PDT THTKL Unair [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)



PEDOMAN PRAKTEK KLINIK



EDITOR : Dr. Muhtarum Yusuf,dr.,Sp.T.H.T.K.L(K),FICS Prof. Dr. H.M.S.Wiyadi,dr.,Sp.T.H.T.K.L(K) Prof. Dr. Widodo Ario Kentjono,dr.,Sp.T.H.T.K.L(K),FICS Prof. Sri Herawati, dr.,Sp.T.H.T.K.L(K) Dwi Reno Pawarti, dr.,Sp.T.H.T.K.L(K)



SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA



Alhamdulillah, marilah senantiasa kita memanjatkan puji syukur kehadirat ALLAH SWT atas hidayahNya, sehingga Buku Pedoman Diagnosis dan Terapi setelah mengalami beberapa perubahan untuk penyempurnaan, sekarang dapat disusun dengan baik oleh Departemen – SMF ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo. Semoga Buku Pedoman ini dapat menjadi pegangan atau panduan yang baik bagi mahasiswa PPDS I maupun staf pengajar yang telah disesuaikan dengan perkembangan pola penyakit di lapangan agar para pengguna buku ini lebih mudah mempergunakan dan dapat meningkatkan pelayanan bagi penderita. Atas nama pimpinan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, kami memberikan penghargaan kepada semua kontributor yang telah mengorbankan tenaga dan pikiran serta saling bekerja sama dalam penyelesaian penyususnan Buku Pedoman Diagnosis dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.



Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga



Prof. Dr. Soetojo, dr., Sp. U(K) NIP. 19560608 198612 1 001



i



SAMBUTAN DIREKTUR RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA



Assalamualaikum Wr. Wb Kami ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas selesainya penyusunan Buku Pedoman Diagnostik dan Terapi Dept Ilmu Kesehatan THT-KL tahun 2016 dengan dukungan penuh seluruh jajaran Staf Dept Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Soetomo dan FK. UNAIR. Buku Pedoman Diagnostik dan Terapi sejak tahun 2010 telah diubah menjadi Panduan Praktek Klinik berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor: 1348/MENKES/PER/IX/2010 yang menyebutkan tentang Standar Pelayanan Kedokteran yang terdiri dari Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) dan Panduan Praktek Klinis (PPK) yang merupakan Standar Prosedur Operasional (SPO) dari organisasi profesi medis di rumah sakit. Penghargaan kami tujukan kepada semua pihak yang telah berupaya keras menyusun dan menyelesaikan buku ini dengan sebaik-baiknya. Perbaikan dan penyempurnaan seyogyanya dilakukan secara berkala agar buku tersebut senantiasa mengikuti pola epidemiologi penyakit serta senantiasa berpedoman pada buku-buku referensi yang terkini deni untuk meningkatkan mutu layanan berdasarkan Sistem Akreditasi pada buku-buku referensi yang terkini demi untuk meningkatkan mutu layanan berdasarkan Sistem Akreditasi Rumah Sakit versi Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) maupun Joint Commision International (JCI).



Wassalamualaikum Wr. Wb Plt. Direktur RSUD Dr. Soetomo



dr. Harsono NIP. 19560703 198312 1 001 ii



SAMBUTAN KETUA DEPT / SMF ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA & LEHER FK UNAIR / RSUD Dr. SOETOMO Assalamualaikum Wr. Wb Untuk meningkatkan mutu pelayanan, pendidikan dan penelitian khususnya bagi para dokter PPDS I, para mahasiswa yang bertugas di klinik, maka saya selaku Ka. Dept / SMF Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNAIR / RSUD Dr. Soetomo menyambut gembira dikeluarkannya edisi terbaru Buku Pedoman Diagnosis dan Terapi ini. Perbaikan dan penyempurnaan seyogyanya dilakukan secara periodik agar buku tersebut senantiasa mengikuti pola epidemiologi penyakit dan pola perkembangan di bidang diagnostik dan terapi serta senantiasa berpedoman pada buku-buku referensi yang mutakhir. Dengan demikian diharapkan buku ini dapat menjadi buku panduan yang mampu menyamakan persepsi dalam perawatan terhadap penderita, pada gilirannya akan menyamakan juga presepsi di bidang pendidikan. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi para dokter yang bertugas di klinik juga bagi para alumnus yang nantinya akan tersebar seluruh nusantara.



Wassalamualaikum Wr. Wb



Ka. Dept / SMF Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNAIR / RSUD Dr. Soetomo



Dr. Muhtarum Yusuf,dr.,Sp,T.H.T.K.L(K), FICS NIP. 19620831 198903 1 010 iii



KATA PENGANTAR



Pedoman Diagnosis dan Terapi edisi terbaru ini, merupakan penyempurnaan dari edisi sebelumnya.Penyempurnaan meliputi penambahan / pengurangan judul-judul yang dipandang perlu mengingat prevelensinya mulai meningkat / menurun sehingga perlu diketahui oleh para dokter baik para PPDS I maupun para mahasiswa kedokteran untuk meningkatkan mutu pelayanan. Selain itu juga memperbaiki hal-hal yang dianggap kurang seperti perbaikan diagnostik maupun terapi. Proses penyempurnaan terkait dengan buku referaensi mutakhir agar dapat merupakan buku panduan yang relevan dengan situasi dan kondisi. Perbaikan dan penyempurnaan akan dilakukan secara berkala dengan demikian buku panduan ini senantiasa sesuai dengan keadaankeadaan, mutakhir dan dapat memenuhi keperluan guna meningkatkan mutu pelayanan pendidikan dan penelitian.



Penyusun



iv



DAFTAR ISI SAMBUTAN DEKAN



Halaman



SAMBUTAN DIREKTUR



i



SAMBUTAN KETUA DEPT/SMF I. KES THT-KL



ii



KATA PENGANTAR PENYUSUN



iii



DAFTAR ISI



iv



I. TELINGA 1.1



Otitis Media Akut



1



1.2



Otitis Media Efusi



4



1.3



Otitis Media Supuratif Kronis



8



1.4



Otitis Eksterna



14



1.5



Abses Bezold



17



1.6



Labirinitis dan Fistula Labirin



19



1.7



Mastoiditis



22



1.8



Paresis Fasialis Perifer



25



1.9



Kurang Pendengaran



29



1.10 Pemeriksaan Fungsi Pendengaran



40



1.11 Presbikusis



62



1.12 Tinitus



72



1.13 Tuli Mendadak



89



1.14 Benign Paroxysmal Positional Vertigo



97



1.15 Penyakit Meniere



100



1.16 Vertigo



102



1.17 Otosklerosis



104



v



1.18 Timpanosklerosis



109



1.19



Erisipelas



111



1.20



Atresia Meatus Eksternus



114



1.21



Benda Asing Telinga



117



1.22



Furunkel Meatus Eksternus



120



1.23



Herpes Zoster Otikus



122



1.24



Kista Preaurikular



125



1.25



Mikrotia



127



1.26



Miringitis Bulosa



129



1.27



Othaematoma atau pseudo Othematom



131



1.28



Serumen



132



1.29



Sinus Preaurikular



135



2.1



Rinitis Akut



137



2.2



Rinitis Alergi



140



2.3



Rinitis Difteri



146



2.4



Rinitis Kronik Atrofikan



148



2.5



Rinitis Vasomotor



152



2.6



Septum Deviasi



155



2.7



Atresia Koane



158



2.8



Avian Flu / Flu Burung



160



2.9



Benda Asing Hidung



164



2.10



Epistaksis



167



2.11



Furunkel Hidung



170



II. HIDUNG



vi



III. TENGGOROK 3.1



Benda Asing Laring Trakea Bronkus



172



3.2



Benda Asing Esofagus



176



3.3



Esofagitis Korosif



179



3.4



Laringitis Akut



183



3.5



Epiglotitis Akut



186



3.6



Nodul Vokal



189



3.7



Papiloma Laring



192



3.8



Trauma Laring



194



3.9



Adenoiditis Akut



198



3.10



Adenoiditis Kronis



200



3.11



Faringitis Akut



202



3.12



Faringitis Kronis



205



3.13



Leukoplakia



251



3.14



Stomatitis Pada HIV



210



3.15



Tonsilitis Akut



214



3.16



Tonsilitis Kronis



218



3.17



Tonsilofaringitis Difteri



220



3.18



Ulserasi Oral



223



3.19



Abses Parafaring



224



3.20



Abses Peritonsil



229



3.21



Abses Retrofaring



233



3.22



Abses Submandibula



239



3.23



Parotitis



243



vii



IV.



ONKOLOGI BEDAH KEPALA DAN LEHER 4.1



Higroma Kistik



246



4.2



Higroma



249



4.3



Karsinoma Lidah



250



4.4



Karsinoma Parotis



255



4.5



Karsinoma Tiroid



259



4.6



Karsinoma Tonsil



264



4.7



Kista Duktus Tiroglosus



267



4.8



Neoplasma Tiroid



270



4.9



Inverted Papilloma



276



4.10 Karsinoma Laring



280



4.11 Karsinoma Nasofaring



284



4.12 ANJ



291



4.13 Tumor Ganas Sinanasal



295



V. PLASTIK REKONSTRUKSI DAN MAKSILOFASIAL 5.1



Trauma Wajah dan Maksilofasial



302



viii



OTITIS MEDIA AKUT Titiek Hidajati Ahadiah



BATASAN Otitis media akut adalah infeksi akut bakteriil pada telinga tengah



PATOFISIOLOGI Pada umumnya didahului dengan infeksi akut saluran napas atas baik viral maupun barteriil. Inflamasi pada sistem mukosilier mengakibatkan gangguan fungsi tuba Eustachius. Inflamasi pada mukosa telinga tengah berlanjut dengan efusi, yang menjadi media proliferasi bakteri patogen, dan akhirnya menjadi supurasi di dalam telinga tengah. Perjalanan penyakit melalui 5 stadium yaitu Stadium I : oklusi tuba Eustachius Stadium II: pre supurasi (hiperemia) Stadium III: eksudasi (bombans) Stadium IV: supurasi ( perforasi) Stadium V : resolusi Bakteri penyebab yang sering dijumpai adalah Streptokokus pneumonia, Hemofilus influensa, dan Moraksela kataralis



DIAGNOSIS 1.



Anamnesis Keluhan yang timbul pada stadium I adalah rasa penuh pada telinga, tinitus (grebeg-grebeg). Beberapa kasus disertai nyeri yang ringan. Pada bayi atau balita dijumpai keluhan rewel. Keluhan telinga tersebut diawali oleh adanya infeksi saluran napas atas yang akut, dan kadang 1



pada stadium ini masih ada keluhan ISPA. Pada stadium II keluhan masih sama hanya saja dengan derajat yang lebih berat. Pada stadium III keluhan yang paling menonjol adalah otalgi hebat, dalam waktu relatif cepat bila proses berjalan terus maka akan menjadi stadium IV dimana keluhan utama yang timbul adalah otore 2.



Pada pemeriksaan obyektif, stadium I dijumpai membran timpani retraksi, selanjutnya pada stadium II membran timpani retraksi disertai hiperemi sebagian, sampai kadang sudah dijumpai hiperemi yang lebih luas dan adanya cairan, namun posisi membran timpani masih retraksi. Pada stadium III membran timpani menjadi bombans dan hiperemi seluruhnya. Pada stadium IV membran timpani masih hiperemi dan perforasi pada pars tensa, disertai sekret mukopus yang keluar dari kavum timpani. Pada stadium V membran timpani perforasi, hiperemi berkurang, atau hilang dan sekret sudah tidak dijumpai



DIAGNOSIS BANDING 1.



Furunkel liang telinga



2.



Otitis eksterna



3.



Miringitis



PENYULIT 1.



Mastoididtis akut



2.



Paresis fasialis



3.



Intrakranial



TERAPI 1.



Antibiotik oral pada stadium I s/d IV. Amoksisilin dengan dosis sesuai usia dan berat badan selama 7 hari. Lini kedua adalah Amoksisilin-klavulanat, sefalosporin generasi 2 dan 3. 2



2.



Miringotomi pada stadium III. Untuk stadium II relatif dapat dikerjakan juga



3.



Sol H2O2 pada stadium IV digunakan untuk membersihkan sekret telinga



4.



Simptomatis berupa analgetika atau antipiretika



5.



Dekongestan nasal dan antihistamin hanya diberikan bila masih ada keluhan Rinitis akut



DAFTAR PUSTAKA 1.



Post JC, Kerschner JE. Otitis Media and Middle-Ear Effusions. In : Snow JR JB, Wackym PA, eds. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 17ed. New York: BC Decker, 2009: 20916



2.



Yates PD. Otitis Media. In : Lalwani KL ed. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head &Neck Surgery. New York: Mc Graw Hill, 2004 :695-98



3.



KJ Lee. Infectious of the Ear. In :Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8th ed. New York. McGraw-Hill.2003 p 474-79



4.



Sattery III WH. Pathology and Clinical Course of Inflammatory Diseases of the Middle Ear.In : Glasscock III ME, Gulya AJ, eds. Glasscock-Shambaugh Surgery of the Ear.5th ed. New York: BC Decker Inc,2003;424-26



5.



Dhingra PL. Disorder of Middle Ear. In: Dieseases of Ear, Nose and Throat. 3rd ed. New Delhi : Elsevier. 2004. P 61-2



3



OTITIS MEDIA EFUSI Titiek Hidajati Ahadiah



BATASAN Otitis Media Efusi juga dikenal dengan nama Otitis media serosa, Otitis media sekretori, dan Glue ear adalah inflamasi pada telinga tengah dengan akumulasi sekret tanpa tanda dan gejala infeksi Klasifikasi : 1.



Otitis media efusi akut



2.



Otitis media efusi kronis



PATOFISIOLOGI Gangguan patensi tuba Eustachius menjadi penyebab tersering. Oklusi tuba yang mendadak dapat menyebabkan efusi disebut sebagai Barotrauma, hal ini terjadi pada penyelaman atau pada ketinggian seperti pendakian dan penerbangan. Oklusi tuba menyebabkan hipoksia pada telinga tengah, sehingga terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler yang mengakibatkan efusi. Pada gangguan tuba yang kronis, hal ini dapat terjadi pula. Penyakit yang mendasari antara lain, Rinitis alergi, Adenoiditis dan Karsinoma nasofaring. OME kronis juga dapat diawali oleh OMA stadium kataral (hiperemi) yang tidak sembuh dan tidak berlanjut ke stadium OMA berikutnya.



OTITIS MEDIA EFUSI AKUT DIAGNOSIS Keluhan subyektif adalah gejala rasa penuh dan tidak nyaman pada telinga, pendengaran menurun, suara sendiri terdengar bergema, terasa ada cairan



4



yang bergerak di telinga dengan perubahan posisi. Kadang-kadang disertai nyeri telinga pada saat awal terjadinya tekanan negatif. Pada pemeriksaan otoskopi tampak membran timpani retraksi, kadang agak hiperemi tampak gelembung udara dengan cairan atau air fluid level. Pemeriksaan dengan garpu tala akan mendapatkan hasil tuli konduksi.



DIAGNOSIS BANDING OMA



TERAPI 1.



Medikamentosa adalah dengan pemberian antiinflamasi dan dekongestan topikal melalui hidung. Perasat valsava dapat dikerjakan bila tidak ada tanda infeksi.



2.



Mirigotomi dapat dikerjakan apabila setelah satu minggu tidak mengalami perbaikan.



OTITIS MEDIA EFUSI KRONIK DIAGNOSIS Keluhan subyektif adalah pendengaran kurang, khusus untuk anak pada umumnya tidak terlalu mengeluh pendengarannya, akan tetapi orang tua akan mengamati bahwa anaknya kurang mendengar dan diikuti prestasi di sekolah



yang



menurun,



gangguan



bicara



dan



bahasa,



gangguan



perkembangan sekolah. Tinitus dan nyeri teliga ringan dapat pula terjadi. Pada pemeriksaan otoskopi dapat dijumpai kondisi membran timpani yang bervariasi, posisis bisa normal, retraksi atau bombans, warna kuning (sekret serus), abu-abu (sekret mukoid), atau tipis transparan . Air buble dan air fluid level juga dapat dijumpai. Pemeriksaan penunjang dengan audiometri 5



dijumpai tuli konduksi antara 40-50 Db, sedangkan timpanometri didapatkan tipe B atau C. PENYULIT Otitis Media Adesif atau Atelektasis dan OMSK tipe bahaya (kolesteatom akuisita primer).



TERAPI Parasintesis (miringotomi) membran timpani dan diikuti pemasangan pipa ventilasi (Grommet). Selain itu adalah penanganan terhadap faktor penyebabnya, apabila Hipertrofi Adenoid harus dikerjakan Adenoidektomi, begitu pula bila dijumpai penyebab yang lain.



Terapi antibiotika diberikan setelah pemasangan pipa ventilasi yaitu Amoksisilin sesuai berat badan selama 7 hari. Penggunaan kortikosteroid masih merupakan kontroversi. DAFTAR PUSAKA 1.



Yates PD. Otitis Media. In : Lalwani KL ed. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head &Neck Surgery. New York: Mc Graw Hill, 2004 :698-701



2.



KJ Lee. Infectious of the Ear. In :Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8th ed. New York. McGraw-H`ill.2003 p 479-84



3.



Dhingra PL. Disorder of Middle Ear. In: Dieseases of Ear, Nose and Throat. 3rd ed. New Delhi : Elsevier. 2004. P 62-4



4.



Post JC, Kerschner JE. Otitis Media and Middle-Ear Effusions. In : Snow JR JB, Wackym PA, eds. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 17ed. New York: BC Decker, 2009: 20916 6



5.



Sattery III WH. Pathology and Clinical Course of Inflammatory Diseases of the Middle Ear.In : Glasscock III ME, Gulya AJ, eds. Glasscock-Shambaugh Surgery of the Ear.5th ed. New York: BC Decker Inc,2003;427



7



OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS Titiek Hidajati Ahadiah



BATASAN Infeksi kronis pada mukoperiosteum dan osteum telinga tengah dengan perforasi membrana timpani dan gejala khas otore. Otore dapat terjadi terus menerus (persisten), atau hilang timbul (rekuren). Batasan kronis adalah 6 minggu atau 3 bulan PATOFISIOLOGI OMA stadium perforasi yang tidak sembuh dapat berlanjut menjadi OMSK tipe aman atau bahaya, atau dari OME yang berlanjut menjadi OMSK tipe bahaya. Otore terjadi karena adanya patologi pada mukosa telinga tengah berupa hipertrofi mukosa, granulasi, polip, atau kolesteatoma.



Beberapa faktor yang mendukung terjadinya kronisitas adalah faktor infeksi rinogen dan eksogen, gangguan fungsi tuba yang kronis, faktor endogen misalnya penyakit Diabetes, infeksi kronik, malnutrisi, penyakit autoimun, alergi dll. Selain itu faktor sosial yaitu kebersihan lingkungan dan sosial ekonomi. Infeksi eksogen terjadi melalui liang telinga waktu mandi atau berenang. Infeksi rinogen misalnya karena Adenoiditis, Rinitis dll.



Kuman yang paling sering dijumpai adalah



Pseudomonas aeruginosa,



Stafilokokus aureus, dan anaerob.



8



KLASIFIKASI 1.



Tipe aman ( tanpa kolesteatoma). Nama lain adalah tipe tubotimpanik, tipe mukosa, tipe benigna



2.



Tipe bahaya, pada umumnya dengan kolesteatoma. Nama lain adalah tipe atiko antral, tipe tulang, tipe maligna. Apabila dijumpai kolesteatoma maka jenisnya adalah bahaya, akan tetapi apabila tidak dijumpai kolesteatoma, hanya granulasi saja maka belum tentu tidak berbahaya



DIAGNOSIS Anamnesis Keluhan utama pada umumnya adalah otore, dan juga disertai pendengaran kurang, kadang kadang dijumpai juga otalgi. Otalgi merupakan tanda yang penting untuk memprediksi terjadinya komplikasi. Keluhan lain adalah tinitus dapat terjadi karena faktor konduksi maupun kerusakan sel rambut pada koklea. Keluhan akibat komplikasi yaitu luka dibelakang daun telinga, vertigo, sefalgi, demam, kejang, dan kesadaran menurun. Keluhan hidung dan tenggorok tetap harus dicari untuk mencari faktor rinogen, serta adanya riwayat penyakit kronis yang lain.



Pemeriksaan Pada pemeriksaan lokal telinga ditemukan adanya perforasi MT, sekret dapat berupa serus, mukoid, seropurulen atau mukopurulen. Pada OMSK tipe bahaya dengan kolesteatom sekret biasanya berbau busuk. Kemungkinan juga



akan



tampak jaringan



patologi



berupa



hipertrofi



mukosa,



timpanoskerosis, granulasi, atau kolesteatoma.



9



Perforasi membran timpani pada OMSK tipe aman selalu sentral pada pars tensa dapat berbentuk bundar atau ginjal. Sekret dapat mukoid atau serus. Mukosa kavum timpani dapat hipertrofi, atrofi, kadang dijumpai jaringan patologi granulasi, polip ataupun timpanosklerosis.



Perforasi membran timpani pada tipe bahaya dengan kolesteatom dapat berupa atik, sinus dan tensa. Selain tampak kolesteatom, dapat dijumpai juga granulasi. Sekret pada umumnya purulen dan berbau busuk.



Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan radiologi yaitu foto polos mastoid posisi Schuller. Mastoid yang normal disebut pneumatik dengan selulae seperti sarang tawon, yang patologis berbentuk dapat berupa perselubungan seperti kabut pada selulae mastoid, sklerotik, maupun destruksi. Pemeriksaan dengan HRCT mastoid tidak rutin dikerjakan di Indonesia.



Test pendengaran berupa tes bisik, garpu tala, dan audiometri. Audiometri harus dikerjakan untuk mendapat hasil yang lebih detail untuk jenis dan derajat kurang pendengarannya. Hasil bervariasi mulai dari kurang dengar konduksi, campuran dan sensorineural. Sedangkan derajat juga bervariasi mulai kurang dengar ringan sampai sangat berat.



DIAGNOSIS BANDING 1.



Otitis eksterna



2.



Karsinoma tl. Temporal



PENYULIT



10



Penyulit pada umumnya terjadi akibat OMSK tipe bahaya dengan kolesteatom. Klasifikasi Intrakranial : Meningitis, Ensefalitis, Abses (otak, epidural, subdural, perisinus), Trombosis sinus lateral Ekstrakranial : Intratemporal dan ekstratemporal Intratemporal : Labirinitis, fistula labirin, paresis fasialis, petrositis Ekstratemporal : Abses subperiosteal (mastoid, zygoma, Luc’s), abses Bezold, abses Mouret, abses Citelli Multipel : lebih dari 1 jenis penyuplit



TERAPI ALGORITMA OMSK TIPE AMAN kolesteatom (OMSK benigna)



Algoritma 1



Stimulasi epitelialisasi tepi perforasi



Perforasi menutup



Tuli konduk tif -



OMSK aktif



OMSK tenang



Cuci telinga, Antib. Topikal, Antibiotik sist.



Otore menetap > 1 minggu



Perforasi menetap



Tuli konduktif +



Ro. Mastoid (Schuller x-ray) Audiogram



Ideal: timpanoplasti dengan atau tanpa mastoidektomi



Antib. Berdasarkan PemeriksaanMO



Menetap > 3 bulan



Ideal: mastoidektomi+ timpanoplasti



11



ALGORITMA OMSK TIPE BAHAYA Algoritma 2 kolesteatoma



+



(OMSK bahaya)



•OMSK tipe bahaya bersifat progresif, • kolesteatom yang semakin luas akan mendestruksi tulang yang dilewatinya. •Infeksi sekunder akan menyebabkan keadaan septik lokal dan •nekrosis septik di jaringan lunak yang dilalui kolesteatom dan di jaringan sekitarnya juga menyebabkan destruksi jaringan lunak yang mengancam akan terjadinya komplikasi-komplikasi.



Pilihan •Atikotomi anterior •Timpanoplasti dinding utuh (Canal wall up tympanoplasty) •Timpanoplasti dinding runtuh (canal wall down tympanoplasty) •Atticoantroplasti •Dan sebagainya



•Satu-satunya cara pengobatan adalah bedah



DAFTAR PUSAKA 1.



Yates PD. Otitis Media. In : Lalwani KL ed. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head &Neck Surgery. New York: Mc Graw Hill, 2004 :698-701



2.



KJ Lee. Infectious of the Ear. In :Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8th ed. New York. McGraw-H`ill.2003 p 479-84



3.



Dhingra PL. Cholesteatoma and Chronic Suppurative Otitis Media. In:



Dieseases of Ear, Nose and Throat. 3rd ed. New Delhi :



Elsevier. 2004. P 67-71 4.



Chole RA, Nason R. Chronic Otitis Media and Cholesteatoma. In : Snow JR JB, Wackym PA, eds. Ballenger’s Otorhinolaryngology 12



Head and Neck Surgery. 17ed. New York: BC Decker, 2009: 21720 5.



Sattery III WH. Pathology and Clinical Course of Inflammatory Diseases of the Middle Ear.In : Glasscock III ME, Gulya AJ, eds. Glasscock-Shambaugh Surgery of the Ear.5th ed. New York: BC Decker Inc,2003;428-30



6.



Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher. Modul Telinga: Radang Telinga Tengah. Dalam: Modul Telinga. Jakarta: Kolegium; 2008.hal.1-10.



13



OTITIS EKSTERNA Soeprijadi



Definisi: Infeksi pada kulit meatus akustikus eksternus Kuman



penyebab



:



Pseudomonas



aeruginosa,



Proteus



mirabilis,



Stafilokokus aureus Faktor predisposisi 



sering dibersihkan dengan kapas







berenang







diabetes melitus







meatus sempit







Alergi



Pembagianklinis : Stadium 



pre inflamamasi







Inflamasi akut







-



Ringan



-



Sedang



-



Berat



Inflamasi kronik



Diagnosis dan Terapi Stadium pre inflamasi Klinis Anamnesis



: gatal, bengkak, telinga terasa penuh



Pemeriksaan Klinis



: udim stratum korneum



Terapi  Tampon burowi dibasahi tiap 4-6 jam selama 2 hari 14



Stadium inflamasi akut ringan Klinis Anamnesis



: gatal bertambah, udim bertambah, mulai nyeri



Pemeriksaan Klinis



: udim, secret purulen, debris



Terapi o



Oor toilet dengan larutan asam ( asam borat, asam asetat, burowi)



o



Antihistamin (untuk alergi)



o



Tetes telinga mengandung Neomisin 0,5%, Polimiksin B sulfat



dan steroid o



Analgesik



Stadium inflamasi akut sedang Klinis Anamnesis



: gatal, nyeri bertambah



Pemeriksaan fisik



: meatus menyempit karena udim, secret purulen



Terapi o



Oortoilet dengan larutan asam



o



Tampon mengandung Neomisin0,5%, Polimiksin B sulfat dan steroid, diganti tiap 1-2 hari



o



Antihistamin



o



Analgesik



Stadium inflamasi akut berat Klinis Anamnesis



: nyeri berat bila telinga digerakan



Pemeriksaan Fisik



:Meatus obtruksi karena udim, secret purulen, meatus hiperemi 15



Terapi 



Ortoilet dengan larutan asam







Oral antibiotik anti stafilokokus atau anti pseudomonas







Tampon telinga mengandung Neomisin 0,5%, polimiksin B dan steroid diganti tiap 2 hari







Antihistamin







Analgesikkuat



Daftar pustaka 1.



Lucente FE, Hanson M. Disease of the External Ear.In : Snow JR JB, Wackym PA, eds. Ballenger’s Otolayngology Head and Neck Surgery.. 17 ed. Shelton, BC Decker Icn, 2009, 191-199.



2.



2.Linstrom CJ, Lucente FE. Diseases of the External Ear. In : Johnson JT, Rosen CA, eds.. Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaringol Fifth eds, Philadelphia, Lippincott William & Wilkins, 2014, 2333-2357.



3.



K.J.Lee.



Essential



Otolaryngology 8Eds,



United



State



of



America,McGraw Hill Compmpanies, 2003,462-473. 4.



4 Tuli LTBS, Tuli IP, Sing A, Tuli NK. Textbook of Ear, Nose and Throat Firsth Eds, New Delhi, Yaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd< 2005, 43-51.



16



ABSES BEZOLD Titiek Hidajati Ahadiah



BATASAN Abses



Bezold



adalah



abses



leher



di



bagian



medial



muskulus



sternokleidomastoideus sebagai komplikasi dari OMSK PATOFISIOLOGI Pada umumnya terjadi pada mastoid dengan pneumatisasi yang baik terutama pada tip mastoid. Setelah mastoiditis koalesen, korteks tip mastoid yang tipis



mengalami destruksi sehingga pus masuk ke bagian medial



muskulus sternokleidomastoideus



DIAGNOSIS Anamnesis Demam, otalgi, otore, keterbatasan gerakan leher dan nyeri leher.



Pemeriksaan Tanda klinis adalah adanya massa yang difus, dalam dan lunak pada regio servikal level 2. Pemeriksaan penunjang Diagnosis pasti dibuat berdasar CT scan dengan kontras.



DIAGNOSIS BANDING Abses leher dalam



PENYULIT Abses leher dalam Mediastinitis 17



TERAPI Penatalaksanaan adalah insisi dan drainase abses dengan pendekatan servikal dan diikuti dengan mastoidektomi serta antibiotika intravena



DAFTAR PUSTAKA 1.



Gross ND, McMenomey SO. Aural Complications of Otitis Media. In : Glasscock III ME, Gulya AJ, eds. Glasscock-Shambaugh Surgery of the Ear.5th ed. New York: BC Decker Inc,2003;436-7



2.



Friedland DR, Pensak ML, Kveton JF. Cranial and Intracranial Complications of Acute and Chronic Otitis Media. In : Snow JR JB, Wackym PA, eds. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 17ed. New York: BC Decker, 2009:233



3.



Arts HA, Adams ME. Intratemporal and Intracranial Complications of Otitis Media. In : In : Johnson JT, Rosen JT, eds. Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology.5th ed. Philadelphia : Lippinott Williams & Wilkins; 2014. P 2403



4.



Yates PD. Otitis Media. In : Lalwani KL ed. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head &Neck Surgery. New York: Mc Graw Hill, 2004 :704



5.



KJ Lee. Infectious of the Ear. In :Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8th ed. New York. McGraw-Hill.2003 p 489



6.



Dhingra PL. Complications of



Suppurative Otitis Media. In:



Dieseases of Ear, Nose and Throat. 3rd ed. New Delhi : Elsevier. 2004. P 77-8



18



LABIRINITIS dan FISTULA LABIRIN Titiek Hidajati Ahadiah



BATASAN Labirinitis adalah infeksi pada labirin, dapat terjadi sebagai komplikasi baik OMA maupun OMSK. PATOFISIOLOGI Labirinitis dapat terjadi melalui erosi dari kanalis semisirkularis ataupun melalui foramen ovale dan rotundum. Apabila terjadi erosi pada kanalis semisirkularis yang pada umumnya sebagai akibat dari OMSK dengan kolesteatoma, maka disebut dengan fistula labirin, dan yang paling sering terkena adalah kanalis semisirkularis horisontal (lateral). Sedangkan pada kasus OMA , Labirinitis terjadi melalui foramen ovale atau rotundum. DIAGNOSIS Anamnesis Gejala



yang



muncul



adalah



vertigo



dan



gangguan



pendengaran



sensorineural. Riwayat OMA atau OMSK perlu ditanyakan. Pemeriksaan Pemeriksaan otoskopi untuk melihat ada OMA atau OMSK, dilanjutkan dengan tes fistula, yaitu dengan memberikan tekanan positif atau negatif pada liang telinga. Cara yang paling mudah adalah dengan menekan tragus, lalu dilepas segera, cara lain adalah dengan otoskop Siegel. Apabila fistula masih paten maka akan terjadi vertigo dan nistagmus, yang disebut sebagai tes fistula positif.



Pemeriksaan penunjang Audiometri dengan hasil gangguan dengar sensorineural atau campur. 19



HRCT temporal PENYULIT Meningitis DIAGNOSIS BANDING Meniere BPPV Penyakit serebelum TERAPI Antibiotika yang menembus sawar otak, Seftriakson 2x1 gr, intravena Terapi OMA : parasintesis membran timpani bila bombans Terapi OMSK : operasi mastoidektomi



DAFTAR PUSTAKA 1.



Dhingra PL. Complications of



Suppurative Otitis Media. In:



Dieseases of Ear, Nose and Throat. 3rd ed. New Delhi : Elsevier. 2004. P 79-80 2.



Arts HA, Adams ME. Intratemporal and Intracranial Complications of Otitis Media. In : In : Johnson JT, Rosen JT, eds. Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology.5th ed. Philadelphia : Lippinott Williams & Wilkins; 2014. P 2403-4



3.



Yates PD. Otitis Media. In : Lalwani KL ed. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head &Neck Surgery. New York: Mc Graw Hill, 2004 :704-5



4.



Friedland DR, Pensak ML, Kveton JF. Cranial and Intracranial Complications of Acute and Chronic Otitis Media. In : Snow JR JB, Wackym PA, eds. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 17ed. New York: BC Decker, 2009:233-4 20



5.



Gross ND, McMenomey SO. Aural Complications of Otitis Media. In : Glasscock III ME, Gulya AJ, eds. Glasscock-Shambaugh Surgery of the Ear.5th ed. New York: BC Decker Inc,2003;437-9



21



MASTOIDITIS



Titiek Hidajati Ahadiah BATASAN Mastoiditis akut adalah inflamasi pada mukoperiosteum selule mastoid sebagai komplikasi dari OMA Mastoiditis kronis adalah proses penyakit yang menjadi satu kesatuan dengan OMSK



PATOFISIOLOGI Inflamasi pada kavum timpani akan selalu diikuti oleh inflamasi pada selule mastoid. Apabila terapi OMA gagal maka dapat terjadi Mastoiditis akut, pus akan mengisi kavum mastoid.



DIAGNOSIS Anamnesis Bengkak dan nyeri belakang telinga, didahului dengan OMA. Pada umumnya terjadi pada anak balita. Pemeriksaan Aurikula terdorong ke lateral dan inferior, sekret mukopus pada liang telinga, membran timpani perforasi sentral dan hiperemi, atau bombans. Pemeriksaan penunjang Foto polos mastoid posisi Schuller kanan dan kiri. Pada sisi sakit akan tampak perselubungan pada selule mastoid.



PENYULIT Abses subperiosteal mastoid 22



Abses Bezold Paresis fasialis Labirinitis Petrositis



DIAGNOSIS BANDING Furunkel liang telinga Abses subperiosteal mastoid



TERAPI Antibiotika intra vena : sefotaksim 3 x 50 mg kg BB selama 1 minggu. Bila tidak berhasil dilakukan mastoidektomi Bila membran timpani bombans maka dilakukan miringotomi/parasintesis



DAFTAR PUSTAKA 1.



Dhingra PL. Complications of



Suppurative Otitis Media. In:



Dieseases of Ear, Nose and Throat. 3rd ed. New Delhi : Elsevier. 2004. P 75-7 2.



Arts HA, Adams ME. Intratemporal and Intracranial Complications of Otitis Media. In : In : Johnson JT, Rosen JT, eds. Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology.5th ed. Philadelphia : Lippinott Williams & Wilkins; 2014. P 2402-3



3.



Yates PD. Otitis Media. In : Lalwani KL ed. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head &Neck Surgery. New York: Mc Graw Hill, 2004 :703-4



4.



Friedland DR, Pensak ML, Kveton JF. Cranial and Intracranial Complications of Acute and Chronic Otitis Media. In : Snow JR JB, 23



Wackym PA, eds. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 17ed. New York: BC Decker, 2009: 231-2 5.



Gross ND, McMenomey SO. Aural Complications of Otitis Media. In : Glasscock III ME, Gulya AJ, eds. Glasscock-Shambaugh Surgery of the Ear.5th ed. New York: BC Decker Inc,2003;435-6



24



PARESIS FASIALIS PERIFER Titiek Hidajati Ahadiah



BATASAN Paresis fasialis perifer adalah kelumpuhan saraf fasialis pada jaras perifer. Dapat terjadi sebagai komplikasi dari OMA maupun OMSK PATOFISIOLOGI Paresis dapat terjadi akibat inflamasi langsung, osteitis, kompresi atau destruksi kanal Fallopii. Pada OMA umumnya terjadi karena adanya dehisensi pada kanalis Fallopii, sehingga dapat terjadi kontak langsung dari mediator inflamasi pada nervus fasialis. Pada OMSK umumnya terjadi destruksi dari kanalis Fallopii akibat kolesteatoma dengan onset yang lama dan lambat, prognosis lebih buruk. DIAGNOSIS Anamnesis Muka menceng, kesulitan berkumur, dan menutup kelopak mata pada sisi sakit sesuai dengan sisi telinga dengan OMA atau OMSK. Pemeriksaan Lokasi segmen yang terkena dan derajat kerusakan dapat diperiksa secara klinis. Pemeriksaan lokasi dengan beberapa tes yaitu tes lakrimasi, pengecapan dan reflek stapedius. Lokasi yang paling sering terkena adalan segmen timpani dan genu kedua. Derajat kerusakan saraf ditentukan dengan pemeriksaan motorik muskuli di wajah menggunakan kriteria dari HouseBrackmann.



25



Tabel 1. Kriteria House - Brackmann Grade



Characteristic



I.



Normal facial function in all areas



II.



Mild Gross



dysfunction



Slight weakness noticeable on close inspection. May have very slight synkinesis. At rest, normal symetry and tone Motion Forehead: moderate to good function Eye : complete closure with minimal effort Mouth: slight asymetry



III.



Gross



Moderate



Obvious but not disfiguring difference between the two sides.



dysfunction



Noticeable but not severe synkinesis, contracture or hemyfacial spasm. At rest, normal symmetry and tone Motion Forehead : slight to moderate movement Eye : complete closure with effort Mouth: slight weak with maximum effort



IV.



Gross



Moderately



Obvious weakness and/or



severe



normal symmetry and tone



dysfunction



Motion



disfiguring asymmetry. At rest,



Forehead : none Eye : incomplete closure Mouth : asymmetric with maximum effort



26



V.



Severe Gross



dysfunction



Only barely percepible motion. At rest, asymmetry Motion Forehead : none Eye : incomplete closure Mouth : slight movement



VI.



Total No movement



paralysis



DIAGNOSIS BANDING Bell’s palsy Herpes zoster otikus TERAPI 1.



Bila kausa adalah OMA : antibiotika yang menembus sawar otak dan parasintesis membran timpani bila bombans



2.



Bila kausa adalah OMSK : antibiotika yang menembus sawar otak dan mastoidektomi dengan tujuan eradikasi dan dekompresi.



DAFTAR PUSTAKA 1.



Dhingra PL. Complications of



Suppurative Otitis Media. In:



Dieseases of Ear, Nose and Throat. 3rd ed. New Delhi : Elsevier. 2004. P 79 2.



Arts HA, Adams ME. Intratemporal and Intracranial Complications of Otitis Media. In : In : Johnson JT, Rosen JT, eds. Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology.5th ed. Philadelphia : Lippinott Williams & Wilkins; 2014. P 2403-4



27



3.



Yates PD. Otitis Media. In : Lalwani KL ed. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head &Neck Surgery. New York: Mc Graw Hill, 2004 :704



4.



Friedland DR, Pensak ML, Kveton JF. Cranial and Intracranial Complications of Acute and Chronic Otitis Media. In : Snow JR JB, Wackym PA, eds. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 17ed. New York: BC Decker, 2009:232



5.



Gross ND, McMenomey SO. Aural Complications of Otitis Media. In : Glasscock III ME, Gulya AJ, eds. Glasscock-Shambaugh Surgery of the Ear.5th ed. New York: BC Decker Inc,2003;436



28



KURANG PENDENGARAN H. M. S. Wiyadi



Ada 2 (dua) penyebab kurang pendengaran : 1.



Penyebab kurang pendengaran Konduktif



2.



Penyebab



kurang



pendengaran



Perseptif



/



Kurang



pendengaran Sensori neural / Kurang pendengaran saraf Kalau keduanya diderita menjadi kurang pendengaran campuran



1.



Kurang pendengaran Konduktif



Sebab-sebab kurang pendengaran konduktif Kurang pendengaran konduktif dapat terjadi oleh sebab-sebab berikut. 1.1



Pada meatus akustikus eksterna :  Kotoran liang telinga (serumen)  Cairan. Karena kemasukan air atau sekret dari otitis eksterna  Benda asing  Polip pada telinga  Otitis eksterna, cairannya  Furunkel MAE, bila terlalu besar atau pecah



1.2



Kerusakan pada membran timpani :  Perforasi  Ruptura membrana timpani  Sikatriks membrana timpani  Miringitis 29



1.3



Dalam telinga bagian tengah (kavum timpani)  Kekurangan udara pada oklusio tuba  Darah atau hemato timpanum karena trauma kepala  OMP akuta; OMP kronis  Mastoiditis akuta dan kronis  Tumor pada kavum timpani



1.4



Pada osikula :  Gerakannya terganggu oleh sikatriks  Mengalami destruksi karena otitis media  Ankilosis stapes pada otosklerosis,terapi stapedektomi, “Hearing Aid” (Alat Pembantu Mendengar) = APM, Alat Bantu Dengar = ABD  Timpanosklerosis



2.







Perlekatan







Luksasi karena trauma maupun OMP







Bawaan karena tidak terbentuk salah satu okisula.



Kurang pendengaran Perseptif (Kurang pendengaran sensori neural/ kurang pendengaran saraf) Dari segi lokalisasi Kurang pendengaran Perseptif didapati pada :



-



Koklea



-



N. akustikus (N. VIII)



-



“Brain stem”



-



daerah pendengaran pada kortek serebri



30



Untuk memudahkan mengenai kapan terjadinya kurang pendengaran dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka kurang pendengaran dapat dibagi sbb :



1.



Periode prenatal



2.



Periode perinatal



3.



Periode post natal



4.



Genetic (keturunan)



5.



Psikogen



6.



Tak diketahui sebabnya (“unknown”)



Penyebab-Penyebab Kurang pendengaran Perseptif/ Kurang pendengaran Sensori neural/ Kurang pendengaran Saraf pada : 2.1 Periode prenatal 2.1.1



Oleh faktor genetik



2.1.2



Bukan oleh faktor genetik a.



Terutama penyakit-penyakit yang diderita ibu pada kehamilan trimester pertama (minggu ke-6 s/d ke12) yaitu pada saat pembentukan organ telinga pada fetus. Penyakit-penyakit itu adalah : rubella, morbilli, diabetes millitus, nephritis, toxemia, dan penyakit-penyakit virus yang lain.



b.



Obat-obat yang dipergunakan di waktu ibu mengandung seperti salisilat, kinine, thalidomide, streptomicin dan obat-obatan yang dimaksudkan untuk menggugurkan kandungan.



31



2.2 Periode Perinatal Penyebab kurang pendengaran disini terjadi ketika ibu sedang melahirkan. Misalnya trauma kehamilan dengan memakai forceps, vacuum extractor, letak-letak bayi yang tidak normal, partus yang lama. Juga pada saat ibu mengalami toksemia gravidarum. Sebab yang lain adalah prematuritas, hemolitik disease dan kern icterus.



2.3 Periode posnatal 2.3.1



Penyebab pada periode ini dapat berupa faktor genetik atau keturunan, misalnya pada penyakit “familiar perception deafness”.



2.3.2



Penyebab yang bukan faktor genetik atau keturunan : a.



Pada anak-anak : 1) Penyakit-penyakit infeksi pada otak misalnya meningitis dan encephalitis. 2) Infeksi-infeksi umum : morbilli varicella parotitis (mumps) influenza



thypoid fever pneumonia pertussis diphtheria panas yang tidak dikeahui seb



scarlet fever



Oleh van Dishoeck diberitakan bahwa penyebab terbanyak sudden deafness pada anak-anak adalah



32



“3-M” yaitu meningitis, mumps (parotitis) dan morbilli.



Pemakaian obat-obatan ototoksik pada anak-anak seperti streptomisin, salisilat, kinine, garamisin, dll.



Pada orang dewasa 1) Gangguan pada pembuluh-pembuluh darah koklea



dalam



bentuk



pendarahan,



spasm



(ischemia), emboli dan thrombosis. Gangguan ini terdapat pada hipertensi dan penyakit jantung. 2) Kolesterol yang tinggi. Dibuktikan bahwa penderita-penderita kurang pendengaran sensori neural rata-rata mempunyai kadar kolesterol yang tinggi dalam darahnya. 3) Diabetes melitus. Sering kali penderita diabetes melitus



tak



mengeluh



adanya



kurangan



pendengaran walaupun kalau diperiksa secara audiometris



sudah



jelas



ada



penurunan



pendengaran. Sebab kurang pendengaran disini diperkirakan sbb : -



Suatu neuropati N. VIII (terjadi dysfungsi N. VIII)



-



Suatu mikroangiopati pada telinga dalam (inner ear)



33



-



Obat-obatan



ototoksik.



Penderita



diabetes



melitus sering terkena infeksi dan lalu sering menggunakan antibiotik yang ototoksik. 4) Penyakit-penyakit



ginjal.



Diperkirakan



penyebabnya adalah obat ototoksik, sebab penderita ginjal mengalami gangguan ekskresi obat-obatan yang telah dipakainya. 5) Influenza



oleh



virus.



Dibuktikan



bahwa



“sudden deafness” pada orang dewasa biasanya terjadi bersama-sama dengan infeksi traktus respiratorius yang disebabkan oleh virus. Kurang



pendengaran



yang



terjadi



dapat



mengenai hanya frekuensi tinggi saja atau semua frekuensi. 6) Obat-obatan ototoksik : Diberitakan bahwa bermacam-macam obat dibawah



ini



dapat



menyebabkan



kurang



pendengaran :



-



dihidro streptomisin



- arsenik



- tembaka



-



salisilat



- antipirin



- alkohol



-



kinine



- atropin



-



neomisin



- barbiturat



-



gentamisin



- librium



Pernah dijumpai labirinitis setelah pemakaian Sol. Bonain untuk paracentesa. 34



7) Defisiensi vitamin. Disebut bahwa defisiensi vitamin B1, B Complex dan Vit C dapat menyebabkan kurang pendengaran. 8) Faktor alergi. Diduga terjadi suatu gangguan pembuluh darah pada koklea 9) Trauma Akustik. Letusan bom, senjata api, atau suara bising. 10) Tumor : Akustik Neurinoma 11) Meniere 12) Trauma Kapitis



2.4 Genetik (keturunan) Apabila faktor keturunan ini diturunkan sebagai faktor yang dominan maka 50% dari anak-anak yang lahir akan mengalami kurang pendengaran. Yang diturunkan secara dominan adalah 10% dari kurang pendengaran yang heriditair, 90% yang lain diturunkan secara recessive.



2.5 Psikogen Diberitakan bahwa kurang pendengaran psikogen dapat : -



simulated (malingering)



-



fungsionil (histeri)



2.6 Tidak diketahui sebabnya (“unknown”) Arnvig memberitahukan bahwa 21,1% dari kasus-kasus yang tidak diketahui sebabnya. Menurut Harrison (1959) dan 35



Livingstone (1962) besarnya 30%, menurut Fraser (1964) 38% dari 2355 kasus dan menurut Maran (1966) 28% dari 464 kasusnya.



3.



Alat Bantu Dengar Alat bantu dengar (ABD) adalah suatu perangkat elektronik yang berguna untuk memperkeras (amplifikasi) suara yang masuk dalam telinga; sehingga si pemakai dapat mendengar lebih jelas suara yang ada disekitarnya.



3.1 Komponen ABD Pada ABD terdapat 4 bagian pokok yaitu; 1.



Mikrofon



:



berperan menerima suara dari luar dan



mengubah sinyal suara menjadi energi 2.



Amplifier



: berfungsi memperkeras suara



3.



Receiver



: mengubah energi



4.



Batere



: sebagai sumber tenaga



3.2 Jenis Alat Bantu Dengar 3.2.1



ABD Jenis Saku (Pocket/ Body worn type) Dapat dianggap sebagai ABD terbesar. Pada ABD jenis saku penempatan terpisah antara mikrofon dan receiver dimaksudkan agar pengguna dapat leluasa memperbesar output tanpa khawatir timbulnya feed back. Jadi ABD jenis saku ini diperlukan oleh penderita kurang pendengaran berat yang membutuhkan perbesaran bunyi.



36



3.2.2



ABD jenis belakang telinga (Behind The Ear atau BTE) ABD ini dipasang pada lekukan daun telinga bagian belakang, dengan mikrofon mengarah ke depan. Posisi ini cukup baik karena selalu mengikuti gerakan kepala juga mengarah ke lawan bicara.



3.2.3



ABD jenis ITE (In The Ear) ABD jenis ITE ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan BTE. Kemampuan amplifikasinya terbatas sehingga hanya cocok untuk kurang pendengaran derajat sedang.



3.2.4



ABD jenis ITC (In The Canal) Ukurannya lebih kecil lagi dari ITE. Pemasangan cukup dalam pada liang telinga. Hanya bermanfaat untuk kurang pendengaran derajat sedang.



3.2.5



ABD jenis CIC (Completely In The Canal) Merupakan ABD terkecil dan di pasang pada sisi dalam liang telinga, jadi lebih dekat dengan gendang telinga.



3.2.6



ABD Jenis Kacamata (Spectacle aid) ABD ditempatkan pada tangkai kaca mata bagian belakang. Pemanfaatan cara ini untuk ABD jenis hantaran tulang kurang efektif karena tekanan penggetar tulang (bone vibrator) tidak stabil.



4.



PGPKT (Penanggulangan



Gangguan



Pendengaran



dan



Kurang



pendengaran) Program Sound of Hearing 2030 37



Ada 4 penyakit yang menyebabkan kurang pendengaran yang dapat dicegah :



a.



o



Tahun 2015  dapat dicegah 50%



o



Tahun 2030  dapat dicegah > 90%



Kurang pendengaran Kongenital (OAE, BERA/ABR, Koklear Implan, ABD)



b.



Kurang pendengaran karena infeksi (OMA-OMK)



c.



Kurang pendengaran karena bising - GPAB (Gangguan Pendengaran Akibat Bising / Noise Induced Hearing Loss) - Mendadak (trauma akustik)



d.



Kurang pendengaran pada usia lanjut (presbikusis)



Di Indonesia ada satu lagi Serumen Obturan.



DAFTAR PUSTAKA



1.



Wiyadi MS. Penyebab ketulian di seksi audiologi bagian THK RSUD Dr. Soetomo/FK Unair Tahun 1974 sampai dengan 1976. Dalam : Wiyadi HMS, ed. Kumpulan Karya Ilmiah Pada Kegiatan PERHATI-KL. Surabaya : Airlangga University Press; 2011. hal. 15-28



2.



Wiyadi MS, Hernomo SS, Iskandar A. Sebab-sebab ketulian. Dalam : Wiyadi HMS, ed. Kumpulan Karya Ilmiah Pada Kegiatan PERHATI-KL. Surabaya : Airlangga University Press; 2011. hal. 51-66



38



3.



Wiyadi, MS. Penyebab gangguan pendengaran. Dalam : Wiyadi HMS, ed. Kumpulan Karya Ilmiah Pada Kegiatan PERHATI-KL. Surabaya : Airlangga University Press; 2011. hal. 97-107



4.



Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan pendengaran (tuli). Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti ED, ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011. hal. 10-22



5.



Sjarifuddin, Bashiruddin J, Alviandi W. Tuli koklea dan tuli retrokoklea. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti ED, ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011. hal. 23-30



6.



Wiyadi MS. Audiometri. Majalah Dokter Keluarga 1984; 3 : 455-7



7.



Wiyadi MS. Beberapa penyakit yang memerlukan pemeriksaan audiometri. Majalah Dokter Keluarga 1984; 3 : 390-2



8.



Suwento R, Zizlavsky S. Habilitasi dan rehabilitasi pendengaran. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti ED, ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011. hal. 87-93



39



PEMERIKSAAN FUNGSI PENDENGARAN H. M. S. Wiyadi



Fungsi telinga manusia yang terpenting ialah alat komunikasi seseorang dengan sekelilingnya, yaitu mendengar berita, orang bicara, suara musik, suara binatang dan lain-lain. Yang paling sering adalah suara manusia, maka wajar bila tes pendengaran, telinga dirangsang oleh suara konversi, untuk ilmiah perlu dianalisis dengan audiometer. Fungsi yang lain untuk keseimbangan.



Dengan melakukan tes pendengaran kita dapat mengetahui beberapa hal yaitu :  Apakah seseorang kurang pendengaran atau tidak , atau apakah seseorang kurang pendengaran atau normal  Dapat mengetahui derajat kurang pendengaran  Dapat mengetahui jenis kurang pendengaran atau letak kurang pendengaran, kurang pendengaran konduktif kebanyakan dapat diobati dengan hasil memuaskan, kurang pendengaran perseptif atau kurang pendengaran saraf atau kurang pendengaran sensori neural biasanya pengobatannya kurang memuaskan. Ada 3 (tiga) tes pendengaran yang akan kita bicarakan, yaitu : 1.



Tes Suara Bisik diteruskan tes konversasi



2.



Tes Garpu Suara atau Garpu Tala



3.



Tes Audiometri



40



I.



TES SUARA BISIK Suara bisik adalah kata-kata yang dibisikkan dengan udara cadangan dalam paru-paru yaitu udara yang tertinggal sesudah ekspirasi biasa atau normal. Suara bisik lebih konstan dan jarak yang diperlukan lebih kecil, tetapi masih ada kesulitan, orang normal masih dapat mendengar suara bisik dari jarak 10 meter, akhirnya diambil consensus 6 meter dianggap normal, maka cukup memerlukan kamar 4 x 5 meter, dimana diagonal lebih dari 6 meter.



1.1



SYARAT KAMAR PERIKSA Diperlukan tempat yang sunyi,tidak ada ekho, ukuran minimal 4 meter x 5 meter yang berarti diagonal lebih 6 meter. Dinding sebaiknya tidak rata, ada korden atau “soft board”.



1.2.



SYARAT PENDERITA ATAU YANG DIPERIKSA Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk yang diperiksa, yaitu tentang mata yang diperiksa, telinga dan bagaimana cara menjawab atau mengulang suara yang dibisikkan. 1.2.1



Mata Mata ditutup agar tidak melihat gerakan mulut pemeriksa yang membisiki.  Bila pemeriksa tidak ada pembantu maka mata yang diperiksa ditutup dengan sapu tangan.  Bila ada pembantu mata yang diperiksa ditutup dengan tangan pembantu agar tidak melihat gerakan bibir yang memeriksa.



41



1.2.2



Telinga Telinga yang diperiksa dihadapkan ke pemeriksa untuk dibisiki atau mendengarkan suara bisik yang diucapkan oleh pemeriksa. Telinga yang tidak diperiksa:  Pemeriksa tidak ada pembantu, telinga yang tidak diperiksa ditutup dengan kapas dan gliserin.  Pemeriksa ada pembantu, jari telunjuk pembantu ditekankan pada tragus penderita sehingga telinga tertutup rapat, kemudian digerak-gerakkan sehingga timbul suara sebagai “masking”



1.2.3



Jawaban orang yang diperiksa Yang diperiksa atau penderita disuruh mengulang dengan suara keras dan terang kata-kata yang dibisikkan oleh pemeriksa.



1.3



SYARAT PEMERIKSA (DOKTERNYA) Untuk pemeriksa atau dokter yang memeriksa diperlukan beberapa syarat sebagai berikut : 1.3.1.



Cara membisikkan : Kata kata yang diucapkan atau dibisikkan dengan udara cadangan



dalam paru-paru



sesudah ekspirasi normal atau biasa. Diucapkan lambat-lambat dan terang, jangan dengan mulut ditutup 1.3.2 



Kata-katanya : Untuk menghilangkan faktor menerka dipakai suku satu atau dua, jangan kata-kata singkatan yang belum dikenal 42



penderita atau yang diperiksa, misal lettu, polsek, dema dan lain-lain. Banyak kata suku satu dalam percakapan seharihari dijadikan suku dua, misalnya :







Stop







setop



Klas







kelas



Stang







setang



Strum







setrum



Skrup







sekrup



Sport







seport



Milk







milek



Kata-kata harus yang dikenal penderita baik istilah atau hubungan dengan pekerjaannya, seorang petani mungkin lebih baik dites dengan kata-kata yang ada hubungannya dengar kehidupan sehari-harinya,



misal : jagung,



pohung, pacul dan lain-lain. 



Mengandung huruf lunak dan desis : Huruf lunak : l, k, m, n, g, u Huruf desis : s, f, c Hanya sedikit kata-kata Indonesia yang bersuku kata, Contohnya : nan, es, yang, dan, bang, cat, cap, gang, jam.



1.4



PELAKSANAANNYA Kita mulai dari jarak satu meter, bila penderita mendengar dan dapat menirukan dengan benar semua kata-kata yang dibisikkan, 43



maka kita mundur 2 meter, 3 meter, 4 meter, 5 meter, sampai dengan 6 meter. Sebagai batas berapa meter penderita tes suara bisiknya, ialah pada jarak meter tertentu penderita dapat mendengar 80% dari kata-kata yang dibisikkan dan menirukan kembali dengan benar,jadi 4 dari 5 kata, 8 dari 10 kata, 16 dari 20 kata dan seterusnya. Suara bisik 3 meter pada telinga kiri, artinya pada jarak 3 meter, telinga kiri penderita dapat mendengar dan menirukan dengan benar 80% dari kata-kata yang dibisikkan. Sebagai kontrol, suara bisik 3 meter, bila kita maju ke 2 meter dapat mendengar dan menirukan dengan benar lebih dari 80%, bila mundur ke 4 meter kurang dari 80%. 2m



3m



90-100 %



4m 80 %



70-60-50 % Apabila 1 meter tidak mendengar, maka kita maju sampai dapat meniru benar berapa cm, 50 cm, 75 cm dan seterusnya. Suara bisik kurang dari satu meter kita lakukan tes konversasi.



1.5 HASIL EMERIKSAAN 1.5.1



Secara kuantitatif Suara bisik jarak :



10 m – 6 m --------------- normal 5 m – 4 m -------------



-- praktis normal 3 m – 2 m -------------- kurang pendengaran ringan



44



1m



------------



-- kurang pendengaran sedang 10 cm -------------- kurang pendengaran berat 0 cm -------------- kurang pendengaran total Sebagai ilustrasi untuk menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran UA/Fakultas Kedokteran Hewan UA : 



Satu telinga 4 m, yang lain minimal 4 m







Satu telinga 2 m, yang lain harus 6 m Untuk menjadi pegawai negeri :







Satu telinga 4 m, yang lain minimal 4 m







Satu telinga 1 m, yang lain harus 6 m



1.5.2



Secara kualitatif



Kurang pendengaran ada kurang pendengaran konduktif dan kurang pendengaran perseptif atau disebut pula kurang pendengaran saraf, kurang pendengaran labirin atau “sensory-neural hearing loss”. Kurang pendengaran konduktif



kelainan terhadap pada telinga



bagian luar sampai ke telinga bagian tengah. Kurang pendengaran perseptif kelainan terdapat dari telinga dalam/koklea sampai ke pusat pendengaran di korteks serebri lobus temporalis. a.



Pada kurang pendengaran konduktif dengan dengan tes suara bisik penderita tidak mendengar huruf lunak. Misal : su – su didengar s – s 45



b.



Pada kurang pendengaran perseptif dengan tes suara bisik penderita tidak mendengar huruf desis. Misal : su – su didengar s – s Sa – tu didengar a – ku Ci – cak didengar ka – kak



1.6 TES SUARA BISIK MODIFIKASI Untuk memeriksa calon mahasiswa yang banyak serta pemeriksaan kesehatan rutin pegawai digunakan Tes Suara Bisik yang dimodifikasi. Dalam sehari dapat memeriksa sampai 70 calon mahasiswa atau pegawai. Yaitu dengan cara memeriksa membelakangi penderita, hal ini dapat mengurangi sepertiga dari jarak pemeriksaan, jarak ini dapat dikurangi lagi dengan sepertiganya, jadi sepersembilan, dengan cara telinga penderita dipalingkan (telinga yang diperiksa menghadap arah berlawanan dengan mulut pemeriksa), jarak ½ meter sama dengan 4 ½ meter jarak tes suara bisik yang biasa. Cara melakukannya : -



Pemeriksa duduk berhadapan dengan penderita atau yang akan diperiksa



-



Telunjuk kiri atau kanan pemeriksa ditekankan pada tragus telinga penderita yang tidak diperiksa dan menutup telinga, kemudian digerakgerakkan hingga menimbulkan suara sebagai masking.



-



Dibisikkan kata-kata yang berasal dari PB-List dengan memalingkan



mulut



membelakangi



telinga



penderita,



46



dibisikkan 5 – 10 kata penderita disuruh menirukan dengan terang dan keras apa yang didengar. -



Apabila penderita bisa menirukan dengan benar 80% dari kata-kata yang dibisikkan, maka telinganya dianggap normal, suara bisik antara 4 ½ meter – 6 meter



Bila tidak bisa mencapai 80% dilakukan tes suara bisik yang biasa, atau diteruskan dengan pembuatan audiogram.



2



TES GARPU SUARA ATAU GARPU TALA Frekuensi GT yang biasanya dipakai : 64, 128, 256, 512, 1024,



2048, 4096 2.1.



Menentukan



batas



atas







batas



bawah



(garis



pendengaran) Teknik (cara) : Garpu tala dibunyikan dengan lunak sedemikian rupa sehingga hanya didengar telinga normal (dengan cara menyentuh pada ujungnya) lalu pangkalnya dipegang di muka meatus externus dengan posisi kedua kaki nya sejajar pada garis lurus yang menghubungkan meatus externus kanan dan kiri. Semua GT dibunyikan dari frekuensi yang rendah sampai tinggi (16 – 4096) dan dicatat apa dapat didengar. (Frekuensi rendah 16-32 Hz sebenarnya tidak di dengar tapi dirasakan vibrasinya, frekuensi yang dapat didengar mulai 128 Hz). Dikatakan batas bawah naik kalau nada-nada rendah tidak dapat didengar. Ini didapatkan pada kurang pendengaran konduktif. 47



Dikatakan bahwa batas atas turun kalau nada-nada tinggi tidak



dapat



didengar.



Ini



didapatkan



pada



kurang



pendengaran perseptif = kurang pendengaran saraf. 2.2.



Schwabach. Dasar : gelombang dalam endolim selain digerakkan oleh getaran dari udara oleh getaran yang datang dari tulang. Maksud : membandingkan daya transport melalui tulang antara orang normal (pemeriksa) dan penderita. Teknik : GT yang dipakai dapat 256, 412, 1024 atau 2048Hz. GT 512 disentuh dengan keras -



Lalu tangkai diletakkan tegak lurus pada planum mastoid dari pemeriksaan (dr) sampai dokter tidak terdengar lagi



-



Cepat-cepat tangkai GT tersebut diletakkan tegak lurus pada planurn mastoid penderita



Kemungkinan : a.



Penderita masih mendengar , ini dikatakan Schwabach memanjang



terdapat



pada



kurang



pendengaran



konduktif. b.



Penderita tidak mendengar



Dalam hal ini pemeriksaan dibalik, yaitu : GT disentuh dengan keras, lalu diletakkan tegak lurus pada planum mastoid penderita. Bila penderita tidak mendengar lagi cepat pindahkan GT pada planum mastoid dokter.



48



-



Bila dokter tidak mendengar berarti dokter dan penderita normal Scwabachnya.



-



Bila dokter masih mendengar berarti Schwabach memendek dan ini didapatkan pada kurang pendengaran perseptif.



Pada telinga yang normal, frekuensi 256/512 Hz dapat didengar melalui tulang selama ± 70 detik. Penderita dengan kurang pendengaran perseptif akan mendengar lebih pendek. Makin berat perseptif makin pendek waktu tersebut. 2.3.



Weber Dasar : Getaran melalui tulang dihantarkan ke segala jurusan. Bila ada halangan (pus, jaringan granulasi) pada telinga kanan penderita misalnya maka pus tersebut ikut bergetar sehingga terdengar lebih keras disebelah kanan disebut lateralisasi kanan. Maksud : Membandingkan hantaran tulang dari kedua telinga. -



GT dengan frekuensi 512 Hz atau 256 Hz dibunyikan dengan keras



-



Lalu tangkainya diletakkan tegak lurus pada garis median pada (vertex, glabella, kening/dahi rahang atas).



-



Tanyakan pada penderita telinga mana yang mendengar lebih keras.



49



-



Normal didengar sama keras oleh telinga kanan dan kiri, kadang-kadang tak dapat menentukan terasa diseluruh kepala.



Contoh : Bila ada lateralisasi ke kanan maka secara teoritis ada 5 kemungkinan, yaitu : 1.



Kurang pendengaran konduktif kanan, telinga kiri normal



2.



Kurang pendengaran konsuktif kanan dan kiri tapi kanan lebih berat daripada kiri



3.



Kurang pendengaran perseptif kiri, telinga kanan normal



4.



Kurang pendengaran perseptif kiri dan kanan tetapi kiri lebih berat daripada kanan



5.



Kurang



pendengaran



konduktif



kanan,



kurang



pendengaran perseptif kiri 2.4



Rinne Dasar : Hantaran melalui tulang lebih cepat daripada melalui udara, jadi getaran di dengar lebih pendek melalui tulang daripada melalui udara. Contoh : GT 256/512 Hz getarannya melalui udara didengar selama 140˝, padahal melalui tulang 70˝. Maksud : Membandingkan hantaran melalui tulang dan melalui udara pada satu telinga penderita. Teknik : 50



-



GT 512 Hz dibunyikan keras



-



Lalu tungkai GT tersebut diletakkan tegak lurus pada planum mastoideum penderita. Disini jadi hantaran melalui tulang.



-



Bila penderita sudah tidak mendengar lagi, GT dibawa ke muka maetus ext., jarak ± 1 cm. Disini hantaran melalui udara.



Pada orang normal masih akan mendengar GT berbunyi dimuka maetus ext tersebut. Ini disebut tes Rinne Positif.



Kemungkinan lain waktu GT diletakkan di depan meatus : -



Penderita tidak mendengar lagi, ini disebut tes Rinne Negatif. Keadaan ini terdapat pada kurang pendengaran konduktif.



-



Penderita tidak mendengar, tetapi yang terdengar ini sebetulnya telinga lainnya yang tidak di tes.



Ini disebut Rinne Pseudonegatif (False Rinne). Terdapat pada satu telinga yang kurang pendengaran perseptif berat / total.



2.5.



Bing (tes Oklusi) Cara pemeriksaan : Tragus telinga yang diperiksa ditekan sampai menutup liang telinga, sehingga terdapat kurang pendengaran konduktif kira-kira 30 dB. Penala digetarkan dan diletakkan pada pertengahan kepala (seperti pada tes Weber).



51



Penilaian : bila terdapat lateralisasi ke telinga yang ditutup berarti telinga tersebut normal. Bila bunyi pada telinga yang ditutup tidak bertambah keras, berarti telinga tersebut menderita kurang pendengaran konduktif. 2.6.



Stenger : digunakan pada pemeriksaan kurang pendengaran anorganik (simulasi atau pura-pura kurang pendengaran). Cara pemeriksaan : menggunakan prinsip masking. Misalnya



pada



seseorang



yang



berpura-pura



kurang



pendengaran pada telinga kiri. Dua buah penala yang identik digetarkan dan masing-masing diletakkan di depan telinga kiri dan kanan, dengan cara tidak kelihatan oleh yang diperiksa. Penala pertama digetarkan dan diletakkan di depan telinga kanan (yang normal) sehingga jelas terdengar. Kemudian penala yang kedua digetarkan lebih keras dan diletakkan di depan telinga kiri (yang pura-pura kurang pendengaran). Apabila kedua telinga normal karena efek masking, hanya telinga kiri yang mendengar bunyi; jadi telinga kanan tidak akan mendengar bunyi. Tetapi bila telinga kiri kurang pendengaran, telinga kanan tetap mendengar bunyi.



3



TES AUDIOMETRI Audiometri diartikan sebagai pemeriksaan pendengaran seseorang individu dengan alat elektro akustik. Alat elektro akustik ini yang disebut audiometer. Sedang hasil dari pemeriksaan pendengaran dengan audiometer ini digambarkan dalan suatu grafik yang disebut audiogram.



52



3.1.



KOMPONEN BUNYI 1.



Frekuensi yaitu menentukan tinggi dan rendahnya suatu nada/bunyi satuannya cycle/menit/atau Hertz



2.



Intensitas Menentukan keras dan lemahnya suatu bunyi. Satuannya desbel (db), suara konversasi kira-kira 50 db.



3.



Waktu Menentukan panjang pendeknya suatu bunyi.



Bila terjadi suatu distorsi dari frekuensi disebut diplacusis. Bila terjadi distorsi dari intensitas disebut recruitment. Bila terjadi distorsi dari waktu disebut remanence .



3.2.



PEMBAGIAN AUDIOMETRI Kebanyakan pemeriksaan audiometri yang kita lakukan sehari-hari adalah audiometri yang subyektif, dimana kita memerlukan kooperasi dari penderita. Audiometri yang obyektif misalnya dengan pembuatan elektro kokhleogram dan BERA, ini berdasarkan adanya potential elektrik dari kokhlea. Ini tidak memerlukan kooperasi dari penderita.



Audiometri subyektif ini ada 2 yaitu: 1.



Pure tone audiometry



2.



Speech audiometry



Pure tone audiometry dibagi lagi menjadi 2 (dua), yaitu supra liminal dan liminal.



53



3.3



Pure tone tone audiometry yang supra liminal (diatas nilai ambang) sebenarnya ialah mengukur atau mengetahui ketiga distorsi diatas. 3.3.1



Adanya diplacusis dapat kita ketahui apabila salah satu telinga terkena kurang pendengaran perseptif.



3.3.2



“Recruitment” dapat diketahui dengan



a. tes SISI (short increment sensitivity index test). b. dengan speech audiogram c. tes nilai ambang sakit d. balance test e. OAE (Oto Acoustik Emission) Bila ada recruitment ini menujukkan ada kelainan di koklea. 3.3.3



Remanence diketahui dengan tone decay test. Bila tone decay test positif menunjukkan adanya



kelainan di retro koklea. Pemeriksaan yang lain dengan Tes BERA.



3.4



Pure Tone Audiometry yang Liminal Ini adalah dasar dari pemeriksaan audiometri. Audiogram yang kita buat dan baca sehari-hari kebanyakan adalah pure tone audiogram yang liminal. Tes-tes yang lain baru dibuat apabila audiogram ini sudah dibuat terlebih dahulu. Sehingga yang dimaksud audiogram sehari-hari yaitu pure tone audiogram yang liminal



54



ini. Pembuatan audiogram ii sebenarnya adalah mencari nilai ambang



dari



masing-masing



frekuensi



yaitu



125,



250,500,1000,2000,4000, 6000 dan 8000 Hz. Nilai ambang yang dicari melalui hantaran udara (air conduction) dan melalui hantaran tulang (bone conduction) Air conduction caranya ialah dengan meletakkan ear phone pada kedua telinga, kita periksa mulai dari telinga yang baik. Apabila penderita tak dapat membedakan mana yang baik telinga kanan dan kiri, selalu kita mulai dari yang kanan. Kita mulai dari frekuensi dari 1000 Hz (sebab mempunyai range antara nilai ambang pendengaran dan nilai ambang sakit lebih luas antara 0 s/d 120 db). Kemudian kita cari nilai ambang 500, 250, 125, kita ulangi yang 1000, 2000, 4000, 6000, dan 8000 Hz.Apabila ada perbedaan kanan dan kiri 40 db atau lebi yang baik harus dimasking. Bone conduction caranya ialah meletakkan vibrator atau osilator pada planum mastoidium, kita cari nilai amabang dari frekuensi 125, 250, 500, 1000, 2000, 4000, (tergantung dari audiometer yang dipakai ada beberapa frekuensi yang tak ada bone conductionnya). Perbedaan kanan kiri 10 db atau lebih telinga yang baik harus dimasking atau bila test Weber menunjukkan lateralisasi kemana, maka arah lateralisasi ini menunjukkan telinga mana yang harus dimasking. Tes Weber yaitu dengan meletakan vibrator digaris tengah kepala biasanya di dahi).



55



Audiogramnya Hasil nilai ambang melalui udara dan tulang tadi digambarkan dalam grafik yang disebut audiogram.



3.4.1



Audiogram normal (gambar I)



56



Bone dan air conduction tidak lebih dari 20 db.



3.4.2



Kurang pendengaran konduktif (gambar 2) 



Bone conduction normal 0-20 db.







Air conduction tidak normal lebih dari 20 db.







Ada air bone gap (perbedaan air dan bone 10 db atau lebih)



57



3.4.3



Kurang pendengaran perseptif (gambar 3) Baik bone conduction maupun air conduction lebih dari 20 db (tidak normal) turun dalam level yang sama (berimpit)



3.4.4



Kurang pendengaran campuran (gambar 4) Baik bone conduction maupun air conduction lebih dari 20 db (tidak normal) tapi ada air bone gap.



58



3.5



”SPEECH AUDIOMETRY”



Kalau pure tone audiometry bahan untuk tes nada murni maka kalau speech audiometry bahan untuk tesnya adalah kata-kata yang disusun dalam PB List (Phonetically Balance list)



3.5.1



3.5.2



59



3.6



CONTOH KELAINAN AUDIOGRAM 3.6.1



3.6.2



3.6.3 PRESBIKUSIS



60



DAFTAR PUSTAKA 1.



Wiyadi MS. Tes Pendengaran suara bisik. Media Perhati 1997; 3 : 180-4



2.



Wiyadi MS, Hernomo SS, Iskandar A. Tes garpu tala. Media Perhati 2000; 6 :5-8



3.



Wiyadi



MS. Iskandar A. Pemeriksaan pendengaran calon



mahasiswa Universitas Airlangga. Kumpulan naskah konas VI Perhati Medan 30 Juni – 2 Juli 1980 : 77-82 4.



Wiyadi MS. Amatpoero H. Pemeriksaan pendengaran karyawan RSUD. Dr. Soetomo. Media Perhati 1995; 1 : 133-137



5.



Wiyadi MS. Audiometri. Majalah Dokter Keluarga 1984; 3 : 455-7



6.



Wiyadi MS. Beberapa penyakit yang memerlukan pemeriksaan audiometri. Majalah Dokter Keluarga 1984; 3 : 390-2



7.



Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan pendengaran (kurang pendengaran). Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti ED, ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011. hal. 10-22



8.



Sjarifuddin, Bashiruddin J, Alviandi W. Tuli koklea dan tuli retrokoklea. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti ED, ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011. hal. 23-30 ‘ 61



PRESBIKUSIS



H. M. S. Wiyadi



Presbikusis sebenarnya bukanlah suatu penyakit, melainkan proses fisiologi dari jaringan tubuh karena ketuaan yang bermanifestasi pada organ pendengaran. Walaupun presbikusis merupakan proses fisiologis, namun cepatnya gejala yang tampak pada seseorang dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan seperti kebisingan, obat-obatan, penyakit sistemik dan stres misalnya sakit berat atau setelah mendapat narkose umum.



Proses presbikusis dimulai pada usia dekade 3 atau 4, akan berlanjut dengan bertambahnya usia, dan akan tampak nyata setelah berusia 65 tahun atau lebih. Kadang-kadang sudah timbul pada usia 40 tahun atau kurang, disebut presbikusis prekok.



Istilah presbikusis digunakan untuk penurunan pendengaran tipe sensori neural pada kedua telinga yang terjadi pelan namun pasti, terutama pada frekwensi tinggi dan terjadi pada orang tua, serta disertai dengan hilangnya diskriminasi nada tutur.



1.



Angka Kejadian Tidak ada perbedaan antara pria dan wanita. Di Amerika Serikat beberapa penelitian menunjukkan bahwa lebih kurang 25% dari populasi berusia 65 hingga 74 tahun dan hampir 50% dari populasi diatas 75 tahun mengalami gangguan pendengaran. 62



2.



Etiologi Etiologi dari presbikusis belum diketahui dengan pasti, secara umum penyebabnya adalah proses degeneratif karena pertambahan usia. Beberapa faktor etiologi yang diduga dapat mempengaruhi proses presbikusis adalah :



2.1 Faktor Genetik Ada kecenderungan diderita keluarga tertentu. Cepatnya proses perubahan degeneratif pada telinga dalam dipengaruhi oleh faktor genetik ini. Dalam suatu penelitian ditemukan nilai ambang pendengaran orang kulit hitam lebih baik dari orang kulit putih. 2.2 Nutrisi Dalam



suatu



penelitian



ditemukan



perbedaan



ambang



pendengaran nada tinggi yang dihubungkan dengan kadar kolesterol serum. 2.3 Kebisingan Pada lingkungan yang bebas kebisingan, pendengaran orangorang bermakna lebih baik dibandingkan lingkungan industri. 2.4 Faktor Lain Tidak merokok, diet rendah kolesterol, tidak menderita hipertensi maupun penyakit vaskuler lain, obat-obatan, penyakit sistemik dan trauma juga ikut berperan dalam ambang pendengaran pada orang tua.



63



3.



Patologi Ada 4 (empat) tipe presbikusis yaitu : 1.



Presbikusis sensoris



2.



Presbikusis neural



3.



Presbikusis strial



4.



Presbikusis koklear konduktif



Akhir-akhir ini pembagian presbikusis yang lain adalah



4.



-



Tipe perifer (koklea dan neuron koklea)



-



Tipe sentral



-



Campuran (perifir dan sentral)



Gejala Klinis Atas dasar kelainan patologi yang terjadi pada organ pendengaran yaitu telinga dalam, maka manifestasi klinis pada penderita presbikusis adalah : 4.1 Gangguan pendengaran Gangguan pendengaran simetris kanan dan kiri pada frekwensi tinggi. 4.2 Gangguan diskriminasi nada tutur Penderita dapat mendengarkan percakapan tetapi tidak dapat mengerti apa yang dikatakan. 4.3 Problem limitasi Penderita mengeluh lebih sulit mendengar ketika lebih dari seseorang bicara atau ketika ada latar belakang suara (“cocktail party deafness”).



64



4.4 Gejala rekruitmen Pada intensitas tertentu akan didengar seperti keadaan normal sedangkan dibawah intensitas tersebut terjadi penurunan nilai ambang pendengaran.



5.



Diagnosis Diagnosis presbikusis dibuat berdasarkan atas keluhan penderita dan gambaran klinis audiogram yaitu kurang pendengaran sensori neural pada frekwensi tinggi, bilateral dan simetris telinga kanan dan kiri. Biasanya juga disertai dengan hilangnya diskriminasi nada tutur. Kelainan ini dimulai pada usia setengah baya hingga usia lanjut.



PRESBIKUSIS



6.



Penatalaksanaan Karena sukar sembuh, pencegahan akan lebih baik. Secara teoritis sesuai dengan faktor etiologi, pencegahannya adalah: 6.1 Menghindari suara bising, 65



6.2 Diit rendah lemak, 6.3 Menghindari rokok dan alkohol, 6.4 Menghindari stres.



Problem utama yang dihadapi penderita gangguan pendengaran adalah gangguan komunikasi. Tujuan penanganan gangguan fungsi pendengaran pada presbikusis yang tidak dapat ditolong dengan operasi atau obat-obatan pada dasarnya adalah memberi bantuan bagaimana mereka dapat berkomunikasi.



Alat Bantu Dengar (ABD) sangat membantu para penderita penurunan fungsi pendengaran. Penyuluhan yang diperlukan menyangkut cara penggunaan ABD dan informasi segala aspek yang berhubungan dengan gangguan pendengaran itu sendiri.



Keberhasilan dari rehabilitasi pendengaran tergantung pada : sisa pendengaran penderita, kemampuan fisik yang meliputi status kesehatan dan mobilitas, problem psiko sosial, motivasi serta adaptasi penderita. Meskipun APM/ABD dapat membantu penderita presbikusis terhadap gangguan pendengaran, tetapi tidak dapat mengambalikan pendengaran menjadi normal.



7.



Prognosis Pada umumnya sukar sembuh. 7.1 Kurang pendengaran bertambah dengan pelan-pelan. Tipe ini sering dijumpai dan jarang progresif atau kurang pendengaran total. 66



7.2 Kurang



pendengaran



bertambah



dengan



cepat



disebut



“apoplestifom”. Penyebabnya diduga adanya pendarahan atau trombosis, sehingga kurang pendengaran terjadi mendadak dengan cepat.



DAFTAR PUSTAKA 1.



Utami IS, Wiyadi MS. Presbiakusis. Media Perhati 1997 ; 6 : 5-8



2.



Sewento R, Hendarmin H. Gangguan pendengaran pada geriatri. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti ED, ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011. hal. 43-45



3.



Wiyadi MS. Audiometri. Majalah Dokter Keluarga 1984; 3 : 455-7



4.



Wiyadi MS. Beberapa penyakit yang memerlukan pemeriksaan audiometri. Majalah Dokter Keluarga 1984; 3 : 390-2



5.



Suwento R, Zizlavsky S. Habilitasi dan rehabilitasi pendengaran. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti ED, ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011. hal. 87-93



67



Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss) Nyilo Purnami



Batasan : Gangguan pendengaran akibat bising adalah gangguan pendengaran tipe sensori neural yang disebabkan pajanan bising cukup keras dalam jangka waktu lama. Bisa disebabkan oleh bising lingkungan kerja. Bersifat bilateral, terjadi pada kedua sisi, Patofisologi : Pengaruh bising menyebabkan gangguan di dalam koklea yaitu kerusakan sel sensorik dan penunjang. Efek juga dapat terjadi pada sel ganglion, saraf, membrane tektoria, pembuluh darah dan stria vaskularis. Jenis kerusakan pada struktur organ tertentu bergantung pada intensitas, lama pajanan dan frekuensi bising. Gejala Klinik : Efek auditorial ditandai dengan : -



Pendengaran menurun



-



Tinitus



-



Kesulitan menangkap pembicaraan



-



Audiogram terdapat takik pada frekuensi 4000 – 6000 Hz



Efek non auditorial : -



Kelainan kardiovaskuler



-



Depresi



-



Kesulitan konsentrasi



Pemeriksaan : -



Pemeriksaan telinga / Otoskopi 68



-



Skrining Pendengaran pada kelompok berisiko tinggi, yaitu



antara lain pekerja pabrik, pemusik, pegawai di tempat keramaian. -



Tes



diagnostik



pendengaran



dengan



Audiometri,



timpanometri, OAE, ABR -



Diagnosis banding dengan gangguan pendengaran tipe



sensori neural lainnya -



Pemetaan kebisingan, pengukuran sumber bunyi



Komplikasi : -



Efek audiotorik / vestbuler



-



Efek sistemik



Penatalaksanaan : Pencegahan merupakan hal yang terpenting. Hindari pajanan bising dengan memindahkan ke lingkungan (kerja) yang lebih aman kurang bising. Penggunaan alat pelindung diri (APD) terhadap bising yaitu seperti sumbat telinga, tutup telinga ( head phone ) maupun helm saat bekerja atau terpajan bising. Bila sudah terjadi maka perlu rehabilitasi denga terapi wicara. Penanggulangan sumber bising dengan peredam atau mengganti dengan alat yang baru. Menerapkan komunikasi, informasi dan edukasi. Memberikan informasi pada tempat bising sesuai dengan pengukuran ambang bising.



Prognosis :



69



Pada pendengaran yang bersifat permanen, prognosis kurang baik.



Pencegahan : Menerapkan dengan



program



menggunakan



alat



konservasi pelindung



pendengaran telinga,



yaitu



melalukkan



identifikasi sumber bising melalui survei kebisingan, melakukan analisis kebisingan dengan mengukur bising menggunakan sound level meter, melakukan secara berkala pemeriksaan audiometri dam OAE. Menerapkan sistem informasi, komunikasi dan edukasi dalam menggunakan alat pelindung telinga diri secara ketat dan melakukan pencatatan dan pelaporan data.



Daftar Pustaka : 1.



Soetirto I, BAshiruddin J. GAngguan Pendengaran Akibat Bising ( Noise Induced , Buku Ajar Ilmu PenyakitHearing Loss). Soepardi EA. Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT, edisi ke 6; FKUI 2007 hal 49-52



2.



Frederick N Martin. John G C, Introduction of Audiology. 9 th ed, Pearson, 2006.



3.



Johansen M, On Noise and Hearing Loss Prevalence and Reference Data., Linkopng 2003



4.



Health and Safety Laboratory, Noise Levels and Noise Exposure of Workers in Pubs and Clubs A review of the literature, 2002



5.



Direktorat Kesehatan Khusus Direktorat Kesehatan Masyarakat dan Kesos RI dalam Penanganan Penyakit Akibat Hubungan Kerja dan Cacat Akibat Kecelakaan Kerja, Jakarta, UI 2001 70



6.



Bashiruddin J, Pengaruh Bising dan Getaran pada fungsi



keseimbangan dan pendengaran. Disertasi. Jakarta, UI 2002 7.



Chassin, M. Musician and the prevention of hearing loss:



an iontroduction. Audiology online. Available via the articles asrchive on htpp: // www.audiologyonline.com



71



TINITUS H. M. S. Wiyadi



Tinitus adalah kelainan sensasi suara pada seseorang yang tidak ada hubungannya dengan rangsangan sumber suara dari luar. Suara yang yang terdengar dinyatakan sebagai suara yang mendenging, mendesis, mendengung, menderu, berdenyut atau seperti suara jangkrik atau yang lain lagi. Tinitus dibagi dalam tinitus objektif dan subjektif.



Tinitus objektif dimana suara atau bising selain didengar oleh penderita dapat juga didengar oleh orang lain. Tinitus ini biasanya bernada rendah. Tinitus objektif dapat terjadi oleh karena gangguan mekanis akan tetapi pada umumnya disebabkan oleh gangguan vaskuler.



Tinitus subjektif dimana suara atau bising hanya dapat didengar oleh penderita. Bila tinitus bernada tinggi biasanya ada kerusakan pada koklea, nuklei, neuron, urat saraf atau korteks, dan bila tinitus tidak didengar ditelinga akan tetapi diseluruh kepala, berarti tinitus berasal dari otak, tinitus seperti ini susah diobati. Dan bila tinitus bernada rendah biasanya kerusakan pada telinga tengah atau telinga bagian luar.



Tinitus adalah suatu gejala klinik dari suatu penyakit baik ditelinga atau ditempat lain, kebanyakan orang menganggap tinitus bukan hal yang berbahaya, padahal sebenarnya tinitus dapat berupa suatu tanda bahaya telinga yang cukup serius yang dapat menimbulkan kekurang



72



pendengaranan sehingga perlu segera mendapat pemeriksaan dan pengobatan seawal mungkin.



Tinitus bisa terjadi pada orang dengan pendengaran normal yang berada dalam ruangan tertutup atau menutup erat-erat kedua telinganya.



1.



Penyebab Tinitus 1.1 Tinitus Objektif Disebut juga tinitus dinamik, tinitus vibratorik, tinitus pseudo atau ekstrinsik, dimana tinitus kecuali didengar penderita dapat didengar orang lain atau pemeriksa. Penyebabnya : 1.1.1 Kelainan Vaskuler a.



Arterio-venous shunt  Kongenintal malformas arterio-venous  Acguired arteriovenous shunt



b.



-



Glomus jugulare



-



Glomus tympanicum



Arterial bruits  High riding carotid artery  Stenosis Karotis  Vascular local  Persistent stapedial artery



c.



Venous hums  Dehiscent bulbus jugularis 73



 Hipertensi 1.1.2



Patensi tuba Eutachius Tinitus disebabkan karena penderita mendengar suara



nafasnya atau suara waktu menelan 1.1.3 Palatal myoclonus Terjadi kontraksi klonik tensor veli palatine atau levator palatine. 1.1.4



1.2



Idiopathic stapedial muscle spasm



Tinitus Subjektif Disebut juga tinnitus statik, “tinnitus non vibratorik”, tinnitus “true” atau tinitus intrinsik. Penyebab atau faktor penyebab tinitus subjektif : 1.2.1



Herry Supardjo membagi : a.



Kelainan telinga luar akibat penutupan total liang telinga luar oleh serumen, secret, benda asing, tumor, dan lain-lain.



b.



Kelainan telinga tengah Akibat dari penyumbatan tuba Eustachius, otosklerosis, otitis media.



c.



Kelainan telinga dalam Disebabkan rangsangan terus-menerus pada organon Corti, misalnya pada trauma akustik, sindroma



Meniere,



keracunan



obat-obatan,



gangguan vaskularisasi pada telinga dalam yang menyebabkan



kerusakan,



seperti



hipertensi,



arteriosklerosis, anemia, gangguan metabolisme. 74



d.



Kelainan saraf akustikus dan serebral Contohnya tumor serebelo pontin angle, tumor otak, atrofi otak.



e.



Reflektoris Kelainan



di



menyebabkan



luar



telinga



tinnitus



yang



subjektif,



dapat



misalnya



kelainan vertebra servikalis yang dikenal dengan sindroma posterior servikal dari Barre, proses patologi



pada



gigi



geligi



dan



artikulasi



mandibula (sindroma Costen) f.



1.2.2



Psikogen



Alexander J. Schleuning, membagi faktor etiologi sebagai berikut : a.



Faktor otologi  Presbikusis  Noise-induced hearing loss  Sindroma Meniere  Otosklerosis



b.



Fungsi metabolism  Hipotiroid  Hipertiroid  Hiperlipidemia  Defisiensi Seng (zinc)  Defisiensi vitamin



c.



Kelainan neurologi  Trauma kepala 75



 Multipel sklerosis  “Whiplash injury”  Akibat meningitis d.



Faktor Farmakologi  Derivat aspirin  Non steroidal anti-inflammatory drug  Aminoglukosid  Logam berat



e.



Faktor gigi



f.



Temporomandibular joint syndrome



g.



Faktor psikogen  Depresi  Kecemasan



Ada satu lagi diagnosis yaitu idiopatik.



2.



Diagnosis Untuk menetapkan diagnosis penyebab tinitus didasarkan : 2.1 Anamnesis mempunyai peranan penting meliputi bagaimana kualitas dan kuantitas tinitusnya, lokasinya, sifatnya apakah mendenging, mendesis, menderu, berdetak, gemuruk atau seperti riak air dan juga lamanya. Ditanyakan apakah tinitusnya mengganggu atau bertambah berat pada waktu siang hari atau malam hari, gejala-gejala lain yang menyertai misalnya vertigo atau kurang pendengaran. Apakah ada riwayat perokok, peminum kopi, cidera kepala, trauma akustik, minum obat-obatan ototoksik, apakah ada faktor psikis. 76



Anamnesis perlu memperhatikan beberapa hal sebagai berikut : 2.1.1



Lamanya tinitus yang kurang dari satu menit tidak patologis dan biasanya hilang sendiri. Tinitus untuk patologi lama serangan umumnya minimal 5 menit.



2.1.2



Unilateral atau bilateral, tinitus subyektif unilateral perlu dicurigai kemungkinan adanya neuroma akustik atau trauma kepala, sedangkan yang bilateral kemungkinan intoksikasi obat, presbikusis, trauma bising dan penyakit sistemik.



2.1.3



Kualitas tinitus, kelainan patologis pada putaran basal koklea, saraf pendengar perifer dan sentral pada umumnya bernada tinggi (mendenging). Tinitus yang bernada rendah seperti gemuruh ombak, ciri khas penyakit telinga koklear (hidrop endolimfatika). Kuantitas atau intensitas tinitus, perlu



diperhatikan



kemungkinan



terjadinya



sehubungan gangguan



dengan psikologis



sampai afektif, demikian pula untuk perencanaan terapi dengan tinitus masker atau Alat Bantu Dengar (ABD). 2.1.4



Tinitus pada umumnya disertai dengan kurang pendengaran. Gejala neurologis lainnya dapat terjadi pada perluasan tumor neuroma akustik.



2.2 Pemeriksaan



THT-KL,



Pemeriksaan



rutin



THT-KL.



Pemeriksaan audiometri, audiometri nada murni, audiometri 77



bicara, tes SISI, tes Tone decay, timpanometri, tes kalori, BERA, bila perlu ENG. 2.3 Pemeriksaan Radiologis CT-scan atau MRI untuk mengetahui kelainan di intrakranial, retrokoklear. Pada tinitus objektif bisa dilakukan angiografi dan venogram jugularis. 2.4 Pemeriksaan laboratorium Meliputi pemeriksaan darah lengkap; glukosa darah, tes glukosa toleran, kadar lemak darah, fungsi hepar, fungsi ginjal dan hormon tiroid, serta WR/K dan VDRL.



Apabila dibidang THT-KL tidak didapatkan kelainan, perlu konsultasi pada ahli penyakit dalam, ahli saraf dan ahli penyakit jiwa. Bila ada anamnesis trauma kepala perlu konsultasi ahli bedah saraf. Tinitus objektif pada umumnya



lebih mudah ditetapkan



diagnosisnya, karena pemeriksa dapat mendengar suara tinitus secara langsung atau dengan bantuan auskultasi daerah sekitar telinga/ leher sehingga mempermudah deteksi lokasi serta kelainan patologisnya.



3.



Penatalaksanaan Diantara berbagai jenis pengobatan tinitus yang ideal adalah menghilangkan penyebab penyakit atau kausatif. Tinitus objektif atau vibratorik pada umumnya lebih mudah diobati karena penyebabnya lebih mudah diidentifikasi dan biasanya stadium penyakitnya mash reversibel, sedangkan tinitus subjektif bila telah 78



dapat ditetapkan diagnosisnya hingga saat ini, belum diketemukan obatnya atau penyakitnya telah dalam stadium ireversibel, misalnya kerusakan sel-sel rambut organ Corti dan degenerasi saraf pendengar perifer dan pusat.



Hanya sekitar 5% dari kasus-kasus tinnitus subjektif yang dapat diidentifikasi penyebabnya dan masih dapat disembuhkan, misalnya: 



Penyakit Meniere atau hidrop endolimfatika stadium awal







Tinitus pulsatif akibat hipertensi atau anemia beratHipoglikemia







Kurang pendengaran konduktif (serumen, otitis eksterna dan media)







Untuk tinitus yang penyebab atau diagnosisnya sukar atau tidak dapat diidentifikasi, pengobatannya ditujukan terhadap gejala tinitusnya.



3.1



Tinitus Obyektif Keberhasilan pengobatan tergantung dari kelainan anatomi yang terkena. Pada tipe vaskuler dengan terapi pembedahan, misalnya memutuskan hubungan A-V shunt yaitu dengan cara ligasi vena jugularis interna. Pada tipe mekanis misalnya pada mioklonus palatum dan mioklonus pada m.tensor timpani dapat diberi carbamazepin dengan dosis awal 3 x 100 mg, kemudian ditingkatkan menjadi 3 x 200 mg, selama 3 minggu.



79



3.2



Tinitus Subyektif



3.2.1



Medikamentosa Pengobatan tinitus dengan obat-obatan dan pembedaan oleh para spesialis masih belum ada kesatuan pendapat, dengan demikian cukup banyak variasi pengobatan yang diberikan dengan tujuan beraneka ragam, misalnya : 



Mempertahankan alian darah koklear dan saraf sentral dengan preparat Betahistin







Menenangkan saraf dengan tranquiliser, anti depresan dan sedative, karena tinnitus makin keras terdengar bila penderita dalam keadaan stres







Memperbaiki integritas vaskuler dengan vitamin dan mineral







Mengurangi kepekaan saraf sensorik dan sentral dengan preparat anastesi lokal yang diberikan intra venous atau oral seperti prokain, lidokain dan tocainide hydrochloride







Anti konvulsif untuk mengurangi eksitasi spontan saraf pendengar seperti Carbamazepin, serta clorazepam dan oxazeparn







Memperbaiki aliran darah ke otak yang langsung mempengaruhi fungsi otak, menurunkan tingkatan stres kemudian memperbaiki tinitusnya, ini pada Ginko biloba (EGb 761, Ginkgold, Tanakan)







Selain dengan obat-obatan diatas juga diet perlu diatur dengan menghindari kopi, alkohol, nikotin 80



mengurangi garam karena dapat merangsang tinitus. 3.2.2



Pembedahan Beberapa tindakan pembedahan yang dilakukan : 



Stapedektomi







Pemotongan saraf auditorius







“Translabyrinth eight nerve section”







Operasi neuroma akustik Yaitu dengan mengeluarkan seluruh tulang labirin dan saraf ke VIII.



3.2.3



“Tinitus masker” dan Alat Bantu Dengar (ABD) Pengobatan memakai masking untuk tinnitus telah dicoba sejak 400 tahun S.M. Penderita tinnitus ringan dapat dihilangkan dengan suara kipas angin, suara radio, TV, dan lain-lain, atau memakai alat khusus yang dapat menghasilkan suara. Sedangkan penderita tinnitus berat dapat dibantu dengan 3 jenis alat yaitu: tinnitus masker, ABD dan kombinasi tinnitus masker dan ABD.







Tinitus masker







Alat Pembantu Mendengar (ABD) ABD pertama kali dipakai untuk mengobati tinnitus pada tahun 1947. Prinsip alat ABD memberikan “white noise” pada nada tertentu sesuai dengan frekwensi tinitus, intensitasnya tidak dapat diatur oleh penderitanya. Dengan ABD didapatkan hasil yang maksimum untuk tinitusnya, tetapi untuk pendengarannya tidak menolong. 81







Kombinasi Tinitus Masker dan ABD







“Tinnitus breaker”



3.2.4



Walkman mini stereo system Penderita disuruh mendengarkan walkman untuk menghilangkan tinitusnya, peserta bebas memilih topik yang disukai, musik, cerita, ceramah agama atau mendengarkan cerita yang direkam dari suaranya sendiri. Penderita juga bebas mendengarkan tanpa batasan



waktu.



Keuntungan



walkman



dibanding



tinnitus masker atau ABD antara lain : Lebih murah, lebih mudah, dari segi kosmetik mudah diterima, mudah dibawa-bawa dan lebih murah perawatannya, dapat digunakan oleh anggota keluarga yang lain bila penderita telah lelah memakainya. 3.2.5



Perawatan secara Biofeedback dan Psikoterapi Dasar perawatan ini adalah melatih mengontrol emosi atau ketegangan jiwa penderita tinitus dengan bantuan seperangkat alat-alat biofeedback.



3.2.6



Tinnitus Retraining Therapy (TRT) Yaitu model neuropatofisiologi dari Jastreboff dengan cara konseling terpimpin dan terapi akustik dengan tujuan menghilangkan pikiran negatif dan rasa takut akibat persepsi tinitus dan menghilangkan perspepsi tinitus itu sendiri.



3.2.7



Terapi alternatif



82







“Acupuncture”, beberapa penelitian “double-blind” yang terakhir gagal menunjukkan keuntungan untuk pengobatan tinnitus







Homeopati







Stimulasi ultrasonic







Stimulasi magnetic







Hiperbarik oksigen,







Terapi herbal masih sedikit penelitian yang menyokong keberhasilan dalam pengaruhnya terhadap tinnitus. “Reflexology, hypnosis, aromatherapy, craniosacral therapy”, biasanya dipergunakan secara luas untuk mengurangi stress yang berhubungan dengan sakit kepala, kecemasan, problem pencernaan dan lain-lain.



DAFTAR PUSTAKA



1.



Pawarti DR, Wiyadi MS. Penatalaksanaan Tinitus. Dexa Medica 1994 ; 7(2) : 23-6



2.



Wiyadi HMS. Diagnosis dan penanganan tinitus. Dalam : Wiyadi HMS, ed. Kumpulan Karya Ilmiah Pada Kegiatan Perhati-Kl. Surabaya : Airlangga University Press; 2011. hal. 109-19



3.



Bashiruddin J, Sosialisman. Tinitus. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti ED, ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011. hal. 111-3 83



4.



Wiyadi MS. Audiometri. Majalah Dokter Keluarga 1984; 3 : 455-7



5.



Wiyadi MS. Beberapa penyakit yang memerlukan pemeriksaan audiometri. Majalah Dokter Keluarga 1984; 3 : 390-2



84



OTOTOKSIK Nyilo Purnami



Batasan : Ototoksisitas adalah gangguan fungsi pendengaran akibat terjadi kerusakan pada organ pendengaran maupun vestibularis oleh pajanan bahan kimia atau farmasi tertentu.



Patofisologi : Penggunaan obat ototoksik menyebabkan perubahan proses biokimia sehingga terjadi penyimpangan metabolic dari sel rambut dan menyebabkan kematian sel secara tiba tiba melalui proses apoptosis dan nekrosis. Efek obat ototoksik adalah hilangnya sel rambut mulai dari basal koklea, kerusakan seluler stria vaskularis, limbus spiralis. Pada keadaan berat terjadi kerusakan vestibuler.



Aminoglikosida bersifat bakterisid yang berikatan dengan Ribosome 30S dan menghambat sintesis protein di mitokondria. Mengaktifkan NO synthetase, meningkatkan konsentrasi NO. membentuk peroxynitrite radical, memicu apoptosis. Terbentuk radikal bebas. Neomisin dan kanamisin bersifat lebih toksik.



Jenis obat ototoksik sebagai berikut : 1.



Golongan aminoglikosida : streptomisin, dihidrostreptomisin,



kanamisin, gentamisin, neomisin, tobramisin, netilmesin, amikasin. 2.



Eritromisin,



Azitromisin,



Clindamisin,



Vankomisin,



Loop



diuretic,Salisilat, anti malaria 85



3.



Obat kemoterapi : Cisplastin,



4.



Obat topical telinga



Gejala Klinik : -



Tinitus nada tinggi, berkisar 4 sampai 6 kHz dan bilateral.



-



Diawali oleh penurunan pendengaran frekuensi tinggi yang dapat



berlanjut ke frekuensi rendah. -



kerusakan vestibuler dengan gejala ketidakseimbangan, vertigo dan



osilopsia. -



Sulit memfiksasi paandangan terutama pada perubahan posisi.



Pandangan kabur dengan pergerakan kepala. -



Sulit mengenali wajah saat berjalan



-



Kesulitan membaca tanda lalu lintas.



Pemerikssaan : 1.



Pemeriksaan fungsi Ginjal dan Albumin



2.



Otoskopi



3.



Timpanometri



4.



Pendengaran dan elektrofisiologi : -



Tes penala berupa tes Weber dan tes Rinne



-



Audiometri Nada Murni : tipe sensorineural, penurunn tjam pada frekuensi tinggi.



5.



-



Audiometri tutur : SDS < 90 %, SRT > 30 dB



-



Tes SISI



-



Tes Tone Decay : bisa positif atau negatif



-



DPOAE



: positif (skor 70-100 %)



Pemeriksaan vestibular : Head Impuls test bidireksional. Horisontal dan vertical, Visual Acquity test, Romberg test.



86



6.



Kriteria penurunan pendengaran dibanding data awal menurut ASHA: a) ≥20 dB pada salah satu frekuensi, b) ≥10 dB pada 2 frekuensi berdekatan, c) hilangnya respon pada 3 frekuensi berurutan yang sebelumnya ada.



7.



Perubahan ≥6 dB pada DPOAE dibandingkan hasil pemeriksaan awal



Komplikasi : -



Penatalaksanaan : -



Pemilihan alternative obat yang bersifat kurang oto/vestibulotoksik



-



Menurunkan dosis dengan memperhitungkan fungsi ginjal dan



kecepatan penyuntikan -



Pemberian obat-obatan yang bersifat protektif



-



Pemberian Alat Bantu Dengar



-



Rehabilitasi gangguan keseimbangan



Derajat Otoksisitas : Menurut Brock’s:  Derajat 0 : ambang dengar < 40 dB pada semua frekuensi  Derajat 1 : ambang dengar ≥ 40 dB pada frekuensi 8.000 Hz  Derajat 2 : ambang dengar ≥ 40 dB pada frekuensi 4.000 Hz 8.000 Hz  Derajat 3 : ambang dengar ≥ 40 dB pada frekuensi 2.000 Hz 8.000 Hz  Derajat 4 : ambang dengar ≥ 40 dB pada frekuensi 1.000 Hz – 8.000 Hz



87



Prognosis : Sangat tergantung pada jenis obat, jumlah dan lama pengobatan. Factor lain, kerentanan individu, factor risiko gagal ginjal dan penggunaan obat ototoksik secara bersamaan.



Daftar Pustaka : 1.



American Academy of Audiology Position Statement and Clinical Practice Guidelines: Ototoxicity Monitoring. October 2009. Mmm.Audiology.org



2.



Gregory JM and Leonard P. Ototoxic drugs head and neck surgery otolaryngology. Vol.2 J.B.Lippincot company. Philadelphia, 1993: p 1793-1802



3.



Scott PS, William LM, Charles CGW. Ototoxicity otolaryngology vol.3. Otol and neurotol. Third Ed. WB Saunders. Company. 1991:p.1653-69



4.



Rolland. Ototoxicity. 1st edition. BC Decker Inc. Hamilton. London. 2004



5.



Hall JW. Monitoring cochlear function in ototoxicity. In: Handbook of otoaccoustic emmisions. 1st edition. Delmar, Cengange Learning. Canada, 2000: p.463-79



88



TULI MENDADAK Nyilo Purnami



Batasan : Tuli mendadak atau sudden sensorineural hearing loss (SSNHL) merupakan kedaruratan otologi. Gejala berupa kehilangan pendengaran atau penurunan pendengaran yang terjadi secara mendadak, tipe sensorineural



dengan



penurunan yang lebih dari 30 dB pada tiga frekuensi berturut turut dalam onset tidak lebih dari 3 hari. Sering unilateral, bersifat idiopatik dan dapat disertai tinnitus maupun vertigo. Patofisologi : 1.



Teori infeksi virus



2.



Teori Vaskuler



3.



Teori Ruptur



4.



Teori Autoimun



5.



Teori Genetik



Gejala Klinik : -



Kejadian hilang pendengaran atau pendengaran berkurang secara tiba-tiba, berangsur-angsur hilang secara stabil dan terjadi secara cepat dan progresif



-



Keluhan pasien sebagian besar berupa hilang pendengaran pada satu sisi telinga saat bangun tidur.



-



Umumnya terjadi unilateral, sekitar 1-2% kasus yang terjadi bilateral.



-



Pendengaran menurun atau hilang dalam beberapa jam atau hari



89



-



Dapat disertai tinnitus, gangguan vestibuler ( sekitar 28-57% ) atau dan disequilibrium



-



Terdapat



riwayat



penyakit



dahulu



a.l.:



DM,



Hiperrtensi,



Dislipedemia, penyakit jantung, Ginjal, Barotrauma, febris



Pemerikssaan : 1.



Otoskopi



2.



Pendengaran dan elektrofisiologi : -



Tes penala berupa tes Weber dan tes Rinne



-



Audiometri Nada Murni : tipe sensorineural



-



Audiometri tutur : SDS < 90 %, SRT > 30 dB



-



Tes SISI



-



Tes Tone Decay : bisa positif atau negatif



-



OAE dan ABR ( atas indikasi yi. sulit diperiksa, evaluasi



: positif (skor 70-100 %)



retrokoklea ) 3.



Pemeriksaan vestibular ( bila ada indikasi )



4.



Pemeriksaan laboratorium (bila ada indikasi )



5.



Pemeriksaan neurologis, terutama pada pasien dengan tuli mendadak bilateral, tuli mendadak dengan episode berulang



Komplikasi : Penatalaksanaan : -



Tirah baring (disertai vertigo, fase akut )



-



Kortikosteroid oral selama 7 sampai 14 hari : 



prednisone 40-60 mg/ hari, dosis tunggal, pagi hari dengan tappering off 20 mg tiap 5 hari.



90







metil prednisolone : 48 mg / hari, tappering off 16 mg tiap 5 hari.



Steroid intravena atau intratimpani ( atas indikasi ) -



Vasodilator : betahistin 2 x 24 mg / hari



-



Terapi vertigo atas indikasi



-



Evaluasi audiometri ulangan, untuk follow up



-



Bila ketulian menetap, membutuhkan evaluasi untuk rehabilitasi pendengaran



Kriteria Penilaian keberhasilan terapi : 



Complete recovery, bila PTA setelah terapi : 30 dB







Slight improvement, bila perbaikan PTA : 10–30 dB







No recovery, bila tidak ada perbaikan PTA atau membaik : 6 bulan ) 94



3.



Pendengaran dan elektrofisiologi :



-



Skrining Pendengaran : DPOAE / TEOAE , AABR



-



Diagnostik : ABR



Penatalaksanaan : -



Konseling Program Deteksi dan Intervensi Dini ( Family Planning )



-



Pemasangan ABD, Implan Koklea



-



Terapi Wicara, Auditory Traning, Auditory Verbal Therapy



Kriteria Penilaian keberhasilan terapi : Tidak ada keterlambatan perkembangan bicara dan berbahasa Prognosis : Penanganan yang terlambat akan menurunkan keberhasilan



Daftar Pustaka : 1.



Modul THT Komunitas, Tuli Kongenital



2.



Scanlon VC, Sanders T. The senses in essentials of anatomy &physiology. 5th ed. Philadelphia: Davis Company; 2007.p.210-4



3.



Propst R, Grevers G, Iro H. Hering disorder in children-pediatric audiology. In: Basic otorhino-laryngology. New York: Georg Thime Verlag Stuttgart;2006.p.197-202



4.



Austin DF. Anatomi dan embriologi telinga. Dalam: Ballenger JJ, ed. Penyakit telinga hidung, tenggorok, kepala dan leher. 13 ed. Jakarta: Bina Rupa Aksara;1997.hal.135-40



5.



HTA Indonesia



6.



US Preventive Services Task Force. Newborn hearing screening: recommendations and rationale. AJN 2002;102(11):83-9.



95



7.



Joint Committee on Infant Hearing. Joint Committee on Infant Hearing Year 2000 Position Statement: Principles and guidelines for early hearing detection and intervention programs. Pediatrics 2000;106(4):798-817.



8.



Cunningham M, Cox EO. Hearing Assessment in infants and children: recommendations beyond neonatal screening. Pediatrics 2003; 111 (2), 436-40.



9.



Campbell KCM, Mullin-Derrick G. Otoacoustic emissions. (cited 09



Des



2006)



Didapat



dari:



URL:http://www.emedicine.com/specialties.htm 10. Bhattacharyya N, Scott ME. Auditory brainstem response audiometry.



(cited



09



Des



2006)



Didapat



dari:



URL:http://www.emedicine.com/specialties.htm.



96



BENIGN PAROXYSMAL POSITIONAL VERTIGO (BPPV) / VERTIGO POSISI PAROKSISMAL JINAK (VPPJ) Haris M Ekorini



BATASAN Vertigo yang terjadi karena perubahan posisi kepala



PATOFISIOLOGI Disebabkan oleh keadaan patologis berupa degenerasi debris (otokonia) pada kupula semisirkularis atau pada cairan endolimf disekitarnya yang ditandai dengan serangan vertigo yang berat, singkat, serta dapat disertai mual dan muntah



ETIOLOGI 



Otokonia degeneratif Idiopatik / BPPV primer : > 50 % kasus







Sekunder : Trauma kapitis/labirin, neuritis vestibularis, penyakit Meniere, otitis media, pasca operasi telinga



DIAGNOSIS Anamnesis 



Riwayat / keluhan







Karakteristik vertigo







Faktor pencetus







Lama berlangsungnya/durasi



97







Keluhan lain yang menyertai (pendengaran, gejala vasovegetatif, gangguan fungsi saraf sentral)







Vertigo timbul mendadak pada perubahan posisi, walaupun waktunya singkat tapi dirasakan sangat berat







Biasanya saat ditempat tidur waktu bangun dari tidur







Perubahan posisi kepala menyebabkan rasa berputar







Mual sampai muntah







Jarang terdapat penurunan pendengaran atau tinitus



Pemeriksaan 



Otologi







Audiologi







Vestibuler : - Melakukan tindakan provokasi dan menilai timbulnya nistagmus - Gunakan kacamata Frenzel - Perasat Dix-Hallpike dan Sidelying untuk kanalis semisirkularis anterior dan posterior - Perasat Roll untuk kanalis semisirkularis horizontal



TERAPI 



BPPV dapat sembuh spontan atau dengan terapi mekanik







Tujuannya adalah mengembalikan material otolit dari kanalis semisirkularis ke vestibulum







Canalith Repositioning Treatment (CRT) Epley dan perasat Liberatory (Semont) untuk kanalis semisirkularis posterior



98







Kanalis semisirc anterior dianjurkan dengan "reverse" Epley (dimulai dengan hidung dibawah) atau "reverse" Semont







Perasat Lempert (Bar-b-que) untuk kanalis



semisirkularis



horisontal 



Latihan Brandt-Daroff untuk BPPV yang mempunyai gejala sisa



DAFTAR PUSTAKA 1.



Brandt T, Marianne D, Strupp M. Peripheral Vestibular Forms of Vertigo. In : Brandt T, Marianne D, Strupp M eds. Vertigo and Dizziness. London, 2005 : 41-87



2.



Desmond A. Funtion and Dysfunction of The Vestibular System. In Desmond A.ed. Vestibular Function. Evaluation and Treatment. New York, 2004 : 21-43



99



PENYAKIT MENIERE Haris M Ekorini



BATASAN Kelompok gejala episode vertigo, tuli sensorineural fluktuatif, tinitus dan rasa penuh telinga PATOFISIOLOGI Disebabkan oleh hidrops endolimfa ETIOLOGI 



Tidak ada yang pasti







Multifaktor – malabsorbsi – hidrops endolimfa



DIAGNOSIS Anamnesis 



Vertigo hilang timbul, gangguan pendengaran berfluktuasi, rasa penuh di telinga, tinnitus







Serangan pertama vertigo sangat berat disertai, mual dan muntah dapat berlangsung beberapa hari







Serangan berikutnya lebih ringan







Saat serangan disertai gangguan pendengaran



Pemeriksaan 



Tes audiometri : tuli sensorineural nada rendah







Tes vestibuler : tes kalori, ENG







Dapat dilakukan tes gliserol



TERAPI 100







Saat serangan akut : sedatif, supresan vestibuler dan antiemetik







Jangka panjang - Penyesuaian pola hidup : kurangi garam - Terapi farmakologi : vasodilator (Betahistin) 3 x 6-12 mg/hari - Rehabilitasi : latihan vestibuler







Terapi bedah : operasi shunt



DIAGNOSIS BANDING 1.



Neuronitis vestibuler



2.



BPPV



3.



Labirinitis



4.



Fistula perilimfa



5.



Neuroma akustik



DAFTAR PUSTAKA 3.



Schlauch RS, Nelson. Puretone Evaluation. In : Katz J, Medwetsky L, Burkard R, Hood L. Eds. Handbook of Clinical Audiology 6ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2009 : 30-49



4.



Brandt T, Marianne D, Strupp M. Peripheral Vestibular Forms of Vertigo. In : Brandt T, Marianne D, Strupp M eds. Vertigo and Dizziness. London, 2005 : 41-87



101



VERTIGO Haris M Ekorini BATASAN Ilusi bergerak, sensasi berputar-putar baik dirinya sendiri ataupun sekelilingnya yang berputar PATOFISIOLOGI Disebabkan oleh gangguan input sistim vestibuler, input visual dan propioseptif. Vertigo bukan merupakan penyakit tetapi gejala yang dapat disebabkan oleh berbagai sebab ETIOLOGI 



Lesi perifer







Lesi sentral







Lesi sistemik







Psikogen



DIAGNOSIS Anamnesis 



Tentukan apakah keluhan itu benar-benar vertigo, harus dibedakan dengan ringan kepala, sukar berdiri/jalan, sinkop. Pusing dapat dideskripsikan sebagai vertigo (ilusi rotasional, linier, atau gerakan seperti berputar), gangguan keseimbangan (posisi badan tidak stabil saat berjalan atau berdiri), osilopsia (ketidakmampuan melakukan fokus pada obyek yang bergerak).







Berapa lama durasi vertigo







Apakah ada hubungan dengan posisi kepala/gerakan kepala.







Apakah ada keluhan otalgi, otore, penurunan pendengaran, rasa penuh di telinga, tinitus. 102







Apakah pernah operasi telinga, trauma kepala.







Apakah pernah minum obat-obat seperti kina, aspirin, golongan streptomisin atau aminoglikosida



Pemeriksaan 1.



2.



Pemeriksaan pendengaran. 



Tes garpu tala







Audiometri nada murni







Tes SISI dan Tone Decay







Audiometri nada bicara







Timpanometri







Otoacoustic Emission (OAE)







Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA)



Pemeriksaan keseimbangan (vestibular) 



Head thrust test (Head Impulse test / Halmagyi test)







Tes posisi Dix-Hallpike







Tes Fistula







Tes Romberg / Tes Romberg dipertajam (Sharpened Romberg



test) 



Tes Stepping Fukuda







Tes Gans Peformance



3.



Pemeriksaan Radiologi CT Scan dan MRI (atas indikasi)



4.



Pemeriksaan laboratorium (atas indikasi)



103



DIAGNOSIS BANDING VERTIGO PERIFER 1.



Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) / Vertigo Posisi Paroksismal Jinak (VPPJ)



2.



Penyakit Meniere



3.



Labirinitis bakterial



4.



Neuronitis vestibuler



5.



Neurinoma akustik



TERAPI Tergantung penyebabnya 1.



Medikamentosa 



Fase akut : untuk menekan mual dan muntah secara sentral, dapat diberikan diazepam 3 x 2-5 mg, prometazine 3 x 25-50 mg







Serangan rekuren yang tidak terlalu hebat dapa diberikan betahistin. sinarisin, flunarisin



2.



Operatif



3.



Rehabilitatif dengan vestibular rehabilitation therapy (VRT), untuk meningkatkan kompensasi sentral dan habituasi



DAFTAR PUSTAKA 1.



Bronstein A, Lempert T. Symptoms and examination of the patient with vertigo and dizziness. In : Bronstein A, Lempert T. Dizziness A Practical Approach to Diagnosis and Management. Cambridge University Press, 2007 : 23-58



2.



Herman SJ. Therapy; Rehabilitation. In: Goebel JA, ed. Practical Management of the Dizzy Patient. 2nd ed. Philadelphia : Lippincot Williams and Wilkins, 2008 ; 379-99. 104



OTOSKLEROSIS Artono



BATASAN Penyakit pada kapsul tulang labirin yang mengalami spongiosis di daerah kaki stapes dan pada tahap selanjutnya mengeras



menjadi sklerotik,



sehingga stapes menjadi kaku dan tidak dapat menghantarkan suara dengan baik kemudian terjadilah gangguan pendengaran. ETIOLOGI Penyebab otosklerosis belum dapat diketahui dengan pasti, diduga beberapa faktor ikut sebagai penyebab terjadinya otosklerosis, seperti faktor herediter, endokrin, metabolik, infeksi measles dan vasculer autoimun. PATOFISIOLOGI Secara histologis Terdapat 3 fase terjadinya otosklerosis, tetapi secara klinis hanya terdapat fase awal dan fase lanjut saja : 1.



Fase Awal (spongiosis) : Terjadi proses spongiosis (fase hipervascularisasi), pada fase ini terjadi aktivitas dari sel osteosit, osteoblast dan histiosit yang menyebabkan gambaran sponge. Aktivitas osteosit ini akan meresorbsi jaringan tulang di sekitar pembuluh darah yang akan mengakibatkan sekunder vasodilatasi (gambaran Schwartze sign)



2.



Fase Transisional



3.



Fase Lanjut (otosklerosis) : Terjadi proses sklerosis oleh karena osteoklas secara perlahan diganti oleh osteoblas sehingga terjadi perubahan densitas sklerotik pada tempat tempat yang mengalami spongiosis



105



DIAGNOSIS ANAMNESIS -



Pendengaran menurun secara progresif yang biasanya bilateral dan asimetris



-



Tinitus



-



Penderita merasa dapat mendengar lebih baik di lingkungan yang bising



-



Vertigo



PEMERIKSAAN -



Membran Timpani Intak dan normal



-



Pada kondisi tertentu ditemukan gambaran Schwartze sign pada Membran Timpani



-



Garpu Tala : mendukung adanya tuli kaonduksi, bila tuli berlnjut menjadi Tuli campuran mungkin sangat sulit untuk dilakukan pemeriksaan garpu tala



-



Audiometri : pada tahap awal didapatkan gambaran Carhart Notch ( airbone gap yang melebar pada frekuensi rendah danhantaran tulang pada frekuensi 2000 Hz lebih dari 20 dB).



-



Audiometri nada tutur normal



-



Timpanometri tipe A



-



Refleks stapedeus bisa normal atau abnormal tergantung derajat fiksasinya ( on-off refleks stapedius )



-



Radiologi : CT scan stadium awal terdapat gambaran radiolusen didalam dan disekitar koklea (Hailo sign), pada stadium lanjut didapatkan gambaran sklerotik yang difus.



DIAGNOSIS BANDING 1.



Fiksasi tulang osikule (ossicular immobility) 106



2.



3.



a.



Fiksasi osikular kongenital tanpa atresis meatus



b.



Fiksasi osikula setelah reaksi inflamasi



c.



Timpanosklerosis



Diskontinuitas tulang pendengaran a.



Trauma kepala atau tindakan operasi (mastoidektomi)



b.



Cacat kongenital



Penyakit tulang sistemik a.



Osteogenesis imperfecta (Sindroma Van der Hoeve)



b.



Paget disease



TERAPI 1.



Medikamentosa : Sodium Fluoride 20 – 120 mg/hari



2.



Alat Bantu Mendengar



3.



BAHA (Profound unilateral )



4.



Cochlear Implant (profound bilateral)



5.



Pembedahan : Stapedektomi



DAFTAR PUSTAKA 1.



Gelfand SA. Auditory system and related disorder. In: Essntial of Audiology. United States of America : Thieme Medical Publisher, Inc, 1991 ; p:194-196



2.



Shlomo S. Coral S. Basic Audiology tersting. In : Meyarhoff William. Auditory Diagnosis Principles and Applications. Philadelphia : Academic Press, 1997 ; p:24-25



3.



Roland PS, Isaacson B, Kutz JW. Otosclerosis. In :Johnson and Rossen, Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaryngology. Lippincott Williams and Wilkins 5nd Eds.2014; p: 2487-2500 107



4.



Shea JJ Jr, Shea PF, Mc Kenna MJ. Stapedectomy for Otosclerosis. In : Glasscock ME, Gulya AJ. Surgery of The Ear 5th Eds. WB Saunders Company, 2003; p:517-530.



108



TIMPANOSKLEROSIS Artono



DEFINISI : Kondisi yang disebabkan oleh karena adanya kalsifikasi jaringan di membrana timpani atau di dalam telinga tengah, kadang kadang kondisi tersebut menyebabkan keluhan pada pendengaran. KLASIFIKASI 1.



Hanya mengenai Membrana timpani (myringosclerosis)



2.



Intra tympanic : lokasi di dalam telinga tengah (rantai tulang pendengaran, mukosa telinga tengah dan rongga mastoid)



GEJALA DAN TANDA -



Myringosclerosis jarang menimbulkan gejala



-



Pada tympanosclerosis akan timbul penurunan pendengaran



-



Otoskopi : bercak keputiham pada membran timpani ataupun di telinga tengah



ETIOLOGI -



Tidak diketahui dengan pasti



-



Beberapa faktor yang berpengaruh : Otitis media efusi, Pemasangan pipa ventilasi, Atherosclerosis



PATOFISIOLOGI -



Peningkatan dari aktifitas fibroblast mendeposisi jaringan collagen. Kemudian terbentuk plak calsium fosfat di lamina propria membana timpani.



DIAGNOSIS -



Klinis tampak bercak keputihan pada membrana timpani ataupun di telinga tengah 109



-



Audiometri nada murni : bila ada keluhan penurunan pendengaran



-



Timpanometri



-



CT Scan



TERAPI -



Umumnya tidak ada keluham



-



Alat bantu mendengar



-



Operasi : mengangkat daerah sklerotik dan dilanjutkan dengan rekontruksi membran timpani atau rantai tulang pendengaran



DAFTAR PUSTAKA 1.



Kroon DF, Strasnick B. Diseases of The Auricle, External Auditory Canal, and Tympanic Membrane. In : Glasscock ME, Gulya AJ. Surgery of The Ear 5th Eds. WB Saunders Company, 2003; p: 364365.



110



ERISIPELAS Soeprijadi Definisi Infeksi kulit oleh Grup A Streptokok B Hemolitikus mengenai dermis dan saluran limfe Faktor risiko : 1. Usia lanjut 2. Bayi 3. Imunodefisiensi Diagnosis Anamnesis 



masa inkubasi beberapa jam – 5 hari







Febris tinggi mendadak, menggigil







sakit kepala







kulit kemerahan







Nyeri otot



Pemeriksaan Fisik 



Tampak sakit







Sakit kepala







Eritema aurikula o



bula eritematus



o



eritematus hemorhagik



o



bula hemoragik







Bengkak batas jelas







Nyeri tekan



Diagnose banding



111











Dermatitis kontakta







Udim angioneurotika







Herpes Zoster



Terapi Masuk Rumah Sakit 



Kompres dingin







Antibiotika dosis tinggi I.V selama 7 – 10 hr











benzilpenicilin







makrolide







sefalosporin.



Analgetika



Komplikasi 1.Selulitis 2.Abses 3.Perikondritis.



Daftar pustaka 1.



Lucente FE, Hanson M. Disease of the External Ear.In : Snow JR JB, Wackym PA, eds. Ballenger’s Otolayngology Head and Neck Surgery.. 17 ed. Shelton, BC Decker Icn, 2009, 191-199.



2.



Linstrom CJ, Lucente FE. Diseases of the External Ear. In : Johnson JT, Rosen CA, eds.. Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaringol Fifth eds, Philadelphia, Lippincott William & Wilkins, 2014, 23332357.



3.



K.J.Lee.



Essential



Otolaryngology 8Eds,



United



State



of



America,McGraw Hill Compmpanies, 2003,462-473.



112



4.



Tuli LTBS, Tuli IP, Sing A, Tuli NK. Textbook of Ear, Nose and Throat Firsth Eds, New Delhi, Yaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd< 2005, 43-51.



113



ATRESIA MEATUS EKSTERNUS Soeprijadi



Definisi Tidak terbentukya sebagian atau seluruh meatus eksternus



Etiologi Belum diketahui, terjadi kegagalan kanalisasi meatus eksternus



Patofisiologi Telinga luar dan telinga tengah berasal dari arkus brankial ectodermal yang bertemu dengan pertumbuhan lateral kantong faringeal pertama asal endoderm. Berhentinya perkembangan menyebabkan atresia meatus eksternus dan gangguan pertumbuhan auris media



Diagnosis



Anamnesis Atresia meatus eksternus bilateral - Dampak psikososial pasien dan keluarga - Derajat kelainan bervariasi stenosis ringan sulit diketahui - Perkebangan bicara dan bahasa terhambat



Atresia meatus ekternus unilateral Perkembangan bicara dan bahasa normal - Hambatan mendengar hanya di lingkungan bising - Kesulitan lokalisasi suara diluar rumah atau saat bermain 114



Pemeriksaan Fisik -



Meatus eksternus kecil atau buntu



-



Mikrotia



-



Hemifacial



Pemeriksaan tambahan CT scan :untuk melihat keadaan auris media dan meatus akustikus eksternus Emisi Otoakustik : untuk menilai telinga dalam ( kohlea )



Klasifikasi atresia kongenital I. a. Auris media normal b. Foramen ovale dan stapes normal c.Foramen ovale tidak tertutup N fasialis



II a.Auris media kecil, ventilasi baik b.Stapes fiksasi, aplasia foramen ovale c.Forame novale tidak tertutup N fasialis



III.a. Auris media hipoplasia, ventilas ijelek b.Foramen ovale tertutup N fasialis c.Tegmen letak rendah, auris media sempit



Penatalaksanaan 



A. Non bedah memperbaiki pendengaran a. Atresia meatus bilateral ABD konduksi tulang ( BAHA) b. Atresia unilateral ABD konduksi udara 115







B.Bedah a. Mikrotia dan atresia meatus eksternus unilatera Pembedahan yang sifat elektif b. Mikrotia dan atresia bilateral dilakukan operasi usia 5 tahun, menunggu proses pneumatisasi mastoid lengkap



 Daftar pustaka 1.



Lucente FE, Hanson M. Disease of the External Ear.In : Snow JR JB, Wackym PA, eds. Ballenger’s Otolayngology Head and Neck Surgery.17 eds. Shelton, BC Decker Icn, 2009, 191-199.



2.



Linstrom CJ, Lucente FE. Diseases of the External Ear.In : Johnson JT, Rosen CA, eds.. Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaringol Fifth eds, Philadelphia, Lippincott William & Wilkins, 2014, 23332357.



3.



K.J.Lee.



Essential



Otolaryngology 8Eds,



United



State



of



America,McGraw Hill Compmpanies, 2003,462-473. 4.



Tuli LTBS, Tuli IP, Sing A, Tuli NK. Textbook of Ear, Nose and Throat FirsthEds, New Delhi, Yaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd< 2005, 43-51.



116



BENDA ASING TELINGA Soeprijadi



Definisi Terdapatnya benda asing pada liang telinga yang pada keadaan normal tidak ada



Faktor Predisposisi: Anak-anak Mental retardasi Macam benda asing 1.



Benda Hidup ; klaper, nyamuk, semut, lalat



2.



Benda Mati organik dan non organik - Organik



; kacang, kedelai,daun



- Non-Organik ; batu, kancing baju,cottonbud



Diagnosis Anamnesis Anamnesis telinga kemasukan binatang atau kapas. Pada anak kecil kadang memasukan benda kedalam telinga. Gatal, telinga buntu atau nyeri telinga atau telinga berdarah



Pemeriksaan Fisik Baru : terlihat benda asing Sudah lama : meatus hiperemi, sekret atau granulasi



117



Terapi Ekstraksi benda asing dapat dilakukan dengan hak tajam, pinset, forsep. Sebelumnya meatus eksternus dibersihkan kapas, pengisap atau irigasi Eritema atau ekskoriasi digunakan tetes telinga atau tampon antibiotik Biji2an dikeluarkan dg cara irigasi Serangga matikan dengan minyak kelapa, gliserin atau air.Serangga kecil dengan spoeling yang besar dengan pinset atau hak tajam. Benda asing organik higroskopis hindari terkena cairan, diambil dengan hak tajam atau forsep Benda asing anorganikseperti baterai secepatnya diambil sebab dapat menimbulkan nekrosis jaringan. Pada anak-anak pengambilan benda asing kadang diperlukan anestesi umum



Prevensi Jauhkan benda kecil, menarik dan berkilau dari jangkauan anak Hindari kacang-kacangan, popcorn, atau permen karet sampa iusia 7 tahun Simpan baterai dan buang yang lama ditempat yang tidak bisa dijangkau anak. Baca label dan petunjuk penggunaan mainan serta usia yang sesuai untuk setiap mainan Periksa mainan secara berkala, perhatikan apakah ada bagian yang hilang atau patah.



Komplikasi Perforasi membran timpani Otitis media Tetanus 118



Daftar pustaka 1.



1.Brown KD, Banuchi V, Selesnick SH. Diseases of the External Ear. In : Lalwani AN ed. Current Diagnosis & Treatment in Otolaringology – Head & Neck Surgery. New York Toronto: Mc Graw Hill, 645-660.



2.



Linstrom CJ, Lucente FE. Diseases of the External Ear. In : Johnson JT, Rosen CA, eds.. Bailey’s



Head and Neck Surgery Otolaringol



Fifth



eds,



Philadelphia, Lippincott William & Wilkins, 2014, 2333-2357. 3.



Maqbool M, Maqbool S. Textbook of Ear, Nose and Throath Diseases Eleventh Eds. New Delhi,Yaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 51-56.



119



FURUNKEL MEATUS EKSTERNUS Soeprijadi



Definisi Infeksi bakteriil pada kelenjar apopilo unit



meatus



ekternus (folikel



rambut)



Etiologi Stafilokokus Aureus



Patofisiologi -



Infeksi menyebabkan komplek apopiosebaseus buntu dan udim



-



Udim menyebabkan kulit meregang, nyeri dan meatus eksternus sempit



-



Pada infeksi berat disertai pembesaran kelenjar limphe regional.



Diagnosis Anannesis o



Nyeri telinga setelah dikorek



o



Nyeri bertambah bila membuka mulut, aurikula digerakan



o



Pendengaran menurun (kadang-kadang)



Pemeriksaan Fisik o



Meatus eksternus sempit, hiperemi



o



Telinga digerakkan nyeri



o



Nyeri tekan tragus 120



o



Pembesaran kelenjar limfe regional (kadang-kadang)



Diagnosis banding -



Otitis eksterna



-



Mastoiditis Akut



Komplikasi -



Perikondritis



Terapi - Lokal tampon Burowi dingin menyebabkan vaso kontriksi, mengisap debris - Kloksasilin 3 kali 500 mg, Clindamysin 3x 300mg atau Cefadroxyl 2x 500mg - Paracetamol 3 kali 500 mg - Bila timbul abses dilakukan insisi



Daftar pustaka 1.



K.J.Lee.



Essential



Otolaryngology 8Eds,



United



State



of



America,McGraw Hill Compmpanies, 2003, 462-473. 2.



Tuli LTBS, Tuli IP, Sing A, Tuli NK. Textbook of Ear, Nose and Throat Firsth Eds, New Delhi, Yaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005, 43-51.



3.



Maqbool M, Maqbool S. Textbook of Ear, Nose and Throath Diseases Eleventh Eds. New Delhi,Yaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 51-56.



121



HERPES ZOSTER OTIKUS Soeprijadi



Definisi Infeksi virus varicela zoster pada ganglion genikulatum dan saraf vestibulo kohlearis Virus varicela tetap tinggal dalam saraf walau penyakit sembuh



Faktor risiko •



Usia lanjut







Imuno defisiensi



Diagnosis Anamnesis - Rasa terbakar dan nyeri hebat dan sakit kepala. Vesikel kemerahan timbul setelah beberapa hari pada wajah, meatus eksternus, membrana timpani, palatum dan bagian anterior lidah - Sulit menutup mata karena paresis fasialis - Pendengaran menurun - Tinitus - Vertigo Pemeriksaan Fisik - Vesikel pada daun telinga, meatus eksternus, palatum dan bagian anterior lidah - Muka mencong karena paresis fasialis - Tes pendengaran tuli sensorineural 122



Terapi - Anti virus famciclovir selama 10 hari atau valacyclovir selama 14 hari - Kortiko steroid prednison60mg 4hr, tapering selama 2 minggu - Analgesik kuat tramadol 3x 50mg



Komplikasi - Sinkinesis - Neuralgia paska herpes



Prevensi Vasinasi usia 12-18 bulan vaksin varicela Usia 60 th vaksin varicela zoster



Daftar pustaka 1.



Linstrom CJ, Lucente FE. Diseases of the External Ear. In : Johnson JT, Rosen CA, eds.. Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaringol Fifth eds, Philadelphia, Lippincott William & Wilkins, 2014, 23332357.



2.



K.J.Lee.



Essential



Otolaryngology 8Eds,



United



State



of



America,McGraw Hill Compmpanies, 2003, 462-473. 3.



Tuli LTBS, Tuli IP, Sing A, Tuli NK. Textbook of Ear, Nose and Throat Firsth Eds, New Delhi, Yaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd< 2005, 43-51..



123



KISTA PREAURIKULAR Soeprijadi



Sinus pada anterior tragus yang bersifat congenital karena gangguan perkembangan embriologi telinga luar. Diturunkan secara automal dominan, lebih sering bilateral dilapisi oelh epitel skwamosa atau epitel kolumnar o



Patofisiologi Mingguke 6 kehamilan dari archus brankial 1 dan 2 timbul 6 hillocks His, yang akan berkembang menjadi aurikulum.



o



Gangguan perkembangan fusi 6 hillocks menimbulkan kista preaurikularis



Klinis •



Kista preaurikularis biasanya asimtomatis







Ostium tertutup akibat infeksi sehingga deskwamasi epitel menumpuk



Terapi •



Bila timbul abses dilakukan insisi disamping antibiotik







Infeks berulang dianjurkan eksisi fistel



Daftar pustaka 1.



Lucente FE, Hanson M. Disease of the External Ear.In : Snow JR JB, Wackym PA, eds. Ballenger’s Otolayngology Head and Neck Surgery.. 17 ed. Shelton, BC Decker Icn, 2009, 191-199.



124



2.



2.Linstrom CJ, Lucente FE. Diseases of the External Ear. In : Johnson JT, Rosen CA, eds.. Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaringol Fifth eds, Philadelphia, Lippincott William & Wilkins, 2014, 2333-2357.



3.



4 Tuli LTBS, Tuli IP, Sing A, Tuli NK. Textbook of Ear, Nose and Throat Firsth Eds, New Delhi, Yaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd< 2005, 43-51.



125



MIKROTIA Soeprijadi



Definisi Aurikulum terbentuk kecil dan berhubungan dengan anomali telinga yang lain



Etiologi Penyebab belum diketahui 



Patofisiologi Umur kehamilan 7 minggu



terbentuk 6 hillock His, hillock 1



menjadi tragus, hillok ke 2 krus helik, hillok 3 helix, hillok 4 dan5 antihelix , hillok 6 antitragus 



Gangguan atau berhentinya proses menyebabkan mikrotia







Mikrotia 50% disertai kelainan congenital seperti



mikrosomia



hemifasial atau Treacher Collins Syndrome



Diagnosis



Anamnesis 



Unilateral pendengaran berkurang telinga ipsilateral







Bilateral proses bicara dan bahasa terhambat



Pemeriksaan Fisik Aurikulum tidak tebentuk normal dengan bermacam klasifikasi



126



Klasifikasi Marx 4 grade grade 1 : aurikula abnormal tapi bagian2 aurikula lengkap grade 2 : aurikula abnormal dengan beberapa bagian tidak terbentuk grade 3 : benjolan kecil grade 4 : anotia



Klasifikasi Aguilar da Jahrsdoefer grade 1 : aurikula normal yang mengecil grade 2 : aurikula dengan defisiensi stuktural grade 3 : hanya bentukan kecil sampai anotia



Pemeriksaan tambahan CT scan : untuk melihat keadaan auris media dan meatus akustikus eksternus Emisi Otoakustik untuk menilai telinga dalam ( kohlea )



Penatalaksanaan - Medis : Protesa aurikula - Operatif



: Unilateral operasi usia 6-8 th sebab besar 85-90%



aurikula dewasa Mikrotia bilateral operasi mulai usia 6-7 th Daftar pustaka 1.



Lambert PR. Congenital Malformation of the Ear.. In : Johnson JT, Rosen CA, eds.. Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaringol Fifth eds, Philadelphia, Lippincott William & Wilkins, 2014, 23 84-23 98.



127



2.



Tuli LTBS, Tuli IP, Sing A, Tuli NK. Textbook of Ear, Nose and Throat Firsth Eds, New Delhi, Yaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd< 2005, 43-51.



3.



Brown KD, Banuchi V, Selesnick SH. Diseases of the External Ear. In : Lalwani AN ed. Current Diagnosis & Treatment in Otolaringology – Head & Neck Surgery. New York Toronto: Mc Graw Hill, 645-660.



4.



Maqbool M, Maqbool S. Textbook of Ear, Nose and Throath Diseases Eleventh Eds. New Delhi,Yaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 51-56.



128



MIRINGITIS BULOSA Soeprijadi



Definisi Iinfeksi akut membrane timpani dengan bula subepitel Sifat self limited, unilateral pada dewasa atau dewasa muda



Bentuk -



Serosa



-



Hemoragika



Etiologi - Virus yang menyebabkan ISPA



Diagnosis: Subyektif nyeri telinga mendadak,



keluar cairan, pendengaran sedikit



menurun Obyektif bula meatus ekternus dan membran timpani



Terapi - self limited dalam 3-4 hari - analgesik - Bula tidak perlu dipecah



Diagnosa banding - OMA stadium oklusio tuba 129



Daftar pustaka 1.Linstrom CJ, Lucente FE. Diseases of the External Ear. In : Johnson JT, Rosen CA, eds.. Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaringol Fifth eds, Philadelphia, Lippincott William & Wilkins, 2014, 2333-2357. 2.



K.J.Lee.



Essential



Otolaryngology



8Eds,



United



State



of



America,McGraw Hill Compmpanies, 2003,462-473. 3. Maqbool M, Maqbool S. Textbook of Ear, Nose and Throath Diseases Eleventh Eds. New Delhi,Yaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 51-56.



130



OTHEMATOM atau PSEUDO-OTHEMATOM Soeprijadi



Definisi Timbunan darah atau serum di bawah kulit bagian anterior aurikulum Patofisiologi Kartilago mendapatkan nutrisi melalui difusi vaskular perikondrium. Akibat trauma terjadi akumulasi darah atau serum subperikondrium. Bila darah atau serum tidak dikeluarkan dapat menyebabkan nekrosis kartilago Etiologi Tidak jelas, diduga trauma Diagnosis Anamnesis 



Bagian depan aurikulum bengkak, tidak nyeri







Bengkak bertambah besar setelah di manipulasi



Pemeriksaan Fisik 



Masa lunak aurikulum bagian anterior, fluktuasi tidak nyeri tekan dan tidak hiperemi



Terapi 1. Insisi steril selanjutnya dilakukan drugverband 2. Pungsi steril dilanjutkan pemasangan gips Bebattekan atau gips dilepas 5 – 6 hari Komplikasi Perikondritis Daftar pustaka



131



1.



Lucente FE, Hanson M. Disease of the External Ear.In : Snow JR JB, Wackym PA, eds. Ballenger’s Otolayngology Head and Neck Surgery.. 17 ed. Shelton, BC Decker Icn, 2009, 191-199.



2.



2.Linstrom CJ, Lucente FE. Diseases of the External Ear. In : Johnson JT, Rosen CA, eds.. Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaringol Fifth eds, Philadelphia, Lippincott William & Wilkins, 2014, 2333-2357.



132



SERUMEN Soeprijadi



Definisi Sekresi kelenjar seruminosa meatus eksternus dan sekresi kelenjar sebacea, epitel kulit dan partikel debu membentuk masa komplek disebut serumen



Secara genetik ada 2 tipe - Basah



: Kaukasus dan Afrika



- Kering



: Asia dan Amerika asli



Dignosisi Anamnesis Keluhan timbul bila serumen menutup liang telinga berupa buntu, pendengaran turun, kadang-kadang nyeri bila serumen keras



Pemeriksaan Fisik Tampak serumen pada liang telinga



Diagnosis Banding 



Keratosis Obturans







Otomikosis



Daftar pustaka 1.



Lucente FE, Hanson M. Disease of the External Ear.In : Snow JR JB, Wackym PA, eds. Ballenger’s Otolayngology Head and Neck Surgery. 17 ed. Shelton, BC Decker Icn, 2009, 191-199. 133



2.



Linstrom CJ, Lucente FE. Diseases of the External Ear. In : Johnson JT, Rosen CA, eds.. Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaringol Fifth eds, Philadelphia, Lippincott William & Wilkins, 2014, 23332357.



3.



K.J.Lee.



Essential



Otolaryngology 8Eds,



United



State



of



America,McGraw Hill Compmpanies, 2003,462-473. 4.



Tuli LTBS, Tuli IP, Sing A, Tuli NK. Textbook of Ear, Nose and Throat Firsth Eds, New Delhi, Yaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd. 2005, 43-51.



134



SINUS PREAURIKULAR Soeprijadi



Definisi Sinur pada anterior tragus yang bersifat congenital karena gangguan perkembangan embrilogi telinga luar diturunkan secara automal dominan, lebih sering bilateral dilapisi oleh epitel skwamosa atau epitel kolumnar.



Patofisiologi Minggu ke-6 kehamilan dari archus brankial 1 dan 2 timbul 6 hillocks His, yang akan berkembang menjadi fusi 6 hillocks kista preaurikularis.



Klinis o



Kista preaurikularis biasanya asimtomatis



o



Ostium tertutup akibat infeksi sehingga deskwamasi epitel menumpuk



Terapi o



Bila timbul abses dilakukan insisi disamping antibiotic



o



Infeksi berulang dianjurkan eksisi fistel



Daftar pustaka 1.



Lucente FE, Hanson M. Disease of the External Ear.In : Snow JR JB, Wackym PA, eds. Ballenger’s Otolayngology Head and Neck Surgery. 17 ed. Shelton, BC Decker Icn, 2009, 191-199.



2.



Linstrom CJ, Lucente FE. Diseases of the External Ear. In : Johnson JT, Rosen CA, eds.. Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaringol 135



Fifth eds, Philadelphia, Lippincott William & Wilkins, 2014, 23332357. 3.



K.J.Lee. Essential Otolaryngology 8Eds, United State of America,McGraw Hill Compmpanies, 2003,462-473.



4.



Tuli LTBS, Tuli IP, Sing A, Tuli NK. Textbook of Ear, Nose and Throat Firsth Eds, New Delhi, Yaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd. 2005, 43-51.



136



RINITIS AKUT Dwi Reno Pawarti



BATASAN •



Rinitis akut adalah keradangan atau infeksi mukosa rongga hidung yang dapat disebabkan infeksi virus atau bakteri. Ditandai dengan gejala pilek, bersin dan buntu hidung







Disebut juga Common cold, selesma atau Coryza



ETIOLOGI Penyebab utama adalah virus tipe RNA maupun DNA, antara laian : adeno virus, picorna virus,



rhinovirus, coxsackie, influenza virus. respiratory



syncytial virus, parainfluenza virus. Penyebab infeksi sekunder bakteri antara lain : Streptococus haemolyticus, pneumococcus, staphylococcus, H. influenzae, Kleb. pneumoniae and M. catarrhalis. Penularan infeksi secara airborne droplets, masa inkubasi 1-4 hari dan penyakit dapat berlangsung selama 2-3 minggu. PATOGENESIS. Virus masuk



epitel mukosa rongga hidung dan nasofaring kemudian



berkembang secara cepat.Virus masuk ke dalam sel karena berikatan dengan ICAM-1 (intercellular adhesion molecule).Masuknya virus ke dalam sel meneybabkan dikeluarkannya mediator inflamasi : kinin, histamin, interleukin, dan prostaglandin. Mediator inflamasi inilah yang menyebabkan manifestasi klinik seperti bersin, pilek dan buntu hidung.



137



Karena mukosa rongga hidung dan sinus paranasal merupakan satu kesatuan, keradangan dapat mengenai sinus paranasal dan disebut Rinosinusitis viral. GEJALA KLINIS -



Gejala awal adanya rasa panas pada rongga hidung



-



Buntu hidung, pilek dan bersin



-



Ingus pada awalnya serus bening dan banyak kemudian menjadi mukoid.



-



Bila ada infeksi sekunder bakteri ingus menjadi mukopurulen



-



Suhu tubuh normal atau subfebris.



-



Bisa disertai gejala sakit kepala atau mialgia



-



Sembuh dalam 5-7 hari ( penyebab virus self limited)



PEMERIKSAAN KLINIS : -



Kondisi tubuh pada umumnya baik



-



Rinoskopi anterior tampak : mukosa rongga hidung berwarna kemerahan, udim dan tampak sekret serus/mukoid/ mukopurulen.



TERAPI : -



Istirahat cukup



-



Makan dan minum hangat



-



Terapi simptomatis seperti : o



Antihistamin generasi 1 mempunyai efek sedasi : chlorpeniramin maleat 3x2-4 mg / hari,diphenhidramin.



o



Antihistamin generasi 2 tidak mempunyai atau minimal efek sedasinya, long acting : Loratadin 1x 10 mg/ hari, Cetirizine 1x 10mg/hari 138



o



dekongestan : - Oral pseudoefedrin 2-3x30-60 mg/hari, dapat dikombinasi dengan antihistamin. 



Topikal oksimetazilin, xylometazolin, naphazolin. .



o



Analgetik-antipiretik : paracetamol 3 x 500mg/hari. Asam mefenamat 3x 500mg/hari.



o



Antibiotika diberikan jika ada indikasi infeksi sekunder bakteri.



KOMPLIKASI Penyakit ini biasanya self-limiting dan sembuh spontan dalam waktu 2-3 minggu. Rinosinusitis, faringitis, tonsilitis, bronkitis, pneumonia, otitits media akut



DAFTAR PUSTAKA 1.



Dhingra PL, Dhingra S. Disease of ear, nose and throat. 5th.ed. New Delhi : Elsevier; 2010



2.



Shah SB, Emanuel IA. Nonallergic & allergic rhinitis. In : Lalwani AK.ed. Current diagnosis and treatment in otolaryngology-head and neck surgery.3rd.ed. New York : Mc Graw Hill; 2011



3.



Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boeis Fundamentals of otolaryngology. 6th.ed. Philadelphia : WB Saunders Co; 1989.



4.



Chan TV. Nonallergic Rhinitis. In : Johnson JT, Rosen CA.eds. Baileys head and neck surgery otolaryngology.Vol 1.



5th.ed.



Philadelphia : Lipponcott Williams & Wilkins; 2014 139



RINITIS ALERGI Dwi Reno Pawarti, Roestiniadi Djoko Soemantri



DEFINISI Rinitis Alergi (RA) adalah reaksi hipersensitif tipe I menurut Gell & Coombs dari mukosa hidung yang diperantarai oleh imunoglobulin E ( Ig E) setelah terjadi paparan dengan alergen.



ETIOLOGI Alergen : Hirupan (inhalan) : debu rumah, tungau, debu kapuk, jamur, bulu binatang dsb. Makanan (ingestan) : susu, telur, ikan laut, kacang-kacangan, buah, dsb.



PATOFISIOLOGI Gejala rinitis alergi timbul karena paparan alergen pada mukosa hidung yang menyebabkan inflamasi dan menimbulkan gejala bersih, gatal, pilek, dan buntu hidung. Segera setelah mukosa terkena paparan alergen, terjadi reaksi alergi fase cepat (RAFC) dalam beberapa menit dan berlangsung sampai beberapa jam dan puncaknya 15 – 20 menit. Kemudian diikuti reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang terjadi beberapa jam setelah reaksi alergi fase cepat dan dapat berlangsung hingga 48 jam. Pada fase ini akan terjadi infiltrasi sel-sel radang seperti limfosit, basofil, eosinofil, dan nitrofil ke mukosa hidung. Akumulasi sel radang terutama eosinofil akan menyebabkan gejala buntu hidung menjadi lebih dominan pada fase lambat. Dan akan terjadi hipersensitifitas terhadap bahan nonalergenik (dingin, lembab, dan bau merangsang) 140



GAMBARAN KLINIS 



Serangan timbul bila terjadi kontak dengan alergen penyebab.







Didahului rasa gatal pada hidung, mata, atau kadang-kadang paratum mole.







Bersin-bersin paroksismal, pilek encer dan buntu hidung







Gangguan pembauan, mata sembab dan berair, kadang-kadang disertai sakit kepala.







Tidak ada tanda-tanda infeksi akut (misalnya panas badan)



KLASIFIKASI 



Rinitis alergi intermiten : serangan < 4 hari per minggu, dan berlanggsung < 4 minggu







Rinitis alergi persisten : serangan > 4 hari per minggu, dan berlangsung > 4 minggu







Rinitis alergi ringan : tidur normal, aktifitas sehari-hari, saat olahraga dan santai normal, kegiatan belajar dan sekolah normal, tak ada keluhan mengganggu







Rinitis alergi sedang berat : tidur terganggu (tak normal), aktifitas sehari-hari saat olahraga dan santai terganggu, terdapat gangguan saat kerja dan sekolah.



DIAGNOSIS  Anamnesis Anamnesis yang lengkap dan cermat, adanya paparan alergen, riwayat alergi di organ lain (asma, dermatitis) dan riwayat alergi pada keluarga.



141



 Pemeriksaan Rinoskopi anterior , konka udim dan pucat, sekret seromusinus. Pada rinitis alergi persisten rongga hidung sempit dan konka udim hebat.  Pemeriksaan penunjang -



Tes kulit : Prick test (tes kulit cukit)



-



Eosinofil sekret hidung , positif bila > 20%



-



Bila diperlukan dapat diperiksa IgE spesifik (RAST)



-



Endoskopi nasal bila diperlukan dan tersedia sarana



DIAGNOSIS BANDING 



Rinitis akut, ada keluhan panas badan, mukosa hiperemis, sekret mukopurulen.







Rinitis medikamentosa (drug induced rhinitis) karena penggunaan tetes hidung dalam jangka lama, reserpin, klonidin, alfa metildopa, guanetidin, klorpromasin, dan fenotoasin yang lain.







Rinitis hormonal (hormonally induced rhinitis), pada wanita hamil, hipertiroid, penggunaan pil KB







Rinitis vasomotor



PENYULIT 



Sinusitis paranasal







Otitis media







Polip hidung



TERAPI 



Hindari alergen penyebab (Avoidance)



142



Dilakukan semaksimal mungkin terutama untuk debu rumah pada kasus rinitis alergi intermiten, persisten baik ringan maupun sedang berat. 



Medikamentosa Rinitis alergi intermiten, persisten, ringan atau sedang berat -



Antihistamin klasik (mengantuk) contohnya : CTM dosis dewasa 3x 2 – 4 mg 3x sehari



-



Antihistamin generasi baru, Loratadin 1x 10 mg sehari, Cetirizine 1 x 10 mg perhari.



-



Ditambah dengan dekongestan oral, pseudoephedrin dosis dewasa 30 – 60 mg 3 x sehari Dekongestan tropikal larutan efedrin 0,5 – 1% atau oksimetazolin 0,025 – 0,05% bila diperlukan, tidak boleh lebih dari 1 minggu (Rebound Phenomena)



-



Obat kombinasi antihistamin dan pseudoephedrin dalam bentuk lepas lambat.



Rinitis alergi intermiten sedang berat, rinitis alergi persisten ringan dan sedang berat selain antihistamin dan dekongestan oral diberikan kortikosteroid



topikal,



beclometason,



fluticasone,



mometasone,



triamcinolone acetonide dosis sekali sehari 2 semprot. 



Imunoterapi Dilakukan suntikan alergen mulai dari dosis kecil sampai tercapai dosis optimal. Pemberian imunoterapi perlu dipertimbangkan pada kasus yang tidak mengalami perbaikan setelah dilakukan terapi medikamentosa







Tindakan Operatif Dilakukan apabila ada septum deviasi atau konka hipertrofi







Meningkatkan kondisi tubuh 143







-



Olahraga pagi



-



Makanan yang bergizi



-



Istirahat yang cukup dan hindari stres



Edukasi



DAFTAR PUSTAKA 1.



International Consensus Report of the Diagnosis and Management of Rhinitis. International Rhinitis Management Working Group.Allergy 1994;49(Suppl.):5-30



2.



Kopke RD, Jackson RL. Rhinitis. In: Bailey BJ and Pillsburry III HC. eds. Head and Neck Surgery – Otolaryngology Vol. I Philadelphia: JB Lippincott Company. 1993:269-89.



3.



Mabry RL. Allergic Rhinosinusitis. In: Bailey BJ and Pillsburry III HC. eds. Head and Neck Surgery – Otolaryngology Vol. I Philadelphia: JB Lippincott Company. 1993:290-301.



4.



Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA). Executive Summary 2000.



5.



Gluckman JL, Stegmeyer RJ. Non allergic rhinitis. In: Paparella NN, Shumrick DD, Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3 rd ed. Vol. III, Head and Neck. Philadelphia, London, Toronto, WB Sauders, Co, 1991:1889-98.



6.



Boyles JH. Allergic Rhinosinusitis: Diagnosis anf treatment. In: Paparella NN, Shumrick DD, Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd ed. Vol. III, Head and Neck. Philadelphia, London, Toronto, WB Sauders, Co, 1991:1873-88.



7.



Johnson, Jonas T., Rosen, Clark A., Otolaryngology. In: Bailey’s Head and Neck Surgery 5rd ed. Vol. I Section I-III, 2003:468-460. 144



8.



Lee KJ, Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery 8 rd ed. McGraw-Hill, 2003:292-275



145



RINITIS DIFTERI



Dwi Reno Pawarti



BATASAN Infeksi pada mukosa hidung yang di sebabkan oleh kuman corynebacterium diphteriae, dapat primer pada hidung atau sekunder dari tenggorok. Penyakit ini jarang dijumpai, biasanya terjadi pada anak.



ETIOLOGI Kuman corynebacterium diphteriae



GEJALA KLINIS Gejala rinitis difteria adalah demam subfebris, ingus bercampur darah, bisa terjadi toksimea akibat toksin dan limfadenitis. PEMERIKSAAN KLINIS Rinoskopi anterior tampak pseudomembran putih keabu-abuan yang mudah berdarah, didapatkan krusta kecoklatan pada nares dan rongga hidung. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan kuman dari sekret hidung.



TERAPI



Diberikan ADS ( anti difteri serum ) 40.000 IU, Penisillin Procain injeksi intramuskuler.



146



Penderita harus rawat inap di ruang isolasi karena penyakit ini sangat menular. Rawat inap sampai pemeriksaan kuman negatif untuk mencegah penularan.



KOMPILKASI Infeksi bisa menjalar ke tenggorok ( tonsil, faring dan laring ) Sumbatan jalan nafas atas Toksimea, paralisis DAFTAR PUSTAKA 1.



Dhingra PL, Dhingra S. Disease of ear, nose and throat. 5th.ed. New Delhi : Elsevier; 2010



2.



Shah SB, Emanuel IA. Nonallergic & allergic rhinitis. In : Lalwani



AK.ed.



Current



diagnosis



and



treatment



in



otolaryngology-head and neck surgery.3rd.ed. New York : Mc Graw Hill; 2011 3.



Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boeis Fundamentals of otolaryngology. 6th.ed. Philadelphia : WB Saunders Co; 1989.



4.



Chan TV. Nonallergic Rhinitis. In : Johnson JT, Rosen CA.eds. Baileys head and neck surgery



147



RINITIS KRONIK ATROFIKAN ( OZAENA ) Dwi Reno Pawarti



BATASAN Infeksi hdung kronik yang ditandai adanya atrofi progresif mukosa hidung dan tulang konka, krusta, hidung berbau dan perluasan rongga hidung. ETIOLOGI Penyebab pastinya belum diketahui. Beberapa teori diduga sebagai penyebabnya adalah : 1.



Faktor heriditer ( didapatkan lebih dari satu penderita dalam satu keluarga yang sama )



2.



Gangguan endokrin ( lebih banyak didapatkan pada wanita dari pada pria )



3.



Infeksi oleh kuman spesifik Klebsiella ozaenae, bacillus foetidus (Perez bacillus), kuman yang lain diphtheroids, P. vulgaris, Esch. coli, Staphylococci and Streptococci



4.



Defisiensi vitamin atau nutrisi : defisiensi Fe, Vit A dan Vit D. Sering didapatkan pada penderita malnutrisi.



5.



Penyakit Autoimun



6.



Faktor Ras : bangsa kulit putih dan kulit kuning lebih rentan.



PATOLOGI Didapatkan gambaran epitel columnar bersilia hilang digantikan epitel skuamus stratifed, atrofi dari kelenjar seromusinus, pembuluh darah dan saraf. Pembuluh darah arteri, periostium, dan tulang konka tampak obliterasi akibat endarteritis. Tampak perluasan rongga hidung.



148



GEJALA KLINIS Penyakit ini banyak dijumpai pada wanita mulai usia pubertas. Keluhan biasanya didapatkan hidung berbau busuk yang dirasakan orang lain sedang penderita tidak merasakan bau karena adanya anosmia. Ingus kental berwarna kehijauan, krusta berwarna hijau dan hidung buntu. Epistaksis bisa terjadi akibat lepasnya krusta.



PEMERIKSAAN KLINIS Pada rinoskopi anterior tampak rongga hidung sangat luas / lapang, konka nasi inferior dan media tampak hipotrofi atau atrofi, adanya sekret purulen berwarna kehijauan atau krustae kehujauan / kehitaman yang banyak menutupi konka nasi dan septum nasi. Dapat juga ditemukan perforasi septum dan dermatitis vestibulum.



PEMERIKSAAN PENUNJANG Foto Rontgen sinus paranasal, pemeriksaan mikrorganisme.



TERAPI Terapi bisa secara medikamentosa dan pembedahan 1.



Terapi medikamentosa. Kesembuhan secara komplit sulit dicapai, terapi lebih ditujukan untuk menjaga hygiene hidung, membersihkan krusta dan menghilangkan bau. Pemberian obat-obatan disesuaikan dengan faktor predisposisinya.



-



Irigasi hidung dengan obat cuci hidung 149



R/ NaCl NH4Cl NaHCO3



aaa 9



Aqua ad



300 ml



Satu sendok makan larutan dicampur 9 sendok makan air hangat. Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan melalui mulut. Obat cuci hidung yang lain seperti larutan salin isotonis . Cuci hidung dilakukan 2-4 kali / hari. -



Antibiotika topikal gentamisin 80-160mg dilarutkan dalam 1000 ml salin bisa diberikan untuk irigasi hidung dapat membantu eradikasi infeksi kronis dan krusta hidung yang berbau.



-



Antibiotika injeksi streptomisin 1g/hari selama 10 hari efektif untuk kuman Klebsiella.



2.



Terapi Bedah Dilakukan bila dengan terapi medikamentosa yang adekuat tidak ada perbaikan. Operasi dengan cara :



-



menutup kedua lubang hidung memakai flap selama 6 bulan atau lebih.



-



Menyempitkan rongga hidung dengan implantasi silikon, jaringan lemak, tula.ng rawan ataupun tulang.



DAFTAR PUSTAKA 1.



Dhingra PL, Dhingra S. Disease of ear, nose and throat. 5th.ed. New Delhi : Elsevier; 2010



150



2.



Shah SB, Emanuel IA. Nonallergic & allergic rhinitis. In : Lalwani



AK.ed.



Current



diagnosis



and



treatment



in



rd.



otolaryngology-head and neck surgery.3 ed. New York : Mc Graw Hill; 2011 3.



Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boeis Fundamentals of otolaryngology. 6th.ed. Philadelphia : WB Saunders Co; 1989.



4.



Chan TV. Nonallergic Rhinitis. In : Johnson JT, Rosen CA.eds. Baileys head and neck surgery otolaryngology.Vol 1. 5 th.ed. Philadelphia : Lipponcott Williams & Wilkins; 2014



151



RINITIS VASOMOTOR Dwi Reno Pawarti



BATASAN Rinitis vasomotor adalah rinitis non alergi akibat dari disfungsi sistem saraf autonom yang menyebabkan inflamasi kronis mukosa hidung. Gejala klinis hampir sama dengan gejala rinitis alergi. ETIOLOGI Etiologi yang pasti belum diketahui diduga sebagai akibat gangguan keseimbangan sistem saraf autonom mukosa hidung yang berasal dari n. Vidianus ( simpatis dan parasimpatis ) PATOGENESIS. Gangguan mukosa hidung ini akibat dari aktivitas saraf simpatis dan parasimpatis



yang saling berlawanan.



Aktivitas saraf parasimpatis



menyebabkan pelebaran vaskuler sehingga terjadi sumbatan dan peningkatan produksi sekresi kelenjar mukus, sedangkan aktivitas saraf simpatis menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan produksi sekersi mukus. FAKTOR PREDISPOSISI Faktor trauma fisik : suhu udara dingin, kelembaban udara tinggi, debu, asap rokok, bau yang merangsang. GEJALA KLINIS -



Bersin paroksismal yang terjadi pada saat bangun tidur pagi



-



Pilek dengan ingus encer ( serus ) atau kental ( mukus )



-



Buntu hidung bergantian kanan dan kiri, biasanya pada malam hari



-



Post nasal drip



152



PEMERIKSAAN KLINIS Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka udim dan hipertrofi, mukosa berwarna merah tua bisa juga normal, sekret biasanya sedikit.



PEMERIKSAAN PENUNJANG



Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Tes kulit biasanya akan negatif.



TERAPI



1.



Medikamentosa :



-



Menghindari faktor predisposisi



-



Antihistamin dan dekongestan oral untuk mengurangi gejala pilek, bersin dan buntu hidung.



-



Kortikosteroid intranasal spray sekali sehari 200mcg



-



Pada beberapa kasus dapat diberikan kortikosteroid oral dalam jangka pendek



2.



Terapi Bedah



-



Operasi konkotomi konka inferior, elektrokauter



-



Neurektomi saraf Vidianus



DAFTAR PUSTAKA 1.



Dhingra PL, Dhingra S. Disease of ear, nose and throat. 5 th.ed. New Delhi : Elsevier; 2010



153



2.



Shah SB, Emanuel IA. Nonallergic & allergic rhinitis. In : Lalwani AK.ed. Current diagnosis and treatment in otolaryngology-head and neck surgery.3rd.ed. New York : Mc Graw Hill; 2011



3.



Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boeis Fundamentals of otolaryngology. 6th.ed. Philadelphia : WB Saunders Co; 1989.



4.



Chan TV. Nonallergic Rhinitis. In : Johnson JT, Rosen CA.eds. Baileys head and neck surgery otolaryngology.Vol 1.



5 th.ed.



Philadelphia : Lipponcott Williams & Wilkins; 2014



154



SEPTUM DEVIASI Widodo Ario Kentjono



BATASAN Septum deviasi adalah kondisi septum nasi (pembatas rongga hidung) yang bengkok, miring atau tidak lurus.



ETIOLOGI Penyebab deviasi septum nasi, yaitu: 1.



Trauma langsung terkait posisi yang abnormal ketika dalam rahim (birth moulding theory)



2.



Trauma waktu lahir pervaginam (paling sering)



3.



Trauma sesudah lahir (misalnya: jatuh, cedera saat olahraga, kecelakaan lalu-lintas, dll)



4.



Perbedaan kecepatan pertumbuhan antara tulang/tulang rawan pembentuk septum dengan palatum dan maksila



5.



Kelainan kongenital (sangat jarang)



PEMBAGIAN Septum deviasi dibagi dalam 7 tipe, yaitu: 1.



Tipe I: tampak penonjolan (spina/krista) unilateral yang belum mengganggu aliran udara di rongga hidung.



2.



Tipe II: tampak penonjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara di rongga hidung, namun masih belum menunjukkan gejala klinis (buntu hidung) yang bermakna.



155



3.



Tipe III: tampak penonjolan yang menyebabkan konka media bergeser ke lateral (meatus medius / area ostiomeatal tampak sempit).



4.



Tipe IV: tampak septum nasi berbentuk “S”



5.



Tipe V : tampak tonjolan besar unilateral pada dasar septum.



6.



Tipe VI: tipe V ditambah pembesaran konka inferior kontra lateral sehingga rongga hidung asimetri.



7.



Tipe VII: kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.



DIAGNOSIS Anamnesis didapatkan keluhan buntu hidung (unilateral / bilateral). Keluhan lain dapat berupa rasa nyeri sekitar mata, dahi atau pipi (vacuum sinus headache), penciuman terganggu (hiposmia/anosmia) terutama bila terdapat deviasi pada bagian atas septum (fisura olfaktoria sempit), kadang epistaksis dan telinga terasa penuh (oklusio tuba Eustachius).



Pemeriksaan rinoskopi anterior atau nasal endoskopi dapat ditemukan penonjolan (spina, krista) atau septum yang bengkok, meatus medius sempit, fissura olfaktoria sempit, konka inferior hipertrofi, rongga hidung (uni/bilateral) tampak sempit, kadang tampak mukopus di meatus medius (rinosinusitis).



Pemeriksaan penunjang : foto polos posisi Waters dan CT scan (bila perlu/indikasi)



156



KOMPLIKASI Dapat terjadi komplikasi sinusitis paranasal, otitis media dan polip hidung.



PENATALAKSANAAN 1.



Konservatif (non bedah) -



Dekongestan oral/topikal, untuk mengurangi udim/inflamasi dan gejala hidung (pilek, buntu, bersin)



-



Kaustik konka inferior dengan trichlor acetic acid (TCA), atau kauterisasi dengan radiofrekuensi (anestesi lokal), agar rongga hidung lebih lapang.



2.



Analgesik, apabila didapatkan rasa nyeri.



Pembedahan -



Sub-mucous resection (Killian, Cottle), atau septoplasti



-



Endoscopic septoplasty



KEPUSTAKAAN 1.



Johnson JT & Rosen CA. Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology. 5th Ed. Lippincott Williams & Wilkins, London, 2014



2.



Snow JB & Wackyn PA. Ballanger’s Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery. 17th Ed. BC Decker Inc, 2009



3.



Probst R, Grevers G & Iro H. Basic Otorhinolaryngology Basic Otorhinolaryngology. Georg Thieme Verlag Stuttgart, New York, 2006



4.



Cummings CW. Cummings: Otolaryngology: Head & Neck Surgery, 4th ed. Elsevier, Philadelphia, Pennsylvania, 200 157



ATRESIA KOANE Budi Sutikno



BATASAN Atresia koane adalah obstruksi persisten dari lempengan tulang atau membran pada nares posterior.



PATOFISIOLOGI/ETIOLOGI Terjadi kegagalan robeknya membran bukofaring pada kehamilan hari ke-45. Prevalensi mencapai 1:7000-8000 kelahiran hidup, dengan predisposisi pada wanita.



Berdasarkan tipe, atresia koane dibedakan tipe membranosa (membran) dan oseus (tulang). Atresia koane tipe oseus terjadi pada sebagian besar kasus (90%), sedangkan tipe membranosa hanya sekitar 10%.



Atresia koane dapat terjadi unilateral dan bilateral.



GEJALA KLINIK 



Atresia koane unilateral: pilek satu sisi, anosmia, dan buntu hidung. Ada kalanya ditemukan secara tidak sengaja, yaitu terjadi kegagalan pemasangan pipa lambung (nasogastric tube).







Atresia koane bilateral merupakan kasus gawat darurat: pucat dan sianosis yang mereda dengan tangisan.



Perlu investigasi terhadap kemungkinan kelainan kongenital yang lain: sindroma CHARGE (coloboma, congenital heart disease, atresia choanae,



158



retarded growth and development, genital anomalies in male, and ear abnormalities and deafness), Crouzon, Treacher Collins, dan sebagainya.



DIAGNOSIS 



Sesuai gejala klinik.







Tes dengan pipa lambung melalui lubang hidung.







Pencitraan (CT-Scan) untuk menentukan jenis atresia



PENATALAKSANAAN 



Mengamankan jalan napas (atresia koane bilateral): plastic oral airway, McGovern’s nipple, trakeotomi.







Pembedahan pada atresia koane bilateral (gawat darurat).



DAFTAR PUSTAKA 1.



Dhingra PL. Disease of ear, nose, and throat. 4th ed. New Delhi: Elsevier; 2007



2.



Pasha R. Otolaryngology head and neck surgery: clinical reference guide. Singular/Thomson Learning.



3.



Snow JB, Ballenger JJ. Ballenger’s otolaryngology head and neck surgery. 16th ed. Ontario: BC Decker; 2003.



159



AVIAN FLU Budi Sutikno



BATASAN Avian flu (flu burung) adalah infeksi oleh virus yang berasal dari unggas, sebagian menimbulkan penyakit atau infeksi subklinis pada manusia atau mamalia yang lain.



PATOGENESIS/ETIOLOGI Avian flu disebabkan oleh virus influenza A (H5N1), suatu virus RNA yang sangat patogen. H5N1 memiliki resistensi terhadap interferon dan tumor necrosis factor- (TNF-) secara in vitro, dan dapat melakukan replikasi memanjang pada angsa. Dalam perkembangannya, virus H5N1 mengalami perubahan antigenisitas dan perluasan spesies unggas pejamu.



GEJALA KLINIK Gejala klinis agresif, progresifitas perburukan gejala sangat cepat, dan fatalitas tinggi. Inkubasi lebih lama daripada infeksi influenza yang lain, dengan berbagai variasi laporan: 2-3 hari, 2-8 hari (rerata), dan 17 hari. WHO menetapkan 7 hari untuk keperluan investigasi. 



Gejala awal: demam tinggi lebih dari 38°C dan flu-like symptoms.







Gejala-gejala tambahan: diare, muntah, nyeri perut, nyeri dada, dan perdarahan hidung atau gusi.







Manifestasi saluran pernapasan bawah terjadi sekitar 5 hari setelah gejala awal: sesak napas, takipneu, parau, stridor inspirasi, dan kadang disertai bercak darah pada sputum.







Temuan radiologis pada 7 hari setelah demam: 160







infiltrat difus, multifokal atau bercak (patchy)







infiltrat intersisial







konsolidasi segmental atau lobular







efusi pleura







tanda-tanda



distres



napas



(acute



respiratory



distress



syndrome/ARDS). 



Temuan laboratorium: 



leukopenia, khususnya limfopenia







trombositopenia ringan hingga sedang







aminotransferasi meningkat ringan hingga sedang







peningkatan kreatinin.



Kegagalan multiorgan dapat terjadi, berupa: disfungsi renal, gangguan kardiak, pneumonia, perdarahan paru, pansitopenia, dan sindroma sepsis.



4. DIAGNOSIS 



Seringkali didiagnosis awal sebagai pneumonia, infeksi virus Dengue, demam tifoid, infeksi saluran pernapasan akut, dan lain-lain.







Sesuai gejala klinik, terutama pada area ditemukannya kasus avian flu dan khususnya terpapar dengan hewan ternak (unggas).







Diagnosis virologik: 



Isolasi virus dari usapan faring (4-8 hari setelah onset) dan lokasi lain, yaitu hidung dan nasofaring yang memiliki nilai lebih rendah.







Virus juga dijumpai pada feses, tetapi tidak pada sampel urine.







Deteksi H5-specific RNA dengan rapid antigen test atau PCR assays.



161



PENYULIT Kegagalan multiorgan, terutama sistem pernapasan



PENATALAKSANAAN 



Rawat inap dan isolasi.







Observasi gejala klinik, uji diagnostik, dan terapi antiviral (Oseltamivir)







Oksigen dan terapi cairan



Penggunaan kortikosteroid dan antibiotika belum jelas manfaatnya.



6. EDUKASI Himbauan WHO: 



tutup hidung dan mulut dengan tisu ketika batuk dan bersin







buang tisu yang telah terpakai pada tempatnya, segera setelah digunakan







cuci tangan secara teratur dengan sabun dan air mengalir







apabila mengalami flu-like symptoms, segera mencari pertolongan kesehatan







apabila mengalami flu-like symptoms, jaga jarak dengan orang lain, sedikitnya 1 meter







apabila mengalami flu-like symptoms, istirahatlah dari pekerjaan, sekolah, dan keramaian







hindari berpelukan, berciuman, dan berjabat tangan







hindari menyentuh mata, hidung atau mulut dengan tangan yang belum dicuci.



162



DAFTAR PUSTAKA 1.



Beigel JH, Farrar J, Han AM, Hayden FG, Hyer R, Tien NTK et al.. Current concepts: Avian influenza a (H5N1) infection in humans. N Engl J Med 2005; 353(13): 1374-85.



2.



Ghafar ANA, Chotpitayasunondh T, Gao Z, Hayden FG, Hien ND, Jong MD et al.. Current concepts: Update on avian influenza a (H5N1) virus infection in humans. N Engl J Med 2008; 358(3): 261-73.



3.



Timothy MU, Cox NJ. Global concerns regarding novel influenza a (H7N9) virus infections. N Engl J Med 2013; 1-3



163



BENDA ASING HIDUNG Budi Sutikno



DEFINISI Benda asing hidung didefinisikan segala keberadaan benda asing di dalam hidung (kavum nasi)



PATOGENESIS/ETIOLOGI Benda asing di dalam hidung bisa terjadi karena sengaja (umumnya anakanak) maupun tidak sengaja (dewasa). Anak-anak memiliki kebiasaan memasukkan benda-benda ke dalam lubang tubuh, termasuk hidung. Sedangkan orang dewasa (terutama dengan gangguan psikosis) kadang dengan sengaja memasukkan benda-benda ke dalam lubang tubuh.



Jenis benda asing meliputi benda asing organik dan non-organik. Benda asing organik antara lain: kacang, biji-bijian, kapas, kertas, lintah, serangga, daun, dan sebagainya. Sedangkan benda asing non-organik antara lain: plastik, kapur tulis, karet, kancing, mur, baterei kancing, manik-manik, dan sebagainya.



GEJALA KLINIK 



Pilek satu sisi (unilateral) berbau busuk.







Dapat disertai bercak darah pada ingusnya.



Benda asing organik seringkali memberikan gejala lebih awal. Baterei kancing (disc battery) akan melepaskan kandungan alkali menimbulkan reaksi inflamasi hebat dan nekrosis mencair (liquefaction).



164



DIAGNOSIS 



Sesuai gejala klinik di atas







Rinoskopi anterior tampak benda asing dan sekret, umumnya di anterior dari konka media dan di bawah konka inferior (dasar kavum nasi).







Pemeriksaan radiografi untuk konfirmasi dan identifikasi letak benda asing (tidak rutin dan terbatas untuk benda asing radio-opak).







Diagnosis banding: rinolit, difteri hidung, miasis hidung, rinosinusitis akut maupun kronis (terutama unilateral) serta tumor.



PENATALAKSANAAN Ekstraksi tanpa membahayakan pasien. 



Segala instrumen harus disiapkan secara tepat atau sesuai







Benda asing kertas dan sejenisnya dapat diekstraksi dengan forsep atau pinset bayonet,







Benda asing bulat seperti manik-manik menggunakan kait cincin. Kait cincin dimasukkan melewati benda asing, selanjutnya dihadapkan ke inferior menekan benda asing ke dasar kavum nasi sembari ditarik ke arah anterior.







Kooperasi pasien, dokter, asisten, keluarga pasien. Kadang diperlukan pembiusan total.



PENYULIT 



Benda asing berpindah ke dalam traktus trakeobronkial (menjadi benda asing jalan napas).







Udim lebih berat dan perdarahan karena tindakan iatrogenik



165



EDUKASI 



Kejadian benda asing hidung bisa terulang.







Risiko timbul obstruksi jalan napas jika benda asing berpindah ke dalam traktus trakeobronkial







Terbentuk rinolit, infeksi hidung/sinus paranasal



DAFTAR PUSTAKA 1.



Adams GL, Boies LR, Paparella MM. Boies’s Fundamentals of otolaryngology: a textbook of ear, nose, and throat diseases. 6th ed. Philadelphia: Saunders; 1989.



2.



Lalwani AK. Current diagnosis and treatment in otolaryngology - head and neck surgery. 3rd ed. New York: Mc. Graw Hill; 2011.



3.



Dhingra PL. Disease of ear, nose, and throat. 4th ed. New Delhi: Elsevier; 2007.



166



EPISTAKSIS Budi Sutikno



BATASAN Epistaksis adalah perdarahan dari dalam kavum nasi. Perdarahan ini bisa keluar melalui nares anterior, nares posterior atau keduanya. Epistaksis bukan merupakan penyakit, melainkan tanda adanya penyakit atau kelainan yang mendasarinya.



PATOFISIOLOGI/ETIOLOGI Etiologi dibagi tiga kelompok, yaitu: lokal (di dalam kavum nasi atau nasofaring), general, dan idiopatik. 



Etiologi lokal: trauma, infeksi, benda asing, neoplasma hidung/sinus paranasal, perubahan cuaca, deviasi septum nasi, angiofibroma nasofaring juvenilis serta tumor ganas nasofaring.







Etiologi



general:



sistem



kardiovaskuler



(hipertensi),



kelainan



darah/pembuluh darah, penyakit hati, penyakit ginjal, obat-obatan (antikoagulan, aspirin), kompresi mediastinum serta infeksi general akut. 



Idiopatik



GEJALA KLINIK 



Epistaksis anterior: melalui nares anterior saat pasien berada dalam posisi duduk







Epistaksis posterior: sebagian besar darah mengalir ke belakang menuju tenggorok (umumnya lebih berat)







Rinoskopi anterior: identifikasi lokasi perdarahan 167







Bagian anterior kavum nasi (90-95%) (pleksus Kiesselbach/area Little)







Di atas konka media (a. etmoidalis anterior dan posterior)







Di bawah konka media (cabang-cabang a. sfenopalatina)







Bagian posterior kavum nasi (septum bagian posterior dan area Woodruff)







Difusa: sumber utama perdarahan sulit ditentukan. Seringkali akibat kelainan sistemik.







Nasofaring



(angiofibroma



nasofaring



juvenilis,



kegasanan



nasofaring) Identifikasi lokasi perdarahan tidak mudah, terutama pada epistaksis yang aktif dan profus.



DIAGNOSIS 



Anamnesis: episode perdarahan sebelumnya, sisi perdarahan, durasi dan frekuensi perdarahan, jumlah darah, riwayat hipertensi, trauma hidung (termasuk kebiasaan korek-korek hidung), konsumsi obat-obatan tertentu (antikoagulan, aspirin, dsb.) serta riwayat keluarga.







Sesuai gejala klinik



PENYULIT Syok hipovolemi (jika kehilangan banyak darah)



PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan bergantung pada etiologi dan lokasi perdarahan. 



Stabilisasi pasien jika ada gangguan hemodinamik. 168







Pasien diposisikan duduk bersandar







Metode Trotter untuk pecahnya pleksus Kiesselbach: 



Pasien dalam posisi duduk (bersandar)







Sisa bekuan darah dikeluarkan







Hidung dipencet dengan ibu jari dan jari telunjuk sekitar lima menit







Pemasangan tampon anterior







Pemasangan tampon posterior







Teknik lain: kauterisasi (bahan kimia, elektrik), ligasi arteri



DAFTAR PUSTAKA 1.



Adams GL, Boies LR, Paparella MM. Boies’s Fundamentals of otolaryngology: a textbook of ear, nose, and throat diseases. 6th ed. Philadelphia: Saunders; 1989.



2.



Lalwani AK. Current diagnosis and treatment in otolaryngology - head and neck surgery. 3rd ed. New York: Mc. Graw Hill; 2011.



3.



Dhingra PL. Disease of ear, nose, and throat. 4th ed. New Delhi: Elsevier; 2007.



169



FURUNKEL HIDUNG Budi Sutikno



BATASAN Furunkel hidung merupakan infeksi akut pada folikel rambut vestibulum nasi.



PATOGENESIS/ETIOLOGI Furunkel hidung didahului oleh infeksi awal terbatas pada folikel rambut, yaitu folikulitis. Kuman penyebab adalah Stafilokokus aureus. Faktor predesposisi terjadinya infeksi adalah trauma akibat nose picking (ngupil) dan atau kebiasaan mencabut bulu hidung. Jika infeksi berkembang pada jaringan lebih dalam akan terbentuk furunkel hidung. Furunkel hidung terbatas pada kulit, tidak berlanjut pada mukosa.



GEJALA KLINIK 



Nyeri hebat sekalipun lesi kecil.







Lesi ditandai tanda-tanda keradangan akut, yaitu kemerahan, bengkak, nyeri tekan serta pembentukan nanah







Fase folikulitis, keradangan bisa minimal tanpa nanah.







Keradangan dapat meluas pada kulit nasal tip dan dorsum nasi serta pembengkakan pada daerah bibir atas.







Furunkel hidung dapat mengalami ruptur secara spontan.



PENYULIT 



Selulitis bibir atas







Abses septum 170







Tromboflebitis vena (berbahaya)



DIAGNOSIS 



Sesuai gejala klinik (anamnesis dan pemeriksaan lokal hidung)







Rinoskopi anterior seringkali menimbulkan rasa nyeri pada vestibulum.



PENATALAKSANAAN Bertujuan mengatasi keluhan, eradikasi kuman penyebab, dan mencegah komplikasi. 



Antibiotika golongan penisilin







Analgetik







Kompres hangat







Jika terbentuk abses: insisi dan drainase.



DAFTAR PUSTAKA 1.



Adams GL, Boies LR, Paparella MM. Boies’s Fundamentals of otolaryngology: a textbook of ear, nose, and throat diseases. 6th ed. Philadelphia: Saunders; 1989.



2.



Lalwani AK. Current diagnosis and treatment in otolaryngology - head and neck surgery. 3rd ed. New York: Mc. Graw Hill; 2011.



3.



Dhingra PL. Disease of ear, nose, and throat. 4th ed. New Delhi: Elsevier; 2007.



171



BENDA ASING LARING-TRAKEA-BRONKUS Sri Herawati J.



BATASAN Benda asing laring-trakea-bronkus adalah terdapatnya benda atau bahan yang normalnya tidak ada dalam laring-trakea-bronkus.



PATOFISIOLOGI Mekanisme pertahanan ada 3 yaitu (1) epiglotis dan kartilago aritenoid yang akan menutup jalan napas waktu proses menelan; (2) spasme korda vokalis dan plika ventrikularis, bila ada benda asing yang mendekati korda vokalis dan (3) refleks batuk yang akan berusaha mengeluarkan benda asing yang masuk jalan napas. Ketika benda asing/makanan berada dalam mulut, pada waktu menelan, laring akan ditutup epiglotis. Tetapi bila ada inspirasi yang kuat dan dalam secara mendadak yaitu pada waktu tertawa, menangis, terkejut atau teriak, maka laring akan terbuka dan benda asing/makanan masuk laring.



DIAGNOSIS 1. Anamnesis : - batuk yang terjadi setelah/sedang makan sesuatu yang sifatnya mendadak, hebat sampai tidak sempat inspirasi dan timbul sianosis - sesak napas inspirasi - bila benda asing di laring (korda vokalis) atau subglotik : suara parau - bila benda asing di trakea : batuk, rasa tercekik, rasa tersumbat, dispnea



172



- bila benda asing di bronkus : batuk kadang-kadang, batuk darah, nyeri dada



2. Pemeriksaan Fisik : tergantung pada lokasi benda asing. • Benda asing laring : - distres napas / sianosis - stridor inspirasi - retraksi supraklavikular, suprasternal, interkostal, epigastrium • Benda asing trakea : - palpatory thud - audible slap - asthmatoid wheezing - suara napas kanan-kiri sama • Benda asing bronkus : - biasanya fase akut telah lewat, yang ada adalah fase tenang dan fase komplikasi - gerak dada dan suara napas pada sisi sakit menurun



3. Pemeriksaan Penunjang : X-foto toraks dilakukan pada benda asing yang radio-opak dan pada pasien yang tidak dalam keadaan gawat darurat. Atasi dahulu keadaan gawat daruratnya, bila kemudian diperlukan, dapat dilakukan foto toraks. Bila benda asing non radio-opak, foto toraks dibuat setelah 24 jam karena dapat diharapkan telah tampak ada kelainan.



173



DIAGNOSIS BANDING 1. Laringo-trakeo-bronkitis akut 2. Asma bronchial



KOMPLIKASI 1. Obtruksi total laring-trakea 2. Emfisema 3. Atelektasis 4 Pneumonia



PENATALAKSANAAN -



ekstraksi benda asing dengan menggunakan laringoskop (bila benda asing di laring) atau bronkoskop (bila benda asing di trakea atau bronkus)



-



bila tidak tersedia fasilitas, rujuk segera



-



bila sesak, pertimbangkan dilakukan trakeotomi dahulu sebelum dirujuk



DAFTAR PUSTAKA 1.



Lee KJ. Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8th Ed. McGraw-Hill, New York, 2003.



2.



Corbridge RJ. Essential ENT Practice. A Clinical Text. Holder Arnold, London, 2006.



3.



Dhingra PL. Diseases of Ear, Nose and Throat. 4 th Ed. Elsevier, New Delhi, India, 2007.



174



4.



Snow JB & Wackym PA. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery. 17th Ed. BC Decker Inc, 2009



5.



Johnson JT & Rosen CA. Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology. 5th Ed. Lippincott Williams & Wilkins, London, 2014.



175



BENDA ASING ESOFAGUS Sri Herawati J.



BATASAN Benda asing esofagus adalah terhentinya benda / makanan dalam esofagus dan tak dapat masuk ke gaster.



PATOFISIOLOGI Sering terjadi pada anak kurang dari 5 tahun dan usia 10-17 tahun. Jenis benda asing, pada anak tersering uang logam. Pada orang remaja dan dewasa, gigi palsu dan jarum pentul.



Benda / makanan terhenti di esofagus karena terlalu besar bagi lumen esofagus atau ada bagian yang tajam dan menancap di esofagus.



DIAGNOSIS 1. Anamnesis - ada anamnesis tertelan sesuatu - rasa ngganjel pada tenggorok - sakit / sulit menelan - muntah bila makan atau minum



2. Pemeriksaan fisik - tes minum : bila obstruksi total muntah, tetapi bila obstruksi sebagian bisa minum sedikit - hipersaliva 176



3. Pemeriksaan Penunjang - bila benda asing radio-opak, pada anak, foto soft tissue leher-toraksabdomen. Pada dewasa, foto soft tissue leher PA / lateral



DIAGNOSIS BANDING 1. Faringitis akut 2. Esofagitis



KOMPLIKASI 1. Dehidrasi 2. Lesi esofagus 3. Perforasi esofagus 4. Mediastinitis 5. Emfisema kutis 6. Aspirasi



TERAPI -



ekstraksi benda asing melalui esofagoskopi



-



bila gagal, esktraksi melalui external approach



-



benda asing uang logam, bukan kasus gawat darurat tetapi harus ekstraksi dalam 24 jam dengan persiapan yang optimal



-



esofagoskopi dilakukan segera pada kasus-kasus : • telah terjadi komplikasi • benda asing yang tajam • benda asing baterai 177



-



jangan dorong benda asing ke dalam gaster karena tidak jelas bentuk dan banyak benda asing serta ada tidaknya kelainan anatomis esofagus



DAFTAR PUSTAKA 1.



Lee KJ. Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8 th Ed. McGraw-Hill, New York, 2003.



2.



Corbridge RJ. Essential ENT Practice. A Clinical Text. Holder Arnold, London, 2006



3.



Vaezi MF. An Atlas of investigation and Management. Esophageal Diseases.1st Ed. Atlas Medical Publishing Ltd, Barcelona, Spain, 2006.



4.



Dhingra PL. Diseases of Ear, Nose and Throat. 4 th Ed. Elsevier, New Delhi, India, 2007.



5.



Snow JB & Wackym PA. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery. 17th Ed. BC Decker Inc, 2009



6.



Johnson JT & Rosen CA. Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology. 5th Ed. Lippincott Williams & Wilkins, London, 2014.



178



ESOFAGITIS KOROSIF Sri Herawati J.



BATASAN Esofagitis korosif adalah inflamasi dan kerusakan pada esofagus yang disebabkan oleh tertelannya bahan kimia yang bersifat korosif.



PATOFISIOLOGI Bahan korosif terdiri dari basa kuat (pH >7), asam kuat (pH < 7) dan netral (pH sekitar 7). Pada bahan kimia basa, ketika penetrasi ke dalam jaringan, akan terjadi nekrosis yang bersifat lisis sehingga dapat meluas ke seluruh lapisan dinding esofagus tergantung jumlah dan konsentrasi bahan yang ditelan. Pada bahan kimia asam, akan terjadi nekrosis yang bersifat menggumpal sehingga cenderung membatasi penetrasi asam. Sedangkan bila bahan netral, biasanya hanya menyebabkan iritasi mukosa, tetapi harus tetap diobservasi karena dapat menyebabkan edema laring akut. Tak ada korelasi derajat luka korosif antara satu tempat dengan tempat lain dalam saluran pencernaan (bibir, mukosa rongga mulut, lidah, faring dan esofagus).



DIAGNOSIS 1. Anamnesis • Fase akut : - nyeri menelan hebat segera setelah tertelan - suara parau dan sesak napas, bila ada udem epiglotis, aritenoid dan korda vokalis 179



- nyeri dada hebat, bila ada perforasi • Fase subakut / laten : - nyeri menelan mulai menghilang • Fase kronis : - disfagi yang timbul bertahap



2. Pemeriksaan Fisik • mukosa mulut, lidah, faring dan esofagus hiperemi dan udema ringan • bila lebih berat : timbul ulkus dan eksudat keputihan



3. Pemeriksaan Penunjang • foto toraks dan abdomen



untuk melihat regio mediastinum dan



subdiafragma • foto barium esofagus untuk deteksi striktur esofagus ( sekitar 3 minggu setelah tertelan) • CT Scan untuk evaluasi perforasi esofagus



KOMPLIKASI 1. Syok neurogenik 2. Aspirasi pneumonia 3. Obstruksi jalan napas 4. Sepsis 5. Perforasi esofagus 6. Striktur esofagus 7. Stenosis faring



180



TERAPI • Stabilisasi fungsi vital : -



observasi jalan napas, kalau perlu beri oksigen



-



pasang infus (observasi intake dan output)



-



atasi syok



• Menentukan jenis bahan korosif : basa / asam untuk memperkirakan berat ringannya lesi yang terjadi • Mempertahankan NPO sampai dapat menelan sendiri salivanya atau setelah esofagoskopi / barium swallow dan menunjukkan mukosa esofagus yang adekuat • Jangan berusaha menetralisir • Jangan merangsang muntah / kumbah lambung • Istirahatkan esofagus dengan pasang NGT atau istirahatkan seluruh GIT dengan pemberian nutrisi parenteral • Siapkan untuk pemeriksaan laringoskopia direkta atau esofagoskopi



DAFTAR PUSTAKA 1.



Lee KJ. Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8 th Ed. McGraw-Hill, New York, 2003.



2.



Corbridge RJ. Essential ENT Practice. A Clinical Text. Holder Arnold, London, 2006.



3.



Vaezi MF. An Atlas of investigation and Management. Esophageal Diseases. 1st Ed. Atlas Medical Publishing Ltd, Barcelona, Spain, 2006.



4.



Dhingra PL. Diseases of Ear, Nose and Throat. 4 th Ed. Elsevier, New Delhi, India, 2007. 181



5.



Snow JB & Wackym PA. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery. 17th Ed. BC Decker Inc, 2009



6.



Johnson JT & Rosen CA. Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology. 5th Ed. Lippincott Williams & Wilkins, London, 2014.



182



LARINGITIS AKUT Sri Herawati J.



BATASAN Laringitis akut adalah infeksi akut pada mukosa laring.



ETIOLOGI • virus : adenovirus, virus influenza • bakteri : H. influenza, Streptokokus beta hemolitikus, Strept. pneumoniae,



PATOFISIOLOGI Laringitis akut pada dewasa sering disebabkan karena infeksi viral jalan napas atas. Terjadi dilatasi kapiler, infiltrasi lekosit pada mukosa dan submukosa laring dengan lebih banyak sel mononuclear pada awal infeksi tetapi bila terjadi infeksi sekunder akan lebih banyak sel polimorfonuklear. Mukosa laring tampak merah dan udim. Pada anak, dengan adanya diameter jalan napas yang relatif kecil dan banyaknya jaringan ikat kendor di subglotis maka mudah terjadi udim dan sesak napas.



DIAGNOSIS 1. Anamnesis • suara parau, seperti berbisik atau hilang (afonia) • sakit menelan atau waktu bicara • barking cough • pada anak : suara parau, sesak dan demam



183



2. Pemeriksaan Fisik • laring dan korda vokalis edema dan hiperemi • pada anak : -



dispnea inspirasi



-



retraksi supraklavikular, suprasternal, interkostal dan epigastrial



KOMPLIKASI 1. Trakeitis 2. Bronkitis 3. Pneumonia



TERAPI • istirahat bicara • simtomatik : antipiretik, ekspektoran • bila ada infeksi bakterial : antibiotika • pada anak, -



bila sesak : oksigenasi, deksametason injeksi dan bila gagal: trakeotomi



-



nebulizer



-



antibiotika



DAFTAR PUSTAKA 1.



Lee KJ. Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8 th Ed. McGraw-Hill, New York, 2003.



2.



Corbridge RJ. Essential ENT Practice. A Clinical Text. Holder Arnold, London, 2006.



184



3.



Dhingra PL. Diseases of Ear, Nose and Throat. 4 th Ed. Elsevier, New Delhi, India, 2007.



4.



Snow JB & Wackym PA. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery. 7th Ed. BC Decker Inc, 2009



5.



Johnson JT & Rosen CA. Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology. 5th Ed. Lippincott Williams & Wilkins, London, 2014.



185



EPIGLOTITIS AKUT Sri Herawati J.



BATASAN Epiglotitis akut adalah inflamasi pada epiglotis dan jaringan supraglotik di sekitarnya. Biasanya disebabkan karena infeksi bakterial yaitu yang tersering adalah H. influenza tipe b.



PATOFISIOLOGI Epiglotitis disebabkan oleh bakteriemi atau dari penyebaran langsung ke lapisan epitelial dari epiglotis. Nasofaring posterior merupakan sumber infeksi yang tersering. Pembengkakan dengan cepat menjadi progresif dan menyebabkan obstruksi jalan napas yang dapat mengancam jiwa.



Infeksi H. influenza tipe b pada epiglotis akan menyebabkan terjadinya udim inflamasi yang timbulnya akut dimulai pada permukaan lingual epiglottis yang submukosanya kendor. Pembengkakan akan mengurangi besarnya lumen. Udim akan cepat menjalar ke plika ariepiglotik, aritenoid dan seluruh laring supraglotik jalan napas



Adanya infeksi dan inflamasi pada epiglotis dan jaringan ikat lunak di sekitarnya menyebabkan simtom awal yang ringan dapat dengan cepat memberat.



DIAGNOSIS 1. Anamnesis • sakit menelan yang hebat 186



• demam tinggi sering mencapai 400 C • batuk ringan



2. Pemeriksaan Fisik • pasien tampak sakit • tripod position • drooling karena sakit menelan saliva • dispnea, stridor, retraksi suprasternal, supraklavikular, intercostal dan epigastrial • sianosis • muffled voice / hot potato voice • epiglotis udim, merah



3. Pemeriksaan Penunjang • foto jaringan lunak leher posisi lateral : thumbprint sign



DIAGNOSIS BANDING 1.



Laringomalasia



2.



Tumor



KOMPLIKASI -



Obstruksi jalan napas akut



-



Abses epiglottis



TATALAKSANA • antibiotika • kortikosteroid / analgesik / antipiretik 187



• nebulizer • bila sesak : oksigen • bila abses : pungsi, insisi



DAFTAR PUSTAKA 1.



Lee KJ. Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8 th Ed. McGraw-Hill, New York, 2003.



2.



Corbridge RJ. Essential ENT Practice. A Clinical Text. Holder Arnold, London, 2006.



3.



Dhingra PL. Diseases of Ear, Nose and Throat. 4 th Ed. Elsevier, New Delhi, India, 2007.



4.



Rosen CA & Simpson CB. Operative Techniques in Laryngology. Springer-Verlag Berlin Heidelberg, 2008.



5.



Snow JB & Wackym PA. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery. 17th Ed. BC Decker Inc, 2009



6.



Johnson JT & Rosen CA. Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology. 5th Ed. Lippincott Williams & Wilkins, London, 2014.



188



NODUL VOKAL Sri Herawati J.



BATASAN Nodul vokal adalah benjolan kecil (nodul), bilateral, simetris yang timbul pada perbatasan ⅓ anterior dan ⅓ tengah dari bagian medial korda vokalis. Dapat terjadi pada anak-anak dan dewasa. Sering pada pengguna suara profesional misalnya guru atau penyanyi.



PATOFISIOLOGI Nodul vokal disebabkan oleh penggunaan suara yang salah (misuse of the voice / vokal abuse), yaitu berbicara terlalu keras, terlalu lama atau dengan nada yang terlalu tinggi. Lesi terjadi pada pertemuan ⅓ anterior dan ⅓ tengah dari bagian medial korda vokalis karena daerah ini merupakan pusat getaran (vibrasi) korda vokalis. Akibatnya akan terjadi trauma mekanis dan selanjutnya timbul reaksi radang yang berupa udim pada stroma di bawah epitel dan peningkatan vaskularisasi. Selanjutnya timbul penebalan, pengerasan setempat dan akhirnya terbentuk nodul. Nodul inilah yang menghalangi kedua korda vokalis merapat di garis tengah pada waktu fonasi sehingga timbul suara parau.



DIAGNOSIS 1. Anamnesis -



mula-mula pasien mengeluh suara pecah pada nada tinggi, gagal mempertahankan nada suara, bicara terasa cepat lelah, tidak mampu berbicara lama dan kemudian suara menjadi parau



189



- awalnya suara parau timbul sore hari dan membaik keesokan harinya, tetapi akhirnya menetap



2. Pemeriksaan Fisik -



pada pemeriksaan laringoskopia indirekta, direkta atau fiberoptic laryngoscopy (FOL), tampak benjolan kecil pada titik pertemuan ⅓ anterior dan ⅓ tengah dari bagian medial korda yang bilateral dan simetris pada korda vokalis



DIAGNOSIS BANDING 1. Kista korda vokalis 2. Polip korda vokalis 3. Papiloma korda vokalis 4. Karsinoma korda vokalis stadium dini



TERAPI - istirahat suara 1-2 minggu - re-edukasi suara oleh bina wicara - bila ada kemajuan secara subyektif dan obyektif re-edukasi suara dapat diteruskan sampai suara menjadi normal kembali - bila tak ada kemajuan atau nodul bertambah besar, dilakukan ekstirpasi nodul melalui bedah laring mikroskopis dan pasca bedah segera diikuti dengan re-edukasi suara.



DAFTAR PUSTAKA 1.



Lee KJ. Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8 th Ed. McGraw-Hill, New York, 2003. 190



2.



Corbridge RJ. Essential ENT Practice. A Clinical Text. Holder Arnold, London, 2006.



3.



Dhingra PL. Diseases of Ear, Nose and Throat. 4 th Ed. Elsevier, New Delhi, India, 2007.



4.



Snow JB & Wackym PA. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery. 17th Ed. BC Decker Inc, 2009



5.



Johnson JT & Rosen CA. Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology. 5th Ed. Lippincott Williams & Wilkins, London, 2014.



191



PAPILOMA LARING Sri Herawati J.



BATASAN Papiloma laring adalah epithelial growth pada laring yang merupakan respons langsung dari adanya infeksi human papilloma virus. Papiloma laring merupakan tumor jinak yang sering terdapat di laring walaupun dapat juga tumbuh di trakea / bronkus dan cenderung residif.



PATOFISIOLOGI Tumor jinak ini tumbuh secara perlahan di laring, terutama korda vokalis sehingga menyebabkan suara parau. Pada tingkat lanjut, tumor dapat meluas ke supraglotik dan subglotik sehingga menutup jalan napas dan menimbulkan sesak napas.



DIAGNOSIS 1. Anamnesis - suara parau yang progresif - sesak napas pada keadaan lanjut



2. Pemeriksaan Fisik - pada



pemeriksaan laringoskopia indirekta , direkta dan fiberoptic



laryngoscopy (FOL) tampak tumor kecil berdungkul-dungkul warna pucat kemerahan



DIAGNOSIS BANDING 1. Nodul vokal 192



2. Polip korda vokalis 3. Karsinoma laring



KOMPLIKASI - Dispnea, sianosis



TERAPI - ekstraksi tumor melalui bedah laring mikroskopis - bila sesak, dilakukan trakeotomi - kontrol secara rutin sebab tumor ini sangat residif terutama pada anak-anak



DAFTAR PUSTAKA 1.



Lee KJ. Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8 th Ed. McGraw-Hill, New York, 2003.



2.



Corbridge RJ. Essential ENT Practice. A Clinical Text. Holder Arnold, London, 2006.



3.



Dhingra PL. Diseases of Ear, Nose and Throat. 4 th Ed. Elsevier, New Delhi, India, 2007.



4.



Snow JB & Wackym PA. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery. 17th Ed. BC Decker Inc, 2009



5.



Johnson JT & Rosen CA. Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology. 5th Ed. Lippincott Williams & Wilkins, London, 2014.



193



TRAUMA LARING-TRAKEA Widodo Ario Kentjono



BATASAN Trauma laringotrakeal adalah trauma (rudapaksa, jejas) yang mengenai laring dan trakea.



ETIOLOGI Rudapaksa yang mengena laring-trakea dapat berupa: -



Trauma tumpul (mis. KLL, kena pukulan, terbentur, olahraga),



-



Trauma tembus (mis. tertusuk pisau, tembakan senapan / senjata



api) -



Trauma inhalasi (mis. menghirup uap air panas, asam kuat H2SO4)



-



Trauma iatrogenic (mis. pemasangan ETT atau pipa sonde



lambung)



DIAGNOSIS Anamnesis biasanya didapatkan keluhan berupa sulit menelan, nyeri leher, suara parau & sesak napas. Pemeriksaan fisik ditemukan stridor, hemoptisis, emfisema subkutan, leher yang bengkak, hematom, nyeri tekan, laserasi kulit, krepitasi. Pemeriksaan penunjang : foto polos servikal AP/Lat, CT` scan / MRI. Bila mungkin dilakukan pemeriksaan endoskopi (FOL)



Klasifikasi Derajat I : mukosa laring/trakea tampak udim / hematom yang minimal



194



Derajat II : mukosa laring /trakea tampak robek (disruption) minimal, atau CT scan tampak fraktur yang non displaced Derajat III : udim masif, kerobekan mukosa berat atau tampak tulang rawan (exposed) Derajat IV : kerusakan mukosa dan struktur laring-trakea yang masif disertai fraktur multipel Derajat V : complete laryngotracheal separation.



PENATALAKSANAAN Pada kondisi emergensi, evaluasi awal dan terapi berdasarkan prinsip ATLS (Advanced Traumatic Life Support) meliputi mengamankan jalan napas, memperbaiki pernapasan, sirkulasi jantung, kontrol perdarahan, stabilisasai sevikal dan spinal dan penyelidikan secara sistematik untuk trauma pada organ lainnya.



Tujuan utama manajemen trauma laring akut yaitu 1) menyelamatkan jiwa dengan cara mengamankan jalan napas, dan 2) mengembalikan fungsi dan kualitas suara. Tergantung derajat trauma, terapi dibedakan menjadi konservatif (medikal) dan



pembedahan



(surgikal).



Keputusan



terapi



konservatif



dengan



pertimbangan bahwa kondisi trauma bisa sembuh tanpa bedah dengan tidak menimbulkan sekuele. Terapi konservatif meliputi posisi kepala sedikit tinggi (elevate head), istirahat bicara (voice rest), suntik kortikosteroid, antibiotik, humidifikasi, obat anti refluks dan analgesik. Evaluasi ketat 2X24 jam. Bila sesak makin hebat, dilakukan trakeostomi, dilanjutkan pemeriksaan FOL. 195



Waktu yang optimal untuk evaluasi endoskopi (FOL) dan surgikal masih kontroversi, dapat menunggu beberapa hari setalah trauma agar udim minimal sehingga identifikasi lesi menjadi lebih baik. Bila dijumpai kerusakan endolaring berat atau fraktur kerangka laring multiple dilakukan pembedahan laringofisurp dan pemasangan stent (Montgomery T-Tube). Terapi bedah bertujuan untuk mengembalikan anatomi dan fungsi laring menjadi normal kembali.



Gambar 1. Alogaritma Managemen Suspek Trauma Laring 196



KEPUSTAKAAN



1.



Johnson JT & Rosen CA. Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology. 5th Ed. Lippincott Williams & Wilkins, London, 2014



2.



Snow JB & Wackyn PA. Ballanger’s Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery. 17th Ed. BC Decker Inc, 2009



3.



Probst R, Grevers G & Iro H. Basic Otorhinolaryngology Basic Otorhinolaryngology. Georg Thieme Verlag Stuttgart, New York, 2006



4.



Cummings CW. Cummings: Otolaryngology: Head & Neck Surgery, 4th ed. Elsevier, Philadelphia, Pennsylvania, 2005



197



ADENOIDITIS AKUT Muhtarum Yusuf



Batasan Radang akut dari adenoid pada bayi - anak kurang 12 tahun



Etiologi



Diagnosis Anamnesis (heteroanamnesis) -



Panas tinggi sampai konvulsi



-



Buntu hidung, gangguan napas saat tidur (obtructive sleep apneu)



-



Pilek, tidak mau makan, berat badan menurun



Pemeriksaan (pada anak yang besar dan kooperatif) -



Rinoskopia anterior : adenoid udem, hiperemi, terdapat sekret, fenomena palatum mole negatif



-



Edoskopi : adenoid hiperemi



Pemeriksaan penunjang : foto skull lateral soft tissue Kompilkasi 



Melalui tuba Eustakius : otitis media akut







Ke bawah : laringitis, trakeitis, bronkitis, bronkopneumonia







Sinusitis paranasalis



Terapi 



Antibiotika sama dengan tonsilitis akut







Simptomatis



198



Daftar pustaka 1. Ballenge JJ. Disease of oropharinx. In : Ballenger JJ, ed. Disease of nose, throat, ear and neck. 14th ed. Philadhelphia, London : Lea & Fabiger, 1991 : 243- 58. 2. Jayakumar J, Miller S, Mitchel RB. Adenotonsillar disease in children. In : Johnson JT and Rosen CA.eds. Bailaey’s Head and Neck Sugery – Otolaryngology 5th ed. Philadelphia, New York, Lippincott Williams & Wilkins, 2014 : 1430-44.



199



ADENOIDITIS KRONIS Muhtarum Yusuf Batasan Radang kronis pada adenoid



Etiologi -



Post nasal drip : sekret kavum nasi jatuh ke belakang, sekret berasal dari sinus maksilaris dan ethmoid



Diagnosis Anamnesis -



Bindeng/sengau (rinolalia oklusa) karena koane tertutup oleh adenoid



-



Mulut terbuka untuk bernapas, muka terkesan bodoh (adenoid face)



-



Aproseksia nasalis



-



Sakit kepala



-



Pilek, batuk-batuk kronis



-



Nafsu makan menurun



-



Pendengaran menurun



Pemeriksaan -



Rinoskopi anterior : adenoid membesar, phenomena palatum mole negatif



-



Rinoskopi posterior : adenoid membesar dan tidak hiperemi



Pemeriksaan tambahan -



Endoskopi



-



Foto skull lateral soft tissue



200



Komplikasi -



Otitis media efusi



-



Sinusitis paranasalis



Terapi -



Adenoidektomi (ade)



-



Adenotonsilektomi (ate) bila disertai tonsilektomi



Indikasi ade : -



Hipertropi menyebabkan ngorok (snoring) dan gangguan napas (obstructive sleep apneu/osas)



-



Gangguan pendengaran



-



Menyebabkan sinusitis berulang



Daftar pustaka 1.



Ballenge JJ. Disease of oropharinx. In : Ballenger JJ, ed. Disease of nose, throat, ear and neck. 14th ed. Philadhelphia, London : Lea & Fabiger, 1991 : 243- 58.



2.



Jayakumar J, Miller S, Mitchel RB. Adenotonsillar disease in children. In : Johnson JT and Rosen CA.eds. Bailaey’s Head and Neck Sugery – Otolaryngology 5th ed. Philadelphia, New York, Lippincott Williams & Wilkins, 2014 : 1430-44.



201



FARINGITIS AKUT Muhtarum Yusuf



Batasan : radang akut pada mukosa faring dan jaringan limfoid di dinding faring



Etiologi : - Virus : rhinovirus, coronavirus, virus influenza A dan B, parainfluenza, adenovirus, resp. Syncytial virus, enterovirus, Epstein - barr virus. - Bakterial : Grup A Beta-hemolitikus setreptokokus (GABHS), grup C dan G. Stafilokokus aureus, C. Diphteria, neisseria sp. Korine bakterium sp. Patofiologi Penularan secara droplet infection. Penyebab utamanya virus dan dapat diikuti oleh infeksi bakterial. Jarang sekali primer akibat infeksi bakteri. Dapat sebagai permulaan dari penyakit lain, misalnya ; morbili, influenza, rubela, pneumoni, parotitis, dll. Seringkali bersama-sama dengan penyakit saluran napas yang lainnya, misal : rinitis akut, nasofaringitis akut, laringitis akut, dll. Kebanyakan dimulai dari infeksi dari hidung dan sinus paranasal lewat post nasal drip. Masa inkubasi 12 jam – 4 hari.



Diagnosis Anamnesis -



Tenggorok terasa kering dan panas, diikuti dengan nyeri menelan di tengah tenggorok yang berlangsung beberapa hari-minggu, nyeri menjalar sampai telinga.



-



Panas badan, sakit kepala, malaise 202



Pemeriksaan : -



Mukosa faring tampak hiperemi, udem terutama di daerah lateral faringeal band, kadang terdapat mukopus.



-



Sekret yang terbentuk awalnya bening, lama kelamaan kental berwarna kuning



-



Granula tampak lebih besar dan merah.



-



Bila menyebar ke laring, suara parau dan batuk-batuk.



Diagnosis banding -



Tonsilitis akut



Komplikasi Lokal



: sinusitis, otitis media akut, laringitis, bronkitis, pneumonia



General : meningitis, ensefalitis, miokarditis



Terapi 1.



Faringitis akut termasuk penyakit yang dapat sembuh sendiri (selflimiting disease) terutama pada penderita dengan daya tahan tubuh yang baik, dianjurkan : -



Istirahat, makan lunak, minum hangat



-



Analgetik/antipiretik



:



parasetamol



3x500



mg



(anak-anak



10mg/kgBB/dosis, 3-4x sehari) 2.



Obat kumur benzydamin gargel



Antibitika diberikan pada kasus infeksi bakteri, pilihannya : Lini pertama : a. Phenoksimetilpenisillin 4x500mg b. Amoksisilin 3x 500mg 203



Alternatifnya : c. Amoksisilin- asam klavulanat 3x500 mg d. Cephalosporin oral (cefadroksil 2x500mg) Lama pemberian 7-10 hari, jika tidak ada respon dalam waktu 72 jam, reevaluasi pasien dan diganti dengan antibiotika jenis yang lain.



Daftar Pustaka 1.



Ballenge JJ. Disease of oropharinx. In : Ballenger JJ, ed. Disease of nose, throat, ear and neck. 14th ed. Philadhelphia, London : Lea & Fabiger, 1991 : 243- 58.



2.



Hoff SR, Chang KW. Pharyngitis. In : Johnson JT and Rosen CA.eds. Bailaey’s Head and Neck Sugery – Otolaryngology 5th ed. Philadelphia, New York, Lippincott Williams & Wilkins, 2014 : 757-69.



3.



Ringkasan panduan pengobatan antibiotika untuk infeksi saluran napas akut. California Medical Association (CMA) 2012.



204



FARINGITIS KRONIS Muhtarum Yusuf



Batasan Infeksi atau inflamasi yang berlangsung lama (bulan) dari mukosa faring. Dibagi menjadi dua, yaitu non spesifik dan spesifik



Etiologi 1. Faktor intrinsik (non spesifik) Terjadi karena faktor kepribadian yang tegang, sangat sensitif, cemas dan insomnia 2. Faktor ekstrinsik (non spesifik) Terjadi karena post nasal drip atau refluk gastroesofagus yang menimbulkan rangasangan pada tenggorok jangka waktu lama. Iritasi makanan, rokok atau minum alkohol 3. Infeksi (spesifik) Tuberkulosis, jamur (HIV/AIDS), lepra, toxoplasmosis, skleroma Faringitis Kronik Non Spesifik Diagnosis Anamnesis : -



Rasa tidak enak, mengganjal, rasa lendir, gatal di tenggorok yang lama



-



Nyeri saat menelan



-



Kadang-kadang ada rasa sakit di telinga



Pemeriksaan : -



Gambaran pulau-pulau jaringan limfe pada dinding belakang faring mengalami pembesaran dan hiperemi 205



Terapi -



Penyebabnya dihindari/diobati



-



Dapat diberi obat kumur



Faringitis Kronik Spesifik Diagnosis Anamnesis : tergantung penyebabnya -



Tuberkulosis : terdapat lesi yang multipel yang sangat nyeri



-



Jamur (HIV/AIDS) : lesi di seluruh faring



-



Sifilis : dimulai dengan papula yang kemudian pecah timbul ulkus yang tidak nyeri



Peremriksaan : tergantung penyebabnya -



Tuberkulosis



:



pemeriksaan



mikrobiologi/patologi



terhadap



micobacterium tuberkulosa, foto thorak -



Jamur : usap tenggorokan



-



Sifilis : pemeriksaan VDRL



Terapi Tergantung penyebabnya, misalnya obat-obat anti TBC, anti jamur



Daftar pustaka 1. Hoff SR, Chang KW. Pharyngitis. In : Johnson JT and Rosen CA.eds. Bailaey’s Head and Neck Sugery – Otolaryngology 5th ed. Philadelphia, New York, Lippincott Williams & Wilkins, 2014 : 757-69.



206



2. Pedoman Diagnosis Dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Telinga Hidung Dan Tenggorok Edisi III, Tahun 2005 RSUD Dr. Soetomo Surabaya.



207



Leukoplakia Muhtarum Yusuf



Batasan -



Leukoplakia merupakan plak berwarna putih yang tidak dapat di usap dan tidak dapat dikarakteristikan secara klinis atau patologis seperti penyakit yang lain



-



Leukoplakia telah dikaitkan selama ini dengan lesi prekanker



-



Lichen planus dan candidiasis tidak termasuk leukoplakia



-



Insiden o



Bisa terjadi pada semua usia, terutama pada usia 40-70 tahun



o -



Laki-laki : perempuan = 2:1



Etiologi o



Multifaktorial



o



Rokok, alcohol, paparan terhadap bahan iritan yang menahun



-



Lokasi dan Morfologi •



Mukosa pipi, basis oral, palatum durum, lidah







Plak keputihan, tebal, batas yang tidak jelas, verukosa



Penatalaksanaan : -



Menyingkirkan faktor presdiposisi yang ada



-



Disamping memberikan nasihat untuk berhenti merokok, banyak klinisi yang lebih memilih untuk menunggu daripada memberikan intervensi secara aktif 208



-



Operasi : o



Operasi dengan tujuan membuang lesi merupakan pilihan utama sebagai penatalaksanaan oleh banyak klinisi. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan bedah dengan cara eksisi tradisional dengan menggunakan scalpel, dengan laser, atau dengan menggunakan elektrocouter atau krioterapi



-



Medikasi •



Antiinflamatori, antimikosis (target terhadap spesies candida), karotenoid (precursor terhadap vitamin A, contoh : beta karoten), retinoid (preparat sejenis vitamin A), dan sitotoxik, tetapi tidak ada bukti yang dapat menunjukan adanya kemampuan mencegah timbulnya keganasan pada area yang mengalami leukoplakia. Vitamin C dan E juga telah dipelajari memiliki hasil yang baik sebagai terapi leukoplakia.



209



STOMATITIS PADA HIV Muhtarum Yusuf



Pendahuluan : -



Candidiasis oral merupakan salah satu gangguan yang paling sering didapatkan, Infeksi mukosa oral yang masih dapat diobati dapat ditemukan pada orang dengan infeksi human immunodeficiency virus (HIV)/AIDS.



-



Infeksi disebabkan ole Candida Albicans, organisme fungal dimorfik yang secara tipikal dapat ditemuka di cavum oris pada stadium non patogenik pada satu setengah individu yang sehat



-



Kecuali bila pasien mengalami penurunan daya tahan tubuh yang parah, infeksi umumnya terbatas pada mukosa superfisial dan kulit.



-



Beberapa preparat antifungal dapat digunakan secara topical, durasi pengobatan bervariasi mulai dari 7 higga 14 hari.



Etiologi : -



Diantara jamur yang bersifat pathogen, spesies Candida merupakan penyebab tersering dan paling dominan hingga mengakibatkan infeksi yang invasive. Terdapat beberapa jenis yaitu C. Albicans, Candida Glabrata, Candida Parapsilosis, Candida Tropicalis dan Candida Krusei.



-



Spesies Aspergillus



-



Zygomycetes



Spektrum klinis dari penyakit : -



Kandidiasis pseudomembranosea o



Pada umumnya dikenal sebagai “trush”, merupakan bentukan normal yang sering ditemukan pada neonates. 210



Hal tersebut dapat juga nampak pada pasien yang mendapatkan terapi kortikosteroid topical atau pasien dengan status imun yang tersupresi seperti infeksi dengan Human immunodeficiency virus (HIV) -



Kandidiasis Hiperplasia o



Bentukan ini disebut “candida leukoplakia”, candidiasis hyperplasia akan nampak sebagai bentukan plak putih yang tidak dapat di usap bersih oleh klinisi



-



Kandidiasis eritematosa o



Sesuai dengan implikasi terminologisnya, secara klinis terdiri atas lesi yang kemerahan atau eritematosa.



o



Sementara



didapatkan



sisi



mukosa



yang



terkena,



candidiasis eritematosa pada umumnya mengenai lidah, dan palatum, palatum durum, dan gingiva -



Angular cheilitis o



Tampilan secara klinis infeksi candidiasis oral adalah Angular Cheilitis. Gejala ini nampak sebagai retakan, pengelupasan, atau ulserasi yang terjadi pada sudut mulut. Hal tersebut akan sering nampak pada kombinasi infeksis candidiasis, seperti pada tipe eritematosa



Ulkus yang disebabkan HIV mempunyai gambaran klinis : 1.



Non-keratin



2.



Terdapat pseudomembran



3.



Ukuran lesi : a.



Minor > 5 mm



b.



Mayor 1-3 cm 211



c.



Herpetiform 1-2 mm



4.



Dapat lesi tunggal atau multiple



5.



Nyeri



6.



Kemerahan di sekitar ulkus



Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan titer CD4+ 2 minggu



-



Squamous cell carcinoma dan premalignant dysplasia harus dipertimbangkan lebih awal



Etiologi -



Polutan : Asap rokok



-



Infeksi : Sifilis dan Plummer Vinson syndrome, tuberculosis, jamur, HIV, Wegner’s granulomatosis



-



Kelainan hematologi : segala bentuk leukemia dan agranulocytosis



-



Efek samping radiasi dari keganasan kepala dan leher



-



Kelainan anatomi pada gigi



Terapi -



Pada umumnya simtomatis



-



Menjaga higienitas mulut dan menggunakan obat kumur/sray antiseptic, contoh : chlorhexidine



223



-



Penggunaan analgesic topical, contoh : obat kumur benzydamine, dapat mengurangi rasa nyeri



224



ABSES PARAFARING Bakti Surarso BATASAN : Infeksi supuratif dari ruang parafaring (ruangan dengan bentukan seperti piramida tebalik dengan bagian dasar atau superior pada basis kranii dan bagian puncak atau inferior pada tulang hyoid) Ruang parafaring dibagi menjadi dua kompartemen :



1. Kompartemen prestyloid : terdiri dari jaringan lemak, jaringan ikat, lymph node, arteri Maksilaris interna, nervus maksila dan ujung dari kelenjar parotis



2. Kompartemen poststyloid : terdiri dari Arteri karotis, Vena jugularis internus, Nervus IX, X, XI dan XII PATOFISIOLOGI : Abses parafaring dapat terjadi oleh karena penyebaran infeksi secara langsung dari ruang leher lainnya. Rute penyebaran dapat terjadi melalui ruang peritonsiler ke arah lateral, ruang sub mandibula ke arah posterior, ruang retrofaring ke arah anterior dan dari ruang mastikator atau parotis ke arah medial. Penjalaran infeksi dapat terjadi oleh karena berbagai sumber infeksi seperti infeksi tonsil, gigi, ginggiva, trauma faring (port d' entry), Mastoiditis dan erosi dari kortex mastoid ( Abses Bezold). Bakteri penyebab infeksi merupakan bakteri gram positif, bakteri anaerob dan bakteri gram negatif (lebih banyak pada populasi anak). Bakteri penyebab terbanyak Staphylococcus (43-74%), Streptococcus (13-50%), Anaerob (7-17%) dan 225



Haemophilus



(4 - 11%)



GEJALA KLINIS :



1. Nyeri leher dan menelan 2. Demam 3. Kaku leher 4. Nyeri saat membuka mulut atau trismus DIAGNOSIS :



1. Anamnesis 2. Pemeriksaan fisik : -



Trismus (tidak terlihat pada infeksi poststyloid)



-



Udim pada sudut mandibular



-



Udim daerah dinding lateral faring ke arah medial (tidak selalu terlihat



pada



infeksi poststyloid)



3. Laboratorium : -



Darah lengkap



-



Elektrolit



-



Urin lengkap



-



Kultur luka, tenggorok dan darah



4. Radiologis : -



Foto polos jaringan lunak leher anteroposterior dan lateral



-



CT-Scan kontras ( golden standard)



-



MRI



-



USG



DIAGNOSIS BANDING



1. Selulitis 226



2. Limfadenitis TERAPI : 1.



Awasi dan amankan jalan napas (bila perlu lakukan intubasi endotracheal atau trakeotomi)



2.



Antibiotika :



a. Antibiotika intravena (diberikan selama 5 hari) -



Ampicillin sulbactam (1,5-3 gram/6 jam)



-



Jika alergi golongan penicillin dapat diberikan Cefuroksim (750-1,5



gram/8



(600-900mg/8



jam),



jam)+



kombinasi



clindamycin



aminoglikosida



intravena,



Metronidazole (500mg/6 jam) -



Levofloxacin 750mg/24 jam



-



Ceftriaxon



b. Antibiotika peroral (diberikan selama 7-10 hari setelah pemberian antibiotika intravena) -



Amoxycillin Clavulanat (3 x 625mg)



-



Cefuroksim (2 x 500 mg)



-



Clindamycin (300mg/6 jam) atau metronidazole (3 x 500mg)



3.



Ceftriaxon 2 x 1 gram IV



Operasi insisi dan drainase, diindikasikan bila : -



Tidak ada perbaikan dengan terapi antibiotika intravena dalam waktu 24 — 72 jam



-



Penemuan abses secara radiologis (`gas forming') atau abses lebih dari 1 cm



227



-



Abses multilocular



-



Gagal melakukan aspirasi



-



Terjadi komplikasi



KOMPLIKASI : 1.



Obstuksi jalan napas atas



2.



Septikemia



3.



Neuropaty



4.



Ruptur arteri karotis



5.



Trombosis vena jugularis interna



6.



Mediastinitis



DAFTAR PUSTAKA : 1.



Aynehchi BB, El GH. Deep neck infections. In : Johnson JT, Rosen CA. eds. Bailey's head and neck surgery - otolaryngology. 5th ed. Vol. One.



Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins;



2014. p. 794-13. 2.



Yellon RF. Deep head. and neck space infection. In: Snow JB, Wackym PA, eds. Ballenger's otorhinolaryngology head and neck surgery. 17th ed. Connecticut : BC Decker Inc; 2009. p. 783-87.



3.



Lee KJ. Neck spaces and facial planes. In: Lee KJ, Chn Y, Das S, eds. Essential otolaryngology head and neck surgery. 10th ed. United states : Mc Graw Hill; 2012. p.557-74.



4.



Johnson JT. Parapharyngeal space masses : diagnosis and management. In : Paparella MM, Shumrick DA, Gluckman JL, Mayerhoff WL, eds. Head and neck. 3t ed. Vol. III. Philadelphia: WB Saunders Co; 1991. p. 2579-589.



228



ABSES PERITONSIL Bakti Surarso BATASAN Infeksi supuratif yang diikuti dengan terkumpulnya pus pada jaringan ikat longgar antara muskulus konstriktor faring dengan tonsil pada fosa tonsilaris. PATOFISIOLOGI Mikroorganisme penyebab abses peritonsil sama dengan yang terdapat pada tonsillitis akut yaitu serob maupun anaerob. Bakteri aerob yang paling sering adalah Streptococcus pyogens (Streptococcus beta haemoliticus group A) sedangkan bakteri anaerob adalah Fusobacterium. Umumnya dijumpai kombinasi bakteri aerob dan anaerob. Bakteri aerob







Streptococcus beta haemoliticus group A







Streptococcus beta haemoliticus group B, C, G







Haemophilus influenza







Neisseria sp







Mycobacteria sp



Bakteri anaerob







Fusobacterium







Peptostreptococcus







Peptococcus sp







Bacteriodes



Virus







Eipsten-Barr







Adenovirus 229







Influenza A,B







Herpes simplex







Parainfluenza



GEJALA KLINIS Penderita mengalami keluhan odinofagia hebat, trismus, foetor ex ore, hot potato voice, hipersalivasi, rinolalia, dehidrasi, regurgitasi, cefalgia, fatigue, demam dan pembengkakan kelenjar submandibular disertai dengan nyeri tekan. Pasien juga dapat mengalami nyeri saat menggerakkan leher. Infeksi biasanya terjadi unilateral dan akut, otalgia pada telinga ipsilateral selama beberapa hari setelah serangan tonsillitis.



DIAGNOSIS Anamnesis sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis abses peritonsil. Adanya riwayat nyeri tenggorok dan tosilitis akut. Pemeriksaan fisik didapatkan palatum mole membengkak dan menonjol ke depan. Uvula bengkak dan terdorong ke kontralateral. Tonsil tampak bengkak, hiperemi, terdapat detritus dan terdorong kearah tengah, depan dan bawah. Pemeriksaan penunjang:



 Laboratoriun: Darah lengkap, elektrolit, kultur darah dan kultur pus  Radiologi: Skull foto AP, CT scan dan USG. TERAPI 1.



Stadium infiltrasi







Antibiotik



- Sesuai hasil kultur pus



230



- Penisilin dosis 600 mg IV tiap 6 jam pada dewasa dan 12.500 — 25.000



U/kgBB



tiap 6 jam pada anak.



- Metronidazole pada dewasa dosis awal 15 mg/kgBB dan dosis pemeliharaan setelah 6 jam dengan infus 7,5 mg/kgBB selama 1 jam diberikan selama 6 — 8 jam dan tidak boleh lebih dari 4 g/hari.







Sintomatik Analgesik/antipiretik



 2.



Oral gargle



Stadium supurasi (abses)







Insisi







Aspirasi jarum halus



KOMPLIKASI 



Abses pecah spontan dan mengakibatkan terjadinya perdarahan dan aspirasi paru.







Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses parafaring



 Penjalaran ke intracranial dapat mengakibatkan thrombus sinus kavernosus, meningitis dan abses otak. 



Penjalaran infeksi ke organ lain yaitu nefritis, peritonitis dan mediastinitis.



231



DAFTAR PUSTAKA 1.



Aynehchi BB, Har-EI G. Deep neck infection. In : Johnson JT, Rosen CA, eds. Bailey's head & neck surgery otolaryngology. 5th ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2014. p. 794-13.



2.



Yellon RF. Deep head and neck space infections. In : Snow JB, Wackym PA, eds. Ballenger's otorhinolaryngology head and neck surgery. 17th ed. Shelton: BC Decker Inc; 2009. p. 783-7.



232



ABSES RETROFARING Bakti Surarso



BATASAN Abses retrofaring adalah peradangan yang disertai pembentukan pus pada daerah retrofaring. Abses retrofaring merupakan salah satu bagian dari infeksi leher dalam. PATOFISIOLOGI Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses retrofaring: 



Infeksi saluran nafas atas yang dapat menyebabkan limfadenitis retrofaring.







Trauma dinding belakang faring oleh karena benda asing seperti tulang ikan atau tindakan medis berupa intubasi endotrakea, endoskopi, pemasangan NGT, dan trauma karena tindakan pembedahan.







Tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas.







Penyebaran abses dari ruang leher dalam yang lain (ruang parafaring dan ruang prevertebra)



Kuman penyebab infeksi ruang retrofaring: 



Paling banyak merupakan campuran kuman aerob dan anaerob.







Streptococcus viridans







Streptococcus pyogenes (group A beta-hemolytic streptococcus)







Peptostreptococcus







Staphylococcus epidermidis







Staphylococcus aureus



233







Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) paling banyak pada pediatri







Bacteroides







Fusobacterium







Neisseria, pseudomonas, Escheria, haemophilus







Actinomyces



GEJALA KLINIS Gejala klinis abses retrofaring pada anak biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas. Permulaan gejala biasanya tidak spesifikseperti anak rewel, tidak mau makan atau minum, demam, kekakuan ekstensi kepala dan nyeri tekan pada leher. Infeksi dapat meluas ke mediastinum yang ditandai dengan gejala demam, nyeri dada, sesak nafas yang bertambah berat. Pada orang dewasa biasanya gejala didahului danya riwayat trauma dari luar, trauma karena alat seperti endoskopi, intubasi endotrakea, trauma benda asing seperti tulang ikan, atau adanya benda asing. Gejala klinis pada orang dewasa antara lain nyeri menelan, sulit menelan, demam, nyeri tekan, kekakuan leher serta gejala sumbatan jalan nafas atas. Jika abses bertambah besar maka suara akan berubah, air liur tidak dapat dikontrol, dapat timbul sesak nafas karena sumbatan jalan nafas. Pada abses retrofaring tidak didapatkan trismus, apabila terdapat trismus harus dicurigai penjalaran abses ke ruang parafaring. DIAGNOSIS 1. Anamnesis 2. Pemeriksaan klinis 3. Laboratorium :



a. darah rutin : lekositosis b. kultur spesimen/pus aerob dan anaerob



4. Radiologis : a. Foto jaringan lunak leher lateral 234



Dijumpai



penebalan



jaringan



lunak



retrofaring



(prevertebra) - setinggi C2 : > 7 mm ( normal 1 - 7 mm ) pada anakanak dan dewasa - setinggi C6 : > 14 mm ( anak-anak , N : 5 – 14 mm ) dan > 22 mm ( dewasa, N : 9 – 22 mm ) Pembuatan



foto



hiperekstensi dijumpai



dan



dilakukan selama



dengan inspirasi.



posisi



kepala



Kadang-kadang



udara dalam jaringan lunak prevertebra dan



erosi korpus vertebra yang terlibat. b. CT Scan c. MRI



TERAPI Abses retrofaring merupakan salah satu kasus kegawatan di bidang THT-KL. Penatalaksanaanya harus dilakukan sesegera mungkin yaitu meliputi mempertahankan jalan nafas, pemberian antibiotika, rehidrasi, insisi dan drainase abses yang dapat dilakukan dengan pendekatan eksternal atau intraoral. 1.



Mempertahankan jalan nafas yang adekuat 



Pemberian oksigen,







Intubasi endotrakea.







Trakeotomi bila diperlukan pada kondisi sumbatan jalan nafas atas yang perlu tindakan segera dan abses yang besar.



2.



Antibiotik 235



Terapi empirik menggunakan antibiotik spektrum luas, sambil menunggu hasil kuktur darah dan pus. Pilihan antibiotik yang dapat digunakan: Community-acquired infection (kokus gram positif, batang gram negatif, anaerob) Ampicilin-sulbactam 1,5 – 3 g IV setiap 6 jam Clindamycin 600 – 900 mg IV setiap 8 jam



Immunocompremised/ infeksi nosokomial Pseudomonas dan gram negatif Ticarcillin-clavulanat 3 g IV setiap 6 jam Piperacillin-tazobactam 3 g IV setiap 6 jam Imipenem-cilastin 500 mg IV setiap 6 jam Levofloxacin (jika alergi terhadap penicilin) 750 mg IV setiap 24 jam



Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) Clindamycin 600-900 mg setiap 8 jam Vancomycin 1 g IV setiap 12 jam



Necrotizing fasciitis (campuran bakteri garam positif, gram negatif dan anaerob) Ceftriaxone 2 g IV setiap 8 jam dan clindamycin 600-900 mg setiap 8 jam dan metronidazole 500 mg IV setiap 6 jam



236



Actinomycoses Penicillin G 10-20 juta unit setiap 6 jam perhari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan penicillin V oral setiap 6 jam selama 4-6 bulan



3.



Bila



terdapat dehidrasi, diberiakn cairan isotonis untuk



memperbaiki keseimbangan elektrolit.



4.



Pembedahan a.



Aspirasi pus (neddle aspiration) untuk diagnosis dan terapi



b.



Insisi dan drainase 



Pendekatan eksternal (external approach): untuk abses yang besar dan meluas ke arah hipofaring.







Pendekatan intraoral (transoral): untuk abses kecil dan terlokaliasir.



KOMPLIKASI Komplikasi abses retrofaring dapat terjadi akibat: 1.



Massa menyebabkan sumbatan jalan nafas.



2.



Abses retrofaring dapat pecah spontan dan masuk ke dalam saluran nafas menyebabkan asfiksia, aspirasi pneumonia, abses paru.



3.



Penyebaran infeksi ke daerah sekitar 



Inferior



:



menyebabkan edema laring, mediastinitis.







Lateral



:



menyebabkan abses parafaring, trombosis vena jugularis, ruptur arteri karotis.



 4.



Posterior



:



menyebabkan osteomielitis.



Infeksi menyebabkan necrotizing fascitis, sepsis. 237



DAFTAR PUSTAKA 1.



Aynehchi BB, Haer-el G. Deep neck infection. In: Johnson JT, Rosen CA, Bailey BJ, eds. Head and neck surgery – otolaryngology. 5thed. Vol 2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2014. p.794-811.



2.



Yellon, RF. Deep head and neck space infections. In: Snow JB, Wackym PA, eds. Ballenger’s otorhinolaryngology head and neck surgery. 17th ed. United State: BC Decker; 2009. p. 783-87.



3.



Lee KJ. Neck space and facial planes. In: Lee KJ, Yvonne C, Das S, eds. Essential otolaryngology head & neck surgery. 10th ed. United State: The McGraw-Hill Companies; 2012. p.557-73.



4.



Shumrick KA, Sheft SA. Deep neck infections. In: Paparella, Shumrick, Gluckman, Meyerhoff, editors. Otolaryngology. 3 rd ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 1991. p. 2545-52.



238



ABSES SUBMANDIBULA Bakti Surarso BATASAN Infeksi supuratif pada ruang submandibular (ruang yang dibentuk oleh ruang submaksila, submental dan sublingual). Ruang submental: batas lateral dibentuk oleh venter anterior m. digastrikus, batas inferior oleh garis melalui tulang hyoid, bagian superior oleh m. milohioid dan bagian dasar oleh fasia dan kulit dagu. Ruang sumaksila: batas superior dibatasi garis sepanjang ramus mandibular sampai prosesus mastoid, batas posterior oleh m. digastrikus, batas anterior oleh venter anterior m. digastrikus, batas atap oleh m. milohioid dan m. hioglosus, dasarnya dibentuk oleh fasia servikal profunda dan kulit leher serta dagu. Ruang sublingual: batas anterior dan lateral dibatasi oleh korpus mandibula, batas posterior dibentuk oleh lidah, m. palatoglosus, m. stiloglosus dan os hyoid, batas atas adalah lidah, dasarnya dibentuk oleh m. milohioid. PATOFISIOLOGI Beratnya infeksi tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Infeksi meluas melalui foramen apokal gigi ke daerah. sekitarnya. Infeksi dari submandibular dapat meluas ke ruang masticator dan kemudian ke parafaring. Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang submandibular. Selanjutnya infeksi meluas ke daerah potensial lainnya. Penyebaran abses leher dalam dapat melalui jalur limfatik, celah antara ruang leher dalam dan trauma tembus. Bakteri



aerob



yang



paling



sering



adalah



Streptococcus



pyogens 239



(Streptococcus beta haemoliticus group A) sedangkan bakteri anaerob adalah Fusobacterium. Umumnya dijumpai kombinasi bakteri aerob dan anaerob.



GEJALA KLINIS Pembengkakan di bawah dagu atau dibawah lidah baik unilateral atau bilateral disertai nyeri tenggorok, trismus dan demam. Mungkin terdapat riwayat infeksi dan cabut gigi.



DIAGNOSIS Anamnesis didapatkan nyeri tenggorok, pembengkakan di bawah dagu, demam, riwayat infeksi dan cabut gigi. Pemeriksaan fisik didapatkan trismus, Pembengkakan di bawah dagu atau dibawah lidah baik unilateral atau bilateral. Pembengkakan mungkin fluktuatif Pemeriksaan penunjang



 Laboratorium: darah lengkap, elektrolit, glukosa darah, tes tuberkulin, kultur darah dan kultur pus.



 Radiologi: foto polos jaringan lunak leher AP dan lateral, foto panoramik (melihat sumber infeksi odontogenik), foto thorak (melihat deviasi trakea,



emfisema



subkutis,



pelebaran



mediastinum



dan



pneumomediatinum), CT scan dengan kontras, MRI dan USG (membantu melihat anatomi lesi secara detil karena kesulitan interpretasi dan visualisasi).



240



TERAPI



 Antibiotika o



Antibiotika IV (diberikan selama 5 hari) 



Ampisilin sulbaktam (1,5-3 gram/6 jam)







Apabila



alergi



penisilin



dapat



diberikan



Ceftriaxon,Cefuroxim, kombinasi Klindamisin (600900 mg/8 jam) dengan aminoglikosida IV, Metronidazol (500 mg/6 jam) o Antibiotika oral (diberikan 7-10 hari setelah pemberian IV)



 Amoksisilin klavulanat  Klindamisin atau Metronidazol  Simtomatis Analgesik/antipiretik



 Insisi dan drainase  Perawatan gigi dan ekstraksi gigi KOMPLIKASI



 Pseudoaneurisma arteri karotis dan ruptur arteri karotis  Ruptur abses di jalan nafas menyebabkan aspirasi pneumonia, abses paru, emfisema dan asfixia.



 Osteomielitis vertebra servikal dan mandibular  Sindroma Lemierre  Paresis nervus IX, X, XI dan XII  Sindroma Homer (ptosis, anhidrosis dan miosis)  Meningitis



241



 Abses intracranial DAFTAR PUSTAKA 1.



Aynehchi BB, Har-EI G. Deep neck infection. In : Johnson JT, Rosen CA, eds. Bailey's head & neck surgery otolaryngology. 5 th ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2014. p. 794-13.



2.



Yellon RF. Deep head and neck space infections. In : Snow JB, Wackym PA, eds. Ballenger's otorhinolaryngology head and neck surgery. 17th ed. Shelton: BC Decker Inc; 2009. p. 783-7.



242



PAROTITIS Bakti Surarso



BATASAN Mumps adalah infeksi virus pada glandula saliva, sering dijumpai pada era pre vaksinasi. Empat puluh persen penderita mumps terjadi pads glandula parotis. ETIOLOGI Etiologi yang paling sering adalah para.myxovirus. Virus lain yang dapat menyebabkan infeksi akut kelenjar parotis antara lain : vius parainfluenza, influenza, koksaki, ECHO, virus adenovirus dan virus sitomegali (pada pasien imunodefisiensi seperti HIV). Infeksi ini ditransmisikan oleh droplet respirasi DIAGNOSIS  Anamnesis 



Paling sering dijumpai pada anak usia 4 s.d 6 tahun.







Onset biasanya terjadi dalam 24 jam namun dapat pula lebih lama.







Gejala prodormal yaitu panas badan, malaise, mialgia dan anoreksia.







Rasa nyeri saat mengunyah kadang dapat menimbulkan trismus.



 Pemeriksaan fisik 



Pembengkakan glandula parotis biasanya bilateral.







Glandula parotis tidak selalu kemerahan atau hangat pada perabaan.



 Pemeriksaan penunjang 



Pemeriksaan penunjang tidak sering dilakukan, dapat berupa isolasi



virus



dari 243



swab nasofaring, urin, darah dan sekret bukal 7 sampai 9 hari setelah onset parotitis. DIAGNOSIS BANDING Infeksi virus koksaki, sitomegalovirus, influenza, dan infesksi ekovirus. PENATALAKSANAAN 



Mumps merupakan infeksi virus yang bersifat self-limiting.







Terapi bersifat simtomatis.







Pencegahan dengan vaksin MMR







Anti Virus



KOMPLIKASI Infeksi dapat menyebar ke testis, ovarium, mata, pankreas, susunan saraf pusat, ginjal dan persendian. Komplikasi yang berat tapi jarang yaitu gangguan



dengar



sensorineural



yang



sering



unilateral



dan



meningoensefalitis.



DAFTAR PUSTAKA 1. Witt, R. In : Lee KJ, Yvonne C, Dias S, eds. Salivary gland diseases. Essential otolaryngology. 10th ed. New york. Mc Graw Hill; 2012. p 506-28 2. Taylor, RJ, Wolf JS. Disease of the salivary glands. In : Snow JB, Wackym PA, eds. Ballenger's otorhinolayngology head and neck surgery. 17th ed. Philadelphia : BC Decker Inc.; 2009. p. 1131-40 3. Walvekar RR, Loehn BC, Wilson MN. In : Johnson JT, Rosen CA, Newlands S, Amin M, Branstetter B, Casselbrant, et al, eds. Nonneoplastic diseases of the salivary glands. Bailey's head and



244



neck surgery otolaryngology. Vol 1. 5th ed. Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins; 2014. p. 691-701 4. Butt FYS. In : Anil K. Lalwani, ed. Benign disease of the salivary glands. Current diagnosis and traetment in otolaryngology head and neck surgery. 3rd ed. New York : Mc Graw Hill Medical; 2012. p. 317-32



245



HIGROMA KISTIK Achmad C. Romdhoni



BATASAN Higroma kistik merupakan lifangioma yang besar seringkali ditemukan di trigonum posterior leher dan aksila pada anak.



PATOFISIOLOGI Higroma dapat timbul pada seluruh bagian tubuh, sekitar 75% terjadi pada daerah leher dengan predileksi sebelah kiri.Terdapat bermacam teori patogenesis terbentuknya higroma, terutama yaitu kegagalan terbentuknya hubungan



antara



sistem



limfatik



dan



sistem



vena



pada



masa



embriogenesis.Higroma servikalis umumnya muncul sebelum 30 minggu kehamilan dan berhubungan dengan abnormalitas kariotipik, sindroma malformasi yang bervariasi, beberapa agen teratogenik.Higroma leher dapat pula disebabkan karena komplikasi pembedahan dan infeksi.



DIAGNOSIS 1.



Anamnesis -



Massa lunak



-



Tidak nyeri



-



Compressible mass, membesar bila anak menangis



-



Asimtomatis (pada 2/3 kasus)



-



Sesak dan disfagia, apabila massa besar dan menekan jalan nafas dan makanan



2.



Pemeriksaan fisik 246



3.



-



Massa pada leher depan



-



Lokasi segitiga servikal posterior atau pada daerah supraklavikula



Pemeriksaan penunjang -



Prenatal: USG ibu hamil



-



Foto polos: soft tissue leher AP/lateral



-



CT scan kepala & leher (dengan/tanpa kontras)



DIAGNOSIS BANDING 1.



Kista duktus tiroglosus



2.



Kista celah brankial



KOMPLIKASI 1.



Infeksi



2.



Disfagia



3.



Stridor (apabila higroma terletak di trigonum anterior leher)



PENATALAKSANAAN -



Eksisi total



-



Antibiotik (jika ada infeksi)



DAFTAR PUSTAKA 1.



Lee KJ, ed. Essential otolaryngology head and neck surgery. 10th ed. New York: McGraw Hill; 2012.



2.



Adams G., Boies L., Higler P., Buku Ajar Penyakit THT Edisi ke enam.Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta 1997. 247



3.



Snow JB, Wackym PA, eds. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 17th ed. Sheldon, Connecticut: People’s Medical Publishing House, BC Decker; 2009.



248



Higroma A.C Romdhoni



Batasan: Limfangioma yang timbul dari saluran limfe pada leher Etiopatofisiologi Diagnosis Anamnesis Massa di leher depan Tidak nyeri Pemeriksaan fisik Massa pada leher depan Lokasi segitiga servikal posterior atau pada daerah supraklavikula Diagnosis banding Kista ductus thyroglossus Kista celah brankial Penatalaksanaan Eksisi total Antibiotik (jika ada infeksi) Daftar Pustaka: 1. Lee KJ, ed. Essential otolaryngology head and neck surgery. 8th ed. Boston : Mc Graw Hill; 2003. 2. Adams G., Boies L., Higler P., Buku Ajar Penyakit THT Edisi ke enam.Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta 1997.



249



KARSINOMA LIDAH Achmad C. Romdhoni



BATASAN Keganasan jenis karsinoma yang mengenai lidah.Merupakan terbanyak kedua tumor di rongga mulut (30%).Daerah tersering asal tumor pada sisi lateral lidah.



ETIOLOGI Faktor risiko: -



Penggunaan tembakau dan alkohol dalam jangka waktu lama



-



Imunosupresi



-



Infeksi virus human papilloma (HPV)



-



Higiene gigi dan mulut yang jelek



DIAGNOSIS 1. Anamnesis -



Benjolan di lidah pada umumnya tidak nyeri (duapertiga anterior lidah)



-



Rasa sakit tenggorok (sepertiga posterior lidah)



-



Disfagia, odinofagia



-



Kesulitan berbicara



-



Nyeri menjalar ke telinga ipsilateral



-



Trismus kadang-kadang



-



Benjolan leher (pada stadium lanjut) 250



2. Pemeriksaan fisik Palpasi bimanual:



lokasi, ukuran, jarak dari ujung lidah, garis tengah, sulkus terminalis,tumor terfiksir atau tidak.



Palpasi leher untuk menentukan level KGB Stadium awal: -



Leukoplakia



-



Eritroplakia (lesi radang kemerahan)



-



Penebalan



-



Ulkus pada lidah



Stadium lanjut:



3.



-



Fiksasi lidah



-



Menurunnya sensasi lidah



-



Limfadenopati servikal (level I-III)



Pemeriksaan penunjang Histopatologi -



Untuk menegakkan diagnosis (golden standard)



-



Paling



sering



karsinoma



sel



skuamosa



(moderately



well



differentiated) -



Sekitar 1-2 % adenokarsinoma dan sarcoma.



-



Pada tumor berkedalaman 2 hingga 4 mm berkorelasi dengan tingginya metastasis regional, rekurensi, dan mortalitas.



-



Invasi perineural pada tumor primer merupakan indicator rekurensi dan meningkatkan mortalitas.



Radiologi -



CT scan dan MRI kadang diperlukan untuk menentukan batas dan ukuran tumor serta keterlibatan KGB leher. 251



-



Foto thorax dan laboratorium fungsi hati untuk mengetahui metastasis jauh.



4. Stadium klinis Stadium tumor ganas lidah ditentukan dengan menggunakan klasifikasi stadium TNM : T (tumor primer) Tx



Tumor primer tidak dapat dinilai.



T0



Tidak didapatkan tumor primer



Tis



Tumor in situ



T1



Tumor dengan diameter kurang dari 2cm



T2



Tumor dengan diameter 2-4 cm



T3



Tumor dengan diameter lebih dari 4 cm



T4a



Tumor invasi ke korteks tulang, otot lidah profunda atau otot luar lidah, sinus maksila, kulit wajah.



T4b



Tumor invasi ke celah posterior gigi molar, planum pterigoideus, basis kranii, a. karotis interna.



N (kelenjar getah bening regional) Nx



Metastasis kelenjar limfe regional tidak dapat dinilai



N0



Tidak teraba pembesaran KGB



N1



Diameter pembesaran KGB kurang dari 3 cm, tunggal, ipsilateral.



N2a



Diameter KGB 3-6 cm tunggal ipsilateral.



N2b



Diameter KGB kurang dari 6cm, multiple, ipsilateral.



N2c



Diameter kurang dari 6 cm bilateral atau kontralateral.



N3



Diameter lebih dari 6 cm



M (metastasis jauh) Mx



Metastasis jauh tidak dapat dinilai. 252



M0



Tidak ada metastasis jauh



M1



Terdapat metastasis jauh



PENATALAKSANAAN 1.



Pembedahan a.



T1-T2 : glosektomi parsial, rekonstruksi operasi dengan penjahitan primer, secondary intention, atau skin graft.



b.



Glosektomi near total atau total. Jarang dilakukan oleh karena morbiditasnya sangat besar; dapat terjadi aspirasi.



c.



Tumor



yang



mandibulektomi



meluas (reseksi



ke



mandibula periosteum;







dilakukan



mandibulektomi



marginal; atau mandibulektomi segmental) d. 2.



Diseksi leher  level I-III (diseksi leher supraomohioid)



Radioterapi. Radiasi eksternal dengan atau tanpa brakhiterapi (pasien T1-T2) yang tidak memungkinkan dioperasi ataupun yang menolak tindakan operasi.



3.



Kemoterapi



4.



Kombinasi pembedahan dan kemoradioterapi



253



DAFTAR PUSTAKA : 1.



Deschler DG, Erman AB, Oral cavity cancer. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD,



eds. Head and neck surgery



otolaryngology. 5th ed. Vol. 2. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2014. p. 1649-74.



2.



Patel SG,Archer DJ, Henk JM. Tumours of the oral cavity. In: Rhys-Evans PH, Montgomery PQ, Gullane PJ, eds. Principles and Practice of Head and Neck Oncology. 1sted. New York: MartinDunitz; 2003.p.278-329.



3.



Lee KJ, ed. Essential otolaryngology head and neck surgery. 10th ed. New York: McGraw Hill; 2012.



4.



Kraus DH, Shrime MG. Neoplasma of the oral cavity. In:Snow JB, Wackym PA, eds. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 17th ed. Sheldon, Connecticut: People’s Medical Publishing House, BC Decker; 2009.



254



KARSINOMA PAROTIS



Achmad C. Romdhoni



BATASAN Suatu neoplasma ganas yang berasal dari sel epitel kelenjar saliva parotis. Karsinoma parotis dapat dikelompokkan menjadi low grade carcinoma dan high grade carcinoma. Low grade carcinoma terdiri atas acinic cell carcinoma, adenoid cystic carcinoma, low grade mucoepidermoid carcinoma. Sedangkan high grade carcinoma



Karsinoma parotis da pat dikelompokkan menjadi low grade carcinoma dan high grade carcinoma . Low grade carcinoma terdiri atas a c i n i c c e l l c a , a d e n o i d



cystic



ca,



low-grade



m u c o e p i d e r m o i d c a sedangkan h i g h g r a d e carcinoma t e r d i r i d a r i a d e n o c a r c i n o m a , k a r s i n o m a s e l s k u a m o s , dan karsinoma mucoepidermoid high grade.



ETIOLOGI Penyebab neoplasma dipastikan,dicurigai



pada



adanya



kelenjar



liur



keterlibatan



ini



faktor



masih genetik



belum



dapat



dan



faktor



lingkungan.



DIAGNOSIS 1. Anamnesis -



Massa pada regio parotis yang semakin membesar dengan cepat 255



-



Paralisis nervus fasialis



-



Nyeri



2. Pemeriksaan fisik -



Pemeriksaan besar, lokasi dan fiksasi dari massa.



-



Derajat paralisis nervus fasialis (lebih banyak didapatkan pada keganasan)



3. Pemeriksaan penunjang -



Histopatologi dengan FNAB



-



CT scan dan MRI dapat dilakukan untuk menilai perluasan massa.



-



Ultrasonografi dapat dilakukan hanya untuk struktur superficial ( lobus lateral parotis)



4. Sistem AJCC T ( Tumor primer) TX



Tumor primer tidak dapat dinilai



T0



Tidak ada bukti adanya tumor primer.



T1



Tumor dengan dimensi terbesar 2cm



T2



Tumor dengan dimensi terbesar 2-4 cm



T3



Tumor dengan ukuran 4-6 cm



T4



Tumor dengan ukuran lebih besar dari 6 cm



Semua stadium T dibagi menjadi: a)



Tidak ada perluasan lokal



b)



Didapatkan bukti adanya perluasan lokal ke kulit, jaringan lunak, tulang atau saraf.



N (Kelenjar getah bening regional) NX



kelenjar getah bening lokal tidak bisa dinilai



N0



Tidak didapatkan penyebaran ke kelenjar getah bening regional 256



N1



Penyebaran pada kelenjar getah bening tunggal dengan ukuran



kurang dari 3 cm N2a



Metastasis tunggal pada kelenjar getah bening ipsilateral dengan



ukuran 3-6 cm N2b



Metastasis multipel pada kelenjar getah bening ipsilateral dengan ukuran kurang dari 6 cm



N2c



Metastasis kelenjar getah bening bilateral atau kontralateral dengan ukuran kurang dari 6 cm



N3



Metastasis pada kelenjar getah bening dengan ukuran kurang dari 6



cm



M( Metastasis jauh) Mx



Metastasis jauh tidak dapat dinilai



M0



Tidak didapatkan bukti adanya metastasis jauh



M1



Didapatkan bukti adanya metastasis jauh.



PENATALAKSANAAN 1. Terapi utama : Pembedahan 2. Kemoterapi



DAFTAR PUSTAKA 1.



Spiro JD, Spiro RH. Salivary gland neoplasms. In: Rhys-Evans PH, Montgomery PQ, Gullane PJ, eds. Principles and Practice of Head and Neck Oncology. 1 sted. New York: Martin-Dunitz; 2003.p.66195.



257



2.



Oh YS, Russell MS, Eisele DW. Salivary Gland Neoplasms. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head and neck surgery otolaryngology. 5th ed. Vol. 2. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2014. p. 1760-87.



3.



Carroll WR, Morgan CE. Diseases of the salivary gland. In: Ballenger’s otorhinolaryngology head and neck surgery. 17th ed. Shelton: BC Decker Inc; 2009. p.1441-54.



258



Karsinoma Tiroid A.C.Romdhoni



Batasan : Keganasan yang mengenai tiroid. Klasifikasi tumor tiroid 1. Epitelial Tumor 1. Benigna - Follicular adenoma - Others 2. Maligna - Follicular carcinoma - Papillary carcinoma (paling banyak) - Medullary carcinoma (c cell ca) - Undifferentiated (anaplastic) ca - Others 2. Non Epitelial tumor 3. Malignant Lymphomas 4. Miscellaneous tumor 5. Secandary tumor 6. Unclassified tumor 7. Tumor like lesion Stadium klinik berdasarkan TNM T (tumor primer) Tx: tumor primer tidak dapat dinilai T0 : Tidak didapatkan tumor primer T1: Tumor dengan ukuran 2 cm atau kurang, masih terbatas pada tiroid 259



T2: Tumor dengan ukuran lebih dari 2 cm namun tidak lebih dari 4 cm, masih terbatas pada tiroid T3: Tumor dengan ukuran lebih dari 4 cm masih terbatas pada tiroid, atau tumor dengan ukuran berapa



saja dengan perluasan ekstra tiroid



minimal. T4a: Tumor dengan ukuran berapa saja yang telah meluas keluar kapsul tiroid hingga menginvasi subcutaneous soft tissue, laring, trakea, esophagus, atau nervus laringeus rekuren. T4b: Tumor menginvasi fascia prevertebra atau melapisi arteri karotis atau pembuluh darah mediastinum. N (Kelenjar getah bening regional) Nx : Kelenjar getah bening tidak dapat dinilai N0: Tidak didapat metastasis ke kelenjar getah bening regional N1: Terdapat metastasis ke kelenjar getah bening regional N1a: Metastasis ke KGB level VI N1b: Metastasis ke KGB unilateral, atau kontralateral, atau mediastinum posterior. M (Metastasis jauh) Mx : Metastasis jauh belum dapat dinilai M0 : tidak terdapat metastasis jauh M1: terdapat metastasis jauh Etiologi Etiologi pasti belum bisa dipastikan Faktor resiko: 1.



Usia pasien



2.



Jenis kelamin



3.



Riwayat radiasi sebelumnya 260



4.



Riwayat dalam keluarga



5.



Paparan lingkungan



6.



Faktor genetik



Diagnosis: 



Anamnesis Benjolan pada leher bagian depan yang mebesar dengan cepat bisa



tunggal atau multipel Riwayat radiasi sebelumnya Keluarga terdekat ( 1 generasi diatas) memiliki riwayat karsinoma tiroid. Disfasia Struma lama, tiba-tiba membesar progresif Parau 



Pemeriksaan fisik Benjolan di leher anterior dengan ukuran biasanya lebih dari 4 cm Limfadenopati servikal lateral Nodul terfiksir pada struktur sekitar Imobilitas dari korda vokalis







Pemeriksaan penunjang Laboratorium Fungsi tiroid Radiologi Ultrasonografi CT scan, MRI, PET/CT Sidik tiroid radionukiir Histologi 261



FNAB (dapat dilakukan dengan palpasi atau dengan tuntunan ultrasonografi)’



Terapi: 1.



Lobektomi subtotal



2.



Lobektomi total



3.



Tiroidektomi subtotal



4.



Tiroidektomi near total



5.



Tiroidektomi total



6.



Tiroidektomi yang diperluas



Daftar pustaka 1.



Kasperbauer JL, McIver B. Management of diseases of thyroid and parathyroid glands. In: Snow JB, Wackym PA, eds. Ballenger’s otorhinolaryngology head and neck surgery. 17th ed. Shelton: BC Decker Inc; 2009. p. 1141-91.



262



2.



Lee KJ. Thyroid and parathyroid glands. In : Lee KJ, ed. Essential otolaryngology head and neck surgery. 8th ed. Boston : Mc Graw Hill; 2003. p. 617-54.



3.



Zhang I, De Mauro-Jablonsky S, Ferris RL. Treatment of thyroid neoplasms. In : Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head and neck surgery otolaryngology. 5th ed. Vol. 2. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2014. p. 2115-30.



263



KARSINOMA TONSIL Achmad C. Romdhoni



BATASAN Merupakan terbanyak tumor ganas di orofaring. Dapat mengenai tonsil maupun arkus tonsil (tonsillar pillars)



ETIOLOGI Faktor resiko: -



Penggunaan tembakau dan alkohol dalam jangka waktu lama



-



Infeksi virus human papilloma subtipe 16 (HPV-16)



DIAGNOSIS 1. Anamnesis -



Disfagia, odinofagia



-



Otalgia (nyeri menjalar ke telinga ipsilateral)



-



Benjolan leher (pada stadium lanjut), lebih kurang pada 50% kasus



-



Kesulitan berbicara



-



Trismus kadang-kadang



2. Pemeriksaan fisik Stadium awal: -



Leukoplakia



-



Eritroplakia (lesi radang kemerahan)



-



Penebalan



-



Ulkus pada lidah



Stadium lanjut: 264



-



Invasi ke struktur sekitarnya, yaitu palatum mole, trigonum retromolar, pangkal lidah, mandibula, dan otot pterigoideus



-



Limfadenopati servikal (level II-IV) dan retrofaring. Limfadenopati kontralateral sekitar 22%



3.



Pemeriksaan penunjang Histopatologi -



Paling sering karsinoma sel skuamosa (90%)



Radiologi -



CT scan dan MRI kadang diperlukan untuk menentukan batas dan ukuran tumor serta keterlibatan KGB leher.



-



Foto thorax dan laboratorium fungsi hati untuk mengetahui metastasis jauh.



PENATALAKSANAAN -



Stadium awal  pembedahan atau radiasi, sebagai modalitas tunggal.



-



Stadium



lanjut



 pembedahan dengan radioterapi pre atau



pascaoperasi, dikombinasi dengan kemoterapi



Jenis Pembedahan 1.



Eksisi transoral  lesi tumor kecil terbatas pada tonsil atau arkus tonsil



2.



Mandibulotomi anterior dengan mandibular swing  untuk tonsil dan pangkal lidah tanpa invasi tulang



3.



Composite resection reseksi en bloc di posterior mandibula dan tumor primer.



4.



Diseksi leher



265



DAFTAR PUSTAKA 1.



Deschler DG, Erman AB, Oral cavity cancer. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD,



eds. Head and neck surgery



otolaryngology. 5th ed. Vol. 2. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2014. p. 1649-74.



2.



Patel SG,Archer DJ, Henk JM. Tumours of the oral cavity. In: Rhys-Evans PH, Montgomery PQ, Gullane PJ, eds. Principles and Practice of Head and Neck Oncology. 1sted. New York: MartinDunitz; 2003.p.278-329.



3.



Lee KJ, ed. Essential otolaryngology head and neck surgery. 10th ed. New York: McGraw Hill; 2012.



4.



Kraus DH, Shrime MG. Neoplasma of the oral cavity. In: Snow JB, Wackym PA, eds. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 17th ed. Sheldon, Connecticut: People’s Medical Publishing House, BC Decker; 2009.



266



KISTA DUKTUS TIROGLOSUS Achmad C. Romdhoni



BATASAN Kista atau kantung yang merupakan sisa pembentukan kelenjar tiroid di sepanjang garis tengah yang ditemukan diantara dasar lidah (foramen caecum) dan batas superior kelenjar tiroid.



PATOFISIOLOGI Pada minggu ke-4 perkembangan janin,kelenjar tiroid terletak pada dasar faring antara arkus pertama dan arkus kedua-ketiga. Pada perkembangan fetus, posisi akhir dari kelenjar tiroid adalah di depan trakea dan meninggalkan duktus tiroglosus yang merupakan saluran yang dilapisi epitel sepanjang jalur penurunan kelenjar tiroid. Pada kondisi normal duktus tiroglosusakan mengalami obliterasi maksimal pada minggu ke-10. Apabila tidak terjadi obliterasi secara sempurna maka epitel pelapis duktus tiroglosus akan berkembang menjadi kista duktus tiroglosus. Berhubungan dengan kelainan herediter, apabila ditemukan pada orang dewasa termasuk autosomal dominan Kista duktus tiroglosus dapat berisi jaringan ektopik tiroid yang memiliki fungsi seperti tiroid, serta bisa berubah ganas tapi sangat jarang terjadi.Kista, sinus, dan fistula duktus tiroglosus bermanifestasi klinis sebagai massa di garis midlineanterior dari foramen caecum menuju kelenjar tiroid, seringkali pada usia 10 tahun.



267



DIAGNOSIS 1.



Anamnesis: -



Massa di leher depan bagian tengah



-



Tidak nyeri



-



Sulit menelan, sulit bernapas, dispepsia (apabila massa sangat besar)



-



Umumnya asimtomatis, bisa terjadi infeksi berulang apabila terdapat infeksi saluran nafas atas



2.



Pemeriksaan fisik: -



Massa kistik di garis midline leher depan antara ismus tiroid dan os hioid



3.



-



Ikut bergerak saat lidah digerakkan (protrusi)



-



Berdiameter antara 1-3 cm



-



Konsistensi lembut, bentuk bulat, dan fluktuasi.



Pemeriksaan penunjang -



Ultrasonografi (USG) leher, menunjukkan lesi unilokuler dengan dinding tipis (paling sering)



-



FNAB (fine needle aspiration biopsy)tumor leher, terutama pada pasien dewasa dengan curiga keganasan



-



CT scan leher



DIAGNOSIS BANDING 1.



Higroma kistik



2.



Kista brankial



3.



Ranula



4.



Limfadenopati leher



268



KOMPLIKASI 1.



Infeksi



2.



Abses



3.



Fistula eksternal



PENATALAKSANAAN -



Operasieksisikista disertai reseksi mid portion os hioid(prosedur Sistrunk), untuk meminimalisasi kekambuhan.



DAFTAR PUSTAKA 1.



Lee KJ, ed. Essential otolaryngology head and neck surgery. 10th ed. New York: McGraw Hill; 2012.



2.



Adams G., Boies L., Higler P., Buku Ajar Penyakit THT Edisi ke enam.Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta 1997.



3.



Moore KL, Persaud TVN.The pharyngeal apparatus. In: Moore KL, Persaud TVN. The developing human: clinically oriented embryology. 7th edition. Philadelphia: Saunders; 2003:202-240.



4.



Snow JB, Wackym PA, eds. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 17th ed. Sheldon, Connecticut: People’s Medical Publishing House, BC Decker; 2009.



269



NEOPLASMA TIROID Achmad C. Romdhoni



BATASAN Nodul tiroid terjadi pada 4-7% populasi dewasa. Kira-kira 95% merupakan nodul koloid, adenoma, kista tiroid, tiroiditis, ataupun kanker. Koloid atau adenomatous nodul adalah nodul di dalam kelenjar dibentuk oleh multinoduler goiter. Folikular adenoma adalah tumor monoklonal muncul dari epitel folikular dan dapat otonom atau non-otonom.Folikuler adenoma dapat berubah menjadi folikular karsinoma.



Keganasan yang mengenai tiroid. Klasifikasi tumor tiroid 2. Epitelial Tumor 1. Benigna - Follicular adenoma - Others 2. Maligna - Follicular carcinoma - Papillary carcinoma (paling banyak) - Medullary carcinoma (c cell ca) - Undifferentiated (anaplastic) ca - Others 2. Non Epitelial tumor 270



3. Malignant Lymphomas 4. Miscellaneous tumor 5. Secandary tumor 6. Unclassified tumor 7. Tumor like lesion Stadium klinik berdasarkan TNM T (tumor primer) Tx: tumor primer tidak dapat dinilai T0



: Tidak didapatkan tumor primer



T1



: Tumor dengan ukuran 2 cm atau kurang, masih terbatas pada tiroid



T2



: Tumor dengan ukuran lebih dari 2 cm namun tidak lebih dari 4 cm, masih terbatas pada tiroid



T3



: Tumor dengan ukuran lebih dari 4 cm masih terbatas pada tiroid, atau tumor dengan ukuran berapa saja dengan perluasan ekstra tiroid minimal.



T4a



: Tumor dengan ukuran berapa saja yang telah meluas keluar kapsul



tiroid hingga menginvasi subcutaneous soft tissue, laring, trakea, esophagus, atau nervus laringeus rekuren. T4b



: Tumor menginvasi fascia prevertebra atau melapisi arteri karotis



atau pembuluh darah mediastinum.



N (Kelenjar getah bening regional) Nx : Kelenjar getah bening tidak dapat dinilai N0 : Tidak didapat metastasis ke kelenjar getah bening regional 271



N1 : Terdapat metastasis ke kelenjar getah bening regional N1a



: Metastasis ke KGB level VI



N1b



: Metastasis ke KGB unilateral, atau kontralateral, atau mediastinum



posterior.



M (Metastasis jauh) Mx: Metastasis jauh belum dapat dinilai M0



: tidak terdapat metastasis jauh



M1: terdapat metastasis jauh ETIOLOGI Etiologi pasti belum bisa dipastikan Faktor resiko: 7.



Usia pasien



8.



Jenis kelamin



9.



Riwayat radiasi sebelumnya



10. Riwayat dalam keluarga 11. Paparan lingkungan 12. Faktor genetik



DIAGNOSIS 



Anamnesis - Benjolan pada leher bagian depan yang mebesar dengan cepat bisa tunggal atau multipel - Riwayat radiasi sebelumnya - Keluarga terdekat ( 1 generasi diatas) memiliki riwayat karsinoma tiroid. - Disfagia 272



- Struma lama, tiba-tiba membesar progresif - Parau 







Pemeriksaan fisik -



Benjolan di leher anterior dengan ukuran biasanya lebih dari 4 cm



-



Limfadenopati servikal lateral



-



Nodul terfiksir pada struktur sekitar



-



Imobilitas dari korda vokalis



Pemeriksaan penunjang -



Laboratorium Fungsi tiroid



-



Radiologi Ultrasonografi CT scan, MRI, PET/CT Sidik tiroid radionuklir



-



Histologi FNAB (dapat dilakukan dengan palpasi atau dengan tuntunan ultrasonografi)



PENATALAKSANAAN 7.



Lobektomi subtotal



8.



Lobektomi total



9.



Tiroidektomi subtotal



10. Tiroidektomi near total 11. Tiroidektomi total 12. Tiroidektomi yang diperluas



273



Gambar jenis operasi tiroidektomi



Keterangan : 1. Esofagus 2. n. Laringeus rekuren 3. kelenjar paratiroid 4. Trakea C = sub total lobektomi C+D = lobektomi total B+C+D = near total tiroidektomi A+B+C+D = tiroidektomi total



DAFTAR PUSTAKA 1.



Kasperbauer JL, McIver B. Management of diseases of thyroid and parathyroid glands. In: Snow JB, Wackym PA, eds. Ballenger’s



274



otorhinolaryngology head and neck surgery. 17th ed. Shelton: BC Decker Inc; 2009. p. 1141-91.



2.



Lee KJ. Thyroid and parathyroid glands. In : Lee KJ, ed. Essential otolaryngology head and neck surgery. 8th ed. Boston : Mc Graw Hill; 2003. p. 617-54.



3.



Zhang I, De Mauro-Jablonsky S, Ferris RL. Treatment of thyroid neoplasms.In : Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head and neck surgery otolaryngology. 5th ed. Vol. 2. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2014. p. 2115-30.



275



INVERTED PAPILLOMA Bakti Surarso



BATASAN Inverted Papilloma (IP) adalah pertumbuhan epitel jinak dibawah stroma kavum nasi dan sinus paranasal yang dikenal karena sifat invasifnya, rekurensi, dan hubungannya dengan malignansi. 1



Nama lain : epithelial papilloma, papillary sinusitis, Schneiderian papilloma, inverted Schneiderian papilloma, soft papilloma, transitional cell papilloma, cylindrical cell papilloma, polyp with inverting metaplasia, dan benign transitional cell growth.1 Frekuensi 47% , angka rekurensi 27-73%, berhubungan dengan malignansi 13%.2



PATOFISIOLOGI Patofisiologi pasti belum jelas. Membran Schneiderian, asal embriologi membran mukosa sinonasal merupakan epitel yang berisiko terjadi luka. Rinosinusitis (RSK) juga diduga memiliki peran karena hubungan temporal dan peningkatan insiden sinusitis pada area berlawanan lesi. Namun RSK juga berkembang karena efek sekunder obstruksi dari IP sendiri. Tidak ada hubungan IP dengan paparan zat kimia lingkungan. Tehnik hibridasi in situ mengisolasi DNA HPV IP mirip dengan HPV tipe 6 dan 11. Hasil dan implikasi dari penemuan ini sampai sekarang belum jelas. 1 Krouse mencatat 9,1% kasus IP berubah menjadi ganas. Belum ada hubungan yang jelas mengenai hal ini.1



276



IP biasanya berasal dari meatus medius atau dinding nasal bagian lateral, dengan melibatkan sekurangnya satu sinus paranasal pada 82% kasus. 69 % kasus melibatkan sinus maksila, 53-89% kasus melibatkan sinus ethmoid, 11-20% kasus melibatkan sinus sphenoid, dan 11-16% melibatkan sinus frontal. 1



GEJALA KLINIS Buntu hidung unilateral atau bilateral, epistaksis, masa di kavum nasi, rinore, dan sinusitis. Ratio laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Pada 4,9% terjadi lesi bilateral.1



DIAGNOSIS Pemeriksaan penunjang radiologi digunakan untuk evaluasi IP. CT-Scan dan MRI adalah modalitas yang sering digunakan. Remodeling tulang merupakan pertanda perubahan sekunder karena tekanan atau efek massa pada tulang di sekitar IP, umumnya terlihat pada dinding medial sinus maksila dan lamina papirasea.



Pemberian



kontras



pada



CT-Scan



menunjukkan



slight



enhancement dan kalsifikasi. Pada MRI IP menunjukkan hipo-isodense pada T1-weighted images dan iso-hiperdense pada T2-weighted. Pemeriksaan histopatologi, menunjukkan perbedaan epitel dari mukosa disekitarnya. Epitel dapat berupa skuamosa, respiratori atau transisional. Epitel terlihat proliferative namun berbeda dengan jaringan sekitar karena tidak memiliki sel sekresi mukus dan eosinofil. Epitel terletak pada membran basal dan invaginasi kedalam jaringan stroma (Gambar 1).1



277



Gambar 1. Gambaran histopatologi IP dengan karakteristik invaginasi epitel dibawah stroma.1



Berdasarkan pembagian Krouse ada empat staging IP, yaitu : 



T1 = tumor terisolasi pada satu area kavum nasi tanpa ekstensi ke sinus paranasal







T2 = tumor mengenai dinding medial sinus maksila, sinus ethmoid, dan atau KOM







T3 = tumor mengenai dinding superior, inferior, posterior, anterior, atau lateral sinus maksila, sinus frontal, dan sinus sphenoid







T4 = tumor meluas ke ekstra sinonasal atau tumor menjadi ganas



TERAPI Pembedahan dapat dilakukan dengan menggunakan bedah endoskopi maupun pembedahan langsung transkutan maupun transoral (Caldwell-luc, antrostomy, rhinotomy). Melakukan maksilektomi medial yang pada prinsipnya mereseksi dinding lateral kavum nasi untuk mengambil seluruh tumor yang ada di hidung dan sinus paranasal. Tumor ini tidak memiliki 278



kapsul sehingga ada risiko kekambuhan. Kekambuhan pasca operasi sekitar 9,3%. Diperlukan CT-scan kavum nasi dan sinus paranasal paska operasi untuk evaluasi.2 KOMPLIKASI Komplikasi operasi yang dapat terjadi antara lain kebocoran cairan serebrospinal, hipestesia infraorbita, hematoma periorbita, maksilari neuralgia.2



Daftar Pustaka



1. Senior BA, Alldredge J. Endoscopic Surgery of the Skin Skull Base, Orbits and Benign Sinonasal Neoplasms. In : Snow JB, Wackym PA, eds. Ballenger's Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 15th ed. London: BC Decker Inc; 2009. p. 622-3



2. Zimmer LA, Carran RL. Neoplasms of the Nose and Paranasal Sinuses. In : Johnson JT, Rosen CA, eds. Bailey's Head and Neck Surgery otolaryngology. 15th ed. Vol 2. Philadelphia: J.B Lipincott Company; 2014. p. 2046



279



KARSINOMA LARING Bakti Surarso



BATASAN Karsinoma yang mengenai laring (supraglotik, glotik, subglotik). ETIOLOGI Diduga rokok dan alkohol berpengaruh besar. Faktor risiko yang lain meliputi: diet, GERD, radiasi sebelumnya, infeksi virus HPV tipe 16 dan 18, mutasi genetik, pekerjaan yang berhubungan dengan debu kayu, hidrokarbon polisiklik dan asbes. Merupakan keganasan kedua tersering daerah kepala dan leher. Umum tersering 40-45 tahun, laki-laki lebih banyak daripada wanita dengan perbandingan 6:1. 1.



Gejala Kilinis: Gejala dini: suara parau. Suara parau pada orang tua lebih dari 2 minngu perlu pemeriksaan laring dengan seksama. Gejala lanjut: sesak nafas dan stridor inspirasi, sedikit demi sedikit, progresif. Kesulitan menelan terjadi pada tumor supraglotik, atau apabila tumor sudah meluas ke faring dan esofagus. Pembesaran kelenjar leher (kadang-kadang).



2.



Pemeriksaan Fisik: Pemeriksaan THT-KL: pada laringoskopi indirekta (LI) dan laringoskopi direkta (LD) atau laringoskopi serat optik (LSO) dapat dilihat tumor laring. Pemeriksaan leher: 280







Inspeksi: terutama untuk melihat pembesaran kelenjar leher, laring dan tiroid.







Palpasi:



untuk memeriksa



pembesaran pada



membran



krikotiroid atau tirohioid, yang merupakan ekstensi tumor ke ekstra



laringeal.



menyebabkan



Infiltrasi



tiroid



tumor



membesar



dan



ke



kelenjar



keras.



tiroid



Memeriksa



pembesaran kelenjar getah betting leher. 3.



Pemeriksaan penunjang: Pemeriksaan radiologik:



4.







X-foto leher AP dan Lateral (jaringan lunak)







USG leher







CT scan, MRI atau PET scan (bila fasilitas tersedia).







Tes Faal Pam



Biopsi, bisa dilakukan dengan LI, LD atau LSO. LD untuk mengevaluasi: Lokasi, ukuran dan perluasan tumor: 



Bila supraglotis ke: valekula, dasar lidah, dinding faring, dinding medial sinus piriformis, aritenoid/ventrikel.







Bila Glotis, ke arah: subglotis, aritenoid,supraglotis, komisura anterior dan epiglotis.



Mobilitaskorda vokalis Pemeriksaan traktus aerodigestif bagian atas



DIAGNOSIS BANDING Tuberkulosis laring Tumor jinak laring (papiloma, kista polip) Nodul vocal 281



PENATALAKSANAAN Trakeotomi  pada penderita yang sesak nafas Operasi: Laringektomi parsial Laringektomi total Dapat dikombinasi dengan:



Diseksi leher fungsional Diseksi leher radikal



Radioterapi dan kemoterapi: -



Stadium I : Radiasi, bila gagal diteruskan dengan pembedahan Laringektomi parsial atau total



-



Stadium II : Laringektomi parsial atau laringektomi total



-



Stadium III : Dengan/ tanpa Ni: laringektomi total dengan/tanpa diseksi leher,diikuti radiasi



-



Stadium IV : Tanpa N/M laringektomi total diikuti kemoradiasi



-



Stadium IV lainnya : Radioterapi dan kemoterapi



DAFTAR PUSTAKA 1.



Sinha P, Okuyemi 0, Haughey BH. Early laringeal cancer. In: Johnson JT, Rosen CA, eds. Baileys' s head and neck surgeryotolaryngology. 5th ed. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2014. p. 1941-60.



2.



Loehn BC, Kunduk M, Mcwhorter A. Advanced laryngeal cancer. In: Johnson JT, Rosen CA, eds. Baileys's head and neck surgeryotolaryngology. 5th ed. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2014. p. 1961-77.



282



3.



Dhanisetty S, Johnson J. Tumors of the larynx. In: Lee KJ, than Y, Das S, eds. Essential otolaryngology head & neck surgery. 10th ed. New York: Mc Graw Hill Medical; 2012. p. 657-66.



4.



Strome M, Solares A. Neoplasm of the larynx. In: Snow JB, Wackym PA, eds. Ballenger's otorhinolaryngology head and neck surgery. 17th ed. Connecticut: BC decker Inc; 2009. p.1121-30.



283



KARSINOMA NASOFARING Bakti Surarso



BATASAN Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa nasofaring ataukelenjar yang terdapat di nasofaring



ETIOLOGI Penyebab timbulnya karsinoma nasofaring masih belum jelas. Namun banyak



yang



berpendapat



bahwa



berdasarkan



penelitian-penelitian



epidemiologik dan eksperimental, ada tiga faktor yang berpengaruh, yakni: -



Faktor genetik ( Ras mongoloid )



-



Faktor virus ( virus EPSTEIN BARR )



-



Faktor lingkungan ( polusi asap kayu bakar, bahan karsinogenik, dan lain )



Banyak ditemukan pada usia 40-50 tahun, laki-laki lebih banyak dari pada wanita dengan perbandingan 3:1.



Klasifikasi histopatologi menurut WHO ( 1982 ) : Tipe WHO 1: -



Termasuk di sini karsinoma sel skuamosa ( KSS )



-



Diferensiasi baik sampai sedang



-



Sering eksofitik (tumbuh di permukaan)



Tipe WHO 2: -



Termasuk di sini karsinoma non keratinisasi (KNK)



-



Paling banyak variasinya



-



Menyerupai karsinoma transisional 284



Tipe WHO 3: -



Karsinoma tanpa diferensiasi (KTD)



-



Termasuk disini antara lain : limfoepitelioma, karsinoma anaplastik, “clear cell carcinoma”, varian sel spindel



-



Lebih radiosensitif, prognosis lebih baik



-



Tipe WHO



Indonesia



Cina



1



29%



35%



2



14%



23%



3



57%



42%



DIAGNOSIS 1. Anamnesis  Gejala dini -



telinga: tinitus, pendengaran berkurang, grebek-grebek



-



hidung: pilek kronik, ingus/dahak bercampur darah



 Gejala lanjut -



Ekspansif: a. ke muka: menyumbat koane sehingga terjadi buntu hidung b. ke bawah: palatum molle bombans, gangguan menelan dan sesak nafas



-



Infiltratif: a. ke atas: -



masuk ke foramen laserum menyebabkan sakit kepala, paresis/paralisis N. III, IV, V, VI secara sendiri atau bersama-sama 285



-



gangguan pada mata (ptosis, diplopi, oftalmoplegi, neuralgi trigeminal)



b. ke samping: -



menekan N. IX, X: paresis palatum mole, faring, gangguan menelan



-



menekan



N.



XI:



gangguan



fungsi



otot



sternokleidomastoideus dan otot trapezius -



menekan N. XII: deviasi lidah



Metastasis : Melalui aliran getah bening: menyebabkan pembesaran kelenjar getah bening leher (kaudal dari ujung mastoid, dorsal dari



angulus



mandibula,



medial



dari



otot



sternokleidomastoideus)



2.



Pemeriksaan Fisik  Inspeksi luar: wajah, mata, rongga mulut, leher  Pemeriksaan THT-KL: -



otoskopi: liang telinga, membran timpani



-



rinoskopi anterior: pada tumor endofitik tak jelas kelainan di rongga hidung, mungkin hanya banyak sekret pada tumor eksofitik tampak tumor di belakang rongga hidung dan tertutup sekret mukopurulen, fenomena palatum mole negatif



-



rinoskopi posterior



286



pada tumor endofitik tak terlihat tumor, mukosa nasofaring tampak agak menonjol, tidak rata dan vaskularisasi meningkat pada tumor eksofitik tampak tumor kemerahan bila perlu rinoskopi posterior dilakukan dengan menarik palatum mole ke depan dengan kateter Nelaton -



faringoskopi dan laringoskopi: kadang-kadang faring menyempit karena penebalan jaringan retrofaring refleks muntah dapat menghilang (negatif) dapat dijumpai kelainan fungsi laring



 Pemeriksaan Tambahan: -



Biopsi: Biopsi sedapat mungkin diarahkan pada tumor/daerah yang dicurigai. Dilakukan dengan anestesi lokal. Biopsi minimal dilakukan pada dua tempat (kiri dan kanan) melalui rinoskopi anterior, bila perlu dengan bantuan cermin melalui rinoskopi posterior. Bila perlu biopsi dapat diulang sampai tiga kali. Bila tiga kali biopsi hasil negatif sedangkan secara klinis mencurigakan adanya karsinoma nasofaring, biopsi dapat diulang dengan anestesi umum. Biopsi melalui nasofaringoskopi dilakukan bila penderita trismus atau keadaan umum kurang baik. Biopsi kelenjar getah bening leher dengan aspirasi jarum halus dilakukan untuk konfirmasi. 287



-



CT Scan: Untuk melihat perluasan tumor serta untuk kepentingan pemberian radiasi.



Klasifikasi TNM T (tumor primer, besar, dan perluasan) T1



Tumor terbatas pada nasofaring



T2



Tumor meluas ke orofaring dan atau fosa nasal



T2a



Tanpa perluasan ke parafaring



T2b



Dengan perluasan ke parafaring



T3



Invasi ke struktur tulang dan atau sinus paranasal



T4



Tumor meluas ke intrakranial dan atau mengenai saraf otak, fosa infratemporal, hipofaring atau orbita



N (kelenjar getah bening regional) N0



Tidak ada pembesaran kelenjar



N1



Terdapat pembesaran kelenjar ipsilateral < 6cm



N2



Terdapat pembesaran kelenjar bilateral < 6cm



N3



Terdapat pembesaran kelenjar ipsilateral > 6cm atau ekstensi ke supraklavikular



M (metastasis jauh) M0



Tidak ada metastasis jauh



M1



Terdapat metastasis jauh



Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan : Stadium I



: T1,N0,M0



Stadium IIA



: T2a,N0,M0



Stadium IIB: T1,N1,M0, T2a,N1,M0 atau T2b,N0-1,M0 288



Stadium III



: T1-2,N2M0, atau T3N0-2,M0



Stadium IVA



: T4,N0-2,M0



Stadium IVB



: tiap T, N3, M0



Stadium IVC



: tiap T, tiap N, M1



DIAGNOSIS BANDING 1. TBC nasofaring 2. Adenoid persisten (pada anak) 3. Angiofibroma nasofaring juvenilis (pada laki-laki muda)



PENATALAKSANAAN -



Terapi utama : radiasi (4000-6000 R)



-



Terapi adjuvan : kemoterapi



Empat minggu setelah radiasi selesai dilakukan evaluasi klinis dan biopsi. Bila hasil biopsi negatif dan klinis membaik, dilakukan pemeriksaan fisik serta biopsi ulang setiap bulan (pada tahun pertama). Bila hasil biopsi positif, radiasi ditambah (booster). Setelah dosis radiasi penuh, biopsi tetap positif diberikan kemoterapi. Dapat dilakukan CT scan untuk konfirmasi. Bila tetap negatif, pada tahun kedua pemeriksaan ulang dilakukan setiap 3 bulan kemudian pada tahun ketiga setiap 6 bulan, seterusnya setiap tahun sampai 5 tahun.



289



DAFTAR PUSTAKA 1.



Neel III HB, Slavit DH. Nasopharyngeal cancer. In: Bailey BJ and Pillsburry III HC. Eds. Head and Neck Surgery Otolaryngology Vol. II, Philadelphia: JB Lippincott Company, 1993.



2.



Skinner DW, Van Hasselt CA, Tsao SY. Nasopharyngeal carcinoma: Mode of presentation. Ann Otol Rhinol Laryngol, 1991.



3.



Tamori AT, Yoshizaki T, Miwa T, Furukawa M. Clinical evaluation staging system for nasopharyngeal carcinoma: comparison of fourth and fifth editions of UICC TNM classification. Ann Otol Rhinol Laryngol, 2000.



4.



Prasad U. Current status of combination chemotherapy and radiotherapy in the treatment of advanced nasopharyngeal carcinoma. Medical Progress, 2000.



5.



Pathmanathan R. Pathology. In: Chong VFH and Tsao SY, eds. Nasopharyngeal Carcinoma. Singapore: Armour Publishing Pte Ltd, 1997.



6.



Stanley RE, Fong KW. Clinical presentation and diagnosis. In: Chong VFH and Tsao SY, eds. Nasopharyngeal Carcinoma. Singapore: Armour Publishing Pte Ltd, 1997.



290



ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENILIS Bakti Surarso



BATASAN Suatu tumor pembuluh darah yang berasal dari dinding posterolateral nasofaring, secara histopatologi jinak, namun secara klinis ganas karena mempunyai sifat ekspansi kuat dan progresif sehingga menekan tulang dan jaringan sekitarnya.



PATOFISIOLOGI Penyebab terjadinya angiofibroma nasofaring juvenilis (ANJ) masih belum jelas, diduga terbentuknya berkaitan dengan ketidakseimbangan hormonal. Pada awalnya tumor tumbuh pada mukosa bagian posterolateral nasofaring; perluasan ke arah lateral menuju ke fosa sphenopalatina masuk ke fissura pterigomaksilaris dan akan mendesak dinding belakang sinus maksila, bila berkembang akan memasuki fosa intratemporalis sehingga terjadi benjolan di pipi. Perluasan ke intrakranial biasa terjadi melalui intratemporalis atau fissura pterigomaksila menuju ke fosa media, sedangkan bila melalui sinus etmoid menuju ke fosa anterior.



Secara makroskopis ANJ berupa tumor berbentuk oval/bulat, padat kenyal, berwarna merah keabuabuan atau merah keunguan. Gambaran mikroskopis terbentuk dari pembuluh darah dan jaringan ikat fibrous, dimana pembuluh darah tersebut berdinding tipis tanpa lapisan otot.



DIAGNOSIS 1. Anamnesis 291



-



Laki-laki usia muda (pubertas)



-



epistaksis hebat dan berulang



-



gejala – gejala yang berhubungan dengan pertumbuhan tumor: ke rongga hidung: buntu hidung unilateral/bilateral ke dorsum nasi: frog face ke orbita: protrusio bulbi ke tuba Eustachius: otitis media ke fissura pterigomaksilaris, fosa temporalis: benjolan di pipi ke palatum molle: bombans ke orofaring: gangguan menelan dan sesak nafas ke dasar tengkorak dan masuk ke rongga tengkorak mendesak otak



2. Pemeriksaan Fisik: -



Inspeksi: tampak mata menonjol dan bentuk muka frog face



-



Rinoskopi anterior: didapatkan tumor di bagian posterior rongga hidung, fenomena palatum molle negatif.



-



Rinoskopi posterior: tampak tumor di nasofaring yang berwarna merah keunguan



3. Pemeriksaan Tambahan: -



Foto Water’s dan tengkorak lateral untuk mengetahui perluasan tumor.



-



Perlu dilakukan CT scan untuk melihat perluasan tumor pada tumor yang besar.



-



Angiografi untuk melihat vaskularisasi tumor.



-



Biopsi tidak dianjurkan mengingat bahaya perdarahan, sehingga diagnosis ANJ dapat ditegakkan secara klinis.



292



Untuk menentukan derajat perluasan tumor: T1: terbatas di nasofaring. T2: tumor meluas ke rongga hidung atau sinus sfenoid. T3: tumor meluas ke satu atau lebih jaringan sekitar antara lain antrum, etmoid, fosa pterigomaksilaris, fosa intra temporal, orbita dan atau pipi. T4: Tumor meluas ke intra kranial.



DIAGNOSIS BANDING -



Polip koanal: permukaan rata, pucat mengkilap



-



Adenoid: permukaan tidak rata, posisi di tengah, tak ada keluhan epistaksis



-



Karsinoma nasofaring: usia 30-50 tahun, sering disertai pembesaran kelenjar leher.



TERAPI 1. Pembedahan, dengan pendekatan: - Ekstrasi melalui mulut dengan kabel (khusus yang bertangkai) - Transpalatal - Rinotomi lateral - Midfacial degloving 2. Radiasi Untuk tumor yang besar (T4) atau untuk tumor yang residif, sisa tumor setelah operasi. 3. Hormonal



293



Pemberian hormon estrogen, bertujuan untuk mengecilkan tumor dan mengurangi risiko perdarahan, sehingga pembedahan lebih mudah dilakukan.



DAFTAR PUSTAKA 1. Ballenger JJ. The nasopharynx. In: Ballenger JJ, ed. Diseases of the nose, throat, ear, head and neck. 14th ed. Lea & Febiger Philadelphia London, 1991: 294-28. 2. Krespi JP, Sevine TM. Tumours of the nose and paranasal sinuses. In: Paparella MM, Shumrick DA, Gluckman JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology. 3rd ed. WB Saunders Co, Philadelphia, 1991: 1935-58. 3. Maves MD. Vascular tumors of the head and neck. In: Bailey BJ and Pillsburry III HC, eds. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Vol II. Philadelphia, JB Lippincott Company, 1993. 1397-409.



294



TUMOR GANAS SINONASAL Bakti Surarso



BATASAN Semua tumor ganas yang berasal dari rongga hidung dan atau sinus paranasal.



FAKTOR RESIKO Beberapa zat yang diduga sebagai faktor risiko keganasan sinonasal ialah serbuk kayu gergajian kasar, serbuk kayu gergajian halus (furniture), nikel, kromium, larutan mineral, larutan isopropyl, cat, dan senyawa hidrokarbon. Penelitian terbaru menunjukkan insidensi keganasan sinonasal meningkat pada perokok.1 Perubahan genetik diduga juga mendasari terjadinya keganasan sinonasal yaitu perubahan atau mutasi gen P 53. Pada penelitian lain menunjukkan adanya ekspresi cyclooxygenase 2 (cox-2) yang sangat meningkat pada penderita keganasan sinonasal jenis adenokasrsinoma, tetapi ekspresinya rendah pada keganasan sinonasal jenis karsinoma sel skuamosa. 2 Keganasan sinonasal sangat jarang dijumpai, diperkirakan hanya 3% dari keganasan THT-KL. Namun demikian penanganannya masih merupakan masalah. Keganasan sinonasal sering dijumpai di Negara Asia dan Afrika, sangat jarang dijumpai di Eropa dan Amerika. Laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan dengan perbandingan 2:1, dan banyak dijumpai pada usia lanjut. Sebagian besar lokasinya di dapatkan pada sinus maksilaris dan etmoidalis (77%), rongga hidung (22%),dan hanya 1% yang mengenai sinus frontalis dan sinus sfenoidalis.1



295



Gejala klinis pada keganasan sinonasal awalnya menyerupai gejala rhinosinusitis seperti buntu hidung, epistaksis, sakit kepala, nyeri wajah, dan pilek. Sedangkan gejala lanjut akan tampak jelas antara lain1,3 : 



Gigi goyang







Alat protese gigi yang tidak pas







Pembengkakan wajah bagian atas (batang hidung, kantus medialis), pipi dan palatum mole, tepi alveolar atau pada lipatan ginggivobukal







Gangguan penglihatan (proptosis atau eksoflalmus)







Epifora







Trismus







Pendengaran menurun



Jarang terjadi metastasis regional dan metastasis jauh walaupun pada stadium lanjut. Insidensi metastasis ke leher didapatkan 4,3% pada keganasan sinus ethmoid dan 12,5% pada keganasan sinus maksilaris. 1



DIAGNOSIS



1. Anamnesis yang cermat terhadap keluhan-keluhan di atas. 2. Pemeriksaan fisik1 : 



Inspeksi terhadap dahi, mata, pipi, geraham, dan palatum







Palpasi terhadap tumor yang tampak dan kelenjar letter (bila ada).







Rinoskopi anterior untuk mengevaluasi tumor di dalam rongga hidung







Rinoskopi posterior untuk meihat ekstensi ke nasofaring.



3. Pemeriksaan penunjang1,4 : 296







CT Scan untuk mengetahui lebih jelas mengenai perluasan tumor atau kerusakan tulang yang telah terjadi.







MRI untuk mengetahui tumor jaringan lunak yang bisa digunakan



untuk



melihat



gambaran



penjalaran



perineural.







PET



(Positron



Emmision



Tomography)



dapat



digunakan untuk mendiagnosis, menentukan stadium, dan untuk memonitor tumor pasca terapi, mengetahui metastasis tumor atau mendeteksi kekambuhan 4.



1



Biopsi :



 Biopsi dengan forsep Blakesley dilakukan pada tumor yang tampak.



 Bila massa berada di dalam sinus maksilaris dilakukan biopsi melalui nasoantral atau bila operasi Caldwell-Luc.



 Pemakaian endoskopi untuk biopsi pada tumor sinus maksilaris melalui fosa kanina atau melalui meatus inferior. HISTOPATOLOGI Gambaran histopatologi keganasan sinonasal yang sering dijumpai yaitu' : 1. Berasal dari epitel :



.



 Squamous cell carcinoma  Transitional cell carcinoma  Adenocarcinoma 297



 Adenoid cystic carcinoma  Melanoma  Olfactory neuroblastoma  Undifferentiated carcinoma 2. Non epitel :



 Soft tissue sarcoma  Rhabdomyosarcoma  Leiomyosarcoma  Fibrosarcoma  Liposarcoma  Angiosarcoma  Myxosarcoma  Hemangiopericytoma  Connective tissue sarcoma  Ostesarcoma Karsinoma sel skuamosa merupakan keganasan sinonasal yang paling banyak dijumpai yaitu sekitar 60-80% dari semua keganasan sinonasal. Dilaporkan sering terjadi pada laki-laki berkulit putih pada dekade ke lima dan ke enam. Sebagian besar berasal dari sinus maksila, kavum nasi, dan etmoid. Prognosis berhubungan dengan perluasan tumor dan tempat tumor berasal.1 Adenokarsinoma meliputi 4-8% dari semua keganasan sinonasal, merupakan keganasan kedua terbanyak setelah karsinoma sel skuamosa. Jenis ini banyak berasal dari sinus etmoid dan kavum nasi dan berhubungan



298



dengan paparan serbuk kayu. Adenokarsinoma dibagi menjadi dua kelompok yaitu low grade tumor dan high grade tumor. Low grade tumor sangat jarang dijumpai dan jarang invasi perineural maupun metastasis. Sedangkan high grade tumor mempunyai pertumbuhan lebih cepat dan menimbulkan kerusakan di sekitarnya dengan metastasis regional lebih sering terjadi. Adenoid kistik karsinoma menempati urutan ketiga dari keganasan sinonasal. Penyebarannya lebih sering dibandingkan dengan adenokarsinoma, dengan cara melalui perineural maupun perivaskular. Keganasan sinonasal jenis ini juga dibagi menjadi low grade tumor dan high grade tumor. Insidensi penyebaran perineural sama pada low and high grade tumor, tapi insidensi kekambuhan local dan metastasi lebih tinggi pada high grade tumor. Olfaktori neuroblastoma merupakan tumor yang jarang ditemukan, berasal dari epitel olfaktoria bagian dari stem cell neural crest. Jenis ini dijumpai pada usia 10 -20 tahun dan usia 50 — 60 tahun, dengan distribusi laki-laki sama dengan perempuan. Prognosisnya tidak baik karena sering ditemukan pada stadium lanjut. Klasifikasi dan pembagian stadium olfaktori neuroblastoma menurut Kadish Staging System yaitu1 :







Stadium A : tumor terbatas di kavum nasi







Stadium B : tumor di kavum nasi meluas ke sinus paranasal







Stadium C : tumor meluas ke orbita, dasar tengkorak, rongga cranial atau servikal atau metastasis



Keganasan sinonasal jenis undifferentiated carcinoma terdiri atas sel dengan



ukuran



kecil



dan



medium,



dan



harus



dibedakan



sengan



rhabdomyosarcoma, melanoma, olfaktori neuroblastoma, limfoma, dan karsinoma sel skuamosa. Gejala klinis lebih progresif dan biasanya 299



didapatkan pads stadium lanjut yang melibatkan beberapa sinus. 1 Melanoma maligna yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal hanya 0,5 - 1,5% dari seluruh melanoma kepala leher. Sebagian besar di daerah septum bagian depan. Melanoma mempunyai sifat cepat invasive ke pembuluh darah dan kelenjar getah bening sehingga cepat metastasis dan sering memberikan kekambuhan setelah terapi.1,4



Stadium tumor berdasarkan klasifikasi American Joint Classification Comitte of Cancer1,4:  Tl : tumor terbatas pada mukosa antrum tanpa erosi dan destruksi tulang  T2 : tumor dengan erosi dan destruksi tulang dari infrastruktur termasuk palatum durum dan atau meatus medius  T3 : tumor telah invasi ke kulit pipi, bagian posterior sinus maksilaris, dasar dan medial orbita, etmoid anterior  T4 : tumor telah invasi ke orbita dan atau disertai lamina kribrosa, etmoid



posterior,



sphenoid,



nasofaring,



palatum



mole,



pterigomaksilaris, fossa temporalis atau dasar tengkorak Kelenjar limfe regional  N1 : metastasis kelenjar ipsilateral dengan ukuran kurang dari 3 cm  N2 : metastasis kelenjar ipsilateral dengan ukuran > 3 cm sampai 6 cm atau bilateral atau kontralateral dengan ukuran kurang dari 6 cm  N3 : metastasis kelenjar limfe lebih dari 6cm



PENATALAKSANAAN 1. Pembedahan 300



 Rinotomi lateral  Maksilektomi parsial/total  Dapat dengan kombinasi eksenterasi orbita  Paliatif : mengurangi besar tumor (debulking), sebelum radiasi 2. Radiasi



 Dilakukan bila operasi kurang radikal atau residif  Pra bedah pada tumor yang radiosensitive ( misal tumor sangat besar/inoperable, metastasis jauh, kombinasi dengan radiasi) 3. Kemoterapi Sebagai terapi tambahan pada pembedahan dan radiasi



DAFTAR PUSTAKA 1.



Zimmer LA, Carrau RL. Neoplasms of the Nose and Paranasl Sinuses. In: Johnson JT, Rosen CA, eds. Bailey's head and neck surgeryotolaryngology. 5th ed. Vol. II. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2014.p. 2044-50.



2.



Holmila R, Cyr D, Luce D, Heikkila P, Dictor M, Steineche T, et al. Cox-2 and p53 in human sinonasal cancer : Cox-2 expression is associated with adenocarcinoma histology and wood dust exposure. Int J Cancer, 2008;122(9). p. 2154-9.



3.



American



Head



and



Neck



Society. Sinonasal malignancy.



Available from : http://www.nasb.org. Accesed February 2015. 4.



Chalian AA, Litman D. Neoplasma of the nose and paranasal sinuses. In Ballengers Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 6th ed. Ballenger JJ, Snow JB eds. 2003;2. p. 807-24. 301



TRAUMA WAJAH DAN MAKSILOFASIAL Widodo Ario Kentjono



BATASAN Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai jaringan lunak di wajah dan/atau tulang maksilofasial.



ETIOLOGI Penyebab trauma maksilofasial bervariasi seperti kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga, tembakan senjata api atau senjata tajam. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab dengan persentase yang tinggi terjadinya kecacatan dan kematian pada orang dewasa (dibawah usia 50 tahun) terutama usia 21-30 tahun.Trauma maksilofasial paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, terutama pengendara sepeda motor.



EPIDEMOLOGI Kejadian trauma maksilofasial diperkirakan sekitar 6% dari seluruh trauma yang mengenai tubuh. Terbanyak adalah fraktur mandibula dan maksila (masing-masing sekitar 30%), disusul fraktur zigoma (25%) dan tulang nasal (15%). Di beberapa unit gawat darurat dilaporkan fraktur tersering adalah tulang nasal, disusul mandibula. Fraktur maksilofasial kebanyakan pada lakilaki usia produktif (21-30 tahun), sekitar 65% disertai cedera di lokasi lain. Trauma penyerta terbanyak adalah cedera otak ringan sampai berat (56%).



302



KLASIFIKASI Trauma pada wajah dan maksilofasial ini mencakup jaringan lunak dan jaringan keras. Pengertian jaringan lunak pada wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah (tulang maksilofasial). Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1.



Berdasarkan jenis luka dan penyebab a.



Ekskoriasi



b.



Luka sayat, luka robek , luka bacok



c.



Luka bakar



d.



Luka tembak



2.



Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan



3.



Dikaitkan dengan unit estetik (Langers line)



Trauma pada jaringan keras wajah (tulang maksilofasial) terbagi menjadi: 1.



Fraktur sepertiga atas (mis. fraktur tulang frontal)



2.



Fraktur sepertiga tengah (mis. fraktur nasal, maksila, zigoma, dan orbita/ dasar orbita), dan



3.



Fraktur sepertiga bawah (mis. fraktur mandibula, alveolus)



DIAGNOSIS Penegakkan diagnosis dengan kecurigaan trauma maksilofasial secara umum meliputi : 1. Anamnesis / heteroanamnesis yang teliti 2. Pemeriksaan klinis - Inspeksi: perhatikan secara cermat wajah pasien seperti perlukaan, hematom, 303



deformitas/asimetri,



epistaksis,



ekimosis,



posisi



dan



pergerakan bola mata, dll - palpasi: secara sistimatis mencari iregularitas tulang, krepitasi dan pergerakan fragmen tulang



a. Fraktur nasal -



Inspeksi



tampak



pembengkaan,



deformitas/asimetri



hidung,



epistaksis -



Palpasi teraba krepitasi, fragmen tulang yang menonjol dan nyeri tekan



-



Rinoskopi anterior (RA) dapat ditemukan perdarahan, laserasi mukosa, deviasi septum nasi, hematoma septum nasi, fragmen tulang yang menonjol b. Fraktur maksila Pada dasarnya fraktur sepertiga tengah tulang wajah (midface, Le Fort) dibagi dalam 3 tipe yaitu fraktur Le Fort I (fraktur transmaksila,



horizontal/transversal),



Le



Fort



II



(fraktur



piramidal/subzigomatik), dan Le Fort III (disjungsi kraniofasial). -



Le Fort I: fraktur level dasar hidung (nasal floor), biasanya tidak mengganggu jalan nafas



-



Le Fort II: fraktur daerah tengah wajah (maksila kanan dan kiri), yaitu setengah bagian medial kedua antrum, setengah medial infraorbitalrim,bagian medial orbita dan tulang nasal.



-



Le Fort III: fraktur Le Fort II disertai fraktur kedua tulang zigoma sehingga terjadi floating maxilla yang berpotensi sumbatan jalan nafas 304



c. Fraktur zigoma - Dapat terjadi fraktur arkus zigoma, tripod atau fraktur kompleks zigoma. Tampak pipi datar (flatness), gerakan mandibula terbatas. Rasa tebal (anestesi) di pipi, hidung dan bibir atas, epistaksis unilateral (oleh karena perdarahan di sinus maksila), ekimosis periorbita dan perdarahan subkonjungtiva, hematoma yang mengelilingi orbita. Kadang ditemukan perubahan posisi bolamata, diplopi. Teraba defek di tepi infraorbita dan area sutura zigomatikofrontal.



Pemeriksaan rongga mulut dapat ditemukan hematoma,



nyeri tekan dan krepitasi daerah tulang zigoma.



d. Fraktur mandibula - Anamnesis didapatkan keluhan nyeri daerah mandibula disertai pembengkakan, oklusi abnormal (malokusi), parestesi atau anestesi (matirasa) pada distribusi saraf mentalis, gigi yang tanggal, trismus,



ketidakmampuan/



gangguan



mengunyah



makanan.



Pemeriksaan klinis ekstraoral tampak pembengkakan dan ekimosis didaerah fraktur, ketidak mampuan menutup geligi anterior, asimetri, mulut menggantung dan terbuka terkadang disertai air liur bercampur darah yang menetes dari sudut mulut. Tanda/gejala intraoral yang hampir selalu ada (patognomonis) yaitu hematoma sulkus lingual.



PEMERIKSAAN PENUNJANG Untuk akurasi diagnostik dapat dilengkapi foto radiologi yaitu : 1.



Foto polos seperti foto hidung lateral kondisi jaringan lunak,



foto



tengkorak



AP/Lateral,



posisi



Waters, 305



posteroanterior



(Caldwell’s),



submentovertek



(Jughandle’s), posisi Towne dan foto panoramik. 2.



CT-scan aksial koronal, atau CT-scan 3D.



PENATALAKSANAAN Prinsip penatalaksanaan trauma maksilofasial sebagai berikut : a. Fraktur os nasal Sebagian besar (sekitar 80%) fraktur nasal tergolong sederhana (simple fracture) yang dapat ditangani dengan teknik reduksi tertutup (closed reduction) menggunakan anestesi lokal. Peralatan dan bahan yang dibutuhkan yaitu spekulum, pinset bayonet, elevator, forsep Walsham, forsep Asch, kasa pita steril yang diolesi salep antibiotik seperti garamisin atau kloramfenikol (untuk fiksasi interna), dan gipsona (untuk fiksasi eksterna). Fraktur nasal yang berat (complicated) dilakukan reduksi terbuka (open reduction) dengan anestesi umum, fiksasi fragmen tulang menggunakan miniplate. b. Fraktur maksila Prinsip: reposisi / reduksi, fiksasi, imobilisasi dan rehabilitasi Fraktur Le Fort I / II / III : reposisi/reduksi fragmen tulang, fiksasi dengan miniplate dan imobilisasi rahang atas dan bawah menggunakan arch bar (intermaxillary fixation). Bila ada obstruksi jalan napas atas dilakukan trakeotomi. c. Fraktur zigoma Patah tulang zigoma akut biasanya dapat di reduksi dengan mudah menggunakan alat pengungkit Bristow (teknik Gillies) melalui pendekatan intraoral, temporal atau koronal. Bila fragmen tidak stabil, dilakukan reduksi terbuka dan stabilisasi dengan miniplate. 306



d. Fraktur madibula Ada 2 teknik yaitu reposisi tertutup dan reposisi terbuka. Reposisi terbuka dapat dikerjakan melalui pendekatan intraoral atau ekstraoral. Prinsipnya diawali pemasangan arch bar, kemudian insisi kulit, reduksi/reposisi fragmen tulang dengan alat khusus (the roller-compression pliers), tepi tulang diratakan dengan bor, lalu fiksasi dengan plate and screw.



Penderita trauma maksilofasial berat harus di rawat di ruang resusitasi atau instalasi gawat darurat dengan teknik ATLS sebagai berikut : 1.



Perhatikan A B C D. Jaga patensi jalan napas (jaw trush, chin lift, traksi lidah dengan jari tangan) dan imobilisasi tulang leher.



2.



Konsultasi dokter anestesi untuk pemasangan / intubasi endotrakeal. Alternatif lain yaitu trakeotomi (standar atau perkutan) atau krikotiroidotomi



3.



Berikan oksigenasi yang adekuat



4.



Pasang monitor tanda vital : tensi setiap 5 – 10 menit, EKG, pulse oximetry, auskultasi paru dan jantung.



5.



Pasang 1 atau 2 infus perifer dengan jarum besar untuk pemberian cairan.



6.



Laboratorium : darah lengkap, BUN, serum kreatinin, elektrolit, faal hemostasis, gula acak dan golongan darah



7.



Upaya penghentian perdarahan dengan cara penekanan langsung,



jepitan hidung,



klem,



pasang tampon



dan



penyuntikan obat hemostatik (mis. asam traneksamat) 25mg/kg BB IV bolus pelan selama 5 – 10 menit.



307



8.



Bila kondisi sudah stabil dilakukan penanganan fraktur maksilofasial sesuai protokol.



Beberapa prinsip dalam menangani trauma dan luka pada jaringan lunak wajah sebagai berikut : 1.



Debridement, bersihkan seluruh kotoran dan benda asing (teknik asepsis)



2.



Hemostasis, hentikan perdarahan sebaik mungkin.



3.



Hemat jaringan, hanya jaringan nekrosis saja yang boleh dieksisi dari pinggir luka.



4.



Atraumatik, seluruh tindakan dilakukan dengan cara halus (good handling) dengan menggunakan jarum atraumatik.



5.



Aproksimasi, penjahitan kedua belah sisi pinggir luka secara tepat dan teliti.



6.



Non tensi, tidak boleh ada tegangan dan tarikan pinggir luka sesudah dijahit. Benang hanya berfungsi sebagai pemegang.



KEPUSTAKAAN 1.



Johnson JT & Rosen CA. Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology. 5th Ed. Lippincott Williams & Wilkins, London, 2014



2.



Snow JB & Wackyn PA. Ballanger’s Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery. 17th Ed. BC Decker Inc, 2009



308



3.



Probst R, Grevers G & Iro H. Basic Otorhinolaryngology Basic Otorhinolaryngology. Georg Thieme Verlag Stuttgart, New York, 2006



4.



Cummings CW. Cummings: Otolaryngology: Head & Neck Surgery, 4th ed. Elsevier, Philadelphia, Pennsylvania, 2005



309



Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)