Pendidikan Yunani Dan Romawi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



Pendidikan Yunani-Romawi Manusia berada dan diciptakan dalam sejarah. Di satu sisi, manusia menentukan perjalanan sejarah tetapi di sini lain, dalam arti khusus, manusia juga diciptakan oleh sejarah. Manusia tidak bisa berada di luar dari sejarah, sebaliknya, ia selalu berada bersama dengan perjalanan sejarah. Selain itu, ia juga menemukan dirinya sebagai ―yang bereksistensi‖ dalam sejarah dan bukan di luar sejarah. Agar perjalanan sejarah dapat bernilai maka, pertama-tama ia harus membuat dirinya bernilai di dalam dan di hadapan sejarah. Demi pencapaian tujuan inilah maka banyak orang dalam perjalanan sejarah telah terlibat dalam memikirkan, bagaimana membuat diri manusia bernilai, bermoral dan baik sehingga mengakibatkan dunia yang bernilai, bermoral dan baik. Munculah para ahli filsafat. Pertanyaan tentang filsafat dari masa ke masa menimbulkan perkembangan dan pertumbuhan yang sangat pesat, sampai menimbulkan muculnya ilmu-ilmu baru; mulai dari teologi dan sampai kepada teknologi. Salah satu ilmu yang cukup berkembang yaitu pedagogi atau yang sering disebut juga dengan edukasi atau pendidikan. Perkembangan ilmu ini juga sebenarnya telah ada sejak manusia memikirkan tentang dirinya di hadapan dirinyaa, alam, lingkungan dan bahkan Tuhan. Tetapi secara perlahan, menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri, otonom.



A. Pendiidkan Di Yunani Kuno 1. Pendidikan pada Masa Peradaban Kuno



Pada masa peradaban tua, tekanan utama pendidikan kepada manuasia ialah bagaimana cara berusaha agar manusia tidak lupa akan segala norma yang berlaku secara lisan di tengah-tengah masyarakat. Ini berlaku untuk semua peradaban tradisional sebelum



2



manusia mengenal alfabet (huruf-huruf). Dan cara yang paling ampuh untuk mengatasi kelupaan ialah melalui cerita lisan yang diteruskan kepada anak atau cucu, tentang segala aturan dan norma hidup, yang juga ―ditetapkan‖ secara lisan. Begitulah dari generasi ke generasi, manusia mendidik generasi berikutnya dengan cara bercerita.



2. Pendidikan ala Homeros dan Hesiodos



Pada masa ini, pendidikan dibagi dalam 2 bagian, menurut Homeros dan Hesiodos; yang semuanya berkembang di Yunani. Pendidikan ala Homeros (dalam Illiad dan Odisea) menekankan pada menjadi manusia ideal. Manusia ideal adalam manusia yang memiliki arete. Orang yang memiliki arete ialah orang yang memiliki kekuatan fisik seperti keberanian dan juga kehebatan untuk meraih kegemilangan dan hormat. Ini dicirikan dengan menang dalam perang, kuat, besar, tampan, bicara sopan dan baik, punya nasehat yang masuk akal, kaya dan berkuasa (ide kepahlawanan). Tujuan pendidikan ialah membuat manusia memiliki kualitas-kualitas tersebut. Selain ada dua hal yang ditekankan juga dalam arete yaitu: kemampuan dalam hal gymnastik dan musik, serta memiliki kebaikan dan keindahan. Hal yang kedua yaitu pendidikan ala Hesiodos. Pendidikan yang ditekankan Hesiodos ialah pendidikan yang membuat mereka yang dididik memiliki visi popolis (visi publik-umummasyarakat). Konsep arete dalam Homeros berkembang dari ide kepahlawanan menjadi keutamaan dalam pergulatan hiidup sehari-hari yang dialami kaum tani. Dasar moralitas dalam arete Hesiodos ialah keadilan dan kerja keras. Orang yang adil ialah orang yang bekerja keras. Kerja keras adalah jalaan satu-satunya menuju kepada keutamaan.



3. Pendidikan di Sparta dan Athena (Yunani) Pendidikan di Sparta (abad VIII – VI sm), mulai dari yang lebih humanis kepada komunitaris yang anti demokrasi. Arete bukan lagi dipahami sebagai serdadu yang



3



mengutamakan semangat patriotisme, yang dilakukan secara bebas, tetapi kegiatan pendidikan diambil alih oleh negara sebagai institusi tertinggi. Sifat pendidikan menjadi sangat tiranis, totalitarian (sedangkan di wilayah Atena, ciri pendidikan kepada masyarakat lebih demikratis, dialogis dan menghargai individu). Memang arah dan tujuan pendidikan di Sparta ialah keutamaan moral sebagai warga negara yang memiliki cinta secara total kepada tanah air, menghargai nilai kekuatan dan kekerasan, mengutamakan latihan fisik demi kesiapan tempur dan ketaatan total kepada tanah air (patria). Arete kepahlawan Homerian berubah menjadi cita-cita cinta akan tanah air, kematian demi membela tanah air adalah kematian yang indah dan membahagiaan. Kepahlawanan dalam Homerian yang lebih aristokratis berubah menjadi kepahlawanan yang sifatnya kolektif (demi orang lain-negara). Inilah awal dari kebangkitan kebangsaan atau jiwa patriotisme yang luar biasa (arete patria). Sedangkan pendidikan di Atena lebih menekankan keharmonisan. Tatanan sosial tidak didominasi militer tetapi masyarakatlah yanag mengatur kehidupan polis (kota-negara) melalui sebaauh tata sosial politik. Sipil diberi kekuasaan yang sangat besar dan luas untuk mengurus negara dan polis. Arete Homerian yang aristokratis mulai dipraktikan oleh setiap warga negara yang ingin berprestasi. Ideal kepahlawanan dalam Homerian tidak lagi hanya milik seseorang tetapi menjadi milik setiap warga polis. Persaingan kepahlawanan di medan tempur, sekarang juga berubah menjadi persaingan dalam perlombaan di Olympiade. Sekolah-sekolah yang sebelumnya milik keluarga bangsawan berubah menjadi milik publik. Pada masa inilah muncul banyak ilmu pendidikan di sekolah: gimnastik, musik, puisi, teater, dan sastra.



4. Pendidikan menurut Para Filsuf dan Socrates



Pada sekitar abad ke-5 sm, pendidikan oleh para filsuf sangat menekankan gaya bicara retoris. Manusia dididik untuk menjadi seorang retoris, kepandaian dalam bicara atau



4



berpidato. Orang dididik untuk mampu berbicara dengan baik dan logis serta bijaksana. Mereka diajar untuk menyebarkan gagasan dan pendapat, tata bahasa yang baik, teknik bicara serta retorika yang meyakinkan. Tujuan pendidikan ialah mencetak para orator ulung. Karena itu arete berkembang kepada yang sifatnya politis, arete politis, yang termanifestasi melalui kemampuan retoris yang indah. Lain dengan pendapat Sokrates. Sokrates menekankan pada ―jiwa‖. Pendidikan harus mengantar manusia sampai kepada ―penemuan jiwa‖ dan inilah yang sangat sentral dalam diri manusia. Jiwa ini setelah ditemukan harus dipelihara. Jiwa dilihat penting karena jiwa adalah sentral dari kegiatan berpikir, bertindak dan menegaskan nilai-nilai moral. Orang yang mampu memelihara jiwa ialah orang yang ―mengenal dirinya sendiri‖. Karena itu arete yang sebelumnya lebih bersifat politis berubah menjadi arete yang lebih interior, lebih kepada pengolahan dimensi moralitas manusia.



5. Pendiidkan menurut Plato (kira-kira 428-348 sM.) Dia berasal dari keluarga bangsawan dan dalam silsilah nenek moyangnya terdapat nama raja-raja kota Atena dan seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang bernama Solon. Sebagai seorang pemuda, Plato turut ambil bagian dalam Pekan olahraga yang terkenal di kota Korintus, suatu pengalaman yang memupuk minatnya terhadap bidang keolahragaan seumur hidupnya. Meskipun pengalaman itu muncul sebagai latar belakang dalam karya tulisnya, namun pengaruh yang jauh lebih penting berporos pada gurunya yang ternama, yaitu Sokrates. Sayang sekali tidak banyak yang kita ketahui tentang orang luar biasa ini. Da tidak menulis apa-apa yang diwariskan kepada kita. Hampir segala sesuatu yang terhimpun mgnjadi warisan dunia intelektual tentang Sokrates adalah akibat kesan yang timbul atas dirinya oleh muridnya, Plato. Dalam tulisan Plato seringkali Sokrates menempati kedudukan atau peranan pokok. Plato, bersama dengan satu atau dua orang lainnya,



5



membicarakan pelbagai masalah yang ditampilkan Sokrates. Bentuk tulisan-tulisan tersebut dinamakan "dialog"' meskipun dialog sebenarnya jarang sekali



terjadi, sebab Sokrates



sendiri. lah pembicara utama. Da menanyakan, memeriksa jawaban, menjernihkan jawaban dengan jalan mengajukan pertanyaan baru dan seterusnya , sampai



peserta lainnya



menentukan arti dari sesuatu yang dapat dipertahankan dan bukannya yang diterima karena merupakan semacam pendapat umum belaka yang ditelan begitu saja. Sokrates sendiri selalu mengatakan bahwa ia tidak mengetahui apa-apa, tetapi ia ingin sekali mencari kebenaran. Dalam bukunya Pokok-Pokok Filsafat Junani. Muchtar Jahja mengutip dari contoh gaya mengajar Sokrates yang dibuat oleh Guru besar JohnAdams dari Universitas Oxford. Demikianlah isinya: Socrates: "Apakah yang dimaksud dengan serangga (insect) itu? Banyak kali betul saya dengar orang memperkatakannya, hingga ingin pulalah saya hendak mengetahuinya'" Murid: "Serangga ialah binatang kecil bersayap." (Si murid yakin bahwa penjawabannya itu benar.) Socrates: Kalau begitu, tentu ayam pun boleh kita namai serangga. Sampai sekarang saya yakin bahwa ayam itu bukanlah serangga'" Murid: "Ayam bukan demikian kecilnya hingga dapat dinamai serangga. Ayam itu amat besar kalau dibandingkan dengan serangga'" Socrates: "Jadinya: Serangga ialah binatang yang amat kecil mempunyai sayap." Murid: "Betul!" Soctates: "Kalau demikian, butung pipit dapat dinamai serangga' sebab dia demikian kecilnYa." Murid:''Tidak! Burungsekali-kali tidak dapat dinamai serangga.'' Socrates: Jadinya: Serangga ialah binatang yang amat kecil, dia bersayap, tetapi bukan dari jenis burung."



6



Murid: "Benar!" Socrates: "Kemarin saya memasuki salah satu toko, di dalamnya saya melihat kaleng-kaleng kecil. Pada masing-masing kaleng itu tertulis: "Tepung Keating yang paling manjur untuk pemberantas serangga." Pada masing-masing kaleng itu juga tergambar beberapa macam binatang kecil bukan dari jenis burung, tetapi tidak ada mempunyai sayap, umpama: pijatpijat, kutu kucing dan lain-lain. Rupa-rupanya mereka salah menamakan binatang-binatang tenebut setangga, sebab masing-masingnya tiada bersayap. Adakah masuk akal serangga tidak bersayap, menurut yang telah kita tetapkan itu?" Murid: "Binatang-binatang tersebut memang serangga, semua orang tahu itu." Socrates: "Aneh, aneh. Apa pulakah arti serangga sekarang, menurut fikiranmu. Apakah sekarang kau berpendapat bahwa ―Serangga ialah binatang yang amat kecil, mempunyai sayap, bukan dari ienis burung, dan kadang-kadang tiada bersayap. Sesungguhnya perkataan ini amat berlawan-lawanan." Murid: "Celaka! Pertanyaan-pertanyaan orang ini membosankan.



Cobalah tuan sendiri



menerangkan kepada saya, apa arti serangga itu, supaya saya puas dan tuan pun puas." Socrates: "Bukankah dari tadi saya bilang padamu bahwa saya sendiri pun tidak mengetahui. Tetapi kendati pun demikian, marilah kita periksa bersamatama, moga-moga kita sampai juga kepada hakikaf yang sebenarnya. Jalan yang paling baik ialah kita ambil 3 atau 4 ekor serangga dari jenis yang bermacam-macam itu, kemudian kita perbandingkan yang satu dengan yang lain, untuk mengetahui sifat-sifatnya yang sama. Apakah serangga yang akan kita ambil?" Murid: "Mari kita ambil kupu-kupu, semut, kerangga dan kumbang." Socrates: "Bagus!" Maka diselidiki dan diperhatikanlah oleh mereka bersama+ama binatang- binatang tersebut. Sementara itu Socrates pun banyak mendatangkan pertanyaan-pertanyaan untuk pembuka



7



fikiran murid itu. Kemudian sampailah mereka kepada pengertian yang sebenarnya, yaitu "serangga iahh birutang beruas, kulitnya kesat, hgi keras, kakinya enam, mempunyai sayap, atau bekas sayap." Dengan memperhatikan contoh yang disebutkan itu kelihatan bahwa dengan memakai sistem Socrates itu murid melalui tiga tingkat fikiran, yaitu: a. Yakin yang tiada berdasar. b. Bimbang dan ragu-ragu tentang pendapatnya semula, dan ingin hendak mengetahui yang sebenarnya. c. Yakin yang berdasarkan kepada penyelidikan dan cara berfikir yang betul. Akhirnya, amat disayangkan bahwa guru yang termasyhur ini dituduh oleh musuhmusuhnya merusak akhlak pemuda dengan cara pendekatannya yang khas itu. Atas diri Sokrates dijatuhkanlah hukuman mati dan dengan tenang ia minum dari mangkok berisi racun sementara dikelilingi murid-muridnya, termasuk Plato sendiri. Apabila mutu keahlian seorang guru dapat dikenal dari hasilnya dalam diri pada muridnya, maka tentu saja Sokrateslah yang harus digolongkan di antara guru-guru yang paling besar. Kemudian Plato mendirikan sekolahnya yang dinamakan "Akademi", suatu istilah yang hingga kini masih hidup dalam banyak bahasa dan kebudayaan, termasuk Indonesia. Pikiran matang Plato tentang pendidikan dimuat dalam bukunya yang berjudul, Republik, suatu karya yang melukiskan bentuk suatu negara yang sesempurna mungkin. Untuk memimpin negara sedemikian hebat tentu saja mesti ada para pemimpin yang sudah terdidik dan terlatih sesuai dengan peranan mereka dalam negara itu. Pertama-tama ia berusaha menggarap alasan mengapa mesti ada pendidikan. Meskipun nama Plato selalu dikaitkan dengan filsafat, namun di sini ia tidak memaparkan gagasannya melalui suatu



8



pendekatan ilmiah yang rumit; ia hanya bercerita. Dalam "Kiasan tentang Suatu Gua", ia mengundang para pembacanya membayangkan suatu gua yang aneh. Beberapa orang sedang menghadap suatu dinding, semacam layar yang padanya terlihat bayang-bayang. Yang lebih aneh ialah bahwa mereka telah duduk di sana sejak kecil. Mereka terbelenggu sedemikian rupa se hingga mereka tidak dapat menoleh ke kiri atau ke kanan. Dua puluh empat jam sehari mereka terpalsa menghadap dinding dengan bayangbayangnya itu. Bagi mereka, bayang-bayang itulah satu-satunya dunia nyata. Sayang, bayang-bayang itu adalah akibat sorotan api unggunjauh di belakang mereka. Pada ruang antara orang-orang yang terbelenggu dan api unggun itu ada semacam lorong kaki lima yang dilewati orang-orang lain dengan membawa pelbagai macam barang. Para tahanan tersebut hanya melihat bentuk bayang-bayangnya saja. Kini, dalam cerita itu, Plato bertanya, "Apakah yang akan terjadi apabila salah seorang tahanan itu dilepaskan dari belenggunya serta diperbolehkan melihat seluruh tempat itu?" Dapat dibayangkan sebagian dari perasaannya. Ia amat bingung. Semua pegangan yang lazimnya dapat ia percayai telah hilang. Ia ingin sekali kembali lagi kepada belenggunya. Namun, tidak diizinkan. Ia terpaksa ke luar dari gua, lambang keamanannya. Melalui "pendidikan" yang penuhdengan kesakitan, ia berangsurangsur sadar bahwa dunia bayang-bayang dalam gua itu bukanlah dunia nyata. Berdasarkan penemuan luar biasaitu dan dengan se-mangat yang menggebu-gebu ia merasa diri diutus dengan tugas mulia untuk turun lagi ke dalam gua guna memproklamasikan penemuannya kepada iekan-rekannya. Isi proklarnasi itu ialah bahwa bayang- bayang yang memberikan arti kepada mereka dan merupakan pusat kehidupan mereka itu adalah palsu, karena dasarnya keliru sama sekali. Kenyataan yang sesungguhnya bukanlah bayang-bayang yang mereka lihat itu, melainkan benda-benda yang melontarkan bayang-bayang itu pada dinding di depan mereka. Dengan bagaimanakah keterangan yang seyogianya membebaskan



9



mereka itu akan diterima? Mereka tidak menghiraukan berita itu, bahkan mereka tidak ingin diganggu sejauh itu. Kehidupan mereka sudah cukup memuaskan. Barangkali karena rasa hormat dan penghargaan terhadap kawan mereka itu, mereka mendengar beritanya secara sopan. Namun kesabaran mereka akan berubah menjadi kemarahan, apabila pembawa berita baru itu tetap berusaha meyakinkan mereka akan kekeliruannya. Bahkan seandainya belenggu mereka dapat dilepaskan, mereka akan mengusir dia dengan kekerasan dari tengah-tengah nrereka. Seandainya ia menentang dan tidak mau enyah, kemungkinan besar nyawanya akan dikorbankan demi perasaan aman persekutuan kecil itu!. Dari isi kiasan itu, pembaca Plato diharapkan menarik kesimpulan bahwa pendidikan diperlukan untuk membimbing orang-orang meninggalkan semua bayang-bayang yang tidak berakar dalam kenyataan agar melihat serta menganut kebenaran Intinya sederhana sekali namun untuk berpaling dari segala macam bayang-bayang itu,itulah justru tugas yang paling sulit dilaksanakan. Sebabnya ialah karena manusia condong lebih menghargai keamanan pribadi meskipun dasarnya salah ketimbang membuka diri terhadap pendekatan baru, pengetahuan baru, pengertian baru dan sebagainya. Kecodongan itulah alasan mengapa nasib para nabi pada umumnya begitu buruk. ialam pada itu dapat dicatat reaksi orang kepada Sokrates, Tuhan Yesus, para nabi Israel purba bahkan modern pun. Tentu saja segala sesuatu yang baru tidak selalu lebih merupakan kenyataan dan kebenaran daripada yang lama, namun pendidikan menurut pemikiran Plato, menantang orang untuk terus-menerus menyelidiki setiap pendapat sehingga dapat menentukan seiauh mana pendapat itu sesuai dengan kenyataan baru yang sedang muncul. Itulah sebabnya kiasan tentang penghuni gua itu merupakan "musuh" dari semua ideologi yang condong menghalangi proses pembedaan antara ―bayang-bayang‖ dan "dunia nyata"' untuk menentukan mana yang paling nyata dan benar.



10



Sebelum membicarakan lebih lanjut asas-asas pendidikannya, sebaiknya kita teliti dulu salah satu buah pikirannya yang amat pelik dan sulit ditangkap. Menurut Plato, di luar dunia alam ini terdapat dunia'' gagasan". Untuk setiap benda dalam dunia yang kita kenal gagasan aslinya yang abadi ada dalam dunia ―seberang". Boleh dikatakan bahwa setiap benda merupakan semacam bayang-bayang dari gagasan asli tersebut. Dalam proses pendidikan, menurut Plato, kita dibimbing "mengingat" inti abadi dari benda-benda dalam dunia ini. Usahanya tidak pernah seratus persen berhasil, sebab tidak ada satu benda pun yang betulbetul sama dan sesuai dengan isi gagasan abadinya. Sebagai contoh dapat kita kemukakan bahwa belum pemah ada gambaran tentang seekor kuda yang dengan sendirinya dapat menyingkapkan semua arti yang terkandung dalam gagasan "kuda" itu. Dengan kata lain, harus kita akui bahwa kebenaran lengkap atau sempurna belum pernah tertuangkan dalam sesuatu gambaran yang dibuat manusia. Dalam sejarah filsafat, tekanan atas gagasan abadi itu menggolongkan filsafat plato dalam filsafat idealisme. Dalam bahasa Inggeris istilah yang lebih tepat dari idealisme ialah idea-ism "gagasan-isme"). Kemudian, "kekuatan gagasan" dalam pemikiran Plato dikaitkan dengan kata Yunani logos, yang diterjemahkan sebagai firman, kata. Asas itu masih hidup sebagai istilah yang sama artinya dengan ilmu pengetahuan, misalnya biologi, arkheologi, teologi. Tentang hubungan penggunaan persis istilah logos dalam ayat pertama dari Injil Yohanes dan artinya dalam filsafat Yunani, para sarjana belum sepaham, namun pada umumnya diakui ada hubunganNya. Yang penting untuk maksud kita ialah bahwa Plato sangat menghargai kemungkinan-kemungkinan yang terdapat dalam akal manusia dan ia bermaksud menolong sesamanya berpikir secara rasional. Tetapi penitikberatannya itu tidak berarti bahwa Plato ingin menganggap manusia sebagai otak saja. Ia berusaha supaya orang dididik secara berimbang, dan tujuan ini dilambangkannya dengan istilah Yunani aner kalos k'agathos, yang berarti manusia yang indah dan berkebajikan.



11



Harus kita sayangkan bahwa "manusia" di sini terbatas artinya. Memang, menurut Plato, baik pria maupun wanita berhak menerima pendidikan, tetapi ia kurang mampu membayangkan pengalaman belajar yang sama mendalram bagi semua orang. Yang termasuk dalam subyek pendidikan itu ialah anak-anak dan muda-mudi dari kaum atasan. orang'orang lainnya dapat dilatih untuk melaksanakan pelbagai tugas yang diperlukan oleh masyarakat, tetapi latihan itu bukanlah pendidikan, sebab pendidikan rnencakup perkembangan manusia sebagai keutuhan. Orang-orang yang terdidik akan menjadi para pemimpin masyarakat, atau dalam kata-kata Plato, mereka akan menjadi raja-raja yang mampu berpikir filosofis. Tentang ruang lingkupnya,terdapat tiga bagian pokok, yaitu perkembangan emosi, tubuh, dan akal. Pertama-tama, emosi para anak didik harus dikembangkan melalui musik dan ceritacerita yang memperlihatkan manusia atau dewa-dewi dalam kegiatan yang bajik. Semua cerita yang mengemukakan kelakuan dewa-dewi atau orang-orang yang kasar, kejam, dan sebagainya, tidak boleh dibaca atau didengar. Musik pun turut mengembangkan emosi. Ketiga unsur musik, yaitu kata-kata, lagu dan iramanya perlu disesuaikan satu sama lain sehingga anak didik terdorong untuk mencapai kehidupan yang berbudi tinggi. Tetapi tidak semua musik dapat memenuhi tugas itu. Ada musik yang menghantar orang untuk mengalami kebajikan; musik yang tidak demikian harus ditolak. Selanjutnya, tubuh setiap pelajar harus dilatih. Dengan demikian, olahraga memainkan peranan penting dalam pendidikan yang ditekankan Plato. Kaum terpelajar memerlukan tubuh yang kuat dan yang berdisiplin. Tubuhnya perlu dilatih agar mampu menahan kesulitan, bahkan tantangan yang dialami seorang prajurit. Diharapkan bahwa seorang yang terpelajar akan mampu menguasai tubuhnya, dan bukan sebaliknya.



12



Pengalaman ketiga yang perlu untuk mengembangkan seorang yang berbudi tinggi, mencakup semua ilmu yang menantang akal misalnya ilmu ukur, ilmu pasti, ilmu dintang tlan dialektika. Pendekatan yang terakhir inilah yang dikembangkan secara teliti oleh Sokrates. Oleh karena negara memerlukan pemimpin yang sanggup menetapkan dan meneruskan nilai-nilainya maka pendidikan dianggap sebagai tanggung jawab negara tetapi negara yang dimaksud Plato bukanlah yang demokratis. Plato tidak mempunyai kepercayaan cukup tinggi terhadap khalayak ramai untuk melibatkan mereka dalam proses penentuan kebijakan Negara. Dalam pada itu Plato juga "terpenjara" dalam zamannya. Sungguhpun demikian, penglihatannya atas kemungkian yang terdapat dalam akal manusia amat mendalam dan asasnya berlaku bagi semua orang yang mampu dan mendapat kesempatan untuk belajar. Pada dasarnya, Plato menekankan penndidikan untuk ―mencetak seorang filsuf pemimpin‖. Kritik Plato kepada kepada pemikiran pendidikan sebelumnya: ―mereka yang menjalani pendidikan hanya untuk mengejar sukses, kehormatan, dan popularitas ialah pendidikan yang tingkatnya rendah sekalai. Menurut Plato, pendidikan yang dilakukan harus menghantar orang kepada pengenalan dan penghayatan makna kebaikan dan keadilan serta kebenaran. Manusia harus mempau memelihara keharmonisan dari jiwanya dengan cara memelihara keharmonisan negara, kebahagiaan dunia dan kebahagiaan yang mengatasi dunia. Dan ini hanya dapat dimilki oleh seorang filsuf. Seorang filsuf harus mampu memikirkan kebahagiaan dunia dan yang mengatasi dunia serta mampu hidup dengan orang lain dalam alam demokratis.



13



6. Pendidikan menurut Aristoteles (384-322 seb. M) Aristoteles lahir di desa Stagira, negeri Thrakia, yaitu bagian utara Yunani modern sekarang. Ayahnya adalah seorang dokter dan pengalaman Aristoteles dalam rumah ayahnya rupanya sangat mempengaruhi caranya meninjau dunia sekitarnya. Di kemudian hari kegemarannya ialah menggambarkan sifat-sifat pelbagai jenis makluk hidup dan benda dari dunia alam. Pada tahun 367 SM., ia pindah ke Atena dan memasuki akademi Plato. Di sana dia belajar bekerja selama 20 tahun yaitu sampai Plato wafat, gurunya yang termasyur itu. Empat tahun kemudian, yaitu tahun 343, Aristoteles dipanggil menjadi guru pribadi putra Filipus, raja Makedonia. Pada waktu itu putra yang bernama Iskandar baru tiga belas tahun umurnya.yaitu sampai ia dipanggil ayahnya melaksanakan pelbagai tugas kemiliteran. Meskipun tidak ada dokumen yang menggambarkan sifat pendidikan yang diterima Iskandar itu, namun Aristoteles rupanya telah menanamkan dalam diri anak didiknya kehausan akan pengetahuan dan cara meneliti apa saja yang ditemuinya dengan seksama. Di kemudian hari Iskandar sebagai raja dan jenderal (prestasi yang dihormati para pengikutnya dengan gelar ―Agung‖), menyebarkan kebudayaan Yunani ke semua daerah yang berhasil ditaklukkan tentaranya, yaitu dari Yunani sampai ke Mesir sebelah selatan, kemudia ke India bagian timur. Iskandar mendirikan sebuah perpustakaan dan museum di kota Iskandaria di Mesir, dua lembaga yang tidak dikenal duniaYunani sebelumnya. Kalau keberhasilan Iskandar ini dipandang dari segi bangsa yang di taklukkan tentaranya, maka mereka mungkin akan lebih senang seandainya pendidikan yang diterima Iskandar di bawah bimbingan Aristoteles tidak seunggul itu! Pada tahun 334, Aristoteles kembali lagi ke kota Atena dan mendirikan kotanya dalam suatu gedung Lyceum, suatu ruang olahraga yang merupakan bagian dari kulil Appolos. Kemudian sebagaimana nama sekolah Plato, yaitu Akademi, terus hidup sebagai



14



istilah untuk banyak macam perguruan tinggi, demikianlah pula nama sekolah Aristoteles itu diambil ahli sebagai nama untuk tempat-tempat di mana orang membahas topic dan tema yang penting. Dalam taman Lyceum itu Aristoteles condong berjalan hilir-mudik sambil berbicara dengan para murid tentang berbagai ilmu dan masalah tertentu. Berdasarkan kebiasaan Aristoteles ini, maka gaya mengajarnya membuat sekolah itu dikenal sebagai sekolah ―peripatetis‖, suatu kata kerja yang diambil dari kata erja Yunani peripatein, yang artinya berjalan-jalan. Di sana ia mengajarkan logika, ilmu alam, ilmu hayat, ilmu bintang, ilmu jiwa dan etik. Ruang lingkup yang luas ini menunjukkan kepandaiannya. Dalam abad pertengahan di Eropa Barat kurikulumnya hidup kembali dalam bentuk yang dikenal sebagai Ketujuh Pokok Seni Liberal (Septem Ars Liberales). Pengaruh Aristoteles atas dunia cendikiawan amat besar, sungguhpun pelbagai selukbeluk tertentu dari ilmunya tidak sesuai lagi dengan hasil penyelidikan modern, namun banyak istilah ilmia yang dipakai Aristoteles masih dipakai dalam dunia ilmu pengetahuan dewasa ini. Tulisan-tulisannya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan kemudian ke dalam bahasa-bahasa Eropa Barat. Di sana, khususnya pada Universitas Paris, gagasannya diamnil-alih oleh Prof. Thomas Aquino yang mengolahnya ke dalam bentuk baru. Dengan system pengajarannya dia berusaha menyesuaikan pandangan Aristoteles dengan iman Kristen. Sistem intelektual itu masih berlaku dalam pemikiran teologi Gereja Katolik Roma. Pandanagan Aristoteles terhadap pendidikan dapat di simpulkan dari isi dua karya utamanya, yaitu Etika Nikomania dan Politik. Bagi dia, pendidikan termasuk kegiatan yang insani yang mempunyai maksud utama, yaitu menolong orang mencapai kebahagiaan (eudaimonia). Pepintas lalu, tujuan itu amat dangkal sabagai titik akhit kegiatan manusia, karena ia condong mencakup sikap hidup yang berporos pada diri pribadi saja, dalam arti



15



kebutuhan dan keinginannya, sedang dipenuhi dan sebaliknya kepentingan masyarakat tidak begitu dihiraukan. Tetapi bukan begitu maksud Aristoteles. Intinya jauh lebih mendalam seperti yang Nampak dalam alinea panjang berikut yang membahas masalah ― Apa itu yang paling baik?‖: Bagaimanakah Yang Baik seharusnya kita rumuskan, sehingga berlaku bagi semua jenis upaya manusia? Barangkali Yang Baik itu dapat kita rumuskan sebagai sesuatu demi mana manusia melakukan segala sesuatu lain. Jadi, apabila ada sesuatu yang menjadi tujuan akhir dari segala sesuatu yang dilakukan, maka seyogianyalah hal tersebut kita anggap Yang Baik –atau seandainya terdapat beberapa tujuan akhir seperti itu, maka hasil keseluruhannyalah yang seharusnya kita anggap Yang Baik. Tetapi sekarang ternyata bahwa ada berbagai tujuan yang menjadi sasaran kegiatan kita, namun apabila kita pilih beberapa di antaranya – misalnya kekayaan atau alat music suling dan peralatan-peralatan pada umumnya—selaku saran untuk sesuatu yang lain, maka jelaslah bahwa tidak semuanya merupakan tujuan akhir, sedang Yang Paling Baik itu seyogianyalah merupakan sesuatu yang mutlak. Dengan demikian, apabila ada satu hal yang dari dirinya sendiri sudah merupakan tujuan akhir, maka itulah yang Paling Baik yang kita cari itu… Ditinjau dari sudut ini, maka kebahagiaaanlah yang merupakan sesuatu yang mutlak, sebab kebahagiaan itu selalu kita pilih demi kebahagiaan itu sendiri dan bukan sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang lain. Memang, kehormatan, kesenangan, kecerdasan, keunggulan dalam pelbagai macam bentuknya kita pilih juga demi kepentingannya… Jadi, jika disimpulkan, maka kebahagiaan selaku sesuatu yang mutlak dan lengkap dalam dirinya, adalah Tujuan dan Sasaran utama dari semua kegiatan kita.) Lebih lanjut Aristoteles menjernihkan arti kebahagiaan itu selaku penggunaan semua kemungkinan dalam diri seseorang yang dapat diserasikan dengan kebajikan. Tetapi



16



kebajikan itu bukanlah harta milik yang disimpan dalam ―bank‖, melainkan suatu mutu yang perlu diamalkan terus-menerus sepanjang hidupku. Kalau kita menerima bahwa kebahagiaan adalah tujuan hidup dan arena itu tujuan pendidikan juga, maka bagaimanakah tujuan tersebut dapat dicapai menurut pemikiran Aristoteles? Pertama'tama, sebagai dasar pendidikannya, ia menitik-beratkan pentingnya pancaindera manusia. Sama seperti halnya dengan ribuan orang lainnya, maka ia juga mengamati kecondongan anak-anak kecil untuk menyentuh benda'benda, mencium bunga, mengamati dunia sekitarnya, mendengar suara anggota-anggota keluarga, meresapi maknanya dan seterusnya. Secara otomatis anak-anak melibatkan dirinya dalam kegiatan demikian. Oleh karena itu guru hendaknya mengembangkan tugas belajar yang sesuai dengan minat pembawaan itu. Sejak kecil si anak berangsur-angsur belajar membedakan antara pelbagai pengalaman, sampai ia mampu menyesuaikan kelakuannya dengan akibat kegiatan tertentu. Apabila ia menyentuh kompor panas, tangannya segera ditarik kembali. Kemudian kompor itu akan menjadi tanda dari kesakitan tadi. Singkatnya, ia belajar dari pengalamannya. Berdasarkan pengamatan itu fuistoteles menarik kesimpulan, bahwa pendidikan melalui kebiasaan harus mendahului pendidikan melalui akal. Dengan kata lain, baik-buruknya sesuatu orang dipelajari melalui apa yang dialaminya. Sehubungan dengan ini Aristoteles menulis: Kita tidak memperoleh kesanggupan melihat dengan cara melihat terus-menerus dan kita juga tidak mendapat kesanggupan mendengar dengan cara mendengar terus-menerus, melainkan justru sebaliknya. Oleh karena kita mempunyai kemampuan melihat dan mendengar, kita mulai memanfaatkannya. Kita tidak memperoleh pancaindera tersebut dengan jalan mempergunakannya. Lain sekali halnya dengan kebajikan. Kita memperoleh kebajikan sebagai akibat bertindak secara bajik . . . Kita menjadi orang-orang yang adil dengan cara bertindak adil menjadi berani dengan cara berbuat berani . Oleh karena itu,



17



apakah kita terlatih sejak kecil dengan kebiasaan ini atau itu merupakan sesuatu yang amat penting.



Jadi, para pelajar hendaknya dituntun dan dianjurkan untuk bergaul dengan anakanak, muda-mudi dan orang dewasa yang berbudi tinggi. Subyek pergaulan itu bukan anggota keluarga atau teman-teman saja, melainkan termasuk juga tokoh-tokoh yang muncul dalam drama, cerita, kitab suci, dan yang aktif dalam masyarakat sebagai rohaniwan, pemimpin politik dan dramawan dan seterusnya. Oleh karena itu, salah tugas seorang guru ialah untuk menolong murid-muridnya meningkatkan diri menjadi sama dengan-orang yang berbudi tinggi. Jika kebiasaan berbudi itu telah terbentuk atau lebih tepat apabila dikatakan "sedang terbentuk" dalam diri mereka, maka para pendidik pun wajib memperhatikan perkembangan kemampuan nalar para pelajar. Aristoteles sendiri mendorong murid-muridnya uniuk meneliti dunia alam sekitarnya, menggolongkan keterangan yang diperoleh dari usaha itu dan kemudian menarik kesimpulan berdasarkan hasil penelitian itu, atau dalam kata-kata Aristoteles sendiri: Oleh karena itu harus kita periksa kesimpulan yang dikemukakan murid dengan menguji menurut data-data tertentu. Apabila kesimpulan tersebut sesuai dengan data itu, maka ia dapat diterima. Kalau tidak, maka ia harus kita anggap hanya satu teori. Selanjutnya, Aristoteles ingin melibatkan para muridnya dalam kegiatan mengambil keputusan etis, dalam arti bahwa mereka harus belajar bagaimana mempertimbangkan pelbagai kemungkinan etis dan akhirnya memilih keputusan yang paling sesuai patokan "kebahagiaan"yang disebut tadi. Persoalannya ialah bagaimana caranya orang dapat menemukan ukuran yang dapat dipercaya? Menurut Aristoteles kuncinya ialah "jalan tengah kencana" (golden mean) sebab dalam pengalaman sehari-hari jarang sekali ditemukan ukuran



18



mutlak tentang perilaku yang tepat dalam semua keadaan. Pendekatan yang lebih serasi ialah memilih jenis perilaku di tengah-tengah dua kemungkinan yang saling berbeda yang mirip dua kutub perilaku yang bertentangan, misalnya jalan tengah antara kepengecutan dan nekad secara membabi buta ialah kebenaran antara kemalasan dan nafsu adalah ambis; antara kerendahan hati dan kesombongan ialah kesederhanaan. Apabila para murid mendekati keputusan tersebut secara obyektif, maka mereka condong menjauhkan diri mereka dari segala segala kemungkinan yang bersifat keterlaluan. Mereka sedang menyerasikan diri juga dengan irama alam dunia; mereka sedang mengalami kebajikan moral dan baru boleh mendapat gelar "terpelajar". Meskipun Aristoteles mempertahankan siasat memilih ―jalan tengah kencana‖ sebagai pedoman mengambil keputusan etis, ia akui juga bahwa asas itu tidak berlakuuntuk semua macam perilaku. Sebabnya ialah karena ada prilaku yang selalu salah, misalnya mencuri, membunuh dan berzinah. Semua perilaku tersebut dianggap salah, dan bukan kekuranganatau keterlaluan di dalamnyayang membuatnya menjadi salah. Siapa saja yang membunuh, berzinah takkan kunjung diangap berbuat baik karena tidak ada keadaan dalam mana perilaku tersebut merupakan suatu kebaikan. Apabila pendidikannya berhasil sesuai dengan yang dimaksud maka si pelajar sudah mencapai kesempurnaan insane yang terbuka bagi manusia. Perilakunya menampilkan suatu pribadi yang berbudi tinggi yang bijaksana dan yang mampu melihat hubungan-hubungan yang sejati. Singkatnya, ia boleh dianggap seorang yang terpelajar, seorang yang berbahagia.



B. Pendidikan pada Zaman Romawi



Selama 5000 tahun sejarah yang tercatat, pendidikan di rumah, gereja, atau sekolah telah merupakan cara penting untuk menyebarkan tradisi-tradisi dan pengetahuan praktis



19



kepada generasi-generasi yang berikutnya. Hal ini dapat dicontohkan oleh binatang yang mengajarkan kebiasaan-kebiasaan dan ketrampilan-ketrampilan kepada anak-anak mereka melalui peniruan dan disiplin karena belajar adalah perlu bagi kelangsungan hidup dalam satu lingkungan yang bermusuhan. Akan tetapi hanya manusia yang telah menemukan berbagai sistem pendidikan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang sangat penting dan mencapai tujuan pribadi maupun tujuan sosial.



Perkembangan bahasa telah memungkinkan manusia dalam masyarat yang paling primitif sekalipun untuk menambah peniruan dan disiplin dengan pelajaran-pelajaran lisan tentang keselamatan dan tugas-tugas ekonomi. Akan tetapi bagi para penguasa yang terdorong oleh ambisi politik mereka menggunakan program-program pendidikan untuk memajukan kepentingan-kepentingan kebangsaan mereka. Para pemimpin agama dan para ahli filsafat yang megabdi kepada cita-cita moral telah berusaha untuk menuntun masyarakat mereka ke arah standar-standar hidup dan kebudayaan yang tinggi melalui pendidikan. Bangsa Romawi adalah bangsa yang praktis. Perkembangan kerajaan itu mula-mula menghendaki pejuang-pejuang. Kemudian mereka pandai pula membentuk kerajaan yang kuat. Jadi pada mulanya bangsa Romawi itu belum memperhatikan pendidikan mereka, mereka hanya memperhatikan tentang kenegaraan yang sifatnya perjuang dan kerajaan yang kuat untuk mempertahankan negara



Pada zaman Romawi, pendidikan juga merupakan salah satu sumber dalam meningkatkan derajat peradaban yang telah ada pada zaman sebelumnya, yaitu pada zaman Yunani. Orang-orang Romawi mampu meningkatkan derajat peradaban bangsanya melalui pemikiran yang pragmatis. Pada zaman Romawi kuno, ilmu pendidikan itu lebih difokuskan pada keahlian dalam berbicara atau berpidato (Orator), retorika, karya-karya satra, teknik perang dan administrasi pemerintahan.



20



Pada masa peradaban tua tekanan utama pendidikan kepada manusia ialah bagaimana cara berusaha agar manusia itu tidak lupa akan segala norma yang berlaku secara lisan di tengah-tengah masyarakat. Ini berlaku untuk semua peradaban tradisional manusia mengenal alfabeth. Dan cara yang paling ampuh untuk mengatasi kelupaan ialah melalui cerita lisan yang diteruskan kepada anak dan cucu, tentang segala aturan dan norma hidup tang juga diterapkan secara lisan. Begitulah dari generasi ke generasi, manusia mendidik generasi berikutnya dengan cara bercerita.



Pada pendidikan Romawi lama, pendidikan dimulai pada usia anak-anak tujuh tahun. Kebiasaan anak laki-laki dan perempuan didik di rumah, untuk kebiasaan baik dalam pembicaraan dan perbuatan. Setelah bertambah umurnya, mereka diajarkan berburu, berlari, melompat, melempar bola dan tombak kuda serta menunggang kuda dan berenang. Jadi yang penting bagi pendidikan anak Romawi adalah yang berguna, yang menguntungkan negara, menjaga agama dan kesusilaan. Yang menjadi tempat pendidikan adalah rumah tangga sendiri dan yang menjadi pendidik adalah orang tua mereka sendiri. Tujuan dari pendidikan ini adalah untuk membentuk manusia yang selalu siap sedia berkorban membela kepentingan tanah airnya. Yang diutamakan benar-benar adalah pembentukan warga Negara yang cukup sebagai tentara. Adapun pendidikan tidak menjadi tugas negara, yang dipentingkan adalah jasmani dan kesusilaan.



1. Pendidikan pada Peradaban Helenistik



Di bawah pemerintahan Alexander agung, kebudayaan yunani telah menyebar keseluruh penjuru dunia. Berkembanglah corak kebudayaan baru yang dinamakan kebudayaan Hellenisme, yakni perpaduan unsur –unsur budaya Yunani dengan Romawi. Sekitar abad ke-4 SM, dimulailah periode Hellenis, di mana kebudayaan Romawi mulai masuk ke Yunani. Pertemuan kedua kebudayaan ini kemudian mempengaruhi juga



21



pendidikan di Yunani. Idealisme manusia tidak hanya ditemukan dalam individu (Yunani) : dalam pemeliharaan jiwa Sokrates, dalam keterlibatan ala Plato manusia yang memiliki arete adalah manusia yang berada dalam sebuah dunia yang tergabung secara global melalui berbagai macam kebudayaan dunia. Pemahaman ini membuka kepada kepada ide humanitas. Akhirnya pendidikan pada masa ini bergeser kepada pendidikan yang berciri humanitas. Inilah paideianya ala Romawi. Pada masa ini juga muncul berbagai displin ilmu seperi matematika (Euklides), fisika (Archimedes), astronomi (Aristrakus), geografi (Erastisfene), dan lain-lain. Lewat kebudayaan helenis, paideia Yunani berubah menjadi humanitas yang sedalam-dalamnya.



2. Pendidikan pada Peradaban Romawi dan abad pertama dari Republik Romawi



Pada masa ini paideia Yunani mulai berkembang dan mempengaruhi pendidikan di Romawi. Tekanan utama pada paideia Romawi yang baru (yang tidak ada sebelumnya) ialah : peranan penting tradisi dan keluarga dalam pendidikan. Pendidikan di Roma pada abadabad sebelum masehi ialah dibentuk melalui keluarga dengan cara menghormati apa yang disebut dengan mos maiorum dan sistem pater familias.



Materi dasar bagi pendidikan adalah seperti mengutamakan kebaikan tanah air, la pietas (devosi), la fides (kesetiaan), la grafitas (kualitas hidup) dan la constantia (stabilitas). Semua orang yang didik harus diarahkan kepada manusia yang mempunyai keutamaan seperti 4 hal tersebut, dan ini harus dibentuk sejak orang berada di dalam keluarga.



3. Pendidikan pada Peradaban Cicero



Pendidikan pada peradaban ini berkisar 106-43 SM. Cicero telah mencapai ketenaran dalam berbagai bidang. Ia dikenal sebagai seorang yang ahli pidato besar, seorang ahli filsafat, seorang pengacara yang sangat cakap, seorang penulis yang sangat ulung dalam latin,



22



seorang penulis surat-surat yang mempesonakan, dan seorang pendidik. Karena kepandaiannya yang beraneka ragam dan pengetahuannya mengenai bidang-bidang praktis dan



kruktural,



maka



ia



sangat



dihormati



oleh



para



cendikiawannya



sendiri.



Cicero dan keluarganya tinggal di suatu kota di Italia. Sebagai seorang pemuda, Cicero belajar baik dengan guru pribadi maupun sekolah-sekolah romawi. Pada usia tujuh belas tahun, ia menerima latihan militer dalam tahun 89 SM, ia secara terpuji berdinas dalam tentara Romawi. Selama usia dua puluhan ia berpraktek sebagai ahli hukum untuk beberapa waktu, tetapi kemudian karena alasan kesehatan berpergian ke Athena Rhodes dan Asia Kecil, dan selama itu pula ia mempelajari retorika dan filsafat di bawah bimbingan guru-guru terkemuka. Dalam karir sebagai pejabat negara Cicero secara terus menerus terlibat dalam konflikkonflik dan kekerasan politik Romawi. Ia pernah menduduki jabatan-jabatan tinggi, menuntut para pejabat yang korup, sehingga ia mempunyai banyak musuh dan dalam tahun 43 SM, ia dijatuhkan hukuman mati.



Karya dan pengaruh Cicero dalam dunia pendidikan telah banyak memberikan sumbangan pemikiran kepada pendidikan dan filsafat demi kemajuan rakyatnya. Pada abab ke empat belas dan lima belas, gagasan dan pemikiran Cicero tentang pendidikan banyak sekali tertuang dalam hasil-hasil karyanya dan kumpulan pidato-pidatonya digunakan sebagai contoh untuk mengajarkan pemakaian bahasa secara efektif dan filsafat oleh para cendikiawan di seluruh Eropa. Cicero juga telah memberikan dorongan yang hebat untuk mempelajari tulisan-tulisan Yunani dan Romawi kuno terhadap unsur-unsur kebudayaan Renaisance. Renaisance itu sendiri adalah salah satu akibat yang dibawa oleh perang Salib, yang memungkinkan berpindahnya kembali kekayaan intelektual kuno ke tanah Eropa. Cicero bukanlah seorang ekstrimis tetapi ia lebih menyerupai seorang tokoh yang yang ingin melestarikan cita-cita dan nilai-nilai tradisional yang berasal dari ahli-ahli filsafat Yunani.



23



4. Pendidikan Pada Peradaban Quintilian



Peradaban ini berkisar dari tahun 35-95 M. Tujuan dari pendidikan pada peradaban ini adalah menjadi pembicara atau orator. Aspek pedagogi sudah harus dimulai pada tahun pertama masa kanak-kanak, ada keyakinan dalam semua diri manusia, menekankan juga pada kualitas pendidikan keluarga, pendidikan sebelum sekolah formal, nasihat didaktik kepada bacaan dan tulisan, telah adanya sekolah privat dan publik, guru retorik, mengembangkan talenta dan bakat natural dan menjadi seorang orator sempurna. Sudah terdapat tiga tingkat pendidikan yang ditawarkan oleh Quintiliano, yaitu Primaria, Secondaria, dan Superiore. Quintilian adalah seorang pendukung yang bersemangat bagi pendidikan sekolah umum. Warga-warga yang mampu mempunyai pilihan antara mempekerjakan guru-guru pribadi di rumah atau mengirimkan putra-putra mereka ke sekolah-sekolah dengan membayar uang sekolah. Pada suatu waktu ketika korupsi merajalela di antar pegawai-pegawai negeri dan profesi lainnya, orang tua mungkin lebih menyukai mendidik anak-anak mereka di rumah daripada mengambil resiko pergi sekolah teman-teman yang tidak diinginkan. Quintilian memperdebatkan bahwa kelakuan yang jahat dapat dipelajari dengan mudah di rumah, sedangkan suatu sekolah dapat mempekerjakan seorang guru terbaik bagi kelompok besar siswa dan dengan demikian mencegah atau mengoreksi kebiasaan-kebiasaan yang buruk, sementara mengajarkan hal yang pokok secara lebih efisien daripada guru-guru di rumah. Quintilian menentang hukuman badan berdasarkan alasan bahwa seorang guru yang efisien dapat mendisiplinkan para pemuda secara lebih baik. Memukul seorang pemuda hanya akan memperkerasnya saja, membuat benci dan kejam, dan menciptakan ketidakhormatan daripada menghormati gurunya. Para pemuda secara jujur diberi pujian bagi prestasi-prestasi mereka dan dikritik untuk tingkah laku mereka yang tak baik dan kesalahan-kesalahan mereka. Seorang guru harus memperlihatkan itikad baik dan perhatian kesulitan-kesulitan dan kemajuan para siswa.



24



Dengan nama Quintilianes ini kita belajar kenal dengan dunia dan pemikiran praltis yang lazimnya dikaitkan dengan orang-orang Romawi, dan kesan yang umum dianut orang ini tidak meleset. Mereka mencapai keunggulan dalam administrasi negara. Mereka membangun gedung-gedung besar, sebagian masih berdiri sampai sekarang. Orang-orang Romawi kuno itu mengembangkan pelbagai pelayanan yang diperlukan, agar suatu negara berfungsi lancar, seperti sistem pos, perhubungan darat dan laut, angkatan bersenjata yang menjamin keamanan, dan paling penting, mereka memelopori suatu sistem hukum yang masih merupakan dasar hukum dalam kebanyakan negara modern, khususnya yang dipengaruhi langsung oleh Eropa Barat dan Amerika Utara. Quintilianes berasal dari Spanyol dan berusaha memperbaiki pendidikan dari segi praktisnya. Agak menarik untuk dicatat bahwa Quintilianes adalah guru Romawi pertama yang diangkat sebagai guru Rhetorika (seni bicara di depan umum) yang dibayar dari kas negara! Sesudah mengajarkan ilmu pidato selama 20 tahun, ia meletakkan jabatannya dan mengarang karyanya yang ternama, Institutia Oratoria (Pengajaran tentang Asas ilmu Pidato) yang terdiri dari dua belas jilid. Dalam karya tersebut, ia menjelaskan asas-asas yang diperlukan untuk mampu berbicara di depan umum. Apabila kita bertanya, mengapa justru mata pelajaran itulah yang yang merupakan vak pokok bagi anak didik Romawi, maka harus diingat bahwa keterampilan tersebut diperlukan untuk sejumlah fungsi kenegaraan dahnr hcrajaan Romawi. Barangsiapa pandai berpidato, dapat menolong



orang-orang lain



memperoleh keadilan melalui lembaga-lembaga negara. Juga, pejabat-pejabat negara di daerah jajahan harus mengungkapkan gaagsan secara fasih sebagai keterampilan dasar. Antara pendekatan Plato-Aristoteles dan Quintilianes terdapat perbedaan yang mencolok. Kedua pendidik Yunani itu menjelaskan gagasan yang luas dan mendalam tentang pendidikan, sedang Quintilianes memilih suatu ruang lingkup yang jauh lebih terbatas, yaitu



25



mengajar orang-orang memperoleh salah satu keterampilan praktis. Pendekatan manakah yangpaling cocok antara kedua pendekatan itu, masih merupakan pokok perdebatan sampai kini. Kalau pada waktu itu ditanyakan, siapakah yang paling dihormati, seorang filsuf atau seorang yang fasih berbicara di depan umum, maka jawabannya akan cenderung memihak kepada orang-orang terpelajar yang mampu berbicara dengan fasih tentang sejumlah masalah. Namun status para filsuf tetap tinggi, meskipun mereka tidak langsung tamping dalam gelanggang kenegaraan. Quintilianes ingin mencapai dua hasil sekaligus. Ia mau mengubah masyarakat dengan jalan dengan meningkatkan keterampilan berpidato. Akibatnya, ia juga mengharapkan bahwa seorang pembicara akan dijunjung tinggi oleh rakyat. Ia menulis: ―Filsafat dapat dipalsukan tetapi kepandaian berpidato tidak.‖ Artinya orang-orang dapat member kesan seolah-olah kepandaian mereka betul-betul mendalam, meskipun mereka hanya melaporkan hasil pemikiran yang terdapat dalam buku-buku saja. Lain sekali halnya dengan orang-orang yang berpidato. Pada saat ia mengungkapkan gagasannya, terampil atau tidaknyaia berpidato langsung kentara. Ia tidak dapat menipu para pendengarnya. Barangkali Quintilianes menitik-beratkan keterampilan berpidato karena kecenderungan kaum cendekiauntuk tidak melibatkan diri dalam urusan Negara, atau dengan kata lain, ia kurang sabar terhadap orang yang tidak mampu mengamalkan pengetahuannya dalam lingkungan luas sosialnya. Ia tidak meremehkan pengtingnya pengetahuan sebagai dasar untuk bertindak dalam keadaan praktis. Itulah sebabnya mengapa dalam jadwal kurikulumnya , disamping latihan berpidato, juga terdapat mata pelajaran ilmu alam, filsafat, hokum-hukum negear, kebudayaan, music, latihan olahragadan agama. Sebagai akibatnya, diharapkan bahwa seorang siswa ilmu berpidato akan belajar juga untuk menjadi seorang yang berbudi tinggi. Bagi Quintilianes terdapat hubungan berpidato.



yang ertasekali antara kebajuikan dan kepandaian



26



Saya bukan hanya menitik-beratkan bahwa seorang ahli pidato yang ideal hendaknya dikenal sebagai seorang yang budiman, melainkan lebih dari itu lagi, saya katakana bahwa tidak ada seorang pun yang boleh dianggap seorang ahli pidato pidato kecuali dia memiliki budi yang tinggi.



Pada dasarnya pergumulan Quintilianesialah masalah mencari pendidikan yang melatih atau melengkapi orang-orang sehingga mampu melaksanakan tugas yang diperlukan masyarakat dengan lebih sempurna. Dalam prose situ ia condong mempersempit usahanya dengan cara menitik-beratkan salah satu keterampilan di atas semua yang lain. Ia menisbikan (merelatifkan) kepentingan belajar berpikir tanpa waspada terhadap kemungkinan isi sesuatu pidato kurang logis dan mendalam, meskipun di ucapakn secara amat memuaskan. Sungguhpun demikian, Quintilianes telah



memberi sumbangan yang besar bagi



perkembangan ilmu pendidikan. Ia memperlakukan setiap anak didik sebagai seorang pribadi yang perlu dihormati. sikap ini lain sekali dari praktek yang lazim pada zaman itu, di mana sekolah-sekolah bertitik-tolak dari praduga bahwa anak-anak tidak begitu berbeda dari orang dewasa kecuali dalam tinggi dan berat badannya. Para pendidik tidak merencanakan tugas belajar yang sesuai dengan kemampuan khusus setiap golongan umur, seperti dilakukan Quintilianes. Ia yakin bahwa suatu tugas yang terlampau sulit bagi seorang murid usia 7 tahun, dapat ditunda, misalnya sampai satu tahun atau lebih. Kalau tidak, maka kemungkinan negatif akan timbul dalam diri si anak, bahwa dia seorang yang gagal atau minatnya terhadap pelajaran itu sendiri akan merosot. Berhubung dengan kecenderungannya mengandalkan metode menghafal, Quintilianes sebenarnya belum begitu memelopori sesuatu yang haru. Menurut warga ternama Roma ini, semua bahan yang dipelajari tidak perlu dipahami keseluruhannya pada saat itu juga. Nanti si



27



pelajar dapat lrronginjat kembali pelbagai kalimat, gagasan dan sebagainya, untuk memenuhi pemahaman itu. Kesan-kesan yang diterimanya selama bahan ltu dihafalkan akan mempengaruhi perilakunya secara positif. Di sini ia mengusulkan suatu pendekatan yang sama sekali tidak didukung penyelidikan modern. Quintilianes ingin memanfaatkan pengaruh tekanan dari anak-anak lain yang sebaya. Bakat seorang anak dikembangkan dalam kelompok belajar itu, karena di sana ia belajar baik dari kegagalan maupun dari prestasi anak-anak lain. Semangat belajar lebih tinggi karena anak yang bersangkutan tidak mau kalah. Apabila salah seorang anak menyelesaikan kewajiban sesuai dengan harapan gurunya, maka sebaiknya prestasi itu diumumkan kepada semua yang lain. Pengumuman demikian akan meningkatkan harga diri anak yang dipuji itu dan sekaligus mendorong rekan-rekannya untuk bekerja lebih rajin lagi. Kebalikan dari pujian ialah bermacam-macam hukuman, termasuk yang menyakiti hati dan badan murid-murid. Para guru zaman itu banyak memukul murid-muridnya sebagai siasat/mengendalikan perilaku. Quintilianes menolak cara mengajar seperti itu. Pertamatama, tindakan itu menghina diri si pelajar. Kedua, apabila si anak hanya dapat dikendalikan dengan pukulan, maka hukuman itu sendiri tidak akan berhasil memenuhi maksud yang semula, karena anak bisa terbiasa atas tindakan keras semacam itu. Lebih



parah lagi,



kekerasan itu condong menunjukkan kegagalan guru itu sendiri. Kalau guru melakukan tugasnya sebagaimana semestinya, tindakan keras seperti itu tidak akan diperlukan. Lebih lanjut, Quintilianes mencatat suatu tinjauan yang perlu dipuji oleh siapa saja yang membina anak-anak. Mereka ini " . . . agak tak berdaya dan terlampau gampang dikorbankan. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang boleh diberikan kuasa yang tidak terbatas atas diri mereka itu". Masih ada satu alasan lain lagi mengapa para guru harus menjauhkan diri dari kekerasan. Pengalaman di sekolah hendaknya mengembangkan keinginan dalam diri setiap murid untuk bertindak dengan budi yang tinggi, meskipun tidak ada tokoh berkuasa yang



28



mengharuskan perilaku demikian. Sekolah hendaknya memupuk gaya swadaya dalam diri anak, suatu prestasi yang mustahil terjadi di bawah ancaman hukuman saja. Quintilianes sadar akan pentingnya waktu senggang atau waktu ketika para pelajar boleh bersantai. Apabila asas ini tidak dihiraukan, anak-anak akan cepat lelah dan bosan dalam tugas belajar mereka. Bagi anak-anak kecil, permainan mempunyai peranan yang serupa. Dia juga mengemukakan suatu pengertian yang baru tentang jabatan guru itu senairi. Gambarannya tentang sifat seorang guru masih amat menarik sampai sekarang: Ia hendaknya mempunyai sikap keibu-bapaan terhadap murid-muridnya dan memandang dirinya sebagai wakil orangtua. Kepadanya anak-anak mereka dipercayakan. Ia harus bebas dari segala macam keburukan dalam pribadinya dan juga tidak membiarkannya dalam diri orang lain. Ia harus bertindak tegas tetapi tidak keras; ia harus ramah-tamah tetapi jangan terlampau akrab, sebab kekerasan itu menyebabkan dia kurang populer dan keakraban menimbulkan rasa kurang hormat murid-muridnya terhadap dia. Pembicaraannya harus berporos pada yang baik dan mulia; semakin banyak menegur mereka, akan membuat keperluan menghukum semakin berkurang. Ia harus mengendalikan kecondongan menunjukkan kemarahan tanpa menutup mata terhadap kekurangan yang perlu dikoreksi. Gaya mengajarnya jangan bersifat pura-pura; kerajinannya harus nampak. Ia harus menuntut banyak secara konsekuen dari kelasnya, tetapi tidak terlalu banyak. Ia harus rela menjawab pertanyaan dan juga mengajukan pertanyaan kepada para murid yang condong tetap diam saja. Bila ia memuji prestasi seseorang, maka biarlah ucapan itu jujur tetapi juga tidak berlebihan. Sebabnya ialah karena yang pertama akan mengurangi hasrat bekerja, sedang yang kedua mengakibatkan perasaan puas diri. selama ia mengecam kesalahan, jangan kentara dalam suaranya sindiran tajam, khususnya suara yang



29



memperkecil martabat pribadi si murid, sebab kecaman demikian memberi kesan bahwa murid-murid tidak disukai dan condong mengurangi kerajinan. Ia wajib berpidato di depan kelas setiap hari, agar murid-muridnya memperoleh manfaat dari ucapannya. Bagaimana pun besarnya jumlah contoh dari sumber tertulis yang diharapkan bakal ditiru mereka, namun suara hidup, khususnya dari gurunya, merupakan "gizi" yangjauh lebih kaya, sebab apabila mereka diajar sebagaimana semestinya, dia akan dikasihi dan dihormati. Sudah rahasia umum bahwa kita semakin meniru kelakuan orang-orang yang kita sukai. Dengan cara bagaimanakah kita mengukur sumbangan Quintilianes ini? Ulich memberikan penilaian berikut: Kalau dibandingkan dengan karya teori pendidikan lainnya, maka tidak banyak yang sama terperinci, dan dalam beberapa hal sama mulia seperti hasil Quintilianes. Apabila ilmu pendidikan dipandang sebagai suatu sistem siasat yang berguna untuk mengajar secara teratur dan berhasil, maka dalam sejarah pendidikan ia harus dianggap salah seorang yang paling pandai . Semua orang, termasuk para pendidik progresif dan modern dapat memperoleh manfaat dari sumbangannya sehubungan dengan usaha me-ngajar seorang pelajar yang berbakat secara konsekuen dan seksama. Di pihak lain, dalam pemikiran Quintilianes terdapat kekurangan yang mencolok pula. Ia berusaha meningkatkan suatu nilai yang nisbi, yaitu kefasihan berpidato, menjadi suatu nilai yang mutlak. Namun, karyanya lebih berpengaruh di luar kawasan dan zamannya. Pada tahun 1410 M., Institutionya ditemukan kembali dalam biara Santo Gall, Swis, oleh seorang humanis yang bernama Poggio. Pada zaman itu gerakan yang memihak kepada manusia itu sedang berusaha menggantikan sistem pendidikan kaku yang berlaku pada waktu itu dengan sesuatu yang lain, tetapi contohnya belum ada. Untunglah bagi gerakan itu, bahwa karya



30



Quintilianes diperoleh sebagai sumbangan yang dapat memenuhi kcbutuhan yang dicari. Da memuji mata pelajaran yang oleh mereka justru diharapkan akan dimasukkan dalam kurikulum, antara lain musik, sastra, puisi. Kaum humanis itu juga bermaksud meningkatkan kemampuan mengungkapkan gagasan-gagasab secara lisan. Niat ini pun diperkuat oleh karya Quintilianes. Di samping itu mereka juga sadar akan harkat dan martabat setiap pribadi, dengan salah satu akibatnya bahwa mereka juga ingin mengurangi perlakuan keras dari guru terhadap murid. Pada Abad pertengahan dan awal zaman Reformasi kita akan bertemu kembali dengan nama Quintilianes. Separuh judul karya. Pokoknya akan diambil alih oleh sejumlah pengarang lainnya, termasuk Yohanes Calvin dengan Institutionya yang termasyur.



C. Kesimpulan Pada



makalah



ini,



kesimpulan



yang



kami



ambil



adalah



:



 Pendidikan pada zaman Yunani dan Romawi lama sangat dipengaruhi oleh hasil pemikiran beberapa tokoh pendidikan dan filsafat pada zaman tersebut.  Paham Yunani memfokuskan pada pada tekanan utama pada kultur dan ilmu pengetahuan. Ciri khas pendidikan Yunani adalah Paidea Humanitas ( semua manusia dididik untuk memenuhi sikap prikemanusiaan kepada sesamanya).  Pendidikan pada zaman Yunani dimulai pada usia 7 – 19 atau 20 tahun. Ilmu yang dipelajari antara lain: matematika, geografi, botani, medis, dan stroriografi. Selain itu telah ada pembagian tingkatan sekolah: sekolah dasar, menengah, dan lapangan gymnasium tempat untuk pertandungan olahraga.



31



 Pendidikan pada zaman Romawi memfokuskan pada keahlian berbicara didepan umum atau berpidato ,yang menitik beratkan pada pemakaian bahasa secara efektif yang menjadi dasar kurikulum tersebut.  Pendidikan pada zaman Romawi, harus dimulai pada tahun pertama masa kanak-kanak, yang lebih menekankan pada kualitas pendidikan keluarga, pendidikan prasekolah formal, nasehat didaktik pada bacaan dan tulisan, telah adanya sekolah privat dan publik, guru retorik, mengembangkan talenta dan bakat natural dan menjadi orator utama.



D. Saran Dengan mempelajari pendidikan pada zaman Yunani dan Romawi lama ini, kami menyarankan agar pendidikan anak pada saat ini dimulai dari keluarga dan dilakukan oleh kedua orang tua. Sehingga pada usia tujuh tahun sampai dua puluh tahun, anakanak lebih siap dalam psikis maupun fisik untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Selain mempelajari ilmu matematika, botani, medis, geografi, storiografi, filologi dan astronomi, anak-anak juga diarahkan untuk mengoptimalkan kemampuannya dalam berkomunikasi di depan umum.



DAFTAR PUSTAKA Boehlke, Robert R., 1991, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta. Lavine, T. Z., 2002, Petualangan Filsfata: Dari Socrates ke Sarte, Penerbit Jendela, Yogyakarta Peterson, Charles H., 1970, Western Philosophy, Volume I: 600 B.C. to 1600 A.D. Cliff’s Note, Nebraska.



32