Pedoman Pengukuran Karbon Pada Ekosistem Padang Lamun-1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Hak cipta © pada penulis dan dilindungi Undang-undang Hak penerbitan pada ITB Press Diperbolehkan mengutip sebagian ataupun seluruh isi buku dengan mencantumkan sumber referensi. Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun Editor



: Agustin Rustam, Novi Susetyo Adi, August Daulat, Wawan Kiswara, Deny Suhernawan Yusup, Rohani Ambo Rappe



Desainer Isi & Sampul : Stania Kontributor : Widodo S. Pranowo, A’an J. Wahyudi, Ferry Kurniawan, Veda Antiaji, Triyono, Joko Hardono, Sugiarta Wirasantosa, Erina Nelly. Foto Sampul



: Survei Kepulauan Seribu 2014, Kelti Karbon Biru, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir (P3SDLP) Balitbang KP (Pusat Riset Kelautan, BRSDMKP - KKP)



Cetakan I



: 2019



p-ISBN e-ISBN



: :



ii



978-602-0705-54-5 978-602-0705-55-2



Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun



KATA PENGANTAR



Perubahan iklim yang drastis akibat kegiatan manusia telah menyumbangkan gas karbon dioksida yang cukup banyak ke udara dan atmosfer bumi. Pada, 2009 lalu, lembaga di bawah PBB, seperti United Nations Environment Programme (UNEP), Food and Agriculture Organization (FAO), dan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) telah memperkenalkan konsep karbon biru (blue carbon). Hal ini bertujuan menekankan pentingnya ekosistem laut dan pesisir sebagai pengendali iklim. Konsep ini mengacu pada penyerapan karbon oleh ekosistem laut, seperti tanaman bakau (mangrove), lamun, dan rawa. Selain terumbu karang dan tanaman bakau, lamun merupakan salah satu ekosistem penting di laut sebagai pendukung kehidupan biota. Ekosistem lamun memiliki fungsi ekologi, misalnya menjadi tempat pemijahan, tempat pengasuhan, tempat pembesaran, dan tempat mencari makanan dari berbagai biota. Bahkan, lamun menjadi produsen primer, penangkap sedimen, dan pendaur zat hara. Ekosistem padang lamun dapat berkemampuan menyerap dan memindahkan jumlah besar karbon dari atmosfer setiap harinya, lalu mengendapkannya dalam jaringan atau sedimen untuk waktu yang lama sehingga keberadaan lamun di bumi sangat diperlukan sebagai jasa dalam penyerapan sekuestrasi karbon. Proses penyerapan karbon oleh ekosistem laut melalui proses biologis berupa fotosintesis. Proses fotosintesis berfungsi sebagai penyerap karbon di lautan, dimulai dari plankton yang mikroskopis atau tumbuhan yang hanya hidup di pantai, seperti tanama bakau, padang lamun, ataupun tumbuhan yang hidup di rawa payau. Melalui buku Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun ini, penyusun hendak menginformasikan mengenai karbon biru kepada masyarakat luas sebagai salah satu upaya dalam mitigasi perubahan iklim yang sekaligus menjaga kelestarian keberadaan duyung. ITB Press menyambut baik hadirnya buku ini. Kami mengucapakan terima kasih atas kepercayaan ini kepada Pusat Riset Kelautan, BRSDMKP, Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Jenis Kementerian Kelautan Dan Perikanan, WWF dan mitra lainnya. Buku ini disusun dalam rangka diseminasi mengenai karbon biru kepada masyarakat luas sebagai salah satu upaya dalam mitigasi perubahan iklim, dan kami berharap adanya diseminasi hasil riset atau pedoman lainnya yang dapat kami terbitkan.



Kepala Divisi Penerbitan ITB Press,



Edi Warsidi



Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun



iii



KATA SAMBUTAN



Lamun merupakan salah satu ekosistem penting di pesisir selain mangrove dan terumbu karang. Ekosistem lamun berperan signifikan dalam peningkatan keanekaragaman hayati di perairan pesisir, salah satunya karena merupakan habitat penting bagi biota laut yang dilindungi seperti duyung dan penyu. Ekosistem lamun juga memberikan layanan jasa lingkungan (environmental services) kepada manusia, di antaranya adalah melindungi pesisir dari kondisi alam yang buruk, menstabilkan dasar perairan, merupakan tempat pemijahan bagi jenis-jenis ikan ekonomis penting, wisata dan menyerap karbon (carbon sink). Mengingat kemampuan ekosistem lamun menyerap dan menyimpan karbon sehingga mengurangi CO2 di atmosfer, maka keberadaan dan upaya konservasi lamun sangat penting dalam mitigasi perubahan iklim. Dalam rangka meningkatkan pemahaman terhadap fungsi ekosistem lamun untuk menyerap dan menyimpan karbon (blue carbon), maka kegiatan penelitian karbon pada ekosistem lamun di Indonesia perlu ditingkatkan dan distandarkan. Melalui dukungan Dugong and Seagrass Conservation Project (DSCP) buku Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun ini disusun untuk memberikan panduan kepada stakeholder terkait dalam mengukur kandungan karbon biomassa lamun dan kapasitas padang lamun sebagai layanan ekosistem blue carbon. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Tim Pusat Riset Kelautan BRSDMKP dan semua pihak, yang telah membantu dan bekerja sama sehingga penyusunan buku ini dapat diselesaikan dengan baik. Semoga buku ini dapat menjadi panduan bersama dan memberikan manfaat dalam peningkatan penelitian tentang lamun di Indonesia.



Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Andi Rusandi



iv



Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun



KATA SAMBUTAN



Terimakasih saya ucapkan kepada Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut yang telah melibatkan Pusat Riset Kelautan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia dalam kegiatan The Dugong and Seagrass Conservation Project. Keikutsertaan Pusat Riset Kelautan dalam penyusunan buku pedoman terkait karbon biru di ekosistem lamun sesuai dengan aktivitas riset Pusat Riset Kelautan yang perhatian terhadap penelitian tersebut yang berimplikasi pada suatu konservasi sumber daya alam. Buku ini sebagai salah satu contoh sinergitas antara Pusat Riset dengan Direktorat Teknis, menerapkan “Policy based on scientific findings”. Bagi Pusat Riset Kelautan, kegiatan ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi peneliti mengimplementasikan hasil riset untuk masyarakat. Selain itu juga dapat meningkatkan karir peneliti dengan mendapat kesempatan penambahan angka kredit dari unsur karya tulis ilmiah. Mengingat pentingnya kegiatan sinergitas yang ‘mutual benefit ’ ini diharapkan kegiatan seperti ini terus berlangsung dengan baik. Sehingga pemanfaatan riset sebagai dasar pengambilan kebijakan dapat diimplementasikan dengan baik. Selamat membaca semoga bermanfaat untuk kita semua.



Kepala Pusat Riset Kelautan, Riyanto Basuki



Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun



v



PROLOG



Ekosistem Padang Lamun dalam Perspektif Pembangunan Rendah Karbon Novi Susetyo Adi Koordinator Penulisan Buku ‘Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun’ Selain tekanan lingkungan pada skala lokal, dampak global terhadap kualitas lingkungan yang mulai menjadi perhatian saat ini adalah adanya perubahan iklim akibat pemanasan global yang dipicu oleh meningkatnya Gas Rumah Kaca (GRK) sebagai konsekuensi pemanfaatan bahan bakar fosil. Pemerintah Indonesia melalui Perpres No 61 tahun 2011 berkomitmen untuk mereduksi emisi GRK melalui pengaturan aktivitas pada lima sektor yaitu pertanian; kehutanan dan lahan gambut; energi dan transportasi; industri; dan pengelolaan limbah. Pada saat ini terdapat wacana untuk melakukan pengembangan konsep pembangunan Nasional sehingga mencakup dimensi pembangunan yang lebih luas, yang disebut dengan Pembangunan Rendah Karbon (PRK). PRK disebut sebagai platform baru pembangunan yang bertujuan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan sosial melalui kegiatan pembangunan beremisi GRK rendah dan meminimalkan eksploitasi sumberdaya alam (Bappenas, 2018). Daya dukung dan daya tampung sumberdaya alam dan lingkungan hidup menjadi faktor penentu dalam perumusan kebijakan dan target PRK dari 5 sektor yang ada. Dalam konteks tujuan pembangunan global, PRK merupakan satu upaya untuk mengintegrasikan perubahan iklim ke dalam pembangunan nasional, dan menjadi wahana untuk mencapai tujuan 13 (Perubahan Iklim) dari SDGs (Sustainable Development Golas) yang sekaligus juga sebagai sebagai basis utama untuk mendukung tujuan-tujuan SDGs lain, yaitu Goal 7,8,9 dan 17 (Pilar Ekonomi); Goal 1,2 dan 4 (Pilar Sosial); dan Goal 6,11,12,14 dan 15 (Pilar Lingkungan). Dalam konteks penurunan emisi GRK, ekosistem karbon biru (blue carbon), khususnya mangrove dan lamun, mempunyai kemampuan untuk menyimpan CO2 di dalam biomasa dan sedimen sebesar 3-5 kali dari vegetasi daratan (Mcleod et al, 2012). Pada skala global, ekosistem mangrove dan lamun Indonesia merupakan 17 % dari cadangan karbon dunia (Alongi et al., 2015). Selain berfungsi sebagai climate regulator, ekosistem lamun juga mempunyai layanan-layanan ekosistem (ecosystem services) yang lain, seperti fungsi pendukung perikanan, penyedia makanan bagi dugong dan penyu, filtrasi kekeruhan maupun fungsi stabilisasi sedimen (Short et al., 2006). Dalam hal penurunan emisi GRK, selain konservasi dan restorasi ekosistem karbon biru, penurunan emisi juga dapat dilakukan dengan cara efisiensi pada usaha perikanan budidaya dan tangkap yang berpengaruh terhadap ekonomi pesisir, sehingga diharapkan ‘Sektor Kelautan dan Perikanan’ juga dapat menjadi sektor tersendiri di dalam Pembangunan Rendah Karbon.



vi



Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun



Buku ‘Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun ini merupakan salah satu output dari Program kerjasama internasional Dugong and Seagrass Conservation Project (DSCP) yang dimaksudkan sebagai panduan pengukuran karbon pada ekosistem lamun berdasarkan metode terbaru dan sumber-sumber terkait lainnya. Instansi pelaksana program DSCP, yaitu Direktorat Jendral Pengelolaan Ruang Laut (PRL), KKP bekerjasama dengan Pusat Riset Kelautan, Badan Riset Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDMKP), KKP untuk penulisan buku ini. Sistematika buku ini terbagi dalam beberapa bab yang saling berhubungan, dimulai dengan pemahaman ekosistem lamun dan layanan ekosistemnya (ecosystem services), termasuk layanannya sebagai penyedia makanan bagi habitat biota langka seperti duyung dan penyu hijau. Informasi tersebut dilanjutkan dengan pemahaman fungsi ekosistem lamun sebagai bagian mitigasi dan adaptasi perubahan iklim baik secara lokal maupun global yang menopang kehidupan di pesisir, laut serta daratan. Bab 2 memaparkan pengukuran potensi layanan ekosistem lamun dengan beberapa metode sebagai suatu pengkayaan ilmu pengetahuan dan bahan acuan dalam melakukan kegiatan riset di ekosistem lamun. Penjelasan metode yang berfokus pada layanan ekosistem lamun dalam perubahan iklim berupa pengukuran stok karbon dan analisisnya disajikan pada Bab 3. Selain menyimpan karbon, ekosistem lamun juga dapat melepas karbon baik secara alami maupun akibat aktivitas manusia. Bab empat menjelaskan beberapa metode yang dapat dilakukan terkait dengan pengukuran laju penyerapan atau pelepasan karbon yang terjadi di ekosistem lamun. Bab 5 membahas beberapa metode terkait dengan pemetaan ekosistem lamun dan stok karbon menggunakan data satelit dan foto udara. Pengaruh perubahan tutupan lahan dan aktivitas manusia di wilayah pesisir terhadap neraca karbon dijelaskan pada Bab 6 melalui studi kasus menggunakan perangkat lunak EX-ACT yang dikembangkan oleh FAO. Pembahasan bab ini difokuskan pada bagaimana menempatkan konteks pengukuran neraca karbon pada manajemen wilayah pesisir.



Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun



vii



DAFTAR ISI



iii



KATA PENGANTAR



26



iv



KATA SAMBUTAN



26



vi



PROLOG



32 36



viii x



38



DAFTAR GAMBAR



38



xiii



DAFTAR TABEL



40



xiv



DAFTAR ISTILAH



41 41



BAB 1 Ekosistem Lamun 1.1 Layanan Ekosistem Lamun 1.2 Lamun dan Kebijakan Perubahan Iklim 1.3 Lamun dan Duyung



46 47



BAB 2 Metode Survei Lamun 2.1 Beberapa Metode Survei Lamun 2.2 Metode Survei Lamun 2.2.1 Pemetaan pendahuluan 2.2.2 Informasi prediksi pasang surut air laut 2.2.3 Administrasi kegiatan 2.2.4 Peralatan dan perlengkapan 2.2.5 Pengambilan data in-situ



50



2 2 5 11 14 14 17 17 18 18 18 19 24 25



viii



DAFTAR ISI



37



BAB 3 Pengukuran Stok Karbon 3.1 Cadangan Karbon Ekosistem Lamun



47 49



51 54 54 55 55 55



3.2 Tahapan Pengukuran Stok Karbon pada Ekosistem Padang Lamun 3.2.1 Pengambilan sampel biomassa dan sedimen 3.2.2 Analisis di laboratorium 3.2.3 Perhitungan berat karbon biomassa 3.2.4 Perhitungan berat karbon sedimen 3.2.5 Analisis biomassa dan sedimen ekosistem lamun 3.3 Hal-hal yang Perlu Diperhatikan BAB 4 Pengukuran Serapan dan Emisi CO2 Ekosistem Lamun 4.1 Laju Pertumbuhan 4.1.1 Metode penandaan daun dan pelabelan rhizoma 4.1.2 Metode Plastochrone 4.2 Laju Akumulasi Karbon di Sedimen 4.2.1 Akumulasi karbon sedimen permukaan (short-term) 4.2.2 Akumulasi jangka panjang karbon sedimen 4.3 Laju Produktivitas Primer (Metabolic Rate) 4.4 Laju Serasah Lamun BAB 5 Pemetaan Lamun dan Stok Karbon Lamun 5.1 Metode Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Lamun 5.2 Pengolahan Data Pemetaan Ekosistem Lamun 5.2.1 Mereduksi kesalahan klasifikasi 5.2.2 Interpretasi visual pada



Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun



56 56 56 58 58 58 59 59 60 61 68 68 70 71 73



pemetaan ekosistem lamun 5.3 Metode Klasifikasi Citra 5.3.1 Interpretasi foto 5.3.2 Klasifikasi data citra satelit multispektral 5.4 Metode Survei Lapangan 5.4.1 Pengukuran kerapatan tunas lamun 5.4.2 Perhitungan persentase tutupan lamun 5.4.3 Pengukuran tegakkan lamun 5.5 Pemanfaatan Aplikasi Penginderaan Jauh Pada Lamun 5.6 Overview Pemanfaatan Drone untuk Pemetaan 5.6.1 Tahap persiapan BAB 6 Karbon Biru dan Manajemen Wilayah Pesisir 6.1 Siklus dan Neraca Karbon pada Ekosistem lamun 6.2 Perubahan Iklim dan Kesetimbangan Karbon 6.3 Karbon Biru dan Pemanfaatan Ruang Pesisir 6.4 Menghitung Emisi dan Serapan Karbon sebagai Bagian dari Perencanaan Pemanfaatan Ruang Pesisir



79



DAFTAR PUSTAKA



85



LAMPIRAN



89



EPILOG



Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun



ix



DAFTAR GAMBAR



3



Gambar 1. Hubungan dan Dampak/Layanan Daratan dengan Tiga Ekosistem Pesisir Utama dan Laut Lepas Akibat Aktivitas Manusia (Sumber: modifikasi http://americas.iweb.bsu.edu/ americas/Americas_vds10/neighborhood/ information.html )



12



Gambar 7. (a) Luas lamun di empat wilayah di dunia yang di atas 10% dari total luas lamun dunia (b) Padang lamun Halodule uninervis yang masih muda di Pulau Sangalaki pada tahun 2014 (Sumber: Rustam et al. 2015).



5



Gambar 2. Emisi global Gas Rumah Kaca (GRK), (a) emisi tahunan dari GRK antropogenik tahun 19702004, (b) sumbangan berbagai GRK antropogenik dalam total emisi tahun 2004, (c) sumbangan berbagai sektor dalam total emisi GRK antropogenik tahun 2004 dalam CO2-eq. (UNEP, 2007).



15



Gambar 8. Transek garis dengan pengamatan menggunakan kuadrat (English et al., 1997)



16



Gambar 9. (a) Transek garis (Line transect) SeagrassNet (b)Transek garis (Line transect) SeagrassWatch



Gambar 3. Konsentrasi CO2 di atmosfer di Hawai (a) rata-rata bulanan tahun 2009 – Agustus 2013, (b) rata-rata bulanan 1958–2010. (Sumber: http:// www.esrl.noaa.gov/gmd/ccgg/trends/mlo. html )



20



Gambar 10. Panduan persentase tutupan lamun (Sumber: SeagrassWatch manual )



21



Gambar 11. Panduan identifikasi 12 spesies lamun yang ditemukan di Indonesia (modifikasi dari SeagrassNet manual )



22



Gambar 12. Persentase tutupan alga (Sumber: SeagrassWatch manual )



25



Gambar 13. Cadangan karbon pada ekosistem lamun (modifikasi dari Fourqurean et al., 2014)



28



Gambar 14. Pengambilan sampel biomassa, pembersihan dan pemisahan bagianbagian lamun lingkaran merah



6



x



7



Gambar 4. Konsentrasi CO2 di atmosfer hasil pengukuran Koto Tabang Januari 2004 – Februari 2011 (Rustam et al., 2013)



9



Gambar 5. Siklus karbon di laut, pesisir belum di perhitungkan (IPCC, 2007)



10



Gambar 6. Respon positif laju fotosintesis terhadap peningkatan DIC pada Thallasia testudinum (Short dan Neckles, 1999)



Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun



Erftemeijer (1992), Sumber: Liwe, 2010.



biomassa lamun (sumber foto: P3SDLP, 2013 dan Kiswara, 2017) 28



Gambar 15. Contoh kantong biomassa (sumber foto: Rustam, 2017)



29



Gambar 16. Sampling sedimen ekosistem Lamun (Sumber foto: Kelti Karbon BiruPuslitbang Sumberdaya Laut dan Pesisir - Balitbang KP-KKP survei 2013 dan 2015 (atas); kegiatan penelitian Pusat Riset Kelautan, BRSDMKP survei 2018 (bawah))



30



Gambar 17. Pembagian sub-sampel analisis sedimen (Fourqurean et al., 2014)



30



Gambar 18. Kompaksi yang terjadi selama pengambilan sedimen di ekosistem lamun (Miyajima, 2018)



36



42



43



Gambar 19. Aktivitas analisis karbon kiri ke kanan yaitu: pengeringan, homogenasi, pengasaman, penimbangan dan analisis karbon dengan CHNS analyzer di laboratorium (sumber foto: Kelti Karbon Biru KKP, 2013) Gambar 20. Penandaan daun (leaf-marking) untuk lamun jenis: (a – b) leaf-replacing dan (c – d) nonleaf-replacing (Short dan Duarte 2001).



44



Gambar 22. Melubangi pelepah daun dengan (a) jarum suntik besar/isi balpoint logam; (b) penanda patok (Kiswara, 2017)



45



Gambar 23. Penandaan rhizoma (rhizome-tagging) untuk lamun jenis leaf-replacing (atas a dan b) dan non-leaf-replacing (bawah a dan b) (Short dan Duarte 2001).



46



Gambar 24. Penandaan awal pertumbuhan rimpang dengan: (a) jangka sorong (caliper) (Sulo, 2017) dan (b) hasil panen rhizoma kiri bawah (Kiswara, 2017); (c) Pengukuran pertambahan panjang daun dan (d) rhizoma (Rustam, 2017)



47



Gambar 25. Penandaan daun (leaf-marking) untuk menentukan plastochore interval daun (PL) (Short dan Duarte, 2001)



48



Gambar 26. Beberapa contoh perangkap sedimen: perangkap sedimen yang digubakan oleh Pusriskel-KKP (a dan b) (Foto: Rahayu, 2018); perangkap sedimen lain (c dan d) (Sumber: Lawrence Sanders, 2018 dan Nedret Andre, 2017)



50



Gambar 27. Ruang inkubasi bentik (Sumber: FIU, 2018)



Gambar 21. Penandaan daun daun (Zieman, 1974) yang dimodifikasi Brouns (1986) dan



Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun



xi



xii



51



Gambar 28. Kurungan serasah lamun : (a) ukuran 1m x 1m (Kiswara, 2015); (b) ukuran 50cm x 50cm (Pusriskel, 2018)



62



Gambar 29. Tampilan pada aplikasi Pix4D Capture yang menunjukkan jumlah dan jalur terbang, ketinggian terbang, area yang tercover dan perkiraan durasi pemotretan foto udara



63



Gambar 30. Pengambilan koordinat (GCP) menggunakan GPS Geodetik di atas benchmark



65



Gambar 31. Contoh peta hasil pemetaan lamun di Pulau Derawan menggunakan drone (olah data survei Pusriskel, 2018)



69



Gambar 32. Diagram konsep tiga kompartemen utama dalam penyimpanan karbon, dimana P = fotosintesis/ gross productivity, R = respirasi, E = Exchange/pertukaran, B = burial/ terkubur/tersimpan (Twilley et.al., 2017)



69



Gambar 33. Neraca karbon lamun jenis E. acoroides di ekosistem lamun gugusan Pulau Pari selama penelitian (dalam Mg CO2 selama satu tahun) (Rustam, 2014)



75



Gambar 34. Tampilan awal antar muka software EX-ACT untuk studi kasus Karimunjawa (Sumber FAO, 2017)



76



Gambar 35. Perhitungan ekosistem pantai menggunakan software EX-ACT (Sumber FAO, 2017)



77



Gambar 36. Tampilan ekosistem lamun menggunakan software EX-ACT dengan keberhasilan 70% (Sumber FAO, 2017)



77



Gambar 37. Tampilan ekosistem lamun menggunakan software EX-ACT dengan keberhasilan 100% (Sumber FAO, 2017)



Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun



DAFTAR TABEL



4



Tabel 1. Kategori dan contoh jasa atau layanan ekosistem Lamun



17



Tabel 2. Perbandingan masing-masing metode



35



Tabel 3. Menentukan % karbon anorganik dengan metode pengasaman



36



Tabel 4. Menentukan % karbon anorganik dengan metode elementer analyzer



Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun



xiii



DAFTAR ISTILAH



Biomassa



Total berat/massa atau volume organisme dalam area atau volume tertentu (IPCC glosarry). Total berat kering dari seluruh makhluk hidup yang dapat didukung pada masing-masing tingkat rantai makanan (EPA glosarry). Keseluruhan materi yang berasal dari makhluk hidup, termasuk bahan organik baik yang hidup maupun yang mati, baik yang ada di atas permukaan tanah maupun yang ada di bawah permukaan tanah, misalnya pohon, hasil panen, rumput, serasah, akar, hewan dan sisa/kotoran hewan (EPA glosarry).



Blue Carbon



Karbon yang tersimpan dalam ekosistem pesisir dan laut dengan mekanisme proses fotosintesis oleh biota autotrofik (mangrove, lamun, fitoplankton dan alga) yang dapat tersimpan dalam biomassa dan sedimen.



CH4



Metana adalah hidrokarbon paling sederhana yang berbentuk gas dengan rumus kimia CH4. Metana murni tidak berbau, tetapi jika digunakan untuk keperluan komersial, biasanya ditambahkan sedikit bau belerang untuk mendeteksi kebocoran yang mungkin terjadi.



CO2



Senyawa kimia anorganik dapat dalam bentuk gas di atmosfer, gas terlarut di air, merupakan urutan pertama dari GRK.



Carbon Pool



Cadangan karbon atau kolam karbon yaitu tempat atau bagian dari ekosistem pesisir yang menjadi tempat karbon tersimpan.



CTI



Coral Triangle Initiative atau Inisiatif Segitiga Terumbu Karang yang beranggotakan 6 (enam) negara, seperti Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste.



Ekosistem Lamun



Satu sistem (organisasi) ekologi padang lamun yang di dalamnya terjadi hubungan timbal balik antara komponen abiotik (air dan sedimen) dan biotik (hewan dan tumbuhan).



Duyung atau Dugong Duyung atau dugong (Dugong dugon) adalah sejenis mamalia laut yang merupakan salah satu anggota Sirenia atau lembu laut yang masih bertahan hidup selain manatee dan mampu mencapai usia rata-rata 70 tahun. Duyung sebagai satu dari 20 spesies prioritas yang dilindungi dan tercatat dalam Undang-Undang No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Selain itu, duyung juga masuk dalam UU No.31/2004 tentang Perikanan. Selain itu, duyung juga ada dalam Peraturan Pemerintah No.7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan



xiv



Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun



dan Satwa. Pada level internasional, duyung juga mendapat perlindungan setelah resmi masuk dalam daftar Global Red List of IUCN dengan status rentan (Vulnerable/VU). Duyung juga masuk dalam daftar The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) dengan status Appendix I atau dilarang memperdagangan bagian tubuhnya dalam bentuk apapun. GPS



Global Position System adalah sistem navigasi menggunakan satelit yang didesain agar dapat menyediakan posisi secara instan, kecepatan dan informasi waktu di hampir semua tempat di muka bumi, setiap saat dan dalam kondisi cuaca apapun.



GRK



Gas rumah kaca adalah gas yang terdapat di atmosfer yang dapat menimbulkan perubahan dalam kesetimbangan radiasi karena mampu menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang panjang yang bersifat panas seperti kaca sehingga mempengaruhi suhu permukaan bumi atau efek rumah kaca (ERK). GRK ada yang alami terutama uap air yang berasal dari penguapan air di laut, sungai dan danau dan non alami (antropogenik) seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O) akibat alih fungsi lahan atau pemakaian bahan bakar fosil.



Gt C (Giga Ton Karbon)



Merupakan satuan berat (dalam tulisan ini adalah karbon) setara dengan Penta atau 1015 gram satuan berat lainnya sebagai berikut : Kilo 103 gram Mega (ton) 106 gram Giga 109 gram Tera 1012 gram Penta 1015 gram Exa 1018 gram Zetta 1021 gram Yotta 1024 gram



IPCC Karbon Neraca Karbon



Panel antar pemerintah terkait perubahan iklim.



N2O



Gas nitrous oksida yang merupakan 3 besar senyawa GRK.



Unsur kimia yang dengan simbol C dan nomor atom 6. Neraca karbon adalah kesetimbangan pertukaran karbon (antara yang masuk dan keluar) antar reservoir karbon atau antara satu putaran (loop) spesifik siklus karbon (misalnya ekosistem lamun).



Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun



xv



RASI



Rare Aquatic Species of Indonesia, adalah yayasan konservasi yang fokus pada biota atau spesies langka yang ada di Indonesia, berada di Kalimantan Timur diawali dengan aktivitas konservasi pesut Mahakam.



REDD+



Reducing Emission from Deforestation and Degradation Plus, yaitu pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan plus melalui peranan konservasi, pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan cadangan karbon hutan.



Salt Marsh



Salt marsh atau rawa asin merupakan lahan basah pesisir yang membanjiri dan dikeringkan dengan air garam yang dibawa oleh gelombang. Lahan ini dikatakan be-rawa karena tanahnya terdiri dari lumpur yang dalam dan gambut. Karena rawa-rawa garam sering terendam oleh pasang surut dan mengandung banyak bahan tanaman membusuk, kadar oksigen dalam gambut dapat menjadi sangat rendah (suatu kondisi yang disebut hipoksia.) Hipoksia disebabkan oleh pertumbuhan bakteri yang menghasilkan bau busuk-telur belerang yang sering dikaitkan dengan rawa-rawa dan lumpur. Rawa air asin terdapat di seluruh dunia, terutama di daerah tengah dengan lintang tinggi.



Sampel



Cuplikan atau contoh yang merupakan bagian dari obyek penelitian yang diukur atau diambil untuk dianalisis.



SeagrassNet



SeagrassNet adalah suatu organisasi yang fokus pada program monitoring lamun secara global yang diinisiasi oleh Prof. Frederick T. Short dari University of New Hampshire, USA tahun 2001, Pemantauan padang lamun di seluruh lokasi SeagrassNet menggunakan protokol yang sama yaitu Manual for Scientific Monitoring of Seagrass Habitat - worldwide edition (Short et al., 2006).



SeagrassWatch



SeagrassWatch adalah suatu organisasi yang focus pada program monitoring lamun secara global yang diinisiasi Len McKenzie dan Rob Coles dari Northern Fisheries Centre, Queensland, Australia tahun 1998. Dengan menngunakan protokol Seagrass-Watch Monitoring Guidelines – 2nd Edition (McKenzie et.al., 2003)



Siklus Karbon



Istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan perubahan karbon (dalam berbagai bentuk) di atmosfer, laut biosfer terrestrial dan deposit geologis.



xvi



Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun



© 2014 Kelti Karbon Biru, P3SDLP (Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir) KKP



BAB 1



EKOSISTEM LAMUN Devi D. Suryono Tubagus Solihuddin Restu Nur Afi Ati Terry L. Kepel



© 2016 Kelti Karbon Biru, P3SDLP (Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir) KKP



1.1 Layanan Ekosistem Lamun Kawasan pesisir kaya akan keragaman ekosistem dan habitat yang masingmasing memiliki aliran jasa atau layanan ekosistem yang bermanfaat besar dalam hal kesejahteraan masyarakat (Turner, 2015). Ekosistem lamun adalah salah satu ekosistem dari tiga ekosistem utama di pesisir, yaitu ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Tiga ekosistem penting pesisir ini saling memiliki keterkaitan fungsional yang terdiri atas lima macam interaksi aIVO [ITQVO JMZP]J]VOIV aIQ\] QV\MZIS[Q Å[QS JIPIV WZOIVQS \MZTIZ]\ bahan organik partikel, migrasi fauna dan dampak manusia (Currant et al., 2002; Dahuri, 2003; Bengen, 2009), sehingga gangguan yang terjadi pada salah satu ekosistem akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Bentuk keterkaitan fungsional dan interaksi dari ketiga ekosistem tersebut yaitu: ekosistem mangrove sebagai pencegah erosi pantai, daerah asuhan dan penghasil zat hara; ekosistem lamun sebagai produsen primer, pengikat sedimen, daerah asuhan, mencari makan dan perkembangbiakkan serta penghasil zat hara atau nutrien; sedangkan ekosistem terumbu karang berfungsi [MJIOIQ XMVaIVOOI XZW[M[XZW[M[ Å[QS LIZQ TI]\ UMVaMLQISIV JMZJIOIQ habitat untuk biota laut dalam mencari makan dan perkembangbiakkan, dan memanfaatkan nutrien yang didapat dalam membentuk terumbu karang antara zooxantheallae dengan hewan karang seperti terlihat pada Gambar 1. Jumlah jenis lamun di dunia ada 60 jenis yang terdiri atas 2 suku dan 12 marga (Kuo & McComb, 1989). Di perairan Indonesia sendiri terdapat 15 jenis yang terdiri atas 2 suku dan 7 marga. Jenis lamun yang dapat dijumpai adalah 12 jenis, yaitu Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Halophila decipiens, H. ovalis, H. minor, H. spinulosa, Haludole pinifolia, H. uninervis, Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprichii, dan Thalassodendron ciliatum. Tiga jenis lainnya, yaitu Halophila sulawesii merupakan jenis lamun baru yang ditemukan oleh Kuo (2007), Halophila becarii yang ditemukan herbariumnya tanpa keterangan yang jelas, dan Ruppia maritima yang dijumpai koleksi herbariumnya dari Ancol-Jakarta dan Pasir Putih - Jawa Timur.



Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun



2



Gambar 1. Hubungan dan Dampak/Layanan Daratan dengan Tiga Ekosistem Pesisir Utama dan Laut Lepas Akibat Aktivitas Manusia (Sumber:UWLQÅSI[QP\\X"IUMZQKI[ Q_MJJ[]ML]IUMZQKI[)UMZQKI[G^L[VMQOPJWZPWWLQVNWZUI\QWVP\UT)



Pada umumnya ketiga ekosistem tersebut rentan terhadap aktivitas manusia yang mengakibatkan jasa atau layanan ekosistem tersebut berkurang atau bahkan hilang. Jasa ekosistem dapat diartikan sebagai seluruh manfaat yang diperoleh dari ekosistem. Ekosistem yang berkondisi baik akan memberikan jasa atau layanan yang baik dalam menopang kehidupan biota lainnya baik di dalam maupun di luar ekosistem. Fungsi atau jasa ekosistem lamun terbagi atas lima fungsi (Nybakken, 1992; Bengen, 2002; Dahuri, 2003; Duarte et al., 2013), yaitu: 1. .]VO[QÅ[QS"[MJIOIQXMZMLIUOMTWUJIVOLIVIVOQVJILIQXMTQVL]VO pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen, mencegah terjadinya erosi pantai; dan sebagai kawasan penyangga proses intrusi IQZTI]\I\I][MJIOIQÅT\MZIQZI[QV UMVRILQIQZ\I_IZ 2. Fungsi kimia: sebagai tempat terjadinya proses daur ulang, penghasil oksigen merupakan produk dari fotosintesis, penyerap karbondioksida yang dibutuhkan dalam proses fotosintesis, dan sebagai pengolah



3



Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun



bahan-bahan limbah hasil pencemaran industri dan kapal-kapal di laut sampai batas daya dukung ekosistem alami. 3. Fungsi biologi: produsen primer, penghasil sejumlah besar detritus terutama dari daun yang merupakan sumber makanan invertebrata kecil pemakan detritus dan berlanjut dalam rantai makanan yang di atasnya; sebagai habitat biota laut, baik sebagai daerah memijah, asuhan, perlindungan maupun mencari makanan; dan sebagai sumber plasma nutfah dan sumber genetik. 4. Fungsi ekonomi: penghasil pupuk hijau dan bahan baku kertas (pulp); penghasil bibit ikan, udang, kerang, kepiting, dan biota laut lainnya. 5. Fungsi lain (wanawisata): sebagai daerah wisata alam, konservasi, penelitian, dan pendidikan. Menurut Millenium Ecosystem Assessment atau MEA (2005), lima fungsi tersebut terbagi dalam empat kategori utama yaitu jasa penyedia (provisioning services), jasa pendukung (supporting services), jasa pengaturan (regulating services) dan jasa kebudayaan (cultural services) seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kategori dan contoh jasa atau layanan ekosistem Lamun



Kategori



Contoh Layanan Ekosistem



Layanan penyedia



penghasil sejumlah besar detritus; habitat biota laut dan darat baik sebagai daerah memijah, asuhan, perlindungan maupun mencari makanan; sebagai sumber plasma nutfah dan sumber genetik, bahan baku kertas (pulp), pupuk hijau dan sumber obat-obatan; penghasil bibit ikan, udang, kerang, kepiting, dan biota laut



Layanan pengaturan



pengatur kualitas udara dan iklim (menghasilkan oksigen dan menyerap karbondioksida), pengatur kualitas air, peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen, mencegah terjadinya erosi pantai; sebagai kawasan penyangga XZW[M[ QV\Z][QIQZTI]\I\I][MJIOIQÅT\MZIQZI[QV UMVRILQIQZ\I_IZ



Layanan kebudayaan daerah wisata alam, konservasi, penelitian dan pendidikan Layanan pendukung



fotosintesis, daur nutrien, daur air dan bioindikator logam berat



Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun



4



1.2 Lamun dan Kebijakan Perubahan Iklim Isu perubahan iklim global termasuk proses mitigasi dan adaptasinya, saat ini telah menarik banyak perhatian baik dari masyarakat, ilmuwan, pengambil kebijakan maupun para praktisi lingkungan. Perubahan iklim LQQLMV\QÅSI[Q LMVOIV ILIVaI XMVQVOSI\IV []P] OTWJIT SMVIQSIV U]SI air laut, perubahan curah hujan (presipitasi) serta meningkatnya kejadian ekstrim seperti banjir, kekeringan, gelombang panas dan badai. Penyebab utama kejadian tersebut dihubungkan dengan meningkatnya emisi gas rumah kaca seperti CO2, CH4 dan N2O sebagai akibat meningkatnya kegiatan antropogenik (Gambar 2). Emisi gas rumah kaca di tahun 1970 sebesar 28,7 GtCO2-eq/tahun meningkat menjadi 49 GtCO2-eq/tahun. Penggunaan bahan bakar fosil merupakan penyumbang terbesar dari total emisi di setiap dekadenya. Pada tahun 2004, kontribusi penggunaan bahan bakar fosil adalah sebesar 56,5%.



Gambar 2. Emisi global Gas Rumah Kaca (GRK), (a) emisi tahunan dari GRK antropogenik tahun 1970-2004, (b) sumbangan berbagai GRK antropogenik dalam total emisi tahun 2004, (c) sumbangan berbagai sektor dalam total emisi GRK antropogenik tahun 2004 dalam CO2-eq. (UNEP, 2007).



Emisi gas rumah kaca di tahun 1970 sebesar 28,7 GtCO2-eq/tahun meningkat menjadi 49 GtCO2-eq/tahun pada tahun 2004. Penggunaan bahan bakar fosil merupakan penyumbang terbesar dari total emisi di setiap dekadenya. Pada tahun 2004, kontribusi penggunaan bahan bakar fosil adalah sebesar 56,5%. NOAA mencatat peningkatan emisi CO2 melalui data time series yang terekam di stasiun pengamatan Mauna Loa, Hawaii menunjukkan adanya peningkatan CO2 aIVO [QOVQÅSIV sejak tahun 1960 (Gambar 3). Rata-rata CO2 pada bulan Agustus



5



Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun



2013 tercatat sebesar 395,15 ppm lebih besar dari yang tercatat pada bulan Agustus 2012 (392,41 ppm). Laju rata-rata peningkatan CO2 meningkat dari 0,8 ppm di tahun 1960-an (1960 – 1969) menjadi hampir 2 ppm per tahun sampai dengan Agustus 2013.



Gambar 3. Konsentrasi CO2 di atmosfer di Hawai (a) rata-rata bulanan tahun 2009 – Agustus 2013, (b) rata-rata bulanan 1958–2010. (Sumber: P\\X"___M[ZTVWIIOW^OULKKOO\ZMVL[UTWP\UT)



Secara internasional, masalah iklim dunia telah mendapat perhatian sejak tahun 1979 dimana untuk pertama kali diadakan World Climate Conference (WCC). Hal ini kemudian diikuti oleh terbentuknya Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 1988. Pada tahun 1992 terbentuk United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yaitu sebuah perjanjian internasional yang memikirkan upaya-upaya dalam mengatasi masalah perubahan iklim termasuk penurunan emisi gas rumah kaca. Setiap tahun sejak 1995 diadakan pertemuan Conferences of the Parties (COP) untuk membahas kemajuan dari upaya-upaya tersebut. Salah satu langkah penting yang dihasilkan oleh UNFCCC adalah diadopsinya Protokol Kyoto pada tahun 1997 pada COP ke-3 di Kyoto. Saat ini, Protokol Kyoto sudah memasuki fase kedua yang berlaku mulai tahun 2013 sampai 2020. Komitmen Indonesia untuk turut serta dalam penurunan emisi karbon ini dimulai saat Presiden Republik Indonesia menyatakan sikap tentang isu Climate Change di pertemuan KTT G20 Pitssburg, USA 2009 dan COP 15 Copenhagen, Denmark 2009. Komitmen Indonesia ini didasari juga oleh kondisi kenaikan nilai CO2 yang meningkat berdasarkan hasil pengukuran nilai pCO2 atmosfer yang terukur di stasiun Koto Tabang, Indonesia sejak bulan Januari 2004 sampai dengan Februari 2011. Gambar 4, memperlihatkan adanya kecenderungan pCO2 atmosfer meningkat sebesar ƁI\UJ]TIVI\I][MJM[IZƁI\U\IP]V*M[IZVaIXMVQVOSI\IV nilai pCO2 atmosfer di Indonesia lebih besar dari estimasi yang dilakukan



Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun



6



18++  aIVO PIVaI [MJM[IZ  ƁI\U\IP]V ;SMVIZQW \MZJ]Z]S (Skenario 3) berdasarkan pengukuran di Koto Tabang akan terjadi 55 tahun lagi yaitu bulan Februari tahun 2066. Komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi karbon ditindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan Presiden nomor 61 tahun 2011 (Perpres 61 Tahun 2011) tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Efek Rumah Kaca (RAN-GRK) yang menyatakan komitmen Indonesia dalam penurunan emisi adalah sebesar 26% dengan usaha sendiri atau menjadi 41% dengan bantuan dunia internasional sampai dengan tahun 2020. Penurunan emisi ini diharapkan berasal dari 5 sektor yaitu pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, industri dan pengolahan limbah. Salah satu implementasi dari Perpres 61 tahun 2011 ini adalah dibentuknya Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Desforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan yang bertugas membantu Presiden melaksanakan tugas koordinasi, sinkronisasi, perencanaan, fasilitasi, pengelolaan, pemantauan, pengawasan serta pengendalian REDD+ di Indonesia. Pada kedua produk hukum tersebut, disebutkan penurunan emisi karbon difokuskan “hanya” pada sektor-sektor “land-based” sedangkan sektor kelautan belum masuk dalam skenario penurunan emisi padahal laut dan kawasan pesisir pun berperan besar dalam proses penyerapan dan penyimpanan karbon.



Gambar 4. Konsentrasi CO2 di atmosfer hasil pengukuran Koto Tabang Januari 2004 – Februari 2011 (Rustam M\IT., 2013)



Berdasarkan mekanisme pada Gambar 5 secara global laut melepas CO2 sebanyak 90,6 GtC/tahun dan menyerap 92,2 GtC/tahun sehingga ada selisih 1,6 GtC/tahun yang ditenggelamkan (sink) (IPCC 2007). Proses penenggelaman yang terjadi meliputi berbagai proses baik solubility pump, physical pump maupun biological pump. Kemampuan lautan menenggelamkan karbon sebanyak 1,6 GtC/tahun lebih banyak difokuskan di lautan lepas, hal ini dimungkinkan karena terbatasnya vegetasi pesisir di seluruh lautan yang hanya kurang dari 2% dari luas laut dan samudra (Duarte dan Cebrian,



7



Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun



1996; Duarte, 2000). Dalam siklus karbon, ekosistem yang didominasi oleh vegetasi pesisir berperan penting dalam respirasi global yang mencapai 7-8 GtC/tahun (Middelburg et al., 2004) dan produktivitas bersih sebagai karbon tersimpan dalam vegetasi pesisir global sebesar 5,3 GtC (Duarte et al., 2004). Sehingga dengan demikian ekosistem pesisir berperan sebagai bagian dari penenggelam karbon di lautan. Menurut Mateo et al. (1997), kecepatan penguburan (sink) karbon dalam ekosistem lamun baik yang berasal dari serasah lamun ataupun biota organic lainnya yang tinggi dapat dipelihara selama ribuan tahun. Hal ini diperkuat berdasarkan penelitian yang dilakukan Gacia et al. (2002) yang menyatakan bahwa pada hamparan lamun jenis Posidonia oceanica di perairan Mediterania, endapan karbon yang dihasilkan ekosistem lamun monospesies tersebut sebesar 198 gCm-2/tahun dengan 72% berasal dari seston dan 28% berasal dari gugur serasah lamun P. oceanica. Besarnya endapan yang dilepas melalui proses remineralisasi yang terjadi dari sedimen kembali ke kolom air diperkirakan sebesar 15,6 gCm-2/tahun dan masih tersisa 182,4 gCm-2/tahun tetap tersimpan dalam sedimen yang berpotensi terkubur ribuan tahun sebagai karbon rosot (sink) (Gacia et al., 2002). Hasil penelitian Gazeau et al . (2005) di Teluk Mediterania tentang proses metabolisme yang memanfaatkan CO2 dalam fotosintesis antara plankton dan lamun jenis Posidonia oceanica menunjukkan hasil bahwa Posidonia oceanica lebih besar memanfaatkan CO2 (mereduksi dari kolom air) dan menghasilkan oksigen yang lebih besar dibandingkan plankton. Hasil metabolisme tersebut adalah plankton -4,6±5,9 mmol O2 m-2/hari, sedangkan Posidonia oceanica 17,6 ±8,5 mmol O2 m-2/hari. Lamun seperti tumbuhan lainnya memerlukan CO2 untuk fotosintesis, tumbuh dan berkembang yang tersimpan dalam biomassa, baik bagian atas (yang berada di atas tanah) seperti daun dan biomassa bagian bawah (yang berada dalam tanah) seperti rhizoma dan akar. Salah satu fungsi MSWTWOQ[LIZQTIU]VILITIPUMVÅS[I[QSIZJWVaIVO[MJIOQIVJM[IZUI[]S ke dalam sistem daur rantai makanan. Beer et al. (2002) mengatakan bahwa dalam melakukan fotosintesis lamun memanfaatkan karbon anorganik di kolom air sehingga lamun dapat mereduksi CO2. Hal ini menunjukkan adanya kemampuan ekosistem lamun menenggelamkan (sink) CO2 dari atmosfer ke laut dengan mekanisme adanya perbedaan tekanan parsial dari atmosfer ke laut untuk fotosintesis yang kemudian tersimpan baik dalam bentuk biomassa lamun itu sendiri maupun tersimpan di dasar perairan atau sedimen. Mekanisme yang menggambarkan proses CO2 sink dapat dilihat pada Gambar 5.



Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun



8



Gambar 5. Siklus karbon di laut, pesisir belum di perhitungkan (IPCC, 2007)



Indonesia diperkirakan memiliki luas ekosistem lamun sekitar 3 x 104 km2 pada tahun 2009 (Nienhuis, 1993) dan saat ini luas ekosistem diperkirakan 150.693,16 ha yang tervalidasi (P2O LIPI, 2017). Produksi ekosistem lamun di Indonesia sebesar 1,23-4,7 gCm-2/tahun yang diperoleh dari Pulau Komodo (Lindeboom dan Sandee, 1989) dan Kepulauan Spermonde sebesar 0,9–4,4 gCm-2/tahun (Ertfemeijer, 1993). Kiswara (2009) mendapatkan nilai biomassa jenis Cymodocea serrulata 30,62 gC/m2 dan Enhalus acoroides 545,33 gC/m2 di Pulau Pari, Teluk Jakarta. Secara kimiawi penambahan CO2 dari atmosfer ke dalam perairan laut terjadi dengan mekanisme perbedaan tekanan parsial antara atmosfer dan laut. Sistem CO2 di perairan akan merubah CO2 gas terlarut menjadi jenis H2CO3, HCO3-, dan CO32-. Dimana pada kondisi pH laut yang umumnya 8,2 maka CO2 terlarut sebesar 88,6 % berada dalam kondisi bikarbonat (HCO3-) (Lohman 2005). Pemanfaatan bikarbonat (HCO3-) dalam fotosintesis lebih besar dibandingkan dengan spesiasi kimiawi sistem karbon lainnya. Menurut Short dan Neckles (1999) dan Beer et al. (2002) jenis inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian besar lamun untuk fotosintesis.



9



Pedoman Pengukuran Karbon di Ekosistem Padang Lamun



Short dan Neckles (1999), menggambarkan bahwa rata-rata laju fotosintesis pada lamun berbanding lurus terhadap Dissolved Inorganic Carbon (DIC), seperti yang tertera pada Gambar 6, DIC merupakan karbon anorganik terlarut yang sebagian besar adalah bentuk bikarbonat. DIC adalah jumlah total dari karbon anorganik dengan spesies bikarbonat (HCO3-) sebesar 88,6 % dan karbonat (CO32-) sebesar 10,9 % (Lohman 2005).



Gambar 6. Respon positif laju fotosintesis terhadap peningkatan DIC pada