Pengelolaan Lahan Kering [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENGELOLAAN LAHAN KERING SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN II



Oleh : Kelompok 3 Kelas F Nurussyifa Alina



150510130104



Sakti Pamungkas



150510130105



Chindifa Sri Rahayu



150510130121



Lina Rodiani



150510130126



Gugun Gunawan



150510130129



AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2016



DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................3



1.1 Latar Belakang....................................................................................................3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................4 2.1 Lahan Kering......................................................................................................4 2.2 Potensi Lahan Kering..........................................................................................5 2.3 Kendala Lahan Kering........................................................................................5 BAB III PEMBAHASAN.......................................................................................................7 3.1 Pengelolaan Lahan Kering..................................................................................7 BAB IV KESIMPULAN......................................................................................................12 DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................13



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan kering adalah bagian dari ekosistem teresterial yang luasnya relatif luas dibandingkan dengan lahan basah (Odum, 1971). Selanjutnya menurut Hidayat dkk (2000) lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi air atau tergenang 2



air pada sebagian waktu selama setahun. Lahan kering secara keseluruhan memiliki luas lebih kurang 70 %. Pada saat ini pemanfaatan lahan kering untuk keperluan pertanian baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan/ perkebunan sudah sangat berkembang. Pertambahan jumlah penduduk yang terjadi dengan sangat cepat menyebabkan kebutuhan akan bahan pangan dan perumahan juga akan meningkat. Sejalan dengan itu pengembangan lahan kering untuk pertanian tanaman pangan dan perkebunan untuk memenuhi kebutuhan sudah merupakan keharusan. Usaha intensifikasi dengan pola usaha tani belum bisa memenuhi kebutuhan. Upaya lainnya dengan pembukaan lahan baru sudah tidak terelakkan lagi. Luas lahan pertanian (lahan kering dan basah) di Indonesia 59,7 juta Ha sedang di Jawa 9,6 juta Ha. Luas lahan kering di Indonesia 51,7 juta Ha sedang di Jawa 6,1 juta Ha. Ini berarti di Indonesia 86,24 % lahan pertanian berupa lahan kering,sedang di Jawa 63,54% berupa lahan kering. Sejak akhir abad ke 19 perkembangan pertanian lahan kering khususnya di pulau Jawa dirasakan sangat pesat dan sampai saat ini sudah menyebar ke luar pulau Jawa. Antara tahun 1875 – 1925 (50 tahun) peningkatannya mencapai lebih dari 350 persen (Lombart, 2000). Hal ini terjadi akibat ketersediaan lahan basah di dataran rendah bagi kebanyakan petani yang memanfaatkannya sebagai lahan pertanian pangan semakin berkurang. Sebagian lagi penyusutan lahan basah didataran rendah akibat konversi lahan menjadi lahan non pertanian yang tidak terkendali. Lahan kering dapat dibagi dalam dua golongan yaitu lahan kering dataran rendah yang berada pada ketinggian antara 0 – 700 meter dpl dan lahan kering dataran tinggi barada pada ketinggi diatas 700 meter dpl (Hidayat, 2000).



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan Kering Lahan kering umumnya terdapat didataran tinggi (daerah pegunungan) yang ditandai dengan topografinya yang bergelombang dan merupakan daerah penerima dan peresap air hujan yang kemudian dialirkan kedataran rendah, baik melalui permukaan



3



tanah (sungai) maupun melalui jaringan bumi air tanah. Jadi lahan kering didefinisikan sebagai dataran tinggi yang lahan pertaniannya lebih banyak menggantungkan diri pada curah hujan. Lahan kering diterjemahkan dari kata “upland” yang menunjukkan kepada gambaran “daerah atas”. Hingga saat ini takrif pengertian lahan kering di Indonesia belum disepakati benar. Di dalam bahasa Inggris banyak istilah-istilah yng dipadankan dengan lahan kering seperti upland, dryland dan unirrigated land, yang menyiratkan penggunan pertanian tadah hujan. Istilah upland farming, dryland farming dan rainfed farming dua istilah terakhir yang digunakan untuk pertanian di daerah bercurah hujan terbatas. Pengertian upland mengandung arti lahan atasan yang merupakan lawan kata bawahan (lowland) yang terkait dengan kondisi drainase. Sedangkan istilah unirrigated land biasanya digunakan untuk teknik pertanian yang tidak memiliki fasilitas irigasi. Namun pengertian lahan tidak beririgasi tidak memisahkan pengusahaan lahan dengan system sawah tadah hujan. Kesepakatan pengertian lahan kering dalam seminar nasional pengembangan wilayah lahan kering ke 3 di Lampung : (upland dan rainfed) adalah hamparan lahan yang didayagunakan tanpa penggenangan air, baik secara permanen maupun musiman dengan sumber air berupa hujan atau air irigasi. Definisi yang diberikan oleh soil Survey Staffs (1998), lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air selama periode sebagian besar waktu dalam setahun. Tipologi lahan ini dapat dijumpai dari dataran rendah (0-700 m dpl) hingga dataran tinggi (> 700m dpl). Dari pengertian diatas, maka jenis penggunaan lahan yang termasuk dalam kelompok lahan kering mencakup: lahan tadah hujan, tegalan, lading, kebun campuran, perkebunan, hutan, semak, padang rumput, dan padang alang-alang.



2.2 Potensi Lahan Kering Lahan kering merupakan salah satu agroekosistem yang mempunyai potensi besar untuk usaha pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura (sayuran dan buahbuahan) maupun tanaman tahunan dan peternakan. Tidak semua lahan kering sesuai untuk pertanian, terutama karena adanya faktor pembatas tanah seperti lereng yang sangat curam atau solum tanah dangkal dan berbatu, atau termasuk kawasan hutan.



4



Lahan kering mempunyai potensi yang cukup luas untuk dikembangkan, dengan luas yang mencapai 51,7 juta ha (Haryati, 2002) untuk seluruh indonesia maka pengembangan sangat perlu dilakukan. Menurut Simposium Nasional tentang Lahan Kering di Malang (1991) penggunaan lahan untuk lahan kering berturut adalah sebagai berikut: hutan rakyat, perkebunan, tegalan, tanah yang sedang tidak diusahakan, ladang dan padang rumput. 2.3 Kendala Lahan Kering Permasalahan dalam pengelolaan lahan kering bervariasi pada setiap wilayah, baik aspek teknis maupun sosial-ekonomis. Namun, dengan strategi dan teknologi yang tepat, berbagai masalah tersebut dapat diatasi. 2.3.1 Kesuburan Tanah Pada umumnya lahan kering memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah, terutama pada tanah-tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah tanah menjadi tipis dan kadar bahan organik rendah. Kondisi ini makin diperburuk dengan terbatasnya penggunaan pupuk organik, terutama pada tanaman pangan semusim. Di samping itu, secara alami kadar bahan organik tanah di daerah tropis cepat menurun, mencapai 30−60% dalam waktu 10 tahun (Brown dan Lugo 1990 dalam Suriadikarta et al. 2002). Bahan organik memiliki peran penting dalam memperbaiki sifat kimia, fisik, dan biologi tanah. Meskipun kontribusi unsur hara dari bahan organik tanah relatif rendah, peranannya cukup penting karena selain unsur NPK, bahan organik juga merupakan sumber unsur esensial lain seperti C, Zn, Cu, Mo, Ca, Mg, dan Si (Suriadikarta et al. 2002).



2.3.2 Topografi Di Indonesia, lahan kering sebagian besar terdapat di wilayah bergunung (> 30%) dan berbukit (15−30%), dengan luas masing-masing 51,30 juta ha dan 36,90 juta ha (Hidayat dan Mulyani 2002). Lahan kering berlereng curam sangat peka terhadap erosi, terutama bila diusahakan untuk tanaman pangan semusim dan curah hujannya tinggi. Lahan semacam ini lebih sesuai untuk tanaman tahunan, namun kenyataannya banyak



5



dimanfaatkan untuk tanaman pangan, sedangkan perkebunan banyak diusahakan pada lahan datar-bergelombang dengan lereng < 15%. Lahan kering yang telah dimanfaatkan untuk perkebunan mencakup 19,60 juta ha (Badan Pusat Statistik 2005), terutama untuk tanaman kelapa sawit, kelapa, dan karet. 2.3.3 Ketersediaan Air Pertanian Keterbatasan air pada lahan kering mengakibatkan usaha tani tidak dapat dilakukan sepanjang tahun, dengan indeks pertanaman (IP) kurang dari 1,50. Penyebabnya antara lain adalah distribusi dan pola hujan yang fluktuatif, baik secara spasial maupun temporal. Wilayah barat lebih basah dibandingkan dengan wilayah timur, dan secara temporal terdapat perbedaan distribusi hujan pada musim hujan dan kemarau. Pada beberapa wilayah di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, curah hujan melebihi 2.000 mm/tahun, sehingga IP dapat ditingkatkan menjadi 2−2,50 (Las et al. 2000; Amien et al. 2001). 2.3.4 Kepemilikan Lahan Tantangan yang lebih berat dan sukar diatasi adalah permasalahan sosial ekonomi, antara lain pemilikan lahan oleh petani cenderung menyempit. Data sensus pertanian tahun 1993 dan 2003, serta hasil penelitian Puslitbangtanak pada tahun 2002/2003 (Abdurachman et al. 2005) menunjukkan luas lahan pertanian di Jawa cenderung menurun, sedangkan di luar Jawa sedikit meningkat. Di lain pihak, jumlah rumah tangga petani (RTP) meningkat secara signifikan dari 22,40 juta menjadi 27,40 juta dalam 10 tahun terakhir. Luas penguasaan lahan rata-rata nasional menurun dari 0,86 ha menjadi 0,73 ha per RTP. Sejalan dengan itu, jumlah petani gurem (luas lahan garapan < 0,50 ha) meningkat dari 10,80 juta RTP pada tahun 1993 menjadi 13,70 juta pada tahun 2003, atau rata-rata meningkat 2,40%/tahun. Bila luas lahan pertanian tidak bertambah secara signifikan seiring dengan laju pertambahan penduduk maka jumlah petani gurem akan makin bertambah dan peluang perambahan hutan meningkat. 2.3.5 Penggunaan dan Ketersediaan Lahan Menurut Badan Pusat Statistik (2005), lahan pertanian Indonesia meliputi 70,20 juta ha, sekitar 61,53 juta ha di antaranya berupa lahan kering dengan produktivitas relatif rendah, jauh di bawah potensi hasil. Produktivitas padi gogo berkisar antara 2−3 t/ha, padahal potensinya dapat mencapai 4−5 t/ha (Sumarno dan Hidayat 2007). Demikian juga



6



komoditas lain, seperti kedelai, masih dapat ditingkatkan. Menurut Subandi (2007), peluang peningkatan produktivitas kedelai masih terbuka, karena hasil di tingkat petani (0,60−2 t/ha) masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil di tingkat penelitian, yang berkisar antara 1,70−3,20 t/ha.



BAB III PEMBAHASAN 3.1 Pengelolaan Lahan Kering Pengelolaan agrokosistem lahan kering dipandang sebagai bagian dari pengelolaan ekosistem sumberdaya alam oleh masyarakat petani yang menempati areal dimana mereka menetap. Masyarakat petani menanami lahan pertanian dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dapat dikatakan sebagai bagian dari pengelolaan agroekosistem lahan kering di daerahnya. Menurut Soerianegara (1977) pengelolaan agroekosistem lahan kering merupakan bagian dari interaksi atau kerja sama masyarakat dengan agroekosistem sumberdaya alam. Pengelolaan agroekosistem lahan kering merupakan usaha atau upaya masyarakan pedesaan dalam mengubah atau memodifikasi ekosistem sumberdaya alam agar bisa diperoleh manfaat yang maksimal dengan mengusahakan kontinuitas produksinya. Komoditas yang diusahatan tentunya disesuaikan dengan kondisi setempat dan manfaat ekonomi termasuk pemasaran. Dalam pembangunan pertanian berkelanjutan pengelolaan agroekosistem lahan kering dapat dipandang sebagai upaya memperbaiki dan memperbaharui sumberdaya alam yang bisa dipulihkan (renewable resourses) di daerahnya. Dalam pemanfaatan sumberdaya lahan kering untuk pertanian berkelanjutan memerlukan pendekatan lingkungan dan mengikuti kaidah pelestarian lingkungan.



3.1.1 Konservasi Salah satu upaya penanganan kerusakan lahan akibat ekplorasi adalah dengan menerapkan sistem budidaya lorong dalam pengembangan sistem usahatani lahan kering, karena sistem ini memberikan banyak keuntungan diantaranya dapat menekan terjadinya



7



erosi, meningkatkan produktivitas tanah karena adanya penambahan bahan organik melalui hasil pangkasan tanaman pagar, dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman serta dapat menciptakan kondisi iklim mikro (suhu) diantara lorong tanaman. Pemberian bahan hijauan sebagai mulsa yang berasal dari pangkasan tanaman legume yang dipangkas pada umur 1,5 – 2 bulan sekali dapat meningkatkan kadar bahan organik tanah dan ketersediaan air, memperbaiki sifat fisik tanah, dan meningkatkan produksi. Sistem bertanam lorong dapat mencegah erosi secara ganda yaitu dengan mulsa hasil pangkasan dan pengurangan laju aliran permukaan. Hasil pengkajian Basri dkk,. (2001) dengan penerapan sistim budidaya lorong di Kabupaten Rejang lebong menunjukkan bahwa dengan adanya barisan tanaman penyangga erosi rumput raja (King grass) yang ditanam sejajar dengan garis kontur secara efektif dapat mengurangi laju erosi. Selanjutnya dari hasil pangkasan king grass yang dilaksanakan setiap bulan dapat menghasilkan 0,5 ton bahan hijauan yang dapat diberikan untuk sapi selama 20 hari. Dari luasan plot seluas 1 ha akan dihasilkan 1 ton bahan hijauan yang dapat digunakan untuk pakan sapi. Pada pengkajian tahun berikutnya (tahun kedua) teras sudah mulai terbentuk sebagai akibat penanaman teras vegetatif dengan tanaman rumput raja. Dengan terbentuknya teras maka pada lahan miring ini sudah terbentuk lahan usahatani yang representatif untuk berbagai jenis tanaman baik tanaman pangan maupun tanaman perkebunan yang sesuai dengan kondisi setempat dan menekan terjadinya erosi diwaktu hujan. Dengan terbentuknya teras secara bertahap sampai menjadi permanen, disamping menjaga kelestarian lahan juga menyebabkan produktifitas lahan akan lebih baik. Teknologi konservasi lainnya yang diterapkan adalah paket teknologi untuk pertanaman kopi muda di perkebunan rakyat. Paket ini secara fisik dan ekonomis dapat diterapkan ditingkat petani dengan efisiensi yang lebih baik. Dengan diterapkannya paket konservasi sistem vegetatif pada pertanaman kopi rakyat sangat bermanfaat bagi petani dalam hal: (a). Lahan usaha mereka dapat dikelola secara berkelanjutan karena kesuburan lahan dapat dipertahankan; (b). produktivitas tanaman dapat dipertahankan atau ditingkatkan; (c). hasil tanaman dapat ditingkatkan; (d). pendapatan rumah tangga petani meningkat (e) Kelestarian lingkungan pada lahan miring dapat dipertahankan. 3.1.1 Pengaturan Pola Tanam 8



Lahan kering yang murni hanya mengandalkan ketersediaan air dari curah hujan dalam proses produksi pertanian, dimana pengaturan sistim pertanaman diatur dalam bentuk tumpang sari menggunakan tanaman dengan umur panen yang berbeda dan dalam pertumbuhannya tidak banyak memerlukan air dan merupakan salah satu alternatif untuk memecahkan masalah keterbatasan air. Lahan kering pada umumnya rawan terhadap erosi baik oleh air maupun oleh angin. Salah satu alternatif teknologi untuk mengatasi erosi yaitu menggunakan sistim pertanaman lorong. Fungsi lainnya dari pertanaman lorong adalah untuk menciptakan iklim mikro di lahan kering iklim kering dan tanaman yang digunakan disesuaikan dengan tanaman yang biasa ditanam petani dan tentunya memiliki pangsa pasar. Hasil penelitian Wisnu dkk (2005) menyatakan dengan mengkombinasikan beberapa tanaman pangan ubi kayu, jagung, kacang tanah, kedelai dan kacang hijau yang disusun dalam suatu pertanaman tumpang sari dapat memberikan keuntungan dan dapat memberikan kestabilan cukup baik dalam menghadapi keterbatasan curah hujan. Dibidang ekonomi mampu memberikan kesinambungan pendapatan selama satu tahun kepada petani. 3.1.1 Embung Embung atau tandon air adalah waduk berukuran mikro dilahan pertanian (small farm reservoir) yang dibangun untuk menampung kelebihan air hujan diwaktu musim hujan dan menggunakannya jika diperlukan tanaman pada waktu musim kemarau. Teknik penggunaannya demikian sesuai bagi ekosistem lahan tadah hujan yang memiliki intensitas dan distribusi curah hujan yang tidak pasti (Syamsiah dan Fagi, 2004). Pembuatan embung dan penerapannya di lahan kering bagi petani sudah banyak dilakukan khususnya di Indonesia bagiagian timur yang memiliki iklim kering dengan keterbatasan air. Di Lombok Timur sebagai daerah yang beriklim kering penggunaan embung sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian besar petani. Jumlah embung milik rakyat saat ini adalah 1.458 buah dengan luas keseluruhan 755,58 ha berupa genangan dan 3.083 ha berupa irigasi, rata-rata luas pemilikan embung setiap petani di Lombok Timur adalah 0,51 ha. Hasil penelitian Wisnu dkk ( 2005) di beberapa Desa di Lombok Timur dengan komoditi tembakau pada musim kering I (MK I) memperlihatkan bahwa dengan penerapan/pemanfaatan embung sebagai sumber air yang dicampur dengan dengan pupuk



9



(ngecor) maka penggunaan air menjadi lebih efisien dan biaya tenaga kerja dapat ditekan karena penyiraman dan pemupukan dilakukan secara bersamaan. 3.1.1 Pemakaian Pupuk Organik Pengolahan lahan untuk pertanian secara terus menerus akan menyebabkan lahan menjadi kurus sehingga untuk usahatani selanjutnya perlu input yang banyak untuk mengembalikan hara tanah yang sudah banyak diserap tanaman. Pemakaian pupuk an organik yang tidak seimbang secara terus menerus untuk proses produksi dapat merusak lahan dan dalam jangka panjang lahan menjadi tidak efektif lagi untuk usaha pertanian. Salah satu alternatif untuk menyelamatkan keberlanjutan penggunaan lahan adalah dengan mengurangi input yang berasal dari bahan kimia dan beralih kepada pemakaian pupuk organik yang berasal dari bahan organik sisa tanaman atau limbah. Secara umum saat ini permasalahan yang dihadapi petani di Indonesia adalah kesulitan mendapatkan pupuk an organik yang kebutuhannya cendrung meningkat. Kesulitan ini sebagian akibat ketersediaan yang tidak mencukupi maupun sistem pendistribusian yang kurang tepat dan faktor faktor lainnya. Sebagai gambaran Produksi nasional tahun 2008 sekitar 6 juta ton sedangkan kebutuhan mencapai 9 juta ton. Kendala ini berimbas kapada penurunan produktifitas lahan dan produksi berbagai komoditas pertanian secara nasional. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kelangkaan pupuk dan mengurangi ketergantungan akan pupuk an organik adalah dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia secara lokal. Pemanfaatan limbah pertanian yang selama ini belum menjadi perhatian sebagai bahan dasar pupuk organik diharapkan dapat memperkecil ketergantungan terhadap pupuk an organik. Dilain pihak pemanfaatan limbah pertanian dapat menciptakan efisisnsi penggunaan lahan yang ketersediaannya semakin terbatas serta dapat menjaga kelestarian lingkungan. Limbah pertanian adalah bagian atau sisa produksi pertanian yang tidak dapat dimanfaatkan secara langsung. Limbah ini apabila telah mengalami proses dekomposisi banyak mengandung unsur hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman. Apabila tanaman mati, maka selanjutnya terjadi proses dekomposisi akibat aktifitas mikroorganisme dengan hasil akhir berupa humus (Sutanto, 2002). Kandungan hara



10



setiap sisa tanaman berbeda-beda. Dari penelitian Puslitbangbun (2006) diperoleh hasil kandungan hara beberapa ampas tanaman. Tabel 1. Kandungan hara N, P dan K pada beberapa ampas biji tanaman dan pupuk kandang No



Pupuk organik



1 Ampas biji jarak pagar 2 Ampas biji jarak kepyar 3 Ampas biji mimba 4 Ampas kacang tanah 5 Ampas kelapa 6 Ampas biji kapas 7 Ampas wijen 8 Pupuk kandang ayam 9 Pupuk kandang sapi Sumber: Puslitbangbun



N (%)



P2O5 (%)



K2O (%)



4,44 5,50 5,20 7,00 3,00 3,90 6,20 2,90 0,97



2,09 1,80 1,00 1,50 1,80 1,90 2,00 2,90 0,69



1,68 1,00 1,40 1,30 1,70 1,60 1,20 2,40 1,66



Penelitian dengan pemakaian pupuk organik yang berasal dari ampas biji mimba sudah pernah dilakukan di Desa Tebat Monok Kecamatan Kepahiang Kabupaten Kepahiang. Penelitian dilakukan terhadap tanaman jahe dengan beberapa perlakuan pupuk an organik. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa dengan pemakaian pupuk organik (kompos) yang berasal dari ampas biji mimba memperlihatkan pertumbuhan lebih baik dan produksi tanaman lebih tinggi dari pemakaian pupuk an organik. Dengan demikian terdapat beberapa keuntungan dengan pemakaian pupuk organik yaitu efisiensi terhadap biaya karena harga pembuatan pupuk ini lebih murah, Produksi lebih tinggi dan menjaga kesuburan dan kelestarian lahan.



11



BAB IV KESIMPULAN Jalan keluar untuk menembus kebuntuan peningkatan produksi bahan pangan nasional adalah dengan mengoptimalkan pemanfaatan lahan kering melalui: a) peningkatan produktivitas lahan pertanian yang sudah ada saat ini, dan b) perluasan lahan pertanian tanaman pangan dengan memanfaatkan lahan kering terlantar.



12



DAFTAR PUSTAKA



Abdurachman, A., A. Mulyani, G. Irianto, dan N. Heryani. 2005. Analisis potensi sumber daya lahan dan air dalam mendukung pemantapan ketahanan pangan. hlm. 245−264. Dalam Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, 17−19 Mei 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. LIPI bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik, Departemen Kesehatan, Bappenas, Departemen Pertanian, dan Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik Indonesia tahun 2005. Badan Pusat Statistik, Jakarta Basri., IH, A.Darmadi, Yanfirwan Yanuar, D.Aprizal, W.Mikasari. 2001. Pengkajian Teknologi Konservasi Metode Vegetatif pada Perkebunan Kopi Rakyat . Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu. Haryati, U., Haryono, dan A. Abdurachman. 1995. Pengendalian erosi dan aliran permukaan serta produksi tanaman pangan dengan berbagai teknik konservasi pada tanah Typic Eutropepts di Ungaran, Jawa Tengah. Pemb. Pen. Tanah dan Pupuk 13:4050. Hidayat, A., Hikmatullah, dan D. Santoso. 2000. Poternsi dan Pengelolaan Lahan Kering Dataran Rendah. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan kering untuk pertanian. hlm. 1−34. Dalam A. Abdurachman, Mappaona, dan Saleh (Ed.). Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Las, I., S. Purba, B. Sugiharto, dan A. Hamdani 2000. Proyeksi kebutuhan dan pasokan pangan tahun 2000−2020. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Lombart, D. 2000. Nusa Jawa : Silang Budaya, Warisan Kerajaan – kerajaan Konsentris. Penerbit. P.T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. W.B. Saunder Company. Philadelphia. Soerianegara, Ishemat. 1977. Pengelolaan Sumberdaya Alam Bagian I. IPB. Bogor Subandi. 2007. Teknologi dan strategi pengembangan kedelai pada lahan kering masam. Iptek Tanaman Pangan 2(1): 12−25. Sumarno dan R. Hidayat. 2007. Perluasan areal padi gogo sebagai pilihan untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Iptek Tanaman Pangan 2(1): 26−40. Suriadikarta, D.A., T. Prihatini, D. Setyorini, dan W. Hartatiek. 2002. Teknologi pengelolaan bahan organik tanah. hlm. 183−238. Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.



13



Syamsiah, I. dan A.M Fagi. 1997. Teknologi Embung. Sumberdaya Air dan Iklim dalam mewujutkan Pertanian Efisien. Kerjasama Departemen Pertanian dengan Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI). Wisnu, I.M.W, I. Basuki dan Johanes. 2005. Alternatif Sistem Usahatani dan Pengelolaan sumberdaya air dalam pengembangan lahan kering di NTB. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Pembangunan Pertanian Lahan Kering. Kerjasama. PSE dan UNIB. 33 hal.



14