Pengantar Ilmu Bedah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Pengantar Ilmu Bedah B.P. Suryosubianto Bagian Bedah FK-Unjani / RS Dustira Naskah Ajar Semester VII TA 2008/2009: Kuliah I.



Tujuan Instruksional Umum Mahasiswa mampu menjelaskan tentang dasar-dasar Ilmu Bedah yang menjadi latar belakang peran dokter umum dalam pengelolaan kasus bedah.



Tujuan Instruksional Khusus Mahasiswa mampu menjelaskan tentang: 1. Perkembangan Ilmu Bedah. 2. Ilmu Bedah berbasis bukti. 3. Pengelolaan perioperatif. 4. Prosedur kerja kamar bedah. 5. Reaksi Tubuh Terhadap Cedera. 6. Nutrisi Bedah. Pada pertemuan ini akan dibahas empat butir pertama, sedang butir 5 dan butir 6 akan dibicarakan pada pertemuan berikutnya.



1. Pendahuluan Ilmu Bedah adalah cabang Ilmu Kedokteran yang melakukan pengobatan memakai tangan untuk melakukan tindakan mekanik atau operasi, dalam usaha menyembuhkan pasien dari penyakit, cacat, atau cedera. Cheirourgia (Yunani): cheir = tangan, ergon = bekerja. Tindakan pembedahan memerlukan kamar bedah, peralatan, dan dokter spesialis bedah beserta tim pembedahan, tetapi kasus-kasus bedah kebanyakan pertama kali dikelola oleh dokter umum. Karena itu seorang dokter umum perlu memahami dasar-dasar ilmu bedah agar mampu mendiagnosis, memberi pertolongan pertama bila diperlukan, dan selanjutnya merujuk dengan benar kasus-kasus bedah elektif maupun bedah emergensi. Kemudian ia diharapkan mampu mengelola pasien pascabedah, atas petunjuk dokter operator. Selain peran kuratif tersebut, tidak boleh dilupakan peran promotif, preventif, dan rehabilitatif sebagai bagian dari sistem kesehatan nasional.



2. Perkembangan Ilmu Bedah Dokter bedah masa kini mengelola penyakit-penyakit bedah dengan cara yang berbeda dengan masa prasejarah, tapi jenis penyakit bedah tidak berubah: tumor, infeksi, trauma, dan kelainan kongenital. Manusia mengenal pembedahan sejak 10.000 – 5000 tahun SM di Mesir kuno, dengan dilakukannya trepanasi secara primitif. Papirus bertahun 1600 SM mendeskripsikan pertolongan luka dengan anatomi yang terinci. Bapak ilmu kedokteran, Hippocrates (460-377 SM), menulis Tentang Ilmu Bedah antara lain mengenai luka dan ulkus, hemoroid, fistula, cedera kepala, fraktura dan dislokasi serta alat-alat reduksi, yang 1



menjadi bagian yang paling cemerlang dari Corpus hippocraticum. Cornelius Celcus (25 SM – 50 M), menulis Medicina, yang mendeskripsikan inflamasi dengan: rubor, tumor, kalor, dan dolor. Ia bukan dokter, tetapi pendapatnya berikut ini tetap abadi: “Bagian ketiga seni kedokteran ialah yang utamanya menyembuhkan dengan karya tangan, tanpa menafikan dua bagian pertama ilmu kedokteran, yaitu obat dan diet. Cabang ini meskipun telah lama ada, lebih dipraktekkan oleh Hippokrates, bapak seni kedokteran, dibandingkan para pendahulunya. Pembedah haruslah bersemangat muda, atau memang berusia muda, dengan tangan kuat dan teguh tak pernah gemetar, terampil menggunakan tangan kanan maupun tangan kirinya. Penglihatannya tajam dan jernih, semangatnya taktergoyahkan, hatinya penuh belas-kasih. Dengan demikian, ia menyembuhkan pasiennya tanpa terganggu emosinya oleh jeritan pasien, bertindak tidak tergesa-gesa, memotong tidak berlebihan tapi juga tidak kurang dari yang perlu”.



Pada masa pemerintahan raja Asoka (?300-232 SM), India telah memiliki dokter bedah yang disebut shalyarara, yang arti harfiahnya ialah pencabut panah. Masa kejayaan Romawi ditandai dengan karya Claudius Galen (129-199M), dokter bedah untuk para gladiator yang mulai menulis buku tentang anatomi manusia berdasarkan diseksi pada kera dan babi. Karya tulis Galen amat ekstensif, dan telaahnya tentang inflamasi dan tumor adalah sumbangannya yang utama. Ia menggunakan berbagai alat pembedahan. Sepeninggal Galen, ilmu bedah tidak mengalami kemajuan selama sekitar 1000 tahun. Abu Ali al-Husain ibn Abdullah ibn Sina (Avicenna, 980-1037) adalah filsuf dan ilmuwan Persia yang selain karyanya di bidang filsafat, juga menulis Al Qanun fi’l-Tibb (Pola pikir dalam Ilmu Kedokteran), suatu ensiklopedia sistematik berdasarkan karya dokter-dokter pada masa keemasan Yunani dan Romawi, ditambah pengalaman beliau sendiri. Buku ini juga dipelajari di universitas-universitas Eropa beberapa abad kemudian. Terjemahan pada abad 12 dicetak-ulang 15 kali sebelum tahun 1500, kemudian terjemahannya terbit lagi tahun 1527 dalam beberapa edisi, merupakan kontribusi Bangsa Arab saat ilmu kedokteran abad pertengahan di Eropa mengalami stagnasi. Pada abad pertengahan dan renaisans, pembedahan pada manusia dilakukan oleh tukang cukur atau pengobat keliling, kemudian baru dilakukan oleh dokter dengan pendidikan universitas, sejalan dengan berkembangnya universitas-universitas di Eropa. Fakultas yang dianggap bergengsi ialah hukum, teologi, dan kedokteran. Pada masa berdampingannya “dokter bedah bergaun panjang” dan “pembedah bergaun pendek” ini, menonjol peran Ambroise Pare (1510-1590: “Aku mengobati, Tuhan menyembuhkan”) yang memulai kariernya sebagai barber-surgeon, mempelajari anatomi dan kemudian banyak menulis karya dalam Bahasa Perancis. Ia kemudian memasuki dunia ilmiah dengan menjadi anggota College of St.Come (1554). Sejak itu, pendidikan dokter bedah mulai dapat diikuti oleh anggota masyarakat lapis bawah. Pare melayani empat raja Perancis sebagai dokter bedah militer pada masa perang Perancis-Spanyol. Kontribusi utamanya mengenai terapi trauma penetrans, ligasi sebagai ganti kauterisasi, nutrisi pascacedera, dan prostesis pasca-amputasi. Tiga hal yang kemudian mendorong kemajuan ilmu bedah dengan pesat ialah ditulisnya buku anatomi berdasarkan diseksi pada tubuh manusia, ditemukannya konsep sterilitas dalam tindakan bedah, dan ditemukannya teknik pembiusan. Manual diseksi tubuh manusia ditulis oleh Mondino de Luzzi pada tahun 1316, diawali dengan diseksi pada binatang dan untuk mengetahui penyebab kematian kadang-kadang dilakukan diseksi pada manusia. Pada 1543, Andreas Vesalius, guru besar anatomi dan ilmu bedah pada universitas Padua menulis De Humani Corporis Fabrica yang selain menjelaskan anatomi tubuh manusia, juga menyusun praktikum dalam pengajarannya. Giovanni Battista Morgagni, guru besar anatomi dan bedah di Padua, pada 1761 menulis On the Seats and



2



Causes of Disease Investigated by Anatomy waktu beliau berusia 60 tahun. Ini adalah salah satu karya klasik di dunia kedokteran, dan menekankan pentingnya penelitian postmortem mendampingi observasi klinis. William Cheselden, seorang dokter bedah Inggris, menulis The Anatomy of the Humane Body pada tahun 1713, dan edisi ke-13nya terbit pada tahun 1792, suatu buku teks anatomi yang bertahan sampai 100 tahun. Karya cemerlang lain di bidang anatomi ditulis oleh Henry Gray tahun 1859: Anatomy, Descriptive and Surgical. Para perintis patologi dan bedah eksperimental antara lain ialah John Hunter (1728-1793), dokter bedah Skotlandia yang dijuluki the father of surgical research, amat teliti menyimpan berbagai spesimen anatomi. Murid beliau yang amat piawai dalam membedah maupun dalam diseksi postmortem ialah Sir Astley Cooper (1768-1841), bekerja di London. Ignaz Philipp Semmelweis (1818-1865), seorang dokter obstetri di Hungaria, mengamati bahwa kejadian infeksi puerperal menurun bila mahasiswa mencuci tangan mereka dengan sabun dan cairan hipoklorit setelah pelajaran diseksi anatomi, baru kemudian menolong partus. Louis Pasteur (1822-1895) membuktikan adanya mikroba sebagai penyebab infeksi, Joseph Lister (1827–1912) menjelaskan teknik antisepsis dalam mencegah infeksi, secara sistematik dan ilmiah. Selanjutnya dokter-dokter Jerman mengembangkan penemuan Lister sehingga tutup kepala, masker, gaun operasi, sarung tangan, dibakukan dalam operasi. Pada tahun 1842, Crewford W. Long, dokter di pedesaan Georgia, USA, melakukan eksisi lesi kulit dengan membius pasien menggunakan eter, tetapi ia baru melaporkan kasusnya 3 tahun kemudian setelah William Morton membius pasien dengan eter di RSU Massachussets. Setahun kemudian James Young Simpson menggunakan kloroform. Pembiusan pasien bedah berkembang dengan pesat, maka kecepatan operasi tidak lagi menjadi penanda utama seorang dokter bedah ternama. Theodor Billroth (1829-1894), asisten pada klinik bedah Langenbeck di Berlin, kemudian bekerja di Zurich, selanjutnya di Vienna. Ia dengan konsisten menerapkan prinsip Lister. Pengangkatan appendiks terinflamasi sebelum ruptur, operasi kanker esofagus, kanker gaster, berbagai teknik operasi abdomen, menjadi karya Billroth yang terkenal. William S. Halsted (1852-1922) menyampaikan orasi The training of the surgeon pada tahun 1904 di Yale, dan beliau dikenal akan karyanya pada operasi radikal kanker mamma dan operasi hernia yang sebelumnya dirintis oleh Bassini. Ia mengakui pendidik Eropa seperti von Langenbeck dan murid-muridnya seperti Billroth dan Kocher sebagai model, dan ia selalu menekankan pentingnya hubungan bedah dan fisiologi. Bersama William Osler, disusunnya program pendidikan residen bedah di Johns Hopkins. Maka ilmu bedah makin bergeser dari drama di kamar bedah ke arah ilmu dan riset. Berbagai spesialisasi dan subspesialisasi berkembang, diikuti makin populernya bidang bedah invasif minimal menggunakan berbagai jenis endoskop, serta berkembangnya alat penunjang diagnostik maupun berbagai alat bantu operasi. Kemajuan pengetahuan di bidang biologi molekuler memungkinkan imunoterapi, kemoterapi, dan terapi gen pada kanker.



3. Ilmu Bedah berbasis bukti Dokter selalu menghadapi bukti medik relevan yang berkembang dengan cepat, dan bukti itu diharapkan dapat dimanfaatkan sebesar mungkin pada pelayanan pasiennya. Telah terbukti, bahwa dokter-dokter yang dididik secara tradisional, akan menurun pengetahuannya secara progresif dalam praktek klinik setelah mereka lulus. Sebaliknya, dokter lulusan sekolah yang



3



melatihkan pembelajaran ilmu kedokteran sepanjang hayat, menentukan arah pembelajaran secara mandiri, dan mempraktekkan ilmu kedokteran berbasis bukti (evidence-based medicine; EBM), tetap dapat mengikuti perkembangan kemajuan ilmu sampai 15 tahun setelah lulus. Ilmu kedokteran berbasis bukti merupakan cara pendekatan pembuatan keputusan klinik atau cara pemecahan masalah, dengan menerapkan sumber informasi eksternal. Didefinisikan sebagai: “Penggunaan bukti paling mutakhir yang diambil secara sadar, terbuka, dan hati-hati untuk membuat keputusan dalam menangani pasien”. Untuk mempraktekkannya diperlukan keterampilan mencari sumber literatur secara efektif dan efisien, menilainya secara kritis, kemudian menerapkannya pada masalah klinis. Lima keterampilan dasar kedokteran berbasis bukti meliputi: a. Mengajukan pertanyaan klinis. Pertanyaan klinis yang tersusun baik, akan membantu mengarahkan pencarian bukti dan jawaban yang tepat, memiliki empat unsur: 1) Pasien atau masalah; 2) Intervensi (kausa, prognosis, terapi); 3) Perbandingan intervensi (bila perlu); 4) Hasil akhir. b. Menemukan bukti untuk menjawab pertanyaan. Perlu disadari adanya hirarki bukti, dengan urutan mulai yang tertinggi sebagai berikut: 1) Penelitian yang terdesain cermat, teracak, dan terkontrol; 2) Tinjauan sistematik terhadap berbagai penelitian; 3) Seri kasus dalam jumlah besar; 4) Pendapat pakar; 5) Pengalaman pribadi. Kemajuan teknologi informasi memungkinkan pengembangan database yang dapat diakses. Selain itu, perlu dipahami kekuatan dan keterbatasan sumber informasi lain misalnya buku-buku teks, konsultasi pakar, atau pengalaman pribadi. c. Menilai secara kritis bukti yang diperoleh. Langkah berikutnya setelah bukti ditemukan ialah menilai secara kritis kesahihan dan manfaatnya untuk mendapatkan kekuatan maupun kelemahannya. Perangkat lunak untuk menilai bukti dapat diperoleh antara lain dari Centre for Evidence-based Medicine melalui http: / / cebm.jr2.ox.ac.uk. d. Menerapkan bukti kepada pasien yang dikelola. Selanjutnya, jawaban dari literatur yang telah dinilai secara kritis, diterapkan pada masalah pasien. Perlu diingat, bahwa penerapan kedokteran berdasar bukti tetap memerlukan keterampilan dan pengetahuan tentang patofisiologi dan harus memenuhi kebutuhan emosional pasien. e. Mengevaluasi kinerja sendiri. Langkah terakhir dalam praktik kedokteran berdasar bukti ialah mengevaluasi kinerja sendiri. Hal ini perlu untuk mengembangkan keterampilan belajar sepanjang hayat. Mempraktekkan ilmu bedah berdasar bukti akan dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada pasien. Terapi terbaik berdasarkan bukti ilmiah akan menjamin pasien mendapat terapi yang paling baik, sekaligus melindungi dokter dari tuntutan malpraktek. Tinjauan di AS tentang kejadian kesalahan pengelolaan pasien menunjukkan bahwa kesalahan pada rawat inap melebihi 30%, diantaranya 50% merupakan kesalahan yang dapat dicegah. Sebanyak 9-14% berhubungan dengan mortalitas, menyebabkan 98.000 kematian per tahun di AS, terbanyak oleh karena kesalahan medikasi (frekuensi tertinggi justru terjadi di ICU), diikuti oleh infeksi operasi dan penyulit teknis. Karena itu, usaha pembakuan dilakukan dengan menyusun petunjuk berdasar bukti, untuk mencegah kesalahan dalam pelayanan kesehatan (evidence-based guidelines; EBG). Pedoman lain yang didasarkan pada konsensus para pakar (concensus-based guidelines; CBG) dianggap kurang bernilai dibandingkan EBG. Norton memuat daftar tabel EBM, EBG, dan CBG di halaman awal bukunya. Pada halaman 377 tercantum EBG tentang pencegahan infeksi luka operasi (persiapan pasien, antisepsis tangan dan lengan, profilaksis AB, pakaian kamar bedah dan kain



4



pelindung pasien yang akan dibedah, teknik asepsis dan teknik pembedahan, dan perawatan luka operasi pascabedah), sedang pada halaman 387 tentang EBG untuk pasien febris (cara mengukur suhu, kultur darah, infeksi jalur iv, pneumonia di ICU, febris disertai diare, UTI, sinusitis, febris pasca bedah, infeksi SSP, penyebab febris noninfeksi).



4.



Pengelolaan perioperatif



Pelayanan perioperatif ialah pelayanan medik untuk menyiapkan pasien sebelum menjalani operasi dan mempercepat penyembuhan setelah operasi tersebut. Pelayanan pasien bedah mayor meliputi fase pengelolaan dengan urutan sebagai berikut: a) Perawatan prabedah (terdiri dari penegakan diagnosis, evaluasi prabedah, dan persiapan prabedah); b) Anestesi dan operasi; c) Perawatan pascabedah (terdiri dari observasi pasca-anestesi, perawatan intensif, perawatan tingkat menengah, dan perawatan masa penyembuhan). a. Perawatan prabedah Diagnosis meliputi penentuan kausa, dan luasnya penyakit saat dihadapi. Evaluasi prabedah terdiri dari penilaian menyeluruh atas kondisi kesehatan pasien untuk mengidentifikasi kelainan yang bermakna, yang dapat meningkatkan risiko operasi, atau menghambat pemulihan. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap sebelum suatu operasi mayor, terutama untuk menilai fungsi kardiovaskuler, pulmo, ginjal, dan hepar. Pasien berusia diatas 40 tahun perlu diperiksa hitung sel darah dan kimia darah, diatas 50 tahun perlu foto-X toraks dan EKG. Masa prabedah dimulai saat dibuat keputusan bahwa pasien perlu operasi. Mungkin hanya selama beberapa menit pada pasien trauma yang perlu operasi segera, namun bisa berminggu-minggu pada operasi elektif disertai faktor komorbid yang kompleks. Umumnya faktor spesifik yang dapat mempengaruhi risiko operasi ialah: 1. Pasien yang menurun kondisinya sehingga terganggu respons sistem organ atau jaringannya menghadapi trauma operasi, misalnya: a) Gangguan nutrisi; b) Defisiensi imunologi; c) Menurunnya daya tahan terhadap infeksi misalnya pada pengguna kortikosteroid, obat imunosupresi, sitotoksika, antibiotika jangka lama yang terinfeksi jamur; pasien yang diradiasi; pasien gagal ginjal; granulositopenia akibat limfoma, leukemia, atau hipogammaglobulinemia; pasien diabetes yang tidak terkontrol. 2. Disfungsi pulmo menyebabkan pasien rentan terhadap penyulit pascabedah seperti hipoksia, atelektasis, dan pneumonia. Perlu diwaspadai riwayat perokok berat dan batuk, obesitas, usia lanjut, operasi toraks atau abdomen bagian atas, penyakit pulmo. 3. Penyembuhan luka bertambah lama pada penurunan kadar protein darah, defisiensi vitamin C, dehidrasi atau edema yang nyata, anemia berat, diabetes mellitus, merokok. Eksperimen membuktikan bahwa penyembuhan luka terganggu oleh penurunan tekanan oksigen jaringan akibat hipovolemia, vasokonstriksi, dan trauma pada lokasi lain yang menyebabkan peningkatan agregasi intravaskuler dan eritrostasis. Radiasi yang berat dapat menurunkan vaskularitas dan perubahan lokal lain yang menghambat penyembuhan luka. 4. Alergi, inkompatibilitas, dan efek samping pemakaian obat mungkin dipresipitasi oleh operasi, sehingga riwayat reaksi kulit atau reaksi lain setelah pemakaian obat atau zat lain harus diwaspadai dan sedapat mungkin dicegah. Diantaranya ialah: Penisilin dan antibiotika lain; morfin, kodein, meperidin atau opiat lain; prokain dan anestetika lain; aspirin dan analgetika lain; barbiturat, sulfonamida; anti toksin tetanus dan serum lain; iodina, thimerosal



5



dan antiseptika lain; telur, susu, coklat, dan makanan lain; plester. Riwayat asthma yang amat dominan perlu diantisipasi. Pemakaian psikofarmaka yang mempengaruhi obat bius penekan susunan saraf pusat, perlu mendapat perhatian. 5. Risiko tromboemboli meningkat pada kanker, obesitas, disfungsi myokard, usia diatas 45 tahun, dan riwayat trombosis sebelumnya, sehingga memerlukan tindakan prevensi. 6. Kekhususan anatomi dan faal pasien pediatri perlu mendapat perhatian tersendiri, demikian pula menurunnya cadangan faal pada usia lanjut. Pada usia diatas 60 tahun, meskipun tidak ada gejala, terjadi arteruiosklerosis umum dan terdapat keterbatasan cadangan fisiologis myokard, ginjal, dan pulmo. 7. Obesitas sering disertai kenaikan frekuensi berbagai penyakit dan tingginya insidensi infeksi pascabedah. Sebaiknya diberikan program penurunan berat badan prabedah elektif. 8. Risiko perdarahan dinilai dengan melakukan anamnesis diikuti pemeriksaan laboratorium. Anamnesis (terhadap pasien dan keluarganya) meliputi adanya episode perdarahan atau tromboemboli sebelumnya, riwayat operasi dan transfusi sebelumnya, menoragia, mudah memar, sering mimisan, perdarahan gusi waktu menggosok gigi. Adakah penyakit hepar atau ginjal, kebiasaan makan yang salah, alkoholisme, penggunaan aspirin atau obat anti-inflamasi nonsteroid lain, obat antilipida, terapi anti-koagulan. Pada pemeriksan jumlah trombosit, PT (prothrombin time) dan APTT (activated partial thromboplastin time) jarang ditemukan kelainan pada pasien yang riwayat dan pemeriksaan klinisnya negatif. Bila ditemukan faktor defisiensi (hemofilia A/B, gangguan hepar) atau abnormalitas trombosit (trombositopenia, ITP, keracunan obat, uremia), diberikan terapi yang sesuai. 9. Antibiotika profilaksis diperlukan, karena operasi menyebabkan perubahan lokal maupun sistem imun termasuk menekan fungsi netrofil. Beberapa prosedur operasi menyebabkan gangguan yang lebih besar daripada prosedur lain, misalnya operasi jantung, pintas pembuluh koroner, hipoperfusi, bahkan histerektomi menurunkan sistem imun yang dapat diukur. Selain pada operasi traktus digestif atau traktus urinarius, antibiotika profilaksis diberikan pula pada pemasangan berbagai implan, dan bahkan pada operasi yang tergolong “bersih”. Penelitian menunjukkan, antibiotika profilaksis paling efektif bila ia telah berada di serum dan jaringan dalam kadar bakterisidal terapeutik sebelum insisi ditorehkan, dan kadar tersebut terjaga sampai beberapa jam setelah luka operasi ditutup. Tidak efektif bila tertunda 3 jam, dan efektif tingkat menengah bila diantaranya. Konsultasi prabedah dilakukan bila pasien memerlukan, bila risiko operasi amat tinggi sehingga perlu pendapat kedua, atau bila ada kelainan organ tertentu yang memerlukan pendapat ahli. Konsultasi anestesi selalu dilakukan sebelum bedah mayor bila ada dokter spesialis anestesi, pada pasien berisiko tinggi sebaiknya dilakukan sedapat mungkin beberapa hari prabedah. Penilaian atas pasien sebelum anestesi ialah: Kelas 1: pasien sehat; Kelas 2: ada penyakit sistemik tingkat ringan; Kelas 3: ada penyakit sistemik tingkat berat, tetapi tidak sampai menjadikan pasien tidak berdaya; Kelas 4: ada penyakit tingkat berat yang selalu mengancam jiwa; Kelas 5: pasien moribund, diperkirakan tak akan bertahan sampai 24 jam. Persiapan prabedah diperlukan karena operasi mayor menciptakan luka, menyebabkan stres berat, membuat pasien menerima risiko infeksi dan mengalami gangguan metabolisme. Pasien disiapkan kondisinya seoptimal mungkin, pada operasi emergensi dan terlebih lagi pada pasien elektif. Operator perlu menjelaskan kepada pasien maupun keluarganya tentang rencana operasi dan risiko operasi dalam bahasa yang dimengerti. Dengan demikian, pasien atau keluarganya menandatangani persetujuan operasi karena telah memahami prosedur operasi apa apa yang akan dilakukan.



6



b. Anestesi dan operasi. Tentang anestesi, akan diberikan pelajaran tersendiri oleh Bagian Anestesiologi, sedang mengenai operasi, yang perlu dipahami adalah prosedur kerja kamar bedah yang akan dibicarakan setelah pasal perawatan perioperatif ini. c. Perawatan pascabedah Kausa utama penyulit dan kematian dini pascabedah-mayor ialah gangguan akut pada pulmo, kardiovaskuler, atau cairan tubuh. Di ruang pemulihan, personil yang terlatih melakukan observasi tanda vital, keseimbangan cairan, bila perlu dengan bantuan alat monitor misalnya oksimeter nadi, EKG, CVP. Perintah pascabedah tertulis harus ada pada saat pasien tiba di ruang pemulihan. Tekanan darah, nadi, dan respirasi dicatat tiap 15–30 menit sampai stabil, dan kemudian tiap jam sampai pasien dipindahkan dari ruang pemulihan. Pada awal pascabedah, pasien mungkin masih mendapat bantuan ventilasi, atau setidaknya mendapat suplemen oksigen melalui sungkup atau cerobong hidung. Pasien yang belum diekstubasi, perlu mendapat perhatian khusus. Yang tidak diintubasi, sudah harus disemangati untuk menarik napas panjang untuk mencegah atelektasis. Gangguan tanda vital harus segera dilaporkan kepada dokter anestesi dan dokter operator segera. Dokter anestesi menentukan apakah pasien memerlukan pengawasan di ICU, atau dapat dilanjutken dengan perawatan tingkat menengah. Perawatan tingkat menengah dimulai saat pemulihan dari anestesi telah usai, dan berakhir saat ia pulih fungsi-fungsi dasarnya, dapat mengurus dirinya sendiri untuk kemudian melanjutkan penyembuhan di rumah. Pada 48 jam pascapenutupan-luka, bagian profundus sudah tertutup dari lingkungan eksternal. Balutan luka operasi diganti pada hari ketiga pascabedah, kecuali bila balutan basah. Pada 24 jam pertama, pembukaan balutan luka operasi harus dilakukan secara aseptik. Umumnya, jahitan kutis diangkat hari ke-5 atau ke-6 pascabedah. Pada keadaan tertentu, jahitan dipertahankan sampai dua minggu, misalnya pada jahitan dengan ketegangan, jahitan menyeberangi lekuk tubuh, dan jahitan pada pasien yang keadaan umumnya tidak baik. Drain umumnya dikeluarkan melalui luka tersendiri, karena drain melalui luka operasi akan menaikkan risiko infeksi luka. Ujung drain selalu dijaga dari kontaminasi, dan drain diangkat secepat mungkin tidak dibutuhkan lagi, yaitu bila tidak produktif. Pasca-anestesi dan pascabedah, perubahan fungsi pulmo disebabkan oleh penurunan kapasitas vital pulmo maupun kapasitas residual fungsional, serta edema pulmo. Kapasitas vital tinggal 40% dari keadaan prabedah dalam 1-4 jam pascabedah abdomen, bertahan selama 12 – 14 jam, setelah itu pulih menjadi 60 – 70% selama 7 hari, dan pulih normal dalam seminggu berikutnya. Kapasitas residual fungsional menurun menjadi 70% dari keadaan prabedah, bertahan selama beberapa hari, untuk pulih kembali 10 hari pascabedah. Penurunan fungsi pulmo ini makin berat pada pasien obesitas, perokok berat, dan pasien yang sebelumnya mempunyai penyakit pulmo. Pada respirasi manusia normal, terjadi inspirasi sampai kapasitas paru-paru maksimal beberapa kali tiap jam. Bila hal ini tidak terjadi, umumnya karena rasa nyeri, akan terjadi atelektasis akibat kolaps alveolus. Refleks, distensi abdomen, obesitas, dan terganggunya pernafasan diafragma ikut berperan disamping nyeri. Untuk meminimalkan atelektasis, pasien dilatih menarik napas dalam-dalam pada posisi tegak disertai mobilisasi dini, khususnya pada pasien berisiko tinggi terhadap penyulit pulmo (tua, obesitas, debilitas).



7



Pascalaparotomi, peristaltik menurun sementara. Peristaltik usus halus pulih dalam 24 jam, gaster lebih lama dari itu. Kolon kanan pulih peristaltiknya dalam 48 jam, kolon kiri dalam 72 jam. Semula tube nasogastrik (NGT) dipasang pada semua laparotomi, namun kemudian dianggap berlebihan, karena justru akan merangsang atelektasis dan pneumonia. Pada operasi kolesistektomi, operasi organ rongga pelvis, reseksi kolon, NGT umumnya tidak perlu dipasang. Mungkin bermanfaat pada operasi usus halus. Tetapi NGT harus dipasang pada operasi reseksi esofagus, reseksi gaster, pasien ileus, pasien yang kesadarannya amat menurun, dan pasien pascabedah dengan distensi gaster atau vomitus yang hebat. NGT harus dirawat denngan aspirasi intermiten dan irigasi untuk memastikan tube terbuka. Umumnya NGT dipertahankan 2 – 3 hari, atau diangkat setelah nafsu makan pulih, peristaltik terdengar, atau ada pasase flatus. Nyeri yang hebat adalah gejala paling sering pascabedah toraks, abdomen, serta operasi tulang dan sendi. Sekitar 60% pasien mengeluhkan nyeri hebat, 25% moderat, dan 15% nyeri ringan, dibandingkan dengan operasi superfisial di kepala dan leher, dinding abdomen, serta ekstremitas yang kurang dari 15% mengeluhkan nyeri hebat. Perbedaan ini dipengaruhi oleh lamanya operasi, besarnya trauma operasi, jenis insisi, dan besarnya retraksi intrabedah. Perlakuan yang lembut terhadap jaringan, operasi yang singkat, dan relaksasi otot yang baik, mengurangi kehebatan nyeri pascabedah. Telah diketahui, bahwa karakteristik fisik, emosi, dan budaya tiap pasien berpengaruh kepada hebatnya nyeri pascabedah. Kecemasan dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Mengatasi nyeri pascabedah dimulai dari komunikasi yang baik antara dokter dan pasien dengan memberi perhatian sebaik-baiknya terhadap kebutuhan pasien, sering menenangkan pasien dengan penjelasan yang sesuai, serta memberikan perhatian yang tulus prabedah maupun pascabedah. Obat yang diberikan pada masa awal pascabedah ialah golongan opioid parenteral, analgetik anti-inflamasi non-steroid, dan obat tambahan golongan hydroxyzine (potensiasi analgesik morfin, penenang, antiemetik). Beberapa hari pascabedah biasanya nyeri berkurang, dimulai analgetika per oral. Penyulit pascabedah yang umum dijumpai ialah febris. Febris terjadi pada 40% pasien pascabedah mayor, kebanyakan mereda tanpa terapi spesifik. Meskipun demikian, febris dapat disebabkan oleh infeksi yang serius, sehingga perlu dinilai secara klinis. Dinilai adanya trauma prabedah, penilaian prabedah Kelas 2 atau lebih, febris terjadi setelah hari kedua pascabedah, kenaikan suhu >38,60C, jumlah lekosit 10.000/ml, urea nitrogen >15 mg/dL: bila tiga atau lebih hal diatas ditemui, maka kemungkinan infeksi bakterial mendekati 100%. Dalam 48 jam pertama pascabedah, febris biasanya disebabkan oleh atelektasis. Reekspansi pulmo akan meredakan febris. Setelah hari kedua pascabedah, atelektasis umumnya bukanlah penyebab febris; diagnosis bandingnya ialah flebitis karena kateter iv, pneumonia, dan UTI. Anamnesis yang terarah, pemeriksaan fisik yang teliti, dan penunjang laboratorium serta radiologi yang tepat biasanya dapat menentukan penyebabnya. Pasien febris lebih dari hari kelima pascabedah, umumnya karena infeksi luka operasi atau lebih jarang lagi karena anastomosis usus yang bocor atau terbentuknya abses intraabdominal. Lebih dari seminggu pascabedah, febris pada pasien yang pemulihan sebelumnya normal, biasanya disebabkan oleh alergi obat, reaksi transfusi, trombosis septik vena pelvis, atau abses intra-abdominal. Penyulit pada luka operasi yang sering dijumpai ialah hematoma (kumpulan darah dan bekuannya, paling sering karena hemostasis yang kurang sempurna. Bekuan darah dievakuasi secara steril, hemostasis, kemudian luka ditutup kembali), seroma (terkumpulnya cairan bukan darah maupun nanah, biasanya setelah operasi disertai elevasi flap, atau operasi



8



yang menyayat saluran limfe pada mastektomi, operasi di daerah inguinal), dan terbukanya luka operasi (=dehisensi, dapat parsial atau total. Pada laparotomi, dehisensi total disertai menonjolnya visera disebut eviserasi). Penyulit pascabedah lainnya ialah penyulit respirasi (atelektasis, aspirasi, pneumonia, efusi pleura, dan pneumotoraks), penyulit jantung (gangguan irama, infark miokard akut, payah jantung), penyulit ginjal (insufisiensi ginjal akut), emboli lemak, gangguan motilitas gastrointestinal (ileus pascabedah, distensi gaster, obstruksi usus, impaksi feses), pankreatitis pascabedah, disfungsi hepar pascabedah, kolesistitis pascabedah, penyulit traktus urinarius (retensio urine, UTI), penyulit SSP (CVA, konvulsi), penyulit psikiatri (stres perlu didiagnosis-banding dengan psikosis pascabedah). Rencana terapi pascarawat-inap harus diberikan dalam bentuk tertulis, dan dipastikan pasien memahami dengan baik. Umumnya meliputi medikasi (dosis dan lama pemakaian antibiotika, analgetika, dan obat lain), kapan jahitan dan drain diangkat, program mobilisasi atau imobilisasi, rencana fisioterapi, dan kapan kontrol kembali.



5.



Prosedur kerja kamar bedah



Pembedahan atau operasi ialah semua tindak pengobatan yang menggunakan cara invasif, dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani. Pembukaan bagian tubuh umumnya dilakukan dengan menyayat. Setelah bagian yang akan ditangani ditampilkan, dilakukan tindak perbaikan yang diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka. Sejak Ambroise Pare (1510-1590) dan Peter Lowe (1550-1613) menulis tentang jenis-jenis operasi sampai sekarang, pada dasarnya tindakan bedah tetap sama, yaitu: 1) Mengeksisi; 2) Mengatasi atau menambah; 3) Mengembalikan yang menonjol keluar; 4) Memisahkan; 5) Menyambung yang terpisah. Dokter yang menemukan indikasi pembedahan pada suatu penyakit, merencanakan persiapan dirinya, terutama menyangkut pengetahuan tentang penyakit dan teknik pembedahannya. Disamping itu, perlu disiapkan sarana pembedahan dan personelnya. Berbeda dengan sapuan atau coretan pada lukisan, apa yang dihasilkan oleh dokter pembedah tidak dapat dicoret, disapu, atau diulang kembali. Hal ini mendorong seorang pembedah untuk mempunyai tanggung jawab pribadi dalam melakukan operasi: ia harus dapat melakukannya dengan penuh keyakinan. a. Asepsis dan Antisepsis Asepsis adalah prinsip bedah untuk mempertahankan keadaan bebas kuman. Keadaan asepsis merupakan syarat mutlak dalam tindakan bedah. Antisepsis adalah cara dan tindakan yang diperlukan untuk mencapai keadaan bebas kuman patogen. Obat-obat antiseptik misalnya lisol atau kreolin adalah zat kimia yang dapat membunuh kuman patogen. Kuman penyebab infeksi dalam pembedahan ialah berbagai jenis stafilokokus, yang paling terkenal ialah Staphyllococcus aureus. Selain itu, bakteri yang berasal dari usus, salah satunya ialah Escheria coli yang paling banyak hidup di kolon dan mudah tinggal komensal di daerah perineum. Sumber infeksi dapat berasal dari: 1) Debu di udara yang mengandung mikroba kemudian menempel pada alat bedah, kulit pasien, peralatan lain; 2) Alat bedah, personel, dan vektor lain; 3) Kulit pasien; 4) Visera; 5) Darah pasien yang terinfeksi.



9



Pengendalian infeksi dilakukan dengan mengatur: 1. Lingkungan pembedahan: Tempat pembedahan merupakan daerah aseptik, karena itu perlu diatur dan dijaga agar jumlah kuman ditekan menjadi seminimal mungkin. Area semi publik yaitu ruang tunggu untuk keluarga pasien, ruang persiapan, ruang pemulihan, ruang konsultasi, ruang untuk staf dan peserta program pendidikan/latihan diatur agar suasana kerja baik. Kamar bedah atapnya tidak boleh bocor, pengaturan pintu, jendela, dan lubang drainase dapat mencegah serangga dan binatang lain masuk, dindingnya mudah dicuci, lantainya memungkinkan drainase, luasnya cukup untuk meja operasi, meja instrumen, alatalat pendukung, dan masih memungkinkan personel kamar bedah bermanuver. Suhu dan pengaturan aliran udara memungkinkan personel kamar bedah bekerja dengan nyaman, dianjurkan suhu sekitar 20-240C. Pencahayaan baik, khususnya untuk medan operasi dan meja instrumen. 2. Personel kamar bedah: Kuman dapat terbawa melalui kontak langsung atau terbawa udara, karena S.aureus dari hidung, ketiak, serta E.coli dari anus, perineum, dan genitalia mudah disebarkan. Karena itu, disiplin dasar personel kamar bedah menyangkut higiene pribadi termasuk kebersihan kulit, pakaian dalam. Batasi jumlah personil, batasi kontak dengan orang lain, bicara seperlunya, batasi berjalan-jalan di kamar bedah. Semua personel kamar bedah harus memahami dasar teknik asepsis, meliputi pemahaman zona aseptik di ruang operasi, cara mengenakan topi, masker, dan gaun operasi, cara mencuci tangan dalam persiapan operasi, memelihara hygiene perorangan denngan baik, termasuk melapor bila ada luka, bisul, yang membuat ia tidak boleh memasuki kamar bedah. 3. Pakaian dasar dikenakan oleh semua personel kamar bedah, terbuat dari bahan yang ringan, tipis, dan tembus udara. Tidak perlu steril tetapi dicuci dan disetrika setiap akan dipakai. Gaun bedah dikenakan oleh operator dan paramedik yang membantu operasi (asisten, perawat instrumen), dikenakan di dalam kamar bedah setelah mencuci tangan, disiapkan dalam keadaan steril. Alas kaki kamar bedah tidak boleh dipakai diluar kamar bedah. Tutup kepala dan masker harus bersih dan tidak dipakai berkali-kali. 4. Sterilisasi instrumen: Umumnya dilakukan dengan uap bertekanan tinggi menggunakan autoklaf, 1200C selama 10 menit atau 1340C selama 3 menit. Pemanasan dapat juga dilakukan secara kering. Membakar instrumen sebenarnya tidak menyuci-hamakan. Merendam dengan cairan bakterisida dilakukan pada instrumen yang terbuat dari plastik atau karet, yang sebelumnya dicuci dan dibilas dengan air streril. 5. Persiapan lapangan bedah dan sekitarnya: Operator dan asisten yang telah mengenakan pakaian dasar, bertopi dan masker, mencuci tangan dengan cairan antiseptika. Menyikat ujung jari di daerah kuku hanya bila kotor. Gaun bedah dikenakan setelah tangan dan lengan dikeringkan, kemudian terakhir sarung tangan dikenakan dengan teknik tanpa-singgung. Pasien mandi bersabun dengan bersih, diulang pada daerah sayatan operasi, dan dicukur rambutnya menggunakan pisau cukur sekali-pakai. Penyucihamaan kulit pasien dilakukan di meja operasi menggunakan cairan antiseptik. Setelah itu, dilakukan penutupan lapangan pembedahan menggunakan kain linen steril untuk mempersempit lapangan pembedahan. 6) Pengendalian infeksi dari usus. Pada operasi terencana dengan kemungkinan membuka usus, dilakukan persiapan untuk menurunkan jumlah kuman dalam usus. Secara mekanik dengan diet rendah serat beberapa hari prabedah diikuti pemberian laksansia dan lavemen sehari sebelum operasi, dan pemberian antibiotika tunggal atau kombinasi dari jenis aminoglikosida, neomisin, eritromisin, metronidazol.



10



7. Antibiotika profilaksis diberikan bukan untuk tujuan sucihama, melainkan untuk mencegah infeksi. Diberikan pada bedah kardiotoraks, bedah vaskuler, bedah digestif, bedah urologi, bedah orthopaedi khususnya pemasangan prostesis. Diberikan parenteral prabedah, sehingga pada saat sayatan dibuat, kadar antibiotika dalam darah cukup tinggi. Berbagai prosedur pencegahan infeksi luka operasi ini diatur dalam EBG terlampir, secara garis besar terdiri dari persiapan pasien, antisepsis pada tangan dan lengan, profilaksis antimikroba, pakaian bedah dan kain linen untuk pasien, tindakan asepsis dan teknik pembedahan, serta perawatan insisi pascabedah. b. Teknik Pembedahan Suatu tindakan pembedahan akan berhasil bila didukung oleh:  Diagnosis dini yang akurat, saat intervensi yang tepat  Persiapan prabedah yang lengkap  Tindakan intrabedah yang tepat dan cepat  Follow-up pascabedah yang teliti. Pada garis besarnya, tindakan operasi terdiri dari membuat sayatan, menggunting, melakukan hemostasis untuk menghentikan perdarahan, menguak untuk memperoleh pandangan yang baik terhadap organ obyek operasi, dan menjahit. Membuat insisi harus memperhatikan arah lipatan kulit dan jalan nervus, serta kebutuhan untuk menampakkan obyek operasi. Pembedah harus memperlakukan jaringan tubuh dengan hati-hati, tanpa tarikan atau tekanan berlebihan, sehingga membuat trauma seminimal mungkin. Diseksi tajam menggunakan pisau atau gunting, lebih kecil traumanya dibandingkan diseksi tumpul. Untuk melakukan operasi, instrumen dasar terdiri dari: 1. Skalpel adalah instrumen terbaik untuk membelah jaringan. Bilah yang tajam memungkinkan pembelahan sruktur dengan trauma minimal terhadap jaringan sekitarnya. Berbagai bentuk didesain untuk tujuan khusus. Tangkai skalpel digenggam diantara ibujari dan jari ketiga dan keempat, telunjuk diletakkan dipunggung bilah, untuk mengontrol gerak. 2. Gunting digunakan untuk membelah struktur seperti skalpel, selain itu digunakan untuk memotong benang dan balutan. Gunting jaringan dirawat baik-baik, selalu dalam keadaan tajam, dan tidak digunakan untuk keperluan selain diseksi jaringan. Dipegang dengan memasukkan ibujari dan jari manis ke dalam tiap lingkarannya, telunjuk dibagian ujung gunting. Gunting lurus untuk pekerjaan superfisial, gunting bengkok untuk pekerjaan lebih profundus. Selain gunting jaringan, ada gunting benang, gunting pembalut, dan gunting serbaguna dengan ujung tumpul, ujung tajam, atau ujung tumpul dan tajam. 3. Pinset digunakan untuk menjepit jaringan, yang berujung bergigi agar jaringan tidak terlepas, sedang yang tumpul digunakan dekat stuktur yang tidak boleh ruptur. Dipegang diantara ibu jari berlawanan dengan telunjuk dan jari tengah tangan kiri, dengan tangan kanan memegang skalpel atau gunting (untuk operator yang kidal, skalpel atau gunting di tangan kiri, pinset di tangan kanan). 4. Klem untuk hemostasis pembuluh darah yang terpotong, atau penjepit lain berbentuk seperti klem dengan ujung khusus, misalnya babcock untuk memegang jaringan tanpa merusaknya, allis untuk memegang fasia atau kulit, kocher yang ujungnya bergigi untuk memegang jaringan dengan erat sehingga dapat dipakai bila perlu menarik. Beberapa bentuk khusus lainnya misalnya klem kain linen, tenakulum tiroid, klem hemoroid, klem usus, klem pembuluh darah.



11



5. Retraktor digunakan untuk menahan jaringan ke tepi guna memperluas medan operasi sehingga memperbaiki penampakan jaringan sasaran operasi. Bentuk yang paling sederhana berupa lempeng metal yang ditekuk sesuai kebutuhan. Retraktor bergigi digunakan di lokasi yang tidak dekat pembuluh darah atau organ berongga, umumnya di daerah superfisial. Retraktor deaver digunakan pada struktur yang letaknya dalam, dengan berbagai variasi pada bilahnya maupun pada pemegangnya. 6. Jarum lurus yang dipegang oleh operator tidak selalu dapat digunakan karena arah tusukannya hanya satu macam: lurus menjauhi operator. Hampir selalu jahitan dilakukan dengan jarum bengkok, sehingga diperlukan pemegang jarum. Jarum dipegang pada jarak sekitar seperempat jarak dari ujung tumpul, dengan ujung tajam mengarah ke kiri untuk operator yang tidak kidal, kemudian ditusukkan kearah operator dengan gerakan searah dengan lengkung jarum.. Ujung yang menonjol keluar pada jaringan yang akan dijahit dipegang dengan pinset, kemudian pemegang jarum dipindahkan dari bagian semula ke bagian yang dipegang pinset. Pemegang jarum digerakkan lagi searah dengan lengkung jarum untuk mengeluarkannya dari jaringan. Setelah itu, dapat dibuat simpul. 7. Alat penghisap digunakan untuk mengaspirasi darah dari luka operasi, mengosongkan organ berongga, atau mengumpulkan cairan dari rongga peritoneum atau rongga pleura. Ujung alat penghisap dimodifikasi menjadi berbagai bentuk: ujung menonjol dengan beberapa lubang, ujung kecil dan sempit dengan lubang di pangkal yang bila ditutup dengan ujung jari maka panghisapan makin kuat, sarung berlubang-lubang yang menutupi sebuah alat pengisap, khusus untuk rongga peritoneum, atau menaruh kasa yang dipegang dengan klem, untuk menghalangi jaringan menempel karena terhisap, tetapi memungkinkan cairan terhisap.



Referensi 1. Barbul A: Wound healing, dlm Brunicardi FC et al: Schwartz’s principles of surgery 8th Ed. McGraw Hill 2005: 224. 2. Barie PS: Perioperative management, dlm Norton JA et al: Essential practice of surgery. Springer, New York 2003: 363-93. 3. Brieger GH: The development of surgery, dlm Sabiston DC Jr: Textbook of surgery, 13th Ed, WB Saunders, Philadelphia 1986: 1-20. 4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas: Kurikulum berbasis kompetensi untuk pendidikan kedokteran dasar. Jakarta, 2005: 25-30. 5. Doherty GM & Demling RH: Preoperative care, dlm Way LW & Doherty GM: Current surgical diagnosis & treatment, 11th Ed, McGrawHill, Boston, 2003: 6-13. 6. Doherty GM, Mulvihill SJ & Pellegrini CA: Postoperative care, dlm Way LW & Doherty GM: Current surgical diagnosis & treatment, 11th Ed, McGrawHill, Boston, 2003: 14-22. 7. Dunphy JE & Way LW: Approach to the surgical patients, dlm Way LW & Doherty GM: Current surgical diagnosis & treatment, 11th Ed, McGrawHill, Boston, 2003: 1-5. 8. Encyclopedia Britannica Vol.2. William Benton, Chicago 1970: 915-6. 9. Harken TR & Harken AH 2004: Are you ready for your surgery rotation, in Harken AH & Moore EE Abernathy’s Surgical Secrets, 5thEd. Elsevier/Hanley&Belfus, New Delhi: 1-2. 10. Henry MM & Thompson JN 2005: Clinical Surgery, 2 nd Ed. Elsevier/Saunders, Philadelphia: 3-16.



12



11. McLeod RS: Evidence-based surgery, dlm Norton JA et al: Essential practice of surgery. Springer, New York 2003: 3-11 12. Mochtar R 1971: Sejarah dan perkembangan Ilmu Bedah. FK-UGM 13. Nealon TF, Jr & Nealon WH: Fundamental skills in surgery, 4 th Ed, WB Saunders Co. Philadelphia, 1994: 1-59. 14. Norton JA et al: Essential practice of surgery. Springer, New York 2003: xxv, 377, 387. 15. Rennie S: Evidence-based medicine, in dlm Dent JA & Harden RM: A practical guide for medical teachers, Churchill Livingstone, 2003: 283-9. 16. Rutkow IM: The origins of modern surgery, in Norton JA et al: Surgery, basic science & clinical evidence. Springer, New York, 2000: 3-20. 17. Sabiston DC & Lyerly HK: Sabiston textbook of surgery, pocket companion. WB Saunders Co1997:1-20; 39-42; 56-60, 74-8. 18. Sjamsuhidajat R & de Jong W: Buku ajar ilmu bedah, Ed.2, EGC Jakarta 2005: 208-11; 230-8; 265-03. 19. Trunkey DD & Slater M: Management of battle casualties, dlm Mattox KL, Feliciano DV & Moore EE: Trauma 2nd Ed, McGraw-Hill 2000 : 1211-12. 20. Xin-Hua F, Matthews JB, Xia l, Brunicardi FC: Cell, genomics, and molecular surgery, dlm Brunicardi FC: Schwartz’s principles of surgery 8th Ed. McGraw Hill 2005: 403



================



13