Penanganan Permukiman Kumuh Berbasis Konsep Layak Huni Di Kelurahan Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Available online at http://ejournal2.undip.ac.id/index.php/ruang/



Ruang Volume X Nomor X, Tahun, pp-pp



P-ISSN 1858-3881 E-ISSN 2356-0088



PENANGANAN PERMUKIMAN KUMUH BERBASIS KONSEP LAYAK HUNI DI KELURAHAN TANAH TINGGI, KECAMATAN JOHAR BARU, JAKARTA PUSAT Khoirotun Hisan1, Kurnia Widi Ayuningtyas2, Dwirantika Maharani Putri Susetya3, Avina Nilam Augustin4, Arfika Iffada Putri5 & Mussadun6 1,2,3,4&5



Mahasiswa Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Dosen Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro



6



Abstrak Pertumbuhan penduduk perkotaan saat ini hampir terjadi di seluruh wilayah perkotaan yang ada di Indonesia, khususnya di Kota Jakarta Pusat. Penyebab yang mendorong peningkatan pertumbuhan penduduk di perkotaan karena tingginya angka urbanisasi. Urbanisasi yang terjadi di kota besar menjadi salah satu faktor munculnya permukiman kumuh yang tidak layak huni. Salah satu daerah yang memiliki pengaruh dari adanya urbanisasi dan memunculkan persoalan terkait permukiman kumuh adalah Kelurahan Tanah Tinggi, Johar Baru yang diidentifikasi dari kondisi sosial, ekonomi, dan fisik yang terdiri dari 6 variabel yaitu kepadatan bangunan, konstruksi bangunan, persampahan, keadaan drainase, keadaan jalan, dan tata letak bangunan. Pendekatan dalam kajian ini yaitu pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif untuk menjelaskan secara lebih mendalam kondisi dan penyebab permukiman kumuh di Kelurahan Tanah Tinggi. Oleh karena itu, kajian ini bertujuan untuk menangani permukiman kumuh di Kelurahan Tanah Tinggi dengan konsep layak huni dari hasil identifikasi penyebab permukiman kumuh. Penanganan strategi yang dilakukan untuk mengatasi penyebab permukiman kumuh yaitu dengan melalui konsolidasi lahan, pengelolaan sampah berbasis masyarakat, dan pemberian bantuan modal dana usaha. Kata kunci: Kumuh; Perkotaan; Urbanisasi. Abstract Urban population growth is currently almost occurring in all urban areas in Indonesia, especially in the city of Central Jakarta. The cause that drives the increase in urban population growth is due to the high rate of urbanization. Urbanization in big cities is one of the factors in the emergence of uninhabitable slums. One of the areas that has the influence of urbanization and raises problems related to slums in Tanah Tinggi, Johar Baru which is identified from social, economic, and physical conditions consisting of 6 variables, there are building density, building construction, waste, drainage conditions, road conditions, and building layout. The approach in this study is qualitative approach that is descriptive to explain in more depth the condition and cause of slums in Tanah Tinggi. Therefore, this study aims to deal with slums in Tanah Tinggi with the concept of habitable from the identification of the causes of slums. Handling strategies carried out to overcome the causes of slums is through land consolidation, community-based waste management, provide financial assistance. Keyword: Slum; Urban; Urbanization.



1.



Pendahuluan Fenomena urbanisasi saat ini telah terjadi hampir di seluruh wilayah perkotaan yang ada di Indonesia, khususnya di Jakarta Pusat. Urbanisasi merupakan suatu proses transformasi dari desa ke kota yang meliputi wilayah atau daerah beserta masyarakat di dalamnya yang dipengaruhi oleh aspek fisik, aspek, sosial, aspek ekonomi, aspek budaya dan aspek psikologi masyarakatnya (Harahap, 2013). Tingginya angka perpindahan penduduk dari desa ke kota mengakibatkan pertumbuhan



penduduk perkotaan semakin meningkat dan mendorong peningkatan terhadap kebutuhan permintaan hunian untuk bertempat tinggal, serta permintaan kebutuhan dasar layanan infrastruktur. Tigginya urbanisasi di perkotaan menyebabkan tumbuhnya permukiman kumuh di sebagian kota karena pemerintah tidak siap untuk mengatasi populasi dalam hal penyediaan perumahan yang layak (Nwanko, 2019). Munculnya permukiman kumuh dan tidak tertata di perkotaan sering dijumpai di Ruang (Vol.x No. x, Tahun, pp-pp)



2



Hisan, Ayuningtyas, Susetya, Augustin, Putri & Mussadun / Ruang



lingkungan permukiman informal. Penelitian yang dilakukan oleh Widyawati (2015) menyebutkan bahwa faktor yang menjadi indikasi kelayakan huni bagi masyarakat di permukiman kumuh yakni terkait dengan masalah kenyamanan dan kesehatan. Saat ini, faktor yang menjadi kelayakan huni di kawasan permukiman kumuh tidak hanya itu saja, akan tetapi keamanan juga merupakan faktor yang dirasa penting dalam menjadikan suatu kawasan menjadi layak huni. Lokasi Kelurahan Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru khususnya di RW 6 dengan klasifikasi kawasan kumuh sedang dan di RW 4, 7, dan 9 dengan klasifikasi kawasan kumuh ringan pada tahun 2020. Kelurahan Tanah Tinggi memiliki permukiman yang penduduk dan bangunan sangat padat padat, bangunan tidak teratur, dan kualitas bangunan yang buruk. Dalam mewujudkan permukiman yang layak huni bagi masyarakat maka dapat dilakukan strategi dalam penataan lingkungan permukiman kumuh yang diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap perubahan lingkungan fisik, sosial, maupun ekonomi. Jika dihubungakan dengan konsep livability city maka srategi ini mampu mewujudkan suatu kawasan permukiman yang layak dan nyaman bagi penduduk untuk bertempat tinggal maupun melakukan aktivitas lainnya. 2. Kajian literatur 2.1 Permukiman kumuh Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman bahwa permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Permukiman kumuh memiliki kesan terkait dengan ketidaknyamanan, baik terhadap lingkungan (misalnya kebersihan, kesehatan lingkungan), udara (misalnya sirkulasi, polusi), ketidaknyamanan terhadap bangunan hunian (misalnya kondisi material bangunan, jarak antar bangunan), ketidaknyamanan terhadap infrastruktur (air bersih, listrik, sanitasi, drainase), serta ketidaknyamanan lainnya (Joenso & Sari, 2020). Hal ini sejalan dengan pengertian menurut Muta’ali & Nugroho (dalam Zulkarnaini et al., 2019) bahwa permukiman kumuh adalah Ruang (Vol.x No. x, Tahun, pp-pp)



permukiman tidak layak huni yang disebabkan oleh ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi serta kualitas bangunan sarana prasarana yang tidak memenuhi syarat. Bermukim di permukiman kumuh merupakan suatu usaha yang dapat dijangkau dan sesuai bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dan pendapatan yang tidak pasti karena lokasinya sangat strategis degan lokasi pekerjaan di perkotaan dan sumber mata pencaharian (Turok & Saladin dalam Zulkarnaini et al., 2019). Berdasarkan pengertian diatas terdapat ciri-ciri permukiman kumuh yang dikemukakan oleh Jamaludin (dalam Widyastuty & Ramadhan, 2019), ciri-ciri permukiman kumuh dapat tercermin dari fisik bangunan, pendapatan yang rendah, kepadatan bangunan yang tinggi, sistem sanitasi yang miskin atau tidak dalam kondisi yang baik, kondisi sosial dengan banyaknya tindakan kejahatan ataupun kriminal, banyaknya masyarakat pendatang yang bertempat tinggal dengan menyewa rumah. 2.2 Permukiman layak huni (livable settlement) Permukiman layak huni menurut Firdaus (2015) pada dasarnya merupakan konsep perancangan yang menggabungkan antara layak huni (livability) dengan aspek permukiman (settlement). Livable sendiri dalam mewujudkannya membutuhkan fisik maupun habitat sosial sebagai peningkatan kualitas hidup (Evan dalam Firdaus, 2015). Gonta et al. (2020) juga menyatakan bahwa fisik yang memadai dapat mendukung aktivitas sosial ekonomi masyarakat, sehingga terbentuk sinergitas dalam sistem permukiman. Permukiman yang layak huni tidak hanya memperhatikan rumah untuk bertempat tinggal, namun juga memperhatikan sarana dan prasarana sebagai penunjang keberlangsungan permukiman itu sendiri. Selain aspek fisik, permukiman layak huni juga dapat diwujudkan dalam aspek sosial dan ekonomi yaitu dalam suatu permukiman tidak mengalami degradasi lingkungan, partisipasi masyarakat aktif serta tersedia lapangan pekerjaan (Firdaus & Nurini dalam Gultom & Sunarti, 2017). Aspek fisik dapat dilihat dari kondisi rumah atau bangunan, jalan lingkungan, drainase, penyediaan air bersih, pengelolaan persampahan dan air limbah, pengamanan



Hisan, Ayuningtyas, Susetya, Augustin, Putri & Mussadun / Ruang



kebakaran serta ruang terbuka publik. Aspek sosial dapat dilihat dari bentuk partisipasi masyarakat terhadap lingkungannya maupun sarana sosial seperti ruang terbuka publik yang berfungsi sebagai wadah untuk masyarakat bersosialisasi. Adapun aspek ekonomi dapat dilihat dari mata pencaharian dan tingkat pendapatan. 2.3 Data-data permukiman kumuh Kelurahan Tanah Tinggi Terdapat 11 variabel kekumuhan yang digunakan dalam pendataan RW kumuh tahun 2017 di DKI Jakarta, yaitu kepadatan penduduk, kepadatan bangunan, konstruksi bangunan tempat tinggal, keadaan ventilasi dan pencahayaan bangunan, tempat buang air besar, cara membuang sampah, pengangkutan sampah, keadaan drainase/saluran air, keadaan jalan lingkungan, penerangan jalan umum, dan tata letak bangunan. Berdasarkan hasil kajian variabel kekumuhan tersebut, didapatkan 10 kelurahan dengan jumlah RW kumuh terbanyak di DKI Jakarta yang salah satunya merupakan Kelurahan Tanah Tinggi, yang ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Peringkat 10 kelurahan dengan jumlah RW kumuh terbanyak di DKI Jakarta tahun 2017. (BPS Provinsi DKI Jakarta, 2017) Jumlah Peringkat Kelurahan RW Kumuh 1 Penjaringan 12 2 Kampung Rawa 8 3 Tanah Tinggi 8 4 Mangga Dua Selatan 8 5 Wijaya Kusuma 8 6 Rawa Badak Utara 8 7 Kali Baru 8 8 Manggarai 7 9 Keagungan 7 10 Cipete Utara 6



Kelurahan Tanah Tinggi dengan jumlah RW kumuh terbanyak ke-3 di DKI Jakarta sebanyak 8 RW diantaranya adalah RW 4, 5, 6, 7, 8, 9, 11, dan 12. Klasifikasi kawasan kumuh di Kelurahan Tanah Tinggi terbagi atas kumuh berat, sedang, ringan, dan sangat ringan. Kelurahan Tanah Tinggi juga termasuk ke dalam sembilan kelurahan dengan jumlah RW kumuh berat terbanyak di DKI Jakarta Tahun 2017. Pada kelurahan Tanah Tinggi, yang termasuk ke dalam klasifikasi kumuh berat yaitu RW 12 dengan total 11 RT yang memiliki persentase RT kumuh sebesar 90,9%. Adapun klasifikasi kumuh di



3



Kelurahan Tanah Tinggi ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi kawasan kumuh di Kelurahan Tanah Tinggi. (BPS Provinsi DKI Jakarta, 2017) RW Klasifikasi



Jumlah RT



Jumlah RT Kumuh



RT Kumuh



4



Ringan



10



9



1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10



5



Sangat Ringan



18



5



1, 2, 3, 4, 5



6



Sedang



18



13



7



Ringan



12



6



8



Sedang



18



13



9



Ringan



16



8



11



Sedang



16



12



12



Berat



11



10



1, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 15, 16, 17, 18 1, 2, 3, 4, 5, 7 1, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 13, 15, 16, 18 1, 2, 4, 8, 9, 10, 12, 16 1, 2, 3, 4, 5, 9, 10, 12, 13, 14, 15, 16 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11



2.4



Strategi penanganan permukiman kumuh Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam mencegah dan meningkatkan kualitas terhadap permukiman kumuh, yaitu dengan melakukan pengawasan dan pengendalian; pemberdayaan masyarakat; pemugaran; peremajaan; dan pemukiman kembali. Upaya pemugaran dan peremajaan dapat dilakukan pada status tanah yang legal, sementara itu upaya pemukiman kembali dilakukan pada status tanah yang ilegal. Adapun kegiatan yang dapat dilakukan dalam upaya peremajaan diantaranya adalah dengan melakukan land consolidation, sementara itu, untuk upaya pemukiman kembali salah satunya adalah dengan pembangunan rumah susun (Kurniasari, Koestoer, & Suganda, 2018). Upaya lainnya yaitu pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat mulai dari tahapan analisis potensi dan masalah hingga tahapan pengelolaan dan pemeliharaan. Oleh sebab itu, dengan melakukan pemberdayaan masyarakat hasil perencanaan dapat lebih mudah diterima oleh seluruh kalangan masyarakat karena lebih berorientasi pada kepentingan-kepentingan masyarakat (Lestari & Sugiri, 2013).



Ruang (Vol.x No. x, Tahun, pp-pp)



4



Hisan, Ayuningtyas, Susetya, Augustin, Putri & Mussadun / Ruang



2.5



Best practice Baan Mankong, Thailand Komitmen pemerintah yang kuat dalam mewujudkan permukiman yang layak huni dan berkelanjutan khususnya daerah perkotaan dilaksanakan dengan pencegahan kawasan permukiman kumuh dan peningkatan kualitas lingkungan permukiman. Salah satu kegiatan dalam penanganan kawasan kumuh yakni terdapat di Baan Mankong, Thailand yang mengembangkan skema peningkatan kualitas permukiman kumuh melalui pendekatan berbasis masyarakat dengan menggunakan lembaga perantara CODI dalam sistem pembiayaannya (Nawawis, 2020). Community Organization Development Institute (CODI) merupakan LSM yang memfasilitasi peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan berbasis komunitas. Meningkatnya urbanisasi dan harga lahan memunculkan kekhawatiran pemerintah pada perkembangan kemiskinan di perkotaan, mendorong pemerintah Thailand untuk memulai program Baan Mankong (secure housing) yang diawali pada tahun 2003. Tujuan dari program ini untuk meningkatkan kualitas permukiman dan jaminan kepemilikan rumah tinggal bagi masyarakat berpenghasilan rendah, dengan target kota tanpa kumuh. Permukiman tersebut dibuat dengan konsep perumahan dengan bangunan vertikal (high rise building). Metode yang diterapkan dalam mencegah permukiman kumuh tersebut dengan mengedepankan konsep slum upgrading, reblocking, dan land sharing. Program ini sangat menekankan keterlibatan masyarakat secara partisipatif untuk menangani permasalah perkotaan dan lingkungan permukiman. 3. Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif, dengan tahapan dalam penelitian ini terbagi atas beberapa tahapan yaitu tahapan pengumpulan data, tahapan identifikasi permukiman kumuh, dan tahapan analisis strategi penanganan permukiman kumuh. 3.1. Tahap pengumpulan data Tahap pengumpulan data dilakukan dengan melakukan pengumpulan data sekunder dan observasi menggunakan Google Street View. Pengumpulan data sekunder dilakukan terhadap literatur dan Ruang (Vol.x No. x, Tahun, pp-pp)



dokumen-dokumen yang diakses secara online, seperti Dokumen Pendataan RW Kumuh DKI Jakarta Tahun 2017, dan Dokumen Kecamatan Johar Baru dalam Angka 2019. Sementara itu, observasi dengan menggunakan Google Street View dilakukan untuk mengetahui kondisi fisik lingkungan di Kelurahan Tanah Tinggi, yang dibutuhkan dalam tahapan identifikasi. 3.2. Tahap identifikasi permukiman kumuh Tahap identifikasi permukiman kumuh dilakukan dengan mengidentifikasi penyebab kekumuhan di Kelurahan Tanah Tinggi berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, dan fisik lingkungan. Identifikasi kondisi sosial dilihat berdasarkan tingkat migrasi, kelahiran, dan kepadatan penduduk. Identifikasi kondisi ekonomi dilihat berdasarkan mata pencaharian, pendapatan, dan jenis kepemilikan rumah. Sementara itu, identifikasi kondisi fisik lingkungan dilakukan dengan cara membandingkan kondisi eksisting di Kelurahan Tanah Tinggi yang didapatkan dari hasil observasi Google Street View terhadap variabel-variabel yang menentukan kekumuhan berdasarkan Dokumen Pendataan RW Kumuh DKI Jakarta Tahun 2017 dan standar-standar yang berlaku. Variabel-variabel kondisi fisik lingkungan yang digunakan dalam penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Variabel kumuh. (BPS Provinsi DKI Jakarta, 2017) No Variabel Kumuh 1. Kepadatan bangunan 2. Konstruksi bangunan tempat tinggal 3. Pengangkutan sampah 4. Keadaan drainase/saluran air 5. Keadaan jalan lingkungan 6. Tata letak bangunan



3.3.



Tahap analisis strategi penanganan permukiman kumuh Tahap analisis strategi penanganan permukiman kumuh dilakukan dengan cara merumuskan strategi yang sesuai berdasarkan hasil identifikasi permukiman kumuh yang sudah dilakukan sebelumnya, sebagai rekomendasi bagi Pemerintah DKI Jakarta dalam menangani permukiman kumuh. 4. Hasil dan Pembahasan 4.1. Identifikasi Permukiman Kumuh di Kelurahan Tanah Tinggi Kelurahan Tanah Tinggi masuk ke



Hisan, Ayuningtyas, Susetya, Augustin, Putri & Mussadun / Ruang



dalam urutan 3 kawasan permukiman kumuh DKI Jakarta Tahun 2017 dengan luas sebesar 62,29 Ha. Kawasan permukiman kumuh di Kelurahan Tanah Tinggi salah satunya terletak di area sebelah barat dekat rel kereta api, karena lokasinya yang dekat dengan Stasiun Pasar Senen. Permukiman di sepanjang area ini tergolong padat karena letak lokasinya yang cukup strategis (Widyawati, 2015). Adanya letak kawasan yang strategis menjadikan Kelurahan Tanah Tinggi memiliki peluang urbanisasi tinggi, akibatnya terjadi permukiman kumuh dengan tingkat kelayakan huni yang rendah. Adapun untuk mengidentifikasi permukiman kumuh di Kelurahan Tanah Tinggi perlu ditinjau berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, dan fisik lingkungan sebagai berikut. A. Kondisi sosial Kelurahan Tanah Tinggi merupakan kelurahan dengan jumlah penduduk tertinggi di Kecamatan Johar Baru. Pada tahun 2019 jumlah penduduknya mencapai 42.329 jiwa yang apabila dibandingkan dengan tahun 2018 sejumlah 42.015 jiwa, jumlah penduduk pada tahun 2019 ini mengalami kenaikan sebesar 0,33%. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu 506 jiwa migrasi datang, dan 577 jumlah kelahiran di tahun 2018. Adapun kepadatan penduduk di Kelurahan Tanah Tinggi mencapai 68.273/km2 atau 6.827.258/Ha (BPS Kota Jakarta Pusat, 2020) dan termasuk kepadatan tinggi apabila dibandingkan dengan kepadatan penduduk se-DKI Jakarta yakni 16.882 jiwa/km2. Besarnya angka kepadatan penduduk tersebut merupakan salah satu faktor pendorong timbulnya permukiman



5



kumuh pada Kelurahan Tanah Tinggi. B. Kondisi ekonomi Mayoritas penduduk di Kelurahan Tanah Tinggi bermata pencaharian sebagai pekerja lepas dan wirausaha. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Amalia & Samputra (2020) terhadap 100 responden di Kelurahan Tanah Tinggi diketahui bahwa mayoritas pendapatan perkapita penduduk Kelurahan Tanah Tinggi kurang dari Rp3.000.000 per bulan, serta hanya 3% saja penduduk yang status kepemilikan rumahnya milik pribadi. Mayoritas penduduk yang masih menyewa rumah tersebut tentunya perlu mengeluarkan biaya yang lebih besar per bulannya untuk membayar biaya sewa rumah dibandingkan dengan yang status rumahnya milik pribadi. Oleh sebab itu, apabila ditinjau berdasarkan kondisi ekonomi penduduk Kelurahan Tanah Tinggi mayoritas penduduknya masih tergolong miskin, dan menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya permukiman kumuh pada kelurahan tersebut. C. Kondisi Fisik Lingkungan Kawasan kumuh di Kelurahan Tanah Tinggi pada tahun 2020 terdiri atas 2 klasifikasi yaitu kawasan kumuh sedang yang terletak di RW 6, dan kawasan kumuh ringan yang terletak di RW 4, 7, dan 9. Kawasan kumuh di Kelurahan Tanah Tinggi ditunjukkan pada Gambar 1, dimana seluruh kawasan kumuh pada kelurahan ini tergolong pada tipologi Kawasan Kumuh Padat Perkotaan. Sementara itu, variabel yang dapat melihat pengaruh suatu kawasan menjadi kumuh dapat dilihat pada Tabel 4.



Gambar 1. Lokasi RW kumuh Kelurahan Tanah Tinggi. (Hasil Analisis, 2020) Ruang (Vol.x No. x, Tahun, pp-pp)



6



Hisan, Ayuningtyas, Susetya, Augustin, Putri & Mussadun / Ruang



Tabel 4. Variabel kekumuhan di Kelurahan Tanah Tinggi tahun 2020. (Hasil Analisis, 2020) Variabel No Gambar Kondisi Eksisting Kumuh Keseluruhan bangunan yang terdapat di kawasan ini memiliki tingkat Kepadatan kepadatan yang sangat rapat yaitu 1. bangunan sekitar 4 m2/orang, hampir tidak ada jarak antar bangunan bertetangga. Konstruksi bangunan tempat tinggal



Beberapa bangunan masih berbentuk semi-permanen yang dindingnya terbuat dari kayu atau asbes.



Pengangkutan sampah



Kondisi persampahan di Kelurahan Tanah Tinggi sudah cukup terkoordinir. Namun, di beberapa kawasan seperti RW 6, dan 12, masih banyak masyarakat yang membuang sampah secara sembarangan ke sungai maupun drainase.



Keadaan drainase/saluran air



Tergolong kurang baik karena beberapa drainase di atasnya dipasangkan kayu yang dijadikan sebagai jalan area berdagang, sehingga aliran air yang seharusnya dapat masuk ke drainase menjadi terhambat dan menyebabkan genangan ketika hujan. Tidak hanya itu, beberapa jaringan jalan lokal maupun lingkungan bahkan tidak memiliki drainase.



5.



Keadaan jalan lingkungan



Jaringan jalan lingkungan memiliki kapasitas lalu lintas yang sempit dengan lebar jalan kurang dari 3 meter dan tidak adanya trotoar/pedestrian ways.



6.



Tata letak bangunan



Pola penataan bangunan tergolong kurang teratur, terdapat bangunan yang dibangun secara liar, salah satunya diatas saluran air.



2.



3.



4.



Berdasarkan Tabel 4, dapat dilihat bahwa kawasan kumuh yang berada di Kelurahan Tanah Tinggi dapat diidentifikasi melalui beberapa indikator kelayakan huni diantaranya yaitu: 1. Kepadatan bangunan Berdasarkan variabel kepadatan bangunan, pada wilayah studi memiliki kepadatan sekitar 4 m2/orang. Hal ini tidak menunjukkan permukiman yang layak huni karena tidak sesuai dengan SNI 03-17332004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan. Standar luasan bangunan per-rumah adalah 45 m2 dengan asumsi 1 KK terdiri dari 5 orang, sehingga minimal kepadatan Ruang (Vol.x No. x, Tahun, pp-pp)



bangunan 9 m2/orang. 2. Konstruksi bangunan tempat tinggal Berdasarkan UU RI No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, struktur bangunan merupakan bangunan yang stabil dan kokoh, tidak retak-retak. Kriteria konstruksi rumah yang layak huni yaitu memenuhi persyaratan keselamatan bangunan. Selain itu juga menjamin kesehatan dari aspek pencahayaan, penghawaan atau sirkulasi udara baik dan tidak sembab, serta memenuhi kecukupan luas minimum yaitu 7,2 m2/orang - 12 m2/orang. Sedangkan ditinjau dengan keadaan konstruksi bangunan secara eksisting (lihat Tabel 4.) masih terbuat dari



Hisan, Ayuningtyas, Susetya, Augustin, Putri & Mussadun / Ruang



kayu dan asbes yang rawan terhadap iklim ekstrim seperti hujan lebat sehingga mengakibatkan kondisi rumah yang lembab dan tidak kokoh. 3. Pengangkutan sampah Kondisi sistem persampahan eksisting di Kelurahan Tanah Tinggi (lihat Tabel 4.) apabila ditinjau berdasarkan SNI 3242: 2008 tentang Pengelolaan Sampah di Kawasan Permukiman seharusnya memiliki peran serta masyarakat dalam mengelolanya yaitu dengan konsep 3R (Reuse, Reduce, Recycle), membayar iuran atau retribusi sampah setiap minggu/bulannya, menjaga kebersihan lingkungan, dan bersosialisasi dalam pengelolaan sampah lingkungan. Pada kawasan permukiman kumuh di beberapa RW ada yang telah menggunakan sistem iuran/retribusi sampah, sehingga sampah di area tersebut diangkut oleh petugas sampah dengan menggunakan truk sampah. Namun, di sebagian RW seperti RW 6 dan 12 tidak ada sistem pengangkutan sehingga masyarakat biasa mengumpulkan sampah di pinggiran jalan lalu membuangnya ke sungai atau aliran air terdekat. 4. Keadaan drainase/saluran air Saluran drainase perkotaan dapat direncanakan sebagai saluran terbuka ataupun saluran tertutup bergantung terhadap ketersediaan lahan dan keadaan alam setempat, pembiayaan, operasi dan pemeliharaan sebagaimana disebutkan dalam SNI 02-2406-1991 tentang Tata Cara Perencanaan Umum Drainase Perkotaan. Selain itu, berdasarkan SNI 02-2406-1991 juga disebutkan bahwa sistem drainase perkotaan terdiri dari saluran primer, sekunder, tersier, kuarter, dan seterusnya. Adapun standar pelayanan minimal drainase memiliki indikator yaitu tersedianya sistem jaringan drainase yang mampu mengalirkan limpasan air sehingga mencegah terjadinya genangan (lebih dari 30 cm, selama 2 jam) dan tidak lebih dari 2 kali setahun (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 01/PRT/M/2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang). Keadaan drainase eksisting di Kelurahan Tanah Tinggi (lihat Tabel 4.) sudah terdiri atas saluran drainase primer, sekunder dan tersier, serta cenderung memiliki saluran drainase tertutup. Saluran drainase tertutup tersebut sudah benar dilakukan pada daerah yang minim lahan, namun pada Kelurahan



7



Tanah Tinggi saluran drainase tertutup tersebut tidak dilengkapi dengan perawatan saluran drainase, sehingga saluran drainase tersumbat oleh sampah dan menyebabkan terjadinya banjir di Kelurahan Tanah Tinggi, terutama saat musim hujan. 5. Keadaan jalan lingkungan Berdasarkan Most Livable City Index yang dirilis oleh Ikatan Ahli Perencanaan (IAP), menunjukkan bahwa tingkat kenyamanan masyarakat kota untuk tinggal, menetap, dan beraktivitas di suatu kota, salah satunya yakni dilihat dari aspek transportasi. Indikator dari aspek transportasi tersebut dua diantaranya yaitu kualitas kondisi jalan dan kualitas pejalan kaki. Berdasarkan SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, lebar jalan lingkungan adalah ± 3-4 m, namun kondisi jalan lingkungan di Kelurahan Tanah Tinggi hanya memiliki lebar kurang dari 3 m dan beberapa jalan masih belum dilengkapi dengan pedestrian ways. 6. Tata letak bangunan Menurut Peraturan Menteri PUPR Nomor 02 Tahun 2016, tata letak bangunan harus memenuhi Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) seperti pengaturan bentuk, besaran, perletakan dan tampilan bangunan pada suatu zona. Selain itu, harus melihat pengaturan blok lingkungan, kavling, bangunan, ketinggian dan elevasi lantai, konsep identitas lingkungan, konsep orientasi lingkungan, dan wajah jalan. Pada UU RI Nomor 28 Tahun 2002, bangunan gedung yang dibangun di atas, dan/atau di bawah tanah, air, dan/atau prasarana dan sarana umum tidak boleh mengganggu keseimbangan lingkungan, fungsi lindung kawasan, dan/atau fungsi prasarana dan sarana umum yang bersangkutan. Pada kondisi eksisting orientasi bangunan mengikuti pola sirkulasi jalan, dan beberapa bangunan liar dibangun di sepanjang pedestrian ways yang seharusnya dijadikan sebagai area pejalan kaki. 4.2. Analisis Strategi Penanganan Permukiman Kumuh di Kelurahan Tanah Tinggi Penanganan permukiman kumuh di Kelurahan Tanah Tinggi dilakukan agar tercipta lingkungan permukiman yang lebih layak huni melalui strategi konsolidasi lahan. Konsolidasi lahan adalah penataan Ruang (Vol.x No. x, Tahun, pp-pp)



8



Hisan, Ayuningtyas, Susetya, Augustin, Putri & Mussadun / Ruang



kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta pengadaan tanah dalam rangka kepentingan pembangunan untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi masyarakat di dalamnya (Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991). Secara garis besar konsolidasi lahan dilakukan untuk menata kembali tanah agar pemanfaatannya menjadi lebih baik dengan menambah sarana prasarana, ruang terbuka hijau serta penataan kavling-kavling tanah milik masyarakat agar lingkungan hunian lebih berkualitas dan layak huni. Strategi penanganan ini dilakukan dengan latar belakang pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat seperti tersedianya hunian yang layak dan dilengkapi dengan sarana prasarana yang baik sebagai salah satu bentuk prinsip dari Livable City (Lennart 1997:132 dalam Makalalag et al., 2019). Konsolidasi lahan dapat diterapkan di permukiman yang padat penduduk dan kumuh terutama di pusat kota untuk dapat diubah menjadi permukiman yang layak huni dan sehat lingkungannya melalui pembangunan rumah susun (Kapoh, 2017). Mengingat Kelurahan Tanah Tinggi sendiri memiliki jumlah penduduk tertinggi di Kecamatan Johar Baru dan termasuk kepadatan tinggi apabila dibandingkan dengan kepadatan penduduk se-DKI Jakarta sehingga dianggap dapat dilakukan konsolidasi lahan. Namun para pemilik diwajibkan untuk melepas sebagian tanahnya untuk biaya pembangunan yang disebut Sumbangan Tanah untuk Partisipasi Pembangunan (STPP) untuk kebutuhan fasilitas. Strategi penanganan melalui konsolidasi lahan ini mampu menjawab permasalahan permukiman kumuh yang ada di Kelurahan Tanah Tinggi berdasarkan 5 variabel, yaitu kepadatan bangunan, konstruksi bangunan tempat tinggal, saluran air/drainase, prasarana jalan dan tata letak bangunan. Adapun pada variabel pengangkutan/pengelolaan sampah memiliki strategi yang berbeda. Konsolidasi lahan di Kelurahan Tanah Tinggi khususnya dilakukan dalam bentuk pembangunan rumah susun atau vertical building. Berdasarkan SNI 031733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, standar dibangunnya rumah susun yaitu dengan kepadatan penduduk >200 jiwa/Ha. Ruang (Vol.x No. x, Tahun, pp-pp)



Berdasarkan klasifikasi kawasan, Kelurahan Tanah Tinggi termasuk sangat padat (>400 jiwa/Ha), yaitu 6.827.258 jiwa/Ha. Melalui konsolidasi lahan, tata letak bangunan yang sebelumnya tergolong kurang teratur dapat diatasi sehingga terbentuk lingkungan permukiman yang teratur dan seimbang antara hunian dan sarana prasarana. Pada kondisi kepadatan bangunan eksisting di Tanah Tinggi sebelumnya sekitar 4 m2/orang yang mana tidak mencerminkan permukiman yang layak huni. Ketentuan dari standar luasan bangunan per orang pada rumah susun yaitu 7,2 m2 (SNI 03-2846-1992) dan dengan dibangunnya rumah susun ini konstruksi bangunan tempat tinggal akan menjadi lebih layak dari yang sebelumnya semipermanen dilakukan pembangunan dengan mengganti konstruksi bangunan dari kayu dan asbes menjadi kokoh dan lebih permanen (SNI 03-1727-1989) serta mempertimbangkan keselamatan bangunan.



Gambar 2. Ilustrasi pelaksanaan konsolidasi lahan. (Direktorat Konsolidasi Tanah, 2010)



Melalui masyarakat yang menyumbangkan sebagian tanahnya untuk kebutuhan sarana prasarana dapat menjawab permasalahan kondisi jalan lingkungan yang ada di Kelurahan Tanah Tinggi. Jalan yang sebelumnya sangat sempit (>3 m) dapat dilakukan pelebaran atau penataan kembali sesuai dengan SNI 03-1733-2004 dengan lebar jalan lingkungan adalah ± 3-4 m. Adapun pada lingkungan yang belum memiliki drainase dapat diatasi melalui strategi ini dengan membangun drainase tertutup karena lahan yang minim serta pada kondisi drainase yang tersumbat dapat dilakukan pembersihan drainase atau perawatan/pemeliharaan secara rutin setiap sebulan sekali agar tidak ada penumpukan



Hisan, Ayuningtyas, Susetya, Augustin, Putri & Mussadun / Ruang



sampah di drainase, sehingga dapat bekerja secara optimal dan tidak menimbulkan genangan atau banjir agar sesuai dengan standar pelayanan minimal drainase yaitu sistem jaringan drainase yang mampu mengalirkan limpasan air sehingga mencegah terjadinya genangan (lebih dari 30 cm, selama 2 jam) berdasarkan Peraturan Menteri PU No. 01/PRT/M/2014. Adapun pada permasalahan pengelolaan sampah khususnya di RW 6 dan 12 memunculkan strategi pengelolaan sampah skala lingkungan dengan mengadopsi sistem 3R (Reuse, Reduce, Recycle) berbasis masyarakat, dengan peningkatan nilai jual sampah melalui produk olahan seperti kompos, pakan ternak, dan produk daur ulang (kerajinan) sehingga mampu membantu ekonomi masyarakat dengan meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat. Tingkat kesadaran masyarakat yang rendah terhadap pengelolaan sampah juga dapat diupayakan dengan adanya kegiatan sosialisasi tentang pemanfaatan limbah persampahan yang benar. Strategi penanganan konsolidasi lahan mampu menjawab permasalahan aspek fisik permukiman yang ada di Kelurahan Tanah Tinggi dengan melakukan prioritas pembangunan rumah, fasilitas, kemudian diperhatikan juga aspek sosialnya dengan melakukan peningkatan partisipasi masyarakat dalam merawat atau memelihara lingkungan permukiman yang sudah dibenahi. Selanjutnya strategi pengelolaan sampah skala lingkungan dengan meningkatkan kemampuan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat tadi juga penting dilakukan, karena selain menyelesaikan permasalahan pengelolaan sampah disisi lain dapat membantu perekonomian masyarakat. Peran serta dari Pemerintah juga dapat dilakukan dengan memberikan modal dana usaha bagi masyarakat yang ingin mengembangkan usahanya namun terbatas akan modal sehingga permasalahan ekonomi juga dapat diatasi. 5. Kesimpulan Berdasarkan identifikasi yang telah dilakukan terkait kondisi sosial, ekonomi, dan kondisi fisik yang terdiri dari 6 variabel permukiman kumuh yaitu kepadatan bangunan, konstruksi bangunan tempat tinggal, pengangkutan sampah, keadaan



9



drainase/saluran air, keadaan jalan lingkungan, dan tata letak bangunan, Kelurahan Tanah Tinggi termasuk dalam permukiman kumuh yang tidak layak huni. Kondisi ekonomi yang tergolong miskin serta kepadatan penduduk yang tinggi akibat angka migrasi dan kelahiran menjadi salah satu faktor pendorong timbulnya permukiman kumuh. Selain itu, berdasarkan kondisi fisik Kelurahan Tanah Tinggi pada 6 variabel yaitu minimal kepadatan bangunan hanya 4m2/orang yng tidak sesuai dengan standar yaitu 9m2/orang, konstruksi tempat tinggal yang terbuat dari kayu dan asbes yang rawan terhadap iklim ekstrim, pengelolaan sampah buruk karena masih terdapat warga yang membuang sampah ke sungai, saluran drainase yang tersumbat, lebar jalan lingkungan yang tidak sesuai standar yaitu kurang dari 3 meter, dan terdapat beberapa bangunan liar yang dibangun di pedestrian ways. Kelurahan Tanah Tinggi yang teridentifikasi kumuh tersebut, memerlukan suatu penentuan strategi untuk menangani berbagai permasalahan permukiman kumuh yang muncul sesuai dengan konsep layak huni. Penanganan yang dilakukan melalui strategi konsolidasi lahan terkait pembangunan rumah dengan konstruksi dan fasilitas sarana prasarana yang memadai sesuai dengan standar. Penanganan tersebut dilakukan secara bertahap sesuai prioritas penanganan yang telah ditentukan. Selain itu juga dilakukan pemberdayaan masyarakat terkait dengan pengelolaan sampah dan pemberian bantuan modal usaha oleh pemerintah yang dapat membantu meningkatkan perekonomian. Strategi penangangan yang diusulkan, diharapkan mampu mewujudkan permukiman yang sehat dan layak huni. Hal ini dapat terealisasi dengan baik apabila ada kerjasama yang baik dari pihak pemerintah dan masyarakat setempat. Perlunya kesadaran masyarakat yang tinggi untuk bisa menjaga lingkungan dengan baik yang dapat di mulai dari hal yang sederhana sehingga mampu mewujudkan permukiman yang layak huni dan mampu menciptakan kenyamanan bagi semua pengguna. Referensi Amalia, L., & Samputra, P. L. (2020). Strategi Ketahanan Ekonomi Keluarga Miskin Penerima Dana Bantuan Sosial di Kelurahan Tanah Tinggi Jakarta Pusat. Ruang (Vol.x No. x, Tahun, pp-pp)



10



Hisan, Ayuningtyas, Susetya, Augustin, Putri & Mussadun / Ruang



SOSIO KONSEPSIA, 9(2), 113–1231. https://doi.org/10.33007/ska.v9i2.1792 BPS Kota Jakarta Pusat. (2020). Kecamatan Johar Baru dalam Angka 2019. Jakarta Pusat: Badan Pusat Statistik Kota Jakarta Pusat. BPS Provinsi DKI Jakarta. (2017). Pendataan RW Kumuh DKI Jakarta 2017. DKI Jakarta: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. Firdaus, F. M. (2015). Arahan Penataan Kampung Nelayan Kejawan Lor dengan Konsep Livable Settlement Pantai Kenjeran, Surabaya. Jurnal Ruang, 1(4), 201–210. Gonta, W. C., Astuti, W., & Hardiana, A. (2020). Penilaian Penerapan Konsep Livable Settlement di Permukiman Kota Surakarta. Jurnal Desa-Kota, 2(2), 186– 202. Gultom, L. H., & Sunarti. (2017). Pengaruh Penataan Permukiman Kumuh untuk Mencapai Livable Settlement di Kelurahan Tambakrejo Kota Semarang. Jurnal Pembangunan Kota, 5(2), 140– 148. Harahap, F. R. (2013). Dampak Urbanisasi Bagi Perkembangan Kota Di Indonesia. Jurnal Society, I(1), 35–45. Joenso, R. C., & Sari, S. R. (2020). Klasifikasi Kekumuhan dan Konsep Penanganan Permukiman Kumuh Perkotaan (Studi Kasus: Permukiman Lampu Satu, Merauke). Jurnal Arsitektur ARCADE, 4(2), 94–100. Kapoh, S. J. (2017). Pengaturan Konsolidasi Tanah untuk Pembangunan Perumahan Menurut UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Lex et Societatis, 5(6), 113–120. KOTAKU. (2017). Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kawasan Permukiman Perkotaan dan Peredesaan. Retrieved from kotaku.pu.go.id Kurniasari, L., Koestoer, R. H., & Suganda, E. (2018). Konsep Penanganan Permukiman Kumuh Kelurahan Kotabaru Kota Serang. Jurnal Manusia & Lingkungan, 25(2), 66–72. https://doi.org/10.22146/jml.24979 Lestari, I. D., & Sugiri, A. (2013). Peran Badan Keswadayaan Masyarakat dalam Penanganan Permukiman Kumuh di Podosugih, Kota Pekalongan. Jurnal Teknik PWK, 2(1), 30–41. Makalalag, A., Gosal, P. H., & Hanny, P. (2019). Kajian Kota Kotamobagu Menuju Kota Layak Huni (Livable City). Jurnal Spasial, 6(2), 199–121. Nawawis. (2020). Baan Mankong Jalan Lain Peningkatan Kualitas Kawasan Kumuh Perkotaan di Thailand. Retrieved from www.nawasis.org/ Nwanko, S. I. (2019). The Impact of Climate Ruang (Vol.x No. x, Tahun, pp-pp)



Change on Urban Slums in Nigeria (pp. 359–370). ResearchGate. Retrieved from https://www/researchgate.net/publication/ 334732844 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 02/PRT/M/2016 tentang Peningkatan Kualitas terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 01/PRT/M/2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang. Republik Indonesia. (2002). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Republik Indonesia. (2011). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. SNI 02-2406-1991 tentang Tata Cara Perencanaan Umum Drainase Perkotaan. SNI 03-1727-1989 tentang Perencanaan Pembebanan untuk Rumah dan Gedung. SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan. SNI 03-2846-1992 tentang Tata Cara Perencanaan Kepadatan Bangunan Lingkungan, Bangunan Rumah Susun Hunian. SNI 3242: 2008 tentang Pengelolaan Sampah di Kawasan Permukiman. UN Habitat. (2003). Slums of the World: the Face of Urban Poverty in the New Millennium. Nairobi: United Nations Human Settlements Programme. Widyastuty, A. A. S. A., & Ramadhan, M. E. (2019). Upaya Penataan Kawasan Permukiman Kumuh (Studi Kasus Kelurahan Morokrembangan Kota Surabaya). In Prosiding Seminar Nasional Pembangunan Wilayah dan Kota Berkelanjutan (pp. 166–176). Widyawati, L. (2015). Kenyamanan dan Kelayakan Huni bagi Masyarakat Permukiman Padat di Tanah Tinggi Jakarta Pusat. Kalibrasi, 10, 55–67. Zulkarnaini, W. R., Elfindri, & Sari, D. T. (2019). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permukiman Kumuh di Kota Bukittinggi. Jurnal Planologi, 16(2), 169–188.