Penelitian Ketersambungan Sanad [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENELITIAN KETERSAMBUNGAN SANAD Oleh: Dr. Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, MA. Disajikan dalam Kegiatan Pelatihan Penelitian Hadis (Kelas Intermediate) Yang diselenggarakan oleh Sekolah Takhrij Darus-Sunnah Ciputat Timur, 28 Oktober 2017



Ilmu Yang Diperlukan dalam Penelitian Sanad Sebelum melakukan penelitian sanad secara keseluruhan, ada beberapa cabang ilmu hadis yang perlu untuk diketahui, agar dapat dengan mudah mengoperaionalkan penelitian sanad. Dalam kaitannya dengan status dan jenis periwayatan, ada Ilmu riwayah. Dalam hal ini perlu digunakan untuk membaca metode periwayatan seorang rawi melalui simbolsimbol yang ada dalam sanad. Di antaranya adalah, Ilmu Kaifiyat al-Riwayah, Shiyagh al-Ada’ wa al-Tahammul. Dalam kaitannya dengan periwayat, ada ilmu rijal hadis. Berdasarkan kegunaannya dapat dibagi lagi menjadi dua, yaitu ilmu untuk mengetahui ketersambungan sanad, dan ilmu untuk mengetahui kualitas periwayat. Untuk mengetahui ketersambungan sanad, diperlukan pengenalan cabang ilmu rijal hadis, di antaranya ilmu tabaqat, ilmu al-asma, ilmu al-ansab, ilmu al-wafayat, ilm awthan alruwwat, ilmu rihlah fi thalab al-hadits, dan mu’jam al-syuyukh. Sedangkan dalam kaitannya dengan kualitas periwayat, dibutuhkan cabang ilmu rijal hadis yang berupa ilmu al-jarh wa al-ta’dil. Masing-masing cabang ilmu tersebut memiliki bank data yang dapat dijadikan sebagai sumber utama penelitian sanad. Setiap data harus terkoneksi satu sama lain agar hasilnya pun dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, setiap data dalam masing-masing cabang ilmu tersebut bersifat saling melengkapi satu sama lain. Dalam melakukan penelitian sanad, seseorang tidak bisa hanya mengandalkan salah satu ilmu di atas atau hanya mengandalkan salah satu kitab/referensi dalam rumpun ilmu di atas. Istilah-istilah Penting dalam Studi Ittishal Sanad Sebelum mengenal lebih jauh tentang apa itu ittishal sanad dan bagaimana mengetahuinya, penting untuk terlebih dahulu untuk mengetahui beberapa konsep dasar ittishal sanad. Isttishal atau ketersambungan sanad adalah suatu kondisi di mana sanad hadis dinyatakan bebas dari inqitha’ (keterputusan). Masalah ittishal menjadi masalah paling mendasar dalam kesahihan hadis. Suatu ucapan, perbuatan, ketetapan, atau karakter baru akan sah disebut sebagai hadis jika disandarkan (nusiba, udlifa) kepada Nabi dengan sistem yang disebut sanad. Keabsahan sanad merupakan syarat utama bagi beberapa objek tersebut untuk dapat disebut sebagai hadis sahih. Sedangkan keabsahan sanad sangat bergantung pertama-tama kepada ketersambungan sanad, dan kedua kepada kompetensi dan integritas para periwayatnya. Jika semua itu terpenuhi secara sempurna, pasti kesahihan suatu hadis dapat dinyatakan sempurna, tanpa cacat suatu apapun (salim min al-syudzudz wa al-‘illah).



1



Sanad adalah serangkaian nama periwayat yang menghubungkan antara kita dengan sumber hadis, yaitu Nabi (marfu’) khususnya, maupun sumber lain seperti sahabat (mauquf) dan tabi’in (maqthu’). Dalam sanad umumnya terdiri dari dua komponen dasar, yaitu nama periwayat dan simbol periwayatan. Serangkaian nama yang tidak disertai dengan simbol periwayatan, tidak akan disebut sebagai sanad. Begitu pula sebaliknya, hanya serangkaian simbol periwayatan tanpa nama periwayat juga tidak akan bermakna. Jarak antara kita saat ini di Indonesia dengan Nabi di Arab pada empat belas abad lebih yang lalu membuat suatu kata tidak akan dapat terekam. Jangankan empat belas abad, dalam hitungan detik sekalipun, suatu kata pernyataan yang tidak tertulis akan hilang begitu saja jika tidak direkam dengan baik. Dengan demikian, sanad adalah teknologi perekam tercanggih bagi hadis Nabi pada masa tradisi lisan hingga awal masa tradisi tulis. Ketersambungan sanad ibarat ketersambungan pita kaset yang mampu merekam suara dan menyampaikannya ke berbagai generasi. Dalam konteks teknologi terkini, isnad adalah ibara kabel data yang menghubungkan antara memori perekam suara kepada device yang mampu menyampaikan ulang kepada kita di suatu waktu berikutnya. Dengan demikian, keterputusan sanad menjadi sebab tidak berfungsinya memori. Jika demikian, sebagus apapun kualitas memori perekam, jika penghubung utamanya terputus maka tidak akan terbaca sama sekali. Perhatikan ilustrasi sanad berikut ini: Munqati’ Mursal



Nabi



Sahabat (R1)



Muallaq



Mu’dhal



Tabiin (R2)



T. Tabiin (R3)



Rawi 4



Rawi 5



Mukhrij



Kita tsabt



Akhir sanad



Muttashil



Awal sanad



Sebagaimana telah disebut di atas, bahwa yang dimaksud sanad muttashil adalah sanad yang tidak mengandung keterputusan. Dalam hal ini, pada umumnya sanad hadis terdiri dari tiga rangkai periwayat atau lebih. Sangat jarang sanad muttashil yang jumlah rangkaian periwayatnya kurang dari tiga orang. Ini karena Asumsinya adalah, kitab hadis tertua disusun pada masa Malik bin Anas. Pada umumnya, sanad Malik adalah MalikNafi’Ibnu Umar. Atau, sanad al-Zuhri misalnya, al-ZuhriSalimIbnu Umar. Dalam konteks sanad yang sangat pendek (‘ali) seperti ini, jika terputus di awal sanad, yaitu di level Nafi’ misalnya dapat disebut sebagai mu’allaq. Hanya saja, pada masa Malik, istilah tersebut belum dikenal. Atau seandainya Nafi’ dan Ibnu Umar tidak disebutkan, di mana saat ini disebut sebagai mu’dhal karena ada dua periwayat yang tidak disebut secara berturut-turut, pada masa Malik masih disebut Balaghat, karena biasanya disimbolkan dengan balaghani. Khusus untuk nama Ibnu Umar, jika tidak disebut maka telah dikenal istilah mursal. Hanya saja, pada masa itu, hadis mursal (sanadnya terputus di level sahabat) masih dapat dijadikan hujah, namun tidak demikian halnya pada masa-masa setelah Malik. Seiring dengan perkembangan zaman, di mana tidak semua hadis telah dibukukan oleh seorang mukhrij, periwayatan lisan (al-riwayah al-mubasyirah) pun masih berlangsung, bentuk sanad semakin memanjang (nazil). Konsep-konsep kunci tentang keterputusan sanad pun semakin berkembang. Mulailah bermunculan istilah-istilah baru selain mursal, seperti mu’allaq, mu’dhal, munqathi’, mudallas, dan mursal khafi. Masing-masing memiliki tingkat



2



implikasi hukum yang berbeda-beda, meskipun sama-sama berkualitas lemah dan tidak otoritatif. Keterputusan di awal sanad disebut mu‘allaq. Ini berlaku ketika seorang mukharrij tidak menyebutkan nama gurunya, melainkan langsung menyebut kakek guru. Istilah ini juga berlaku ketika seorang mukharrij membuang seluruh sanad hadis, dan langsung menyebut nama sahabat misalnya, atau bahkan langsung menyebut bahwa Nabi bersabda. Padahal, jarak antara dia dengan Nabi terpaut lima generasi. Dalam Sahih al-Bukhari, hadis mu’allaq dapat dengan mudah dijumpai, yaitu ketika al-Bukhari memulai penyajian hadis dengan redaksi Qala Fulan, bukan dengan Haddatsani, akhbarani, atau anba’ani atau yang sejenisnya. Keterputusan yang kedua adalah jenis mu’dhal, yaitu ketika dalam sanad terdapat minimal dua orang periwayat yang tidak disebutkan secara berturut-turut. Jika hanya terdapat satu saja yang terputus, di tingkat manapun, maka disebut sebagai munqathi’. Pada prinsipnya, istilah munqathi’ adalah istilah yang umum. Ia mencakup semua jenis keterputusan sanad. Semua jenis keterputusan sanad dapat dengan mudah dikenali, hanya dengan mengandalkan data-data tahun dan/atau data tempat periwayat, kecuali mudallas dan mursal khafi. Keduanya adalah keterpusan yang paling sulit diungkap karena bentuk keterputusannya tidak jelas. Dari data tahun dan tempat, keduanya sangat memungkinkan bertemu dan saling meriwayatkan. Namun, pada kenyataannya tidak demikian. Istilah-istilah inilah yang akan kita gunakan nantinya untuk mengidentifikasi keterputusan sanad. Jika ada, maka tinggal kita tentukan jenisnya berdasarkan bukti-bukti yang ada. Jika tidak ada sama sekali, maka sanad hadis dapat dinyatakan muttashil.



Kriteria Ittishal Sanad Untuk menyatakan ketersambungan (ittishal) sanad, terlebih dahulu kita harus mengenal kriterianya. Ada dua kriteria ketersambungan sanad, yaitu pertama perjumpaan dan periwayatan langsung, dan kedua hidup semasa dan kemungkinan terjadinya pertemuan. 1. Tepat dalam Menentukan Setiap Periwayat Nama periwayat adalah langkah pertama dan utama yang harus ditempuh untuk mengkaji sanad. Jika tidak melalui tahap ini, lalu seseorang langsung melangkah kepada tahap ittishal ataupun al-jarh wa al-ta‘dil, maka sangat dimungkinkan terjadi kekeliruan, salah sasaran atau salah orang. Oleh karena itu, perlu sekali terlebih dahulu mengenai identitas diri periwayat, mulai dari nama lengkapnya, nama panggilannya (laqab), nama kuniahnya, nasab, dan nisbatnya. Seorang pengkaji atau peneliti sanad harus mahir dan jeli membaca nama periwayat. Betapa banyak orang yang tidak jeli karena merasa bahwa serangkaian nama yang panjang itu dianggap tidak penting dan tidak menggambarkan informasi besar. Perlu diketahui bahwa ada beberapa cara yang berlaku dalam ilmu riwayah hadis untuk menyebut nama-nama periwayat dalam sanad. Adakalanya dengan cara ibham (mubham), adakalanya dengan cara yang jelas (musamma). Cara kedua pun memiliki banyak ragam,



3



yaitu ada yang muhmal dan ada yang mu‘ayyan. Berikut adalah beberapa cara penyebutan nama yang perlu diketahui oleh peneliti sanad, yaitu: a. Penyebutan nama tanpa nisbat sama sekali, seperti Abdullah, Sufytan, Yahya, Mansur, Ibrahim, Qutaybah, al-Laits, Hunaidah, dll. b. Hanya disebut kuniyahnya saja, seperti Abu Hazim, Abu Isa, Abu Bakr, Abu Hurairah, Ibn al-Munkadir, Ummu Salamah, Ibnu Umar, dll. c. Hanya disebutkan nisbatnya saja, seperti al-Zuhri, al-Ghazali, al-‘Asqallani, al-Baghdadi, al-Nakha’i, dll. d. Disebutkan nama asli dan nasabnya baik itu kepada ayah kandungnya seperti alMu’tamir bin Sulaiman al-Taimiy; kepada kakeknya seperti Ahmad bin Hanbal (aslinya Ahmad bin Muhammad bin Hanbal) dan Yazid Khushaifah (aslinya Yazid bin Abdullah bin Khushaifah); Kepada kakeknya kakek atau leluhurnya Ibnu Syihab yang juga nama populer untuk al-Zuhri (aslinya Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab); kepada ibunya seperti Ibnu Maryam, Ibnu Aisyah; Kepada salah satu nenek leluhurnya, dan selainnya. Oleh karena itu harus jeli membaca nama, tidak boleh asal disebutkan nasabnya sebagai putera dari Fulan, lalu pasti dipahami bahwa itu adalah anak dari Fulan tersebut. Di sinilah pentingnya mempelajari Ilmu Ansab. e. Disebutkan gelar, julukan atau nama lain yang populer (laqab), seperti al-A‘masy, alA‘raj, al-Afthas, al-Akhfash, al-Dlarir, al-Dlahhak, dll. f. Namanya dinisbatkan kepada paman, bibi, saudara, atau kerabatnya yang lain, seperti Ibnu Akhi Zainab (Keponakan Zainab), Imra’ah Abdillah (istri Abdullah), Zainab Imra’ah Ibn Mas‘ud (Zainab, istri Ibnu Mas‘ud), Imra’ah Hunaidah (Istri Hunaidah), dll. g. Dinisbatkan kepada kuniyah ibunya, biasanya polanya adalah Ibnu Ummi Fulan, seperti Ibnu Ummi Maktum. h. Tidak disebutkan namanya sama sekali, alias mubham seperti Ba’dl azwaj al-Nabi (sebagian istri Nabi), Ba‘dl Ash-hab Mu‘adz (sebagian murid Mu’adz), Rajul (seseorang), imra’ah (seorang perempuan), al-tsiqah (seorang yang terpercaya dan kompeten), dll. Ilmu Asma` menjadi ilmu yang paling berguna untuk kajian ini. Dalam tahap ini, kita harus terlebih dahulu memastikan tidak ada ibham maupun ihmal.1 Jika terjadi ibham, maka solusinya adalah mencari tanshish ulama, atau perbandingan sanad. Tidak ada cara lain yang lebih kuat dari cara tersebut. Sedangkan jika terjadi ihmal, maka di samping melalui du acara tersebut juga dapat dilakukan dengan analisis naskah bioografi secara komprehensif. Misalnya, dengan melihat siapa guru dan muridnya, melihat tahun dan tabaqatnya, melihat daerahnya, melihat profesinya, dan aspek-aspek lainnya. Dalam hal ini, kaidah ittifaq-iftiraq,



1



Ibham atau mubham adalah ketika ada seorang periwayat yang tidak diebutkan namanya sama sekali, baik itu nama asli, nama kuniyah, nisbat, maupun laqab. Misalnya, hanya disebut Fulan, Rajul, Imra’ah, Ash-hab Fulan, ‘an al-tsiqah, ‘an al-shaduq, dan sejenisnya. Sedangkan ihmal atau muhmal adalah kondisi di mana seorang periwayat hanya disebut namanya saja, namun masih ambigu, multi tafsir, karena banyak orang yang menggunakan nama tersebut. Misalnya, haddatsani Muhammad, dari Sufyan, dari Abdullah, dan sejenisnya. Nama-nama tersebut tidak disertai dengan nama ayah, kakek, nisbat, atau identitas lainnya. Nama-nama tersebut tentunya juga menjadi nama banyak orang. Kondisi tersebut tidak legi menjadi muhmal jika memang telah masyhur di kelompok ahli hadis, bahwa ketika disebut al-Bukhari misalnya, maka pasti yang dimaksud adalah al-Bukhari yang menyusun kitab Sahih al-Bukhari, bukan al-Bukhari yang lain.



4



taqdim-ta’khir (qalb), I’tilaf-ikhtilaf, ziyadah-naqsh (tashhif dan tahrif) menjadi penting dilakukan. Kajian ini mirip dengan kajian awal filologi pernaskahan. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh sanad berikut ini dan juga teks biografi beberapa periwayatnya.



‫ عن أبي هريرة رض ي‬،‫ عن أبي حازم‬،‫ عن منصور‬،‫ حدثنا سفيان‬،‫ حدثنا محمد بن يوسف‬:‫قال البخاري في صحيحه‬ .‫ من حج هذا البيت فلم يرفث ولم يفسق رجع كيوم ولدته أمه‬:‫ قال النبي صلى هللا عليه وسلم‬:‫هللا عنه قال‬ Dalam sanad tersebut setidaknya ada beberapa nama yang disebut secara muhmal, yaitu Sufyan dan Manshur, Abu Hazim dan Abu Hurairah. Dua nama pertama muhmal karena tidak disebut nama pembedanya, baik itu kuniyah, maupun nisbat, laqab, atau nasab. Nama Sufyan dan Mansur di-ihmal (dijadikan muhmal, berbeda dengan Muhammad yang disebutkan jelas nasabnya maupun kuniyahnya seperti Abu Hazim) adalah kerena popularitasnya yang tinggi di kalangan ahli hadis masa itu. Namun, karena bagi kita, orang belakangan yang mengkaji hadis ini, kedua nama tersebut menjadi sulit dikenali, mengingat ada banyak nama periwayat yang sama. Memang, terdapat kaidah populer bahwa jika disebut nama Sufyan, maka yang dimaksud adalah Sufyan bin Uyainah atau Sufyan al-Tsauri. Kasusnya akan menjadi berbeda lagi jika dalam sanad ini digunakan nama Ibnu Uyainah atau nama al-Tsauri sebagai pengganti dari Sufyan, maka pasti dapat dikenali dan bebas dari



ihmal.



Sementara itu, dua nama terakhir hanya disebutkan kuniyahnya saja. Sebenarnya penyebutan kuniyah seperti ini sudah menjadi pembeda dari orang lain yang memiliki kesamaan nama asli dengannya. Hanya saja, karena orang yang bernama Abu Hazim dan Abu Hurairah juga tidak satu, hal itu tetap dapat dikategorikan sebagai muhmal. Adakalanya muhmal itu sangat mudah diidentifikasi, seperti nama Abu Hurairah, karena telah jelas di tingkat sahabat, hanya ada satu Abu Hurairah. Sedangkan nama Abu Hazim jika kita telusuri dalam salah satu klitab biografi, Tahdzib al-Thadzib misalnya, akan kita dapat beberapa orang yang memiliki nama Abu Hazim. Kondisi demikian ini bukanlah sebuah kesalahan dalam periwayatan. Ini adalah soal keterbatasan pengetahuan kita sebagai peneliti, jadi kondisi demikian sebenarnya tidak mempengaruhi kesahihan sanad, kecuali bagi orang yang tidak mampu mengenalinya sama sekali sehingga membuatnya menghukumi periwayat tersebut menjadi majhul. Lalu, bagaimanakah cara menentukan periwayat yang namanya masih muhmal seperti itu? Ada beberapa langkah penting untuk studi naskah biografi agar nama-nama dalam sanad dapat dikenali dengan baik, khususnya ketika terjadi kasus ibham maupun ihmal seperti di atas, yaitu: a. Melihat nama guru atau muridnya dalam sanad lalu dikroscek nama guru dan murid tersebut ke dalam daftar guru atau murid yang ada di naskah biografi sang periwayat. Misalnya, dalam kasus sanad di atas, nama Sufyan yang masih belum jelas apakah Ibnu Uyainah atau al-Tsuari, dapat dipastikan melalui pengecekan terhadap nama guru atau murid yang ada dalam sanad. Dalam biografi kedua orang yang bernama Sufyan tersebut dilihat, siapa yang memiliki guru bernama Manshur, dan juga murid bernama Muhammad bin Yusuf. Terkadang hanya dapat ditemukan salah satunya saja, namun hal itu tidak menjadi masalah.



5



b.



c.



d. e.



Jika cara pertama tidak berhasil, karena ternyata keduanya memiliki guru dan murid yang sama dengan yang disebut dalam sanad, maka dapat menggunakan pendekatan tahun, tabaqat, daerah asal, dan data pendukung lainnya. Jika yang disebut adalah laqab saja, maka dapat merujuk langsung ke kitab-kitab yang khusus mendaftar laqab-laqab saja, seperti kitab Kasyf al-Niqab ‘an al-Asma’ wa alAlqab karya Ibn al-Jauzi, atau Nuzhat al-Albab fi al-Alqab karya Ibnu Hajar al-Asqalani. Jika ternyata ada dua orang atau lebih yang memiliki laqab yang sama, maka cara pertama dan kedua dapat lakukan kembali. Atau, biasanya para ulama ahli biografi (ulama al-rijal) mencantumkan laqab, kuniyah, nisbat, dan nasab seperti itu pada bagian akhir kitab-kitab biograri (kutub al-tarajim, kutub al-rijal) yang mereka tulis. Misalnya, di bagian akhir tahdzib al-Kamal dan Tahdzib al-Tahdzib, setelah nama periwayat berawalan huruf “ya”, ada Bab al-Asma’ wa al-Kuna, Bab al-Ansab, Bab al-Alqab, Bab fi Man Nusiba ila Abihi aw ummihi, au jadiihi, dll. Merujuk kitab-kitab Athraf dan kitab-kitab Takhrij, biasanya para penyusun jenis kitab ini menjelaskan juga nama-nama yang musykil dan mubham tersbebut. Melalui perbandingan riwayat, dengan mengumpulkan terlebih dahulu seluruh jalur periwayatan hadis. Kadang, dalam satu sanad, suatu hadis hanya menyebut nama periwayat secara mubham atau muhmal, namun di sanad lain atau oleh mukharrij yang lain, nama tersebut disebutkan secara detail (mu‘ayyan).



2. Periwayat Benar-benar atau Dimungkinkan Bertemu Langsung dengan Gurunya



(Tsubut wa Imkaniyyat al-Liqa’)



Pada dasarnya ukuran yang sebenarnya bagi ketersambungan sanad adalah kepastian bahwa seorang periwayat mendengar langsung dari gurunya. Namun, hal itu sangat sulit dibuktikan, kecuali melalui pengakuan salah satu atau kedua belah pihak yang terlibat aktif dalam periwayatan atau melalui kesaksian seorang ahli. Kriteria yang paling mendekati ukuran tersebut adalah imkaniyyat al-sama‘ (kemungkinan mendengar dari seorang guru). Pada era periwayatan lisan seperti itu pun, hal itu masih terbilang sulit dipastikan. Oleh karenanya, hal yang paling memungkinkan untuk mewakili itu semua adalah kriteria Imkaniyyat al-liqa’ (kemungkinan terjadinya pertemuan antara seorang guru dengan murid). Dalam hal ini, tingkat kemungkinan pertemuan tersebut dapat diketahui melalui beberapa metode, yaitu: a. Metode Tanshih Metode ini adalah metode yang paling kuat, yaitu melalui ketetapan ulama yang menjadi saksi ahli kehidupan seorang periwayat. Untuk mempermudah mengidentifikasi tanshish, perlu terlebih dahulu mengenai pola atau model-model tanshish. Ada dua model tanshish yang biasa digunakan oleh para ulama yaitu model langsung menyebut tentang status periwayatan (sama‘) dan ada pula yang secara tidak langsung, namun mengindikasikan tsubut al-liqa’ dan sama‘. Model pertama, misalnya dengan ungakapan-ungkapan seperti ( ‫جاء إلى بغداد فلقي بفالن وسمع‬ ‫)منه‬, (‫)سمع من فالن حديثا واحدا‬, (‫)لم يسمع فالن من أبيه‬, (‫)سماعه من فالن غير ثابت‬, (‫)نزل مصر ولقي فالنا هناك‬. Sedangkan model kedua, yaitu pola tidak langsung, misalnya menyebutkan identitasnya sebagai mawla, pembantu, anak, atau sejenisnya yang meniscayakan terjadinya pertemuan.



6



Bagaimana mungkin seseorang disebut sebagai mawla, namun tidak pernah bertemu, misalnya. Tentu dalam hal ini tradisi mawla berbeda dengan tradisi dalam bidang profesi modern, di mana sang direktur nyaris tidak pernah bertemu dengan karyawannya. Nafi‘ mawla Ibn Umar, ‘Ikrimah mawla Ibn Abbas, Anas bin Malik khadim al-Nabi, atau Malik bin Anas sebagai atsbat al-nas (yang paling kuat, meyakinkan) riwayatnya dari Nafi‘. Disebut Ibn Fulan juga bagian dari tanshish. Namun dalam konteks Ibn Fulan, harus dipastikan pula tahun wafat ayah (jika meriwayatkan darinya) dan tahun kelahiran sang anak. Karena siapa tahu, sang anak lahir setelah ayahnya wafat, atau saat ayahnya wafat, ia masih kanak-kanak yang belum dapat menerima pesan dengan baik, sehingga sama‘ nya masih diragukan. Bentuk lain dari tanshih adalah ilmu tabaqat al-ruwwat. Seorang guru besar bergelar alhafizh misalnya, pasti memiliki murid yang banyak. Di antara murid-muridnya itu juga pasti ada yang senior dan ada yang junior. Kriteria murid senior (al-tabaqat al-ula) tidak harus ditentukan berdasarkan usia atau generasi semata, melainkan lebih ditekankan pada intensitas belajarnya. Seberapa lama dan intens mulazamah seorang periwayat dengan gurunya. Artinya, boleh jadi ada seorang murid al-hafizh dari generasi pertama atau kedua, namun tidak populer dan tidak mulazamah dengannya, sehingga tidak mengetahui banyak riwayat darinya. Sedangkan murid generasi ke-20 misalnya, memiliki banyak riwayat langsung dari al-hafizh tersebut karena saat belajar, ia sangat intensif bermulazamah. Biasanya hal ini disimbolkan dengan tsabat atau atsbat atau min al-atsbaat. Dengan demikian, istilah tsabat yang juga populer dalam ilmu Jarh wa Ta‘dil adalah istilah yang lebih menggambarkan ittishal daripada al-‘adalah wa al-dlabt.2 Termasuk tanshish adalah pengakuan sang periwayat, atau semacam otobiografi. Kisahkisah yang dilakukan oleh periwayat bersama gurunya. Dalam hadis, para sahabat Nabi biasanya menyebutkan kisah kebersamaannya dengan Nabi melalui redaksi, bainama nahnu julusun inda Rasulillah. Kisah Anas bin Malik melihat Nabi makan buah labu. Sedangkan dalam konteks periwayat non sahabat, misalnya seperti kisah Imam Muslim dengan Imam al-Dhuhli dan al-Bukhari. Atau kisah Imam Ahmad bin Hanbal dengan Imam al-Shafi’i, dan sejenisnya. Pengakuan-pengakuan seperti itu menjadi bukti kuat bahwa ia benar-benar bertemu dan meriwayatkan darinya. Perlu diketahui, bahwa tidak semua teks yang ada dalam naskah bografi (tarjamah) periwayat adalah tanshish, ada yang merupakan sekedar daftar data mentah dan belum menjadi tanshish. Seperti misalnya, daftar guru (rawa ‘an fulan) dan murid (rawa ‘anhu fulan) dalam naskah biografi. Data tersebut tidak dapat diandalkan sebagai basis ittishal sanad. Ini karena data tersebut masih mentah, dan umumnya oleh penyusun diambil dari sanad. Namun, bukan berarti data tersebut tidak dapat dimanfaatkan sama sekali untuk pembuktian ketersambungan sanad. Ia tetap berguna untuk memastikan ketersambungan sanad, namun kadang tidak dapat menjadi dalil bahwa sang periwayat benar-benar mendengar dari sang guru yang tersbut dalam daftar itu. Misalnya, riwayat Ibrahim bin Jarir al-Bajali dari (haddatsani) ayahnya. Dalam al-Tarikh al-Kabir, al-Bukhari mencantumkan riwayat jalur untuk hadis, (‫)من رأى حية فلم يقتلها خوفا فليس منا‬. Sepintas, sanad tersebut tampak bersambung. Apalagi digunakan kata haddatsani Abi yang Dalam Jarh wa Ta‘dil, memang istilah tsabat juga tetap berguna sekali, terutama untuk memastikan integritasnya sebagai thalib al-hadits (syuhratihi bi al-thalab), yang juga sangat berguna untuk memastikan kondisi ketika tidak ada keterangan jarh maupun ta`dil, maka ia mampu menjadi representasi dari ‘adalah. Atau, untuk mantarjih saat terjadi perselisihan (ikhtilaf) dalam periwayatan dari sang guru. 2



7



umumnya menunjukkan ittishal. Lalu, ia meriwayatkan dari ayahnya langsung, hal itu juga semakin menguatkan asumsi bahwa sanadnya muttashil. Ditambah lagi, bahwa dalam daftar guru Ibrahim memang ada nama ayahnya (‫)روى عن أبيه‬. Namun, setelah melihat komentar (tanshish) para ulama, hampir semuanya mengingkari periwayatan Ibrahim dari ayahnya langsung. Abu Hatim, Abu Dawud al-Sijistani, dan Ibn Sa`d jelas menyatakan pengingarannya (lam yasma` min abihi). Ibn Sa`d juga menambahkan bahwa Ibrahim lahir setelah ayahnya meninggal dunia (‫)إنه ولد بعد موت أبيه‬. b. Metode Taqdiri i. Pendekatan Tahun Pendekatan tahun adalah pendekatan yang paling urgen dalam penelitian sanad. Imam Muslim mensyaratkan imkaniyyat al-liqa’ untuk memastikan ketersambungan sanad. Sedangkan indicator imkaniyyat al-liqa’ menurutnya adalah al-mu‘asharah (hidup semasa). Sementara itu, al-mu‘asharah hanya dapat diketahui melalui tahun-tahun, masa atau periode periwayat. Tidak ad acara lain untuk menetapkan mu‘asharah selain tanshish dan pendekatan sejarah annale yang didasarkan kepada tahun-tahun. Pada umumnya, data yang tersedia di kitab-kitab biografi tentang tahun-tahun periwayat adalah data tahun wafat (al-wafayat). Jarang literatur yang mampu menyediakan data tahun kelahiran. Selain tahun lahir dan wafat, biasanya juga terdapat tahun-tahun rihlah, pengembaraan mencari riwayat. Cara lain untuk mendapatkan data tahun adalah dengan melihat periode sejarah politik dan peradaban Islam, misalnya ada keterangan bahwa al-Zuhri mendapatkan mandat dari khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk mengumpulkan hadis. Seandainya tidak diketahui tahun-tahun perjalanan hidup al-Zuhri data tentang interaksinya dengan khalifah Umar bin Abdul Aziz tersebut sudah cukup memberikan informasi yang memadai tentang tahun dan sejarah periwayat. Di samping data sejarah politik, juga dapat melalui data sejarah sosialkeagamaan-ilmiah. Misalnya, ketika hendak mencari masa hidup al-Sha‘b bin Jatstsamah, terdapat sebuah data dalam Tahdzib al-Tahdzib yang menyatakan,



‫عن راشد بن سعد قال ملا فتحت إصطخر نادى مناد أال إن الدجال قد خرج فرجع الناس فلقيهم الصعب‬ ‫ "ال يخرج الدجال حتى يذهل الناس عن‬:‫بن جثامة فقال لقد سمعت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يقول‬ "‫ذكره وحتى يترك األئمة ذكره على املنابر‬ Dari data tersebut dapat diketahui bahwa al-Sha‘b hidup pada masa proklamasi (futuh) Ish-thakhra. Selanjutnya tinggal menelusuri tahun berapakah kemerdekaan Istakhr itu diproklamirkan. Selanjutnya, dalam biografi Abdullah bin Farrukh al-Khurasani, juga terdapat data yang dikutip oleh Ibnu Hajar dari Thabaqat Ifriqiyyah. Dalam kutipan itu, Abu Ayyub menyatakan bahwa Abdullah



‫رحل في طلب العلم ولقي باملشرق مالكا والثوري وأبا حنيفة وابن جريج وغيرهم وكان يكاتب مالكا ويكاتبه‬ ‫مالك بجواب مسائله‬ Dari informasi tersebut dapat ditemukan dua data sekaligus, yaitu data tahun dan data biografis. Melalui pendekatan sejarah sosial-ilmiah, dapat diketahui bahwa Abdullah pernah ke Madinah (Masyriq) bertemu dengan Malik bin Anas, al-Tsauri, Abu Hanifah, dan Ibnu Juraij. Ia juga aktif berkorespondensi dengan Malik mengenai



8



beberapa persoalan yang ia hadapi. Dapat disimpulkan bahwa Abdullah bin Farrukh hidup semasa denagn Malik, Abu Hanifah, dan al-Tsauri. Berarti ia adalah orang yang hidup pada tahun sekitar 150-an Hijriah. Terkadang, informasi dan data-data seperti itu juga tidak terdapat dalam biografi periwayat yang sedang kita kaji, melainkan dalam biografi periwayat lain yang pernah berinteraksi dengannya. Oleh karena itu, pencarian harus menyeluruh dari berbagai sumber. ii.



Pendekatan Geografis Pendekatan geografis sangat penting untuk memastikan imkaniyyat al-liqa’, mengingat tempat hidup seorang periwayat di suatu daerah menentukan pertemuannya dengan guru-guru hadis dari berbagai negara. Dengan adanya keterangan tempat-tempat geografis, kita dapat memastikan bahwa seorang periwayat memang benar-benar pernah bertmu dnegan gurunya di suatu daerah tertentu, atau minimal dapat dipastikan kemungkinan terjadinya pertemuan antara keduanya. Data-data geografis kadang dapat terbaca dari nama periwayat. Nama al-Hasan al-Bashri menunjukkan bahwa al-Hasan berasal dari Basrah. Al-Hakim al-Naisaburi, menunjukkan bahwa al-Hakim dari Naisapur. Kemudian al-Taymi, menunjukkan dari kabilah Taym. Al-Qurasyi menunjukkan dari suku Quraisy. Jika nisbatnya adalah kepada nama suku atau kabilah, maka tugas selanjutnya adalah mencari di mana kediaman dan persebaran suku tersebut. Banyak juga periwayat yang disebutkan nisbatnya kepada lebih dari satu daerah. Biasanya nisbat pertama adalah menunjukkan daerah asal, lalu nisbat kedua dan seterusnya adalah daerah migrasi atau persinggahan. Misalnya, dalam nama periwayat terdapat nisbat al-Kufi al-Mishri. Hal ini menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah berkebangsaan Kufah, namun berkewarganegaraan Mesir. Ia bermigrasi ke Mesir dari Kufah. Atau bahkan tidak sedikit pula seseorang yang hanya singgah (nazala) di suatu daerah kemudian mendapat gelar nisbat ke daerah persinggahannya tersebut. Di samping melalui nisbat yang melekat pada nama seseorang, data geografis juga dapat ditelusuri dengan menggunakan beberapa kata kunci seperti rahala ila (mengembara ke…), nazala-naziil (singgah di), sakana (tinggal di), aqama (berkediaman di), dan sejenisnya.



iii.



Pendekatan Hubungan Periwayatan Pendekatan hubungan periwayatan atau yang lazim dikenal dengan hubungan guru-murid juga dapat memberikan informasi penting tentang ketersambungan sanad. Namun, data ini tidak menjamin tsubut al-liqa’, melainkan sangat membantu menemukan indikasi imkaniyyat al-liqa’. Guru periwayat biasanya disebutkan setelah kata (‫ )روى عن‬atau (‫)حدث عن‬. Sedangkan murid-muridnya, biasanya terdaftar setelah kata (‫ )روى عنه‬atau (‫ )حدث عنه‬dalam kamus biografi. Hanya saja, data ini tidak menjamin hubungan guru murid seratus persen. Data ini merupakan data yang dihimpun oleh para ahli biografi dari sanad-sanad yang pernah mereka jumpai. Karena itu, ada beberapa kasus yang tidak sesuai, misalnya, seseorang disebut sebagai murid, namun dari segi tahun jelas tidak mungkin



9



bertemu, seperti kasus Ibrahim bin Jarir al-Bajali yang dalam sanad disebut meriwayatkan langsung dari ayahnya. Dalam kamus biografi juga disebutkan bahwa di antara guru Ibrahim adalah ayahnya sendiri. Namun, kenyataannya, Ibrahim lahir setelah ayahnya wafat. iv.



Pendekatan redaksi periwayatan Sanad selalu terdiri dari dua komponen, yaitu rangkaian nama periwayat dan simbol periwayatan. Pendekatan-pendekatan yang disebutkan di atas, semuanya adalah pendekatan yang berbasis periwayat, karena mengandalkan informasi biografis sang periwayang. Di samping pendekatan data diri periwayat hadis, ketersambungan sanad juga dapat diketahui melalui redaksi periwayatan. Dalam hal ini ada bebeberapa redaksi periwayatan yang populer dan umum digunakan oleh para periwayat hadis, yaitu sami‘tu, haddatsani, akhbarani, anba’ani, qara’tu ‘ala, ‘an, dan qala. Sedikitnya adalah delapan metode periwayatan hadis, yaitu sama‘, qira’ah, ijazah, kitabah, munawalah, i‘lam, washiyyah, dan wijadah. Dari delapan metode tersebut dapat diketagorikan menjadi tiga, yaitu meniscayakan pertemuan aktif, mengindikasikan pertemuan pasif, dan meniscayakan tidak adanya pertemuan. Metode sama‘, qira‘ah dan sebagian model ijazah, meniscayakan pertemuan aktif, yaitu antara guru dan murid benar-benar dalam kondisi sadar sedang bertemu dan berinteraksi aktif dalam meriwayatkan setiap hadis satu persatu. Sedangkan sebgaian metode ijazah ‘ammah, metode kitabah, munawalah, i‘lam, washiyyah, dan wijadah identik dengan pertemuan pasif, yaitu antara guru dan murid terjadi pertemuan, namun dalam penyampaian hadis hanya secara umum saja, tidak secara detail. Sedankan metode terakhir, yaitu wijadah menunjukkan tidak adanya pertemuan antara guru dan murid. Beberapa redaksi periwayatan penting untuk diketahui. Dalam hal ini ada beberapa kategori, sebagaimana berikut ini: Kategori Redaksi Periwayatan Menunjukkan Makna ittishal Sami‘tu, haddatsani, haddtasana,



akhbarani, akhbarana, anba’ani, anba’ana, qala li fulan, qara’tu ‘ala Fulan, ajazani, awshani. Mengindikasikan ittishal, namun masih Kataba ilayya Fulan, ‘an Fulan perlu pembuktian (‘an‘anah), ajazani, a‘lamani, Sama sekali tidak menjamin ittishal, Wajadtu fi kitab Fulan, annahu qala, bahkan lebih dekat kepada inqitha‘ qala, qila, ruwiya, dll. Betapapun redaksi periwayatan tersebut menunjukkan ittishal, hal yang perlu



diperhatikan jika hendak mengandalkan pendekatan redaksi periwayatan adalah memastikan terlebih dahulu kualitas dan ahwal setiap periwayat dalam sanad, baik dari segi kompetensinya, maupun dari integritasnya. Bisa jadi, seorang periwayat menyatakan sami‘tu atau haddatsani, yang memastikan makna ittishal, namun jika salah seorang periwayatnya adalah pelupa berat (munkar al-hadits), maka dikhatarikan pernyataan tersebut juga keliru. Atau, jika salah satu periwayat ada yang cacat integritasnya, terbukti berbohong (kadzib) misalnya, maka pernyataan sami‘tu atau haddatsani tersebut tidak dapat dipercaya sebagai muttasil.



10



Demikian pula ketika periwayatan menggunakan redaksi pasif (shighat altamridl) seperti qila atau ruwiya, maka hal itu lebih dekat dengan inqitha‘, namun tetap perlu pembuktian lebih lanjut mengenai ittishal-nya. Sedangkan untuk redaksi ‘an‘anah (‘an fulan), meskipun mengindikasikan ketersambungan, namun perlu pembuktian lebih lanjut. Ini karena meskipun kata ‘an (dari Fulan) mendekati ittishal, ia tetap tidak dapat menunjukkan metode periwayatannya secara jelas, apakah melalui sama‘, qira’ah, ijazah, atau sekedar i‘lam. Karena itu, dalam kondisi periwayatan ‘an‘anah, perlu dipastikan bahwa periwayatnya tidak mudallis. Jika pun mudallis, lalu menyampaikannya dengan redaksi sama‘ atau qira`ah (menjelaskan metode periwayatannya), maka ia menjadi tidak mudallas. c.



Metode Kias (Ilhaqi)



Di samping tanshish juga terdapat metode kias untuk memastikan tsubut al-liqa’. Metode ini pada dasarnya mirip dengan metode pertama, hanya saja tidak perlu melakukan studi naskah. Melainkan, melalui penelusuran pola periwayatan guru-murid tersebut dalam kitab Sahih al-Bukhari, ini karena al-Bukhari menetapkan syarat tsubut al-liqa’ dalam kitab Sahihnya. Artinya, jika hal itu Sementara itu, metode kias ini hanya dapat dilakukan dengan menggunakan data kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim. Secara praktis-taktis, hal itu dapat dilakukan dengan mengandalkan simbol-simbol (‫ )خ‬untuk Sahih Bukhari, simbol (‫ )م‬untuk Sahih Muslim, atau simbol (‫ )ع‬untuk jama‘ah (di antaranya adalah al-Bukhari dan Muslim) yang berada tepat di belakang nama setiap periwayat dalam data rawa ‘an atau rawa ‘anhu. Simbol-simbol tersebut biasanya terdapat dalam kitab-kitab biografi yang telah ditahqiq secara jeli. Lebih bagus lagi, jika nama periwayat dari guru yang dimaksud benar-benar tersedia secara berturut-turt dalam Sahih Bukhari atau Sahih Muslim. Jika benar ada dalam Sahih Bukhari, maka dapat dipastikan seorang peiwayat tersebut adalah benar-benar bertemu (tsubut alliqa’) dengan gurunya. Namun, jika hanya ada dalam Sahih Muslim, maka dapat dipastikan bahwa antara periwayat dengan gurunya tersebut sangat mungkin terjadi pertemuan (mumkin al-liqa’). Dua kitab tersebut dijadikan sebagai standar karena keduanya dinyatakan sebagai kitab yang terbukti hanya memuat hadis-hadis sahih. Perlu diperhatikan bahwa metode kias ini, tidak cukup dengan adanya komentar terhadap seorang periwayat bahwa ia adalah min rijal al-Bukhari atau min rijal Muslim. Komentar yang demikian itu adalah untuk menyatakan indikasi kuat kualitas dan integritas periwayat (al-‘adalah wa al-dhabt), bukan ketersambungan (ittishal). Ia sama dengan komentar ‘addaluuhu, watstsaquuhu, ‘uddila, wutstsiqa. Sedangkan dalam kasus ittishal, data yang dimaksud adalah hubungan guru murid. Artinya, jika dalam daftar murid Ibnu Umar (rawa ‘anhu) misalnya, terdapat nama Nafi‘ (‫ )ع‬dan Salim (‫)ع‬, maka dapat dipastikan bahwa hubungan antara Nafi’ atau Salim dengan Ibnu Umar adalah hubungan yang pasti. Mereka dapat dipastikan bertemu (tsubut al-liqa’) karena jama‘ah (para mukharrij kutub sittah) meriwayatkan pola periwayatan itu (Nafi’  Ibnu Umar dan SalimIbnu Umar). Begitu pula sebaliknya, dalam dafat guru Malik bin Anas (rawa ‘an) misalnya, terdapat nama Nafi‘ (‫)ع‬, maka dapat dipastikan bahwa Malik benar-benar muridnya Nafi` dan bertemu dengannya (tsubut al-liqa), karena al-Bukhari termasuk yang mengunakan pola periwayatan Malik  Nafi’ dalam Sahihnya.



11



Untuk memudahkan pencarian, gunakan bantuan tabel seperti berikut ini agar data dapat terkumpul dengan mudah dan rapi!



‫النتيجة‬



‫إخراج‬ ‫مسلم‬ ‫إياه‬ ‫عنه‬ ‫بهذا‬ ‫الوجه‬ )‫(مرة‬



‫إخراج‬ ‫البخاري‬ ‫إياه عنه‬ ‫بهذا‬ ‫الوجه‬ )‫(مرة‬



‫ثبوت‬ ‫سماعه‬ ‫منه‬



‫نصوص‬ ‫أهل‬ ‫العلم‬ ‫على‬ ‫صيغ‬ ‫شيوخه تالميذه‬ ‫ثبوت‬ ‫التحديث‬ ‫لقائه (مع‬ ‫ذكر‬ )‫قائله‬



‫البلد‬



‫تاريخ‬ ‫الوفاة‬



‫اسم‬ ‫الراوي‬ ‫عن‬ ‫شيخه‬



3. Periwayat Benar-benar Mendengar Langsung dari Gurunya (Tsubut al-Sama‘)



Tsubut al-sama‘ (benar-benar mendengar langsung dari sang guru) adalah hal terpenting untuk memastikan ittishal sanad. Kriteria ini adalah kriteria tertinggi dan terkuat untuk memastikan ketersambungan sanad. Periwayat yang tsubut al-sama‘ dnegan gurunya pasti tsubut al-liqa’ (benar-benar bertemu) dengannya. Namun, periwayat yang benar-benar bertemu (tsubut al-liqa’) belum tentu tsubut al-sama‘ (benar-benar mendengar langsung). Oleh karena itu, dalam hal ini yang dijadikan kriteria adalah tsbut al-sama‘, karena sudah meniscayakan tsubut al-sama‘.Tingkat kemungkinan terjadi pertemuan antara periwayat yang tsubut al-sama‘ dengan gurunya adalah 90% bahkan 100% jika diungkapkan dengan kata-kata tertentu, seperti sami‘tu, haddatsani, akhbarani, dan sejenisnya. Hanya saja, karena memastikan tsubut al-sama‘ adalah pekerjaan yang sangat sulit, maka para ulama, di antaranya Imam al-Bukhari dan gurunya, Ali al-Madini menetapkan tsubut al-liqa’ sebagai syarat utamanya. Liqa’ lebih mudah diukur daripada sama‘. Dalam hal ini beberapa cara memastikan tsubut al-sama‘, yaitu: a. Dengan Tanshish (Keterangan dan Ketetapan Ulama) Metode ini sama dengan metode tanshish yang digunakan untuk memastikan ketersambungan sanad sebagaimana telah dijelaskan di atas. Karena, pada dasarnya peruwayat yang dipastikan mendengar langsung dari gurunya, pasti bersambung. Dengan demikian, cara kerja tanshish pada bagian ini adalah sama persis dengan bagian sebelumnya. Hanya saja, dalam hal ini secara lebih spesifik memastikan adanya keterangan para ulama bahwa sang periwayat benar-benar mendengar (tsabata sama‘uhu) dari sang guru yang namanya disebut dalam sanad yang sedang kita kaji. Hal ini penting dilakukan karena tidak semua sanad yang muttashil adalah pasti tsubut al-sama’. Bahkan tidak semua periwayat yang tsubut al-liqa, pasti tsubut al-sama‘.



12



‫رقم‬



Metode ini dapat dilakukan dengan cara melihat keterangan para saksi ahli (ahl al-‘ilm). Misalnya, Lam yasma‘ fulan min fulan. Ini jelas menunjukkan bahwa sang periwayat tidak mendengar langsung dari orang yang disebut dalam sanad sebagai gurunya itu. Dalam kondisi seperti ini patut dilihat lagi, apakah ia tidak mendengar itu berarti tidak pernah bertemu atau pernah bertemu namun tidak pernah mendengar langsung darinya? Atau, kemungkinan ketiga, ia pernah berguru dari orang tersebut, namun dalam konteks hadis yang sedang kita kaji itu, ia tidak mendengar langsung dari sang guru tersebut, melainkan dari orang lain? b. Memastikan Tidakadanya Tadlis Tadlis adalah salah satu jenis penyakit sanad yang berhubungan dengan faktor sama‘ (penerimaan langsung dengan cara mendengar dari guru yang disebut dalam sanad). “Cacat pendengaran” (sama‘) dalam periwayatan hadis adalah hal yang paliung sulit dibuktikan. Ini karena, seseorang boleh jadi memang benar-benar bertemu dan berguru langsung dari seorang guru, namun ia “dalam hal hadis ini” tidak mendengar darinya, melainkan dari orang lain. Hanya saja, ketika menyampaikannya, ia mengaku-aku bahwa telah mendengar dari guru tersebut, karena merasa gengsi jika menunjukkan identitas asli guru yang sebenarnya. Motifnya pun beragam. Ada yang dengan cara menyembunyikan identitas asli (yasif awsafahu bi ma bihi la yan‘arif), ada yang dengan cara menghilangkan jejaknya (isqath alsyaikh) dari daftar periwayat dalam sanad yang ia sebutkan. Sehingga, tampak seolah-olah ia meriwayatkan dari jalur pendek (ali), dan tampak dari orang yang lebih baik. Caranya pun sangat rapi, karena biasanya menggunakan simbol periwayatan langsung, sehingga tidak tampak adanya tadlis sama sekali. Biasanya menggunakan simbol ‘an (dari). Tidak ad acara lain untuk memastikan adanya tadlis. Bahkan ketika dilakukan perbandingan sanad pun, masih belum cukup bukti untuk menyatakan adanya tadlis. Inilah yang menyebabkan pekerjaan tadlis merupakan pekerjaan yang sulit, meskipun secara normatif dari dijelaskan cara pengungkapannya, yaitu melalui tanshish. Dalam hal ini, yang paling memungkinkan kita lakukan adalah dengan melihat apakah namanya termasuk dalam daftar periwayat yang di-“black list” karena mudallis atau tidak? Memang, tadlis itu tidak menyebabkan seseorang di-jarh. Namun, tetap perlu diwaspadai setiap periwayatannya. Dalam hal ini, untuk mengetahui seseorang masuk dalam daftar mudallisin atau tidak, dapat dilihat dalam karya-karya seperti, Thabaqat al-Mudallisin (Ta‘rif Ahl al-Taqdis bi Maratib al-Maushufin bi al-Tadlis) karya Ibn Hajar al-Asqallani, al-Tabyin li Asma’ al-Mudallisin karya Abu al-Wafa al-Halabi, Asma’ al-Mudallisin karya al-Suyuthi, al-



Mudallisin karya Abu Zur‘ah Ibn al-‘Iraqi, Dzikr al-Mudallisin karya Abu Abd al-Rahman alNasa’i. Para ulama tersebut membuat beberapa tingkatan mudallis. Ibn Hajar misalnya menstratifikasi mudallis menjadi lima. Tingkat pertama dan kedua masih dapat ditolerir, karena tadlisnya sangat jarang. Kalaupun men-tadlis, hanya orang-orang tsiqah sasarannya. Ia tidak men-tadlis (tidak gengsi menyebutkan) gurunya yang lemah. Sedangkan tingkat ketiga, hingga kelima sudah tergolong berat sehingga tidak dapat diterima kecuali jika ada indikasi yang menunjukkan bahwa dalam periwayatan tersebut, ia sedang tidak men-tadlis. c.



Memastikan Tidakadanya Irsal Khafiy



13



Sebagaimana tadlis, irsal khafi juga merupakan jenis penyakit sanad yang sulit didiagnosa. Ada dua macam irsal, yaitu jail dan khafi. Jenis irsal jaliy mudah didiagnosa karena terlihat jelas ada periwayat yang tidak semasa dengan seorang guru, namun mengaku meriwayatkan darinya secara langsung. Dalam hal ini misalnya mursal tabi‘i, seorang tabi’i menyatakan periwayatan dari Nabi tanpa menyebut nama sahabat Nabi dalam sanadnya. Sedangkan irsal khafi, lebih mirip dengan tadlis. Masalah utama dalam irsal khafi



ini juga sama dengan tadlis, yaitu masalah di pendengaran (sama‘), bukan pada masalah “pertemuan” (liqa’) sebagaimana irsal jali. Bedanya, jika pertemuan seorang periwayat dengan gurunya itu juga disertai terjadinya periwayatan hadis, namun dalam suatu hadis tertentu ia tidak meriwayatkan darinya, maka disebut tadlis. Sedangkan jika pertemuan tersebut tidak disertai periwayatan hadis sama sekali, misalnya hanya pertemuan bisnis, atau pertemuan pertemanan yang tidak disertai periwayatan hadis, maka disebut irsal khafi. Untuk mengetahui adanya irsal khafi, juga digunakan cara yang sama dengan tadlis, yaitu melalui tanshish. Biasanya, para ahli akan menyebutkan dalam biografi seorang mursil khafi, dengan komentar, “laqiya Fulanan wa lam yasma’ minhu.” Atau sejenisnya. Sedangkan dalam hal tadlis, bentuk tanshish-nya biasanya berbunyi, “Sami‘m min Fulanin haditha kadza….” Atau “Sami‘a min Fulanin arba‘ah (menyebutkan jumlah bilangan tertentu) ahadits.” Kemudian, dalam tadlis terkadang masih dapat diidentifikasi melalui perbandingan sanad (jam‘ al-riwayat), namun tidak demikian halnya dengan tadlis. Umumnya, perbandingan sanad pun belum mampu mengungkap adanya irsal khafi. Untuk memudahkan penelitian tentang tsubut al-sama‘, dapat dipandu dengan menggunakan table berikut ini:



‫النتيجة‬



‫وصفه باإلرسال‬ ‫الخفي‬



‫نصوص أهل العلم وصفه بالتدليس عنه‬ ‫على ثبوت سماعه مع طبقته من املدلسين‬



‫اسم الراوي‬ ‫عن شيخه‬



‫رقم‬



Praktikum: Agar lebih jelas, perhatikan contoh naskah biografi yang diperoleh dari Tahdzib alKamal karya al-Mizzi dan Tahdzib al-Tahdzib karya Ibn Hajar al-‘Asqallani sebagaimana berikut ini lalu praktikkanlah materi di atas:



‫ املعروف بابن علية (أخو‬،‫ إسماعيل بن إبراهيم بن مقسم األسدى موالهم أبو بشر البصرى‬: ‫االسم‬ )‫ و والد إبراهيم و حماد و محمد‬،‫ربعى‬ 14



‫املولد ‪ 110 :‬هـ‬ ‫الطبقة ‪ : 8 :‬من الوسطى من أتباع التابعين‬ ‫الوفاة ‪ 193 :‬هـ بـ بغداد‬ ‫روى له ‪ :‬خ م د ت س ق ( البخاري ‪ -‬مسلم ‪ -‬أبو داود ‪ -‬الترمذي ‪ -‬النسائي ‪ -‬ابن ماجه )‬ ‫رتبته عند ابن حجر ‪ :‬ثقة حافظ‬ ‫رتبته عند الذهبي ‪ :‬إمام حجة‬ ‫‪Dari data biografi Ibnu ‘Ulayyah tersebut dapat dikethui data diri, nasab, keluarga (al‬‬‫‪Asdi), daerah (al-Bashri), status sosial (maulahum), periode/generasi (al-tabaqah), tahun lahir‬‬ ‫‪(al-maulid), tahun wafat (al-wafat), tempat tinggal terakhir (Baghdad), sebaran riwayatnya‬‬ ‫‪(rawa lahu), kompetensi periwayatan (tsiqah, hafizh, imam, hujjah), integritasnya sebagai‬‬ ‫‪periwayat (tsiqah).‬‬ ‫‪Selanjutnya, pelajarilah dan temukan data-data tersebut jika informasi naskah‬‬ ‫!‪biografinya seperti ini‬‬



‫قال املزي في تهذيب الكمال ‪:‬‬ ‫( خ م د ت س ق ) ‪ :‬إسماعيل بن إبراهيم بن مقسم األسدى ‪ ،‬أسد خزيمة موالهم ‪ ،‬أبو بشر‬ ‫البصرى املعروف بابن علية أخو ربعى بن إبراهيم ‪ .‬أصله من الكوفة ‪ ،‬و هو والد إبراهيم بن‬ ‫إسماعيل ابن علية املتكلم ‪ ،‬و حماد بن إسماعيل ‪ ،‬و محمد بن إسماعيل قاض ى دمشق ‪ .‬اهـ ‪.‬‬ ‫و قال املزى ‪:‬‬ ‫قال على بن الجعد ‪ ،‬عن شعبة ‪ :‬ابن علية ريحانة الفقهاء ‪.‬‬ ‫و قال يونس بن بكير ‪ ،‬عن شعبة ‪ :‬ابن علية سيد املحدثين ‪.‬‬ ‫و قال أحمد بن سنان القطان عن عبد الرحمن بن مهدى ‪ :‬ابن علية أثبت من هشيم ‪.‬‬ ‫و قال على ابن املدينى ‪ ،‬عن يحيى بن سعيد ‪ :‬ابن علية اثبت من وهيب ‪.‬‬ ‫و قال عفان ‪ ،‬عن حماد بن سلمة ‪ :‬كنا نشبهه بيونس بن عبيد ‪.‬‬ ‫و قال أيضا ‪ :‬كنا عند حماد بن سلمة ‪ ،‬فأخطأ فى حديث ‪ ،‬و كان ال يرجع إلى قول أحد ‪ ،‬فقيل له ‪:‬‬ ‫قد خولفت فيه ‪ ،‬فقال ‪ :‬من؟ قالوا‪ :‬حماد بن زيد ‪ ،‬فلم يلتفت ‪ ،‬فقال له إنسان ‪ :‬إن إسماعيل ابن‬ ‫علية يخالفك ‪ ،‬فقام ثم دخل ثم خرج ‪ ،‬فقال ‪ :‬القول ما قال إسماعيل ‪.‬‬ ‫و قال عبد هللا بن أحمد بن حنبل ‪ ،‬عن أبيه ‪ :‬إليه املنتهى فى التثبت بالبصرة ‪.‬‬ ‫و قال أيضا ‪ :‬فاتنى مالك ‪ ،‬فأخلف هللا على سفيان بن عيينة ‪ ،‬و فاتنى حماد بن زيد ‪ ،‬فأخلف هللا‬ ‫على إسماعيل ابن علية ‪.‬‬ ‫و قال أيضا ‪ :‬كان حماد بن زيد ال يعبأ إذا خالفه الثقفى و وهيب ‪ ،‬و كان يفرق من إسماعيل ابن‬ ‫علية إذا خالفه ‪.‬‬ ‫و كذلك قال مسلم بن الحجاج ‪ ،‬عن أحمد بن حنبل ‪.‬‬ ‫‪15‬‬



‫و قال أبو بكر بن أبى األسود ‪ ،‬عن غندر ‪ :‬نشأت فى الحديث يوم نشأت ‪ ،‬و ليس أحد يقدم فى‬ ‫الحديث على إسماعيل ابن علية ‪.‬‬ ‫و قال أحمد بن محمد بن القاسم بن محرز ‪ ،‬عن يحيى بن معين ‪ :‬كان ثقة مأمونا صدوقا مسلما‬ ‫ورعا تقيا ‪.‬‬ ‫و قال قتيبة ‪ :‬كانوا يقولون ‪ :‬الحفاظ أربعة ‪ ،‬إسماعيل ابن علية ‪ ،‬و عبد الوارث ‪ ،‬و يزيد بن زريع ‪ ،‬و‬ ‫وهيب ‪.‬‬ ‫و قال يعقوب بن شيبة ‪ ،‬عن الهيثم بن خالد ‪ :‬اجتمع حفاظ أهل البصرة ‪ ،‬فقال أهل الكوفة ألهل‬ ‫البصرة ‪ :‬نحوا عنا إسماعيل ابن علية ‪ ،‬و هاتوا من شئتم ‪.‬‬ ‫و قال زياد بن أيوب ‪ :‬ما رأيت البن علية كتابا قط ‪ ،‬و كان يقال ‪ :‬ابن علية يعد الحروف ‪.‬‬ ‫و قال أبو داود السجستانى ‪ :‬ما أحد من املحدثين ‪ ،‬إال قد أخطأ ‪ ،‬إال إسماعيل ابن علية ‪ ،‬و بشر بن‬ ‫املفضل ‪.‬‬ ‫و قال النسائى ‪ :‬ثقة ثبت ‪.‬‬ ‫و قال عمرو بن زرارة ‪ :‬صحبت ابن علية أربع عشرة سنة ‪ ،‬فما رأيته ضحك فيها ‪ ،‬و صحبته سبع‬ ‫سنين فما رأيته تبسم فيها ‪.‬‬ ‫و قال محمد بن سعد ‪ :‬إسماعيل بن إبراهيم بن مقسم مولى عبد الرحمن بن قطبة األسدى ‪ ،‬أسد‬ ‫خزيمة ‪ ،‬من أهل الكوفة ‪ ،‬و كان مقسم من سبى القيقانية ما بين خراسان و زابلستان ‪ ،‬و كان إبراهيم‬ ‫تاجرا من أهل الكوف ‪ ،‬و كان يقدم البصرة بتجارته ‪ ،‬فتزوج علية بنت حسان موالة لبنى شيبان ‪ ،‬و‬ ‫كانت امرأة نبيلة عاقلة ‪ ،‬لها دار بالعوقة تعرف بها ‪ ،‬و كان صالح املرى و غيره من وجوه أهل البصرة و‬ ‫فقهائها يدخلون عليها ‪ ،‬فتبرز لهم و تحادثهم و تسائلهم ‪ ،‬و ولد إلبراهيم بعد إسماعيل ربعى بن إبراهيم‬ ‫‪ ،‬و كان إسماعيل ثقة ثبتا فى الحديث حجة ‪ ،‬وقد ولى صدقات البصرة ‪ ،‬و ولى ببغداد املظالم فى آخر‬ ‫خالفة هارون ‪ ،‬و نزل هو و ولده بغداد ‪ ،‬و اشترى بها دارا ‪ ،‬و توفى بها و دفن فى مقابر عبد هللا بن مالك‬ ‫‪ ،‬و صلى عليه ابنه إبراهيم ‪.‬‬ ‫قال الحافظ أبو بكر ‪ :‬و زعم على بن حجر أن علية ليست أمه ‪ ،‬و إنما هى جدته أم أمه ‪.‬‬ ‫قال أحمد بن حنبل و عمرو بن على ‪ :‬ولد سنه عشر و مئة ‪ ،‬و مات سنة ثالث و تسعين و مئة ‪.‬‬ ‫و كذلك قال زياد بن أيوب ‪ ،‬و محمود بن خداش و غير واحد فى تاريخ وفاته ‪.‬‬ ‫و قال يعقوب بن سفيان ‪ ،‬عن محمد بن فضيل ‪ :‬كنا بمكة سنة ثالث و تسعين و مئة ‪،‬‬ ‫فقدم علينا راشد الخفاف ‪ ،‬فقال ‪ :‬دفنا إسماعيل ابن علية يوم الخميس لخمس أو ست بقين من‬ ‫ذى القعدة ‪ ،‬و قال سرنا تسعة أيام ‪.‬‬ ‫و قال يعقوب بن شيبة ‪ :‬إسماعيل ابن علية ثبت جدا ‪ ،‬توفى يوم الثالثاء لثالث عشرة ليلة خلت من‬ ‫ذى القعدة سنة ثالث و تسعين و مئة ‪ ،‬و دفن يوم األربعاء ببغداد ‪.‬‬ ‫و قيل ‪ :‬إنه مات سنة أربع ‪ .‬و ليس بش ىء ‪.‬‬ ‫‪16‬‬



‫و قال أبو بكر الخطيب ‪ :‬حدث عنه ابن جريج ‪ ،‬و موس ى بن سهل الوشاء ‪ ،‬و بين وفاتيهما مئة و تسع ‪،‬‬ ‫و قيل ‪ :‬و سبع و عشرون سنة ‪ .‬و حدث عنه شعبة و بين وفاته و وفاة الوشاء مئة و ثمانى عشرة سنة‬ ‫‪.‬‬ ‫روى له الجماعة ‪ .‬اهـ ‪.‬‬ ‫ْْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ‬ ‫قال الحافظ في تهذيب التهذيب ‪: 277 / 1‬‬ ‫كان يقول ‪ :‬من قال ابن علية فقد اغتابنى ‪.‬‬ ‫و قال ابن املدينى ‪ :‬ما أقول أن أحدا أثبت فى الحديث من ابن علية ‪.‬‬ ‫و قال أيضا ‪ :‬بت عنده ليلة فقرأ ثلث القرآن ‪ ،‬ما رأيته ضحك قط ‪.‬‬ ‫و قال أحمد بن سعيد الدارمى ‪ :‬ال يعرف البن علية غلط إال من حديث جابر فى املدبر جعل اسم الغالم‬ ‫اسم املولى و اسم املولى اسم الغالم ‪.‬‬ ‫و قال ابن وضاح ‪ :‬سألت أبا جعفر البستى عنه فقال ‪ :‬بصرى ثقة ‪ ،‬و هو أحفظ من الثقفى ‪.‬‬ ‫و حكى ابن شاهين فى " الثقات " ‪ ،‬عن عثمان بن أبى شيبة ‪ :‬ابن علية أثبت من الحمادين ‪ ،‬و الأقدم‬ ‫عليه أحدا من البصريين ال يحيى و الابن مهدى و ال بشر ابن املفضل ‪.‬‬ ‫و قال العيش ى ‪ :‬حدثنا الحمادان أن ابن املبارك كان يتجر و يقول ‪ :‬لوال خمسة ما اتجرت ‪ ،‬السفيانان‬ ‫و فضيل و ابن السماك و ابن علية فيصلهم ‪ .‬فقدم سنة فقيل له ‪ :‬قد ولى ابن علية القضاء فلم يأته‬ ‫و لم يصله ‪ ،‬فركب ابن علية إليه فلم يرفع به رأسا فانصرف ‪ ،‬فلما كان من غد كتب إليه رقعة يقول‬ ‫‪ :‬قد كنت منتظرا لبرك و جئتك فلم تكلمنى فما رأيته منى ! ‪ ،‬فقال ابن املبارك ‪ :‬يأبى هذا الرجل إال أن‬ ‫تقشر له العصا ‪ ،‬ثم كتب إليه ‪:‬‬ ‫يا جاعل العلم له بازيا يصطاد أموال املساكين احتلت للدنيا و لذاتها بحيلة تذهب بالدين فصرت‬ ‫مجنونا بها بعد ما كنت دواء للمجانين أين رواياتك فيما مض ى عن ابن عون و ابن سيرين أين رواياتك‬ ‫فى سردها فى ترك أبواب السالطين إن قلت أكرهت فذا باطل زل حمار العلم فى الطين فلما وقف على‬ ‫هذه األبيات قام من مجلس القضاء فوطىء بساط الرشيد و قال ‪ :‬هللا هللا إرحم شيبتى فإنى ال أصبر‬ ‫على القضاء ‪ .‬قال ‪ :‬لعل هذا املجنون أغراك ‪ ،‬ثم أعفاه ‪ ،‬فوجه إليه ابن املبارك بالصرة ‪.‬‬ ‫و قيل ‪ :‬إن ابن املبارك إنما كتب إليه بهذه األبيات ملا ولى صدقات البصرة ‪ ،‬و هو الصحيح ‪.‬‬ ‫و قال إبراهيم الحربى ‪ :‬دخل ابن علية على األمين فحكى قصة فيها أن إسماعيل روى حديث " تجىء‬ ‫البقرة و آل عمران كأنهما غمامتان تحاجان عن صاحبهما " ‪ ،‬فقيل له ‪ :‬ألهما لسانان ؟ قال ‪ :‬نعم ‪،‬‬ ‫فكيف تكلم ‪ .‬فشنعوا عليه أنه يقول القرآن مخلوق ‪ ،‬و هو لم يقله ‪ ،‬و إنما غلط فقال لألمين ‪ :‬أنا‬ ‫تائب إلى هللا ‪.‬‬



‫‪17‬‬



‫و قال على بن خشرم ‪ :‬قلت لوكيع ‪ :‬رأيت ابن علية شرب النبيذ حتى يحمل على الحمار يحتاج من يرده‬ ‫! فقال وكيع ‪ :‬إذا رأيت البصرى يشرب النبيذ فاتهمه ‪ ،‬و إذا رأيت الكوفى يشربه فال تتهمه ‪ .‬قلت ‪ :‬و‬ ‫كيف ذاك ؟ قال ‪ :‬الكوفى يشربه تدينا ‪ ،‬و البصرى يتركه تدينا ‪.‬‬ ‫و قال الفضل بن زياد ‪ :‬سألت أحمد بن حنبل عن وهيب و ابن علية ‪ ،‬قال ‪ :‬وهيب أحب إلى ‪ ،‬ما زال‬ ‫ابن علية وضيعا من الكالم الذى تكلم به إلى أن مات ‪ .‬قلت ‪ :‬أليس قد رجع و تاب على رؤس الناس ‪.‬‬ ‫قال ‪ :‬بلى ـ إلى أن قال ‪ :‬ـ و كان ال ينصف ( فى الحديث ) ‪ ،‬يحدث بالشفاعات ‪.‬‬ ‫و كان منصور بن سلمة الخزاعى يحدث مرة فسبقه لسانه فقال ‪ :‬حدثنا إسماعيل بن علية ‪ ،‬ثم قال‬ ‫‪ :‬ال و ال كرامة بل أردت زهيرا ‪ ،‬ثم قال ‪ :‬ليس من قارف الذنب كمن لم يقارفه ‪ ،‬أنا و هللا استتببت ابن‬ ‫علية ‪.‬‬ ‫قرأت بخط الذهبى ‪ :‬هذا من الجرح املردود ‪.‬‬ ‫و قال عبد الصمد بن يزيد بن مردويه ‪ :‬سمعت ابن علية يقول ‪ :‬القرآن كالم هللا غير مخلوق ‪.‬‬ ‫و ذكره ابن حبان فى " الثقات " و قال ‪ :‬مات سنة ثالث أو سنة أربع و تسعين و مئة ‪.‬‬ ‫و قاله فى أربع ( أى فى سنة أربع و تسعين ) أبو موس ى العنزى فى تاريخه و نقله عنه البخارى فى تاريخه و‬ ‫خليفة و ابن عاصم و إسحاق القراب الحافظ و الكالباذى و غيرهم ‪ .‬اهـ ‪.‬‬ ‫‪Lalu berikut adalah daftar nama guru Ibnu ‘Ulayyah sebagaimana yang telah berhasil‬‬ ‫‪didata oleh al-Mizzi:‬‬



‫قال املزي في تهذيب الكمال ‪ :‬روى عن إسحاق بن سويد العدوى ( م س ) أيوب بن أبى تميمة السختيانى‬ ‫( خ م د ت س ق ) برد بن سنان الشامى ( د ق ) بهز بن حكيم ( د س ق ) أبى األشهب جعفر بن حيان‬ ‫العطاردى ( د ) أبى يونس حاتم بن أبى صغيرة ( س ) أبى خشينة حاجب بن عمر ( د ) حبيب بن‬ ‫الشهيد ( م ) حجاج بن أبى عثمان الصواف ( خ م د ت س ق ) الحكم بن أبان العدنى ( د ) حميد‬ ‫الطويل ( خ م د ت س ) خالد الحذاء ( خ م د ت) داود بن نصير الطائى ( س ) داود بن أبى هند ( م‬ ‫ت ) روح بن القاسم ( خ م ق ) زياد بن مخراق ( بخ ) سعيد بن إياس الجريرى ( م د ت س ) سعيد‬ ‫بن أبى صدقة ( فق ) سعيد بن أبى عروبة ( م د س ) أبى مسلمة سعيد بن يزيد ( م ت ) سفيان‬ ‫الثورى ( م ) سلمة بن علقمة ( س ق ) سليمان التيمى ( خ م ) سهيل بن أبى صالح سوار أبى حمزة (‬ ‫د ) شعبة بن الحجاج ( م س ) صخر بن جويرية ( ت ) عاصم األحول ( م ) عباد بن العوام ( خ ) عبد‬ ‫هللا بن أبى بكر بن محمد بن عمرو بن حزم عبد هللا بن حسن بن حسن بن على بن أبى طالب ( ت )‬ ‫عبد هللا بن سوادة القشيرى ( م ) عبد هللا بن عبيد الحميرى ( ت ) عبد هللا بن عون ( م ق ) أبى‬ ‫ريحانة عبد هللا بن مطر ( م ت ق )‬ ‫عب د هللا بن أبى نجيح ( خ م ت س ) عبد الحميد صاحب الزيادى ( خ م د ) عبد الرحمن بن إسحاق‬ ‫املدنى ( بخ د س ق ) عبد العزيز بن صهيب ( خ م د ت س ق ) عبد امللك بن عبد العزيز بن جريج ( خ‬ ‫م د س ) عثمان البتى (س ق ) عطاء بن السائب ( ت س ق ) على بن الحكم البنانى ( خ د ت س )‬ ‫‪18‬‬



‫على بن زيد بن جدعان ( د ت س ى ) على بن املبارك ( خ م ت ) عوف األعرابى ( ت س ) العالء بن عبد‬ ‫الرحمن بن يعقوب عيينة بن عبد الرحمن بن جوشن ( د ت س ق ) غالب القطان ( د ) القاسم بن‬ ‫مهران ( م ت ) ليث بن أبى سليم مالك بن أنس املثنى بن سعيد ( م ) محمد بن السائب بن بركة ( ت‬ ‫س ق ) محمد بن املنكدر ‪ ،‬أربعة أحاديث معمر بن راشد ( م س ) منصور بن عبد الرحمن الغدانى (‬ ‫م د ) أبى جهضم موس ى بن سالم ( ت ) هشام بن حسان ( م س ) هشام الدستوائى ( م ) الوليد بن‬ ‫أبى هشام ( م س ت ) وهيب بن خالد ( م ) يحيى بن أبى إسحاق الحضرمى ( خ م س ) أبى حيان يحيى‬ ‫بن سعيد بن حيان التيمى ( خ م د س ق ) يحيى بن عتيق ( س ) أبى التياح يزيد بن حميد الضبعى (‬ ‫م ) ‪ ،‬حديثا واحدا يزيد الرشك ( م ) ‪ ،‬أربعة أحاديث يونس بن عبيد ( م د س ) ‪.‬‬ ‫‪Berdasarkan data di guru di atas, tentukan siapa saja yang dapat dinyatakan tsubut al-‬‬



‫?’‪liqa’ dan siapa saja yang hanya sampai imkaniyyat al-liqa‬‬



‫‪Selanjutnya juga perhatikan data murid Ibnu ‘Ulayyah berikut ini, lalu lakukanlah hal‬‬ ‫!‪yang sama dengan data gurunya tersebut‬‬



‫قال املزي في تهذيب الكمال ‪ :‬روى عنه إبراهيم بن دينار ( م ) إبراهيم بن طهمان ‪ ،‬و هو أكبر منه‬ ‫إبراهيم بن عبد هللا بن حاتم الهروى ( ق ) إبراهيم بن ناصح ( س ) أحمد بن إبراهيم املوصلى‬ ‫أحمد بن إبراهيم الدورقى ( ت ) أحمد بن حرب الطائى ( س ) أحمد بن محمد بن حنبل ( م د س‬ ‫) أحمد بن منيع البغوى ( م ت س ) أحمد بن ناصح املصيص ى ( س ) إسحاق بن راهويه ( م س )‬ ‫أبو معمر إسماعيل بن إبراهيم الهذلى ( د ) إسماعيل بن سالم الصائغ ( م ) أيوب بن محمد الوزان‬ ‫( س ) بقية بن الوليد ‪ ،‬و هو من أقرانه الحسن بن شوكر ( د ) الحسن بن عرفة أبو عمار الحسين‬ ‫بن حريث ( س ) الحسين بن الحسن املروزى ( ق ) الحسين بن محمد الذارع ( س ) حماد بن‬ ‫إسماعيل ابن علية ( ابنه ) ( م س ) حماد بن زيد ‪ ،‬و مات قبله حميد بن مسعدة ( د ) داود بن‬ ‫رشيد ( م ) أبو خيثمة زهير بن حرب ( م ) زياد بن أيوب الطوس ى ( د س ) سريج بن يونس ( س)‬ ‫سفيان بن وكيع بن الجراح ( ق ) شجاع بن مخلد ( م ) شعبة بن الحجاج ( ت س ) ‪ ،‬و هو من‬ ‫شيوخه صدقة بن الفضل املروزى ( خ ) عباد بن موس ى الختلى ( ل ) أبو سعيد عبد هللا بن سعيد‬ ‫األشج ( ق ) عبد هللا بن محمد بن إسحاق األذرمى ( س ) أبو بكر عبد هللا بن محمد بن أبى األسود‬ ‫( خ ) أبو بكر عبد هللا بن محمد بن أبى شيبة ( م د ق ) عبد هللا بن وهب املصرى عبد الرحمن بن‬ ‫املبارك العيش ى عبد الرحمن بن مهدى عبد امللك بن عبد العزيز بن جريج ( س ) ‪ ،‬و هو من شيوخه‬ ‫عثمان بن محمد بن أبى شيبة ( د ق ) عفان بن مسلم ( مق ) على بن حجر السعدى املروزى ( خ‬ ‫م ت س ) على بن الحسين بن إشكاب ( ق ) على ابن املدينى ( خ ) على بن أبى هاشم بن طبراخ (‬ ‫بخ ) عمرو بن رافع القزوينى ( ق ) عمرو بن زرارة النيسابورى ( خ م س ) عمرو بن على الفالس‬ ‫عمرو بن محمد الناقد ( م ) أبو كامل فضيل بن حسين الجحدرى ( د ) قتيبة بن سعيد ( خ ) قيس‬ ‫بن حفص ( خ ) مجاهد بن موس ى ( س ) محمد بن أبان البلخى ( س ق ) محمد بن إسماعيل بن‬ ‫‪19‬‬



‫أبى سمينة محمد بن بشار بندار محمد بن أبى بكر املقدمى ( م ) محمد بن جعفر بن راشد الفارس ى‬ ‫لقلوق محمد بن حاتم بن ميمون ( م ) محمد بن خالد بن خداش املهلبى ( ق ) محمد بن سالم‬ ‫البيكندى ( خ ) محمد بن شجاع املروذى ( س ) محمد بن الصباح الدوالبى ( م ) محمد بن عبد‬ ‫هللا بن نمير ( م ) محمد بن عبيد بن حساب ( س ) أبو كريب محمد بن العالء ( م ) محمد بن‬ ‫عيس ى ابن الطباع ( د ) محمد بن قدامة بن أعين املصيص ى ( د ) أبو موس ى محمد بن املثنى مسدد‬ ‫بن مسرهد ( خ د ) أبو عمران موس ى بن سهل بن كثير الوشاء ‪ ،‬و هو آخر من روى عنه مؤمل بن‬ ‫هشام اليشكرى ( ختنه ) ( خ د س ) نصر بن على الجهضمى هارون بن عباد األزدى ( د ) أبو همام‬ ‫الوليد بن شجاع يحيى بن أيوب املقابرى ( م ) يحيى بن معين يحيى بن يحيى النيسابورى ( م )‬ ‫يعقوب بن إبراهيم الدورقى ( خ م د ت س ق ) يوسف بن يعقوب الصفار ( خ ) ‪.‬‬



‫‪20‬‬