Paten [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan hayati yang cukup besar yang dapat dikembangkan untuk obat1 tradisional yang merupakan bahan atau ramuan bahan berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Dokumen kebijakan Obat tradisional (Kotranas) tahun 2006 mencatat ada 30.000 jenis tumbuhan yang teridentifikasi di Indonesia, 7.500 diantaranya tergolong tananam obat. Indonesia dengan memiliki 30.000 species tumbuhan dan diketahui sekurang-kurangnya 9.600 species tumbuhan berkhasiat sebagai obat dan kurang lebih 300 species telah digunakan sebagai bahan obat tradisional oleh Industri obat tradisional, merupakan pasar yang potensial bagi pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional2. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2001 mencatat sebanyak 57, 7 % penduduk Indonesia melakukan pengobatan sendiri tanpa bantuan medis, 31, 7 % diantaranya menggunakan tumbuhan obat tradisional dan 9,8 % memilih



1



2



Obat adalah bahan atau paduan bahan termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi untuk manusia. Lihat Kementerian Kesehatan RI, Formularium Obat Herbal Asli Indonesia, (Jakarta : Kementerian kesehatan RI, 2011), halaman 4. Profil Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tahun 2011, halaman 53.



1



bentuk pengobatan tradisional lainnya3. Keadaan demikian tidak hanya terjadi di Indonesia bahkan di sebagian besar negara berkembang. Obat tradisional, termasuk obat herbal4, telah, dan terus digunakan di setiap negara di seluruh dunia dalam beberapa kapasitas. Di sebagian besar negara berkembang, 7095% dari populasi bergantung pada obat-obat tradisional untuk perawatan primer. Di beberapa negara industri, penggunaan obat tradisional adalah sama penting; Kanada, Perancis, Jerman dan Italia misalnya, melaporkan bahwa antara 70% dan 90% dari populasi mereka telah menggunakan obat tradisional5. Obat tradisional selalu memainkan peran penting dalam kesehatan dunia dan terus digunakan untuk mengobati berbagai macam keluhan. Obat tradisional digunakan di setiap negara di dunia, dan telah menjadi andalan dengan mendukung, mempromosikan, mempertahankan dan memulihkan kesehatan manusia. WHO merekomendasi penggunaan obat tradisional termasuk obat herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk kronis, penyakit degeneratif dan kanker. Dukungan WHO tersebut lebih menguntungkan bagi Indonesia dalam



3



4



5



Abhisam, DM, dkk, Membunuh Indonesia Konspirasi Global Penghancuran Kretek, (Jakarta : Penerbit Kata-kata, 2011), halaman 16. Sebagian besar penduduk Pulau Jawa menyebut obat herbal dengan istilah Jamu, sedangkan masyarakat di luar pulau Jawa menggunakan dengan istilah lain dalam bahasa lokal mereka masing-masing. Di Sumatera, misalnya, obat tradisional disebut sebagai tambar. Lihat Antons, Christop (Edt.), Traditional Knowledge, Traditional Cultural Expressions and Intellectual Property Law in The Asian – Pacipic Region, (Nedherlands : Kluwer Law International, 2009), halaman 363. Lihat Molly Meri Robinson and Xiaorui Zhang, 2011, The World Medicines Situation 2011 (Traditional Medicines: Global Situation, Issues and Chalenges), WHO Geneva 2011, tersedia pada http://www.who.int/medicines/areas/policy/world_medicines_situation/WMS_ch18_wTraditi onalMed.pdf., diakses tanggal 21 Januari 2012.



2



mengembangkan produk herbalnya. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)6 tahun 2010 menunjukan bahwa 55,3% penduduk Indonesia menggunakan ramuan tradisional (jamu) untuk memelihara kesehatannya dan 95,6% mengakui ramuan tradisional yang digunakan sangat bermanfaat bagi kesehatan. Berbagai poduk herbal merupakan hasil olahan dan pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia. Produk obat herbal7 dan jenis obat-obatan tradisional lainnya dibuat dengan menggunakan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia secara turun temurun. Pengetahuan tradisional tersebut merupakan suatu pengetahuan yang digunakan dan dikembangkan oleh masyarakat Indonesia di masa lalu, sekarang, dan masa yang akan datang. Pengetahuan tradisional merupakan pengetahuan masyarakat yang telah diketahui secara turun temurun. Menurut perpektif WIPO bahwa TK mengandung pengertian luas yang mencakup indigenous knowledge dan folklore. Hal ini sebagaimana kutipan berikut, yaitu : Indigenous knowledge would be the traditional knowledge of ―indigenous peoples‖. Indigenous knowledge is therefore part of traditional knowledge category, but traditional knowledge is not necessarily indigenous. That is to say, indigenous knowledge is traditional knowledge, but not all traditional knowledge is indigenous.8 6 7



8



Profil Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tahun 2011, halaman 53 Obat herbal merupakan suatu bentuk pengobatan alternatif yang mencakup penggunaan tanaman atau ekstrak tanaman yang berbeda. Selain untuk mengobati, herbal juga dapat digunakan untuk pencegahan penyakit atau meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Rina Nurmalina, Herbal Legenda Untuk Kesehatan Anda, (Bandung : Valley, 2012), halaman 1. WIPO, 2001, Intellectual Property Needs and Expectations of Traditional Knowledge Holders : WIPO Report on Fact-Finding Missions on Intellectual Property and Traditional Knowledge 1998-1999, Geneva.http://www.wipo.int/tk/en/tk/ffm/report/final/pdf/part1.pdf. diakses tanggal 21 Maret 2012.



3



Article 8 (j) Convention on Biological Diversity (CBD) 1992, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan TK adalah ―…knowledge, innovation, and practices of indigenous and local communities embodying traditional lifestyle relevant for the conservation and substainable use of biological diversity…‖. Menurut pasal 8 (j) CBD ini bahwa TK itu meliputi pengetahuan, inovasi, dan praktik-praktik masyarakat asli dan lokal yang mencakup tata cara hidup tradisional yang relevan dengan pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan dari pada keanekaragamaan hayati. Meskipun TK menurut CBD tetap memiliki cakupan yang sangat luas, tetapi TK sebagaimana yang dimaksud di dalam CBD ini dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu pertama, TK yang terkait dengan keanekaragamaan hayati, misalnya obat tradisional. Dan kedua, TK yang terkait dengan seni (folklore).9 Dengan demikian maka pada dasarnya pengetahuan tradisional10 ini berisikan folklore11 dan traditional knowledge. Folklore merupakan pengetahuan tradisional yang berkaitan



9



Afrillyanna Purba, TRIPs – WTO & Hukum HKI Indonesia, Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indoensia, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2005), halaman 37. 10 Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, menterjemahkan istilah pengetahuan tradisional dengan istilah traditional knowledge. (Riswandi, Budi Agus dan M. Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), halaman 25). 11 Silke von Lewinski menggunakan istilah folklore dengan istilah traditional expressions. (lihat Silke von Lewinski, Indigenous Heritage and Intellectual Property (Genetic Resources, Traditional Knowledge and Floklore), New York : Kluwer Law International, 2008, halaman 1). Sedangkan WIPO menggunakan istilah ‗traditional cultural expressions‘ (TCEs) dan ‗expressions of folklore‘ secara bergantian. Pada umumnya TCEs/folklore merupakan : (I) diturunkan dari satu generasi ke lain (ii) mencerminkan identitas sosial dan budaya masyarakat, (iii) terdiri dari unsur warisan sebuah masyarakat yang karakteristik, (iv) dibuat oleh 'Penulis yang tidak diketahui' dan / atau oleh masyarakat dan / atau oleh individu komunal yang diakui memiliki tanggung jawab, hak atau izin untuk melakukannya, (v) sering tidak diciptakan untuk komersial, tetapi sebagai cara untuk mengekspresikan agama dan budaya, dan (vi) adalah terus berkembang, berkembang dalam masyarakat. (lihat booklet No. 1 WIPO, Intellectual Property And Traditional Cultural Expressions/Folklore, (http://www.wipo.int/freepublications/en/tk/913/wipo_pub_913.pdf. diakses 9/4/2012).



4



dengan seni sedangkan traditional knowledge merupakan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan teknologi. Pengetahuan tradisional oleh Agus Sardjono12, diartikan sebagai pengetahuan yang dimiliki atau dikuasai dan digunakan oleh suatu komunitas, masyarakat atau suku bangsa tertentu yang bersifat turun temurun dan terus berkembang sesuai dengan perubahan lingkungan. Bandingkan menurut Endang Purwaningsih13, Traditional Knowledge adalah karya masyarakat tradisional (adat) yang bisa berupa adat budaya, karya seni, dan teknologi, yang turun temurun digunakan sejak nenek moyang. Stephen A. Hansen dan Justin W. Van Fleet14 memberikan definisi TK, ―Traditional knowledge (TK) is the information that people in a given community, based on experience and adaptation to a local culture and environment, have developed over time, and continue to de velop. This knowledge is used to sustain the community and its culture and to maintain the genetic resources necessary for the continued survival of the community‖. Pada umumnya pengetahuan tradisional merupakan pengetahuan yang digunakan secara turun-temurun dan diciptakan berabad-abad yang lalu sehingga kebanyakan dari pengetahuan tradisonal adalah public domain. Kemungkinan lain dari pengetahuan tradisional yaitu belum



12



13



14



Agus Sardjono, Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional, (Bandung : PT. Alumni, 2006), halaman 1. Endang Purwaningsih, 2005, Perkembangan Hukum Intellectual Property Rights, Kajian Hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Komparatif Hukum Paten, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2005), halaman 245. Hansen, Stephen A, and Justin W. Van Fleet, Traditional Knowledge Holders in Protecting Their Intellectual Property and Maintaining Biological Diversity, (Washington DC : American Association for the Advancement of Science (AAAS), 2003), halaman 1. http://shr.aaas.org/tek/handbook,diakses tanggal 17 April 2012



5



didokumentasikan baik melalui katalog atau database15. Selain itu beberapa pengetahuan tradisional biasanya diilhami oleh adat dan merupakan pola yang meniru pola lain secara berturut-turut dalam jangka waktu yang panjang sehingga unsur keaslian tidak terpenuhi. Lebih parah lagi bahwa kebanyakan pengetahuan tradisional tidak diwujudkan dalam bentuk yang dapat diproduksi secara independen serta tidak terdokumentasi secara baik. Pengetahuna tradisional dalam konteks ini diartikan sebagai pengetahuan yang dimiliki oleh suatu masyarakat selama turun-temurun, yang meliputi pengetahuan mereka tentang pengelolaan kekayaan hayati. Pengetahuan tradisional bagi sebagian besar orang memiliki peranan penting untuk ketahanan pangan dan kesehatan jutaan orang di negara berkembang. Masyarakat pada negara berkembang banyak bergantung pada obat tradisonal hingga 80 % dari kebutuhan akan kesehatan mereka. Selain itu, pengetahuan tentang tanaman kesehatan telah menjadi sumber obatobatan modern16. Data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2002 menunjukkan ada 1.012 usaha obat tradisional yang berijin



15



16



Ada kebutuhan yang sangat kuat untuk melakukan penelitian dan dokumentasi terhadap pengetahuan tradisional. Sebagai contoh di Australia beberapa komunitas aborigin telah menyatakan bahwa salah satu alasan utama untuk mendukung mereka melakukan database adalah untuk memastikan mewarisi pengetahuan mereka untuk generasi mendatang. Sebagai orang tua yang akan meninggal dan generasi muda dimana kurang minat untuk belajar, database dipandang sebagai alat yang dapat digunakan untuk mengabadikan pengetahuan nenek moyang mereka. (lihat Christie, Michael. ―Computer databases and aboriginal knowledge. Learning Communities: International Journal of Learning in Social Contexts‖, I, (2004). http://www.cdu.edu.au/centres/ik/pdf/CompDatAbKnow.pdf (diakses 21/03/2012). halaman 4). Beberapa penduduk asli di Kanada, "sangat ingin memiliki pengetahuan tradisional diteliti dan dicatat," Hal ini disebabkan karena kurangnya minat dalam melakukan pewarisan pengetahuan tradisional mereka. (lihat Legat, Allice, ed. Report of the Traditional Knowledge Working Group. (Yellowknife: North West Territories, Culture and Communication, 1991), halaman 31. WHO Fact Sheet No. 271, June 2002, Sumber : http: //www.who.int/medicines/organization/trm/factsheet271.doc, diakses 15/03/2012.



6



industri, dengan perincian 105 industri obat tradisional berskala besar dan 907 industri obat tradisional berskala kecil. Pada 2008, industri jamu nasional mencatat omset senilai 8 triliun. Berdasarkan data ini dapat ditafsirkan bahwa negara Indonesia memiliki potensi besar dalam industri jamu. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah di bidang kesehatan, di mana otoritas kesehatan di Indonesia masih memandang khasiat obat-obatan tradisional dengan sebelah mata dan masih menganakemaskan obat farmasi modern. Kondisi ini dapat kita lihat dari rendahnya dukungan pemerintah untuk mengembangkan industri jamu. Sikap pemerintah tersebut tidak lepas dari ketergantungan yang selama ini menjerat Indonesia, dimana obat dan pengobatan di Indonesia masih tergantung pada obat barat (obat impor) sebesar 90-95%17. Berbagai produk obat impor tersebut merupakan hasil olahan dan pengetahuan tradisional. Pada umumnya pengetahuan tradisional menjadi dasar untuk produk pengembangan yang dilakukan oleh perusahaan besar18. Mereka mengambil produk tradisional beserta pengetahuan tradisionalnya, diteliti melalui kegiatan riset dan pengembangan. Hasil dari kegiatan riset dan pengembangan tersebut yaitu produk pengembangan dengan kemasan baru, yang mereka sebut sebagai produk baru, seperti dalam bentuk obat-obatan modern. Obat-obatan modern tersebut



17



18



M. Hembing, Wijayakusuma, Ensiklopedi Milinium : Tumbuhan Berkhasiat Obat Indonesia Jilid1, (Jakarta : Prestasi, 2000), halaman 2 Perusahaan-perusahaan besar ini biasanya adalah trans-national cooperation (TNC) atau perusahaan multi nasional dari negara industri maju yang beroperasi dalam skala global.



7



dimohonkan untuk didaftarkan hak paten19 dan diklaim sebagai miliknya sehingga menghilangkan asal usul dari produk tersebut, padahal hak paten tidak dapat diberikan kepada perusahaan multinasional tersebut jika dapat dibuktikan telah pernah ada sebelumnya (prior art). Tindakan mengklaim tersebut dikenal sebagai biopiracy. Sejumlah kasus yang berkaitan dengan traditional knowledge telah menarik perhatian internasional. Akibatnya, masalah traditional knowledge telah dibawa ke depan dari perdebatan umum sekitarnya kekayaan intelektual. Kasus-kasus ini melibatkan apa yang sering disebut sebagai "biopiracy". Kasus Paten kontroversial yang melibatkan pengetahuan tradisional dan sumber daya genetik seperti : kasus kunyit20, kasus Ayahuascha21, dan kasus



19



20



21



WIPO mendefinisikan Paten sebagai ―a legally enforceable right granted by virtue of a law to a person to exclude, for a limited time, others from certain acts in relation to describe new invention : the privilege is granted by a government authority as a matter of right to the person who is entitled to apply for it and who fulfils the prescribe condition‖, sedangkan UU Paten mendefinisikan sebagai ―hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya‖. Kunyit (Curcuma Longa) adalah tanaman dari keluarga jahe, di India kunyit digunakan sebagai bumbu untuk memasak. Kunyit juga memiliki sifat yang membuatnya efektif sebagai bahan obat-obatan, kosmetik dan sebagai pewarna. Sebagai obat, ia juga secara tradisional digunakan untuk menyembuhkan luka dan ruam. Pada tahun 1995, dua warga negara India di University of Mississippi Medical Centre diberikan paten AS no. 5.401.504 pada "penggunaan kunyit dalam penyembuhan luka". Lihat : Integrating Intellectual Property Rights and Development Policy, Traditional Knowledge and Geographical Indications, halaman 73-91, tersedia di http://www.iprcommission.org/papers/pdfs/final_report/ch4final.pdf, diakses tgl 29 April 2012. Tahun 1984, Loren Miller, pendiri perusahaan International Plant Medicine, mengajukan permohonan paten di Amerika Serikat pada "varietas baru dan berbeda ... dari spesies banisteriopsis caapi," untuk obat dalam pengobatan kanker dan psikoterapi. Aplikasi paten disetujui pada 1986. Banisteriopsis caapi digunakan pada kegiatan keagamaan dan digunakan untuk obat yang sangat penting dalam sejarah dan tradisi masyarakat di kawasan Amazon. Kulit kayu dari tanaman telah digunakan selama berabad-abad oleh masyarakat lokal di seluruh wilayah untuk membuat minuman pada upacara penyembuhan yang disebut ayahuasca. Lihat Stephen A. Hansen dan Justn W. VanFleet, Op.cit. halaman 3.



8



Neem22, menggambarkan masalah yang dapat timbul ketika perlindungan paten diberikan untuk invensi yang berkaitan dengan pengetahuan tradisional yang sudah dalam domain publik. Dalam kasus ini, paten tidak valid dikeluarkan karena pemeriksa paten tidak menyadari pengetahuan tradisional yang relevan. Pengalaman India merupakan perwakilan dari kecenderungan umum di banyak negara berkembang dengan sumber daya genetik yang kaya dan warisan pengetahuan tradisional. India melakukan perlawanan terhadap tindakan biopiracy tersebut, berawal dari kasus kunyit dimana untuk pertama kalinya bahwa sebuah paten berdasarkan pengetahuan tradisional di negara berkembang telah berhasil ditantang23. India berhasil membatalkan paten tersebut pada tahun 1997. Di India, kasus kunyit akhirnya membuka jalan untuk penciptaan Traditional Knowledge Digital Library (TKDL), yaitu, sebuah database elektronik dari pengetahuan tradisional di bidang tanaman obat. Hal ini bertujuan untuk mencegah pendaftaran hak paten terhadap pengetahuan yang ada.



22



Neem (Azadirachta indica) adalah pohon dari India dan bagian lain dari Asia Selatan dan Tenggara. Sekarang ditanam di seluruh daerah tropis karena sifat-sifatnya sebagai obat alami, pestisida dan pupuk. Secara turun temurun kulit, bunga, daun,bibit, dan buahnya dipakai untuk menyembuhkan malaria, kusta, kencing manis, borok, gangguan kulit, sembelit. Cabang pohonnya untuk sikat gigi yang membasmi kuman. Minyak pohonnya digunakan untuk menghasilkan pasta gigi dan sabun. Pada tahun 1994 EPO memberikan paten No 0.436.257 kepada PT AS WR Grace Lihat : Integrating Intellectual Property Rights and Development Policy, Traditional Knowledge and Geographical Indications, Op.cit., halaman 73-91. 23 Biaya hukum yang dikeluarkan oleh India dalam melakukan perlawanan terhadap biopiracy pada kasus kunyit yaitu sekitar US $ 10.000. Lihat : Integrating Intellectual Property Rights and Development Policy, Traditional Knowledge and Geographical Indications, Loc.cit.



9



Database yang ada akan memungkinkan petugas paten di seluruh dunia untuk mencari dan memeriksa setiap penggunaan umum dan dengan demikian mencegah terjadinya pemberian paten yang salah berdasarkan pengetahuan dalam domain publik24. Selain itu India juga telah melakukan revisi atas Undang-undang Patennya yang telah berlaku sejak tahun 1970 dengan The Paten (Amandement) Act 2005, No. 15. Undang-undang Paten India melindungi pengetahuan tradisional dalam bentuk perlindungan yang bersifat defensif25. Perlindungan ini merupakan upaya untuk mencegah tindakan pihak ketiga mengambil keuntungan tanpa hak (biopiracy) terhadap pengetahuan tradisional masyarakat asli/lokal26. Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan sumber daya hayati (biodiversity) yang besar dan memiliki kekayaan pengetahuan tradisional di bidang obat-obatan yang sangat beragam. Selain India, Indonesia yang memiliki kekayaan akan tanaman obat tradisional tidak luput dari tindakan biopiracy. Kongres Masyarakat Adat Nusantara di Jakarta tahun 1999, seorang perwakilan dari salah satu organisasi non-pemerintah mengangkat permasalahan yang dialami suku Dayak Benuaq, yang memiliki pengobatan tradisional dengan memanfaatkan jenis tanaman tertentu untuk mengobati 24



25



26



Lihat Okan Arihan dan A. Mine Gençler Ozkan, Traditional Medicine And Intellectual Property RightS, http://dergiler.ankara.edu.tr/dergiler/24/546/6744.pdf, diakses tanggal 11 Maret 2012, lihat pula WHO Fact Sheet No. 271, June 2002. Sumber : http://www.who.int/medicines/organization/trm/factsheet271.doc , diakses 29/04/2012. Perlindungan yang bersifat defensif berbeda dengan perlindungan yang bersifat positif. Perlindungan positif yaitu perlindungan melalui instrumen hukum paten yang bertujuan : (1) sebagai dasar hukum untuk kepemilikan hak; (2) menghentikan pihak ketiga menggunakan hak paten tanpa izinnya. Perlindungan defensif bersifat sebaliknya yaitu bertujuan untuk mencegah orang lain untuk mendapatkan atau mempertahankan hak patennya yang merugikan pemilik TK. Strategi positif dan defensif dapat digunakan bersama-sama, tergantung pada apa yang ingin dicapai oleh pemilik TK. Zainul Daulay, Pengetahuan Tradisional (Konsep, Dasar, dan Praktiknya), (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2011), halaman 122.



10



penyakit kanker. Namun ada sekelompok warga negara asing yang memasuki wilayah mereka, menanyakan beberapa hal berkaitan dengan tanaman tersebut, dan kemudian mengambil contoh tanaman tersebut. Ternyata kemudian, contoh tanaman yang dibawa tersebut dibawa ke negaranya dan di kembangkan lebih lanjut menjadi suatu produk obat tertentu27. Kasus penetapan hak paten atas temulawak (curcuma xanthorrizha Roxb) oleh perusahaan LG (Korea Selatan). Korea Selatan mengembangkan temulawak untuk bahan pasta gigi, sampo anti ketombe, dan krim anti penuaan pada kulit. Temuan akan manfaat komersial temulawak tersebut adalah riset seorang peneliti dari Bandung, Yaya Kurayadi yang bekerja sebagai profesor peneliti di Universitas Yonsei, Korea Selatan28. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa pentingnya perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap sistem pengetahuan dan teknologi tradisional di Indonesia, khususnya dalam bidang obat herbal. Kasus jamu yang didaftarkan sebagai paten di luar negeri dapat menutup kemungkinan masyarakat adat untuk mengkomersilkan pengetahuannya karena pihak asing sudah mengklaim kepemilikan pengetahuan tersebut menurut skema Hak Kekayaan Intelektual29. Pengetahuan tradisional menjadi milik bersama dan belum secara tepat dilindungi dalam hukum kekayaan intelektual karena banyaknya pengetahuan tradisional Indonesia yang telah di daftarkan hak paten oleh orang asing, oleh karena itu bangsa Indonesia menyadari untuk berupaya melindunginya30. Produk herbal merupakan contoh konkrit tentang eksisnya traditional knowledge di Indonesia, Konsep Traditional knowledge



27



28 29



30



Sulaeman Kamil dan Nugroho Aji, Hak Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Keanekaragaman Hayati, dalam Edi Sedyawati (peny.), Warisan Budaya Tak benda (Masalahnya Kini di Indonesia), (Depok : Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian UI, 2003), halaman 10. Abhisam, DM, dkk, Op. Cit., halaman 20 Herlianti Hilman dan Ahdiar Romadoni, Pengelolaan dan Perlindungan Aset Kekayaan Intelektual, (Jakarta : The British Council, 2001), halaman 21. Lihat Endang Purwaningsih, Op.cit., halaman 245.



11



di Indonesia merupakan suatu kekayaan intelektual yang patut dan layak untuk dilindungi. Obat-obatan tradisional merupakan bagian dari hasil kreativitas intelektual bangsa Indonesia yang harus di proteksi dari tindakan misappropriation.



Berbagai



tindakan



misappropriation



atas



sumber



Traditional Knowledge (TK) bidang obat tradisional oleh negara-negara maju itu banyak yang mendasarkan pada sistem paten31. Atas dasar inilah, maka untuk memberikan proteksi terhadap produk herbal yang merupakan bagian dari Traditional Knowledge (TK) dapat dilakukan dengan mempergunakan sistem paten32. Perlindungan hukum terhadap produk herbal melalui sistem paten ini adalah sebagai langkah preventif untuk mencegah terjadinya misappropriation. Perlindungan harus diberikan untuk mencegah penyalahgunaan, langkah perlindungan dilakukan untuk tujuan penghargaan pada nilai, sikap menghormati, dan memenuhi kebutuhan aktual masyarakat khususnya dalam hal ini adalah masyarakat pemilik produk herbal berbasis traditional knowledge. Perlindungan lebih jauh dilakukan untuk mencapai tujuan dan



31



32



Perlindungan melalui paten dimungkinkan sesuai dengan apa yang tertera dalam Article 27.1 of TRIPs States : .... "...patents shall be available for any inventions, whether products orprocesses,inall fieldsoftechnology,providedthattheyarenew,involveaninventivestep,andarecapableofindustrialapplication.". Masalah paten timbul sehubungan dengan obat yang biasa digunakan oleh masyarakat dan obat ini tidak terbatas pada praktik pengobatan yang dilakukan oleh penduduk asli, tetapi juga termasuk pengetahuan tentang obat tradisional, sifat menyembuhkan pada produk herbal atau daun, dan perawatan lainnya yang tidak diketahui pemiliknya sampai sekarang di seluruh dunia.



12



aspirasi masyarakat yang relevan, termasuk penghormatan terhadap hak budaya dan perlindungan tradisi berbasis kreativitas 33. Pengetahuan tradisional Indonesia tersebut apabila dikembangkan terus dan dijamin perlindungan hukumnya maka akan mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi yang tentunya akan mendorong peningkatan perekonomian di Indonesia. Hal ini menjadi peluang yang sangat bagus bagi Indonesia untuk memanfaatkan nilai potensial dari traditional knowledge tersebut yang sudah ditunjukkan melalui berbagai proses misappropriation oleh perusahaanperusahaan asing. Permasalahan mengenai perlindungan produk herbal yang berbasis traditional knowledge di Indonesia sulit mendapatkan perlindungan melalui hak paten mengingat adanya paradigma dan filosofi yang berbeda. Masalah paten di Indonesia tidak hanya berkaitan dengan liberalisasi ekonomi tetapi juga berhadapan kondisi sosial, budaya, ekonomi masyarakat Indonesia. Kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia masih berada dalam masa transisi masyarakat industrial yang belum semuanya mengerti dan memahami masalah-masalah hukum paten yang sebelumnya tidak mereka kenal, karena paten yang termasuk bagian dari hak milik atas kekayaan intelektual memang bukan berasal dari masyarakat Indonesia, melainkan berasal dari masyarakat 33



The measures taken in this regard should also contribute to objectives such as recognition of value, promotion of respect, and meet the actual needs of the community. protection of folklore and TK should go further as to provide a tool for achieving the goals and aspirations of relevant peoples, including the respect for cultural rights and the protection of traditionbased creativity as an ingredient of sustainable economic development, as they are also economic assets. IGC members should meet the challenge of finding a balance between the need for protection with the sustainable use of these assets. Lihat http://www.wipo.int/edocs/mdocs/tk/en/wipo_grtkf_ic_11/wipo_grtkf_ic_11_12.pdf, diakses tanggal 10 Maret 2012.



13



negara-negara maju untuk melindungi karya-karya intelektual mereka. Pola pikir masyarakat negara-negara maju jelas berbeda dengan pola pikir masyarakat Indonesia. Selain itu keadaan ekonomi bangsa Indonesia masih berada jauh dari tingkat pendapatan perkapita masyarakat negara-negara maju, sehingga menyebabkan pemaknaan dan pemahaman tentang hukum paten pada sebagian masyarakat Indonesia Indonesia juga masih mengalami berbagai persoalan. Masyarakat transisi industrial digambarkan sebagai masyarakat yang sedang mengalami perubahan dari masyarakat agraris yang bercorak komunal-tradisional ke masyarakat industri yang bercorak individual modern. Perubahan itu berkaitan dengan struktur hubungan masyarakat yang belum tuntas ke corak yang lebih rasional dan komersial sebagai akibat dari proses pembangunan yang dilakukan. Pada masyarakat transisi industrial seperti yang dialami masyarakat Indonesia, hukum yang mengatur juga mencerminkan masa peralihan yang digambarkan sebagai wajah hukum yang berpijak pada dua kaki dengan langkah yang berbeda, yakni satu kaki sedang melangkah pada corak hukum modern sementara kaki yang lain menapak pada hukum tradisional. Demikian pula pada hukum yang mengatur tentang hak paten yang tercakup dalam HKI. Berdasarkan konsepsi tipe masyarakat menurut Fred W Riggs34, Indonesia



34



Oleh Riggs yang bisa dimasukkan dalam masyarakat transisi adalah negara-negara yang masuk dalam negara sedang berkembang. Masyarakat prismatik timbul karena pada realitanya sulit menemukan masyarakat yang murni agraria maupun industria, oleh karena itu Rigss menyebutnya sebagai masyarakat prismatik.Menurut Fred W. Riggs, masyarakat prismatik mempunyai tiga ciri utama, yaitu : (1) Heteroginitas yakni perbedaan dan percampuran yang nyata antara sifat-sifat tradisional dan modern; (2) Formalisme



14



dapat diklasifikasikan sebagai negara dengan tipe masyarakat prismatik. Menurut Riggs, pada umumnya masyarakat di negara-negara berkembang adalah masyarakat transisi, yakni antara msyarakat yang mempunyai karakteristik tradisional sekaligus modern. Masyarakat demikian biasa dikenal dengan prismatic society (masyarakat prismatik). Hukum yang mengatur tentang paten tersebut secara normatif tidak banyak mengandung masalah untuk diberlakukan di Indonesia sebagai akibat dari diratifikasinya berbagai perjanjian internasional yang berkaitan dengan paten oleh pemerintah Indonesia. Akan tetapi secara sosial, kultural, dan ekonomi banyak mengalami problem dalam pelaksanaannya. Salah satu penyebab dari keadaan ini adalah dasar filosofi yang melatarbelakangi munculnya hukum paten berbeda dengan kultur masyarakat hukum Indonesia. Pada masyarakat hukum Indonesia yang masih berada dalam tataran peralihan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri muncul banyak persoalan mengenai pelaksanaan hukum paten, termasuk pada masyarakat pedesaan yang bermata pencaharian peralihan dari petani menuju masyarakat industri kecil, akibat tuntutan ekonomi dunia yang semakin mengglobal. Kultur bangsa Indonesia yang bersifat komunal dimana penemu HKI menularkan temuannya kepada orang lain tanpa mereka pentingkan bahwa



menggambarkan adanya ketidaksesuaian dalam kadar yang cukup tinggi antara berbagai hal yang telah ditetapkan secara formal dengan praktek atau tindakan nyata di lapangan. Ketidaksesuaian antara norma-norma formal dengan realita; (3) Overlapping merupakan gambaran kelaziman adanya tindakan antara berbagai struktur formal yang dideferensiasikan dan dispesialisasikan dengan berbagai struktur informal yang belum dideferensiasikan dan dispesialisasikan. Lihat Fred W Riggs, Administrasi Negara-negara Berkembang (teori Masyarakat Prismatis), (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1996), halaman 14-58.



15



karya intelektual tersebut mempunyai nilai jual yang tinggi. Masyarakat Indonesia yang belum sampai pada tataran masyarakat ekonomi tingkat tinggi dan berada pada masyarakat transisi dari agraris ke masyarakat industri seringkali juga beranggapan bahwa berdasarkan kultur mereka menularkan temuan-temuan pada orang lain itu merupakan perbuatan yang baik. Berkaitan dengan perlindungan kekayaan intelektual, pemerintah Indonesia setelah meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional yang terkait dengan TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual PropertyRights), telah mengundangkan dan memperbaharui berbagai Undang-undang dan perangkat peraturan lainnya yang mengatur tentang hak-hak atas kekayaan intelektual. Pemberlakuan berbagai peraturan perundangan tentang HKI memiliki konsekuensi bagi masyarakat Indonesia terikat untuk melaksanakan UU tersebut, karena dalam hukum setiap orang dianggap tahu setelah UU diundangkan. Hal tersebut mengakibatkan mereka terikat pada UU.Pada kenyataannya belum semua orang mengetahui/paham walaupun UU itu telah lama diundangkan. Salah satu prioritas yang harus dilakukan dalam rangka pemberlakukan peraturan



perundang-undangan



di



bidang



HKI



adalah



melakukan



harmonisasi35 peraturan perundang-undangan HKI tersebut. Harmonisasi peraturan perundang-undangan HKI adalah proses yang diarahkan untuk 35



Harmonisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai upaya mencari keselarasan, dalam websters new twentieth century dictionary, harmonization diartikan the act of harmonizing. Kata harmonisasi sendiri berasal dari kata harmoni yang dalam bahasa Indonesia yang berarti pernyataan rasa, aksi, gagasan dan minat: keselarasan, keserasian. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, www. kamusbahasaindonesia.org, diunduh 12 oktober 2011.



16



menuju keselerasan dan keserasian antara peraturan perundang-undangan HKI yang satu dengan peraturan perundang-undangan HKI yang lainnya sehingga tidak terjadi tumpang tindih, inkonsistensi atau konflik/perselisihan dalam pengaturan. Kekhawatiran apabila terjadi disharmonisasi peraturan perundang-undangan



maka



dapat



melahirkan



disharmonisasi



dalam



penerapannya, sehingga memungkinkan terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan tersebut. Dari rumusan kata harmonisasi tersebut maka harmonisasi peraturan perundang-undangan khususnya dibidang HKI adalah upaya untuk menselaraskan peraturan perundangundangan agar menjadi proporsional dan bermanfaat bagi kepentingan bersama atau masyarakat. Disharmonisasi telah terjadi benturan dalam UU Paten, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan CBD. UU No. 5 Tahun 1990 dan UU No. 5 Tahun 1994 telah mengamanatkan untuk dilakukan upaya konservasi terhadap sumber daya alam juga termasuk tanaman obat yang menggunakan pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia. Hal ini tidak nampak dalam UU Paten untuk melakukan upaya proteksi dan konservasi tersebut. Perdebatan telah terjadi di dunia Internasional dalam upaya melakukan proteksi pengetahuan tradisional yaitu Deklarasi Menteri di DOHA, CBD, TRIPs dan WIPO. WIPO tahun 1997 membentuk the Global Intelectual Property Issues Divission yang program ini bertujuan untuk mengidentifikasi



17



persoalan-persoalan yang berdampak pada sistem HKI, yang salah isu di dalamnya yaitu isu mengenai pengetahuan tradisional. Indonesia adalah salah satu negara WTO yang ditandai dengan meratifikasi Agreement Establishing The World Trade Organization (Perjanjian WTO) melalui Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 pada tanggal 2 November 1994. Konsekuensi logis dari keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WTO adalah munculnya kewajiban untuk menyelaraskan ketentuan hukum nasional dengan ketentuan WTO, termasuk mengenai konsep HKI, sebagaimana yang tertuang dalam TRIPs. Urgensi harmonisasi peraturan perundang-undangan di bidang HKI perlu untuk dlakukan dalam menghadapi era globalisasi. Harmonisasi hukum merupakan



pemikiran



yang



dapat



mengakomodasi



kecenderungan-



kecenderungan nasional dan internasional. Dengan kata lain bahwa aturanaturan HKI (termasuk hak paten) di Indonesia harus mengadopsi ketentuanketentuan atau prinsip-prinsip yang ada dalam TRIPs. Era globalisasi ini pengharmonisasian hukum dari tingkat internasional ke tingkat nasional merupakan hal yang umum dilakukan. Pengintegrasian kepentingan internal suatu bangsa yang domestik, kepentingan nasional dan internasional, serta kepentingan antar sektor kehidupan nasional, menurut Santos36 dapat dilakukan dengan melalui localized globalism yaitu tindakan ―bagaimana‖ nilai-nilai global dilokalisir, atau dengan kata lain dikelola sesuai nilai, kepentingan, dan atau kebutuhan yang bersifat lokal-domestik. Menurut 36



Boaventura De Sousa Santos, Toward A New Common Sense: Law, Science and Politics In Paradigmatic Transition, (New York: Routledge, 1995), halaman 373-377.



18



Santos, melalui cara ini, transnasionalisasi hukum—melalui kata kunci harmonisasi—tidak lagi bermakna sebagai homogenisasi, keseragaman atau sekedar langkah perlindungan (protection) terhadap identitas bangsa. Merespons perubahan dan ekses dari globalisasi tersebut, masingmasing negara menyikapinya secara berbeda-beda. Khusus di bidang hukum, Santos mengidentifikasi ada 4 (empat) paham yang mendasari respons negara-negara di dunia, yang dielaborasinya sesuai kecenderungan yang melekat pada sifat trans-global yaitu globalized localism; localized globalism; cosmopolitanism; common heritage of humankind37. Berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Santos dimana ada tren untuk mengharmonisasikan hukum termasuk di bidang ekonomi, bahwa tidak selalu



bahwa



hukum



dengan



begitu



mudahnya



di



lakukan



transnasionalisasi/harmonisasi. Robert B. Seidman menyatakan hukum suatu bangsa tidak dapat dialihkan begitu saja kepada bangsa lain. Analisis mengenai pengalihan atau pengharmonisasian hukum asing oleh suatu bangsa pernah dilakukan oleh Robert B. Seidman pada studinya mengenai negaranegara bekas jajahan Inggris di Afrika. Penelitian Seidman ingin memperoleh jawaban mengenai apakah yang akan terjadi apabila peraturan-peraturan hukum diambil alih dari negara-negara yang sudah maju dahulu. Setelah mengadakan penelitian mengenai hukum administrasi di Afrika bekas jajahan



37



Santos menyatakan : ― I tried to reconstruc these multiple tensions analytically by identifying the four major forms of transnationalization in which they are played out and the defined according to the spesificdominan organizing principles underlying them: globalized localism; localized globalism; cosmopolitanism; common heritage of humankind‖. Boaventura De Sousa, Op.cit., halaman 375.



19



Inggris, Seidman menarik kesimpulan bahwa hukum suatu bangsa tidak dapat dialihkan begitu saja kepada bangsa lain dan invensinya ini dirumuskannya dalam sebuah dalil yang berjudul ―The Law of Nontransferability of Law‖ (Hukum mengenai tidak dapat dialihkannya hukum). Perbedaan pendapat tersebut dalam pengharmonisasian hukum dari tingkat internasional ke tingkat nasional memang masih menjadi perdebatan. Hal tersebut juga dialami oleh negara Indonesia dalam pengharmonisasian HKI ke dalam hukum nasionalnya. Indonesia meratifikasi berbagai instrumen internasional yang berkaitan dengan HKI tanpa melihat secara detail unsur yang ada dalam masyarakat. Keberlakuan hukum khususnya HKI (lebih khusus lagi pada hukum paten), yang terkesan hanya in line dengan instrumen internasional. Negara terkesan hanya in line dengan instrumen internasional tetapi tidak in line dengan kondisi masyarakat Indonesia dan akhirnya terkesan no protection terhadap produk herbal berbasis TK. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan terjadinya biopiracy terhadap TK Indonesia oleh negara-negara pemegang hak paten. Pemahaman



mengenai



keberlakuan



hukum,



JJ.H.



Bruggink38



menjelaskan bahwa keberlakuan hukum ada tiga yaitu keberlakuan empiris, normatif, dan evaluatif. Lebih lanjut JJH Bruggink menyatakan untuk siapa hukum itu berlaku (adressat), siapa yang mematuhi kaedah hukum tersebut. Keberlakuan faktual dapat ditetapkan dengan bersaranakan penelitian empiris tentang perilaku warga masyarakat. Keberlakuan ini dapat juga disebut 38



J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, terj., (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1999), halaman 147-157.



20



keberlakuan sosiologis. Keberlakuan normatif atau juga disebut keberlakuan yuridis suatu kaedah hukum akan terwujud jika kaedah itu merupakan bagian dari suatu sistem kaedah tertentu yang di dalamnya kaedah-kaedah hukum itu saling menunjuk yang satu terhadap yang lain. Kaedah hukum khusus yang lebih rendah diderivasi dari kaedah hukum umum yang lebih tinggi. Keberlakuan evaluatif atau disebut juga keberlakuan evaluatif kefilsafatan atau materiil suatu kaedah hukum, jika kaedah hukum itu berdasarkan isinya dipandang bernilai. Ketiga macam keberlakuan di atas memiliki suatu hubungan yang saling mempengaruhi antara yang satu dengan yang lainnya. Pembentukan aturan hukum HKI khususnya pada hukum paten hendaknya memperhatikan ketiga macam keberlakuan hukum tersebut sehingga aturan hukum tersebut dapat berjalan efektif. Pembentukan hukum HKI khususnya pada hukum paten yang hanya in line dengan instrumen internasional secara keberlakuannya akan menimbulkan masalah. Pertama, secara filosofis, keberlakuan demikian akan menghancurkan tata nilai dalam masyarakat Indonesia. Kedua, secara yuridis, konsistensi dan harmonisasi secara struktur apakah sudah sesuai, tidakkah seharusnya hukum itu harusnya menjadi order dan bukan menjadi disorder. Ketiga, secara sosiologis, akan timbul sikap tidak respon masyarakat terhadap hukum itu sendiri sehingga tidak dapat dipungkiri akan banyak terjadi pelanggaran HKI di masyarakat. Indonesia memiliki UU yang khusus memberikan perlindungan hukum bagi inventor dalam bidang teknologi yaitu UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten. UU Paten ini dibentuk bukan hanya bertujuan untuk memberikan



21



perlindungan bagi inventor tetapi sekaligus sebagai wujud komitmen Indonesia yang telah meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization yang di dalamnya juga meliputi pada aspek Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) yang khususnya juga mengatur masalah paten. Indonesia setelah meratifikasi dituntut untuk membentuk sekaligus mengharmonisasikan hukum nasional tentang paten sendiri39. Keberadaan UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten tidak secara otomatis dapat mencapai tujuan tersebut. Keberadaan UU Paten masih ada problematika yang seharusnya dapat dipecahkan guna efektivitas dari UU No. 14 Tahun 2001. Problematika tersebut antara lain adalah belum adanya proteksi terhadap produk herbal yang berbasis Traditional Knowledge dalam kerangka hukum paten. Akan muncul suatu pertanyaan besar, apa sebenarnya konsep dan strategi yang dimiliki Negara Indonesia soal industri obat herbal berbasis TK dalam konteks HKI. Mengapa seakan ada suatu pertentangan yang menyangkut soal proteksi tersebut. Siapa sebenarnya yang lebih diuntungkan dengan di proteksi atau tidak di proteksi, apakah pemegang TK, negara pemilik TK, atau para pemegang Hak Paten. Masalah ini tidak sederhana, diperlukan kajian yang serius dan mendalam untuk menelaah dan memahami serta memberikan solusi sehingga



39



Menurut Normin. S.Pakpahan, tujuan dari harmonisasi ini agar dapat menghapuskan berbagai hambatan dan memberikan fasilitas yang mendukung upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan perdagangan. Lihat Normin S. Pakpahan, ―Pengaruh Perjanjian WTO pada Pembentukan Hukum Ekonomi Nasional‖, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 15 Tahun 1999, halaman 43.



22



dapat dilakukan langkah-langkah yang sistematis dan terarah demi terciptanya kemakmuran bagi kepentingan masyarakat banyak. B. Fokus Studi dan Permasalahan Fokus Studi Kekayaan intelektual tradisional yang berupa karya cipta ataupun pengetahuan merupakan hasil kreatifitas seseorang atau kelompok masyarakat sebagai ungkapan tradisi budaya turun temurun dari satu generasi



ke generasi



dalam rangka memenuhi kebutuhan dan



kesejahteraan hidupnya yang ditransmisikan secara lisan dan penciptanya anonim. Suatu kekayaan tradisional dapat berupa karya cipta tradisional (floklore) dan pengetahuan tradisional (traditional knowledge). Floklore adalah hasil karya tradisional sebagai ungkapan seni (traditional culture expressions) dan traditional knowledge merupakan aspek pengetahuan yang mengandung unsur teknologi. Fokus studi dalam disertasi ini adalah mengenai traditional knowledge (aspek pengetahuan yang mengandung teknologi). Salah satu produk hasil dari traditional knowledge adalah obatobatan tradisional40 atau lebih dikenal oleh masyarakat dengan istilah herbal. Penelitian ini mempresepsikan produk herbal dalam pengertian luas yang meliputi segala jenis tumbuhan dan seluruh bagian-bagiannya



40



Di Indonesia, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mengkategorikan Obat Bahan Alam (sesuai Keputusan Kepala BPOM RI No: HK.00.05.4.2411). Obat tradisional dikatagorikan kedalam tiga kelompok yaitu jamu, obat ekstrak (herbal), dan fitofarmaka. Kajian dalam disertasi ini agar lebih mendalam yaitu pada produk herbal.



23



(daun, batang, akar, buah, biji, kulit kayu, dll) yang mengandung satu atau lebih bahan aktif yang dapat dipakai sebagai obat. Perlindungan terhadap produk herbal menjadi sangat penting karena produk herbal lebih banyak menggunakan traditional knowledge masyarakat. Oleh karena itu perlindungannya akan berkaitan erat dengan perlindungan traditional knowledge di Indonesia41. Di Indonesia perlindungan traditional knowledge dapat dilakukan dengan sistem hukum HKI khususnya yaitu hukum paten (karena berkaitan



dengan



teknologi).



Bagaimana



herbal



ini



mendapat



perlindungan dalam hukum paten yang merupakan salah satu kajian dalam HKI. Herbal sebagai hasil dari traditional knowledgeyang mempunyai kekhasan yaitu hasil produk dari teknologi maka perlindungan yang tepat adalah paten. Selain itu produk herbal di Indonesia memiliki peminat sendiri di masyarakat dan perkembangannya dewasa ini semakin meningkat. Herbal berbasis TK dalam disertasi ini tidak memfokuskan pada paten produk atau paten proses, selama hak paten tersebut memiliki sumber dari TK maka itulah kajian dari disertasi ini.



41



Perlindungan pengertahuan tradisional menjadi sangat penting karena keunikan dan karakteristiknya yang ada. Hal tersebut dilakukan dengan dasar alasan karena pertimbangan keadilan, konservasi, pemeliharaan budaya dan praktek tradisi, pencegahan perampasan oleh pihak-pihak yang tidak berhak atas pengetahuan tradisional tersebut. Lihat Muhammad Jumhana, Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2006), halaman 56.



24



Permasalahan Hukum Paten adalah salah satu cabang HKI yang berfungsi untuk melindungi invensi di bidang teknologi, baik teknologi makanan, permesinan, obat-obatan dan lain.lain. Oleh karena itu, Hukum Paten memiliki hubungan yang erat dengan pengetahuan tradisional di bidang obat-obatan khususnya produk herbal yang merupakan hasil dari traditional knowledge itu sendiri. Bidang yang berkaitan dengan teknologi tersebut merupakan cakupan dari hukum paten, namun dalam praktik, hukum paten belum mampu melindungi pengetahuan tradisional khususnya pada produk obat herbal. Permasalahan pokok dalam disertasi ini yaitu: 1. Mengapa Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten sulit untuk memberikan proteksi terhadap produk herbal berbasis traditional knowledge dan apa implikasi serta urgensi dalam memproteksi produk herbal berbasis traditional knowledge yang di hasilkan oleh industri obat tradisional di Indonesia ? 2. Bagaimana harmonisasi hukum nasional khususnya hukum paten yang berkaitan dengan proteksi terhadap produk herbal berbasis traditional knowledge di Indonesia ? 3. Bagaimana membentuk UU paten yang dapat melindungi produk herbal berbasis TK di masa datang? C. Kerangka Pemikiran



25



Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan terhadap traditional knowledge termasuk didalamnya traditional knowledge dalam hal tanaman obat-obatan. Kekayaan yang dimiliki oleh negara Indonesia belum sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia belum sepenuhnya menikmati secara ekonomi atas hasil dari pemanfaatan sumber daya hayati tersebut. Hal tersebut dikarena salah satunya adalah tidak keberpihakannya sistem hukum paten pada masyarakat Indonesia sebagai pemilik sumber daya hayati yang didalamnya terdapat tanaman obat-obatan tradisional. Penggunaan obat-obatan tradisional oleh masyarakat Indonesia merupakan salah satu tradisi yang telah dipraktekan di Indonesia. Keadaan tersebut terus berkembang sedemikian rupa sehingga pengetahuan mengenai obat tradisional dan tumbuh-tumbuhan obat asli Indonesia sebagai bahan obat-obatan modern telah dimanfaatkan oleh industri farmasi dari luar Indonesia. Produk herbal merupakan salah satu hasil traditional knowledge masyarakat Indonesia. Konsep traditional knowledge belum sepenuhnya mendapat perlindungan dalam sistem hukum paten. Kecenderungan adanya praktek-praktek dari perusahaan maupun lembaga penelitian di negara maju yang memanfaatkan sumber daya alam hayati dan teknik tradisional, untuk kepentingan ekonominya, kemudian menimbulkan reaksi. Reaksi tersebut adalah upaya eksploitasi ekonomi maupun upaya pentakaran pemerintah negara berkembang terhadap aset-aset atau potensi-potensi yang dimiliki, termasuk: traditional knowledge. Kepentingan inilah yang kemudian ingin



26



dicoba diakomodir dalam perlindungan HKI bagi traditional knowledge khususnya dalam hukum paten. Pentingnya perlindungan terhadap herbal berbasis TK yaitu ; (1) melestarikan lingkungan; (2) Meningkatkan taraf hidup pemegang TK; (3) Memberikan nilai ekonomi bagi negara untuk mendorong ilmu pengetahuan ; (4) Mencegah biopiracy. Pertanyaan mendasar yang muncul di sini yaitu apakah sistem hukum paten mampu memberikan proteksi terhadap herbal berbasis TK ? Apa yang dapat dilakukan untuk memastikan bahwa hukum paten melindungi TK? Jawabannya terletak pada strategi yang komprehensif dengan dimensi nasional dan internasional yaitu dapat berupa: (1) Undang-Undang Nasional (misalnya Brasil, Filipina, Portugal, Thailand dan Amerika Serikat yang telah memiliki Undang-undang tersendiri dari TK); (2) kerangka hukum internasional. Kerangka berpikir dalam penelitian ini digunakan untuk dapat menjawab tiga rumusan permasalahan yang telah ditetapkan, yaitu : 1) Mengapa Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten sulit untuk memberikan proteksi terhadap produk herbal berbasis traditional knowledge dan apa implikasi serta urgensi dalam memproteksi produk herbal berbasis traditional knowledge di Indonesia ? 2) Bagaimana harmonisasi hukum nasional khususnya hukum paten yang berkaitan dengan proteksi terhadap produk herbal berbasis traditional knowledge di Indonesia ? 3) Bagaimana membentuk UU paten yang dapat melindungi produk herbal berbasis TK di masa datang ?



27



Ada dua cara dasar untuk melindungi TK yaitu dengan perlindungan positif dan perlindungan defensif. Proteksi herbal berbasis TK dapat dilakukan dengan melakukan perlindungan secara positif dan perlindungan secara defensif. Perlindungan positif dapat dilakukan dengan melakukan revisi terhadap UU Paten atau membuat aturan sui generis. Inventarisasi merupakan salah satu langkah defensive protection (Perlindungan secara defensif), membuat data base TK sehingga, database ini dapat digunakan sebagai dokumen pembanding (prior art). Langkah defensif lainnya adalah membentuk lembaga yang bertugas untuk mengukur novelty sebagai syarat hak paten. Teori yang dipergunakan sebagai landasan untuk menganalisis dan menjawab permasalahan dalam disertasi ini yaitu Konsep Negara Hukum. Indonesia



sebagai



negara



yang berdasar



atas



hukum



(rechtsstaat)



sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penyelenggaraan pemerintah ditujukan untuk mencapai tujuan negara Indonesia seperti terdapat dalam pembukaan UUD 1945 yaitu : melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sebagaimana pelaksanaannya dalam kerangka hukum pemerintah bersama DPR membuat berbagai UU dengan tujuan-tujuan tertentu diantaranya adalah UU tentang Paten. Konsep negara hukum dalam disertasi ini digunakan untuk menjawab permasalahan mengenai mengapa



28



UU Paten belum memadai untuk memberikan proteksi terhadap produk herbal berbasis TK. Implikasi dari belum memadainya dari proteksi herbal berbasis TK di Indonesia yaitu potensi terjadinya biopiracy terhadap TK di Indonesia. Implikasi tersebut berimbas pada urgensinya pengaturan secara baik proteksi herbal berbasis TK di Indonesia. Pengaturan mengenai hukum paten yang dapat mengakomodir proteksi herbal berbasis TK tidak dapat dipungkiri akan berakibat pada keberlakuannya pada masyarakat. Secara historis Indonesia telah melakukan perubahan pada Undangundang Paten dengan menyesuaikan diri pada ketentuan internasional. UU Paten Indonesia No. 14 Tahun 2001 adalah Undang-undang terakhir yang pada prinsipnya memiliki keberlakuan secara filosofis berbeda dengan filosofis Bangsa Indonesia. Secara filosofis masyarakat Indonesia memiliki tata nilai komunal dan sangat berbeda dengan filosofis paten yang menguatkan kepemilikan individu secara kuat. Hal ini yang dapat mengakibatkan keberantakan tata nilai yang ada dalam masyarakat Indonesia. Secara sosiologis keberlakuan UU Paten di Indonesia mengakibatkan ketidakpatuhan masyarakat terhadap paten itu sendiri dengan dibuktikan rendahnya pendaftaran paten di Indonesia terhadap negara-negara lain. Secara yuridis, UU Paten Indonesia secara vertikal memang telah dilakukan penyesuaian dengan Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945, namun masih terlihat bahwa produk hukum ini bukanlah asli ide dasar masyarakat Indonesia, sehingga secara vertikal masih banyak UU lain yang berbenturan atau tidak secara sinkronisasi menunjang UU Paten.



29



Selama ini terdapat berbagai pengaturan yang berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia ternyata tidak sedikit dijumpai overlapping (tumpang tindih), benturan (friksi) bahkan kontradiksi (pertentangan) diantara peraturan tersebut yang berimplikasi pada lunturnya nilai kepastian hukum di tengah-tengah masyarakat. Perlu untuk dilakukan harmonisasi dalam kerangka hukum khususnya pada hukum paten dimana kepastian hukum dalam memproteksi produk herbal yang berbasis TK di Indonesia. Hal yang dapat dihindari yaitu apabila terjadi disharmonisasi peraturan perundang-undangan maka hal tersebut dapat melahirkan disharmonisasi dalam penerapannya. Akibat dari disharmonisasi maka proteksi terhadap produk herbal menjadi tidak jelas dan bahkan bisa saja belum terproteksi secara baik di Indonesia. Proteksi merupakan salah satu upaya negara Indonesia untuk menciptakan hukum dan menerapkannya dalam kehidupan bernegara untuk mewujudkan tujuan negara sebagai mana yang termuat dalam konstitusi (pembukaan UUD 1945 alenia ke empat). Disharmonisasi terjadi antara pengaturan UU Paten dengan UU Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati). Tertera dalam Pasal 16 ayat (4) dan (5), UU No. 5 Tahun 1994 mengenai akses pada teknologi dan alih teknologi yaitu : Setiap Pihak wajib memberlakukan tindakan-tindakan legislatif, administratif dan kebijakan yang sesuai, dengan tujuan bahwa para Pihak, khususnya Negara-Negara berkembang, yang menyediakan sumber daya genetik diberi akses pada dan alih teknologi yang dipergunakan untuk memanfaatkan sumber-sumber daya tersebut, berdasarkan persyaratan yang disepakati bersama, bila diperlukan



30



termasuk teknologi yang dilindungi hak paten dan hak-hak milik intelektual, melalui persyaratan dalam Pasal 20 dan 21 dan berkaitan dengan hukum internasional dan konsisten dengan ayat (4), dan (5) berikut ini. Para Pihak, menyadari bahwa hak paten dan hak milik intelektual lain mungkin mempunyai pengaruh pada pelaksanaan Konvensi ini, para Pihak wajib bekerja sama atas dasar perundang-undangan nasional dan hukum internasional yang berlaku agar menjamin bahwa hak-hak semacam itu mendukung dan tidak bertentangan dengan tujuannya. UU No. 5 Tahun 1994 telah mengamanatkan bahwa dalam hal kerjasama terkait hak paten dan hak milik intelektual maka harus didasari oleh perundang-undangan nasional dan hukum internasional. Berkaitan dnegan hal itu, maka seyogyanya UU Paten bersinergis dengan UU No. 5 Tahun 1994 dan mewujudkan amanat tersebut. Proteksi pada produk herbal berbasis traditional knowledge yang mempergunakan atau memanfaatkan sumber-sumber daya hayati Indonesia layak untuk diprioritaskan dan mendapat perlindungan. Perlindungan tersebut sebagai upaya negara Indonesia melindungi asetnya sehingga meminimalisasi tindakan biopiracy ataupun missapporiation. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya merupakan UU yang bertautan dengan UU Paten dalam kajian traditional knowledge. UU No. 5 Tahun 1990, Bab VIII mengenai Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, tersirat jelas bahwa ada pemanfaatan jenis tumbuhan dalam bentuk budidaya tanaman obat-obatan. Pemanfaatan budidaya tanaman obat-obatan dilakukan dalam upaya konservasi sumber daya alam hayati dan upaya melestarikan pula traditional



31



knowledge Indonesia. Hal tersebut tertera dalam Pasal 36 UU No. 5 Tahun 1990 yang menyatakan : Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilaksanakan dalam bentuk: a). pengkajian, penelitian dan pengembangan; b). penangkaran; c). perburuan; d). perdagangan; e).



peragaan;



f).



pertukaran; g). budidaya tanaman obat-obatan; h). pemeliharaan untuk kesenangan. Penjelasan Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1990 menyatakan : Pada dasarnya semua sumber daya alam termasuk sumber daya alam hayati harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat dan umat manusia sesuai dengan kemampuan



dan fungsinya. Namun, pemanfaatannya



harus



sedemikian rupa sesuai dengan Undang-undang ini sehingga dapat berlangsung secara lestari untuk masa kini dan masa depan. Bertolak dari apa yang telah tertulis dalam UU No. 5 Tahun 1990, maka ada hal yang tidak terwujud dalam UU Paten yang merupakan finalisasi bahwa perlindungan produk herbal Indonesia yang berbasis TK justru sulit untuk mendapatkan perlindungan. Perlindungan tersebut pada akhirnya ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia yang nota bene merupakan pemilik dari traditional knowledge di bidang obat-obatan tradisional serta memiliki sumber daya hayati di bidang obat tradisional yang melimpah. Pada hakekatnya sistem hukum nasional negara Indonesia merupakan hasil dari proses harmonisasi unsur domestik dan internasional, yang diolah berdasarkan paradigma Pancasila dan UUD 1945. Berkaitan dengan hal tersebut dalam menghadapi era globalisasi maka diperlukan pemikiran-



32



pemikiran yang antisipatif yang dapat mengakomodasi tidak hanya kepentingan nasional tetapi juga kecenderungan-kecenderungan internasional. Harmonisasi hukum dapat pula dikatakan upaya untuk menghasilkan keselarasan dan keserasian asas dan sistem hukum yang harmonis baik secara vertikal maupun secara horizontal. Harmonisasi hukum dalam disertasi ini yaitu harmonisasi horizontal dimana harmonisasi hukum nasional dengan peraturan perundang-undangan hak kekayaan intelektual, atau dengan kata lain menganalisis harmonisasi hukum HKI apakah sejajar dengan peraturan lain secara horizontal, menganalisis sinkronisasi dengan undang-undang yang lebih tinggi. Harmonisasi vertikal dimana harmonisasi dilakukan terhadap hukum nasional dengan hukum internasional hak kekayaan intelektual. Hal tersebut berkaitan erat dengan konsekuensi dan keikutsertaan Negara Indonesia sebagai anggota WTO sehingga Indonesia harus menyesuaikan peraturan perundangundangannya di bidang HKI dengan standar TRIPs. Peraturan berkaitan dengan produk herbal hasil traditional knowledge, tersebar, tidak taat asas, dan tidak konsisten sehingga perlu diatur untuk kepentingan banyak pihak baik bagi produsen maupun konsumen, sehingga dibutuhkan peraturan yang harmonis satu sama lain agar terciptanya proteksi bagi produk herbal hasil traditional knowledge di Indonesia. Indonesia dalam rangka adopsi hukum nasional seakan-akan kalah dengan internasional, maka dalam hal ini dibutuhkan harmonisasi yang akan melindungi masyarakat dan kepentingan nasional negara Indonesia.



33



Beranjak dari pemahaman sistem hukum nasional, dalam rangka mencermati harmonisasi hukum yang intinya penyesuaian asas dan sistem hukum untuk tujuan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan, diperlukan kerangka teori sebagai yang diuraikan di bawah ini. Teori ‗stufenbau‘ dari Kelsen untuk mengkaji segi kepastian hukum dalam kaitannya dengan keberlakuan hukum secara yuridis, karena kepastian hukum ditentukan oleh validitas atau kesesuaian hukum dalam tatanan hirarki peraturan-perundang-undangan42. Digunakannya teori stufenbau ini karena dengan melalui teori stufenbau hirarki atau pertingkatan norma-norma hukum mudah dipahami, mudah untuk menerangkan tempat suatu nilai



atau



implikasi suatu nilai. Hal tersebut memudahkan upaya untuk menemukan keseimbangan hukum yang selaras dan serasi, serta kesesuaian diantara norma-norma hukum dalam peraturan perundang-undangan, baik vertikal maupun horisontal. Teori stufenbau ini



digunakan untuk membantu



menganalisis



keterkaitan antara norma hukum, penekanananya mengacu baik pada nilai filosofis yang berintikan rasa keadilan dan kebenaran, nilai sosiologis yang sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat, nilai ekonomis yang menjamin efisiensi dengan pertimbangan dan disesuaikan dengan kebutuhan, maupun nilai yuridis yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



42



Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York : Russel & Russel, 1961), halaman 112 – 115.



34



Pembahasan mengenai membentuk hukum paten yang dapat melindungi produk herbal berbasis TK agar dapat memberikan manfaat bagi kepentingan masyarakat banyak dapat dianalisis dengan menggunakan teori HKI (teori dari William Fisher) dan pembentukan hukum dalam perspektif William Chambliss & Robert B. Seidman. Dalam setiap pembuatan UU, terdapat tiga aspek yang harus diperhatikan sebagai dasar keberlakuan kaedah hukum yaitu : (1) yuridis, (2) sosiologis, dan (3) filosofis. Tidak diragukan setiap UU berlaku secara yuridis, tetapi tidak otomatis berlaku secara sosiologisdan filosofis. Kerangka pemikiran dalam disertasi ini dapat di lihat dalam skema di bawah ini.



35



Ragaan 1 : Kerangka Pemikiran Pancasila UUD NRI Tahun



Pasal 33 UUD NRI Industri Herbal Regulasi Nasional



Internasional



Ratifikasi Harmonisasi



Persoalan Analisis UU Paten Ranah Teori



Ranah Paktik



Tujuan Kaidah Asas Proteksi Herbal berbasis TK



Yang terumus dalam pertimbangan



Kaidah Primer Kaidah Sekunder



Tujuan Negara hukum yang



Asas Umum : Keadilan



Harmonisasi Hukum



Membent uk hukum



Bagaimana merumuskan yang ajeg (tetap)



Teori yang berbicara ttg transfer merumuskan



Dihasilkan Peraturan Per‘UU‘an yang memproteksi produk herbal berbasis TK



D. Tujuan dan Kontribusi Penelitian D.1.Tujuan Penelitian Tujuan diadakan penelitian ini adalah :



36



a)



Untuk mengetahui, menemukan, mengkaji, dan mengidentifikasi UU No. 14 tahun 2001 tentang Paten di Indonesia, dalam memberikan proteksi terhadap produk herbal berbasis traditional knowledge, selain itu merumuskan implikasi dan urgensi dalam memproteksi produk herbal tersebut.



b)



Untuk mengetahui, menemukan, mengkaji, dan merumuskan konsep harmonisasi hukum nasional yang berkaitan dengan proteksi terhadap produk herbal berbasis traditional knowledge di Indonesia



c)



Untuk mengkaji, dan mengidentifikasi serta merumuskan proteksi produk herbal berbasis traditional knowledge dalam UU Paten untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan masyarakat banyak di masa datang. Kontribusi Penelitian



a. Kontribusi Secara Teoritis Kontribusi secara teoritis atau dalam aspek keilmuan, dimana penelitian ini dapat memberikan kontribusi pengembangan keilmuan kajian tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) khususnya dibidang paten dan berguna bagi perkembangan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) khususnya hukum paten itu sendiri. b. Kontribusi Secara Praktis Aspek praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sarana informasi awal bagi para peneliti yang hendak meneliti bidang kajian yang sama maupun bagi pemerintah, masyarakat,



37



pengusaha/produsen produk herbal. Bagi pemerintah hasil penelitian ini diharapkan pengambil kebijakan mengadakan pengaturan yang jelas mengenai paten untuk dapat memberikan perlindungan bagi produk herbal berbasis traditional knowledge. Sedangkan bagi para pengusaha atau produsen produk-produk herbal penelitian ini diharapkan dapat memberikan motivasi agar dapat melakukan inovasiinovasi dari hasil traditional knowledge Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan motivasi bagi para industri obat tradisional untuk memiliki daya saing sehingga produk herbal jauh lebih baik dan mampu bersaing dengan obat modern. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan untuk dapat menyelesaikan persoalan banyaknya biopiracy terhadap kekayaan tradisional masyarakat Indonesia dengan upaya proteksi melalui sistem hukum yang baik dan benar. E. Proses Penelitian Stand Point Masyarakat Indonesia memiliki pengetahuan tradisional dalam pembuatan obat herbal. Pengetahuan tradisional dalam pembuatan obat herbal didukung oleh melimpahnya keanekaragaman hayati berupa tanaman untuk obat-obatan. Kekayaan hayati ini merupakan aset dalam pembuatan obat herbal berbasis TK. Aset ini perlu untuk diproteksi agar terhindar dari biopiracy pihak asing. Biopiracy yang dilakukan oleh pihak asing sangat merugikan Indonesia. Biopiracy terhadap obat



38



tradisional berbasis TK telah terjadi terutama dalam kerangka hukum paten, sehingga urgensi proteksi herbal berbasis TK di Indonesia patut untuk dilakukan. Proteksi terhadap obat herbal berbasis TK dilakukan melalui harmonisasi peraturan perundang-undangan Paten. Paradigma Menurut Harmon43, paradigma adalah cara mendasar untuk mempersepsi, berpikir, menilai dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu



secara



khusus



tentang



realitas.



Sedangkan



Baker



44



mendefinisikan paradigma sebagai seperangkat aturan yang (1) membangun atau mendefinisikan batas-batas; dan (2) menjelaskan bagaimana sesuatu harus dilakukan dalam batas-batas itu agar berhasil. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa paradigma merupakan seperangkat konsep, keyakinan, asumsi, nilai, metode, atau aturan yang membentuk kerangka kerja pelaksanaan sebuah penelitian. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini paradigma



post-positivisme.



Paradigma



post-positivisme



adalah ingin



membuktikan segala sesuatunya berbasis realitas (yang bisa dibangun berdasarkan pengalaman, pengamatan), peneliti bersikap netral terhadap obyek penelitian. Sekalipun peneliti pemegang paradigma ini tetap bersikap netral terhadap obyek penelitian, tetapi ia ingin mengkaji apa



43



44



Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2004), halaman 49. Ibid, halaman 49.



39



yang sesungguhnya terjadi dari hal-hal yang seolah-olah sudah pasti 45. Paradigma post-positivisme secara ontologis mengkonsepsikan realitas sebagaimana adanya, namun disadari bahwa sesungguhnya banyak faktor yang mempengaruhi realitas itu. Konsekuensinya, secara ontologis paradigma post-positivisme mengkonsepsikan hukum sebagai seperangkat



peraturan



yang



berlaku



dalam



masyarakat



yang



keberlakuannya akan dipengaruhi oleh faktor-faktor lain (ekonomi, politik, budaya dan lain-lainnya). Secara epistemologis, peneliti mendudukkan diri secara impersonal, terpisah dengan obyek penelitian. Posisi peneliti terhadap obyek adalah netral, tidak berpihak46. Paradigma post positivisme dalam disertasi ini dipergunakan untuk membuktikan bahwa hukum Paten Indonesia sulit memberikan proteksi herbal berbasis TK. Peneliti dalam disertasi ini bersikap netral terhadap obyek penelitian. Kenetralan ini diposisikan oleh peneliti untuk melihat keberlakuan hukum Paten khususnya dalam proteksi herbal berbasis TK. Pendekatan Penelitian Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah bersifat socio legal atau yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis mempunyai maksud yaitu pendekatan hukum sebagai suatu institusi sosial yang riil dan fungsional dalam kehidupan bermasyarakat yang terjadi dan perilaku-



45



46



FX. Adji Samekto, Ilmu Hukum Dalam Perkembangan Pemikiran Menuju PostModernisme. (Lampung :Indepth Publishing, 2012), halaman 69. Ibid., halaman 69-60.



40



perilaku anggota masyarakat yang mempola.47 Pendekatan yuridis dilakukan untuk menganalisis aturan-aturan yang penormaannya justru tidak mampu untuk melindungi produk herbal pada industri di Indonesia. Harmonisasi terhadap hukum nasional yang berkaitan dengan upaya proteksi herbal berbasis TK di Indonesia. Perbandingan aturan yang berkaitan dengan proteksi herbal berbasis TK di China, Jepang, Brazil dan India. Perbandingan tersebut menganalisis pengaturan hukum Paten berkaitan dengan herbal berbasis TK di China, Jepang, Brazil, maupun di India. Pendekatan sosiologis dimaksudkan untuk menganalisis perilaku orang-orang atau analisis realitas sosial para pelaku yang terkait dengan upaya memproteksi herbal berbasis TK, baik pelaku dalam hal ini pembuat kebijakan, pelaku usaha industri herbal berbasis TK yang mendasari terjadinya kepatuhan dalam keberlakuan hukum paten di Indonesia. Metode Penelitian a. Jenis dan Sumber Data Penelitian selalu memerlukan bahan atau data yang akan dicari kemudian diolah dan selanjutnya dianalisis untuk untuk mencari jawaban dari permasalahan penelitian yang diajukan. Soerjono Soekanto menggunakan istilah data sekunder atau data kepustakaan yang di dalamnya mengandung bahan hukum, sedangkan Peter 47



Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri, (Jakarta : Galia Indonesia, 1999), halaman 44.



41



Mahmud tidak menggunakan istilah data tetapi bahan hukum, alasan pembedaan bahan dengan data yaitu48 : 1. Istilah bahan adalah terjemahan dari bahasa Inggris yang disebut material. Sementara data lebih bersifat informasi. Dalam penelitian normatif, sistem hukum dianggap telah mempunyai seluruh material/bahan, sehingga tidak perlu dicari jalan keluar dari sistem norma tersebut. Sedangkan data adalah informasi yang harus dicari ke ―luar‖ dari sistem. 2. Bahan digunakan untuk istilah bagi sesuatu yang normatif dokumentatif, bahan penelitian hukum dicari dengan cara penelitian kepustakaan (termasuk wawancara dengan nara sumber), sementara data digunakan untuk sesuatu yang informatif empiris dalam penelitian yuridis empiris yang harus dicari melalui pengamatan atau observasi ke dunia nyata. Penelitian ini memerlukan bahan-bahan49 sebagai sumber penelitian yang akan dicari untuk diolah dan selanjutnya akan dianalisis guna mencari jawaban dari permasalahan penelitian yang penulis ajukan. Bahan-bahan tersebut yaitu : 48 49



Peter Mahmud Marzuki dalam Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, op.cit, halaman 42. Peter Mahmud Marzuni menggunakan istilah bahan hukum bukan istilah data. Menurut Peter Mahmud Marzuki bahwa penelitian hukum tidak mengenal adanya data, untuk memecahkan permasalahan maka diperlukan sumber-sumber penelitian hukum yang dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Lihat Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2007), halaman 141. Sedangkan Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji menggunakan istilah data. Menurut Soerjono Sokeanto dan Sri Mamudji, data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dinamakan data primer sedangkan data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka disebut data sekunder. Lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan Kedelapan, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004), halaman 14.



42



1. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang diurut berdasarkan hierarki mulai dari UUD 1945, TAP-MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan aturan lain di bawah undang-undang, serta bahan hukum asing sebagai pembanding bahan hukum yang dianalisis untuk mengetahui proteksi produk herbal berbasis traditional knowledge yang dilakukan oleh industri obat tradisional di Indonesia. Bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi : a) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b) UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419) c) UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3556) d) UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564) e) UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 241, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4043) f) UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4130) g) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4220) h) Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997 tentang Pengesahan Paris Convention for the protection of Industrial



43



Property and convention Establishing the World Intellectual Property Organization. i) Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1997 tentang Pengesahan Patent Cooperation Treaty and Regulation Under the PCT. j) Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works. k) Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 0584/Menkes/SK/VI/1995 tentang Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional l) Keputusan Menteri Kesehatan RI No.Po.00.04.5.00327 tentang Bentuk dan Tatacara Pemberian Stiker Pendaftaran pada Obat Tradisional Asing m) Keputusan Menteri Kesehatan RI No:1147/d/sk/iv/81. n) Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan RI No.06605/d/sk/x/84 tentang Tatacara Produksi Obat Tradisional dari Bahan Alam dalam Sediaan Bentuk Kapsul atau Tablet o) Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No.hk.00.05.4.2411 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam indonesia p) Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No.hk.00.05.4.1380 tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik q) Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No.hk.00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka 2. Bahan hukum sekunder adalah badan hukum yang diperoleh dari buku teks, jurnal-jurnal asing, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, serta simposisum yang dilakukan para pakar terkait dengan pembahasan tentang proteksi produk herbal berbasis traditional knowledge yang dilakukan oleh industri obat tradisional di Indonesia dalam kerangka hukum paten. Bahan hukum sekunder yang digunakan merupakan bahan-bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami bahan-bahan hukum



44



primer. Adapun bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian



ini



adalah



menyelaraskan



dengan



perjanjian



internasional (TRIP‘s Agreement, PCT, Paris Convention, Declaration Doha). 3. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain. b. Teknik Pengumpulan Data Teknik



pengumpulan



sumber-sumber



penelitian



dalam



penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka baik terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tertier. Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tertier dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan dan diklasifikasi menurut sumber dan hierarkinya untuk dikaji secara komprehensif. Teknik



pengumpulan



bahan



hukum



yang



digunakan



menggunakan metode sistematis (sistem kartu), yaitu setelah mendapat semua bahan yang diperlukan kemudian dibuat catatan mengenai hal – hal yang dianggap penting bagi penelitian yang dilakukan50. Sistem kartu yang digunakan dalam penelitian ini adalah kartu kutipan dan kartu bibliografi. Kartu kutipan dipergunakan untuk mencatat atau mengutip sumber bahan hukum



50



Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.cit., halaman 52



45



yang digunakan yang berisi nama pengarang/penulis, judul buku, halaman dan mengutip hal–hal yang dianggap penting agar bisa menjawab permasalahan dalam penelitian ini, sedangkan kartu bibliografi dipergunakan untuk mencatat sumber bacaan bagi kepentingan penyusunan daftar pustaka. Penelitian ini tidak hanya merupakan kajian literatur, dalam hal ini data penelitian diperoleh dari interaksi antara peneliti dengan para pemikir dan pakar hukum sesuai dengan kajian yang dianut, melalui pemikiran, pandangan, pendapat, atau pernyataan mereka sebagaimana dapat dibaca di berbagai literatur yang ada. Pengumpulan informasi dilakukan pula dengan wawancara dengan narasumber terpilih, wawancara dilakukan berdasarkan pedoman wawancara yang telah disusun dan narasumber yang telah ditetapkan terlebih dahulu, sesuai dengan data dan informasi yang diharapkan. Penelitian ini dilakukan di Ditjen HKI khususnya Direktorat Paten, BPHN, KHN, Kementerian Kesehatan dan unit usaha produk herbal di Jawa Tengah, diantaranya adalah PT. Sido Muncul, PT.Gujati 59, PT. Air Mancur, PT. Borobudur, dll. Pertimbangan dari dipilihnya Direktorat Paten karena beberapa permasalahan mengenai produk herbal yang akan atau telah di berikan Hak Paten, dan Kementerian Kesehatan berkaitan dengan pengembangan produk herbal di Indonesia, sedangkan dipilihnya BPHN dan KHN dengan alasan bahwa BPHN merupakan badan yang memiliki kewenangan dalam



46



pengkajian dalam pembaharuan hukum dan KHN merupakan komisi yang juga melakukan upaya pengkajian hukum. Selain itu beberapa pengusaha produk herbal memiliki kekhasan dalam permasalahan produk herbal itu sendiri sehingga penelitian ini lebih dalam lagi menelusuri mengenai produk herbal. c. Wilayah Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data sebagaimana yang dimaksudkan, namun penelitian ini sangat sulit untuk dilakukan secara menyeluruh karena populasi pelaku industri yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia maka lokasi penilitian ini dilakukan di Jawa Tengah dengan alasan yang mendasar yaitu banyaknya pelaku industri yang berada di wilayah Jawa Tengah. Penelitian terhadap pelaku industri ini dimaksudkan untuk mengetahui keberlakuan hukum paten di Indonesia. Penelitian ini juga dialkukan di Jakarta dengan alasan mendasar yaitu beberapa instansi yang terkait dengan proteksi herbal berbasis TK berada di Jakarta. Penelitian di beberapa instansi pemerintah ini dilakukan untuk mendapatkan informasi dan data yang terkait upaya proteksi herbal berbasis TK di Indonesia. d. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data dan informasi yang diperoleh, baik yang diperoleh melalui studi pustaka maupun wawancara, akan di analisis secara kualitatif. Tahap pengolahan dan menganalisis merupakan langkah



47



setelah pengumpulan bahan hukum. Semua bahan hukum yang ada yang telah didapat dari hasil penelitian diperlukan untuk menjawab permasalahan yang ada. Adapun bahan yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan artikel penulis uraikan dan hubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Data yang didapatkan dari studi dokumen adalah data deskriptif yang berwujud rangkaian kata-kata kemudian direduksi melalui beberapa tahap. Pertama reduksi data, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang didapatkan selama studi dokumen. Seluruh data dikelompokan berdasarkan sifatnya dan diorganisasikan menjadi simpulan yang lebih luas. Tahap kedua dari rangkaian analisis adalah penyajian data. Dalam langkah ini dilakukan penyusunan sekumpulan informasi menjadi suatu pernyataan yang memungkinkan penarikan simpulan.



Maksud



dari



langkah



ini



adalah



untuk



mensistematisasikan dan menyederhanakan informasi yang beragam dalam kesatuan bentuk yang disederhanakan, selektif sehingga lebih mudah untuk dipahami. Tahap ketiga yaitu menarik simpulan berdasarkan reduksi dan penyajian data yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya. Pada tahap awal simpulan masih bersifat longgar, kemudian diringkas lagi menjadi lebih rinci.



48



Analisis bahan dimulai dengan menelaah seluruh data yang didapat dari berbagai sumber, kemudian dilakukan reduksi data dengan cara membuat rangkuman inti (abstraksi) sehingga menjadi satuan informasi. Setelah melewati satuan-satuan kegiatan proses analisi ini kemudian akan disusun sambil membuat coding (pengkodean). Berdasarkan proses ini maka bahan dan data dapat ditafsirkan dan diolah menjadi hasil yang bersifat final. Proses analisis bahan dan data ini bersifat deskriptif, Evaluatif dan Preskriptif. Dalam upaya mensistematisasi dan memahami data dalam bingkai analisis, data primer maupun sekunder yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis kuantitatif maupun kualitatif. Analisis kuantitatif diarahkan pada pemaparan gejala secara deskriptif, sedangkan analisis kualitatif dilakukan secara induktif-deduktif, dan diarahkan kepada informasi-informasi responden yang tidak dapat diungkapkan secara kuantitatif, tetapi sangat penting sebagai pendukung upaya mencari jawaban dari permasalahan dari penelitian ini. Dengan demikian, model analisis yang dipakai adalah model interaktif51 (interactive model



of



analysis) yakni melalui pola pengumpulan data, kemudian reduksi data52, display data dan berakhir dengan simpulan.



51



Esmi Warrassih, ―Metodologi Penelitian Bidang Ilmu Humaniora‖, (Bahan Pelatihan Metodologi Penelitian Bagian Hukum dan Masyarakat, Semarang: Fak. Hukum Undip, 1999), halaman 52. 52 Mattew B Miles dan A Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, (Jakarta : UI Press, 1992), halaman 16. Pemahaman bahwa reduksi data merupakan proses peralihan, pemusatan perhatian dan penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari



49



Apabila simpulan dirasa kurang mantap, maka untuk mengetahui keakuratan dan kehandalan data dilakukan dengan triangulasi atau multi strategi, yaitu suatu metode untuk mengatasi masalah sebagai akibat dari kajian yang hanya mengandalkan satu teori saja, satu macam data dan satu metode penelitian saja.53 Triangulasi ini meliputi :54 1. Triangulasi data, artinya data yang terkumpul dari sumber, tempat dan peran yang berbeda dilakukan pengecekan



silang.



Triangulasi sumber dilakukan dengan jalan membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara, pendapat



yang



dilakukan



secara



terbuka



membanding dengan



yang



diungkapkan sendiri secara pribadi, membandingkan pendapat atau perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan



sesuai



dengan



kualifikasi



tertentu



serta



membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen tertentu. 2. Triangulasi teori, artinya suatu topik penelitian dikaji dari berbagai aspek dan perspektif teoritis. Persoalan yang dikaji dalam penelitian ini dikaji dari dua aras yang dipandang dapat



53



54



catatan tertulis di lapangan, yang bukan merupakan bagian yang terpisah, tetapi merupakan bagian yang menyatu dan tak terpisahkan Britha Mikkelsen, Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan, Sebuah Bukum Pegangan bagi Para Praktisi Lapangan, Alih bahasa Matheos Nalle, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), halaman. 96. J. Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), halaman 178.



50



saling menunjang, yakni kajian secara filosofis dengan secara sosiologis; 3. Triangulasi metode, artinya data yang diperoleh merupakan hasil aplikasi



dari beberapa metode pengumpulan data untuk



memperkuat keabsahan data. Dalam penelitian ini dipadukan dari beberapa



metode



pengumpulan



data,



yakni



transkripsi/dokumentasi, wawancara dan observasi. Setelah data dianggap valid kemudian dikonstruksikan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih luas tentang permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Sebelum dikonstruksikan, data yang terkumpul dianalisis secara emic dan etic.55 Analisis emic diperlukan untuk mendapatkan pemahaman tentang makna keadilan menurut para pelaku usaha industri herbal berbasis TK dan masyarakat Indonesia. Hasil analisis emic tersebut selanjutnya diinterpretasikan secara etic menurut pemahaman orang lain, baik literatur-literatur pilihan maupun dari para tokoh agama, dan lain sebagainya. Dengan perpaduan analisis secara emic-etic tersebut diharapkan dapat diperoleh hasil penelitian yang tidak hanya berhenti pada tataran deskriptif semata, melainkan sampai pada tingkat eksplanasi (penjelasan) agar dapat dipahami secara lebih luas dan komperhensip tentang proteksi herbal berbasis TK dalam Hukum nasional di Indonesia. 55



Silverman David, Interpretating Qualitative Data, (New Delihi: Sage Publications, 1993), halaman. 24.



51



Ragaan 2 : ROADMAP PENELITIAN Landasan Pemikiran Belum memadainya UU Paten dalam memberikan proteksi herbal berbasis TK di Indonesia Implikasinya dapat memunculkan terjadinya biopiracy sehingga urgensi proteksi terhadap herbal berbasis TK Harmonisasi yang dilakukan belum sepenuhnya berdasarkan kebutuhan dan keinginan masyarakat Indonesia



Pendekatan Negara hukum, Stufenbau Theory, Keberlakuan Hukum JJH Brugink, The non Transferabilit y of law R.B. Seidman, Teori HKI : William Fisher, Teori Berlakunya Hukum : Cambliss-



Permasalahan Mengapa regulasi UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten belum memadai untuk memberikan proteksi herbal berbasis TK dan apa implikasi serta urgensinya ? Bagaimana harmonisasi hukum nasional khususnya hukum paten yang berkaitan dengan proteksi terhadap produk herbal berbasis TK di Indonesia Kondisi hukum seperti apakah yang seharusnya dibangun agar produk herbal berbasis TK dapat memberikan manfaat bagi kepentingan masyarakat banyak



Tujuan Penelitian Keberlakuan Hukum



Harmonisasi Hukum



Untuk mengetahui, menemukan, mengkaji, dan mengidentifikasi UU No. 14 tahun 2001 tentang Paten di Indonesia, dalam memberikan proteksi terhadap herbal berbasis TK, selain itu merumuskan implikasi dan urgensi dalam memproteksi produk herbal tersebut. Untuk mengetahui, menemukan, mengkaji, dan merumuskan konsep harmonisasi hukum nasional yang berkaitan dengan proteksi herbal berbasis TK di Indonesia. Untuk mengetahui, menemukan, mengkaji, dan mengidentifikasi serta merumuskan proteksi produk herbal berbasis TK dalam UU Paten untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan masyarakat banyak.



Hasil Penelitian



Kegunaan Teoritik



- Persoalan harmonisasi menimbulkan pertentangan secara teori. Harmonisasi dapat diterima dengan baik oleh suatu negara dan dapat pula menimbulkan pertentangan manakala harmonisasi bukan berasalah dari kebutuhan dari masyarakat itu sendiri. - Persoalan harmonisasi yang mneimbulkan masalah akan berakibat pada keberlakuan hukum tersebut dalam masyarakat.



Penelitian Kualitatif, Interview, Observasi



Implikasi Praktis



Triangulasi Data



- Dibentuknya lembaga non pemerintah dibawah Ristek / LIPI yang bertugas untuk mengukur novelty sebagai syarat hak paten. - Pemerintah daerah yang memiliki TK membuat data base dan menginventarisasi mengenai TK khususnya mengenai herbal berbasis TK. - Perubahan UUP



52



F. Sistematika Penelitian Penulisan disertasi ini terdiri dari bab-bab yang secara umum memiliki sistematika sebagai berikut : Bab I yang berjudul : Pendahuluan. Bab I ini menguraikan mengenai latar belakang, fokus studi dan permasalahan, kerangka pemikiran, tujuan dan kontribusi penelitian, proses penelitian, sistematika penelitian dan orisinalitas pemikiran. Latar belakang menjelaskan mengenai ide pemikiran penyusunan disertasi, yang selanjutnya diikuti dengan fokus studi serta permasalahan, selanjutnya kerangka pemikiran dimana menjelaskan tentang kerangka pemikiran penelitian didalam penulisan disertasi, selanjutnya dikemukakan mengenai tujuan dan kontribusi penelitian yang akan diberikan dari disertasi, dijelaskan pula proses penelitian yang diperoleh selama penelitian dan orisinalitas Penelitian dicantumkan untuk menunjukan bahwa penelitian ini belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Bab II yang berjudul : Kerangka Teoritik. Bab II ini menjelaskan konsep dan teori-teori yang digunakan dalam disertasi ini. Konsep mengenai pengaturan Undang-undang Paten di Indonesia, harmonisasi hukum nasional dalam pengatuan Undang-undang Paten di Indonesia, konsep ideal harmonisasi hukum dan keberlakuan Undang-undang Paten dalam perspektif proteksi herbal berbasis TK. Beberapa teori dijelaskan dalam bab II yang digunakan untuk menganalisis bab III, bab IV dan Bab V. Bab III yang berjudul : Regulasi Paten dalam Memberikan Proteksi Terhadap Herbal Berbasis Traditional Knowledge di Indonesia.



53



Bab III ini memuat mengenai kemampuan Undang-undang No.14 Tahun 2001 tentang Paten dalam memberikan proteksi terhadap herbal berbasis TK di Indonesia. Bab IV yang berjudul : Harmonisasi Hukum Nasional Khususnya Hukum Paten yang Berkaitan Dengan Proteksi Herbal Berbasis TK di Indonesia. Bab ini menguraikan mengenai bagaimana harmonisasi yang terhadap regulasi yang berkaitan dengan herbal berbasis TK di Indonesia. Penjelasan akan dibahas mengenai apakah harmonisasi tersebut merupakan suatu kebutuhan dan harapan masyarakat Indonesia atau faktor lain yang mendesak terjadinya harmonisasi tersebut. Bab V yang berjudul : Membentuk Hukum Paten yang Dapat Melindungi Herbal Berbasis TK Agar Dapat Memberikan Manfaat Bagi Kepentingan Masyarakat Banyak di Masa Datang. Bab ini menguraikan mengenai upaya untuk mengkondisikan agar proteksi herbal berbasis TK dapat dilakukan dengan baik yaitu dengan melakukan upaya perlindungan secara positif (dengan melakukan pembentukan hukum) dan perlindungan secara defensif (dengan pembentukan badan yang mengurus suatu mengenai novelty atau kebaharuan). Undang-undang paten perlu untuk dilakukan perubahan demi terwujudnya proteksi herbal berbasis TK di masa datang. Bab VI yang berjudul : Penutup. Bab ini berisi simpulan dan rekomendasi yang memuatsimpulan atas analisis yang dilakukan terhadap hasil penelitian, sekaligus menjawab secara singkat permasalahan yang dirumuskan dalam Bab I serta rekomendasi untuk memperbaiki keadaan



54



dalam kaitannya proteksi herbal berbasis TK dalam Undang-undang Psten di Indonesia. G. Orisinalitas Penelitian Upaya penelusuran yang telah dilakukan oleh penulis terhadap materi disertasi dengan fokus penelitian pada produk herbal berbasis Traditional Knowledge yang dilakukan oleh industri di Indonesia dalam kerangka hukum paten, penulis menemukan 5 (lima) disertasi yaitu 3 (tiga) dari Universitas Padjajaran dan 1 (satu) dari Universitas Indonesia serta 1(satu) disertasi dari Universitas Hasanudin, Makasar. Disertasi yang ada di Universitas Indonesia di tulis oleh Agus Sardjono, dengan judul ―Negara Maju vs. Negara Berkembang : Studi Mengenai Kemungkinan Perlindungan Pengetahuan Obat-obatan Tradisional Sebagai Kekayaan Intelektual di Indonesia‖, dan disertasi yang ditulis oleh Zainul Daulay adalah disertasi dari Universitas Hasanudin, Makasar, yaitu mengenai perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional, dengan studi perbandingan pada pengetahuan obat tradisional masyarakat asli Mentawai dan Sabah (Malaysia), sedangkan kelima disertasi yang ada di Universitas Padjajaran yaitu antara lain ditulis oleh Imas Rosidawati Wiradirja, Hotman Sitorus, dan Candra Irawan. Disertasi Agus Sardjono, selanjutnya dijelaskan bahwa tujuan penelitiannya adalah untuk mengungkapkan apakah sistem HKI relevan untuk diterapkan dalam rangka melindungi pengetahuan tradisional, khususnya di Indonesia.



Juga



untuk



mengungkapkan



kemungkinan



memberikan



perlindungan terhadap hak kolektif masyarakat atas pengetahuan tradisional



55



mereka. Dalam kaiatannya dengan upaya yang harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, penelitian dilakukan untuk menggali sebanyak mungkin langkah-langkah yang telah dilakukan oleh organisas-organisasi internasional terkait, yang hasilnya dapat dijadikan acuan dalam rangka pembuatan peraturan atau kebijakan menyangkut aspek perlindungan obatobatan tradisional. Penelitian disertasi Agus Sardjono juga bertujuan untuk mengkaji kelemahan dan kendala dari upaya WTO tersebut, terutama yang terkait dengan pendekatan yang diterapkan, sehingga pada gilirannya dapat menjadi pelajaran berharga bagi upaya Pemerintah Indonesia sendiri. Sedangkan tujuan penelitian dalam disertasi penulis yaitu : 1) Untuk mengetahui, menemukan, mengkaji, dan mengidentifikasi UU No. 14 tahun 2001 tentang Paten di Indonesia, dalam memberikan proteksi terhadap produk herbal berbasis traditional knowledge, selain itu merumuskan implikasi dan urgensi dalam memproteksi produk herbal tersebut; 2) Untuk mengetahui, menemukan, mengkaji, dan merumuskan konsep harmonisasi hukum nasional yang berkaitan dengan proteksi terhadap produk herbal berbasis traditional knowledge di Indonesia; 3) Untuk mengetahui, menemukan, mengkaji, dan mengidentifikasi serta merumuskan proteksi produk herbal berbasis traditional knowledge dalam UU Paten untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan masyarakat banyak.



56



Tujuan yang berbeda juga dapat dilihat dalam disertasi lainnya. Disertasi yang ditulis oleh Candra Irawan memiliki tujuan yaitu56 : 1. Menemukan prinsip-prinsip hukum HKI yang terkandung dalam UUD 1945 yang dapat menjadi landasan pengaturan HKI di Indonesia. 2. Merumuskan konsep politik hukum HKI yang dapat menjadi pedoman dalam pembangunan hukum HKI Indonesia di masa depan. 3. Merumuskan konsep harmonisasi hukum prinsip-prinsip Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights ke dalam Undang-undang



Hak



Kekayaan



Intelektual



dalam



menjamin



perlindungan hukum terhadap kepentingan nasional Indonesia. Disertasi yang ditulis oleh Hotman Sitorus memiliki tujuan yaitu57 : 1. Untuk



mengetahui,



menemukan



dan



merumuskan



mengapa



kepemilikan paten nasional yang dihasilkan oleh lembaga litbang pemerintah dan perguruan tinggi tidak mengalami peningkatan dalam tiga periode UUP baik melalui UU No. 6 Tahun 1989, UU No. 13 Tahun 1997 Tentang Perubahan UU No. 6 1989 maupun UU No. 14 Tahun 2001. 2. Untuk mengetahui, menemukan dan merumuskan apakah isu internasional mengenai paten dan invensi bioteknologi yang



56



57



Candra Irawan, ―Politik Hukum Dalam Kerangka Harmonisasi Prinsip-Prinsip Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Dan Kepentingan Nasional Dalam Undang-undang Hak Kekayaan Intelektual Indonesia ―, disertasi Candra Irawan, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran, 2010. Hotman Sitorus, ―Peranan Hukum Paten Dalam Pengembangan Riset Bioteknologi Di Indonesia‖, disertasi Hotman Sitorus, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran, 2010.



57



berkembang pada forum WTO dan bagaimana pendapat negaranegara anggota serta bagaimana respon Indonesia. 3. Untuk mengetahui, menemukan, dan merumuskan apakah paten atas invensi bioteknologi kloning manusia daat ditolak dengan alasan bertentangan dengan moralitas. Disertasi yang di tulis oleh Imas Rosidawati Wiradirja memiliki tujuan, yaitu58 : 1. Untuk menemukan pengelolaan pengetahuan tradisional bidang keanekaragaman hayati dikaitkan dengan hak menguasai oleh negara dalam mewujudkan tujuan negara kesejahteraan di Indonesia. 2. Untuk menemukan perlindungan hukum



HKI dalam bidang



pengetahuan tradisional kaitannya dengan keanekaragaman hayati menginggat belum ada pengaturan yang husus dalam perundangundangan Indonesia. 3. Untuk menemukan konsep pengelolaan pengetahuan tradisional bidang keanekaragaman hayati yang berkeadilan dalam mendukung pembangunan ekonomi di Indonesia. Menurut pengetahuan penulis sampai saat sekarang ini penelitian yang secara khusus mengenai produk herbal sebagai hasil traditional knowledge kajian dalam hukum paten belum pernah ada yang melakukan penelitian. Dari



58



Imas Rosidawati Wiradirja, ―Pengelolaan Pengetahuan Tradisional Bidang Keanekaragaman Hayati Dihubungkan Dengan Hak Kekayan Intelektual Berdasarkan Asas Keadilan Bagi Masyarakat Sebagai Upaya Pengembangan Perekonomian Nasional―, disertasi Imas Rosidawati Wiradirja, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran, 2009.



58



hasil penelusuran yang telah dilakukan oleh penulis, maka diperoleh hasil sebagai berikut :



59



Tabel 1 Penelitian Terdahulu yang Memiliki Relevansi Dengan Disertasi Penelitian Sebelumnya No



1



Judul



Bentuk, Permasalahan Asal, Penelitian Tahun, Penulis Negara Maju vs. Disertasi, 1. Mengapa Negara UI, 2004, pengetahuan Berkembang : Agus tradisional Studi Mengenai Sardjono Indonesia di Kemungkinan bidang obat-obatan Perlindungan perlu mendapatkan Pengetahuan perlindungan ? Obat-obatan 2. Mungkinkah rezim Tradisional HKI dapat Sebagai melindungi hakKekayaan hak masyarakat Intelektual di lokal Indonesia Indonesia atas pengetahuan tradisional mereka? 3. Bagaimana sebaiknya melindungi hakhak masyarakat lokal Indonesia berkenaan dengan



Penelitian Sekarang Hasil



Unsur Kebaharuan



Konflik kepentingan antara negara maju dengan negara berkembang mewarnai isu perlindungan pengetahuan tradisional. Negara maju sangat berkepentingan untuk melindungi modal dan teknologi dari perusahaanperusahaan multinasional yang berasal dari negara maju yang menanamkan investasinya di negara berkembang.negara maju juga berkepentingan untuk melindungi surplus transaksi perdagangan mereka yang beraspek HKI. TRIPs adalah salah satu alat yang telah berhasil disepakati dalam rezim perdagangan internasional WTO. Melalui TRIPs negara maju memaksakan agar rezim HKI diberlakukan dalam upaya melindungi kepentingan ekonomi mereka di negara berkembang. Di lain pihak, negara berkembang menganggap bahwa rezim HKI kurang mengena untuk melindungi pengetahuan tradisional. Dalam konflik kepentingan ini, negara maju cenderung menggunakan posisi dominannya terhadap



Disertasi yang ditulis oleh Agus Sardjono yang berjudul : ―Negara Maju vs. Negara Berkembang : Studi Mengenai Kemungkinan Perlindungan Pengetahuan Obat-obatan Tradisional Sebagai Kekayaan Intelektual di Indonesia‖, memiliki kesamaan penelitian dengan disertasi penulis yaitu pada obat tradisional. Perbedaan dengan disertasi penulis yaitu pada titik sentral pengkajian dimana disertasi Agus Sardjono menitik beratkan pada aspek komparatif antara negara maju dengan negara berkembang dalam kerangka HKI. Disertasi penulis berkaitan dengan proteksi



60



2.



pengetahuan negara berkembang. TRIPs adalah lambang dari tradisional mereka dominasi itu. di bidang obatKonflik kepentingan itu melahirkan obatan ? kesadaran di negara-negara berkembang untuk menuntut perlindungan bagi hakkolektif masyarakat atas pengetahuan tradisional mereka. Tuntutan itu telah banyak dikemukakan di berbagai forum internasional. Negara-negara maju memahami benar bahwa dengan rezim HKI masyarakat lokal tetap tidak dapat mengajukan klaim pemilikan atas pengetahuan tradisional dan keanekaragaman hayati. HKI adalah sebuah rezim yang hanya mengakui pemilikan individual, sedangkan pengetahuan tradisional tidak mempunyai pemilik individual. Dengan demikian yang terjadi sesungguhnya adalah adu kekuatan antara negara maju dengan negaranegara berkembang dalam menjabarkan sistem, norma, baik hukum maupun etika. TRIPs mencerminkan kepentingan negara-negara maju, sedangkan CBD mencerminkan kepentingan negara-negara berkembang. Pengelolaan Disertasi, 1. Bagaimanakah Konsep negara Indonesia merdeka adalah Pengetahuan UNPAD, pengelolaan negara kesejahteraan sebagaimana termaksud Tradisional 2009, Imas pengetahuan dalam pembukaan UUD 945. Dasar pemikiran Bidang Rosidawati tradisional bidang lahirnya konsep hak penguasaan negara dalam Keanekaragaman Wiradirja keanekaragaman Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, merupakan



produk herbal dalam UU Paten di Indonesia. Hal ini menjadi pembeda bahwa kajian disertasi penulis memiliki pembahasan yang berbeda. Penulis memfokuskan penelitian pada permasalahan yang diantaranya berkaitan dengan upaya ius constituendum dalam upaya memproteksi produk herbal dalam kerangka hukum paten di masa datang. Disertasi penulis menganalisis harmonisasi baik harmonisasi secara vertikal maupun harmonisasi secara horizontal peraturan perundang-undangan yang terkait dengan proteksi herbal berbasis TK dalam kerangka hukum Paten. Disertasi Imas Rosidawati Wiradirja yang berjudul : ―Pengelolaan Pengetahuan Tradisional Bidang Keanekaragaman Hayati



61



Hayati Dihubungkan Dengan Hak Kekayan Intelektual Berdasarkan Asas Keadilan Bagi Masyarakat Sebagai Upaya Pengembangan Perekonomian Nasional.



hayati dikaitkan dengan hak menguasai oleh negara dalam mewujudkan tujuan negara kesejahteraan di Indonesia ? 2. Bagaimanakah perlindungan hukum HKI dalam bidang pengetahuan tradisional kaitannya dengan keanekaragaman hayati menginggat belum ada pengaturan yang khusus dalam perundangundangan Indonesia ? 3. Bagaimanakah konsep pengelolaan pengetahuan tradisional bidang keanekaragaman hayati yang



penerapan teori negara hukum kesejahteraan. Makna penguasaan negara adalah kewenangan negara untuk mengatur, mengurus dan mengawasi. Substansi dari penguasaan negara adalah kekuasaan atau kewenangan yang diberikan kepada negara untuk menggunakan dan memanfaatkan sumber daya hayati sebagai sumber daya ekonomi bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Perlindungan HKI terhadap pengetahuan tradisional bidang keanekaragaman hayati, dengan memanfaatkan UU HKI seperti UU Paten belum sepenuhnya dapat memberikan perlindungan. Hal ini disebabkan karakteristik dari HKI sendiri yang berbeda dengan Pengetahuan Tradisional. Dalam perlindungan HKI sesuai dengan sifatnya yang eksklusif, monopolis, individualistis sehingga bersifat privat domain sangat berbeda dengan sifat pengetahuan tradisional ang mengandung paham kolektivisme. Bagi negara Indonesia pengetahuan tradisional dibidang keanekaragaman hayati merupakan aset nasional yang tak ternilai, oleh karena itu harus dilindungi dan dilestarikan. Bentuk perlindungannya dengan pengetahuan tradisional, indikasi geografis dan konservasi. Perlindungan hukum tidak saja untuk



Dihubungkan Dengan Hak Kekayaan Intelektual Berdasarkan Asas Keadilan Bagi Masyarakat Sebagai Upaya Pengembangan Perekonomian Nasional‖, menekankan pada pengelolaan pengetahuan tradisional bidang keanekaragaman hayati dikaitkan dengan hak menguasai oleh negara dalam mewujudkan tujuan negara kesejahteraan di Indonesia. Perbedaan dengan disertasi penulis yaitu pada fokus penelitian penulis lebih pada produk herbal berbasis traditional knowledge yang di lakukan oleh industri di Indonesia. Persamaannya dengan disertasi penulis yaitu pada kajian mengenai traditional knowledge secara umum. Perbedaan yang paling signifikan yaitu penulis menganalisis UU Paten yang



62



berkeadilan dalam mendukung pembangunan ekonomi di Indonesia ?



3



Peranan Hukum Paten Dalam Pengembangan Riset Bioteknologi Di Indonesia



Disertasi, UNPAD, 2010, Hotman Sitorus



menghindari persaingan tidak sehat dengan adanya misappropriation tetapi juga bermanfaat untuk pemerataan dan pembangunan ekonomi. Konsep pengelolaan pengetahun tradisional bidang keanegakaragaman hayati yang tepat adalah dengan membuat uu yang bersifat sui generis berdasarkan pada tradisi yang berkembang di tengah masyarakat lokal dengan pengdokumentasian sebagai data base. Perlindungan dimaksud untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, tidak hanya untuk tujuan kemanusiaan sebagaimana pandangan masyarakat asli, tetapi diarahkan untuk peningkatan kesejahteraan ekonomi dari setiap anggota masyarakat, melalui akses yang diberikan kepada perusahaan asing atau pihakpihak luar lainnya dengan adanya benefit shering yang berkeadilan dan diterima oleh masyarakat sebagai pemilik dari pengetahuan tradisional tersebut.



1. Mengapa Kepemilikan paten nasional yang dihasilkan kepemilikan paten oleh lembaga litbang pemerintah dan nasional yang perguruan tinggi tidak mengalami peningkatan dihasilkan oleh dalam tiga periode uup baik UU No. 6 Tahun lembaga litbang 1989, UU No. 13 Tahun 1997 Tentang pemerintah dan Perubahan UU No. 6 Tahun 1989 tentang



sulit untuk melakukan proteksi terhadap herbal berbasis TK karena terhambat pada aturan mengenai syarat kebaharuan dan syarat langkah inventif. Hal ini berimplikasi pada keberlakuannya dalam masyarakat. Hal tersebut dikarenakan keberadaan UU Paten belum dapat dimanfaatkan secara efektif oleh para peneliti kalangan swasta dan pemerintah, serta para pelaku usaha di Indonesia. Keadaan demikian terjadi karena proses harmonisasi yang tidak baik ke dalam hukum nasional sehingga menyebabkan sulitnya proteksi herbal berbasis TK di Indonesia. Disertasi Hotman Sitorus yang berjudul : ―Peranan Hukum Paten Dalam Pengembangan Riset Bioteknologi di Indonesia‖, menitik beratkan pada



63



perguruan tinggi tidak mengalami peningkatan dalam tiga periode uu paten baik melalui UU No. 6 tahun 1989, UU No. 13 tahun 1997 Tentang Perubahan UU No. 6 Tahun 1989 maupun UU No. 14 Tahun 2001 ? 2. Apakah isu internasional mengenai paten dan invensi bioteknologi yang berkembang pada forum WTO dan bagaimana pendapat negaranegara anggota serta bagaimana respon Indonesia ? 3. Apakah paten atas invensi bioteknologi kloning manusia



paten maupun UU No. 14 Tahun 2001 tentang paten disebabkan oleh 3 hal yaitu, pertama, substansi ketiga UU paten tidak mengatur kewajiban lembaga litbang dan perguruan tinggi untuk mengajukan pendaftaran paten atas inveni yang dibiayai oleh pemerintah. Kedua, keberhasilan kinerja Ditjen HKI tidak diukur dari tinggi rendanya kepemilikan paten nasional. Ketiga, belum terciptanya budaya peneliti pada lembaga litbang pemerintah dan perguruan tinggi untuk mengajukan pendaftaran paten atas invensi yang dihasilkannya. Tiga isu internasional paten dan invensi bioteknologi yang berkembang pada forum WTO yaitu indikasi asal usul, persetujuan awal, dan bagi hasil yang adil dan wajar yang disikapi oleh negara-negara anggota secara berbeda dengan dua pendapat. Pertama, dengan pendekatan pengungkapan (disclosure approach) yang diusulkan oleh negara-negara berkembang pada umnya dengan ketiga isudiatur secara intenasional dalam TRIPs yang melahirkan konsekuensi untuk melakukan perubahan TRIPs. Kedua, pendekatan berbasis nasional (national-based approach) yang diusulkan oleh negara-negara maju pada umumnya dengan ketiga isu tidak



kepemilikan paten nasional yang dihasilkan oleh lembaga litbang pemerintah dan perguruan tinggi tidak mengalami peningkatan dalam tiga periode UU Paten baik melalui UU No. 6 tahun 1989, UU No. 13 tahun 1997 Tentang Perubahan UU No. 6 Tahun 1989 maupun UU No. 14 Tahun 2001. Sedangkan kajian disertasi penulis tidak ada kaitannya dengan pengembangan riset bioteknologi di Indonesia. Persamaan kajian disertasi penulis dengan disertasi Hotman Sitorus yaitu pada kerangka hukum paten. Penulis juga menganalisis mengenai herbal berbasis TK yang merupkan kebaruan dari disertasi penulis. Analisis mengenai herbal berbasis TK tidak terdapat dalam disertasi Hotman Sitorus.



64



dapat ditolak dengan alasan bertentangan dengan moralitas sebagaimana dilakukan oleh beberapa negara lain ?



4



Politik Hukum Dalam Kerangka Harmonisasi Prinsip-Prinsip Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Dan Kepentingan Nasional Dalam Undang-undang Hak Kekayaan Intelektual Indonesia



Disertasi, UNPAD, 2010, Candra Irawan



1. Apa prinsip-prinsip hukum yang terkandung dalam UUD 1945 yang dapat menjadi landasan hukum pengaturan Hak Kekayaan Intelektual Indonesia? 2. Bagaimana konsep politik hukum Hak Kekayaan Intelektual yang dapat menjadi pedoman dalam pembangunan hukum hak



perlu diatur secara internasional melalui TRIPS tetapi cukup secara nasional di luar UUP. Respon Indonesia terhadap ketiga isu dalam UUP belum ada. Moralitas dapat digunakan untuk menolak invensi bioteknologi kloning manusia dengan alasan bertentangan dengan human dignity, dan mempermainkan Tuhan (Playing God) karena penciptaan manusia hanya milik Tuhan, manusia bukan Tuhan. Prinsip-prinsip hukum HKI Indonesia harus berlandaskan kepada Pancasila sebagai landasan filosofis, UUD 1945 sebagai landasan yuridis dan realitas sosial bangsa Indonesia sebagai landasan sosiologis. Prinsipprinsip hukum HKI tersebut adalah : prinsip kebebasan kebebasan berkarya, prinsip perlindugan hukum terhadap HKI, prinsip kemanfaatan HKI, prinsip hak ekonomi HKI, prinsip HKI bagi kesejahteraan manusia, prinsip kebudayaan HKI, prinsip perindungan kebudayaan nasional, prinsip kewenangan negara melaksanakan HKI demi kepentingan nasional, prinsip perindungan HKI berdimnsi moralitas dan agama, prinsip hak eksklusif terbatas, prinsip keadilan, prinsip HKI berfungsi sosial dan prinsip kolektivism. Sedangkan prinip-prinsip hukum TRIPs



Disertasi Candra Irawan yang berjudul : ―Politik Hukum Dalam Kerangka Harmonisasi Prinsip-prinsip Agreement on Trade Related Aspects of Property Rights Dan Kepentingan Nasional Dalam Undang-undang Hak Kekayaan Intelektual Indonesia‖, memfokuskan pada prinsip-prinsip hukum yang terkandung dalam UUD 1945 yang dapat menjadi landasan hukum pengaturan Hak Kekayaan Intelektual Indonesia. Selain itu Candra Irawan membahas mengenai konsep harmonisasi hukum.



65



kekayaan intelektual Indonesia di masa depan? 3. Bagaimana konsep harmonisasi hukum prinsip-prinsip Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights ke dalam Undangundang Hak Kekayaan Intelektual dalam menjamin perlindungan hukum terhadap kepentingan nasional Indonesia ?



Agreement adalah prinsip ; ketundukan utuh (full compliance), prinsip pembalasan silang (cross retaliation), prinsip dasar minimum (minium standars), prinsip pemberian hak yang sama (national treatment), prinsip tanpa diskriminasi (the most favoured nation), prinsip pengutamaan komersialisasi HKI, prinsip exhaustion of intellectual property rights, prinsip tanpa persyaratan (no reservation), prinsip perlakuan khusus terbatas pada negara berkembang dan terbelakang, prinsip alih teknologi, prinsip kepentingan umum, prinsip kerjasama internasional, prinsip amandemen dan prinsip penyelesaian sengketa melalui mekanisme WTO. Terjadi pertentang antara prinsip TRIPsAgreement dan prinsipprinsip HKI Indonesia, antara lain pada aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis. Aspek filosofis berkenan dengan individualisme versus kolektivisme (komunalisme), unifikasi hukum versus nasionalisme, komersialisasi HKI versus humanisme, penguasaan IPTEK dan dominasi teknologi versus keadilan sosial. Aspek yuridis berkenaan dengan prinsip full compliance versus kewenangan negara melaksanakan HKI untuk kepentingan nasional, standar minimum versus keadilan, no reservationversus perlindungan kebudayaan



Perbedaannya dengan disertasi penulis yaitu bahwa penulis memfokuskan diri pada hukum paten yang merupakan bagian dari HKI. Selain itu fokus pada disertasi penulis yaitu pada produk herbal berbasis traditional knowledge yang kajian ini tidak disinggung sama sekali oleh disertasi Candra Irawan.



66



nasional, dan cross retaliation versus HKI untuk kesejahteraan manusia. Aspek sosiologis berkenaan dengan kepentingan negara maju mengatur HKI secara internasional dan standarisasi versus keinginan Indonesia mengatur HKI sesuai dengan kepentingan nasional, keterpaksaan negara berkembang / terbelakang (termasuk Indonesia) menyetujui TRIPs Agreement vesus kebutuhan penguasaan IPTEK untuk mendukung pembangunan sehingga membutuhkan kemudahan alih teknologi. Politik hukum HKI indonesia harus berlandaskan Pancasila sebagai landasan filosofis, UUD 1945sebagai landasan yuridis dan realitas sosial bangsa Indonesia sebagai landasan sosiologis. Setiap hukum asing (hukum yang berasal dari luar Indonesia) yang ingin diberlakukan di Indonsia harus melewati saringan (filterirasi) apakah hukum asing tersebut berkesesuaian dengan prinip-prinsip hukum Pancasila, UUD 1945 dan realitas sosial bangsa Indonesia. Jika ada pertentang atau ketidaksesuaian, maka langkah-langkah yang dilakukan adalah melakukan harmonisasi hukum. TRIPS Agreement sebagai hukum yang lahir dari kesepakatan internasional harus melewati proses harmonisasi hukum, sebelum



67



menjadi hukum nasional. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengadopsian ketentuan TRIPs Agremeent ke dalam UU HKI Indonesia selama ini tidak melalui proses harmonisasi hukum yang baik, sehingga kepentingan nasional tidak terlindungi. Harmonisasi dilakukan menggunakan metode harmonisasi total. Prinsip-prinsip hukum TRIPs Agreement diadopsi secara utuh, tetapi justru peluangpeluang yang dimungkinkan oleh TRIPs Agreement untuk melindungi kepentingan nasional tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya (misalnya article 6,8,67). Hal ini mencerminkan betapa pembentuk UU HKI tidak memahami arti pentingnya kepentingan nasional terkait HKI atau adanya tekanan dari pihak asing dan ketidakberanian untuk menolaknya. Di masa depan, metode harmonisaisi hukum selayaknya diubah menggunakan metode modifikasi harmonisasi total. Ketentuan TRIPstetap diadopsi tetapi dengan memaksimalkan peluang-peluang yang diatur dalam TRIPS agreement untuk melindungi kepentingan nasional dan jika kepentingan nasional memang membutuhkan, maka harus dilakukan modifikasi (penyimpangan) dengan mengungkapkan



68



alasan-alasannya argumentatif.



5.



Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan Tradisional, Studi Atas Pengetahuan Obat Masyarakat Asli Mentawai dan Sabah,Malaysia



Zainul 1. Bagaimana Daulay, kaedah-kaedah dan Universitas aturan yang Hasanudin, berlaku dalam Makasar. Masyarakat Asli tentang pengaturan Pengetahuan Obat Tradisional? 2. Bagaimana peraturan negaranegara berkembang dalam rangka melindungi Pengetahuan Tradisional? 3. Bagaimana konsepsi perlindungan hukum terhadap Pengetahuan Tradisional?



secara



faktual



dan



Setiap masyarakat asli mempunyai konsep, adat kebiasaan dan kaedah sendiri dalam mengatur pengetahuannya. Pemilik pengetahuan dalam masyarakat ini adalah setiap orang atau kelompok yang menghasilkan, memperoleh dan mengembangkan pengetahuan serta mempunyai hak dan kewenangan untuk mempraktekkan, mempertahankan kerahasiaan, mengalihkan atau membuka dan pengetahuannya. Sifat kepemilikan suatu Pengetahuan Tradisional sangat ditentukan oleh kebiasaan dan kaedah yang berlaku mengenai sejauhmana pemegang pengetahuan memperoleh hak dan kewenangan untu mempraktekkan, mempertahankan kerahasiaan, mengalihkan atau membuka pengetahuannya. Kepemilikan sebagian Pengetahuan Obat Tradisional di Mentawai dan Sabah adalah bersifat privat yang dapat dimiliki oleh penyembuh secara individual maupun oleh kelompok penyembuh secara kolektif. Namun demikian sebagian pengetahuan obat kepemilikannya adalah bersifat ―common‖, yaitu pengetahuan yang



Disertasi Zainul Daulay mengupas mengenai Traditional Knowledge atas pengetahuan obat masayrakat asli Mentawai dan Sabah (Malaysia). Disertasi ini merupakan disertasi perbandingan antara pengetahuan obat masyarakat Mentawai dengan masyarakat Sabah. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan mengenai proteksi produk herbal yang berbasis TK dalam industri di Indonesia. Disertasi Zainul Daulay mengkritis sifat kepemilikan



69



dimiliki oleh komunitas secara bersama-sama. Baik di Mentawai maupun di Sabah, pengetahuan obat tradisional dapat diakses oleh orang lain, termasuk orang asing sesuai dengan tradisi dan kaedah yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Praktek negara-negara dalam pengaturan perlindungan Pengetahuan Tradisional pada umumnya dan pengetahuan obat pada khusus tidak seragam. Negara - negara yang mengakui sifat kepemilikan Pengetahuan Tradisional adalah privat properti dan pemiliknya adalah komunitas, maka pola perlindungan yang dipilih cendrung melalui pembatasan akses terhadap Pengetahuan Tradisional. Mekanisme perizinan dan pembagian keuntungan digunakan untuk memperoleh nilai ekonomis yang diatur melalui undang-undang yang dibentuk secara khusus (sui generis). Sebaliknya negara-negara yang mengakui kepemilikan Pengetahuan Tradisional yang bersifat privat dan dapat dimiliki oleh individu, maka cendrung pola perlindungan yang dipilih adalah pemberian hak eksklusif kepada pemilik pengetahuan, baik melalui hukum hak kekayaan intelektual konvensional maupun hukum hak kekayaan intelektual yang bersifat ―sui generis‖. Beragamnya pola dan



pengetahuan tradisional khususnya pengetahuan obat dalam masyarakat asli tertentu seperti di Mentawai adalah kompatibel dengan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, seperti Paten, Rahasia Dagang dan Indikasi Geografis dan Asal. Sedangkan penelitian yang dilakukan Peneliti telah memfokuskan diri pada sistem hukum Paten di Indonesia dengan mendalami mendalami segala sesuatu yang terkait dari aspek perbedaan filosofis, ekonomis sosiologis, dan budaya. Selain itu penulis juga menganalisis mengenai harmonisasi dan keberlakuan dari hukum paten. Analisis dilakukan dengan melakukan inventarisasi peraturan perundang-undangan secara horisontal dan vertikal. Menganalisis regulasi paten dan menganalisis pula



70



pendekatan yang digunakan dalam praktek perlindungan Pengetahuan Tradisional mencerminkan kebutuhan masing-masing negara yang berbeda yang dilatarbelakangi oleh perbedaan budaya dan sistem politik. Dengan demikian mencari model yang cocok untuk semua ukuran (one size for all) masih merupakan upaya panjang dan membutuhkan usaha yang tekun. Konsepsi perlindungan hukum terhadap Pengetahuan Tradisional dapat ditentukan berdasarkan berdasarkan pertama, kondisi riil pemilik dan sifat kepemilikan pengetahuan tradisional itu sendiri dan kedua, tujuan yang ingin dicapai dari perlindungan tersebut. Pengetahuan Tradisional yang sifat kepemilikannya adalah privat properti dan dimiliki oleh individu atau oleh kelompok secara kolektif maka perlindungan yang efektif untuk memperoleh nilai ekonomis atas pengetahuan tersebut adalah perlindungan positif, yakni perlindungan yang memberi hak eksklusif kepada pemiliknya baik melalui hukum kekayaan intelektual konvensional (Paten, Rahasia Dagang dan Indikasi Geografis dan Indikasi Asal) atau melalui pembentukan hukum kekayaan intelektual ―sui generis‖ secara nasional. Sebaliknya,



peraturan perundangundangan yang terkait dengan proteksi herbal berbasis TK di Indonesia. Pembentukan hukum menjadi kajian yang intinya untuk membentuk hukum paten yang dapat melakukan proteksi herbal berbasis TK di Indonesia untuk mencegah terjadinya biopiracy. Perubahan UUP perlu untuk segera dilakukan agar dapat mencegah terjadinya biopiracy yang selama ini terjadi. Perubahan UUP merupakan langkah dari perubahan hukum dimana hukum yang ada perlu untuk disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia demi terwujudnya keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum



71



Pengetahuan Tradisional yang yang sifat kepemilikannya adalah ―common‖ yang dimiliki komunitas maka perlindungan yang efektif untuk menghambat pihak-pihak lain untuk menggunakannya sekaligus mendapatkan keuntungan ekonomis dalam penggunaanya adalah melalui perlindungan defensif dalam bentuk pembatasan akses atau mekanisme perizinan. Perlindungan Pengetahuan Tradisional pada dasarnya adalah perlindungan terhadap hak-hak fundamental masyarakat asli sebagai pemiliknya dan oleh sebab itu harus ditujukan untuk sebesar-besar kemanfaatan bagi masyarakat, negara dan umat manusia.



72



Jadi dari kelima disertasi kesemuanya memiliki keterkaitan dan perbedaan dengan disertasi penulis, tetapi yang berkaitan dengan hukum paten dan secara khusus mengenai produk herbal berbasis traditional knowledge pada industri di Indonesia belum ada. Oleh karena itu penelitian yang penulis lakukan merupakan penelitian kajian dari aspek hukum paten dengan mengaitkan hukum paten Indonesia berkaitan dengan kajian produk herbal berbasis traditional knowledge yang betul–betul masih murni dan dapat dijadikan bahan bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama pengembangan dalam ilmu hukum Hak Kekayaan Intelektual karena sebagai suatu hal yang masih original. Penulis memfokuskan penelitian pada permasalahan yang diantaranya berkaitan dengan upaya ius constituendum dalam upaya memproteksi produk herbal dalam kerangka hukum paten di masa datang. Disertasi penulis menganalisis harmonisasi baik harmonisasi secara vertikal maupun harmonisasi secara horizontal peraturan perundang-undangan yang terkait dengan proteksi herbal berbasis TK dalam kerangka hukum Paten. Penulis menganalisis UU Paten yang sulit untuk melakukan proteksi terhadap herbal berbasis TK karena terhambat pada aturan mengenai syarat kebaharuan dan syarat langkah inventif. Hal ini berimplikasi pada keberlakuannya dalam masyarakat. Hal tersebut dikarenakan keberadaan UU Paten belum dapat dimanfaatkan secara efektif oleh para peneliti kalangan swasta dan pemerintah, serta para pelaku usaha di Indonesia. Keadaan demikian terjadi karena proses harmonisasi yang tidak baik ke dalam hukum nasional sehingga menyebabkan sulitnya proteksi herbal berbasis TK di Indonesia.



73



Permasalahan pokok dalam disertasi penulis yang mengkaitkan antara harmonisasi dan keberlakuan hukum paten dalam konteks melakukan proteksi herbal berbasis TK di Indonesia merupakan hal yang baru dan belum dikaji oleh peneliti lain.



74



BAB II KERANGKA TEORITIK



Diskursus mengenai Paten (dan berbagai problematik yang melingkupinya) tidak pernah usai sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan manusia akan upaya untuk menjaga kepemilikannya. Konsep Hak Paten tidak lain memberikan hak monopoli didasarkan atas kemampuan individu dalam melakukan kegiatan untuk menghasilkan suatu invensi. Invensi yang dimintakan Hak Paten merupakan invensi yang pada umumnya memiliki potensi menghasilkan secara ekonomi. Pada prinsipnya tidak ada yang suka dengan monopoli kecuali orang yang memiliki hak monopoli tersebut. Suatu wilayah yang memperbolehkan adanya monopoli adalah hak kekayaan intelektual dan hak monopoli yang paling kuat dalam hak kekayaan intelektual adalah paten. Bagian dari kekuatan paten adalah kemurnian monopoli, dimana tidak memperbolehkan orang lain menggunakan paten yang bukan miliknya tanpa seijin dari pemilik paten tersebut. Inilah kekuatan dari monopoli hak paten. Paten memberikan hak monopoli atas kepemilikan suatu hasil invensi di bidang teknologi. Hasil invensi di bidang teknologi yang dapat diberikan hak paten yaitu invensi yang memiliki kebaruan (novelty)59 memiliki langkah inventif (inventive step), dan dapat diterapkan dalam bidang industry (industrially applicable)60. Persyaratan



59



60



Invensi yang bagi seseorang dengan keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya dengan memperhatikan keahlian yang ada pada saat permohonan diajukan. Invensi dapat diterapkan dalam industri sesuai dengan uraian dalam permohonan. Jika invensi tersebut dimaksudkan sebagai produk, produk tersebut harus mampu dibuat secara berulang-ulang (secara massal) dengan kualitas yang sama, sedangkan jika invensi berupa proses, proses tersebut harus mampu dijalankan atau digunakan dalam praktik.



75



tersebut mutlak secara tersurat dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten. Undang-undang Paten di Indonesia bahwa invensi yang dilindungi Paten adalah invensi baru dibidang teknologi yang dapat berupa proses atau hasil produksi atau penyempurnaan dan pengembangan proses atau hasil produksi. Invensi tersebut dapat dalam bentuk mesin atau hasil produksi makanan, minuman, bahkan obat-obatan. Obat-obatan dapat dilindungi oleh Undang-undang Paten apabila telah memenuhi syarat novelty, inventif step, dan industrially applicable. Ketiga syarat tersebut dapat diterapkan terhadap obat modern (kimia) dan tidak menutup kemungkinan akan obat tradisional. Persyaratan tersebut merupakan suatu tantangan tersendiri bagi obat tradisional untuk mendapatkan hak paten. Unsur kebaruan dan unsur inventif step sulit untuk diperoleh bagi obat tradisional karena sulitnya dalam melakukan riset dan pengembangan bagi obat tradisional. Kesulitan ini dihadapkan pada alasan klasik yang masih tetap bertahan yaitu kurangnya tenaga ahli dibidangnya, kurangnya dana dan permodalan, serta kesadaran dan minat masyarakat terhadap riset dan pengembangan obat tradisional. Tantangan lain bagi Indonesia yaitu obat tradisional sulit untuk mendapatkan hak paten karena obat tradisional masih didasarkan pada pengetahuan tradisional (traditional knowledge). Diskursus mengenai paten obat tradisional (herbal) berbasis traditional knowledge (selanjutnya akan disingkat TK) menjadi akan sangat kompleks dan pelik. Diskursus akan dikupas baik dalam aras teori maupun dalam aras konsep. A. Pengaturan Undang-undang Paten di Indonesia Secara historis Undang-undang mengenai Paten telah ada sejak jaman HindiaBelanda yaitu dengan berlakunya Octrooiwet 1910 Nomor 136 Staatsblad 1911 No. 313 dan mulai berlaku sejak 1 Juli 1912, Industrieel Eigendom Kolonien 1912 dan



76



Auterswet 1912 Staatsblad 1912 No. 600.Paten61 merupakan hak khusus yang diberi kepada seseorang atas permohonannya kepada orang itu yang menciptakan sebuah produk baru, cara kerja baru, atau perbaikan baru dari produk atau dari cara kerja. Pada jaman pendudukan Jepang yaitu tahun 1942 s.d. 1945, semua peraturan perundang-undangan di bidang HKI tersebut tetap berlaku. Sejak bangsa Indonesia merdeka, sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peralihan UUD 1945, seluruh peraturan perundang-undangan peninggalan kolonial Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan UUD 1945, namun tidak demikian halnya dengan UU Paten yang dianggap bertentangan dengan pemerintah Indonesia. Ketentuan dalam UU Paten peninggalan Belanda, permohonan paten dapat diajukan di kantor paten yang berada di Batavia (sekarang Jakarta), namun pemeriksaan atas permohonan paten tersebut harus dilakukan di Octrooiraad yang berada di Belanda. Pemerintah Indonesia pada tanggal 12 Agustus 1953 mengeluarkan Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.S. 5/41/4 (Berita Negara Tahun 1953 Nomor 69, dimuat pula dalam Engelbrecht, Kitab-kitab Undang-undangdan Peraturan-peraturan Republik Indonesia, edisi tahun 1956, halaman 2810), yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten dalam negeri mulai 1 November 953. Pengumuman ini lengkap dengan memuat syarat-syarat untuk permohonan paten itu, yakni mengenai uraian pendapatan baru, gambar-gambar yang diperlukan, kertas karton dan kertas kalkir yang harus dipakai, dan biaya-biaya yang harus disetor62.



61



62



Art. 1. Octrooiwet 1910, Nederland, S.1910-313. Lihat pula OK Saidi, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2006),halaman 230. Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Hak Milik Intelektual, (Bandung : PT. Eresco, 1995), halaman 25.



77



Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.G. 1/2/17 Berita Negara Tahun 1953 Nomor 91, yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten luar negeri. Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.G. 1/2/17 tersebut sebagai payung hukum yang memungkinkan permintaan Paten dari luar negeri didaftarkan pula di Indonesia63. Pengumuman tersebut merupakan ketentuan yang bersifat sementara untuk mengatasi permohonan paten yang antara lain menyebutkan bahwa permohonan paten harus dilakukan dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa pemohon tetapi kemudian harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia64. Pada tanggal 23 Juli Presiden RI membentuk sebuah tim khusus (tim ini dikenal dengan sebutan Tim Keppres 34). Tim ini merupakan tim kerja antar Departemen yang diketuai oleh Menteri/Sekretaris Negara. Timkerja ini terdiri dari sejumlah Departemen/instansi



yakni



Departemen Kehakiman,



Departemen



Perindustrian, Departemen Kesehatan, Departemen Penerangan, Departemen Pendidikan dan Kebuadayaan, Departemen Perdagangan, Departemen Luar Negeri, BPPT, dan LIPI. Tim Kerja ini bertugas menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan perundang-undangan mengenai Hak Cipta dan Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan, serta menyelesaikan penyusunan perundangundangan mengenai Hak Paten. Tim ini mempunyai fungsi: 1. Melaksanakan inventarisasi atas: a. segala permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan ataupun dalam penyusunan perundang-undangan tersebut; 63



64



Lihat Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, (Bandung : Alumni, 2003), halaman 190-1991, OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2006), halaman 229, Dian Nurfitri dan Rani Nuradi, Pengantar Hukum Paten Indonesia, (Bandung : Alumni, 2013), halaman 27, lihat pula http://www.dgip.go.id/tentangkami/sekilas-sejarah, Sekilas Sejarah Perkembangan Sistem Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia,diakses tanggal 10 Januari 2013. BPHN, Penulisan Karya Ilmiah tentang Aspek-aspek Hukum dari Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) GATT, (Jakarta : BPHN, 1993/1994), halaman 74.



78



b. segala permasalahan yang ditemui dalam perundang-undangan tersebut yang diperlukan dalam rangka penyempurnaannya. 2. Mengumpulkan bahan-bahan dalam arti yang seluas-luasnya yang diperlukan dalam rangka penyelesaian permasalahan di atas, termasuk keterangan yang diperlukan dari pihak-pihak yang dipandang perlu. 3. Mengadakan pembicaraan dengan pihak-pihak yang dipandang perlu, baik dari luar maupun dalam negeri, dalam rangka penyelesaian permasalahan tersebut di atas. 4. Menyampaikan saran yang diperlukan bagi penyelesaian permasalahan tersebut kepada Presiden. Pemerintah yang menyadari betapa pentingnya pengaturan paten dalam memacu proses industrialisasi, diperlukan Undang-undang Paten tersendiri. Undang-undang ini diharapkan dapat menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang berkaitan dengan invensi baru, dan mendorong kegairahan untuk melakukan invensi baru65. Pengaturan mengenai Paten di Indonesia pertama kali pada tahun 1989 dengan disahkannya UU No. 6 Tahun 1989 tentang Paten. UU ini berlaku sejak 1 Agustus 1991. Menurut UU No.6 Tahun 1989 pengajuan kembali pendaftaran harus dilakukan dalam waktu satu tahun terhitung sejak berlakunya UU Paten ini (lihat ayat 2 UU No. 6 Tahun 1989). Jika tidak dilakukan, maka permintaan paten dianggap berakhir. Akan tetapi, pendaftaran permintaan paten sementara berdasarkan Pengumuman 1953 dinyatakan gugur apabila telah diajukan lebih dari sepuluh tahun sebelum mulai berlakunya UU Paten 1989 (lihat Pasal 3).



65



BPHN, Penulisan Karya Ilmiah tentang Aspek-aspek Hukum dari Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) GATT, (Jakarta : BPHN, 1993/1994), halaman 74.



79



Jadi, permohonan pendaftaran sementara yang diajukan sebelum tanggal 1 Agustus 1991 dinyatakan gugur66. Setelah itu UU No. 6 Tahun 1989 direvisi dengan UU No. 13 Tahun 1997. UU Paten 1989 adalah UU mengenai paten yang pertama kali dibuat sejak Indonesia merdeka. Pembentukan UU Paten 1989 ini didasarkan pada perkembangan teknologi khususnya dibidang industri67. UU Paten 1997 lahir sebagai produk hukum yang isinya mengacu pada perjanjian TRIPs. Undangundang terakhir dalam upaya untuk menyelaraskan semua peraturan perundangundangan di bidang HKI dengan Persetujuan TRIPs, pada tahun 2001 Pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 14 tahun 2001 tentang Paten. Pada tanggal 15 April 1994 Pemerintah RI menandatangani Final Act : Embodying the Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, yang mencakup Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPS). Penandatangantersebut membawa pengaruh terhadap peraturan perundang-undangan dalam bidang paten yaitu UUP turut menyesuaikan diri dengan persetujuan TRIPs yang pada akhirnya terbitlah UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten. Secara filosofis, tumbuhnya konsepsi kekayaan atas karya-karya intelektual khususnya pada invensi paten pada akhirnya juga menimbulkan upaya untuk melindungi atau mempertahankan kekayaan tersebut. Kebutuhan akan perlindungan ini melahirkan konsepsi perlindungan hukum atas hak paten sesuai dengan hakekatnya. Aturan tersebut dari sudut padang HKI diperlukan karena adanya sikap penghargaan, penghormatan dan perlindungan tidak saja akan memberikan rasa 66 67



Sudargo Gautama, Op.cit, halaman 27. Landasan hukum pembentukan UU Paten 1989 adalah : (1) Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 33 ayat (1) dan (2) UUD 1945; (2) Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.



80



aman, tetapi juga mewujudkan iklim yang kondusif bagi peningkatan semangat atau gairah untuk menghasilkan karya-karya inovatif, inventif dan produktif. Salah satu fungsi hukum adalah memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia. Sementara agar kepentingan manusia terlindungi, maka hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Hukum mencerminkan nilai-nilai keadilan, kesejateraan. Hukum juga diharapkan mencerminkan sistem nilai, baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai maupun sebagai sarana mewujudkan dalam tingkah laku masyarakat. Hukum sebagai suatu peraturan yang logis dan konsisten apabila dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat itu secara efektif dan didukung oleh sarana-sarana yang menandai. Agar unsur-unsur dalam hukum itu dapat terpenuhi dan dapat digunakan secara efektif sebagai suatu perantara, maka tidak hanya memahami hukum pada bentuk-bentuk yang sudah jadi, melainkan kita juga memahami latar belakang yang mendasari pemberlakuan suatu peraturan. Hukum paten dalam hal ini berfungsi untuk menjaga dan melindungi kreatifitas manusia dibidang teknologi. 1. Justifikasi Pemberian Paten dan Teori-teori Tentang Paten Justifikasi mengenai pemberian paten telah berkembang seiring dengan waktu. Para pendukung perlindungan paten menjustifikasi bahwa paten merupakan kepemilikan hak-hak alami atas produk hasil kerja keras mereka. Penekanan yang sama juga berpendapat bahwa mendapatkan kontribusi berupa reward dari hasil invensi sebuah paten adalah keadilan. Alasan keadilan ini yang menjadi andalan dalam membahas aspek sistem paten, meskipun alasan keadilan tidaklah sehandal alasan untuk kepentingan umum. Perdebatan mengenai justifikasi pemberian paten terus bergulir namun pada prinsipnya terdapat ide dasar dalam justifikasi pemberian paten yaitu 81



dimana ada keseimbangan bahwa masyarakat menanggung kerugian yang disebabkan oleh pemberian paten dan juga keuntungan di dalamnya. Setelah jangka waktu perlindungan paten selesai maka objek paten tersebut menjadi milik masyarakat/milik umum. Hal tersebut senada apa yang telah diungakapkan oleh Lionel Bently dan Brad Sherman 68: ―...what they share in common is the basic idea that the public should only ever have to endure the harm caused by the grant of a patent if the public receives some corresponding benefit. These arguments have tended to dominate discussion of the function of the patent system since the nineteenth century‖. Justifikasi pemberian paten telah banyak diperdebatkan oleh para pakar, diantaranya memberikan justifikasi pemberian paten. Kenyataannya pembenaran terhadap paten bahwa paten memberikan insentif untuk memproduksi invensi baru. Menurut Lord Oliver69, tujuan mendasar darin sistem paten adalah dorongan perbaikan dan inovasi. Inventor menerima manfaat dari hak monopoli sebagai imbalan dari hasil karyanya dan inventor mempunyai hak untuk mencegah orang lain menggunakan invensinya tanpa seizin darinya. Lebih khusus, dikatakan bahwa hak paten memberikan kemungkinan invensi dapat di eksploitasi untuk jangka waktu 20 tahun, ini berarti bahwa investor akan lebih bersedia untuk mendanai research and development. Pemahaman tersebut telah membuktikan bahwa paten dapat bertindak sebagai penghubung penelitian ilmiah dengan dunia bisnis. Pendapat lain mengenai justifikasi pemberian paten yang tidak begitu jauh berbeda yaitu David I. Bainbridge, yang menyatakan bahwa : 68



69



Lionel Bently dan Brad Sherman, Intellectual Property Law (Third Edition), (New York : Oxford university Press Inc, 2009), halaman 339. Ibid, halaman 340.



82



―The conventional justification for a patent system is that inventors and investors are rewarded for their time, work, and risk of capital by the grand of a limited, though strong, monopoly. This benefits society by stimulating investment and employment and because details of the invention are added to the storeof available knowledge‖. Pendapat David I. Bainbridge merupakan serangkaian justifikasi tentang pemberian paten, bahwa pembenaran secara konvensional untuk sistem paten dimana para inventor dan para investor layak untuk mendapatkan monopoli yang timbul dari hak paten. Penghargaan bagi inventor dan investor terkait dengan waktu yang telah mereka habiskan, risiko, dan kerja keras, untuk invensi yang telah dihasilkan. Adapun landasan pembenaran pemberian paten menurut Endang Purwaningsih adalah sebagai berikut70 : a. Incentive to create invention yakni insentif untuk kegiatan research and development yang memacu perkembangan teknologi dan inovasinya agar lebih cepat. b. Rewarding atau penghargaan terhadap si penemu akan invensinya yang bermanfaat bagi pengembangan teknologi dan industri. Si penemu telah bersusah payah dengan beban waktu dan biaya,menghasilkan suatu invensi maka adillah bilainvensi tersebut dihargai. c. Paten sebagai sumber informasi, artinya dengan adanya disclosure clause maka invensi yang telah diumumkan akan dapat dipergunakan pihak lain untuk membuat perbaikan atau penyempurnaan dan seterusnya sehingga dimungkinkan terjadi improvement on the improvement. Argumen menyakinkan yang dikembangkan oleh orang-orang yang tertarik melihat sistem paten terus dipertahankan dan ditingkatkan, seperti apa yang ditunjukkan oleh Dutton71, yaitu : a. The contract theory. Perlindungan sementara diberikan dalam reward untuk intelektual tentang invensi yang memiliki sifat kebaharuan.



70



71



Endang Purwaningsih, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan Lisensi ( Bandung, Mandar Maju, 2012) halaman, 64 - 65 David I. Bainbridge, Intellectual Property, (London : Financial Times, 1999 ), halaman 324.



83



b. The reward theory. Inventor harus dihargai karena telah membuat invensi yang useful dan hukum harus dapat berperan untuk menjamin penghargaan ini sehingga penemu dapat menerima imbalan yang cukup untuk intelektual mereka. c. The incentive theory. Dengan membangun kerangka menghargai invensi, dimana para inventor dan pemilik investasi akan menggunakan insentif tersebut untuk membuat invensi baru. d. The natural law / moral rights theory. Individu memiliki hak milik dalam ideide mereka sendiri dan hak ini harus dilindingi dari perampasan atau pencurian yang dilakukan oleh orang lain. Hal ini mirip dengan hak moral dalam hukum hak cipta. Teori-teori tentang justifikasi proteksi pemberian paten72 sebagai berikut : a. Teori pertama memandang paten sebagai hadiah (grant) berasal dari Inggris, di mana penguasa Inggris memberikan kepada orang-orang tertentu royal letter patent yang merupakan hak eksklusif atas industri tertentu. b. Teori paten sebagai kontrak (the contract or bargain theory) mengatakan bahwa orang akan di dorong untuk memikirkan invensi baru apabila terdapat suatu penghargaan sebagai suatu insentif. Di sini terdapat potensi bargain dengan jalan mendorong perkembangan ilmu dengan imbalan memperoleh hak eksklusif atas hasil Invensinya. c. Paten sebagai hak milik intelektual, dalam kaitan ini tanpa proteksi dari Undang-undang Paten, oang akan bebas meniru invensi tersebut, sehingga menikmati invensi tersebut sama dengan si penemu.paten seharusnya tidak mengambil sesuatu dari masyarakat, tetapi justru sebaliknya menambah sesuatu untuk publik. Aldous J73 memberikan justifikasi sistem paten secara sangat pragmatis, yaitu bahwa hampir setiap negara telah mengadopsi sistem paten karena secara umum hak paten memberikan kesempatan untuk mendapatkan hak monopoli 72



73



Chairul, Anwar, Hukum Paten dan Undang-undang Paten di Indonesia, (Jakarta, Jambatan, 1992), halaman 2. Ibid, halaman 324.



84



untuk merangsang invensi baru, setidaknya ada empat manfaat yang dapat diraih dalam pemberian hak paten. Pertama, paten dapat mendorong penelitian dan invensi. Kedua, paten memaksa seorang penemu untuk mengungkapkan invensinya bukan menjaga kerahasiaannya. Hal ini dapat dilihat dalam dokumen paten dimana semua mengenai invensi diungkapkan dalam dokumen paten. Ketiga, paten menawarkan reward atas pengorbanan dalam mengembangkan invensi. Keempat, paten mengajak untuk melakukan investasi dimana ada pembatasan dalam persaingan karena adanya monopoli dalam paten. Monopoli dalam paten memberi hak untuk membatasi persaingan dan juga memungkinkan untuk mengontrol harga dengan menaikan atau mempertahankan harga. Secara umum faktor yang mendasari sistem paten adalah reward atau penghargaan dan dorongan terhadap invensi baru. Hukum paten berisi sejumlah perlindungan untuk menghindari penyalahgunaan yang signifikan dari hak monopoli pada paten. Hak monopoli terlihat mengancam kepentingan umum namun



dengan



jaminan



adanya



kegiatan



industri



yang



meningkat,



pengembangan teknologi baru, dan pengungkapan invensi dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa sistem paten memiliki sisi positif dan sisi negatif. Kehadiran sistem paten yang kuat dan efektif dapat membawa banyak manfaat seperti penyebaran informasi dan dukungan insentif untuk berinvestasi dalam pengembangan proses atau produk baru yang pada akhirnya akan jatuh ke publik. Monopoli paten akan berakhir pada masa yang telah ditentukan (di Indonesia untuk paten biasa jangka waktu perlindungan 20 tahun). Hal ini



85



berimbang karena untuk mendapatkan hak paten mahal dan memakan waktu lama. Setiap manusia yang telah menghasilkan suatu kreativitas yang merupakan harta kekayaan intelektual, wajib untuk dihormati dan dilindungi. Perlindungan ini telah terwakili dalam pengaturan melalui undang-undang. Pada prinsipnya hak kekayaan intelektual tersebut tidak boleh digunakan tanpa seijin dari pemiliknya. Perlindungan ini didasarkan pada teori dasar perlindungan HKI yang dikemukakan oleh Robert C. Sherwood. Menurut Sherwood terdapat lima teori dasar perlindungan HKI74. a. Reward Theory Reward Theory memiliki makna yang sangat mendalam yaitu pengakuan terhadap karya intelektual yang telah dihasilkan oleh penemu/pencipta/pendesain sehingga ia harus diberi penghargaan sebagai imbalan atas upaya kreatifnya dalam menenumkan/menciptakan karya intelektualnya. b. Recovery Theory Recovery Theory, dinyatakan bahwa penemu/pencipta/pendesian yang telah mengeluarkan waktu, biaya, serta tenaga untuk menghasilkan karya intelektualnya kembali apa yang telah dikeluarkannya. c. Incentive Theory Incentive Theory dikaitkan antara pengambangan kreativitas dengan memberikan insentif kepada para penemu/pencipta/pendesain. Berdasarkan teori ini, insentif perlu diberikan untuk mengupayakan terpacunya kegiatankegiatan penelitian yang berguna. d. Risk Theory Risk Theory dinyatakan bahwa karya mengandung sebuah risiko. HKI yang merupakan hasil penelitian mengandung risiko yang memungkinkan orang lain yangterlebih dahulu menemukan cara tersebut atau memperbaikinya. Dengan demikian, adalah wajar memberikan bentuk perlindungan hukum terhadap upaya atau kegiatan yang mengandung risiko tersebut. e. Economic Growth Stimulus Theory Economic Growth Stimulus Theory diakui bahwa perlindungan atas HKI merupakan alat pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi adalah keseluruhan tujuan dibangunnya sistem perlindungan HKI yang efektif.



74



Sudaryat dkk, Hak Kekayaan Intelektual (Bandung, Oase Media, 2010), halaman 19 -20.



86



Iman Sjahputra75 menilai justifikasi terhadap paten berorientasi pada pro dan kontra dari peraturan perundang-undangan Paten. Pihak yang pro adanya Undang-undang Paten dengan alasan : a. Paten mendorong semangat inovasi. b. Paten mendorong arus investasi modal asing,memberi jaminan kerja tenaga lokal dan adanya alih teknologi ke dalam negeri c. Paten memicu alih teknologi. Prinsip-prinsip Undang-undang Paten di indonesia yaitu paten wajib dilaksanakan di Indonesia, importasi tidak dianggap sebagai pelaksanaan paten, mekanisme lisensi wajib (compulsory license). d. Paten mendukung industrialisasi. e. Paten sebagai sumber informasi teknologi : mendorong kemajuan teknologi. f. Fasilitas riset dan pengembangan. Pihak yang menentang Undang-undang Paten mengemukakan alasan sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. g.



Paten mempromosikan faham individualisme. Paten mengembangkan prinsip-prinsip monopoli. Harga naik. Industri dikuasai asing. Biaya membangun sistem mahal. Tidak bisa mencuri teknologi. Manfaat lebih dinikmati asing.



2. Implementasi Teori Negara Hukum perspektif Pengaturan Hukum Paten di Indonesia Kata ―Negara‖ pada umumnya dipahami sebagai terjemahan dari kata state (dalam bahasa Inggris), staat (dalam bahasa Belanda dan Jerman), dan etat (dalam bahasa Prancis). Pada jaman Yunani, Negara adalah Polis, yang kalau kita tinjau dari kacamata sekarang artinya suatu Negara (sebesar) Kota (Citystate) dengan segala sifat-sifat khususnya, seperti misalnya demokrasi langsung dll. Pada abad pertengahan, negara adalah suatu ―organisasi masyarakat‖ yang bernama : Civitas terena (keduniawian) disamping Civitas Dei (keagamaan) dan 75



Iman, Sjahputra, Hak Atas kekayaan Intelektual (Suatu Pengantar), (Jakarta : Harvarindo, 2007), halaman 89.



87



Civitas Akademica (ilmiah). Permulaan abad modern dijumpai pendangan bahwa negara itu adalah ―milik‖ suatu dynasti/emperium, dimana sebagai exesnya yang paling menonjol nampak pada ungkapan : ―L‘etat c‘estmoi‖. Secara historis akhirnya kita jumpai pula pandangan bahwa negara itu sifat hakekatnya adalah suatu ikatan tertentu atau status tertentu (staat-state). Yaitu status bernegara sebagai lawan dari pada status belum bernegara. (status naturalis lawan status civilis atau status berhukum rimba dan status dimana hak-hak civil atau hak asasi warga negara terjamin)76. Kata ―negara‖ (state, staat, etat) mulai pertama kali dikenal dan digunakan dalam abad ke-15 di Eropa Barat serta dialihkan dari kata bahasa Latin, yakni, dari kata status atau statum.77 Pemikiran tentang negara seperti apa yang telah diungkapkan di atas, bahwa paa zaman Yunani Kuno, abad kelima sebelum Masehi, di Athena, sebutan negara adalah polis. Polis merupakan benteng disebuah bukit yang semakin lama dikembangkan dan diperkuat sehngga banyak orang ikut untuk menggabungkan diri dengan mencari keamanan. Polis tersebut semakin lama dengan banyaknya orang yang bergabung, polis menjadi seperti kota. Dapat dikatakan pada zaman Yunani Kuno, polis tidak lebih sekedar sebuah kota. Ahli pikir tentang konsep negara pada zaman itu seperti Socrates, Plato, Aristoteles, hingga Zeno. Pemikiran Socrates78, negara bukanlah semata-mata merupakan suatu keharusan yang bersifat obyektif, yang asal mulanya berpangkal dari pekerti manusia. Socrates lebih menekankan pada tugas negara yaitu menciptakan 76 77



78



Padmo, Wahjono, Negara Republik Indonesia, Jakarta : Rajawali Press, 1986), halaman 52-53. Aminuddin,Ilmar, Hak Menguasai Negara Dalam Privatisasi BUMN, (Jakarta : KencanaPrenada Media Group, 2012), halaman 2. Juniarso, Ridwan, Tokoh-tokoh Ahli Pikir Negara dan Hukum, (Bandung : Nuansa, 2010), halaman 16



88



hukum yang harus dilakukan oleh para pemimpin atau penguasa yang dipilih secara seksama oleh rakyat. Plato79 lebih tegas menyatakan bahwa negara harus diperintah oleh seorang kepala negara yang tunduk kepada aturan-aturan yang berlaku. Plato memberikan gambaran suatu bentuk negara ideal. Gagasan mengenai bentuk negara ideal menurut Plato berupa negara yang bebas dari para penguasa dan pemimpin yang rakus dan jahat. Negara ideal Plato tersebut adalah negara hukum. Ide (gagasan) negara hukum Plato, yang mengandung pemikiran mengenai suatu bentuk negara ideal, sesuai dengan situasi dan kondisi zaman pada masanya. Plato mengidam-idamkan suatu bentuk negara yang damai dan penuh dengan rasa kekeluargaan80. Bentuk negara ideal Plato pertama kali dikemukakan dalam karya berjudul Politea (The Republic). Dalam gagasan negara ideal Plato, penguasa yang memerintah seharusnya memiliki moralitas yang baik dan terpuji serta memiliki kebajikan dan segala macam ilmu pengetahuan, terutama ilmu pemerintahan. Unsur penguasaan ilmu pemerintahan sangat penting bagi Plato sebab jika para penguasa menguasai ilmu pemerintahan, maka akan dapat memimpin dengan baik agar dapat mencapai kesejahteraan umum (kesejahteraan bersama). Penguasa yang dapat menguasai pengetahuan untuk memerintah dengan arif dan bijaksana adalah penguasa yang telah menguasai ilmu filsafat (filsuf). Oleh sebab itu, bagi Plato, tipe ideal seorang penguasa adalah seorang filsuf. Menurut Plato, hanya filsuf yang pantas menjadi raja81.



79



Munir, Fuady, Teori Negara Hukum Modern, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2009), halaman 27. Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Jakarta : Erlangga, 2010), halaman 11. 81 Ibid, halaman 13 80



89



Gagasan negara ideal menurut Plato, hukum tidak perlu diberlakukan terhadap penguasa (raja) karena penguasa adalah orang yang arif dan bijaksana serta menguasai pengetahuan memerintah sehingga tidak mungkin berbuat kesalahan. Sebagai seorang filsuf-raja, sang penguasa merupakan orang terpilih secara



moral



dan



pengetahuan



sehingga



dianggap



tidak



mungkin



menyalahgunakan kedudukan dan wewenangnya. Atas dasar alasan itu, Plato berpendapat bahwa hukum tidak perlu dan tidak berguna bagi seorang penguasa (filsuf-raja). Gagasan filsuf-raja ini ditawarkan oleh Plato sebagai formula untuk mencegah kelahiran bentuk pemerintahan yang rakus dan jahat seperti yang berlangsung di negara kota Athena. Dalam Politicus (The Stateman), Plato sudah memberikan perhatian yang cukup penting terhadap hukum sebagai instrumen penyelenggaraan negara. Gagasan Plato mengenai fungsi dan kedudukan hukum belum sama seperti dalam konsep negara hukum di zaman modern. Hukum tidak dapat dilepaskan dari negara. Pertama, karena hukum harus diterapkan pada suatu masyarakat negara. Kedua, karena hukum salah satunya diciptakan oleh masyarakat dan penguasa negara. Hukum juga tidak dapat dilepaskan dari manusia, karena hukum adalah karya cipta manusia yang menginginkan suatu norma untuk mengatur kehidupan masyarakatnya agar lebih tertib, damai, pasti, adil.82 Kedudukan dan fungsi hukum yang sangat penting baru tampak dalam karya Plato berikutnya, Namoi (The Law). Plato menulis Namoi dalam usia lanjut dan dalam karyanya itu, pendiriannya sudah berubah. Ia sudah memberikan perhatian dan arti penting terhadap hukum. Plato mengemukaan 82



E. Sundari dan M.G. Endang Sumiarni, Hukum yang ―Netral‖ bagi Masyarakat Plural (Studi pada Situasi di Indonesia), (Bandung : Karya Putra Darwati, 2010), halaman 1.



90



bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang baik diatur oleh hukum. Bagi Plato, hukum bukanlah semata-mata bertujuan untuk memelihara ketertiban dan menjaga stabilitas negara. Seperti halnya salah satu fungsi hukum klasik dalam teori zaman modern, hukum terutama berfungsi menolong setiap warga negara untuk mencapai keutamaan atau kebijakan pokok sehingga akhirnya layak menjadi warga negara dalam negara ideal. Dalam hubungan dengan pandangan Plato mengenai fungsi hukum tersebut83. Aristoteles84, yang lebih realistis menyimpulkan bahwa negara memang harus diperintah oleh kepala negara yang tunduk kepada hukum yang berlaku (rule of law). Pandangan Aristoteles mengenai tujuan negara berbeda dengan Plato. Tujuan negara menurut Aristoteles, tujuan negara adalah kebaikan yang tertinggi bagi semua warga negara, sedangkan menurut Plato, tujuan negara adalah kebahagiaan warga negara. Pandangan Aristoteles mengenai negara merupakan ajaran yang bersifat organik, sedangkan ajaran Plato bersifat fungsional85. Pada abad pertengahan, yakni abad XII hingga abad XV, muncul pemikiran dalam pertentangan antara negara dan gereja. Keduanya masingmasing mengklaim dirinya sebagai wakil Tuhan di dunia. Pemikiran Agustinus, Thomas Aquinas, John Salisbury maupun Marsilius, banyak mewarnai pertentangan tersebut. Mamasuki zaman Renaissance86pada abad XVI dan XVII, pemikiran dan pemahaman konsep pemerintahan yang berdasarkan atas hukum menemukan bentuknya yang modern. Dalam hal ini, dengan masih



83 84 85 86



Ibid, halaman 15. Munir, Fuady, Teori Negara Hukum Modern, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2009), halaman 27. Hotma P. Sibuea, Op.cit, halaman 15. Munir, Fuady, Op.cit., halaman 28.



91



mengandalkan hukum alam sebagai landasan teorinya, negara harus melindungi kepentingan pribadi dan kepentingan rakyatnya. Negara, berdasarkan kontrak sosial



yang



oleh



rakyat



sudah



diserahkan



kedaulatannya,



haruslah



memperhatikan dan membela nasib rakyat, karena rakyatlah kekuasaan negara tersebut berasal. Pada abad ke-17 pemikiran Renaissance mencapai penyempurnaannya, pada masa ini dipandang sebagai sumber alamiah dan dapat dipakai manusia adalah akal (rasio) dan pengalaman (empiris). Pada umumnya orang cenderung untuk memberikan tekanan pada saah satu dari keduanya, maka pada abad ini timbullah dua aliran yang saling bertentangan, yaitu rasionalisme87 dan empirisme88. Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke-17 sampai akhir abad ke-18. Zaman ini dikatakan zaman yang memiliki ciri khas tersendiri, di mana ilmu-ilmu pengetahuan sudah mengedepankan akal budi dari manusia (ratio)89.Para pemikir pada masa ini adalah Samuel Pufendorf, Christian Thomasius, Christian Wolff, dan John Locke. John Locke mengarahkan perhatiannya pada filsafat negara dan hukum. Teorinya tentang negara dan hukum dibentangkan dalam bukunya, Two Treatises of Civil Government



87



88



89



Aliran rasionalisme brpendapat bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat yang dituntut oleh semua sifat umum dan yang perlu mutlak, yaitu syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah, dan pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang telah didapatkan oleh akal, dan akal tidakmemerlukan pengalaman. Karena akal dapat menurunkan kebenaran dari pada dirinya sendiri, yaitu atas dasarasas-asas pertama yang pasti, di mana metode yang diterapkannya adalah deduktif. Aliran empirisme berpendapat bahwa empiri atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan, baik itu pengalaman batiniah maupun pengalaman lahiriah. Akal bukan menjadi sumber pengetahuan, akan tetapi akal mendapatkan tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman. Juniarso, Ridwan dan Achmad Sodik, Tokoh-tokoh Ahli Pikir Negara & Hukum, (Bandung : Nuansa, 2010), halaman 163.



92



(1690), dalam filsafatnya tentang negara dan hukum, Locke menentang pandangan terhadap negara dan hukum. Pada abad ke-18, dimulailah zaman baru yang sebenarnya telah berakar pada era Renaissance. Zaman ini dikenal dengan zaman Aufklarung (pencerahan). Pemikir pada zaman ini adalah Montesquieu90, Jean Jasque Rousseau, dan Imamanuel Kant. Immanuel Kant91 memahami negara hukum sebagai Nachtwakerstaat atau negara sebagai penjaga malam, yang tugasnya hanya menjamin ketertiban dan keamanan masyarakat92. Frederich Julius Stahl93 memiliki pandangan berbeda dengan Immanuel Kant. Tugas negara menurut Stahl tidak sekedar penjaga malam, tetapi berkembang lebih luas dan aktif campur tangan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Konsep semacam ini dikenal dengan istilah Welvaarstaat atau negara kesejahteraan94. Konsep negara hukum pada abad ke-19 dan permulaan abad-20, oleh ahliahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti Imannuel Kant dan Frederich Julius Stahl menggunakan istilah rechstaat, sedangkan ahli Aglo Saxon seperti A.V. Dicey menggunakan istilah Rule of Law.



90



Montesquieu terkenal dengan konsep Trias Politika nya. Trias Politika berasal dari bahasa Yunani (Tri=tiga, As=poros/pusat, politika=kekuasaan) yang merupakan salah satu pilar demokrasi. Prinsip Trias Politika membagi tiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif, dan legislatif)untk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain.kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga ini diperlukan agar ketiga lembaga ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances. 91 Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2011), halaman 130131. 92 Ide negara hukum yang pertama lahir di benua Eropa adalah ide negara penjaga malam. Ide negara hukum penjaga malam disebut sebagai negara hukum liberal atau negara hukum klasik. Disebut negara hukum liberalkarena yang memperjuangkan gagasan negara penjaga malam adalah golongan masyarakat yang berhaluan liberal. Golongan liberal memperjuangkan ide negara hukum bukan dengan motif politis melainkan motif ekonomi. 93 Stahl merupakan pelopor negara hukum formal. Ide negara hukum formal masih tetap mempertahankan unsur negara hukum klasik atau negara penjaga malam dan melengkapinya dengan unsur-unsur lain. 94 Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2011), halaman 134.



93



Konsep Stahl tentang negara hukum ditandai oleh empat unsur pokok, yaitu 95: 1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia; 2. Negara didasarkan pada teori Trias Politika (pemisahan kekuasaan); 3. Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan aturan hukum atau undangundang (wetmatig bestuur); 4. Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah. Albert Venn Dicey mengetengahkan tiga arti rule of law yaitu96 : 1. Supremasi atau superioritas hukum reguler yang mutlak yang bertentangan dengan pengaruh kekuasaan sewenang-wenang, dan mencabut hak prerogatif atau bahkan kekuasaan bertindak yang besar di pihak pemerintah karena munculnya



kesewenang-wenangan



tersebut.



Orang



dihukum



karena



melanggar hukum, namun ia tidak dapat dihukum karena alasan lain. Dapat dikatakan keunggulan mutlak hukum atau supremacy of law. 2. Kesetaraan di depan hukum, atau ketundukan setara semua kelompok masyarakat kepada hukum umum. Tidak ada orang yang berada di atas hukum. Baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk mentaati hukum yang sama. Dapat dikatakan persamaan di hadapan hukum atau equality before the law.



95



Juhaya S. Praja, op.cit, halaman 135; Padmo Wahyono, Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia, Makalah tahun 1988, halaman 2.; Padmo wahyono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind. Hill Co, Jakarta, 1989, halaman 151, Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum (Bandung : Alumni, 1973), halaman 13; Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta : PT. Gramedia Utama, 1998), halaman 57-58. 96 A.V. Dicey, diterjemahkan oleh E.C.S. Wade, Introductioan to the Study of the Law of the Constitution, (Bandung : Nusamedia, 2007), halaman 264-265. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta : PT. Gramedia Utama, 1998), halaman 58.



94



3. Hukum konstitusi kita, aturan-aturan yang di luar negeri biasanya membentuk sebagian undang-undang konstitusi, bukanlah sumber melainkan konsekuensi hak-hak individu, karena ditentukan dan dijalankan oleh pengadilan. Konstitusi merupakan hasil dari hukum umum negara. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan. Dengan kata lain konsep yang berdasarkan konstitusi adalah hasil pengakuan hak-hak individual oleh para hakim atau due process of law. Konsep negara hukum dari Eropa Kontinental dan Anglo Saxon adalah sejalan dengan perkembangan aliran liberal individualistis, sebagai realisasi dari pelaksanaan tujuan kemakmuran individu. Rumusan unsur-unsur negara hukumnya cenderung merupakan perlindungan terhadap kebebasan dan hak perorangan. Upaya untuk mencegah adanya pemusatan kekuasaan dalam negara, secara formal rumusan unsur-unsur negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental dan Anglo Saxon adalah97 : 1. Perlindungan Hak asasi 2. Pemisahan Kekuasaan 3. Pemerintahan berdasar undang-undang 4. Peradilan administrasi negara 5. Supremasi hukum 6. Persamaan dalam hukum 7. Konstitusi berdasar hak asasi



97



Maleha Soemarsono, Negara Hukum Indonesia ditinjau dari Sudut Teori Tujuan Negara, (Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun ke-37 No. 2, April –Juni 2007), halaman 312.



95



Konsepsi rechtstaat berkembang di negara Eropa Kontinental, sedangkan konsepsi rule of law berkembang di negara-negara Anglo Saxon. Kedua konsep atau gagasan tersebut pada dasarnya berbeda dalam semangatnya dan sistem hukum yang menopangnya. Konsepsi rechtstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga memiliki jiwa yang revolusioner, sedangkan konsepsi rule of law berkembang secara evolusioner. Konsepsi rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut civil law, sedangkan konsepsi rule of law ditopang oleh sistem hukum common law. Pada prinsipnya sekarang, perbedaan itu tidak dipermasalahkan lagi karena kedua konsepsi mengarah pada sasaran yang sama yaitu membatasi kekuasaan agar tercapai pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.98 Konsep negara hukum selalu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat dan negara. Utrecht membedakan dua macam negara hukum, yaitu negara hukum formil atau negara hukum klasik, dan negara hukum material atau negara hukum modern. Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, dalam arti tugas negara adalah melaksanakan peraturan perundang-undangan untuk menegakkan ketertiban (negara penjaga malam). Negara hukum materil mencakup pengertian yang lebih luas termasuk keadilan di dalamnya. Tugas negara tidak hanya menjaga ketertiban dengan melaksanakan hukum, tetapi juga mencapai kesejahteraan rakyat sebagai bentuk keadilan (welfarestate).99



98 99



Hotma P. Sibuea, Op.cit., halaman 45-46. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Jakarta : Ichtiar, 1962), halaman 9 ; Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, (Jakarta : Konstitusi Press, 2006), halaman 149.



96



Istilah ―negara hukum‖, ―rechtsstaat‖, ―rule of law‖, sering digunakan dalam kepustakaan Indonesia. Terminologi ―negara hukum‖ disebutkan secara tegas dalam Konstitusi 1949, baik dalam Mukadimah Alenia ke-4 maupun di dalam Batang Tubuh Pasal 1 ayat 1. UUDS 1950 juga mencantumkan istilah ―negara hukum‖, yaitu dalam Alinea ke-4 Mukadimah dan dalam Bab I, Bagian I, Pasal 1 ayat 1 UUDS 1950. Penjelasan UUD 1945 menegaskan negara hukum Indonesia100. Isi dari Mukadimah Konstitusi RIS 1949 yaitu : ―Kami bangsa Indonesia semenjak berpuluh-puluh tahun lamanya bersatu padu dalam perjuangan kemerdekaan, dengan senantiasa berhati teguh berniat menduduki hak hidup sebagai bangsa yang merdeka berdaulat. Kini dengan berkat dan rahmat Tuhan telah sampai kepada tingkatan sejarah yang berbahagia dan luhur.Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam negara yang berbentuk republik-federasi, berdasarkan pengakuan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial. Untuk mewujudkan kebahagiaan kesejahteraan, perdamaian dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat sempurna‖. Pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS menekankan sekali lagi, bahwa Republik Indonesia Serikat itu negara hukum dengan kata-kata sebagai berikut : ―Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi‖. Dengan demikian tidak perlu diragukan lagi bahwa secara eksplisit negara RIS dinyatakan sebagai negara hukum. Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950), penegasan bahwa Indonesia adalah negara hukum dapat dibaca dalam kalimat terakhir bagian Mukadimah sebagai berikut:



100



O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, (Jakarta : Badan Penerbit Kristen, 1970), halaman 9-10.



97



Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan Rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dengan berkat dan rahmat Tuhan tercapailah tingkatan sejarah yang berbahagia dan luhur. Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu piagam Negara yang berbentuk republik kesatuan, berdasarkan pengakuan ke Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial, untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia merdeka yang berdaulat sempurna. Rumusan negara hukum ini dipertegas lagi di dalam Pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 yang menyatakan: ―Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan‖. Undang-undang Dasar Proklamsi 1945 menegaskan pula konsep negara hukum Indonesia. Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 tidak menyebutkan expressis verbis (dengan kata yang tegas) bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum, tetapi apabia menilai isi dan maksudnya secara objektif, tidak ada keragu-raguan bahwa Undang-undang Dasar 1945 juga menginginkan pembangunan negara hukum. Pasal 1 ayat (1) juga tidak menyebutkan istilah negara hukum, tetapi dalam penjelasan Undang-undang Dasar Negara Indonesia 1945 pada bagian ―Sistem Pemerintahan Negara‖ dirumuskan dengan tegas. Sistem Pemrintahan Negara yang ditegaskan dalam Undang-undang Dasar adalah : I. Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas Hukum (Rechtstaat). Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat). II. Sistem Konstitusional. Pemerintahan berdasar atas Sistem Konstitusi (Hukum Dasar) tidak bersifat Absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas)‖.



98



Persoalan negara hukum bukanlah persoalan yang mati diatas Undangundang Dasar, dalam pendahuluan bagian akhir dari Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong mengenai pertanggungjawaban dari kepemimpinan Presiden Soekarno dan persidangan istimewa MPRS di Jakarta tanggal 9 Februari 1967, menyantumkan : ―Berdasarkan uraian pendahuluan di atas,maka bersama ini DPR GR menyampaikan memorandum mengenai pokok-pokok persoalan yang langsung menyangkut hidup ketatanegaraan Republik Indonesia dengan tjuan utama menegakkan dasar negara Pancasila dan negara hukum secara konsekuen diatas landasan Undang-undang Dasar 1945‖. Notohamidjojo101 menekankan bahwa tidak hanya UUD, lembagalembaga legislatif tertinggi, DPRGR dan MPRS, melainkan juga creative minority yaitu golongan intelegensia serta pemimpin-pemimpin rakyat Indonesia yang berdaya cipta untuk memberi jawaban yang tepat terhadap persoalan masyarakat dan negara Indonesia, antara lain dalam Simposium Universitas Indonesia, dalam sidangnya yang ke-2 pada tanggal 7 Mei 1966 membahas : ―Indonesia Negara Hukum‖, mencapai perumusan : ―Negara Republik Indonesia adalah suatu Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila‖. Rumusan negara hukum Indonesia dapat dijumpai juga dalam Penjelasan UUD 1945 (sebelum amandemen) yang merupakan terjemahan dari kata rechsstaat. Rumusannya adalah : ―Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasar kekuasaan belaka (machtstaat). Setelah UUD 1945 diamandemen, penjelasan ditiadakan dan isinya yang bersifat normatif dimasukan di dalam pasal-pasal, maka istilah rechtsstaat juga ditiadakan. Pada perubahan ketiga UUD 1945, rumusan negara hukum kita jumpai dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan : ―Negara Indonesia adalah negara 101



Ibid, halaman 11.



99



hukum‖. Jadi tidaklagi merupakan terjemahan dari kata rechtsstaat yang merupakan rumusan negara hukum menurut tradisi Eropa Kontinental. Amandemen-amandemen yang telah dilakukan oleh Negara Indonesia telah membuktikan bahwa bukan Undang-undang Dasar Negara Indonesia tidak statis melainkan memiliki dinamika. Amandemen keempat mengisyaratkan keinginan bangsa Indonesia untuk lebih mempertegas identitas negaranya sebagai suatu negara hukum. Satjipto Rahardjo menekankan bahwa negara hukum Indonesia perlu terus menerus menegaskan identitasnya yang belum tuntas. Satjipto Rahardjo menganalogikan, Negara hukum Indonesia yang dibentuk pada tahun



1945



ibarat rumah yang belum selesai benar. Negara hukum ada bukan untuk negara hukum itu sendiri melainkan untuk menjadi rumah yang membahagiakan penghuninya102. Di Indonesia, prinsip rechtsstaat atau negara hukum yang memberlakukan prinsip rule of law dan mengarah pada suatu welfare staat, diterima dengan penyesuaian tertentu, yang mana prinsip negara hukum sebagai penjaga malam atau nachtwakerstaat tidak bisa diterima oleh bangsa Indonesia. UUD NRI 1945 pada Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa ―Negara Indonesia adalah Negara Hukum‖. Negara hukum Indonesia berdasar pada Pancasila sebagai ideologi bangsa, UUD 1945 sebagai konstitusi, NKRI sebagai pilihan multak bentuk negara, dan prinsip bhineka tunggal ika sebagai penyatu seluruh elemen bangsa. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik merupakan satu langkah menuju cita negara hukum, dimana 102



Satjipto, Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya,((Yogyakarta : Genta Publishing, 2009), halaman 3-4.



100



perencanaan, partisipasi masyarakat, dan proses pembahasan yang terbuka dilakukan saat pembentukan hukum103. Pembentukan norma hukum yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract legal norms) berupa peraturan yang bersifat tertulis (statutory form), pada umumnya didasarkan atas beberapa hal yaitu (1) pembentukannya diperintahkan oleh Undang-undang Dasar, (2) pembentukannya dianggap perlu karena kebutuhan hukum104. Undang-Undang



Dasar



Negara



Republik



Indonesia



Tahun



1945



merupakan hukum dasar tertulis yang berkedudukan sebagai hukum dasar bagi setiap pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang ada di bawahnya, sehingga dalam pembentukan hukum tidak boleh bertentangan dengan Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia sebagai hukum dasar. Konsekuensi Negara Indonesia yang menyatakan diri sebagai negara hukum, maka dituntutlah suatu pembentukan hukum yang akomodatif105, adaptif106, dan progresif107. Kaitannya dengan pembentukan hukum di Indonesia tidak akan luput dari pertimbangan keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Negara hukum bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik, adil, dan berdaya guna bagi masyarakat.



103



104 105



106



107



Bambang Kesowo menyoroti bahwa pertanyaan apakah Negara Indonesia adalah sebuah Negara Hukum maka harus dijawab dengan menggunakan indikator penegakan keadilan bagi setiaporang tanpa ada pembeda, kepastian hukum melalui pembentukan peraturan perundang-undangan. Lihat Kesowo, Bambang, Negara Hukum, Pogram Legislasi Nasional dan Kebutuhan Desain Besar Bagi Perencanaannya, Jurnal Arena Hukum, Jilid 6 Nomor 1 April 2012, halaman 1-9. Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-undang, (Jakarta : Rajawali Press, 2011), halaman 179. Akomodatif artinya mampu menyerap, menampung keinginan dan aspirasi masyarakat yang dinamis. Makna hukum seperti ini menggambarkan fungsinya sebagai pengayom, pelindung masyarakat. Hukum juga mampu mengakomodasi segala persoalan masyarakat yang semakin kompleks. Adaptif, artinya mampu menyesuaikan diri dengan keadaan dan dinamika perkembangan jaman, sehingga tidak pernah usang. Hukum bergerak seiring dengan perkembangan jaman. Progresif, artinya selalu bergerak atau berorientasi pada kemajuan, berarah pada perbaikan dan berorientasi pada perspektif masa depan.



101



Indonesia sebagai negara yang mendasarkan pada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 dalam segala aspek kehidupan senantiasa mendasarkan pada hukum. Negara Indonesia dalam mewujudkan negara hukum tersebut diperlukan tatanan yang tertib antara lain dibidang pembentukan peraturan perundangundangan yang harus dirintis sejak saat perencanaan sampai dengan pengundangannya.



Perundang-undangan



yang



baik



diperlukan



berbagai



persyaratan berkaitan dengan sistem, asas, tata cara penyiapan dan pembahasan, teknik penyusunan maupun pemberlakuannya108. Pembentuan hukum paten di Indonesia berupaya bergerak pada sifat yang akomodatif, adaptif, dan progresif, meskipun belum dapat dikatakan sepenuhnya telah memenuhi ketiga kriteria tersebut. Hukum Paten harus bersifat akomodatif yang artinya bahwa hukum paten mampu menyerap dan menampung keinginan masyarakat yang dinamis. Makna hukum paten yang demikian menggambarkan fungsinya sebagai pengayom masyarakat. Hukum paten bersifat adatif yang artinya hukum paten mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman, sehingga hukum paten tidak pernah ―usang‖. Penyesuaian telah dilakukan oleh UU Paten yaitu dengan menyesuaikan diri dengan ketentuan TRIPs. Hukum paten bersifat progresif artinya bahwa hukum paten selalu berorientasi pada kemajuan dan memiliki prespektif ke masa depan. Makna hukum paten yang demikian menggambarkan kemampuan hukum paten untuk tampil dalam praktiknya mencairkan kebekuan-kebekuan dogmatika. Hukum paten dapat menciptakan kebenaran yang berkeadilan bagi setiap anggota masyarakat.



108



Jimly, Ashiddiqie, Perihal Undang-undang, (Jakarta : Rajawali Press, 2011), halaman 180.



102



Secara substansi hukum paten belum sepenuhnya memenuhi keadilan masyarakat akan proteksi khususnya untuk TK. Sikap akomodatif dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia telah dibuktikan dengan upaya penyempurnaan, penambahan, dan penghapusan undang-undang Paten. Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang paten merupakan undang-undang terakhir mengenai Paten dan telah beberapa kali negara Indonesia merevisi undang-undang Patennya. Perubahan yang dilakukan terhadap undang-undang Paten lama (yang baru UU No. 14 Tahun 2001) meliputi penyempurnaan, penambahan dan penghapusan. Penyempurnaan dalam hal ini berkaitan dengan terminologi, dimana istilah invensi digunakan untuk invensi dan istilah inventor digunakan untuk penemu. Penyempurnaan lain berkaitan dengan paten sederhana, sedangkan penambahan berkaitan dengan beberapa hal yaitu penegasan mengenai istilah hari, invensi yang tidak dapat diberi paten, penetapan sementara pengadilan, penggunaan penerimaan negara bukan pajak, penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Penghapusan dilakukan terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-undang Paten lama yang dinilai tidak sejalan dengan persetujuan TRIPs, misalnya ketentuan yang berkaitan dengan penundaan pemberian paten dan ruang lingkup hak eksklusif pemegang paten. Pembentukan hukum Paten meskipun telah berupaya untuk mengakomodir kepentingan masyarakat, namun masih banyak kepentingan masyarakat yang belum terakomodir dengan baik, termasuk berkaitan dengan proteksi produk herbal yang berbasis Traditional Knowledge dalam Undang-undang Paten. 3. Proteksi Herbal Berbasis Traditional Knowledge dalam Undang-undang Paten 103



Keberadaan produk herbal sebagai obat tradisional sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia dan keberadaannya memiliki tempat tersendiri di masyarakat Indonesia. Herbal istilah atau sebutan untuk sebagian atau seluruh tanaman yang memiliki khasiat sebagai obat. Khasiat tanaman ini diketahui sejak turun temurun (dapat dikatakan telah menjadi pengetahuan tradisional masyarakat). Istilah herbal109 biasanya dikaitkan dengan tumbuh-tumbuhan yang tidak berkayu atau tanaman yang bersifat perdu. Dalam dunia pengobatan, istilah herbal memiliki makna yang lebih luas, yaitu segala jenis tumbuhan dan seluruh bagian-bagiannya yang mengandung satu atau lebih bahan aktif yang dapat dipakai sebagai obat. Pembicaraan mengenai Obat herbal110 ada 3 istilah yang terkait di dalamnya yaitu obat asli111, obat tradisional112, dan obat bahan alam113. Berbagai istilah tersebut sampai saat ini belum mencapai kesepakatan, hal ini bisa di lihat berbagai macam perngertian atau istilah herbal. WHO mendefinisikan herbal (herb) sebagai bahan tanaman mentah seperti daun, bunga, buah, biji, batang, kayu, kulit kayu, akar, rimpang atau bagian tanaman lainnya, yang mungkin seluruh, terfragmentasi atau bubuk.



109 110



111



112



113



Rina Nurmalina, Op.cit., halaman 1. Trubus, Herbal Indonesia berkhasiat (Bukti Ilmiah dan Cara Racik), (Bogor : PT. Trubus Swadaya, 2010), halaman 10. Obat asli adalah suatu obat bahan alam yang ramuannya, cara pembuatannya, pembuktian khasiat, keamanan, serta cara pemakaiannya berdasarkan pengetahuan tradisional penduduk suatu daerah. WHO mendefinisikan obat tradisional sebagai obat asli di suatu negara yang digunakan secara turun temurun di negara itu atau negara lain. Semua obat yang dibuat dari bahan alam yang dalam proses pembuatannya belum merupakan isolat murni. Obat bahan alam bisa berupa obat asli, obat tradisional, atau pengembangan dari keduanya.



104



Herbs include crude plant material such as leaves, flowers, fruit, seeds, stems, wood, bark, roots, rhizomes or other plant parts, which may be entire, fragmented or powdered114. Istilah herbal yang digunakan oleh Kementerian Kesehatan baik dalam Peraturan Menteri Kesehatan maupun dalam Undang-undang Kesehatan adalah istilah obat tradisional. Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan juga menggunakan istilah obat tradisional. Peraturan Menteri kesehatan Nomor 246/Menkes/Per/V/1990 Pasal 1 menyebutkan bahwa : Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dan bahan-bahan tersebut, yang secara traditional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Pengertian obat tradisional menurut Pasal l1 Angka 9 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Undang-undang Kesehatan tidak banyak menyebutkan atau membahas mengenai obat tradisional, hanya beberapa pasal yang berkaitan dengan obat tradisional, yaitu Pasal 100, Pasal 101, Pasal 105, dan Pasal 108. Pasal 100 (1) Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan



dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan tetap dijaga kelestariannya. 114



Lebih lanjut WHO menjelaskan bahwa Herbal medicines : These include herbs, herbal materials, herbal preparations and finished herbal products. World Health Organization. WHO guidelines for assessing quality of herbal medicines with reference to contaminants and residues, (Geneva: WHO, 2007), halaman 4-6.



105



(2) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan baku obat



tradisional . Pasal 101 (1)Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya. (2)Ketentuan mengenai mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 105 (1) Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus memenuhi syarat farmakope Indonesia atau bukustandar lainnya. (2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat kesehatan harus memenuhi standardan/atau persyaratan yang ditentukan. Pasal 108 (1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dankewenangan sesuai dengan ketentuan peraturanperundangundangan. (2) Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan denganPeraturan Pemerintah.



Di Indonesia, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang mempunyai tanggung jawab dalam peredaran obat tradisional di masyarakat, menggolongkan obat tradisional berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, yaitu jamu115, obat ekstrak (herbal)116, dan fitofarmaka117. Istilah herbal sendiri lebih dikenal dalam dunia



115



Jamu (Empirical Based Herbal Medicine) adalah Jamu adalah obat yang diolah secara tradisional, baik dalam bentuk serbuk, seduhan, pil, maupun cairan yang berisi seluruh bagian tanaman. Pada umumnya, jamu dibuat berdasarkan resep peninggalan leluhur yang diracik dari berbagai tanaman obat yang jumlahnya cukup banyak, sekitar 5-10 macam bahkan lebih. Jamu yang telah digunakan secara turun-temurun selama berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin ratusan tahun, telah membuktikan keamanan dan manfaat secara langsung untuk pengobatan suatu penyakit. 116 Bahan Ekstrak Alami (Scientific Based Herbal Medicine) adalah obat tradisional yang dibuat dari ekstrak atau penyarian bahan alami yang dapat berupa tanaman obat, binatang maupun mineral. Jenis ini pada umumnya telah ditunjang dengan pembuktian ilmiah berupa penelitian-penelitian praklinis seperti standar kandungan bahan berkhasiat, standar pembuatan ekstrak tanaman obat, standar pembuatan obat tradisional yang higienis, serta uji toksisitas akut dan kronis. Sayangnya, perkembangan obat ekstrak belum diiringi dengan penelitian sampai dengan uji klinis, tetapi hanya melewati uji praklinis. Bahan ekstrak alami disebut juga obat herbal. Produk bahan ekstrak alami atau herbal ini memiliki tanda khusus berupa tanda tiga buah bintang dalam lingkaran berwarna hijau. Obat-obatan herbal ini sudah distandardisasi sesuai dengan peraturan pembuatan obat-obatan. Pembuatannya disesuaikan dengan pembuatan obat secara modern sehingga lebih higienis. Obatobatan herbal ini sudah banyak beredar dan dikenal masyarakat,



106



praktek pengobatan tradisional. Obat Herbal118 adalah obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, karena tidak mempunyai efek samping seperti pada obatobatan kimia. Obat herbal juga disebut sebagai phytomedicine atau obat botani, bahan-bahan dasar obat-obatan herbal adalah ekstrak dari seluruh atau sebagian tanaman yang bisa dijadikan obat. Penggunaan obat herbal telah dikenal dan banyak digunakan sejak zaman dahulu, karena memiliki khasiat yang manjur dan ampuh. Obat dapat dibagi menjadi dua katagori besar, yakni119 : a. Obat (bahan obat) yang berasal dari alam, yang selanjutnya di perinci menjadi : 1)



Dari dunia hewan, pengolahannya terutama dengan cara isolasi.



2)



Dari dunia tumbuh-tumbuhan, pengolahnnya terutama dengan cara isolasi.



3)



Dari dunia mineral.



Pengembangan ilmu biotechnology pada umumnya, genetic engineering khususnya, pengolahan bahan obat no. 1 dan nomor 2 bisa ditunjang bahkan diambil alih seluruhnya oleh biotechnology/genetic engineering. b. Obat (bahan obat) yang merupakan hasil sintesa, kebanyakan dengan menggunakan bahan awal hydrocarbon (petrochemicals).



117



118



119



Fitofarmaka (Clinical Based Herbal Medicine) merupakan bentuk obat tradisional dari bahan alami yang dapat disejajarkan dengan obat modern karena proses pembuatannya yang telah distandardisasi serta ditunjang dengan bukti ilmiah sampai dengan uji klinis pada manusia. Produkproduk fitofarmaka memiliki ciri berupa gambar berbentuk seperti ranting dalam lingkaran berwarna hijau. http://multiherbal.net/pengertian-obat-herbal-746.html, Pengertian Obat Herbal, diakses tanggal 11 septeber 2012. Eddie Lembong, Geliat Industri Farmasi di Indonesia Menuju Era Globalisasi, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1999), halaman 103-104.



107



Pada golongan ini, tergantung dari apakah kita melihat dari sudut volume obat, nilai obat atau pentingnya golongan ini dalam bidang terapi, maka kiranya tidaklah terlalu keliru untuk dikatakan 60% hingga 80% obat modern sekarang ini datang dari golongan ini. Hal ini memiliki alasan yaitu : 1)



Indonesia mempunyai luas wilayah yang sangat besar (laksana untaian zamrud yang membentang sepanjang 1/6 dari lingkar khatulistiwa).



2)



Jumlah populasi Indonesia yaitu kelima terbesar di dunia (harus berubah menjadi aset).



3)



Sumber alam (nabati, hewani, mineral) yang kaya bahkan berlimpah.



4)



Kemampuan belajar menguasai teknologi serta keterampilan teknis yang kita miliki.



Keputusan Kepala Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor : HK.00.05.4.2411 Tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat bahan Alam Indonesia. Tanggal 17 Mei 2004. Ketentuan dari BPOM ini berkaitan dengan obat bahan alam (namalain dari obat herbal). Ketentuanketentuan tersebut adalah sebagai berikut : Pasal 1 (1). Yang dimaksud dengan Obat Bahan Alam Indonesia adalah Obat Bahan Alam yang diproduksi di Indonesia; (2) Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, Obat Bahan Alam Indonesia dikelompokkan menjadi : (a) Jamu, (b) Obat Herbal Terstandar, (c) Fitofarmaka. Pasal 2 (1). Jamu harus memenuhi kriteria : (a) Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan; (b) klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris; (c) Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. (2). Jenis klaim penggunaan sesuai dengan jenis pembuktian tradisional dan tingkat pembuktiannya yaitu tingkat pembuktian umum dan medium. (3). Jenis klaim penggunaan harus diawali dengan kata-kata ―secara tradisional digunakan untuk ...‖, atau sesuai dengan yang disetujui pada pendaftaran. Pasal 3 (1). Obat Herbal Terstandar harus memenuhi kriteria : (a) Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan; (b) Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/pra klinik; (c) Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang



108



digunakan dalam produk jadi; (d) Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. (2) Jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian yaitu tingkat pembuktian umum dan medium. Pasal 4 (1) Fitofarmaka harus memenuhi kriteria : (a) Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan; (b) Klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik; (c) Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi; (d) Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. (2) Jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian medium dan tinggi.



Obat tradisional (herbal) mengandalkan pada sifat warisan turun temurun walaupun sekarang telah berkembang pada pembuktian ilmiah, dasar keilmuan yang digunakan beragam dari yang rasional hingga tidak rasional. Penggunaan obat-obatan tradisional oleh masyarakat Indonesia merupakan salah satu tradisi yang telah dipraktekan di Indonesia. Produk herbal dan jenis obat-obatan tradisional lainnya dibuat dengan menggunakan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia secara turun temurun. Pengetahuan tradisional tersebut merupakan suatu pengetahuan yang digunakan dan dikembangkan oleh masyarakat Indonesia di masa lalu, sekarang, dan masa yang akan datang. Pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia mengenai herbal tidak perlu diragukan lagi, hal ini dapat dibuktikan oleh sejarah masa lalu bangsa Indonesia. Masyarakat Jawa mengenal jamu sebagai obat herbal dan digunakan sebagai tradisi budaya kraton sejak dahulu. Keraton Yogyakarta dan Kraton Surakarta adalah potret dari sejarah berkembangnya tradisi minum jamu pada Raja dan kerabat di lingkungan kraton. Jamu sebagai perawatan kesehatan dan pengobatan terhadap segala macam penyakit.



109



Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki jumlah penduduk yang cukup besar dan memiliki wilayah yang cukup luas. Indonesia juga merupakan negara selain memiliki penduduk yang relatif besar dan wilayah yang relatif luas juga



memiliki



potensi



besar



dalam



hal



keanekaragaman



budaya.



Keanekaragaman budaya ini meliputi pula apa yang disebut pengetahuan tradisional (traditional knowledge). Pengetahuan tradisional masyarakat semakin berkembang dan masyarakat telah mengembangkan pengetahuan akan obat herbal untuk memenuhi kebutuhan dasar di bidang kesehatan. Pengetahuan tradisional masyarakat akan obat herbal yang telah diwariskan sejak jaman dahulu masih digunakan masyarakat sampai saat ini. Penggunaan obat herbal berbasis pengetahuan tradisional masyarakat semakin tinggi seiring dengan manfaat / kegunaannya yang berkaitan langsung dengan kesehatan manusia dan kelangsungan hidupnya. Pentingnya penggunaan obat herbal yang berasal dari pengetahuan masyarakat digunakan oleh industri obat sebagai dasar untuk pengembangan pembuatan obat modern. Industri farmasi yang merupakan produsen obat modern (kimia) telah memproduksi obat dengan bahan baku tanaman obat dengan resep yang berasal dari pengetahuan tradisional masyarakat. Pengetahuan tradisional masyarakat di bidang obat herbal inilah yang menjadi dasar untuk pengembangan pembuatan obat modern dan pada akhirnya akan di daftarkan hak paten. Paten merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh negara untuk melindungi kreatifitas dan produktifitas manusia yang lahir dari kemampuan intelektualnya di bidang teknologi. Undang-undang paten Indonesia (UU No. 14 Tahun 2001) dapat melindungi produk obat herbal berbasis traditional



110



knowledge dengan didasari bahwa produk herbal merupakan hasil traditional knowledge yang dikembangkan dengan menggunakan teknologi. Di era globalisasi sekarang teknologi merupakan hal penting dalam kehidupan manusia, semua aktifitas manusia sehari-hari tidak akan luput dari teknologi, termasuk kebutuhan manusia akan kesehatanpun juga tidak luput dari sentuhan teknologi. Pada hakikatnya masyarakat Indonesia telah memiliki pengetahuan sendiri mengenai pengobatan untuk menjaga kesehatan maupun mengobati. Pengetahuan tersebut masih bersifat tradisional karena diturunkan turun temurun dari generasi sebelumnya. Masa sekarang, pengetahuan tradisional di bidang obat-obatan ditingkatkan dengan memasukan unsur teknologi. Teknologi pada dasarnya lahir dari karsa intelektual, sebagai karya intelektual manusia. Karena kelahirannya telah melibatkan tenaga, waktu dan biaya berapapun besarnya, maka teknologi memiliki nilai atau manfaat ekonomi. Oleh sebab itu, adalah wajar bilamana terhadap hak atas invensi tersebut diberi perlindungan hukum. Adanya kepastian bahwa hak seseorang akan memperoleh perlindungan hukum itulah, yang pada gilirannya akan memperkuat iklim yang baik bagi penyelenggaraan kegiatan yang melahirkan teknologi. Indonesia menghargai hasil karya manusia di bidang teknologi dan memberikan perlindungan hukum atas hasil karya intelektual tersebut. Piranti hukum yang memproteksi karya intelektual manusia di bidang teknologi adalah Undang-undang Paten (UU No.14 Tahun 2001). Undang-undang Paten Indonesia berupaya untuk melindungi atau memberikan proteksi terhadap produk herbal berbasis traditional knowlegde.



111



Dari beberapa pasal yang terdapat dalam UU Paten Indonesia, tidak ada satu pasalpun yang mengatur secara khusus dan menyebut secara tegas mengenai herbal berbasis traditional knowledge, namun demikian, ada satu pasal beserta dengan penjelasannya yang memiliki keterkaitan yang erat dengan traditional knowledge, yaitu Pasal 3. Pasal 3 UU Paten menyatakan bahwa : Ayat (1) suatu Invensi dianggap baru jika pada Tanggal Penerimaan Invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang dituangkan sebelumnya. Ayat (2) Teknologi yang dianggap sebelumnya, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah teknologi yang telah diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau melalui peragaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan Invensi tersebut sebelum : a. Tanggal Penerimaan; atau b. Tanggal prioritas, Ayat (3) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup dokumen Permohonan yang diajukan di Indonesia yang dipublikasikan pada atau setelah Tanggal Penerimaan yang pemeriksaan substantifnya sedang dilakukan, tetapi Tanggal Penerimaan tersebut lebih awal dari pada Tanggal Penerimaan atau tanggal prioritas Permohonan



Penjelasan Pasal 3 ayat 1 dinyatakan bahwa : Padanan istilah teknologi yang diungkapkan sebelumnya adalah state of the art atau prior art, yang mencakup baik literatur paten maupun bukan literatur paten. Penjelasan yang dimaksud dengan tidak sama pada ayat ini adalah bukan sekedar beda, tetapi harus dilihat sama atau tidak samanya fungsi ciri teknis (features) Invensi tersebut dengan ciri teknis Invensi sebelumnya. Pasal 3 beserta penjelasannya menyiratkan arti bahwa untuk menentukan apakah sebuah invensi memenuhi syarat baru atau tidak, ditentukan oleh dua indikator berdasarkan UU Paten Indonesia yaitu ―literatur Paten‖ maupun ―bukan Literatur Paten‖. Yang dimaksud ―Literatur Paten‖ adalah dokumen paten secara



112



tertulis baik dari kantor HKI Indonesia maupun CD Rom tentang invensi paten yang telah dilindungi di negara-negara lain yang dimiliki oleh kantor HKI Indonesia.120 Yang menjadi permasalahan dari bunyi pasal 3 dan penjelasannya adalah berkaitan dengan kata ―bukan literatur paten‖. Apabila penafsiran dari ―bukan literatur paten‖ termasuk traditional knowledge maka traditional knowledge dapat di jadikan prior art dalam ketentuan hukum paten Indonesia. Ketentuan mengenai traditional knowledge dapat dikatagorikan sebagai prior art maka hal tersebut dapat menunjukan bahwa UU Paten Indonesia memproteksi traditional knowledge milik masyarakat Indonesia. Syarat penting yang harus dipenuhi oleh seorang inventor untuk mendapatkan paten terhadap invensi yang diajukan, yaitu : a. Invensi tersebut harus memiliki kebaharuan (Novelty) b. Invensi tersebut harus mengandung langkah inventif (Inventive Step) c. Invensi tersebut dapat diterapkan dalam industri (Industrial Applicability) ketentuan mengenai ketiga syarat tersebut, syarat kebaharuan merupakan salah satu syarat yang sangat strategis untuk menentukan apakah sebuah invensi yang diajukan tersebut dapat diterima atau tidak. Apabila ketentuan mengenai ―bukan literatur paten‖ adalah termasuk traditional knowledge maka pemeriksa paten dapat memutuskan bahwa invensi yang diajukan paten tidak memenuhi syarat kebaharuan. Hal tersebut penting untuk menjaga penyalahgunaan tanpa hak traditional knowledge masyarakat Indonesia oleh pihak asing khususnya traditional knowledge yang berkaitan dengan obat herbal di Indonesia.



120



Tomi Suryo Utomo, Perlindungan Pengetahuan Tradisional (Traditional Knowledge) dalam hukum paten Indonesia : Problematika dan solusinya, (Justitia Et Pax Vol. 23No. 1,Juni 2003), halaman 7.



113



4. Kemungkinan Herbal Berbasis Traditional Knowledge Dilindungi Undangundang Paten Ide-ide dan pengetahuan merupakan bagian yang penting dari perdagangan. Sebagian besar dari obat-obatan baru dan produk teknologi tinggi lainnya sangat bernilai, yang terletak pada jumlah invensi, inovasi, penelitian, desain dan pengujian.



Inventor



dapat



diberikan hak



untuk



mencegah



orang lain



menggunakan invensi mereka, dan inventor berhak untuk mendapatkan reward sebagai imbalan hasil dari kreatifitas intelektual yang telah di ciptakannya. Produk herbal berbasis TK meskipun sangat rentan untuk unproteksi pada UU Paten Indonesia namun bukan berarti UU Paten tidak memiliki kemungkinan untuk dapat melakukan proteksi. Pasal 2 ayat (1) UU Paten menyebutkan bahwa paten diberikan untuk invensi yang baru yang mengandung langkah inventif serta dapat diterapkan dalam dunia industri. Produk herbal berbasis TK merupakan produk yang jelas dapat diterapkan dalam dunia industri. Hal ini dapat dilihat ―maraknya‖ peredaran produk herbal di dunia industri obat tradisional. Langkah inventif dan kebaharuan yang dimaksudkan UU Paten merupakan syarat berat namun bukan berarti tidak mungkin dilakukan. Produk herbal berbasis TK dapat memenuhi syarat langkah inventif dan kebaruan manakala pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia mengenai obat dimodifikasi dan diramu menjadi inovasi baru dengan berbagai penelitian dan pengembangan. 5. Keberlakuan Undang-undang Paten di Indonesia Perdebatan mengenai Paten telah terjadi sejak perkembangannya yang sangat signifikan terhadap dunia perdagangan. Pengaturan Paten pertama kali di Venesia, Italia pada tahun 1470. Perkembangan paten sejak abad ke-15 dan mencapai puncaknya pada abad ke-21. Perdebatan telah terjadi baik kubu yang 114



memihak kehadiran paten dan kubu yang mengkritik kehadiran paten. Justifikasi terhadap paten merupakan keberpihakan terhadap kehadiran paten dan kritik terhadap paten tidak kalah kuat dibandingkan justifikasinya. Kritik tersebut menuai akibat dimana adanya perbaikan dalam mekanisme paten bahkan kritik juga diarahkan untuk perubahan terhadap regulasi121 paten. Perubahan terhadap regulasi paten khusunya UU No. 14 Tahun 2001 dilakukan dengan tujuan salah satunya yaitu untuk menyesuaikan dengan Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (selanjutnya disebut Persetujuan TRIPs) yang belum ditampung dalam Undangundang Paten No. 13 Tahun 1997. Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing the



World Trade Organization



(Pembentukan Organisasi



Perdagangan Dunia) selanjutnya disebut World Trade Organization dengan Undang-undang No 7 tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establising the World Trade Organization (LN tahun 1994 No 57). Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten merupakan Undangundang terakhir yang berlaku di Indonesia. Undang-undang No. 14 Tahun 2001 berlaku sejak 1 Agustus 2001 dan sejak diundangan tersebut maka sejak saat itu orang wajib mengakui eksistensinya UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten. Kekuatan berlakunya UU berarti sudah menyangkut berlakunya UU secara operasional. UU mempunyai kekuatan berlaku selayaknya harus memenuhi persyaratan yaitu : 121



Regulasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengaturan. Regulasi di Indonesia diartikan sebagai sumber hukum formil berupa peraturan perundang-undangan yang memiliki beberapa unsur, yaitu merupakan suatu keputusan yang tertulis, dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, dan mengikat umum. Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), halaman 12.



115



a. Kekuatan berlaku yuridis, Landasan yuridis merupakan gambaran bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum yang terdapat dalam masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi yang diatur sehingga perlu dibentuk peraturan perundang-undangan yang baru. Kekuatan berlaku yuridis dalam arti bahwa UU dibuat oleh pejabat atau lembaga yang berwenang dalam pembuatan Peraturan perundang-undangan. Landasan yurudis untuk berlakunya sebuah Undang-undang harus memiliki kesesuaian antara jenis dan materi muatan perundang-undangan tersebut. Undang-undang yang dibentuk tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya serta pembuatannya mengikuti cara atau prosedur yang telah ditetapkan. Ketentuan tersebut dapat dilihat dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jenis hirarki peraturan perundang-undangan menurut UU No.12 Tahun 2011 yaitu : 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)



Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketetapan MPR UU / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan Daerah Provinsi Peraturan Daerah Kabupaten / Kota



Pemahaman mengenai hirarki adalah perjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundangundangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.



116



Penyusunan peraturan perundang-undangan harus mempunyai landasan yuridis yang jelas, tanpa landasan yuridis yang jelas, peraturan perundangundangan yang disusun tersebut dapat batal demi hukum. Adapun yang dijadikan landasan yuridis adalah selalu peraturan perundang-undangan, sedangkan hukum lain hanya dapat dijadikan bahan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan tersebut. Tidak semua peraturan perundangundangan dapat dijadikan landasan yuridis. Peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar yuridis adalah peraturan yang sederajat atau yang lebih tinggi dan terkait langsung dengan peraturan perundang-undangan yang akan dibuat. Dengan dikeluarkannya suatu peraturan perundang-undangan baru, maka apabila telah ada peraturan perundang-undangan sejenis dan sederajat yang telah diberlakukan secara otomatis akan dinyatakan tidak berlaku. Prinsip ini dalam bahasa hukum dikenal dengan istilah lex posteriori derogat lex priori. UU No. 13 Tahun 1997 dinyatakan tidak berlaku lagi setelah UU No. 14 Tahun 2001 berlaku. b. Kekuatan berlaku sosiologis. Dasar



kekuatan



berlaku



sosiologis



harus



mencerminkan



kenyataan



penerimaan dalam masyarakat. Pembentukan peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan masyarakat. Landasan sosiologis merupakan gambaran bahwa peraturan yang dibentuk adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Landasan sosiologis merupakan gambaran fakta empiris mengenai perkembangan



117



masalah, kebutuhan masyarakat serta negara. Sunaryati Hartono122 merekomendasikan bahwa aturan hukum secara substansial harus benar-benar memenuhi kebutuhan masyarakat. Hak dan kewajiban yang hendak diciptakan juga harus sesuai dengan tujuan untuk mencapai masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan. c. Kekuatan berlaku filosofis. Landasan filosofis merupakan gambaran bahwa peraturan yang dibentuk berdasarkan pada pandangan hidup, kesadaran dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap penyusunan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan citacita moral dan cita hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila. Peraturan Perundang-undangan adalah dasar yang berkaitan dengan dasar filosofis/ideologi negara, dalam arti bahwa Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan secara sungguh-sungguh nilai-nilai (citra hukum) yang terkandung dalam Pancasila. Nilai-nilai yang bersumber pada pandangan filosofis Pancasila yakni: 1)



Nilai-nilai religius bangsa Indonesia yang terangkum dalam sila pertama Pancasila



2)



Nilai-nilai hak-hak asasi manusia dan penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan terangkum dalam sila kedua Pancasila.



122



Lihat Sunaryati Hartono, Dari Hukum Antar-Golongan ke Hukum Antar Adat, (Bandung : Alumni, 1971), halaman 84.



118



3)



Nilai-nilai kepentingan bangsa secara utuh terangkum dalam sila ketiga Pancasila



4)



Nilai-nilai demokrasi dan kedaulatan rakyat terangkum dalam sila keempat Pancasila



5)



Nilai-nilai keadilan baik individu maupun sosial terangkum dalam sila kelima Pancasila Mengenai berlakunya Undang-undang, Purbacaraka & Soerjono Soekanto



berpandangan bahwa Undang-undang untuk dapat mencapai tujuannya secara efektif dan memiliki dampak positif maka harus memenuhi asas-asas sebagai berikut 123: a. Undang-undang tidak berlaku surut b. UU yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula. c. UU yang bersifat khusus menyampingkan UU yang bersifat umum, apabila pembuatannya sama. d. UU yang berlaku belakangan membatalkan UU yang berlaku terdahulu. e. UU tidak dapat diganggu gugat f. UU merupakan sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil bagi masyarakat. Asas yang terdapat dalam UU No.12 Tahun 2011 yaitu : a. Asas kejelasan tujuan. Setiap pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. b. Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat. Setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi 123



Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2007), halaman 12-13



119



hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang. c. Asas kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan. Pembentukan



Peraturan



Perundang-undangan



harus



benar-benar



memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. d. Asas dapat dilaksanakan. Pembentukan



Peraturan



Perundang-undangan



harus



memperhitungkan



efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. e. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan Peraturan



Perundang-undangan



dibuat



karena



memang



benar-benar



dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. f. Asas kejelasan rumusan. Peraturan



Perundang-undangan



harus



memenuhi



persyaratan



teknis



penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. g. Asas keterbukaan. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat



120



mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Materi muatan dari pembentukan UU menurut UU No. 12 Tahun 2011 harus mencerminkan : a. Asas pengayoman. Materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat. b. Asas kemanusiaan Materi



muatan



peraturan



perundang-undangan



harus



mencerminkan



perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. c. Asas kebangsaan Materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. d. Asas kekeluargaan Materi



muatan



peraturan



perundang-undangan



harus



mencerminkan



musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. e. Asas kenusantaraan Materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.



121



f. Asas bhinneka tunggal ika Materi



muatan



peraturan



perundang-undangan



harus



memperhatikan



keragaman penduduk, agama dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. g. Asas keadilan Materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. h. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan Materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama, suku, ras, golongan, gender serta status sosial. i. Asas ketertiban dan kepastian hukum Materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. j. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Materi



muatan



peraturan



perundang-undangan



harus



mencerminkan



keserasian dan keselarasan antara kepentingan individu, masyarakat dan kepantingan bangsa dan negara. a. Keberlakuan Menurut Bruggink Dalam Konteks Keberlakuan Undangundang Paten di Indonesia. Hukum terdiri atas berbagai kaidah yang berbeda-beda dan kaidahkaidah tersebut mewujudkan isi aturan-aturan hukum. Pembentuk Undangundang merumuskan kaidah-kaidah hukum dalam Peraturan Perundangundangan. Hakim mempresentasikan aturan-aturan hukum di dalam



122



peradilan. Proses ini terus menerus berlangsung dan hukum selalu dalam keadaan bergerak. Pembentuk Undang-undang terus mengesahkan kaidahkaidah hukum dalam Peraturan Perundang-udangan dimana ada peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, atau peraturan yang dibentuk tanpa melihat kebutuhan masyarakat yang ada. Hukum mengalami perubahan dan sampai pada suatu ketika memunculkan pertanyaan kaidah hukum yang mana yang harus dipegang oleh masyarakat. Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan mengenai keberlakuan hukum dan berbagai problematika mengenai keberlakuan hukum. Keberlakuan124 UU No. 14 Tahun 2001 di Indonesia sebagai suatu norma yang telah dianggap sah sebagai norma hukum (legal norm) yang mengikat untuk umum. UU Paten sebagai norma hukum berlaku karena diberlakukan atau karena dianggap berlaku oleh para subjek hukum yang diikatnya. JJH. Bruggink125 mengatakan keberlakuan hukum itu : In de rechtstheorie wordt de hierboven genoemde driedeling in empirische normatieve en evaluatieve gelding vaakgemaaki. Dathebetekent echter neitdat er geen andereindelingen voorkomen Ulrich klug maakteen iutgebreide indelingin negen geldingsbegrippen. Hij onderscheidt devolgende soorten gelding : 1) Juridische gelding. Hieronder verstaat klug ongeveer wat wij hierboven als de positiviteit van een rechtsnorm hebben aangeduid 2) Ethissche gelding. Hiervan is sprake wanneer een rechtsnorm een verplichtend karakter heft Deze gelding zullen wij dadelijk een vorm van evaluative gelding noemen. 3) Ideale gelding. Een norm heeft deze gelding als hij op hogere morele normen is gebaseerd. 4) Reele gelding Hiervan is sprake als de norma dressaten zich naar de rechtsnorm gedragen. Wij zullen deze gelding al seen vorm van empirische gelding typeren. 124



125



Keberlakuan ini dalam bahasa Inggris disebut ―validity‖, dalam bahasa Jerman ―geltung‖ atau dalam bahasa Belanda disebut ―gelding‖. JJH. Bruggink, Rechtsreflecties Grondbegrippen uit de rechtstheorie,(Den Haaq : Kluwer Deventer, 1993), halaman 102- 103.



123



5)



6)



7) 8) 9)



Ontologissche gelding.een norm mist dezegelding ais zij is gepositiveerd door ewetgever die zich niet aan de fundamentele eisen van regelgeving houdt. Vandeze gelding is slechts in bepaalde theorieen sprake. Socio-relatieve gelding Een recht norm die geen juridische, ethische en reele gelding heft,maar toch iets voor de normadressaten voorstelt heft volgens klug slechts deze gelding. Decoratieve gelding, Deze gelding bezit een rechtsnorm die enkel een symboolfunctione heft. Esthetische gelding, Hiervan is sprake al seen rechtsnorm een zekere elegantie bezit. Logische gelding, Een rechtsnorm dieniet inneerlijk tegenstrijdig is bezit deze vormvan gelding, Geldingtheorie atau teori keberlakuan hukum yaitu terdapat beberapa



landasan keberlakuan kaidah hukum untuk menentukan sahnya suatu kaidah hukum : 1)



Keberlakuan hukum secara yuridis, artinya kaidah hukum itu positif berlaku dan tingkatannya lebih tinggi.



2)



Keberlakuan etis, hal ini akan ada jika kaidah hukum mempunyai sifat mewajibkan dan mengikat keberlakuan ini disebut keberlakuan evaluatif. Apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya.



3)



Keberlakuan ideal suatu kaidah hukum memiliki kaidah moral yang lebih tinggi.



4)



Keberlakuan Riil, keberlakuan kaidah hukum secara empiris didasarkan sistem tertib hukum secara keseluruhan.



5)



Keberlakuan Ontologis suatu kaidah hukum akan tidak memiliki keberlakuan jika dipositifkan oleh pembentuk Undang-Undang yang tidak



berpegangan



pada



tuntutan-tuntutan



fundamantal



dalam



pembentukan aturan.



124



6)



Keberlakuan Dekoratif, keberlakuan kaidah hukum hanya memiliki fungsi lambang.



7)



Keberlakuan Estetis, keberlakuan kaidah hukum memiliki elegansi tertentu.



8)



Keberlakuan hukum secara sosiologis. Didasarkan pada adanya pengakuan atau penerimaan oleh masyarakat atau oleh mereka kepada siapa hukum tadi berlaku (teori pengakuan). Didasarkan pada paksaan berlakunya oleh penguasa, terlepas dan masalah apakah masyarakat menerima atau menolaknya (teori kekuasaan)



9)



Keberlakuan hukum secara filosofis hukum itu sesuai dengan cita-cita hukum (rechtsidee) sebagai nilai yang dianut dalam pergaulan hidup masyarakat dengan orientasi pada perdamaian dan keadilan. JJH Bruggink menekankan pada tiga keberlakuan yaitu keberlakuan



faktual atau empiris kaidah hukum, keberlakuan normatif atau formal kaidah hukum, dan keberlakuan evaluatif kaidah hukum. Ketiga keberlakuan tersebut menurut Bruggink memiliki atau menempati kedudukan sentral. Keberlakuan faktual atau empiris kaidah hukum yaitu keberlakuan hukum yang berlaku secara efektif dimana masyarakat mematuhi kaidah hukum tersebut. Keberlakuan normatif atau formal kaidah hukum yaitu kaidah yang merupakan bagian dari suatu sistem kaidah hukum tertentu yang di dalamnya kaidah-kaidah hukum itu saling menunjuk yang satu terhadap yang lain. Sistem kaidah hukum yang demikian itu terdiri atas suatu keseluruhan hirarki kaidah hukum khusus yang bertumpu pada kaidah-kaidah hukum umum.



125



Keberlakuan evaluatif kaidah hukum, yaitu kaidah hukum yang berdasarkan isinya dipandang bernilai atau penting Penerapan ketiga keberlakuan menurut Bruggink dapat dianalisis dalam penerapan atau kepatuhan masyarakat dalam mendaftarkan hak paten maupun menghormati hak paten orang lain. Penghormatan tersebut dapat dilihat dengan banyak atau tidaknya pelanggaran terhadap hak paten di Indonesia. Kepatuhan tersebut merupakan keberlakuan faktual atau empiris kaidah hukum dimana keberlakuan hukum paten yang berlaku secara efektif dimana masyarakat mematuhi kaidah hukum paten tersebut. Keberlakuan normatif hukum paten dapat dianalisis dengan apakah ada kesesuaian secara horizontal maupun vertikal Undang-undang Paten dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku di Indonesia. Undang-undang Paten tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya terutama tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 maupun Pancasila. Keberlakuan evaluatif kaidah hukum paten dapat dianalisis dengan melihat kaidah hukum paten yang isinya dipandang bernilai atau penting sebagai kaidah hukum dengan memperhatikan hubungan sebab akibatnya diaturnya hukum paten di Indonesia. b. Teori Hukum Murni Dalam Keberlakuan Undang-undang Paten Pemikiran Hans Kelsen pada intinya berpusat pada tiga masalah yaitu teori hukum, negara, hukum internasional. Ketiga masalah tersebut tidak dapat dipisahkan dan saling keterkaitan satu sama lain. Teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen meliputi dua aspek penting yaitu aspek statis (nomostatis) yang melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan



126



aspek dinamis (nomodinamic) yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu. Norma hukum statis merupakan sejumlah hak, kewajiban, kewenangan, dan larangan yang terdapat dalam hukum subtantif yang merupakan ketentuan yang harus dipatuhi oleh individu dan masyarakat. Norma hukum dinamis adalah suatu norma hukum yang berisikan ketentuan tentang bagaimana proses aplikasi dari suatu ketentuan hukum untuk dijalankan oleh manusia dan masyarakat. Menurut Kelsen, teori hukum murni adalah teori mengenai hukum positif. Teori mengenai hukum secara umum, bukan teori mengenai hukum positif dari negara tertentu. Kelsen berpandangan bahwa hukum tidak lahir atau tumbuh dan berkembang secara alami seperti dikembangkan para pengikut mahzab sejarah Von Savigny126 tetapi karena kemauan dan akal manusia. Teori hukum murni berisi konsep yang ditarik dari isi norma hukum positif. Apa yang tidak bisa ditemukan dalam isi norma hukum positif tidak bisa memasuki konsep hukum. Arah analisisnya adalah pada struktur hukum positif, bukan pada penjelasan psikologis dan ekonomis, ataupun penilaian moral politik yang menyangkut tujuan-tujuannya. Teori Hukum Murni Kelsen dapat dirumuskan dalam pokok-pokok sebagai berikut : 1). Tujuan teori hukum seperti halnya ilmu lainnya ialah untuk mengurangi kekaosan (chaos) dan meningkatkan kesatuan (unity) 126



Teori Savigny, hukum itu jiwa rakyat. Savigny merumuskan volksgeist sebagai general consciousness of the people atau spirit of the people. Hukum itu sejak awal sejarah melekat ciri nationale, seperti halnya bahasa, adat istiadat, dan konstitusi. Hukum disatukan dalam watak rakyat berkat adanya kesatuan pendirian dari rakyat itu sendiri. Hukum tidak muncul secara kebetulan, tapi lahir dari kesadaran bathiniah rakyat. Itulah sebabnya hukum berkembang seturut perkembangan rakyat, dan akhirnya lenyap tatkala rakyat kehilangan kebangsaannya. Lihat Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), (Surabaya : CV. Kita, 2006), halaman 85-88.



127



2). Teori hukum adalah ilmu, bukan keinginan (volation). Ia merupakan pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada. 3). Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam. 4). Karena teori hukum murni merupakan teori tentang norma maka teori hukum tidak berurusan dengan persoalan efektivitas norma-norma tersebut di lapangan. 5). Teori hukum adalah formal, suatu teori mengenai cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik. 6). Hubungan antara teori hukum dengan sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada (the relation of legal theory to a particular system of positive law is that of possible to actual law). Meuwissen menginterpretasikan keberlakuan hukum, sebagian secara faktual sebagian secara normatif. Keberlakuan hukum secara normatif semata-mata tergantung pada kaidah-kaidah hukum yang ―lebih tinggi‖ (Kelsen)127. Keberlakuan secara faktual (=efektivitas) berkaitan dengan kenyataan bahwa ia diberlakukan (dibuat) oleh otoritas yang berwenang (Austin, Kelsen)128, atau dengan penerimaan secara psikologikal atau



127



128



Kelsen memberikan pendasaran normatif melalui Grundnorm. Suatu peraturan tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku pada suatu jenjang yang lebih tinggi yang berpuncak pada Grundnorm. Bagi Austin tata hukum itu nyata dan berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial (contra Comte dan Spenser), bukan pula karena hukum itu bersumber pada jiwa bangsa (contra Von Savigny), bukan pula karena cerminan keadilan dan logos ( contra Socrates CS), tetapi karena hukum itu bentuk positifnya dari institusi yang berwenang. Justifikasi hukum Austin ada di segi formal legalistiknya, baik sebagai wujud perintah penguasa (versi Austin) maupun derivasinya Grundnorm (versi Kelsen). Menurut Austin, untk dapat disebut hukum diperlukan adanya unsur : (1) seorang penguasa (souvereighnity), (2) suatu perintah (command), (3) kewajiban untuk mentaati



128



sosiologikal oleh para warga masyarakat129. Pada umumnya keberlakuan hukum harus dibedakan antara keberlakuan idiil dan keberlakuan normatif. Keberlakuan idiil merupakan keberlakuan umum yang berkaitan dengan kefilsafatan yang berputar sekitar ―kebenaran‖, sedangkan keberlakuan normatif merupakan keberlakuan yang berkenaan dengan kemungkinan untuk membenarkan atau melegitimasi hukum secara masuk akal (rasional). Meuwissen, mempersyaratkan validitas130 suatu norma hukum, dalam arti ―keberlakuan‖ suatu kaidah hukum, jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut131: 1)



Keberlakuan sosial atau faktual. Dalam hal ini, kaidah hukum tersebut dalam kenyataanya diterima dan diberlakukan oleh masyarakat umumnya, termasuk dengan menerima sanksi jika ada orang yang tidak menjalankannya. Keberlakuan ini berkenaan dengan efektivitas dari kaidah hukum. Keberlakuan faktual berurusan dengan suatu momen faktual dari keberlakuan normatif. Keberlakuan normatif dari hukum mutlak diperlukan bahwa ia juga secara faktual dipatuhi dan diterapkan. Keberlakuan normatif akan hilang jika keberlakuan faktual tidak ada.



129



130



131



(duty), (4) sanksi bagi mereka yang tidak taat (sanction). Lihat Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), (Surabaya : CV.Kita, 2006), halaman 98-99. B. Arief Sidharta (Pentj.), Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, (Bandung : Refika Aditama, 2007), halaman 19. Menurut JJH Bruggink, istilah keabsahan (validitas) berbeda dengan keberlakuan. Istilah validitas (keabsahan) digunakan untuk logika. Validitas berbicara tentang penalaran yang sah (valid) jika suatu penalaran memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh kaidah dan aturan logikal. Lihat B. Arief Sidharta (Pentj.), Refleksi Tentang Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2011),halaman 147. Hans Kelsen menekankan bahwa validitas adalah eksistensi norma secara specifik. Suatu norma adalah valid merupakan suatu pernyataan yang mengasumsikan eksistensi norma tersebut dan mengasumsikan bahwa norma itu memiliki kekuatanmengikat (binding force) terhadap orang yang perilakunya diatur. Aturan adalah hukum, dan hukum yang jika valid adalah norma. Jadi hukum adalah norma yang memberikan sanksi. Lihat Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa‘at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum (Jakarta, MK RI, 2006), halaman 36. B. Arief Sidharta (Pentj.), Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, (Bandung : Refika Aditama, 2007), halaman 45-48.



129



2)



Keberlakuan yuridis. Dalam hal ini, aturan hukum tersebut dibuat melalui prosedur yang benar dan tidak bertentangan dengan peraturan lainnya, terutama dengan peraturan yang lebih tinggi. Kaidah hukum dibentuk sesuai aturan-aturan / prosedur yang berlaku oleh badan yang berwenang.



3)



Keberlakuan moral. Dalam hal ini, agar valid, maka kaidah hukum tersebut tidaklah boleh bertentangan dengan nilai-nilai moral, misalnya kaidah hukum tersebut tidak boleh melanggar hak asasi manusia atau bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum alam. Selanjutnya, menjadi pertanyaan, apa perlunya diketahui valid atau



tidaknya suatu aturan hukum, sehingga memerlukan suatu teori yang disebut dengan teori validitas hukum ini. Dalam hal ini, validitas suatu aturan hukum diperlukan karena validitas aturan hukum mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut132 : 1) Untuk mengetahui eksistensi dari suatu aturan hukum. 2) Untuk mengetahui tingkat penerimaan masyarakat dari suatu aturan hukum. 3) Untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum dari para penegak hukum terhadap kaidah hukum yang bersangkutan. 4) Untuk mengetahui apakah aturan hukum tersebut memang dimaksudkan sebagai aturan yang mengikat secara hukum. 5) Untuk mengetahui apakah akibat hukum jika suatu aturan hukum tidak diikuti oleh masyarakat. 6) Untuk mengetahui apakah perlu dibuat suatu aturan hukum yang baru yang mengatur berbagai persoalan manusia. 7) Bagi seorang lawyer, jaksa atau polisi untuk mempredksi kemungkinan kemenangan kasus yang sedang ditanganinya. 8) Untuk mengetahui apakah ada ikatan-ikatan nonhukum dari suatu aturan hukum, misalnya ikatan moral, ikatan agama dan lain-lain. Ikatan non hukum ini tidak pernah diakui oleh para penganut paham hukum positivisme.



132



Munir Fuady, Teori-teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, (Jakarta, Kencana, 2013), halaman 125.



130



Teori hukum norma dasar (basic norm) yang dipelopori oeh Hans Kelsen, suatu ketertiban hukum (legal order) tetap saja valid, meskipun misalnya dalam hal suatu aturan yang berlaku secara khusus tidak efektif lagi dalam hal tertentu atau dalam kasus tertentu saja, sementara secara umum norma tersebut masih dianggap berlaku. Akan tetapi, suatu norma hukum menjadi tidak lagi valid jika norma tersebut tidak lagi dipatuhi atau tidak lagi diterima oleh masyarakatnya, ataupun jika terjadi desuetude, yakni dalam hal di mana terdapat poses negativitas dalam hukum kebiasaan masyarakat. Proses negativitas dalam hal ini dimaksudkanadalah suatu sistem dan proses dalam masyarakat yang bertujuan untuk menghapuskan validitas suatu aturan yang berlaku. Jimly Asssidiqqie memiliki pemikiran mengenai keberlakuan hukum tidak begitu jauh dengan pemikiran JJH Bruggink, Kelsen maupun Meuwissen. Keabsahan berlakunya atau keberlakuan suatu Undang-undang atau peraturan perundang-undangan secara umum ada empat kemungkinan faktor yang menyebabkan norma hukum dalam Undang-undang atau Peraturan Perundang-undangan dikatakan berlaku. Norma-norma hukum dimaksud dapat dianggap berlaku karena pertimbangan yang bersifat filosofis,



karena



pertimbangan



yuridis,



pertimbangan



sosiologis,



pertimbangan politis, ataupun dianggap berlaku karena pertimbangan yang semata-mata bersifat administratif133. Lebih lanjut Jimly menjelaskan keempat keberlakuan tersebut, yaitu : 1) Keberlakuan Filosofis.



133



Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-undang, (Jakarta : Rajawali Press, 2011), halaman 166-169.



131



Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara filosofis apabila norma hukum itu memang bersesuaian dengan nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu negara, seperti pandangan Hans Kelsen mengenai ―gerundnorm‖ atau dalam pandangan Hans Nawiasky ―staatsfundamentalnorm‖, pada setiap negara selalu ditentukan adanya nilai-nilai dasar atau nilai-nilai filosofis tertinggi yang diyakini sebagai sumber dari segala sumber nilai luhur dalam kehidupan kenegaraan yang bersangkutan. Nilai-nilai filosofis negara RI terkandung dalam Pancasila sebagai ―staatsfundamentalnorm‖, Rumusan kelima sila Pancasila terkandung nilai religiusitas Ketuhanan Yang Maha Esa, humanitas kemanusiaan yang adil dan beradab, nasionalitas kebangsaan dalam ikatan bhinneka-tunggalikaan, soverenitas kerakyatan, dan sosialitas keadilan bagi segenap rakyat Indonesia. 2) Keberlakuan Yuridis Keberlakuan yuridis adalah keberlakuan suatu norma hukum dengan daya ikatnya untuk umum sebagai suatu dogma yang dilihat dari pertimbangan yang bersifat teknis yuridis. Secara yuridis, suatu norma hukum itu dikatakan berlaku apabila norma hukum itu : (i) ditetapkan sebagai norma hukum berdasarkan norma hukum yang lebih suprior atau yang lebih tinggi134; (ii) ditetapkan mengikat atau berlaku karena menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dengan akibatnya; (iii) ditetapkan sebagai norma hukum menurut prosedur pembentukan hukum yang berlaku; (iv) ditetapkan sebagai norma hukum oleh lembaga yang



134



Hal ini sesuai dengan pandangan Hans Kelsen dengan teorinya ―Stuffenbau Theorie desRecht‖.



132



berwenang untuk itu. Jika ketiga kriteria tersebut telah dipenuhi sebagaimana mestinya, maka norma hukum yang bersangkutan dapat dikatakan berlaku secara yuridis. 3) Keberlakuan Politis Suatu



norma



hukum



dikatakan



berlaku



secara



politis



apabila



pemberlakuannya didukung oleh faktor-faktor kekuatan politik yang nyata (riele machtsfaotoren). Keberlakuan politik ini berkaitan dengan teori kekuasaan (power theory) yang pada gilirannya memberikan legitimasi pada keberlakuan suatu norma hukum semata-mata dari sudut pandang kekuasaan. Suatu norma hukum yang telah mendapatkan dukungan kekuasaan, apapun wujudnya dan bagaimanapun proses pengambilan keputusan politik tersebut dicapainya sudah cukup untuk menjadi dasar legitimasi bagi keberlakuan norma hukum yang bersangkutan dari segi politik. 4) Keberlakuan Sosiologis Suatu norma hukum baru dapat dikatakan berlaku secara sosiologis apabila norma hukum dimaksud memang berlaku menurut salah satu kriteria tersebut. B. Harmonisasi Hukum Nasional dalam Pengaturan Undang-Undang Paten di Indonesia Perjanjian Hak atas kekayaan Intelektual (HKI) yang Terkait dengan Perdagangan atau dikenal dengan TRIPs (The Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) adalah hasil dari perundingan yang tidak sepenuhnya dimengerti oleh negara-negara berkembang pada saat Putaran Uruguay. Ide untuk



133



mengintegrasikan perlindungan HKI di dalam organisasi perdagangan dunia dipromosikan oleh negara-negara maju atas permintaan dari kelompok-kelompok industri besar dengan tujuan untuk menetapkan aturan standar dan berlaku di semua negara untuk melindungi kepentingannya. Negara-negara berkembang tidak berhasil menghentikan diterapkannya TRIPs, namun di tingkat nasional, pemerintah memiliki sedikit otonomi dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban perjanjian. Pembentukan TRIPs bertujuan untuk mengurangi gangguan dan halangan atas perdagangan internasional, sekaligus untuk mempromosikan perlindungan HKI yang efektif dan berguna menjamin tindakan serta prosedur untuk menegakkan HKI. 1. Instrumen Internasional yang Relevan dengan Paten Era globalisasi mengakibatkan perlindungan HKI tidak lagi menjadi urusan satu negara saja melainkan sudah menjadi urusan masyarakat internasional, terlebih lagi sejak di tandatanganinya TRIPs. Teknologi juga menjadi pemicu semakin kuatnya permasalahan dan penegakan HKI khususnya Hak Paten (karena berkaitan dengan teknologi). Paten bagian dari HKI dan merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya135 di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Dalam hal ini, inventor menjelaskan invensinya secara lengkap dalam bentuk dokumen



135



Perbedaan invention dan discovery : Discovery merupakan invensi terhadap suatu sifat baru dari suatu material atau benda yang sudah dikenal atau sudah ada sebelumnya secara alami. Sedangkan invention merupakan invensi berupa ide yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi, yang dapat berupa proses atau hasil produksi atau penyempurnaan dan pengembangan proses atau hasil produksi. Invensi dapat dipatenkan, sedangkan discovery tidak.



134



yang dipublikasi sehingga orang lain tahu persis apa yang telah ditemukan oleh inventor. Sebagai imbalannya, pemerintah memberi hak monopoli untuk jangka waktu tertentu bagi inventor. Hak monopoli tersebut disebut sebagai paten. Indonesia memiliki Undang-undang Paten yaitu UU No.14 Tahun 2001 dan Undang-undang ini berlaku di dalam wilayah Indonesia. Perundangundangan Paten hanya berlaku di dalam wilayah nasional suatu negara136, oleh karena itu beberapa perjanjian internasional telah diadakan dimana memberikan ketentuan-ketentuan untuk memberlakukan hak kekayaan intelektual (termasuk paten) di negara-negara yang menjadi peserta dari perjanjian internasional tersebut. Beberapa instrumen internasional yang relevan dan terkait dalam regulasi hukum paten, yaitu : a.



International Patent Institute137 Tanggal 6 juni 1947 Pemerintah Belanda, Belgia, Perancis, Luxemburg menandatangani suatu perjanjian (Agreement) tentang pendirian International Patent Institute. Institut ini berkedudukan di Den Haaq. tugas utama badan ini adalah memberikan pendapat-pendapat yang beralasan kepada pemerintah-pemerintah dari negara peserta perjanjian tentang barunya suatu invensi (the novelty of inventions) dalam kaintannya dengan permohonan paten yang telah diajukan di negara-negara bersangkutan. Tugas dari Institue ini meliputi : (a) Memeriksa permohonan paten yang diajukan oleh administrasi / kantor paten dari negara peserta; (b) Melakukan



136



137



Pemberian hak paten bersifat teritorial, yaitu, mengikat hanya dalam lokasi tertentu. Dengan demikian, untuk mendapatkan perlindungan paten di beberapa negara atau wilayah, seseorang harus mengajukan aplikasi paten di masing-masing negara atau wilayah tersebut. Chairul Anwar, Hukum Paten dan Perundang-undangan Paten Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1992), halaman 36.



135



pemeriksanaan tentang barunya suatu invensi dan kaitannya dengan berbagai dokumen atas nama dari si penemu (inventor) dari perseorangan lainnya. hal ini dapat dilakukan oleh institut baik atas warga negara dari negara peserta perjanjian dan orang-orang yang merupakan warga negara yang berada di bawah yuridiksi negara-negara anggota dari Union Paris. Pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh institut tidak mengikat institut dan penafsiran atas suatu dokumen melalui riset adalah untuk kepentingan si pemohon keterangan. institut ini menyimpan jutaan spesifikasi paten yang tersusun secara baik dari berbagai negara seperti Amerika serikat, Belanda Swiss, Belgia, Luxemburg, Inggris, dan Brazil. Institut ini merupakan pusat internasional dari calon pemegang hak paten guna memperoleh informasi yang berkaitan dengan sifat barunya (novelty) dari invensibersangkutan secara internasional yang terdaftar pada berbagai negara. b.



Konvensi



Tentang



Pendirian



The



World



Intellectual



Property



Organization (WIPO) Konvensi



(perjanjian



internasional)



tentang



`pendirian



WIPO



ditandatangani dalam tahun 1967 dan mulai berlaku tahun 1970. WIPO menjadi Badan Khusus (Specialized Agency) dari PBB pada tanggal 17 Desember 1974. Pendirian WIPO berkaitan erat dengan Konvensi Paris 1883 tentang` Proteksi Milik Perindustrian dan Konvensi Bern 1886 tentang proteksi dari Literary and Artistic Works. Pada perkembangannya konsep HKI dalam kedua konvensi ini (Paris Convention dan Bern Convention) telah beberapa kali disempurnakan hingga pada akhirnya pengaturan



136



mengenai konsep-konsep HKI secara komprehensif tertuang dalam TRIPs yang pengelolaannya dilaksanakan dalam kerangka WTO melalui World Intellectual Property Organization (WIPO). WIPO adalah suatu bentuk transformasi dari The United International Bureaux for the Protection of Intellectual Property (BIRPI) yang sejak tahun 1974 bertransformasi menjadi suatu badan khusus yang bersifat administratif yang bernaung di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)138. Pasal 3 Convention Establishing the World Intellectual Property Organization, WIPO dibentuk dengan tujuan agar perlindungan terhadap HKI di seluruh dunia dapat ditingkatkan melalui kerjasama diantara negara-negara pesertanya dan kolaborasi dengan organisasi internasional lain. Fungsi utama dari WIPO (Pasal 4 Konvensi) adalah : (a) Untuk memajukan perkembangan yang diarahkan guna perlindungan dari hak milik intelektual dunia (paten, merek, dan hak cipta) dan harmonisasi perundang-undangan nasional dalam bidang ini ; (b) Melakukan tugas administrasi dari Union Paris dan Specials Union yang didirikan dalam kaitan dengan Union tersebut dan Berne Union ; (c) Dapat melaksanakan atau berpartisipasi di dalam administrasi dari perjanjian internasional lainnya yang dimaksudkan untuk memajukan perlindungan dari hak milik perindustrian;



(d)



Mendorong



diadakannya



perjanjian-perjanjian



internasional untuk memajukan perlindungan dari hak milik intelektual ; (e) Menawarkan kerjasama terhadap negara-negara yang meminta bantuan teknis hukum di dalam bidang hak milik intelektual ; (f) Menyimpulkan dan 138



Abdul Bari Azed, Kompilasi Konvensi Internasional HKI yang Diratifikasi Indonesia, (Jakarta : Ditjen HKI Depkumham dan Badan Penerbit FH UI, 2006), halaman 3.



137



menyebarluaskan informasi tentang perlindungan dari hak milik intelektual, menyelenggarakan dan memajukan studi di bidang ini dan menerbitkan hasil-hasil studi tersebut ; (g) Melakukan pelayanan jasa guna memudahkan perlindungan secara internasional dari hak milik intelektual dan dimana mungkin melakukan registrasi dalam bidang ini dan penerbitan data tentang registrasi tersebut ; (h) Melakukan kegiatan-kegiatan lainnya. Keanggotaan dari WIPO terbuka bagi negara yang menjadi anggota dari Union Paris yang merupakan anggota PBB. ―International Bureau‖ merupakan Sekretariat dari organisasi ini (Pasal 6 Konvensi) dan dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal dan dibantu oleh dua orang Diputi Direktur Jenderal. Direktur jenderal diangkat untuk masa jabatan 6 tahun dan dapat dipilih kembali. Sifat pertanggungjawaban dari Direktur Jenderal dan Staff bersifat eksklusif internasional. Direktur Jenderal dalam melakukan tugasnya tidak mencari atau menerima instruksi dari suatu pemerintah atau dari suatu Otorita di luar organisasi. Markas besar WIPO di Geneva (Pasal 10 Konvensi). Sejumlah negara-negara` menjadi anggota dari WIPO termasuk Indonesia. c.



European Patent Convention Konvensi ini dibuat pada tahun 1973 dan berlaku di 13 negara. Konvensi ini bertujuan membentuk sistem Eropa dalam pemberian paten dan ditanda tangani di Munich 5 Oktober 1973 oleh negara-negara : Belgia, Denmark, Perancis, Jerman (Federal Republik), Yunani, Irlandia, Italia, Lichtenstein, Luxemburg, Belanda, Norwegia, Swedia, Switzerland, Inggris. Permohonan paten harus diajukan kepada kantor paten Eropa di Munich



138



atau cabangnya di Den Haag. Menurut konvensi ini jangka waktu paten selama 20 tahun. Paten ini dapat di cabut tetapi hanya atas dasar alasan yang tercantum dalam konvensi tanpa menghiraukan Undang-undang nasional. Konvensi ini menentukan invensi-invensi yang tidak dapat diberi paten yaitu : teori-teori, temuan-temuan dan metode matematika, cipta anestetis, pola, peraturan dan metode untuk melaksanakan tindakan kejiwaan murni, melakukan permainan atau melakukan usaha dan program untuk komputer, penyajian informasi. Syarat-syarat untuk diberikan paten atas suatu invensi menurut konvensi ini adalah invensi baru yakni yang tidak merupakan bagian dari bentuk seni. Suatu invensi harus mengandung langkah inventif dan haruslah rentan terhadap penerapan dalam industri yang berarti bahwa invensi dapat dibuat atau digunakan dalam jenis industri apapun termasuk pertanian139. Hal-hal yang diatur konvensi ini ialah untuk mempererat kerjasama di antara negara-negara Eropa dalam kaitan dengan perlindungan invensi dengan penyedian satu macam prosedur dalam pemberian paten dan dengan mengadakan aturan-aturan standar tentang patent yang diberikan. Paten yang diberikan berdasarkan Konvensi ini disebut ―European patent‖. Substansi hukum paten diatur oleh beberapa pasal dari Konvensi ini yang memuat ketentuan-ketentuan tentang invensi yang dapat diberikan hak paten, pengecualian-pengecualian. Di samping itu tentang baru atau tidaknya suatu invensi dan sifat-sifat inventif dari suatu invensi. terdapat 4 protokol yang berkaitan dengan Konvensi ini yaitu (a) Protocol on Jurisdiction and The Recognition of Dicissions in Respect of the Right to the 139



OK Saidi, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2006), halaman 313-314.



139



Grant of a European Patent ; (b) Protocol on Privilleges and Immunities of the European Patent Organization ; (c) Protocol on the Centralization of the European Patent System and on its Introduction ; (d) Protocol on the Interpretation of Article 69 of the Convention. d.



Convention for The European Patent for The Common Market Konvensi ini dimaksudkan untuk memberikan efek yang seragam dan otonom atas patent Eropa yang diberikan menurut Convention on the Grant of European Patent tanggal 5 Oktober 1973. Patent Eropa yang diberikan oleh negara-negara peserta disebut community patents. Community patent mempunyai karakteristik yang seragam, yaitu mempunyai efek yang sama pada wilayah-wilayah dimana Konvensi ini berlaku.



e.



European Convention Relating to The Formalities Required for Patent Application (11 Desember 1953) Pasal 2 dari Konvensi ini menyatakan bahwa permohonan untuk paten harus mengikuti format tertentu. bentuk contoh permohonan merupakan Annex dari Konvensi. Negara-negara penandatanganan dari Konvensi ialah : Austria, Belgia, Denmark, Perancis, Jerman (Federal Republik, Islandia, Irlandia, Italia, Luxemburg, Belanda, Norwegia, Swedia, Turki, Inggris.



f.



Konvensi



Eropa



tentang



Klasifikasi



Internasional



(European



Convention Relating to International Classification) 19 Desember 1954 Konvensi ini dimaksudkan untuk mengadakan sistem klasifikasi yang seragam untuk paten oleh Dewan Eropa (The Council of Europe) guna mencapai suatu keserasian dari perundang-undangan nasional. konvensi ini mulai berlaku tanggal 16 Desember 1961 dan telah diratifikasi oleh negara-



140



negara Belgia, Denmark, Jerman, Irlandia, Italia, Belanda, Norwegia, Swedia, Swiss, Turki, Inggris, dan Perancis. Berdasarkan konvensi ini bahwa masing-masing negara peserta Konvensi akan mengikuti sistem dari klasifikasi paten. Klasifikasi paten yang lengkap mulai berlaku 1 September 1968 dan Edisi Kedua dari Klasifikasi berlaku sejak tanggal 1 Juli 1974. Sistem klasifikasi terbagi atas : (1) Human neccessity, (2) Performing Operations, (3) Chemistry and Metallurgy, (4) Textiles and Peper, (5) Fixed constraction, (6) Mechanics, lighting and heating, (7) Physics, (8) Electricity. g.



Strasbourg



Agreement



Concerning



The



International



Patent



Classification (24 Maret 1971) Untuk



memudahkan



pelaksanaan



penelitian



sesuatu



yang



barusejumlah negara merasa perlu untuk mendapatkan suatu sistem klasifikasi yang diterima secara internasional untuk paten, modal utilities, dan sertifikat invensi. Pada tahun 1954 Dewan Eropa membuat suatu konvensi yang berhubungan dengan klasifikasi tersebut140. Dengan Perjanjian Strasbourg Tentang Klasifikasi Paten Internasional didirikanlah special union (Perserikatan Khusus) dari negara-negara peserta perjanjian ini dan merupakan klasifikasi yang sama untuk paten dari invensi, sertifikat untuk penemu, utility models dan utility certificates, yang dikenal sebagai ―International Patent Classification‖ disingkat dengan ―klasifikasi‖ (clasification). yang dimaksud dengan klasifikasi adalah Konvensi eropa tentang Klasifikasi Internasional Paten tanggal 19 Desember 1954. Pasal 22 140



OK Saidi, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2006), halaman 312.



141



menentukan bahwa setiap negara yang menjadi peserta dari Union Paris dapat menjadi peserta dari perjanjian ini. Negara-negara peserta dari Strasbourg Agreement menurut survey dari publikasi WIPO adalah Amerika Serikat, Austria, Brazil, Belgia, Belanda, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Holy See, Iran, Italia, Inggris, Jepang, Luxemburg, Lichtenstein, Monaco, Norwegia, Spanyol, sweden, Swiss, yugoslavia. Negara-negara yang memakai International Patent Classification (IPC) adalah African and Malagasi Industrial Property Office (OAMPI), Austria, Australia, Belgia, Cuba, Cyprus Cekoslovakia, Denmark, Finlandia, Prancis, Ghana, Jerman, Hongaria, Iran, Irlandia, Italia, Jepang, Kenya, Malawi, Monaco, Belanda, Norwegia, Philipina, Polandia, Rumania, Singapore, Uni Soviet, Spanyol, sweden, Swizerland, dan Turki. Kalsifikasi obyek paten Strasbourg dibedakan dalam delapan seksi yaitu141 : (1) Seksi A -- Kebutuhan manusia meliputi : agraria, bahan-bahan makanan dan tembakau, barang-barang perseorangan dan rumah tangga, kesehatan dan hiburan; (2) Seksi B – Melaksanakan karya meliputi : memisahkan dan mencampurkan, pembentukan, pencetakan, pengangkutan; (3) Seksi C – Kimia dan Pelogaman meliputi ; kimia dan pelogaman; (4) Seksi D – Pertekstilan dan perkertasan meliputi ; pertekstilan dan bahanbahan mudah melentur dan sejenis; (4) Seksi E – Konstruksi tetap meliputi ; Pembangunan gedung dan pertambangan; (6) Seksi F – Permesinan meliputi : mesin-mesin dan pompa-pompa, pembuatan mesin-mesin pada umumnya,



141



Edi Waluyo dan Kadar Pamuji, ―Dampak Globalisasi Terhadap Hukum Paten Indonesia‖, Jurnal Hukum, Unissula Semarang, Vol. XVI, No. 3 September 2006, halaman 441.



142



penerangan dan pemanasan; (7) Seksi G – Fisika meliputi ; instrumentalia dan kenukliran; (8) Seksi H – Perlistrikan. h.



Konvensi Eropa tentang Penyatuan Beberapa Hal Dari Hukum Dasar tentang Paten Bagi Invensi (European Convention on The Unification of Certain Points of Substantive Law on Patents for Invention



(27



November 1963) Hal yang diatur oleh Konvensi ini ialah penyatuan dari beberapa hal hukum paten negara-negara peserta Konvensi, yaitu mengenai : (1) Dapatnya diberikan hak paten (patentability); (2) Baru / tidaknya suatu invensi (novelty); (3) Langkah-langkah inventif (inventive step); (4) Isi dari permohonan (content of application); (5) Perlindungan (protection). i.



Pan American Convention Dengan Buenos Aires Convention 1910 ditentukan pemberian prioritas satu tahun dalam jangka waktu mana pemohon dalam salah satu negara peserta Konvensi dapat mengajukan permohonan pada salah satu negara peserta Konvensi lain. Konvensi ini telah diratifikasi oleh Amerika serikat, Honduras, Haiti, Costa Rica, Kuba, Bolivia, Brazil, Republik Dominika Equador dan Guatemala. Konvensi lainnya di benua Amerika ialah Konvensi Montevideo 1889 dan Konvensi Caracas 1911. Salah satu ketentuan yang penting dari ―Konvensi Montevideo 1889‖ ialah bahwa bagi mereka yang telah memperoleh paten pada salah satu dari negara peserta Konvensi, dapat menikmati hak penemu (inventor‘s right) pada negara peserta Konvensi lainnya, apabila dalam masa satu tahun sejak tanggal pemberian paten, yang bersangkutan mendaftarkan patennya di negara



143



peserta lain dari Konvensi. Konvensi Montevideo mengenai paten diratifisir oleh Argentina, Uruguay, Peru, Paraguay, dan Bolivia. Konvensi Caracas 1911 mengenai hak paten menentukan bahwa bagi mereka yang memperoleh paten untuk pertama kali pada salah satu negara peserta Konvensi akan menikmati hak penemu (inventor‘s rights) di negara peserta lainnya, jikalau dalam masa selambat-lambatnya dua tahun, yang bersangkutan mendaftarkan patennya di negara peserta lain dari Konvensi tersebut. Konvensi Caracas diratifisir oleh negara-negara Boliovia, Colombia, Equador, Peru dan Venezuela. Konvensi internasional yang berkaitan dengan paten seperti yang telah di sebutkan di atas, hanya beberapa yang telah diratifikasi oleh Indonesia, diantaranya yaitu : Tabel 2 : Konvensi Internasional Tentang Paten yang Telah diratifikasi Indonesia No. Konvensi Internasional 1 Paris Convention for the Protection of Industrial Property & Convention Establishing the World Intellectual Property Organization ((Paris Convention) &(Pembentukan WIPO) 2 Patent Cooperation Treaty (PCT) and Reglation Under the PCT (PCT)



Dokumen Ratifikasi Nasional Keppres 24 Tahun 1979 yang diubah dengan Keppres 15 Tahun 1997



Keppres 16 Tahun 1997



2. Instrumen Internasional yang Relevan dengan TK Proteksi terhadap produk herbal berbasis TK dalam kancah internasional telah terbukti dalam beberapa konvensi internasional tentang paten yang diratifikasi oleh Indonesia, sedangkan konvensi internasional yang berkaitan dengan herbal berbasis traditional knowledge yaitu :



144



a. CBD Convention



Biological



Diversity



(CBD)



atau



Konvensi



Keanekaragaman Hayati merupakan kesepakatan global pertama yang mencakup semua aspek keanekaragaman hayati termasuk sumber daya genetik, spesies dan ekosistem. CBD merupakan instrumen internasional yang mengakui bahwa konservasi keanekaragaman hayati adalah kepentingan bersama umat manusia dan merupakan bagian integral dari pembangunan berkelanjutan. Keanekaragaman hayati merupakan aset global yang memiliki nilai yang sangat besar untuk generasi sekarang dan mendatang. Ancaman terhadap spesies dan ekosistem di era sekarang semakin besar. Kepunahan dalam ekosistem sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan disebabkan oleh aktivitas manusia yang tidak bertanggungjawab. Kekhawatiran



terhadap



keanekaragaman



hayati



menumbuhkan



kesadaran 157 negara pada akhirnya ikut menandatangani CBD di Rio de Jeneiro, Brazil, Amerika Selatan pada tanggal 5 Juni tahun 1992. Tanggal 5 Juni Tahun 1992 dinyatakan sebagai tanggal peresmiannya. Konvensi terbentuk setelah melalui beberapa tahap perundingan yang dilakukan diberbagai tempat dengan melibatkan berbagai kelompok Konferensi di Rio Janeiro, Brazil, yang sebelumnya didahului oleh tiga pertemuan kepakaran teknis dan tujuh sidang, diselenggarakan antara Nopember 1988 sampai dengan Mei 1992. Pertemuan dan sidang tersebut selalu dihadiri oleh delegasi Indonesia. Pertemuan dalam CBD mulai dari tahun 1988 sampai dengan tahun 1992 yaitu :



145



Tabel 3 : Pertemuan CBD dari Tahun 1988 s/d Tahun 1992 No Tanggal Tempat Kegiatan 1 16 – 18 Nopember Geneva, First session of Ad Hoc Working Group of Experts 1988 Switzerland on Biological Diversity 2 19 – 23 Februari Geneva, Second Session of the Ad Hoc Working Group of 1990 Switzerland Experts on Biological Diversity 3 9 - 13 Juli 1990 Geneva, Third Session of the Ad Hoc Working Group of Switzerland Experts on Biological Diversity 4 14 - 17 November Nairobi, Sub-Working Group on Biotechnology 1990 Kenya 5 19 - 23 November Nairobi, First Session of the Ad Hoc Working Group of 1990 Legal and Technical Experts on Biological Kenya Diversity 6 25 Februari - 6 Nairobi, Ad Hoc Working Group of Legal and Technical Maret 1991 Kenya Experts on Biological Diversity 7 24 Juni - 3 Juli Madrid, Ad Hoc Working Group of Legal and Technical 1991 Spain Experts on Biological Diversity 8 Third Negotiating Session/First Meeting of the 24 Juni - 3 Juli Madrid, Intergovernmental Negociating Committee for a 1991 Spain Convention on Biological Diversity 9 23 September - 3 Fourth Negotiating Session/Second Meeting of the Nairobi, Oktober 1991 Intergovernmental Negociating Committee for a Kenya Convention on Biological Diversity 10 25 November - 4 Geneva, Fifth Negotiating Session/Third Meeting of the Desember 1991 Switzerland Intergovernmental Negotiating Committee for a Convention on Biological Diversity 11 6 - 15 February Sixth Negotiating Session/Fourth Meeting of the Nairobi, Intergovernmental Negotiating Committee for a 1992 Kenya Convention on Biological Diversity 12 11 - 19 May 1992 Nairobi, Seventh Negotiating Session/Fifth Meeting of the Intergovernmental Negociating Committee for a Kenya Convention on Biological Diversity 13 20 - 21 May 1992 Nairobi, Conference for the Adoption of the Convention on Kenya Biological Diversity



CBD yang memfokuskan diri pada keanekaragaman hayati memiliki tiga tujuan utama yaitu : a) Konservasi keanekaragaman hayati; b) Pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati, dan c) Pembagian keuntungan dari pemanfaatan sumber daya genetik (termasuk dengan akses yang tepat untuk sumber daya).



146



Sejarah CBD diawali oleh kegiatan Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan atau United Nations Environment Programme (UNEP). UNEP menyelenggarakan Kelompok Kerja Ad Hoc Ahli Keanekaragaman Hayati pada November 1988 untuk mengeksplorasi kebutuhan untuk konvensi internasional tentang keanekaragaman hayati. Bulan Mei 1989, didirikanlah Kelompok Kerja Ad Hoc Teknis dan Hukum Ahli untuk mempersiapkan instrumen hukum internasional untuk konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati. Para ahli yang mempertimbangkan "kebutuhan untuk berbagi biaya dan manfaat antara negara maju dan berkembang " serta "cara dan sarana untuk mendukung inovasi oleh masyarakat setempat". Konvensi Keanekaragaman Hayati terinspirasi oleh komitmen yang tumbuh di masyarakat dunia terhadap mengenai pembangunan berkelanjutan. Hal ini merupakan langkah maju dalam konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan secara berkelanjutan komponen-komponennya, dan pembagian yang adil dan merata dari keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan sumber daya genetik. Pengambilan keputusan untuk CBD yaitu oleh Conference of the Parties atau Konferensi Para Pihak (COP), yang saat ini bersidang dua tahun sekali untuk mengkaji kemajuan dalam pelaksanaan Konvensi dan memutuskan program kerja untuk mencapai tujuannya. Konvensi ini terdiri atas : (a) Batang tubuh yang berisi pembukaan dan 42 pasal, yaitu : (1) Tujuan; (2) Pengertian; (3) Prinsip; (4) Lingkungan Kedaulatan; (5) Kerjasama Internasional; (6) Tindakan Umum bagi Konservasi dan Pemanfaatan



147



secara Berkelanjutan; (7) Identiikasi dan Pemantauan; (8) Konservasi Insitu; (9) Konservasi Ex-situ; (10) Pemanfaatan secara Berkelanjutan Kompenen-komponen Keanekaragaman Hayati; (11) Tindakan Insentif; (12) Penelitian dan Pelatihan; (13) Pendidikan dan Kesadaran Masyarakat; (14) Pengkajian Dampak dan Pengurangan Dampak yang Merugikan; (15) Akses pada Sumber Daya Genetik; (16) Akses pada Teknologi dan Alih Teknologi; (17) Pertukaran Informasi; (18) Kerjasama Teknis dan Ilmiah; (19) Penanganan Bioteknologi dan Pembagian Keuntungan; (20) Sumber Dana; (21) Mekanisme Pendanaan; (22) Hubungan dengan Konvensi Internasional yang lain; (23) Konferensi Para Pihak; (24) Sekretariat; (25) Badan Pendukung untuk Nasehat-nasehat Ilmiah, Teknis dan Teknologis; (26) Laporan; (27) Penyelesaian Sengketa; (28) Pengesahan Protokol; (29) Amandemen Konvensi atau Protokol; (30) Pengesahan dan Lampiran Amandemen; (31) Hak Suara; (32) Hubungan antara Konvensi dan Protokolnya; (33) Penandatanganan; (34) Ratifikasi, Penerimaan atau Persetujuan; (35) Aksesi; (36) Hal Berlakunya; (37) Keberatan-keberatan (Reservasi); (38) Penarikan Diri; (39) Pengaturan Pendanaan Interim; (40) Pengaturan Sekretariat Interim; (41) Depositari; (42) Teks Asli. (b) Lampiran Lampiran I :



Identifikasi dan Pemantauan (Identification and



Monitoring); Lampiran II : Bagian 1 : Arbitrase (Arbitration) dan



148



Bagian 2 : Konsiliasi (Concilitiation) Indonesia merupakan negara kedelapan yang menandatangani Konvensi di Rio Janeiro, Brazil pada tanggal 5 Juni 1992. Indonesia tidak akan kehilangan kedaulatan atas sumber daya alam keanekaragaman hayati yang dimiliki dengan meratifikasi konvensi CBD. Konvensi ini tetap mengakui bahwa negara-negara mempunyai hak berdaulat untuk memanafatkan sumber daya alam keanekaragaman hayati secara berkelanjutan sejalan dengan keadaan lingkungan serta sesuai dengan kebijakan sehingga pembangunan dan tanggung jawab masing-masing. Konvensi ini memiliki beberapa manfaat bagi Indonesia, antara lain : (a) Penilaian dan pengakuan dari masyarakat internasional bahwa Indonesia peduli terhadap masalah lingkungan hidup dunia, yang menyangkut bidang



keanekaragaman



hayati



dan



ikut



bertanggung



jawab



menyelamatkan kelangsungan hidup manusia pada umumnya dan bangsa Indonesia pada khususnya; (b) Penguasaan dan pengendalian dalam mengatur akses terhadap alih teknologi, berdasarkan asas perlakuan dan pembagian keuntungan yang adil dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan nasional; (c) Peningkatan kemampuan pemanfaatan dan pengembangan teknologi yang diperlukan untuk memanfaatkan secara lestari dan meningkatkan nilai tambah keanekaragaman hayati Indonesia dengan mengembangkan sumber daya genetik;



149



(d) Peningkatan pengetahuan yang berkenaan dengan keanekaragaman hayati Indonesia sehingga dalam pemanaatannya Indonesia -benar menerapkan Asas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi seperti diamanatkan dalam GBHN 1993; (e) Jaminan bahwa pemerintah Indonesia dapat menggalang kerjasama di bidang teknik ilmiah baik antar sektor pemerintah maupun dengan sektor swasta, di dalam dan di luar negeri, memadukan sejauh mungkin pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati ke dalam rencana, program, dan kebijakan baik secara sektoral maupun lintas sektoral; (f) Pengembangan dan penanganan bioteknologi sehingga Indonesia tidak dijadikan ajang uji coba pelepasan organisme yang telah direkayasa secara bioteknologi oleh negara-negara lain; (g) Pengembangan sumber dana untuk penelitian dan pengembangan keanekaragaman hayati Indonesia; (h) Pengembangan kerjasama internasional untuk peningkatan kemampuan dalam konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati, meliputi : - penetapan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati baik in-situ maupun ex-situ; - Pengembangan pola-pola insentif baik secara sosial budaya maupun ekonomi untuk upaya perlindungan dan pemanfaatan secara lestari; - Pertukaran informasi; - Pengembangan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan peningkatan peran serta masyarakat.



150



Tahun 2002 negara-negara peserta CBD membuat Bonn Guidelines on Access to Genetic Resources and Fair and Equitable Sharing of the Benefit Arising out of Their Utilisation yang intinya mendorong pengungkapan negara asal sumber genetik dan PT-SDG dalam aplikasi paten. Indonesia telah meratifikasi CBD dan mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan CBD. Ketentuan CBD yang memiliki relevansi dengan TK yaitu dapat dilihat dalam Pasal 1, Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8 huruf J, Pasal 10, Pasal 15. Pasal 1 memuat ketentuan mengenai tujuan dari konvensi CBD yaitu untuk konservasi keanekaragaman hayati dan pembagian keuntungan dari sumber daya genetik. Pasal 2 memuat mengenai pengertian dan istilah yang terdapat dan digunakan dalam konvensi CBD. Pasal 4 menegaskan bahwa CBD mengakui hak-hak atas keanekaragaman hayati negara-negara. Pasal 5 CBD mengamanatkan untuk tiap negara bekerjasama dalam konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati dengan melalui organisasi internasional yang kompeten. Pasal 6 memberikan kewajiban pada tiap negara untuk : (1) mengembangkan strategi, rencana atau program nasional



untuk



konservasi



dan



pemanfaatan



secara



berkelanjutan



keanekaragaman hayati; (2) memadukan konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati ke dalam rencana, program dan kebijakkan sektoral atau lintas sektoral yang berkaitan. Ketentuan CBD tersebut yang memiliki potensi yang besar untuk pengembangan TK yaitu Pasal 8 huruf (j) dimana CBD menyebutkan bahwa:



151



a) negara peserta konvensi harus menghormati, memelihara dan menjaga PT; b)



harus



ada



persetujuan



dari



dan



melibatkan



pemilik



dalam



menggunakannya; c) mendukung pembagian kemanfaatan secara adil dari penggunaannya. Pasal 8 huruf (j) harus dibaca bersama-sama Pasal 15 (4) yang mengatur bahwa akses harus atas dasar persetujuan bersama; Pasal 15 (5) akses wajib didasarkan mufakat Pihak yang menyediakan sumber daya tersebut yang diinformasikan sebelumnya, kecuali ditentukan berbeda oleh Pihak pemiliknya. b. DOHA Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO (World Trade Organizations) ke-4, pada tanggal 9-14 Nopember 2001, yang dihadiri oleh 142 negara menghasilkan dokumen utama berupa Deklarasi Menteri (Deklarasi Doha). Deklarasi ini menandai diluncurkannya putaran perundingan baru mengenai perdagangan jasa, produk pertanian, tarif industri, lingkungan, isu-isu implementasi, Hak Kekayaan Intelektual (HKI), penyelesaian sengketa, dan peraturan WTO. Deklarasi tersebut mengamanatkan kepada para anggota untuk mencari jalan bagi tercapainya konsensus yang mencakup isu-isu: investasi, kebijakan kompetisi (competition policy), transparansi dalam pengadaan pemerintah (goverment procurement), dan fasilitasi perdagangan. Deklarasi juga memuat mandat untuk meneliti program-program kerja mengenai electronic commerce, negara-negara kecil (small economies), serta hubungan antara perdagangan, utang, dan alih teknologi. Deklarasi Doha juga telah memberikan mandat kepada para anggota WTO untuk melakukan



152



negosiasi di berbagai bidang, termasuk isu-isu yang berkaitan dengan pelaksanaan persetujuan yang ada. Keputusan-keputusan yang telah dihasilkan KTM IV ini dikenal puladengan sebutan "Agenda Pembangunan Doha" (Doha Development Agenda) mengingat di dalamnya termuat isu-isu pembangunan yang menjadi kepentingan



negara-negara



berkembang



terbelakang



(least-developed



countries/LDCs), seperti: kerangka kerja kegiatan bantuan teknik WTO, program kerja LDCs, dan program kerja untuk mengintegrasikan secara penuh negara kecil ke dalam WTO. Hasil putaran Perundingan DOHA tahun 2001 antara lain142 : (a). Isu-Isu Yang Disetujui Untuk Dirundingkan Lebih Lanjut. Deklarasi Doha mencanangkan segera dimulainya perundingan lebih lanjut mengenai beberapa bidang spesifik, seperti jasa, pertanian, tarif produk industri, lingkungan hidup, impelementasi, HKI, penyempurnaan DSM dan aturan-aturan WTO (WTO Rules). (b) Isu-isu Implementasi Negara-negara berkembang telahterus-menerus menekan negara-negara maju untuk membahas masalah ketidakseimbangan yang muncul dari persetujuan



Putaran



Uruguay.



Negara



berkembang



seringkali



mempermasalahkan berbagai pasal dalam berbagai persetujuan WTO yang dianggap merugikan maupun kurang jelas sehingga menyulitkan negara berkembang dalam mengimplementasikan komitmennya di WTO. Mengingat persetujuan-persetujuan merupakan hasil perundingan pada 142



Sulistyo Widayanto, Negosiasi untuk Mengamankan Kepentingan Nasional di Bidang Perdagangan ( Bagian ke – 2 ), Buletin Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional, Edisi 43/KPI/2007



153



masa Putaran Uruguay di mana belum disadari dampak pelaksanaannya maka diusulkan untuk mengklarifikasiatau memperbaiki beberapa pasal persetujuan WTO dalam perundingan lebih lanjut. KTM ke enam WTO telah diselenggarakan pada tanggal 13-18 Desember 2005 di Hong Kong. Tujuan penyelenggaraan KTM ini adalah untuk mencapai kesepakatan Agenda Pembangunan Doha yang dijadwalkan berakhir pada bulan Desember tahun 2006. KTM VIWTO telah berhasil menyepakati Program Kerja Doha yang dituangkan dalam Ministerial Declaration. Deklarasi Menteri tersebut secara umum telah menghasilkan kemajuan yang berarti, namun negara-negara anggota, termasuk Indonesia masih perlu bekerja lebih keras untuk menyelesaikan perundingan lanjutan di semua isu guna mencapai tujuan Agenda Pembangunan Doha. Pokok-pokok hasil kesepakatan dimaksud adalah sebagai berikut: (a) Bidang Pertanian Perundingan di bidang pertanian mencakup 3 (tiga) pilar utama, yaitu subsidi domestik termasuk de minimis; subsidi ekspor termasuk food aid, State Trading Enterprises; dan akses pasar termasuk Special Products (SP) dan Special Safeguard Mechanism (SSM). Dalam isu subsidi ekspor, Indonesia menerima dicantumkannya batas akhir penurunan subsidi ekspor sampai dengan tahun 2013, walaupun Indonesia dan kelompok negara yang tergabung dalam G-20 menginginkan agar subsidi ekspor tersebut dihapuskan pada tahun 2010. Disepakati pula dalam Deklarasi Menteri tersebut bahwa realisasi penghapusan ekspor secara substansial harus dilakukan pada akhir paruh



154



pertama periode implementasi. Dengan demikian dapat diartikan bahwa meskipun ditetapkan batas akhir tahun 2013, namun realisasi penghapusan subsidi pertanian di negara maju tetap sesuai dengan permintaan negara berkembang yaitu tahun 2010. Hal ini merupakan kompromi



yang



tetap



memenangkan



kepentingan



negara-negara



berkembang termasuk Indonesia. (b) Bidang Akses Pasar Non Pertanian (Non Agriculture Market AccessNAMA) Perundingan dibidang NAMA menfokuskan pada pembahasan mengenai formula penurunan tarif termasuk prinsip less than full reciprocity; fleksibilitas /Special and Differential Treatment (S&D treatment); dan treatment of unbound tariff. Perundingan ini juga membahas isu pengurangan tarif sektoral, cakupan produk non pertanian, serta hambatan non tarif. Berkaitan dengan penghapusan tarif sektoral, Indonesia dapat menerima penghapusan tarif sektoral yang bersifat tidak mengikat. Hal ini sesuai dengan keinginan Indonesia yang menolak gagasan penghapusan tarif sektoral secara wajib. Untuk itu perlu dikaji lebih lanjut efektifitas dalam perluasan akses pasar secara global maupun manfaatnya terhadap pengembangan industri nasional. Disepakati bahwa penetapan modalitas harus selesai paling lambat tanggal 30 April 2006 dan jadwal penyampaian draft komprehensif berdasarkan modalitas paling lambat tanggal 31 Juli 2006. (c) Bidang Jasa Perdagangan



155



Pada dasarnya Deklarasi Menteri bersifat lebih fleksibel karena liberalisasi tetap akan dilakukan secara progresif berdasarkan pada tingkat pembangunan nasional negara anggota WTO. Para Menteri juga menyepakati bahwa dalam melakukan liberalisasi perundingan akan dilanjutkan berdasarkan: (a) negotiating guidelines and procedures tanggal 28 Maret 2001, (b) modalitas S&D treatment tanggal 3 September 2003, dan (c) schedulling guidelines tanggal 23 Maret 2001. (d) Bidang TRIPs/HAKI Menteri telah mengakomodasi usulan negara berkembang untuk perluasan cakupan produk indikasi geografis (Geographical Indication Produk-produk yang memiliki ciri khas dari suatu wilayah) yang sejalan dengan kebijakan otonomi daerah dalam rangka meningkatkan akses pasar produk khas daerah. Selain itu, dalam hubungannya dengan penyelesaian



sengketa



menyepakati



bahwa



selamamasa sebelum



transisi,



selesai



Deklarasi



ditetapkannya



Menteri modalitas



penyelesaian sengketa, tidak akan ada negara berkembang yang dapat diajukan



ke



badan



penyelesaian



sengketa-WTO



apabila



terjadi



pelanggaran HKI. Selain hal-hal tersebut di atas para Menteri juga sepakat untuk melanjutkan perundingan untuk transfer teknologi atas Persetujuan TRIPs yang akan sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam rangka penguasaan teknologi. (e) Bidang TRIPs dan Public Health Deklarasi Menteri telah menyepakati untuk melakukan amandemen pasal 31 TRIPs Agreement dalam rangka mem-permudah negara



156



berkembang dan negara kurang berkembang untuk mengakses obatobatan dengan harga murah. Dengan demikian negara berkembang, termasuk Indonesia, diperbolehkan melakukan ekspor apabila telah memiliki kapasitas untuk produksi obat-obatan untuk tujuan ekspor. (f)



Bidang Trade Facilitation Dalam rangka kelancaran arus barang di pelabuhan dan dipabean untuk tujuan ekspor dan impor telah disepakati dalam Deklarasi Menteri untuk melakukan perundingan lanjutan guna membahas elemen-elemen trade facilitation seperti: single window,single document, national focal point, border coordination, appeal procedures, establishment code of conduct bagi staf kepabeanan, multilateral mechanism for the exchange and handling of information,technical assistance dan capacity building untuk pembangunan infrastruktur kepabeanan dan kepelabuhanan.



(g) Bidang Rules Deklarasi



Menteri memuat kesepakatan untuk meneruskan



perundingan penyempurnaan peraturan anti-dumping/anti subsidi serta pengaturan subsidi perikanan dan kerjasama perdagangan regional. Untuk isu anti-dumping dan anti subsidi, kesepakatan ini telah mengakomodir kepentingan Indonesia yang khawatir akan penggunaan instrumen anti-dumping dan anti-subsidi yang berlebih-lebihan bahkan cenderung ke arah hambatan perdagangan non-tarif. Sementara untuk isu subsidi perikanan, Deklarasi telah memuat mengenai pelarangan bentuk subsidi perikanan yang menyebabkan over capacity dan over-fishing serta pemberlakuan ketentuan S&D treatment karena sektor perikanan



157



Indonesia merupakan salah satu sektor penting bagi ketahanan pangan dan kelestarian sumber daya hayati laut. Sedangkan usulan Indonesia mengenai pemberdayaan masyarakat nelayan pesisir akan terus diperjuangkan pada perundingan lanjutan. (h) Bidang Perdagangan dan Lingkungan, Isu Pembangunan dan S&D Treatment Deklarasi Menteri memuat kesepakatan untuk meng-intensifkan perundingan gunamemenuhi mandat Agenda Pembangunan Doha. Para Menteri juga mengakui kemajuan yang dicapai anggota dalam penyampaian submisi mengenai keterkaitan antara ketentuan WTO yang ada dan kewajiban perda-gangan spesifik sebagaimana diatur dalam Multilateral Environmental Agreements (MEAs) serta kemajuan dalam mengembangkan prose-dur pertukaran informasi antara Sekretariat MEAs dan Komite WTO yang relevan. Hal ini sesuai dengan posisi Indonesia yang mendukung pembentukan prosedur untuk melaksanakan pertukaran informasi secara reguler dan informal. Namun demikian, Indonesia tetap berpandangan bahwa sekiranya terdapat upaya untuk memformalkan mekanisme ini maka pembahasannya harus menjadi bagian dari pembahasan penyempurnaan mekanisme kerja Komite Perdagangan dan Lingkungan secara keseluruhan.Bahasannya harus menjadi bagian dari pembahasan penyempurnaan mekanisme kerja Komite Perdagangan dan Lingkungan secara keseluruhan. Deklarasi Menteri menegaskan kembali bahwa ketentuan S&D merupakan bagian yang integral dari seluruh Perjanjian WTO dan



158



sepakat untuk membuatnya menjadi lebih tepat, efektif dan operasional. Hal ini telah sejalan dengan landasan posisi Indonesia untuk isu ini. Indonesia juga telah mem-berikan dukungan pada pro-posal S&D Treatment yangdisampaikan oleh negara-negara kurang berkembang (Least Developed Countries-LDCs) dan pada akhir pertemuan para Menteri sepakat untuk menerapkan akses pasar yang bebas bea masuk dan bebas kuota bagi komoditas yang berasal dari negara LDCs pada tahun 2008. Salah satu topik pada Deklarasi Doha mengenai akses paten pada obatobatan. Isu ini melibatkan keseimbangan kepentingan antara perusahaan farmasi di negara-negara maju yang memegang paten pada obat-obatan dengan kebutuhan kesehatan masyarakat di negara-negara berkembang. Sebelum pertemuan Doha, Amerika Serikat mengklaim bahwa saat ini TRIPs cukup fleksibel untuk mengatasi keadaan mendesak di bidang kesehatan, namun negara-negara lain (terutama negara berkembang) bersikeras bahwa keadaan tersebut belum mengatasi permasalahan di bidang kesehatan. Perundingan dilaksanakan di Komite Perundingan Perdagangan (Trade Negotiations Committee/TNC) dan badan-badan dibawahnya (subsidiaries body). Selebihnya, dilakukan melalui program kerja yang dilaksanakan oleh Councils dan Commitee yang ada di WTO. Deklarasi DOHA ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan masyarakat negara-negara berkembang dan terbelakang yang diakibatkan dari pelaksanaan perlindungan paten obat. Paragraf 4 Deklarasi DOHA dapat dijadikan sebagai alasan yang sah terhadap pelaksanaan Pasal-



159



pasal pelindung untuk tujuan melindungi kesehatan masyarakat dan meningkatkan akses terhadap obat-obatan esensial. Deklarasi DOHA juga membantu negara-negara berkembang dan terbelakang untuk menafsirkan Pasal-pasal pelindung TRIPs, seperti lisensi wajib dan impor paralel. Para Menteri pada Deklarasi Doha mengkhawatirkan kemungkinan implikasi dari perjanjian TRIPs khusus pada akses obat-obatan. Para Menteri menekankan bahwa perjanjian TRIPs seharusnya tidak mencegah pemerintah negara anggota untuk bertindak dalam melindungi kesehatan masyarakat. Perjanjian TRIPS berisi 12 pasal yang memiliki kaitan erat dengan perlindungan paten obat dan tiga pasal tentang kebijakan untuk menangani dampak paten obat yang lebih dikenal sebagai pasal pelindung TRIPS (the TRIPS safeguards). Keduabelas pasal di dalam perjanjian TRIPS adalah sebagai berikut : Pasal 3 dan 4 (prinsip non- diskriminasi), Pasal 7 (tujuan TRIPS), Pasal 8 (perlindungan kesehatan masyarakat), Pasal 27 (Paten produk dan proses; dan pengecualian paten), Pasal 33 (perlindungan paten minimum selama 20 tahun), Pasal 34 (pembuktian terbalik untuk paten proses), Pasal 39 (Perlindungan data), Pasal 65 dan 66 (Pengaturan ketentuan transisi untuk negara-negara berkembang yang menjadi anggota WTO), Pasal 66 dan 67 (alih teknologi dan kerjasama teknis), Pasal 70/8 (mailbox filings) dan Pasal 71/1 (review). Tiga pasal pelindung yaitu Pasal 6 (import paralel), Pasal 30 (Bolar Provision) dan Pasal 31 (lisensi wajib dan government use143.



143



Lihat WHO Essential Drugs and Medicines Policy, Network For Monitoring The Impact Of Globalization And Trips On Access To Medicines, Report of a meeting February 2001, Bangkok, Thailand, Health Economics and Drugs, EDM Series No.11, WHO/EDM/PAR/2002.1.WHO.2002, halaman 17. Lihat pula Tomi Suryo Utomo, Implementasi Lisensi Wajib Terhadap Produk Obat Yang Dipatenkan Pasca Deklarasi Doha, Jurnal Ilmu Hukum : Refleksi Hukum, Edisi April 2009, halaman 26.



160



Deklarasi Doha Tahun 2001 pada tanggal 14 November 2001, menegaskan kembali fleksibilitas negara anggota TRIPs dalam menghindari hak paten khusus untuk akses yang lebih baik terhadap obat-obatan essensial. Paragraf 4 sampai paragraf 7 Deklarasi Doha telah disepakati bahwa : Paragraf 1 : We recognize the gravity of the public health problems afflicting many developing and least-developed countries, especially those resulting from HIV/AIDS, tuberculosis, malaria and other epidemics. Paragraf 2 : We stress the need for the WTO Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS Agreement) to be part of the wider national and international action to address these problems. Paragraf 3 : We recognize that intellectual property protection is important for the development of new medicines. We also recognize the concerns about its effects on prices. Paragraf 4 : We agree that the TRIPS Agreement does not and should not prevent members from taking measures to protect public health. Accordingly, while reiterating our commitment to the TRIPS Agreement, we affirm that the Agreement can and should be interpreted and implemented in a manner supportive of WTO members' right to protect public health and, in particular, to promote access to medicines for all. In this connection, we reaffirm the right of WTO members to use, to the full, the provisions in the TRIPS Agreement, which provide flexibility for this purpose. Paragraf 5 : Accordingly and in the light of paragraph 4 above, while maintaining our commitments in the TRIPS Agreement, we recognize that these flexibilities include: a. In applying the customary rules of interpretation of public international law, each provision of the TRIPS Agreement shall be read in the light of the object and purpose of the Agreement as expressed, in particular, in its objectives and principles. b. Each member has the right to grant compulsory licences and the freedom to determine the grounds upon which such licences are granted. c. Each member has the right to determine what constitutes a national emergency or other circumstances of extreme urgency, it being understood that public health crises, including those relating to HIV/AIDS, tuberculosis, malaria and other epidemics, can represent a national emergency or other circumstances of extreme urgency. d. The effect of the provisions in the TRIPS Agreement that are relevant to the exhaustion of intellectual property rights is to leave each



161



member free to establish its own regime for such exhaustion without challenge, subject to the MFN and national treatment provisions of Articles 3 and 4. Paragraf 6 : We recognize that WTO members with insufficient or no manufacturing capacities in the pharmaceutical sector could face difficulties in making effective use of compulsory licensing under the TRIPS Agreement. We instruct the Council for TRIPS to find an expeditious solution to this problem and to report to the General Council before the end of 2002. Paragraf 7 : We reaffirm the commitment of developed-country members to provide incentives to their enterprises and institutions to promote and encourage technology transfer to least-developed country members pursuant to Article 66.2. We also agree that the least-developed country members will not be obliged, with respect to pharmaceutical products, to implement or apply Sections 5 and 7 of Part II of the TRIPS Agreement or to enforce rights provided for under these Sections until 1 January 2016, without prejudice to the right of least-developed country members to seek other extensions of the transition periods as provided for in Article 66.1 of the TRIPS Agreement. We instruct the Council for TRIPS to take the necessary action to give effect to this pursuant to Article 66.1 of the TRIPS Agreement. Paragraf 4 dari Deklarasi Doha adalah salah satu dari ketentuan yang paling kontroversial pada Konferensi Tingkat Menteri di Doha. Target negosiasi negara-negara berkembang adalah mengadopsi langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi kesehatan masyarakat. Bagian kedua dari ayat 4 Deklarasi Doha mencerminkan salah satu perhatian utama negaranegara berkembang dalam proses menuju Doha Ministerial. Deklarasi Doha menekankan fleksibilitas yaitu untuk tujuan mengadopsi langkah-langkah melindungi kesehatan masyarakat. Paragraf 5 bagian (a) diusulkan oleh negara-negara berkembang dengan tujuan untuk menekan penafsiran Pasal 7 dan Pasal 8 TRIPs. Deklarasi Doha memberikan pemahaman tentang tujuan dari perjanjian TRIPS dalam kaitannya dengan masalah kesehatan masyarakat.



162



Paragraf 5 bagian (b) memberikan ketentuan mengenai lisensi. Ketentuan-ketentuan dalam Deklarasi memastikan bahwa Pemerintah dapat mengeluarkan lisensi wajib paten untuk obat-obatan, atau mengambil langkah-langkah lain untuk melindungi kesehatan masyarakat. Permasalahan utama tehadap paragraf 6 Deklarasi Doha adalah berkaitan dengan pelaksanaannya di negara-negara berkembang dan terbelakang yang tidak memiliki kemampuan untuk memproduksi produk-produk farmasi. Hal ini menjadi sebuah masalah serius karena berdasarkan Pasal 31 (f) Perjanjian TRIPs, pelaksanaan lisensi wajib di negara-negara WTO adalah untuk pasar domestik saja. Isu lain dalam undang-undang paten Indonesia yang terkait dengan kemudahan masyarakat dalam mengakses obat-obatan adalah ketentuan mengenai lisensi wajib dan pemakaian paten oleh pemerintah. Secara umum pengertian lisensi wajib adalah hak dari pemerintah untuk memberikan lisensi kepada pihak ke tiga baik itu swasta, badan pemerintah, atau pihak lain) untuk menggunakan paten yang bersangkutan tanpa perlu adanya persetujuan dari pemegang hak paten. Lisensi wajib ini harus ditetapkan oleh otoritas tertentu misalnya pemerintah melalui putusan pengadilan untuk pihak yang memenuhi persyaratan tertentu dimana salah satu persyaratannya tetap harus ada pembayaran sejumlah uang sebagai kompensasi bagi pemegang hak. Paragraf 5 (c) Deklarasi Doha menyatakan hak yang perlu untuk dipertanyakan negara-negara anggota yaitu hak yang dapat digunakan dalam keadaan darurat atau mendesak. Penentuan hak darurat mungkin relevan untuk pemberian lisensi wajib, pembentukan pengecualian dalam Pasal 30,



163



atau adopsi langkah-langkah lain yang diizinkan menurut Pasal 8 ayat (1) TRIPs. Pasal 5 (c) Deklarasi Doha memahami bahwa krisis kesehatan masyarakat, termasuk yang berkaitan dengan HIV / AIDS, tuberkulosis, malaria dan epidemi lainnya, dapat mewakili keadaan darurat nasional atau keadaan lain yang sangat mendesak. Paragraph 6 Deklarasi Doha menyatakan bahwa Dewan TRIPS diberi mandat untuk mencari solusi terbaik mengenai solusi bagi negara-negara yang tidak cukup memiliki kapasitas produksi di sektor pharmasi dan menghadapi kesulitan dalam menerapkan lisensi wajib di bidang TRIPS. Perbedaan kepentingan antara negara maju dan negara berkembang mengakibatkan Sidang Dewan TRIPS selama tahun 2002 tidak dapat menghasilkan suatu kesepakatan, khususnya Dewan TRIPS gagal menghasilkan suatu kesepakatan Ketua mengeluarkan chairman‘s text pertama pada tanggal 10 Nopember 2002 dan yang kedua tanggal 24 Nopember 2002. Chairman‘s Text ini sudah berbentuk sebagai draft keputusan yang mengabaikan kewajiban anggota (Waiver) dari pasal 31 (f) perjanjian TRIPS, sehingga memungkinkan anggota untuk mengekspor seluruh produk-produk farmasi yang diproduksi tanpa menggunakan ijin lisensi wajib144. Deklarasi Doha merupakan suatu deklarasi tingkat menteri yang tidak dengan sendirinya merubah syarat-syarat hukum yang mengikat, tetapi sekarang ini disetujui bagaimana seterusnya ketentuan Pasal 31 Persetujuan TRIPs harus diinterprestasikan145. Pada akhirnya, para menteri menyetujui bahwa persetujuan TRIPs tidak menghalangi negara-negara anggota WTO untuk menenpuh langkah-langkah untuk melindungi kesehatan masyarakat146. Khususnya ketentuan Pasal 31 Persetujuan TRIPs dapat dan harus



144



145



146



Lihat http://www.kemenperin.go.id/artikel/592/Perkembangan-Perundingan-WTO, diakses tanggal 5 Maret 2015. Citra Citrawinda Priapantja, Hak Kekayaan Intelektual (Tantangan Masa Depan), (Depok : Badan Penerbit FH UI, 2003), halaman 65. Ibid



164



diinterpretasikan dan diimplementasikan dengan sikap membantu hak-hak negara anggota WTO untuk melindungi kesehatan masyarakat, dan khususnya untuk mengusahakan semua akses terhadap obat. Persetujuan TRIPs harus ditafsirkan dalam arti yang demikian. Setiap negara anggota memiliki hak untuk menentukan mengenai apa yang dimaksud dengan kebutuhan yang mendesak untuk kepentingan nasional. Warga negara dari negara-negara industri yang memiliki paten dunia terbanyak terpaksa harus membantu negara-negara berkembang untuk lisensi wajib. Produksi obat-obatan farmasi berdasarkan lisensi wajib tidak boleh diimpor atau diekspor ke negara lain. Akibatnya, negara-negara dengan kemampuan yang tidak mencukupi atau negara yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan di dalam memproduksi obat-obatan mengalami hambatan di dalam memanfaatkan lisensi wajib. Larangan ini bertentangan dengan tujuan Pasal 31 TRIPs yang mengijinkan penggunaan lisensi wajib untuk mengatasi dampak negatif dari perlindungan paten obat. Compulsory license atau lisensi wajib pada dasarnya tidak dikenal di dalam TRIPs, akan tetapi prinsip dasarnya tertampung dalam article 31 mengenai "other use without authorization of the right holder" (pemakaian paten tanpa seijin pemegang hak paten). Salah satu alasan pemakaian lisensi wajib ini adalah karena pihak yang mengajukan lisensi telah mengajukan permohonan untuk mendapat lisensi tersebut akan tetapi tidak berhasil meskipun pihaknya telah mengajukan penawaran yang layak dan permohonan tersebut diajukan dalam jangka waktu yang memadai. Ketentuan article 31 juga rnembuka kemungkinan pengajuan permohonan pemakaian paten tanpa



165



seijin pemegang hak dengan alasan karena adanya kepentingan nasional yang mendesak (national emergency) atau adanya kondisi yang sangat mendesak lainnya (other circumstences of extreme urgency) atau pemakaian nonkomersial unhrk kepentingan publik (public non-commercial use). Dalam hal untuk kepentingan nasional yang mendesak atau kondisi yang sangat mendesak lainnya, pemegang hak harus diberi tahu sesegera mungkin. Deklarasi Doha mengakui bahwa perjanjian TRIPS dapat ditafsirkan dan dilaksanakan untuk melindungi kesehatan masyarakat dengan dukungan negara-negara



anggota



WTO.



Hal



ini



akan



memungkinkan



untuk



melaksanakan fleksibilitas dari lisensi wajib, terutama, untuk penyakit seperti HIV / AIDS, tuberkulosis, malaria, dan epidemi lainnya. Deklarasi Doha memungkinkan interpretasi yang lebih fleksibel dari perjanjian TRIPS dalam Proses Penyelesaian Sengketa WTO dalam Konteks masalah kesehatan masyarakat. Deklarasi Doha adalah pernyataan politik yang kuat yang dapat membuat lebih mudah bagi negara-negara berkembang untuk mengadopsi langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin akses ke perawatan kesehatan tanpa takut terseret ke dalam pertempuran hukum. Keputusan-keputusan yang telah dihasilkan KTM IV ini dikenal pula dengan sebutan "Agenda Pembangunan Doha" (Doha Development Agenda) mengingat di dalamnya termuat isu-isu pembangunan yang menjadi kepentingan



negara-negara



berkembang



terbelakang



(least-developed



countries/LDCs), seperti: kerangka kerja kegiatan bantuan teknik WTO, program kerja LDCs, dan program kerja untuk mengintegrasikan secara



166



penuh negara kecil ke dalam WTO. Keputusan-keputusan yang telah dihasilkan KTM IV ini dikenal pula dengan sebutan "Agenda Pembangunan Doha" (Doha Development Agenda) mengingat di dalamnya termuat isu-isu pembangunan



yang



menjadi



kepentingan



negara-negara



berkembang



terbelakang (least-developed countries/LDCs), seperti: kerangka kerja kegiatan bantuan teknik WTO, program kerja LDCs, dan program kerja untuk mengintegrasikan secara penuh negara kecil ke dalam WTO. Doha Development Agenda yang merupakan hasil dari Ministerial Declaration WTO yang dikeluarkan pada tahun 2001 memberikan amanat untuk dilakukannya pembahasan mengenai hubungan antara TRIPs dan CBD, serta perlindungan terhadap pengetahuan tradisional. Konferensi tingkat menteri yang telah diselenggarakan di Doha, Qatar tanggal 9 – 14 November 2001, merupakan akibat dari peristiwa tanggal 11 September 2001 dan perselisihan-perselisihan mengenai paten antibiotik anthrax CIPOBRAY milik perusahaan Bayer. Untuk pertama kalinya, negara-negara industri menyadari bahwa hak-hak paten dapat menjadi suatu rintangan untuk mengatasi kebutuhan sangat mendesak bagi kepentingan masyarakat suatu negara yang membutuhkan suplai besar dan secara cepat dari obat-obat murah. Mungkin latar belakang inilah yang membuat Deklarasi Doha menjadi lebih menguntungkan bagi negara-negara berkembang. Putaran Doha dimulai dengan pertemuan tingkat menteri di Doha, Qatar pada tahun 2001. Pertemuan tingkat menteri berikutnya berlangsung di Cancun, Meksiko (2003), dan Hongkong (2005). Perundingan yang terkait



167



berlangsung di Paris, Perancis (2005), Potsdam, Jerman (2007), dan Jenewa, Swiss (2004, 2006, 2008). India dan negara maju masih bersitegang mengenai subsidi petani dan ketahanan pangan. Rencana India untuk menambah batas cadangan pangan negara dari 10 menjadi 15 persen terus diperdebatkan. Negara maju khawatir, jika cadangan pangan terlalu banyak dan bocor, keseimbangan harga internasional akan terganggu. Usulan Indonesia dan negara berkembang lain agar subsidi pertanian mencapai 15 persen juga mendapat tentangan. Setelah India melunak karena ada perubahan teks dalam paket Bali yang mengadopsi kepentingan mereka, hambatan lain muncul dari empat negara Amerika latin yang dimotori oleh Kuba. Kuba menghendaki WTO menunda rencana finalisasi poin fasilitasi perdagangan terkait boikot yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Sikap Kuba didukung oleh Bolivia, Venezuela, dan Nikaragua147. Paket Bali atau Bali Package berisi sejumlah draf hasil pertemuan awal General Council of WTO di Jenewa, Swiss, akhir November 2013. Dalam paket Bali ada tiga hal yang menjadi bahasan utama, yaitu paket kebijakan untuk negara kurang berkembang, fasilitasi perdagangan, dan kebijakan mengenai perdagangan produk pertanian. Paket Bali yang berhasil disepakati pada pelaksanaan KTM WTO ke-9 di Nusa Dua, Bali ini hanya mewakili tidak lebih dari 10% isu yang diamanatkan dalam DDA. Secara keseluruhan, sebenarnya ada 19 isu DDA yang seharusnya diselesaikan pada tahun 2005 berdasarkan pendekatan single undertaking, yakni tidak ada kesepakatan sampai semua disepakati148. tiga elemen dari DDA, yaitu; Perjanjian Fasilitasi Perdagangan, beberapa isu di bawah perundingan sektor pertanian (yaitu menyangkut penambahan ―general services‖ yang dibebaskan dari ketentuan pembatasan subsidi,



147



http://www.tempo.co/read/news/2013/12/07/090535414/Paket-Bali-Disepakati-Konferensi-WTO, Paket Bali Disepakati, Konferensi WTO Berakhir, Sabtu, 7 Desember 2013. Diakses tanggal 5 Maret 2015. 148 Tabloit Diplomasi, No. 72 Tahun VII, Hasil Kesepakatan Bali WTO Yang Seimbang Dan Inklusif, Kementerian Luar Negeri RI, halaman 8.



168



public stockholding for food security purposes, pengertian mengenai administrasi Tariff-Rate Quota dari Perjanjian Pertanian, dan persaingan ekspor/subsidi ekspor), serta isu-isu pembangunan dan negara kurang berkembang (terdiri dari preferensi Ketentuan Asal Barang, operasionalisasi kemudahan akses pasar jasa, akses pasar Duty Free, Quota Free/ DFQF, dan mekanisme monitoring penerapan S&D). Kesembilanbelas isu dalam kerangka DDA adalah berupa; (1) pertanian yang terdiri dari tiga elemen yakni akses pasar, subsidi ekspor, dan dukungan domestik atau subsidi domestik; (2) jasa; (3) akses pasar untuk produk nonpertanian; (4) Trade-related Aspects of Intellectual property Rights (TRIPS); (5) hubungan antara perdagangan dan investasi; (6) hubungan antara perdagangan dan kebijakan persaingan; (7) transparansi dalam government procurement; (8) fasilitasi perdagangan; (9) ketentuan anti-dumping dan subsidi; (10) ketentuan terkait perjanjian perdagangan regional; (11) pengertian atas penyelesaian sengketa; (12) perdagangan dan lingkungan; (13) e-commerce; (14) Small Economies; (15) perdagangan, hutang dan pembiayaan; (16) perdagangan dan alih teknologi; (17) kerjasama teknis dan pengembangan kapasitas; (18) negara kurang berkembang; dan (19) Special and Differential Treatment (S&D). Paket Bali yang terkait dengan negara kurang berkembang (least developed countries/LDC). Kesepakatan atas LDC antara lain mengenai pembebasan tarif dan kuota (duty free quota free), penyederhanaan prosedur ekspor, fleksibilitas penyediaan jasa (service waiver), dan persoalan produk kapas. Pembebasan tarif dan kuota memberi keleluasaan kepada LDC untuk



169



mendapatkan pembebasan tarif dan kuota. Penyederhanaan prosedur ekspor dilakukan dengan menetapkan surat keterangan asal (SKA) barang secara sederhana. Kedua pokok perundingan untuk LDC itu bertujuan meningkatkan aktivitas dagang dan ekspor dari LDC supaya perekonomian berkembang. Pemberian sertifikat asal (SKA) sebagai pelengkap dokumen akan disederhanakan prosedurnya sehingga bagi pengekspor produk herbal atau tanaman obat dapat dengan mudah mendapatkan SKA. Para eksportir akan mendapatkan SKA sebagai pelengkap dokumen ekspor. Pemberian SKA ini sangat penting karena berkaitan dengan asal barang yang berasal dari Indonesia. SKA akan memberikan jalan bagi Indonesia sebagai pemilik tanaman obat. 3. Perdebatan Penggunaan Konsep Dalam Ratifikasi Undang-undang Paten. Indonesia sebagai bagian dari komunitas internasional tidak bisa menutup diri terhadap perkembangan yang telah, sedang, atau akan terjadi di dunia internasional. Sebagian besar kehidupan masyarakat Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perkembangan masyarakat yang terjadi di negara-negara lain termasuk perkembangan kekayaan intelektual. Keberadaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam hubungan antar manusia dan antar negara merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. HKI juga merupakan sesuatu kebutuhan dalam sebuah masyarakat industri atau yang sedang mengarah ke sana. Keberadaannya senantiasa mengikuti dinamika perkembangan masyarakat itu sendiri. Begitu pula halnya dengan masyarakat dan bangsa Indonesia yang mau tidak mau bersinggungan dan terlibat langsung dengan masalah HKI.



170



Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi hasil Putaran Uruguay tersebut ke dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization atau Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia di mana pada lampiran I C Persetujuan Pembentukkan Organisasi tersebut memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang HKI. Persetujuan-



persetujuan yang berada di bawah pengelolaan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) dan merupakan lampiran dari Persetujuan Pembentukkannya, adalah sebagai berikut : a)



Lampiran I terdiri dari : i.



Lampiran IA Agreements on Trade in Goods (Persetujuan dalam Perdagangan Barang) yang terdiri dari : (1) General Agreement on Tariffs and Trade 1994 (Persetujuan mengenai Tarif dan Perdagangan), yang memuat berbagai pengertian mengenai penasiran beberapa ketentuan GATT yang berlaku selama ini; (2) Marrakesh Protocol GATT 1994 (Protokol Marakesh tentang GATT 1994); (3) Agreement on Agricultural (Persetujuan tentang Produk Pertanian); (4) Agreement on



Sanitaryand



Perlindungan



Phytosanitary



Measures



Kesehatan Manusia, Hewan



(Persetujuan



tentang



dan Tanaman); (5)



Agreement on Textiles and Clothing (Persetujuan mengenai Tekstil dan Pakaian Jadi); (6) Agreement on Technical Barriers to Trade (Persetujuan tentang Hambatan Teknis di bidang Perdagangan); (7) Agreement on Trade-Related Investment Measures (Persetujuan tentang Kebijakan Investasi yang berkaitan dengan Perdagangan); (8) Agreement on Implementation of Article VI (Persetujuan tentang Pelaksanaan Pasal VII); (9) Agreement on Implementation of Article VII



171



(Persetujuan tentang Pelaksanaan Pasal VII); (10) Agreement on Preshipment Inspection (Persetujuan tentang Pemeriksaan sebelum Pengapalan); (11) Agreement on Rules of Origin (Persetujuan tentang Asal Barang); (12) Agreement on Import Licensing Procedures (Persetujuan Tata Cara Perizinan Impor); (13) Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (Persetujuan tentang Subsidi dan Tindakan Pengimbangan); (14) Agreement on Safeguards (Persetujuan tentang Tindakan Pengamanan). ii.



Lampiran IB General Agreement on Trade in Service (Persetujuan Umum mengenai Perdagangan Jasa), beserta lampiran-lampirannya



iii.



Lampiran IC Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade in Counterfeit Goods (Persetujuan mengenai Aspek-aspek Dagang yang Terkait dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual, termasuk Perdagangan Barang Palsu).



b) Lampiran 2 Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (Kesepakatan tentang Aturan dan Tata Cara Penyelesaian Sengketa) c)



Lampiran 3 Trade Policy Review Mechanism (Mekanisme Tinjauan Kebijaksanaan Perdagangan)



d) Lampiran 4 : Plurilateral Trade Agreements (Persetujuan Perdagangan Plurilateral), yang terdiri atas : iv.



Agreement on Government Procurement (Persetujuan mengenai Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah)



172



v.



International Dairy Arrangement (Pengaturan Internasional mengenai produk-produk susu)



vi.



Arrangement Regarding Bovine Meat (Pengaturan mengenai Daging Sapi dan Kerbau). Salah satu tujuan dari TRIPs seperti yang dikemukakan dalam pasal 7



Persetujuan TRIPs adalah : Perlindungan dan penegakan hukum HKI bertujuan untuk mendorong timbulnya inovasi, pengalihan dan penyebaran teknologi dengan cara menciptakan kesejahteraan sosial ekonomi serta keseimbangan antara hak dan kewajiban. Tujuan diadakannya perjanjian ini antara lain adalah mengurangi hambatan–hambatan terhadap perdagangan, mendorong inovasi teknologi, menciptakan iklim perdagangan yang lebih baik, untuk mengalihkan dan menyebarluaskan teknologi, menyediakan keseimbangan antara hak dan kewajiban yang lebih baik antara produsen dan pemakai.Perjanjian TRIPs ini mengkaitkan kekayaan intelektual atau intellectual property dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagaimana yang diatur dalam ketentuan GATT. Ratifikasi149 yang telah dilakukan oleh Indonesia menimbulkan banyak perdebatan. Ratifikasi perjanjian internasional (khususnya TRIPs) merupakan hal menarik dan sangat penting dibahas karena berkaitan erat dengan kekuatan mengikat suatu perjanjian internasional. Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari masyarakat Internasional melakukan hubungan dan kerjasama internasional



149



Ratifikasi pengesahan suatu dokumen negara oleh parlemen, khususnya pengesahan undang-undang, perjanjian antar negara, dan persetujuan hukum internasional. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, www. kamusbahasaindonesia.org, diunduh 15 Desember 2013. Pada pasal 2 Konvensi Wina 1969, ratifikasi merupakan suatu tindakan negara yang dipertegas dengan pemberian persetujuannya untuk diikat oleh suatu perjanjian.



173



yang diwujudkan dalam perjanjian internasional. Konsekuensi dari hal tersebut maka perjanjian internasional yang telah di sepakati bersama menimbulkan akibat hukum dan salah satu tindakannya adalah ratifikasi. Perjanjian internasional yang mempersyaratkan ratifikasi tidak berlaku jika salah satu pihak belum meratifikasi perjanjian tersebut. Mochtar Kusumaatmadja150 mengingatkan bahwa persetujuan pada suatu perjanjian yang diberikan dengan penandatanganan itu bersifat sementara dan masih harus disahkan, pengesahan atau penguatan demikian dinamakan ―ratifikasi‖. Ratifikasi dapat merupakan kebutuhan bagi suatu negara. Ratifikasi dianggap penting dan perlu, karena 151: a)



Perjanjian itu umumnya menyangkut kepentingan rakyat banyak dan mengikat masa depan bangsa dan negara dalam beberapa hal tertentu sehingga harus disahkan dengan kekuasaan tertinggi negara. b) Untuk menghindari kontroversi antara para utusan yang berunding dengan pemerintah yang mengutus mereka. c) Perlu adanya jangka waktu agar instansi yang terkait memperoleh kesempatan untuk dapat mempelajari secara seksama naskah perjanjian yang diterima. d) Pengaruh rezim parlementer yang mempunyai wewenang untuk mengusai kegiatan eksekutif. Pasal 14 Kovensi Wina 1980 mengatur tentang kapan ratifikasi memerlukan persetujuan agar dapat mengikat. Kewenangan untuk menerima atau menolak ratifikasi melekat pada kedaulatan negara. Hukum Internasional tidak mewajibkan suatu negara untuk meratifikasi suatu perjanjian. Namun bila suatu negara telah meratifikasi Perjanjian Internasional maka negara tersebut akan terikat oleh Perjanjian Internasional tersebut, sebagai konsekuensi negara



150



151



Mochtar kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Buku I : Bagian Umum (Bandung : PT. Bina Cipta, 1982), halaman 120. Syahmin AK., Hukum Kontrak Internasional, (Jakarta : Rajawali Press, 2011), halaman 167.



174



yang telah meratifikasi perjanjian internasional tersebut akan terikat dan tunduk pada perjanjian internasional yang telah ditanda tangani, selama materi atau substansi dalam perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan nasional. Berkaitan dengan ratifikasi perjanjian internasional, harus dilihat terlebih dahulu perjanjian internasional tersebut. Negara dapat menolak ratifikasi suatu perjanjian internasional jika berkaitan atau membahayakan kedaulatan negaranya. Cara mengikatkan diri ke dalam suatu perjanjian internasional berbedabeda sesuai dengan sistem hukum yang dianut suatu Negara - "Civil Law system" atau "Common Law System". Sistem hukum "Civil Law", penandatanganan suatu perjanjian (signing) tidak serta merta menjadi sumber hukum nasional sebelum dilakukan ratifikasi oleh parlemen (non-self implementing legislation). Penandatanganan suatu perjanjian dalam sistem hukum "Common Law" serta merta merupakan sumber hukum nasional (self-implementing legislation)152. Implementasi hukum internasional ke dalam hukum nasional sebenarnya juga tidak semata-mata tergantung dari kemauan negara melalui proses ratifikasi, namun ada juga ketentuan-ketentuan dari hukum internasional yang secara langsung mengikat negara tanpa melalui proses persetujuan atau ratifikasi. Ketentuan hukum internasional tersebut bersumberkan pada hukum kebiasaan internasional, asas-asas hukum atau prinsip-prinsip hukum yang berlaku secara universal153.



152



153



Romli Atmasasmita, Pengaruh Hukum Internasional Terhadap Proses Legislasi, Makalah Seminar Legislasi Nasional, Baleg DPR RI, Tanggal 21 Mei 2008, halaman 3. Dadang Siswanto, Implementasi Hukum Internasional dalam Hukum Nasional, Makalah Diskusi pada Bagian Hukum Internasional FH UNDIP, tanggal 12 Oktober 2001.



175



Ratifikasi tersebut tidak hanya menjadi persoalan hukum internasional, tetapi juga merupakan persoalan hukum nasional. Suatu negara yang akan meratifikasi suatu perjanjian internasional/konvensi154 maka harus melakukan berbagai penyesuaian dengan ketentuan hukum yang telah ada lebih dulu di negaranya (hukum nasionalnya). Proses tindakan penyesuaian tersebut tidaklah mudah dan memerlukan perjuangan tersendiri. Indonesia yang menganut sistem hukum Civil Law, pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam sistem hukum nasional masih memerlukan proses ratifikasi oleh DPR RI155. Hal ini sesuai dengan ketentuan UUD 1945 tentang sahnya suatu perjanjian internasional dan merujuk kepada UU RI No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan UU No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Pasal 11 UUD 1945, sebagai dasar hukum untuk ratifikasi instrumen internasional, tetapi Pasal 1l UUD 1945 ini tidak memuat secara jelas tentang masalah ratifikasi, baik tentang pembagian perjanjian yang penting dan tidak penting, naupun tentang bagaimana bentuk persetujuan dari DPR. Pasal 11 UUD 1945 itu, bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut : ―Presiden dengan



154



Bentuk dan nama perjanjian internasional dalam praktiknya cukup beragam, antara lain: treaty; convention, agreement, memorandum of understanding, protocol, charter, dedaration, final act; arrangement, exchange of notes, agreed minutes, summary records, process verbal, modus vivendi, dan letter of intent. Pada umumnya bentuk dan nama perjanjian menunjukkan bahwa materi yang diatur oleh perjanjian tersebut memiliki bobot kerja sama yang berbeda tingkatannya. Namun demikian, secara hukum, perbedaan tersebut tidak mengurangi hak dan kewajiban para pihak yang tertuang di dalam suatu perjanjian internasional. Penggunaan suatu bentuk dan nama tertentu bagi perjanjian internasional, pada dasarnya menunjukkan keinginan dan maksud para pihak terkait serta dampak politiknya bagi para pihak tersebut. Sebagai bagian terpenting dalam proses pembuatan perjanjian, pengesahan perjanjian internasional perlu mendapat perhatian mendalam mengingat pada tahap tersebut suatu negara secara resmi mengikatkan diri pada perjanjian itu. Lihat penjelasan UU No. 24Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. 155 Romli Atmasasmita, Pengaruh Hukum Internasional Terhadap Proses Legislasi, Makalah Seminar Legislasi Nasional, Baleg DPR RI, Tanggal 21 Mei 2008, halaman 3.



176



persetujuan Dewan



Perwakilan Rakyat,



menyatakan



perang,



membuat



perdamaian dan perjanjian dengan negara lain." Ketentuan Pasal 11 UUD 1945 yang sangat singkat sehingga Pemerintah harus menafsirkan sendiri makna apa yang terkandung di dalam Pasal tersebut. Tanggal 22 Agustus 1960 Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Presiden No. 2826/HK/60. Surat tersebut berupaya untuk menjelaskan Pasal 11 UUD 1945. Surat presiden ini secara formal hanya merupakan sebuah surat dan secara yuridis tidak mempunyai kekuatan mengikat, namun saat itu telah dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan UUD. Isi dari Surat Presiden tersebut memberikan penafsiran bahwa ada dua macam bentuk perjanjian yaitu traktat156 dan agreements157. Point empat surat presiden tersebut menegaskan bahwa perjanjianperjanjian yang harus disampaikan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan sebelumnya disahkan oleh Presiden adalah perjanjian-perjanjian yang lazimnya berbentuk treaty yang mengandung materi : (a) Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri Negara seperti halnya dengan perjanjian-perjanjian persahabatan, perjanjian-perjanjian persekutuan (aliansi), perjanjian-perjanjian tentang perubahan wilayah atau penetapan tapal batas. (b) Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya sehingga mempengaruhi haluan politik luar negeri Negara; dapat terjadi bahwa ikatan-ikatan sedemikian dicantumkan didalam perjanjian kerja ekonomi dan teknis atau pinjaman. (c) Soal-soal yang menurut UUD atau menurut sistem perundang-undangan kita harus diatur dengan undang-undang, seperti soal-soal kewarganegaran dan soal-soal kehakiman. Ketentuan mengenai cara peratifikasian sekarang ini terdapat dalam UU No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Pengaturan mengenai 156



157



Perjanjian yang penting yang berbentuk traktat (treaties) dan pengesahannya melalui DPR dengan Undang-undang. Perjanjian yang kurang penting berbentuk persetujuan (agreements) pengesahannya dengan Keputusan Presiden dan DPR cukup diberitahukan oleh Sekretariat Kabinet.



177



pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional yang ada sebelum disusunnya undang-undang ini tidak dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang jelas sehingga dalam praktiknya menimbulkan banyak kesimpang-siuran. Pengaturan sebelumnya hanya menitikberatkan pada aspek pengesahan perjanjian internasional. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu peraturan perundang-undangan yang mencakup aspek pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional demi kepastian hukum. Undang-undang tentang Perjanjian Internasional merupakan pelaksanaan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 bersifat ringkas sehingga memerlukan penjabaran lebih lanjut. Untuk itu, diperlukan suatu perangkat perundang-undangan yang secara tegas mendefinisikan kewenangan lembaga eksekutif dan legislatif dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional serta aspek-aspek lain yang diperlukan dalam mewujudkan hubungan yang dinamis antara kedua lembaga tersebut. Proses ratifikasi suatu konvensi internasional bukan hanya proses persetujuan



semata-mata



melainkan



seharusnya



merupakan



forum



pertanggungjawaban politis pemerintah dihadapan DPR RI158. DPR RI memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Ketentuan tersebut tertera dalam Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945. Pasal 2 UU No. 24 tahun 2000 memberikan penegasan bahwa Menteri memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan



158



Romli Atmasasmita, Op.cit., halaman 6



178



perjanjian internasional, dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal yang menyangkut kepentingan publik. Menteri memberikan pendapat dan pertimbangan politis dalam membuat dan mengesahkan perjanjian internasional berdasarkan kepentingan nasional, sesuai dengan tugas dan fungsinya. Menteri sebagai pelaksana hubungan luar negeri dan politik luar negeri, juga terlibat dalam setiap proses pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, khususnya dalam mengkoordinasikan langkah-langkah yang perlu diambil untuk melaksanakan prosesur pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional. Adopsi



yang



disusul



dengan



penandatanganan



suatu



konvensi



Internasional memerlukan suatu proses nasional yang bersifat antar lembaga serta perlu mempertimbangkan masukan DPR RI terutama sepanjang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan nasional, kekayaan alam dan sumber daya manusia, ekonomi nasional dan hak asasi manusia159. Hal yang menyangkut kepentingan publik adalah materi yang berkenaan dengan : a) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c) kedaulatan atau hak berdaulat negara; d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e) pembentukan kaidah hukum baru; f) pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Pemerintah Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional melalui cara-cara sebagai berikut :



159



Romli Atmasasmita, Op.cit., halaman 6.



179



a) Penandatangan; b) pengesahan; c) pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik; d) cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional. Dalam praktiknya, bentuk pengesahan terbagi dalam empat kategori, yaitu : (a) ratifikasi (ratification) apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian. (b) aksesi (accesion) apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian. (c) penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval) adalah pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut Selain itu, juga terdapat perjanjian-perjanjian internasional yang tidak memerlukan pengesahan dan langsung berlaku setelah penandatanganan. Peratifikasian suatu perjanjian internasional160 yang telah di tandatangani pemerintah Indonesia mutatis mutandis merupakan hukum nasional (hukum positif) sebagai dasar penerapannya di dalam praktik. Peratifikasian dalam proses legislasi di Indonesia diwujudkan dalam suatu ―Undang-undang 160



Menurut teori hukum internasional,perjanjian internasional dibedakan dalam dua golongan yaitu : (1) law making treaties dan (2) treaty contracts. Law making treatis merupakan perjanjian internasionalyang mengandung kaidah-kaidah hukum yang dapat berlaku secara universal bagi anggota masyarakat bangsa-bangsa, sehingga dapat dikatagorikan sebagai perjanjian internasionalyang berfungsi sebagai sumber langsung hukum internasional, Treaty contracts adalah perjanjian internasional yang mengatur hubungan-hubungan atau persoalan-persoalan khusus antara pihak-pihak yang mengadakannya saja, sehingga perjanjian internasional hanya berlaku khusus bagi para peserta perjanjian. Lihat Mochtar Kusumatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung : Bina Cipta,2001), halaman 86-88.



180



Pengesahan‖. Implementasi undang-undang ratifikasi (pengesahan) tersebut masih harus melalui suatu proses harmonisasi dengan undang-undang lama dalam hal objek perjanjian internasional telah dimuat sebagian atau seluruhnya di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Proses harmonisasi tersebut akan melahirkan suatu undang-undang tentang perubahan. Objek perjanjian yang telah melalui proses ratifikasi belum diatur sama sekali di sistem hukum nasional maka dilakukan proses perancangan undang-undang baru161. Perjanjian yang telah diratifikasi secara otomatis mulai berlaku dan diterapkan di negara tersebut. Suatu perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian tersebut. Cara pemberlakuan suatu perjanjian internasional yang ditentukan oleh perjanjian itu sendiri yang dapat berupa antara lain sebagai berikut162 a. Untuk konvensi agreement yang bersifat multilateral, mulai berlaku sejak Piagam Pengesahan didepositkan melalui perwakilan setempat pada negara pendeposit atau sekjen organisasi internasional /PBB. b. Untuk perjanjian internasional yang bersifat bilateral , berlaku sejak pertukaran Piagam Pengesahan yang biasanya dilakukan oleh Duta Besar dengan Menlu setempat. c. Pemberlakuan suatu perjanjian dapat juga dilakukan sejak pertukaran nota (Exchange of Notes) . Biasanya pada perjanjian bilateral, berlaku terhitung sejak 30 hari setelah pemberitahuan terakhir . d. Untuk konvensi, dapat pula berlaku setelah memenuhi jumlah ratifikasi yang ditentukan dalam perjanjian. Tindakan ratifikasi harus diikuti dengan pelaksanaan dari apa yang telah ditentukan dalam substansi perjanjian tersebut. Pasal 26 Konvensi Wina 1969:



161 162



Romli Atmasasmita, Op.cit., halaman 4. Departemen Luar Negeri, 2002, Petunjuk Pelaksanaan Proses dan Prosedur Pembuatan Perjanjian Internasional, Jakarta : Departemen Luar Negeri, halaman 11.



181



perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 27 Konvensi Wina 1969 menyatakan negara tidak dapat menggunakan hukum nasional untuk menjustifikasi kegagalannya dalam menjalankan kewajibannya yang timbul dari perjanjian internasional. Konsekuensi dari keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WTO (World Trade Organization) mengharuskan Indonesia menyesuaikan segala peraturan perundangannya di bidang Hak Kekayaan Intelektual dengan standar TRIP's (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) yang dimulai sejak tahun 1997 dan diperbaharui kemudian pada tahun 2000 dan tahun 2001. Penyesuaian TRIPs terhadap Undang-undang Paten juga telah dilakukan dengan jalan merevisi UU Paten Indonesia. Wujud dari pada itu adalah keluarlah UU Paten Indonesia yang sampai saat ini masih berlaku yaitu UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten. Persoalan dalam suasana perdebatan terjadinya ratifikasi instrumen TRIPs dalam hukum Paten Indonesia yaitu persoalan apakah ratifikasi yang dilakukan merupakan keharusan atau sikap Indonesia yang hanya ingin ―aman‖ di mata internasional. Persoalan lain adalah mengenai implementasi dari aturan TRIPs yang telah dimasukan dalam UU Paten Indonesia. Kesiapan Indonesia dalam menghadapi arus internasionalisasi merupakan ―Pekerjaan Rumah‖ yang tidak akan pernah usai. Pada prinsipnya pemerintah Indonesia mengakui eksistensi hukum internasional (termasuk di dalamnya konvensi internasional seperti : TRIPs, PCT, CBD, Doha Declaration, dan konvensi internasional lainnya), namun demikian Indonesia tidak begitu saja menerima hukum nternasional tersebut, kecuali setelah dilakukan harmonisasi antara perjanjian internasional



182



dan hukum nasional. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Konvensi Wina tahun 1986 yang menyatakan bahwa :―...the consent of the state to be bound by a treaty may be expressed by signature, exchange, of instruments constituting a treaty, ratification, acceptance, approval, or accesion, or by any other means so agreed‖. Ini berarti Indonesia terkait dengan perjanjian ini, namun perjanjian internasional tersebut tidak akan sepenuhnya langsung berlaku. 4. Pemikiran Harmonisasi Hukum Dalam Konteks Perundang-undangan di Indonesia Kemunculan harmonisasi hukum di Jerman pada tahun 1902 dan telah mengalami perkembangan sejak tahun 1970-an, bahkan di Belanda harmonisasi hukum telah mewarnai praktik hukum di Belanda setelah Perang Dunia II. Harmonisasi hukum dikembangkan dalam ilmu hukum yang digunakan untuk menunjukan bahwa dalam dunia hukum, kebijakan pemerintah dan hubungan di antara keduanya terdapat keragaman yang dapat mengakibatkan disharmonisasi. Rudolf Stammler163 mengemukakan suatu konsep fungsi hukum, bahwa tujuan atau fungsi hukum adalah harmonisasi berbagai maksud, tujuan dan kepentingan antara individu dengan individu dan antara individu dengan masyarakat. Dikatakan oleh Stammler, ―a just law aims at harmonizing individual purposes wit that of society‖. Harmonisasi hukum adalah kegiatan ilmiah untuk menuju proses pengharmonisasian hukum tertulis yang mengacu baik pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis maupun yuridis. Dalam pelaksanaannya, kegiatan harmonisasi adalah pengkajian yang komprehensif terhadap suatu rancangan peraturan perundang-undangan, dengan tujuan untuk mengetahui apakah rancangan peraturan tersebut, dalam berbagai aspek telah mencerminkan 163



BPHN, Perumusan Harmonisasi Hukum tentang Metodologi Harmonisasi Hukum, (Jakarta : BPHN,1996/1997), halaman 29; Lihat juga Kusnu Goesniadhie S, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata Pemerintahan yang baik, (Malang : Penerbit A3 dan Nasa Media, 2010), halaman 2.



183



keselarasan atau kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan nasional lain, dengan hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat, atau dengan konvensi-konvensi dan perjanjian-perjanjian internasional, baik bilateral maupun multilateral, yang telah diratifikasi oleh Pemerintah RI164. Kusnu Goesniadhie165 memberikan arti dan istilah harmonisasi secara lebih lengkap, yaitu keselarasan, kecocokan, keserasian, keseimbangan, tetapi juga menentukan unsur-unsur pengertian harmonisasi dan pemaknaannya, antara lain terdiri dari : a adanya hal-hal ketegangan yang berlebihan; b menyelaraskan kedua rencana dengan menggunakan bagian masing-masing agar membentuk sistem; c proses atau upaya untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan, dan keseimbangan; dan d kerja sama antara berbagai faktor yang sedemikian rupa, hingga faktor-faktor tersebut menghasilkan kesatuan yang luhur. Lebih lanjut Kusnu Goesniadhie memaknai harmonisasi, yaitu baik dalam artinya sebagai upaya maupun dalam artinya sebagai proses, diartikan sebagai upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan perbedaan, hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan. Upaya atau proses untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan dan keseimbangan, antara berbagai faktor yang sedemikian rupa hingga faktor-faktor tersebut menghasilkan kesatuan atau membentuk satu keseluruhan yang luhur sebagai bagian dari suatu sistem.166 Pendapat lain tentang harmonisasi diungkapkan oleh Wicipto Setiadi, dalam artikelnya menurut beliau pengharmonisasian adalah upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan dan membulatkan konsepsi suatu rancangan



peraturan



perundang-undangan



dengan



peraturan



peraturan



perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajat maupun yang lebih rendah dan hal-hal lain selain peraturan perundang-undangan, sehingga tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang tindih 164



165



166



BPHN, Perumusan, Harmonisasi Hukum tentang Metodologi Harmonisasi Hukum, (Jakarta : BPHN Departemen Kehakiman, 1996/1997), halaman 37. Kusnu Goeniadhie S, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan (Lex Spesialis Suatu Masalah), (Surabaya : Temprina Media, 2006), halaman 62 Ibid, halaman 63.



184



(overlapping).167 Harmonisasi menurut pemahaman Tri Budiyono168 yaitu sebagai proses kesesuaian dalam hal doktrin atau prinsip antara satu sistem hukum dengan sistem atau subsistem hukum yang lain, sebagai akibat dari terjadinya transplantasi hukum. Kebersesuaian itu dapat meliputi aturan hukumnya, ajaran hukumnya, struktur hukumnya atau institusi hukumnya; kesemuannya tergantung dari substansi yang ditransplantasikan. Dilihat dari sudut pandang ini, harmonisasi hukum sejatinya merupakan akibat atau konsekuensi logis dari proses transplantasi hukum. Penulis memberikan pemaknaan mengenai harmonisasi hukum untuk kepentingan penulisan disertasi ini yaitu harmonisasi hukum adalah kegiatan ilmiah hukum untuk menyelaraskan, menyesuaikan, peraturan perundangundangan baik secara vertikal dan horisontal maupun kesesuaian peraturan perundang-undangan



nasional



dengan



perjanjian



internasional/konvensi



internasional. Adapun pemahaman terhadap harmonisasi hukum dalam penelitian ini adalah kegiatan ilmiah hukum berupa upaya penyelarasan berbagai kepentingan, penyesuaian dengan norma hukum yang lebih tinggi, sederajat, lebih rendah dan norma non hukum serta upaya mengefektifan dan pengefisiensi dari suatu konsepsi rancangan peraturan perundang-undangan maupun peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Maksud dari penyelarasan berbagai kepentingan disini adalah bahwa seringkali banyak kepentingan-kepentingan yang muncul dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, dengan



167



168



Wicipto Setiadi, ―Proses Pengharmonisasian sebagai Upaya untuk Memperbaiki Kualitas Peraturan Perundang-undangan‖, Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 4 No. 2 Juni 2007, halaman 48. Tri Budiyono, Transplantasi Hukum Harmonisasi dan Potensi Benturan, (Salatiga: Griya Media, 2009), halaman 12



185



harmonisasi hukum inilah berbagai kepentingan tersebut diselaraskan dan disamakan. Pada dasarnya upaya pengharmonisasian hukum demi tujuan keadilan dan kepastian hukum. Dalam rangka melakukan kegiatan harmonisasi tersebut, yang paling perlu diingat adalah agar tetap berorientasi pada asas-asas hukum yang adil, nilai-nilai yang hidup, kesatuan hukum dan konsisten, tanpa pertentangan, disamping orientasi pada kepastian hukum dan persamaan dalam hukum. Hal tersebut patut dilakukan demi terwujudnya tujuan dan tidak terjadinya disharmonisasi atau ketidaksingkronan dalam hukum. Kondisi disharmonisasi atau ketidaksingkronan di bidang hukum dapat muncul karena169 : a. Adanya perbedaan antara rumusan peraturan dalam berbagai UU atau perundang-undangan. Kondisi ini dapat terjadi kerana jumlah peraturan perundang-undangan yang banyak dan ketentuan yang mengatakan bahwa semua orang dianggap mengetahui semua hukum yang berlaku b. Adanya perbedaan pengaturan antara peraturan perundang-undangan nasional dan perjanjian-perjanjian atau konvensi internasional. c. Adanya perbedaan pengaturan antara peraturan perundang-undangan dengan hukum kebiasaan, hukum adat dan atau hukum agama. d. Adanya perbedaan antara undang-undang dengan peraturan pelaksanaannya, dan antara peraturan perundang-undangan dengan kebijakan pemerintah lainnya. e. Adanya perbedaan pengatran antara peraturan perundang-undangan dngan yurisprudensi dan Surat Edaran Mahkamah Agung. f. Kebijaksanaan-kebijaksanaan antar instansi Pemerintah Pusat yang saling bertentangan, serta adanya perbedaan antara kebijaksanaan Pemerintah Pusat dan Daerah. g. Adanya rumusan ketentuan yang kurang tegas dan mengundang perbedaan tafsiran. h. Adanya benturan antara wewenang instansi-instansi pemerintah karena pembagian wewenang yang tidak sistematis dan jelas.



169



BPHN, Perumusan, Harmonisasi Hukum tentang Metodologi Harmonisasi Hukum, (Jakarta : BPHN Departemen Kehakiman, 1996/1997), halaman 34.



186



L.M.Gandhi menyoroti adanya disharmonisasi hukum dalam tataran pengaturan maupun praktek hukum yang disebabkan oleh170 : a. Perbedaan antara berbagai peraturan perundang-undangan. b. Pertentangan antara Undang-undang dengan peraturan pelaksana. c. Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan kebijakan instansi pemerintah. d. Perbedaan antara pertautan perundang-undangan dengan yurisprudensi dan Surat Edaran Mahkamah Agung. e. Kebijakan-kebijakan instansi Pemerintah pusat yang saling bertentangan. f. Perbedaan antara kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah. g. Perbedaan antara ketentuan hukum dengan perumusan pengertian tertentu. h. Benturan antara wewenang instansi-instansi pemerintah karena wewenang yang tidak sistematis dan jelas. Upaya pengharmonisasian hukum dalam dunia internasional dilakukan melalui lembaga-lembaga yang bergerak dalam harmonisasi hukum. Lembagalembaga yang bergerak dalam harmonisasi hukum yaitu : WTO, The International Institute or the Unification of Private Law (UNIDROIT), The United Nations Commission on Intellectual Trade Law (UNCITRAL), Kamar Dagang Internasional (ICC)171. WTO dihasilkan dari Putaran Uruguay GATT (1986-1994). Organisasi ini memiliki kedudukan yang unik karena dia berdiri sendiri dan terlepas dari badan kekhususan PBB. Pembentukan WTO ini merupakan realisasi dari cita-cita lama negara-negara pada waktu merundingkan GATT pertama kali (1986), yakni hendak mendirikan suatu organisasi perdagangan internasional (yang dulu namanya adalah International Trade Organization atau ITO). Struktur WTO dikapalai oleh suatu badan tertinggi yang disebut Konferensi Tingkat Menteri (Ministerial Conference). Badan ini akan bersidang



170



171



L.M. Gandhi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Responsif, dalam ―Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum UI 14 Oktober 1995, halaman 12. Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta : PT. RajaGraindo Persada, 2005), halaman 36-54.



187



sedikitnya sekali dalam dua tahun. Badan ini terdiri dari para perwakilan dari semua anggota WTO. Semua keputusan mengenai kebijakan yang berkaitan dengan perdagangan multilateral dilakukan melalui badan ini. WTO untuk pelaksanaan pekerjaannya sehari-hari, badan tertinggi ini dibantu oleh badan-badan kelengkapan yaitu Dewan Umum (General Council) yang terdiri dari semua anggota WTO. Badan ini bertugas memberikan laporan mengenai kegiatan-kegiatannya kepada the Ministerial Conference. Generan Council memiliki dua fungsi lain. Yang pertama, sebagai suatu Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Sattlement Body). Fungsi kedua yaitu sebagai badan peninjau kebijakan perdagangan negara-negara anggota GATT (Trade Policy Review Body). Badan ini juga bertugas mengamati masalah-masalah perdagangan yang akan dicakup oleh WTO. Ia akan menetapkan tiga badan subsider, yakni The Council for Trade in Goods, Council for Tradein Services, dan Council for TRIPs. WTO adalah salah satu contoh yang telah disebut di atas, di mana unifikasi aturan-aturan atau hukum perdagangan internasional diterapkan terhadap negaranegara anggotanya. Pasal XVI Perjanjian Pembentukan WTO menyatakan: ―Each member shall ensure the comormity of its law, regulations and



with of



obligations as profided in the annexed Agreement.‖ (Pasal XVI ayat 4 Agreement Establishing the World Trade Organization). Ketentuan pasal tersebut menjadi indikator penting bagaimana WTO mewajibkan negara-negara anggotanya untuk menyesuaikan aturan-aturan yang termuat dalam Annex perjanjian WTO. Bahkan ketentuan Pasal XVI tersebut



188



juga mewajibkan negara anggotanya untuk menyesuaikan administrative procedures-nya (birokrasi) sesuai dengan administrative procedure-nya WTO. 5. Harmonisasi Hukum : Antara Kebutuhan dan Harapan Untuk Melindungi Herbal Berbasis Traditional Knowledge Keikutsertaan Indonesia dalam penendatanganan persetujuan WTO pada tanggal 15 April 1994 (kemudian Indonesia meratifikasi pada bulan November 1994) memberikan konsekuensi pada Indonesia untuk mengharmonisasikan sistem HKI yang dimiliki dengan sistem HKI yang berlaku secara Internasional. Hukum Paten sebagai salah satu bagian dari bidang HKI juga terkena imbasnya dari harmonisasi hukum ini. Indonesia dituntut untuk membentuk sekaligus mengharmonisasikan



hukum



paten



nasionalnya



dengan



hukum



paten



internasional. Pasca ratifikasi tidaklah berhenti dengan dikeluarkannya UU Pengesahan Konvensi melainkan harus ditindak lanjuti dengan serangkaian proses yaitu harmonisasi substantive dan sinkronisasi kelembagaan terkait dalam pelaksanaan konvensi dimaksud; dan perancangan draft RUU sebagai implementasi atas isi konvensi dimaksud sehingga diterima sebagai sumber hukum nasional yang diakui di dalam sistem perundang-undangan berdasarkan UUD 1945172. Hukum Paten Indonesia tidak luput dari proses ratifikasi dan penyesuaian dengan instrumen internasioanal. Persoalan muncul dipermukaan manakala dihadapkan dengan upaya proteksi herbal berbasis TK. Persoalan tersebut seakan mempertanyakan apakah harmonisasi yang telah dilakukan Indonesia merupakan jawaban dari persoalan yang ada. Problematika ini muncul karena



172



Romli Atmasasmita, op.cit., halaman 6



189



desakan masyarakat akan kebutuhan hukum yang dapat mengakomodir kebutuhan dan harapan masyarakat Indonesia, bukan kebutuhan dan harapan dunia internasional. Persoalan hukum penting untuk adanya sistem hukum yang ideal. Upaya mewujudkan sistem hukum nasional yang mantap, masih terhambat karena banyaknya peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan dinamika perubahan masyarakat yang semakin kompleks. Walaupun upaya untuk mengisi kekosongan peraturan perundang-undangan telah dilakukan namun belum optimal karena lemahnya koordinasi dalam pelaksanaan Prolegnas antar instansi/lembaga pemerintahan yang menyebabkan masih banyaknya peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih dan tidak saling mengisi satu dengan yang lainnya.173 Tuntutan hukum mampu berinteraksi dan mengakomodir kebutuhan dalam memlakukan proteksi, merupakan fenomena yang harus ditindaklanjuti agar tidak terjadi misappropriation. Hukum seharusnya mampu menjawab dan menyelesaikan problematika proteksi herbal berbasis TK di Indonesia. Disharmonisasi dan pertentangan mampu diselesaikan demi terwujudnya citacita, kebutuhan dan harapan bangsa Indonesia khususnya dalam menjaga kekayaan alam dan pengetahuan tradisional Indonesia. Kebutuhan akan upaya perlindungan dari pemerintah terhadap aset-aset negara (TK dan SDA) yang seyogyakan akan diperuntukan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Harapan tersebut di titipkan pada negara lewat instrumen hukum yang memadai. 173



Ali Mansyur, Hukum dan Tantangan Ekonomi Global, dalam Bunga Rampai ―Hukum dalam Berbagai Dimensi‖, (Lampung : Penerbit Universitas Lampung, 2012), halaman 18.



190



Harmonisasi secara teori oleh Santos di kenal dengan sebutan the transnationalization of legal field (transnasionalisasi di bidang hukum). Faktor kunci terjadinya harmonisasi hukum (transnasionalisasi menurut versi Santos) tidak lain karena faktor produksi dan hubungan pasar. Faktor kunci tersebutlah yang menyebabkan perubahan terbaru di bidang hukum174. Dalam tiga dekade terakhir interaksi transnasional telah meningkat secara dramatis, dari sistem produksi dan transfer keuangan untuk penyebaran di seluruh dunia informasi dan gambar melalui media, atau gerakan massa rakyat, baik sebagai wisatawan atau pekerja migran atau pengungsi. Rentang yang luar biasa dan kedalaman interaksi transnasional telah menyebabkan para ilmuwan sosial dan politisi untuk melihat mereka sebagai pecah dengan bentuk sebelumnya interaksi lintas batas, sebuah fenomena baru yang disebut 'globalisasi'. Istilah 'global' saat ini digunakan untuk merujuk baik dengan proses dan hasil globalisasi175. Harmonisasi bukan lagi sebuah kebutuhan dan harapan masyarakat Indonesia tapi merupakan suatu akibat karena berkembangnya produksi dan pasar yang semakin luas bahkan telah mengglobal. Harmonisasi di bidang hukum (transnasionalisasi hukum) dicontohkan oleh Santos dalam jaringan globalized localisms dan localized globalisms yang tergabung bersama dengan transformasi arus modal dan budaya imperialisme barat pada skala global. Lawan



dari



globalized



localisms



dan



localized



globalisms



adalah



cosmopolitanism dan common heritage of humankind.



174 175



Boaventura De Sousa Santos, Op.cit., halaman 268-269. Boaventura de Sousa Santos, Problematizing Global Knowledge , http://www.boaventuradesousasantos.pt/media/pdfs/Globalizations_Theory_Culture_and_Society_2 006, diakses tanggal 5 Maret 2015.



191



Perubahan hukum di mana empat pola globalisasi (globalized localisms, localized globalisms, cosmopolitanism, common heritage of humankind) yang hadir dalam kombinasi yang kompleks. Santos membagi agenda penelitian yang terdiri dari tujuh wilayah yang luas dari transnasionalisasi hukum yang akan dianalisis dalam tiga kerangka pendekatan komparatif berlapis yaitu : (1) posisi negara dalam hirarki sistem dunia; (2) lintasan sejarah negara menuju modernisasi; (3) sejarah hukum dan budaya hukum yang dominan di negara itu. Hal tersebut dapat dilihat dalam kata-kata Santos : Comparative analysis of the transformations of the legal fields throughout the world system have been far too narrow to capture diversity in historical temporality, social embeddedness and cultural identity, particularly when such diversity is hidden or declared irrelevant by the simultaneity and convergence of changes using the same transnationalized knowledges and discourses. The inadequacy of such comparisons is all the more evident in an analytical framework such as the one I am proposing here, based on a paradigmatic reading of our time and calling for the unthinking of law as a critical task for a transformative audience. Along these lines, I propose, in the following, a research agenda comprising seven broad areas of legal transnationalization to be analyzed within the framework of a three- layered comparative approach: the position of the country in the hierarchy of the world system; the historical trajectory of the country up to and through modernity; the historical family or families of law and legal culture dominant in the country176. Berbeda dengan pandangan Santos yang mengasumsikan bahwa telah terjadi harmonisasi hukum (transnasionalisasi hukum) karena faktor produksi dan arus modal, Robert B. Seidman dengan teorinya The law of nontransferability of law, menyatakan bahwa hukum tidak bisa ditransfer begitu saja kepada suatu negara. Seidman memulai penelitiannya dengan menganalisis trasplantasi hukum Inggris yang diberlakukan di Afrika. Perbedaan akan terlihat dari pandangan Santos yang menyatakan bahwa akan terjadi transnasionalisasi hukum karena faktor ekonomi. Hukum akan berubah seiring dengan kuatnya 176



Ibid, halaman 269.



192



arus modal menurut pandangan Santos.



Seidman berpandangan lain, tidak



mudah untuk melakukan trasplantasi hukum begitu saja. Pemikiran Robert B. Seidmann adalah, bahwa ia melandaskan analisisnya pada keefektifan hukum yang ditransplantasikan dengan ukuran tingkat keberhasilan (duplikasi) yang sama dengan wilayah atau negara di mana hukum yang ditransplantasikan berasal. Kredo Seidman atas The law of nontransferability of law haruslah dilihat sebagai penolakan duplikasi hukum melalui proses transplantasi hukum atas dasar parameter keefektifan dan keberhasilan dari negara asalnya. Apa yang dikemukakan oleh Robert B. Seidman, dari hasil penelitiannya terhadap penerapan hukum administrasi Inggris di wilayah jajahannya, Afrika Selatan, diperoleh kesimpulan bahwa hukum pada dasarnya tidak dapat dipindahkan dari satu wilayah atau negara ke wilayah atau negara lain (The law of non-transferability of law) tanpa membedol seluruh jaringan institusional yang menjadi konteksnya177. Seidman mengembangkan suatu model yang menggambarkan hubungan seluruh sistem institusional dengan perilaku para pelaku hukum, baik yang berkedudukan sebagai pembuat hukum dan hakim sebagai pembuat keputusan. Keseluruhan jaringan itu disebut sebagai ― areana of choice atau juga field of social choice178.



177



178



Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional Suatu Telaah Mengenai Transplantasi Hukum ke negara-negara yang Tengah Berkembang, Khususnya Indonesia, Pidato pengukuhan Guru Besar Universitas Airlangga, 1989, halaman 9. William J. Chambliss and Robert B.Seidmann, Law Order and Power, (USA : Addison Wesley Publishing Companya, 1971), halaman 12. Juga Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, (Bandung : Alumni, 1979), halaman 157.



193



Apa pun pemberlakuan hukum Inggris di Afrika itu, itu jelas tidak menciptakan Afrika dalam gambar Inggris. Keadaan ini yang menjadi terdapatnya masalah dalam sistem ekonomi di Afrika. In every way colonial Africa was characterized by a special sort of dualism. Economically, the continent was firmly bound in a system of dependence upon the metropole, the internal economies sharply divided into two sectors mirroring the dependency in the international market179. Masalah dalam hukum juga tidak dapat terhindarkan. Hukum di Afrika tidak mampu untuk mengubah masyarakat Afrika. Salah satu variabel yang membantu untuk menjelaskan kegagalan untuk mengubah hukum terletak pada gagasan yang diterima dari cara hukum itu harus di ubah. Ada dua gagasan yang dominan dan konsisten, yaitu : Two dominant and consistent notions pervade the common understanding of how laws ought to be changed. The one argues that good law in one place is good law any place else. It advises the law-maker to copy the law of developed countries in order to be developed. The other advises that in any event laws do not make any difference in how people behave. It is their "values" or ideologies that control. Good men make good government180. Pendapat yang pertama, hukum yang baik di satu tempat akan tetap menjadi



hukum



yang



baik



di



tempat



lain.



Pembuat



hukum



dapat



mentransformasikan hukum dari negara maju untuk dikembangkan. Pendapat kedua, bahwa hukum tidak dapat mengubah prilaku orang, karena nilai-nilai dan ideologi yang dapat mengontrol orang. Laki-laki yang baik dapat membuat pemerintahan yang baik. Kegagalan transformasi hukum Inggris ke Afrika di ungkapkan oleh Seidman dalam kata-katanya : We argue here that both of these notions dominated colonial thinking about law: that they continue to do so; and that as a result either (a) laws are mechanically copied from other contexts and simply do not work; or 179



180



Robert B. Seidman, Law and Stagnation in Africa, halaman 272. Lihat http://saipar.org/wpcontent/uploads/2013/10/CHP_12_Law_in_Zambia Ibid.



194



(b) nothing is done to change the laws and everyone instead "explains" the poverty of nations by the "innate character" of the poor. We examine the consequences of the first notion with respect of the reception of English law in Anglo-phonic sub-Saharan Africa; and of the second, with respect to the reception by the newly independent states of the law of the colonial period181. C. Konsep Ideal Harmonisasi Hukum dan Keberlakuan Undang-Undang Paten Dalam Perspektif Proteksi Herbal Berbasis Traditional Knowledge Penyeragaman (univormity) dari keseluruhan hukum negara-negara memang bukan syarat mutlak yang harus dipenuhi setiap negara dalam pergaulan internasional, karena hal ini tidak mungkin mengingat kultur, sejarah dan kepentingan nasional masing-masing negara atau bangsa yang melatarbelakangi sistem dan aturan-aturan hukumnya memang berbeda. Oleh karena itu, yang paling memungkinkan adalah harmonisasi, dalam pengertian bahwa meskipun sistem hukum setiap negara tetap beda satu sama lain, namun dalam hal-hal tertentu aturan-aturan hukum yang dibuat diupayakan agar mampu menjembatani perbedaan tersebut, bahkan mampu mencerminkan suatu sistem hukum baru (a new legal system) yang dapat diterima oleh setiap negara, sehingga dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan perbenturan dengan sistem-sistem hukum nasional yang berlaku di masing-masing negara182. Perbedaan hukum nasional negara-negara berdampak pula pada perbedaan hukum yang mengatur mengenai hak kekayaan intelektual khususnya paten. Di bawah ini akan dibahas mengenai perbandingan perlindungan paten di beberapa negara yaitu India, Cina, dan Jepang. 1. Perbandingan Perlindungan Paten di Beberapa Negara a. Perlindungan Paten di India



181 182



Ibid BPHN, Perumusan Harmonisasi Hukum tentang Metodologi Harmonisasi Hukum, (Jakarta : BPHN, 1996/1997), halaman 14.



195



Hukum Hak Kekayaan Intelektual adalah salah satu konsep yang paling cepat berkembang di dunia termasuk di India. Penemu atau pencipta mencoba untuk melindungi kekayaan intelektualnya dengan beberapa cara yang diakui dalam hukum kekayaan intektual di India. IPR di India telah berkembang pesat, hal ini diupayakan untuk mengambil keuntungan secara optimal dari hak yang melekat pada hak kekayaan intelektual. Hak kekayaan intelektual berbicara tentang upaya hukum yang tersedia untuk pemilik Kekayaan intelektual dalam hal adanya pelanggaran terhadap hak kekayaan intelektual oleh pihak yang tidak berwenang untuk bertindak dalam penggunaan hak tersebut. Di India undang-undang yang mengatur kekayaan intelektual yaitu Undang-undang Paten 1970, Undang-undang Merek 1999, Undang-undang Hak Cipta 1957, Undang-undang Desain 2000 dan Undang-undang Indikasi Geografis



(Pendaftaran



dan



Perlindungan)



1999.



Di



India,



untuk



mendaftarkan perlindungan maka penemu atau pencipta harus mendaftarkan terlebih dahulu ciptaan atau invensi mereka. Hal tersebut untuk dapat mengajukan gugatan manakala terjadi pelanggaran terhadap hak intelektual mereka. Hak kekayaan intelektual berbicara tentang upaya hukum yang tersedia untuk pemilik Kekayaan intelektual dalam hal adanya pelanggaran terhadap hak kekayaan intelektual oleh pihak yang tidak berwenang untuk bertindak dalam penggunaan hak tersebut. Di India undang-undang yang mengatur kekayaan intelektual yaitu Undang-undang Paten 1970, Undangundang Merek 1999, Undang-undang Hak Cipta 1957, Undang-undang Desain 2000 dan Undang-undang Indikasi Geografis (Pendaftaran dan Perlindungan) 1999. Di India, untuk mendaftarkan perlindungan maka



196



penemu atau pencipta harus mendaftarkan terlebih dahulu ciptaan atau invensi mereka. Hal tersebut untuk dapat mengajukan gugatan manakala terjadi pelanggaran terhadap hak intelektual mereka. Di India, konsep yang paling penting dan teknis dari hak kekayaan intelektual adalah paten. Paten adalah hak eksklusif yang diberikan kepada penerima hak atau penemu oleh pemerintah untuk jangka waktu tertentu. Ini berarti bahwa setiap orang selain penemu tidak memiliki hak untuk menggunakan, menjual, menawarkan atau mengimpor invensi yang telah dipatenkan. Pada prinsipnya perlindungan paten adalah 20 tahun, dan dalam masa perlindungan tersebut produk atau alat yang dipatenkan bisa dijual, digadaikan, lisensi, dll. India memiliki empat kantor paten yaitu kantor paten yang pusatnya terletak di Kolkata dan lainnya berada di Chennai, Mumbai dan Delhi. Hukum paten di India bersumber dari hukum Inggris. Hukum paten di India diatur oleh Undang-undang Paten 1970. Undang-undang ini adalah Undang-undang pertama yang mengatur khusus mengenai Paten. Undang-undang Paten 1970 terdiri dari 23 Bab yang berisikan tentang : Bab I : Pendahuluan, Bab II : Invention yang tidak dapat di patenkan, Bab III : Permohonan untuk Paten, Bab IV : Publikasi dan Pemeriksaan Permohonan, Bab IV A : Hak Pemasaran Eksklusif (dihilangkan), Bab V : Cara Kerja perlawanan dalam Pemberian Paten, Bab VI : Antisipasi, Bab VII : Ketentuan Untuk Kerahasiaan , Invensi Tertentu, Bab VII : Pemberian Paten Dan Hak yang Diberikan, Bab IX : Penambahan Paten, Bab X : Perubahan Aplikasi/Permohonan dan Spesiikasi, Bab XI : Pemulihan Paten Lama, Bab XII : Pemberhentian dan Pencabutan Paten, Bab XIII : Pendataran Paten, Bab



197



XIV : Kantor Paten dan Lembaga Paten, Bab XV : Kekuasaan Pada Pengawasan, Bab XVI : Kerja Paten, Lisensi Wajib dan Pencabutan, Bab XVII : Penggunaan Invensi Untuk Keperluan Pemerintah dan perolehan invensi



oleh



Pemerintah



Pusat



(untuk



keperluan



pemerintah)



dan



Pengambilalihan invensi oleh Pemerintah Pusat, Bab XVIII : Gugatan Tentang Pelanggaran Paten, Bab XiX : Banding Pada Dewan Banding, Bab XX : Sanksi, Bab XXI : Perwakilan Paten, Bab XXII : Pengaturan Internasional, Bab XXIII : Lain-lain. Undang-undang Paten 1970 menyatakan paten diberikan untuk jangka waktu dua puluh tahun dan harus diperbaharui setiap tahun. Setelah berakhirnya dua puluh tahun, hak monopoli pada paten berakhir. Kondisi dengan berakhirnya hak paten maka setiap orang bebas untuk mengambil keuntungan dari paten tersebut atau dengan kata lain paten tersebut menjadi public domain. Undang-undang Paten 1970 memiliki banyak celah sehingga digantikan/diamandemen oleh Undang-Undang 1999. Undang-undang Paten (Amandemen) 1999 adalah yang pertama dari tiga amandemen UU Paten tahun 1970 untuk membawa rezim paten India menjadi



sesuai



dengan



Perjanjian



TRIPsWTO.



Undang-undang



ini



menyediakan pengajuan aplikasi untuk paten produk di bidang obat-obatan, obat-obatan farmasi, dan penggunaan bahan kimia meskipun paten tersebut belum diizinkan pada saat Undang-undang ini disahkan. Undang-undang ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1995. Klausul perbaikan diperkenalkan oleh UU yang baru yaitu mengenai pelaksanaan hak pemasaran eksklusif yang memungkinkan pemohon untuk mendistribusikan dan memasarkan



198



produknya di India sejak tanggal pengajuan aplikasi tanpa menunggu prosedur seluruh tentang pemberian paten. Tujuan utama hal ini adalah untuk membuat orang sadar akan berbagai aspek yang terkait dengan pengajuan dan penuntutan aplikasi paten bersama dengan layanan cepat. Prosedur183 untuk mendapatkan paten di India yaitu setelah mengajukan permohonan pemberian paten, perlu dilakukan permintaan untuk pemeriksaan aplikasi oleh Kantor Paten India. Setelah Pemeriksaan Laporan Pertama diterbitkan, Pemohon diberikan kesempatan untuk memenuhi keberatan yang diajukan dalam laporan. Pemohon harus memenuhi persyaratan dalam waktu 12 bulan dari penerbitan Laporan Pemeriksaan Pertama. Jika persyaratan laporan pemeriksaan pertama tidak dipenuhi dalam jangka waktu yang ditentukan dari 12 bulan, maka aplikasi dianggap telah dibatalkan oleh pemohon. Setelah penghapusan keberatan dan kelengkapan persyaratan, paten diberikan dan diberitahu ke Kantor Paten. Proses pemberian paten di India dapat dipahami dalam ragaan dibawah ini. Ragaan 3 : Prosedur Pemberian Paten di India



183



Prosedur mendapatkan paten dapat dilihat dalam http://www.vaishlaw.com/article/indian_intellectual_property_laws/patents_law_in_india_everythin g_you_must_know, diakses tanggal 13 Desember 2014.



199



Sumber : Vaish Associates Advocates, New Delhi India b. Perlindungan Paten di Jepang Sejarah hukum paten Jepang mulai pada era Meiji. Fukuzawa Yukichi memperkenalkan konsep paten ke Jepang pada tahun 1867.



Tahun



berikutnya, Restorasi Meiji terjadi dan modernisasi Jepang mulai. Pada tahun 1871 (tahun keempat dari era Meiji) sistem paten dilaksanakan. Pertama hukum paten di Jepang dimulai ketika diberlakukannya Statute of Monopoly Patent (Paten Monopoly Act) pada tanggal 18 April 1885.Pada tahun 1954, Kementerian Perdagangan Internasional dan Industri Jepang menyatakan tanggal 18 April menjadi hari invensi (Invention Day).



200



Tujuh paten pertama di bawah Monopoli UU Paten diberikan pada tanggal 14 Agustus 1885. Hotta Zuisho memperoleh Paten Jepang No 1 untuk cat anti korosi. Takabayashi Kenzo memperoleh Paten No 2-4 untuk mesin pengolahan teh184. Selama era Meiji, semua sistem pemerintahan sering mengalami perubahan termasuk hukum paten. Undang-undang Monopoli Paten digantikan oleh Undang-undang Paten pada tahun 1888, UU Paten digantikan oleh Undang-Undang Paten dari tahun 1899, yang sepenuhnya direvisi pada tahun 1909. Setelah era Meiji, UU Paten direvisi dua kali, pada tahun 1921 dan 1959. 1959 hukum paten Jepang telah diubah beberapa kali, terutama yang berkaitan dengan proses, istilah paten, dan disesuaikan dengan Patent Cooperation Treaty (PCT) dalam kaitannya dengan kriteria kebaruan/novelty. Undang-undang Monopoli Paten Jepang mengikuti model perundangundangan di Prancis dan AS, yaitu dengan menerapkan aturan first to ivent rule. Aturan tersebut yaitu aturan dimana yang pertama menemukan adalah yang memperoleh paten. Sejak tahun 1921 Undang-undang Paten di Jepang menerapkan aturan first to file rule. Aturan tersebut menerapkan aturan dimana yang pertama mendaftarkan temuan adalah pemegang paten. Setelah Perang Dunia II, tahun 1959 ditetapkan Undang-undang Paten (Patent Law), Jepang dengan menambahkan persyaratan bahwa sesuatu dikatakan sebagai invensi jika mengandung langkah inventif dan juga memasukan aturan yang diadopsi dari aturan internasional yaitu kebaharuan yang akan hilang jika invensi yang hendak didaftarkan telah menjadi milik publik melalui publikasi. 184



http://en.wikipedia.org/wiki/Japanese_patent_law, diakses tanggal 10 Oktober 2013.



201



Beberapa perubahan utama dari sistem paten di Jepang dapat ditunjukan pada tabel di bawah ini :185



1970an



1980an



1990an



2000saat ini



Tabel 4 : Perubahan Sistem Paten di Jepang Dekade 1970-an sampai 2000- an Teknologi baru Perluasaan Penguatan Sistem paten yang yang jangkauan paten sistem paten lebih kondusif dipatenkan Mikroba (1979) Senyawa kimia Aplikasi sistem (1976) terbuka (1971) Permintaan untuk sistem pemeriksanaan (1975) Hewan (1988) Klaim ganda (1988) Perluasan periode paten untuk obatobatan (1988) Definisi paten Doktrin ekivalen Sistem Aplikasi elektronika software (1993) (Ball Spline case) penentangan (1990) E-money (1995) atas paten yg Aplikasi dalam bahasa Media software diberikan Inggris (1995) (1997) (1996) Pengurangan biaya (paten genetika) Peningkatan aplikasi (1998) (paten model hukuman Pengurangan biaya bisnis) pelanggar hak aplikasi (1999) paten (1999) Review ketentuan tim panel (1999) Software (2000) Perluasan Pengurangan jangka penyelesaian waktu pemeriksaan pelanggaran (7 tahun–3 tahun, (2000) 2001) Sumber : LIPI, 2011 Di beberapa negara termasuk Jepang, perlindungan hukum paten terhadap software komputer masih menjadi perdebatan. Pada prinsipnya program komputer merupakan bagian dari teknologi, maka sepatutnya



185



Setiowiji Handoyo,‖Praktik Kebijakan Paten di Beberapa Negara : Pembelajaran bagi Indonesia‖, dalam Kebijakan Patendalam Mendorong Aktivitas Inovasi di Indonesia (Jakarta : LIPI Press , 2011).



202



perlindungan hukum melalui sistem paten diberikan terhadap program komputer. Di Jepang invensi terkait program komputer telah dianggap sebagai subject matter yang dapat diberi paten. Invensi terkait program komputer ini pada umumnya didasarkan pada petunjuk teknis pemeriksaan paten yang telah disediakan oleh JPO. Petunjuk teknis pemeriksaan paten yang khusus diperuntukan untuk invensi terkait program komputer telah mengatur secara jelas dan memadai mengenai bagaimana cara penanganan uinvensi tersebut, termasuk cara penulisan deskripsi, dan klaim, test untuk penentuan subject matter yang dapatb diberi paten, cara penilaian patentibilitas dan contohcontoh yang terkait dengan invensi terkait program komputer186. Di Indonesia, UU Paten tidak secara jelas mengatur apakah invensi terkait program komputer dapat dianggap sebagai subject matter yang dapat diberi paten. c. Perlindungan Paten di Cina Paten mulai diperkenalkan di Cina ketika diberakukannya peraturan tentang teknologi industri pada masa Dinasti Qing. Setelah tahun 1911, pemerintah Cina mulai mengatur tentang perolehan paten (patent grant) bagi para inventor. Antara tahun 1949 dan tahun 1978 pemerintah Cina merevisi peraturan terdahulu mengikuti model Soviet dengan menambahkan aturan tentang perlindungan paten dan tata cara mendapatkan paten melalui suatu



186



Media HKI : Bulletin Informasi dan Keragaman Hak Kekayaan Intelektual, Vol. VII/No. 06/Desember 2010, Robinson Sinaga, Software – Related Inventions (Paten untuk invensi terkait program komputer), Perbandingan antara Jepang, Amerika Serikat, dan Indonesia, halaman 12



203



pemberian sertiikat atas paten187. Pada tahun 1980, RRC menjadi anggota World Intellectual Property Organization (WIPO). RRC ikut serta dalam Konvensi Paris untuk Perlindungan Kekayaan Industri pada tanggal 14 November 1984 dan resmi menjadi anggota pada tanggal 19 Maret 1985. RRC ikut serta dalam Patent Cooperation Treaty pada tahun 1994. Perjanjian PCT merupakan penyederhanaan mekanisme perlindungan atas suatu penemun yang dapat dilakukan di beberapa negara dan cukup diajukan hanya di salah satu kantor paten penandatanganan PCT tersebut. Konsekuensinya adalah Kantor Paten Cina telah menjadi bagian dari penerimaan aplikasi paten internasional. Pada bulan Januari 1992, RRC menandatangani Nota Kesepahaman dengan pemerintah Amerika Serikat untuk memberikan perlindungan hak cipta untuk semua ―karya‖ orang Amerika dan karya-karya asing lainnya. Beberapa negosiasi bilateral telah dilakukan antara keduanya dan ancaman sanksi perdagangan bagi kedua pemerintah pada masalah HKI. Pada bulan Juni 1996, kedua pemerintah menandatangani perjanjian lain melindungi kekayaan intelektual Amerika di RRC. Kerangka hukum untuk melindungi kekayaan intelektual di RRC dibangun di atas tiga hukum nasional dan disahkan oleh Kongres Rakyat Nasional, Undang-undang tersebut yaitu UU Paten, UU Merek dan UU Hak Cipta.



187



Setiowiji Handoyo,‖Praktik Kebijakan Paten di Beberapa Negara : Pembelajaran bagi Indonesia‖, dalam Kebijakan Patendalam Mendorong Aktivitas Inovasi di Indonesia (Jakarta : LIPI Press , 2011).



204



RRC untuk pertama kalinya memiliki UU Paten yaitu pada tanggal 12 Maret 1984; diubah untuk pertama kalinya dengan pada tanggal 4 September 1992; diubah untuk kedua kalinya pada tanggal 25 Agustus 2000; diubah untuk ketiga kalinya pada tanggal 27 Desember 2008 yang berlaku efektif pada tanggal 1 Oktober 2009. RRC mengeluarkan UU Paten dengan tujuan untuk mendorong invensi/invensi dan untuk mempromosikan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 1 Undang-undang Paten RRC menyatakan bahwa Undang-undang Paten Cina diberlakukan untuk tujuan melindungi hak-hak hukum dan kepentingan inventor, mendorong invensi, memberikan dorongan untuk penerapan invensi, meningkatkan kemampuan inovatif, dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembangunan ekonomi dan sosial. Rezim paten modern Cina terjadi pada tahun 1979 dengan diterapkannya kebijakan open door yaitu kebijakan yang mengadopsi aturanaturan yang diberlakukan secara internasional. Setahun kemudian, Cina mendirikan kantor paten (the state intellectual Property Office/SIPO) dan menyetujui Konvensi WIPO yang telah dihasilkan di Stockholm tahun 1967 yang berisi tentang perlindungan kekayaan intelektual di seluruh dunia188. Paten di Cina diberikan oleh State Intellectual Property Office (SIPO). Ada tiga jenis paten : invention patents, utility models, dan design patents189.



188



Setiowiji Handoyo,‖Praktik Kebijakan Paten di Beberapa Negara : Pembelajaran bagi Indonesia‖, dalam Kebijakan Paten dalam Mendorong Aktivitas Inovasi di Indonesia (Jakarta : LIPI Press , 2011). 189 Pasal 2 UUP Cina : invensi yang digunakan dalam Undang-undang ini berarti invensi, model utilitas dan desain. Istilah"Invensi" mengacu pada solusi teknis baru yang berkaitan dengan produk, proses atau perbaikan daripadanya. Istilah "model utilitas" mengacu pada solusi teknis baru yang berkaitan dengan bentuk suatu produk, struktur, atau kombinasinya, yang cocok untuk penggunaan praktis. Istilah "desain" mengacu pad setiap desain baru bentuk produk, pola atau kombinasi keduanya,



205



Administrasi dalam Hak Paten di Cina dapat dilihat dalam ketentuan pasal dalam Undang-undang Paten. Departemen administrasi Paten Dewan Negara bertanggung jawabatas administrasi pekerjaan patendi seluruh China, menerima dan memeriksa aplikasi untuk paten, dan memberikan paten sesuai dengan hukum. Departemen administrasi Paten pada masing-masing provinsi, daerah otonom, atau kota langsung di bawah Pemerintah Pusat, dapat melakukan administrasi paten dalam yurisdiksi sendiri. Ketentuan mengenai invensi yang paten diterapkan untuk berhubungan dengan keamanan atau kepentingan vital negara dan diperlukan untuk dirahasiakan, aplikasi akan ditangani sesuai dengan ketentuan yang relevan dari Negara. Invensi yang tidak dapat diberikan hak paten yaitu invensi yang bertentangan dengan hukum atau moral sosial atau yang merugikan kepentingan publik. Invensi juga tidak diberikan hak paten jika invensi tersebut berbasis sumber daya genetik jika akses atau pemanfaatan sumber daya genetik mengatakan merupakan pelanggaran terhadap hukum atau peraturan administrasi. Ketentuan dalam Pasal 5 Undang-undang Paten Cina ini, merupakan Pasal untuk melindungi pengetahuan tradisional negara Cina dari penyalahgunaan oleh pihak asing. d. Perlindungan Paten di Brazil Brazil merupakan sebuah negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat dan revolusioner. Brasil dengan cepat mensejajaran dirinya dengan negara-negara terkemuka lainnya dalam pengaturan mengenai hukum paten dan hukum kekayaan intelektual. Sepanjang perang serta kombinasi warna dan bentuk atau pola dari suatu produk, yang menciptakan perasaan estetika dan cocok untuk aplikasi industri.



206



kemerdekaan, beberapa kediktatoran, dan transisi ke demokrasi, pembaharuan hukum paten diperbarui dan hak IP telah memberikan rangsangan dan dorongan untuk melakukan inovasi. Sejarah Brasil dengan invensi membuat untuk eksplorasi luar biasa didasarkan pada pertumbuhan di wilayah ini dan upaya berkelanjutan untuk membebaskan diri dari masa lalu secara politik dan ekonomi.Pada tahun 1809, Brazil, masih di bawah kekuasaan Kekaisaran Portugis, Brazil menjadi negara keempat di dunia yang memberlakukan hukum paten. Brazil mendapatkan kemerdekaan pada tahun 1822, Brazil sukses menjadi salah satu anggota pendiri Konvensi Paris untuk Perlindungan Kekayaan Industri tahun 1883, bahkan di tengah-tengah kediktatoran militer, Brazil bergabung dengan Patent Cooperation Treaty pada tahun 1978, dan menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun 1995 di bawah pemerintahan yang demokratis190. Brasil menandatangani perjanjian, dengan 13 anggota WTO lainnya. Ketika Brazil menandatangani TRIPS, secara otomatis harus membenahi sistem regulasi paten. Brasil kemudian menyetujui undang-undang paten pada tahun 1996 (UU 9279) dan tahun berikutnya menyetujui undang-undang perlindungan varietas tanaman (UU 9456). Penyesuaian ini datang beberapa tahun setelah TRIPS, dan hukum paten Brasil dimasukkan apa yang minimal diperlukan dalam Perjanjian TRIPS191. Brazil menandatangani perjanjian internasional seperti Berne dan Paris Konvensi, Patent Cooperation Treaty (PCT) dan TRIPS.



190



191



http://info.articleonepartners.com/international-patent-history-and-laws-brazil/, Patent Quality Matters, diakses tanggal 2 Januari 2015. http://blogs.nature.com/tradesecrets/2011/08/17/the-patent-system-in-brazil, The Patent System in Brazil, diakses tanggal 2 Januari 2015.



207



Penerapan kebijakan Kekayaan Intelektual di Brasil dimulai pada 1940an sebagai upaya untuk mendorong industrialisasi lokal. Hak kekayaan intelektual dipandang sebagai instrumen hukum dan ekonomi untuk mempromosikan pengembangan pasar internal. Di Brasil, masalah kekayaan intelektual yang diadministrasikan oleh INPI, yaitu organisasi yang bertugas mendaftarkan paten dan merek dagang. Perlindungan hak milik industri di Brazil diatur oleh Undang-Undang 9279/96 (Hukum Property Industri), yang meliputi paten untuk obat-obatan dan bahan kimia, farmasi dan produk-produk pangan. UU ini diterbitkan pada tanggal 15 Mei 1996. Di Brazil, hak milik dipahami sebagai hak penemu yang memiliki daya cipta pada intelektual. Ini memberikan penemu hak untuk mengeksploitasi bahwa hasil karya intelektual tersebut secara eksklusif. di Brazil. Hukum HKI memberikan penemu hak untuk melakukan tuntutan hukum atas mereka yang membuat atau yang menggunakan paten tanpa izin dari si penemu. Brazil memiliki sistem paten "fist to file" dan memberikan perlindunganpada paten biasa selama 20 tahun serta paten sederhana selama 15 tahun. Brazil memiliki INPI ("National Institute of Industrial Property") adalah organisasi utama yang bertanggung jawab untuk memeriksa aplikasi paten. Pengajuan permohonan paten di Brazil, pemohon memerlukan bukti surat kuasa dan informasi hak paten. Informasi paten mencakup klaim, satu set gambar formal, dan hasil pencarian resmi dari Kantor Paten di mana klaim pertama kali diajukan. Jika pemeriksa INPI menemukan bahwa permohonan paten tersebut sama dengan prior art, aplikasi akan ditolak atau pemohon



208



akan perlu memodifikasi klaim paten. Aplikasi ini akan secara otomatis lulus jika ada invensi sebelumnya yang relevan ditemukan dan semua persyaratan hukum terpenuhi. Berdasarkan Pasal 8 UU No. 9279 Tahun 1996, untuk dapat dipatenkan di Brazil, invensi harus memenuhi persyaratan novelty, langkah inventif, dapat diterapkan dalam industri. Paten dapat diberikan di Brasil untuk perlindunganpaten biasa dan paten sederhana/model utilitas, yaitu : (1) Persyaratan dasar meliputi : Novelty (undang-undang Brasil menerapkan konsep absolut pada kebaruan dalam menentukan state of the art), penerapan pada industri (sebuah invensi dianggap dapat diterapkan pada industriketika dapat diproduksi atau dimanfaatkan industri), langkah inventif (untuk mendapatkan hak paten langkah inventif juga dipertimbangkan); (2) Publikasi / Pengungkapan, setelah 18 bulan, setelah prioritas awal atau tanggal pengajuan; (3) Perlindungan. Sebuah paten Invention dilindungi selama 20 tahun (dari tanggal pengisian) dan sebuah paten Utility Model dilindungi selama 15 tahun (dari tanggal pengisian). Berdasarkan Pasal 10 dan Pasal 18 UU No. 9279 Tahun 1996, Invensi dikecualikan dari paten menurut hukum Brasil meliputi: (1) Invensi, teoriteori ilmiah dan metode matematika; (2) Konsep abstrak murni; (3) Skema, rencana, prinsip-prinsip atau metode komersial, akuntansi, keuangan, pendidikan, penerbitan, undian atau alam fiskal; (4) Sastra, arsitektur, seni dan ilmiah karya atau ciptaan estetika; (5) Program komputer; (6) Penyajian informasi; (7) Aturan permainan; (8) Operasi atau bedah teknik dan metode terapi atau diagnostik, untuk digunakan pada tubuh manusia atau hewan; (9)



209



Makhluk hidup alami, secara keseluruhan atau sebagian, dan biologis bahan, termasuk genom atau plasma nutfah dari setiap makhluk hidup alami, saat ditemui di alam atau terisolasi dari itu, dan proses biologis alami; (10) invensiyang bertentangan dengan moral, kebiasaan yang baik dan keamanan publik, ketertiban dan kesehatan; (11) Zat, bahan, campuran, elemen atau produk apapun, serta modifikasi sifat fisik-kimia dan proses masing-masing untuk didapatkannya atau modifikasi, ketika hasil dari transformasi inti atom; (12) Makhluk hidup, secara keseluruhan atau sebagian, kecuali mikroorganisme transgenik memenuhi tiga persyaratan paten (kebaruan, aktivitas inventif dan aplikasi industri), yang diatur dalam Pasal 8 dan yang tidak invensi belaka. Langkah pertama untuk mendaftarkan hak paten di Brazil yaitu mengidentifikasi apakah kreasi tersebut dapat dipatenkan. Sebuah kreasi harus masuk dalam katagori paten biasa atau atau utilitas Model. Hak paten (paten biasa) adalah invensi yang berasal dari akal manusia dan perkembangan teknologi, sedangkan model utilitas adalah setiap perubahan yang dibuat ke objek penggunaan praktis yang membuatnya menyajikan bentuk baru dan menghasilkan perbaikan fungsional penggunaan atau manufaktur. Langkah selanjutnya adalah memeriksa apakah kreasi tersebut sudah terdaftar atau belum. Penelitian ini dapat dilakukan oleh konsultas hukum atau oleh pengacara yang bertanggung jawab mendaftarkan paten. Brazil beroperasi di bawah rezim "fist to file‖. Siapa yang akan memiliki hak paten



210



adalah pihak yang telah melakuan pendaftaran terlebih dahulu dan belum tentu yang telah menciptakannya. Sebelum mengumpulkan



mengajukan



permohonan



dokumen-dokumen



sebagai



paten,



seseorang



berikut:



(1)



harus



dokumen



permohonan pendaftaran paten; (2) spesifikasi; (3) klaim; (4) gambar (jika perlu); (5) abstrak; (6) bukti pembayaran pendaftaran; INPI membebani beberapa biaya untuk mengeluarkan paten. Biaya ini bervariasi sesuai dengan yang diminta, tapi yang berikut ini dasar dan biaya yang berbeda untuk orang pribadi dan badan hukum, masing-masing: (1) Biaya Deposit: BRL dari 55,00 s/d 140,00 BRL; (2) AnalisisPaten (paten biasa): dari BRL 160,00 s/d 400,00 BRL; (3) Analisis model utilitas: dari BRL 110,20 ke 280,00 BRL; (4) Penerbitan sertifikat paten: dari BRL 40,00 s/d 95,00 BRL. Proses penerbitan paten sangat kompleks dan INPI tidak menawarkan dukungan terhadap penyusunan semua dokumen yang diperlukan, sehingga rekomendasinya adalah untuk menyewa seorang pengacara atau agen terdaftar yng khusus mengurusi atau membantu mengenai HKI. Hal ini akan meningkatkan biaya hingga 165% untuk menyewa pengacara untuk mengurus proses tersebut. Setelah terbitnya sertifikat, pemegang hak paten akan dikenakan biaya tahunan yang bervariasi sesuai dengan jenis paten atau merek dagang tersebut dan dengan tidak dibayarkannya biaya tahunan tersebut maka akan berakibat pada hilangnya hak paten tersebut. 192



192



http://thebrazilbusiness.com/article/getting-a-patent-in-brazil, Getting Patent in Brazil, tanggal 3 Januari 2015.



diakses



211



Pihak ketiga dapat menentang permohonan paten dengan alasan bahwa invensi tersebut tidak dapat dipatenkan. Pihak ketiga dapat menentang pemberian paten dengan menyerahkan dokumen yang relevan dan informasi yang membuktikan bahwa invensi ini tidak boleh dipatenkan. Hal ini dapat dilakukan pada tiga waktu yang berbeda, yaitu : (1) Antara publikasi aplikasi dan akhir pemeriksaan oleh Paten Pemeriksa (Pasal 31, UU No. 9279/96); (2) Dalam jangka waktu 60 hari setelah publikasi banding administratif diajukan oleh pemohon dari keputusan tingkat pertama oleh Paten Pemeriksa (Pasal 213, UU No. 9279/96); (3) Dalam masa perbaikan kekurangan administrasi, yang harus diajukan dalam waktu enam bulan dari pemberian paten (Pasal 51, UU No. 9279/96). Dasar-dasar untuk tindakan pelanggaran adalah : (1) Bahwa paten telah benar-benar dilanggar; (2) Bahwa ada paten yang setara (sama) yang telah dikeluarkan. Sebagai aturan umum, beban pembuktian jatuh pada penggugat (kecuali dalam kasus pelanggaran paten proses), yang menyajikan bukti dokumenter sebelum proses dimulai, termasuk pendapat teknis dan hukum. Penuntut juga dapat meminta pengadilan untuk memungkinkan bukti lebih lanjut selama proses, yang paling penting yaitu bukti teknis oleh seorang ahli, yang ditunjuk oleh pengadilan pada tahap berikutnya.Selanjutnya, adalah kemungkinan untuk menggunakan pelanggaran langsung yaitu menggunakan doktrin kesetaraan. Pasal 186 UU No. 9279/96 tegas menyatakan bahwa pelanggaran paten dapat ditemukan "bahkan jika pelanggaran tidak mempengaruhi semua klaim paten atau jika terbatas pada penggunaan sarana setara dengan subyek paten" .



212



Pasal 45 UU No. 9279/96 memberikan perlindungan kepada orang yang, dengan itikad baik (yaitu, seseorang yang tidak menyadari bahwa proses dipatenkan atau produk dikembangkan) memanfaatkan produk dipatenkan atau proses sebelum tanggal pengajuan aplikasi paten atau tanggal prioritas. Pengguna yang beritikad baik memiliki hak untuk terus mengeksploitasi paten dengan persyaratan dan kondisi yang sama bahwa ia sebelumnya telah melakukannya. Selain itu, meskipun tidak umum, doktrin pembiaran dapat diangkat dalam aksi pelanggaran paten, dan pengadilan akan menerima pertahanan jika yakin bahwa pemilik paten tahu tentang pelanggaran tapi membiarkan hal itu terjadi, tidak wajar menunda pengajuan tindakan pelanggaran selama bertahun-tahun sampai paten berakhir dengan maksud meningkatkan kerusakan potensial terhutang.Seseorang yang dituduh pelanggaran paten juga bisa berdebat bahwa produk atau proses tidak jatuh di bawah lingkup paten sama dengan pelanggaran paten mengklaim, bahwa paten yang ia dituduh melanggar itu sendiri tidak valid. 2. Paten di Indonesia ke Depan a. Implikasi dan Urgensi Perlindungan Herbal Berbasis Traditional Knowledge Dalam Undang-undang Paten Indonesia merupakan negara kepulauan dengan keragaman suku bangsa, budaya, SDA, dan merupakan negara kedua terbesar di dunia setelah Brazil, yang memiliki bermacam sumber daya hayati. Potensi kekayaan alam serta tanaman obat telah dimanfaatkan oleh para leluhur sehingga patut dilestarikan dan dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari193. 193



Kementerian Kesehatan, Pedoman Pelayanan Kesehatan Tradisional Ramuan, (Jakarta : Kemenkes, 2011), halaman 1.



213



Pengetahuan mengenai pengobatan tradisional dengan menggunakan tanaman obat yang dihasilkan dari tanah Indonesia merupakan pengetahuan tradisional yang dapat diistilahkan sebagai traditional knowledge (TK). WIPO menggunakan terminologi TK untuk merujuk pada ciptaan-ciptaan yang didasarkan pada pengetahuan, pertunjukan-pertunjukan, invensi-invensi, invensi-invensi ilmiah, desain, merek, nama-nama dan simbol; informasi yang bersifat rahasia; dan semua inovasi lainnya berbasis pada tradisi dan ciptaan-ciptaan yang dihasilkan dari kegiatan intelektual di bidang industri, ilmu pengetahuan, sastra atau seni. Pengertian TK dapat dilihat secara lengkap lagi dalam Article 8 J CBD. Berdasarkan CBD, pengertian TK adalah pengetahuan, inovasi, dan praktekpraktek masyarakat asli dan lokal yang mewujudkan gaya hidup tradisional dan juga teknologi lokal dan asli. Dari pengertian tersebut menurut substansi dan relasi TK pada keanekaragaman hayati, TK dapat dibagi kedalam dua katagori yaitu194: 1) TK yang terkait dengan keanekaragaman hayati,misalnya obat-obatan tradisional. 2) TK yang terkait dengan seni. Suatu pengetahuan dapat dikatagorikan sebagai TK manakala pengetahuan tersebut 195: 1) Diajarkan dan dilaksanakan dari generasi ke generasi. 2) Merupakan pengetahuan tentang lingkungannya dan hubungannya dengan segala sesuatu



194



195



Afrillyana Purba, dkk, TRIPs – WTO & Hukum HKI Indonesia (Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia), (Jakarta : Rineka Cipta,2005), halaman 37. M. Zulfa Aulia, Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual atas Pengetahuan Tradisional, (Jakarta : FH UI, 2006), halaman 20.



214



3) Bersifat holistik, sehingga tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat yang membangunnya. 4) Merupakan jalan hidup (way of life), yang digunakan secara bersama-sama oleh komunitas masyarakat, dan karenanya di sana terdapat nilai-nilai masyarakat. Penulis tidak mempermasalahkan definisi TK mana yang lebih benar atau paling tepat, dalam hal ini penulis mengetengahkan beberapa pendapat dan mengaitkan dengan kajian penulis agar dalam disertasi ini lebih kaya akan khazanah. Penulis mendudukan definisi TK sebagai salah satu bidang HKI yang memiliki cakupan yang luas dan dikembangkan secara turun temurun serta memiliki nilai magis dan ekonomis. TK telah menjadi masalah hukum baru disebabkan belum adanya instrumen hukum secara optimal terhadap TK yang saat ini banyak dimanfaatkan



oleh



pihak-pihak



yang



tidak



bertanggung



jawab196.



Permasalahan mengenai TK merupakan aspek yang sangat penting yang memiliki potensi untuk mendapatkan perlindungan hukum karena secara teoritis TK sendiri sangat dimungkinkan untuk dilindungi. Banyaknya



pengambilalihan



kepemilikan



kekayaan



intelektual



tradisional, yang kemudian mendapatkan perlindungan hukum melalui sistem HKI, seharusnya mendapat perhatian serius oleh pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah antisipasi di dalam melindungi kekayaan intelektual tradisional masyarakat Indonesia, dari pencurian yang dilakukan oleh negaranegara lain197.



196



197



Budi Agus Riswandi dan M.Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum (Jakarta : PT. RajaGRafindo Persada, 2004), halaman 25. Raditya Permana, Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Intelektual Tradisional, dalam ―Hukum Dalam Berbagai Dimensi‖, (Lampung : Penerbit Universitas Lampung, 2012), halaman 241.



215



Indonesia sebagai negara berkembang mempunyai kekayaan berlimpah mengenai TK, namun Indonesia belum maksimal mengembangkan potensi yang dimiliki karena lemahnya teknologi, SDM yang berkualitas, dan dana. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh negara-negara maju yang pada dasarnya memeiliki kelebihan teknologi dan finansial, yang pada akhirnya Indonesia akan menjadi sasaran utama pembajakan dari pihak asing. Paten terhadap TK oleh negara maju menggugah rasa keadilan bagi negara berkembang termasuk Indonesia. Kondisi ini diperkuat dengan invensi yang telah didaftarkan dengan melibatkan TK milik negara berkembang dan belum ada kontribusi secara komersial kepada pemilik TK. Pada umumnya suatu invensi dihasilkan melalui proses penelitian dan melibatkan data untuk penelitian tersebut. Pada penelitian di bidang farmasi yang akan menghasilkan invensi di bidang obat-obatan, dimana sumber penelitian berasal dari teknologi pengobatan dan sumber bahan baku obatobatan. Pencarian (searching) sumber penelitian dilakukan melalui eksplorasi atas pengetahuan atau teknologi yang terkait atau dilakukan dengan cara mengembangkan lebih lanjut teknologi yang sudah ada sebelumnya, termasuk di dalamnya menggunakan pengetahuan obat-obatan tradisional sebagai basis data awal. Disinilah nilai keadilan mulai berbicara, manakala pihak asing dengan data TK mengembangkan dan mendaftarkan invensi tersebut kemudian menjualnya kembali dengan harga yang mahal sedangkan pemilik TK tidak mendapatkan keuntungan secara ekonomis198.



198



Konphalindo, Sistem Paten Tidak Boleh Menjarah SDG dan Pengetahuan Tradisional, (Jakarta : Konphalindo, 2008), halaman 3.



216



b. Pembentukan Perundang-undangan yang Sesuai Dengan Kebutuhan Masyarakat Lokal Teori-teori hukum dari para pakar pemikir hukum terkemuka yang berkembang di dunia Barat terutama Eropa sejak abad pertengahan sampai sekarang tidak dapat dipungkiri telah berpengaruh terhadap pembentukan dan perkembangan sistem hukum di Indonesia. Teori-teori tersebut tidak dapat diadopsi atau digunakan sepenuhnya namun banyak aspek yang harus disesuaikan dengan keadaan dan perkembangan dalam masyarakat Indonesia. Hukum dalam bentuknya peraturan perundang-undangan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, dan tidak lepas dari kehidupan masyarakat, sehingga kebutuhan masyarakat akan perlindungan hukum dapat terpenuhi. Sangat penting untuk membuat hukum yang berkarakter masyarakat Indonesia sebagai identitas dan kepribadian bangsa. Ada tiga tujuan hukum salah satunya adalah keadilan di samping kepastian hukum dan kemanfaatan. Kaitannya dengan pembentukan hukum di Indonesia, setidaknya hukum dibentuk karena pertimbangan keadilan (gerechtigjkeit) disamping sebagai kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit)199. Proses pembentukan peraturan perundangundangan yang baik merupakan satu langkah menuju cita hukum, dimana perencanaan, partisipasi masyarakat, dan proses pembahasan yang terbuka saat pembentukan hukum. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan 199



Darji Darmoadji dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), (Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama, 2006), halaman 154.



217



pengundangan. Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas. Prolegnas memuat program pembentukan Undang-Undang, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya. Materi yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik200. Pasal 46 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyatakan : ―Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi‖. Ketentuan ini mengandung konsekuensi bahwa RUU dalam pengajuannya harus melewati mekanisme pengharmonisasian. Penjelasan Pasal 19 ayat Ayat (3)Yang dimaksud dengan ―pengkajian dan penyelarasan‖ adalahproses untuk mengetahui keterkaitan materi yang akan diatur dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya yang vertikal atau horizontal sehingga dapat mencegah tumpang tindih pengaturan atau kewenangan. Berbicara mengenai upaya pembentukan suatu peraturan hukum yang mengikat bagi perlindungan herbal berbasis TK, menurut pendapat penulis setidaknya sangat terkait dengan salah satu bidang HKI yaitu paten. Hak eksklusif yang diberikan negara kepada inventor pada prinsipnya adalah suatu bentuk perlindungan hukum dengan tujuan agar inventor dapat menimati hak kekayaan intelektual yang bersumber dari daya pikirnya di bidang teknologi. Perlindungan yang diberikan negara dalam rangka reward atas kesediaan 200



Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.



218



inventor untuk berbagi infoemasi (disclosure) mengenai invensi yang telah dibuatnya. Reward tersebut berupa hak eksklusif dan bagi orang lain yang ingin mengambil manfaat dari invensi tersebut sepatutnya meminta izin terlebih dahulu kepada inventor. Inilah basis utama dari prinsip dasar paten. Undang-undang Paten sebagai suatu keputusan politik di bidang paten telah menampilkan secara jelas sikap politik bangsa Indonesia mengenai masalah paten. Pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya mengenai paten seyogyanya sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal baik dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.



219



BAB III REGULASI UNDANG-UNDANG PATEN DALAM MEMBERIKAN PROTEKSI TERHADAP HERBAL BERBASIS TRADITIONAL KNOWLEDGE DI INDONESIA



Analisis mengenai proteksi herbal berbasis TK dalam Undang-undang Paten, jika dilakukan inventarisasi peraturan, maka akan dijumpai beberapa peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan masalah tersebut. Adapun dari hasil inventarisasi secara historis dapat diketahui bahwa sejak Undang-undang paten pertama kali di Indonesia sampai dengan Undang-undang yang sekarang berlaku, yaitu mulai dari UU No. 6 tahun 1968 sampai dengan UU No. 14 tahun 2001. Inventarisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan proteksi herbal berbasis TK dalam kerangka hukum paten yaitu : (1) UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, (2) UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan CBD, (3) UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-undang Paten merupakan suatu keputusan politik yang dibuat oleh lembaga pembentuk Undang-undang, yaitu Presiden dengan persetujuan DPR, melalui prosedur tertentu yang diberi bentuk yuridis formal tertentu pula mengatur suatu permasalahan yang menjadi isi Undang-undang. Regulasi mengenai Paten sejak kemunculannya pertama kali menjadi Undang-undang dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.



No. 1



2



Tabel 5 : Regulasi Paten di Indonesia Regulasi Keterangan Octrooiwet 1910 Stb. No. Berlaku sejak Tahun 1912 dan 33 ketentuan ini dinyatakan tidak berlaku sejak Indonesia merdeka Pengumuman Menteri Upaya yang bersifat sementara



220



3



4



Kehakiman RI No. J.S. 5/41/4 B.N. 55 tanggal 12 Agustus Tahun 1953 Pengumuman Menteri Kehakiman RI No. J.G 1/2/17 B.N. 53 – 91 tanggal 29 Oktober Tahun 1953 UU No. 6 Tahun 1989 tentang Paten



terhadap penanganan paten dalam negeri



pendaftaran



Upaya yang bersifat sementara terhadap penanganan pendaftaran paten luar negeri.



Lembaran Negara RI Tahun 1989 No. 39, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3398 5 UU No.13 Tahun 1997 Lembaran Negara RI Tahun 1997 No. tentang Perubahan atas 30, Tambahan Lembaran Negara RI UU No. 6 Tahun 1989 No. 3680 tentang Paten 6 UU No. 14 Tahun 2001 Lembaran Negara RI Tahun 2001 No. tentang Paten 109, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4130 Sumber : Hasil Penelitian yang telah di olah Konsepsi pemikiran regulasi paten secara mendasar dapat diikuti alurnya dalam analisa tujuan, kaidah dan asas yang melingkupi dari masing-masing Undang-undang Paten tersebut. 1. Tujuan a. Tujuan UU No. 6 Tahun 1989 tentang Paten UU No. 6 Tahun 1989 tentang Paten memuat konsepsi bangsa Indonesia mengenai sistem paten yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 dan sekaligus memperhatikan nilai-nilai hukum universal dan institusi hukum modern yang diperkembangkan di negara-negara maju,yang cocok dengan kepentingan nasional kita. Tujuan lahirnya UU ini yaitu untuk mewujudkan iklim yang mampu mendorong semangat invensi dan sekaligus memberikan perlindungan hukum. Pertimbangan–pertimbangan diundangkannya UU Paten Tahun 1989 yaitu: (1) Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, bertujuan mewujudkan masyarakat yang adil dan



221



makmur yang merata material dan spiritual; (2) Bahwa dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional pada umumnya dan pembangunan sekitar ekonomi pada khususnya, teknologi memiliki peranan yang sangat penting artinya dalam usaha peningkatan dan pembangunan industri; (3) Bahwa dengan memperhatikan pentingnya peranan teknologi dalam peningkatan dan pengembangan industri tersebut diperlukan upaya untuk mewujudkan iklim yang lebih baik bagi kegiatan invensi teknologi dan perangkat untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hasil kegiatan tersebut; (4) Bahwa untuk mewujudkan iklim dan perangkat perlindungan hukumsebagaimana tersebut di atas dipandang perlu untuk segera menetapkan pengaturan mengenai paten dalam suatu undang-undang. b. Tujuan UU No. 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU No. 6 Tahun 1989 tentang Paten Tujuan lahirnya UU ini yaitu : (1) Mewujudkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya kegiatan penelitian yang menghasilkan invensi dan pengembangan



teknologi



yang



sangat



diperlukan



dalam



pelaksanaan



pembangunan yang bertujuan terciptanya masyarakat Indonesia yang adil, makmur, maju, dan mandiri berdasarkan Pancasila dan UUD 1945; (2) Memberikan perlindungan hukum yang semakin efektif terhadap Hak Milik Intelektual khususnya untuk bidang paten; (3) Menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasional di bidang HKI termasuk Paten dengan persetujuan tentang TRIPs. c. Tujuan UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten Tujuan lahirnya UU ini yaitu : (1) menyesuaikan peraturan perundangundangan dengan perjanjian-perjanjian internasional, perkembangan teknologi,



222



industri dan perdagangan yang semakin pesat, untuk dapat memberikan perlindungan yang wajar bagi invenstor; (2) menciptakan iklim persaingan usaha yang jujur serta memperhatikan kepentingan masyarakat pada umumnya. 2. Kaidah a. Kaidah UU No. 6 Tahun 1989 tentang Paten 1)



Ruang lingkup pengaturan. Pada dasarnya lingkup pengaturan UU ini menjangkau hasil invensi di bidang teknologi yang baru, mengandung langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri (Pasal 1 s/d Pasal 6). UU ini juga menentukan beberapa jenis invensi tertentu yang tidak dapat diberikan hak paten atau ditunda pemberian patennya. Pada prinsipnya invensi yang mengalami penundaan dapat di berikan hak paten jika memenuhi persyaratan dan tata cara yang telah di tentukan dalam UU ini (Pasal 7 s/d Pasal 8). Cara pendekatan ini dikenal sebagai cara pendekatan negatif201, artinya dengan menegaskan bidangbidang invensi tertentu yang tidak dapat diberi paten atau ditunda patennya, di luar itu pada dasarnya setiap invensi di bidang teknologi dapat diberikan paten sesuai dengan ketentuan Undang-undang.



2)



Cakupan isi dari hak pemegang paten. Prinsip UU ini yaitu yang berhak memperoleh paten adalah penemu202 teknologi yang bersangkutan atau yang menerima lebih lanjut hak penemu itu203.



201



202



203



A.A. Oka Mahendra, Undang-undang Paten (Perlindungan Hukum Bagi Penemu dan Sarana Menggairahkan Invensi), Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 191), halaman 20. Penemu adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum, yang melaksanakan kegiatan yang menghasilkan invensi. Pihak yang menerima lebih lanjut dari hak paten dapat dikatakan sebagai pemegang hak. Pemegang hak adalah penemu sebagai pemilik paten atau orang yang menerima hak tersebut dari pemilik paten



223



3)



Paten berfungsi sosial Paten memiliki fungsi sosial, dimana pemegang paten berkewajiban mengutamakan kepentingan bersama dan kepentingan nasional, oleh karena itu pemegang paten di wajibkan melaksanakan atau menggunakan patennya di Indonesia. Kewajiban melaksanakan patennya di Indonesia untuk mencegah itikad para penemu untuk sekedar memperoleh perlindungan hukum tetapi tanpa niat untuk melaksanakannya. Penemu seyogyanya menghasilkan produk dan memberi sumbangan bagi kemajuan ekonomi dan industri pada khususnya serta kesejahteraan masyarakat pada umumnya.



4)



Pelaksanaan pemeriksaan atas permintaan paten Sistem paten bersifat terbuka, dengan melihat ketentuan mengenai pelaksanaan pemeriksaan atas suatu permintaan paten. Permintaan yang telah memenuhi semua persyaratan administratif, diumumkan terlebih dahulu dalam jangka waktu tertentu. Pengumuman tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan secara terbuka kepada masyarakat untuk memeriksa ada atau tidaknya pelanggaran terhadap hak yang mungkin dimilikinya atau dimiliki orang lain dalam invensi mereka. Masyarakat juga memperoleh kesempatan untuk mengawasi, meneliti dan menyaring apakah permintaan paten atas suatu invensi benar-benar menenuhi syarat terutama yang bertalian dengan sifat kebaruannya. Masyarakat ikut berperan aktif dalam mengawasi pemberian paten.



5)



Jangka waktu berlakunya paten.



atau orang lain yang menerima lebih lanjut hak dari orang tersebut di atas, yang terdaftar dalam Daftar Umum Paten.



224



Penetapan



mengenai



jangka



waktu



paten,



Undang-undang



ini



mempertimbangkan dari segi kepantasan dan memperhatikan kelaziman dalam praktik internasional dengan mengutamakan kepentingan nasional. India memberikan jangka waktu berlakunya paten bervariasi antara 5 tahun dan 10 tahun. Cina hanya memberikan jangka waktu 15 tahun. Jepang memberikan jangka waktu 15 tahun dengan kemungkinan perpanjangan hingga menjadi 20 tahun. Perbedaan penentuan jangka waktu tersebut mendasarkan pada pertimbangan yang di sesuaikan dengan kondisi dan kepentingan masing-masing negara serta kewajaran dilihat dari segi kepentingan pemegang paten204. Undang-undang paten ini menentukan jangka waktu berlakunya paten biasa selama 14 tahun terhitung sejak tanggal penerimaan permintaan paten (filling date), sedangkan jangka waktu berlakunya paten sederhana 5 tahun terhitung sejak tanggal diberikannya Surat Paten Sederhana (Pasal 9). Jangka waktu paten dapat diperpanjang satu kali untuk selama 2 tahun dengan memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan. (Pasal 42 s/d Pasal 44). Keberadaan komisi banding205 dalam UU No. 6 Tahun 1989 berdasarkan ketentuan Pasal 68 s/d Pasal 72, problem yang muncul saat itu adalah belum dibuatnya Peraturan Pemerintah mengenai tugas dari komisi banding. Tim Lindsey206 menyoroti bahwa ketentuan mengenai komisi paten tidak dapat berjalan sesuai dengan fungsinya, akibatnya selama awal pemberlakuan UU



204 205



206



Lihat, A.A. Oka Mahendra, Op.cit., halaman 24 Komisi Banding adalah badan khusus yang berada di lingkungan Ditjen HKI dengan tugas memeriksa permintaan banding dari pemohon yang ditolak permohonannya berdasarkan alasanalasan dan dasar pertimbangan yang bersifat substantif. Tim Lindsey, dkk, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, (Bandung : Alumni, 2006), halaman 205).



225



Paten, hak untuk mengajukan banding yang dimiliki oleh setiap pemohon paten yang permohonannya ditolak tidak dapat digunakan untuk melindungi hak-hak mereka. b. Kaidah UU No. 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU No. 6 Tahun 1989 tentang Paten Kemajuan ekonomi, teknologi dan keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian TRIPs berimplikasi pada upaya untuk menghadirkan UU Paten yang modern dan sesuai dengan ketentuan internasional. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah dengan mengamandemen beberapa ketentuan yang terdapat dalam UU Paten Tahun 1989 melalui UU Paten Tahun 1997. Undang-undang Paten Tahun 1997 merupakan UU yang menyempurnakan dan mengubah berbegai ketentuan dalam UU Paten Tahun 1989. Penyempurnaan dilakukan terhadap berbagai ketentuan yang dirasakan kurang memberi perlindungan hukum bagi penemu, di rasa perlu juga melakukan penyesuaian dengan persetujuan TRIPs. Tujuannya untuk menghapuskan berbagai hambatan dan terutama untuk memberikan fasilitas yang mendukung upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan



perdagangan



baik



nasional



maupun



internasional.



Perubahan



dan



penyempurnaan Undang-undang Paten ini sebagai konsekuensi dari telah diratifikasinya Persetujuan Putaran Uruguay. Perubahan pada dasarnya diarahkan untuk menyesuaikan dengan konvensi Paris Tahun 1883, dan penyempurnaan terhadap kekurangan beberapa ketentuan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan praktek-praktek internasional, termasuk penyesuaian dengan Persetujuan TRIPs. Tiga hal penting yang termuat dalam UU Paten Tahun 1997 yaitu penyempurnaan, penambahan serta penghapusan beberapa ketentuan dari UU



226



Paten 1989. Perubahan dalam UU Paten Tahun 1997 secara umum dapat dilihat sebagai berikut: 1. Penyempurnaan a)



Persyaratan Sifat kebaruan ditentukan atas dasar penilaian bahwa pada saat penerimaan paten invensi tersebut tidak merupakan bagian dari invensi terdahulu atau invensi yang telah ada sebelumnya. Berbeda dengan UU Paten 1989 yang menggunakan penilaian belum diumumkannya sebuah invensi sebagai syarat kebaharuan, UU Paten 1997 menentukan sifat kebaharuan dengan menggunakan indikator invensi yang diajukan bukan bagian dari invensi terdahulu atau invensi yang telah ada sebelumnya.



b) Jangka waktu Jangka waktu perlindungan untuk paten biasa 20 tahun, paten sederhana 10 tahun. UU Paten tahun 1989 menentukan jangka waktu perlindungan paten biasa 14 tahun dan paten sederhana 5 tahun. Perpanjangan jangka waktu perlindungan paten untuk lebih merangsang dan mendorong para peneliti serta masyarakat pada umumnya untuk lebih giat melakukan penelitian yang menghasilkan invensi. Kegiatan untuk melakukan penelitian pada umumnya memakan waktu yang lama, biaya yang cukup besar, dan pengorbanan lainnya, maka dianggap memadai jika jangka waktu paten ini diperpanjang. Hal ini akan memberikan kemungkinan lebih besar bagi si peneliti untuk mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan untuk mendapatkan invensinya. Mereka akan



227



dapat manfaat ekonomi secara lebih memadai untuk memperoleh hasil dari invensi yang telah mereka lakukan207. c)



Penegasan hak Pemegang Paten untuk melarang impor.



d) Perluasan lingkup alasan bagi pengajuan permintaan banding. Pada UU Paten 1989 alasan untuk diperbolehkannya untuk mengajukan banding adalah jika berkaitan dengan hal-hal yang bersifat substantif, sedangkan menurut UU Paten 1997 disamping alasan substantif, permohonan banding juga dapat diajukan terhadap penolakan yang didasarkan pada Pasal 39, Pasal 60, atau Pasal 7. 2. Penambahan a)



Importasi atas produk yang dilindungi paten



b) Beban pembuktian terbalik 3. Penghapusan, a)



Pasal 7 huruf b



b) Pasal 7 huruf c c)



Badan hukum dalam pengertian penemu



c. Kaidah UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten Undang-undang Paten yang baru ini disahkan dan ditetapkan di Jakarta oleh Presiden RI, serta mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus Tahun 2001 yang diundangkan oleh Sekretaris Negara RI maka ketentuan Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten ini terdiri atas 17 Bab dan 139 pasal serta penjelasannya. Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten disusun secara menyeluruh dalam satu naskah (single taxt) pengganti Undang-undang Paten 207



Sudargo, Gautama dan Rizawanto Winata, Pembaharuan Undang-undang paten 1997, (Bandung : Pt. Citra Aditya Bakti, 1998), halaman 19.



228



lama. Dalam hal ini, ketentuan dalam Undang-undang Paten lama, yang substansinya tidak diubah dituangkan kembali dalam Undang-Undang ini. Secara umum perubahan yang dilakukan terhadap Undang-Undang Paten lama mencakup penyempurnaan, penambahan, dan penghapusan. Diantara perubahan yang menonjol dalam Undang-Undang ini, dibandingkan dengan Undang-Undang Paten lama adalah sebagai berikut: 1. Penyempurnaan a). Terminologi. - Istilah invensi digunakan untuk invensi dan istilah inventor digunakan untuk penemu. - Invensi tidak mencakup ; kreasi setetika, skema,aturan dan mode untuk melakukan kegiatan yang melibatkan kegiatan mental/permainan/bisnis, aturan dan mode mengenai program komputer, presentasi mengenai suatu informasi. Nama kantor paten diubah menjadi Direktorat Jenderal. b). Paten Sederhana Objek paten sederhana tidak mencakup proses, penggunaan komposisi, dan produk yang merupakan produc by process. Objek paten sederhana hanya dibatasi pada hal-hal yang bersifat kasat mata bukan yang tidak kasat mata. Perlindungan paten sederhana dimulai sejak tanggal penerimaan. c). Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden Pengaturan UU lama ditetapkan dengan Keputusan Menteri, dalam UU ini ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Pengaturan yang ditetapjan dengan



229



Keputusan Presiden, di dalam UU ini diubah dengan Peraturan Pemerintah. d). Pemberdayaan Pengadilan Niaga Penyelesaian perdata di bidang paten dilakukan di Pengadilan Niaga. e). Lisensi Wajib Instansi yang ditugasi untuk memberikan lisensi wajib adalah Direktorat Jenderal. 2. Penambahan a). Penegasan mengenai istilah hari. b). Invensi yang tidak dapat di beri paten c). Penetapan sementara Pengadilan. d). Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak e). Penyelesaian sengketa di luar pengadilan. f). Pengecualian dari ketentuan pidana. 3. Penghapusan yaitu mengenai penundaan pemberian paten dan ruang lingkup hak eksklusif pemegang paten. 3. Asas a. Asas UU No. 6 Tahun 1989 tentang Paten Asas-asas yang terdapat dalam UU No. 6 Tahun 1989 yaitu ; (1) asas legalitas, dimana UU ini adalah UU paten pertama yang memberikan perlindungan hukum dari negara bagi penemu terhadap invensinya.; (2) asas keseimbangan, yaitu invensi yang telah didaftarakan paten harus dilaksanakan di Indonesia, tidak sekedar hanya untuk mendapatkan perlindungan hukum saja. Asas ini menyeimbangkan antara hak dan kewajiban; (3) asas keterbukaan,



230



dimana sistem paten merupakan sistem paten yang terbuka. Terbuka bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam mengawasi pemebrian paten. b. Asas UU No. 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU No. 6 Tahun 1989 tentang Paten Asas-asas yang terdapat dalam UU No. 13 Tahun 1997 tidak berbeda dengan asas-asas yang terdapat dalam UUNo. 6 Tahun 1989. Asas-asas tersebut yaitu ; (a) Asas Legalitas; (b) Asas keseimbangan; (c) Asas Keterbukaan. c. Asas UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten Pada dasarnya asas-asas yang terdapat dalam UU No. 14 Tahun 2001 tidak berbeda dengan asas-asas yang ada pada UU Paten sebelumnya. Prinsip-prinsip pokok yang terdapat dalam UU Paten yaitu : (1) Paten diberikan atas dasar permohonan; (2) Paten diberikan untuk invensi; (3) Invensi harus baru; (4) Suatu invensi mengandung langkah inventif dapat diterapkan dalam industri. Tabel 6 : Analisis Historis Undang-undang Paten No. Analisis UU No. 6 Tahun 1989 1. Tujuan Mewujudkan iklim yang mampu mendorong semangat invensi dan sekaligus memberikan perlindungan hukum.



2.



Kaidah



UU No.13 Tahun 1997



UU No. 14 Tahun 2001



(1) Mewujudkan iklim yang mampu mendorong semangat invensi; (2) memberikan perlindungan hukum. (3) Menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasional di bidang HKI termasuk Paten dengan persetujuan tentang TRIPs.



(1) menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan perjanjian-perjanjian internasional, perkembangan teknologi, industri dan perdagangan yang semakin pesat, untuk dapat memberikan perlindungan yang wajar bagi invenstor; (2) menciptakan iklim persaingan usaha yang jujur serta memperhatikan kepentingan masyarakat pada umumnya. 1. Paten 1. Penyempurnaan; (a) 1. Penyempurnaan menjangkau semua Persyaratan; (b) Jangka a). Terminologi. hasil invensi di waktu; (c) Penegasan hak - Istilah invensi bidang teknologi. Pemegang Paten untuk digunakan untuk



231



2. Yang berhak memperoleh paten adalah penemu. 3. Paten berfungsi sosial. 4. Sistem paten bersifat terbuka. 5. Jangka waktu yang pantas. (Paten biasa ; 14 tahun, paten sederhana 5 tahun).



3.



Asas



melarang impor; (d) Perluasan lingkup alasan bagi pengajuan permintaan banding. 2. Penambahan, yaitu : (a) Importasi atas produk yang dilindungi paten; (b) Beban pembuktian terbalik. 3. Penghapusan, yaitu : (a) Pasal 7 huruf b; (b) Pasal 7 huruf c; (c) Badan hukum dalam pengertian penemu.



1. Asas Legalitas. 1. Asas Legalitas. 2. Asas 2. Asas Keseimbangan Keseimbangan 3. Asas Keterbukaan 3. Asas Keterbukaan Sumber : Hasil Penelitian yang telah diolah



invensi dan istilah inventor digunakan untuk penemu. - Invensi tidak mencakup ; kreasi setetika, skema, aturan dan mode untuk melakukan kegiatan yang melibatkan kegiatan mental/permainan/bis nis, aturan dan mode mengenai program komputer, presentasi mengenai suatu informasi. b). Paten Sederhana c). Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden d). Pemberdayaan Pengadilan Niaga e). Lisensi Wajib 2. Penambahan a). Penegasan mengenai istilah hari. b). Invensi yang tidak dapat di beri paten c). Penetapan sementara Pengadilan. d). Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak e). Penyelesaian sengketa di luar pengadilan. f). Pengecualian dari ketentuan pidana. 3. Penghapusan yaitu mengenai penundaan pemberian paten dan ruang lingkup hak eksklusif pemegang paten. 1. Asas Legalitas. 2. Asas Keseimbangan 3. Asas Keterbukaan



232



A. Pengaturan Undang-undang Paten Dalam Memproteksi Herbal Berbasis Traditional Knowledge di Indonesia Mengingat luasnya arti hukum, maka dalam pembahasan ini hukum yang dipakai adalah hukum sebagai kaidah yang positif atau yang disebut hukum positif, yaitu seperangkat kaidah yang mengatur tingkah laku anggota masyarakat di suatu wilayah tertentu (Indonesia) pada waktu sekarang. Pandangan hukum semacam ini dalam studi hukum termasuk aliran hukum positivisme, yaitu pandangan bahwa hukum adalah perintah penguasa, memaksa dan bersanksi. Aliran positivisme mengandung bahwa hukum lebih berurusan dengan bentuk daripada isi, maka hukum hampir identik dengan undang-undang.208 Analisis terhadap Undang-undang paten dari segi konsep lebih banyak dipengaruhi oleh konvensi internasional, dimana dapat dilihat tujuan perubahan Undang-undang paten yaitu untuk menyesuaikan dengan konvensi internasional khususnya TRIPs. Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten merupakan Undang-undang terakhir yang sekarang berlaku di Indonesia. Analisis perlu untuk dilihat kembali pointer atau substansi yang berkenaan dengan proteksi herbal berbasis TK. Analisis berikut perlu untuk dilihat perundangundang yang terkait dalam konteks proteksi herbal berbasis TK. 1. UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten Indonesia telah memiliki Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Hak Paten sebagimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997, dan terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001. Perlunya diubah Undang-undang Paten Nomor 13 Tahun 1997 tersebut adalah sebagaimana dikatakan dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 yang 208



Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, (Bandung : Alumni, 1982), halaman 12.



233



menyatakan bahwa : ―Masih ada beberapa aspek dalam Agreement on Trade Relates Aspects of Intelectual Property Rights yang belum ditampung dalam Undang-Undang Paten (yang lama)‖. Pertimbangan-pertimbangan lahirnya UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten yaitu : (1) Bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian internasional, perkembangan teknologi, industri dan perdagangan yang semakin pesat, diperlukan adanya Undang-undang Paten yang dapat memberikan perlindungan yang wajar bagi investor; (2) Bahwa iklim persaingan usaha yang jujur serta memperhatikan kepentingan masyarakat pada umumnya. Pertimbangan lahirnya UU No. 14 Tahun 2001 memberikan arah tujuan hadirnya UU ini. Tujuan paling esensial yaitu UU ini menyesuaikan dengan ketentuan TRIPs. TRIPs merupakan salah satu perjanjian utama yang dihasilkan dalam putaran Uruguay, yang dimaksudkan untuk mengurangi gangguan dan hambatan dalam perdagangan internasional, perlindungan dan penegakan HKI yang efektif dan memadai. Sasaran yang ingin dicapai oleh TRIPs adalah termotivasinya invensi baru di bidang teknologi dan memperlancar alih teknologi, dengan tetap memperhatikan kepentingan pengguna pengetahuan teknologi dan dilakukan dengan cara yang menunjang kesejahteraan sosial, ekonomi, dan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Hal tersebut dapat terlihat dari beberapa hal pokok yang menjadi cakupan TRIPs, yakni209: (1) Ketentuan mengenai jenis hak atas kekayaan intelektual yang tercakup dalam perjanjian; (2) Standar minimum



perlindungan



atau rincian ketentuan mengenai



sejauh



mana



perlindungan tersebut harus dilakukan oleh negara peserta; (3) Ketentuan 209



H.S. Kartadjumena, GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round, (Jakarta : UI-Press, 1997), halaman 253.



234



mengenai enforcement atau pelaksanaan kewajiban perlindungan HKI; (4) Ketentuan mengenai kelembagaan; dan (5) ketentuan mengenai penyelesaian sengketa. Konsekuensi



dari



persetujuan



TRIPs210,



maka



Indonesia



harus



mengharmonisasikan sistem HKI yang dimiliki dengan sistem HKI yang berlaku secara internasional. Hukum Paten sebagai salah satu bagian dalam bidang HKI juga terkena imbas dari harmonisasi hukum ini, oleh karena itu Indonesia dituntut untuk membentuk sekaligus mengharmonisasikan Hukum Paten nasionalnya dengan Hukum Paten Internasional. Hal tersebut semakin wajar manakala dalam salah satu tujuan pembentukan UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten mempertimbangkan ketentuan yang ada dalam TRIPs. Menurut TRIPs Agreement, harmonisasi sistem HKI bukanlah berarti sistem HKI Indonesia harus sama sepenuhnya dengan sistem HKI di negara lain, tetapi yang disamakan adalah prinsip-prinsip dasar atau standar minimal sistem HKI yang diberlakukan oleh negara-negara lain harus ditetapkan di Indonesia. Tujuan lain yang menjadi dasar pertimbangan pembentukan UU Paten 2001 yaitu dengan memperhatikan kepentingan masyarakat pada umumnya. Tujuan ini masih secara general dan tidak spesifik menyatakan kepentingan masyarakat seperti apa bentuknya. Mengacu pada tujuan tersebut maka proteksi terhadap produk herbal berbasis TK dapat di katagorikan sebagai kepentingan masyarakat Indonesia yang perlu untuk diperhatikan. Perjanjian TRIPs sendiri tidak memuat mengenai proteksi herbal berbasis TK hanya ketentuan yang berkaitan dengan TK seperti merek dan indikasi geografis. 210



TRIPs adalah suatu dasar pengaturan HKI bagi negara-negara anggota WTO yang menjadi pedoman wajib untuk memformulasikan, menyelaraskan, menyempurnakan dan menerapkan ketentuan HKI secara nasional di negar masing-masing.



235



Pertimbangan-pertimbangan mengenai tujuan dari UU Paten 2001 terdapat dalam konsideran211 UU Paten 2001. Konsideran memuat uraian



singkat



mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pokok pikiran dalam konsideran yang merupakan konstatasi fakta-fakta secara singkat dan yang menggerakan lembaga pembentuk Undang-undang untuk membentuk Undang-undang tersebut. Pokok pikiran pada konsiderans Undang-Undang memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi



pertimbangan



dan



alasan



pembentukannya



yang



penulisannya



ditempatkan secara berurutan dari filosofis212, sosiologis213, dan yuridis214. Pokokpokok pikiran dalam konsideran UUP Tahun 2001 belum sepenuhnya mencerminkan unsur filosofis dimana UUP Tahun 2001 dibentuk dengan dasar pertimbangan untuk menyesuaikan dengan TRIPs Agreement. Ann Seidman dan Robert B. Seidman215 menekankan bahwa dalam proses pembuatan UU, pembuat rancangan memainkan peranan penting yang tidak hanya berkaitan dengan bentuk dari rancangan UU, tetapi juga berhubungan dengan isinya. Batang tubuh suatu perundang-undangan memuat rumusan-rumusan yang merupakan substansi dari peraturan perundang-undangan yang dirumuskan dalam



211



Konsideran merupakan alasan-alasan atau pertimbangan mengapa UU tersebut perlu dibentuk. Lihat Aziz Syamsuddin, Proses & Teknik Penyusunan Undang-undang, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), halaman 99. 212 Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Dari sudut filosofis kaitannya adalah nilai-nilai misalnya kebenaran, keburukan, keadilan, dll. 213 Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Latar belakang sosilogis dalam konsideran memberikan indikasi fakta-fakta yang terjadi dalam masyarakat. 214 Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. 215 Ann Seidman, dkk, Penyusunan Rancangan Undang-undang Dalam Perubahan Masyarakat yang Demokratis : Sebuah Panduan untuk Pembuat Rancangan Undang-undang, (USA : ELIPS II , 2002), halaman 25.



236



pasal-pasal, karena pasal merupakan satuan acuan dalam peraturan perundangundangan. Pasal-pasal dalam Batang Tubuh peratuan perundang-undangan dirumuskan dalam kalimat yang normatif, atau rumusan lainnya yang memuat tentang : (1) Aturan tingkah laku (gedragsnormen), yang berupa : perintah (gebod), larangan (verbod), pengizinan (toestemming), dan pembebasan ((vrystelling); (2) Ketentuan tentang kewenangan; (3) Ketentuan tentang penetapan yang dapat terdiri atas ; berwenang (bevoegdheid), tidak berwenang (onbevoegdheid), boleh tetapi tidak harus (kan maar niet hoeft)216. Batang tubuh dalam UUP Tahun 2001 memuat semua substansi yang dikelompokkan ke dalam : (1) Ketentuan umum; (2) Materi pokok yang diatur; (3) Ketentuan pidana; (4) Ketentuan Peralihan; (5) Ketentuan penutup. Materi pokok (dalam batang tubuh) yang diatur merupakan isi dari UUP Tahun 2001. Rumusan yang memuat tentang Aturan tingkah laku (gedragsnormen) dalam UUP Tahun 2001, yang berupa : perintah (gebod), yaitu : 1). Pasal 20 dan Pasal 34 Paten diberikan atas dasar permohonan dan memenuhi persyaratan administratif dan substantif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Paten. Suatu permohonan paten sebaliknya diajukan secepat mungkin mengingat sistem paten Indonesia menganut sistem first to file. Akan tetapi pada saat pengajuan,



uraian



lengkap



invensi



harus



secara



lengkap



menguraikan/mengungkapkan invensi tersebut.Sistem first to file adalah suatu sistem pemberian paten yang menganut mekanisme bahwa seseorang yang pertama kali mengajukan permohonan dianggap sebagai pemegang paten, bila 216



Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan (Proses dan Teknik Pembentukannya), (Yogyakarta :Kanisius, 2007), halaman 98.



237



semua persyaratannya dipenuhi. Sistem paten yang diterapkan di Indonesia menganut sistem first to file, dalam Pasal 34 Undang-Undang Paten disebutkan ―Apabila untuk satu invensi yang sama ternyata diajukan lebih dari satu permohonan paten oleh pemohon yang berbeda, hanya permohonan yang diajukan pertama atau terlebih dahulu yang dapat diterima‖. Perlindungan paten tidak diberikan secara otomatis (seketika invensi selesai dibuat oleh inventor) seperti dalam konsep perlindungan Hak Cipta, untuk mendapat perlindungan paten, inventor harus aktif mengajukan permohonan paten kepada negara. Permohonan itu diajukan kepada Dirjen HKI. Hak Paten baru diperoleh jika Dirjen HKI mengabulkan permohonan paten. Perintah untuk mendaftarkan invensinya diperuntukkan kepada subjek paten217. Subjek paten menurut Undang-Undang Paten adalah Inventor218 atau yang menerima lebih lanjut219 hak inventor. Pasal 11 Undang-Undang Paten kemudian menjelaskan, yang dianggap sebagai inventor adalah seorang atau beberapa orang yang untuk pertama kali dinyatakan sebagai inventor dalam permohonan, kecuali terbukti lain. Pihak yang memberikan pekerjaan, kecuali diperjanjikan lain220. Pemakai terdahulu221.



217



218



219



220



Subjek Paten adalah pihak yang berhak memperoleh paten serta pihak yang diizinkan melaksanakan invensi yang dipatenkan berdasarkan Undang-Undang Paten. Inventor adalah seseorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi, Indonesia, Undang-Undang Paten, psl. 1, angka 1, jika inventor terdiri dari beberapaorang, maka seluruhnya disebut inventor dan hak atas invensi dimiliki secara bersama-sama oleh mereka, Indonesia, Undang-Undang Paten, psl. 10, ayat (1) dan (2). Hak paten dapat dialihkan kepada pihak lain secara keseluruhan atau sebagian dengan cara: pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis (lisensi), atau sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan (misalnya karena pembubaran badan hukum yang semula merupakan pemegang paten), Indonesia, Undang-undang Paten, psl. 66 ayat (1) dan penjelasannya. Kondisi ini berlaku jika invensi dihasilkan dalam suatu hubungan kerja, ibid, pasal 12 ayat (1).. ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku terhadap invensi yang dihasilkan baik oleh karyawan maupun pekerja yang menggunakan data dan/atau sarana yang tersedia dalam pekerjaannya sekalipun perjanjian tersebut tidakmengaharuskannya untuk menghasilkan invensi,



238



2). Pasal 17 dan Pasal 18 Kewajiban dari pemegang paten yang terdapat dalam Pasal 17 dan Pasal 18 merupakan bentuk perintah (gebod). Rumusan yang memuat tentang Aturan tingkah laku (gedragsnormen) dalam UUP Tahun 2001, yang berupa larangan (verbod), yaitu : 1). Pasal 16 ayat (1) dan (2) (1) Pemegang Paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Paten yang dimilikinya dan melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya: a. Dalam hal Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten; b. Dalam hal Paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (2) Dalam hal Paten-proses, larangan terhadap pihak lain yang tanpa persetujuannya melakukan impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku terhadap impor produk yang semata-mata dihasilkan dari penggunaan Paten-proses yang dimilikinya. Rumusan yang memuat tentang Aturan tingkah laku (gedragsnormen) dalam UUP Tahun 2001, yang berupa pengizinan (toestemming), yaitu : 1). Pasal 2 (1). Paten diberikan untuk Invensi yang baru dan mengandung langkah inventif serta dapat diterapkan dalam industri. (2) Suatu Invensi mengandung langkah inventif jika Invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya. (3) Penilaian bahwa suatu Invensi merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya harus dilakukan dengan memperhatikan keahlian yang ada pada saat Permohonan diajukan atau yang telah ada pada saat diajukan permohonan pertama dalam hal Permohonan itu diajukan dengan Hak Prioritas.



221



ibid, psl. 12 ayat (2). Inventor tersebut berhak mendapatkan imbalan yang layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang diperoleh dari invensi tersebut, psl. 12 ayat (3). Pihak yang melaksanakan invensi pada saat invensi yang sama dimohonkan paten tetap berhak melaksanakan invensi tersebut sebagai pemakai terdahulu sekalipun terhadap invensi itukemudian diberi paten. ketentuan ini bermaksud memberi perlindungan kepada pemakai terdahulu yang beritikad baik, tapi tidak mengajukan permohonan. Jangka waktu pelaksanaan invensi sebagai pemakai terdahulu berlaku sampai dengan batas perlindungan paten, Ibid, psl. 13 ayat (1) dan penjelasannya.



239



Ketentuan Pasal 2 merupakan izin terhadap perintah yang umumnya diharuskan. Ketentuan mengenai Pasal 2 ini merupakan ketentuan dari obyek paten222. 2). Pasal 3 (1) Suatu Invensi dianggap baru jika pada Tanggal Penerimaan, Invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya. (2) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah teknologi yang telah diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau melalui peragaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan Invensi tersebut sebelum: a. Tanggal Penerimaan; atau b. tanggal prioritas. (3) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup dokumen Permohonan yang diajukan di Indonesia yang dipublikasikan pada atau setelah Tanggal Penerimaan yang pemeriksaan substantifnya sedang dilakukan, tetapi Tanggal Penerimaan tersebut lebih awal dari pada Tanggal Penerimaan atau tanggal prioritas Permohonan. Ketentuan Pasal 3 sesuai dengan Pasal 27 ayat (1) Persetujuan TRIPs yang menyatakan bahwa ―Paten disediakan bagi invensi berupa produk atau proses dalam segala bidang teknologi asalkan mereka baru, mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri. Tidak boleh ada diskriminasi batas dasar tempat invensi, bidang teknologi dan asal usul produk (impor atau produk lokal). Berdasarkan ketentuan Pasal 2 dan 3, Ada tiga syarat penting yang harus dipenuhi oleh seorang inventor untuk mendapatkan paten terhadap invensi yang diajukan, yaitu : (1) Invensi tersebut harus memiliki kebaharuan (Novelty); (2) Invensi tersebut harus mengandung langkah inventif (Inventive Step); (3) Invensi tersebut dapat diterapkan dalam industri (Industrial Applicability). Syarat kebaruan dalam patentibilitas invensi dimaksudkan 222



Obyek paten merupakan Semua hasil invensi di bidang teknologi yang merupakan invensi baru, mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri.



240



bahwa teknologi dalam invensi tidak sama223 dengan teknologi yang sudah pernah diungkapkan sebelumnya (prior art atau state of art) yang mencakup baik literatur paten maupun bukan literatur paten. Syarat inventif step dimana suatu invensi mengandung langkah inventif jika invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya (non obviousness)224. Penilaian bahwa suatu Invensi merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya harus dilakukan dengan memperhatikan keahlian yang ada pada saat permohonan diajukan atau yang telah ada pada saat diajukan permohonan pertama dalam hal Permohonan itu diajukan dengan Hak Prioritas. Yang dimaksud dengan tidak dapat diduga adalah sesuatu yang tidak dapat diperoleh secara logis dari teknologi sebelumnya. Syarat patentibilitas suatu invensi diterapkan dalam industri (industrial aplicable), dimana invensi tersebut harus dapat dilaksanakan dalam industri seperti yang diuraikan dalam permohonan. Jika invensi tersebut berupa produk, produk tersebut dapat dibuat secara berulang-ulang (secara massal) dengan kualitas yang sama, jika invensi berupa proses, proses tersebut dapat dilaksanakan atau digunakan secara massal. 3). Pasal 6. Setiap Invensi berupa produk atau alat yang baru dan mempunyai nilai kegunaan praktis disebabkan oleh bentuk, konfigurasi, konstruksi, atau komponennya dapat memperoleh perlindungan hukum dalam bentuk Paten Sederhana.



223



224



Yang dimaksud dengan tidak sama yaitu bukan sekedar beda, tetapi harus dilihat sama atau tidaknya fungsi ciri teknis (features) invensi tersebut dengan ciri teknis invensi sebelumnya. Muhamad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia), (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), halaman 136.



241



Pasal 6 merupakan pasal yang bermuatan izin dari Pemerintah Indonesia bahwa terbuka untuk para inventor untuk mengajukan paten sederhana dengan ketentuan tersebut. 4). Pasal 7, Pasal 14, Pasal 6 ayat (3). Pasal 7 dan Pasal 14 merupakan izin terhadap hal yang umumnya di larang atau pengecualian. Pasal 7 menyatakan : Paten tidak diberikan untuk Invensi tentang: a. proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan berlaku, moralitas agama, ketertiban umum, atau kesusilaan; b. metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan; c. teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika; atau d. i. semua makhluk hidup, kecuali jasad renik; ii. proses biologis esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses biologis atau proses mikrobiologis.



atau yang yang



yang non-



Sedangkan Pasal 14 menyatakan : Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 tidak berlaku apabila pihak yang melaksanakan Invensi sebagai pemakai terdahulu melakukannya dengan menggunakan pengetahuan tentang Invensi tersebut dari uraian, gambar, atau keterangan lainnya dari Invensi yang dimohonkan Paten. Hak yang di peroleh dari Pasal 13 adalah hak prioritas dan pasal 14 merupakan pasal pengecualian dari hak prioritas tersebut. Pengecualian berikutnya yaitu pada pasal 16 ayat (3) dimana untuk kepentingan pendidikan, penelitian, percobaan, atau analisis sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang Paten. Pengecualian tersebut terhadap hak eksklusif dari hak paten. Masyarakat memiliki berbagai kepentingan dan kepentingan tersebut mengharuskan adanya ketertiban dari pengaturan agar berbagai kepentingan tidak saling bertabrakan dan merugikan orang lain, oleh karena itu, diperlukan suatu



242



tata (orde atau ordnung) yang berupa peraturan-peraturan yang menjadi pedoman bagi tingkah laku manusia yang mempunyai berbagai kepentingan dalam masyarakat. Tata disebut juga kaidah atau norma yang mengandung substansi sebagai berikut



225



: (1) Perintah yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk



berbuat sesuatu karena akibat-akibatnya dipandang baik; (2) Larangan merupakan keharusan bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu karena akibat-akibatnya dipandang tidak baik. Setiap undang-undang secara penting secara penting mengungkapkan : (1) Penjelasan tentang Subyek Hukum (siapa), (2) Penentuan Tindakan Hukum (apa). Terhadap kedua hal ini, apabila undang-undang tidak berlaku universal, perlu ini ditambahkan: (3) Penjelasan Kasus dimana tindakan hukum dibatasi, dan; (4) Persyaratan tentang pelaksanaan dimana tindakan hukumnya dibatasi. Hal ini masih berlaku bagi penyusun rancangan undang-undang untuk memusatkan perhatian pada unsur-unsur penting dari ―kalimat perundang-undangan‖. Apa, Siapa dan bila diperlukan, pada keadaan mana tindakan itu terjadi dan persyaratan apa yang memicu tindakan tersebut. Setiap kalimat perundang-undangan mengandung Siapa dan Apa; hanya beberapa yang mengharuskan penyusun rancangan undang-undang untuk menentukan kasus dan persyaratannya226. Sepanjang menyangkut herbal di Indonesia, terdapat tiga pihak utama yang akan terpengaruh perundang-undangan paten, yaitu masyarakat Indoneia dengan keperluan dan kebutuhan kesehatan mereka, Industri obat herbal dan perusahaan farmasi internasional yang kegiatan utamanya adalah penelitian/riset (dan



225 226



Sri Harini Dwiyatmi, Pengantar Hukum Indonesia, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2006), halaman 4 Ann Seidman, dkk, diterjemahkan oleh : Johannes Usfunan, dkk., Penyusunan Rancangan Undangundang Dalam Perubahan Masyarakat yang Demokratis : Sebuah Panduan Untuk Pembuat Rancangan Undang-undang, (USA : ELIPS II, 2002), halaman 291



243



merupakan inventor pertama dari sebagian besar obat farmasi baru), Sistem paten merupakan titik temu dari berbagai kepentingan yaitu227 : (1) Kepentingan pemegang paten; (2) Kepentingan para investor dan saingannya; (3) Kepentingan para konsumen; (4) Kepentingan masyarakat umum. Mengenai pihak-pihak dalam kepentingan, Soetandyo lebih fokus bahwa dalam hukum hanya ada 3 macama kepentingan. Ada tiga macam kepentingan yang perlu diketahui, yaitu kepentingan individu, kepentingan umum (yaitu kepentingan badan-badan pemerintah sebagai pemilik harta kekayaan), dan kepentingan sosial (yaitu kepentingan untuk melindungi dan menegakkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi di dalam masyarakat228. Rumusan dalam UUP Tahun 2001, yang berupa pengaturan hak dan kewajiban pemegang paten229, yaitu : Pasal 16, Pasal 17 dan Pasal 18. Pemegang Paten memiliki hak : 1). Pemegang paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan paten yang dimilikinya, dan melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya : a. dalam hal Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberiPaten; b. dalam hal Paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a. 2). Pemegang paten berhak memberikan lisensi kepada orang lain berdasarkan surat perjanjian lisensi. 3). Pemegang paten berhak menggugat ganti rugi melalui pengadilan negeri setempat, kepada siapapun yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 di atas. 4). Pemegang paten berhak menuntut orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak pemegang paten dengan melakukan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 di atas. 227



228



229



Tim Lindsey, dkk, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, (Bandung : Alumni,2006), halaman 185. Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya, (Jakarta : Huma, 2002), halaman 47. Pemegang Paten dapat juga bertindak selaku investor yang mendapatkan hak paten dari inventor.Lihat subjek dari paten.



244



Hak merupakan norma yang kompleks dan berprioritas dengan identifikasi pemilik, penanggung jawab, kondisi kepemilikan, dan ruang lingkup. Hak disebabkan oleh cirinya yang wajib maka dapat dituntut atau di klaim oleh pemilik-pemiliknya dan juga oleh pihak-pihak lain. Hak yang ditetapkan secara tetap akan mampu memberikan pedoman yang tepat bagi perilaku manusia. Kapasitas ini membuatnya bermanfaat dalam segi hukum dan tepat untuk penegakan hukum. Konsep hak akan selalu berpasangan dengan kewajiban, dalam hal ini pemegang paten tidak hanya memiliki hak tetapi juga memiliki kewajiban yang harus dipenuhi. Pemegang paten memiliki kewajiban antara lain yaitu230 : (1) Pemegang paten wajib membayar biaya pemeliharaan yang disebut biaya tahunan; (2) Pemegang paten wajib melaksanakan patennya di wilayah Negara RI, kecuali apabila pelaksanaan paten tersebut secara ekonomi hanya layak bila dibuat dengan skala regional dan ada pengajuan permohoanan tertulis dari pemegang paten dengan disertai alasan dan bukti-bukti yang diberikan oleh instansi yang berwenang dan disetujui oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Ketentuan kewajiban ini dimaksudkan untuk menunjang adanya alih teknologi,



penyerapan



invensi,



penyediaan



lapangan



kerja



dengan



dilaksanakannya paten melalui pembuatan produk. Sedangkan yang dimaksud dengan biaya tahunan (anual fee) adalah biaya yang harus dibayarkan oleh pemegang paten secara teratur untuk setiap tahun. Istilah ini dikenal juga di beberapa negara sebagai biaya pemeliharaan (maintenance fee)231. Obat-obatan termasuk obat herbal yang mendapatkan hak paten harganya menjadi mahal karena salah satu komponennya adalah untuk biaya paten.



230 231



Lihat Hadi Setia Tunggal, Op.cit, halaman 20. Lihat pula Imam Sjahputra, Loc.cit, halaman 96. Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, (Bandung : Bani Quraisy, 2004), halaman 139.



245



Negara (dalam hal ini Pemerintah) turut memiliki kepentingan dimana dasar pemikiran memungkinkan pemerintah untuk berperan aktif dalam pengaturan mengenai paten dengan ditempatkannya paten tidak hanya semata-mata untuk perlindungan terhadap invensi tetapi dalam rangka mewujudkan iklim yang lebih baik bagi timbul dan berkembangnya kegiatan penelitian yang menghasilkan invensi dan pengembangan teknologi yang sangat diperlukan dalam pembangunan nasional. Peranana pemerintah terhadap paten tampak dari kewsjiban untuk menerima pendaftaran invensi di Kantor Paten dan juga melaksanakan penelusuran dan pemeriksaan terhadap permintaan akan hak paten. Kehadiran



hukum



dalam



masyarakat



diantaranya



adalah



untuk



mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa bertubrukan satu sama lain itu oleh hukum diintegrasikan sedemikian rupa sehingga tubrukan-tubrukan itu bisa ditekan sekeil-kecilnya. Pengorganisasian kepentingan-kepentingan itu dilakukan dengan membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan tersebut. Lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi kepentingan di lain pihak232. Hukum melindungi kepentingan seseorang melalui cara mengalokasikan suatu kewenangan atau kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam memenuhi kebutuhannya. Pengalokasian dilakukan secara terukur, dalam pengertian ditentukan keluasaan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang tergolong sebagai hak. Oleh karena itu, tidak setiap kewenangan dalam masyarakat itu dapat disebut hak, melainkan hanya kewenangan tertentu saja, yaitu yang diberikan oleh hukum kepada seseorang.



232



Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung :Citra Aditya Bakti, 2000), halaman 53.



246



Peraturan perundang-undangan sebagai bagian utama dari hukum tertulis pada umumnya dipergunakan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebagai salah satu instrumen kebijakan pemerintah (negara) peraturan perundang-undangan berfungsi untuk menyelesaikan masalah yang ada atau yang diperkirakan akan ada (antisipasi) dan/atau mengatur kepentingan masyarakat233. Kepentingan masyarakat dalam UU Paten 2001 terlihat dalam fungsi sosial dalam UU Paten itu sendiri. Sama dengan hak atas benda lainnya, tidak ada hak yang dapat digunakan tanpa batas. Suatu hak haruslah menjalankan fungsi sosial. Ini adalah asas yang dianut oleh hukum benda234. Oleh karena itu, terhadap hak paten juga berlaku asas ini. Hak Paten haruslah menjalankan sosialnya, karena sewaktu-waktu ia dapat menjadi milik publik, melalui ketentuan masa berlakunya. Hal ini berarti setiap orang (masyarakat) bebas untuk menggunakan paten tersebut tanpa meminta izin dari pemilik paten dan halini tidak dianggap pelanggaran hakatas paten. Dengan kata lain bila jangka waktu paten berakhir, maka akan hapuslah hak atas paten tersebut. Kaedah



adalah



patokan



atau



ukuran



ataupun



pedoman



untuk



berperikelakuan atau bersikap tindak dalam hidup. Kaedah ditinjau dari bentuk hakekatnya, merupakan perumusan suatu pandangan (―oordeel‖) mengenai perikelakuan atau sikap tindak.235 Pencedaran terhadap sekalian norma/kaidah tersebut akan berdampak pada tercederanya keharmonisan dan ketertiban hidup masyarakat yang bersangkutan. Keharmonisan dan ketertiban perlu tetap dijaga 233



HAS Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta : Konstitusi Press dan Tatanusa, 2008), halaman x. 234 Lihatlah misalnya Pasal 570 KUHPerdata yang membatasi penggunaan hak milik, Pasal 6 UUPA yang membatasi penggunaan hak-hak atas tanah, demikian juga Pasal 27 UU No. 7 Tahun 1987, Pasal 10 (3) UU No.6 Tahun 1982. 235 Purwadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung : Alumni, 1979), halaman 14.



247



sebagai tujuan dari kaidah hukum yang telah dirumuskan. Penjagaan tersebut tidak dapat dipungkiri akan terdapat paksaan-paksaan agar masyarakat dapat terwujud harmonis dan tertib. Jika ―paksaan‖ yang didefinisakan di sini merupakan satu unsur hukum, maka norma-norma yang dibentuk suatu tata hukum mesti norma-norma yang menetapkan tindakan yang bersifat memaksa, yakni suatu sanksi236. Sanksi diberikan oleh tata hukum dengan maksud untuk menimbulkan perbuatan tertentu yang dianggap dikehendaki oleh pembuat undang-undang. Sanksi hukum memiliki karakter sebagai tindakan memaksa237. Undang-undang paten tidak luput akan sanksi yaitu sanksi selain hukuman pidana juga terdapat sanksi perdata. Sanksi diberikan manakala terjadi pelanggaran dari kaidah/norma.



Undang-Undang



paten



memasukkan



pengaturan



tindakan



pelanggaran paten ke dalam bagian ketentuan pidana. Oka Mahendra memberikan penjelasan terhadap pernyataan ini. ―Maksud ketentuan itu adalah sekalipun paten merupakan hak milik perorangan, tetapi pelaksanaannya memiliki dampak yang sangat luas dalam segi lain terutamadi bidang tatanan kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Oleh karena itu, agar pelaksanaan hak tersebut dapat berlangsung dengan tertib, negara juga mengancan pidana atas pelanggaran tertentu terhadap undang-undang ini238. Tindakan pelanggaran paten (dalam hal ini paten produk) merugikan banyak orang, tidak hanya pemilik atau pemegang paten, tetapi juga masyarakat luas sebagai konsumen produk tersebut. Masalah pelanggaran paten produk menyangkut kepentingan publik sehingga perlu dilindungi dengan sanksi pidana. Rumusan dalam UUP Tahun 2001, yang berupa pelanggaran di bidang Paten, ada beberapa Pasal yang terkait sebagai berikut :



236



237 238



Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif, Alih bahasa Somardi, (Remidi Press, 1995), halaman 43. Ibid, 49. Oka Mahendra, Op.cit., halaman 105.



248



1. Pasal 16 ayat (1) Pemegang Paten memiliki hak eksekutif untuk melaksanakan Paten yang dimilikinya dan melarang pihak lainnya yang tanpa persetujuannya : a. Dalam hal Paten Praduk :membuat,menggunakan,menjual mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten; b. Dalam hal Paten Proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana yang dimaksud huruf a. 2. Pasal 16 ayat (2) dalam hal Paten Proses, larangan terhadap pihaklain yang tanpa persetujuannya melakukan impor sebagaimana dimaksud pada aya t(1) hanya berlaku terhadap impor produk yang semata-mata dihasilkan dari penggunaan Paten proses yang dimilikinya. 3. Pasal 16 ayat (3) dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) apabila pemakaian Paten tersebut untuk kepentingan pendidikan, penelitian, percobaan, atau analisis sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pemegang Paten. 4. Pasal 25 ayat (3) terhitung sejak tanggal penerimaan kuasanya, Kuasa wajib menjaga kerahasiaan invensi dan seluruh dokumen permohonan sampai dengan tanggal diumumkannya permohonan yang bersangkutan. 5. Pasal 40 selama masih terkait dinas aktif hingga selama satu tahun sesudah pensiun atau sesudah berhenti karena alasan apapun dari Direktorat Jenderal, Pegawai Direktorat Jenderal atau orang yang karena tugasnya bekerja untuk dan atas nama Direktorat Jenderal, dilarang mengajukan permohonan memperoleh Paten, atau dengan cara apapun memperoleh hak atau memegang hak yang berkaitan Paten, kecuali apabila pemilikan paten itu diperoleh karena pewarisan. 6. Pasal 41 terhitung sejak tanggal penerimaan, seluruh aparat Direktorat Jenderal atau orang yang karena tugasnya terkait dengan tugas Direktorat Jenderal wajib menjaga kerahasiaan invensi dan seluruh dokumen permohonan sampai dengan tanggal diumumkannya permohonan yang bersangkutan. Undang-undang selalu mengandung norma-norma hukum yang diidealkan (ideal norma) oleh suatu masyarakat ke arah cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat



dan



bernegara



hendak



diarahkan.



Undang-undang



dapat



digambarkan sebagai cermin dari cita-cita kolektif suatu masyarakat tentang nilainilai luhur dan filosofis yang hendak diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui pelaksanaan undang-undang yang bersangkutan dalam kenyataan.



249



Sanksi bagi pelanggaran tindak pidana di bidang Paten akan dikenakan ketentuan pidana sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang RI Nomor14 Tahun 2001 sebagai berikut :



Pasal 130 : Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak Pemegang Paten dengan melakukan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 131 : Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak Pemegang Paten Sederhana dengan melakukan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh jutarupiah). Pasal 132 : Barangsiapa dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3), Pasal 40, dan Pasal 41 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun. Pasal 133 : Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130, Pasal 131, dan Pasal 132 merupakan delik aduan. Pasal 134 : Dalam hal terbukti adanya pelanggaran Paten, hakim dapat memerintahkan agar barang-barang hasil pelanggaran Paten tersebut disita oleh Negara untuk dimusnahkan. Pasal 135 : Dikecualikan dari ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini adalah: a. mengimpor suatu produk farmasi yang dilindungi Paten di Indonesia dan produktersebut telah dimasukkan ke pasar di suatu negara oleh Pemegang Paten yangsah dengan syarat produk itu diimpor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. memproduksi produk farmasi yang dilindungi Paten di Indonesia dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya perlindungan Paten dengan tujuan untuk proses perizinan kemudian melakukan pemasaran setelah perlindungan Paten tersebut berakhir. Sifat eksklusif dalam Paten berarti pemilik paten adalah satu-satunya pihak yang berhak mengeksploitasi invensi yang dipatenkan itu. Akibatnya, jika ada pihak lain yang tanpa persetujuan pemilik paten, turut mengeksplorasi invensi



250



yang dipatenkan itu, selama jangka waktu paten berlaku, maka pihak tersebut adalah pihak yang bertanggungjawab atas tindakan pelanggaran paten itu. Tindakan pelanggaran paten tidak selalu menghasilkan keuntungan ekonomi bagi pelaku pelanggaran paten. ‖Membuat‖, ‖Menggunakan‖, ―Mengimpor‖, tidak mendatangkan keuntungan bagi pelaku pelanggaran paten secara langsung, tetapi perbuatan-perbuatan itu memang termasuk kegiatan mengeksploitasi invensi yang dipatenkan. Oleh karena itu, meskipun tidak mendatangkan keuntungan ekonomi secara langsung kepada pelaku, tetap dikatakan melakukan pelanggaran paten karena tetap saja melanggar teritori hak eksklusif pemilik paten yang sah. Undang-Undang Paten No. 14 Tahun 2001 selain mengatur mengenai pelanggaran juga mengatur mengenai cara pembatalan hak atas paten ini dengan tiga cara, yaitu paten yang batal demi hukum, pembatalan paten atas permintaan pemegang paten dan pembatalan karena gugatan. Pasal 88 Undang-Undang Paten No.14 Tahun 2001, menyatakan bahwa paten dinyatakan batal demi hukum apabila Pemegang Paten tidak memenuhi kewajibannya membayar biaya tahunan dalam waktu yang ditentukan dalam undang-undang ini. Batalnya paten demi hukumtersebut diberitahukan secara tertulis oleh Kantor Paten kepada pemegang paten dan pemegang lisensi paten, dan mulai berlaku sejak tanggal pemberitahuan tersebut (Pasal 88 UU Paten No. 14 Tahun 2001). Paten yang batal demi hukum tersebut dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten. Pembatalan paten atas permintaan pemegang paten diatur dalam Pasal 89 Undang-Undang Paten No. 14 Tahun 2001. Paten dapat dibatalkan oleh Kantor



251



Paten untuk seluruhnya atau sebagian atas permintaan pemegang paten yang diajukan secara tertulis kepada Kantor Paten. Pasal 90 menegaskan bahwa suatu paten dapat dibatalkan karena gugatan. Gugatan ini dapat dilakukan dalam hal paten tersebut seharusnya tidak dapat diberikan menurut ketentuan Pasal 2 dan 7 UU Paten No. 14 Tahun 2001. Gugatan tersebut dapat diajukan oleh pihak ketiga kepada pemegang paten melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ketentuan Pasal 95 UU Paten No.14 Tahun 2001, pembatalan paten menghapus segala akibat hukum dan hak-hak lainnya yang berasal dari paten tersebut. Beberapa pasal yang terdapat dalam UU Paten Indonesia, tidak ada satu pasalpun yang mengatur secara khusus dan menyebut secara tegas mengenai proteksi herbal berbasis TK, namun demikian, ada beberapa Pasal yang memiliki keterkaitan yang erat dengan proteksi herbal berbasis TK. Secara garis besar dapat di analisis bahwa beberapa Pasal dalam UU Paten 2001 yang berkaitan dengan proteksi produk herbal berbasis TK yaitu terlihat dalam tabel di bawah ini : Tabel 7: Pasal dalam UUP yang Terkait Dengan Proteksi Herbal Berbasis TK No



Pasal Dalam UUP



Keterkaitan



1.



Pasal 1 Angka 1



Teknologi herbal berbasis TK pada dasarnya dapat di berikan hak eksklusif oleh negara berupa hak paten.



2.



Pasal 2 dan Pasal 5



Herbal berbasis TK dapat diberikan hak paten jika memenuhi syarat yang telah ditetapkan berdasarkan UUP yaitu syarat Novelty, (Inventive Step), Industrial Applicability.



3.



Pasal 3



invensi yang akan didaftarkan hak paten tidak boleh sama dengan teknologi yang



252



diungkapkan sebelumnya yang disebut state of the art atau prior art, yang mencakup baik literatur paten maupun bukan literatur paten. Penentuan apakah sebuah invensi memenuhi syarat baru atau tidak, ditentukan oleh dua indikator berdasarkan UU Paten Indonesia yaitu ―literatur Paten‖ maupun ―bukan Literatur Paten‖. Data base TK dapat dijadikan sebagai bukan literatur paten. 4.



Pasal 45 ayat (1)



Setiap pihak dapat mengajukan secara tertulis pandangan dan/atau keberatannya atas Permohonan yang bersangkutan dengan mencantumkan alasannya. Masyarakat Indonesia dapat mengajukan keberatan terhadap invensi yang didaftarkan paten yang ternyata berasal dari TK masyarakat Indonesia, khususnya bagi pihak asing yang telah mendaftarakan invensi tersebut.



5.



Pasal 91 ayat (1)



Pasal ini memungkinkan untuk pihak ketiga mengajukan gugatan pembatalan paten karena invensi tersebut tidak memenuhi syarat yang telah ditetapkan dalam UUP, khususnya adalah syarat novelty.



Sumber : Hasil Penelitian yang telah diolah Kajian terhadap prinsip-prinsip dasar dari Paten dalam undang-undang Paten yaitu : (1) Prinsip paten sebagai hak eksklusif Konsep paten menempatkan hak eksklusif sebagai inti dari hak paten. Hak eksklusif berarti hak yang bersifat khusus. Kekhususan terletak pada kontrol hak yang hanya ada di tangan inventor atau pemegang hak paten. Prinsip kepemilikan paten sebagai hak eksklusif, artinya hukum paten memberikan yang bersifat khusus kepada orang yang terkait langsung dengan



253



invensi



yang dihasilkan. Melalui hak tersebut, pemegang hak dapat



mencegah orang lain untuk membuat, menggunakan atau berbuat tanpa ijin. Hak eksklusif artinya hak yang hanya diberikan kepada Pemegang Paten untuk jangka waktu tertentu guna melaksanakan sendiri secara komersial atau memberikan hak lebih lanjut untuk itu kepada orang lain. Dengan demikian, orang lain dilarang melaksanakan Paten tersebut tanpa persetujuan Pemegang Paten. Prinsip paten sebagai hak eksklusif merupakan bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh negara untuk inventor agar dapat menikmati invensinya. Paten adalah hak eksklusif atau hak hukum untuk mencegah pihak ketiga dari membuat, menggunakan, atau menjual setiap invensi yang dikonstruksi dalam klaim paten. Hak eksklusif ini merupakan pemberian negara sebagai imbalan hasil kerja keras inventor dalam membuat invensinya. Ketentuan mengenai hak eksklusif terdapat dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 16 ayat 1. Pasal 16 ayat 1 telah jelas menyatakan bahwa Pemegang Paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Paten yang dimilikinya dan melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya. Undang-undang Paten Indonesia menempatkan hak eksklusif ini sebagai isu inti dalam hal terjadinya pelanggaran. Pasal 16 UU Paten Indonesia memberikan inventor hak eksklusif untuk mengeksploitasi invensinya dan mengalihkan atau mengkuasakan kepada orang lain untuk mengeksploitasinya. Berdasarkan undang-undang, terminologi eksploitasi ini mencakup produk dan proses paten.



254



Produk herbal berbasis TK yang telah mendapatkan hak paten maka si inventor atau pemegang hak tersebut memiliki hak eksklusif dan melarang pihak lain termasuk masyarakat (pemilik TK) untuk menggunakan hak eksklusif tersebut tanpa izin pemegang hak. Perusahaan-perusahaan obat/farmasi memiliki hak eksklusif atas invensi obat yang telah dihasilkan. Hak eksklusif tersebut sebagai reward yang diberikan oleh negara atas kerja keras perusahaan tersebut dalam menghasilkan invensi obat tersebut. Perusahaan farmasi yang mengambil TK milik masyarakat dan melakukan R&D atas TK tersebut sehingga dapat memnuhi syarat untuk mendapatkan hak paten. Perusahaan obat besar akan menempuh berbagai cara untuk melindungi keuntungan dan paten obat mereka. Perusahaan obat sangat bergantung pada dukungan yang disediakan oleh sektor publik (pendidikan, R&D, dan subsidi) dan kemudian mengambil semua keuntungannya. (2) Prinsip paten diberikan untuk invensi yang baru, mengandung langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri. Paten diberikan untuk invensi yang memenuhi syarat novelty (baru), inventif step (mengandung langkah inventif) dan industrial applicable (dapat diterapkan dalam industri). Ketentuan mengenai syarat novelty terdapat dalam Pasal 3 dan Pasal 4, sedangkan ketentuan mengenai inventif step terdapat dalam Pasal 2 dan ketentuan mengenai syarat industrial applicable terdapat dalam Pasal 5. Invensi produk herbal berbasis TK biasanya tidak dapat memenuhi unsur kebaruan dan langkah inventif yang dipersyaratkan dalam UU Paten Indonesia, sehingga hal ini sulit untuk didaftarkan dan sekaligus dengan tidak



255



dapat didaftarkannya invensi produk herbal berbasis TK



ini, maka



perlindungan hukum pun menjadi tidak ada. (3) Prinsip fist to file Paten diberikan atas dasar permohonan. Setiap permohonan hanya dapat diajukan untuk satu invensi atau beberapa invensi yang merupakan satu kesatuan invensi (Pasal 20 dan 21 UU Paten Indonesia). Prinsip perlindungan terhadap paten diberikan kepada inventor berdasarkan pendaftaran, artinya perlindungan hukum terhadap invensi mensyarakatkan adanya kewajiban melakukan pendaftaran. Tanpa melakukan pendaftaran inventor/pemegang hak tidak dapat menuntut pihak lain yang menggunakan invensinya. (4) Prinsip Perlindungan paten yang dibatasi oleh batasan teritorial. Prinsip pendaftaran bersifat teritorial, artinya perlindungan hukum hanya diberikan di wilayah teritorial dimana invensi didaftarkan. Hak paten berlaku teritorial. Secara umum, hak eksklusif ini hanya berlaku di negara atau wilayah di mana paten telah diajukan dan diberikan, sesuai dengan hukum negara atau wilayah yang bersangkutan. Paris Convention menerapkan prinsip National Treatment seperti yang tertera dalam Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut : Nationals of any country of the Union shall, as regards the protection of industrial property, enjoy in all the other countries of the Union the advantages that their respective laws now grant, or may hereafter grant, to nationals; all without prejudice to the rights specially provided for by this Convention. Consequently, they shall have the same protection as the latter, and the same legal remedy against any infringement of their rights, provided that the conditions and formalities imposed upon nationals are complied with. Adanya prinsip ‗national treatment‘ ini berarti bahwa (1) bangsa dari negara anggota Union memiliki hak yang sama dalam perlindungan HKI; (2)



256



untuk mendapatkan hak yang sama, pemohon harus memenuhi persyaratan yang berlaku sesuai UU negara setempat. Paten mengatur bahwa pendaftaran yang melahirkan perlindungan hukum bersifat territorial, artinya perlindungan hukum hanya diberikan ditempat pendaftaran tersebut dilakukan. Pasal 24 ayat (1) UU Paten menegaskan bahwa permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat Jenderal. (5) Prinsip Monopoli Terbatas. Hak paten merupakan hak monopoli terbatas atas teknologi yang digambarkan dalam dokumen paten, kepada inventor yang pertama kali dan mempublikasikan invensi yang memberikan kontribusi bagi kemajuan teknologi dan industri. Hak paten menawarkan monopoli kepada pengembang atas produk atau proses yang bermanfaat. Hak paten secara efektif memberikan inventornya monopoli yang terbatas pada produksi, penggunaan, atau penjualan invensi tersebut. Undang-undang Paten Indonesia memberikan batasan bahwa tidak semua invensi dapat dipatenkan. Pasal 7 UU Paten memberikan batasan beberapa hal mengenai invensi yang tidak dapat diberi hak paten. Paten diberikan tidak untuk selamanya dan hanya berlaku dalam jangka waktu yang terbatas. Monopoli yang berikan kepada inventor atau pemegang hak hanya bersifat terbatas. Setelah jangka waktu hak paten berakhir maka paten akan berubah menjadi public domain sehingga setiap orang dapat memproduksi atau membuat invensi yang telah berakhir perlindungan patennya.



257



Hak Paten memiliki prinsip monopoli tetapi terbatas hanya 20 tahun. Hak paten akan berlaku selama 20 tahun dari sejak pertama kali didaftarkan. Pasal 8 dengan jelas menegaskan bahwa Paten diberikan untuk jangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang. Pasal 9 menentukan bahwa paten sederhana diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang. Paten obat herbal berbasis TK memiliki prinsip monopoli terbatas. Masyarakat akan dapat menggunakan obat herbal berbasis TK yang telah habis perlindungan patennya. Paten obat herbal berbasis TK yang masih dalam masa perlindungannya maka masih memiliki hak monopoli yang terbatas jangka waktunya 20 tahun untuk paten biasa dan 10 tahun untuk paten sederhana. (6) Prinsip Keadilan (Fairness). Prinsip keadilan (fairness) dalam implementasi perlindungan paten. Prinsip ini juga telah diterapkan dalam hukum paten. Hak eksklusif yang diberikan negara kepada inventor pada hakekatnya adalah bentuk perlindungan hukum, agar inventor dapat menikmati invensinya. Imbalan tersebut oleh negara diberikan dalam bentuk hak eksklusif dengan monopoli terbatas. Kondisi ini dengan jelas inventor atau pemegang hak paten memiliki hak yang tertera dalam Pasal 16 UU Paten dan Pasal 69 UU Paten. Prinsip keadilan juga selayaknya diterapkan pada perusahaan asing yang telah memanfaatkan TK masyarakat Indonesia sebagai basis data awal untuk melakukan R&D yang pada akhirnya dapat menghasilkan invensi yang diberi



258



hak paten. Perlu dipahami bahwa setiap invensi produk herbal berbasis TK dihasilkan dari proses penelitian. Penelitian biasanya melibatkan data. Data inilah yang diambil dari masyarakat lokal berupa TK dibidang obat-obatan. Intinya bahwa tidak menutup kemungkinan invensi tersebut dihasilkan atau dikembangkan dari pengetahuan tradisional milik masyarakat tertentu. Penelitian di bidang farmasi yang tidak jarang menghasilkan invensi di bidang obat-obatan. Seorang inventor bidang farmasi tidak jarang menggunakan berbagai sumber tentang teknologi pengobatan maupun sumber atau bahan baku obat-obatan. Pencarian sumber itu dapat dilakukan sendiri melalui eksplorasi atas pengetahuan atau teknologi yang terkait, atau dapat dilakukan pula dengan cara mengembangkan lebih lanjut teknologi yang sudah ada sebelumnya. Termasuk di dalamnya menggunakan pengetahuan obat obatan tradisional sebagai basis data awal. 2. UUD NRI Tahun 1945 Dasar hukum pembuatan UU Paten 2001 yaitu Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 33 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.Dasar hukum pembuatan UU Paten 2001 selain UUD yaitu Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564). Penggunaan dasar hukum UUD NRI Tahun 1945 merupakan konsepsi bangsa Indonesia mengenai sistem paten yang sesuai dengan Pancasila dan UUD dan sekaligus memperhatikan nilai-nilai hukum universal dan institusi hukum modern yang dikembangkan di negara-negara maju. Dasar hukum merupakan



259



suatu landasan yang bersifat yurdis bagi pembentukan Peraturan Perundangundangan tersebut. Peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum hanya Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) merupakan dasar hukum yang bersifat logis dalam proses pembentukan UU Paten, dimana kewenangan berada pada Presiden sebagai hak mengajuan rancangan dan DPR sebagai lembaga legislatif. Bunyi dari Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) yaitu : Pasal 5 ayat (1) : Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 20 ayat (2) : Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Dasar hukum UU Paten selain Pasal 5 dan Pasal 20 adalah Pasal 33. Pasal 33 merupakan dasar hukum yang berkaitan dengan perekonomian negara Indonesia. UU Paten 2001 melandaskan pada Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 dimana kekuatan UU Paten pada terwujudnya kesejahteraan rakyat. Pasal 33 (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal mengenai perekonomian yang berada pada Bab XIV UUD 1945 yang berjudul ―Kesejahteraan Sosial‖. Kesejahteraan sosial adalah bagian tak terpisahkan dari cita-cita kemerdekaan. Pasal 33 ayat (1), (2),



260



(3), (4), dan (5) Undang-undang Dasar 1945, secara jelas menyiratkan bahwa penguasaan perekonomian terkait hasil kekayaan alam harus berpatok kepada kepentingan bersama dan untuk kemakmuran rakyat yang berasaskan kepada keadilan. Pengutamaan kemakmuran masyarakat dan bukan kemakmuran orangseorang Unsur ini merupakan ciri dari kepribadian Indonesia asli, sebagai watak kesatria, yang mengutamakan kepentingan orang banyak dari pada kepentingan pribadi. Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 memberikan makna bahwa pengertian dikuasai bukan berarti dimiliki, melainkan suatu pengertian yang mengandung kewajiban dan wewenang dalam hukum publik. Di era globalisasi, landasan hukum ekonomi Indonesia yaitu Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945 tetap harus diperlukan dan dipertahankan. Secara pemahaman sederhana bahwa tanpa landasan hukum ekonomi, sistem ekonomi Indonesia tidak akan terlaksana dan berdiri hingga saat ini, dan sebagai bangsa yang berjiwa nasionalis sebaiknya kita perlu mempertahankan landasan hukum ekonomi dengan asas kekeluargaannya karena landasan hukum tadi mengemban amanat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diantaranya untuk kesejahteraan masyarakat. Perekonomian untuk kesejahteraan merupakan tuntutan masyarakat untuk diwujudkan oleh negara. Kehidupan ekonomi dari tiap orang dalam masyarakat menurut Roscoe Pound239 meliputi empat tuntutan, yaitu : (1) tuntutan untukmenguasai harta benda, kekayaan alam yang kepadanya bergantung penghidupan manusia; (2) tuntutan terhadap kebebasan industri dan berkontrak; (3) tuntutan terhadap keuntungankeuntungan yang dijanjikan; (4) tuntutan supaya terjamin terhadap campur tangan orang lain yang mengganggu hubungan perekonomian. 239



Roesco Pound, diterjemahkan oleh Moh. Radjab, Pengantar Filsafat Hukum, (Jakarta : Bhatara, 1963), halaman 136.



261



Perkembangan perlindungan paten yang disatu sisi membawa dampak yang sangat baik dalam perkembangan teknologi, sehingga mempermudah manusia memenuhi kebutuhannya dalam segala aspek kehidupan baik berupa sarana maupun berupa prasarana. Di sisi lain perlindungan paten juga membawa dampak yang baik bagi investor sehingga lebih banyak lagi invensi-invensi yang dihasilkan, yang pada gilirannya juga akan menjamin investasi dan penanaman modal, sehingga dengan investasi tersebut teknologi makin berkembang dan hal tersebut akan memacu perkembangan perekonomian yang mana pada akhirnya bermuara pada kesejahteraan umat manusia. Perlindungan paten diberikan dalam rangka memberikan penghargaan dan pengakuan terhadap hasil investasi atau karya seseorang dalam bidang tekhnologi, penghargaan dan pengakuan tersebut bagi investor atau pemegang paten sangat penting karena dapat merangsang investor untuk berkarya lebih banyak lagi dan juga bagi pemegang paten perlindungan tersebut menjamin haknya baik untuk melakukan karya-karya investor tersebut sudah barang tentu akan mendukung pengembangan segala aspek kehidupan pada akhirnya akan membawa kesejahteraan kepada umat manusia. Pasal lain yang berkaitan dengan proteksi herbal berbasis TK yaitu Pasal 18 B ayat (2), Pasal 28 C ayat (1) dan (2), Pasal 28 I ayat (3), Pasal33 dan Pasal 34 ayat (3).Pasal 18 B ayat (2) :Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.



262



Kurang lebih 350 juta penduduk dunia adalah masyarakat adat (indigenous people)240. Sebagaian besar hidup di daerah-daerah terpencil. Mereka terdiri dari kurang lebih 5000 masyarakat yang menyebar mulai dari masyarakat hutan (forest people) di Amazon hingga masyarakat suku (tribul people) di India dan merentang dari suku Inuit di Arktika hingga masyarakat Aborigin di Australia. Pada umumnya mereka menduduki dan mendiami wilayah yang sangat kaya mineral dan sumber daya alam lainnya. Bahkan menurut The World Conservation Union (1997), dari sekitar 6000 kebudayaan di dunia, 4000 – 5000 diantaranya adalah masyarakat adat, berarti sekitar 80 persen dari semua masyarakat budaya dunia241. Indonesia merupakan negara yang luas dengan jumlah penduduk yang besar dengan berbagai latar belakang, Indonesia memiliki potensi ekonomi dari kebudayaan, pengetahuan tradisional dan sumberdaya hayati. Berbagai kekayaan intelektual antara lain berupa sistem pertanian dan kerajinan, aneka ragam hayati dan pelestariannya, obat-obatan dan pengobatan, kesenian dan peralatan musik, motif pakaian dan arsitektur bangunan dan aneka ragam makanan242. Negara berdasarkan Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 selayaknya mengakui adanya hak-hak tradisional masyarakat termasuk pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia pada obat-obatan tradisional. Tanaman yang digunakan untuk pengobatan tumbuh dalam kultur pengobatan masyarakat berabad-abad sebelum obat-obatan modern ditemukan. Tanaman obat merupakan bentuk pengobatan dan secara turun temurun mengalir sebagai warisan budaya dalam 240



241



242



Dalam tulisan ini, indigenous people, tribul people, dan native people diterjemahkan sebagai ―masyarakat adat‖. Penggunaan istilah-istilah yang terkait dengan indigenous people ini, yang hingga sekarang sering dipakai secara simpang siur. Rafael Edy Bosko, Hak-Hak Masyarakat Adat, Dalam Konteks Pengelolaan Sumber daya Alam, (Jakarta : Elsam, 2006), halaman 2. BPHN, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Non Trade Issues Dalam Perjanjian Internasional di Bidang Perdagangan, (Jakarta : BPHN, 2004), halaman 73.



263



masyarakat Indonesia. Kemampuan meracik tumbuhan berkhasiat obat dan jamu merupakan warisan turun temurun dan mengakar kuat di masyarakat. Tumbuhan yang merupakan bahan baku obat tradisonal tersebut tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pengetahuan tanaman obat dari semula diyakini diturunkan dari generasi sebelumnya, saat ini berpindah kepada para ilmuwan yang secara konsisten berupaya memanfaatkan warisan budaya tanaman obat dengan memberikan dasar ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penelitian dan pengembangan. Pasal 28 C ayat (1) : Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Individu-Individu atau warga-warga masyarakat secara pribadi senantiasa harus berusaha untuk memperbaiki nasibnya. Dia harus berikhtiar untuk memanfaatkan alam sekelilingnya dengan hati-hati, untuk sebanyak mungkin memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok atau dasarnya. Selain dari itu, maka dia seyogyanya berkarya untuk mempertinggi mutu karya tersebut, serta tidak selalu tergantung pada warga-warga lainnya dan senantiasa berorientasi ke masa depan. Di dalam melakukan karya, hendaknya manusia tidak berorientasi pada status dan keuntungan karya tersebut, akan tetapi pada mutu hasilnya atau peranannya. Pasal 28C ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 berkaitan erat dengan pengaturan paten karena paten terjadi dari hasil olah kemampuan intelektual manusia yang memperoleh manfaat dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai invensi atau invensi dibidang teknologi baru yang memiliki langkah inventif, dan diterapkan dalam bidang industri. Oleh karena itu, suatu hal yang wajar apabila



264



negara memberikan perlindungan kepada (para) inventor atau pemegang hak invensi agar invensi atau patennya itu dapat meningkatkan kualitas hidup dan tingkat kesejahteraannya. Pencantuman pasal itu merupakan pengakuan Negara Republik Indonesia bahwa perlindungan hak asasi manusia juga mencakup perlindungan terhadap pemegang paten. Indonesia telah mengimplementasikan sistem paten melalui Undang-Undang Paten. Pasal 28 C ayat (2) : Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Di era globlisasi yang semakin maju dan meningkat sangat pesat tentu banyak persaingan dalam teknologi. Negara-negara maju maupun negara-negara berkembang bersaing untuk meningkatkan kesejahteraanan rakyatnya masingmasing. Peningkatan kualitas hidup dan demi kesejahteraan umat manusia, inovasi dalam teknologi merupakan suatu bentuk yang efektif dalam menyikapi perubahan dunia. Perkembangan zaman yang semakin canggih saat ini menuntut setiap manusia untuk dapat meningkatkan kualitas hidupnya apabila ingin bertahan. Pada era globalisasi hampir semua negara memberikan perlindungan secara universal terhadap kekayaan-kekayaan hukum universal. Pengaturan perlindungan hukum kekayaan-kekayaan intelektual sebagai bagian dari sistem hukum, sangat erat dikaitkan dengan industri, perdagangan dan investasi, pendek kata dikaitkan dengan dunia usaha. Indonesia sebagai negara yang memiliki sumber daya alam dan sumber daya generik dan berbagai keanekaragaman hayati yang melimpah, pentingnya peran teknologi merupakan hal yang tidak terbantah. Perkembangan tekhnologi tersebut belum mencapai sasaran yang diinginkan, dalam arti perkembangan teknologi



265



belum dimanfaatkan secara berarti dalam kegiatan ekonomi, sosial dan budaya, sehingga belum memperkuat kemampuan Indonesia dalam rangka menghadapi persaingan global. Negara Indonesia yang masih tergolong negara berkembang perlu membangun masyarakatnya agar dapat ‗survive‘ khususnya di era globalisasi. Kekayaan alam yang melimpah merupakan modal dasar untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Banyaknya pengetahuan tradisional yang dimiliki sejak bangsa Indonesia hadir merupakan aset yang perlu dilindungi secara kolekif (bersama). Upaya perlindungan tidak hanya merupakan tugas negara tetapi juga merupakan tugas masyarakat juga. Negara menjamin akan upaya untuk memperjuangkan hak masyarakat demi terwujudnya tujuan Negara Indonesia. Tahun 1999 dalam suatu kongres di Jakarta, seorang anggota organisasi non pemerintah mengangkat permasalahan yang dialami suku Dayak Benueq yang memiliki pengobatan tradisional dari jenis tanaman tertentu. Kemudian ada beberapa peneliti asing yang memasuki wilayah mereka, menanyakan beberapa hal berkaitan dengan tanaman tersebut, membawa tanaman tersebut ke negaranya dan dikembangkan lebih lanjut menjadi obat untuk penyakit kanker243. Penyalahgunaan sumber daya kenaekaragaman hayati biasanya dilakukan melalui sistem paten maupun pengambilan informasi tanpa izin dengan tujuan komersial. Melihat kasus tersebut negara harus mengupayakan perlindungan bagi suku Dayak mendapatkan haknya secara kolektif yang merupakan kepemilikan dari jenis tanaman (sumber daya hayati) tersebut. Hak berikutnya yang dilindungi oleh negara yaitu terdapat dalam Pasal 28 I ayat (3).



243



Ibid



266



Pasal 28 I ayat (3) : Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Indonesia memiliki potensi kekayaan alam, pengetahuan tradisional dan budaya yang terdapat di seluruh wilayah Indonesia, tetapi kekayaan yang besar itu akan mengalami masa pasang surut, bila tidak diinteraksikan kepada generasi penerus. Pada kenyataannya dewasa ini tidak sedikit kekayaan akan TK yang mengalami dan mengarah pada kepunahan. Generasi muda tidak lagi memahami kebudayaannya sehingga dapat mengarah pada lunturnya identitas mereka. Jelas di dalam UUD 1945 bahwa masyarakat dijamin atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta hak atas identitas buaya dan hak masyarakat tradisional termasuk hak masyarakat atas TK dibidang obat tradisional (herbal), demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia, serta jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Pasal lain yang merupakan tangung jawab negara yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat yaitu penyediaan fasilitas kesehatan umum yang layak. Dasar normatif dari tanggung jawab negara yaitu pada Pasal 34 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Pasal 34 ayat (3) : Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Penyediaan pelayanan umum yang dimaksud tidak luput dari pelayanan kesehatan masayarakat akan kebutuhan obat herbal. Survei Kesehatan Rumah Tangga, yang dilakukan oleh tim dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan, bahwa obatobat tradisional telah banyak dipakai dalam masyarakat. Pembuatan dan penggunaan obat obat-obat tradisional ini telah dilakukan secara turun-temurun.



267



Dalam kehidupan sehari-hari diketahui bahwa jamu, yaitu ramuan dari bahan tumbuh-tumbuhan, baik yang dibuat secara tradisional di rumah-rumah, maupun yang dibuat oleh Industri-industri jamu, banyak digunakan bahkan mulai diekspor ke luar negeri244. Terlebih lagi, negara Indonesia dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan secara lebih luas dan merata, sekaligus mengembangkan warisan budaya bangsa, perlu terus dilakukan penggalian, penelitian, pengujian dan pengembangan obat-obat serta cara pengobatan tradisional. Disamping itu perlu terus didorong langkah-langkah pengembangan budi daya tanaman obatobatan tradisional yang secara medis dapat dipertanggungjawabkan



245



. Kondisi



masyarakat Indonesia yang lebih banyakenggunakan herbaldari pada obat modern (farmasi) dilatarbelakangi banyak hal, diantaranya herbal merupakan warisan masyarakat Indonesia dan merupakan obat yang telah turun temurun digunakan oleh masyarakat Indonesia. Selain itu, harga yang ‗melambung tinggi‘ pada obat modern (farmasi) serta daya beli asyarakat Indonesia yang masih lemah. Kondisi ini sangat berbeda dengan kondisi masyarakat di negara-negara maju, dimana daya beli masyarakat pada negara-negara maju relatif mampu. Kondisi setiap negara tidak sama terutama negara-negara berkembang (developing counties) dan negara-negara yang tergabung least developed countries (negera-negara terbelakang) perlindungan patennya membawa konsekuensi lain terhadap kesejahteraan masyarakat tersebut, terutama karena teknologi tersebut (paten) pada umumnya datang dari negara maju, terutama yang paling dirasakan dalam kebutuhan dibidang farmasi khususnya obat-obatan, dimana persediaannya



244



245



BPHN, Laporan Analisiadan Evaluasi Hukum Tentang Perlindungan Dan Pengawasan Terhadap Pemakaian Obat Tradisional, (Jakarta : BPHN, 1993/1994), halaman 24 Kebijakan Pemerintah yang tertulis dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1988, halaman 87,ayat f



268



terbatas dan harganya relatif cukup mahal, bagi masyarakat kedua golongan tersebut, sekalipun dalam traktat-traktat dan konvensi-konvensi internasional sebelumnya sudah diatur mekanisme untuk mendapatkan akses obat yang mudah dan terjangkau baik melalui mekanisme lisensi wajib maupun melalui mekanisme pelaksanaan paten oleh pemerintah, ketentuan tersebut belum dapat mengatasi permasalahan tersebut di negara dimaksud, mengingat kemampuan untuk memproduksi obat terutama pada negara-negara terbelakang yang tidak mampu untuk memproduksi obat sendiri. Tabel 8 : Pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 yang Terkait dengan Proteksi Herbal Berbasis TK No



Pasal Dalam UUD NRI Tahun 1945



Keterkaitan



1.



Pasal 18 B ayat (2)



2.



Pasal 28 C ayat (1) dan (2).



Setiap orang berhak mengembangkan TK dan mengambil manfaat dari itu.



3.



Pasal 28 I ayat (3)



Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Dalam hal ini termasuk identitas terhadap TK masyarakat Indonesia terkait dengan obat tradisional.



4.



Pasal 33



Landasan struktur ekonomi yang di citakan dengan persamaan tujuan paten yaitu untuk mensejahterakan rakyat.



5.



Pasal 34 ayat (3)



Negara memiliki kewajiban untuk menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kesehatan akan obat



Pengakuan dan penghormatan negara Indonesia terhadap hak-hak tradisional masyarakat termasuk pengetahuan terhadap obat-obatan tradisional. untuk termasuk



269



tradisional/herbal. Sumber : Hasil Penelitian yang telah diolah 3. UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Negara Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah yang harus dilindungi, dipelihara, dilestarikan, dan dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat perlu diberi dasar hukum yang jelas untuk menjamin kepastian hukum bagi usaha pengelolaan tersebut. UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati memiliki tujuan untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian Sumber Daya AlamHayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Untuk mendukung terwujudnya tujuan tersebut maka ditetapkan bahwa Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistemnya menjadi tanggungjawab dan kewajiban pemerintah dan masyarakat. UU No. 5 Tahun 1990 memiliki 3 misi yaitu perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara lestari. Tumbuh-tumbuhan/tanaman sebagai bahan dari ramuan obat tradisional merupakan kekayaan alam hayati yang harus dilestarikan untuk mencegah kepunahan. Departemen Kesehatan RI mendefenisikan tanaman obat Indonesia seperti yang tercantum dalam SK Menkes No. 149/SK/Menkes/IV/1978, yaitu : (1) Tanaman atau bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan obat tradisional atau; (2) Tanaman atau bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan pemula bahan baku obat (precursor); (3) Tanaman atau bagian tanaman yang diekstraksi dan ekstrak tanaman tersebut digunakan sebagai obat.



270



Aspek hukum mengenai sumber daya alam hayati dimana tumbuhtumbuhan sebagai ramuan obat tradisional termasuk didalamnya, secara umum diatur dengan Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang selanjutnya disebut dengan UUKH. Pasal 2 UUKH : ― Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan dan pemantapan sumber dayaalam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang‖. Penjelasan pasal tersebut berbunyi : ‖Pada dasarnya semua sumber daya alam termasuk sumber daya alam hayati harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat dan umat manusia sesuaidengan kemampuan dan fungsinya. Namun, pemanfaatannya harus sedemikian rupa sesuai dengan undang-undang ini sehingga dapat berlangsung secara lestari untuk masa kini dan masa depan. Pemanfaatan dan pelestarian seperti tersebut diatas harus dilaksanakan secara serasi dan seimbang sebagai perwujudan dari asas konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.‖ Dengan demikian terlihat bahwa pelestarian tanaman sebagai bahan ramuan obat tradisional harus dicegah dari kepunahan agar kesejahteraan umat manusia sebagai bagian dari ekosistem dapat terjaga sehingga lebih jauh manusia dapat terhindar dari penderitaan. Melestarikan obat tradisional sebagai kekayaan intelektual dari generasi ke generasi berarti mengandung tanggungjawab tidak hanya pada kekayaan intelektual tersebut saja, namun lebih jauh terkandung kewajiban untuk menjaga keseimbangan ekosistem dengan melestarikan tanaman sebagai ramuan obat tradisional. Tujuan konservasi tercantum dalam Pasal 3 UUKH ―Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya



271



kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.‖ Penjelasan Pasal 3 menyatakan: ―Sumber daya alam hayati merupakan unsur ekosistem yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Namun keseimbangan ekosistem harus tetap terjamin‖. Pengelolaan tanaman obat untuk ramuan obat tradisional harus dilakukan dengan bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaan tanaman langka untuk obat tradisional dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Tujuan dari pengelolaan tanaman obat tradisional terutama yang langka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Pengelolaan tanaman obat tradisional secara bijaksana merupakan tanggungjawab dan kewajiban bersama antara pemerintah dan masyarakat. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 UUKH yang menyatakan bahwa : ―Konservasi



sumber



daya



alam



hayati



dan



ekosistemnya



merupakan



tanggungjawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat‖. Usaha pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada hakekatnya merupakan usaha pengendalian/pembatasan dalam pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sehingga pemanfaatan tersebut dapat dilakukan seara terus menerus pada masa mendatang. Usaha dan tindakan konservasi tanaman obat tradisional untuk menjamin keanekaragaman jenisnya agar tanaman obat tradisional terutama yang langka



272



tidak punah dengan tujuan agar unsur tanaman obat tradisional berfungsi dalam alam dan agar senantiasa siap untuk sewaktu-waktu dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat dan untuk meningkatkan mutu kehidupan manusia. Urgensi pelestarian dari tanaman obat tradisional agar tidak punah juga diatur dalam Pasal 11 UUKH berbunyi sebagai berikut : ―Pengawasan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dilaksanakan melalui kegiatan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; pengawetan jenis tumbuhan dan satwa‖. Usaha dan tindakan untuk menjaga agar tanaman obat tradisional yang langka dilakukan agar tidak terjadi kepunahan sehingga akan mengganggu keseimbangan ekosistem yang tentu saja akan merugikan kehidupan manusia. Proteksi pada keanekaragaman jenis tumbuhan diatur dalam Undang-undang. Obat tradisional merupakan ramuan obat-obatan yang diwariskan turuntemurun, dari generasi ke generasi. Banyak obat tradisional belum dilakukan penelitian atau uji klinis, tetapi telah digunakan oleh masyarakat Indonesia secara turun temurun. Obat Obat tradisional yang merupakan warisan turun temurun sehingga sulit untukmengetahui siapakah sebenarnya yang menemukan ramuan obat tradisional.Siapa penemu obat tradisional tidaklah menjadi persoalan yang penting jika dilihat dari segi manfaat dan kegunaan dari obat tradisional tersebut. Segi yuridis berkata lain, apabila kita akan bicara tentang perlindungan dari hak kekayaan intelektual masyarakat dalam kaitannya dengan obat tradisional, maka mengenai subyek atau penemu dari obat tradisional ini menjadi penting. Hak atas kekayaan intelektual dari segi hukum mmberikan hak atas perlindungan hukum khususnya tentang paten bagi para inventor. Perlindungan HKI khususnya melalui



273



paten sangat penting karena dengan adanya perkembangan kehidupan yang berlangsung cepat, terutama di bidang perekonomian baik ditingkat nasional maupun internasional. Pemberian perlindungan ini sangat penting dalam rangka mewujudkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya kegiatan penelitian yang menghasilkan invensi dan pengembangan teknologi yang sangat diperlukan



dalam



pelaksanaan



pembangunan



nasional



yang



bertujuan



menciptakan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, maju dan mandiri berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Melihat peran pemerintah dalam upaya konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya maka perlu dilihat rumusan dalam pasal 4 UUKH. Pasal 4 menyatakan ―Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat‖. Penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, dimana kawasan-kawasan alami baik berupa kawasan konservasi maupun kawasan produksi, selama dikelola dengan memperhatikan kelestarian keanekaragaman hayati akan menjadi sumber kekayaan genetik untuk pengembangan usaha budidaya termasuk tumbuhan obat, Hasil kegiatan budidaya tumbuhan obat akan menjadi sumber bahan baku untuk industri biofarmaka246. Peran pemerintah dalam membuat kebijakan dan aturan serta peran masyarakat dalam upaya pengelolaan sangat dibutuhkan demi kelangsungan dan tercapainya tujuan tersebut. Upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan serta pemanfaatan 246



Samedi, Kepentingan Negara Berkembang Terhadap Hak Atas Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetika dan Pengetahuan Tradisional, (Depok : Lembaga Pengkajian Hukum Internasional FH UI, 2005), halaman 155.



274



secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kebutuhan akan bahan baku tanaman obat tidak akan terpenuhi manakala upaya konservasi tidak dilakukan sedini mungkin. Upaya konservasi ini yang diamanatkan oleh Pasal 5 UUKH. Pemanfaatan jenis tumbuhan dapat dilaksanakan dalam bentuk budi daya tanaman obat-obatan. Peran serta pemerintah dalam konservasi sumber daya alamhayati sangat diperlukan, namun tetap membutuhkan peran serta masyarakat. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa pada prinsipnya banyak keterkaitan antara UUKH dengan upaya proteksi Herbal berbasis TK. Keterkaitan ini dapat di lihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 9 : Pasal dalam UU No. 5 Tahun 1990 yang Terkait dengan Proteksi Herbal Berbasis TK No



Pasal Dalam UU No.5 Tahun 1990



Keterkaitan



1.



Pasal 2



Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan dan pemantapan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang.



2.



Pasal 3



―Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.



3.



Pasal 4



―Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat‖.



4.



Pasal 5



Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: (a) perlindungan sistem penyangga



275



kehidupan; (b) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya ; (c) pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 5.



Pasal 11



Pengawasan keanekaragaman tumbuhan beserta ekosistemnya dilaksanakan melalui kegiatan pengawetan keanekaragaman tumbuhan beserta ekosistemnya.



5.



Pasal 36 ayat (1)



Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilaksanakan dalam bentuk: (a) pengkajian, penelitian dan pengembangan; (b) penangkaran; (c) perburuan; (d) perdagangan; (e) peragaan; (f) pertukaran; (g) budidaya tanaman obat-obatan; (h) pemeliharaan untuk kesenangan.



6.



Pasal 37 ayat (1) dan (2).



(1) Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna. (2) Dalam mengembangkan peran serta rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dikalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan.



Sumber : Hasil Penelitian yang telah diolah 4. UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan CBD Indonesia melakukan ratifikasi mengenai ketentuan CBD yaitu dalam UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan CBD. CBD merupakan instrumen internasional yang mengakui bahwa konservasi keanekaragaman hayati adalah



276



kepentingan bersama umat manusia dan merupakan bagian integral dari pembangunan berkelanjutan. Setiap negara memiliki hak berdaulat dan bertanggung jawab atas sumber daya hayatinya termasuk dalam hal ini sumber daya hayati di bidang tanaman obat herbal. Indonesia adalah negara yang memiliki sumber daya hayati berupa tanaman obat yang sangat melimpah. Indonesia merupakan salah satu pemilik sumber daya keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jenis tumbuhan, plama nutfah, keanekaragaman genesis dan juga pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia. Alam Indonesia sangat kaya dengan berbagai jenis tanaman obat dan tidak ada penyakit yang tidak bisa disembuhkan dengan obat herbal Indonesia, hanya saja belum sempurnanya penelitian para ahli mengenai tanaman obat di Indonesia. Manfaat yang diperoleh Indonesia sebagai negara pihak dari konvensi Keanekaragaman hayati antara lain



247



: (a) Penilaian dan pengakuan dari



masyarakat internasional bahwa Indonesia peduli atas keanekaragaman hayati dan pengakuan ketentuan yang berlaku di negara masing – masing anggota atas sumber daya alam hayati yang dimilikinya; (b) Mendorong untuk mendapatkan leuntungan bersama yang dihasilkan dari pendayagunaan sumber daya genetik Republik Indonesia pada pertemuan–pertemuan konvensi keanekaragaman hayati; (c) Kepentingan untuk melindungi sumberdaya megabiodiversiti. Konvensi CBD ini telah membuktikan bahwa adanya pengakuan masyarakat internasional terhadap keanekaragaman hayati dan pengetahuan tradisional yang tertuang dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD, Convention on Biological Diversity, 247



http://bk.menlh.go.id/?module=pages&id=konv, Balai Kliring Keanekkaragaman Hayati, Konvensi Keanejaragaman Hayati, diakses tanggal 21 Januari 2014.



277



1992). Dalam rangka melestarikan keanekaragaman hayati, memanfaatkan setiapunsurnya secara berkelanjutan, dan meningkatkan kerjasama internasional dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi guna kepentingan generasi sekarang danyang akan datang, Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Jeniro, Brazil, pada tanggal 3 sampai 14 Juni 1992 telah menghasilkan komitmen internasional dengan ditandatangani United Nations Convention on Biological Diversity oleh sejumlah besar negara di dunia, termasuk Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati. Tanggung Jawab negara yang meratifikasi konvensi keanekaragaman hayati adalah : (a) Mengembangkan strategi nasional untuk konservasi dan pembangunan berkelanjutan keanekaragaman hayati; (b) Menetapkan kawasan lindung, memperbaiki ekosistem yang rusak, mengendalikan species asing dan menetapkan fasilitas konservasi ex-Situ; (c) Melaksanakan program pelatihan dan penelitian untuk perlindungan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan; (d) Meningkatkan pendidikan dna kesadaran masyarakat mengenai perlindungan dan pemanfaatan berkelanjutan; (e) Melaksanakan analisis mengenai dampak



lingkungan



sebelum



dilaksanakan



kegiatan/proyek



yang



dapat



mengurangi keanekaragaman hayati; (f) Mengakui hak pemerintah untuk mengatur akses terhadap sumber genetiknya dan apabila dimungkinkan memberikan pihak lain akses terhadap sumber daya genetik untuk pemanfaatan yang ramah lingkungan; (g) Mendorong transfer teknologi dan bioteknologi khususnya kepada negara berkembang; (h) Menetapkan pertukaran informasi antar pihak mengenai seluruh subjek yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati; (i) Meningkatkan kerjasama teknis dan ilmiah antar pihak untuk



278



memungkinkan para pihak untuk melaksanakan konvensi keanekaragaman hayati; (j) Menjamin keuntungan negara yang menyediakan sumber daya genetik mempunyai akses terhadap keuntungan yang berasal darinya; (k) Menyediakan sumber keuangan kepada negara berkembang untuk memungkinkan mereka melaksanakan ketentuan yang terdapat dalam konvensi keanekaragaman hayati; (l) Pemanfaatan berkelanjutan dari komponen – komponen keanekaragaman hayati248. Indonesia boleh dikatakan negara terbesar kedua dalam penggunaan herbal, termasuk ragam herbalnya di dunia. Kekayaan keanekaragaman hayati herbal pertama di kawasan hutan Amazon, Amerika Latin. Studi keputakaan menyebutkan, herbal dipergunakan jauh sebelum metode kedokteran modern berkembang di Tanah Air.249 Konvensi Keanekaragaman Hayati terinspirasi oleh komitmen yang tumbuh di masyarakat dunia terhadap mengenai pembangunan berkelanjutan. keanekaragaman



Hal



ini



hayati,



merupakan pemanfaatan



langkah secara



maju



dalam



konservasi



berkelanjutan



komponen-



komponennya, dan pembagian yang adil dan merata dari keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan sumber daya genetik. Tujuan dari diratifikasinya konvensi PBB mengenai Keanekaragaman hayati ini adalah untuk menempatkan Indonesia secara yuridis dalamkerangka kerjasama regional dan internasional dalam rangka memelihara keanekaragaman hayati dunia agar berkelanjutnya proses evolusi serta terpeliharanya keseimbangan ekosistem dan sistem kehidupan biosfir.Tujuan konvensi menurut Pasal 1 Konvensi adalah konservasi 248



http://bk.menlh.go.id/?module=pages&id=konv, Balai Kliring Keanekkaragaman Hayati, Konvensi Keanekaragaman Hayati, diakses tanggal 21 Januari 2014. Lihat pula Pasal 6 dan Pasal 10 UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan CBD. 249 Edi Dharmana, Herbal Boleh, Penanganan Medis Jangan Dilupakan, (Suara Merdeka, Minggu, 16 Juni 2013.



279



keanekaragaman hayati, pemanfaatan komponen-komponen secara berkelanjutan dan membagi keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaan sumber daya genetik secara adil dan merata,termasuk melalui akses yang memadai terhadap sumber daya genetik dan dengan alih teknologi yang tepat guna, dan dengan memperhatikan semua hak atas sumber-sumber daya dan teknologi itu,maupun dengan pendanaan yang memadai. Prinsip dalam konvensi keanekaragaman hayati adalah bahwa setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber – sumber daya hayati sesuai dengan kebijakan pembangunan lingkungannya sendiri dan mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan – kegiatan yang dilakukan di dalam yurisdiksinya tidak menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain atau kawasan di luar batas yuridiksi nasional250. Oleh Karena itu tiap negara wajib untuk melakukan kerjasama internasional dengan pihak lain untuk melakukan konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati tanpa menyalahi kedaulatannya. Keanekaragaman hayati memberikan dukungan yang luar biasa dalam hal ketersediaan sumber daya alam terkait dengan tanaman obat. Penelitian lebih lanjut mengenai obat akan mendukung adanya invensi obat untuk kesehatan manusia. Keanekaragaman Hayati juga memberikan kontribusi untuk masyarakat dalam pemanfaatan keanekaragaman hati tersebut sebagai mata pencaharian



250



Lihat Pasal 4 UU No. 5 Tahun 1994. Pasal 4 ini mengenai lingkup kedaulatan negara anggota, dimana mengakui hak-hak Negara-Negara lain, dan kecuali dengan tegas ditetapkan berbeda dalam Konvensi ini, ketentuan-ketentuan dalam Konvensi ini berlaku, terhadap masing-masing Pihak: (a) Dalam hal komponen keanekaragaman hayati, ialah yang terdapat di dalam batas-batas yurisdiksi nasionalnya; dan (b) Dalam hal proses dan kegiatan, ialah yang dilaksanakan di bawah yurisdiksi atau pengendaliannya, di dalam atau di luar batas nasionalnya, tanpa memperhatikan tempet terjadinya akibat proses atau kegiatan tersebut.



280



maupun memanfaatkan keanekaragaman hayati untuk obat-obatan tradisional dan modern. Pemanfaatan terhadap keanekaragaman hayati harus diseimbangkan dengan upaya konservasinya. Inilah mandat dari UU No. 5 Tahun 1994. Sumber daya alam yang dimiliki bangsa Indonesia akan mengalami krisis, jika tidak dikelola dengan bijak. Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya manusia perlu seimbang, agar bangsa Indonesia mampu mengendalikan kerusakan. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang tadinya menjadi sumber kekuatan ekonomi menjadi berkurang karena sudah mengalami perubahan. Oleh karena itu, jika generasi penerus tidakpeduli lagi terhadap pelestarian alam,maka manusia yang menghuni alam tersebut tidak memiliki lagi acuan bagi kehidupandi sekitarnya.



Pemerintah



terus



berupaya



untuk



mengendalikan



kerusakan



lingkungan meskipun upaya tersebut dinilai sebagian masyarakat masih kurang optimal. Pasal 8 Huruf J memberikan kelonggaran bagi negara anggota CBD untuk membuat undang-undang nasional yang berupaya untuk menghormati, melindungi dan



mempertahankan



pengetahuan,



inovasi-inovasi



dan



praktik-praktik



masyarakat asli dan lokal yang mencerminkan gaya hidup yang berciritradisional, sesuai dengan konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan memajukan penerapannya secara lebih luas dengan persetujuan dan keterlibatan pemilik pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik-praktik tersebut semacam itudan mendorong pembagian yang adil keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik-praktik semacam itu. Kebolehan tersebut seharusnya dapat diperhatikan oleh negara Indonesia yang



281



memiliki banyak TK dan keaneakagaman hayati. Pengetahuan tradisonal yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia baik yang berasal dari masyarakat asli yang telah turun temurun atau pengetahuan tradisional yang berkembang dengan berbagai campuran buadaya yang ada di Indonesia251. Mandat dari Pasal 8 Huruf J selain adanya undang-undang nasional yang dapat melindungi TK juga memberikan peluang untuk adanya pembagian keuntungan (benefit sharing) dari pendayagunaan TK dari pihak asing. Terbitnya Pasal 8 Huruf J dilatarbelakangi oleh ketimpangan yang terjadi antara negara maju dengan negara berkembang dimana negara berkembang memiliki sumber daya alam hayati dan TK yang berlimpah tetapi memiliki kekurangan akan teknologi, dana, dan SDM. Kekurangan-kekurangan tersebut merupakan kelebihan atau keunggulan dari negara-negara maju yang minim akan kekayaan hayati dan TK. Isu tersebut masuk dan menjadi salah satu isu global. Negara berkembang banyak yang harus menghadapi berbagai isu global, yang pada dasarnya lebih banyak didengungkan oleh negara-negara maju. Isu global mengenai traditional knowledge, obat-obatan, kekayaan hayati, dll. Negara berkembang tidak diberi kesempatan menikmati hasil sumber hayatinya sendiri karena kemampuan teknologi yang masih terbatas atau dibatasi. Negara maju pada kenyataannya merupakan penyebab kerusakan lingkungan hidup tetapi mereka justru lebih banyak menikmati kekayaan alam yang dimiliki negara berkembang252. Ini merupakan persoalan yang dijawab dengan hadir Pasal 8 J.



251



Pengetahuan tradisional berbeda dengan pengetahuan asli karena sifatnya lebih luas. Pengetahuan tradisional merupakan bagian tradisi budaya yang dapat dipengaruhi oleh budaya lain, sedangkan pengetahuan asli menunjuk obyek pengetahuan yang dimiliki dan dipertahankan oleh masyarakat asli di daerah tertentu. 252 Abdul, Irsan, Indonesia di Tengah Pusaran Globalisasi (Jakarta : Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), halaman 148.



282



Pasal lain yang terkait dengan proteksi herbal berbasis TK yaitu Pasal 10. Pasal ini lebih menekankan pada pertimbangan konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan sumber daya alam hayati ke dalam pengambilan keputusan nasional negara; Melindungi dan mendorong pemanfaatan sumber daya alam hayati yang sesuai dengan praktik-praktik budaya tradisional, yang cocok dengan persyaratan konservasi atau pemanfaatan secara berkelanjutan; Melindungi dan mendorong pemanfaatan sumber daya alam hayati yang sesuai dengan praktikpraktik budaya tradisional, yang cocok dengan persyaratan konservasi atau pemanfaatan secara berkelanjutan; Mendukung penduduk setempat untuk mengembangkan danmelaksanakan upaya perbaikan kawasan yang rusak, yang keanekaragaman hayatinya telah berkurang; Mendorong kerja sama antara pejabat-pejabat pemerintah dan sektor swasta dalam mengembangkan metode pemanfaatan secara berkelanjutan sumber daya alam hayati. Tersimpul dalam ketentuan Pasal 10 di atas bahwa upaya konservasi dilakukan dengan tujuan yaitu : pertama, sumberdaya alam harus dimanfaatkan secara bijaksana agar dapat memberikan manfaat secara berkesinambungan dari generasi ke generasi. Kedua, Pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan dengan tetap melestarikan kemampuan lingkungan hidup sehingga generasi mendatang tetap mempunyai pilihan penggunaan bagi upaya peningkatan kesejahteraan dan mutu hidupnya, Ketiga, Generasi sekarang memikul kewajiban terhadap generasi mendatang, bahwa generasi mendatang akan tetap mempunyai sumber dan penunjang hidupnya yang sejahtera dengan mutu yang setinggitingginya253. Secara keseluruhan maka Pasal-pasal yang terkait dengan proteksi 253



Syamsul Arifin, Hukum Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia, (Jakarta : Sofmedia, 2012), halaman 34.



283



herbal berbasis TK dalam UU No. 5 Tahun 1994 dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 10 : Pasal dalam UU No.5 Tahun 1994 yang Terkait dengan Proteksi Herbal Berbasis TK No 1.



Pasal Dalam UU No. 5 Tahun 1994 Pasal 1



2.



Pasal 4



3.



Pasal 5



4.



Pasal 6



5.



Pasal 8 huruf J



6.



Pasal 10



Keterkaitan Tujuan dari UU ini dimana adanya pembagian keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaan sumber daya genetik secara adil dan merata, termasuk melalui akses yang memadai terhadap sumber daya genetik dan dengan alih teknologi yang tepat guna, dan dengan memperhatikan semua hak atas sumber-sumber daya dan teknologi itu, maupun dengan pendanaan yang memadai. Konvensi ini mengakui hak-hak Negara-Negara lain, dalam hal komponen keanekaragaman hayati dan proses kegiatannya dengan cara pengendalian di dalam maupun di luar batas nasional suatu negara. Kerjasama internasional untuk konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati. Tindakan umum bagi konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan dimana negara wajib mengembangkan strategi, rencana atau program nasional untuk konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati atau menyesuaikan strategi, rencana atau program yang sudah ada. Negara anggota CBD memiliki kewenangan untuk mengadakan uu nasional dalam hal menghormati, melindungi dan mempertahankan pengetahuan, inovasiinovasi dan praktik-praktik masyarakat asli dan lokal yang mencerminkan gaya hidup yang berciri tradisional, sesuai dengan konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan memajukan penerapannya secara lebih luas dengan persetujuan dan keterlibatan pemilik pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik-praktik tersebut semacam itu dan mendorong pembagian yang adil keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik-praktik semacam itu. Pertimbangan konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan sumber daya alam hayati ke dalam pengambilan keputusan nasional negara; Melindungi dan mendorong pemanfaatan sumber daya alam hayati yang sesuai dengan praktik-praktik budaya tradisional, yang cocok dengan persyaratan konservasi atau pemanfaatan secara berkelanjutan; Melindungi dan mendorong



284



pemanfaatan sumber daya alam hayati yang sesuai dengan praktik-praktik budaya tradisional, yang cocok denganpersyaratan konservasi atau pemanfaatan secara berkelanjutan; Mendukung penduduk setempat untuk mengembangkan danmelaksanakan upaya perbaikan kawasan yang rusak, yang keanekaragaman hayatinya telah berkurang; Mendorong kerja sama antara pejabat-pejabat pemerintah dan sektor swasta dalam mengembangkan metode pemanfaatan secara berkelanjutan sumber daya alam hayati. Sumber : Hasil Penelitian yang telah diolah 5. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Bidang kesehatan merupakan pilar penting dalam pembangunan SDM dan ketahanan nasional Indonesia. Sampai saat ini tantangan yang dihadapi dalam bidang kesehatan cukup besar, antara lain254 : (1) Pendekatan kesehatan secara holistik yang berbasis kesatuan kinerja mind-body sebagai upaya penyehatan otak untuk mencegah berbagai penyakit belum dilaksanakan dengan benar dan baik; (2) Incidence Rate dan Case Fatality Rate penyakit infeksi dan menular (DBD, Malaria, HIV/AIDS, TBC) dan beberapa penyakit tidak menular serta degeneratif (jantung, hipertensi, stroke, kanker) yang masih tinggi; (3) Masalah kecukupan gizi di beberapa wilayah dan kelompok masyarakat dan double burden (gizi kurang dan gizi lebih) yang belum teratasi; (4) Kualitas pelayanan kesehatan yang masih rendah karena keterbatasan ketersediaan peralatan kesehatan, obat dan tenaga kesehatan; (5) Tingkat kemandirian di bidang kesehatan yang masih rendah, terutama ketergantungan Bahan Baku Obat (BBO) dan Alat Kesehatan pada impor; (6) Penggunaan obat herbal dalam pelayanan kesehatan konvesional yang belum terintegrasi dengan baik; (7) Pemanfaatan teknologi mutakhir untuk pengembangan obat dan produk kesehatan lain, masih belum optimal seperti 254



Sambutan Menteri Riset dan Teknologi, Kemandirian Bidang Kesehatan, Pada Acara Workshop ―Kemandirian Bidang Kesehatan Melalui Sinergi Pusat Dan Daerah‖, Banjarmasin, 7 Nopember 2013.



285



pemanfaatan bioteknologi, biosimilar, protein rekombinan, rekayasa genetika, sel punca, nanoteknologi dan nutrigenomik. Pada dasarnya masalah kesehatan menyangkut semua segi kehidupan dan melingkupi sepanjang waktu kehidupan manusia, baik kehidupan masa lalu, kehidupan sekarang maupun masa yang akan datang. Tantangan-tantangan kehidupan di masa sekarang dan masa datang tercipta karena kehidupan masa lalu. Tantangan-tantangan yang dihadapi oleh Negara Indonesia dalam bidang Kesehatan merupakan bagian dorongan untuk mewujudkan pembangunan kesehatan yang lebih baik di Indonesia. Pembangunan kesehatan didasari oleh cita-cita bangsa Indonesia sebagai mana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam rangka mencapai cita-cita bangsa tersebut diselenggarakan pembangunan nasional di semua bidang kehidupan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh, terpadu dan terarah. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan hadir dan berlaku di masyarakat berupaya untuk mewadahi kebutuhan masyarakat akan kesehatan dengan segala daya dan upayanya. Pasal 2 UU Kesehatan menegaskan bahwa pembangunan kesehatan harus diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama. Pembangunan kesehatan harus memperhatikan berbagai asas yang memberikan arah pembangunan kesehatan dan dilaksanakan melalui upaya kesehatan sebagai beriktu : (1) asas perikemanusiaan yang berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dilandasi atas perikemanusiaan yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tidak membedakan golongan agama dan



286



bangsa; (2) asas keseimbangan berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dilaksanakan antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental serta antara materialdan spiritual; (3) asas manfaat berarti bahwa pembangunan kesehatan harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dan peri kehidupan yang sehat bagi setiap warga negara.; (4) asas perlindungan berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada pemberi dan penerima pelayanan kesehatan; (5) asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban berarti bahwa pembangunan kesehatan dengan menghormati hak dan kewajiban masyarakat sebagai bentuk kesamaan kedudukan hukum; (6) asas keadilan berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada semua lapisan masyarakat dengan pembiayaan yang terjangkau; (7) asas gender dan non diskriminatif berarti bahwa pembangunan kesehatan tidak membedakan perlakuan terhadap perempuan dan laki-laki; (8) asas norma agama berarti pembangunan kesehatan harus memperhatikan dan menghormati serta tidak membedakan agama yang dianut masyarakat. Berdasarkan asas-asas tersebut di atas maka pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Tujuan pembangunan kesehatan akan sulit dicapai oleh Indonesia yang memiliki permasalahan kesehatan yang semakin pelik, termasuk tujuh tantangan yang telah disebutkan oleh Menteri Riset dan Teknologi, Kemandirian Bidang Kesehatan.



287



Masyarakat dengan warga-warganya dalam kehidupan sehari-hari tidak mungkin terlepas dari masalah-masalah kesehatan dan persoalan-persoalan hukum. Kedua masalah tersebut dapat dilihat secara terpisah maupun secara terpadu, oleh karena kedua aspek tersebut mengambil peranan yang relatif besar di dalam memelihara dan mengembangkan sistem kemasyarakatan sebagai wadah maupun proses dari kehidupan bersama. Tujuh tantangan yang telah disebutkan di atas oleh Menteri Riset dan Teknologi, Kemandirian Bidang Kesehatan, diantaranya menyebutkan tantangan mengenai penggunaan obat herbal dalam pelayanan kesehatan konvesional yang belum terintegrasi dengan baik. Tantangan tersebut merupakan kenyataan bahwa obat herbal telah memiliki tempat tersendiri dalam upaya pelayanan kesehatan, namun belum secara maksimal terlaksana. Pasal 1 UU Kesehatan memberikan pengertian mengenai obat255 dan obat tradisional256. Obat dan obat tradisional memiliki perbedaan yang sangat signifikan, sehingga dalam UU Kesehatan menempatkan obat dan obat tradisional dalam posisi yang berbeda. Mengkonsumsi obat kimiawi memiliki efek langsung terhadap ginjal, oleh karena itu di kembangkanlah tanaman herbal yang murni berbahan dasar tanaman obat yang begitu banyak di Indonesia. Tentu semua makin valid jika dilakukan para ahli, yakni ahli farmasi dan kedokteran257. Indonesia kaya akan sumber bahan obat alam dan obat tradisional yang telah 255



256



257



Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Suara Merdeka, Memanfaatkan Tumbuhan di Puncak Lawu, Minggu,16 Juni 2013.



288



dipergunakan oleh sebagaian besar masyarakat Indonesia secara turun temurun. Keuntungan obat tradisional yang dirasakan langsung oleh masyarakat adalah kemudahan untuk memperolehnya dan bahan bakunya dapat ditanam di pekarangan sendiri, murah dan dapat diramu sendiri di rumah258. Hampir setiap orang Indonesia pernah menggunakan tumbuhan obat untuk mengobati penyakit atau kelainan yang timbul pada tubuh selama hidupnya, baik ketika masih bayi, kanak-kanak maupun setelah dewasa. Dan diakui serta dirasakan manfaat tumbuhan obat ini dalam menyembuhkan penyakit yang diderita atau meredakan kelainan yang timbul pada tubuh. Popularitas tanaman obat tetap besar di masyarakat karena manfaatnya secara langsung dapat dirasakan secara turun temurun, walaupun mekanisme kerjanya secara ilmiah masih belum banyak diketahui. Perbedaan antara obat dengan obat herbal/obat tradisional259 yaitu : Tabel 11: Perbandingan Obat Modern/Kimia dengan Obat Herbal No 1. 2. 258 259



Pembedaan Harga Efek Samping



Obat Modern/Kimia Obat Herbal Relatif Mahal Relatif Murah Memiliki efek samping Jika penggunaannya



Departemen Kesehatan RI, DitJen POM, 1983, Pemanfaatan Tanaman Obat, Jakarta. Herbal termasuk bahan tanaman mentah seperti daun, bunga, buah, biji, batang, kayu, kulit kayu, akar, rimpang atau bagian tanaman lainnya, yang mungkin seluruh, terfragmentasi atau bubuk. Bahan herbal yang baik yaitu dari seluruh tanaman atau bagian tanaman obat. Bahan herbal termasuk tumbuhan, jus segar, minyak asli, minyak esensial, resin dan bubuk kering herbal. Di beberapa negara, bahan-bahan ini mungkin diproses oleh berbagai prosedur lokal, seperti mengukus, memanggang, atau dicampur kue dengan madu, minuman beralkohol atau bahan lainnya. Obat herbal merupakan dasar untuk produk herbal dan dapat termasuk bahan dihaluskan atau bubuk herbal, atau ekstrak, sirup dan minyak lemak, mengungkapkan jus dan eksudat olahan bahan herbal. Diproduksi dengan bantuan ekstraksi, penyulingan, ekspresi, fraksinasi, pemurnian, konsentrasi, fermentasi atau proses fisik atau biologis lainnya. Mereka juga termasuk persiapan yang dilakukan oleh seduhan atau pemanasan herbal bahan dalam minuman beralkohol dan/atau madu, atau bahan lainnya. Produk obat yang mengandung zat aktif obat herbal secara eksklusif atau olahan obat herbal. Mereka mungkin terdiri dari obat herbal yang terbuat dari satu atau lebih herbal. Jika lebih dari satu ramuan yang digunakan, istilah produk herbal dicampur juga dapat digunakan. Mereka mungkin berisi bahan pembantu selain bahan aktif. Di beberapa negara obat-obatan herbal dapat mengandung, oleh tradisi, bahan-bahan organik atau anorganik alami aktif, yang tidak berasal dari tumbuhan (misalnya bahan hewan dan bahan mineral). Namun umumnya, produk jadi atau produk campuran yang zat aktif kimia tertentu telah ditambahkan, termasuk senyawa sintetis dan/atau konstituen terisolasi dari bahan herbal, tidak dianggap herbal. Lihat World Health Organization. WHO guidelines for assessing quality of herbal medicines with reference to contaminants and residues. Geneva: WHO, 2007. pp 4-6.



289



tersendiri



3.



Khasiat



4.



Uji Klinis



5



Ketersediaan



benar, obat tradisional atau tanaman obat tidak memiliki efek samping. Kalaupun ada, efek sampingnya relatif kecil. Obat kimia meredakan Efeknya lambat, tetapi gejala dalam waktu bersifat stimulan dan singkat atau efeknya konstruktif. cepat Telah melalui tahapan belum sampai tahap uji uji klinis. klinis.



Hampir seluruh obat Berasal dari kekayaan kimia yang digunakan alam Indonesia merupakan barang impor. Sumber : Hasil Penelitian yang telah diolah



Pengaruh



globalisasi



dan



kebijakan-kebijakan



dibidang



ekonomi,



teknologi,kebudayaan dan lingkungan hidup telah menjadi isu perdebatan yang melibatkan baiknegara-negara maju dan negara-negara berkembang. Globalisasi dan sifat-sifat multidimensi yang komplek telah berpengaruh pada kehidupan manusia dalam segala aspek termasuk bidang kesehatan, misalnya pelayananpelayanan kesehatan, persoalan keuangan dan atau secara tidak langsung pendapatan, pemerataan, lingkungan, dan kondisi kehidupan. Hak Kekayaan Intelektual atau Intelektual Property Right dalam upaya pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) merupakan faktor penting dalam iklim investasi (khususnya investasi di bidang kesehatan) dan pelaksanaannya akan meningkatkan kepercayaan pemegang dan inventor teknologi karena hak-hak mereka dilindungi. Perlindungan paten menjadi sumber yang sangat penting untuk memperoleh kompetensi yangtinggi untuk produk atau proses inovatif. Pasal 42 ayat (3) : Ketentuan mengenai teknologi dan produk teknologi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.



290



Pelayanan kesehatan dan sistem kesehatan sekarang ini menghadapi perubahan-perubahan yang dramatis dalam teknologi kesehatan. Perubahan ini akan mempengaruhi arah pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh penyedia pelayanan kesehatan dengan pasien atau pengguna layanan kesehatan. Perkembangan yang cepat dalam teknologi kesehatan memberikan keuntungan dan tantangan tersendiri dalam melakukan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Pelayanan akan kesehatan semakin hari akan terus mengalami peningkatan seiring dengan kemajuan teknologi khususnya teknologi di bidang kesehatan. Inovasiinovasi teknologi akan terus berkembang berupaya untuk memenuhi kebutuhankebutuhan manusia/masyarakat dalam hal pelayanan kesehatan. Inovasi teknologi kesehatan merupakan suatu proses yang saling terkait jarang mempunyai pengembangan teknologi yang merupakan garis lurus. Biasanya dimulai dengan pengenalan akan kebutuhan, dimana klinisi sebagai penyedia utama pelayanan kesehatan sebagai orang yang kemungkinan paling mengetahui apa yangdibutuhkan dan menyatakan masalah dalam konteks yang secara medis tepat260. Kebutuhan manusia (human need) timbul secara alami dari diri manusia untuk memenuhi segala sesuatu yang diperlukan dalam kehidupannya sebagai alat pemuas kebutuhan hidupnya dalam kaitannya dalam pelayanan kesehatan. Penggunaan teknologi kesehatan harus tepat dan tidak menimbulkan kerugian bagi pasien atau pengguna. Ketepatan penggunaan tersebut diatur oleh negara dimana negara sebagai pengendali dan pengatur demi terwujudnya keharmonisan dan ketertiban dalam masyarakat. Selain itu, semakin 260



Orasi Ilmiah Dr. Sudiharto, Pengembangan Teknologi Kesehatan Untuk Menjawab Tantangan Dan Kebutuhan Masa Depan Demi Kemandirian Bangsa, Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta, 19 Desember 2009, halaman 5.



291



berkembangnya praktek pelayanan kesehatan dan teknologi kesehatan maka semakin penting pula peranan hukum sebagai penunutun bagi keteraturan sikapdan tindakan dalam pelayanan kesehatan serta penggunaan teknologi kesehatan secara tepat. Penentuan efektivitas teknologi di masyarakat perlu dilibatkan penilaian terhadap besarnya peningkatan derajat kesehatan yang dapat diharapkan sebagai akibat aplikasi dari teknologi spesifik di dalam masyarakat atau populasi yang terjangkau. Kepatuhan profesional kesehatan merupakan salah satu komponen efektivitas penggunaan teknologi di masyarakat di sini diperlukan informasi sejauhmana profesional kesehatan tersebut mematuhi aplikasi teknologi yang diperlukan untuk aplikasi diagnosa yang tepat dan teknologi manajemen (pencegahan, penyembuhan paliatif dan rehabilitasi). Pendidikan kedokteran berkelanjutan sangat penting untuk menjamin bahwa dokter dan profesional kesehatan terlibat secara benar dalam penerapan teknologi baru261. Teknologi kesehatan menjadi instrumen bagi manusia dalam memenuhi kebutuhannya juga untuk meningkatkan mutu kehidupannya (quality of life). Pemerintah mempunyai tugas dan tanggung jawab agar tujuan pembangunan bidang kesehatan mencapai hasil yang optimal melalui pemanfaatan tenaga, sarana, dan prasarana, baik dalam jumlah (kuantitas) maupun mutu (kualitas). Penguasaan teknologi penting bagi negara untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya akan kesehatan yang semakin berkembang pesat. Pasal 43 ayat (1) menyatakan bahwa Pemerintah membentuk lembaga yang bertugas dan berwenang melakukan penapisan, pengaturan, pemanfaatan, serta



261



Ibid, halaman 7.



292



pengawasan terhadap penggunaan teknologi dan produk teknologi. Kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas unsur perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, badan usaha, dan lembaga penunjang. Lembaga penelitian dan pengembangan kesehatan berfungsi menumbuhkan kemampuan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan. Berdasarkan Pasal 43 ayat () UU Kesehatan, pemerintah melakukan pembinaan pengawasan penggunaan teknologi dan produk teknologi di bidang kesehatan. Terkait dengan pembinaan dan pengawasan, pada produk herbal dan pengobatan tradisional ramuan/herbal pemerintah juga melakukan pembinaan dan pengawasan. Pembinaan dan pengawasan dilaksanakan secara berjenjang dari tingkat Pusat sampai ke Puskesmas melibatkan lintas sektor terkait antara lain Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pertanian, Badan POM, Sentra P3T, dan asosiasi pengobat tradisional ramuan. Kementerian Kesehatan melakukan pembinaan dan pengawasan diarahkan dalam rangka meningkatkan mutu, manfaat dan faktor keamanan dalam pelayanan kesehatan tradisional ramuan. Pelaksanakan tugas untuk memberikan pembinaan, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menggunakan pemdekatan dengan pola pembinaan sebagai berikut : (a) Pola Toleransi, yaitu pembinaan terhadap semua jenis pelayanan kesehatan tradisionalyang diakui keberadaannya di masyarakat, pembinaan diarahkan pada pengurangan dampak negatif; (b) Pola Integrasi, yaitu pembinaan terhadap pelayanan kesehatan tradisional yang secara rasional terbukti aman, bermanfaat dan mempunyai kesesuaian dengan hakekat ilmu kedokteran, dapat merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan; (c) Pola Tersendiri, yaitu pembinaan terhadap pelayanan kesehatan tradisional yang secara rasional



293



terbukti aman, bermanfaat dan dapat dipertanggung jawabkan, memiliki kaidah tersendiri, dan dapat berkembang secara tersendiri. Kementerian Kesehatan untuk dapat mengarahkan pelayanan kesehatan tradisional kedalam tiga pola pembinaan tersebut, perlu tahapan pembinaan sebagai berikut : (a) Tahap Informatif, menjaring semua jenis pelayanan kesehatan tradisional ramuan/herbal yang keberadaannya diakui oleh masyarakat, termasuk yang belum secara rasional terbukti bermanfaat; (b) Tahap Formatif, pelayanan kesehatan tradisional ramuan/herbal dapat dibuktikan secara rasional mekanisme pengobatannya. Pada tahap ini dapat dilakukan uji coba dalam jaringan pelayanan kesehatan; (c) Tahap Normatif, Pelayanan kesehatan tradisional ramuan/herbal telah secara rasional terbukti aman dan dapat dipertanggung jawabkan. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mempunyai tugas dan tanggung jawab : (a)



Inventarisasi dan mengolah data pengobat tradisional ramuan di wilayah



kerjanya; (b) Membina pengobat tradisional ramuan di wilayah kerja antara lain melalui forum Sarasehan, KIE kultural, pelatihan, pertemuan dan mengikut sertakan organisasi profesi pengobatan tradisional dan Lembaga Swadaya Masyarakat; (c) Pemberian Surat Terdaftar Pengobat Tradisional (STPT) atau Surat Izin Pengobat Tradisional; (d) Pemberian surat rekomendasi dalam rangka perizinan sarana pelayanan kesehatan tradisional; (e) Memfasilitasi pengobat tradisional ramuan dalam memberikan pelayanan kesehatan tradisional ramuan yang aman, bermanfaat dan dapat dipertanggung jawabkan; (f) Memfasilitasi pengobat tradisional ramuan untuk berperan aktif dalam mengembangkan ―self care‖ (Pengobatan Mandiri) dengan cara tradisional; (g) Menjalin kemitraan dalam rangka optimalisasi peran asosiasi pengobat tradisional ramuan; (h)



294



Pemantauan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan tradisional ramuan; (i) Pencatatan dan laporan. Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T) dan/atau instansi/institusi yang terkait sangat berperan dalam mengembangkan model/bentuk intervensi, pendidikan dan pelatihan bagi pengobat tradisional ramuan serta penelitian obat tradisional sebelum diterapkan secara luas di masyarakat. Puskesmas mempunyai tugas dan tanggung jawab : (a) Membantu Dinas Kesehatan



Kabupaten/Kota



dalam



melaksanakan



inventarisasi



pengobat



tradisional di wilayah kerjanya; (b) Membantu Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam membina pengobat tradisional di wilayah kerja antara lain melalui forum sarasehan, KIE kultural, pelatihan dan pertemuan; (c) Membina dan mengembangkan ―self care‖ (pengobatan mandiri) bagi masyarakat di wilayah kerja; (d) Pembinaan dan pemantauan terhadap pelayanan kesehatan tradisional ramuan. Kementerian Kesehatan juga melakukan pengawasan selain pembinaan. Dalam rangka pengawasan, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat melakukan tindakan administratif terhadap pengobat tradisional ramuan yang melaksanakan kegiatan tidak sesuai dengan ketentuan berlaku, yang diatur dengan cara : (a) Memberikan teguran lisan berlaku 30 hari; (b) Mengirim teguran tertulis berlaku 60 hari; (d) Melaksanakan pencabutan SPTP atau SIPT; (e) Memerintahkan pengobat tradisional ramuan untuk melakukan penghentian sementara kagiatan; (f) Larangan melakukan pekerjaan sebagai pengobat tradisional ramuan.



295



Pedoman pembinaan penyelenggaraan pelayanan kesehatan tradisional ramuan ini dibuat agar mutu pelayanan kesehatan tradisional ramuan pada masyarakat dapat ditingkatkan. Peningkatan mutu pelayanan tidak terlepas dari dukungan dari semua pihak terkait seperti pengelola program, pengobat tradisional ramuan, asosiasi/profesi, pembina/pengawas dan penanggung jawab sarana. Dalam mewujudkan keserasian, keterpaduan dan sinergi bagi upaya peningkatan mutu pelayanan pengobatan tradisional ramuan sangat diperlukan forum koordinasi antara semua pihak terkait seperti tersebut diatas yang pada akhirnya akan menghasilkan peningkatan kesehatan dan tingkat kepuasan yang tinggi dari pelamggan pelayanan kesehatan tradisional ramuan/herbal. Pelayanan kesehatan tradisional merupakan warisan budaya bangsa yang tumbuh dan berkembang serta terpelihara secara turun temurun di kalangan masyarakat.



Pada



dasarnya



pelayanan



pengobatan



tradisional



dapat



dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya, tidak bertentangan dengan norma dan budaya yang berlaku di masyarakat serta dapat mamberikan perlindungan kepada masyarakat perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan. Pelayanan kesehatan tradisional telah mendapatkan tempat tersendiri dalam UU Kesehatan. Hal tersebut terbukti secara normatif dalam Pasal 48 UU Kesehatan. Pasal 48 (1) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dilaksanakan melalui kegiatan: a. pelayanan kesehatan; b. pelayanan kesehatan tradisional; c. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit; d. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan; e. kesehatan reproduksi;f. keluarga berencana; g. kesehatan sekolah; h.kesehatan olahraga; i. pelayanan kesehatan pada bencana; j. pelayanan darah; k. kesehatan gigi dan mulut; l. penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran; m. kesehatan matra; n. pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan; o. pengamanan makanan dan minuman; p. pengamanan zat adiktif; dan/atau q. bedah mayat.



296



(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung oleh sumber daya kesehatan. Dalam keputusan Menteri Kesehatan No. 374/MENKES/SK/V/2009 tentang Sistem Kesehatan Nasional disebutkan bahwa pengobatan tradisional merupakan bagian dari subsistem Upaya Kesehatan. Upaya Kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas terdiri dari upaya kesehatan wajib dan upaya kesehatan pilihan (pengembangan) dimana pelayanan kesehatan tradisional merupakan upaya kesehatan pilihan (pengembangan). Pelayanan kesehatan tradisional merupakan warisan budaya bangsa yang selama ini tumbuh dan berkembang serta terpelihara secara turun temurun di kalangan masyarakat, digunakan sejak dahulu sampai kini dengan kecenderungan yang terus meningkat. Perhatian Kementerian Kesehatan terhadap tumbuh kembang obat herbal sedemikian besar. Pemerintah terus mendorong kabupaten atau kota di Indonesia memiliki pelayanan kesehatan tradisional. Namun obat tradisional bersifat komplementer, mendukung pemberian obat-obatan medis yang sudah lebih dulu dibuktikan di dunia kedokteran modern262. Dunia Kedokteran Indonesia sendiri secara perlahan mulai membuka diri menerima herbal sabagai pilihan untuk pengobatan, bukan sekedar sebagai pengobatan alternatif saja, ini terbukti dengan berdirinya beberapa organisasi seperti Badan Kajian Kedokteran Tradisional dan Komplementer Ikatan Dokter Indonesia pada Muktamar IDI XXVII tahun 2009, Persatuan Dokter Herbal Medik Indonesia [PDHMI], Persatuan Dokter Pengembangan Kesehatan Timur [PDPKT] dan beberapa organisasi sejenis lainnya. Ini semua menggambarkan dunia kedokteran walau masih belum terbuka lebar tetapi para pelakunya, yaitu para dokter mulai melihat potensi yang besar 262



Edi Dharmana, Herbal Boleh, Penanganan Medis Jangan Dilupakan, (Suara Merdeka, Minggu, 16 Juni 2013



297



dan ternyata bisa dikembangkan dalam pengobatan berbasis obat herbal, tidak hanya untuk menangani penyakit yang ringan saja tetapi juga untuk mengatasi penyakit yang berat263. Dalam Undang-undang No. 36 tahun 2009 pada Pasal 59 bahwa pelayanan kesehatan tradisional terbagi menjadi pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan dan yang menggunakan ramuan/herbal, dibina dan diawasi oleh Pemerintah agar dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya, serta tidak bertentangan dengan norma agama. Di sisi lain pada Pasal 61 dinyatakan bahwa masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan, meningkatkan dan menggunakan pelayanan kesehatan tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.264 Pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi harus memiliki izin dan penggunaannya tidak bertentangan dengan aturan yang ada. Hal tersebut tertera dalam Pasal 60 UU Kesehatan. Pasal 60 (1) Setiap orang yang melakukan pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi harus mendapat izin dari lembaga kesehatan yang berwenang. (2) Penggunaan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama dan kebudayaan masyarakat. Teknologi



medis



termasuk



teknologi



kesehatan



merupakan



salah



satuteknologi yang paling terpengaruh akibat dari peraturan-peraturan global baik dinegara maju maupun di negara-negara berkembang. Pada umumnya diakui bahwaliberalisasi import dan stimulasi eksport berpengaruh pada perdagangan internasional produksi domestik teknologi kesehatan, namun demikian dapat 263 264



http://www.pom.go.id/oaie/info/progteliti.htm, Obat Tradisional, di akses tanggal 17 Juni 2013. Kementrian Kesehatan RI, Pedoman Pembinaan Pengobatan Tradisional Akupresure, (Jakarta : Kementrian Kesehatan RI, 2011), halaman 1



298



dikatakan bahwa negara berkembang lebih banyak mengalami kesulitan dalam perdagangan, alih teknologi dan penggunaan teknologi kesehatan. Hal ini disebabkan oleh masalah-masalah kesehatan di dalam negeri, keterbatasan sumber-sumber



daya



khususnya



sumber



daya



manusia,



material



dan



ketidakcukupan dalam produksi teknologi kesehatan atau medis. Pengembangan



teknologi



terbuka



bagi



masyarakat



terkait



upaya



pengembangan pelayanan kesehatan tradisional yang dapat dimanfaatkan bagi masyarakat banyak. Amanat Pasal 61 UU Kesehatan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat dalam upaya mengembangkan pelayanan kesehatan tradisional. Strategi



yang



dilaksanakan



oleh



Kementerian



Kesehatan



dalam



melaksanakan kebijakan pelayanan kesehatan diantaranya adalah dengan menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat serta meningkatkan



akses



masyarakat



terhadap



pelayanan



kesehatan



yang



berkualitas265. Secara umum pasal-pasal dalam UU No.36 Tahun 2009 yang terkait dengan proteksi herbal berbasis TK dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 12 : Pasal dalam UU No. 36 Tahun 2009 yang Terkait dengan Proteksi Herbal Berbasis TK No



Pasal Dalam UU No. 36 Tahun 2009



1.



Pasal 1 Angka 8 dan 9



Pendefinisian obat dan obat tradisional menurut versi dari Kementerian Kesehatan.



2.



Pasal 3



Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang



265



Keterkaitan



Standar Pelayanan Medik Akupuntur, Kementerian Kesehatan RI 2011, halaman 1.



299



produktif secara sosial danekonomis.



3.



Pasal 42



Teknologi dan produk teknologi kesehatan diadakan, diteliti, diedarkan, dikembangkan, dan dimanfaatkan bagi kesehatan masyarakat. Teknologi kesehatan tersebut mencakup segala metode dan alat yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit, mendeteksi adanya penyakit, meringankan penderitaan akibat penyakit, menyembuhkan, memperkecil komplikasi, dan memulihkan kesehatan setelah sakit.



4.



Pasal 43



Pemerintah membentuk lembaga yang bertugas dan berwenang melakukan penapisan, pengaturan, pemanfaatan, serta pengawasan terhadap penggunaan teknologi dan produk teknologi.



5.



Pasal 48



Penyelenggaraan upaya kesehatan dapat dilaksanakan melalui kegiatan pelayanan kesehatan tradisional.



6.



Pasal 59



Berdasarkan cara pengobatannya, pelayanan kesehatan tradisional terbagi menjadi: (a) pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan; dan (b) pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan ramuan. Pelayanan kesehatan tradisional tersebut dibina dan diawasi oleh Pemerintah agar dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama.



7.



Pasal 60



Pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi harus mendapat izin dari lembaga kesehatan yang berwenang. Penggunaan alat dan teknologi tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama dan kebudayaan masyarakat.



8.



Pasal 61



Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan, meningkatkan dan menggunakan pelayanan kesehatan tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.



Sumber : Hasil Penelitian yang telah diolah 6. UU No. 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Nagoya Protokol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing Arising From Their Utilization to the Convention on Biological Diversity (Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatan atas Pembagian



300



Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati Tanggal 12 Oktober 2014, Protokol Nagoya mulai berlaku. Protokol dapat berlaku dan berkekuatan penuh karena sudah ditandatangani lebih dari 50 negara. Pemerintah Indonesia pada tanggal 11 Mei 2011 telah menandatangani Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to the Convention on Biological Diversity (Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati) yang mengatur tentang prosedur akses dan pembagian keuntungan yang adil dan seimbang kepada penyedia sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik. Indonesia menjadi negara ke-26 yang meratifikasi Protokol Nagoya. Upaya untuk melindungi keanekaragaman hayati dan keanekaragaman sumber daya genetik di Indonesia patut untuk dilakukan mengingat Indonesia adalah salah satu negara yang kaya akan keanekaragaman hayati dan keanekaragaman sumber daya genetik. Perlindungan tersebut dimaksudkan juga untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik bagi generasi yang akan datang. Pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sumber daya genetik dan secara berkelanjutan diwariskan oleh nenek moyang masyarakat hukum adat dan komunitas lokal kepada generasi berikutnya. Untuk itu, dalam melestarikan dan memanfaatkan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik, harus terpolakan dan tercermin dalam pengetahuan,



301



inovasi, dan praktik yang terkait serta perlu dikembangkan pengaturan pengelolaannya sehingga dapat menampung dinamika dan aspirasi masyarakat hukum adat dan komunitas lokal. Protokol Nagoya merupakan perjanjian internasional bertujuan untuk mencegah pencurian keanekaragaman hayati (biopiracy). Perjanjian Protokol Nagoya merupakan perjanjian yang sangat penting bagi Negara Indonesia dalam rangka mendapatkan keuntungan yang adil dan seimbang yang timbul dari pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati. Protokol Nagoya disusun berdasarkan prinsip hukum internasional, yaitu negara mempunyai kedaulatan dan hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya alam sesuai dengan kebijakan lingkungan hidup dan pembangunannya serta mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan di dalam yurisdiksi atau pengendaliannya tidak mengakibatkan kerugian bagi lingkungan hidup negara lain atau wilayah di luar batas yurisdiksi negara yang bersangkutan. Artinya bahwa akses terhadap sumber daya tetap mengedepankan kedaulatan negara dan disesuaikan dengan hukum nasional. Adapun manfaat yang diperoleh Indonesia melalui pengesahan Protokol Nagoya, antara lain: (1). Melindungi dan melestarikan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik; (2). Mencegah pencurian (biopiracy) dan pemanfaatan tidak sah (illegal utilization) terhadap keanekaragaman hayati; (3). Menjamin pembagian keuntungan (finansial maupun non finansial) yang adil dan seimbang atas pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik kepada penyedia sumber daya genetik berdasarkan kesepakatan bersama



302



(Mutually Agreed Terms); (4) Meletakkan dasar hukum untuk mengatur akses dan pembagian keuntungan yang adil dan seimbang atas pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik berdasarkan kesepakatan bersama; (5) Menguatkan penguasaan negara atas sumber daya alam sebagaimana diamanatkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisional sesuai dengan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (6). Menegaskan kedaulatan Negara atas pengaturan akses terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik; (7). Memberikan insentif dan dukungan pendanaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; (8). Menciptakan peluang untuk akses alih teknologi pada kegiatan konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan. Protokol Nagoya terdiri atas 36 (tiga puluh enam) pasal dan 1 (satu) lampiran. Materi pokok Protokol Nagoya mengatur hal-hal sebagai berikut: (1) Ruang lingkup Protokol Nagoya adalah pembagian keuntungan yang adil dan seimbang dari setiappemanfaatan terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik; (2) Pembagian keuntungan, finansial dan/atau non finansial, yang adil dan seimbang dari setiap pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional diberikan berdasarkan kesepakatan bersama (Mutually Agreed Terms); (3) Akses pada sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik yang dilakukan melalui persetujuan atas dasar



303



informasi awal (Prior Informed Consent/PICdari penyedia sumber daya genetik; (4) Penyederhanaan prosedur akses pada sumber daya genetik untuk penelitian nonkomersial dan pertimbangan khusus akses pada sumber daya genetik dalam situasi darurat kesehatan, lingkungan, dan pangan; (5) Mekanisme pembagian keuntungan multilateral global (global multilateral benefit sharing) terhadappemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang bersifat lintas negara; (6) Mekanisme kelembagaan diatur dengan: (a) penunjukkan satu atau beberapa National Competent Authority (NCA) sebagai institusi yang berwenang memberikan izin akses, penentuan kebijakan prosedur akses, dan persyaratan dalam persetujuan atas dasar informasi awal serta kesepakatan bersama; dan (b) penunjukkan Pumpunan Kegiatan Nasional (National Focal Point) yang berfungsi sebagai penghubung Para Pihak dengan Sekretariat Konvensi Keanekaragaman Hayati. Pumpunan Kegiatan Nasional dapat juga berfungsi sebagai NCA; (7) Pembentukan badan Akses dan pembagian keuntungan yang merupakan sistem basis data yang berfungsi sebagai sarana pertukaran informasi terhadap akses sumber daya genetik dan pembagian keuntungan atas pemanfaatan sumber daya genetik; (8) Ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan nasional mengenai akses dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional terkait dengan sumber daya genetik;



304



(9) Pemantauan dilakukan melalui penunjukkan pos pemeriksaan (checkpoints) pada semua level, yaitu penelitian, pengembangan, inovasi, prekomersialisasi, atau komersialisasi serta adanya sistem sertifikasi yang diakui secara internasional; (10) Ketaatan terhadap kesepakatan bersama Penyedia (provider) dan pemanfaat (user) sumber daya genetik harus menaati kesepakatan dalam kontrak atas pemanfaatan sumber daya genetik khususnya klausul penyelesaian sengketa, akses terhadap keadilan (access to justice), pilihan hukum dan pilihan forum penyelesaian sengketa; (11) Model klausul kontrak kesepakatan bersama. Negara Pihak mendorong pengembangan, pemutakhiran, dan penggunaan model klausul kontrak dalam kesepakatan bersama; (12) Kode etik, pedoman dan praktik terbaik, dan/atau standar. Negara Pihak mendorong pengembangan, pemutakhiran, dan penggunaan kode etik sukarela, pedoman dan praktik-praktik terbaik dalam kaitannya dengan akses dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya genetik; (13) Peningkatan kesadaran Negara Pihak melakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik, dan isu-isu terkait dengan akses dan pembagian keuntungan; (14) Peningkatan kapasitas. Negara Pihak bekerja sama dalam pengembangan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan, antara lain pengembangan: (a) kapasitas untuk mengimplementasikan dan untuk mematuhi kewajibankewajiban dalam Protokol Nagoya; (b) kapasitas untuk menegosiasikan



305



kesepakatan



bersama;



mengimplementasikan



(c) dan



kapasitas menegakkan



untuk



mengembangkan,



langkah-langkah



legislatif,



administratif atau kebijakan nasional tentang akses dan pembagian keuntungan; dan (d) kapasitas untuk mengembangkan kemampuan penelitian endogen untuk menambahkan nilai pada sumber daya genetik. (15) Transfer teknologi, kolaborasi, dan kerja sama Negara Pihak meningkatkan dan mendorong akses terhadap teknologi dan transfer teknologi untuk pengembangan dan penguatan teknologi. Negara pemanfaat sumber daya genetik harus mengembangkan kegiatan kerja sama dengan negara asal sumber daya genetik; (16) Prosedur dan mekanisme untuk mempromosikan penaatan Protokol Nagoya Konferensi Para Pihak mempertimbangkan dan menyetujui prosedur kerja sama dan mekanisme kelembagaan untuk meningkatkan penaatan dan penanganan kasus ketidaktaatan terhadap substansi Protokol Nagoya. 7. Analisis UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, terhadap Proteksi Herbal berbasis Tk dalam UU Paten. Paten merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Hak eksklusif yang diberikan oleh negara tersebut dapat menimbulkan monopoli bagi si pemegang hak paten. Ketentuan tersebut memberikan hak pada pemegang hak paten untuk melakukan monopoli terhadap invensinya selama 20 tahun.



306



Monopoli memberikan peluang untuk dapat terciptanya keadaan dimana seseorang atau badan usaha menguasai suatu bidang tertentu secara mutlak tanpa memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk ikut ambil bagian. Monopoli diartikan sebagai suatu hak istimewa (previlege), yang menghapuskan persaingan bebas, yang tentu pada akhirnya juga akan menciptakan penguasaan pasar. Pengertian monopoli dalam Black‘s Law Dictionary: ―Monopoly is a previlege or peculiar advantage vested in one or more persons or companies, consisting in the exclusive right (or power) to carry on a particular business or trade, manufacture a particular article, or control the sale of the wholesupply of a particular commodity. A form of market structure in which one or only a few firms dominate the total sales of a product or service. Monopoli dari hak paten tentu saja akan bersinggungan dengan hukum anti monopoli. Pada tanggal 5 Maret 1999 oleh Pemerintah Republik Indonesia dan DPR,



akhirnya



mengeluarkan



suatu



peraturan



perundang-undangan



tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dalam suatu Undang-undang, yaitu Undang-undang No. 5 tahun 1999. Menurut Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, definisi Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Sedangkan yang dimaksud dengan Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.



307



Sifat monopoli yang melekat pada paten dapat menciptakan permasalahan tertentu jika hak paten disalahgunakan. Hak-hak eksklusif menguntungkan inventor atau pemegang hak paten, tetapi dapat menjadi sesuatu yang merugikan para konsumen. Pada prinsipnya selama pelaksanaan paten tidak melampau batas monopoli hak paten maka hukum anti monopoli tidak dapat diterapkan pada hak paten. Proteksi herbal berbasis TK yang dilakukan melalui mekanisme hukum paten akan bersinggungan dengan hukum anti monopoli jika pelaksanaan dari paten herbal berbasis TK telah melampaui batas hak patennya. Pasal 16 UU Paten telah menentukan hak bagi pihak yang telah mendaftarkan produk herbal berbasis TK untuk melaksanakan paten tersebut dan melarang pihak lain melaksanakan patennya tanpa izin. Monopoli yang dilakukan oleh paten herbal berbasis TK tidak dilarang, namun yang dilarang adalah praktik monopoli yang dilakukan oleh pemagang hak paten. Praktik monopoli ini bisa saja dengan adanya perjanjian yang dilarang dengan menetapkan harga, pembagian wilayah, dll. Parktik lain seperti menggunakan posisi dominan sehingga menimbulkan persaingan curang. Implikasi dari hak eksklusif paten yang memunculkan hak yang berlebihan pada pemegang hak paten yang berakibat pada penguasaan pasar (monopoli). Hal ini tentu saja berujung pada persaingan usaha yang tidak sehat (unfair competition). Pemerintah berupaya untuk mencegah adanya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dengan mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.



308



Secara umum, materi dari Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini mengandung 6 (enam) bagian pengaturan yang terdiri dari : (1) perjanjian yang dilarang; (2) kegiatan yang dilarang; (3) posisi dominan; (4) Komisi Pengawas Persaingan Usaha; (5) penegakan hukum; (6) ketentuan lain-lain. Perjanjian yang dilarang, misalnya praktek oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, dan sebagainya. Hal ini terdapat dalam Pasal 4 sampai pasal 16 UU No.5 Tahun 1999. Kegiatan yang dilarang, misalnya praktek monopoli, praktek monopsoni, persekongkolan, dan sebagainya. Hal ini terdapat dalam ketentuan Pasal 17 sampai dengan Pasal 24. Posisi dominan yang dimaksud adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Adapun penyalahgunaan posisi dominan misalnya jabatan rangkap, pemilikan saham, dan lain-lain sebagaimana diatur dalam pasal 25 sampai dengan pasal 27 UU No 5 Tahun 1999. Pencegahan terhadap praktik monopoli harus dilakukan karena dengan dikuasainya pasar oleh seseorang atau sekelompok orang atau badan usaha tertentu maka akan terbuka peluang untuk mematikan bekerjanya mekanisme pasar. Matinya mekanisme pasar akan mengakibatkan harga-harga ditetapkan secara sepihak dan hal ini snagat merugikan masyarakat selaku konsumen.



309



Monopoli yang menimbulkan praktik monopoli tidak terlapas dari gejala perkembangan konglomerasi266 yang menimbulkan banyak reaksi di masyarakat. Adanya kelompok tertentu yang memonopoli suatu bidang atau produk tertentu mulai ada di Indonesia. Bentuk penguasaan pangsa pasar atas produk tertentu, monopoli bukan saja dapat menarik keuntungan sebesar-besarnya tetapi dapat mengganggu sistem dan mekanisme perekonomian yang sedang berjalan sebagai akibat distorsi ekonomi yang ditaburkannya, seiring dengan semakin besarnya penguasaan atas pangsa pasar dan produk tertentu267. Konglomerasi pada industri herbal di Indonesia mungkin saja dapat terjadi, namun tidak selamanya konglomerasi tersebut memiliki sifat



negatif.



Terpuruknya industri herbal bisa saja bangkit dengan adanya konglomerasi. Sisi positif yang dapat diambil dari terjadinya konglomerasi yaitu kemampuannya dalam bidang manajemen usaha, permodalan, pemasaran, profesionalitas SDM, dan teknologi. B. Keberlakuan Undang-undang Paten dalam Memproteksi Herbal Berbasis Traditional Knowledge di Indonesia Manusia tidak dapat melepaskan diri dari berbagai macam kaidah, salah satu diantaranya adalah kaidah hukum. Hukum sebagai salah satu kaidah yang mengatur kehidupan antar pribadi telah menguasai kehidupan manusia sejak ia dilahirkan, bahkan sewaktu manusia masih dalam kandungan hingga sampai ke liang kubur. Kaidah hukum mengandung beberapa sikap yang diwajibkan, diperbolehkan atau dilarang dalam berbagai situasi yang berbeda. Warga masyarakat dalam kehidupan



266



267



Conglomerate menurut Black‘s Law Dictionary yaitu : A corporation that has diversified its operations usually by acquiring enterprises in widely varied industries. Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 2006, Anti Monopoli, (Jakarta : Rajawali Pers, 2006), halaman 2.



310



sehari-hari mengadakan hubungan dengan sesamanya senantiasa membawa dan mendukung hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Manusia terikat oleh pedomanpedoman tertentu yang lazimnya disebut sebagai norma atau kaidah, dalam melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban tersebut, misalnya norma atau kaidah hukum, dengan demikian, maka dapatlah dikatakan bahwa dari sudut tertentu hukum dapat diartikan sebagai kaidah atau norma (yakni patokan atau pedoman bagaimana manusia bersikap tidak sepantasnya). Berbicara mengenai kaidah tidak akan lepas dari mengenai isi268, sifat269, dan tugas kaidah hukum270. Norma-norma hukum yang dijadikan salah satu pedoman dalam pergaulan hidup masyarakat bertujuan supaya pergaulan hidup berjalan stabil dan normal, sehingga kepentingan-kepentingan individu yang beraneka ragam di dalam masyarakat dapat diselaraskan satu sama lain. Norma-norma hukum pada gilirannya mampu mengunifikasi kepantasan-kepantasan perilaku di dalam masyarakat. Di antara sekian banyak norma (norma hukum, norma sosial, norma susila dan norma agama), maka norma hukumlah yang memiliki ciri khusus yang berbeda dengan norma-norma lain. Norma hukum bertujuan untuk mencapai suasana damai dalam masyarakat melalui keserasian, ketertiban dan keadilan. Di dalam masyarakat pada umumnya norma hukumlah yang lebih dipatuhi jika dibandingkan dengan normanorma yang lain,akan tetapi dalam keadaan khusus ada sebagian masyarakat yang lebih patuh terhadap norma-norma agama. Pada umunya mereka lebih patuh kepada norma hukum daripada norma-norma yang lain. Kecuali bagi kelompok sosial 268 269



270



Kaidah hukum memiliki kandungan isi yang mencakup larangan, suruhan dan kebolehan. Apabila dilihat dari sifatnya, maka suatu kaidah hukum mungkin bersifat imperatif (artinya secara a priori harus ditaati) atau mungkin bersifat fakultatif (artinya, secara a priori tidak harus ditaati). Tugas daripada kaidah-kaidah hukum, pada umumnya adalah kepastian hukum dan kesebandingan hukum. Kedua hal tersebut di dalam kenyataannya haruslah diserasikan yang didalam bentuknya yang serasi tersebut dinamakan keadilan. Soerjono Soekanto, Aspek Hukum Kesehatan (Suatu Kumpulan Catatan), (Jakarta : IND-HILL-C0,1989),halaman 2.



311



tertentu lebih patuh terhadap norma hukum atau norma susila atau norma sosial tidak menutup kemungkinan adanya sistem kombinasi dari norma-norma yang dimiliki, berlaku dan yang sedang berkembang di masyarakat. Norma atau kaidah merupakan pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi kebolehan, anjuran atau perintah. Baik anjuran maupun perintah dapat berisi kaidah yang bersifat positif atau negatif sehingga mencakup normaanjuran untuk mengerjakan atau anjuran untuk tidak mengerjakan sesuatu, dan norma perintah untuk melakukan atau perintah tidak melakukan sesuatu271. Pengertian norma atau kaidah sebagai pelembagaan nilai itu dirinci, kaidah atau norma yang dimaksud dapat berisi : (1) Kebolehan atau yang dalam bahasa Arab disebut ibahah, mubah (permittere); (2) Anjuran positif untuk mengerjakan sesuatu atau dalam bahasa Arab disebut sunnah; (3) Anjuran negatif untuk tidakmengerjakan sesuatu atau dalam bahasa Arab disebut ―Makruh‖; (4) Perintah positif untuk melakukan sesuatu atau kewajiban (obligattere); dan (5) Perintah negatif untuk tidak melakukan sesuatu atau yang dalam bahasa Arab disebut ―haram‖ atau larangan (prohibere)272. Isi dari kaidah tersebut penting tidak cuma agar diketahui melainkan juga mesti diperhatikan agar seseorang tidak mengalami kesulitan di tengah kehidupan bernegara yang diupayakan tertib pada tataran nasional ini. Kewajiban yang ada pada UU Paten menunjukan bahwa untuk mendapatkan perlindungan paten maka invensi harus di daftarkan. Pengabaian pendaftaran bisa saja diabaikan sementara, apabila ingin mendapatkan perlindungan hukum maka baru didaftarkan, maka akan mulailah timbul kesulitan sebagai akibat pengabaiannya pada ketentuan kaidah hukum paten tersebut. 271 272



Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta : Rajawali Press, 2011), halaman 1. Ibid, halaman 1 – 2.



312



Pengaturan yang dibentuk oleh penguasa negara menimbulkan norma hukum. Kaidah tersebut berupa pengaturan-pengaturan dalam segala bentuk dan jenisnya. Norma hukum dalam kehidupan sehari-hari mengikat setiap orang. Pelaksanaan norma hukum dapat dipaksakan dan dipertahankan oleh negara. Norma hukum memiliki keistimewaan dimana negara dapat mempertahankan dan memaksakan dengan ancaman pidana (bagi hukum pidana), hukuman (bagi hukum perdata dan atau hukum dagang). Upaya mewujudkan pertahanan dan paksaan tersebut tidak mungkin dapat berjalan dengan sendirinya, akan tetapi hal itu harus dilaksanakan oleh alat-alat kekuasaan negara. Pelaksanaan tersebut bukan berarti tindakan sewenang-wenang, akan tetapi merupakan upaya agar peraturan tersebut ditaati dan terlaksana dengan sebaik-baiknya. Pengaturan mengenai paten terdapat dalam UU Paten, dimana masyarakat harus tunduk dan patuh terhadap ketentuan yang terdapat dalam UU Paten tersebut. Pengabaian terhadap ketentuan UU Paten dapat menimbulkan sanksi. Ada beberapa faktor pendorong yang menjadi norma hukum lebih dipatuhi oleh masyarakat, antara lain273 : (1) Dorongan yang bersifat psikologis/kejiwaan; (2) Dorongan untuk memelihara nilai-nilai moral yang luhur dalam masyarakat; (3) Dorongan dalam upaya untuk memperoleh perlindungan hukum; (4) Dorongan untuk menghindar dari sanksi hukum. Pada hakekatnya sanksi bertujuan untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat, yang telah terganggu oleh pelanggaran-pelanggaran kaedah dalam



keadaan



semula274.



Sanksi



hukum



negara



seakan-akan



kehilangan



legitimasinya dan kehilangan pula daya keefektifannya, apabila masyarakat tidak lagi mengakui akan keberlakuan dari norma hukum tersebut. Maka jelaslah bahwa 273 274



Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2007), halaman 69. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Liberty, 2003), halaman 9.



313



pengabaian terhadap ketentuan hukum paten dapat pula berkaitan dengan keberlakuannya. JJH Bruggink menekankan pada tiga keberlakuan yaitu keberlakuan faktual atau empiris kaidah hukum, keberlakuan normatif atau formal kaidah hukum, dan keberlakuan evaluatif kaidah hukum. Demikian pula pada UU Paten berlaku secara efektif dimana masyarakat mematuhi kaidah dalam UU Paten tersebut. Keberlakuan ini dikatakan sebagai keberlakuan faktual atau empiris. UU Paten bertumpu pada UUD NRI Tahun 1945 dan ketentuan UU Paten tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, selain itu UU Paten secara sinkronisasi horizontal tidak berbenturan dengan UU lain. Penerapan ketiga keberlakuan menurut Bruggink dapat dianalisis dalam penerapan atau kepatuhan masyarakat dalam mendaftarkan hak paten maupun menghormati hak paten orang lain. Penghormatan tersebut dapat dilihat dengan banyak atau tidaknya pelanggaran terhadap hak paten di Indonesia. Kepatuhan tersebut merupakan keberlakuan faktual atau empiris kaidah hukum dimana keberlakuan hukum paten yang berlaku secara efektif dimana masyarakat mematuhi kaidah hukum paten tersebut. Berkaitan dengan proteksi herbal berbasis TK dalam hukum paten dapat diketahui bahwa pengenalan dan pemahamanan dunia industri khususnya industri produk herbal berbasis TK di Indonesia terhadap perlindungan paten rendah. Hal ini dapat dibuktikan dengan rendahnya pendaftaran paten terhadap herbal berbasis TK di Indonesia. Pendaftaran paten di Indonesia sejak Tahun 2002 sampai dengan Tahun 2013 dapat diketahui dalam tabel di bawah ini. Tabel 13: Data Permohonan Paten (Paten Biasa dan Paten Sederhana) dan Jumlah Paten yang diberi Hak Paten (Granted) No Tahun Permohonan Granted Persentase



314



1 2002 8901 2 2003 8116 3 2004 9440 4 2005 9431 5 2006 9877 6 2007 9039 7 2008 8353 8 2009 6092 9 2010 6474 10 2011 5863 11 2012 6323 12 2013 18708 Sumber : Direktorat Paten HKI



4600 5152 6140 6475 7150 6310 5980 4797 4058 3466 3144 4135



52% 58% 69% 73% 80% 71% 67% 54% 46% 39% 35% 48%



Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa tidak semua permohonan paten dapat diberi hak paten. Permohonan tertinggi yaitu pada tahun 2013 dan permohonan terendah terjadi pada tahun 2012. Permohonan yang diberi hak paten terbanyak pada tahun 2006 yaitu sebnayak 80 % dari permohonan telah diberi hak paten, sedangkan permohonan yang diberi hak paten terendah terdapat pada tahun 2012. Rendahnya pendaftaran paten terhadap herbal berbasis TK di Indonesia dapat diasumsikan bahwa kondisi demikian dapat dibuktikan dalam tabel di bawah ini. Tabel 14: Data Permohonan Paten Herbal Berbasis TK (Paten Biasa dan Paten Sederhana) dan Jumlah Paten yang diberi Hak Paten (Granted) No Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12



2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013



Granted Paten (Keseluruhan) 4600 5152 6140 6475 7150 6310 5980 4797 4058 3466 3144 4135



Granted Paten Herbal Berbasis TK 16 17 28 22 15 10 43 50 53 45 40 69



Persentase 0.18 % 0.19 % 0.31 % 0.25 % 0.17 % 0.11 % 0.48 % 0.56 % 0.60 % 0.51 % 0.45 % 0.78 %



315



Sumber : Bagian Permohonan Pendaftaran Paten Direktorat Paten HKI Berdasarkan tabel tersebut di atas dapat diketahui bahwa hak paten pada produk herbal berbasis TK yang telah granted tidak mencapai 1 % dari hak paten secara keseluruhan. Keberlakuan secara empiris dapat di analisis bahwa industri produk herbal tidak sepenuhnya memiliki kepatuhan untuk mendaftarkan produk herbal berbasis TK. Hal ini dapat diasumsikan bahwa kondisi demikian dapat diperngaruhi oleh faktor : (1) Mahalnya biaya untuk riset produk herbal untuk dapat memenuhi syarat novelty275, (2) Mahalnya biaya pendaftaran paten dan biaya pemeliharaan paten (biaya tahunan)276, (3) industri herbal lebih fokus pada pengembangan pemasaran produk dari pada pendaftaran paten, (4) ramuan herbal merupakan warisan budaya bangsa Indonesia sehingga pendaftaran paten merupakan kepemilikan pribadi atas budaya milik bersama (konsep komunal), (5) teknologi industri herbal masih merupakan teknologi yang sederhana (belum menggunakan teknologi tinggi)277, (6) kurangnya tenaga ahli dalam bidang riset dan pengembangan ramuan herbal278, (7) kebutuhan akan hak paten yang belum terlalu penting bagi



275



Dokumen pedoman wawancara dengan Dayuni dari PT. Nyonya Meneer (Jalan Raden Fatah No. 191199, Semarang), tertanggal 10 Maret 2013. PT. Nyonya Meneer lebih fokus pada penerusan warisan resep/racikan para leluhur. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sofia dari PT. Erlimpek (Jalan Setiabudi No. 130 Semarang), Dokumen pedoman wawancara tertanggal 28 Januari 2013. PT. Erlimpek memiliki produk OHT tetpi dalam jumlah yang tidak banyak dan belum ada hak paten untuk produk herbal yang di produksi oleh PT. Erlimpek. 276 Dokumen pedoman wawancara tertanggal 18 Januari 2013 dengan Sutardi dari PT. Air Mancur Indonesia (Jalan Solo-Sragen KM 7, Karanganyar Jawa Tengah). Dokumen ini juga menerangkan bahwa beberapa tahun yang lalu PT. Air Mancur memeiliki produk herbal yaitu fitofarmaka dengan khasiat untuk menghilangkan diare, produk tersebut bermerek ―stopdiar‖. Pemilikan hak paten hanya bertahan selama 2 tahun setelah itu PT. Air Mancur tidak lagi membayar biaya tahunan. Alasannya karena hasil penjualan dari produk herbal ―stopdiar‖ tidak seimbang dengan pengeluaran untuk biaya pengurusan paten dan biaya pemeliharaan paten. 277 Dokumen pedoman wawancara dengan Aini Syarifah Indriyati dari PT. Gujati 59 Utama (Jalan Raya Solo-Wonogiri KM. 22,6 Sukoharjo Jateng), tertanggal 18 Januari 2013. 278 Dokumen pedoman wawancara dengan Eva Retnowulan dari PT. Industri Jamu Jago (Jalan Setiabudi No. 273 Semarang), tertanggal 10 April 2013. Alasan ini pun digunakan oleh PT. Borobudur (Jalan Hasanudin No. 1 Semarang), dalam dokumen pedoman wawancara dengan Susi tertanggal 15 April 2013.



316



perusahaan279, (8) adanya hak paten tidak berbanding lurus dengan penjualan produknya atau dengan kata lain dengan adanya hak paten belum tentu hasil penjualan dari produk tersebut akan lebih meningkat280. Beberapa industri justru berupaya untuk terus melakukan upaya riset dan pengembangan herbal dengan hasil akhir pada pendaftaran paten meskipun masih banyak kendala yang dihadapi oleh industri herbal untuk dapat mendaftarkan produk herbal berbasis TK dalam wujud hak paten281. Pemahaman dan pengetahuan pelaku industri berkorelasi dengan kesadaran hukum akan mendaftarkan invensinya. Invensi yang telah didaftarkan akan mendapatkan perlindungan hukum dari negara selain mendapatkan hak eksklusif untuk melakukan monopoli. Hal ini akan bertolak belakang pada kondisi dimana invensi yang didaftarkan hak paten dan memperoleh perlindungan paten tidak selalu berakhir pada teknologi atau produk yang dapat dilihat secara komersial. Pendaftaran hak paten tidak menjamin bahwa invensi tersebut akan memiliki daya komersial yang tinggi. Pertimbangan dan analisa yang penting bagi para pelaku usaha sebelum mendaftarkan hak paten pada invensinya. Sebuah paten dapat menjadi sangat mahal dan sulit untuk diperoleh, dipelihara dan ditegakkan. Didaftarkan ataupun tidak sebuah permohonan paten benar-benar merupakan keputusan bisnis yang sangat penting. Hal tersebut harus berdasarkan terutama pada kemungkinan untuk



279



280



281



Dokumen pedoman wawancara dengan Suhadi dari PT. Sido Muncul (Jalan Industri Lia/9 Lik, Semarang), tertanggal 14 Januari 2013. Dokumen pedoman wawancara dengan Wahyuni dari PT. Duta Kaisar Pharmacy (Jalan Adi Sucipto No. 41 Bulukan Karanganyar, Jateng), tertanggal 30 April 2013. Upaya ini dilakukan oleh PT Konimex (Desa Sanggrahan, Sukoharjo, Jateng), dalam dokumen pedoman wawancara dengan Peter tertanggal 11 Nopember 2013. Upaya ini pula pernah dilakukan oleh oleh PT. Yekatria Farma (Jalan Mojo I Desa Dagen, Karanganyar, Jateng) yang pada akhirnya tidak lagi memproduksi produk herbal, sekarang lebih pada produk farmasi (obat modern).



317



memperoleh perlindungan yang bermanfaat secara komersial bagi invensi yang mungkin memberikan manfaat yang signifikan dalam pemanfaatan bisnisnya. Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam membuat keputusan apakah perlu untuk mendaftarkan sebuah permohonan paten atau tidak mencakup282: a) Adakah pasar untuk invensi tersebut? b) Apakah ada alternatif invensi lainnya selain invensi yang dimiliki dan bagaimana perbandingannya dengan invensi yang dimiliki? c) Apakah invensi tersebut bermanfaat untuk meningkatkan produk yang sudah ada atau untuk mengembangkan produk baru? Jika demikian, apakah hal tersebut sesuai dengan strategi bisnis perusahaan yang bersangkutan? d) Apakah ada penerima, lisensi atau investor yang mau membantu untuk melempar produk tersebut ke pasaran? e) Berapa besarkah nilai invensi tersebut untuk bisnis yang bersangkutan dan bagi pesaing? f) Apakah mudah untuk ―melakukan rekayasa ulang‖ invensi yang dimiliki dari produk atau ―desain-desain yang ada disekitarnya‖ g) Seberapa jauh kemungkinan yang lain khususnya para pesaing untuk menemukan dan mempatenkan apa yang telah ditemukan? h) Apakah keuntungan yang diharapkan dari posisi eksklusif di pasar menentukan biaya pendaftaran paten? i) Aspek apa saja dari invensi yang dapat dilindungi oleh satu atau lebih paten, seberapa luas cakupannya dan apakah hal ini akan memberikan perlindungan yang bermanfaat secara komersial? j) Apakah akan menjadi mudah untuk mengidentifikasikan pelanggaran hak paten apakah anda benar-benar siap untuk menginvestasikan waktu dan sumber keuangan yang dimiliki untuk menegakkan paten yang dimiliki? Keberlakuan normatif dalam teori Bruggink dimana hukum paten dapat dianalisis dengan apakah ada kesesuaian secara horizontal maupun vertikal Undangundang Paten dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku di Indonesia. Undang-undang Paten tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya terutama tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 maupun Pancasila.



282



Intellectual Property for Business Series Number 3, Invensi Masa Depan (Pengantar Paten Untuk Uasah Kecil dan menegah), WIPO, 2008, www.wipo.int/sme/en/documents/guides/, halaman 8, diakses tanggal 10 Juni 2015.



318



Kesesuaian secara vertikal regulasi herbal berbasis TK didasarkan pada UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dapat dilihat dalam ragaandi bawah ini : Ragaan 4 : Kesesuaian Secara Vertikal Regulasi Paten



UUD NRI Tahun 1945



UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1997 tentang Pengesahan Patent Cooperation Treaty and Regulation Under the PCT. Permenkes No. 6 Tahun 2012 tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No : HK.00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka.



Sumber : Hasil Penelitian yang telah diolah Keberlakuan evaluatif dalam teori Bruggink dimana kaidah hukum paten dapat dianalisis dengan melihat kaidah hukum paten yang isinya dipandang bernilai atau penting sebagai kaidah hukum dengan memperhatikan hubungan sebab akibatnya diaturnya hukum paten di Indonesia. Hak Paten adalah bentuk penghargaan tertinggi yang diberikan negara kepada para ilmuan atau inventor atas invensinya yang berguna bagi masyarakat. Letak keberhasilan hukum Paten pada bidang kesehatan adalah mampu mendorong invensi-invensi baru pengobatan dan mendaftarkan invensinya untuk mendapatkan hak Paten. Pendaftaran dilakukan untuk memperoleh perlindungan hukum dari negara atas penyalahgunaan hak paten yang dilakukan oleh pihak yang tidak berhak.



319



Pendaftaran invensi perlu dalam rangka memperoleh hak paten, karena faktor keadilan, sebagai perangsang inventor untuk membuat invensi baru, menghindari penyalahgunaan hak paten dari pihak yang tidak berhak, sesuai dengan ketentuan konvensi internasional. 283 Paten pada dasarnya memberikan keuntungan bagi negara dimana paten mempuyai peranan dalam menggairahkan invensi baru di bidang teknologi dan mampu menciptakan suasana yang kondusif bagi tumbuhnya industri. Lisensi paten dapat dimanfaatkan oleh negara untuk membantu perkembangan teknologinya yang tertinggal dari negara lain, selain itu proses alih teknologi dari negara maju ke negara berkembang dapat dilakukan melalui sistem paten. Paten memiliki keuntungan ekonomi dan merupakan aset investasi bagi negara (dalam kaitan paten yang di kembangkan dan diproduksi di negara tersebut). Teori Bruggink mengenai keberlakuan hukum tersebut akan berlaku secara efektif dimana masyarakat mematuhi kaidah hukum tersebut. Problematika akan muncul manakala keberlakuan tersebut tidak berlaku efektif. Problematika mengenai keberlakuan hukum dapat terjadi karena adanya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih atau peraturan yang dibentuk tanpa melihat kebutuhan masyarakat yang ada. Keberlakuan UU No. 14 Tahun 2001 di Indonesia sebagai suatu norma yang telah dianggap sah sebagai norma hukum (legal norm) yang mengikat untuk umum. UU Paten sebagai norma hukum berlaku karena diberlakukan atau karena dianggap berlaku oleh para subjek hukum yang diikatnya. Problematika pada keberlakuan empiris terjadi manakala UU Paten tidak memberikan manfaat bagi industri herbal sehingga secara empiris keberlakuannya menimbulkan problematik tersendiri bagi Industri herbal. Industri herbal tidak menganggap bahwa 283



G. Kartasapoetra dan Rien G. Kartasapoetra, Konvensi_konvensi Internasional Tentang Paten, (Bandung : Pionir Jaya, tanpa tahun), halaman 37 – 38.



320



mendaftarkan paten adalah suatu kebutuhan yang memberikan manfaat besar bagi perkembangan Industri herbal. Problematika secara evaluatif dapat dilihat ketidakadilan justru terjadi manakala produk herbal berbasis TK yang pada dasarnya merupakan milik masyarakat di ambil oleh masyarakat lain (negara asing) tanpa izin atau tanpa adanya kontribusi atas manfaat yang telah diambil. Problematik dalam tiga keberlakuan Bruggink akan dapat diselesaikan apabila pembuatan hukum (dalam hal ini hukum Paten) tidak bertentangan dengan UU lain yang sederajat dan terutama UU tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Fuller mengutarakan mengenai prinsip-prinsip pembuatan hukum dimana pembuatan hukum seyogyanya 284: a. b. c. d. e. f. g.



h.



harus ada aturan-aturan sebagai pedoman dalam pembuatan keputusan. aturan-aturan yang yang menjadi pedoman bagi otoritas tidak boleh dirahasiakan, melainkan harus diumumkan; aturan-aturan itu harus dibuat untuk menjadi pedoman bagi kegiatankegiatan dikemudian hari; hukum harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti oleh rakyat biasa; aturan-aturan tidak boleh bertentangan satu sama lain; aturan–aturan tidak boleh mensyaratkan perilaku yang diluar kemampuan pihak-pihak yang terkena; dalam hukum harus ada ketegasan, artinya hukum tidak boleh diubah-ubah setiap waktu,sehingga orang tidak bisa lagi mengorientasikan kegiatan kepadanya; harus ada konsistensi antara aturan-aturan sebagai mana yang diumumkan dengan pelaksanan senyatanya.



Prinsip bahwa hukum harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti oleh rakyat biasa, dalam hal ini dapat dianalisis bahwa para pelaku industri herbal tidak memahami esensi dari pendaftaran hak paten sehingga akibatnya para pelaku industri herbal enggan untuk mendaftarkan produk herbalnya agar mendapatkan hak paten. Kesadaran para pelaku industri herbal untuk mendaftarkan paten sangat minim



284



Lihat Lon Fuller, The Morality of Law,Yale University Press,1964, Bab 2



321



karena hal tersebut dilatarbelakangi dengan banyaknya kendala yang mereka harus hadapi dan berbagai kenyataan-kenyataan lain. Kerberlakuan dalam teori hukum menurut Kansil ada 3 macam, yaitu285 kelakuan Juridisch, kelakuan sociologisch, dan kelakuan philosopisch. Kelsen menyatakan bahwa dalam kelakuan Juridisch dimana kaedah hukum mempunyai kelakuan ―Juridisch‖ jika penentuannya berdasarkan kaedah yang lebih tinggi (ini berhubung dengan Stufenbau theorie dari Kelsen), sedangkan Zevenbergen berpandangan bahwa kaedah hukum mempunyai kelakuan Juridisch jika kaedah itu ―op de vereischte wijze is tot stand gekomen‖ misalnya Undang-undang di Indonesia harus dengan persetujuan DPR atau disyahkan oleh Presiden. Pandangan Logemann (De logische Kenvorm des rechts‖) bahwa kaedah hukum itu Juridisch mengikat (mempunyai kekuatan juridis) jika menunjukkan hubungan keharusan antara satu ―condition‖ dan Result. Kelakuan ―Sociologisch‖, dalam hal ini ada dua teori yaitu teori ―Machtstheorie‖ dan teori ―Anerkennungstheorie‖. ―Machtstheorie‖ dimana kaidah mempunyai kelakuan sociologis jika oleh yang berwajib dipaksakan berlakunya, diterima atau tidak oleh warga .Anerkennungstheorie dimana kaidah mempunyai kelakuan sosiologis jika diterima/diakui oleh mereka untuk siapa kaedah itu berlaku. Kelakuan ―Philosophisch‖ merupakan kaedah hukum yang sesuai dengan ―Rechtsidee‖ (menurut versi Radbruch) dalam hidup bersama di mana kaedah hukum itu berlaku. Kaedah hukum yang sesuai dengan cita-cita hukum, masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Hukum Paten di Indonesia sepatutnya memenuhi ketiga keberlakuan tersebut yaitu kelakuan Juridisch dan Sociologisch dan Phylosophisch. Konsekuensi dari 285



Kansil, Pengantar Ilmu hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1989), halaman 499



322



kelakuan tersebut yaitu kaidah akan hanya merupakan ―dode regel‖ jika hanya mempunyai kelakuan jurids dan kaidah tanpa adanya kelakuan philosophis (hanya memiliki kelakuan Juridisch dan kelakuan Sociologisch) maka kaidah itu menjadi ―dwangmaatregel‖ serta jika hanya mempunyai kelakuan philosophis saja maka kaedah itu hanya boleh disebut ―Ius Constituendum‖ atau ―Ideal Norm‖ atau kaedah hukum yang diharapkan286. Pengingkaran dalam keberlakuan hukum maka dapat mengakibatkan Chaos-nya pemberlakuan hukum paten di Indonesia saat ini seharusnya memaksa bangsa ini untuk membenahi konstruksi hukumnya termasuk hukum paten Indonesia. Hukum paten Indonesia harus dapat menyesuaikan diri dengan nilai filosofis, sosiologis, dan yuridis Bangsa Indonesia. Secara teoritis, berlakunya hukum dibedakan menjadi tiga macam hal, yaitu : 1.



2.



3.



Berlakunya secara yuridis. Undang-undang mempunyai kekuatan berlaku yuridis apabila persyaratan formal terbentuknya undang-undang itu telah dipenuhi. Hans Kelsen berppendapat bahwa kaedah hukum mempunyai kekuatan berlaku apabila penetapanya didasarkan atas kaedah yang lebih tinggi tingkatanya. Berlakunya secara sosiologis, yang berintikan pada keefektivitas hukum. Disini artinya adalah efektivitas atau hasil guna kaedah hukum didalam kehidupan bersama. Maksudnya, berlakunya atau diterimanya kaedah hukum di dalam masyarakat itu lepas dari kenyataan apakah peraturan itu terbentuk menurut persyaratan formal atau tidak. Jadi disini berlakunya hukum merupakan kenyataan di dalam masyarakat. Berlakunya secara filosofis, artinya bahwa hukum itu sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.287



Agar hukum dapat berfungsi dengan baik maka harus memenuhi tiga hal tersebut. Apabila terpenuhi secara yuridis saja maka maka akan menjadi kaedah yang mati, apabila dipenuhi secara sosiologis maka hanya akan tampak menjadi aturanaturan pemaksa dan apabila berlaku secara filosofis saja maka hukum sebagai suatu



286 287



Kansil, Op.cit., halaman 500 Soerjono Soekanto. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : CV. Rajawali Press.



323



kaidah yang di cita-citakan saja. Lebih jelas lagi pengkajian secara filosofis, yuridis, dan sosiologis sebagai berikut. Filosofis, yaitu pandangan hidup bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila. Penjabaran nilai-nilai Pancasila dalam hukum mencerminkan suatu keadilan, ketertiban dan kesejahteraan yang diinginkan oleh masyarakat indonesia. Hukum Paten Indonesia seyogyanya mencerminkan keadilan bagi Bangsa Indonesia terutama sebagai pemilik TK dan pemilik keanekaragaman hayati yang melimpah di bidang obat-obatan. Modal dasar tersebut semestinya dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Hak paten yang menggunakan TK dan keanekaragaman hayati Indonesia tidak boleh melupakan kontribusinya baik secara moral maupun ekonomis kepada Bangsa Indonesia selaku pemilik TK dan keanekaragaman hayati tersebut. Sosiologis, yaitu budaya bangsa Indonesia yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika yang berwawasan nusantara. Tumbuhnya kesadaran bagi para pelaku usaha atau inventor unuk mengembangkan TK yang didukung dengan bahan baku yang melimpah. Pengembangan dengan melakukan penelitiian dan inovasi serta kesadaran untuk mendaftarkan hasil dari invensinya. Yuridis, yaitu nilai-nilai dasar UUD 1945, yaitu dijiwai oleh nilai-nilai keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat yang tidak memihak kepentingan orangseorang saja, melainkan kepentingan orang banyak. Hukum paten meskipun scara histors bukanlah berasal dari nilai-nilai kemasyarakatan bangsa Indonesia, namun secara yuridis hukum paten harus sesuai dengan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan nilai dasar negara Indonesia.



324



C. Implikasi dan Urgensi Pengaturan Undang-undang Paten Dalam Memproteksi Herbal Berbasis Traditional Knowledge yang dihasilkan oleh industri obat tradisional di Indonesia Negara Indonesia adalah negara hukum. Kualifikasi Negara Indonesia sebagai negara hukum tersirat dalam Penjelasan Undang-undang Dasar, dikatakan ―Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechsstaat)‖, selanjutnya di bawahnya dijelaskan ―Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).― Amandemen terakhir Undang-undang Dasar Negara RI lebih mempertegas identitas sebagai negara hukum, yakni dalam Pasal 1 ayat 3, tertulis ―Negara Indonesia adalah negara hukum‖. Konsekuensi sebagai negara hukum maka Indonesia harus menerapkan hukum yang telah diciptakannya bersama masyarakat dengan tujuan agar kehidupan dalam negara dan masyarakat tertib dan damai. Indonesia adalah Negara Hukum‖, artinya bahwa Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaats), tidak berdasar atas kekuasaan (machtstaat) dan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Sebagai konsekwensi dari Pasal 1 ayat (3) Amandemen ketiga Undang-Undang Dasar1945, 3 (tiga) prinsip dasar yang wajib dijunjung oleh setiap warga negara yaitu supremasi hukum; kesetaraan di hadapan hukum dan penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum. Pasal 1 ayat 3 tersirat bahwa Negara hukum Indonesia berdasar pada Pancasila sebagai ideologi bangsa dan UUD 1945 sebagai konstitusi. Negara Indonesia yang mendasarkan pada Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945



325



berimplikasi pada bahwa segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum. Upaya untuk mewujudkan negara hukum tersebut diperlukan tatanan yang tertib antara lain di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan. Tertib pembentukan



peraturan



perundang-undangan



harus



dilakukan



sejak



saat



perencanaansampai dengan pengundangannya. Peraturan perundang-undangan yang baik dibuat memerlukan berbagai persyaratan yang berkaitan dengan sistem, asas, tata



cara



penyiapan



dan



pembahasan,



teknik



penyusunan



maupun



pemberlakuannya288. Undang-undang Paten di Indonesia merupakan salah satu bukti kehadiran hukum yang telah dibentuk, disahkan, dan dijalankan oleh negara sebagai otoritasnya. Konsekuensi sebagai negara hukum maka negara membuat aturan untuk mengatur masyarakat agar tercapai ketertiban, kemanan dan keselarasan baik antara masyarakat dengan negara, atau masyarakat dengan masyarakat itu sendiri. Rudolf Stammler289 mengemukakan bahwa tujuan atau fungsi hukum adalah harmonisasi berbagai maksud, tujuan dan kepentingan antara individu dengan individu dan antara individu dengan masyarakat. Penyelenggaraan suatu negara hukum, yakni pembuatan undang-undang, penegakan hukum dan peradilan. Tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan pengejawantahan cita hukum yang di anut dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam berbagai perangkat aturan hukum positif, lembaga hukum dan proses (perilaku birokrasi pemerintahan dan



288 289



Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-undang, (Jakarta : Rajawali Press, 2011), halaman 180. Ahmad M. Ramli, Koordinasi dan harmonisasi Peraturan perundang-undangan, BPHN, halaman 5



326



masyarakat)290. Pembangunan dan pembinaan Hukum di Indonesia didasarkan atas Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Secara implisit memperlihatkan bahwa penyusunan hukum yang berlaku di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan pandangan hidup bangsa, Pancasila291. Pancasila sebagai pandangan hidup, maka paham negara hukum tidak seperti dianut dalam budaya hukum Barat292. Paham Negara Hukum yang dianut Indonesia mendudukkan kepentingan orang perseorangan secara seimbang dengan kepentingan umum. Artinya, negara mengakui hak dan kewajiban asasi warga negara serta melindunginya, sementara negara diberikan kekuasaan untuk melindungi hak dan kewajiban asasi rakyatnya serta membuat pengaturan-pengaturan yang memungkinkan terjaminya kehidupan masyarakat aman, tenteram, dan damai. Paham Negara Hukum dalam budaya hukum di Indonesia tidak mendudukkan kepentingan individu di atas segala-galanya, seperti di negara-negara Barat, dan tidak perlu mendudukkan kepentingan negara di atas segala-galanya dengan mengorbankan kepentingan masyarakat. Perspektif paham



290



B. Arief Sidharta, ―Paradigma Ilmu-Ilmu Hukum Indonesia dalam perspektif Positivis‖, Makalah disajikan dalam Simposium Nasional Ilmu Hukum ― Paradigma Dalam Ilmu Hukum Indonesia‖ diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis Fakultas Hukum UNDIP ke 41 bekerjasama dengan Pusat Kajian Hukum Indonesia Bagian Tengah dan Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP Semarang, 10 Februari 1998,halaman 27. 291 Pandangan hidup bangsa Indonesia telah dirumuskan secara padat dalam bentuk kesatuan lima sila yang dinamakan Pancasila. Dengan sengaja Pancasila ditempatkan dalam Pembukaan UndangUndang Dasar 1945, sebagai landasan kefilsafatan yang mendasari dan menjiwai penyusunan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam undang-undang dasar itu. Dengan demikian,Pancasila melandasi dan (seharusnya) menjiwai kehidupankenegaraan di Indonesia,termasuk kegiatan menentukan dan melaksanakan politik hukumnya. Karena,itu, penyusunan dan penerapan Tata Hukum diIndonesia sejak berlakunya undang-undang dasaritu tadi harus dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila, lihat, B. Arief Sidharta, ―Filsafat Pancasila‖, 292 Dalam budaya hukum Barat, negara bertugas hanya untuk melindungi orang perorangan serta harta benda miliknya, yang kemudian menimbulkan pandangan liberal dalam kehidupan sosial, ekonomi atau pengertian Negara Hukum (rechtsstaat) yang dihadapkan pada pengertian Negara Kekuasaan (Machtsstaat) seperti yang diajarkan Machiavelli yang kemudian di Jerman melahirkan aliran nasional –sosialisme (Nazi)



327



negara Hukum dan falsafah hidup bangsa Indonesia, kepentingan individu dan kepentingan masyarakat diletakkan dalam posisi seimbang293. Peraturan perundang-undangan yang baik akan membatasi, mengatur dan sekaligus memperkuat hak warganegara. Pelaksanaan hukum yang transparan dan terbuka di satu sisi dapat menekan dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh tindakan warga negara sekaligus juga meningkatkan dampak positif dan aktivitas warga negara. Dengan demikian hukum pada dasarnya memastikan munculnya aspek-aspek positif dari kemanusiaan dan menghambat aspek negatif dari kemanusiaan dan memaksimalkan ekspresi potensi masyarakat. Undang-undang paten yang sulit untuk melakukan proteksi terhadap produk herbal berbasis TK di Indonesia akan berimplikasi pada masyarakat Indonesia untuk memaklumkan kondisi tersebut. Adanya ketidaksesuaian sebuah sistem hukum paten seharusnya berakar dari norma, nilai, dan rasa keadilan masyarakatnya. Sistem hukum paten yang sekarang ini, memang bukan berasal dari nilai-nilai yang hidup di dalam bangsa ini. Hal ini disebabkan beberapa faktor, yang diantaranya ketidakmampuan legislator kita dalam merumuskan hukum. Tujuan untuk membuat suatu undang-undang yang awalnya untuk mengakomodir kebutuhan-kebutuhan masyarakat, dikalahkan dengan kepentingan-kepentingan dunia internasional (atas nama ikut serta dalam arus internasionalisasi). Dari sudut pelaksanaannya, hukum sering diartikan sebagai seni. Hal ini biasanya dikaitkan dengan tugas hukum, yakni mencapai keadilan. Keadilan itu pada hakekatnya merupakan penyerasian antara kepastian dengan kesebandingan. Dalam kajian disertasi ini hukum itu adalah nilai dan seni. Implikasi pada sulitnya proteksi 293



Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945 – 1990, (Yogyakarta : Genta Publishing, 2010), halaman 206.



328



herbal berbasis TK dalam UUP maka akan berakibat pada pada perolehan rasa keadilan dan akan memunculkan fenomena tersendiri dalam masyarakat. Menurut Radbruch dalam pengertian hukum dapat dibedakan tiga aspek yang ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian hukum yang memadai. Aspek yang pertama ialah keadilan dalam arti yang sempit. Keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. Aspek yang kedua ialah tujuan keadilan atau finalitas. Aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Aspek yang ketiga ialah kepastian hukum atau legalitas. Aspek itu menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati294. Aspek finalitas atau isi hukum, bahwa isi hukum berkaitan secara langsung dengan keadilan dalam arti umum, sebab hukum menurut isinya merupakan perwujudan keadilan tersebut. Tetapi tujuan keadilan umum itu adalah tidak lain daripada tujuan hukum itu sendiri, yakni memajukan kebaikan dalam hidup manusia. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa isi hukum selalu adalah sesuatu yang menumbuhkan nilai kebaikan di antara orang. Kebaikan ini oleh Radbruch ditentukan sebagai suatu nilai etis, dan memang demikian, sebab nilai ini mendapat bentuknya dalam sikap manusia yang dalam tingkah lakunya menurut kewajibannya demi kebaikan hidup295. Pemikiran ini dilanjutkan dengan memastikan bahwa nilai etis ini dapat bergabung dengan tiga subyek. Subyek yang pertama yang hendak dimajukan kenaikannya ialah manusia individual. Hukum yang disusun dengan tujuan ini bersifat individualistis. Kemungkinan juga subyek itu adalah negara. Bila tujuan hukum adalah memajukan negara, maka tujuan itu menghasilkan suatu sistem 294



295



Theo Huijbers, Filfafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta : Kanisius, 1982), halaman 163 Ibid



329



hukum kolektif. Kemungkinan ketiga ialah, bahwa subjek yang dituju itu bukan manusia individual atau kolektif, tetapi kebudayaan. Bila demikian halnya sistem hukum yang diciptakan adalah suatu sistem hukum transpersonal296. Ilmu hukum pada dasarnya mempunyai peranan yang besar di dalam menetapkan landasan-landasan mengenai keteraturan. Suatu ketertiban akan dapat dicapai dengan kepastian hukum, sedangkan ketenteraman akan tercapai dengan kesebandingan hukum. Ketertiban merupakan suatu kebutuhan umum, yang secara psikologis adalah suatu ―principle of necessity‖. Ketenteraman merupakan suatu kebutuhan pribadi, yang secara psikologis haruslah senatiasa juga dipenuhi, dan lazimnya dinamakan sebagai ―principle of pleasure‖297. Keduanya itu harus selalu diserasikan di dalam hukum paten agar negara Indonesia mencapai tujuannya di dalam menciptakan kesejahteraan yang maksimal bagi umat manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Radbruch dengan the idea of law dimana dalam the idea of law tersebut terkandung tiga elemen yaitu justice (keadilan), expediency (kelayakan), dan legal certainty (kepastian hukum). Ketiga elemen tersebut saling kontradiksi, tetapi saling memerlukan satu sama lain. Meskipun untuk mencapai kepastian hukum harus mengorbankan keadilan dan kelayakan, tetapi demi penegakan hukum maka kepastian harus dijunjung tinggi298. Selanjutnya Pound menamakan kepastian hukum sebagai predictability. Sementara Oliver Wendell Holmes menyatakan kepastian



296 297



298



Ibid Soerjono Soekanto, Aspek Hukum Kesehatan (Suatu Kumpulan Catatan), (Jakarta : IND-HILLC0,1989),halaman 12. Gustav Radbruch dalam The Legal Philosophies of Law, Radbruch and Dabin, (Cambridge Massachuetts : Harvad University Press, 1950), Halaman 107.



330



hukum sebagai the prophecies of what the courts will do in fact and nothing more pretentious are what mean by the law.299 Fuller mengajukan 8 (delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak terpenuhi, maka gagallah hukum disebut sebagai hukum. Dengan kata lain harus ada kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut: 300 1. suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu; 2. peraturan tersebut diumumkan kepada publik; 3. tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem; 4. dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum; 5. tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan; 6. tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan; 7. tidak boleh sering diubah-ubah; 8. harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari. Pendapat Fuller di atas dapat dikatakan bahwa harus ada kepastian antara peraturan dan pelaksanaannya. Hubungan antara hukum dan kepastian tidaklah bersifat mutlak. Hukum menciptakan kepastian peraturan, dalam arti adanya peraturan seperti undang-undang. Dengan demikian sudah memasuki ranah aksi, perilaku, manusia dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi bagaimana hukum positif dijalankan. Undang-undang paten sulit untuk melakukan proteksi terhadap TK khususnya dibidang obat-obatan tradisional karena terhambat pada aturan mengenai syarat kebaharuan dan syarat langkah inventif. Obat-obatan (produk herbal maupun produk obat modern/farmasi) dapat dilindungi oleh Undang-undang Paten apabila telah memenuhi syarat novelty, inventif step, dan industrially applicable. Unsur kebaruan dan unsur inventif step sulit untuk diperoleh bagi produk herbal berbasis TK karena sulitnya dalam melakukan riset dan pengembangan bagi obat tradisional. 299 300



Roscoe Pound, 1978: An Introduction to the Philosophy Of Law. Yale University Press, New Haven. Lon Fuller, 1971, The Morality Of Law, Yale University: New Haven. Hal 54- 58



331



Pada prinsipnya hak paten diberikan kepada inventor yang telah dengan upayanya menghasilkan invensi. Hal ini perlu untuk diberikan reward atas hasil kerja kerasnya. Makna yang sangat mendalam berupa pengakuan terhadap hasil karya intelektual yang telah dihasilkan oleh inventor harus diberikan penghargaan sebagai imbalan atas upaya-upaya kreatifnya dalam menciptakan invensi. Teori ini sejalan dengan prinsip yang menyatakan bahwa inventor yang telah mengeluarkan waktu, tenaga, biaya, dalam menghasilkan invensi harus memperoleh kembali apa yang telah dikeluarkannya yang dikenal dengan teori Recovery Theory. Teori lain yang sejalan dengan teori reward adalah incentive theory yang mengaitkan pengembangan kreativitas dengan memberikan insentif bagi para inventor tersebut. Berdasarkan teori ini insentif perlu diberikan untuk mengupayakan terpacunya kegiatan-kegiatan penelitian yang berguna301. Ketiga teori ini pada intinya memiliki visi yang sama, yaitu berupa pemberian penghargaan kepada para inventor atas karya intelektual yang telah dihasilkannya. Pemberian penghargaan tersebut dalam perkembangannya harus dikaitkan dengan upaya untuk menciptakan iklim yang kondusif agar masyarakat tetap kreatif. Penghargaann yang tidak memadai akan membunuh kreativitas masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, teori-teori tersebut perlu disempurnakan dengan memasukkan kepentingan makro sebagai upaya untuk menumbuhkan kreativitas masyarakat sehingga pengahargaan tidak dianggap sebagai satu-satunya upaya memberikan keuntungan untuk individu inventor atau Pemilik paten, tetapi lebih jauh adalah untuk menciptakan kreativitas secara nasional. Pemberian penghargaan tersebut akan merupakan sumbangan kongkret bagi negara dalam pembangunan 301



Robert M. Sherwood, Intellectual Property and Economic Development : Westview Special Studies in Science Technology and Public Policy, (San Fransisco : Westview Press Inc., 1990), halaman 39.



332



teknologi dan pembangunan ekonominya. Teori ini dinamakan Teori Kepentingan Makro302. Teori keempat yang dikemukakan oleh Robert M. Sherwood adalah Risk Theory. Teori ini mengakui bahwa paten merupakan suatu hasil karya yang mengandung resiko yang dapat memungkinkan orang lain yang terlebih dahulu menemukan cara tersebut atau memperbaikinya, sehingga dengan demikian adalah wajar untuk memberikan suatu bentuk perlindungan hukum terhadap upaya atau kegiatan yang mengandung resiko tersebut. Sherwood berpendapat bahwa resiko yang mungkin timbul dari penggunaan secara illegal yang menimbulkan kerugian secara ekonomis maupun moral bagi Inventor tersebut dapat dihindari jika terdapat landasan hukum yang kuat yang berfungsi untuk melindungi paten tersebut. Faktanya, kesulitan mengatasi resiko ini dapat pula timbul disebabkan karena lemahnya sistem penegakan hukum meskipun peraturan Perundang-undangan yang berlaku telah cukup dalam memberikan perlindungan. Teori risk harus diartikan secara luas, tidak hanya sekedar penyediaa perangkat hukum semata, tetapi juga harus mengakomodasi ketentuan-ketentuan tentang peran dan tanggung jawab aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum dan langkah untuk membudayakan perlindungan HKI di kalangan masyarakat, mengingat resiko pelanggaran HKI berpotensi akan tetap terjadi jika budaya masyarakat tidak mendukung perlindungan hukum di bidang HKI. Teori terakhir yang dikemukakan oleh Robert M. Sherwood adalah Economic Growt Stimulus teoriney yang mengakui bahwa perlindungan paten merupakan suatu alat dari pembangunan ekonomi, dan yang dimaksud dengan pembanguan ekonomi 302



Lihat laporan akhir Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan Rancangan Undang-undang tentang Hak Kekayaan Industri, BPHN, Tahun 2011, halaman 26.



333



adalah keseluruhan tujuan dibangunnya suatu sistem perlindungan paten yang efektif. Menurut Sherwood, teori ini sangat relevan untuk dijadikan dasar perlindungan HKI saat ini terutama dalam menghadapi era perdagangan bebas dan konsekuensi diratifikasinya kesepakatan WTO oleh Indonesia. Kajian teori Sherwood harus dilihat kembali manakala para pemegang hak paten dalam mendapatkan hak patennya menggunakan TK masyarakat lokal dengan tanpa izin. Reward tidak hanya semata diberikan kepada inventor namun juga harus ada mekanisme pembagian manfaat pada pemilik TK dimana tanpa TK tersebut sang inventor tidak mungkin dapat mengembangkan invensi dan mendapatkan manfaat darei hak paten tersebut. Kenyataannya, UU Paten tidak memberikan mekanisme pembagian keuntungan dan hanya mengakomodir keuntungan pada inventor saja. Mengapa hukum paten tidak mampu menjawab permasalahan-permasalahan dan memberi perlindungan kepada masyarakat? Terutama menjawab permasalahan proteksi produk herbal berbasis TK dalam Undang-undang Paten. Menjadi suatu pertanyaan apakah hukum itu hanyalah tentang formalitas belaka, dengan mengabaikan keadilan sebagai tujuan dari hukum itu sendiri. Berangkat dari keadaan yang ‗carut marut‘ tersebut sebuah pembaharuan hukum di rasa semakin perlu untuk diadakan sebuah hukum yang responsif, yaitu hukum yang bersifat tanggap terhadap tuntutan-tuntutan masyarakat. Ke depan, peraturan hukum yang dihasilkan harus benar-benar merupakan perwujudan dari nilai-nilai keadilan masyarakat Indonesia, yang dalam perumusannya berproses ―bottom up‖ bukannya ―top down‖ yang kemudian menyebabkan hukum yang dihasilkan tidak dapat menjawab permasalahan yang ada dalam masyarakat.



334



Obyek dari paten adalah invensi di bidang teknologi. Invensi ini harus baru (novelty), memiliki langkah inventif (inventive step), dan dapat diterapkan dalam bidang industri (industrially applicable). Syarat fundamental paten adalah kebaruan. Kalau melihat syarat kebaruan sebagai salah satu syarat untuk perolehan paten, maka akan sulit kemungkinan bagi pengetahuan tradisonal khususnya traditional technology untuk bisa diberi perlindungan paten. Hal ini dikarenakan kebanyakan pengetahuan tradisional digunakan secara turun temurun dan berpuluh-puluh tahun, mengingat sifatnya yang tradisional sehingga pengetahuan tradisional tersebut tidak baru yang berarti gagal memenuhi syarat kebaruan. Sifat kebaruan pada invensi akan hilang apabila ada publikasi dengan cara bagaimanapun,



di



negara



manapun,



atau



pernah



diketahui



dengan



cara



bagaimanapun, dan di negara manapun sebelum aplikasi diajukan. Kebaruan relatif berarti sifat baru dari suatu temuan itu akan hilang apabila ada publikasi di negara manapun atau penggunaan setempat yang diketahui umum sebelum aplikasi diajukan. Indonesia dalam hal syarat kebaruan menganut sistem kebaruan yang luas (world wide novelty), hal itu dapat dilihat dari ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan mengenai paten, baik pada peraturan yang lama maupun pada peraturan perundang-undangan yang baru. Ketentuan Pasal 3 UndangUndang tentang Paten, menunjukkan syarat kebaruan yang luas, yaitu: bahwa suatu invensi tidak dianggap baru, jika pada saat pengajuan permintaan paten, invensi tersebut telah diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau melalui peragaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan invensi (invensi) tersebut sebelum tanggal



335



penerimaan atau tanggal prioritas303. Mengenai syarat kebaruan, bisa bersifat mutlak atau relatif, bersifat mutlak atau dikenal dengan world wide novelty. Di lain pihak, karena kondisi dan kepentingan negara berkembang ada bentuk novelty lokal atau national novelty yang bersifat relatif304. Kebaruan yang disyaratkan di Indonesia sebenarnya bersifat luas (world wide novelty), akan tetapi dalam UU Paten Indonesia, syarat kebaruan luas (Pasal 3 UU Paten) dan dapat dilihat dari Pasal 4 UU Paten, yaitu: suatu invensi tidak dianggap telah diumumkan jika dalam jangka waktu paling lama 6 bulan sebelum tanggal penerimaan : (1) invensi tersebut telah dipertunjukkan dalam suatu pameran internasional di Indonesia atau di luar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi atau dalam suatu pameran nasional di Indonesia yang resmi atau diakui sebagai resmi. (2) invensi tersebut telah digunakan di Indonesia oleh penemunya dalam rangka percobaan dengan tujuan penelitian dan pengembangan. Indonesia



sebaiknya



menggunaan



novelty



relative



dimana



untuk



mengakomodir kesulitan para pelaku usaha herbal untuk dapat memenuhi syarat novelty. Indonesia dapat juga menggunakan novelty lokal khusus untuk memproteksi herbal berbasis TK di Indonesia. Ketentuan novelty lokal di Indonesia disesuaikan dengan kondisi dan kepentingan masyarakat lokal. Kesulitan dan kendala untuk memenuhi unsur kebaharuan dan langkah inventif berbanding terbalik dengan kondisi Indonesia yang memiliki pengetahuan tradisional yang berlimpah dan keanekaragaman hayati yang besar. Mantra bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang begitu kaya akan sumber daya alam. Kekayaan alam Indonesia yang berlimpah tidaklah heran secara otomatis kita berharap seluruh rakyat 303 304



Endang Purwaningsih, Op.Cit., halaman 221. Ibid, halaman 222.



336



akan sejahtera. Cara bepikir demikian tidaklah salah namun menimbulkan banyak tantangan untuk terwujudnya rakyat Indonesia yang sejahtera. Permasalahan berikutnya berkaitan dengan hal tersebut adalah pertama, ketersediaan sumber daya alam akan terus berkurang, begitu banyak yang tergunakan dan kita tidak mendapatkan keuntungan dari itu. Kedua, pemanfaatan sumber daya alam selama ini bukannya memberikan manfaat kesejahteraan bagi kebanyakan orang, melainkan hanya sebagian kecil kelompok masyarakat saja yang menikmatinya. Industri herbal di Indonesia memiliki keuntungan dalam hal dikembangkannya industri ini. Pertama, ketergantungan industri ini terhadap bahan baku import sangat kecil, bahkan cenderung tidak ada karena bahan bakunya banyak tersedia di bumi Indonesia. Konsekuensinya, harga sangat terjangkau masyarakat. Kedua, potensi persaingan dengan negara lain juga relatif tidak besar, karena obat jamu merupakan produk unik dan khas Indonesia. Bahan-bahan alami yang dikandungnya membuat efek samping yang ditimbulkan sangat sedikit. Disamping keuntungan di atas, permasalahan yang sering dihadapi oleh industri ini adalah tidak semua perusahaan obat tradisional telah memiliki standar produksi yang baik. Hal ini menyebabkan masyarakat beranggapan bahwa obat tradisional tidak higienis. Penggunaan standar produksi yang baik, yang sudah diakui internasional seperti ISO, sangat penting di dalam persaingan. Selain itu juga masih banyak masyarakat yang memandang rendah terhadap obat tradisional, serta kualitas dan kesinambungan pasokan bahan baku. Berkaitan dengan inovasi yang perlu dikembangkan adalah perbaikan formulasi kemasan (pil, tablet, kapsul, dll), uji klinis, uji kualitas serta promosi yang gencar. Diharapkan dengan langkah-langkah tersebut di atas industri farmasi nasional dapat lebih berkembang dan mandiri serta mudah-mudahan siap dalam menyongsong



337



ekonomi global305. Proteksi terhadap herbal berbasis TK di Indonesia berpeluang bagi bangsa Indonesia untuk melakukan persaingan global. Persaingan global yang berbasis pada kepentingan nasional (seperti pengaturan mengenai TK dalam sistem hukum Paten di Indonesia) maka keuntungan dan manfaat dari globalisasi pun akan mampu di raih. Paten merupakan sesuatu yang penting bagi negara industri.bagi Indonesia, hal itu menjadi penting ketika mulai melangkah menuju ekonomi pasar yang bertitik tolak pada industrialisasi. Pemberian proteksi produk herbal berbasis TK dalam kerangka hukum paten di Indonesia masih merupakan problematika. Terlepas dari sisi buruk (kelemahan di bidang riset mengenai herbal berbasis TK) baik keadaan dan fakta di Indonesia, patut disambut dengan baik upaya yang kini sedang dilakukan oleh lembaga ristek yang telah concern dengan isu TK meskipun upaya yang dilakukan belum sepenuhnya membuahkan hasil yang maksimal untuk mengatasi biopiracy terhadap TK di Indonesia. Indonesia juga mempunyai kelemahan dalam bidang riset dan pengembangan (research and development). Sampai saat ini belum ada perusahaan Indonesia yang mempunyai anggaran untuk riset dalam pengembangan yang memadai guna bersaing dengan perusahaan farmasi multi nasional. Alhasil, kekayaan alam kita tidak dapat kita dioptimalkan sebab bentuk dan kemasannya hanya memiliki nilai tambah (add value) yang masih sangat minim. Di sisi lain, kita tidak dapat mengekspor bahan baku dalam keadaan seperti tersebut di atas karena harganya sudah tidak kompetitif. Hal terkait yang juga harus dipertimbangkan adalah faktor pengujian.



305



Sri Mulyani Indrawati, Industri Farmasi Nasional di Dalam Pencaturan Ekonomi Global : Sebuah Catatan, dalam Eddie Lembong, Geliat Industri Farmasi di Indonesia Menuju Era Globalisasi, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1999), halaman 164.



338



Proses pengujian bahan baku alam berbeda dengan bahan kimia. Karena itu untuk mengetahui hasilnya secara maksimal, dibutuhkan proses pengujian yang panjang. Aspek berikutnya adalah potensi nasional. Masalahnya, sejalan dengan kecenderungan meningkatnya industri bahan baku alam,para pelaku industri besar kini mulai membeli industri kecil yang memproduksi bahan baku alam. Dengan keunggulan teknologi, modal, dan akses pasar, mereka memiliki peluang yang lebih besar untuk mengungguli pelaku kelas menengah dan kecil yang notabene hanya memiliki akses bahan baku. Para pelaku industri farmasi, baik industriawan maupun pemerintah serta unsur-unsur lainnya bergabung membentuk Indonesia Incorporated supaya cita-cita menguasai bahan baku alam ini bisa terealisir306. Kebutuhan untuk melakukan proteksi produk herbal berbasis TK dalam kerangka hukum Paten Indonesia diantaranya di karenakan : pertama, keberadaan TK yang berkaitan dengan herbal mampu memunculkan dan memberikan nilai ekonomis dengan memanfaatkannya. Hak kekayaan intelektual khususnya paten merupakan aset yang sangat berharga dan dapat memberikan kontribusi yang besar untuk pembangunan sistem ekonomi di setiap negara. Pada saat yang sama, paten mendorong industri lokal dalam negara untuk dapat bersaing di pasar dunia. Kedua, menghindari atau mengurangi terjadinya biopiracy pada TK di Indonesia. Isu mengenai biopiracy menjadi penting bagi negara Indonesia karena Indonesia merupakan salah satu pemilik sumber daya keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya spesies makhluk hidup baik



306



Midian Sirait, Mencapai Cita-Cita Bangsa, di Dalam Pencaturan Ekonomi Global : Sebuah Catatan, dalam Eddie Lembong, Geliat Industri Farmasi di Indonesia Menuju Era Globalisasi, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1999), halaman 166.



339



hewan maupun tumbuhan, plama nutfah, keanekaragaman genesis dan juga pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia307. Perusahaan besar (seringkali asing) yang bergerak dibidang farmasi dan agrobisnis telah banyak memperoleh pengetahuan tentang cara-cara pengobatan tradisional ini dari masyarakat tradisional, kemudian memproduksinya secara massal dan menjualnya kepada masyarakat asli atau tradisional dan mendapat laba yang besar. Masyarakat tradisional sebenarnya layak diberikan royalty sebagai imbalan terhadap kekayaan tradisional yang dimilikinya308. Paten atas pengetahuan tradisional telah banyak menimbulkan kontroversi dikalangan negara-negara berkembang. Masyarakat tradisional sering dirugikan karena penggunaan kekayaan tradisional yang dimiliki masyarakat tradisiomal. Tanaman obat-obatan yang tumbuh di wilayah pemukiman masyarakat tradisional banyak yang telah diteliti oleh industri-industri farmasi raksasa dan multinasional di negara-negara industri maju dijadikan obat-obatan yang dilindungi hak paten yang dimiliki perusahaan-perusahaan ini. Laba besar yang diperoleh perusahaan farmasi karena obat yang telah di patenkan dijual dengan harga tinggi untuk menutupi biaya riset dan mengejar keuntungan bagi perusahaan.309 Timbulnya biopiracy terhadap pihak asing karena adanya kondisi keterbatasan dana, sarana dan prasana, profesionalitas SDM, R%D, pada industri herbal berbasis TK di Indonesia. Kelemahan ini yang digunakan oleh pihak asing untuk memliki pengetahuan tradisional Indonesia tentang herbal berbasis TK dan melakukan R&D



307



308



309



Dian Nurfitri dan Rani Nuradi, Pengantar Hukum Paten Indonesia, (Bandung:Alumni, 2013), halaman 87 Tim Lindsey, dkk (Ed), Hak Kekayaan Intelaktual (Suatu Pengantar), (Bandung : Alumni, 2006), Halaman 261. Ibid, halaman 271.



340



untuk mendapatkan kebaruan dan melakukan pendaftaran paten. Vanda Shiva310 berkomentar tidak jauh beda dengan hal ini bahwa : Sharing and exchange of knowledge by indigenous people get converted to ―piracy‖ when individuals, organizations or corporations who freely receive biodiversity from indigenous communities and knowledge convert the freely received gifts into private property through patent claims Ketiga, menjaga identitas bangsa Indonesia untuk dapat di wariskan kepada generasi berikutnya. Keempat, sebagai konsekuensi keikutsertaan Indonesia dalam WTO maka Indonesia tidak bisa lepas dari keterikatan dalam ketentuan TRIPs Agreement. Perlindungan herbal berbasis TK pada UU Paten perlu dicermati perubahan dari Pasal 3 ayat 1 beserta penjelasannya. Pasal tersebut harus segera di lakukan revisi dengan memuat ketentuan lebih jelas mengenai bukan literature paten dan memasukan dokumentasi TK sebagai bukan literature paten sehingga dapat dokumentasi TK di Indonesia dapat dijadikan prior art. Alternatif lain dalam upaya lain untuk melakukan perlindungan TK dapat dilakukan dengan menggunakan undang-undang yang sui generis mengenai TK. Penggunaan novelty relative memiliki dampak positif yaitu dapat memudahkan mendapatkan hak paten, namun dari segi sifat komunal yang ada pada TK tidak dapat terakomodir dengan baik, sehingga perlu kiranya pembuatan hukum yang berkarakter TK sangat kuat yaitu dengan sistem hukum yang sui generis. Ketentuan mengenai uu yang bersifat sui generis ini perlu untuk didukung dengan mekanisme benfit sharing yang jelas sehingga dapat dijalankan dan dimanfaatkan bagi masyarakat Indonesia.



310



Vandana Shiva, The Plunder of Nature and Knowledge Biopiracy, (New Delhi : Natraj Publishers, 2012, halaman 65-87.



341



Perlindungan TK ini baik dalam UU Paten meupun sui generis memiliki kelebihan dan kekurangan. Hal tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini : Tabel 15. Perlindungan TK dalam UU Paten No Kelebihan 1 UUP melakukan upaya proteksi terhadap TK agar tidak dapat di daftarkan hak paten 2 Melakukan revisi dengan menambahkan ketentuan pasal yang menyatakan bahwa negara adalah pemilik TK 3 TK dipertimbangkan sebagai bahan non literature (melakukan revisi Pasal 3 ayat 1 dan penjelasannya) 4



5



Kekurangan Mencegah orang lain mendapatkan hak sehingga sulit untuk mendaftarkan hak paten Ketentuan mengenai TK tetap tidak secara khusus atau spesifik di bahas dalam UUP



Belum ada dokumentasi TK atau data base mengenai TK yang dapat menunjang sebagai bahan literature non hukum. Melakukan revisi Pasal 4 dengan Kemungkinan akan terjadinya menggunakan ketentuan novelty penyalahgunaan ketentuan novelty relative atau novelty local relative atau novelty lokal oleh segelintir orang / kelompok. Ketentuan TK hanya ada yang TK tidak secara spesifik di dalam berkiatan dengan pengguaan dalan ketentuan paten hak paten saja Sumber : Hasil penelitian yang telah di olah Tabel 16 : Perlindungan TK dengan Menggunakan Sistem Sui Generis



No 1



2



3



Kelebihan Kekurangan Ketentuan TK lebih spesifik / Pembuatan hukum ini memerlukan khusus dan sangat jelas kajian yang dalam dan komprehensif terakomodir serta memerlukan waktu yang cukup lama. Mekanisme benefit sharing tidak Pembentukan lembaga ini perlu hanya secara teori tetapi sampai adanya penguatan secara struktur dan dengan pembentukan lembaga perlu sosialisasi serta adaptasi dalam yang mengurusi benefit sharing kelembagaan di Indonesia dan mekanisme benefit sharing Sistem sui generis melakukan Upaya pelestarian dan pewarisan Tk upaya pelestarian dan pewarisan akan banyak menghadapi tantangan TK baik dari negara maju maupun dari interen masyarakat Indonesia. Sumber : Hasil Penelitian yang di olah



342



BAB IV HARMONISASI HUKUM NASIONAL KHUSUSNYA HUKUM PATEN YANG BERKAITAN DENGAN PROTEKSI TERHADAP HERBAL BERBASIS TRADITIONAL KNOWLEDGE DI INDONESIA



Hukum berlaku didasarkan pada waktu, tempat, dan sasaran tertentu. Hukum yang berlaku tersebut tidak lepas dari hukum yang ada pada saat, tempat, sasaran sebelumnya, dan dalam perkembangannya seirama dengan proses pertumbuhannya. Hukum tidak selalu merupakan hasil dari suatu negara tertentu secara terpisah, tetapi hukum pada suatu negara sering kali terpengaruh oleh hukum yang berlaku di negara lain, yang merupakan proses transplantasi/harmonisasi311 secara langsung ataupun tidak, sebagian atau keseluruhannya.Indonesia salah satu negara yang tidak luput dari proses harmonisasi hukum. Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1994. Negara-negara anggota WTO, dalam hal ini juga Indonesia, dengan ratifikasi tersebut maka harus menyesuaikan peraturan nasionalnya dengan ketentuan - ketentuan yang ada dalam persetujuan-persetujuan WTO. Salah satu persetujuan dalam WTO yaitu TRIPs. TRIPs merupakan perjanjian internasional di bidang Hak Kekayaan Intelektual terkait perdagangan. TRIPs Agreement diratifikasi pada tanggal 1 Januari 2000 dengan harapan dapat memberikan perlindungan bagi berbagai produk intelektual atas upaya pelanggaran hak atas produk yang dihasilkan baik oleh individu maupun suatu korporasi. Kesepakatan TRIPS ini 311



Pengambilalihan aturan hukum (lagal rule), ajaran hukum (doctrine), struktur (structure), atau institusi hukum (legal institution) dari satu sistem hukumke sistem hukum yang lain atau dari wilayah hukum ke wilayah hukum yang lain. Harmonisasi merupakan proses kesesuaian akibat terjadinya transplantasi. Lihat Tri Budiyono, Transplantasi Hukum (Harmonisasi dan Potensi Benturan), (Salatiga : Griya Media,2009), halaman 12.



343



meliputi 5 (lima) hal, yaitu: (1) Penerapan prinsip-prinsip dasar atas sistem perdagangan dan hak kekayaan intelektual; (2) Perlindungan yang layak atas hak kekayaan intelektual; (3) Bagaimana negara-negara harus menegakkan hak kekayaan intelektual sebaik-baiknya dalam wilayahnya sendiri; (4) Penyelesaian perselisihan atas hak kekayaan intelektual antara negara-negara anggota WTO; (5) Kesepakatan atas transisi khusus selama periode saat suatu sistem baru diperkenalkan. Indonesia sebagai salah satu anggota WTO memiliki keharusan untuk menyesuaikan segala peraturan perundangannya di bidang Hak Kekayaan Intelektual dengan standar TRIP's, termasuk penyesuaian TRIPs terhadap Undang-undang Paten (UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten). Tindakan penyesuaian tersebut di lakukan dengan tindakan ratifikasi berbagai Undang-undang HKI. Proses ratifikasi tidak luput dari persoalan-persoalan yang diantaranya yaitu mengenai persoalan : (1) persoalan perdebatan keharusan dari ratifikasi; (2) persoalan implementasi aturan TRIPs yang telah dimasukan dalam UU HKI khususnya UU Paten; (3) persoalan kesiapan Indonesia menghadapi arus internasionalisasi. Ratifikasi merupakan wujud bahwa pada prinsipnya pemerintah Indonesia mengakui eksistensi hukum internasional (termasuk di dalamnya konvensi internasional seperti : TRIPs, PCT, CBD, Doha Declaration, dan konvensi internasional lainnya), namun demikian Indonesia tidak begitu saja menerima perjanjian internasional tersebut, kecuali setelah dilakukan harmonisasi antara perjanjian internasional dan hukum nasional. Pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam sistem hukum nasional di Indonesia memerlukan proses ratifikasi oleh DPR RI sesuai dengan ketentuan Pasal 11 dan Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945, Pasal 13 UU RI No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Pasal 15 UU No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian



344



Internasional. Proses selanjutnya setelah ratifikasi yaitu suatu proses harmonisasi. Proses harmonisasi perjanjian internasional dengan Undang-undang yang telah ada di Indonesia akan diadakan Perubahan Undang-undang. Proses harmonisasi pada perjanjian internasional dimana belum ada Undang-undang yang mengatur maka akan dilakukan proses perancangan Undang-undang baru. Proses pembangunan hukum memerlukan beberapa tahapan, diantaranya adalah inventarisasi peraturan perundang-undangan yang telah ada dan untuk menjaga hal-hal yang berkaitan dengan masalah hubungan internasional juga perlu dilakukan dengan mencari bentuk inventarisasi konvensi-konvensi dan perjanjian-perjanjian internasional. Proses berikutnya setelah inventarisasi peraturan perundang-undangan nasional dan hukum internasional, maka perlu adanya penekanan kesamaan tujuan, kesamaan asas/prinsip, sehingga perlu pula dilakukan harmonisasi. Pertanyaan apakah suatu transformasi hukum internasional kedalam hukum nasional itu perlu, hanya dapat dijawab oleh hukum positif, bukan oleh suatu doktrin tentang hakekat hukum internasional atau hukum nasional atau hubungan timbal balik diantara keduanya312. Proses harmonisasi tidak hanya menjadi persoalan hukum internasional, tetapi juga merupakan persoalan hukum nasional. Suatu negara yang akan melakukan proses harmonisasi maka harus melakukan berbagai penyesuaian dengan ketentuan hukum yang telah ada lebih dulu di negaranya (hukum nasionalnya). Proses tindakan penyesuaian tersebut tidaklah mudah dan memerlukan perjuangan tersendiri. Disharmonisasi kadang kala tidak dapat dihindari. Paling tidak ada tiga permasalahan utama terjadinya disharmonisasi, yaitu : (a) tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan perundang-undangan; (b) perumusan peraturan perundang-undangan yang kurang jelas; 312



Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif, Alih bahasa Somardi,(Remidi Press, 1995), halaman 378.



345



dan implementasi undang-undang terhambat peraturan pelaksanaannya. Permasalahan tersebut di atas, antara lain, disebabkan oleh proses pembentukan peraturan perundangundangan yang mengabaikan pentingnya pendalaman materi, koordinasi, sinkronisasi dan harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lain.313 Harmonisasi ibarat sebuah simfoni yang dimainkan oleh sang dirigen sebagai pemimpin orkesta. Didalamnya beradu sebuah solfege yang harus dimainkan secara apik oleh para pemain orkestra, sehingga menghasilkan keterpaduan. Namun dalam konteks yang lebih spesifik, persoalan harmonisasi hukum tak sedemikian mudahnya. Sang dirigen lebih diposisikan sebagai penyanyi (baca : pemimpin) yang hendak bertutur atas kemauannya. Demikian juga dengan para pemain orkestranya (baca : lembaga-lembaga negara) yang sering mengikuti nada-nada yang dimaui oleh sang penyanyi314. Harmonisasi bukanlah suatu hal yang baru dalam hubungan internasional. Harmonisasi kerapkali dilakukan diberbagai organisasi internasional yang mewajibkan negara untuk menyesuaikan kewajiban dalam hukum internasional ke dalam ketentuan nasional. Manfaat dapat diambil dari adanya harmonisasi ini yaitu : pertama, bagi banyak negara, belum terdapat suatu hukum yang memadai dalam mengatasi perbedaan hukum antar negara. Kedua, internasionalisasi yang berkembang dari perekonomian dunia dan meningkatnya saling ketergantungan dari negara-negara di dalam kaitannnya dengan perdagangan dan arus investasi internasional adalah argumentasi yang utama dari adanya kesamaan hukum yang berlaku secara internasional. Aturan hukum nasional tiap negara sedikit banyak kemungkinan berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Perbedaan ini kemudian dikhawatirkan akan juga mempengaruhi kelancaran transaksi perdagangan itu sendiri. Solusi dalam mengatasi 313 314



Ahmad M. Ramli, Koordinasi dan harmonisasi Peraturan perundang-undangan, BPHN, halaman 1 Arief Fardimal, Harmonisasi Hukum dalam Hubungan antara Masyarakat dan Negara, dalam Jurnal GemaKeadilan No.1 Tahun ke 34 2010, halaman 54.



346



masalah ini dapat dilakukan yaitu dengan cara315 : (1) Negara-negara sepakat untuk tidak menerapkan hukum nasionalnya; (2) Menggunakan hukum nasional negara tertentu yang telah disepakati jika aturan dalam hukum perdagangan internasional tidak ada; (3) Melakukan unifikasi dan harmonisasi316 hukum terhadap aturan-aturan yang terdapat dalam hukum perdagangan internasional. Kesulitan juga mengiringi proses harmonisasi selain adanya manfaat atau keuntungan yang dapat diambil. Kesulitan dalam menciptakan harmonisasi hukum terutama di negara-negara berkembang seperti negara Indonesia. Hal ini dikarenakan negara-negara berkembang memiliki keterbatasan kemampuan dalam memfasilitasi proses domestifikasi. Adanya tekanan dari aktor eksternal di luar negara membuat negara tidak sepenuhnya independen317. Keberadaan produk hukum internasional mempunyai arti yang strategis, perjanjian internasional merupakan sarana penting dalam mengatur tatanan ekonomi dunia. Pembentukan hukum internasional (sebagaimana yang terjadi pada pembentukan hukum nasional) selalu ada golongan-golongan yang berpengaruh besar dan mampu mengarahkan produk hukum internasional yang akan dihasilkan kearah yang relatif menguntungkan ―mereka‖318. Negara-negara berkembang dihadapkan pada tidak ada pilihan,ikut serta atau tidak, selain itu paling tidak ada



315



316



317



318



Huala, Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2005), halaman 30 Persamaan antara unifikasi dengan harmonisasi adalah sama-sama upaya atau proses menyeragamkan substansi pengaturan sistem-sistem hukum yang ada. penyeragaman tersebut mencakup pengintegrasian sistem hukum yang sebelumnya berbeda. Perbedaan antara unifikasi dengan harmonisasi adalah derajat penyeragaman tersebut. Penyeragaman dalam unifikasi hukum mencakup penghapusan dan penggantian suatu sistem hukum dengan sistem hukum yang baru. Harmonisasi hukum tidak sedalam unifikasi hukum, tujuan utama harmonisasi hukum adalah berupaya mencari keseragaman atau titik temu dari prinsip-prinsip yang bersifat fundamental dari berbagai sistem hukum yang ada (yang akan di harmonisasikan). Lihat Huala Adolf, op.cit., halaman 31. Dian Rositawati, dalam Sulistyowati Irianto (Edt.), Hukum yang Bergerak (Tinjauan Antropologi Hukum), (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2009), halaman 56. Candra Perbawati, Globalisasi Ekonomi Dan Perspektif Keadilan Bagi Negara-Negara Berkembang, Artikel dalam Jurnal Justisia, Vol 12 No. 1 Juni 2004, Fakultas Hukum Lampung, halaman21.



347



suasana ketergantungan yang jauh sebelumnya telah diciptakan oleh negara maju terhadap mereka sehingga dengan berat hati ketentuan-ketentuan mereka terima. Negara-negara maju mendesak agar masalah mengenai HKI langsung dikaitkan dengan perdagangan, artinya jika suatu negara melakukan pelanggaran HKI atau tidak mematuhi standart-standart yang telah digariskan secara internasional, dapat dikenai sanksi balasan, maka atas desakan negara maju masalah perlindungan hak milik intelektual dimasukkan ke dalam agenda Perundingan GATT pada Putaran Uruguay yang telah disepakati pada bulan Desember Tahun 1993. Desakan memasukan kepentingan negara-negara maju khususnya masalah HKI pada hukum internasional yang pada akhirnya akan terapkan pula pada negara-negara berkembang. Negara-negara maju menggunakan fungsi hukum internasional untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan mereka. Pemikiran negara berkembang bahwa perlindungan HKI merupakan tembok penghalang bagi perkembangan ekonomi negara. Pemikiran ini mencuat karena HKI membawa monopoli untuk negara yang sudah maju. Perlindungan HKI dipandang sebagai bentuk ―persaingan tidak wajar‖ terhadap negara-negara berkembang. Perlindungan HKI dipandang sebagai pemberian fasilitas dan pengutamaan yang bersifat kapitalis-liberalistis. Monopoli dapat semacam ini dapat menghalangi terjadinya lalu lintas informasi dan perkembangan ekonomi yang bebas. Proteksi HKI akan mengakibatkan bertambah lebarnya jurang diantara negara-negara yang sudah maju dan negara-negara berkembang319. Manusia di dalam masyarakat memerlukan perlindungan dalam berbagai kepentingan. Perlindungan kepentingan tersebut dapat tercapai dengan terciptanya 319



Soedjono, Dirdjosisworo, Hukum Perusahaan Mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual (Hak Cipta, Hak Paten, Hak Merek), (Bandung : Mandar Maju, 2000), halaman4.



348



pedoman atau peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia harus bertingkah laku dalam masyarakat agar tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Kehidupan dalam bermasyarakat akan selalu bergerak dalam ranah berbagai kepentingankepentingan yang berjalan sesuai dengan dengan kebutuhan masing-masing. Kepentingan tiap manusia berbeda-beda dan kepentingan-kepentingan tersebut adakalanya berbeda-beda. Mengingat akan banyaknya kepentingan-kepentingan yang beragam tersebut, tidak mustahil terjadi konflik atau bentrokan sesama manusia dalam masyarakat. Konflik tersebut terjadi karena adanya kepentingan yang berbeda dan saling bertentangan. Himahanto Juwono320 menganalisis bahwa ada 2 fungsi hukum internasional yaitu pertama, fungsi hukum internasional dalam konteks ilmu hukum, dimana hukum internasional dipahami sebagai suatu aturan atau kaedah yang berlaku bagi subyeknya. Hukum Internasional berfungsi sebagai suatu kaedah. Kedua, Fungsi lain dari Hukum Internasional adalah sebagai instrumen yang digunakan oleh pemerintah suatu negara untuk mencapai tujuan nasionalnya (international law as instrument of national policy). Fungsi dari hukum Internasional sebagai instrumen politik. Eksistensi Hukum Internasional yang berfungsi sebagai instrumen politik didasarkan pada realitas hubungan antar negara. Hubungan antar negara tidak lepas dari kepentingan yang saling bersinggungan. Terlebih lagi di era global dimana batas fisik seolah tidak ada (borderless). Suatu negara akan menggunakan berbagai instrumen politik, seperti ketergantungan ekonomi321, ketergantungan dalam masalah pertahanan, dan Hukum



320



Lihat Hikmahanto Juwana, Hukum Internasional Sebagai Instrumen Politik : Beberapa Pengalaman Indonesia Sebagai Kasus, Makalah dalam Seminar APHI yang diselenggarakan oleh APHI (Asosiasi Pengajar Hukum Internasional bekerjasama dengan FH UNDIP, Semarang 20-21 Mei 2011. 321 Ketergantungan ekonomi dijadikan alat karena semakin tergantung sebuah negara kepada negara lain, maka semakin rentan negara tersebut untuk diintervensi. Bahkan negara yang memiliki



349



Internasional untuk menyampingkan halangan kedaulatan negara lain dalam mencapai kepentingan nasionalnya. Melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial merupakan amanat Konstitusi yang harus diperjuangkan secara konsisten. Indonesia sebagai negara yang besar, memiliki potensi untuk mempengaruhi dan membentuk opini internasional dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional. Konstelasi politik internasional yang terus mengalami perubahan-perubahan yang sangat cepat menuntut Indonesia berperan dalam politik luar negeri dan kerja sama baik di tingkat regional maupun internasional. Pemanfaatan hukum internasional menurut Hikmahanto Juwana322 yaitu : (1) sebagai pengubah konsep; (2) sebagai sarana intervensi urusan domestik; (3) sebagai alat penekan. Pemanfaatan hukum internasional sebagai pengubah konsep dimana hukum internasional memiliki manfaat untuk mengubah atau memperkenalkan suatu ketentuan, asas, kaedah ataupun konsep. Negara dapat memanfaatkan hukum internasional untuk mengubah atau memperkenalkan konsep. Hal ini dapat dipahami karena hukum internasional dibentuk oleh negara. Konsep ini apabila diterima oleh mayoritas masyarakat internasional maka akan memiliki daya ikat. Konsep HKI yang dimunculkan oleh negara maju yang pada akhirnya diterima oleh masyarakat internasional dan telah memiliki daya ikat tidak hanya pada negara maju tetapi juga pada negara-negara berkembang.



322



kekuatan ekonomi bisamelakukan pemaksaan melalui lembaga keuangan internasional yang mereka kontrol. Di sini tidak akan dibahas secara khusus bagaimana ketergantungan ekonomi dijadikan instrumen politik. Hikmahanto Juwana, Hukum Internasional Sebagai Instrumen Politik : Beberapa Pengalaman Indonesia Sebagai Kasus, Makalah dalam Seminar APHI yang diselenggarakan oleh APHI (Asosiasi Pengajar Hukum Internasional bekerjasama dengan FH UNDIP, Semarang 20-21 Mei 2011



350



Pemanfaatan hukum internasional sebagai sarana intervensi urusan domestik dimana Cara yang paling efektif untuk melakukan intervensi adalah dengan memanfaatkan perjanjian internasional sebagai salah satu produk hukum internasional. Perjanjian internasional dibuat sedemikian rupa berimplikasi pada kewajiban bagi negara peserta untuk mentransformasikan ketentuan yang ada dalam perjanjian internasional ke dalam hukum nasionalnya. Hukum nasional suatu negara harus mencerminkan dan tidak boleh bertentangan dengan perjanjian internasional yang diikuti. Indonesia telah melakukan ratifikasi berbagai konvensi internasional yang terkait dengan HKI. Indonesia sebagai salah satu negara anggota WTO yang memiliki konsekuensi logis dengan memiliki kewajiban untuk menyelaraskan ketentuan hukum nasional dengan ketentuan WTO, termasuk mengenai konsep HKI, sebagaimana yang tertuang dalam TRIPs. Pemanfaatan hukum internasional sebagai alat penekan,dimana negara menekan negara lain agar mengikuti kebijakannya. Negara-negara maju menggunakan hukum internasional untuk menekan negara-negara berkembang melakukan penegakan hukum HKI. Hal yang sama juga harus dilakukan terutama bagi Indonesia dalam melakukan proteksi TK dalam kerangka hukum internasional yaitu HKI. Meskipun upaya ini belum maksimal dapat dilakukan. Sistem HKI melalui TRIPs Agreement yang telah dibangun oleh negara-negara maju telah melahirkan pertentangan-pertentangan kepentingan antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang terutama terkait dengan proteksi TK323. Adanya kepentingan Internasional negara-negara maju terhadap negara-negara



323



Pertentangan-pertentangan tersebut yaitu pertentangan kepentingan seperti kepentingan pemilik (hak monopoli) versus public, kepentingan ekonomi dengan sosial, Barat dengan Timur atau Utara dengan Selatan dan Individu versus komunal. Pertentangan kepentingan tersebut perlu upaya untuk keseimbangan (balance and equlibrium).



351



berkembang dimana negara-negara maju menghendaki diadopsinya norma-norma menurut ukuran negara maju ke negara berkembang. Keadaan demikian semakin menyatakan dominasi negara maju dalam mempengaruhi kepentingan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya harus lebih banyak mengalah karena keterbatasan dari negara-negara berkembang dalam penguasaan teknologi dan kemampuan Industri. Ketentuan Internasional yang tertuang dalam Konvensi TRIPs lebih banyak menguntungkan kepentingan-kepentingan negaranegara



maju.



Indonesia



sebagai



negara



berkembang



yang



masih



banyak



menggantungkan industrinya pada hasil-hasil penelitian negara maju tidak banyak memiliki pilihan selain mengikuti kemauan dari negara-negara maju. Kesulitan lainnya dari harmonisasi pada negara-negara berkembang (termasuk negara Indonesia), yaitu kurangnya kemampuan negara untuk menciptakan hukum nasional yang memadai untuk melindungi kepentingan masyarakat lokal di dalam negara324. Pemerintah Indonesia sebagai pelindung masyarakat dengan aturan yang dibentuk untuk melindungi kepentingan-kepentingan rakyat. Jika pemerintah tidak lagi bisa mengakomodir kepentingan rakyat secara adil, akan terjadi ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa tujuan hukum adalah melindungi kepentingan manusia, seperti apa yang dikatakan oleh Roscoe Pound. Kepentingan manusia adalah suatu tuntutan yang dilindungi dan dipenuhi manusia dalam bidang hukum. Pemrintah seyogyanya mengakomodir kepentingan rakyat dalam hukum nasionalnya sehingga tujuan hukum itu terpenuhi. Di saat hukum yang dibuat pemerintah tidak bisa mencakup semua aspek kehidupan, di situ aturan baru akan timbul. Manusia akan cenderung menyesuaikan dengan kehendak pribadi atau



324



Dian Rositawati, op.cit., halaman 56.



352



kelompoknya. Akan dibentuk hukum baru yang timbul dari bawah, lantas hal tersebut akan menjadi kebiasaan dalam kelompok tertentu. Tindakan demi melindungi kepentingan industri dalam negeri serta mewujudkan tatanan perdagangan dunia dimaksud, Pemerintah Indonesia harus mengikuti ketentuan-ketentuan kesepakatan perdagangan internasional, kesepakatan multilateral maupun regional. Para pelaku bisnis baik pemerintah, swasta nasional dan asing serta koperasi dengan bidang-bidang yang dicakup dalam perdagangan baik lokal, nasional, regional maupun internasional, senantiasa harus tunduk kepada aturan-aturan internasional325. Setiap negara semakin dituntut



untuk



memakai



standard



internasional



bagi



pelaksanaan



kegiatan



pembangunannya disegala kehidupan bangsa. Pembangunan harus didasarkan pada standard baku internasional yang berlaku. Negara yang memakai standard lokal akan kalah dalam persaiangan dan akan ketinggalan dengan dunia luar. Akibatnya hukum nasional suatu negara mau tidak mau harus beradaptasi dengan pelbagai kecenderungan yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia (globaltrend), sebagaimana tersirat dalam instrumen-instrumen internasional seperti konvensi, deklarasi, resolusi, standard minimum rules dan sebagainya. Adaptasi tersebut dapat dilakukan melalui berbagai langkah seperti :ratifikasi terhadap konvensi-konvensi internasional, adposi atau internalisasi hukum-hukum asing kedalam hukum nasional mengadakan perjanjianperjanjian baik bilateral maupun multilateral atau harmonisasi berbagai prinsip-prinsip universal dengan hukum nasional. Harmonisasi bukan saja bertujuan pada terciptanya hukum, namun ia lebih dari sekedar perwujudan negara hukum yang baik. Disini ada proses pembangunan yang berkesinambungan antara subsistem ekonomi kapitalis, subsistem negara, dan subsistem 325



BPHN, Pengkajian Hukum tentang Masalah Penyelesaian Sengketa Dagang dalam WTO, (Jakarta : BPHN, 1997/1998), halaman 3



353



masyarakat sipil dalam mewujudkan hukum yang harmonis326. Di era globalisasi, masalah yang timbul dari hubungan antara subjek hukum menjadi semakin kompleks. pola pemikiran manusia semakin maju. Setiap interaksi yang terjadi pasti harus ada hukum yang mengatur, seperti gambaran dimana ada manusia, disitu ada hukum. Hukum dewasa ini menjadi suatu ukuran untuk menentukan setiap perlaku manusia, segala sesuatunya harus berdasarkan hukum yang berlaku atau hukum yang saat itu ada. Namun masalah yang timbul adalah, hukum yang dibuat oleh manusia sarat kepentingan, sehingga hukum itu terbentuk untuk melegalkan setiap tindakannya. Keberadaan hukum tidak dapat dilihat semata-mata sebagai kaedah atau norma yang harus dipatuhi. Situasi dimana hukum dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu dalam praktek dan kenyataan sering kali ditemukan. Hukum dimanfaatkan sebagai alat untuk mencapai suatu kepentingan. Hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan sering kali dijadikan alat untuk melegitimasi kekuasaan demi kebaikan ataupun sebaliknya. Hukum juga dijadikan alat pemaksa bagi keinginan penguasa bagi keinginan penguasa terhadap rakyatnya. Bahkan hukum dapat dijadikan instrumen oleh penguasa untuk mengubah perilaku masyarakatnya. Dalam konteks masyarakat internasional, hukum internasional kerap dimanfaatkan oleh negara sebagai instrumen untuk mencapai suatu kepentingan. Hukum diseret-seret sebagai senjata pembenar setiap tindakan, bukan sebagai alat pemberi keadilan. Hukum dimaknai sebagai undangundang saja, seharusnya hukum lebih luas dari itu. Hukum di masa kini adalah instrumen dasar dalam menyatukan atau mengintegrasikan berbagai kepentingan global. HKI sebagai salah satu kepentingan global diintegrasikan melalui tindakan



326



Arief Fardimal, Op. Cit., halaman 54.



354



penyeragaman. Tindakan penyeragaman tersebut dilaksanakan dengan ratifikasi instrumen TRIPs. Pada dasarnya upaya mengadaptasikan norma-norma hukum lokal dengan normanorma hukum masyarakat bangsa-bangsa telah dilakukan di Indonesia semasa Orde Baru. Ratifikasi atas sejumlah norma hukum internasional menjadi hukum positif nasionalpun telah dilakukan327. Ratifikasi HKI termasuk Paten dilakukan pada masa Orde Baru. Saat ini, suasana nasional sangat kondusif untuk mendukung dilakukannya harmonisasi, sinkronisasi sistem hukum nasional dalam menyikapi era globalisasi. Hukum saat ini ditempatkan secara terhormat sebagai bidang pembangunan, setelah ditetapkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005 – 2025. Relevan dengan hal tersebut, maka yang harus dilakukan Indonesia adalah harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan. Harmonisasi atau penyesuaian perundang-undangan (harmonization of law) lebih menekankan pada keberadaan indikator-indikator dan karakteristik yang sama dalam perundang-undangan. Sedangkan



sinkronisasi



atau



penyelarasan



peraturan



perundang-undangan



(syncronization of law) lebih mementingkan bahwa suatu perundang-undangan tidak boleh bertentangan satu sama dengan perundang-undangan yang sederajat (sinkronisasi sederajat/horizontal) dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi (sinkronisasi vertikal). Upaya harmonisasi dan sinkronisasi antara hukum nasional dengan hukum internasional ini harus dilakukan dengan tetap



327



Eman Suparman, Harmonisasi Hukum Di Era Global Lewat Nasionalisasi Kaidah Transnasional, halaman 76



355



berusaha untuk mengakomodasikan kecenderungan internasional (internationaltrends) di samping memperhatikan aspirasi domestik328. Indonesia sebagai negara hukum, konstitusi (UUD NRI Tahun 1945) harus menjadi acuan dalam penyelenggaraan negara, oleh karena itu maka sistem pemerintahaan negara Indonesia perlu adanya suatu tata hukum yang menjadi bingkai norma-norma hukum agar saling terkait dan tersusun menjadi sebuah sistem. Setiap norma hukum dalam sistem tersebut tidak boleh mengesampingkan atau bahkan bertentangan dengan norma hukum yang lainnya. Sistem hukum dalam negara hukum harus tersusun dalam tata norma hukum secara hierarkis dan tidak boleh saling bertentangan di antara norma-norma hukumnya baik secara vertikal maupun horizontal, sehingga jika terjadi konflik antara norma-norma tersebut maka akan tunduk pada norma-norma logisnya, yakni norma-norma dasar yang ada dalam konstitusi. Karakteristik dari norma hukum yang bersumber pada norma dasar itu meliputi prinsip konsistensi dan legitiitas. Suatu norma hukum tetap akan berlaku dalam suatu sistem hukum sampai daya lakunya diakhiri melalui suatu cara yang ditetapkan dalam sistem hukum, atau digantikan norma lain yang diberlakukan oleh sistem hukum itu sendiri. Berlakunya prinsip-prinsip lex posterior derogate legi priori (norma hukum yang baru membatalkan norma hukum yang terdahulu), lex superior derogate legi inferiori (norma hukum yang lebih tinggi tingkatannya membatalkan norma hukum yang lebih rendah), dan lex specialis derogate legi generalis (norma hukum yang bersifat khusus membatalkan norma hukum yang bersifat umum). Prinsip lex specialis derogate legi generalis berlaku yang sebaliknya, artinya merupakan keadaan ―menyimpang‖ dari keharmonisasian norma-norma dalam tatanan hierarki sistem 328



Yohanes Suhardin, Harmonisasi dan Singkronisasi Hukum Nasional Dalam Menyikapi Era Globalisasi, Yustisia, Edisi No. 75, September – Desember 2006, halaman 85.



356



hukum nasional. Hal ini tentu hanya boleh terjadi apabila norma-norma hukum yang umum memang tidak jelas atau mengatur norma hukum yang memang dibutuhkan. Lex specialis dapat dipandang sebagai suatu ―masalah‖ dalam politik harmonisasi hukum, ia masih berada dalam koridor atau kerangka hukum beralas dari norma-norma dasar dalam konstitusi. Harmonisasi hukum terjadi tidak hanya pada rancangan peraturan perundangundangan saja tetapi bisa juga terjadi peraturan perundang-undangan yang telah ada dan masih berlaku. Harmonisasi hukum dapat dilakukan terhadap peraturan perundangundangan yang ada dan masih berlaku apabila setelah melalui beberapa penelitian ilmiah patut diduga tidak berjalan dengan efektif dan efisien atau terjadi conflict of norm atau overlapping pengaturan. Penulis dalam disertasi ini tidak sangat tegas sekali menyatakan bahwa dalam upaya proteksi herbal berbasis TK telah terjadi conflict of norm atau overlapping pengaturan, namun penulis lebih menekankan pada telah terjadinya ketidakharmonisan norma. Ketidakharmonisan ini menimbulkan lemahnya proteksi herbal berbasis TK di Indonesia dan yang lebih hebat lagi adalah pembiaran terhadap terjadinya biopiracy/missappropriation. A. Harmonisasi Hukum Paten Dalam Analisis Stufenbau Theory Perjanjian internasional dan hukum nasional sebagai norma hukum dalam hubungannya sangatlah mungkin akan terjadi suatu konflik antara keduanya. Konflik ini bisa dimaklumi terjadinya gesekan kepentingan yang berbeda anatar keduanya, oleh karena itu penting adanya keseimbangan serta harmonisasi hukum agar masingmasing kepentingan terwadahi dengan baik. Upaya untuk menghindari terjadinya disharmonisasi peraturan perundang-undangan khususnya dalam hal proteksi herbal



357



berbasis TK, maka secara ideal dapat dilakukan dengan melakukan harmonisasi terhadap tata urutan perundang-undangan nasional yang digunakan sebagai pedoman.Kesesuaian antara norma-norma hukum dalam peraturan perundangundangan, baik vertikal maupun horizontal dapat digunakan Stufentheory Hans Kelsen. Harmonisasi hukum secara vertikal yaitu harmonisasi yang berjenjang dari atas ke bawah, atau dari bawah ke atas. Harmonisasi hukum secara vertikal dimana suatu norma hukum itu berlaku, bersumber dan berdasar pada norma hukum di atasnya, norma hukum yang berada di atasnya berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma hukum yang menjadi dasar dari semua norma hukum yang dibawahnya. Norma Dasar itu selalu menjadi sumber dan menjadi dasar dari norma hukum dibawahnya, norma hukum di bawahnya selalu menjadi sumber dan menjadi dasar dari norma hukum yang dibawahnya lagi, dan demikian seterusnya ke bawah329. Harmonisasi hukum secara horizontal merupakan harmonisasi yang tidak bergerak ke atas atau ke bawah, tetapi ke samping. Harmonisasi hukum secara horizontal merupakan penarikan suatu norma hukum untuk kejadian-kejadian yang dianggap serupa. Upaya poteksi herbal berbasis TK di Indonesia dalam kerangka hukum paten tidak hanya dapat dilihat dalam UUP tetapi juga bisa dilihat dalam UU lain seperti UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan CBD, (3) UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Analisis dari harmonisasi hukum secara vertikal dapat dilakukan dengan stufentheori dari Hans Kelsen.Hans Kelsen mengemukakan teori tentang jenjang 329



Maria Farida I, menyebut sebagai dinamika norma hukum yang vertikal. Lihat Maria Farida I,op.cit., halaman 9.



358



norma hukum (stufentheorie). Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarki (tata susunan). Suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tingg. Norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada suatu norma yang lebih tinggi lagi., demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm)330. Stufen Theory (Stufen = tangga) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, bahwa tertib hukum berbentuk sebuah piramid, dimana pada tiap-tiap tangga piramid terdapat kaedah-kaedah. Selanjutnya oleh Hans Kelsen menjelaskan bahwa dasar berlaku dan legalitas suatu kaedah terletak pada kaedah yang lebih tinggi. Ini berarti yang menjadi dasar berlakunya suatu ketetapan adalah peraturan, dasar berlakunya peraturan adalah undang-undang. Dasar berlakunya undang-undang adalah UndangUndang Dasar danakhirnya dasar berlakunya Undang-Undang Dasar adalah kaedah dasar (grund norm)331. Menurut Kelsen, bahwa sistem hukum itu merupakan suatu sistem per-tangga-an (bertingkat-tingkat) kaidah artinya, suatu keadaan hukum yang tingkatnya lebih rendah haruslah mempunyai dasar atau pegangan pada kaidah hukum yang lebih tinggi sifatnya. Setiap kaidah hukum haruslah mencerminkan sistem pertanggaan ini dan yang akhirnya kaidah hukum tertinggi yang dinamakan konstitusi itupun harus bersumber pada suatu norma dasar yang disebut grundnorm. Teori dari Hans Kelsen ini dinamakan steufenbau teori. Penjelasan dari hal tersebut yaitu bahwa puncak piramid itu adalah kaedah dasar atau grundnorm dan dibawahnya terdapat kaedah Undang-Undang Dasar, yang 330 331



Lihat Hans Kelsen, Op.cit, halaman 113. Bachsan Mustofa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990), halaman 94.



359



dibentuk oleh suatu badan yang berwenang, kalau di negara Indonesia adalah MPR (Pasal 3 ayat (1) UUD 1945. Dibawahnyalagi adalah undang-undang yang dibentuk bersama-sama oleh DPR dan Presiden (Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD 1945),kemudian dibawahnya lagi terdapat Peraturan Pemerintah yang dibentuk oleh Presiden (Pasal 5 ayat (2) UUD 1945) dan di tangga yang paling bawah terdapat ketetapan-ketetapan.Secara sederhana Stufen Theory Hans Kelsen tersebut dapat digambarkan seperti berikut : Grund Norm UUD Tata Hukum UU Peraturan-Peraturan Ketetapan-Ketetapan



General Norm Mengikat umum Bersifat abstrak Individual Norm Mengikat orang tertentu Bersifat konkret/nyata



Gambar Stufen Theory Hans Kelsen Ketetapan yang memiliki fungsi untuk melaksanakan suatu peraturan kedalam hal yang nyata (konret) tertentu karena demikian Kelsen menyebutnya ketetapan itu sebagai individu norm, norma yang berlaku terhadap subjek hukum tertentu atau dengan perkataan lain suatu norma yangmengikat subjek hukum tertentu. Peraturan, Undang-Undang, Undang-Undang Dasar dan kaedah dasar disebutnya General Norm, yaitu norma yang berlaku atau mengikat umum. Grundnorm yang fundamentil dan abadi, yaitu kaidah pokok atau dasar yang boleh dikatakan menjadi inti (―kern‖) dari setiap tata kaedah hukum yang aktuil dan temporal. Hal ini bukanlah berarti bahwa kita harus tunduk pada ajaran Kelsen



360



mengenai kaedah pokok atau kaedah dasar secara menyeluruh.332Masalah ―grundnorm‖, oleh Kelsen dihubungkan dengan ―Stufentheorie‖-nya yang sudah sangat terkenal. Menurut Kelsen setiap tata kaedah hukum merupakan suatu susunan daripada kaedah-kaedah (―stufenbau‖). Dipuncak ―stufenbau‖ tersebut terdapatlah ―grundnorm‖ atau kaedah dasar dari suatu tata kaedah hukum nasional yang bukan merupakan suatu kaedah hukum positif yang dibentuk oleh suatu tindakan legislatif manapun, akan tetapi hanyalah merupakan hasil analisa pemikiran yuridis manusia. Kaedah dasar (basic norm) tersebut menurut penjelasan Kelsen merupakan dasar dari segala pandangan menilai yang bersifat yuridis, yang dimungkinkan dalam kerangka tata kaedah hukum suatu negara tertentu. Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentukoleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan ‗gantungan‘ bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu norma dasar itu dikatakan presupposed (ditetapkan terlebih dahulu)333. Peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada di puncak piramid, semakin ke bawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah abstrak dan makin ke bawah makin konkret, dalam proses tersebut berawal dari ―seharusnya‖ berubah menjadi sesuatu yang ―dapat‖ dilakukan. Hans Kelsen melihat hukum sebagai sistem norma yang menekankan aspek seharusnya atau das solen dengan memprediksi terlebih dahulu tidak bisa diturunkan dari kenyataan, norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak (act of will), sebuah tindakan hanya dapat menciptakan hukum, hukum yang diciptakan harus 332



333



Purwadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung : Alumni, 1979), halaman 30. Maria Farida Indriati S., Ilmu Perundang-undangan (1), (Yogyakarta : Kanisius, 2007),halaman 41



361



sesuai dengan norma hukum yang lebih tinggi. Dengan demikian semakin tinggi suatu norma semakin abstrak sifatnya dan sebaliknya semakin rendah tingkat suatu norma semakin kongkrit sifatnya. Grundnorm menurt pemikiran Hans Kelsen berfungsi sebagai dasar dan tujuan dari semua jalan hukum. Grundnorm ini juga berfungsi sebagai tujuan yang harus diperhatikan oleh setiap hukum atau peraturan yang ada. Oleh karena itu Grundnorm dapat pula dilihat sebagai induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu. Grundnorm sebagai induk yang melahirkan peraturanperaturan hukum dalam suatu tatanan hukum yang selanjutnya dikembangkan oleh Adolf Merkl yang dikenal dengan Stufenbau Des Recht yang mengutamakan tentang adanya hierarkis dari pada perundang-undangan. Adolf Merkel (murid Hans Kelsen) mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte



Rechtsantlitz)334. Norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma hukum di bawahnya, sehingga norma hukum itu mempunyai masa laku yang masa lakunya bergantung pada norma hukum yang berada di atasnya. Bila norma hukum yang ada di atasnya dicabut/dihapus, maka norma hukum yang ada di bawahnya akan tercabut/terhapus pula. Perkembangan berikutnya adalah penyempurnaan dari Stufen Theory Hans Kelsen itu oleh Hans Nawiasky (murid Hans Kelsen) dengan teori Die Stufenordnung der Rehtsnormen,mengatakan bahwa perundang-undangan itu mempunyai jenjang urutan hukum mulai dari atas sampai ke bawah, yaitu335: 1) Norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm). 2) Aturan dasar negara/aturan pokok negara (staatsgrundgesetz). 334 335



Lihat Maria Farida Indriati S., Op.cit, halaman 41-42. A. Hamid S. Attamimi, Op.Cit, halaman 287.



362



3) Undang-undang (formell gesetz); dan 4) Peraturan pelaksanaan serta peraturan otonom (verordnung & otonome satzung) Menurut Nawiasky, dalam suatu negara yang merupakan kesatuan tata hukum itu terdapat suatu norma yang tertinggi (der oberste norm), yang kedudukannya lebih tinggi dari konstitusi atau undang-undang dasar (die verfassung). Berdasar norma yang tertinggi inilah konstitusi atau Undang-Undang Dasar suatu negara dibentuk. Selanjutnya, untuk memberi nama kepada norma yang tertinggi dalam negara tersebut, Nawiasky tidak menggunakan Staatsgrund gezetz, karena menurut pendapatnya istilah tersebut sudah digunakan untuk konstitusi atau undang-undang dasar. Pengertian konstitusi itulah Verfassungsurkunde atau verfassung saja, sedangkan norma-norma serupa yang tersebar dalam berbagai dokumen disebut orang Staatsgrundgezetz saja. Nawiasky memberi nama kepada norma yang tertinggi dalam kesatuan tata hukum dalam negara itu dengan Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara). Nawiasky sebenarnya dapat memberi nama kepada norma tertinggi dalam kesatuan tata hukum dalam negara tersebut dengan Staatsgrundnorm, karena Kelsen menamakan norma tertinggi dalam kesatuan-kesatuan sistem norma dengan Grundnorm. Namun Nawiasky tidak melakukannya dengan alasan pertimbanganpertimbangan yang dapat dimengerti. Nawiasky menyarankan nama bagi norma tertinggi



dalam



kesatuan



tata



hukum



dalam



negara



tersebut



ialah



Staatsfundamentalnorm, dengan alasan-alasan berikut : Grundnorm sebagaimana dikemukakan Kelsen, yang merupakan norma tertinggi pada setiap sistem norma dalam masyarakat yang teratur, termasuk didalamnya negara, pada dasarnya tidak berubah-ubah. Norma tertinggi dalam negara selalu mempunyai kemungkinan



363



mengalami perubahan, baik oleh peristiwa-peristiwa seperti pemberontakan, coup detat, ataupun lain-lainnya. Oleh karena itu, Nawiasky lebih cenderung untuk menamakan norma tertinggi dalam negara tersebut dengan Staatsfundamentalnorm ketimbang Staatsgrundnorm. Persamaan dan perbedaan antara teori jenjang norma (stufentheorie) Hans Kelsen dengan teori jenjang norma hukum (die theorie vom stufenordnung der rechtsnormen) Hans Nawiasky. Persamaannya adalah keduanya menyebut bahwa norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis, dalam arti suatu norma itu berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, norma yang diatasnya berlaku pada norma yang di atasnya lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi dan tidak dapat ditelusuri lagi sumber dan asalnya, tetapi bersifat ‗presupposed‘ dan ‗axiomatis‘. Perbedaannya adalah : 1)



2)



3)



Hans Kelsen tidak mengelompokkan norma-norma itu, sedangkan Hans Nawiasky membagi norma-norma itu ke dalam empat kelompok yang berlainan. Teori Hans Kelsen membahas jenjang norma secara umum (general) dalam arti berlaku untuk semua jenjang norma (termasuk norma hukum negara), sedangkan Hans Nawiasky membahas teori jenjang norma itu secara lebih khusus, yaitu dihubungankan dengan suatu negara. Hans Nawiasky menyebutkan dalam teorinya norma dasar tu tidak dengan sebuatan staatsgrundnorm melainkan dengan istilah staatsfundamentalnorm.



364



Gr un Grundnorm dn N or



om r No m rm Nor m Nor m Norm Norm



Staats funda ment anor m Staats grundg esetz



Norm Norm Norm Norm



formellges etz



Norm Norm Norm Norm



UUD 1945 Tap MPR UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Perda Provinsi dan



verordnung & otonome satzung



Perda Kabupaten / Kota



Gambar : Teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan PeraturanPerundang-undangan menetapkan tata urutan perundang-undangan sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Undang-Undang Dasar 1945 Ketetapan MPR Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten / Kota Berdasarkan uraian di atas dengan menggunakan pembagian norma hukum



Hans Nawiasky, untuk hukum di Indonesia sesuai dengan hierarkisnya termuat dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan PeraturanPerundang-undangan, berturut-turut yaitu : 1)



Norma dasar (staatsfundamentalnorm), yaitu Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945. isi Staatsfundamentalnorm menurut Nawiasky ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang



365



dasar



dari



suatu



negara



(Staatsverfassung),



termasuk



norma



untuk



pengubahannya. Hakekat hukum suatu Staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar, ia ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar. Staatsfundamentalnorm mempunyai akar langsung pada kehendak sejarah suatu bangsa, dasar yang membentuk negara tersebut, dan merupakan keputusan bersama atau konsensus tentang sifat dan bentuk suatu kesatuan politik (eine Gesammtentscheidung uber Artund Form einer politischen Einheit) yang diambil bangsa tersebut. Sifat norma yang dikandung dalam Staatsfundamentalnorm lebih ―lemah‖ dari pada suatu das sollen; ia lebih mendekati suatu das Konnen. Norma fundamantal Negara atau Staatsfundamentalnorm Pancasila membentuk norma-norma hukum bawahannya secara berjenjang-jenjang. Norma hukum yang dibawah terbentuk berdasar dan bersumber pada norma hukum yang lebih tinggi. Norma hukum yang lebih tinggi dan norma hukum yang lebih rendah tidak terjadi pertentangan. 2)



Aturan dasar (grundgesetze), yakni pasal-pasal dalam UUD 1945 dan Tap MPR. Grundgesetzes merupakan hukum atau peraturan dasar yang menjadi sumber hukum bagi peraturan perundang-undangan. Aturan ini masih bersifat mendasar, akan tetapi belum bisa langsung dioperasionalkan. Tingkatan aturan ini pada kebanyakan negara terletak pada tingkatan konstitusional. Dengan demikian, untuk operasionalisasinya masih dipergunakan peraturan pelaksana yang lebih rendah. Isi penting bagi aturan dasar selain garis-garis besar atau pokok-pokok kebijaksanaan negara juga terutama aturan-aturan untuk memberlakukan dan memberikan kekuatan mengikat kepada norma-norma hukum Peraturan



366



Perundang-undangan, atau dengan kata lain menggariskan tata cara membentuk Peraturan Perundang-undangan yang mengikat umum336. 3)



Aturan formal (formalle gesetze), yakni peraturan perundang-undangan. Formelle Gesetzes adalah Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang merupakan aturan formal dalam negara sebagai penjabaran lebih lanjut dari aturan tingkat atasnya. Di kebanyakan negara, aturan ini menunjuk pada kewenangan pembuatan undang-undang yang ada di negara tersebut. Kewenangan membentuk undang-undang ini biasanya terdapat pada pihak eksekutif dan Parlemen. Kewenangan membuat undang-undang di negara Indonesia adalah bersama-sama oleh DPR dan Presiden (Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD 1945), sedangkan membuat/menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang adalah wewenang Presiden (Pasal 22 ayat (1) UUD 1945).



4)



Aturan pelaksana & Aturan otonom (verordnung & autonome satzung). Verordnung & autonome satzung merupakan peraturan pelaksana dari peraturan tingkat atasnya. Peraturan ini seperti peraturan pemerintah, keputusan presiden (Keppres), keputusan menteri, dirjen, direktur, peraturan daerah yang kesemuanya itu merupakan sumber hukum kedudukannya



lebih



rendah.Adapun



yang



dalam arti



dimaksud



formal



dengan



yang



peraturan



perundang-undangan yang dikenal sehari-hari, jika dikaitkan dengan teori Die Stufenordnung der Rechtsnormen dari Hans Nawiasky ini adalah dimulai dari formelle gesetzes sampai ke verordnungen atau Autonome satzungen. Analisis harmonisasi secara vertikal dalam teori Stufentheorie maka seyogyanya UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten tidak boleh bertentangan dengan 336



Maria Farida I, Op. Cit, halaman 49.



367



UUD NRI Tahun 1945 dan Pancasila. Landasan filosofis perlindungan HKI (termasuk hak paten) adalah Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee) yang merupakan konstruksi pikir (ide) yang mengarahkan hukum kepada apa yang di citacitakan. Pancasila yang mencerminkan nilai-nilai dasar dan tujuan bernegara (Pembukaan UUD 1945) yang apabila dihubungkan dengan Grundnormnya Hans Kelsen UUD 1945 merupakan hukum yang tertinggi dalam hierarki perundangundangan. UU Paten seyogyanya memiliki unsur filosofis yang sesuai dengan cita hukum bangsa Indonesia. Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Pokok-pokok pikiran dalam konsideran UUP Tahun 2001 belum sepenuhnya mencerminkan unsur filosofis dimana UUP Tahun 2001 dibentuk dengan dasar pertimbangan untuk menyesuaikan dengan TRIPs Agreement. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum dan pandangan hidup337 yang berlaku di negara Indonesia. Dalam pandangan hidup ini terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan oleh suatu bangsa. Hal ini berarti dengan berpedoman kepada pandangan hidup itu bangsa tersebut akan memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya untuk memelihara identitasnya, eksistensinya dan kelestariannya. Ketentuan kenegaraan sebagai suatu kesepakatan serta doktrin kenegaraan, bahwa Pancasila adalah pandangan hidup, ideologi bangsa Indonesia serta ―sumber segala sumber hukum‖ Indonesia, artinya bahwa Pancasila adalah pandangan hidup, 337



Pandangan hidup adalah kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki oleh suatu bangsa yang diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkannya.



368



kesadaran dan cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan dan watak dari rakyat negara yang bersangkutan serta menjadi tempat berpijak atau bersandar bagi setiap persoalan hukum yang ada atau yang muncul di Indonesia, tempat menguji keabsahan baik dari sisi filosofis maupun yuridis338. Mahfud MD,339 tempat dan kedudukan pancasila dalam sistem ketatanegaraan tidak bisa lain selain dipandang sebagai dasar negara sekaligus ideologi negara. Pancasila sebagai dasar negara, mengandung makna yuridis yang kuat sebagai Norma Dasar (grundnorm), dimana sebagai peraturan perundangan yang tersusun secara hirarkis harus bersumber padanya. Oleh karena itu, pancasila harus dijadikan sebagai rechtsidee yang didalamnya terdapat nilai dasar, kerangka berpikir, orientasi dan cira-cita oleh para penyelenggara negara dan masyarakat dalam berhukum. Pancasila disini ditempatkan sebagai ‗grundnorm‘. Pancasila sebagai ideologi negara merupakan tata nilai yang dianut sekelompok orang yang didalamnya terdapat citacita dasar dalam kehidupan sosial, politik, hukum, ekonomi maupun budaya. Dalam makna ini, pancasila ditempatkan sebagai ‗weltanschauung‘. Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa, dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia memiliki asas bersama bagi masyarakat Indonesia yang pluralistik. Pancasila yang disebut Soekarno sebagai weltanscahauung atau philosofische grondslag pada dasarnya dimaksudkan oleh perumusanya sebagai dasar filosofis kehidupan kenegaraan dan kebangsaan. Dasar filosofis tentunya termuat kerangka berpikir, sikap dasar, nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan visi terhadap masa depan. Dengan dituang di dalam pembukaan UUD 1945, maka posisi dan kedudukan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dan secara yuridis menjadi sangat kuat. 338 339



Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta : Rajawali Press, 2011), halaman 7. Moh Mahfud Md, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (Jakarta : LP3ES, 2006),halaman.52



369



Apalagi secara sosio-politik, dasar dan ideologi negara tersebut berhasil dari kesepakatan atau konsensus sebagai kelompok yang ada dalam masyarakat ketika itu, yang direpresentasikan dalam keanggotaan di BPUPKI itu, dapat disebut sebagai ―constituent power―, dan dari situ lahir kesepakatan dasar atau konsensus-bangsa tersebut. Eksistensi kesepakatan dasar atau konsensus bangsa tersebut mutlak dipertahankan. Jika kesepakatan dasar itu dipungkiri, maka tidak pelak lagi akan runtuh pula bangunan legitimasi yuridis dan sosio-politik yang menjadi fondasi ditegakkannya negara ini. Dengan demikan, kesepakatan ini sebetulnya sangat sentral dan paling pokok dari kehadiran negara Indonesia. Oleh karena itu sebagian ahli, seperti Notonagoro340 dan Hamid Attamimi,341 menyebut Pembukaan UUD 1945 itu pada dasarnya adalah staatsfundamentalnorm, yang keberadaannya tidak bisa diubah. Kesepakatan dasar ini hingga sekarang masih dijaga oleh seluruh elemen bangsa. Setidaknya di dalam proses amandemen UUD 1945 beberapa waktu yang lalu, tidak ada satupun fraksi yang menghendaki perubahan Pembukaan UUD 1945. Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 merupakan dasar bagi pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai unsur filosofis. Pancasila sebagai filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD NRI Tahun



340



341



Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara. Cetakan keempat. (Jakarta: Pantjuran Tudjuh), tanpa tahun. Hamid A Attamimi. ―Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV.‖ Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Univesitas Indonesia. Jakarta, 1990.



370



1945. Dari sudut filosofis kaitannya adalah nilai-nilai misalnya kebenaran, keburukan, keadilan, dll. Pembentukan perundang-undangan nasional (termasuk UU Paten), perlu memperhatikan nilai-nilai filosofis, sosiologis dan yuridis oleh karena sistem perundang-undangan merupakan satu kesatuan yang didasari oleh kesatuan sember atau dasarnya yaitu nilai-nilai filosofis. UU Paten Tahun 2001 belum sepenuhnya mencerminkan unsur filosofis dimana UU Paten Tahun 2001 dibentuk dengan dasar pertimbangan untuk menyesuaikan dengan TRIPs Agreement. Cita hukum tersebut merupakan suatu yang bersifat normatif dan juga konstitutif. Normatif artinya berfungsi sebagai prasyarat transedental yang mendasari tiap hukum positif yang bermartabat, dan merupakan landasan moral hukum dan sekaligus tolak ukur sistem hukum positif. Cita hukum yang konstitutif berarti rechtsiidee berfungsi mengarahkan hukum pada tujuan yang ingin dicapai. Gustaf Radbruch menyatakan ―rechtsidee berfungsi sebagai dasar yang bersifat konstitutif bagi hukum positif memberi makna bagi hukum. Rechtsidee menjadi tolak ukur yang bersifat regulatif, yaitu menguji apakah hukum positif adil atau tidak342. Cita hukum akan mempengaruhi dan berfungsi sebagai asas umum yang memberikan pedoman (guiding principle), norma kritik (kaidah evaluasi) dan faktor yang memotivasi dalam penyelenggaraan hukum (pembentukan, invensi, penerapan hukum dan perilaku hukum). Analisis harmonisasi secara vertikal dalam teori Stufentheorie dimana UU Paten Tahun 2001 secara filosofis tidak sepenuhnya dilandaskan pada pada cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi di Indonesia. Hal ini dapat diketahui bahwa Nilai-nilai komunal yang dianut masyarakat Indonesia yang berkarakter 342



Abdul M. Noor Syam, Penjabaran Filsafat Pancasila dalam Filsafat Hukum (Sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), (Malang : Laboratorium Pancasila IKIP Malang, 2000), halaman xvi.



371



tradisional bergerak bersebrangan dengan logika hak ekonomis pada HKI (termasuk paten). Paten secara historis memiliki nilai yang berbeda dengan negara Indonesia dimana Indonesia lebih mementingkan asas kebersamaan dan komunal sedangkan konsep paten lebih mementingkan individualistik. Paten secara ideologis tidak sesuai dengan sosial budaya masyarakat Indonesia atau ―budaya komunal versus budaya liberal‖. Filosofi masyarakat Indonesia tercermin dari Pancasila sebagai dasar negara yang digali dari nilai-nilai luhur kehidupan masyarakat Indonesia yang bercirikan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan, persatuan dan kesatuan, permusyawaratan atau kebersamaan (gotong royong, komunalisme) dan keadilan sosial. Nilai-nilai filosofis Pancasila yang kuat dan mendalam akan menjelma menjadi pandangan hidup yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk, pedoman atau norma yang harus diamalkan oleh setiap individu (masyarakat) dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai Pancasila yang secara aplikatif menjelma menjadi falsafah bangsa dan pandangan hidup haruslah menjadi cita-cita/idea setiap manusia Indonesia. Pancasila dalam konteks negara hukum nilai-nilainya harus menjadi cita hukum, dimana pengamalan nilai-nilai Pancasila tersebut atas dasar kesadaran dan cita-cita pada diri setiap manusia Indonesia, dan bukan paksaan dari siapapun. Pancasila tidak anti hak-hak individu, tidak menganggungkan hak-hak individu dan juga tidak sewenang-wenang membolehkan dicabutnya hak-hak individu demi alasan kepentingan umum. Pancasila menginginkan suatu keselarasan, keserasian dan keseimbangan (keadilan) antara kepentingan individu dan kepentingan bersama. Konsep perlindungan HKI yang berasal dari filosofi barat dapat diterapkan di Indonesia, namun sebelum diadopsi kedalam undang-undang dan diterapkan terlebih



372



dahulu harus diuji dengan Pancasila atau setidaknya disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila. Upaya penyesuaian telah dilakukan oleh pemerintah Orde Baru, khususnya di dalam Undang-undang No. 6 Tahun 1989 tentang Paten dengan cukup baik. Namun dalam amandemen selanjutnya penyesuaian yang dilakukan bukan makin menguatkan filosofi Pancasila justru lebih cenderung menyesuaikan dengan filsafat barat (individualisme)343. Konsep perlindungan paten yang memberikan hak eksklusif (monopoli) kepada inventor berpihak pada paham individualisme344. Hal ini dipengaruhi dari sejarah keberadaan paten di Indonesia yang dibawa oleh Belanda, yaitu dengan berlakunya Octrooiwet 1910 Nomor 136 Staatsblad 1911 No. 313 dan mulai berlaku sejak 1 Juli 1912. Perkembangan berikutnya yang menegaskan bahwa konsep HKI (termasuk paten) dimasukan kedalam TRIPs atas prakarsa negara-negara maju yang berfilosofi hidup masyarakat barat. Perlindungan yang diberikan dalam Paten lebih dominan pada perlindungan individual. Secara filosofis mementingkan kepentingan pribadi diaatas kepentingan umum sangat ‗bertabrakan‘ dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia yang terdapat dalam nilai-nilai Pancasila. Konsep perlindungan paten yang individualistik yang dterapkan di Indonesia bertentangan dengan filosofi (nilai-nilai, paham) yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang berpedoman pada paham komunal



(kebersamaan,



kelompok).



Bangsa



Indonesia



mempunyai



rasa



komunalistik, gorong-royong dan saling mendukung, semangat individualistik yang lebih menonjol akan melemahkan semangat kesatuan bangsa. Persaingan sebagai 343



344



Candra Irawan, Politik Hukum Kekayaan Intelektual Indonesia, (Bandung : Mandar Maju,2011),halaman 189- 190. (1) Paham yang menganggap manusia secara pribadi perlu diperhatikan (kesanggupan dan kebutuhannya tidak boleh sama ratakan); (2) paham yang menghendaki kebebasan berbuat dan menganut suatu kepercayaan bagi setiap orang. Paham yang mementingkan hak perseorangan disamping kepentingan masyarakat atau negara; (3) paham yang menganggap diri sendiri (kepribadian lebih penting daripada orang lain). Lihat www.kamusbesar.com.



373



akibat dari konsep paten telah merubah keharmonisasn prinsip hidup bersama dengan asas kebersamaan, kekeluargaan dan gotong-royong menjadi prinsip hidup berlomba dalam kontes, menjadi prinsip membasmi yang lemah,mematikan silaturahmi dan bahkan menggalang individualistik tanpa henti. Disinilah telah terjadi ―keberantakan tata nilai‖ yang pada akhirnya akan terjadi ―kehancuran tata nilai‘ dalam masyarakat Indonesia. Pada titik akhir maka akan terjadi kelumpuhan bagi Indonesia. Kondisi demikian terjadi dimana nilai-nilai Pancasila terkikis oleh nilai-nilai baru yang berkembang dalam masyarakatdan mengakibatkan dinamika sosial menjadi sangat tinggi. Perebutan pengaruh antar nilai yang ada dalam masyarakat menjadi lebih mengemuka. Suka tidak suka, dunia sedang bergerak ke arah yang semakin liberal, kapitalistik, dengan ciri-ciri masyarakat yang karena penuh persaingan cenderung menjadi individualistik. Karena mengejar kesejahteraan materiil, cenderung materialistik. Aturan-aturan dunia juga mengarah pada kebebasa pasar345. Para Bapak Bangsa menentang individualisme dan liberalisme, memilih jiwa kebersamaan dan kekeluargaan serta gotong-royong. Para Pendiri negara menolak kedaulatan individu dan mengusulkan kedaulatan rakyat. Lenyapnya individualisme tidak menghilangkan hak warga negara, karena dalam kedaultan rakyat, hak-hak warga negara dipelihara namun dibatasi oleh rasa bersama yaitu oleh semangat kebersamaan dan kekeluargaan (mutualism and brotherhood)346. Pengaturan HKI lebih melindungi kepentingan pemilik HKI (Individu) dari pada kepentingan umum (negara). Negara seolah kehilangan kekuatan untuk melindungi kepentingannya, mengikuti filosofi TRIPs Agreement yang lebih



345



346



Siswono Yudo Husodo, Pelembagaan Nilai-nilai Pancasila dalam Perspektif Ekonomi dan Kesejahteraan dalam Dinamika Dunia Aktual, dalam Acara Kongres Pancasila, Yogyakarta, 31 Mei 2012, halaman 12-13. Meutia F. Hatta, dalam Forum Intelektual Indonesia, Memasuki Masyarakat Global dengan Jati Diri Bangsa Indonesia, Jakarta 16-17 Mei 2007, halaman 99.



374



berdimensi ekonomi liberal dan mengurangi kewenangannya dalam pemanfaatan HKI meskipun kebutuhan negara menghendakinya (misalnya kewenangan negara dibatasi oleh undang-undang hanya berkaitan dengan kepentingan pertahanan keamanan, obat-obatan ketika terjadi wabah penyakit menular, obat-obatan untuk kegiatan pertanian dan hewan). Padahal, tujuan TRIPs Agreement adalah untuk memacu invensi dan penyebaran teknologi demi kesejahteraan sosial dan ekonomi serta terjadinya keseimbangan antara hak dankewajiban (Article7). Pada praktiknya tujuan tersebut sangat sulit diwujudkan, disebabkan orientasi utamnya adalah kepentingan



ekonomi,



yaitu



bagaimana



memaksimalisasi



keuntungan



dari



pemanfaatan HKI, dan memeilihara keunggulan IPTEK melalui pembatasanpembatasan sesuai hukum HKI347. Konsep paten yang mengusung individualistik jelas berbeda dengan konsep herbal berbasis TK di Indonesia. Karakter TK tentu saja sangat berbeda dengan sistem hukum paten yang menekankan pada konsep-konsep yang sistematis dan bersifat individualistis, sehingga tidak mengherankan UU Paten Indonesia tidak dapat memberikan proteksi secara baik terhadap TK. Perbedaan karakteristik Paten yang sangat individual dan ekonomis sangat berbeda dengan TK yang memiliki karakteristik sangat komunal dan sosial. Sementara itu yang terjadi di negara berkembang, telah banyak terjadi pencurian protes HKI yang berasal dari pengetahuan tradisional masyarakat di negara maju yang kemudian diambil dan dipatenkan. Potensi pengetahuan masyarakat yang merupakan milik kolektif masyarakat kemudian dipatenkan untuk dijadikan milik pribadi oleh si pemegang paten.



347



Candra Irawan, Op.cit., halaman 189.



375



Analisis harmonisasi secara horizontal dalam teori Stufentheorie dimana UU Paten Tahun 2001 dapat dilihat apakah selaras atau harmoni dengan undang-undang lain yang masih berlaku di Indonesia. UU Paten dalam upaya proteksi herbal berbasis TK memiliki keterkaitan baik dengan UUD NRI Tahun 1945, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan CBD, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa undangundang tersebut memeliki keterkaitan dengan UU Paten dalam upaya proteksi herbal berbasis TK, namun tidak dapat dihindarkan telah terjadi disharmonisasi diantara aturan tersebut. Disharmonisasi aturan tersebut memang tidak sangat kuat sekali benturannya namun satu dengan lainnya tidak saling mendukung bahkan telah terjadi peluang untuk terjadinya biopiracy terhadap TK di Indonesia. Tujuan harmonisasi348, nilai-nilai dan asas hukum serta tujuan hukum itu sendiri, yaitu harmoni antara keadilan, kepastian hukum dan ―Zwechkmaessigkeit‖ atau‖doelmatigheid‖ atau sesuai tujuan. Apabila yang memerlukan harmonisasi itu berupa peraturan, maka pertama-tama perlu dipertimbangkan latar belakang serta tujuan peraturan-peraturan tersebut.Harmonisasi sebagai tema penelitian hukum, selain didasarkan pada pengertian yang politis netral, juga didasarkan pada harapan akan ditemukan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan tidak berfungsinya ketentuan-ketentuan hukum tertentu. Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 memberikan pengakuan dan penghormatan negara Indonesia terhadap hak-hak tradisional masyarakat termasuk pengetahuan terhadap obat-obatan tradisional. Pasal 18 B ayat (2) ini tidakakan berfungsi dengan baik manakala tidak didukung dengan data base mengenai TK yang 348



BPHN, Perumusan Harmonisasi Hukum tentang Metodologi Harmonisasi Hukum, (Jakarta : BPHN, 1996/1997), halaman 35.



376



ada di Indonesia. Pengakuan dan penghormatan harus jelas bentuknya dan dapat diakui bahkan dunia internasional sekalipun. UU Paten Indonesia tidak mengakomodir pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak tradisional masyarakat termasuk pengetahuan terhadap obat-obatan tradisional. Pasal 28 C ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan hak pada setiap orang untuk mengembangkan TK dan termasuk mengambil manfaat dari itu. Pengambilan manfaat tersebut tidak hanya dilakukan oleh rakyat Indonesia sendiri tetapi orang asing pun tanpa hak dapat mengambil manfaat dari TK tersebut. Disinilah celah terjadinya biopiracy terhadap TK di Indonesia yang dilakukan oleh pihak asing. Indonesia perlu memperbaiki UU paten dengan mempertegas perlindungan TK. Perubahan tersebut dapat dilakukan dengan mensyaratkan penyebutan TK yang dipakai dalam invensi yang dimohonkan paten dan meminta izin kepada pemegang TK. UU Paten Indonesia harus ditegaskan bahwa TK merupakan prior art yang bisa mementahkan permohonan paten, bahkan



bisa



dipakai sebagai alasan untuk membatalkan paten. Pasal 28 I ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 memberikan peluang identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Dalam hal ini termasuk identitas terhadap TK masyarakat Indonesia terkait dengan obat tradisional. Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 memberikan landasan struktur ekonomi yang di citakan dengan persamaan tujuan paten yaitu untuk mensejahterakan rakyat. Kesejahteraan ini sulit untuk didapat melalui UU Paten karena ketentuan untuk proteksi herbal berbasis TK yang sulit untuk dilindungi oleh UU Paten. Ketentuan mengenai identitas budaya dan hak masyarakat tradisional tidak diakomodir oleh UU Paten. UU Paten Indonesia tidak



377



memberikan peluang untuk menghormati identitas budaya dan hak masyarakat tradisional. Pengetahuan tradisional menjadi milik bersama dan belum secara tepat dilindungi dalam hukum kekayaan intelektual karena banyaknya pengetahuan tradisional Indonesia yang telah di patenkan oleh orang asing, oleh karena itu bangsa Indonesia menyadari untuk berupaya melindunginya. Produk herbal merupakan contoh konkrit tentang eksisnya traditional knowledge di Indonesia, Konsep Traditional knowledge di Indonesia merupakan suatu kekayaan intelektual yang patut dan layak untuk dilindungi. Perlindungan harus diberikan untuk mencegah penyalahgunaan, langkah perlindungan dilakukan untuk tujuan penghargaan pada nilai, sikap menghormati, dan memenuhi kebutuhan aktual masyarakat khususnya dalam hal ini adalah masyarakat pemilik produk herbal berbasis traditional knowledge. Proteksi perlu untuk dilakukan mengingat di era globalisasi ekonomi negara Indonesia harus dapat bersaing dengan negara lain yang justru memiliki ekonomi yang kuat. Selayaknya para produsen produk herbal, pemilik pengetahuan tradisional di bidang obat tradisional, dan konsumen (masyarakat Indonesia) mendapatkan perlindungan secara nyata. Sebagai ilustrasi, jamu adalah obat herbal milik Indonesia, jangan sampai jamu dipatenkan oleh negara lain hanya karena perintah kurang concern untuk melakukan proteksi. Pada akhirnya masyarakat Indonesia kehilangan warisan budaya yang selama ini telah secara generasi ke generasi diturunkan. Setidaknya pemerintah sebagai pengambil kebijakan mengadakan pengaturan yang jelas mengenai paten untuk dapat memberikan perlindungan bagi produk herbal berbasis traditional knowledge. Sedangkan bagi para pengusaha atau



378



produsen produk-produk herbal penelitian ini diharapkan dapat memberikan motivasi agar dapat melakukan inovasi-inovasi dari hasil traditional knowledge Indonesia. Masyarakat Indonesia selayaknya mendapatkan pencerahan arti penting perlindungan atas kekayaan hayati dan kekayaan intelektual bangsa Indonesia. Selain itu, pengusaha Indonesia terdorong untuk melakukan inovasi-inovasi yang telah didasarkan atas pengetahuan terdahulu untuk lebih inovatif, dan memiliki daya saing dengan produk negara lain terutama produk obat modern (farmasi). Pasal 34 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 memberikan kewajiban bagi negara untuk menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kesehatan akan obat tradisional/herbal. Pelayanan ini pun masih sangat terbatas, padahal herbal berbasis TK bagi sebagian besar orang memiliki peranan penting untuk ketahanan pangan dan kesehatan jutaan orang di negara berkembang. Masyarakat pada negara berkembang banyak bergantung pada obat tradisonal hingga 80 % dari kebutuhan akan kesehatan mereka. Selain itu, pengetahuan tentang tanaman kesehatan telah menjadi sumber obat-obatan modern. Bahkan WHO telah merekomendasikan penggunaan obat tradisional dalam dunia kesehatan. Berbagai poduk herbal atau obat tradisional merupakan hasil olahan dan pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia. Produk tersebut dibuat dengan menggunakan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia secara turun temurun. Masyarakat Indonesia sudah lama mengenal pengobatan tradisional. Obat herbal atau sistem pelayanan kesehatan tradisonal sudah dikenal sejak ratusan tahun lalu. Sebagian diwariskan turun temurun melalui cerita tutur leluhur atau resep tradisional. Mereka mempercayai ada khasiat herbal untuk penyembuhan pengidap



379



penyakit sejak lama349. Seiring dengan peningkatan kesadaran ekologis serta gaya hidup vegetarian, meningkat pula kecenderungan masyarakat untuk mempergunakan pengobatan alami berupa obat herbal. Kini ada hampir 125 orang dokter bersertifikat herbal yang bisa membuka praktik pengobatan herbal di Provinsi Jawa Tengah350. Sembilan jenis obat herbal diproduksi untuk berbagai jenis penyakit, mulai dari kanker, ginjal, stroke, jantung, berbagai penyakit kewanitaan dan juga minuman untuk menjaga kesehatan sejak tahun 2007 sampai kini sudah diekspor ke Malaysia dan Suriname. Di Indonesia produk herbal sudah tersebar di seluruh nusantara. Keadaan alam Indonesia yang menyediakan lebih dari 2000 jenis obat herbal khas Indonesia. Semua potensi itu mampu menjawab kebutuhan dan



keinginan



masyarakat Indonesia untuk menerima dan membanggakan produk herbal buatan negeri sendiri351. Ketentuan Pasal 34 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tidak bersinergi dengan ketentuan dalam UU Paten Indonesia, namun Pasal 34 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 justru bersinergi dengan ketentuan Pasal 48 UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Ketentuan Pasal 48 memungkinkan penyelenggaraan upaya kesehatan dapat dilaksanakan melalui kegiatan pelayanan kesehatan tradisional. Disharmonisasi jelas terlihat dalam UU Paten Indonesia yang tidak memberikan peluang untuk melakukan pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. UU Paten lebih menekankan pada daya inovasi dan langkah inventif serta mendukung industrialisasi yang justru berbeda paham dengan pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Ketentuan Pasal 2 dan 3 dari UU No. 5



349



350 351



Edi Dharmana, Herbal Boleh, Penanganan Medis Jangan Dilupakan, (Suara Merdeka, Minggu, 16 Juni 2013 Suara Merdeka, Obat Herbal Yang Makin Berkibar, Minggu,16 Juni 203. Koran Pak Oles, 1-15Feb 2013



380



Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, telah menekankan arti pentingnya Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan dan pemantapan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang serta lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat. Disharmonisasi terlihat pula lebih jelas dalam UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan CBD. Pasal 8 Huruf J UU No. 5 Tahun 1994 tidak dikenal dalam UU Paten, padahal justru pasal tersebut merupakan pasal penting untuk keseimbangan dan keadilan bagi pemegang TK. Pengertian dan ruang lingkup konsep TK yang tertuang dalam Pasal 8 j Converence of the Parties (COP) yang menyebutkan bahwa : ―TK refers to the knowledge, innovation and practices of indigenous and local communities around the world. Developed from experiences over the conturies and adapted to the local culture and environment, TK is transmitted orally from generation to generation. It tends to be collectively owned and take sthe form of stories, songs, folklore, proverbs, cultural values, beliefs, rituals, including the development of plant species and animal breeds. TK is mainly the practical nature, particularly in such field as agriculture ,fisheries, health, horticulture and forestry (Pengetahuan tradisional mengacu kepada pengetahuan,inovasi dan praktek dari masyarakat asli dan lokal di seluruh dunia. TK dikembangkan dari pengalaman yang diperoleh selama berabad-abad dan disesuaikan dengan budaya dan lingkungan setempat dan disebarkan secara lisan dari generasi ke generasi. Pengetahuan ini biasanya dimiliki secara kolektif dan berbentuk cerita, nyanyi, folklore, peribahasa, nilai-nilai budaya, keyakinan, ritual, hukum adat termasuk pengembangan spesis tanaman dan ternak. Pengetahuan tradisional terutama mencakup praktek alamiah,



381



khususnya di bidang-bidang seperti pertanian, perikanan, kesehatan, horticultural dan kehutanan)352. Rumusan di atas memperlihatkan bahwa TK mencakup aspek yang cukup luas dari berbagai aspek kehidupan. Namun dari pengertian di atas terlihat kedudukan dan nilai yang dimiliki oleh TK yakni353 : (1) TK tidak hanya bermanfaat bagi mereka yang sehari-hari memiliki, mempraktekkan dan meyakininya; (2) TK dapat memberikan kemanfaatan bagi masyarakat luas dan bagi pembangunan yang berkesinambungan. Bentuk perlindungan bagi herbal berbasis TK yang dapat dimungkinkan yaitu : (1) TK dapat dipertimbangkan sebagai prior art; (2) Pencegahan perolehan hak paten dimana TK yang digunakan diperoleh secara tidak sah. Mandat dari Pasal 8 Huruf J selain adanya undang-undang nasional yang dapat melindungi TK juga memberikan peluang untuk adanya pembagian keuntungan (benefit sharing) dari pendayagunaan TK dari pihak asing. Inilah momentum untuk mencegah terjadinya biopiray yang berkelanjutan dan memberikan keadilan bagi pemegang TK. Terjadinya disharmonisasi memperlihatkan kelemahan dari UU Paten secara yuridis vertikal maupun horizontal. Kelemahan lain secara yuridis terlihat dalam kelemahan proses legal drafting. Kelemahan ini menurut sejumlah pakar dinilai kadang memang ada unsur kesengajaan karena faktor kepentingan. Kondisi ini membawa implikasi secara vertikal sejumlah substansi UU bertentangan secara prinsipial dengan nilai dan norma yang telah digariskan dalam Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, dilain pihak sejumlah UU berbenturan atau bertumbukan dengan UU yang lain354.



352



353 354



Yoserwan, Hukum Ekonomi Indonesia, Dalam Era Reformasi dan Globalisasi, (Padang: Andalas University Press, 2006), halaman 63. Ibid, halaman 64. Heri Santoso, dkk., Uji Koherensi dan Korespondensi Aktualisasi Nilai-nilai Pancasila dalam Produk Undang-undang Paska Reformasi (Tinjauan Filosofis, Yuridis, dan Sosiologis), Makalah dalam Acara Kongres Pancasila, Yogyakarta, 31 Mei 2012,



382



Keadilan dalam proteksi herbal berbasis TK merupakan hal penting dan hukum mengemban keadilan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia khususnya. Satjipto Rahardjo mengidenfikasikan 8 (delapan) definisi keadilan, yaitu : (1) memberikan kepada setiap orang yang seharusnya diterima, (2) memberikan kepada setiap orang yang menurut aturan hukum menjadi haknya, (3) kebajikan untuk memberikan hasil yang telah menjadi bagiannya, (4) memberikan sesuatu yang dapat memuaskan kebutuhan orang, (5) persamaan pribadi, (6) pemberian kemerdekaan kepada individu untuk mengejar kemakmuran, (7) pemberian peluang kepada setiap orang mencari kebenaran, (8) memberikan sesuatu secara layak355. Sedangkan Sudikno Mertokusumo mengemukakan keadilan sebagai penilaian terhadap perlakuan seseorang terhadap yang lainnya dengan menggunakan norma tertentu sebagai ukurannya356. Keragaman definisi tentang keadilan menunjukkan bahwa upaya untuk mewujudkan sesuatu dapat disebut adil tidaklah mudah dilakukan sehingga suatu perilaku yang oleh satu kelompok dikatakan adil namun bagi kelompok lain dapat dinilai sebaliknya. Upaya yang dapat dilakukan adalah mendekatkan keputusan hukum pada rasa keadilan yang dihayati oleh masyarakat agar pelaksanaan hukum dapat berkontribusi pada penciptaan ketertiban. Keadilan pada umumnya adalah keadaan di mana setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan kita bersama357. Keadilan dapat dibagi menjadi dua, yaitu keadilan individual dan keadilan sosial. Keadilan individual adalah keadilan yang tergantung dari kehendak baik atau buruk masing-masing individu, sedangkan keadilan sosial adalah keadilan



355 356



357



Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993), halaman 49 – 51. Sudikno Mertokusumo, Invensi Hukum(Sebuah Pengantar),Edisi 1, cetakan 1, (Yogyakarta : Liberty, 1996), halaman 71 – 72. Frans Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, (Jakarta : Gramedia, 2000), halaman 50



383



yang pelaksanaannya tergantung dari struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat, struktur-struktur mana terdapat dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan ideologi358. Keadilan sosial ini merupakan cita-cita masyarakat Pancasilais untuk membina kesejahteraan bersama, yang mengatur dan memberikan masing-masing haknya dalam bidang ekonomi, sosial politik dan segala sesuatu yang bersangkutan dengan hidup manusia yang telah menjadi haknya, supaya semua warga negara dapat menikmati hidup yang layak. Keadilan sosial tidak hanya berkenaan dengan kuantitas, tetapi terutama kualitas hidup dalam arti yang luas. Keadilan sosial menghendaki adanya kesempatan yang sama dan seluas-luasnya bagi setiap warga untuk mengembangkan dirinya sebagai warganegara yang bertanggung jawab359. Undang-undang Paten Indonesia telah memberikan ruang untuk keadiln social dapat terwujud dengan memberikan kesempatan kepada setiap warga negara secara sama dan luas untuk mendapatkan hak paten dari invensinya. Keadilan sosial adalah perikemanusiaan, sepanjang (as for as) dilaksanakan dalam suatu bidang ialah bidang ekonomi atau bidang penyelenggaraan perlengkapan dan syarat-syarat hidup kita sepanjang hidup itu tergantung dari barang-barang materiil.360 Prinsip ini menghendaki kemakmuran dan bahagia bersama dalam memiliki dan menggunakan kekayaan di dunia ini. Prinsip ini harus membawa kita ke pemancaran dan sedapat mungkin juga ke pemerataan milik/kekayaan. Secara



358 359



360



Ibid, halaman 50 – 51. T.A.M. Simatupang, The Executive‘s Guide to Business & The Law, (Singapore : Pitman Publishing Asia Pacific, 1979), halaman 98. A. Sudiardja, G. Budi Subanar, St. Sunardi, T. Sarkim, Karya Lengkap Driyarkara – Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, halaman 842.



384



negatif prinsip ini menolak peralatan dan perkudaan manusia yang satu oleh yang lain, juga menolak tiap-tiap relasi yang inhuman.361 Pandangan Driyarkara menghendaki adanya keadilan dalam memanfaatkan kekayaan alam dan TK di Indonesia. Keadilan tidak hanya dapat dirasakan oleh negara-negara maju yang memiliki teknologi tinggi tetapi juga dapat dirasakan oleh rakyat Indonesia sebagai pemilik kekayaan alam dan TK tersebut. Pandangan tersebut oleh Rawls dimaknai bahwa keadilan harus dimengerti sebagai fairness dalam arti bahwa tidak hanya mereka yang memiliki talenta dan kemampuan yang lebih baik saja yang berhak menikmati pelbagai manfaat sosial lebih banyak, tetapi keuntungan tersebut juga sekaligus harus membuka peluang bagi mereka yang kurang beruntung untuk meningkatkan prospek hidupnya.362 Menurut Plato keadilan adalah kemampuan memperlakukan setiap orang sesuai dengan haknya masing-masing. Dapat dikatakan keadilan merupakan nilai kebajikan yang tertinggi (justice is the supreme virtue which harmonization all other virtues). Selain itu Plato menyatakan keadilan merupakan nilai kebajikan untuk semua yang diukur dari apa yang seharusnya dilakukan secara moral, bukan hanya diukur dari tindakan dan motif manusia. Sementara Aristoteles menyatakan bahwa keadilan menuntut supaya tiap-tiap perkara harus ditimbang tersendiri: ius suum cuique tribuere.363 Akan tetapi kenyataannya kepentingan perseorangan dan kepentingan golongan



selalu



bertentangan.



Pertentangan



kepentingan



ini



selalu



akan



menyebabkan pertikaian. Dengan demikian kehadiran hukum dalam rangka untuk mempertahankan perdamaian akibat munculnya pertentangan kepentingan.



361 362



363



Ibid, halaman 889. Rawls, A Theory of Justice, (USA : The Belknap Press of Harvard University Press Cambridge, 1971), halaman 25. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2001), halaman 13



385



Menurut Rawls364, terdapat dua prinsip keadilan, pertama, bahwa setiap orang memiliki hak akan kebebasan dasar yang seluas-luasnya sesuai dengan kebebasan yang dimiliki orang lain. Kedua, berhubungan dengan ketidaksamaan dalam bidang ekonomi dan sosial, maka keduanya ; (a) diatur serasional mungkin sehingga dapat memberikan keuntungan bagi setiap orang; (b) adanya keterbukaan bagi semua. Dalam hal distribusi pendapatan dan kesejahteraan tidak sama, maka haruslah sedapat mungkin menguntungkan setiap orang, dan pada saat yang sama maka posisi kekuasaan haruslah terbuka bagi semuanya. Berdasarkan prinsip keadilan diatas maka Indonesia sebagai negara berkembang yang (memiliki kekayaan akan TK serta kekayaaan SDA), namun berada pada posisi yang lemah (rendahnya kualitas SDM dan teknologi), perlu mendapatkan jaminan akan kebebasan yang seimbang dengan negara`maju. Berdasarkan prinsip ketidaksamaan, Indonesia sebagai pihak yang lemah haruslah mendapatkan kesempatan yang tinggi dan perlindungan secara protektif maupun defensif. TK memiliki sifat komunal yang sangat kental dan sebagai konsekuensinya maka pemberian kesempatan yang sama untuk penikmatan akan hak ekonomi yang melekat TK bagi masyarakat Indonesia merupakan sesuatu yang fair, dianggap sebagai sesuatu yang adil. Hal tersebut menjadi tidak adil apabila tidak memaknai suatu keadilan sebagai suatu fair equality of opportunity. Karakteristik paten sebagai bagian dari HKI yang melekat adanya sifat kepemilikan, maka tidak dapat dilepaskan dari persoalan keadilan yang menyangkut adanya kepentingan dari para pemegang hak. Dalam hal ini tidak hanya si inventor tetapi juga pemilik hak dari TK itu sendiri.



364



Ibid, halaman 60-61.



386



Harmonisasi berdasarkan teori stufenbau Hans Kelsen telah dilakukan terhadap UU Paten Indonesia, selanjutnya perlu untuk dianalisis harmonisasi konvensi Internasional dalam upaya proteksi herbal berbasis TK. Indonesia telah meratifikasi TRIPs Agreement, Patent Cooperation Treaty (PCT) and Reglation Under the PCT (PCT) dengan menerbitkan Keppres 16 Tahun 1997, ratifikasi Convention Biological Diversity (CBD) atau Konvensi Keanekaragaman Hayati dengan UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan CBD, Dekralasi Doha. TRIPs sebagai sub-integral lain atas persetujuan mengenai Perdagangan Barang (GATT), dan Jasa (GATS) pada sistem perdagangan dunia (WTO), tidak lepas dari kecenderungan untuk lebih mengakomodir kepentingan negara maju dan perusahaan multinasional. Kehadiran TRIPs terlebih akan meningkatkan perjalanan arus dana dari negara berkembang ke negara maju dengan jalan pembayaran royalty dari hak paten yang dimiliki oleh negara-negara maju. Sulit untuk dikatakan adanya indikasi bahwa negara maju akan melakukan alih teknologi dengan cuma-cuma kepada negara berkembang, justru TRIPs yang akan menghambat perlindungan dan pengembangan pengetahuan tradisional bagi masyarakat lokal. Pada hakekatnya pengaturan perlindungan paten di negara sedang berkembang justru lebih menguntungkan perusahaan-perusahaan transnasional / multinasional beserta patennya. Kecenderungan adanya praktek-praktek di perusahaan maupun lembaga penelitian di negara maju yang memanfaatkan sumber daya alam hayati, teknik tradisional, kesenian tradisional, untuk kepentingan ekonominya, kemudian menimbulkan reaksi. Reaksi tersebut adalah upaya eksploitasi ekonomi maupun upaya pentakaran pemerintah negara berkembang terhadap aset-aset atau potensi-



387



potensi yang dimiliki, termasuk tradisonal knowledge dan sumber daya hayati dan genetik, dll. Kepentingan inilah yang kemudian ingin dicoba diakomodir dalam wacana perlindungan HKI bagi tradisonal knowledge. TRIPs tidak memberikan perlindungan bagi kepemilikan dan invasi komunal, dikarenakan subyek HKI adalah individu atau perusahaan, kepemilikan dan inovasi komunal menjadi ternegasikan melalui adanya TRIPs. Hak komunal terutama hak komunal yang lebih banyak ada pada negara berkembang sulit untuk mendapatkan perlindungan (tidak hanya sekedar pengakuan saja) dalam TRIPs Agreement, namun ada beberapa konvensi atau perjanjian internasional yang memberikan peluang untuk perlindungan terhadap hak komunal, terutama CBD dan Deklarasi Doha. Sebagai sebuah konsep yang baru, pengertian dan cakupan TK juga masih mengalami perkembangan dan dibahas dalam berbagai disiplin ilmu. Salah satu upaya untuk mengintordusir konsep ini adalah melalui Preamble of the Convention on Biological Diversities yang sudah diratifikasi oleh 178 negara365. TRIPS Agreements 1994 tidak memuat ketentuan tentang TK dan tidak menunjuk kepada komitmen yang telah tercantum dalam CBD. Perjanjian-perjanjian internasional HKI lainnya, seperti the berne Convention, the paris Convention dan the Patent Conve Cooperation treaty juga tidak mengatur mengenai perlindungan TK walaupun the berne Convention mencantumkan hak moral (moral rights) dan The Paris Convention mengatur merek, sehingga keduanya bisa digunakan untuk menyelesaikan sebagian masalah yang berhubungan dengan TK. Di dalam ketentuan TRIPs tidak ada ―tempat‖ bagi penghargaan untuk pengetahuan masyarakat adat yang bersifat komunal. TRIPs lebih mengarahkan semua ketentuan hukum dalam kerangka pemikiran kapitalistik. Oleh karenanya 365



Yoserwan, Hukum Ekonomi Indonesia, Dalam Era Reformasi dan Globalisasi, (Padang: Andalas University Press, 2006), halaman 62.



388



yang nanti akan mendapat keuntungan sesungguhnya adalah mereka yang kuat secara ekonomi dan teknologi dalam percaturan hubungan internasional. Akan tetapi pernyataan-pernyataan yang ada dari Indonesia baik dari pakar maupun unsur pemerintah justru semakin mendukung pengintegrasian ketentuan TRIPs sebagai bagian dari hukum nasional Indonesia366 Kekhawatiran masyarakat Indonesia akan rezim dari TRIPs yang merupakan produk dari WTO merupakan kehawatiran yang beralasan. Kritik terus berdatangan terhadap hal ini. Bonie Setiawan367, menyebutkan delapan kritik atas kelembagaan WTO, yaitu : Pertama, kelembagaan WTO merupakan badan negoisasi mutilateral, yang memiliki kewenangan dan otoritas atas berbagai pengaturan tingkat dunia terhadap negara–negara anggotanya, di samping itu WTO juga memiliki aspek perikatan hukum internasional yang harus dpatuhi oleh anggotanya, serta mengancam sanksi bagi anggota yang menyimpang. WTO telah didisain sedemikian rupa sehingga menggeser peran UNCTAD (united nations conference on trade and development) sebagai badan PBB dibindang pengaturan perdagangan yang lebih mementingkan mayoritas angotanya yang berasal dari negara berkembang dan miskin. Kedua, WTO memiliki tiga prinsip dasar yang secara efektif akan menerobos halangan proteksionisme negara dan menjadikan pasar domestik sebagai pasar yang liberal. Prinsip tersebut yaitu : market accesses368, most favored nation369, dan national treatment370. Ketiga, WTO adalah sebuah kontrak mati atau ―perkawinan seumur hidup‖ dimana negara anggotanya terikat seterusnya terhadap kewajiban-kewajiban dan komitmen yang telah diberikan sampai seluruh sektor terbuka sama sekali. Keempat, WTO mengenal istilah progressive liberalization, artinya liberalisasi yang diperlakukan secara hebat dan terus menerus maju. Setiapperundingan atau negoisasi baru, akan selalu dituntut bagi anggota-anggota WTO untuk terus membuka diri sampai pasarnya sepenuhnya terbuka bagi perusahaan-perusahaan asing. Kelima, WTO adalah rezim pasar bebas yang menolak sepenuhnya proteksionisme. Setiap anggota WTO wajib melonggarkan pasarnya sampai pasar domestik bisa dimasuki oleh impor barangn dan jasa secara bebas penuh.



366



Adji Samekto, Justice Not For All, Kritik Terhadap Hukum Modern Dalam Perspektif Studi Hukum Kritis, (Yogyakarta : Genta Press, 2008), halaman 60. 367 Lihat Bonnie Setiawan, Stop WTO : Dari Seattle sampai Bangkok, (Jakarta : INFID (International NGO Forum on Indonesia Development), 2000), halaman 7 – 13. Lihat pula Ignatius, Haryanto, Penghisapan Rezim Haki, (Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2002), halaman 39-42. 368 Akses pasar mewajibkan tiap negara untuk membuka pasarnya bagi produk barang dan jasa dari negara lain. 369 Prinsip yang mengatur apabila suatu negara memberi fasilitas berbagai kemudahan akses pasar kepada negara lain,maka otomatis anggota-anggota WTO lainnya juga berhak mendapatkan fasilitas dan kemudahan yang sama. 370 Perusahaan-perusahaan yang masuk ke suatu negara harus diperlakukan ―tidak kurang baiknya‖ dari perusahaan-perusahaan di dalam negeri.



389



Keenam, WTO memperkuat rezim HKI sebagai inti dari ekonomi kapitalisme. Hal ini merupakan dasar dari monopoli pengetahuan, biopiracy kekayaan intelektual komunitas dan kekayaan keanekaragaman. Peneliti dari negara maju tidak menghargai HKI yang dimiliki oleh kelompok komunitas yang ada di negara berkembang. Ketujuh, WTO memperkuat dominasi negara-negara maju di meja perundingan dengan mekanisme konsensus dan negosiasi yang tidak fair, kecanggihan diplomasi tingkat tinggi dan bahasa hukum yang canggih pula. Kedelapan, WTO dalam membawa agenda kepentingan negara maju dalam hal perjanjian di sektor jasa, HKI sektor pertanian, dan sebaliknya negara maju membatasi perlakuan khusus dan berbeda dari negara berkembang. Upaya untuk memberikan perlindungan terhadap traditional knowledge di bidang Hak Kekayaan Intelektual dalam rezim hukum internasional baru muncul dalam Pertemuan Tingkat Tinggi Menteri (Ministerial Meeting) dari World Trade Organization(WTO) di Doha. Doha Ministerail Declaration (Deklarasi Menteri Negara-Negara WTO) di Doha mengamanatkan TRIPs Council untuk meninjau berbagai pokok pembicaraan sehubungan dengan TRIPs, termasuk konvensi tentang biodiversity, perlindungan traditional knowledge dan folklore371. Usulan agar perjanjian TRIPS mengatur TK sudah dilakukan. Pada pertemuan keempat the WTO ministerial conference di Doha (November 2001) diusulkan agar Perjanjian TRIPS diperbaiki agar menunjuk kepada CBD dan melindungi pengetahuan tradisonal. Kemudian beberapa negara berkembang seperti Brazil, China, Cuba, Ecuador, India, Pakistan, Thailand dan lain-lain mengusulkan kepada the TRIPS Council untuk memperbaiki Perjanjian TRIPS agar melindungi TK. Mereka mengusulkan agar Perjanjian TRIPS berisi ketentuan bahwa negara peserta mensyaratkan pemohon paten yang menggunakan sumber biologis atau pengetahuan tradisional untuk (a)



371



John H.Jeckon, at al, Legal Problem of International Economic Relation Case, Material and Text (Fourth Edition),(West Group, ST Paul MINN, 2002), halaman 1223.



390



mengungkapkan sumber dan negara asal sumber biologis dan atau pengetahuan tradisional yang digunakan dalam invensinya372. Deklarasi Menteri telah menyepakati untuk melakukan amandemen Pasal 31 TRIPs Agreement dalam rangka mempermudah negara berkembang dan negara kurang berkembang untuk mengakses obat-obatan dengan harga murah. Salah satu topik pada Deklarasi Doha mengenai akses paten pada obat-obatan. Isu ini melibatkan keseimbangan kepentingan antara perusahaan farmasi di negara-negara maju yang memegang paten pada obat-obatan dengan kebutuhan kesehatan masyarakat di negara-negara berkembang. Deklarasi Doha ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan masyarakat negara-negara berkembang dan terbelakang yang diakibatkan dari pelaksanaan perlindungan paten obat. Paragraf 4 Deklarasi Doha dapat dijadikan sebagai alasan yang sah terhadap pelaksanaan Pasalpasal pelindung untuk tujuan melindungi kesehatan masyarakat dan meningkatkan akses terhadap obat-obatan esensial. Permasalahan yang dihadapi oleh para farmasist, dimana setiap perkembangan obat-obatan dan penyakit dapat menghasilkan banyak keuntungan. Hukum hak paten pada awalnya digunakan untuk menghindari pemalsuan produk dan meningkatkan dan memacu gairah untuk menemukan sesuatu yang baru, namun hukum paten telah mencapai keberhasilan lebih dari yang diharapkan. Industri ini jelas mendatangkan keuntungan, tengoklah mereka yang memegang hak paten dari Tamiflu misalnya. Keuntungan yang diraih selama masa wabah flu burung yang mengglobal. Aspek hukum hak paten dan hak kekayaan intelektual ini mengarah pada monopoli yang merugikan dan mendorong penghancuran besar-besaran pada umat manusia melalui penyakit-penyakit baru yang sengaja dikembangkan. Banyak sekali virus yang tadinya hanya menginfeksi



372



M. Hawin, Perlindungan Pengetahuan Tradisional di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar FH UGM, Yogyakarta, 5 Agustus 2009, halaman 6-7.



391



hewan tiba-tiba tanpa rentangan evolusi panjang yang harus dilalui telah bermutasi menjadi virus baru yang mematikan bagi manusia373. Satu obat baru harganya bisa melambung sangat tinggi jika satu perusahaan farmasi saja yang menguasainya. Proses paten obat ini benar-benar mencekik pasien, karena beban biaya yang harus ditanggung suatu perusahaan farmasi, dibebankan seluruhnya kepada pasien. Semua invensi obat-obatan baru tentu akan dipatenkan sejak ditemukan bahan senyawa suatu obat. Perusahaan farmasi memiliki hak dan wewenang untuk memproduksi dan menjual produk tersebut selama 20 tahun. Perlindungan paten yang berlebihan dalam dunia farmasi harga obat-obatan menjadi mahal sehingga tidak terjangkau oleh orang miskin. Teori yang sama dengan kenyataan tersebutpun dilontarkan oleh Sir Hugh Laddie, Hakim High Court of Justice for England and Wales, dengan pernyataannya : The theory is simple. When a company develops a new pharmaceutical and it is protected by patent, it is the patent which holds off competitors. High prices can be charged and large profit generated. Some of those profits can then be ploughed back into research and development in the hope of producing a new generation of good pharmaceuticals which will generate more profits and so on. There is a trade off. The company and its shareholders make profits and the public, which pays the price, gets the new medicines. In this field it is apparent that, without patent, few new product would be marketed. The expense in producing a new pharmaceutical is in the research and development stage. Normally, once it has been discovered and given regulatory approval, the manufacture of a new pharmaceutial will be comparatively cheap and its replication by competitors easy. Without the protection of patents, there will be no ability the recoup the cost of the research and development, let alone find such activities in the future. No private company is going to enter this business unless it can see a reasonable prospect of obtaining a return on investment. The lack of pharmaceutical innovation in the command economies of the Soviet Union and China suggest that State funding will neither be sufficient nor as effective374.



373 374



Alexandra Indriyanti, Mafia Kesehatan, (Yogyakarta : Pinus, 2008), halaman 43 – 44. Sir Hugh Laddie, Patents-What‘s Invention Got To Do With It ?, dalam D. Vaver dan Lioner Bently (Edt.), United Kingdom : Cambridge University Press,2004), halaman 92.



392



Penelitian-penelitian hanya dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar dengan nilai jutaan dollar. Akibatnya perlindungan HKI pun hanya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar ini yang kemudian tidak mau memberikan lisensi murah karena merasa telah mengeluarkan dana yang besar. Bagaimanapun orientasi perusahaan adalah mengejar keuntungan. Inilah yang dikhawatirkan oleh Deklarasi Doha. Sebuah isu yang telah muncul adalah bagaimana memastikan perlindungan paten untuk produk farmasi tidak mencegah orang di negara-negara miskin memiliki akses terhadap obat-obatan - sementara pada saat yang sama menjaga peran sistem paten dalam memberikan insentif bagi penelitian dan pengembangan obat-obatan baru. Fleksibilitas seperti lisensi wajib ditulis Perjanjian TRIPS, tetapi beberapa pemerintah tidak yakin bagaimana ini akan diinterpretasikan, dan seberapa jauh hak mereka untuk menggunakan mereka akan dihormati. Sebagian besar ini diselesaikan ketika WTO mengeluarkan pernyataan khusus di Konferensi Tingkat Menteri Doha pada November 2001. Mereka sepakat bahwa Perjanjian TRIPS tidak dan seharusnya tidak mencegah anggota dari mengambil langkah-langkah untuk melindungi kesehatan masyarakat. Mereka menggarisbawahi kemampuan negara-negara untuk menggunakan fleksibilitas yang dibangun ke dalam perjanjian TRIPS. Mereka setuju untuk memperpanjang pembebasan atas perlindungan paten farmasi untuk negaranegara kurang berkembang sampai 2016 . Pada satu pertanyaan yang tersisa, mereka ditugaskan lanjut bekerja untuk Dewan TRIPs untuk memilah-milah bagaimana memberikan fleksibilitas ekstra, sehingga negara-negara mampu memproduksi obatobatan dalam negeri dapat mengimpor obat paten yang dibuat di bawah lisensi wajib.



393



Sebuah pengabaian memberikan fleksibilitas ini disepakati pada tanggal 30 Agustus 2003. Ketentuan mengenai Deklarasi Doha memang belum menjadi bagian hukum nasional di Indonesia namun Deklarasi ini berjuang untuk menyelamatkan negaranegara berkembang dan kurang berkembang dalam hal obat-obatan yang esensial sehingga tidak dibebani oleh paten yang menyebabkan harga obat menjadi mahal. Konvensi internasional yang sangat berpengaruh terhadap upaya proteksi herbal berbasis TK melalui sistem hukum paten, dapat diketahui bahwa perlindungan ini masih sangat kurang sekali dan memerlukan kajian yang lebih dalam serta upaya proteksi dari negara dan masyarakat adat. Beberapa konvensi yang telah di sebutkan di atas telah memaknai bahwa Indonesia meratifikasi ketentuan internasional ke dalam hukum nasional, termasuk ketentuan yang ada dalam TRIPs Agreement. Kondisi demikian perlu untuk dianalisis harmonisasi instrumen internasional tersebut dengan hukum nasional Indonesia, karena keduanya tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Jika orang menganggap bahwa hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua sistem yang terpisah, maka dia harus juga menerima bahwa norma-norma hukum internasional tidak dapat secara langsung diterapkan oleh organ-organ negara dan bahwa organ-organ negara, khususnya pengadilan dapat menerapkan secara langsung hanya norma-norma hukum nasional375. Perjanjian yang berkaitan dengan masalah HKI, yaitu TRIPs, menurut Carlos Correa376, tidak hanya diperuntukan menekan atau mengurangi pembajakan, tetapi juga dapat diperuntukan sebagai kebijakan untuk melakukan proteksi atas teknologi. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan pembagian kerja internasional dimana



375



376



Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif, Alih bahasa Somardi,(Remidi Press, 1995), halaman 377. Carlos Correa, intellectual Property Rights, the WTO and Developing Countries, (Penang : Third World Network, 2000), halaman 5.



394



negara-negara maju menjadi penghasil invensi, dan negara-negara berkembang menjadi pasar dari produk dan jasa yang dihasilkan negara-negara maju tersebut. Penulis menganilisis pandangan Carlos Correa jika dikaitkan dalam konteks di Indonesia maka akan menmbulkan suatu problematik tersendiri. Keberadaan HKI di Indonesia menjadi suatu pertanyaan apakah Indonesia akan jadi lebih diuntungkan atau tidak dengan kehadiran HKI. Sektor kesehatan misalnya menjadi salah satu sektor yang akan ikut terkena dampak dari pemberlakuan HKI global. HKI mengakibatkan harga obat menjadi mahal377. Posisi negara peserta WTO tidak setara dari sisi ekonomi, teknologi, dan kesejahteraan, serta tidak adanya bargain position yang setara378. Isu keanekaragaan hayati (biodiversity) juga menjadi masalah krusial selain isu harga obat yang mahal karena pemberlakuan paten. Paten dapat dimiliki oleh negara lain yang memiliki teknologi canggih dari pada negara asal yang memiliki habitat tumbuhan atau binatang khusus tersebut379. Untuk konteks negara dunia ketiga saja misalnya, sejumlah hak milik intelektual atas keanekaragaman hayati telah :dijarah‖ pada tahun 1998, terutama ketika terjadi pengajuan hak milik intelektual atas padi/beras asal India oleh Rice Tec, sebuah perusahaan Amerika. Tak Cuma itu, sejumlah TNCs lain juga memegang paten atas padi/beras seperti misalnya Pioneer Hi-Bred International dari USA yang memiliki 17 paten padi, Mitui-Toatsu Chemicals Jepang yang memiliki 13 macam paten atas padi, dan lain-lain. Disamping itu juga sejenis bunga asli Filipina yang bernama Ilang-Ilang dikliam kepemilikan patennya oleh rumah mode Yves St. Laurent, Perancis, atau juga daun 377



378



379



Kompas, 3 Mei Tahun 2000, TRIPs berdampak besar Pada Sektor Kesehatan, Lihat pula Tulisan Irwan Julianto, Ancaman Otonomi Daerah Bagi Derajat Kesehatan Rakyat, Kompas 20 Desember Tahun 2000 Edisi Khusus, halaman 31. Indah Suksmaningsih, Ketua harian YLKI, Konsumen, WTO/TRIPs, dan Akses Terhadap Obat, Kompas, 7 Februari Tahun 2000. Lihat pula Hira Jamtani dari KOPHALINDO, WTO, Polisi Dunia Baru, Kompas 12 Mei Tahun 2000. Isu ini diangkat dalam Human Development Report 1999, terbitan UNDP (United Nations for Development Programs).



395



enau asal Thailand, bernama Plo-noi, diklaim oleh Sankyo, perusahaan kecantikan asal Jepang, dan tempe asal Indonesia yang kaya vitamin B12 dikalim oleh Jepang 380



, Hira Jhamtani dengan mengutip laporan UNCTAD tahun 1999, menyebutkan



bahwa sejak pemberlakuan WTO, pemerintah Indonesia mengalami kerugian dalam perdagangan sebesar 1,9 milyar USD dan khusus penerapan TRIPs kerugian mencapai 15 juta USD381. Kerumitan dalam memasuki perdagangan global tidak dapat dihindari. Situasi ketidakseimbangan antara perkembangan negara maju dan negara berkembang menjadi semakin jelas, bahkan mungkin saja jurang antara keduanya menjadi makin dalam. Harus diakui bahwa masalah HKI di Indonesia (khususnya mengenai proteksi herbal berbasis TK) merupakan masalah yang rumit, kerumitan ini karena menyangkut berbagai komponen regulasi nasional dan internasional. Memahami masalah proteksi herbal berbasis TK harus dilihat secara komprehensif, dengan analisis yang dapat memotret aturan yang lebih baik dengan melakukan pendekatan integrasi hukum nasional – internasional. Era Globalisasi tidak hanya mengakibatkan batas negara menjadi bordeless, namun juga mengakibatkan mudahnya instrumen internasional masuk ke dalam hukum nasional suatu negara382. Hal demikian dapat terjadi apakah dengan ratifikasi atau dengan mengikuti dan tunduk pada instrumen internasional tersebut.



380



381 382



Lihat Francis Wahono, ―Revolusi Hijau : Dari Perangkap Involusi ke Perangkap Globalisasi:, Wacana Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, No. IV 1999 Ignatius Haryanto, Penghisapan Rezim HAKI, (Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2002), halaman 68. Disini bisa dilihat bahwasanya ada kekuatan mengikat hukum internasional terhadap suatu negara. Ada beberapa teori/aliran yang mencoba menganalisis kekuatan mengikat HI, yaitu Pertama, teori atau aliran hukum alam. Teori mendasarkan bahwa kekuatan mengikat HI karena HI bagian dari hukum alam yang diterapkan masyarakat bangsa-bangsa. Mereka terikat pada HI karena hubunganhubungan mereka diatur oleh hukum yang lebi tingg yaitu hukum alam.Kedua, teori atau aliran hukum positif. Aliran ini mengemukakan bahwa dasar kekuatan mengikat HI adalah kehendak negara. Ketiga, teori atau aliran pendekatan sosiologis. Aliran ini mengemukakan bahwa masyarakat bangsa-bangsa selaku mahluk sosial selalu membutuhkan inetraksi satu dengan yang lain untuk



396



Dua asumsi atas dasar berlakunya hukum internasional, yaitu pertama, suatu perjanjian yang dibuat haruslah dipatuhi. Asumsi ini kemudian dalam pergaulan internasional menjadi prinsip berlakunya hukum internasional, yang dikenal dengan prinsi pacta unt servanda artinya, bahwa setiap perjanjian harus ditaati. Kedua, hukum internasional memiliki deajat lebih tinggi daripada hukum nasional. Prinsip hukum ini kemudian dikenal dengan prinsip primat hukum internasional. Dengan prinsip tersebut maka suatu traktat berderajat lebih tinggi dari pada undang-undang dasa dari negara peserta traktat. Kedua asumsi berlakunya hukum internasional menjadikan hukum internasional mengikat para negara di dunia ini383. Keikutsertaan indonesia dalam perjanjian internasional dapat dilakukan dengan penandatanganan



dan



juga



dapat



melalui



proses



ratifikasi



yang



bentuk



pengesahannya berupa Undang-Undang (UU) atau Peraturan Presiden (Perpres). Penentuan ratifikasi yang didasarkan pada UU atau yang didasarkan pada Perpres harus melihat aturan yang ada dalam UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Perjanjian Internasional yang telah diikuti oleh indonesia harus dipastikan keselarasan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD) yang merupakan Konstitusi Bagi Republik Indonesia. Keselarasan atau keharmonisan tersebut telah dianalisis dengan menggunakan teori stufentheory dari Hans Kelsen. Kebutuhan pengkajian akan harmonisasi antara instrumen internasional dengan hukum nasional perlu untuk dilakukan. Ada paling tidak tiga alasan mengapa perjanjian internasional yang hendak diikuti oleh Indonesia harus dipastikan keselarasan dengan UUD. Pertama, mengingat Undang-Undang Dasar 1945 merupakan norma tertinggi dalam hirarki peraturan perundang-undangan Indonesia.Kedua, memastikan keselarasan atara perjanjian internasional yang akan diikuti dengan konstitusi penting untuk memastikan kesamaan persepsi pemerintah ketika hendak mengikuti perjanjian



383



memnuhi kebutuhannya. Lihat Sefriani, Hukum Internasional (Suatu Pengantar), (Jakarta : Rajawali Press, 2012), halaman 12-14. Ilham Bisri, Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2011), halaman 92-93.



397



internasional dengan persepsi rakyat. Penyamaan persepsi antara pemerintah dengan rakyat dibutuhkan karena pemerintah dan rakyat difiksikan telah membuat kesepakatan yang dituangkan dalam konstitusi. Oleh karena perjanjian internasional harus dipastikan sesuai dan selaras dengan konstitusi. Ketiga, memastikan keselarasan suatu perjanjian internasional yang hendak diikuti oleh Indonesia bertujuan memastikan terhindarnya intervensi terselubung oleh negara lain terhadap kedaulatan,termasuk kedaulatan hukum Indonesia. Ini mengingat perjanjian internasional kerap dijadikan sebagai instrumen politik oleh satu negara terhadap negara lain384. Dalam konteks hukum internasional yang mengatur masalah ekonomi konsep kesetaraan ini juga ditekankan sedemikian rupa, sehingga negara-negara dengan latar belakang ekonomi yang berbeda-beda, bahkan yang sangat jauh berbeda, dianggap memiliki posisi setara. Penyetaraan ini tentu saja sangat merugikan negara-negara miskin dan negara berkembang seperti Indonesia. Sama seperti hukum nasional, hukum internasional juga tidak bebas kepentingan. Hukum tidak pernah benar-benar bebas dari kepentingan-kepentingan di luar hukum.Ia merefleksikan suatu kepentingan kelompok tertentu. Kenyataannya hukum tidak pernah bebas dari berbagai paham yang berasal dari kelompok dominan di mana hukum itu dibuat atau dipraktikkan. Walaupun demikian bukan berarti berbagai pertentangan kepentingan tersebut tidak bisa di serasikan atau diharmonisasikan. Berbagai instrumen internasional yang berkaitan dengan upaya proteksi herbal berbasis TK telah diratifikasi oleh Indonesia. Proses ratifikasi dilanjutkan dengan proses harmonisasi terhadap hukum nasional Indonesia. Proses harmonisasi ini bukanlah proses yang mudah dan juga bukan pula proses yang tidak mungkin dilakukan. Harmonisasi hukum pada akhirnya akan menimbulkan suatu persoalan sendiri mengingat persoalan utama sehubungan dengan perlindungan herbal berbasis TK terletak pada karakteristik konsep TK. Karakteristik tersebut seperti yang telah 384



Lihat Hikmahanto Juwana, Kewajiban Memastikan Keselarasan Perjanjian Internasional dengan Konstitusi, Makalah dalam Seminar APHI yang diselenggarakan oleh APHI (Asosiasi Pengajar Hukum Internasional bekerjasama dengan FH UNDIP, Semarang 20-21 Mei 2011., halaman 2-3.



398



dijelaskan di atas yaitu karakteristik yang sifatnya komunal dan nonkomersial akan terus berbenturan dengan karakteristik sifat dari hukum paten yang umumnya dipengaruhi oleh sistem hukum Barat yang sangat individualistis dan ekonomis. Hukum itu tidak jatuh dari langit. Suatu bangsa tidak mengarang sendiri tentang hukum apa yang diinginkan. Dimana-mana di dunia, hukum itu berakar pada masyarakatnya sehingga selalu merupakan institut yang unik, yaitu yang berakar pada ‗a peculiar form of social life‖. Disebabkan oleh keadaan yang demikian itu, maka apabila ada usaha untuk melakukan transformasi atau transplantasi hukum, maka tindakan tersebut akan menimbulkan persoalan tersendiri di belakang hari385. B. The Law of the nontransferability of Law Dalam Kajian Harmonisasi Hukum Paten Harmonisasi bukanlah persoalan yang mudah untuk dihadapi dengan perbedaan konsep TK yang ada. Dalam hubungan ini menarik juga untuk merujuk ke kesimpulan Seidman, yang diperolehnya dari kajian-kajiannya mengenai masalah transplantasi hukum Inggris ke daerah-daerah jajahan di Afrika dengan ringkas ia sebut ―The Law of the nontransferability of Law‖386. Seidman telah menyebut-nyebut hal budaya atau struktur normatif sebagai variabel determinan dalam persoalan tak efektifnya hukum asing yang ditransplantasikan. Ia berangkat dari asumsi dasar mengenai perilaku warga masyarakat dengan mengatakan bahwa perilaku hukum seseorang itu akan lebih banyak ditentukan oleh keputusan dan pilihannya atas berbagai alternatif, dengan menimbang-nimbang norma dari sekian alternatif itu yang paling menguntungkan atau yang paling sedikit menimbulkan kerugian. Di sini kaidah hukum hanyalah merupakan salah satu saja diantara sejumlah determinan



385



386



Tamanaha dalam Satjipto Rahardjo, Pancasila, Hukum dan Ilmu Hukum, disampaikan dalam Seminar Nasional tentang ―Nilai-nilai Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia‖. UGM-Universitas Pancasila, Jakarta 7 Desember 2006, halaman 17. Robert B. Seidman, The State, Law and Development (New York : St. Martin‘s Press 1978), halaman 29-36.



399



institusional lain yang akan mempengaruhi keputusannya387. Pada saat hukum ditransplantasikan ke tengah masyarakat yang berbeda dari masyarakat aslinya harus bekerja ditengah-tengah lingkungan institusional yang berbeda, maka efek atau pengaruh hukum terhadap pilihan seseorang (ketika harus memilih alternatif perilaku) patut diduga akan berbeda pula. Maka disini orang dapat menyimpulkan bahwa hukum yang ditransplantasikan itu tidaklah mungkin diharapkan akan dapat menerbitkan efek yang sama dengan efek yang dapat ia terbitkan ditempat asal. Maka tersimpulkanlah oleh Seidman bahwa hukum itu tiak dapat ditransfer dari bumi daya asing tanpa membedol seluruh jaringan sistem institusional yang menjadi konteksnya388. Siedman menyimpulkan ―The law of the nontransferabillity of law‖ nya itu dari sebuah studi yang ia lakukan tentang transplantasi hukum administrasi Inggris yang tumbuh dan berkembang dalam sejarah nasionalnya sebagai hukum yang bertumpu pada asas rule of law telah ditransplantasikan ke daerah-daerah yang terbiasa diperintah dengan kekuasaan otokratis. Pemerintah kolonial pun telah harus bekerja secara otokratis, memerintah dari kedudukannya di pusat–pusat tertentu karena mengingat situasi luar yang belum dikenal benar telah terpaksa menerapkan praktik pemerintahan tak langsung. Beroperasinya di kawasan yang kosong dengan institusi-institusi yang memungkinkan rule of law, pemerintah kolonial menemukan kenyataan bahwa hukum administrasi Inggris kurang dapat berfungsi secara berarti sebagaimana ketika diterapkan di negeri Inggris sendiri, maka alih-alih



387 388



Ibid, halaman 35. Seidman mengembangkan suatu model untuk menggambarkan hubungan seluruh jaringan sistem institusional itu dengan prilaku para pelaku hukum, baik yang berkedudukan sebagai pembuat hukum dan sebagai hakim pembuat keputusan. Keseluruhan jaringan itu ia sebut ―arena of choice‘ atau juga ‗field of social forces‘. Robert B. Seidman, The State, Law and Development (New York : St. Martin‘s Press 1978), halaman 69-79.



400



mengupayakan keefektifan hukum adninistrasi yang resmi ini, pejabat kolonial mengembangkan pranata dan pola-pola normatif baru yang informal. Pola informal ini tampil dalam rupa sistem perekrutan pejabat-pejabat kolonial yang ―inovatif‖ tetapi yang tak secara sengaja direncanakan dan diatur secara formal, yaitu bahwa para pejabat kolonial itu secara diskriminatif hanya direkrut dari satu universitas elite tertentu saja. Cara demikian itu, melahirkan klik-klik kesejawatan informal yang bertumpu pada budaya kelas atas Inggris dan melahirkan pula kode-kode yang sekalipun tak pernah terumus sebagai hukum yang resmi namun dalam kenyataan selalu dimengerti dan dijadikan pegangan bertindak oleh para pejabat yang seasal dan seperguruan itu. Institusi informal ini menurut kenyataannya malah sangat fungsional untuk memutar roda pemerintahan dalam lingkungan yang penuh otokratisme itu. Sediman ingin juga menunjukkan bahwa pemerintah kolonial Inggris di tanahtanah jajahannya di Afrika itu hanya dapat berfungsi dengan baik kalau tidak lagi mengakui rule of law; melainkan rule of man, dan memang demikian kenyataannya yang nonretoris, yang dalam kenyataannya telah diupayakan oleh The Colonial Service bukanlah menegakkan the rule of (the English) law melainkan the rule of men. Pemerintah Kolonial Inggris lebih mementingkan sistem perekrutan dan pengembangan karakter para personilnya : tujuannya hanyalah mengembangkan apa yang disebut good man389. Yang dicari adalah tokoh-tokoh yang memiliki karakter sebagai seorang English Gentleman, yang bisa dipercaya akan selalu dapat bertindak



389



Robert B. Seidman, The State, Law and Development (New York : St. Martin‘s Press 1978), halaman 38-46.



401



dan membuat kebijakan-kebijakan situasional menurut keadaan setempat yang amat bervariasi, dan yang sebagian besar mungkin malahan tak terduga390. Teori Seidman tentang The Law of the nontransferebility of Law memperkuat bahwa hukum paten tidak mudah untuk ditransfer dalam hukum nasional Indonesia. Negara Indonesia memiliki perbedaan baik secara filosofis, sosiologis, dan yurdis mengenai keberlakuan hukum paten di Indonesia. Hukum paten yang berasal dari Barat yang meiliki karakteristik perbedaan dengan Timur secara filosofis. Indonesia meratifikasi instrumen internasioanal terutama TRIPs yang mengenal paham individualistik, liberal dan ekonomis yang secara filosofis berbeda dengan Indonesia yang memiliki karakteristik komunal, sosial dan nonkomersial. Secara filosofis, hukum paten seharusnya mencerminkan suatu keadilan, ketertiban dan kesejahteraan yang diinginkan oleh masyarakat indonesia. Hukum Paten Indonesia seyogyanya mencerminkan keadilan bagi Bangsa Indonesia terutama sebagai pemilik TK. Salah satu upaya negara maju untuk turut campur dalam mentrasfer paham individualistik dan kapitalistik yaitu dengan memanfaatkan TRIPs Agreement. TRIPs dirancang oleh negara maju yang esensinya akan berpengaruh pada kebijakan dan hukum nasional dari negara berkembang.391 Untuk mencegah kebijakan menutup pasar oleh negara berkembang maka dibuat perjanjian internasional yang berimplikasi pada liberalisasi perdagangan internasional. Hal ini tidak jauh berbeda dengan konsep neoliberal jika dikaitkan dengan proteksi herbal berbasis TK di Indonesia. 390



Tentang masalah bekerjanya hukum formal yang telah baku dan semula dimaksudkan untuk merealisasi kebijakan unifikasi di tengah-tengah situasi kolonial yang amat beragam, juga atas dasar pengalaman Afrika. Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya, (Jakarta : Huma, 2002), halaman 263-264. 391 Hanya saja yang kerap menjadi permasalahan dan penolakan negara berkembang terhadap apa yang dilakukan oleh negara maju adalah adanya motif ekonomi ataupun kepentingan-kepentingan tertentu.



402



Pokok-pokok pendirian neoliberal meliputi: pertama, bebaskan perusahaan swasta dan campur tangan pemerintah, Kedua, hentikan subsidi negara kepada rakyat karena bertentangan dengan prinsipmenjauhkan campur tangan pemerintah dan prinsip pasar bebas/persaingan bebas. Ketiga, penghapusan ideologi ―kesejahteraan bersama‖ dan pemilikan komunal seperti yang maish banyak dianut oleh masyarakat tradisional.paham kesejahteraan dan pemilikan bersama tersebut dianggap akan menghalangi pertumbuhan. Akibat dari prinsip tersebut adalah biarkan pengelolaan SDA diserahkan pada ahlinya, dan bukan kepada masyarakat tradisional yang tidak mampu mengelola SDA secara efisien dan efektif392. Negara Republik Indonesia yang merupakan negara hukum (rechtsstaat) mewujudkan suatu tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram dan tertib. Pada hakikatnya manusia baik individu maupun kelompok masyarakat akan berjalan baik apabila patuh dan taat pada hukum. Hukum sebagai panglima adalah menjadi cita-cita Republik Indonesia. Sebagai negara hukum, hukum diberlakukan atau diberdayakan tetaplah sebagai pilihan utama. Karena hukum, seperti yang dilontarkan oleh Van Apeldoorn mempunyai tujuan utama mengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum merupakan penjaga atau pelindung ―hak damai, hak sejahtera, hak hidup, hak sehat atau hak-hak manusia‖ lainnya. Secara sosiologis Indonesia memiliki nilai-nilai dalam masyarakat yaitu nilai kebersamaan, nilai gotong-royong, dan persatuan yang sangat berbeda dengan nilainilai dalam paham hukum paten yang lebih mementingkan sifat ekonomis berupa monopoli yang kapitalistik. Penerimaan hukum paten di masyarakat secara sosiologis harus mencerminkan budaya masayarakat Indonesia dan mencerminkan kenyataan penerimaan dalam masyarakat. Keadaan ini telah terbukti dari sedikitnya pendaftaran paten untuk herbal berbasis TK baik dari masyarakat (individu) maupun dari industri yang bergerak dibidang herbal berbasis TK.



392



Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta : Insist Press, 2009), halaman 218-219.



403



Secara yuridis transfer konsep hukum paten internasional ke dalam hukum paten nasional tidak didasarkan pada Pancasila sebagai cita hukum dan UUD NRI 1945. Pancasila sebagai fundamen dari segala bentuk regulasi yang dibentuk dalam negara ini. Pancasila sebagai bentuk kompromi paling luhur dari pendiri bangsa yang bukan hanya sebagai cita hukum, tetapi juga sarat dengan kajian nilai-nilai kearifan lokal yang sudah sepantasnya diimplementasikan dalam kehidupan keseharian berbangsa dan bernegara. Politik pembangunan hukum nasional diharapkan dapat menghasilkan produk hukum yang sesuai dengan cita kehidupan bangsa yang merdeka, berdaulat, baik dibidang politik, ekonomi maupun sosial dalam kancah global393. Nilai-nilai dasar UUD 1945, yaitu dijiwai oleh nilai-nilai keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat yang tidak memihak kepentingan orang-seorang saja, melainkan kepentingan orang banyak. Hukum paten meskipun scara histors bukanlah berasal dari nilai-nilai kemasyarakatan bangsa Indonesia, namun secara yuridis hukum paten harus sesuai dengan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan nilai dasar negara Indonesia. Uraian ini dapat dilihat dalam ragaan di bawah ini. Ragaan 5 : Penerapan teori The Law of the nontransferebility of Law” Siedman Terhadap Ratifikasi Hukum Paten di Indonesia KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PATEN DAN TK



RATIFIKASI



KEADILAN



FILSAFATI HARMONISASI



KEGUNAAN 393



HUKUM



SOSIOLOGIS



Endang Sutrino, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, (Yogyakarta : Genta Press, 2007) halaman 104 - 105 YURIDIS



KEPASTIAN



404



C. Harmonisasi Hukum Dalam Pemikiran Boaventura De Sousa Santos Realita tersebut di atas apabila ditinjau dari konsep dan Pemikiran Santos dimana di era globalisasi ini pengharmonisasian hukum dari tingkat internasional ke tingkat nasional merupakan hal yang umum dilakukan. Pengintegrasian kepentingan internal suatu bangsa yang domestik, kepentingan nasional dan internasional, serta kepentingan antar sektor kehidupan nasional, menurut Santos394 dapat dilakukan dengan melalui localized globalism yaitu tindakan ―bagaimana‖ nilai-nilai global dilokalisir, atau dengan kata lain dikelola sesuai nilai, kepentingan, dan atau kebutuhan yang bersifat lokal-domestik. Harmonisasi tidak lagi bermakna sebagai homogenisasi, keseragaman atau sekedar langkah perlindungan (protection) terhadap identitas bangsa. Kerangka pendekatan yang diajukan oleh Santos tersebut merupakan patokan dan reorientasi produk hukum terutama hukum paten. Hukum paten dilakukan melalui managemen atau transnasionalisasi hukum yang merunut logika globalized localism yang menekankan aspek harmonisasi yang pada akhirnya hanya akan sejalan dengan pemikiran internasional. Puncak dari upaya harmonisasi atau transnasionalisasi tersebut terjadi ketika Indonesia menjadi anggota WTO dan meratifikasi TRIPs Agreement. Santos395 mengajukan tiga kerangka pendekatan yang dinamai ‗komparatif tiga lapis‖ sebagai analisa transnasionalisasi di bidang hukum, yaitu mengenai : (1) posisi suatu negara dalam hirarkhi sistem dunia; (2) Jalur historis suatu negara menuju modernisasi, dan (3) Kedekatan budaya hukum suatu negara dengan budaya hukum



394



395



Boaventura De Sousa Santos, Toward A New Common Sense: Law, Science and Politics In Paradigmatic Transition, New York: Routledge, 1995 Bonaventura De Sousa Santos, Toward A New Common Sense:Law, Science and Politics in the Paradigmatic Transition (New York :Routledge,1995), halaman 269



405



yang lebih dominan. Melalui tiga persoalan tersebut, setidaknya Santos hendak mengatakan bahwa posisi suatu negara dalam sistem dunia, sebagai negara miskin, semi pinggiran atau negara pinggiran sangat menentukan substansi regulasi hukum negara yang bersangkutan. Tuntutan untuk memikirkan dan menglola dinamika global tak terkecuali di bidang hukum menjadi suatu keharusan tanpa harus mengorbankan jati diri nation state. Ini dilakukan dengan tetap menjaga keseimbangan kepentingan internal bangsa Indonesia dan kepentingan masyarakat dunia. Negara-negara berkembang dan terutama negara-negara miskin harus bekerja keras agar hukum nasionalnya tetap dapat eksis di era global. Keadilan (justice) yang merupakan hakikat hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum harus berdimensi global. Eksistensi hukum sebagaimana dikatakan Gustav Radbruch, dimaksudkan untuk adanya keadilan, kepastian dan kemanfaatan atau kegunaan harus direvitalisasi agar berdimensi global. Hukum yang dihasilkan dalam era globalisasi selain merdeka dan berdaulat juga terutama mengandung keadilan, kepastian dan kemanfaatan secara nasional dan secara internasional tidak bertentangan dengan berbagai konvensi internasional. Eksistensi mengakomodasi



hukum



nasional



tuntutan-tuntutan



harus global,



benar-benar seiring



mampu dengan



diuji



untuk



perkembangan



masyarakatnya sebab hukum ditujukan untuk memenuhi kebutuhan manusia sehingga hukum senyatanya harus mampu mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan, kesejahteraan, keadilan dan ketertiban yang berskala global. Tanpa harus mengorbankan nilai-nilai yang terkandung dalam muatannya.



406



BAB V MEMBENTUK HUKUM PATEN YANG DAPAT MELINDUNGI HERBAL BERBASIS TK AGAR DAPAT MEMBERIKAN MANFAAT BAGI KEPENTINGAN MASYARAKAT BANYAK DI MASA DATANG



Indonesia harus mengejar ketertinggalannya dalam upaya untuk memproteksi produk herbal berbasis TK dalam UU Paten. Indonesia tertinggal dengan negara-negara seperti Cina, Jepang, dan India. Ketertinggalan Indonesia terhadap negara-negara lain yang memiliki ketersediaan sumber daya alam dan TK setara dengan Indonesia bahkan lebih minim dari pada Indonesia. Ketertinggalan tersebut menjadi sutau pertanyaan besar, bahkan Indonesia harus tertinggal oleh Jepang yang ‗nota bene‘ tidak sebanyak Indonesia dalam hal kepemilikan sumber daya alam dan TK. Penulis membandingkan proteksi herbal berbasis TK dalam UU Paten di negaranegara seperti Jepang, cina, India dan Brazil. Pemilihan negara-negara tersebut sebagai pembanding dengan latarbelakang bahwa Jepang memiliki sumber daya alam yang sedikit jika dibandingkan dengan Indonesia tetapi Jepang memiliki kemampuan untuk mendaftarkan produk obat yang berbasis TK dengan hak paten. Cina yang sangat concern dalam pengobatan tradisional memiliki kekuatan untuk menjaga dengan baik kekayaan TK nya. India dengan TKDL nya mampu melakukan proteksi terhadap TK miliknya agar tidak terjadi biopiracy yang dilakukan oleh negara lain secara tidak bertanggung jawab. A. Proteksi Herbal Berbasis TK di Jepang



407



Jepang memiliki undang-undang Paten No. 121 Tahun 1959 yang disahkan pada tanggal 13 April 1959. Undang-undang ini telah di revisi menjadi Undangundang No. 63 Tahun 2011 yang mulai berlaku sejak 1 April Tahun 2012. Tujuan dibentuknya UU Paten Jepang adalah selain untuk meningkatkan perlindungan dan pemanfaatan invensi, juga untuk mendorong invensi, agar dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan industri. Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Paten Jepang memberikan definisi mengenai invensi yaitu the highly advanced creation of technical ideas utilizing the laws of nature. Penciptaan dari invensi yang sangat maju melalui ide-ide teknis yang memanfaatkan hukum alam. Dalam interpretasi yang berlaku umum, frase yang sangat maju tidak berarti persyaratan untuk langkah inventif, mengenai langkah inventif yang diatur dalam Pasal 29, ayat 2. Lebih lanjut UU Paten Jepang memberikan kekhususan dalam Pasal 2 ayat 3 yang memberikan penamaan bahwa penciptaan suatu invensi dilakukan dengan suatu ‗working‘ yang dimaknai : "Working" of an invention in this Act means the following acts: (i) in the case of an invention of a product (including a computer program, etc., the same shall apply hereinafter), producing, using, assigning, etc. (assigning and leasing and, in the case where the product is a computer program, etc., including providing through an electric telecommunication line, the same shall apply hereinafter), exporting or importing, or offering for assignment, etc. (including displaying for the purpose of assignment, etc., the same shall apply hereinafter) thereof; (ii) in the case of an invention of a process, the use thereof; and (iii) in the case of an invention of a process for producing a product, in addition to the action as provided in the preceding item, acts of using, assigning, etc., exporting or importing, or offering for assignment, etc. the product produced by the process. Definisi mengenai invensi dalam undang-undang Paten Indonesia tidak begitu jauh berbeda. Definisi mengenai invensi dalam undang-undang paten Indonesia yaitu ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang



408



spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. Ketentuan Pasal 2 ayat 2 UU Paten Jepang dapat dianalisis bahwa Jepang menganut asas fist to file, dengan kata-katanya "Patented invention" in this Act means an invention for which a patent has been granted. Hak paten akan menjadi efektif setelah dilakukan pendaftaran. Inventor akan dikenai biaya tahunan selama berlakunya hak paten. Jangka waktuhak patenyang diberikan oleh Pemerintah Jepang berakhir setelah jangka waktu 20 tahun sejak tanggal pengajuan permohonan paten. Setelah pembayaran biaya tahunan untuk tiga tahun pertama, hak paten



mulai



berlaku dengan pendaftaran (Pasal 66). Komisaris mengeluarkan sertifikat paten dengan paten (Pasal 28). Jangka waktu paten adalah 20 tahun sejak tanggal pengajuan. Ini dapat diperpanjang untuk obat-obatan (Pasal 67). Paten yang telah mendapatkan haknya maka memiliki hak eksklusif secara komersial untuk : (1) membuat, penggunaan, menetapkan, sewa, impor, atau menawarkan untuk tugas atau menyewa produk dipatenkan, (2) menggunakan proses dipatenkan, atau; (3) penggunaan, menetapkan, sewa, impor, atau menawarkan untuk tugas atau menyewakan produk yang dibuat dengan proses dipatenkan. Prosedur untuk memperoleh hak paten di Jepang dijelaskan secara rinci di situs Kantor Paten Jepang. Prosedur penuntutan paten di bawah hukum Jepang mirip dengan yang di sebagian besar sistem paten lainnya. Pasal 39 menyatakan bahwa orang yang pertama untuk mengajukan permohonan paten untuk invensi dapat memperoleh paten itu, dari orang yang berbeda yaitu yang pertama untuk menciptakan



invensi



yang



sama.



Paten dapat diberikan untuk invensi jika :



409



1. 2. 3. 4.



Invensi seperti yang diklaim adalah industri yang berlaku (Pasal 29, ayat 1), Klaim mengandung novelty (Pasal 29, ayat 1), Klaim mengandung langkah inventif (Pasal 29, ayat 2), Paten tidak membahayakan ketertiban umum, moralitas atau kesehatan masyarakat (Pasal 32). 5. Perubahan spesifikasi, klaim atau gambar tetap dalam lingkup fitur diungkapkan dalam versi asli (Pasal 17), 6. Spesifikasi mengungkapkan invensi dengan cara yang cukup jelas dan lengkap untuk orang yang ahli dalam bidang ini untuk melaksanakannya (Pasal 36, ayat 4), 7. Pernyataan klaim jelas (Pasal 36, ayat 6), 8. Aplikasi memenuhi persyaratan untuk kesatuan invensi (Pasal 37), 9. Pemohon adalah yang pertama untuk mengajukan permohonan paten untuk invensi (Pasal 29 dan 39) , dan 10. Pemohon memiliki hak untuk mendapatkan paten untuk invensi (Pasal 25 dan 38 , dan Pasal 49, ayat 7). Pasal 30 memberikan tenggang waktu enam bulan untuk pengungkapan yang dilakukan melalui percobaan, publikasi, presentasi pada pertemuan studi atau pameran atau jika invensi ini menjadi dikenal masyarakat bertentangan dengan keinginan pemohon. Pengungkapan tersebut tidak merupakan bagian dari invensi sebelumnya. Berkaitan dengan permohonan Hak Paten di Jepang, Undang-undang Paten Jepang memberikan peluang bagi seseorang yang ingin mendapatkan hak paten dengan jalan harus mengajukan permohonan, spesifikasi, klaim, setiap gambar yang diperlukan, dan abstrak dengan komisaris Kantor Paten Jepang (Pasal 36). Pasal 36 memungkinkan sebuah aplikasi dalam bahasa asing (saat ini hanya dalam bahasa Inggris) jika pemohon mengajukan terjemahan bahasa Jepang dalam waktu dua bulan dari tanggal pengajuan. Namun, pemohon tidak dapat mengubah file bahasa asing (Pasal 17, ayat 2). Pada tahun 2007 ada revisi UU Paten Jepang. Berdasarkan revisi undang-undang 2007, periode untuk mengajukan terjemahan bahasa Jepang untuk Aplikasi Bahasa asing adalah 14 bulan dari tanggal pengajuan atau tanggal prioritas. Aplikasi paten yang diterbitkan tanpa laporan pencarian setelah 18 bulan



410



telah berakhir sejak tanggal pengajuan (Pasal 64). Pemohon dapat meminta untuk publikasi awal ( Pasal 64). Permintaan untuk pemeriksaan dan pembayaran biaya pemeriksaan yang diperlukan untuk sebuah aplikasi untuk diperiksa (Pasal 48). Pakar yang ahli dibidangnya melakukan pemeriksaan aplikasi (Pasal 47). Pemeriksa memberitahukan pemohon alasan penolakan sebelum membuat keputusan untuk menolak paten (Pasal 50), menunjukkan bahwa beberapa kondisi di atas paten tidak terpenuhi. Pemohon dapat mengajukan pernyataan atau amandemen terhadap alasan penolakan, dalam batas waktu yang ditentukan oleh pemeriksa (Pasal 17 dan 50). Batas waktu biasanya 60 hari setelah tanggal pemberitahuan bagi pemohon yang tinggal di Jepang, atau tiga bulan setelah tanggal pemberitahuan bagi pemohon yang tinggal di luar negeri.Jika pemeriksa menemukan bahwa beberapa alasan penolakan diberitahukan kepada pemohon



dan



pemohon



tidak melakukan amandemen,



pemeriksa



mengeluarkan keputusan untuk menolak paten (Pasal 49) , jika pemeriksa mengeluarkan keputusan untuk memberikan paten (Pasal 51). Syarat untuk mendapatkan hak paten di Jepang tidak jauh berbeda dengan syarat untuk mendapatkan hak paten di Indonesia, yaitu dengan harus memenuhi persyaratan novelty, inventif step dan industrial applicability. Syarat novelty, memiliki aturan yang sama dengan negara lain. Hukum paten Jepang tidak memberikan hak eksklusif untuk teknologi yang sudah ada. Pasal 29 (1) Paten Act menetapkan titik ini, seorang penemu tidak mungkin memperoleh paten untuk invensi yang dikenal masyarakat ("dikenal publik"), invensi digunakan publik "atau invensi yang dijelaskan dalam publikasi didistribusikan atau dibuat tersedia



411



untuk umum melalui jalur telekomunikasi di Jepang atau negara lain sebelum pengajuan permohonan paten. Pasal 29, ayat 1, ketentuan (i), UU Paten, mendefinisikan ―publicly known inventions‖ yang memberikan dasar untuk kurangnya kebaruan invensi aplikasi paten, sehingga invensi ini tidak bisa dipatenkan. Sebuah invensi yang isinya telah diketahui orang lain dengan atau tanpa kewajiban kerahasiaan dalam "invensi diketahui publik", terlepas dari niat penemu atau pemohon untuk merahasiakannya. Ketentuan pada naskah yang diserahkan kepada sebuah jurnal dari masyarakat akademik, secara umum, biasanya dirahasiakan terhadap pihak ketiga, bahkan setelah penerimaan naskah oleh sivitas akademika. Oleh karena itu, invensi yang dijelaskan dalam naskah, dianggap sebagai ―invensi diketahui publik‖, sampai isi naskah tersebut diterbitkan. Pasal 29, ayat 1, bagian (ii), UU Paten, mendefinisikan "publicly worked inventions" yang memberikan dasar untuk kurangnya kebaruan invensi aplikasi paten, sehingga invensi ini tidak bisa dipatenkan. Sebuah invensi yang telah bekerja di bawah kondisi di mana isi dari invensi ini harus diketahui publik atau berpotensi dapat diketahui publik. Kondisi di mana isi dari invensi ini harus diketahui publik" meliputi, misalnya, sebuah situasi di mana orang yang ahli dalam bidang ini dapat dengan mudah memahami isi dari invensi ini dengan mengamati proses manufaktur yang terkait dengan invensi di perusahaan yang dapat diketahui orang lain. "Kondisi di mana isi dari invensi ini harus diketahui publik" meliputi, misalnya, situasi di mana bagian dalam fasilitas manufaktur tidak dapat diketahui orang lain (kunjungan inspektur) hanya dengan mengamati tampilan eksterior dan orang tidak dapat mengetahui invensi secara keseluruhan tanpa mengetahui bagian dalam seperti itu,



412



orang tersebut diperbolehkan untuk mengamati bagian dalam atau dapat memiliki bagian dalam menjelaskan (yaitu, permintaan untuk pengamatan atau penjelasan tidak akan ditolak oleh perusahaan. Pasal 29, ayat 1, Bagian (iii), UU Paten, mendefinisikan ―inventions described in a distributed publication‖ yang memberikan dasar karena kurangnya kebaruan invensi aplikasi paten, sehingga invensi ini tidak bisa dipatenkan. "Publikasi" adalah dokumen, gambar atau media sejenis lainnya untuk komunikasi informasi, digandakan untuk tujuan mengungkapkan isi kepada publik melalui distribusi. "Distribusi" berarti menempatkan publikasi seperti dijelaskan di atas dalam kondisi di mana orang-orang yang tidak ditentukan dapat membaca atau melihatnya. Ini tidak memerlukan fakta akses sebenarnya orang tertentu untuk publikasi tersebut. Syarat inventif step, dimana pada saat aplikasi, seseorang biasanya diharuskan mencari atau searching ‗prior art‘ untuk menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 29 ayat 1 Undang-undang Paten Jepang agar tidak dilakukan penolakan terhadap hak paten yang diajukan. Pemohon harus bisa membuktikan daya beda dari prior art atau hal yang lebih maju dari prior art. Syarat industrial applicability, untuk dapat diberikan paten, terlebih dahulu harus diterapkan dalam industri : syarat untuk Paten Act Pasal 29 (1). Undangundang Paten Jepang menyatakan bahwa invensi yang tidak diterapkan dalam industri tidak dapat dipatenkan. "Industri" adalah sebuah konsep luas yang mencakup industri manufaktur, pertanian, perikanan dan kehutanan industri, industri pertambangan, industri komersial, dan industri jasa. Di Jepang, paten tidak dapat diberikan untuk invensi dalam melakukan operasi bedah pada manusia, metode melakukan perawatan medis atau diagnosis medis pada manusia (yaitu tindakan



413



medis). UU Paten tidak secara tegas menyatakan bahwa tindakan medis tersebut tidak dapat dipatenkan, dalam praktek pemeriksaan aplikasi paten oleh Kantor Paten, tindakan medis yang disebutkan di atas tidak diterima sebagai invensi dapat diterapkan dalam industri. Industri medis dikecualikan dari "industri", untuk invensi tindakan pengobatan tersebut tidak diakui, dengan alasan bahwa mereka tidak dapat diterapkan dalam industri. Pengecualian ini berasal dari pertimbangan etis yang diagnosa dan perawatan yang tersedia untuk praktisi medis dalam perlakuan mereka terhadap pasien tidak harus dibatasi dengan cara apapun oleh kehadiran jenis hak paten, dan itu adalah konstruksi hukum yang diadopsi karena tidak adanya ketentuan undang-undang secara tegas menyangkal keabsahan hak paten untuk tindakan perawatan medis. Hak paten dapat diperoleh melalui aspek perawatan medis termasuk obat-obatan dan peralatan medis, dan metode pembuatan mereka (perhatikan bahwa Pasal 69 (3) UU Paten, namun menetapkan batasan-batasan tertentu pada efek dari hak paten yang diperoleh untuk obat-obatan. Intinya adalah bahwa invensi "melakukan operasi bedah pada manusia", "metode melakukan perawatan medis pada manusia", atau "metode melakukan diagnosis medis pada manusia" tidak dapat dipatenkan dari pertimbangan politik padar anah kemanusiaan. Invensi paten tidak ditolak untuk invensi di seluruh bidang bisnis medis. Sebagai contoh, invensi obat-obatan dan peralatan medis yang diterima sebagai invensi paten produk. Selanjutnya, metode produksi obat-obatan, metode manufaktur peralatan medis, metod eoperasi alat-alat medis, dan metode-metode pengolahan dan analisis zat dikumpulkan dari manusia diterima sebagai invensi metode yang dapat dipatenkan. Namun, tentang substansi yang dikumpulkan dari manusia, metode pengolahan dan analisis pada prasyarat yang harus dikembalikan ke



414



manusia yang sama untuk perawatan medis (misalnya, metode hemodialisis) tidak bisa diterima sebagai industri yang berlaku invensi. Namun, metode memproduksi obat atau bahan medis menggunakan zat dikumpulkan dari manusia sebagai bahan baku (misalnya, metode pembuatan tulang buatan, metode pembuatan lembaran kulit, dan sejenisnya) diterima sebagai invensi dapat diterapkan dalam industri, meskipun metode pengolahan obat tersebut atau bahan medis dilakukan pada prasyarat bahwa obat tersebut atau bahan medis dikembalikan yang sama ke manusia. Undang-undang paten Jepang mengenal pembatasan hak paten, seperti hak paten tidak berlaku terhadap invensi yang dilakukan untuk tujuan penelitian atau percobaan. Ketentuan mengenai pembatasan hak paten tersebut seperti apa yang tertera dalam Pasal 69 UU No. 63 Tahun 2011: (1) A patent right shall not be effective against the working of the patented invention for experimental or research purposes. (2) A patent right shall not be effective against the following products: (i) vessels or aircrafts merely passing through Japan, or machines, apparatus, equipment or other products used therefor; and (ii) products existing in Japan prior to the filing of the patent application. (3) A patent right for the invention of a medicine (refers to a product used for the diagnosis, therapy, treatment or prevention of human diseases, hereinafter the same shall apply in this paragraph) to be manufactured by mixing two or more medicines or for the invention of a process to manufacture a medicine by mixing two or more medicines shall not be effective against the act of preparation of a medicine as is written in a prescription from a physician or a dentist and the medicine prepared as is written in a prescription from a physician or a dentist. Kondisi Paten di Jepang dapat diketahui bahwa seorang inventor dari invensi yang dapat diterapkan dalam industri berhak untuk mendapatkan hak paten atas invensi tersebut, kecuali untuk kasus-kasus invensi yang sudah menjadi public domain di negara Jepang atau negara lain sebelum pengajuan permohonan paten, invensi yang dilakukan sudah di publikasikan di Jepang atau negara lain sebelum



415



pengajuan permohonan paten, dll. Kondisi ini juga yang menyebabkan hak paten tidak dapat diberikan. Kondisi lain yang lebih ketat untuk invensi yang tidak dapat dipatenkan yaitu setiap invensi yang bertentangan dengan ketertiban umum, moralitas, atau kesehatan masyarakat. Prosedur pengajuan paten di Jepang yaitu dengan mengikuti prosedur pendaftaran paten sebagai berikut : (1) Pengajuan permohonan paten (2) Formalitas Pemeriksaan secara formal (3) Pemaparan aplikasi untuk pengujian. Isi dari aplikasi ini terbuka untuk umum setelah selang 18 bulan dari tanggal pengajuan. (4) Permintaan Pemeriksaan aplikasi. Permintaan untuk pemeriksaan substantif permohonan harus diajukan dalam waktu tiga (3) tahun sejak tanggal pengajuan. Tanggal jatuh tempo untuk meminta pemeriksaan adalah inextensible. (5) Apabila permohonan pemeriksaan tidak diajukan oleh tanggal jatuh tempo, aplikasi akan dianggap telah ditarik. (6) Pemeriksaan substantif harus dilakukan oleh Kantor Pemeriksa Paten. (7) Pemberitahuan Alasan Penolakan (Pemberitahuan Penolakan). Pemohon diberitahu tentang alasan penolakan. (8) Pengajuan Argumen/Perubahan. Menanggapi pernyataan Penolakan, pemohon dapat mengajukan argumen tertulis yang menyatakan argumen pemohon terhadap pendapat Pemeriksa. Menanggapi pernyataan Penolakan, pemohon dapat mengajukan argumen tertulis yang menyatakan argumen pemohon terhadap pendapat Pemeriksa. Selanjutnya, klaim, spesifikasi dan/atau gambar dapat diubah untuk mengatasi alasan penolakan dari pemeriksa. Argumen dengan amandemen tersebut harus diajukan dalam batas waktu yang ditentukan. (9) Keputusan pemberian hak paten. Bila tidak ada alasan penolakan, dilakukan pemberitahuan keputusan untuk pemberian hak paten pada pemohon. (10) Keputusan penolakan /Penolakan Bila alasan penolakan belum diatasi, maka aplikasi permohonan akan diputuskan untuk ditolak. (11) Banding terhadap Keputusan Penolakan / Penolakan. Pemohon dapat mengajukan banding terhadap aplikasi Keputusan Penolakan dalam batas waktu yang ditentukan. (12) Pemeriksaan Banding. Ketika Dewan Banding ditunjuk (tiga atau lima Penguji Banding ditunjuk) dan menemukan bahwa aplikasi tersebut diijinkan, Keputusan Banding hak Paten akan diberikan pada pemohon. Disisi lain, saat aplikasi ditemukan oleh Dewan Banding harus ditolak, aplikasi Keputusan Banding Penolakan/Penolakan akan diberitahukan kepada pemohon.



416



(13) Pembayaran Biaya Pendaftaran Paten dan Pendaftaran Hak Paten. Setelah menerima Keputusan untuk Hak Paten, Pemohon harus membayar biaya pendaftaran hak paten dan setelah itu akan dimasukan dalam Daftar Paten. (14) Publikasi pada Lembaran Paten. Isi paten yang diterbitkan oleh JPO dalam Berita Paten. (15) Percobaan untuk Pembatalan Paten. Pihak ketiga dapat dimungkin untuk menuntut pembatalan paten. (16) Prosiding Pembatalan. Sebagai akibat dari pembatalan proses oleh Dewan Pengadilan yang ditunjuk (tiga atau lima ditunjuk Sidang Penguji), paten akan menerima Keputusan Pengadilan untuk Pembatalan Paten, atau Keputusan Percobaan untuk Menjaga Paten. (17) Gugatan di Pengadilan Tinggi Kekayaan Intelektual. Ketika pemohon paten tidak puas dengan keputusan Kantor Paten, dapat mengajukan gugatan hukum terhadap Keputusan Pengadilan di Pengadilan Tinggi Kekayaan Intelektual. Ketika pemohon tidak puas pada Keputusan yang dibuat oleh Pengadilan Tinggi Kekayaan Intelektual dapat diajukan ke Mahkamah Agung. Prosedur pengajuan hak paten di Jepang ditunjukan dalam ragaan di bawah ini. Ragaan 6 : Prosedur pendaftaran paten di Jepang



417



Sumber : Japan Patent Office Jepang memiliki sistem aplikasi yang sudah sangat maju menggunakan online system yang sekiranya dapat ditiru oleh Indonesia dengan dukungan dana, teknologi, dan SDM. Sistem aplikasi memudahkan bagi inventor untuk melakukan pendaftaran paten. Pemerintah Jepang juga melakukan upaya mempermudah masyarakat Jepang dalam melakukan pendaftaran dan mengakses informasi paten. Gedung JPO yang



418



berlokasi di tengah kota yang sangat mudah diakses oleh masyarakat Jepang. Kantor JPO menyediakan ratusan komputer yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk melakukan penelusuran paten atau informasi dalam berita resmi paten. Bagi masyarakat yang ingin melakukan penelusuran di luar kantor JPO maka dapat dilakukan dengan mengunjungi website JPO, dimana data tersebut dapat diakses melalui internet. Data-data tersebut telah dilakukan secara digitalisasi. Prinsip orang Jepang, yang juga didukung oleh politik pemerintah yaitu selalu menggunakan hasil invensi orang lain dengan baik. Orang-orang Jepang yang ternyata telah memperoleh sukses besar. Mereka selalu tak segan-segan mencontoh dan menjiplak karya usaha orang lain yang bermutu tinggi. Misalnya mereka membeli kamera atau jam tangan yang maju dari negara Eropa, kemudian mereka membongkarnya untuk dijadikan contoh dasar (starting poin) bagi perbaikanperbaikan yang hendak dilakukan oleh mereka. Dari segi teknologi kita saksikan hasilnya, yaitu bahwa dengan pendekatan dan sikap demikian, yakni tidak segansegan meniru, justru sekarang mereka tergolong negara yang berada pada pucuk pimpinan teknologi termaju di dunia ini396. Keberhasilan ekonomi Jepang, Korea Selatan, Taiwan,dan Cina melalui adopsi prinsip-prinsip kapitalisme-leberalisme telah membuat negara-negara itu lebih berdaulat, tak bisa begitu saja didikte oleh negara-negara barat397. Ketentuan yang berkaitan dengan TK dalam UU Paten Jepang tidak sedikitpun terungkap atau tersentuh. Jepang memiliki undang-undang mengenai Law on Protection of Cultural Propeties yaitu Undang-undang No. 214 Tahun 1950 yang 396 397



Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Hak Milik Intelektual, (Bandung : Eresco, 1995), halaman 9. Siswono Yudo Husodo, Pelembagaan Nilai-nilai Pancasila dalam Perspektif Ekonomi dan Kesejahteraan dalam Dinamika Dunia Aktual, dalam Acara Kongres Pancasila, Yogyakarta, 31 Mei 2012, halaman 3.



419



disahkan pada tanggal 30 Mei Tahun 1950. Undang-undang ini diperbaruhi dengan Undang-undang No. 7 Tahun 2007 yang disahkan tanggal 30 Maret Tahun 2007. Tujuan dari di terbitkannya undang-undang ini yaitu untuk melestarikan warisan budaya dan untuk mempromosikan budaya dengan menggunakan sarana hukum dengan kontribusi utama terhadap peningkatan budaya masyarakat. Undang-undang ini lebih menekankan pada cagar budaya dan lebih mirip dengan UU Hak Cipta di Indonesia yang melebur menjadi satu dengan Undang-undang Cagar Budaya. Undang-undang ini adalah perpaduan antara UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Undang-undang ini tidak memuat ketentuan mengenai proteksi herbal berbasis TK. Jepang mengakui bahwa masalah pengetahuan tradisional sangat penting bagi banyak negara-negara anggota, namun, Jepang percaya bahwa kedalaman pemahaman di antara negara anggota tentang masalah ini masih menjadi perdebatan akan jenis kesepakatan di tingkat internasional yang akan dibentuk. Jepang membuka diskusi yang mendasar sebagai langkah pertama untuk memperdalam pemahaman tentang pengetahuan tradisional,. Diskusi tersebut membahas berdasarkan Daftar Issues untuk membahas masalah mendasar, seperti definisi atau isi dari istilah tertentu. Jepang menekankan bahwa ada beberapa masalah yang tidak dapat diselesaikan karena masalah-masalah mendasar masih belum jelas. Bahkan sebelum mencoba untuk menyelesaikan rincian dari kata-kata istilah tertentu, apa yang lebih bermasalah adalah kurangnya pembentukan pemahaman umum atau persepsi umum seperti apa kata-kata tersebut. Berdebat, bagaimanapun, bahwa dalam situasi seperti ini, tidak mungkin untuk menyetujui kata-kata rinci definisi atau definisi harus diserahkan kepada hukum nasional negara anggota.



420



Daftar isu berisi kata-kata seperti "hak" dan "perlindungan", tetapi sampai tahap ini, tidak ada konsensus untuk membangun hak baru atau bentuk perlindungan. Pada dasarnya untuk masalah ini dapat menggunakan pendekatan individu, tetapi penggunaan tersebut tidak menunjukkan posisi Jepang pada perumusan setiap "hak" baru atau "perlindungan." Tentu saja, Pemerintah Jepang sadar bahwa ada beberapa hak yang sudah ada di bawah hukum adat dan bahwa mereka harus dihormati. Namun, bahkan dalam kasus tersebut, dimana harus menunjukkan bahwa hak-hak yang diakui oleh hukum adat di negara-negara atau daerah-daerah tertentu belum tentu diakui di yurisdiksi lain. Beberapa ketentuan/konsep TK yang dipahami oleh negara Jepang, yaitu: 1.



Pengertian Pengetahuan Tradisional yang harus dilindungi. Ungkapan "pengetahuan tradisional" memberikan gambaran kasar tentang apa artinya secara umum, tetapi dari perspektif hukum, expressionis sangat kabur. Sebelum mendefinisikan ungkapan ini, makna "tradisional," "pengetahuan," dan " [pengetahuan tradisional] yang harus dilindungi" harus dibuat jelas. Berikut ini adalah untuk menggambarkan isu-isu yang diperlukan untuk memperdalam pemahaman.



2.



Kata "tradisional" memiliki implikasi dasar bahwa "seseorang melewati informasi ke orang lain sepanjang dimensi temporal."Dimensi Temporal: Untuk mewariskan informasi kepada generasi mendatang, tidak jelas di sekitar berapa banyak generasi akan cukup untuk dianggap "tradisional?" Juga tidak jelas apakah informasi yang belum disampaikan ke generasi sekarang atau yang telah berhenti diturunkan di masa lalu bisa dilihat sebagai "tradisional"? Dari siapa ke siapa: Informasi dapat diturunkan melalui berbagai hubungan



421



seperti hubungan yang ada antara orang tua dan anak-anak, antara keluarga / kerabat (yaitu, hubungan darah), dalam sebuah komunitas lokal, dalam suatu kelompok masyarakat adat, atau dalam suatu negara . Aktor menyampaikan informasi juga dapat diubah. Sebagai contoh, sepotong informasi yang telah diturunkan dalam keluarga A dapat diturunkan ke Family B atau disebarluaskan di Komunitas C yang telah Family A milik untuk jangka waktu tertentu, atau sepotong informasi yang telah diserahkan turun di Komunitas D dapat keluar dan mungkin hanya diwariskan dari generasi ke generasi dalam keluarga. 3.



Pengertian Pengetahuan. Kata "pengetahuan" berarti "value," "state of management," dan "tingkat kepemilikan publik. "Nilai pengetahuan berkisar dari "bermanfaat bagi semua manusia" (misalnya efek menguntungkan dari obat herbal) untuk (misalnya upacara keagamaan) "berharga hanya dalam suatu kelompok tertentu". Ungkapan"state of management "berkisar dari" sesuatu yang dikelola secara rahasia" untuk "sesuatu yang umum digunakan dan tidak terlalu berhasil" atau" sesuatu yang secara aktif diberikan kepada pihak luar." Tingkat kepemilikan publik : Ungkapan "tingkat kepemilikan publik" meliputi "pengetahuan yang sudah dalam domain publik dan digunakan secara bebas oleh publik," "pengetahuan yang hanya digunakan oleh pihak yang berkepentingan dan dirahasiakan," dan "'pengetahuan yang tidak rahasia tetapi belum digunakan secara komersial. "Makna kata "komersial" dapat bervariasi karena skala bisnis dan faktor lainnya. " pengetahuan "dapat dapat berubah pada saat jalannya pewarisan melalui perbaikandan faktor lainnya. Dalam hal ini, seberapa luas atau melalui berapa banyak generasi harus "pengetahuan"



422



diturunkan setelah menjalani perubahan tersebut harus dianggap pengetahuan tradisional? Jika ada perbaikan ditambahkan kebagian tertentu



dari



pengetahuan oleh seorang aktor selain aktor kepada siapa pengetahuan disahkan, bisa "diperbaiki" pengetahuan didefinisikan sebagai "pengetahuan tradisional"? Sebagaimana disebutkan di atas, konsep "pengetahuan tradisional" mencakup berbagai faktor. Jepang ingin tahu apa faktor-faktor tertentu peminta negara yang ada dalam pikiran ketika mereka mengacu pada "pengetahuan tradisional." 4.



TK yang seharusnya dilindungi. Kriteria untuk TK yang harus dilindungi" terkait erat dengan kriteria untuk menilai apa manfaat masyarakat dapat menikmati dengan melindungi pengetahuan tradisional. Akankah "pengetahuan tradisional" dibuat secara luas tersedia untuk umum (seperti hak paten dan hak cipta) dengan tujuan untuk meningkatkan teknologi dan budaya bagi generasi berikutnya? Atau akan pemeliharaan "pengetahuan tradisional" itu sendiri dianggap sebagai melayani kepentingan publik? Mengambil semua pertanyaan ini ke rekening, diskusi harus fokus pada kepentingan umum dan manfaat bagi masyarakat. Tanpa membahas kepentingan umum seperti itu, tidak akan dibuat jelas apakah perlindungan yang diperlukan atau apa yang harus dilindungi.



5.



Siapa yang harus mendapatkan keuntungan dari perlindungan tersebut atauyang memegang hak untuk dilakukan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional? Ada berbagai cara / hubungan di mana "pengetahuan tradisional" diteruskan, misalnya, orangtua-anak, keluarga / kerabat, masyarakat, kelompok masyarakat adat, dan negara-negara. Namun, ruang lingkup dari "masyarakat"



423



atau kelompok adat dan sebagainya, namun semuanya itu tidak jelas untuk dapat dipahami dunia internasional. 6.



Tujuan Apa yang berusaha dicapai melalui pemberian perlindungan kekayaan intelektual (hak-hak ekonomi, hak moral)? Ada pendapat bahwa perlindungan IP yang tepat harus diperluas ke pengetahuan tradisional mengingat nilai industrinya. Pendapat ini, bagaimanapun, tidak jelas mengandung atau mengidentifikasi alasan apapun mengapa pengetahuan tradisional memenuhi syarat untuk perlindungan tersebut. Jika tujuan perlindungan pengetahuan tradisional adalah untuk memperbaiki pembangunan ekonomi dari komunitas tertentu dengan menyediakan sumber daya keuangan baru, harus dipertanyakan apakah perlindungan pengetahuan tradisional merupakan cara yang tepat untuk mencapai tujuan ini. Dalam konteks ini, hak untuk perlindungan harus hanya berlaku untuk jangka waktu terbatas untuk mendorong pihak ketiga digunakan untuk pengembangan lebih lanjut dan untuk mengamankan keseimbangan antara kepentingan pemegang hak dan kepentingan publik. Namun, mungkin bermasalah untuk memungkinkan hanya generasi tertentu untuk menikmati manfaat yang diperoleh dari pengetahuan tradisional yang telah lama diturunkan. Selain itu, tidak akan ada insentif keuangan untuk generasi setelah berakhirnya IP yang tepat untuk memelihara dan mewariskan pengetahuan tradisional. Di sisi lain, dari sudut pandang kepentingan publik, juga tidak pantas untuk memberikan IP yang tepat yang akan tetap berlaku selamanya. Ada pendapat lain bahwa pengetahuan tradisional harus dilindungi sebagai hak moral, pertimbangan nilai-nilai yang telah lama dibina dalam penduduk



424



pribumi atau masyarakat setempat. Jika perlindungan hak moral dibuat berlaku untuk pengetahuan tradisional, pemegang hak harus dilindungi terhadap tindakan pelanggaran hak moral. Namun, ruang lingkup dari tindakan-tindakan tersebut masih harus didefinisikan dengan jelas. Untuk pelanggaran hak moral, Perlindungan di bawah KUH Perdata atau hukum-hukum umum lainnya dapat diterapkan bahkan jika tidak ada perlindungan IP yang tepat. 7.



Perlindungan di bawah hukum paten. Pengetahuan tradisional tertentu sudah berada dalam domain publik, dengan demikian, pengetahuan tradisional tersebut tidak dianggap sebagai memiliki kebaruan. Untuk memenuhi kebutuhan baru, pengetahuan tradisional, setidaknya, harus dipertahankan dan diteruskan oleh orang-orang yang memiliki kewajiban untuk menjaga rahasia pengetahuan tradisional. Pada dasarnya, penemu memiliki hak untuk mencari paten. Dalam kasus pengetahuan tradisional, di sisi lain, seringkali sulit untuk menentukan kepada siapa hak untuk mencari paten milik karena pengetahuan tradisional dipertahankan/dikembangkan dari generasi ke generasi dalam kelompok adat atau masyarakat lokal. Perdebatan mengenai TK di Jepang masih menjadi berita hangat, namun



berkaitan dengan perkembangan herbal di Jepang dapat ditiru oleh negara Indonesia. Jepang adalah contoh yang paling baik dari negara industri maju yang memanfaatkan obat tradisional dalam mainstream sistem pelayanan kesehatannya. Lebih dari 140 jenis obat herbal telah dimasukkan dalam list dari skema asuransi kesehatan nasional. Sejumlah besar dokter telah menggunakan obat herbal dalam praktek kedokteran modern398. Obat herbal digunakan di negara sedang berkembang maupun negara maju seperti Jepang. Jepang



398



Sampurno, Obat Herbal Dalam Prespektif Medik Dan Bisnis, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, http://mot.farmasi.ugm.ac.id/files/13OBAT%20HERBAL_Sampurno.pdf.



425



merupakan negara maju yang memanfaatkan obat tradisional dalam mainstream



pelayanan kesehatan 140 jenis obat herbal dalam list obat askes, dokter telah menggunakan obat herbal. Jepang juga memiliki tradisi herbal yang kuat, yang memiliki hubungan dekat dengan obat herbal Cina tetapi cenderung menggunakan jumlah yang lebih kecil dari bahan-bahan yang lebih halus dan juga memiliki formula yang berbeda sendiri399. Di Jepang, obat herbal yang digunakan dalam pengobatan herbal Jepang diatur seperti obat-obatan diatur di Amerika Serikat. Setiap aspek produksi herbal dipantau untuk kualitas dan keselamatan. Warga Jepang dijamin akses pada tumbuh-tumbuhan ini melalui rencana perawatan kesehatan nasional Jepang. Tumbuh-tumbuhan yang digunakan dalam Kampo adalah kombinasi herbal dalam proporsi standar tetap. Karena kontrol pemerintah produksi herbal, herbal secara ketat diukur dan setiap obat Kampo terdiri dari bahan yang sama persis400. Ada 165 tumbuhan yang digunakan dalam pengobatan Kampo. Meskipun di luar lingkup artikel ini untuk daftar semuanya di sini, banyak yang umum dikenal obat herbal Barat seperti daun teh, akar angelica dan licorice, sementara yang lain mungkin tampak kurang dikenali- seperti cangkang tiram pacific, serutan bambu dan gipsum401. Kampo Jepang adalah fitur penting dari praktek medis modern di Jepang. Hampir semua apotek Jepang membawa formula herbal tradisional dan memiliki apoteker pada staf terlatih dalam metode tradisional resep. Sebagian besar dokter Jepang (lebih dari 70%) menggunakan setidaknya beberapa rumus Kampo dalam praktek mereka.



399



400 401



http://ezinearticles.com/?Traditional-Japanese-Medicine&id=895129, diakses tanggal 10 Desember 2013. http://herbs.lovetoknow.com/Japanese_Herbal_Medicine, diakses tanggal 15 Desember 2013. Ibid.



426



Kata Kampo dalam bahasa Jepang adalah istilah generik untuk pengobatan Cina. Arti harfiah dari Kampo adalah "metode Han," sistem pengobatan "Hans," penyebutan bagi orang Cina. Sampai 1875, ketika pengobatan Barat menjadi obat resmi, bentuk dominan dari praktek medis di Jepang adalah Kampo dan akupunktur. Herbal yang digunakan dalam praktek Kampo tradisional dibawa ke laboratorium untuk aktivitas penelitian farmakologi. Banyak tumbuh-tumbuhan yang digunakan dalam Kampo telah diberikan legitimasi oleh kedokteran Barat, tapi tidak sampai tahun 1930-an sebelum resep sistem Kampo tradisional itu dievaluasi kembali pada manfaatnya sebagai metode praktek medis402. B. Proteksi Herbal Berbasis TK di Cina Cina cukup responsif dalam merevisi Undang-Undang HKI agar sesuai dengan standar TRIPs Agreement. Setelah mempelajari berbagai Undang-Undang HKI Cina dan implementasinya dapat dikemukakan politik hukum HKI yang diterapkan dalam kaitannya dengan perlindungan terhadap kepentingan nasional, sebagai berikut: Pertama, membuat pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang HKI yang secara eksplisit (jelas dan tegas) ataupun secara tersamar untuk melindungi kepentingan nasional. Kedua, memberikan syarat kepada perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang melakukan investasi di Cina untuk melakukan alih teknologi kepada perusahaan lokal. Ketiga, memberikan toleransi terhadap tindakan pelanggaran HKI sepanjang dianggap akan mampu mendorong warga negara atau perusahaan lokal menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.Keempat, Cina tidak terburuburu mengeksekusi Konvensi WTO/TRIPs sebelum menyiapkan diri secara cukup dan dipandang mampu bersaing dengan HKI yang dimiliki oleh negaranegara maju. Kelima, Cina tidak takut terhadap tekanan asing403. Cina memiliki sejarah yang sangat tua dalam peradaban pengetahuan tradisional. Obat tradisional/obat herbal Cina merupakan asset penting bagi 402



403



Dan Kenner, The Role of Traditional Herbal Medicine in Modern Japan, https://www.craneherb.com/shared/articles/3_Traditional_Herbal_Medicine_in_Japan.aspxhttps://w ww.craneherb.com/shared/articles/3_Traditional_Herbal_Medicine_in_Japan.aspx, Candra Irawan, Politik Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia, (Bandung : Mandar Maju, 2011),halaman 156-162.



427



masyarakat Cina. Pengobatan tradisional yang menggunakan pengetahuan tradisional masyarakat Cina bukan hanya sekedar bagian dari kesehatan tetapi juga filosofi hidup masyarakat Cina. Penggunaan akan obat herbal di Cina oleh Masyarakat Cina sangat luar biasa, bahkan melebihi dari negara Jepang. Masyarakat Cina terbiasa mengkonsumsi obat herbal untuk pengobatan sehari-hari. Penggunaan obat tradisional di Asia terus meningkat meskipun banyak tersedia dan beredar obat-obat entitas kimia. Di RRC penggunaan TCM mencapai 90% penduduk Di Jepang 60 sampai dengan 70% dokter meresepkan obat traditional ‖kampo‖ untuk pasien mereka, TCM dan obat tradisional India digunakan secara luas oleh masyarakatnya.404 Pengkajian obat herbal di Cina secara serius dilakukan oleh masyarakat Cina. Cina memiliki UU Paten tahun 2008 yang juga memungkinkan obat herbal berbasis TK dapat dilindungi oleh UU Paten. Obat herbal di Cina yang akan di mohonkan hak paten harus sesuai dengan UU Paten Cina. UU Paten Cina pertama kali diadopsi pada tahun 1984 dan telah direvisi dua kali pada tahun 1992dan 2000, masing-masing dalam rangka harmonisasi dengan standar internasional yaitu standar TRIPs Agreement. Pasal 33 UU Paten Cina mensyaratkan paten yaitu novelty, inventiveness and practical applicability. Novelty berarti apabila sebelum tanggal pengajuan harus ada kebaharuan dari invensi. "'Novelty' means that, before the date of filing, no identical invention ......as been publicly disclosed in publications in the country or abroad or has been publicly used or made known to the public by any other means in the country. .."'inventif' berarti bahwa, dibandingkan dengan teknologi yang ada sebelum tanggal pengajuan 404



Sampurno, Obat Herbal Dalam Prespektif Medik Dan Bisnis, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, http://mot.farmasi.ugm.ac.id/files/13OBAT%20HERBAL_Sampurno.pdf.



428



invensi memiliki fitur substantif menonjol dan merupakan kemajuan yang berarti...'' Practical applicability berarti bahwa invensi...dapat dibuat atau digunakan dan dapat menghasilkan hasil yang efektif." Ketentuan mengenai persyaratan dari paten tersebut menggambarkan kondisi dari produk herbal Cina harus memenuhi persyaratan tersebut. Kondisi pengetahuan tradisional mengenai obat herbal di Cina telah didokumentasikan dengan baik meskipun pengetahuan tradisional mengenai obat herbal telah banyak diungkapkan di publik dan dikenal luas oleh mayarakat umum di Cina. Kondisi tersebut juga telah membuat obat herbal berbasis TK di Cina kesulitan untuk didaftarkan oleh hak paten, karena alasan warisan dari generasi ke generasi, namun masih banyak TK di bidang obat herbal yang tidak kehilangan kebaharuannya dengan terus adanya pengembangan dari obat herbal tersebut. Menurut hukum paten, invensi yang didaftarkan melibatkan baik proses dan produk. Hal ini juga berlaku untuk invensi obat herbal. Proses ini mungkin melibatkan penerapan teknologi modern, sepertifisika, kimia, biologi atau kombinasi diantaranya, untuk mengisolasi, memurnikan, mengidentifikasi atau bersaksi bagian aktif dari obat herbal, dan produk mungkin melibatkan yang dihasilkan oleh proses yang sesuai405. Kemungkinan obat herbal berbasis TK untuk di berikan hak paten maka dalam deskripsi (permintaan paten) harus mengungkapkan dengan jelas dan lengkap invensi/invensi terdahulu (prior art). Hal ini sangat penting untuk mengetahui adanya TK yang dimiliki oleh masyarakat adat. Negara Cina sangat concern terhadap kesehatan yang menggunakan obat herbal, bahkan dalam konstitusi negara Cina terdapat ketentuan mengenai 405



Yinliang Liu, IPR Protection for New Traditional Knowledge: With a Case Study of Traditional Chinese Medicine, http://ipmall.info/hosted_resources/Hennessey_Content/IPRProtection.pdf, diakses tanggal 10 Desember 2013.



429



Traditional Chinese Medicine (TCM). Obat herbal (TCM) telah terintegrasi dalam mainstreen pelayanan kesehatan di Negara Cina. Pasal 21 Konstitusi negara Cina yaitu : (1) The state develops medical and health services, promotes modern medicine and traditional Chinese medicine, encourages and supports the setting up of various medical and health facilities by the rural economic collectives, state enterprises and undertakings andneighborhood organizations, and promotes public health activities of a mass character, all to protect the people's health. (2) The state develops physical culture and promotes mass sports activities to build up the people's physique. Negara Cina dan Thailand, benar-benar menaruh kepercayaan terhadap penyembuhan holistik. Itulah penyembuhan yang menempatkan manusia pada tiga sisi. Si sakit ditempatkan seutuhnya sebagai manusia. Bukan hanya mesin bergerak. Penyembuhan juga dari aspek kedokteran modern, tradisional sekaligus rohani. Peran penting pengobatan herbal muncul di negara-negara itu406. Kenyataan ini tidak mengherankan jika obat herba di Cina sangat diminati oleh masyarakat Cina itu sendiri dan dikembangkan baik dengan cara yang sederhana maupun dengan penelitian-penelitian yang berteknologi. Undang-undang Paten Cina menerapkan standar kebaruan (novelty) untuk mendapatkan hak paten. Ketentuan itu terdapat dalam Undang-undang Paten perubahan ketiga. Selain itu Cina juga menetapkan syarat langkah inventif dimana sebuah invensi/invensi harus memenuhi langkah inventif dengan telah didasarkan pada prior art. Inventor tidakakan menerima hak paten manakala tidak ada langkah inventifnya. Syarat lain untuk medapatkan hak paten di Cina yaitu sebuah invensi harus dapat diterapkan dalam industri. Invensi dibuat atau digunakan sedemikian



406



Edi Dharmana, Herbal Boleh, Penanganan Medis Jangan Dilupakan, (Suara Merdeka, Minggu, 16 Juni 2013



430



rupa untuk menghasilkan hasil yang efektif. Ketentuan atau syarat ini pun berlaku bagi obat herbal yang ingin di mohonkan hak paten. Ketentuan syarat pemberian hak paten terdapat dalam Pasal 22 yang berbunyi : An invention or utility model for which a patent is to be granted shall be novel, inventive and practically applicable. Lebih lanjut ketentuan mengenai novelty masih dalam Pasal 22 yaitu : Novelty means that the invention or utility model is not an existing technology, and prior to the date of application, no entity or individual has filed an application heretofore with the patent administrative department of the State Council for the identical invention or utility model and recorded it in the patent application documents or patent documents released after the said date of application. Inventiveness means that, as compared with the technology existing before the date of application the invention has prominent substantive features and represents a notable progress and that the utility model has substantive features and represents progress. Practical applicability means that the invention or utility model can be made or used and can produce effective results. Pasal 25 UU Paten Cina memberikan ketentuan yang tidak dapat diberikan hak paten yaitu : (1) (2) (3) (4) (5) (6)



scientific discoveries; rules and methods for mental activities; methods for the diagnosis or for the treatment of diseases; animal and plant varieties; substances obtained by means of nuclear transformation; and the design, which is used primarily for the identification of pattern, color or the combination of the two on printed flat works. Mengacu pada Pasal 25 UU Paten Cina maka dapat dianalisis bahwa herbal



berbasis TK dapat/dimungkinkan untuk diberi hak paten/didaftarkan hak Paten.



431



Invensi yang akan diajukan hak paten maka harus membuta permohonan, deskripsi, abstrak, dan klaim. Aplikasi tersebut harus secara tegas menentukan nama dari invensi, nama inventor, nama dan alamat pemohon, dan hal-hal lain. Deskripsipun



harus



jelas



dan



lengkap



menggambarkan



invensi



sehingga



memungkinkan pemeriksa paten untuk melakukan pemeriksaan, bila perlu disertakan gambar dari invensi. Abstrak harus menyatakan point teknis yang utama dari invensi secara singkat. Klaim harus jelas dan ringkas menyatakan lingkup perlindungan paten yang diminta sesuai dengan spesifikasi407. Ketentuan yang paling penting dalam Pasal 26 berkaitan dengan TK yaitu untuk invensi yang berdasarkan/berbasis Sumber Daya Genetik (SDG), maka pemohon harus menyebutkan sumber langsung dan sumber asli dari SDG dalam dokumen aplikasi. Jika pemohon tidak dapat menemukan sumber aslinya maka pemohon harus memberikan/menyatakan alasannya. Pasal 42 UU Paten Cina memberikan perlindungan paten biasa selama 20 tahun dan utility model (di Indonesia disebut paten sederhana) perlindungannya selama 10 tahun. Perlindungan diberikan sejak tanggal permohonan. Setelah hak paten diberikan maka inventor akan dibebani biaya tahunan. Perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah Cina tidak sebanding dengan penegakan hukumnya. Penegakan perlindungan hak kekayaan intelektual sangat sulit di RRC. Tanpa pendidikan yang memadai berkaitan dengan HKI, ada sedikit kesadaran bahwa pelanggaran adalah kejahatan. Masyarakat Cina terbiasa untuk melakukan pelanggaran HKI dan pemerintah Cina kesulitan untuk melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran HKI.



407



Ketentuan ini dapat dilihat dalam UUP Cina Pasal 26.



432



C. Proteksi Herbal Berbasis TK di India Hukum Paten di India diatur dalam UU No. 39 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Tahun 2005 yang berlaku sejak tanggal 1 Januari Tahun 2005. Undang-undang Paten India yaitu UU No. 15 Tahun 2005. Undangundang ini merupakan perubahan ketiga yang telah disesuaikan dengan ketentuan TRIPs, sehingga tidak begitu jauh berbeda isi dari UU Paten India dengan isi dari UU Paten Jepang, Cina maupun Indonesia. Undang-undang paten India mensyaratkan invensi yang akan dipatenkan harus melewati empat tes yaitu 408: 1.



2. 3. 4.



Invensi harus masuk ke dalam salah satu dari : statutory classes : processes, machines, manufactures composition of matter, and new uses of any of the above. Invensi harus"useful" Invensi ini harus "novel" Invensi ini harus "belum pernah ada/nonobvious" Patents Act 2005 memberikan pemahaman bahwa "Invensi/invensi" adalah



produk atau proses baru yang melibatkan langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri. Langkah inventif merupakan fitur dari sebuah invensi yang melibatkan kemajuan teknis dibandingkan dengan pengetahuan yang ada atau memiliki keuntungan secara ekonomi atau keduanya dan yang membuat invensi ini tidak jelas bagi orang yang ahli dibidangnya.‖Dapat diterapkan dalam industri", dalam kaitannya dengan sebuah invensi, berarti bahwa invensi ini mampu dibuat atau digunakan dalam industri. Invensi yang dapat diberikan hak paten adalah invensi yang baru. Invensi baru yaitu setiap invensi atau teknologi yang belum diantisipasi oleh publikasi dalam dokumen atau digunakan di dalam negeri atau di tempat lain di dunia sebelum tanggal pengajuan permohonan paten dengan spesifikasi lengkap,



408



Ketentuan ini terdapat dalam Bab II The Patents Act 1970. Ketentuan mengenai Inventions where only methods or processes of manufacture patentable telah dihapuskan oleh The Patents Act 2005.



433



yaitu materi masuk ke dalam public domain atau yang tidak merupakan bagian dari state of the art. Undang-undang Paten 2005 membuat perubahan dengan mengikuti ketentuan TRIPs, namun UU ini juga berupaya mengakomodir perlindungan kepentingan publik, keamanan nasional, keanekaragaman hayati, pengetahuan tradisional, dll. Undang-undang Paten ini memuat ketentuan yang berkaitan dengan paten dan pengetahuan tradisional, ketentuan ini terdapat dalam Pasal 23 ayat (1) k dan Pasal 23 ayat (2) k, serta ketentuan mengenai sumber daya genetik yang terdapat dalam Pasal 10 dan Pasal 25. Perlindungan terhadap TK di India perlu untuk dilakukan mengingat India termasuk negara yang kaya akan pengetahuan tradisional. Sebuah fakta kecil dipublikasikan tentang India adalah bahwa ada sekitar 100 juta penduduk hutan di India, yang sebagian besar milik masyarakat adat. Hutan menyediakan mereka dengan rezeki, memberikan hasil hutan baik kayu maupun nonkayu. Masyarakat yang tinggal di hutan lebih dari berabad-abad mengumpulkan pengetahuan mereka dari lingkungan alam di sekitar komunitas mereka. Komunitas ini telah membuat mereka terisolasi dari kehidupan modern dan mereka melakukan kegiatan aktivitas mereka dengan cara seperti yang telah dilakukan pada tradisi nenek moyang mereka. Secara keseluruhan, masyarakat India yang menghuni hutan memiliki nilai-nilai tradisional dan pengetahuan tradisional tentang berbagai produk hutan409. HKI telah dirancang dalam perdagangan modern, pengetahuan tradisional tidak dapat dilindungi. Misalnya, pengetahuan tradisional tidak bisa dipatenkan karena



409



Vishwas Kumar Chouhan, Protection of Traditional Knowledge in India by Patent: Legal Aspect, IOSR Journal of Humanities and Social Science (JHSS) ISSN: 2279-0837, ISBN: 2279-0845. Volume 3, Issue 1 (Sep-Oct. 2012), PP 35-42 www.iosrjournals.org, diakses tanggal 12 November 2013.



434



pengetahuan tersebut tidak memiliki karakter inventif, karena kurangnya melekat kebaruan. Pengetahuan tradisional ini juga sering diadakan secara kolektif oleh masyarakat, bukan oleh pemilik perorangan. Pengetahuan tradisional ini adalah informasi yang ditransmisikan dari generasi ke generasi secara umum dalam masyarakat atau dalam keluarga dalam masyarakat dalam bentuk lisan tanpa dokumentasi yang memadai. Hal ini menyebabkan pengetahuan tradisional terpinggirkan dan harus diberi penghargaan. Bahkan, salah satu ketakutan dalam komunitas ini adalah bahwa jika pengetahuan itu harus didokumentasikan itu akan telah hilang kepada masyarakat dengan pengambilalihan. Di India, UU Kehutanan sendiri mengakui fakta ini dan menyediakan kerangka kerja bagi dokumentasi pengetahuan tersebut dan sifat bukti yang diperlukan untuk pengakuan hak-hak masyarakat ini dalam kekayaan intelektual sehubungan dengan pengetahuan tersebut. Ketentuan-ketentuan dalam Biological Diversity Act and Forest Rights Act of 2006, baik memberikan perisai bagi pengetahuan tradisional masyarakat adat, menghormati dan melindungi pengetahuan masyarakat setempat yang berhubungan dengan keanekaragaman hayati dan di sisi lain, menyatakan bahwa hak milik pengetahuan tersebut adalah anggota komunitas secara kolektif. Dalam arti luas, paten dapat didefinisikan sebagai hak eksklusif yang diberikan untuk invensi - baik produk atau proses - yang menawarkan solusi teknis baru untuk suatu masalah tertentu. Sebuah paten menyiratkan pemberian monopoli kepada penemu yang telah menggunakan pengetahuan dan keterampilan untuk menghasilkan suatu produk atau proses yang baru dan mengandung langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri. 70% dari populasi India mengandalkan obat tradisional untuk perawatan kesehatan primer dengan tidak adanya pelayanan kesehatan primer yang memadai.



435



Rumah Herbal Garden dan Komunitas Herbal Gardens (CHG) didirikan untuk mendukung kebutuhan pelayanan kesehatan dasar masyarakat pedesaan dengan menggunakan tanaman dan obat-obatan yang berkhasiat. India juga memikirkan konservasi dari tanaman obat tradisionalnya seperti apa yang diungkapkan oleh Vishwas Kumar Chouhan410: The national knowledge commission India recommended to protect traditional knowledge and said - Establish goals for conservation of natural resources: Natural populations of around 12% of the 6000 species of potentially medicinal plants are currently estimated to be under threat due to degradation and loss of habitats alongside unsustainable ways of harvesting and lack of cultivation. The problem of growing scarcity also leads to the danger of more counterfeit material being marketed. It is therefore necessary to support conservation and sustainable harvesting efforts in the forestry sector and cultivation in the agricultural sector. Direct support for conservation and cultivation as well as indirect methods through incentive policies should be pursued for nurturing these plant resources. The wild gene pool of India's medicinal plants should be secured, via establishment of a nation wide network of 300 'Forest Gene Banks' across the 10 bio-geographic regions of the country. India termasuk negara yang tidak luput dari tindakan biopiracy negara asing, sama halnya yang terjadi dengan negara Indonesia. Beberapa kasus biopiracy yang terjadi di India dimana orang asing mendapatkan hak paten tanpa mengakui sumber pengetahuan yang mereka dapatkan dan tanpa adanya pembagian keuntungan kepada India. Kasus Neem, dimana sebuah pohon legendaris India telah digunakan sebagai biopestisida dan obat-obatan di India untuk berabad-abad. Teks Ayurvedic India kuno telah menggambarkan kegunaan untuk penyembuhan dan sebagai obat. Kasus Turmeric (kunyit), Kunyittelah digunakan selama berabad-abad diIndia. India tumbuh dengan kesadaran akan kegunaan kunyit. Paten yang diberikan pada University of Mississippi Medical Center tersebut akhirnya dibatalkan pada tahun 1998 setelah proses pemeriksaan ulang. Pada tahun 2001, dua perusahaan AS mematenkan ekstrak tanaman Andean, ―Maca‖ yang secara tradisional telah 410



Ibid



436



digunakan untuk meningkatkan kesuburan dan fungsi seksual. Paten diberikan atas dasar-membuka rahasia kimia ―maca‖ ini melalui proses lanjutan. Hal ini telah menjadi jelas, beberapa kasus telah terungkap bahwa hukum HKI tidak dapat atau tidak diterapkan secara efektif untuk mencegah biopiracy pengetahuan tradisional. Pengetahuan tradisional sedang diperlakukan sebagai masukan bebas dalam penelitian dan pengembangan produk komersial. Ketika hak paten diberikan, pembagian keuntungan yang tidak adil terjadi, sedangkan masyarakat adat tetap mengalami biopiracy dan menjadi semakin terpinggirkan. Hukum paten telah diubah yang berisi ketentuan untuk pengungkapan sumber wajib dan asal geografis dari bahan biologis yang digunakan dalam invensi ini sambil menerapkan untuk paten di India. Ketentuan juga telah dimasukkan untuk menyertakan non-disclosure atau pengungkapan salah yang sama sebagai dasar untuk oposisi dan pencabutan paten, jika diberikan. Untuk melindungi pengetahuan tradisional dari yang dipatenkan, ketentuan juga telah dimasukkan dalam undang-undang untuk memasukkan antisipasi invensi oleh pengetahuan lokal yang tersedia termasuk pengetahuan lisan, sebagai salah satu alasan untuk pencabutan paten. Dalam rangka untuk lebih memperkuat ketentuan ini, ketentuan baru telah ditambahkan untuk mengecualikan inovasi yang pada dasarnya tradisional atau sifat yang dikenal dari komponen atau komponen tradisional dikenal dari yang dipatenkan. Hal ini telah membuktikan ke India dan masyarakat adat di seluruh dunia, sekali lagi, betapa mudahnya terjadi biopiracy terhadap TK dalam kerangka hukum paten. Selama beberapa tahun terakhir, sistem paten telah datang dengan kritik atas kegagalannya untuk mencegah penyalahgunaan pengetahuan tradisional. Meskipun ada kesepakatan luas bahwa perlindungan positif dari pengetahuan tradisional tidak



437



dapat berturut-turut dicapai melalui sistem paten, semakin, pertimbangan diberikan kepada saran untuk menggunakan sistem paten sebagai tindakan defensif terhadap penyalahgunaan pengetahuan tradisional. Salah satu pilihan yang sedang dibahas baik di WTO dan WIPO di adalah untuk memperkenalkan perubahan dalam sistem baik dari segi peraturan dan praktik untuk memastikan bahwa pencarian invensi sebelumnya sepenuhnya mempertimbangkan pengetahuan tradisional yang ada sebagai bagian dari state of the art. India terus berupaya untuk melindungi TK –nya dari biopiracy paten. Perlindungan dan pelestarian pengetahuan tradisional telah menjadi masalah yang menjadi perhatian negara-negara berkembang pada umumnya dan India khususnya. Pada tahun 1999, India menciptakan/membangun sebuah Perpustakaan Digital Pengetahuan Tradisional (TKDL). proyek TKDL ini dimulai pada tahun 2001. Secara teknis, setelah pengetahuan tradisional dicatat dalam TKDL, secara hukum, itu menjadi pengetahuan dalam ranah public domain. Menurut hukum Paten, ini berarti bahwa itu dianggap prior art dan karenanya tidak dapat dipatenkan. Catatan tertulis tersebut, dalam bentuk yang mudah diakses oleh kantor paten di seluruh dunia, akan memberikan semua kantor tersebut dengan catatan prior art India. Pemeriksa paten bisa dengan mudah memeriksa database ini dan menolak setiap permohonan paten yang mungkin hanya merupakan salinan dari pengetahuan tradisional. Oleh karena itu membantu dalam mencegah kasus biopiracy. TKDL memiliki database yang kaya akan informasi dan terbukti sangat berguna untuk penelitian dan industri, baik di India dan luar negeri, memberikan dorongan untuk invensi, dan pengembangan produk seperti obat-obatan, yang akan menjadi nilai besar untuk semua manusia. TKDL melayani tujuan mengintegrasikan berbagai



438



dokumen yang berkaitan dengan pengetahuan tradisional dalam bahasa yang sama dan dalam bentuk memudahkan pengambilan. Hal ini sangat menguntungkan dalam mengembangkan pengetahuan tradisional lebih lanjut. Paten pada Tumeric (US Patent No 5.401.504), Paten "Neem" (Azadirachta indica), (lebih dari 40 di Amerika Serikat saja dan lebih dari 150 di seluruh dunia termasuk Eropa) dan "Ayahuasca" (Banisteriopsis caapi) Paten (US Tanaman paten No 5751) adalah dua kasus yang paling terkenal di India dimana terjadinya biopiracy pada hukum paten dan kegagalan menjadikan pengetahuan tradisional sebagai prior art. Berbagai klaim dalam semua ini "invensi" didasarkan pada sumber daya hayati dan pengetahuan tradisional dan praktek-praktek masyarakat adat di India dan Amazon masing-masing, yang telah digunakan selama berabad-abad di daerah ini dari dunia dan yang diperoleh tanpa hormat/tanpa hak dengan hak-hak masyarakat adat atas sumber daya, upaya dan perkembangan intelektual mereka. Inilah yang memicu India membuat program TKDL untuk dijadikan sebagai database yang pada tujuan akhirnya adalah untuk prior art. Perhatian terutama bahwa paten telah diberikan untuk invensi yang tidak memenuhi persyaratan mendasar untuk paten, bila dibandingkan dengan pengetahuan tradisional yang invensi ini mungkin langsung atau tidak langsung dapat menjadikan syarat yang paling dasar. Seandainya pengetahuan tradisional yang relevan telah diketahui pemeriksa paten pada saat memeriksa aplikasi paten, itu akan dianggap sebagai prior art dan, kemudian, mungkin telah mengalahkan klaim bahwa invensi baru dan melibatkan langkah inventif. Singkatnya, ini berusaha untuk mengatasi pengetahuan tradisional yang dimiliki dan digunakan oleh masyarakat adat dan ada publikasi, database, jurnal, majalah dan cara lain melalui mana pengetahuan



439



tradisional sedang disebarluaskan dan membuat publik, mengetahui bahwa pengetahuan tradisional dianggap sebagai bagian dari invensi sebelumnya selama pemeriksaan aplikasi paten. Perdebatan mengenai apakah dan bagaimana pengetahuan tradisional bisa secara resmi dianggap sebagai prior art selama pemeriksaan aplikasi paten. Ini membahas peran database dalam membuat pengetahuan tradisional diakses untuk tujuan pencarian invensi sebelumnya dan membuat rekomendasi tentang bagaimana cara terbaik untuk memastikan sistem paten tidak merusak upaya untuk melindungi pengetahuan tradisional.



Perdebatan tentang mekanisme untuk



melindungi



pengetahuan tradisional tidak diragukan lagi satu langkah besar dan sangat kompleks untuk menjadi analisis komprehensif dan rinci tentang isu-isu yang berbeda untuk dipertaruhkan. Tujuannya adalah untuk menyoroti beberapa fitur penting dari perdebatan yang sedang berlangsung dimana mengakui pengetahuan tradisional sebagai prior art dalam sistem paten dan masalah yang timbul berkaitan dengan sistem pengetahuan tradisional dalam database sebagai tindakan defensif untuk melindungi pengetahuan tradisional. Perdebatan tentang pengetahuan tradisional dianggap sebagai prior art, menganalisis keterbatasan saat pencarian prior art dalam sistem paten, membahas peran dan potensi database sebagai sumber pengetahuan tradisional dan membuat rekomendasi bagaimana cara terbaik untuk memastikan sistem paten, tidak merusak masyarakat adat dan masyarakat kepentingan lokal terkait dengan pemanfaatan pengetahuan tradisional mereka. Perdebatan dengan hal pengetahuan tradisional dan membantu dalam mencegah biopiracy dengan menyarankan cara-cara untuk mengembangkan praktek-praktek yang lebih baik dalam operasi sistem paten.



440



Langkah dari TKDL juga merupakan aspek yang relevan diakui oleh pasal 8 (j) CBD yang menyerukan kepada pihak untuk mengadopsi langkah-langkah untuk menghormati,



melestarikan



dan



menjaga



pengetahuan



tradisional,



untuk



mempromosikan penggunaan yang lebih luas (dengan persetujuan dan keterlibatan masyarakat adat) dan mendorong pembagian yang adil dari keuntungan yang diperoleh dari penggunaan pengetahuan ini. Langkah India untuk mencegah terjadinya biopiracy seharusnya dapat dijadikan contoh yang baik untuk Indonesia. Indonesia sampai saat ini belum mendokumentasikan TK meskipun Indonesia kaya akan TK-nya. Pengetahuan Tradisional belum didokumentasikan dengan baik. Kebanyakan pengetahuan tradisional yang berkembang secara turun temurun di negara-negara berkembang tidak dituangkan dalam bentuk yang tertulis dan telah diketahui secara luas oleh masyarakat yang memelihara pengetahuan tradisional tersebut. Indonesia juga belum menuangkan/mendokumentasikan TK-nya ke dalam bentuk tertulis. Hal ini disebabkan karena pengetahuan tradisional lebih menekankan pada aspek pemeliharaan pengetahuan tersebut secara informal dan menghendaki adanya konsensus dari masyarakat yang ditandai dengan adanya pengulangan yang konstan terhadap pengetahuan tradisional tersebut. Meskipun upaya pencatatan pengetahuan tradisional telah dilakukan oleh generasi sebelumnya, kebanyakan pengetahuan tradisional Indonesia yang berbentuk tertulis, dicatat dalam daun (biasanya daun lontar), kulit kayu, dan kertas yang mudah rusak. Tentu saja pencatatan tersebut perlu dilestarikan dengan memindahkannya ke media yang lebih tahan terhadap perubahan iklim dan cuaca serta dapat diakses oleh teknologi yang lebih modern. Sampai



441



sekarang, Indonesia belum memiliki pusat pengolahan data atau lembaga khusus yang secara terpadu menangani masalah dokumentasi pengetahuan tradisional. Indonesia sangat urgent untuk memiliki sebuah lembaga non pemerintah yang bertugas mirip dengan TKDL yang ada di India. Hal ini diperlukan untuk memudahkan para pemeriksa paten menentukan syarat novelty dari paten herbal berbasis TK. Lembaga tersebut dapat berkoordinasi dengan Ditjen HKI untuk memberikan hak paten bagi pemohon hak paten. Lembaga ini dapat bernaung di bawah pengawasan Kementerian Ristek atau di bawah nanungan LIPI. D. Proteksi Herbal Berbasis TK di Brazil Negara Brasil (Republik Federasi Brazil), adalah negara terbesar baik di Amerika Selatan maupun wilayah Amerika Latin. Brazil memiliki wilayah geografis dan populasi terbesar kelima di dunia. Wilayah besar Brasil terdiri ekosistem yang berbeda, seperti hutan hujan Amazon, (hutan yang diakui sebagai memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia) dengan Hutan Atlantik dan Cerrado(hutan yang mempertahankan keanekaragaman hayati terbesar). Di selatan, hutan pinus Araucaria (hutan yang memiliki temperatur rendah). Brasil merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayatiterbesar dan sejak tahun 1993 telah mengesahkan banyak keputusan dan peraturan tentang akses terhadap keanekaragaman hayati tersebut. Perhatian Brazil semakin kuat terhadap TK melalui instrumen hukum setelah Brazil ikut dalam Konvensi CBD. Legislator Brazil berusaha untuk membuat instrumen hukum mengenai TK. Hal tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah karena akses terhadap TK, perlindungan, penggunaan dan akibatnya serta sharing benefit, bukanlah masalah yang sederhana, namun masalah yang sangat rumit. Instrumen hukum ini



442



juga harus dapat memberikan jaminan bagi masyarakat adat atau masyarakat lokal untuk memegang dan melestarikan TK. Instrumen hukum ini juga harus mampu memberikan hak bagi masyarakat adat atau masyarakat lokal untuk : (1) memiliki akses dan menunjukan asal TK dalam semua publikasi terkait, menggunakan TK dan mengeksploitasinya; (2) mencegah pihak ketiga meneliti tentang TK, menggunakan dan memanfaatkan sumber daya genetik yang terkait TK; (3) mencegah phak ketiga mempublikasikan informasi tentang TK tanpa izin dari pemegang TK (masyarakat adat atau masyarakat lokal), (4) menerima baik ecara langsung maupun tidak langsung pembayaran atau royalty sebagai imbalan terhadap eksploitasi TK secara komersial. Brazil merupakan negara yang mengakui bahwa semua orang adalah sama di depan hukum, tanpa perbedaan apapun, Brasil dan orang asing yang berada di negara yang sedang memastikan dari diganggu gugat hak untuk hidup, kebebasan, kesetaraan, keamanan dan hak milik (Pasal 5 Konstitusi Brazil). Selain itu negara Brazil juga memiliki perhatian khusus pada biodiversity, dalam hal ini dapat dilihat Pasal 255 konstitusi Brazil. Konstitusi brazil khusus memberikan amanat pada Pasal 225 yang menyatakan bahwa semua memiliki hak untuk lingkungan ekologis yang seimbang, yang merupakan aset penggunaan umum dan penting untuk kualitas hidup sehat, dan baik Pemerintah dan masyarakat harus memiliki kewajiban untuk membela dan melestarikannya untuk generasi sekarang dan masa depan. dijelaskan selanjutnya dalam ayat (1) Pasal 225 Konstitusi Brazil yaitu untuk memastikan efektivitas hak ini,



adalah



menjadi



kewajiban



pemerintah



untuk:



(i)



melestarikan



dan



mengembalikan proses ekologi penting dan memberikan pengobatan ekologi spesies



443



dan ekosistem; (ii) melestarikan keragaman dan integritas warisan genetik negara dan mengendalikan entitas yang terlibat dalam penelitian dan manipulasi materi genetik; (iii) mendefinisikan, di seluruh unit Federasi, ruang teritorial dan komponen mereka yang menerima perlindungan khusus, setiap perubahan dan supresi diperbolehkan



hanya



dengan



cara



hukum,



dan



penggunaan



yang



dapat



membahayakan integritas atribut yang membenarkan perlindungan mereka yang dilarang; (iv) kebutuhan, dengan cara yang ditentukan oleh hukum, untuk instalasi karya dan kegiatan yang berpotensi menyebabkan degradasi yang signifikan dari lingkungan, studi dampak lingkungan sebelumnya, yang akan diumumkan; (v) mengontrol produksi, penjualan dan penggunaan teknik, metode atau zat yang merupakan risiko hidup, kualitas hidup dan lingkungan hidup; (vi) mempromosikan pendidikan lingkungan hidup di semua tingkatan sekolah dan kesadaran masyarakat akan perlunya melestarikan lingkungan hidup; (vii) melindungi fauna dan flora, dengan larangan, dengan cara yang ditentukan oleh hukum, praktek-praktek yang merupakan risiko untuk fungsi ekologi mereka, menyebabkan kepunahan spesies atau hewan tunduk kekejaman. Pasal 225 ayat (2) menegaskan bahwa orang-orang yang mengeksploitasi sumber daya mineral wajib memulihkan lingkungan yang rusak, sesuai dengan solusi teknis yang diminta oleh badan publik yang berwenang, sebagaimana ditentukan oleh hukum. Selanjutnya dalam ayat (3) diatur mengenai prosedur dan kegiatan yang dianggap sebagai berbahaya bagi lingkungan hidup subjek infractors, baik itu perorangan atau badan hukum, untuk pidana dan sanksi administratif, tanpa mengurangi kewajiban untuk memperbaiki kerusakan yang disebabkan.



444



Hutan Amazon Brazil, Hutan Atlantik, Serra do Mar, Pantanal Mato-Grossense dan zona pesisir merupakan bagian dari warisan nasional, dan mereka harus digunakan, sebagaimana ditentukan oleh hukum, dalam kondisi yang menjamin pelestarian lingkungan, di dalamnya termasuk penggunaan sumber daya mineral (Pasal 225 ayat (4)). Tanah kosong atau tanah disita oleh negara melalui tindakan diskriminatif yang diperlukan untuk melindungi ekosistem alam yang tidak dapat dicabut (Pasal 225 ayat (5)). Pembangkit listrik yang dioperasikan oleh reaktor nuklir akan memiliki lokasi mereka didefinisikan dalam hukum federal dan tidak mungkin jika tidak dipasang (Pasal 225 ayat (6)). Brasil adalah salah satu negara pertama yang membangun sistem hukum (sui generis) khusus untuk perlindungan pengetahuan tradisional yang terkait dengan keanekaragaman hayati melalui undang-undang khusus yang dikenal sebagai Provisional Measures Nomor 2,186-16, 23 Agustus 2001, yang bertujuan untuk mengatur akses ke warisan genetik dan pengetahuan tradisional terkait. Perlindungan pengetahuan tradisional terutama difasilitasi melalui kontrak akses, yang memungkinkan pihak ketiga untuk mendapatkan otorisasi khusus untuk mendapatkan akses ke pengetahuan tradisional dan / atau komponen warisan genetik untuk penelitian ilmiah, bioprospecting dan tujuan pengembangan teknologi terkait. Dengan demikian, keuntungan yang dihasilkan dari eksploitasi ekonomi suatu produk atau proses yang dikembangkan dari pengetahuan tradisional terkait harus dibagi secara adil dan merata antara para pihak. Selain itu, Pasal 31 UU Brasil menyatakan bahwa aplikasi apapun untuk perlindungan paten dari invensi berbasis sumber daya genetik dan / atau pengetahuan tradisional harusmengungkapkan asalusul materi tersebut dan pengetahuan tradisional terkait.Hukum ini terutama



445



menyatakan bahwa akses terhadap pengetahuan tradisional harus disahkan oleh Genetic Heritage Manajemen Dewan Brazil, setelah persetujuan terlebih dahulu diberikan oleh pemilik pengetahuan.Ini berarti bahwa tidak ada kontrak antara pengguna dan penyedia dapat ditegakkan tanpa persetujuan dari Manajemen Council. Hukum telah mengambil semua langkah yang mungkin untuk mencegah pihak ketiga yang secara tidak sah menggunakan adat danpengetahuan tradisional masyarakat lokal. Hal ini berkaitan dengan kegiatan yang melibatkan eksploitasi, transmisi, pengungkapan, atau re-transmisi data / informasi yang terdiri dari pengetahuan tradisional. Hal ini juga memberikan sanksi termasuk denda, penyitaan bahan ilegal dan produk mewujudkan materi yang melanggar hukum, larangan distribusi, pembatalan paten tersebut atau pembatalan pendaftaran patn tersebut, hilangnya insentif pemerintah, dan sejenisnya. Secara keseluruhan, tujuan utama dari Provisional Measures Brasil adalah untuk mengatur akses ke warisan genetik dan pengetahuan tradisional terkait.Salah satu kelemahan dari hukum adalah bahwa perlindungan terbatas pada pengetahuan yang berhubungan dengan sumber daya genetik Brasil dan warisan genetik. Ruang lingkup hukum harus diperluas untuk mencakup situasi ketika pengetahuan tradisional yang disampaikan melalui ekspresi budaya tradisional dan ekspresi dari cerita rakyat. Keterbatasan lain adalah bahwa Provisional Measures Brasil yang berfokus pada perlindungan terhadap penyalahgunaan pengetahuan tradisional.Provisional Measures tidak menyediakan mekanisme untuk pelestarian dan promosi pengetahuan tradisional. Dikatakan bahwa setiap rezim sui generis harus memiliki insentif yang tepat untuk pemulihan dan perlindungan pengetahuan tradisional dan promosi



446



penggunaan yang lebih luas pengetahuan dan inovasi sistem tradisional, dan harus mendorong kegiatan penelitian, inovasi dan pengembangan tradisional. Perlu kiranya menambahkan ketentuan mengenai hal yang berkaitan mengenai akses dan pembagian keuntungan, terutama dalam kaitannya dengan pelestarian dan promosi pengetahuan tradisional, promosi penelitian dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati. Selain itu, meskipun hukum Brasil membahas hak-hak adat, tidak memberikandefinisi spesifik istilah 'masyarakat adat' atau apa yang dimaksud dengan 'masyarakat'. Definisi ini juga bisa diperluas untuk elemen ini. Selain itu, seperti yang dibahas sebelumnya, Pasal 31 undang-undang tersebut menyatakan bahwa setiap aplikasi perlindungan paten invensi berbasis sumber daya genetik dan / atau pengetahuan tradisional harus mengungkapkan asal-usul materi tersebut dan pengetahuan tradisional terkait. Namun, Pasal 8 (4) hukum menekankan bahwa perlindungan yang diberikan di bawah hukum tersebut tidak boleh mengurangi atau membatasi hak yang berkaitan dengan standar ketentuan kekayaan intelektual. Ketentuan tersebut tampaknya bertentangan, karena standar hukum paten tidak memerlukan pengungkapan asal produk. Isu-isu ini perlu diatasi secara efektif. Pada intinya, 'sui generis' mengacu pada hak-hak yang dirancang untuk menjadi unik untuk tujuan tertentu dan tidak tercakup oleh sistem hukum yang ada. Beberapa berpendapat bahwa hak sui generis merupakan model alternatif yang dibuat di luar rezim kekayaan intelektual yang berlaku. Ini berarti bahwa perlindungan yang diberikan oleh undang-undang sui generis telah dianggap sebagai alternatif untuk rezim kekayaan intelektual yang ada. Jika itu terjadi, sistem sui generis nasional atau regional yang melindungi pengetahuan tradisional mungkin perlu berinteraksi dengan rezim kekayaan intelektual yang ada. Namun, dalam



447



kenyataannya, pertanyaannya adalah apakah hukum sui generis harus mengikuti yang ada pada rezim kekayaan intelektual atau apakah, sebaliknya, harus memberikan fleksibilitas dalam memberikan perlindungan yang lebih luas atas dasar kebutuhan khusus dari masing-masing negara, dan tergantung pada budaya serta kondisi politik. Jika tidak, pertanyaannya adalah apakah beberapa parameter dalam sistem khas perlindungan mungkin memerlukan modifikasi. Isu-isu ini selalu diperdebatkan dan telah menyebabkan kebingungan di beberapa negara. Misalnya, seperti yang kita bahas sebelumnya, Pasal 31 UU Brasil menyatakan bahwa aplikasi apapun untuk perlindungan paten dari invensi berbasis sumber daya genetik dan / atau pengetahuan tradisional harus mengungkapkan asal-usul materi tersebut dan pengetahuan tradisional terkait. Namun, Pasal 8 (4) UU yang sama menekankan bahwa perlindungan yang diberikan di bawah hukum tidak boleh mengurangi atau membatasi hak yang berkaitan dengan kekayaan intelektual. Hal ini tampaknya bertentangan, karena hukum paten standar tidak memerlukan pengungkapan asal produk. Isu-isu ini perlu diatasi secara efektif. Masalah hukum dan praktis utama, oleh karena itu, bagaimana mencapai keseimbangan antara hukum kekayaan intelektual dan sui generis hukum yang ada diberikan di bawah sistem nasional, atau untuk memastikan artikulasi yang efektif dari sistem nasional. Penulis merangkumkan komparasi perlindungan herbal berbasis TK di beberapa negara (lihat tabel dibawah ini) yang penjelasannya telah dipaparkan sebelumnya. Tabel 17 Karakter Perlindungan Herbal Berbasis TK di Beberapa Negara No 1



Negara Jepang



Perlindungan TK Karakteristik Tidak ada Jepang memiliki sumber daya alam yang sedikit perlindungan jika dibandingkan dengan Indonesia tetapi Jepang memiliki kemampuan untuk mendaftarkan produk



448



2



3



4



obat yang berbasis TK dengan hak paten. TK merupakan public domain sehingga TK dapat memperoleh hak paten. Jepang sangat kuat melakukan R&D. Jepang memanfaatkan obat tradisional dalam mainstream pelayanan kesehatan, 140 jenis obat herbal dalam list obat askes, dokter telah menggunakan obat herbal. Kampo Jepang adalah fitur penting dari praktek medis modern di Jepang. Hampir semua apotek Jepang membawa formula herbal tradisional dan memiliki apoteker pada staf terlatih dalam metode tradisional resep. India Secara defensif India dengan TKDL nya mampu melakukan dengan saran TKDL proteksi terhadap TK miliknya agar tidak terjadi biopiracy yang dilakukan oleh negara lain secara tidak bertanggung jawab. India memperkuat negoisasi dan kritis terhadap negara-negara maju dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati dari negara-negara berkembang Cina Secara Positif  Cina yang sangat concern dalam pengobatan Cina memiliki UU tradisional memiliki kekuatan untuk menjaga Paten tahun 2008 dengan baik kekayaan TK nya yang memilki pasalpasal untuk melindungi kepentingan nasional. Pasal 1, 4, 5, 14, dan 5. Brazil Secara positif  UU sui generis ini bertujuan untuk mengatur akses membangun sistem ke warisan genetik dan pengetahuan tradisional hukum (sui generis) terkait. khusus untuk perlindungan TK melalui undangundang khusus yaitu Provisional Measures Nomor 2,186-16 Sumber : Hasil penelitian yang telah diolah E. Kondisi Existing Herbal Berbasis TK di Indonesia Negara Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang cukup besar, termasuk di dalamnya keanekaragaman hayati yang dapat



449



dikembangkan untuk tanaman obat. Di seluruh wilayah Indonesia hampir dapat ditemui berbagai macam tanaman obat. Tanaman obat tersebut digunakan sebagai obat tradisional oleh masyarakat Indonesia sejak generasi ke generasi. Tumbuhan obat tradisional adalah tumbuhan yang mengandung khasiat sebagai obat bagi masyarakat adat di Indonesia. Tumbuhan yang ada di dunia masih sangat sedikit yang telah diteliti untuk dijadikan obat serta produk farmasi. Obat modern sangat bergantung pada tumbuhan obat tradisional. Obat asli Indonesia merupakan obat yang diperoleh langsung dari bahan-bahan alam yang terdapat di Indonesia, diolah secara sederhana atas dasar pengalaman dan penggunaannya dalam pengobatan tradisional411. Bangsa Indonesia telah mengenal dan memanfaatkan tumbuhan berkhasiat obat sebagai upaya untuk memanggulangi masalah kesehatan. Pengetahuan tersebut merupakan warisan secara turun temurun sehingga telah menjadi menjadi bagian dari pengobatan tradisional Indonesia. Kekayaan hayati yang besar dan pengetahuan tradisional tentang pemanfaatan sumber daya hayati tersebut untuk obat, perlu untuk dikembangkan dan diperdayakan untuk kepentingan masyarakat Indonesia. Pengetahuan tersebut bernilai ekonomis dan mempunyai peran tersendiri dalam perdagangan. Pemikiran dan pengetahuan merupakan bagian penting dari perdagangan sebab buah pemikiran dan pengetahuan tersebut dapat menghasilkan suatu ciptaan yang diperdagangkan. Oleh sebab itu, hak kekayaan intelektual menyentuh juga aspek industri dan perdagangan. Sebagian besar dari nilai yang



411



Sastroamidjojo, Seno, Obat Asli Indonesia, (Jakarta : Dian Rakyat, 1997), halaman 12.



450



dikandung oleh jenis obat-obatan baru dan produk-produk berteknologi tinggi berada pada banyaknya invensi, inovasi, riset, desain dan pengetesan412. Industrialisasi mutlak diperlukan teknologi dan dalam rangka pengembangan teknologi serta perlindungan invensi-invensi di bidang teknologi diperlukan pengaturan paten. Pengaturan paten pada hakikatnya adalah perlindungan paten itu sendiri yang berfungsi untuk melindungi invensi sekaligus sebagai perangsang pengembangan teknologi, selanjutnya mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagai penikmat manfaat teknologis dan ekonomis paten. Di negara Asia lainnya terutama Cina, Korea dan India untuk penduduk pedesaan, obat herbal masuk dalam pilihan pertama untuk pengobatan, dinegara maju pun saat ini kecenderungan beralih ke pengobatan tradisional terutama herbal menunjukan gejala peningkatan yang sangat signifikan. Kunci sukses negara-negara itu adalah kesungguhan melakukan pendalaman struktur industri. Proses pendalaman dengan memampukan penguasaan teknologi, pengetahuan dan manajemen bisnis yang maju oleh unit-unit bisnis mikro, kecil, menengah dan besar milik bangsa sendiri. Mereka tidak ingin negaranya hanya menjadi basis produksi dari industri dan merek produk asing yang leluasa mengeksploitasi pasar domestiknya413. Di Indonesia, bahan herbal dari meniran (Phllanthus niruri), temulawak (Curcuma xanthorrhizaRobxb), seledri (ApiumgraveolensL), dan mahkota



412



Devy Pangabean, Kekayaan Intelektual serta Kaitannya Dengan Perdagangan Internasional, Buletin Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional, Edisi 42/KPI/2007, halaman 10. 413 Siswono Yudo Husodo, Pelembagaan Nilai-nilai Pancasila dalam Perspektif Ekonomi dan Kesejahteraan dalam Dinamika Dunia Aktual, dalam Acara Kongres Pancasila, Yogyakarta, 31 Mei 2012, halaman 11.



451



dewa terbukti mendukung upaya penyembuhan. Informasinya ada enam jenis fitofarma atau obat herbal yang sudah menjadi kapsul serta puluhan obat herbal terstandar414. Keberadaan obat herbal dari Cina merajai di Indonesia, keadaan ini dijadikan tantangan bagi Indonesia untuk terus berjuang. Khasiat obat herbal Indonesia itu tidak kalah dengan obat herbal Cina. Indonesia hanya kalah mengelola saja sehingga Cina mampu membangun image di masyarakat Indonesia bahwa obat herbal Cina begitu manjur. Cina telah sejak dahulu mengelola obat herbal secara profesional dan begitu gencar iklannya. Sementara Indonesia itu pengelolaannya hanya sekedarnya saja.Untuk itu kalau kita kelola dengan profesional dari aspek pengemasan, pemasaran dan kualitas, obat herbal Indonesia mampu bersaing dan bahkan bisa menjadi tuan di negeri sendiri415. Ketergantungan masyarakat terhadap obat konvensional kedokteran diharapkan bisa secara pasti diganti dengan masuknya obat herbal, saat ini ternyata 95% bahan baku obat konvensional masih di import, berapa banyak devisa yang bisa dihemat bila peralihan ini berjalan mulus. Memasuki tahun 2010, Badan Litbang Depkes mempelopori suatu usaha yang sangat terpuji dan patut didukung penuh yaitu dengan membuat model ―Rumah Sehat‖ atau ―Klinik Jamu‖, model ini akan menerapkan penggunaan jamu sebagai obat yang diberikan dokter untuk pasiennya, suatu terobosan yang didukung oleh



414



415



Edi Dharmana, Herbal Boleh, Penanganan Medis Jangan Dilupakan, (Suara Merdeka, Minggu, 16 Juni 2013 M. Maryono, Dosen tamu pengobatan herbal di UGM dan UNY, Koran Pak Oles, 1-15Feb 2013



452



kebijakan pemerintah dan akan diuji coba di daerah Jawa Tengah pada awal tahun 2010. Dipilihnya Jawa Tengah mungkin juga dengan pertimbangan saat ini banyak perusahaan Jamu dalam skala kecil sampai besar yang berlokasi di Jawa Tengah serta kebiasaan orang jawa meminum jamu sejak dulu416. Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati, termasuk tanaman obat herbal luar biasa dan seiring dengan peningkatan kesadaran ekologis serta gaya



hidup



vegetarian,



meningkat



pula



kecenderungan



masyarakat



mempergunakan pengobatan herbal. Nenek moyang kita mewariskan berbagai ilmu dari alam termasuk pengobatan berbahan baku tumbuh-tumbuhan, yang sering disebut jamu atau obat herbal. Jawa Tengah memiliki kekayaan hayati, termasuk tanaman obat herbal, yang beragam. Kini ada hampir 125 orang dokter bersertifikasi herbal yang bisa membuka praktik pengobatan herbal di Jawa Tengah417. Sejumlah rumah sakit diberbagai tempat di Jawa Tengah juga menyediakan klinik tradisional obat herbal. Undip dan RSUP Kariadi sudah berencana membuka klinik semacam itu418. Dokter pada umumnya tidak berani merekomendasikan penggunaan obat herbal secara sembarangan. Terlebih, obat yang tidak memiliki izin resmi atau jaminan dari instansi terkait yang menyatakan barang itu aman dikonsumsi manusia419. Bila dokter tetap memberikan



perhatian



terhadap



obat-obatan



herbal.



Herbal



memang



diharapkan bisa menjadi suplemen dalam pengobatan penyakit tertentu. Hanya herbal bukan obat tunggal melawan penyakit mematikan, terutama kanker. 416 417



418 419



http://www.pom.go.id/oaie/info/progteliti.htm, Info Herbal, diakses tanggal31 Januari 2014. Edi Dharmana, Herbal Boleh, Penanganan Medis Jangan Dilupakan, (Suara Merdeka, Minggu, 16 Juni 2013 Ibid Ibid



453



Saya tetap menganjurkan pola kombinasi bila ingin menggunakan metode pengobatan modern dan tradisional420. Perkumpulan



Dokter



Herbal



Medik



Indonesia



(PDHMI)



yang



mendapatkan izin memberikan resep tradisional. Mereka bahkan diawasi Direktorat



Bina



Komplementer



Pelayanan Kementerian



Kesehatan Kesehatan.



Tradisional Itu



Alternatif



dan



menunjukkan



upaya



penyeimbangan pola pengobatan modern dan tradisional. Sebagaimana kita ketahui, bahan dasar herbal yang sudah teruji secara klinis memang memiliki khasiat menyehatkan421. B2P2TOOT di bawah Litbang Kementerian Kesehatan memang membuka Klinik Saintifikasi Jamu Hortus Medicus. Setiap hari lebih dari 100 orang antre berobat. Mereka mengidap penyakit ringan seperti flu, pilek, atau masuk angin sampai penyakit berat seperti diabetes, hipertensi, jantung, gula dan darah tinggi422. Dukungan dari semua pihak, baik para pelaku petani yang diharapkan memberikan hasil olahan tanaman herbal dengan kualitas tinggi, keterlibatan dunia perguruan tingga dan swasta untuk melakukan uji coba khasiat obat herbal, kemudahan peraturan dan dukungan penuh pemerintah dalam hal ini kementerian Kesehatan dan BPOM akan menjadikan Indonesia menjadi salah satu Negara terkemuka yang menghasilkan Obat Herbal bermutu tinggi dan menjadikan Pengobatan Tradisional terutama Herbal bukanlah sekedar Pengobatan Alternatif belaka423.



420 421 422 423



Ibid Ibid Suara Merdeka, Memanfaatkan Tumbuhan di Puncak Lawu, Minggu,16Juni 2013. http://www.pom.go.id/oaie/info/progteliti.htm, Info Herbal, diakses tanggal31 Januari 2014



454



Indonesia bisa saja tertinggal akan budaya mengkonsumsi herbal dengan negara Cina, Indonesia sulit untuk menandingi Jepang akan teknologinya dibidang obat-obatan dan Indonesia harus dapat seperti India dimana sangat luar biasa untuk melakukan perlindungan terhadap TK. Berikut ini adalah kondisi masyarakat Indonesia terhadap obat herbal Indonesia. Tabel 18 : Persentase Penduduk Umur≥ 15 yang Mempunyai Kebiasaan Mengkonsumsi Jamu Menurut Provinsi No.



Provinsi



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.



Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah JDI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan



10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.



Setiap hari Kadang – Sebelumnya (a) kadang (b) pernah (c) 3,37 21,49 10,57 3,87 29,38 5,84 1,95 29,28 23,36 4,55 31,33 8,85 4,65 40,97 8,90 3,57 34,41 6,65 3,47 30,06 8,25 3,88 43,67 10,07 5,32 29,82 13,40



Pernah (a+b+c) 35,43 39,09 54,59 44,73 54,52 44,63 41,78 57,62 48,54



4,72 7,75 5,80 4,30 4,28 3,88 6,65 4,37 2,82



51,95 49,09 45,53 51,68 62,11 61,57 48,41 53,51 34,11



12,80 12,76 11,51 9,43 12,11 6,36 12,35 5,81 8,05



69,47 69,60 62,84 65,42 78,50 71,84 67,53 63,65 44,97



0,79



17,98



6,06



27,65



2,60 3,88 5,55 5,48 1,90 2,82 2,31



33,86 48,95 67,92 41,84 29,92 32,06 22,93



9,38 8,34 7,24 13,08 22,44 9,48 15,62



45,00 61,10 80,62 60,47 55,37 45,81 40,83



455



27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.



Sulawesi Tenggara 1,39 16,17 Gorontalo 2,59 39,54 Sulawesi Barat 1,27 28,40 Maluku 2,08 32,53 Maluku Utara 2,12 40,63 Papua Barat 2,37 28,24 Papua 1,70 25,67 INDONESIA 4,36 45,03 Sumber : Laporan Tahunan BPOM Tahun 2012 a.



6,39 9,29 7,33 8,59 6,84 4,96 4,62 9,73



23,95 51,42 37,01 43,09 49,6 37,19 34,89 59,12



Kebiasaan Mengkonsumsi Jamu / Obat Tradisional. Secara nasional, sebanyak 59,12 % penduduk Indonesia pernah mengkonsumsi jamu, yang merupakan gabungan dari data kebiasaan mengkonsumsi jamu setiap hari (4,36 %) yaitu (a) kadang-kadang (45,03%), (b) tidak mengkonsumsi jamu tetapi sebelumnya pernah (9,73%), dan (c) presentasi penduduk Indonesia yang tidak pernah mengkonsumsi jamu sebanyak 40,88 %. Tabel di atas menunjukan bahwa provinsi dengan presentase kebiasaan mengkonsumsi jamu tertinggi adalah Kalimantan Selatan (80,71%) dengan data konsumsi jamu setiap hari 5,55 % , diikuti oleh DI Yogyakarta (78,50%) dengan konsumsi jamu setiap hari (4,28%). Selanjutnya, Provinsi Sulawesi Tenggara (23,95%) merupakan provinsi yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi jamu terendah dengan data konsumsi jamu setiap hari 1,39 %. Tabel 19 :Pesentase Penduduk umur ≥ 15 Tahun yang Mempunyai Kebiasaan Mengkonsumsi Jamu menurut Karakteristik



No KELOMPOK . UMUR (TAHUN) 1. 2. 3.



Karakteristik Individu 15 – 24 25 – 34 35 – 44



Setiap Hari (a) 2,35 4,49 5,02



Kadangkadang (b) 30,91 43,81 50,21



Sebelumnya Pernah (c)



Pernah (a+b+c)



9,59 10,08 9,29



42,85 58,38 64,52



456



4. 5. 6. 7. No JENIS . KELAMIN



45 – 54 55 – 64 65 – 74 75+ Karakteristik Individu



1. 2. No TEMPAT . TINGGAL



Laki-laki Perempuan Karakteristik Individu



1. 2. No PENDIDIKAN .



Perkotaan Pedesaan Karakteristik Individu



1. 2.



Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT Karakteristik Individu



3. 4. 5. 6. No PEKERJAAN . 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. No TINGKAT . PENGELUAR AN RT PER 1. KAPITA 2. 3. 4. 5.



Tidak Kerja Sekolah TNI /Polri Pegawai / PNS Pelayan Jasa / Dagang Buruh/Tani/Nel ayan Lainnya Karakteristik Individu Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5



5,17 5,21 5,14 4,47 Setiap Hari (a) 3,37 5,33 Setiap Hari (a) 5,44 3,16 Setiap Hari (a) 4,37 4,51



52,12 52,63 50,46 46,01 Kadangkadang (b) 43,82 46,23 Kadangkadang (b) 47,99 41,74 Kadangkadang (b) 47,82 48,26



9,37 9,85 10,21 12,43 Sebelumnya Pernah (c)



66,66 67,69 65,81 62,91 Pernah (a+b+c)



9,14 10,31 Sebelumnya Pernah (c)



56,33 61,87 Pernah (a+b+c)



10,86 8,47 Sebelumnya Pernah (c)



64,29 53,37 Pernah (a+b+c)



7,59 8,78



60,15 61,55



4,60 3,97 4,33 3,86 Setiap Hari (a) 5,49 1,47 2,84 3,82 4,94



47,63 42,20 43,03 39,38 Kadangkadang (b) 43,76 27,74 42,74 43,96 48,22



8,68 9,52 11,21 14,06 Sebelumnya Pernah (c)



60,91 55,69 58,57 57,30 Pernah (a+b+c)



10,93 10,48 11,14 13,47 9,49



60,18 39,69 56,72 61,25 62,65



3,57



47,48



7,65



58,7



5,51 Setiap Hari (a) 2,95 3,98 4,29 5,28 5,63



46,32 Kadangkadang (b) 41,52 45,71 47,44 46,31 44,45



11,39 Sebelumnya Pernah (c)



63,22 Pernah (a+b+c)



7,59 8,80 9,70 10,68 12,45



52,06 58,49 61,43 62,27 62,53



457



Sumber : Laporan Tahunan BPOM Tahun 2012 b.



Kebiasaan Mengkonsumsi Jamu / Obat Tradisional Menurut Karakteristik Tabel di atas menunjukan bahwa di Indonesia kebiasaan konsumsi jamu terdapat pada semua kelompok umur. Kelompok umur 55 – 64 tahun mengkonsumsi jamu paling banyak (67,69%), sedangkan konsumsi jamu terendah terdapat pada kelompok umur 15 – 24 tahun (42,85%). Secara keseluruhan, umur 35 tahun hingga 75 tahun ke atas mempunyai kebiasaan konsumsi jamu dengan persentase yang hampir sama. Menurut jenis kelamin, perempuan mengkonsumsi jamu lebih tinggi (61,87%) dibandingkan dengan laki-laki (56,33%). Kebiasaan konsumsi jamu banyak terdapat baik di perkotaan maupun di pedesaan. Penduduk di perkotaan mengkonsumsi jamu lebih tinggi (64,29%) dibandingkan dengan penduduk di pedesaan (53,37%). Kebiasaan mengkonsumsi jamu pada semua tingkat pendidikan memiliki presentase yang tidak berbeda jauh. Penduduk dengan tingkat pendidikan rendah memiliki presentase sekitar 60%. Sementara pendidikan tinggi sekitar 56%. Tabel di atas juga menggambarkan bahwa semakin tinggi tingkat pengeluaran RT per kapita, terdapat kecenderungan semakin tinggi kebiasaan mengkonsumsi jamu.



Tabel 20: Persentase Penduduk Umur ≥ 15 Tahun yang Mempunyai Kebiasaan Mengkonsumsi Jamu dan Meracik Jamu Sendiri Menurut Provinsi No. 1. 2. 3.



Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat



% 26,30 14,65 14,42



458



4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.



Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah JDI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua INDONESIA Sumber :Laporan Tahunan BPOM Tahun 2012. c.



23,40 12,71 9,15 7,78 13,31 10,21 13,85 6,75 10,92 11,14 15,75 24,20 11,14 54,06 44,41 48,97 14,17 25,63 28,87 16,12 21,82 38,85 12,03 28,76 16,87 45,84 49,71 59,69 36,79 33,73 17,4



Kebiasaan Mengkonsumsi Jamu Buatan Sendiri Jamu buatan sendiri adalah jamu yang diracik sendiri oleh responden dengan menggunakan bahan baku yang segar, bisa berasal dari lingkungan rumah tangga atau mendapatkan bahan jamu yang beredar di pasaran. Presentase penduduk yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi jamu buatan sendiri dapat dilihat pada tabel di atas.



459



Tabel 21 : Persentase Penduduk Umur ≥ 15 Tahun yang Mempunyai Kebiasaan Mengkonsumsi Jamu dan Meracik Jamu Sendiri Manurut Karakteristik No.



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. No. 1. 2. No.



1. 2. No.



1. 2. 3. 4. 5. 6. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.



KELOMPOK UMUR (TAHUN)



Karakteristik Individu



%)



JENIS KELAMIN



15 – 24 25 – 34 35 – 44 45 – 54 55 – 64 65 – 74 75+ Karakteristik Individu



14,06 15,40 16,90 19,41 20,65 21,33 21,27 %



TEMPAT TINGGAL



Laki-laki Perempuan Karakteristik Individu



16,31 18,32 %



Perkotaan Pedesaan Karakteristik Individu



14,06 21,80 %



Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT Karakteristik Individu



22,77 19,87 17,58 15,97 14,99 17,20 %



Tidak Kerja Sekolah TNI /Polri Pegawai / PNS Pelayan Jasa / Dagang Buruh/Tani/Nelayan



16,36 14,13 12,92 15,82 15,14



PENDIDIKAN



PEKERJAAN



20,46



460



No.



TINGKAT PENGELUARAN RT PER KAPITA



Karakteristik Individu



1. Kuintil 1 2. Kuintil 2 3. Kuintil 3 4. Kuintil 4 5. Kuintil 5 Sumber : Laporan Tahunan BPOM Tahun 2012.



% 19,85 17,76 16,74 16,80 15,72



Tabel di atas menunjukkan bahwa kelompok umur 45 sampai dengan 75 tahun ke atas mempunyai presentase kebiasaan mengkonsumsi jamu buatan sendiri bekisar antara 19,41 sampai 21,27 persen. Kelompok umur 15 sampai dengan 44 tahun memiliki persentase kebiasaan mengkonsumsi jamu buatan sendiri antara 14,06 sampai 16,90 %. Kebiasaan membuat dan mengkonsumsi jamu buatan sendiri pada jenis kelamin perempuan (18,32%) lebih besar daripada jenis kelamin laki-laki (16,31%). Menurut tempat tinggal, penduduk yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi jamu buatan sendiri lebih tinggi di pedesaan (21,80%) dari pada di perkotaan (14,06%). Tabel di atas juga menggambarkan bahwa semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita maka semakin rendah prsentase penduduk yang mengkonsumsi jamu buatan sendiri. Tabel 22 : Penggunaan Tanaman Obat Untuk Jamu Buatan Sendiri Menurut Provinsi No.



1. 2. 3. 4. 5.



Provinsi



Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi



Jenis Tanaman Obat Untuk Jamu Buatan Sendiri Temulawak Jahe Kencur Meniran Pace LainLain 50,78 56,17 50,37 13,93 11,17 72,51 61,09 60,74 61,79 16,64 13,23 45,36 21,60 40,85 18,64 6,20 5,52 76,19 61,25 76,12 77,82 28,75 20,30 54,03 57,16 69,22 65,10 10,77 5,05 51,19



461



6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.



Sumatera Selatan 52,12 74,66 Bengkulu 41,90 58,88 Lampung 44,72 53,70 Kepulauan Bangka 37,49 62,22 Belitung Kepulauan Riau 42,86 59,16 DKI Jakarta 35,69 59,13 Jawa Barat 29,67 44,67 Jawa Tengah 46,00 48,62 DI Yogyakarta 45,95 44,60 Jawa Timur 46,57 54,83 Banten 28,60 46,19 Bali 3,76 8,36 Nusa Tenggara 85,00 82,10 Barat Nusa Tenggara 48,67 54,46 Timur Kalimantan Barat 43,30 58,06 Kalimantan 28,36 51,43 Tengah Kalimantan 32,67 67,04 Selatan Kalimantan Timur 23,97 56,48 Sulawesi Utara 42,22 76,97 Sulawesi Tengah 29,58 43,39 Sulawesi Selatan 30,93 47,15 Sulawesi Tenggara 21,15 37,42 Gorontalo 49,27 51,17 Sulawesi Barat 15,56 35,39 Maluku 8,34 13,53 Maluku Utara 17,05 34,46 Papua Barat 11,94 12,37 Papua 12,10 26,64 INDONESIA 39,65 50,36 Sumber : Laporan Tahunan BPOM Tahun 2012. e.



65,45 56,75 65,83 35,68



13,01 13,47 15,70 5,98



7,21 8,13 11,85 7,39



29,81 57,36 46,57 80,21



44,68 50,92 40,64 47,72 58,10 59,97 58,68 8,05 65,86



16,04 15,03 14,79 17,55 10,66 12,54 11,30 3,97 27,59



9,87 10,30 12,13 13,33 16,81 17,60 8,05 8,81 20,92



65,76 56,90 66,78 63,58 69,48 59,95 65,12 94,28 73,09



26,08



3,69



2,22



50,91



67,48 48,79



13,90 6,76



12,58 5,88



53,66 66,97



78,64



4,71



3,72



52,16



44,56 12,79 26,76 32,23 20,42 21,96 21,23 9,79 21,49 18,30 21,95 48,77



6,40 3,91 11,66 8,21 3,18 8,38 4,89 6,54 27,23 3,85 6,80 13,93



9,77 5,45 8,06 8,26 1,42 1,01 0,81 0,96 8,04 3,87 6,01 11,17



68,03 40,97 70,61 65,64 77,50 64,26 80,07 89,29 76,15 90,56 80,78 72,51



Penggunaan Tanaman Obat Untuk Jamu Buatan Sendiri Menurut Provinsi Dalam membuat jamu sendiri, ada beberapa bahan tanaman obat dari pekarangan, dapur atau yang diperoleh dari tempat lain. Tanaman obat tersebut yaitu temulawak, jahe, kencur, meniran, pace, dan lainnya yang ditanyakan secara terbuka kepada responden. Presentase penggunaan 462



beberapa tanaman obat dapat dilihat pada tabel di atas. Dari tabel tersebut tergambar bahwa di Indonesia, tanaman obat yang paling banyak digunakan adalah jahe (50,36%), diikuti kencur (48,77%), temulawak (39,65%), meniran (13,93%) dan pace (11,17%). Selain tanaman obat di atas, sebanyak 72,51 persen menggunakan tanaman obat jenis lain.Tabel tersebut juga menunjukan bahwa persentase penggunaan temulawak terbanyak di Provinsi Nusa Tenggara Barat (85,00%) dan terendah di Bali (3,76%); penggunaan jahe terbanyak di Provinsi Nusa Tenggara Barat (82,10%) dan terendah di Bali (8,36%); penggunaan kencur terbanyak di Provinsi Kalimantan Selatan (78,64%) dan terendah di Bali (8,05%); penggunaan meniran terbanyak di Kepulauan Riau (28,75%) dan terendah di Sulawesi Tenggara (3,18%); penggunaan pace terbanyak di Provinsi Nusa Tenggara Barat (20,92%) dan terendah di Sulawesi Barat (0,81%). Tabel 23: Persentase Penduduk Umur ≥ 15 Tahun yang Memilih Bentuk Jamu Menurut Provinsi No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.



Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah



Kapsul / Pil / Tablet 13,83 5,66 5,26 8,52 7,71 11,83 10,67 11,76 14,51



Seduh (Serbuk) 39,20 30,75 47,10 37,26 50,74 39,56 47,43 36,23 56,35



Rebusan (Rajangan) 24,59 29,22 15,61 31,51 17,94 24,69 14,10 22,47 13,39



Cairan 52,32 59,12 48,88 57,16 54,39 55,61 51,97 56,94 40,43



7,44 10,58 15,35 10,79



34,08 43,29 50,97 44,38



21,88 21,17 16,64 19,07



56,11 62,11 49,91 55,32



463



14. 15. 16. 17. 18. 19.



JDI Yogyakarta 4,68 20,29 Jawa Timur 12,86 52,65 Banten 14,46 43,91 Bali 4,31 14,06 Nusa Tenggara Barat 5,20 14,51 Nusa Tenggara 3,66 37,82 Timur 20. Kalimantan Barat 23,50 57,93 21. Kalimantan Tengah 11,54 48,29 22. Kalimantan Selatan 16,64 54,18 23. Kalimantan Timur 10,67 30,21 24. Sulawesi Utara 2,69 32,17 25. Sulawesi Tengah 7,74 22,74 26. Sulawesi Selatan 7,44 28,15 27. Sulawesi Tenggara 8,13 41,36 28. Gorontalo 7,55 41,47 29. Sulawesi Barat 7,31 26,36 30. Maluku 3,18 24,62 31. Maluku Utara 2,22 24,74 32. Papua Barat 6,38 27,72 33. Papua 4,31 32,71 INDONESIA 11,6 44,1 Sumber : Laporan Tahunan BPOM Tahun 2012. f.



23,13 19,19 16,28 10,27 29,92 39,86



76,11 52,40 58,47 85,15 78,96 46,06



22,42 22,74 18,12 22,05 31,52 31,99 16,01 35,34 24,00 38,17 46,41 53,67 34,85 30,04 20,3



41,47 51,27 47,37 63,41 53,88 56,23 64,32 41,30 52,29 47,08 67,13 50,32 55,32 42,91 55,3



Pemilihan Bentuk Jamu Menurut Provinsi Selain mengkonsumsi jamu buatan sendiri, cukup banyak penduduk yang memperoleh jamu yang sudah beredar di pasaran. Tabel di atas menggambarkan bahwa bentuk sediaan jamu yang paling disukai adalah bentuk cairan (55,3%), diikuti seduh/serbuk (44,1%), rebusan/rajangan (20,3%), dan persentase terendah adalah bentuk kapsul/pil/tablet (11,6%).



Tabel 24: Persentase Penduduk Umur ≥ 15 Tahun yang Merasakan Manfaat Jamu Menurut Provinsi No. Provinsi % 1. Aceh 95,60 2. Sumatera Utara 94,44 3. Sumatera Barat 83,23 4. Riau 92,29 5. Jambi 94,87 6. Sumatera Selatan 94,08 464



7. 8. 9.



Bengkulu 92,21 Lampung 94,88 Kepulauan Bangka 93,26 Belitung 10. Kepulauan Riau 95,21 11. DKI Jakarta 93,35 12. Jawa Barat 93,69 13. Jawa Tengah 94,39 14. JDI Yogyakarta 92,68 15. Jawa Timur 94,92 16. Banten 93,73 17. Bali 96,18 18. Nusa Tenggara Barat 95,46 19. Nusa Tenggara Timur 87,77 20. Kalimantan Barat 95,35 21. Kalimantan Tengah 93,65 22. Kalimantan Selatan 96,17 23. Kalimantan Timur 92,64 24. Sulawesi Utara 86,74 25. Sulawesi Tengah 91,09 26. Sulawesi Selatan 86,94 27. Sulawesi Tenggara 91,07 28. Gorontalo 90,56 29. Sulawesi Barat 93,96 30. Maluku 95,27 31. Maluku Utara 96,66 32. Papua Barat 89,84 33. Papua 85,39 INDONESIA 95,60 Sumber : Laporan Tahunan BPOM Tahun 2012. g.



Kemanfaatan Konsumsi Jamu Menurut Provinsi Kemanfaatan konsumsi jamu bagi kesehatan dapat diartikan sebagai upaya preventif, promotof, rehabilitatif maupun kuratif. Data persentase kemanfaatan dapat dilihat pada tabel di atas.Sebanyak 95,60 % penduduk Indonesia



yang



pernah



mengkonsumsi



jamu



menyatakan



bahwa



mengkonsumsi jamu bermanfaat bagi tubuh. Presentase penduduk yang



465



merasakan manfaat dari mengkonsumsi jamu bekisar antara 83,23 % hingga 96,66%. Tabel 25 : Persentase Penduduk Umur ≥ 15 Tahun yang Merasakan Manfaat Jamu Menurut Karakteristik No. KELOMPOK % Karakteristik UMUR Individu (TAHUN) 1. 15 – 24 90,64 2. 25 – 34 93,61 3. 35 – 44 94,36 4. 45 – 54 94,58 5. 55 – 64 94,45 6. 65 – 74 94,96 7. 75+ 95,18 No. JENIS % Karakteristik KELAMIN Individu 1. 2. No. 1. 2. No.



TEMPAT TINGGAL



PENDIDIKAN



1. 2. 3. 4. 5. 6. No. PEKERJAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6.



Laki-laki Perempuan Karakteristik Individu



93,57 93,85 %



Perkotaan Pedesaan Karakteristik Individu



93,23 94,37 %



Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT Karakteristik Individu



94,85 94,92 94,71 93,33 92,57 90,31 %



Tidak Kerja Sekolah TNI /Polri Pegawai / PNS Pelayan Jasa / Dagang Buruh/Tani/Nelayan



93,65 87,82 92,34 91,51 93,86 94,93



466



7. Lainnya No. TINGKAT Karakteristik PENGELUARAN Individu RT PER KAPITA 1. Kuintil 1 2. Kuintil 2 3. Kuintil 3 4. Kuintil 4 5. Kuintil 5 Sumber : Laporan Tahunan BPOM Tahun 2012. h.



93,87 %



94,81 94,48 94,12 93,07 91,99



Kemanfaatan Konsumsi Jamu Menurut Karakteristik Tabel di atas menggambarkan bahwa semua kelompok umur merasakan adanya manfaat konsumsi jamu. Presentasenya meningkat seiring dengan meningkatnya kelompok umur, mulai dari 90,64 hingga 95,18 %. Laki-laki dan perempuan merasakan manfaat yang sama, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Berdasarkan kenaikan tingkat pengeluaran RT per kapita, persentase penduduk yang merasakan manfaat dari mengkonsumsi jamu cenderung menurun dari 94,81 menjadi 91,99 %. Indonesia perlu mengejar ketertinggalannya dari negara Cina, Jepang



maupun India dalam hal proteksi herbal berbasis TK. Peranan Lintas Sektor, Asosiasi Pengobat Tradisional Ramuan dan Perguruan Tinggi sangat dibutuhkan untuk menumbuh kembangkan herbal berbasis TK ke depan. Dari sektor pendidikan hal-hal yang pelru untuk dilakukan adalah : (1) Merumuskan kebijakan dalam pembinaan dan pengembangan lembaga kursus dan pelatihan yang menghasilkan pengobat tradisional ramuan; (2) Membentuk konsorsium dan Lembaga Sertifikasi Kompetensi (LSK) pengobat tradisional ramuan; (3) Memfasilitasi penyusunan Standart Kompetensi Lulusan (SKL), Kurikulum



467



Berbasis Kompetensi (KBK) dan Pedoman Uji Kompetensi pengobat tradisional ramuan; (4) Bersama dengan asosiasi pengobat tradisional ramuan mengadakan uji kompetensi. Perguruan Tinggi berperan dalam memberikan informasi dan alih teknologi terkait dengan pengembangan ilmu kesehatan dan tradisional ramuan. Sektor pertanian perlu untuk merumuskan kebijakan sistem dan pola pembinaan, pengembangan budidaya tanaman obat sampai dengan pengolahan pasca panen. Badan Pengawas Obat dan Makanan memiliki peranan untuk : (1) Merumuskan kebijakan pembinaan, pengembangan dan pengawasan obat tradisional dan industri obat tradisional; (2) Merumuskan kebijakan pengembangan obat asli indonesia; (3) Monitoring efek samping obat tradisional. Sedangkan peranan Asosiasi Pengobat Tradisional Ramuan yaitu : (1) Membina pengobat tradisional ramuan yang menjadi anggotanya; (2) Memberi sanksi kepada anggota bila melakukan pelanggaran; (3) Menjaga citra profesi dan mutu pelayanan; (4) Memberikan surat rekomendasi kepada anggotanya



dalam



rangka



registrasi/perizinan



ke



Dinas



Kesehatan



Kabupaten/Kota; (5) Meningkatkan kompetensi anggotanya; (6) Ikut berperan dalam penilaian pengobat tradisional ramuan asing sejenis yang akan bekerja di Indonesia sebagai konsultan. Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan tradisional (SP3T) memiliki peranan untuk melakukan pengakajian/penelitian, pengujian, pendidikan dan pelatihan, serta pelayanan kesehatan tradisional ramuan.



468



Bila pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan menggiatkan dan memberikan anggaran yang cukup untuk penelitian berbagai jenis tumbuhan obat yang sudah terbukti khasiatnya, dan dapat mengembangkannya menjadi fitofarmaka, maka tumbuhan obat ini memberikan sumbangan yang amat besar bagi pelayanan kesehatan masyarakat baik di Puskesmas-puskesmas maupun di rumah sakit. Prospek herbal ditanah air sangat bagus. Terlebih dunia medis modern setidaknya



memberikan perhatian terhadap



masalah itu. Perusahaan-



perusahaan herbal Tanah Air, seperti pabrik jamu, juga terus tumbuh. Produkproduk herbal dalam kemasan buatan mereka mulai mendunia, termasuk pangsa pasarnya di Indonesia424. Potensi yang besar ini, jika tidak dimafaatkan sebaik-baiknya sudah pasti tidak akan mempunyai arti, sehingga harus difikirkan agar penggunaan tanaman obat dapat menunjang kebutuhan akan obat-obatan yang semakin mendesak dan untuk mendapatkan obat pengganti jika resistensi obat terjadi secara meluas. Penelitian akan tanaman obat ini telah berkembang luas di beberapa negara seperti, Cina, India, Thailand, Korea dan Jepang425. Pembahasan mengenai kiblat kesehatan, maka mau tidak mau, kita akan melihat eksistensi WHO sebagai organisasi kesehatan dunia di bawah PBB. Semua program kesehatan dicanangkan oleh organisasi ini, yang mengawali berdirinya karena kebutuhan kesehatan global. Tujuan organisasi ini jelas, yaitu meningkatkan harapan hidup yang lebih baik dan peluang untuk 424



425



Edi Dharmana, Herbal Boleh, Penanganan Medis Jangan Dilupakan, (Suara Merdeka, Minggu, 16 Juni 2013 Andragraphis in Depth Review, From : http;//www.altcancer.com/andean htm



469



mendapatkan pelayanan kesehatan yang menjadi standar dunia. Sama seperti organisasi dunia lainnya yang tidak terlepas dari intervensi politik dan ekonomi, maka program-program WHO tidak lepas dari konflik kepentingan. Meski tujuan yang diembannya sangat mulia, tetapi tidak jarang setiap misi yang dilakukan ditunggangi oleh berbagai kepentingan pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan. Tengoklah merebaknya HIV AIDS di negara-negara Afrika, tidak lepas dari keterlibatan WHO yang ketika itu mencanangkan vaksin Hepatitis B. Bukannya terbebas dari Hepatitis, Afrika justru menuai AIDS. Hal yang sama terjadi di Indonesia, WHO beberapa kali mensponsori vaksinasi seperti polio yang ternyata setelah satu dekade lewat dijalankan, masih banyak orang yang terkena lumpuh layuh. Ada kecurigaan yang dilontarkan banyak pihak yang menyangsikan keampuhan vaksin yang diberikan atas bantuan WHO tersebut. WHO bukanlah kiblat yang obyektif lagi di dunia kesehatan. Terlalu banyak kepentingan dan terlalu banyak hal-hal yang dipolitisir. Ada baiknya kita lebih mandiri di dalam menentukan pandangan pengobatan kita, lebih mandiri dalam mengelola sumber daya kesehatan kita dan melepaskan ketergantungan dari teknologi pengobatan asing. Jika China begitu percaya diri dengan pengobatan tradisionalnya mengapa kita tidak ? Maka kiranya bukan saja kita harus berani berpikir untuk mencapai ke swasembada dan kemandirian dalam bidang obat herbal untuk turut memperkuat ketahanan nasional. Namun, lebih dari itu adalah lebih pantas kalau kita mau mulai berani berpikir dan yakin bahwa kita memenuhi syarat-syarat dasar dan mempunyai



470



potensi untuk kelak pada suatu waktu akan menjadi salah satu suplier utama obat-obatan untuk seluruh masyarakat dunia. Penggunaan bahan alam sebagai obat cenderung mengalami peningkatan dengan adanya isu back to nature dan krisis berkepanjangan yang mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat terhadap obat-obat modern yang relatif lebih mahalharganya. Obat bahan alam juga dianggap hampir tidak memiliki efek samping yangmembahayakan. Pendapat itu belum tentu benar karena untuk mengetahui manfaatdan efek samping obat tersebut secara pasti perlu dilakukan penelitian dan ujipraklinis dan uji klinis.Obat bahan alam Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu jamuyang merupakan ramuan tradisional yang belum teruji secara klinis, obat herbal yaituobat bahan alam yang sudah melewati tahap uji praklinis, sedangkan fitofarmakaadalah obat bahan alam yang sudah melewati uji praklinis dan klinis426. Indonesia kaya dengan tumbuhan obat yang sudah terbukti keamanannya secara turun temurun. Potensi yang sangat besar ini perlu dikembangkan dengan melakukan penelitian uji klinis dari setiap bahan tumbuhan obat terhadap penyakit tertentu.untuk itu diperlukan kerjasama yang saling mendukung antara profesi farmasist dengan profesi dokter, serta dukungan dari instansi terkait. Indonesia harus mempersiapkan diri guna ke tahap swasembada obat, apalagi menjadi industri obat-obatan tradisional sebagai salah satu konsumsi obat dunia. Walaupun disadari bahwa Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mendukung perkembangan industri ini,berupa jumlah penduduk



426



SK Kepala BPOM No. HK.00.05.4.2411 tanggal 17 Mei 2004



471



yang besar sebagai basis pasar domestik, kekayaan sumber daya alam, tumbuhan, hewan dan mineral sebagai sumber bahan baku,serta memiliki kemampuan belajar menguasai teknologi serta ketrampilan teknis. Tetapi itu semua belum cukup. Faktor-faktor tersebut baru merupakan necessary condition. Kenyataannya, masih banyak prasyarat (sufficient condition) yang diperlukan agar industri obat tradisional dapat lebih berkembang, belum tersedia secara utuh. Faktor-faktor yang menyebabkan industri farmasi Indonesia khususnya obat tradisional belum sangat produktif dan kompetitif disebabkan karena beberapa hal sebagai berikut : (1) Sebagian terbesar obatobatyang diproduksi di Indonesia memerlukan resep dokter untuk dapat diserahkan kepada pasien/konsumen; (2) Industri obat herbal yang belum mengembangkan R&D secara maksimal; (3) Lemahnya keberlakuan UU Paten baik oleh industri herbal maupun masyarakat pada umumnya. Perlu upaya meyakinkan para dokter agar mau meresepkan obat herbal yang bersertifikasi dan hasil uji coba yang meyakinkan secara ilmiah. Sampai saat ini, obat herbal yang diteliti dan memperoleh sertifikat adalah obat anti hipertensi dan anti asam urat. Dua jenis obat herbal berupa kapsul hasil penelitian lembaga itu siap dipatenkan427. Tiga hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan standar obat tradisional. Pertama, keamanan, yakni sejauhmana obat tradisional aman dikonsumsi masyarakat dan tidak menimbulkan efek samping. Kedua, efikasi, manfaat apa yang dapat didapatkan dari mengkonsumsi obat tradisional.



427



Suara Merdeka, Memanfaatkan Tumbuhan di Puncak Lawu, Minggu,16Juni 2013.



472



Apakah menyembuhkan atau hanya mencegah. Ketiga, kualitas, obat tradisional yang beredar tidak hanya aman tapi juga memiliki kualitas baik dan terjaga. Sejalan dengan perkembangan industri jamu, obat herbal, fitofarmaka dan kosmetika tradisional juga mendorong berkembangnya budidaya tanaman obat diIndonesia. Selama ini upaya penyediaan bahan baku untuk industri obat tradisional sebagian besar berasal dari tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di alam liar atau dibudidayakan dalam skala kecil di lingkungan sekitar rumah dengan kuantitas dankualitas yang kurang memadai. Maka perlu dikembangkan aspek budidaya yang dengan standart bahan baku obat tradisional. Kondisi Indonesia dengan kekayaan obat herbal yang tidak diragukan lagi seharusnya mampu menjadi peluang besar bagi negara ini untuk mengoptimalkan sumber daya alam yang ada. Dominasi obat Cina tidak dapat dipungkiri bahwa sampai sekarangpun masih menguasai pasar Indonesia bahkan dunia. Bila keadaan ini tetap dibiarkan maka posisi Indonesia di mata dunia juga akan terancam. Indonesia tidak lagi memiliki integritas serta dianggap sebagai bangsa murahan yang sangat mudah dieksploitasi kekayaan alamnya. Pihak-pihak yang terkait dalam hal ini seperti akademisi farmasi, pemerintah serta pengusaha yang bergerak di bidang industry farmasi haruslah memiliki perhatian yang lebih, dalam memandang situasi ini.



Diperlukan



kajian strategis bersama guna melahirkan suatu solusi konkrit yang nantinya mampu



mengoptimalkan



pemanfaatan



bahan



herbal



Indonesia



untuk



menghasilkan obat yang berkualitas yang mampu menyehatkan bangsa bahkan



473



dunia. Visi ke depan Indonesia yaitu mampu memberi sumbangan yang berarti bagi kesehatan dunia, sebab, seperti yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa saat ini masyarakat dunia juga mempertimbangkan kembali penggunaan obat herbal. Herbal berbasis TK memiliki potensi ekonomi yang sangat besar, sehingga upaya dilakukan untuk menjaga agar mendapatkan keuntungan dari hal tersebut. Pada umumnya pengetahuan tradisional menjadi dasar untuk produk pengembangan yang dilakukan oleh perusahaan besar. Mereka mengambil produk tradisional beserta pengetahuan tradisionalnya, diteliti melalui kegiatan riset dan pengembangan. Hasil dari kegiatan tersebut yaitu produk pengembangan dengan kemasan baru, yang mereka sebut sebagai produk baru, seperti dalam bentuk obat-obatan modern. Obat-obatan modern tersebut dimohonkan untuk didaftarkan hak paten dan diklaim sebagai miliknya sehingga menghilangkan asal usul dari produk tersebut, padahal hak paten tidak dapat diberikan kepada perusahaan multinasional tersebut jika dapat dibuktikan telah pernah ada sebelumnya (prior art). Kekhawatiran bahwa paten telah diberikan untuk invensi yang tidak memenuhi persyaratan mendasar untuk paten, khususnya dalam kaitannya dengan persyaratan kebaruan dan langkah inventif. Seandainya pengetahuan tradisional ini diketahui oleh pemeriksa paten pada saat meninjau aplikasi paten, dan dapat dianggap sebagai prior art. Kondisi tersebut akan mengalahkan klaim bahwa invensi tersebut baru dan melibatkan langkah inventif. Hal Ini akan membantu dalam pencegahan biopiracy.



474



Permasalahan



antara



pengakuan



hak



kekayaan



intelektual



dan



keanekaragaman hayati serta pengetahuan tradisional menjadi perdebatan yang panjang antara negara maju sebagai pemilik teknologi dan negara berkembang sebagai



pemilik



keanekaragaman



hayati.



Negara-negara



pemilik



keanekaragaman hayati mengajukan pentingnya ―persyaratan pengungkapan‖ atas informasi keanekaragaman hayati maupun pengetahuan tradisional dalam permohonan paten (disclosure requirement) baik pengungkapan sumber, negara asal dan penggunaan sebelumnya. Pengungkapan-pengungkapan tersebut selanjutnya akan menjadi dasar bagi pembagian keuntungan yang adil dan seimbang (fair and equitable benefir sharing) bagi negara pemilik teknologi dan pemilik keanekaragaman hayati. HKI telah memberikan keuntungan secara ekonomi dengan sangat luar biasa. Herbal berbasis TK diberikan hak paten untuk melindungi kepentingan secara ekonomis. Hukum mengakomdir kepentingan tersebut. Teori terkait pentingnya sistem HKI dalam perspektif hukum yaitu : Natural Right Theory, Utilitarian Theory, Contract Theory. Pengadopsian natural right theory dapat ditemukan di dalam ketentuan the Paris Convention yang mengatur tentang Hak Moral (Moral Right), yaitu kewajiban untuk mencantumkan nama inventor di dalam setiap dokumen paten. Memasuki abad 20, gejala untuk membatasi pengadopsian natural right theory mulai terlihat di dalam hukum paten. Sebagai contoh, banyak negara menerapkan asas teritorialitas yang terbatas terhadap pemberlakuan hukum paten, ruang lingkup invensi yang



475



dapat dilindungi dan jangka waktu perlindungan paten428. Berdasarkan utilitarian theory fungsi sistem paten adalah sebagai alat untuk menyebarkan manfaat invensi tidak hanya kepada para inventor tetapi juga kepada masyarakat luas. Teori ini memperkenalkan prinsip dasar yang menyatakan bahwa sebuah paten merupakan perjanjian antara inventor dengan pemerintah. Dalam hal ini, bagian dari perjanjian yang harus dilakukan oleh pemegang paten adalah untuk mengungkapkan invensi tersebut dan memberitahukan kepada publik bagaimana cara merealisasikan invensi tersebut429. Dutton430, menekankan untuk pemberian perlindungan dengan ketentuan yaitu : (1) The contract theory. Perlindungan sementara diberikan dalam reward untuk intelektual tentang invensi yang memiliki sifat kebaharuan; (2) The reward theory. Inventor harus dihargai karena telah membuat invensi yang useful dan hukum harus dapat berperan untuk menjamin penghargaan ini sehingga penemu dapat menerima imbalan yang cukup untuk intelektual mereka; (3) The incentive theory. Dengan membangun kerangka menghargai invensi, dimana para inventor dan pemilik investasi akan menggunakan insentif tersebut untuk membuat invensi baru; (4) The natural law / moral rights theory. Individu memiliki hak milik dalam ide-ide mereka sendiri dan hak ini harus dilindungi dari perampasan atau pencurian yang dilakukan oleh orang lain. Hal ini mirip dengan hak moral dalam hukum hak cipta.



428



429 430



Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual(HKI) di Era Global Sebuah Kajian Kontemporer, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010), halaman 10. Ibid, halaman 12. David I. Bainbridge, Intellectual Property, (London : Financial Times, 1999 ), halaman 324.



476



William Fisher431 menunjuk pada legislatif dan pengadilan bagaimana bertindak dengan kebijakannya untuk menyesuaikan dan menafsirkan aturan hukum HKI. Legislatif dan pengadilan, dalam pengambilan keputusan mereka, apakah akan menambah atau mengurangi kemampuan hak paten yang dimiliki oleh inventor. William Fisher mencoba untuk menyadarkan legislatif dan pengadilan betapa pentingnya aspek pengambilan keputusan mereka. Empat analisis dalam teori HKI William Fisher yang dapat digunakan untuk melihat tujuan akhir dari proteksi herbal berbasis TK di Indonesia, yaitu : (1) Utility theory (or utilitarianism) attempts to maximize net social welfare; (2) Labor theory recognizes and rewards individuals for their hard work; (3) Personality theory acknowledges that creation is a form of self-expression and selfhood; (4) Social Planning theory views intellectual property as a good that can be used to build a just and attractive culture. Dalam bab bukunya, "Theories of Intellectual Property," profesor Hukum Kekayaan Intelektual, Harvard, William Fisher, berpendapat bahwa hak IP dapat dilihat melalui empat lensa politik, yaitu : Teori Labor dimana mengakui dan memberikan penghargaan individu atas kerja keras mereka, teori Utility dimana upaya untuk memaksimalkan kesejahteraan sosial, teori personhood yang mengakui bahwa penciptaan adalah bentuk ekspresi diri dan kepribadian, teori Teori Perencanaan Sosial memandang kekayaan intelektual



431



William Fisher, Theories of Intellectuall Property, cyber.law.harvard.edu/people/tfisher/iptheory.pdf, di akses tanggal 1 Oktober 2014.



477



sebagai baik yang dapat digunakan untuk membangun budaya adil dan menarik. Pertama, pendekatan yang paling berpengaruh adalah bahwa hukum kekayaan intelektual harus dibentuk sehingga memaksimalkan kesejahteraan sosial. Inovasi dari paten dikatakan sebagai milik publik yang memiliki karakterisitik bahwa paten dapat dinikmati oleh orang lain secara gratis. innovations are what economists refer to as ―public goods‖—meaning that, like navigational aids, roads, and environmental quality, they have two linked characteristics: (1) Enjoyment of them by one person does not materially curtail the ability of other people to enjoy them; and (2) once they have been made available to one person, it is difficult to prevent them from being made available, for free, to other people432. Pendekatan welfare ini lebih dekat dengan Teori utilitarian. Teori utilitarian berlaku konstruksi ekonomi untuk mengusulkan bagaimana intelektual hak milik dapat mencapai utilitaris ideal "kebaikan terbesar untuk jumlah terbesar". Teorinya adalah bahwa manfaat publik bertambah dengan menghadiahi penemu untuk mengambil dua langkah mereka mungkin tidak akan jika tidak diambil: untuk menciptakan, dan mungkin mengkomersialkan, di tempat pertama; dan kedua, untuk mengungkapkan informasi kepada masyarakat tentang invensi ini yang berfungsi untuk merangsang inovasi lebih lanjut. Beberapa utilitarian memahami kesejahteraan sosial dimaksimalkan untuk penciptaan karya, ilmiah, produk dan teknologi. William Fisher, menggunakan pemahaman yang lebih luas bahwa perlindungan kekayaan intelektual harus mendorong pencapaian budaya adil dan menarik. 432



William W. Fisher III, When Should We Permit Differential Pricing of information? , www.uclalawreview.org/pdf/55-1-1.pdf, di akses tanggal 2 Oktober 2014, halaman 21.



478



Berdasarkan utilitarianisme, hak-hak yang diberikan oleh hak paten dirancang untuk dibatasi dalam jangka waktu dan ruang lingkup. Alasan untuk memberikan perlindungan hak paten kepada inventor adalah untuk mendorong mereka untuk menghasilkan karya sehingga memaksimalkan kesejahteraan sosial. Jika hak-hak yang diberikan kepada inventor sangat luas, masyarakat akan terabaikan dan kesejahteraan sosial berkurang. Hak eksklusif dalam kekayaan intelektual dapat mencegah persaingan dan penyalahgunaan terhadap invensi para inventor. Inventor dibebani untuk membayar premi agar mendapatkan perlindungan dari penyalahgunaan hak paten mereka. Untuk alasan ini, Hukum paten memastikan bahwa invensi mereka dilindungi dan jatuh ke dalam domain publik. Pada saat invensi telah menjadi domain publik maka masyarakat bebas untuk menggunakan invensi tersebut Pemerintah membantu para inventor untuk menghasilkan inovasi dan melindungi inventor terhadap persaingan dalam penciptaan dan distribusi (atau kinerja) dari inovasi mereka, serta membantu inventor untuk menutup biaya inovasi. Strategi pemerintah yaitu dengan terlibat kegiatan inovatif tersebut dan mensubsidi lembaga-lembaga swasta dan menawarkan hadiah kepada inventor yang berhasil dalam invensinya. Strategi utama yang lebih baik atau lebih buruk digunakan oleh sebagian besar pemerintah untuk memenuhi tanggung jawab mereka untuk memicu inovasi dalam menciptakan hak paten. Berkaitan dengan proteksi herbal berbasis TK dalam UU Paten di Indonesia, sulit untuk mennggunakan pendekatan welfare, meskipun Indonesia berupaya untuk



479



mensejahterakan rakyatnya. Pemerintah Indonesia belum mampu untuk sedemikian ‗hebat‘ dalam menunjang berbagai R&D untuk menghasilkan hak paten. Kedua, pendekatan keadilan (fainess) yang oleh Fisher disebut sebagai teori labor. Pendekatan yang telah di uraikan di atas mengenai kesejahteraan dianggap suatu ‗kesesatan‘. Negara memiliki kewajiban untuk menghormati dan menegakkan ide yang pada dasarnya adalah hak alami yang harus dilindungi. The second of the four approaches that currently dominate the theoretical literature springs from the propositions that a person who labors upon resources that are either unowned or ―held in common‖ has a natural property right to the fruits of his or her efforts – and that the state has a duty to respect and enforce that natural right433. Secara filosofis, terdapat teori hukum yang sering dijadikan dasar oleh negara-negara maju dalam memberikan perlindungan terhadap IPR, yaitu teori hukum alam dari John Locke. Menurut John Locke dalam bukunya Second Treatise of Government, menjelaskan sebuah status situasi menurut kodrat menyatakan bahwa barang-barang dimiliki secara kolektif sebagai anugerah Tuhan yang memberikan kelimpahan kepada ummat manusia untuk dinikmati. Namun, benda-benda yang dianugerahi ini tidak dapat dinikmati begitu saja dalam keadaan kodrati. Individu-individu harus mengubah barang-barang itu menjadi hak milik privat dengan mengolahnya melalui usaha lebih lanjut. Proses dilakukan dengan tanaga, pikiran dan biaya yang hasilnya akan



433



William Fisher, Theories of Intellectual Property, diakses tanggal 1 Oktober 2014.



480



bermanfaat bagi kehidupan manusia434. Teori hukum alam sebenarnya juga dapat dijadikan sebagai landasan filosofis bagi adanya perlindungan terhadap Traditional Knowledge (TK) bidang obat tradisonal. Karena di dalam teori hukum alam tidak hanya untuk melindungi hak individu, akan tetapi juga untuk melindungi hak-hak pihak lain, termasuk hak masyarakat lokal (indigenous peoples). Tujuan hukum HKI tidak untuk meningkatkan kesejahteraan sosial tetapi untuk memberikan keadilan bagi masyarakat. Tantangannya adalah bagaimana menentukan keadilan tersebut. Berkaitan dengan proteksi herbal berbasis TK dalam UU Paten di Indonesia memiliki tujuan akhir yaitu untuk memberikan keadilan bagi masyarakat Indonesia sebagai pemegang hak atas TK-nya. Mekanisme untuk menentukan keadilan dapat dilakukan dengan benefit sharing pada inventor yang bukan berasal dari Indonesia yang telah menggunakan TK masyarakat Indonesia. Ketiga, pendekatan kepribadian (personhood). Produk hak paten merupakan manifestasi atau eksistensi dari identitas dari inventor. Pendekatan ini menunjukan kedekatan yang sangat erat antara inventor dengan invensinya. Masyarakat mempercayai bahwa kejeniusan inventor terletak pada keunikan invensi mereka. Tujuan utama para inventor adalah untuk meningkatkan produk komersial yang mereka memiliki dengan mendasarkan pada alasan yang personal yaitu untuk menjaga reputasi terhadap pengguna produk mereka.



434



Marni Emmy Mustafa, Prinsip-Prinsip Beracara dalam Penegakan Hukum Paten di Indonesia dikaitkan Dengan TRIPs – WTO, (Bandung : PT. Alumni, 2007), halaman 58



481



Pendekatan ini lebih dekat dengan tulisan Kant dan Hegel yang lebih menekankan pada hak milik pribadi yang sangat penting untuk memenuhi kepuasan dasar manusia. Dengan demikian, kebijakan harus diusahakan untuk menciptakan dan mengalokasikan hak ke sumber daya dengan cara yang terbaik yang lebih memungkinkan orang untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Teori kepribadian digambarkan oleh Fisher sebagai membenarkan hak kepemilikan, "kapan dan hanya ketika mereka akan mendorong perkembangan manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dan kepentingannya‖. Di sini, ada ketidakpastian yaitu bagaimana kita dapat mengidentifikasi kebutuhan atau kepentingan untuk dikembangkan? Fisher mengidentifikasi empat kebutuhan atau kepentingan yang tepat untuk IP seperti: privasi, realisasi diri individu; identitas; dan kebaikan. Namun, tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana menerapkan empat kebutuhan tersebut dalam konteks IP. Pendekatan personhood pada proteksi herbal berbasis TK dapat dilihat keterkaitan antara TK yang ada di Indonesia mencerminkan kepemilikan dari TK tersebut. Dapat dikatakan ‗jamu‘ merupakan TK masyarakat Indonesia. Para produsen ‗jamu‘ mengembangkan dengan melakukan R&D untuk memberikan ikatan pribadi dengan para pengguna produk ‗jamu‘. Keempat, pendekatan culture atau teori perencanaan Sosial menurut Fisher. Pendekatan ini merupakan faktor yang kurang baik dibandingkan dengan ketiga pendekatan di atas dan berbeda dari teori utilitarian. Pendekatan ini berusaha untuk melampaui gagasan "kesejahteraan sosial" untuk visi yang lebih luas dari masyarakat agar dapat dilayani oleh kekayaan intelektual.



482



Finally, we should adjust patent law so as both (1) to increase incentives for the development of the drugs that address communicable diseases common in developing countries; and (2) to make those drugs affordable for all persons Fisher menakankan bahwa social planing mengakar pada pemikiran bahwa hak milik pada umumnya (IP pada khususnya), dapat dan harus dibentuk untuk membantu dan mendorong pencapaian budaya yang atraktif, dan mungkin lebih tepat menciptakan masyarakat yang adil. Kekayaan intelektual memberikan konteks untuk ekspresi kreatif dari kepentingan masyarakat dalam beragam konfigurasi politik, ekonomi, sosial dan budaya di masing-masing, masyarakat, nasional dan skala global. Fisher



berpendapat



bahwa



anggota



parlemen



(legislatif)



dalam



membentuk hukum pertama kali harus berusaha untuk memahami teori politik untuk membuat kebijakan baru dan kemudian mengajukan pertanyaan yang tepat. Sebagai contoh: (1) Teori Labor : Apakah ada reward bagi inventor terhadap hasil kerja meraka ? (2) Teori Utilitas: Apakah memaksimalkan kekayaan publik ? (3) Teori Kepribadian: Apakah itu memungkinkan individu untuk mengekspresikan diri? (4) Teori Perencanaan Sosial : Apakah itu menyebabkan masyarakat yang lebih kaya? Kondisi existing UU Paten di Indonesia dalam prespektif teori William Fisher lebih condong pada pendekatan persoonhood, dimana dapat dilihat dalam beberapa pasal UU No.14 Tahun 2001 yaitu pasal 2 ayat (1) yang mensyaratkan bahwa invensi harus memenuhi syarat novelty dan inventif step. Hal ini akan mengakibatkan hanya pada persoon yang mampu membuat novelty dan inventif step yang dapat diberikan hak paten, tanpa melihat apakah



483



invensi tersebut bersumber dari TK atau tidak. Pasal 3 ayat (1) yang menyatakan bahwa suatu invensi dianggap baru jika pada tanggal penerimaan invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya. penjelasan pasal 3 ayat (1) dinyatakan bahwa : ― Padanan istilah teknologi yang diungkapkan sebelumya adalah state of the art atau prior art, yang mencakup baik literatur paten maupun bukan literatur paten‖. Pasal 3 beserta penjelasannya menyiratkan arti bahwa untuk menentukan apakah sebuah invensi memenuhi syarat baru atau tidak, ditentukan oleh dua indikator berdasarkan UU Paten Indonesia yaitu ―literatur Paten‖ maupun ―bukan Literatur Paten‖. ―Literatur Paten‖ adalah dokumen paten secara tertulis baik dari kantor HKI Indonesia maupun CD Rom tentang invensi paten yang telah dilindungi di negara-negara lain yang dimiliki oleh kantor HKI Indonesia. Permasalahan dari bunyi pasal 3 dan penjelasannya adalah berkaitan dengan kata ―bukan literatur paten‖. Pasal 5 UU No. 14 Tahun 2001 menakankan lebih tegas bahwa hak paten akan diberikan pada persoon yang dapat menerapkan invensinya dalam industri. Keadaan ini harus segera dirubah dan tidak hanya menekankan pada pendekatan persoon melainkan dapat menggunakan kolaborasi pendekatan labor dan pendekatan perencanaan sosial. Pada pendekataan labor ada reward bagi inventor, namun juga tidak meninggalkan pendekatan perencanaan sosial dimana paten dapat digunakan untuk tidak hanya melindungi pemilik TK tetapi juga dapat dijadikan sebagai pengembangan budaya masyarakat. E. Pembuatan UU Paten di Indonesia



484



Manusia membutuhkan kehadiran hukum dalam masyarakat. Mengenai hal tersebut tidak ada pendapat yang berbeda. Perbedaan baru muncul sesudah hukum itu ada. Fungsi apa yang akan kita berikan kepada hukum ? seberapa besar kekuasaan yang kita berikan padanya ? Bagaimana posisinya berhadapan dengan moral ? Apakah hukum melindungi individu atau masyarakat ? Siapa yang harus terikat atau tunduk kepada hukum ? dan sejumlah besar persoalan lain435. Hukum bukan hanya merupakan serangkaian pasal-pasal yang diam dalam setiap peraturan perundang-undangan. Hukum juga bukan hanya merupakan pasal yang ―dibenturkan‖ dalam proses peradilan, tetapi hukum merupakan sesuatu yang hidup atau serangkaian kaidah yang hidup dalam masyarakat. Hukum bermanfaat atau memberikan manfaat bagi masyarakat. Hukum dibentuk untuk mewujudkan kepentingan bersama masyarakat dengan syarat masyarakat dituntut untuk mematuhi ketentuan hukum yang ada. Hukum bagi kita adalah suatu yang bersifat supreme atau yang paling tinggi di antara lembaga-lembaga tinggi negara lainya. dari konsepsi demikian maka tumbuhlah kesadaran manusia pemuja keadilan, istilah supremasi hukum dimana hukum ditempatkan pada yang tertinggi di antara dimensi-dimensi kehidupan yang lain, terutama dimensi politik. supremasi hukum adalah citacita umat manusia sedunia yang mendambakan ketenangan dan kesejahteraan umat di bawah kewibawaan hukum yang dpancarkan melalui : (1) Ketaatan setiap warga dunia terhadap peraturan perundang-undangan yang di desain sebagain payung hukum bagi semua warganya; (2) Kedisiplinan para 435



Satjipto Rahardjo, Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum, (Malang : Bayumedia Publishing, 2009), halaman 61.



485



pemimpin negara serta para penyelenggara negara pada semua tingkatan (eselon) dalam melaksanakan kebijakan yang dilandasi ketaatan pada hukum yang



melekat



pada



dirinya,



sehingga



penyalahgunaan



wewenang,



penyelewengan kewajiban atau pembelokan tujuan bisa ditekan sekecilkecilnya.



artinya,



kesalahan-kesalahan



yang



timbul



dalam



tugas



penyelenggaraan negara bukan karena niat atau kesengajaan yang penuh rekayasa, akan tetapi karena faktor kelalaian atau ketidakmampuan yang bisa diperbaiki kembai serta; (3) Hukum yang diciptakan benar-benar hukum yang bersendikan keadilan, ketertiban serta manfaat bagi semua warganya, sehingga memancarkan kewibawaan dan perlindungan terhadap setiap manusia.436 Perundang-undangan disusun dengan terarah pada pengkaidahan kejadiankejadian tertentu dengan jalan menimbang-nimbang kepentingan-kepentingan yang bermain didalamnya yang satu terhadap yang lainnya. Jika sudah mau mngetahui tentang apa yang mau dicapai atau yang mau dimaksud oleh pembentuk undang-undang dengan aturan tersebut, maka akan sampai pada menelusuri kejadian-kejadian apa yang paling jelas (eviden) termasuk ke dalam wilayah jangkauan dari ketentuan yang bersangkutan437. Kejadian-kejadian yang tidak hanya yang tanpa kesulitan dapat diasumsikan ke bawah ketentuan yang bersangkutan (kejadian yang secara harafiah termasuk ke dalam pengaturan terkait), melainkan yang juga penerapan pengaturan ini sesuai dengan pertimbangan kepentingan-kepentingan yang dipandang melandasi



436



437



Ilham Bisri, Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2011), halaman 129-130. Lihat Hart, The Conceptof Law, halaman 126 – 129.



486



aturan tersebut (―ruh‖ dari pengaturan itu)438. Jadi walaupun penentuan makna dari aturan-aturan perundang-undangan dalam kejadian-kejadian yang sudah jelas adalah bukan penimbangan kepentingan-kepentingan yang mandiri yang diharapkan misalnya dari hakim, pada aturan itu sendiri memang terdapat penimbangan kepentingan-kepentingan sebagai landasannya. Penimbangan itu bertumpu pada putusan politik hukum dari pembentuk undang-undang yang bagi suatu jenis (tipe) kejadian tertentu untuk mengutamakan suatu kepentingan tertentu. Bentuk akibat globalisasi dari peningkatan pergaulan dan perdagangan internasional, cukup banyak peraturan-peraturan hukum yang asing atau yang bersifat internasional akan juga dituangkan ke dalam perundang-undangan nasional. Terutama kaedah-kaedah hukum yang bersifat transnasional lebih cepat akan dapat diterima sebagai hukum nasional, karena kaedah-kaedah hukum transnasional itu merupakan aturan permainan dalam komunikasi dan perekonomian internasional dan global. Akibatnya semakin hukum Nasional kita akan memperlihatkan sifat yang lebih transnasional, sehingga perbedaanperbedaan dengan lain sistem hukum akan semakin berkurang439. Hal inilah yang terjadi pada sistem hukum paten di Indonesia yang terbentuk hasil dari ratifikasi instrumen internasional. Pembentukan UU Paten Indonesia tak dapat dipungkiri telah ada warna kepentingan internasional di dalamnya. Pembentukan hukum, dalam arti undang-undang, merupakan aktivitas penting dalam negara hukum. Undang-Undang menjadi dasar legalitas bagi 438 439



Ibid, halaman 126 . Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Alumni, 1991),halaman 74.



Nasional, (Bandung :



487



seluruh elemen negara, khususnya bagi penyelenggara negara, dalam menyelenggarakan dan mengelola negara. Tak boleh ada tindakan pemerintah dilakukan tanpa landasan undang-undang, kecuali pemerintah mau dikatakan lalim atau sewenang-wenang. Di negara demokrasi, undang-undang dibuat oleh rakyar melalui wakil-wakilnya dilembaga legislatif atas dasar aspirasi dan kehendak rakyat. Melalui lembaga legislatif inilah, kepentingan rakyat diagregasi untuk kemudian dituangkan dalam undang-undang. Kemudian undang-undang berlaku mengikat dan harus dipatuhi. Idealnya undang-undang merupakan formalisasi atau kristalisasi norma dan kaidah yang dikehendaki atau sesuai dengan aspirasi masyarakat440. Perumusan



peraturan



perundang-undangan



yang



kurang



jelas



mengakibatkan sulitnya pelaksanaannya dilapangan atau menimbulkan banyak interpretasi yang mengakibatkan terjadinya inkonsistensi. Seringkali isi peraturan perundang-undangan tidak mencerminkan keseimbangan antara hak dan kewajiban dari objek yang diatur, keseimbangan antara hak individu dan hak sosial, atau tidak mempertimbangkan keadilan. Keadilan berkaitan dengan pendistribusian dari hak dan kewajiban, dalam proteksi herbal berbasis TK di Indonesia, negara Indonesia memiliki hak untuk mendapatkan imbalan atas TK yang dimilikinya terhadap perusahaanperusahaan multinasional/transnasional dari negar-negara maju yang telah memanfaatkan TK negara Indonesia. Benefit sharing sebagai imbalan dari penggunaan TK di Indonesia selayaknya diterapkan dengan mekanisme yang 440



Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta : Konpress, 2012), halaman xiii.



488



menjunjung tinggi keadilan. Indonesia adalah salah satu dari negara berkembang yang memiliki sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang cukup kaya, beberapa kejadian telah terungkap bahwa negara maju telah menggunakan TK di Indonesia tanpa aturan yang jelas dan tanpa benefit sharing. Pembentukan hukum paten yang sepatutnya mengakomodir kepentingan negara Indonesia dalam mencapai keadilan tersebut sebagai starting point. Pembentukan hukum di Indonesia dibuat sebenarnya adalah sebagai pemenuhan asas legalitas, serta untuk menciptakan masyarakat yang tertib serta kemakmuran karena Indonesia menganut civil law sistem, dimana dalam sistem tersebut peraturan perundang-undangan adalah merupakan pijakan dalam penerapan hukum. 1. Pembuatan UU Paten dalam Perspektif Chambliss Seidman Soetandyo Wignjosoebroto dalam tulisannya ―apa dan mengapa critical legal studies‖, mengatakan perundang–undangan



nasional



terbangun dalam sekurang-kurangnya ... pertama –tama , hukum perundangundangan nasional itu terdiri dari norma-norma yang dirumuskan ke dalam pasal-pasal dan ayat-ayat tertulis, jelas dan tegas, demi terjaminya objektivitas dan kepastian dalam pelaksanaanya nanti. Kedua, hukum yang telah mengalami positivitasi, dan mejadi hukum perundang-undangan nasional itu, didudukan dalam statusnya yang tertinggi ...mengatasi normanorma lain macam apapun yang berlaku dimasyarakat. Ketiga, hukum perundang-undangan nasional yang formal dan berstatus tertinggi dalam



489



hierarki norma-norma yang ada dalam mayarakat memerlukan perawatan para ahli yang terdidik dan terlatih, dengan kewenanganya yang ekslusif dalam standart profesionalisme, demi terjaminya kepastian berlakunya hukum itu, dan... demi terlindunginya hak-hak warga secara pasti pula. Keempat, sebagai konsekuensi profesionalisasi proses-proses hukum itu, hukum perundang-undangan nasional juga memerlukanya back up suatu lembaga pendidikan profesional441. Teori mengenai pembuatan hukum yang dapat mengakomodir kepentingan masyarakat Indonesia akan proteksi herbal berbasis Traditional Knowledge (TK) yaitu dengan menggunakan pembuatan hukum dalam perspektif Chambliss – Seidman. Pembuatan hukum tersebut terdapat dalam teori Robert B. Seidman tentang bekerjanya hukum dalam masyarakat yang digambarkan dalam ragaan di bawah ini.



441



Lihat Wignjosoebroto, Hukum Dalam Masyarakat (Perkembangan dan Masalah), (Surabaya : Fisip Unair, 2007), halaman. 13



490



Ragaan 7 : Teori Bekerjanya Hukum



Faktor-Faktor Sosial dan Personal lainnya



Umpan Balik Lembaga Pembuat Peraturan Norma Umpan Balik



Norma



Lembaga Penerapan Peraturan



Faktor-Faktor Sosial dan Personal lainnya



Pemegang Peran Aktifitas Penerapan



Faktor-Faktor Sosial Personal lainnya



dan



Sumber : William J. Chambliss and Robert B. Seidman, Law, Power, and Order, Addison-Wesly Publishing Company, Philipine, 1971, halaman 12.



Menurut Robert B. Seidman dan William J.



Chambliss,



bahwa



proses bekerjanya hukum sangat ditentukan oleh empat komponen utama, yakni lembaga pembuat hukum ( undang-undang ), birokrasi penegakan hukum, para pemegang peran, dan pengaruh kekuatan personal dan sosial. Tiga komponen yang pertama (lembaga pembuat hukum, birokrasi penegakan hukum, dan pemegang peran) itu berperan dalam koridor hukum, sedangkan kekuatan personal maupun sosial merupakan komponen ―non-



491



hukum‖



yang memiliki andil yang tidak kalah pentingnya dalam



menentukan arah bekerjanya hukum442. Dari ragaan tersebut dapat dijelaskan bahwa : a)



Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang pemegang peranan (role occupant) itu diharapkan bertindak. Bagaimana seorang itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan



hukum



merupakan



fungsi



peraturan-peraturan



yang



ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembagalembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks sosial, politik dan lainlainnya mengenai dirinya. Pemegang peran dalam disertasi ini yaitu pelaku usaha herbal berbasis TK dan masyarakat Indonesia. Pelaku usaha dan masyarakat terikat dengan hukum dalam hal ini hukum paten. Keterikatan tersebut diwujudkan dalam bentuk mematuhi ketentuan dalam hukum paten khususnya yang mengatur mengenai herbal berbasis TK. Pelaku usaha dan masyarakat sebagai pemegang peran mengalami kesulitan dalam mematuhi ketentuan hukum paten dengan dibuktikan rendah pendaftaran paten herbal berbasis TK. Kesulitan tersebut yaitu terdapat dalam sulitinya untuk memenuhi persyaratan : 1) novelty (kebaruan), 2) inventif step dan 3) Industrial Applicable. Invensi produk herbal hasil traditional knowledge biasanya tidak dapat memenuhi unsur kebaruan yang dipersyaratkan dalam UU Paten Indonesia, sehingga hal ini sulit untuk 442



William J. Chambliss & Robert B. Seidman, L:aw, Order, and Power, (Massachusetts: Adison-Wesley Publishing Company, 1971), halaman 12.



492



didaftarkan dan sekaligus dengan tidak dapat didaftarkannya invensi produk herbal hasil TK ini, maka perlindungan hukum pun menjadi tidak ada. b)



Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana



itu



akan



bertindak



sebagai respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksisanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lainlainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peranan. c)



Bagaimana para pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik, ideologis dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan



balik



yang



datang



dari



pemegang



peran



serta



birokrasi.Pembuat Undang-undang dalam hal ini yaitu DPR memiliki kewenangan untuk mensahkan Undang-undang Paten. Pasal 20 ayat (1) menegaskan DPR memegang kekuasaan membentuk Undangundang. Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dikemukakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi bekerjanya hukum dalam masyarakat khususnya dalam upaya memproteksi herbal berbasis TK pada UU Paten di Indonesia. Faktor-faktor tersebut yaitu : (1) pembuat hukum dalam membuat aturan mengenai hukum paten seyogyanya memenuhi syarat yuridis, sosiologis,



493



filosofis dan ekonomis; (2) para pemegang peranan (dalam hal ini industri herbal) mematuhi aturan mengenai paten dengan kerelaan dan kepatuhan sehingga pendaftaran paten untuk herbal berbasis TK akan meningkat. Pembuatan hukum akan selalu berkaitan dengan bagaimana hukum diaktifkan. Lembaga-lembaga legislatif, eksekutif (administratif), dan judikatif membuat hukum baru setiap harinya. Setiap hukum adalah unik dalam tujuan spesifiknya. Setiap negara mempunyai satu set faktor latar belakang, sejarah khusus, dan alasan utamanya, oleh karena itu, sangat mungkin dilakukan generalisasi tentang bagaimana hukum dibuat dalam masyarakat, faktor-faktor sosiologis yang dimasukkan ke dalam keputusan untuk membuat hukum baru, dan tentang kekuatan-kekuatan sosial yang mendorong pembuatan hukum. Pembuatan hukum menurut Robert Chambliss dan Seidman ada dua model, yaitu :443 (1) Model masyarakat berdasarkan pada basis kesepakatan akan nilai-nilai, dimana berdirinya masyarakat bertumpu pada kesepakatan warganya. (2) Model masyarakat berdasarkan dengan konflik, masyarakat dilihat sebagai suatu perhubungan dimana sebagian warganya mengalami tekanan-tekanan oleh warga lain. Model yang berbasis pada kesepakatan nilai-nilai (value concensus). Masyarakat yang demikian, maka konflik-konflik hampir tidak ada, karena ada kesepakatan mengenai nilai-nilai yang menjadi dasar kehidupannya. Di



443



Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung : Angkasa, 1985), halaman 49-50.



494



dalam hubungan ini maka masyarakat bertumpu pada kesepakatan di antara warganya. Unsur yang menjadi pendukung kehidupan sosial disitu terangkum dalam satu kesatuan yang selaras (well integrated). Di dalam masyarakat yang demikian itu, maka masalah yang dihadapi



oleh



pembuatan hukum hanyalah menetapkan nilai-nilai apakah yang akan berlaku



dalam



masyarakat,



karena



pembuatan



hukum



merupakan



pencerminan nilai-nilai yang disepakati oleh masyarakat. Model yang berbasis pada kesepakatan nilai-nilai tepat bagi pembentukan hukum bagi TK. Model yang berbasis pada konflik. Masyarakat yang demikian maka ciri yang nampak adalah perubahan dan konflik-konflik sosial. Sebagian warganya mengalami tekanan-tekanan dari sebagaian warga lainnya. Pembuatan hukumnya tentu saja mencerminkan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat yang sarat dengan konflik. Chambliss mengatakan bahwa kemungkinan pembentukan pada model ini akan mencerminkan : a. b.



Pembentukan hukum akan dilihat sebagai suatu proses ada kekuatan, di mana Negara merupakan senjata di tangan lapisan yang berkuasa; Sekalipun terdapat pertentangan nilai-nilai di dalam masyarakat, namun Negara tetap dapat berdiri sebagai badan yang tidak memihak (value-neutral), di dalam mana nilai dan kepentingan yang bertentangan dapat diselesaikan tanpa menganggu kehidupan masyarakat.444



Pembuatan hukum menurut Robert Chambliss dan Seidman dapat berdasarkan model yang berbasis pada kesepakatan nilai-nilai (value concensus). Dengan menggunakan model ini konflik-konflik hampir tidak 444



Satjipto Rahardjo, Ibid, halaman 50



495



ada, karena ada kesepakatan mengenai nilai-nilai yang menjadi dasar kehidupannya. Di dalam hubungan ini masyarakat bertumpu pada kesepakatan di antara warganya. Unsur yang menjadi pendukung kehidupan sosial disitu terangkum dalam satu kesatuan yang selaras (well integrated). Di dalam masyarakat yang demikian, maka masalah yang dihadapi oleh pembuatan hukum hanyalah menetapkan nilai-nilai apakah yang akan berlaku



dalam



masyarakat,



karena



pembuatan



hukum



merupakan



pencerminan nilai-nilai yang disepakati oleh masyarakat.445 Herbal berbasis TK memiliki karakteristik yang berbeda dengan invensi yang lain dalam paten. Karakteristik inilah penuh dengan nilai-nilai baik nilai magis maupun nilai budaya. Nilai-nilai tersebut yang sepatutnya dapat dikomunikasikan dengan seluruh masyarakat dunia khususnya bagi orang asing yang ingin menggunakan TK masyarakat Indonesia. Perbedaan nilai orang-orang barat dengan masyarakat Indonesia sangat bertentangan. Pertentangan nilai tersebut akan cenderung mendorong dilakukannya pembuatan hukum dengan jalan kompromi diantara hal-hal yang bertentangan tersebut. Satjipto Rahardjo446 secara khusus mengamati kiprah para legislator dalam proses pembuatan hukum, dalam proses ini baik dalam tahapan sosiologis maupun tahapan yuridis, selalu terjadi pertukaran antara DPR dengan masyarakat dalam intensitas yang tinggi. Masyarakat yang merasa kepentingannya terganggu akan berusaha sejauh mungkin untuk ―turut 445 446



Ibid, halaman 49 Satjipto, Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta :Penerbit Buku Kompas, 2009), halaman 129.



496



masuk‖ kedalam pekerjaan tersebut. Komposisi keanggotaan dari para legislator juga sangat mempengaruhi produk hukum yang dihasilkannya. Optik sosiologi melihat adanya kecenderungan keanggotaanya diisi oleh golongan menengah keatas, yang menyebabkan produk hukum yang dihasilkanya pun berat sebelah. Proses pembuatan hukum, para legislator sangat dituntut kesadarannya untuk mencermati berbagai kekuatan yang ikut bermain dalam proses hukum tersebut. Kesadaran itu dapat dipupuk dan dibangun melalui usaha secara cermat dan bersungguh-sungguh untuk memasukkan secara sistematis komponen asas kedalam suatu produk hukum. Hal ini penting untuk mengalirkan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, dan dengan demikian bakal menuntun para legislator dalam merumuskan setiap aturan hukum secara lebih baik dan seimbang, tanpa merugikan



pihak-pihak



atau



kelompok-kelompok



tertentu.



Dengan



memasukkan komponen asas yang mengalirkan nilai-nilai tersebut, niscaya aturan hukum yang dibuat itu tidak semata sebagai bangunan peraturan, melainkan juga bangunan nilai-nilai. Dengan demikian, apabila dibangun tanpa asas, maka ia hanya akan merupakan tumpukan undang-undang yang tanpa arah dan tujuan yang jelas. Para legislator harus menyadari pula bahwa setiap produk hukum yang di buat itu bukanlah sesuatu yang mutlak sempurna. 2. Pembuatan Undang-undang Paten di Indonesia Manusia



membutuhkan



kehadiran



hukum



dalam



masyarakat.



Mengenai hal tersebut tidak ada pendapat yang berbeda. Perbedaan baru



497



muncul sesudah hukum itu ada. Fungsi apa yang akan kita berikan kepada hukum ? seberapa besar kekuasaan yang kita berikan padanya ? Bagaimana posisinya berhadapan dengan moral ? Apakah hukum melindungi individu atau masyarakat ? Siapa yang harus terikat atau tunduk kepada hukum ? dan sejumlah besar persoalan lain447. Hukum bukan hanya merupakan serangkaian pasal-pasal yang diam dalam setiap peraturan perundang-undangan. Hukum juga bukan hanya merupakan pasal yang ―dibenturkan‖ dalam proses peradilan, tetapi hukum merupakan sesuatu yang hidup atau serangkaian kaidah yang hidup dalam masyarakat. Hukum bermanfaat atau memberikan manfaat bagi masyarakat. Hukum dibentuk untuk mewujudkan kepentingan bersama masyarakat dengan syarat masyarakat dituntut untuk mematuhi ketentuan hukum yang ada. Hukum bagi kita adalah suatu yang bersifat supreme atau yang paling tinggi di antara lembaga-lembaga tinggi negara lainya. dari konsepsi demikian maka tumbuhlah kesadaran manusia pemuja keadilan, istilah supremasi hukum dimana hukum ditempatkan pada yang tertinggi di antara dimensi-dimensi kehidupan yang lain, terutama dimensi politik. Supremasi hukum adalah cita-cita umat manusia sedunia yang mendambakan ketenangan dan kesejahteraan umat di bawah kewibawaan hukum yang dpancarkan melalui : (1) Ketaatan setiap warga dunia terhadap peraturan perundang-undangan yang di desain sebagain payung hukum bagi 447



Satjipto Rahardjo, Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum, (Malang : Bayumedia Publishing, 2009), halaman 61.



498



semua warganya; (2) Kedisiplinan para pemimpin negara serta para penyelenggara negara pada semua tingkatan (eselon) dalam melaksanakan kebijakan yang dilandasi ketaatan pada hukum yang melekat pada dirinya, sehingga penyalahgunaan wewenang, penyelewengan kewajiban atau pembelokan tujuan bisa ditekan sekecil-kecilnya. artinya, kesalahankesalahan yang timbul dalam tugas penyelenggaraan negara bukan karena niat atau kesengajaan yang penuh rekayasa, akan tetapi karena faktor kelalaian atau ketidakmampuan yang bisa diperbaiki kembai serta; (3) Hukum yang diciptakan benar-benar hukum yang bersendikan keadilan, ketertiban serta manfaat bagi semua warganya, sehingga memancarkan kewibawaan dan perlindungan terhadap setiap manusia.448 Perundang-undangan disusun dengan terarah pada pengkaidahan kejadian-kejadian tertentu dengan jalan menimbang-nimbang kepentingankepentingan yang bermain didalamnya yang satu terhadap yang lainnya. Jika sudah mau mngetahui tentang apa yang mau dicapai atau yang mau dimaksud oleh pembentuk undang-undang dengan aturan tersebut, maka akan sampai pada menelusuri kejadian-kejadian apa yang paling jelas (eviden) termasuk ke dalam wilayah jangkauan dari ketentuan yang bersangkutan449. Kejadian-kejadian yang tidak hanya yang tanpa kesulitan dapat diasumsikan ke bawah ketentuan yang bersangkutan (kejadian yang secara harafiah termasuk ke dalam pengaturan terkait), melainkan yang juga penerapan pengaturan ini sesuai dengan pertimbangan kepentingan448



449



Ilham Bisri, Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2011), halaman 129-130. Lihat Hart, The Conceptof Law, halaman 126 – 129.



499



kepentingan yang dipandang melandasi aturan tersebut (―ruh‖ dari pengaturan itu)450. Penentuan makna dari aturan-aturan perundang-undangan dalam kejadian-kejadian yang sudah jelas adalah bukan penimbangan kepentingankepentingan yang mandiri yang diharapkan misalnya dari hakim, pada aturan itu sendiri memang terdapat penimbangan kepentingan-kepentingan sebagai landasannya. Penimbangan itu bertumpu pada putusan politik hukum dari pembentuk undang-undang yang bagi suatu jenis (tipe) kejadian tertentu untuk mengutamakan suatu kepentingan tertentu. Bentuk akibat globalisasi dari peningkatan pergaulan dan perdagangan internasional, cukup banyak peraturan-peraturan hukum yang asing atau yang bersifat internasional akan juga dituangkan ke dalam perundangundangan nasional. Terutama kaedah-kaedah hukum yang bersifat transnasional lebih cepat akan dapat diterima sebagai hukum nasional, karena kaedah-kaedah hukum transnasional itu merupakan aturan permainan dalam komunikasi dan perekonomian internasional dan global. Akibatnya semakin hukum Nasional kita akan memperlihatkan sifat yang lebih transnasional, sehingga perbedaan-perbedaan dengan lain sistem hukum akan semakin berkurang451. Hal inilah yang terjadi pada sistem hukum paten di Indonesia yang terbentuk hasil dari ratifikasi instrumen internasional. Pembentukan UU Paten Indonesia tak dapat dipungkiri telah ada warna kepentingan internasional di dalamnya. 450 451



Ibid, halaman 126 . Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Alumni, 1991),halaman 74.



Nasional, (Bandung :



500



Pembentukan hukum, dalam arti undang-undang, merupakan aktivitas penting dalam negara hukum.Undang-Undang menjadi dasar legalitas bagi seluruh elemen negara, khususnya bagi penyelenggara negara, dalam menyelenggarakan dan mengelola negara. Tak boleh ada tindakan pemerintah dilakukan tanpa landasan undang-undang, kecuali pemerintah mau dikatakan lalim atau sewenang-wenang. Di negara demokrasi, undangundang dibuat oleh rakyar melalui wakil-wakilnya dilembaga legislatif atas dasar aspirasi dan kehendak rakyat. Melalui lembaga legislatif inilah, kepentingan rakyat diagregasi untuk kemudian dituangkan dalam undangundang. Kemudian undang-undang berlaku mengikat dan harus dipatuhi. Idealnya undang-undang merupakan formalisasi atau kristalisasi norma dan kaidah yang dikehendaki atau sesuai dengan aspirasi masyarakat452. Perumusan



peraturan



perundang-undangan



yang



kurang



jelas



mengakibatkan sulitnya pelaksanaannya dilapangan atau menimbulkan banyak interpretasi yang mengakibatkan terjadinya inkonsistensi. Seringkali isi peraturan perundang-undangan tidak mencerminkan keseimbangan antara hak dan kewajiban dari objek yang diatur, keseimbangan antara hak individu dan hak sosial, atau tidak mempertimbangkan keadilan. Keadilan berkaitan dengan pendistribusian dari hak dan kewajiban, dalam proteksi herbal berbasis TK di Indonesia, negara Indonesia memiliki hak untuk mendapatkan imbalan atas TK yang dimilikinya terhadap perusahaan-perusahaan multinasional/transnasional dari negar-negara maju 452



Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta : Konpress, 2012), halaman xiii.



501



yang telah memanfaatkan TK negara Indonesia. Benefit sharing sebagai imbalan dari penggunaan TK di Indonesia selayaknya diterapkan dengan mekanisme yang menjunjung tinggi keadilan. Indonesia adalah salah satu dari negara berkembang yang memiliki sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang cukup kaya, beberapa kejadian



telah



terungkap bahwa negara maju telah menggunakan TK di Indonesia tanpa aturan yang jelas dan tanpa benefit sharing. Pembentukan



hukum



paten



yang



sepatutnya



mengakomodir



kepentingan negara Indonesia dalam mencapai keadilan tersebut sebagai starting point. Pembentukan hukum di Indonesia dibuat sebenarnya adalah sebagai pemenuhan asas legalitas, serta untuk menciptakan masyarakat yang tertib serta kemakmuran karena Indonesia menganut civil law sistem, dimana dalam sistem tersebut peraturan perundang-undangan adalah merupakan pijakan dalam penerapan hukum. Pembuatan undang-undang paten di Indonesia yang dapat memberikan proteksi terhadap herbal berbasis TK harus dilakukan sinkronisasi dengan undang-undang terkait seperti (1) UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, (2) UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan CBD, (3) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Tidak hanya hal menetapkan



makna



dari



pengaturan



perundang-undangan



menuntut



penilaian, juga penyusunan aturan tersebut adalah hasil pertimbangan (menimbang-nimbang). Pembentuk undang-undang pada penyusunan undang-undang akan memperhitungkan undang-undang dan pengaturan lain



502



untuk mencegah terjadinya konflik di antara aturan-aturan itu. Untuk alasan ini orang memandang konsistensi dan koherensi sebagai suatu nilai hukum (rechtswaarde) yang fundamental453. Di samping itu orang menganggap tiga tujuan berikut ini fundamental untuk hukum : suatu penataan terhadap kehidupan kemasyarakatan yang ada adalah baik berkeadilan maupun fungsional (bertujuan berhasil guna, doelmatig) dan yang menawarkan kepastian hukum. Pembuatan hukum paten di Indonesia harus dibentuk karena pertimbangan



keadilan,



disamping



sebagai



kepastian



hukum



dan



kemanfaatan. Pembentukan hukum patenpun tidak boleh terlalu jauh dari kebutuhan masyarakat lokal karena pada prinsipnya penerapan hukum tersebut akan berdampak pada masyarakat lokal sebagai pihak yang harus mematuhi hukum tersebut. Adanya undang-undang yang menyimpan potensi konflik baru dibelakang hari tersebut, maka pembentuk undangundang harus dilakukan dengan hati-hati. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berdasarkan UU No. 12 Tahun



2011



tentang



Pembentukan



Peraturan



Perundang-undangan,



Pembentukan Peraturan Perundang-undangan meliputi pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Pembentukan peraturan perundang-undangan yang harmonis dan mudah diterapkan dalam masyarakat adalah salah satu tiang utama dalam penyelenggaraan 453



Scholten, dalam Carel Stolker, diterjemahkan oleh Tristam Moeliono, Tentang Keilmiahan Ilmu Hukum, Halaman 40.



503



pemerintahan suatu negara.



Beberapa syarat Pembuatan perundang-



undangan tentang paten, diantara : 1.



Syarat yuridis, bahwa UU Paten yang bersifat normatif harus memberikan kapastian hukum (certainty) dengan memberikan keadilan dan kemanfaatan.



2.



Syarat ekonomis, bahwa UU Paten dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat untuk mewujudkan mayarakat yang sejahtera terutama bagi masyarakat Indonesia sebagai pemilik dari TK.



3.



Syarat Sosiologis, bahwa UU Paten dapat diberlakukan dalam masyarakat dan menimbulkan kepatuhan bagi masyarakat serta kerelaan untuk melaksanakan isi dari kaidah hukum paten tersebut.



4.



Syarat filosofis, bahwa UU Paten tidak ―menabrak‖ tata nilai yang telah ada dalam masyarakat Indonesia dan sesuai dengan nilai-nilai filosofis yang ada dalam Pancasila. Landasan yang kokoh dalam upaya memahami, mengkaji, serta



mengkritisai masalah-masalah hukum yang semakin kompleks. Tanpa memahami asas-asas hukum, politik hukum454, serta perundang-undangan yang baik sangatlah sukar untuk dapat memahami masalah-masalah hukum secara utuh. Politik hukum adalah proses pembentukan dan pelaksanaan sistem atau tatanan hukum yang mengatur kehidupan masyarakat dalam



454



Politik hukum adalah suatu bidang ilmu yang mempunyai ciri tertentu, yaitu kegiatan untuk menentukan atau memilih hukum mana yang sesuai untuk mencapai tujuan yang dikehendaki oleh masyarakat. Lihat J.B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1995), halaman 142. Lihat pula Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1994), halaman 48



504



negara secara nasional455. Realita bahwa dalam konteks



pembentukan



bahwa antara hukum dan politik keduanya tidak dapat dipisahkan sehingga seringkali hukum yang bertujuan untuk keadilan menjadi bias oleh kepentingan politik sesaat, hal ini terlihat pada pembentukan UU No. 14 Tahun 2001. Pembentukan UU tersebut sarat muatan politik sehingga hasilnya representatif kepentingan negara-negara maju yang dominan dalam pembentukannya. Produk herbal berbasis TK di Indonesia memiliki hambatan untuk dapat diproteksi memlui instrumen UU Paten. Hambatan ini yaitu : (1) Hambatan dari dalam, dimana politik hukum paten yang mendasarkan diri pada kepentingan pribadi / kelompok dari pada kepentingan nasional; (2) hambatan dari luar, dimana pengaruh globalisasi yang memberikan peluang bagi liberalisme dan kapitalisme untuk berkembang. Perlindungan terhadap herbal berbasis TK di Indonesia dapat dilakukan dengan melakukan pembuatan hukum yang baik melalui mekanisme politik di DPR (lembaga legislatif). David Easton menguraikan mengenai kinerja sistem politik dimana sistem politik dipandang sebagai organism hidup yang mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sendiri, mengalami input, proses, output dan dikembalikan sebagai feedback kepada input. sistem input kemudian merespon dan kembali menjadi input kedalam sistem politik.



455



Otong Rosadi dan Andi Desmon, Studi Politik Hukum (Suatu Optik Ilmu Hukum), (Yogyakarta : Thafa Media, 2013), halaman 5.



505



Unit-unit dalam sistem politik menurut Easton adalah tindakan politik seperti pembuatan UU, pengawasan DPR terhadap Presiden, tuntutan elemen masyarakat terhadap pemerintah, dan sejenisnya. Pada kerja dari sistem politik ini dapat dikhususkan pada pembuatan hukum dimana awal dari kinerja pembuatan hukum ini memperoleh masukan dari unit input. Input terdiri dari dua jenis yaitu tuntutan dan dukungan. Tuntutan dalam pembuatan UU Paten dimana UU Paten sulit untuk memberikan proteksi terhadap herbal berbasis TK di Indonesia. Dukungan dapat dilihat dari masyarakat untuk taat pada hukum serta peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Setelah tuntutan dan dukungan diproses dalam sistem politik dalam pembuatan UU dimana lembaga yang berwenang adalah DPR. Keluaran dari proses tersebut disebut output yang berupa keputusan atau produk hukum. Input dan output adalah dua sistem yang berhubungan erat. apapun outputnya akan dikembalikan kepada struktur input. struktur input akan bereaksi terhadap apapun output yang dikeluarkan, yang jika positif akan memunculkan dukungan atas sistem, sementara jika negative akan berdampak muncul tuntutan atas sistem. umpan balik (feedback) adalah situasi dimana sistem politik berhasil memproduksi suatu keputusan ataupun tindakan yang direspon oleh struktur output. Ragaan dari pembuatan UU yang dapat melakukan proteksi terhadap herbal berbasis TK di Indonesia dapat dilihat dibawah ini.



506



RAGAAN 8 Perlindungan Herbal Berbasis TK di Indonesia Dalam Sistem Kerja Politik David Easton Lingkungan Internal - Megabiodiversity - TK atas obat herbal - Biopiracy terhadap TK di Indonesia



Tuntutan



Lingkungan Internal Pengakuan hak moral atas TK Benefit Sharing Pencegahan biopiracy Pendaftaran hak paten oleh org Ind



Keputusan Sistem Politik DPR (Lembaga legislatif



Input



Output



Dukungan Lingkungan Eksternal - Kepentingan negara maju vs kepentingan negara berkembang - Trips, Doha, CBD - Biodiversity di beberapa negara (India) - Dukungan WHO



-



Revisi UU Paten Lingkungan Eksternal Benefit sharing Hukum Sui Generis Penghormatan hasil intelektual R&D TK dengan izin



Sumber : Hasil penelitian yang telah diolah dari David Easton, The Political System (New York: Alfred A. Knopf, Inc., 1953), Chapter Eleven



507



BAB VI PENUTUP



A. Simpulan 1. Undang-undang paten sulit untuk melakukan proteksi terhadap TK khsusunya dibidang obat-obatan tradisional karena terhambat pada aturan mengenai syarat kebaharuan dan syarat langkah inventif. Obat-obatan (produk herbal maupun produk obat modern/farmasi) dapat dilindungi oleh Undang-undang Paten apabila telah memenuhi syarat novelty, inventif step, dan industrially applicable. Unsur kebaruan dan unsur inventif step sulit untuk diperoleh bagi produk herbal berbasis TK karena sulitnya dalam melakukan riset dan pengembangan bagi obat tradisional. Undang-undang paten yang sulit untuk melakukan proteksi terhadap produk herbal berbasis TK di Indonesia akan berimplikasi pada keberlakuannya dalam masyarakat. Keberlakuan Undang-undang Paten secara yuridis dapat dianalisis dengan apakah ada kesesuaian secara horizontal maupun vertikal Undang-undang Paten dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku di Indonesia. Undang-undang Paten tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya terutama tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 maupun Pancasila. Undang-undang Paten secara yuridis dibentuk secara sah oleh institusi atau instansi yang berwenang dan



508



menurut prosedur yang telah ditentukan, namun konsistensi dan harmonisasi secara struktur belum sesuai sehingga apat menimbulkan disharmonisasi. Disharmonisasi aturan



tersebut tidak sangat kuat



benturannya namun satu dengan lainnya tidak saling mendukung bahkan telah terjadi peluang untuk terjadinya biopiracy terhadap TK di Indonesia. Keberlakuan Undang-undang Paten secara sosiologis dapat diketahui bahwa Undang-undang Paten berlaku secara efektif dimana masyarakat memauhi kaidah dalam



Undang-undang Paten



tersebut. Analisis



keberlakuan sosiologis Undang-undang Paten berkaitan dengan proteksi herbal berbasis TK dapat diketahui bahwa bahwa industri produk herbal tidak sepenuhnya memiliki kepatuhan untuk mendaftarkan produk herbal berbasis TK. Hal ini dapat dilihat dengan rendahnya pendaftaran paten herbal berbasis TK oleh para pelaku industri herbal di Indonesia. Undangundang Paten seharusnya merupakan norma hukum yang mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat Indonesia. Keberlakuan Undang-undang Paten secara filosofis dapat dilihat dalam Pokok-pokok pikiran konsideran UUP Tahun 2001 yang belum sepenuhnya mencerminkan unsur filosofis dimana UUP Tahun 2001 dibentuk dengan dasar pertimbangan untuk menyesuaikan dengan TRIPs Agreement. Keberlakuan hukum secara yuridis (apakah pembentukannya dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis), keberlakuan hukum secara sosiologis (apakah dapat diterima masyarakat atau berlaku secara efektif



509



dalam masyarakat) dan keberlakuan hukum secara filosofis (apakah dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis). Undang-undang Paten seyoganya dapat memenuhi ketiga keberlakuan tersebut. Undang-undang Paten yang hanya terpenuhi secara yuridis saja maka akan menjadi kaedah yang mati, apabila dipenuhi secara sosiologis maka hanya akan tampak menjadi aturan-aturan pemaksa dan apabila berlaku secara filosofis saja maka hukum sebagai suatu kaidah yang di cita-citakan saja. Urgensi proteksi herbal berbasis TK dalam UU Paten yaitu terutama untuk mencegah terjadinya biopiracy, prinsip keadilan, pembagian keuntungan (benefit sharing), dll. 2. Indonesia telah melakukan harmonisasi perjanjian internasional dengan hukum nasional. Hal ini dapat dibuktikan dengan telah dilakukan perubahan UU Paten yang disesuaikan dengan ketentuan TRIPs. Harmonisasi berkaitan dengan regulasi paten dalam upaya proteksi herbal berbasis TK bukan hanya menjadi persoalan internasional namun juga telah menjadi persoalan hukum nasional. Indonesia saat melakukan proses harmonisasi maka harus melakukan berbagai penyesuaian dengan ketentuan hukum yang telah ada lebih dulu. Proses tindakan penyesuaian tersebut tidaklah mudah dan disharmonisasi kadang kala tidak dapat dihindari. Harmonisasi secara vertikal dilihat aturan UU Paten dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sampai dengan cita hukum Indonesia. Harmonisasi secara horizontal dimana UU Paten



510



memiliki beberapa ketentuan yang selaras dan ketentuan yang tidak selaras dengan UU lain yang sederajat. Hukum Internasional harus membentuk sistem yang koheren prinsipprinsip dan norma-norma yang saling melengkapi satu sama lain atau, setidaknya, tidak bertentangan antara satu sama lain. Dalam hal ini, sesuai dengan persyaratan ini memungkinkan sistem paten untuk mendukung terwujudnya tujuan CBD, terutama berkaitan dengan manfaat berbagi. Pasal yang relevan menghubungkan CBD ke rezim kekayaan intelektual meliputi: Pasal 8 (j), Pasal 10 (c), Pasal 16 (5). Harmonisasi terhadap TK dapat dilakukan tidak hanya mengadopsi ketentuan TRIPs tetapi juga ketentuan yang ada dalam CBD dan Doha. Dalam



harmonisasi



tidak



dapat



dipungkiri



bahwa



telah



terjadi/memunculkan fenomena interaksi antara hukum nasional dengan hukum internasional. Oleh karena itu, perancang UU sudah harus memahami akulturasi yang terjadi diantara keduanya. Mendialogkan antara hukum nasional dengan hukum internasional serta mengoperasikan antara kepentingan nasional dan kepentingan internasional secara seimbang. Harmonisasi yang dilakukan Indonesia tidak berpihak pada kebutuhan masyarakat dan kepentingan masyarakat lokal. Ini membuktikan bahwa harmonisasi yang dilakukan Indonesia hanya inline dengan dunia internasional tetapi tidak inline dengan masyarakat Indonesia sendiri.



511



Harmonisasi tersebut harus dijaga agar kepentingan nasional tidak menjadi tenggelam dan terkubur di negerinya sendiri, seperti apa yang terjadi pada herbal berbasis TK di Indonesia. Asas hukum nasional dari nilai TK yang lebih dominan seyogyanya yaitu asas keadilan, asas kemanfaatan, dan asas kesejahteraan masyarakat. Asas keadilan menjamin bahwa perlindungan paten memberikan keadilan bagi pemilik TK dan pengguna TK. Asas kemanfaatan dalam hal ini yaitu proteksi herbal berbasis TK dapat memberikan manfaat bagi pemegang hak dan pengguna hak. Asas kesejahteraan dimaksudkan bahwa proteksi dilakukan untuk memberikan kesejateraan pada masyarakat. 3. Indonesia dapat meneladani Jepang dengan tingginya minat dan kesadaran masyarakat dan industri Jepang pada teknologi terutama teknologi dibidang obat-obatan. Jepang memiliki sistem aplikasi yang sudah sangat maju menggunakan online system yang sekiranya dapat ditiru oleh Indonesia dengan dukungan dana, teknologi, dan SDM. Indonesia juga sepatutnya melestarikan warisan leluhur yaitu TK dibidang obat-obatan dengan mewariskannya pada generasi berikutnya dan mencontoh sikap Cina yang sangat ‗memasyarakatkan‘ herbal dalam kehidupan sehari-hari. Indonesia juga secapatnya mengikuti langkah India untuk melindungi TK dengan melakukan dokumentasi TK yang ada di Indonesia. Perubahan UUP perlu untuk segera dilakukan agar dapat mencegah terjadinya biopiracy yang selama ini terjadi. Perubahan UUP merupakan langkah dari perubahan hukum dimana hukum yang ada perlu untuk



512



disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia demi terwujudnya keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Perubahan UUP tersebut yaitu terutama melakukan revisi pada Pasal 3 ayat (1) beserta penjelasannya UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten. Mengakomodir pasal mengenai benefit sharing dalam UUP. Pasal mengenai ketentuan benefit sharing seperti apa yang telah diamanatkan oleh Pasal 8 (j) CBD. Proteksi herbal berbasis TK dalam Hukum Paten dapat dilakukan dengan cara yaitu melindunginya dapat UU Paten atau dengan melakukan pengecualian dari invensi yang dapat dipatenkan (memasukan TK ke dalam prior art dengan menggunakan dokumentasi TK). Secara teknis proteksi



terhadap



herbal



berbasis



TK



yaitu



:



(1)



Inventarisasi/dokumentasi/data base herbal berbasis TK; (2) Melakukan merevisi UUP; (3) Herbal berbasis TK dapat dilindungi dengan perundang-undangan sistem sui generis atau mandiri di luar HKI; (4) Mekanisme Benefit Sharing yang tepat antar masyarakat lokal dengan pihak asing. B. Rekomendasi 1. Pemerintah dan DPR perlu melakukan harmonisasi terhadap peraturanperaturan di bidang herbal berbasis TK yang selanjutnya melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait dalam membuat kebijakan untuk memajukan dan mengembangkan produk herbal berbasis TK di Indonesia. 2. Pemerintah daerah yang memiliki TK membuat data base dan menginventarisasi mengenai TK khususnya mengenai herbal berbasis TK.



513



Selain itu Pemerintah Daerah melakukan inventarisasi dan dokumentasi tertulis herbal berbasis TK yang di legalkan dalam bentuk Peraturan Daerah. 3. Pendaftaran produk-produk herbal berbasis traditional knowledge dalam kerangka hukum paten oleh masyarakat Indonesia sendiri bukan orang asing. Masyarakat di Indonesia pada umumnya dan para pelaku usaha industri herbal pada khususnya, perlu memiliki kesiapan dalam mengedepankan



dan



mengembangkan



herbal



berbasis



traditional



knowledge. 4. Dibentuknya lembaga non pemerintah dibawah Ristek / LIPI yang bertugas untuk mengukur novelty sebagai syarat hak paten. 5. Merevisi Pasal 4 UU Paten Indonesia dengan menganut sistem novelty relative atau novelty lokal yang mampu melakukan proteksi TK di bidang herbal. Mengembangkan kebijakan dengan tetap menjaga kedaulatan negara yang bertujuan memberikan perlindungan hukum paten di Indonesia secara efektif dan efisien disertai dengan berbagai penyesuaian dengan kondisi ekonomi, social, dan budaya lokal yang tumbuh dan berkembang. 6. Melakukan revisi UU Paten yaitu Pasal 3 ayat 1 dan penjelasannya. Revisi UU Paten dilakukan untuk mencegah pihak asing melakukan biopiracy dan selain itu mengingat karakter yang unik dari TK (tidak hanya memiliki nilai ekonomis tetapi magis dan kultur) perlu untuk dilindungi dengan perundang-undangan sistem sui generis atau mandiri di luar HKI. Hal



514



tersebut dilakukan sebagai upaya untuk memberikan perlindungan secara lebih komprehensif. 7. Badan Pengembangan Ekonomi Kreatif dapat mengintegrasikan programprogram pengembangan ekonomi kreatif khususnya pada industri herbal berbasis TK serta membuka ruang kreatif, lingkungan, fasilitas yang memadai untuk mendorong pengembangan inovasi produk herbal berbasis TK demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat.



515



DAFTAR PUSTAKA



Buku Adolf, Huala, 2005, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada Ahmad, Kamri, 2008, Filsafat Hukum, Makassar : PT. Umitoha Ukhuwah Grafika Syahmin AK., Syahmin, 2011, Hukum Kontrak Internasional, Jakarta : Rajawali Press Ali, As‘ad Said, 2009, Negara Pancasila : Jalan Kemaslahatan Berbangsa, Jakarta : LP3ES Allaot, Anthony, 1980, The Limits of Law, London : Butterworths Ali, Ahmad, 2008, Menguak Tabir Hukum, Bogor : Ghalia Indonesia Alessandrini, Donatella, 2010, Developing Countries and The Multilateral Trade Regime, Oxford and Portland, Oregon : Hart Publishing Amiruddin, Zainal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada Anwar, Chairul, 1992, Hukum Paten dan Undang-undang Paten Indonesia, Jakarta : Djambatan Antons, Christop (Edt.), 2009, Traditional Knowledge, Traditional Cultural Expressions and Intellectual Property Law in The Asian – Pacipic Region, Nedherlands : Kluwer Law International Aperdoorn, L.J. van, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita Arief, Barda Nawawi, 2008, Kumpulan Hasil Seminar Hukum Nasional Ke I s/d VIII dan Konvensi Hukum Nasional 2008 Tentang UUD 1945 Sebagai Landasan Grand Design Sistem dan Politik HukumNasional, Semarang : PDIH UNDIP



516



Arikunto, Suharsimi, 1998, Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek), Jakarta : Rineka Cipta Arinanto, Satya dan Ninuk Triyanti (Ed.), 2009, Memahami Hukum (Dari Konstruksi Sampai Implementasi), Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada Atmadja, Hendra Tanu, 2004, Perlindungan Hak Cipta Musik atau Lagu, Jakarta : Hatta International Aristeus, Syprianus, 2007, Penelitian Hukum Tentang Peranan Hukum Investasi di Indonesia Dalam era Globalisasi, Jakarta : BPHN Astutty Mochtar, Dewi, 2001, Perjanjian Lisensi Alih Teknologi Dalam Pengembangan Teknologi Indonesia, Bandung : Alumni Ashshofa, Burhan, 2004, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rineka Cipta Asshiddiqie, Jimly, 2011, Perihal Undang-undang, Jakarta : PT. RadjaGrafindo Persada -----------------------, 2004, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia -----------------------, 2006, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, Jakarta : Konstitusi Press Astawa, I Gede Pantja dan Suprin Na‘a, 2009, Ilmu Negara & Teori Negara, Bandung ; Refika Aditama Azed, Abdul Bari, 2006, Kompilasi Konvensi Internasional HKI yang Diratifikasi Indonesia, Jakarta : Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia bekerjasama dengan Badan Penerbit FH UI Azizy, Qodri., dkk, 2006, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Yogyakarta Semarang : Pustaka Pelajar dan PDIH UNDIP Azhary, Muhammad Tahir, 2003, Negara Hukum (Studi Tentang Prinsipprinsipnya dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini), Jakarta : Kencana Audah, Husain, 2004, Hak Cipta & Karya Cipta Musik, Bogor : Pustaka Litera AntarNusa Aulia, M. Zulfa, 2006, Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual atas Pengetahuan Tradisional, Jakarta : FH UI



517



Badrulzaman, Mariam Darus, 1997, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Bandung : Penerbit Alumni Bainbridge, David I, 1999, Intellectual Property, London : Financial Times Bakry, Noor Ms., 1990, Orientasi Filsafat Pancasila, Yogyakarta : Liberty Baldwin, Virginia, 2004, Patent and Trademark Information (Uses and Perspectives),New York : The Haworth Information Press Bentham, Jeremy, diterjemahkan oleh Nurhadi, 2010, Teori Perundang-undangan (Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana), Bandung : Nuansa dan Nusamedia -----------------------, 2000, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, Kitchener : Bataoche Books Barutu, Christophorus, 2007, Ketentuan Antidumping, Subsidi, dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) Dalam GATT dan WTO, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti Bently, Lionel dan Brad Sherman, 2009, Intellectual Property Law (Third Edition), New York : Oxford university Press Inc. Berger, Peter L and Thomas Luckmann, diterjemhkan oleh Hasan Basari, 1990, Tafsir Sosial atas Kenyataan (Risalah Tentang Sosiologi Pengetahun), Jakarta : LP3ES Biklen, Sari Knopp and Ronnie Casella, 2007, A Practical Guide to the Qualitative Dissertation, New York and London : Teachers Collage, Columbia University Bisri, Ilham, 2011, Sistem Hukum Indonesia, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada Black, Donald, 1976, The Behavior of Law, USA : Academic Press Bossche, Peter van den & Daniar Natakusumah & Joseph Wira Koesnaidi, 2010, Pengantar Hukum WTO (World Trade Organization), Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Boaventura De Sousa, Santos, 1995, Toward A New Common Sense: Law, Science and Politics In Paradigmatic Transition, New York: Routledge BPHN, 2008, Tiga Dekade Prolegnas dan Peran BPHN, Jakarta : Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI



518



--------, 1993/1994, Penulisan Karya Ilmiah tentang Aspek-aspek Hukum dari Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) GATT, Jakarta : BPHN --------, 1993/1994, Laporan Tim Analisa dan Evaluasi Hukum Tentang Perlindungan dan Pengawasan Terhadap Pemakaian Obat Tradisional, Jakarta : BPHN --------, 1994/1995, Penelitian Hukum Tentang Penerapan Nilai-nilai Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis Dalam Pembentukan Perundang-undangan Nasional, Jakarta : BPHN --------, 1996/997, Perumusan Harmonisasi Hukum Tentang Metodologi Harmonisasi Hukum, Jakarta : BPHN --------, 1995/1996, Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya Dalam Rencana Umum Tata Ruang, Jakarta : BPHN --------, 2004, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Non Trade Issues Dalam Perjanjian Internasional di Bidang Perdagangan, Jakarta : BPHN Brannen, Julia, 2005, Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset Bruggink, JJH, 1993, Rechtsreflecties Grondbegrippen uit de rechtstheorie,Den Haaq : Kluwer Deventer Bruggink, JJH., Alih Bahasa : B. Arief Sidharta, 2011, Refleksi Tentang Hukum (Pengertian-pengertian Dasar Dalam Teori Hukum), Bandung : PT. Citra Aditya Bakti Budiardjo, Miriam, 1998, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT. Gramedia Utama Budiarto, M., 1991, Dasar-dasar Integrasi Ekonomi & Harmonisasi Hukum Masyarakat Eropa, Jakarta : CV. Akademika Presindo Budiyono, Tri, Transplantasi Hukum (Harmonisasi dan Potensi Benturan), Salatiga : Griya Media Campbell, Tom D., 1999, Legal Positivism, England : Ashgate Publishing Company Cappelletti, Mauro (Edt), 1981, Access to Justice and the Welfare State, European University Institute



519



Capra, Fritjop, diterjemahkan oleh : M. Thoyibi, 2007, Titik Balik Peradaban Sains, Masyarakat, dan Kebangkitan Kebudayaan, Bandung :Nuansa Cendekia Carvalho, Nuno Pires de, 2005, The TRIPs Regime of Paten Rights, The Netherlands : Kluwer Law International Chambliss, William J. And Robert B. Seidman, 1971, Law, Order,and Power, Philippines : Addison – Wesley Publishing Company Cruz, Peter de, diterjemahkan oleh Narulita Yusron, 2010, Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law dan Socialist Law, Bandung : Nusa Media Correa, Carlos M., 2002, Intellectual Property Rights, the WTO and Developing Countries (The TRIPs Agreement and Policy Options), Malaysia : TWN Correa,Carlos M and Abduloawi A. Yusuf (Edt), 2008, Intellectual Property and International Trade The TRIPs Agreement Second Edition, The Netherlands : Wolters Kluwer Law & Busines Dahana, Radhar Panca, dkk, 2009, Ekonomi – Politik Pancasila (Jejak Perlawanan Ekonomi – Politik Konstitusi Melawan Neoliberal), Jakarta : Koalisi Anti Utang (KAU) dan Nusantara Centre Darmoadji, Darji dan Sidharta, 2006, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama Damian, Eddy, et, al., 2002, Hak Kekayaan Intelektual – Suatu Pengantar, Bandung : Alumni Das, Bhagirath Lal, 2005, The WTO and the Multilateral Trading System : Past, Present, and FutureMalaysia : TWN Daulay, Zainul, 2011, Pengetahuan Tradisional (Konsep, Dasar, dan Praktiknya), Jakarta : RajaGrafindo Persada Denzin, Norman K., & Yvonna S. Lincoln, diterjemahkan oleh : Dariyatno,dkk., 2009, Handbook of Qualitative Research, Yogyakarta : Pustaka Pelajar ---------------------------------------------------------, Handbook of Qualitative Research, Thousand Oaks – London – New Delhi : Sage Publications Departemen Luar Negeri, 2002,Petunjuk Pelaksanaan Proses dan Prosedur Pembuatan Perjanjian Internasional, Jakarta : Departemen Luar Negeri Dewan Pertahanan Keamanan Nasional / Departemen Dalam Negeri, 1981, Wawasan Ekonomi Pancasila, Depok : UI Press



520



Dicey, A.V., diterjemahkan oleh : E.C.S. Wade, 2007, Introductioan to the Study of the Law of the Constitution, Bandung : Nusamedia Dimyati, Khudzalifah, 2004, Teorisasi Hukum (Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945 – 1990, Surakarta : Muhammadiyah University Press Dirdjosisworo, Soedjono, 2000, Hukum Perusahaan Mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual (Hak Cipta,Hak Paten, dan Hak Merek), Bandung : Penerbit Mandar Maju Djumhana, Muhammad, 2006, Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, Bandung : Citra Aditya Bakti -------------------------------, 1995, Hukum Dalam Perkembangan Bioteknologi, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti Djumhana, Muhamad dan Djubaedillah, 2003, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti Djuharie, O. Setiawan, 2001, Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi, Bandung : Yrama Widya DM,



Abhisam, dkk, 2011, Membunuh Indonesia Penghancuran Kretek), Jakarta : Penerbit Katakata



(Konspirasi



Global



Drahos, Peter, 2005, A Philosophy of Intellectual Property, England : Ashgate Dutfield, Graham, 2005, Intellectual Property Rights, Trade and Biodiversity (Seed and Plant Varieties) London : Earthscan Dworkin, R.M., 2007, Filsafat Hukum (Sebuah Pengantar), Yogyakarta : Merkid Press Dwiyatmi, Sri Harini, 2006, Pengantar Hukum Indonesia, Bogor : Ghalia Indonesia Eissman, Robert, 2004, WTO/TRIPs Agreement and Access to Medicines : Appropriate Policy Responses, Malaysia : TWN Egziabher, Berhan Gebre, 2002, The Inappropriateness of The System for Life Forms and Processes, Malaysia : TWN Emmy Mustafa, Marni, 2007,Prinsip-Prinsip Beracara Dalam Pencegahan Hukum Paten Di Indonesia Dikaitkan Dengan TRIPS – WTO, Bandung : Alumni



521



Ence, Iriyanto A.Baso, 2008, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, Bandung : PT. Alumni Erbisch, F.H., and K.M. Maredia, 2004, Intellectual Property Rights in Agricultural Biotechnology (second edition), USA : CABI Publishing Erwin, Muhamad, 2012, Filsafat Hukum (Refleksi Kritis Terhadap Hukum), Jakarta : Rajawali Press Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Firmansyah, Muhamad, 2008, Tata Cara Mengurus HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual), Jakarta : Visimedia Fuady, Munir, 2005, Filsafat dan Teori HukumPostmodern, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti ------------------, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Bandung :PT. Refika Aditama ------------------, 2010, Dinamika Teori Hukum, Bogor : Ghalia Indonesia Fuller, Lon. L., 1969, The Morality of Law, New Haven and London : Yale University Fukuyama, Francis, 2001, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Yogyakarta : Penerbit qalam Friedman, Lawrence M., diterjemahkan oleh : M. Khozim, 2009, Sistem Hukum, Bandung : Nusa Media Friedmann, W., 1953, Legal Theory, London : Stevens & Sons Limited Gautama, Sudargo, 1992, Masalah-masalah Perdagangan, Perjanjian, Hukum Perdata Internasional, dan Hak Milik Intelektual, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti -----------------------, 1995, Segi-segi Hukum Hak Milik Intelektual, Bandung : PT. Eresco -----------------------, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung : Alumni Gautama, Sudarga dan Rizawanto Winata, 1998, Pembaharuan Undang-undang Paten 1997, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti



522



Gema, Ari Juliano, 2006, Membangun Profesi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual (Langkah Menuju Profesionalisme dan Kemandirian Profesi), Jakarta : PT. Justika Siar Publika Goesniadhie, Kusnu, 2006, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundangundangan (Lex Spesialis Suatu Masalah), Surabaya : JPBooks --------------------------,2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata Pemerintahan yang baik, (Malang : Penerbit A3 dan Nasa Media Gijssels & Mark van Hoecke, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, 2000, Apakah Teori Hukum Itu? Bandung : FH UNPAR Greer, Jed dan Kenny Bruno, diterjemahkan oleh : Soediro, 1999, Kamuflase Hijau : Membedah Ideologi Lingkungan Perusahaan-perusahaan Transnasional, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Gutterman, Alan S. And Robert Brown, 1997, Intellectual Property Laws of East Asia, Hongkong – Singapore : Sweet & Maxweel Asia Habermas, Jurgen, diterjemahkan oleh : Yudi Santoso, 2007, Ruang Publik (Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis), Yogyakarta : Kreasi Wacana ----------------------,Edi Warsidi (Penyunting), 2003, Emansipasi Intelektual Menurut Jurgen Habermas, Bandung : Penerbit Katarsis Hatta, 2006, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO (Aspekaspek Hukum dan Non Hukum), Bandung : PT. Refika Aditama Hartiko, Hari, dkk., 1995, Bioteknologi & Keselamatan Hayati (mengantisipasi Dampak Bioteknologi Modern Terhadap Kehidupan Manusia dan Etika, Jakarta : Kophalindo Hartono, Sri Redjeki, dkk., 2007, Permasalahan Hukum Investasi di Era Global, Lampung : UNLAM Hartono, Sunarjati, 1976, Apakah Rule of Law Itu ?, Bandung : Penerbit Alumni -----------------------, 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Bandung : Penerbit Alumni ----------------------, 2009, Politik Hukum Menuju Pembangunan Ekonomi, Jakarta : BPHN ---------------------, 1971, Dari Hukum Antar-Golongan ke Hukum Antar Adat, Bandung : Alumni



523



Haryanto, Ignatius, 2002, Penghisapan Rezim HAKI (Tinjauan Ekonomi Politik Terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual), Yogyakarta : Kreasi Wacana Yogyakarta Hardiman, F. Budi, 2011, Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern (Dari Machiavelli sampai Nietzsche), Jakarta : Erlangga Hart, H.L.A., diterjemahkan oleh M.Khozim, 2010, Konsep Hukum, Bandung : Nusa Media -----------------, 1972, The Concept of Law, London : Oxford University Press Hanim, Lutfiyah & Hira Jhamtani, 2010, Membuka Akses pada Obat Melalui Pelaksanaan Paten Oleh Pemrintah Indonesia, Jakarta : YLKI Hegel, G.W.F., diterjemahkan oleh Cuk Ananta Wijaya, 2002, Filsafat Sejarah, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Hendrojono, 2005, Sosiologi Hukum (Pengaruh Perubahan Masyarakat dan Hukum), Surabaya : Srikandi Heath, Cristopher and Anselm Kamperman (eds.), 2005, Industrial Property in The Bio-Medical Age (Challenges for Asia), The Netherlands : Kluwer Law International Hilman, Herlianti, dan Ahdiar Romadoni, 2001, Pengelolaan dan Perlindungan Aset Kekayaan Intelektual, Jakarta : The British Council Hirst, Paul & Grahame Thompson, diterjemahkan oleh P. Soemitro, 2001, Globalisasi Adalah Mitos, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Himawan, Charles, 2006, Hukum Sebagai Panglima, Jakarta : Penerbit Buku Kompas Huijbers, Theo, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta :Kanisius ------------------, 1991, Filsafat Hukum, Yogyakarta : Kanisius Hunt, Alan and Gary Wickham, 1994, Foucault and Law : Towards a Sociology of Law as Govermnance, Colorado : Pluto Press Hochberg, Elizabeth D., and Fabian M. Koenigbauer, 2003, E – Z Review for Patents, New York : Law Review Publishing Hozumi, Tomotsu, 2006, Asian Copyright Handbook, Jakarta : IKAPI



524



Ibrahim, Anis, 2007, HukumPositif Indonesia (Sketsa Asas), Semarang : Pustaka Magister Semarang Ibrahim, Johnny, 2006, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang : Banyumedia Publishing Ilmar, Aminuddin, 2012, Hak Menguasai Negara Dalam Pivatisasi BUMN, Jakarta : Kencana Prenada Media Group Irsan, Abdul, 2007, Indonesia di Tengah Pusaran Globalisasi Jakarta : Grafindo Khazanah Ilmu Indriyanti, Alexandra Indriyanti, 2008, Mafia Kesehatan, Yogyakarta : Pinus Indrati, Maria Farida, 2007,Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius ----------------------------, 2007,Ilmu Perundang-undangan: Proses dan Teknik Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius Irawan, Candra, 2011, Politik Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia (Kritik Terhadap WTO / TRIPs Agreement dan Upaya Membangun Hukum Kekayaan Intelektual Demi Kepentingan Nasional, Bandung : CV.Mandar Maju Jakti, B.M. Kuntjoro, 1997/1998, Pengkajian Hukum Tentang Masalah Penyelesaian Sengketa Dagang Dalam WTO, Jakarta : BPHN Jhamtani, Hira, 2005, WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga, Yogyakarta : Insist Press Kansil, C.S.T., 1990, Hak Milik Intelektual, Jakarta : Bumi Aksara Kartadjumena, H.S., 1997, GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round, Jakarta : UIPress Kartodirdjo, Sartono, 1986, Ungkapan-ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur (Penjelasan Berdasarkan Kesadaran Sejarah), Jakarta : PT. Gramedia Kartohadiprodjo, Soediman, 2010, Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonsia, Bandung : Gatra Pustaka Karyono, Hadi dan Retno Mawarini, 2009, Hukum Tata Negara Indonesia dan Perkembangannya, Semarang : FH UNTAG Semarang Kelsen, Hans, diterjemahkan oleh : Raisul Muttaqien, 2010, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Bandung : Nusa Media



525



------------------, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, 2006, Teori HukumMurni (Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif), Bandung : Penerbit Nusa Media dan Nuansa ------------------, diterjemahkan oleh Siwi Purwandari, 2010, Pengantar Teori Hukum, Bandung : Nusa Media -----------------, diterjemahkan oleh : Somardi, 1995, Teori HukumMurni (Dasardasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Empirik – Deskriptif), Rimdi Press Kementerian Kesehatan RI, 2011, Formularium Obat Herbal Asli Indonesia, Jakarta : Kementerian Kesehatan ------------------------------------, 2011, Pedoman Pelayanan Kesehatan Tradisional Ramuan, Jakarta : Kemenkes -----------------------------------, 2011, Profil Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Jakarta : Kemenkes KHN, 2008, gagasan Amandemen UUD 1945 (Suatu Rekomendasi), Jakarta : Komisi Hukum Nasional RI Klinik HKI FH UNDIP, 2004, Panduan Pembuatan Dokumen Spesifikasi Paten, Semarang : UNDIP Klodt, Henning, 2004, Jalan Menuju Tatanan Persaingan Global, Jakarta : Institut Friedrich-Naumann-Shiftung Koeswadji, Hermien Hadiati, 2002, Hukum untuk Perumahsakitan, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti Krisnawati, Adriana dan Gazalba Saleh, 2004, Perlindungan Hukum Varietas Baru Tanaman Dalam Perspektif Hak Paten dan Hak Pemulia, ,Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada Kuhn, Thomas S., diterjemahkan oleh Tjun Surjaman, 2002, Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Offset Mochtar kusumaatmadja, Mochtar, 1982, Pengantar Hukum Internasional, Buku I : Bagian Umum, Bandung : PT. Bina Cipta



------------------------------------------, 2001, Pengantar Hukum Internasional, Bandung : Bina Cipta Lauer, Robert H., 2003, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Jakarta : Rineka Cipta



526



Lindsey, Tim, dkk, 2006, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung : Alumni Lebacqz, Karen, diterjemahkan oleh : Yudi Santoso, 1986, Teori-teori Keadilan, Bandung : Nusa Media Lev, Dainel S., 1990, Hukum dan Politik di Indonesia (Kesinambungan dan Perubahan), Jakarta : LP3ES Lewinski, Silke Von, 2008, Indigenous Heritage and Intellectual Property (Genetic Resources, Traditional Knowledge and Floklore), New York : Kluwer Law International , 2008, Indigenous Heritage and Intellectual Property (Genetic Resources, Traditional Knowledge and Floklore), 2 nd Edition, Netherlands : Kluwer Law International Legat, Allice, ed. 1991, Report of the Traditional Knowledge Working Group. Yellowknife: North West Territories, Culture and Communication Lembaga Pengkajian Hukum Internasional FH UI bekerjasama dengan Direktorat Jenderal HKI Departemen Hukum dan HAM, 2005, Kepentingan Negara Berkembang Terhadap Hak Atas Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetika dan Pengetahuan Tradisional, Depok : Lembaga Pengkajian Hukum Internasional FH UI Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila, 1984, Jakarta : Inti Idayu Press Lembong, Eddie, 1999, Geliat Industri Farmasi di Indonesia Menuju Era Globalisasi, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan Lubis, Efridani, 2009, Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik (Berdasarkan Penerapan Konsep Soevereign Right dan Hak Kekayaan Intelektual), Bandung : Penerbit Alumni Mahendra, A.A. Oka, 1991, Undang-undang Paten (Perlindungan Hukum bagi Penemu dan Sarana Menggairahkan Invensi), Jakarta : Pustaka Sinar Harapan Marzuki, Peter Mahmud, 2007, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Maulana, Insan Budi, 1996, Lisensi Paten, Bandung : Penerbit PT.Citra Aditya Bakti ---------------------------, 2000,Pelangi Haki dan Anti Monopoli. Yogyakarta : Penerbit Pusat Studi Hukum (PSH) FH UII



527



--------------------------, 2009, Politik dan Manajemen Hak Kekayaan Intelektual, Bandung : Alumni Mahadi, 1983, Hukum Benda dalam Sistem Hukum Perdata Nasional, Jakarta : Binacipta Mahendra, Yusril Ihza, 2002, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia, Jakarta : Diterbitkan oleh Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI bersama Sekretariat Jenderal Departemen Kehakiman dan Hak asasi Manusia Margono, Suyud, 2010, Aspek Hukum Komersialisasi Aset Intelektual, Bandung : Nuansa Aulia ---------------------, 2011, HakMilik Industri (Pengaturan dan Praktik di Indonesia), Bogor : Ghalia Indonesia Mayana, Ranti Fauza, 2004, Perlindungan Desain Industri di Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas, Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia Mardalis, 2007, Metode Penelitian (Suatu Pendekatan Proposal), Jakarta : PT. Bumi Aksara Mccarthy, Thomas, Nurhadi (Penterjemah), 2006, Teori Kritis Jurgen Habermas, Yogyakarta : Kreasi Wacana MD, Moh. Mahfud, 1999, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Yogyakarta : Gama Media -------------------------, 1993, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Yogyakarta : Liberti --------------------------, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta : LP3ES Menski, Warner, 2006, Comparative Law in A Global Context (Tehe Legal Systems of Asia and Africa), Cambridge University Press ---------------------, penerjemah : M. Khosim, 2012, Perbandingan Hukum Dalam Konteks Global Sistem Eropa, Asia dan Afrika, Bandung : Penerbit Nusamedia Mertokusumo, Sudikno, 2003, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta : Liberty Meuwissen, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, 2007, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Bandung : Refika Aditama



528



Mgbeoji, Ikechi, 2006, Global Biopiracy, Canada : UBC Press Miles, Matthew B., & A. Michael Hubberman, diterjemahkan oleh : Tjetjep Rohendi Rohidi, 1992, Analisisi Data Kualitatif, Jakarta : UI Press Miru, Ahmadi, 2007, Hukum Merek (Cara Mudah Mempelajari Undang-undang Merek), Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada Mikkelsen, Britha, 1999, Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan, Sebuah Bukum Pegangan bagi Para Praktisi Lapangan, Alih bahasa Matheos Nalle, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia



Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti -------------------------------, 2007, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti Bachsan Mustofa, Bachsan, 1990, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Bandung : Citra Aditya Bakti Mochtar, Dewi Astutty, 2001, Perjanjian Lisensi Alih Teknologi Dalam Pengembangan Teknologi Indonesia, Bandung : Alumni Moleong, Lexy J., 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya Moore, Charles A. (Edt), 1967, The Japanese Mind (Essential of Japanase Philosophy and Culture), Hawaii : The University Press of Hawaii Mustafa, Marni Emmy, 2007, Prinsip-prinsip Beracara Dalam Penegakan Hukum Paten di Indonesia dikaitkan Dengan TRIPs – WTO, Bandung : Alumni Naisbitt, John, Alih Bahasa : Budijanto, 1994, Global Paradox (Semakin Besarnya Ekonomi Dunia, Semakin Kuat Perusahaan Kecil), Jakarta : Bina Rupa Aksara Natabaya, HAS, 2008, Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Jakarta : Konstitusi Press dan Tata Nusa --------------------, 1995/1996, Penelitian Hukum Tentang Aspek-aspek Hukum Anti Dumping dan Implikasinya Bagi Indonesia, Jakarta : BPHN Nazir, Moh., 1988, Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia Neumann, Franz L., 1986, The Rule of Law : Political Theory and The Legal System in Modern Society, USA : Berg Publishers Ltd.



529



Nonet, Philippe & Philip Selznick, diterjemahkan oleh Rafael Edy Bosco, 2003, Law & Society in Transition Toward Responsive Law, Jakarta ; HuMa Nonet, Philippe & Philip Selznick, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, 2008, Hukum Responsif, Bandung : Nusa Media Notohamidjojo, O., 1970, Makna Negara Hukum, Jakarta : Badan Penerbit Kristen Notonagoro, tanpa tahun, Pancasila Dasar Falsafah Negara. Cetakan keempat. Jakarta: Pantjuran Tudjuh Nurfitri, Dian dan Rani Nuradi, 2013, Pengantar Hukum Paten Indonesia, Bandung : Alumni Nurmalina, Rina, 2012, Herbal Legendaris Untuk Kesehatan Anda, Jakarta : PT. Elex Media Komputindo dan Bandung Valley Oesman, Oetojo dan Alfian (Peny.), 1996, Pancasila Sebagai Ideologi (dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara), Jakarta : BP7 Pusat Panglaykim, J., 1983, Perusahaan Multinasional Dalam Bisnis Internasional, Jakarta : Yayasan Proklamasi Pekuwali, Umbu L., 2011, Teori dan Metode Perundang-undangan, Semarang : Badan Penerbit UNDIP Praja, Juhaya S, 2011, Teori Hukum dan Aplikasinya, Bandung : CV. Pustaka Setia Priapantja, Cita Citrawinda, 2003, Hak Kekayaan Intelektual (Tantangan Masa Depan), Depok : Badan Penerbit FH UI Phillips, Jeremy, 1986, Introduction to Intellectual Property Law, London : Butterworths Purba, Achmad Zen Umar, 2005, Hak Kekayaan Intelektual PascaTRIPs, Bandung : Alumni ---------------------------------, 2011, Perjanjian TRIPs dan Beberapa Isu Strategis, Jakarta – Bandung : Badan Penerbit FH UI dan PT. Alumni Purba, Afrillyanna, dkk, 2005, TRIPs – WTO & Hukum HKI Indonesia (Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia), Jakarta : Rineka Cipta



530



-----------------------, 2012, Pemberdayaan Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional Sebagai Sarana Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Bandung : Alumni Purwaningsih, Endang, 2005, Perkembangan Hukum Intellectual Property Rights, Kajian Hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Komparatif Hukum Paten, Bogor : Ghalia Indonesia ------------------------------, 2010, Hukum Bisnis, Bogor : Ghalia Indonesia ------------------------------, 2012, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan Lisensi, Bandung : Mandar Maju Purbacaraka, Purwadi dan Soerjono Soekanto, 1979, Perihal Kaedah Hukum, Bandung : Alumni Puruhito,dkk., (Ed.), 2007, Jati Diri Bangsa Dalam Ancaman Globalisasi, Surabaya : Airlangga University Press Putro, Widodo Dwi, 2011, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum, Yogyakarta : Genta Publishing Candra Perbawati, Candra, 2004, Globalisasi Ekonomi Dan Perspektif Keadilan Bagi Negara-Negara Berkembang,Artikel dalam Jurnal Justisia, Vol 12 No. 1 Juni 2004, Fakultas Hukum Lampung. Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah, 2009, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum (Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman), Yogyakarta : Pustaka Pelajar ----------------------------------------------------------, 2013, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum (Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat), Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada Priyono, FX Joko, 2010, Hukum Perdagangan Jasa (GATS/WTO) Filosofi, Teori dan Implikasi bagi Profesi Hukum di Indonesia, Semarang : Universitas Diponegoro Press Semarang Prodjodikoro, R.Wirjono, 2000, Perbuatan Melawan Hukum Dipandang Dari Sudut Hukum Perdata, Bandung : CV.Mandar Maju Pound, Roscoe, diterjemahkan oleh Mohamad Radjab, 1982, Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta : Bhatara Karya Aksara Rachels, James and Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy, Singapura : McGraw-Hill



531



Rahardjo, Satjipto, 1985, Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antardisiplin Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung : CV Sinar Baru -----------------------, 2006, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar



------------------------, 2000, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti -----------------------, 2004, Ilmu Hukum (Pencarian, Pembebasan, danPencerahan), Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta -----------------------, 2006, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, Jakarta : UKI Press ------------------------, 2006, Membedah Hukum Progresif, Jakarta : Penerbit Buku Kompas ------------------------, 2007, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum), Jakarta : Penerbit Buku Kompas -----------------------, 2009, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta : PT.Kompas Media Nusantara ----------------------, 2009, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta : GentaPublishing ---------------------, 2009, Lapisan-lapisan Dalam Studi Hukum, Malang : Bayumedia Publishing --------------------, 2009, Hukum Progresif (Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta : Genta Publishing -------------------, 2009, Hukum dan Perubahan Sosial (Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-pengalaman di Indonesia), Yogyakarta : Genta Publishing -------------------, 2009, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta : Genta Publishing ---------------------, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta : Penerbit Buku Kompas Ramli, Ahmad M., 2001, Perlindungan Rahasia Dagang Dalam UU No. 30 Tahun 2000 dan Perbandingannya Dengan Beberapa Negara, Bandung : Mandar Maju Rasjidi, lili dan I.B.Wayan Putra, 2003,Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung : Mandar Maju



532



Rawls, John, diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, 2006, Teori Keadilan, (Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara), Yogyakarta : Pustaka Pelajar Reksodiputro, Mardjono, 2009, Menyelaraskan Pembaharuan Hukum, Jakarta : KHN RI Ridwan, Juniarso dan Achmad Sodik, 2010, Tokoh-tokoh Ahli Pikir Negara & Hukum, Bandung : Nuansa Riggs, Fred W, diterjemahkan oleh : Yasogama, 1996, Administrasi Negaranegara Berkembang (Teori Masyarakat Prismatik), Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada Riswandi, Budi Agus dan M. Syamsudin, 2004, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada Ritzer, George, Alih Bahasa M. Lett, 2006, Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi, Yogyakarta : Universitas Atma Jaya -------------------, Penyadur : Alimandan, 1992, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta : Rajawali Pers -------------------, Penerjemah : Solichin dan Didik P. Yuwono, 2002, Ketika Kapitalisme Berjingkrang (Telaah Kritis Terhadap Gelombang McDonaldisasi), Yogyakarta : Pustaka Pelajar Roberts, Gwilym, 2007, EIPR Practice Series (A Practical Guide to Drafting Patents), London : Sweet & Maxwell Sakri, Faisal M., 1001 Khasiat & Manfaat Jamu Godog Untuk Segala Macam Penyakit, Yogyakarta : Diandra Pustaka Yogyakarta Samekto, FX. Adji, 2005, Studi Hukum Kritis (Kritik Terhadap Hukum Modern), Bandung : PT. Citra Aditya Bakti Salman, Otje dan Anton F. Susanto, 2004, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Bandung : PT. Alumni ------------------------------------------------------, 2005, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), Bandung : PT. Refika Aditama Santoso, Budi, 2007, Pengantar HKI (Hak Kekayaan Intelektual), Semarang : Penerbit Pustaka Magister -------------------, 2005, Butir-butir Berserakan tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual (Desain Industri), Bandung : Mandar Maju



533



------------------, 2006, Dekonstruksi Hak Cipta, Semarang : Klinik Hak Kekayaan Intelektual FH UNDIP Salim, 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum,Jakarta: Rajawali Press Salim, Agus, 2006, Bangunan Teori, Yogyakarta : Tiara Wacana Salter, Michael & Julie Mason, 2007, Writing Law Dissertations (An Introduction and Guide to the Conduct of Legal Research), England : Pearson Education limited Saidin, OK, 2006, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), Jakarta :PT. RajaGrafindo Persada Sardjono, Agus, 2006, Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional, Bandung : PT. Alumni ---------------------, 2009, Membumikan HKI di Indonesia, Bandung : Nuansa Aulia Sari, Elsi Kartika dan Advendi Simangunsong, 2005, Hukum Dalam Ekonomi, Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia Scxhmid, J.J. von., diterjemahkan oleh : R. Wiratno dan Jamaluddin, 1954, Ahliahli Pemikir Besar Tentang Negara dan Hukum (dari Plato sampai Kant), Jakarta : Pt. Pembangunan Schutter, Olivier De and Kaitlin Y Cordes (Edt.), 2011, Accounting for Hunger (The Right to Food in The Era of Globalization), US and Canada : Hart Publishing Sedyawati, Edi, 2003, Warisan Budaya Tak Benda ; Masalahnya Kini di Indonesia, Depok : Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia Sell, Susan K., 2003, Private Power, Public Law, United Kingdom : Cambridge University Press Sen, Amartya, 2009, The Idea of Justice, USA : The Belknap Press Seidman, Ann, dkk., diterjemahkan oleh : Johannes Usfunan, dkk., 2002, Penyusunan Rancangan Undang-undang Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis : Sebuah Panduan Untuk Pembuat Rancangan Undangundang, USA : ELIPS II Sherwood, Robert M., 1990, Intellectual Property and Economic Development : Westview Special Studies in Science Technology and Public Policy, (San Fransisco : Westview Press Inc.



534



Shiva, Vandana, 2001, Protect or Plunder ? (Understanding Intellectual Property Rights), India : Pinguin Books India ---------------------, diterjemahkan oleh : Sri Nuryati, 1994, Keanekaragaman Hayati (Dari Bio-Imperialisme ke Bio-Demokrasi), Jakarta : PT. Gramedia --------------------, diterjemahkan oleh : Wahyuni Rizkiana Kamah, 1994, Bioteknologi & Lingkungan Dalam Perspektif Hubungan Utara – Selatan, Jakarta : PT. Gramedia ---------------------, 2012, The Plunder of Nature and Knowledge Bio Piracy, New Delhi : Natraj Publishers Sibuea, Hotma P., 2010, Asas Negara Hukum (Peraturan Kebijakan, Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik), Jakarta : Erlangga Siregar, Bismar, 1983, Berbagai Segi Hukum dan Perkembangannya Dalam Masyarakat, Bandung : Alumni Siregar, Raja P (Ed.)., 2006, Tesandung Benih di Patenkan, Jakarta : WALHI Simanjuntak, Yoan Nursari, 2006, Hak Desain Industri (Sebuah Realitas Hukum dan Sosial), Surabaya ; Srikandi Simatupang, T.A.M., 1979, The Executive‘s Guide to Business & The Law, Singapore : Pitman Publishing Asia Pacific



Sidharta, B.Arief, 2010, Ilmu Hukum Indonesia, Bandung : FH UNPAR ----------------------, 2009, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung : Mandar Maju Sjahputra, Imam, 2007, Hak Atas Kekayaan Intelektual (Suatu Pengantar), Jakarta : Harvindo ----------------------, 2009, Menggali Keadilan Hukum, Bandung : Alumni Soemitro, Ronny Hanitijo, 1988, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta : Ghalis Indonesia Smith, Carel, diterjemahkan oleh B.Arief Sidharta, 2010, Karakter Normatif Ilmu Hukum : Hukum Sebagai Penilaian, Bandung : FH UNPAR Soejono dan Abdurrahman, 2003, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rineka Cipta Soekanto, Soerjono, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press



535



-------------------------, 1983, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Jakarta :UI Press -------------------------, 1986, Pengantar Penenlitian Hukum, Jakarta : UI-Press ------------------------, 1991, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti -------------------------, 2007, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada Soekanto, Soerjono, & Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan Kedelapan, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada Soemitro, Ronny Hanitijo, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Jakarta :Ghalia Indonesia Soenandar, Taryana. 1996, Perlindungan Hak Milik Intelektual di Negara-negara Asean. Jakarta : Sinar Grafika Soepomo, 1997, Sistem Hukum di Indonesia (Sebelum Perang Dunia II), Jakarta : PT.Pradnya Paramita Soetikno, 2004, Filsafat Hukum (Bagian I), Jakarta : Pradnya Paramita Soros, George, diterjemahkan oleh Sri Koesdiyantinah, 2007, Open Society : Reforming Global Capitatalism, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Strauss, Anselm & Juliet Corbin, 2003, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Sudiardja A, dkk., 2006, Karya Lengkap Driyarkara – Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama



Sudarsono, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya Sugianto, FX., 2007, Anatomi Ekonomi Politik Indonesia, Semarang : UNDIP Suherman, Ade Maman, 2002, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Jakarta : Ghalia Indonesia Sundari, E. Dan M.G. Endang Sumiarni, 2010, Hukum yang ―Netral‖ bagi Masyarakat Plural (Studi Pada Situasi di Indonesia), Bandung : Karya Putra Darwanti Susanto, Anton F., 2010, Ilmu Hukum non Sistematik (Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia), Yogyakarta : Genta Publishing



536



Susilowati, Etty, 2007, Kontrak Alih Teknologi Pada Industri Manufaktur, Yogyakarta : Genta Press Susilo, P., 2002, Prinsip-prinsip Praktis Perlindungan Distributor Dalam Praktek Hukum Bisnis dan Kredit di Indonesia, Jakarta : Media Mart Suseno, Franz Magnis, 1988, Kuasa dan Moral, Jakarta : PT.Gramedia ---------------------------, 1991, Etika Politik (Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern), Jakarta : Pt. Gramedia --------------------------, 2006, Berebut Jiwa Bangsa, Jakarta : Penerbit Buku Kompas Sutedi, Adrian, 2009, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Jakarta : Sinar Grafika Suteki, 2007, Hukum dan Alih Teknologi, Semarang : Pustaka Magister Semarang Subroto, Muhammad Ahkam & Suprapedi, 2008, Pengenalan HKI (Hak Kekayaan Intelektual), Jakarta : PT Indeks Sudaryat, dkk., 2010, Hak Kekayaan Intelektual (Memahami Prinsip Dasar, Cakupan, dan Undang-undang yang Berlaku), Bandung : Oase Media Sudarmanto, 2012, KI & HKI Serta Implementasinya Bagi Indonesia, Jakarta : Kompas Garmedia Supramono, Gatot, 2008, Menyelesaikan Sengketa Merek Menurut Hukum Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta Sutrino, Endang Sutrino, 2007, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Yogyakarta : Genta Press Suyanto, Bagong dan Sutinah, 2005, Metode Penelitian Sosial (Berbagai Alternatif Pendekatan), Jakarta :Prenada Media Syarifin, Pipin dan Dedah Jubaedah, 2004, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, Bandung : Pustaka Bani Quraisy Syamsuddin, Aziz, 2011, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-undang, Jakarta : Sinar Grafika Syaukani, Imam dan A. Ahsin Thohari, 2004, Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada Syam, Abdul M. Noor, 2000, Penjabaran Filsafat Pancasila dalam Filsafat Hukum (Sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), Malang : Laboratorium Pancasila IKIP Malang



537



Tabb,William K., diterjemahkan oleh Uzair Fauzan,dkk., 2006, Tabir Politik Globalisasi, Yogyakarta : Lafadl Pustaka Tanya, Bernard L.,dkk., 2006, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Surabaya : CV.Kita Third World Network, 2003, Manual on Good Practices in Public-HealthSensitive Policy Mesures and Patent Laws, Malaysia : TWN Trubus, 2010, Herbal Indonesia Berkhasiat (Bukti Ilmiah& Cara Racik), Bogor : PT. Trubus Swadaya Tunggal, Hadi Setia, 2011, Pokok-pokok Hak Kekayaan Intelektual (HKI/HaKI), Jakarta : Harvarindo Teubner, Gunther, 1986, Dilemmas of Law in The Welfare State, Berlin - New York : Walter de Gruyter & Cxo. Unger, Roberto M., diterjemahkan oleh Dariyatno dan Derta Sri Widowatie, 2008, Teori Hukum Kritis (Kajian Tentang Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern), Bandung : Nusa Media Usman, Rachmadi, 2003, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual (Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia), Bandung : PT. Alumni ------------------------, 2003, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, Bandung : PT. Alumni -----------------------, 2003, Perkembangan Hukum Perdata, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan Vaver, David, 1997, Intellectual Property Law (Copyright, Patents, Trademarks), Canada : Irwin Law Vaver, David and Lionel Bently (Edt), 2004, Intellectual Property in The New Millenium (Essays in Honour of William R. Cornish), USA : CambridgeUniversity Press Wacks, Raymond, 2006, Philosophy of Law (A Very Short Introduction), USA : Oxford University Press Wahyono, Padmo, 1983, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia -----------------------, 1986, Negara Republik Indonesia, Jakarta : Rajawali Press Wairo, S., 1999, Pelik-pelik Berperkara (Setetes Air Dalam Samudera Penegakan Hukum), Jakarta : Media Suara Bangsa



538



Waluyo, Bambang, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta : Sinar Grafika Warassih, Esmi, 2005, Pranata Hukum (Sebuah Telaah Sosiologis), Semarang : PT. Suryandaru Utama Ward, Ian, 2004, Introduction to Critical Legal Theory, Great Britain : Routledge Cavendish Wasito, Hendri, 2011, Obat Tradisional Kekayaan Indonesia, Yogyakarta : Graha Ilmu Wattimena, Reza A.A., 2007, Melampaui Negara Hukum Klasik (LockeRousseau-Habermas), Yogyakarta :Kanisius Wellman, Carl, 1985, A Theory of Rights (Persons Under Laws, Institutions, and Morals), USA : Rowman & Allanheld Publishers Widyamartaya, A., dan JD. Bowo Santosa, 2004, Enclosures of the Mind (Kapling-kapling Daya Cipta Manusia), Yogyakarta : Cinderalas Pustaka Rakyat Cerdas Widayanti, Hesty dan Ika N. Krishnayanti (Peny.), 2003, Bioteknologi (Imperialisme Modal & Kejahatan Globalisasi), Yogyakarta : Insist Press Wilardjo, Liek, 1990, Realita dan Desiderata, Yogyakarta : Duta Wacana University Press Wignjosoebroto, Soetandyo, 2007, Disertasi (Sebuah Pedoman Ringkas Tentang Tatacara Penulisannya), Surabaya : Laboratorium Sosiologi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNAIR -----------------------------------, 2002, Hukum (Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya), Jakarta : ELSAM dan HUMA ---------------------------------, 1994, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional, Jakarta : PT. RahaGrafindo Persada Widianarko, Budi.,dkk (Ed.), 2004, Menelusuri Jejak Capra : Menemukan Integrasi Sains, Filsafat, Agama, Yogyakarta : Knisius Wijayakusuma, M.Hembing, 2000, Ensiklopedi Milinium : Tumbuhan Berkhasiat Obat Indonesia Jilid1, Jakarta : Prestasi Wijatno, Seriandan Ariawan Gunadi, 2014, Perdagangan Bebas Dalam Perspektif Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta : Grasindo



539



Wiranata, I Gede AB (Edt.), 2012, Hukum Dalam Berbagai Dimensi (Bunga Rampai Tulisan Bidang Hukum), Lampung : Universitas Lampung Wolf, Martin, Samsudin Berlian (Penterjemah), 2007, Globalisasi Jalan Menuju Kesejahteraan, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Yin, Robert K., diterjemahkan oleh : M. Djauzi Mudzakir, 1997, Studi Kasus (Desain dan Metode), Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada Yulaeawati, Ella, 2004. Kurikulum dan Pembelajaran: Filisofi Teori dan Aplikasi, Jakarta : Pakar Raya Yoserwan, 2006, Hukum Ekonomi Indonesia Dalam Era Reformasi dan globalisasi, Padang : Andalas University Press Zulkifli, 2009, Obat itu Racun (Panduan Penting Memilih dan Waspada Obat), Yogyakarta : Graha Pustaka Jurnal / Makalah / Disertasi / Artikel Adams, Wahiduddin. 2012. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Cetakan Pertama, Juli 2012. Jakarta : KY RI Ahmadjayadi, Cahyana. 2008. Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunkasi (TIK) Dalam Pemasaran Obat-obatan dan Upaya Menghindari Pemalsuannya. Majalah Hukum Nasional. No. 2 Tahun 2008. Jakarta : BPHN Atmasasmita, Romli, 2008, Pengaruh Hukum Internasional Terhadap Proses Legislasi, Makalah Seminar Legislasi Nasional, Baleg DPR RI, Tanggal 21 Mei 2008 Dharmana, Edi, Herbal Boleh, Penanganan Medis Jangan Dilupakan, Suara Merdeka, Minggu, 16 Juni 2013 Fisher, William W., When Should We Permit Differential Pricing of information? ,www.uclalawreview.org/pdf/55-1-1.pdf, di akses tanggal 2 Oktober 2014, Fisher, William, Theories of Intellectual cyber.law.harvard.edu/people/tfisher/iptheory.pdf,diakses Oktober 2014.



Property, tanggal 1



Fardimal, Arief, 2010, Harmonisasi Hukum dalam Hubungan antara Masyarakat dan Negara, dalam Jurnal Gema Keadilan No.1 Tahun ke 34 2010. Gandhi, L.M., 1995, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Responsif, dalam ―Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum UI, 14 Oktober 1995



540



Hawin, M., Perlindungan Pengetahuan Tradisional di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada FH UGM, Yogyakarta 5 Agustus 2009. Hartono, Sunaryati. 2008. Politik Hukum Bhinneka Tunggal Ika Dalam Pembangunan Hukum Nasional. Majalah Hukum Nasional. No. 2 Tahun 2008. Jakarta : BPHN Hidayatullah. 2007. Industri Jamu Menghadapi Pasar Bebas ASEAN (Kesiapan dan Kendala-kendala yang Dihadapi Industri Jamu di Jawa Tengah). Jurnal Hukum. Vol. XVII, No. 4 Tahun 2007. Handoyo, Setiowiji Handoyo, 2011, ‖Praktik Kebijakan Paten di Beberapa Negara : Pembelajaran bagi Indonesia‖, dalam Kebijakan Patendalam Mendorong Aktivitas Inovasi di Indonesia, Jakarta : LIPI Press Husodo, Siswono Yudo, Pelembagaan Nilai-nilai Pancasila dalam Perspektif Ekonomi dan Kesejahteraan dalam Dinamika Dunia Aktual, dalam Acara Kongres Pancasila, Yogyakarta, 31 Mei 201 Hutajulu, Marihot Jan Pleter. 1996. Perlindungan Hak Paten di Indonesia dan Kaitannya Dengan GATT. Jurnal Refleksi Hukum.Nomor April 1996 Juwana, Hikmahanto, 2011, Hukum Internasional Sebagai Instrumen Politik : Beberapa Pengalaman Indonesia Sebagai Kasus, Makalah dalam Seminar APHI yang diselenggarakan oleh APHI (Asosiasi Pengajar Hukum Internasional bekerjasama dengan FH UNDIP, Semarang 20-21 Mei 2011. ----------------------------, 2011, Kewajiban Memastikan Keselarasan Perjanjian Internasional dengan Konstitusi, Makalah dalam Seminar APHI yang diselenggarakan oleh APHI (Asosiasi Pengajar Hukum Internasional bekerjasama dengan FH UNDIP, Semarang 20-21 Mei 2011. Kesowo, Bambang, Negara Hukum, Program Legislasi Nasional dan Kebutuhan Desain Besar Bagi Perencanaannya, Jurnal Arena Hukum, Jilid 6 Nomor 1 April 2012 Konphalindo, 2008, Sistem Paten Tidak Boleh Menjarah SDG dan Pengetahuan Tradisional, Jakarta : Konphalindo Mansyur, Ali, 2012, Hukum dan Tantangan Ekonomi Global, dalam Bunga Rampai ―Hukum dalam Berbagai Dimensi‖, Lampung : Penerbit Universitas Lampung Oguamanam, Chidi, Beyond Theories: Intellectual Property Dynamics In The Global Knowledge Economy, Wake Forest Intellectual Property Law Journal, Number 2, Voume 9, 2008-2009, ipjournal.law.wfu.edu/files/2009/09/article.9.104.pdf.



541



Pangabean, Devy, 2007, Kekayaan Intelektual serta Kaitannya Dengan Perdagangan Internasional, Buletin Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional, Edisi 42/KPI/2007 Pakpahan, Normin S., 1999, ―Pengaruh Perjanjian WTO pada Pembentukan Hukum Ekonomi Nasional‖, Jurnal Hukum Bisnis Vol 15 Tahun 1999 Purba, Achmad Zen Umar. 1999. Menyambut Millenium III : TRIPs, Dimensi Baru HaKI dan Kesiapan Kita. Jurnal PPH Newsletter Kajian Hukum Ekonomi dan Bisnis. Nomor 39/X Desember 1999. Purnawan, Amin. 2006. Pelembagaan Hukum Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia : Transformasi dari Komunal ke Individual. Jurnal Hukum Vol. XVI, No. 1, Maret 2006. Ramli, Ahmad M. 2008. Koordinasi dan Harmonisasi Peraturan Perundangundangan. Majalah Hukum Nasional. No. 2 Tahun 2008. Jakarta : BPHN Rahardjo, Satjipto, 2006, Pancasila, Hukum dan Ilmu Hukum, disampaikan dalam Seminar Nasional tentang ―Nilai-nilai Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia‖. UGM-Universitas Pancasila, Jakarta 7 Desember 2006. Sinaga, Robinsom, Software – Related Inventions (Paten untuk invensi terkait program komputer), Perbandingan antara Jepang, Amerika Serikat, dan Indonesia, Media HKI : Bulletin Informasi dan Keragaman Hak Kekayaan Intelektual, Vol. VII/No. 06/Desember 2010, Sampurno, Obat Herbal Dalam Prespektif Medik Dan Bisnis, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, http://mot.farmasi.ugm.ac.id/files/13OBAT%20HERBAL_Sampurno.pdf Setiadi, Wicipto, 2007, Proses pengharmonisasian sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas peraturan perundang-undangan, Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 4 no. 2 Juni 2007 Siswanto, Dadang, 2001, Implementasi Hukum Internasional dalam Hukum Nasional, Makalah Diskusi pada Bagian Hukum Internasional FH UNDIP, tanggal 12 Oktober 2001. Soemarsono, Maleha, 2007, Negara Hukum Indonesia ditinjau dari Sudut Teori Tujuan Negara, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun ke-37 No. 2, April – Juni 2007. Soetanto, Herry. 1997. Peranan World Trade Organization (WTO) Dalam Mengatur Perdagangan Internasional dan Implikasinya Bagi Indonesia. Majalah Hukum Nasional. No. 1,1997.



542



Soetanto, Herry. 1997. Peranan World Trade Organization (WTO) Dalam Mengatur Perdagangan Internasional dan Implikasinya Bagi Indonesia. Majalah Hukum Nasional. No. 1,1997. Sunandar, Taryana, 1993/1994, Penulisan Karya Ilmiah Tentang Aspek-aspek Hukum dari Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) GATT, Jakarta : BPHN ------------------------, 1995/1996, Penulisan Karya Ilmiah Tentang Perkembangan Hukum Perdagangan Internasional dari GATT 1947 Sampai Terbentuknya WTO (World Trade Organization), Jakarta : BPHN Sudiharto, Orasi Ilmiah ―Pengembangan Teknologi Kesehatan Untuk Menjawab Tantangan Dan Kebutuhan Masa Depan Demi Kemandirian Bangsa‖, Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta, 19 Desember 2009. Suparman, Eman, 2002, Harmonisasi Hukum di Era Global Lewat Nasionalisasi Kaidah Transnasional, Jurnal Ilmu Hukum ―Syiar Madani‖, Vol. IV No. 1 Maret 2002, Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung Sulbana, 2001, Pelaksanaan Tanggung Jawab Negara Terhadap Perlindungan Keanekaragaman Hayati Berdasarkan CBD dan Protokol Kartagena, Jurnal Ilmu Hukum Toposantoro, Vol. 2 No. 4 Januari-Maret 2001, ISSN : 1411-3135. Suhardin, Yohanes, 2006, Harmonisasi dan Singkronisasi Hukum Nasional Dalam Menyikapi Era Globalisasi, Yustisia, Edisi No. 75, September – Desember 2006. Utomo, Tomi Suryo, 2003, Perlindungan Pengetahuan Tradisional (traditional knowledge) dalam Hukum Paten Indonesia : Problematika dan Solusi, Jurnal Justitia Et Pax, Vol. 23, No. 1, Juni 2003 Utrecht, 1962, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Jakarta : Ichtiar Waluyo, Edi, dan Kadar Pamuji, 2006, Dampak Globalisasi Terhadap Hukum Paten Indonesia, Jurnal Hukum Unissula Semarang Vol. XVI, No. 3 September 2006 Wahono, Francis, 1999, Revolusi Hijau : Dari Perangkap Involusi ke Perangkap Globalisasi, Wacana Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, No. IV 1999 Wibowo, Adhi,dkk, 2004, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Non Trade Issues Dalam Perjanjian Internasional di Bidang Perdagangan, Jakarta : BPHN



543



Wignjosoebroto, Soetandyo. 2008. Hukum Nasional Indonesia : Unifikasi Dicitacitakan, Pluralisme Acap Merupakan Fakta Menyulitkan. Majalah Hukum Nasional. No. 2 Tahun 2008. Jakarta : BPHN Widayanto, Sulistyo, 2007, Negosiasi untuk Mengamankan Kepentingan Nasional di Bidang Perdagangan ( Bagian ke – 2 ), Buletin Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional, Edisi 43/KPI/2007 Peraturan Perundang-undangan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UU Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 3274) UU No. 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3398) UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419) UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3556) UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564) UU No. 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU No.6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 302, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4130) UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4130) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomer 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063)



544



Undang-undang No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3882) UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012) Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1991 tentang Impor Bahan Baku atau Produk Tertentu yang dilindungi Paten Bagi Produksi Obat di Dalam Negeri Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1991 tentang Pendaftaran Khusus Konsultan Paten Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1991 tentang Tata Cara Permintaan Paten Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1991 tentang Bentuk dan Isi Surat Paten Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1995 tentang Komisi Banding Paten Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997 tentang Pengesahan Paris Convention for the protection of Industrial Property and convention Establishing the World Intellectual Property Organization. Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1997 tentang Pengesahan Patent Cooperation Treaty and Regulation Under the PCT. Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works. Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pengesahan WIPO Copyright Treaty Permenkes No. 006 Tahun 2012 tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 0584/Menkes/SK/VI/1995 tentang Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional Keputusan Menteri Kesehatan RI No.po.00.04.5.00327 tentang Bentuk dan Tatacara Pemberian Stiker Pendaftaran pada Obat Tradisional Asing Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 381/Menkes/SK/III/2007 tentang Kebijakan Obat Tradisional Nasional Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M.01.HC.02.10 Tahun 1989 tentang Pencabutan Pengumuman Menkeh No.J.S.5/4 dan J.G.1/2/17.



545



Keputuan Menteri Kehakiman Nomor : M.01-HC.02.10 Tahun 1991 tentang Paten Sederhana Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M.02-HC.02.10 Tahun 1991 tentang Penyelenggaraan Pengumuman Paten. Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M.04-HC.02.10 Tahun 1991 tentang Persyaratan, Jangka Waktu, dan Tata Cara Pembayaran Biaya Paten Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M.06-HC.02.10 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Pengajuan Permintaan Paten Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M.07-HC.02.10 Tahun 1991 tentang Bentuk dan Syarat-syarat Permintaan Pemriksaan Substantif Paten Keputusan Menteri Kehakiman Nomor ; M.08-HC.02.10 Tahun 1991 tentang Pencatatan dan Permintaan Salinan Dokumen Paten Keputusan Menteri Kehakiman Nomor ; M.04-PR.07.10 Tahun 1996 tentang Sekretariat Komisi Banding Paten Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M.01-HC.02.10 Tahun 1996 tentang Tata Cara Pengajuan Permintaan Banding Paten Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M.03-HC.02.10 Tahun 1996 tentang Penetapan Sementara Biaya Permintaan dan Pemeriksaan Substantif Paten Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan RI No.06605/d/sk/x/84 tentang Tatacara Produksi Obat Tradisional dari Bahan Alam dalam Sediaan Bentuk Kapsul atau Tablet Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No.HK.00.05.4.2411 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam indonesia Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No.HK.00.05.4.1380 tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No.HK.00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka Internet Arihan, Okan, dan A. Mine Gençler Ozkan, Traditional Medicine And Intellectual Property RightS, http://dergiler.ankara.edu.tr/dergiler/24/546/6744.pdf, diakses tanggal 11 Maret 2012



546



Christie, Michael. ―Computer databases and aboriginal knowledge. Learning Communities: International Journal of Learning in Social Contexts‖, I, (2004) http://www.cdu.edu.au/centres/ik/pdf/CompDatAbKnow.pdf (diakses 21/03/2012) Commission on Intellectual Property Rights, 2002, Intergrating Intellectual Property Rights and Development Policy, London : Commission on Intellectual Property Rights, http://www.iprcommission .org/ch4final.pdf+traditional+knowledge+and+geographical+indication, diakses 15/04/2012. http://www.iprcommission.org/papers/pdfs/final_report/ch4final.pdf, Integrating Intellectual Property Rights and Development Policy, Traditional Knowledge and Geographical Indications, halaman 73-91, diakses tgl 29 April 2012. http://health.kompas.com/read/2011/10/31/1105190/Dokter.Dilatih.Gunakan.Obat .Tradisional, diakses tanggal 5 September 2011. http://home.indo.net.id/~hirasps/haki/General/haki/sejarah%20haki.htm, Hak Paten Obat-obatan, diakses tanggal 11 Agustus 2011. http://harianjoglosemar.com/berita/penelitian-terarah-ciptakan-herbal, tanggal 2 Juli 2011.



Kasus diakses



http://www.wipo.int/edocs/mdocs/tk/en/wipo_grtkf_ic_11/wipo_grtkf_ic_11_12.p df, diakses tanggal 10 Maret 2012. http://en.wikipedia.org/wiki/Japanese_patent_law, diakses tanggal 10 Oktober 2013 http://ezinearticles.com/?Traditional-Japanese-Medicine&id=895129, tanggal 10 Desember 2013 http://herbs.lovetoknow.com/Japanese_Herbal_Medicine, Desember 2013



diakses



diakses tanggal



15



http://www.pom.go.id/oaie/info/progteliti.htm, Obat Tradisional, di akses tanggal 17 Juni 2013. http://info.articleonepartners.com/international-patent-history-and-laws-brazil/, Patent Quality Matters, diakses tanggal 2 Januari 2015. http://blogs.nature.com/tradesecrets/2011/08/17/the-patent-system-in-brazil, Patent System in Brazil, diakses tanggal 2 Januari 2015.



The



http://www.tempo.co/read/news/2013/12/07/090535414/Paket-Bali-DisepakatiKonferensi-WTO, Paket Bali Disepakati, Konferensi WTO Berakhir, Sabtu, 7 Desember 2013



547



http://www.vaishlaw.com/article/indian_intellectual_property_laws/patents_law_i n_india_everything_you_must_know Hansen, Stephen A, and Justin W. Van Fleet, 2003, Traditional Knowledge Holders in Protecting Their Intellectual Property and Maintaining Biological Diversity), Washington DC : American Association for the Advancement of Science (AAAS), http://shr.aaas.org/tek/handbook, diakses tanggal 17 April 2012. Kenner, Dan, The Role of Traditional Herbal Medicine in Modern Japan, https://www.craneherb.com/shared/articles/3_Traditional_Herbal_Medicine _in_Japan.aspxhttps://www.craneherb.com/shared/articles/3_Traditional_He rbal_Medicine_in_Japan.aspx Media HKI : Buletin Informasi dan Keragaman HKI, ―Perkembangan Sistem Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual‖, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Vol. V/No.3/Juni 2008 Molly Meri Robinson and Xiaorui Zhang, 2011, The World Medicines Situation 2011 (Traditional Medicines: Global Situation, Issues and Chalenges), WHO Geneva 2011, tersedia pada http://www.who.int/medicines/areas/policy/world_medicines_situation/WM S_ch18_wTraditionalMed.pdf., diakses tanggal 21 Januari 2012. Santos, Boaventura de Sousa, Problematizing Global Knowledge, http://www.boaventuradesousasantos.pt/media/pdfs/Globalizations_Theory_ Culture_and_Society_2006, diakses tanggal 5 Maret 2015. Seidman, Robert B., Law and Stagnation in Africa, http://saipar.org/wpcontent/uploads/2013/10/CHP_12_Law_in_Zambia WIPO, 2001, Intellectual Property Needs and Expectations of Traditional Knowledge Holders : WIPO Report on Fact-Finding Missions on Intellectual Property and Traditional Knowledge 1998-1999, Geneva.http://www.wipo.int/tk/en/tk/ffm/report/final/pdf/part1.pdf. diakses tanggal 21 Maret 2012 WIPO, 2008, Intellectual Property for Business Number 3, Invensi Masa Depan ( Pengantar Paten Untuk Usaha Kecil dan menegah), www.wipo.int/sme/en/documents/guides/ , diakses tanggal 10 Juni 2015. WHO Fact Sheet No. 271, June 2002, Source: http: //www.who.int/medicines/organization/trm/factsheet271.doc, diakses 15/03/2012. WIPO, Booklet No. 1, Intellectual Property And Traditional Cultural Expressions/Folklore,



548



(http://www.wipo.int/freepublications/en/tk/913/wipo_pub_913.pdf. diakses 9/4/2012). WHO Fact Sheet No. 271, June 2002, Sumber //www.who.int/medicines/organization/trm/factsheet271.doc, 15/03/2012.



:



http: diakses



549



DAFTAR INDEKS



akses, 158 Analisis, 49, 51 aturan, 60, 225, 533 biodiversity, 10, 365, 417, 422, 476 biopiracy, 8, 9, 10, 20, 27, 29, 31, 38, 64, 324, 325, 363, 365, 383, 403, 404, 416, 436, 468, 470, 471, 473, 507, 532, 533, 535 Boaventura De Sousa Santos, 201, 433 Brazil, 41, 141, 147, 149, 151, 155, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 226, 297, 417, 436, 475, 476, 478, 479, 569 Carlos Correa, 421, 422 CBD, 4, 17, 59, 150, 151, 152, 153, 155, 157, 158, 174, 191, 227, 233, 296, 297, 298, 301, 304, 368, 384, 403, 409, 413, 414, 415, 417, 473, 475, 522, 534, 536, 565 Cina, 206, 215, 216, 217, 218, 238, 436, 449, 456, 457, 458, 459, 460, 461, 463, 464, 483, 484, 487, 500, 502, 506, 535 cita hukum, 121, 129, 230, 250, 346, 347, 350, 394, 397, 398, 399, 431, 533 conflict of norm, 382, 383 David I. Bainbridge, 82, 83, 508 defensif, 10, 27, 54, 64, 470, 473 degeneratif, 2, 305 Deklarasi Doha, 159, 160, 166, 167, 168, 170, 171, 172, 173, 174, 414, 417, 419, 420 disharmonisasi, 16, 30, 192, 195, 196, 370, 383, 403, 410, 532, 533 first to file, 212, 252 folklore, 3, 4, 12, 409, 417 Fred W Riggs, 14 fungsi hukum, 80, 91, 192, 350, 373, 374 Gustav Radbruch, 355, 435



Hak Kekayaan Intelektual, 539, 542, 543, 544, 547, 548, 549, 550, 552, 554, 555, 558, 559, 563, 569 Hak Prioritas, 254, 256 Hans Kelsen, 34, 130, 133, 135, 136, 137, 264, 346, 370, 383, 384, 385, 386, 387, 388, 390, 391, 394, 413, 421, 425 harmonisasi hukum, 25, 27, 33, 37, 53, 56, 57, 64, 192, 194, 196, 199, 201, 202, 249, 367, 370, 371, 372, 382, 383, 384 Harmonisasi vertikal, 33 hayati, 26, 323, 324, 325, 475, 478, 480 herbal, 26, 27, 34, 60, 532, 568 HKI, 26, 34, 220, 224, 539, 548, 549, 552, 555, 556, 558, 559, 569 Hukum, 49 Hukum Internasional, 182, 183, 184, 187, 188, 189, 190, 199, 293, 374, 375, 424, 425, 534, 548, 549, 562, 563, 564 Hukum Paten, 5, 11, 24, 54, 57, 62, 76, 83, 87, 104, 140, 148, 199, 249, 346, 347, 365, 383, 426, 430, 432, 464, 513, 517, 536 India, 8, 9, 10, 41, 175, 206, 207, 209, 210, 211, 238, 280, 417, 422, 436, 459, 464, 466, 467, 468, 470, 471, 473, 474, 483, 487, 500, 502, 535, 556 indigenous knowledge, 3 individualistik, 399, 400, 401, 402, 430 Indonesia, 157 Industri obat tradisional, 1 industrialisasi, 78, 87, 220, 363, 408 industrially applicable, 74, 356, 359, 531 invensi, 24, 57, 62, 73, 74, 79, 82, 83, 84, 105, 115, 116, 117, 207, 208, 213, 214, 215, 216, 217, 218, 221, 224, 226, 229, 232, 240, 242, 245, 248, 252, 253, 255, 256, 261, 265, 267,



550



269, 270, 271, 272, 273, 274, 276, 279, 282, 336, 342, 356, 359, 360, 361, 402, 421, 437, 438, 439, 444, 445, 460, 461, 462, 463, 464, 465, 508, 511, 516, 528, 536, 564 inventif step, 74, 256, 272, 356, 441, 443, 516, 527, 531 inventive step, 12, 73, 149, 359 inventor, 7, 21, 81, 82, 83, 105, 116, 117, 139, 141, 149, 215, 216, 231, 242, 245, 252, 253, 255, 257, 259, 260, 270, 271, 272, 274, 275, 276, 282, 293, 311, 342, 348, 356, 357, 359, 400, 445, 463, 464, 508, 509, 511, 512, 514, 515, 517 Jepang, 41, 75, 147, 206, 211, 212, 213, 214, 238, 422, 436, 437, 438, 439, 440, 441, 443, 445, 446, 447, 448, 449, 450, 451, 453, 456, 457, 458, 459, 464, 487, 500, 502, 535, 564 keadilan, 28 Keanekaragaman hayati, 151, 296, 299, 300 keberlakuan hukum, 20, 21, 34, 40, 41, 47, 72, 127, 128, 129, 130, 132, 136, 338, 343, 346, 430, 532 kesejahteraan, 28 konglomerasi, 333 lingkungan, 26, 324, 326, 476, 477, 478 lisensi wajib, 87, 167, 168, 170, 171, 172, 173, 243, 287, 420 localized globalism, 18, 19, 433 membatasi, 480, 482 Metode, 50 misappropriation, 12, 13, 60, 200 Monopoli, 549 Negara Hukum, 28, 87, 89, 91, 92, 94, 96, 97, 98, 100, 102, 349, 351, 539, 543, 544, 551, 554, 556, 560, 563, 564 negara-negara berkembang, 14, 59, 62, 64, 138, 159, 162, 166, 167, 168, 170, 171, 172, 173, 174, 283, 287, 311, 320, 372, 373, 375, 376, 377, 417, 420, 421, 470, 474 obat, 220



obat herbal, 2, 3, 11, 22, 25, 38, 108, 109, 110, 112, 113, 116, 259, 261, 275, 286, 296, 306, 308, 310, 319, 406, 407, 452, 456, 458, 459, 460, 461, 462, 483, 484, 485, 487, 503, 504, 505 obat tradisional, 1, 2, 4, 6, 10, 12, 25, 26, 38, 39, 43, 44, 55, 59, 74, 75, 106, 107, 108, 117, 285, 286, 288, 289, 290, 291, 292, 309, 310, 316, 319, 322, 348, 356, 362, 405, 406, 407, 456, 459, 467, 482, 500, 504, 505, 531 Pancasila, 29, 32, 64, 100, 102, 103, 121, 122, 125, 130, 137, 234, 235, 250, 277, 278, 293, 341, 346, 347, 348, 349, 350, 351, 392, 394, 395, 396, 397, 398, 399, 400, 401, 410, 411, 426, 431, 449, 484, 524, 531, 538, 539, 542, 547, 549, 551, 552, 559, 563, 564 Paten, 28, 218, 221, 224, 531, 538, 541, 543, 544, 546, 548, 549, 551, 552, 562, 563, 565, 566, 567, 568 paten produk, 24, 209, 264, 444 paten proses, 24, 168, 225 patentability, 149 Pemberdayaan, 50 pembuatan, 35 pemilik, 158 invensi, 218, 221, 222, 224, 479, 480, 481 pengajuan, 221, 225 Pengetahuan tradisional, 3, 5, 6, 11, 13, 38, 111, 112, 302, 324, 405, 409, 455, 466, 469 perjanjian internasional, 15, 16, 45, 140, 141, 142, 181, 183, 184, 186, 187, 188, 189, 190, 191, 193, 194, 219, 236, 245, 248, 324, 367, 369, 372, 376, 414, 415, 424, 425, 430, 533 perlindungan, 26, 27, 219, 220, 221, 225, 475, 477, 478, 479, 480, 481 permohonan, 220, 223, 224 pertimbangan, 34, 326 politik hukum, 57, 64, 458, 519, 524 Prinsip Keadilan, 275



551



prior art, 8, 28, 115, 116, 221, 256, 269, 404, 410, 443, 461, 462, 470, 471, 472, 473, 507, 516, 536 produk, 34, 220, 222, 225, 478, 481, 482 produk herbal, 12, 13, 20, 22, 23, 24, 25, 27, 28, 30, 31, 32, 33, 37, 38, 41, 43, 44, 46, 55, 56, 58, 59, 60, 64, 72, 105, 106, 113, 114, 117, 150, 177, 249, 269, 272, 276, 310, 314, 331, 338, 340, 341, 344, 352, 356, 359, 363, 364, 406, 408, 436, 460, 501, 527, 531, 532, 535, 536, 537 proteksi, 27, 60, 532 Protokol Nagoya, 323, 324, 325, 326, 328, 329 PT-SDG, 157 public domain, 5, 209, 274, 445, 465, 470 publikasi, 224, 476 ratifikasi, 181, 182, 183, 184, 185, 187, 189, 190, 191, 199, 248, 296, 367, 368, 369, 376, 379, 380, 413, 424, 426, 520 rechtsiidee, 398 Robert B. Seidman, 19, 35, 203, 204, 251, 427, 428, 429, 525, 526, 527, 541 Robert C. Sherwood, 86 rule of law, 91, 95, 96, 97, 102, 428, 429 sinkronisasi vertikal, 381 staatsfundamentalnorm, 136, 137, 389, 391, 392, 397



Sumber Daya Genetik, 154, 323, 463, 549 syncronization of law, 381 tanaman obat, 9, 10, 17, 25, 31, 108, 113, 177, 226, 281, 286, 289, 291, 292, 294, 295, 296, 300, 309, 310, 468, 482, 485, 495, 500, 502, 505 teknologi, 222, 326, 329, 478 the berne Convention, 415 The Paris Convention, 415 the rule of men, 429 TKDL, 9, 436, 470, 471, 473, 474 traditional knowledge, 26, 565 TRIPs Agreement., 250, 366, 395, 398, 421, 430, 434, 458, 459, 532 tujuan hukum, 230, 353, 377, 403 Tumbuhan, 561 uji klinik, 111 WHO, 569, 570 William Fisher, 34, 509, 510, 511, 512, 516 WTO, 4, 17, 22, 33, 56, 57, 59, 62, 64, 142, 159, 160, 163, 165, 166, 167, 168, 169, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 191, 196, 197, 198, 219, 227, 248, 249, 358, 366, 367, 368, 376, 378, 413, 415, 416, 420, 421, 422, 423, 434, 458, 470, 513, 540, 542, 543, 545,묈547, 551, 552, 553, 563, 564, 569



552