negara-negara Barat makin meningkat sesuai dengan meningkatnya kelestarian hidup penduduk. Di Amerika Serikat pada tahun 2004, terdapat 3 1.270 pasien meninggal akibat kanker pankreas dan menduduki urutan keempat penyebab kematian akibat kanker. Di Inggris (United Kingdom) diperkirakan 6000 kasus baru kanker pankreas pertahun. Data kepustakaan kanker pankreas di Indonesia masih sangat sedikit. Data dari RSUP Dr. Hasan Sadikin pada tahun 1976-1979 (3,5 tahun) terdapat 18 kasus kanker pankreas. Di RSUP Dr Kariadi Semarangpada tahun 1985-1989 (5 tahun) terdapat 24 kasus. Di RSUP Dr. SardjitoYogjakartapada tahun 19901993(3 tahun) terdapat 15 kasus: Data terbaru di RSUP Dr. Kariadi Semarangpada tahun 1997-2004 (8 tahun) terdapat 53 kasus. Insidensi kanker pankreas makin meningkat dengan bertambahnya usia. Penyakit banyak dijumpai pada usia lanjut, dimana 80% bemsia 60-80 tahun, clanjarang dijumpai pada usia kurang dari 50 tahun. Pasien pria lebih banyak daripada perempuan, dengan perbandingan 1,2 - 1,5 : 1. Angka kematian kanker pankreas masih sangat tinggi, yakni 98% pasien akan meninggal. Sebagian besar pasien meninggal dalam waktu 1 tahun setelah diagnosis penyakit. Secara keseluruhan, angka kelestarian hidup 1tahun sekitar 12%, dan 5-tahun sekitar 0,4% - 4%. Etiologi Penyebab sebenarnya kanker pankreas masih belum jelas. Penelitian epidemiologikmenunjukkan adanya hubungan kanker pankreas dengan beberapa faktor eksogen (lingkungan) dan faktor endogen pasien. Etiologi kanker



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI pankreas merupakan interaksi kompleks antara faktor endogen pasien dan faktor lingkungan. -



Faktor eksogen (lingkungan). Telah diteliti beberapa faktor risiko eksogen yang dihubungkan dengan kanker pankreas, antara lain: kebiasaan merokok, diet tinggi lemak, alkohol, kopi, dan zat karsinogen industri. Faktor risiko yang paling konsisten adalah rokok. Pada perokok, risiko kanker pankreas adalah 1,4 - 2,3 kali dibanding nonperokok. Diet tinggi lemak, kolesterol dan rendah serat terbukti meningkatkan risiko kanker pankreas bila dibandingkan dengan diet rendah lemak dan kolesterol. Faktor endogen (pasien). Ada 3 ha1 penting sebagai faktor risiko endogen yaitu: usia, penyakit pankreas bankreatitis kronik dan diabetes melitus) dan mutasi genetik. Insidensi kanker pankreas meningkat pada usia lanjut. Pasien pankreatitis kronik mempunyai risiko tinggi 9,5 kali berkembang menjadi kanker pankreas. Baru-baru ini suatu penelitian kohort retrospektif skala besar pada pasien pankreatitis kronik didapatkan risiko kanker pankreas sampai 20 kali. Pada pasien pankreatitis heriditer didapatkan 5 kali risiko kanker pankreas. DM sudah lama dianggap sebagai faktor risiko kanker pankreas. Sekitar 80% pasien kanker pankreas disertai gangguan toleransi glukosa dan hampir 20% klinis DM. Akan tetapi sekarang dipertanyakan apakah DM sebagai faktor risikol predisposisi, atau sebagai akibat dari kanker pankreas yang secara klinis muncul terlebih dahulu sebelum gejala kanker ~ankreas. Faktor genetik. Pada masa kini peran faktor genetik pada kanker pankreas makin banyak diketahui. Risiko kanker pankreas meningkat 2 kali pada pasien dengan riwayat hubungan keluarga tingkat pertama. Sekitar 10% pasien kanker pankreas mempunyai predisposisi genetik yang diturunkan. Pada masa kini penelitian biologi molekular berhasil mengungkapkan peran faktor genetik pada kanker pankreas, dan diharapkan di masa datang akan banyak membantu dalam diagnosis dan terapi kanker pankreas. Proses karsinogenesis kanker pankreas diduga merupakan akumulasi dari banyak kejadian mutasi genetik. Mutasi genetik yang banyak dijumpai pada pasien kanker pankreas adalah pada gen K-ras, serta deplesi dan mutasi pada tumor suppressor genes antara lain p53, p16, DPC4, dan BRCA2. Patologi Anatomi Kanker pankreas hampir 90% berasal dari duktus, di mana 75% bentuk klasik adenokarsinoma sel duktal yang memproduksi musin. Sebagian besar kasus (270%), lokasi kanker pada kaput pankreas, 15-20% pada badan dan 10% pada ekor. Pada waktu didiagnosis, ternyata tumor pankreas relatif sudah besar. Tumor yang dapat direseksi biasanya besarnya 2,5-3,5 cm. Pada sebagian besar kasus tumor sudah besar (5-6 cm), dan atau telah terjadi infiltrasi



dan melekat pada jaringan sekitar, sehingga tidak dapat direseksi. Pada umumnya tumor meluas ke retroperitonial ke belakang pankreas, melapisi dan melekat pada pembuluh darah, dan secara mikroskopik terdapat infiltrasi di jaringan lemak peripankreas, saluran limfe, dan perineural. Pada stadium lanjut, kanker kaput pankreas sering bermetastasis ke duodenum, lambung, peritonium, hati dan kandung empedu. Kanker pankreas pada badan dan ekor pankreas dapat metastasis ke hati, peritonium, limpa, lambung dan kelenjar adrenal kiri. Penampilan Klinis Gejala awal kanker pankreas tidak spesifk dan samar, sering terabaikan baik oleh pasien dan dokter, sehingga sering terlambat didiagnosis, dengan akibat lebih lanjut pengobatan sulit dan angka kematian sangat tinggi. Gejala awal dapat berupa rasa penuh, kembung di ulu hati, anoreksia, mual, muntah, diare (steatore), dan badan lesu. Keluhan tersebut tidak khas karena juga dijumpai pada pankreatitis dan tumor intra abdominal lainnya, bahkan pada penyakit gangguan fungsi saluran cerna. Keluhan awal biasanya berlangsung lebih dari 2 bulan sebelum diagnosis kanker:Keluhan utama pasien kanker pankreas yang paling sering dijumpai adalah sakit perut, berat badan turun (lebih 75% kasus) dan ikterus (terutama pada kanker kaput pankreas), dan ini mencolok pada stadium lanjut. Jumlah macam dan kualitas keluhan pasien tergantung pada letak, besar, dan penjalaran kanker pankreas.



Sakit perut merupakan keluhan yang paling sering dijumpai pada pasien kanker pankreas. Hampir 90% kasus dengan keluhan sakit perut, dan sebagai keluhan utama pada 80% kasus. Lokasi sakit perut biasanya pada ulu hati, awalnya difus, selanjutnya lebih terlokalisir. Sakit perut biasanya disebabkan invasi tumor pada pleksus coeliac dan pleksus mesenterik superior. Rasa sakit dapat menjalar ke belakang pada punggung pasien, disebabkan invasi tumor ke retroperitonial dan terjadi infiltrasi pada pleksus saraf splanknikus. Sakit perut yang berat menunjukkan kanker lanjut yang meluas ke jaringan sekitarnya dan sudah tidak dapat direseksi. Berat badan turun lebih 10%dari berat ideal m u m dijumpai pada pasien kanker pankreas. Pada mulanya terjadi secara bertahap, kemudian menjadi progresif. Penurunan berat badan disebabkan berbagai faktor, antara lain: asupan makanan kurang, malabsorbsi lemak dan protein, dan peningkatan kadar sitokin pro-inflamasi (tumor necrosis factor a dan interleukin-6). Ikterus obstruktif, karena obstruksi saluran empedu oleh tumor dijumpai pada 80-90% kanker kaput pankreas dan sering terjadi lebih awal. Ikterus dapat juga terjadi pada kanker di badan dan ekor pankreas stadium lanjut (6- 13% kasus), akibat metastasis di hati atau limfonodi di hilus yang menekan saluran empedu. Ikterus obstruktif pada



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



741



TUMOR PANICREAS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI kanker kaput pankreas biasanya disertai dengan sakit perut, tetapi bukan kolik. Hal ini berbeda dengan ikterus tanpa nyeri (painlessjaundice) yang sering dijumpai pada kanker duktus koledokus atau kanker ampula Vateri. Tanda klinis pasien kanker pankreas sangat tergantung pada letak tumor dan perluasanl stadium kanker. Pasien pada umumnya dengan gizi kurang, disertai anemik, dan ikterik (terutama pada kanker kaput pankreas). Pada pemeriksaan abdomen teraba tumor masa padat pada epigastrium, sulit digerakkan karena letak tumor retroperitonium. Dapat dijumpai ikterus dan pembesaran kandung empedu (Couwoisier 's sign), hepatomegali, splenomegali (karena kompresi atau trombosis pada vena porta atau vena lienalis, atau akibat metastasis hati yang difus), asites (karena invasil infiltrasi kanker ke peritonium). Kelainan lain yang kadang dijumpai adalah hepatomegali yang keras dan berbenjol (metastasis hati), nodul periumbilikus (Sister Mary Joseph's nodule), trombosis vena dan migratory thrombophlebitis (Trousseau 's syndrome), perdarahan gastrointestinal (karena erosi duodenum atau perdarahan varises alubat kompresi tumor pada vena porta), dan edema tungkai (karena obstruksi vena kava inferior). Ringkasan gejala klinis dan tanda klinis yang dapat dijumpai pada pasien kanker pankreas dapat dilihat pada Tabel 1.



Gejala klinis:



Tanda klinis:



sakit perut, berat badan turun, ikterus (kaput pankreas), anoreksia, perut penuh, kernbung, rnual, rnuntah, intoleransi rnakanan, konstipasi, dan badan lemah. gizi kurang, pucat, lernah, ikterik, pruritus, hepatomegali, kandung ernpedu mernbesar, masa epigastriurn, splenornegali, asites, tromboplebitis, edema tungkai.



Laboratorium Kelainan laboratorium pada pasien kanker pankreas biasanya tidak spesifik. Pada pasien kanker pankreas terdapatkenaikan serum lipase, amilase dan glukosa.Anemia dan hipoalbuminemia yang timbul sering disebabkan karena penyakit kankemya dan nutrisi yang kurang. Pasien dengan ikterus obstruktif terdapat kenaikan bilirubin serum terutama bilirubin terkonjugasi (direk), alkali fosfatase, gGT, waktu protrombin memanjang, tinja akholik, dan bilirubinuria positif. Kelainan laboratorium lain adalah berhubungan dengan komplikasi kanker pankreas, antara lain: kenaikan transaminase akibat metastasis hati yang luas, tinja benvarna hitam akibat perdarahan saluran cema atas, steatorea akibat malabsorbsi lemak, dan sebagainya. Penunjang Diagnosis Pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk menegakkan diagnosis kanker pankreas antara lain:



petanda tumor CEA (Carcinoembryonic antigen) dan Ca 19-9 (Carbohydrate antigenic determinant 19-9), gastroduodenografi, duodenografi hipotonis, ultrasonografi, CT (computed tomography), skintigrafi pankreas, (magnetic resonance imaging) MRI, (endoscopic retrograde cholangio pancreatico graphy) ERCP, ultrasonogafi endoskopik, angiografi, (Positron Emission Tomography)PET, bedah laparaskopi dan biopsi.



Petanda tumor CEA dan Ca 19-9. Kenaikan CEA didapatkan pada 85% pasien kanker pankreas, akan tetapi ha1 yang sama dijumpai pada 65% pasien kanker lain dan penyakit jinak. Dibandingkan petanda tumor lainnya, Ca 19-9 dianggap yang paling baik untuk diagnosis kanker pankreas, karena mempunyai sensitivitas dan spesivisitas tinggi (80% dan 60-70%). Akan tetapi konsentrasi yang tinggi biasanya terdapat pada pasien dengan besar tumor >3 cm, dan merupakan batas limit reseksi tumor. Ca 19-9 juga meningkat pada kanker saluran cerna bagian lain, juga meningkat pada pankreatitis, hepatitis dan sirosis. Ca 199 lebih mempunyai peranan penting untuk mengetahui prognosis dan respons terapi pada pasien setelah mendapat terapi reseksi dan kemoterapi. Radiografi (gastroduodenografb duodenografihipotonis). Pemeriksaan ini digunakan untuk mendeteksi kelainan lengkung duodenum akibat kanker pankreas. Kelainan yang dijumpai pada kanker pankreas dapat berupa pelebaran lengkung duodenum, filling defect pada bagian kedua duodenum (infiltrasi kanker pada dinding duodenum), bentuk 'angka 3 terbalik' karena pendorongan kanker pankreas yang besar pada duodenum di atas dan di bawah papila Vateri. Ultrasonografi (USG). USG abdomen merupakan pemeriksaan penunjang pertama pada pasien dengan keluhan sakit perutlulu hati yang menetap atau berulang dan ikterus. Dengan USG dapat diketahui besar, letak dan karakteristik tumor, diameter saluran empedu dan duktus pankreatikus, dan letak obstruksi. Di samping itu dapat diketahui ada-tidaknya metastasis ke limfonodi sekitar dan hati, serta jarak tumor dengan pembuluh darah. Akan tetapi pemeriksaan USG sangat tergantung pada keterampilan pemeriksa, keadaan pasien, dan kecanggihan alat USG. Dengan USG Doppler dapat ditentukan ada-tidaknya kelainan dan invasi tumor pada pembuluh darah. Computed tomography (CT). CT abdomen walaupun lebih mahal dibandingkan USG, akan tetapi dapat memberikan gambaran pankreas yang lebih rinci dan lebih baik terutama badan dan ekor pankreas. CT dapat mendeteksi lesi pankreas pada 80% kasus, yang mana 5-16% terbukti kanker pankreas, dengan positif palsu 5-10% kasus tidak terbukti pada laparatomi. Pada masa kini pemeriksaan yang paling baik dan terpilih untuk diagnosis dan menentukan stadium kanker pankreas



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI adalah dengan dual phase multidetector CT, dengan kontras dan teknik irisan tipis (3-5mm). Kriteria tumor yang tidak mungkin direseksi secara CT antara lain: metastasis hati dan peritonium, invasi pada organ sekitar (lambung, kolon), melekat atau oklusi pembuluh darah peripankreatik. Dengan knteria tersebut mempunyai akurasi hampir 100% untuk prediksi tumor tidak dapat direseksi. Akan tetapi positive predictive value rendah, yakni 2550% tumor yang diprediksi dapat direseksi, ternyata tidak dapat direseksi pada bedah laparatomi.



Magnetic resonance imaging (MRI). MRI makin banyak digunakan untuk evaluasi kanker pankreas. Walaupun kemampuan evaluasi kanker pankreas sama dengan dual phase multidetector CT, akan tetapi gambaran anatomi 'pohon' saluran empedu dan duktus pankreas lebih baik dan sebanding dengan ERCP. MRI dengan kontras angiografi atau venografi dapat menunjukkan adanya kelainan pembuluh darah pada kanker pankreas. Endoscopic retrograde cholangio-pancreaticography (ERCP). Manfaat dari ERCP dalam diagnosis kanker pankreas adalah: dapat mengetahui atau menyingkirkan adanya kelainan gastroduodenum dan ampula Vateri, pencitraan saluran empedu dan pankreas, dapat dilakukan biopsi dan sikatan untuk pemeriksaan histopatologi dan sitologi. Di samping itu dapat dilakukan pemasangan stent untuk membebaskan sumbatan saluran empedu pada kanker pankreas yang tidak dapat dioperasi atau direseksi. Ultrasonogafi endoskopik. Metode ini relatif masih baru, mempunyai sensitivitas dan spesitifitas tinggi dalam evaluasi tumor terutama yang diameter cure) PENDIDIKAN-LATIHANPENELlTlAN



-r



-



-



Lavanan masvarakat berbasis rumah sakit



- Pengkajian Geriatri - Bimbingan



Oleh:



-- geriatrislpsikogeriatris terapis -- perawatan kes.mas. pek.sosio-me ~k



- Pembinaan (transfer o f -(PLACEMENT)



i"



- Rujukan



Pelayanan Kesehatan Usia lanjut di Masyarakat Berbasis Rumah Sakit (HospitalBasedCommunity Geriatric Service) Pada layanan tingkat ini, rumah sakit setempat yang telah melakukan layanan geriatri bertugas membina usia lanjut yang berada di wilayahnya, baik secara langsung atau tidak langsung melalui pembinaan pada puskesmas yang berada di wilayah kerjanya "Transfer of Knowledge " berupa lokakarya, simposium, ceramah-ceramah baik kepada tenaga kesehatan ataupun kepada awam dilaksanakan. Di lain pihak,



Berbagai penyakit psikis



- Depresi berat - Demensia ISDAT)



~ o k t e prakt.swasta r w



s ~ u s koe s m a ss



Mental



F~sik



I



POPULASI



i



a



l



Sosial



I



USlA



LANJUT



Gambar 3. Skema pelayanan geriatrik kornprehensif



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



183



PELAYANANKESEHATAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN PADA USlA LANJUT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Keterangan: Placement: adalahjenis pelayanan, di mana unit geriatri di suatu rumah sakit setelah mengadakan pengkajian pada seorang pasien, memberikan rekomendasi pada pasien tersebut untuk dapat diterima di suatu institusi usia lanjut, terutama bila institusi tersebut dilaksanakan olehlatau mendapatkan subsidi dari pemerintah. Tim Pengembangan Pelayanan dan Pendidikan Geriatri PB. PAPDI telah menyusun konsep dasar pelayanan geriatri di berbagai jenis rumah sakit. Tingkatan-tingkatan pelayanan yang diberikan berdasarkan pada kemampuan rumah sakit yang bersangkutan, dan dapat dibagi sebagai berikut. Tingkat sederhana, hanya menyediakan layanan poliklinik usia lanjut. Tingkat sedang, dimana layanan yang diberikan selain poliklinik juga klinik siang terpadu (=day-hospital). Tingkat lengkap, sama seperti layanan pada tingkat sederhana ditambah dengan pengadaan bangsal usia lanjut dengan penyakit akut. Tingkat paripurna, dimana diberikan semua jenis layanan yang ada pada tingkat lengkap ditambah dengan adanya bangsal usia lanjut dengan penyakit kronis. Pada semua tingkatan, pengadaan upaya pendidikan dan pelatihan merupakan suatu keharusan. Tabel dan skema di bawah ini menunjukkan berbagai layanan dari berbagai tingkat pelayanan geriatri dengan ketenagaannya.



kerja (pasien tidak rawat inap), pelayanan diberikan pada pasien baik yang telah atau belurn dilakukan pengkajian geriatri, baik yang di dalam RS maupun yang di rumah (ambulatory). Tindakan yang dilakukan antara lain pengkajian, kuratif (ambulatory), rehabilitasi, dan rekreasi. Konsultan: konsultan dalam pelayanan geriatri adalah dokter spesialislsubspesialisklinis yang dapat dimintai bantuan perdapatlekspertiseltindakan medis guna peningkatan pemeliharaan/pemulihan kesehatan pasien usia lanjut di RS. Tenaga*): - Dokter umum + pelatihan pelayanan geriatri - Perawat + pelatihan pelayanan geriatri - Pekerja sosial medik - Fisioterapis - Dokter umum + pelatihan rehabilitasi medik - Speechterapist (terapi wicara) - Internis + pelatihan pelayanan geriatri - Okupasi terapis - Terapis ortotis - Dokter ahli rehabilitasi medik - PsikologIPsikiater - Geriatris - Farmasislasisten farmasis Berbagai pengertian dari tabel dan skema di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: Poliklinik geriatri: yaitu suatu layanan geriatri di mana diberikan jasa pengkajian, tindakan kuratif sederhana dan konsultasi, bagi pasien rawat jalan. Perlu .



Sumber daya



Keterangan a. Tenaga tim geriatri



Sederhana I-T)



Sedang



Lengkap



Paripurna



1-7*)



Semua



Semua



+



b. Konsultan dalam pelayanan geriatri Fasilitas pelayanan



dengan ahli hukum RJ



RJ RM Day H.



RJ RI RM Day Hos. Diklat Peneliti



RJ RI RM Day Hos. Diklat Peneliti



Keterangan: RJ: Rawat jalan RI: Rawat inap RM: Pelayanan Rehabilitasi Medik Diklat: Pendidikan dan latihan Day-hospital: Tempat di mana dilakukan tindakan seperti pada bangsal geriatri, tetapi hanya pada jam



Keterangan



Berbeda dalam jumlah Tergantung tenaga spesialis yang ada



-



telah melewati polikl%ik spesialis lain dan memenuhi syarat sebagai pasien geriatri bisa dikonsulkanke poliklinik ini. Bangsal geriatri akut: adalah bangsal di mana pasien geriatri dengan penyakit akut atau subakut (oleh Coni dan Davidson disebut sebagai "hot" dan "warm" admission, antara lain: strok, pneumonia, ketoasidosis diabetika, penyakit jantung kongestif akut, dll). Pada pasien tersebut dilakukan tindakan pengkajian, kuratif, dan rehabilitasi jalur cepat oleh tim geriatri.



Day-hospital (klinik siang) adalah suatu layanan geriatri yang dapat melaksanakan semua tindakan yang dilakukan oleh bangsal akut atau kronis, tetapi tanpa pasien hams rawat inap, dan layanan hanya dilakukan pada jam kerja. Layanan yang diberikan antara lain: pengkajian, kuratif ambulatory, rehabilitasi, dan rekreasi. Oleh karenanya tenaga yang diperlukan selain geriatrislintemis (+), perawat dan sosio-medik,juga tenaga rehabilitasi (FT, OT, IV), psikolog, rekreasionis, dan lain-lain.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Bangsal geriatri kronis: bangsal ini diperlukan untuk merawat pasien dengan penyakit kronis yang memerlukan tindakan kuratif inap dalam jangka waktu lama. "Turn over ratew-nya rendah, sehingga pembiayaannya menjadi sangat mahal.



(Panti rawat wreda). Di negara maju, layanan ini disebut sebagai nursing home, yaitu suatu institusi yang memberikan layanan bagi pasien usia lanjut dengan masalah medis kronis yang sudah tidak memerlukan tindakan perawatan di RS, akan tetapi masih terlalu berat untuk bisa dirawat di rumah sendiri. Oleh karena tidak memerlukan tindakan spesialistik oleh dokter, maka biayanya bisa ditekan. Turn over rate juga rendah, akan tetapi untuk kepentingan pendidikan, adanya bangsal ini di suatu RS pemerintah dapat menggantikan keberadaan suatu bangsal kronis. Rehabilitasi geriatri: merupakan suatu keharusan untuk dikerjakan pada semua pasien geriatri. Rehabilitasi jalur cepat @st stream rehabilitation) dikerjakan selama pasien masih dirawat di bangsal geriatri, oleh karena itu pelaksanaannya sebaiknya diintegrasikan dengan pelayanan geriatri. Rehabilitasi jalur lambat (slow stream rehabilitation) dilaksanakan secara kronis, yang bisa dilaksanakan oleh unit rehabilitasi medik atau bisa juga diintegrasikan ke dalam pelayanan geriatri. Geriatric home healths care (rawat-rumah geriatri): adalah komponen perawatan kesehatan komprehensif kepada pasien geriatri dan keluarganya di tempat tinggalnya dengan tujuan meningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatannya atau meminimalkan efek sakit dan keterbatasan. Pelayanan yang diberikan harus direncanakan, dikoordinasikan, dan dilaksanakan oleh suatu agen atau institusi dengan melibatkan komponen medis, dental, keperawatan, fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara, pelayanan sosial, nutrisi, alat bantu kesehatan, laboratorium, dan peralatan medis. Konsultasi geriatri: yaitu suatu layanan konsultasi dari bagian lain terhadap seorang pasien usia lanjut. Dari tindakan konsultasi ini, pada pasien yang bersangkutan dapat diberikan pengobatan bahkan pindah perawatan ke bagian geriatri Pendidikan dan penelitian:merupakan bagian implisit dari pelayanan geriatri. Penelitian dilaksanakan baik untuk publikasi atau, dan ini yang lebih penting, adalah untuk upaya memperbaiki pelayanan itu sendiri.



TATAKERJA PELAYANANGERlATRl Tatakerja pelayanan geriatri seperti yang telah disepakati dalam Lokakarya Geriatri yang diadakan oleh Direktorat Rumah Sakit Umum-Pendidikan dan Rehabilitasi di Ciloto tahun 1994tergambar dalam Gambar 4.



A



IDAY- HOSPITAL^ I



l j 1 R.GER



LAIN R.RwT.



4



Gambar 4. Alur pelayanan kesehatan usia lanjut di rumah sakit dan masyarakat



Dari skema terlihat bahwa pelayanan kesehatan di tingkat masyarakat yang dijalankan oleh puskesmas, dokter praktek swasta, dan dokter keluarga pada suatu tahap dapat merujuk pasien ke RS yang mempunyai pelayanan geriati, atau ke poliklinik spesialisbidang lain. Di instalasi gawat darurat atau poliklinik lain, apabila pasien ternyata merupakan pasien geriatri, akan dirujuk ke poliklinik geriatri (yang bisa ditangani oleh spesialis penyakit dalam (+)I geriatris)yang akan melaksanakan pengkajian geria@i untuk kemudian: kalau perlu dikonsultasikan ke konsujtan untuk mendapatkan pemeriksaanftindakankhusus sesuai pengkajian dantatau konsultasi yang didapat, pasien bisa dirawat di ruang geriatri akut, ruang geriatri kronis, atau dirawat jalan di klinik siang terpadu (dayhospital). Kalau dipertirnbangkan bahwa pasien bukan pasien geriatri atau memerlukanperawatan lain yang lebih penting, pasien bisa dirujuk untuk dirawat di ruang rawat lain.



PELAYANANSOSIAL-KESEJAHTERAAN Terdapat beberapa ha1 yang perlu diperhatikan dalam memberikan pelayanan kesejahteraan sosial bagi populasi usia lanjut, sebagai berikut:



Populasi usia lanjut merupakan populasi yang heterogen. Tidak semua individu dalam populasi usia lanjut memerlukan pelayanan sosial dalam bentuk yang sama. Ini karena populasi usia lanjut, walaupun secara keseluruhan termasuk golongan populasi yang rapuh kesehatanlkesejahteraan, tetapi dalam derajat yang



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PELAYANAN KESEHATAN SOSlAL DAN KESEJ-



PADA IJSIA W U T



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



berbeda-beda. Perbedaan ini terlihat bukan saja dari aspek kesehatan (ada yang "sehat", setengah sehat setengah sakit, sakit akut, sakit kronis sampai sakit terminal), tetapi juga dari segi psikologis dan sosial-ekonomi.



Jenis pelayanan yang dibutuhkan sangat bervariasi. Mengingat heterogenitas populasi usia lanjut yang ada, disertai kenyataan bahwa aspek fungsional seorang individu usia lanjut tergantung dari 3 faktor (fisik, psikis, dan sosial-ekonomi) maka jelaslah bahwa akan terdapat banyak segi pelayanan yang dibutuhkan. Pelayanan kesejahteraan sosial pada usia lanjut membutuhkan keterkaitan antara semua bidang kesejahteraan, antara lain: kesehatan, sosial, agama, olahraga, kesenian, koperasi, dan lain-lain. Hubungan antara heterogenitas populasi usia lanjut dan berbagai jenis pelayanan kesejahteraan sosial yang dibutuhkan akan dijelaskan lebih lanjut berikut ini. Heterogenitas Populasi Usia Lanjut Untuk melihat jenis pelayanan yang diperlukan oleh populasi usia lanjut, cara yang paling praktis adalah melihat heterogenitas populasi usia lanjut ditinjau dari aspek fungsional dan kesehatannya. Dari aspek tersebut, maka populasi usia lanjut bisa diklasifikasikan sebagai berikut:



Populasi usia lanjut yang "sehat": golongan populasi usia lanjut ini secara fungsional masih tidak tergantung pada orang lain, aktivitas hidup sehari-hari (AHS) masih penuh, walaupun mungkin ada keterbatasan dari segi sosial-ekonomi yang memerlukan beberapa pelayanan, misalnya perumahan, peningkatan pendapatan, dan pelayanan lain. Pelayanan kesehatan yang diperlukan terutama adalah dari segi pencegahan dan promosi. Upaya dari para usia lanjutnya sendiri memerlukan motivasi dan fasilitasi dari petugas yang terkait, antara lain dengan membentuk klub usia lanjut atau "karang wreda". Populasi usia lanjut dengan penyakit akut maupun kronis: populasi golongan ini jelas memerlukan pelayanan kesehatan khusus, misalnya penyediaan bangsal akutl kronis dan rehabilitasi termasuk upaya penyediaan dana perawatan. Walaupun tergantung pada keadaan individu, secara umum populasi usia lanjut sangat rawan dalam bidang sosial ekonominya, sehingga pelayanan sosial bagi golongan ini juga perlu mendapatkan perhatian khusus. Populasi usia lanjut yang termasuk golongan ini dapat dibagi lagi menjadi beberapa golongan, antara lain: Mereka yang mempunyai sakit akut ringan atau sedang: untuk golongan ini diperlukan upaya pelayanan kesehatan di puskesmas atau dokter praktek swasta, dengan dukungan pendanaan yang jelas. Apabila perlu rujukan maka bangsal geriatri akut baik di RS kabupaten atau propinsi sudah hams dipersiapkan. Mereka dengan sakit akut berat: golongan ini memerlukan pelayanan geriatri yang lebih lengkap dan



spesialistik,karenanya perlu dirawat di bangsal geriatri akut suatu RS. Mereka yang menderita sakit kronisltak bisa mandiri di rumah: untuk golongan ini suatu pelayanan geriatri di bangsal kronis atau panti rawat wredha (nursing home) merupakan suatu kebutuhan, hingga pengadaannya perlu diupayakan. Apabila jenis penyakitnya hanya memerlukan perawatan di rumah, maka perawatldokterl petugas kesehatan lain dapat mengadakan kunjungan rumah. Mereka yang menderita gangguan mental danlatau demensia berat: untuk golongan usia lanjut ini, suatu layanan psikogeriatri di berbagai tingkat pelayanan sudah hams mulai diupayakan keberadaannya. Bagi mereka yang juga menderita sakit fisik berat, suatu kerja sama dengan institusi geriatri merupakan pemecahan yang baik. Perlindungan hukum melalui suatu "guardianship board' untuk melindungi kepentingan mereka perlu dipikirkan. Mereka yang memerlukan bantuan rehabilitasi: tergantung dari jenis rehabilitasinya, maka pasien ini bisa mendapat bantuan dari perawatlpetugas rehabilitasilklinik rawat siang atau dari institusi rehabilitasi lain.



Populasi usia lanjut dengan penyakit terminal: upaya yang diberikan bagi populasi ini lebih mengarah ke pemberian rumatan kesehatan, baik di rumah atau di rumah sakit, tetapi beberapa dukungan peraturan mungkin diperlukan. Dari berbagai penjelasan di atas beberapa ha1 perlu mendapatkan keterangan lebih lanjut, antara lain adalah mengenai: Klub usia lanjut: adalah suatu perkumpulan atau paguyuban para usia lanjut yang sebaiknya berasal dari satu lingkungan hunian. Dalam istilah sosial, klub ini sering disebut sebagai "karang wredha". Di dalam klub ini para usia lanjut yang sehadmandiri dapat mengadakan berbagai kegiatan fisiklrohani-kejiwaanlsosial-ekonomisecara bersama-sama. Salah satu kegiatan dari klub ini adalah yang disebut rumatan siang (day care) yang berupa kegiatan pemeriksaan kesehatan, rumatan fisik ringan, olahraga bersama dan upaya pencegahan dan promosi kesehatan lain secara bersama-sama. Kegiatan lain yang mungkin bermanfaat untuk semua anggota klub, antara lain: peningkatan kesejahteraan bersama (dengan membentuk usaha ekonomi-koperasi) yang merupakan upaya produktif yang menghasilkan. Pengadaan dan pengiriman makanan (meals on wheels), upaya pendalaman keagamaan (pengajian) dan lain-lain. Apabila klub ini mempunyai tempat khusus untuk melakukan kegiatan bersama, biasanya disebut sebagai pusat kegiatan usila. Meals on wheels adalah suatu usaha penyediaan dan pengiriman makanan bagi para usia lanjudcacat yang tidak bisa menyediakan makanannya sendiri (baik karena tidak



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK bisa dr. disediakan PRIYO oleh PANJI suatu panti



mampu secara fisik/sosial ekonomi maupun karena jenis makanannya yang khusus (diet, vegetarian, dll). Upaya penyediaan makanan ini seringkali diorganisasikan oleh badan sosiaVLSM swasta. Pelayanan bantuan di rumah (home help service) merupakan suatu kegiatan pemberian bantuan pada para usia lanjut dengan berbagai keterbatasan fisik. Layanan bisa berupa pengerjaan berbagai kegiatan rumah tangga (pembersihan rumah, cucillaundry) atau pemberian rawatanlrehabilitasi (home nursinglrehabilitation) di rumah. Pelayanan ini bisa diupayakan oleh layanan geriatri suatu puskesmas atau badan kesehatan swasta.



Hunian khusus usia lanjut: di samping para usia lanjut yang masih bisa dan mau tetap tinggal di rumahnya yang lama, terdapat beberapa jenis hunian yang dirancang dan diperuntukkan bagi para usia lanjut, antara lain adalah: 1). Perumahan khusus usia lanjut: biasanya merupakan suatu kompleks dimana rumah-rumahnya sudah dibentuk dan diatur sedemikian sehingga ukuran, perabotan dan peralatan sudah disesuaikan dengan kepentingan para usia lanjut. Lantai tidak licin, penerangan cukup, ukuran kursi, meja, tempat tidur, dan peralatan dapur sudah disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan para usia lanjut. Biasanya diperuntukkan bagi keluarga usia lanjut yang masih mandiri, yang anak-anaknya sudah berkeluarga dan hidup terpisah. 2). Perumahan usia lanjut yang terlindungi (sheltered housing): merupakan kelompok rumah dengan berbagai fasilitas khusus usia lanjut yang mempunyai berbagai keterbatasan fisik. Anak tangga dilengkapi dengan ram (ramp) sehingga memudahkan akses dengan kursi roda, berbagai penyediaan pelayanan, misalnya penyediaan makanan, kebersihan rumah, kunjungan perawatan dl1 disediakan oleh pengurus perumahan yang biasanya tinggal di daerah yang sama. 3). Panti wredha adalah suatu institusi hunian bersama dari para usia lanjut yang secara fisiW kesehatan masih mandiri, akan tetapi (terutama) mempunyai keterbatasan di bidang sosial-ekonomi. Kebutuhan harian dari para penghuni biasanya disediakan oleh pengurus panti. Diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta. 4). Panti-rawat wreda adalah suatu institusi hunian bagi usia lanjut yang oleh karena menderita penyakit kronis tetap memerlukan perawatan (nursing-care) dan atau rehabilitasi jangka panjang. Misalnya pasien pasca strok, PPOM, artritis rematoid berat dan lain sebagainya. Pasien tersebut sudah tidak memerlukan perumatan di RS, namun akan menghadapi kesulitan untuk hidup di rumah sendiri. Sebagai suatu "aneks" dari suatu rumah sakit, institusi ini bisa menggantikan kedudukan suatu bangsal kronis geriatri yang seringkali pendiriannya terkendala oleh karena berbagai perbedaan kebutuhan dengan suatu rumah sakit (misalnya lama rawat yang panjang dsb). 5). Respitecare atau rumatan liburan adalah suatu pelayanan yang



wredha atau bangsal geriatri kronis, berupa masuknya sementara seorang pasien geriatri kronis yang tadinya dirawat di rumah, dimaksudkan untuk memberi istirahatlliburan bagi keluarga yang merawatnya untuk menghindari kejenuhan dalam merawat pasien. Secara garis besar pelayanan kesejahteraan sosial bagi berbagai golongan usia lanjut dapat dilihat dari Tabel 4.



UPAYA PEMERINTAH Dalam berbagai upaya peningkatan kesehatanl kesejahteraan/sosialbagi para usia lanjut, pemerintah tidak bisa dan tidak mungkin akan mampu bertindak dan bekerja sendiri. Berbagai organisasi sosial-keagamaan perlu dimotivasi agar bersedia mendirikan berbagai pelayanan yang diperlukan. Dalam ha1 ini pemerintah perlu mengadakan percontohan-percontohan. Peran pemerintah yang penting di samping upaya percontohan adalah pembuatan peraturanlkebijakan yang diperlukan guna membantu memberikan jaminan atau pendapatan bagi para usia lanjut yang memerlukannya. UU Jaminan Kesehatan bagi para usia lanjut bisa dibuat untuk menjamin agar setiap warga usia lanjut bisa memperoleh pelayanan kesehatan di institusi kesehatan milik pemerintah dengan biaya minimal atau bahkan tanpa biaya. UU Kesejahteraan Sosial dapat dibuat untuk memberikan bantuan sosial bagi semua usia lanjut yang tentu saja setelah melalui penelitian oleh petugas sosial pendapatan per bulannya berada di bawah batas kemiskinan. Dalarn masalah perawatan pasien terminal perlu ditambahkanpasal (bilamana saat ini belum terdapat) dalam UU Narkotik yang memperlonggar syarat penggunaan narkotik-analgetikbagi pasien terminal untuk mengurangi rasa nyeri (biasanya pada pasien kanker stadium lanjut). Di masa depan diperkirakan akan banyak pasien dengan demensia yang memerlukan perhatian dalam ha1 perlindungan hak-haknya secara hukum. Untuk itu pembuatan perangkat hukum yang mencakup para usia lanjut yang termasuk golongan ini perlu diperhatikan. Pembentukan suatu badan perlindungan hukum mirip dengan guardianship board yang terdapat di negara maju juga mulai hams dipikirkan. Di samping itu beberapa konsesi bagi para usia lanjut di berbagai bidang, antara lain bidang perumahan, transportasi, keuanganlperbankan bisa diatur secara nasional. Institusi-institusi perumahan, peralatan dan berbagai ha1 yang berkaitan dengan usia lanjut perlu didorong agar membuat desain khusus bagi keperluan para usia lanjut. Suatu pusat pelayanan kesejahteraan bagi para usia lanjut dengan inti berupa pelayanan kesehatan, yang mencakup berbagai sektor kesejahteraan lain, terdapat di negara-negara maju dengan nama extended care service for the elderly.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PELAYANAN KESEHATAN SOSIAL DAN KESEJ-



787



PADA USIA LANJUT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Layanan di Komunitas Sasaran



Dukungan Sosial JangkaSedang



usia lanjut sehat



Klub usia lanjut (berbagai kegiatan) Dr.Praktek Swasta. Puskesmas



usia lanjut sakit akut ringan sampai sedana usia lanrut sakit akut berat usia lanjut yang perlu layanan perawatanlbantuan (di rumah)



puskesmas IDokter Praktek Swasta



Rujukan ke Bagian Geriatri RS



Bangsal geriatri akut



Undang-Undang Jaminan Kesehatan usia lanjut



usia lanjut yang perlu berbagai rehabilitasi usia lanjut yang tergantung secara sosial, masalah kesehatan minimal* mereka yang sangat rapuh Isangat tua



usia lanjut dengan gangguan mental Disorientasi berat, tapi perlu pengawasan usia lanjut dengan sakit kronis tak bisa hidup sendiri usia lanjut dengan sakit terminal



Kunjungan perawatanlKlinik rawat siangibantuan rnakani kerja di rumah Kunjungan perawatanl petugas rehabilitasi1Klinik rawat siana



Dukungan Hunian



Jangka Panjang Bantuan ahli Isarana tingkatkan kesejahteraan



--sda ---



--- sda ---



--



sda -



Modifikasi rumah (bila perlu)



--- sda --Modifikasi rumah I peralatan



--- sda --Peraturan Kesehatan lain



Perluasan UU Jaminan Kesejahteraan Sosial



Kunjungan rutin perawat petugas kesehatan Bantuan makan/upaya kesejahteraan lain



UU Jaminan Kesehatan 8 S0sial bagi usia lanjut



UU Jaminan Kesejahteraan Sosial (untuk semua usia lanjut), Berbagai konsesi



Panti wredha Irawat wredha



PuskesrnaslDr. Praktek swasta psikogeriati



lnstalasi Psikoaeriatri RSJ Badan Perlindungan usia lanjut (Guardianshi~board)



UU Jaminan Kesehatan 8 Sosial



Panti wredha Irawat wredha



. .



.



--- sda ---



-



.



Bangsal psikogeriatri di RS Jiwa



--- sda ---



Bangsal geriatri kronislpanti Rawat Wredha Perawatan hospis di rurnahlRS,Kon-sultasi keluarga



UU Jaminan Kesejahteraan Sosial bagi usia lanjut



--



sda --



Panti wredha Irawat wredha



'



-- sda --



--- sda --



UU narkOtika Tim Hospis di RS



MASA DEPAN PELAYANAN PADA USIA LANJUT Dl INDONESIA Dengan makin meningkatnya jumlah populasi usia lanjut di Indonesia, jelaslah pelayanan pada usia lanjut akan makin dibutuhkan. Akan tetapi beberapa masalah perlu digarisbawahi sebelum keberhasilan dalam pelayanan tersebut dapat dicapai. Masalah yang mungkin timbul adalah: kesiapan sumber daya, baik fasilitas fisik maupun ketenagaan pelayanan geriatri hanyalah merupakan sebagian dari pelayanan kesehatan menyeluruh yang seperti diketahui berupa pelayanan kesejahteraan itu sendiri. Oleh karenanya kesiapan dari pemerintah, masyarakat, dan populasi usia lanjut hams sedemikian rupa sehingga keterpaduan upaya dapat dilaksanakan. Oleh karena itu beberapa upaya perlu dipersiapkan agar usaha pelayanan geriatri khususnya dan pelayanan kesejahteraan usia lanjut pada umumnya dapat dicapai, yaitu: 1). Penyiapan fasilitas dan sumber daya fisik maupun manusia. Fasilitas meliputi kelengkapan mulai di tingkat layanan berbasis masyarakat sampai ke fasilitas rujukan



--- sda ---



--- sda ---



di rumah sakit tipe A. Sumber daya manusia meliputi semua tenaga kesehatan dan kesejahteraan yang diharapkan memberikan layanan pada populasi usia lanjut, mulai perawat, tenaga sosial/sosio-medik, tenaga rehabilitasi, dan lain-lain. Hal ini membutuhkan upaya bukan saja dari departemen kesehatan akan tetapi juga dari departemen P dan K, dan departemen lain yang terkait. 2). Pengertian tentang kesehatan usia lanjut bukan saja hanya perlu dimengerti dan dipahami oleh jajaran tenaga kesehatan, akan tetapi juga oleh jajaran tenaga kesejahteraan, sehingga upaya yang perlu dilakukan bisa dijalankan secara terpadu.



KESIMPULAN Di bidang peningkatan kesehatan dan kesejahteraan sosial bagi para usia lanjut, Indonesia sangat tertinggal dibandingkan negara-negara maju. Karena sifat kerapuhan pada usia lanjut yang merupakan kombinasi antara berbagai aspek fisik, psikis, sosial dan lingkungan, maka bantuan kesehatan, kesejahteraan dan sosial bagi para usia lanjut hams merupakan suatu kesatuan antara berbagai



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK Hazzard dr. PRIYO PANJI WR. Introduction, the practice of geratric medicine. In:



aspek kesejahteraan. Oleh karena sifat heterogenitas populasi usia lanjut, maka jenis dan macam bantuan kesejahteraan bagi para usia lanjutjuga bermacam-macam. Dua ha1 yang merupakan dasar bagi bantuan tersebut adalah bantuan peningkatan pendapatan, pelayanan kesehatan, dan bantuan upaya kesehatan. Di samping itu upaya bantuan berbagai jenis hunian perlu diselenggarakan bagi para usia lanjut yang mernerlukannya. Suatu extended care service bagi usia lanjut yang merupakan pelayanan multidimensional di bidang kesejahteraan sosial yang berintikan pelayanan kesehatan, terdapat di berbagai negara maju, yang mungkin bisa dikembangkan di Indonesia. Kita menyadari bahwa banyak dari bahasan tersebut di atas barulah merupakan konsep yang dibuat atas dasar pengalaman di luar negeri, yang kemudian sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada dicoba diterapkan di Indonesia. Konsep tersebut tentu saja akantinggal menjadi konsep yang tidak berguna tanpa upaya untuk mewujudkannya menjadi kenyataan.



REFERENSI Burvill PB. Psychiatric assesment of the elderly. In: Wame RW, Prinsley DM, editors. A manual of geriatric care. Sidney: WilliamsLkWilkins Assc; 1988. p. 53-65. Coni N, Davidson W, Webster S. The geriatric department in lecture notes in geriatric medicine. 2nd edition. Oxford: Blackwell Sc.Pub1; 1980. p. 60-78. Editor(s). The role of consultant physician in geriatric medicine The Newsletter, The Australian Society of Geriatric Medicine, September, 1996, 1.



WR. Hazzard, EL. Bierman, JP. Blass, WH. Ettinger, JB. Halter, editors. 1994. Kane RL, Ouslander Jr, Abrass IT. The geriatric department in essentials of clinical geriatrics. New York: McGraw-Hill Inform. Ser.Coy; 1989. Martono H. Department of geriatric and rehabilitation medicine, a comparative study from Royal Adelaide hospital and its posible application in Indonesia, paper presented at Royal Adelaide Hospital, 1987. Martono H. Aspek fisiologik dan patologik usia lanjut. Lokakarya Geriatri BagiantUPF Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIPI RS Dr. Kariadi Semarang, 1993. Martono H. Geriatri pencegahan dalam simposium awam tentang kesehatan usia lanjut dalam rangka HUT PMI Semarang, 1993. 7. Martono H. Beberapa prinsip geriatri. Simposium geriatri dalam rangka KOPAPDI Padang, Juni 1996. Martono H, Darmojo B. Pelayanan kesehatan usia lanjut di masyarakat berbasis mmah sakit, lokakarya kesehatan jiwa. Ciawi: DEPKES R.I.; 1993. Martono H. Pelayanan sosial dan kesejahteraan bagi usia lanjut. In: R Boedhi-Darmojo, Hadi-Martono, editors. Buku ajar geriatri. Edisi 3; 2003. Maguire GH, et al. The team approach in action. In: Maguire GH, editor. Care of the elderly: a health team approach. Boston: Little Brown and Coy; 1985. p. 221-69. Mykyta L. Aged care, the South Australia experience. Simposium Usia lanjut menjelang tahun 2000, Jakarta 1992. Stieglitz EJ. Geriatric medicine. 3'* edition. Philadelphia, London Montreal: JB Lippincott Co; 1954. TPPG: Katalog Pendidikan dan Pelayanan Geriatri PB PAPDI, 1993. Wieland D, Ferrell BA, Rubenstein LZ. Geriatric home health care, conceptual and demographic consideration. In: BA. Ferrell, LZ. Rubenstein, editors. Geriatric home care. Philadelphia: W.B. Saunders Comp; 1991. p. 645 - 54.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



REGULASI SUHU PADA USIA LANJUT Siti Setiati, Nina Kemala Sari



PENDAHULUAN Kemampuan mengatur suhu pada usia lanjut berkurang dengan meningkatnya usia. Dengan bertambahnya usia, irama sirkadian suhu tubuh berkurang amplitudonya. Irama sirkadian pada temperatur inti disebabkan oleh irama sirkadian dalam produksi dan kehilangan panas. Suhu tubuh inti maksimal pada sore hari dan mencapai minimum pada dini hari. Suhu tubuh inti merupakan satu indikator yang paling h a t dan stabil yang mencerminkan aktivitas irama sirkadian. Sistem termoregulasi dapat dikonsep mengandung 3 bagian: jalur aferen termosensitif, integrasi neuron dan sistem kontrol, dan jalur efektor desenden yang mengubah perolehan atau kehilangan panas. Anatomi fungsional dan mekanisme fisiologis kompartemen-kompartemen ini, mencakup perubahan - perubahan karena modulasi sirkadian dan proses menua seperti termoresepsi, termogenesis (perolehan dan retensi panas), kehilangan panas dan kurangnya perolehan panas, kontrol termoregulasi sentral, perubahan-perubahan terkait usia lanjut dalam modulasi sirkadian suhu tubuh, siklus suhu harian yang memiliki implikasi fungsional penting. Meningkatnya kerentanan terhadap deviasi dari batas normal siklus ini pada usia lanjut memiliki konsekuensi fungsi dan kesehatan fisik dan mental. Karena itu, penting untuk memeriksa faktor-faktor yang memengaruhi termoregulasi dan amplitudo irama suhu. Penting juga dibedakan perubahan-perubahan terkait usia yang primer dan sekunder. Perubahan terkait usia primer adalah ha1 yang juga terdapat pada usia lanjut sehat, atau setelah koreksi perubahan-perubahan sekunder. Perubahan-perubahan terkait usia sekunder adalah ha1 yang bukan semata-mata disebabkan oleh proses menua tetapi terhadap faktor-faktor yang mana orang tua berada pada risiko tinggi. Sebagai contoh adalah gaya hidup



kurang gerak, kurangnya tingkat kebugaran, dan berbagai penyakit. Pada usia lanjut, suhu oral rata-rata adalah 36°C. Berbagai studi yang menunjukkan suhu tubuh inti pada usia lanjut lebih rendah daripada dewasa muda tampaknya mencerminkanpengaruh status nutrisi, penyakit, dan obatobatan.



PERUBAHAN PADA TERMORESEPSI USIA LANJUT Ujung saraf bebas yang terkait dengan sensasi suhu tetap utuh pada usia lanjut, berlawanan dengan berkurangnya jumlah reseptor kulit rasa sentuh seperti badan Meissner dan Pacini. Selain itu, kecepatan hantaran juga tetap utuh pada usia lanjut. Daerah sensoris primer neokortikal juga tetap relatif intak pada usia lanjut. Disregulasi suhu pada usia lanjut merupakan contoh berkurangnya regulasi mekanisme homeostatis yang terjadi dengan meningkatnya usia. Orang-orang tua kurang dapat menyesuaikan diri terhadap suhu lingkungan yang ekstrim. Keadaan hipotermi dan hipertermi merupakan gangguan regulasi suhu yang sering terdapat pada usia lanjut. Terdapat bukti peningkatan morbiditas dan mortalitas pada periode musim panas dan musim dingin pada populasi usia lanjut. Mayoritas penyakit ini disebabkan oleh peningkatan insidensi gangguan kardiovaskular (infark miokard dan strok) dan penyakitpenyakit infeksi (pneumonia) selama masa suhu ekstrim.



Definisi Hipotermia didefinisikan sebagai temperatur tubuh inti (rektal, esofageal, timpani) kurang dari 35OC.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Gangguan termoregulasi



Patofisiologi Kerentanan seorang usia lanjut terhadap hipotermia berhubungan dengan adanya penyakit dan perubahan fisiologis. Pusat termoregulasi menjaga suhu tubuh melalui kontrol keringat, vasokonstriksi, vasodilatasi, termogenesis kimia, dan menggigil. Berkurangnya sensasi terhadap suhu dingin dan gangguan sensitivitas terhadap perubahan temperatur dikaitkan dengan memburuknya termoregulasi pada usia lanjut dan dapat menyebabkan perilaku maladaptif pada lingkungan dingin. Pada usia lanjut, proses menggigil biasanya kurang intens, meskipun terdapat kehilangan suhu tubuh inti yang lebih besar. Karena proses menggigil yang maksimal akan meningkatkan produksi panas 3 hingga 5 kali lipat lebih besar daripada saat istirahat, orang tua dengan gangguan proses menggigil atau proses menggigil yang kurang efisien akan meningkatkan risiko terjadinya hipotermia. Mekanisme di mana defisit adrenergik berkontribusi terhadap timbulnya hipotermia pada populasi usia lanjut belum dapat ditentukan. Bagaimana pun, respons vasokonstriktor otonom abnormal terhadap dingin merupakan faktor kunci terjadinya disregulasi suhu pada usia lanjut. Disregulasi otonom ini juga bermanifestasipada insidensi hipotensi ortostatik yang lebih tinggi pada orang-orang dengan risiko hipotermia. Berkurangnya termogenesis merupakan faktor kunci lainnya dalam terjadinya disregulasi suhu pada usia lanjut. Ketuaan berkaitan dengan berkurangnya termogenesis yang diperantarai oleh beta adrenergik. Laju metabolisme juga lebih rendah pada usia lanjut karena berkurangnya massa tubuh kering sehingga berkontribusi terhadap risiko hipotermia pada individu-individuini. Efek termal makanan juga berkurang pada usia lanjut. Karena lemak tubuh berkontribusi untuk menahan kehilangan panas, usia lanjut yang kurus dengan berkurangnya massa lemak juga meningkatkan risiko hipotermia. Di samping pajanan aktual terhadap dingin, terdapat faktor-faktor predisposisi tubuh terhadap hipotermia. Gangguan terkait penurunan produksi panas mencakup hipotiroidisme, hipoglikemia, kelaparan, dan malnutrisi. Kondisi endokrinopati yang paling sering menimbulkan hipotermia adalah hipotiroidisme, yakni 80% pasien yang dialami karena penurunan laju metabolisme dan kalorigenesis. Hipoglikemia juga menyebabkan berkurangnya proses menggigil, mungkin melalui efek sentral. Hipotermia juga terjadi pada lebih dari 50% pasien dengan hipoglikemia. Kelaparan dan malnutrisi berkontribusi terhadap risiko hipotermia karena berkurangnya massa tubuh kering total dan simpanan energi untuk kalorigenesis seperti kehilangan lemak tubuh dengan efek penyekatnya. Imobilisasi dan berkurangnya aktivitas karena strok, artritis, dan parkinsonism juga menyebabkan berkurangnya produksi panas. Pada pasien dengan parkinsonism, disfungsi autonom juga berkontribusi terhadap disregulasi suhu.



dapat terjadi sebagai hasil disfungsi sistem hipotalamus dan sistem saraf pusat atau karena obat. Trauma, hipoksia, tumor, atau penyakit serebrovaskular dapat mengganggu regulasi sentral suhu. Obat-obat yang paling sering terkait hipotermia adalah etanol, barbiturat, fenotiazin, benzodiazepin, obat anestesi, dan opioid. Etanol merupakan predisposisi hipotermia karena bekerja sebagai vasodilator, penekan sistem saraf pusat, anestetik, penyebab hipoglikemia, dan faktor risiko trauma dan pajanan lingkungan. Fenotiazin menghambat menggigil melalui efek kurare perifer. Pada sepsis, hipotermia mencerminkan perubahan titik setting hipotalamus dan tanggapan tubuh yang berkurang serta sering paradoks terhadap pirogen sebagai mekanisme pertahanan tubuh yang berlebihan. Pada penyakit kardiovaskular, sistem sirkulasi mungkin tak dapat merespons perubahan-perubahan tekanan suhu tubuh atau terhadap kebutuhan mekanisme regulasi seperti menggigil. Pada individu usia lanjut, terutama yang tinggal sendiri atau hidup sendiri, kurangnya pemanasan sentral, kegagalan menggunakan panas (apa pun jenisnya), dan demensia atau konfusi berkaitan dengan meningkatnya risiko hipotermia. Berikut ini adalah tabel faktor-faktor yang meningkatkan risiko hipotermia pada usia lanjut:



Gangguan terrnoregulasi Kegagalan vasokonstriksi segera pada pajanan dingin Kegagalan merasakan dingin Kegagalan tanggapan perilaku untuk melindungi diri dari cuaca dingin Berkurang atau tidak adanya proses menggigil untuk membentuk panas Kegagalan respons peningkatan laju metabolisme terhadap dingin Kondisi-kondisi yang rnenurunkan produksi panas Hipotiroidisme, hipopituitarisme, hipoglikemia, anemia, malnutrisi, kela~aran ~mobilisasilberk~ran~n~a aktivitas (contoh: strok, kelumpuhan, parkinson, demensia, artritis, fraktur panggul, koma) Ketoasidosis diabetikum Kondisi-kondisi yang rneningkatkan kehilangan panas Luka terbuka, inflamasi umum di kulit, luka bakar Kondisi-kondisi yang rnengganggu kontrol terrnoregulasi sentral atau perifer Strok, tumor otak, ensefalopati Wernicke, perdarahan subarachnoid Uremia, neuropati (contoh: diabetes, alkoholisme) Penyakit akut (contoh: pneumonia, sepsis, MI, CHF, emboli paru, pankreatitis) Obat-obat yang rnengganggu terrnoregulasi Penenang (contoh: fenotiazin) Hipnotik sedatif (contoh: barbiturat, benzodiazepin) Antidepresi (contoh: trisiklik) Obat-obat vasoaktif (contoh: vasodilator) Alkohol (menyebabkan vasodilatasi superfisial) Lain-lain: metildopa, litium, morfin



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



791



RECULASISUHU PADA USIALANJUT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Klinis Karena gejala awal sangat tidak spesifik dan samar-samar, perlu kewaspadaan yang tinggi untuk deteksi dini. Riwayat adanya pajanan akan sangat membantu tetapi pasien usia lanjut dapat mengalami hipotermia bahkan pada suhu sedang. Tanda-tanda awal yang terjadi pada suhu inti 3235°C adalah kelelahan, kelemahan, melambatnya gerakan, apati, bicara tidak jelas, kebingungan, dan kulit dingin. Hipopnea dan sianosis ada, pertama karena berkurangnya kebutuhan metabolik dan kemudian karena depresi dorongan respirasi sentral. Bradikardia, aritmia atrium dan ventrikel serta hipotensijuga terjadi. Semikoma atau koma dan rigiditas muskular juga terdapat. Hilang kesadaran biasanya terjadi bila suhu otak mencapai 32-30°C. Refleksrefleks melambat dan pupil kurang reaktif. Bisa terdapat edema umum dan poliuria atau oliguria. Pajanan dingin dikaitkan dengan diuresis air dan zat terlarutnya. Kontraksi volume terjadi karena diuresis dan juga karena pergeseran cairan ekstrasel dan intrasel. Ketika suhu tubuh turun dari 28"C, kulit menjadi sangat kering, individu menjadi tidak responsif, kakulrigid, arefleksia dan terfiksir, pupil dilatasi. Apnea dan fibrilasi ventrikel sering terjadi. Pasien kadangkadang disangka sudah meninggal. Berbagai laporan kasus menggambarkan pasien-pasien yang bertahan setelah ditemukan tidak bernapas atau nadinya tak berdenyut. Komplikasi dini yang paling penting dari hipotermia berat adalah aritmia serta henti jantung dan napas. Komplikasi lanjut mencakup bronkopneumonia dan pneumonia aspirasi. Refleks batuk ditekan oleh hipotermia, dan dingin menyebabkan banyaknya produksi sekresi bronkial yang kental. Edema paru mungkin terjadi terutama pada individu dengan penyakit kardiovaskular.Pankreatitis dan perdarahan traktus gastrointestinal merupakan komplikasi yang sering meskipun perdarahan masif jarang terjadi. Mungkin terjadi gaga1 ginjal akut. Trombosis intravaskular merupakan komplikasi hemokonsentrasi dan perubahanperubahan viskositas yang diinduksi oleh suhu. Abnormalitas EKG sering terjadi. Temuan EKG yang paling spesifik adalah gelombang Osborne setelah kompleks



Tanda Awal Suhu 32-35°C



Tanda-tanda Lanjut Suhu 28-30°C



Kelelahan Kelemahan Berjalan lambat Apatis



Kulit dingin Hipopnea Sianosis Bradikardia



Bicara tak jelas Kebingunganlkonfus Menggigil (k) Kulit dingin Sensasi dingin (k)



Aritmia atrial dan ventrikular Hipotensi Semikoma dan koma Otot kaku Edema umum Refleks melambat Reaksi pupil lambat Poliuria atau oliguria



QRS. Kelainan ini kembali hilang bila suhu kembali normal. Kelainan lain yang sering adalah bradikardia dan pemanjangan interval P-R, QRS kompleks, segmen QT, selain fibrilasi atrial, kontraksi ventrikel prematur, dan fibrilasi ventrikel. Perubahan-perubahan EKG bisa menyerupai iskemi atau infark miokard akut. Seringkali, diagnosis banding tersulit pada hipotermia adalah hipotiroidisme, penyebab tersering hipotermia. Riwayat adanya penyakit tiroid terdahulu, jaringan parut di leher bekas operasi tiroid, dan melambatnya fase relaksasi refleks tendon dalam dapat membantu diagnosis hipotiroidisme.



Terapi Perawatan gawat darurat. Di lapangan, pasien dengan hipotermia hams segera dipindahkan dari lingkungan dingin, daerah berangin, dan kontak dengan objek yang dingin. Pakaian basah hams disingkirkan untuk mencegah kehilangan panas lebih jauh. Hams digunakan beberapa lapis selimut. Pasien hams dipindahkan dengan hati-hati, karena dingin, jantung dengan bradikardia sangat sensitif sehingga stimulus ringan pun dapat mencetuskan fibrilasi ventrikel atau asistol. Monitor jantung harus segera dilakukan. Pasien dengan denyut jantung yang terdeteksi dan dapat bernapas spontan meskipun sangat lambat, jangan mendapat perlakuan salah dengan tindakan yang tidak perlu seperti kompresi dada atau pemasangan pacu jantung. Sebaliknya, pasien dengan fibrilasi ventrikel atau asistole hams diresusitasi tetapi jantung yang dingin dapat menjadi relatif tidak responsif terhadap obat-obat atau stimulasi listrik. Cairan intravena, lebih baik dekstrosa 5%, natrium fisiologis tanpa kalium, hams dihangatkan sebelum digunakan. Perawatan umum. Di rumah salut, terapi dukungan umum untuk hipotermia berat terdiri dari tatalaksana perawatan intensif dari disfungsi multisistem yang kompleks. Mortalitas biasanya lebih dari 50% untuk hipotermia berat dan meningkat dengan bertambahnya usia dan sangat berhubungan dengan penyakit yang mendasarinya.



Tanda-tanda Lebih Lanjut Suhu < 2E°C Kulit sangat dingin Rigiditas Apnea Tak ada denyut nadi- fibrilasi ventrikel Arefleksia Tidak bereaksi Pupil kaku, tidak bergerak



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Tiap usaha hams dilakukan untuk menilai dan mengatasi setiap gangguan medis yang mungkin berkontribusi (contoh: infeksi, hipotiroidisme, atau hipoglikemia). Sering terdapat infeksi yang mendasari. Hipotermia pada pasien usia lanjut awalnya harus ditatalaksana sebagai sepsis sampai terbukti tidak ada. Jika dicurigai hipotiroidisme, pasien hams segera diberi levotiroksin 0,5 mg intravena dan kortikosteroid. Meskipun pada pasien hams segera dipasang monitor EKG rutin, jalur vena sentral hams dihindarijika mungkin, karena iritabilitasmiokard. Karena metabolisme melambat, banyak obat memberikan sedikit efek pada pasien hipotermia yang berat namun dapat menimbulkan masalah saat pasien dihangatkan kembali. Aritmia biasanya resisten terhadap kardioversi dan terapi obat. Insulin tidak efektif pada suhu kurang dari 30°C dan harus dihindari pada pasien hiperglikemia dengan hipotermia. Jika diberikan selama hipotermia, insulin dapat menimbulkan hipoglikemia saat pasien telah dihangatkan. Resistensi insulin membaik spontan saat suhu tubuh inti meningkat. Pada hipotermia kronik (berlangsung lebih dari 12jam), kekurangan cairan bisa berat dan diperlukan penggantian cairan saat pemanasan terjadi. Gas darah hams diobservasi untuk menilai fungsi pernapasan. Terapi oksigen, sedotan paru, dan intubasi endotrakea mungkin dibutuhkan saat pemanasan terjadi. Pada kasus dengan aritmia serius, asidosis, serta gangguan cairan dan elektrolit, biasanya tanggapan terhadap terapi hanya setelah dilakukan pemanasan. Lebih baik menstabilkan pasien dan segera melakukan teknik pemanasan spesifik.



Pemanasan. Untuk hipotermia ringan (>32"C) biasanya diberikan pemanasan pasif dengan bahan penyekatl pengisolasi dan menempatkan pasien di lingkungan hangat (>2 1"C). Pemanasan eksternal aktif (selimut listrik, matras hangat, dan botol air hangat, berendamlmandi air hangat) merupakan teknik yang lebih cepat untuk pemanasan daripada prosedur pasif. Bagaimana pun, pemanasan eksternal aktif pada kondisi ini berkaitan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas karena darah yang dingin dapat secara tiba-tiba dialihkan ke suhu inti sehingga m e n d a n suhu inti lebihjauh lagi. Vasodilatasi perifer karena pemanasan eksternal dapat mencetuskan syok hipovolemik dengan berkurangnya volume darah sirkulasi. Untuk hipotermia yang lebih berat (37"C tetapi 40°C dan abnormalitas sistem saraf pusat seperti delirium, kejang, atau koma karena pajanan terhadap lingkungan panas (sengatan panas klasik) atau latihan fisis yang berat (sengatan panas terkait aktivitas). Kelanjutan perubahan-perubahan yang terjadi pada lebih dari satu sistem organ setelah adanya gangguan seperti trauma, sepsis atau sengatan panas.



Hipertermia



Heat exhaustion lkelelahan panas



Heat strokelsengatan panas



Sindrom disfungsi multiorgan



Fungsi Kelenjar Keringat Gangguan sistem termoregulasi dengan berkurang atau tidak adanya keringat merupakan penyebab terpenting sengatan panas pada lingkungan panas. Respons berkeringat terhadap stimulasi panas dan neurokimia berkurang pada usia lanjut dibandingkan dengan dewasa muda. Juga terdapat ambang suhu inti yang lebih tinggi pada usia lanjut untuk memulai proses berkeringat. Pada kondisi stres panas, manusia mengaktifkan kelenjar keringat ekrin (di bawah kontrol kolinergis simpatis) dan kemampuan kelenjar tersebut untuk mengeluarkan keringat untuk mengatur suhu tubuh. Meskipun terdapat variasi luas antar individu sebagai respons kelenjar keringat terhadap stimulus farmakologis (contohnya oleh analog kolinergis seperti metilkolin atau pilokarpin), terdapat pengaruh proses menua yang jelas. Laju berkeringat lokal lebih rendah pada usia lanjut yang mendapat stimulus farmakologis. Densitas kelenjar-kelenjar yang diaktifkan secara farmakologis tidak dipengaruhi usia, efek ini disebabkan oleh produksi keringat yang lebih sedikit per kelenjar yang diaktifkan. Menurut Sato, pengaruh usia



sangat kecil pada kelenjar yang diaktifkan secara farmakologis sampai usia 60 tahun namun setelah usia 70 dan 80 tahun fungsi kelenjar menurun secara bertahap. Temuan lain memperlihatkan perbedaan pola distribusi keringat. Pengaruh penuaan terhadap menurunnya fungsi kelenjar keringat lebih jelas terlihat di daerah dahi dan ekstremitas daripada di badan.



Aliran Darah Kulit Respons aliran darah kulit terhadap pemanasan lokal langsung pada kulit nonakral berkurang pada usia lanjut. Berkurangnya perfusi kulit pada usia lanjut berkaitan dengan hilangnya unit-unit fungsional pleksus kapiler. Pada kulit yang menua, bagian dalam epidermis mendatar sehingga menjadi rata pada orang yang sangat tua. Transformasi ini berhubungan dengan kolapsnya, disorganisasi, dan hilangnya pembuluh-pembuluh darah mikrosirkulasi di papilaris kulit dan pleksus vaskular superfisial. Perubahan anatomis ini mendukung peran perubahan struktural pada berkurangnya kapasitas aliran darah kulit maksimal pada usia lanjut. Meskipun ambilan oksigen maksimal, status penyesuaian diri, hidrasi, penyakit-penyakit, dan obat-obatan dapat memengaruhi aliran darah kulit, ketidakmampuan relatif kulit yang menua untuk vasodilatasi tampaknya merupakan konsekuensi utama pada usia lanjut. Curah Jantung Adaptasi kardiovaskular normal terhadap stres panas berat adalah dengan meningkatkan curah jantung hingga 20 liter per menit dan pergeseran darah yang panas dari sirkulasi inti ke sirkulasi perifer. Ketidakmampuan untuk meningkatkan curah jantung karena adanya deplesi air dan garam, penyakit kardiovaskular, atau pengaruh obatobatan yang menganggu fungsi jantung dapat menghambat toleransi panas yang mengakibatkan kerentanan terhadap sengatan panas. Berkurangnya curah jantung pada usia lanjut terutama merupakan akibat dari berkurangnya isi sekuncup karena orang tua dapat meningkatkan denyut jantungnya seperti pada dewasa muda. Bagaimanapun, untuk mencapai peningkatan denyut jantung ini, usia lanjut perlu mencapai proporsi yang lebih besar dari cadangan denyut jantungnya. Meskipun hasil ini untuk pria, sebuah studi yang menggunakan protokol pemanasan yang sama menemukan bahwa perempuan (5280 tahun) tidak mengalami penurunan isi sekuncup dengan pemanasan pasif langsung. Ini benar untuk perempuan yang tidak mendapat HRT ataupun estrogen, progesteron, dan kombinasi terapi hormon. ~ e ' k a n i s m eadanya perbedaan antar jenis kelamin ini masih belum diketahui. Redistribusi Aliran Darah Studi yang menunjukkan berkurangnya aliran darah kulit pada usia lanjut ternyata tidak saja berhubungan dengan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



berkurangnya peningkatan curah jantung namun juga dengan berkurangnya redistribusi aliran darah dari sirkulasi splanknikus dan ginjal. Bila pengaruh ortostatik ditambahkan pada pemanasan pasif, pria usia lanjut bereaksi bermakna pada berkurangnya aliran darah perifer dibandingkan dewasa muda. Karena itu, tampaknya penuaan berhubungan dengan berkurangnya respons aliran darah kulit baik terhadap refleks vasodilatasi aktif maupun refleks nontermoregulasi (barorefleks) di pembuluh darah kulit selama stres panas. Bukti lebih lanjut untuk perubahan respons perifer ditunjang oleh studi yang menunjukkan bahwa selama tes kemiringan kepala pada kondisi normotermi, pria usia lanjut menunjukkan berkurangnya peningkatan resistensi vaskular dahi dibandingkan dewasa muda. Bagaimanapun pada studi ini, resistensi vaskular splanknikus meningkat lebih besar pada kelompok usia lanjut. Temuan ini menunjukkan bahwa perubahanperubahan terkait usia pada struktur dan regulasi pembuluh darah perifer mengharuskan adanya modifikasi mekanisme kontrol homeostatik sistem kardiovaskular. Kematian orang-orang tua pada masa gelombang panas biasanya dianggap karena penyakit jantung atau masalah kardiovaskular lainnya yang dieksaserbasi oleh stres panas. Bagaimana pun, beberapa morbiditas berhubungan langsung dengan kegagalan termoregulasi primer. Melambatnya dilatasi vaskular kulit dan berkurangnya curah jantung dan redistribusi sirkulasi splanknikus dengan pemanasan juga menganggu terjadinya kehilangan panas pada usia lanjut. Perubahan laju keringat dan aliran darah ini lebih berhubungan dengan pengaruh deconditioning daripada penuaan itu sendiri. Bila ambilan oksigen maksimal disesuaikan antara orang tua dan dewasa muda, tidak terdapat perbedaan bermakna laju keringat atau aliran darah lengan atas selama latihan. Gangguan sensitivitas terhadap perubahan-perubahan suhu dapat menimbulkan perilaku yang tidak sesuai pada lingkungan panas. Penyesuaian diri terhadap panas kurang berjalan dengan baik pada usia lanjut karena itu berkontribusi pada defisit fisiologis. Ketidakmampuan melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan seperti mengganti pakaian tebal, pindah ke lingkungan sejuk, dan meningkatkan asupan cairan, akan meningkatkan sengatan panas pada usia lanjut dengan mobilitas yang terbatas. Tinggal sendiri dan kebingunganl delirium juga akan meningkatkan risiko ini. Usia lanjut dengan penyakit kardiovaskular mungkin tak dapat meningkatkan curah jantung secara adekuat dalam merespons stres panas. Gaga1jantung kongestif, diabetes melitus, obesitas, dan penyakit paru obstruktif berkaitan dengan meningkatnya risiko kematian pada korban sengatan panas. Faktor risiko lain kematian dari sengatan panas adalah alkoholisme, penggunaan obat-obat penenang dan antikolinergik, serta berkurangnya aktivitas fisik. Orang tua rentan polifarmasi yang beberapa



diantaranya dapat mengganggu respons terhadap kondisi panas. Antikolinergik, fenotiazin, dan antidepresi menimbulkan hipohidrosis. Diuretik berkaitan dengan hipovolemia dan hipokalemia, dan beta bloker dapat menekan fungsi miokard. Sengatan panas dan progresivitas menjadi sindrom disfungsi multiorgan disebabkan olen interaksi kompleks perubahan-perubahan fisiologis akut terkait hipertermia (kegagalan sirkulasi, hipoksia, dan peningkatan kebutuhan metabolik), efek sitotoksik langsung dari panas, dan respon inflamasi dan koagulasi tubuh. Rangkaian peristiwa ini menimbulkan perubahan-perubahan dalam aliran darah mikrosirkulasi dan mengakibatkan trauma pada endotel vaskular dan jaringan. Klinis Sengatan panas memiliki ciri khas dimana suhu tubuh inti lebih dari 40,6"C disertai disfungsi sistem saraf pusat yang berat (psikosis, delirium, koma), dan anhidrosis (kulit yang panas dan kering). Manifestasi dini, disebut heat exhaustionlkelelahanpanas, tidak khas dan terdiri dari rasa pusing, kelemahan, sensasi panas, anoreksia, mual, muntah, sakit kepala, dan sesak napas. Komplikasi sengatan panas mencakup gagal jantung kongestif dan aritmia jantung, edema serebral dengan kejang dan defisit neurologis difus dan fokal, nekrosis hepatoselular dengan ikterik dan gagal hati, hipokalemia, alkalosis respiratorik dan asidosis metabolik, serta hipovolemia dan syok. Rabdomiolisis, koagulasi intravaskular diseminata, dan gagal ginjal akut jarang terjadi pada usia lanjut dibandingkan pada dewasa muda dengan sengatan panas terkait aktivitas. Komplikasi terberat, kematian, terjadi pada 80% pasien yang sindrom sengatan panasnya telah muncul secara penuh. Terapi Kunci mengatasi hipertermia adalah pendinginan cepat. Hal ini hams dimulai segera di lapangan dan suhu tubuh inti hams diturunkan mencapai 39°C dalam jam pertama. Lamanya hipertermia merupakan penentu utama hasil akhir. Berendam dalam air es lebih baik dari pada pendinginan dengan alkohol atau fan listrik. Komplikasi membutuhkan perawatan di ruang intensif. Pendinginan Kehilangan panas efektif tergantung pada transfer cepat dari inti ke kulit dan dari kulit ke lingkungan luar. Pada orang-orang dengan hipertermia, transfer panas dari inti ke kulit difasilitasi oleh vasodilatasi kulit aktif. Tujuan teknik pendinginan terapi adalah meningkatkan transfer panas dari kulit ke lingkungan. Hal ini dicapai dengan meningkatkan gradien suhu antara kulit dan lingkungan (untuk pendinginan dengan induksi) atau dengan meningkatkan gradien tekanan air-uap air antara kulit dan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



795



RECULASI SUHU PADA USIA LANJUT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Teknik pendinginan konduksi Eksternal* Berendam dalam air dingin Penggunaan kompres es di seluruh tubuh atau bagianbagian tubuh tertentu Penggunaan selimut pendingin Internal** Lavase lambung dengan es Lavase peritoneal dengan es Teknik pendinginan evaporasilpenguapanatau konveksi Berikan kipas angin pada pasien yang telah dibuka bajunya pada suhu ruangan ( 20-22°C) Basahi permukaan tubuh selama pemakaian kipas angin terus menerus (kulit ditutupi dengan lembaran kasa halus yang telah direndam dalam air 20°C saat pasien dikipasi. Kipas angin dikurangi atau dihentikan jika suhu kulit turun go%. Menambah volume tubuh.



Kontrol kejang. Lindungi jalan napas dan tingkatkan oksigenasi (saturasi oksigen arteri >go%) Tingkatkan tekanan arteri ratarata hingga >60 mmHg dan kembalikan perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Cegah trauma ginjal yang diinduksi oleh mioglobin, tingkatkan aliran darah ginjal, diuresis, dan alkalinisasi urin. Cegah aritmia jantung yang mengancam nyawa. Penyembuhan fungsi organ



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI REFERENSI



Disregulasi suhu pada usia lanjut memperlihatkan menyempitnya mekanisme homeostatis yang terjadi dengan meningkatnya usia. Orang berusia lanjut kurang dapat menyesuaikan diri terhadap suhu lingkungan yang ekstrim. Kondisi hip0 dan hipertermia merupakan gangguan yang sering terjadi pada usia lanjut, terutama pada usia lanjut yang sakit. Pencegahan merupakan pendekatan yang paling sesuai untuk tatalaksana disregulasi suhu pada usia lanjut. Pendidikan kepada para usia lanjut tentang kerentanan mereka terhadap hipotermia dan hipertermia di lingkungan bersuhu ekstrim, pendidikan tentang perilaku yang tepat pada kondisi tersebut, dan pengawasan ketat bagi individu usia lanjut yang paling rentan hams mampu mengurangi . morbiditas dan mortalitas dari gangguan ini.



Abrass IB. Disorders of temperature regulation. In: Hazzard WR, Blass JP, Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME, eds. Principles of geriatric medicine & gerontology, 5thed. New York: McGrawHill; 2003: 1587-91. Bouchama A, Knochel JP. Heat stroke. N Engl J Med.2002; 346 (25): 1978-88. Ebersole P, Hess P. Maintaining mobility and environmental safety. In: Geriatric nursing & healthy aging, 1" ed. St. Louis: Mosby, Inc; 2001: 469-72. Florez-Duquet M, McDonald RB. Cold-induced thermoregulation and biological aging. Physiol Rev. 1998; 78: 339-58. Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB. Disorder of temperature regulation. In: Essentials of clinical geriatrics, 51h ed. New York: McGraw-Hill; 2004: 328-34. Kenney WL, Munce TA. Physiology of aging. Invited review: Aging and human temperature regulation. J Appl Physiol. 2003; 95: 2598-603.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



R.A. Tuty Kuswardhani, Nina Kemala Sari



PENDAHULUAN Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sangat sering terjadi pada usia lanjut (usila). Gangguan tersebut meliputi dehidrasi, hipernatremia, dan hiponatremia. Di Amerika Serikat, dehidrasi terjadi pada sekitar 7% penderita berusia lebih dari 65 tahun yang dirawat di rumah sakit dengan rerata lama rawat 14hari dan terjadi pada 82% pasien febris yang dirawat di rumah. Dehidrasi merupakan salah satu alasan utama pasien usia lanjut dibawa ke ruang gawat darurat dan salah satu dari enam diagnosis utama yang berkaitan dengan terjadinya hendaya progresif. Jika dehidrasi tidak tertangani, angka mortalitas mencapai lebih dari 50%. Data di Indonesia diperoleh dari instalasi gawat darwat Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUPN-CM tahun 2000-2001 dimana sebanyak 45% pasien usia lanjut yang dibawa ke gawat darurat, menderita dehidrasi. Hipematremia terjadi pada sekitar 1% pasien berusia lebih dari 60 tahun yang dirawat di rumah sakit dengan angka mortalitas lebih dari 40%. Weinberg et a1 menemukan bahwa pada 60% pasien febris yang ctirawat di rumah mengalami hipematremia atau peningkatan rasio BUN terhadap kreatinin atau keduanya dibandingkan dengan 5% pada populasi kontrol. Kleinfield et a1 melaporkan kejadian hiponatremia pada penderita usila yang dirawat di rumah sakit sebesar 11%. Penelitian lainnya tentang mortalitas di rumah sakit, hiponatremia saat masuk rumah sakit berhubungan dengan peningkatan risiko kematian sebesar dua kali lipat. Pada penelitian selama lebih dari 1 tahun terhadap penderita yang dirawat di rumah, diketahui bahwa pada 53% kasus sedikitnya mengalami 1 kali episode hiponatremia. Dalam penatalaksanaan keseimbangan cairan dan elektrolit pada usila, pengertian mengenai perubahan fisiologi yang menjadi faktor predisposisi gangguan tersebut sangat penting. Secara umum, terjadi p e n m a n



kemampuan homeostatik seiring dengan bertambahnya usia. Secara khusus, terjadi p e n m a n respons rasa haus terhadap kondisi hipovolemik dan hiperosmolaritas. Di samping itu juga terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus, kemampuan fimgsi konsentrasi ginjal, renin, aldosteron,dan penurunan respons ginjal terhadap vasopresin. Peningkatan kadar atrial natriuretic peptide (ANP) akan menyebabkan supresi sekresi renin ginjal, aktivitas renin plasma, angiotensin I1 plasma, dan kadar aldosteron. Selain efek kehilangan natrium dari ginjal secara tidak langsung ini, ANP secara langsungjuga menimbulkan hilangnya natrium dari ginjal melalui efek natriuretik.



DEHlDRASl Dehidrasi adalah berkurangnya cairan tubuh total, dapat berupa hilangnya air lebih banyak dari natrium (dehidrasi hipertonik), atau hilangnya air dan natrium dalam jumlah yang sama (dehidrasi isotonik), atau hilangnya natrium yang lebih banyak daripada air (dehidrasi hipotonik). Dehidrasi hipertonik ditandai dengan tingginya kadar natrium serum (lebih dari 145 mEqIL) dan peningkatan osmolalitas efektif serum (lebih dari 285 mosmol/liter). Dehidrasi isotonik ditandai dengan normalnya kadar natrium serum (135- 145 mEq/L) dan osmolalitas efektif serum (270-285 mosmoWliter). Dehidrasi hipotonik ditandai dengan rendahnya kadar natrium serum (kurang dari 135 mEq/L) dan osmolalitas efektif serum (kurang dari 270 mosmol/liter).



GEJALA KLlNlS DEHlDRASl PADA USlA LANJUT Gejala dan tanda klinis dehidrasi pada usia lanjut tak jelas, samar-samar, bahkan bisa tidak ada sama sekali. Gejala



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



klasik dehidrasi seperti rasa haus, lidah kering, penurunan turgor, dan mata cekung sering tidak jelas. Gejala klinis paling spesifik yang dapat dievaluasi adalah penurunan berat badan akut lebih dari 3%. Tanda klinis obyektif lainnya yang dapat membantu mengidentifikasi kondisi dehidrasi adalah hipotensi ortostatik. Tidak spesifiknya presentasi klinis dehidrasi pada usila, mendorong klinisi untuk melakukan usaha-usaha dalam mengidentifikasi penderita yang berisiko mengalami dehidrasi. Studi yang dilakukan oleh Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUVRSUPN-CM pada tahun 2000-2001 mencoba mendapatkan gejala klinis dan laboratoris dehidrasi pada usia lanjut. Ternyata tidak didapatkan perbedaan bermakna dalam persepsi rasa haus, hampir separuh usila yang menderita dehidrasi tidak merasa haus. Hampir semua usia lanjut, baik yang dehidrasi maupun tidak dehidrasi, mengalami penurunan turgor kulit di atas dahi dan di atas sternum, terutama pada dehidrasi berat, demikian pula gejala mata cekung. Kadar natrium serum dalam penelitian ini temyata tidak bermakna. Seperti banyak digunakan dalam studi terdahulu di luar negeri, kadar natrium serum dengan batasan yang berbeda-beda digunakan sebagai penanda dehidrasi. Gross memakai kriteria kadar natrium serum < 145 mEq1L untuk dehidrasi ringan, natrium serum meningkat pada dehidrasi sedang, dan natrium serum > 145 mEq1L pada dehidrasi berat. Weinberg menyebutkan kadar natrium serum > 148 mEq/L sebagai penanda dehidrasi. Pada studi geriatri di RSCM, ditemukan kadar natrium serum pada pasien dehidrasi ratarata 144,39 mEq1L sedangkan pada usila yang tidak mengalami dehidrasi 141,92mEq/L. Pada studi ini klasifikasi natrium serum terbanyak pada usila dehidrasi adalah normonatremia (53%), hipernatremia (38%), dan hiponatremia (9%). Pengukuran osmolalitas serum dalam menilai status hidrasi sebaiknya menggunakan perhitungan osmolalitas plasma efektif (Eosm) yang ditentukan oleh osmol yang bekerja menahan air dalam ruang ekstrasel, jadi tidak menyertakan zat yang aktif secara osmotik seperti ureum dan alkohol yang bebas berdifusi melintasi membran sel sehingga kurang bermakna dalam menilai defisit air bebas. Pada studi ini, juga tidak ditemukan perbedaan bermakna osmolalitas efektif serum pada usia lanjut dehidrasi dan tidak dehidrasi. Tidak bermaknanya perbedaan kadar natrium serum dan osmolalitas efektif plasma ini sesuai dengan terdapatnya 3 kemungkinan jenis dehidrasi yaitu dehidrasi hipertonik, isotonik, dan hipotonik. Berdasarkan studi Divisi Geriatri ini bila ditemukan aksila lembabhasah, suhu tubuh meningkat dari suhu basal, diuresis berkurang, BJ urin lebih dari atau sama dengan 1,O19 (tanpa adanya glukosuria dan proteinuria), serta rasio Blood Urea NitrogenlKreatinin lebih dari atau sama dengan 16,9 (tanpa adanya perdarahan aktif saluran cema) maka kemungkinan terdapat dehidrasi pada usia lanjut adalah 81%. Kriteria ini dapat dipakai dengan syarat: tidak



menggunakan obat-obat sitostatik, tidak ada perdarahan saluran cerna, dan tidak ada kondisi overload (gaga1 jantung kongestif, sirosis hepatis dengan hipertensi portal, penyakit ginjal kronik stadium terminal, sindrom nefrotik). Terdapat berbagai penyebab dehidrasi pada usia lanjut. Secara klasik penyebabnya adalah peningkatan kehilangan cairan atau penurunan asupan cairan (Tabel 1). Infeksi seperti pneumonia dan infeksi saluran kemih sangat sering terjadi pada usila. Pada pneumonia dapat terjadi peningkatan kehilangan cairan dari keringat dan takipnu. Kehilangan cairan berlebihan melalui urin dapat disebabkan oleh penggunaan diuretika, manitol, kontras radiografi, hiperglikemia,dan hiperkalsemia. Penyebab lain dari kehilangan cairan lewat urin adalah diabetes insipidus, hiperaldosteronisme, dan penekanan vasopresin. Kehilangan cairan melalui traktus gastrointestinal yang tersering adalah penggunaan laksan dan diare. Penyebab penurunan asupan cairan pada usila dapat dilihat pada Tabel 2.



lnfeksi kronik atau akut Kehilangan urin berlebihan Guna salah diuretika Glikosuria Hiperkalsiuria Manitol Zat kontras radiografi Peningkatan nitrogen urea darah Diabetes insipidus Sentral Nefrogenik Hipoaldosteronisrn Penyakit Addison Hipoaldosteronisrne Hiporeninemik Supresi vasopresin Fenitoin Etanol Pasca takiaritrnia atrial Diuresis pasca obstruksi Kehilangan gastrointestinal Traktus gastrointestinal atas Muntah Kerusakan nasogaster Diet enteral dengan cairan hipertonik Traktus gastrointestinal bawah Guna salah laksatifl persiapan usus Diare infeksiusl sekretori Pintas bedahl fistula lskemia usus Kolektorni Kehilangan darah berlebihan Lingkungan - berhubungan dengan kehilangan cairan Gelombang panas Hipotermia Pergeseran cairan ke interstisial Hipoalbuminemia Pankreatitis Asites Anafilaksis Luka bakar Dialisat peritoneal hipertonik



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DEHIDRASI DAN CANCCUAN ElEKTFtOLlT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Terbatasnya akses terhadap cairan Keterbatasan fisik Keterbatasan gerak Buruknya ketajaman penglihatan Restriksi cairan Persiapan tindakan operasi Menghindari mengompol atau tersedak Terapi edema atau hiponatremia Perubahan sensoris Berkurangnyatingkat kesadaran Sedatif, neuroleptik, narkotik Kerusakan sistem saraf pusat secara struktural dan metabolik Demam Berkurangnya tingkat kewaspadaan Demensia , delirium Mania, psikosis, depresi Gangguan gastrointestinal Gangguan menelan Obstruksi usus Mekanik Metabolik lskemik Obat-obat antikolinergik Perubahan mekanisme rasa haus Adipsia Primer Terkait obat Glikosida jantung Amfetamin Berhubungandengan patologi sistem saraf pusat fokal



PENATALAKSANAAN DEHIDRASI PADA USlA LANJUT Terapi Rehidrasi Oral Pada dehidrasi ringan terapi cairan dapat diberikan secara oral sebanyak 1500-2500mu24 jam (30 mV kg berat badanl 24 jam) untuk kebutuhan dasar, ditambah dengan penggantian defisit cairan dan kehilangan cairan yang masih berlangsung. Menghitung kebutuhan cairan sehari, termasuk jumlah insensible water loss sangat perlu dilakukan setiap hari. Perhatikan tanda-tanda kelebihan cairan seperti ortopnea, sesak napas, perubahan pola tidur, atau confusion. Cairan yang diberikan secara oral tergantung jenis dehidrasi.



Dehidrasi hipertonik: cairan yang dianjurkan adalah air atau minuman dengan kandungan sodium yang rendah, jus buah seperti apel, jeruk, dan anggur. Dehidrasi isotonik: cairan yang dianjurkan adalah air dan suplemen yang mengandung sodium Cjus tomat), juga dapat diberikan larutan isotonik yang ada di pasaran. Dehidrasi hipotonik: cairan yang dianjurkan seperti di atas tetapi dibutuhkan kadar sodium yang lebih tinggi. Terapi Rehidrasi Parenteral Pada dehidrasi sedang sampai berat dan pasien tidak dapat



minum per oral, selain pemberian cairan enteral, dapat diberikan rehidrasi parenteral. Jika cairan tubuh yang hilang terutama adalah air, maka jumlah cairan rehidrasi yang dibutuhkan dapat dihitung dengan rumus:



Defisit cairan (liter)



=



Berat badan total (BBT) yang diinginkan - BBT saat ini



BBT yang diinginkan = Kadar Na serum x BBT saat ini 140 BBT saat ini (pria)



=



50% x berat badan (kg)



BBT saat ini (wanita)



=



45% x berat badan (kg)



Jenis cairan kristaloid yang digunakan untuk rehidrasi tergantung dari jenis dehidrasinya. Pada dehidrasi isotonik dapat diberikan cairan NaCl 0,9% atau Dekstrosa 5% dengan kecepatan 25-30% dari defisit cairan total per hari. Pada dehidrasi hipertonik digunakan cairan NaCl0,45%. Dehidrasi hipotonik ditatalaksana dengan mengatasi penyebab yang mendasari, penambahan diet natrium, dan bila perlu pemberian cairan hipertonik.



Hipernatremia dan hiponatremia sering terjadi pada usia lanjut. Hipernatremia pada usia lanjut paling sering disebabkan oleh kombinasi dari asupan cairan yang tidak adekuat dan bertambahnya kehilangan cairan. Gangguan mekanisme rasa haus dan hambatan akses terhadap cairan (sekunder dari gangguan mobilitas atau menelan) turut berkontribusi dalam timbulnya hipernatremia pada usia lanjut selain adanya keterlambatan ekskresi natrium. Kehilangan air murni pada keadaan demam, hiperventilasi, atau diabetes insipidus. Lebih sering, kehilangan air hipotonik disebabkan oleh problem saluran cerna, luka bakar, terapi diuretika atau diuresis osmotik. Seringkali deteksi hipernatremia pada usia lanjut terlambat dilakukan sehingga usia lanjut yang lemah dapat dengan mudah jatuh pada keadaan hipernatremia yang bermakna. Penderita dengan demensia sangat mudah mengalami hipernatremia karena penurunan rasa haus, gangguan kemampuan untuk meminta air dan mungkin, rendahnya kadar vasopresin. Penyebab penting lainnya adalah hiperkalsemia yang mungkin dapat menyebabkan kerusakan sel-sel pada gelung Henle dan berinteraksi dengan vasopresin pada tingkat duktus kolektus. Hipokalemia yang bermakna juga dapat menyebabkan hipernatremia. Gejala Klinis Manifestasi klinis hipematremia pada usia lanjut sering tidak khas dan samar-samar. Gejala-gejala sistem saraf pusat utama adalah iritabilitas, restlessness, letargi, kejang otot, spastisitas dan hiperrefleksi, yang merupakan gejala



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



sekunder dari berkurangnya cairan di ~el-selotak. Air ke luar dari sel sehingga sel mengkerut. Di otak, ha1 ini mengakibatkan traction on vessels sehingga timbul perdarahan.



menimbulkan letargi, kelelahan, anoreksia, mual, dan kram otot. Dengan memburuknya hiponatremia, gejala-gejala susunan saraf pusat mengemuka dan bervariasi dari kebingungan hingga koma dan kejang. Terdapat risiko kematian bila kadar natrium serum < 110 rnEq/L.



(Natrium plasma-140) Defisit cairan



=



x Air tubuh total



140



Tatalaksana Terapi hipernatremia adalah mengganti kehilangan cairan atau hentikan pemberian natrium pada kasus dengan pemberian natrium yang berlebihan. Karena adaptasi susunan saraf pusat terhadap pengerutan sel dan karena koreksi terlalu cepat dapat menyebabkan edema serebral yang berbahaya, hipernatremia kronik harus diatasi perlahan dan hati-hati. Aturan urnum adalah mengoreksi 50% defisit cairan dalam 12 sampai 24 jam pertama dan sisanya diberikan dalam satu hingga dua hari berikutnya. Pada hipernatremia akut defisit cairan hams diganti lebih cepat. Defisit air bersih dikalkulasi dengan memperkirakan air tubuh total dalam liter dan menggunakan formula: Memburuknya status neurologis selama pemberian cairan dapat menunjukkan terjadinya edema serebral dan membutuhkan reevaluasi segera dan penghentian sementara cairan.



Tatalaksana Dalam memeriksa pasien usia lanjut dengan hiponatremia, faktor penyebab lainnya hams disingkirkan. Pendekatan awal pada hiponatremia adalah pengukuran osmolaritas serum. Dalam ha1 ini, nilai osmolaritas yang normal menunjukkan adanya hiperlipidemia atau hiperproteinemia. Nilai osmolaritas yang tinggi sering tampak pada kondisi hiperglikemia atau pemberian infus hipertonik. Jika osmolaritas rendah, terlebih dahulu tentukan status volume penderita. Pada keadaan hiponatremia hipovolemik, pengukuran natrium urin sangat berguna. Kadar natrium urin yang rendah nampak pada keadaan-keadaankehilangan natrium secara ekstrarenal seperti kerusakan kulit dan gangguan gastrointestinal. Kadar natrium urin yang tinggi nampak pada kehilangan natrium melalui gangguan ginjal, penggunaan diuretika, dan hipoaldosteronisme. Asupan air dan aktivitas vasopresin yang berlebihan serta hipokalemia juga berhubungan dengan terjadinya hiponatremia. Diuretika seperti tiazid bekeria " vada tubulus distal dan mengganggu transport natrium sehingga mengakibatkan kehilangan natrium melalui kehilangan air yang berlebihan. Hiponatremiahipovolemik ringan - seperti yang terjadi pada orang yang mendapat diet cairINGT, dapat dikoreksi dengan menambahkan larutan salin atau menambahkantablet NaCl yang dihaluskan ke dalam cairan enteral. Hiponatremia euvolemik pada umumnya terjadi pada kondisi seperti SIADH dan kegagalan regulasi osmolaritas. Penyebab SIADH tersering pada usila adalah infeksi, hematom subdural, medikamentosa, penyakit paru dan kanker (Tabel 3). Gambaran khas SIADH adalah hiponatremia, hipoosmolalitas dengan gambaran klinis euvolemia, kegagalan urin untuk menjadi encer, ekskresi natrium di urin 2 20 mEq/L dan tidak ada penyakit lain yang dapat menimbulkan hiponatremia seperti hipotiroidisme, insufisiensi adrenal, gaga1 jantung kongestif, sirosis, atau penyakit ginjal. Terapi jangka pendek SIADH terdiri dari restriksi cairan dan penggantian natrium. Loop diuretics dapat digunakan sebagai ajuvan, sedangkan terapi jangka panjangnya adalah restriksi cairan dan meningkatkan asupan garam. Kondisi hiponatremia hipervolemik seringkali nampak pada kondisi pertambahan berat badan dan edema. Penyebab tersering kondisi ini pada usila adalah penyakit jantung kongestif. Penyebab lainnya adalah sindrom nefrotik dan sirosis hati. Terapi pilihan pada hiponatremia hipervolemik adalah restriksi cairan. A



Hiponatremia sering ditemukan pada usia lanjut. Pada usia lanjut sehat, terdapat penurunan sekitar 1 mEq/L per dekade dari nilai rata-rata 141 4 mEq/L pada usia dewasa muda. Pada usia lanjut, hiponatremia dilusional merupakan mekanisme mendasari yang cukup sering terjadi namun yang paling sering adalah karena syndrome of inappropriate antidiuretic hormone secretion (SIADH). Hiponatremia seringkali merupakan penanda penyakit berat yang mendasari dengan prognosis buruk dan mortalitas tinggi. Risiko utama timbulnya perburukan hiponatremia adalah pemberian cairan hipotonik. Rendahnya asupan natrium disertai pengaruh proses menua dengan gangguan ginjal dalam menahan natrium memudahkan terjadinya kehilangan natrium dan hiponatremia. Banyak pasien yang mendapat dukungan nutrisi melalui NGT mengalami hiponatremia intermiten atau persisten karena rendahnya kandungan natrium dalam diet tersebut.



*



Gejala Klinis Beratnya gejala klinis hiponatremia tergantung pada rendahnya kadar natrium dan cepatnya penurunan kadar natrium serum tersebut. Hiponatremia kronik ringan bisa saja tidak bergejala. Kadar natrium serum < 125rnEq/L dapat



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



DEHIDRASI DAN GANCCUAN ELEKI'ROIJT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Terapi hiponatremia secara umum adalah sebagai berikut: hitung jumlah natrium yang diperlukan untuk mengoreksi defisit sehingga mencapai kadar 120 mrnol, Defisit natrium @ria) = [0,6 x berat badan kering (kg)] x [I20 - kadar natrium plasma], Defisit natrium (wanita) = [0,5 x berat badan kering (kg)] x [I 20 - kadar natrium plasma], namun perhitungan di atas tidak dapat digunakan pada kehilangan cairan yang isoosmotik. Laju koreksi sangat tergantung pada beratnya gejala dan derajat hiponatremia. Kadar natrium yang aman yaitu 120 mEq/L yang diikuti dengan peningkatan secara bertahap menuju kadar normal. Menurut Laureno dan Karp, laju koreksi sebaiknya kurang dari 10 mEq/L dalam 24 jam. Koreksi yang terlalu cepat menyebabkan terjadinya mielinolisis sehingga mengakibatkan paraparesis atau kuadriparesis,psadobulbarpalsydan koma. Hal ini sering terjadi pada koreksi hiponatremia kronik, karena pada kondisi kronik otak telah beradaptasi dengan kadar natrium yang rendah sehingga peningkatan kadar natrium yang tiba-tiba menyebabkan dehidrasi serebral dan kerusakan saraf. Mekanisme yang pasti dari kerusakan otak karena ha1 ini masih belum dimengerti sepenuhnya.



Proses menua normal disertai dengan perubahan berikut yang berpengaruh pada regulasi cairan dan natrium: 1). Gangguan persepsi rasa haus, 2). Penurunan laju filtrasi glomerulus, 3). Gangguan kapasitas ginjal untuk memekatkan urin, 4). Gangguan kapasitas ginjal untuk menahan natrium. Sebagai konsekuensi perubahanperubahan ini, kapasitas seorang berusia lanjut menghadapi berbagai penyakit, obat-obatan, dan stres



fisiologis menjadi berkurang sehingga meningkatkan risiko timbulnya perubahan keseimbangan cairan dan natrium yang bermakna secara klinis. Diperlukan kewaspadaan yang tinggi mengenai terdapatnya keterbatasan kemampuan homeostasis ini guna mengantisipasi akibat penyakit dan obat-obatan terhadap status volume dan elektrolit pasien usia lanjut sehingga intervensi terapi dan tatalaksana menjadi lebih rasional.



REFERENSI Gross Cr, Lindquist Rd, Wooley Ac, Granieri R, Allard K, Webster B. Clinical indicators of dehydration severity in elderly patients. J Emerg Med 1992; 10 Kavanagh S, Knapp M. The impact on general practitioners of the changing balance of care for elderly people living in institutions. BMJ. Com 1998; 317. Kemala Sari N. Deteksi dini dehidrasi usia lanjut. Maj Kedokt Indon. 2005; 55:4. Knight El, Minaker K1. Disorders of fluid and electrolyte balance. In Oxford Texrbook of Geriatric Medicine, Evans J G, Williams T F, Beattie BL, Michel JP, Wilcock GK (eds). Oxford University Press 2000, pp 647-53. Kugler Jp, Hustead T. Hyponatremia and hypenatremia in the elderly. Am Fam Physi 2000 ;61:12. Larson K. Fluid balance in the elderly : Assessment and intervention important role in community health and home care nursing. Geriatr Nurs. 2003; 24:s. Lindeman Rd, Romero Lj, Liang Hc, Baumgartner Rn, Koehler Krn, Gany Pj. Do elderly persons need to be encouraged to drink more fluids? Journal of Gerontology. 55A:7, 2000. Miller M. Gangguan keseimbangan cairan dan natrium. Dalam The Merck Manual of Geriatrics, Abrams WB, Berkow R (eds). Bina Aksara: 1997. p. 38 - 55. Rose Bd. Regulation of the effective circulating volume. In Clinical Physiology of Acid Base and Electrolyte Disorders, Vellas B, Albarede JL, Gany PJ (eds). McGraww-Hill Inc; 1994. p. 235-60. Turner T, Cassano Am. Subcutaneous dextrose for rehydration of elderly patients - an evidence based review. BMC Geriatrics 2004.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



GANGGUAN TIDUR PADA USIA LANJUT Rejeki Andayani Rahayu



PENDAHULUAN Hampir sepertiga umur kita dihabiskan untuk tidur. Tidur yang lelap tanpa gangguan dan nyenyak menjadi kebutuhan manusia yang esensial, sama pentingnya dengan kebutuhan makan, minum, tempat tinggal dan lainlain. Gangguan terhadap tidur pada malam hari (insomnia) akan menyebabkan rasa mengantuk sepanjang hari esoknya. Mengantuk merupakan faktor risiko untuk terjadinya kecelakaan, jatuh, penurunan stamina dan secara ekonomi mengurangi produktivitas seseorang. Pada usia lanjut gangguan tidur di malam hari akan mengakibatkan banyak ha1 lain selain seperti yang disebut di atas. Hal-ha1 lain yang dapat terjadi adalah ketidakbahagiaan, dicekam kesepian dan yang terpenting, mengakibatkan penyakitpenyakit degeneratif yang sudah diderita mengalami eksaserbasi akut, perburukan dan menjadi tidak terkontrol. Selain itu akan menimbulkan problem sosial lain terhadap lingkungan, terutama terhadap keluarganya. Secara luas gangguan tidur pada usia lanjut dapat dibagi menjadi: kesulitan masuk tidur (sleep onset problems), kesulitan mempertahankan tidur nyenyak (deep maintenance problem), dan bangun terlalu pagi (early morning awakening/EMA). Gejala dan tanda yang muncul sering kombinasi ketiganya, munculnya ada yang sementara atau kronik. Secara internasional insomnia masuk dalam 3 sistem diagnostik yaitu: International Code of Diagnostic (ICD) 10, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) IV dan International Classification of Sleep Disorders (ICSD). Dalam ICD 10 insomnia dibagi menjadi 2 yaitu organik dan non organik. Untuk non organik dibagi lagi menjadi 2 kategori yaitu dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas dan waktu tidur) danparasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti mimpi buruk, berjalan



sambil tidur, dll). Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder akibat penyakitlkondisi abnormal lain. Insomnia di sini adalah insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah menyebabkan gangguan fingsi dan sosial. Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu: 1). Gangguan tidur yang berkorelasi dengan gangguan mental lain; 2). Gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medis umum; 3). Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahanlkeadaan tertentu; 4). Gangguan tidur primer (gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali dengan kondisi mental, penyakit, ataupun obatobatan). Gangguan tidur primer pengertiannya mirip dengan insomnia non organik pada ICD 10 yaitu gangguan tidur menetap dan diderita minimal 1 bulan. Dalam ICSD klasifikasi gangguan tidur lebih lengkap dan rinci, dibagi dalam 12 subtipe dan lebih dari 50 tipe sindrom insomnia. Untuk mendiagnosisnya sering memerlukan berbagai pemeriksaan penunjang laboratorium tidur, klinik, dan radiologi seperti CTscan, PET, serta EEG.



TERMlNOLOGl DAN SIKLUS TIDUR Untuk dapat memahami tentang tidur, maka terminologi tidur hams jelas. Terminologi ini termasuk fisiologi, waktu dan kualitas tidur, demikian juga penyakit-penyakit penyerta yang mengganggu tidur (sleep apnea, restless leg syndrome, myoclonus) dan kelengkapan penampilan psikomotor. Siklus tidur (secara singkat dapat dilihat pada tabel l), ada 2 status primer pada siklus tidur yaitu rapid eye movement (REM) dan non REM. Status non REM dibagi menjadi 4 stadium antara lain:



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



CANGGUAN TIDUR PADA USIA LANJUT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Stadium I : saat transisi antara bangun penuh dan tidur, sekitar 30 detik sampai 7 menit dengan karakteristik gelombang otak /012'-volt~gepada pemeriksaan c~lectroencephulogrnfi(EEG) Stadium 2: Juga ditandai dengan gelombang otak lox t~olfage pada EEG. Perbedaan dengan stadium 1 adalah adanya gelombang high ~'olt~lge yang disebut "sleep spindles" dan K complexes. Stadium 3 & 4: sering discbut tidur yang dalam atau "delta sleep". EEG menunjukkan gelombang yang lambat dengan amplltudo tinggi. REM : ditandai oleh periodc autonom yang bervariasi. scperti perubahan detak jantung, tekanan darah, laju pernapasan, dan berkeringat. Pada stadium inilah lnimpi saat tidur terjadi.



ITabel 1. Status Primer Tidur I II



I



Rap~deye movement (REM),atau paradokslkal, tldur tldak selaras (desynchronrzed) Tldur non REM a Stadlum 1 tldur rlngan b Stad~um2 tldur rlngan c Stadlum 3 tldur dalam atau SWS (Slow-wave Sleep) d Stadlurn 4 tldur dalam atau SWS (Slow-wave Sleep)



GH sehingga orang terbangun. Jika malam tiba, NSC merangsang pengeluaran hormon melatonin sehingga orang mengantuk dan tidur. Melatonin adalah horrnori yang diproduksi oleh glandula pineal (suatu bagian kccil di otak tengah). Saat hari mulai gelap, melatonin dikeluarkan dalam darah dan akan memengaruhi terjadinya relaksasi serta penurunan ternperatur badan dan kortisol. Kadar melatonin dalaln darah liiulai meningkat pada jam 9 malarn, terus mcnlngkat sepanjang malam dan menghilang pada jam 9 pagi (Gambar 1 ).



9 melam S u m b e r Natlonal Sleep Foundation Washington



DC 2004



Gambar 1. Kadar rnelatonin dalam darah



PERUBAHANTlDURAKlBAT PROSES MENUA DAN PREVALENSINYA



Sumber Feldman & Abernathy,2000



Dua puluh lima perscn waktu tidur dihabiskan pada status REM dan 75% pada status non REM. Pada orang muda yang sehat waktu yang dibutuhkan dari stadium 1 sampai dengan 3 hanya 45 menit. Stadium 4 berlangsung sekitar 70-120 menit, berulang sanipai 6 kali sebelum terbangun. Pada tidur yang normal tcrdapat kecenderungan perpindahan stadium dari tidur yang dalam menuju tidur yang ringan. Empat jam pertama tidur terdiri atas pengulangan status non REM dan kebanyakan berada pada stadium 3 dan 4, sedangkan 4 jam kedua lebih banyak terjadi pengulangan pada stadium I dan 2 serta status REM. Pola siklus tidur dan bangun (irama sirkadian), adalah bangun sepanjang hari saat cahaya terang dan tidur sepanjang malam saat gelap. Jadi faktor kunci adalah adanya perubahan gelap dan terang. Stimulasi cahaya terang akan masuk melalui mata dan memengaruhi suatu bagian di hipotalamus yang disebut nucleus supru-chi usmntrc (NSC). NSC akan mengeluarkan neurotransmitcr yang memengaruhi pengeluaran berbagai hormon pengatur temperatur badan, kortisol, grobcth hormotie (GH), dan lain-lain yang memegang peranan untuk bangun dan tidur. NSC bekerja seperti jam, meregulasi segala kegiatan bangun dan tidur. Jika pagi hari cahaya terang masuk, NSC segera mengeluarkan hormon yang menstimulasi peningkatan temperatur badan, kortisol, dan



Orang usia lanjut membutuhkan waktu lebih lama untuk lnasuk tidur (berbaring lama di tempat ttd~rrsebelurn tertidur) dan mempunyai lebih scdikitllebih pendek waktu tidur nyenyaknya. Dari pcnelitian The C L I I I ZOt;qi~~i:utiot~ I~ didapatkan 50% pendi~dukAmcrika pertiah mengalami sulit tldur. Dari hasil penelitian di masyarakat, prcvalensi sulit tidur (insomnia) pada usia lanjut di Amerika adalah 36% untuk laki-laki dan 54% untuk percmpuan. hanya 26O.b lakilaki dan 2 1 % perempuan ilsia lanjut yang mengatakan tidak ada kesulitan tidur. Data epidcrniologi lain mengenai prevalensi gangguan tidur pada orang usia lanjut dapal dilihat pada Tabel 2. Pada penelitian di laboratori~~tn tidur, orang usia lanjut mengalami waktu tidur yang dalam (clc.11~.slc~ep)lebili pendek, sedangkan tidur stadium 1 dan 2 lebih lama. Hasil uji dengan alat polysomnographic didapatkan penurunan yang bermakna dalam slovv ,tltrvcJ.tI~epdan ~cipidq3er?ioI9ernetlt (REM). Orang usia lanjut juga lebih sering terbangun di tengah malam akibat perubahan fisis karona usia dan penyakit yang dideritanya, sehingga kualitas tidur secara nyata menunin. Gambaran poly.somnographic tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil survei pada masyarakat usia lanjut di Amerika, mendapatkan bahwa mereka lnembutuhkan waktu lebih lama untukjatuh tidur. tidur nyenyak hanya sebentar, lebih sering terbangun saat tidur, bangun terlalu dini hari. dan membutuhkan waktu lebih banyak untuk tidurpada siang hari karena sangat mengantuk (Tabel 3). Pada usia lanjut juga terjadi perubahan pada lratna



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Umur (tahun) Florida. USA Los Angeles, USA Sarnpel Nasional, USA Nottingharn, UK NlMH Catchment London. UK Liverpool. UK Paris, Perancis Mannheim, German Boston Tirnur, USA New Haven. USA Iowa, USA Sampel Nasional. Perancis 4 propinsi USA 4 propinsi USA Veneto, Italy Montreal, Canada Lund, Swedia Sarnpel nasional, Jepang



Jumlah Responden



Subyektif



Prevalensi (%) Total



Perempuan Pria



60-69 > 70 51-80



T DL TDL 336



20,9 25,9 39,8



22,6 29,4 TDL



18,3 20,o TDL



65-79



798



25.0



TDL



TDL



>65



1023



>65



1801



223 16,O 12,o



27,7 19,O TDL



14,6 11,6 TDL



>60 (W) >65 (L) >65 >55 66-92



705



33,5



TDL



TDL



1070 758 330



>65



3537



35,O 31 ,O 23,O 17,O 33.7



40,7 423 29,l 173 36,4



25,3 223 7.9 16.9 29.4



>65



2717



27,5



31,l



21,2



>65 >65



3028 TDL



23.2 TDL



25,4 37,3



19,5 28.7



265 >65 >65 >65



5201 5201 2398 227



TDL TDL TDL 15,l



30.0 65,O 54,O 98



14,O 65,O 35,6 18.7



>80 >60



212 766



19,O 29,5



TDL TDL



TDL TDL



Keterangan : TDL= tidak dilaporkan. Empat propinsi USA= Carolina utara. California. Maryland, dan Pensylvania Insomnia dinyatakan sebagai 'gangguan tidur" (Sumbec Morgan K,2003)



Menghabiskan terlalu banyak waktu di ternpat tidur. Menghabiskan lebih sedikit waktu untuk dapat tidur nyenyak. Jurnlah terbangun meningkat. Memerlukan waktu lebih banyak untuk bisa tidur. Kepuasan tidur kurang Keletihan sepanjang hari.



= Lebih sering dan lebih lama rnenghabiskan waktu untuk istirahat.



Obyektif Penurunan tidur stadium 3 dan 4 (delta sleep). Penurunan tidur REM.



= Peningkatan nyata dalarn jurnlah terbangun. = Frekuensi gangguan tidur rneningkat. = Efisiensi tidur rnenurun. Rasa mengantuk di siang hari secara nyata rneningkat. = Jumlah istirahat rneningkat.



Sumber: Cohen-Zion & Ancoli-Israel. 2003.



berfluktuasi dan kurang menonjol. Melatonin, hormon yang diekskresikan pada malam hari dan berhubungan dengan tidur, menurun dengan meningkatnya umur. Penelitian lain menunjukkan kualitas tidur usia lanjut yang sehat, juga tergantung pada bagaimana aktivitasnya pada siang hari. Bila siang hari sibuk dan aktif sepanjang hari, pada malam hari tidak ada gangguan dalam tidurnya, sebaliknya bila siang hari tidak ada kegiatan dan cenderung tidak aktif, malamnya akan sulit tidur.



PENYEBABGANGGUANTlDUR PADA USlA LANJUT Perbandingan siklus tidur pada dewasa muda dan usla lanjut



Sampai saat ini berbagai penelitian menunjukkan, bahwa penyebab gangguan tidur pada usia lanjut merupakan gabungan banyak faktor, baik fisis, psikologis, pengaruh obat-obatan, kebiasaan tidur, maupun penyakit penyerta lain yang diderita. Beberapa faktor penyebab pada gangguan tidur dapat dilihat pada Tabel 4.



gg -3



Dewasa muda



81age4



1



2



3



4 Jam tidur 5



6



7



8



Awalcs



REM -1 -2



-3 srsos4



1



2



3



4 5 Jam tidur



0



7



8



Gambar 2. Hipnogram



Perubahan-perubahanirarna sirkadian. Gangguan tidur primer (SDB, PLMS, RBD). Penyakit-penyakitfisik (hipertiroid, artritis). = Penyakit-penyakitjiwa (depresi, gangguan ansietas). Pengobatan polifarmasi, alkohol, kafein. Dernensia Kebiasaan higiene tidur yang tidak baik



-



---



sirkadian tidur normal yaitu menjadi kurang sensitif dengan perubahan gelap dan terang. Dalam irama sirkadian yang normal terdapat peranan pengeluaran hormon dan perubahan temperatur badan selama siklus 24 jam. Ekskresi kortisol dan GH meningkat pada siang hari dan temperatur badan menurun di waktu malam. Pada usia lanjut, ekskresi kortisol dan GH serta perubahan temperatur tubuh



Ket: PLMS: periodic leg movements in sleep; RBD: rapid eye-movement behaviour disorder; SDB: sleep-disordered breathing. Sumber: Cohen-Zion & Ancoli-Israel, 2003.



GANGGUAN TlDUR PRIMER Terdiri atas: 1). gangguan tidur karena gangguan pernapasan (sleep disordered breathing);2). sindrom kaki



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



CANGCUAN TIDUR PADA USlA LANJUT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI kurang tenang (restless legs syndrome) dan gangguan gerakan tungkai periodik (periodic limb movement disorder); 3). gangguan perilaku REM (REM behavior disorder). Gangguan Tidur Karena Gangguan Pernapasan (Sleep DisorderedBreathing) Gangguan tidur ini ditandai dengan mengorok waktu tidur dan mengantuk hebat pada siang hari. SDB dibagi menjadi 3 yaitu : 1). sindrom tahanan saluran napas atas (Upper airway resistance syndrome=UARS); 2). henti napas karena obstruksi (Obstructive sleep apnea=OSA); 3). Sindrom hipoventilasi karena obesitas (Obesity hypoventilation syndrome=OHS). Gangguan tidur karena gangguan pernapasan ini sering disebut sleep apnedhypopnea syndrome. Terdapat 3 tipe gangguan yaitu: henti napas karena obstruksi (OSA) akibat oklusi sebagian atau total saluran napas atas; henti napas karena proses sentral (centralsleep apnea= CSA ) akibat gangguan rangsang bernapas dari pusat pernapasan di medula oblongata sehingga terjadi penurunan kemampuan/tonus otot pernapasan, dan tipe campuran keduanya.



Patofisiologi gangguan tidur karena gangguan pernapasan (GTGP), merupakan interaksi komplek dari sistem saraf pusat dan perifer, otot-otot saluran napas atas dan beberapa neurotransmiter yang menghasilkan kolaps (collapse) sebagian atau seluruh lubang pernapasan atas (faring), sehingga mengakibatkan obstruksi jalan napas dan hipoksia. Faktor dasar seperti anatomi saluran napas atas (hipertrofi tonsil), obstruksi hidung, distribusi dan pengumpulan lemak tubuh, dan tonus otot pernapasan atas, mungkin memegang peranan pada berat ringannya GTGP, baik sendiri-sendiri ataupun bersama-sama. Data terbaru menunjukkan adanya cacat primer anatomi faring, yang kecil dan mudah kolaps, dikombinasi dengan lemahnya otot saluran napas atas pada pasien GTGP. Faktor risiko terjadinya GTGP antara lain : obesitas,jenis kelamin laki-laki, ras (lebih banyak pada kulit hitam), usia lanjut, depresi sistem saraf pusat (alkohol, obat-obatan sedatif), penyempitan saluran napas atas (micrognathia, retrognathia), hipertensi, penyakit jantung, strok, hipotiroid, akromegali, keturunan, penyakit paru obstruktif, penyakit degeneratif saraf seperti sindrom Shy-Dragger dan penyakit-penyakit penyebab kejang. Frekuensi terjadinya GTGP cukup tinggi pada usia lanjut. Di Amerika terdapat 28-67% laki-laki dan 20-54% perempuan usia lanjut yang menderita GTGP tipe henti napas karena obstruksi (OSA), dimana pasien laki-laki 8 kali lebih berat manifestasinya dibandingkan perempuan. Di Hongkong terdapat 10% usia lanjut (umur > 65 tahun) menderita henti napas karena obstruksi. Pasien CSA lebih jarang ditemui, biasanya berhubungan atau sebagai akibat



penyakit lain seperti trauma batang otak, disfungsi otonom, distrofi otot pernapasan, pernapasan cheyne-stokes, dan idiopatik (sindrom hiperkapnia dan non hiperkapnia).



Kesakitan (morbiditas)dan kematian (mortalitas)pasien GTGP berhubungan dengan 2 kategori besar penyakit sebagai berikut: Neuropsikiatrik atau Psikososial: mengantuk berlebihan di siang hari, konsentrasi dan daya ingat menurun, penurunan prestasildaya guna diri, mudah emosi, depresi, rusaknya hubungan dengan orang lain. Angka kejadian kecelakaan saat mengendarai mobil meningkat 7 kali pada pasien dibandingkan orang normal. Kardiovaskular :Angka kejadian hipertensi pada pasien OSA sekitar45-90%, hipertensipulrnonal sekitar 15-20%. Terjadi perubahan sirkadian tekanan darah pada malam hari akibat terjadinya apnea. Saat apnea, terjadi peningkatan tekanan darah mendadak, akibat adanya mekanisme refleks kirnia dan interaksinya dengan refleks baroreseptor dan aferen pulmonal. OSA juga menjadi salah satu faktor penyebab hipertensi pulmonal. Hal ini dapat dibuktikan dari penelitian pada pasien OSA dengan hipertensi pulmonal, setelah OSA ditangani dengan baik terdapat penurunan tekanan pulrnonal yang nyata. Penelitian lain menunjukkan pasien dengan OSA dan tekanan pulmonal>20 mmHg ternyata menderita kegemukan (obese) dan Pa0,- nya relatif rendah saat bangun penuh. OSA juga berperan pada ketidakseimbangan vasodilator dan vasokonstriktor akibat terjadinya stres oksidatif karena terjadinya katabolisme nitric oxide (NO), peningkatan aktivitas saraf simpatik, peningkatan aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) dan sintesis endotelin. Akibat ketidakseimbangan ini terjadi disfungsi endotel dan fisiologi pembuluh darah sehingga kejadian strok dan serangan jantung meningkat. Gambaran klinis pasien GTGP adalah pada saat tidur terdapat mengorok sangat keras, tersedak dan batuk-batuk, henti napas beberapa detik, dan gerakan-gerakan seperti orang kehabisan napas. Gambaran tersebut biasanya dilaporkan oleh teman tidurnya. Yang dirasakan oleh pasien adalah sering terbangun tanpa sebab, nokturia, dan merasa tidak tidur semalaman. Pada pagi hari sering muncul keluhan nyeri kepala, kepala terasa ringan, dan mengantuk terus. Bila berlangsung terus akan muncul gangguan kognitif, penurunan intelektual, perubahan perilaku dan kepribadian, depresi, dan penurunan gairah seksual. Diagnosis GTGP dibuat berdasarkan penilaian lengkap yang terdiri atas anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dilakukan kepada pasien dan keluarganya terutama teman tidurnya; meliputi: kebiasaan tidur, kebiasaan mengorok waktu tidur, penyaksian henti napas



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



saat tidur, kepuasan tidur, mengantuk pada siang hari, perubahan perilaku, perubahan emosi, perubahan sikap saat berhubungan dengan orang lain. kemampuan seksual (impotensi),penyakit-penyakit lain yang diderita terutanla penyakit kardiovaskular, kebiasaan kencing malam hari (nokturia), obat-obatan yang sedang dan sering diminum baik dengan resep dokter atau beli sendiri, pemakaian alkohol dan rokok kretek.



neriksaan fisis meliputi: Karakteristik umum: identifikasi adanya obesitas dan dismorfologi kepala, wajah, dan gigi. (micrognutlii~~. retrogtiutliiu, hipoplasia maksilaris, sumbing pada bibirl palatum. lidah besar, oklusi gigi, kesejajaran mandibula). Obesitas diidentifikasi dengan mengukur antropometri seperti berat badan, tinggi badan dan atau panjang rentang tangan serta indeks masa tubuh (body rna.s\ index /BM).BMI >28 sangat berisiko mengalami OSA. Status mental: dilakukan untuk mencari depresi (dengan skor depresi), kecemasan (ansietas) dan penyakit psikiatrik lain (dikonsulkan pada spesialis jiwa). Tekanan darah: hipertensi muncul pada >50% kasus GTGP. Dlanjurkan pada pasien hipertensi agar diperiksa adanya kejadian GTGP. Ukuran leher: lingkar leher dapat untuk memprediksi ukuran membran krikotiroid. Pada laki-laki dengan lingkar leher > 17 inci, prevalensi OSA 30%. Pada perempuan dengan lingkar leher >I 5 inci risiko OSA juga meningkat. Pemeriksaan hidung: Penting untuk mengidentifikasi adanya kelainan penyebab obstruksi jalan napas, antara lain: deviasi septum, adenoid yang besar, polip atau massa tumor di hidung maupun nasofaring. pembengkakan mukosa hidung dan nasofaring. Pemeriksaan ini biasanya menggunakan nasofaringoskop. Orofaring: periksa adanya kelainan anatomi yang menyebabkan penurunan luas orofaring seperti hipertrofi tonsil, palatum lunak terlalu panjang, uvula yang besar, flap faringeal, stenosis, tumor dan jaringan parut di faring posterior. Untuk mendeteksi tingkat kesulitan intubasi dan luasnya orofaring perlu dilakukan pemeriksaan dengan skor Mallampati yang membagi menjadi 4 kelas (Gambar 3). Leher: deposit lemak yang cukup banyak di sekitar leher dapat melemahkan tonus otot pernapasan terutama selama tidur fase REM. Tumor, termasuk limfadenopati yang nyata hams dievaluasi. Pemeriksaan fisis lain (sistem organ): untuk mengldentifikasi adanya penyakit kardiovaskular dan penyakit paru obstruktif. Pemeriksaan fungsi kognitif dan memori: terutama penurunan konsentrasi, intelektual, dan daya ingat.



Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan: Laboratorium klinik: Pemeriksaan yang dibutuhkan



berdasarkan indikasi individual untuk menunjang diagnosis. Pemeriksaan blood gas unulyzes ( BGA) dibutuhkan apabila terdapat tanda-tanda hipoksia yang jelas, terutama pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronik.



Pemeriksaan di laboratorium tidur: Perncriksaan yang dilakukan selama tidur dengan alat polisomnogram dapat memberikan informasi yang akurat mengenai pola tidur pasien sehingga dapat diketahui apakah pasien menderita OSA atau CSA (Gambar 4). Pemeriksaan di laboratorium tidur ini juga diperlukan untuk menghitung apneuhipopneu index (AHI),yaitu menghitung jumlah total episode apnea dan hipopnea dibagi lama tidur. J ~ k aAH1 >5 kali episode perjam maka diagnosis OSA bisa ditegakkan.



Gambar 5. Klasifikasi saluran napas



-



-



Gambar 4. Polisomnogram menunjukkan OSA dan CSA, diikuti oleh arousal dari t~dur



Pemeriksaan lain yang dilakukan adalah multiplesleep latency test (MSLT). MSLT dilakukan untuk pasien yang mengeluh mengantuk terus sepanjang hari dengan riwayat GTGP tidak jelas. Dengan alat polisomnogram, uji ini mengukur periode laten (waktwkecepatan) dari saat masih bangun sampai tertidur. Uji dilakukan berulang kali pada siang hari sesuai jadwal yang ditentukan. Uji ini juga mencatat munculnya stadium REM. Adanya 2 atau lebih stadium REM saat uji ini dilakukan, menunjukkan pasien dalam kondisi nurcolep.sy. Narcolep.sy adalah gangguan tidur yang ditandai dengan 4 gejala, yaitu serangan mendadak tidur, katapleksi, paralisis sementara dan halusinasi. MSLT dapat membantu diagnosis hipersomnia primer.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



GANCCUAN TlDUR PADA USIA LANJUT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Petneriksaan mirip MSLT yang discbut repeated test of srtstained wakefulnes (RTSW) juga mcngukur periode laten tctapi dengan perintah agar pasien memertahankan agar tetap bangun selama uji dilakukan dan pasien ditempatkan di ruang tenang dengan lampu temaram.



Pemeriksaan pencitraan: Petneriksaan ini hanya dilakukan dalam penelitian atau untuk persiapan terapi pembcdahan. Pemeriksaan ini meliputi: refleksi akustik yang digunakan untuk melihat dinamika jalan napas atas. somnofluoroskopi digunakan untuk melihat kolapsnya faring dan penyempitan maksirnal jalan napas saat tidur, pemeriksaan radiologis sefalometri untuk melihat defisiensi skeletor kraniot'asial, C'T-stun jalan napas atas diperlukan bila ada tanda-tanda tumor di nasoparingl orofaring posterior, rrzugnetic r-esonance inz~lgir7g pcmcriksaan yang menghasilkan resolusi bagus dari jalan napas, jaringan lunak, dan deposit lemak di leher. Pengelolaan GTGP terutama ditujukan untuk menghilangkan risiko kcjadian penyakit kardiovaskular dan keluhan mengantuk berat pada siang hari. Pada OSA yang berat terjadi hipoksia selama tidur dan sering mengak~batkanserangan jantung atau strok. Gambaran saturasi oksigen pasien OSA berat dapat dilihat di gambar 5. Untuk dapat rncngclola dengan baik, perlu dikctahui bcrat ringannya GTGP terutama OSA. Berdasarkan hasil pemeriksaan polisomnografi, The American Ac.udpnz~-o f Skcy Medicine pada tahun 1999, mengklasifikasikan OSA sebagai berikut: OSA ringan bila terdapat 5-1 5 kali apnca perjam tidur OSA sedang b ~ l aterdapat 15-30 kali apnea perjam tidur OSA berat bila terdapat >30 kali apnea pcrjarn tidur Terapi konservatif: Strategi yang dipakai untuk OSA antara lain: posisi tidur miring, terapi hidung tersumbat, hentikan pemakaian alkohol dan obat-obat sedatif, serta penurunan berat badan. Dari penelitian di laboratorium tidur ternyata episode apnulhipopnu lebih banyak terjadi saat tidur terlentang dan setelah pernakaian obat benzodiazepine atau setelah minuln alkohol. Penurunan berat badan 10% ternyata menurunkan 26% episode apnea per jam. Untuk CSA terapi ditujukan untuk menyembuhkan penyakit yang



fl J Y8b Ilb2d4t 4##,SRb



Gambar 5. Pola apnea berat



saturasl oks~genpada paslen dengan sleep



mendasarinya, pemberian oksigen dapat metnbantu meringankan gejala apnea, tetapi kadang-kadang diperlukan bantuan ventilator bertekanan positif yang diberikan intet.miten1 bila terdapat tanda-tanda hipoksia.



Terapi dengan continuous positive airway pressure (CPAP). CPAP adalah suatu alat bantu napas berupa masker yang dihubungkan dengan alat elektronik pompa udara. Alat ini memberikan tekanan udara yang stabil pada saluran napas atas. Tekanan ini tnembuat "pneumatic ~plirlt" pada saluran napas atas dan membuat peningkatan pernapasan pada pasien OSA. Alat ini dikenakan selania pasien tidur dan sudah terbukti efektif. Indikasi pemakaian alat ini adalah OSA berat tanpa gejala, OSA ringan sampai sedang dcngan gcjala mengantuk berat pada siang hari, penurunan kognitif, dan adanya penyakit kardiovaskular (hipertensi, penyakrt jantung iskemik, dan strok). Terapi dengan CPAP ini juga ditujukan untuk pasien sindrom hipoventilasi karena obesitas dan cukup efektif untuk mengatasi CSA idiopatik. Terapi dengan alat-alat mulut (oralaplliance=OA).Alat ini direkomendasikan untuk pasien OSA ringan dan sedang yang tidak dapat mentoleransi penggunaan CPAP. Alat ini biasa dipasang pada gigi saat tidur untuk mereposisi bentuk mandibula, memodifikasi palatum posterior dan bagian bclakang lidah. Penggunaan alat tersebut hanya efektif untuk beberapa pasien GTGP dengan kelainan anatomi faring. Terapi pembedahan. Prosedur bedah yang biasa dilakukan untuk OSA adalah pembedahan untuk menghilangkan sumbatan hidung seperti rhinosinusitis, deviasi septum, (UPPP), adenoidektomi; uvulopal~~to-phuringoplas(v I~aer-a.sis.stedzrvwlopalutopl~~.~~~ (LA UP), tonsi lektomi, rcseksi sebagian atau ablasl Ildah, rekonstruksi mandibula atau maksila, dan trakeostomi. Indikasi terapi bedah adalah pasien dengan OSA berat simtomatik. atau bila penanganan konservatif dan pemakaian alat CPAP dan atau alat mulut tidak berhasil memperbaiki gejala GTGP. Sindrom Kaki Kurang Tenang (Restless Legs Syndrome=RLS) dan angguan Gerakan Tungkai yang Periodik (Periodic limb movement disorder =PLMS ) Sindrom kaki kurang tenang (RLS) ditandai oleh rasa tidak enak yang berlebihan terutarna pada kaki selarna malam saat pasien istirahat. Ini adalah bentuk dari akathisia. sering disebut sebagai pcrasaan seperti dirayapi semut atau hewan kecil. Perasaan ini menyebabkan pasien rnenggerakkan kakinya, atau bangun lagi untuk berjalan berkeliling guna mcnghilangkan rasa tidak enak ini. Secara nyata gangguan ini menyebabkan usia lanjut sulit tidur atau terbangun bcrkali-kali. Gangguan gerakan tungkai yang periodik (PLMS). rnungkin mcnyertai sindrom kaki kurang tenang atau berdiri



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



sendiri. PLMS ditandai oleh munculnya episode gerakan yang sama dan berulang, biasanya pada kaki tapi tidak jarang muncul juga pada tangan. Biasanya pasangan tidurnya melaporkan ada episode gerakan menendang yang muncul selama 20-40 detik saat tidur dan muncul berulang-ulang. Gerakan-gerakan ini sebagian besar tidak membangunkan pasien meskipun pasien melakukan 100 kali tendangan semalam. Hanya tendangan dengan frekuensi dan intensitas tinggi dapat membangunkan pasien. Pasien sering mengeluhkan rasa lelah yang berlebihan saat bangun tidur dan tidur tidak nyenyak, sehingga berakibat mengantuk sepanjang hari. Prevalensi gangguan tidur RLS dan PLMS meningkat pada usia lanjut. Prevalensi pada usia lanjut sekitar 45%, sedangkan pada dewasa muda 5-6%. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Sebagian besar pasien dengan RLS juga menderita PLMS, dan PLMS tidak jarang merupakan penyakit penyerta GTGP. Patofisiologi terjadinya RLS maupun PLMS sampai saat ini belum jelas. Hipotesis terbaru menyatakan mungkin disfungsi sistem dopamin dan opiat di saraf pusat yang mendasari kelainan ini. Hipotesis ini dibuat karena melihat efek terapi agonis dopamin dan opiat yang efektif mengatasi kedua gangguan tidur ini. Faktor risiko kedua kelainan ini antara lain usia lanjut, gaga1 ginjal, defisiensi besi (kadar ferritin serum < 50 ng/ ml), dan polineuropati perifer. Diagnosis kedua kelainan ini dibuat berdasarkan gejala klinik seperti tersebut di atas dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan elektromiografi (EMG) pada otot tungkai atas di laboratorium tidur. Terapi konservatif dengan merendam kaki dan tungkai atas dengan air hangat serta olahraga ringan (jalan kaki) yang dilakukan teratur dapat membantu menghilangkan gejala kedua gangguan tidur ini. Bila belum berhasil dapat digunakan obat anti parkinson karbidopa-levodopa



(formula 25-100 mg) dengan dosis awal 1 kali setengah tablet saat mau tidur. Dosis dapat ditingkatkan % tablet tiap 3-4 hari bila belum membaik. Hati-hati bila gejala gangguan ini muncul lebih awal atau siang hari, mungkin ini akibat efek samping obat, dosis hams diturunkan atau digabung dengan obat anti parkinson lain seperti bromokriptin, karbamazepin, dan klonazepam. Pergolid dapat digunakan disini, dosis awal sangat rendah (0,05 mg ) yang diberikan 2 jam sebelum tidur, secara bertahap dosis dinaikkan sampai dosis 0,5 mg. Obat lain yang dapat digunakan untuk kedua gangguan tidur ini adalah benzodiazepin (1 kali saat tidur), atau kodein atau oksikodon. Gangguan Perilaku REM (GPR) Gangguan perilaku REM ini sangat jarang, tetapi sering muncul pada usia lanjut. Proses yang mendasari terjadinya gangguan ini adalah adanya disinhibisi transmisi aktivitas motorik saat bermimpi. Gangguan ini sering muncul pada tengah malam saat periode REM terjadi. Bentuk gangguan dapat bervariasi seperti mengigau, bicara sambil tidur, berjalan, bahkan makan sambil tidur. Pasien sering jatuh atau melompat dari tempat tidur sehingga terjadi perlukaan. Prevalensi GPR sampai saat ini tidak diketahui, tetapi dari beberapa laporan menunjukkan bahwa prevalensi pada usia lanjut laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Patofisiologi terjadinya gangguan perilaku REM sampai saat ini tidak diketahui. Beberapa laporan menunjukkan ada hubungan kejadian GPR akut dengan pemakaian obat-obatan antidepresi seperti antidepresi trisiklik, fluoksetin, inhibitor monoamin oksidase, dan ketagihan alkohol atau sedatif. GPR kronik dihubungkan dengan narkolepsi dan beberapa penyakit neurodegeneratif idiopatik seperti demensia dan penyakit Parkinson.



Narna : ..................



Tanggal



...........



Senin



Selasa



Rabu



Kamis



Jumat



Jam rnasuk tidur Waktu untuk jatuh tidur (setelah berbaring) Jurnlah terbangun rnalarn hari Jam bangun Jam keluar dari ternpat tidur Jumlah waktu total tidur malam hari Jumlah waktu total bangun malarn hari Waktu istirahat Obat yang dirninurn (dosis dan jam minurn) Alkohol (dosis dan waktu minum) Bagaimana kualitas tidur sernalarn Sebera~alelah waktu banaun tidur pagi hari* --



Keterangan : nilai 1 sarnpai 5, nilai Iuntuk sarna sekali tak lelahl tidur puas dan 5 untuk sangat lelahl tidur tak puas sama sekali Sumber :Cohen-Zion 8 Ancoli-Israel, 2003.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



sld Sabtu



.......... Minggu



809



CANCCUANTIDUR PADA USIA LANJUT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Diagnosis dibuat berdasarkan penilaian lengkap terutama mengenai riwayat tidur. Oleh karena pasien tidak menyadari apa yang dilakukannya sambil tidur, maka anamnesis lengkap dilakukan terhadap keluarganya atau teman tidurnya. Anamnesis mengenai apa saja yang dilakukan pasien sambil tidur, frekuensi dan lama terjadinya, serta sejak kapan GPR ini diderita oleh pasien. Terhadap pasien ditanyakan apa yang dirasakan selama tidurnya, mimpinya, dan juga perasaannya saat bangun tidur. Pemeriksaan dengan polisomnogram dan rekaman video tiap malam dl laboratoriumtidur perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis GPR. Obat golongan benzodiazepin kerja lama seperti klonazepam yang diberikan saat mau tidur sekali sehari, dapat mengontrol gejala gangguan ini. Namun, bila obat dihentikan biasanya gejala akan muncul lagi. Demi mencegah terjadinya perlukaan pada pasien dan teman tidurnya, perlu diatur kamar tidurnya. Jangan ada bendabenda tajam di kamar tidur, tempat tidur sebaiknya rendah, jendela sebaiknya dipasang teralis besi dan pintu kamar selalu dikunci untuk mencegah pasien berjalan keluar rumah. Gangguan Tidur Karena Gangguan lrama Sirkadian Seperti diterangkan di muka, irama sirkadian tidur diatur oleh proses endogen berupa pengaturan temperatur badan dan pengeluaran hormon-hormon kortisol, hormon pertumbuhan, dan melatonin yang dipicu oleh NSC; dan proses eksogen berupa perubahan terang dan gelap. Pada usia lanjut terdapat gangguan tidur akibat gangguan irama sirkadian ini. Kelainan tersebut antara lain: Ketidaksinkronan respons proses endogen terhadap rangsang eksogen, dimana terjadi penurunan respons endogen terhadap perubahan siang dan malam, sehingga dapat terjadi tidur bangun tak beraturan lagi. Sindrom fase tidur lebih cepat, disini gangguan berupa periode atau siklus tidur bangun lebih cepatlmaju dibandingkan usia dewasa muda. Usia lanjut sudah tidur lebih sore sehingga bangun lebih dini hari. Gangguan terletak pada pengaturan temperatur badan; temperatur badan sudah turun pada pukul 6-7 sore dan sudah meningkat pada pukul2- 3 dini hari. Prevalensi gangguan tidur tipe ini tidak jelas. Hal ini karena banyak orang usia lanjut yang menderita namun merasa tidak membutuhkan bantuan terapi karena menganggap perubahan ini biasa. Pada usia pertengahan prevalensi sindrom fase tidur lebih cepat sekitar 1% populasi usia tersebut (USA). Diagnosis kelainan ini dapat dibuat dengan membuat buku catatan harian tidur dari pasien. Catatan harian tersebut dapat dilihat pada tabel 5. Selain untuk diagnosis, tabel ini dapat untuk menilai siklus sirkadian tidur pasien. Catatan harian ini minimal hams dibuat selama 2



minggu berturut-turut sebelum dapat dipakai sebagai penilaian siklus tidur pasien.



PENATALAKSANAAN Untuk gangguan irama sirkadian perlu dijelaskan pada pasien bahwa gangguan tidur ini bukan penyakit, tak membutuhkan obat khusus, hanya perlu pengaturan waktu masuk tidurnya, jangan terlalu dini dengan melakukan kegiatanlkesibukan pada petang hari dan baru masuk tidur pada jam yang sama dengan keluarga lain. Kalau tetap tak dapat mengatasi, diberikan terapi lampu terang' pada saat seharusnya pasien masih bangun di pagi hari dan petang hari, lampu dipadamkanlgelap pada saat hams tidur. Penatalaksanaan Menyeluruh Gangguan Tidur pada Usia Lanjut Karena banyaknya penyebab gangguan tidur pada usia lanjut, maka penatalaksanaan gangguan tidur pada usia lanjut hams dilakukan secara individual, dengan meneliti dan menilai gejala dan tanda yang ada pada tiap pasien. Beberapa ha1 dapat diterapkan secara umum pada semua jenis gangguan tidur pada usia lanjut, yaitu: edukasi tidur, mengubah gaya hidup, psikoterapi, dan medikamentosa. Edukasi tidur diberikan baik kepada pasien maupun keluarga atau care giver.Edukasi tersebut meliputi: Tunggu sampai terasa sangat mengantuk sebelum naik ke tempat tidur. Bila dalam 20 menit berbaring belum bisa tidur maka lebih baik bangun lagi, lakukan kegiatan lagi dengan tenang dan lakukan relaksasi. Bila mengantuk baru kembali ke tempat tidur. Hindarkan penggunaan kamar tidur untuk bekerja, membaca atau menonton televisi Bangun tidur pagi hari pada jam yang sama, tidak peduli sudah berapa lama ia tidur Hindarkan minum kopi atau merokok. Lakukan olahraga ringan setiap pagi setelah bangun tidur. Kurangi tidur siang, lakukan kegiatanlhobi yang menyenangkan. Kurangi jumlah minum setelah makan malam, hindari minum alkohol. Pelajari teknik relaksasi atau lakukan meditasi. Hindarkan gerakan badan berlebihan saat di tempat tidur. Berdoa sebelurn tidur. Mengubah gaya hidup (life style), diperlukan untuk memperbaiki faktor fisis dan psikis yang mendasari terjadinya gangguan tidur pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi: - Usaha menurunkan berat badan dengan memperbaiki pola makan pada pasien GTGP. - Menghindari perjalanan jauh atau bekerja sampai



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



malam hari (shift malam), agar tidak terjadijet lag. - Menghindari membaca atau menonton atau mendengarkan cerita-cerita yang menakutkan atau sangat menyedihkan. - Bila memunglunkan buat suasana lingkungan rumah bersih dan menyenangkan - Perbaiki hubungan antar anggota keluarga, tumbuhkan suasana aman dan penuh kasih antar sesama penghuni rumah. - Lakukan aktivitas fisis,jangan duduk diarn sepanjang hari . Psikoterapi perlu diberikan pada pasien gangguan tidur yang disebabkan oleh ansietas dan depresi. Di samping psikoterapi dari seorang psikolog, psikoterapi berupa dorongan dan penghiburan sebaiknya dilakukan oleh anak atau cucu pasien.



Terapi medikamentosa diberikan sesuai dengan penyebab yang mendasari terjadinya gangguan tidur dan jenis gangguan tidur yang terjadi. Obat-obat transkuiliser minor seperti golongan benzodiazepin dapat diberikan pada pasien insomnia akut, diberikan dosis kecil dan dalam waktu yang tidak lama. Terapi terhadap penyakit penyerta yang diderita usia lanjut harus dilakukan dengan menghindarkan sebisa mungkin obat-obatan yang menyebabkan gangguan tidur. Melatonin yang sedang marak dipakai sebagai obat tidur, sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan dalam mengatasi gangguan tidur pada usia lanjut. Langkah-langkah umum yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan gangguan tidur pada usia lanjut dapat dilihat pada algoritme (Gambar 6).



Pertanyaan-pertanyaan Saringan: 1 . Apakah anda puas dengan tidur anda? 2. Apakah tidur atau kelelahan mengganggu aktivitas harian? 3. Apakah teman tidur anda atau yang lainnya mengeluhkan sikap yang tidak biasa selama tidur, seperti mendengkur, gangguan napas, atau gerakan tangan? Jika 1 tidak atau ya untuk 2 atau 3: 1.Apakah ini sudah menjadi masalah selama lebih dari 2-3 minggul



,



Jika tidak: 1.Apakah ada alasan stres yang lain (mis.alasan menderita kerugianlkekalahan, kehilangan, perawatan rumah sakit yang akut)? Atau kondisi kesehatan yang mengganggu tidur?



Jika ya: 1. Fokus pada latar belakang dan pengobatan fisik. 2. Evaluasi higiene tidur. 3. Apakah ada bukti dari gangguan tidur utama?



Jika ya: Jika ya, pusatkan perhatian 1. Apakah ada kejadian sleep apnea? pada stresorlkondisiRx: turunkan bb, hilangkan sedatif, a. Usahakan meningkatkan kondisi ini. Rx: a. Higiene tidur. higiene tidur. rujuk ke spesialis tidur. 2.Apakah ada kejadian gerakan-gerakan b. Evaluasi ulang jika tidak b. Terapi kondisi medis periodik dari badan selama tidur? ada kemajuan dalam 2-3 yang menyertai. c. Jika stresor bersifat minggu. Rx: coba levodopalkarbidopa, rujuk ke sementara (selama spesialis tidur. 3. Apakah ada kejadian abnormalitas perawatan rumah sakit irama sirkadian? akut atau sedang Rx: tingkatkan kebersihan tidur, dalam kedukaan) dan terapi sinar terang. kesulitan tidur sangat nyata, ~ e r t i m b a n q k a npemberian hipnotik jangka pendek Jika tidak: (jika tidak ada kontra indikasi) 1. Apakah ada penyebab medis potensial (seperti nyeri karena artritis, refluks, dll)? Jika ya, terapi kondisi-kondisi tersebut. 2.Apakah ada penyebab obat-obatan yang potensial? Jika ya, hilangkanl turunkan dosis obat tersebut. . 3. Apakah ada depresi? Jika ya, obati depresi. 4 . Apakah ada tanda-tanda demensia? Jika ya, tingkatkan higiene tidur, terapi semua kondisi yang menyertai, pastikan lingkungan rumah aman (jika ada masalah sering pergi malam hari); pertimbangkan pemberian obat sedatif malam hari. 5. Apakah pasien pemakai kronik benzodiazepinlhipnotik? Jika ya, coba turunkan dosis obat untuk menghentikan atau turunkan penggunaan hanya 2-3 rnalam tiap minggu. Jika tidak berhasil, rujuk ke spesialis tidur. 6 . Apakah ada indikasi masalah dengan pemakaian alkohol? Jika ya, rekomendasikan untuk mengurangi atau menghilangkan pemakaian alkohol, atau rujuk ke pusat rehabilitasi pemakai alkohol.



-.



Gambar 6. Algoritme untuk penapisan gangguan tidur dan pendekatan untuk diagnosis dan perawatan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



CANCGUAN TlDUR PADA USIA LANJUT



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Bliwise D. Sleep in normal aging and dementia . Sleep, 1993; 16 : 40-8 1. Cohen-Zion M, Ancoli-Israel S. Sleep disorders. In: Hazzard WR, Blass JP, Halter JB, et al, editors. Principles of geriatric medicine and gerontology. edition. New York: Mc Graw-Hill Companies, Inc; 2003. p. 1531- 41. Coll PP. Sleep disorders. In: Adelman AM, Daly MP, Weiss BD, editors. 20 common problems in geriatrics. Boston: Mc GrawHill Companies, Inc; 2001. p. 187-203. Drazen JM. Sleep apnea sydrome. N Engl J Med. 2002;346:390-1. eMedicine. Breathing-related sleep disorder. www.emedicine.com. Feldman S, Abemathy J. Management of sleep disorders in the elderly. American Society Consultant Pharmacists. 2000; 15 (supplement 2): 1-13. Flemons WW. Obstructive sleep apnea. N Engl J Med. 2002;347:498-505. Jao DV, Alessi CA. Sleep disorders. In: Landefeld CS, Palmer RM, Johnson MAG, et al, editors. Current geriatric diagnosis & treatment. New York: Mc Graw-Hill Companies, Inc, Boston; 2004. p. 114-21. Kribbs NB, Pack AI, Kline LR, et al. Effect of one night without nassal CPAP treatment on sleep and sleepines in patients with obstuctive sleep apnea. Am Rev Respire Dis. 1993;147:1162-8. Lam J, Lam B. Seep apnoeal hypopnoea syndrome. Medical Progress, 2004; 3 1:543-8.



Mallampati SR. Clinical Signs to predict difficult tracheal intubation. Can Anaesth Soc J. 1983;30:3 16-7. Morgan K. Sleep, aging and late-life insomnia. In: Tallis RC, Fillit HM, editors. Brocklehurst's textbook of geriatric medicine and gerontology. 6Ih edition. Churchill Livingstone Elsevier Scince Limited; 2003. p. 1367-80. National Sleep Foundation Washington DC. Melatonin the basic facts. www.sleepfoundation.org, Juni 2004. Neubaurer DN. Sleep problems in the elderly. J American Family Physician, 1999. Peppard PE, Young T, Palta M, et al. Longitudinal study of moderate weight change and sleep disordered breathing. JAMA. 2000;284:3015-21. Shimidt-Nowara W, Lowe A, Wiegand L, et al. Oral appliances for the treatment of snoring and obstructive sleep apnea: a review. Sleep. 1995;18: 51 1-3. Sloan EP, Alastair JF, Reinish LR, et al. Circadian rhythms and psychiatric disorders in the elderly. J Geriatr Psychiatry Neurol. 1996;9: 164-70. Smith JF. Sleep disorders. www.chclibrary.org. Van Cauter E, Plat L, Leproult M, et al. Alterations of circadian rhytmicity and sleep and aging: endocrine consequences. Horm Res. 1998;49: 147-52. Wei WI, Ho WK. Surgery for snoring. Medical Progress. 2004;31:538-42.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



CANGGUAN KESEIMBANGAN, JATUH, DAN FRAKTUR Siti Setiati, Purwita W. Laksmi



PENDAHULUAN Gangguan keseimbangan dan jatuh merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada orang berusia lanjut akibat berbagai perubahan fungsi organ, penyakit, dan faktor lingkungan. Akibat yang ditimbulkan oleh jatuh tidak jarang tidak ringan, seperti cedera kepala, cedera jaringan lunak, sampai dengan patah tulang. Jatuh juga seringkali merupakan petanda kerapuhan (frailty), dan merupakan faktor prediktor kematian atau penyebab tidak langsung kematian melalui patah tulang. Bersamaan dengan masalah jatuh, kejadian patah tulang panggul, vertebra, lengan bawah, pelvis, dan persendian kaki juga meningkat, dengan peningkatan paling cepat terjadi setelah usia 75 tahun. Patah tulang tersebut merupakan penyebab utama, kesakitan, kematian, dan pengeluaran biaya untuk pelayanan kesehatan dan sosial orang usia lanjut yang bersangkutan. Kematian dan kesakitan yang terjadi akibat patah tulang umumnya disebabkan oleh komplikasi akibat patah tulang dan imobilisasi yang ditimbulkannya. Beberapa di antara komplikasi tersebut adalah timbulnya dekubitus akibat tirah baring berkepanjangan; perdarahan, trombosis vena dalam dan emboli paru; infeksi pneumonia atau infeksi saluran kemih akibat tirah baring lama; gangguan nutrisi, dan sebagainya Hampir 50 persen pasien pasca patah tulang panggul menjadi lebih tergantung pada bantuan pendamping, orang lain, atau keluarga. Biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit. Di Inggris, biaya yang dikeluarkan untuk penatalaksanaan patah tulang akibat osteoporosis tersebut diperkirakan 942 juta poundsterling, dengan 87% di antaranya untuk biaya patah tulang panggul.



Kejadian jatuh dilaporkan terjadi pada sekitar 30% orang berusia 65 tahun ke atas setiap tahunnya, dan 40% sampai 50% dari mereka yang berusia 80 tahun ke atas. Sepertiga dari mereka yang berusia 65 tahun ke atas dan tinggal di rumah (komunitas) mengalami satu kali jatuh setiap tahun, dan sekitar 1 dari 40 orang yang jatuh tersebut memerlukan perawatan di rumah sakit. Hanya sekitar setengah dari pasien usia lanjut yang dirawat akibat jatuh akan hidup setahun kemudian. Di panti rawat werda (nursing homes), sekitar 50% penghuninya mengalami satu kali jatuh setiap tahunnya; setengah dari jumlah tersebut mengalami jatuh berulang, 10 sampai dengan 25% mengalami komplikasi serius. Jatuh mengakibatkan dua pertiga kematian karena kecelakaan (accidental deaths). Jatuh dapat mempengaruhi kualitas hidup. Ketakutan mengalamijatuh dialami oleh 25-40% orang berusia lanjut, yang kebanyakan dari mereka belum mengalami jatuh. Rasa takut jatuh merupakan faktor risiko terjadinya hendaya fimgsional. Rasa takut jatuh juga seringkali memicu atau dikaitkan dengan depresi dan isolasi sosial Data Indonesia mengenai kejadian instabilitas dan jatuh masih amat sedikit. Penelitian Handayani (2003) di divisi Geriatri RSUPN Cipto Mangunkusumo mendapatkan angka kejadian instabilitas sebesar 23,3%. KESEIMBANGAN, KONTROL POSTURAL, SIKLUS BERJALAN, DAN MOBlLlTAS FUNGSIONAL Keseimbangan Keseimbangan merupakan proses kompleks yang melibatkan penerimaan dan integrasi input sensorik serta



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



813



GANGGUAN KESEIMBANCAN JATUH DAN FRAKTUR



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI perencanaan dan pelaksanaan gerakan untuk tnencapai tujuan yang membutuhkan postur tegak; suatu kemampuan untuk tnengontrol pusat gravitasi tetap berada di atas landasan penopang. Pusat gravitasi adalah suatu titik imajiner dimana juililah selnua gaya adalah nol. Pada orang dewasa dengan postur normal yang sedang berdiri (posisi anatomis), pusat gravitasi berada 1 inci di depan tulang belakang setinggi sakrum 2. Jika tubuh atau bag~antubuh bergerak. lokasi pusat gravitasi akan berubah. Landasan penopang adalah perniukaan tubuh yang mengalami penekanan dari berat badan dan gravitasi, dalam posisi berdlri adalah kaki sedangkan dalam posisi duduk adalah paha dan bokong. Sesuai dengan landasan penopang yang ada, terdapat keterbatasan jarak tubuh dapat bergerak tanpa menjadi jatuh (pusat gravitasi melewati landasan penopang) atau tnenibuat landasan penopang baru dengan menggapai atau melangkah (untuk menempatkan kembali landasan penopang di bawah pusat gravitasi). Keterbatasan jarak tersebut disebut sebagai batas stabilitas. yakni jarak terjauh pada arah manapun seseorang dapat bergerak dari garis tengah tanpa mengubah landasan penopang awal dengan melangkah, menggapai, atau jatuh. Derajat stabilitas tubuh tergantung pada empat faktor yaitu, tinggi pusat gravitasi di atas landasan penopang, besarnya ukuran landasan penopang. lokasi garis gravitasi pada landasan pcnopang, dan berat badan. Stabilitas lebih baik bila pusat gravitasi rendah, landasan penopang yang lebar, garis gravitasi berada di tengah landasan. dan berat badan yang besar. Untuk mempertahankan keseimbangan. tubuh secara konstan mengubah dan mengkoreksi posisi pusat gravitasi terhadap landasan penopang, yang disebut sebagai ayunan postural @o.~t111.alstc~u~.). Kontrol ayunan postural berasal dari input visual, vestibular, proprioseptif, dan organ eksteroseptif. Kontrol Postural Kontrol postural lneliputi kontrol posisi tubuh untuk stabilitas sehingga keseilnbangan tubuh dapat dipertahankan dan untitk orientasi agar hubungan yang tepat antar seglnen tubuh serta antara tubuh dan lingkungan saat melakukan kegiatan dapat dipertahankan. Terdapat dua komponen keseimbangan, yaitu keseimbangan statis untuk mempertahankan suatu posisi dalarn periode tertentu dan keseimbangan dinamis untuk memelihara keseimbangan pada saat melakukan gerakan. Kemampuan untuk mengontrol posisi tubuh dalam ruang merupakan suatu interaksi komplcks dari sistem saraf dan muskuloskeletal yang kesemuanya dikenal sebagai sistcm kontrol postural. Yang terrnasuk dalam komponen saraf adalah proses motorik (neuron~uskular),proses sensorik (sistem visual. vestibular, dan somatosensorik), dan proses integratif



sistetn saraf pusat. Komponen tnuskuloskcletal antara lain meliputi lingkup gerak sendi. fleksibilitas tulang belakang, otot, dan hubungan biomekanik antar segnien tubuh. Tiga input sensorik perifer primer yang memberikan kontribusi dalam kontrol postural adalah sistem reseptor somatosensorik, visual, dan vestibular bilateral. Sistern vestibular sangat penting untuk kese~ilibangankarena dapat mengidentifikasi dan membedakan gerakan tubuh sendiri dengan gerakan dari lingkungan serta memberikan kestabilan visual ketika kepala bergerok. Sistem sotnatosensorik sendiri tidak malnpu membedakan antara gerakan dari pijakan dengan gerakan dari tubuh, demikian pula dengan sistem visual yang bila bcrdiri sendiri tidak mampu untuk Inernbedaka11 gerakan dari lingkungan dengan gerakan dari tubuh, sehingga sistem vestibular digunakan sebagai referensi internal untuk menentukan keakuratan input pada keadaan tcrdapat perbedaan antara input somatosensorik dengan visual atau bila input somatosensorik atau visual tidak tersedia. Oleh karena itu, otak mernerlukan informasi dari ketiga sistem sensorik untuk secara tepat membedakan gerakan dari tubuh sendiri dengan gerakan dari lingkungan. Ada empat strategi gerakan yang paling sering digunakan sebagai reaksi keseimbangan pada respoil postural, yaitu strategi pergelangan kaki, panggul, suspensori, dan melangkahimenggupai. Keeinpat strategi tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.



i F Gambar I. Strateg~postural. A. Strateg~pergelangan kak~.6. Strateg~panggul. C, Strategi suspensori D, Strateg~rnelangkahl menggapai.



A. Strategi Pergelangan Kaki (ankle strategy) Strategi pergelangan kaki paling sering digunakan pada situasi dimana gangguan terhadap keseimbangan kecil, lambat dan dekat dengan garis tengah, serta dasar perniukaan pijakan yang keras, stabil. dan luas. Strategi ini membutuhkan kekuatan otot dan l~ngkupgerak sendi pergelangan kaki yang utuh. Strategi pergelangan kaki dan sinergi otot yang berhubungan merupakan pola pertama untuk mengontrol gerakan ayunan tubuh pada posisi tegak (i~prights\r.ujv). Strategi ini mempertahankan pusat gravitasi tubuh dalam posisi stabil rnelalui gerakan tubuh yang terutama berpusat



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



di sekitar sendi pergelangan kaki. Kontraksi otot berpola dari distal menuju proksimal. Pada gerakan ke depan, dimulai dari kontraksi otot gastroknemius kemudian diikuti oleh otot hamstring dan otot paraspinal yang menyebabkan plantar-fleksi serta mempertahankan panggul dan lutut dalan~posisi ekstensi. Pada gerakan ke belakang, kontraksi otot dimulai dari otot tibialis anterior, kemudian diikuti oleh kontraksi otot kuadrisep dan abdominal.



B. Strategi Panggul (Hip Strategy) Strategi panggul mengontrol pusat massa tubuh dengan membuat gerakan yang kuat dan cepat pada sendi panggul, punggung, dan rotasi pergelangan kaki. Kepala dan panggul bergerak pada arah yang berlawanan, dengan kontraksi otot berpola dari proksimal menuju distal, dimulai dari kontraksi otot abdominal kemudian diikuti oleh kontraksi otot kuadrisep dan tibialis anterior. Strategi panggul digunakan untuk mempertahankan keseimbangan sebagai respon terhadap gangguan yang lebih besar, cepat, dan hampir mendekati batas stabilitas, maupun ketika landasan pijakan tidak stabil atau terlalu sempit. misalnya ketika berdiri dengan kaki tandein atau pada satu kaki. C. Strategi Suspensori (Suspensory Strategy) Strategi suspensori merupakan strategi yang seringkali digunakan bila kombinasi stabilitas dan mobilitas dibutuhkan, seperti pada saat berselancar angin. Strategi ini merendahkan pusat gravitasi terhadap landasan penopang dengan cara tlcksi kedua ekstremitas bawah atau scdikit berjongkok. Dengan memendekkan jarak antara pusat gravitasi dan landasan penopang, usaha untuk nicngontrol pusat gravitasi nlenjadi lebih mudah.



D. Strategi Melangkah dan Menggapai (Stepping and Reaching Strategy) Jika strategi yang sedang berlangsung seperti strategi pergclangan kaki maupun strategi panggul tidak memadai ~rntilkmcmulihkan keseimbangan atau jika pusat gravitasi sudah melewati landasan penopang awal. kaki akan melangkah atau tangan akan menggapai untuk membuat landasan penopang baru.



SIKLUS BERJALAN Dalam berjalan dikenal istilah gait yaitu cara atau gaya berjalan yang umulnnya meliputi pula kecepatan bergerak (meter per detik) dan jumlah langkah per unit waktu (langkah per menit = cadence). Durasi satu siklus berjalan dimulai ketika tumit salah satu kaki menyentuh pijakan (heel-strikelheel-on) sampai dengan turnit yang sama kembali menyentuh pijakan. Selama satu siklus berjalan,



terdapat fase kaki bersentuhan dengan pijakan (stance phase) atau fase kaki berada di udara (swingphase).Stance phase dimulai ketika kaki bersentuhan dengan pijakan (hoel-strike) dan berakhir ketika kaki terangkat ~neninggalkanpijakan (roe-off),sedangkan swing phase d~rnulaiketika kaki terangkat meninggalkan pijakan dan berakhir ketika kaki kembali bersentuhan dengan pijakan. Stance phase dapat terjadi dengan hanya satu kaki yang bersentuhan dengan pijakan sedangkan kakl yang lain dalam swdngphase (single limh support) atau kedua kaki bersentuhan dengan pijakan (double limh support, kedua kaki dalam stance phase). Pada kecepatan berjalan yang normal, stance phase mencakup 60% dan swing p h a ~ e 40% dari durasi satu siklus berjalan (Garnbar 2).



Gambar 2. Elemen dasar dar~siklus berjalan



MOBlLlTAS FUNGSIONAL Kemandirian fungsional merupakan kemampuan untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan, termasuk dalam ha1 mobilitas. Mobilitas fungsional didefinisikan sebagai kemampuan untuk bergerak dari satu posisi ke posisi lain (duduk, berbaring, berdiri, dan sebagainya) tanpa memperhatikan jarak antara titik awal dan akhir perpindahan. Mobilitas fungsional meliputi ~nobilitasdi tempat tidur, transfer, arnbulasi, mobilitas dengan kursi roda, dan mengemudikan kendaraan. Mobilitas di tempat tidur merupakan aktivitas mobilitas yang paling dasar, membutuhkan kemampuan kontrol kepala yang baik selain kekuatan dan ketahanan otot ekstremitas atas. Transfer menunjukkan perpindahan dari satu posisi ke posisi lain dalam jarak dekat. seperti transfer dari duduk ke berdiri kemudian duduk di kursi lain atau dari duduk di kursl roda untuk duduk di kursi lain tanpa berdiri, transfer dengan bantuan sliding hoard, dan transfer dari kursi roda ke lantai atau sebaliknya. Transfer membutuhkan keseimbangan duduk yang baik serta kekuatan dan ketahanan otot ekstremitas atas maupun ekstensi panggul dan lutut yang adekuat. Ambulasi adalah



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



GANGGUANKESEIMBANCANJATUH DANFRAKTUR



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI bergerak dengan berjalan. Tingkat kemandirian hngsional seseorang dipengaruhi secara bermakna oleh kemampuannya untuk ambulasi. Untuk dapat berjalan, seseorang hams memiliki kekuatan otot punggung dan ekstremitas bawah yang baik selain keseimbangan, koordinasi, dan ketrampilan kognitif. Kompensasi tubuh, ortosis, maupun alat bantu berjalan seperti walker dapat digunakan untuk membantu ambulasi tersebut. Jika seseorang tidak mampu ambulasi atau hanya mampu ambulasi dalam jarak dekat, penggunaan kursi roda ataupun kendaraan yang telah dimodifikasi dapat mempertahankan kemandirian fungsional. Selama gerakan dan ambulasi normal, pusat gravitasi tubuh dipertahankan secara dinamis terhadap landasan penopang. Ambulasi normal dan stabilitas postural tergantung pula pada fungsi sensorik, neuromuskular, sistem muskuloskeletal, dan proses integrasi dari sistem saraf pusat. Dalam sistem muskuloskeletal, kekuatan otot rangka dan lingkup gerak sendi yang adekuat, terutama pada ekstremitas bawah, esensial untuk terjadinya respon yang efektif terhadap gangguan postural dan untuk mempertahankan kontrol postural. Jatuh terjadi ketika sistem kontrol postural tubuh gaga1 mendeteksi pergeseran dan tidak mereposisi pusat gravitasi terhadap landasan penopang pada waktu yang tepat untuk menghindari hilangnya keseimbangan. Kegagalan ini antara lain disebabkan oleh pergeseran pusat gravitasi tubuh yang besar, cepat, dan terjadi tiba-tiba; gangguan lingkungan; serta faktor intrinsik seperti hilangnya fungsi sensorik yang esensial untuk mendeteksi gerakan pusat gravitasi tubuh, gangguan kemampuan sistem saraf pusat untuk mengorganisasi dan menghantarkan respon postural, dan respon postural yang tidak efektif akibat terganggunya sistem neuromuskular,gaya jalan abnormal, refleks postural tidak memadai, instabilitas sendi, dan kelemahan otot.



yang melambat, dan melemahnya kekuatan otot yang amat penting dalam memelihara postur. Kelemahan otot dan ketidakstabilan atau nyeri sendi dapat menjadi sumber gangguan postural selama gerakan volunter. Keseimbangan dapat pula terganggu oleh adanya penyakit, obat-obatan, dan proses penuaan yang berakibat ketakutan akan jatuh sehingga mengurangi aktivitas seseorang. Semua perubahan tersebut dapat berperan untuk terjadinya jatuh, terutama pada kemampuan untuk mencegah jatuh manakala terpeleset atau menghadapi situasi lingkungan yang 'membahayakan' (Tabel 1).



Faktor yang Berkontribusi Perubahan kontrol postural



Perubahan gaya berjalan



Peningkatanprevalensi kondisi patologis yang terkait dengan stabilitas



Peningkatan prevalensi kondisi yang menyebabkan nokturia Peningkatan prevalensi demensia



Perubahan Menurunnya proprioseptif Melambatnya refleks Menurunnya tonus otot Meningkatnya ayunan postural Hipotensi ortostatik Kaki tidak terangkat cukup tinggi Laki-laki: postur tubuh membungkuk, dengan kedua kaki rnelebar dan langkah pendek-pendek Perempuan: kedua kaki menyempit dengan gaya jalan bergoyanggoyang Penyakit sendi degeneratif Patah tulang panggul dan femur Stroke dengan gejala sisa (defisit residual) Kelernahan otot akibat tidak digunakan dan deconditioning Neuropati perifer Penyakit atau deformitas kaki Gangguan penglihatan Gangguan pendengaran Pelupa dan demensia Proses penyakit lain (penyakit kardiovaskular, parkinsonisme, dll) Penyakit jantung kongestif lnsufisiensi vena dl1 Gangguan fungsi kognitif



PERUBAHAN AKIBAT PROSES MENUA YANG BERKAITAN DENGAN INSTABILITASDAN JATUH Berbagai faktor berperan untuk terjadinya gangguan keseimbangan dan jatuh. Umumnya merupakan kombinasi beberapa faktor yang saling berinteraksi dengan masalah lingkungan. Proses menua mengakibatkan perubahan pada kontrol postural yang mungkin memegang peran penting pada sebagian besar kejadian jatuh. Perubahan komponen dari kapabilitas biomekanik meliputi latensi mioelektrik, waktu untuk bereaksi, proprioseptif, lingkup gerak sendi, dan kekuatan otot. Selain itu, terdapat pula perubahan pada postur tubuh, gaya berjalan, ayunan postural, sistem sensorik, dan mobilitas fungsional. Usia yang lanjut dikaitkan dengan input proprioseptif yang berkurang, proses degeneratif pada sistem vestibuler, refleks posisi



Latensi mioelektrik atau waktu pramotor adalah keterlambatan antara stimulus yang diberikan hingga timbulnya perubahan pertama dari aktivitas mioelektrik otot yang dapat diukur. Aktivitas mioelektrik berkaitan dengan sinyal elektrik yang dikirim melalui saraf untuk memulai atau memodifikasiproses kontraksi otot. Latensi mioelektnk tersebut pada usia lanjut 10-20 milidetik lebih lama dibandingkan pada dewasa muda, tanpa ada perbedaan antarjenis kelamin. Waktu bereaksi berkaitan dengan keterlambatan antara sinyal stimulus yang membutuhkan reaksi hingga timbulnya kekuatan atau melakukan gerakan.Waktu bereaksi ini lebih lama dibandingkan dengan latensi mioelektrikkarena meliputi baik latensi mioelektrik maupun



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



waktu yang dibutuhkan oleh otot untuk membangkitkan atau mengubah besarnya kekuatan setelah aktivitas miolektrik dimulai. Pertambahan waktu interval ini disebut waktu motor. Waktu bereaksi akan meningkat dengan semakin bertambahnya usia, semakin jauhnya perpindahan tubuh, semakin banyak pilihan aktivitas, dan pada aktivitas yang membutuhkan akurasi. Tiap dekade umur antara dekade kedua dan kesepuluh, waktu untuk bereaksi meningkat 2 milidetik. Sebagai contoh, pada usia lanjut dibutuhkan 10-30 milidetik lebih lama untuk mernulai langkah kaki setelah mengalami kehilangan keseimbangan. Proprioseptif berkaitan dengan kesadaraan mengenai orientasi dan posisi segmen tubuh. Sistem proprioseptif yang memberikan informasi ke saraf pusat mengenai posisi tubuh melalui sendi, tendon, otot, ligamen, dan kulit, mengalami gangguan akibat penuaan sehingga turut berperan pada terjadinya gangguan keseinibangan. Lingkup gerak sendi menurun dengan bertambahnya usia. Penurunan lingkup gerak sendi tersebut akan mempengaruhi kemampuan seseorang untuk melaksanakan aktivitas tertentu yang memang melnbutuhkan lingkup gerak sendi yang baik. Melemahnya kekuatan otot akibat inaktivitas, tidak digunakannya otot, dan deconditioning dapat berperan pada terjadinya gangguan cara berjalan serta kemampuan ~nemperbaikiposisi setelah kehilangan keseimbangan. Terjadi penurunan kekuatan otot sejalan dengan proses penuaan, bahkan pada orang usia lanjut yang sehat dan aktif. Orang usia lanjut cenderung untuk kehilangan puntiran sendi (torque) pada kecepatan tinggi untuk menghasilkan kekuatan otot yang besar (kekuatan otot = puntiran x kecepatan sudut) karcna hilangnya motor unit secara ireversibel sejalan dengan bertambahnya usia. Laju pembentukan puntiran tersebut lebih rendah pada perempuan usia lanjut dibandingkan laki-laki usia lanjut. Dengan berkurangnya kemampuan meinbentuk puntiran sendi, kapasitas untuk mempertahankan keseimbangan atau melakukan aktivitas lain yang memerlukan presisi waktu dengan kekuatan cukup, seperti menghindari hambatan yang datang tiba-tiba, akan berkurang pada usia lanjut yang sehat sekalipun. Penurunan massa ~ t omerupakan t penyebab langsung menurunnya kekuatan otot. Perubahan massa otot terjadi karena gangguan pada sintesis dan degradasi protein, yang pada usia lanjut proses ini dipengaruhi oleh wusting yaitu proses pemecahan protein sel (hiperkatabolisme) untuk memenuhi kebutuhan asam amino bagi sintesis protein dan metabolisme energi pada kondisi asupan kalori yang tidak adekuat dan kondisi sakit, serta sarkopenia yakni penurunan massa otot dan kekuatan otot yang berjalan paralel pada usia lanjut yang sehat. Defisiensi vitamin D ternyata juga berperan penting untuk terjadinya jatuh, diduga karena perannya pada massa dan kekuatan otot. Metabolit vitamin D dapat mernpengaruhi metabolisme sel otot melalui mediasi



transkripsi gen, melalui jalur cepat yang tidak melibatkan sintesis DNA, dan melalui varian ale1 reseptor vitamin D. Diperkirakan vitamin D akan mencegah terjadinya fraktur melalui 2 cara, dengan memperbaiki fungsi muskuloskeletal dan dengan meningkatkan homeostasis kalsium. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa vitamin D berperan dalam meningkatkan kekuatan otot, fungsi otot, koordinasi neuromuskular, dan vitalitas secara umum sehingga kecenderungan untuk jatuh menurun. Penelitian di beberapa panti di Jakarta dan Bekasi mendapatkan korelasi yang cukup baik antara konsentrasi vitamin D [(25OH)D] dan kekuatan otot kuadrisep perempuan usia lanjut Indonesia. Postur tubuh usia lanjut saat berdiri ditandai dengan jarak yang lebar antara kedua kaki pada pijakan, lutut dan panggul sedikit fleksi, punggung membentuk sudut ke arah depan terhadap bidang vertikal, vertebra lumbal mendatar, kifosis vertebra torakal meningkat, dan kepala maju ke depan. Perubahan tersebut berkaitan dengan proses penuaan pada sistem muskuloskeletal yang antara lain berupa berkurangnya densitas massa tulang, degenerasi diskus vertebra, dan hilangnya kekuatan ligamentum spinal sehingga tubuh menjadi lebih pendek dan kepala lebih maju ke depan (Gambar 3). Perubahan gaya berjalan terjadi seiring dengan meningkatnya usia. Kendati perubahan tersebut tidak terlalu menonjol untuk dianggap patologis, kondisi perubahan gaya berjalan tersebut dapat meningkatkan kejadian jatuh. Pada umumnya orang usia lanjut tidak dapat rnengangkat atau menarik kakinya cukup tinggi sehingga cenderung mudah terantuk (ti-ip).Orang usia lanjut lakilaki cenderung memiliki gaya berjalan dengan kedua kaki melebar dan langkah pendek-pendek (wide-based, short steppedgaits); sedangkan perempuan usia lanjut seringkali berjalan dengan kedua kaki menyempit (narrow bused) dan gaya jalan bergoyang-goyang (waddling gait). Orang usia lanjut cenderung untuk berjalan lebih lambat dan meningkatkan kecepatan berjalan dengan cara meningkatkan jumlah langkah per unit waktu dibandingkan jarak satu siklus berjalan, serta terdapat peningkatan



.ID



vertikal gravlas,



m e a l u baglan tengah daun tellnga



Perubahsn paslur (kepala leblh ke depan dan k8forlsi D e r n ~ ~ e r a l s tulang ar~ (terulama berbahaya dl tvlang beakang dapatmenyebsbkan patah tulang)



-Panggul Mslaiul m h a n e r mayor



Htlangnya kekuatan kerulllan yang leblh be dalam melakukan aktti f"ng~0nal Flekl b lltar menurun lterutama pad8 pang9 dan lulut/



Perubahn dalam cam gaya berjabn gerak dan kekualsn b&unnQ msnyebabhar bakirawnya )an Lhak yaw tennghat dan p~lakan



Gambar 3. Perubahan postur usra lanjut



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



CANCGUANKESEIMEANCAN JATUH DAN FRAKTUR



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI ayunan postural. Pada usia lanjut yang sehat, kecepatan berjalan menurun 1-2% tiap tahunnya dan berkaitan dengan berkurangnya panjang langkah dan jarak satu siklus berjalan. Gerak ekstensi sendi pergelangan kaki dan rotasi pelvis menurun, serta periode double support meningkat untuk membuat gaya berjalan lebih stabil. Bertambahnya waktu untuk menyelesaikan satu siklus berjalan berkaitan dengan peningkatan sebesar 5 kali risiko untuk jatuh. Strategi postural yang sering digunakan pada usia lanjut adalah strategi panggul, oleh karena penggunaan strategi pergelangan kaki membutuhkan informasi somatosensorik yang adekuat sementara pada usia lanjut mungkin terdapat kelemahan sendi atau sulit melakukan rotasi pada pergelangan kaki, hilangnya sensasi somatosensorik perifer, dan kelemahan otot distal. Walaupun demikian, penggunaan strategi panggul membutuhkan informasi vestibular yang adekuat dan gerakan pada panggul akan meningkatkan gaya horisontal antara pijakan dan telapak kaki sehingga risiko untuk terpeleset dan jatuh menjadi lebih besar. Jika respon ayunan postural tidak dapat mempertahankan keseimbangan saat ada gangguan dan diperlukan strategi melangkah, usia lanjut cenderung melakukan beberapa langkah untuk mengembalikan keseimbangannya. Gangguan visual terjadi pula sejalan dengan menuanya seseorang. Penurunan visus akibat proses degenerasi pada berbagai jaringan pada bola mata, berkurangnya elastisitas lensa, dan berkurangnya sel-sel reseptor mata. Gangguan keseimbangan akan terjadi bila informasi visual terganggu. Stabilitas orang berusia lebih dari 60 tahun berkurang 50% pada saat kedua mata ditutup. Tajam penglihatan yang kurang pada usia lanjut berkorelasi secara bermakna dengan peningkatan insidens jatuh dan ayunan postural pada pijakan yang lunak. Sistem vestibuler juga mengalami gangguan seiring dengan penuaan berupa proses degeneratif pada utrikulus dan sakulus sehingga terjadi penurunan kemampuan bereaksi terhadap gravitasi dan percepatan linier. Hipotensi ortostatik (menurunnya tekanan darah sistolik 20 mmHg atau lebih ketika berubah posisi dari berbaring ke berdiri) terjadi pada 11-30 persen orang usia lanjut. Penelitian pada 4.436 penduduk Indonesia berusia 40 tahun ke atas mendapatkan kejadian hipotensi ortostatik sebesar 12,6%. Walaupun tidak semua hipotensi ortostatik bergejala, respons fisiologis yang terganggu tersebut dapat berperan dalam gangguan keseimbangan dan memicu terjadinya jatuh. Penurunan kemampuan mobilitas fungsional pada usia lanjut yang sehat akan terlihat pada aktivitas yang membutuhkan kemampuan fisik danlatau kognitif serta berkaitan dengan penurunan variabel biomekanik. Pada usia lanjut di komunitas, kesulitan dalam aktivitas bangkit dari kursi, menaiki dan menuruni tangga, serta berjalan cepat, berkaitan dengan penurunan kapasitas kekuatan



isometrik otot ekstensor lutut di bawah 3 N d k g berat badan. Untuk bangkit dari kursi ukuran standar, terutama diperlukan kekuatan dari otot ekstensor lutut dan panggul. Pada usia lanjut sehat dengan berat badan seperti saat masih muda dan fungsi kedua ekstremitas yang simetris, kekuatan otot lutut hams berkurang hingga 70% baru menjadi tidak adekuat. Di sisi lain, jika berat badan usia lanjut tersebut 2 kali berat badan saat masih muda, kekuatan otot lutut hanya perlu berkurang 35% untuk menjadi tidak adekuat saat bangkit dari kursi dan membutuhkan bantuan tangan, serta bertambah sulit jika kursinya rendah dan landasan penopang sempit. Untuk bangkit dari tempat tidur, usia lanjut cenderung untuk memperlama waktu kontak antara lengan dan tempat tidur, melakukan rotasi dengan punggung miring ke salah satu sisi, menahan berat badan pada daerah panggul atau gluteal, dan menggunakan siku untuk membantu berputar saat bangun. Hal ini mungkin karena terdapat penurunan kekuatan otot punggung. Sedangkan untuk bangkit dari lantai, usia lanjut cenderung menggunakan posisi peralihan, seperti bertopang pada keempat ekstremitas, untuk mengurangi kekuatan yang dibutuhkan dan memperbaiki stabilitas postural. Beberapa kondisi patologis yang meningkat prevalensinya sejalan dengan meningkatnya usia turut berperan terhadap terjadinya instabilitas dan jatuh. Penyakit sendi degeneratif (terutama vertebra servikal leher, lumbosakral, dan ekstremitas bawah) dapat menimbulkan rasa nyeri, sendi tak stabil, kelemahan otot, dan gangguan neurologis. Fraktur panggul dan femur yang baru menyembuh dapat mengakibatkan gaya berjalan yang tidak normal dan kurang mantap. Kelemahan otot dan defisit sensorik akibat strok yang baru dialami dapat menyebabkan instabilitas. Berkurangnya input sensorik, seperti pada neuropati diabetik dan neuropati perifer lainnya, gangguan penglihatan, dan gangguan pendengaran mengakibatkan berkurangnya isyarat dari lingkungan yang sebenarnya berperan pada kestabilan, dan karenanya merupakan predisposisi untuk terjadinya jatuh. Gangguan fungsi kognitif dapat mengakibatkan seseorang berjalan-jalan (wandering) ke tempat atau lingkungan yang tidak aman dan memudahkan untuk jatuh. Masalah podiatri (bunion, kalus, penyakit kuku, maupun deformitas sendi) yang menyebabkan rasa nyeri, deformitas, dan perubahan dalam cara berjalan merupakan penyebab instabilitas yang seringkali dapat diperbaiki. Penyakit lain yang sering dialami oleh orang usia lanjut, seperti penyakit Parkinson dan penyakit jantung, dapat mengakibatkan instabilitas dan jatuh pula.



INSTABILITAS DAN JATUH Terdapat banyak faktor (Gambar 4 dan Tabel 2) yang



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Bahaya ltngkungan berjalanlkese~mbanga



0 bat-obatan



. Kelemahan



+#



Gangguan efektiv~taskehidupa~ sehari-har~



\



I



-



?



Kerapuhsnlkerentanan terka~tusla



Vertigo - 4



FAKTOR RlSlKO



I



I



Gambar 4. Faktor-faktor dan interaksi darl berbaga~etlologl jatuh



Penyebab Jatuh



Kecelakaan



Sinkop Drop attacks Dizziness danlatau vertigo Hipotensi ortostatik



Proses penyakit



ldiopatik



Keterangan



Kecelakaan murnl (terantuk, terpleset, dll) lnteraks~antara bahaya dl l~ngkungandan faktor yang menlngkatkan kerentanan H~langnyakesadaran mendadak Kelemahan tungka~bawah mendadak yang menyebabkanjatuh tanpa keh~langankesadaran Penyak~tvestrbular Penyak~tststem saraf pusat H~povolem~aatau kard~ak output yang rendah D~sfungs~ otonom Gangguan allran darah bal~kvena Trrah barrng lama H~potens~ ak~batobat-obatan H~potens~ postprand~al D~uret~ka Ant~h~pertens~ Ant~depres~ golongan trrs~kl~k Sedatrf Ant~ps~kottk H~pogl~kemla Alkohol Berbaga~penyak~takut Kard~ovaskularar~trnla,penyak~tkatup jantung (stenos~saorta), s~nkopslnus karot~d Neurolog~s TIA, strok akut, gangguan kejang, penyakrt Parkinson, spond~los~s lumbar atau serv~kal (dengan kornpres~ pada korda sp~nal~s atau cabang saraf), penyak~tserebelum, h~drosefalustekanan normal (ganggual gaya berjalan), lesl s~stem saraf pusat (tumor, hematom subdural) Tak ada penyebab yang dapat d~~dent~f~kas~



berperan untuk terjadinya instabilitas dan jatuh pada orang usia lanjut. Berbagai faktor tersebut dapat diklasifikasikan lnenjadi faktor risiko lntrinsik (faktor risiko yang ada pada pasien) dan faktor risiko ekstrinsik (faktor yang terdapat di lingkungan). Faktor intrinsik terdiri atas faktor lokal dan faktor



sistemik. Faktor intrinsik lokal antara lain adanya osteoartritis genu ataupun vertebra lumbal, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, gangguan pada alat keselmbangan seperti vertigo yang dapat dltimbulkan oleh gangguan aliran darah ke otak akibat hiperkoagulas~. hiperagregasi, atau osteoartritis servikal. Keleniahan otot kuadrisep femoris turut berperan untuk terjadinya jatuh karena ketidakmalnpuan mengangkat tungkai secara optimal s a t berjalan dan mengangkat tubuh saat bangun darl duduk. Faktor intrinsik sistemik dapat berupa berbagai penyakit yang dapat memicu timbulnya gangguan keseimbangan dan jatuh seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), pneumonia, infark miokard akut, gaga1 jantung, infeksi saluran kemih; demikian pula gangguan metabolik seperti hiponatremia, hipoglikemia atau hiperglikemia, maupun hipoksia serta adanya gangguan allran darah ke otak seperti pada keadaan hiperkoagulasi, strok, dan transient i.schc.nzic attact (TIA). Faktor Risiko lntrinsik Sinkop, drop attack.^, dan rlizzine.c.s merupakan penyebab jatuli pada orang usia lanjut yang sering disebut-sebut. Beberapa penyebab sinkop pada orang usia lanjut yang perlu dikenali antara lain respons vasovagal, gangguan kordiovaskular (bradi dan takiaritmia, stenosis aorta), gangguan neurologis akut (TIA, strok, atau kcjang), emboli paru, dan gangguan metabolik. Drop attucks merupakan kelemahan tungkai bawah mendadak yang menyebabkan jatuh tanpa kehilangan kesadaran. Kondisi tersebut seringkali dikaitkan dengan insutisiensi vertebrobasiler yang dipicu oleh perubahan posisl kepala. Diz:incsl atau rasa tidak stabil merupakan keluhan yang sering diutarakan oleh orang usia lanjut yang mengalami jatuh. Pasien yang mengeluh rasa ringan di kepala harus dievaluasi secennat mungkln akan adanya hipotensi postural atau deplesi volume intravaskular. Di sisi lain, vertlgo merupakan gejala yang lebih spesifik walaupun merupakan pemieu jatuh yang lebih jarang. Kondisi in1 dikaitkan dengan kelainan pada telinga bagian dalam seperti labirinitis, penyakit Meniere, dan benign paro.\-l~smalpo.sitional vertigo (BPPV). lskemia dan infark vertebrobasiler, serta infark serebelum juga dapat menyebabkan vertigo. Kebanyakan pasien usia lanjut dengan gejala dizziness dan z~n.~teudiness merasa eernas, depresi, sangat takut jatuh, sehingga evaluasi gejala mereka menjadi sulit. Beberapa pasien, terutama pada mereka dengan gejala ke arah vertigo, memerlukan pemeriksaan otologi, tennasuk uji auditori, yang dapat membedakan lebih jelas antara gejala akibat gangguan telinga dalam atau adanya keterlibatan sistem saraf pusat. Sekitar 10-20 persen orang usia lanjut mengalami



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



819



CANCCUAN KESEIMBANGANJATUH DAN FRAKTUR



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



hipotensi ortostatik yang sebagian besar tidak bergejala. Namun demikian, beberapa kondisi dapat menyebabkan hipotensi ortostatik yang berat sehingga memicu timbulnya jatuh. Kondisi-kondisi tersebut antara lain curah jantung rendah akibat gaga1 jantung atau hipovolemia, disfungsi otonom (sebagai akibat diabetes melitus), gangguan aliran balik vena (insufisiensi vena), tirah baring lama dengan deconditioning otot dan refleks, serta beberapa obat. Hubungan hipotensi ortostatik dengan hipertensi perlu dipahami sehingga tatalaksana hipertensi yang baik amat diperlukan untuk mencegah timbulnya hipotensi ortostatik tersebut. Berbagai penyakit, terutama penyakit kardiovaskular dan neurologis, dapat berkaitan dengan jatuh. Sinkop dapat merupakan gejala stenosis aorta dan merupakan indikasi perlunya evaluasi pasien akan adanya stenosis aorta yang memerlukan penggantian katup. Beberapa pasien memiliki baroreseptor karotis yang sensitif dan rentan mengalami sinkop karena refleks tonus vagal yang meningkat akibat batuk, mengedan, atau berkemih sehingga terjadi bradikardia atau hipotensi. Strok akut dapat menyebabkanjatuh atau memberikan gejala jatuh. TIA sirkulasi anterior dapat menyebabkan kelemahan unilateral dan memicu jatuh. TIA sirkulasi posterior (vertebrobasiler) mungkin juga dapat mengakibatkan vertigo, namun perlu disertai dengan satu atau lebih gejala lain seperti disartria, ataksia, kelemahan tungkai, dan berkurangnya lapangan pandang. Insufisiensi vertebrobasiler seringkali disebut sebagai penyebab drop attacks; kompresi mekanik arteri vertebralis oleh osteofit spina vertebra servikal manakala kepala diputar disebutkan pula sebagai penyebab ketidakstabilan dan jatuh. Penyakit lain pada otak dan sistem saraf pusat dapat pula menyebabkan jatuh. Penyakit Parkinson dan hidrosefalus tekanan normal menyebabkan gangguan gaya berjalan yang menyebabkan instabilitas dan jatuh. Gangguan serebelum, tumor intrakranial, dan hematoma subdural juga menyebabkan ketidakstabilan (unsteadiness) dengan kecenderungan mudah jatuh. Faktor Risiko Ekstrinsik Faktor risiko ekstrinsik merupakan faktor-faktor yang berada di lingkungan yang memudahkan orang usia lanjut mengalamijatuh. Berbagai faktor tersebut antara lain lampu ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, basah, atau tidak rata, furnitur yang terlalu rendah atau tinggi, tangga yang tak aman, kamar mandi dengan bak mandilcloset terlalu rendah atau tinggi dan tak memiliki alat bantu untuk berpegangan, tali atau kabel yang berserakan di lantai, karpet yang terlipat, dan benda-benda di lantai yang membuat seseorang terantuk. Obat-obatan juga dapat menjadi penyebab jatuh pada orang usia lanjut (Tabel 2). Misalnya obat diuretika yang dikonsumsi menyebabkan seseorang berulang kali hams



ke kamar kecil untuk buang air kecil atau efek mengantuk dari obat sedatif sehingga seseorang menjadi kurang waspada saat berjalan.



PENGKAJIAN INSTABILITAS DAN JATUH Evaluasi yang komprehensif terdiri atas riwayat jatuh dan medis yang rinci, pemeriksaan fisik, pengkajian cara berjalan dan keseimbangan, pengkajian terhadap kondisi lingkungan tempat pasien tinggal atau terjatuh, serta pada keadaan tertentu, pemeriksaan laboratorium (Tabel 3).



Evaluasi Anamnesis Riwayat medis umum Tingkat mobilitas Riwayat jatuh sebelumnya Obat-obatan yang dikonsumsi Apa yang dipikirkan pasien sebagai penyebab jatuh? Lingkungan sekitar tempat jatuh



Gejala yang terkait



Hilangnya kesadaran



Pemeriksaan Fisik: Tanda vital Kulit Mata Kardiovaskular Ekstremitas



Neurologis



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



Keterangan



Terutama obat antihipertensi dan psikotropika Apakah pasien sadar bahwa akan jatuh? Apakah kejadian jatuh tersebut sama sekali tak terduga? Apakah pasien terpleset atau terantuk? Waktu dan tempat jatuh Saksi Kaitannya dengan perubahan postur, batuk, buang air kecil, memutar kepala Kepala terasa ringan, dizziness, vertigo Palpitasi, nyeri dada, sesak Gejala neurologis fokal mendadak (kelemahan, gangguan sensorik, disartria, ataksia, bingung, afasia) Aura lnkontinensia urin atau alvi Apakah yang langsung diingat segera setelah jatuh? Apakah pasien dapat bangkit kembali setelah jatuh dan jika dapat, berapa lama waktu yang diperlukan untuk dapat bangkit setelah jatuh? Apakah adanya hilangnya kesadaran dapat dijelaskan oleh saksi? Demam, hipotermia, frekuensi pernapasan, frekuensi nadi dan tekanan darah saat berbaring, duduk, dan berdiri Turgor, trauma, kepucatan Visus Aritmia, bruit karotis, tanda stenosis aorta, sensitivitas sinus karotis Penyakit sendi degeneratif, lingkup gerak sendi, deformitas, fraktur, masalah podiatrik (kalus, bunion, ulserasi, sepatu yang tidak sesuai, kesempitanlkebesaran, atau rusak Status mental, tanda fokal, otot (kelemahan, rigiditas, spastisitas), saraf perifer (terutama sensasi posisi), proprioseptif, refleks, fungsi saraf kranial, fungsi serebelum (terutama uji tumit ke tulang kering), gejala ekstrapiramidal: tremor saat istirahat, bradikinesia, gerakan involunter lain, keseimbangan dan cara berjalan dengan rnengobse~a~i cara pasien berdiri dan berjalan (uji get up and go)



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Riwayat penyakit seyogyanya difokuskan pada riwayat medis umum dan pengobatan yang dijalani pasien, pendapat pasien tentang penyebab jatuh yang dialami mereka, lingkungan tempat pasien jatuh, gejala dan tanda yang menyertai (seperti palpitasi akibat aritmia atau gejala neurologis fokal akibat TIA), dan apakah terdapat riwayat kehilangan kesadaran. Manakala terdapat riwayat hilangnya kesadaran perlu dipertimbangkan adanya kejang (terutama bila terdapat inkontinensia) maupun kelainanjantung seperti aritmia sesaat atau blok jantung (heart block). Ekstremitas, kulit, dan jaringan lunak yang dirasakan nyeri oleh pasien perlu dikaji untuk mendeteksi adanya luka yang diakibatkan oleh jatuh. Beberapa masalah lain perlu juga ditelusuri untuk menetapkan penyebab instabilitas dan jatuh. Oleh karena jatuh dapat diakibatkan oleh berbagai penyakit akut, perhatian seksama perlu diberikan pada tanda vital. Demam, takipneu, takikardia, dan hipotensi perlu dikaji untuk mencari adanya penyakit akut seperti pneumonia atau sepsis, infark miokard, emboli paru, dan perdarahan saluran cerna. Adanya hipotensi postural perlu diwaspadai karena selain dapat terjadi pada usia lanjut yang sehat dan tanpa gejala, dapat pula terjadi pada orang yang mengalami deconditioning akibat imobilisasi berkepanjangan atau mengalami insufisiensi vena. Adanya hipotensi postural dapat pula diakibatkan oleh dehidrasi, kehilangan darah akut, atau efek samping obat. Ketajaman penglihatan perlu dikaji, apakah berperan pada instabilitas dan jatuh. Pemeriksaan kardiovaskular perlu difokuskan pada adanya aritmia dan tanda stenosis aorta. Bila kedua kondisi tersebut dicurigai ada pada pasien, seyogyanya dilakukan pemantauan berkesinambungan dan ekokardiografi. Pemeriksaan ekstremitas seyogyanya dilakukan untuk mencari adanya deformitas, keterbatasan lingkup gerak sendi, atau inflamasi aktif yang mendasari instabilitas dan menyebabkan jatuh. Perhatian khusus sebaiknya diberikan pada kaki pasien untuk mencari adanya deformitas, lesi yang nyeri (kalus, bunion, ulkus), maupun sepatu yang tidak sesuai ukuran dan tidak nyaman. Pemeriksaan neurologis juga merupakan komponen penting yang harus dikaji. Status mental hams dievaluasi dengan mencari tanda neurologis fokal. Adanya kelemahan otot, rigiditas atau spastisitas, abnormalitas fungsi serebelum, tanda penyakit Parkinson, dan tanda neuropati perifer perlu dicari. Pengkajian cara berjalan dan keseimbangan juga merupakan komponen penting dalam pemeriksaan fisik. Pengkajian sederhana berupa 'get up dan go test ' mungkin cukup praktis dalam mengkaji cara berjalan dan keseimbangan. Pemeriksaan laboratorium tidak selalu diperlukan, tergantung data yang diperoleh dari riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Jika diduga terdapat penyakit akut yang mendasari terjadinya instabilitas atau jatuh, perlu dilakukan



pemeriksaan penunjang seperti pemeriksan darah perifer lengkap, elektrolit, ureum, foto toraks, atau elektrokardiogram. Jika dicurigai adanya aritrnia sesaat atau blok jantung, elektrokardiogram perlu dikerjakan. Ekokardiografi perlu dilakukan bila dicurigai terdapat murmur jantung lebih keras dari derajat 2. Pencitraan dengan CTscan dan elektroensefalogram perlu dikerjakan bila dicurigai kuat terdapat lesi intrakranial atau kejang.



PEMERIKSAAN KESEIMBANGANDAN MOBlLlTAS FUNGSIONAL Terdapat sejumlah pemeriksaan untuk mengevaluasi fungsi mobilitas sehingga dapat mendeteksi perubahan klinis bermakna yang menyebabkan seseorang berisiko untuk jatuh atau timbul disabilitas dalam mobilitas. Tidak ada baku emas untuk mengukur keseimbangan dan mobilitas fungsional, namun telah dikembangkan berbagai alat ukur untuk mengukur kemampuan keseimbangan dan mobilitas serta pemantauan perubahan kemampuan ini sejalan dengan waktu, baik yang dilakukan di laboratorium untuk penilaian obyektif penampilan biomekanik maupun uji fungsional yang lebih mudah dilakukan, berbiaya rendah, dan dapat diinterpretasikan langsung relevansi fungsionalnya. Uji fungsional tersebut antara lain: the timed up-and-go test (TUG), uji menggapai fungsional (functional reach test), dan uji keseimbangan Berg (the Berg balance sub-scale of the mobility index).



Uji The Timed Up and Go Uji TUG merupakan modifkasi dari uji get up andgo (GUG) untuk menghilangkan unsur subyektivitas dalam penilaian uji GUG. Pada uji GUG subyek diminta untuk bangkit dari kursi, berjalan sepanjang 3 meter, berbalik arah kembali menuju kursi, dan duduk kembali. Oleh pemeriksa dinilai cara berjalan dan ada tidaknya gangguan gaya berjalan subyek, kemudian diberikan nilai berskala 1-5;nilai 1berarti normal, sedangkan nilai 5 menunjukkan abnormalitas berat. Uji TUG dapat digunakan untuk mengukur mobilitas, keseimbangan, dan pergerakan pada usila. Fungsi mobilitas fungsional dasar tersebut diukur dari berapa detik waktu yang diperlukan subyek untuk melakukan aktivitas berturut-turut: bangkit dari kursi bertinggi duduk 46 cm dengan sandaran lengan dan punggung, berjalan sepanjang 3 meter, berbalik arah kembali menuju kursi, dan duduk kembali. Nilai 65 tahun (Colledge et al, 1994). Sebanyak 2% konsultasi di pelayanan primer menyangkut dizziness (Sloan , 1989), dan dizziness merupakan penyebab utama nomor 13 penderita datang berobat ke spesialis penyakit dalam (Adelman, 2001). prevalensi sedikit, dari 1622 orang (>60 tahun)di masyarakat didapat Dizziness 29,3% dan dalam 1 tahun prevalensinya 18,2%.



Dizziness dikaitkan dengan perasaan kesehatan yang buruk tetapi tidak dikaitkan dengan risiko kematian. bahayanya besar, ada hub dg kesehatan menurun,



Etiologi dan Akibat Penyakit yang mengancam jiwa pada dizziness umumnya jarang (penyakit serebrovaskular 6%, aritmia kardia 1,5%, dan tumor otak 200 ml, hematuria tanpa petunjuk infeksi saluran kemih, dan gaga1terapi yang telah diberikan. Berdasarkan pendekatan diagnostik yang meliputi beberapa aspek, dapat dipahami bahwa sejak awal evaluasi



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



INKONTINENSIAURlN DAN KANDUNC KEMIH HIPERAKTIF



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI penderita inkontinensia urin hams bersifat multidimensi yang sebaiknya dilakukan oleh sebuah tim. Pendekatan multidimensi ini dikenal dengan pengkajian geriatri khusus inkontinensia urin. Pada Gambar 6 berikut disampaikan algoritme evaluasi inkontinensia urin.



Evaluasi awal



- Riwayat yang terfokus



- Pemeriksaan fisis terarah - Urinalisis - Residu pascamiksi



1



ldentifikasi faktor reversibel ?



I



Terapi



+Tidak membaik



ldentifikasi pemeriksaan khusus ?



1



-



Ya



1 Evaluasi:



- Urologi



Tidak



- Ginekologi



- Urodinamik



1



Terapi empiris - Obat dan atau behavioral - Suportif dan behavioral



1 Tidak membaik



Gambar 6. Algoritrne evaluasi inkontinensia urin



TATALAKSANA Telah dikenal beberapa modalitas terapi dalam penatalaksanaan pasien dengan inkontinensia urin. Umumnya berupa tatalaksana non farmakologis, farmakalogis, maupun pembedahan. Tidak ada satu modalitas terapi yang dapat mengatasi semua jenis inkontinensia urin, sebaliknya satu tipe inkontinensia urin diatasi dengan beberapa modalitas terapi bersama-sama. Spektrum modalitas terapi meliputi: terapi non farmakologis meliputi terapi suportif nonspesifik (edukasi, manipulasi lingkungan, pakaian dan pads tertentu); intervensi tingkah laku (latihan otot dasar panggul, latihan kandung kemih, penjadwalan berkemih, latihan kebiasaan); terapi medikamentosa; operasi; dan pemakaian kateter. Keberhasilan penanganan pasien tergantung pada keberhasilan proses diagnosis dalam menentukan tipe inkontinensia, faktor-faktor kontribusi reversibel, dan problem medik akut. Intervensi perilaku yang merupakan tatalaksana non farmakologis memiliki risiko yang rendah dengan sedikit efek samping, namun memerlukan motivasi clan kerjasama



yang baik dari pasien. Secara umum strategi meliputi edukasi pada pasien atau pengasuh pasien (caregiver). Intervensi perilaku meliputi bladder training, habit training, prompted voiding, dan latihan otot dasar panggul. Teknik-teknik canggih yang dapat melengkapi teknik behavioral ini antara lain stimulasi elektrik, biofeedback, dan neuromodulasi. Bladder training merupakan salah satu terapi yang efektif di antara terapi non farmakologik lainnya. Terapi ini bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal dengan teknik distraksi atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih hanya 6-7 kali per hari atau 3-4 jam sekali. Pasien diharapkan dapat menahan sensasi untuk berkemih. Pasien diinstruksikan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya interval berkemih diperpanjang secara bertahap sampai pasien ingin berkemih setiap 2-3 jam. Teknik ini terbukti bermanfaat pada inkontinensia urgensi dan stres, namun untuk itu diperlukan motivasi yang kuat dari pasien untuk berlatih menahan keluarnya urin dan hanya berkemih pada interval waktu tertentu saja. Latihan otot dasar panggul merupakan terapi yang efektif untuk inkontinensia urin tipe stres atau campuran dan tipe urgensi. Latihan dilakukan tiga sampai lima kali sehari dengan 15 kontraksi dan menahan hingga 10 detik. Penelitian uji klinik menunjukkan bahwa 56-77% pasien mengalami perbaikan dalam jangka pendek dengan latihan tersebut. Terdapat pula penelitian yang menunjukkan bahwa peningkatan perbaikan akan timbul selama paling tidak 10 tahun. Latihan dilakukan dengan membuat kontraksi berulang-ulang pada otot dasar panggul. Dengan memperkuat otot tersebut, latihan ini diharapkan dapat meningkatkan kekuatan uretra untuk menutup secara sempurna. Sebelum pasien menjalani latihan, hams dilakukan lebih dahulu pemeriksaan vagina atau rektum untuk menetapkan apakah mereka dapat mengkontraksikan otot dasar panggulnya. Habit training memerlukan penjadwalan waktu berkemih. Diupayakan agar jadwal berkemih sesuai dengan pola berkemih pasien sendiri. Teknik ini sebaiknya digunakan pada inkontinensia urin tipe fungsional dan membutuhkan keterlibatan petugas kesehatan atau pengasuh pasien. Prompted voiding dilakukan dengan cara mengajari pasien mengenali kondisi atau status kontinensia mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi kognitif. Terapi biofeedback bertujuan agar pasien mempu mengontrollmenahan kontraksi involunter otot detrusor kandung kemihnya. Cara biofeedback mempunyai kendala karena penderita perlu mempunyai intelegensia yang cukup untuk dapat mengikuti petunjuk pelatihnya, sementara pelatihnya sendiri hams mempunyai kesadaran dan motivasi yang tinggi karena waktu yang diperlukan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



untuk dapat mendidik satu orang pasien dengan cara ini cukup lama. Stimulasi elektrik merupakan terapi yang menggunakan dasar kejutan kontraksi otot pelvis dengan menggunakan alat-alat bantu pada vagina atau rektum. Terapi ini tidak begitu disukai oleh pasien, karena pasien harus menggunakan alat dan kemajuan dari terapi ini terlihat lamban. Neuromodulasi merupakan terapi dengan menggunakan stimulasi saraf sakral. Mekanisme yang pasti dari teknik ini masih belum diketahui, tetapi diduga karena adanya kegiatan interneuron tulang belakang atau neuron adrenergik beta yang menghambat kegiatan kandung kemih. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa neuromodulasi merupakan salah satu cara penatalaksanaan kandung kemih hiperaktif yang berhasil. Penggunaan keteter menetap (indwelling catheter) sebaiknya tidak digunakan secara rutin dalam pengelolaan inkontinensia urin karena dapat terjadi infeksi saluran kemih bahkan sampai sepsis, pembentukan batu, abses, dan bocor. Kateter menetap ini dapat digunakan bila terjadi retensi urin yang lama sehingga menyebabkan infeksi saluran kemih atau gangguan ginjal. Kateter intermiten merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini diajarkan kepada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun demikian teknik ini berisiko untuk terjadinya infeksi saluran kemih. Pilihan terapi inkontinensia urin pada pasien geriatri dapat dilihat pada Tabel 7, sementara terapi primer yang ditujukan untuk mengatasi berbagai tipe inkontinensia urin dapat dilihat pada Tabel 8. Terapi farmakologis atau medikamentosa telah dibuktikan mempunyai efek yang baik terhadap inkontinensia urin tipe urge dan stres. Obat-obat yang dipergunakan dapat digolongkan menjadi: antikolinergikantispasmodik, agonis adrenergik a, estrogen topikal, dan antagonis adrenergik a. Pada semua obat yang digunakan untuk terapi inkontinensia urin, efek samping harus diperhatikan apabila dipergunakan pada pasien geriatri, seperti mulut kering, mata kabur, peningkatan tekanan bola mata, konstipasi, dan delirium. Sementara obat yang lain dapat menimbulkan hipotensi postural, bradikardia, sakit kepala, dan lain-lain. Daftar obat yang sering dipakai tercantum pada Tabel 9. Obat fenilpropanolamin saat ini dihentikan penggunaannya untuk inkotinensia urin tipe stres karena uji klinik menunjukkan adanya peningkatan risiko strok. Pseudoefedrin dapat digunakan untuk tatalaksana inkontinensia tipe stres karena meningkatkan tekanan sfingter uretra, sehingga menghambat pengeluaran urin. Pseudoefedrin memiliki efek samping seperti insomnia, sakit kepala, dan guguplgelisah. Penggunaannya harus amat hati-hati pada pasien dengan hipertensi, aritmia



Modalitas suportif non-spesifik Edukasi Memakai substitusi toilet Manipulasi lingkungan Pakaian tertentu dan pads Modifikasi intaks cairan dan obat lntervensi behavioral Bergantung pasien Latihan otot pelvis Bladder training Bladder retraining Bergantung caregiver Penjadwalan miksi Latihan kebiasaan = Prompted voiding Obat o Relaksan kandung kemih o agonis a o antagonis a o estrogen o Periuretral infeksi o Operasi o Peralatan mekanik Urethral plugs, champs Artificial sphincters o Kateter = Eksternal lnterniten Menetap



Tipe lnkontinensia



Terapi Primer



Stres



Latihan Kegel Agonis adrenergik a estrogen lnjeksi periuretral Operasi bagian leher kandung kemih



Urgensi



Relaksan kandung kemih Estrogen Bladder training Operasi untuk menghilangkan sum batan Bladder retraining Kateterisasi intermiten Kateterisasi menetap



Fungsional



lntervensi behavioral Manipulasi lingkungan Pads



jantung, dan angina. Dengan demikian penggunaannya jarang ditemui pada orang usia lanjut. Antikolinergik dapat digunakan untuk tatalaksana inkontinensia urgensi. Oksibutinin memiliki efek antikolinergik dan merelaksasikan otot halus. Tolterodin merupakan kompetitif bloker reseptor M3. Uji klinik menunjukkan bahwa oksibutinin dan tolterodin



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



INKONTINENSIA URlN DAN KANDUNG KEMIH HIPERAKTIF



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Obat



Dosis



Tipe lnkontinensia



Efek Samping



Hyoscamin



3 x 0,125 mg



Urge atau campuran



Tolterodin



2 x 4 mg



Urgensi dan OAB



Mulut kering, mata kabur, glaukorna, delirium, konstipasi Mulut kering, Konstipasi



lmipramin



3 x 25-50 mg



Urgensi



Deliriurn,hipote nsi ortostatik



Pseudoephedrin



3 x 30-60 mg



Stres



Sakit kepala, takikardi, tekanan darah tinggi. lritasi lokal



Topikal estrogen



Urgensi dan stres



Doxazosin



4 x 1-4 mg



Tamsulosin Terazosin



1 x 0,4-0,8 mg 4 x 1-5 mg



BPH dengan urgensi



Hipotensi postural



menyebabkan penurunan frekuensi inkontinensia urgensi dibandingkan dengan plasebo. Pemberian dosis sehari sekali berhubungan dengan efek samping yang lebih rendah khususnya efek mulut kering. Beberapa efek samping antikolinergik adalah xerostomia, xeroftalmia, konstipasi, gangguan penglihatan, sedatif, retensi urin, insomnia, takikardia, ortostasis, kebingungan, dan delirium. Tolterodin lebih selektif untuk resptor muskarinik di kandung kemih dari pada di kelenjar parotis, sehingga diharapkan dapat memberikan efek samping kolinergik yang lebih sedikit, seperti xerostomia. Penggunaan agen trisiklik seperti imipramin dibatasi pada usia lanjut karena efek samping yang ditimbulkannnya. Uji klinik juga tidak menunjukkan adanya efektifitas penggunaan imipramin. Tindakan operatif dilakukan atas pertimbangan yang matang dan didahului dengan evaluasi urodinamik. Pada perempuan dengan prolaps pelvik yang signifikan dan inkontinensia tipe stres yang tidak membaik dengan penanganan konservatif hams dilakukan upaya operatif. Pada laki-laki dengan tanda obstruksi saluran kemih akibat hipertrofi prostat dapat dilakukan operasi sebagai upaya pencegahan inkontinensia tipe overflow di kemudian hari. Beberapa cara untuk melemahkan detrusor dilakukan dengan menggunakan pendekatan postsakral atau paravaginal. Teknik pembedahan yang bertujuan untuk merusak struktur dan kekuatan detrusor seperti transeksi terbuka kandung kemih, transeksi endoskopik, injeksi penol periureter dan sistolisis telah banyak digunakan. Teknik pembedahan yang paling sering digunakan adalah



ileosistoplasti dan miektomi detrusor. Teknik pembedahan untuk inkontinensia tipe stres adalah injectable intraurethral bulking agents, suspensi leher kandung kemih, urethral slings, dan artificial urinary sphincters. Teknik pembedahan untuk inkontinensia tipe urgensi adalah augmentation cystoplasty, dan stimulasi elektrik. Salah satu modalitas terapi yang perlu mendapat perhatian bagi tenaga kesehatan adalah pemakaian kateter dan perawatannya. Dalam praktek klinik, kateterisasi sering merupakan tindakan pertama yang dilakukan untuk penderita inkontinensia urin akut. Datadata yang ada menunjukkan pemakaian kateter yang berlebihan. Terdapat 3 cara atau prosedur pemakaian kateter yaitu : kateter eksternal (kateter kondom), kateterisasi intermiten, dan kateterisasi kronik atau menetap. Kateter eksternal hanya dipakai pada inkontinensia intractable tanpa retensi urin yang secara fisik depended bedridden. Bahaya pemakaian kateter tersebut adalah risiko infeksi dan iritasi kulit. Kateterisasi intermiten dipakai untuk mengatasi retensi urin dan inkontinensia tipe overflow akibat kandung kemih yang akontraktil atau Detrussor hyperactivity with impaired contractility (DHIC). Prosedur ini dapat dilakukan 2 - 4 kali per-hari oleh pasien atau tenaga kesehatan. Biasanya teknik ini dilakukan pada pasien dengan inkontinensia urin akut. Risiko infeksi sering terjadi pada prosedur ini, oleh karenanya hams dicegah dengan melakukan teknik aseptik. Sedangkan kateterisasi menetap hams dilakukan secara selektif oleh karena risiko bakteriuria kronik, batu kandung kemih, abses periuretral, dan bahkan kanker kandung kemih. Induksi pemakaian kateter kronik adalah retensi urin akibat inkontinensia overflow persisten, tak layak operasi, tidak efektif dilakukan kateterisasi intermiten, ada dalam perawatan dekubitus, dan perawatan terminal dengan demensia berat. Konsensus mengenai rekomendasi dan panduan tata laksana inkontinensia urin pada perempuan danlaki-laki dengan inkontinensia urin neurogenik dan pada usia lanjut telah dikeluarkan oleh The ScientzJic Committee on the First International Consultation on Incontinence. Tujuan tata laksana pada usia lanjut akan berbeda pada tiap individu dan harus didasari oleh keinginan dan motivasi dari pasien dan keluarga untuk ditangani, komorbiditas, prognosis, dan harapan hidup. Gambar 7 menunjukkan algoritme tata laksana inkontinensia urin pada usia lanjut yang direkomendasikan oleh The Scientific Committee on the First International Consultation on Incontinence.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI IU aktivitas fisik



IU dengan urgensil frekuensi



IU dengan gejala retensi



IU dengan nyeri, hematuria, infeksi berulang, Massa pelvisliradiasil bedah



Pengkajian u m u m Catatan berkemih Pengkajian kualitas hiduplkeinginan untuk diterapi Pemeriksaan fisis: abdomen rektum ,neurologis Tes batuk untuk diagnosis inkontinensia stres Analisis urin +I- kultur urin (jika ada infeksi, diterapi) Kaji PVR



1 1 I . 1 1 Menduga tipe IU



Stres



Urgensi



Latihan berkemih Antimuskarinik Biofeedback



Latihan otot dasar panggul Biofeedback Stimulasi otot dasar panggul



1 1



Overflow



Antagonis alfa



Pembedahan



1 1



Assisted toileting



Prompted voiding



Alat bantu



Pads



1



Catheters



1



1



Tata laksana khusus



Gambar 7. Algoritme tatalaksana inkontinensia urin pada usia lanjut



REFERENSI Abrams, P. & Wein, A.J. The Overactive Bladder. A widespread but treatable condition Eric Sparre Medical, Stockholm, Swedien. 1998. Abrams P dkk. The standardisation of terminology of lower urinary tract function: report from the Standardization Sub-committee of the International Continence Society. Neurourol Urodyn 2002; 21: 167-78 Augspurger, R.R. Urinary incontinence and catheters in the elderly male and female dalam R.W. Schrier : Geriatric Medicine. W.B. Saunders, Philadelphia 1990.p.156 - 67. Abrams P, Cardozo L, Fall M, Grifiths D, Rosier P, Ulmsten U, dkk. The standardization of terminology of lower urinary tract function: report from the standardization sub-committee of the International Continence Society. Neurology and Urodynamics 2002;21: 167-178 Artibani W. Difficult to manage patient populations: mixed symptomatology. BJU Int 2000; 85 (suppl 3):53-54 Bravo, C.V. Aging and the urogenital system. Reviews in Clinical Gerontology 2000; 10:3 15-24. Chaliha C, Khullar V. Mixed incontinence. J. Urology 2004;63 (suppl 3A):51-7 Chutha, D.S., Fleming, K.C. dkk. Urinary incontinence in elderly population. Mayo CIin Proc 1996.;71:93-101. Dubeau CE. Urinary incontinence. In: Evans JG, Williams TF, Beattie BL, Michel JP, Wilcock GK, Editor. Oxford text-



book of geriatric medicine. 2"* ed. NewYork: Oxford University Press; 2000.p. 677-89. DuBeau, C.E. Epidemiology, risk factor, and pathogenesis of urinary incontinence Up to Date 2002.;10(2). Diokno AC, dkk. J Urol 1986;136:1022-25 Graffith, W.R. Urinary Incontinence in the Elderly. Health & Age. Novartis Foundation for Gerontology 2003;357- 60. Hextall A. Estrogens and lower urinary tract function. Maturitas 2000;36:83-92 Kane RL, Ouslander JG Ahrass IB. Incontinence. New York: McGrawHill; 2004.p 173-218. Klimas TCK. Current management of urinary incontinence. Journal of Pharmacy Practice 2004;17(2):103-114 Khullar V, Hill S, Lava1 K, Schotz HA, Jonas U, Versi E.Treatment of urge-predominant mixed urinary incontinence with tolterodine extended release : a randomized, placebo-controlled trial. Urology 2004;64: 269-75. Kris-Pranarka, Inkontinensia dalam R. Boedhi - Darmojo dan H. Hadi Martono (Eds) : Buku Ajar Geriatri Ed. 3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2004.p.197-215. Lagro-janssen ALM, dkk. Value of the patient's case history in diagnosing urinary incontinence in general practice. Br J Urol 1991;67:569-572 Lockher, J.L., Goode, P.S. et al.. Reability assesment of the bladder diary for urinary incontinence. Journal of Gerontology. Medical Science 2001; 56A(1):14 - 18. Minem,. Gambaran tipe inkontinensia urin pada pasien usia lanjut di



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



875



INKONTINENSIA URIN DAN KANDUNG KEMIH H~PERAKT~F



HANYA DI SCAN UNTUK dr.Lengkap PRIYO PANJI Simposium Gangguan Muskuloskeletal pada



Poliklinik Geriatri RS Dr. Sardjito Yogyakarta. Karya Tulis Zlmiah Program studi Ilmu Keperawatan FK UGM. Yogyakarta. 2004. Mc Intosh LJ, Richardson DA. 30-minute evaluation of incontinence in the older woman. Geriatrics 1994 Feb;49:36-44. Norton PA, Zinner NR, Yalcin I. Duloxetine versus placebo in the treatment of stress urinary incontinence. Am J Obstet Gynecol 2002; 187:40-48 Nihira MA, Henderson N. Epidemiology of urinary incontinence in women. Current Womens's Helath Reports 2003;3:340-7 Ouslander JG. Urinary incontinence. In: Ostenveil Dan, Smith KB, Beck JC, Editor. Comprehensive geriatric assessment. New York: McGraw-Hill; 2000.p.555-72 Ouslander JG, Johnson TM. Incontinence. In: Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH, et al (eds). Principles of Geriatric Medicine and Gerontology. 4Ih ed. New York: McGraw-Hill;l999.p 1505614. Rossman, I. Urinary incontinence Clinical Geriatric 31d. Ed. Philadelphia: Lippinncot Company; 1996.p.701-707. Pauls, J. Urinary incontinence and impairment of the pelvic floor in the older adult. dalam A.A. Guccione : Geriatric Physical Therapy 2ndEd. St Louis: Mosby; 2000.p. 340 - 50. Pramantara, D.P. & Wasilah Rochmah. Sindroma Geriatrik yang berkaitan dengan gangguan sistem muskuloskeletal. Naskah



usia lanjut, Medika FK UGM & Klinik Lansia FK UGM. 2003 Setiati S, Istanti R. Survei inkontinensia urin (mengompol) pada usia lanjut di lingkungan Pusat Santunan Keluarga (PUSAKA). Maj Kedokt Indon 2003 Apri1;53 (4):137-9 Setiati S. Pedoman penatalaksanaan inkontinensia urin pada pasien geriatri. Dalam: Soejono CH, Setiati S, Wiwie M, Silaswati S, Editor. Pedoman Pengelolaan Kesehatan Pasien Geriatri. Edisi pertama. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Penyakit Dalam FKUI, 2000;85-94 Sorbera LA, Castaner RM, Castaner J. Duloxetine oxalate. Drugs of the future 2000;25:907-16 Steers WD. Pathophysiology of overactive bladder and urge urinary incontinence. Rev Urol 2002;4 (suppl 4) : S7-S18. Stewart WF, dkk. Prevalence and burden of overactive bladder in the United States.World J Urol 2003; 20: 327-36 Wells, dkk. Urinary incontinence in elderly women: clinical findings. J Am Geriatr Soc 1997; 35 :933-39 Weiss BD. Diagnosis evaluation of urinary incontinence in geriatric patients. Am Fam Physic 1998. Weiss BD. Urinary incontinence. In: Adelman AM, Daly MP, editors. 20 Common Problems Geriatrics. Singapore: McGrawHill; 2001.p.85-114.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



KONSTIPASI DAN INKONTINENSIA ALVI Kris Pranarka, Rejeki Andayani R



PENDAHULUAN Konstipasi merupakan suatu keluhan, bukan penyakit. Sekitar 80% manusia pernah menderita konstipasi dalam hidupnya dan konstipasi yang berlangsung singkat masih dianggap normal. Menurut National Health Interview Survey pada tahun 1991, sekitar 4,5 juta penduduk Arnerika mengeluh menderita konstipasi terutama anak-anak, perempuan, dan orang berusia 65 tahun ke atas. Hal ini menyebabkan kunjungan ke dokter sebanyak 2,5 juta kalil tahun dan menghabiskan dana sekitar 725 juta dolar untuk obat-obatan pencahar. Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna yang terbanyak pada usia lanjut. Terjadi peningkatan keluhan ini dengan bertambahnya usia; 30-40% orang berusia di atas 65 tahun mengeluh konstipasi. Di Inggris, 30% penduduk berusia di atas 60 tahun merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar. Di Australia, sekitar 20% dari populasi berusia di atas 65 tahun mengeluh mengalami konstipasi dan terjadi lebih banyak pada perempuan dibandingkan pria. Suatu penelitian yang melibatkan 3.000 orang berusia di atas 65 tahun menunjukkan sekitar 34% perempuan dan 26% pria mengeluh mengalami konstipasi.



DEFlNlSl KONSTIPASI Pada umumnya konstipasi sulit didefinisikan secara tegas karena sebagai suatu keluhan terdapat variasi yang berlainan antara individu. Penggunaan istilah konstipasi secara keliru dan belum adanya definisi yang universal menyebabkan lebih kaburnya ha1 ini. Biasanya konstipasi berdasarkan laporan pasien sendiri atau konstipasi anamnestik dipakai sebagai data pada penelitian-penelitian. Batasan dari konstipasi klinis yang sesungguhnya adalah



ditemukannya sejumlah besar feses memenuhi ampula rektum pada colok dubur, dan atau timbunan feses pada kolon, rektum, atau keduanya yang tampak pada foto polos perut. Studi epidemiologis menunjukkan kenaikan pesat dari konstipasi terkait dengan usia terutama berdasarkan keluhan pasien dan bukan karena konstipasi klinis. Banyak orang mengira dirinya konstipasi bila tidak buang air besar (BAB) tiap hari sehingga sering terdapat perbedaan pandang antara dokter dan pasien tentang arti konstipasi itu sendiri. Frekuensi BAB bervariasi dari 3 kali per hari sampai 3 kali per minggu. Secara umum, bila 3 hari belum BAB, massa feses akan mengeras dan ada kesulitan sampai rasa sakit saat BAB. Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi BAB, biasanya kurang dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras, serta kadangkala disertai kesulitan sampai rasa sakit saat BAB. Orang usia lanjut seringkali terpancang dengan kebiasaan BAB-nya. Hal ini mungkin merupakan kelanjutan dari pola hidup semasa kanak-kanak dan saat masih muda, dimana setiap usaha dikerahkan untuk BAB teratur tiap hari, kalau perlu dengan menggunakan pencahar untuk mendapatkan perasaan sudah bersih. Ada anggapan umum yang salah bahwa kotoran yang tertimbun dalam usus besar akan diserap lagi, berbahaya untuk kesehatan, dan dapat memperpendek usia. Ada pula yang mengkhawatirkan keracunan dari fesesnya sendiri bila dalam jangka waktu tertentu tidak dikeluarkan. Suatu batasan dari konstipasi diusulkan oleh Holson, meliputi paling sedikit 2 dari keluhan di bawah ini dan terjadi dalam waktu 3 bulan: a). konsistensi feses yang keras; b). mengejan dengan keras saat BAB; c). rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB; d). frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang. International Workshop on Constipation berusaha lebih jelas memberikan batasan konstipasi. Berdasarkan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



KONSTlPASl DAN INKONTINENSIAALVI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



rekomendasinya, konstipasi dikategorikan dalam dua golongan: 1). konstipasi fungsional, 2). konstipasi karena penundaan keluarnya feses pada muara rekto-sigmoid. Konstipasi fungsional disebabkan waktu perjalanan yang lambat dari feses, sedangkan penundaan pada muara rektosigmoidmenunjukkan adanya dishgsi anorektal. Yang terakhir ini ditandai adanya perasaan sumbatan pada anus.



Ti pe



Kriteria



1. Konstipasi fungsional



Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling sedikit dalam 12 bulan: - mengedan keras 25% dari BAB - feses yang keras 25% dari BAB - rasa tidak tuntas 25% dari BAB - BAB kurang dari 2 kali per minggu



2. Penundaan pada muara rektum



- hambatan pada anus lebih dari 25% BAB



- waktu untuk BAB lebih lama - perlu bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses



Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang menyertakan kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer, koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan fisis untuk mencapai tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan pengelolaan dari konstipasi adalah karena banyaknya mekanisme yang terlibat pada proses BAB normal. Gangguan dari salah satu mekanisme ini dapat berakibat konstipasi. Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantarkan feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula dari rektum diikuti relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk menghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang dipersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. Kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot levator ani. Baik persarafan simpatis maupun parasimpatis terlibat dalam proses BAB. Patogenesis dari konstipasi bewariasi, penyebabnya multipel, mencakup beberapa faktor yang tumpang tindih. Walaupun konstipasi merupakan keluhan yang banyak pada usia lanjut, motilitas kolon tidak terpengaruh oleh bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan perlambatan dari perjalanan saluran cerna. Perubahan patofisiologi yang menyebabkan konstipasi bukanlah karena bertambahnya usia tetapi memang khusus terjadi pada mereka dengan konstipasi.



Penelitian dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut yang sehat tidak mendapatkan adanya perubahan dari total waktu gerakan usus, termasuk aktivitas motorik dari kolon. Total waktu pergerakan usus dengan mengikuti petanda radioopak yang ditelan, normalnya kurang dari 3 hari sudah dikeluarkan. Sebaliknya, penelitian pada orang usia lanjut yang menderita konstipasi menunjukkan perpanjangan waktu gerakan usus dari 4 sampai 9 hari. Pada mereka yang dirawat atau terbaring di tempat tidur, dapat lebih panjang lagi sampai 14 hari. Petanda radioaktif yang dipakai terutama lambatjalannya pada kolon sebelah kiri dan paling lambat saat pengeluaran dari kolon sigrnoid. Pemeriksaan elektrofisiologis untuk mengukur aktivitas motorik dari kolon pasien dengan konstipasi menunjukkan berkurangnya respons motorik dari sigmoid akibat berkurangnya inervasi intrinsik karena degenerasi pleksus mienterikus. Ditemukan juga berkurangnya rangsang saraf pada otot polos sirkuler yang dapat menyebabkan memanjangnya waktu gerakan usus. Individu di atas usia 60 tahun juga terbukti mempunyai kadar plasma beta-endorfin yang meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiat endogen di usus. Hal ini dibuktikan dengan efek konstipatif dari sediaan opiat yang dapat menyebabkan relaksasi tonus kolon, motilitas berkurang, dan menghambat refleks gaster-kolon. Selain itu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-otot polos berkaitan dengan usia, khususnya pada perempuan. Pasien dengan konstipasi mempunyai kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras, sehingga upaya mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini dapat beralubat penekanan pada saraf pudendus sehingga menimbulkan kelemahan lebih lanjut. Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut. Sebaliknya pada mereka yang mengalami konstipasi dapat mengalami tiga perubahan patologis pada rektum:



Diskesia Rektum Ditandai dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan sensasi rektum, dan peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih besar regangan rektum untuk menginduksi refleks relaksasi dari sfingter eksterna dan interna. Pada colok dubur pasien dengan diskesia rektum sering didapatkan impaksi feses yang tidak disadari karena dorongan untuk BAB sering sudah tumpul. Diskesia rektum juga dapat diakibatkan kurang tanggapnya atau penekanan pada dorongan untuk BAB seperti yang dijumpai pada penderita demensia, imobilitas, atau sakit daerah anus dan rektum. Dis-sinergia Pelvis Terdapat kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



sfingter anus eksterna saat BAB. Pemeriksaan secara manometrik menunjukkan peningkatan tekanan pada saluran anus saat mengejan.



Peningkatan Tonus Rektum Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering ditemukan pada kolon yang spastik seperti pada penyakit iritable bowel syndrome, dimana konstipasi merupakan ha1 yang dominan.



FAKTOR-FAKTOR RlSlKO KONSTlPASl PADA USlA LANJUT Dibutuhkan pengenalan faktor-faktor risiko yang berkaitan dengan konstipasi pada usia lanjut untuk memahami masalah ini. Sebagai contoh, polifarmasi dapat menyebabkan konstipasi karena beberapa golongan obat mempunyai potensi untuk ha1 ini. Beberapa kelainan neurologis dan endokrin-metabolik juga dapat mengakibatkan konstipasi yang berat. Secara singkat, sebagian faktor-faktor risiko tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.



Obat-obatan golongan antikolinergik golongan narkotik golongan analgetik golongan diuretik NSAlD Kondisi neurologis strok Penyakit Parkinson Gangguan metabolik hiperkalsemia hipokalernia hipotiroid Kausa psikologis psikosis depresi dernensia Penyakit-penyakit saluran cerna kanker kolon divertikel ileus hemia v0lv~I~s Lain-lain diet rendah serat kurang cairan irnobilitaslkurana olahraaa



kalsium antagonis preparat kalsiurn preparat besi antasida aluminium penyalahgunaan pencahar trauma medula spinalis neuropati diabetik



kurang privasi untuk BAB mengabaikan dorongan BAB konstipasi irnajiner Irritable bowel syndrome rektokel wasir fistulalfisura ani inersia kolon



bepergian jauh pasca tindakan perut



bedah



TAMPILAN KLlNlS KONSTlPASl Anamnesis yang terperinci merupakan ha1 terpenting untuk mengungkapkan adakah konstipasi dan faktor risiko



penyebabnya. Konstipasi merupakan suatu keluhan klinis yang umum dengan berbagai tanda dan keluhan lain yang berhubungan. Pasien yang mengeluh konstipasi tidak selalu sesuai dengan patokan-patokan yang obyektif. Misalnya bila dalam 24 jam belum BAB atau ada kesulitan h&s mengejan dan perasaan tidak tuntas untuk BAB sudah mengira dirinya menderita konstipasi. Beberapa keluhan yang mungkin berhubungan dengan konstipasi adalah: kesulitan memulai dan menyelesaikan BAB mengejan keras saat BAB massa feses yang keras dan sulit keluar perasaan tidak tuntas saat BAB sakit pada daerah rektum saat BAB rasa sakit pada perut saat BAB adanya perembesan feses cair pada pakaian dalam menggunakan bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses menggunakan obat-obatan pencahar untuk bisa BAB Pemeriksaan fisis pada konstipasi sebagian besar tidak didapatkan kelainan yang jelas. Walaupun demikian pemeriksaan fisis yang teliti dan menyeluruh diperlukan untuk menemukan kelainan-kelainan yang berpotensi mempengaruhi khususnya fungsi usus besar. Diawali dengan pemeriksaan rongga mulut meliputi gigi-geligi, adanya lesi selaput lendir mulut dan tumor yang dapat mengganggu rasa pengecap dan proses menelan. Pemeriksaan daerah perut dimulai dengan inspeksi adakah pembesaran abdomen, peregangan, atau tonjolan. Selanjutnya palpasi pada permukaan perut untuk menilai kekuatan otot-otot perut. Palpasi lebih dalam dapat meraba massa feses di kolon, adanya tumor atau aneurisma aorta. Pada perkusi dicari antara lain pengumpulan gas berlebihan, pembesaran organ, asites, atau adanya massa feses. Auskultasi antara lain untuk mendengarkan suara gerakan usus besar, normal atau berlebihan, misalnya pada sumbatan usus. Pemeriksaan daerah anus memberikan petunjuk penting, misalnya adakah wasir, prolaps, fisura, fistula, dan massa tumor di daerah anus yang dapat mengganggu proses BAB. Pemeriksaan colok dubur hams dikerjakan antara lain untuk mengetahui ukuran dan kondisi rektum serta besar dan konsistensi feses. Colok dubur dapat memberikan informasi tentang: tonus rektum tonus dan kekuatan sfingter kekuatan otot pubo-rektalis dan otot-otot dasar pelvis adakah timbunan massa feses adakah massa lain (misalnya hemoroid) adakah darah adakah perlukaan di anus Pemeriksaaan laboratorium dikaitkan dengan upaya



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



KONSTIPASI DAN 1NKONTlNENSIAAL.l



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



mendeteksi faktor-faktor risiko penyebab konstipasi, misalnya glukosa darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia yang berhubungan dengan keluarnya darah dari rektum, dan sebagainya. Prosedur lain misalnya anuskopi dianjurkan dikerjakan secara rutin pada semua pasien dengan konstipasi untuk menemukan adakah fisura, ulkus, wasir dan keganasan. Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi, terutama yang terjadinya akut. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adakah impaksi feses dan adanya massa feses yang keras yang dapat menyebabkan sumbatan dan perforasi kolon. Bila diperkirakan ada sumbatan kolon, dapat dilanjutkan dengan barium enema untuk memastikan tempat dan sifat sumbatan. Pemeriksaan yang intensif ini dikerjakan secara selektif setelah 3-6 bulan pengobatan konstipasi kurang berhasil dan dilakukan hanya pada pusatpusat pengelolaan konstipasi tertentu. Uji yang dikerjakan dapat bersifat anatomik (enema, proktosigmoidoskopi,kolonoskopi) atau fisiologik (waktu singgah di kolon, cinedefecografi, manometri dan elektromiografi). Proktosig-moidoskopi biasanya dikerjakan pada konstipasi yang baru terjadi sebagai prosedur penapisan adanya keganasan kolon-rektum. Bila ada penurunan berat badan, anemia, keluarnya darah dari rektum atau adanya riwayat keluarga dengan kanker kolon perlu dikerjakan kolonoskopi. Waktu persinggahan suatu bahan radio-opak di kolon dapat diikuti dengan melakukan pemeriksaan radiologis setelah menelan bahan tersebut. Bila timbunan zat ini terutama ditemukan di rektum menunjukkan kegagalan fungsi ekspulsi, sedangkan bila di kolon menunjukkan kelemahan yang menyeluruh. Sinedefecografi adalah pemeriksaan radiologis daerah anorektal untuk menilai evakuasi feses secara tuntas, mengidentifikasi kelainan anorektal dan mengevaluasi kontraksi serta relaksasi otot rektum. Uji ini memakai semacam pasta yang konsistensinya mirip feses, dimasukkan ke dalam rektum. Kemudian penderita duduk pada toilet yang diletakkan dalam pesawat sinar X. Penderita diminta mengejan untuk mengeluarkan pasta tersebut. Dinilai kelainan anorektal saat proses berlangsung. Uji manometri dikerjakan untuk mengukur tekanan pada rektum dan saluran anus saat istirahat dan pada berbagai rangsang untuk menilai fungsi anorektal. Pemeriksaan elektromiografi dapat mengukur misalnya tekanan sfingter dan fungsi saraf pudendus, adakah atrofi saraf yang dibuktikan dengan respons sfingter yang terhambat. Pada kebanyakan kasus tidak didapatkan kelainan anatomik maupun fungsional, sehingga penyebab dari konstipasi disebut sebagai non-spesifik.



KOMPLlKASl KONSTIPASI PADA USlA LANJUT



Walaupun untuk kebanyakan orang usia lanjut, konstipasi



hanya sekedar mengganggu, tetapi untuk sebagian kecil dapat berakibat komplikasi yang serius, misalnya impaksi feses. Impaksi feses merupakan akibat dari terpaparnya feses pada daya penyerapan dari kolon dan rektum yang berkepanjangan. Feses dapat menjadi sekeras batu, di rektum (70%), sigmoid (20%), dan kolon bagian proksimal (10%)). Impaksi feses merupakan penyebab yang penting dari morbiditas pada usia lanjut, meningkatkan risiko perawatan di rumah sakit dan mempunyai potensi untuk komplikasi yang fatal. Penampilannya sering hanya berupa kemunduran klinis yang tidak spesifik. Kadang-kadang dari pemeriksaan fisis didapatkan panas sampai 39,S°C, delirium, perut yang tegang, suarausus melemah, aritrnia serta takipnea karena peregangan dari diafragma. Pemeriksaan laboratorium didapatkan lekositosis. Peristiwa ini bisa diakibatkan ulserasi sterkoraseus dari suatu fecaloma yang keras menyebabkan ulkus dengan tepi yang nekrotik dan meradang. Dapat terjadi perforasi dan penderita datang dengan sakit perut berat yang mendadak. Impaksi feses yang berat pada daerah rektosigmoid dapat menekan leher kandung kemih menyebabkan retensio urin, hidronefrosis bilateral, dan kadang-kadang gaga1 ginjal yang membaik setelah impaksi dihilangkan. Inkontinensia alvi juga sering didapatkan, karena impaksi feses di daerah kolorektal. Volvulus daerah sigmoid juga sering terjadi sebagai komplikasi dari konstipasi. Mengejan berlebihan dalam jangka waktu lama pada penderita dengan konstipasi dapat berakibat prolaps dari rektum.



PENGOBATAN



Banyaknya macam-macam obat yang dipasarkan untuk mengatasi konstipasi, merangsang upaya untuk memberikan pengobatan secara simtomatik. Sedangkan bila mungkin, pengobatan hams ditujukkan pada penyebab dari konstipasi. Penggunaan obat pencaharjangka panjang terutama yang bersifat merangsang peristaltik usus, hams dibatasi. Strategi pengobatan dibagi menjadi: l).Pengobatan non farmakologis, 2). Pengobatan farmakologis Pengobatan Non Farmakologis



Latihan usus besar. Melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku yang disarankan pada penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya. Penderita dianjurkan mengadakan waktu secara teratur tiap hari untuk memanfaatkan gerakan usus besarnya. Dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan, sehingga dapat memanfaatkan refleks gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



penderita tanggap terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini.



Diet. Peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan usia lanjut. Data epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak serat mengurangi angka kejadian konstipasi dan macammacam penyakit gastrointestinal lainnya, misalnya divertikel dan kanker kolorektal. Serat meningkatkan massa dan berat feses serta mempersingkat waktu transit di usus. Untuk mendukung manfaat serat ini, diharapkan cukup asupan cairan sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi untuk asupan cairan. Olahraga. Cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga juga membantu mengatasi konstipasi. Jalan kaki atau larilari kecil yang dilakukan sesuai dengan umur dan kemampuan pasien, akan menggiatkan sirkulasi dan meningkatkan tonus otot usus. Dianjurkan juga untuk melakukan senam perut untuk memperkuat otot-otot dinding perut, terutama pada penderita dengan atoni pada otot perut.



Pengobatan Farmakologis Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan terapi farmakologis, dan biasanya dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe golongan obat pencahar: memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain: Cereal, Methyl selulose, Psilium melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air. Contohnya antara lain: Minyak kastor, Golongan docusate golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan, misalnya pada penderita gaga1 ginjal, antara lain: Sorbitol, Lactulose, Glycerin merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini yang banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bila dipakai untuk jangka panjang, dapat merusak pleksus mesenterikus dan berakibat dismotilitas kolon. Contohnya antara lain: Bisakodil, Fenolptalein Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan cara-cara tersebut di atas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan. Misalnya kolektomi sub total dengan anastomosis ileorektal. Prosedur ini dikerjakan pada konstipasi berat dengan masa transit yang lambat dan tidak diketahui penyebabnya serta tidak ada respons dengan pengobatan yang diberikan. Pada umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan karena massa atau adanya volvulus, tidak dilakukan tindakan pembedahan.



INKONTINENSIA ALVl



Pendahuluan Inkontinensia alvi sering digambarkan sebagai peristiwa yang tidak menyenangkan tetapi tidak terelakkan, berkaitan dengan usia lanjut. Sebenamya, seperti halnya dengan ulkus dekubitus, inkontinensia alvi seringkali terjadi alubat sikap dokter dan tindakan keperawatan yang kurang tepat. Dengan diagnosis dan pengobatan yang sesuai, inkontinensia alvi pada usia lanjut hampir seluruhnya dapat dicegah. Inkontinensia alvi lebihjarang ditemukan dibandingkan inkontinensia urin. Tiga puluh hingga lima puluh persen pasien dengan inkontinensia urin, juga menderita inkontinensia alvi. Keadaan ini menunjukkan mekanisme patofisiologi yang sama antara inkontinensia urin dan inkontinensia alvi. Untuk sebagian orang usia lanjut, inkontinensia alvi dapat mengakibatkan pengurangan aktivitas fisis, kehilangan kontak sosial, dan lebih jelek lagi sampai diisolasi. Inkontinensia alvi saat ini merupakan penyebab kedua di Amerika Serikat untuk memasukkan orang usia lanjut di rumah-rumah perawatan. Sekitar 7% dari populasi usia lanjut mengalami inkontinensia alvi paling sedikit sekali seminggu, dan sampai 50% dari mereka yang dirawat di rumah-rumah perawatan bagi usia lanjut, menderita inkontinensia alvi. Kebanyakan pasien tidak pernah melaporkan masalah ini pada dokternya. Pria usia lanjut lebih sering mengalami inkontinensia alvi dibandingkan perempuan usia lanjut, dan bentuk inkontinensianya lebih sering cair daripada bentuk padat.



PENGATURAN DEFEKASI NORMAL Defekasi, seperti juga halnya berkemih, adalah suatu proses fisiologis yang melibatkan : koordinasi susunan saraf pusat dan perifer serta sistem refleks kontraksi yang baik dari otot-otot polos dan serat lintang yang terlibat kesadaran dan kemampuan untuk mencapai tempat buang air besar. Di daerah rektum dan anus sendiri, ada tiga ha1 yang penting untuk mekanisme pengaturan buang air besar, yang tugasnya mempertahankan penutupan yang baik dari saluran anus, yaitu : a). Sudut anorektal yang dipertahankan pada posisi yang paling ideal, di bawah 100" oleh posisi otot-otot pubo-rektal; b). Sfingter anus eksterna yang melindungi terutama terhadap kenaikan mendadak dari tekanan intra-abdominal, misalnya batuk, bersin, olahraga, dan sebagainya; c). Bentuk anus sendiri



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



KONSTIPASI DAN INKONTINENSIAALVI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



yang seakan menguncup berbentuk katup, dengan otototot serta lipatan mukosa yang saling mendukung.



GAMBARAN KLlNlS Klinis inkontinensia alvi tampak dalam dua keadaan: 1). Feses yang cair atau belum terbentuk, sering bahkan selalu keluar merembes; 2). Keluarnya feses yang sudah terbentuk, sekali atau dua kali per hari, di pakaian atau di tempat tidur. Perbedaan dari penampilan klinis kedua macam inkontinensia alvi ini dapat mengarahkan pada penyebab yang berbeda dan merupakan petunjuk untuk diagnosis. Penyebab dari inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi 4 kelompok: inkontinensia alvi akibat konstipasi inkontinensia alvi simtomatik, yang berkaitan dengan penyakit pada usus besar inkontinensia alvi akibat gangguan kontrol persarafan dari proses defekasi (inkontinensia neurogenik) inkontinensia alvi karena hilangnya refleks anal Jenis-jenis Inkontinensia Alvi Selanjutnya akan dibicarakan masing-masing tipe dari inkontinensia dan pengelolaannya.



lnkontinensia Alvi Akibat Konstipasi Batasan dari konstipasi (obstipasi) masih belum tegas. Secara teknis dimaksudkan untuk buang air besar kurang dari tiga kali per minggu, tetapi banyak pasien sudah mengeluhkan konstipasi bila ada kesulitan mengeluarkan feses yang keras atau merasa kurang puas saat buang air besar. Konstipasi sering sekali dijumpai pada usia lanjut dan merupakan penyebab utama pada inkontinensia alvi pada usia lanjut. Obstipasi bila berlangsung lama dapat mengakibatkan sumbatadimpaksi dari massa feses yang keras (skibala). Massa feses yang tidak dapat keluar ini akan menyumbat lumen bawah dari anus dan menyebabkan perubahan dari sudut anorektal. Kemampuan sensor menumpul dan tidak dapat membedakan antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses yang cair akan merembes keluar. Skibala yang terjadi juga akan meyebabkan iritasi pada mukosa rektum sehingga akan diproduksi cairan dan mukus, yang selanjutnya melalui sela-sela dari feses yang impaksi akan keluar dan terjadi inkontinensia alvi. Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisis, antara lain meraba adanya skibala pada colok dubur. Dari anamnesis didapatkan keterangan keluamya feses yang tidak berbentuk atau lunak sekali, beberapa kali sehari dan penderita hampir selalu basah tercemar. Pada colok dubur bila didapatkan massa feses yang keras akan mendukung diagnosis konstipasi sebagai penyebab inkontinensia alvi, tetapi dapat juga massa feses yang



lunak sebagai penyebab. Pengelolaan yang sesuai untuk konstipasi akan menyembuhkan inkontinensia alvi. Langkah pertama adalah mengidentifikasi semua kemungkinan penyebabnya. Secara umum diet yang kurang baik, imobilitas, kebiasaan buang air besar yang tidak tertib dan penggunaan laksans yang tidak tepat merupakan penyebab paling sering untuk inkontinensia pada usia lanjut. Pemberian diet tinggi serat dengan cairan cukup dan meningkatkan aktivitas/mobilitas merupakan langkah pertama yang hams diperhatikan. Buang air besar secara teratur dengan menyesuaikan refleks gaster-kolon yang timbul beberapa menit setelah selesai makan harus dimanfaatkan, dengan mengatur waktu untuk buang air besar pada saat itu. Tempat buang air besar yang tenang dan pribadi juga akan mendukung. Bila konstipasi merupakan keluhan yang baru saja dialami dan ada perubahan dari buang air besar, maka macam-macam kelainadpenyakit kolo-rektal hams dicari. Demikian juga kelainan metabolik, misalnya neuropati diabetik, kelainan-kelainan neurologis lain seperti strok, gangguan medula spinalis, depresi, dan lain-lain. Akhimya tidak boleh dilupakan adalah efek samping obat yang penggunaannya kurang tepat. Beberapa golongan obat-obatan memang sering dimanfaatkan untuk pengobatan konstipasi, dengan catatan digunakan secara rasional sesuai tipe konstipasi yang dihadapi. Bila indikasinya tidak sesuai, obat tersebut bahkan dapat berakibat konstipasi. Misalnya penggunaan secara berlebihan dapat menyebabkan atoni kolon, sehingga dianjurkan pemakaian tidak lebih dari tiga kali seminggu. Obat-obatan yang disebut sebagai laksans atau pencahar tersebut, kerjanya antara lain dengan menambah volume feses, atau dengan cara melunakkan dan melicinkan permukaan feses hingga mudah keluar, meningkatkan pembentukan cairan dalam lumen usus, menstimulasi pergerakan usus dan meningkatkan refleks buang air besar.



lnkontinensia Alvi Simtomatik Inkontinensia alvi simtomatik dapat merupakan penampilan klinis dari berbagai macam kelainan patologis yang dapat meyebabkan diare. Keadaan ini mungkin dipermudah dengan adanya perubahan berkaitan dengan bertambahnya usia dari proses kontrol yang rumit pada fungsi sfingter terhadap feses yang cair dan gangguan pada saluran anus bagian atas dalam membedakan flatus dan feses yang cair. Beberapa penyebab diare yang mengakibatkan inkontinensia alvi simtomatik ini antara lain gastroenteritis, divertikulitis,proktitis, kolitis-iskemik, kolitis ulseratif, karsinoma kolon-rektum. Semua pertimbangan diagnosis di atas, menunjukkan perlunya pemeriksaan tambahan misalnya kolonoskopi dan foto kolon dengan barium enema. Penyebab lain dari inkontinensia alvi simtomatik



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUKmenunjukkan dr. PRIYO PANJI berkurangnya



misalnya kelainan metabolik, seperti diabetes melitus, kelainan endokrin, seperti tirotoksikosis, kerusakan sfingter anus sebagai komplikasi dari operasi hemoroid yang kurang berhasil, dan prolaps-rektum. Akhimya jangan dilupakan penyebab paling mum dari diare pada usia lanjut adalah obat-obatan, antara lain yang mengandung unsur besi atau memang akibat kerja pencahar. Pengobatan dari inkontinensia alvi simtomatik adalah terhadap kelainan penyebabnya, dan bila tidak dapat diobati dengan cara tersebut, maka diusahakan terkontrol dengan obat-obatan yang menyebabkan obstipasi.



lnkontinensia Alvi Neurogenik Inkontinensia alvi neurogenik terjadi akibat gangguan fungsi menghambat dari korteks serebri saat terjadi reganganldistensi rektum. Proses normal dari defekasi melalui refleks gatro-kolon. Beberapa menit setelah makanan sampai di lambunglgaster, akan menyebabkan pergerakan feses dari kolon desenden ke arah rektum. Distensi rektum akan diikuti relaksasi sfingter intema. Dan seperti halnya kandung kemih, tidak terjadi kontraksi intrinsik dari rektum pada orang dewasa normal, karena ada inhibisilhambatan dari pusat di korteks serebri. Bila buang air besar tidak memungkinkan, maka ha1 ini tetap ditunda dengan inhibisi yang disadari terhadap kontraksi rektum dan sfingter eksternanya. Pada usia lanjut dan terutama pada pasien dengan penyakit serebrovaskular, kemampuan untuk menghambat proses defekasi ini dapat terganggu bahkan hilang. Karakteristik inkontinensia neurogenik ini tampak pada penderita dengan infark serebri multiple atau penderita demensia. Gambaran klinisnya ditemukan satu-dua potong feses yang sudah berbentuk di tempat tidur, dan biasanya setelah minum panas atau makan. Pengelolaan inkontinensia alvi neurogenik kadangkadang dengan cara yang sederhana dan cukup baik hasilnya, tetapi sering dilupakan. Penderita disiapkan pada suatu komodo (commode), duduk santai dengan ditutup kain sebatas lututnya, kemudian diberi minuman hangat, relaks dan dijaga ketenangannya sambil ditunggu sampai feses keluar. Bila dengan cara tersebut tidak berhasil, diberikan obatobatan yang menyebabkan konstipasi, tetapi dipastikan diikuti evaluasi usus bagian bawah satu atau dua kali seminggu dengan supositoria atau enema. Cara ini membutuhkan penyesuaian individual yang hati-hati dan teliti, agar tidak mengubah inkontinensia menjadi konstipasi sesungguhnya. lnkontinensia Alvi Akibat Hilangnya Refleks Anal Inkontinensia alvi ini terjadi akibat hilangnya refleks anal, disertai kelemahan otot-otot serat lintang. Parks, Henry, dan Swash dalam penelitiannya,



unit-unit yang berfungsi motorik pada otot-otot daerah sfingter dan pubo-rektal. Keadaan ini menyebabkan hilangnya refleks anal, berkurangnya sensasi pada anus disertai menurunnya tonus anus. Hal ini dapat berakibat inkontinensia alvi pada peningkatan tekanan intra-abdomen dan prolaps dari rektum. Pengelolaan inkontinensia ini sebaiknya diserahkan pada ahli proktologi untuk pengobatannya.



Konstipasi merupakan keluhan terbanyak dari saluran cema pada usia lanjut. Konstipasi sulit diberikan batasan secara tegas karena sebagai suatu keluhan terdapat variasi yang berbeda antar individu. Konstipasi-anamnestiksering dipakai sebagai patokan dalam penelitian-penelitian. International Workshop on Constipation memberikan rekomendasi konstipasi sebagai berikut : 1.Konstipasi fungsional, 2. Konstipasi karena penundaan keluamya feses pada muara rektosigmoid. Walaupun konstipasi merupakan keluhan yang banyak pada lanjut usia, motilitas kolon tidak terpengaruh dengan bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan perlambatan dari perjalanan saluran cema. Perubahan patofisiologis yang menyebabkan konstipasi bukanlah karena bertambahnyausia tetapi memang khusus terjadi pada mereka dengan konstipasi. Anamnesis merupakan ha1 terpenting untuk mengungkapkan etiologi dan faktor-faktor risiko penyebab konstipasi, sedangkan pemeriksaan fisis pada umumnya tidak mendapatkan kelainan yang jelas. Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan banyak informasi yang berguna pemeriksaan-pemeriksaan lain yang intensif dikerjakan secara selektif setelah 3 sampai 6 bulan pengobatan konstipasi kurang berhasil dan dilakukan hanya pada pusat-pusat pengelolaan konstipasi tertentu. Pengobatan konstipasi sebaiknya ditujukan untuk menghilangkan penyebabnya. Langkah-langkah pengobatan adalah secara nonfarmakologis, farmakologis dan pada keadaan khusus antara lain dilakukan tindakan pembedahan. Inkontinensia alvi lebihjarang ditemukan dibandingkan inkontinensia urin. Defekasi, seperti halnya berkemih, adalah suatu proses fisiologis yang melibatkan koordinasi dari sistem saraf pusat dan perifer, respons refleks, kontraksi otot-otot polos dan serat lintang, kesadaran yang cukup baik serta kemampuan mencapai tempat buang air besar. Perubahan-perubahan akibat proses menua dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia,tetapi inkontinensia bukan suatu ha1 yang normal pada usia lanjut. Penampilan klinis dari inkontinensia dapat memberikan petunjuk penyebabnya, dan selanjutnya pengelolaannya



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



KONSTlPASIDAN INKONTINENSIAALVl



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



yang terutama berdasarkan penyebab, baik dengan tindakan suportif, obat-obatan dan bila perlu tindakan pembedahan. Dengan diagnosis yang tepat dan pengobatan yang sesuai, inkontinensia alvi pada usia lanjut hampir seluruhnya dapat dicegah dan diobati. Tujuannya tidak hanya terletak pada keadaan yang kurang nyaman, bahkan memalukan pada penderita, tetapi fakta bahwa inkontinensia alvi dapat merupakan petunjuk pertama adanya penyakit serius pada saluran cerna bawah yang mungkin dapat diobati bila ditemukan dini



REFERENSI American Society of Colon and Rectal Surgeons ( ASCRS ) : Constipation June 3, 2002 : 1-3 Azer, S A : Constipation Medicine, Nov.7, 2002 : 1-13 Brocklehurst JC, Alllen SC. Faecal incontinence. Geriatric Medicine for Studenta, 31d ed. Churchill-Livingstone: 1987.p. 92-97. Brocklehurst JC, Allen SC. Urinary incontinence. Geriatric Medicine for Students, 3" ed. Churchill-Livingstone, 1987; 73-91 Cahill,M : Constipation. Mastering geriatric Care, Springhouse C0rp:1997 .p.65-67 Cheskin LJ ; Schuster MM : Constipation. In Hazzard WR 2nd ed.Principles of Geriatric medicine and Gerontology, Mc Graw Hill inc: 1990.p. 1161-1167. Cheskin L J; Schaefer, D.C : Constipation in the Elderly. American Family Physician, Sept. 15,1998. Fonda D. Management of the incontinent elderly patient. In : Update in Geriatric Medicine. The MSD General Practitioner Universities Programme.



Harari, D. Constipation in the elderly. In Hazzard WR 4 th ed. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology, Mc Graw Hill inc; 1999.p. 1491-1505. Hamdy RC. Altered Bowel Habits. Geriatric Medicine, a problem oriented approach. Bailiere Tindall ed. 1984.p. 158-164. Holson, D. : Constipation Medicine, May 14, 2002 : 1-14 Kane RL,Ouslander JG, Abrass IB. Incontinence. Essentials of clinical geriatrics, 2nded. Mc Graw-Hill Information Services Co; 1989.p. 139-182. Kane RL ; Ouslander JG ; Abrass IB : Constipation. Essentials of Clinical Ceriatrics, Mc Graw-Hill inc; 1995.p. 224-227 Landefeld C.S ; Lyons W.L. : Anorectal Disorders, Fecal Incontinence. Current Geriatric Diagnosis & Treatment. International Edition. 2004 .p. 229-231, . Morley, M.D.; Khan, A : Constipation in the Elderly. St.Louis University Health Sciences center, October,1999. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney diseases (NIDDK): Constipation. NIH Publication no. 95-2754, May 2000 : 1-14. Robert -Thornson IC : Constipation. The M S D general practitioner Universities Programme, 1989. Resnick B : Constipation In Adelman AM ed : 20 common problems in Geriatrics Mc Graw-Hill inc. International ed. 2001.p. 31 135. Reuben, DB; Yoshikawa TT; Besdine RW : Small and Large Bowels disorders. American geriatric Society, Geriatric review syllabus 1996 : 289-294 Reuben DB, Yoshikawa TT, Besdine RW. Urinary incontinence. Geriatric review syllabus. KendallIHunt Publ. Co., 1996; 124133. Whitehead JB.Urinary incontinence. In : William Reichel eds. Care of the elderly, 4& ed. Williams and Wilkins, 1995; 280-286. Van der Cammen TJM, Rai GS, Exton-Smith AN. Urinary incontinence. Manual of Geriatric Medicine. Churchill Livingstone, 1991; 254-263.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



PENATALAKSANAAN INFEKSI PADA USIA LANJUT SECARA MENYELURUH Rejeki Andayani Rahayu, Asril Bahar



.---'



PENDAHULUAN



lnfeksi virus saluran napas atas



Infeksi pada usia lanjut (usila) merupakan penyebab kesakitan dan kematian no. 2 setelah penyakit kardiovaskulardi dunia. Hal ini terjadi akibat beberapa ha1 antara lain: adanya penyakit komorbid kronik yang cukup banyak, menurunnya daya tahanlimunitas terhadap infeksi, menurunnya daya komunikasi usila sehingga sulitl jarang mengeluh, sulitnya mengenal tanda infeksi secara dini. Populasi usia lanjut juga sangat rentan terhadap infeksi nosokomial karena menurunnya daya tahan selular, perubahan gaya hidup yang sering bepergian atau bahkan terikat di tempat tidur serta adanya kondisi lingkungan yang sering tidak mendukung hidup sehat. Ciri utama pada semua penyakit infeksi biasanya ditandai dengan meningkatnya temperatur badan, dan ha1 ini sering tidak dijumpai pada usia lanjut, 30-65 % usia lanjut yang terinfeksi sering tidak disertai peningkatan suhu badan, malah suhu badan dibawah 36O C lebih sering dijumpai. Keluhan dan gejala infeksi menjadi tidak khas antara lain berupa konfusio 1delirium sampai koma, adanya penurunan nafsu makan tiba-tiba, badan menjadi lemas, dan adanya perubahan tingkah laku sering terjadi pada pasien usia lanjut. Karena sangat bervariasinya keluhan dan gejala untuk infeksi pada usia lanjut maka perubahan apapun yang terjadi di luar kebiasaan pasien usila hams dipikirkan adanya penyakit infeksi dan hams ditelusuri secara aktif dengan asesmen geriatri yang lengkap sampai terbukti benar-benar tidak ada infeksi. Kenapa begitu? Hal ini disebabkan karena penyakit infeksi yang diderita tadinya ringan saja dapat berubah dengan cepat menjadi lebih berat, angka kernatian infeksi pada usia lanjut 3 sampai 10 x lebih tinggi dibanding usia dewasa muda dan kematian bisa terjadi pada infeksi yang paling ringan sekalipun seperti terlihat pada Gambar 1.



Fibrilasi atrium



lnfeksi paru



J Edema paru Konfusio toksik Mati



k Emboli



t



Jatuh dan lmmobilitas



Fraktur femur



lnkontinensia



2'3 Terikat



I '



tempat tidur Kontraktur



Dekubitus



Disabilitas permanen



Ma ti



Gambar 1. Diagram untuk menunjukkan penyakit flu biasa pada lanjut usia dapat menyebabkan penyakit seriuslkernatian



PERUBAHAN AKIBAT PROSES MENUA Terdapat berbagai perubahan pada daya tahan tubuh dan perubahan anatomi maupun fungsi pada sistem organ tubuh seorang usia lanjut yang dapat menjadi alasan kenapa seorang usila lebih mudah terkena infeksi dibanding usia muda. Perubahan-perubahan tersebut antara lain: Pada kulit, terjadi penipisan dermis dan penurunan vaskularisasi pada kulit yang dapat meningkatkanrisiko terjadinya selulitis dan infeksi pada dekubitus. Pada saluran napas, terjadi penurunan fungsi dan jumlah



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



885



PADA USIA LANJUT SECARA NlENYELURUH



PENAZUAKSANAAN1-



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



mukosilia serta penurunan reflek batuk memudahkan terjadinya penumonia. Perubahan pada peristaltik usus yang cenderung melambat dan atropi dari vili usus serta menurunnya imunitas menyebabkan lansia mudah terkena gastroenteritis akut baik yang ditularkan melalui air maupun makanan yang tercemar. Pada saluran kemih, terjadi pengosongan vesika urinaria yang tidak sempurna dan penurunan keasaman urin, menyebabkan lebih mudah1 sering terkena ISK (infeksi saluran kemih) Terjadi p e n m a n imunitas selular akibat penuaan pada thymus, produksi sel T juga menurun, sehingga terjadi peningkatan kejadian anergi. Respon proliferasi sel T terhadap antigenlmitogen juga menurun, dan juga terjadi penurunan aktivitas sel T-helper dan sel T-Cytotoxic. Sintesis sitokinjuga m e n m disebabkan karena kesalahan ekspresi m-RNA atau tanda transduksi pada usia lanjut. Peningkatan antagonis sitokin pada usia lanjut juga menjadi salah satu penyebab menurunnya produksilproliferasi sel T yang berakibat supresi imunitas. Pada percobaan binatang ditemukan penurunan fungsi netrofil dan makrofag pada usia lanjut, sedang pada manusia masih belum jelas. P e n m a n fungsi limfosit B dan pembentukan antibodi secara tidak bermakna berkurang pada usia lanjut, tetapi beberapa penelitian menunjukkan sebaliknya karena fungsi sel B juga bergantung pada limfosit T. Berbagai penyakit kronis seperti diabetes melitus, penyakit jantung koroner, penyakit paru obstruksi kronik, gagal hati, gagal ginjal dl1 yang diderita seorang



usia lanjut juga sangat mempengaruhi daya tahan tubuh terhadap infeksi, dimana akan menghasilkan tampilan klinik ataupun pengobatan yang jauh berbeda antara usia lanjut dan dewasa muda. Kondisi ko-morbid lain berupa penurunan fungsional seperti: nafsu makan berkurang, kesadaran menurun, jatuh berulang, inkontinensia sering menjadi faktor pemicu sekaligus faktor risiko terjadinya infeksi dan penurunan daya tahan.



Secara singkat perubahan imunitas pada usia lanjut yang terjadi karena proses menua dapat dilihat pada Tabel 1.



PREDlSPOSlSl PENYAKIT INFEKSI PADA USIA LANJUT Infeksi berarti terjadi keberadaan mikro-organisme di dalam jaringan tubuh penderita dan mengalami replikasi. Jadi infeksi merupakan proses interaksi antara kuman (agent), pejamu (host) dan lingkungan. Faktor predisposisi pada usia lanjut yang memudahkan terjadinya infeksi antara lain: Faktor intrinsik penderita usia lanjut sendiri seperti yang telah ditulis diatas yang terjadi akibat proses menua Faktor kuman: a). jumlah kuman yang masuk dan bereplikasi, b). virulensi kuman Faktor lingkungan: apakah infeksi terjadildidapat di masyarakat, rumah sakit atau di panti werda.



Gambar 2 dapat menjelaskan hubungan ke-3 faktor predisposisi tersebut.



Perubahan akibat proses menua lmmunitas bawaan Kulitlmembran mukosa



+++ Tipis dan



Perubahan akibat Droses menua Fungsi limfosit Respon proliferasi



++ Menurun



Produksi sitokin I sekresi Reseptor IL2lIL-2



+++ Menurun



kering Komplemen Netrofil Polimorfonuklear Adherencelchemotaxis Ingestion Pembunuhan intraselular lmmunitas didapat Hormon-hormon timus Kumpulan limfosit Sel T Natural killer cells



--



+++ Meningkat



--



+++ Meningkat +++ Meningkat



+ Menurun



+++ Menurun +++ Berubah



IFN-)I PGE2 Hipersensitivitas tipe lambat Autoimunitas



++ Meningkat ++ Meningkat +++ Menurun



++ Meningkat



++ Menurun



Keterangan : IL, interleukin; IFN, interferon; PGEP,prostaglandin E2 tidak berubah karena menua; +, ringan; ++ sedang; +++, berat. Kebanyakan imunitas bawaan berubah karena penyakit ko-morbid, bukan dari proses menua sendiri. 'Fenotip set T berubah dari bentuk asli menjadi set T aktif Isel T memori. Jumlah sel NK meningkat, tapi status fungsionalnya menurun. 'Autoantibodi sering teridentifikasi; hubungan sebagai penyebab penyakit belum diketahui. a-,



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



biasa (outbreak) gastroenteritis akut pada usila di Milwaukee AS pada tahun 1993 yang disebabkan oleh virus Cryptosporidium, suatu virus yang biasa hidup pada air minum dan banyak menyebabkan kematian, sedangkan bila menyerang orang dewasa muda biasanya tidak parah dan dapat sembuh sendiri.



LINGKUNGAN:



P e n u ~ n a fisiol, n organ : ( g ~ n j a lhat! paru-paru otak jantung dall) Imunitas : K u l ~ tmukosa Ly T Ly B makrofag dl1



Nutrisi :



Hb aibumln C u h'drat Proses patologi . malignancy. PPOK G a g a l jantung dl1



Garnbar 2. lnteraksi Beberapa faktor predisposisi infeksi pada usia lanjut



Berbagai jenis penyakit infeksi dapat mengenai usia lanjut mulai dari yang paling ringan seperti influenza sampai dengan yang dapat mengancam jiwa seperti pneumonia, dan dari keadaan yang sederhana sampai sepsis. Dari Tabel 2dapat dilihat berbagai jenis infeksi yang terjadi pada usia lanjut dan risiko angka kematiannya. Imuno-defisiensi pada usia lanjut juga menjadi penyebab penyakit Sarkoma Kaposi klasik yang kebanyakan diderita oleh para usia lanjut keturunan Yahudi, Italia dan Eropa tengah. Laki-laki lebih banyak dari wanita (2:l) dan berlokasi di bagian bawah pantat. Sarkoma Kaposi ini merupakan faktor predisposisi infeksi herpes virus yang asimtomatik. Pemeriksaan serologi terhadap herpes virus Sarkoma Kaposi dapat menjadi petanda adanya imuno-defisensi berat pada usia lanjut di Eropa Tengah dan Timur serta Israel dan Amerika Serikat. Imunodefisiensijuga menjadi dasar terjadinya kejadian luar



lnfeksi



Angka kernatian relatif dibandingkan usia rnuda*



Pneumonia lnfeksi saluran kemih lnfeksi kulit dan jaringan lunak Endokarditis infektif Meningitis bakterialis Tuberkulosis Herpes zoster Sepsis Kolesistitis Appendiksitis Divertikulitis Catatan NA = Tidak ada data untuk pernbanding 'Tidak, Faktor-faktor yang diindikasikan (contoh 3 kali lebih besar) t Untuk infeksi ginjal. $ lnfeksi H I V dikeluarkan dari usia rnuda



DIAGNOSIS Seperti telah dikemukakan diatas, penampilan klinik infeksi pada usia lanjut sangat bervariasi dan tidak khas (atipikal), diperlukan kewaspadaan dan kejelian pengasuhlperawatl dokter yang merawat penderita, terhadap adanya perubahan yang terjadi baik perubahan fisik, kesadaran, psikis, hngsional dan kebiasaan sehari-hari. Bila ada perubahan tersebut terutama yang terjadi secara akut, hams dipikirkan salah satu penyebabnya adalah infeksi. Asesmen lengkap perlu dilakukan dengan segera untuk menegakkan diagnosis infeksi atau bukan infeksi, karena bila terlambat angka kematiannya tinggi. Panas yang merupakan gejala utama bagi adanya infeksi, sering tidak muncul pada usia lanjut. Hal ini disebabkan penurunan respon interleukin- 1, fakor nekrosis tumor dan interleukin-6 terhadap adanya pirogen endogen. Hasil penelitian dari Norman dan Yoshikawa (1996) mengusulkan kriteria baru untuk panas pada usia lanjut sebagai berikut: 1.Peningkatan suhu badan lebih atau sama dengan 2O Fahrenheit yang menetap dari suhu normal 2.Temperatur oral > 37.2O C setelah pengukuran berulang, 3.Temperatur rektal > 37S0C pada pengukuran berulang. Tidak adanya panas pada setiap infeksi pada usia lanjut selain menyulitkan diagnosis, juga menunjukkan prognosis yang jelek, karena panas itu sendiri menunjukkan adanya kemampuan badan dalam melawan infeksi. Penilaian dimulai dari anamnesis lengkap baik auto maupun allo-anamnesis, ditanyakan bukan hanya keluhan utama penyakit tetapi juga riwayat penyakit yang pernah diderita, riwayat obat-obatan yang digunakan, riwayat perjalanannya atau lingkungannya, riwayat makan atau minum sebelumnya dan riwayat kenapa sampai terjadi adanya infeksi ini. Yang tak kalah penting juga perlu ditanyakan pemakaian prothese seperti katup jantung, prothese sendilkapsul sendi, lensa tanam, pacu jantung, graft pembuluh darah dan lain-lain. Hal ini karena sering terjadi interaksi antara benda asing tersebut dengan bakteri maupun antibodi usila yang menimbulkan infeksi misalnya pada endokarditis bakterial, artritis terinfeksi. Pemeriksaan fisik lengkap perlu dilakukan organ-per organ secara teliti, termasuk keadaan gigi, hidung, telinga dan tenggorokan sampai colok dubur atau vagina pada wanita. Penunjang diagnostik standar yang hams dilakukan untuk mendeteksi adanya infeksi antara lain darah



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENATALAKSWAAN



887



INFEKSI PADA USIALANJUT SECARA MENYELURUH



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI masih terdapat kontroversi terhadap penurunan fungsi limfosit B pada usila. Limfosit B lah yang dibutuhkan peranannya dalam keberhasilan imunisasi. Masih banyak yang setuju dan berbagai penelitian menunjukkan hasil baik dari imunisasi pada usila untuk pencegahan terhadap infeksi virus terutama untuk usila dengan risiko tinggi. Yang termasuk usila dengan risiko tinggi menurut The National Health dun Medical Research Council (NHMRC)Amerika Serikat adalah sebagai berikut: Seluruh individu dengan umur > 65 tahun Individu dengan asplenia baik fungsional maupun anatomi, termasuk penyakit sickle-cell Pasien immunocompromised seperti: HIV (+) sebelum muncul AIDS, nefrosis akut, multipel mieloma, limfoma, penyakit Hodgkin dan pasien dengan transplantasi organ Pasien dengan immunocompetent, tetapi menderita penyakit kronik seperti: penyakit jantung kronik, penyakit ginjal kronik, diabetes mellitus, penyakit paru kronik, pecandu alkohol Orang Aborigin dan Torrest Strait Islander dengan umur > 50 tahun Pasien dengan kelemahan CSF.



rutin, urinalisa, feses, foto torak, dan bila terjadi di daerah endemik suatu penyakit maka lakukan pemeriksaan terhadap jenis penyakit tersebut misalnya malaria, tifoid, hepatitis virus dan lain-lain. Di samping penunjang diagnostik untuk infeksi perlu dilakukan pemeriksaan lain utnuk mencari faktor penyakit ko-morbid atau penurunan fungsi organ seperti gula darah, protein darah, ureum, kreatinin, elektrolit, analisis gas darah bila terdapat sesak napas, EKG dan lain-lain sesuai dengan kebutuhan. Bila temyata ada sumber infeksi maka lakukan kultur darahl urin/pus/sekret/sputum sesuai dengan lokasi infeksi untuk mencari mikro-organisme penyebab infeksi. Begitu diagnosis infeksi telah dibuat maka penangananl terapi hams segera dilakukan (dengan antibiotika yang diberikan secara empirik) tanpa hams menunggu hasil kultur. Tatalaksana mulai dari penegakan diagnosis sampai penatalaksanaan infeksi pada usia lanjut dapat dilihat pada Gambar 3.



PENATALAKSANAAN Terapi infeksi selalu memerlukan anti mikroba yang sesuai dengan penyebab infeksi. Tetapi pada infeksi virus banyak virus tidak ada anti virusnya, sehingga diperlukan peningkatan daya tahan tubuh yang prima untuk mengeliminasi virus tersebut. Beberapa infeksi virus seperti influenza, pneumonia, hepatitis, meningitis, enterovirus dapat dilakukan pencegahan dengan vaksinasi untuk mencegah terjadinya penyakit tersebut. Vaksinasi pada usila kenapa tidak? Seperti dikemukakan dimuka bahwa



\



Untuk infeksi bakterial diperlukan terapi antibiotika yang sesuai dengan hasil kultur. Tetapi bila hasil kultur belum ada, diperlukan terapi empirik yang sesuai dengan lokasi infeksi, lokasi penderita dan lokasi terjadinya infeksi (di masyarakat atau di rurnah salat). Dalam pemberian dosis dan pemilihan jenis antibiotika perlu diingat adanya perubahan fungsi organ akibat proses menua serta ko-



\\



Riwayat penyakit secara detil



Kemajuan evaluasi pasien, diagnosis dan penatalaksanaan infeksi pada pasien usia lanjut



(contoh riwayat demam rematik)



Temuan pemeriksaan fisik (contoh terdengar suara S4 dan bising anterior)



I



Pengkajian lab. Dasar



Pengkajian lab. Awal dan radiografi* (contoh kultur darah serial, ekokardiografi)



\ f



I



Tampilan masalahlproblem non-spesifik (konfusio, jatuh, kehilangan nafsu makan, dll)



/



Diagnosis spesifik (contoh Endokarditis infeksi, identitas bakteri penyebab)



\



Terapi organisme spesifik



1



'Nilai ambang rendah untuk penelitian objektif (kultur darah, foto toraks, dll) dibutuhkan untuk pasien dengan gangguan kognitif Gambar 3. Penampilan pe (akit dan evaluasi infeksi pada usia lanjut



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI morbid yang ada pada usila yang kesemuanya akan berakibat pada terjadinya perubahan distribusi obat, metabolisme obat, ekskresi dan interaksi obat. Penuaan sendiri telah menyebabkan menurunnya filtrasi glomerulus sebanyak 50 % pada usia 70 tahun, sehingga diperlukan penurunan dosis obat yang diekskresi lewat ginjal. Beberapa antibiotika juga berinteraksi dengan obat-obat lain yang secara bersamaan sering diminum usila untuk terapi penyakit ko-morbidnya. Interaksi tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Interaksi obat tersebut dapat meningkatkan toksisitas obat, atau penurunan efektivitas obat. Contohnya makrolid, tetrasiklin, sulfa dl1 (tidak termasuk azitromisin) dapat meningkatkan toksisitas digoksin, warfarin, teofilin dan terfenadin, atau pemakaian antasid atau H, bloker akan menurunkan absorbsi kuinolon. Efektivitas antibiotika juga dapat berubah atau menurun karena adanya perubahan motilitas gaster, penurunan permukaan untuk absorbsi, peningkatan jaringan adiposa dan interaksi obat.



Antibiotika



Tabel 4 dibawah dapat dipakai sebagai contoh terapi antibiotika empirik pada usila. Penatalaksanaaninfeksi pada usila tidak hanya dengan antibiotika saja, tetapi terapi terhadap penyakit komorbidnya dan perbaikan keadaan umum (nutrisi, hidrasi, oksigenasi, elektrolit, albumin,dll) sangat diperlukanjuga untuk mengeliminasi infeksi. Penyakit ko-morbid yang berat serta keadaan umum yang jelek sering menimbulkan sepsis. Terapi nutrisi sangat penting bagi usila, dan perlu diingat bahwa usila yang tidak sakitpun sudah susah makan apalagi bila sakit, karena itu evaluasi terhadap diet hams sangat ketat. Bila penderita tidak dapat I mau makan seperti biasa, perlu diberikan per-sonde atau katau perlu secara parenteral. Cairan juga hams cukup, monitor osmolaritas plasma atau kalau perlu monitor CVP serta balms cairan, diperlukan untuk mengetahui kecukupan cairan pada penderita. Peranan asuhan keperawatan yang baik sangat diperlukan, seperti menjaga kenyamanan penderita, kebersihan penderita dan tempat tidurnya terutama bila ada inkontinensia, mencegah terjadinya dekubitus dan



Rute primer pembuangan



lnteraksi obat



P-Laktam (golongan penisilin, sefalosporin, karbapenem, monobaktam)



Ginjal



Beberapa sefalosforin dengan rantai samping MTT (contoh sefoperazon, sefotetan) mungkin bereaksi dengan warfarin (1'PT)



~ a k r o l i d(eritromisin, ~ klaritromisin, roksitromisin, azitromisin)



Hati



Digoksin, warfarin, terfenadin, teofilin



Tetrasiklin Fluoroquinolon (ciprofloxacin, ofloxacin, levofloxacin, etc)



Hati (?) Ginjal



Digoxin, antasid, 'besic Teofilin, dantasid,"besic



GinjallHati



Digoxin, procainamide, phenytoin, warfarin, Obat hipoglikemik oral



Vancomycin



Ginjal



Sedikit interaksi



Rifampisin (rifampin, rifabutin) Lain-lain Clindamycin Metronidazole Azole anti jamur'



Hati



Beberapae



Hati Hati Hati



ETOH Bebera~a,~H2 blockerlantasid



(ketokonazol, itrakonazol, flukonazol) a Catatan



kecuali yang dibuang lewat hati: nafcillin, ceftriaxone, cefoperazone b~zithromycinadalah golongan azalide, bukan macrolide, dan hanya mempunyai sangat sedikit interaksi obat. Penelitian PK spesifik mengindikasikan tidak ada perubahan pada kadar digoxin, terfenadine, warfarin atau Theophylline dengan azithromycin. Suplemen ~ e ' " dan antasid menghalangi dan menghambat absorbsi quinolon dan tetracyclin. Penurunan asam lambung sendiri tidak penting mereka bukan asli penghambat Hz. Kadar Teofilin meningkat dengan beberapa fluoroquinolon, rifampins dan azole antijamur menghambat dan kemudian menginduksi Cyp 3 A4 di system P450 dan mereka mempunyai beberapa, interaksi (tatau .L kadar beberapa obat lain). Ketoconazole dan itraconazole memerlukan asam lambung untuk absorbsinya sedangkan fluconazole tidak.



'



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENA~AUKSANAAN



889



INFEKSI PADA USIA LANJUT SECARA MENYELURUH



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Terapi awal yang direkomendasikan



lnfeksi Didapat di masyarakat (Community Acquired) : Penderita rawat jalan Sinusitis akut Bronkitis kronik Pneumonia Selulitis lnfeksi ulkus kaki lnfeksi saluran kemih simtomatik Diare infeksi Antibiotik berhubungan dengan diare Herpes zoster Terapi pasien rawat inap Pneumonia Pneumonia (berat)



Arnoksisilin



Amox-clav, jika sumbernya dari gigi



Amoksisilin Amox-clavl azitromisinl FQ generasi ke-213 Cephalexin Amox-clav. TMP-SMZ (wanita); FQ (lakilaki) FQ Metronidazol



Eksaserbasi lnfeksi Perokokl PPOK sering dijumpai



Famsiklovir atau valasiklovir Seftriakson + makrolid Seftriakson ditambah makrolidlGenerasike-213 FQ



Pielonefritis (tanpa kateter) Urosepsis (dengan kateter)



Generasi ke-314 sefalosporin Generasi ke-314 sefalosporin ditambah ampisilin



Meningitis Akut



Seftriakson ditambah vankomisin



KolesistitisAkut Komplikasi kolesistitis akut (perforasi, gangrene, kolesistitis emfisematosa, cholangitis) Appendisitis Divertikulitis



Ampisilin-sulbaktam ESPCN-BL + gentamisin



Kolitis lskemik Endokarditis katup lnfeksi ulkus kaki diabetik Selulitis Sindrom syok septik; tanpa ketemu sumbernya Panti rawat werda (Nursing home): Dekubitus terinfeksi



Sefoksitinl sefotetanl ampsulbaktam Generasi ke-314 sefalosporin + klindamisinlESPCN-BL Penisilin + nafsilin Amp-sulbactam atau ESPCNBL (jika Rx terdahulu) Sefazolin lmipeneml silastatin



FQ + klindamisin (PO); ESPCNBL (IV) Generasi ke-213 FQ (PO); seftriakson (IV) Siprofloksasin (PO); seftriakson (IMIIV) Metronidazol



Pneumonia Urosepsis kolitis C.dificile NosokomiallRumah sakit : Pneumonia



Komentar



Terapi awal untuk infeksi kaki diabetik Sistitis biasa (Uncomplicatedcystitis) atau pielonefritis Kuncinya rehidrasi per oral Panas dan nyeri abdominal atau mual dapat disebabkan oleh C.dificile Hams dimulai terapi dalam 72 jam FQ untuk pasien alergi p-lactam Penyakit sangat serius (ICU); dapat disingkirkan penyebab legionella; tambahkan vancomycin jika terdapat S.pneumoniae yang sangat resisten terhadap penicillin Aztreonam atau FQ jika pasien alergi p-laktam Urosepsis yang berhubungan dengan kateter sering polimikrobial, termasuk spesies enterococcal, ditambah dengan aerobic basilus gram negative Vankomisin plus TMP-SMZ untuk pasien alergilanafilak~i p-laktam; diperlukan vanc.untuk kasus S. pneumoniae yang resisten terhadap penisilin Sering diperlukan pembedahan Peranan esensial untuk pembedahan gawat damrat atau dekompresil drainase eksternal Jika tidak ada respons diperlukan pembedahan Perlu inte~ensipembedahanjika terjadi perforasi dan infark Vankomisin untuk penderita alergi penisilin Generasi ke-314 ceph. Atau FQ dan clinda. Untuk penderita alergi PCN Vankomisin atau klindarnisin untuk penderita alergi p-laktam Perawatan suportif perlu agresif



Pemerataan tekanan (alih baring), nutrisi, esential debridement; kulturlfoto Rof untuk mengidentifikasi adanya osteomielitis dan MRSA Pertimbangkan tuberkulosis Tambahkan terapi untuk enterokokus jika memakai kateter Perhatian melekat untuk mengontrol infeksi seperti infeksi nosocomial yang terdokumentasi



Klindamisin + seftazidim atau FQ;ESPCN-BL



Pemilihan antibiotik dipengamhi oleh faktor-faktor yang mendasari kondisi medis, status mental, alat Bantu pernapasan, antibiotik terdahulu, pengecatan gram sputum. resiko terhadap MRSA



Urosepsis yang berhubungan dengan kateter lnfeksi yang berhubungan dengan kateter intravena (selulitis, phlebitis, abses, bakteriemi)



Ampisilin +generasi ke-314 seph. Vankomisin



Diperlukan kultur untuk pemilihan terapi Pada penderita immunocompromised,tambahkan seftazidim; diperlukan pembedahan pada sepsis trombophlebitis



Diare yang berhubungan dengan C.difficile



Metronidazol



lnfeksi insisi jaringan Post-operasi (abdominal) dengan selulitis, abses, atau bakteriemi



Sefazolin (infeksi ringan); vankomisin + Generasi ke-314 s e ~ h (infeksi . berat)



Jika mungkin putuskan hubungan dengan antimikrobial; perhatian untuk kontrol infeksi Pembukaan kembali dan pembersihanjaringan mempakan terapi definitif, pemilihan antibiotik berdasarkan kultur



Keterangan : Amoks-klav., amoksisilin-klavulanat; Amp-sulb., ampisilin-sulbaktam; Seph., sefhalosporin; ESPCN-BL, ekstendedspektrum penicillin-beta-lactamasecombination (contoh, tikarsilin-klavulanat, piperasilin-tazobaktam); FQ, fluorokuinolon (generasi pertama: siprofloksasin, ofloksasin, lomefloksasin; Generasi kedua: levofloksasin, trovafloksasin, grepafloksasin); Ticar-clav., tikarsilin-klavulanat; TMP-SMZ, trimeto-pri-sulfametoksazol. Catatan: Pemilihan antibiotik untuk terapi empirik harus segera diganti apabila sudah ditemukan hasil kultur dan tes sensitivitas.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUKpuluh dr. persen PRIYO kontraktur pada penderita-penderita yang tidak dapat FUO PANJI pada usia lanjut berhubungan dengan bergerak ataupun kesadaran menurun. Jadi jelas bahwa penyakit keganasan terutama keganasan hematologik. penatalaksanaan infeksi pada usia lanjut sangat Langkah-langkah penatalaksanaan FUO dapat dilihat membutuhkan kerja sama tim multi-disiplin yang bekerja pada tabel 5. Asesmen lengkap perlu dilakukan ditambah secara inter-disiplin. dengan berbagai pemeriksaan canggih seperti CT scan dan MRI terutama untuk kepala, abdomen dan tulang. Terapi diberikan sesuai dengan faktor penyebabnya. FEVER OF UNKNOWN ORIGIN (FUO) FUO adalah suatu keadaan yang klasik ditandai dengan panas > 38.3OC yang sudah berlangsung minimal 3 minggu dan tetap tidak diketahui penyebabnya setelah dilakukan berbagai pemeriksaan selama 1 minggu. Penyebab FUO pada usia lanjut relatif tidak sama dengan pada usia muda. Faktor penyebab dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah ini. Sekitar 113 kasus FUO pada usia lanjut ternyata berhubungan dengan infeksi bakteri seperti abses abdominal, endokarditis bakterial, tuberkulosis, abses periginjal atau osteomielitis tersembunyi. Lebih banyak kasus FUO pada usia lanjut ternyata berhubungan dengan penyakit jaringan penghubung seperti arteritis temporal, polimialgia reumatika, poliartritis nodosa. Dua



Penyebab lnfeksi Abses intraabdorninal Tuberkulosis Endokarditis infeksi Lain-lain Penyakit vaskular kolagen Temporal arteritisl polimialgia reumatika Poliarteritis nodosa Lain-lain Malignansi Lirnfomalhematologik Solid tumor Lain-lain (e.,g emboli pulrnonal, drug fever) Tidak terdiagnosis



Jumlah Kasus (%)



Penyakit infeksi pada usia lanjut perlu diwaspadai pada setiap adanya perubahan mendadak (akut) dari tingkat kesadarannya, kebiasaannya maupun keadaan fisiknya. Setiap perubahan akut yang cenderung menurun I memburuk harus dipikirkan adanya penyakit infeksi dan perlu di nilai secara teliti, sampai terbukti tidak ada penyakit infeksi. Bila terlambat akan mempertinggi angka kematian pada usia lanjut. Panas yang merupakan tanda kardinal pada penyakit infeksi, kadang-kadang tidak ditemukan pada usia lanjut (sekitar 20-35% kasus infeksi usia lanjut tidak panas),



Langkah-langkah Evaluasi FUO Step 1: Pastikan panasnya dengan pengukuran secara serial, riwayat sebelumnya ,contoh. perjalanan, terpapar TB, obat-obatan yang diminum (dari resep dokter maupun beli sendiri), gejala-gejala yang dialami (gejala temporal arteritis), dan fisik. Hentikan obat-obatan yang tidak penting Step 2: Evaluasi laboratorik dasar: kadar leukosit dengan hitung jenisnya, enzirn hati, laju endap darah (LED), kultur darah 3x, PPD, TSH, ANA, pertirnbangkan ANCA atau HIV tidak spesifik. Step 3: (A) CT-scan abdominallpelvis jika tidak diketahui surnbernya, atau (B) Biopsi arteri temporal jika gejala dan tanda menyerupai polimialgia reurnatikaltemporal artritis dan peningkatan LED atau (C) Tempat ditunjukkan berdasarkan pada gejala dan tanda dan abnormalitas hasil laborat Step 4: Jika 3A dikerjakan dan tetap tidak diketahui sumbernya 3 38, dan sebaliknya Step 5: (A) Hasil terbaik biopsi BM jika hernogram abnormal dikirimkan untuk H&E, pengecatan spesial, Cx's atau (B) Hasil biopsi hati harnpir no1 kecuali jika ditemukan LFT yang abnormal atau hepatomegali Step 6: (A) Laparoskopi atau laparotorni eksplorasi; atau (B) Dalarn skaning-111IGa-67,skan nuclear dapat efektif rnengenyarnpingkan penyebab infeksi pada FUO jika negatif Step 7: Terapi ekjuvantivus untuk TB dapat diterirna untuk penderita immunocompromisedatau sangat dicurigai TB (sebelumnya PPD tes positif)



Persentase ini dihitung berdasarkan 3 penelitian FUO pada usia lanjut. TB: Tuberkulosis



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



PENAIAUKWNAAN



INFEKSIPADA USIA LANJUT SECARAMENYELURUH



891



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI sehingga batasan panas pada usia lanjut berubah. Penatalaksanaan infeksi pada usia lanjut, selain antibiotika yang sesuai, memerlukan terapi adekuat untuk penyakit-penyakitko-morbid yang diderita para usia lanjut. Juga diperlukan penatalaksanaan keperawatan yang komplek dan terapi suportif seperti nutrisi, cairan dan elektrolit, oksigen dan lain-lain.



REFERENSI Departement of Veterans' Affairs 13 Keltie Street, Woden ACT 2606. Pneumoccal infection and vaccination in the elderly, 2003. Engels EA, Clark E, Aledort LM, Goedert JJ, Whitby D. Kaposi's sarcoma- associated herpesvirus infection in elderly Jews and non-Jews from New York City. International J Epid. 2003;3 1:946-50. Hadisaputro S, Martono HH. Infeksi pada usia lanjut. Buku ajar geriatri. In: Darmojo B, Martono H, editors. Jakarta: Balai penerhit FKUI; 1999. p. 323-38.



High KP. Infection in the elderly. In: Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH, Halter JB, Ouslander JG, editors. Principles of geriatric medicine and gerontology. 4" ed. New York: Mc Graw-Hill, Inc; 1999. p. 1443-54. Kane RL, Ouslander JG, Ahrass IB. Essentials of clinical geriatrics. 3th ed. New York: Mc Graw-Hill, Inc; 1994. p. 201-12. Kamal A, Brocklehurst JC. A colour atlas of geriahic medicine, 1983: 9. Naumova EN, Egorov AI, Moms RD, Griflith JK. The elderly and waterborne cryptosporidium infection: gastroenteritis hospitalizations before and during the 1993 Milwaukee outbreak. Emerging Infectious Disease. 2003; 9:4:418-23. Norman DC, Yoshikawa TT. Fever in the elderly. Infect Dis Clin North Am. 1996;lO (1):93. Richardson JP. Infections. In: Adelman AM, Daly MP, ed. 20 Common problem in geriatrics. Boston: Mc Graw-Hill, Inc; 2001. p. 349-65. Strausbaugh LJ. Emerging health care-associated infections in the geriatric population. Emerging infectious diseases. 2001;7:2:26871. Williams GO, Jogerst GJ. Infectious disease problems in the elderly. In: Reichel W, ed. Care of the elderly: Clinical aspects of aging. 4Ih ed. Baltimore: Williams & Wilkins; 1995. p. 206-17.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



STROK DAN PENATALAKSANAANNYA OLEH INTERNIS Hadi Martono, RA Tuty Kuswardani



PENDAHULUAN



JENlS DAN EPlDEMlOLOGl



Strok didefinisikan sebagai suatu manifestasi klinis gangguan peredaran darah otak yang menyebabkan defisit neurologis.Definisi lain lebih mementingkan defisit neurologis yang terjadi sehingga batasan strok adalah sebagai berikut: "suatu defisit neurologis mendadak sebagai akibat iskemia atau hemoragi sirkulasi saraf otak". Dari definisi tersebut jelas bahwa kelainan utama strok adalah kelainan pembuluh darah yang tentu saja, merupakan bagian dari pembuluh darah sistemik. Penyebab dan kelainan pembuluh darah tersebut secara patologis bisa didapati pada pembuluh darah di bagian lain tubuh. Oleh karenanya strok harus dianggap merupakan akibat komplikasi penyakit sistemik. Komplikasi yang terjadi, mengingat pembuluh darah di otak masih merupakan bagian dari pembuluh darah sistemik. Di samping itu, kematian otak yang sudah terjadi tidak akan dapat diobati dengan cara apapun. Obatobatan neuroprotektor yang sering digunakan oleh para dokter ternyata tidak terbukti bermanfaat berdasrkan penelitian-penelitianilmiah (EUSI 2003). Oleh karena itu, penatalaksanaan utama strok berupa perawatan umum dan mengatasi komplikasi sistemik, yang pada giliran selanjutnya diharapkan dapat mencegah perluasan kerusakan jaringan otak. Karena itu seyogyanya semua spesialis penyakit dalam hams berperan, bahkan berperan utama, dalam penatalaksanaan strok, termasuk pula dokter yang berkecimpung dalam bidang geriatri, sebagai subbagian ilmu penyakit dalam, harus menguasai penatalaksanaan strok pada usia lanjut, mengingat pada populasi ini insidens kelainan ini sangat tinggi dan komorbiditas berbagai organ dan sistem merupakan ha1 yang sangat penting.



Di seluruh dunia strok merupakan penyakit yang terutama mengenai populasi usia lanjut. Insidens pada usia 75-84 tahun sekitar 10 kali dari populasi berusia 55-64 tahun. Di Inggris strok merupakan penyakit ke-2 setelah infark miokard akut sebagai penyebab kematian utama, sedangkan di Amerika strok masih merupakan penyebab kematian ke-3. Total biaya yang diperlukan untuk penatalaksanaan 1 (satu) kasus strok diperkirakan sekitar US $80.000-100.000. Dengan makin meningkatnya upaya pencegahan terhadap penyakit hipertensi, diabetes melitus dan gangguan lipid, insidens strok di negara-negara maju makin menurun. Di Perancis strok disebut sebagai "serangan otak (attaque cerebrale)" yang menunjukkan analogi kedekatan strok dengan serangan jantung. Berdasarkan atas jenisnya strok terbagi atas: Strok Non Hemoragik Jenis strok ini pada dasarnya disebabkan oleh oklusi pembuluh darah otak yang kemudian menyebabkan terhentinya pasokan oksigen dan glukosa ke otak. Strok ini sering diakibatkan oleh trombosis alubat plak aterosklerosis arteri otaklatau yang memberi vaskularisasi pada otak atau suatu emboli dari pembuluh darah di luar otak yang tersangkut di arteri otak. Strok jenis ini merupakan strok yang tersering didapatkan, sekitar 80% dari semua strok. Strok jenis ini juga bisa disebabkan berbagai ha1 yang menyebabkan terhentinya aliran darah otak, antara lain syok atau hipovolemia dan berbagai penyakit lain. Strok Hemoragik Strok jenis ini merupakan sekitar 20% dari semua strok,



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



STROK DAN PENAT-AANNYA



893



OLEH INTERNIS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI diakibatkan oleh pecahnya suatu mikro aneurisma dari Charcot atau etat crible di otak. Dibedakan antara: perdarahan intraserebral, subdural, dan subaraknoid. Secara patologis pada strok non hemoragik, yang merupakan jenis terbanyak dari seluruh strok, apa yang terjadi pada pembuluh darah di otak serupa dengan apa yang terjadi di jantung, terutamajenis emboli dan trombosis. Oleh karena itu faktor, risiko terjadinya strok serupa dengan faktor risiko penyakit jantung iskemik, yaitu: Usia, yang merupakan faktor risiko independen terjadinya strok Jenis kelamin, pada perempuan pre menopause lebih rendah dibanding pria. Setelah menopause faktor perlindungan pada wanita ini menghilang, dan insidensnya menjadi hampir sama dengan pria Hipertensi, baik sistolik maupun diastolik merupakan faktor risiko dominan untuk terjadinya strok baik hemoragik maupun non hemoragik diabetes melitus, hiperlipidemia Keadaan hiperviskositas berbagai kelainan jantung, antara lain gangguan irama (fibrilasi-atrial), infark miokard akut atau kronis, yang mengakibatkan hipoperfusi (dekompensasi jantung), infeksi yang disertai vegetasi (endokarditis bakterialis subakut), tumor atrium. Penyebab jantung dikatakan bertanggung jawab atas sekitar 30% dari penyebab strok Koagulopati karena gangguan berbagai komponen darah antara lain hiperfibrinogenemia, dl1 Faktor keturunan juga memegang peranan penting dalam epidemiologi strok Hipovolemia dan syok terutama pada populasi usia lanjut, di mana refleks sirkulasi sudah tidak baik lagi.



GEJALA DAN TANDA Gejala strok bisa dibedakan atas gejalaltanda akibat lesi dan gejalaltanda yang diakibatkan oleh komplikasinya.Gejala akibat lesi bisa sangat jelas dan mudah untuk didiagnosis, akan tetapi bisa sedemikian tidak jelas sehingga diperlukan kecermatan tinggi untuk mengenalinya. Pasien bisa datang dalam keadaan sadar dengan keluhan lemah separuh badan pada saat bangun tidur atau sedang bekerja, akan tetapi tidak jarang pasien datang dalam keadaan koma dalam sehingga memerlukan penyingkiran diagnosis banding sebelum mengarah ke strok. Secara umum gejala tergantung pada besar dan letak lesi di otak, yang menyebabkan gejala dan tanda organ yang dipersarafi oleh bagian tersebut. Jenis patologi (hemoragik atau non hemoragik) secara umum tidak menyebabkan perbedaan dari tampilan gejala, kecuali bahwa pada jenis hemoragi seringkali ditandai dengan nyeri kepala hebat, terutama terjadi saat bekerja. Beberapa perbedaan yang terdapat pada strok hemisfer kiri dan kanan dapat dilihat dari tanda-tanda yang didapatkan dan dengan pemeriksaan neurologis sederhana dapat diketahui kira-kira letak lesi, seperti yang terlihat di bawah ini. Lesi di korteks gejala terlokalisasi, mengenai daerah lawan dari letak lesi hilangnya sensasi kortikal (stereognosis, diskriminasi 2 titik) ambang sensorik yang bervariasi kurang perhatian terhadap rangsang sensorik bicara dan penglihatan mungkin terkena Lesi di kapsula lebih luas, mengenai daerah lawan letak lesi



-



Penebalan dinding pernbuluh darah Obstruksi lurninal trornboernboli spasrne Kornpresi eksternal



Arteri



LS Strok



lnterserebral



b



Ruptur arterilintraserebral artriol



(Ebrahim and lammie,2003)



Gambar 1. Skema pembagian strok



brahi him and Larnmie,2003)



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Kerusakan otak



sisi kanan



Defisit-bahasabicara



hati-hati lambat



Defisit ingatan



Kerusakan otak sebelah kanan



bicara



sisi kiri



Tipe prilaku: impulsif cepat



Defisit ingatan



1



I



Gambar 1. Perbedaan antara strok hemisfer kiri dan kanan (Harrel, 1988)



sensasi primer menghilang bicara dan penglihatan mungkin terganggu



Lesi di batang otak luas, bertentangan letak lesi kenai saraf kepala sesisi dengan letak lesi (111-IV otak tengah) (V,VI,VII, dan VIII di pons), (IX,X,XI, XI1 di medula) Lesi di medula spinalis neuron motorik bawah di daerah lesi, sesisi neuron motorik atas di bawah lesi, berlawanan letak lesi gangguan sensorik Gejala akibat komplikasi akut menyebabkan kematian 5 kali lebih banyak dibandingkan akibat lesi, dan bersamasama keduanya menyebabkan sekitar 20% kematian pada hari pertama. Komplikasi akut yang terjadi adalah: Kenaikan tekanan darah. Keadaan ini biasanya merupakan mekanisme kompensasi sebagai upaya mengejar kekurangan pasokan darah di tempat lesi . Oleh karena itu kecuali bila menunjukkan nilai yang sangat tinggi (sistolik > 220ldiastolik >130) tekanan darah tidak perlu diturunkan, karena akan turun sendiri setelah 48 jam. Pada pasien hipertensi kronis tekanan darah juga tidak perlu diturunkan segera. Kadar gula darah. Pasien strok seringkali merupakan pasien DM sehingga kadar gula darah pasca strok tinggi. Akan tetapi seringkali terjadi kenaikan gula darah pasien sebagai reaksi kompensasi atau akibat mekanisme stres. Gangguan jantung baik sebagai penyebab maupun sebagai komplikasi Keadaan ini memerlukan perhatian khusus, karena seringkali memperburuk keadaan strok bahkan sering merupakan penyebab kematian.



Gangguan respirasi, baik akibat infeksi maupun akibat penekanan di pusat napas. Infeksi dan sepsis merupakan komplikasi strok yang serius. Gangguan ginjal dan hati. Cairan, elektrolit, asam, dan basa. Ulcer stres, yang sering menyebabkan terjadinya hematemesis dan melena Penelitian Clifford Rose, 1990 di Inggris tentang kematian akibat strok akut dapat dilihat pada Tabel 1. Komplikasi kronis akibat strok yang sering terjadi dan perlu diperhatikan adalah: Akibat tirah baring lama di tempat tidur bisa terjadi pneumonia, dekubitus, inkontinensia serta berbagai akibat imobilisasi lain Rekurensi strok Gangguan sosial-ekonomi Gangguan psikologis.



Penyebab kematian



lnfark iskemik



Hemoragia serebral



Keterangan



Kematian otak primer



9% 40%



70% 13%



Kematian akibat luasnya



Pneumonia Emboli paru lnsufisiensi ginjal lnsutisiensijantung lnfark jantung Rekurensi strok



20% 8% 13% < I% 9%



10% 3% 4% 4% 220 mmHg1diastolik >130mmHg) atau merupakan tekanan darah yang emergency. Pada keadaan inipun penurunan tekanan darah hams secara perlahan, tidak sampai normal. Pada pasien usia lanjut kehati-hatian dalam menurunkan tekanan darah tersebut sangat penting, karena pada pasien sudah terjadi gangguan autoregulasi, artinya otak pasien seolah menjadi



terbiasa dengan keadaan tekanan darah yang meninggi, sehingga bila mendadak tekanan darah diturunkan, akan terjadi gangguan metabolik otak yang sering justru memperburuk keadaan. Pada hari-hari pertama ini penurunan tekanan darah juga dibedakan apakah pasien memang pasien hipertensi kronis, yang penurunan tekanan darahnya sebaiknya sampai 1801100-105 mmHg. Apabila belum pernah menderita hipertensi maka sasaran penurunan tekanan darah bisa sampai 160- 180190- 100 mmHg. Apabila direncanakan tindakan trombolisis, tekanan darah sistolik tidak boleh melebihi 180mmHg. Agar penurunan darah bisa dilaksanakan secara titrasi maka dianjurkan pemakaian obat labetalol/urapidillnitroprusid atau nitrogliserin intravena atau kaptopril oral. Penggunaan nifedipin oral atau penurunan tekanan darah yang terlalu drastis perlu dihindari.



Gula darah. Seperti halnya dengan tekanan darah, gula darah seringkali meningkat pada hari-hari pertama strok, akan tetapi penelitian menunjukkan bahwa gula darah yang tinggi akan memperburuk kerusakan otak, sehingga peninggian kadar gula darah pada hari-hari pertama strok hams diturunkan senormal mungkin, kalau perlu dengan pemberian insulin melalui pompa syringe. Keadaan kardiorespirasi telah dikemukakan di atas sering menyebabkan kematian oleh karena itu perlu pemantauan yang baik dan diberikan tindakan pengobatan bila perlu. Ulkus stres, infeksi, gangguan ginjal, atau hati juga merupakan berbagai keadaan yang perlu diperhatikanpada penderita strok, karena keadaan tersebut seringkali terjadi dan sering menentukan kelangsungan hidup pasien. Emboli paru danlatau trombosis vena dalam: sering merupakan komplikasi strok. Keadaan ini bisa dihindari dengan pemberian hidrasi yang cukup dan mobilisasi dini, baik secara pasif maupun aktif. Terhadap lesi. Perlakuan terhadap lesi tergantung jenis, besar, dan letak lesi, serta berapa lama lesi sudah terjadi. Lesi hemoragik, terutama subaraknoid dan subdural bisa segera dilaksanakan operasi, akan tetapi jenis intraserebral hanya yang terletak superfisial bisa dilaksanakan operasi, itupun kalau waktunya masih kurang dari 12jam. Lebih dari itu sudah terjadi edema sekitar sehingga walaupun masih bisa dilakukan operasi hingga 72 jam hasilnya tidak sebaik bila operasi dilakukan lebih awal. Setelah 120jam tidak bisa dilakukan operasi, karena sudah terjadi nekrosis jaringan otak. Pemberian obat hemostatik menurut kepustakaan barat tidak banyak berbeda hasilnya dengan tanpa pemberian obat tersebut. Pada beberapa keadaan strok non hemoragik intra serebral, tindakan operatif kadang diperlukan untuk melakukan dekompresi dan menghiiangkan efek massa pada otak. Tindakan ini perlu dikerjakan oleh dokter bedah saraf yang berpengalaman



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Lesi iskemik, pada dasarnya hams dibedakan antara pusat infark dan jaringan sekitarnya, yang disebut jaringan penumbra. Di pusat infark sudah terjadi kematianjaringan otak, sehingga tidak dapat dikerjakan sesuatu. Penumbra merupakan jaringan iskemik yang bila tak dilakukan upaya pengobatan akan memberat menjadi infark. Di daerah ini akan terjadi suatu rantai reaksi metabolik, antara lain masuknya ion kalsium dan laktat ke intraselular, menyebabkan terjadinya edema sel dan akhirnya nekrosis. Berbagai tindakan terapeutik antara lain:



Upaya perbaikan status umum (tekanan darah, gula darah, hidrasi, keseimbangan cairan dan asam-basa, kardiorespirasi dan lain-lain). Pemberian antikoagulasi dengan menggunakan antikoagulans (heparin,warfarin) berdasarkan penelitian di Eropa (EUSI 2003) tidak direkomendasikan.Trombolisis hanya dilakukan dengan aktivator plasminogenjaringan rekombinan (rtPA), itupun dengan syarat yang sangat ketat, yaitu waktu pengerjaan tidak boleh lebih dari 3 jam dari saat awitan strok (EUSI 2003). Penggunaan streptokinase, heparin atau heparinoid walaupun beberapa laporan tak terkontrol menunjukkan hasil, akan tetapi memilki kendala dengan kemungkinan besar terjadinya komplikasi hemoragik di daerah infark atau daerah lain. Pemberian antiagregasi trombosit (aspirin) 100-300mg diberikan dalam waktu 24 jam setelah terjadinya strok akan menurunkan mortalitas dan mencegah strok ulangan secara bermakna. Aspirin tidak boleh diberikan apabila akan dilakukan trombolisis atau dalam waktu 24 jam setelah trombolisis. Perbaikan metabolik sekitar lesi, antara lain pemberian vasokonstriktor umum yang diharapkan memberikan vasodilatasi lokal di tempat lesi (reverse steal phenomenon) "antagonis kalsium" dan berbagai zat "neuroprotektif' walaupun dari segi teoritis ha1 ini sangat menarik, akan tetapi hasil dari berbagai penelitian dengan derajat bukti tingkat I (level of evidence I) ternyata tidak ada gunanya sama sekali. Upaya untuk menurunkan viskositas darah bila Ht di atas 54% (terapi hemodilusi) menurut EUSI 2003juga tidak direkomendasikan pada strok iskemik.



Rehabilitasi dini. Upaya rehabilitasi harus segera dikerjakan sedini mungkin apabila keadaan pasien sudah stabil. Fisioterapi pasif perlu diberikan bahkan saat pasien masih di ruang intensif yang segera dilanjutkan dengan fisioterapi aktif bila memungkinkan. Apabila terdapat gangguan bicara atau menelan, upaya terapi wicara bisa diberikan. Setelah pasien bisa berjalan sendiri, terapi fisis dan okupasi perlu diberikan, agar pasien bisa kembali mandiri. Pendekatan psikologis terutama berguna untuk memulihkan kepercayaan diri pasien yang biasanya sangat menurun setelah terjadinya strok. Kalau perlu dapat diberikan antidepresi ringan.



Tindakan pengawasan lanjutan (fbllow-up). Tindakan untuk mencegah strok berulang dan upaya rehabilitasi kronis hams terus dikerjakan. Hal ini sebaiknya dilakukan oleh spesialis penyakit dalam yang mengetahui penatalaksanaan berbagai faktor risiko terjadinya strok ulangan.



ABC PENATALAKSANAAN STROK OLEH SPESlALlS PENYAKIT DALAM Dengan melihat tinjauan di atas,maka penatalaksanaan strok akut setelah diagnosis ditegakkan (terutama dengan CT-ScanlMRI), terutama hams dilakukan oleh spesialis penyakit dalam dan meliputi ABC seperti juga dalam menghadapi kegawatan lain sebagai berikut: Airway, artinya mengusahakan agar jalan napas bebas dari segala hambatan, baik akibat hambatan yang terjadi akibat benda asing maupun sebagai akibat stroknya sendiri Breathing atau fungsi bernapas, yang mungkin terjadi akibat gangguan di pusat napas (akibat strok) atau oleh karena komplikasi infeksi di saluran napas Cardiovascular Function (Fungsi kardiovaskular),yaitu fungsi jantung dan pembuluh darah. Seringkali terdapat gangguan irama, adanya trombus, atau gangguan tekanan darah yang harus ditangani secara tepat.Gangguan jantung seringkali merupakan penyebab strok, akan tetapi juga bisa merupakan komplikasi dari strok tersebut. Penatalaksanaan hipertensi yang sangat penting sebagai faktor risiko maupun sebagai komplikasi dari strok dibicarakan di bawah huruf "H". Dalam huruf "C" ini bisa dimasukkan pula aspek koagulasi. Status koagulasi menyeluruh termasuk kadar fibrinogen perlu diperiksa dan kalau mungkin dikoreksi. Keadaan hiperviskositas (hematokrit yang terlalu tinggi, misalnya pada keadaan PPOM) perlu diturunkan secara moderat, sedangkan keadaan obstruksi parunya perlu diperbaiki. Drug/medication (obat-obatan) hams dievaluasi yang sudahlsedang atau akan diberikan, jangan mengganggu fungsi homeostasis yang pada saat ini sedang dalam keadaan terkompromi. Electrolyte (elektrolit) terutama natrium, kalium, kalsium yang akan mengganggulmemperberat berbagai fungsi organ Fluid status/balance (statuslkeseimbangan cairan). Keadaan gangguan cairan akan mempengaruhi fungsi ginjaljantung, dan fungsi organ yang lain, sehingga perlu dipantau dengan baik dan kalau perlu dikoreksi bila ternyata terdapat gangguan keseimbangan cairan. Glucose level (kadar gula darah) yang terlalu tinggi atau



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



STROK DAN PENAT-AANNYA



OLEH INTERNIS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI terlalu rendah. Kadar gula darah yang terlalu rendah seringkali memberikan gejala neurologis fokal serupa dengan strok, sedangkan kadar gula darah yang terlalu tinggi dikatakan akan memperburuk lesi sehingga akan memperburuk pula status neurologis. "G" disini juga bisa dikenakan pada "gastric bleeding (perdarahan lambung)" sebagai akibat stress ulcer yang memerlukan penanganan tersendiri termasuk perubahan jalur pemberian nutrisi. Apabila pada pemasangan pipa nasogastrik ternyata teralirkan cairan hitam tanda terdapat perdarahan gaster, maka semua tindakan konvensional untuk menghentikan perdarahan lambung ini harus dijalankan Hypertension (hipertensi) sebagai akibat dari penyakit hipertensi kronis akan tetapi bisa sebagai akibat kompensasi akut akibat strok. Penatalaksanaan hipertensi pada penderita strok akut telah dijelaskan di atas. "H" juga bisa diartikan sebagi "hidrasi". Pemberian hidrasi yang kurang baik akan berakibat pada terjadinya berbagai gangguan homeostasis organ-organ, akan tetapi juga harus diperhatikan kemungkinan hidrasi berlebihan (terutama apabila keadaan ginjal atau jantung kurang baik). Intake (asupan) diperlukan guna mempertahankan fungsi metabolisme tubuh.Walaupun dalam keadaan kesadaran menurun, masalah asupan harus diperhatikan,karena nutrisi yang baik akan membantu penyembuhan keadaan penderita. Nutrisi yang baik juga akan membantu daya tahan tubuh terutama dari keadaan infeksi. "I" juga bisa dikenakan pada kedaan INFEKSI, yang selalu harus dicegah dan kemudian diatasi seefektif mungkin karena akan mempengaruhi prognosis dari pasien strok. Bronkopneumonia dan infeksi saluran kemih,yang kemudian bisa berlanjut ke keadaan sepsis merupakan infeksi tersering yang hams selalu dipantau kemungkinan terjadinya. Pada keadaan perawatan yang kurang baik,dekubitus merupakan penyebab infeksi lain yang hams diperhatikan.



UPAYA PENCEGAHAN Upaya pencegahan primer dan sekunder berupa perbaikan dari berbagai faktor risiko seperti yang telah disebutkan di muka.Salah satu yang menjadi bahan perdebatan adalah penatalaksanaan end-arterectomy pada arteri karotis. Kesepakatan saat ini adalah anjuran untuk endarterectomy pada pasien TIA bila terdapat stenosis arteri karotis lebih dari 70%. Pada individu yang belum terserang TIMstrok endarterectomy juga bisa dianjurkan apabila stenosis lebih dari 90%, terutama bila bersifat progresif, dan risiko peri-operatif 95% responsden dapat dan mampu menolong diri-sendiri (ADL Fisis), meskipun dipengaruhi oleh bertambahnya usia. Hasil ADL instrumental tak seburuk seperti yang diduga semula dan berkisar dari 75% (dapat menyiapkan makanan sendiri) sampai 82% (dapat pergi belanja keluar rumah). Sejumlah 62,6 % responsden di daerah kota masih mampu



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI menggunakan telepon. Hanya kurang dari 3% memerlukan bantuan sepenuhnya kepada orang lain. Sesuai dengan rekomendasi Boedhi-Darmojo (1985) pada Seminar Pemanfaatan Tenaga Kerja Usia Lanjut oleh Depnaker, penugasan seorang lansia dapat diperpanjang bila didasarkan hal-ha1 sebagai berikut: keadaan kesehatan jasmani dan rohani masih cukup baik mernpunyai motivasi yang cukup positif untuk terus bekerja prestasi kerja sebelumnya baikhaik sekali, mempunyai truck record yang baik. memiliki pengalaman dan kemahiran (expertise) yang langka bila sulit untuk mencari penggantinya dan akhirnya bila fonnasi dan peraturan ketenagakerjaan memungkinkan. Dapat ditambahkan bahwa kerja fisik berat (blue collar ~lorker)memang tak sesuai lagi dengan usia lanjut dan perlu dialihtugaskan. Motivasi yang baik juga diperlukan agar para usia lanjut ini tak menghalangi karir para pekerja muda, justru mereka wajib mendidik kaderkadernya. Kegiatan para usia lanjut sehari-hari di rumah dapat dilihat pada Tabel 6.



Golongan usia lanjut di Indonesia pada waktu sekarang ini masih berkualitas rendah, 71,2% belum pernah mengalami pendidikan formal (tak pernah sekolah), terutama kaum perempuan, di pedesaan. Hal ini merupakan sisa-sisa penjajahan jaman dulu. Banyak di antara mereka merupakan tenaga kerja tak terlatih (unskilled workers). Hal ini juga terutarna berlaku untuk daerah pedesaan. Pekerja-pekerja professional hanya 2 1,2% pria dan 7,5% perempuan di kota, dan hanya 4,2% pria dan 0,7% perempuan di pedesaan. Pada tahun-tahun mendatang kualitas usia lanjut Indonesia diharapkan akan meningkat.



Negara Myanmar RRKorea Indonesia Sri Lanka Thailand



Jenis Kelamin



Masakl menyiapkan makanan



Bersihbersih rumah



Pergaulan antara orang-orang usia lanjut juga tetap dilakukan dengan teratur. Di pedesaan mereka lebih sering kunjung-mengunjungi hertemu, dibandingkan di daerah kota. Tetapi di daerah perkotaan orang-orang usia lanjut lebih banyak yang ikut serta dalam organisasi-organisasi masyarakat (sosial, perkumpulan kematian, dan sebagainya).



STATUS PSlKOSOSlAL USlA LANJUT Keadaan psiko-sosial para usia lanjut kita umumnya memang masih baik, rasa kesepian yang banyak dijumpai di negara-negara industri maju tak begitu banyak dijumpai, juga perasaan depresi dan ketergantungan pada orang lain hanya kurang dari 5%. Yang masih ingin tetap bekerja dan tetap aktif di rumah masih sekitar angka 60-75%, ha1 yang sangat membanggakan hati kita. ( ~ a b e l 7 )



STEREOTIPE PSlKOLOGlSORANG USlA LANJUT Biasanya sifat-sifat stereotipe para usia lanjut ini sesuai dengan pembawaannya pada waktu muda. Beberapa tipe yang dikenal adalah sebagai berikut:



Tipe konstruktif. Orang usia lanjut mempunyai integritas baik, dapat menikrnati hidupnya, mempunyai toleransi tinggi, humoristik, fleksibel (luwes), dan tahu diri. Biasanya sifatsifat ini dibawanya sejak muda. Mereka dapat menerima fakta-fakta proses menua, mengalami masa pensiun dengan tenang, juga dalam menghadapi masa akhir. Tipe ketergantungan (dependent).Orang usia lanjut ini masih dapat diterima di tengah masyarakat, tetapi selalu pasif, tak berarnbisi, masih tahu diri, tak mempunyai inisiatif, dan bertindak tidak praktis. Biasanya orang ini dikuasai istrinya. Ia senang mengalami pensiun, malahan biasanya banyak makan dan minum, tidak suka bekerja, dan senang untuk berlibur.



Menjahit



Cuci piring



Cuci pakaian



Bantu di kebun



P W P W P W P W P W



Sumber: Aging in the South-East-Asia-WHO-Region, 5-countty Study on health of the elderly in the cornrn~~r".. 4993.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



CERONTOLOCIDAN CERIATRI Dl INDONESIA



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI U+ R



Urban



Rural



Pelupa Kesepian Sulit tidur Depresi Sepenuhnya tergantung Sakit kronik Masih ingin bekerja Masih aktif di rurnah Masih kerja cari uang Masih ikut organisasi sosial Melihat TV Mendengarkan radio Sumber: Boedhi-Darmojo dkk,



Tipe defensif. Orang ini biasanya dulunya mempunyai pekerjaanljabatan tak stabil, bersifat selalu menolak bantuan, seringkali emosinya tak dapat dikontrol, memegang teguh pada kebiasaannya, bersifat kompulsif aktif. Anehnya mereka takut menghadapi "menjadi tua" dan tak menyenangi masa pensiun. Tipe bermusuhan (hostility).Mereka menganggap orang lain yang menyebabkan kegagalannya, selalu mengeluh, bersifat agresif, curiga. Biasanya pekerjaan waktu dulunya tidak stabil. Menjadi tua dianggapnya tidak ada hal-ha1 yang baik, takut mati, iri hati pada yang muda, senang mengadu untung pada pekerjaan-pekerjaan aktif untuk menghindari masa yang sulithuruk. Tipe membenci/menyalahkan diri sendiri (self-haters). Orang ini bersifat kritis terhadap dan menyalahkan diri sendiri, tak mempunyai ambisi, mengalami penurunan kondisi sosio-ekonomi. Biasanya perkawinan yang tak bahagia, mempunyai sedikit hobi, merasa menjadi korban dari keadaan, namun mereka menerima fakta pada proses menua, tidak iri hati pada yang berusia muda, merasa sudah cukup mempunyai apa yang ada. Mereka menganggap kematian sebagai suatu kejadian yang membebaskannya dari pasienan. Di Indonesia belum pernah diadakan penelitian mengenai stereotipe usia lanjut ini. Kriterianya tentu sangat dipengaruhi oleh faktor nilai, budaya, lingkungan dan tradisi masyarakat. Tujuan tiap usia lanjut terutama tentu saja masuk tipe konstruktif, yang tentu masih dapat diikutsertakan dalam pembangunan negara. Statistik kasus bunuh diri menunjukkan angka yang lebih tinggi persentasenya pada golongan usia lanjut ini, apalagi pada mereka yang hidup sendirian. Kesusahan kehilangan seseorang yang dicintai seringkali berakibat depresi, juga bila kehilangan teman atau relasi lain (bereavement). Ini dapat menyebabkan gangguan fisis dan psikiatrik.



PENGARUH PROSES INDUSTRIALISASI Di negara-negara maju ternyata kualitas hidup dapat



ditingkatkan dengan cepat berkat industrialisasi. Namun dengan adanya industrialisasi, urbanisasi juga terjadi, sehingga menambah kepadatan penduduk kota dengan segala macam problemanya, yang tentu secara langsung atau tak langsung akan mempengaruhi perkembangan geriatri (gerontologi) pada umumnya. Selain itu industrialisasi juga akan membawa pikiranpikiran yang lebih materialistik dan dapat mendesak budaya tradisional yang baik. Jadi perkembangan industri di sini bisa berpengaruh positif, tetapi bila tak diawasi dengan baik, juga dapat berpengaruh negatif terhadap segmen penduduk usia lanjut tadi. Pada proses industrialisasi, bertambah cepatnya perempuan yang biasanya melayani para usia lanjut, memasuki lapangan kerja merupakan fenomena yang global.



MASALAH PENSIUN Pensiun (purna tugas) adalah suatu sistem peraturan sejak ada negara industri, suatu ha1 yang baru dimasyarakatkan sejak pertengahan abad 20 ini. Mungkin ha1 ini memang diperlukan demi kebaikan kaurn usia lanjut. Tetapi peraturan pensiun ini dalam perkembangannya terlalu birokratik dengan syarat-syarat yang sering berbelit-belit. Di suatu negara agraris, para petani tak mengenal istilah pensiun. Bila seorang petani tua masih kuat bekerja di ladanglsawah, dia akan terus bekerja sampai suatu waktu tertentu dia merasa tak kuat lagi bekerja fisis, sebagian tugasnya akan diserahkan kepada anak atau saudaranya yang lebih muda. Alasan menghentikan pekerjaan tadi dapat berupa mundurnya kesehatan dan kemampuanikekuatan, kemudian dilakukan alih tugas. Bila seseorang dipensiun, ia-pun akan mengalami kehilangan-kehilangan, antara lain sebagai berikut:



Kehilangan finansial. Pada umumnya, pemasukan uang pada seseorang yang pensiun akan menurun, kecuali pada orang yang sangat kaya dengan tabungan yang melimpah. Kehilangan status. Terutama ini terjadi bila sebelumnya orang tersebut mempunyai jabatan dan posisi yang cukup tinggi, lengkap dengan fasilitasnya. Kehilangan temanlkenalan. Mereka akan jarang sekali bertemu dan berkomunikasi dengan teman sejawat yang sebelumnya tiap hari dijumpainya, hubungan sosialnyapun akan hilanglberkurang. Kehilangan kegiatanlpekerjaan yang teratur dilakukan setiap hari. Ini berarti bahwa rutinitas yang bertahun-tahun telah dikerjakan akan hilang. Terbukti di sini pentingnya masa persiapan pensiun (MPP) yang sayangnya di Indonesia tak begitu seragam dan kurang terencana dengan baik. Di negara industri maju MPP ini dilaksanakan dalam 5-10 tahun.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Biasanya orang yang pensiun akan mempunyai ketergantungan sosial finansial, selain juga kehilangan prestise, kewibawaan, peranan-peranan sosial, dan sbagainya, yang akan merupakan stres bagi orang-orang tua tadi. Untuk menghadapi masa pensiun dengan stres yang sekecil mungkin banyak negara yang mengadakan apa yang disebut preretirement course bagi pegawainya. Timbul pemikiran untuk, mengadakan pensiun secara bertahap, apa yang disebut "stepwise" atau "phasing out" employment plun. Ini dikerjakan dengan secara bertahap mengurangi jam dinas sambil memberikan persiapan-persiapan penyaluran ke arah macam pekerjaan yang akan diajalankan sesudah pensiun.



KEBIJAKSANAAN SOSIAL DAN PELAYANAN TERHADAP USlA LANJUT Norma dan nilai sosial di Indonesia pada saat ini masih menempatkan anggota masyarakat yang lebih tua pada kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang lebih muda. Orang usia lanjut merupakan sumber nasihat dan restu, dan sangat dihormati baik dalam upacara maupun dalam pergaulan sehari-hari. Perkembangan industri dengan segala perubahan yang mengiringinya sedikit banyak tentu akan mendesak faktor-



faktor sosio budaya masyarakat. Di negara industri, yang sangat materialistik pandangan hidupnya, keakraban berkeluarga dan penghormatan kepada orang-orang tua (kakek atau nenek) tidaklah sebaik yang kita lihat di dunia timur.



PROBLEMA PENANGANAN GOLONGAN USlA LANJUT Di atas telah diuraikan (Gambar 3) mungkin problema sosio-ekonomi inilah yang akan merupakan problema terbesar apalagi mengingat bahwa inflasi telah melanda sebagian besar negara-negara sedang berkembang seluruh dunia, maka tabungan yang telah disimpan oleh orangorang usia lanjut sejak masa mudanya menjadi tidaklkurang berarti lagi. Akhirnya orang tua akan tergantung juga hidupnya pada orang lain (anak, keluarga, atau pemerintah danlatau badan-badan sosial swasta). Peranan dan Kewajiban Pemerintah Saat ini, persoalan orang-orang usia lanjut belumlah merupakan prioritas penting di negara kita, malah dalam urutan prioritas penggunaan dana dapat dikatakan rendah sekali. Oleh karena itu, sebaiknya kebijaksanaan hams diteruskan untuk membatasi jumlah panti werda dalam jumlah minimal, karena keterbatasan dana untuk



A.PEMERINTAH : - UU IPeraturan-peraturan - Pensiun - Subsidt, asuransi - Panti Werdal Rumah Sakttl Karang Werda , dan sebagainya



-+



-



C. INDUSIRIALISASI: - Perbatkan Sostal Ekonom t - Teknolog~modern - Pencernaan Llngkungan H ~ d u p - bantsas~ - Plklran Materlal~srtk dan sebagalnya



.FAKTOR SOSIAL BUDAYA:



ORANG-ORANG USIA LANJUT



- Keakraban keluarga - Penghormatan terhadap orang tua - gotong royong, tanggung jawab kolektlf keiuarga, dan sebagalnya



- ~ukarelawan-sukarelawan - Pengumpulan dana



- Panti Werda /Rumah S a k ~ t l Karang Werda



- Keluaraa



Gambar 3. KeadaanlFaktor penting yang mempengaruhi problema usia lanjut (Boedhi-Darmojo, KOPAPDI, 1981)



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



93 1



GERONTOLOGI DAN CXRIATRI DI INDONESIA



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI mengelolanya, sedangkan, " d q c a r e cenrers" (karang werda non panti) dan pusat-pusat rehabilitasi sebaiknya didirikan sebanyak mungkin, baik oleh pemerintah maupun oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pada saat ini Departemen Sosial sudah Inembangun model panti werda tersebar di hampir tiap propinsi yang ada. Di kota-kota besar banyak pusat perawatan dikembangkan oleh pemerintah, sebagaimana juga oleh proyek-proyek LSM. Setiap RS yang besar dilengkapi dengan apa yang disebut (Preventive Rehabilitution Unit) PRU yang selalu disibukkan dengan pasien-pasien usia lanjut, yang juga mempunyai kegiatan-kegiatan ekstra mural. Hospital based dan Communih based Gerontologic/ Geriatric care yang lengkap dapat dilihat pada Cambar 4. Selain panti werda (rumah perawatan orang-orang usia lanjut) yang diselenggarakan oleh Departemen Sosial, temyata sekarang banyak panti yang dikelola oleh badanbadan sosial swasta. Namun berapa banyakpun panti werda tersebut, tentu tidak cukup untuk menampung orang-orang usia lanjut yang memerlukannya. Di negaranegara majupun banyak orang yang lnasih hams antri untuk mendapatkan tempat dalam panti, dan menurut pendapat penulis, kita memang tidak usah rneniru negaranegara maju tersebut, dalam penanganan masalah usia lanjut. Sudah sewajamya sejak sekarang ini pemerintah mulai mengatur perundang-undangan dan peraturan-peraturan yang mengatur ha1 ikhwal penanganan masalah sosial



orang usia lanjut tadi, dan yang paling penting pelaksanaan peraturan-peraturan tersebut dengan baik dan tertib. Peraturan-peraturan yang d~maksuddi sini meliputi pengaturan bantuan-bantuan baik dari luar maupun dari dalam negeri, besarnya subsidi dari pemerintah, siapa yang berhak tinggal di panti, kewajiban keluarga orang usia lanjut yang menempati panti, dan sebagainya. Selain pembentukanpanti werda, yang tentunya hanya akan diperuntukkan bagi orang-orang usia lanjut yang betul-betul tidak mempunyai sanak keluarga atau teman yang mau menerima mereka, pemerintah juga berkewajiban mengatur dan mengadakan Rumah Sakit Khusus Geriatri atau hanya suatu bagian Geriatri di Rumah Sakit. Juga pemerintah wajib memberikan subsidi dan penlbinaan pada orang-orang usia lanjut tadi, baik yang tinggal dalam panti apalagi terutama yang non panti, selnacarn sistem pelayanan kesehatan MEDICARE (asuransi) dan MEDICAID (bantuan). Peranan Badan Sosial Swasta Seperti di negara-negara lain, biasanya badan-badan sosial yang mulai bergerak di bidang orang-orang usia lanjut ini mempunyai corak keagamaan. Diharapkan tentu saja, sesuai dengan Pancasila kita, jangan sampai ada pembedaan-pembedaan agama yang mempcngaruhi diterima atau tidaknya sescorang untuk tinggal di panti werda yang dikelola oleh kelompok agama tertentu. Selain itu, sebetulnya organisasi-organisasi swasta tadi dapat bersama-sama badan-badan pcmerintah



'c



L



Hospital based -acute and chronic med care - Health assesment facilities - Day-hospital (day care CO Rehabllitiat~on Memory clinic etc. - Special therapylrehabilitation Occupational t h l Physical Speech Podiatry Audiology idutritl~naltrneal Dental care - Respite care etc. - Hospice carelrelig~ousservice - Orthopedic etc l l -



. -



II - --



-



Manpower: LSM, Kr. Taruna, DarmawanitalPKK, Relawan (TOT, TOC) Funding : Government, LSM, insurance, Syst, "MEDICARE, MEDICAID", etc.



Gambar 4. Care of the elderly



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



mengorganisasi sukarelawan, mulai dari membersihkan rumah, memasak, membantu belanja, sampai berupa gerakangerakan pengumpulan dana, dan sebagainya untuk para usia lanjut tadi. Ini mungkin merupakan suatu langkah lebih maju dari apa yang disebut "Pembinaan Non-panti" atau "Bantuan Non-panti". Selain itu, orang-orang usia lanjut yang masih cukup kuat untuk bekerja dapat diberi modal kerja (pekerjaan tangan kerajinan dan sebagainya). Jadi peranan badan-badan sosial swasta di sini adalah saling melengkapi dengan pemerintah dalam semua usahanya. Juga perkumpulan-perkumpulan dari orang usia lanjut sendiri yang telah ada, seperti: Persatuan Wredhatama Republik Indonesia (PWRI), Legiun Veteran, Persatuan Pensiunan Anggota ABRI (PEPABRI), dan sebagainya, diharapkan akan lebih kuat dan lebih mampu untuk mengurus anggotaanggotanya. Bila perawatan keluarga tetap akan dilakukan, pelestarian adanya kerjasama sanak keluarga akan menjadi penting dalam rangka sistem kesejahateraan keluarga tradisional. Perawatan keluarga hams terdiri atas pelayanan dukungan masyarakat, seperti: respite care, rehabilitasi, rekreasi dan fasilitas komunikasi, makanan, dan sebagainya. Martabat orang-orang usia lanjut dalam keluarga dan keakraban hidup kekeluargaan di dunia timur seperti yang kita punyai, dirasa perlu dipertahankan, walaupun ada segi negatif dari penghargaan kepada orang tua ini yang sering dijumpai berupa "over-proteksi".



MACAM PELAYANAN UNTUK PARA USlA LANJUT YANG ADA Dl INDONESIA Panti werda (sasana tresna werda) dan karang werda (daycare centers) yang non-panti mulai bermunculan di kotakota besar di Indonesia. Pemberian paket-paket perkakaspertukangan pernah diberikanldibagikanoleh Departemen Sosial, untuk menaikkan pendapatan dan ketrampilan orang usia lanjut tadi, peningkatan gizi usia lanjut (di Inggris ini disebut "Meals on Wheels"), pelayanan bantuan untuk mengurus tempat tinggal, membersihkan, mencuci, memasak, dan sebagainya (home-care nursing, home-help service) dapat dijalankan oleh LSM atau relawan-relawan di sekeliling rumah usia lanjut tersebut. Hal ini dapat diorganisasi lebih baik lagi. Pemberian potongan harga, pajak, ongkos transportasi, dan sebagainya, mulai banyak diberikan. Untuk pelayanan dalam bidang kesehatan, Posyandu Lansia telah mulai dipersiapkan, bahkan telah dilaksanakan oleh beberapa daerah di Indonesia. Untuk para usia lanjut yang menghadapi saat-saat akhir akan menghadap Ilahi, biasanya pihak keluarga yang mengurusnya, tetapi akan lebih baik apabila para ulamal rohaniawan dapat selalu siap mendampinginya. Alangkah baiknya bila ha1 ini dapat dipersiapkan oleh rumah sakit,



perkumpulan kematian, dan sebagainya (hospice care). Perlu diadakan kegiatan MEDICARE (asuransi kesehatan) dan MEDICAID (bantuan dana pemeliharaan kesehatan seperti di USA dan negara industri maju yang lain). Sekarang kita baru mengenal Askes (terutama bagi PNS), Jamsostek dan asuransi swasta. Bagi yang kurang mampu dapat dikeluarkan surat keterangan tidak mampu, surat miskin, dan sebagainya. Untuk menjadi orang usia lanjut yang sukses (successful aging) paling sedikit perlu dipertimbangkan kriteria, sbb:



Dimensi psikologis: Integritas pribadi (Ego-integrity). Dapat mencapai integritas hidup yang baik (bijaksana). Tujuan hidup yang baik, penyesuaian diri terhadap lingkungannya, dapat mengerti dan menghargai pendapat orang lain, dapat menangkal duka-nestapa (bereavement) dan mempunyai kehidupan religius yang baik. Dimensi fisiologis dan fognitif yang baik a.1 dapat melaksanakan aktivitas hidup sehari-hari (=ADL) fisis dan instrumental dengan baik bebas dari disabilitas meski mengalami hambatan fisislmental, dapat mandiri selama mungkin, tetap dapat mempertahankan kreativitas dan produktivitas kondisi fisis dan mental, dsb. Dimensi keterlibatan dalam masyarakat (Social engangement & participation). Dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat secara aktif dan berhasil guna, terlibat dalam aktivitas kerelawanan dan kedermawanan, dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan antar generasi yang serasi, mempersiapkan kader-kader dan generasi penerus yang handal, mempunyai sumbersumber dana sosio-ekonomi selama mungkin, dsb. Penulis mengidentifikasi sepuluh kebutuhan para usia lanjut sebagai berikut:



-



1 2 3



4 5



6 7 8 9



10



Makanan cukup dan sehat (=healthy food) Pakaian dan kelengkapannya (=cloth and common accessories) Perurnahanltempat tinggallternpat berteduh (=homes, a place to stay) Perawatan dan pengawasan kesehatan (=health care, facilities) Bantuan teknis praktis sehari-harilbantuan hokum (=technical, Judicial assistance) Transportasi urnurn bagi lansia (=facilities for public transportation, etc) Kunjungan, ternan bicaralinforrnasi (=visists, companies, information, etc) Rekreasi dan hiburan sehat yang lain (=recreational activities, picnics, etc) Rasa arnan dan tentrarn (=safety feeling) Bantuan alat-alat panca indera (kacarnata, hearing aid) (=other assistancelaid). Kesinambungan bantuan dana dan fasilitas (continuation of subsidies and facilities)



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



GER0NTOUX;IDAN CERIATRI DI INDONESIA



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Populasi usia lanjut dalam waktu dekat ini, baik di seluruh dunia, apalagi di Asia dan negara sedang berkembang, akan naik dengan cepat jumlahnya, sehingga cepat atau lambat akan merupakan masalah, bila tidak dipersiapkan dari sekarangpenanggulangannya. Kebiasaan sosio-budaya masyarakat di dunia timur sampai sekarang ini masih menempatkan orang-orang usia lanjut, pada tempat yang terhormat dan mendapatkan penghargaan yang tinggi. Keadaan sosio-ekonomi mereka pada urnumnya akan makin menurun dengan bertambahnya usia dan akan lebih tergantung pada orang lain, yaitu keluarga, badanbadan sosial (LSM), pemerintah, dan sebagainya. Keluarga (anak-anak) masih merupakan tempat berlindung yang paling disukai oleh usia lanjut ini. Sampai sekarang penelitian dan observasi tak menemukan bukti-bukti yang menunjukkanbahwa anakl keluarga segan untuk melakukan ha1 ini. Menempatkan orang usia lanjut di panti werda masih merupakan altematif terakhir. Pada sisi yang lain sebetulnya kinerja sebagian besar kaurn usia lanjut masih cukup baik, cukup aktif, dan cukup produktif, sehingga masih dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan keluarga. Kinerja (fbngsi dalam masyarakat) seorang usia lanjut memang ditentukan oleh resultante 3 faktor penting, yaitu faktor fisis, psikologislmental, dan sosio-ekonomi. Penulis menganggap faktor sosio-budayajuga penting, apalagi di dunia timur. Akibat perkembangan dalam bidang industri, kualitas golongan usia lanjut di Indonesialnegara sedang berkembang akan makin baik. Tetapi akibat proses industrialisasiyang merugikan, juga haruslah diawasi, antara lain berupa polusi, urbanisasi, pikiran materialistik, dan sebagainya yang dapat menggusur faktor-faktor sosio-budaya yang baik. Pensiun, sebagai sistem pada industrialisasi, dapat merupakan kendala untuk orang-orang usia lanjut terhadap keadaan sosio-ekonominya, finansial, dan sebagainya. Maka dari itu haruslah dipersiapkan dengan masa persiapan pensiun (MPP) yang baik dan terencana. Selain faktor fisis hams juga diperhatikan faktor psikologis/mental pada usia lanjut tadi, karena pada waktu pensiun akan terjadi kehilangan pada bidang finansial, status dan fasilitas, kenalan dan komunikasi. Pada perempuan, faktor psikologis akan banyak terjadi apalagi dengan datangnya masa klimakteriurndan menopause. Terdapat stereotipe-stereotipe usia lanjut pada waktu bertambahnya usia ini, yang kebanyakan meneruskan sifat-sifat yang dipunyai pada waktu muda, yaitu



stereotipe konstruktif, tipe ketergantungan, defensif, bermusuhan (hostility), dan self-haters. Pengadaan dana dalam bentuk asuransi kesehatan atau bantuan pemeliharaan kesehatan semacam "Medicare" dan "Medicaid' di negara maju perlu dipersiapkan dan disempurnakan pelaksanaannya. Bermacam-macam tindakan pelayanadpembinaanpada golongan usia lanjut ini, baik yang sudah dikerjakan, maupun yang masih harus ditingkatkan pelaksanaannya, hams dilaksanakan oleh pemerintah bahu-membahu dengan masyarakat dan keluarga.



REFERENSI Andrews G. Aging in the WHO-South-East-Asian-Region, Report on WHO-5-Country Community Study of the Elderly. 1993 Boedhi-Darmojo dan Hadi Martono. Buku Ajar Geriatri, Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2004 Boedhi-Darmojo R, et al. WHO-5-Country-Study. Indonesia Country Report. Colombo-WHO-Meeting of Principal In vestigators, Sri Lanka. 1991 Boedhi-Darmojo R. Beberapa Masalah Penyakit pada Usia Lanjut. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas Diponegoro. 1974. Boedhi-Darmojo R. Care of the Elderly of Indonesia, WorldCongress of Gerontology, Adelaide, Australia.1997 Boedhi-Darmojo R. A Journey Through Gerontology and Geriatrics in Indonesia, Joint Symposium on Gerontology University of Indonesia & University of Oxford, Jakarta.2004. Boedhi-Darmojo R. Masa Depan Geriatri di Indonesia. Acta Medica Indonesiana X, 84-104 (Simposium Geriatri ke-2, Jakarta). 1979;10:84-104 Boedhi-Darmojo . Kondisi dan Syarat Kej a Tenaga Kej a Usia Lanjut. Seminar Pemanfaatan Tenaga Kerja USILA, Departemen Tenaga Kerja, Jakarta. In: Bunga Rampai Karangan Ilmiah Pengantar Puma Bhakti 1994, Prof. R. Boedhi-Darmojo.1985.p. 132. Brocklehurst J & Allen SC. Geriatric Medicine for Students, 2nded. Churchill & Livingstone. 1987. Boedhi-Damojo R. Berbagai Problema Geriatrik di Indonesia, Naskah lengkap KOPAPDI VISimposia Semarang, Juni, 1981.p.70 - 88. Boedhi-Darmojo. Orasi Puma Tugas, 2004, Through Healthy and Active Aging to Successful Aging, Nasakah Lengkap Kongres Nasional I11 dan Temu Ilmiah I1 PERGEMI, Yogyakarta, 2004. Boedhi-Darmojo R. Pertemuan Lembaga Usia lanjut (LLI), Jakarta: 2003. Constantinides P I: General Pathology, chap 3. Connecticut: Appletonand Longer; 1994. Haryono Suyono . Pokok-pokok Pikiran Mentri Negara Kependudukan. Kepala BKKBN. Simposium Nasional Gerontologi dan Geriatri, Dewan Riset Nasional, Serpong., 1994. p. 1-15. Pignolo RJ & Forceia MA. Biology of Aging, In: Geriatric Secrets, 31d ed, Hanley & Belfus (Elsevier). 2004.p. 7-13 World Health Report, WHO-Geneva.2000. WHO Techn. Rep. Series 779, Health of the Elderly, WHOGeneva. 1989. Kinsella K & Taeuber : An Aging World 11, International Population Report P97192, US Bureau of The Cencus, Washington DC.1993. WHO. World Health Day. 1981. Add life to Years, WHO-Chronicle 36; 2:68. WHO, Geneva. 1982.



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



INDEKS



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



a salt and pepper appearance 2686 al-antitrypsin, 545 Alc 1891 AA (sekunder atau amiloidosis reaktif) 975 Abciximab 1731, 1761, 1768 Abdomen 583 Aberasi kromosom 151, 152 mosaik kromosom 153 Ablasi 1650 iodium radioaktif 131-1 2034 Ablasio retina 41 Abnormalitas Ileum 1146 Abrasi 922 Abmptio plasenta 1100 Abses kripti, 594 paru 499, 2230, 2235, 2256, 2323 perinefrik 1013 peritonsil 45 retrofaring 45 subfrenik, 500 submandibula 45 Absorpsi 776 kalsium fraksional 183 Acanthosis nigricans 2040 Accelerated idioventricular rhythm 1609 Accessory cholera exotoxin 2845 ACE inhibitor 540, 900, 901, 1087, 1583, 1684 Acetylcholine 460 Acid brake, 506 Acoustic windows 1555 Acquired immunodefiency syndrome (AIDS). 549,2858 ACTH 2039 Actin 2375 Activator protein 269, 2750 Activities of daily living 921, 927 Acute confusional state 907 fatty liver of pregnancy 702 injury lung, 234 mental status change 907 respiratory distress syndrome (ARDS) 2205, 2792 Acyanotic fallot 1788 Acylation stimulating protein (ASP) 1976 ADA 1880, 1883 Adalimumab 2762 Adam stokes attack 905 Addison 1902 Adenokarsinoma 576, 578 esofagus, 500 Adenoma 557, 573 adrenal 2066 folikuler 2023



heterotropik, 576 hiperplastik, 576 tubular, 557, 573 villosa, 557 papiloma, 2254 Adenomektomi 2042 Adenosin deaminase activity 728 Adenosinetriphosphate (ATP) 19 17 Adenosquamous carcinoma. 2254 ADH 962 Adhesi 579 Adhesin 502, 524 Adiksi 2746 ADL 907, 910, 932 Admimy 155 Adrenarche 94, 2070 prematur 97 Adrenergik 776 Adrenocorticotrophic hormone (ACTH) 118, 2749 Adrenopause 2078 Adson test 2700 Adult protective service 922 respiratory dystress syndrome 608, 1773 Advanced gastric cancer 577 glycation end-products 979 glycosylation end products (AGES) 1938, 1939 Adverse drug reaction 776 Aferesis 1205 terapeutik 1206 AFP dan P-HCG 2252 Agamaglobulinemia 2297 Age related metabolic adaptation 1971 Agen 885 biologik 2761 sekresi tubulus 943 AGES 2036 Aging 758 Agitasi 842 Agranulositosis 520 Agregasi neuron, 205 platelet 1729 trombosit 1892 AHA tipe hangat 1178 Ahli farmasi, 769 gizi, 769 Air kemih 1027 Air-fluid level, 499 Airway 253, 896 Akalasia primer, 488



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1-2



INDEKS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



sekunder, 489 Akinesia 853 Akondroplasia 150, 2729 Akromegali 1796, 2040, 2348, 2687, 2701 Akromia kongenital 34 Akroosteolisis 2620, 2708, 2727 Akrosefali 36 Akrosefalosindaktili 36 Akrosenris 148 Aktivasi komplemen jalur alternatif. 1152 komplemen jalur klasik 1152 selular 1152 sistem komplemen 1152 trombosit 1741 Aktivitas jasmani 1880 hidup sehari-hari (AHS) 780 kontrol elektrik 461 Aktin 2374, 2375 Aktinomisetes (aktinomikosis, nokardiosis) 2267 Aktivator 896 Akupunktur Akut dan subakut 1702 Alarm symptom, 526 Albendazol 2953 Albert calmette 223 1 Albinisme 150 Albright's hereditary osteodystrophy 2692 Albumin 776, 1196 Aldolase 2630 reductase inhibitor 1950 Aldosteron 193, 2053 renin ratio=ARR 1094 Aldosteronisme, 2062 primer 1777 Alendronat 2683 Alergi 777 Alfa fetoprotein 1426 ALG 1075 Aliran plasma ginjal 904 Alkali 493 Alkaline fosfatase 2681 spesifik tulang 2681 Alkaloid vinka 1172 Alkalosis metabolik, 195 Alkohol 1892, 1908 Alkoholisme 2324 kronik 2066 Allergan humphrey 2041 Allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA) 2269, 2290 Aloantibodi 1199 Alodinia 51 Aloimunisasi 1199 Alopesia areata 37 totalis 37 universalis 37 Alopurinol 2559 Alpha Lipoic Acid 1950 subunit glycoprotein 2041 -1 antitrypsin 2339 ALS 1075 Alteplase 1769 Altered mental status 907 Alternating day therapy 2752 Alveolitis 2288



Alzheimer 837 Ambeien 587 Ambulasi 814 Ambulatory Blood PressureMonitoring-ABPM 1081 Amebiasis 621 American rheumatisms association 983 AMES 2035 Amforik 63 Amilase 2330 Amilin 1938 Amilnitrat 2746 Amiloidosis 2302, 2696, 2701 Aminoasciduria 2694 Aminofusin 495 Aminoglikosida 2902 Aminoglutetimid 2067 Aminoglycosida-modifying enzyme 2902 Aminoguanidin 1950 Aminosteril 495 Amiodaron 911, 1607, 1608, 1801, 2019 Induced Thyrotoxicosis (AIT) 2008 Amiparen 495 Amitriptilin 9 11, 2746 Amoebiasis 594 Ampisilin 2860 Amplatzer septa1 occluder 1783 AMS 2081 Amuba 2325 ANA 2361 Anafilaksis 257 Anakinra 2763 Analgesia 51 Analgetik 524 Analisis semen 2277 gas darah 887, 909 kromosom 158 -meta 900 Analog somatostatin 2042 Anamnesis 441 Anaphase lag 144 Anatomi 884 ANCA 1005 Ancylostoma duodenale, 625 Androgen adrenal 2053 Andropause 124 Anemia 520, 1109, 1138, 1177, 2236 aplastik 1116 aplastik herediter 1125 besi defisiensi, 499, 526, 1127, 1178 hemolisis didapat 1157 hemolisis herediter 1157 hemolisis non imun 1157 hemolisisis imun 1157 hemolitik aloimun 1156 hemolitik autoimun 1152, 1178 hemolitik autoimun tipe hangat 1154 hemolitik imun diinduksi obat 115.5 hemolitik imun tipe dingin 1155 megaloblastik yang refrakter 1 148 pada penyakit kronik 1178 pernisiosa, 577 sel sabit 1178 sel spur 1164 Anestesi 1853 inhalasi 1853 spinallepidural 1853 dolorosa, 51



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



,



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Aneuploidi Instabilitas mikrosatelit 568 Aneurisma 893 aorta, 905, 914 sirkulus dari Willisi 1786 Angelman syndrome 154 Angina Ludovici 45 pektoris 904, 1735, 1940 angina pektoris tak stabil 1757, 1940 plaut vincent 44 Printzmetal 1729 tak stabil 1728 Angiodisplasia 454 Angiografi 1569, 1689 radionuklir 1565 terapeutik, 456 Perkutan 1092 Angiotensin converting enzyme 1087 converting enzyme inhibitors 972 I 1087 I1 193, 1087 receptor blocker 979, 1087, 1585, 1945 Angka disabilitas, 897 Angka kematian 897, 2230 Anion gap 1919 Ankilosing spondilitis 2358, 2722 Ankle brachial index, 1964 Anomali Ebstein 1779 Anonikia 52 Anoreksia 498 Nervosa 99 Anorektoskop 587 Anoskopi 588 Ansietas 271 1 depresi 271 1 Antagonis aldosteron 949 GP IIbIIIIa 1761 interleukin-1 2763 kalsium 900, 896, 901, 1730 antagonis reseptor H2lARH2 484, 5 19 Antalgik, 2447 Antasida 484, 519, 527, 2693 Anterior mediastinotomi, servikal mediastinoskopi, 2253 Scalene Syndrome 2719 Anti aritmia., 905 depresan trisiklik 2746 DNA-histone-complex 2622 Dotum, 292 hipertensi, 905 inflamasi, 524 kolinergik, 905 konvulsi, 905 LAM 2236 mikroba, 887 Parkinson, 905 piretik, 524 PM-Scl 2622 rheumatoid drugs 2753 RNA polimerase I 2622 Scl-70 2622 topoisomerase I 2622 UI-RNP 2622 CD20 (rituksimab) 2763, 2765 D intravena 1172



double-stranded DNA 984 GBM antibody disease 998 IL-1 (anakinra) 2765 La (SS-B) 2514 RO (SS-A) 2514 TNFa (etanercept, infliksimab dan adalimumab) 2765 TPO antibodi 2018 aggregasi trombosit 896, 1361 ' biotika 2896 depresi 848, 896, 905 gen 885 hipertensi 902 inflammatory 263 koagulan 896, 897, 1359, 1722, 1800 koagulan antitrombolitik 1434 kolinergik 225, 585, 909, 911, 914 neutrophilic cytoplasmic anti bodies 2622 nuclear antibodies 2622 septik lemah, 589 spasmodik 585 tiroglobulin antibodi 2018 trombin 111 1360 trombosit antibodi 1366 trombotik 524, 1750, 1767 Antibodi 885 anti-kolagen 2622 antifosfolipid 118 1, 1345 antimitokondrial 2622 antisentromer. 2622 humoral 2237 monoklonal OKT3 1073 selular 2237 anti trombosit 1168 Antraks 2966 Antrasiklin 2998 Antrum predominant gastritis 524 Anxietas 909 Aorta. 2053 Aortic click 68 knob 1787 root 1542 Aortitis 1814 Apathetic hyperthyroidism 1795 Apatite like crystal 2561 Apendisitis 604, 1908 Apnea 2347 hipopneu index, 806 Apo A, Apo B, Apo C, 1984 Apopleksi hipofisis 2040 Apoprotein C-I1 1975 Apoptosis 852, 1415, 2419 pada artritis reumatoid 24 18 pada sle 2420, 2421 Apparatus jukstaglomerular 2056 AR 2354, 2365, 2366, 2367, 2368 Araknodaktili 2725 ARB 900 Ardiopulmonary bypass, 609 ARDS 236, 2204 Area katup mitral 1672 Argatroban dan Melagatran 1768 Arge-volume paracentesis (LVP) 747 Arginin vasopresin 2049 Ariboflavinosis 43 Aritmia 211, 1618, 1914 Atrial. 1603 AV jungsional 1603



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1-4



INDEKS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



supra ventrikular (SV) 1604, 1618 ventrikel 1623 ventrikular 1618 Arteri phrenicus inferior 2053 renalis 1090, 2053 pulmonari 2249 Arteriografi 545, 1964 Arterioloklerosis Mockenberg 2727 Artralgia 2647 Artritis 593, 905, 1665, 2353, 2356, 2366, 2367, 2517 rematoid juvenile 25 19 bakterialis 2639 baru 2367 gonoroika (disseminated gonococcal invent) 2640 gout akut 2558 gout 2354 idiopatik juvenil 25 19 pirai (gout) 2556 psoriatik 2647, 2722 artritis reumatoid 2315, 2440, 2354, 2333, 2355, 2365, 2709, 2710, 2719, 2741, 2764 septik akut 2639 sistemik 2521 terinfeksi., 886 tuberkulosis 2642, 2644 Artro-oftalmopati 2726 Artrokalasia 2727 Artropati kristal 2561 Ams puncak ekspirasi (APE) 2292 AS 2519 Asam 493 amino 198, 1896, 1902 asetat, 493 asetil salisilat 524 asetoasetat (AcAc) 1907 basal, 515 deoksiribonuleat 144 etakrinat 2686 fibrat, 1987 nikotinik 1987 folat 1142 folinat 2758 HCL, 493 hialuronat 2547 homovanilik 2253 laktat 1917 lambung, 523 lemak bebas 1907 lemak omega 3 1892, 1989 lemak tidak jenuh 1892 nalidiksik 2860 Nikotinik 1988 nukleat 144 para amino salisilik (PAS) 2231 ribo-nukleat 144 salisilat 2737 salisilat amino, 596 sitrat, 493 urat 1026, 2354, 2361 Asap 2287 rokok. 2294 Asbes 2287 Asbestos 2255, 2282 Ascaris lumbricoides, 622, 625 Ascenden 2926 ASD 1563 Aseptic necrosis 2696



Aset sosial, 769 Asetilkolin 840, 909, 2747 Aseton 1908 Asian esophageal cancer belt 498 Asidosis hiperglikemia dan ketosis 1906 laktat 1920 metabolik, 194, 906 tubular renal 2677, 2678 Asites 705, 2331 Asma 906, 2279 Aspergillus 2233 fumigatus 2267 Aspergiloma 2270 Aspergilosis 2269 Aspirasi 2207, 2323 Aspirin 1362, 1730, 1738, 1760, 1769, 2737 Assisted-Controlled, Volume Ventilation 169 Assisted-ventilation controlled mode 168 Asthmatic pulmonary eosinophilia 2298 Astigmatisme; 40 ASTO 1665 Astrogliosis 901 Asuhan paliatif, 916 Asupan yang Tak Memadai 1147 Asymmetric sensorineural hearing loss 829 asynchronous 1642 AT 111 1371 Atabrin 2953 Ataksia 905 AtaktiWserebelar 2447 Atelektasis 2235 Aterosklerosis 518, 892, 899, 906, 1790, 1792, 2355 Atetosis 50 ATG 1075 ATP 1896, 1907, 1920, 2633 Atresia pulmonal 1694, 1788 Atrial flutter paroxysmal 1639 natriuretic peptide 2059 septa1 defect 1610 Atrioventricular 1788 concordance 1788 Atrofi otot, 860 Attaque cerebrale, 892 Automatisasi 1645 Auranofin 2758 Auro sodium Tiomalat 2757 Auskultasi 2235 Autoantibodi 25 14 Autoimune expcrinopathy 25 14 Autoimunitas 1883 Automated axternal defibrillator 229 Autonomously Functioning Thyroid Nodule 2023 Autoregulasi 895, 901 Autosom dominan 150 2725 Autosom resesif 150, 2727 AV Nodal Reentry Tachycardia 1618 Ayunan postural, 813 Azatioprin 1074, 2584, 2631, 2756, 2758 Azitromisin 2265 Azoospermia 2274



B-IIIulceratif 5 17 B-IIIIinfiltratif, 5 17 B-IV plastikallinitis 517



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Babesiosis 1164 Bachman's bundle 1630 Bacillus 2966 anthracis 2966 Calmette Guerin 223 1 Bacterial overgrowth, 540, 545, 593 Bacteriophage 2902 Bagassosis 2288, 2291 BAJAH 2024 Bakteriostatik 2240 Bakterisid 2240 BAL (broncho alveolar lavage) 2236 Balismus 50 ballotement 71, 74 Balon mitral valvuloplasty 1676 pneumatik, 495 sign 2448 Bangsal geriatri akut 783 kronis 784 Barbiturat 5 19 Bare metal stent 1574 Barium enema kontras ganda 544 follow through 544 meal kontras ganda 5 17 Barognosia 52 Barorefleks 902 Barotrauma 2340 Barret's esophagus (gastritis esofagus distal) 2621 Bartonellosis 1164 Basal heart rate 906, 1790 metabolit, 904 Basaloid carcinoma, Lymphoe-pithelioma-like carcin 2254 Basic calcium phosphate 2561, 2564 Basil tahan asam (BTA) 2263 Hoffman 2956 Basiluria asimtomatik 1012 Batang otak, 894 Batas jantung atas 67 kanan 66 kiri 66 Batu kalsium oksalat 1026 saluran kemih 1025 urat 2550 Batuk 2251, 2299 berdarah 2337 kronik dan berdahak 2267 Darah 2234 Bell's palsy 37 Bence Jones 960 Benda keton 1907, 1908, 1909 Bendungan Splenomegali 1183 Benign Prostate Hypertrophy 905 recurrent cholestasis of pregnancy 703 Benzalkonium klorida, 493 Benzodiazepin 9 11 Berat jenis plasma 2847 Bercak koplik 43 Berg balance scale 821 Berkas His 1524, 1602 Berkontraksi 2376



Bermusuhan 929 Bersihan total 136 Berylliosis 2284 Bestialisme 121 (Beta) amiloid. 838, 2632 endorphin 2059 glucuronidase 72 1 2 glikoprotein I 2582 2-Microglobulin 1427 blockers, 102, 540, 1087 adrenergik 225 biakan 2236 sputum 2237 Bidang empat ruang ('apical four chamber') 1556 Bifosfonat 2727 Biguanid 1920 Bilasan lambung 2236 Bile acid breath 545 acid pool 540 acid sequestran, 1987 Bilharziasis 2986 Bilier 2677 Bio-psiko-sosial 769 -spiritual 778 Bio-transformasi 776 Bioavailabilitas 135 Biofeedback 871 Biokimiawi 2681 Biologik 769 limfoproliferatif 1245 Biomarker 1744 Biopsi aspirasi 1408 aspirasi jarum halus 752 eksisi 1408 ginjal 943 hati perkutan 751 insisi 1408 mukosa kolon 584 pleura 2331 tmncut 1408 tulang 2681 biopsy urease test (BUT ) 505 Bioptom 1713 Stanford 1713 Bisfosfonat 2361, 2682 Bising austin flint 1690 jantung 68 sistolik tipe ejeksi 1780 Bitionol 2953 Bitot 39 Black Cohosh 2080 Black snakeroot 2080 Black-liver jaundice, 7 15 Bladder training, 87 1 tumor antigen 1427 bleb 2345, 2346 blefaritis 39 Blok AV 1609 AV derajat l 1549 AV derajat 2 1549, 1639 AV derajat 3 1549, 1639 AV tingkat I 1609



B



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI AV tingkat I1 1609 AV tingkat I11 1609 bifasikular 1639 jantung 1609 Sinoatrial 1605 unidirektional 1619 Body mass index (BMI) 1977 Bone age 2044 density 2079 Scanning. 2258 turnover 2035 Bormann 577 Borrela bugdorferi 2645 Boutonniere 245 1 Bovis M. 2232 Bowing legs, 2693 BPH 2080 Brachytherapy 1573 Bracing 2725 Bradikardia 1630 relatif 32 Bradikinesia 851 Bradikinin 2737 Brahyolmia 273 1 Brain Natriuretic Peptide 1585 Brakidaktili 2692 Brakisefalus 36 Brakiterapi 1575 Breathing 896 Bridging therapy. 2752 Bromokriptin 2042 Bromsulphthalein 71 5 Bronchial washing 2236 Bronchiolitis obliterans 23 16 obliterans organizing pnemunia 2792 obliterans syndrome 23 16 obliterans with organizing pneumonia 23 16 Bronchoalveolar Lavage (BAL) 2277 Bronkial 63 Bronkiektasis 2274, 2297, 2324 Bronkiolektasis 2274 Bronkiolitis 2288, 2289 obliterans 231 5 Bronkitis kronik 2323 Bronkodilator 224, 2277 Bronkografi 2235 Bronkolitiasis 2300 Bronkopneumonia 897 Bronkoskopi 499, 2236, 2325, 2332, 2258 Bronkospasme 2691 Bronkovesikular 63 B~cella abortus 2970 melitensis 2970 suis 2970 Bruselosis 2970 Brushing 517 Buffalo hump 2063 Bulge sign 2448 Bulimia Newosa 99 Bulla 35, 2323, 2345, 2346 Bullektomi. 2345 BUN 1056 Bundle branch block 1603, 1610 Bunyi Jantung Tambahan 67 Bursitis 2354, 2358, 2698



anserina 2702 Illiopsoas (Illiopectinial) 2702 ischial 2702 olekranon 2700 Prepatelar (Housemaid's knee) 2702 Trokanterik 2701 Busi Hurst, 495 karet air raksa (merkuri) 495 Maloney, 495 Butterfly rash 37 Button hole 1672 By pass gastric (Roux-en Y) 1981 Byssinosis 2288, 2290



C-20 Hidrosilase 2069 C-21 Hidroksilase 2069 C-3b-dehidrogenase 2069 C-reactive protein, 593, 1915 Ca 125, 777 prostat, 905 Cacing dewasa 2989 hati (liver fluke) 2943 Cadmium 2708 cag pathogenicity island 503 Cairan intraselular, 199 serebro spinal 2927 tubuh, 904 Calcitonin-gen-regulated peptide (CGRP) 1948 Calcium Channel Blocker 1087 pyrophosphate dehidrogenase crystal 2561 Calicivirus 5 10 CAM 911 Camille Guerin 2231 Campuran 908 Campylobacter 516, 621 Campylobacter jejuni, 543 Canadian cardiovascular society 1735 Cancer Antigen 125 1426, 1427, 1428 Candida albicans 2267 Canicola L. 2808 Capture 1654 beat 1625 Carbidopa 856 Carbonate subtituted apatite 2561 Carbonated dressing, alginate dressing 1964 Carbonic anhydrase inhibitor 949 Carcino embryonic antigen 1426 Carcinoid tumor 2254 Carcinoma medullare thyroid. 1994 Carcinomas of salicary gland type 2254 Cardiac cardiac arrest 1635 cardiac output 747, 1569, 1681, 1682 resynchronization therapy 1660 skeleton 1644 stimulator 1646 Cardiovascular Function, 896 Carter-Robbins test 2050 Catastrophic APS 2613 CAVH 1059 CD 55 1175 CD 59 1175 CD4+ 2264



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI CEA 741, 2259 Cedera Pam Akut 1186 Cell surface marker 2763 T growth factor, IL-2 2058 mediated 1883 mediated immunity 969 Central and bilateral lateral node dissection. 2034 sleep apnea 805, 2347 Venous pressure 553 Cereal bran, 604 Cerehro vascular accident 905 Cervical collar 2718 syndrome 271 5 Chagas 1716 Chain of Survival 228 Charcot 893 Charcot-like arthropathy 2751 Chemoprevention 2262 Cheyne Stokes 33, 60 CHF 905 Chinese liver fluke 2945 Chlamydia trachomatis 1012 Chlorpromazin 909 Cholera sec 2848 Cholestasis of pregnancy 702 Cholesterol Ester Transfer Protein (CETP) 1980, 1986 Chondrocalcinosis 2561 Chondroprotective agent 2538, 2547 Chorea 1665, 1671 Chorio Carcinoma (80%) 2260 Chorionic somato mammotrophic hormone 92 Chromatography, thin-layer urine 546 Chronic overuse syndrome 2706 Chronological age 2044 Churg-Strauss syndrome 1004 Cincin Kayser-Fleischer 39 Circulating immune complex 969, 2648 Cisapride 484 Citalopram 2747 CKMB 1713 Claudicatio intermitten. 2542 Clicking. 2449 Cloncking 2449 Clonorchiasis 2943, 2945 Clonorchis sinensis 2943, 2945 Clostridium difficile, 552, 565 Coal Workers' Pneumoconiosis, Black Lung 2283 Coarse facial features 2040 Coats disease 2636 Coherence 205 Colchicine 540 Cold nodule 2024 Colin McLeod 141 Collecting duct 2052 Colon in loop 476 Colony forming units 1008 Color flow doppler imaging 1558, 1683 Committee on rheumatic fever 1663 Community based geriatric service 782 based gerontologic 93 1 physician, 917 Comparative genomic hybridization (CGH) 159 Complete halo 2025 Complete heart block 1609



Compliance 906, 228 1 Comprehension 205 Comprehensive geriatric assessment 769, 909 Computed Tomography Scanning (CT Scan) 830, 2281, 2235, 2927 Con-joint care, 782 Confusion 842, 905 assessment methode 908 Confusional state, 205 Congenital heart block 2583 Congestive Heart Failure 906 Conjugatif transposons 2903 Conjugation 2902 Continous ambulatory peritoneal dialysis 1055 Continuous wave dopler 1558 Continuum of care 772 Contour jantung 67 Contraction 195 Contraction-band 1812 Contrast-enhanced MRI 1714 Control points 2712 Copper sulfate, 493 Coproporphyrin 716 Core set 2366 Coronary artery bypass grafts (CABG) 102 flow reserve (CFR) 1573 risk equivalent 1792 Corticotropin releasing factor 2056 (CRH) 118, 2062 Cortisol binding globulin (CBG), 2057 Corynebacterium diphtheriae 2955 xerosis. 2956 coryza 2791 Cost-effectiveness 773 Covert bacteriuria 1008 COX2 inhibitor 522 CPEO 155 Crack pot sign 36 Cracking 2449 Crescent sign 2697 CREST syndrome 2620, 2622, 2624, 2626 Creutzfetdt-Jakob Disease 2993 Crigler-najjar 715 Crohn duodenal, 513 Crohn's Disease Activity Index 593 Cross Bridges 2375 resistance 2901 CRRT 1059 Cmx mortis 31 Cryptic disseminate TB 2233 Cryptic tuberculosis 2238 Cryptococcus neoformans 2269 Cryptogenic fibrosing alveolitis (CFA) 23 16 organizing pneumonia (COP) 23 16 Crystalline 2283 Crystals shedding 2557 CT Scan 594, 890, 895, 1098 abdomen 719, 906 toraks 499, 2249, 2252 helikal dan kontras 1029 Cumulative trauma disorders 2705, 2706 Curah jantung, 776 Curli adhesions 1010



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Curling's ulcer, 522 Cut-off 504, 1866 Cutaneous anthrax 2967, 2969 Cute emergency referral 774 Cutting balloon 1575 CVD 907 Cycle 167 Cyfra 21-1 2259 CYPllA 2054 C Y P l l B l 2054 Cystic fibrosis, 2046 pulmonary fibrosis 2297 fibrosis transmembrane conductance regulato 2274 Cytokine independent 1226 primed neutrophil 1005 cytoplasmic antineutrophil perinuclear 543 cytotoxic necrotizing factor-] 1010



D-dimer 1355 D-penisilamin 2756, 2757 Dada emfisema (Barrel-shape) 59 Daerah Mc Burney 476 Dakriosistitis 39 Daktilitis tuberkulosis = spina ventosa 2643 Dalteparin 1769 DAMES 2036 Danazol 1172 Daniel's biopsi 2258 Darah 1190 perifer lengkap 909, 1191 samar 454 tepi 1119 Day care, 785, 931 Day-hospital 782, 783 DC (direct current) counter shock 1606, 1634 DCCT 1901 Debu anorganik 2285 organik 2285 Deconditioning, efek 769 Deep vein thrombosis 906, 1001 Defect Osmoreseptor 205 1 Reglo hypoth.l.miconeurohypophyse.lls 2051 Respons Tubular 205 1 Jalur 1158 Jalur Embden Meyerhof 1159 Septal Ventrikel 1569 septum atrium (DSA) 1779, 1780 septum atrium dengan defek sinus venosus sup 1780 septum atrium primum, 1780 septum ventrikel (DSV) 1783 Defekasi 534 Defensif 929 Definisi 2609, 2924, 2943 dan epidemiologi 2620 kasus 2790 Defisiensi AntiTrombin 111 1337 Asam Folat 1141, 1147, 1150 C- I1b-Hidroksilase 2070 G6PD 1159 GH didapat. 2044 GH kongenital. 2044 Imun 1120



insulin absolut 1906, 1907 Kobalamin 511, 1141, 1145 Miofosforilase (McArdle's disease) 2633 natrium, 862 Protein C 1337 Protein S 1337 Tiamin ( Beri-beri ) 1794 Vitamin 1794 Vitamin B6, B12, dan Folat 1795 Vitamin D 184, 2690, 2693 yodium (DY) 2009 Defisit cairan 177, 2847 neurologis, 892 Deformitas cauliflower 273 1 Degeneratif 768, 779 Degradasi kartilago 2422 Dehidrasi 177, 797, 906, 907, 1906, 1908 berat, 552 hipertonik 797 isotonik 797 ringan 552 sedang 552 Dehidroepiandrosteron (DHEA) 94, 2054 Dehiscence 1704 Dekompensasi jantung, 893 Dekompresi 225 1 Dekontaminasi 291 Kulit 291 Mata, 291 Pulmonal, 291 Dekortikasi. 2335 Dekstrosa 198 Dekubitus 884, 894, 897 Delesi 1375 Delirium 822, 905, 914 Rating Scale 908 Symptom Interview 908 Delta sleep, 803 Delusi 842, 909 Demam 1185, 2234, 2300 familial mediteranian. 2335 katayama 2989 reumatiwpenyakit jantung reumatik 1662 Demensia 837, 838, 900, 905, 907, 908, 909, 910, 921 lobus frontalis 909 vaskular, 839 Denoma villosa, 558 Deoksitimidilat Monofosfat 1142 Dependensi 2746 Deposisi kristal 2719 Deposit kalsium 2719 Depresi 842, 845, 908, 921, 2710, 271 1 Depressed mood, 909 type), 577 Derivat aktif 1143 asam Fibrat 1988 Dermatografia 35 Dermatom 2717 Dermatomiositis 2630 idopatik 263 1 Desipramin 2746 Deteksi dini kanker paru 2257 Determinasi seks 148 Detrusor 866 Devertikula 602



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr.adjusted PRIYO PANJI life-expectancy 925



Deviasi mediastinum 2249 trake, 499 conjugee 38 Diabetes 916 insipidus 963, 964, 2039 insipidus nefrogenik. 2048 insipidus preoperatif 2039 insipidus sentral 2048 melitus 885, 892, 118, 1792, 1937, 2701 melitus dalam pembedahan 1957 melitus pada usia lanjut 1967 melitus Juvenil 263 1 autonomic neuropathy (DAN). 1949 Diaforesis 2292 Diagnosis 2517, 2559, 2625, 2644, 2680, 2794, 2846 and statistical manual 111 908 banding 2928 dan terapi 1162 Diagnostik 1880 Dialisat 1055 Dialiser 1052 Dialisis 916 dan Kehamilan 1034 peritoneal 1053, 233 1 Diare 443, 622 akut, 444 infeksi, 549 infektif, 548 inflamatorik, 444, 549 kronik, 444 organik, 548 osmotik, 444, 534 pasca vagotomi 522 persisten, 548 sekretorik, 444, 534, 549 Diastolic 893, 1891 rumble 1674 diastolik Dicalcium phosphate dihidrate (brushite) 2561 Dicrotic pulse 32 Die tollwut 2924 Diet 555, 585, 2256 Difenhidramin 9 11 Diferensiasi sel 1245 Diffusion limitation, 222 Difteri 2955 kulit 2958 Difusi 1060 balik ion H+ 513 Digitalis 1585 Digoksin 91 1 Dihidrotakisterol 2696 Diklorofen 2953 Dikromat 40 Dilatasi 491 arteri pulmonal 1786 per oral 495 pneumatik, 491 Dipiridamol 1362, 1768 Diploid 1375 Diplopia oftalmoplegia, 2040 Direct cost, 774 current counter shock (DC shock). 1607, 1608 Directly observed treatment short course strategy 2241 Dissinergia pelvis, 877 Disability 78 1



Discomfort 5 17 Disease 781 activity index 593 modifying 2753 modifying anti osteoarthritis drugs 2547 modifying anti rheumatic drugs 2755, 2765 Disekresi 2409 Diseksi aorta 1691, 1777 Disekuilibrium 828 Disentri basiler 562, 2857 Shigella, 55 1 Disestesi 51 Disfagia 442, 494, 498, 621, 2207 Disfibrinogenemia 1330, 1337 Disfungsi anorektal, 877 diastolik berat 1793 diastolik ringan 1793 diastolik sedang 1793 ereksi, 121, 2040 Seksual, 111, 120 sistolik. 1793 Dishormonogenesis 200 1 Diskesia Rektum, 877 Diskinesia 856, 909 Diskografi 27 17 Dislokasi 922 Dismenorrhoe. 271 1 Dismorfik 936 Disomi uniparental 153 Disopiramid 1607 Disorientasi 908, 1913 Disosiasi AV 1608, 1625 Dispareunia 2079 Dispepsia 441, 516 non ulkus 501 Displasia diastrofik 273 1 epifiseal multipel 2730 fibromuskular 1090 kniest 2730 metatrofik 273 1 spondiloepifiseal 2730 spondiloepifiseal kongenital 2730 spondiloepifisial onset lambat. 2730 tanatoforik 2729 ventrikel kanan 1721 Dispnea d'effort 1584 Dispneu 32 Disseminated gonococcal invention 2640 Disseminated intravascular coagulation 1319 Distal symmetrical sensorymotor polyneuropathy (DP 1949 Distonia 293 Distorsi kripti, 594 Distribusi 776, 2924 Distrofi Becker 2635 Duchene 2635 Fasioskapulphumeral 2636 muskular Duchene 151 otot 2635 otot okulofaringeal 2636 Distrofia distal 2636 miotonika 2636 Distrofin 2635



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Diterapi 2678 Diuresis osmotik 1906 Diuretika 540, 900, 902, 1684 Tiazid 2052 diversitas genetik Hp 502 Divertikulitis 454, 465, 602, 1908 Dizziness 818, 826, 904 DLco 2315 DMARD 2354, 2365, 2366, 2523, 2755 DNA markers 1425 Polymerase 1417 topoisomerase I 2622 3 N R 916 dNTP 1417 Doksisiklin , 2968, 2972 Dolikosefalus 36 Dolikostenomelia 2725 Dolorimeter 271 1 Dominant autosom osteoarthritis 2730 Domperidon 484 Donor ginjal xenogenik 1068 hidup 1067 jenazah 1068 universal 157 Dopamin 2059, 2744 Dopler spectrum ('spectral dopler') 1558 Dormant 2232 Dosis obat 2244 Double committed subarterial ventricular septa1 de 1784 crush syndrome 2719 outlet 1788 Doubling time 2257 DR blood group 1010 Drop attacks, 818 Drop-arm sign 2450 Droperidol 909 Droplet nuclei 2232 Drowsiness 205 Drug 896 induced LE 2565 induced liver injury 702 induced lupus syndrome 2336 eluting stent (DES) 1573 DSM-IV 911 DTPA 2042 Dual chamber pacemaker 1658 Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DEXA) 1978 Dubin-johnson, sindrom 7 15 Duktus arteriosus persisten (DAP) 1785 Dukungan nutrisi, 240 Duodeni 513 Duodenitis 504 kronik aktif 524 Durasi 1895 DVT 1372 Dysergasticreaction 907 Dysmenorrhoe 2709 uyssomnias 802



Early after depolarization 1619 defibrillation, 229 gastric cancer. 577 EBM 2360



Ecchymoses 2040 Edema 176, 177, 2235 anasarka 35 otak 1910 paru, 906 paru akut 1772, 2330 edema paru kardiogenik 1773 Eder Puestow, 495 Edrofonium (tendon) 2637 Efek massa, 895 rokok 2255 Samping 914, 2356, 2741, 2742, 2929 Efloresensi 35 Efusi pleura 2208, 2232, 2235, 2249, 2290 neoplasma 2334 /empiema) 2235 Ego-integrity 932 EI aktif 1702 Einthoven 1523 Eisenmenger 1784 Ejection fraction (EF) 216 EKG 887, 905, 909, 1104 Ekhodopler 1964 Eklampsia 1100 Eko transtorakal 1551 Ekokardiografi 214, 1551, 1726, 1729 stres 1729 ten cate 1723 trans esofageal (ETE) 1562 Eksantema, 36 Eksibisionisme 121 Ekskoriasi 35 Ekskresi 776 Eksokrin 739, 2514 Eksokrinopati 25 15 Eksostosis 2708 Eksotoksin Vac A 503 Ekspektoran 226 Eksteroseptif 8 13 Ekstrapiramidal 909 Ekstrasistol atrial 1606 nodal 1607 ventrikel 1607 Ektomorfik 92 Ektropion 39 Electrical altemans 1726, 1805 pacing rhythme 1739 Electro-hydraulic shock wave lithotripsy 724 Electrolyte 896 Elektro-okulografi 2348 Elektrodiagnostik 271 7 Elektroensefalografi 2348 Elektrofisiologi 2 15 Elektroforesis 1418 Elektrokardiografi 214 Elektrokardiogram 229, 1523 Elektrokoagulasi 495 Elektrokonvulsi 849 Elektrolit 200, 887, 909, 1056 Elektromiografi 2701 Elevated Liver Enzyme 705 Elipsitosis Herediter 1162 ELISA 504, 546, 552 Ellsworth-Howard, tes 2692 Elongasi 146



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



aorta 1691 Emboli 892 Emboli Paru 895, 906, 1356, 2305, 2334 Embolus Arteri Mesenterika akut 612 superior 606 Embryo Vaccine 2929 Emergency 895 hypertension 1103 Emfisema 2289 interstisialis 2340 mediastinum 225 1, 2340 subkutis 2340 Emisi positron tomography (PET) 2252 Empiema 499, 719, 2208, 2233, 2324 thoracis 2329 Empiris 518 Employment plan, 930 Encefalopati Spongioform 1204 Encephalopathy, metabolic 907 End-arterectomy 897 Endobronkial 2233 Endokarditis 1804 bakterial, 886 infektif (EI) 1702 Endokrin 739 Endokrinopati 2686 Endometriosis 584 Endomorfik 92 Endoneurium sel-sel Schwan 2925 Endoscopic Retrograde Cholangi Pancreatography 467, 544, 719, 722 Endoskopi 442, 455, 561, 467 lentur, 467 dan radiografi 458 kapsul, 467 endoskopi saluran cerna 470 endoskopi saluran cerna bagian atas 469, 470 Endosonografi 545 Endotel 2379 vaskular 525, 2378 Endotoksin 1920 Enema barium, 456 kontras gand 573 Enoftalmus 38 Enoxiparin 1769 Ensefalitis 2927, 2928 akut 2925 Ensefalopati metabolik, 186 Enteric rotavirus, 5 10 Enteroinvasif E.coli 2859 Enterokolitis nekrotisasi neonatal 607, 619 Enterokromafin, sel 5 13 Enteroskopi 467 Enterotoksigenik 55 1 Enterotoxigenic Eschericia coli 2846 Enterovasif 55 1 Enterovirus 887 Entesopati 2699, 275 1 Enzim 1880 dehidrogenase 1917 dehidrorotat dehidrogenase 2759 endonuklease restriksi 1417 lipoksigenase 2737 lipoprotein lipase 1892 peptidase 1896 siklooksigenase 2737 sitokrom p-450 708



urease, 504 Eosinofil 2409 Kemoatraktan 2410 Eosinofilik paru 2210 Eosinofiluria 936 Epidemi HIV 2231 Epidemiologi 2514, 2556, 2561, 2680, 2843, 2943, 2949 dan etiologi 2520 Epikondilitis 2707 epikondilitis lateral 2698, 2699, 2700 epikondilitis medial 2699, 2700 Epilepsi 2747 Epinefrin 1901, 1907, 1908 Epiphyseal plate, 2693 Epitel 514 Epitrokleitis 2699 Epoprostenol (Folan) 2338 Eptifibatid 173 1, 1768 Epworth 2348 Ergokalsiferol 2678 Ergonomi 2705, 2706, 2708 Eritema 34 marginatum 34, 1665 migrans 2645 multi forme, 2742 nodosum 34, 593, 2648 periungual 2630 Eritromisin 2959, 2968 Eritropoietin 1140 Erosi 35 Erythromycin 2901 Es pronasi-supinasi 50 Escape phenomenon 2059 Escherichia coli, 563 ESWESC 900 Esofagitis kronik refluks 500 Esofagografi dengan barium 482 Esofagogram 494 Esofagomiotomi 49 1 Esofagopulmonal 499 Esofagoskopi 467, 494 Esofagus Barrett, 486 Esomesoprazol 520 Esophagogastric junction, 497 Estrogen 1790, 1822, 2585 Etambutol 223 1, 2265 Etanercept 2762 Etanol 1921 Etat crible, 893 Ethacrynic acid 949 etidronat 2682 etinil estradiol 2071 etio-patogenesis 592 Etiologi 2520, 2648, 2790, 2843, 2924, 2943 dan klasifikasi anemia 1110 dan patogenesis 2709 disfagia, 442 dispepsia, 441 kanker paru 2255 Etionamid 2244 European Group for Study of Insulin Resistance (EG) 1866 Evaluasi pengobatan 2245 Evidence-based medicine (EBM) 227, 2360 Ex vacuo effusion 2331 Exocrinopathy 25 14 Extended family system 927 spectrum beta-1actamaseIESBL 2901, 2905



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Extracelular regulated protein kinase 1414 Extracorporeal shock wave lithotripsy 724 Extrasystolic AV junctional tachycardia 1607 Eye ball pressure 1606 Ezetimib 1989



FA kronik atau permanen 1613 paroksismal 1613 persisten 1613 Faal hemostasis 1120 organ, 772 paru 2299 Facies plethora 2040 Factitious 542 Faeokromositoma bilateral 2687 Fagositosis 2403 Failure to thrive 768 Faktor agresif, 523 defensif, 523 epitel, 525 genetik 568, 2622 hageman 2305 parakrin 2075 pertumbuhan, 5 14 preepitel, 525 risiko/odds ratio 2705 faktor subepitel, 525 risiko 2541 False negative, 604 Familial Adenomatous Polyposis 568, 569, 574 Hypocalciuric Hypercalcemia 2687 juvenile gout 2551 juvenile hyperuricaemic nephropathy 2551 osteoarthritis 2730 Family living arrangement 927 Farmakodinamik 776, 2740 antimikroba 2898 Farmakokinetik 776, 2739 antimikroba 2898 Farmakologis 588 Farmakoterapi 585 Farmers' lung disease 2291 Fascia1 hair 2071 Fasciola hepatica 2943, 2946 Fascioliasis 2943, 2946 Fase gastrik, 5 15 imun. 2809 leptospiremia 2809 M 1414 S 1414 Fasies Hipocratic 37 Fasiitis Plantaris 2703 Fasikula 2629 Fast twitch glycolytic fibers 2629 oxydati-veglycolytic fibers 2629 Fatal Familial Insomnia 2993 Fatty 535 liver, 703 FDG-PET 2036 FDP (Fibridfibrinogen degradation product) 2309 Febris



intermiten 3 1 kotinua 31 non reaksi transfusi hemolitik 1200 remiten 31 undulans 31 Fecal impaction, 905 Occult Blood Test 573 -oral 501 Felineus 0 . 2943 Female pseudo-hermaphroditism 2069 Fenilketonuria 150 Fenitoin 911 Fenomena Fenomena "On-Off', 856 fenomena Raynaud 1819, 2620, 2622, 2623, 2624, 2630, 2710 "wearing off' 856 Fenotip 142 Feokromositoma 1778, 1796, 2066, 2250, 2252 Feritin Serum 1132 Fermen glukosa 2956 Fertilitas 768 Feses 887 Fetishisme 121 Fever of unknown origin 890, 2238 Fiber supplement, 588 optic pleuroscopy 2332 Fibrilasi Atrial 893, 906, 1606, 1612, 1652, 1799 ventrikel 229, 1629 ventrikular, 228 Fibrinoid 1807 Fibrinolisis 1320, 1329 primer 1323, 1329 sekunder 1323 Fibrinolitik 1434 Fibrodisplasia ossifican progresif 2727 Fibroelastoma lipoma papiler 1818 Fibroma 577 Fibromialgia 2698, 2709 juvenile 2710 primer 2710 regional 2710 regional atau terlokalisasi 27 10 sekunder 27 10 usia lanjut 2710 Fibromiositis 2709, 2719 Fibrosis 2235, 2298 dinding esofagus 493 kistik 150, 2274 paru 2620 paru idiopatik (FPI), 2290, 2315 Fibrositis 2356, 2703 Fibrous cap 1757 Fiksasi kompleme, 504 Fimbriae 1010 Fimbrial adhesions 1010 Fine wrinkling 2040 Fi02 2205 First degree relatives 142 Fish mouth 1672 Fisiologis 925 Fisioterapi 896 Fistula anastomosis, 500 bronkopleura 2324, 2345



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



gastro kolik 518 Fistulasi 594 Five-years survival rate 499 Flagel H Pylori 502 Flat type, 577 Flocare 495 Flow cytometric immunophenotyping 1440 Flow ratio 1570 Fluid deprivation 2050 Flulike syndrome : sesak napas, batuk 2289 Fluoksetin 2747 Fluor 2708 Fluorescence bronchoscopy 2258 exchancing agent 2258 Fluorosis 43 Fluoroskopi 495, 2258 Flushing 34 Fluttering 1691 FNA 2253 Foetor ex ore 44 Folikel lFollicle de Gtaaf 95 primer 95 sekunder 95 teertier 95 stimulating hormone 94, 95 Follow through, 544 Fondaparinux 1768 Fonokardiografi 1689 Foot process 959 Foramen ovale persistent 1563 Foramina1 compression test 2454 Formula Cockcroft- Gault 939 Fosfaturia 2694 Fosfolipase 503, 524 Fosfolipid antikoagulan 1345 Fosfor 2677 Fosforilasi oksidatif 2633 Foto lateral 2235 polos abdomen 941 sinus 2277 toraks 887, 909, 2249, 2276, 2329 usus halus 478 kromogen 2263 Fractional flow reserve (FFR) 1573 Fragile X syndrome 153 Frailty 812 Fraksi ejeksi 1824 plasma 1190 protein plasma 1196 Fraktur 821, 902, 904, 922 femur, 771, 773 panggul, 921 Francis Crick 141 Free fatty acid (FFA) 1985 Free radical inhibitors 523 Frekuensi 1895 Fronto-temporal dementia, 839 Frottage 121 Frouzen shoulder syndrome 2699 Frozen section 2033 Fruktosa 198, 1892 Fructose-1-phosphate aldolase 2552, 2553 Functioning 2038 Funduskopi 4 1



Fungsi 2379, 2394 apoptosis dalam sistem imun 2418 utama anorektal 463 Fungsional 535 Furosemid 1914, 2686 Fusion beat 1625



G-adhesions 1010 G-banding 158 y-melanocyte-stimulatinghormone 2059 G1 1414 G2 1414 GABA 2747 Gabapentin 2747 Gagal Gagal ginjal, 885 Gagal hati, 885 jantung 1583, 1586 jantung akut 1586 jantung diastolik 1583 jantung kanan 2235 Jantung kronik 1596 jantung sistolik 1583 napas, 234 napas hiperkapnia 218, 219, 223 napas hipoksemia 2 18 Gait 814 GAKI 201 1 Gallop 1682 atrial atau presistolik 1778 S3 1584 vetrikel atau protodiastolik 1778 Gama globulin 2236 Gambaran imunopatologis 2621 klinis 2515, 2521, 2639, 2677, 2680, 2710 klinis dan diagnosis 2648 laboratorium 2647, 2677 nonsiklik, 462 patologi 2620 radiografi 2543 radiologis 268 1 ulkus, 594 Gametogenesis 143 Gamma interferon alfa 524 Gamma linoleic acid (GLA) 1950 Gangguan eliminasi, 465 fungsi ginjal 1892 fimgsi sel darah putih 186 hngsi trombosit 186 ginjal akut 1033, 1041 ginjal kronik 1034 jantung, 894 klinis 1145 kognitif, 910, 921 kognitif global 91 1 konduksi 1609 konduksi dan aritmia 1813 kontinentia, 465 motilitas, 444, 583 motilitas usus halus primer 463 permeabilitas usus 549 respirasi, 894 toleransi glukosa 1969 Gangguan keseimbangan cairan 175



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr.supresor PRIYO tumor PANJI 157, 569



fosfor 185 kalium 181 kalsiurn 183 magnesium 187 natrium 178 Ganglioma 2707 Ganglioneuroma 2250 Gangliosides 1950 Garam emas 2756, 2757 Garis Ellis Damoiseau 63 isoelektrik 1525 Schuffner 70 Gas belerang 2285 Gastrektomi 2677 Gastric 1 gastrik 515 bleeding, 897 inhibitory polypeptide, 2063 outlet obstruction 517, 518 Gastrin 506 Gastrinoma 743 Gastritis 441, 509 akut, 524 atrofi, 577 erosi akut 606 kronik aktif 501, 524 Gastro esophageal reflux disease 517 Gastroduodeno-jejunoskopi 544 Gastroduodenografi, 741 Gastroesofageal., Sintigrafi 483 Gastrointestinal anthrax 2969 Gastroparesis 1908 Gastropati 509 hipertensi portal 459 kimiawi, 51 1 OAINS, 511 reaktif, 51 1 Gastroskopi 467 GATA-1 1226 Gated single-photon emission computed tomography 1565 Gatropati 5 11 Gay bowel syndrome 549 Gaya berjalan 2447 Gaya berjalan yang abnormal 2447 GCRP (good clinical research practice). 2898 Gejala klinis 2643, 2925 anemia 1131 furious 2926 gangguan otot skeletal 186 khas 1111 khas defisiensi besi 1131 klinis clan diagnosis 2641 mayor 1666 minor 1666 penyakit dasar 1132 prodromal 2791, 2925 gejala psikologik, 773 umum 1111 umum anemia 1131 Gelombang delta 1533 lambat, 461 GenIGene polyposis adenomatous coli 569 caga, 502 cypllb2 2054 erbbl 2256



supresor tumor vac a 502 resisten 2902 General check-up 1881 Genetika 1168 kanker 157 mitokondria 154 genital ridge 2053 genito urinarius, 905 Genom 142 Genotip 142, 776, 1381 Genotyping 2276 Gentamisin 2972 Genu rekuwatum 2725 Genus Coronavirus 2790 Geographic tongue 44 GERD 481, 744 Geriatri /Geriatric 758, 768, 770, 924 care, 931 Depression Scale 921 giants, 769, 780 home healths care 784 Germinal centers. 2019 Geronto-seksualisme 121 Gerontologi 758, 770, 924 Gerstmann-Straussler Scheinker Syndrome 2993 GFR 776 GH 2039 Releasing Hormone 2044 GI tract, 905 Giant-cell myocarditis 1718 Gibbus 49, 2643 Gigantica F. 2943, 2946 Gigi Hutchinson 43 Gigitan coral snake 282 elapidae, 28 1 hydropiidae, 282 kutu, 277 laba-laba pertapa 275 rattlesnake, 282 ular berbisa 280 viperidae, 282 Ginekomastia 48 adolesen 97 Ginjal kronik 1008 Transplan dan Kehamilan 1034 Gizi pada usia lanjut 127 anak, 126 ibu harnil 126 ibu menyusui (laktasi) 127 Glibenklamid 1901, 1904 Glikogen 1907, 1913 Glikogenolisis 1898, 1901 dan proteolisis di otot 1901 Glikolisis 1907, 1917 Glikosaminoglikan 2547 Gliserol 1901, 2998 Glomerular Filtration Rate 1945 Glomerulonefritis lesi minimal 972 membranosa 972 proliferatif 972 Glomerulosklerosis fokal dan segmental 972 Glucosa 6-phosphatase 2552



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Glucose level, 896 transporter 979 transporter 2 (GLUT 2) 1896 transporter 4 1792 Glukagon 543, 1901, 1904, 1905, 1907, 1913 dan epinefrin 1902 Glukagonoma 743, 745 Glukoneogenesis 1898, 1901, 1902, 1907, 1908, 1913 di ginjal 1902 di hati 1901 Glukosa darah 1880, 1891 darah 2 jam setelah makan 1891 puasa 1891 Glukosuria 1912 GLUT-4 1898 Glycogen storage disease 2552, 2633 (Von Gierkee) 2552 tipe I 2552 tipe I11 2553 tipe 111, V dan VI 2552, 2553 Goldblatt 1091 Golfer's Elbow 2699, 2700 Golongan P-Laktam 2902 Golongan darah Bombay 156 Gonadotrophs 2040 releasing hormone (GnRH) 118, 2040 Gougerot's syndrome 25 14 Gout 2354, 2358, 2550, 2559 nefropati 2556 Gradien alveolar-arteri 23 15 Gradien transmitral 1672 Grafestesia 52 Graham Steel 1693 Granuloma 2233 eosinofilik 2290 Granulomatosis Wegener 1004 Granulosit Feresis 1194 Gravis 2956 Gregor Mendel 140 GRFoma 743 Group antigen darah Lewis B 502 Growth Chart 2044 factor-like, 503 hormone (GH) 92, 118, 1902, 2709 velocity 2044 Guided USG 2033 Gula darah 895, 909 H. Pylori menjadi persisten 503 H.capsulatum 2268 H2 bloker, 888 H2 breath:, 545 H2 Receptor Antagonist (H2RA) 527 Habit training, 871 Habituation 2745 Haemolytic uremic syndrome 2858 Haemophillus influenzae 2901 Hallux valgus 2728 Haloperidol 909, 1914 Halusinasi 842, 909 Hamartoma 557 Handicap 781 HAP 1898 Haploid 1375



HbAlc 1949 HDL 1984 Heart Failure 1586 Heat necrosis, 558 shock protein (HSP) 2430 stroke, 272, 792 Height age 2044 Height spurt 93 Helicobacter pylori, 481, 501, 509, 523, 621 HELLP 1101 Helminthiasis 621 Hemangioma kapilaris 36 Hematemesis 443, 526, 579 Hematogen 2232 Hematokezia 443, 453 Hematologi 1440 Hematotoksik 28 1 Hematoxyllin bodies 1807 Hematuria transien 952 Hemianopsia 41 Hemianopsia bitemporal 2039 Hemiparesis 1913, 2447 Hemisfer 893 Hemo-globinopati struktural 1379 Hemodia-filtrasi 1060 Hemodialisis 1052, 1060 Hemodialisis Intermiten 1063 Hemodinamik 608 hemodinamik tidak stahil 447 hemofilia a 1307 Hemofiltrasi 1060 Hemoglobin 593 Hemoglobinopati 1379 Hemokromatosis 150 Hemolisis mikroangiopatik 1160 Hemolysis 705 Hemolytic Uremic Syndrome 1161 Hemopatia klonal 1226 Hemoptisis 294, 906, 1673, 2256, 2300 Hemoptoe 2300 hemoragi sirkulasi saraf otak 892 Hemoroid 587, 604 eksterna, 587 interna 587 Hemorrhagic colitis, 563 Hemorrhoidalis, plexus 587 Hemostasis 1293, 1334 endoskopi, 451 primer. 1319 Hemostatik 895 Hemotoraks 2329 Henderson-Hasselbalch 191 Henoch-Schonlein purpura 992 Heparin 1340, 1360, 1731, 1768, 1826 Heparinoid 896 Hepatitis 887, 1201 B kronik 702 autoimun, 702 C kronik 702 E, 706 fulminan, 706 Iskemia, 606, 6 11 Non-A-B 1203 virus, 887 Hepatocyte Growth Factor 2689 Hepatomegali 499, 2235, 2337 Hepatotoksisitas



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI adrenal bilateral 2067



imbas obat 708 obat anti inflamasi non steroid 7 12 obat anti tuberkulosis 710 obat kemoterapi 710 HER-21neu 1428 Hereditary fructose intolerance 2553 nonpolyposis colorectal cancer 568 Hermafroditisme 150 Hernia diafragma ke mediastinum 225 1 femoralis 74 Herniasi transtentorial sentral 206 uncal. 206 Heterogen 784 Heterogenous RNA (hnRNA) 145 Heterozigositas 569 ' Hexoamine pathway 979 Heyman nephritis 1017 Hibridisasi asam nukleat 159 Hickey-Hare 2050 Hidralazine 540 Hidrasi 897 Hidroksiapatit 2564, 2699 Hidroksiklorokuin 2756 Hidrosefalus 842, 85 1 Hidrosiklorokuin 2584 Hidroterapi 2681 Hidrotoraks 2329 higa-like toxins, 563 High Bone-turnover 2695 High out put HF 1583 High Resolution CT scan (HRCT) 2315 High Risk Foot 1962 High-output state 1541 Hiperaktif 908 Hiperaldosteronisme 2053 primer 1094 Hiperalgesia. 27 10 Hiperamilasemia 610 Hiperekstensibilitas 2726 Hiperekstensibilitas sendi 2726 Hiperemesis 293 gravidarum, 703 Hiperfosfatemia 184, 187, 1040, 2696 Hiperglikemia 1907, 1913 Hiperhomosisteinemia 1338, 1795, 1940 Hiperinsulinemia 1880 Hiperkalsemia 182, 184, 2685, 2689, 2690, 2693 Humoral 2688 Hiperkalsiuria 186, 1026, 2689, 2690, 2693, 2694 Hiperkapnia 169 Hiperkloremia 1910 Hiperkoagulasi 614, 1001, 1370 Hiperkolesterolemia 90 1, 2362 Hiperlipidemia dan Lipiduria 1001 Hipermagnesemia 188, 5 19 Hipermobilitas. 2726 Hipernatremia 180, 797, 906 Hiperoksaluria 1027 Hiperosmolar 198, 797, 1912, 1913 Hiperparatiroidisme 184, 525 primer 2686 sekunder 2688, 2691 tersier. 2688 Hiperpasia 5 1 foveolar, 5 12



paratiroid 2687 Splenomegali 1183 Hiperresonant 6 1 Hipersensitivitas viseral, 583 Hipersomnolen 2348 Hipersplenisme 1163, 1368 Hipertensi 893, 1086 gestasional 1101 kronik, 900 portal, 454, 705 pulmonal 1673, 1786 pulmonal primer (HPP) 2337 pulmonal reumatoid 1811 . sekunder 1777 Hipertermia 271, 792 Hipertiroid 1799 Hipertiroidisme 185, 1795, 1799 Hipertrikosis 37 Hipertrofi eksentrik 1777 konsentrik 1777 ventrikel 1786 ventrikel kanan 1786 ventrikel kiri (HVK) 1777 Hiperurikosuria 1027 Hiperurisemia 2550, 2559 miogenik 2552 Hiperventilasi 2337 Hipewiskositas 893 Hipewolemia 176, 177, 1095 Hipoaktif 908 Hipoalbuminemia 862, 1000, 1773, 2334 Hipoasiditas 5 16 Hipodiploid 1375 Hipoestesia 5 1 Hipofonia 853 Hipofosfatasia 2694, 2727 Hipofosfatemia 186, 2045, 2693, 2694 Hipoglikemia 907, 1894, 1910 Hipogonadisme 2040 Hipokalemia 1910 Hipokalsemia 184, 1910, 2691, 2696 Hiuokondria 271 1



~ k o k s e m i a 169, 221 Hipoksia 221, 906, 907, 1917 Hipomagnesemia 188, 2692 Hiponatremia 179, 797, 906, 907 akut., 179 kronik, 179 Hipoparatiroidisme 184, 2691, 2692, 2694 Hipoperfusi 607, 901 mesenterika, 607 Hipopituitarisme 2039 Hipoplasia odontoid 2730, 273 1 Hipositraturia 1027 hipospadia 75 Hipotensi 2927 ortostatik, 210, 817, 899, 902 Postural, 776, 861, 905, 2709 Hipotermia 270, 1201 Hipotiroid 1800, 2701 Hipotiroidisme 1795, 2000, 2045 primer (HP) 2001 retrognathia, 2348 sentral (HS) 2000



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



sepintas. 2001 subklinis (HSK) 2003 Hipoventilasi alveolar, 2 19 Hipovolemia 176, 177, 210, 892, 893, 1908 hipovolemik 797 Hippocrates succussion 64 Hirschsprung 273 1 Hirsutisme 2040, 2753 Simpleks 2070 Hirudin 1768 His bundle 1609, 1630 electrocardiogram 1609 Histamin 543, 2737 Histaminergik 5 15 Histerikallpsikogenik 2447 Histon 147 Histopatologi 502, 504, 505, 507, 582 Histoplasmosis 2267, 2268 Asimtomatik 2268 Diseminata 2268 HIV 2324, 2345 HLA baplotipe 2018 haplotype A2, B40 2339 kelas I 2430 -DR3 2018 -kelas I1 2430 HMG-CoA reductase inhibitor 1987, 1988 Holosistolik 1785 Holter Monitoring (HM) 1548, 1631 Home care, 837, 917 help servic 786 Isolation 2795 nursing, 782, 786 Homeostasis 776, 896 Homeostenosis 758 Homoseksualisme 121 Homosistinuria 2726 Hormon lhormone 1907 caunter-regulatory 1903 gonadotropin korion 95 kontra regulator insulin 1907 lipase 1907 natriuretik peptida 1086 paratiroid 193, 1056, 2074, 2256, 2394, 2685 pertumbuhan 1907 steroid 2053 tiroid 1798 releasing, Growth hormone (GHRH) 118 replacemen. 205 1 Sensitive Lipase (HSL) 1976 related, Parathyroid protein (PTHrp) 3 16 Hospice care, 916, 917, 932 Hospital based, 93 1 Community Geriatric Service 782 Geriatric Service 782 Host 885 Hot flushes 2079 Hot nodule 2023, 2024 Housemaid's knee. 2702 HPRT 2552 HPRT pada sindrom Lesh-Nyhan 2552 hsCRP 1757 HST 900 Hubungan antara keganasan dengan kejadian APL; 2616 Hubungan HLA kelas I dengan penyakit reumatik 2432 Human



diploid cell vaccine 2929 chorionic gonadotropin 119, 1426, 2582 genom project 141 immunodeficiency virus 2647 intravenous immunoglobulin 1950 leucocyte antigen (HLA) 2430 rabies immune globulin 2929 Humoral hypercalcemia of malignancy 2688 Hunger pain food relief = HPFR 517 Hyalinized fibrosis tissue 2021 Hydrophilic fiber dressing 1964 Hydroxyapatite 2682 Hhydroxyprogesterone caproate, 105 Hypercoagulable states 1336 Hypertension 897 Hypoactive sexual desire 111 Hypopnea 2347 Hypothalamic-pituitary dysfunction 2065 adrenal 82 hypoxanthine phospboribosyltranferase 2550 Hypoxic spells 1788



Ilpolipoid, Boorman 5 17 IADL 910 Iatrogenesis 779 Iatrogenik 913 Ibandronat 2683 IBD 475, 569 IBS pattern alternating, 584 predominan diare 584 predominan konstipasi 584 predominan nyeri perut 584 Icterohaemorrhagica L. 2808 IDDM 1883 Idiopathiclidiopatik 210 Hypopitutary Dwarfism 97 left venricular tachycardia 1625 pulmonary fibrosis (IPF) 23 16 thrombocytopenic purpura atau Autoimune 1366 IDL 1984 IFN-y 2289 Igamentum Treitz, 447 IgIV dosis tinggi 1172 Ikterus 34, 718, 721 IL-1 TNF-adan IL-2 2289 IL-10 2289 IL-12 2289 IL-lra (IL-1 receptor antagonist) 973 Ileoskopi 544 Ileus paralitik, 307 Imipramin hidroklorid 2747 Immunocompetent 887 Immunocompromised 887, 2323 Immunological dissonance, 263 Immunosupresif 1172 Imobilisasi 812, 859, 2690 Imobilitas 581 Impairment 78 1 Impaksi feses, 879 Implantable Cardiac Defibrillator 212 cardioverter defibrillator (ICD) 1548, 1660 IMT 900 Imunitas adaptif 2408



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUKinisiasi dr. PRIYO PANJI 146



selular, 885 Imuno genetika 155 globulin intravena 2637 modulasi 1200 patogenesis GN 969 supresan 1715 supresif 596 In office Hp test 504 Iincipient diabetic nephropathy 980 Incomplete halo 2025 Indeks Indeks apnea hipopnea 2348 Indeks kardiak, 904) indeks massa tubuh (IMT) 29, 1973, 2348 independen 893 Indeterminate Colitis, 591 Indikasi kuat, 182 mutlak, 182 rawat. 2794 sedang, 182 Indonesia 1866 infark 587, 1906 infeksi, 1906 miokard, 892, 1940 miokard akut 1741, 1792 miokard akut dengan elevasi ST 1741 miokard akut tanpa elevasi ST 1757 . paru (Hampton's hump) 2309 Ventrikel Kanan 1752 Infected Foot 1962 Infectious thyroiditis 2016 Infeksi 884, 895, 1908 di Mediastinum 2251 Helicobacter pylori 506 Hp dengan tukak peptik 501 human immunodeficiency virus 2647 kronik, 444, 493 Mikroorganisme 1163 nosokomial, 884, 913 pada sendi prostetik 2642 saluran kemih 862, 885, 907, 911, 1008 saluran kencing (ISK) 905 sendi prostetik 2642 traktus urinarius 1033 usus, 584 yang disebarkan artropoda 1203 Infektif 535 Infertilitas 108 Infiltrasi sel mononukleus 594 Infiltrat 23 15 Infiltratif Splenomegali 1184 Inflamasi 905 akut divertikulitis 604 pada syok 2414, 2402 Inflammatory Bowel Disease 591, 604 polyps, 558 Infliksimab 2762 Influenza 887 Infus Glukosa 1958 INH 519 Inhalation Antraks 2967 Inhibitor inhibitor ACE 1751 inhibitor glikoprotein IIbIIIIa 1731 inhibitor TNF-a 2761



initial case definition 2791 Injeksi Toksin Botulinum 492 inkompatibilitas sistem Rhesus 156 inkontinensia 885, 894 akut, 869 alvi, 880 persisten, 869 urin, 905, 919 input visual, 813 insensible water loss 799, 1052 Insersi 1374 Insestus 121 insidens 907, 2709, 2924 insidentaloma 2038 insomnia 802 Instabilitas kromosom 568, 569 mikrosatelit, 568, 569 instent restenosis 1574 insufisien saraf otonom 902 Insufisiensi adrenal, 185 aorta 1569 mitral 1569 otonom, 210 vaskular 606 vitamin D 2690 insulin 1865, 1896, 1901, 1908 analog rapid-acting 1901 dependent 1883 like growth factor 2023, 2710 Insulinoma 744 Intake 897 Intensitas 1895 Interaksi aksis brain-gut 583 dalam absorpsi 138 dalam distribusi 138 dalam eliminasi 138 dalam metabolisme 138 farmakodinamik 139 farmakokinetik 138 neuro-endokrin imun 2440 neuroimunoendokrinologi 2435 Obat 138, 2743 Interdependent 78 1 Interdisiplin 770, 781 Interferon alfa 2928 , interferon gamma (IFNy) 503, 728 interkritikal 2558 interleukin 2737 -1 2761 -Ip, 503 -2 503 -6 1414 -6 886, 1915 -8 503 Intermediary metabolism 2057 Intermediate 2956 density lipoprotein (IDL), very low d 1984 Intermitten 572 mandatory ventilation 168 International diabetes federation (IDF) 1866 society nephrologytrenal pathology s 985 Internis geriatri, 771



-



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Intersititial lung disease 25 16 Intewensi psikologi, 585 Intestinal 5 15 antraks 2967 Intoksikasi alumunium 2696 narkotika (OPIAT) 284 vitamin-A, 185 vitamin-D, 185 Intoleransi laktosa, 540 makanan, 583 Intraaortic Balloon Counter Pulsation 1683 intracardiac defibrilator 1583 intravascular ultrasound=IVUS 1551 intracellularlIntraselular 896 adhesion molecule-1 970 tight junction 514 Intrafusin 495 Intrahepatic cholestasis of pregnancy 703 Intralipid 495 Intramuskular 909, 1905 Intrauterine devices, 107 Intrauterine growth retardation 1824 Intravena 909 drug user 646 Immunoglobulin 1366 Intususepsi 454 Inversi 1374 Investigasi biokimiawi 1029 Ioderma gangrenosum, 593 Ion kalsium, 896, 1896 Iradiasi hipofisis 2067 Irama jantung 68 nodal 1607 sinus 1614 sirkadian, 803 Iridosiklitis 39 Iritasi kronik, 513 Iron uptake system 1010 Irosis hati 2331 Irritable bladder 27 11 irritable bowel syndrome 542, 583, 604, 2709, 2710, 2711 Ischemic bone necrosis, avascular necrosis 2696 Ischemic vascular disease 905 ISK 905 Bawah 1012 Rekuren 1012 Iskemia 584, 892, 905 mesenterika, 475 Mesenterika Kronis 619 mesenterika non-oklusif 607, 61 7 splanknik 606 usus, 1908 usus besar 606 usus halus 606 Islet cell 1904 Isolated gastric varices 305 Isoniazid 223 1 Isotop 504 Isotope bone scanning 2681



Jaccoud's arthropathy 25 17 Jalan napas, 224 Jalur Bachman 1524



Caspase 1415 James 1534 Kent 1533 Mahaim 1533, 1534 James Watson 141 Jamur 2345 jantung gaga1 kongestif 614 koroner, 885 paru, resusitasi 917 Jaras tambahan (accessory pathway) 1624 Jari tabuh 52, 2290 Jaringan nekrosis, 582 penumbra, 896 Jatuh 812, 885, 902 Jaundice 703 Jejunum 545 Jenis 1895 JNC 7 899, 1079 Joint drainage 2640 Jumper's knee 2702 junctional tachycardia 1607 Juvenile onset 1883 polyp, 557 IUDOQI 1066 Kadar besi serum 593 gula darah 894 hemoglobin dan indeks eritrosit 1132 Kaki diabetes 1961 Kaku kuduk 49 servikal 2715 Kalazion 39 Kalbamin 495 Kalikrein-Kinin 1087 kalium 1909 Kalsifediol 2696 Kalsitonin 543, 2074, 2395, 2683, 2690 Kalsitriol 1040, 2075, 2045, 2696 Kalsium 2392, 2677, 2685 asetat 2696 glukonat, 2692 hidroksiapatit 2562 karbonat 2696 sitrat, 2692 Kambuh 2246 Kanamisin 2244 Kandidosis kriptokokosis, 2267 Kandung kemih, 581 Kanker 916, 1413, 1446 esofagus, 498 ginjal 2260 kolon, 567 lambung 2260 nasofaring 2260 paru 2324, 2254 paru sekunder 2260 payudara 2260 prostat 2260 tiroid 2260 Kanul naso-gastrik, 594 Kapasitas fungsional, 779, 1855



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1-20



INDEKS



HANYA DI SCAN UNTUKKegemukan dr. PRIYO PANJI 2541



vital, 904, 2301 Kapsula 893 Karnkter dominan 141 kodominan 14 1 resesif 141 semi-dominan 141 Karakteristik cairan sendi 2372 Karang wredha, 785 Karbamasepin 2747 Karbamazepln 2052 Karbohidrat 541, 1892 Karbon monoksida 2285 Kardiogenik 906 Kardiomiopati 1714, 1720, 1792, diabetik 1721, 1792 dilatasi 1714 familial 172 1 hipertrofik 1723 restriktif 1724, 1792, 1937 Kardiorespirasi 895, 896 Kardiovaskular 905, 1865 Kardioversi 1634 Elektrik 1614 Karditis 1665 Karinatum 2725 Kariotip 1375 Karnitin 2634 Karnitin palmitiltranferase 2634 karsinogen 2255 tipe I 501 Karsinogenesis 1422 Karsinoid Ganas 1796 karsinoma anaplastik, 203 1 bronkoalveolar. 2255 bronkogenik 2325 bronkus 2335 esofagus, 500 insitu 1410 medulare 203 1 mikosis paru bronkus 2235 prostat, 581 sel skuamosa 493 sewiks, 581 tiroid meduler 2687 Katabolisme 862 Katapleksi 806 Katarak 40 hipermatur 40 imatur 40 matur 40 Katastrofal vaskular, 905 Katekolamin 2053 urin 2253 Kateter intermiten, 872 Kateterisasi jantung 1783 kardiak 1689 Katup prostesis 1162 pulmonal 1693 Kavitas 2235, 2256 pada paru-paru 2230 Kecebolan Russel-Silver 2046 Kecepatan aliran darah 1060 aliran dialisat 1061



Kehamilan 1100, 1822, 1893, 2580 Kejang 1913 Kelainan dinding 1162 ebstein 1541 gastrointestinal 2625 ginjal 2625 hepato bilier 905 jantung 2625 kulit 2624 monogen 150 muskuloskeletal 2625 paru 2624 poligen 151 pubertas 96 Kelas I 2430 Kelebihan bikarbonat, 196 Cairan 1201 Kelenjar adrenal 2053 hipofise 1802 tiroid 1993 Kelling Madlener, 52 1 Keluarga Berencana, 122 Kematangan mental, 925 Kematian janin. 261 1 maternal, 116 Kemonukleolisis 2721 Kemoprevensi kanker kolorektal 524 Kemoprofilaksis 2247 Kemoradioterapi Konkomitan 2261 kemoreseptor 2744 Kemoterapi 579, 1454, 2261 Ajuvan 2261 kombinasi 1 172 Kenaikan tekanan darah 894 Kenakalan Remaja 100 Keperluan yang meningkat 1147 Keracunan bisa kalajengking 278 Keratoatokunjungtivitis sicca 25 15 Kerley B lines 1541 Kern-Sayre Syndrome 155 Kerusakan fungsi sel darah merah 186 Pam Akut karena Transfusi 1200 Kesehatan maternal, 116 Keseimbangan 812 Kesintasan 774 Ketagihan 2746 Ketamin. 2928 Ketergantungan 921, 928, 2746 Keteter menetap, 872 Ketoasidosis diabetikum, 906 Ketogenesis 1913 Ketokonazol 2067 Keton 936, 1903 Ketosis prone 1883 Khorea 50 KID 1329 Kifosis 49, 59 torakal 2725 Kifoskoliosis 2726 Kilotoraks 2329 Kimia korosif 2299 Kina 2998



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Kinidin 519 Kista 1184, 2323, 2346 mediastinum 225 1 kista popliteal (kista baker) 2702 Klaritromisin 2265 Klasifikasi 1116, 1728, 2263, 2626, 2739, 2sI57 forrester 1754 killip 1754 Truelove, 593 Klaudikasio neurogenik 2720 tungkai 1787 Klebsiella pneumonia 2323 Klindamisin 2326 Klinis 2642 Klirens 1945 Kloasma gravidarum 34 Klodronat 2683 Klofibrat 2052 Klon 1375 Kloning gen (DNA) 159 Klonus 51 Klopidogrel 1731, 1738, 1760, 1768 Kloramfenikol 2859, 2968 klorokuin 2756 fosfat 2757 Klorosis 34 Klorpromasin 2998 Klorpropamid 1901, 2052 Knee bracing 2702 chest position 72 KO-morbid 885 Koagulasi intravaskular diseminata 1162, 1319 Koagulopati 893 Koarktasio aorta (KA) 1786 Kodein 91 1 Kognitif 837, 900, 2745 Koilonikia 52 Kokarsinogenik 2255 Koksidioi-domikosis blastomikosis dan parakoksidi 2267 Kolagen 2539, 2547 Kolagenosa 2539 Kolangitis 593, 721 akut, 724 Kolaps atrium kanan 1806 diastolik ventrikel kanan, 1806 Kolekalsiferol 2678 Kolera 563 kolesistektomi konvensional, 7 19 laparoskopik, 719, 723 Kolesistitis 1908 akalkulosa, 61 1 , akut, 718, 721, 722 kronik, 719 Kolesistografi 7 18 Kolestipol 2002 Kolestiramin 2002 Kolinesterase inhibitor, 842 Kolitis 454, 560 amebik, 560 infeksi, 560, 593 Iskemia, 454, 610, 604 mikroskopik, 584 non-infeksi, 560 radiasi, 581, 582 ulseratif, 59 1



ulserosa, 563 Kolkisin 978, 2559 Koloid bismuth, 5 19 Kolon sigmoid, 602 Kolonoskopi 544, 572, 573, 582, 588 Kolostomi 582 Koma 205, 884, 905 dan kematian. 2925 diabetikum, 906 epileptik, 206 farmakologis, 206 hepatikum, 905 Kombinasi AHA hangat dan dingin 1179 antimikroba 2898 Komisurotomi 1677, 1701 Komorbiditas 907 Kompartemen . besi dalam tubuh 1127 lingkungan mikro hemopoetik 1106 Kompeten 773 Kompetensi 771 Kompleks Histokompatibilitas Mayor 1070 imun 2289 primer (Ranke) 2232 Komplemen pada kerusakan glomerulus 970 Komplikasi 456, 459, 914, 945, 2927, 2946 aferesis 1207 akut 1906, 1912 imunologi 1 198 infeksi 1201 non imunologi 1 198 transfusi 1198 Komponen 1107 darah 1190 hemopoesis 1105 Komprebensif 771 Kompresi kiasma 2041 medul spinalis 905 Komunikasi 909 Kondrodisplasia Puntata 2731 Metafiseal 273 1 risomelik 273 1 terkait kromosom X 2731 Kondroitin sulfat 2547 Kondrokalsinosis 2563 Kondrosit 2538 Konduksi saraf, 904 Konfusio 884 Konjugasi 776 Konsensus Nasional PGI-PEGI-PPHI 447 Konsentrasi Besi Serum 1132 Konsentrat Faktor IX 1195 VIII 1195 Konstipasi 444, 862, 876 fungsional, 877 idiopatik, 465 Konstruktif 928 Kontaminasi 1 186 bakteri 1204 Kontraksi 2376 Kontraktur 861 miostatik 2716 Kontrasepsi 107



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1-22



INDEKS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI mikrobiologi, 504



Kontrol postural, 812 sukarela, 460 Konveksi 1060 Konvensional 773 konversi fibrilasi 1607 Konvulsi 2745 Kor Pulmonal 1816, 2235, 2290 Kornea 2925 Korosif 2299 korosif karena air abu 494 korosif/kaustik 493, 494 Korpus alienum 2298 atretikum 95 esofagus, 488 rubrum 95 Korpusitis 503 Korset lumbal 2708 korteks 893, 2053 adrenal 2749 sereberal, 205 Kortikosteroid 225, 595, 1074, 2243, 2284, 2749 reseptor 2750 Kortikotrofin releasing hormone 2749 Kortisol 862, 1902, 1907, 1908, 2053 bebas terikat protein, 2056 Kostokondritis 2703 Kranial neuropati 25 16 Kraniosinostosis 36 Kraniotabes 2693 Kreatin fosfokinase 2630 Kreatinin 887, 909, 1056, 1945 serum, 776 Krepitus 2448, 2449 Kretin Endemik 2013 Kriopresipitat 1194 kriptokokosis 2267 Kriptorkismus 97 Krisis adrenal 2072 Krisis tiroid 1800, 2006 krista 2633 Kristal 937 kalsium oksalat 1026 kalsium pirofosfat dihidrat 2699 monosodium urat 2354, 2557 Kriteria 1668, 1866, 2519, 2896 anemia 1109 Derajat Dehidrasi 2846 diagnosis 2609 Duke 1702 Framingham 1584 Jones 1668 Major 1584 Manning, 584 Minor 1584 Roma I1 441 Kromatid 148 Kromofilik 2039 Kromofobik 2039 Kromosom 147, 1120, 1883 Philadelphia 153, 157, 1413 Kronik juvenil 2519 Krusta 35 Kualitas hidup, 773 Kuinolon 2902 Kuku psoriasis 52 Kultur 502, 2810



Kumbah lambung, 449 Kuratif 773, 781, 782 Kuru 2993 Kussmaul 33, 1908, 2845 Kussmaul) 1908 KVP 2291 kwashiorkor 1794



L-high-density lipoprotein (HDL) 1984 La rabbia 2924 La rage hydrophobia, 2924 LAA (Left Atrial Appendage) 1563 Labirintitis 828 Laboratorium 442, 2644, 2927 mikrobiologi. 2639 Lactic Acidosis 155 Lagoftalmus 39 Laju Endap Darah 1120 Laju filtrasi glomerulus 904, 943,1052 Laktat. 1903 Lakuna Howship 2385, 2387, 2390 Laminektomi 2721 Langkah pelaksanaan EBM. 2361 Lansoprazol 520 Lapang pandang 40 Lapis kedua 2242 Large beefy hands and feet 2040 Large vessel vasculitis 1004 Laringitis 2238 Laringospasme 269 1 Laryngeal mask airway 23 1 Laseque 2722 Laserasi 922 pleura 2330 Late onset adrenal hyperplasia 97 Latihan Inti 1895 jasmani 1894 Lavase bronkus 2290 Layar Byermm 40 LCAT 1001 LDL 1984 LED 593 Leflunomid 2759 Left anterior hemiblock 1610 atrial appendage 1539 bundle branch block 1610 posterior hemiblock 1610 ventricle, 906 Legg-Calve-Perthes bilateral 2730 disease 2697 Leiomioma 577 Lekosit 593 Lekosituria 937 Lemak 541, 1892 tubuh 1880 Lengan Pendek Kromosom 1374 Leptin 1976 Leptospira interogans 2807 Leptospirosis 2807 LES 2355, 2580, 2709 Lesi 893 hemoragik, 895 Janeway 1704



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



striktur, 594 Letargi 1913 Leukemia 1245 granulositik kronik 1209, 1374 limfoblastik akut 1266 Limfositik Granular Besar 1121 limfositik kronik 1276 mieloblastik akut 157, 1234 Leukopenia 44, 1180 Leukosit Esterase 936 Leukotrien 2737 Levodopa 854, 91 1 Levofloksasin 2973 Levotiroksin 2028 Lewy Body, 838, 909 LFG 1035 LHON 155 Libman-Sacks 1804 Lidah skrotum 44 Ligamentous snaps 2449 Ligamentum Cooper 46 treitz, 594 Ligasi varises endoskopi 301 Limadenopati. 2290 Limb-girdle dystrophy 2636 Limfadenitis 2232 Limfadenopati 499, 2232, 225 1 sewikal dan supraklavikula 2256 Limfangioleiomio-matosis 23 15 Limfangitis 2232 lokal 2232 Limfatik 1772 Limfodenopati 499 Limfogen 2232 Limfoma 887, 2252 Maligna 2335 MALT., 510 non-hodgkin 1251 pankreas, 743 sel B 1245 Sel T 1245 B, 885 Limfosituria 937 Limit 167 Linea dentate, 587 Lingkungan asam 2241 Lingua bifida 44 Linkage disquilibrium 243 1 Linkosamide 2902 Lipase 524 Lipid adrenal hyperplasia. 2069 Associated Sialic Acid in Plasma 1 Lipoarabinomannan 2236 Lipogenesis 1974 Lipolisis 1907, 1908 di jaringan lemak 1901 Lipoma 577, 2251 Lipooksogenase 2739 Lipoprotein lipase (LPL) 1975 Litium 2018 LMA 1376 Lobektomi 2327 Loeffler, 2956 Lone COP 2316 FA 1612



Long QT syndrome 212 Longevity 758 Loop diuretics 2686 Looser's zones, 2693 lordosis sewikal 2719 Low Bone-turnover 2695 molecular Weight Heparin 1356, 1361, 1731, 1762, 1768 out put HF 1583 Platelet (HELLP syndrome) 705 power laser energy 2029 voltage 1713 density lipoprotein (LDL), 1984 Lowenstein Jensen, Kudoh atau Ogawa. 2236 Lower esophageal sphincter 497 motor neuron 2629, 2717 Lubricant 589 Luka bakar, 922 Luminal agents, 561 Lupus eritematosus sistemik 1180, 1804, 23 15, 2354, 2565, 2764 like syndrome 984, 2757 nefritis 2581 Luteinizing Hormone (LH) 95, 118 LUTS 2080 LV compliance 1790 Lymphocyte function-associated antigen-1 970 Lymphoproliferative diseases 2254 Lymphotoxin-a 2761 Lyssa-virus 2924



M-adhesions 1010 M-mode 1551 M.kansasi 2232 M.tuberculosae 2232 M.fortuitum, M.chelonei dan M.abscessus. 2263 M.kansasii 2264 M.szulgai, M.xenopi, M.simiae dan M.melmoense 2264 MACIS 2036 Macrophage Inflammatory Protein- 1a 2689 MACTAR 2367, 2368 Macula densa 2056 Mad cow disease 2993 Magnetic Resonance Cholangio Pancreatography 545, 722 Imaging (MRI) 830, 895, 2235, 2927 Major histocompatibility complex (MHC) 156, 2430 Makroadenoma 2038 Makrofag 885 Makroglosus 44 Makrolide 888, 2902 azithromisin 2860 Makrovaskular 1937 Malabsorbsi 477, 584, 622, 1147 asam empedu 534, 549 lemak, 478, 549 Maladie de Roger 1784 Malaise 905, 2234, 2289, 2292 Malaria 887, 1163 Maldigesti 477, 584 Male escutcheon 2071 hirsutism 2070 Malformasi vaskular, 457 Maligna 493



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1-24



INDEKS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Malignant circinoid tumor endocarditis 1693 Malnutrisi 499, 1794, 2324 Malonyl CoA 1907 Maltase Croses Lipid 937 Mamma aberans 46 Manifestasi pencemaan. 2792 atipik 2793 hati 2793 hematologis. 2792 kardiovaskular. 2793 klinis 2562, 2558, 2611, 2645, 2791, 2845, 2957 kulit 2516 neurologis 2793 pernapasan 2792 Manometri esofagus, 483 Manuver Epley, 827 , hiperabduksi 2700 Valsalva 225 1 Marasmus 1794 Marker 1375 molekuler 2544 Maroon stools, 443 Masa hidup trombosit 1 168 inkubasi 2925 persiapan pensiun (MPP) 929 Masih operabel, 579 Masokisme 121 Mass screening 1881 Massa tulang pada menopause 2396 Massage sinus karotikus 1606 Mastoiditis 41 sistemik, 525 Mata emetropia 40 hipermetropia 40 miopia 40 presbiopia 40 Mati batang otak 31, 1068 Matrix metalloproteinase-1 (MMP-1) 1939 Maturity onset 1883 Mc Lyn McCarty 141 MDR 2203 Meals on wheels 782, 785 Mean arterial blood pressure 1683 Means-Lerman scratch 1795, 1799 Media transport carry-blair 2846 Mediastinoskopi 499, 2252, 2258 Mediastinum 2252 lipomatosis 2249 Mediator sel mast 2404 MEDICAID 932 Medical Outcome Study 36-Item Short-Fonn General 773 Medikamentosa 456, 5 18, 526 Medium Fletcher's 2807 Medium-sized vessel vasculitis 1004 Medroxyprogesterone acetate, 105 Medulla 2053 spinalis, 894 Mekanisme abortus 261 1 kerja 2737, 2739 kontraksi 2375 kontraksi otot 2375 reentry 1619 regulasi absorbsi besi 1129



takiaritmia 1618 Melanoma 2260 Melas syndrome 155 Melasma 34 Melatonin 803 Melena 443, 526, 453 Memar 922 Membran/Mem brane Bruch's, 2727 attack complex 1010 Memori 838, 909 MEN (multiple endocrine neoplasia) 2A 2032 tipe IIA (Sindrom Sipple) 2687 2B 2032 Menarche 95 prematur 97 Mengi 2256, 2280 Meningitis 887 Meningoceles 2250 Menopause 95, 124 andropause 2078 Menstruasi 104 Mental age 2044 Menua 924 MEOS: microsomal etanol oxidizing sistem 84 Meperidin 2745 Merokok 2292 MERRF syndrome 155 Mesalazin 582 Mesin Aferesis 1207 Mesomorfik 92 Mesotelioma 2255, 2334 maligna. 2282 Messenger RNA (mRNA) 144 ' Metabolic age remodeling 1969 Metabolisme 212, 776, 897, 914 besi 1127 lintas pertama 134 pintas awal 776 Metabolit kortisol. 2056 Metafase 1375 Metallic's sound, 476 Metaloproteinase 604 Metaplasia Barret 2625 intestinal, 5 16 Metasentris 148 Metastasis kanker luar esofagu 493 kanker 1506 tulang osteoblastik 2689 Metformin 1920 Methicillin-resistance Staphylococcus aureus (MRSA) 2901 Metildopa 91 1 Metilprednisolon 1172 Metionin 1143, 2726 Metiraponi 2067 Metoda Fick 1569 Metotreksat 263 1, 2648, 2756, 2758 MHC kelas I 2430 kelas I1 2430 kelas 111 2430 MHR 1895 Miastenia gravis 2636 Mickulicz's disease 25 14 Micturating cystogram 1013



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI Mid systolic click 1682 Midbrain 2925 Mielofibrosis 1225 Mielografi 1022, 1283, 2689, 2717, 2722. Migrating motor complex 460, 461, , Migration-inhibitory factor 2058, 2750 Migren 2709, 2711 Mikobakterium atipik 2263 Mikosis paru 2267 Mikro-organisme 885, 887 Mikroadenoma 2038 mikroaerofilik 504 Mikroagregat 120 1 Mikroalbuminuria 958, 1943 Mikroangiopati 1160 trombotik 1181 Mikrobiologi 562 Mikrofibril 2725 Mikroglosus 44 Mikrognathia 2348 Mikrografia 853 Mikroinfark 901 Mikroorganisme saluran kemih 1009 Mikroperforasi 603 Mikrosefalus 36 Mikroskop fluoresens 2236 Mikroskopik Urin 936 Miksedema 2335 Miksoma 1693, 1818 Miliaria 36 Milwaukee shoulder syndrome 2564 Mineral, 2285 Mineralisasi tulang 239 1 Mini Mental State Evaluation 908, 921 Minimal inhibitory concentration (MIC) 2901 Miofilamen 2629 Miogelosis 2709 Mioglobulinuria 2633, 2635 Miokard. 1798 Miokarditis 171 1, 1812 Reumatoid 18 10 Miopati 2647 inflamasi 2622 metabolik 2712 mitokondria 2633 steroid 2634 Miosin 2374, 2375 aktin, 2629 Miositis badan inklusi 2632 infektif 2638 Mismatch repair 569 Misoprostol 5 12 Mitis 2956 Mitochondria1 Encephalomyopathy 155 Mitogen 885 activated protein kinase 1414 activated kinase 275 1 activated kinase phosphatase 2750 Mitokondria 1907 Mitotan 2067 Mitral valve valve area 1675 valve prolapse (MVP) 68, 1563, 1680 valve replacement 1684 Mitramisin 2683, 2686 Mixed connective tissue disease 1816



lymphocyte culture 1071 sleep apneaMSA 2347 MMAS 2080 MMC 155 MMSE 910 Mobilitas fungsional, 8 12, 814 Mobitz tipe I 1609 tipe I1 1609 I 1632 I1 1632 Modification of Diet in Renal Disease 939 Modifikasi asia pasifik 1865 gaya hidup 483 Modulasi Respons Imun 2439 Mofetil mikofenolat 1074, 2585 Monitor holter 2348 Monitoring Markers 1424 Monokromat 40 Monosomi 152 Moon face 2063, 2753 Morbiditas 900 Morbilifonnis 2757 Morfea 2626 Morfin 2745 Morning stiffness 1808, 2710 Mortalitas 768, 774, 910 Motilitas kolon, 462 MPO 1005 MRI 890, 1098 Mual dan muntah 443 Mucin 514 mucoraceae 2324 Mucosal Associated Lymphoid Tissue (MALT) 502, 516 Mucus promotor 523 MUFA 1892 Mukormikosis 2271 Mukormikosis aspergillosis, 2267 Mukosa esofagus, 497 Mukus-bikarbonat 5 14 Multi organ failure 240 Multidimensi 769, 770, Multidisiplin 78 1, 897 Multidrugs resistant tuberculosis (MDR-TB 2243 Multifokal 1624 Multinucleated giant cells, 2028 Multiorgan 779 Multipatologi 768, 777, 846 Multipatologis 779 Multipel /Multiple mieloma, 887 endocrine neoplasia 744, 2026 sleep latency test 806 readmission, 774 Multislice CT scan 1567 Murmur Austin-Flint 1674 Muscle wasting 2040 Muscular rheumatism 2709 Musculoskeletal disorders 2705 Muskular, 1784 Mutagen 2255 MVP 1681 Myalgic encephalomyelitis 2709 Mycetoma 2233 Mycobacteria other than TB (MOTT) 2232 leprae 2263



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



tuberculosae complex 2232 tuberculosis 727, 2232 Mycophenolate mofetil 988 Myelodisplasia hiposelular 1120 Myelomeningoceles 2250 Myocardial depressant substance 253 viability 1566 Myosin 1798, 2375 Myxedema 1800



N-acetyl-cystein 2262 N-methyl-D-aspartate (NMDA) 1950 N.phrenicus 2249 N.vagus esofagus, 2249 Nailfold capilaroscopy 2620 Nalokson 2745 Napas berbunyi (Wheezing) . 56 Narcolepsy 806 NARP 155 Nasal Type NK-cell Neoplasma 1246 National Cholesterol Education Program Adult Treat 1865, 1866 National Institute of Health Obesity Clinical Guid 1866 Natrium 1056 darah 2236 dioctyl sulfosuccinat 589 hidroksida, 493 hipoklorit, 493 karbonat, 493 Nausea 609, 904 NCEP-ATP 111 1990 Nearsinkop 828, 1653 Necator americanus, 625 Neck braces 2708 sprainlstain 2719 Necrotic Foot 1962 Necrotizing glomemlonephritis 1006 pneumonia 2323 vasculitis 2647 Nefrektomi 1090 Nefripati asam urat 1022 Nefritis herediter 997 interstital kronik 1021 interstitial akut 1018 radiasi. I022 Nefropati abstruktif 1023 analgesik (NA) 1022 asimptomatik 986 cadmium 1023 diabetik 1942 gout 2354 hipokalemik 1023 Iga idiopatik 992 iskemik 1090 lead 1023 overt 981 urat 2550 nefrosis akut, 887 neglected 769 Nekrofilia 121 nekrosis 895 esofagus, 493 tubular yang akut 2846



tumor, 886 Neonatal Lupus Eritematosus 2583 Neoplasma 768, 1184 endokrin 2686, 2687 kolon, 454 Nephrogenic diabetes insipidus 964 Nerve conduction velocity 2717 growth factor 1947 growth factor-Brain-derived neurotrophic f 1950 tissue vaksin 2929 Nervus vagus, 515 Nesiritid 1600 NeulerbB2 2256 Neuralgia 51 Neuritis jari-jari 2707 Neuroasthenia 2709 Neurocysticercosis 2949 Neuroendokrin 2709 Neurofibrillary tangles, 838 Neurofibroma neurilemmoma, Schwannoma dan ganglion 2250 Neurohypophyseal-renal reflex 2048 Neurologi Akut 2926 Neurologis 212, 905 fokal, 897 Neuromuscular junction 2925 Neuron motor 2629 Spesific Enolase 1428 Neuropati 25 16 diabetik 1947 difus 1949 fokal 1949 optik 2516 optik leber 141 perifer. 25 16 sensorik 25 16 trigeminal 25 16 Neuroprotektif 896 Neuroprotektor 892 Neurosecretoy granules 2049 Neurosis 2712 Neurotoksik 28 1 Neurotransmiter asetilkolin, 907 Neutralizing antibody 2927 Neutropeni febril 1498 Neutropenia 520 Neutrophil-activating chemokine, 503 Nevus pigmentossu 36 NHNES 1079 Niclosamide 2953 NikotinINicotine 481, 2294 replacement therapy 2295 NIDDM 1883 Nistagmus 38 Nitrat 491, 1600, 1730 Nitric Oxide 592, 1089 nitric oxide synthase 1080, 2540, 1948 Nitrit 936 Nitrogen 862 dioksida 2285 negatif 1057 Nitrogliserin 1746, 2746 Nitrous Oxide 1147 NMP22 1428 No ulcer, 523 Nocciception 2709 Nocturnal



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI oxygen therapy trial 161 pain 2701 Nodul reumatoid 2354 subkutanius 1665 tiroid 2022 tiroid soliter 2022 Nodus 35 AV 1609, 1630 SA 1602, 1630 Nokardia 2209 Nokardiosis 2271 NOMENKLATUR 243 1 Non functioning 2038 nerve tissue vaccine 2929 random eye movement sleep atau restorative sle REM, 802 selular 1190 ST elevation myocardial Infarction 1757 cardiac chest pain/NCCP 482 erosive reflux disease (NERD) 482 famakologik 772 infektif 535 insulin dependent 1883 opioid 917 polyposis, Hereditary Colorectal Cancer 568 sustained 1624 weight bearing 1963 bacterial thrombotic endocardial (NBTE) 1703 disjunciion 143 farmakologis 588 fotokromogen 2263 Norepinefrin 2746 Nomogram 914 Normokrom 2236 Normositer; 2236 Nortriptilin 2746 Nosisepsi 2744 NSAID 777 NSCLC (non small cell lung cancer/karsinoma skuamo NSE 2259 Nuclear factor 503, 2750 Nuclear Magnetic Resonance Imaging 1120 Nukleonik 226 Nukleosida 144 Nukleosom 147 Nukleotida 144, 1417 Nursing homes, 782 Nyeri 917 abdomen, 585, 609, 621 abdomen akut, 474 alih 2715 dada 2234 diskogenik 2716 fantom 51 gluteus, 2707 pinggang 2707 mediastinum 56 mielogenik 2716 neurogenik 2716, 271 7 neuropati 2748, 2747 neuropati perifer pada diabetes 2748 pada kanker 1512 pasca herpes 2748 peritoneum parietal 445 perut, 445 phantom 2748



pinggang bawah 2715, 2720 pleura 56 pindah 51 punggung 2707 retrostemal 2252 sentral 51 servikal 2715 servikal Non-spesifik 2716 servikal Spesifik 2716 spinal 2715 tabetik 51 viseral, 445



OA 2354 OAT 2001 OAT cell carcinoma 2255 Obat 2240 anti inflamasi non steroid (OAINS) 51 1, 523, 574, 2356, 2559, 2563, 2737 digitalis, 5 19 intravena 2345 penghambat P 1904 penyekat kalsium 1600 pimtomatik, 589 lapis pertama 2242 obatan 1147 antikoagulan 1361 antitrombosis 1359 Obes 900 Obesitas 1793, 1880, 2348 sentral 1979 viseral 1793 Oblik 2235 Obstipasi 475 Obstructive Sleep ApneaIOSA 2347 Obstruksi 579, 905 berat LVOT 1824 gastric outlet 517 jalan napas atas 906 kolon, 905 mekanik, 499 strangulasi, 618 usus halus 905 Ocalized irradiation, 58 1 Occult blood, 542, 579 Occupational disease 2705 Octacalcium phosphate 2561 Octreotide 302 Ocular motor palsy 2067 Odynophagia 2252 Ofloksasin 2973 Oftalmopati Graves 2006 Oklusi 892 Oksalosis 1023 Oksida nitrit pada penyakit reumatik 2426 Oksidasi 776 Oksigen 224 Okskarbasepin 2747 Okupasi 896 Olanzapin 909 Oligoartritis/pausi-artrikular 2522 Oligonukleotida 1417 Olive eder puestow, 495 Olpadronat 2683 Oomega-3 1987 Omeprazol 520 Onikauksis 52



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Onikoatrofi 52 Onikogrifosis 52 Onikolisis 52 Onikomikosis 52 Onkogen 157, 1413 ABL (c-abl) 157 MOS (c-mos) 157 Onkogenesis 1413, 2256 Onkologi 1440 Opening snap 67, 1672, 1701 Operasi non jantung 1853 Opioid 777, 2744 kuat, 917 ringan, 917 Opistotonus 49 Oposthorchis 2943 Organic anion transporting polypeptide (OATP) 134 brain syndrome 907 Organisme Intestinal 1146 Orientasi 909 Orofarings 772 Oropharyngeal Anthrax 2967 Orthopedi 772 Orthopnea 1584 Ortopneu 33 Ortostatik 794 Osifikasi subkutan, 2692 Osler's node, 1704 Osmolaritas intraluminal, 549 plasma, 888 serum, 800 osteitis fibrosa 2695 cystica 2686 Osteo sarcoma 2260 Osteoartritis 2353, 2354, 2355, 2356, 2358, , 2538, 2719, 2730 osteoartrosis 2369 Osteoblas 2385, 2386, 2387, 2388, 2389, 2390, 2690, 2695 Osteodistrofi 2695 imperfecta 2725 renal 1039, 2695 renal tipe campuran 2696 Osteogenesis imperfekta 2727 Osteoitis 2642 Osteoklas 2385, 2387, 2388, 2389, 2690, 2695 Osteokondritis disekan 2732 Osteokondrosis juvenil 2732 Osteomalasia 2677, 2693 Osteomielitis 2641, 2642, 2643 pelvik 2641 Osteonekrosis 2695 Osteoporosis 118, 824, 861, 2063, 2355, 2358, 2362, 2363, 2364, 2708, 2710, 2719 generalisata 2726 juvenile idiopatik 2727 Osteosit 2385, 2390 Osteosklerosis 2695, 2697 Oswald avery 141 Otot skelet 2629 Outbreak SARS, 2792 Oval fat bodies 937 Overactive bladder, 865 Overdiagnosis 914 Overfilling 948 Overflow Proteinuria 958



Overriding aorta 1787 Oversensing 1655 Ovum primordial 95 Oxygen Delivery., 223 Ozon 2285



P blood group 1010 P fimbriae 1010 P-450, sitokrom 708 P-glycoprotein (P-gp) 134 P. carinii 2209 P.aeruginosa resisten terhadap aztreonam. 2901 P.P.D. (Purified Protein Derivative) 2237 P2 2235 Pace maker 461, 1791 baik 1791 Packed red cell 302 Pacu Jantung 216, 1813, 1860 permanen 1652 Padam 2081 Paget 2680 Painful articular syndrome. 2647 Painless thyroiditis 201 8 Pakionikia 52 Palmar erythem 34 Pamidronat 2682 Pan gastritis kronik 516 Panamin G, 495 Pancoast tumor 56 Pandisiplin 770 Pangastritis 503 Panhipopituitarisme) 1902 Pankarditis 1804 Pankreatitis 721, 731, 905, 1906, 2677 akut, 731 bilier, 724 iskemia 606 Pankreatitis kronik, 73 1 pansitopenia 520 Pantang berkala (ogino-knaus) 123 Panti werda, 784, 786, 885, 913, 914, 931 Pantoprazol 520 Paparan asap rokok. 2294 Papsmears 2079 Papul Gottron 2630 Papula 35 Paradisiplin 770 Paralisis periodik 2634 Parameter fisik urin 935 Kimia 935 Paraneoplastik. 2648 Paraparetik flaksid 2447 spastik 2447 Parasentesis 747 Parasomnias 802 Parathiroid hormon-related protein 316, 2075, 2395, 2688 Parestesi 51 paripurna 771, 773 Paritealloxyntic, Sel 5 15 Parkinson 851, 904, 905, 2447, 2712 Paroksetin 2747 Paromomisin 2953 Paronikia 52 Paroxysmal cold hemoglobinuri 1155



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI nocturnal dyspneu 33 nocturnal haemoglobinuria 1163, 1174 orthopnea nocturnal dispnea 1682 Pam obstmksi kronik 885 Pawovims B 19 1203 Pasca gastrektomi 1146 skleroterapi endoskopi 493 strok, 916 terapi radiasi 493 bedah transeksi esofag 493 Pasien AR 2755 kanker terminal 1519 Patofisiologi 1110, 25 14, 2988 patofisiologi dan patogenesis 1117 patofisiologi edema 946 patofisiologi proteinuria 956 Patogen 555 Patogenesis 1160, 2538, 2520, 2557, 2562, 2610, 2622, 2646, 2648, 2925 dan imunitas 2844 dan patologi 2791 Patognomosis 28 10 Patologi 2556, 2643, 2925 Patrick 2722 Pauci - immune necrotizing glomemlonephritis 984 PC 594 PCR 728, 2246 PE 1372 PEA 229 Peak height velocity 93 Pearson Syndrome 155 Pectus carinatum 59 excavatum 59, 61, 2725 Pedofilia 121 Pedunculated polyp 557 PEEP 2205 Pelepasan gastrin, 5 15 Pelvis 905 Pemanasan 1895 Pemantauan pemantauan pH 24 jam 483 pemantauan progresivitas 2544 Pembedahan 451, 579 Pembelahan sel 143 Pemberian preparat besi 1134 Pembesaran kelenjar prostat. 905 limp 1183 Pemeriksaan darah mtin 214 darah seri anemia 11 11 defisiensi besi 458 endokopi, 467 fisik, 442 fisis jantung 65 fungsi ginjal 938 hemoglobin, 478 histopatologi 2258 invasif 505 laboratorium 11 19, 2522, 2544, 2563 penunjang 2554, 2793 penyaring 1111 radiologi 2523, 2235, 2563, 2640 radiologis dada 2235 sitologi 2258



sumsum tulang 1111 antimikroba 2896 Penanda tumor 1409, 1422 Penanganan 2681 Penanganan rabies 2928 relaps pertama 1170 Penapisan 569 Penatalaksanaan 2559, 2617, 2640, 2641, 2642, 2645, 2647, 2648, 2846 Pencampuran vena, 221 Pencegahan 1135, 2678, 281 1, 2848, 2928 Pendekatan diagnosis 441, 11 12 klinis 1112 paripurna pasien geriatri (P3G) 769 probablistik 1112 terapi 1113, 1171 tradisional 1112 Pendinginan 1895 Penebalan pleura (pleuritis) 2235 Pengamh pengenceran 1201 Pengawasan perempuan hamil 117 Pengelolaan 2518, 2523, 2546, 2712 Pengendalian Infeksi 2795 Penghambat ACE 1950 beta, 902 GPIIlIIIa 1578 kalsineurin 1074 pompa proton (PPI) 506, 523 protein kinase C 1950 reseptor alfa 902 Pengobatan 1608, 2260, 2563 pembedahan 2247 suportif 1482 tuberkulosis 2240 Pengukuran beda potensial nasal 2277 Peningkatan otomatisitas 1618 PenisilinlPenicillin 2968 prokain 2959 binding protein (pbP) 2902 Pentamidine 2345 Pentasomi 152 penukaranlketergantungan,Teori 920 Penularan 2232, 2790 Penyakit 1186 Penurunan enzim glucosa 6-phosphatase 2552 Penyakit batu empedu 721 Addison 2053 Alzheimer, 101 Behcet 2648 Caisson 2708 Crohn 525, 591, 2046 Cushing. 1914 degeneratif 2710 donor cangkok 1200 esofagus refluks (endogan) 493 fabry 998 freiberg 2732 gamopati 1283 gaucher 2696 ginjal kronik 1035, 1066 grave 1799 graves pada wanita hamil 2007 hodgkin 887, 1262 jantung hipertensi 1777



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



jantung koroner 768, 904, 1767, 1792, 1811, 1937 jantung koroner reumatoid 18 10 jantung reumatik 1689 jantung sianotik 1824 jantung skleroderma sekunder 1813 kolagen-aortitis sifilitika - diseksi 1689 kolagen vaskular 2290 legg-calve-perthes 2732 lyme 2645 mediastinum 2249 meniere, 828 osgood-schlater 98, 2732 osteoporosis parkinson, 2710 paget 2680, 2721 pankreato bilier 5 17 parkinson 2710 paru eosinofilik 22 10 paru interstisial (PPI) 23 15 paru kerja 2285 paru lingkungan 2285 paru lingkungan kerja 2279 paru obstruksi kronik 161 paru obstruktif kronik (PPOK) 2293 perianal, 454 periodontal 2323 radang panggul pelvic 604 refluks gastroesofageal 480 reumatik lainnya 2764 menular seksual 118 scheuermann 2732 tiroid 1795 tubulointerstisial 1016 usus inflamatorik 535 vascular, 5 17 von Willebrand 1313 Wilson 39 Penyalahguna NARKOBA intravena (PNIV) 1702 Penyaring 1880 Penyebab 451, 2550 Penyekat Beta 1730, 1738, 1750 Penyesuaian 2402 Penyuntikan steroid intralesi: 495 submukosa, 45 1 Pepsinogen 5 15 Peptida-C 1896 Peran NO (nitric .Oxide) pada Kerusakan Kartilago 2540 Peranan fisiologik 2392 Perawat gerontik, 769 Percutaneous coronary intervention (PCI) 1572, 1748 Ethanol Injection 2028 mitral ballon valvotomy 1676 transluminal coronary angioplasty 102,1572 Endoscopic Gastronomy 495 Perdarahan berat, 453 intraserebral, 893 masif, 499 saluran cema 443, 621 saluran cerna bagian atas 447 samar, 456 varises gastro-esofagus 297 Peregangan (stretching). 1895 Perforasi 905 esofagus 2252 usus 1908 Performance status 141 1



Perhimpunan Gerontologi Indonesia (PERGEMI ) 924, 925 Peri-operatif 897 Periartritis kalsifik 2699 Pericardial friction rub 68, 1805 Perikardiosentesis 1806 Perikarditis 1808, 18 13 akut 1725 konstriktif 1804, 2621 konstriktif kronik 1726 Perikolik 603 Perimembranous, 1783 Perimetri 40 Goldman 2041 periode refrakter efektif 1645 perioperatif 1853 Periprosthetic leaks 1704 Peristaltik 2745 Peristaltik usus, 885 Peritoneum viseral, 475 Peritonitis 517, 603, 905 feculen generalisata 604 Perjalanan Udara 2346 Perkarditis akut 1725 PERKENI 1880 Perkijuan 2233 Perkusi 2235 Perlambatan interval QTc 1713 Perlemakan hati akut pada kehamilan 1366 Permanent pace maker 1636 Permissive hipercapnia, 237 Pemapasan Biot (Ataxic breathing) 60 Peroksidase Anti Peroksida (PAP-TB 2236 peroksinitrit 2540 peroxisome proliferator activated receptor-g. 1974 persisten 952 Personal strength limit 2708 pertumbuhan 1907 Perubahan fungsional non-anemia 1 131 pada tulang rawan sendi OA 2382 tulang selama kehamilan 2397 tulang selama laktasi 2397 Perumahan khusus usia lanjut 786 usia lanjut yang terlindungi 786 Perusak eksogen, 514 endogen 514 Pes planum. 2725 PET/CT 2026 Petanda tumor, 546 Peutz-Jeghers, Sindrom 557 pH-gated urea channel 502 phalen test 2701 Phallen's wrist flexion sign 2451 Phasing out, 930 Pphoribosylpyrophosphatase 2550 Phosphodiesterase inhibitor 949 Phthisis 2230 PHV 93 Piece meal, 558 Pielografi antegrad 941 intravena 941 retrograde 94 1 Pielonefritis akut 1008, 1011 emfisematosa 1012



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1-31



INDEKS



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI kronis 1008 Pigeon-breeder's lung 2288 Piknodisostosis 2727 Piles 587 Pinggang jantung 67 Pinguekula 39 Pink tetralogy 1788 Piotoraks 2325, 2329 Pipa nasogastrik, 897 Pirai 2550 Pirau kanan ke kiri 222 Pirazinamid 223 1 Pirofosfat inorganik 2562 Pirogen endogen, 886 Piruvat 1917 Pituitary-dependent adrenal hyperplasia 2062 Plagiosefali 36 Planted-antigen 969 Plasma exchange 1006 expanders. 1914 segar beku 1194 vena 1880 Plasmaferesis 1367, 2637 Plasmid 2903 Platelet-endothelial cell adhesion molecule-1 970 Plegmon 603 Pleiotrofi 1107 Pleksus auerbac, 461 meissner, 461 Pleomorphic sarcomatoid 2254 Pletorik 2063 Pleura 2329 parietalis 2282, 2329 shock 2330 viseralis 2329 Pleural friction rub 64 plaques 2282 Pleuritis 1804, 2308, 2330 eksudativa 2329 fungi 2333 parasit 2333 sicca 2302 tuberkulosa 2332 Pleurodesis 2346 talk 2345 Plikamisin 2683, 2686 Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP) 2209, 2345 Pneumokoniosis 2280, 2281 Pneumolisis 2344 Pneumomediastinum 2252 Pneumonia 499, 769, 862, 887, 894, 905, 906, 907, 911, 2324 aspirasi, 906, 2207 eosinofilik 2210 komunitas 2205 kronik 2209 nosokomial 2201, 2203 pada gangguan imun 2208 pneumokokus 2208 rekurens 22 10 resolusi lambat 2210 Pneumonitis bakteril 2207 hipersensitif 2289 kimia 2207



Pneumoperikardium 499 Pneumotoraks 64, 906, 2235, 2249, 2329, 2339, 2345 artificial 2344 spontan primer (PSP) 2339 spontan sekunder 2339 PNH 1174 Podagra 2559 Point mutations, 569 Pola Pemberian Antimikroba 2899 Poliarthritis nodosa-like syndrome 2648 Poliartritis 2522 Polidipsi 1908 polifarmasi 777, 779, 846, 907, 914 Poliklinik geriatri 783 Polimialgia reumatika 27 10 Polimiositis 1816, 2630, 2712 idiopatik 263 1 ldermatomiositis 1815, 27 12 Polimorfisme 243 1 HLA 2431 Polimorfonuklear 594 Polip 594 epitelial., 557 Hiperplastik, 558 kolon, 557 non-epitelial, 557 Polipektomi 558 Polisitemia 2554 Vera 1214 Polisomnografi 2348 polisomnogram 806 Poliuria 1908 fisiologis 962 non fisiologis 962 Poloy pathway 979 Polusi udara 2255, 2284 Polymerase Chain Reaction (PCR) 159, 504, 506, 1418, 2236 Polysomnographic 803 Pomona L. 2808 Pompa balon intra-aortik 1752 Na-K-ATPase 1087 Poncet's arthropathy 2238 Porin 2633 Post epitellsub epitel 5 14 drips 44 operative cognitive dysfunction 909 mortem 609 Posterior 2252 Postulat Koch 2231 Postural dizzy 1778 Potassium-losing effect 2059 Potensial membran 1523 Pott's disease 2230 PPOK 906, 2256 Praksis 838 Pramuwerdha 837 Prazikuantel 2953, 2986 Pre epitel, 514 Pre menopause, 893 Pre-renal 1045 Predictive Markers 1424 Pprediktor 1855 Predisposisi 907 Predivertikular 602 Prednisolon 777, 2753 Preeklampsia 1100, 1365, 2581



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Premature atrial beats 1606 atrial complex 1549 beat 1618 ventricular contraction (PVC) 1549 Preparat besi 1140 Preproinsulin 1896 Ppreretirement course, 930 Pressure gradient 1569 half time 1675 support ventilation 168 Prevalensi 907, 1130, 1177 anemia 1110 prevalensi gout 2550 hiperurisemia 2550 nasional terakhir TB 223 1 obesitas 1865 sindrom metabolik 1865 primer, 569 Preventif 772, 781, 782 terhadap tuberkulosis 2247 Pria 1865 Primary PCI, 245 polydipsia 964 Primer 488, 1417 Prion 2993 Probe atau Pelacak DNA 1418 Procainamid 9 11 Produksi 2409 darah 1190 asam., 515 urease, 502 Profil lipid 1891, 1892 Progestogen 2586 Prognathism 2040 Prognosis 897, 9102523, 2627, 2713, 2929 dan perjalanan penyakit 1125 Prognostic Markers 1424 Programmed cell death 2256 Progresive systemic sclerosis 2620 Prokinetik 484 Proktitis radiasi, 58 1 Prolactin-inhibiting hormone, 118 Prolaktin 2709, 2710, 2750 Prolaktinoma 2039 Prolaps katup mitral 1779 Proliferasi sel, 5 14 Promotif 772, 782 Prompt endoskopi, 5 18 Prompted voiding, 871 Propositus (proband) 142 Propriosepsi 904, 8 13 Proses degenerasi., 904 keganasan, 184 Prostaglandin 519, 2737, 2740, 2741 Prostasiklin 2338 Prostate Specific Antigen 1427 Prostigmin 540 protease 51 1, 524, 2422 Protein 541, 1028, 1892 Bcl-2 1415 C dan S 1371 C Teraktivasi 1337 Kinase C 979 markers 1425 membran luar 502



nonhiston 148 Proteinaceous hair-like projection from the bacter 1010 Proteinuria 1000, 1086 benigna 936 fisiologis 957 fungsional 959 glomerulus 935, 957 intermiten 959 ortostatik (postural) 959 overload 936 terisolasi 958 tubular 935 Proteksi emboli 1576 Proteoglikan 2383, 2384, 2539, 2547 Protese 886, 1826 Proto-onkogen 1413, 2256 Protokol CAP (siklofosfamid, doksorubisin, dan cis 2261 Proton pump inhibitor (PPI) 483, 485, 527 Protoporfirin 1133 Protruded type, 577 Protrusio asetabulum 2725 PRPP synthetase 2552 Pseudo Cusbing 2064 vitamin D deficiency 2693 akondroplasia. 2730 divertikular 602 fraktur 2693, 2708 gout 2561, 2562 hermafroditisme 150 hidrofobia 2928 hipertensi 899 hipoparatirodisme 184, 2045, 2692 ikterus 34 manas aemginosa 2901 membran 565 monas 2323 monas aemginosa 2275 pterigium 39 ptosis 39 reumatoid 2563 santoma elastikum 2727, 2725 trombositopenia 1368 Psikiater geriatri, 771 Psikiatri 769 Psikiatris 826 Psikoanalitik/psikopatologi,Hipotesis 920 Psikologis 769, 779, 894, 896 Psikomotor 91 1 Psikoneuroendokrinologi 80 Psikoneuroimunologi 81 psikososial 2706 Psikoterapi 585 psikotropik 905, 907, 914, 2745 Psoriasis 2554, 2647 Psoriasis polisitemia, 2554 Psuedo-resistance 2901 PTCA 1572 Pterigium 39 PI1 akut 1168 Kronik 1169 Ptosis 39, 2040 Pubertas Prekoks 97 Terlambat 96 Puddle sign 72 PUFA 1892



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Pulau patogenesitas, 502 Pulmonary alveolar proteinosis 2283 capillary wedge 1541, 1752 hemorrhage 1006 outflow tract 1539 Pulse generator 164 1 oxymeter 1635 steroid therapy 2752 Pulsed wave dopler' 1558 Pulseless 229 electrical activity 229, 232 Pulsus alternans 32 bigeminus 32 celer 32 defisit 32 magnus 32 paradoksus 32 parvus 32 tardus 32 Punctum maximum 1682 Pungsi perikard 1726 supra pubis 905 Pupil agyl Robeertson 40 marcus-Gunn 40 Pure water diuresis 2050 Purified Vero Cell Rabies Vaccine 2929 Purin 1142, 2354 Purpura 35 pasca transfusi 1200 trombo-sitopenik trombotik 552 trombositopenik imun 1179 trombositopenik trombotik 1180, 1367 Pursed lips breathing 60 Pusat gravitasi, 8 13 Pusing 1904 Putrid abscesses 2324 PVC 1623 bigemini 1624



Q fever 1704 Q-banding 158 QpJQs 1783 Quadranopsia superior bitemporal 2041 Quartz 2283 R on T 1624 RA 2368 Rabdomiolisis 293, 2633 Rabdomioma. 1818 Rabeprazol 520 Rabies 2924 Rachitic rosary 2677, 2693, 2045 Radiasi 579 intrakoroner. 1573 Radical neck dissection 2034 Radikal bebas, 5 11, 1948 Radikulopati 27 19 Radiofrequency ablation 1644 Radiografis Sendi 2543 Radioiodine uptake 2023 Radiolabelled albumin, 545 Radiologi 442, 2644, 2681



Radionuclide Bone Marrow Imaging 1120 Radionuklida Scintigraphy 2252 Radiosensitif 500 Radioterapi 2260 Radon. 2287 Rakhitis 2045 Rangkai-X dominan 151 resesif, 151 Ranitidin 907, 91 1 Ranula 44 Rapid eye movement (REM) 802 fluorencent focus inhibition test 2928 Growers 2263 Rapidly progressive glomemlonephritis 986 Rasa diskriminasi, 52 Rash ikhtyosiformis 273 1 Rawat ~ m a h2260 Raynaud's phenomenon 25 15, 25 16, 2700 RBBB inkomplit 1629 Re-infeksi 1012 Reactive oxygen species (ROS) 503, 1948 Reaksi alergi 1185 anafilaktik, 257 hemolitik 1186 takahashi 2236 transfusi alergi 1200 transfusi hemolitik 1199 transfusi hemolitik segera 1199 Rebound 603 Receptor antagonists 972 Reciprocating tachycardia 1634 Recombinant human desoxyribonuclease I (rhDNase I) 2278 Rectal swab 2846 Recyncronizing cardiac teraphy 1583 Red clover 2080 Red-rimmed vacuoles 2632 Redundansi 1107 Reentry 1603, 1646 tachycardia 1638 Referred pain, 445, 474, 2720 Refleks achiles 50 babinsky 50 brakioradialis 50 chaddock 50 fisiologis 50 gordon 50 hoffmann-tromner 5 1 kornea 31 kremaster 50 leri 51 lutut 50 mayer 51 mendel-bechterew 5 1 okulosefalik 38 oppenheim 50 pupil 31 rossolimo 50 schaeffe 50 triseps 50 vagal 1564 Refleksi akustik, 807 Refluks 494 Regenerasi epitelial, 512 Regimen Essenl rekomendasi WHO 2929



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI imun penyesuaian (adaptif) 2405, 2412



Regurgitasi 1825 regurgitasi aorta 1689, 1814 regurgitasi mitral 1679 regurgitasi trikuspid 1698, 1796 Rehabilitasi 896 geriatri, 784 medik, 769, 771, 772 Rehabilitatif 772, 782 Rehidrasi 202, 197, 554, 1909 Oral, 799 parenteral, 799 Rehospitalisasi 773, 774 Rejeksi Ginjal Transplan 1073 Rektosigmoid 572 Rektosigmoidoskopi 572, 582 Rektum iritable, 584 Rekurensi strok, 894 Relaps 990, 1123 Relapsing infection 10 12 Relatif 1906, 1907 Rematoid artritis 527, 2283 Remifentamil alfentamil, 2745 Remodeling tulang 2387, 2388, 2389 Renal. 1045 tubular acidosis 2046 tubular acidosis tipe distal 2516 Renin 1087, 2056 angiotensin 200 angiotensinogen-aldosteron 1086 Renogram 943 kaptopril 943 Renovaskular 1090 Repeated test of sustained wakefulnes 807 Reperfusi 1746 Repetitive stress injury 2706 Replikasi 885 DNA 145 Repolarisasi 1523 Reseksi 500 ileum, 477 kuratif, 579 usus halus 477 Reseptor 776, 2406 antagonis H2 523, 527 AT1 1089 AT2 1088 estrogen, 2690 kalsium 2687 N-metil-D-aspartat 2747 TNF 2761 TSH 2020 vitamin D 2688 Resesif autosomal 2693, 2727 Resin 2677 Resipien 1069 universal 157 Resistensi 2902 terhadap pengobatan 989 insulin 1865, 1899 Resorbsi tulang, 185 Respiratory bronchiolitis-associated interstitial 23 16 distress syndrome 2794 Respite-care 786 Respons 2436 Bawaan (alami) dan penyesuaian 2402 imun alamilbawaan 2405



stres 2436 Restenosis 1574 Restless Legs Syndrome 807 Restriction fragment length polymorphism (RFLP) 159 Resusitasi 456 jantung paru 227 Retardasi mental 2726 Retensi urin, 905 Reteplase 1749 Retikulum endoplasma 1896 sarkoplasmik 2629 Retrieval forceps, 558 Return of investment 773 Reumatik ekstra artikular 2698 Reumatism psikogenik 2712 Reumatoid artritis 1808 Revaskularisasi 1092, 1597 Reverse-transcriptase polymerase chain reaction 2928 Reversible dementia, 907 Rh immune globulin 1197 Rhabdoid phenotype. 2254 Rhabdoviridae 2924 Rhythmonom propafenon 1607 Rib notching 1787 Ribavirin 2928 Ribosomal RNA (rRNA) 144 Rice bodies 2643 Rifabutin 2265 Rifampin 2902, 2973 Rifampisin 2231, 2265, 2968 right bundle branch block 1610, 1801 right ventricular heaving 1682 Rigiditas 853, 2745 Rigidity 851 Riketsia 2677, 2678, 2693 nutrisional 2678 Risedronat 2682 Risiko 2642 Risperidon 909 Risus sardonikus 37 Rituksimab 2763 Rivello-Carvallo maneuver 1705 sign 1699 Robekan Rotator Cuff 2700 Robert Koch 2230 Rohaniwan 9 17 Ronki basah 63, 2280 basah halus 2290 kering 2280 Rontgen dada 1539 Rose Bengal Staining 2517 Rotablasi 1576 Rotator cuff tendinitis (impingement syndrome) 2699 Roth spots 1704 Roux-en-Y 52 1 Ruam heliotrop 2630 malar 37 Ruang-bikarbonat 195 Rubenstein-Taybi Marfan, 44 Ruffled border 2076 Rumah hospis 1519 Rumus Brocca. 1892 Ruptur 905



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



limpa, 905 plak 1728



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



S-100 1428 S. dysentriae, S.flexneri, S.bondii dan S.sonnei 2857 S. hematobium 2986 S. japonicum 2986 S. mansoni 2986 S. mekongki 2986 Sabershin 2045 Sadisme 121 SAHAD 2927 Sakit perut, 44 1 sakus perikardial 2249 Salah perlakuan, 9 19 Salisilat 5 19 Salisin 2737 Salmonelosis 563, 621 Salt and pepper 2695 loosing 2069 Saluran cerna bagian bawah 460 Sample volume 1560 Sanatorium 2230 Saraf otonom, 905 Sarang (fokus) Ghon 2232 Sarcoma kaposi, 2345 Sarkoidosis 185, 1021, 2252, 2336, 2648, 2696 Sarkolema 2629 Sarkoma 1693, 1820, 2250 Sarkomer 2374, 2376 Sarkopenia 816 Sarkoplasma 2629 Savary-Guillard, Dilator 495 Sawar otak, 901 plasenta 1826 Scanning isotop 2332 Schufher 74 schwarte 2235 Scintigraphy dan angiografi 455 Scissor gait 2447 Screening Markers 1423 Second degree relatives 142 messenger system 907 Secretory canalicular structure 509 Sedatif 2928 hipnotik, 905 Sefalik 515 Sefalometri 807 Segitiga Garland 63 Grocco 63 Segmentasi kolon, 603 Sekresi insulin 1865 Seksualitas abnormal, 121 Seksualoralisme 121 Sekunder 488 Sel asal darah tepi 1205 bakal terkait tugas 1106 beta 1883 beta pankreas 1865 darah merah pekat 1191 epitel permukaan 514 induk pluripoten 1105



parietal, 5 14 peptik, 515 punca (stem cell) 1401 T, 885 T-helper immatur (Th 0) 503 darah dewasa 1106 Selang nasogastrik, 9 19 Selective Serotonin receptor inhibitor 2747 reuptake inhibitors (SSRIs) 2079, Selenium betakarotene dan vitamin A 2256 Self limited disease 555 Selman Waksman 223 1 Selular 1190 Selulosa 602 Senescence 758 Sengatan hymenoptera, 276 kalajengking, 276 listrik, 272 Seranggga, 275 Senile amyloidosis 1790 Sensing 1654 Sensitivitas reseptor insulin 1891 Sepertiga atas, 497 tengah, 497 Sepsis 252, 268, 1920 berat, 268 emboli 2323 Septikemi 2323 Serabut AV junction 1618 serabut Purkinje 1524, 1618, 1630 Sereberal ataksia 2997 Serebrovaskular 1100 Serkaria 2988 Seroepidemilogi 502 Serologi 502, 561, 2810 Serositis 1804 Serotonin 2059, 2710, 2746, 2747 selective reuptake inhibitor 848 Sesak Napas 56, 2234, 2300 Sessile polyp, 557 Severe abdominal cramp 563 acute respiratory syndrome (SARS) 2790 Sex hormone binding globulin (SHBG) 95, 2080 Sferositosis Herediter 1162 Sfingter esofagus bagian atas 488 esofagus bagian bawah 488 uretra, 866 SGOT 909 SGPT 909 Shawl-sign rash 2630 Sheep liver fluke 2946 Shick test 2959 Shifting dullness 72 Shigellosis 2857 Shooting star 2846 Short stature 2044 wave diatermi 2699 Shunt 1563, 1569 Sialografi 25 17 Sialometri 25 17 Sianosis 2337, 2292



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Sianotik 1824 Sicca syndrome 25 14 Sick sinus syndrome 1640 Sickle cell, 622 Sidik Indium 111 leukosit: 544 perut, 545 tiroid 2022 tulang 499, 2722 Sighing respiration 60 Sigmoidoskopi 544 fleksibel, 573 Significant bacteriuria 1008 Sikatriks 35 Siklofosfamid 2585 Siklooksigenase 2738 Siklosporin A 2585, 2758 Siklus berjalan, 812, 814 besi 1129 hidup 2944 Krebs 1907 reaksi seksual 119 tidur, 802 Silent iskhemia 1736 Silikosis 2283 Silinder (Cast) 937 Silver impregnated dressing 1964 Simetidin 907 Simfalangisme 273 1 Simpatoadrenal 1904 Simpatomimetik 225 Simpleks ensefalitis 2928 simtom prodromal, 904 Simtomatologi Opiat, 284 Sindrom kompresi arteri seliaka 616 abstinence 2746 adrenogenital 2069 afferent loop 521 antibodi antifosfolipid katastrofa 1348 antifosfolipid 1180, 1339, 1349 antikolinergik, 293 arteri vertebral 27 19 bahu milwaukee 2564 bartter 2072 beckwith-wiedermann 153 biedl-bardet 2046 boerhaave 2252 brugada 1629 budd-chiari, 705 carpal tunnel 2698, 2701 charcot-marie-tooth 153 churg-strauss 22 10 conn 2071 cushing 1778, 2040, 2634, 2687, 2753 cushing iatrogenik 2066 delirium, 907, 911 diare, 563 disfungsi organ multipel 262, 615 dismielopoetik 124 1 dressler 2336 dumping, 521 dwarfisme 2727 ehler-danlos 34, 44, 2725, 2726 fanconi 2678 fatique kronis. 2712 fibromialgia 2709



geriatri., 780 glomerulus progresif dan kronis 986 guillian-barre 2748 hadju-cheney 2727 hamman-rich. 23 16 sindrom hellp 1364 sindrom hemolitik uremik 1367 hiperparatiroid familial 2687 hiperplasia adrenal kongenital. 2053 holmes-ardy 40 horner 38, 58, 499, 2250 iusus ritabel 540 jantung hiperkinetik 1816 kartagener 2297 kelelahan pasca penyakit virus. 2710 kelley-seegmiller 2552 klinefelter 97, 152 klippel-feil 36 kolon iritabel 460 koroner akut 1940 korsakoff 85 laron 2044 laurence-moon-biedl 97, 2046 lesh-nyhan 2552 lofgren 2648 marfan 1691, 1779, 1826, 2725 marfan-mukopolisakaridosis 1689 meig 2331 mendelson 2207 metabolik. 1865 miastenik lambert-eaton 2637 milk-alkali, 185 miofasial 271 1 miofasial lokal 27 10 miofasial regional 2698 nail-patella 998 neck torsion 2707 nefritik akut 986 nefrotik 986, 999, 2677, 2694 nefrotik kongenital 998 noonan 2046 nyeri generalisata 2698 nyeri neuropati campuran 2748 otak organik 2710 pancoast 2256 paraneoplastik 1516, 2256 peutz-jeghers 43 prader-wili 97, 2046 pseudo-turner 97 rahang-hiperparatiroidisme 2687 reiter 2647, 2722 resistensi insulin 1865, 1937 rotor, 716 schogren 39 sendi temporomandibular 2698 sickle cell 1380 sinus sakit 1631, 1652 sjogren 2514, 2709 skapulokostal 2719 stevens johnson 2742 stickler 2730 sticler 2726 terowongan karpal 2624, 2707 terowongan siku 2707 thoracic outlet 2698 tumor lisis, 3 11 turner 97, 152, 1786, 2046 uretra akut 1012



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



1-37



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



usus iritabel 465, 540, 541 vena cava superior 313, 499, 2251 virilisasi 207 1 von recklinghausen's 2250 warrdenburg 37 waterhouse-frederickson 2072 wermer 2687 wolf-parkinson-white 1651 x 1865 zollinger ellison. 513, 516, 2687 antibodi antifosfolipid 1345, 2609 guillain barre 2926, 2928 lynch, 569 osteogenesis imperfekta 2729 wemike's 85 lesh-nyhan 2552 Sine skleroderma 2624 Single strand binding-protein (SSB) 145 RNA 2924 Sinkop 210, 818, 905, 914, 1605, 2337 aritmia akibat, 213 ortostatik, 213 situasional, 213 vasovagal, 2 13 vasovagal berat 217 Sinovitis 2354 Sintasan 773 Sintesis androgen 2055 kortisol 2055 neurofisin 2048 Sinus aritmia 1605 arrest 1630 bradikardia 1602,1605 duktus tiroglosus 46 karotis, 215 paranasal 42 takikardia 1602, 1605 Siprofloksasin 907, 91 1, 2860, 2968 Siproteron asetat 207 1 Sirolimus 1075 Sirosis bilier primer 707 SIRS 264 Sisplatin 500 Sistatin C serum 939 Sistationin beta-sintase 2726 Sistem imun bawaan 2402, 2408 koagulasi darah. 1891 renin angiotensin 900 saraf enterik 460 saraf otonom 460 saraf parasimpatis 460 saraf pusat 905 simpatis, 900 t-tubule. 2629 Sistemik 892 Sistografi 941 sistolik 893 Sistosoma 2986 Sistosomiasis intestinalis 2986 vesikalis 2986 Sistosomula 2989 Sistostomi 919 Sitogenetika 1374



Sitokin 885, 907,2405, 2406, 2408 lokal, 506 Sitokrom c 2633 Sitotoksin 502 Situasional!isolasi, Teori 920 Situs inversus 2297 Sjagren's like syndrome 2648 Skafosefali 36 Skala koma Glasgow 30 tidur 2348 Skibala 862, 881 Skin tags 2040 Skintigrafi 25 17 Skintigrafi saluran empedu 7 19 Sklero Terapi Endoskopi 301 Sklerodaktil 2626 Skleroderma 1811, 2283 en coup de sabre 2626 Linier 2626 Lokal 2626 proksimal: 2626 Sklerosis sistemik (skleroderma) 2620 Skleroterapi endoskopik, 45 1 Skoliosis 59, 98, 2725,2731 Skoptofilia 121 Skor APACHE I1 9 11 Daldiyono 2847 Gajah Mada 895 Mallampati 2348 Siriraj, 895 Skrining Donor 1202 Skuama 35 SLE 2354, 2355, 2356, 2361 Sleep apnea 805,2040, 2347 Slow Acting Anti acting anti osteoarthritis drugs 2547 acting anti rheumatic drugs 2755 continous ultrafiltration 1062 twitch oxydative fibers 2629 ventricular tachycardia 1609 Small cell lung cancer (SCLC) 2254 dense LDL-cholesterol (oxidized LDL) 1938 nuclear ribonucleoprotein particles (snRNP). 146 nuklear RNA (smRNA) 145 Vessel Pauce-Immune Vasculitis 1004 vessel vasculitis 1004 Sodium channel blokers 949 chloride inhibitors 949 iodide syrnporter (NIS) 1994, 2020 salisilat 2737 potassium chloride inhibitors 949 Sodomi 121 Soft tissue rheumatism 2709 Soliter 2022 Soluble IL-1 receptor 973 TNF receptors 2761 Solut 1059 Somatisasi 271 1 Somatomedin 2710 Somatosensory evoked response 2717 Somatostastin 118, 450, 5 15 Somatostatinoma 743, 745 Somatotrophs 2040



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI esofagus, 495



Somnofluoroskopi 807 Sonor 61 SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis) 2238 Sosial-ekonomi 779 Sosio-medik 771 Southern pole disease 587 Spasme 50 karpopedal spontan 2691 Spasmofilia 37 Species, nitrogen 503 SPECT myocardial perfusion 1566 SPECTICT 2026 Spectrometer, mass 504 Speed's test 2699 Spermatic cord 74 Spider naevi 36 Spina bifida 49 Spiral CT angiography 1356 Spirochaeta 2807 spironolakton 1096 Splenektomi 1170, 1179 Spondilitis 2641 ankilosa 1813, 2647, 2722, 2764 skleroderma ankilosa 23 15 spondiloartropati 2648 Spondilolisisl Spondilolistesis 2723 spondilolistesis 2720 spondilosis 2715, 2720 Squamous dysplasia/carcinoma in situ, atypical ade 2254 St Louis-ADAM 2081 Stable 1883 Stadium dekrementi 3 1 fastigium 31 inkrementi 3 1 koma 2926 lokal 1410 metastase jauh 1410 metastase regional 1410 prodromal 31 rekonvalesensi 3 1 Staging kanker paru 2259 Staining 2039 Stance phase, 814 Staphylococcus aureus 2323 Starling Force 1773 Statement, Genval 484 Status fungsional, 773, 910 mental, 921 Steatohepatitis 702 Steatorea 535, 545, 740 Steifung 2845 Stem cell 978 Steno Diabetes Centre 982 Stenosing tenosinovitisltrigger finger aari pelat) 2700 Stenosis 582 aorta 1569 aorta bikuspidalis 1779 arteri karotis 897 katup pulmonal 1693 mitral 1569, 1671 pulmonal 1694, 1796 spinal 2720 subinfundibular 1787 trikuspid 1700 Stenotik 1826 Stent 1572



Step down, 484 bridge 2755 Step up, 484 Stepwise 930 Stereognosia 52 Sterilisasi 2240 Steroid 1366, 1906, 2277 Dosis tinggi 1172 enema, 582 regulated genes, 2057 Steroidogenesis, hiperkortisolisme 2053 Steroidogenic acute regulatory protein (StAR) 2054 Still's disease 25 19 sTNFR (soluble TNF receptor) 973 Stokes-Adams 1712 Stomatitis aftosa 43 Stool osmotic gap 542, 546 softener, 588 Strabismus 38 Straight leg raising 2722 Strain E. coli 1010 Strain ventrikel kanan 2309 Stratum basale 95 fungsionale 95 Strawberry tongue 44 Streptococcus pneumoniae 2901 Streptokinase 896, 1362, 1748, 1769 Streptokokus Grup-A (SGA) 1662 Streptomisin 223 1, 2859, 2973 Stres 895, 913 fracture, 2693 pain 2448 ulcer, 267, 897 Striae 36 Striae 2753 Strictly distinct and isolated 771 Stridor 59 Striktur uretra, 905 Strikturlstenosis esophagus, 493 Strok 892, 905, 919 hemoragik, 892 like episodes 155 Stromelisin 2539 Struktur anatomi jantung 212 Struma nodosa 45 Studi ferokinetik 1133 Suara napas 63 serak (hoarseness) 59 subacute granulomatous thyroiditis 20 16 lymphocytic painless thyroiditis 2016 painful thyroiditis 2017 Subaortic bump 1815 Subaraknoid 893, 895 Subclavian steal syndrome 2 10 Subdural 893, 895 Subfebril 906 Subkortikal 901 Subluksasio lentis 2725 Submetasentris 148 Substansi algogenik 51 P 2710 Substernal 494 Successful aging, 932



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Succussion splash 72 Suckling Mouse Brain Vaccine 2929 Suckling mouse vaccine 2927 Suhu 31 Sukralfat 484, 519, 582 Sukrosa 1029, 1892 Sulfametoksazol. 2860 Sulfasalazin 582, 2756, 2757 Sulfinpirazon 1768 Sulfonamid 2859 Sulfonilurea 1904 Sumber vitamin D 2393 Sumbu panjang ('long axis') 1555 pendek ('short axis') 1555 Summation gallop 1778 Sumsum Tulang 1120, 1133 Super Oxide Dismutase (SOD) 1938 Superficial type, 577 Suplementasi enzim, 479 kalsium, 479 Supra ventricular extra systole (sves) 1618 tachycardy (svt) 1618 Supra-chiasmatic, nucleus (NSC) 803 Suprasternal notch 60, 1541 Surfaktan 239 Survival 773 Sustained 1624 sustained low efficient dialysis 1059, 1064 SVT reentrant 1622 Swan neck 2451 Swan-Ganz catheter 1683 Sweaty palms 2040 Swing phase, 814 Synchronized. 1634 Synchronous 1642 intermittent mandatory ventilation 169 Syncope 1653 syndrome of inappropriate andiuretic hormone (SIAD rapidly progressive glomemlonephritis 986 Synthetase 2550 Syok 242, 905, 1906, 1908 anafilaktik, 257 hipovolemik, 242 kardiogenik, 245 sepsis, 1906 Septik, 268 Systemic lupus erythematosus 1671 Systolic ejection click 1795 ejection period 1569 hypertension in europe 900 hypertension in the elderly program 900 T-Cytotoxi 885 T-helper 885 Tabel Jagge 40 Snellen 40 Tactile fremitus 61 Taenia saginata, 622, 2949 solium 2949 Taeniasis 2949



Tajam penglihatan 40 Takiaritmia atrium 1780 Takikardia 2290, 2342 atrial 1648 atrial paroksismal 1606 idioventrikular 1609 nodal 1607 reentri atrioventrikuler 1648 reentri nodal atrioventrikuler 1648 supraventrikel 1647 ventrikel 1608 ventrikel idiopatik 1627 Takikinesia 853 Takipnea 2290, 2235 Takrolimus 1075 Talamus media, 205 Talasemia 1379 Tall stature 2044 Tamponade 1726 jantung, 315, 499 Tan Thiam Hok 2236 Tanda Brudzinski I 33 Brudzinski I1 33 Chvostek, 37, 2691, 2692 Joffroy 38 kemig 33 lasegue 33 Moebius 38 Murphy, 476 Murphy, 718 Penberton 46 Rosenbach 38 Stellwag 38 tennis elbow 2448 tinel 2451 vital, 910 von Graefe 38 Gaga1 Sirkulasi 2845 VITAL 31 Tappering off. 2752 Tapping 772 Tar 2285 Tatalaksana 2794 TB 594 ekstra paru 2234 kronik. 2234 usia tua (elderly tuberculosis). 2233 TB usus 2233 TBG (thyroxin binding globulin) 1996 Tc-99m pertechnetate 2026 Tear film break up 2517 Technetium pertechnetate 2033 Tekanan arteri pulmonal 2337 darah (TD) 31, 905, 1891 darah diastolik 899, 1090 darah sistolik 899, 1891 vena jugularis 46, 2235 vena sentral (CVP) 2847 Teknik gen 159 Teleangiektasis 36 Tellurite 2956 Telosentris 148 Telur 2989 Temporary pace maker 1636 Tender point 2709, 271 1 Tendinitis



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Bisipital 2699 patellar 2702 pes anserinus 2699 Tendomiopati 2709 Tendonitis 2698 Achilles 2702 Tenekteplase 1749 Tenis elbow 2698, 2699, 2700 Tenosinovitis 2699 De Quervain 2699, 2701, 2707 ekstensor 2707 Tension headache 271 1 myositis 27 16 pneumotoraks. 2340 Teofilin 225 Teori pembelajarn sosial 920 Terapi 2678 Terapi ajuvan, 574 angiografi, 451 bedah, 456, 486 besi oral 1134 besi parenteral 1135 biologi 1478, 2261 edema 949 endoskopi, 451, 456 eradikasi, 506, 507 gen 2042, 2261 gizi medis 1891 henti merokok 2295 hormonal 1471 imunosupresif 1122 kausal 1134 konservatif 1122 kuadripel, 521 laser, 495 medikamentosa 1179 nefropati iga idiopatik 995 oksigen jangka panjang 162 oksigen jangka pendek 162 pengganti 1066 pengganti ginjal 1059 penyelamatan 1124 pti kronik 1171 sistemik 1446 sulih hormon (tsh) 102 suportif 1125 supresi 2028 tripel, 521 trombolitik 1357 Teratodennoid 2250 Terminasi 146, 147 Termogenesis 789 Termoregulasi 789 Termoresepsi 789 TeslTes t adson 2454, 2717, 2719 antikolinesterase 2637 benzidin, 579 berbisik 41 bernstein, 483 cadangan glukokortikoid 2060 crossmatch 1071 darah samar 458 disfagia 271 7 distraksi kepala 27 17 ely 2722



fabere 2722 finkeilstein 245 1, 2701 frei 2648 fungsi ileum 545 ham 1120 ishihara 40 jari hidung 50 kompresi kepala 27 17 konfrontasi, kampimetri 40 koordinasi gerak 50 malabsorbsi asam empedu 545 mantoux 2648 mc-murray, 2453 napas, 545 oftalmologik 271 7 penala 41 permeabilitas usus 546 rinne 41 romberg 49 schillin, 545 schimer's 25 17 schober 48 schwabach 41 serologi, 504 small and large bowel transit time 545 speed 2450 supresi 2060 supresi deksametason 2060 supresibilitas mineralokortikoid 2061 thomas, 2452 torniket 2701 trendelenburg 2452 tuberkulin 2237 tumit-lutut 50 urease, 504 valsava 2454 weber 41 yergasson 2450 and treat 518 serologic amebiasis 552 Tethering and rolling 970 Tetralogi Fallot 1541, 1694, 1788 Tetrasiklin 888, 2332, 2859, 2902, 2968, 2973 Tetrasomi 152 TGF-$ 1415 TGS 2017 TGT 1899 Thai Red Cross Intradermal 2929 Thalassemia 1379 Intermedia 1387 -a 1380 -a$ 1380 -$ 1380 -$ mayor 1382 -J3 trait 1381 -$ intennedia 1382 -S$ 1380 -rS$ 1380 Thallium scanning 1790 The american college of rheumatology 2366 The heart and estrogenlprogestin replacement study 102 The mental mini status examination 841 The national health dan medical research council 887 The study of cognition and prognosis in the elderly 901 The three big, 780 The timed up and go 820 Thelarche prematur 97 Theofilin 540



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Thermophilic actinomycetes sacchari 2291 vulgaris 2291 Thoracic outlet syndrome 2700, 2719 THR 1895 Thrill 1682, 1785 Thrombolysis in myocardial 1758 infarction 1748 Thrombotic trombocytopenia purpura 1160 Thumbprinting pattern, 564 Thyroglobulin 1428 Thyroid-binding protein 1002 Thyrotrophin-releasing hormone,(TRH) 118 Thyroxine-stimulating hormone 1002 Tiasetazon 2240 Tiazid, 1914 Tietze's Syndrome 2703 Tifoid 887 Tiklopidin 1339, 1362, 1731, 1768 Tilt-Table Testing 21 5 Tiludronat 2682 Timbal asap, 2285 Timektomi 2637 TIM1 risk score 1754 Timoma 2251 Tindakan minimal invasive 588 valsava 2717 Tindale agar 2956 Tingkat keganasan rendah 2032 Tinnel's sign 2701 Tionamid 2001 Tioridazin 9 11 Tipe campuran, 870 fairbank 2730 fungsional, 869 furious 2925 jansen 2731 mckusick 273 1 osteomalasia. 2695 overflow, 869 paralitik. 2925 ribbing 2730 schmid 2731 stres, 869 urgensi, 869 Tipus inversus 3 1 Tirofiban 1731, 1768 Tiroglobulin (Tg) 1994 Tiroid 914, 2251 dan Kehamilan 1999 peroksidase (TPO) 2017 substernal 2252 Tiroidektomi. 2005 unilateral (lobektomi) 2034 Tiroiditis 201 6 akut 2016 de quewain 2016 fibrosa (riedels thyroiditis). 2016 granulomatosa 201 6 hashimoto 1800, 2016 kronis 2016 limfositik subakut 2018 pascapartum 2001 sel raksasa 2017 subakut 2001, 2016 supurativa, 2016



TBC 2021 traumatika 2016 Tiroksin (T4 1994 Tiroperoksidase (TPO) 1994 Tirostatika 2004 Tirotoksikosis akromegali, 1914 Tirotropin. 1802 Tissue dopler 1551, 1558 plasminogen activator 1362, 1749 Titik Mc Burney 70 TNF-a converting enzyme 2761 Tofi 2558 Toksemia gravidarum, 704 Toksik epidermal nekrolisis 2742 Toksin bakteri, 608 Toksoplasmosis 2345 Tolbutamide 715 Toleransi 777, 2746 Toll-like receptors 2404 Tomografi emisi positron 1566 Toni-Debrk-Fanconi, De Syndrome 2694 Top lordotik 2235 Topognosia 52 Torakosentesis 2330 Torakoskopi 2258, 2344 Torakotomi 2345 Torsade de pointes 212, 909, 1623, 1629 Tortikolis 49 Toxic 907 Trakeal 63 tug, 46 Trakeoesofageal, fistula 499 Trans bronchial lung biopsy (TBLB) 2258 trans membran pressure 1059 Trans Torakal Biopsi (TTB). 2258 Trans bronchial Needle-Aspiration (TBNA) 2258 Transduction 2902 Transeksualisme 121 Transfer 814 RNA (tRNA) 144 Transferin 1133 Transformasi sel, 568 Transformation 2902 Transforming growth factor-p I080 Transfusi 1140, 1179 darah 448, 1185 masif 1201 Transienltransient Idiopatik 959 ischemic attack 1824 Transit time, 540 Transkripsi 145 activator protein 1 503 Translasi 145, 146 Translokasi Robertson 153 Transmisi 2844, 2925 Transmissible spongiofonn encephalopathies 2993 Transmodulasi Reseptor 1107 Transplantasi 887, 2925 ginjal 1066 paru 2338 sumsum tulang 1124 Transposisi arteri besar 1694 pembuluh darah besar (TPB) 1788 Transudat 2330 Transverse myelitis 2928



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



Transvestisme I2 1 Trapping ion hydrogen 5 11 Trauma uretra 905 Traveler's diarrhea 539, 555, 621, 622 Treadmill 1790 Trecher-Collins. 44 Tremor 50, 851 Trendelenburg 2447, 2452 TRH (thyrotrophin releasing hormone) 1999 Triad fibro-mialgia 271 1 Virchow 1354, 1370 Whipple 1901 Trial of nonpharmacologicic interventions in the 901 Charcot, 724 Trias Virchow 1767 Tricalcium phosphate (whitlockite) 2561 Tricuspid valve endocarditis 2323 Triggerltriggered 167 finger 2707 point 2710 thumb 2701 activity 1618 Triiodotironin (T3) 1994 Trikuriasis 625 Trimetoprim-sulfametoksazol 2860, 2972 Triofusin 495 Tripomastigotes 17 17 Triptopan 27 10 Trisiklik 848 Trisomi 152 Troilisme 12 1 Trombektomi 1356 Tromboemboli 16 15 vena 1369 paru 2305 Tromboksan 2737 Trombolisis 895, 1434, 1767 Trombosis 587, 892,, 1180, 1301, 1354, 1369 Vena Mesenterika (TVM) 614 akut 1757 Arteri Mesenterika Akut 614 arterial tungkai akut 309 vena dalam 860, 895, 1354 vena mesenterika 475 Trombosit 593 dengan sedikit leukosit 1 193 Pekat 1193 Trombositopenia 520, 1179, 1330, 1364 Trombositosis esensial 1220 Trombus 1355 arteri 2306 vena 2306 Tropical sprue, 622 Tropoelastin 2725 Tropomiosin 2629 Troponin 2629 1 1758 T 1758 T atau I 1730 Trousseau 2691, 2692 True leg-length discrepancy 2452 True precocious puberty 2070 Truncal obesity 2062 Tryptophan pyrrolase 2058 TSH 1994 like substances (TSI, TSAb) 2003



Tuberkuloma 2233, 2235 Tuberkulosis 1693, 2230, 2340 miliaris 2235, 2290 paru 2230, 2340 pasca primer (tuberkulosis sekunder) 2233 peritoneal, 727 primer 2232 usus, 593 vertebra (penyakit Pott) 2643 Tuberous sclerosus 23 15 Tubuler 1045 Tubulo-villosa., Adenoma 557 Tujuan Pengobatan Kanker 2260 Tukak duodenum, 523 gaster, 513 gaster akibat keganasan 5 17 lambung, 523 peptik, 523 refrakter, 521 stres, 522 Tulang 1506 adinamik 2695 pada usia lanjut 2398 Tumor endokrin pankreas 743 kistik pankreas 743 benigna 2257 dan neoplasma 457 endokrin pankreas non-fungsional 746 esofagus, 494 ganas, 184, 576 ganas gaster 577 gaster, 576 germ sel 2253 hipofisis 2038 tumor initiators 2285 jinak, 576 jinak epitel 576 jinak non epitel 576 karsinoid, 520 kolorektal, 567 marker 1409, 2259 mediastinum 2250 nekrosis factor 524 nekrosis faktor alfa 503 neurogenik, 577 padat 1407 padat ganas 1407 pankreas, 739 tumor paru 2254 primer 1818 promoter 2255 serotonin nekrosis faktor alfa 2737 suppressor genes 740 tiroid papiler 2023 Turbiditas 935 Turnover tulang 2680 Type I., 2693 Type 11, 2693



Ubikuinon 2633 UBTMpSA 507 UDP glucuronyl transferase 714 Uji faal paru 2276 fungsi kelenjar eksokrin 2277



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



keringat 2276 latih 1729 mycodot. 2236 nikotin 2050 phalen 2707 tinel 2707 treadmill 1739 vasopresin 205 1 UKPDS 1901 Ulcerated Foot 1962 Ulkus 582, 895 Curling, 608 Cushing, 608 , dekubitus 861, 921 duodeni, 441 Ultrafiltrasi 1060 Ultrasonografi 442, 718, 940, 1029, 2330 (USG) doppler 1355 abdomen, 476, 544 Ultrasound 2699 bronchoscopy 2258 Uncomplicated type 1008 Underdiagnosis 914 Underfilling 948 Undersensing 1655 Unfractionated heparin 1356, 1360, 1762 Unidisiplin 770 Unit motor 2629 Universal precaution 2928 Unsalvable Foot 1962 Update Sydney System. 509 Upstream Primer 1417 Ure-I 502 Urea 198 breath test (UBT) 504 reduction ratio 1052 Urease 524 Uremia 2335 Ureum 887, 909 Urgency hypertension 1103 Urikosurik 2559 Urin 910 lengka, 909 Urinalisis 887, 935 Urogram 1029 Urokinase 1362 Urtika 35 USG 1104 Ginjal 940 Usia 1880 kronologis 925 Usual interstitial pneumonia (UIP) 23 15, 23 16 Usus halus, 461 Uveitis 593



V-sign rash 2630 Vacuolating cytotoxin, 502, 503, 524 Vaksin 2969 antirabies 2928 vaksinasi 887 BCG 2247 Post-exposure 2928 pre- exposure. 2929 Vaneomyein imipenem, 2968 resistant enterococcus faecium 2905 Varises lambung 304



VAS 2367 VaskularlVascular 1045, 2726 mesenterika 606 steal syndrome 2680 Vaskulitis 1809, 2307, 25 16 renal 1004 Vasoactive intestinal polypeptide (VIP) 543, 745 Vasodilator 904, 914 Vasokonstriktor 589, 896 Vasopressin 302, 449, 962 tannate 2051 Vasovagal ringan 2 17 VCAM- 1 (vascular cell adhesion molecule- 1) 970 Vegetative state 205 Vena kava superior dan inferior 2249 kava superior 1646 pulmonalis inferior 497 Venlafaksin 2747 Venous hum 72 venouspressure 260 Ventilation-Perfusion 1355 Ventricular extrasystole 1623 Ventriculo-arterial discordance 1788 VEPl 2289 Verner-Morrison syndrome, 745 Verney.~omoreceptor cells 2048 Vertebrobasiler, Insufisiensi 8 19 Vertigo 827 VES (Ventricular Extra Systole) 1618 Vesikel 35 Vestibular 8 13 Vestibulopati perifer, 826 sentral, 826 Vibrasi 772 Vibrio cholerae 551, 2843 Video assisted thoracoscopy surgery = VATS 2344 endoscope, 467 Vinil klorida 2708 Mandelic Acid (VMA). 2250 Violaceous striae 2040 VIPoma 743, 745 Virilisasi prekoks 2069 Virilising tumor ovarium 2070 Virilisme adrenal 2062 Virulensi 885 Virus 1120 hepatitis A 1202 hepatitis C 1202 hepatitis D 1202 hepatitis E 1202 hepatits B 1202 human immunodeficiency 1203 human t lymphotropic 1203 RNA 2924 sitomegalo 1203 Viscosupplement 2547 Viskositas 896 Visual Analogue Scale (VAS) 2367 Visuospasial 838 Vitamin A, D, E, clan K 1892 B12 1142 C 2262 D 816, 2677



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



D-Dependent Rickets 2693 K 449, 777, 1327 VLDL 1975 Vogt-Koyanagi-Harada 39 Voltage-sensitive sodium chanel 2747 Volume assisted ventilation 168 distribusi 136 overload 1681 plasma, 900 Vox cholerica 2845 Voyeurisme 121 VSD 1563 VT 1624 Idiopatik 1624 Idiopatik alur keluar ventrikel kanan 1627 Idiopatik dari ventrikel kiri 1627 Iskemia 1625



Waddle gait 2447 Wagener's granulomatosis 2325 Waktu iskemik ginjal 1071 paruh eliminasi 136 Wandering pace maker 1604 Wanita 1865 Warfarin 777, 1339, 1361, 1768, 1826, 2338 Warm nodule 2024 Washer women hand 2845 Wasir 587 Wasting 816 Water scaled drainase (WSD) 2208 Watery 535 Weakness 905 Weaver's bottom 2702 Webbed neck 2046 Weil's disease. 2807 Wenckebach block) 1609 Westernblot 504 Wheezing 59, 2290 White matter, 901 WHO 1883, 1866, 223 1



Whole body irradiation 581 scanning 2036 Wide fixed splitting 1780 Wild-type bakteri, 503 Withdrawal bleeding, 105 phenomenone 2752 Wolf-Parkinson-White 216, 1533, 1549, 1612, 1634 Women's Health Initiative (WHI) 102



X, sinar 581 X-ray abdomen, 552 Xanthoma 36 palpebramm 36 planurn 36 tendinosum 36 tuberosum 36 Xerostomia 2515, 2625 xeroftalmia, 2648 Xerotrakea 25 15 Xylocain 1608



Yergason's sign 2699 yodium 1802 berlebihan (Iodide Excess) 201 1 radioaktif 1800, 2005



Z-line 497 Zidovudin 2647 Zigzag-line 497 Zoledronat 2683 Zollinger Elison, 525 Zona fasikulata 2053 glomemlosa 2053 retikularis 2053 Zonula occludens toxin 2845 Zoonosis 2807



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI



HANYA DI SCAN UNTUK dr. PRIYO PANJI



ONLY SCANNED FOR dr. PRIYO PANJI