Paradigma Pengembangan Iptek [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PARADIGMA PENGEMBANGAN IPTEK



KATA PENGANTAR



Pertama-tama penulis mengucapkan puji syukur ke hadirat ALLAH SWT yang senantiasa melimpahkan segala nikmat dan karuniaNya, karena berkat karunianya penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah AIKA. Shalawat serta salam senantiasa kita panjatkan kepada Rasulullah SAW. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas makalah ini. Rekan-rekan yang senantiasa mendukung dan memotivasi serta memberi masukan yang sangat berguna dalam penyelesaian tugas makalah ini. Makalah ini berjudul ‘’PARADIGMA PERKEMBANGAN IPTEK DALAM ISLAM’’ yakni makalah yang menerangkan tentang potensi manusia dalam perkembangan iptek dan rambu-rambu perkembangan iptek. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis memohon maaf apabila didalam tulisan kami ini ada kekurangan dalam penulisan dan sebagainya. Penulis mengharapkan saran serta kritik yang membangun untuk perbaikan penulisan kedepannya.



Tangerang,12 November 2017



Ttd. Penyusun



BAB I PENDAHULUAN



Latar Belakang Dizaman modern yang canggih seperti saat ini, kemajuan akan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (yang kemudian disingkat IPTEK), sangatlah berpengaruh terhadap segala aspek dalam kehidupan manusia. Tidak dapat dipungkiri, keberadaan IPTEK tidak pernah lepas dengan keberadaan manusia. Manusia sebagai subjek dari berkembangnya ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, maka berkembanglah pula teknologi. Keberadaan yang tidak akan pernah terpisahkan tersebut, kemudian memunculkan beberapa dampak terhadap kehidupan manusia didunia. Dampak tersebut berupa dampak positif dan negatif. Adanya dampak negatif terhadap kehidupan manusia ini, akan menimbulkan beberapa yang kurang di inginkan. Peran Islam dalam perkembangan IPTEK pada dasarnya ada 2 (dua). Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran (qa’idah fikriyah) bagi seluruh ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti bahwa Aqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan, sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan. Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan IPTEK dalam kehidupan sehari-hari. Standar atau kriteria inilah yang seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan standar manfaat (pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang. Standar syariah ini mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan IPTEK, didasarkan pada ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam). Umat Islam boleh memanfaatkan IPTEK jika telah dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya jika suatu aspek IPTEK dan telah diharamkan oleh Syariah, maka tidak boleh umat Islam memanfaatkannya, walau pun ia menghasilkan manfaat sesaat untuk memenuhi kebutuhan manusia.



Rumusan Masalah a. Apa definisi IPTEK ? b. Bagaimana paradigma hubungan agama dan iptek? c. Bagimana integrasi iman, IPTEK dalam islam? Tujuan a. Mengetahui apa maksud dan definisi dari IPTEK b. Mengetahui paradigma hubungan agama dan iptek c. Mengetahui integrasi iman, IPTEK dalam islam



BAB II PEMBAHASAN



A. Potensi manusia (jasmani dan rohani) dalam pengembangan IPTEKS Sebelum membahas potensi manusia dalam pengembangan IPTEKS terlebih dahulu kita akan kaji apa sebenarnya IPTEKS itu? IPTEKS adalah singkatan dari Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni. Ilmu adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasi, diorganisasi, disistematisasi,



dan



diinterpretasi,



menghasilkan



kebenaran



obyektif,



sudah



diuji



kebenarannya dan dapat diuji ulang secara ilmiah. Di dalam Al-Qur’an kata “ilmu” dalam berbagai bentuk terdapat 854 kali disebutkan (Quraish Shihab, 1996). Sedangkan ilmu pengetahuan atau Sains adalah himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui proses pengkajian dan dapat dinalar atau dapat diterima oleh akal. Dengan kata lain, sains dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang sudah sistematis (science is systematic knowledge). Dalam pemikiran sekuler, sains mempunyai tiga karakteristik, yaitu obyektif, netral dan bebas nilai, sedangkan dalam pemikiran Islam, sain tidak boleh bebas nilai, baik nilai lokal maupun nilai universal. Adapun sumber ilmu pengetahuan dalam pemikiran Islam ada dua sumber ilmu, yaitu akal dan wahyu. Keduanya tidak boleh dipertentangkan. Ilmu yang bersumber dari wahyu Allah bersifat abadi (perennial knowledge) dan tingkat kebenaran mutlak (absolute). Sedangkan Ilmu yang bersumber dari akal pikiran manusia bersifat perolehan (acquired knowledge), tingkat kebenaran nisbi (relative), oleh karenanya tidak ada istilah final dalam suatu produk ilmu pengetahuan, sehingga setiap saat selalu terbuka kesempatan untuk melakukan kajian ulang atau perbaikan kembali. Al-qur’an menganggap “anfus” (ego) dan “afak” (dunia) sebagai sumber pengetahuan. Tuhan menampakka tanda-tanda-Nya dalam pengalaman batin dan juga pengalaman lahir. Ilmu dalam Islam memiliki kapasitas yang sangat luas karena ditimbang dari berbagai sisi pengalaman ini. Pengalaman batin merupakan pengembaraan manusia terhadap seluruh potensi jiwa dan inteleknya yang atmosfernya telah dipenuhi dengan nuansa wahyu Ilahi. Sedangkan Al-qur’an membimbing pengalaman lahir manusia kearah obyek alam dan sejarah.



Penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan sangat tinggi karena sesungguhnya hal ini merupakan cerminan penghargaan bagi kemanusiaan itu sendiri. Manusia adalah makhluk satu-satunya yang secara potensial diberi kemampuan untuk menyerap ilmu pengetahuan. Penghargaan ini dapat dilihat dari beberapa aspek. 1. Turunnya wahyu pertama ( Al-Alaq : 1-5), ayat yang dimulai dengan perintah untuk membaca, ini mencerminkan betapa pentingnya aktivitas membaca bagi kehidupan manusia terutama dalam menangkap hakikat dirinya dan lingkungan alam sekitarnya. Membaca dalam arti luas adalah kerja jiwa dalam menangkap dan menghayati berbagai fenomena di dalam dan di sekitar diri hingga terpahami betul makna dan hakikatnya. 2. Banyaknya ayat Al-qur’an yang memerintahkan manusia untuk menggunakan akal, pikiran dan pemahaman (Al-Baqarah 2 : 44, Yaa siin 36 : 68, Al-An’aam 6 : 50). Ini menandakan bahwa manusia yang tidak memfungsikan kemampuan terbesar pada dirinya itu adalah manusia yang tidak berharga. 3. Allah memandang rendah orang-orang yang tidak mau menggunakan potensi akalnya sehingga mereka disederajatkan dengan binatang, bahkan lebih rendah dari itu (alA’raf 7 : 179). 4. Allah memandang lebih tinggi derajat orang yang berilmu dibandingkan orang-orang yang bodoh (Az-Zumar 39 : 9). Manusia merupakan makhluk Allah yang paling mulia dan sempurna (melebihi malaikat) apabila dapat memerankan tugas kekhalifahannya. Namun jika manusia tidak dapat bertanggungjawab sebagai khalifatullah dengan baik dan benar, maka kedudukan manusia lebih rendah dari binatang. Allah berfirman dalam kitabnya Q.S Ar Ra’du: 2 memilih kata ”sakhkhara” yang berarti ”menundukkan” atau ”merendahkan”, hal tersebut menunjukkan bahwa alam dengan segala manfaat yang dapat diperoleh darinya harus tunduk dan dianggap sebagai sesuatu yang posisinya berada di bawah manusia.



‫س َوا ْل َق َم َر‬ َ ‫ستَ َوى‬ َ ‫ت ِبغَ ْي ِر‬ ِ ‫اوا‬ ْ ‫ع َم ٍد ت َ َر ْونَ َها ث ُ َّم ا‬ َ ‫علَى ا ْل َع ْر ِش َو‬ َّ ‫ّللاُ الَّذِي َرفَ َع ال‬ َ ‫س َم‬ َ ‫س َّخ َر الش َّْم‬ ‫ه‬ َ ُ‫ت َلعَلَّكُم ِب ِل َقاء َر ِبه ُك ْم تُوقِن‬ ‫ون‬ ِ ‫ص ُل اآليَا‬ ‫س ًّمى يُ َد ِبه ُر األ َ ْم َر يُ َف ِ ه‬ َ ‫ُك ٌّل يَجْ ِري أل َ َج ٍل ُّم‬ Artinya: Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. masingmasing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya),



menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini Pertemuan (mu) dengan Tuhanmu{ Q.S Ar Ra’du: 2} Allah menciptakan manusia memiliki potensi akal dan pikiran sebagai bekal untuk hidup di dunia. Melalui akal dan pikiran tersebut, manusia dapat memahami dan menyelidiki elemen-elemen yang terdapat di alam serta memanfaatkannya untuk kesejahteraan mereka. Akal dan pikiran tersebut merupakan kelebihan dan keistimewaan yang diberikan oleh Allah kepada manusia sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al Isra 70:



َّ ‫َولَقَ ْد ك ََّر ْمنَا بَنِي آ َد َم َو َح َم ْلنَا ُه ْم فِي ا ْلبَ ِ هر َوا ْلبَحْ ِر َو َر َز ْقنَا ُهم ِ هم َن ال‬ َّ ‫ت َو َف‬ ‫ير‬ َ ‫ض ْلنَا ُه ْم‬ ِ ‫ط ِيهبَا‬ ٍ ‫علَى َك ِث‬ ‫ِ هم َّم ْن َخلَ ْقنَا تَ ْف ِضيال‬ Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan..{ Q.S. Al Isra 70} Dengan demikian, dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memanfaatkan alam yang ”ditundukkan” oleh Allah untuk manusia, manusia hendaknya memahami konsep dan tugasnya sebagai khalifah di Bumi. Manusia jangan sampai “ditundukkan” oleh alam melalui nilai-nilai materialistik dan keserakahan karena sesungguhnya hal tersebut melanggar kodrat manusia yang diberikan oleh Allah. Untuk itu, Tuhan menganugerahkan kepada manusia potensi-potensi (fithrah) yang dapat dikembangkan melalui proses pendidikan. Ada beberapa pendapat yang membahas tentang potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia, di antaranya adalah sebagai berikut. Menurut Jalaluddin, ada tiga potensi yang dimiliki oleh manusia, yaitu potensi ruh, jasmani (fisik), dan rohaniah. Pertama, ruh; berisikan potensi manusia untuk bertauhid, yang merupakan kecenderungan untuk mengabdikan diri kepada Sang Pencipta. Kedua, jasmani; mencakup konstitusi biokimia yang secara materi teramu dalam tubuh. Ketiga, rohani; berupa konstitusi non-materi yang terintegrasi dalam jiwa, termasuk ke dalam naluri penginderaan, intuisi, bakat, kepribadian, intelek, perasaan, akal, dan unsur jiwa yang lainnya. Imam al-Ghazali menyatakan manusia mempunyai empat kekuatan (potensi), yaitu; pertama, qalb; merupakan suatu unsur yang halus, berasal dari alam ketuhanan, berfungsi untuk merasa, mengetahui, mengenal, diberi beban, disiksa, dicaci, dan sebagainya yang pada hakikatnya tidak bisa diketahui; kedua, ruh; yaitu sesuatu yang halus yang berfungsi untuk mengetahui tentang sesuatu dan merasa, ruh juga memiliki kekuatan yang pada hakikatnya tidak bisa diketahui; ketiga, nafs; yaitu kekutan yang menghimpun sifat-sifat tercela pada



manusia; keempat, aql; yaitu pengetahuan tentang hakikat segala keadaan, maka akal ibarat sifat-sifat ilmu yang tempatnya di hati. Jalaluddin dan Usman Said, secara garis besar manusia memiliki empat potensi dasar, yaitu : pertama, hidayah al-ghariziyyah (naluri), yaitu kecenderungan manusia untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, seperti, makan, minum, seks, dan lain-lain, dalam hal ini antara manusia dengan binatang sama; kedua, hidayah al-hisiyyah (inderawi), yaitu kesempurnaan manusia sebagai makhluk Allah SWT (ahsan at-taqwim); ketiga, hidayah alaqliyyah, yaitu bahwa manusia merupakan makhluk yang dapat dididik dan mendidik (animal educandum); dan keempat, hidayah diniyyah, yaitu bahwa manusia merupakan makhluk yang mempunyai potensi dasar untuk beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Apabila dikaitkan dengan konteks pengembangannya, potensi ruh diarahkan kepada ibadah mahdhah (khusus) secara rutin dan kontinu. Oleh karena dengan melalui program ini diharapkan tercipta tingkah laku lahiriah-batiniah sebagai suatu pola hidup makhluk yang bertuhan. Potensi jasmaniah diprogramkan lebih dini agar manusia makan dan minum dari yang manfaat, baik dan benar (halalan thayyiban). Hal ini dianggap penting karena benih (nuthfah) berasal dari makanan dan minuman, yang pada akhirnya akan menjadi bahan baku pengembangan sumberdaya insani. Potensi rohaniah, seperti naluri mempertahankan diri dan naluri untuk berkembang biak harus disalurkan dengan jalan yang diridlai Allah SWT. Sementara itu, dengan potensi fithrah dan gharizah menuntut manusia untuk senantiasa belajar dari lingkungannya. Salah satu aspek potensial dari fitrah adalah kemampuan berpikir manusia, di mana rasio menjadi pusat perkembangannya. Adapun potensi akal merupakan ciri khas manusia sebagai makhluk yang memiliki kemampuan untuk memilih (baik dan buruk) dan manusia berpotensi untuk menentukan jalan hidupnya. Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa Allah telah menganugerahkan beberapa potensi kepada manusia yang dapat dikembangkan dengan seoptimal mungkin dalam rangka melaksanakan tugas kekhalifahannya di dunia. Dari potensi-potensi dasar tersebut, menunjukkan pada kita akan pentingnya pendidikan untuk mengembangkan dan mengolah sampai di mana titik optimal itu dapat capai. Apalagi kita saksikan kondisi manusia pada waktu dilahirkan di dunia ini, mereka dalam keadaan yang sangat lemah, yang secara tidak langsung membutuhkan pertolongan dari kedua orangtuanya.



Tanpa adanya pertolongan dan bimbingan kedua orangtuanya, maka bayi yang lahir dengan bentuk tubuh yang sempurna itu akan mengalami pertumbuhan secara tidak sempurna. Sebagaimana dialami oleh Mr. Singh, ketika menemukan dua orang anak manusia dalam sarang serigala. Kedua anak tersebut diasuh dan dibesarkan oleh serigala sehingga segala gerak gerik, kemampuan, dan tingkah lakunya sangat menyerupai serigala. Demikian halnya anak yang diasuh oleh monyet, maka ia juga akan menyerupai monyet. Dengan demikian, pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan kepribadian anak, potensi jasmaniah dan rohaniah tidak secara otomatis tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, tetapi membutuhkan adanya bimbingan, arahan, dan pendidikan.



B. Rambu-rambu Pengembangan IPTEK dalam Al-qur’an. Iptek dan segala hasilnya dapat diterima oleh masyarakat Islam manakala bermanfaat bagi kehidupan manusia. Jika penggunaan hasil iptek akan melalaikan seseorang dari dzikir dan tafakkur, serta mengantarkan pada rusaknya nilai-nilai kemanusiaan, maka bukan hasil teknologinya yang ditolak, melainkan manusianya yang harus diperingatkan dan diarahkan dalam menggunakan teknologi. Adapun tentang seni, dalam teori ekspresi disebutkan bahwa Art is an expression of human feeling adalah suatu pengungkapan perasaan manusia. Seni merupakan ekspresi jiwa seseorang dan hasil ekspresi jiwa tersebut berkembang menjadi bagian dan budaya manusia. Seni identik dengan keindahan, keindahan yang hakiki identik dengan kebenaran, dan keduanya memiliki nilai yang sama, yaitu keabadian. Dan seni yang lepas dari nilai-nilai ketuhanan tidak akan abadi karena ukurannya adalah hawa nafsu, bukan akal budi. Islam sebagai agama yang mengandung ajaran aqidah, akhlak dan syariah, senantiasa mengukur segala sesuatu (benda-benda, karya seni, aktivitas) dengan pertimbanganpertimbangan ketiga aspek tersebut. Oleh karenanya, seni yang bertentangan atau merusak akidah, syariat, dan akhlak tidak akan diakui sebagai sesuatu yang bernilai seni. Dengan demikian, semboyan seni untuk seni tidak dapat diterima dalam Islam. Dalam prespektif Islam, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni, merupakan pengembangan potensi manusia yang telah diberikan oleh Allah berupa akal dan budi. Prestasi gemilang dalam pengembangan iptek, pada hakikatnya tidak lebih dan sekedar menemukan bagaimana proses sunnatullah itu terjadi di alam semesta ini, bukan merancang atau menciptakan hukum baru di luar sunnatullah (hukum alam hukum Allah). Seharusnya temuan-temuan baru di bidang iptek membuat manusia semakin mendekatkan diri pada Allah, bukan semakin angkuh dan menyombongkan diri. Sumber pengembangan iptek dalam Islam adalah wahyu Allah. Iptek yang Islami selalu mengutamakan dan mengedepankan kepentingan orang banyak dan kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia. Untuk itu iptek dalam pandangan Islam tidak bebas nilai. Adapun integrasi antara Iman, IPTEKS, dan Amal adalah sangat erat kaitannya. Islam merupakan ajaran agama yang sempurna. Kesempurnaannya dapat tergambar dalam keutuhan



inti ajarannya. Ada tiga inti ajaran Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Ketiga inti ajaran itu terintegrasi di dalam sebuah sistem ajaran yang disubut Dienul Islam. Dalam Al-Qur’an surat Ibrahim: 24-25, Allah telah memberikan ilustrasi indah tentang integrasi antara iman, ilmu dan amal. Ayat tersebut menggambarkan keutuhan antara iman, ilmu, dan amal atau akidah, syariah dan akhlak dengan menganalogkan bangunan Dinul Islam bagaikan sebatang pohon yang baik. Iman diidentikan dengan akar sebuah pohon yang menopang tegaknya ajaran Islam. Ilmu bagaikan batang pohon yang mengeluarkan dahandahan dan cabang-cabang ilmu pengetahuan, sedangkan amal ibarat buah dan pohon identik dengan teknologi dan seni. Iptek yang dikembangkan di atas nilai-nilai iman dan ilmu akan menghasilkan amal saleh. Selanjutnya perbuatan baik, tidak akan bernilai amal saleh apabila perbuatan baik tersebut tidak dibangun di atas nilai iman dan ilmu yang benar. Iptek yang lepas dan keimanan dan ketakwaan tidak akan bernilai ibadah serta tidak akan menghasilkan kemaslahatan bagi umat manusia dan alam lingkungannya bahkan akan menjadi malapetaka bagi kehidupan manusia.



BAB III PENUTUP A.



Kesimpulan



Perkembangan iptek, adalah hasil dari segala langkah dan pemikiran untuk memperluas, memperdalam, dan mengembangkan iptek. Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa peran Islam yang utama dalam perkembangan iptek setidaknya ada 2 (dua). Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma pemikiran dan ilmu pengetahuan. Kedua, menjadikan syariah Islam sebagai standar penggunaan iptek dan seni. Jadi, syariah Islam-lah, bukannya standar manfaat (utilitarianisme), yang seharusnya dijadikan tolok ukur umat Islam dalam mengaplikasikan iptek. Selain itu potensi manusia dalam Untuk itu setiap muslim harus bisa memanfaatkan alam yang ada untuk perkembangan iptek, tetapi harus tetap menjaga dan tidak merusak yang ada. Yaitu dengan cara mencari ilmu dan mengamalkanya dan tetap berpegang teguh pada syari’at Islam. B. Saran Dengan adanya makalah ini diharapkan para pembaca memahami bagaimana sebenarnya paradigma islam itu dalam menyaikapi Ilmu pengetahuan, Teknologi dan seni tersebut. Selain itu, para pembaca juga diharapkan mampu memahami bagaimana integrasi Imtaq (Iman dan Taqwa) dalam Iptek tersebut. Karena semakin berkembangnya zaman, keberadaan Iptek sangat berpengaruh terhadap kepribadian hidup manusia. Untuk itu diperlukan pegangan yang berfungsi sebagai pengendali akan adanya perubahan-perubahan tersebut. Akan tetapi makalah kami masih jauh dari sempurna sehingga kritik dan saran dari pembaca sangat kami butuhkan guna pembuatan makalah kami berikutnya yang lebih baik.



Daftar Pustaka       



Al Faruqi, Ismail R, 2001. Atlas Budaya Islam, Menjelajah Khazanah peradaban, Bandung; Cet. III Gemilang Mizan. Daim, Abdullah. 1984. Tarbiyah ‘Abdru Tarikh, Min Ushuri Qadimah hatta Qarnu Isyrin. Beirut; Darul ‘Ilmi lil Mu’allim. Cet. Ke 5. Departemen Agama RI, 2001. Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, Jakarta. Nasution, Harun, 1986. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta; Bulan Bintang. Shihab, M, Quraish. 1996. Mermbumikan Al-Qur’an. Bandung; Cetakan ke 12. Mizan. Wahyuddin. dkk. 2009. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta; PT. Gramedia Widiasarana Indonesia http://inafauzia95.blogspot.co.id/2015/05/paradigma-pengembangan-ipteks.html